26.03.2021 Views

E-Katalog Kontribusi 50 Tahun IKJ

Selama 50 tahun, Institut Kesenian Jakarta (IKJ) menyelenggarakan beragam kegiatan seni, kolaborasi mahasiswa dan dosen, kerja sama dengan lembaga lain, dan turut berpartisipasi dalam berbagai aktivitas seni. Semua itu menunjukkan bahwa kontribusi IKJ bagi dunia seni budaya lebih daripada proses pendidikan formal di dalam kelas, tapi juga meliputi seluruh karya dan kegiatan yang dihasilkan warga kampus ditambah kiprah dan peran alumninya dalam ekosistem kesenian di Indonesia. Katalog Kontribusi 50 Tahun Institut Kesenian Jakarta ini disusun berdasarkan puluhan ribu arsip dari periode 1970–2020 yang diolah kembali menjadi 1203 kronik yang terdiri atas berbagai kategori, dari Acara, Karya, Partisipasi, Kabar, Peristiwa, dan Fenomena. Dokumentasi lima dekade yang merangkum kontribusi IKJ dalam berbagai derajat keterlibatan ini juga dilengkapi dengan 102 Sosok Alumni dan sejumlah esai kontributor. Melalui katalog ini, kita dapat melihat kembali bagaimana salah satu kampus seni tertua di Indonesia ini terhimpun dan tersimpul dalam berbagai peristiwa kebudayaan dan turut memengaruhi dunia seni budaya kita hari ini. Melalui katalog ini pula, IKJ mempersembahkan sebuah dokumentasi yang dapat dimanfaatkan bersama demi perkembangan seni budaya Indonesia yang lebih baik di masa depan.

Selama 50 tahun, Institut Kesenian Jakarta (IKJ) menyelenggarakan beragam kegiatan seni, kolaborasi mahasiswa dan dosen, kerja sama dengan lembaga lain, dan turut berpartisipasi dalam berbagai aktivitas seni. Semua itu menunjukkan bahwa kontribusi IKJ bagi dunia seni budaya lebih daripada proses pendidikan formal di dalam kelas, tapi juga meliputi seluruh karya dan kegiatan yang dihasilkan warga kampus ditambah kiprah dan peran alumninya dalam ekosistem kesenian di Indonesia.

Katalog Kontribusi 50 Tahun Institut Kesenian Jakarta ini disusun berdasarkan puluhan ribu arsip dari periode 1970–2020 yang diolah kembali menjadi 1203 kronik yang terdiri atas berbagai kategori, dari Acara, Karya, Partisipasi, Kabar, Peristiwa, dan Fenomena. Dokumentasi lima dekade yang merangkum kontribusi IKJ dalam berbagai derajat keterlibatan ini juga dilengkapi dengan 102 Sosok Alumni dan sejumlah esai kontributor. Melalui katalog ini, kita dapat melihat kembali bagaimana salah satu kampus seni tertua di Indonesia ini terhimpun dan tersimpul dalam berbagai peristiwa kebudayaan dan turut memengaruhi dunia seni budaya kita hari ini. Melalui katalog ini pula, IKJ mempersembahkan sebuah dokumentasi yang dapat dimanfaatkan bersama demi perkembangan seni budaya Indonesia yang lebih baik di masa depan.

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

50 Tahun

Institut Kesenian Jakarta

Kronik Seni Budaya dan Sosok Alumni






Kontribusi 50 Tahun Institut Kesenian Jakarta:

Kronik Seni Budaya dan Sosok Alumni

Cetakan pertama, Maret 2021

i–lii + 686 hlm; 21 x 29,7 cm

ISBN: 978-602-61716-9-6

IKJ Press

Kompleks Taman Ismail Marzuki

Jl. Cikini Raya No.73,

Cikini, Menteng, Jakarta Pusat

DKI Jakarta 10330

www.ikj.ac.id

Direktur Penerbitan

Dr. Seno Gumira Ajidarma, S.Sn., M.Hum.

Manajer Penerbitan

Suzen HR. Tobing, S.Sn., M.Hum.

Asisten Manajer Penerbitan

Maria Natasha, S.I.Kom.

Luna Lusiana Lukman, S.Sos.

Kesekretariatan

Isyana Widiyati, S.H.

Manajer Keuangan

Boedhatmaka Darsono, S.Sn, M.Sn.

Pengurus Keuangan

Yayuk Liyanti, S.E.

Staf Keuangan

Bakti Sapta Imaniyar, S.A.B.

Hari Darmawan, S.Tr. Keu.

Pujianto

Dokumentasi

Arief Supriyadi, S.Kom.

Ketua Kurator Seleksi Sosok Alumni

Seno Gumira Ajidarma

Anggota Kurator Inti Seleksi Sosok Alumni

Dolorosa Sinaga

Marselli Sumarno

Mathias Muchus

Nungki Kusumastuti

Anggota Kurator Seleksi Sosok Alumni

Cantika Clarinta

Carolline Mellania

Citra Smara Dewi

Clairine Nathania Wijaya

Damar Rizal Marzuki

Fachrizal Mochsen

Isworo Ramadhani

Lusiati Kusumaningdiah

Satrio Pamungkas

Siti Turmini Kusniah

Sujud Puji Nur Rahmat

Surajudin Datau

Thomas Moore

Wiwiek Harie Wahyuni

Pengelola Seleksi Sosok Alumni

R.S. Soerjaninglistyowati

Luna Lusiana Lukman

Manajer Seleksi Sosok Alumni

Vicky Rosalina

Fasilitator Seleksi Sosok Alumni

Adrian Jonathan Pasaribu

Asisten Fasilitator Seleksi Sosok Alumni

Ninus Andarnuswari

Pemimpin Redaksi

Ardi Yunanto

Pemimpin Riset

Sulaiman Harahap

Periset

Hendaru Tri Hanggoro

Syifaun Syah

Yudi Anugrah Nugroho

Redaktur Pelaksana

Levriana Yustriani

Editor Kronik Seni Budaya

Ninus Andarnuswari

Penulis Kronik Seni Budaya

Esha Tegar Putra

Hendaru Tri Hanggoro

Syifaun Syah

Yudi Anugrah Nugroho

Editor Sosok Alumni

Adrian Jonathan Pasaribu

Penulis Sosok Alumni

Albertus Wida

Permata Adinda

Raisa Kamila

Editor Esai

Bambang Bujono

Penulis Esai

Bambang Bujono

Cholil Mahmud

Marselli Sumarno

Seno Joko Suyono

Penyelaras Bahasa

Adrian Jonathan Pasaribu

Ninus Andarnuswari

Ardi Yunanto

Penyelaras Akhir

Ninus Andarnuswari

Penyusun Daftar Pustaka

Adrian Jonathan Pasaribu

Penyusun Indeks

Esha Tegar Putra

Pengarah Artistik

Ardi Yunanto

Desainer Grafis

Andang Kelana

Penata Letak Isi

Rico Prasetyo

Ilustrator Sampul

Kendra Paramita


UCAPAN TERIMA KASIH

Tim redaksi mengucapkan banyak terima kasih

kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan katalog ini.

Rektorat IKJ (Seno Gumira Ajidarma, Suzen H.R. Tobing, Luna Lusiana Lukman,

Maria Natasha, Isyana Widiyati, R.S. Soerjaninglistyowati, Boedhatmaka Darsono,

Yayuk Liyanti, Bakti Sapta Imaniyar, Hari Darmawan, Pujianto, Arief Supriyadi)

Fakultas Seni Pertunjukan IKJ (Bekti Lasmini, DJ. Dimas Phetorant, Eddy Susanto)

Fakultas Film dan Televisi IKJ (Tony M. Riswan, Suryana Paramita)

Fakultas Seni Rupa dan Desain IKJ (Adityayoga)

Perpustakaan Fakultas Seni Rupa IKJ (Adhy Pradita, Atin Yuni Purwanti)

Dewan Kesenian Jakarta

(Danton Sihombing, Serley Banowati, Sri Tuti Handayani, Yohanes Apus Hambur,

Esha Tegar Putra, Purbowo, Triyanto)

Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin (Muhammad Isnaeni)

Pusat Data dan Analisa Tempo

Pusat Informasi Kompas

Direktorat Perfilman Musik, dan Media Baru,

Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta

Adrianto Sinaga, Agni Ariatama, Agung Sentausa, Agus Nur Amal, Ali Qital, Aria Kusumadewa,

Arie Kartikasari, Arturo G.P., Asep Topan, Beng Rahadian, Benny Kadarharianto, Benny Mulyadi Tanto,

Cantika Clarinta, Carolline Mellania, Cecil Mariani, Cesa David Luckmansyah, Cholil Mahmud,

Citra Smara Dewi, Clairine Nathania Wijaya, Damar Rizal Marzuki, Daniel Rudi Haryanto, Dewi Ria Utari,

Dewi Umaya, Dolorosa Sinaga, Elly Lutan, Embie C. Noer, Fachrizal Mochsen, Farie Judhistira,

Gandung Bondowoso, Garin Nugroho, Gunawan Paggaru, Hadi Artomo, Hanung Bramantyo,

Herdin Hidayat, Indah Tjahjawulan, Isworo Ramadhani, Jalu Pratidina, Jerry Octavianus,

Jessica Indah, Joseph Ginting, Kendra Paramita, Kusen Dony Hermansyah, Leonhard Bartolomeus,

Leony Vitra Hartanti, Lusiana Limono, Lusiati Kusumaningdiah, Marselli Sumarno, Mathias Muchus,

Mirta Parahita, Moses Sihombing, Nanang Ruswandi, Nungki Kusumastuti, Nunung W.S., Nur Hidayat,

Paul Kadarisman, Priscilla Setiawan, Rachmat Syaiful, Ravi Bharwani, Rima Ananda, Sastha Sunu,

Satrio Pamungkas, Seno Joko Suyono, Siti Artati, Siti Turmini Kusniah, Sujud Puji Nur Rahmat,

Surajudin Datau, Thomas Moore, Wahyu Tri Purnomo, Wicaksono Wisnu Legowo,

Wiwiek Harie Wahyuni, Yayu Unru, Yunus Pasolang

Comical Magz, Desain Grafis Indonesia, Indonesia Kaya, Kapanlagi.com,

Kresna Duta Foundation, Lokadata.id, Miles Films, Museum MACAN, Sena Didi Mime,

Titimangsa Foundation, Universitas Pelita Harapan Conservatory of Music, Visinema Pictures,

Wayang Orang Bharata, Whiteboard Journal



PENGANTAR

Bukti Kontribusi

Memasuki tahun ke-50, disebutkan bahwa Institut Kesenian Jakarta (IKJ)

telah memberikan banyak kontribusi bagi kesenian Indonesia. Namun apabila

dipertanyakan apa saja kontribusi tersebut, agaknya pernyataan tersebut lebih

mudah diucapkan daripada dibuktikan.

Dengan latar belakang semacam itulah katalog ini disusun, agar pemeriksaan

atas kontribusi tersebut dapat dilakukan berdasarkan data. Adapun data tersebut

berupa catatan, atas segenap kegiatan IKJ sejak didirikan sebagai Lembaga

Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) pada 1970, sampai kegiatan yang masih

bisa dicatat pada detik-detik terakhir penyusunan katalog pada Agustus 2020.

Data yang berakhir pada media cetak ini sudah semestinya langsung disambung

dalam website resmi IKJ.

Catatan atas kronik kegiatan IKJ selama 50 tahun ini dilengkapi dengan profil

sosok-sosok alumni, untuk memberi gambaran yang lebih utuh perihal kontribusi

IKJ. Dalam kedudukan IKJ sebagai perguruan tinggi, maka pertimbangan atas

sosok yang mewakili gambaran IKJ, selain merujuk pada pencapaian dalam

dunia kesenian, juga mempersyaratkan sikap etisnya sebagai warga komunitas

akademik.

Katalog ini, dalam kriteria para kurator dan penerapannya dalam

pengumpulan data, diusahakan selengkap mungkin. Namun tetap saja menjadi

tugas dan kewajiban para penerus tahun-tahun mendatang, untuk melengkapi

dan melakukan koreksi atas kekeliruan yang paling kecil sekalipun.

Atas nama segenap civitas academica LPKJ-IKJ 1970-2020, saya

mengucapkan terima kasih setulus-tulusnya atas kerja keras dan ketekunan para

penyusun maupun seluruh pendukungnya. Dengan katalog ini, keberadaan IKJ

menjadi sungguh terbukti.

Salam

Jakarta, Jumat, 2 Oktober 2020, 22:00 WIB

Dr. Seno Gumira Ajidarma, S.Sn., M.Hum.

Rektor Institut Kesenian Jakarta (Periode 2016–2020)


PENGANTAR

Penyusunan Kontribusi

Dokumentasi kegiatan dan karya civitas akademika IKJ, beserta profil sejumlah

alumni, dapat menunjukkan bahwa kontribusi IKJ terhadap seni budaya lebih dari

sebatas kegiatan belajar-mengajar di dalam kelas. Ia turut meliputi kolaborasi dan

praktik langsung mengupayakan berbagai kegiatan dan karya ke hadapan publik.

Penyusunan dokumentasi yang menghimpun sumber dari lima dekade ini tentu

tidak mungkin dilakukan sendiri oleh IKJ di sela waktu mengajar dan mengelola

kampus. Lebih dari itu, penyusunan ini membutuhkan keahlian tersendiri dan

jarak pandang tertentu, sehingga penyusunan dokumentasi tidak berakhir

sebatas upaya perayaan tapi juga menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah

seni budaya. Oleh karena itu, Rektorat IKJ bekerja sama dengan tim redaksi yang

semuanya bukanlah alumni, yang sudah berpengalaman meriset dan mengolah

arsip untuk bisa ditampilkan dalam bentuk yang ramah untuk dibaca publik

umum.

Penyusunan ini mulai dibicarakan sejak 2018, dan dimulai dengan tahap

awal pada akhir 2018 hingga pertengahan 2019. Hasilnya terdiri atas panduan

kerja yang membingkai penelusuran riset dan redaksional pada tahap berikutnya;

dan sebuah Desain Riset dan Survei Alumni IKJ yang dapat digunakan pada

masa depan untuk menelusuri manfaat pendidikan seni di IKJ terhadap karier

awal para alumninya. Proses kerja kemudian dilanjutkan dengan fokus pada

pencarian dan pengolahan arsip yang hasilnya berupa katalog ini. Dalam hal ini,

IKJ mengucapkan banyak terima kasih kepada Dewan Kesenian Jakarta, yang

dengan ringan hati bekerja sama dan membukakan pintu lebar-lebar kepada para

periset untuk menelusuri dokumentasi arsipnya, yang menjadi modal awal bagi

penyusunan katalog ini.

Proses riset tersebut berjalan beriringan dengan penyeleksian alumni yang

akan diangkat profilnya sebagai Sosok Alumni di katalog ini. Difasilitasi tim

redaksi, pada 14 Oktober 2019, IKJ membentuk tim kurator seleksi yang terdiri

atas dua puluh alumni dan diketuai oleh Seno Gumira Ajidarma, Rektor IKJ.

Proses seleksi berlangsung secara bertahap hingga akhirnya pada Februari 2020

ditetapkan 102 nama untuk ditulis dalam segmen Sosok Alumni di katalog ini.

Berbarengan dengan itu, sebagian besar proses riset telah selesai dilakukan.

Sayangnya, proses penyusunan selanjutnya turut terdampak oleh pandemi

global COVID-19, yang turut mengubah pola hidup dan kerja satu dunia. IKJ

sebagai kampus perlu beradaptasi, begitu pula dengan penyusunan katalog

ini. Sejumlah data dan arsip yang perlu diambil dari IKJ sempat terkendala,

dan rencana penerbitan katalog juga perlu ditata kembali. Aslinya, katalog ini

hendak diluncurkan pada 23 Juli 2020, bersamaan dengan acara akbar perayaan

ulang tahun IKJ ke-50. Sejumlah penyesuaian perlu dilakukan, utamanya


PENYUSUNAN KONTRIBUSI

ix

mengutamakan katalog ini terbit dalam bentuk cetak terlebih dulu. Katalog dalam

versi website, seperti yang semula direncanakan, akan dilanjutkan pada tahap

berikutnya, karena sejak awal dokumentasi kontribusi ini memang dibayangkan

sebagai sebuah kerja berkelanjutan. Hingga akhirnya pada November 2020,

katalog ini dapat diselesaikan. Isinya merekam lebih dari 1.200 kegiatan dan

karya civitas IKJ dan 102 Sosok Alumni. Dalam prosesnya, tim redaksi juga

berhasil menghimpun puluhan ribu data soft copy yang merupakan bahan bagi

katalog ini. Data-data tersebut disimpan di Rektorat IKJ sebagai arsip kontribusi

yang sangat berharga.

Semoga katalog ini dapat bermanfaat, tidak hanya untuk merekam kontribusi

IKJ dan memperlihatkan hubungannya dengan ekosistem seni budaya, tapi juga

menjadi bagian dari kontribusi itu sendiri.

Jakarta, 6 November 2020

Suzen H.R. Tobing S.Sn, M.Hum

Wakil Rektor IV Bidang Kerja Sama (Periode 2016-2020)


SAMBUTAN

REKTOR INSTITUT KESENIAN JAKARTA

Lebih dari catatan sejarah dan bukti kontribusi yang berharga, penerbitan

katalog Kontribusi 50 Tahun Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini dapat menjadi

bahan refleksi bagi masa depan IKJ. Dari katalog ini dapat terlihat bagaimana

kerja sama antarlembaga berperan sama pentingnya dengan kelas-kelas kuliah

dalam menciptakan kesempatan dan platform bagi pengembangan kekaryaan

mahasiswa, dan bagaimana kerja sama erat antara dosen dan mahasiswa dalam

menggelar berbagai kegiatan selama puluhan tahun membentuk peran penting

IKJ dan segenap alumninya di tengah ekosistem seni budaya Indonesia. Selain

yang sudah berjalan dengan baik, dan perlu dipertahankan, dapat terlihat pula

apa yang perlu ditingkatkan: inovasi penciptaan dan riset lintas disiplin serta

kecakapan beradaptasi dengan zaman, yang tidak hanya terkait perkembangan

teknologi, namun juga konsepsi ruang dan waktu yang tentu mengalami

perubahan dengan adanya pandemi COVID-19 ini.

Saya ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Seno Gumira Ajidarma

selaku Rektor IKJ Periode 2016–2020 dan segenap tim penyusun serta para

pendukungnya yang telah menyusun katalog ini, sekaligus memperkaya arsiparsip

IKJ dalam proses penggarapannya. Katalog ini merupakan bahan berharga

untuk menerangi langkah IKJ menjadi kampus seni yang lebih maju dan

berkontribusi lebih lagi bagi kemajuan seni budaya Indonesia.

Jakarta, 15 Desember 2020

Dr. Indah Tjahjawulan, S.Sn, M.Sn

Rektor Institut Kesenian Jakarta (Periode 2020–2024)


CATATAN

Editorial Kontribusi

DibanDingkan kampus pendidikan tinggi pada umumnya, kampus pendidikan

tinggi bidang seni memiliki lebih banyak platform bagi civitas akademikanya

untuk bereksperimen, berkolaborasi, dan menampilkan hasilnya ke hadapan

publik. Bagi mahasiswa, kegiatan di luar jam belajar-mengajar merupakan

wahana berpraktik langsung, baik untuk berkarya maupun mengelola acara, guna

mengasah kemampuan untuk menjadi pelaku aktif ekosistem dan industri seni

di masa depan. Bagi dosen, hal yang sama menawarkan kesempatan berkarya

dan berkolaborasi dengan mahasiswa serta pihak luar kampus. Dengan begitu,

kontribusi publik suatu kampus seni sejatinya lebih daripada proses pendidikan

formal dalam kelas, dan turut melingkupi seluruh karya dan kegiatan yang

dihasilkan warga kampus.

Sebagai kampus seni, Institut Kesenian Jakarta (IKJ) menawarkan rentang

kontribusi yang lebih lagi. Di IKJ, karya tugas akhir mahasiswa dipersembahkan

melalui pameran atau pertunjukan kepada publik, dan tak jarang muncul kembali

di sejumlah pameran dan festival dalam dan luar negeri sebagai partisipan atau

bahkan pemenang kompetisi. Mahasiswa juga terlibat dalam berbagai pameran

dan pementasan publik, termasuk yang digelar atas inisiatif sendiri, baik di

dalam maupun luar kampus. Banyak pula kelompok seni dan band yang lahir dari

lingkungan IKJ. Pada masanya, kerja-kerja dan inisiatif di luar kampus itu pernah

membuat mahasiswa keasyikan, lupa kuliah, dan berakhir menjadi “jebolan”, dan

terkadang baru melanjutkan kuliah beberapa tahun kemudian. Namun, semua

itu menggambarkan betapa dinamisnya suasana belajar-mengajar dan berkaryaberkegiatan

di IKJ. Publik telah menjadi bagian dari mahasiswa IKJ sejak masih

di bangku kuliah, dan dosen-dosennya yang terus menghidupkan kesenian

almamaternya, termasuk pula mereka yang berasal dari luar IKJ dan kemudian

mewarnai dinamika tersebut. Alumni dan dosen IKJ pun terus berkiprah di

berbagai jenis kesenian, menjadi bagian penting yang tak terpisahkan dari

kesenian Indonesia.

Dengan itu semua, dalam usia emasnya, IKJ tentu bisa dibilang telah banyak

berkontribusi bagi kesenian Indonesia. Namun, penilaian yang lebih terukur dan

kajian yang lebih mendalam lagi menyeluruh membutuhkan pendokumentasian

atas setiap kontribusi tersebut. Katalog ini, yang berisi kronik kegiatan dan karya

civitas akademika IKJ selama 50 tahun, ditambah kisah sejumlah alumninya,

adalah wujud dokumentasi tersebut. Melalui katalog ini, kontribusi IKJ terwujud

lebih daripada sebatas ingatan pribadi dan berkas dokumentasi. Ia turut menjadi

bagian dari catatan sejarah.

*


xii

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

Katalog ini disusun berdasarkan puluhan ribu arsip dari periode 1970–2020, hasil

riset kami di sejumlah lembaga kesenian, utamanya Dewan Kesenian Jakarta

dan Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin di Taman Ismail Marzuki, serta

media massa cetak dan daring, utamanya Pusat Informasi Kompas dan Pusat

Data dan Analisa TEMPO, juga di kampus IKJ sendiri beserta segenap civitas

akademikanya. Arsip-arsip tersebut, yang di antaranya terdiri atas liputan media,

kalender acara, buklet, katalog, jurnal, dokumen, dan poster, kemudian diseleksi

dan disusun berdasarkan sejumlah pertimbangan: pelaku, jenis kegiatan dan

karya, dan derajat keterlibatannya.

“Pelaku” dalam katalog ini adalah IKJ dan civitas akademikanya, yaitu

lembaga, kelompok, dan individu dalam batasan tertentu. “Pelaku” bisa berarti

kampus—rektorat, fakultas, organisasi mahasiswa, ikatan alumni, dan kelompok

seni inisiasi anggota civitas akademika. “Pelaku” bisa pula mahasiswa dan dosen

aktif. Dengan begitu, karya dan kegiatan yang diupayakan mantan dosen dan

individu alumni—termasuk mereka yang tidak lulus—tidak disertakan. Batasan

ini penting karena hampir mustahil untuk mengukur peran langsung pendidikan

IKJ pada karya dan aktivitas alumni dan jebolan selepas dari IKJ. Sekalipun

hal itu bisa diukur, tidaklah elok rasanya untuk mengklaim setiap satuan karya

dan aktivitas individu selepas dari IKJ karena seolah meniadakan pencapaian

individu. Pengecualian bisa dilakukan jika individu atau kelompok alumni itu

sendiri yang menyematkan identitas kampus dalam karya mereka, seperti yang

tersurat dalam judul sebuah kompilasi musik band-band indie mahasiswa, alumni,

dan jebolan IKJ.

Berbagai wujud kontribusi tersebut kemudian dibagi dalam enam kategori:

Acara, Karya, Partisipasi, Kabar, Peristiwa, dan Fenomena. Acara meliputi

berbagai kegiatan yang diselenggarakan “pelaku” IKJ atau berlangsung di IKJ

dengan IKJ sebagai kolaborator atau tuan rumah. “Karya” merupakan karya seni

ciptaan “pelaku” IKJ khususnya dalam konteks sebagai subjek apresiasi publik,

yang bisa sebagai karya satuan maupun ditampilkan dalam suatu acara tertentu,

baik acara buatan IKJ sendiri maupun pihak lain. Sementara untuk acara-acara

yang tidak diselenggarakan atau tidak berkolaborasi dengan IKJ, tapi diikuti

“pelaku” IKJ sebagai partisipan, kami masukkan dalam kategori Partisipasi, yang

dengan begitu merunut keikutsertaan civitas akademika IKJ dalam kegiatan seni

yang diselenggarakan pihak luar kampus.

Temuan arsip yang tak masuk dalam kategori-kategori tersebut, tapi

melengkapi konteks kontribusi IKJ, masuk dalam Peristiwa. Selanjutnya, dengan

adanya berita-berita tentang proses dan pencapaian karya tanpa ditemukan

dokumentasi tentang karya itu sendiri, kategori Kabar menjalankan fungsinya.

Terakhir, Fenomena menjadi saksi bagi kontribusi IKJ yang lebih langgeng

sifatnya—tak jarang menjadi bagian istimewa dari perkembangan seni-budaya

Jakarta, atau bahkan Indonesia.

Arsip-arsip terkategori tersebut kemudian diolah menjadi kronik, berupa

urutan deskripsi ringkas, lengkap dengan elemen informasi tambahan yang

merincikan konteks waktu, lokasi, dan keterlibatan. Penulisan setiap entri kronik

menyesuaikan kuantitas dan kualitas dokumentasi yang tersedia. Semakin

kaya arsip yang ditemukan mengenai suatu kegiatan atau karya, semakin kaya

pula deskripsi yang bisa dihadirkan, dari detail keterangan hingga foto yang

representatif. Entri-entri yang dihasilkan kemudian disusun secara kronologis.

Di setiap awal dekade, kami tuliskan semacam rangkuman, yang memaparkan

kekhasan serta kecenderungan pada dekade tersebut.

Di bagian depan katalog ini, kami menyertakan sejumlah esai, berisi opini

mengenai sejumlah bidang kesenian yang relevan dengan kontribusi utama

IKJ, yaitu musik, tari, teater, seni rupa, dan film dan televisi. Esai-esai tersebut

dikelola oleh seorang editor tamu, Bambang Bujono, seorang penulis senior seni

rupa yang telah menyaksikan berbagai peristiwa kesenian di Jakarta sejak 1968

dan sangat mengenal kiprah Taman Ismail Marzuki dan IKJ. Ia juga merupakan

pengajar kelas penulisan di Sekolah Pascasarjana IKJ. Para kontributor yang


EDITORIAL KONTRIBUSI

xiii

diundang untuk menulis esai adalah pemerhati dunia kesenian yang juga

mengenal kiprah IKJ selama ini.

*

Untuk melengkapi gambaran kontribusi IKJ sehubungan dengan seniman yang

pernah dihasilkan olehnya, katalog ini menyertakan segmen Sosok Alumni. Terdiri

atas 102 representasi alumni hasil pilihan tim kurator dari Rektorat dan fakultasfakultas

di IKJ, Sosok Alumni merupakan bentuk apreasiasi IKJ terhadap kiprah

mereka dalam kesenian Indonesia.

Dalam kisah-kisah setiap sosok alumni, IKJ hadir dalam berbagai wujud.

Bagi sejumlah alumni, ia adalah titik awal perjalanan. Bagi sejumlah lainnya, ia

menjadi titik temu yang kaya akan berbagai kemungkinan. Beberapa kisah saling

bersinggungan melalui kolaborasi lintas disiplin serta angkatan, dan tak sedikit

dari kolaborasi itu yang berlanjut hingga di luar kampus. Proses yang mereka

lakoni secara pribadi turut berkontribusi bagi tumbuh-kembang IKJ sebagai

lembaga pendidikan. Kisah-kisah inilah yang ditelusuri dan diungkap dalam

segmen Sosok Alumni.

Sosok Alumni terdiri atas alumni-alumni yang konsisten berkarya selama dan

setelah menempuh pendidikan di IKJ, dan telah mendapat pengakuan atas karya

dan kontribusinya di bidang seni yang digeluti. Sosok Alumni terdiri atas mereka

yang setidaknya pernah menempuh pendidikan di IKJ selama satu tahun. Dengan

kata lain, ada sejumlah individu dalam Sosok Alumni yang sesungguhnya tidak

lulus, alias merupakan jebolan IKJ.

Dalam seleksi, faktor kelulusan ini tidak begitu dipersoalkan karena terkait

dengan konteks khusus IKJ dan dunia kesenian. Sudah menjadi pengetahuan

umum bahwa proses belajar-mengajar di IKJ berlangsung cair dan dinamis,

khususnya pada dekade 1970-an sampai 1990-an ketika jumlah tenaga kreatif

di Indonesia masih terbatas dan industri kreatif belum terbentuk sebagaimana

sekarang. Pada masa-masa itu, dosen tak jarang melibatkan mahasiswa dalam

berbagai produksi seni sehingga kedua belah pihak berpraktik langsung dalam

kolaborasi dan penciptaan. Status dosen dan mahasiswa pun menjadi relatif

tak signifikan ketimbang tanggung jawab sebagai seniman atau pegiat seni

yang sama-sama menyajikan karya di hadapan publik. Dalam ukuran pendidikan

formal, proses pendidikan yang serba cair di IKJ bisa jadi dianggap sebagai

kekurangan. Namun, pada saat yang sama, proses tersebut memungkinkan

seniman langsung berkarya sedari kuliah. Hal ini menjadi kewajaran, terlebih

dunia kesenian saat itu cenderung sangsi terhadap ijazah—selembar kertas

yang belum tentu menjadi ukuran keberhasilan seniman. Karyalah, bukan status

kelulusan semata-mata, yang lebih diterima sebagai pencapaian seniman.

Tentu saja, andil IKJ sebagai ruang belajar, baik dalam kerangka formal maupun

nonformal, juga tak bisa dinihilkan.

Oleh karenanya, kesesuaian peran dan profesi alumni dengan bidang

keilmuannya turut dipertimbangkan, sebagai bingkai untuk melacak kontribusi

IKJ dalam tumbuh-kembang alumninya. Batasan yang ditetapkan adalah

fakultas. Apa pun peran dan profesi seorang alumnus, ia harus sesuai dengan

fakultas studinya. Dengan begitu, seleksi alumni bisa mewadahi seniman yang

lintasan kariernya multidisiplin, seperti seorang lulusan jurusan kriya keramik

dari Fakultas Seni Rupa yang lantas berprofesi sebagai kurator seni rupa. Selain

itu, proses seleksi bisa secara proporsional menakar lingkup kontribusi IKJ

dalam lintasan karier alumninya di bidang seni tertentu. Maka, tumbuh-kembang

alumni di bidang seni selain fakultas studinya dianggap sebagai pencapaian

ikhtiar pribadinya dan ada di luar lingkup pendidikan IKJ. Contohnya, alumni seni

rupa yang kemudian menjadi musisi tidak dimasukkan ke dalam Sosok Alumni,

betapapun cemerlang karya dan kariernya.

Proses penulisan profil Sosok Alumni berlangsung secara bertahap. Kami

menghimpun arsip informasi dari setiap alumni terpilih lalu memetakan lintasan

kariernya. Ada yang dikenal publik karena menciptakan karya, ada juga yang


xiv

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

karena kerja-kerjanya memperluas partisipasi masyarakat dalam berkesenian. Ada

beberapa nama yang minim eksposur publik, karena sifat kerjanya yang berada di

balik layar seperti kurator dan peneliti. Keunikan dari masing-masing perjalanan

alumni inilah yang kemudian dihubungkan dengan proses belajar mereka di IKJ,

dari informasi yang didapat melalui wawancara langsung atau sumber-sumber lain.

Dari data yang terhimpun, kami memetakan keterkaitan dari seluruh alumni

pilihan. Sejumlah alumni memiliki kisah dengan konteks yang spesifik, sehingga

butuh ruang lebih untuk diceritakan. Sejumlah lainnya terikat dengan konteks

yang lebih umum, yang turut terpaparkan dalam entri-entri kronik, sehingga bisa

dituturkan dalam tulisan yang lebih ringkas.

Pertimbangan kontekstual turut mendasari urutan kemunculan profil alumni

dalam linimasa kronik katalog ini. Dengan menempatkan IKJ sebagai titik

berangkat, profil alumni diurutkan berdasarkan capaian publik pertamanya setelah

singgah di IKJ. Untuk alumni yang sudah berkarier atau berkarya sebelum masuk

IKJ, profil mereka ditempatkan pada tahun kelulusan atau tahun pertama berkarya

sebagai bagian dari civitas IKJ. Beberapa nama kami tempatkan berdekatan

karena ada sejumlah alumni yang saling berbagi simpul, seperti dalam produksi

film bersama atau pendirian suatu komunitas.

Kisah-kisah para alumni melengkapi kronik seni-budaya dalam katalog ini.

Dalam kisah mereka, terangkum cuplikan proses belajar serta perkembangan

gagasan berkesenian di IKJ dari masa ke masa. Harapannya, kisah-kisah ini bisa

menjadi catatan historis dan juga acuan bagi perkembangan proses belajar di IKJ

pada masa mendatang.

*

Katalog ini disusun berdasarkan arsip yang dapat ditemukan selama periode riset,

yaitu dari pertengahan 2019 sampai pertengahan 2020. Bisa dipastikan, informasi

yang terekam di katalog ini tetap kurang memadai daripada yang pernah terjadi.

Terutama dalam entri kronik berkategori Karya, yang tentu jumlah seluruhnya

lebih banyak lagi daripada acara yang pernah diadakan, baik sebagai satuan

maupun karya-karya yang ditampilkan dalam pameran maupun pertunjukan. Pada

akhirnya, katalog ini lebih tepat dianggap sebagai program rintisan, yang perlu

terus dikoreksi, ditambah, dan dilengkapi, idealnya dalam bentuk situs web khusus,

sehingga bisa dijangkau oleh publik yang lebih luas lagi.

Namun, 1.203 entri kronik dalam katalog ini, beserta 102 sosok alumninya

dan esai-esai penyerta, kami harap cukup untuk memberi gambaran perjalanan

kontribusi IKJ selama 50 tahun. Melalui katalog ini, IKJ bisa berhenti sejenak

untuk menyimak kembali kiprahnya selama lima dekade, untuk membayangkan

masa depan yang hendak dituju. Melalui katalog ini pula, publik dapat mengetahui

bagaimana IKJ terhimpun dan tersimpul dalam beragam acara dan karya yang

mungkin pernah disaksikannya. Bukan tidak mungkin katalog ini dapat menjadi

salah satu basis untuk merumuskan kebijakan dan strategi jangka panjang

pendidikan seni di Indonesia, serta menjadi model dokumentasi atas karya dan

kegiatan seni yang diampu oleh lembaga pendidikan tinggi seni di Indonesia,

sekaligus merupakan sumbangan bagi upaya dokumentasi kegiatan seni pada

umumnya yang terbilang minim di Indonesia.

Jakarta, 6 November 2020

Tim Redaksi

Ardi Yunanto

Ninus Andarnuswari

Adrian Jonathan Pasaribu

Sulaiman Harahap

Levriana Yustriani

Andang Kelana



ESAI

Sumbangan Sekolah Film IKJ

bagi Dunia Perfilman

Marselli Sumarno

Suasana kampus Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) pada 1970-an

terasa longgar karena jumlah total mahasiswanya masih 500-an. Khususnya di

Akademi Sinematografi, para mahasiswa belajar dari para pengajar yang aktif

di lapangan, seperti Sjuman Djaya (sutradara), Soemardjono (editor), Soetomo

Gandasubrata (penata kamera). Dengan jenjang Diploma-3 (D3) yang tersedia,

para mahasiswa berlatih keterampilan “berpola sanggar” atau tidak bersistem

akademik ketat. Sementara produksi film nasional waktu itu cukup tinggi, antara

80–100 film per tahun. Penyebab utamanya, antara lain masih ada jalur khusus

bioskop film nasional.

Namun dari pemandangan yang serba fisik tersebut, mulai terasa bahwa

rezim Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto sangat membatasi ruang

gerak kebudayaan dan khususnya kesenian, termasuk bidang film. Salah satu

halangan terbesar adalah keberadaan Departemen Penerangan yang melakukan

pembinaan, bahwa setiap rencana produksi film nasional harus melalui

penyensoran skenario terlebih dahulu. Kenyataan ini membuat film-film Indonesia

“dijinakkan” sebelum diproduksi. Belum lagi, proses sensor akhir ketika sebuah

film siap untuk dipasarkan ke bioskop yang pada masa itu memiliki sekitar 3000-

an layar.

Menginjak 1980-an, persoalan yang membelit pembuat film selain sensor

adalah praktik “monopoli terselubung” ihwal peredaran film impor. Di sisi

lain, rezim Orde Baru yang semakin menancapkan kuku kekuasaannya dalam

masyarakat telah melahirkan film propaganda berjudul Pengkhianatan G30S/

PKI (1984). Film yang disutradarai oleh Arifin C. Noer ini telah berhasil mencuci

otak para generasi muda tentang kebenaran sejarah yang terkait dengan tragedi

nasional 1965.

Dalam suasana dunia perfilman Indonesia seperti itulah para lulusan awal

dari Akademi Sinematografi LPKJ terjun ke lapangan menjadi asisten para

seniornya. Mereka merangkak menjadi profesional sepenuhnya melalui kerja

magang demikian.

Pada periode yang sama, perubahan status LPKJ menjadi Institut Kesenian

Jakarta (IKJ), memunculkan sistem pendidikan yang lebih akademik. Dibuka

program studi S-1 dan belakangan dibuka pula program studi S-2.

Seiring dengan meredupnya kekuasaan rezim Orde Baru pada 1990-an dan

akhirnya dibubarkannya Departemen Penerangan oleh Presiden Abdurrahman

Wahid, maka cara pembinaan film yang sebelumnya lebih merupakan

pembinasaan film tersebut, tamat sudah. Zaman Reformasi telah tiba dan

para sarjana film dari IKJ mulai berkiprah. Yang muda yang berprestasi. Dapat

dikatakan lahirlah “mazhab” IKJ, yaitu film-film yang mempunyai nilai estetika


SUMBANGAN SEKOLAH FILM IKJ BAGI DUNIA PERFILMAN

xvii

Syuting film Pusaka Ibu produksi IKJ

pada 2016.

Sumber foto: koleksi IKJ.

dengan berbagai warna. Ada yang memberi tekanan pada warna puitis sekaligus

eksotis, ada yang menggarisbawahi soal kesadaran gender, ada pula yang

menekankan pada persoalan religi, sedangkan yang lain lagi mewacanakan

kebhinekaan Indonesia.

Tentu saja tidak semua lulusan sekolah film IKJ menggeluti sepenuhnya

persoalan estetika, sebab jelas seni bukanlah budak estetika. Di antaranya adalah

mereka yang berusaha mengawinkan nilai-nilai estetika dan kebutuhan pasar.

Sebutlah Riri Riza yang berhasil membuat Laskar Pelangi (2008) dengan penonton

4,2 juta, Faozan Rizal dengan Habibie & Ainun (2012) yang meraup 4,5 juta

penonton. Sedangkan Dilan 1990 (2018) dengan sutradara Fajar Bustomi dan Pidi

Baiq dengan penonton 6,3 Juta, disusul Dilan 1991 (2019) dengan sutradara yang

sama mendapatkan 5,2 juta penonton.

Seiring dengan maraknya perkembangan teknologi digital, individu-individu

dapat belajar film dari mana saja, termasuk melalui internet maupun secara

otodidak asalkan memiliki bagasi kesenian yang memadai. Mereka yang non-

IKJ bisa memunculkan film-film yang artistik, tidak klise, dan juga disukai pasar.

Lahirlah sineas-sineas seperti Joko Anwar yang telah membuat Pengabdi Setan

(2017) dengan perolehan 4,2 juta penonton. Sementara Anggy Umbara melalui

Warkop DKI Reborn (2016) dengan perolehan 6,8 juta penonton dan Warkop DKI

Reborn II (2017) dengan perolehan 4 juta penonton.

Pertanyaannya, mengapa muncul nama-nama non-IKJ tersebut yang juga

hebat? Dalam khazanah teori ekonomi kreatif, dikenal wacana Intellectual

Property (IP), yaitu suatu kecerdasan secara kreatif untuk menjual gagasan, yang

dalam hal ini melalui produk film. Hal ini termasuk penonjolan karakterisasi,

pemanfaatan alih wahana dari novel ke film maupun yang bersifat pembuatan

ulang (remake). Tentu saja, frasa “menjual gagasan” itu telah mengandung

pengertian bagaimana cara menjaring gagasan itu sendiri, pengemasan filmnya,


xviii

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

Tom Studio, studio film di IKJ.

Sumber foto: koleksi IKJ.

promosi atas filmnya, peredarannya. Dalam hal itulah yang non-IKJ tampaknya

mengambil peluang.

Setelah mencapai usia 50 tahun, terbukti banyak sumbangan sekolah film IKJ

berupa prestasi dalam banyak segi. Namun di masa depan sekolah film IKJ harus

terus berbenah mengikuti perkembangan zaman melalui peremajaan kurikulum,

ketersediaan perlengkapan produksi film sebagai sarana belajar-mengajar

yang serba digital, serta menghasilkan para lulusan film yang profesional sejati.

Dengan harapan-harapan seperti itu, mari kita lanjutkan pendidikan film di IKJ

sehingga terus unggul sebagai sekolah film, paling tidak di tingkat nasional.

Marselli Sumarno adalah alumnus FFTV IKJ yang kemudian

mengajar di almamaternya dan sempat menduduki berbagai

jabatan, antara lain Dekan FFTV IKJ (2004-2008). Ia pernah aktif

meresensi film di harian Kompas dan menulis empat buku tentang

film. Ia juga membuat film cerita, Sri (1996), dan sekitar 20 film

dokumenter, antara lain Sang Budha Bersemayam di Borobudur

(2006) dan Gesang (2015)—dua film dokumenter terbaik dalam FFI.

Pengelola Jurnal Seni Nasional Cikini ini menyelesaikan disertasinya,

Jejak Pemaknaan dari Teori Kepengarangan Andre Bazin dalam Era

Teknologi Digital di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara pada 2020.


ESAI

Musik Tanpa Kasta

Cholil Mahmud

1 Lihat esai Bambang Bujono,

“Kembali ke Masa Depan” di katalog

ini, hlm. xxii.

Pada 2001, Prodi Musik IKJ memasukkan mata kuliah yang lazim disebut industri

musik atau budaya musik pop. Sebelumnya, pertengahan 1990-an, mata kuliah

tentang teknologi musik pun diadakan di prodi ini. Zaman memang bergulir dan

musik klasik (Barat maupun Timur) bukan lagi satu-satunya “ukuran” dalam

sebuah pendidikan musik—meski tetap menjadi acuan karena kekayaan tangga

nada dan kekayaan bunyinya (polyphonic).

Dan sebenarnya prodi musik ini, sejak awal diselenggarakan sebagai Jurusan

Musik LPKJ, tak pernah melihat musik “berkasta-kasta”. Empat dosen yang

mewarnai LPKJ pada tahun-tahun awal jurusan ini pun, meski berlatar dan aktif

dalam dunia musik klasik (Barat), memasuki jenis-jenis musik yang lain. L.E.

Sumarjo, paling senior di antara keempatnya, adalah penulis tentang musik

tradisional Indonesia, dan memasukkan mata kuliah Etnomusikolog. Franz

Harjadi banyak menciptakan ilustrasi musik untuk film-film Indonesia. Suka

Hardjana, musikus dan konduktor yang juga aktif menulis dan meresensi musik,

menulis tanpa pilih-pilih jenis musik, asal pertunjukan musik itu bagus. Dalam

dunia tulis-menulis, para dosen itu sempat pula menerbitkan majalah musik

Musika (1972) yang dikelola oleh Suryabrata, Franz Harjadi, dan Suka Hardjana.

Lalu, Slamet Abdul Sjukur datang kemudian dari Prancis atas imbauan L.E.

Sumarjo. Slamet bisa dikatakan pelopor dalam menciptakan musik kontemporer.

Musik itu bunyi dan sunyi pun adalah musik, katanya suatu ketika. Ia menciptakan

karya musik yang “minimaks”, berangkat dari sesuatu yang minimal dan

sederhana menjadi karya yang maksimal dan kompleks. Karyanya bukan hanya

musik, melainkan juga memasukkan gerak (tari), rupa (seni rupa), maupun

properti pentas, termasuk cahaya.

Dari tim seperti itulah, ditambah beberapa dosen musik seperti Iravati M.

Sudiarso dan Trisutji Kamal, lahir nama-nama yang hingga kini turut mewarnai

dunia musik klasik dan kontemporer seperti Franki Raden, Marusya Nainggolan,

Otto Sidharta, Tony Prabowo, Arjuna Hutagalung, Harry Roesli, Nyak Ina Raseuki,

Dian H.P., dan Benny M. Tanto.

Mesti disebutkan juga, beberapa dosen IKJ pada berbagai periode menjadi

anggota Komite Musik Dewan Kesenian Jakarta dan terlibat dalam programprogram

pengembangan musik di luar lingkup kampus. Pada 1979, misalnya,

Iravati M. Sudiarso yang saat itu juga menduduki posisi Ketua Dewan Pekerja

Harian Dewan Kesenian Jakarta, memimpin penyelenggaraan Pekan Komponis

Muda—konon terilhami Festival Penata Tari Muda. 1 Acara berkala ini sempat

diadakan sampai pertengahan 1980-an. Dari acara tersebut sejumlah komponis

muda dari luar IKJ pun muncul, antara lain Rahayu Supanggah, Pande Made

Sukerta, dan Komang Astita.


xx

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

Pertunjukan “Musik Gratis Komet

Halley” dari siang sampai subuh di

kampus IKJ.

Sumber foto: Sinar Harapan, 18 Mei

1986.

Sejumlah karya lulusan Prodi IKJ sendiri pantas dicatat. Otto Sidharta menyulap

Planetarium menjadi gedung pertunjukan untuk karyanya yang berjudul “Mikro

dan Makro Kosmos”. Ia juga menggubah musik untuk beberapa pertunjukan

Sardono W. Kusumo: Hutan Plastik, Live Paintings. Tony Prabowo mencipta

“Dongeng SebelumTidur”, “Requiem for Orchestra”, kemudian menggubah partitur

untuk opera berdasarkan puisi Goenawan Mohamad, antara lain: The King’s Witch,

Gandari I, II, dan III, Orfeus, dan sebuah lakon berjudul Tan Malaka.

Di wilayah musik yang lebih populer, almarhum Harry Roesli semasa

menjadi mahasiswa LPKJ mengadakan pertunjukan yang cukup fenomenal dan

membekas di sejarah musik pop, yaitu Rock Opera Ken Arok pada 1975. Harry

menyebut karyanya ini wayang orang kontemporer karena ia sebagai penggubah

musik juga bernyanyi dan bercerita selayaknya dalang dalam pertunjukan

wayang. Rock Opera Ken Arok yang dirilis sebagai album pada 1977 ini kemudian

dinobatkan menjadi album ke-10 terbaik sepanjang masa di Indonesia oleh

majalah Rolling Stone Indonesia (RSI) pada 2007 dan dirilis ulang pada 2018

Masih di wilayah musik populer, Dian H.P. seolah melanjutkan kreativitas Franz

Harjadi—ia banyak membuat musik untuk sejumlah film dan sinetron.

Grup musik lain yang terdiri atas mahasiswa musik IKJ dan beraliran klasik

pop adalah Abbhama yang beranggotakan Iwan Madjid, Darwin B. Rahman, Robin

Mangunsong, Dharma, Oni, Hendro, dan Cok B. Bersama ansambel Talabhama,

mereka terlibat dalam penyelenggaraan Operette Cikini pada 1979. Album

Abbhama yang berjudul Alam Raya kemudian dinobatkan menjadi album terbaik

sepanjang masa di peringkat ke-70 versi majalah RSI. Alam Raya, hingga saat ini,

masih diperbincangkan di khazanah musik dunia, dan dirilis ulang oleh Strawberry

Rain Records pada 2014.

Kontribusi penting IKJ dalam musik pop Indonesia masih terus terjadi hingga

2000-an, bahkan kampus ini mendapat julukan “School of Rock” oleh majalah RSI

saking banyaknya talenta dari IKJ dalam ranah musik pop Indonesia saat itu: dari

Naif dan Rumah Sakit pada 1995, disusul Club Eighties, The Upstairs, The Adams,

White Shoes & the Couples Company, dan yang mutakhir Sisitipsi. Munculnya

berbagai band tersebut berawal dari diadakannya panggung musik di kampus

seperti “Bakar-Bakaran”, “Oktaria”, dan “Tamasya Rimba” sebagai pengekspresian

diri dan juga perwujudan dari salah satu tuntutan Tri Dharma perguruan tinggi

yaitu pengabdian masyarakat. Tampaknya sudah menjadi tradisi di IKJ untuk


MUSIK TANPA KASTA

xxi

[Kiri] Mpu Gandring (kiri) sedang

berebut keris dengan Ken Arok (kanan);

masing-masing diperankan oleh Tutang

dan Dan Aliet dalam pementasan rockopera

“Ken Arok” karya Harry Roesli di

Gedung Merdeka Bandung pada 1975.

Sumber foto: Pikiran Rakyat, 15 April

1975.

[Kanan] Suasana diskusi di Pekan

Komponis Muda I, 1979.

Sumber foto: buku Enam Tahun Pekan

Komponis Muda Dewan Kesenian

Jakarta 1979–1985.

menggelar musik gratis buat masyarakat sekitar seperti “Musik Kampus

Merdeka,” “Musik Gratis Setelah Pemilu”, “Musik Gratis Menjelang Gerhana”,

“Musik dari Jendela Samping”, “Musik Gratis Tahun Kerbau”, “Musik Gratis Bambu

Runcing”, dan “Musik Gratis Komet Halley.”

IKJ? Ya, sebab hanya sebagian kecil dari band-band pop tersebut yang

personelnya berasal dari Prodi Musik IKJ—kebanyakan justru dari Fakultas Seni

Rupa. Dalam amatan saya, mahasiswa Prodi Musik IKJ sepertinya kurang tertarik

untuk memainkan musik pop, rock, atau jazz, dan lebih memilih untuk berjarak

dengan industri yang memang berkarakter populer. Seolah ada sentimen yang

cukup terasa—walau tidak terlembagakan secara resmi—bahwa musik yang

dekat dengan industri adalah banal. Keterlibatan Prodi Musik IKJ cukup minim di

berbagai acara musik populer yang membuat IKJ dijuluki School of Rock itu dan

pada percakapan mengenai industri musik Indonesia. Kurangnya keterlibatan

tersebut bisa berakibat pada semakin berjaraknya Prodi Musik IKJ dari hirukpikuk

industri musik di Indonesia, yang sebenarnya sedang bergairah menyambut

perubahan pola produksi dan konsumsi musik di era digital.

Padahal, selain menghasilkan maestro-maestro dan repertoar musik klasik,

kontemporer dan tradisional, semangat kesetaraan Prodi Musik IKJ di ranah

musik Indonesia—seperti sudah dituliskan—sudah ditanamkan sejak awal IKJ

berdiri sebagai LPKJ. Hal ini tentu bisa ditingkatkan lagi dengan keterlibatan dan

kontribusi yang lebih jauh dalam industri musik hari ini.

Sebab, industri musik yang begitu besar, dan digeluti oleh begitu banyak

penikmat musik khususnya anak muda, sangat “rentan” jika wajahnya hanya

dibentuk oleh para pemilik modal. Peran seluruh pemangku kepentingan dalam

industri harus diberikan atau dicarikan tempat, sehingga watak industri musik

yang kapitalistik dengan karya berkualitas “rendah”, paling tidak akan menghadapi

gugatan. Dalam hal ini IKJ punya peluang yang terlalu sayang untuk dilewatkan.

Dan langkah itu sudah diambil dengan memasukkan industri musik sebagai salah

satu kajiannya.

Cholil Mahmud adalah anggota Komite Musik Dewan Kesenian

Jakarta periode 2020–2023, personel band Efek Rumah Kaca, dan

tamatan magister jurusan Arts Politics di New York University.


ESAI

Kembali ke Masa Depan

Bambang Bujono

1 Harian Merdeka, 27 Desember 1972.

2 Anu Soot & Ele Viskus,

“Contemporary Approaches to

Dance Pedagogy – the Challenges

of the 21 st Century,” dalam Procedia

–Sosial and Behavioral Sciences

Journal, Vol. 112, 7 Februari 2014.

Edi Sedyawati, Ketua Jurusan Tari Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta

(LPKJ), dalam forum Pertemuan Koreografer Indonesia di Taman Ismail Marzuki

Desember 1972 menyampaikan pertanyaan mengenai pendidikan tari. Saat itu,

lebih dari dua tahun sudah Jurusan Tari LPKJ menyelenggarakan perkuliahan.

Dua hal yang ia sampaikan. Pertama tentang “membentuk penari yang memenuhi

syarat minimal untuk melayani karya-karya tari modern yang menjangkau segala

kemungkinan tanpa dipagari batas-batas suatu gaya tari tertentu.” Kedua, tentang

penciptaan karya tari modern yang tidak hanya ditujukan untuk pementasan di

panggung [gaya Barat], melainkan juga “untuk lingkungan-lingkungan penyajian

yang lain: keadatan, kealaman.” 1

Pertanyaan tersebut bersifat retorik, sudah terkandung jawabannya. Pada

tahun itu pula. sejumlah dosen dan mahasiswa Jurusan Tari LPKJ melakukan

study tour di Bali. Mereka hendak “belajar” menari Bali. Itulah tari-tari yang

tak diciptakan untuk dipergelarkan di panggung tertentu. Dan “belajar” di sini

dimaksudkan bahwa mereka bukan hanya mempelajari dan mempraktikkan gerak

tari, melainkan lebih dari itu: mengamati kehidupan di Bali—suatu masyarakat

yang kehidupan sosial, keagamaan, dan keseniannya hampir tak terpisahkan—

melalui penghayatan total tubuh dan ruh, gerak fisik dan pikiran.

Demikianlah, jurusan tersebut (kemudian menjadi Akademi Tari, dan kini

disebut Program Studi Tari Fakultas Seni Pertunjukan Institut Kesenian Jakarta),

sejak mula telah mempraktikkan konsep yang hingga hari ini diterapkan di

banyak pendidikan tari di mana-mana: mengembangkan pola “berpikir dengan

tubuh fisik” sebagai bagian dari “menyatukan raga dan ruh” guna sepenuhnya

mendapatkan “penyadaran diri”. 2 Masih pada 1970-an, Prodi Tari kemudian

mengembangkan study tour ke berbagai budaya: Minang, Kalimantan, dan Papua.

Sementara itu pelajaran tari gaya tertentu pun tetap diadakan dengan

pengajar yang sudah barang tentu memang “ahli waris” di bidangnya. Misalnya,

untuk tari Jawa pengajarnya adalah Tumenggung Kusumo Kesowo, empu tari

Jawa hampir tanpa tanding. Namun, di samping itu ada juga lokakarya untuk

saling belajar di antara para mahasiswa itu sendiri. Mereka yang datang dari

Sumatra Barat, Bali, Toraja, dan lain-lain, yang dianggap sudah menguasai tari

tradisi daerahnya, dalam lokakarya di Prodi Tari diminta memperagakan tarinya,

dan sebuah tukar pikiran pun menyusul. Dengan sendirinya, Prodi Tari sudah

melaksanakan pendidikan tari multikultur dan prinsip pembelajaran yang bukan

dimulai dari dan diakhiri oleh guru. Prodi Tari menerapkan belajar bersama, antara

guru dan mahasiswa dan masyarakat, baik di dalam kelas maupun di luar tembok

kampus.


KEMBALI KE MASA DEPAN

xxiii

Tari Akkarena karya Wiwiek Sipala

dalam Festival Penata Tari Muda 1978.

Sumber foto: buku program Festival

Penata Tari Muda 1978.

3 Farida Oetoyo, Saya Farida, Sebuah

Auotbiografi (Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama), 2002.

Dari mana semua itu bermula? Adalah sebuah lokakarya tari di DKJ, pada awal

berdirinya pada akhir 1960-an, yang disebut Bengkel Tari. Pesertanya antara

lain para penari dari latar yang beragam: Sardono W. Kusumo, Huriah Adam,

Edi Sedyawati, Farida Oetoyo, Yulianti Parani, Sentot Sudiharto. Dalam buku

autobiografinya, Farida Oetoyo menulis, “Kami melakukan latihan terpadu,

berupa eksplorasi dan improvisasi. Di sini sering terjadi dialog dan akumulasi

pengentalan berbagai wilayah budaya, diwakili individu-individu perserta

Bengkel [....] Bengkel lintas budaya ini menjadi pemicu lahirnya seni tari modern

Indonesia...” 3 Peserta Bengkel Tari itulah yang kemudian menjadi dosen di Prodi

Tari IKJ.

Sementara itu, Sal Murgiyanto, anggota Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta

(DKJ), menciptakan acara tahunan Festival Penata Tari Muda pada 1978. Ide

dasarnya, selain memberi ruang utuk para penata tari muda dari daerah, juga

merupakan ajang lintas budaya. Dalam enam kali penyelenggaraannya, hingga

1984, para penata tari muda itu datang dari Medan, Padang, Bandung, Solo,

Yogya, Surabaya, Banyuwangi, Bali, selain Jakarta. Dari festival tersebut muncul

nama-nama, antara lain Tom Ibnur dan Dedy Lutan, yang lantas menjadi dosen

IKJ.

Persemaian penata tari muda itu berhenti pada 1984. Rupanya beberapa

di antara yang terlibat “terobsesi” akan kegiatan yang terbukti menyemaikan

kreativitas dalam dunia tari. Butuh waktu delapan tahun, sebelum acara sejenis,

namun lebih luas dan lebih beragam jangkauannya, diciptakan. Bukan di DKJ,

melainkan di Prodi Tari IKJ sendiri. Orang yang sama, Sal Murgiyanto yang

memang pengajar di Prodi Tari IKJ, menggagas Indonesian Dance Festival (IDF)

yang berskala internasional bersama rekan-rekan dosen yang lain, di antaranya

Nungki Kusumastuti, Maria Darmaningsih, Melina Suryadewi dan beberapa

alumni Festival Penata Tari Muda. Sedangkan konsep dan pengembangan IDF

dibangun bersama dengan dukungan ide-ide dari Sardono W. Kusumo dan Farida

Oetoyo.

Pada 1992, berlangsung IDF pertama, sebuah festival pertunjukan tari yang

bukan dititikberatkan pada pertunjukannya, melainkan lebih sebagai wadah

pertemuan koreografer, penari, dan pekerja-pekerja pendukungnya yang datang

dari beragam latar budaya untuk saling mempergelarkan karya, saling melihat,

berlatih bersama, bertukar gagasan. Maka sesi lokakarya dalam IDF menjadi

penting. Jadilah IDF sebuah acara lintas budaya dalam arti sesungguhnya, yang

membedakannya dengan festival yang lebih memanggungkan karya itu sendiri.

Bisa dikatakan, selain mewarisi “ruh” Festival Penata Tari, IDF juga menyimpan

semangat study tour Prodi IKJ. Dalam IDF inilah dosen dan mahasiswa Prodi


xxiv

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

[Kiri] Koreografi “We were one” karya

Asri Meri Sidowati dalam Indonesian

Dance Festival 2014.

Sumber foto: album foto Indonesian

Dance Festival 2014.

[Kanan] Abimanyu Gugur karya Retno

Maruti dalam Indonesian Dance Festival

1994.

Sumber foto: buku program 3rd

Indonesian Dance Festival ’94.

Tari mendapat ruang untuk saling belajar di antara koreografer dan penari dari

berbagai negara dan budaya—antara lain Jepang, Taiwan, Korea, Malaysia,

Thailand, maupun Vietnam.

Dengan metode (kalau boleh disebut dengan istilah ini) dan kultur

seperti telah digambarkan, Prodi Tari IKJ bisa dibilang sebuah wadah pendidikan

tari yang sejak awal tak membatasi diri di dalam dinding kampus. Dan ini

dimungkinkan karena IKJ (baca: LPKJ) lahir sebagai bagian dari ekosistem

kesenian yang unik: Dewan Kesenian Jakarta, Pusat Kesenian Taman Ismail

Marzuki, dan Akademi Jakarta. Hasilnya, berbagai pertunjukan—yang tak secara

eksklusif menyebutkan LPKJ/IKJ sebagai lembaga penyelenggara, namun tetap

membersitkan jejak dan kehadirannya—mendapatkan applause masyarakat. Ini

terbaca dari resensi-resensi di media massa, khususnya selama 1970–1990-

an, untuk nomor-nomor pertunjukan tari Sardono W. Kusumo, Farida Oetoyo,

Yulianti Parani, Boi G. Sakti, Wayan Diya, Wiwiek Sipala, maupun Hartati, misalnya.

Kini, generasi yang lebih muda juga mulai muncul, meski dengan resonansi

gaung yang berbeda, seiring perubahan zaman, teknologi, dan cara masyarakat

mengapresiasi seni.

Lalu, apa yang bisa dikatakan tentang Prodi Tari IKJ pada usia 50 tahun,

jurusan yang pada tahun-tahun pertamanya pernah hanya memperoleh kurang

dari lima calon mahasiswa?

Tumbuh dalam suatu ekosistem kesenian yang pada masanya diakui

sebagai pusat, Prodi Tari IKJ menghadapi tantangan besar. Kehadiran kantongkantong

kesenian di luar ekosistem tersebut, yang memudarkan pamornya,

sedikit-banyak telah berpengaruh dalam perjalanannya “mencetak” seniman.

Tidak hanya terhadap Prodi Tari, tapi juga IKJ. Beruntung, Prodi Tari sudah

memiliki “vaksin” di dalam tubuhnya: paradigma pendidikan yang tak terkungkung

oleh tembok kampus, perluasan kelas ke budaya etnis daerah dan lewat ajang

belajar seperti IDF, serta proses pengujian diri, pencarian diri, dalam menemukan

jalan kreativitas. Pengalaman separuh abad tersebut bisa menjadi modal Prodi

Tari untuk masuk ke dalam ekosistem kesenian yang lebih luas, sekaligus

meneruskan perjalanan menemukan diri: kembali ke masa depan.

Bambang Bujono adalah seorang penulis, pengamat kesenian,

pengulas seni rupa, alumnus jurnalis majalah Tempo. Sejak 2015, ia

mengajar Kelas Penulisan Dasar di Pascasarjana Institut Kesenian

Jakarta. Dua kumpulan tulisan seni rupanya yang telah terbit

adalah Melampaui Citra dan Ingatan: Bunga Rampai Tulisan Seni Rupa

1968–2017 dan Rumpun dan Gagasan: Bunga Rampai Esai dan Kritik

Seni Rupa 1969–2019. Ia merupakan editor untuk esai-esai dalam

katalog ini.


ESAI

Menemukan Kembali Realisme

Seno Joko Suyono

Tatkala naskah Anak yang Dikuburkan (The Buried Child) karya Sam Shepard

diadaptasi oleh Teater Satu Lampung di Festival Teater Wahyu Sihombing yang

diadakan oleh Institut Kesenian Jakarta di Teater Luwes pada 2017, saya melihat

dosen senior Program Studi Teater Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Tatiek Maliyati,

tampak sangat terkesan.

Memang, pementasan dengan pendekatan realis oleh Teater Satu Lampung

telah dengan bagus menerapkan metode Stanislavski, metode yang dianut

oleh Teater Lembaga, teater yang dibangun di dan untuk Prodi Teater IKJ

pada pertengahan 1970-an oleh dua dosennya: suami-istri Wahyu Sihombing

(mendiang) dan Tatiek Maliyati. Boleh jadi Tatiek Maliyati, kini berusia 80-an

tahun, kaget bahwa ada grup teater yang bisa memanggungkan drama realis dan

memberikan rasa verisimilitude; peristiwa yang terjadi di panggung terasa sebagai

peristiwa yang benar adanya. Pada 1970-an hingga 1990-an, tiga kelompok teater

realis utama yang berkiprah di Jakarta adalah Teater Populer, Studiklub Teater

Bandung, dan Teater Lembaga. Namun, dengan berkembangnya dunia perfilman

Indonesia, banyak sutradara dan aktor teater pindah ke dunia film. Juga, ketika

teater tubuh memberikan tawaran baru—dan ini bisa dilihat di Festival Teater

Jakarta, kelanjutan dari Festival Teater Remaja yang diciptakan oleh Wahyu

Sihombing pada awal 1970-an—panggung realis pun surut.

Baru pada 2017 itu beberapa dosen Prodi Teater IKJ mengangkat kembali

teater realis dan sekaligus mengenang pendiri Teater Lembaga. Dinamakanlah

kegiatan ini Festival Teater Wahyu Sihombing, suatu festival teater realis

antarkota untuk membaca masih adakah pencapaian-pencapaian genre teater

yang pernah ramai itu. Diharapkan festival bakal diselenggarakan secara periodik,

sehingga tergambar geliat perkembangannya.

Dulu, semasa pementasan teater realis begitu bergairah dengan naskahnaskah

Barat pada 1970-an, ada diskusi yang belum terselesaikan. Antara

lain, pertanyaan perlu-tidaknya adaptasi. Jawabannya beragam. Di satu pihak

adalah mereka yang yakin bahwa adaptasi tidak perlu, sebab bagaimanapun

teater adalah seni permainan. Tidak penting benar apakah para pemeran

berkostum Barat, dan dialog-dialog di panggung Jakarta atau Sragen

tersebut menggambarkan sebuah keluarga di New York, London, Paris, atau

menggambarkan intrik di Kerajaan Romawi. Yang penting, akting di panggung

menghipnotis dan membuat penonton larut ke dalam cerita. Di pihak lain, mereka

yang bersikeras bahwa MacBett karya Eugène Ionesco misalnya, bisa saja

dipentaskan tanpa kostum sebagaimana para bangsawan Skotlandia zaman

itu. Maka, perdebatan menjalar ke dialog dan gestur, haruskah “diindonesiakan”,


xxvi

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

Teater Satu Lampung menampilkan

lakon berjudul Anak yang Dikuburkan

dalam Festival Teater Wahyu Sihombing

pada 2017.

Sumber foto: Indonesia Kaya

atau justru dilakukan semirip mungkin dengan naskah aslinya, betapapun terasa

janggal di panggung Jakarta.

Dalam diskusi di Festival Teater Wahyu Sihombing pada 2017 itu, Fathul

Hussein, sutradara dari Jurusan Teater ISBI Bandung, berpendapat bahwa ada

naskah Barat yang bisa diadaptasi ke konteks lokal, sementara itu banyak juga

yang kurang tepat bila diadaptasi. Tidak semua naskah Barat harus disadur ke

konteks lokal, katanya.

Diskusi tersebut menggairahkan kembali pengajar dan mahasiswa Prodi

Teater IKJ serta peserta dari luar kampus untuk mencari pementasan naskah

drama realis Barat dengan kreatif. Sayang, Festival Teater Wahyu Sihombing tidak

dilanjutkan.

Padahal, terkesan dari Festival Teater Wahyu Sihombing, Prodi Teater IKJ

pantas menjadi laboratorium penelitian teater realis. Kampus yang merupakan

rumah Teater Lembaga ini telah makan asam garam, jatuh-bangun dalam

mementaskan naskah-naskah realis sejak Teater Lembaga terbentuk. Teater

Lembaga telah memainkan naskah-naskah realis seperti Matinya Pedagang

Keliling (Arthur Miller), Musuh Masyarakat dan Bebek Liar (Henrik Ibsen), Hilang

Tanpa Bekas (Jean-Paul Sartre), sampai Pesta Pencuri (Jean Anouilh). Setiap

sutradara Teater Lembaga, dari Wahyu Sihombing, Pramana Padmodarmaya,

Djaduk Djajakusuma, Tatik Maliyati, hingga generasi yang lebih muda, memiliki

kekhasan masing-masing.

Tatkala Wahyu Sihombing menyutradari Waiting for Godot karya Samuel

Beckett yang dimainkan Joseph Ginting, Didi Petet, Sena A. Utoyo, dan Eddie

Riwanto pada 1989 di Gedung Kesenian Jakarta, banyak pengamat teater memuji.

Dalam sebuah resensi di Kompas, Efix Mulyadi menulis bahwa naskah absurd itu

telah dimainkan para aktor Teater Lembaga dengan tempo cepat, mengalir lancar,

dinamik, dan menjadi tontonan yang enak dilihat. Atau, menurut Putu Wijaya

di majalah Tempo: pendekatan akting realis oleh Wahyu Sihombing membuat

naskah menjadi lebih padat—tanpa mengurangi atau menyunting adegan-adegan.

Sampai kini, silabus pendidikan di Prodi Teater Fakultas Seni Pertunjukan

IKJ masih mempersiapkan para mahasiswanya dengan akting realis untuk

teater, sinetron, dan film. Pemeranan dengan metode Stanislavski masih menjadi

rujukan utama. Silabus di IKJ tidak tergoda membuka kuliah, misalnya, physical

theater atau teater tubuh yang sedang tren. Oleh karena itu semestinya ada

penulisan baru naskah drama realis. Atau, penerjemahan baru naskah drama

realis untuk membaca perkembangan termutakhir naskah realis di dunia.

Sekarang hampir tak ada lagi muncul terjemahan baru. Kita bisa membaca

naskah-naskah realis dari Amerika, Eropa, Jepang, dan sebagainya, atau naskah

karya Elfriede Jelinek, penulis Austria yang mendapat hadiah Nobel Sastra 2004.


MENEMUKAN KEMBALI REALISME

xxvii

Teater Lembaga IKJ menampilkan

lakon berjudul Miss Julie dalam Festival

Teater Wahyu Sihombing pada 2017.

Sumber foto: Indonesia Kaya

Namun, hanya bila naskah-naskah tersebut diindonesiakan dan dipanggungkan,

baru terasa kehadirannya.

Selain itu, harus juga disadari oleh Prodi Teater IKJ bahwa realitas seni

kontemporer berubah. Seni bukan lagi sebuah disiplin dengan pembagian wilayah

yang ketat dan saling mengisolasi satu sama lain. Tari, teater, multimedia,

sinema, seni rupa, performans, pantomim, dan sebagainya bukan lagi suatu

disiplin seni yang masing-masing menampilkan dan membentengi diri dengan

sekat-sekat tembok yang tebal. Lihat saja, pada 7 September 2020, seniman

besar performans yang sering disebut sebagai grandmother of perfomance art,

Marina Abramović, mementaskan opera terbarunya, 7 Deaths of Maria Callas.

Pementasan berlangsung di Jerman, disiarkan langsung secara streaming.

Kita melihat gabungan sinema, perfomans, dan orkestra. Di layar ditayangkan

sebuah film puitis yang dimainkan secara “bisu” oleh aktor film terkenal Willem

Dafoe dan Marina Abramović. Sementara itu, di panggung, Marina Abramović

sendiri melakukan performans dan sebuah orkestra beserta biduan soprano

menggaungkan bagian-bagian solo terkenal Maria Callas, dipilih dari opera-opera

karangan Georges Bizet, Giacomo Puccini, sampai Giuseppe Verdi.

Kesenian pun ternyata tak kalis dari perkembangan ilmu dan teknologi. Dan

naskah realis pun dapat ditafsirkan pemanggungannya secara eksperimental,

pertunjukan Teater Garasi: The Multitude of Peer Gynt, misalnya, yang diambil

dari naskah Peer Gynt karya Henrik Ibsen. Dipentaskan oleh Teater Garasi, jadilah

sebuah pertunjukan multikultural, menampilkan gabungan aktor Asia—dari

Srilangka, Vietnam, Jepang sampai Indonesia. Pertunjukan telah dimainkan di

Larantuka, Flores, dengan tambahan aktor-aktor Flores, dan di Jepang dengan

tambahan aktor-aktor Jepang.

Realisme dalam teater belum selesai. Tema-tema yang belum diangkat

dalam sebuah teater realis, selama hidup masih berdenyut, akan selalu ada.

Menemukan kembali teater realis adalah sebuah tantangan artistik di manamana.

Termasuk di Prodi Teater IKJ.

Seno Joko Suyono adalah jurnalis Tempo, pengamat kesenian

terutama seni pertunjukan, dan salah seorang pendiri Borobudur

Writer & Cultural Festival. Beberapa karya novelnya sudah

diterbitkan. Ia mengajar di Prodi Teater Institut Kesenian Jakarta.


ESAI

Pameran, Pameran, Pameran... Lalu?

Bambang Bujono

1 Nashar, Surat-Surat Malam (Jakarta:

Budaya Jaya), 1976.

2 Dow kemudian membukukan

ajarannya, Composition, 1899, yang

lalu dikembangkan lagi menjadi

Composition: A Series of Exercises in

Art Structure for the Use of Students

and Teachers, 1913. Dua buku yang

menjadi pegangan dalam pendidikan

seni rupa dan desain di Amerika

selama paruh pertama abad ke-20.

3 Kusnadi, “Plus dan Minus Pameran

Seni Rupa LPKJ di TIM,” Sinar

Harapan, 5 Juli 1975.

Tiga tahun Akademi Seni Rupa Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ)

berjalan, sebelas mahasiswanya bersama tiga pelukis dari luar LPKJ berpameran

di Balai Budaya, Jakarta, pada 1973. Pelukis Nashar pada pembukaan

mengatakan bahwa pameran merupakan salah satu cara menghidupkan dan

menjaga “api kepelukisan” dalam diri pelukis. Nashar, pengajar di akademi

tersebut sejak awal berdiri, waktu itu sudah memutuskan untuk mengundurkan

diri dari lembaga pendidikan tersebut. Pasalnya, disiplin perkuliahan yang baru,

menurut Nashar, lebih mementingkan formalitas, misalnya absensi dan keharusan

melukis pada jadwal yang sudah ditentukan. Hal itu merugikan mahasiswa yang

masih harus menghidupkan dan menjaga “api kepelukisan”, karena “api” itulah

yang akan merangsang hasrat untuk melukis, dan itu menentukan baik-buruknya

lukisannya. Pesan Nashar, “Kalau timbul rangsangan melukis, melukislah; kalau

tidak, jangan melukis,” sebab “hasilnya pasti tidak bagus.” 1

Kata-kata Nashar mengingatkan pada pemikiran Arthur Wesley Dow (1857–

1922), seorang pelukis Amerika yang juga seorang pendidik. Selama paruh

pertama abad ke-20, metode pengajaran seni rupa Dow sangat berpengaruh di

Amerika—metode yang prinsip dasarnya adalah mempraktikkan teori komposisi

untuk “meningkatkan daya kreatif” mahasiswa.

Baik metode Dow maupun pemikiran Nashar, dalam bahasa masing-masing,

secara nalar masuk akal. Masalahnya, dikaitkan dengan perkembangan seni

rupa yang melahirkan berbagai wacana—dari leburnya batas-batas cabang seni

rupa seperti lukis, patung, grafis, dan apa saja bisa menjadi karya seni rupa,

hingga wacana “seni rupa sudah mati”—cukupkah hanya dengan berpameran dan

mempelajari serta mempraktikkan teori komposisi, sebagaimana dianjurkan Dow

untuk menghidupkan api kreativitas? 2 Dengan kalimat lain yang berkaitan dengan

keperluan esai ini: 50 tahun Akademi Seni Rupa LPKJ yang kini bernama Fakultas

Seni Rupa dan Desain Institut Kesenian Jakarta (FSRD IKJ), masih adakah panas

“api kepelukisan” dan denyut “daya kreatif” dalam diri para mahasiswa?

Dari pameran lustrum pertama LPKJ, 1975, Kusnadi, kritikus seni rupa

sejak 1950-an, melihat bahwa Akademi Seni Rupa LPKJ bakal menghidupkan

kembali Jakarta sebagai kota persemaian perupa. Jakarta, sejak masih

bernama Batavia, adalah rumah bagi institusi yang melahirkan banyak perupa

Indonesia: Bataviasche Kunstkring, Persagi, Poetera, Pusat Kebudayaan Jepang.

Kusnadi melihat, di antara karya-karya mahasiswa yang masih bertaraf studi,

sejumlah sketsa mengekspresikan “napas khas impresionisme” yang jika terus

dikembangkan “niscaya menjadi bentuk seni tersendiri.” Pada patung, ia mencatat

karya Djoni Bharata, Ronald S., Dolorosa Sinaga, serta Yani Mariani Sastranegara

sebagai karya perupa yang memiliki masa depan. 3


PAMERAN, PAMERAN, PAMERAN... LALU

xxix

[Kiri] Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta

1966–1977 sedang berdebat dengan

Boling, salah seorang seniman, dalam

pameran perayaan lustrum pertama

LPKJ di ruang pameran TIM pada 1975.

Sumber foto: Kompas, 21 Juni 1975.

[Kanan] Ruang kerja mahasiswa LPKJ

jurusan seni rupa yang sederhana pada

1975 di Taman Ismail Marzuki.

Sumber foto: Sinar Harapan, 13 Juni

1975.

4 Koran Tempo, 13 Mei 2004.

“Api kepelukisan” pun tecermin dari antusiasme mahasiswa FSRD IKJ

membentuk komunitas yang kegiatan utamanya mengadakan pameran bersama

di luar acara formal kelembagaan. Setidaknya dua komunitas terbentuk:

Metromini (2001) dan 12 Pas (2005) yang hampir sekali dalam setahun

berpameran. Sedangkan “daya kreatif” pun tecermin dari karya-karya dua nama

yang disebut oleh Kusnadi pada 1975. Dolorosa Sinaga dan Yani hampir tak

pernah absen dalam pameran-pameran penting—antara lain, berbagai bienial

di Indonesia dan pameran bersama di luar Indonesia, selain pameran tunggal

mereka. Juga, nama yang menyusul kemudian, Hardiman Radjab. Pada 2002,

lulusan Prodi Kriya kayu ini berpameran di Taman Ismail Marzuki (TIM) dengan

tajuk “Serikat Barang”. Karya-karya yang dipamerkannya memang barang-barang

produksi pabrik yang sedikit atau banyak diubah, ditambah, namun orang tetap

bisa mengenali bentuk asli dari pabrik. Hardiman “menggunakan barang-barang

sebagai media ungkapan sekaligus idiom,” sehingga lahir “makna lain,” tulis Jim

Supangkat, kurator pameran, di katalog.

Nama tersebut terakhir itu juga menandakan FSRD IKJ berkembang sesuai

perkembangan seni rupa Indonesia. Hardiman bukan mahasiswa Seni Murni,

berbeda dari Dolorosa dan Yani; ia mahasiswa Seni Kriya Kayu. Semula Akademi

Seni Rupa hanya mempunyai jurusan Seni Murni yang terbagi dua: lukis dan

patung. Pada akhir 1970-an, jurusan ditambah: grafis, seni kriya tekstil, kayu, dan

keramik. Dan pada pertengahan 1980-an, Akademi Seni Rupa diubah menjadi

Fakultas Seni Rupa dan Desain, dengan tambahan prodi baru: Desain Interior dan

Desain Komunikasi Visual. Kehadiran Hardiman, dan beberapa nama lain, dalam

berbagai pameran seni rupa menyatakan bahwa di IKJ aktivitas lintas prodi,

formal atau inisiatif individual, diterima. Maka, pada zaman karya seni rupa bisa

apa saja, sejumlah mahasiswa Fakultas Film dan Televisi IKJ ambil bagian dalam

Pameran New Media di Galeri Lontar, Jakarta, bersama kelompok dari Bandung

dan ruangrupa Jakarta. Yang disajikan: karya seni video, instalasi video, televisikomunitas,

seni SMS. 4

Tentu saja kiprah FSRD IKJ juga berlangsung di perguruan tinggi seni yang

lain. Yang membedakan antarperguruan itu adalah kurikulum: pengetahuan dan

praktik seperti apa yang perlu disampaikan dan dianjurkan kepada mahasiswa

agar “api” tetap menyala dan kreativitas terus tumbuh.

Lalu seberapa tampak kehadiran FSRD IKJ pada usia ke-50 tahun? Dari

aktivitas pameran, tak bisa dibilang sepi. Selain pameran tiap dies natalis,

kesertaan mahasiswa atau dosen seni rupa IKJ dalam berbagai pameran

bersama tak bisa dibilang langka. Sedikit-banyak pameran-pameran menyiratkan

dua hal: proses kreatif dan upaya komunikatif.


xxx

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

Publikasi pameran tunggal Serikat

Barang karya Hardiman Radjab di TIM

pada 2002.

Sumber: publikasi pameran Serikat

Barang karya Hardiman Radjab; koleksi

arsip Dewan Kesenian Jakarta.

5 Lihat Olivia Gude, “Postmodern

Principles: in Search of a 21st

Art Education,” dalam jurnal Art

Education, Januari 2004.

Yang tak tampak langsung oleh masyarakat adalah aktivitas di studio-studio

FSRD IKJ, kelas untuk praktik berkarya. Studio dalam hal ini bermakna luas: bisa

berupa ruangan, bisa di mana saja: dari pantai sampai gunung, dari hutan sampai

tengah metropolitan. Mengacu pada rumusan yang disusun dalam National Core

Arts Standards, panduan kurikulum sekolah kesenian di Amerika Serikat yang

disusun oleh sejumlah organisasi dan para ahli pendidikan seni, idealnya studiostudio

itu bersuasana terbuka, berprinsip keberagaman, menjangkau “sejarah”,

dari yang tradisi sampai masa kini, dengan semangat kebebasan bereksperimen,

mencoba dan mencoba. 5

Kemudian faktor ketiga yang bisa mengukuhkan kehadiran FSRD IKJ adalah

aktivitas yang lebih bersifat kegiatan mental, berwacana: diskusi, menulis,

melakukan penelitian. Aktivitas ketiga ini bisa dilihat masyarakat berupa

penerbitan buku, terpublikasinya esai-esai di jurnal-jurnal, adanya seminar dan

diskusi-diskusi.

Sampai di sini tampak yang sebenarnya perlu dibenahi di FSRD IKJ. Melihat

kronik FSRD yang disusun dalam buku ini, tak begitu tampak yang disebut

sebagai kegiatan mental tersebut. Seorang yang aktif di komunitas Metromini

dan 12 Pas membanggakan kegiatan pameran komunitas di FSRD IKJ (Metromini

tak lagi terdengar sejak ada 12 Pas). Namun, atas pertanyaan “adakah kegiatan

diskusi, seminar, debat, formal maupun informal,” ia menjawab tegas: “Tidak ada.”

Pada masa ketika seni rupa Indonesia tak lagi hanya mengandalkan “jiwa

tampak”, kurang atau malah tiadanya dimensi-dimensi lain yang terkandung

dan berkembang dalam diri makhluk-makhluk pelaku seni yang disebut sebagai

khalifatullah ini akan membuat karya seni rupa pun kurang menyapa.

Bambang Bujono adalah seorang penulis, pengamat kesenian,

pengulas seni rupa, alumnus jurnalis majalah Tempo. Sejak 2015, ia

mengajar Kelas Penulisan Dasar di Pascasarjana Institut Kesenian

Jakarta. Dua kumpulan tulisan seni rupanya yang telah terbit

adalah Melampaui Citra dan Ingatan: Bunga Rampai Tulisan Seni Rupa

1968–2017 dan Rumpun dan Gagasan: Bunga Rampai Esai dan Kritik

Seni Rupa 1969–2019. Ia merupakan editor untuk esai-esai dalam

katalog ini.



xxxii

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

DAFTAR ISI

KRONIK SENI DAN BUDAYA 1970–2020

INSTITUT KESENIAN JAKARTA

UCAPAN TERIMA KASIH

PENGANTAR

Bukti Kontribusi vii

Seno Gumira Ajidarma

Penyusunan Kontribusi

Suzen H.R. Tobing

SAMBUTAN

Sambutan Rektor

Institut Kesenian Jakarta

Indah Tjahjawulan

CATATAN

Editorial Kontribusi

Tim Redaksi

xi

viii

ESAI

Sumbangan Sekolah Film IKJ

ke Dunia Perfilman xvi

Marselli Sumarno

Musik Tanpa Kasta xix

Cholil Mahmud

Kembali ke Masa Depan xxii

Bambang Bujono

Menemukan Kembali

Realisme xxv

Seno Joko Suyono

Pameran, Pameran, Pameran...

Lalu? xxviii

Bambang Bujono

INDEKS

xxxiv

x

1970–1979

Belajar Seni di Cikini 3

1970 5

1971 6

1972 11

1973 16

1974 19

1975 25

1976 34

1977 54

1978 74

1979 91

1980–1989

Menjejak Panggung Dunia 123

1980 125

1981 136

1982 146

1983 163

1984 174

1985 184

1986 192

1987 204

1988 218

1989 230

1990–1999

Mementaskan Zaman 241

1990 243

1991 251

1992 267

1993 282

1994 297

1995 308

1996 319

1997 332

1998 354

1999 368

2000–2009

Menggelar Generasi Baru 381

2000 383

2001 395

2002 408

2003 419

2004 434

2005 450

2006 463

2007 472

2008 487

2009 492

2010–2020

Merintis Sejarah Hari Esok 503

2010 505

2011 515

2012 522

2013 532

2014 541

2015 552

2016 562

2017 575

2018 593

2019 606

2020 630

DAFTAR PUSTAKA 649


EDITORIAL KONTRIBUSI

xxxiii

SOSOK ALUMNI

Adrianto Sinaga 403

Agus PM Toh 268

Aline Jusria 507

Anggun Priambodo 421

Aria Kusumadewa 385

Arturo GP 255

Asep Topan 557

Awan Simatupang 259

Azer 493

Benny Mulyadi Tanto 301

Benny Rachmadi 339

Boi G. Sakti 237

Boogie Papeda 517

Cesa David Luckmansyah 461

Citra Smara Dewi 531

Cok Simbara 43

Daniel Rudi Haryanto 511

Danton Sihombing 475

Dedy Lutan 96

Deddy Mizwar 199

Deddy PAW 431

Dian Hadipranowo 271

Didi Petet 208

Djoko Quartantyo 83

Dolorosa Sinaga 38

Edwin 454

Eeng Saptahadi 201

Embie C. Noer 150

Emte 561

Epy Kusnandar 391

Eros Eflin 389

Faozan Rizal 443

Fuad Idris 257

Gandung Bondowoso 71

Garin Nugroho 252

Gauri Nasution 129

Gotot Prakosa 104

Hanung Bramantyo 457

Hardiman Radjab 413

Harry Roesli 58

Hartanto 116

Hartati 398

Herdin Hidayat 131

Ibnu Nurwanto 63

Indah Tjahjawulan 345

Indra Ameng 393

Ipung Rachmat Syaiful 445

Irwan Ahmett 425

Iwan Gunawan 277

Jalu Pratidina 313

Jane Chen 223

Jecko Siompo 334

Jerry Octavianus 417

Joseph Ginting 327

Jose Rizal Manua 367

Jujur Prananto 387

Karsono Hadi 233

Kendra Paramita 539

Khikmawan Santosa 497

Laksmi Notokusumo 275

Leonhard Bartolomeus 549

Lusiana Limono 513

Maria Darmaningsih 217

Marida Nasution 260

Marselli Sumarno 133

Marusya Nainggolan 189

Mathias Muchus 160

Mice 341

Mira Lesmana 322

Monod 329

M. Sulebar Sukarman 87

Nan Achnas 352

Nanang Ruswandi 349

Norman Benny 51

Nungki Kusumastuti 110

Nyak Ina Raseuki 371

Paul Kadarisman 479

Pimpi Syarley Naomi 495

Ravi Bharwani 449

Rege Indrastudianto 565

Rima Ananda 347

Riri Riza 286

Sastha Sunu 407

Sena Utoyo 213

Seno Gumira Ajidarma 305

Sentot Sahid 363

Siti Artati 263

Sonny Muchlison 264

Subarkah Hadisarjana 155

Sulaiman Said 491

Syaeful Anwar 67

Tara Sosrowardoyo 439

Tom Ibnur 179

Wenceslaus de Rozari 465

Wiwiek Sipala 47

Wregas Bhanuteja 573

Yadi Sugandi 355

Yani Mariani Sastranegara 141

Yayu Unru 215

Yazeed Djamin 227

Yudi Datau 359

Yunus Pasolang 489


xxxiv

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

INDEKS

ACARA

A

Apresiasi Film Indonesia 104

Art Summit Indonesia 316, 364, 380,

402

ARTE Indonesia Arts Festival 557

Asia Pacific Screen Award 252

B

Bandung Contemporary Art Awards

421

Belok Kiri Festival 38

Berlin International Film Festival 252,

329

Biennale Pelukis Muda 190, 660

Busan International Film Festival 449,

454

C

Cannes Film Festival (Cannes

International Film Festival) 405,

449, 454, 573

Cikini Fashion Festival (CiFFest) 584,

601, 623

D

Dubai International Film Festival 511

E

Europalia International 590

Europe On Screen 530

F

Festival Film Alternatif 354, 457

Festival Film Animasi Indonesia 432,

460, 483

Festival Film Bandung 43, 116, 150,

199, 363, 489

Festival Film Independen Indonesia

412, 418

Festival Film Jawa Barat 385

Festival Film Mini 51, 88, 655

Festival Film Pendek Jabodetabek

385

Festival Film Pendek Konfiden 454,

499

Festival Karya Tari DKJ (Dewan

Kesenian Jakarta) 193, 660

Festival Musik Gratis “Bambu

Runcing” 224, 661

Festival November 279, 280, 365,

366, 378, 392, 406, 446

Festival Pantomim Internasional 273,

274, 303

Festival Pantomim Jakarta 213

Festival Penata Tari Muda 89, 136,

139, 148, 655, 656, 657

Festival Schouwburg 460, 481

Festival Sinetron Indonesia 131, 271,

300, 366

Festival Teater Remaja 18, 20, 24, 34,

652, 653

FFI (Festival Film Indonesia) 51, 55,

100, 116, 123, 133, 150, 160, 167,

188, 189, 199, 208, 210, 215, 229,

233, 252, 255, 257, 271, 286, 297,

305, 322, 329, 355, 359, 363, 385,

387, 389, 403, 417, 443, 445, 454,

457, 461, 465, 486, 489, 490, 497,

499, 507, 511, 530, 550, 559, 562,

573, 628, 653, 664, 666, 667

FFP (Forum Film Pendek) 52, 104,

152

FKI (Festival Kesenian Indonesia)

424, 484, 499, 503, 520, 546, 572,

597

G

Genflix Film Festival 637

Good Design Award 513

H

Helateater 553

Home Concert 202, 660

I

IDF (Indonesian Dance Festival) 110,

179, 217, 240, 272, 283, 306, 324,

325, 348, 358, 376, 414, 438, 468,

488, 503, 508, 525, 538, 548, 551,

571, 604, 613, 629, 665

IKJ Dance Carnival 554

Indonesia Art Motoring 431

Indonesian Fashion Week 264

Indonesia International Book Fair 587

International Competition Student

Artist 339

International Film Festival Rotterdam

449, 454

J

Jakarta 32°C 440, 470, 492, 593,

Jakarta Biennale 38, 259, 268, 440,

466, 492, 557

Jakarta Dance Carnival 566, 597

Jakarta Dance Meet Up 619

JIFFest (Jakarta International Film

Festival) 385, 405, 409, 447, 492,

454

Jambore Film Pendek 385

K

Karya Pengajar LPKJ 11, 651

Konser Gitaris Muda Berbakat 301,

472, 484, 506

L

Lomba Koreografi Gedung Kesenian

Jakarta 334

Locarno International Film Festival

252

M

MTV Indonesia Award 421

O

Oberhausen International Short Film

Festival 286, 296

P

Pameran Besar Seni Lukis Indonesia

53, 90, 146, 162, 234, 652, 653,

655, 658

Pameran Dokumentasi Film

Indonesia 12, 651

Pameran Grafis 68, 129, 149, 170,

187, 569, 654, 658, 659, 660

Pameran Koleksi DKJ 31, 652

Pameran Lukisan Batik 651

Pameran Lukisan Dunia Minyak

Indonesia 21, 652

Pameran Patung Kontemporer

Indonesia 17, 651

Pameran Seni Lukis Indonesia 3, 15,

25, 651, 652

Pameran Seni Patung Indonesia 139,

657

Pameran Seni Rupa 12 33, 50, 73, 89,

118, 652, 653, 654, 655, 656

Pameran Suasana Kaki Lima 41, 653

Pameran Tetap Koleksi GNI (Galeri

Nasional Indonesia) 531

Pameran Trienal Seni Patung

Indonesia 259

Panggung Musik Kampus 158, 658

Pekan Balet DKJ 159, 658

Pekan Film Dokumenter 147, 378,

658

Pekan Film Pendek Mahasiswa IKJ

311

Pekan Komponis Muda 120, 137, 176,

180, 185, 530, 656, 657, 658, 659,

660

Pekan Koreografi Indonesia 210, 661

Pekan Penata Tari Muda 110, 180,

210, 659

Penghargaan Seni Rupa IKJ 303, 315

Pentas Balet Kontemporer 20, 652

Pertemuan Koreografer Indonesia

15, 651

Pertemuan Musik 602

Pesta Kesenian Rakyat 153, 658


INDEKS

xxxv

Pesta Rakyat 153, 467

Pesta Seni Mahasiswa 8, 13, 651

PostFest 503, 584, 600, 618

R

Road to IBOMA 636

S

Seminar Naskah Sandiwara 26, 652

Seoul International Evergreen Film

Festival 306

T

Tit’s Film Workshop 385

Tokyo International Film Festival 252

U

UrbanFest 481, 500, 514

Y

Yamagata International Documentary

Film Festival 511

Yamaha Electone Festival 227

INDIVIDU

A

A.A. Navis 311

A.D. Pirous 90, 126, 146, 162, 171,

390, 456, 531

A. Girindra 73, 89

A. Kasim Achmad 68, 274, 308, 560

A.S. Budiono 292, 294

Aan Mansyur 561

Abas Alibasyah 15, 90, 192, 193, 232,

299

Abbhama 93, 655

Abdi Bashit 369

Abdi Wiyoso 26

Abduh Aziz 252

Abdul Hadi W.M. 66, 216, 378

Abdul Rachman 177, 427

Abdurrahman Wahid 188, 385, 439

Achdiat K. Mihardja 11, 22, 651

Achmad Fauzie 340

Ade Darmawan 440

Ade Irma 422

Ade Kusumaningrum 432

Ade Siregar 100, 115, 226

Adelaide Simbolon 271

Adi Kurdi 320, 411

Adi Molana Machmud 116

Adi Munardi 70, 193, 231, 314

Adi Pranajaya 283, 444

Aditya Tobing 251, 311, 370, 430, 435,

459, 476

Adrianto Sinaga 403, 465, 663

Affandi 15, 152, 162, 192, 193, 232,

310, 390, 466, 531

Afrildi Eka 415

Afrizal Anoda 35, 37, 49, 82

Agni Ariatama 396, 487, 575, 659

Agoes Jolly 280, 423

Agoes Salim S. T. 192, 464, 527, 592

Agung Suharyanto 468

Agung Tri Wijaya 541

Agus Djaja (Agus Jaya) 177, 193

Agus Nur Amal (Agus PM Toh) 268,

283, 328, 332, 340, 348, 351, 365,

375, 456, 524, 614, 639, 663

Agus Suwage 296, 317

Agusti Rachim 152

Ahmad Fadilah 360

Ahmad Sadali 90, 146, 162, 317

Ahsam Ahmad 510

Aiko Urfia Rakhmi 500

Ais Tyaningnung 430, 435

Aji Suropati (Muhammad Aji Untung

Suropati) 577, 584, 641

Ajip Rosidi 11, 23, 34, 56, 60, 78, 81,

86, 89, 90, 107, 118, 127, 193, 444,

654

Akhmad Fauzi 415

Aksan Sjuman 540

Al Vandra 639

Alam Surawidjaja 41, 56, 75

Aldhi Sukmaruhi 510

Aldisar Syafar 26, 34, 492

Aldri Qartina 422

Alex Papadimitriou 42

Alfianto 279, 575

Ali Audah 11, 26, 53, 652

Ali Sukarno P. 463

Aline Jusria 507, 608, 628, 663

Alisa Soelaeman 595, 604, 619

Alit Sembodo 395

Alit Ambara 405, 485

Alpha Tejo 395

Amak Baljun 18

Amalia Nasution 463

Amang Rahman 90, 234

Ami Priyono 5, 181, 193, 266, 282,

314, 659

Aming Prayitno 126, 146, 162

Amir Sidharta 262, 372, 529

Amoroso Katamsi 155, 244, 552, 560,

598

Amra Reza 460, 474, 484

Amrus Natalsya 192, 404

Ananda Adhi Moersid (Ananda

Moersid) 33, 50, 73, 76, 178, 408

Ananda Sukarlan 227, 444, 666

Andang Kelana 440

Andara Moeis 571

Andhy Pulung 541, 635, 637

Andi Noorcahyono 120

Andi Tiar 139, 194

Andrea Hirata 389

Andrew Delano Wibowo 510

Andy Azis 147

Andy Tidjels 459

Angela Ayuni Praise 639

Anggun Priambodo 373, 421, 663

Angkama Setjadipradja 33, 73, 89,

118

Anna Zuchriana 276, 346, 390, 430

Anusirwan 496

Apsanti Djokosujatno 282

Arco Renz 468, 525, 548

Ari Ibnuhajar 346

Ari Mursid 319

Aria Kusumadewa 385, 390, 397, 637,

663

Arief Budiman 13, 14, 17, 651

Arief Soedarsono 6, 12, 21

Ariel Heryanto 316

Arifin C. Noer 18, 43, 51, 72, 118, 150,

155, 183, 233, 247, 278, 309, 379,

426, 538, 553, 562

Arnan Maming 460

Arson Ardian 463

Arsono 17, 18, 33, 50, 73, 89, 192, 197,

212, 238, 388, 410, 651

Arswendo Atmowiloto 320, 372, 386,

503, 556, 575, 623

Artswendy Nasution 132

Arturo GP (Arturo Gunapriatna ) 255,

589, 663

Aryana Sani 178

Aryo Danusiri 252, 405

Asep Topan 557, 579, 592, 663

Asikin Hasan 519

Asnida Hassan 281

Asri Mery Sidowati 498, 548

Asrul Sani 13, 32, 37, 43, 78, 172, 174,

202, 206, 292, 325, 337, 444, 446,

658

Asyifa Nasution 116

Aten Waluya 142, 196

Atien Kisam (Atin Kisam) 297, 365

Awaluddin R. 340

Awan Simatupang 259, 466, 485, 663

Ayu Dian Anggraini 451

Azan Zulfan 254

Azer (Reza Mustar) 493, 556, 663

Azuzan J.G. 280, 325, 338, 351, 361,

400

B

Bagong Kussudiardja 15, 20, 33, 74,

90, 316, 325, 350

Baharuddin M. S. 12, 23, 26, 33, 41,

44, 50, 90, 195, 390, 652

Bambang B. S. 37, 247

Bambang Budi Santosa 125

Bambang Bujono 12, 13, 15, 16, 31,

33, 46, 103, 132, 292, 405, 466,

535, 579, 611, 621, 630, 651, 652,


xxxvi

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

654, 655, 657, 658, 659, 664

Bambang Ginting A. S. 196

Bambang Pudjaswara 596

Bambang Setiana 65

Bambang Setiawan 171

Bambang Subekti 527

Bambang Suryono 427

Barli Sasmitawinata 231

Basuki Kuswaraga 36

Batara Lubis 21

Beatrix de Rozari 415

Beben Jazz 301

Bejo Sulaktono 529, 538, 553, 562,

607

Bekti Lasmini 219, 246, 278, 325

Beng Rahardian 556, 570, 590

Benni Setiawan 635

Benny & Mice 339, 341, 493, 665

Benny Krisnawardi 278, 290, 297,

358, 427, 468, 535, 566

Benny M. Tanto (Benny Mulyadi

Tanto) 202, 301, 317, 318, 416, 428,

446, 452, 453, 460, 463, 464, 472,

474, 484, 490, 506, 512, 521, 547,

663

Benny Rachmadi 339, 341, 556, 663

Benny Ronald 144, 388, 404, 550

Benteng Togatorop 132

Bernadette Marlie 100

Bernauli Pulungan 197, 356, 388, 404,

527

Betty Laksmini 214

Bingah Sumarni 251

Boby Ary Setiawan 468

Boedi S. Otong 196

Boedi S.R. 177

Boi G. Sakti (Yandi Yasin) 220, 237,

245, 288, 307, 338, 380, 402, 438,

663

Bondi Pakpahan 248

Boogie Papeda (Serraimere Boogie

Yasson Koirewoa) 516, 517, 522,

546, 663

Bowo G. P. 458, 471, 600, 607

Boyke Aditya Krishna 234

Boyke Mulyana 459, 478, 480, 582

Bucek Depp 390

Budi Dharmadi 81, 107

Budi Irawanto 441

Budi L. Tobing 430, 527, 558

Budi Sobar 254

Budi Tobing 464

Bunga Citra Lestari 443

Bustal Nawawi 174, 386

But Muchtar 17, 60

Butet Kertarajasa 190

C

Caecilina Sherina 544

Candra Darusman 271, 337

Cantika (Cantika Clarinta) 569, 594,

631

Carl Tanjong 64, 654

Carmencita Palermo 624

Catharina W. Leimena 400, 428

Cecil Mariani 578, 599, 605, 613, 633

Cesa David Luckmansyah 461, 663

Chaerul Umam 180, 283, 295, 444

Chairil Anwar 5, 7, 175, 444

Chairin Hayati (Chairin Hayati Joeda)

142, 212, 232

Chairul Anwar 147, 190

Chalid Arifin 152, 205

Chandra Johan 171

Chandra Purnama 251

Charles Esche 557

Chiquita Limer 537, 538

Christine Hakim 55, 166, 180, 314,

412, 524, 653

Cicilia 159, 190

Citra Smara Dewi 509, 523, 527, 529,

531, 537, 550, 556, 558, 560, 578,

610, 638, 639, 663

Cok Simbara (Ucok Hasyim

Batubara) 43, 166, 524, 543, 663

D

D. Djajakusuma (Djaduk

Djajakusuma) 6, 13, 18, 35, 41, 53,

55, 56, 57, 60, 68, 69, 73, 84, 103,

109, 113, 115, 128, 130, 157, 175,

180, 185, 188, 206, 212, 222, 226,

244, 246, 283, 330, 447, 503, 542,

598, 654, 656, 661, 662

D.A. Peransi 11, 12, 15, 16, 18, 21, 33,

35, 50, 52, 55, 62, 73, 152, 651

Dami N. Toda 107

Danarto 9, 18, 19, 33, 45, 73, 86, 89,

100, 112, 118, 173, 246, 392, 441,

450, 598, 651, 655, 664, 666

Danial Rifki 514, 541

Daniel Espe 607

Daniel R. Mores 463

Daniel Rudi Haryanto 397, 511, 663

Daniella Fitria Praptono 369

Danton Sihombing 244, 250, 475,

623, 638, 639, 663

Darbeni Toto Gitano 460

Darlane Litaay 571, 604

Darwis Loyang 179

Daryono 21, 90, 525, 596

David M. Latupeirissa 499

Deasylina Da Ary 468

Debra H. Yatim 639, 641

Dedy Lutan 34, 40, 48, 57, 61, 66, 82,

92, 96, 98, 100, 110, 139, 144, 148,

156, 164, 177, 182, 184, 196, 210,

211, 216, 218, 220, 224, 243, 292,

314, 317, 325, 343, 378, 384, 398,

438, 450, 477, 488, 548, 566, 571,

604, 655, 658, 663

Deddy Mizwar 166, 199, 366, 444,

486, 524, 543, 663

Deddy PAW 431, 663

Dede Eri Supria 90, 106, 112, 146, 177,

282, 296, 310

Dedy Hendrawan 20, 32

Deni Rusanto 276, 611

Densiel Primayanti Lebang 595

Depi Herlambang 204, 254

Derry Syrna 43

Dewa Budjana 313

Dewi Hafianti 220, 306, 337

Dewi Motik Pramono 281,

Dewi Rani 55, 100, 132, 577

Dewi Umaya 518, 558

Dewi Yull 220, 662

Dhanny Moer 244

Dhea Hayu 639

Diah Setiawati 139

Dian Hadipranowo (Dian HP) 271,

313, 371, 663

Dian Mulyanto 463, 473

Dian Nurulita 297

Dianthus L. Pattiasina 147, 592

Dick Syahrir 527, 592, 611

Dicky Irawan 281, 311

Diddo Kusdinar 77, 123, 142, 149, 170,

196, 658

Didi Petet (Didi Widiatmoko) 69, 78,

80, 83, 84, 122, 123, 131, 156, 157,

172, 183, 207, 208, 213, 215, 220,

226, 229, 236, 248, 266, 274, 303,

312, 314, 330, 336, 338, 370, 386,

391, 436, 459, 463, 464, 486, 524,

543, 568, 662, 663, 664

Didik Ninik Thowok 365

Didik Nurhadi 395

Didik Suryanto 427

Dilliani 436, 450, 474, 494, 498, 509,

570, 614

Dini Lukmawati 422

Diyan Bijac 581

Djaduk Ferianto 331, 342, 358, 600

Djodjo Gozali 77

Djoko Histi Maryono 279

Djoko Quartantyo 83, 663

Djoko Suko Sadono 119, 278, 554

Djoni Djuhari 50

Djoni Wisaksono 50

Djufri Tanissan 6, 12

Dolorosa Sinaga 38, 62, 89, 178,

197,203, 212, 225, 229, 238, 272,

288, 303, 315, 317, 346, 356, 388,

401, 404, 405, 408, 418, 430, 440,

447, 485, 488, 492, 531, 535, 550,

558, 592, 611, 612, 633, 634, 638,

639, 640, 645, 663

Donny Akbar 466

Dorothea Quinn 414, 427

Dotty Nugroho 371

Dullah 193, 597


INDEKS

xxxvii

Dwi de Proud 132

Dwi Wicaksono Suryasumirat 510

Dwijo Sukatmo 234

Dwiki Darmawan 372, 618

E

Eddie Riwanto 122, 156, 172, 236, 297

Eddy de Rounde 24, 32, 37, 49, 69, 78,

330

Eddy Junaidi 132

Edhi Sunarso 17

Edi Sedyawati 7, 10, 15, 18, 22, 48,

68, 74, 106, 112, 113, 159, 193, 210,

274, 316, 343, 346, 372, 384, 402,

415, 438, 534, 651, 656, 658, 659

Edith Ratna (Edith Ratna Siagian

Soerjosoejarso) 17, 33, 60, 73, 118,

192, 229, 232, 310, 654

Edwin 244, 454, 461, 663, 664

Edy Sanjaya 459

Eeng Saptahadi (Muhammad Jueri

Saptahadi) 131, 172, 183, 201, 207,

215, 257, 280, 297, 300, 664

Efix Mulyadi 197, 438, 627

Efrialdi Eka Yenanto 463

Ehwan Kurniawan 486, 558, 574, 601,

622, 644

Eka D. Sitorus (Eka Sitorus) 254, 284,

351, 370

Eko Supriyanto 110, 325, 398, 488,

508, 584, 590, 597, 603, 618

El Manik 390

Elly D. Lutan (Indah Harie Yuliati) 88,

96, 211, 290, 384, 496, 477, 554,

646

Elly Raranta 139, 180

Ellya Rudhatin 145, 182, 219

Elvis Presley 301

Embie C. Noer 150, 357, 492, 664

Emha Ainun Nadjib 251

Endah Parastiti 139

Endang Kusumaningsih 74, 128, 230,

350, 392, 400, 453

Endo Suanda 89, 95, 185, 293

Enin Supriyanto 316

Enison Sinaro 300, 320, 397

Eny Erawaty 340

Epy Kusnandar 370, 391, 524, 664

Erik Prasetya 474

Erina Adeline Tandian 591

Erlangga Soegiarso 476

Erna Garnasih Pirous 232

Eros Djarot 152, 166, 180, 233, 256

Eros Eflin 389, 461, 465, 664

Ery Mefri 278, 488

Eugene Kharisma 638, 641

Eyi Lesar 595

F

F.X. Harsono 238, 270, 278, 296, 390

F.X. Sutopo 65, 76, 126, 192

Fadjar Sidik 15, 42, 90, 146, 162, 294,

466, 603, 664

Fahmi Alatas 357, 530,

Fahruddi Akbar 156

Fajar Satriadi 408, 427

Faozan Rizal 395, 443, 458, 472, 528

Farida Feisol (Farida Sjuman, Farida

Oetoyo) 3, 5, 7, 9, 14, 15, 22, 34,

36, 48, 61, 74, 78, 79, 100, 110, 112,

123, 132, 143, 148, 159, 173, 189,

190, 193, 194, 214, 222, 226, 234,

317, 324, 325, 343, 402, 438, 450,

469, 481, 651, 630, 653, 654

Fathiya Octavianti 544

Ferdy Taeras 463

Firman Lie 196, 317, 390, 411, 448,

633

Firmansyah 545

Fitri Anggraini 553, 571, 576

Fitri Setyaningsih 468, 508, 525, 571,

590

Francisco Tárrega 301

Franki Raden 40, 70, 72, 74, 82, 93,

95, 100, 102, 112, 137, 284, 304,

357, 599, 654, 655, 656, 657, 666

Franky Nayoan 146, 147

Franky Sahilatua 354, 361

Frans Joseph Ginting 156, 330

Frans Nadjira 294

Franz Harjadi (Franz Haryadi) 13, 18,

20, 33, 120, 148, 154, 176, 185, 246

Fred Wetik 20

Fuad Idris 257, 338, 351, 362, 365,

370, 423, 664

G

G Sidharta 15, 17, 60, 92, 149, 278,

390

G. Arthur Tobing 183

G.M. Sudarta 163, 295, 299

Gadis Fitriana 579

Gandung Bondowoso (Hurip

Winarno) 37, 49, 71, 125, 297, 300,

456, 552, 600, 629, 664

Garin Nugroho 167, 246, 252, 255,

257, 267, 282, 297, 302, 303, 311,

312, 314, 319, 326, 329, 336, 354,

355, 383, 395, 402, 405, 426, 434,

441, 449, 456, 486, 487, 488, 490,

558, 628, 633, 637, 638, 640, 659,

664, 665

Gauri Nasution 129, 664

Gayus Siagian 18

Gendut Riyanto 170, 316

George Kamarullah 329

Gerson Poyk 216

Gidik Hanindawan 408

Gilang Ramadhan 195, 362, 434

Giri Dwinanto 579

Gita Novia Sovia 348

Godod Sutejo 177

Goenawan Mohamad 19, 20, 26, 28,

118, 211, 279, 290, 316, 375, 439,

652

Gotot Prakosa 52, 61, 81, 104, 144,

147, 152, 165, 186, 216, 222, 306,

311, 312, 329, 344, 397, 410, 412,

429, 432, 441, 448, 460, 483, 499,

526, 528, 574, 653, 659, 660, 661,

664, 665

Grace Kusnadi 556, 569

Grace Samboh 579

Grace Susan 370, 451

Gregorius Sidharta Soegijo 89, 90

Gunawan Putra 577, 638, 641

Guntur Tobing 132

Guntur Wibowo 406, 527, 536, 558,

592, 611

Guruh Soekarno Putra 349

Gusmiati Suid 119, 164, 179, 184, 220,

237, 278, 317, 364, 398, 604

H

H.B. Jassin 11, 41, 153, 188, 316, 422,

621

Hadi Artomo 116, 448, 486, 515, 664

Hadi Purnomo 18, 152, 397

Hadi Utomo 390

Hadiasmoro 17

Hadrah Daeng Ratu 499

Hafiz Rancajale 440

Hamid Jabbar 216, 256, 274, 278

Hamka Usman 139

Hanny Herlina 406, 437, 438, 451,

474, 485, 509, 538, 580, 600

Hanny Najoan 50, 178

Hanny R. Saputra 366, 397

Hanung Bramantyo 354, 355, 409,

457, 461, 486, 595, 637, 664

Hanung Mahadi 22, 81, 192, 278, 358,

369, 388, 404

Hardi 90, 113, 118, 165, 168, 175, 193,

204, 338, 656, 658, 659

Hardiman Radjab 404, 413, 416, 430,

459, 466, 469, 476, 664

Hari Suryanto 490

Harijadi S. (Harijadi Sumadidjaja) 192

Harmasto 532

Harry Darsono 264, 377, 400

Harry Roesli 28, 58, 158, 164, 208,

220, 267, 275, 652, 664

Harry Sabar 452, 486

Hartanto (Ki Hartanto Mugihardjo)

116, 147, 152, 247, 368, 426, 437,

497, 602, 664

Hartati 220, 278, 290, 297, 398, 406,

477, 488, 525, 566, 619, 638, 639,

664

Haryadi Suadi 31, 126, 142, 146, 390

Hatta Hambali 177, 448

Hendra Gunawan 90, 193, 310, 466

Hendrawan Rianto 171


xxxviii KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

Hendro Martono 245

Hengki Hermawan 144, 171

Henky Haryanto 563, 594

Henry Foundation 373, 421

Herdin Hidayat 131, 183, 248, 300,

336, 664

Heri Dono 221, 238, 289, 296

Heri Hermawan 344

Herman Siswadi 139

Herry Ariyanto 324

Heru Ponco 221

Hestu Wreda 365, 505, 554, 562, 607

Hikmat Darmawan 569, 575, 581,

596, 623, 663, 664

Hildawati Siddharta (Hildawati

Soemantri) 50, 73, 79, 103, 171,

178, 225, 229, 232, 238, 383, 418

Hilmar Farid 316, 544, 563, 566, 569,

634, 638, 640, 643

Huriah Adam 7, 9, 14, 22, 306, 384,

572, 636

I

I Gusti Kompiang Raka (Kompiang

Raka) 109, 194, 304, 392, 414

I Gusti Ngurah Udiantara 395

I Made Adryanata 639

I Made Netra 9, 19, 42, 44, 119, 653

I Nyoman Windha 164, 228

I Wayan Balawan 558

I Wayan Dibia 68, 89

I Wayan Diya 5, 7, 9, 12, 19, 37, 42, 44,

55, 57, 66, 76, 94, 102, 109, 112,

143, 145, 198, 218, 224, 384, 392,

653

I Wayan Sadra 19, 102, 109, 137, 228,

357, 376, 392, 401, 659

Ibenzani Usman 76, 106, 658

Ibnu Nurwanto 63, 192, 281, 310, 388,

404, 664

Ibrahim Sattah 251, 256, 274

Iche Coesay 132

Ida Ayu Oka Sudiasih 37

Idawati 221

Idran Wakidi 251

Idris Sardi 49, 247, 653

Ifa Isfansyah 355

Ignatius Riman 453

Ika Kurnianingsih 221

Ika Yuni Purnama 536, 558

Ikranegara 18, 66, 72, 309, 338

Ilen Surianegara 147

Ilma Noe’man 475

Imawati 430

Imelda Stefanny 368

Inayah Wahid 600

Indah Tjahjawulan 345, 579, 587, 601,

623, 633, 638, 639, 664

Indra Ameng 393, 664

Indra Lesmana 271, 312

Indra Zubir 369, 370

Ine Febriyanti 377, 390, 552

Intan Paramaditha 352, 665

Ipe Ma’aruf 6, 12, 81, 90, 163

Ipung Rachmat Syaiful 359, 445, 664

Ipung Gozali 8, 107, 212, 299

Ira Kowara (Ira K.) 146, 147

Iravati M. Sudiarso (Iravati Sudiarso)

8, 49, 55, 65, 80, 93, 189, 193, 210,

211, 227, 289, 651, 666

Irawan Karseno 171, 317, 453

Irawati K. 178

Irfan Setiawan 503, 576, 595

Iriantine Karnaya 60, 288, 346, 388,

404, 430, 466, 471, 473

Irianto Suwondo 545, 609

Irsam 6, 12, 90, 126, 146, 162, 177,

299, 448

Irsyad Arief 202

Irwan Ahmett 425, 647, 664

Irwan Holmes 9

Is Hakim 190

Isdaryanto B. Oetomo 543

Iskandar Yunaini 114, 656

Isnaeni M.H. 163, 448

Istiadi Bambang 182, 297, 337

Iswargia Sudarno 343, 418

Ita Martadinata 38, 634

Ito Djojoatmodjo 190

Ivan Sagito 234

Iwan A 190

Iwan Gunawan 277, 430, 486, 520,

555, 564, 569, 575, 578, 580, 611,

620, 623, 633, 643, 665

Iwan Koeswanna 163

Iwan Ramelan 142

Iwan Tirta 173, 197

J

J.B. Kristanto 133, 255, 449, 663

Jabatin Bangun 451, 547, 558, 632

Jajang Gunawijaya 466

Jalu Pratidina 313, 600

James Suyata 139

Jane Chen 212, 223, 665

Jaya Budaya 23, 31, 36, 41, 77, 99,

114, 119, 173, 197, 655, 656

Jecko Kurniawan Siompo (Jecko

Siompo) 110, 334, 342, 358, 365,

369, 373, 414, 433, 468, 517, 554,

571, 575, 603, 630, 647, 663, 665

Jeffriandi Usman 275, 365, 435

Jeihan 90, 282

Jerry Octavianus 351, 417, 665

Jerry T. 238

Jim Supangkat 34, 53, 60, 89, 90, 92,

139, 145, 146, 147, 192, 302, 372,

416, 418, 442, 466, 549, 583, 596,

610, 653, 657, 665

Jimmy Ivan Suhendro 276, 592, 611

Jimmy Louis 415

Jimmy Multhazam (Jimmy Danger)

478

Johan Ardhika Chandra 510

Johan Teranggi 51, 52, 395

Joko Quartantyo 37, 83, 112, 663

Joko Saptono 244

Joop Ave 171, 288, 331

Jose Rizal Manua 196, 230, 249, 251,

256, 274, 278, 367, 433, 434, 438,

441, 450, 469, 524, 552, 662, 665

Joseph Ginting 71, 122, 157, 172, 236,

257, 297, 310, 327, 330, 338, 374,

377, 458, 533, 600, 665

Josh Marcy 607, 642, 643

Jubing Kristianto 301, 452, 460, 521

Jujur Prananto 387, 541, 665

June Beckx 14, 20, 34, 61, 79, 100

K

Kaboel Suadi 31, 33, 73, 89, 196, 225,

317, 652

Kadirisman Alwan 563, 594

Kamsudi Merdeka 118, 659

Kardy Syaid 212, 244, 660, 661, 662

Karsono Hadi 233, 665

Kartika Affandi Koberl 232

Kasim Rakhmat 18

Kay Glassburner 18

Kendra Paramita 539, 626, 633, 665

Ketut Winata 171, 485

Khaerul Umam 18

Khikmawan Santosa 116, 497, 595,

665

Ki Wasito Dipuro 20

Kiki Natez (Mohammad Fikri) 562

Koko Sondaka 171, 447, 612

Kris Basuki 139

Krissno Bossa 213

Kristiono 384, 474

Ksanti Dewi 463

Kurniawan 416, 428, 452, 460, 472,

474, 484, 486, 506

Kusen Dony Hermansyah 461, 567,

598

Kusnadi 6, 8, 12, 15, 16, 33, 42, 50,

73, 89, 118, 147, 163, 181, 207, 651,

659, 660, 661

Kusno Drajat 579

L

L.G. Saraswati 469, 638

La Ode Umar Al-Suria 540

Laksmi Notokusumo 275, 554, 639,

665

Lalu Suryadi 290, 342, 369

Laskmi Simanjuntak 139

Leila Chudori 133, 412, 664, 665, 666

Lello M. Baressi 89

Lena Simanjuntak 37, 49, 78, 80, 467,

655, 656, 657

Lenny Agustin 542, 563, 583, 584,


INDEKS

xxxix

639, 643

Leon Agusta 66, 132, 185, 196, 216,

378, 406, 410

Leonhard Bartolomeus 549, 606, 647,

665

Levi Gunardi 639

Lian Sahar 21, 90, 146, 294

Lidya Kandou 320

Lilia Nursita 440

Linda Hoemar 54, 100, 190, 325

Linda Karim 9, 20, 32, 34, 57, 61, 66,

79, 100, 115, 132, 194

Linda Suharso 230, 453

Lola Amaria 518

Lucia Hartini 212, 229

Lucky Wijayanti 523, 536, 582

Lukman Sardi 257, 664

Lusiana Limono 513, 582, 647, 665

Luthfian Zuhdi Haryadi 369

M

M. Miroto 139, 325

M. Sulebar Sukarman 13, 73, 78, 81,

87, 90, 135, 145, 154, 166, 196,

200, 205, 212, 230, 250, 289, 294,

328, 338, 369, 372, 383, 388, 453,

657, 662

Maarthi Djorghi 408

Maden Kanten 120

Mahardhika Yudha 440

Mamok Pratomo 69, 118, 172

Manusasma 231

Mara Karma 8, 10, 90, 169, 272, 299,

369, 651, 659

Maria Bernadeth (Maria Bernadeta

Aprianti) 342, 358, 414, 451

Maria Darmaningsih 110, 217, 272,

290, 368, 414, 438, 450, 468, 506,

508, 525, 548, 551, 554, 571, 604,

629, 647, 665

Maria Elvitra P. Mere 553

Maria Sumarsih 493

Marida Nasution 191, 196, 212, 260,

296, 317, 369, 665 390

Marselli Sumarno 133, 283, 290, 291,

311, 375, 426, 444, 458, 486, 535,

548, 555, 559, 567, 598, 662, 664,

665

Martati Tohiran 7

Martin Janowski 519

Martin Suryajaya 583, 616

Marusya Nainggolan 72, 112, 114,

185, 187, 189, 200, 205, 222, 235,

246, 267, 336, 350, 362, 372, 386,

392, 401, 414, 437, 452, 593, 614,

639, 654, 656, 660, 661, 665

Marzuki Hassan 196

Mathias Muchus 122, 123, 132, 160,

215, 229, 246, 248, 266, 297, 300,

336, 543, 638, 639, 662, 665

Matius Ali 460, 463

Maudy Koesnaedi 616, 635

Maya Tamara 180, 190, 226, 333

Meera Delima A. 499

Mei Lia Nita 422, 438, 446, 494

Meilihanny 178

Melati Suryodarmo 571, 590

Melina Surya Dewi 110, 217, 272, 325,

438, 468, 488, 508, 525, 548, 571,

604, 629

Merwan Yusuf 388, 473

Metty Sulistiowati 224

Michael N.R. 297

Michael Rotinsulu 348

Mikke Susanto 324

Mila Fadliana 340, 386

Milan Sladek 123, 136, 152, 219, 235,

505, 657, 658, 661, 662

Mira Lesmana 160, 167, 286, 322,

352, 363, 378, 386, 398, 405, 638,

640, 665

Mira Tedja 435

Misbach Yusa Biran 12, 102, 125, 220,

656

Mochtar Apin 17, 31, 90, 196, 294,

311, 390, 466

Mochtar Badillah 220

Mochtar Lubis 188, 302, 311, 316,

354

Mochtar Pabottingi 316

Moenir Pamuncak 192

Mohamad Ariansah 542, 603

Mohammad Taufiq (Emte) 561, 622,

638, 639, 640, 664

Monika Swasti Winarnita 587

Mouly Surya 489, 490, 589

Mugiyono (Mugiyono Kasido) 110,

325, 414, 427, 468

Muhammad Amin 220

Muhammad Misrad (Mice) 339, 341,

493, 556, 581, 586, 591, 596, 601,

665

Muhammad Tongga 463

Mulyadi W. 15, 81, 126, 163, 231, 448

Munadiannur Husni 527, 536, 540

Mursal Esten 68, 185, 404

Muryoto Hartoyo 34, 163

Musfiq Amarullah 510

Mustika 5, 6, 8, 12, 17, 23, 90, 163,

177, 192, 193, 212, 238, 328, 338,

652, 657, 660

Mustofa Bisri 251

N

N. Riantiarno (Nano Riantiarno) 20,

26, 67, 150, 157, 314, 342, 347, 379,

524, 533, 642, 643

Nadia Permatasari Wijaya 644

Nan Triveni Achnas (Nan Achnas)

167, 311, 322, 352, 355, 363, 487,

637, 665

Nanang Ruswandi 342, 349, 665

Nanggala Perdana Putra 540

Nanik Mirna 178

Nashar 5, 6, 10, 12, 15, 16, 19, 44, 81,

118, 127, 138, 142, 145, 148, 168,

169, 175, 187, 192, 200, 211, 219,

246, 250, 266, 294, 298, 317, 383,

651, 654, 657, 658, 659, 660, 661

Nasri Cheppy 26, 34, 186, 208

Nasrul Taher (Nasrul Thaher) 8, 81,

107

Natacha Devillers 487

Neneng Sia Ferrier 578

Neno Warisman 176, 196, 285, 289

Netty Simatupang 113, 656

Niluh Made Susanna 430

Nina Marthavia 430, 446, 509

Nini Harwanto 142

Niniek Gandung 125, 132

Niniek L. Karim 216, 490, 616

Nirwan Dewanto 216, 279, 316, 550

Noprian Rauhul 641

Noorca Marendra 26, 31, 34, 77, 80,

91, 106, 185, 256

Nora Hertiana 510

Norman Benny 51, 52, 75, 106, 202,

660, 665

Norman Sophan 77, 84

Nritya Sundara 20, 32, 36, 40, 54, 57,

115, 132, 135, 153, 159, 170, 173,

178, 186, 188, 652, 653, 656, 659,

660

Nugroho Anggoro 171

Nugroho Notosusanto 171

Nungki Kusumastuti (Siti

Nurchaerani Kusumastuti) 110,

136, 139, 173, 177, 184, 196, 217,

272, 280, 281, 285, 325, 342, 343,

357, 358, 368, 378, 383, 384, 394,

419, 433, 437, 438, 450, 468, 482,

488, 494, 508, 519, 525, 538, 548,

551, 566, 571, 593, 596, 600, 604,

629, 641, 666

Nunung W.S. 90, 146, 200, 229, 294,

328, 453, 660

Nur Aminah Parinduri 422

Nur Hasanah 477, 498, 525, 618

Nur Hidayat (Monod) 329, 665

Nurdin 144, 156, 164, 177,

Nurdin B.S. 21

Nurdin Daud 196, 250, 317, 384, 390

Nurhadi Sastapradja 415

Nurhadie Irawan 43, 102, 232

Nurlina Syarir 468

Nurul Arifin 250, 390

Nusyirwan Lesmana 29, 258

Nuzurlis Koto 90, 146, 162, 294

Nya Abbas Akup 206, 255

Nyak Ina Raseuki (Ubiet) 371, 456,

545, 547, 555, 558, 583, 588, 590,

600, 602, 614, 619, 638, 639, 641,

642, 643


xl

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

Nyoman Gunarsa 90, 126, 146, 310

Nyoman Kuningan 120

O

O.H. Supono (Supono O.H.) 15, 70,

90, 146, 162

Ody C. Harahap 507, 647

Oesman Effendi 5, 6, 8, 12, 15, 44, 53,

90, 135, 146, 148, 162, 216, 289,

390, 651, 661

Oka Trilaksana 415, 459

Oky Arfie Hutabarat 440

Olivia Ruth 627

Ong Hok Ham 56

Onny Koes Harsono 147, 288

Oppie Andaresta 354, 360, 361

Oscar Motuloh 374, 386, 419

Otniel Tasman 590, 604, 618

Otong Nurjaman 60

Otto Jaya 15

Otto Sidharta 120, 137, 165, 262, 282,

288, 357, 456, 468, 545, 567, 583,

590, 612

Otty Widasari 440

P

P. Ario Damar 463

Padri B. Nadeak 368

Paquita Wijaya 333, 410, 412, 487

Paul Gutama Soegijo 33

Paul Kadarisman 479, 666

Peggy Choy 112

Phillipe Dubois 470

Pimpi Syarley Naomi 495, 647, 666

Pipit Tenawati 632

Ponco Satrio 301, 547

Popo Iskandar 5, 21, 53, 90, 162, 193,

282, 317, 531, 571, 651

Pramana Pmd. (Pramana

Padmodarmaya) 20, 22, 24, 26,

37, 69, 78, 157, 185, 212, 292, 295,

330, 463

Pramoedya Ananta Toer 96, 316,

Prapto Suryodarmo (Suprapto

Suryodarmo) 275, 577

Pri Ario Damar 639

Priyanto Sunarto 77, 89, 118, 142,

466, 499, 616

Puji Sigit 132

Putri Ayu Wulandira 641

Putri Dian Lestari 545

Putri Sastra 416, 428, 452, 472

Putri Yamini Al-Haqni 516

Putu Fajar Arcana 627, 629

Putu Oka Sukanta 316

Putu Wijaya 20, 26, 37, 43, 49, 50, 54,

55, 68, 70, 91, 118, 166, 201, 250,

305, 309, 364, 379, 426, 469, 486,

492, 520, 526, 543, 552, 568, 598,

610, 653, 654, 662, 664, 666

R

R.B. Armantono 567, 616, 617, 628,

637, 643

R. Bagus Kadarmojo Prihantono 250

R. Wendratama Prasetya 483

R. Yetty Husein 132

R. Yuyun Kusumadinata 94

Radjul Kahfie 18

Rahabi Mandra 490

Rahayu Pratiwi 463, 633

Rahayu Supanggah 120, 252, 316,

540, 558, 590

Rahmayani 171, 229, 296

Ramadhan K. H. 11, 18, 434

Ramelan 17, 166, 192

Ratih Sanggarwati 262, 333

Ratna Dewi Melati 451

Ratna Riantiarno 216, 522

Ratna Sarumpaet 304, 316

Ratna Widyastuti

Ratnawati 54, 98, 100, 139, 154, 226

Ravi Bharwani 405, 449, 666

Ray Anjas Maulana 577, 584, 638,

641

Ray Sahetapy 132, 213, 220, 297, 543

Rege Indrastudianto 565, 666

Reiner Chadir Wildt 301

Rence Alfons 558

Rengga Sancaya 394

Reni Hoegeng 238, 294

Renny Djajoesman 249

Renny Putu Wijaya 118

Reny Budilestari 466

Resi Rasmaita 576, 638, 641

Restu Gunawan 579

Restu Imansari Kusumaningrum 290

Retno Maruti 7, 19, 23, 31, 35, 45, 61,

76, 77, 88, 94, 110, 114, 126, 130,

145, 173, 177, 198, 246, 298, 306,

326, 342, 343, 349, 368, 384, 390,

409, 437, 462, 526, 537, 548, 564,

596, 660

Reverie Alfathir 563

Reynaldi Christanto 628

Reza Rahadian 443

Rianto (Rianto Manali) 110, 590

Rica O. Darmawan 533

Ricky Dwi Fitrianto 639

Ricky Malau 478

Ridwan Adam 26

Riksa Afiaty 549

Rima Ananda 347, 666

Rina Kurniyati 578

Rio Septi Rangga 541

Riri Riza (Muhammad Rivai Riza) 167,

252, 286, 296, 311, 322, 355, 359,

363, 378, 410, 448, 454, 470, 637,

666

Riris K. Sarumpaet 274

Rita Thung 154

Ritchie Blackmore 301

Riza Arshad 371

Rizal Mantovani 322, 329

Rizka Octora 632

Rizki Suharlin Putri 516, 522

Robby Ertanto 490

Roedjito 24, 26, 139, 173, 211, 243,

285, 293, 304, 369, 404, 423, 426,

446

Roelly Budiono 69, 654

Ron Puyundatu 78, 132

Ronny Agustinus 440, 522

Rosihan Anwar 66, 292, 358

Rosmala Sari Dewi 545, 583

Rotua Magdalena Pardede 317, 351,

647

Roy Lolang 445

Ruddy Poespoprodjo 396

Rudi Lukito 45

Rudi Soedjarwo 445, 448

Rudolf Puspo 18

Rudy Laban 8, 49, 93, 282, 651

Rully Novaliawati 468

Rury Nostalgia 343, 368, 433, 437,

596, 619, 638

Rusdhy Harsono 311

Rusdi Isbandi 146

Rusdi Syarif 460

Rusdy Rukmarata 186, 619, 630

Rusli 19, 21, 90, 310

Russmadi 142

Ruth Sahanaya 271

S

S. Effendi 20

S. Irwanto 245

S.M. Ardan 29, 267, 664

S. Prinka (Sjahrinur Prinka) 50, 73, 89,

118, 142, 272, 430, 563

S. Soetopo 89, 118

S. Sudjodjono (Sudjodjono) 6, 42

S. Trisapto (Trisapto) 23, 35, 37, 40,

45, 88, 98, 100, 114, 136, 139, 164,

173, 285, 292, 304, 342, 343, 358,

368, 390, 437, 537, 545, 657

Sabilul Razak 516

Sahny Pratama 483

Saiful Hakim 171

Saini K. M. 20, 185, 364

Sal Murgiyanto 19, 64, 75, 77, 79, 80,

89, 95, 99, 109, 110, 114, 139, 143,

173, 177, 180, 182, 217, 266, 267,

272, 276, 279, 282, 283, 293, 298,

306, 325, 326, 342, 358, 364, 366,

376, 394, 438, 451, 468, 488, 508,

525, 548, 571, 604, 654, 655, 656,

657, 658, 659, 663, 666

Salim Said 41, 45, 52, 283, 299, 655

Sam Si Tak 147

Samuel Rustandi 643, Sul

Sandra Lodrigus 139

Santi Ardati 262, 297, 566


INDEKS

xli

Sapardi Djoko Damono 20, 26, 31, 57,

106, 277, 406, 422, 433, 496, 555,

563, 569, 587, 607, 616, 642, 643,

646, 665

Sardono W. Kusumo 3, 6, 7, 9, 10, 15,

17, 19, 26, 37, 42, 62, 64, 73, 77, 79,

80, 81, 89, 100, 108, 110, 112, 113,

116, 143, 144, 152, 165, 166, 173,

177, 185, 216, 228, 247, 254, 262,

267, 282, 288, 291, 306, 314, 316,

326, 331, 332, 333, 343, 344, 375,

383, 384, 392, 408, 414, 427, 433,

434, 438, 444, 463, 467, 469, 473,

481, 484, 522, 525, 528, 554, 555,

575, 590, 600, 603, 630, 653, 654,

656, 658, 659, 661, 662

Sarnadi Adam 231, 299

Sastha Sunu 407, 461, 541, 637, 666

Sasya Tranggono 610

Sawardiman 142

Sawung Jabo 361, 450

Sekar Arum 638, 641

Sekar Ayu Asmara 272, 371

Semsar Siahaan 296, 316

Sena Utoyo (Sena A. Utoyo) 78, 84,

122, 156, 157, 162, 172, 183, 207,

208, 213, 215, 220, 226, 228, 234,

236, 246, 248, 266, 267, 288, 303,

312, 330, 333, 362, 370, 391, 568,

666

Sena Didi Mime 155, 157, 207, 208,

213, 215, 219, 220, 248, 257, 266,

273, 303, 312, 370, 391, 402, 436,

459, 505, 508, 519, 521, 524, 568,

658, 661, 663, 666

Seno Gumira Ajidarma 283, 305, 336,

441, 448, 466, 542, 569, 575, 579,

582, 583, 589, 590, 591, 592, 593,

596, 598, 601, 608, 612, 613, 620,

621, 623, 626, 629, 636, 638, 640,

644, 666

Seno Joko Suyono 458, 525, 533,

543, 633, 663, 664, 666

Sentot Sahid 363, 407, 461, 666

Sentot Sudiharto 9, 14, 17, 19, 23, 41,

42, 57, 61, 70, 74, 77, 88, 99, 100,

173, 244, 246, 285, 342, 343, 368,

384, 398, 409, 571, 653

Setiawan 35, 125, 221

Setiawan Djody 234, 243

Setiawan Sabana 196, 225, 317, 369,

466

Sha Ine Febriyanti 327

Shanty Harmayn 487

Shereen 544

Sherina Munaf 482

Sigit Tri Hardianto 582

Sigit Wicaksono 221, 244, 328

Simon Simorangkir 190, 204, 238,

311, 346

Singgih Hertanto 221

Sita D. Subijakto 178

Siti Adiyati 65, , 178, 229, 661

Siti Ajeng Sulaiman 468

Siti Artati 263, 406, 666

Siti Farida Srihadi (Farida Srihadi)

191, 203, 212, 225, 229, 232, 234,

238, 262, 317, 466

Siti Nurhaliza 271

Siti Turmini 564, 582

Sitok Srengenge 434

Sitor Situmorang 118, 297

Sjuman Djaya 43, 51, 72, 166, 167,

186, 189, 200, 447, 558

Slamet Abdul Sjukur 55, 61, 70, 73,

74, 76, 81, 90, 125, 127, 152, 158,

173, 185, 203, 258, 282, 304, 316,

383, 468, 540, 602, 653, 654

Slamet Gundono 408

Slamet Rahardjo (Slamet Rahardjo

Djarot) 166, 180, 186, 233, 320,

363, 417, 496, 510, 555, 583, 593,

642, 643

Slamet Sukirnanto (Slamet

Soekirnanto) 20, 72, 81, 295

Soedharnoto 26

Soegianto S.W. 73

Soemardjono (Soemardjono Demang

Wiryokusumo) 36, 41, 45, 52, 91,

100, 174, 653, 655, 659

Soenaryo S. T. 45

Soeparto 21

Soetomo Gandasoebrata (Soetomo

GS) 166, 276, 284, 291, 329, 352,

487, 659

Soleh Ruslani 329

Sonny Muchlison 264, 582, 647, 666

Sonny Sumarsono 120, 288, 331, 357,

358

Sonya Sondakh 588

Sri Fariyanti Pane 558

Sri Mulyani 468

Sri Rezeki 178

Sri Warso Wahono 165, 190, 191, 193,

212, 238, 272, 294, 295, 299, 328,

338, 406, 410, 658, 662

Srihadi Sudarsono (Srihadi, Srihadi

S.) 11, 15, 21, 24, 25, 33, 46, 50, 73,

86, 89, 90, 135, 146, 159,

162, 191, 193, 212, 229, 232, 238,

262, 282, 317, 415, 466, 517, 652,

653, 655, 663

Sriwidodo 6

Sriyani Hudyonoto (Sriyani) 5, 6, 10,

12, 16, 21, 90, 317, 651

Stephanus Hermawan 464, 568

Subagyo Budisantoso 461

Subarkah Hadisarjana 155, 347, 666

Subianto 530

Sudarso 12, 21, 42, 193, 585

Sudarsono 19, 651

Sudibjo D. S. 204, 254

Sudibyanto 26

Sudirman Leman 409, 418

Sudjana Kerton 231, 390

Sudwikatmono 45, 296

Sugeng 8, 19, 26, 100, 652

Suhaimi Bin Magi 139, 194, 196

Suhar Bimar 563

Suka Hardjana 29, 32, 40, 49, 70, 134,

176, 185, 228, 258, 274, 357, 364,

424, 530, 598, 652, 653, 657, 658,

659, 660, 661, 665

Sukamto 12, 15, 18, 21, 33, 50, 73, 89,

118, 123, 142, 149, 165, 196, 212,

225, 234, 276, 292, 317, 328, 338,

369, 392, 529, 611, 651, 658

Sukarji Sriman 220, 224, 262, 290,

298, 306, 325, 331, 357, 358, 370,

438, 453, 566

Sulaiman Said 491, 644, 666

Sulistyo S. Tirtokusumo 35, 119

Sumantri Sastrosuwondo 29, 49, 66,

214, 246, 661

Sumartono 165

Sunarto P. R. 15

Sunaryo 17, 60, 135, 282

Sunny Gho 556

Sunny Pranata 36, 54, 115, 132, 143,

170, 173, 178, 186, 188, 190, 191,

200, 226, 659

Suparto 6, 12, 17, 42, 70, 162, 192, 310

Supratipto 190

Supriyadi Arsyad 224, 297

Suratman 251, 437

Surjadi Kardjono 65

Surya Pernawa 17, 33, 60

Susi Harahap 550, 560

Sutardji Calzoum Bachri 42, 66, 251,

256, 274, 378

Sutarno Sutikno 93, 189, 227

Suwaji 162, 231

Suyadi (Pak Raden) 317, 526

Suyatna 383

Suyatna Anirun 78

Suzen H.R. Tobing 617, 625, 638

Syaeful Anwar 37, 67, 430, 666

Syahnagra 61, 81, 107, 144, 152, 299,

338, 410, 654

Syahreza Fahlevi Gultom 631

Syahroni 415

Syahwil 163

Syamsul B. Adnan 204, 254

Syamsul Hidayat 411

Syarif Tando 267

Syawati Amran 22

Sylvi Dwinda 641

Syu’bah Asa 20, 24, 26, 31, 423, 652,

654, 658

T

T. Ramadhan Bouqie 142

T. Susanto 77


xlii

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

Tanete Pong Masak (Tanete A. Pong

Masak) 282, 432, 441, 448, 470

Tantio Adjie (Tantio Adjie Aryanto)

190, 204, 245, 346, 430, 527, 556,

592, 611

Tanwir Andi Ngaru Pettalo 152

Tara Sosrowardoyo 296, 439, 666

Tarmizi Firdaus 81, 177, 251, 430, 527

Tatiek Maliyati 49, 131, 160, 244, 292,

297, 300, 315, 524

Taufik Abdullah 53, 188

Taufiq Ismail 2, 16, 20, 22, 24, 30, 33,

35, 41, 48, 54, 55, 60, 62, 66, 107,

216, 249, 251, 256, 274, 278, 298,

307, 316, 654

Teguh Karya 6, 78, 100, 107, 110, 131,

166, 167, 183, 233, 336, 354, 365,

393, 426, 447, 457, 489, 496

Teguh Ostenrik 290, 294, 453, 485,

535

Tetet Srie W.D. 139, 140, 285

Teungku Haji Adnan 268

Thoersi Argeswara 530, 628

Tian Reffina Hidayat 563

Tino Sidin 562

Tita Salina 425

Titiek Puspa 271

Titien Wattimena 541, 595, 628, 643,

647

Titin Baktir 190

Titis Jabaruddin 531, 663

Toeti Heraty 153, 188, 191, 232, 266,

274, 288, 290, 291, 306, 315, 316,

337, 406, 409, 415, 616

Tohpati 313, 371, 618

Tom Ibnur (Arison Ibnur Ibrahim) 110,

148, 153, 156, 164, 170, 177, 179,

182, 184, 194, 207, 221, 240, 266,

272, 280, 292, 307, 311, 314, 317,

325, 337, 342, 357, 384, 390, 398,

438, 468, 488, 506, 508, 519, 525,

548, 571, 604, 638, 640, 659, 661,

666

Tommy F. Awuy 302, 377, 378, 388,

395, 410, 628

Tommy Haryanto 147

Tommy Soemarni 43

Tony Haryanto 262

Tony Prabowo 108, 137, 211, 220,

290, 342, 364, 371

Torro Margens 34, 186, 297

Toto Riboedijanto 16, 81, 135, 152,

165

Toto Sudarto Bachtiar 27, 310, 374,

377

Tri Aru Wiratno 219, 221, 238, 438,

527, 532, 592, 611

Tri Sapto 14, 19, 32, 34, 164, 218, 224

Triesasongko 258

Trika J. Simanjuntak 474

Trinawangwulan 177, 212

Tris Neddy Santo 351, 369, 408, 430,

458, 462, 485, 527, 536

Trisno Sumardjo 12, 69, 193, 505

Trisutji Kamal (Trisutji Djuliati Kamal)

8, 76, 93, 100, 114, 134, 228, 246,

254, 285, 289, 294, 304, 318, 319,

336, 343, 350, 356, 372, 373, 400,

444, 506, 657

Trubus 193

Turino Junaedy 45

U

Ufa Sofura 630

Ugeng T. Moetidjo 219, 221, 238

Ugo Haryono 35, 77, 81, 84, 91, 107,

118, 135, 152, 177, 191, 195, 212,

218, 280, 299, 302, 328, 375, 406,

453, 456, 527, 654, 660, 661

Ujang Maman 313

Ully Sigar Rusady 216

Umar Kayam 10, 11, 13, 19, 21, 81,

102, 146, 155, 188, 222, 276, 279,

295, 651, 661

Umar Widodo 321

Umbu Landu Paranggi 282

Umi Dachlan 21, 317

Usil Susilo H. S. 34, 41

Usman Gumanti

Utoyo Hadi 294

Utut Hartono 281

V

Vina Panduwinata 271

Vino G. Bastian 635

Virginia Pangaribuan 325, 348

Vredi Kastam 20

W

W.S. Rendra (Rendra) 8, 14, 56, 62,

72, 118, 156, 162, 188, 230, 236,

251, 256, 275, 276, 309, 316, 354,

379, 400, 426, 658

Wagiono Sunarto 73, 89, 206, 272,

514, 518, 527, 528, 555, 560, 564,

611, 661

Wahyoe Wijaya 152, 177

Wahyu Sihombing 6, 32, 34, 37, 41,

49, 56, 122, 123, 131, 132, 135, 156,

157, 160, 162, 167, 172, 183, 185,

188, 199, 201, 205, 206, 229, 236,

246, 297, 300, 315, 327, 351, 447,

492, 583, 653, 658, 662

Wahyu Tri W. 221

Wahyu Waskito 369

Wahyuni H. D. 430

Wakidi 169, 251, 383

Walid Syarthowi 515, 536, 579, 592,

633

Warsito 45, 90, 146

Wenceslaus de Rozari 465, 666

Wenny Iskandar 430

Whani Darmawan 617, 633

Wicaksono Wisnu Legowo 257, 490

Widayat 11, 90, 146, 162, 292, 310,

410, 466

Widyarini 142, 143, 144, 657

Wignya Hambeksa 7

Wijatna Hariadi 6

Wiji Thukul 256, 493, 634

William Chandra 512

Wim Umboh 43, 160, 305

Windradiati 8, 178

Wiranti Tedjasukmana 203, 225, 229

Wiratmo Soekito 20, 132, 247, 316,

652, 657, 658, 662

Wisaksono 33, 50, 73, 89

Wiwiek S. Nana 37

Wiwiek Sipala (Wa Ode Siti Marwiyah

Sipala) 40, 47, 57, 61, 65, 66, 79,

89, 98, 100, 115, 136, 139, 144, 177,

184, 210, 218, 221, 224, 290, 292,

304, 310, 325, 343, 370, 378, 384,

388, 398, 433, 451, 453, 525, 554,

661, 666

Wiwiek Widyastuti 119, 357, 554

Wiyoso (Wijoso) 17, 33, 50, 73, 92

Wiyoso Yudoseputro 89, 103, 147,

187, 197, 211, 234, 278, 289, 415,

464, 571

Wregas Bhanuteja 555, 559, 573, 583,

638, 639, 641, 666

Y

Yadi Sugandi 355, 445, 666

Yan Berlin 176

Yandy Laurens 527, 530, 555, 597,

638, 639, 643, 647

Yani Mariani Sastranegara 141, 404,

476, 666

Yanna W.S. 147

Yayat Surya 395

Yayu Unru (Yayu A.W. Unru) 207, 215,

220, 248, 370, 436, 459, 508, 524,

526, 568, 638, 640, 647, 666

Yazeed Djamin 19, 185, 227, 651, 666

Yenny Muliaty 143, 159, 190, 194, 214,

226

Yola Yulfianti 422, 436, 474, 492, 516,

525, 528, 546, 559, 566, 603, 607,

615, 629, 630, 642, 643

Yori Antar 434

Yudhi Suryoatmojo 522

Yudhistira A.N.M. Massardi 249, 256

Yudi Datau (Surajudin Datau) 359,

445, 638, 641, 643, 647, 667

Yuki Aditya 630

Yulia Muid 102

Yulianti Parani (Julianti Parani) 14,

15, 22, 29, 32, 36, 40, 49, 54, 57, 66,

79, 89, 92, 106, 115, 159, 184, 189,

221, 295, 297, 324, 331, 343, 357,

488, 551, 583, 588, 629, 630, 660


INDEKS

xliii

Yulianto Krisbiantoro 281, 311

Yuliati Trisariningsih 178

Yully Puspita Sari 638, 641

Yuni Suwandono 88

Yuniati 422

Yunus Pasolang 461, 489, 541, 667

Yusuf Affendi 17, 27, 33, 50, 73, 89,

118, 138, 165, 288, 415, 466, 652,

656, 657, 658, 659, 661

Yusuf Susilo Hartanto 519

Yuyun Kusumadinata (Yuyun K.) 94,

102, 130

Z

Zaelani Idris 40, 48, 74, 82

Zaenuddin Soleman 463

Zaini 5, 6, 10, 11, 12, 15, 16, 19, 21, 33,

42, 44, 46, 50, 68, 146, 310, 390,

466, 651, 652, 653, 654

Zee Zee Shahab 609, 642, 643

Zhafran Solichin 641

Zoraya Perucha 205

Zuryati Zubir 184

Zyckra Ayoub 297

INSTITUSI, ORGANISASI,

KELOMPOK, DAN MEDIA MASSA

A

A Mild Live Production 456, 467

Adoramus Choir Tarakanita 473

Akademi Musik LPKJ 8, 13, 19, 28,

64, 66, 69, 77, 78, 90, 93, 95, 108,

112, 114, 127, 651

Akademi Samali 556, 569, 575, 581,

597

Akademi Sinematografi LPKJ 25, 36,

41, 45, 52, 55, 60, 73, 78, 91, 95,

100, 102, 106, 233, 305

Akademi Tari LPKJ 5, 10, 14, 15, 19,

20, 22, 31, 32, 34, 36, 37, 40, 48,

50, 57, 66, 74, 76, 79, 82, 92,

94, 106, 653, 655

Akademi Teater LPKJ 24, 27, 35, 57,

65, 78, 80, 583

Animal Pop Family 334, 554, 556,

601, 647

Ansambel Talabama 108, 656, 540,

554, 558, 600, 614, 647

ANTeve (ANTV) 300, 338, 486, 490,

512, 521, 547

Art Brut ID 600

Art Council Tokyo 576

Artland 578

ASDRAFI (Akademi Seni Drama &

Film) 167, 327

Asian Broadcasting Union 482

Asian Cultural Council 376, 468

ASKI (Akademi Seni Karawitan

Indonesia) Padangpanjang 22,

119, 228, 245, 279, 337

Asosiasi Boga Jasa Indonesia 595

Asosiasi Desainer Grafis Indonesia

(ADGI) 170, 565, 581, 605, 663,

666

Asosiasi Importir Film Gabungan

Penguasaha Bioskop Seluruh

Indonesia 174, 198

Asosiasi Masyarakat Korea di

Indonesia 560

Asosiasi Produser Film Indonesia

322

ASPRODI (Asosiasi Program Studi

DKV Indonesia) 622

ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia)

Yogyakarta 13, 60, 70, 92, 98, 99,

171, 207, 221, 236, 238

Association Culturelle d’Echanges

Internationaux 179

ASTI (Akademi Seni Tari Indonesia)

Bandung 89, 136, 149, 158, 171,

176, 197, 214, 273, 274, 279,

293

ASTI (Akademi Seni Tari Indonesia)

Denpasar 89, 120, 148, 176, 228

Astra 468

Asuransi Wahana Tata 474, 490

Audisindo 116

Australia Council 84, 270

Australia-Indonesia Institute (Institut

Australia-Indonesia) 251, 270, 619

Australian Film Archive 306

B

Babibuta Films 454

Bagito 461

Bakrie Budaya 468

Bakrie Investindo 296

Bakti Budaya Djarum Foundation

524, 583, 595, 596, 600

Balai Kota Jakarta 30, 46

Balai Sarbini 625

Balai Seni Rupa Jakarta 42, 139, 154

Bandempo 421

Bandung Performing Arts Forum 615

Bangkok ASEAN Film Festival 252

Bank Dagang Nasional Indonesia 296

Bank Mandiri 548, 571, 584

Bank Rakyat Indonesia 266

BBJ (Balai Budaya Jakarta) 11, 16, 28,

168, 169, 191, 205, 244, 245, 251,

298, 659

Bekraf (Badan Ekonomi Kreatif) 556,

569, 571, 574, 577, 584, 585, 591,

601, 603, 604, 612, 622, 623,

629

Bekraf Creative Lab 584, 591, 622,

623

Bengkel Deklamasi Jakarta 249, 251,

367

Bengkel Pelukis Jakarta 28, 78, 87,

107, 230 654, 656

Bengkel Teater Rendra 56, 72, 275,

285, 364, 423

Bengkel Teater Tarakanita 473

Bentara Budaya Jakarta 198, 267,

390, 419, 466, 575, 579, 606, 627

Bentara Budaya Yogyakarta 390

Benteng Vredeburg 498

Berlin Senate 519

Bidadari Cikini 594, 597

Bilik Budaya Kashita Smarandhana

243

Bintaro Jaya Xchange 586

Bioskop Alternatif Surabaya 418

BKKPT (Badan Koordinasi Kegiatan

Perguruan Tinggi) 44

BKS PTSI (Badan Kerjasama

Perguruan Tinggi Seni Indonesia)

484, 499, 520, 546

BKSKMI (Badan Kerja Sama

Kesenian Mahasiswa Indonesia)

8, 13

Blitz Production 566

Bola 481

British Council 230, 273, 343, 404,

460, 522, 599, 616

Butik Musik 540

C

CAPA (CILECT Asia-Pacific

Association) 592

Caritas 143, 214, 226

CCF (Centre Culturel Français)

Jakarta 273, 303, 432

Cemeti Art House 476, 491

Center Petaling Jaya Kuala Lumpur

139

Chapman School of Music 301, 452

Chase Manhattan Bank Jakarta 46,

114

China Central Television 482

CILECT (Centre International de

Liaison des Ecoles de Cinéma et

de Télévision) 291, 311, 312, 548,

592, 614

Cimahi Creative Association 572

Cinema 21 (Cinema XXI) 385, 548,

516, 617, 636

Cinema Poetica 583

Cinevisi 116

Cipta Karya Tari 48, 61, 66, 79, 98,

653, 654, 655, 660

Ciputra World 550

Convention Hall Genting Highlands

139

Curtin University 270, 537


xliv

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

D

Dance Circle Lab 607

Deddy Luthan Dance Company 96,

477, 566

Demi Gisela Citra Sinema 199

Departemen Komunikasi dan

Informatika 475

Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan 364, 560, 657, 660

Departemen Perindustrian 248

Departemen Seni Rupa ITB (Institut

Teknologi Bandung) 60, 98

Departemen Seni Rupa LPKJ (IKJ)

115, 125, 138, 144, 146, 149, 153,

159, 163, 168, 171, 174, 175,

187, 219, 225, 229, 231, 244, 245, 246,

571

Depot Kreasi Seni Bandung 58

Deppen (Departemen Penerangan)

45, 51, 167, 174, 181, 198, 286, 320,

322

Deskovsketchers IKJ 597

Dewan Kesenian Medan 31, 148

Dewan Kesenian Padang 430

DFN (Dewan Film Nasional) 174, 198,

292, 312, 314

Dia.Lo.Gue 502, 623

Dinas Kebudayaan DKI Jakarta 50,

119, 176, 180, 182, 188, 191, 194,

212, 214, 218, 224, 230, 243,

267, 278, 280, 378, 401, 402, 661

Dinas Pariwisata DKI Jakarta 343,

618

Dinas Pariwisata Provinsi Jambi 390

Dinas Pertamanan DKI Jakarta 471

Direktorat Jenderal Kebudayaan RI

638

Direktorat Jenderal Pariwisata, Pos,

dan Telekomunikasi 171

Direktorat Pembinaan Perfilman 25

Direktorat Pendidikan Dasar dan

Menengah 109

Djakarta Theater 270, 405

Djarum Bhakti Foundation 522

DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) 3, 5,

6, 7, 8, 11, 12, 14, 15, 16, 17, 18, 20,

21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 31, 33, 34,

41, 42, 44, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52,

53, 56, 60, 62, 65, 68, 69, 73, 74,

75, 76, 77, 78, 80, 81, 82, 83, 85, 86,

88, 89, 90, 93, 95, 98, 99, 101, 104,

106, 107, 109, 110, 112, 113, 114,

118, 188, 119, 120, 123, 127, 132,

134, 135, 136, 137, 138, 140, 142,

143, 144, 145, 146, 148, 149, 152,

153, 154, 157, 159, 162, 163, 164,

165, 170, 173, 176, 177, 180, 181,

182, 183, 185, 188, 190, 191, 193,

194, 196, 197, 198, 202, 203, 204,

206, 207, 210, 211, 212, 214, 216,

218, 220, 222, 226, 228, 229, 230,

232, 234, 235, 243, 246, 266, 272,

279, 283, 289, 290, 293, 295, 296,

298, 299, 302, 307, 311, 325, 338,

354, 356, 357, 365, 369, 372, 376,

388, 398, 401, 404, 406, 410, 414,

416, 422, 430, 433, 434, 437, 438,

441, 444, 446, 447, 448, 456, 457,

459, 460, 463, 464, 466, 473, 474,

492, 500, 502, 503, 519, 527, 530,

540, 545, 547, 551, 558, 566, 568,

571, 575, 584, 587, 597, 599, 600,

602, 603, 604, 612, 619, 623, 626,

630, 636, 646, 651, 652, 652, 653,

654, 655, 656, 657, 658, 659, 660,

661, 662, 664, 666

DP Dancer 545

Drive-in Cinema 647

E

Eagle Awards 507

Eagle Institute 511

École Nationale Supérieure des

Métiers de l’Image et du Son

(FEMIS) 330

Elex Media Komputindo 585

EMAX Kemang 490

Ensemble Jakarta 29, 32, 40, 49, 134,

258, 652, 653

Erasmus Huis 31, 77, 93, 109, 114,

119, 127, 128, 129, 134, 158, 159,

172, 175, 203, 205, 317, 342, 392,

405, 406, 409, 416, 446, 447, 452,

460, 464, 468, 472, 474, 484, 534,

655, 656, 657

Erudio School of Art 618

F

Faber Castle 597

Fabriekfikr 618

Farida Feisol Dance Group 78

Federation of Motion Pictures

Producers in Asia 36

Femina 135, 264, 306, 316

FKKI (Forum Kriya Kontemporer

Indonesia) 582, 602

FKMI (Forum Komunikasi Mahasiswa

Kriya Indonesia) 606

Ford Foundation 22, 130, 180, 193,

210, 295, 376, 512

Forum Cergam 575

Forum Gitaris Klasik Indonesia 464,

472, 484, 490, 506, 512, 521, 547

Forum Keluarga Korban Mei 448

Forum Penelitian dan Pengkajian

Seni Pertunjukan Indonesia 282

Forum Pengajar Program Studi Seni

Murni FSR IKJ 592

Forum Studi Crescendo 205

Forum Studi Kependudukan dan

Lingkungan Hidup (Yayasan

Forsikal) 467

Fullbright 577

G

Galeri Cemara 388, 418, 466, 509

Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA)

340, 500

Galeri Indonesia Kaya 551, 554, 559,

571, 595

Galeri Kertas Studio Hanafi 605

Galeri Kolase 570

Galeri Lontar 374, 392, 466, 469

Galeri Milenium 411

Galeri Mon Décor 485

Galeri Nasional Indonesia 141, 260,

341, 346, 383, 405, 431, 435, 462,

476, 488, 492, 531, 549, 560,

578, 596, 621, 634

Galeri Publik 483

Galeri Senopati 147, 658

Ganara Art Space 602

Ganesha Gallery 395

Gang of Harry Roesli 58

Garuda Indonesia 402, 468

Gasfi (Gabungan Studio Film

Indonesia) 174

Gedung Budaya Jakabaring 550

Gedung Joeang 250, 394, 580

Gedung Kebangkitan Nasional 25

Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) 122,

157, 189, 221, 222, 234, 236, 240,

243, 245, 247, 254, 258, 266, 272,

273, 274, 285, 288, 289, 290, 291,

303, 306, 312, 316, 317, 318, 325,

334, 336, 342, 343, 344, 349, 357,

368, 374, 376, 384, 398, 400, 402,

428, 435, 436, 437, 438, 452, 453,

458, 459, 460, 468, 473, 477, 481,

490, 505, 508, 521, 525, 530, 538,

540, 547, 548, 564, 571, 603, 604

Gedung Sate 490

Gedung Summitmas 429, 594

Gedung Teater Tiga Dimensi TMII

(Taman Mini Indonesia Indah) 394

Gelanggang Remaja Bulungan 14,

218, 249, 401

Gelanggang Soemantri 44, 653

Gelar Nusantara 452

Gelora Bung Karno 398, 538

Genflix 637

Genootschap Nederland Indonesia

101

Genting Highlands Sendirian Berhad

139

Gerakan Seni Rupa Baru 118, 395,

549

Goethe Institut Bandung 120

Goethe Institut Jakarta 152, 157, 206,

219, 343, 425, 428, 429, 463, 477,

496, 505, 505, 516, 548, 591

Goodnight Electric 421, 478, 601

GPU (Gerakan Pelukis Universal) 420


INDEKS

xlv

Grabag TV 116, 664

Grafis Membara 483

Gramedia Pustaka Utama 587, 663

Grand Hyatt Jakarta 262, 343

Grand Indonesia 538

Grand Kemang Hotel 574

Green Radio 540, 547

Grup Pecinta Alam LPKJ 113

Grup Tari Nan Jombang 430

Gudang Garam 596

Guitar Foundation of America 301,

318, 446

Gumarang Sakti 184, 220, 237, 245,

338, 398, 451, 663

Gunagana Communication 345

H

Hero Group 296

Himpunan Mahasiswa Desain Grafis

IKJ 593

Himpunan Pengumpul Komik IKJ

404

Himpunan Wanita Australia dan

Kedubes Australia 112

HIPTA (Himpunan Pelukis Jakarta)

299

Hiroshima Museum of Contemporary

Arts 549

Hivos 468

Hope Foundation 618

Horison 302, 651

Hotel Dharmawangsa 373, 409

Hotel Kartika Chandra 410

Hotel The Westin 633

Hotel Treva 402

I

IDDC (Indonesia Design Development

Center) 565, 581

IFC (Indonesian Fashion Chamber)

577

Ikatan Alumni FFTV IKJ 541, 558, 595

Ikatan Alumni Institut Kesenian

Jakarta (INI IKJ) 583, 599, 601,

614, 647

Ikatan Lenong Jakarta 214

Ikatan Pengajar dan Pelatih Balet

(IPPB) 159, 173, 190, 202, 214, 226,

660

Ikatan Wanita Betawi 214

IKJ Dance Company 358, 370, 390,

446, 453, 519, 553, 580, 613

IKKI (Ikatan Komponis-Komponis

Indonesia) 76

INAFEd (Indonesian Film Editor) 407,

507, 637

Indonesia Teater Foundation 607

Indonesian Contemporary Gamelan

Ensemble 600

Indonesian Dance Community 566

Indosat 566

Indra TV News Agency 437

Info Screening 583, 600

Institut Australia-Indonesia 251, 270

Institut Humor Indonesia Kini 502,

616, 623

Institut Keadilan Global 483

Institut Ungu 422

Inter Studio 78, 116

Intercity Casablanca-Jakarta 319

Interlaken Theater 482

International Council of Design 581

International Design School 528

International Journal of Comic Art

277

IPGI (Ikatan Perancang Grafis

Indonesia) 129, 170

IPJ (Ikatan Pematung Jakarta) 192

ISI (Institut Seni Indonesia)

Yogyakarta 251, 270, 276, 279,

288, 298, 309, 324, 332, 340, 342,

372, 383, 386, 394, 404, 414, 424,

440, 450, 467, 484, 498, 499, 515,

520, 527, 540, 546, 547, 564, 572,

590, 597, 600, 606, 622, 627, 635

Istora Senayan 285, 621

ITB (Institut Teknologi Bandung) 5,

17, 24, 28, 56, 58, 60, 70, 92, 98,

126, 138, 159, 166, 171, 172, 190,

214, 225, 231, 232, 238, 258, 267,

288, 345, 372, 442, 462, 485, 512,

557 571, 591, 606, 622, 623, 659,

662

IVAA (Indonesia Visual Art Archive)

522, 663, 664, 666

J

Jakarta Shakespeare Theater 417

Jenggala Keramik 223

K

[Ki:] Communication 396

Kajanglako Art Centre 390

Kamengski 491, 644, 666

Kanta Indah Film 116

Karaoke World Championships

Organization 627

KBRI (Kedutaan Besar Republik

Indonesia) Maroko 319

KBRI (Kedutaan Besar Republik

Indonesia) Nairobi 485

KBRI (Kedutaan Besar Republik

Indonesia) Seoul 536

Kedai Film Nusantara 150

Kedutaan Besar Australia (Kedutaan

Australia) 112, 270, 460, 586, 589,

619

Kedutaan Besar Finlandia 422

Kedutaan Besar Italia 464

Kedutaan Besar Swedia 377

Kedutaan Besar Swiss 423

Kelompok 13+ 460

Kelompok Condet 220, 661

Kelompok Kompas Gramedia 229,

481, 500, 514, 538

Kelompok Seni Rumah Sunting 529

Kelompok Seni Time Lovers 578

Keluarga Besar Lab School 350

Keluarga Besar Studio Kriya Kayu

(Stuka) IKJ 459

Kementerian Kebudayaan dan

Pariwisata 402, 511

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi

Kreatif 522, 526, 537, 542, 590

Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan 80, 302, 546, 560,

569, 571, 574, 580, 590, 596,

602,604,

618, 620, 621, 625, 637

Kementerian Perindustrian 577, 605

Kementerian Tenaga Kerja dan

Transmigrasi 475

Keraton Ngayogyakarta

Hadiningratan 546

Kijang Group 157, 213, 658

Kineforum 472, 499, 547, 575, 600,

603

Kino Lima Audio Visual 233

Kios Tix 647

Kita Garuda 579

Klub Tari Yayasan LIA 388

KMDGI (Kriyasana Mahasiswa

Desain Grafis Indonesia) 624

KMSTI (Keluarga Mahasiswa Seni

Teater Indonesia) 627

Knossos Theater 400

komikindonesia.com 277

Kompas 129, 133, 135, 193, 500, 543,

627

Komplotan Jakarta 32°C 470, 492

Komunikatif Foundation 441,

Komunitas Cinema Society 397

Komunitas Salihara 498, 509, 543,

548, 553

Komunitas Seniman Teater Solo 610

Komunitas Seniman Yogyakarta 552

Konservatorium Musik Jakarta 418

Korea-Indonesia Cooperation Center

606

Korea-Indonesia Forest Center 544

Korean Cultural Center Indonesia

544, 569

Korean Foundation 625

KPK (Komisi Pemberantasan

Korupsi) 572, 620

Kroncong Tenggara 313

Kursus Balet LPKJ 135

Kursus Tari LPKJ 36, 76, 94, 102, 130,

143

Kyushu Sangyo University 606

L

Lain Band 421


xlvi

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

Langkan Budaya Taratak 179

Lembaga Kesenian Alam

Minangkabau 293

Lembaga Pendidikan Musik Farabi

372, 469

Lembaga Persahabatan Indonesia

Belanda 101

Lembaga Sensor Film 255, 352

Lemka (Lembaga Kaligrafi Alquran)

581

LKB Saraswati 40, 182, 653

London School of Public Relation 637

LPKJ (Lembaga Pendidikan Kesenian

Jakarta) 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12,

13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22,

23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32,

33, 34, 35, 36, 37, 40, 41, 42, 43, 44,

45, 46, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54,

55, 56, 57, 58, 60, 61, 62, 64, 65, 66,

68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77,

78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87,

88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 98, 99,

100, 101, 102, 103, 104, 106, 107,

108, 109, 112, 113, 114, 115, 116,

118, 119, 120, 123, 125, 126, 127,

128, 130, 131, 132, 134, 135, 136,

137, 138, 140, 143, 145, 150, 154,

157, 160, 162, 190, 203, 207, 208,

213, 222, 223, 227, 230, 233, 289,

301, 305, 327, 330, 426, 444, 452,

571, 583, 636, 638, 651, 652, 653,

654, 655, 656, 657, 658, 662

M

Majelis Visual 581

Malaysia Airlines 139

Mall Kelapa Gading 576, 618

Maranatha Art Space 611

Martha Tilaar 198, 437, 576

Masyarakat Seni Pertunjukan

Indonesia (MSPI) 279, 282, 295,

383, 438

Medco Energi 484, 490

Media Indonesia 235, 247, 248, 320,

321, 338, 362, 370, 374, 375, 377,

395, 396, 397, 400, 415, 419, 431,

476, 534, 658, 662, 664

Merpati Indonesia 402

Metro TV 264, 428, 486, 490, 512,

521, 547, 583, 663

Miles Films 286, 322, 387, 389, 403,

454

Miss Tjitjih 212, 313

Mitra Budaya (Lingkar Mitra Budaya)

41, 42, 80, 130, 378, 395, 661

Modern Dance Tarakanita 473

Monash University 266, 306, 441

MTV Indonesia Award 421

MUI (Majelis Ulama Indonesia) 539,

653

Museum Basoeki Abdullah 626

Museum Keramik 80

Museum Macan 557, 663

Museum Pusat 25, 144

Museum Sejarah Jakarta 523, 538

Museum Seni Rupa dan Keramik 466,

552

Museum Tekstil 80, 632

Museum Wayang 60, 80, 126

N

Naif 360, 421, 478, 480, 556, 614

Namarina 143, 159, 190, 214, 226,

333, 597, 660

Nanyang Academy of Fine Art 164

Nanyang Technology University 538

Nasional Demokrat 510

Nastiti Food Solution 618

National Guitar Orchestra 490, 506,

512, 521

National Institute of Arts, Taipei,

Taiwan 358

National Museum of Singapore 439

National Theatre Dance Circle 164,

658

National Theatre Trust 164

Ndalem Kemlayan Surakarta 427

NETPAC (Network for the Promotion

of Asian Cinema) 592

New Jakarta Ensemble 342, 371

Ngeksi Gondo 143, 149

Noken Lab 517, 619

Nuansa Indonesia 191, 212, 229, 262,

661, 662

Nusantara Chamber Orchestra 227

O

O Channel 490

Omega Production 444

Optima Karya Desain 578

Otomotif Group 481

P

Pabrik Kultur 575

Padepokan Apel Watoe 431

Padepokan Lemah Putih 275

Padneçwara 45, 88, 110, 198, 343,

368, 390, 437, 462, 548, 564, 566,

596, 619

Paperina 575, 579, 584, 597

PARFI (Persatuan Artis Film

Indonesia) 12, 35, 72, 78, 174, 181,

244, 256, 653, 654

Partai Demokrasi Indonesia (PDI)

322

Pasar Seni Ancol 80, 87, 137, 244,

485, 500, 514, 515

Paulinart Art Space & Studio 464

PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa)

102,365, 367, 420, 634

PDS (Pusat Dokumentasi Sastra)

H.B. Jassin v, xi, 153, 422

Pemerintah Daerah Kotamadya

Cimahi 572

Pemerintah Daerah Malang 579

Pemerintah Daerah Provinsi Riau 486

Pemerintah DKI Jakarta 30, 35, 272,

357, 468, 518, 540, 571, 612, 613

Pemerintah Kabupaten Kutai Barat

453

Pemerintah Kota Batu 612

Pemerintah Provinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta 498

Penataran Tari Rasa Dhvani 37

Penerbit Mizan 567

Pengembang Perumahan Citra Raya

447

Perfin (Peredaran Film Indonesia)

174

Perguruan Cikini 93, 350, 392, 469,

506

Perhimpunan Masyarakat Hak Atas

Kekayaan Intelektual Indonesia

337

Perhimpunan Persahabatan

Indonesia Amerika (PPIA) 187, 350

Perkumpulan Pencak Silat 29

Perkumpulan Program Studi Film

dan Televisi Indonesia (PROSFISI)

590

Perkumpulan Silat Bangau Putih 223

Perpustakaan Nasional RI 612

Persatuan Karyawan Film dan

Televisi Indonesia 205

Persatuan Mahasiswa Jepang-

Indonesia 247

PERSEGI (Persekutuan Seniman

Gambar Indonesia) 77, 142

Pertamina 11, 17, 21, 31, 143, 149,

192, 526, 613, 645, 651, 652

PFN (Perusahaan Film Negara) 12,

166

Planet Senen 367

Plaza Senayan 397, 447, 473

PPCI (Paguyuban Pencinta Cat Air

Indonesia) 435

PPFI (Persatuan Produser Film

Indonesia) 12, 174, 181, 314

Program Bimbingan Anak

Sampoerna 396

Provoke! 509, 523

PT Caltex Pacific 135

PT Ciputra Residence (Ciputra

Group) 447, 550

PT Elang Perkasa Film 548

PT Formis Solusi Indonesia 396

PT Gapura Raya 317

PT HM Sampoerna 477

PT Jaya Raya 135

PT Jelang Era Global 420

PT Medco 296

PT Pop Con Asia 585

PT Putra Alvitra Pratama 331


INDEKS

xlvii

PT Sinema Utama 270

PT Surya Citra Media (SCTV) 110,

300, 412, 524, 635

PT Taman Wisata Candi Borobudur,

Prambanan, & Ratu Boko 326

Pusat Budaya Korea-Indonesia 560

Pusat Kajian Naratif Visual (FSRD

IKJ) 502, 575, 578, 579, 580, 586,

623, 643

Pusat Kebudayaan Jepang 204, 208,

210, 222, 243, 274, 383, 429

Pusat Kebudayaan Rusia 379, 422

Pusat Kesenian Jakarta 3, 188, 279,

388, 406, 571

Pusat Latihan Tari Bagong

Kussudiardja 20

Pusat Penelitian dan Pengembangan

Kesenian Rakyat Jakarta 29, 49

Pusat Perfilman H. Usmar Ismail 45,

55, 202, 204, 283, 284, 358, 405,

412

Putik Cipta (Kursus Seni Rupa IKJ)

166

R

Radio Prambors (Prambors) 168,

481, 500, 514

Ratu Plaza Jakarta 304, 318

Republika 307, 316, 413

Revata Cipta Kreasi 556, 569

Rotterdam Conservatorium 58

ruangrupa 393, 440, 470, 492, 522,

549, 557

Rumah Aktor Indonesia 637

Rumah Budaya Tembi 510, 546

Rumah Musik Harry Roesli 58, 664

Rumah Tahanan Negara Pondok

Bambu 552

Russ Art 583

S

S. Sudjojono Center 538

Saardi Norman Music & Film Prod. 49

Sahabat Seni Nusantara 644

Saitama Arts Theatre 340

Sampoerna 396, 402, 437, 477

Sanggar & Studio Musicasa 540

Sanggar Anak Akar 469, 555, 634

Sanggar Argahari 148, 156, 182, 184

Sanggar Aruni 184

Sanggar Balai Seni Rupa Jakarta 154

Sanggar Seni Langlang 469

Sanggar Susvara 78, 187

Sankara Group 88, 655

Santi Fine Arts Gallery 310

Sarasvati 548

Sasana Krida 204

Satu Merah Panggung 304, 316, 327,

365

Savannah College of Arts and Design

431, 475

Sawo Kecik 495, 582, 666

SEETF (Sentul Eco-Edu Tourism

Forest) 544

Sekolah Menengah Seni Rupa

(SMSR) Yogyakarta 168

Sekolah Pascasarjana IKJ 563, 569,

577, 583, 584, 587, 603, 606, 607,

614, 615, 618, 619, 630, 631, 642,

643

Sekolah Perguruan Cikini 469

Sekolah Seni Rupa Paris 147

Sekte Komik 397, 440, 556

Serikat Pengusaha Reklame Jakarta

492

Shanghai Theatre Academy 520

Sinar Harapan 12, 14, 16, 35, 36, 40,

57, 62, 75, 78, 99, 102, 113, 125,

130, 140, 152, 153, 162, 185, 194,

195, 434, 456, 459, 460, 474, 548,

651, 652, 653, 654, 655, 656, 657,

658, 659, 660

Sinema 8 51, 52, 653

Sinemaflex 643

Sinemata 188, 390, 660

Singapore Broadcasting Corporation

164

Singapore International Film Festival

252, 286, 322, 409

Singapore Ministry of Culture 164

Society for American- Indonesian

Friendship Inc 65, 654

Somalaing Art Studio 38, 440, 634

STK (Sekolah Tinggi Kesenian

Wilwatika 332, 484, 499, 520, 546,

610

STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia)

Bandung 340, 404, 424, 484, 486,

499, 520, 527, 540, 546

STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia)

Surakarta 258, 272, 279, 291, 309,

332, 366, 376, 386, 404, 424,

450, 468

Studi Klub Teater Bandung 447

Suara Pembaruan 220, 245, 288, 290,

291, 310, 344, 348, 365, 374, 394,

414, 661, 662

Sumber Cipta 132, 143, 153, 159, 173,

190, 214, 226, 234, 245, 324, 325,

469, 474, 619, 660, 662

Summarecon Kelapa Gading 576

Surabaya Full Music 412

Surya Kirana 388

T

Taman Budaya Kalimantan Selatan

532

Taman Budaya Padang 162, 430

Taman Budaya Surakarta 365, 446

Taman Budaya Yogyakarta 386, 460,

468, 546

Taman Fatahillah 80

Taman Impian Jaya Ancol 243, 448,

463, 473, 481, 514

Taman Musik Dian Indonesia 271

Taman Sanken Museum Nasional

400

Taman Siswa 61, 144, 222, 654, 657

Tampere Film Festival 409

Teater Adinda 367

Teater Aristokrat 365, 447, 471, 583

Teater ATC (Atlantis Total

Communications) 284

Teater Gapit 307, 447

Teater Hapon 510

Teater Hitam 157, 235, 658, 662

Teater Kaki Lima 43

Teater Keliling 43, 67, 106, 610, 658,

663, 666

Teater Kita 532

Teater Koma 67, 150, 155, 157, 162,

208, 213, 342, 343, 347, 417, 509,

642, 643, 666

Teater Lembaga 32, 37, 49, 56, 57, 69,

78, 84, 91, 106, 122, 123, 131, 156,

157, 172, 183, 201, 213, 236, 247,

310, 325, 327, 330, 338, 361, 365,

374, 377, 400, 444, 458, 583, 652,

653, 654, 655, 656, 657, 658, 659,

662, 664

Teater Makassar 447

Teater Populer xxii, 166, 354, 409,

447, 457, 496

Teater SMAS (Situasi Masyarakat)

157, 263

Teater Suaka 157, 204, 212, 244, 660

Teater Tanah Air 367, 433, 438, 441,

450, 469, 583, 665

Teater Utan Kayu 348, 370, 414, 468

Televisi Pendidikan Indonesia (TPI)

299, 300, 333

Tempo 8, 135, 254, 262, 303, 315, 413,

476, 496, 539, 658, 664, 665

Tempoa Art Gallery 620

Tennis Indoor Senayan 412, 423

Tenun Baron 513

The Berlin House of World Cultures

519

The Brandals 421

The Goodlife 570

The Jadugar 421, 663

The Jakarta Post 38, 341, 344, 346,

476, 628, 663, 664, 666, 667

The Pakubuwono Residence 452

The Society for American Indonesian

Friendship Inc 106

The Upstairs 421, 456, 467, 480, 481,

601, 614

TIM (Taman Ismail Marzuki) 3, 9, 51,

63, 67, 71, 83, 104, 150, 189, 215,

259, 260, 263, 275, 321, 327, 334,

367, 398, 441, 452, 463, 549, 652,

655, 660, 664, 666


xlviii

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

TMII (Taman Mini Indonesia Indah)

79, 310, 394, 624

Toneelschool Arnhem (Belanda) 318

Tuksongo Visual Arts House 431

U

UNESCO 13, 99, 102, 134, 312, 349,

376, 553, 566, 610, 632, 665

United States Information Service

(USIS) 163

United States-Indonesia Society

(USINDO) 588

Universitas Bina Nusantara 584

Universitas Indonesia 8, 110, 179,

232, 277, 284, 302, 308, 329, 345,

357, 360, 379, 432, 470, 475,

651, 666

Universitas Negeri Jakarta (IKIP

Jakarta) 214, 308, 309, 340, 420,

466, 470, 552

Universitas Negeri Padang (IKIP

Padang) 332, 624

Universitas Pelita Harapan 301, 372,

450, 466, 474, 484, 490, 512, 521,

552, 637

Universitas Tarumanegara 41, 345,

581, 635

Universitas Trisakti 8, 41, 44, 138,

171, 267, 288, 308, 322, 552, 609

Universitas Widya Mandala 418

Université Sorbonne Nouvelle 470

University of Wisconsin-Madison 371

Urban Art Forum 555, 607

V

Versus 509

Visinema 355, 535

Visious Studio 565

Visual Arts 509, 519

W

Wahaya Citra Budaya Indonesia 245

Walet Dance Company 485

Wayang Orang Bharata v, 212, 349,

665

White Shoes & The Couples

Company 393, 421, 478, 480, 601,

647

Wiener Internationale Festwochen

298

Y

Yamaguchi Center for Arts and

Media 549

Yamaha Music 301

Yayasan Budaya Pro Helvetia 423

Yayasan Citra 181, 204, 247, 661

Yayasan Gema Patriot 11

Yayasan Indonesia 12, 17, 545, 551

Yayasan Indonesia Lebih Baik (Daya

Lima) 545, 551, 643

Yayasan Karta Pustaka 109

Yayasan Kelola 398, 477, 546

Yayasan Kesenian Jakarta 267, 270,

274, 296, 306, 317, 325, 376, 408,

410, 532

Yayasan Mahabhodi 184

Yayasan Omah Munir (Yayasan

Museum HAM Omah Munir) 612,

625

Yayasan Padamu Negeri 288

Yayasan Peduli Indonesia Makmur

510

Yayasan Pekerti 76, 101, 138, 654

Yayasan Pendidikan Musik 203, 301,

428, 474, 484, 490, 521

Yayasan Pengembangan Disain

Kerajinan Indonesia 236

Yayasan PopCorner Indonesia 396

Yayasan Ratna Budhaya 94

Yayasan Sains Estetika Teknologi

252

Yayasan Saraswati 109

Yayasan Seni Tradisional 108

Yayasan Seni Visual Indonesia 483,

653, 659, 664, 666

Yayasan Taratak 483

Yayasan Tifa 612, 625, 665

Yayasan Ulurkan Tanganmu 377

Yogyakarta Gamelan Festival 386

YSBJ (Yayasan Seni Budaya Jakarta)

571, 582, 583, 593, 602, 604, 614,

629, 642

YSRI (Yayasan Seni Rupa Indonesia)

315, 372, 485, 596

KARYA

#

#Ibuibuibukota (Yola Yulfianti, 2015)

559

A

A Piece of Hope (Syahreza Fahlevi

Gultom, 2019) 631

A Very Slow Breakfast (Edwin, 2002)

454, 461

Aach... Aku Jatuh Cinta (2015) 255

Abimanyu Gugur (Retno Maruti &

Sulistyo Tirtokusumo, 1976) 45,

198, 306, 566, 653, 660

Absolute Zen? (Gatot Prakoso, 1983)

186

Ada Apa Dengan Cinta? (Rudi

Soedjarwo, 2001) 286, 322, 387,

403, 410, 448, 465

Ada Apa Dengan Cinta? 2 (Riri Riza,

2016) 286

Air dan Romi (Garin Nugroho, 1991)

252

Akan Jadi Malam (Jefriandi Usman,

2008) 275

Akkarena Sombali (Wiwiek Sipala,

2010) 47

Aku Ingin Menciummu Sekali Saja

(Garin Nugroho, 2002) 252, 441

Alangkah Lucunya (Negeri Ini) (Deddy

Mizwar, 2010) 199

Alexandria (2005) 507

Anak-Anak Lumpur (Danial Rifki,

2009) 514

Anak Seribu Pulau (Riri Riza & Mira

Lesmana, 1996) 286

Archive of Violence (Irwan Ahmett,

2019) 425

Arie Hanggara (Frank Rorimpandey,

1985) 43, 199

Around the World with Shafira (Sonny

Muchlison, 2007) 264

Atas Angin (S. Trisapto, 1993) 292,

447

Athirah (Riri Riza, 2016) 286, 322, 389

Awan Bailau (Tom Ibnur & Deddy

Luthan, 1984) 110, 148, 177, 659

Ayat-ayat Cinta (Hanung Bramantyo,

2008) 457, 555

B

Bala: Restoration of Behaviour (Irfan

Setiawan, 2018) 595

Balet Folklorik Pendekar Perempuan

(Yulianti Parani, 1977) 57, 654

Ballet Gunung Agung Meletus (Farida

Oetoyo, 1979) 100, 110, 159, 655

Back Up! (Wawan Lewono Suwanto)

641

Bangsal 13 (2004) 403, 465, 489

Batik ing Banten (Sonny Muchlison,

2018)

Bayi Tabung (Nurhadie Irawan, 1989)

232

Bebek Liar (Teater Lembaga, 1980)

132, 690

Becak (Sena Didi Mime, 1987) 207,

208, 213, 219, 248, 661

Becak B Kompleks (Sena Didi Mime,

1990) 246, 248

Being Islamic in Music (Nyak Ina

Raseuki, 2017) 588

Beth (Aria Kusumadewa, 2000) 385,

390

Bingkai Gading (Didi Petet, 1997) 131,

336

Bingkisan untuk Presiden (Aria

Kusumadewa, 1999) 385, 397

Bom Bali I (Daniel Rudi Haryanto,

2004) 511

Brownies (Hanung Bramantyo, 2004)

457, 461


INDEKS

xlix

Bujang Panjudi (Teater IKJ, 1994) 308

Bukan Mimpi (Fitri Anggraini) 553

Bulan Kerkaca (Wiwiek Sipala, 1993)

292

Bulan Tertusuk Ilalang (Garin

Nugroho, 1995) 252, 314, 329, 336

Bulu-bulu Cendrawasih (Nurhadie

Irawan, 1979) 102, 656

Bumi Manusia (Hanung Bramantyo,

2019) 457, 628

Bung Besar (Bambang Budi Santosa,

1980) 62, 125, 220, 657, 661

Burisrawa Rante (S. Kardjono, 1977)

65, 654

C

Ca Bau Kan (2001) 407

Cak Rina (Sardono W. Kusumo, 1976)

42, 247, 653

Calon Arang (I Wayan Diya, 1977) 55

Carmina Burana (Farida Feisol, 1976)

34, 653

Catatan Harian Si Boy (2011) 489, 507

Catatan Si Boy (1987) 208, 229

Catatan Si Emon (1991) 208

Cinta Abadi (Wahyu Sihombing, 1976)

199

Cinta Anak Zaman (1988) 208

Cinta dalam Sepotong Roti (Garin

Nugroho, 1991) 167, 252, 255

Cintaku di Rumah Susun (1987) 150,

255

Circle of Bliss (Sukarji Sriman, 1991)

298

Classroom (Sena Didi Mime, 2016)

215, 568

Connected (Putri Ayu Wulandira) 641

D

Dajang Soembi, Perempuan jang

Dikawini Andjing (Edwin, 2004)

454

Dasar-dasar Apresiasi Film (Marselli

Sumarno, 1996) 133

Daun di Atas Bantal (Garin Nugroho,

1997) 252, 385

Denias, Senandung di Atas Awan

(2006) 359

Dewabrata (Retno Maruti, 1997) 342,

343, 596

Di atas Kursi Busa (Benny

Krisnawardi, 1994) 297

Di Atas Rel Mati (Nur Fitriah & Welldy

Handoko, 2006) 486, 507

Di Bawah Kubah Langit (Tom, Ibnur,

1992) 240, 272

Di Mana Saya? (Anggun Priambodo,

2008) 421

Ditunggu Dogot (Prodi Teater IKJ,

2020) 639, 642

Dolorosa Sinaga: Tubuh, Bentuk,

Substansi (Citra Smara Dewi,

2020) 531, 634

Don Juan (Milan Sladek, 2010) 505

Dongeng dari Dirah (Sardono W.

Kusumo, 1974) 19, 254, 282, 392,

603, 652

Dongeng Kancil untuk Kemerdekaan

(Garin Nugroho, 1999) 252

Dongeng si Kancil (Garin Nugroho,

1995) 326

Driyarkara, Filsuf dari Kedunggubah

(Marselli Sumarno, 2013) 535

E

Eat Shit and Die (Awan Simatupang,

2017) 259

Eiffel, I’m in Love (Nasri Cheppy,

2003) 407

Eliana, Eliana (Riri Riza, 2002) 286,

407

F

Fariasi Minang (Farida Feisol, 1976)

34, 653

G

Get Married (Hanung Bramantyo,

2007) 457, 461, 486

Gandik (Noprian Rauhul) 641

Gie (Riri Riza, 2004) 322, 359, 407,

458, 470

Gugug (Emte, 2018) 561, 622, 644

Guru Bangsa: Tjokroaminoto (Garin

Nugroho, 2015) 208, 445, 55

Gusti Kanjeng Ratu Kalinyamat (Tetet

Srie W. D., 1993) 285

H

Habibie dan Ainun (Faozan Rizal,

2012) 443, 457

Hanifi (Deddy Luthan, 1993) 292

Hanya Satu Hari (Nan T. Achnas,

1988) 273, 276, 284, 412

Hanya Sehari (Nan Triveni Achnas,

1992) 311

Harimau Tjampa (D. Djajakusuma,

1953) 180, 206, 283, 542, 598

Hikayat Emak dalam Mission

Impossible (Agus Nur Amal PM

TOH, 1997) 332

Hikayat Pahlawan si Muka Tembok ini

(Agus Nur Amal PM TOH, 1996)

328

Hilang Tanpa Bekas (Teater Lembaga,

1983) 172, 658

Home Sweet Home (Djoko

Quartantyo, 1978) 83

Hutan Pasir Sunyi (Deddy Luthan,

2014) 96

Hutan Plastik (Sardono W. Kusumo,

1982) 165, 444, 658

Huuu (Nurdin & Marzuki, 1984) 177,

390, 659

I

I, The Witness (Dolorosa Sinaga,

2002) 38, 634

In Cavity vo.01 (Putri Ayu Wulandira)

641

Istana Kecantikan (Wahyu Sihombing,

1989) 160, 229, 352, 344, 665

Istana Pizza (Dian HP, 2003) 271

Itik Buruk Rupa (Nritya Sundara,

1984) 178, 659

J

Jakarta 468 (Ari Ibnuhajar, 1996) 346

Jalur (Gotot Prakosa, 1977) 104

Jawara Sok Kota (Firman Triyadi,

1990) 257

Jiwa Laut (Agus Nur Amal, 2017) 268

Julius Caesar (Teater Lembaga,

1997) 327, 338, 651

K

Kabar-kabari (1996) 346

Kala Bendu (Laksmi Simanjuntak,

1986) 193

Kara, Anak Sebatang Pohon (Edwin,

2005) 454

Kartun Benny & Mice (Benny

Rachmadi & Muhammad Misrad,

2003-2010) 339, 341

Ken Arok (Harry Roesli, 1977) 28, 58,

652

Kerikil-kerikil Tajam (Sjuman Djaya,

1984) 43, 51

Ketika Cinta Bertasbih (Chaerul

Umam, 2009) 199

Ketika Jurnalisme Dibungkam,

Sastra Harus Bicara (Seno Gumira

Ajidarma, 1997) 305

Kiamat Sudah Dekat (Deddy Mizwar,

2003) 199

Kidung Dandaka (Retno Maruti,

Sulistyo Tirtokusumo, Sentot S.,

2016) 564

Kodrat (Slamet Rahardjo, 1986) 233

Kucak Kacik (Arifin C. Noer, 1975) 43

Kucing di Atas Atap Seng yang Panas

(Teater Lembaga, 1984) 183, 659

Kucumbu Tubuh Indahku (Garin

Nugroho, 2018) 252, 628, 664

Kugapai Cintamu (Wim Umboh, 1976)

43

Kuldesak (Mira Lesmana, Riri Riza &

Nan Achnas, 1997) 167, 286, 322,

329, 352, 355, 359, 363, 385, 407,

665


l

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

L

Lagak Jakarta (Benny Rachmadi &

Muhammad Misrad, 1997–1999)

339, 341

Lagu untuk Seruni (Labbes Widar,

1992) 116, 270

Langen Mandra Wanara: Sugriwa-

Subali (S. Kardjo, 1975) 31

Langkah-Langkah Kecil (Yulianto

Krisbiantoro, 1991) 281, 284, 311

Lapindo (Ibnu Nurwanto, 2008) 63

Laskar Pelangi (Riri Riza, 2008) 286,

322, 389, 398, 417, 443, 555, 664,

665

Layar Kata: Menengok 20 Skenario

Pemenang Citra Festival Film

Indonesia, 1973–1992 (Seno

Gumira Ajidarma, 2000) 305, 666

Ledan Knube Pas Gala (Maria Elvitra

P. Mere) 553

Lemantun (Wregas Bhanuteja, 2014)

546, 555, 559, 573, 638, 641

Lenong Jakarta-Bulan PP (Prodi

Teater, Tari, & Etnomusikologi IKJ,

2015) 554

Lidah Basilek, Piriang Badantiang

(Tom Ibnur, 2014) 179, 666

Lobi-lobi Hotel Pelangi (Sena Didi

Mime, 1991) 266

Losmen (Wahyu Sihombing & Tatiek

Maliyati, 1986-1989) 123, 131, 160,

201, 205, 300, 315, 664

Love Is Cinta (Hanny R. Saputra,

2007) 271

M

Maha Guru Tan Malaka (Daniel Rudi

Haryanto, 2018) 511

Mahabutha (Sardono W. Kusumo,

1988) 228, 662

Manuskrip Sajak Sapardi (Indah

Tjahjawulan & Sapardi Djoko

Damono, 2017) 587

Marlina Si Pembunuh dalam Empat

Babak (Mouly Surya, 2017) 215,

489, 497, 595

Mas Bejo (Tatiek Maliyati & Bambang

Rochayadi, 1995) 315

Matinya Pedagang Keliling (Teater

Lembaga, 1976) 49, 653

Mega-mega (Prodi Teater IKJ, 2013,

2015, 2016) 538, 553, 562

Mekanis (Djoko Quartantyo, 1979) 83

Menunggu Godot (Teater Lembaga,

1982, 1989) 156, 157, 236, 658

Menunggu Pak Penting

(Perkoempoelan Sandiwara

SiMas, 1994) 308

Merah (Asri Mery Sidowati, 2009) 498

Meta Ekologi (Gatot Prakosa, 1994)

104, 306

Meta Ekologi (Sardono W. Kusumo,

1979) 110, 112, 113, 656

Minggu Pagi di Victoria Park (Lola

Amaria, 2010) 507, 518

Mixed Media Performance (Sardono

W. Kusumo, 1991) 262

Monolog Diponegoro (R.B.

Armantono, 2019) 616, 617

Musuh Masyarakat (Teater Lembaga,

1975) 32, 652

N

Nagabonar (M.T. Risyaf, 1987) 199

Nagabonar Jadi 2 (Deddy Mizwar,

2007) 199

Nemesis (William Chandra, 2010) 512

Novel Tanpa Huruf R (Aria

Kusumadewa, 2003) 385

O

Obasute (Teater Hapon & Fakultas

Seni Pertunjukan IKJ, 2010) 510

One Way Ticket Bosnia (Tom Ibnur,

1993) 292, 307

Opera Diponegoro (Sardono W.

Kusumo, 1995) 332, 408, 522

Opera Jakarta (Sjuman Djaya, 1985)

189, 200

Opera Jawa (Garin Nugroho, 2006)

252, 488, 664

Out Beyond Ideas of Wrongdoing

and Rightdoing, There Is A Field.

I’ll Meet You There (Sardono W.

Kusumo, 1997) 333

P

Pacar Ketinggalan Kereta (Teguh

Karya, 1988) 233

Pachinko and Everyone’s Happy

(Harry Suharyadi, 2000) 385

Pakarena Bulan’ne (Wiwiek Sipala,

2011) 47

Pakarena Se’reang Bori (Wiwiek

Sipala, 2011) 47

Pakarena Simombala (Wiwiek Sipala,

2000) 47

Pancaitana Bungawalie (Wiwiek

Sipala & Udhin Palisuri, 1995) 310

Para Perintis Kemerdekaan (Asrul

Sani, 1977) 43

Pasir Berbisik (Nan Achnas, 2000)

116, 352, 355, 363, 665

Passage Through the Gong (Sardono

W. Kusumo, 1993) 291

Payau (Yola Yulfianti, 2004) 436

Penangkapan Sukra (Laksmi

Simanjuntak, 1987) 211, 661

Penelitian Seni Rupa Ruang Publik

(Citra Smara Dewi, 2015) 531

Pengabdi Setan (Joko Anwar, 2017)

497

Pengejar Angin (Hestu Saputra, 2011)

160

Penginapan Bu Broto (Tatiek Maliyati,

1987) 315

Pengkhianatan G30S/PKI (Arifin C.

Noer, 1982) 150, 155, 666

Perahu yang Sobek (Dedy Lutan,

2001) 96

Perempuan (Sukarji Sriman, 1994)

306

Perempuan Lala (Dedy Lutan, 2006)

96

Perjalanan Terakhir (Sukarji Sriman,

1993) 298

Pesta Desa Teges Kanginan (Sardono

W. Kusumo, 1976) 42, 653

Pesta Pencuri (Teater Lembaga,

1976) 37, 653

Petualangan Sherina (Riri Riza, 2000)

208, 286, 322, 363, 387, 389, 391,

407, 410

Philosophy Gang (Gang of Harry

Roesli, 1973) 58

Pilihan Sinta (Farida Feisol, 1989)

234, 662

Plong (Putu Wijaya, 1991) 43

Ponirah Terpidana (Slamet Rahardjo,

1984) 180

Posesif (Edwin, 2017) 215, 254

Postcards from the Zoo (Edwin, 2012)

454

Preman Pensiun (2015) 391, 664

Prenjak (Wregas Bhanuteja, 2016)

573

Prison and Paradise (Daniel Rudi

Haryanto, 2010) 511, 633

Puisi Tak Terkuburkan (Garin

Nugroho, 2000) 252, 456

R

Rectoverso (Olga Lydia, Rachel

Maryam, Cathy Sharon, Happy

Salma, Marcella Zalianty, 2013)

461

Rijog, Pasir yang Sunyi (Dedy Lutan,

2004) 96

Rindu Kami Padamu (Garin Nugroho,

2004) 255

Rock Opera Ken Arok (Harry Roesli,

1975) 28, 652

Rocket Rain (Anggun Priambodo,

2014) 421, 663

Ronggolawe (S. Kardjono, 1979) 114,

197, 656, 660

Roro Mendut (Retno Maruti &

Nindityo Adipurnomo, 1982) 88,

548, 655

Rudy Habibie (Hanung Bramantyo,

2016) 457

Rumah di Seribu Ombak (Erwin

Arnada, 2012) 387, 461


INDEKS

li

S

Salawaku (Pritagita Arianegara,

2016) 443

Sampek Engtay (Teater Koma, 1997)

347, 666

Sang Martir (Helfi Kardit, 2012) 461

Sang Pemimpi (Riri Riza, 2009) 286,

322

Sang Penari (Ifa Isfansyah, 2011) 355

Saskcti (Jurusan Teater LPKJ, 1979)

120, 656

Savitri (Retno Maruti, 1977) 298

Sebelum Pagi Terulang Kembali

(Lasja F. Susatyo, 2014) 329

Sebuah Pertanyaan untuk Cinta

(Enison Sinaro, 2000) 407

Sejarah Tokoh Pahlawan Nasional

dalam Visual (Citra Smara Dewi,

2017) 531

Sekar Pembayun (Retno Maruti, 1999)

368

Senyawa (Wregas Bhanuteja, 2012)

559, 573

Serangan Fajar (Arifin C. Noer, 1981)

150

Serenada Insani (Farida Sjuman,

Hurian Adam, June Beckx, &

Yulianti Parani, 1972) 14, 115, 656

Setan Jawa (Garin Nugroho, 2016)

252

Si Badung (Imam Tantowi, 1989) 150

Sinema Elektronik (Anggun

Priambodo, 2009) 421

Singgosano (Tom Ibnur, 1995) 311

Sintak Minangkabau (Boi G. Sakti,

1990) 245

Sitti NurBahaya (Boi G. Sakti, 1994)

307

Sketsa dan Sebuah Kesalahan (Asep

Topan, 2014) 557

Soekarno: Indonesia Merdeka (2014)

461

Solidaritas (Dolorosa Sinaga, 2000)

38

Soloensis (Sardono W. Kusumo,

1997) 344

Sonata Kampung Bata (Riri Riza,

1993) 286, 296, 311

Sonya Ruri (Sulistyo Tirtokusumo,

1976) 45, 653

Suara Neng (Nur Hasanah, 2009) 498

Sukosrono-Sumantri (Sal Murgiyanto,

1993-1994) 173

Suku Yola (Yola Yulfianti, 2011) 528,

541,

Surat untuk Bidadari (Garin Nugroho,

1994) 257, 297, 302

T

Tabib dari Timur (Jecko Siompo &

Agus Noor, 2015) 334

Tak Ada yang Gila di Kota Ini (Wregas

Bhanuteja, 2019) 573

Taksi (Arifin C. Noer, 1990) 233

Tanah Surga... Katanya (Herwin

Novianto, 2012) 257

Tari Putih-Putih (Farida Feisol, 1976)

48, 653

The Concise History of Mass

Murdered of 1965 (Dolorosa

Sinaga, 2017) 38

The River (Trisutji Kamal, 1952) 304

Three Faces of A Man (Farida

Sjuman, 1971) 14

Tiga Manula (Benny Rachmadi, 1998)

339

Tino Sidin Sang Guru Gambar (Kiki

Natez, 2015) 562

Tipografi dalam Desain Grafis

(Danton Sihombing, 2001) 475

Titian Serambut Dibelah Tujuh

(Chaerul Umam, 1982) 180

Titik Api (Harry Roesli, 1976) 58, 664

Tjambuk Api (D. Djajakusuma, 1958)

180, 206, 283

Tjoet Nja Dhien (Eros Djarot, 1988)

233

Tlutur (Hanung Bramantyo, 1997)

Toba Dreams (Benni Setiawan, 2015)

160

Toko Keperluan (Anggun Priambodo)

421

Topeng Betawi Anemer Kodok

(Sumantri Sastrosuwondo, 1976)

49, 653

Tutur Tinular (1989) 116, 247

U

Urban Play (Irwan Ahmett & Tita

Salina, 2010) 425

W

Wayang Orang Roro Jonggrang (1974)

23, 652

Wayang Orang Suprabawati (S.

Kardjono, 1981) 140, 657

We Came from the East (Jecko

Siompo, 2011) 334

Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut

Naga Geni 212 (Angga Dwimas

Sasongko, 2018) 403, 417

Y

Yang Sudah, Sudah (Zhafran Solichin)

641

Yasujiro’s Journey (Faozan Rizal,

2004) 443, 472

Yellow Submarine (Sardono W.

Kusumo, 1977) 62, 70, 654

Yuyun Pasien Rumah Sakit Jiwa

(Arifin C. Noer, 1979) 150


1970–2020



1970–

1979

Rektor LPKJ, Taufiq Ismail (kedua dari kanan) menerangkan situasi kampus baru

LPKJ kepada Ali Sadikin di sebelahnya (ketiga dari kanan). Di ujung kanan adalah

Hazil Tanzil, manajer TIM. [Sumber foto: Kompas, 24 Juli 1975.]


3

Belajar Seni di Cikini

Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) lahir

dan tumbuh pada dekade 1970-an. Kampus yang

kelak bernama Institut Kesenian Jakarta ini resmi

berdiri pada 26 Juni 1970, melengkapi pendirian

Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki

(TIM) dan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dua tahun

sebelumnya, sebagai bagian tak terpisahkan dari

pusat kesenian ibukota.

Sejak semula, LPKJ ikut merintis, menumbuhkan,

dan mengembangkan berbagai gagasan dan kegiatan

seni di ibukota. Upaya-upaya tersebut berjalan seiring

dengan pencarian akan bentuk sistem pendidikan

yang paling pas untuk menyemai seniman muda yang

dicita-citakan.

Dalam seni rupa, LPKJ terlibat dalam Pameran

Seni Lukis Indonesia 1972. Pameran ini kelak

berkembang menjadi bienial seni rupa terbesar

di Indonesia. Dalam pameran kedua pada 1974,

berlangsung apa yang disebut “Desember Hitam”.

Sekelompok seniman muda mengajukan sebentuk

mosi tidak percaya terhadap penilaian dewan juri.

Kelompok ini mengusung gagasan seni rupa baru

Indonesia. Eksponennya termasuk civitas akademika

LPKJ dan gagasan seni rupa baru selanjutnya turut

berkembang di kampus LPKJ.

Dalam seni tari, LPKJ turut mencari bentuk tari

baru yang bisa menyandingkan antara pengaruh

tradisi dan modern. Para koreografer yang juga

pengajar LPKJ rutin menggelar diskusi dan

menampilkan karya di TIM. Farida Feisol, misalnya,

berupaya mengenalkan apa yang sejatinya disebut

balet Indonesia. Adapun Sardono W. Kusumo

mengekspresikan problematika masyarakat

tradisional Nusantara di tengah arus modernitas.

Begitu pula dalam bidang-bidang seni lain.

Para pengajar aktif dalam penciptaan dan kegiatan

berbagai jenis kesenian, termasuk yang melibatkan

masyarakat umum. Hal ini ditopang oleh berbagai

macam diskusi yang digelar di kampus LPKJ dan

TIM. Diskusi itu seringkali mengundang para seniman

dari luar negeri. Pergaulan dengan seniman-seniman

asing menambah wawasan civitas akademika LPKJ

dan menjadi bahan perbandingan dalam penciptaan

kreasi baru.

Faktor lain yang turut mendukung tumbuhkembang

LPKJ adalah posisinya yang terletak di

kompleks TIM. Bersama Dewan Kesenian Jakarta,

LPKJ dan TIM menjadi mata rantai ekosistem

kesenian di Jakarta dan turut menentukan gagasan

kesenian di Indonesia. Peran ini tak bisa lepas dari

dukungan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin yang

menjabat selama 1966–1977. Ialah orang yang turut

merintis pembangunan pusat kesenian ibukota ini.


4 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA


1970–

1979

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

5

KARYA • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS, SENI GRAFIS

Prints & Drawings

Popo Iskandar dan Nashar

27 FEBRUARI–

3 MARET 1970

Dua seniman perintis sistem pendidikan

di Akademi Seni Rupa LPKJ berpameran.

Popo Iskandar, ketua pertama Akademi

Seni Rupa LPKJ, yang juga mengajar

di ITB, memajang 30 karya. Karya

lukisannya berupa lukisan cat air dan

gouache, sedangkan karya grafisnya

berupa cukilan hardboard dan monotipe.

Nashar, pengajar yang mendukung pola

pengajaran “pesantren” (bukan sistem

akademik modern), memamerkan 31

karya lukisan dengan cat pastel minyak

dan cukilan hardboard.

PENYELENGGARA

DKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM

KOLABORATOR

LPKJ

SPONSOR

DKJ

1970

KARYA • DOSEN • PERTUNJUKAN • TARI • BALET

Tiga Koreografi

Bengkel Kerja Tari

28 APRIL 1970

TEATER BESAR TIM

Tiga koreografi yang mengambil inspirasi

dari karya sastra ditampilkan dalam

pementasan ini. Habis Gelap Terbitlah

Terang mengadaptasi surat-surat R.A.

Kartini, Tjempaka berangkat dari syairsyair

Amir Hamzah, dan Corat-Coret

digarap berdasarkan puisi Chairil Anwar,

“Aku”. Bengkel Kerja Tari LPKJ dipimpin

oleh Farida Sjuman, salah satu pengajar

pertama Akademi Tari LPKJ, yang juga

balerina lulusan sekolah balet Bolshoi,

Moskow.

PENYELENGGARA

Bengkel Kerja Tari LPKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM

KOREOGRAFER

Farida Sjuman

PENATA MUSIK

Saroso, I Wayan Diya

PENATA ARTISTIK

Ami Priyono

KELOMPOK TARI

Bengkel Kerja Tari LPKJ

PARTISIPASI • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS

Lukisan-lukisan Batik

Oesman Effendi

21–30 SEPTEMBER 1970

PKJ TIM

PENYELENGGARA

DKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM

PARTISIPAN

Oesman Effendi, Zaini, Sriyani,

Mustika

Oesman Effendi menjadi salah seorang seniman yang

menampilkan lukisan batik dengan cara, motif, dan corak baru

dalam pameran ini. Ada 15 lukisan batik karya eksperimen

pengajar Akademi Seni Rupa LPKJ tersebut. Eksperimen

semacam ini kerap mengundang perdebatan. Kalangan

tradisional berpendapat, sampai sejauh manakah eksperimen

itu menyisakan tempat bagi cara, motif, dan corak lama untuk

membuat lukisan batik? Tapi, bagi Oesman, hanya sesuatu

yang indah dan baru itulah yang bisa membuka jalan untuk

menembus kemacetan seni tradisional.

Salah satu lukisan batik yang

dipamerkan.


6 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

KARYA • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS

Pameran Lukisan

Oesman Effendi

23–30 NOVEMBER 1970

PAGI/SORE

RUANG PAMERAN

PKJ TIM

Aktif berpameran sejak 1957, Oesman

Effendi menghadirkan pameran tunggal

keenamnya di TIM. Medium karyanya

beragam: 25 lukisan cat minyak, 10

lukisan cat air, 13 gambar, dan 15

karya grafis yang hampir semuanya

tematis. Lukisan cat minyak dan cat

airnya berjudul Alam Perahu (I–XXXV);

gambarnya menghadirkan Prambanan

(I–X), Arabia (II–III), dan Amerika Selatan

II, dan lima karya grafisnya berjudul

senada: Batik (I–V).

PENYELENGGARA

DKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM

PARTISIPASI • DOSEN • FESTIVAL

LPKJ dalam

Pesta Seni Jakarta III

9–16 DESEMBER 1970

TIM

Para pengajar LPKJ ikut memeriahkan

Pesta Seni Jakarta III. Wahyu Sihombing

dan D. Djajakusuma masing-masing

mementaskan teater. Wahyu memimpin

grup teaternya membawakan lakon The

Crucible karya Arthur Miller, sedangkan

Djajakusuma mengangkat wayang orang

gaya baru. Sementara itu, Sardono W.

Kusumo mementaskan tarian dengan

kelompok Creative Dance.

KOLABORATOR

LPKJ

PARTISIPAN

Wahyu Sihombing,

D. Djajakusuma, Teguh Karya,

Sardono W. Kusumo,

Wijatna Hariadi

PARTISIPASI • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS

Dua Pengajar LPKJ

dalam Pameran Pelukispelukis

Jakarta

7–15 JANUARI 1971

09.00–13.00 WIB

17.00–20.00 WIB

LEMBAGA INDONESIA

AMERIKA

PENYELENGGARA

Dinas Seni Rupa, Direktorat

Kesenian, Direktorat Jenderal

Kebudayaan, Departemen P&K

PENDUKUNG

Lembaga Indonesia Amerika

PARTISIPAN

Nashar, Oesman Effendi, Arif

Soedarsono, Djufri Tanissan,

Ipe Ma'aruf, Irsam, Kusnadi,

Mustika, S. Sudjodjono,

Sriwidodo, Sriyani, Suparto,

Zaini.

Diadakan untuk kali pertama, Pameran Pelukis-pelukis

Jakarta ini menampilkan 26 karya. Dua di antaranya adalah

pengajar-pengajar LPKJ: Nashar dan Oesman Effendi. Nashar

menyumbang lukisan Pohon dan Perahu, sedangkan Oesman

membawa Afrika dan Kerintji. Karya keduanya berusaha ikut

mempertemukan ide-ide kebudayaan dari berbagai bangsa dan

zaman sehingga dapat dipahami oleh beragam kalangan.

1971

Sebanyak 13 pelukis warga

Jakarta berpartisipasi.


1970–

1979

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

7

KARYA • DOSEN • PERTUNJUKAN • TARI • MODERN

Koreografi Modern

Tiga Pengajar Tari

12–13 JANUARI 1971

TEATER TERTUTUP TIM

PENYELENGGARA

Bengkel Kerja Tari LPKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM

KOREOGRAFER

Farida Sjuman, Huriah Adam,

Julian

KELOMPOK TARI

Bengkel Kerja Tari LPKJ

Menampilkan koreografi terbaru tiga pengajar tari LPKJ,

pertunjukan "Modern Choreography" ini mendapat sambutan

meriah. Tiga penata tari tersebut berupaya mencari

kemungkinan baru dalam bentuk dan musik untuk ciptaannya

masing-masing. Farida Sjuman membawakan empat karya:

Kenangan, Dua Perempuan, dan Kelahiran, yang ketiganya

terinspirasi dari karya-karya Mochtar Embut, serta Aku, yang

mendapat inspirasi dari sajak “Aku” milik Chairil Anwar. Julian

menampilkan delapan tari: Serenada Biru, Serenada Lagu Ibu,

Serenada Mera Padam, Serenada Kelabu, Serenada Putih, Lagu

Angin, Serenada Hitam, dan Serenada Merdjan. Terakhir, Huriah

Adam menghadirkan dua sajian: Sepasang Api dan Irama

Payung.

ACARA • SEMINAR • MUSIK

Alam Bunyi Baru

dalam Karya Musik

Generasi Muda

3, 5, 8 MARET 1971

17.00 WIB

RUANG KULIAH

UMUM LPKJ

TIKET

Rp1.000

Joachim Buhler, peneliti musik dari

Jerman (Barat), diundang untuk

menyajikan materi dalam seminar ini.

Judul presentasinya adalah “Alam Bunyi

Baru sebagai Perangsang dalam Karya

Musik Generasi Muda: Suatu Spektrum

Musik Kontemporer Antara 1950 dan

1970”.

PENYELENGGARA

LPKJ

PENDUKUNG

DKJ & Goethe Institut

PARTISIPASI • DOSEN • FESTIVAL

I Wayan Diya

Mengajar Tari di India

MARET–APRIL 1971

AHMEDABAD, INDIA

I Wayan Diya diundang oleh kelompok tari

Kala Tirtha dari Perguruan Tinggi Shreyas

di Ahmedabad, India, untuk mengajar tari

Bali. Siswa-siswa tarinya nantinya akan

menampilkan hasil pelatihan mereka

bersama Diya di ajang Festival Tari

Indonesia yang akan berlangsung pada

27–28 April 1971 di Ahmedabad. Sebelum

ini, pada 1967 pengajar LPKJ ini sempat

mempelajari tari di India, tepatnya di

Yayasan Kalakshetra, Madras.

KOLABORATOR

Kala Tirtha (Perguruan Tinggi

Shreyas, Ahmedabad)

KARYA • DOSEN • PERTUNJUKAN • TARI • TRADISIONAL

Tari Jawa Gaya Surakarta

11–12 JUNI 1971

TEATER ARENA &

TEATER TERBUKA TIM

Tari Jawa bergaya Surakarta ini

ditampilkan oleh para pengajar tari LPKJ

dan penari yang berpengalaman tampil

di berbagai negara, di antaranya Sardono

W. Kusumo, Edi Sedyawati, dan Retno

Maruti. Mengiringi mereka adalah para

penari lain dari Surakarta. Koreografi yang

ditampilkan merupakan hasil penggalian

kembali bersama seniman tari Surakarta,

Wignya Hambeksa.

PENDUKUNG

PKJ TIM

SPONSOR

Bali Kencana Impressario

PENARI

Sardono W. Kusumo,

Edi Sedyawati, Martati

Tohiran, Retno Maruti,

Wignya Hambeksa


8 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

KARYA • DOSEN • PERTUNJUKAN • MUSIK

Konser Piano Rudy Laban

dan Iravati M. Sudiarso

28 JUNI 1971

TEATER BESAR TIM

PENDUKUNG

PKJ TIM

Dua pianis LPKJ, Rudy Laban dan Iravati Sudiarso, menampilkan

repertoar piano klasik dan modern seperti Johann Christian

Bach, Sergei Rachmaninoff, Camille Saint-Saëns, Margaret

Sutherland, “Sarinande Variations” karya Trisutji Kamal. Menurut

media, penampilan keduanya mendapat perhatian yang cukup

besar.

Iravati menempuh pendidikan musiknya di Koninklijk

Muziek Conservatorium, Belanda (lulus 1958), dan Peabody

Conservatory of Music, AS (lulus 1963). Ia salah seorang

pengajar pertama di Akademi Musik LPKJ. Sementara itu, Rudy

Laban memperoleh beasiswa untuk belajar di Conservatoire

National Supérieur de Musique, Prancis (lulus 1959). Ia juga

anggota Komite Musik DKJ (1968–1971) dan ikut merumuskan

sistem pendidikan musik di LPKJ.

PARTISIPASI • MAHASISWA • PAMERAN • SENI RUPA

Mahasiswa LPKJ dalam

Pesta Seni Mahasiswa

JULI–AGUSTUS 1971

PENGGAGAS &

PENYELENGGARA

BKSKMI (Badan Kerja

Sama Kesenian Mahasiswa

Indonesia)

PENDUKUNG

DCI DJaya

PARTISIPAN

LPKJ: Sjahrir, Dodo, R.W.

Moeljadi, Fathoni, Basuki,

M. Sulebar, Toto Ribudijanto,

Wendibari, Lesmana, Sjamsi

Basjir, Wahju Widjaja,

Bambang Sasmito, Nasrul

Thaher, Windradiati, M.D. Elly

Ridwan, Edy R.M., Harmanto,

Sugeng. Perguruan Tinggi

Publisistik: Ipung Gozali.

Universitas Trisakti: Basuki

Triwidodo, Erwin, Merdy Kanto,

Ciska T. UKI (Universitas

Kristen Indonesia): D.

Hutasoit. Universitas

Indonesia: Pudjianto, Won,

Atang Amsjahdi. STSRN

(Sekolah Tinggi Seni Rupa

Nasional): Hilmy Hamka.

Pameran ini berusaha memetakan bakat dan pencapaian

mahasiswa Jakarta di bidang seni rupa. Menampilkan 56

karya seni rupa mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di

Jakarta, yang merupakan seleksi dari 205 karya yang masuk.

Penyeleksian dilakukan oleh tiga juri: Mara Karma, Mustika, dan

Kusnadi.

Kritikus seni rupa Dan Soewaryono menyatakan bahwa

karya-karya dalam pameran ini cukup lumayan untuk ukuran

mahasiswa. Tetapi W.S. Rendra berpendapat lain. “Tidak

ada suasana,” katanya. Bagaimanapun, majalah Tempo (Juli

– Agustus 1971), menyebut beberapa karya yang dianggap

menonjol. Salah satunya karya Sjahril, mahasiswa LPKJ, yang

terlihat mengambil inspirasi dari karya Oesman Effendi, pelukis

sekaligus pengajar di kampusnya. Lebih jauh, Tempo berharap

pameran ini selanjutnya mampu menampilkan karya-karya yang

lebih utuh.

Sampul katalog pameran

Pentas Seni Mahasiswa 1971

(koleksi DKJ).


1970–

1979

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

9

KARYA • DOSEN • PERTUNJUKAN • TARI

Lima Karya

Bengkel Kerja Tari

27 JULI &

4–5 AGUSTUS 1971

TEATER TERBUKA &

TEATER TERTUTUP TIM

Para penari dalam nomor

Malin Kundang, sebagaimana

dimuat di Api Pancasila

(25 Juli 1971)

Pendirian Taman Ismail Marzuki (TIM)

sebagai pusat kesenian pada 1968

memacu tumbuhnya gagasan baru

tentang tari tradisi dan modern. Gagasan

itu antara lain diwujudkan oleh Bengkel

Kerja Tari LPKJ, yang rutin mengadakan

diskusi dan pertunjukan untuk mengolah

segala kemungkinan baru dalam tari.

Hasilnya bisa dilihat dalam pertunjukan

ini, buah kreasi empat koreografer

Bengkel dan seorang koreografer tamu

dari Amerika Serikat.

I Wayan Diya mempersembahkan

Warna-Warna yang merupakan penafsiran

kehidupan alam bebas di hutan. I Made

Netra membawakan Obor. Huriah Adam

mengangkat unsur gerak tari Minang,

balet, dan pantomim dalam Malin

Kundang, sedangkan Sardono W. Kusumo

juga menghadirkan beberapa nomor

pantomim. Adapun Irwan Holmes, sang

koreografer tamu, menampilkan The

Kingdoms. Seluruh dekor dan kostumnya

dikerjakan oleh pelukis Danarto. Para

penarinya sendiri terdiri atas mahasiswamahasiswi

Jurusan Tari LPKJ.

PENYELENGGARA

Bengkel Kerja Tari LPKJ

KOLABORATOR

Irwan Holmes

PENDUKUNG

PKJ TIM

KOREOGRAFER

Huriah Adam, Sardono W.

Kusumo, I Wayan Diya, I

Made Netra, Irwan Holmes

PENARI

Farida Sjuman, Julian, Sentot

Sudiharto, S. Kardjono,

Suni Sistiawati, Saburo,

Linda Karim, Sukipno, Evie

Sjarief, Sukmawati Sukarno

Putri, Iwan Setiawan,

Dedi Hendrawanto,

Susilohardjo, Safi Munasti,

Retno Suharjati, Richard

P., Ahmad Omar, Tati S.


10 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

PARTISIPASI • DOSEN • FESTIVAL • TARI • TRADISIONAL

Urun Kreasi

dalam Festival

Internasional Ramayana

31 AGUSTUS–

17 SEPTEMBER 1971

PANDAAN,

JAWA TIMUR

PENYELENGGARA

National Committee For

the International Ramayana

Festival

PARTISIPAN

Edi Sedyawati, Sardono W.

Kusumo, dll.

PARTISIPASI • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS

Lukisan-lukisan Nashar,

Sriyani, dan Zaini

23–30 OKTOBER 1971

TIM

PARTISIPAN

Nashar, Zaini,

Sriyani Hudyonoto

Festival Internasional Ramayana, yang digelar untuk kali pertama

di Pandaan, Jawa Timur, melibatkan 10 kelompok tari dari tujuh

negara, yaitu Burma (kini Myanmar), India, Indonesia, Khmer

(kini Kamboja), Malaysia, Muangthai (kini Thailand), dan Nepal.

Semua negara ini memiliki tradisi pewayangan dan wiracarita

Ramayana yang berasal dari India. Ketua Penyelenggara Edi

Sedyawati, yang juga salah satu pendiri Akademi Tari LPKJ,

menuturkan bahwa para penari menyajikan garapan baru,

percampuran antara unsur tradisional dari masing-masing

negara. Umar Kayam, pengamat seni sekaligus pengajar LPKJ,

melihat ada beberapa hal yang mengikat negara-negara peserta.

Misalnya pertautan sejarah, kultur yang berangkat dari sawah,

dan sikap hidup. Dengan itu, proses berkesenian menjadi lebih

kreatif dan inovatif.

Festival ini dibuka oleh Presiden Soeharto dan dihadiri lebih

dari 30 ribu orang. Inilah festival tari terbesar yang mengambil

Ramayana sebagai lakonnya. “Tidak pernah ada sebelumnya

10 grup tari di Asia tampil bersama dalam satu festival,”

catat James R. Brandon, akademisi dari University of Hawaii

(Educational Theatre Journal, Mei 1972). Dari Indonesia, Sardono

W. Kusumo tampil sebagai penari tunggal dengan peran sebagai

Laksmana, saudara kandung Rama. Penampilan kelompok Bali

dan Yogyakarta juga disebut cukup mengesankan oleh Brandon.

Sebuah pameran seni rupa seringkali diharapkan menampilkan

sesuatu yang baru dari para seniman yang terlibat. Sayangnya,

pameran tiga pelukis ini dianggap belum mampu memenuhi

harapan itu. Tetapi selalu ada catatan untuk dikemukakan.

Misalnya, Nashar dianggap menegaskan konsistensinya pada

gagasan tentang kemurnian dan sentimen pribadi. “Tema

lukisan Nashar tidak beranjak dari tema-tema biasa, yakni

orang-orang, perahu, dan rumah rakyat,” catat Mara Karma

(Kompas, 13 November 1971). Sementara itu, Zaini dianggap

cenderung bermain-main dengan gaya alih-alih mempertajam

wawasan mengenai subjek yang dilukis. Terakhir, karyakarya

Sriyani, satu-satunya yang bukan pengajar LPKJ dalam

pameran ini, dianggap belum menyatakan suatu ekspresi—

sekadar “pergumalan cat lawan cat.”

[Kiri] Dokumentasi karya

Sriyani, Wanita (Kompas,

13 November 1981). [Kanan]

Dokumentasi sebuah karya

Zaini, Perahu (Kompas 13

November 1971).


1970–

1979

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

11

PARTISIPASI • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS

Karya Pengajar LPKJ

di Pameran Cipta

Art Gallery

7–15 JANUARI 1972

RUANG PAMERAN

PKJ TIM (CIPTA ART

GALLERY)

Menurut DKJ sebagai penyelenggara pameran ini, “Janggal

apabila Jakarta sebagai Ibukota sampai saat ini belum memiliki

suatu art gallery seni rupa yang nasional lingkupannya.”

Maka, ruang pameran di PKJ TIM, selama tidak ada acara,

dimanfaatkan sebagai galeri tersebut. Pada awal 1971 yang

mengisi pameran adalah koleksi DKJ dan Pertamina. Para

pengajar LPKJ turut menampilkan karyanya, seperti D.A. Peransi

dengan Imaji dan Srihadi dengan Pemandangan.

1972

PENGGAGAS &

PENYELENGGARA

DKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM, Pertamina

[Dari kiri ke kanan] Karya Zaini,

Pemandangan; karya Widayat,

Ke Pasar; karya D.A. Peransi,

Imaji.

PARTISIPASI • DOSEN • DISKUSI

Umar Kayam dalam

Diskusi Kebudayaan

25–26 MARET 1972

BALAI BUDAYA,

JAKARTA

PENYELENGGARA

Yayasan Gema Patriot

KOLABORATOR

LPKJ

PEMBICARA

Umar Kayam (LPKJ) &

Prof. Usep Ranawidjaja S.H.

(Anggota DPR)

Dalam diskusi “Peranan Kebudayaan dalam Pembinaan

Mental Generasi Muda”, Umar Kayam menjelaskan pengertian

kebudayaan, bahan-bahan pembentuknya, cara mengolah

bahan-bahan itu, arah kebudayaan, dan keterlibatan generasi

muda dalam menentukan arah tersebut. Menurut Rektor LPKJ

yang juga sastrawan dan sosiolog ini, kebudayaan adalah

seluruh karya, rasa, dan cipta masyarakat. Bahan-bahannya

berasal dari masa lalu. Untuk masa kini, bahan-bahan itu harus

diolah kembali. Di sinilah pentingnya peran generasi muda

sebagai pengolah bahan-bahan mentah itu. Hasil pengolahan

mereka akan menentukan arah kebudayaan Indonesia. Bagi

Umar Kayam, kebudayaan Indonesia sedang dalam proses

mengada. Ia bukan sesuatu yang final, melainkan selalu menanti

untuk diolah.

ACARA • CERAMAH • SASTRA

Ceramah Sastra

Achdiat K. Mihardja

30 MARET 1972

11.30 WIB

RUANG KULIAH LPKJ

LANTAI III

Achdiat K. Mihardja, pengarang novel Atheis yang terkenal,

memberi ceramah tentang novelnya, dunia sastra, dan karangmengarang.

Hadir pula dalam ceramah tersebut tokoh-tokoh

kebudayaan seperti H.B. Jassin, Sutan Takdir Alisjahbana, Umar

Kayam (Rektor LPKJ), Ajip Rosidi, Ali Audah, dan Ramadhan K.H.


12 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

ACARA • PAMERAN • FILM

Pameran Dokumentasi

Film Indonesia

30 MARET–

3 APRIL 1972

PAGI DAN SORE

RUANG PAMERAN TIM

PENGGAGAS &

PENYELENGGARA

Pusat Penelitian/Dokumentasi

Teater, Tari, dan Film LPKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM, Persatuan Produser

Film Indonesia (PPFI),

Persatuan Artis Film Indonesia

(PARFI), Perusahaan Film

Negara, dan Yayasan

Indonesia

Pusat Dokumentasi/Penelitian Teater, Tari, dan Film LPKJ

didirikan pada 1971 untuk mendokumentasikan karya-karya

terkait teater, tari, dan film. Di bagian film, misalnya, badan

ini telah berhasil mengumpulkan film-film lama karya Andjar

Asmara dan Boes Bustami, skenario, poster, dan kamera

yang dipakai dari 1924 sampai 1972. Koleksi berbagai pihak

itu kemudian dipinjam dan dipamerkan dalam Pameran

Dokumentasi Film Indonesia ini.

Misbach Yusa Biran, Ketua Bagian Film Pusat Dokumentasi/

Penelitian, mengatakan belum cukup puas dengan koleksi

tersebut. Dia berharap suatu hari nanti badan ini akan

berkembang menjadi sebuah sinematek atau perpustakaan film

yang juga memiliki museum film. Dua tahun kemudian, Misbach

mengajukan proposal pendirian Sinematek Indonesia kepada Ali

Sadikin, Gubernur DKI Jakarta. Pada 1975, Sinematek Indonesia

resmi berdiri, sebagai lembaga arsip film pertama di Asia

Tenggara.

PARTISIPASI • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS

Pengajar LPKJ

dalam Pameran

Pelukis-pelukis Jakarta

2–8 MEI 1972

RUANG PAMERAN TIM

PENGGAGAS &

PENYELENGGARA

DKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM

PARTISIPAN

Oesman Effendi, Nashar, Arief

Soedarsono, Baharuddin M.S.,

Djufri Tanissan, S. Hadi A, Ipe

Ma'aruf, Irsam, Jus Rusamsi,

Juzwar, Kusnadi, Mardijanto,

Mustika, D.A. Peransi, Sriyani

Hudyonoto, Subakir Wirda,

S. Sudjojono, Soedarso,

Sukamto, Suparto, Trisno

Sumardjo (almarhum), Zaini

Karya-karya para pengajar LPKJ ikut menyemarakkan pameran

Pelukis-pelukis Jakarta. Antara lain, Nashar menghadirkan

Parangtritis II, Parangtritis VI, Kota Djakarta, dan Puntjak;

Oesman Effendi menyajikan Alam Perahu; sedangkan Sukamto

menyuguhkan Irisan Batu Putih I dan II. Kritikus seni Bambang

Bujono dalam Sinar Harapan (22 Mei 1972) memuji karya Nashar

dalam pameran ini, “Kekuatan Nashar adalah terletak dalam

kewajarannya.”

Pameran ini, oleh DKJ sebagai penyelenggara, adalah

semacam “perhitungan”, yang diniatkan untuk terselenggara

secara berkala. Perhitungan yang dimaksud pada dasarnya

adalah untuk mencari tahu daya inovasi, kreasi, dan ekspresi

para pelukis ibukota dalam merespons dunia dan masyarakat di

sekelilingnya.

ACARA • DISKUSI • TARI • TRADISIONAL

Diskusi Tari Topeng

dan Gambuh Bali

MEI 1972

TEATER TERTUTUP TIM

PENYELENGGARA

Seniman-seniman Bali

KOLABORATOR

LPKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM

Diskusi para seniman ini membeberkan wawasan menarik dari

dunia tari Bali, utamanya tari topeng dan gambuh. Kedua ragam

tari Bali ini mensyaratkan para penari untuk tampil menggunakan

topeng. Tapi masing-masing punya penyajian berbeda. I Wayan

Diya menjelaskan, tari topeng lebih memberi ruang kebebasan

bagi penari. Lagu dan gending yang mengiringi juga terdengar

lebih pendek dan diulang-ulang untuk mendukung kebebasan

gerak tersebut. Adapun tari gambuh ketat dalam aturan, baik

gerakan maupun musik yang mengiringinya. Dengan demikian,

kemurnian gambuh lebih terjaga daripada tari topeng. Tetapi

karena itu pula tari gambuh perlahan ditinggal orang. Padahal,

pada masa lalu, tari gambuh sering dipentaskan untuk berbagai

keperluan seperti mencegah wabah atau pagebluk.


1970–

1979

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

13

PARTISIPASI • DOSEN & MAHASISWA • FESTIVAL SENI

LPKJ dalam Pesta

Seni Mahasiswa II

3–9 JULI 1972

TEATER ARENA TIM,

RUANG KULIAH

UTAMA LPKJ

PENGGAGAS &

PENYELENGGARA

BKSKMI (Badan Kerja

Sama Kesenian Mahasiswa

Indonesia)

PENDUKUNG

PKJ TIM, LPKJ

PARTISIPAN

Slamet Iman Santoso,

Satyagraha Hoerip, M. Sulebar

Sukarman (LPKJ ), Umar

Kayam (LPKJ), Arief Budiman

(LPKJ), dan para mahasiswa

seni dari LPKJ, STSRI “ASRI”

(Yogyakarta), AKSERA

(Surabaya), serta berbagai

perguruan tinggi lain.

Pesta Seni Mahasiswa (PSM) yang menampilkan pelbagai karya

mahasiswa di bidang teater, seni rupa, musik, dan puisi, digelar

untuk kali kedua. Panitia mengundang berbagai kelompok

seni dan peserta individual dari beragam perguruan tinggi

se-Indonesia. Untuk kategori pameran seni rupa, mahasiswa

LPKJ tercatat sebagai peserta terbanyak. Menurut kritikus seni

Bambang Bujono di Kompas (18 Juli 1972), hampir semua karya

seni rupa mahasiswa masih tahap studi, belum sampai tahap

eksperimen. Artinya, pengaruh dari luar atau apa yang diketahui

lebih kuat tampil di karya-karya mereka ketimbang pengaruh dari

dalam dan apa yang diyakini.

Selain pameran dan pertunjukan seni, PSM juga diselingi

oleh lokakarya dan diskusi. Tapi sayangnya minat mahasiswa

untuk mengikutinya sangat rendah. “Mahasiswa tak cukup

minat untuk setidak-tidaknya mulai berpikir tentang seni,

seni dan kampus, atau perlunya koordinasi dalam seni,” catat

Kompas, 17 Juli 1972. Dalam salah satu diskusi, pengajar dan

mahasiswa LPKJ tampil sebagai pemateri, yaitu Arief Budiman

dan M. Sulebar Sukarman. Arief menyampaikan pentingnya

kritik seni, sedangkan Sulebar membahas latar belakang dan

harapan terhadap PSM. Adapun festival drama, yang juga

salah satu mata acara, dianggap memperlihatkan kurangnya

kesungguhan mahasiswa umumnya dalam mempelajari selukbeluk

pementasan drama.

ACARA • CERAMAH

Ceramah

C. A. van Peursen

26 JUNI 1972

20.00 WIB

RUANG KULIAH

UMUM LPKJ

PENYELENGGARA

LPKJ

Ceramah berbahasa Inggris dengan tema “Kreativitas” ini

dibawakan oleh Prof. Cornelis Anthonie van Peursen, guru

besar Universitas Leiden. Diberitakan oleh Merdeka (28 Juli

1972) bahwa di Belanda, Prof. Peursen dikenal sebagai ahli

filsafat dan sastra. Ia juga pernah menjadi anggota Komite

Belanda untuk UNESCO, serta memberikan ceramah atau kuliah

umum di berbagai kota di dunia, termasuk Jakarta, Depok, dan

Yogyakarta.

ACARA • SEREMONI • MUSIK

Kursus Musik

untuk Remaja

4 AGUSTUS 1972

TEATER ARENA TIM

PENYELENGGARA

Akademi Musik LPKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM

Kursus musik untuk remaja yang diselenggarakan oleh LPKJ

resmi dibuka. Pada pembukaan kursus, tercatat 26 siswa

mendaftar untuk berlatih biola dan 61 siswa belajar suling, yang

dibagi atas beberapa kelompok lagi. Kursus ini terbuka bagi

remaja usia 11 tahun dengan kelas yang berlangsung tiap sore.

Franz Harjadi, ketua Akademi Musik LPKJ, mengatakan

bahwa kursus ini bertujuan membentuk kepribadian anak

melalui musik. Sementara Asrul Sani, Ketua LPKJ, menyatakan

kursus musik harus terus berinovasi mencari metode

pengajaran yang paling baik. Terakhir, D. Djajakusuma, pengajar

LPKJ, melihat kursus musik untuk remaja penting untuk

mengembangkan bakat musik mereka.


14 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

PARTISIPASI • DOSEN • PELATIHAN • TARI

LPKJ dalam

Apresiasi Tari Remaja

17 SEPTEMBER 1972

12.00 WIB

GELANGGANG REMAJA

BULUNGAN,

JAKARTA SELATAN

PENYELENGGARA

Gelanggang Remaja & DKJ

KOLABORATOR

LPKJ

Remaja perlu didekatkan dengan tari-tarian agar dapat tumbuh

kecintaan mereka akan kegiatan tersebut. Salah satu caranya

adalah lewat apresiasi tari secara berkala di Gelanggang

Remaja-Gelanggang Remaja ibukota. Dalam Apresiasi Tari ini,

para pengajar Akademi Tari LPKJ didatangkan untuk mengisi

materi, baik secara teoretis maupun praktik. Materi tersebut

mencakup beragam jenis tari, seperti balet, Sunda, Bali, dan

Jawa. Masing-masing jenis tari kemudian dibedah berdasarkan

aliran, teknik, dan gaya. Untuk pertemuan pertama kali ini, tema

yang dipilih adalah tari balet.

ACARA • CERAMAH

Ceramah Arief Budiman

22 SEPTEMBER 1972

RUANG KULIAH UMUM

LPKJ

PENYELENGGARA

LPKJ

Ceramah Arief Budiman dihadiri oleh mahasiswa dari semua

jurusan LPKJ. Dengan topik “Seniman dan Masyarakat”,

materinya berkenaan pula dengan kesenian tradisional dan

modern. Seperti dimuat Sinar Harapan (25 September 1972),

kesenian tradisional menurut Arief mudah ditangkap oleh

masyarakat, yang berbekal memori kolektif. Sementara

kesenian modern lebih bersifat ekspresi individual karena sifat

masyarakat modern lebih terpecah-pecah. Pengajar LPKJ

sekaligus anggota DKJ ini juga menggarisbawahi pentingnya

penemuan ide baru dan keautentikan diri dalam praktik seni.

KARYA • DOSEN • PERTUNJUKAN • TARI

Pentas Tari Modern

dan Folklorik

23–24 OKTOBER 1972

TEATER TERTUTUP TIM

PENDUKUNG

PKJ TIM

KOREOGRAFER

Farida Sjuman, Huriah Adam,

June Beckx, Julian

PEMAIN

Yulianti Parani, Sentot

Sudiharto, Tri Sapto

Koreografer dan pengajar tari Farida Sjuman bersama kawankawan

mementaskan beberapa gubahan tari modern dan

folklorik. Huriah Adam menafsirkan kehidupan perkawinan

di daerah asalnya, Sumatra Barat, lewat Payung. Julian

menampilkan responsnya atas sajak-sajak W.S. Rendra dalam

Serenada Insani. Sementara June Beckx tampil dengan inspirasi

dari musik jazz. Diberitakan Nusantara (17 Oktober 1972),

bahwa Rudjito, pengajar Akademi Seni Rupa LPKJ, berperan

sebagai penata panggung. Farida Sjuman sendiri membawakan

ciptaannya, Three Faces of A Man, yang sebelum ini juga

ditampilkan dalam Pekan Seni Kontemporer 1971.

Ilustrasi penari sedang

memantaskan hasil

koreografinya. (Hanya ilustrasi,

bukan foto acara sebab berita

tayang sebelum pementasan

tari dilakukan.)


1970–

1979

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

15

PARTISIPASI • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS

Pengajar LPKJ

di Cipta Art Gallery II

1–5 & 13–20

NOVEMBER 1972

09.00–13.00 WIB

17.00–21.00 WIB

RUANG PAMERAN

PKJ TIM

(CIPTA ART GALLERY)

DKJ mengadakan kembali pameran

tetap di Cipta Art Gallery. Kali ini dengan

menampilkan karya 22 pelukis. Lukisanlukisan

yang dipamerkan sebagian

berasal dari koleksi DKJ, lainnya dipinjam

dari para pelukis. Beberapa pengajar

LPKJ, seperti Oesman Effendi, Nashar,

dan Sukamto, kembali berpartisipasi.

PENYELENGGARA

DKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM

PARTISIPASI • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS

Pengajar LPKJ dalam

Pameran Seni Lukis

Indonesia 1972

15 DESEMBER 1972–

8 JANUARI 1973

TIM

Pameran ini nantinya menjadi cikalbakal

helatan yang berkembang sebagai

bienial seni rupa terbesar Indonesia.

Bambang Bujono (Kompas, 5 Januari

1973), mengomentari bahwa karya-karya

para pelukis yang dipamerkan kehilangan

emosi dan tanpa makna. Hanya Affandi

yang karyanya layak diacungi jempol.

Sementara Srihadi (LPKJ), Fadjar Sidik,

dan Nashar (LPKJ) mendapat sedikit

pujian.

Kritik Bambang dibalas oleh Kusnadi

(Kompas, 12 Februari 1973) yang

mengkritik balik penilaian Bambang.

Menurut Kusnadi, Bambang kurang

mengapresiasi seniman muda. Seniman

yang Bambang puji semuanya telah

senior—maka, menurut Kusnadi, wajar bila

karyanya bagus. Sementara seniman yang

karyanya dikomentari negatif merupakan

seniman muda yang jam terbangnya tak

sebanyak pelukis senior.

PENYELENGGARA

DKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM

PARTISIPAN

Affandi, Srihadi, Fadjar Sidik,

Nashar, G Sidharta, Abas

Alibasyah, Otto Jaya, D.A.

Peransi, Mulyadi W., Sunarto

P.R., Supono O.H., Zaini

ACARA • KONFERENSI • TARI

Pertemuan Koreografer

Indonesia 1972

18–19 DESEMBER 1972

TEATER TERTUTUP TIM

PENDUKUNG

PKJ TIM

Koreografer Edi Sedyawati, Ketua Akademi Tari LPKJ, membuka

ajang ini lewat makalah berjudul “Beberapa Masalah dalam

Penciptaan Tari di Indonesia”. Menurut Edi, tari adalah seni

yang memerlukan kontak langsung antara seniman dengan

penikmatnya, yang artinya mempertimbangkan aspek ruang

dalam penciptaannya. Di sisi lain, tari juga seni yang dimakan

waktu, yang memiliki aspek temporal pula. Maka, untuk

mewadahi daya cipta dalam seni ini, dibutuhkan persiapan di

pihak lingkungan penikmatnya agar tari dapat diapresiasi sebaik

mungkin. Demikianlah yang dilontarkan Edi Sedyawati untuk

merangsang diskusi selama dua hari tersebut yang dihadiri pula

oleh Bagong Kussudiardja, Yulianti Parani, Sardono W. Kusumo,

Farida Sjuman, dan Wisnu Wardhana.


16 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

ACARA • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS

Empat Puluh Lukisan

D.A. Peransi

26 MARET–

1 APRIL 1973

PAGI–SORE

RUANG PAMERAN

PKJ TIM

PENGGAGAS &

PENYELENGGARA

DKJ

KOLABORATOR

LPKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM

D.A. Peransi adalah seniman serba bisa lulusan Sastra Indonesia

UI. Pengajar sinematografi LPKJ ini mendalami tidak hanya

sastra, film, dan dunia pemikiran tetapi juga lukisan. Pameran ini

menghadirkan 40 lukisannya; semuanya diberi judul Imaji—dari

Imaji Satu sampai Imaji Empat Puluh. Menurut kritikus Bambang

Bujono di Sinar Harapan (14 April 1973), lukisan-lukisan Peransi

mencoba mengungkapkan alam dalam tangkapan metafisis—

tidak bertolak dari bentuk, tapi dari sapuan warna-warna.

Lukisannya berdasarkan tangkapan dari alam dalam artian

luas, sehingga hasilnya bukanlah abstrak murni. Dalam katalog

pameran ini, dimuat juga wawancara Taufiq Ismail dengan

sang seniman, bertajuk “Seni Modern Pertanda Kematian

Kebudayaan”.

1973

Kulit muka buku katalog

Pameran 40 Lukisan

D.A. Peransi

PARTISIPASI • DOSEN & MAHASISWA • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS

Mahasiswa LPKJ dalam

Pameran 14 Pelukis Muda

2–8 APRIL 1973

09.00–14.00 WIB &

17.00–21.00 WIB

BALAI BUDAYA,

JAKARTA

PENYELENGGARA

Balai Budaya, Jakarta

PARTISIPAN

LPKJ (Jakarta): Dick Sjahrir,

Nasrul, Ibnu Darmanto,

Abirohim, Lesmana, Wahyu

Widjaja, Ahmed Sjokwed,

Basuki; Museum Nasional

(Jakarta): Wahyono M.; Aksera

(Surabaya): Nuzurlis Tato,

Nunung

Pengajar LPKJ, Nashar, membuka pameran bersama 14

seniman muda ini. Sebelas di antaranya adalah mahasiswa

yang masih menempuh pendidikan di Akademi Seni Rupa LPKJ.

Total ada 54 karya lukis yang dipamerkan. Dalam sambutannya,

Nashar menyatakan bahwa generasi muda adalah arus

sejarah yang tak dapat dibendung. Meski tantangan dunia seni

rupa nasional tak terhitung, generasi baru selalu lahir untuk

menjawabnya, termasuk yang sedang berpameran kali ini. Hadir

pula menyimak sambutannya, para pelukis senior seperti Zaini,

Kusnadi, maupun Sriyani Hudyonoto.

Lukisan Toto Riboedijanto

berjudul Kota dalam

pemberitaan pameran di Sinar

Harapan, 7 April 1973.


1970–

1979

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

17

PARTISIPASI • DOSEN • FESTIVAL • TARI

Dua Penari di Festival

Mondial du Théâtre

24 APRIL–6 MEI 1973

PLACE DE LA CARRIÈRE,

NANCY, PRANCIS

Sardono W. Kusumo dan Sentot Sudiharto menampilkan tari

ciptaan mereka dalam ajang festival drama sedunia di Nancy,

Prancis. Menurut Arief Budiman (Kompas, 6 Agustus 1973),

penampilan keduanya dipuji oleh media dan kritikus teater

Prancis, seperti yang dimuat di France Soir, Le Monde, dan Le

Figaro. Kesuksesan Sentot dan Sardono diikuti permintaan untuk

mengisi lokakarya di sebuah sekolah tari di Prancis selama dua

minggu. Tari yang ditampilkan itu sendiri adalah gubahan kreatif

Sentot dan Sardono atas beberapa nomor tari Jawa dan Bali

sembari mengambil unsur-unsur teater Barat modern.

Sardono dan Sentot tampil

bersama Théâtre Mobile

dalam Festival Mondial du

Théâtre. (Victoria Nes Kirby,

“Festival Mondial du Theatre,”

The Drama Review, Vol. 17, No.

4, Desember 1977)

PARTISIPASI • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA • PATUNG

Pengajar LPKJ dalam

Pameran Patung

Kontemporer Indonesia

1973

4–14 JUNI 1973

TIM

Perhelatan ini adalah upaya perdana

untuk memperlihatkan perkembangan

patung kontemporer Indonesia.

Perjalanan seni patung Indonesia

ditelusuri dan dimuat bahasannya dalam

katalog pameran. Sebanyak 71 patung

dari 20 seniman ditampilkan dalam

pameran ini. Para pengajar LPKJ yang

karya-karyanya termasuk dipamerkan

adalah Arsono, Wiyoso, G. Sidharta, dan

Yusuf Affendi. Pada penutupan rangkaian

pameran, 14 Juni 1973, dilaksanakan

diskusi dengan Dr. Sudjoko sebagai

Ketua Departemen Perencanaan dan Seni

Rupa ITB. Pembicara lainnya ialah Dan

Soewaryono, kritikus seni rupa sekaligus

pengajar di Akademi Seni Rupa LPKJ,

serta redaktur kebudayaan Berita Yudha.

PENGGAGAS

Yayasan Indonesia

PENYELENGGARA

DKJ

PENDUKUNG

Pertamina, PKJ TIM

PARTISIPAN

Arsono, Mustika, Ramelan,

Suparto, Hadiasmoro,

Edith Ratna Siagian,

Sunaryo, Surya Pernawa,

Wiyoso, But Muchtar, G.

Sidharta, Nurjaman, Rita

Widago, Mochtar Apin,

Yusuf Affendi, Mudjiyono,

Edhi Sunarso, Harsini,

Askabul, Mon Mudjiman

[Kiri] Pematung G. Sidharta,

Dekan Akademi Seni Rupa

LPKJ. [Kanan] Wiyoso dan

karyanya. (Katalog Pameran

Pertama Patung Kontemporer

Indonesia 1973).


18 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

PARTISIPASI • DOSEN • PERTUNJUKAN • TEATER

Pengajar LPKJ dalam

Pementasan Julius Caesar

12–18 JUNI 1973

TEATER ARENA TIM

Teater Kecil yang dipimpin Arifin C. Noer,

menurut Horison (1973, No. 05-06),

ternyata berambisi mementaskan karya

Shakespeare berjudul Julius Caesar.

Naskah terjemahan dikerjakan oleh

Ikranegara, yang juga bertugas sebagai

sutradara, bersama Kay Glassburner.

Sementara pemainnya antara lain Nunuk

Sulaji, Khaerul Umam, Amak Baljun, Kasim

Rakhmat, Hadi Purnomo, dan Rudolf

Puspo. Para pengajar LPKJ, Danarto dan

Franz Haryadi, masing-masing dipercaya

untuk menggarap artistik dan musiknya.

PENYELENGGARA

Teater Kecil

PENDUKUNG

PKJ TIM

PARTISIPAN

Ikranegara, Kay Glassburner,

Nunuk Sulaji, Khaerul

Umam, Amak Baljun, Kasim

Rakhmat, Hadi Purnomo,

Rudolf Puspo, Danarto, Franz

Haryadi, Radjul Kahfie

KARYA • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS

Karya-karya Arsono,

Danarto, dan Sukamto

26–30 JUNI 1973

09.00–13.00 WIB

15.00–21.00 WIB

RUANG PAMERAN PKJ

TIM

PENGGAGAS

Akademi Seni Rupa LPKJ

PENDUKUNG

DKJ & PKJ TIM

Karya-karya tiga asisten dosen LPKJ, yang saat itu disebut

sebagai pengajar muda, ditampilkan dalam pameran ini. Arsono

menampilkan patung, Danarto menampilkan lukisan, sedangkan

Sukamto memamerkan karya grafis. Karya Danarto disebutsebut

tampil lain daripada biasanya: kanvas-kanvasnya ada

yang berbentuk segitiga dan bundar, ada pula yang disusun

seperti desain pementasan pertunjukan. Pameran ini merupakan

bagian dari upaya Akademi Seni Rupa LPKJ meningkatkan

mutu pendidikan. Semakin ahli dan teruji pengajar, semakin

tinggi mutu pendidikan yang bisa diberikan. Melalui pameran ini,

kampus mendukung kelangsungan profesi para pengajarnya dan

berperan lebih—tidak hanya menjadi wadah pendidikan seni tapi

juga wadah kegiatan seni yang kreatif dan maju.

PARTISIPASI • DOSEN • CERAMAH

Ceramah Kesenian

dari Pengajar LPKJ

16–21 JULI 1973

Dewan Kesenian Jakarta mengadakan

penataran tentang masalah kesenian

kepada para istri pejabat Departemen

Luar Negeri. Materi penataran ini diisi

dengan ceramah oleh beberapa pengajar

LPKJ. Gayus Siagian memberikan

ceramah tentang kebudayaan dan

kesenian, Ramadhan K.H. tentang sastra,

Edi Sedyawati tentang tari, D.A. Peransi

tentang seni rupa, D. Djajakusuma tentang

teater, dan S. Suryabrata tentang musik.

PENYELENGGARA

DKJ

KOLABORATOR

LPKJ

PARTISIPAN

Gayus Siagian, Ramadhan

K.H., Edi Sedyawati, D.A.

Peransi, D. Djajakusuma,

S. Suryabrata

ACARA • DISKUSI • TEATER

Pertemuan Kelompok

Teater Remaja

19 JULI 1973

RUANG KULIAH UMUM

LPKJ

Sekitar 30 kelompok teater remaja

mengadakan pertemuan dengan para

pembina teater remaja dari Dewan

Kesenian Jakarta untuk membahas

persiapan Festival Teater Remaja 1973—

ajang unjuk karya ini nantinya menjadi

cikal-bakal Festival Teater Jakarta yang

masih berlangsung setiap tahun hingga

kini.

PENYELENGGARA

DKJ

JUMLAH PARTISIPAN

80 pegiat dari 30 kelompok

teater remaja di Jakarta


1970–

1979

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

19

KARYA • MAHASISWA • PERTUNJUKAN • MUSIK • KLASIK

Resital Piano

Yazeed Djamin

22 JULI 1973

PENDUKUNG

PKJ TIM

Musikus muda Yazeed Djamin masih menempuh pendidikan

di Akademi Musik LPKJ jurusan Piano dan Komposisi. Namun,

mahasiswa kelahiran 1950 ini telah menorehkan prestasi

sebagai pemenang II dalam Festival Organ Indonesia I. Belajar

piano sejak usia tiga tahun, ia menciptakan gubahan pertamanya

pada 1969 berjudul “Srikandhi”.

PARTISIPASI • DOSEN • FESTIVAL • TARI

Pengajar LPKJ di

Shiraz-Persepolis

Arts Festival 1973

31 AGUSTUS–

8 SEPTEMBER 1973

PARTISIPASI • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS

Pengajar LPKJ dalam

Pameran Tiga Pelukis

5–10 NOVEMBER 1973

TIM

SHIRAZ &

PERSEPOLIS, IRAN

PENDUKUNG

PKJ TIM

Drs. Sudarsono, pengajar Akademi Tari LPKJ, diundang untuk

turut tampil dalam festival seni internasional di Iran, yaitu

Shiraz-Persepolis Arts Festival. Dalam kesempatan tersebut,

Sudarsono mengisi program berjudul “Ballet Javanais”.

Festival ini juga dihadiri seniman dari berbagai negara, seperti

Shuji Terayama (Jepang), Maurice Bejart (Prancis), dan Tayeb

Saddiki (Maroko). Kini festival yang berlangsung tahunan dari

1966–1977 tersebut dikenang sebagai ajang perjumpaan budaya

sedunia yang sangat maju pada zamannya.

Dalam pameran ini dipajang 12 karya Rusli yang dinilai punya

kecenderungan menghilangkan objek, dengan kata lain

mendekati abstrak, betapapun ia dikenal antiabstrak. Zaini,

pendiri Studio Lukis LPKJ, memamerkan karya-karya dengan

efek artistik yang diperhitungkan cermat. Warna pastel dan

pelototan tube mendominasi. Sementara karya-karya Nashar,

juga pengajar LPKJ, tak seperti biasanya memperlihatkan

warna-warna cerah. Hari terakhir pameran diisi diskusi yang

dihadiri Dan Soewaryono, Goenawan Mohamad, Umar Kayam,

Rusli, Nashar, dan Zaini. Umar Kayam menyebut ketiga pelukis

itu—Rusli yang amat menguasai cat air, Nashar akrilik, dan Zaini

monotipe—sebagai “master seni Indonesia”.

KARYA • DOSEN • PERTUNJUKAN • TARI

Dongeng dari Dirah

2–3 FEBRUARI 1974

20.00 WIB

TEATER

TERTUTUP TIM

Sampul belakang buku acara

Dongeng dari Dirah

Pentas teater tari ini merupakan

“pemanasan” sebelum para seniman

tampil di Prancis. Mereka diundang

memeriahkan ajang Festival Fantastique

pada 26 Februari–24 Maret 1974.

Rombongan yang dijuluki Teater Sardono

ini akan berangkat membawa 25 orang

penari dan penabuh Bali-Jawa, juga empat

pemain anak.

Ide pementasan Dongeng dari Dirah

diilhami dari kehidupan pasar dan lukisan

Bali. Inilah hasil kontemplasi Jawa dan

kesadaran Sardono akan lingkungan Bali.

Meski bercorak modern, pertunjukan ini

masih berpijak pada tradisi. Nantinya,

Sardono dan lainnya ditanggap keliling

Eropa selama 3,5 bulan. Mereka berpentas

antara lain di Paris, Den Haag, Amsterdam,

Rotterdam, Holstebro, Jenewa, Roma, dan

mampir pula di Teheran.

PENDUKUNG

PKJ TIM

SUTRADARA &

KOREOGRAFER

Sardono W. Kusumo

MUSIK

Ide Bagus Made Geria, I Wayan

Sadra, I Ketut Gridem, Pande

Made Sukertha, Aloysius

Suwardi, Suharto

DESAIN

Danarto

PEMAIN

I Wayan Diya, S. Kardjono,

Sal Murgiyanto, Sugeng,

Sentot Sudiharto, I Made

Netra, Rochmat, I Nyoman

Suyasa, Tri Sapto, I Ketut Rina,

Sukmawati Sukarno, Ida Ayu

Komang Surat, Retno Maruti,

I Dege Tapa Sudana, Ni Made

Asri, I Made Pasek Tempo, Ni

Nyoman Sarwi

1974


20 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

PARTISIPASI • DOSEN & MAHASISWA • PELATIHAN

Seniman LPKJ dalam

Pentas Tari Bagong

Kussudiardjo

9–10 APRIL 1974

20.00 WIB

TEATER ARENA TIM

Bagong Kussudiardja, bersama awak

Pusat Latihan Tarinya dan penari LPKJ,

mementaskan dua nomor koreografi

ciptaannya sendiri: Dosa yang Terampuni

dan Kenangan Masa Lampau. Sebagai

pengiring musik adalah Ki Wasito Dipuro

untuk karya yang pertama, sedangkan

untuk karya yang kedua adalah Franz

Haryadi, pengajar LPKJ.

PENYELENGGARA

Pusat Latihan Tari

Bagong Kussudiardja

KOLABORATOR

Penari-penari Jakarta

PENDUKUNG

PKJ TIM

PARTISIPAN

Bagong Kussudiardja, Franz

Harjadi, Ki Wasito Dipuro,

Nasyadi, Ida, Sumdiyo Hadi,

Nus, Lastri, Nanci Hasan,

Alit, Linda Karim, June

Beckx, Usil Soesilo H.S.

ACARA • SEMINAR • DRAMA

Seminar Bedah

Naskah Drama

4 MEI–22 JUNI 1974

16.00 WIB

RUANG KULIAH LPKJ

Lima belas naskah pemenang Sayembara

Naskah Drama 1972 dan 1973 dibedah

dalam seminar ini, antara lain karangan

N. Riantiarno, Akhdiat K. Mihardja, Saini

K.M., Putu Wijaya, dan Vredi Kastam

Marta. Para pemateri memandu peserta

untuk mendalami unsur-unsur sastrawi

dalam naskah sekaligus bagaimana

naskah tersebut dapat dipentaskan.

PENYELENGGARA

LPKJ

KOLABORATOR

DKJ

PEMATERI

S. Effendi, Hariyadi S.

Hartowardoyo, Goenawan

Mohamad, Sapardi

Djoko Damono, Syu’bah

Asa, Slamet Sukirnanto,

Fred Wetik, Pramana

Padmodarmaya, Taufiq Ismail

PARTISIPAN

Kontestan Festival Teater

Remaja 1973, penulis

drama, dan kritikus drama

ACARA • CERAMAH

Kultur Politik

Wiratmo Soekito

16 MEI 1974

20.00 WIB

TEATER ARENA TIM

PENGGAGAS &

PENYELENGGARA

DKJ

KOLABORATOR

PKJ TIM

Wiratmo Soekito, salah satu penulis Manifes Kebudayaan

(Manikebu), memberikan ceramah berjudul “Perlukah Kultur

Politik”. Wiratmo merupakan penulis bidang politik dan

kebudayaan yang sempat dicekal setelah Manikebu dilarang

Presiden Sukarno pada 1964. Setelah pemerintah berganti

menjadi Orde Baru, barulah Wiratmo kembali bebas menulis

dan berkomentar, baik di surat kabar maupun radio. Mulai 1974,

Wiratmo juga menjadi pengajar di LPKJ untuk mata kuliah Kapita

Selekta.

PARTISIPASI • MAHASISWA • PERTUNJUKAN • TARI • BALET

Penari LPKJ dalam

Pentas Balet Kontemporer

29–31 MEI 1974

20.00 WIB

TEATER

TERTUTUP TIM

Dua penata tari Surabaya, Marlupi

Siangga dan Yulian, unjuk karya di

Jakarta. Koreografi balet kontemporer

mereka yang dipentaskan berjudul Wajahwajah

di dalam Gereja, Garong-garong, dan

String Percussion and Celesta. Dua nomor

pertama diilhami dari cerpen Taufiq

Ismail dan memanfaatkan unsur musik

Betawi, gambang kromong, di dalamnya.

Pertunjukan ini awalnya direncanakan

untuk naik panggung pada Januari 1974.

Namun, karena pecah Peristiwa Malari,

terpaksa diundurkan hingga Mei.

KOLABORATOR

Nritya Sundara &

Akademi Tari LPKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM

PENARI

Dedy Hendrawanoto, Asti

Maharajo, Nancy Hassan,

Lydia, Maria, Yulian dan

Marlupi Siangga, bersama

para penari Nritya Sundara

dan Akademi Tari LPKJ


1970–

1979

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

21

PARTISIPASI • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS

Pengajar LPKJ dalam

Pameran Lukisan Dunia

Minyak Indonesia

14–27 JUNI 1974

09.00–13.00 WIB

17.00–21.00 WIB

RUANG PAMERAN TIM

PENYELENGGARA

DKJ & Pertamina

PENDUKUNG

PKJ TIM

PARTISIPAN

Arief Soedarsono, Batara

Lubis, Daryono, Nurdin B.S.,

Popo Iskandar, Lian Sahar,

Rusli, Soedarso, Srihadi S.,

Sriyani H., Sukamto, Soeparto,

Umi Dachlan, Zaini

Pertamina mengundang 15 seniman untuk membuat lukisan

tentang dunia minyak Indonesia—meski satu mengundurkan

diri, yaitu pengajar LPKJ D.A. Peransi. Pameran Lukisanlukisan

Dunia Minyak Indonesia ini menampilkan 52 karya

lukis. Sebanyak 12 lukisan dipilih untuk hiasan kalender 1975

Pertamina.

Media massa ramai memberitakan pro dan kontra yang

mengemuka, mengenai seni sebagai ciptaan atau orderan.

Beberapa seniman dan pengamat urun komentar, khususnya

mengenai peran maesenas, kebebasan ekspresi, penghayatan,

dan karya seperti apa yang dimungkinkan dengan sistem

orderan ini. Pertamina sendiri bukan baru sekali mendanai

penyelenggaraan ajang seni rupa (Pameran Seni Lukis

Kontemporer Indonesia 1971 dan Pameran Seni Patung

Kontemporer Indonesia 1973 juga berlangsung berkat sokongan

Pertamina).

Umar Kayam, yang menuliskan esai di katalog pameran,

menyatakan bahwa pelukis-pelukis memang perlu mengolah

materi dari perkembangan kasatmata di sekelilingnya. Budaya

“remang-remang”, budaya antara, yang sedang berada dalam

perubahan dari lama menuju baru, menyediakan kekayaan

materi itu. Pelukis-pelukis tidak lagi perlu berkutat pada gunung,

pantai, sungai, sawah, binatang-binatang, dan sebangsanya.

Suasana pameran Lukisanlukisan

Dunia Minyak di

Indonesia di TIM.

ACARA • CERAMAH • TEATER

Ceramah Teater

Dolf de Vries

15 JUNI 1974

RUANG KULIAH UMUM

LPKJ

PENYELENGGARA

LPKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM

Dolf de Vries, pengajar Toneelschool (sekolah drama) di

Maastricht, Belanda, memberikan ceramah kepada para pemain

teater Jakarta. Namun, acara tersebut diarahkan untuk lebih

condong ke diskusi ketimbang ceramah satu arah. Dolf de Vries

pernah bermain dalam De Haagse Comedie en het Amsterdamse

Toneel dan telah menyutradarai lebih-kurang dua puluh naskah

sandiwara untuk grup teater profesional maupun sandiwara

sekolah.


22 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

ACARA

Dies Natalis LPKJ 1974

22–26 JUNI 1974

KAMPUS LPKJ & TIM

LPKJ merayakan Dies Natalis dengan

menyelenggarakan berbagai ajang unjuk

karya mahasiswa semua jurusan. Ada

pameran lukisan dan patung, pameran

foto, pentas tari, serta pentas teater.

Pramana Pmd., pengajar Jurusan Teater,

dalam pembukaan menyatakan bahwa

perayaan ini menjadi cara menguji LPKJ,

sejauh mana hasil-hasil pendidikannya

berdampak. Pramana Pmd. juga

menyutradarai lakon teater yang

diselenggarakan 23 Juni 1974, mengambil

judul Pak Dullah in Extremis karya Achdiat

K. Mihardja.

Taufiq Ismail selaku Ketua LPKJ

dalam sambutannya membahas tentang

sistem pendidikan seni yang dicapai

LPKJ. Menurutnya, sistem itu belum

sesuai harapan karena model pendidikan

seni untuk membentuk kader dalam

kesenian belum ada di Indonesia.

PENYELENGGARA

LPKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM

KARYA • MAHASISWA • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS

Pameran Lukisan

Mahasiswa LPKJ dalam

Dies Natalis 1974

22–26 JUNI 1974

PAGI–SORE

RUANG PAMERAN TIM

Dua puluh tujuh mahasiswa ikut serta

dalam pameran ini, yang diselenggarakan

untuk memeriahkan Dies Natalis LPKJ

1974. Mereka memamerkan berbagai

karya lukis, grafis, sketsa, dan patung.

Pameran ini disebut-sebut sebagai karya

studi mahasiswa, belum merupakan

pameran hasil kreatif pribadi.

PENYELENGGARA

LPKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM

SENIMAN

Boeling, Haryanthi, Dolorosa,

Peter Massie, Martin T.S.,

Sofyan, Ugo, Kommun,

Jonie Hadi, Hertry, Abdul

Malik, Sawitri S., Hanung

Mahadi, Bambang Buntaran,

Julius Jusijaya, Martono,

Hudam I.K., Eddy S., Martri

D., Ronald, Tulan Moro, Yani

Maryani, Ariana, Sita, Ipah,

Aam Muharam, Sjaeful

ACARA • RISET • TARI

Tari dalam Riset

di Sumatra Barat

JULI 1974

SUMATRA BARAT

Riset tari ini diselenggarakan

bersama-sama oleh LPKJ dan ASKI

Padangpanjang, di bawah pimpinan

Bustanul Arifin (saudara tertua

koreografer LPKJ Huriah Adam).

Rombongan periset mengunjungi

Padangpanjang, Payakumbuh, Pariaman,

dan Padang Alas. Edi Sedyawati, Ketua

Akademi Tari LPKJ, mengoordinasikan

rombongan dari Jakarta. Dosen-dosen

yang turut serta antara lain Farida

Sjuman dan Yulianti Parani. Riset ini akan

menghasilkan produk pengetahuan dalam

bentuk dokumentasi film, foto, rekaman

dan wawancara.

PENYELENGGARA

Akademi Tari LPKJ

KOLABORATOR

ASKI (Akademi Seni Karawitan

Indonesia) Padangpanjang

PENDUKUNG

DKJ, Dirkes P&K, dan

Ford Foundation

PARTISIPAN

Edi Sedyawati, Farida

Sjuman, Yulianti Parani,

Syawati Amran, dan

mahasiswa Akademi Tari

LPKJ tahun II, III, dan IV.


1970–

1979

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

23

PARTISIPASI • DOSEN • PERTUNJUKAN • TARI • WAYANG ORANG

Pengajar LPKJ

dalam Wayang Orang

Roro Jonggrang

14–15 SEPTEMBER

1974

TEATER TERTUTUP TIM

Wayang orang Roro Jonggrang ini

diperkuat oleh penata tari dan penari

kawakan. Pelita (14 September 1974)

menyebut bahwa para penari tampil

dengan menggunakan kostum yang

diperkirakan mendekati corak dan

kenyataan pada zamannya. Cerita wayang

ini diangkat dari legenda rakyat mengenai

berdirinya 1.000 patung di Candi

Prambanan.

PENYELENGGARA

Jaya Budaya & DKJ

KOLABORATOR

LPKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM

PARTISIPAN

S. Kardjono, Sentot

Sudiharto, Trisapto, Ny.

Retnodewi, Retno Maruti

KARYA • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS

Pameran Berdua

Baharuddin M.S.

dan Mustika

25–31 OKTOBER 1974

09.00–13.00 WIB

17.00–20.00 WIB

RUANG PAMERAN

PKJ TIM

Baharuddin M.S. dan Mustika adalah dua

seniman dari generasi berbeda. Kadangkadang,

kata Ajip Rosidi dalam pengantar

pameran, kita perlu melihat hal-hal yang

berbeda dalam satu pameran. Baharuddin

periode itu lebih dikenal sebagai ahli

tipografi dan seseorang yang bersetia

pada seni rupa, terutama karena tulisan

dan komentarnya mengenai seni rupa

Indonesia. Dalam kesempatan ini ia

memamerkan 31 lukisannya. Sedangkan

Mustika, namanya baru menanjak dan

sedang mendapat perhatian dunia seni

rupa Indonesia, terutama karena karyakarya

batiknya. Pameran ini menampilkan

25 lukisannya.

PENGGAGAS

DKJ

KOLABORATOR

LPKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM

[Atas] Baharuddin M.S. dan

sebuah karyanya, Kemal

(1954). [Bawah] Mustika dan

sebuah karyanya, Ketiban

Rezeki (1974).


24 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

KARYA • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS

Srihadi dalam

Pameran Tunggal

2–8 NOVEMBER 1974

09.00–13.00 WIB

17.00–20.00 WIB

RUANG PAMERAN

PKJ TIM

PENGGAGAS

DKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM

Srihadi Soedarsono, Dekan Akademi Seni Rupa LPKJ,

menempati posisi unik dalam dunia seni rupa. Ia dipandang

sebagai “pelukis akademis” karena latar belakang pendidikannya

di Seni Rupa ITB, tapi ia juga pernah tergabung dalam

Seniman Indonesia Muda, sanggar pimpinan Sudjojono yang

pengajarannya lebih autodidak. Karya-karya lukis Srihadi pernah

menjurus ke arah nonfiguratif, kolase, abstrak murni, sebelum

kembali pada figuratif. Pameran ini menghadirkan empat puluh

lukisan terbaru Srihadi yang sudah berkarya selama kurang-lebih

seperempat abad.

[Dari kiri ke kanan] Srihadi

Soedarsono dan lukisanlukisannya,

Horison dan

Baju Hijau.

PARTISIPASI • DOSEN & MAHASISWA • FESTIVAL • TEATER

Juri dan Kontestan

dalam Festival Teater

Remaja 1974

SEPTEMBER–

DESEMBER 1974

TEATER TERTUTUP &

TEATER ARENA TIM

PENGGAGAS &

PENYELENGGARA

DKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM

JUMLAH PARTISIPAN

134 kelompok teater remaja

se-Jakarta

PARTISIPAN

Lisendra LIC Buana, Teater

Rang-Rang, Sanggar Kita,

Pusat Teater Jakarta, Teater

Remaja Jakarta, Sanggar

Prakarya, Ikatan Muda-Mudi

Petamburan, Teater SMA

Negeri VII, Arvisco Teater,

Ikatan Muda-Mudi Kramat

Pulo, Teater Cakra Ayodya,

Teater Panuluh, Teater Kail,

Teater Bulungan, Teater

Gombong, Teater Bara,

Sanggar Teater Jakarta, Teater

P304, Teater Polonia, Teater

GR, Teater Katara, Teater

Baracuda, Art Study Club,

Teater Sunda Kelapa, Teater

Papango, Teater Ibukota,

Teater Intan, Teater Simpang

Tiga, Road Teater

Tahun ini adalah kali kedua Festival Teater Remaja diadakan.

Lima orang juri dipilih dari kalangan pelaku teater, tiga di

antaranya dari staf pengajar LPKJ. Mereka adalah Pramana

Pmd., Taufiq Ismail, dan Roedjito. Dua orang lainnya pun tak

asing lagi di lingkaran pelaku seni peran, yaitu Syu’bah Asa dan

Ikranagara.

Babak penyisihan diselenggarakan di Gelanggang Remaja

tiap wilayah Jakarta pada 22 September–4 Oktober 1974. Babak

ini menghasilkan 29 kelompok teater yang lolos ke babak final,

yang dilangsungkan selama Desember 1974. Menurut laporan

para juri, penilaian dilakukan atas bidang-bidang pementasan,

penyutradaraan, tata artistik, dan permainan individual di mana

masing-masing aktor di atas panggung mepertimbangkan

elemen-elemen teatrikal mereka sendiri-sendiri. Mahasiswa

Akademi Teater LPKJ, Eddy de Rounde, terpilih sebagai

Sutradara Terbaik, sementara kelompoknya, Katara, menjadi

Juara II, dengan lakon berjudul Jaka Tarub.

Pementasan Teater Katara,

Juara II dan Sutradara Terbaik

(Eddy de Rounde, mahasiswa

LPKJ)


1970–

1979

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

25

PARTISIPASI • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS

Pengajar LPKJ

dalam Pameran

Seni Lukis Indonesia 1974

18–31 DESEMBER 1974

RUANG PAMERAN TIM,

MUSEUM PUSAT,

GEDUNG KEBANGKITAN

NASIONAL

PENGGAGAS &

PENYELENGGARA

DKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM

JUMLAH PARTISIPAN

81 pelukis

Walaupun sudah sering menyelenggarakan pameran, DKJ

percaya akan perlunya sebuah pameran yang menggambarkan

seni lukis Indonesia secara representatif. Untuk itulah Pameran

Seni Lukis Indonesia 1974 ini diadakan dan rencananya akan

digelar berkala setiap dua tahun sekali. Namun, pelaksanaannya

menyisakan banyak catatan. Ruang Pameran TIM dikabarkan

tidak sanggup menampung 240 buah lukisan dari 81 peserta

sehingga dua lokasi lain dilibatkan. Pelita (31 Desember 1974)

mencatat bahwa dalam buku acara, nama-nama pelukis muda

dari LPKJ belum dicantumkan. Lalu, bisa jadi karena lukisan

yang terlalu banyak atau waktu penyelenggaraan yang sempit,

pemasangan lukisan terlihat asal.

Pameran ini juga menandai sebuah peristiwa penting

dalam dunia seni rupa Indonesia. Empat belas seniman muda

menandatangani pernyataan “Desember Hitam” dan menitipkan

karangan bunga duka cita untuk DKJ atas “Kematian Seni

Lukis Indonesia”. Penyebabnya, dewan juri pameran memberi

penghargaan kepada lima pelukis tanpa argumen yang kokoh

dan dapat dipertanggung jawabkan. Hal ini dianggap sebagai

cermin kemandekan yang terjadi dalam perkembangan seni

rupa Indonesia. Nantinya, “Desember Hitam” dianggap sebagai

pembuka jalan bagi ekspresi dan konvensi baru dalam seni rupa

Indonesia.

Karya Srihadi dan

Suprapto.

ACARA • KURSUS • FILM

Kursus Penulisan

Skenario Film oleh

Akademi Sinematografi

FEBRUARI 1975

RUANG KULIAH LPKJ

PENYELENGGARA

Akademi Sinematografi LPKJ

PENDUKUNG

Direktorat Pembinaan

Perfilman

JUMLAH PARTISIPAN

76 peserta

Kursus ini diadakan untuk menyiapkan tenaga perfilman.

Demikian yang tertulis dalam sambutan H.T. Djohardin selaku

Direktur Pembinaan Perfilman dalam upacara penutupan kursus.

Ia juga berpesan agar penulis skenario dapat menghasilkan film

yang benar-benar memberikan hiburan sehat bagi rakyat. Sebab,

skenario merupakan kerangka dasar sebuah film dan menjadi

landasan kerja bagi karyawan film lainnya.

Dalam upacara penutupan di TIM tersebut, 26 orang dari 76

peserta dinyatakan lulus ujian teori dan dapat menjalani praktik

pembuatan skenario selama sebulan. Sebanyak 26 orang lainnya

diperkenankan mengulang ujian teori dan selebihnya dianggap

gagal. Peserta kursus berasal dari Jakarta, Ujungpandang (kini

Makassar), Bandung, Surabaya, Padang, dan Banjarmasin.

1975


26 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

KARYA • MAHASISWA • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS

Pameran Tunggal Sugeng

2–8 FEBRUARI 1975

09.00–13.00 &

17.00–21.00 WIB

RUANG PAMERAN TIM

Sugeng, kelahiran Juwana, 25 Mei

1945, adalah mahasiswa tingkat akhir

Akademi Sinematografi LPKJ. Bakat

seni lukisnya ia asah sendiri walaupun

pernah pula menempuh pendidikan

di STSRN Jakarta. Ia juga aktif dalam

teater dan ikut serta dalam rombongan

Sardono W. Kusumo ke Eropa sebelum

ini. Dalam pameran tunggalnya yang

pertama ini, ia menghadirkan 60 lukisan

pastel. Rencananya medium lukis lain,

seperti akrilik dan minyak, akan ia jelajahi

dalam pameran-pamerannya selanjutnya.

Baharuddin M.S. dalam catatannya di

Kompas (13 Februari 1975), menyatakan

bahwa pada tahap perkembangan

sekarang tinjauan menyeluruh atas

karya Sugeng tak pelak masih bersifat

spekulasi. Namun, katanya, ada benihbenih

untuk dilihat di masa mendatang.

PENDUKUNG

PKJ TIM

ACARA • CERAMAH • SASTRA • PENERJEMAHAN

Ali Audah

tentang Penerjemahan

10 FEBRUARI 1975

TEATER ARENA TIM

PENYELENGGARA

DKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM

Ali Audah, pengajar agama Islam di LPKJ dan penerjemah

Qur’an, Terjemahan dan Tafsirnya, memberikan ceramah seputar

penerjemahan. Ali Audah memaparkan bahwa penerjemahan

bukan hanya menyalin kata-kata, tetapi juga menyalin pengertian

yang utuh. Penerjemah memegang amanat dan tanggung jawab

moral terhadap pengarang asli dan masyarakat. Terjemahan,

menurutnya, bisa merupakan reproduksi apa adanya dari

yang diterjemahkan, tapi bisa pula apa yang disebut sebagai

terjemahan bebas, parafrase, saduran, atau adaptasi. Tetapi, apa

pun sifat penerjemahan itu, si penerjemah bisa melibatkan diri

ke dalam karya itu dengan cara menguasai persoalan yang akan

diterjemahkan dan melahirkan gaya terjemahan.

PARTISIPASI • DOSEN • SEMINAR • TEATER

Pengajar LPKJ

dalam Seminar

Naskah Sandiwara

15, 17, 22, 24 FEBRUARI &

1, 3 MARET 1975

Menyudahi Sayembara Penulisan

Sandiwara 1974, diadakan seminar untuk

membahas beberapa naskah. Enam

naskah yang dibicarakan adalah Rumah

Tak Beratap Rumah Tak Berasap dan

Langit Dekat dan Langkit Sehat karya

Akhudiat (pemenang harapan), Perjalanan

Kehilangan karya Noorca Marendra,

Malam Semakin Kelam karya N. Riantiarno

(pemenang harapan), Jaka Tarub karya

Akhudiat (pemenang ketiga), serta Anu

dan Dag Dig Dug karya Putu Wijaya

(pemenang pertama dan kedua).

PENYELENGGARA

DKJ

PEMBICARA

Goenawan Mohamad,

Ikranagara, Cak Winarsyo,

Syu’bah Asa, Sapardi

Djoko Damono, Nasri

Cheppy, Pramana Pmd.,

Aldisar Syafar, Roedjito,

Ridwan Adam, Sudibyanto,

Soedharnoto, Abdi Wiyoso


1970–

1979

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

27

KARYA • DOSEN • PAMERAN • KRIYA • TEKSTIL

Tenunan Tangan

Yusuf Affendi

10–16 MARET 1975

09.00–13.00 &

17.00–21.00 WIB

RUANG PAMERAN TIM

PENYELENGGARA

DKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM

Yusuf Affendi, dosen LPKJ yang telah lama menekuni tekstil,

berpameran. Karya-karya lulusan desain tekstil Rochester

Institute of Technology itu mencakup desain tenun yang dapat

dipakai untuk membantu susunan artistik interior, seperti

penutup dinding, pemisah ruang, dan tirai. Unsur-unsur interior

ini dapat diberi sifat atau suasana khusus dengan tenunan.

Bahan yang digunakan beragam: wol, sutra, dan serat buatan.

Selain itu, dijelajahi pula serat alam murni, seperti pandan, tali

sisal, dan jute yang mudah didapat, terutama di desa-desa. Alat

yang digunakan adalah alat tenun kayu yang dikenal sebagai

ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) yang biasa dipakai untuk

menenun kain sarung di desa-desa.

[Kiri] Kulit muka buku acara

pameran Yusuf Affendi.

[Kanan] Salah satu tenunan

yang dipamerkan.

KARYA • MAHASISWA • PERTUNJUKAN • TEATER

Randai Hippolutos

14–15 MARET 1975

TEATER ARENA TIM

Pementasan lakon Yunani kuno dalam

wujud randai adalah cara mahasiswamahasiswa

LPKJ untuk menawarkan satu

alternatif penggarapan dari sekian banyak

teater rakyat. Pertunjukan ini memberi

peluang akan penjelajahan bentuk teater

baru di Indonesia. Pada saat yang sama,

pentas ini dianggap sebagai napas baru

dalam randai yang selama ini selalu

terkurung dengan cerita-cerita Minang.

Menampilkan rangkiang (lumbung padi),

patung Artemis, dan Aphrodite, randai

ini diiringi tetabuhan rebana dan tiupan

puput batang padi.

PENYELENGGARA

Sanggar LPKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM

PENULIS NASKAH

Euripides terjemahan

Toto Sudarto Bachtiar

PEMAIN

Mahasiswa-mahasiswa

Akademi Teater LPKJ


28 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

ACARA • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS

Lukisan-lukisan Anna

Rosana dan Eugene Vlug

29 MARET–

3 APRIL 1975

BALAI BUDAYA

JAKARTA

PENYELENGGARA

Bengkel Pelukis Jakarta

Bengkel Pelukis Jakarta adalah sebuah proyek LPKJ dalam

bidang seni rupa. Meski baru berusia setahun, proyek ini

siap memamerkan karya dua muridnya. Anna Rosana saat

pameran berlangsung masih terdaftar sebagai pelajar SMA.

Kemauannya menggambar sudah terlihat dari kecil dan inilah

yang mengantarkannya mengasah kemampuan di Bengkel.

Sedangkan Eugene Vlug, berusia 27 tahun, merupakan pegawai

PT Traktor Nusantara. Ia tidak punya latar belakang akademis

seni rupa tetapi memiliki keinginan untuk terus belajar sendiri.

ACARA • CERAMAH • TEATER

Goenawan Mohamad:

Teater dan Publiknya

APRIL 1975

RUANG KULIAH LPKJ

Goenawan Mohamad, dalam ceramahnya, berpendapat bahwa

masalah naik-turun minat publik terhadap teater tidak dapat

diperhitungkan. Sejarah teater di Indonesia, menurutnya,

berbeda dari teater di Barat. Di negeri kita tidak terjadi

ketegangan antara publik dan panggung, seperti yang terlihat

dalam teater avant-garde di Barat. Di Indonesia, teater adalah

institusi sosial. Maka, pendekatan sosial-estetis perlu dalam

rangka menumbuhkan minat publik terhadap teater (modern).

Kondisi keintiman antara publik dan teater seperti yang ada pada

pertunjukan tradisional perlu diupayakan.

KARYA • MAHASISWA • PERTUNJUKAN • TEATER • OPERA

Rock Opera Ken Arok

karya Harry Roesli

12 APRIL 1975

GEDUNG MERDEKA,

BANDUNG

SUTRADARA

Harry Roesli

KELOMPOK MUSIK

The Hooker Man

Harry Roesli, mahasiswa ITB dan jurusan Komposisi di

Akademi Musik LPKJ, mementaskan pertunjukan yang sedang

populer disebut “rock opera”. Ceritanya tentang Ken Arok yang

mengambil keris dari Empu Gandring. Keris itu digunakan untuk

membunuh Raja Tunggul Ametung dan Kebo Ijo yang kemudian

dijadikan kambing hitam. Harry sendiri mengaku tidak berani

menyebut karyanya sebagai opera. Baginya, Ken Arok lebih tepat

disebut opera kecil (operet) karena opera menuntut hal-hal

lebih banyak. Ia malah menyebut karyanya sebagai “wayang

orang kontemporer”, karena ia sendiri pula yang bernyanyi dan

mengubah-ubah suaranya, persis sebagaimana dalang dalam

wayang orang.

Salah satu adegan dalam

Ken Arok karya Harry Rusli.


1970–

1979

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

29

PARTISIPASI • MAHASISWA • PERTUNJUKAN • LENONG

Mahasiswa Tari

dan Teater LPKJ dalam

Si Ronggeng

3–4 MEI 1975

20.00 WIB

TEATER TERBUKA TIM

TIKET

Rp1.000

Naskah lenong Si Ronggeng disadur

Sekretaris LPKJ Sumantri Sastrosuwondo

dari cerita klasik Jawa berjudul Ki

Ageng Mangir. Pertunjukan ini dianggap

sebagai eksperimen dan bentuk baru

dari lenong, bagian dari upaya mengolah

pertunjukan tradisi ke dalam bentuk

mutakhir agar dapat dinikmati berbagai

golongan penonton. Di sini ditampilkan

unsur-unsur lenong, nyanyian, tari, dan

berbagai improvisasi. Para pemain lenong

berpengalaman, pemain teater yang

terlatih secara akademis, dan pemain

teater modern bergabung menyajikan

sebuah persembahan unik.

PENGGAGAS &

PENYELENGGARA

Pusat Penelitian dan

Pengembangan Kesenian

Rakyat Jakarta

KOLABORATOR

Mahasiswa Akademi Tari,

Teater LPKJ, Perkumpulan

Pencak Silat

PENDUKUNG

PKJ TIM

PARTISIPAN

Sumantri Sastrosuwondo,

S.M. Ardan, Yulianti

Parani, An Anzar, Anen,

M. Toha, Mamit, Bu Siti

ACARA • PERTUNJUKAN • MUSIK • KLASIK

Suka Hardjana

dan Ensemble Jakarta

28 MEI 1975

20.00 WIB

TEATER TERTUTUP TIM

Ensemble Jakarta tampil membawakan

karya-karya Joseph Haydn, Franz Anton

Hoffmeister, Carl Maria von Weber, dll.

Sejak kemunculannya yang pertama di

Jakarta, ansambel yang dibentuk Suka

Hardjana pada November 1971 ini sudah

banyak menampilkan repertoar dari

berbagai aliran dan zaman. Mereka juga

telah melawat ke berbagai kota besar

di Indonesia, di antaranya Surabaya,

Yogyakarta, Bandung, Ujungpandang

(kini Makassar), dan Medan untuk

memperkenalkan musik klasik. Dalam

wawancara media tentang pertunjukan ini,

Suka Hardjana menyatakan kerinduannya

untuk memainkan karya komponis

Indonesia, yang jumlahnya masih langka.

PENYELENGGARA

Ensemble Jakarta

PENDUKUNG

PKJ TIM

PARTISIPAN

Nusyirwan Lesmana,

Sudarto, Soedomo,

Soedarmadi, Suka Hardjana

Ensemble Jakarta pimpinan

Suka Hardjana.


30 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

ACARA

Dies Natalis LPKJ V

16–26 JUNI 1975

BALAI KOTA JAKARTA,

KAWASAN LPKJ, TIM

PENGGAGAS &

PENYELENGGARA

LPKJ

KOLABORATOR

PKJ TIM

PENDUKUNG

Pemerintah DKI Jakarta

[Kiri] Rektor LPKJ Taufiq

Ismail (kedua dari kanan)

menerangkan tentang

rancangan kampus baru LPKJ

kepada rombongan Ali Sadikin

(ketiga dari kanan). [Kanan]

Ruang kerja Akademi Seni

Rupa LPKJ yang masih berupa

gudang sederhana.

Niat Ali Sadikin untuk menjadikan Jakarta sebagai “Kota Pusat

Kebudayan Nasional” digaungkan kembali dalam pidatonya

saat Upacara Resmi Dies Natalis V LPKJ. Gubernur DKI Jakarta

yang turut mendirikan LPKJ itu juga berpesan kepada seniman

dan mahasiswa LPKJ supaya “jangan jauh-jauh dari rakyat”.

Taufiq Ismail selaku Rektor LPKJ menyampaikan laporan

perkembangan lembaga ini sejak berdiri dan Dr. Harsya W.

Bachtiar memberikan pidato keilmuan berjudul “Kesenian dan

Pendidikan Tinggi”. Dalam pidatonya, Dr. Harsya mengatakan,

sudah sepatutnya LPKJ menentukan apakah lembaga tersebut

akan menghasilkan “seniman” atau “ahli kesenian”, atau memilih

keseimbangan: menghasilkan seniman yang berpengetahuan

dan ahli kesenian yang mampu mencipta.

Kemeriahan Dies Natalis V LPKJ sendiri terselenggara

sepanjang sepuluh hari. Rangkaian acara diisi dengan Pameran

Lukisan Taman Kanak-Kanak Se-Jakarta, Lomba Lagu Rakyat

untuk tingkat SMA, Lomba Baca Puisi, Pagelaran Musik,

Pameran Seni Rupa dan Sinematografi, Pementasan Drama

dan Tari, dsb. Dalam lima tahun usianya LPKJ tercatat sudah

memiliki 225 mahasiswa, terdiri atas 19 mahasiswa musik,

111 mahasiswa seni rupa, 78 mahasiswa sinematografi, 12

mahasiswa tari, dan 35 mahasiswa teater. Peningkatan jumlah

mahasiswa dari tahun pertama dianggap sebagai kemajuan.

Ditambah lagi dengan fasilitas kampus baru yang sedang

dibangun dengan luas bangunan 6000 m2

di atas tanah seluas 1,6 ha.


1970–

1979

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

31

PARTISIPASI • DOSEN • PERTUNJUKAN • TEATER

Lakon

Perjalanan Kehilangan

Syu’bah Asa

8–11 JULI 1975

20.00 WIB

TEATER TERTUTUP TIM

PARTISIPASI • DOSEN • PERTUNJUKAN • TEATER

Lukisan Pengajar

LPKJ dalam Pameran

Koleksi DKJ

AGUSTUS 1975

RUANG PAMERAN TIM

PENGGAGAS &

PENYELENGGARA

DKJ

PENDUKUNG

PT Erba Corporation (Medan),

Dewan Kesenian Medan,

PKJ TIM

PARTISIPASI • DOSEN • PERTUNJUKAN • TARI • KLASIK

S. Kardjono dalam

Langen Mandra Wanara

19–20 AGUSTUS 1975

TEATER ARENA TIM

PENYELENGGARA

Teater Saja

PENDUKUNG

PKJ TIM

PENYELENGGARA

Jaya Budaya

PENDUKUNG

DKJ, PKJ TIM

PARTISIPAN

S. Kardjono, Retno Maruti,

Retno Dewani, Kussawarna,

Putranto

Lakon Perjalanan Kehilangan karya Noorca Marendra

memenangkan juara ketiga Sayembara Penulisan Lakon DKJ

1974. Selaku sutradara, Syu’bah Asa berusaha menyajikan lakon

yang pada dasarnya merupakan diskusi yang sangat verbal

itu menjadi lebih visual-treatikal di atas panggung. Menurut

pengajar LPKJ ini, lakon ini bertema perenungan tentang kodrat

yang didekati secara intens dan rasional, serta membawa

kecenderungan religius yang cukup. Sapardi Djoko Damono,

lewat Horison (1975, No. 8), menyambut positif pementasan

ini. Ia memuji antara lain interpretasi Syu’bah Asa, tata artistik

Bambang Bujono, dan pemikiran Noorca Marendra yang

tertuang dalam naskah.

Pameran ini hendak memperlihatkan sejauh mana koleksi DKJ

tersusun. Dari 34 pelukis, ada 53 lukisan yang dipajang untuk

umum. Adalah salah satu cita-cita lembaga ini untuk mempunyai

ruang khusus yang dapat memamerkan karya-karya pelukis

Indonesia secara tetap. Untuk itu, telah tersusun koleksi lukisan

sedikit demi sedikit dari para pelukis Indonesia. Di antara

pelukis yang dianggap penting, paling tidak ada satu karyanya

yang disimpan. Dalam usaha ini, DKJ mendapat pengertian

dan bantuan dari para pelukis itu sendiri, yang dengan hati

terbuka melepas karya dengan harga jauh lebih rendah daripada

seharusnya. Bahkan banyak pula pelukis yang sukarela

memberikan karyanya. Pihak lain yang juga berkontribusi adalah

Pertamina, yang pernah memberikan lukisan untuk kelengkapan

koleksi DKJ.

Teater tari Langen Mandra Wanara mempunyai corak tersendiri.

Tak seperti wayang orang pada umumnya, dialog-dialognya

dibawakan dengan tembang Jawa. Ciri khas lain, para penari

membawakan tarian dalam posisi jongkok maupun duduk,

sedangkan cara berjalan dilakukan dengan berjongkok atau

yang lazim disebut laku ndhodhok. Para penari harus menguasai

olah tari sekaligus olah vokal. S. Kardjono, pengajar tari

gaya Yogyakarta di Akademi Tari LPKJ, menjelaskan bahwa

pertunjukan ini adalah tarian klasik yang sudah lama tidak

digarap lagi, terutama di kalangan generasi muda. Lakon Langen

Mandra Wanara yang ia bawakan bersama rekan-rekan Jaya

Budaya kali ini adalah Sugriwa-Subali.

PARTISIPASI • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA • SENI GRAFIS

Seni Grafis Kaboel Suadi

dalam Pameran Bertiga

19 SEPTEMBER–

3 OKTOBER 1975

ERASMUS HUIS

PENYELENGGARA

Erasmus Huis

PARTISIPAN

Mochtar Apin, Kaboel Suadi,

Haryadi Suadi

Pameran ini menghadirkan karya cukilan lino, cukilan kayu, dan

serigrafi atau cetak saring. Ketiga grafikus tampak kurang suka

bermewah-mewah dengan warna, termasuk pendiri Studio Grafis

LPKJ, Kaboel Suadi. Dilihat secara keseluruhan, mereka lebih

menampilkan individualitas masing-masing. Namun, menurut

Horison (1975, No. 10), secara teknis penyuguhan ruangan

Erasmus Huis memang sukar dibuat nyaman sebagai tempat

pameran. Karya Mochtar dan Kaboel dianggap lebih bagus saat

dipamerkan di Galeri Grafis TIM beberapa waktu sebelumnya.


32 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

KARYA • DOSEN & MAHASISWA • PERTUNJUKAN • TARI

Irama Penari LPKJ

dan Nritya Sundara

15–17 OKTOBER 1975

20.00 WIB

TEATER TERTUTUP TIM

PENYELENGGARA

Nritya Sundara

KOLABORATOR

Akademi Tari LPKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM

KOREOGRAFER

Yulianti Parani

KELOMPOK TARI

Nritya Sundara dan

mahasiswa-mahasiswa

Akademi Tari LPKJ

PEMAIN

Linda Karim, Nancy Hasan, Tri

Sapto, Dedy Hendrawan

Tiga buah repertoar disuguhkan dengan mengambil inspirasi

dari irama gitar, angklung, dan gendang. Repertoar pertama

berjudul Variasi Gitar merupakan tarian balet. Sedangkan

Gerakan Gendang, Angklung dan Pengembangan Gendang dan

Kromong merupakan tari kontemporer Indonesia. Antropolog

James Danandjaja (Kompas, 28 Oktober 1975) mengulas bahwa

apa yang dipentaskan Nritya Sundara dan mahasiswa Akademi

Tari LPKJ adalah permulaan atas sesuatu yang baru. Dalam

pertunjukan tersebut, Yulianti Parani dengan eksperimennya

telah berhasil menggunakan gerakan ronggeng dan pencak

Betawi untuk menciptakan sebuah karya. Keberhasilan tersebut

penting artinya dalam perkembangan tari kontemporer Indonesia

pada umumnya, dan Jakarta khususnya.

Sebuah adegan dalam pentas

tari tersebut (Berita Buana, 13

Oktober 1975).

KARYA • DOSEN & MAHASISWA • TEATER

Musuh Masyarakat

Teater Lembaga

12–15 NOVEMBER 1975

TEATER TERTUTUP TIM

PENYELENGGARA

Teater Lembaga

PENDUKUNG

PKJ TIM

SUTRADARA

Wahyu Sihombing

PENULIS NASKAH

Henrik Ibsen, terjemahan

Asrul Sani

KELOMPOK TEATER

Teater Lembaga

PEMAIN

Bambang Budi Santoso, Eddy

de Rounde, Dayang Suri, Debi

Deborah, Alimin, Winarta

Musuh Masyarakat mengisahkan tragedi yang dialami Dr.

Stockman karena usahanya membenahi tempat pemandian

kota ditentang oleh walikota, pejabat lain, dan kekuatan sosial

yang ada di sekelilingnya. Persoalan menjadi berlarut-larut

karena bentrokan nilai moral, ekonomi, politik, dan berbagai

kepentingan. Naskah sandiwara ini secara garis besar

menggambarkan konflik kepentingan antara masing-masing

tokoh. Wahyu Sihombing dalam menggarap naskah ini membuat

sinopsis dan tafsiran berdasarkan metode pengadeganan—juga

dikenal sebagai metode Aristotelian. Dikenal sebagai salah

seorang sutradara yang bekerja secara terperinci dan metodis,

ia mengupas naskah lakon ini dalam catatan sebanyak 30

halaman.

ACARA • PERTUNJUKAN • MUSIK • KLASIK

Ensemble Jakarta Bersiap

untuk Festival Musik

Internasional

20 NOVEMBER 1975

20.00 WIB

TEATER ARENA TIM

PENDUKUNG

PKJ TIM

PARTISIPAN

Suka Hardjana, dll.

Ensemble Jakarta tampil dengan menghadirkan sejumlah

repertoar karya musikus terkemuka abad ke-19 atau periode

romantik. Grup ini berhasil merebut perhatian dalam berbagai

pagelaran di beberapa kota di Indonesia. Pertunjukan Ensemble

Jakarta kali ini dilakukan dalam rangka persiapan mengikuti

Festival Musik Internasional di (waktu itu) Jerman Barat pada

musim panas, November 1976.


1970–

1979

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

33

KARYA • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA

Pameran Seni Rupa

12 Perdana

1–6 DESEMBER 1975

09.00–13.00 WIB

17.00–21.00 WIB

RUANG PAMERAN PKJ

TIM

PENYELENGGARA

LPKJ & DKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM

SENIMAN

Ananda Moersid, Angkama

Setjadipradja, Arsono,

Baharuddin M.S., Edith

Ratna S., Yusuf Affendi,

Danarto, Kaboel Suadi,

Kusnadi, D.A. Peransi,

Srihadi, Sukamto, Zaini, Surya

Pernawa, Wisaksono, Wiyoso

Yudoseputro

Kalangan pengajar yang layak mendidik dan melatih dalam

jurusan seni belum banyak tersedia di Indonesia. Pameran

ini, menurut sastrawan Taufiq Ismail, merupakan salah

satu tantangan bagi pengajar LPKJ untuk menyatakan

kemampuannya. Namun, ujar kritikus Bambang Bujono dalam

Horison (1976, No. 01), pameran ini lebih bersifat administratif

ketimbang kreatif. Dalam pameran ini, terdapat 66 karya dari 16

seniman sekaligus pengajar, antara lain berupa lukisan, relief

kayu, grafis, patung, dan tenun. Diprakarsai 12 seniman dan

diadakan di bulan ke-12, Pameran Seni Rupa 12 ini direncanakan

menjadi agenda tahunan.

[Kiri] Lukisan Kusnadi.

[Kanan] lukisan Kaboel Suadi.

PARTISIPASI • DOSEN & MAHASISWA • PERTUNJUKAN • TEATER & TARI

Pengajar dan Mahasiswa

dalam Ambience 1975

3 DESEMBER 1975

20.00 WIB

TEATER ARENA TIM

PENYELENGGARA

TOKK Ensemble

PENDUKUNG

DKJ, Japan Foundation,

PKJ TIM

PARTISIPAN

Franz Haryadi, Paul Gutama

Soegijo, Bagong Kussudiardja,

Maki Ishii

Ambience 1975 adalah hasil kolaborasi musik dan dramatari

kontemporer antara berbagai pihak. Franz Haryadi, dosen LPKJ

selaku pengawas artistik, mengatakan bahwa pementasan

ini memanfaatkan elemen-elemen musik dan tari; para penari

pun ikut menggarap vokal. Ide-ide dramatik dan musik digarap

oleh Paul Gutama Soegijo, musisi Indonesia yang bermukim

di Jerman, bersama TOKK Ensemble dari Tokyo. Sedangkan

visualisasi dan koreografi digarap oleh Bagong Kussudiardja

dari Yogyakarta, dengan para pemain antara lain empat aktor

mahasiswa LPKJ. Interaksi antara bebunyian musikal dan gerak

berperan besar dalam pertunjukan ini.

TOKK Ensemble dari Tokyo

dalam sebuah pertunjukan

mereka sebelum ini (Kompas, 1

Desember 1975).


34 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

PARTISIPASI • MAHASISWA • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS

Mahasiswa LPKJ

dalam Pameran Lukisan

Seniman Muda Indonesia

1975

8–18 DESEMBER 1975

RUANG PAMERAN TIM

& SANGGAR BARU TIM

PENGGAGAS &

PENYELENGGARA

DKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM

Pameran ini kali pertama yang menampilkan lukisan-lukisan

karya pelukis muda dari seluruh Indonesia, atau paling tidak dari

berbagai kota di Indonesia yang mempunyai kegiatan seni lukis.

Ajip Rosidi selaku Ketua DKJ mengatakan bahwa pameran ini

sudah lama dicita-citakan tapi baru dapat dilaksanakan. Dalam

pameran ini para seniman muda tidak hanya menampilkan

karya, tapi juga membicarakan masalah-masalah yang mereka

hadapi. Maka, dilaksanakan pula diskusi dengan tema “Seniman

Muda dan Seni Lukis” oleh Keluarga Mahasiswa LPKJ, dengan

pembicara Jim Supangkat (Bandung) dan Muryoto Hartoyo

(Jakarta).

Lukisan Dyon A. Sjewket,

Sket 1

ACARA • DISKUSI • TEATER

Rangkaian Diskusi

dalam Teater Remaja III

16 FEBRUARI–

MARET 1976

17.00 WIB

RUANG KULIAH LPKJ

PENYELENGGARA

DKJ

PENDUKUNG

LPKJ

PARTISIPAN

Wahyu Sihombing, Aldisar

Syafar, Torro Margens, Slamet

Kirnanto, Nasri Cheppy, Jodee

Rawayan, Noorca Marendra,

Suripto

Rangkaian diskusi Pementasan Teater Festival Teater Remaja III

berlangsung hampir setiap hari dalam rangka pembinaan teater

remaja. Pembicara dari grup-grup yang telah mementaskan

drama mereka di depan publik pada festival sebelumnya,

diminta untuk presentasi. Namun, Pelita (12 Maret 1976)

mencatat bahwa tidak semua perwakilan grup tersebut dapat

menyampaikan konsep pementasan mereka dengan baik

dalam diskusi. Beberapa grup teater yang dianggap baik dalam

pemaparannya adalah Teater Lisendra, Teater Remaja Jakarta,

Teater Kail, Sanggar Prakarya, Gherti Teater, dan beberapa

nama lain. Mereka dapat dikatakan mampu mempertanggung

jawabkan kerja teater mereka dalam forum diskusi.

1976

KARYA • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA

Fariasi Minang dan

Carmina Burana

23–25 FEBRUARI 1976

20.00 WIB

TEATER ARENA TIM

TIKET

Rp300 & Rp500

Pengajar Akademi Tari LPKJ, Farida Feisol

menghadirkan dua nomor tari ciptaannya

dalam dua langgam dan napas yang

berbeda. Fariasi Minang merupakan tarian

bercorak unsur tradisi Minangkabau

dengan warna baru. Sedangkan Karmina

Burana digarap berdasarkan interpretasi

atas watak-watak manusia di balik

kedoknya.

PENYELENGGARA

LPKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM

KOREOGRAFER

Farida Feisol

PENARI

Linda Karim, June Beckx,

Sentot Sudhiarto, Nancy Tri

Sapto, Usil Susilo H.S., Dedy

Lutan


1970–

1979

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

35

KARYA • DOSEN & MAHASISWA • PERTUNJUKAN • SENI TARI • TRADISIONAL

Lakon Damarwulan

19–21 FEBRUARI 1976

20.00 WIB

TEATER ARENA TIM

TIKET

Rp1.000

Lakon Damarwulan diambil dari cerita

“Menakjingga Lena” dan “Damarwulan

Jumeneng Nata”. Cerita ini adalah bagian

ketiga dan keempat buku Legendriya

Mandra Swara terbitan Balai Pustaka.

Dalam pementasan, susunan tembang

sedikit diubah dari naskah aslinya. Retno

Maruti juga menambahkan tarian massal,

tapi selain itu tetap menjaga keaslian

bentuk tari tradisional ini.

PENDUKUNG

PKJ TIM

KOLABORATOR

LPKJ

KOREOGRAFER

Retno Maruti & Sulistyo

S. Tirtokusumo

PENULIS NASKAH

Sugiharti

PEMAIN

S. Kardjono, S. Trisapto

Yudi, Sentot S, Tini, Elly

ACARA • LOKAKARYA • SENI PERAN

Lokakarya LPKJ – PARFI

10 MARET–JUNI 1976

ACARA

PENGGAGAS

Ali Sadikin

PENYELENGGARA

PARFI dan Akademi Teater

LPKJ

PENDUKUNG

Pemerintah DKI Jakarta,

PKJ TIM

Mengenang 10 Tahun

Angkatan ‘66

25 MARET 1976

20.00–23.30 WIB

STUDIO MINI, LPKJ

PENYELENGGARA

Keluarga Mahasiswa LPKJ

PARTISIPAN

Taufiq Ismail, D.A. Peransi, D.

Djajakusuma, Afrizal Anoda,

Bambang, F.X. Pratomo, Eddy

Riwanto, Herman, Ruslan, Budi

Setiawan, Berty Motoh, Hari

Irawan, Asbari N., Patria K.,

Ugo Haryono, Syaiful Anwar

Taufiq Ismail, Ketua LPKJ, menyatakan dalam sambutannya

bahwa film adalah salah satu bentuk seni pertunjukan yang

paling disorot masyarakat. Dan para aktor adalah kepada

siapa sorotan itu banyak diarahkan. Demikianlah mengapa

lokakarya ini dirasa strategis. Para pesertanya adalah artis-artis

film yang tergabung dalam PARFI. Diharapkan mereka dapat

mengembangkan diri agar mencapai penilaian mutu permainan

yang lebih layak dan dihargai oleh masyarakat luas.

Lokakarya tersebut disampaikan dengan kombinasi gaya

sanggar 75% dan gaya klasik 25%. Selama satu semester,

peserta akan menerima pengetahuan tentang penghayatan

peran, penguasaan tubuh yang meliputi keterampilan teknis

dan ritmis, serta penguasaan suara dan penguasan filmis.

Pembukaan lokakarya ini sekaligus untuk merayakan ulang

tahun PARFI.

Acara diselenggarakan santai. Peserta duduk di atas tikar

dengan hidangan kopi dan ubi goreng, dikelilingi cahaya lilin

yang dipasang di dalam kuali. Taufiq Ismail membacakan 10

puisi tentang aksi yang dilancarkan mahasiswa sepuluh tahun

lalu. Ia mengatakan bahwa perjuangan mahasiwa waktu itu

bertujuan untuk merobohkan tirani yang dikokohkan para

penguasa. Dilaksanakan pula pemutaran film pendek 8 mm

karya D.A. Peransi berjudul Catatan Harian Seorang Demonstran.

Mahasiswa dan dosen Akademi Teater membacakan puisi,

dari Akademi Musik tampil vokal grup, disusul para mahasiswa

Akademi Sinematografi yang juga membacakan puisi. Beberapa

kelompok dari Akademi Seni Rupa turut memainkan lagu dan

membacakan puisi.

Taufiq Ismail membacakan

puisinya diiringi petikan gitar

seorang mahasiswa (Sinar

Harapan, 27 Maret 1976).


36 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

KARYA • DOSEN • PERTUNJUKAN • TARI • BALET

Balet Anak Peri Hutan

27–28 MARET 1976

17.00 & 10.00 WIB

TEATER ARENA TIM

TIKET

Rp200 & Rp100

Pertunjukan ini diolah dari cerita

mengenai peri hutan dalam buku berjudul

Cerita dari Lima Benua terbitan Gramedia.

Penggagas dan penyelenggara acara ini,

Nritya Sundara—kelompok balet yang

didirikan pengajar Akademi Tari LKPJ,

Yulianti Parani dan Farida Feisol—di

kemudian hari menjadi Kursus Tari LPKJ/

IKJ.

PENGGAGAS &

PENYELENGGARA

Nritya Sundara

KOLABORATOR

LPKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM

KOREOGRAFER

Sunny Pranata

KELOMPOK TARI

Nritya Sundara

PARTISIPASI • DOSEN • SEMINAR • FILM

Soemardjono,

Wakil Indonesia dalam

Seminar Sinematografi

Asia II

APRIL 1976

HONG KONG

PENYELENGGARA

Federation of Motion Pictures

Producers in Asia (PFA)

Seminar Sinematografi Asia II menghasilkan beberapa pokok

pikiran, di antaranya peningkatan kerja sama produksi antara

11 negara anggota Federation of Motion Pictures Producers

in Asia (PFA), penyediaan beasiswa lokakarya dari Taiwan dan

Hong Kong untuk belajar sinematografi di dua negara tersebut,

dan inisiatif sinematek (perpustakaan film) di negara-negara

Asia dengan mengikuti pola Sinematek Indonesia. Dibahas

pula peluang-peluang kerja sama lebih lanjut untuk menunjang

pertukaran kesenian lewat film dalam kerangka sinematek

tersebut. Tindak lanjut seminar akan dibicarakan dalam

rapat Dewan Direktur FPA selama Festival Film Asia di Pusan

pada bulan Juni berikutnya. Soemardjono, Ketua Akademi

Sinematografi LPKJ, memimpin seminar ini.

Soemardjono ketika

membacakan hasil keputusan

seminar di Hong Kong (Sinar

Harapan, 10 Juli 1976).

KARYA • DOSEN & MAHASISWA • PERTUNJUKAN • TARI

Wayang Orang Golek

Menak Cina

3–5 APRIL 1976

20.00 WIB

TEATER ARENA TIM

TIKET

Rp500 & Rp300

Pertunjukan ini merupakan perwujudan

gagasan Sultan Hamengku Buwono IX,

yaitu memadukan wayang golek dan

wayang orang. Artinya, penggarapan tari

dan laku tokoh-tokohnya diilhami wayang

golek. Lakonnya adalah Menak Cina, yang

diambil dari cerita Amir Hamzah.

PENYELENGGARA

Jaya Budaya

KOLABORATOR

LPKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM

KOREOGRAFER

Basuki Kuswaraga &

S. Kardjono

KELOMPOK TARI

Jaya Budaya

PEMAIN

Jaya Budaya dan para

pengajar Akademi Tari LPKJ

Ilustrasi tentang pertunjukan

di kalender acara TIM.


1970–

1979

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

37

KARYA • DOSEN & MAHASISWA • PERTUNJUKAN • TEATER

Pesta Pencuri

Teater Lembaga

27 APRIL–1 MEI 1976

20.00 WIB

TEATER ARENA TIM

TIKET

Rp100 & Rp 300

Di media massa, pementasan lakon

ini dianggap kian mempertegas dua

pola penggarapan Teater Lembaga.

Pola pertama dipandang sebagai

kecenderungan realis, khususnya

di bawah arahan sutradara Wahyu

Sihombing. Kedua, di bawah arahan

sutradara Pramana Pmd., hadir

kecenderungan menggabungkan teater

modern dengan model pertunjukan

tradisional. Dalam pertunjukan ini,

Pramana menghadirkan lenong

khas Betawi, lengkap dengan orkes

kromongnya. Namun, upaya stimulasi

dialog melalui cokekan lenong dipandang

malah menghilangkan esensi komedi

naskah. Sebelumnya, Pramana pernah

menggarap lakon Hippolutos karya

Euripides dengan memanfaatkan pola

randai ala Minangkabau.

PENYELENGGARA

Teater Lembaga

PENDUKUNG

PKJ TIM

SUTRADARA

Pramana Pmd.

PENULIS NASKAH

Jean Anouilh (terjemahan

Asrul Sani)

KELOMPOK TEATER

Teater Lembaga

PEMAIN

Eddy de Rounde, Joko

Quartantyo, Gandung

Bondowoso, Lena

Simanjuntak, Adrie Rantung,

Ruslan, Budi Setiawan, Afrizal

Anoda, Bambang B.S., Herman

[Kiri] Eddy de Rounde dan

Bambang B.S. [Kanan] Eddy de

Rounde sebagai Ny. Hurp.

KARYA • DOSEN & MAHASISWA • PERTUNJUKAN • TARI • TRADISIONAL

Dalem Batu Selem

4–6 MEI 1976

20.00 WIB

TEATER ARENA TIM

TIKET

Rp300 & Rp500

I Wayan Diya tidak menuntut bahwa

pendukung tarinya adalah seorang penari.

Hal itu dibuktikan pengajar Akademi Tari

LPKJ ini dalam pergelaran Dalem Batu

Selem. Di antara 30 orang pendukung,

selain penari profesional, dosen, dan

mahasiswa, turut tampil sastrawan Putu

Wijaya, aktor Syaeful Anwar, dan lainnya

yang bukan penari. Dalem Batu Selem

berkisah tentang Gusti Ayu Sari yang

jatuh cinta pada Dalem Batu Selem. Cerita

ini merupakan legenda yang biasanya

dibawakan dalam tontonan tari topeng.

Tafsiran Diya menampilkan tek-tekan—

tetabuhan khas Bali yang biasa dibunyikan

di jalanan—sebagai musik pengiring.

Sebuah pembuktian dari Diya bahwa

kesenian tradisi bukanlah “kesenian yang

beku”.

PENYELENGGARA

Penataran Tari Rasa Dhvani

PENDUKUNG

PKJ TIM

KOREOGRAFER

I Wayan Diya

KELOMPOK TARI

Penataran Tari Rasa Dhvani

dan para mahasiswa

Akademi Tari LPKJ

PEMAIN

Sardono W. Kusumo, Putu

Wijaya, Ida Ayu Oka Sudiasih,

Wiwiek S. Nana, L. Adiri,

S. Trisapto


38 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

SOSOK ALUMNI

Dolorosa Sinaga

LAHIR DI SIBOLGA, 1952

SENI PATUNG, FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN

ANGKATAN 1971

LULUSAN 1977

PENGHARGAAN

Citra Adhikarya Budaya, Pemerintah Republik Indonesia, 2011.

PERUPA

Peristiwa Mei 1998 sempat membuat Dolorosa

Sinaga tak bisa bekerja. Dadanya sesak mendengar

kisah dari kawan-kawan aktivis Komnas Perempuan

yang mencatat lebih dari 150 kasus pemerkosaan

selama bulan penuh gonjang-ganjing itu. Kebanyakan

kasus menimpa perempuan di bawah umur dan

keturunan Tionghoa. Kisah-kisah ini nyaris tak

tersuarakan dan bahkan dianggap mitos oleh

sejumlah kalangan, tapi seniman yang biasa

dipanggil Dolo itu berpikir lain. Ketika kebenaran

dibungkam, seni harus bicara.

Isu perempuan lantas menjadi tema sentral

dalam proses kreatif Dolo. Pada 2000, ia melahirkan

patung Solidaritas yang mewujudkan tujuh sosok

perempuan berdiri berjajar dan saling bergandengan

tangan. Patung yang kini dipajang di ruang tamu

kantor Komnas Perempuan itu menghadirkan

kontradiksi visual. Sosok perempuan dalam patung

tampak pipih, seolah ringkih, namun gestur dan

ekspresi mereka justru tampak tegar dan kuat.

Kepala mereka tegak, siap menghadapi segala

aral melintang, dan sosok perempuan paling kiri

mengepalkan tangan ke udara, tanda semangat

perlawanan. Melalui kontradiksi ini, Dolo menegaskan

bahwa persepsi publik yang cenderung meremehkan

peremuan sejatinya tak selaras dengan realitas

kehidupan perempuan yang penuh daya dan karsa.

Keberpihakan terhadap perempuan kembali

Dolo tunjukkan dalam I, The Witness (2002). Terbuat

dari tembaga, patung setinggi setengah meter itu

menampilkan sosok perempuan bersanggul yang

berdiri di belakang sebuah podium. Serupa dengan

pose para perempuan di Solidaritas, kepalanya tegak

menantang. Karya I, The Witness merupakan buah

perbincangan Dolo dengan ibu dari Ita Martadinata,

seorang penyintas pemerkosaan pada Mei 1998. Ita

ditemukan tewas terbunuh di kamar kosnya pada

9 Oktober 1998, empat hari sebelum jadwalnya

bersaksi di hadapan kongres Perserikatan Bangsa-

Bangsa. Melalui karyanya, Dolo menubuhkan

kesaksian Ita.

Karya-karya Dolo lebih dari ekspresi estetis

semata. Perupa lulusan pertama Seni Patung IKJ itu

selalu mencoba untuk melekatkan permasalahan

publik dalam karya-karyanya. Secara lugas, ia

menyebutkan patungnya “berdiri di antara keputusan

artistik dan sensasi realitas”. Meski karyanya

seringkali tampak abstrak, ia sebisa mungkin merajut

pengalaman sosial dalam bentuk-bentuk patungnya.

Menurut Dolo, seniman punya tanggung jawab untuk

menghasilkan karya yang komunikatif, sehingga

ekspresi seni bisa turut bicara bagi khalayak luas.

Melalui seni, Dolo ingin berpartisipasi dalam

percakapan publik tentang isu-isu kemanusiaan.

Pada 2016, ia menggagas dan mengetuai

penyelenggaraan Belok Kiri Festival, kegiatan seni

dan diskusi yang bertujuan membongkar berbagai

propaganda rezim Soeharto, salah satunya perihal

genosida 1965. Karena isunya yang sensitif,

festival itu dilarang pihak kepolisian setelah panitia

mendapat tekanan dari sejumlah organisasi

masyarakat.

Dolo tetap mencari cara untuk bersuara.

Setahun kemudian, ia kembali mengangkat isu

1965 melalui instalasi The Concise History of Mass

Murdered of 1965 di Jakarta Biennale 2017. Karya

itu menghadirkan patung berwujud seseorang yang

tersungkur di atas buku raksasa. Pada punggung

buku, tertulis judul karya. Di belakang patung,

tergantung sebuah poster yang menampilkan teks

besar “1965” dan “lima puluh tahun disenyapkan”.

Melalui karyanya, pemilik Somalaing Art Studio

itu memberi rupa dan suara bagi korban-korban

pembantaian serta penghilangan yang sampai

sekarang belum menemukan keadilan.

Sumber foto: The Jakarta Post / Ibrahim Irsyad, 2017.


1970–

1979

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

39


40 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

ACARA • PERTUNJUKAN • MUSIK • KLASIK

Kembali Hadir:

Suka Hardjana dan

Ensemble Jakarta

17 MEI 1976

20.00 WIB

TEATER TERTUTUP TIM

TIKET

Rp300 & Rp500

Pagelaran musik Suka Hardjana dan

Ensemble Jakarta ini diadakan setelah

mereka konser di beberapa daerah

di Indonesia. Pada masa itu, grup ini

dikatakan sebagai satu-satunya grup

musik kamar yang kerap menampilkan

nomor-nomor repertoar yang belum

pernah dimainkan di Indonesia. Dalam

kesempatan ini, mereka menyuguhkan

karya-karya Bach, Mozart, Carl Maria

von Weber dalam nomor-nomor kuartet,

tunggal, kuintet. Dalam catatan Franki

Raden di Sinar Harapan (12 Juni 1976),

para pemain lain dipandang belum

mampu menyamai intensitas permainan

Suka Hardjana.

KOLABORATOR

PKJ TIM

KARYA • DOSEN & MAHASISWA • PERTUNJUKAN • TARI • TRADISIONAL

Topeng Babakan

dalam Tarian Nusantara

26–28 MEI 1976

20.00 WIB

TEATER ARENA TIM

TIKET

Rp300 & Rp500

PENYELENGGARA

Nritya Sundara

KOLABORATOR

Perkumpulan Topeng Betawi

Setia Warga

PENDUKUNG

PKJ TIM

KOREOGRAFER

Yulianti Parani

Yulianti Parani berupaya mencari

kemungkinan baru, terutama dari unsur

gerak dalam Topeng Babakan selaku

kesenian khas Betawi. Pertunjukan ini

juga dinyatakan sebagai sebuah studi

untuk menghidupkan kembali Topeng

Betawi sebagai salah satu varian tari

topeng Nusantara. Kecenderungan unsurunsur

teater Betawi dimanfaatkan dan

disiasati dalam penggarapan pertunjukan

untuk menunjang kekhasan Betawi. Salah

satunya terlihat dari “bodoran” antara

para pemain di sela-sela permainan tari.

KELOMPOK TARI

Nritya Sundara, Perkumpulan

Topeng Betawi Setia

Warga, para mahasiswa

Akademi Tari LPKJ

PEMAIN

Dedy Lutan, Trisapto, Wiwiek

Sipala, Zaelani Idris, Usil,

Nasir, Bokir, Ion, Anna, Nori,

Nii, Lydia, Nancy, Ita, Easy,

Bernadette, Nana, Myra,

Edi, Afrizal, Budi, Mamad

PARTISIPASI • DOSEN & MAHASISWA • PERTUNJUKAN • MUSIK & TARI • TRADISIONAL

Urun Kebolehan

dalam Pentas Seni Bali

LKB Saraswati

5–6 JUNI 1976

20.00 WIB

TEATER ARENA TIM

LKB Saraswati sebagai sanggar kesenian

Bali di Jakarta terus menunjukkan

eksistensinya. Dengan melibatkan

seniman-seniman Bali di LPKJ, sanggar

ini mementaskan tari Legong Keraton

yang diiringi karawitan Bali. Tari Legong

merupakan tari klasik tradisional yang

sebagian geraknya bersumber dari ritual

sakral. Pada mulanya tarian ini dimainkan

oleh dua orang perempuan yang masih

gadis. Namun, sejak abad ke-19 tarian

ini dikembangkan sesuai dengan pola

kehidupan keraton, yang tadinya dua

penari saja kini dilengkapi dengan

seorang penari ketiga sebagai condong

(dayang). Hiasan kepala penari pun lebih

megah untuk menunjukkan kebesaran

keraton.

PENYELENGGARA

LKB Saraswati Jakarta

PENDUKUNG

PKJ TIM

JUMLAH PARTISIPAN

37 penabuh, penembang,

dan penari


1970–

1979

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

41

PARTISIPASI • DOSEN • PERTUNJUKAN • TARI

Sentot Sudiharto

Menata Tari Dewi Sri

9–11 JUNI 1976

TEATER ARENA TIM

PENYELENGGARA

Jaya Budaya

PENDUKUNG

DKJ, PKJ TIM

Suasana perdesaan menjadi latar pertunjukan ini: tembang atau

nyanyian “dolanan bocah”, kothekan (bebunyian ritmis dengan

lesung), dan terbangan (rebana) yang diselingi tembang macapat

dan ngungruman (rayuan). Namun, kisah Dewi Sri kurang

meninggalkan kesan. Menurut catatan Usil Susilo H.S. (Horison,

1976, No. 7-8), Sentot Sudiharto sebagai penata tari belum cakap

menggarap pertunjukan tersebut, yang sebetulnya berangkat

dari ide yang bagus. Susunan adegan terlalu fragmenter—

keutuhan cerita tidak tampak. Perpindahan antaradegan banyak

yang kosong sehingga tempo pertunjukan menjadi lambat.

Kekurangan tersebut dapat dimaklumi jika mengingat pengajar

LPKJ ini masih baru sebagai penata tari dibandingkan sebagai

penari.

PARTISIPASI • MAHASISWA • PAMERAN • SENI RUPA

Mahasiswa LPKJ

dalam Pameran

Suasana Kaki Lima

15–20 JUNI 1976

09.00–13.00 WIB

17.00–21.00 WIB

RUANG PAMERAN &

TEATER HALAMAN TIM

PENYELENGGARA

Lingkar Mitra Budaya, Kantor

Pemugaran DKI, DKJ

KOLABORATOR

Universitas Trisakti,

Universitas Tarumanegara,

Universitas Pancasila, LPKJ,

STAPI

PENDUKUNG

PKJ TIM

Pameran unik ini mengikutsertakan masyarakat untuk

menciptakan suasana kaki lima yang menyenangkan dalam

rangka HUT Jakarta ke-449. Maka, hadirlah kehidupan dan

suasana semarak dari pagi hingga malam di kawasan TIM.

Tujuan pameran ini memang membangkitkan kesadaran

publik bahwa kegiatan kaki lima hendaknya dipandang sebagai

bagian dari kehidupan kota yang tumbuh secara alami. Selain

itu, pameran hendak membimbing pedagang kaki lima untuk

mewujudkan keindahan tersendiri. Dalam kesempatan yang

sama, masyarakat umum diajak menentukan arah baru dalam

penataan kota maupun pengelolaan kegiatan ekonomi-sosial.

Maka, mahasiswa dari berbagai kampus diundang untuk ikut

merancang areal kaki lima di beberapa titik ibukota.

Pameran Suasana Kaki Lima di

pelataran TIM.

ACARA • CERAMAH • FILM

Masalah Transisi

dalam Film Cerita

8 JULI 1976

TIM

PENDUKUNG

PKJ TIM

JUMLAH PARTISIPAN

100-an hadirin

PARTISIPAN

Soemardjono (pembicara),

Alam Surawidjaja (moderator),

Baharuddin M.S., Taufiq Ismail,

Soetomo, D. Djajakusuma,

Wahyu Sihombing, Salim

Said, M.D. Alief, H.B. Jassin,

mahasiswa-mahasiswa

Akademi Sinematografi

LPKJ, dll.

Soemardjono tak hanya seorang Ketua Akademi Sinematografi

LPKJ, ia juga memiliki latar pengalaman sebagai penyunting

film. Dalam ceramahnya, ia menekankan bahwa dasar

seni film adalah penyuntingan. Ini setidaknya berdasarkan

pendapat sineas Rusia, Vsevolod Pudovkin. Soemardjono lalu

memaparkan pengertian konsep cerita, treatment, skenario,

terus menuju pembagian berupa shot, scene, sekuen, dan

kesinambungan gerak (movement). Semua inilah yang akan

diterima penonton sebagai gambar hidup. Mungkin karena

materi cenderung berupa pengetahuan spesialisasi maka

suasana ceramah ini disebut-sebut menyerupai suasana

perkuliahan di LPKJ.


42 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

PARTISIPASI • DOSEN & MAHASISWA • PERTUNJUKAN • TARI

Sardono Tampilkan

Cak Rina di Shiraz-

Persepolis Festival of Arts

19–22 AGUSTUS 1976

08.00 PM

NAQSH-E ROSTAM &

JAHAN-NAMA GARDEN,

PERSEPOLIS, IRAN

PENGGAGAS

Shahbanu Farah Pahlavi

(Permaisuri Raja Iran)

PARTISIPAN

Sardono W. Kusumo, Sang Ayu

Ktut Muklen, I Made Grindem,

I Made Netra, I Wayan Rindi, I

Wayan Diya

Cak Rina adalah tarian Bali kontemporer yang pertama digarap

Sardono W. Kusumo di Banjar Teges Kanginan Gianyar pada

1974. Sardono menggarap varian kecak tersebut selama enam

bulan dengan melibatkan 65 orang penduduk setempat yang

bukan penari. Tarian ini menggambarkan pertempuran antara

Sugriwa dan Subali dalam penggalan epos Ramayana. Dalam

wawancara dengan Kompas (31 Agustus 1976), Sardono

menjelaskan mengenai Cak Rina yang telah dibawakannya di

Shiraz-Persepolis Festival of Arts. Dalam pertunjukannya di Iran

itu, ia memadukan “cak”-nya dengan suasana sekitar, terutama

dengan misteri seputar kepercayaan Zoroastrian. Selain itu,

tampil pula di sana Konser Gamelan Semara Pegulingan yang

memainkan Legong Keraton dengan awak 75 seniman Bali.

PARTISIPASI • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS

LPKJ dalam

Pameran Seabad

Seni Rupa Indonesia

20–28 NOVEMBER 1976

BALAI SENI RUPA

JAKARTA

PENYELENGGARA

Balai Seni Rupa Jakarta

PENDUKUNG

Direktorat Pembinaan

Kesenian, Direktorat Jenderal

Kebudayaan, DKJ, Mitra

Budaya, dll.

Peresmian Balai Seni Rupa, yang berlokasi di bekas gedung

Walikota Jakarta Barat, oleh Presiden Soeharto, 20 Agustus

1976, diawali dengan pembukaan pameran seni rupa bertema

“Seabad Seni Rupa Indonesia”. Bertindak sebagai penyeleksi

materi pameran adalah Kusnadi, Soemardjo, Alex Papadimitriou,

Fadjar Sidik, Suparto, ditambah penasihat Basuki Abdullah,

Sudjodjono, Sudarso, dan Zaini. Karya-karya yang dipamerkan

merupakan koleksi Istana Presiden, Direktorat Pembinaan

Kesenian, Direktorat Jendral kebudayaan, Dewan Kesenian

Jakarta, Mitra Budaya, dan perseorangan. Beberapa pihak

menganggap penyeleksian pameran ini kurang ketat dan jumlah

karya seniman yang dipamerkan timpang. Namun, dari pameran

ini dapat dilihat betapa beragamnya corak dan gaya seni rupa di

Indonesia.

KARYA • DOSEN & MAHASISWA • PERTUNJUKAN • TARI • TRADISIONAL

Pesta Desa Teges Kanginan

28–29 AGUSTUS 1976

TEATER TERBUKA &

TEATER HALAMAN TIM

PENYELENGGARA

DKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM

SUTRADARA &

KOREOGRAFER

Sardono W. Kusumo

PEMAIN

Sardono W. Kusumo, Sutardji

Calzoum Bachri, Ikranagara,

Sentot Sudiharto

Sardono W. Kusumo menghadirkan apa yang disebut-sebut

sebagai teater-kolase, yang dianggap sebagai jalan untuk

merespons sekitarnya. Pesta Desa Teges Kanginan dimulai

dengan permainan gending Bali, mengiringi beberapa penari

yang muncul dari pintu belakang Teater Terbuka. Para penari

memainkan tari legong dan tari barong yang kemudian

ditutup dengan Cak Rina serta pesta sate kambing. Di tengah

permainan kecak itu muncul mahasiswa-mahasiswa LPKJ

yang meresponsnya, berikut Sutardi Calzoum Bachri dan

Ikranagara yang bertelanjang dada meneriakkan kalimat-kalimat

puisi. Belum lagi ada bagian di mana Sentot Sudiharto dikejar

seseorang bersepeda motor. Namun, Horison (No. 9, 1976)

mencatat bahwa pertunjukan tidak konsisten karena pada hari

pertama berlangsung di Teater Terbuka, sedangkan hari kedua

“mengalir” ke Teater Halaman. Kedua format itu meninggalkan

kesan yang berbeda.


1970–

1979

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

43

SOSOK ALUMNI

Cok Simbara

AKTOR

LAHIR DI TAPANULI SELATAN, 1953

SENI TEATER, FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN

ANGKATAN 1974

PENGHARGAAN

Aktor Pembantu Terpuji (TV) dalam sinetron

Namaku Safina (2007), Festival Film Bandung

2007.

Ucok Hasyim Batubara termasuk golongan perintis.

Ketika film masih dianggap sebatas hiburan populer,

pria yang terkenal dengan nama Cok Simbara itu

merupakan satu dari sejumlah aktor teater yang

menyeberang ke dunia film pada 1970-an. Namanya

direkomendasikan oleh Nurhadie Irawan, teman

sekampusnya di LPKJ, untuk lakon utama dalam

film Kugapai Cintamu (1976). Wim Umboh selaku

sutradara menginginkan wajah baru dan ia melihat

profil Cok sesuai dengan kebutuhannya. Maka,

dimulailah karier Cok Simbara di dunia film.

Kugapai Cintamu, sebagai adaptasi novel populer

berjudul sama karya Ashadi Siregar, sudah punya

basis penonton sebelum filmnya beredar. Terlebih

lagi, sebagai bagian kedua dari sebuah trilogi, ia

didahului oleh Cintaku di Kampus Biru, novel yang

terbit pada 1974 dan kemudian menjelma jadi film

laris pada 1976. Antisipasi penonton begitu besar.

Tak heran, ketika beredar, Kugapai Cintamu menjadi

salah satu film terlaris pada tahunnya dan sosok Cok

sontak menjadi ikon baru perfilman nasional.

Jalannya menuju ketenaran layar lebar ia

jajaki melalui berbagai kelompok teater. Ia sempat

bergabung dalam Teater Keliling arahan Rudolf

Puspa dan Derry Syrna, serta Teater Kaki Lima

pimpinan Tommy Soemarni. Bersama Teater Kaki

Lima, ia sering pentas di klub malam Latin Quarter

yang terkenal pada era 1970-an. Penampilannya

mengundang perhatian sehingga ia diajak ikut

pementasan Kucak Kacik (1975) arahan Arifin C.

Noer di Teater Kecil. Di sana, kemampuan aktingnya

digembleng dalam berbagai pementasan yang akrab

menceritakan persoalan rakyat kecil melalui set

minimalis.

Film layar lebar lantas menjadi jalan penghidupan

Cok. Kematangan aktingnya digemari banyak

sutradara dan membawanya berperan dalam

sejumlah film penting di Indonesia, dari Para Perintis

Kemerdekaan (1977) arahan Asrul Sani, Kerikil-kerikil

Tajam (1984) arahan Sjuman Djaya, Arie Hanggara

(1865) arahan Frank Rorimpandey, hingga Plong

(1991) arahan Putu Wijaya. Sampai 2019, ia telah

berperan dalam setidaknya lima puluh film dan lima

belas sinetron.

Sumber foto: Kapanlagi.com


44 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

PARTISIPASI • MAHASISWA • PAMERAN • SENI RUPA

Karya Mahasiswa LPKJ di

Gelanggang Soemantri

1–3 SEPTEMBER 1976

GEDUNG KONFERENSI

MAHASISWA

SOEMANTRI

BRODJONEGORO

Dalam pameran ini dihadirkan

kurang-lebih 100 buah karya, meliputi

lukisan, sketsa, grafis, kolage, foto,

patung, dan perabotan. Karya-karya

tersebut dihasilkan oleh mahasiswa

LPKJ, Universitas Trisakti, UNTAG,

PTP, Akademi Perawat, IAIN, yang

sebelumnya mengikuti Festival Seni

Rupa Mahasiswa se-Jakarta. Festival

tahunan ini diselenggarakan BKKPT yang

memberi penghargaan kepada tujuh karya

terbaik dari tujuh cabang seni rupa yang

dilombakan.

PENYELENGGARA

BKKPT (Badan Koordinasi

Kegiatan Perguruan Tinggi)

KARYA • DOSEN • PERTUNJUKAN • TARI • TRADISIONAL

Tarian I Made Netra

11–13 SEPTEMBER 1976

20.00 WIB

TEATER ARENA TIM

TIKET

Rp300 & Rp500

I Made Netra sudah memainkan

tarian Bali sejak berumur enam tahun.

Untuk pertunjukan ini, ia bermaksud

mengartikulasikan gerak, kata, dan musik

guna mengungkapkan beragam masalah

kehidupan. Lewat artikulasi tersebut, ia

hendak mengungkapkan persentuhannya

dengan beragam kebudayaan lain sejak

meninggalkan Bali.

PENYELENGGARA

Rasa Dhvani

PENDUKUNG

PKJ TIM

KOREOGRAFER

I Made Netra

KELOMPOK TARI

Rasa Dhvani

PEMAIN

I Made Netra dan Rasa Dhvani

pimpinan I Wayan Diya

Tarian I Made Netra dalam

kalender acara TIM.

PARTISIPASI • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS

Pengajar LPKJ dalam

Pameran 15 Pelukis Jakarta

1–7 OKTOBER 1976

RUANG PAMERAN TIM

Pameran 15 Pelukis Jakarta ini

menampilkan 59 karya. Pengajar-pengajar

LPKJ yang turut berpartisipasi adalah

Oesman Effendi, Nashar, Zaini, dan

Baharuddin M.S.

PENYELENGGARA

DKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM


1970–

1979

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

45

ACARA • DISKUSI • FILM

Kebijakan Baru

Impor Film dan

Akibatnya di Indonesia

15 OKTOBER 1976

19.30 WIB

STUDIO MINI AKADEMI

SINEMATOGRAFI LPKJ

Akademi Sinematografi LPKJ

mengundang Soenaryo S.T. selaku

Direktur Bina Film Departemen

Penerangan RI untuk mengetengahkan

persoalan impor film yang belakangan

hangat dibicarakan. Turut diundang pula

karyawan film, produser, pengusaha

bioskop, dan pengimpor film untuk ikut

memberikan pandangan. Pengamat film

Salim Said bertindak sebagai moderator.

PENYELENGGARA

Kelompok Diskusi Akademi

Sinematografi LPKJ

PARTISIPAN

Soenaryo S.T., Soemardjono,

Turino Junaedy, Rudi Lukito,

Sudwikatmono, Salim Said, dll.

ACARA • PERTEMUAN • FILM

Kelompok Penulis

Skenario Film KFT

23 OKTOBER 1976

10.00 WIB

PUSAT PERFILMAN

H. USMAR ISMAIL

KFT sebagai organisasi profesi dalam

perfilman—banyak anggotanya adalah

pengajar LPKJ—menggagas banyak hal.

Salah satunya adalah rencana mendirikan

Kelompok Penulis Skenario Film untuk

ikut menentukan gerak maju produksi film

nasional. Dalam rencana ini, para peserta

Kino-workshop Penulis Skenario Film

LPKJ/Deppen dianggap sebagai unsur

pokok untuk mendampingi para penulis

skenario senior. Mereka diharapkan

membicarakan pengelompokan

penulis-penulis skenario dalam tubuh

organisasi KFT. Kelompok-kelompok

ini nantinya akan mengangkat berbagai

masalah dalam penulisan skenario.

Menyangkut kepentingan mereka, salah

satunya persoalan urusan hak cipta dan

standardisasi honorarium.

PENGGAGAS &

PENYELENGGARA

KFT (Karyawan Film

dan Televisi)

KOLABORATOR

LPKJ

PENDUKUNG

Deppen (Departemen

Penerangan), Pusat

Perfilman H. Usmar Ismail

PARTISIPAN

Soemardjono, Sukri Musa, dll.

KARYA • DOSEN • PERTUNJUKAN • TARI

Sonya Ruri dan

Abimanyu Gugur

24–26 OKTOBER 1976

20.00 WIB

TEATER ARENA TIM

TIKET

Rp1.000

Lakon Sonya Ruri garapan Sulistyo

dan Abimanyu Gugur garapan Retno

Maruti Sudiarto adalah dua tari klasik

tradisional Jawa dalam satu rangkaian

pertunjukan. Sonya Ruri merupakan

penggambaran batin Prabu Basupati Raja

Wirata dalam usaha mencari jati dirinya.

Abimanyu Gugur digarap berdasarkan

cerpen Danarto berjudul “Nostalgia”,

yang kisahnya berangkat dari seri

Bharatayudha.

PENYELENGGARA

Padneçwara

PENDUKUNG

PKJ TIM

KOREOGRAFER

Retno Maruti & Sulistyo

Tirtokusumo

KELOMPOK TARI

Padneçwara

PEMAIN

Retno Maruti, Sulistyo

Tirtokusumo, Martati, Elly,

Watie, Trisapto, Joko, Warsito


46 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

KARYA • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS

Pameran Tunggal Zaini

1–7 NOVEMBER 1976

20.00 WIB

RUANG PAMERAN TIM

PENYELENGGARA

DKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM

Pameran ini menandai 30 tahun proses kreatif Zaini dalam dunia

seni rupa, sejak ia pertama kali tiba di Jakarta dari kampung

halamannya di Pariaman, dan belajar pada S. Soedjojono di

Kantor Pusat Kebudayaan. Karya-karya yang dipamerkan

mencakup 31 lukisan cat minyak dan 20 lukisan di balik kaca.

Beberapa ulasan media mengungkapkan pentingnya objek

dalam lukisan-lukisan Zaini. Misalnya, Bambang Bujono dalam

Horison (1976, No. 10-11) menulis bahwa Zaini berangkat dari

sketsa suatu objek lalu berusaha menangkap suasana yang

dibawakan objek tersebut.

Zaini, anggota pengurus harian

Dewan Kesenian Jakarta

sekaligus pengajar LPKJ dan

lukisannya, Dua Burung

KARYA • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS

Pameran Tunggal Srihadi

8 NOVEMBER–

8 DESEMBER 1976

CHASE MANHATTAN

BANK, JAKARTA

Chase Manhattan Bank Jakarta

memberikan kesempatan kepada para

pelukis untuk memperkenalkan karyanya.

Inisiatif khusus ini dinamai Chase

Manhattan’s Art Program. Salah satu

pelukis yang diajak adalah Srihadi, Dekan

Akademi Seni Rupa LPKJ. Sebelum ini,

tepatnya pada 1972, Srihadi pun pernah

memamerkan karyanya di kantor bank

yang sama. Selain di bank tersebut,

hasil karyanya yang dapat dilihat umum,

antara lain, adalah sebuah lukisan dinding

berukuran 3 x 12 meter di Gedung Balai

Kota Jakarta dan relief kayu di Gedung

Executive Club Jakarta.

PENGGAGAS

Adrian Noe, Vice President

& Country Manager Chase

Manhattan Bank

PENYELENGGARA

Chase Manhattan Bank


1970–

1979

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

47

SOSOK ALUMNI

Wiwiek Sipala

PENARI & KOREOGRAFER

LAHIR DI RAHA MUNA, 1953

SENI TARI, FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN

ANGKATAN 1974

LULUSAN 1988

PENGHARGAAN

• Anugrah Seni sebagai Maestro Tari, Dewan

Kesenian Jakarta, 2010.

• Anugrah Seni sebagai Pelopor/Pembaharu

Seni Pertunjukan Indonesia, Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan, 2015.

Tadinya Wiwiek Sipala berpikir akan kerja di bank,

tapi jalan hidup berkata lain. Pada 1972, saat akan

mendaftar untuk lanjut studi di akademi perbankan,

ia melihat iklan pendaftaran mahasiswa baru IKJ

di kertas koran pembungkus makan siangnya.

Teringatlah ia akan mimpi lamanya. Menari

sedari usia sebelas tahun, Wiwiek sempat serius

mempelajari tari Pakarena, seni tradisional khas

Sulawesi, dan menggubah versinya sendiri sejak

1963. Namun, karena tak direstui orangtua, Wiwiek

terpaksa sembunyi-sembunyi setiap mau latihan,

termasuk selama ia kuliah ekonomi di Universitas

Haluoleo, Kendari.

Jalan hidup Wiwiek lantas belok ke IKJ. Selama

empat belas tahun dan tiga jenjang pendidikan di

IKJ, perempuan bernama asli Wa Ode Siti Marwiyah

Sipala itu semakin mendalami tari Pakarena,

bahkan menjadikannya sebagai fokus tugas

akhirnya. Berdasarkan penelitiannya, ada tiga gaya

Pakarena yang ia temukan: pegunungan, pesisir, dan

kepulauan. Pakarena pesisir mengutamakan gerak

tubuh condong ke depan, Pakarena pegunungan

menampilkan gerak tubuh yang tegak, sementara

Pakarena kepulauan khas akan sikap tubuh yang

condong ke belakang. Meski berbeda gerak,

Wiwiek melihat ketiga gaya Pakarena itu berlandas

pada filosofi yang sama: pengendalian diri. Musik

pengiring pakarena selalu keras, sementara gerak

tarinya lembut.

Terinspirasi, Wiwiek mencoba memadukan unsurunsur

Pakarena dalam koreografi modern. Hasilnya

bisa dilihat pada Pakarena Simombala (2000),

Akkarena Sombali (2010), Pakarena Simombala

(2000), Pakarena Bulan’ne (2011), dan Pakarena

Se’reang Bori (2011). Semuanya sudah dipentaskan

di panggung nasional maupun internasional. Pada

2015, sebagai apresiasi terhadap kontribusinya bagi

khazanah tari di nusantara, Kementerian Pendidikan

dan Kebudayaan menobatkan Wiwiek sebagai

Pelopor/Pembaharu Seni Pertunjukan Indonesia.

Wiwiek Sipala di ruang teater Salihara, 2010.

Sumber foto: © Tempo/Dwianto Wibowo


48 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

KARYA • DOSEN & MAHASISWA • PERTUNJUKAN • TARI

Debut Para Penata

Tari Muda

10–12 NOVEMBER 1976

20.00 WIB

TEATER ARENA TIM

TIKET

Rp300 & Rp500

PENGGAGAS &

PENYELENGGARA

Cipta Karya Tari LPKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM

KOREOGRAFER

Farida Feisol, Wiwiek Sipala,

Zaelani Idris, Dedy Lutan

KELOMPOK TARI

Cipta Karya Tari LPKJ

PEMAIN

Farida Feisol, Wiwiek Sipala,

Zaelani Idris, Dedy Lutan

Acara ini merupakan debut tiga mahasiswa Akademi Tari LPKJ

yang dilengkapi dengan karya Farida Feisol selaku dosen.

Zaelani Idris menampilkan tari berjudul Jentreng, Wiwiek Sipala

menyajikan Gandrang Gulo, dan Dedy Lutan mempersembahkan

Indang. Masing-masing mendapat pengaruh dari unsur-unsur

tari tradisional Sunda, Sulawesi, dan Sumatra. Farida sendiri

menghadirkan Resume, yang terdiri atas lima nomor tari, yaitu

Putih-putih, Makan Siang, Kematian, Kenangan, dan Perkelahian.

Inspirasinya berdasarkan lagu-lagu ciptaan Mochtar Embut,

F. Chopin, dan Bimbo. Farida, dalam jumpa persnya tentang

pementasan ini, menyatakan bahwa ketiga penata tari muda ini

sudah waktunya tampil dengan ciptaan mereka sendiri.

FENOMENA

Polemik Tari Putih-Putih

Farida Feisol

Balet Putih-Putih karya Farida

Feisol yang ditentang Taufiq

Ismail dan MUI DKI Jakarta.

Taufiq Ismail hadir pada malam kedua pertunjukan Resume

Karya Tari. Putih-Putih karya Farida Feisol menjadi satu-satunya

tarian dosen di antara tiga karya lain ciptaan mahasiswa,

di Teater Arena, TIM, 10-11 November 1976. Taufiq Ismail

selaku Ketua LPKJ menyaksikan keseluruhan pementasan,

mendengarkan suara azan terlantun dari mulut tujuh penari

perempuan yang berpakaian serba putih menyerupai mukena—

meski bagian lengan dibiarkan terbuka. Para penari menarikan

balet, menengadahkan tangan serupa berdoa sambil diiringi

musik grup Bimbo, kemudian bersujud ke pelbagai arah. “Wah,

tari Putih-Putih ini tidak betul!" kata Taufiq.

Sepulang menonton, Taufiq menulis surat kepada Ketua

Akademi Tari LPKJ, Edi Sedyawati, meminta pertunjukan itu

dihentikan. Ia menganggap koreografer keliru menafsir kiblat,

azan, salat, dan mukena. Edi Sedyawati sepakat menghentikan

Putih-Putih demi mencegah amarah umat Islam meluas. Namun,

laporan surat kabar telanjur tersebar.

Polemik membumbung tinggi, bahkan MUI DKI Jakarta

secara tegas menyayangkan mengapa pihak DKJ teledor

membiarkan tari yang “menghina Islam” naik pentas. Tak ingin

polemik melebar menjadi bola liar, apalagi kondisi politik sedang

memanas menjelang Pemilu 1977, dua tokoh Islam berpengaruh,

Buya Hamka dan Yunan Nasution, coba meredakan situasi.

Keduanya tak serta-merta mengutuk Putih-Putih, hanya meminta

supaya seniman lebih tanggap terhadap situasi.

Farida sendiri menyatakan bahwa inspirasi tari itu lahir

selagi ia tinggal di Malaysia. Ia mendengar azan begitu merdu

menyusup di hati. “Suara azan ini membuat saya tercekam, haru,

begitu syahdu, dan saya mencintainya,” kata pengampu balet

lulusan Bolshoi, Rusia, ini. “Saya betul-betul tak mengerti kalau

tari itu mengundang protes. Sama sekali tak terniat oleh saya

untuk ke sana.”

Mahasiswa LPKJ mendukung Farida. Mereka menempel

pamflet di dinding kampus soal kebebasan berekspresi.

Taufiq Ismail membalas dengan undangan berdiskusi tentang

hubungan estetika-etika dan estetika agama. Polemik mereda

sendiri setelah Farida menerima dengan baik semua kritik dan

protes terhadap karyanya.


1970–

1979

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

49

KARYA • DOSEN • PERTUNJUKAN • TEATER

Topeng Betawi

Anemer Kodok

18–19 NOVEMBER 1976

20.00 WIB

TEATER TERBUKA &

TEATER TERTUTUP TIM

TIKET

Rp200, Rp300, & Rp500

Pertunjukan yang menampilkan tiga jenis

teater rakyat Betawi ini—Lenong, Topeng,

dan Jipeng—adalah bagian dari usaha

menampilkan teater rakyat Betawi ke

dalam bentuk baru. Sutradara Sumantri

Sastrosuwondo dan penata tari Yulianti

Parani berusaha menyeimbangkan unsur

tari dan teater, dua bagian terpenting

kesenian Betawi.

PENYELENGGARA

Produksi Pusat Penelitian dan

Pengembangan Kesenian

Rakyat Jakarta

KOLABORATOR

LPKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM

SUTRADARA

Sumantri Sastrosuwondo

KOREOGRAFER

Yulianti Parani

PEMAIN

Anen, Bokir, Nasir T., Ipon,

Anah, Bu Siti

KARYA • DOSEN & MAHASISWA • PERTUNJUKAN • TEATER

Matinya Pedagang Keliling

oleh Teater Lembaga

27 NOVEMBER–

1 DESEMBER 1976

TEATER TERTUTUP TIM

Wahyu Sihombing dikabarkan tidak

mengutak-atik naskah Arthur Miller yang

panjangnya 120 halaman folio ini. Alhasil,

sandiwara oleh para mahasiswa Akademi

Teater ini memakan waktu kurang-lebih

empat jam. Dalam sebuah ulasan (Suara

Karya, 10 Desember 1976), dituliskan

bahwa seandainya masalah yang digali

Arthur Miller dalam naskah tidak menarik,

tentu penonton akan belingsatan

menunggu selesainya pertunjukan. Ennie

A. Yusuf yang berperan sebagai Linda

(istri Willy Loman, sang pedagang keliling)

adalah satu-satunya yang mendapat

pujian dalam ulasan ini. Namun, Putu

Wijaya (Tempo, 11 Desember 1976)

berpendapat bahwa sutradara telah

memimpin para mahasiswanya dengan

sangat baik.

PENGGAGAS &

PENYELENGGARA

Teater Lembaga

PENDUKUNG

PKJ TIM

SUTRADARA

Wahyu Sihombing

PENULIS NASKAH

Arthus Miller, terjemahan

Tatiek Maliyati

KELOMPOK TEATER

Teater Lembaga

PEMAIN

Bambang S. Santoso,

Ruslan Umbaran, Gandung

Bondowoso, Suwanto

Erlangga, Eddy de Rounde,

Ennie A. Yusuf, Lena

Simanjuntak, Budi Setiawan,

Afrizal Anoda, dll.

ACARA • PERTUNJUKAN • MUSIK • KLASIK

Musikus-musikus LPKJ

dalam Ensemble Jakarta

30 NOVEMBER 1976

20.00 WIB

TEATER BESAR TIM

TIKET

Rp500 & Rp1.000

KOLABORATOR

PKJ TIM

PENDUKUNG

DKJ, Goethe Institut, Saardi

Norman Music & Film Prod.

PARTISIPAN

Suka Hardjana, Idris Sardi,

Rudy Laban, Iravati Sudiarso,

Nusyirwan, Syafii Embut, M.

Yunus Sudomo, T. Legiyono,

Sudarto, R.H. Tukijo, A.

Sunardi, M. Fauzan, Mulyadi

Ensemble Jakarta di bawah

pimpinan Suka Hardjana.

Suka Hardjana dan kawan-kawan hadir kembali setelah

Pertunjukan Ensemble Jakarta pada Mei 1976 disambut

meriah oleh khalayak. Penampilan kali ini mengundang Idris

Sardi sebagai violis tambahan. Ditambah beberapa musikus

lain, formasi kelompok ini pun menjadi orkes kamar yang

sesungguhnya dengan jumlah total 14 pemain. Dalam dua

bagian, Ensemble Jakarta memainkan karya-karya F. Haendel,

Vivaldi, J.S. Bach, F.X. Richter, dan L. Boccherini. Nomor Bach,

dengan dua piano oleh Iravati Sudiarso dan Rudy Laban,

khususnya dipuji sebagai salah satu bagian terbaik malam itu.


50 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

ACARA • LOKAKARYA & PERTUNJUKAN • TARI

Pergelaran dan

Lokakarya Tari 1976

27 NOVEMBER–

9 DESEMBER 1976

TEATER ARENA &

KAMPUS AKADEMI

TARI LPKJ

Tari Rantak Kudo, Rangguak,

dan Mai Bagawe, beberapa

tari Melayu yang mendapat

sorotan dalam rangkaian

Pergelaran Tari 1976.

PENGGAGAS &

PENYELENGGARA

DKJ

KOLABORATOR

LPKJ

PENDUKUNG

Dinas Kebudayaan DKI

Jakarta

PARTISIPAN

Tengku Luckman Sihar, Nazly

A. Mansur, Nasroen Putih

Darussalam, M. Thamrin

Sarim, dll.

Pesta Seni DKJ 1976 hadir selama Desember. Bidang tari, yang

digarap Komite Tari DKJ bersama Akademi Tari LPKJ, menggelar

pementasan nomor-nomor tari dan lokakarya. Lokakarya

ini khususnya hendak melihat secara menyeluruh kondisi

tari Melayu setelah periode 1950-an. Waktu itu tari Melayu

diproklamirkan sebagai tarian nasional, khususnya sebagai “tari

pergaulan”. Persoalan identitas dan perkembangan tari Melayu

di Jakarta turut dibicarakan pula. Sementara itu, tarian Melayu

yang ditampilkan lengkap dengan musiknya antara lain Rantak

Kudo, Piring, Nan Tongga, Rangguak, Asyek, Iyo-iyo, dan Mai

Bagawe.

KARYA • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA

Pameran Seni Rupa 12

Kedua

1–7 DESEMBER 1976

09.00–13.00 WIB

17.00–21.00 WIB

RUANG PAMERAN TIM

[Bawah, kiri ke kanan] Karya

Srihadi, D.A. Peransi, dan

Baharuddin M.S.

Untuk yang kedua kalinya, pameran

karya staf pengajar LPKJ ini diadakan.

Menurut sastrawan Putu Wijaya di

Tempo (18 Desember 1976) tentang

pameran ini, wajar jika belum tercetak

seorang “seniman” dari LPKJ—seniman

layaknya “raksasa” seni di masa lalu.

Bagaimanapun, enam tahun untuk sebuah

lembaga pendidikan kesenian dipandang

masih muda. Ia juga menyayangkan

kurangnya sebuah tema yang mengikat

keseluruhan karya. Alhasil, pameran

terasa ramai tanpa ada suara yang

dapat didengar. Namun, ia optimistis,

melihat karya-karya para pengajar ini,

ada harapan akan masa depan yang

menjanjikan.

PENYELENGGARA

LPKJ & DKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM

SENIMAN

Arsono, Ananda Adhi Moersid,

Baharuddin M.S., Boeling

Priyadi, D.A. Peransi, Djoni

Djuhari, Hanny Najoan,

Hildawati Siddharta, Yusuf

Affendi, Kusnadi, S. Prinka,

Srihadi, Sukamto, Wiyoso,

Djoni Wisaksono, Zaini


1970–

1979

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

51

SOSOK ALUMNI

Norman Benny

PENYUNTING FILM

LAHIR 1952

SINEMATOGRAFI, FAKULTAS FILM DAN TELEVISI

ANGKATAN 1972

PENGHARGAAN

Penyuntingan Terbaik dalam film Bukan Istri Pilihan (1981),

Festival Film Indonesia 1982.

Norman Benny belajar melalui eksperimen. Sebagai

angkatan awal jurusan sinematografi LPKJ, ia punya

keleluasaan untuk mengakses alat produksi film,

yang pada 1970-an merupakan barang langka dan

hanya tersedia di kalangan sineas profesional. Ia bisa

berkreasi dengan berbagai format film, mulai format

32 mm selaku standar industri hingga format 16

mm dan 8 mm yang biasanya dipakai sineas amatir.

Setahun setelah Norman masuk kuliah, Komite

Film Dewan Kesenian Jakarta menyelenggarakan

Sayembara Film Mini yang khusus menayangkan

film berformat seluloid 8 mm di Taman Ismail

Marzuki. Mengingat kegiatannya dekat kampus,

bisa dipastikan mahasiswa sinematografi LPKJ jadi

peserta terbanyak. Norman termasuk di antaranya.

Festival Film Mini berfokus pada pengolahan

gagasan. Kualitas teknis merupakan pertimbangan

nomor sekian, selama konsep filmnya cemerlang.

Menyikapi kebutuhan itu, Norman bersama Johan

Teranggi merintis kelompok Sinema 8 sebagai

“biro konsultasi”. Mereka menyeleksi film-film

untuk didaftarkan dalam sayembara film mini.

Norman mengajak diskusi mahasiswa yang hendak

berpartisipasi dan menayangkan film rujukan untuk

mendukung proses kreatif mereka. Hasil syuting

yang dirasa potensial lantas disunting, diberi judul,

dicarikan musik yang cocok, dan dikirim atas nama

Sinema 8. Apabila si empunya film keberatan, boleh

dikirim atas nama pribadi.

Pengalaman bersama Sinema 8 menyiapkan

Norman untuk kerja profesional. Sepanjang

kariernya sebagai penyunting gambar, ia sudah

berhadapan dengan beragam visi estetis. Bersama

Arifin C. Noer di Djakarta 1966 (1982), ia dituntut

untuk memaparkan kronologi transisi rezim

Sukarno ke Soeharto beserta puluhan pelakunya

secara komunikatif. Bersama Sjuman Djaya

dalam Kerikil-kerikil Tajam (1984), ia ditantang

untuk mengilustrasikan ketimpangan dampak

pembangunan melalui kontras visual antara kota

dan desa. Dalam film laga Peluru dan Wanita (1987),

ia diarahkan untuk merangkai adegan tembaktembakan

dan kejar-kejaran sehingga menjadi

tontonan yang memikat. Kepiawaiannya yang

merentang beragam jenis film berbuah satu Piala

Citra dan lima nominasi Festival Film Indonesia.

Norman Benny saat menang Piala Citra 1982

untuk film Bukan Istri Pilihan.

Sumber foto: katalog Festival Film Indonesia 1982

(Departemen Penerangan RI).


52 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

ACARA • SAYEMBARA & PEMUTARAN • FILM

Ramaikan

Pekan Film Mini dan

Dokumenter DKJ

11–14 DESEMBER 1976

19.00 WIB

TEATER ARENA TIM

TIKET

Gratis

PENYELENGGARA

DKJ

KOLABORATOR

LPKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM

Jumlah karya yang dikirimkan untuk Sayembara Film Mini

1976 adalah 19 film, berkurang dari tahun sebelumnya, yaitu

28 film. Namun, jumlah tersebut menurut juri tidak mengurangi

mutu film jika dibandingkan dengan film-film pemenang

tahun sebelumnya. Meski demikian, persoalan dari tahuntahun

sebelumnya tetap sama, kebanyakan peserta masih

gagap dalam mekanisme kamera dan lensanya. Agenda ini

juga sekaligus menyelenggarakan pemutaran film mini dan

dokumenter hasil sayembara yang sama dari 1973–1975.

Sebelumnya, DKJ bekerja sama dengan Akademi Sinematografi

LPKJ telah menyelenggarakan lokakarya bagi para peminat film

20 Juli–10 Agustus 1976. Pesertanya sebanyak 31 orang dan

datang dari berbagai daerah.

FENOMENA

Film Mahasiswa

dan Sinema 8

Pada 1973, Komite Film DKJ menyelenggarakan Sayembara

Film Mini, khusus melombakan film pendek berbahan seluloid

8 mm. Sayembara itu mengundang juri dari kalangan sineas

dan cendekiawan ternama seperti Soemardjono, D.A. Peransi,

dan Salim Said. Mahasiswa sinematografi LPKJ praktis menjadi

peserta terbanyak. Pada zamannya, Akademi Sinematografi

LPKJ adalah satu dari sedikit institusi publik di Indonesia yang

punya akses ke perangkat produksi film.

Kelar acara, sekelompok mahasiswa LPKJ berkumpul, di

antaranya Johan Teranggi dan Norman Benny. Mereka sepakat

membentuk Sinema 8, lengkap dengan manifestonya: seluloid 8

mm merupakan medium artistik mandiri—alternatif dari seluloid

32 mm yang kala itu menjadi standar industri. Pada praktiknya,

Sinema 8 berperan sebagai biro konsultasi di kampus. Mereka

menyeleksi film-film mahasiswa untuk didaftarkan dalam

sayembara DKJ. Film yang memenuhi syarat diberi judul,

disunting, dicarikan musik yang cocok, lalu dikirim atas nama

Sinema 8. Apabila si empunya film keberatan, boleh dikirim atas

nama pribadi.

Sinema 8 sepenuhnya merupakan inisiatif mahasiswa. Tak

satu pun dosen ikut serta, dimintai pendapat pun tidak. Sinema

8 ingin bertumbuh berdasarkan pengetahuan dan pengalaman

sendiri. Tantangan hadir ketika karya-karya kiriman mereka

menempati jajaran juara pada Sayembara Film Mini selanjutnya.

Sejumlah pihak berpendapat capaian tersebut belumlah

memuaskan, mengingat beberapa juri berasal dari LPKJ—

salah satunya D.A. Peransi yang kala itu Wakil Dekan Akademi

Sinematografi. Saat ditanya, Peransi berseloroh, jika ia tahu

sedang menilai karya dari Sinema 8, ia justru akan memperketat

penilaian.

Reputasi Sinema 8 begitu melegenda bagi mahasiswa LPKJ

pada zamannya. Kiprah mereka menginspirasi mahasiswa

bernama Gotot Prakosa. Pada 1982, ketika Sayembara Film

Mini terhenti karena masalah dana, ia melanjutkan gagasan

Sinema 8 dengan menyelenggarakan Forum Film Pendek. Forum

ini secara gamblang menegaskan film pendek sebagai “film

alternatif”—dapat berdiri sendiri sebagai suatu karya film atau

video, berdampingan dengan film panjang yang menjadi standar

industri.


1970–

1979

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

53

PARTISIPASI • DOSEN • KONFERENSI • SASTRA

Ikut Menjadi Tuan

Rumah Pertemuan

Sastrawan Indonesia III

11–14 DESEMBER 1976

09.00–22.00 WIB

TEATER TERTUTUP TIM

& KAMPUS LPKJ

Pertemuan Sastrawan Indonesia

termasuk acara yang ditunggu-tunggu,

khususnya oleh peminat sastra. Ali

Audah, dari Komite Sastra DKJ, yang

juga mengajar di LPKJ, menyatakan

bahwa dua Pertemuan Sastrawan

sebelum ini terasa besar manfaatnya.

Kali ini, tak seperti sebelum-sebelumnya,

pembicaraan tentang sastra diserahkan

kepada mereka yang bukan sastrawan.

Maka, pemrasaran yang ditunjuk misalnya

adalah sejarawan Taufik Abdullah dan

pelukis Popo Iskandar. Tentu, tak semua

pihak menyambut positif kebijakan

tersebut. Horison (1977, No. 01), misalnya,

mencatat bahwa antusiasme peminat

meredup karena kebijakan tersebut.

PENGGAGAS &

PENYELENGGARA

DKJ

KOLABORATOR

LPKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM

JUMLAH PARTISIPAN

150-an sastrawan

Para Peserta Pertemuan

Sastrawan Indonesia III foto

bersama Gubernur DKI Jakarta

Ali Sadikin di Kantor Walikota.

PARTISIPASI • DOSEN & MAHASISWA • PERTUNJUKAN • TEATER & TARI

Pengajar LPKJ

dalam Pameran Besar

Seni Lukis Indonesia II

16–30 DESEMBER 1976

GALERI BARU LANTAI

III, RUANG PAMERAN,

DAN TEATER BESAR

TIM

PENGGAGAS &

PENYELENGGARA

DKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM

JUMLAH PARTISIPAN

60-an seniman

[Kiri] Peminat diskusi

"Kepribadian Seni Lukis

Indonesia" membeludak

hingga sebagian duduk di

bawah. [Kanan] Oesman

Effendi dalam diskusi tersebut.

D. Djajakusuma, dalam sambutan pameran mengatakan, tujuan

acara ini adalah pengumpulan data pelukis potensial dan

semacam rekaman periodik. Dengan demikian, khalayak seni

rupa dapat melihat perkembangan atau kemacetan seni rupa

Indonesia mutakhir. Karya-karya yang dihadirkan diharapkan

menyediakan suatu perspektif sejarah dalam kritik, menambah

catatan kebudayaan, dan memperkenalkan seni rupa Indonesia

kepada khalayak baru. Dalam pameran ini dipilih lima lukisan

terbaik, juga diadakan diskusi dengan pembicara Jim Supangkat

(Bandung) dan Oesman Effendi (Padang). Enam pengajar LPKJ

turut terpilih memamerkan karya-karya mereka. Sedangkan total

karya yang dipamerkan berjumlah 119 lukisan.


54 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

ACARA • PAMERAN • SENI RUPA • KRIYA

Dikunjungi Kerajinan

Amerika

AKHIR JANUARI 1977

RUANG PAMERAN LPKJ

Pameran ini menampilkan hasil

kerajinan dari lima kelompok bangsa

Amerika: Indian, penduduk pegunungan

Appalachia, orang Amerika-Spanyol,

orang Eskimo, dan penduduk Kepulauan

Hawaii. Barang-barang itu berupa,

misalnya, topeng Eskimo, buku-bulu

hiasan untuk kepala suku Indian, bakul,

keramik Appalachia, patung, dan lainlain.

Hasil kerajinan Indian dan Eskimo

dianggap tidak sekadar benda-benda

fungsional sehari-hari, tapi menampakkan

semangat penciptaan tersendiri. Namun,

semangat yang sama tidak tampak pada

barang kerajinan Appalachia, Hawai, dan

Amerika-Spanyol. Setidaknya, demikian

menurut Putu Wijaya dalam ulasannya di

Tempo (5 Februari 1977).

PENDUKUNG

LPKJ

1977

PERISTIWA

Pekan Perkenalan

Mahasiswa 1977

Pada 5 Februari 1977, Taufiq Ismail selaku Ketua LPKJ membuka

Pekan Perkenalan Mahasiswa tahun 1977. Sebanyak 163 orang

diterima di kampus ini sebagai mahasiswa baru. Namun yang

hadir dalam acara pembukaan tersebut 143 mahasiswa. Sebagai

tanda dibukanya Pekan tersebut, Taufiq Ismail mengguyur dua

orang perwakilan mahasiswa.

KARYA • MAHASISWA • PERTUNJUKAN • TARI • BALET

Balet Anak

Nritya Sundara

26–27 FEBRUARI 1977

17.00 & 10.00 WIB

TEATER ARENA TIM

PENYELENGGARA

Nritya Sundara

PENDUKUNG

PKJ TIM

KOREOGRAFER

Sunny Pranata, Lidya P.,

Bernadette W., Ratnawati P

KELOMPOK TARI

Nritya Sundara

PEMAIN

Linda Hoemar, Fifi, Dian,

Monica

TIKET

Rata-rata Rp200

Nritya Sundara pimpinan Yulianti

Parani, pengajar Akademi Tari LKPJ,

menampilkan tari balet anak-anak dari

umur 5 hingga 15 tahun. Pementasan ini

diselenggarakan pada akhir pekan agar

banyak anak yang datang menonton.

Diharapkan anak-anak ini akan ikut

tertarik untuk mempelajari balet.

Ilustrasi foto pada kalender

acara TIM mengenai

pementasan tersebut.


1970–

1979

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

55

PARTISIPASI • DOSEN • FESTIVAL • FILM

Sumbangsih LPKJ

dalam FFI 1977

26 FEBRUARI–1 MARET

1977

PUSAT PERFILMAN

H. USMAR ISMAIL

Pada malam penutupan Festival Film

Indonesia (FFI) 1977, Benyamin S. dan

Christine Hakim terpilih sebagai Pemeran

Utama Terbaik. Yang mengejutkan, Dewan

Juri mengumumkan bahwa tahun itu tidak

ada yang ditetapkan sebagai Film Terbaik.

Beberapa dosen dan pejabat LPKJ

termasuk dalam Dewan Juri tersebut.

Mereka adalah D. Djajakusuma, D.A.

Peransi, Iravati M. Sudiarso, dan Taufiq

Ismail.

Dalam kesempatan itu juga

diserahkan beberapa piala selain Piala

Citra, di antaranya Piala Usmar Ismail

untuk sutradara muda berbakat, Piala PWI

untuk bintang cilik, dan Piala Akademi

Sinematografi LPKJ. Piala terakhir ini

dianugerahkan kepada Janis Badar (editor

Si Doel Anak Modern), Syaiful Bachri

(penata musik Wulan di Sarang Penculik),

dan Rieka Ristandi (pengarah artistik

Ranjang Siang Ranjang Malam) sebagai

para pemenang harapan. Upacara

penyerahan piala dilakukan oleh Menteri

Penerangan Mashuri dan Gubernur Ali

Sadikin.

PENYELENGGARA

FFI

KOLABORATOR

LPKJ

KARYA • MAHASISWA • PERTUNJUKAN • MUSIK

"Parentheses I-II" Karya

Slamet Abdul Sjukur

1 MARET 1977

MALAM

TEATER ARENA TIM

PENDUKUNG

PKJ TIM

KOMPONIS

Slamet Abdul Sjukur

PEMAIN

Slamet Abdul Sjukur, Dewi

Rani (penari), Renate Pook dan

Deni Carey (koreografer).

Komposisi ini dipentaskan pertama kali di Paris pada 1972 atas

pesanan Deutsch de la Meurthe, bagian dari Cité Internationale

Universitare de Paris. Slamet Abdul Sjukur sengaja

menyesuaikan komposisinya untuk masyarakat di sana, yang

sudah akrab dengan tradisi musik klasik. Untuk pertunjukan

di Jakarta ini, seorang penari dihadirkan merespons bunyi.

Menurut Putu Wijaya (Tempo, 19 Maret 1977), ada semacam

jalan pikiran yang ditawarkan dalam penampilan tersebut.

Slamet memang tidak memainkan piano secara konvensional:

sesekali ia membuka tutup piano dan memainkan dawai dengan

benda-benda seperti paku dan pensil. Agaknya penonton diajak

menelusuri kembali makna bunyi, hening, dan gerak.

KARYA • DOSEN • PERTUNJUKAN • TARI

I Wayan Diya Pentaskan

Lakon Duta Buta

4–6 MARET 1977

TEATER ARENA TIM

PENYELENGGARA

Rasa Dhvani

PENDUKUNG

PKJ TIM

KOREOGRAFER

I Wayan Diya

KELOMPOK TARI

Rasa Dhvani

Duta Buta adalah lakon bagian dari drama tari Calon Arang.

Bagian ini mengisahkan pertempuran antara pasukan Ki Patih

Taksara Maguna melawan Ni Rarung, murid utama Calon Arang.

Pementasan I Wayan Diya dan kelompoknya ini disebut-sebut

berhasil memindahkan Pulau Bali yang magis ke dalam Teater

Arena. Drama tari tradisional ala Rasa Dhvani menyertakan

pembaruan yang pas dan tidak sampai jatuh menjadi tontonan

turis, seperti yang lazim terjadi di Bali sendiri. Dalam pertunjukan

ini, pembaruan itu sederhana: mengetengahkan esensi tari Bali

dengan menambahkan unsur modern seperti pencahayaan

harmonis.


56 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

PARTISIPASI • DOSEN • DISKUSI • FILM

Wahyu Sihombing:

Pembinaan dan

Pengembangan

Film Indonesia

1 APRIL 1977

MALAM

FAKULTAS

KEDOKTERAN

UNIVERSITAS

AIRLANGGA,SURABAYA

Wahyu Sihombing, dosen LPKJ,

dalam diskusi ini mengatakan bahwa

produser film telah memberi andil dalam

bopengnya dunia perfilman di Indonesia.

Produser film dianggap seenaknya saja

mendikte penulis skenario dan sutradara.

Bahkan, menurut Wahyu, ada produser

film yang meminta penulis skenario

untuk mengambil film Hong Kong dengan

menerjemahkan dan mengubah namanama

pemain di dalamnya. Bopengnya

film Indonesia tersebut juga dianggap

karena tidak ada rasa nasionalisme

dan patriotisme “tukang-tukang film” di

Indonesia.

PENGGAGAS &

PENYELENGGARA

Airlangga Film, kine klub

Senat Mahasiswa kedokteran

Universitas Airlangga

JUMLAH PARTISIPAN

30-an peserta (dosen,

mahasiswa, pengusaha

bioskop), 5 pembicara

PARTISIPAN

Wahyu Sihombing,

Zulharmans (Jakarta), Sam

Abede, Agil H. Ali, Nano A.N.

(Surabaya).

PARTISIPASI • PAMERAN • SENI RUPA • TOPENG

Koleksi LPKJ dalam

Pameran Topeng DKJ

RUANG PAMERAN TIM

25–30 APRIL 1977

Ketua DKJ Ajip Rosidi mengatakan bahwa

pameran topeng penting diadakan karena

banyak sekali kesenian di Indonesia

yang menggunakan topeng. Bahkan di

beberapa daerah, seperti Cirebon dan Bali,

ada tari topeng—yang khusus ditampilkan

dengan menggunakan topeng. Topeng

juga bukan monopoli Nusantara, seperti

yang diperlihatkan dalam pertunjukan

Bengkel Teater Rendra lewat lakon

klasik Yunani, Oedipus Sang Raja. Karya

Sophokles ini aslinya juga menggunakan

properti topeng. Pameran ini, yang

memajang topeng dari Jawa, Bali,

dan beberapa daerah lain, merupakan

cerminan dari salah satu kekayaan

kesenian di Indonesia.

PENGGAGAS &

PENYELENGGARA

DKJ

KOLABORATOR

ITB, Alam Surawidjaja,

Direktorat Pembinaan

Kesenian PDK, Ajip Rosidi,

Ong Hok Ham, LPKJ,

Ipung G., M. Noor, TIM

PENDUKUNG

PKJ TIM

KARYA • DOSEN & MAHASISWA • PERTUNJUKAN • TEATER

Bargawa Rama Parasu

26–28 APRIL 1977

TEATER TERTUTUP TIM

TIKET

Rata-rata Rp300

Drama yang diumumkan sebagai

sandiwara dalam 25 adegan ini diangkat

dan diilhami dari tradisi pewayangan

Jawa. Sutradara D. Djajakusuma

menekankan segi kewajaran yang

diharapkan dapat ditangkap oleh berbagai

kalangan penonton. Masalah penuturan

lakon menjadi perhatian utama sutradara

dalam menggarap pementasan. Episodeepisode

dalam pertunjukan berupaya

mengungkapkan inti masalah tokohtokohnya,

yang disoroti relevansinya

dalam konteks permasalahan

kemanusiaan lebih luas.

PENYELENGGARA

Teater Lembaga

PENDUKUNG

PKJ TIM

SUTRADARA &

PENULIS NASKAH

Djaduk Djajakusuma

KELOMPOK TEATER

Teater Lembaga

PARTISIPAN

Wahyu Sihombing,

Zulharmans (Jakarta), Sam

Abede, Agil H. Ali, Nano A.N.

(Surabaya).


1970–

1979

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

57

KARYA • DOSEN & MAHASISWA • PERTUNJUKAN • TEATER

Dua Lakon

Teater Lembaga

AKHIR APRIL 1977

MALAM

TEATER TERTUTUP TIM

Dua sandiwara ini dapat dianggap sebagai

uji coba bagi mahasiswa Akademi Teater

LPKJ, khususnya yang tergabung dalam

Teater Lembaga. Funa Benkei adalah

sebuah lakon noh, sandiwara tradisional

Jepang, yang mengangkat tema

ketabahan dan kesetiaan. Sementara,

Rama Bargawa adalah sebuah petilan

dari epos perwayangan Jawa. Harian

Merdeka pada 14 Mei 1977, mengulas

bahwa dua pementasan tersebut secara

keseluruhan belum terasa kompak,

humor-humornya tidak lucu, pencahayaan

tidak mendukung, dan kekuatan aktor

belum tampak di atas panggung.

PENYELENGGARA

Teater Lembaga

PENDUKUNG

PKJ TIM

SUTRADARA

D. Djajakusuma

PENATA MUSIK

I Wayan Diya

PENULIS NASKAH

Kojiro Nabumitsu, terjemahan

Sapardi Djoko Damono

KELOMPOK TEATER

Teater Lembaga

KARYA • DOSEN & MAHASISWA • PERTUNJUKAN • TARI • BALET

Balet Folklorik

Pendekar Perempuan

30 APRIL–2 MEI 1977

20.00 WIB

TEATER ARENA TIM

TIKET

Rp300 & Rp500

Menurut Yulianti Parani, yang dimaksud

dengan balet folklorik ini adalah bentuk

penggarapan baru atas balet dengan

memanfaatkan unsur-unsur kesenian

Betawi. Salah satu tujuannya adalah

mengangkat kesenian Betawi sebagai

seni pentas melalui medium tari. Adapun

ide penggarapan berangkat dari cerita

Pendekar Perempuan karya Elanda Rossi.

Tema utamanya adalah pertarungan

klasik antara kekuatan baik dan jahat.

Namun, tari ini pada dasarnya tidak

digarap untuk menyajikan cerita lewat tari.

Yang hendak ditampilkan adalah berbagai

pola dan komposisi dalam suatu jalinan

gerak puitik, sebagai permainan sifat dan

suasana antara kekuatan baik dan jahat

itu tadi.

PENGGAGAS &

PENYELENGGARA

Nritya Sundara

KOLABORATOR

Seniman tari tradisi dan

Akademi Tari LPKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM

KOREOGRAFER

Yulianti Parani

KELOMPOK TARI

Nritya Sundara

PEMAIN

Sentot Sudiharto, I Wayan

Diya, Dedy Lutan, Linda

Karim, Wiwiek Sipala, Lydia

Pementasan Pendekar

Perempuan, dimuat di Sinar

Harapan, 30 April 1977.


58 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

SOSOK ALUMNI

LAHIR 1951 DI BANDUNG, WAFAT 2004

KOMPOSISI (MUSIK), FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN

ANGKATAN 1975

Harry Roesli

MUSISI

Dunia musik Indonesia mencatat Harry Roesli

sebagai seorang jenius. Di tangannya, setiap

bunyi bisa punya nilai seni. Pria yang bernama asli

Djauhar Zaharjah Fachruddin Roesli itu dikenal

fasih memainkan beragam alat musik, mulai gitar,

harmonika, perkusi, gamelan, hingga angklung.

Bahkan benda-benda seperti botol, pecahan

beling, hingga knalpot motor pernah ia pakai dalam

komposisi musiknya.

Mulanya Harry bermusik secara kasual dengan

kawan-kawannya. Berawal dari sering jamming

bareng, ia merintis Gang of Harry Roesli bersama

Indra Rivai, Hari Pochang, Albert Warnein, Janto

Soedjono, dan Dadang Latiev. Pada 1973, mereka

merilis album perdana sekaligus satu-satunya,

Philosophy Gang, yang menjadi etalase bagi

kecenderungan progresif musik Harry. Pada “Don’t

Talk About Freedom”, lagu paling terkenal dari

album itu, Harry memulai komposisinya dengan

solo keyboard yang kemudian melebur bersama

ketukan perkusi, raungan gitar, dan tiupan harmonika.

Setiap instrumen punya ritmenya sendiri namun

tetap bisa saling mengisi. Corak serupa nantinya

kian dipertajam dalam album-album solo Harry, Titik

Api (1976) dan Ken Arok (1977), yang mengawinkan

musik rock dengan karawitan Sunda.

Gang of Harry Roesli hanya bertahan sampai

1975. Sang empunya nama keburu sibuk dengan

persiapan pentas teater Ken Arok, yang memperluas

kegiatan seni Harry ke wilayah politis. Melalui kisah

kudeta militer masa kerajaan, Harry mengkritisi

rezim Soeharto yang naik kuasa dengan cara serupa.

Pertama kali pentas di Gedung Merdeka Bandung

pada 1975, pagelaran teater Ken Arok mengundang

perhatian aparat. Pada pementasan keliling di

Semarang pada 1979, tentara datang menyerbu

lokasi acara dan menjebloskan Harry ke penjara.

Ayah Harry, seorang mayor jenderal TNI,

datang menolong. Berkat lobi-lobi sang ayah, Harry

dibebaskan. Aslinya, beberapa tahun sebelumnya,

sang ayah melarang anaknya jadi musisi, karena

menurutnya profesi itu tak punya masa depan dan

identik dengan mabuk-mabukan. Terlebih lagi ketiga

kakak Harry memilih ikut jejak sang ibunda menjadi

dokter. Harry pun diarahkan untuk kuliah di Institut

Teknologi Bandung. Ia cuma sanggup bertahan

sampai semester empat dan kembali menegaskan

niatnya jadi musisi. Kali ini, setelah berunding, Harry

mendapat restu dari kedua orangtuanya dengan

syarat ia mesti tetap kuliah. Ia lantas mendaftar

jurusan komposisi musik di LPKJ, yang dilanjutkan

dengan belajar musik elektronik di Rotterdam

Conservatorium atas beasiswa pemerintah Belanda

Di sela-sela berkesenian, Harry aktif berkegiatan

bersama komunitas Depot Kreasi Seni Bandung.

Bermarkas di rumah Harry sendiri, komunitas itu

menjadi tempat bernaung para musisi jalanan. Di

sana, Harry berkolaborasi dan berbagi pengetahuan

musik dengan para anggota komunitas yang

jumlahnya mencapai enam ribuan orang. Ia juga

mengadvokasi dan menggalang dukungan bagi

masyarakat marjinal. Semenjak Harry tutup usia pada

2004, rumah yang sama dilestarikan sebagai Rumah

Musik Harry Roesli, sebuah pusat kreativitas khusus

anak-anak dan ruang belajar bagi pengamen jalanan.

Harry Roesli dan koleksi alat perkusinya di Bandung, 1984.

Sumber foto: © Tempo/Ida Farida


1970–

1979

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

59


60 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

PERISTIWA

Ketua LPKJ Taufiq Ismail

Berkunjung ke Australia

Pemerintah Australia mengundang Ketua LPKJ Taufiq Ismail

untuk melawat ke negara tersebut selama sebulan. Di Australia,

Taufiq berkunjung ke beberapa kota, bertemu dengan para

seniman, wartawan, dan intelektual, serta mengunjungi

beberapa universitas. Australia baru memiliki satu universitas

di bidang seni, Victoria College of the Arts di Melbourne, yang

baru berumur satu tahun. Taufiq mengungkapkan bahwa LPKJ

akan bekerja sama dengan universitas tersebut. Hal ini akan

meliputi pertukaran dosen, tukar-menukar informasi, dan,

bila memungkinkan, pengiriman mahasiswa senior LPKJ ke

Australia.

PERISTIWA

D. Djajakusuma Membuat

Film tentang Wayang

Sejak enam bulan sebelumnya, Akademi Sinematografi LPKJ

membuat film mengenai Pagelaran Wayang Kulit Purwa.

Lokasi pengambilan gambarnya di Surakarta, Yogyakarta, dan

Jakarta. Di Jakarta, bertempat di Museum Wayang, diadakan

pengambilan gambar oleh D. Djajakusuma. Dalam pengambilan

gambar pada 8 Mei 1977, tampil dalang muda berbakat Rusman

Hadikusumo. Ia salah seorang dari dua dalang yang baru-baru ini

diundang Ki Narto Sabdo untuk pamer kebolehan di Semarang

dan membuat gempar para dalang terkenal di sana.

PARTISIPASI • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA • PATUNG

Edith Ratna dalam

Pameran Patung 1977

9–16 MEI 1977 &

25–31 MEI 1977

09.00–14.00 &

17.00–21.00 WIB (TIM);

09.00–17.00 WIB

(BANDUNG)

GALERI CIPTA TIM &

GALERI SOEMARDJA

ITB, BANDUNG

PENGGAGAS &

PENYELENGGARA

DKJ

KOLABORATOR

Departemen Seni Rupa ITB

PENDUKUNG

PKJ TIM & Galeri Soemardja

ITB, Bandung

PARTISIPAN

Edith Ratna, But Muchtar,

Bambang Irawan, G. Sidharta,

Sunaryo, Surya Pernawa,

Otong Nurjaman, Rita

Widagdo, Iriantine Karnaya,

Jim Supangkat.

Menurut Ketua DKJ Ajip Rosidi, mengadakan pameran patung

lebih sulit dibanding pameran lukisan karena pameran patung

lebih banyak memakan tenaga dan pembiayaan. Namun,

penting untuk bisa mengetahui dan menilai potensi seni patung

kontemporer Indonesia. Apalagi kini telah bertambah jurusan

seni patung di berbagai perguruan tinggi seni rupa, seperti di

ASRI, Departemen Seni Rupa ITB, Akademi Seni Rupa LPKJ,

dan lain-lain. Dari lembaga-lembaga tersebut bermunculan

pematung-pematung yang sudah membuktikan kemampuannya.

Pameran ini juga diadakan dalam rangka 13 tahun berdirinya

Departemen Seni Rupa ITB, yang telah menghasilkan beberapa

pematung muda, yang karyanya ditampilkan bersama dengan

para perintisnya.

Karya Edith Ratna, pengajar

LPKJ, yang dipamerkan.


1970–

1979

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

61

KARYA • DOSEN & MAHASISWA • PERTUNJUKAN • SENI TARI

Putri Putih

11–13 MEI 1977

20.00 WIB

TEATER TERTUTUP TIM

TIKET

Rp300 & Rp500

PENGGAGAS &

PENYELENGGARA

Cipta Karya Tari LPKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM

KOREOGRAFER

Farida Feisol & Wiwiek Sipala

KELOMPOK TARI

Cipta Karya Tari LPKJ

PEMAIN

Retno Maruti, Linda Karim,

June Beckx, Wiwiek Sipala,

Nancy Hassan, Sentot

Sudiharto, Achmad Umarella,

Dedy Lutan

Putri Putih merupakan drama tari dua babak yang digarap dari

legenda dan dongeng daerah Sulawesi, dengan gaya dan corak

penggarapan baru. Selain Putri Putih ditampilkan pula garapan

tari Farida Feisol yang lain, yaitu Introspeksi dan Pas de Deux

Windflowers. Musik pengiring diambil dari karya-karya ABBA,

Manfred Mann, dan Deodato.

Putri Putih, dimuat di harian

Pikiran Rakyat, 14 Mei 1977.

ACARA • CERAMAH • MUSIK • KONTEMPORER

Anatomi

Musik Kontemporer

Slamet Abdul Sjukur

16 MEI 1977

20.00 WIB

TEATER ARENA TIM

PENDUKUNG

PKJ TIM

Masalah seni kontemporer menjadi perhatian kalangan seniman

dan banyak orang. Meski demikian, apa dan bagaimana seni

kontemporer belumlah jelas. Apa yang teramati baru dianggap

gejala-gejala. Melalui ceramahnya untuk umum, Slamet Abdul

Sjukur mengurai apa itu musik kontemporer. Pengajar LPKJ

ini pernah menjadi dosen piano dan harmonika di Sekolah

Musik Indonesia di Yogyakarta. Lalu ia mendapat beasiswa

dari pemerintah Prancis untuk belajar di École Normale de

Musique de Paris dan memperoleh ijazah instruktur piano dari

lembaga yang sama. Ia juga penerima Bronze Medal dalam

Festival de Dijon 1975 (Prancis) atas komposisinya yang berjudul

“Angklung”.

PARTISIPASI • MAHASISWA • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS, SENI GRAFIS

Gotot dan Syahnagra

dalam Pameran 55 Tahun

Taman Siswa

1–6 JULI 1977

BALAI BUDAYA

PENDUKUNG

Balai Budaya

PARTISIPAN

Gotot Prakosa, Henky

Hendrato, Ipong Wiryah,

Syahnagra, Tato Darmanto

Pameran dilaksanakan dalam rangka memperingati 55 Tahun

Taman Siswa. Lembaga pendidikan tersebut terus menghasilkan

generasi muda potensial. Lima seniman lulusannya dalam

pameran ini tampil dengan kekhasan masing-masing, termasuk

dua yang masih menempuh pendidikan di LPKJ—Syahnagra dan

Gotot Prakosa.

Syahnagra punya kekuatan dalam warna, Gotot pada sapuan

dan garis, juga detail-detail teknis yang menimbulkan efek

tertentu, Henky Hendarto punya kekuatan dalam komposisi,

Ipong pada imaji-imaji grafis yang berkesan sepi, sedangkan

Tato menjadi satu-satunya pelukis impresionis dalam pameran

ini.


62 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

ACARA

Pekan Hari Jadi LPKJ VII

3–9 JULI 1977

KAWASAN KAMPUS

LPKJ

PENGGAGAS &

PENYELENGGARA

LPKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM, DKJ

Mahasiswa Akademi Tari

tampil dalam Pesta Kreatif di

Pelataran Teater Luwes (Sinar

Harapan, 8 Juli 1977).

LPKJ merayakan hari jadinya yang ketujuh. D.A. Peransi, Ketua

Panitia Pekan Hari Jadi, dalam pembukaan acara berujar bahwa

berbagai kegiatan seni diselenggarakan dalam perayaan ini.

Semua akademi mengerahkan kreativitas para mahasiswanya.

Misalnya, Akademi Tari menghadirkan tari-tarian hasil didikan

dalam kursus-kursus tari, Akademi Teater mementaskan

Bung Besar, dan Akademi Sinematografi mengorganisir

serangkaian simposium. Selain itu, diadakan pula pasar seni dan

pementasan-pementasan spontan, yang tak hanya melibatkan

mahasiswa tetapi juga penonton.

Hari penutupan Pekan Hari Jadi sangat semarak. Ali Sadikin,

Gubernur Jakarta yang akrab dengan kalangan seniman,

“dibajak” ke TIM. Ali Sadikin baru saja menutup PRJ di Monas

dan tidak berencana menghadiri acara LPKJ. Mendadak

beberapa lusin mahasiswa LPKJ, menumpang tiga mobil Colt,

“mengepungnya” dan membawanya ke TIM. Di sana, pesta

dansa ala Batavia tempo dulu sedang diselenggarakan. “Dalang”

Sardono W. Kusumo lalu menyerahkan singgasana kepada

sang gubernur dan istrinya, seolah-olah menggantikan J.P.

Coen— diperankan oleh kritikus Dan Soewaryono—yang telah

“digulingkan”.

Dalam penutupan tersebut, LPKJ juga menyelenggarakan

wisuda pertama atas nama Dolorosa Sinaga. Seniman patung

ini lulus dengan predikat cum laude tanpa gelar sarjana—sesuai

ketentuan LPKJ saat itu. Selain itu, 13 orang mahasiswa

dinyatakan lulus tahap studi dasar. LPKJ juga mencatat

peningkatan jumlah mahasiswa, dari 239 pada 1976 menjadi 376

pada 1977.

ACARA • PERPISAHAN

Perpisahan Para Seniman

dengan Bang Ali Sadikin

5 JULI 1977

GEDUNG BIOSKOP TIM

THEATER

PENYELENGGARA

DKJ, LPKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM

Masa jabatan Ali Sadikin sebagai Gubernur DKI sebentar

lagi berakhir. Para seniman mengucapkan selamat jalan dan

mengungkapkan terima kasih mereka. Bang Ali dianggap sosok

yang tak ada duanya sebagai pencetus pusat kebudayaan

ibukota. Di TIM, banyak seniman memberikan kenang-kenangan,

berupa lukisan, buku, album foto, rekaman-rekaman, dll, yang

kemudian diantarkan ke kediamannya. Ada juga pembacaan

sajak oleh Taufiq Ismail dan Rendra. Sementara Sardono W.

Kusumo dan mahasiswa LPKJ mempersembahkan pementasan

Yellow Submarine, yang diakhiri dengan penyerahan bendera

kepada sang Gubernur. Visi Bang Ali, untuk melindungi

kebebasan kreatif tanpa ikatan, kecuali suara kemanusiaan,

telah dibuktikan oleh keberadaan para seniman saat itu.


1970–

1979

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

63

SOSOK ALUMNI

Ibnu Nurwanto

PEMATUNG

LAHIR DI YOGYAKARTA, 1957

SENI PATUNG, FAKULTAS SENI RUPA

ANGKATAN 1974

Guratan Ibnu Nurwanto pada kayu nangka

membentuk corak serupa luberan lumpur. Potongan

kayu berukir itu bertopang pada sebuah tugu beralas

segitiga. Di bawah tugu, ada sebuah prisma dengan

alas berbentuk segitiga, sehingga memberi kesan

goyah dan kurang kokoh. Melalui patung berjudul

Lapindo itu, Ibnu mengurai mimpi buruknya tentang

nasib pemukim di sekitar lumpur Sidoarjo, Jawa

Timur. Sampai hari ini masalahnya belum selesai,

sementara para warga terdampak hidup terkatungkatung

tanpa kejelasan dan keadilan.

Patung Lapindo pertama kali dipamerkan pada

pameran tunggal Mimpi Hitam di Taman Ismail

Marzuki pada 2008. Selama lebih dari tiga dekade

berkarya, Ibnu rutin mengadakan pameran tunggal

untuk mempertemukan karya patungnya dengan

publik. Mimpi Hitam hanyalah satu dari serangkaian

pameran itu. Setiap pameran, Ibnu biasanya

menampilkan puluhan patung yang ia hasilkan

selama tiga sampai empat tahun sebelum pameran.

Dalam Mimpi Hitam, perupa kelahiran Yogyakarta itu

menceritakan problema keseharian melalui ukiran

kayu khasnya.

Patung Ibnu menjadi unik karena terbuat dari

kayu, bukan perunggu atau tembaga yang lumrah

digunakan. Tentunya, pilihan ini punya sejumlah

konsekuensi. Yang utama: ia terbatas pada karyakarya

skala kecil dan personal, berbeda dari patung

perunggu atau tembaga yang bisa diolah hingga

menjadi monumen di ruang publik. Dengan begitu,

ruang pamer Ibnu terbatas pada galeri.

Di sisi lain, medium kayu memungkinkan Ibnu

untuk lebih menjelajahi bentuk-bentuk patung

yang lebih figuratif. Karya-karyanya tidak sebatas

penyarian dari rupa-rupa alamiah. Lebih dari itu, ia

bisa menyentuh problema sosial melalui olahan

imajinatif atas simbol dan bentuk ukiran kayu. Dalam

pengerjaan karya-karyanya, Ibnu lebih sering memilih

kayu nangka dan mahoni. Kedua jenis kayu ini lebih

awet sekaligus pejal, sehingga bisa menghasilkan

pahatan yang lebih detail dan halus.

Sumber foto: © Ibnu Nurwanto, 2017.


64 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

ACARA • PERTUNJUKAN • MUSIK • KLASIK

Gitar Klasik Carl Tanjong

12 JULI 1977

20.00 WIB

TEATER BESAR TIM

TIKET

Rp500 & Rp750

Carl Tanjong bersama muridmuridnya

yang akan ikut tampil

dalam resital ini.

Carl Tanjong, putra Toraja, belajar gitar

klasik di bawah bimbingan maestro

Guglielmo Papararo, gitaris terkenal

Italia. Permainan Carl dari waktu ke

waktu makin mantap dan mengasyikkan.

Sebagai dosen di Akademi Musik LPKJ,

ia juga membina gitaris muda secara

perorangan dan memimpin kursus musik

Gitar Lowrey Music Centre Jakarta. Carl

dan murid-muridnya dalam pertunjukan

ini menampilkan karya-karya J.S. Bach,

Anonimo, Mauro Giuliani, Manuel Ponce,

Beethoven, maupun Villa-Lobos.

PENDUKUNG

PKJ TIM & LPKJ

PARTISIPAN

Enam mahasiswa Carl

Tanjong di LPKJ

ACARA • PERTUNJUKAN & LOKAKARYA • TARI TOPENG

Topeng Cirebon

untuk Mahasiswa

13–14 JULI 1977

20.00 WIB

TEATER ARENA TIM

KOLABORATOR

Para penari topeng Cirebon

PENDUKUNG

PKJ TIM

JUMLAH PARTISIPAN

3 penari topeng

PARTISIPAN

Ibu Sudji, Pak Djana, Keni

Pertunjukan Topeng Cirebon menghadirkan tiga penari

sekaligus. Mereka bergantian membawakan lima tokoh:

Panji, Pamindo, Rumyang, Tumenggung, dan Klana. Sebagai

selingan, ada pula tokoh Jinggananom yang ditampilkan

oleh seorang bodor (pelawak). Pertunjukan dua malam ini

sekaligus merupakan lokakarya bagi mahasiswa LPKJ. Para

pengajar Akademi Tari, Sardono W. Kusumo dan Sal Murgiyanto,

mengulas pertunjukan tersebut di media. Sal Murgiyanto

menyatakan bahwa tari topeng Cirebon tak kalah berbobot

dibanding tarian keraton. Sedangkan Sardono menilai, tari ini

memperlihatkan bahwa tradisi di Indonesia selalu hidup dan

memperbarui diri.


1970–

1979

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

65

KABAR • PENGHARGAAN

Malam Penghargaan

oleh Society for

American-Indonesian

Friendship Inc

15 JULI 1977

PETANG

TEATER ARENA TIM

DKJ dan Society for American-

Indonesian Friendship telah menggalang

penghargaan ini sejak 1974. Iravati M.

Sudiarso, Ketua DKJ, dalam sambutannya

berujar bahwa penghargaan diberikan

kepada seniman-seniman muda yang

terus-menerus berkarya dalam bidang

masing-masing. Tahun ini penghargaan

dianugerahkan kepada Wiwiek Sipala

dan Soetarno K., berupa piagam dan

uang senilai US$250. Wiwiek Sipala

adalah salah satu penari dengan

sederet prestasi. Mahasiswa LPKJ yang

kini anggota staf Biro I di kampus ini

telah mengikuti berbagai misi tari ke

mancanegara. Sementara Soetarno K.

aktif sebagai sutradara teater.

PENYELENGGARA

Society for American-

Indonesian Friendship Inc

KOLABORATOR

DKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM

KARYA • DOSEN & MAHASISWA • PERTUNJUKAN • TARI • TRADISIONAL

S. Kardjono Pentaskan

Burisrawa Rante

28–29 JULI 1977

20.00 WIB

TEATER ARENA, TIM

Pengajar LPKJ Surjadi Kardjono

mengungkapkan, tarian gaya Yogyakarta

kurang berkembang di Jakarta. Padahal

kalau ditimbang-timbang, pola gaya tarian

ini sesuai dengan kehidupan metropolitan

yang serba cepat. Untuk membangkitkan

minat khalayak, ia pun menggarap

pertunjukan wayang orang gaya

Yogyakarta dalam lakon Burisrawa Rante.

Ia diperkuat oleh 30 orang penari yang

di antaranya adalah mahasiswa LPKJ.

Dalam penataan tari, S. Kardjono dibantu

oleh Siti Adiyati, yang juga penari keraton

selain perupa. Sebagai pembuka, dua

tari Serimpi, yaitu Pande Lare dan Beksan

Lawung, ditampilkan. Gamelan dua tarian

tersebut diiringi orkes tiup Korps Musik

Kostrad asuhan F.X. Sutopo.

KOLABORATOR

Siti Adiyati, Korps

Musik Kostrad

PENDUKUNG

PKJ TIM

PARTISIPASI • MAHASISWA • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS

Aktif Berkesenian

di Kota Kelahiran

4–8 AGUSTUS 1977

PENDOPO

KAWEDANAN,

PURWOKERTO

Pelukis Muda Purwokerto berdiri pada 17

November 1974 dengan ketua Bambang

Setiana, atau yang selanjutnya populer

dengan nama Bambang Set. Kelompok itu

dibentuk sebagai wahana tukar-menukar

pengetahuan antaranggota. Bambang,

yang juga mahasiswa Akademi Teater

LPKJ, di Purwokerto mengasuh kelompok

Teater 77 yang bernaung di bawah SMA

Kristen Purwokerto. Pameran yang diberi

judul “Eksposisi 4 PMP” ini, sebagai

pameran keempat sejak berdirinya PMP,

menghadirkan 50 lukisan.

PENGGAGAS &

PENYELENGGARA

Pelukis Muda

Purwokerto (PMP)

PARTISIPAN

Bambang Setiana, Agus

Untung, A.A. Gede Raka

Sumidja, Budi Waluyo


66 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

ACARA • PEMBACAAN PUISI

Pembacaan Puisi Peringati

Kemerdekaan RI

22 AGUSTUS 1977

MALAM

PLAZA KAMPUS LPKJ

ACARA • PERTUNJUKAN • LENONG

Lenong Ayub Jago Betawi

24–25 AGUSTUS 1977

20.00 WIB

TEATER TERBUKA TIM

TIKET

Rp200 & Rp300

Beberapa jam sebelum acara dimulai,

plaza kampus LPKJ sudah ramai

dikunjungi oleh mahasiswa dan

masyarakat. Informasi acara memang

sudah disebar di beberapa tempat di

Jakarta. Dikabarkan bahwa khalayak

mahfum jika acara akan melibatkan

caci-maki terhadap pihak-pihak tertentu.

Beberapa penyair dan mahasiswa

kemudian tampil dengan beragam cara

pembacaan puisi. Bung Tomo, pemimpin

militer dalam Perang Revolusi, ikut

tampil membacakan tiga sajak. Suasana

sempat riuh dan terkesan tak terkontrol

saat beberapa pembaca betul-betul

melontarkan caci-maki terkait situasi

politik saat itu. Namun, acara berjalan

lancar hingga selesai.

Inilah jawaban para seniman lenong untuk

Gubernur Ali Sadikin yang menganjurkan

penyelenggaraan Pesta Seni Rakyat

dalam rangka ulang tahun Jakarta

ke-450. Di bawah arahan Sumantri

Sastrosuwondo dan koreografer Yulianti

Parani, cerita lenong Ayub Jago Betawi

berangkat dari karya Lukman Karmani.

Isinya berkisah tentang bagaimana rakyat

Betawi melawan penjajahan Belanda.

Lenong ini menjadi salah satu mata acara

dalam Pesta Seni Rakyat dari seluruh

Indonesia.

PARTISIPAN

Abdul Hadi W.M., Leon Agusta,

Ikranegara, Sutardji Calzoum

Bachri, Taufiq Ismail, Rosihan

Anwar, mahasiswa Universitas

Tujuhbelas Agustus,

mahasiswa LPKJ, Sutomo, dll.

PENYELENGGARA

Pusat Penelitian dan

Pengembangan Kesenian

Rakyat dan Akademi Tari LPKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM

PARTISIPAN

Lukman Karmani, S. Nasrin,

Nasir T., Bu Siti, Bokir,

Mamit, M. Toha, Nunung

KARYA • DOSEN & MAHASISWA • PERTUNJUKAN • SENI TARI

Pementasan

Cipta Karya Tari

20–21 SEPTEMBER

1977

20.00 WIB

TEATER ARENA, TIM

Cipta Karya Tari mempersembahkan lima

tarian. Dedy Lutan menampilkan Nadi

yang sepintas dianggap mengesankan

kehidupan Bali. Wiwiek Sipala menyajikan

Image yang memperlihatkan kepekaannya

atas lingkungan dan tempat-tempat

yang pernah ia kunjungi dalam studi

lapangannya di berbagai kota. Sementara

itu, Rotasi karya Nana menelusuri

ekspresi dari perasaan-perasaan

terdalam manusia. Terakhir, I Wayan Diya

menampilkan dua karya, yaitu Awan yang

melukiskan gerak perpindahan awan dan

Nara Nari yang merepresentasikan gerak

laki-laki dan perempuan sehubungan

dengan Paramatma dan Jiwatma dalam

konsepsi Hindu.

PENGGAGAS &

PENYELENGGARA

Cipta Karya Tari LPKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM

KOREOGRAFER

Dedy Lutan, Wiwiek Sipala,

I Wayan Diya, Nana

KELOMPOK TARI

Cipta Karya Tari

PEMAIN

Nana, Bernadeth, Achmad

Umarella, Nungki, Ina,

Kusmawati, Yuli, Elly, Linda

Karim, Wiwiek Sipala, Mas

Tok, Deddy, Frans, para

mahasiswa Akademi Musik

LPKJ, dan murid-murid

Kursus Musik LPKJ


1970–

1979

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

67

SOSOK ALUMNI

Syaeful Anwar

SENIMAN TEATER

LAHIR DI PURWAKARTA, 1951

SENI MURNI, FAKULTAS SENI RUPA

ANGKATAN 1973

Perjalanan Achmad Syaeful Anwar menuju panggung

teater berawal dari kuliah seni rupa. Selama jadi

mahasiswa, ia banyak terlibat di Teater Mandiri dan

Teater Keliling yang sering latihan dan pentas di

Taman Ismail Marzuki, persis di sebelah kampus

IKJ. Umumnya, ia berkontribusi sebagai aktor.

Namun, karena bidang studinya, Syaeful juga banyak

dipercaya untuk menangani set, kostum, dan properti

panggung.

Keterlibatan di teater lantas mendekatkan Syaeful

dengan lingkar seniman di Taman Ismail Marzuki.

Di luar jadwal pentas, tak jarang ia menghabiskan

waktu di kompleks seni itu untuk sekadar bergaul

dan unjuk seni. Pada suatu hari, ia membacakan

puisi di panggung teater arena. Penampilannya

yang begitu penuh energi dan kaya ekspresi

mengundang kekaguman Nano Riantiarno, seniman

teater kawakan. Setelah pentas, Nano dari bangku

penonton pun memperkenalkan diri kepada Syaeful

dan tak butuh waktu lama bagi keduanya untuk

menjadi teman akrab. Pada 1977, keduanya bersama

sejumlah pegiat teater lainnya merintis Teater Koma.

Syaeful kembali melakoni peran ganda.

Sebagai aktor, ia menjadi salah satu wajah familiar

dari Teater Koma. Kemampuannya beradaptasi

dengan berbagai tuntutan peran, dari yang realis

hingga yang fantastis, memungkinkan ia tampil

di berbagai pementasan Teater Koma. Sebagai

skenografer atau pengarah artistik, ia dikenal karena

perhatiannya terhadap detail dan ketekunannya

dalam mewujudkan tata panggung yang memukau

secara visual. Dalam pementasan Sie Djin Koei

(2011), misalnya, ia menghadirkan genta setinggi 3,5

meter di atas panggung Graha Bakti Budaya untuk

membangun suasana interior istana Dinasti Tang.

Setiap perabotan dan detail interior juga ia cocokkan

berdasarkan literatur tentang kekaisaran Tiongkok

abad VII.

Seiring waktu, Syaeful lebih fokus kerja di balik

panggung. Selain mengolah kebutuhan artistik

Teater Koma, ia turut berperan dalam melatih aktoraktor

muda. Selain itu, sejak 1991, ia turut berbagi

pengalamannya ke generasi seniman muda dengan

mengajar di Fakultas Seni Rupa serta Fakultas Film

dan Televisi IKJ.

Syaeful Anwar (tengah) dalam pementasan

drama Maaf, Maaf, Maaf oleh Teater Koma di

Taman Ismail Marzuki, 2005.

Sumber foto: © Tempo/Usman Iskandar


68 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

ACARA • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS

Pameran

Mengenang Zaini

13–31 OKTOBER 1977

GALERI BARU LANTAI 3

TEATER BESAR

ACARA • DISKUSI • TEATER

Seri Diskusi

Pekan Teater Tradisional

28 SEPTEMBER–

1 OKTOBER 1977

10.00–13.00 WIB

STUDIO MINI LPKJ

Zaini meninggal mendadak pada 25

September 1977. Ia sedang lari pagi saat

tubuhnya terhuyung dan jatuh. Dukacita

langsung menyelimuti keluarga besar TIM

dan seisinya. Tidak ada yang menyangka

kepergiannya akan begitu cepat. Untuk

mengenang motor banyak kegiatan di

TIM ini, sebuah pameran diselenggarakan

tepat setahun setelah pameran

tunggalnya yang terakhir. Lukisan dipilih

secara kurang-lebih kronologis dari

peninggalan di rumahnya. Sebagian

besar lukisan Zaini sudah menjadi koleksi

museum, perorangan, lembaga-lembaga,

dan “lari” ke luar negeri. Dalam pameran

ini ditampilkan 150 buah karya, baik

berupa cat minyak, aklirik, cat air, pastel,

monotipe, pensil, spidol, sketsa, maupun

buku-buku yang rencana kulitnya dibuat

oleh Zaini.

Seri diskusi diadakan sebagai salah

satu mata acara Pekan Teater

Tradisional. Pada hari pertama diskusi,

diselenggarakan pula pemutaran film

Sejarah Ketoprak. Topik diskusi adalah

“Teater Tradisional di Indonesia”, diampu

oleh A. Kasim Achmad. Pada hari kedua,

giliran yang dibahas adalah ketoprak

(Yogyakarta) oleh Widjaya dan ubrug

(Jawa Barat) oleh Drs. J. Ganda. Hari

ketiga, pembicaraan bergeser mengenai

mamanda (Kalimantan Selatan) oleh M.

Sapri K. dan mendu (Riau, Pulau Tujuh)

oleh B.M. Sjamsudin. Hari terakhir, diskusi

menyoroti Randai (Sumatra Barat) oleh

Drs. Mursal Esten dan topeng Prembon

(Bali) oleh I Wayan Dibia. Definisi teater

tradisional, teater modern, dan teater

rakyat sempat menjadi perdebatan

hangat pada hari pertama.

PENGGAGAS &

PENYELENGGARA

DKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM

Zaini, anggota Dewan Pekerja

Harian DKJ, pengajar Seni

Rupa LPKJ, dan penerima

Anugerah Seni 1972

Zaini dan lukisan yang

dipamerkan, Kambing.

PENYELENGGARA

DKJ & Direktorat Pembinaan

Kesenian Ditjen Kebudayaan

Departemen P&K

PENDUKUNG

PKJ TIM, LPKJ

PARTISIPAN

A. Kasim Achmad, Widjaya,

J. Ganda, M. Sapri K., B.M.

Sjamsudin, Mursal Ersten,

I.W. Dibia, D. Djajakusuma,

Edi Sedyawati, dll.

Pertunjukan randai, sebuah

teater khas Minang.

ACARA • PAMERAN • SENI RUPA • SENI GRAFIS

Citra Jepang dalam

Pameran Grafis

AWAL OKTOBER 1977

RUANG PAMERAN LPKJ

PENDUKUNG

LPKJ

Teknik puluhan karya grafis yang dipamerkan sudah sedemikian

maju. Warna lokal Jepang terasa jadi lamat-lamat karena

begitu kuatnya pengaruh seni pop, seni optik, dan seni minimal.

Warna lamat-lamat tersebut mungkin karena tradisi lama

yang sudah ratusan tahun dianggap tidak mencerminkan lagi

kehidupan keseharian seniman. Karya-karya ini, pada akhirnya,

menunjukkan betapa Barat dan Timur tidak lagi menjadi sebuah

persoalan. Namun, tetap terasa juga puisi-puisi Jepang yang

lembut dalam beberapa karya. Setidaknya demikian menurut

ulasan Putu Wijaya dalam Tempo (15 Oktober 1977).


1970–

1979

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

69

ACARA • PERTUNJUKAN • MUSIK • KLASIK

Resital Gitar

Roelly Budiono

9 OKTOBER 1977

MALAM

TEATER LUWES LPKJ

Roelly Budiono membawakan

interpretasinya atas tujuh nomor klasik.

Sebagai mahasiswa tahun ketiga sekolah

tinggi musik di Austria, kematangannya

dinilai memadai. Resital malam ini

merupakan penggantian dari jadwal

yang sebelumnya direncanakan pada

2 Oktober. Mungkin itu mengapa diberi

judul “Resital Apologi”. Tujuh karya yang

ia mainkan: “Etude No. 11 in E Moll”

dari Villa Lobos, “Sonata in G Moll” dari

Roncalli, “Danzas Cervantinas in D Moll”

dari G. Sanz, “Grand Sonata in A Moll” dari

Paganini, “Grand Solo Op. 14” dari F. Sor,

“Grande Ouverture Op. 61” dari Giuliani,

dan “Fugue in A moll” dari Bach.

PENGGAGAS &

PENYELENGGARA

Akademi Musik LPKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM

PERISTIWA

Aksi Protes

Mahasiswa LPKJ

Pada 24 Oktober 1977, aksi mahasiswa meletup di kampus

LPKJ. Kalangan mahasiswa menganggap pembolosan dosen

sudah keterlaluan. Maka, mereka mengambil-alih kunci kampus

dan menyerahkannya kepada Wakil Gubernur Urip Widodo. Oleh

Wakil Gubernur, kunci diserahkan kepada DKJ agar persoalan

dapat diselesaikan baik-baik. Aksi mahasiswa berpusat di depan

gedung utama LPKJ, ditandai dengan lilitan seutas kain hitam

pada lengan dan pernyataan dalam memorandum sebanyak

empat halaman. Beberapa pamflet disebar, bertuliskan: “Pak

Guru Kamu Ngajar Apa Bikin Film di Luar”, “Dosen LPKJ Kurang

Gizi”, dll. Dosen dan pegawai LPKJ yang lewat disoraki oleh

mahasiswa yang protes. Ditengarai bahwa konflik antarpengajar,

terkait wewenang dan anggaran, menjadi asal-usul kekecewaan

mahasiswa ini.

KARYA • DOSEN & MAHASISWA • PERTUNJUKAN • TEATER

Impian di Tengah Musim

oleh Teater Lembaga

3–5 NOVEMBER 1977

MALAM

TEATER TERTUTUP TIM

PENGGAGAS &

PENYELENGGARA

Teater Lembaga

PENDUKUNG

PKJ TIM

Pramana Pmd. ingin mementaskan

Shakespeare yang jarang dipentaskan

orang. Tragedi Shakespeare lebih

dikenal di sini, sementara komedinya

tidak demikian. Lakon ini pada dasarnya

berkisah mengenai pertentangan

antara anak dan orangtua terkait

hubungan cinta. Namun, interpretasi

Pramana Pmd. mendapat sambutan

yang tawar di beberapa media. Ada

yang beranggapan arahan sutradara ini

sekadar mengeksploitasi kelucuan, ada

pula yang menilai unsur-unsur lokal dalam

lakon Barat ini malah membingungkan.

Pertunjukan Teater Lembaga ini

merupakan produksi kedua pada 1977,

setelah teater noh yang di-Bali-kan dalam

arahan sutradara D. Djajakusuma.

SUTRADARA

Pramana Pmd.

PENULIS NASKAH

William Shakespeare,

terjemahan Trisno Sumardjo

KELOMPOK TEATER

Teater Lembaga

PEMAIN

Mamok Pratomo, Ferry

Sahetapy, Yannes Pardede,

Didi Petet, Eddy de Rounde, dll.


70 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

ACARA • PERTUNJUKAN • LINTAS SENI

Yellow Submarine

untuk Jakarta

10, 19, 20 NOVEMBER

1977

20.00 WIB

BALAI SIDANG

SENAYAN, TEATER

TERBUKA TIM

TIKET

Rp750, Rp500, Rp300

PENGGAGAS &

PENYELENGGARA

LPKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM

JUMLAH PARTISIPAN

200-an mahasiswa dan para

pengajarnya.

PARTISIPAN

Sardono, Suka Hardjana,

Pramana, Putu Wijaya, Slamet

Abdul Sjukur, Franki Raden,

Sentot Sudiharto, dll beserta

para mahasiswa.

Ide pertunjukan kolosal ini lahir dari sekelompok mahasiswa

LPKJ lintas disiplin: seni rupa, musik, tari, teater, dan

sinematografi. Pertunjukan ini sekaligus menjadi ucapan terima

kasih dan selamat jalan kepada Gubernur Ali Sadikin, yang

masa jabatannya menjelang berakhir. Pentas pertama pada 10

November bertempat di Balai Sidang Senayan, masih dalam

gaung peringatan Sumpah Pemuda pada Oktober sebelumnya.

Pentas kedua di Teater Terbuka TIM pada hari yang sama

ditujukan untuk memeriahkan Hari Pahlawan. Pentas pada 19

dan 20 November berlangsung di Teater Terbuka TIM.

Berbagai kreasi tari tampil beriringan sekaligus dengan

salindia film tentang perang, aksi muda-mudi yang sedang

mencoba pakaian di butik, pertandingan tinju di atas

arena buatan, kemunculan boneka perempuan di puncak

panggung, dan banyak lagi. Sementara itu, orkes pimpinan

Franki Raden pada saat bersamaan terus memainkan

“Yellow Submarine” ciptaan The Beatles. Tanpa mengusung

narasi tunggal, pertunjukan ini dianggap sebagian kritikus

terlalu membingungkan. Bagaimanapun, Yellow Submarine

memperlihatkan aspirasi yang besar dan luasnya cakupan

wacana yang hidup di kalangan civitas akademika LPKJ.

Sebuah adegan dalam

Yellow Submarine.

PARTISIPASI • MAHASISWA • PAMERAN • SENI RUPA • KRIYA KERAMIK

LPKJ dalam Pameran

Tiga Wajah Keramik

14–19 NOVEMBER 1977

GEDUNG MITRA

BUDAYA

Wajah pertama keramik Indonesia dalam

pameran merupakan “wajah keramik

perguruan tinggi dan akademi seni”. Tiga

lembaga pendidikan seni yang ikut serta

menitikberatkan pada kemurnian artistik,

sedangkan unsur pakai merupakan

faktor kedua. Alhasil, keramik cenderung

berdiri sendiri sebagai hasil ekspresi.

Wajah kedua dalam pameran merupakan

keramik-keramik milik perusahaan dan

lebih memancarkan ekspresi rakyat.

Keragaman gaya dan fungsinya cukup

kaya, walaupun ada juga yang diproduksi

massal. Sedangkan wajah ketiga keramik

Indonesia merupakan keramik-keramik

hasil karya perupa perorangan, yang sarat

eksperimentasi dan ekspresi individual.

PENYELENGGARA

Subdit Seni Rupa Direktorat

Pembinaan Kesenian

PARTISIPAN

Hildawati (LPKJ), Sujatna

(LPKJ), dan Ronald (LPKJ),

dan mahasiswa-mahasiswa

ITB dan STSRI “ASRI”;

Kanatali (Jakarta), Kasongan

(Yogyakarta), Ceramik

Agni Art (Yogyakarta), Art

Gallery Harris (Jakarta), Art

Centre Abiankapas (Bali),

Adi Munardi, Suminto,

Supono, Gatot Sudrajat,

Achmad Masih A. Supriyadi,

S. Sudjojono, Suparto.


1970–

1979

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

71

SOSOK ALUMNI

Gandung

Bondowoso

SENIMAN TEATER DAN JURNALIS

LAHIR DI YOGYAKARTA, 1954

SENI TEATER, FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN

ANGKATAN 1974

Dari balik tirai panggung, Gandung Bondowoso

muncul berpakaian serba hitam. Dengan rambut

tersisir klimis, pria yang terlahir sebagai Hurip

Winarno itu berjalan ke titik yang diterangi lampu.

Pada layar di belakangnya, tersorot sebuah

lukisan perempuan dengan guratan kuas penuh

warna. Gandung pun mulai mengisahkan romansa

antara seorang pelukis dengan seorang biduan

enam dekade silam. Di pojok kiri belakang

panggung, lampu menyinari seorang perempuan

sepuh berambut perak. Dialah biduan itu. Rose

Pandanwangi namanya.

Malam itu, 5 September 2013, Gandung berperan

jamak. Sebagai sutradara, ia membuka setiap babak

dalam pementasan Pandanwangi dari Sudjojono

di Taman Ismail Marzuki. Ia memaparkan konteks

tempat dan waktu, yang ia himpun dari berbagai

literatur dan memorabilia, untuk setiap peristiwa yang

hendak dilakonkan di atas panggung. Sebagai aktor,

ia memerankan Sudjojono muda dan beradu akting

dengan Maya Sudjojono, yang berperan sebagai Rose

muda. Keduanya banyak berdialog menggunakan

baris kalimat dari korespondensi surat antara Rose

dan Sudjojono.

Pandanwangi dari Sudjojono menandai

kembalinya Gandung ke panggung teater setelah tiga

dekade lebih bergelut di bidang jurnalistik. Sebelum

mengurus sejumlah media cetak dalam grup

Gramedia sejak 1987 dan merintis program Kabarkabari

di RCTI sejak 1996, ia aktif sebagai salah satu

anggota Teater Mandiri, yang ia tekuni sejak masih

mahasiswa di LPKJ. Bersama Joseph Ginting dan

sejumlah mahasiswa teater, ia juga aktif mengisi

kegiatan Teater Luwes di LPKJ selama beberapa

tahun sejak 1978.

Teater menjadi cara Gandung mengungkapkan

hormat kepada Rose, ibu mertuanya. Suara dan

sosok Rose menjadi ruh yang mengikat keseluruhan

pentas Pandanwangi dari Sudjojono. Dalam setiap

lakon, lukisan Rose yang dilukis Sudjojono hadir

sebagai latar panggung. Di antara setiap babak,

Rose menembangkan lagu-lagu yang pernah berarti

dalam kisahnya bersama mendiang suaminya.

Pada penghujung pentas, Rose membacakan sajak

yang pernah Sudjojono tulis untuknya. Gandung

beserta pemeran lainnya menunggu di balik layar,

mempersilakan panggung untuk Rose seorang.

Sumber foto: © Gandung Bondowoso.


72 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

PARTISIPASI • MAHASISWA • PERTUNJUKAN • MUSIK • KLASIK

Debut Marusya Bersama

Orkes Simfoni Jakarta

23 NOVEMBER 1977

PENYELENGGARA

Orkes Simponi Jakarta

PARTISIPAN

Marusya Nainggolan,

Adidharma (dirigen)

Debut Marusya Nainggolan, 23 tahun, selaku pianis solo, dalam

konser bersama Orkes Simponi Jakarta, disambut sebagai wajah

segar dalam dunia musik Indonesia. Franki Raden mencatat

(Kompas, 6 Desember 1977), Marusya masih terlalu berhatihati

dalam “Vivace”, bagian pertama dari “Piano Concerto” oleh

Joseph Haydn. Namun, pada bagian kedua, “Andante”, Marusya

sudah mulai lebih lepas memainkan tuts piano. Kelincahan

makin terlihat ketika Marusya memainkan bagian “Rondo

all’Ungherese (Allegro Assai)”. Malam itu, beberapa kekurangan

mahasiswa LPKJ ini masih dapat ditoleransi karena ia masih

dalam proses belajar.

PERISTIWA

Keluarga Mahasiswa

LPKJ Menolak

Pemasungan Kreativitas

Keluarga Mahasiswa LPKJ mengeluarkan pernyataan menolak

pemasungan kreativitas. Pernyataan ini terbit sebagai dukungan

bagi para seniman yang mengadakan aksi protes senada

pada hari yang sama. Para seniman telah menghadap Dirjen

RTF Sumadi dan Ketua DPR RI Adam Malik hari itu untuk

menyampaikan protes. Mereka diwakili oleh Arifin C. Noer,

Ikranegara, Rendra, Slamet Sukirnanto, dan Sjuman Djaya.

Pemicunya adalah beberapa kasus pemberangusan karya, di

antaranya penolakan pemberian izin terhadap film Wasdri dan

Atheis, pementasan Narator di Semarang, pertunjukan Harry

Rusli di Semarang, pementasan “Qasidah Barzanji” Bengkel

Teater Rendra di Ujung Pandang, dll.

PARTISIPASI • MAHASISWA • PERTUNJUKAN • TEATER

Kursus Seni Peran

PARFI-LPKJ

dalam Ledakan Terakhir

12 DESEMBER 1977

GELANGGANG REMAJA

JAKARTA UTARA

Drama Ledakan Terakhir berkisah tentang

perjuangan rakyat Sulawesi Selatan pada

zaman kemerdekaan, dengan penulis

naskah dan sutradara Zainal Bintang.

Sebuah catatan di media massa

menyatakan bahwa pertunjukan ini

berhasil menangkap dimensi lain

dari kepahlawanan dalam penulisan

naskahnya—sekalipun kurang berhasil

dalam penyutradaraan. Kepahlawanan

menjadi sesuatu yang layak direnungkan

dengan adanya berbagai motif individu

di balik suatu tindakan heroik. Dalam

Ledakan Terakhir, penyematan label

“pengkhianat” dan “pahlawan” pada

akhirnya menjadi area abu-abu.

PENYELENGGARA

Kerukunan Warga

Sulawesi Selatan

KOLABORATOR

Para peserta Kursus Seni

Peran PARFI-LPKJ 1977

PARTISIPAN

Erni Tanjung, Abdi

Palallo, Hasan Mintaraga,

Tajuddin Manda

Adegan dalam Ledakan

Terakhir (Angkatan

Bersendjata, 17 Desember

1977).


1970–

1979

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

73

PARTISIPASI • DOSEN & MAHASISWA • SAYEMBARA • FILM

LPKJ dalam Sayembara

Film Mini 1977

11, 13–15 DESEMBER

1977

10.00 WIB

STUDIO MINI AKADEMI

SINEMATOGRAFI LPKJ

& TEATER ARENA TIM

PENGGAGAS &

PENYELENGGARA

DKJ

KOLABORATOR

LPKJ

PARTISIPAN

D.A. Peransi, Prof. Dr. Sularko,

dll.

Sayembara Film Mini merupakan program tahunan Komite

Film DKJ sejak diadakan pertama kali pada 1973 sampai 1981.

Tujuannya adalah mengarahkan kreativitas para pembuat “film

mini”—film-film yang diproduksi dengan kamera seluloid 8 mm.

Tahun ini, sayembara tersebut menyelenggarakan Pengumuman

dan Pemutaran Film-film Mini yang diadakan di Studio Mini

Akademi Sinematografi, LPKJ. Selain itu, diadakan pula diskusi

dengan pembicara D.A. Peransi, Prof. Dr. Sularko, dan lain-lain.

Topik yang dibicarakan dalam diskusi ini meliputi film mini

sebagai media audiovisual dan kemungkinan kegunaannya;

film mini sebagai kegemaran dan kemungkinan peningkatan

kegunaannya; dan sistem pendidikan bagi penggemar film mini.

PARTISIPASI • DOSEN & MAHASISWA • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS

LPKJ Hadir dalam

Pameran Pelukis Muda

Se-Indonesia

17–23 DESEMBER 1977

RUANG PAMERAN DAN

GALERI BARU LANTAI 3,

TEATER BESAR TIM

PENGGAGAS &

PENYELENGGARA

DKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM

JUMLAH PARTISIPAN

175 pelukis

Ini adalah perhelatan kedua Pameran Pelukis Muda Se-

Indonesia. Pertama kalinya diadakan pada 1975 dan diikuti 71

perupa dari berbagai kota yang memiliki kegiatan seni rupa.

Kali ini, dalam ajang dua tahunan ini ada pula diskusi dengan

topik “Pendidikan Kesenian di Indonesia” dan “Seni Rupa Baru di

Indonesia”. Karena banyaknya peserta yang menampilkan karya,

dan keterbatasan ruangan DKJ, lukisan peserta dibatasi satu per

orang untuk dipajang. Diharapkan pameran ini akan merangsang

sekaligus menampilkan wajah dan potensi para seniman muda

dari berbagai kota. Dari Jakarta, tampil 39 pelukis, yang 17 di

antaranya tercatat sebagai mahasiswa LPKJ.

ACARA • PAMERAN • SENI RUPA

Pameran Seni Rupa 12

pada 1977

26–31 DESEMBER 1977

RUANG PAMERAN TIM

LPKJ masih rutin mengadakan pameran

akhir tahun sebagai ajang unjuk karya

para pengajarnya. Ketua LPKJ D.

Djajakusuma dalam pengantarnya

menuliskan bahwa berkarya merupakan

aspek maha penting dalam lembaga

kesenian, baik bagi mahasiswa ataupun

pengajarnya. Dalam pameran yang

diikuti 19 seniman ini, berbagai medium

diperlihatkan, sesuai dengan jurusanjurusan

yang ada di lembaga pendidikan

ini. Aneka ragam karya-karya yang

ditonjolkan kiranya mencerminkan latar

belakang dan rangsangan berkarya

masing-masing penciptanya. Keunikan

kampus ibukota ini terlihat, antara lain,

dari partisipasi lukisan Sardono W.

Kusumo sebagai pengajar tari dan partitur

Slamet Abdul Sjukur sebagai pengajar

musik. Tampaknya ini yang disebut

sebagai hubungan erat antara berbagai

cabang kesenian yang telah sering

diungkapkan.

PENGGAGAS &

PENYELENGGARA

LPKJ

PENDUKUNG

DKJ, PKJ TIM

PARTISIPAN

Arsono, Angkama

Setjadipradja, Ananda Adhi

Moersid, Danarto, Edith

Ratna Soerjosoejarso, A.

Girindra, Hildawati Siddharta,

Yusuf Affendi, Kusnadi,

Kaboel Suadi, Sjahrinur

Prinka, Sardono W. Kusumo,

M. Sulebar Sukarman,

Srihadi, Soegianto S.W.,

Sukamto, Wisaksono,

Wagiono Sunarto, Wiyoso.


74 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

ACARA • PERTUNJUKAN • TARI • TRADISIONAL

Pentas Misi

Kesenian Kutai

18 JANUARI 1978

20.00 WIB

TEATER ARENA TIM

Misi kesenian Kutai, Kalimantan Timur,

tampil memperkenalkan kesenian Dayak

kepada khalayak ibukota. Rombongan

misi ini dipimpin oleh Zaelani Idris, lulusan

tahap studi dasar Akademi Tari LPKJ.

Tari-tarian yang dihadirkan berasal dari

tradisi suku Dayak Kenyah dan Dayak

Gaai. Bagi kedua suku tersebut, tari tidak

terpisahkan dari upacara keagamaan.

Upacara Mamat, misalnya, mengandung

tari Kanjet Tengen, Kanjet Dua Usa, Datun

Julud, dan Kanjet Pepatai. Upacara

ini ditujukan untuk pendewasaan lakilaki.

Sedangkan upacara Palan, untuk

mengusir hama, dilaksanakan dengan

tarian Hudog.

PENYELENGGARA

Misi Kesenian Kutai

Kalimantan Timur

PENDUKUNG

LPKJ, PKJ TIM

JUMLAH PARTISIPAN

40 orang penari dan pemusik

PARTISIPAN

Zaelani Idris (pimpinan

rombongan), dll

1978

KARYA • DOSEN • PERTUNJUKAN • MUSIK, TARI, SENI RUPA

Slamet Abdul Sjukur

Pentaskan

"Parentheses IV"

31 JANUARI–

1 FEBRUARI 1978

MALAM

TEATER ARENA TIM

PENDUKUNG

PKJ TIM

KOMPONIS

Slamet Abdul Sjukur

PEMAIN

Lini Widhiasi, Sentot

Sudiharto, Farida Feisol,

Suwandi, Sudarmadi, Budi

Hartono, Ireng Maulana, Eddy

Tulis, Dicky Prawoto, Endang

Kusumaningsih, Suparno,

Supardi.

Lewat Parentheses IV, Slamet ingin “mendamaikan” tiga cabang

seni, yaitu musik, tari, dan lukis. Maka, jika Parentheses I-II

adalah komposisi musik dan tari, kali ini Slamet mengundang

pelukis cilik Lini Widhiasi pula. Namun, gerak tari Farida Feisol,

Suwanto, dan Sentot Sudiharto, yang bertimbal-balik kuat

dengan permainan selo Sudarmadi, sulit diimbangi oleh Lini

Widhiasi. Setidaknya, dua ulasan media menyatakan bahwa

pertunjukan kurang padu karena Lini seperti asyik sendiri.

Menurut Franki Raden (Kompas, 21 Februari 1978), misalnya,

penari dan pemusik berangkat dari bunyi dan gerak yang sudah

dirancang oleh komponis dan koreografer. Sedangkan pelukis

berkarya tidak dengan rancangan bunyi dan gerak tersebut

sehingga di panggung harus peka terhadap unsur-unsur

pertunjukan itu.

ACARA • DISKUSI • TARI

Diskusi dalam Festival

Tari Pencak Silat

7–8 FEBRUARI 1978

09.00–16.00 WIB

STUDIO MINI LPKJ

Dalam tradisi Nusantara, bela diri dan

tari terkadang sejalan seiring. Hal-hal itu

diangkat dalam rangkaian diskusi sebagai

bagian dari Festival Tari Pencak Silat.

Kertas kerja disampaikan oleh beberapa

perwakilan daerah, yang menjelaskan

penampilan mereka dalam festival.

Diskusi yang dipandu pengajar LPKJ Edi

Sedyawati, khususnya, cermat menyoroti

aspek tari dalam bela diri tradisional ini.

Festival Tari Pencak Silat itu sendiri

merupakan upaya untuk mengajak

masyarakat mengenal lebih jauh bentuk

kehidupan seni tradisional sekaligus

bertukar pikiran dan pengalaman. Ada

empat daerah yang terlibat, yaitu DKI

Jakarta, Sumatra Barat, D.I. Yogyakarta,

dan Jawa Barat.

PENGGAGAS &

PENYELENGGARA

DKJ & Direktorat Pembinaan

Kesenian Ditjen Kebudayaan

Departemen P&K

KOLABORATOR

LPKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM

PARTISIPAN

Arby Samah, Bagong

Kussudiardja, H. Suhari

Sapari, Pepe Syafe’i, H.

Sa’ali S.H., Edi Sedyawati


1970–

1979

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

75

ACARA • DISKUSI • FILM

Berbicara dalam

Pekan Film Jepang

19 FEBRUARI 1978

SETELAH PEMUTARAN

PUKUL 19.00 WIB

PENGGAGAS &

PENYELENGGARA

Kine Klub DKJ & Japan

Foundation

KOLABORATOR

LPKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM

PENDUKUNG

Norman Benny (pembicara

utama), Lubes Widar

(moderator)

Mahasiswa-mahasiswa Akademi Sinematografi IKJ mengampu

sesi diskusi dalam Pekan Film Jepang. Pekan Film ini memutar

karya sutradara-sutradara muda Jepang setelah angkatan Akira

Kurosawa dan Yasujiro Ozu. Beberapa di antaranya adalah Kage

no Kuruma karya Yoshitaro Nomura, Shiawase no Ichiban Boshi

besutan Nariyuki Yamane, dan Izu no Odoriku oleh Katsumi

Nishikawa—yang diangkat dari novel Yasunari Kawabata. Dalam

sambutannya, Alam Surawidjaja dari Kine Klub DKJ menyatakan

bahwa Pekan Film ini berhasil terselenggara tiap tahun sejak

1974.

Ilustrasi pada sampul muka

buku acara Pekan Film Jepang.

PARTISIPASI • SEMINAR • TARI

Sal Murgiyanto Ikuti

Seminar Notasi Tari

23–26 FEBRUARI 1978

GEDUNG MERDEKA,

BANDUNG

Seminar Notasi Tari diadakan berdasarkan

kebutuhan akan adanya sistem notasi

tari. Pengajar LPKJ Sal Murgiyanto (Sinar

Harapan, 8 Maret 1978) mengungkapkan

bahwa sistem notasi mampu merekam

dan mengawetkan berbagai jenis tari.

Notasi juga dapat membantu komunikasi

supaya penyebaran suatu jenis tari

antardaerah, ke dalam dan ke luar negeri,

dapat dilakukan lebih cepat dan efisien.

Di kalangan seni tradisi, menurut Sal,

pencatatan tari dilakukan dengan katakata.

Sementara, notasi tari merupakan

pencatatan menggunakan lambang,

seperti yang menjadi acuan di Barat,

misalnya Sistem Laban dan Benesh.

PENGGAGAS &

PENYELENGGARA

Direktorat Pembinaan

Kesenian Departemen P&K

JUMLAH PARTISIPAN

30 tokoh tari dari Jawa Barat,

Jawa Tengah, Yogyakarta, Bali,

Sumatra Barat, DKI Jakarta.


76 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

PARTISIPASI • EKSPOSISI • MUSIK

Slamet Abdul

Sjukur Hadiri Asian

Composers Expo ‘78

11–19 MARET 1978

BANGKOK

PENDUKUNG

Ikatan Komponis-Komponis

Indonesia (IKKI)

JUMLAH PARTISIPAN

4 komposer dan 3 pemusik

PARTISIPAN

Trisutji Kamal, Slamet Abdul

Sjukur, F.X. Sutopo, M. Husein,

Eben Hermanus, Ny. S. Idrus

Empat komponis dan tiga pemusik Indonesia hadiri Asian

Composers Expo 1978. Di antaranya adalah adalah Slamet Abdul

Sjukur, Trisutji Djulianti Kamal, Ibenzani Usman, dan F.X. Sutopo.

Dalam eksposisi ini, delegasi Indonesia menampilkan gubahan

Trisutji, beberapa rekaman musik daerah, film Parentheses IV

karya Slamet Abdul Sjukur, ceramah Slamet tentang angklung,

dan pameran naskah musik kontemporer dan instrumen

tradisional. Di samping itu, diadakan pula demonstrasi gendang

oleh M. Husein, delegasi dari Sumatra Timur, dan permainan alat

petik Nusa Tenggara Timur oleh Eben Hermanus.

PARTISIPASI • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA • KRIYA

Peran Serta LPKJ

dalam Pameran Karya

Kerajinan Rakyat

17–22 MARET 1978

09.00–13.00 WIB &

17.00–21.00 WIB

RUANG PAMERAN TIM

Bagaimana barang kerajinan tradisional

berkembang di tengah serbuan

peralatan dan dekor rumah tangga

modern? Pameran ini mengajak

masyarakat memperhatikan kedudukan

dan perkembangan barang kerajinan

tersebut. Tak hanya itu, ditampilkan juga

demonstrasi kerajinan, di antaranya

pembuatan bakul dan anyaman oleh

pengrajin dari Tasik Malaya, dan

pembuatan wayang golek oleh perajin dari

Subang. Diadakan pula ceramah dengan

pembicara Elizabeth M. Wijaya dengan

tema “Peranan Bambu dalam Kehidupan

Masyarakat Sepanjang Sejarah bangsa”,

Ananda Moersid dengan tema “Masalah

Bentuk dan Desain dalam Kesenian

Rakyat”, dan Hariyadi dengan tema

“Pembinaan Pengrajin”.

PENGGAGAS &

PENYELENGGARA

DKJ & Yayasan Pekerti

KOLABORATOR

LPKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM

PARTISIPAN

Kelompok pengrajin di bawah

naungan Yayasan Pekerti,

Elizabeth M. Wijaya (Lembaga

Biologi Nasional Bogor),

Ananda Moersid (Dosen

Akademi Seni Rupa LPKJ),

Hariyadi (Yayasan Pekerti).

ACARA • PERTUNJUKAN • TARI

Pagelaran Tari Anak dari

Kursus Tari LPKJ

18–19 MARET 1978

17.00 & 10.00 WIB

TEATER TERTUTUP TIM

TIKET

Rata-rata Rp200

PENGGAGAS &

PENYELENGGARA

Kursus Tari Akademi Tari LPKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM

PARTISIPAN

Retno Maruti, S. Kardjono,

I Wayan Diya

Pagelaran ini menampilkan hasil pelajaran anak-anak didik

Kursus Tari Akademi Tari yang diampu para pengajar LPKJ.

Anak-anak tersebut menarikan nomor-nomor dari tradisi Solo,

Yogyakarta, dan Bali.

Ilustrasi foto pada kalender

acara TIM mengenai pagelaran

tersebut.


1970–

1979

KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

77

PARTISIPASI • DOSEN • PERTUNJUKAN • WAYANG ORANG

Penari LPKJ Semarakkan

Sukrosono Sumantri

24–26 MARET 1978

20.00 WIB

TEATER ARENA TIM

PENGGAGAS &

PENYELENGGARA

Jaya Budaya

PENDUKUNG

DKJ, PKJ TIM

PARTISIPAN

Sal Murgiyanto, Sardono

W. Kusumo, S. Kardjo,

Sentot Sudiharto, Retno

Maruti, Endang Nrangwesti

Murgiyanto, dll.

Pementasan wayang orang ini berbeda dari yang lumrah

ditampilkan. Antawacana atau dialognya sengaja dikurangi

untuk memberikan tekanan lebih pada beksan (tari), karawitan,

dan tembang secara seimbang. Garapan tarinya itu sendiri

bertitik tolak dari jenis-jenis beksan lama seperti: bedaya, srimpi,

dan wireng. Tata busananya tidak gemerlapan sebagaimana

wayang orang pada umumnya. Namun, kesederhanaan tata

busana itu tidak mengurangi segi keindahan. Dalam kesempatan

ini, kepiawaian para penari yang sebagian di antaranya berasal

dari LPKJ rupanya betul-betul dituntut prima.

PARTISIPASI • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA • GAMBAR

Beberapa Seniman LPKJ

dalam Pameran PERSEGI

28 MARET–2 APRIL

1978

09.00–13.00 WIB &

17.00–21.00 WIB

RUANG PAMERAN TIM

PENYELENGGARA

DKJ

PENDUKUNG

PKJ TIM

PARTISIPAN

T. Susanto, Haryadi Suadi,

Djodjo Gozali, Diddo Kusdinar,

Priyanto Sunarto, Syahrinur

Prinka, Harianto Imam Rahayu,

Wagiono, Rusmadi, Rachmat

“Oseng” Gazali.

PERSEGI (Persekutuan Seniman Gambar Indonesia) secara

resmi dibentuk pada 21 Desember 1976. Kemiripan nama

dengan Persagi (Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia)

tampaknya bukan tak disengaja. Namun, berbeda dari masa

Persagi 40 tahun yang lalu, saat kata gambar dipakai karena

kata lukisan belum jamak, PERSEGI justru mengusung gambar

sebagai medium tersendiri. Dengan kata lain, organisasi ini

berpendapat bahwa gambar sebagai medium tidak kalah nilainya

dibanding lukisan. Tempo (8 April 1978) menyambut positif

eksperimen dan kegembiraan bermain yang terpancar dari

karya-karya dalam pameran ini, termasuk milik dua pengajar

LPKJ, Syahrinur Prinka dan Wagiono.

PARTISIPASI • MAHASISWA • PERTUNJUKAN • DRAMA MUSIKAL

Ugo Haryono

Sutradarai Drama

Musikal Mencari Taman

8–9 APRIL 1978

17.00 WIB & 10.00 WIB

TEATER TERTUTUP TIM

Hampir seluruh bagian dari drama semi

operet ini disisipkan musik. Ceritanya

mengisahkan kerinduan akan alam di kota

yang terindustrialisasi: bising oleh mesin

pabrik, kapal terbang, dan kendaraan

bermotor, serta sarat polusi. Di tengah

keadaan itu, seorang anak bernama

Kasih, dan teman-temannya, mencari

dan menemukan sebuah taman bernama

Sorgaloka. Di sana mereka bermain

sepuasnya hingga orang-orang dewasa

di kota menyadari hilangnya anak-anak

kecil. Naskah ini merupakan karya Noorca

Marendra, pemenang Penulisan Naskah

Drama Direktorat Pembinaan Kesenian

tahun 1978. Mahasiswa Akademi Musik

LPKJ, Ugo Haryono, menjadi pengarah

musiknya.

PENYELENGGARA

Grup Kelompok Baru

KOLABORATOR

Kelompok Musik Yerusalem

PENDUKUNG

PKJ TIM

PEMAIN

Norman Sophan, Ugo

Haryono, siswa-siswa

SMPN IX, dll.

Ilustrasi foto pada kalender

acara TIM mengenai pagelaran

tersebut.

ACARA • PAMERAN • SENI RUPA • SENI GRAFIS

Pameran

Seni Grafis Belanda

20–27 APRIL 1978

16.00 WIB

BALAI SENI RUPA LPKJ

Pameran diselenggarakan sebagai

sumbangan bagi seni grafis di Indonesia.

Setidak-tidaknya, menurut panitia,

sebagai perbandingan seni grafis antara

dua negara.

PENGGAGAS

LPKJ

PENYELENGGARA

LPKJ dan Erasmus Huis

PENDUKUNG

PKJ TIM


78 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA

PARTISIPASI • DOSEN & MAHASISWA • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS

Turut Mewarnai Pameran

Bengkel Pelukis Jakarta

1978

25–30 APRIL 1978

RUANG PAMERAN TIM

PENYELENGGARA

DKJ dan Bengkel Pelukis

Jakarta

PENDUKUNG

PKJ TIM

JUMLAH PARTISIPAN

45 pelukis

Bengkel Pelukis Jakarta dibentuk sebagai wadah bagi pelukis

muda Jakarta pada 1974. Pernah terdaftar lebih daripada

seratus orang sebagai anggota,