E-Katalog Kontribusi 50 Tahun IKJ
Selama 50 tahun, Institut Kesenian Jakarta (IKJ) menyelenggarakan beragam kegiatan seni, kolaborasi mahasiswa dan dosen, kerja sama dengan lembaga lain, dan turut berpartisipasi dalam berbagai aktivitas seni. Semua itu menunjukkan bahwa kontribusi IKJ bagi dunia seni budaya lebih daripada proses pendidikan formal di dalam kelas, tapi juga meliputi seluruh karya dan kegiatan yang dihasilkan warga kampus ditambah kiprah dan peran alumninya dalam ekosistem kesenian di Indonesia. Katalog Kontribusi 50 Tahun Institut Kesenian Jakarta ini disusun berdasarkan puluhan ribu arsip dari periode 1970–2020 yang diolah kembali menjadi 1203 kronik yang terdiri atas berbagai kategori, dari Acara, Karya, Partisipasi, Kabar, Peristiwa, dan Fenomena. Dokumentasi lima dekade yang merangkum kontribusi IKJ dalam berbagai derajat keterlibatan ini juga dilengkapi dengan 102 Sosok Alumni dan sejumlah esai kontributor. Melalui katalog ini, kita dapat melihat kembali bagaimana salah satu kampus seni tertua di Indonesia ini terhimpun dan tersimpul dalam berbagai peristiwa kebudayaan dan turut memengaruhi dunia seni budaya kita hari ini. Melalui katalog ini pula, IKJ mempersembahkan sebuah dokumentasi yang dapat dimanfaatkan bersama demi perkembangan seni budaya Indonesia yang lebih baik di masa depan.
Selama 50 tahun, Institut Kesenian Jakarta (IKJ) menyelenggarakan beragam kegiatan seni, kolaborasi mahasiswa dan dosen, kerja sama dengan lembaga lain, dan turut berpartisipasi dalam berbagai aktivitas seni. Semua itu menunjukkan bahwa kontribusi IKJ bagi dunia seni budaya lebih daripada proses pendidikan formal di dalam kelas, tapi juga meliputi seluruh karya dan kegiatan yang dihasilkan warga kampus ditambah kiprah dan peran alumninya dalam ekosistem kesenian di Indonesia.
Katalog Kontribusi 50 Tahun Institut Kesenian Jakarta ini disusun berdasarkan puluhan ribu arsip dari periode 1970–2020 yang diolah kembali menjadi 1203 kronik yang terdiri atas berbagai kategori, dari Acara, Karya, Partisipasi, Kabar, Peristiwa, dan Fenomena. Dokumentasi lima dekade yang merangkum kontribusi IKJ dalam berbagai derajat keterlibatan ini juga dilengkapi dengan 102 Sosok Alumni dan sejumlah esai kontributor. Melalui katalog ini, kita dapat melihat kembali bagaimana salah satu kampus seni tertua di Indonesia ini terhimpun dan tersimpul dalam berbagai peristiwa kebudayaan dan turut memengaruhi dunia seni budaya kita hari ini. Melalui katalog ini pula, IKJ mempersembahkan sebuah dokumentasi yang dapat dimanfaatkan bersama demi perkembangan seni budaya Indonesia yang lebih baik di masa depan.
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
50 Tahun
Institut Kesenian Jakarta
Kronik Seni Budaya dan Sosok Alumni
Kontribusi 50 Tahun Institut Kesenian Jakarta:
Kronik Seni Budaya dan Sosok Alumni
Cetakan pertama, Maret 2021
i–lii + 686 hlm; 21 x 29,7 cm
ISBN: 978-602-61716-9-6
—
IKJ Press
Kompleks Taman Ismail Marzuki
Jl. Cikini Raya No.73,
Cikini, Menteng, Jakarta Pusat
DKI Jakarta 10330
www.ikj.ac.id
Direktur Penerbitan
Dr. Seno Gumira Ajidarma, S.Sn., M.Hum.
Manajer Penerbitan
Suzen HR. Tobing, S.Sn., M.Hum.
Asisten Manajer Penerbitan
Maria Natasha, S.I.Kom.
Luna Lusiana Lukman, S.Sos.
Kesekretariatan
Isyana Widiyati, S.H.
Manajer Keuangan
Boedhatmaka Darsono, S.Sn, M.Sn.
Pengurus Keuangan
Yayuk Liyanti, S.E.
Staf Keuangan
Bakti Sapta Imaniyar, S.A.B.
Hari Darmawan, S.Tr. Keu.
Pujianto
Dokumentasi
Arief Supriyadi, S.Kom.
—
Ketua Kurator Seleksi Sosok Alumni
Seno Gumira Ajidarma
Anggota Kurator Inti Seleksi Sosok Alumni
Dolorosa Sinaga
Marselli Sumarno
Mathias Muchus
Nungki Kusumastuti
Anggota Kurator Seleksi Sosok Alumni
Cantika Clarinta
Carolline Mellania
Citra Smara Dewi
Clairine Nathania Wijaya
Damar Rizal Marzuki
Fachrizal Mochsen
Isworo Ramadhani
Lusiati Kusumaningdiah
Satrio Pamungkas
Siti Turmini Kusniah
Sujud Puji Nur Rahmat
Surajudin Datau
Thomas Moore
Wiwiek Harie Wahyuni
Pengelola Seleksi Sosok Alumni
R.S. Soerjaninglistyowati
Luna Lusiana Lukman
Manajer Seleksi Sosok Alumni
Vicky Rosalina
Fasilitator Seleksi Sosok Alumni
Adrian Jonathan Pasaribu
Asisten Fasilitator Seleksi Sosok Alumni
Ninus Andarnuswari
Pemimpin Redaksi
Ardi Yunanto
Pemimpin Riset
Sulaiman Harahap
Periset
Hendaru Tri Hanggoro
Syifaun Syah
Yudi Anugrah Nugroho
Redaktur Pelaksana
Levriana Yustriani
Editor Kronik Seni Budaya
Ninus Andarnuswari
Penulis Kronik Seni Budaya
Esha Tegar Putra
Hendaru Tri Hanggoro
Syifaun Syah
Yudi Anugrah Nugroho
Editor Sosok Alumni
Adrian Jonathan Pasaribu
Penulis Sosok Alumni
Albertus Wida
Permata Adinda
Raisa Kamila
Editor Esai
Bambang Bujono
Penulis Esai
Bambang Bujono
Cholil Mahmud
Marselli Sumarno
Seno Joko Suyono
Penyelaras Bahasa
Adrian Jonathan Pasaribu
Ninus Andarnuswari
Ardi Yunanto
Penyelaras Akhir
Ninus Andarnuswari
Penyusun Daftar Pustaka
Adrian Jonathan Pasaribu
Penyusun Indeks
Esha Tegar Putra
Pengarah Artistik
Ardi Yunanto
Desainer Grafis
Andang Kelana
Penata Letak Isi
Rico Prasetyo
Ilustrator Sampul
Kendra Paramita
UCAPAN TERIMA KASIH
Tim redaksi mengucapkan banyak terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan katalog ini.
Rektorat IKJ (Seno Gumira Ajidarma, Suzen H.R. Tobing, Luna Lusiana Lukman,
Maria Natasha, Isyana Widiyati, R.S. Soerjaninglistyowati, Boedhatmaka Darsono,
Yayuk Liyanti, Bakti Sapta Imaniyar, Hari Darmawan, Pujianto, Arief Supriyadi)
Fakultas Seni Pertunjukan IKJ (Bekti Lasmini, DJ. Dimas Phetorant, Eddy Susanto)
Fakultas Film dan Televisi IKJ (Tony M. Riswan, Suryana Paramita)
Fakultas Seni Rupa dan Desain IKJ (Adityayoga)
Perpustakaan Fakultas Seni Rupa IKJ (Adhy Pradita, Atin Yuni Purwanti)
Dewan Kesenian Jakarta
(Danton Sihombing, Serley Banowati, Sri Tuti Handayani, Yohanes Apus Hambur,
Esha Tegar Putra, Purbowo, Triyanto)
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin (Muhammad Isnaeni)
Pusat Data dan Analisa Tempo
Pusat Informasi Kompas
Direktorat Perfilman Musik, dan Media Baru,
Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Adrianto Sinaga, Agni Ariatama, Agung Sentausa, Agus Nur Amal, Ali Qital, Aria Kusumadewa,
Arie Kartikasari, Arturo G.P., Asep Topan, Beng Rahadian, Benny Kadarharianto, Benny Mulyadi Tanto,
Cantika Clarinta, Carolline Mellania, Cecil Mariani, Cesa David Luckmansyah, Cholil Mahmud,
Citra Smara Dewi, Clairine Nathania Wijaya, Damar Rizal Marzuki, Daniel Rudi Haryanto, Dewi Ria Utari,
Dewi Umaya, Dolorosa Sinaga, Elly Lutan, Embie C. Noer, Fachrizal Mochsen, Farie Judhistira,
Gandung Bondowoso, Garin Nugroho, Gunawan Paggaru, Hadi Artomo, Hanung Bramantyo,
Herdin Hidayat, Indah Tjahjawulan, Isworo Ramadhani, Jalu Pratidina, Jerry Octavianus,
Jessica Indah, Joseph Ginting, Kendra Paramita, Kusen Dony Hermansyah, Leonhard Bartolomeus,
Leony Vitra Hartanti, Lusiana Limono, Lusiati Kusumaningdiah, Marselli Sumarno, Mathias Muchus,
Mirta Parahita, Moses Sihombing, Nanang Ruswandi, Nungki Kusumastuti, Nunung W.S., Nur Hidayat,
Paul Kadarisman, Priscilla Setiawan, Rachmat Syaiful, Ravi Bharwani, Rima Ananda, Sastha Sunu,
Satrio Pamungkas, Seno Joko Suyono, Siti Artati, Siti Turmini Kusniah, Sujud Puji Nur Rahmat,
Surajudin Datau, Thomas Moore, Wahyu Tri Purnomo, Wicaksono Wisnu Legowo,
Wiwiek Harie Wahyuni, Yayu Unru, Yunus Pasolang
Comical Magz, Desain Grafis Indonesia, Indonesia Kaya, Kapanlagi.com,
Kresna Duta Foundation, Lokadata.id, Miles Films, Museum MACAN, Sena Didi Mime,
Titimangsa Foundation, Universitas Pelita Harapan Conservatory of Music, Visinema Pictures,
Wayang Orang Bharata, Whiteboard Journal
PENGANTAR
Bukti Kontribusi
Memasuki tahun ke-50, disebutkan bahwa Institut Kesenian Jakarta (IKJ)
telah memberikan banyak kontribusi bagi kesenian Indonesia. Namun apabila
dipertanyakan apa saja kontribusi tersebut, agaknya pernyataan tersebut lebih
mudah diucapkan daripada dibuktikan.
Dengan latar belakang semacam itulah katalog ini disusun, agar pemeriksaan
atas kontribusi tersebut dapat dilakukan berdasarkan data. Adapun data tersebut
berupa catatan, atas segenap kegiatan IKJ sejak didirikan sebagai Lembaga
Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) pada 1970, sampai kegiatan yang masih
bisa dicatat pada detik-detik terakhir penyusunan katalog pada Agustus 2020.
Data yang berakhir pada media cetak ini sudah semestinya langsung disambung
dalam website resmi IKJ.
Catatan atas kronik kegiatan IKJ selama 50 tahun ini dilengkapi dengan profil
sosok-sosok alumni, untuk memberi gambaran yang lebih utuh perihal kontribusi
IKJ. Dalam kedudukan IKJ sebagai perguruan tinggi, maka pertimbangan atas
sosok yang mewakili gambaran IKJ, selain merujuk pada pencapaian dalam
dunia kesenian, juga mempersyaratkan sikap etisnya sebagai warga komunitas
akademik.
Katalog ini, dalam kriteria para kurator dan penerapannya dalam
pengumpulan data, diusahakan selengkap mungkin. Namun tetap saja menjadi
tugas dan kewajiban para penerus tahun-tahun mendatang, untuk melengkapi
dan melakukan koreksi atas kekeliruan yang paling kecil sekalipun.
Atas nama segenap civitas academica LPKJ-IKJ 1970-2020, saya
mengucapkan terima kasih setulus-tulusnya atas kerja keras dan ketekunan para
penyusun maupun seluruh pendukungnya. Dengan katalog ini, keberadaan IKJ
menjadi sungguh terbukti.
Salam
Jakarta, Jumat, 2 Oktober 2020, 22:00 WIB
Dr. Seno Gumira Ajidarma, S.Sn., M.Hum.
Rektor Institut Kesenian Jakarta (Periode 2016–2020)
PENGANTAR
Penyusunan Kontribusi
Dokumentasi kegiatan dan karya civitas akademika IKJ, beserta profil sejumlah
alumni, dapat menunjukkan bahwa kontribusi IKJ terhadap seni budaya lebih dari
sebatas kegiatan belajar-mengajar di dalam kelas. Ia turut meliputi kolaborasi dan
praktik langsung mengupayakan berbagai kegiatan dan karya ke hadapan publik.
Penyusunan dokumentasi yang menghimpun sumber dari lima dekade ini tentu
tidak mungkin dilakukan sendiri oleh IKJ di sela waktu mengajar dan mengelola
kampus. Lebih dari itu, penyusunan ini membutuhkan keahlian tersendiri dan
jarak pandang tertentu, sehingga penyusunan dokumentasi tidak berakhir
sebatas upaya perayaan tapi juga menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah
seni budaya. Oleh karena itu, Rektorat IKJ bekerja sama dengan tim redaksi yang
semuanya bukanlah alumni, yang sudah berpengalaman meriset dan mengolah
arsip untuk bisa ditampilkan dalam bentuk yang ramah untuk dibaca publik
umum.
Penyusunan ini mulai dibicarakan sejak 2018, dan dimulai dengan tahap
awal pada akhir 2018 hingga pertengahan 2019. Hasilnya terdiri atas panduan
kerja yang membingkai penelusuran riset dan redaksional pada tahap berikutnya;
dan sebuah Desain Riset dan Survei Alumni IKJ yang dapat digunakan pada
masa depan untuk menelusuri manfaat pendidikan seni di IKJ terhadap karier
awal para alumninya. Proses kerja kemudian dilanjutkan dengan fokus pada
pencarian dan pengolahan arsip yang hasilnya berupa katalog ini. Dalam hal ini,
IKJ mengucapkan banyak terima kasih kepada Dewan Kesenian Jakarta, yang
dengan ringan hati bekerja sama dan membukakan pintu lebar-lebar kepada para
periset untuk menelusuri dokumentasi arsipnya, yang menjadi modal awal bagi
penyusunan katalog ini.
Proses riset tersebut berjalan beriringan dengan penyeleksian alumni yang
akan diangkat profilnya sebagai Sosok Alumni di katalog ini. Difasilitasi tim
redaksi, pada 14 Oktober 2019, IKJ membentuk tim kurator seleksi yang terdiri
atas dua puluh alumni dan diketuai oleh Seno Gumira Ajidarma, Rektor IKJ.
Proses seleksi berlangsung secara bertahap hingga akhirnya pada Februari 2020
ditetapkan 102 nama untuk ditulis dalam segmen Sosok Alumni di katalog ini.
Berbarengan dengan itu, sebagian besar proses riset telah selesai dilakukan.
Sayangnya, proses penyusunan selanjutnya turut terdampak oleh pandemi
global COVID-19, yang turut mengubah pola hidup dan kerja satu dunia. IKJ
sebagai kampus perlu beradaptasi, begitu pula dengan penyusunan katalog
ini. Sejumlah data dan arsip yang perlu diambil dari IKJ sempat terkendala,
dan rencana penerbitan katalog juga perlu ditata kembali. Aslinya, katalog ini
hendak diluncurkan pada 23 Juli 2020, bersamaan dengan acara akbar perayaan
ulang tahun IKJ ke-50. Sejumlah penyesuaian perlu dilakukan, utamanya
PENYUSUNAN KONTRIBUSI
ix
mengutamakan katalog ini terbit dalam bentuk cetak terlebih dulu. Katalog dalam
versi website, seperti yang semula direncanakan, akan dilanjutkan pada tahap
berikutnya, karena sejak awal dokumentasi kontribusi ini memang dibayangkan
sebagai sebuah kerja berkelanjutan. Hingga akhirnya pada November 2020,
katalog ini dapat diselesaikan. Isinya merekam lebih dari 1.200 kegiatan dan
karya civitas IKJ dan 102 Sosok Alumni. Dalam prosesnya, tim redaksi juga
berhasil menghimpun puluhan ribu data soft copy yang merupakan bahan bagi
katalog ini. Data-data tersebut disimpan di Rektorat IKJ sebagai arsip kontribusi
yang sangat berharga.
Semoga katalog ini dapat bermanfaat, tidak hanya untuk merekam kontribusi
IKJ dan memperlihatkan hubungannya dengan ekosistem seni budaya, tapi juga
menjadi bagian dari kontribusi itu sendiri.
Jakarta, 6 November 2020
Suzen H.R. Tobing S.Sn, M.Hum
Wakil Rektor IV Bidang Kerja Sama (Periode 2016-2020)
SAMBUTAN
REKTOR INSTITUT KESENIAN JAKARTA
Lebih dari catatan sejarah dan bukti kontribusi yang berharga, penerbitan
katalog Kontribusi 50 Tahun Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini dapat menjadi
bahan refleksi bagi masa depan IKJ. Dari katalog ini dapat terlihat bagaimana
kerja sama antarlembaga berperan sama pentingnya dengan kelas-kelas kuliah
dalam menciptakan kesempatan dan platform bagi pengembangan kekaryaan
mahasiswa, dan bagaimana kerja sama erat antara dosen dan mahasiswa dalam
menggelar berbagai kegiatan selama puluhan tahun membentuk peran penting
IKJ dan segenap alumninya di tengah ekosistem seni budaya Indonesia. Selain
yang sudah berjalan dengan baik, dan perlu dipertahankan, dapat terlihat pula
apa yang perlu ditingkatkan: inovasi penciptaan dan riset lintas disiplin serta
kecakapan beradaptasi dengan zaman, yang tidak hanya terkait perkembangan
teknologi, namun juga konsepsi ruang dan waktu yang tentu mengalami
perubahan dengan adanya pandemi COVID-19 ini.
Saya ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Seno Gumira Ajidarma
selaku Rektor IKJ Periode 2016–2020 dan segenap tim penyusun serta para
pendukungnya yang telah menyusun katalog ini, sekaligus memperkaya arsiparsip
IKJ dalam proses penggarapannya. Katalog ini merupakan bahan berharga
untuk menerangi langkah IKJ menjadi kampus seni yang lebih maju dan
berkontribusi lebih lagi bagi kemajuan seni budaya Indonesia.
Jakarta, 15 Desember 2020
Dr. Indah Tjahjawulan, S.Sn, M.Sn
Rektor Institut Kesenian Jakarta (Periode 2020–2024)
CATATAN
Editorial Kontribusi
DibanDingkan kampus pendidikan tinggi pada umumnya, kampus pendidikan
tinggi bidang seni memiliki lebih banyak platform bagi civitas akademikanya
untuk bereksperimen, berkolaborasi, dan menampilkan hasilnya ke hadapan
publik. Bagi mahasiswa, kegiatan di luar jam belajar-mengajar merupakan
wahana berpraktik langsung, baik untuk berkarya maupun mengelola acara, guna
mengasah kemampuan untuk menjadi pelaku aktif ekosistem dan industri seni
di masa depan. Bagi dosen, hal yang sama menawarkan kesempatan berkarya
dan berkolaborasi dengan mahasiswa serta pihak luar kampus. Dengan begitu,
kontribusi publik suatu kampus seni sejatinya lebih daripada proses pendidikan
formal dalam kelas, dan turut melingkupi seluruh karya dan kegiatan yang
dihasilkan warga kampus.
Sebagai kampus seni, Institut Kesenian Jakarta (IKJ) menawarkan rentang
kontribusi yang lebih lagi. Di IKJ, karya tugas akhir mahasiswa dipersembahkan
melalui pameran atau pertunjukan kepada publik, dan tak jarang muncul kembali
di sejumlah pameran dan festival dalam dan luar negeri sebagai partisipan atau
bahkan pemenang kompetisi. Mahasiswa juga terlibat dalam berbagai pameran
dan pementasan publik, termasuk yang digelar atas inisiatif sendiri, baik di
dalam maupun luar kampus. Banyak pula kelompok seni dan band yang lahir dari
lingkungan IKJ. Pada masanya, kerja-kerja dan inisiatif di luar kampus itu pernah
membuat mahasiswa keasyikan, lupa kuliah, dan berakhir menjadi “jebolan”, dan
terkadang baru melanjutkan kuliah beberapa tahun kemudian. Namun, semua
itu menggambarkan betapa dinamisnya suasana belajar-mengajar dan berkaryaberkegiatan
di IKJ. Publik telah menjadi bagian dari mahasiswa IKJ sejak masih
di bangku kuliah, dan dosen-dosennya yang terus menghidupkan kesenian
almamaternya, termasuk pula mereka yang berasal dari luar IKJ dan kemudian
mewarnai dinamika tersebut. Alumni dan dosen IKJ pun terus berkiprah di
berbagai jenis kesenian, menjadi bagian penting yang tak terpisahkan dari
kesenian Indonesia.
Dengan itu semua, dalam usia emasnya, IKJ tentu bisa dibilang telah banyak
berkontribusi bagi kesenian Indonesia. Namun, penilaian yang lebih terukur dan
kajian yang lebih mendalam lagi menyeluruh membutuhkan pendokumentasian
atas setiap kontribusi tersebut. Katalog ini, yang berisi kronik kegiatan dan karya
civitas akademika IKJ selama 50 tahun, ditambah kisah sejumlah alumninya,
adalah wujud dokumentasi tersebut. Melalui katalog ini, kontribusi IKJ terwujud
lebih daripada sebatas ingatan pribadi dan berkas dokumentasi. Ia turut menjadi
bagian dari catatan sejarah.
*
xii
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
Katalog ini disusun berdasarkan puluhan ribu arsip dari periode 1970–2020, hasil
riset kami di sejumlah lembaga kesenian, utamanya Dewan Kesenian Jakarta
dan Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin di Taman Ismail Marzuki, serta
media massa cetak dan daring, utamanya Pusat Informasi Kompas dan Pusat
Data dan Analisa TEMPO, juga di kampus IKJ sendiri beserta segenap civitas
akademikanya. Arsip-arsip tersebut, yang di antaranya terdiri atas liputan media,
kalender acara, buklet, katalog, jurnal, dokumen, dan poster, kemudian diseleksi
dan disusun berdasarkan sejumlah pertimbangan: pelaku, jenis kegiatan dan
karya, dan derajat keterlibatannya.
“Pelaku” dalam katalog ini adalah IKJ dan civitas akademikanya, yaitu
lembaga, kelompok, dan individu dalam batasan tertentu. “Pelaku” bisa berarti
kampus—rektorat, fakultas, organisasi mahasiswa, ikatan alumni, dan kelompok
seni inisiasi anggota civitas akademika. “Pelaku” bisa pula mahasiswa dan dosen
aktif. Dengan begitu, karya dan kegiatan yang diupayakan mantan dosen dan
individu alumni—termasuk mereka yang tidak lulus—tidak disertakan. Batasan
ini penting karena hampir mustahil untuk mengukur peran langsung pendidikan
IKJ pada karya dan aktivitas alumni dan jebolan selepas dari IKJ. Sekalipun
hal itu bisa diukur, tidaklah elok rasanya untuk mengklaim setiap satuan karya
dan aktivitas individu selepas dari IKJ karena seolah meniadakan pencapaian
individu. Pengecualian bisa dilakukan jika individu atau kelompok alumni itu
sendiri yang menyematkan identitas kampus dalam karya mereka, seperti yang
tersurat dalam judul sebuah kompilasi musik band-band indie mahasiswa, alumni,
dan jebolan IKJ.
Berbagai wujud kontribusi tersebut kemudian dibagi dalam enam kategori:
Acara, Karya, Partisipasi, Kabar, Peristiwa, dan Fenomena. Acara meliputi
berbagai kegiatan yang diselenggarakan “pelaku” IKJ atau berlangsung di IKJ
dengan IKJ sebagai kolaborator atau tuan rumah. “Karya” merupakan karya seni
ciptaan “pelaku” IKJ khususnya dalam konteks sebagai subjek apresiasi publik,
yang bisa sebagai karya satuan maupun ditampilkan dalam suatu acara tertentu,
baik acara buatan IKJ sendiri maupun pihak lain. Sementara untuk acara-acara
yang tidak diselenggarakan atau tidak berkolaborasi dengan IKJ, tapi diikuti
“pelaku” IKJ sebagai partisipan, kami masukkan dalam kategori Partisipasi, yang
dengan begitu merunut keikutsertaan civitas akademika IKJ dalam kegiatan seni
yang diselenggarakan pihak luar kampus.
Temuan arsip yang tak masuk dalam kategori-kategori tersebut, tapi
melengkapi konteks kontribusi IKJ, masuk dalam Peristiwa. Selanjutnya, dengan
adanya berita-berita tentang proses dan pencapaian karya tanpa ditemukan
dokumentasi tentang karya itu sendiri, kategori Kabar menjalankan fungsinya.
Terakhir, Fenomena menjadi saksi bagi kontribusi IKJ yang lebih langgeng
sifatnya—tak jarang menjadi bagian istimewa dari perkembangan seni-budaya
Jakarta, atau bahkan Indonesia.
Arsip-arsip terkategori tersebut kemudian diolah menjadi kronik, berupa
urutan deskripsi ringkas, lengkap dengan elemen informasi tambahan yang
merincikan konteks waktu, lokasi, dan keterlibatan. Penulisan setiap entri kronik
menyesuaikan kuantitas dan kualitas dokumentasi yang tersedia. Semakin
kaya arsip yang ditemukan mengenai suatu kegiatan atau karya, semakin kaya
pula deskripsi yang bisa dihadirkan, dari detail keterangan hingga foto yang
representatif. Entri-entri yang dihasilkan kemudian disusun secara kronologis.
Di setiap awal dekade, kami tuliskan semacam rangkuman, yang memaparkan
kekhasan serta kecenderungan pada dekade tersebut.
Di bagian depan katalog ini, kami menyertakan sejumlah esai, berisi opini
mengenai sejumlah bidang kesenian yang relevan dengan kontribusi utama
IKJ, yaitu musik, tari, teater, seni rupa, dan film dan televisi. Esai-esai tersebut
dikelola oleh seorang editor tamu, Bambang Bujono, seorang penulis senior seni
rupa yang telah menyaksikan berbagai peristiwa kesenian di Jakarta sejak 1968
dan sangat mengenal kiprah Taman Ismail Marzuki dan IKJ. Ia juga merupakan
pengajar kelas penulisan di Sekolah Pascasarjana IKJ. Para kontributor yang
EDITORIAL KONTRIBUSI
xiii
diundang untuk menulis esai adalah pemerhati dunia kesenian yang juga
mengenal kiprah IKJ selama ini.
*
Untuk melengkapi gambaran kontribusi IKJ sehubungan dengan seniman yang
pernah dihasilkan olehnya, katalog ini menyertakan segmen Sosok Alumni. Terdiri
atas 102 representasi alumni hasil pilihan tim kurator dari Rektorat dan fakultasfakultas
di IKJ, Sosok Alumni merupakan bentuk apreasiasi IKJ terhadap kiprah
mereka dalam kesenian Indonesia.
Dalam kisah-kisah setiap sosok alumni, IKJ hadir dalam berbagai wujud.
Bagi sejumlah alumni, ia adalah titik awal perjalanan. Bagi sejumlah lainnya, ia
menjadi titik temu yang kaya akan berbagai kemungkinan. Beberapa kisah saling
bersinggungan melalui kolaborasi lintas disiplin serta angkatan, dan tak sedikit
dari kolaborasi itu yang berlanjut hingga di luar kampus. Proses yang mereka
lakoni secara pribadi turut berkontribusi bagi tumbuh-kembang IKJ sebagai
lembaga pendidikan. Kisah-kisah inilah yang ditelusuri dan diungkap dalam
segmen Sosok Alumni.
Sosok Alumni terdiri atas alumni-alumni yang konsisten berkarya selama dan
setelah menempuh pendidikan di IKJ, dan telah mendapat pengakuan atas karya
dan kontribusinya di bidang seni yang digeluti. Sosok Alumni terdiri atas mereka
yang setidaknya pernah menempuh pendidikan di IKJ selama satu tahun. Dengan
kata lain, ada sejumlah individu dalam Sosok Alumni yang sesungguhnya tidak
lulus, alias merupakan jebolan IKJ.
Dalam seleksi, faktor kelulusan ini tidak begitu dipersoalkan karena terkait
dengan konteks khusus IKJ dan dunia kesenian. Sudah menjadi pengetahuan
umum bahwa proses belajar-mengajar di IKJ berlangsung cair dan dinamis,
khususnya pada dekade 1970-an sampai 1990-an ketika jumlah tenaga kreatif
di Indonesia masih terbatas dan industri kreatif belum terbentuk sebagaimana
sekarang. Pada masa-masa itu, dosen tak jarang melibatkan mahasiswa dalam
berbagai produksi seni sehingga kedua belah pihak berpraktik langsung dalam
kolaborasi dan penciptaan. Status dosen dan mahasiswa pun menjadi relatif
tak signifikan ketimbang tanggung jawab sebagai seniman atau pegiat seni
yang sama-sama menyajikan karya di hadapan publik. Dalam ukuran pendidikan
formal, proses pendidikan yang serba cair di IKJ bisa jadi dianggap sebagai
kekurangan. Namun, pada saat yang sama, proses tersebut memungkinkan
seniman langsung berkarya sedari kuliah. Hal ini menjadi kewajaran, terlebih
dunia kesenian saat itu cenderung sangsi terhadap ijazah—selembar kertas
yang belum tentu menjadi ukuran keberhasilan seniman. Karyalah, bukan status
kelulusan semata-mata, yang lebih diterima sebagai pencapaian seniman.
Tentu saja, andil IKJ sebagai ruang belajar, baik dalam kerangka formal maupun
nonformal, juga tak bisa dinihilkan.
Oleh karenanya, kesesuaian peran dan profesi alumni dengan bidang
keilmuannya turut dipertimbangkan, sebagai bingkai untuk melacak kontribusi
IKJ dalam tumbuh-kembang alumninya. Batasan yang ditetapkan adalah
fakultas. Apa pun peran dan profesi seorang alumnus, ia harus sesuai dengan
fakultas studinya. Dengan begitu, seleksi alumni bisa mewadahi seniman yang
lintasan kariernya multidisiplin, seperti seorang lulusan jurusan kriya keramik
dari Fakultas Seni Rupa yang lantas berprofesi sebagai kurator seni rupa. Selain
itu, proses seleksi bisa secara proporsional menakar lingkup kontribusi IKJ
dalam lintasan karier alumninya di bidang seni tertentu. Maka, tumbuh-kembang
alumni di bidang seni selain fakultas studinya dianggap sebagai pencapaian
ikhtiar pribadinya dan ada di luar lingkup pendidikan IKJ. Contohnya, alumni seni
rupa yang kemudian menjadi musisi tidak dimasukkan ke dalam Sosok Alumni,
betapapun cemerlang karya dan kariernya.
Proses penulisan profil Sosok Alumni berlangsung secara bertahap. Kami
menghimpun arsip informasi dari setiap alumni terpilih lalu memetakan lintasan
kariernya. Ada yang dikenal publik karena menciptakan karya, ada juga yang
xiv
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
karena kerja-kerjanya memperluas partisipasi masyarakat dalam berkesenian. Ada
beberapa nama yang minim eksposur publik, karena sifat kerjanya yang berada di
balik layar seperti kurator dan peneliti. Keunikan dari masing-masing perjalanan
alumni inilah yang kemudian dihubungkan dengan proses belajar mereka di IKJ,
dari informasi yang didapat melalui wawancara langsung atau sumber-sumber lain.
Dari data yang terhimpun, kami memetakan keterkaitan dari seluruh alumni
pilihan. Sejumlah alumni memiliki kisah dengan konteks yang spesifik, sehingga
butuh ruang lebih untuk diceritakan. Sejumlah lainnya terikat dengan konteks
yang lebih umum, yang turut terpaparkan dalam entri-entri kronik, sehingga bisa
dituturkan dalam tulisan yang lebih ringkas.
Pertimbangan kontekstual turut mendasari urutan kemunculan profil alumni
dalam linimasa kronik katalog ini. Dengan menempatkan IKJ sebagai titik
berangkat, profil alumni diurutkan berdasarkan capaian publik pertamanya setelah
singgah di IKJ. Untuk alumni yang sudah berkarier atau berkarya sebelum masuk
IKJ, profil mereka ditempatkan pada tahun kelulusan atau tahun pertama berkarya
sebagai bagian dari civitas IKJ. Beberapa nama kami tempatkan berdekatan
karena ada sejumlah alumni yang saling berbagi simpul, seperti dalam produksi
film bersama atau pendirian suatu komunitas.
Kisah-kisah para alumni melengkapi kronik seni-budaya dalam katalog ini.
Dalam kisah mereka, terangkum cuplikan proses belajar serta perkembangan
gagasan berkesenian di IKJ dari masa ke masa. Harapannya, kisah-kisah ini bisa
menjadi catatan historis dan juga acuan bagi perkembangan proses belajar di IKJ
pada masa mendatang.
*
Katalog ini disusun berdasarkan arsip yang dapat ditemukan selama periode riset,
yaitu dari pertengahan 2019 sampai pertengahan 2020. Bisa dipastikan, informasi
yang terekam di katalog ini tetap kurang memadai daripada yang pernah terjadi.
Terutama dalam entri kronik berkategori Karya, yang tentu jumlah seluruhnya
lebih banyak lagi daripada acara yang pernah diadakan, baik sebagai satuan
maupun karya-karya yang ditampilkan dalam pameran maupun pertunjukan. Pada
akhirnya, katalog ini lebih tepat dianggap sebagai program rintisan, yang perlu
terus dikoreksi, ditambah, dan dilengkapi, idealnya dalam bentuk situs web khusus,
sehingga bisa dijangkau oleh publik yang lebih luas lagi.
Namun, 1.203 entri kronik dalam katalog ini, beserta 102 sosok alumninya
dan esai-esai penyerta, kami harap cukup untuk memberi gambaran perjalanan
kontribusi IKJ selama 50 tahun. Melalui katalog ini, IKJ bisa berhenti sejenak
untuk menyimak kembali kiprahnya selama lima dekade, untuk membayangkan
masa depan yang hendak dituju. Melalui katalog ini pula, publik dapat mengetahui
bagaimana IKJ terhimpun dan tersimpul dalam beragam acara dan karya yang
mungkin pernah disaksikannya. Bukan tidak mungkin katalog ini dapat menjadi
salah satu basis untuk merumuskan kebijakan dan strategi jangka panjang
pendidikan seni di Indonesia, serta menjadi model dokumentasi atas karya dan
kegiatan seni yang diampu oleh lembaga pendidikan tinggi seni di Indonesia,
sekaligus merupakan sumbangan bagi upaya dokumentasi kegiatan seni pada
umumnya yang terbilang minim di Indonesia.
Jakarta, 6 November 2020
Tim Redaksi
Ardi Yunanto
Ninus Andarnuswari
Adrian Jonathan Pasaribu
Sulaiman Harahap
Levriana Yustriani
Andang Kelana
ESAI
Sumbangan Sekolah Film IKJ
bagi Dunia Perfilman
Marselli Sumarno
Suasana kampus Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) pada 1970-an
terasa longgar karena jumlah total mahasiswanya masih 500-an. Khususnya di
Akademi Sinematografi, para mahasiswa belajar dari para pengajar yang aktif
di lapangan, seperti Sjuman Djaya (sutradara), Soemardjono (editor), Soetomo
Gandasubrata (penata kamera). Dengan jenjang Diploma-3 (D3) yang tersedia,
para mahasiswa berlatih keterampilan “berpola sanggar” atau tidak bersistem
akademik ketat. Sementara produksi film nasional waktu itu cukup tinggi, antara
80–100 film per tahun. Penyebab utamanya, antara lain masih ada jalur khusus
bioskop film nasional.
Namun dari pemandangan yang serba fisik tersebut, mulai terasa bahwa
rezim Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto sangat membatasi ruang
gerak kebudayaan dan khususnya kesenian, termasuk bidang film. Salah satu
halangan terbesar adalah keberadaan Departemen Penerangan yang melakukan
pembinaan, bahwa setiap rencana produksi film nasional harus melalui
penyensoran skenario terlebih dahulu. Kenyataan ini membuat film-film Indonesia
“dijinakkan” sebelum diproduksi. Belum lagi, proses sensor akhir ketika sebuah
film siap untuk dipasarkan ke bioskop yang pada masa itu memiliki sekitar 3000-
an layar.
Menginjak 1980-an, persoalan yang membelit pembuat film selain sensor
adalah praktik “monopoli terselubung” ihwal peredaran film impor. Di sisi
lain, rezim Orde Baru yang semakin menancapkan kuku kekuasaannya dalam
masyarakat telah melahirkan film propaganda berjudul Pengkhianatan G30S/
PKI (1984). Film yang disutradarai oleh Arifin C. Noer ini telah berhasil mencuci
otak para generasi muda tentang kebenaran sejarah yang terkait dengan tragedi
nasional 1965.
Dalam suasana dunia perfilman Indonesia seperti itulah para lulusan awal
dari Akademi Sinematografi LPKJ terjun ke lapangan menjadi asisten para
seniornya. Mereka merangkak menjadi profesional sepenuhnya melalui kerja
magang demikian.
Pada periode yang sama, perubahan status LPKJ menjadi Institut Kesenian
Jakarta (IKJ), memunculkan sistem pendidikan yang lebih akademik. Dibuka
program studi S-1 dan belakangan dibuka pula program studi S-2.
Seiring dengan meredupnya kekuasaan rezim Orde Baru pada 1990-an dan
akhirnya dibubarkannya Departemen Penerangan oleh Presiden Abdurrahman
Wahid, maka cara pembinaan film yang sebelumnya lebih merupakan
pembinasaan film tersebut, tamat sudah. Zaman Reformasi telah tiba dan
para sarjana film dari IKJ mulai berkiprah. Yang muda yang berprestasi. Dapat
dikatakan lahirlah “mazhab” IKJ, yaitu film-film yang mempunyai nilai estetika
SUMBANGAN SEKOLAH FILM IKJ BAGI DUNIA PERFILMAN
xvii
Syuting film Pusaka Ibu produksi IKJ
pada 2016.
Sumber foto: koleksi IKJ.
dengan berbagai warna. Ada yang memberi tekanan pada warna puitis sekaligus
eksotis, ada yang menggarisbawahi soal kesadaran gender, ada pula yang
menekankan pada persoalan religi, sedangkan yang lain lagi mewacanakan
kebhinekaan Indonesia.
Tentu saja tidak semua lulusan sekolah film IKJ menggeluti sepenuhnya
persoalan estetika, sebab jelas seni bukanlah budak estetika. Di antaranya adalah
mereka yang berusaha mengawinkan nilai-nilai estetika dan kebutuhan pasar.
Sebutlah Riri Riza yang berhasil membuat Laskar Pelangi (2008) dengan penonton
4,2 juta, Faozan Rizal dengan Habibie & Ainun (2012) yang meraup 4,5 juta
penonton. Sedangkan Dilan 1990 (2018) dengan sutradara Fajar Bustomi dan Pidi
Baiq dengan penonton 6,3 Juta, disusul Dilan 1991 (2019) dengan sutradara yang
sama mendapatkan 5,2 juta penonton.
Seiring dengan maraknya perkembangan teknologi digital, individu-individu
dapat belajar film dari mana saja, termasuk melalui internet maupun secara
otodidak asalkan memiliki bagasi kesenian yang memadai. Mereka yang non-
IKJ bisa memunculkan film-film yang artistik, tidak klise, dan juga disukai pasar.
Lahirlah sineas-sineas seperti Joko Anwar yang telah membuat Pengabdi Setan
(2017) dengan perolehan 4,2 juta penonton. Sementara Anggy Umbara melalui
Warkop DKI Reborn (2016) dengan perolehan 6,8 juta penonton dan Warkop DKI
Reborn II (2017) dengan perolehan 4 juta penonton.
Pertanyaannya, mengapa muncul nama-nama non-IKJ tersebut yang juga
hebat? Dalam khazanah teori ekonomi kreatif, dikenal wacana Intellectual
Property (IP), yaitu suatu kecerdasan secara kreatif untuk menjual gagasan, yang
dalam hal ini melalui produk film. Hal ini termasuk penonjolan karakterisasi,
pemanfaatan alih wahana dari novel ke film maupun yang bersifat pembuatan
ulang (remake). Tentu saja, frasa “menjual gagasan” itu telah mengandung
pengertian bagaimana cara menjaring gagasan itu sendiri, pengemasan filmnya,
xviii
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
Tom Studio, studio film di IKJ.
Sumber foto: koleksi IKJ.
promosi atas filmnya, peredarannya. Dalam hal itulah yang non-IKJ tampaknya
mengambil peluang.
Setelah mencapai usia 50 tahun, terbukti banyak sumbangan sekolah film IKJ
berupa prestasi dalam banyak segi. Namun di masa depan sekolah film IKJ harus
terus berbenah mengikuti perkembangan zaman melalui peremajaan kurikulum,
ketersediaan perlengkapan produksi film sebagai sarana belajar-mengajar
yang serba digital, serta menghasilkan para lulusan film yang profesional sejati.
Dengan harapan-harapan seperti itu, mari kita lanjutkan pendidikan film di IKJ
sehingga terus unggul sebagai sekolah film, paling tidak di tingkat nasional.
—
Marselli Sumarno adalah alumnus FFTV IKJ yang kemudian
mengajar di almamaternya dan sempat menduduki berbagai
jabatan, antara lain Dekan FFTV IKJ (2004-2008). Ia pernah aktif
meresensi film di harian Kompas dan menulis empat buku tentang
film. Ia juga membuat film cerita, Sri (1996), dan sekitar 20 film
dokumenter, antara lain Sang Budha Bersemayam di Borobudur
(2006) dan Gesang (2015)—dua film dokumenter terbaik dalam FFI.
Pengelola Jurnal Seni Nasional Cikini ini menyelesaikan disertasinya,
Jejak Pemaknaan dari Teori Kepengarangan Andre Bazin dalam Era
Teknologi Digital di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara pada 2020.
ESAI
Musik Tanpa Kasta
Cholil Mahmud
1 Lihat esai Bambang Bujono,
“Kembali ke Masa Depan” di katalog
ini, hlm. xxii.
Pada 2001, Prodi Musik IKJ memasukkan mata kuliah yang lazim disebut industri
musik atau budaya musik pop. Sebelumnya, pertengahan 1990-an, mata kuliah
tentang teknologi musik pun diadakan di prodi ini. Zaman memang bergulir dan
musik klasik (Barat maupun Timur) bukan lagi satu-satunya “ukuran” dalam
sebuah pendidikan musik—meski tetap menjadi acuan karena kekayaan tangga
nada dan kekayaan bunyinya (polyphonic).
Dan sebenarnya prodi musik ini, sejak awal diselenggarakan sebagai Jurusan
Musik LPKJ, tak pernah melihat musik “berkasta-kasta”. Empat dosen yang
mewarnai LPKJ pada tahun-tahun awal jurusan ini pun, meski berlatar dan aktif
dalam dunia musik klasik (Barat), memasuki jenis-jenis musik yang lain. L.E.
Sumarjo, paling senior di antara keempatnya, adalah penulis tentang musik
tradisional Indonesia, dan memasukkan mata kuliah Etnomusikolog. Franz
Harjadi banyak menciptakan ilustrasi musik untuk film-film Indonesia. Suka
Hardjana, musikus dan konduktor yang juga aktif menulis dan meresensi musik,
menulis tanpa pilih-pilih jenis musik, asal pertunjukan musik itu bagus. Dalam
dunia tulis-menulis, para dosen itu sempat pula menerbitkan majalah musik
Musika (1972) yang dikelola oleh Suryabrata, Franz Harjadi, dan Suka Hardjana.
Lalu, Slamet Abdul Sjukur datang kemudian dari Prancis atas imbauan L.E.
Sumarjo. Slamet bisa dikatakan pelopor dalam menciptakan musik kontemporer.
Musik itu bunyi dan sunyi pun adalah musik, katanya suatu ketika. Ia menciptakan
karya musik yang “minimaks”, berangkat dari sesuatu yang minimal dan
sederhana menjadi karya yang maksimal dan kompleks. Karyanya bukan hanya
musik, melainkan juga memasukkan gerak (tari), rupa (seni rupa), maupun
properti pentas, termasuk cahaya.
Dari tim seperti itulah, ditambah beberapa dosen musik seperti Iravati M.
Sudiarso dan Trisutji Kamal, lahir nama-nama yang hingga kini turut mewarnai
dunia musik klasik dan kontemporer seperti Franki Raden, Marusya Nainggolan,
Otto Sidharta, Tony Prabowo, Arjuna Hutagalung, Harry Roesli, Nyak Ina Raseuki,
Dian H.P., dan Benny M. Tanto.
Mesti disebutkan juga, beberapa dosen IKJ pada berbagai periode menjadi
anggota Komite Musik Dewan Kesenian Jakarta dan terlibat dalam programprogram
pengembangan musik di luar lingkup kampus. Pada 1979, misalnya,
Iravati M. Sudiarso yang saat itu juga menduduki posisi Ketua Dewan Pekerja
Harian Dewan Kesenian Jakarta, memimpin penyelenggaraan Pekan Komponis
Muda—konon terilhami Festival Penata Tari Muda. 1 Acara berkala ini sempat
diadakan sampai pertengahan 1980-an. Dari acara tersebut sejumlah komponis
muda dari luar IKJ pun muncul, antara lain Rahayu Supanggah, Pande Made
Sukerta, dan Komang Astita.
xx
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
Pertunjukan “Musik Gratis Komet
Halley” dari siang sampai subuh di
kampus IKJ.
Sumber foto: Sinar Harapan, 18 Mei
1986.
Sejumlah karya lulusan Prodi IKJ sendiri pantas dicatat. Otto Sidharta menyulap
Planetarium menjadi gedung pertunjukan untuk karyanya yang berjudul “Mikro
dan Makro Kosmos”. Ia juga menggubah musik untuk beberapa pertunjukan
Sardono W. Kusumo: Hutan Plastik, Live Paintings. Tony Prabowo mencipta
“Dongeng SebelumTidur”, “Requiem for Orchestra”, kemudian menggubah partitur
untuk opera berdasarkan puisi Goenawan Mohamad, antara lain: The King’s Witch,
Gandari I, II, dan III, Orfeus, dan sebuah lakon berjudul Tan Malaka.
Di wilayah musik yang lebih populer, almarhum Harry Roesli semasa
menjadi mahasiswa LPKJ mengadakan pertunjukan yang cukup fenomenal dan
membekas di sejarah musik pop, yaitu Rock Opera Ken Arok pada 1975. Harry
menyebut karyanya ini wayang orang kontemporer karena ia sebagai penggubah
musik juga bernyanyi dan bercerita selayaknya dalang dalam pertunjukan
wayang. Rock Opera Ken Arok yang dirilis sebagai album pada 1977 ini kemudian
dinobatkan menjadi album ke-10 terbaik sepanjang masa di Indonesia oleh
majalah Rolling Stone Indonesia (RSI) pada 2007 dan dirilis ulang pada 2018
Masih di wilayah musik populer, Dian H.P. seolah melanjutkan kreativitas Franz
Harjadi—ia banyak membuat musik untuk sejumlah film dan sinetron.
Grup musik lain yang terdiri atas mahasiswa musik IKJ dan beraliran klasik
pop adalah Abbhama yang beranggotakan Iwan Madjid, Darwin B. Rahman, Robin
Mangunsong, Dharma, Oni, Hendro, dan Cok B. Bersama ansambel Talabhama,
mereka terlibat dalam penyelenggaraan Operette Cikini pada 1979. Album
Abbhama yang berjudul Alam Raya kemudian dinobatkan menjadi album terbaik
sepanjang masa di peringkat ke-70 versi majalah RSI. Alam Raya, hingga saat ini,
masih diperbincangkan di khazanah musik dunia, dan dirilis ulang oleh Strawberry
Rain Records pada 2014.
Kontribusi penting IKJ dalam musik pop Indonesia masih terus terjadi hingga
2000-an, bahkan kampus ini mendapat julukan “School of Rock” oleh majalah RSI
saking banyaknya talenta dari IKJ dalam ranah musik pop Indonesia saat itu: dari
Naif dan Rumah Sakit pada 1995, disusul Club Eighties, The Upstairs, The Adams,
White Shoes & the Couples Company, dan yang mutakhir Sisitipsi. Munculnya
berbagai band tersebut berawal dari diadakannya panggung musik di kampus
seperti “Bakar-Bakaran”, “Oktaria”, dan “Tamasya Rimba” sebagai pengekspresian
diri dan juga perwujudan dari salah satu tuntutan Tri Dharma perguruan tinggi
yaitu pengabdian masyarakat. Tampaknya sudah menjadi tradisi di IKJ untuk
MUSIK TANPA KASTA
xxi
[Kiri] Mpu Gandring (kiri) sedang
berebut keris dengan Ken Arok (kanan);
masing-masing diperankan oleh Tutang
dan Dan Aliet dalam pementasan rockopera
“Ken Arok” karya Harry Roesli di
Gedung Merdeka Bandung pada 1975.
Sumber foto: Pikiran Rakyat, 15 April
1975.
—
[Kanan] Suasana diskusi di Pekan
Komponis Muda I, 1979.
Sumber foto: buku Enam Tahun Pekan
Komponis Muda Dewan Kesenian
Jakarta 1979–1985.
menggelar musik gratis buat masyarakat sekitar seperti “Musik Kampus
Merdeka,” “Musik Gratis Setelah Pemilu”, “Musik Gratis Menjelang Gerhana”,
“Musik dari Jendela Samping”, “Musik Gratis Tahun Kerbau”, “Musik Gratis Bambu
Runcing”, dan “Musik Gratis Komet Halley.”
IKJ? Ya, sebab hanya sebagian kecil dari band-band pop tersebut yang
personelnya berasal dari Prodi Musik IKJ—kebanyakan justru dari Fakultas Seni
Rupa. Dalam amatan saya, mahasiswa Prodi Musik IKJ sepertinya kurang tertarik
untuk memainkan musik pop, rock, atau jazz, dan lebih memilih untuk berjarak
dengan industri yang memang berkarakter populer. Seolah ada sentimen yang
cukup terasa—walau tidak terlembagakan secara resmi—bahwa musik yang
dekat dengan industri adalah banal. Keterlibatan Prodi Musik IKJ cukup minim di
berbagai acara musik populer yang membuat IKJ dijuluki School of Rock itu dan
pada percakapan mengenai industri musik Indonesia. Kurangnya keterlibatan
tersebut bisa berakibat pada semakin berjaraknya Prodi Musik IKJ dari hirukpikuk
industri musik di Indonesia, yang sebenarnya sedang bergairah menyambut
perubahan pola produksi dan konsumsi musik di era digital.
Padahal, selain menghasilkan maestro-maestro dan repertoar musik klasik,
kontemporer dan tradisional, semangat kesetaraan Prodi Musik IKJ di ranah
musik Indonesia—seperti sudah dituliskan—sudah ditanamkan sejak awal IKJ
berdiri sebagai LPKJ. Hal ini tentu bisa ditingkatkan lagi dengan keterlibatan dan
kontribusi yang lebih jauh dalam industri musik hari ini.
Sebab, industri musik yang begitu besar, dan digeluti oleh begitu banyak
penikmat musik khususnya anak muda, sangat “rentan” jika wajahnya hanya
dibentuk oleh para pemilik modal. Peran seluruh pemangku kepentingan dalam
industri harus diberikan atau dicarikan tempat, sehingga watak industri musik
yang kapitalistik dengan karya berkualitas “rendah”, paling tidak akan menghadapi
gugatan. Dalam hal ini IKJ punya peluang yang terlalu sayang untuk dilewatkan.
Dan langkah itu sudah diambil dengan memasukkan industri musik sebagai salah
satu kajiannya.
—
Cholil Mahmud adalah anggota Komite Musik Dewan Kesenian
Jakarta periode 2020–2023, personel band Efek Rumah Kaca, dan
tamatan magister jurusan Arts Politics di New York University.
ESAI
Kembali ke Masa Depan
Bambang Bujono
1 Harian Merdeka, 27 Desember 1972.
2 Anu Soot & Ele Viskus,
“Contemporary Approaches to
Dance Pedagogy – the Challenges
of the 21 st Century,” dalam Procedia
–Sosial and Behavioral Sciences
Journal, Vol. 112, 7 Februari 2014.
Edi Sedyawati, Ketua Jurusan Tari Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta
(LPKJ), dalam forum Pertemuan Koreografer Indonesia di Taman Ismail Marzuki
Desember 1972 menyampaikan pertanyaan mengenai pendidikan tari. Saat itu,
lebih dari dua tahun sudah Jurusan Tari LPKJ menyelenggarakan perkuliahan.
Dua hal yang ia sampaikan. Pertama tentang “membentuk penari yang memenuhi
syarat minimal untuk melayani karya-karya tari modern yang menjangkau segala
kemungkinan tanpa dipagari batas-batas suatu gaya tari tertentu.” Kedua, tentang
penciptaan karya tari modern yang tidak hanya ditujukan untuk pementasan di
panggung [gaya Barat], melainkan juga “untuk lingkungan-lingkungan penyajian
yang lain: keadatan, kealaman.” 1
Pertanyaan tersebut bersifat retorik, sudah terkandung jawabannya. Pada
tahun itu pula. sejumlah dosen dan mahasiswa Jurusan Tari LPKJ melakukan
study tour di Bali. Mereka hendak “belajar” menari Bali. Itulah tari-tari yang
tak diciptakan untuk dipergelarkan di panggung tertentu. Dan “belajar” di sini
dimaksudkan bahwa mereka bukan hanya mempelajari dan mempraktikkan gerak
tari, melainkan lebih dari itu: mengamati kehidupan di Bali—suatu masyarakat
yang kehidupan sosial, keagamaan, dan keseniannya hampir tak terpisahkan—
melalui penghayatan total tubuh dan ruh, gerak fisik dan pikiran.
Demikianlah, jurusan tersebut (kemudian menjadi Akademi Tari, dan kini
disebut Program Studi Tari Fakultas Seni Pertunjukan Institut Kesenian Jakarta),
sejak mula telah mempraktikkan konsep yang hingga hari ini diterapkan di
banyak pendidikan tari di mana-mana: mengembangkan pola “berpikir dengan
tubuh fisik” sebagai bagian dari “menyatukan raga dan ruh” guna sepenuhnya
mendapatkan “penyadaran diri”. 2 Masih pada 1970-an, Prodi Tari kemudian
mengembangkan study tour ke berbagai budaya: Minang, Kalimantan, dan Papua.
Sementara itu pelajaran tari gaya tertentu pun tetap diadakan dengan
pengajar yang sudah barang tentu memang “ahli waris” di bidangnya. Misalnya,
untuk tari Jawa pengajarnya adalah Tumenggung Kusumo Kesowo, empu tari
Jawa hampir tanpa tanding. Namun, di samping itu ada juga lokakarya untuk
saling belajar di antara para mahasiswa itu sendiri. Mereka yang datang dari
Sumatra Barat, Bali, Toraja, dan lain-lain, yang dianggap sudah menguasai tari
tradisi daerahnya, dalam lokakarya di Prodi Tari diminta memperagakan tarinya,
dan sebuah tukar pikiran pun menyusul. Dengan sendirinya, Prodi Tari sudah
melaksanakan pendidikan tari multikultur dan prinsip pembelajaran yang bukan
dimulai dari dan diakhiri oleh guru. Prodi Tari menerapkan belajar bersama, antara
guru dan mahasiswa dan masyarakat, baik di dalam kelas maupun di luar tembok
kampus.
KEMBALI KE MASA DEPAN
xxiii
Tari Akkarena karya Wiwiek Sipala
dalam Festival Penata Tari Muda 1978.
Sumber foto: buku program Festival
Penata Tari Muda 1978.
3 Farida Oetoyo, Saya Farida, Sebuah
Auotbiografi (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama), 2002.
Dari mana semua itu bermula? Adalah sebuah lokakarya tari di DKJ, pada awal
berdirinya pada akhir 1960-an, yang disebut Bengkel Tari. Pesertanya antara
lain para penari dari latar yang beragam: Sardono W. Kusumo, Huriah Adam,
Edi Sedyawati, Farida Oetoyo, Yulianti Parani, Sentot Sudiharto. Dalam buku
autobiografinya, Farida Oetoyo menulis, “Kami melakukan latihan terpadu,
berupa eksplorasi dan improvisasi. Di sini sering terjadi dialog dan akumulasi
pengentalan berbagai wilayah budaya, diwakili individu-individu perserta
Bengkel [....] Bengkel lintas budaya ini menjadi pemicu lahirnya seni tari modern
Indonesia...” 3 Peserta Bengkel Tari itulah yang kemudian menjadi dosen di Prodi
Tari IKJ.
Sementara itu, Sal Murgiyanto, anggota Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta
(DKJ), menciptakan acara tahunan Festival Penata Tari Muda pada 1978. Ide
dasarnya, selain memberi ruang utuk para penata tari muda dari daerah, juga
merupakan ajang lintas budaya. Dalam enam kali penyelenggaraannya, hingga
1984, para penata tari muda itu datang dari Medan, Padang, Bandung, Solo,
Yogya, Surabaya, Banyuwangi, Bali, selain Jakarta. Dari festival tersebut muncul
nama-nama, antara lain Tom Ibnur dan Dedy Lutan, yang lantas menjadi dosen
IKJ.
Persemaian penata tari muda itu berhenti pada 1984. Rupanya beberapa
di antara yang terlibat “terobsesi” akan kegiatan yang terbukti menyemaikan
kreativitas dalam dunia tari. Butuh waktu delapan tahun, sebelum acara sejenis,
namun lebih luas dan lebih beragam jangkauannya, diciptakan. Bukan di DKJ,
melainkan di Prodi Tari IKJ sendiri. Orang yang sama, Sal Murgiyanto yang
memang pengajar di Prodi Tari IKJ, menggagas Indonesian Dance Festival (IDF)
yang berskala internasional bersama rekan-rekan dosen yang lain, di antaranya
Nungki Kusumastuti, Maria Darmaningsih, Melina Suryadewi dan beberapa
alumni Festival Penata Tari Muda. Sedangkan konsep dan pengembangan IDF
dibangun bersama dengan dukungan ide-ide dari Sardono W. Kusumo dan Farida
Oetoyo.
Pada 1992, berlangsung IDF pertama, sebuah festival pertunjukan tari yang
bukan dititikberatkan pada pertunjukannya, melainkan lebih sebagai wadah
pertemuan koreografer, penari, dan pekerja-pekerja pendukungnya yang datang
dari beragam latar budaya untuk saling mempergelarkan karya, saling melihat,
berlatih bersama, bertukar gagasan. Maka sesi lokakarya dalam IDF menjadi
penting. Jadilah IDF sebuah acara lintas budaya dalam arti sesungguhnya, yang
membedakannya dengan festival yang lebih memanggungkan karya itu sendiri.
Bisa dikatakan, selain mewarisi “ruh” Festival Penata Tari, IDF juga menyimpan
semangat study tour Prodi IKJ. Dalam IDF inilah dosen dan mahasiswa Prodi
xxiv
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
[Kiri] Koreografi “We were one” karya
Asri Meri Sidowati dalam Indonesian
Dance Festival 2014.
Sumber foto: album foto Indonesian
Dance Festival 2014.
—
[Kanan] Abimanyu Gugur karya Retno
Maruti dalam Indonesian Dance Festival
1994.
Sumber foto: buku program 3rd
Indonesian Dance Festival ’94.
Tari mendapat ruang untuk saling belajar di antara koreografer dan penari dari
berbagai negara dan budaya—antara lain Jepang, Taiwan, Korea, Malaysia,
Thailand, maupun Vietnam.
Dengan metode (kalau boleh disebut dengan istilah ini) dan kultur
seperti telah digambarkan, Prodi Tari IKJ bisa dibilang sebuah wadah pendidikan
tari yang sejak awal tak membatasi diri di dalam dinding kampus. Dan ini
dimungkinkan karena IKJ (baca: LPKJ) lahir sebagai bagian dari ekosistem
kesenian yang unik: Dewan Kesenian Jakarta, Pusat Kesenian Taman Ismail
Marzuki, dan Akademi Jakarta. Hasilnya, berbagai pertunjukan—yang tak secara
eksklusif menyebutkan LPKJ/IKJ sebagai lembaga penyelenggara, namun tetap
membersitkan jejak dan kehadirannya—mendapatkan applause masyarakat. Ini
terbaca dari resensi-resensi di media massa, khususnya selama 1970–1990-
an, untuk nomor-nomor pertunjukan tari Sardono W. Kusumo, Farida Oetoyo,
Yulianti Parani, Boi G. Sakti, Wayan Diya, Wiwiek Sipala, maupun Hartati, misalnya.
Kini, generasi yang lebih muda juga mulai muncul, meski dengan resonansi
gaung yang berbeda, seiring perubahan zaman, teknologi, dan cara masyarakat
mengapresiasi seni.
Lalu, apa yang bisa dikatakan tentang Prodi Tari IKJ pada usia 50 tahun,
jurusan yang pada tahun-tahun pertamanya pernah hanya memperoleh kurang
dari lima calon mahasiswa?
Tumbuh dalam suatu ekosistem kesenian yang pada masanya diakui
sebagai pusat, Prodi Tari IKJ menghadapi tantangan besar. Kehadiran kantongkantong
kesenian di luar ekosistem tersebut, yang memudarkan pamornya,
sedikit-banyak telah berpengaruh dalam perjalanannya “mencetak” seniman.
Tidak hanya terhadap Prodi Tari, tapi juga IKJ. Beruntung, Prodi Tari sudah
memiliki “vaksin” di dalam tubuhnya: paradigma pendidikan yang tak terkungkung
oleh tembok kampus, perluasan kelas ke budaya etnis daerah dan lewat ajang
belajar seperti IDF, serta proses pengujian diri, pencarian diri, dalam menemukan
jalan kreativitas. Pengalaman separuh abad tersebut bisa menjadi modal Prodi
Tari untuk masuk ke dalam ekosistem kesenian yang lebih luas, sekaligus
meneruskan perjalanan menemukan diri: kembali ke masa depan.
—
Bambang Bujono adalah seorang penulis, pengamat kesenian,
pengulas seni rupa, alumnus jurnalis majalah Tempo. Sejak 2015, ia
mengajar Kelas Penulisan Dasar di Pascasarjana Institut Kesenian
Jakarta. Dua kumpulan tulisan seni rupanya yang telah terbit
adalah Melampaui Citra dan Ingatan: Bunga Rampai Tulisan Seni Rupa
1968–2017 dan Rumpun dan Gagasan: Bunga Rampai Esai dan Kritik
Seni Rupa 1969–2019. Ia merupakan editor untuk esai-esai dalam
katalog ini.
ESAI
Menemukan Kembali Realisme
Seno Joko Suyono
Tatkala naskah Anak yang Dikuburkan (The Buried Child) karya Sam Shepard
diadaptasi oleh Teater Satu Lampung di Festival Teater Wahyu Sihombing yang
diadakan oleh Institut Kesenian Jakarta di Teater Luwes pada 2017, saya melihat
dosen senior Program Studi Teater Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Tatiek Maliyati,
tampak sangat terkesan.
Memang, pementasan dengan pendekatan realis oleh Teater Satu Lampung
telah dengan bagus menerapkan metode Stanislavski, metode yang dianut
oleh Teater Lembaga, teater yang dibangun di dan untuk Prodi Teater IKJ
pada pertengahan 1970-an oleh dua dosennya: suami-istri Wahyu Sihombing
(mendiang) dan Tatiek Maliyati. Boleh jadi Tatiek Maliyati, kini berusia 80-an
tahun, kaget bahwa ada grup teater yang bisa memanggungkan drama realis dan
memberikan rasa verisimilitude; peristiwa yang terjadi di panggung terasa sebagai
peristiwa yang benar adanya. Pada 1970-an hingga 1990-an, tiga kelompok teater
realis utama yang berkiprah di Jakarta adalah Teater Populer, Studiklub Teater
Bandung, dan Teater Lembaga. Namun, dengan berkembangnya dunia perfilman
Indonesia, banyak sutradara dan aktor teater pindah ke dunia film. Juga, ketika
teater tubuh memberikan tawaran baru—dan ini bisa dilihat di Festival Teater
Jakarta, kelanjutan dari Festival Teater Remaja yang diciptakan oleh Wahyu
Sihombing pada awal 1970-an—panggung realis pun surut.
Baru pada 2017 itu beberapa dosen Prodi Teater IKJ mengangkat kembali
teater realis dan sekaligus mengenang pendiri Teater Lembaga. Dinamakanlah
kegiatan ini Festival Teater Wahyu Sihombing, suatu festival teater realis
antarkota untuk membaca masih adakah pencapaian-pencapaian genre teater
yang pernah ramai itu. Diharapkan festival bakal diselenggarakan secara periodik,
sehingga tergambar geliat perkembangannya.
Dulu, semasa pementasan teater realis begitu bergairah dengan naskahnaskah
Barat pada 1970-an, ada diskusi yang belum terselesaikan. Antara
lain, pertanyaan perlu-tidaknya adaptasi. Jawabannya beragam. Di satu pihak
adalah mereka yang yakin bahwa adaptasi tidak perlu, sebab bagaimanapun
teater adalah seni permainan. Tidak penting benar apakah para pemeran
berkostum Barat, dan dialog-dialog di panggung Jakarta atau Sragen
tersebut menggambarkan sebuah keluarga di New York, London, Paris, atau
menggambarkan intrik di Kerajaan Romawi. Yang penting, akting di panggung
menghipnotis dan membuat penonton larut ke dalam cerita. Di pihak lain, mereka
yang bersikeras bahwa MacBett karya Eugène Ionesco misalnya, bisa saja
dipentaskan tanpa kostum sebagaimana para bangsawan Skotlandia zaman
itu. Maka, perdebatan menjalar ke dialog dan gestur, haruskah “diindonesiakan”,
xxvi
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
Teater Satu Lampung menampilkan
lakon berjudul Anak yang Dikuburkan
dalam Festival Teater Wahyu Sihombing
pada 2017.
Sumber foto: Indonesia Kaya
atau justru dilakukan semirip mungkin dengan naskah aslinya, betapapun terasa
janggal di panggung Jakarta.
Dalam diskusi di Festival Teater Wahyu Sihombing pada 2017 itu, Fathul
Hussein, sutradara dari Jurusan Teater ISBI Bandung, berpendapat bahwa ada
naskah Barat yang bisa diadaptasi ke konteks lokal, sementara itu banyak juga
yang kurang tepat bila diadaptasi. Tidak semua naskah Barat harus disadur ke
konteks lokal, katanya.
Diskusi tersebut menggairahkan kembali pengajar dan mahasiswa Prodi
Teater IKJ serta peserta dari luar kampus untuk mencari pementasan naskah
drama realis Barat dengan kreatif. Sayang, Festival Teater Wahyu Sihombing tidak
dilanjutkan.
Padahal, terkesan dari Festival Teater Wahyu Sihombing, Prodi Teater IKJ
pantas menjadi laboratorium penelitian teater realis. Kampus yang merupakan
rumah Teater Lembaga ini telah makan asam garam, jatuh-bangun dalam
mementaskan naskah-naskah realis sejak Teater Lembaga terbentuk. Teater
Lembaga telah memainkan naskah-naskah realis seperti Matinya Pedagang
Keliling (Arthur Miller), Musuh Masyarakat dan Bebek Liar (Henrik Ibsen), Hilang
Tanpa Bekas (Jean-Paul Sartre), sampai Pesta Pencuri (Jean Anouilh). Setiap
sutradara Teater Lembaga, dari Wahyu Sihombing, Pramana Padmodarmaya,
Djaduk Djajakusuma, Tatik Maliyati, hingga generasi yang lebih muda, memiliki
kekhasan masing-masing.
Tatkala Wahyu Sihombing menyutradari Waiting for Godot karya Samuel
Beckett yang dimainkan Joseph Ginting, Didi Petet, Sena A. Utoyo, dan Eddie
Riwanto pada 1989 di Gedung Kesenian Jakarta, banyak pengamat teater memuji.
Dalam sebuah resensi di Kompas, Efix Mulyadi menulis bahwa naskah absurd itu
telah dimainkan para aktor Teater Lembaga dengan tempo cepat, mengalir lancar,
dinamik, dan menjadi tontonan yang enak dilihat. Atau, menurut Putu Wijaya
di majalah Tempo: pendekatan akting realis oleh Wahyu Sihombing membuat
naskah menjadi lebih padat—tanpa mengurangi atau menyunting adegan-adegan.
Sampai kini, silabus pendidikan di Prodi Teater Fakultas Seni Pertunjukan
IKJ masih mempersiapkan para mahasiswanya dengan akting realis untuk
teater, sinetron, dan film. Pemeranan dengan metode Stanislavski masih menjadi
rujukan utama. Silabus di IKJ tidak tergoda membuka kuliah, misalnya, physical
theater atau teater tubuh yang sedang tren. Oleh karena itu semestinya ada
penulisan baru naskah drama realis. Atau, penerjemahan baru naskah drama
realis untuk membaca perkembangan termutakhir naskah realis di dunia.
Sekarang hampir tak ada lagi muncul terjemahan baru. Kita bisa membaca
naskah-naskah realis dari Amerika, Eropa, Jepang, dan sebagainya, atau naskah
karya Elfriede Jelinek, penulis Austria yang mendapat hadiah Nobel Sastra 2004.
MENEMUKAN KEMBALI REALISME
xxvii
Teater Lembaga IKJ menampilkan
lakon berjudul Miss Julie dalam Festival
Teater Wahyu Sihombing pada 2017.
Sumber foto: Indonesia Kaya
Namun, hanya bila naskah-naskah tersebut diindonesiakan dan dipanggungkan,
baru terasa kehadirannya.
Selain itu, harus juga disadari oleh Prodi Teater IKJ bahwa realitas seni
kontemporer berubah. Seni bukan lagi sebuah disiplin dengan pembagian wilayah
yang ketat dan saling mengisolasi satu sama lain. Tari, teater, multimedia,
sinema, seni rupa, performans, pantomim, dan sebagainya bukan lagi suatu
disiplin seni yang masing-masing menampilkan dan membentengi diri dengan
sekat-sekat tembok yang tebal. Lihat saja, pada 7 September 2020, seniman
besar performans yang sering disebut sebagai grandmother of perfomance art,
Marina Abramović, mementaskan opera terbarunya, 7 Deaths of Maria Callas.
Pementasan berlangsung di Jerman, disiarkan langsung secara streaming.
Kita melihat gabungan sinema, perfomans, dan orkestra. Di layar ditayangkan
sebuah film puitis yang dimainkan secara “bisu” oleh aktor film terkenal Willem
Dafoe dan Marina Abramović. Sementara itu, di panggung, Marina Abramović
sendiri melakukan performans dan sebuah orkestra beserta biduan soprano
menggaungkan bagian-bagian solo terkenal Maria Callas, dipilih dari opera-opera
karangan Georges Bizet, Giacomo Puccini, sampai Giuseppe Verdi.
Kesenian pun ternyata tak kalis dari perkembangan ilmu dan teknologi. Dan
naskah realis pun dapat ditafsirkan pemanggungannya secara eksperimental,
pertunjukan Teater Garasi: The Multitude of Peer Gynt, misalnya, yang diambil
dari naskah Peer Gynt karya Henrik Ibsen. Dipentaskan oleh Teater Garasi, jadilah
sebuah pertunjukan multikultural, menampilkan gabungan aktor Asia—dari
Srilangka, Vietnam, Jepang sampai Indonesia. Pertunjukan telah dimainkan di
Larantuka, Flores, dengan tambahan aktor-aktor Flores, dan di Jepang dengan
tambahan aktor-aktor Jepang.
Realisme dalam teater belum selesai. Tema-tema yang belum diangkat
dalam sebuah teater realis, selama hidup masih berdenyut, akan selalu ada.
Menemukan kembali teater realis adalah sebuah tantangan artistik di manamana.
Termasuk di Prodi Teater IKJ.
—
Seno Joko Suyono adalah jurnalis Tempo, pengamat kesenian
terutama seni pertunjukan, dan salah seorang pendiri Borobudur
Writer & Cultural Festival. Beberapa karya novelnya sudah
diterbitkan. Ia mengajar di Prodi Teater Institut Kesenian Jakarta.
ESAI
Pameran, Pameran, Pameran... Lalu?
Bambang Bujono
1 Nashar, Surat-Surat Malam (Jakarta:
Budaya Jaya), 1976.
2 Dow kemudian membukukan
ajarannya, Composition, 1899, yang
lalu dikembangkan lagi menjadi
Composition: A Series of Exercises in
Art Structure for the Use of Students
and Teachers, 1913. Dua buku yang
menjadi pegangan dalam pendidikan
seni rupa dan desain di Amerika
selama paruh pertama abad ke-20.
3 Kusnadi, “Plus dan Minus Pameran
Seni Rupa LPKJ di TIM,” Sinar
Harapan, 5 Juli 1975.
Tiga tahun Akademi Seni Rupa Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ)
berjalan, sebelas mahasiswanya bersama tiga pelukis dari luar LPKJ berpameran
di Balai Budaya, Jakarta, pada 1973. Pelukis Nashar pada pembukaan
mengatakan bahwa pameran merupakan salah satu cara menghidupkan dan
menjaga “api kepelukisan” dalam diri pelukis. Nashar, pengajar di akademi
tersebut sejak awal berdiri, waktu itu sudah memutuskan untuk mengundurkan
diri dari lembaga pendidikan tersebut. Pasalnya, disiplin perkuliahan yang baru,
menurut Nashar, lebih mementingkan formalitas, misalnya absensi dan keharusan
melukis pada jadwal yang sudah ditentukan. Hal itu merugikan mahasiswa yang
masih harus menghidupkan dan menjaga “api kepelukisan”, karena “api” itulah
yang akan merangsang hasrat untuk melukis, dan itu menentukan baik-buruknya
lukisannya. Pesan Nashar, “Kalau timbul rangsangan melukis, melukislah; kalau
tidak, jangan melukis,” sebab “hasilnya pasti tidak bagus.” 1
Kata-kata Nashar mengingatkan pada pemikiran Arthur Wesley Dow (1857–
1922), seorang pelukis Amerika yang juga seorang pendidik. Selama paruh
pertama abad ke-20, metode pengajaran seni rupa Dow sangat berpengaruh di
Amerika—metode yang prinsip dasarnya adalah mempraktikkan teori komposisi
untuk “meningkatkan daya kreatif” mahasiswa.
Baik metode Dow maupun pemikiran Nashar, dalam bahasa masing-masing,
secara nalar masuk akal. Masalahnya, dikaitkan dengan perkembangan seni
rupa yang melahirkan berbagai wacana—dari leburnya batas-batas cabang seni
rupa seperti lukis, patung, grafis, dan apa saja bisa menjadi karya seni rupa,
hingga wacana “seni rupa sudah mati”—cukupkah hanya dengan berpameran dan
mempelajari serta mempraktikkan teori komposisi, sebagaimana dianjurkan Dow
untuk menghidupkan api kreativitas? 2 Dengan kalimat lain yang berkaitan dengan
keperluan esai ini: 50 tahun Akademi Seni Rupa LPKJ yang kini bernama Fakultas
Seni Rupa dan Desain Institut Kesenian Jakarta (FSRD IKJ), masih adakah panas
“api kepelukisan” dan denyut “daya kreatif” dalam diri para mahasiswa?
Dari pameran lustrum pertama LPKJ, 1975, Kusnadi, kritikus seni rupa
sejak 1950-an, melihat bahwa Akademi Seni Rupa LPKJ bakal menghidupkan
kembali Jakarta sebagai kota persemaian perupa. Jakarta, sejak masih
bernama Batavia, adalah rumah bagi institusi yang melahirkan banyak perupa
Indonesia: Bataviasche Kunstkring, Persagi, Poetera, Pusat Kebudayaan Jepang.
Kusnadi melihat, di antara karya-karya mahasiswa yang masih bertaraf studi,
sejumlah sketsa mengekspresikan “napas khas impresionisme” yang jika terus
dikembangkan “niscaya menjadi bentuk seni tersendiri.” Pada patung, ia mencatat
karya Djoni Bharata, Ronald S., Dolorosa Sinaga, serta Yani Mariani Sastranegara
sebagai karya perupa yang memiliki masa depan. 3
PAMERAN, PAMERAN, PAMERAN... LALU
xxix
[Kiri] Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta
1966–1977 sedang berdebat dengan
Boling, salah seorang seniman, dalam
pameran perayaan lustrum pertama
LPKJ di ruang pameran TIM pada 1975.
Sumber foto: Kompas, 21 Juni 1975.
—
[Kanan] Ruang kerja mahasiswa LPKJ
jurusan seni rupa yang sederhana pada
1975 di Taman Ismail Marzuki.
Sumber foto: Sinar Harapan, 13 Juni
1975.
4 Koran Tempo, 13 Mei 2004.
“Api kepelukisan” pun tecermin dari antusiasme mahasiswa FSRD IKJ
membentuk komunitas yang kegiatan utamanya mengadakan pameran bersama
di luar acara formal kelembagaan. Setidaknya dua komunitas terbentuk:
Metromini (2001) dan 12 Pas (2005) yang hampir sekali dalam setahun
berpameran. Sedangkan “daya kreatif” pun tecermin dari karya-karya dua nama
yang disebut oleh Kusnadi pada 1975. Dolorosa Sinaga dan Yani hampir tak
pernah absen dalam pameran-pameran penting—antara lain, berbagai bienial
di Indonesia dan pameran bersama di luar Indonesia, selain pameran tunggal
mereka. Juga, nama yang menyusul kemudian, Hardiman Radjab. Pada 2002,
lulusan Prodi Kriya kayu ini berpameran di Taman Ismail Marzuki (TIM) dengan
tajuk “Serikat Barang”. Karya-karya yang dipamerkannya memang barang-barang
produksi pabrik yang sedikit atau banyak diubah, ditambah, namun orang tetap
bisa mengenali bentuk asli dari pabrik. Hardiman “menggunakan barang-barang
sebagai media ungkapan sekaligus idiom,” sehingga lahir “makna lain,” tulis Jim
Supangkat, kurator pameran, di katalog.
Nama tersebut terakhir itu juga menandakan FSRD IKJ berkembang sesuai
perkembangan seni rupa Indonesia. Hardiman bukan mahasiswa Seni Murni,
berbeda dari Dolorosa dan Yani; ia mahasiswa Seni Kriya Kayu. Semula Akademi
Seni Rupa hanya mempunyai jurusan Seni Murni yang terbagi dua: lukis dan
patung. Pada akhir 1970-an, jurusan ditambah: grafis, seni kriya tekstil, kayu, dan
keramik. Dan pada pertengahan 1980-an, Akademi Seni Rupa diubah menjadi
Fakultas Seni Rupa dan Desain, dengan tambahan prodi baru: Desain Interior dan
Desain Komunikasi Visual. Kehadiran Hardiman, dan beberapa nama lain, dalam
berbagai pameran seni rupa menyatakan bahwa di IKJ aktivitas lintas prodi,
formal atau inisiatif individual, diterima. Maka, pada zaman karya seni rupa bisa
apa saja, sejumlah mahasiswa Fakultas Film dan Televisi IKJ ambil bagian dalam
Pameran New Media di Galeri Lontar, Jakarta, bersama kelompok dari Bandung
dan ruangrupa Jakarta. Yang disajikan: karya seni video, instalasi video, televisikomunitas,
seni SMS. 4
Tentu saja kiprah FSRD IKJ juga berlangsung di perguruan tinggi seni yang
lain. Yang membedakan antarperguruan itu adalah kurikulum: pengetahuan dan
praktik seperti apa yang perlu disampaikan dan dianjurkan kepada mahasiswa
agar “api” tetap menyala dan kreativitas terus tumbuh.
Lalu seberapa tampak kehadiran FSRD IKJ pada usia ke-50 tahun? Dari
aktivitas pameran, tak bisa dibilang sepi. Selain pameran tiap dies natalis,
kesertaan mahasiswa atau dosen seni rupa IKJ dalam berbagai pameran
bersama tak bisa dibilang langka. Sedikit-banyak pameran-pameran menyiratkan
dua hal: proses kreatif dan upaya komunikatif.
xxx
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
Publikasi pameran tunggal Serikat
Barang karya Hardiman Radjab di TIM
pada 2002.
Sumber: publikasi pameran Serikat
Barang karya Hardiman Radjab; koleksi
arsip Dewan Kesenian Jakarta.
5 Lihat Olivia Gude, “Postmodern
Principles: in Search of a 21st
Art Education,” dalam jurnal Art
Education, Januari 2004.
Yang tak tampak langsung oleh masyarakat adalah aktivitas di studio-studio
FSRD IKJ, kelas untuk praktik berkarya. Studio dalam hal ini bermakna luas: bisa
berupa ruangan, bisa di mana saja: dari pantai sampai gunung, dari hutan sampai
tengah metropolitan. Mengacu pada rumusan yang disusun dalam National Core
Arts Standards, panduan kurikulum sekolah kesenian di Amerika Serikat yang
disusun oleh sejumlah organisasi dan para ahli pendidikan seni, idealnya studiostudio
itu bersuasana terbuka, berprinsip keberagaman, menjangkau “sejarah”,
dari yang tradisi sampai masa kini, dengan semangat kebebasan bereksperimen,
mencoba dan mencoba. 5
Kemudian faktor ketiga yang bisa mengukuhkan kehadiran FSRD IKJ adalah
aktivitas yang lebih bersifat kegiatan mental, berwacana: diskusi, menulis,
melakukan penelitian. Aktivitas ketiga ini bisa dilihat masyarakat berupa
penerbitan buku, terpublikasinya esai-esai di jurnal-jurnal, adanya seminar dan
diskusi-diskusi.
Sampai di sini tampak yang sebenarnya perlu dibenahi di FSRD IKJ. Melihat
kronik FSRD yang disusun dalam buku ini, tak begitu tampak yang disebut
sebagai kegiatan mental tersebut. Seorang yang aktif di komunitas Metromini
dan 12 Pas membanggakan kegiatan pameran komunitas di FSRD IKJ (Metromini
tak lagi terdengar sejak ada 12 Pas). Namun, atas pertanyaan “adakah kegiatan
diskusi, seminar, debat, formal maupun informal,” ia menjawab tegas: “Tidak ada.”
Pada masa ketika seni rupa Indonesia tak lagi hanya mengandalkan “jiwa
tampak”, kurang atau malah tiadanya dimensi-dimensi lain yang terkandung
dan berkembang dalam diri makhluk-makhluk pelaku seni yang disebut sebagai
khalifatullah ini akan membuat karya seni rupa pun kurang menyapa.
—
Bambang Bujono adalah seorang penulis, pengamat kesenian,
pengulas seni rupa, alumnus jurnalis majalah Tempo. Sejak 2015, ia
mengajar Kelas Penulisan Dasar di Pascasarjana Institut Kesenian
Jakarta. Dua kumpulan tulisan seni rupanya yang telah terbit
adalah Melampaui Citra dan Ingatan: Bunga Rampai Tulisan Seni Rupa
1968–2017 dan Rumpun dan Gagasan: Bunga Rampai Esai dan Kritik
Seni Rupa 1969–2019. Ia merupakan editor untuk esai-esai dalam
katalog ini.
xxxii
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
DAFTAR ISI
KRONIK SENI DAN BUDAYA 1970–2020
INSTITUT KESENIAN JAKARTA
UCAPAN TERIMA KASIH
PENGANTAR
Bukti Kontribusi vii
Seno Gumira Ajidarma
Penyusunan Kontribusi
Suzen H.R. Tobing
SAMBUTAN
Sambutan Rektor
Institut Kesenian Jakarta
Indah Tjahjawulan
CATATAN
Editorial Kontribusi
Tim Redaksi
xi
viii
ESAI
Sumbangan Sekolah Film IKJ
ke Dunia Perfilman xvi
Marselli Sumarno
Musik Tanpa Kasta xix
Cholil Mahmud
Kembali ke Masa Depan xxii
Bambang Bujono
Menemukan Kembali
Realisme xxv
Seno Joko Suyono
Pameran, Pameran, Pameran...
Lalu? xxviii
Bambang Bujono
INDEKS
xxxiv
x
1970–1979
Belajar Seni di Cikini 3
1970 5
1971 6
1972 11
1973 16
1974 19
1975 25
1976 34
1977 54
1978 74
1979 91
1980–1989
Menjejak Panggung Dunia 123
1980 125
1981 136
1982 146
1983 163
1984 174
1985 184
1986 192
1987 204
1988 218
1989 230
1990–1999
Mementaskan Zaman 241
1990 243
1991 251
1992 267
1993 282
1994 297
1995 308
1996 319
1997 332
1998 354
1999 368
2000–2009
Menggelar Generasi Baru 381
2000 383
2001 395
2002 408
2003 419
2004 434
2005 450
2006 463
2007 472
2008 487
2009 492
2010–2020
Merintis Sejarah Hari Esok 503
2010 505
2011 515
2012 522
2013 532
2014 541
2015 552
2016 562
2017 575
2018 593
2019 606
2020 630
DAFTAR PUSTAKA 649
EDITORIAL KONTRIBUSI
xxxiii
SOSOK ALUMNI
Adrianto Sinaga 403
Agus PM Toh 268
Aline Jusria 507
Anggun Priambodo 421
Aria Kusumadewa 385
Arturo GP 255
Asep Topan 557
Awan Simatupang 259
Azer 493
Benny Mulyadi Tanto 301
Benny Rachmadi 339
Boi G. Sakti 237
Boogie Papeda 517
Cesa David Luckmansyah 461
Citra Smara Dewi 531
Cok Simbara 43
Daniel Rudi Haryanto 511
Danton Sihombing 475
Dedy Lutan 96
Deddy Mizwar 199
Deddy PAW 431
Dian Hadipranowo 271
Didi Petet 208
Djoko Quartantyo 83
Dolorosa Sinaga 38
Edwin 454
Eeng Saptahadi 201
Embie C. Noer 150
Emte 561
Epy Kusnandar 391
Eros Eflin 389
Faozan Rizal 443
Fuad Idris 257
Gandung Bondowoso 71
Garin Nugroho 252
Gauri Nasution 129
Gotot Prakosa 104
Hanung Bramantyo 457
Hardiman Radjab 413
Harry Roesli 58
Hartanto 116
Hartati 398
Herdin Hidayat 131
Ibnu Nurwanto 63
Indah Tjahjawulan 345
Indra Ameng 393
Ipung Rachmat Syaiful 445
Irwan Ahmett 425
Iwan Gunawan 277
Jalu Pratidina 313
Jane Chen 223
Jecko Siompo 334
Jerry Octavianus 417
Joseph Ginting 327
Jose Rizal Manua 367
Jujur Prananto 387
Karsono Hadi 233
Kendra Paramita 539
Khikmawan Santosa 497
Laksmi Notokusumo 275
Leonhard Bartolomeus 549
Lusiana Limono 513
Maria Darmaningsih 217
Marida Nasution 260
Marselli Sumarno 133
Marusya Nainggolan 189
Mathias Muchus 160
Mice 341
Mira Lesmana 322
Monod 329
M. Sulebar Sukarman 87
Nan Achnas 352
Nanang Ruswandi 349
Norman Benny 51
Nungki Kusumastuti 110
Nyak Ina Raseuki 371
Paul Kadarisman 479
Pimpi Syarley Naomi 495
Ravi Bharwani 449
Rege Indrastudianto 565
Rima Ananda 347
Riri Riza 286
Sastha Sunu 407
Sena Utoyo 213
Seno Gumira Ajidarma 305
Sentot Sahid 363
Siti Artati 263
Sonny Muchlison 264
Subarkah Hadisarjana 155
Sulaiman Said 491
Syaeful Anwar 67
Tara Sosrowardoyo 439
Tom Ibnur 179
Wenceslaus de Rozari 465
Wiwiek Sipala 47
Wregas Bhanuteja 573
Yadi Sugandi 355
Yani Mariani Sastranegara 141
Yayu Unru 215
Yazeed Djamin 227
Yudi Datau 359
Yunus Pasolang 489
xxxiv
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
INDEKS
ACARA
A
Apresiasi Film Indonesia 104
Art Summit Indonesia 316, 364, 380,
402
ARTE Indonesia Arts Festival 557
Asia Pacific Screen Award 252
B
Bandung Contemporary Art Awards
421
Belok Kiri Festival 38
Berlin International Film Festival 252,
329
Biennale Pelukis Muda 190, 660
Busan International Film Festival 449,
454
C
Cannes Film Festival (Cannes
International Film Festival) 405,
449, 454, 573
Cikini Fashion Festival (CiFFest) 584,
601, 623
D
Dubai International Film Festival 511
E
Europalia International 590
Europe On Screen 530
F
Festival Film Alternatif 354, 457
Festival Film Animasi Indonesia 432,
460, 483
Festival Film Bandung 43, 116, 150,
199, 363, 489
Festival Film Independen Indonesia
412, 418
Festival Film Jawa Barat 385
Festival Film Mini 51, 88, 655
Festival Film Pendek Jabodetabek
385
Festival Film Pendek Konfiden 454,
499
Festival Karya Tari DKJ (Dewan
Kesenian Jakarta) 193, 660
Festival Musik Gratis “Bambu
Runcing” 224, 661
Festival November 279, 280, 365,
366, 378, 392, 406, 446
Festival Pantomim Internasional 273,
274, 303
Festival Pantomim Jakarta 213
Festival Penata Tari Muda 89, 136,
139, 148, 655, 656, 657
Festival Schouwburg 460, 481
Festival Sinetron Indonesia 131, 271,
300, 366
Festival Teater Remaja 18, 20, 24, 34,
652, 653
FFI (Festival Film Indonesia) 51, 55,
100, 116, 123, 133, 150, 160, 167,
188, 189, 199, 208, 210, 215, 229,
233, 252, 255, 257, 271, 286, 297,
305, 322, 329, 355, 359, 363, 385,
387, 389, 403, 417, 443, 445, 454,
457, 461, 465, 486, 489, 490, 497,
499, 507, 511, 530, 550, 559, 562,
573, 628, 653, 664, 666, 667
FFP (Forum Film Pendek) 52, 104,
152
FKI (Festival Kesenian Indonesia)
424, 484, 499, 503, 520, 546, 572,
597
G
Genflix Film Festival 637
Good Design Award 513
H
Helateater 553
Home Concert 202, 660
I
IDF (Indonesian Dance Festival) 110,
179, 217, 240, 272, 283, 306, 324,
325, 348, 358, 376, 414, 438, 468,
488, 503, 508, 525, 538, 548, 551,
571, 604, 613, 629, 665
IKJ Dance Carnival 554
Indonesia Art Motoring 431
Indonesian Fashion Week 264
Indonesia International Book Fair 587
International Competition Student
Artist 339
International Film Festival Rotterdam
449, 454
J
Jakarta 32°C 440, 470, 492, 593,
Jakarta Biennale 38, 259, 268, 440,
466, 492, 557
Jakarta Dance Carnival 566, 597
Jakarta Dance Meet Up 619
JIFFest (Jakarta International Film
Festival) 385, 405, 409, 447, 492,
454
Jambore Film Pendek 385
K
Karya Pengajar LPKJ 11, 651
Konser Gitaris Muda Berbakat 301,
472, 484, 506
L
Lomba Koreografi Gedung Kesenian
Jakarta 334
Locarno International Film Festival
252
M
MTV Indonesia Award 421
O
Oberhausen International Short Film
Festival 286, 296
P
Pameran Besar Seni Lukis Indonesia
53, 90, 146, 162, 234, 652, 653,
655, 658
Pameran Dokumentasi Film
Indonesia 12, 651
Pameran Grafis 68, 129, 149, 170,
187, 569, 654, 658, 659, 660
Pameran Koleksi DKJ 31, 652
Pameran Lukisan Batik 651
Pameran Lukisan Dunia Minyak
Indonesia 21, 652
Pameran Patung Kontemporer
Indonesia 17, 651
Pameran Seni Lukis Indonesia 3, 15,
25, 651, 652
Pameran Seni Patung Indonesia 139,
657
Pameran Seni Rupa 12 33, 50, 73, 89,
118, 652, 653, 654, 655, 656
Pameran Suasana Kaki Lima 41, 653
Pameran Tetap Koleksi GNI (Galeri
Nasional Indonesia) 531
Pameran Trienal Seni Patung
Indonesia 259
Panggung Musik Kampus 158, 658
Pekan Balet DKJ 159, 658
Pekan Film Dokumenter 147, 378,
658
Pekan Film Pendek Mahasiswa IKJ
311
Pekan Komponis Muda 120, 137, 176,
180, 185, 530, 656, 657, 658, 659,
660
Pekan Koreografi Indonesia 210, 661
Pekan Penata Tari Muda 110, 180,
210, 659
Penghargaan Seni Rupa IKJ 303, 315
Pentas Balet Kontemporer 20, 652
Pertemuan Koreografer Indonesia
15, 651
Pertemuan Musik 602
Pesta Kesenian Rakyat 153, 658
INDEKS
xxxv
Pesta Rakyat 153, 467
Pesta Seni Mahasiswa 8, 13, 651
PostFest 503, 584, 600, 618
R
Road to IBOMA 636
S
Seminar Naskah Sandiwara 26, 652
Seoul International Evergreen Film
Festival 306
T
Tit’s Film Workshop 385
Tokyo International Film Festival 252
U
UrbanFest 481, 500, 514
Y
Yamagata International Documentary
Film Festival 511
Yamaha Electone Festival 227
INDIVIDU
A
A.A. Navis 311
A.D. Pirous 90, 126, 146, 162, 171,
390, 456, 531
A. Girindra 73, 89
A. Kasim Achmad 68, 274, 308, 560
A.S. Budiono 292, 294
Aan Mansyur 561
Abas Alibasyah 15, 90, 192, 193, 232,
299
Abbhama 93, 655
Abdi Bashit 369
Abdi Wiyoso 26
Abduh Aziz 252
Abdul Hadi W.M. 66, 216, 378
Abdul Rachman 177, 427
Abdurrahman Wahid 188, 385, 439
Achdiat K. Mihardja 11, 22, 651
Achmad Fauzie 340
Ade Darmawan 440
Ade Irma 422
Ade Kusumaningrum 432
Ade Siregar 100, 115, 226
Adelaide Simbolon 271
Adi Kurdi 320, 411
Adi Molana Machmud 116
Adi Munardi 70, 193, 231, 314
Adi Pranajaya 283, 444
Aditya Tobing 251, 311, 370, 430, 435,
459, 476
Adrianto Sinaga 403, 465, 663
Affandi 15, 152, 162, 192, 193, 232,
310, 390, 466, 531
Afrildi Eka 415
Afrizal Anoda 35, 37, 49, 82
Agni Ariatama 396, 487, 575, 659
Agoes Jolly 280, 423
Agoes Salim S. T. 192, 464, 527, 592
Agung Suharyanto 468
Agung Tri Wijaya 541
Agus Djaja (Agus Jaya) 177, 193
Agus Nur Amal (Agus PM Toh) 268,
283, 328, 332, 340, 348, 351, 365,
375, 456, 524, 614, 639, 663
Agus Suwage 296, 317
Agusti Rachim 152
Ahmad Fadilah 360
Ahmad Sadali 90, 146, 162, 317
Ahsam Ahmad 510
Aiko Urfia Rakhmi 500
Ais Tyaningnung 430, 435
Aji Suropati (Muhammad Aji Untung
Suropati) 577, 584, 641
Ajip Rosidi 11, 23, 34, 56, 60, 78, 81,
86, 89, 90, 107, 118, 127, 193, 444,
654
Akhmad Fauzi 415
Aksan Sjuman 540
Al Vandra 639
Alam Surawidjaja 41, 56, 75
Aldhi Sukmaruhi 510
Aldisar Syafar 26, 34, 492
Aldri Qartina 422
Alex Papadimitriou 42
Alfianto 279, 575
Ali Audah 11, 26, 53, 652
Ali Sukarno P. 463
Aline Jusria 507, 608, 628, 663
Alisa Soelaeman 595, 604, 619
Alit Sembodo 395
Alit Ambara 405, 485
Alpha Tejo 395
Amak Baljun 18
Amalia Nasution 463
Amang Rahman 90, 234
Ami Priyono 5, 181, 193, 266, 282,
314, 659
Aming Prayitno 126, 146, 162
Amir Sidharta 262, 372, 529
Amoroso Katamsi 155, 244, 552, 560,
598
Amra Reza 460, 474, 484
Amrus Natalsya 192, 404
Ananda Adhi Moersid (Ananda
Moersid) 33, 50, 73, 76, 178, 408
Ananda Sukarlan 227, 444, 666
Andang Kelana 440
Andara Moeis 571
Andhy Pulung 541, 635, 637
Andi Noorcahyono 120
Andi Tiar 139, 194
Andrea Hirata 389
Andrew Delano Wibowo 510
Andy Azis 147
Andy Tidjels 459
Angela Ayuni Praise 639
Anggun Priambodo 373, 421, 663
Angkama Setjadipradja 33, 73, 89,
118
Anna Zuchriana 276, 346, 390, 430
Anusirwan 496
Apsanti Djokosujatno 282
Arco Renz 468, 525, 548
Ari Ibnuhajar 346
Ari Mursid 319
Aria Kusumadewa 385, 390, 397, 637,
663
Arief Budiman 13, 14, 17, 651
Arief Soedarsono 6, 12, 21
Ariel Heryanto 316
Arifin C. Noer 18, 43, 51, 72, 118, 150,
155, 183, 233, 247, 278, 309, 379,
426, 538, 553, 562
Arnan Maming 460
Arson Ardian 463
Arsono 17, 18, 33, 50, 73, 89, 192, 197,
212, 238, 388, 410, 651
Arswendo Atmowiloto 320, 372, 386,
503, 556, 575, 623
Artswendy Nasution 132
Arturo GP (Arturo Gunapriatna ) 255,
589, 663
Aryana Sani 178
Aryo Danusiri 252, 405
Asep Topan 557, 579, 592, 663
Asikin Hasan 519
Asnida Hassan 281
Asri Mery Sidowati 498, 548
Asrul Sani 13, 32, 37, 43, 78, 172, 174,
202, 206, 292, 325, 337, 444, 446,
658
Asyifa Nasution 116
Aten Waluya 142, 196
Atien Kisam (Atin Kisam) 297, 365
Awaluddin R. 340
Awan Simatupang 259, 466, 485, 663
Ayu Dian Anggraini 451
Azan Zulfan 254
Azer (Reza Mustar) 493, 556, 663
Azuzan J.G. 280, 325, 338, 351, 361,
400
B
Bagong Kussudiardja 15, 20, 33, 74,
90, 316, 325, 350
Baharuddin M. S. 12, 23, 26, 33, 41,
44, 50, 90, 195, 390, 652
Bambang B. S. 37, 247
Bambang Budi Santosa 125
Bambang Bujono 12, 13, 15, 16, 31,
33, 46, 103, 132, 292, 405, 466,
535, 579, 611, 621, 630, 651, 652,
xxxvi
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
654, 655, 657, 658, 659, 664
Bambang Ginting A. S. 196
Bambang Pudjaswara 596
Bambang Setiana 65
Bambang Setiawan 171
Bambang Subekti 527
Bambang Suryono 427
Barli Sasmitawinata 231
Basuki Kuswaraga 36
Batara Lubis 21
Beatrix de Rozari 415
Beben Jazz 301
Bejo Sulaktono 529, 538, 553, 562,
607
Bekti Lasmini 219, 246, 278, 325
Beng Rahardian 556, 570, 590
Benni Setiawan 635
Benny & Mice 339, 341, 493, 665
Benny Krisnawardi 278, 290, 297,
358, 427, 468, 535, 566
Benny M. Tanto (Benny Mulyadi
Tanto) 202, 301, 317, 318, 416, 428,
446, 452, 453, 460, 463, 464, 472,
474, 484, 490, 506, 512, 521, 547,
663
Benny Rachmadi 339, 341, 556, 663
Benny Ronald 144, 388, 404, 550
Benteng Togatorop 132
Bernadette Marlie 100
Bernauli Pulungan 197, 356, 388, 404,
527
Betty Laksmini 214
Bingah Sumarni 251
Boby Ary Setiawan 468
Boedi S. Otong 196
Boedi S.R. 177
Boi G. Sakti (Yandi Yasin) 220, 237,
245, 288, 307, 338, 380, 402, 438,
663
Bondi Pakpahan 248
Boogie Papeda (Serraimere Boogie
Yasson Koirewoa) 516, 517, 522,
546, 663
Bowo G. P. 458, 471, 600, 607
Boyke Aditya Krishna 234
Boyke Mulyana 459, 478, 480, 582
Bucek Depp 390
Budi Dharmadi 81, 107
Budi Irawanto 441
Budi L. Tobing 430, 527, 558
Budi Sobar 254
Budi Tobing 464
Bunga Citra Lestari 443
Bustal Nawawi 174, 386
But Muchtar 17, 60
Butet Kertarajasa 190
C
Caecilina Sherina 544
Candra Darusman 271, 337
Cantika (Cantika Clarinta) 569, 594,
631
Carl Tanjong 64, 654
Carmencita Palermo 624
Catharina W. Leimena 400, 428
Cecil Mariani 578, 599, 605, 613, 633
Cesa David Luckmansyah 461, 663
Chaerul Umam 180, 283, 295, 444
Chairil Anwar 5, 7, 175, 444
Chairin Hayati (Chairin Hayati Joeda)
142, 212, 232
Chairul Anwar 147, 190
Chalid Arifin 152, 205
Chandra Johan 171
Chandra Purnama 251
Charles Esche 557
Chiquita Limer 537, 538
Christine Hakim 55, 166, 180, 314,
412, 524, 653
Cicilia 159, 190
Citra Smara Dewi 509, 523, 527, 529,
531, 537, 550, 556, 558, 560, 578,
610, 638, 639, 663
Cok Simbara (Ucok Hasyim
Batubara) 43, 166, 524, 543, 663
D
D. Djajakusuma (Djaduk
Djajakusuma) 6, 13, 18, 35, 41, 53,
55, 56, 57, 60, 68, 69, 73, 84, 103,
109, 113, 115, 128, 130, 157, 175,
180, 185, 188, 206, 212, 222, 226,
244, 246, 283, 330, 447, 503, 542,
598, 654, 656, 661, 662
D.A. Peransi 11, 12, 15, 16, 18, 21, 33,
35, 50, 52, 55, 62, 73, 152, 651
Dami N. Toda 107
Danarto 9, 18, 19, 33, 45, 73, 86, 89,
100, 112, 118, 173, 246, 392, 441,
450, 598, 651, 655, 664, 666
Danial Rifki 514, 541
Daniel Espe 607
Daniel R. Mores 463
Daniel Rudi Haryanto 397, 511, 663
Daniella Fitria Praptono 369
Danton Sihombing 244, 250, 475,
623, 638, 639, 663
Darbeni Toto Gitano 460
Darlane Litaay 571, 604
Darwis Loyang 179
Daryono 21, 90, 525, 596
David M. Latupeirissa 499
Deasylina Da Ary 468
Debra H. Yatim 639, 641
Dedy Lutan 34, 40, 48, 57, 61, 66, 82,
92, 96, 98, 100, 110, 139, 144, 148,
156, 164, 177, 182, 184, 196, 210,
211, 216, 218, 220, 224, 243, 292,
314, 317, 325, 343, 378, 384, 398,
438, 450, 477, 488, 548, 566, 571,
604, 655, 658, 663
Deddy Mizwar 166, 199, 366, 444,
486, 524, 543, 663
Deddy PAW 431, 663
Dede Eri Supria 90, 106, 112, 146, 177,
282, 296, 310
Dedy Hendrawan 20, 32
Deni Rusanto 276, 611
Densiel Primayanti Lebang 595
Depi Herlambang 204, 254
Derry Syrna 43
Dewa Budjana 313
Dewi Hafianti 220, 306, 337
Dewi Motik Pramono 281,
Dewi Rani 55, 100, 132, 577
Dewi Umaya 518, 558
Dewi Yull 220, 662
Dhanny Moer 244
Dhea Hayu 639
Diah Setiawati 139
Dian Hadipranowo (Dian HP) 271,
313, 371, 663
Dian Mulyanto 463, 473
Dian Nurulita 297
Dianthus L. Pattiasina 147, 592
Dick Syahrir 527, 592, 611
Dicky Irawan 281, 311
Diddo Kusdinar 77, 123, 142, 149, 170,
196, 658
Didi Petet (Didi Widiatmoko) 69, 78,
80, 83, 84, 122, 123, 131, 156, 157,
172, 183, 207, 208, 213, 215, 220,
226, 229, 236, 248, 266, 274, 303,
312, 314, 330, 336, 338, 370, 386,
391, 436, 459, 463, 464, 486, 524,
543, 568, 662, 663, 664
Didik Ninik Thowok 365
Didik Nurhadi 395
Didik Suryanto 427
Dilliani 436, 450, 474, 494, 498, 509,
570, 614
Dini Lukmawati 422
Diyan Bijac 581
Djaduk Ferianto 331, 342, 358, 600
Djodjo Gozali 77
Djoko Histi Maryono 279
Djoko Quartantyo 83, 663
Djoko Suko Sadono 119, 278, 554
Djoni Djuhari 50
Djoni Wisaksono 50
Djufri Tanissan 6, 12
Dolorosa Sinaga 38, 62, 89, 178,
197,203, 212, 225, 229, 238, 272,
288, 303, 315, 317, 346, 356, 388,
401, 404, 405, 408, 418, 430, 440,
447, 485, 488, 492, 531, 535, 550,
558, 592, 611, 612, 633, 634, 638,
639, 640, 645, 663
Donny Akbar 466
Dorothea Quinn 414, 427
Dotty Nugroho 371
Dullah 193, 597
INDEKS
xxxvii
Dwi de Proud 132
Dwi Wicaksono Suryasumirat 510
Dwijo Sukatmo 234
Dwiki Darmawan 372, 618
E
Eddie Riwanto 122, 156, 172, 236, 297
Eddy de Rounde 24, 32, 37, 49, 69, 78,
330
Eddy Junaidi 132
Edhi Sunarso 17
Edi Sedyawati 7, 10, 15, 18, 22, 48,
68, 74, 106, 112, 113, 159, 193, 210,
274, 316, 343, 346, 372, 384, 402,
415, 438, 534, 651, 656, 658, 659
Edith Ratna (Edith Ratna Siagian
Soerjosoejarso) 17, 33, 60, 73, 118,
192, 229, 232, 310, 654
Edwin 244, 454, 461, 663, 664
Edy Sanjaya 459
Eeng Saptahadi (Muhammad Jueri
Saptahadi) 131, 172, 183, 201, 207,
215, 257, 280, 297, 300, 664
Efix Mulyadi 197, 438, 627
Efrialdi Eka Yenanto 463
Ehwan Kurniawan 486, 558, 574, 601,
622, 644
Eka D. Sitorus (Eka Sitorus) 254, 284,
351, 370
Eko Supriyanto 110, 325, 398, 488,
508, 584, 590, 597, 603, 618
El Manik 390
Elly D. Lutan (Indah Harie Yuliati) 88,
96, 211, 290, 384, 496, 477, 554,
646
Elly Raranta 139, 180
Ellya Rudhatin 145, 182, 219
Elvis Presley 301
Embie C. Noer 150, 357, 492, 664
Emha Ainun Nadjib 251
Endah Parastiti 139
Endang Kusumaningsih 74, 128, 230,
350, 392, 400, 453
Endo Suanda 89, 95, 185, 293
Enin Supriyanto 316
Enison Sinaro 300, 320, 397
Eny Erawaty 340
Epy Kusnandar 370, 391, 524, 664
Erik Prasetya 474
Erina Adeline Tandian 591
Erlangga Soegiarso 476
Erna Garnasih Pirous 232
Eros Djarot 152, 166, 180, 233, 256
Eros Eflin 389, 461, 465, 664
Ery Mefri 278, 488
Eugene Kharisma 638, 641
Eyi Lesar 595
F
F.X. Harsono 238, 270, 278, 296, 390
F.X. Sutopo 65, 76, 126, 192
Fadjar Sidik 15, 42, 90, 146, 162, 294,
466, 603, 664
Fahmi Alatas 357, 530,
Fahruddi Akbar 156
Fajar Satriadi 408, 427
Faozan Rizal 395, 443, 458, 472, 528
Farida Feisol (Farida Sjuman, Farida
Oetoyo) 3, 5, 7, 9, 14, 15, 22, 34,
36, 48, 61, 74, 78, 79, 100, 110, 112,
123, 132, 143, 148, 159, 173, 189,
190, 193, 194, 214, 222, 226, 234,
317, 324, 325, 343, 402, 438, 450,
469, 481, 651, 630, 653, 654
Fathiya Octavianti 544
Ferdy Taeras 463
Firman Lie 196, 317, 390, 411, 448,
633
Firmansyah 545
Fitri Anggraini 553, 571, 576
Fitri Setyaningsih 468, 508, 525, 571,
590
Francisco Tárrega 301
Franki Raden 40, 70, 72, 74, 82, 93,
95, 100, 102, 112, 137, 284, 304,
357, 599, 654, 655, 656, 657, 666
Franky Nayoan 146, 147
Franky Sahilatua 354, 361
Frans Joseph Ginting 156, 330
Frans Nadjira 294
Franz Harjadi (Franz Haryadi) 13, 18,
20, 33, 120, 148, 154, 176, 185, 246
Fred Wetik 20
Fuad Idris 257, 338, 351, 362, 365,
370, 423, 664
G
G Sidharta 15, 17, 60, 92, 149, 278,
390
G. Arthur Tobing 183
G.M. Sudarta 163, 295, 299
Gadis Fitriana 579
Gandung Bondowoso (Hurip
Winarno) 37, 49, 71, 125, 297, 300,
456, 552, 600, 629, 664
Garin Nugroho 167, 246, 252, 255,
257, 267, 282, 297, 302, 303, 311,
312, 314, 319, 326, 329, 336, 354,
355, 383, 395, 402, 405, 426, 434,
441, 449, 456, 486, 487, 488, 490,
558, 628, 633, 637, 638, 640, 659,
664, 665
Gauri Nasution 129, 664
Gayus Siagian 18
Gendut Riyanto 170, 316
George Kamarullah 329
Gerson Poyk 216
Gidik Hanindawan 408
Gilang Ramadhan 195, 362, 434
Giri Dwinanto 579
Gita Novia Sovia 348
Godod Sutejo 177
Goenawan Mohamad 19, 20, 26, 28,
118, 211, 279, 290, 316, 375, 439,
652
Gotot Prakosa 52, 61, 81, 104, 144,
147, 152, 165, 186, 216, 222, 306,
311, 312, 329, 344, 397, 410, 412,
429, 432, 441, 448, 460, 483, 499,
526, 528, 574, 653, 659, 660, 661,
664, 665
Grace Kusnadi 556, 569
Grace Samboh 579
Grace Susan 370, 451
Gregorius Sidharta Soegijo 89, 90
Gunawan Putra 577, 638, 641
Guntur Tobing 132
Guntur Wibowo 406, 527, 536, 558,
592, 611
Guruh Soekarno Putra 349
Gusmiati Suid 119, 164, 179, 184, 220,
237, 278, 317, 364, 398, 604
H
H.B. Jassin 11, 41, 153, 188, 316, 422,
621
Hadi Artomo 116, 448, 486, 515, 664
Hadi Purnomo 18, 152, 397
Hadi Utomo 390
Hadiasmoro 17
Hadrah Daeng Ratu 499
Hafiz Rancajale 440
Hamid Jabbar 216, 256, 274, 278
Hamka Usman 139
Hanny Herlina 406, 437, 438, 451,
474, 485, 509, 538, 580, 600
Hanny Najoan 50, 178
Hanny R. Saputra 366, 397
Hanung Bramantyo 354, 355, 409,
457, 461, 486, 595, 637, 664
Hanung Mahadi 22, 81, 192, 278, 358,
369, 388, 404
Hardi 90, 113, 118, 165, 168, 175, 193,
204, 338, 656, 658, 659
Hardiman Radjab 404, 413, 416, 430,
459, 466, 469, 476, 664
Hari Suryanto 490
Harijadi S. (Harijadi Sumadidjaja) 192
Harmasto 532
Harry Darsono 264, 377, 400
Harry Roesli 28, 58, 158, 164, 208,
220, 267, 275, 652, 664
Harry Sabar 452, 486
Hartanto (Ki Hartanto Mugihardjo)
116, 147, 152, 247, 368, 426, 437,
497, 602, 664
Hartati 220, 278, 290, 297, 398, 406,
477, 488, 525, 566, 619, 638, 639,
664
Haryadi Suadi 31, 126, 142, 146, 390
Hatta Hambali 177, 448
Hendra Gunawan 90, 193, 310, 466
Hendrawan Rianto 171
xxxviii KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
Hendro Martono 245
Hengki Hermawan 144, 171
Henky Haryanto 563, 594
Henry Foundation 373, 421
Herdin Hidayat 131, 183, 248, 300,
336, 664
Heri Dono 221, 238, 289, 296
Heri Hermawan 344
Herman Siswadi 139
Herry Ariyanto 324
Heru Ponco 221
Hestu Wreda 365, 505, 554, 562, 607
Hikmat Darmawan 569, 575, 581,
596, 623, 663, 664
Hildawati Siddharta (Hildawati
Soemantri) 50, 73, 79, 103, 171,
178, 225, 229, 232, 238, 383, 418
Hilmar Farid 316, 544, 563, 566, 569,
634, 638, 640, 643
Huriah Adam 7, 9, 14, 22, 306, 384,
572, 636
I
I Gusti Kompiang Raka (Kompiang
Raka) 109, 194, 304, 392, 414
I Gusti Ngurah Udiantara 395
I Made Adryanata 639
I Made Netra 9, 19, 42, 44, 119, 653
I Nyoman Windha 164, 228
I Wayan Balawan 558
I Wayan Dibia 68, 89
I Wayan Diya 5, 7, 9, 12, 19, 37, 42, 44,
55, 57, 66, 76, 94, 102, 109, 112,
143, 145, 198, 218, 224, 384, 392,
653
I Wayan Sadra 19, 102, 109, 137, 228,
357, 376, 392, 401, 659
Ibenzani Usman 76, 106, 658
Ibnu Nurwanto 63, 192, 281, 310, 388,
404, 664
Ibrahim Sattah 251, 256, 274
Iche Coesay 132
Ida Ayu Oka Sudiasih 37
Idawati 221
Idran Wakidi 251
Idris Sardi 49, 247, 653
Ifa Isfansyah 355
Ignatius Riman 453
Ika Kurnianingsih 221
Ika Yuni Purnama 536, 558
Ikranegara 18, 66, 72, 309, 338
Ilen Surianegara 147
Ilma Noe’man 475
Imawati 430
Imelda Stefanny 368
Inayah Wahid 600
Indah Tjahjawulan 345, 579, 587, 601,
623, 633, 638, 639, 664
Indra Ameng 393, 664
Indra Lesmana 271, 312
Indra Zubir 369, 370
Ine Febriyanti 377, 390, 552
Intan Paramaditha 352, 665
Ipe Ma’aruf 6, 12, 81, 90, 163
Ipung Rachmat Syaiful 359, 445, 664
Ipung Gozali 8, 107, 212, 299
Ira Kowara (Ira K.) 146, 147
Iravati M. Sudiarso (Iravati Sudiarso)
8, 49, 55, 65, 80, 93, 189, 193, 210,
211, 227, 289, 651, 666
Irawan Karseno 171, 317, 453
Irawati K. 178
Irfan Setiawan 503, 576, 595
Iriantine Karnaya 60, 288, 346, 388,
404, 430, 466, 471, 473
Irianto Suwondo 545, 609
Irsam 6, 12, 90, 126, 146, 162, 177,
299, 448
Irsyad Arief 202
Irwan Ahmett 425, 647, 664
Irwan Holmes 9
Is Hakim 190
Isdaryanto B. Oetomo 543
Iskandar Yunaini 114, 656
Isnaeni M.H. 163, 448
Istiadi Bambang 182, 297, 337
Iswargia Sudarno 343, 418
Ita Martadinata 38, 634
Ito Djojoatmodjo 190
Ivan Sagito 234
Iwan A 190
Iwan Gunawan 277, 430, 486, 520,
555, 564, 569, 575, 578, 580, 611,
620, 623, 633, 643, 665
Iwan Koeswanna 163
Iwan Ramelan 142
Iwan Tirta 173, 197
J
J.B. Kristanto 133, 255, 449, 663
Jabatin Bangun 451, 547, 558, 632
Jajang Gunawijaya 466
Jalu Pratidina 313, 600
James Suyata 139
Jane Chen 212, 223, 665
Jaya Budaya 23, 31, 36, 41, 77, 99,
114, 119, 173, 197, 655, 656
Jecko Kurniawan Siompo (Jecko
Siompo) 110, 334, 342, 358, 365,
369, 373, 414, 433, 468, 517, 554,
571, 575, 603, 630, 647, 663, 665
Jeffriandi Usman 275, 365, 435
Jeihan 90, 282
Jerry Octavianus 351, 417, 665
Jerry T. 238
Jim Supangkat 34, 53, 60, 89, 90, 92,
139, 145, 146, 147, 192, 302, 372,
416, 418, 442, 466, 549, 583, 596,
610, 653, 657, 665
Jimmy Ivan Suhendro 276, 592, 611
Jimmy Louis 415
Jimmy Multhazam (Jimmy Danger)
478
Johan Ardhika Chandra 510
Johan Teranggi 51, 52, 395
Joko Quartantyo 37, 83, 112, 663
Joko Saptono 244
Joop Ave 171, 288, 331
Jose Rizal Manua 196, 230, 249, 251,
256, 274, 278, 367, 433, 434, 438,
441, 450, 469, 524, 552, 662, 665
Joseph Ginting 71, 122, 157, 172, 236,
257, 297, 310, 327, 330, 338, 374,
377, 458, 533, 600, 665
Josh Marcy 607, 642, 643
Jubing Kristianto 301, 452, 460, 521
Jujur Prananto 387, 541, 665
June Beckx 14, 20, 34, 61, 79, 100
K
Kaboel Suadi 31, 33, 73, 89, 196, 225,
317, 652
Kadirisman Alwan 563, 594
Kamsudi Merdeka 118, 659
Kardy Syaid 212, 244, 660, 661, 662
Karsono Hadi 233, 665
Kartika Affandi Koberl 232
Kasim Rakhmat 18
Kay Glassburner 18
Kendra Paramita 539, 626, 633, 665
Ketut Winata 171, 485
Khaerul Umam 18
Khikmawan Santosa 116, 497, 595,
665
Ki Wasito Dipuro 20
Kiki Natez (Mohammad Fikri) 562
Koko Sondaka 171, 447, 612
Kris Basuki 139
Krissno Bossa 213
Kristiono 384, 474
Ksanti Dewi 463
Kurniawan 416, 428, 452, 460, 472,
474, 484, 486, 506
Kusen Dony Hermansyah 461, 567,
598
Kusnadi 6, 8, 12, 15, 16, 33, 42, 50,
73, 89, 118, 147, 163, 181, 207, 651,
659, 660, 661
Kusno Drajat 579
L
L.G. Saraswati 469, 638
La Ode Umar Al-Suria 540
Laksmi Notokusumo 275, 554, 639,
665
Lalu Suryadi 290, 342, 369
Laskmi Simanjuntak 139
Leila Chudori 133, 412, 664, 665, 666
Lello M. Baressi 89
Lena Simanjuntak 37, 49, 78, 80, 467,
655, 656, 657
Lenny Agustin 542, 563, 583, 584,
INDEKS
xxxix
639, 643
Leon Agusta 66, 132, 185, 196, 216,
378, 406, 410
Leonhard Bartolomeus 549, 606, 647,
665
Levi Gunardi 639
Lian Sahar 21, 90, 146, 294
Lidya Kandou 320
Lilia Nursita 440
Linda Hoemar 54, 100, 190, 325
Linda Karim 9, 20, 32, 34, 57, 61, 66,
79, 100, 115, 132, 194
Linda Suharso 230, 453
Lola Amaria 518
Lucia Hartini 212, 229
Lucky Wijayanti 523, 536, 582
Lukman Sardi 257, 664
Lusiana Limono 513, 582, 647, 665
Luthfian Zuhdi Haryadi 369
M
M. Miroto 139, 325
M. Sulebar Sukarman 13, 73, 78, 81,
87, 90, 135, 145, 154, 166, 196,
200, 205, 212, 230, 250, 289, 294,
328, 338, 369, 372, 383, 388, 453,
657, 662
Maarthi Djorghi 408
Maden Kanten 120
Mahardhika Yudha 440
Mamok Pratomo 69, 118, 172
Manusasma 231
Mara Karma 8, 10, 90, 169, 272, 299,
369, 651, 659
Maria Bernadeth (Maria Bernadeta
Aprianti) 342, 358, 414, 451
Maria Darmaningsih 110, 217, 272,
290, 368, 414, 438, 450, 468, 506,
508, 525, 548, 551, 554, 571, 604,
629, 647, 665
Maria Elvitra P. Mere 553
Maria Sumarsih 493
Marida Nasution 191, 196, 212, 260,
296, 317, 369, 665 390
Marselli Sumarno 133, 283, 290, 291,
311, 375, 426, 444, 458, 486, 535,
548, 555, 559, 567, 598, 662, 664,
665
Martati Tohiran 7
Martin Janowski 519
Martin Suryajaya 583, 616
Marusya Nainggolan 72, 112, 114,
185, 187, 189, 200, 205, 222, 235,
246, 267, 336, 350, 362, 372, 386,
392, 401, 414, 437, 452, 593, 614,
639, 654, 656, 660, 661, 665
Marzuki Hassan 196
Mathias Muchus 122, 123, 132, 160,
215, 229, 246, 248, 266, 297, 300,
336, 543, 638, 639, 662, 665
Matius Ali 460, 463
Maudy Koesnaedi 616, 635
Maya Tamara 180, 190, 226, 333
Meera Delima A. 499
Mei Lia Nita 422, 438, 446, 494
Meilihanny 178
Melati Suryodarmo 571, 590
Melina Surya Dewi 110, 217, 272, 325,
438, 468, 488, 508, 525, 548, 571,
604, 629
Merwan Yusuf 388, 473
Metty Sulistiowati 224
Michael N.R. 297
Michael Rotinsulu 348
Mikke Susanto 324
Mila Fadliana 340, 386
Milan Sladek 123, 136, 152, 219, 235,
505, 657, 658, 661, 662
Mira Lesmana 160, 167, 286, 322,
352, 363, 378, 386, 398, 405, 638,
640, 665
Mira Tedja 435
Misbach Yusa Biran 12, 102, 125, 220,
656
Mochtar Apin 17, 31, 90, 196, 294,
311, 390, 466
Mochtar Badillah 220
Mochtar Lubis 188, 302, 311, 316,
354
Mochtar Pabottingi 316
Moenir Pamuncak 192
Mohamad Ariansah 542, 603
Mohammad Taufiq (Emte) 561, 622,
638, 639, 640, 664
Monika Swasti Winarnita 587
Mouly Surya 489, 490, 589
Mugiyono (Mugiyono Kasido) 110,
325, 414, 427, 468
Muhammad Amin 220
Muhammad Misrad (Mice) 339, 341,
493, 556, 581, 586, 591, 596, 601,
665
Muhammad Tongga 463
Mulyadi W. 15, 81, 126, 163, 231, 448
Munadiannur Husni 527, 536, 540
Mursal Esten 68, 185, 404
Muryoto Hartoyo 34, 163
Musfiq Amarullah 510
Mustika 5, 6, 8, 12, 17, 23, 90, 163,
177, 192, 193, 212, 238, 328, 338,
652, 657, 660
Mustofa Bisri 251
N
N. Riantiarno (Nano Riantiarno) 20,
26, 67, 150, 157, 314, 342, 347, 379,
524, 533, 642, 643
Nadia Permatasari Wijaya 644
Nan Triveni Achnas (Nan Achnas)
167, 311, 322, 352, 355, 363, 487,
637, 665
Nanang Ruswandi 342, 349, 665
Nanggala Perdana Putra 540
Nanik Mirna 178
Nashar 5, 6, 10, 12, 15, 16, 19, 44, 81,
118, 127, 138, 142, 145, 148, 168,
169, 175, 187, 192, 200, 211, 219,
246, 250, 266, 294, 298, 317, 383,
651, 654, 657, 658, 659, 660, 661
Nasri Cheppy 26, 34, 186, 208
Nasrul Taher (Nasrul Thaher) 8, 81,
107
Natacha Devillers 487
Neneng Sia Ferrier 578
Neno Warisman 176, 196, 285, 289
Netty Simatupang 113, 656
Niluh Made Susanna 430
Nina Marthavia 430, 446, 509
Nini Harwanto 142
Niniek Gandung 125, 132
Niniek L. Karim 216, 490, 616
Nirwan Dewanto 216, 279, 316, 550
Noprian Rauhul 641
Noorca Marendra 26, 31, 34, 77, 80,
91, 106, 185, 256
Nora Hertiana 510
Norman Benny 51, 52, 75, 106, 202,
660, 665
Norman Sophan 77, 84
Nritya Sundara 20, 32, 36, 40, 54, 57,
115, 132, 135, 153, 159, 170, 173,
178, 186, 188, 652, 653, 656, 659,
660
Nugroho Anggoro 171
Nugroho Notosusanto 171
Nungki Kusumastuti (Siti
Nurchaerani Kusumastuti) 110,
136, 139, 173, 177, 184, 196, 217,
272, 280, 281, 285, 325, 342, 343,
357, 358, 368, 378, 383, 384, 394,
419, 433, 437, 438, 450, 468, 482,
488, 494, 508, 519, 525, 538, 548,
551, 566, 571, 593, 596, 600, 604,
629, 641, 666
Nunung W.S. 90, 146, 200, 229, 294,
328, 453, 660
Nur Aminah Parinduri 422
Nur Hasanah 477, 498, 525, 618
Nur Hidayat (Monod) 329, 665
Nurdin 144, 156, 164, 177,
Nurdin B.S. 21
Nurdin Daud 196, 250, 317, 384, 390
Nurhadi Sastapradja 415
Nurhadie Irawan 43, 102, 232
Nurlina Syarir 468
Nurul Arifin 250, 390
Nusyirwan Lesmana 29, 258
Nuzurlis Koto 90, 146, 162, 294
Nya Abbas Akup 206, 255
Nyak Ina Raseuki (Ubiet) 371, 456,
545, 547, 555, 558, 583, 588, 590,
600, 602, 614, 619, 638, 639, 641,
642, 643
xl
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
Nyoman Gunarsa 90, 126, 146, 310
Nyoman Kuningan 120
O
O.H. Supono (Supono O.H.) 15, 70,
90, 146, 162
Ody C. Harahap 507, 647
Oesman Effendi 5, 6, 8, 12, 15, 44, 53,
90, 135, 146, 148, 162, 216, 289,
390, 651, 661
Oka Trilaksana 415, 459
Oky Arfie Hutabarat 440
Olivia Ruth 627
Ong Hok Ham 56
Onny Koes Harsono 147, 288
Oppie Andaresta 354, 360, 361
Oscar Motuloh 374, 386, 419
Otniel Tasman 590, 604, 618
Otong Nurjaman 60
Otto Jaya 15
Otto Sidharta 120, 137, 165, 262, 282,
288, 357, 456, 468, 545, 567, 583,
590, 612
Otty Widasari 440
P
P. Ario Damar 463
Padri B. Nadeak 368
Paquita Wijaya 333, 410, 412, 487
Paul Gutama Soegijo 33
Paul Kadarisman 479, 666
Peggy Choy 112
Phillipe Dubois 470
Pimpi Syarley Naomi 495, 647, 666
Pipit Tenawati 632
Ponco Satrio 301, 547
Popo Iskandar 5, 21, 53, 90, 162, 193,
282, 317, 531, 571, 651
Pramana Pmd. (Pramana
Padmodarmaya) 20, 22, 24, 26,
37, 69, 78, 157, 185, 212, 292, 295,
330, 463
Pramoedya Ananta Toer 96, 316,
Prapto Suryodarmo (Suprapto
Suryodarmo) 275, 577
Pri Ario Damar 639
Priyanto Sunarto 77, 89, 118, 142,
466, 499, 616
Puji Sigit 132
Putri Ayu Wulandira 641
Putri Dian Lestari 545
Putri Sastra 416, 428, 452, 472
Putri Yamini Al-Haqni 516
Putu Fajar Arcana 627, 629
Putu Oka Sukanta 316
Putu Wijaya 20, 26, 37, 43, 49, 50, 54,
55, 68, 70, 91, 118, 166, 201, 250,
305, 309, 364, 379, 426, 469, 486,
492, 520, 526, 543, 552, 568, 598,
610, 653, 654, 662, 664, 666
R
R.B. Armantono 567, 616, 617, 628,
637, 643
R. Bagus Kadarmojo Prihantono 250
R. Wendratama Prasetya 483
R. Yetty Husein 132
R. Yuyun Kusumadinata 94
Radjul Kahfie 18
Rahabi Mandra 490
Rahayu Pratiwi 463, 633
Rahayu Supanggah 120, 252, 316,
540, 558, 590
Rahmayani 171, 229, 296
Ramadhan K. H. 11, 18, 434
Ramelan 17, 166, 192
Ratih Sanggarwati 262, 333
Ratna Dewi Melati 451
Ratna Riantiarno 216, 522
Ratna Sarumpaet 304, 316
Ratna Widyastuti
Ratnawati 54, 98, 100, 139, 154, 226
Ravi Bharwani 405, 449, 666
Ray Anjas Maulana 577, 584, 638,
641
Ray Sahetapy 132, 213, 220, 297, 543
Rege Indrastudianto 565, 666
Reiner Chadir Wildt 301
Rence Alfons 558
Rengga Sancaya 394
Reni Hoegeng 238, 294
Renny Djajoesman 249
Renny Putu Wijaya 118
Reny Budilestari 466
Resi Rasmaita 576, 638, 641
Restu Gunawan 579
Restu Imansari Kusumaningrum 290
Retno Maruti 7, 19, 23, 31, 35, 45, 61,
76, 77, 88, 94, 110, 114, 126, 130,
145, 173, 177, 198, 246, 298, 306,
326, 342, 343, 349, 368, 384, 390,
409, 437, 462, 526, 537, 548, 564,
596, 660
Reverie Alfathir 563
Reynaldi Christanto 628
Reza Rahadian 443
Rianto (Rianto Manali) 110, 590
Rica O. Darmawan 533
Ricky Dwi Fitrianto 639
Ricky Malau 478
Ridwan Adam 26
Riksa Afiaty 549
Rima Ananda 347, 666
Rina Kurniyati 578
Rio Septi Rangga 541
Riri Riza (Muhammad Rivai Riza) 167,
252, 286, 296, 311, 322, 355, 359,
363, 378, 410, 448, 454, 470, 637,
666
Riris K. Sarumpaet 274
Rita Thung 154
Ritchie Blackmore 301
Riza Arshad 371
Rizal Mantovani 322, 329
Rizka Octora 632
Rizki Suharlin Putri 516, 522
Robby Ertanto 490
Roedjito 24, 26, 139, 173, 211, 243,
285, 293, 304, 369, 404, 423, 426,
446
Roelly Budiono 69, 654
Ron Puyundatu 78, 132
Ronny Agustinus 440, 522
Rosihan Anwar 66, 292, 358
Rosmala Sari Dewi 545, 583
Rotua Magdalena Pardede 317, 351,
647
Roy Lolang 445
Ruddy Poespoprodjo 396
Rudi Lukito 45
Rudi Soedjarwo 445, 448
Rudolf Puspo 18
Rudy Laban 8, 49, 93, 282, 651
Rully Novaliawati 468
Rury Nostalgia 343, 368, 433, 437,
596, 619, 638
Rusdhy Harsono 311
Rusdi Isbandi 146
Rusdi Syarif 460
Rusdy Rukmarata 186, 619, 630
Rusli 19, 21, 90, 310
Russmadi 142
Ruth Sahanaya 271
S
S. Effendi 20
S. Irwanto 245
S.M. Ardan 29, 267, 664
S. Prinka (Sjahrinur Prinka) 50, 73, 89,
118, 142, 272, 430, 563
S. Soetopo 89, 118
S. Sudjodjono (Sudjodjono) 6, 42
S. Trisapto (Trisapto) 23, 35, 37, 40,
45, 88, 98, 100, 114, 136, 139, 164,
173, 285, 292, 304, 342, 343, 358,
368, 390, 437, 537, 545, 657
Sabilul Razak 516
Sahny Pratama 483
Saiful Hakim 171
Saini K. M. 20, 185, 364
Sal Murgiyanto 19, 64, 75, 77, 79, 80,
89, 95, 99, 109, 110, 114, 139, 143,
173, 177, 180, 182, 217, 266, 267,
272, 276, 279, 282, 283, 293, 298,
306, 325, 326, 342, 358, 364, 366,
376, 394, 438, 451, 468, 488, 508,
525, 548, 571, 604, 654, 655, 656,
657, 658, 659, 663, 666
Salim Said 41, 45, 52, 283, 299, 655
Sam Si Tak 147
Samuel Rustandi 643, Sul
Sandra Lodrigus 139
Santi Ardati 262, 297, 566
INDEKS
xli
Sapardi Djoko Damono 20, 26, 31, 57,
106, 277, 406, 422, 433, 496, 555,
563, 569, 587, 607, 616, 642, 643,
646, 665
Sardono W. Kusumo 3, 6, 7, 9, 10, 15,
17, 19, 26, 37, 42, 62, 64, 73, 77, 79,
80, 81, 89, 100, 108, 110, 112, 113,
116, 143, 144, 152, 165, 166, 173,
177, 185, 216, 228, 247, 254, 262,
267, 282, 288, 291, 306, 314, 316,
326, 331, 332, 333, 343, 344, 375,
383, 384, 392, 408, 414, 427, 433,
434, 438, 444, 463, 467, 469, 473,
481, 484, 522, 525, 528, 554, 555,
575, 590, 600, 603, 630, 653, 654,
656, 658, 659, 661, 662
Sarnadi Adam 231, 299
Sastha Sunu 407, 461, 541, 637, 666
Sasya Tranggono 610
Sawardiman 142
Sawung Jabo 361, 450
Sekar Arum 638, 641
Sekar Ayu Asmara 272, 371
Semsar Siahaan 296, 316
Sena Utoyo (Sena A. Utoyo) 78, 84,
122, 156, 157, 162, 172, 183, 207,
208, 213, 215, 220, 226, 228, 234,
236, 246, 248, 266, 267, 288, 303,
312, 330, 333, 362, 370, 391, 568,
666
Sena Didi Mime 155, 157, 207, 208,
213, 215, 219, 220, 248, 257, 266,
273, 303, 312, 370, 391, 402, 436,
459, 505, 508, 519, 521, 524, 568,
658, 661, 663, 666
Seno Gumira Ajidarma 283, 305, 336,
441, 448, 466, 542, 569, 575, 579,
582, 583, 589, 590, 591, 592, 593,
596, 598, 601, 608, 612, 613, 620,
621, 623, 626, 629, 636, 638, 640,
644, 666
Seno Joko Suyono 458, 525, 533,
543, 633, 663, 664, 666
Sentot Sahid 363, 407, 461, 666
Sentot Sudiharto 9, 14, 17, 19, 23, 41,
42, 57, 61, 70, 74, 77, 88, 99, 100,
173, 244, 246, 285, 342, 343, 368,
384, 398, 409, 571, 653
Setiawan 35, 125, 221
Setiawan Djody 234, 243
Setiawan Sabana 196, 225, 317, 369,
466
Sha Ine Febriyanti 327
Shanty Harmayn 487
Shereen 544
Sherina Munaf 482
Sigit Tri Hardianto 582
Sigit Wicaksono 221, 244, 328
Simon Simorangkir 190, 204, 238,
311, 346
Singgih Hertanto 221
Sita D. Subijakto 178
Siti Adiyati 65, , 178, 229, 661
Siti Ajeng Sulaiman 468
Siti Artati 263, 406, 666
Siti Farida Srihadi (Farida Srihadi)
191, 203, 212, 225, 229, 232, 234,
238, 262, 317, 466
Siti Nurhaliza 271
Siti Turmini 564, 582
Sitok Srengenge 434
Sitor Situmorang 118, 297
Sjuman Djaya 43, 51, 72, 166, 167,
186, 189, 200, 447, 558
Slamet Abdul Sjukur 55, 61, 70, 73,
74, 76, 81, 90, 125, 127, 152, 158,
173, 185, 203, 258, 282, 304, 316,
383, 468, 540, 602, 653, 654
Slamet Gundono 408
Slamet Rahardjo (Slamet Rahardjo
Djarot) 166, 180, 186, 233, 320,
363, 417, 496, 510, 555, 583, 593,
642, 643
Slamet Sukirnanto (Slamet
Soekirnanto) 20, 72, 81, 295
Soedharnoto 26
Soegianto S.W. 73
Soemardjono (Soemardjono Demang
Wiryokusumo) 36, 41, 45, 52, 91,
100, 174, 653, 655, 659
Soenaryo S. T. 45
Soeparto 21
Soetomo Gandasoebrata (Soetomo
GS) 166, 276, 284, 291, 329, 352,
487, 659
Soleh Ruslani 329
Sonny Muchlison 264, 582, 647, 666
Sonny Sumarsono 120, 288, 331, 357,
358
Sonya Sondakh 588
Sri Fariyanti Pane 558
Sri Mulyani 468
Sri Rezeki 178
Sri Warso Wahono 165, 190, 191, 193,
212, 238, 272, 294, 295, 299, 328,
338, 406, 410, 658, 662
Srihadi Sudarsono (Srihadi, Srihadi
S.) 11, 15, 21, 24, 25, 33, 46, 50, 73,
86, 89, 90, 135, 146, 159,
162, 191, 193, 212, 229, 232, 238,
262, 282, 317, 415, 466, 517, 652,
653, 655, 663
Sriwidodo 6
Sriyani Hudyonoto (Sriyani) 5, 6, 10,
12, 16, 21, 90, 317, 651
Stephanus Hermawan 464, 568
Subagyo Budisantoso 461
Subarkah Hadisarjana 155, 347, 666
Subianto 530
Sudarso 12, 21, 42, 193, 585
Sudarsono 19, 651
Sudibjo D. S. 204, 254
Sudibyanto 26
Sudirman Leman 409, 418
Sudjana Kerton 231, 390
Sudwikatmono 45, 296
Sugeng 8, 19, 26, 100, 652
Suhaimi Bin Magi 139, 194, 196
Suhar Bimar 563
Suka Hardjana 29, 32, 40, 49, 70, 134,
176, 185, 228, 258, 274, 357, 364,
424, 530, 598, 652, 653, 657, 658,
659, 660, 661, 665
Sukamto 12, 15, 18, 21, 33, 50, 73, 89,
118, 123, 142, 149, 165, 196, 212,
225, 234, 276, 292, 317, 328, 338,
369, 392, 529, 611, 651, 658
Sukarji Sriman 220, 224, 262, 290,
298, 306, 325, 331, 357, 358, 370,
438, 453, 566
Sulaiman Said 491, 644, 666
Sulistyo S. Tirtokusumo 35, 119
Sumantri Sastrosuwondo 29, 49, 66,
214, 246, 661
Sumartono 165
Sunarto P. R. 15
Sunaryo 17, 60, 135, 282
Sunny Gho 556
Sunny Pranata 36, 54, 115, 132, 143,
170, 173, 178, 186, 188, 190, 191,
200, 226, 659
Suparto 6, 12, 17, 42, 70, 162, 192, 310
Supratipto 190
Supriyadi Arsyad 224, 297
Suratman 251, 437
Surjadi Kardjono 65
Surya Pernawa 17, 33, 60
Susi Harahap 550, 560
Sutardji Calzoum Bachri 42, 66, 251,
256, 274, 378
Sutarno Sutikno 93, 189, 227
Suwaji 162, 231
Suyadi (Pak Raden) 317, 526
Suyatna 383
Suyatna Anirun 78
Suzen H.R. Tobing 617, 625, 638
Syaeful Anwar 37, 67, 430, 666
Syahnagra 61, 81, 107, 144, 152, 299,
338, 410, 654
Syahreza Fahlevi Gultom 631
Syahroni 415
Syahwil 163
Syamsul B. Adnan 204, 254
Syamsul Hidayat 411
Syarif Tando 267
Syawati Amran 22
Sylvi Dwinda 641
Syu’bah Asa 20, 24, 26, 31, 423, 652,
654, 658
T
T. Ramadhan Bouqie 142
T. Susanto 77
xlii
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
Tanete Pong Masak (Tanete A. Pong
Masak) 282, 432, 441, 448, 470
Tantio Adjie (Tantio Adjie Aryanto)
190, 204, 245, 346, 430, 527, 556,
592, 611
Tanwir Andi Ngaru Pettalo 152
Tara Sosrowardoyo 296, 439, 666
Tarmizi Firdaus 81, 177, 251, 430, 527
Tatiek Maliyati 49, 131, 160, 244, 292,
297, 300, 315, 524
Taufik Abdullah 53, 188
Taufiq Ismail 2, 16, 20, 22, 24, 30, 33,
35, 41, 48, 54, 55, 60, 62, 66, 107,
216, 249, 251, 256, 274, 278, 298,
307, 316, 654
Teguh Karya 6, 78, 100, 107, 110, 131,
166, 167, 183, 233, 336, 354, 365,
393, 426, 447, 457, 489, 496
Teguh Ostenrik 290, 294, 453, 485,
535
Tetet Srie W.D. 139, 140, 285
Teungku Haji Adnan 268
Thoersi Argeswara 530, 628
Tian Reffina Hidayat 563
Tino Sidin 562
Tita Salina 425
Titiek Puspa 271
Titien Wattimena 541, 595, 628, 643,
647
Titin Baktir 190
Titis Jabaruddin 531, 663
Toeti Heraty 153, 188, 191, 232, 266,
274, 288, 290, 291, 306, 315, 316,
337, 406, 409, 415, 616
Tohpati 313, 371, 618
Tom Ibnur (Arison Ibnur Ibrahim) 110,
148, 153, 156, 164, 170, 177, 179,
182, 184, 194, 207, 221, 240, 266,
272, 280, 292, 307, 311, 314, 317,
325, 337, 342, 357, 384, 390, 398,
438, 468, 488, 506, 508, 519, 525,
548, 571, 604, 638, 640, 659, 661,
666
Tommy F. Awuy 302, 377, 378, 388,
395, 410, 628
Tommy Haryanto 147
Tommy Soemarni 43
Tony Haryanto 262
Tony Prabowo 108, 137, 211, 220,
290, 342, 364, 371
Torro Margens 34, 186, 297
Toto Riboedijanto 16, 81, 135, 152,
165
Toto Sudarto Bachtiar 27, 310, 374,
377
Tri Aru Wiratno 219, 221, 238, 438,
527, 532, 592, 611
Tri Sapto 14, 19, 32, 34, 164, 218, 224
Triesasongko 258
Trika J. Simanjuntak 474
Trinawangwulan 177, 212
Tris Neddy Santo 351, 369, 408, 430,
458, 462, 485, 527, 536
Trisno Sumardjo 12, 69, 193, 505
Trisutji Kamal (Trisutji Djuliati Kamal)
8, 76, 93, 100, 114, 134, 228, 246,
254, 285, 289, 294, 304, 318, 319,
336, 343, 350, 356, 372, 373, 400,
444, 506, 657
Trubus 193
Turino Junaedy 45
U
Ufa Sofura 630
Ugeng T. Moetidjo 219, 221, 238
Ugo Haryono 35, 77, 81, 84, 91, 107,
118, 135, 152, 177, 191, 195, 212,
218, 280, 299, 302, 328, 375, 406,
453, 456, 527, 654, 660, 661
Ujang Maman 313
Ully Sigar Rusady 216
Umar Kayam 10, 11, 13, 19, 21, 81,
102, 146, 155, 188, 222, 276, 279,
295, 651, 661
Umar Widodo 321
Umbu Landu Paranggi 282
Umi Dachlan 21, 317
Usil Susilo H. S. 34, 41
Usman Gumanti
Utoyo Hadi 294
Utut Hartono 281
V
Vina Panduwinata 271
Vino G. Bastian 635
Virginia Pangaribuan 325, 348
Vredi Kastam 20
W
W.S. Rendra (Rendra) 8, 14, 56, 62,
72, 118, 156, 162, 188, 230, 236,
251, 256, 275, 276, 309, 316, 354,
379, 400, 426, 658
Wagiono Sunarto 73, 89, 206, 272,
514, 518, 527, 528, 555, 560, 564,
611, 661
Wahyoe Wijaya 152, 177
Wahyu Sihombing 6, 32, 34, 37, 41,
49, 56, 122, 123, 131, 132, 135, 156,
157, 160, 162, 167, 172, 183, 185,
188, 199, 201, 205, 206, 229, 236,
246, 297, 300, 315, 327, 351, 447,
492, 583, 653, 658, 662
Wahyu Tri W. 221
Wahyu Waskito 369
Wahyuni H. D. 430
Wakidi 169, 251, 383
Walid Syarthowi 515, 536, 579, 592,
633
Warsito 45, 90, 146
Wenceslaus de Rozari 465, 666
Wenny Iskandar 430
Whani Darmawan 617, 633
Wicaksono Wisnu Legowo 257, 490
Widayat 11, 90, 146, 162, 292, 310,
410, 466
Widyarini 142, 143, 144, 657
Wignya Hambeksa 7
Wijatna Hariadi 6
Wiji Thukul 256, 493, 634
William Chandra 512
Wim Umboh 43, 160, 305
Windradiati 8, 178
Wiranti Tedjasukmana 203, 225, 229
Wiratmo Soekito 20, 132, 247, 316,
652, 657, 658, 662
Wisaksono 33, 50, 73, 89
Wiwiek S. Nana 37
Wiwiek Sipala (Wa Ode Siti Marwiyah
Sipala) 40, 47, 57, 61, 65, 66, 79,
89, 98, 100, 115, 136, 139, 144, 177,
184, 210, 218, 221, 224, 290, 292,
304, 310, 325, 343, 370, 378, 384,
388, 398, 433, 451, 453, 525, 554,
661, 666
Wiwiek Widyastuti 119, 357, 554
Wiyoso (Wijoso) 17, 33, 50, 73, 92
Wiyoso Yudoseputro 89, 103, 147,
187, 197, 211, 234, 278, 289, 415,
464, 571
Wregas Bhanuteja 555, 559, 573, 583,
638, 639, 641, 666
Y
Yadi Sugandi 355, 445, 666
Yan Berlin 176
Yandy Laurens 527, 530, 555, 597,
638, 639, 643, 647
Yani Mariani Sastranegara 141, 404,
476, 666
Yanna W.S. 147
Yayat Surya 395
Yayu Unru (Yayu A.W. Unru) 207, 215,
220, 248, 370, 436, 459, 508, 524,
526, 568, 638, 640, 647, 666
Yazeed Djamin 19, 185, 227, 651, 666
Yenny Muliaty 143, 159, 190, 194, 214,
226
Yola Yulfianti 422, 436, 474, 492, 516,
525, 528, 546, 559, 566, 603, 607,
615, 629, 630, 642, 643
Yori Antar 434
Yudhi Suryoatmojo 522
Yudhistira A.N.M. Massardi 249, 256
Yudi Datau (Surajudin Datau) 359,
445, 638, 641, 643, 647, 667
Yuki Aditya 630
Yulia Muid 102
Yulianti Parani (Julianti Parani) 14,
15, 22, 29, 32, 36, 40, 49, 54, 57, 66,
79, 89, 92, 106, 115, 159, 184, 189,
221, 295, 297, 324, 331, 343, 357,
488, 551, 583, 588, 629, 630, 660
INDEKS
xliii
Yulianto Krisbiantoro 281, 311
Yuliati Trisariningsih 178
Yully Puspita Sari 638, 641
Yuni Suwandono 88
Yuniati 422
Yunus Pasolang 461, 489, 541, 667
Yusuf Affendi 17, 27, 33, 50, 73, 89,
118, 138, 165, 288, 415, 466, 652,
656, 657, 658, 659, 661
Yusuf Susilo Hartanto 519
Yuyun Kusumadinata (Yuyun K.) 94,
102, 130
Z
Zaelani Idris 40, 48, 74, 82
Zaenuddin Soleman 463
Zaini 5, 6, 10, 11, 12, 15, 16, 19, 21, 33,
42, 44, 46, 50, 68, 146, 310, 390,
466, 651, 652, 653, 654
Zee Zee Shahab 609, 642, 643
Zhafran Solichin 641
Zoraya Perucha 205
Zuryati Zubir 184
Zyckra Ayoub 297
INSTITUSI, ORGANISASI,
KELOMPOK, DAN MEDIA MASSA
A
A Mild Live Production 456, 467
Adoramus Choir Tarakanita 473
Akademi Musik LPKJ 8, 13, 19, 28,
64, 66, 69, 77, 78, 90, 93, 95, 108,
112, 114, 127, 651
Akademi Samali 556, 569, 575, 581,
597
Akademi Sinematografi LPKJ 25, 36,
41, 45, 52, 55, 60, 73, 78, 91, 95,
100, 102, 106, 233, 305
Akademi Tari LPKJ 5, 10, 14, 15, 19,
20, 22, 31, 32, 34, 36, 37, 40, 48,
50, 57, 66, 74, 76, 79, 82, 92,
94, 106, 653, 655
Akademi Teater LPKJ 24, 27, 35, 57,
65, 78, 80, 583
Animal Pop Family 334, 554, 556,
601, 647
Ansambel Talabama 108, 656, 540,
554, 558, 600, 614, 647
ANTeve (ANTV) 300, 338, 486, 490,
512, 521, 547
Art Brut ID 600
Art Council Tokyo 576
Artland 578
ASDRAFI (Akademi Seni Drama &
Film) 167, 327
Asian Broadcasting Union 482
Asian Cultural Council 376, 468
ASKI (Akademi Seni Karawitan
Indonesia) Padangpanjang 22,
119, 228, 245, 279, 337
Asosiasi Boga Jasa Indonesia 595
Asosiasi Desainer Grafis Indonesia
(ADGI) 170, 565, 581, 605, 663,
666
Asosiasi Importir Film Gabungan
Penguasaha Bioskop Seluruh
Indonesia 174, 198
Asosiasi Masyarakat Korea di
Indonesia 560
Asosiasi Produser Film Indonesia
322
ASPRODI (Asosiasi Program Studi
DKV Indonesia) 622
ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia)
Yogyakarta 13, 60, 70, 92, 98, 99,
171, 207, 221, 236, 238
Association Culturelle d’Echanges
Internationaux 179
ASTI (Akademi Seni Tari Indonesia)
Bandung 89, 136, 149, 158, 171,
176, 197, 214, 273, 274, 279,
293
ASTI (Akademi Seni Tari Indonesia)
Denpasar 89, 120, 148, 176, 228
Astra 468
Asuransi Wahana Tata 474, 490
Audisindo 116
Australia Council 84, 270
Australia-Indonesia Institute (Institut
Australia-Indonesia) 251, 270, 619
Australian Film Archive 306
B
Babibuta Films 454
Bagito 461
Bakrie Budaya 468
Bakrie Investindo 296
Bakti Budaya Djarum Foundation
524, 583, 595, 596, 600
Balai Kota Jakarta 30, 46
Balai Sarbini 625
Balai Seni Rupa Jakarta 42, 139, 154
Bandempo 421
Bandung Performing Arts Forum 615
Bangkok ASEAN Film Festival 252
Bank Dagang Nasional Indonesia 296
Bank Mandiri 548, 571, 584
Bank Rakyat Indonesia 266
BBJ (Balai Budaya Jakarta) 11, 16, 28,
168, 169, 191, 205, 244, 245, 251,
298, 659
Bekraf (Badan Ekonomi Kreatif) 556,
569, 571, 574, 577, 584, 585, 591,
601, 603, 604, 612, 622, 623,
629
Bekraf Creative Lab 584, 591, 622,
623
Bengkel Deklamasi Jakarta 249, 251,
367
Bengkel Pelukis Jakarta 28, 78, 87,
107, 230 654, 656
Bengkel Teater Rendra 56, 72, 275,
285, 364, 423
Bengkel Teater Tarakanita 473
Bentara Budaya Jakarta 198, 267,
390, 419, 466, 575, 579, 606, 627
Bentara Budaya Yogyakarta 390
Benteng Vredeburg 498
Berlin Senate 519
Bidadari Cikini 594, 597
Bilik Budaya Kashita Smarandhana
243
Bintaro Jaya Xchange 586
Bioskop Alternatif Surabaya 418
BKKPT (Badan Koordinasi Kegiatan
Perguruan Tinggi) 44
BKS PTSI (Badan Kerjasama
Perguruan Tinggi Seni Indonesia)
484, 499, 520, 546
BKSKMI (Badan Kerja Sama
Kesenian Mahasiswa Indonesia)
8, 13
Blitz Production 566
Bola 481
British Council 230, 273, 343, 404,
460, 522, 599, 616
Butik Musik 540
C
CAPA (CILECT Asia-Pacific
Association) 592
Caritas 143, 214, 226
CCF (Centre Culturel Français)
Jakarta 273, 303, 432
Cemeti Art House 476, 491
Center Petaling Jaya Kuala Lumpur
139
Chapman School of Music 301, 452
Chase Manhattan Bank Jakarta 46,
114
China Central Television 482
CILECT (Centre International de
Liaison des Ecoles de Cinéma et
de Télévision) 291, 311, 312, 548,
592, 614
Cimahi Creative Association 572
Cinema 21 (Cinema XXI) 385, 548,
516, 617, 636
Cinema Poetica 583
Cinevisi 116
Cipta Karya Tari 48, 61, 66, 79, 98,
653, 654, 655, 660
Ciputra World 550
Convention Hall Genting Highlands
139
Curtin University 270, 537
xliv
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
D
Dance Circle Lab 607
Deddy Luthan Dance Company 96,
477, 566
Demi Gisela Citra Sinema 199
Departemen Komunikasi dan
Informatika 475
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 364, 560, 657, 660
Departemen Perindustrian 248
Departemen Seni Rupa ITB (Institut
Teknologi Bandung) 60, 98
Departemen Seni Rupa LPKJ (IKJ)
115, 125, 138, 144, 146, 149, 153,
159, 163, 168, 171, 174, 175,
187, 219, 225, 229, 231, 244, 245, 246,
571
Depot Kreasi Seni Bandung 58
Deppen (Departemen Penerangan)
45, 51, 167, 174, 181, 198, 286, 320,
322
Deskovsketchers IKJ 597
Dewan Kesenian Medan 31, 148
Dewan Kesenian Padang 430
DFN (Dewan Film Nasional) 174, 198,
292, 312, 314
Dia.Lo.Gue 502, 623
Dinas Kebudayaan DKI Jakarta 50,
119, 176, 180, 182, 188, 191, 194,
212, 214, 218, 224, 230, 243,
267, 278, 280, 378, 401, 402, 661
Dinas Pariwisata DKI Jakarta 343,
618
Dinas Pariwisata Provinsi Jambi 390
Dinas Pertamanan DKI Jakarta 471
Direktorat Jenderal Kebudayaan RI
638
Direktorat Jenderal Pariwisata, Pos,
dan Telekomunikasi 171
Direktorat Pembinaan Perfilman 25
Direktorat Pendidikan Dasar dan
Menengah 109
Djakarta Theater 270, 405
Djarum Bhakti Foundation 522
DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) 3, 5,
6, 7, 8, 11, 12, 14, 15, 16, 17, 18, 20,
21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 31, 33, 34,
41, 42, 44, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52,
53, 56, 60, 62, 65, 68, 69, 73, 74,
75, 76, 77, 78, 80, 81, 82, 83, 85, 86,
88, 89, 90, 93, 95, 98, 99, 101, 104,
106, 107, 109, 110, 112, 113, 114,
118, 188, 119, 120, 123, 127, 132,
134, 135, 136, 137, 138, 140, 142,
143, 144, 145, 146, 148, 149, 152,
153, 154, 157, 159, 162, 163, 164,
165, 170, 173, 176, 177, 180, 181,
182, 183, 185, 188, 190, 191, 193,
194, 196, 197, 198, 202, 203, 204,
206, 207, 210, 211, 212, 214, 216,
218, 220, 222, 226, 228, 229, 230,
232, 234, 235, 243, 246, 266, 272,
279, 283, 289, 290, 293, 295, 296,
298, 299, 302, 307, 311, 325, 338,
354, 356, 357, 365, 369, 372, 376,
388, 398, 401, 404, 406, 410, 414,
416, 422, 430, 433, 434, 437, 438,
441, 444, 446, 447, 448, 456, 457,
459, 460, 463, 464, 466, 473, 474,
492, 500, 502, 503, 519, 527, 530,
540, 545, 547, 551, 558, 566, 568,
571, 575, 584, 587, 597, 599, 600,
602, 603, 604, 612, 619, 623, 626,
630, 636, 646, 651, 652, 652, 653,
654, 655, 656, 657, 658, 659, 660,
661, 662, 664, 666
DP Dancer 545
Drive-in Cinema 647
E
Eagle Awards 507
Eagle Institute 511
École Nationale Supérieure des
Métiers de l’Image et du Son
(FEMIS) 330
Elex Media Komputindo 585
EMAX Kemang 490
Ensemble Jakarta 29, 32, 40, 49, 134,
258, 652, 653
Erasmus Huis 31, 77, 93, 109, 114,
119, 127, 128, 129, 134, 158, 159,
172, 175, 203, 205, 317, 342, 392,
405, 406, 409, 416, 446, 447, 452,
460, 464, 468, 472, 474, 484, 534,
655, 656, 657
Erudio School of Art 618
F
Faber Castle 597
Fabriekfikr 618
Farida Feisol Dance Group 78
Federation of Motion Pictures
Producers in Asia 36
Femina 135, 264, 306, 316
FKKI (Forum Kriya Kontemporer
Indonesia) 582, 602
FKMI (Forum Komunikasi Mahasiswa
Kriya Indonesia) 606
Ford Foundation 22, 130, 180, 193,
210, 295, 376, 512
Forum Cergam 575
Forum Gitaris Klasik Indonesia 464,
472, 484, 490, 506, 512, 521, 547
Forum Keluarga Korban Mei 448
Forum Penelitian dan Pengkajian
Seni Pertunjukan Indonesia 282
Forum Pengajar Program Studi Seni
Murni FSR IKJ 592
Forum Studi Crescendo 205
Forum Studi Kependudukan dan
Lingkungan Hidup (Yayasan
Forsikal) 467
Fullbright 577
G
Galeri Cemara 388, 418, 466, 509
Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA)
340, 500
Galeri Indonesia Kaya 551, 554, 559,
571, 595
Galeri Kertas Studio Hanafi 605
Galeri Kolase 570
Galeri Lontar 374, 392, 466, 469
Galeri Milenium 411
Galeri Mon Décor 485
Galeri Nasional Indonesia 141, 260,
341, 346, 383, 405, 431, 435, 462,
476, 488, 492, 531, 549, 560,
578, 596, 621, 634
Galeri Publik 483
Galeri Senopati 147, 658
Ganara Art Space 602
Ganesha Gallery 395
Gang of Harry Roesli 58
Garuda Indonesia 402, 468
Gasfi (Gabungan Studio Film
Indonesia) 174
Gedung Budaya Jakabaring 550
Gedung Joeang 250, 394, 580
Gedung Kebangkitan Nasional 25
Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) 122,
157, 189, 221, 222, 234, 236, 240,
243, 245, 247, 254, 258, 266, 272,
273, 274, 285, 288, 289, 290, 291,
303, 306, 312, 316, 317, 318, 325,
334, 336, 342, 343, 344, 349, 357,
368, 374, 376, 384, 398, 400, 402,
428, 435, 436, 437, 438, 452, 453,
458, 459, 460, 468, 473, 477, 481,
490, 505, 508, 521, 525, 530, 538,
540, 547, 548, 564, 571, 603, 604
Gedung Sate 490
Gedung Summitmas 429, 594
Gedung Teater Tiga Dimensi TMII
(Taman Mini Indonesia Indah) 394
Gelanggang Remaja Bulungan 14,
218, 249, 401
Gelanggang Soemantri 44, 653
Gelar Nusantara 452
Gelora Bung Karno 398, 538
Genflix 637
Genootschap Nederland Indonesia
101
Genting Highlands Sendirian Berhad
139
Gerakan Seni Rupa Baru 118, 395,
549
Goethe Institut Bandung 120
Goethe Institut Jakarta 152, 157, 206,
219, 343, 425, 428, 429, 463, 477,
496, 505, 505, 516, 548, 591
Goodnight Electric 421, 478, 601
GPU (Gerakan Pelukis Universal) 420
INDEKS
xlv
Grabag TV 116, 664
Grafis Membara 483
Gramedia Pustaka Utama 587, 663
Grand Hyatt Jakarta 262, 343
Grand Indonesia 538
Grand Kemang Hotel 574
Green Radio 540, 547
Grup Pecinta Alam LPKJ 113
Grup Tari Nan Jombang 430
Gudang Garam 596
Guitar Foundation of America 301,
318, 446
Gumarang Sakti 184, 220, 237, 245,
338, 398, 451, 663
Gunagana Communication 345
H
Hero Group 296
Himpunan Mahasiswa Desain Grafis
IKJ 593
Himpunan Pengumpul Komik IKJ
404
Himpunan Wanita Australia dan
Kedubes Australia 112
HIPTA (Himpunan Pelukis Jakarta)
299
Hiroshima Museum of Contemporary
Arts 549
Hivos 468
Hope Foundation 618
Horison 302, 651
Hotel Dharmawangsa 373, 409
Hotel Kartika Chandra 410
Hotel The Westin 633
Hotel Treva 402
I
IDDC (Indonesia Design Development
Center) 565, 581
IFC (Indonesian Fashion Chamber)
577
Ikatan Alumni FFTV IKJ 541, 558, 595
Ikatan Alumni Institut Kesenian
Jakarta (INI IKJ) 583, 599, 601,
614, 647
Ikatan Lenong Jakarta 214
Ikatan Pengajar dan Pelatih Balet
(IPPB) 159, 173, 190, 202, 214, 226,
660
Ikatan Wanita Betawi 214
IKJ Dance Company 358, 370, 390,
446, 453, 519, 553, 580, 613
IKKI (Ikatan Komponis-Komponis
Indonesia) 76
INAFEd (Indonesian Film Editor) 407,
507, 637
Indonesia Teater Foundation 607
Indonesian Contemporary Gamelan
Ensemble 600
Indonesian Dance Community 566
Indosat 566
Indra TV News Agency 437
Info Screening 583, 600
Institut Australia-Indonesia 251, 270
Institut Humor Indonesia Kini 502,
616, 623
Institut Keadilan Global 483
Institut Ungu 422
Inter Studio 78, 116
Intercity Casablanca-Jakarta 319
Interlaken Theater 482
International Council of Design 581
International Design School 528
International Journal of Comic Art
277
IPGI (Ikatan Perancang Grafis
Indonesia) 129, 170
IPJ (Ikatan Pematung Jakarta) 192
ISI (Institut Seni Indonesia)
Yogyakarta 251, 270, 276, 279,
288, 298, 309, 324, 332, 340, 342,
372, 383, 386, 394, 404, 414, 424,
440, 450, 467, 484, 498, 499, 515,
520, 527, 540, 546, 547, 564, 572,
590, 597, 600, 606, 622, 627, 635
Istora Senayan 285, 621
ITB (Institut Teknologi Bandung) 5,
17, 24, 28, 56, 58, 60, 70, 92, 98,
126, 138, 159, 166, 171, 172, 190,
214, 225, 231, 232, 238, 258, 267,
288, 345, 372, 442, 462, 485, 512,
557 571, 591, 606, 622, 623, 659,
662
IVAA (Indonesia Visual Art Archive)
522, 663, 664, 666
J
Jakarta Shakespeare Theater 417
Jenggala Keramik 223
K
[Ki:] Communication 396
Kajanglako Art Centre 390
Kamengski 491, 644, 666
Kanta Indah Film 116
Karaoke World Championships
Organization 627
KBRI (Kedutaan Besar Republik
Indonesia) Maroko 319
KBRI (Kedutaan Besar Republik
Indonesia) Nairobi 485
KBRI (Kedutaan Besar Republik
Indonesia) Seoul 536
Kedai Film Nusantara 150
Kedutaan Besar Australia (Kedutaan
Australia) 112, 270, 460, 586, 589,
619
Kedutaan Besar Finlandia 422
Kedutaan Besar Italia 464
Kedutaan Besar Swedia 377
Kedutaan Besar Swiss 423
Kelompok 13+ 460
Kelompok Condet 220, 661
Kelompok Kompas Gramedia 229,
481, 500, 514, 538
Kelompok Seni Rumah Sunting 529
Kelompok Seni Time Lovers 578
Keluarga Besar Lab School 350
Keluarga Besar Studio Kriya Kayu
(Stuka) IKJ 459
Kementerian Kebudayaan dan
Pariwisata 402, 511
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif 522, 526, 537, 542, 590
Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan 80, 302, 546, 560,
569, 571, 574, 580, 590, 596,
602,604,
618, 620, 621, 625, 637
Kementerian Perindustrian 577, 605
Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi 475
Keraton Ngayogyakarta
Hadiningratan 546
Kijang Group 157, 213, 658
Kineforum 472, 499, 547, 575, 600,
603
Kino Lima Audio Visual 233
Kios Tix 647
Kita Garuda 579
Klub Tari Yayasan LIA 388
KMDGI (Kriyasana Mahasiswa
Desain Grafis Indonesia) 624
KMSTI (Keluarga Mahasiswa Seni
Teater Indonesia) 627
Knossos Theater 400
komikindonesia.com 277
Kompas 129, 133, 135, 193, 500, 543,
627
Komplotan Jakarta 32°C 470, 492
Komunikatif Foundation 441,
Komunitas Cinema Society 397
Komunitas Salihara 498, 509, 543,
548, 553
Komunitas Seniman Teater Solo 610
Komunitas Seniman Yogyakarta 552
Konservatorium Musik Jakarta 418
Korea-Indonesia Cooperation Center
606
Korea-Indonesia Forest Center 544
Korean Cultural Center Indonesia
544, 569
Korean Foundation 625
KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi) 572, 620
Kroncong Tenggara 313
Kursus Balet LPKJ 135
Kursus Tari LPKJ 36, 76, 94, 102, 130,
143
Kyushu Sangyo University 606
L
Lain Band 421
xlvi
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
Langkan Budaya Taratak 179
Lembaga Kesenian Alam
Minangkabau 293
Lembaga Pendidikan Musik Farabi
372, 469
Lembaga Persahabatan Indonesia
Belanda 101
Lembaga Sensor Film 255, 352
Lemka (Lembaga Kaligrafi Alquran)
581
LKB Saraswati 40, 182, 653
London School of Public Relation 637
LPKJ (Lembaga Pendidikan Kesenian
Jakarta) 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12,
13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22,
23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32,
33, 34, 35, 36, 37, 40, 41, 42, 43, 44,
45, 46, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54,
55, 56, 57, 58, 60, 61, 62, 64, 65, 66,
68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77,
78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87,
88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 98, 99,
100, 101, 102, 103, 104, 106, 107,
108, 109, 112, 113, 114, 115, 116,
118, 119, 120, 123, 125, 126, 127,
128, 130, 131, 132, 134, 135, 136,
137, 138, 140, 143, 145, 150, 154,
157, 160, 162, 190, 203, 207, 208,
213, 222, 223, 227, 230, 233, 289,
301, 305, 327, 330, 426, 444, 452,
571, 583, 636, 638, 651, 652, 653,
654, 655, 656, 657, 658, 662
M
Majelis Visual 581
Malaysia Airlines 139
Mall Kelapa Gading 576, 618
Maranatha Art Space 611
Martha Tilaar 198, 437, 576
Masyarakat Seni Pertunjukan
Indonesia (MSPI) 279, 282, 295,
383, 438
Medco Energi 484, 490
Media Indonesia 235, 247, 248, 320,
321, 338, 362, 370, 374, 375, 377,
395, 396, 397, 400, 415, 419, 431,
476, 534, 658, 662, 664
Merpati Indonesia 402
Metro TV 264, 428, 486, 490, 512,
521, 547, 583, 663
Miles Films 286, 322, 387, 389, 403,
454
Miss Tjitjih 212, 313
Mitra Budaya (Lingkar Mitra Budaya)
41, 42, 80, 130, 378, 395, 661
Modern Dance Tarakanita 473
Monash University 266, 306, 441
MTV Indonesia Award 421
MUI (Majelis Ulama Indonesia) 539,
653
Museum Basoeki Abdullah 626
Museum Keramik 80
Museum Macan 557, 663
Museum Pusat 25, 144
Museum Sejarah Jakarta 523, 538
Museum Seni Rupa dan Keramik 466,
552
Museum Tekstil 80, 632
Museum Wayang 60, 80, 126
N
Naif 360, 421, 478, 480, 556, 614
Namarina 143, 159, 190, 214, 226,
333, 597, 660
Nanyang Academy of Fine Art 164
Nanyang Technology University 538
Nasional Demokrat 510
Nastiti Food Solution 618
National Guitar Orchestra 490, 506,
512, 521
National Institute of Arts, Taipei,
Taiwan 358
National Museum of Singapore 439
National Theatre Dance Circle 164,
658
National Theatre Trust 164
Ndalem Kemlayan Surakarta 427
NETPAC (Network for the Promotion
of Asian Cinema) 592
New Jakarta Ensemble 342, 371
Ngeksi Gondo 143, 149
Noken Lab 517, 619
Nuansa Indonesia 191, 212, 229, 262,
661, 662
Nusantara Chamber Orchestra 227
O
O Channel 490
Omega Production 444
Optima Karya Desain 578
Otomotif Group 481
P
Pabrik Kultur 575
Padepokan Apel Watoe 431
Padepokan Lemah Putih 275
Padneçwara 45, 88, 110, 198, 343,
368, 390, 437, 462, 548, 564, 566,
596, 619
Paperina 575, 579, 584, 597
PARFI (Persatuan Artis Film
Indonesia) 12, 35, 72, 78, 174, 181,
244, 256, 653, 654
Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
322
Pasar Seni Ancol 80, 87, 137, 244,
485, 500, 514, 515
Paulinart Art Space & Studio 464
PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa)
102,365, 367, 420, 634
PDS (Pusat Dokumentasi Sastra)
H.B. Jassin v, xi, 153, 422
Pemerintah Daerah Kotamadya
Cimahi 572
Pemerintah Daerah Malang 579
Pemerintah Daerah Provinsi Riau 486
Pemerintah DKI Jakarta 30, 35, 272,
357, 468, 518, 540, 571, 612, 613
Pemerintah Kabupaten Kutai Barat
453
Pemerintah Kota Batu 612
Pemerintah Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta 498
Penataran Tari Rasa Dhvani 37
Penerbit Mizan 567
Pengembang Perumahan Citra Raya
447
Perfin (Peredaran Film Indonesia)
174
Perguruan Cikini 93, 350, 392, 469,
506
Perhimpunan Masyarakat Hak Atas
Kekayaan Intelektual Indonesia
337
Perhimpunan Persahabatan
Indonesia Amerika (PPIA) 187, 350
Perkumpulan Pencak Silat 29
Perkumpulan Program Studi Film
dan Televisi Indonesia (PROSFISI)
590
Perkumpulan Silat Bangau Putih 223
Perpustakaan Nasional RI 612
Persatuan Karyawan Film dan
Televisi Indonesia 205
Persatuan Mahasiswa Jepang-
Indonesia 247
PERSEGI (Persekutuan Seniman
Gambar Indonesia) 77, 142
Pertamina 11, 17, 21, 31, 143, 149,
192, 526, 613, 645, 651, 652
PFN (Perusahaan Film Negara) 12,
166
Planet Senen 367
Plaza Senayan 397, 447, 473
PPCI (Paguyuban Pencinta Cat Air
Indonesia) 435
PPFI (Persatuan Produser Film
Indonesia) 12, 174, 181, 314
Program Bimbingan Anak
Sampoerna 396
Provoke! 509, 523
PT Caltex Pacific 135
PT Ciputra Residence (Ciputra
Group) 447, 550
PT Elang Perkasa Film 548
PT Formis Solusi Indonesia 396
PT Gapura Raya 317
PT HM Sampoerna 477
PT Jaya Raya 135
PT Jelang Era Global 420
PT Medco 296
PT Pop Con Asia 585
PT Putra Alvitra Pratama 331
INDEKS
xlvii
PT Sinema Utama 270
PT Surya Citra Media (SCTV) 110,
300, 412, 524, 635
PT Taman Wisata Candi Borobudur,
Prambanan, & Ratu Boko 326
Pusat Budaya Korea-Indonesia 560
Pusat Kajian Naratif Visual (FSRD
IKJ) 502, 575, 578, 579, 580, 586,
623, 643
Pusat Kebudayaan Jepang 204, 208,
210, 222, 243, 274, 383, 429
Pusat Kebudayaan Rusia 379, 422
Pusat Kesenian Jakarta 3, 188, 279,
388, 406, 571
Pusat Latihan Tari Bagong
Kussudiardja 20
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kesenian Rakyat Jakarta 29, 49
Pusat Perfilman H. Usmar Ismail 45,
55, 202, 204, 283, 284, 358, 405,
412
Putik Cipta (Kursus Seni Rupa IKJ)
166
R
Radio Prambors (Prambors) 168,
481, 500, 514
Ratu Plaza Jakarta 304, 318
Republika 307, 316, 413
Revata Cipta Kreasi 556, 569
Rotterdam Conservatorium 58
ruangrupa 393, 440, 470, 492, 522,
549, 557
Rumah Aktor Indonesia 637
Rumah Budaya Tembi 510, 546
Rumah Musik Harry Roesli 58, 664
Rumah Tahanan Negara Pondok
Bambu 552
Russ Art 583
S
S. Sudjojono Center 538
Saardi Norman Music & Film Prod. 49
Sahabat Seni Nusantara 644
Saitama Arts Theatre 340
Sampoerna 396, 402, 437, 477
Sanggar & Studio Musicasa 540
Sanggar Anak Akar 469, 555, 634
Sanggar Argahari 148, 156, 182, 184
Sanggar Aruni 184
Sanggar Balai Seni Rupa Jakarta 154
Sanggar Seni Langlang 469
Sanggar Susvara 78, 187
Sankara Group 88, 655
Santi Fine Arts Gallery 310
Sarasvati 548
Sasana Krida 204
Satu Merah Panggung 304, 316, 327,
365
Savannah College of Arts and Design
431, 475
Sawo Kecik 495, 582, 666
SEETF (Sentul Eco-Edu Tourism
Forest) 544
Sekolah Menengah Seni Rupa
(SMSR) Yogyakarta 168
Sekolah Pascasarjana IKJ 563, 569,
577, 583, 584, 587, 603, 606, 607,
614, 615, 618, 619, 630, 631, 642,
643
Sekolah Perguruan Cikini 469
Sekolah Seni Rupa Paris 147
Sekte Komik 397, 440, 556
Serikat Pengusaha Reklame Jakarta
492
Shanghai Theatre Academy 520
Sinar Harapan 12, 14, 16, 35, 36, 40,
57, 62, 75, 78, 99, 102, 113, 125,
130, 140, 152, 153, 162, 185, 194,
195, 434, 456, 459, 460, 474, 548,
651, 652, 653, 654, 655, 656, 657,
658, 659, 660
Sinema 8 51, 52, 653
Sinemaflex 643
Sinemata 188, 390, 660
Singapore Broadcasting Corporation
164
Singapore International Film Festival
252, 286, 322, 409
Singapore Ministry of Culture 164
Society for American- Indonesian
Friendship Inc 65, 654
Somalaing Art Studio 38, 440, 634
STK (Sekolah Tinggi Kesenian
Wilwatika 332, 484, 499, 520, 546,
610
STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia)
Bandung 340, 404, 424, 484, 486,
499, 520, 527, 540, 546
STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia)
Surakarta 258, 272, 279, 291, 309,
332, 366, 376, 386, 404, 424,
450, 468
Studi Klub Teater Bandung 447
Suara Pembaruan 220, 245, 288, 290,
291, 310, 344, 348, 365, 374, 394,
414, 661, 662
Sumber Cipta 132, 143, 153, 159, 173,
190, 214, 226, 234, 245, 324, 325,
469, 474, 619, 660, 662
Summarecon Kelapa Gading 576
Surabaya Full Music 412
Surya Kirana 388
T
Taman Budaya Kalimantan Selatan
532
Taman Budaya Padang 162, 430
Taman Budaya Surakarta 365, 446
Taman Budaya Yogyakarta 386, 460,
468, 546
Taman Fatahillah 80
Taman Impian Jaya Ancol 243, 448,
463, 473, 481, 514
Taman Musik Dian Indonesia 271
Taman Sanken Museum Nasional
400
Taman Siswa 61, 144, 222, 654, 657
Tampere Film Festival 409
Teater Adinda 367
Teater Aristokrat 365, 447, 471, 583
Teater ATC (Atlantis Total
Communications) 284
Teater Gapit 307, 447
Teater Hapon 510
Teater Hitam 157, 235, 658, 662
Teater Kaki Lima 43
Teater Keliling 43, 67, 106, 610, 658,
663, 666
Teater Kita 532
Teater Koma 67, 150, 155, 157, 162,
208, 213, 342, 343, 347, 417, 509,
642, 643, 666
Teater Lembaga 32, 37, 49, 56, 57, 69,
78, 84, 91, 106, 122, 123, 131, 156,
157, 172, 183, 201, 213, 236, 247,
310, 325, 327, 330, 338, 361, 365,
374, 377, 400, 444, 458, 583, 652,
653, 654, 655, 656, 657, 658, 659,
662, 664
Teater Makassar 447
Teater Populer xxii, 166, 354, 409,
447, 457, 496
Teater SMAS (Situasi Masyarakat)
157, 263
Teater Suaka 157, 204, 212, 244, 660
Teater Tanah Air 367, 433, 438, 441,
450, 469, 583, 665
Teater Utan Kayu 348, 370, 414, 468
Televisi Pendidikan Indonesia (TPI)
299, 300, 333
Tempo 8, 135, 254, 262, 303, 315, 413,
476, 496, 539, 658, 664, 665
Tempoa Art Gallery 620
Tennis Indoor Senayan 412, 423
Tenun Baron 513
The Berlin House of World Cultures
519
The Brandals 421
The Goodlife 570
The Jadugar 421, 663
The Jakarta Post 38, 341, 344, 346,
476, 628, 663, 664, 666, 667
The Pakubuwono Residence 452
The Society for American Indonesian
Friendship Inc 106
The Upstairs 421, 456, 467, 480, 481,
601, 614
TIM (Taman Ismail Marzuki) 3, 9, 51,
63, 67, 71, 83, 104, 150, 189, 215,
259, 260, 263, 275, 321, 327, 334,
367, 398, 441, 452, 463, 549, 652,
655, 660, 664, 666
xlviii
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
TMII (Taman Mini Indonesia Indah)
79, 310, 394, 624
Toneelschool Arnhem (Belanda) 318
Tuksongo Visual Arts House 431
U
UNESCO 13, 99, 102, 134, 312, 349,
376, 553, 566, 610, 632, 665
United States Information Service
(USIS) 163
United States-Indonesia Society
(USINDO) 588
Universitas Bina Nusantara 584
Universitas Indonesia 8, 110, 179,
232, 277, 284, 302, 308, 329, 345,
357, 360, 379, 432, 470, 475,
651, 666
Universitas Negeri Jakarta (IKIP
Jakarta) 214, 308, 309, 340, 420,
466, 470, 552
Universitas Negeri Padang (IKIP
Padang) 332, 624
Universitas Pelita Harapan 301, 372,
450, 466, 474, 484, 490, 512, 521,
552, 637
Universitas Tarumanegara 41, 345,
581, 635
Universitas Trisakti 8, 41, 44, 138,
171, 267, 288, 308, 322, 552, 609
Universitas Widya Mandala 418
Université Sorbonne Nouvelle 470
University of Wisconsin-Madison 371
Urban Art Forum 555, 607
V
Versus 509
Visinema 355, 535
Visious Studio 565
Visual Arts 509, 519
W
Wahaya Citra Budaya Indonesia 245
Walet Dance Company 485
Wayang Orang Bharata v, 212, 349,
665
White Shoes & The Couples
Company 393, 421, 478, 480, 601,
647
Wiener Internationale Festwochen
298
Y
Yamaguchi Center for Arts and
Media 549
Yamaha Music 301
Yayasan Budaya Pro Helvetia 423
Yayasan Citra 181, 204, 247, 661
Yayasan Gema Patriot 11
Yayasan Indonesia 12, 17, 545, 551
Yayasan Indonesia Lebih Baik (Daya
Lima) 545, 551, 643
Yayasan Karta Pustaka 109
Yayasan Kelola 398, 477, 546
Yayasan Kesenian Jakarta 267, 270,
274, 296, 306, 317, 325, 376, 408,
410, 532
Yayasan Mahabhodi 184
Yayasan Omah Munir (Yayasan
Museum HAM Omah Munir) 612,
625
Yayasan Padamu Negeri 288
Yayasan Peduli Indonesia Makmur
510
Yayasan Pekerti 76, 101, 138, 654
Yayasan Pendidikan Musik 203, 301,
428, 474, 484, 490, 521
Yayasan Pengembangan Disain
Kerajinan Indonesia 236
Yayasan PopCorner Indonesia 396
Yayasan Ratna Budhaya 94
Yayasan Sains Estetika Teknologi
252
Yayasan Saraswati 109
Yayasan Seni Tradisional 108
Yayasan Seni Visual Indonesia 483,
653, 659, 664, 666
Yayasan Taratak 483
Yayasan Tifa 612, 625, 665
Yayasan Ulurkan Tanganmu 377
Yogyakarta Gamelan Festival 386
YSBJ (Yayasan Seni Budaya Jakarta)
571, 582, 583, 593, 602, 604, 614,
629, 642
YSRI (Yayasan Seni Rupa Indonesia)
315, 372, 485, 596
KARYA
#
#Ibuibuibukota (Yola Yulfianti, 2015)
559
A
A Piece of Hope (Syahreza Fahlevi
Gultom, 2019) 631
A Very Slow Breakfast (Edwin, 2002)
454, 461
Aach... Aku Jatuh Cinta (2015) 255
Abimanyu Gugur (Retno Maruti &
Sulistyo Tirtokusumo, 1976) 45,
198, 306, 566, 653, 660
Absolute Zen? (Gatot Prakoso, 1983)
186
Ada Apa Dengan Cinta? (Rudi
Soedjarwo, 2001) 286, 322, 387,
403, 410, 448, 465
Ada Apa Dengan Cinta? 2 (Riri Riza,
2016) 286
Air dan Romi (Garin Nugroho, 1991)
252
Akan Jadi Malam (Jefriandi Usman,
2008) 275
Akkarena Sombali (Wiwiek Sipala,
2010) 47
Aku Ingin Menciummu Sekali Saja
(Garin Nugroho, 2002) 252, 441
Alangkah Lucunya (Negeri Ini) (Deddy
Mizwar, 2010) 199
Alexandria (2005) 507
Anak-Anak Lumpur (Danial Rifki,
2009) 514
Anak Seribu Pulau (Riri Riza & Mira
Lesmana, 1996) 286
Archive of Violence (Irwan Ahmett,
2019) 425
Arie Hanggara (Frank Rorimpandey,
1985) 43, 199
Around the World with Shafira (Sonny
Muchlison, 2007) 264
Atas Angin (S. Trisapto, 1993) 292,
447
Athirah (Riri Riza, 2016) 286, 322, 389
Awan Bailau (Tom Ibnur & Deddy
Luthan, 1984) 110, 148, 177, 659
Ayat-ayat Cinta (Hanung Bramantyo,
2008) 457, 555
B
Bala: Restoration of Behaviour (Irfan
Setiawan, 2018) 595
Balet Folklorik Pendekar Perempuan
(Yulianti Parani, 1977) 57, 654
Ballet Gunung Agung Meletus (Farida
Oetoyo, 1979) 100, 110, 159, 655
Back Up! (Wawan Lewono Suwanto)
641
Bangsal 13 (2004) 403, 465, 489
Batik ing Banten (Sonny Muchlison,
2018)
Bayi Tabung (Nurhadie Irawan, 1989)
232
Bebek Liar (Teater Lembaga, 1980)
132, 690
Becak (Sena Didi Mime, 1987) 207,
208, 213, 219, 248, 661
Becak B Kompleks (Sena Didi Mime,
1990) 246, 248
Being Islamic in Music (Nyak Ina
Raseuki, 2017) 588
Beth (Aria Kusumadewa, 2000) 385,
390
Bingkai Gading (Didi Petet, 1997) 131,
336
Bingkisan untuk Presiden (Aria
Kusumadewa, 1999) 385, 397
Bom Bali I (Daniel Rudi Haryanto,
2004) 511
Brownies (Hanung Bramantyo, 2004)
457, 461
INDEKS
xlix
Bujang Panjudi (Teater IKJ, 1994) 308
Bukan Mimpi (Fitri Anggraini) 553
Bulan Kerkaca (Wiwiek Sipala, 1993)
292
Bulan Tertusuk Ilalang (Garin
Nugroho, 1995) 252, 314, 329, 336
Bulu-bulu Cendrawasih (Nurhadie
Irawan, 1979) 102, 656
Bumi Manusia (Hanung Bramantyo,
2019) 457, 628
Bung Besar (Bambang Budi Santosa,
1980) 62, 125, 220, 657, 661
Burisrawa Rante (S. Kardjono, 1977)
65, 654
C
Ca Bau Kan (2001) 407
Cak Rina (Sardono W. Kusumo, 1976)
42, 247, 653
Calon Arang (I Wayan Diya, 1977) 55
Carmina Burana (Farida Feisol, 1976)
34, 653
Catatan Harian Si Boy (2011) 489, 507
Catatan Si Boy (1987) 208, 229
Catatan Si Emon (1991) 208
Cinta Abadi (Wahyu Sihombing, 1976)
199
Cinta Anak Zaman (1988) 208
Cinta dalam Sepotong Roti (Garin
Nugroho, 1991) 167, 252, 255
Cintaku di Rumah Susun (1987) 150,
255
Circle of Bliss (Sukarji Sriman, 1991)
298
Classroom (Sena Didi Mime, 2016)
215, 568
Connected (Putri Ayu Wulandira) 641
D
Dajang Soembi, Perempuan jang
Dikawini Andjing (Edwin, 2004)
454
Dasar-dasar Apresiasi Film (Marselli
Sumarno, 1996) 133
Daun di Atas Bantal (Garin Nugroho,
1997) 252, 385
Denias, Senandung di Atas Awan
(2006) 359
Dewabrata (Retno Maruti, 1997) 342,
343, 596
Di atas Kursi Busa (Benny
Krisnawardi, 1994) 297
Di Atas Rel Mati (Nur Fitriah & Welldy
Handoko, 2006) 486, 507
Di Bawah Kubah Langit (Tom, Ibnur,
1992) 240, 272
Di Mana Saya? (Anggun Priambodo,
2008) 421
Ditunggu Dogot (Prodi Teater IKJ,
2020) 639, 642
Dolorosa Sinaga: Tubuh, Bentuk,
Substansi (Citra Smara Dewi,
2020) 531, 634
Don Juan (Milan Sladek, 2010) 505
Dongeng dari Dirah (Sardono W.
Kusumo, 1974) 19, 254, 282, 392,
603, 652
Dongeng Kancil untuk Kemerdekaan
(Garin Nugroho, 1999) 252
Dongeng si Kancil (Garin Nugroho,
1995) 326
Driyarkara, Filsuf dari Kedunggubah
(Marselli Sumarno, 2013) 535
E
Eat Shit and Die (Awan Simatupang,
2017) 259
Eiffel, I’m in Love (Nasri Cheppy,
2003) 407
Eliana, Eliana (Riri Riza, 2002) 286,
407
F
Fariasi Minang (Farida Feisol, 1976)
34, 653
G
Get Married (Hanung Bramantyo,
2007) 457, 461, 486
Gandik (Noprian Rauhul) 641
Gie (Riri Riza, 2004) 322, 359, 407,
458, 470
Gugug (Emte, 2018) 561, 622, 644
Guru Bangsa: Tjokroaminoto (Garin
Nugroho, 2015) 208, 445, 55
Gusti Kanjeng Ratu Kalinyamat (Tetet
Srie W. D., 1993) 285
H
Habibie dan Ainun (Faozan Rizal,
2012) 443, 457
Hanifi (Deddy Luthan, 1993) 292
Hanya Satu Hari (Nan T. Achnas,
1988) 273, 276, 284, 412
Hanya Sehari (Nan Triveni Achnas,
1992) 311
Harimau Tjampa (D. Djajakusuma,
1953) 180, 206, 283, 542, 598
Hikayat Emak dalam Mission
Impossible (Agus Nur Amal PM
TOH, 1997) 332
Hikayat Pahlawan si Muka Tembok ini
(Agus Nur Amal PM TOH, 1996)
328
Hilang Tanpa Bekas (Teater Lembaga,
1983) 172, 658
Home Sweet Home (Djoko
Quartantyo, 1978) 83
Hutan Pasir Sunyi (Deddy Luthan,
2014) 96
Hutan Plastik (Sardono W. Kusumo,
1982) 165, 444, 658
Huuu (Nurdin & Marzuki, 1984) 177,
390, 659
I
I, The Witness (Dolorosa Sinaga,
2002) 38, 634
In Cavity vo.01 (Putri Ayu Wulandira)
641
Istana Kecantikan (Wahyu Sihombing,
1989) 160, 229, 352, 344, 665
Istana Pizza (Dian HP, 2003) 271
Itik Buruk Rupa (Nritya Sundara,
1984) 178, 659
J
Jakarta 468 (Ari Ibnuhajar, 1996) 346
Jalur (Gotot Prakosa, 1977) 104
Jawara Sok Kota (Firman Triyadi,
1990) 257
Jiwa Laut (Agus Nur Amal, 2017) 268
Julius Caesar (Teater Lembaga,
1997) 327, 338, 651
K
Kabar-kabari (1996) 346
Kala Bendu (Laksmi Simanjuntak,
1986) 193
Kara, Anak Sebatang Pohon (Edwin,
2005) 454
Kartun Benny & Mice (Benny
Rachmadi & Muhammad Misrad,
2003-2010) 339, 341
Ken Arok (Harry Roesli, 1977) 28, 58,
652
Kerikil-kerikil Tajam (Sjuman Djaya,
1984) 43, 51
Ketika Cinta Bertasbih (Chaerul
Umam, 2009) 199
Ketika Jurnalisme Dibungkam,
Sastra Harus Bicara (Seno Gumira
Ajidarma, 1997) 305
Kiamat Sudah Dekat (Deddy Mizwar,
2003) 199
Kidung Dandaka (Retno Maruti,
Sulistyo Tirtokusumo, Sentot S.,
2016) 564
Kodrat (Slamet Rahardjo, 1986) 233
Kucak Kacik (Arifin C. Noer, 1975) 43
Kucing di Atas Atap Seng yang Panas
(Teater Lembaga, 1984) 183, 659
Kucumbu Tubuh Indahku (Garin
Nugroho, 2018) 252, 628, 664
Kugapai Cintamu (Wim Umboh, 1976)
43
Kuldesak (Mira Lesmana, Riri Riza &
Nan Achnas, 1997) 167, 286, 322,
329, 352, 355, 359, 363, 385, 407,
665
l
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
L
Lagak Jakarta (Benny Rachmadi &
Muhammad Misrad, 1997–1999)
339, 341
Lagu untuk Seruni (Labbes Widar,
1992) 116, 270
Langen Mandra Wanara: Sugriwa-
Subali (S. Kardjo, 1975) 31
Langkah-Langkah Kecil (Yulianto
Krisbiantoro, 1991) 281, 284, 311
Lapindo (Ibnu Nurwanto, 2008) 63
Laskar Pelangi (Riri Riza, 2008) 286,
322, 389, 398, 417, 443, 555, 664,
665
Layar Kata: Menengok 20 Skenario
Pemenang Citra Festival Film
Indonesia, 1973–1992 (Seno
Gumira Ajidarma, 2000) 305, 666
Ledan Knube Pas Gala (Maria Elvitra
P. Mere) 553
Lemantun (Wregas Bhanuteja, 2014)
546, 555, 559, 573, 638, 641
Lenong Jakarta-Bulan PP (Prodi
Teater, Tari, & Etnomusikologi IKJ,
2015) 554
Lidah Basilek, Piriang Badantiang
(Tom Ibnur, 2014) 179, 666
Lobi-lobi Hotel Pelangi (Sena Didi
Mime, 1991) 266
Losmen (Wahyu Sihombing & Tatiek
Maliyati, 1986-1989) 123, 131, 160,
201, 205, 300, 315, 664
Love Is Cinta (Hanny R. Saputra,
2007) 271
M
Maha Guru Tan Malaka (Daniel Rudi
Haryanto, 2018) 511
Mahabutha (Sardono W. Kusumo,
1988) 228, 662
Manuskrip Sajak Sapardi (Indah
Tjahjawulan & Sapardi Djoko
Damono, 2017) 587
Marlina Si Pembunuh dalam Empat
Babak (Mouly Surya, 2017) 215,
489, 497, 595
Mas Bejo (Tatiek Maliyati & Bambang
Rochayadi, 1995) 315
Matinya Pedagang Keliling (Teater
Lembaga, 1976) 49, 653
Mega-mega (Prodi Teater IKJ, 2013,
2015, 2016) 538, 553, 562
Mekanis (Djoko Quartantyo, 1979) 83
Menunggu Godot (Teater Lembaga,
1982, 1989) 156, 157, 236, 658
Menunggu Pak Penting
(Perkoempoelan Sandiwara
SiMas, 1994) 308
Merah (Asri Mery Sidowati, 2009) 498
Meta Ekologi (Gatot Prakosa, 1994)
104, 306
Meta Ekologi (Sardono W. Kusumo,
1979) 110, 112, 113, 656
Minggu Pagi di Victoria Park (Lola
Amaria, 2010) 507, 518
Mixed Media Performance (Sardono
W. Kusumo, 1991) 262
Monolog Diponegoro (R.B.
Armantono, 2019) 616, 617
Musuh Masyarakat (Teater Lembaga,
1975) 32, 652
N
Nagabonar (M.T. Risyaf, 1987) 199
Nagabonar Jadi 2 (Deddy Mizwar,
2007) 199
Nemesis (William Chandra, 2010) 512
Novel Tanpa Huruf R (Aria
Kusumadewa, 2003) 385
O
Obasute (Teater Hapon & Fakultas
Seni Pertunjukan IKJ, 2010) 510
One Way Ticket Bosnia (Tom Ibnur,
1993) 292, 307
Opera Diponegoro (Sardono W.
Kusumo, 1995) 332, 408, 522
Opera Jakarta (Sjuman Djaya, 1985)
189, 200
Opera Jawa (Garin Nugroho, 2006)
252, 488, 664
Out Beyond Ideas of Wrongdoing
and Rightdoing, There Is A Field.
I’ll Meet You There (Sardono W.
Kusumo, 1997) 333
P
Pacar Ketinggalan Kereta (Teguh
Karya, 1988) 233
Pachinko and Everyone’s Happy
(Harry Suharyadi, 2000) 385
Pakarena Bulan’ne (Wiwiek Sipala,
2011) 47
Pakarena Se’reang Bori (Wiwiek
Sipala, 2011) 47
Pakarena Simombala (Wiwiek Sipala,
2000) 47
Pancaitana Bungawalie (Wiwiek
Sipala & Udhin Palisuri, 1995) 310
Para Perintis Kemerdekaan (Asrul
Sani, 1977) 43
Pasir Berbisik (Nan Achnas, 2000)
116, 352, 355, 363, 665
Passage Through the Gong (Sardono
W. Kusumo, 1993) 291
Payau (Yola Yulfianti, 2004) 436
Penangkapan Sukra (Laksmi
Simanjuntak, 1987) 211, 661
Penelitian Seni Rupa Ruang Publik
(Citra Smara Dewi, 2015) 531
Pengabdi Setan (Joko Anwar, 2017)
497
Pengejar Angin (Hestu Saputra, 2011)
160
Penginapan Bu Broto (Tatiek Maliyati,
1987) 315
Pengkhianatan G30S/PKI (Arifin C.
Noer, 1982) 150, 155, 666
Perahu yang Sobek (Dedy Lutan,
2001) 96
Perempuan (Sukarji Sriman, 1994)
306
Perempuan Lala (Dedy Lutan, 2006)
96
Perjalanan Terakhir (Sukarji Sriman,
1993) 298
Pesta Desa Teges Kanginan (Sardono
W. Kusumo, 1976) 42, 653
Pesta Pencuri (Teater Lembaga,
1976) 37, 653
Petualangan Sherina (Riri Riza, 2000)
208, 286, 322, 363, 387, 389, 391,
407, 410
Philosophy Gang (Gang of Harry
Roesli, 1973) 58
Pilihan Sinta (Farida Feisol, 1989)
234, 662
Plong (Putu Wijaya, 1991) 43
Ponirah Terpidana (Slamet Rahardjo,
1984) 180
Posesif (Edwin, 2017) 215, 254
Postcards from the Zoo (Edwin, 2012)
454
Preman Pensiun (2015) 391, 664
Prenjak (Wregas Bhanuteja, 2016)
573
Prison and Paradise (Daniel Rudi
Haryanto, 2010) 511, 633
Puisi Tak Terkuburkan (Garin
Nugroho, 2000) 252, 456
R
Rectoverso (Olga Lydia, Rachel
Maryam, Cathy Sharon, Happy
Salma, Marcella Zalianty, 2013)
461
Rijog, Pasir yang Sunyi (Dedy Lutan,
2004) 96
Rindu Kami Padamu (Garin Nugroho,
2004) 255
Rock Opera Ken Arok (Harry Roesli,
1975) 28, 652
Rocket Rain (Anggun Priambodo,
2014) 421, 663
Ronggolawe (S. Kardjono, 1979) 114,
197, 656, 660
Roro Mendut (Retno Maruti &
Nindityo Adipurnomo, 1982) 88,
548, 655
Rudy Habibie (Hanung Bramantyo,
2016) 457
Rumah di Seribu Ombak (Erwin
Arnada, 2012) 387, 461
INDEKS
li
S
Salawaku (Pritagita Arianegara,
2016) 443
Sampek Engtay (Teater Koma, 1997)
347, 666
Sang Martir (Helfi Kardit, 2012) 461
Sang Pemimpi (Riri Riza, 2009) 286,
322
Sang Penari (Ifa Isfansyah, 2011) 355
Saskcti (Jurusan Teater LPKJ, 1979)
120, 656
Savitri (Retno Maruti, 1977) 298
Sebelum Pagi Terulang Kembali
(Lasja F. Susatyo, 2014) 329
Sebuah Pertanyaan untuk Cinta
(Enison Sinaro, 2000) 407
Sejarah Tokoh Pahlawan Nasional
dalam Visual (Citra Smara Dewi,
2017) 531
Sekar Pembayun (Retno Maruti, 1999)
368
Senyawa (Wregas Bhanuteja, 2012)
559, 573
Serangan Fajar (Arifin C. Noer, 1981)
150
Serenada Insani (Farida Sjuman,
Hurian Adam, June Beckx, &
Yulianti Parani, 1972) 14, 115, 656
Setan Jawa (Garin Nugroho, 2016)
252
Si Badung (Imam Tantowi, 1989) 150
Sinema Elektronik (Anggun
Priambodo, 2009) 421
Singgosano (Tom Ibnur, 1995) 311
Sintak Minangkabau (Boi G. Sakti,
1990) 245
Sitti NurBahaya (Boi G. Sakti, 1994)
307
Sketsa dan Sebuah Kesalahan (Asep
Topan, 2014) 557
Soekarno: Indonesia Merdeka (2014)
461
Solidaritas (Dolorosa Sinaga, 2000)
38
Soloensis (Sardono W. Kusumo,
1997) 344
Sonata Kampung Bata (Riri Riza,
1993) 286, 296, 311
Sonya Ruri (Sulistyo Tirtokusumo,
1976) 45, 653
Suara Neng (Nur Hasanah, 2009) 498
Sukosrono-Sumantri (Sal Murgiyanto,
1993-1994) 173
Suku Yola (Yola Yulfianti, 2011) 528,
541,
Surat untuk Bidadari (Garin Nugroho,
1994) 257, 297, 302
T
Tabib dari Timur (Jecko Siompo &
Agus Noor, 2015) 334
Tak Ada yang Gila di Kota Ini (Wregas
Bhanuteja, 2019) 573
Taksi (Arifin C. Noer, 1990) 233
Tanah Surga... Katanya (Herwin
Novianto, 2012) 257
Tari Putih-Putih (Farida Feisol, 1976)
48, 653
The Concise History of Mass
Murdered of 1965 (Dolorosa
Sinaga, 2017) 38
The River (Trisutji Kamal, 1952) 304
Three Faces of A Man (Farida
Sjuman, 1971) 14
Tiga Manula (Benny Rachmadi, 1998)
339
Tino Sidin Sang Guru Gambar (Kiki
Natez, 2015) 562
Tipografi dalam Desain Grafis
(Danton Sihombing, 2001) 475
Titian Serambut Dibelah Tujuh
(Chaerul Umam, 1982) 180
Titik Api (Harry Roesli, 1976) 58, 664
Tjambuk Api (D. Djajakusuma, 1958)
180, 206, 283
Tjoet Nja Dhien (Eros Djarot, 1988)
233
Tlutur (Hanung Bramantyo, 1997)
Toba Dreams (Benni Setiawan, 2015)
160
Toko Keperluan (Anggun Priambodo)
421
Topeng Betawi Anemer Kodok
(Sumantri Sastrosuwondo, 1976)
49, 653
Tutur Tinular (1989) 116, 247
U
Urban Play (Irwan Ahmett & Tita
Salina, 2010) 425
W
Wayang Orang Roro Jonggrang (1974)
23, 652
Wayang Orang Suprabawati (S.
Kardjono, 1981) 140, 657
We Came from the East (Jecko
Siompo, 2011) 334
Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut
Naga Geni 212 (Angga Dwimas
Sasongko, 2018) 403, 417
Y
Yang Sudah, Sudah (Zhafran Solichin)
641
Yasujiro’s Journey (Faozan Rizal,
2004) 443, 472
Yellow Submarine (Sardono W.
Kusumo, 1977) 62, 70, 654
Yuyun Pasien Rumah Sakit Jiwa
(Arifin C. Noer, 1979) 150
1970–2020
1970–
1979
Rektor LPKJ, Taufiq Ismail (kedua dari kanan) menerangkan situasi kampus baru
LPKJ kepada Ali Sadikin di sebelahnya (ketiga dari kanan). Di ujung kanan adalah
Hazil Tanzil, manajer TIM. [Sumber foto: Kompas, 24 Juli 1975.]
3
Belajar Seni di Cikini
Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) lahir
dan tumbuh pada dekade 1970-an. Kampus yang
kelak bernama Institut Kesenian Jakarta ini resmi
berdiri pada 26 Juni 1970, melengkapi pendirian
Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki
(TIM) dan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dua tahun
sebelumnya, sebagai bagian tak terpisahkan dari
pusat kesenian ibukota.
Sejak semula, LPKJ ikut merintis, menumbuhkan,
dan mengembangkan berbagai gagasan dan kegiatan
seni di ibukota. Upaya-upaya tersebut berjalan seiring
dengan pencarian akan bentuk sistem pendidikan
yang paling pas untuk menyemai seniman muda yang
dicita-citakan.
Dalam seni rupa, LPKJ terlibat dalam Pameran
Seni Lukis Indonesia 1972. Pameran ini kelak
berkembang menjadi bienial seni rupa terbesar
di Indonesia. Dalam pameran kedua pada 1974,
berlangsung apa yang disebut “Desember Hitam”.
Sekelompok seniman muda mengajukan sebentuk
mosi tidak percaya terhadap penilaian dewan juri.
Kelompok ini mengusung gagasan seni rupa baru
Indonesia. Eksponennya termasuk civitas akademika
LPKJ dan gagasan seni rupa baru selanjutnya turut
berkembang di kampus LPKJ.
Dalam seni tari, LPKJ turut mencari bentuk tari
baru yang bisa menyandingkan antara pengaruh
tradisi dan modern. Para koreografer yang juga
pengajar LPKJ rutin menggelar diskusi dan
menampilkan karya di TIM. Farida Feisol, misalnya,
berupaya mengenalkan apa yang sejatinya disebut
balet Indonesia. Adapun Sardono W. Kusumo
mengekspresikan problematika masyarakat
tradisional Nusantara di tengah arus modernitas.
Begitu pula dalam bidang-bidang seni lain.
Para pengajar aktif dalam penciptaan dan kegiatan
berbagai jenis kesenian, termasuk yang melibatkan
masyarakat umum. Hal ini ditopang oleh berbagai
macam diskusi yang digelar di kampus LPKJ dan
TIM. Diskusi itu seringkali mengundang para seniman
dari luar negeri. Pergaulan dengan seniman-seniman
asing menambah wawasan civitas akademika LPKJ
dan menjadi bahan perbandingan dalam penciptaan
kreasi baru.
Faktor lain yang turut mendukung tumbuhkembang
LPKJ adalah posisinya yang terletak di
kompleks TIM. Bersama Dewan Kesenian Jakarta,
LPKJ dan TIM menjadi mata rantai ekosistem
kesenian di Jakarta dan turut menentukan gagasan
kesenian di Indonesia. Peran ini tak bisa lepas dari
dukungan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin yang
menjabat selama 1966–1977. Ialah orang yang turut
merintis pembangunan pusat kesenian ibukota ini.
4 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
1970–
1979
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
5
KARYA • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS, SENI GRAFIS
Prints & Drawings
Popo Iskandar dan Nashar
27 FEBRUARI–
3 MARET 1970
Dua seniman perintis sistem pendidikan
di Akademi Seni Rupa LPKJ berpameran.
Popo Iskandar, ketua pertama Akademi
Seni Rupa LPKJ, yang juga mengajar
di ITB, memajang 30 karya. Karya
lukisannya berupa lukisan cat air dan
gouache, sedangkan karya grafisnya
berupa cukilan hardboard dan monotipe.
Nashar, pengajar yang mendukung pola
pengajaran “pesantren” (bukan sistem
akademik modern), memamerkan 31
karya lukisan dengan cat pastel minyak
dan cukilan hardboard.
PENYELENGGARA
DKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
KOLABORATOR
LPKJ
SPONSOR
DKJ
1970
KARYA • DOSEN • PERTUNJUKAN • TARI • BALET
Tiga Koreografi
Bengkel Kerja Tari
28 APRIL 1970
TEATER BESAR TIM
Tiga koreografi yang mengambil inspirasi
dari karya sastra ditampilkan dalam
pementasan ini. Habis Gelap Terbitlah
Terang mengadaptasi surat-surat R.A.
Kartini, Tjempaka berangkat dari syairsyair
Amir Hamzah, dan Corat-Coret
digarap berdasarkan puisi Chairil Anwar,
“Aku”. Bengkel Kerja Tari LPKJ dipimpin
oleh Farida Sjuman, salah satu pengajar
pertama Akademi Tari LPKJ, yang juga
balerina lulusan sekolah balet Bolshoi,
Moskow.
PENYELENGGARA
Bengkel Kerja Tari LPKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
KOREOGRAFER
Farida Sjuman
PENATA MUSIK
Saroso, I Wayan Diya
PENATA ARTISTIK
Ami Priyono
KELOMPOK TARI
Bengkel Kerja Tari LPKJ
PARTISIPASI • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS
Lukisan-lukisan Batik
Oesman Effendi
21–30 SEPTEMBER 1970
PKJ TIM
PENYELENGGARA
DKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
PARTISIPAN
Oesman Effendi, Zaini, Sriyani,
Mustika
Oesman Effendi menjadi salah seorang seniman yang
menampilkan lukisan batik dengan cara, motif, dan corak baru
dalam pameran ini. Ada 15 lukisan batik karya eksperimen
pengajar Akademi Seni Rupa LPKJ tersebut. Eksperimen
semacam ini kerap mengundang perdebatan. Kalangan
tradisional berpendapat, sampai sejauh manakah eksperimen
itu menyisakan tempat bagi cara, motif, dan corak lama untuk
membuat lukisan batik? Tapi, bagi Oesman, hanya sesuatu
yang indah dan baru itulah yang bisa membuka jalan untuk
menembus kemacetan seni tradisional.
Salah satu lukisan batik yang
dipamerkan.
6 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
KARYA • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS
Pameran Lukisan
Oesman Effendi
23–30 NOVEMBER 1970
PAGI/SORE
RUANG PAMERAN
PKJ TIM
Aktif berpameran sejak 1957, Oesman
Effendi menghadirkan pameran tunggal
keenamnya di TIM. Medium karyanya
beragam: 25 lukisan cat minyak, 10
lukisan cat air, 13 gambar, dan 15
karya grafis yang hampir semuanya
tematis. Lukisan cat minyak dan cat
airnya berjudul Alam Perahu (I–XXXV);
gambarnya menghadirkan Prambanan
(I–X), Arabia (II–III), dan Amerika Selatan
II, dan lima karya grafisnya berjudul
senada: Batik (I–V).
PENYELENGGARA
DKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
PARTISIPASI • DOSEN • FESTIVAL
LPKJ dalam
Pesta Seni Jakarta III
9–16 DESEMBER 1970
TIM
Para pengajar LPKJ ikut memeriahkan
Pesta Seni Jakarta III. Wahyu Sihombing
dan D. Djajakusuma masing-masing
mementaskan teater. Wahyu memimpin
grup teaternya membawakan lakon The
Crucible karya Arthur Miller, sedangkan
Djajakusuma mengangkat wayang orang
gaya baru. Sementara itu, Sardono W.
Kusumo mementaskan tarian dengan
kelompok Creative Dance.
KOLABORATOR
LPKJ
PARTISIPAN
Wahyu Sihombing,
D. Djajakusuma, Teguh Karya,
Sardono W. Kusumo,
Wijatna Hariadi
PARTISIPASI • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS
Dua Pengajar LPKJ
dalam Pameran Pelukispelukis
Jakarta
7–15 JANUARI 1971
09.00–13.00 WIB
17.00–20.00 WIB
LEMBAGA INDONESIA
AMERIKA
PENYELENGGARA
Dinas Seni Rupa, Direktorat
Kesenian, Direktorat Jenderal
Kebudayaan, Departemen P&K
PENDUKUNG
Lembaga Indonesia Amerika
PARTISIPAN
Nashar, Oesman Effendi, Arif
Soedarsono, Djufri Tanissan,
Ipe Ma'aruf, Irsam, Kusnadi,
Mustika, S. Sudjodjono,
Sriwidodo, Sriyani, Suparto,
Zaini.
Diadakan untuk kali pertama, Pameran Pelukis-pelukis
Jakarta ini menampilkan 26 karya. Dua di antaranya adalah
pengajar-pengajar LPKJ: Nashar dan Oesman Effendi. Nashar
menyumbang lukisan Pohon dan Perahu, sedangkan Oesman
membawa Afrika dan Kerintji. Karya keduanya berusaha ikut
mempertemukan ide-ide kebudayaan dari berbagai bangsa dan
zaman sehingga dapat dipahami oleh beragam kalangan.
1971
Sebanyak 13 pelukis warga
Jakarta berpartisipasi.
1970–
1979
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
7
KARYA • DOSEN • PERTUNJUKAN • TARI • MODERN
Koreografi Modern
Tiga Pengajar Tari
12–13 JANUARI 1971
TEATER TERTUTUP TIM
PENYELENGGARA
Bengkel Kerja Tari LPKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
KOREOGRAFER
Farida Sjuman, Huriah Adam,
Julian
KELOMPOK TARI
Bengkel Kerja Tari LPKJ
Menampilkan koreografi terbaru tiga pengajar tari LPKJ,
pertunjukan "Modern Choreography" ini mendapat sambutan
meriah. Tiga penata tari tersebut berupaya mencari
kemungkinan baru dalam bentuk dan musik untuk ciptaannya
masing-masing. Farida Sjuman membawakan empat karya:
Kenangan, Dua Perempuan, dan Kelahiran, yang ketiganya
terinspirasi dari karya-karya Mochtar Embut, serta Aku, yang
mendapat inspirasi dari sajak “Aku” milik Chairil Anwar. Julian
menampilkan delapan tari: Serenada Biru, Serenada Lagu Ibu,
Serenada Mera Padam, Serenada Kelabu, Serenada Putih, Lagu
Angin, Serenada Hitam, dan Serenada Merdjan. Terakhir, Huriah
Adam menghadirkan dua sajian: Sepasang Api dan Irama
Payung.
ACARA • SEMINAR • MUSIK
Alam Bunyi Baru
dalam Karya Musik
Generasi Muda
3, 5, 8 MARET 1971
17.00 WIB
RUANG KULIAH
UMUM LPKJ
TIKET
Rp1.000
Joachim Buhler, peneliti musik dari
Jerman (Barat), diundang untuk
menyajikan materi dalam seminar ini.
Judul presentasinya adalah “Alam Bunyi
Baru sebagai Perangsang dalam Karya
Musik Generasi Muda: Suatu Spektrum
Musik Kontemporer Antara 1950 dan
1970”.
PENYELENGGARA
LPKJ
PENDUKUNG
DKJ & Goethe Institut
PARTISIPASI • DOSEN • FESTIVAL
I Wayan Diya
Mengajar Tari di India
MARET–APRIL 1971
AHMEDABAD, INDIA
I Wayan Diya diundang oleh kelompok tari
Kala Tirtha dari Perguruan Tinggi Shreyas
di Ahmedabad, India, untuk mengajar tari
Bali. Siswa-siswa tarinya nantinya akan
menampilkan hasil pelatihan mereka
bersama Diya di ajang Festival Tari
Indonesia yang akan berlangsung pada
27–28 April 1971 di Ahmedabad. Sebelum
ini, pada 1967 pengajar LPKJ ini sempat
mempelajari tari di India, tepatnya di
Yayasan Kalakshetra, Madras.
KOLABORATOR
Kala Tirtha (Perguruan Tinggi
Shreyas, Ahmedabad)
KARYA • DOSEN • PERTUNJUKAN • TARI • TRADISIONAL
Tari Jawa Gaya Surakarta
11–12 JUNI 1971
TEATER ARENA &
TEATER TERBUKA TIM
Tari Jawa bergaya Surakarta ini
ditampilkan oleh para pengajar tari LPKJ
dan penari yang berpengalaman tampil
di berbagai negara, di antaranya Sardono
W. Kusumo, Edi Sedyawati, dan Retno
Maruti. Mengiringi mereka adalah para
penari lain dari Surakarta. Koreografi yang
ditampilkan merupakan hasil penggalian
kembali bersama seniman tari Surakarta,
Wignya Hambeksa.
PENDUKUNG
PKJ TIM
SPONSOR
Bali Kencana Impressario
PENARI
Sardono W. Kusumo,
Edi Sedyawati, Martati
Tohiran, Retno Maruti,
Wignya Hambeksa
8 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
KARYA • DOSEN • PERTUNJUKAN • MUSIK
Konser Piano Rudy Laban
dan Iravati M. Sudiarso
28 JUNI 1971
TEATER BESAR TIM
PENDUKUNG
PKJ TIM
Dua pianis LPKJ, Rudy Laban dan Iravati Sudiarso, menampilkan
repertoar piano klasik dan modern seperti Johann Christian
Bach, Sergei Rachmaninoff, Camille Saint-Saëns, Margaret
Sutherland, “Sarinande Variations” karya Trisutji Kamal. Menurut
media, penampilan keduanya mendapat perhatian yang cukup
besar.
Iravati menempuh pendidikan musiknya di Koninklijk
Muziek Conservatorium, Belanda (lulus 1958), dan Peabody
Conservatory of Music, AS (lulus 1963). Ia salah seorang
pengajar pertama di Akademi Musik LPKJ. Sementara itu, Rudy
Laban memperoleh beasiswa untuk belajar di Conservatoire
National Supérieur de Musique, Prancis (lulus 1959). Ia juga
anggota Komite Musik DKJ (1968–1971) dan ikut merumuskan
sistem pendidikan musik di LPKJ.
PARTISIPASI • MAHASISWA • PAMERAN • SENI RUPA
Mahasiswa LPKJ dalam
Pesta Seni Mahasiswa
JULI–AGUSTUS 1971
PENGGAGAS &
PENYELENGGARA
BKSKMI (Badan Kerja
Sama Kesenian Mahasiswa
Indonesia)
PENDUKUNG
DCI DJaya
PARTISIPAN
LPKJ: Sjahrir, Dodo, R.W.
Moeljadi, Fathoni, Basuki,
M. Sulebar, Toto Ribudijanto,
Wendibari, Lesmana, Sjamsi
Basjir, Wahju Widjaja,
Bambang Sasmito, Nasrul
Thaher, Windradiati, M.D. Elly
Ridwan, Edy R.M., Harmanto,
Sugeng. Perguruan Tinggi
Publisistik: Ipung Gozali.
Universitas Trisakti: Basuki
Triwidodo, Erwin, Merdy Kanto,
Ciska T. UKI (Universitas
Kristen Indonesia): D.
Hutasoit. Universitas
Indonesia: Pudjianto, Won,
Atang Amsjahdi. STSRN
(Sekolah Tinggi Seni Rupa
Nasional): Hilmy Hamka.
Pameran ini berusaha memetakan bakat dan pencapaian
mahasiswa Jakarta di bidang seni rupa. Menampilkan 56
karya seni rupa mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di
Jakarta, yang merupakan seleksi dari 205 karya yang masuk.
Penyeleksian dilakukan oleh tiga juri: Mara Karma, Mustika, dan
Kusnadi.
Kritikus seni rupa Dan Soewaryono menyatakan bahwa
karya-karya dalam pameran ini cukup lumayan untuk ukuran
mahasiswa. Tetapi W.S. Rendra berpendapat lain. “Tidak
ada suasana,” katanya. Bagaimanapun, majalah Tempo (Juli
– Agustus 1971), menyebut beberapa karya yang dianggap
menonjol. Salah satunya karya Sjahril, mahasiswa LPKJ, yang
terlihat mengambil inspirasi dari karya Oesman Effendi, pelukis
sekaligus pengajar di kampusnya. Lebih jauh, Tempo berharap
pameran ini selanjutnya mampu menampilkan karya-karya yang
lebih utuh.
Sampul katalog pameran
Pentas Seni Mahasiswa 1971
(koleksi DKJ).
1970–
1979
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
9
KARYA • DOSEN • PERTUNJUKAN • TARI
Lima Karya
Bengkel Kerja Tari
27 JULI &
4–5 AGUSTUS 1971
TEATER TERBUKA &
TEATER TERTUTUP TIM
Para penari dalam nomor
Malin Kundang, sebagaimana
dimuat di Api Pancasila
(25 Juli 1971)
Pendirian Taman Ismail Marzuki (TIM)
sebagai pusat kesenian pada 1968
memacu tumbuhnya gagasan baru
tentang tari tradisi dan modern. Gagasan
itu antara lain diwujudkan oleh Bengkel
Kerja Tari LPKJ, yang rutin mengadakan
diskusi dan pertunjukan untuk mengolah
segala kemungkinan baru dalam tari.
Hasilnya bisa dilihat dalam pertunjukan
ini, buah kreasi empat koreografer
Bengkel dan seorang koreografer tamu
dari Amerika Serikat.
I Wayan Diya mempersembahkan
Warna-Warna yang merupakan penafsiran
kehidupan alam bebas di hutan. I Made
Netra membawakan Obor. Huriah Adam
mengangkat unsur gerak tari Minang,
balet, dan pantomim dalam Malin
Kundang, sedangkan Sardono W. Kusumo
juga menghadirkan beberapa nomor
pantomim. Adapun Irwan Holmes, sang
koreografer tamu, menampilkan The
Kingdoms. Seluruh dekor dan kostumnya
dikerjakan oleh pelukis Danarto. Para
penarinya sendiri terdiri atas mahasiswamahasiswi
Jurusan Tari LPKJ.
PENYELENGGARA
Bengkel Kerja Tari LPKJ
KOLABORATOR
Irwan Holmes
PENDUKUNG
PKJ TIM
KOREOGRAFER
Huriah Adam, Sardono W.
Kusumo, I Wayan Diya, I
Made Netra, Irwan Holmes
PENARI
Farida Sjuman, Julian, Sentot
Sudiharto, S. Kardjono,
Suni Sistiawati, Saburo,
Linda Karim, Sukipno, Evie
Sjarief, Sukmawati Sukarno
Putri, Iwan Setiawan,
Dedi Hendrawanto,
Susilohardjo, Safi Munasti,
Retno Suharjati, Richard
P., Ahmad Omar, Tati S.
10 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
PARTISIPASI • DOSEN • FESTIVAL • TARI • TRADISIONAL
Urun Kreasi
dalam Festival
Internasional Ramayana
31 AGUSTUS–
17 SEPTEMBER 1971
PANDAAN,
JAWA TIMUR
PENYELENGGARA
National Committee For
the International Ramayana
Festival
PARTISIPAN
Edi Sedyawati, Sardono W.
Kusumo, dll.
PARTISIPASI • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS
Lukisan-lukisan Nashar,
Sriyani, dan Zaini
23–30 OKTOBER 1971
TIM
PARTISIPAN
Nashar, Zaini,
Sriyani Hudyonoto
Festival Internasional Ramayana, yang digelar untuk kali pertama
di Pandaan, Jawa Timur, melibatkan 10 kelompok tari dari tujuh
negara, yaitu Burma (kini Myanmar), India, Indonesia, Khmer
(kini Kamboja), Malaysia, Muangthai (kini Thailand), dan Nepal.
Semua negara ini memiliki tradisi pewayangan dan wiracarita
Ramayana yang berasal dari India. Ketua Penyelenggara Edi
Sedyawati, yang juga salah satu pendiri Akademi Tari LPKJ,
menuturkan bahwa para penari menyajikan garapan baru,
percampuran antara unsur tradisional dari masing-masing
negara. Umar Kayam, pengamat seni sekaligus pengajar LPKJ,
melihat ada beberapa hal yang mengikat negara-negara peserta.
Misalnya pertautan sejarah, kultur yang berangkat dari sawah,
dan sikap hidup. Dengan itu, proses berkesenian menjadi lebih
kreatif dan inovatif.
Festival ini dibuka oleh Presiden Soeharto dan dihadiri lebih
dari 30 ribu orang. Inilah festival tari terbesar yang mengambil
Ramayana sebagai lakonnya. “Tidak pernah ada sebelumnya
10 grup tari di Asia tampil bersama dalam satu festival,”
catat James R. Brandon, akademisi dari University of Hawaii
(Educational Theatre Journal, Mei 1972). Dari Indonesia, Sardono
W. Kusumo tampil sebagai penari tunggal dengan peran sebagai
Laksmana, saudara kandung Rama. Penampilan kelompok Bali
dan Yogyakarta juga disebut cukup mengesankan oleh Brandon.
Sebuah pameran seni rupa seringkali diharapkan menampilkan
sesuatu yang baru dari para seniman yang terlibat. Sayangnya,
pameran tiga pelukis ini dianggap belum mampu memenuhi
harapan itu. Tetapi selalu ada catatan untuk dikemukakan.
Misalnya, Nashar dianggap menegaskan konsistensinya pada
gagasan tentang kemurnian dan sentimen pribadi. “Tema
lukisan Nashar tidak beranjak dari tema-tema biasa, yakni
orang-orang, perahu, dan rumah rakyat,” catat Mara Karma
(Kompas, 13 November 1971). Sementara itu, Zaini dianggap
cenderung bermain-main dengan gaya alih-alih mempertajam
wawasan mengenai subjek yang dilukis. Terakhir, karyakarya
Sriyani, satu-satunya yang bukan pengajar LPKJ dalam
pameran ini, dianggap belum menyatakan suatu ekspresi—
sekadar “pergumalan cat lawan cat.”
[Kiri] Dokumentasi karya
Sriyani, Wanita (Kompas,
13 November 1981). [Kanan]
Dokumentasi sebuah karya
Zaini, Perahu (Kompas 13
November 1971).
1970–
1979
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
11
PARTISIPASI • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS
Karya Pengajar LPKJ
di Pameran Cipta
Art Gallery
7–15 JANUARI 1972
RUANG PAMERAN
PKJ TIM (CIPTA ART
GALLERY)
Menurut DKJ sebagai penyelenggara pameran ini, “Janggal
apabila Jakarta sebagai Ibukota sampai saat ini belum memiliki
suatu art gallery seni rupa yang nasional lingkupannya.”
Maka, ruang pameran di PKJ TIM, selama tidak ada acara,
dimanfaatkan sebagai galeri tersebut. Pada awal 1971 yang
mengisi pameran adalah koleksi DKJ dan Pertamina. Para
pengajar LPKJ turut menampilkan karyanya, seperti D.A. Peransi
dengan Imaji dan Srihadi dengan Pemandangan.
1972
PENGGAGAS &
PENYELENGGARA
DKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM, Pertamina
[Dari kiri ke kanan] Karya Zaini,
Pemandangan; karya Widayat,
Ke Pasar; karya D.A. Peransi,
Imaji.
PARTISIPASI • DOSEN • DISKUSI
Umar Kayam dalam
Diskusi Kebudayaan
25–26 MARET 1972
BALAI BUDAYA,
JAKARTA
PENYELENGGARA
Yayasan Gema Patriot
KOLABORATOR
LPKJ
PEMBICARA
Umar Kayam (LPKJ) &
Prof. Usep Ranawidjaja S.H.
(Anggota DPR)
Dalam diskusi “Peranan Kebudayaan dalam Pembinaan
Mental Generasi Muda”, Umar Kayam menjelaskan pengertian
kebudayaan, bahan-bahan pembentuknya, cara mengolah
bahan-bahan itu, arah kebudayaan, dan keterlibatan generasi
muda dalam menentukan arah tersebut. Menurut Rektor LPKJ
yang juga sastrawan dan sosiolog ini, kebudayaan adalah
seluruh karya, rasa, dan cipta masyarakat. Bahan-bahannya
berasal dari masa lalu. Untuk masa kini, bahan-bahan itu harus
diolah kembali. Di sinilah pentingnya peran generasi muda
sebagai pengolah bahan-bahan mentah itu. Hasil pengolahan
mereka akan menentukan arah kebudayaan Indonesia. Bagi
Umar Kayam, kebudayaan Indonesia sedang dalam proses
mengada. Ia bukan sesuatu yang final, melainkan selalu menanti
untuk diolah.
ACARA • CERAMAH • SASTRA
Ceramah Sastra
Achdiat K. Mihardja
30 MARET 1972
11.30 WIB
RUANG KULIAH LPKJ
LANTAI III
Achdiat K. Mihardja, pengarang novel Atheis yang terkenal,
memberi ceramah tentang novelnya, dunia sastra, dan karangmengarang.
Hadir pula dalam ceramah tersebut tokoh-tokoh
kebudayaan seperti H.B. Jassin, Sutan Takdir Alisjahbana, Umar
Kayam (Rektor LPKJ), Ajip Rosidi, Ali Audah, dan Ramadhan K.H.
12 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
ACARA • PAMERAN • FILM
Pameran Dokumentasi
Film Indonesia
30 MARET–
3 APRIL 1972
PAGI DAN SORE
RUANG PAMERAN TIM
PENGGAGAS &
PENYELENGGARA
Pusat Penelitian/Dokumentasi
Teater, Tari, dan Film LPKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM, Persatuan Produser
Film Indonesia (PPFI),
Persatuan Artis Film Indonesia
(PARFI), Perusahaan Film
Negara, dan Yayasan
Indonesia
Pusat Dokumentasi/Penelitian Teater, Tari, dan Film LPKJ
didirikan pada 1971 untuk mendokumentasikan karya-karya
terkait teater, tari, dan film. Di bagian film, misalnya, badan
ini telah berhasil mengumpulkan film-film lama karya Andjar
Asmara dan Boes Bustami, skenario, poster, dan kamera
yang dipakai dari 1924 sampai 1972. Koleksi berbagai pihak
itu kemudian dipinjam dan dipamerkan dalam Pameran
Dokumentasi Film Indonesia ini.
Misbach Yusa Biran, Ketua Bagian Film Pusat Dokumentasi/
Penelitian, mengatakan belum cukup puas dengan koleksi
tersebut. Dia berharap suatu hari nanti badan ini akan
berkembang menjadi sebuah sinematek atau perpustakaan film
yang juga memiliki museum film. Dua tahun kemudian, Misbach
mengajukan proposal pendirian Sinematek Indonesia kepada Ali
Sadikin, Gubernur DKI Jakarta. Pada 1975, Sinematek Indonesia
resmi berdiri, sebagai lembaga arsip film pertama di Asia
Tenggara.
PARTISIPASI • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS
Pengajar LPKJ
dalam Pameran
Pelukis-pelukis Jakarta
2–8 MEI 1972
RUANG PAMERAN TIM
PENGGAGAS &
PENYELENGGARA
DKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
PARTISIPAN
Oesman Effendi, Nashar, Arief
Soedarsono, Baharuddin M.S.,
Djufri Tanissan, S. Hadi A, Ipe
Ma'aruf, Irsam, Jus Rusamsi,
Juzwar, Kusnadi, Mardijanto,
Mustika, D.A. Peransi, Sriyani
Hudyonoto, Subakir Wirda,
S. Sudjojono, Soedarso,
Sukamto, Suparto, Trisno
Sumardjo (almarhum), Zaini
Karya-karya para pengajar LPKJ ikut menyemarakkan pameran
Pelukis-pelukis Jakarta. Antara lain, Nashar menghadirkan
Parangtritis II, Parangtritis VI, Kota Djakarta, dan Puntjak;
Oesman Effendi menyajikan Alam Perahu; sedangkan Sukamto
menyuguhkan Irisan Batu Putih I dan II. Kritikus seni Bambang
Bujono dalam Sinar Harapan (22 Mei 1972) memuji karya Nashar
dalam pameran ini, “Kekuatan Nashar adalah terletak dalam
kewajarannya.”
Pameran ini, oleh DKJ sebagai penyelenggara, adalah
semacam “perhitungan”, yang diniatkan untuk terselenggara
secara berkala. Perhitungan yang dimaksud pada dasarnya
adalah untuk mencari tahu daya inovasi, kreasi, dan ekspresi
para pelukis ibukota dalam merespons dunia dan masyarakat di
sekelilingnya.
ACARA • DISKUSI • TARI • TRADISIONAL
Diskusi Tari Topeng
dan Gambuh Bali
MEI 1972
TEATER TERTUTUP TIM
PENYELENGGARA
Seniman-seniman Bali
KOLABORATOR
LPKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
Diskusi para seniman ini membeberkan wawasan menarik dari
dunia tari Bali, utamanya tari topeng dan gambuh. Kedua ragam
tari Bali ini mensyaratkan para penari untuk tampil menggunakan
topeng. Tapi masing-masing punya penyajian berbeda. I Wayan
Diya menjelaskan, tari topeng lebih memberi ruang kebebasan
bagi penari. Lagu dan gending yang mengiringi juga terdengar
lebih pendek dan diulang-ulang untuk mendukung kebebasan
gerak tersebut. Adapun tari gambuh ketat dalam aturan, baik
gerakan maupun musik yang mengiringinya. Dengan demikian,
kemurnian gambuh lebih terjaga daripada tari topeng. Tetapi
karena itu pula tari gambuh perlahan ditinggal orang. Padahal,
pada masa lalu, tari gambuh sering dipentaskan untuk berbagai
keperluan seperti mencegah wabah atau pagebluk.
1970–
1979
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
13
PARTISIPASI • DOSEN & MAHASISWA • FESTIVAL SENI
LPKJ dalam Pesta
Seni Mahasiswa II
3–9 JULI 1972
TEATER ARENA TIM,
RUANG KULIAH
UTAMA LPKJ
PENGGAGAS &
PENYELENGGARA
BKSKMI (Badan Kerja
Sama Kesenian Mahasiswa
Indonesia)
PENDUKUNG
PKJ TIM, LPKJ
PARTISIPAN
Slamet Iman Santoso,
Satyagraha Hoerip, M. Sulebar
Sukarman (LPKJ ), Umar
Kayam (LPKJ), Arief Budiman
(LPKJ), dan para mahasiswa
seni dari LPKJ, STSRI “ASRI”
(Yogyakarta), AKSERA
(Surabaya), serta berbagai
perguruan tinggi lain.
Pesta Seni Mahasiswa (PSM) yang menampilkan pelbagai karya
mahasiswa di bidang teater, seni rupa, musik, dan puisi, digelar
untuk kali kedua. Panitia mengundang berbagai kelompok
seni dan peserta individual dari beragam perguruan tinggi
se-Indonesia. Untuk kategori pameran seni rupa, mahasiswa
LPKJ tercatat sebagai peserta terbanyak. Menurut kritikus seni
Bambang Bujono di Kompas (18 Juli 1972), hampir semua karya
seni rupa mahasiswa masih tahap studi, belum sampai tahap
eksperimen. Artinya, pengaruh dari luar atau apa yang diketahui
lebih kuat tampil di karya-karya mereka ketimbang pengaruh dari
dalam dan apa yang diyakini.
Selain pameran dan pertunjukan seni, PSM juga diselingi
oleh lokakarya dan diskusi. Tapi sayangnya minat mahasiswa
untuk mengikutinya sangat rendah. “Mahasiswa tak cukup
minat untuk setidak-tidaknya mulai berpikir tentang seni,
seni dan kampus, atau perlunya koordinasi dalam seni,” catat
Kompas, 17 Juli 1972. Dalam salah satu diskusi, pengajar dan
mahasiswa LPKJ tampil sebagai pemateri, yaitu Arief Budiman
dan M. Sulebar Sukarman. Arief menyampaikan pentingnya
kritik seni, sedangkan Sulebar membahas latar belakang dan
harapan terhadap PSM. Adapun festival drama, yang juga
salah satu mata acara, dianggap memperlihatkan kurangnya
kesungguhan mahasiswa umumnya dalam mempelajari selukbeluk
pementasan drama.
ACARA • CERAMAH
Ceramah
C. A. van Peursen
26 JUNI 1972
20.00 WIB
RUANG KULIAH
UMUM LPKJ
PENYELENGGARA
LPKJ
Ceramah berbahasa Inggris dengan tema “Kreativitas” ini
dibawakan oleh Prof. Cornelis Anthonie van Peursen, guru
besar Universitas Leiden. Diberitakan oleh Merdeka (28 Juli
1972) bahwa di Belanda, Prof. Peursen dikenal sebagai ahli
filsafat dan sastra. Ia juga pernah menjadi anggota Komite
Belanda untuk UNESCO, serta memberikan ceramah atau kuliah
umum di berbagai kota di dunia, termasuk Jakarta, Depok, dan
Yogyakarta.
ACARA • SEREMONI • MUSIK
Kursus Musik
untuk Remaja
4 AGUSTUS 1972
TEATER ARENA TIM
PENYELENGGARA
Akademi Musik LPKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
Kursus musik untuk remaja yang diselenggarakan oleh LPKJ
resmi dibuka. Pada pembukaan kursus, tercatat 26 siswa
mendaftar untuk berlatih biola dan 61 siswa belajar suling, yang
dibagi atas beberapa kelompok lagi. Kursus ini terbuka bagi
remaja usia 11 tahun dengan kelas yang berlangsung tiap sore.
Franz Harjadi, ketua Akademi Musik LPKJ, mengatakan
bahwa kursus ini bertujuan membentuk kepribadian anak
melalui musik. Sementara Asrul Sani, Ketua LPKJ, menyatakan
kursus musik harus terus berinovasi mencari metode
pengajaran yang paling baik. Terakhir, D. Djajakusuma, pengajar
LPKJ, melihat kursus musik untuk remaja penting untuk
mengembangkan bakat musik mereka.
14 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
PARTISIPASI • DOSEN • PELATIHAN • TARI
LPKJ dalam
Apresiasi Tari Remaja
17 SEPTEMBER 1972
12.00 WIB
GELANGGANG REMAJA
BULUNGAN,
JAKARTA SELATAN
PENYELENGGARA
Gelanggang Remaja & DKJ
KOLABORATOR
LPKJ
Remaja perlu didekatkan dengan tari-tarian agar dapat tumbuh
kecintaan mereka akan kegiatan tersebut. Salah satu caranya
adalah lewat apresiasi tari secara berkala di Gelanggang
Remaja-Gelanggang Remaja ibukota. Dalam Apresiasi Tari ini,
para pengajar Akademi Tari LPKJ didatangkan untuk mengisi
materi, baik secara teoretis maupun praktik. Materi tersebut
mencakup beragam jenis tari, seperti balet, Sunda, Bali, dan
Jawa. Masing-masing jenis tari kemudian dibedah berdasarkan
aliran, teknik, dan gaya. Untuk pertemuan pertama kali ini, tema
yang dipilih adalah tari balet.
ACARA • CERAMAH
Ceramah Arief Budiman
22 SEPTEMBER 1972
RUANG KULIAH UMUM
LPKJ
PENYELENGGARA
LPKJ
Ceramah Arief Budiman dihadiri oleh mahasiswa dari semua
jurusan LPKJ. Dengan topik “Seniman dan Masyarakat”,
materinya berkenaan pula dengan kesenian tradisional dan
modern. Seperti dimuat Sinar Harapan (25 September 1972),
kesenian tradisional menurut Arief mudah ditangkap oleh
masyarakat, yang berbekal memori kolektif. Sementara
kesenian modern lebih bersifat ekspresi individual karena sifat
masyarakat modern lebih terpecah-pecah. Pengajar LPKJ
sekaligus anggota DKJ ini juga menggarisbawahi pentingnya
penemuan ide baru dan keautentikan diri dalam praktik seni.
KARYA • DOSEN • PERTUNJUKAN • TARI
Pentas Tari Modern
dan Folklorik
23–24 OKTOBER 1972
TEATER TERTUTUP TIM
PENDUKUNG
PKJ TIM
KOREOGRAFER
Farida Sjuman, Huriah Adam,
June Beckx, Julian
PEMAIN
Yulianti Parani, Sentot
Sudiharto, Tri Sapto
Koreografer dan pengajar tari Farida Sjuman bersama kawankawan
mementaskan beberapa gubahan tari modern dan
folklorik. Huriah Adam menafsirkan kehidupan perkawinan
di daerah asalnya, Sumatra Barat, lewat Payung. Julian
menampilkan responsnya atas sajak-sajak W.S. Rendra dalam
Serenada Insani. Sementara June Beckx tampil dengan inspirasi
dari musik jazz. Diberitakan Nusantara (17 Oktober 1972),
bahwa Rudjito, pengajar Akademi Seni Rupa LPKJ, berperan
sebagai penata panggung. Farida Sjuman sendiri membawakan
ciptaannya, Three Faces of A Man, yang sebelum ini juga
ditampilkan dalam Pekan Seni Kontemporer 1971.
Ilustrasi penari sedang
memantaskan hasil
koreografinya. (Hanya ilustrasi,
bukan foto acara sebab berita
tayang sebelum pementasan
tari dilakukan.)
1970–
1979
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
15
PARTISIPASI • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS
Pengajar LPKJ
di Cipta Art Gallery II
1–5 & 13–20
NOVEMBER 1972
09.00–13.00 WIB
17.00–21.00 WIB
RUANG PAMERAN
PKJ TIM
(CIPTA ART GALLERY)
DKJ mengadakan kembali pameran
tetap di Cipta Art Gallery. Kali ini dengan
menampilkan karya 22 pelukis. Lukisanlukisan
yang dipamerkan sebagian
berasal dari koleksi DKJ, lainnya dipinjam
dari para pelukis. Beberapa pengajar
LPKJ, seperti Oesman Effendi, Nashar,
dan Sukamto, kembali berpartisipasi.
PENYELENGGARA
DKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
PARTISIPASI • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS
Pengajar LPKJ dalam
Pameran Seni Lukis
Indonesia 1972
15 DESEMBER 1972–
8 JANUARI 1973
TIM
Pameran ini nantinya menjadi cikalbakal
helatan yang berkembang sebagai
bienial seni rupa terbesar Indonesia.
Bambang Bujono (Kompas, 5 Januari
1973), mengomentari bahwa karya-karya
para pelukis yang dipamerkan kehilangan
emosi dan tanpa makna. Hanya Affandi
yang karyanya layak diacungi jempol.
Sementara Srihadi (LPKJ), Fadjar Sidik,
dan Nashar (LPKJ) mendapat sedikit
pujian.
Kritik Bambang dibalas oleh Kusnadi
(Kompas, 12 Februari 1973) yang
mengkritik balik penilaian Bambang.
Menurut Kusnadi, Bambang kurang
mengapresiasi seniman muda. Seniman
yang Bambang puji semuanya telah
senior—maka, menurut Kusnadi, wajar bila
karyanya bagus. Sementara seniman yang
karyanya dikomentari negatif merupakan
seniman muda yang jam terbangnya tak
sebanyak pelukis senior.
PENYELENGGARA
DKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
PARTISIPAN
Affandi, Srihadi, Fadjar Sidik,
Nashar, G Sidharta, Abas
Alibasyah, Otto Jaya, D.A.
Peransi, Mulyadi W., Sunarto
P.R., Supono O.H., Zaini
ACARA • KONFERENSI • TARI
Pertemuan Koreografer
Indonesia 1972
18–19 DESEMBER 1972
TEATER TERTUTUP TIM
PENDUKUNG
PKJ TIM
Koreografer Edi Sedyawati, Ketua Akademi Tari LPKJ, membuka
ajang ini lewat makalah berjudul “Beberapa Masalah dalam
Penciptaan Tari di Indonesia”. Menurut Edi, tari adalah seni
yang memerlukan kontak langsung antara seniman dengan
penikmatnya, yang artinya mempertimbangkan aspek ruang
dalam penciptaannya. Di sisi lain, tari juga seni yang dimakan
waktu, yang memiliki aspek temporal pula. Maka, untuk
mewadahi daya cipta dalam seni ini, dibutuhkan persiapan di
pihak lingkungan penikmatnya agar tari dapat diapresiasi sebaik
mungkin. Demikianlah yang dilontarkan Edi Sedyawati untuk
merangsang diskusi selama dua hari tersebut yang dihadiri pula
oleh Bagong Kussudiardja, Yulianti Parani, Sardono W. Kusumo,
Farida Sjuman, dan Wisnu Wardhana.
16 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
ACARA • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS
Empat Puluh Lukisan
D.A. Peransi
26 MARET–
1 APRIL 1973
PAGI–SORE
RUANG PAMERAN
PKJ TIM
PENGGAGAS &
PENYELENGGARA
DKJ
KOLABORATOR
LPKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
D.A. Peransi adalah seniman serba bisa lulusan Sastra Indonesia
UI. Pengajar sinematografi LPKJ ini mendalami tidak hanya
sastra, film, dan dunia pemikiran tetapi juga lukisan. Pameran ini
menghadirkan 40 lukisannya; semuanya diberi judul Imaji—dari
Imaji Satu sampai Imaji Empat Puluh. Menurut kritikus Bambang
Bujono di Sinar Harapan (14 April 1973), lukisan-lukisan Peransi
mencoba mengungkapkan alam dalam tangkapan metafisis—
tidak bertolak dari bentuk, tapi dari sapuan warna-warna.
Lukisannya berdasarkan tangkapan dari alam dalam artian
luas, sehingga hasilnya bukanlah abstrak murni. Dalam katalog
pameran ini, dimuat juga wawancara Taufiq Ismail dengan
sang seniman, bertajuk “Seni Modern Pertanda Kematian
Kebudayaan”.
1973
Kulit muka buku katalog
Pameran 40 Lukisan
D.A. Peransi
PARTISIPASI • DOSEN & MAHASISWA • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS
Mahasiswa LPKJ dalam
Pameran 14 Pelukis Muda
2–8 APRIL 1973
09.00–14.00 WIB &
17.00–21.00 WIB
BALAI BUDAYA,
JAKARTA
PENYELENGGARA
Balai Budaya, Jakarta
PARTISIPAN
LPKJ (Jakarta): Dick Sjahrir,
Nasrul, Ibnu Darmanto,
Abirohim, Lesmana, Wahyu
Widjaja, Ahmed Sjokwed,
Basuki; Museum Nasional
(Jakarta): Wahyono M.; Aksera
(Surabaya): Nuzurlis Tato,
Nunung
Pengajar LPKJ, Nashar, membuka pameran bersama 14
seniman muda ini. Sebelas di antaranya adalah mahasiswa
yang masih menempuh pendidikan di Akademi Seni Rupa LPKJ.
Total ada 54 karya lukis yang dipamerkan. Dalam sambutannya,
Nashar menyatakan bahwa generasi muda adalah arus
sejarah yang tak dapat dibendung. Meski tantangan dunia seni
rupa nasional tak terhitung, generasi baru selalu lahir untuk
menjawabnya, termasuk yang sedang berpameran kali ini. Hadir
pula menyimak sambutannya, para pelukis senior seperti Zaini,
Kusnadi, maupun Sriyani Hudyonoto.
Lukisan Toto Riboedijanto
berjudul Kota dalam
pemberitaan pameran di Sinar
Harapan, 7 April 1973.
1970–
1979
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
17
PARTISIPASI • DOSEN • FESTIVAL • TARI
Dua Penari di Festival
Mondial du Théâtre
24 APRIL–6 MEI 1973
PLACE DE LA CARRIÈRE,
NANCY, PRANCIS
Sardono W. Kusumo dan Sentot Sudiharto menampilkan tari
ciptaan mereka dalam ajang festival drama sedunia di Nancy,
Prancis. Menurut Arief Budiman (Kompas, 6 Agustus 1973),
penampilan keduanya dipuji oleh media dan kritikus teater
Prancis, seperti yang dimuat di France Soir, Le Monde, dan Le
Figaro. Kesuksesan Sentot dan Sardono diikuti permintaan untuk
mengisi lokakarya di sebuah sekolah tari di Prancis selama dua
minggu. Tari yang ditampilkan itu sendiri adalah gubahan kreatif
Sentot dan Sardono atas beberapa nomor tari Jawa dan Bali
sembari mengambil unsur-unsur teater Barat modern.
Sardono dan Sentot tampil
bersama Théâtre Mobile
dalam Festival Mondial du
Théâtre. (Victoria Nes Kirby,
“Festival Mondial du Theatre,”
The Drama Review, Vol. 17, No.
4, Desember 1977)
PARTISIPASI • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA • PATUNG
Pengajar LPKJ dalam
Pameran Patung
Kontemporer Indonesia
1973
4–14 JUNI 1973
TIM
Perhelatan ini adalah upaya perdana
untuk memperlihatkan perkembangan
patung kontemporer Indonesia.
Perjalanan seni patung Indonesia
ditelusuri dan dimuat bahasannya dalam
katalog pameran. Sebanyak 71 patung
dari 20 seniman ditampilkan dalam
pameran ini. Para pengajar LPKJ yang
karya-karyanya termasuk dipamerkan
adalah Arsono, Wiyoso, G. Sidharta, dan
Yusuf Affendi. Pada penutupan rangkaian
pameran, 14 Juni 1973, dilaksanakan
diskusi dengan Dr. Sudjoko sebagai
Ketua Departemen Perencanaan dan Seni
Rupa ITB. Pembicara lainnya ialah Dan
Soewaryono, kritikus seni rupa sekaligus
pengajar di Akademi Seni Rupa LPKJ,
serta redaktur kebudayaan Berita Yudha.
PENGGAGAS
Yayasan Indonesia
PENYELENGGARA
DKJ
PENDUKUNG
Pertamina, PKJ TIM
PARTISIPAN
Arsono, Mustika, Ramelan,
Suparto, Hadiasmoro,
Edith Ratna Siagian,
Sunaryo, Surya Pernawa,
Wiyoso, But Muchtar, G.
Sidharta, Nurjaman, Rita
Widago, Mochtar Apin,
Yusuf Affendi, Mudjiyono,
Edhi Sunarso, Harsini,
Askabul, Mon Mudjiman
[Kiri] Pematung G. Sidharta,
Dekan Akademi Seni Rupa
LPKJ. [Kanan] Wiyoso dan
karyanya. (Katalog Pameran
Pertama Patung Kontemporer
Indonesia 1973).
18 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
PARTISIPASI • DOSEN • PERTUNJUKAN • TEATER
Pengajar LPKJ dalam
Pementasan Julius Caesar
12–18 JUNI 1973
TEATER ARENA TIM
Teater Kecil yang dipimpin Arifin C. Noer,
menurut Horison (1973, No. 05-06),
ternyata berambisi mementaskan karya
Shakespeare berjudul Julius Caesar.
Naskah terjemahan dikerjakan oleh
Ikranegara, yang juga bertugas sebagai
sutradara, bersama Kay Glassburner.
Sementara pemainnya antara lain Nunuk
Sulaji, Khaerul Umam, Amak Baljun, Kasim
Rakhmat, Hadi Purnomo, dan Rudolf
Puspo. Para pengajar LPKJ, Danarto dan
Franz Haryadi, masing-masing dipercaya
untuk menggarap artistik dan musiknya.
PENYELENGGARA
Teater Kecil
PENDUKUNG
PKJ TIM
PARTISIPAN
Ikranegara, Kay Glassburner,
Nunuk Sulaji, Khaerul
Umam, Amak Baljun, Kasim
Rakhmat, Hadi Purnomo,
Rudolf Puspo, Danarto, Franz
Haryadi, Radjul Kahfie
KARYA • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS
Karya-karya Arsono,
Danarto, dan Sukamto
26–30 JUNI 1973
09.00–13.00 WIB
15.00–21.00 WIB
RUANG PAMERAN PKJ
TIM
PENGGAGAS
Akademi Seni Rupa LPKJ
PENDUKUNG
DKJ & PKJ TIM
Karya-karya tiga asisten dosen LPKJ, yang saat itu disebut
sebagai pengajar muda, ditampilkan dalam pameran ini. Arsono
menampilkan patung, Danarto menampilkan lukisan, sedangkan
Sukamto memamerkan karya grafis. Karya Danarto disebutsebut
tampil lain daripada biasanya: kanvas-kanvasnya ada
yang berbentuk segitiga dan bundar, ada pula yang disusun
seperti desain pementasan pertunjukan. Pameran ini merupakan
bagian dari upaya Akademi Seni Rupa LPKJ meningkatkan
mutu pendidikan. Semakin ahli dan teruji pengajar, semakin
tinggi mutu pendidikan yang bisa diberikan. Melalui pameran ini,
kampus mendukung kelangsungan profesi para pengajarnya dan
berperan lebih—tidak hanya menjadi wadah pendidikan seni tapi
juga wadah kegiatan seni yang kreatif dan maju.
PARTISIPASI • DOSEN • CERAMAH
Ceramah Kesenian
dari Pengajar LPKJ
16–21 JULI 1973
Dewan Kesenian Jakarta mengadakan
penataran tentang masalah kesenian
kepada para istri pejabat Departemen
Luar Negeri. Materi penataran ini diisi
dengan ceramah oleh beberapa pengajar
LPKJ. Gayus Siagian memberikan
ceramah tentang kebudayaan dan
kesenian, Ramadhan K.H. tentang sastra,
Edi Sedyawati tentang tari, D.A. Peransi
tentang seni rupa, D. Djajakusuma tentang
teater, dan S. Suryabrata tentang musik.
PENYELENGGARA
DKJ
KOLABORATOR
LPKJ
PARTISIPAN
Gayus Siagian, Ramadhan
K.H., Edi Sedyawati, D.A.
Peransi, D. Djajakusuma,
S. Suryabrata
ACARA • DISKUSI • TEATER
Pertemuan Kelompok
Teater Remaja
19 JULI 1973
RUANG KULIAH UMUM
LPKJ
Sekitar 30 kelompok teater remaja
mengadakan pertemuan dengan para
pembina teater remaja dari Dewan
Kesenian Jakarta untuk membahas
persiapan Festival Teater Remaja 1973—
ajang unjuk karya ini nantinya menjadi
cikal-bakal Festival Teater Jakarta yang
masih berlangsung setiap tahun hingga
kini.
PENYELENGGARA
DKJ
JUMLAH PARTISIPAN
80 pegiat dari 30 kelompok
teater remaja di Jakarta
1970–
1979
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
19
KARYA • MAHASISWA • PERTUNJUKAN • MUSIK • KLASIK
Resital Piano
Yazeed Djamin
22 JULI 1973
PENDUKUNG
PKJ TIM
Musikus muda Yazeed Djamin masih menempuh pendidikan
di Akademi Musik LPKJ jurusan Piano dan Komposisi. Namun,
mahasiswa kelahiran 1950 ini telah menorehkan prestasi
sebagai pemenang II dalam Festival Organ Indonesia I. Belajar
piano sejak usia tiga tahun, ia menciptakan gubahan pertamanya
pada 1969 berjudul “Srikandhi”.
PARTISIPASI • DOSEN • FESTIVAL • TARI
Pengajar LPKJ di
Shiraz-Persepolis
Arts Festival 1973
31 AGUSTUS–
8 SEPTEMBER 1973
PARTISIPASI • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS
Pengajar LPKJ dalam
Pameran Tiga Pelukis
5–10 NOVEMBER 1973
TIM
SHIRAZ &
PERSEPOLIS, IRAN
PENDUKUNG
PKJ TIM
Drs. Sudarsono, pengajar Akademi Tari LPKJ, diundang untuk
turut tampil dalam festival seni internasional di Iran, yaitu
Shiraz-Persepolis Arts Festival. Dalam kesempatan tersebut,
Sudarsono mengisi program berjudul “Ballet Javanais”.
Festival ini juga dihadiri seniman dari berbagai negara, seperti
Shuji Terayama (Jepang), Maurice Bejart (Prancis), dan Tayeb
Saddiki (Maroko). Kini festival yang berlangsung tahunan dari
1966–1977 tersebut dikenang sebagai ajang perjumpaan budaya
sedunia yang sangat maju pada zamannya.
Dalam pameran ini dipajang 12 karya Rusli yang dinilai punya
kecenderungan menghilangkan objek, dengan kata lain
mendekati abstrak, betapapun ia dikenal antiabstrak. Zaini,
pendiri Studio Lukis LPKJ, memamerkan karya-karya dengan
efek artistik yang diperhitungkan cermat. Warna pastel dan
pelototan tube mendominasi. Sementara karya-karya Nashar,
juga pengajar LPKJ, tak seperti biasanya memperlihatkan
warna-warna cerah. Hari terakhir pameran diisi diskusi yang
dihadiri Dan Soewaryono, Goenawan Mohamad, Umar Kayam,
Rusli, Nashar, dan Zaini. Umar Kayam menyebut ketiga pelukis
itu—Rusli yang amat menguasai cat air, Nashar akrilik, dan Zaini
monotipe—sebagai “master seni Indonesia”.
KARYA • DOSEN • PERTUNJUKAN • TARI
Dongeng dari Dirah
2–3 FEBRUARI 1974
20.00 WIB
TEATER
TERTUTUP TIM
Sampul belakang buku acara
Dongeng dari Dirah
Pentas teater tari ini merupakan
“pemanasan” sebelum para seniman
tampil di Prancis. Mereka diundang
memeriahkan ajang Festival Fantastique
pada 26 Februari–24 Maret 1974.
Rombongan yang dijuluki Teater Sardono
ini akan berangkat membawa 25 orang
penari dan penabuh Bali-Jawa, juga empat
pemain anak.
Ide pementasan Dongeng dari Dirah
diilhami dari kehidupan pasar dan lukisan
Bali. Inilah hasil kontemplasi Jawa dan
kesadaran Sardono akan lingkungan Bali.
Meski bercorak modern, pertunjukan ini
masih berpijak pada tradisi. Nantinya,
Sardono dan lainnya ditanggap keliling
Eropa selama 3,5 bulan. Mereka berpentas
antara lain di Paris, Den Haag, Amsterdam,
Rotterdam, Holstebro, Jenewa, Roma, dan
mampir pula di Teheran.
PENDUKUNG
PKJ TIM
SUTRADARA &
KOREOGRAFER
Sardono W. Kusumo
MUSIK
Ide Bagus Made Geria, I Wayan
Sadra, I Ketut Gridem, Pande
Made Sukertha, Aloysius
Suwardi, Suharto
DESAIN
Danarto
PEMAIN
I Wayan Diya, S. Kardjono,
Sal Murgiyanto, Sugeng,
Sentot Sudiharto, I Made
Netra, Rochmat, I Nyoman
Suyasa, Tri Sapto, I Ketut Rina,
Sukmawati Sukarno, Ida Ayu
Komang Surat, Retno Maruti,
I Dege Tapa Sudana, Ni Made
Asri, I Made Pasek Tempo, Ni
Nyoman Sarwi
1974
20 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
PARTISIPASI • DOSEN & MAHASISWA • PELATIHAN
Seniman LPKJ dalam
Pentas Tari Bagong
Kussudiardjo
9–10 APRIL 1974
20.00 WIB
TEATER ARENA TIM
Bagong Kussudiardja, bersama awak
Pusat Latihan Tarinya dan penari LPKJ,
mementaskan dua nomor koreografi
ciptaannya sendiri: Dosa yang Terampuni
dan Kenangan Masa Lampau. Sebagai
pengiring musik adalah Ki Wasito Dipuro
untuk karya yang pertama, sedangkan
untuk karya yang kedua adalah Franz
Haryadi, pengajar LPKJ.
PENYELENGGARA
Pusat Latihan Tari
Bagong Kussudiardja
KOLABORATOR
Penari-penari Jakarta
PENDUKUNG
PKJ TIM
PARTISIPAN
Bagong Kussudiardja, Franz
Harjadi, Ki Wasito Dipuro,
Nasyadi, Ida, Sumdiyo Hadi,
Nus, Lastri, Nanci Hasan,
Alit, Linda Karim, June
Beckx, Usil Soesilo H.S.
ACARA • SEMINAR • DRAMA
Seminar Bedah
Naskah Drama
4 MEI–22 JUNI 1974
16.00 WIB
RUANG KULIAH LPKJ
Lima belas naskah pemenang Sayembara
Naskah Drama 1972 dan 1973 dibedah
dalam seminar ini, antara lain karangan
N. Riantiarno, Akhdiat K. Mihardja, Saini
K.M., Putu Wijaya, dan Vredi Kastam
Marta. Para pemateri memandu peserta
untuk mendalami unsur-unsur sastrawi
dalam naskah sekaligus bagaimana
naskah tersebut dapat dipentaskan.
PENYELENGGARA
LPKJ
KOLABORATOR
DKJ
PEMATERI
S. Effendi, Hariyadi S.
Hartowardoyo, Goenawan
Mohamad, Sapardi
Djoko Damono, Syu’bah
Asa, Slamet Sukirnanto,
Fred Wetik, Pramana
Padmodarmaya, Taufiq Ismail
PARTISIPAN
Kontestan Festival Teater
Remaja 1973, penulis
drama, dan kritikus drama
ACARA • CERAMAH
Kultur Politik
Wiratmo Soekito
16 MEI 1974
20.00 WIB
TEATER ARENA TIM
PENGGAGAS &
PENYELENGGARA
DKJ
KOLABORATOR
PKJ TIM
Wiratmo Soekito, salah satu penulis Manifes Kebudayaan
(Manikebu), memberikan ceramah berjudul “Perlukah Kultur
Politik”. Wiratmo merupakan penulis bidang politik dan
kebudayaan yang sempat dicekal setelah Manikebu dilarang
Presiden Sukarno pada 1964. Setelah pemerintah berganti
menjadi Orde Baru, barulah Wiratmo kembali bebas menulis
dan berkomentar, baik di surat kabar maupun radio. Mulai 1974,
Wiratmo juga menjadi pengajar di LPKJ untuk mata kuliah Kapita
Selekta.
PARTISIPASI • MAHASISWA • PERTUNJUKAN • TARI • BALET
Penari LPKJ dalam
Pentas Balet Kontemporer
29–31 MEI 1974
20.00 WIB
TEATER
TERTUTUP TIM
Dua penata tari Surabaya, Marlupi
Siangga dan Yulian, unjuk karya di
Jakarta. Koreografi balet kontemporer
mereka yang dipentaskan berjudul Wajahwajah
di dalam Gereja, Garong-garong, dan
String Percussion and Celesta. Dua nomor
pertama diilhami dari cerpen Taufiq
Ismail dan memanfaatkan unsur musik
Betawi, gambang kromong, di dalamnya.
Pertunjukan ini awalnya direncanakan
untuk naik panggung pada Januari 1974.
Namun, karena pecah Peristiwa Malari,
terpaksa diundurkan hingga Mei.
KOLABORATOR
Nritya Sundara &
Akademi Tari LPKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
PENARI
Dedy Hendrawanoto, Asti
Maharajo, Nancy Hassan,
Lydia, Maria, Yulian dan
Marlupi Siangga, bersama
para penari Nritya Sundara
dan Akademi Tari LPKJ
1970–
1979
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
21
PARTISIPASI • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS
Pengajar LPKJ dalam
Pameran Lukisan Dunia
Minyak Indonesia
14–27 JUNI 1974
09.00–13.00 WIB
17.00–21.00 WIB
RUANG PAMERAN TIM
PENYELENGGARA
DKJ & Pertamina
PENDUKUNG
PKJ TIM
PARTISIPAN
Arief Soedarsono, Batara
Lubis, Daryono, Nurdin B.S.,
Popo Iskandar, Lian Sahar,
Rusli, Soedarso, Srihadi S.,
Sriyani H., Sukamto, Soeparto,
Umi Dachlan, Zaini
Pertamina mengundang 15 seniman untuk membuat lukisan
tentang dunia minyak Indonesia—meski satu mengundurkan
diri, yaitu pengajar LPKJ D.A. Peransi. Pameran Lukisanlukisan
Dunia Minyak Indonesia ini menampilkan 52 karya
lukis. Sebanyak 12 lukisan dipilih untuk hiasan kalender 1975
Pertamina.
Media massa ramai memberitakan pro dan kontra yang
mengemuka, mengenai seni sebagai ciptaan atau orderan.
Beberapa seniman dan pengamat urun komentar, khususnya
mengenai peran maesenas, kebebasan ekspresi, penghayatan,
dan karya seperti apa yang dimungkinkan dengan sistem
orderan ini. Pertamina sendiri bukan baru sekali mendanai
penyelenggaraan ajang seni rupa (Pameran Seni Lukis
Kontemporer Indonesia 1971 dan Pameran Seni Patung
Kontemporer Indonesia 1973 juga berlangsung berkat sokongan
Pertamina).
Umar Kayam, yang menuliskan esai di katalog pameran,
menyatakan bahwa pelukis-pelukis memang perlu mengolah
materi dari perkembangan kasatmata di sekelilingnya. Budaya
“remang-remang”, budaya antara, yang sedang berada dalam
perubahan dari lama menuju baru, menyediakan kekayaan
materi itu. Pelukis-pelukis tidak lagi perlu berkutat pada gunung,
pantai, sungai, sawah, binatang-binatang, dan sebangsanya.
Suasana pameran Lukisanlukisan
Dunia Minyak di
Indonesia di TIM.
ACARA • CERAMAH • TEATER
Ceramah Teater
Dolf de Vries
15 JUNI 1974
RUANG KULIAH UMUM
LPKJ
PENYELENGGARA
LPKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
Dolf de Vries, pengajar Toneelschool (sekolah drama) di
Maastricht, Belanda, memberikan ceramah kepada para pemain
teater Jakarta. Namun, acara tersebut diarahkan untuk lebih
condong ke diskusi ketimbang ceramah satu arah. Dolf de Vries
pernah bermain dalam De Haagse Comedie en het Amsterdamse
Toneel dan telah menyutradarai lebih-kurang dua puluh naskah
sandiwara untuk grup teater profesional maupun sandiwara
sekolah.
22 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
ACARA
Dies Natalis LPKJ 1974
22–26 JUNI 1974
KAMPUS LPKJ & TIM
LPKJ merayakan Dies Natalis dengan
menyelenggarakan berbagai ajang unjuk
karya mahasiswa semua jurusan. Ada
pameran lukisan dan patung, pameran
foto, pentas tari, serta pentas teater.
Pramana Pmd., pengajar Jurusan Teater,
dalam pembukaan menyatakan bahwa
perayaan ini menjadi cara menguji LPKJ,
sejauh mana hasil-hasil pendidikannya
berdampak. Pramana Pmd. juga
menyutradarai lakon teater yang
diselenggarakan 23 Juni 1974, mengambil
judul Pak Dullah in Extremis karya Achdiat
K. Mihardja.
Taufiq Ismail selaku Ketua LPKJ
dalam sambutannya membahas tentang
sistem pendidikan seni yang dicapai
LPKJ. Menurutnya, sistem itu belum
sesuai harapan karena model pendidikan
seni untuk membentuk kader dalam
kesenian belum ada di Indonesia.
PENYELENGGARA
LPKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
KARYA • MAHASISWA • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS
Pameran Lukisan
Mahasiswa LPKJ dalam
Dies Natalis 1974
22–26 JUNI 1974
PAGI–SORE
RUANG PAMERAN TIM
Dua puluh tujuh mahasiswa ikut serta
dalam pameran ini, yang diselenggarakan
untuk memeriahkan Dies Natalis LPKJ
1974. Mereka memamerkan berbagai
karya lukis, grafis, sketsa, dan patung.
Pameran ini disebut-sebut sebagai karya
studi mahasiswa, belum merupakan
pameran hasil kreatif pribadi.
PENYELENGGARA
LPKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
SENIMAN
Boeling, Haryanthi, Dolorosa,
Peter Massie, Martin T.S.,
Sofyan, Ugo, Kommun,
Jonie Hadi, Hertry, Abdul
Malik, Sawitri S., Hanung
Mahadi, Bambang Buntaran,
Julius Jusijaya, Martono,
Hudam I.K., Eddy S., Martri
D., Ronald, Tulan Moro, Yani
Maryani, Ariana, Sita, Ipah,
Aam Muharam, Sjaeful
ACARA • RISET • TARI
Tari dalam Riset
di Sumatra Barat
JULI 1974
SUMATRA BARAT
Riset tari ini diselenggarakan
bersama-sama oleh LPKJ dan ASKI
Padangpanjang, di bawah pimpinan
Bustanul Arifin (saudara tertua
koreografer LPKJ Huriah Adam).
Rombongan periset mengunjungi
Padangpanjang, Payakumbuh, Pariaman,
dan Padang Alas. Edi Sedyawati, Ketua
Akademi Tari LPKJ, mengoordinasikan
rombongan dari Jakarta. Dosen-dosen
yang turut serta antara lain Farida
Sjuman dan Yulianti Parani. Riset ini akan
menghasilkan produk pengetahuan dalam
bentuk dokumentasi film, foto, rekaman
dan wawancara.
PENYELENGGARA
Akademi Tari LPKJ
KOLABORATOR
ASKI (Akademi Seni Karawitan
Indonesia) Padangpanjang
PENDUKUNG
DKJ, Dirkes P&K, dan
Ford Foundation
PARTISIPAN
Edi Sedyawati, Farida
Sjuman, Yulianti Parani,
Syawati Amran, dan
mahasiswa Akademi Tari
LPKJ tahun II, III, dan IV.
1970–
1979
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
23
PARTISIPASI • DOSEN • PERTUNJUKAN • TARI • WAYANG ORANG
Pengajar LPKJ
dalam Wayang Orang
Roro Jonggrang
14–15 SEPTEMBER
1974
TEATER TERTUTUP TIM
Wayang orang Roro Jonggrang ini
diperkuat oleh penata tari dan penari
kawakan. Pelita (14 September 1974)
menyebut bahwa para penari tampil
dengan menggunakan kostum yang
diperkirakan mendekati corak dan
kenyataan pada zamannya. Cerita wayang
ini diangkat dari legenda rakyat mengenai
berdirinya 1.000 patung di Candi
Prambanan.
PENYELENGGARA
Jaya Budaya & DKJ
KOLABORATOR
LPKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
PARTISIPAN
S. Kardjono, Sentot
Sudiharto, Trisapto, Ny.
Retnodewi, Retno Maruti
KARYA • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS
Pameran Berdua
Baharuddin M.S.
dan Mustika
25–31 OKTOBER 1974
09.00–13.00 WIB
17.00–20.00 WIB
RUANG PAMERAN
PKJ TIM
Baharuddin M.S. dan Mustika adalah dua
seniman dari generasi berbeda. Kadangkadang,
kata Ajip Rosidi dalam pengantar
pameran, kita perlu melihat hal-hal yang
berbeda dalam satu pameran. Baharuddin
periode itu lebih dikenal sebagai ahli
tipografi dan seseorang yang bersetia
pada seni rupa, terutama karena tulisan
dan komentarnya mengenai seni rupa
Indonesia. Dalam kesempatan ini ia
memamerkan 31 lukisannya. Sedangkan
Mustika, namanya baru menanjak dan
sedang mendapat perhatian dunia seni
rupa Indonesia, terutama karena karyakarya
batiknya. Pameran ini menampilkan
25 lukisannya.
PENGGAGAS
DKJ
KOLABORATOR
LPKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
[Atas] Baharuddin M.S. dan
sebuah karyanya, Kemal
(1954). [Bawah] Mustika dan
sebuah karyanya, Ketiban
Rezeki (1974).
24 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
KARYA • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS
Srihadi dalam
Pameran Tunggal
2–8 NOVEMBER 1974
09.00–13.00 WIB
17.00–20.00 WIB
RUANG PAMERAN
PKJ TIM
PENGGAGAS
DKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
Srihadi Soedarsono, Dekan Akademi Seni Rupa LPKJ,
menempati posisi unik dalam dunia seni rupa. Ia dipandang
sebagai “pelukis akademis” karena latar belakang pendidikannya
di Seni Rupa ITB, tapi ia juga pernah tergabung dalam
Seniman Indonesia Muda, sanggar pimpinan Sudjojono yang
pengajarannya lebih autodidak. Karya-karya lukis Srihadi pernah
menjurus ke arah nonfiguratif, kolase, abstrak murni, sebelum
kembali pada figuratif. Pameran ini menghadirkan empat puluh
lukisan terbaru Srihadi yang sudah berkarya selama kurang-lebih
seperempat abad.
[Dari kiri ke kanan] Srihadi
Soedarsono dan lukisanlukisannya,
Horison dan
Baju Hijau.
PARTISIPASI • DOSEN & MAHASISWA • FESTIVAL • TEATER
Juri dan Kontestan
dalam Festival Teater
Remaja 1974
SEPTEMBER–
DESEMBER 1974
TEATER TERTUTUP &
TEATER ARENA TIM
PENGGAGAS &
PENYELENGGARA
DKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
JUMLAH PARTISIPAN
134 kelompok teater remaja
se-Jakarta
PARTISIPAN
Lisendra LIC Buana, Teater
Rang-Rang, Sanggar Kita,
Pusat Teater Jakarta, Teater
Remaja Jakarta, Sanggar
Prakarya, Ikatan Muda-Mudi
Petamburan, Teater SMA
Negeri VII, Arvisco Teater,
Ikatan Muda-Mudi Kramat
Pulo, Teater Cakra Ayodya,
Teater Panuluh, Teater Kail,
Teater Bulungan, Teater
Gombong, Teater Bara,
Sanggar Teater Jakarta, Teater
P304, Teater Polonia, Teater
GR, Teater Katara, Teater
Baracuda, Art Study Club,
Teater Sunda Kelapa, Teater
Papango, Teater Ibukota,
Teater Intan, Teater Simpang
Tiga, Road Teater
Tahun ini adalah kali kedua Festival Teater Remaja diadakan.
Lima orang juri dipilih dari kalangan pelaku teater, tiga di
antaranya dari staf pengajar LPKJ. Mereka adalah Pramana
Pmd., Taufiq Ismail, dan Roedjito. Dua orang lainnya pun tak
asing lagi di lingkaran pelaku seni peran, yaitu Syu’bah Asa dan
Ikranagara.
Babak penyisihan diselenggarakan di Gelanggang Remaja
tiap wilayah Jakarta pada 22 September–4 Oktober 1974. Babak
ini menghasilkan 29 kelompok teater yang lolos ke babak final,
yang dilangsungkan selama Desember 1974. Menurut laporan
para juri, penilaian dilakukan atas bidang-bidang pementasan,
penyutradaraan, tata artistik, dan permainan individual di mana
masing-masing aktor di atas panggung mepertimbangkan
elemen-elemen teatrikal mereka sendiri-sendiri. Mahasiswa
Akademi Teater LPKJ, Eddy de Rounde, terpilih sebagai
Sutradara Terbaik, sementara kelompoknya, Katara, menjadi
Juara II, dengan lakon berjudul Jaka Tarub.
Pementasan Teater Katara,
Juara II dan Sutradara Terbaik
(Eddy de Rounde, mahasiswa
LPKJ)
1970–
1979
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
25
PARTISIPASI • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS
Pengajar LPKJ
dalam Pameran
Seni Lukis Indonesia 1974
18–31 DESEMBER 1974
RUANG PAMERAN TIM,
MUSEUM PUSAT,
GEDUNG KEBANGKITAN
NASIONAL
PENGGAGAS &
PENYELENGGARA
DKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
JUMLAH PARTISIPAN
81 pelukis
Walaupun sudah sering menyelenggarakan pameran, DKJ
percaya akan perlunya sebuah pameran yang menggambarkan
seni lukis Indonesia secara representatif. Untuk itulah Pameran
Seni Lukis Indonesia 1974 ini diadakan dan rencananya akan
digelar berkala setiap dua tahun sekali. Namun, pelaksanaannya
menyisakan banyak catatan. Ruang Pameran TIM dikabarkan
tidak sanggup menampung 240 buah lukisan dari 81 peserta
sehingga dua lokasi lain dilibatkan. Pelita (31 Desember 1974)
mencatat bahwa dalam buku acara, nama-nama pelukis muda
dari LPKJ belum dicantumkan. Lalu, bisa jadi karena lukisan
yang terlalu banyak atau waktu penyelenggaraan yang sempit,
pemasangan lukisan terlihat asal.
Pameran ini juga menandai sebuah peristiwa penting
dalam dunia seni rupa Indonesia. Empat belas seniman muda
menandatangani pernyataan “Desember Hitam” dan menitipkan
karangan bunga duka cita untuk DKJ atas “Kematian Seni
Lukis Indonesia”. Penyebabnya, dewan juri pameran memberi
penghargaan kepada lima pelukis tanpa argumen yang kokoh
dan dapat dipertanggung jawabkan. Hal ini dianggap sebagai
cermin kemandekan yang terjadi dalam perkembangan seni
rupa Indonesia. Nantinya, “Desember Hitam” dianggap sebagai
pembuka jalan bagi ekspresi dan konvensi baru dalam seni rupa
Indonesia.
Karya Srihadi dan
Suprapto.
ACARA • KURSUS • FILM
Kursus Penulisan
Skenario Film oleh
Akademi Sinematografi
FEBRUARI 1975
RUANG KULIAH LPKJ
PENYELENGGARA
Akademi Sinematografi LPKJ
PENDUKUNG
Direktorat Pembinaan
Perfilman
JUMLAH PARTISIPAN
76 peserta
Kursus ini diadakan untuk menyiapkan tenaga perfilman.
Demikian yang tertulis dalam sambutan H.T. Djohardin selaku
Direktur Pembinaan Perfilman dalam upacara penutupan kursus.
Ia juga berpesan agar penulis skenario dapat menghasilkan film
yang benar-benar memberikan hiburan sehat bagi rakyat. Sebab,
skenario merupakan kerangka dasar sebuah film dan menjadi
landasan kerja bagi karyawan film lainnya.
Dalam upacara penutupan di TIM tersebut, 26 orang dari 76
peserta dinyatakan lulus ujian teori dan dapat menjalani praktik
pembuatan skenario selama sebulan. Sebanyak 26 orang lainnya
diperkenankan mengulang ujian teori dan selebihnya dianggap
gagal. Peserta kursus berasal dari Jakarta, Ujungpandang (kini
Makassar), Bandung, Surabaya, Padang, dan Banjarmasin.
1975
26 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
KARYA • MAHASISWA • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS
Pameran Tunggal Sugeng
2–8 FEBRUARI 1975
09.00–13.00 &
17.00–21.00 WIB
RUANG PAMERAN TIM
Sugeng, kelahiran Juwana, 25 Mei
1945, adalah mahasiswa tingkat akhir
Akademi Sinematografi LPKJ. Bakat
seni lukisnya ia asah sendiri walaupun
pernah pula menempuh pendidikan
di STSRN Jakarta. Ia juga aktif dalam
teater dan ikut serta dalam rombongan
Sardono W. Kusumo ke Eropa sebelum
ini. Dalam pameran tunggalnya yang
pertama ini, ia menghadirkan 60 lukisan
pastel. Rencananya medium lukis lain,
seperti akrilik dan minyak, akan ia jelajahi
dalam pameran-pamerannya selanjutnya.
Baharuddin M.S. dalam catatannya di
Kompas (13 Februari 1975), menyatakan
bahwa pada tahap perkembangan
sekarang tinjauan menyeluruh atas
karya Sugeng tak pelak masih bersifat
spekulasi. Namun, katanya, ada benihbenih
untuk dilihat di masa mendatang.
PENDUKUNG
PKJ TIM
ACARA • CERAMAH • SASTRA • PENERJEMAHAN
Ali Audah
tentang Penerjemahan
10 FEBRUARI 1975
TEATER ARENA TIM
PENYELENGGARA
DKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
Ali Audah, pengajar agama Islam di LPKJ dan penerjemah
Qur’an, Terjemahan dan Tafsirnya, memberikan ceramah seputar
penerjemahan. Ali Audah memaparkan bahwa penerjemahan
bukan hanya menyalin kata-kata, tetapi juga menyalin pengertian
yang utuh. Penerjemah memegang amanat dan tanggung jawab
moral terhadap pengarang asli dan masyarakat. Terjemahan,
menurutnya, bisa merupakan reproduksi apa adanya dari
yang diterjemahkan, tapi bisa pula apa yang disebut sebagai
terjemahan bebas, parafrase, saduran, atau adaptasi. Tetapi, apa
pun sifat penerjemahan itu, si penerjemah bisa melibatkan diri
ke dalam karya itu dengan cara menguasai persoalan yang akan
diterjemahkan dan melahirkan gaya terjemahan.
PARTISIPASI • DOSEN • SEMINAR • TEATER
Pengajar LPKJ
dalam Seminar
Naskah Sandiwara
15, 17, 22, 24 FEBRUARI &
1, 3 MARET 1975
Menyudahi Sayembara Penulisan
Sandiwara 1974, diadakan seminar untuk
membahas beberapa naskah. Enam
naskah yang dibicarakan adalah Rumah
Tak Beratap Rumah Tak Berasap dan
Langit Dekat dan Langkit Sehat karya
Akhudiat (pemenang harapan), Perjalanan
Kehilangan karya Noorca Marendra,
Malam Semakin Kelam karya N. Riantiarno
(pemenang harapan), Jaka Tarub karya
Akhudiat (pemenang ketiga), serta Anu
dan Dag Dig Dug karya Putu Wijaya
(pemenang pertama dan kedua).
PENYELENGGARA
DKJ
PEMBICARA
Goenawan Mohamad,
Ikranagara, Cak Winarsyo,
Syu’bah Asa, Sapardi
Djoko Damono, Nasri
Cheppy, Pramana Pmd.,
Aldisar Syafar, Roedjito,
Ridwan Adam, Sudibyanto,
Soedharnoto, Abdi Wiyoso
1970–
1979
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
27
KARYA • DOSEN • PAMERAN • KRIYA • TEKSTIL
Tenunan Tangan
Yusuf Affendi
10–16 MARET 1975
09.00–13.00 &
17.00–21.00 WIB
RUANG PAMERAN TIM
PENYELENGGARA
DKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
Yusuf Affendi, dosen LPKJ yang telah lama menekuni tekstil,
berpameran. Karya-karya lulusan desain tekstil Rochester
Institute of Technology itu mencakup desain tenun yang dapat
dipakai untuk membantu susunan artistik interior, seperti
penutup dinding, pemisah ruang, dan tirai. Unsur-unsur interior
ini dapat diberi sifat atau suasana khusus dengan tenunan.
Bahan yang digunakan beragam: wol, sutra, dan serat buatan.
Selain itu, dijelajahi pula serat alam murni, seperti pandan, tali
sisal, dan jute yang mudah didapat, terutama di desa-desa. Alat
yang digunakan adalah alat tenun kayu yang dikenal sebagai
ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) yang biasa dipakai untuk
menenun kain sarung di desa-desa.
[Kiri] Kulit muka buku acara
pameran Yusuf Affendi.
[Kanan] Salah satu tenunan
yang dipamerkan.
KARYA • MAHASISWA • PERTUNJUKAN • TEATER
Randai Hippolutos
14–15 MARET 1975
TEATER ARENA TIM
Pementasan lakon Yunani kuno dalam
wujud randai adalah cara mahasiswamahasiswa
LPKJ untuk menawarkan satu
alternatif penggarapan dari sekian banyak
teater rakyat. Pertunjukan ini memberi
peluang akan penjelajahan bentuk teater
baru di Indonesia. Pada saat yang sama,
pentas ini dianggap sebagai napas baru
dalam randai yang selama ini selalu
terkurung dengan cerita-cerita Minang.
Menampilkan rangkiang (lumbung padi),
patung Artemis, dan Aphrodite, randai
ini diiringi tetabuhan rebana dan tiupan
puput batang padi.
PENYELENGGARA
Sanggar LPKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
PENULIS NASKAH
Euripides terjemahan
Toto Sudarto Bachtiar
PEMAIN
Mahasiswa-mahasiswa
Akademi Teater LPKJ
28 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
ACARA • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS
Lukisan-lukisan Anna
Rosana dan Eugene Vlug
29 MARET–
3 APRIL 1975
BALAI BUDAYA
JAKARTA
PENYELENGGARA
Bengkel Pelukis Jakarta
Bengkel Pelukis Jakarta adalah sebuah proyek LPKJ dalam
bidang seni rupa. Meski baru berusia setahun, proyek ini
siap memamerkan karya dua muridnya. Anna Rosana saat
pameran berlangsung masih terdaftar sebagai pelajar SMA.
Kemauannya menggambar sudah terlihat dari kecil dan inilah
yang mengantarkannya mengasah kemampuan di Bengkel.
Sedangkan Eugene Vlug, berusia 27 tahun, merupakan pegawai
PT Traktor Nusantara. Ia tidak punya latar belakang akademis
seni rupa tetapi memiliki keinginan untuk terus belajar sendiri.
ACARA • CERAMAH • TEATER
Goenawan Mohamad:
Teater dan Publiknya
APRIL 1975
RUANG KULIAH LPKJ
Goenawan Mohamad, dalam ceramahnya, berpendapat bahwa
masalah naik-turun minat publik terhadap teater tidak dapat
diperhitungkan. Sejarah teater di Indonesia, menurutnya,
berbeda dari teater di Barat. Di negeri kita tidak terjadi
ketegangan antara publik dan panggung, seperti yang terlihat
dalam teater avant-garde di Barat. Di Indonesia, teater adalah
institusi sosial. Maka, pendekatan sosial-estetis perlu dalam
rangka menumbuhkan minat publik terhadap teater (modern).
Kondisi keintiman antara publik dan teater seperti yang ada pada
pertunjukan tradisional perlu diupayakan.
KARYA • MAHASISWA • PERTUNJUKAN • TEATER • OPERA
Rock Opera Ken Arok
karya Harry Roesli
12 APRIL 1975
GEDUNG MERDEKA,
BANDUNG
SUTRADARA
Harry Roesli
KELOMPOK MUSIK
The Hooker Man
Harry Roesli, mahasiswa ITB dan jurusan Komposisi di
Akademi Musik LPKJ, mementaskan pertunjukan yang sedang
populer disebut “rock opera”. Ceritanya tentang Ken Arok yang
mengambil keris dari Empu Gandring. Keris itu digunakan untuk
membunuh Raja Tunggul Ametung dan Kebo Ijo yang kemudian
dijadikan kambing hitam. Harry sendiri mengaku tidak berani
menyebut karyanya sebagai opera. Baginya, Ken Arok lebih tepat
disebut opera kecil (operet) karena opera menuntut hal-hal
lebih banyak. Ia malah menyebut karyanya sebagai “wayang
orang kontemporer”, karena ia sendiri pula yang bernyanyi dan
mengubah-ubah suaranya, persis sebagaimana dalang dalam
wayang orang.
Salah satu adegan dalam
Ken Arok karya Harry Rusli.
1970–
1979
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
29
PARTISIPASI • MAHASISWA • PERTUNJUKAN • LENONG
Mahasiswa Tari
dan Teater LPKJ dalam
Si Ronggeng
3–4 MEI 1975
20.00 WIB
TEATER TERBUKA TIM
TIKET
Rp1.000
Naskah lenong Si Ronggeng disadur
Sekretaris LPKJ Sumantri Sastrosuwondo
dari cerita klasik Jawa berjudul Ki
Ageng Mangir. Pertunjukan ini dianggap
sebagai eksperimen dan bentuk baru
dari lenong, bagian dari upaya mengolah
pertunjukan tradisi ke dalam bentuk
mutakhir agar dapat dinikmati berbagai
golongan penonton. Di sini ditampilkan
unsur-unsur lenong, nyanyian, tari, dan
berbagai improvisasi. Para pemain lenong
berpengalaman, pemain teater yang
terlatih secara akademis, dan pemain
teater modern bergabung menyajikan
sebuah persembahan unik.
PENGGAGAS &
PENYELENGGARA
Pusat Penelitian dan
Pengembangan Kesenian
Rakyat Jakarta
KOLABORATOR
Mahasiswa Akademi Tari,
Teater LPKJ, Perkumpulan
Pencak Silat
PENDUKUNG
PKJ TIM
PARTISIPAN
Sumantri Sastrosuwondo,
S.M. Ardan, Yulianti
Parani, An Anzar, Anen,
M. Toha, Mamit, Bu Siti
ACARA • PERTUNJUKAN • MUSIK • KLASIK
Suka Hardjana
dan Ensemble Jakarta
28 MEI 1975
20.00 WIB
TEATER TERTUTUP TIM
Ensemble Jakarta tampil membawakan
karya-karya Joseph Haydn, Franz Anton
Hoffmeister, Carl Maria von Weber, dll.
Sejak kemunculannya yang pertama di
Jakarta, ansambel yang dibentuk Suka
Hardjana pada November 1971 ini sudah
banyak menampilkan repertoar dari
berbagai aliran dan zaman. Mereka juga
telah melawat ke berbagai kota besar
di Indonesia, di antaranya Surabaya,
Yogyakarta, Bandung, Ujungpandang
(kini Makassar), dan Medan untuk
memperkenalkan musik klasik. Dalam
wawancara media tentang pertunjukan ini,
Suka Hardjana menyatakan kerinduannya
untuk memainkan karya komponis
Indonesia, yang jumlahnya masih langka.
PENYELENGGARA
Ensemble Jakarta
PENDUKUNG
PKJ TIM
PARTISIPAN
Nusyirwan Lesmana,
Sudarto, Soedomo,
Soedarmadi, Suka Hardjana
Ensemble Jakarta pimpinan
Suka Hardjana.
30 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
ACARA
Dies Natalis LPKJ V
16–26 JUNI 1975
BALAI KOTA JAKARTA,
KAWASAN LPKJ, TIM
PENGGAGAS &
PENYELENGGARA
LPKJ
KOLABORATOR
PKJ TIM
PENDUKUNG
Pemerintah DKI Jakarta
[Kiri] Rektor LPKJ Taufiq
Ismail (kedua dari kanan)
menerangkan tentang
rancangan kampus baru LPKJ
kepada rombongan Ali Sadikin
(ketiga dari kanan). [Kanan]
Ruang kerja Akademi Seni
Rupa LPKJ yang masih berupa
gudang sederhana.
Niat Ali Sadikin untuk menjadikan Jakarta sebagai “Kota Pusat
Kebudayan Nasional” digaungkan kembali dalam pidatonya
saat Upacara Resmi Dies Natalis V LPKJ. Gubernur DKI Jakarta
yang turut mendirikan LPKJ itu juga berpesan kepada seniman
dan mahasiswa LPKJ supaya “jangan jauh-jauh dari rakyat”.
Taufiq Ismail selaku Rektor LPKJ menyampaikan laporan
perkembangan lembaga ini sejak berdiri dan Dr. Harsya W.
Bachtiar memberikan pidato keilmuan berjudul “Kesenian dan
Pendidikan Tinggi”. Dalam pidatonya, Dr. Harsya mengatakan,
sudah sepatutnya LPKJ menentukan apakah lembaga tersebut
akan menghasilkan “seniman” atau “ahli kesenian”, atau memilih
keseimbangan: menghasilkan seniman yang berpengetahuan
dan ahli kesenian yang mampu mencipta.
Kemeriahan Dies Natalis V LPKJ sendiri terselenggara
sepanjang sepuluh hari. Rangkaian acara diisi dengan Pameran
Lukisan Taman Kanak-Kanak Se-Jakarta, Lomba Lagu Rakyat
untuk tingkat SMA, Lomba Baca Puisi, Pagelaran Musik,
Pameran Seni Rupa dan Sinematografi, Pementasan Drama
dan Tari, dsb. Dalam lima tahun usianya LPKJ tercatat sudah
memiliki 225 mahasiswa, terdiri atas 19 mahasiswa musik,
111 mahasiswa seni rupa, 78 mahasiswa sinematografi, 12
mahasiswa tari, dan 35 mahasiswa teater. Peningkatan jumlah
mahasiswa dari tahun pertama dianggap sebagai kemajuan.
Ditambah lagi dengan fasilitas kampus baru yang sedang
dibangun dengan luas bangunan 6000 m2
di atas tanah seluas 1,6 ha.
1970–
1979
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
31
PARTISIPASI • DOSEN • PERTUNJUKAN • TEATER
Lakon
Perjalanan Kehilangan
Syu’bah Asa
8–11 JULI 1975
20.00 WIB
TEATER TERTUTUP TIM
PARTISIPASI • DOSEN • PERTUNJUKAN • TEATER
Lukisan Pengajar
LPKJ dalam Pameran
Koleksi DKJ
AGUSTUS 1975
RUANG PAMERAN TIM
PENGGAGAS &
PENYELENGGARA
DKJ
PENDUKUNG
PT Erba Corporation (Medan),
Dewan Kesenian Medan,
PKJ TIM
PARTISIPASI • DOSEN • PERTUNJUKAN • TARI • KLASIK
S. Kardjono dalam
Langen Mandra Wanara
19–20 AGUSTUS 1975
TEATER ARENA TIM
PENYELENGGARA
Teater Saja
PENDUKUNG
PKJ TIM
PENYELENGGARA
Jaya Budaya
PENDUKUNG
DKJ, PKJ TIM
PARTISIPAN
S. Kardjono, Retno Maruti,
Retno Dewani, Kussawarna,
Putranto
Lakon Perjalanan Kehilangan karya Noorca Marendra
memenangkan juara ketiga Sayembara Penulisan Lakon DKJ
1974. Selaku sutradara, Syu’bah Asa berusaha menyajikan lakon
yang pada dasarnya merupakan diskusi yang sangat verbal
itu menjadi lebih visual-treatikal di atas panggung. Menurut
pengajar LPKJ ini, lakon ini bertema perenungan tentang kodrat
yang didekati secara intens dan rasional, serta membawa
kecenderungan religius yang cukup. Sapardi Djoko Damono,
lewat Horison (1975, No. 8), menyambut positif pementasan
ini. Ia memuji antara lain interpretasi Syu’bah Asa, tata artistik
Bambang Bujono, dan pemikiran Noorca Marendra yang
tertuang dalam naskah.
Pameran ini hendak memperlihatkan sejauh mana koleksi DKJ
tersusun. Dari 34 pelukis, ada 53 lukisan yang dipajang untuk
umum. Adalah salah satu cita-cita lembaga ini untuk mempunyai
ruang khusus yang dapat memamerkan karya-karya pelukis
Indonesia secara tetap. Untuk itu, telah tersusun koleksi lukisan
sedikit demi sedikit dari para pelukis Indonesia. Di antara
pelukis yang dianggap penting, paling tidak ada satu karyanya
yang disimpan. Dalam usaha ini, DKJ mendapat pengertian
dan bantuan dari para pelukis itu sendiri, yang dengan hati
terbuka melepas karya dengan harga jauh lebih rendah daripada
seharusnya. Bahkan banyak pula pelukis yang sukarela
memberikan karyanya. Pihak lain yang juga berkontribusi adalah
Pertamina, yang pernah memberikan lukisan untuk kelengkapan
koleksi DKJ.
Teater tari Langen Mandra Wanara mempunyai corak tersendiri.
Tak seperti wayang orang pada umumnya, dialog-dialognya
dibawakan dengan tembang Jawa. Ciri khas lain, para penari
membawakan tarian dalam posisi jongkok maupun duduk,
sedangkan cara berjalan dilakukan dengan berjongkok atau
yang lazim disebut laku ndhodhok. Para penari harus menguasai
olah tari sekaligus olah vokal. S. Kardjono, pengajar tari
gaya Yogyakarta di Akademi Tari LPKJ, menjelaskan bahwa
pertunjukan ini adalah tarian klasik yang sudah lama tidak
digarap lagi, terutama di kalangan generasi muda. Lakon Langen
Mandra Wanara yang ia bawakan bersama rekan-rekan Jaya
Budaya kali ini adalah Sugriwa-Subali.
PARTISIPASI • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA • SENI GRAFIS
Seni Grafis Kaboel Suadi
dalam Pameran Bertiga
19 SEPTEMBER–
3 OKTOBER 1975
ERASMUS HUIS
PENYELENGGARA
Erasmus Huis
PARTISIPAN
Mochtar Apin, Kaboel Suadi,
Haryadi Suadi
Pameran ini menghadirkan karya cukilan lino, cukilan kayu, dan
serigrafi atau cetak saring. Ketiga grafikus tampak kurang suka
bermewah-mewah dengan warna, termasuk pendiri Studio Grafis
LPKJ, Kaboel Suadi. Dilihat secara keseluruhan, mereka lebih
menampilkan individualitas masing-masing. Namun, menurut
Horison (1975, No. 10), secara teknis penyuguhan ruangan
Erasmus Huis memang sukar dibuat nyaman sebagai tempat
pameran. Karya Mochtar dan Kaboel dianggap lebih bagus saat
dipamerkan di Galeri Grafis TIM beberapa waktu sebelumnya.
32 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
KARYA • DOSEN & MAHASISWA • PERTUNJUKAN • TARI
Irama Penari LPKJ
dan Nritya Sundara
15–17 OKTOBER 1975
20.00 WIB
TEATER TERTUTUP TIM
PENYELENGGARA
Nritya Sundara
KOLABORATOR
Akademi Tari LPKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
KOREOGRAFER
Yulianti Parani
KELOMPOK TARI
Nritya Sundara dan
mahasiswa-mahasiswa
Akademi Tari LPKJ
PEMAIN
Linda Karim, Nancy Hasan, Tri
Sapto, Dedy Hendrawan
Tiga buah repertoar disuguhkan dengan mengambil inspirasi
dari irama gitar, angklung, dan gendang. Repertoar pertama
berjudul Variasi Gitar merupakan tarian balet. Sedangkan
Gerakan Gendang, Angklung dan Pengembangan Gendang dan
Kromong merupakan tari kontemporer Indonesia. Antropolog
James Danandjaja (Kompas, 28 Oktober 1975) mengulas bahwa
apa yang dipentaskan Nritya Sundara dan mahasiswa Akademi
Tari LPKJ adalah permulaan atas sesuatu yang baru. Dalam
pertunjukan tersebut, Yulianti Parani dengan eksperimennya
telah berhasil menggunakan gerakan ronggeng dan pencak
Betawi untuk menciptakan sebuah karya. Keberhasilan tersebut
penting artinya dalam perkembangan tari kontemporer Indonesia
pada umumnya, dan Jakarta khususnya.
Sebuah adegan dalam pentas
tari tersebut (Berita Buana, 13
Oktober 1975).
KARYA • DOSEN & MAHASISWA • TEATER
Musuh Masyarakat
Teater Lembaga
12–15 NOVEMBER 1975
TEATER TERTUTUP TIM
PENYELENGGARA
Teater Lembaga
PENDUKUNG
PKJ TIM
SUTRADARA
Wahyu Sihombing
PENULIS NASKAH
Henrik Ibsen, terjemahan
Asrul Sani
KELOMPOK TEATER
Teater Lembaga
PEMAIN
Bambang Budi Santoso, Eddy
de Rounde, Dayang Suri, Debi
Deborah, Alimin, Winarta
Musuh Masyarakat mengisahkan tragedi yang dialami Dr.
Stockman karena usahanya membenahi tempat pemandian
kota ditentang oleh walikota, pejabat lain, dan kekuatan sosial
yang ada di sekelilingnya. Persoalan menjadi berlarut-larut
karena bentrokan nilai moral, ekonomi, politik, dan berbagai
kepentingan. Naskah sandiwara ini secara garis besar
menggambarkan konflik kepentingan antara masing-masing
tokoh. Wahyu Sihombing dalam menggarap naskah ini membuat
sinopsis dan tafsiran berdasarkan metode pengadeganan—juga
dikenal sebagai metode Aristotelian. Dikenal sebagai salah
seorang sutradara yang bekerja secara terperinci dan metodis,
ia mengupas naskah lakon ini dalam catatan sebanyak 30
halaman.
ACARA • PERTUNJUKAN • MUSIK • KLASIK
Ensemble Jakarta Bersiap
untuk Festival Musik
Internasional
20 NOVEMBER 1975
20.00 WIB
TEATER ARENA TIM
PENDUKUNG
PKJ TIM
PARTISIPAN
Suka Hardjana, dll.
Ensemble Jakarta tampil dengan menghadirkan sejumlah
repertoar karya musikus terkemuka abad ke-19 atau periode
romantik. Grup ini berhasil merebut perhatian dalam berbagai
pagelaran di beberapa kota di Indonesia. Pertunjukan Ensemble
Jakarta kali ini dilakukan dalam rangka persiapan mengikuti
Festival Musik Internasional di (waktu itu) Jerman Barat pada
musim panas, November 1976.
1970–
1979
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
33
KARYA • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA
Pameran Seni Rupa
12 Perdana
1–6 DESEMBER 1975
09.00–13.00 WIB
17.00–21.00 WIB
RUANG PAMERAN PKJ
TIM
PENYELENGGARA
LPKJ & DKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
SENIMAN
Ananda Moersid, Angkama
Setjadipradja, Arsono,
Baharuddin M.S., Edith
Ratna S., Yusuf Affendi,
Danarto, Kaboel Suadi,
Kusnadi, D.A. Peransi,
Srihadi, Sukamto, Zaini, Surya
Pernawa, Wisaksono, Wiyoso
Yudoseputro
Kalangan pengajar yang layak mendidik dan melatih dalam
jurusan seni belum banyak tersedia di Indonesia. Pameran
ini, menurut sastrawan Taufiq Ismail, merupakan salah
satu tantangan bagi pengajar LPKJ untuk menyatakan
kemampuannya. Namun, ujar kritikus Bambang Bujono dalam
Horison (1976, No. 01), pameran ini lebih bersifat administratif
ketimbang kreatif. Dalam pameran ini, terdapat 66 karya dari 16
seniman sekaligus pengajar, antara lain berupa lukisan, relief
kayu, grafis, patung, dan tenun. Diprakarsai 12 seniman dan
diadakan di bulan ke-12, Pameran Seni Rupa 12 ini direncanakan
menjadi agenda tahunan.
[Kiri] Lukisan Kusnadi.
[Kanan] lukisan Kaboel Suadi.
PARTISIPASI • DOSEN & MAHASISWA • PERTUNJUKAN • TEATER & TARI
Pengajar dan Mahasiswa
dalam Ambience 1975
3 DESEMBER 1975
20.00 WIB
TEATER ARENA TIM
PENYELENGGARA
TOKK Ensemble
PENDUKUNG
DKJ, Japan Foundation,
PKJ TIM
PARTISIPAN
Franz Haryadi, Paul Gutama
Soegijo, Bagong Kussudiardja,
Maki Ishii
Ambience 1975 adalah hasil kolaborasi musik dan dramatari
kontemporer antara berbagai pihak. Franz Haryadi, dosen LPKJ
selaku pengawas artistik, mengatakan bahwa pementasan
ini memanfaatkan elemen-elemen musik dan tari; para penari
pun ikut menggarap vokal. Ide-ide dramatik dan musik digarap
oleh Paul Gutama Soegijo, musisi Indonesia yang bermukim
di Jerman, bersama TOKK Ensemble dari Tokyo. Sedangkan
visualisasi dan koreografi digarap oleh Bagong Kussudiardja
dari Yogyakarta, dengan para pemain antara lain empat aktor
mahasiswa LPKJ. Interaksi antara bebunyian musikal dan gerak
berperan besar dalam pertunjukan ini.
TOKK Ensemble dari Tokyo
dalam sebuah pertunjukan
mereka sebelum ini (Kompas, 1
Desember 1975).
34 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
PARTISIPASI • MAHASISWA • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS
Mahasiswa LPKJ
dalam Pameran Lukisan
Seniman Muda Indonesia
1975
8–18 DESEMBER 1975
RUANG PAMERAN TIM
& SANGGAR BARU TIM
PENGGAGAS &
PENYELENGGARA
DKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
Pameran ini kali pertama yang menampilkan lukisan-lukisan
karya pelukis muda dari seluruh Indonesia, atau paling tidak dari
berbagai kota di Indonesia yang mempunyai kegiatan seni lukis.
Ajip Rosidi selaku Ketua DKJ mengatakan bahwa pameran ini
sudah lama dicita-citakan tapi baru dapat dilaksanakan. Dalam
pameran ini para seniman muda tidak hanya menampilkan
karya, tapi juga membicarakan masalah-masalah yang mereka
hadapi. Maka, dilaksanakan pula diskusi dengan tema “Seniman
Muda dan Seni Lukis” oleh Keluarga Mahasiswa LPKJ, dengan
pembicara Jim Supangkat (Bandung) dan Muryoto Hartoyo
(Jakarta).
Lukisan Dyon A. Sjewket,
Sket 1
ACARA • DISKUSI • TEATER
Rangkaian Diskusi
dalam Teater Remaja III
16 FEBRUARI–
MARET 1976
17.00 WIB
RUANG KULIAH LPKJ
PENYELENGGARA
DKJ
PENDUKUNG
LPKJ
PARTISIPAN
Wahyu Sihombing, Aldisar
Syafar, Torro Margens, Slamet
Kirnanto, Nasri Cheppy, Jodee
Rawayan, Noorca Marendra,
Suripto
Rangkaian diskusi Pementasan Teater Festival Teater Remaja III
berlangsung hampir setiap hari dalam rangka pembinaan teater
remaja. Pembicara dari grup-grup yang telah mementaskan
drama mereka di depan publik pada festival sebelumnya,
diminta untuk presentasi. Namun, Pelita (12 Maret 1976)
mencatat bahwa tidak semua perwakilan grup tersebut dapat
menyampaikan konsep pementasan mereka dengan baik
dalam diskusi. Beberapa grup teater yang dianggap baik dalam
pemaparannya adalah Teater Lisendra, Teater Remaja Jakarta,
Teater Kail, Sanggar Prakarya, Gherti Teater, dan beberapa
nama lain. Mereka dapat dikatakan mampu mempertanggung
jawabkan kerja teater mereka dalam forum diskusi.
1976
KARYA • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA
Fariasi Minang dan
Carmina Burana
23–25 FEBRUARI 1976
20.00 WIB
TEATER ARENA TIM
TIKET
Rp300 & Rp500
Pengajar Akademi Tari LPKJ, Farida Feisol
menghadirkan dua nomor tari ciptaannya
dalam dua langgam dan napas yang
berbeda. Fariasi Minang merupakan tarian
bercorak unsur tradisi Minangkabau
dengan warna baru. Sedangkan Karmina
Burana digarap berdasarkan interpretasi
atas watak-watak manusia di balik
kedoknya.
PENYELENGGARA
LPKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
KOREOGRAFER
Farida Feisol
PENARI
Linda Karim, June Beckx,
Sentot Sudhiarto, Nancy Tri
Sapto, Usil Susilo H.S., Dedy
Lutan
1970–
1979
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
35
KARYA • DOSEN & MAHASISWA • PERTUNJUKAN • SENI TARI • TRADISIONAL
Lakon Damarwulan
19–21 FEBRUARI 1976
20.00 WIB
TEATER ARENA TIM
TIKET
Rp1.000
Lakon Damarwulan diambil dari cerita
“Menakjingga Lena” dan “Damarwulan
Jumeneng Nata”. Cerita ini adalah bagian
ketiga dan keempat buku Legendriya
Mandra Swara terbitan Balai Pustaka.
Dalam pementasan, susunan tembang
sedikit diubah dari naskah aslinya. Retno
Maruti juga menambahkan tarian massal,
tapi selain itu tetap menjaga keaslian
bentuk tari tradisional ini.
PENDUKUNG
PKJ TIM
KOLABORATOR
LPKJ
KOREOGRAFER
Retno Maruti & Sulistyo
S. Tirtokusumo
PENULIS NASKAH
Sugiharti
PEMAIN
S. Kardjono, S. Trisapto
Yudi, Sentot S, Tini, Elly
ACARA • LOKAKARYA • SENI PERAN
Lokakarya LPKJ – PARFI
10 MARET–JUNI 1976
ACARA
PENGGAGAS
Ali Sadikin
PENYELENGGARA
PARFI dan Akademi Teater
LPKJ
PENDUKUNG
Pemerintah DKI Jakarta,
PKJ TIM
Mengenang 10 Tahun
Angkatan ‘66
25 MARET 1976
20.00–23.30 WIB
STUDIO MINI, LPKJ
PENYELENGGARA
Keluarga Mahasiswa LPKJ
PARTISIPAN
Taufiq Ismail, D.A. Peransi, D.
Djajakusuma, Afrizal Anoda,
Bambang, F.X. Pratomo, Eddy
Riwanto, Herman, Ruslan, Budi
Setiawan, Berty Motoh, Hari
Irawan, Asbari N., Patria K.,
Ugo Haryono, Syaiful Anwar
Taufiq Ismail, Ketua LPKJ, menyatakan dalam sambutannya
bahwa film adalah salah satu bentuk seni pertunjukan yang
paling disorot masyarakat. Dan para aktor adalah kepada
siapa sorotan itu banyak diarahkan. Demikianlah mengapa
lokakarya ini dirasa strategis. Para pesertanya adalah artis-artis
film yang tergabung dalam PARFI. Diharapkan mereka dapat
mengembangkan diri agar mencapai penilaian mutu permainan
yang lebih layak dan dihargai oleh masyarakat luas.
Lokakarya tersebut disampaikan dengan kombinasi gaya
sanggar 75% dan gaya klasik 25%. Selama satu semester,
peserta akan menerima pengetahuan tentang penghayatan
peran, penguasaan tubuh yang meliputi keterampilan teknis
dan ritmis, serta penguasaan suara dan penguasan filmis.
Pembukaan lokakarya ini sekaligus untuk merayakan ulang
tahun PARFI.
Acara diselenggarakan santai. Peserta duduk di atas tikar
dengan hidangan kopi dan ubi goreng, dikelilingi cahaya lilin
yang dipasang di dalam kuali. Taufiq Ismail membacakan 10
puisi tentang aksi yang dilancarkan mahasiswa sepuluh tahun
lalu. Ia mengatakan bahwa perjuangan mahasiwa waktu itu
bertujuan untuk merobohkan tirani yang dikokohkan para
penguasa. Dilaksanakan pula pemutaran film pendek 8 mm
karya D.A. Peransi berjudul Catatan Harian Seorang Demonstran.
Mahasiswa dan dosen Akademi Teater membacakan puisi,
dari Akademi Musik tampil vokal grup, disusul para mahasiswa
Akademi Sinematografi yang juga membacakan puisi. Beberapa
kelompok dari Akademi Seni Rupa turut memainkan lagu dan
membacakan puisi.
Taufiq Ismail membacakan
puisinya diiringi petikan gitar
seorang mahasiswa (Sinar
Harapan, 27 Maret 1976).
36 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
KARYA • DOSEN • PERTUNJUKAN • TARI • BALET
Balet Anak Peri Hutan
27–28 MARET 1976
17.00 & 10.00 WIB
TEATER ARENA TIM
TIKET
Rp200 & Rp100
Pertunjukan ini diolah dari cerita
mengenai peri hutan dalam buku berjudul
Cerita dari Lima Benua terbitan Gramedia.
Penggagas dan penyelenggara acara ini,
Nritya Sundara—kelompok balet yang
didirikan pengajar Akademi Tari LKPJ,
Yulianti Parani dan Farida Feisol—di
kemudian hari menjadi Kursus Tari LPKJ/
IKJ.
PENGGAGAS &
PENYELENGGARA
Nritya Sundara
KOLABORATOR
LPKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
KOREOGRAFER
Sunny Pranata
KELOMPOK TARI
Nritya Sundara
PARTISIPASI • DOSEN • SEMINAR • FILM
Soemardjono,
Wakil Indonesia dalam
Seminar Sinematografi
Asia II
APRIL 1976
HONG KONG
PENYELENGGARA
Federation of Motion Pictures
Producers in Asia (PFA)
Seminar Sinematografi Asia II menghasilkan beberapa pokok
pikiran, di antaranya peningkatan kerja sama produksi antara
11 negara anggota Federation of Motion Pictures Producers
in Asia (PFA), penyediaan beasiswa lokakarya dari Taiwan dan
Hong Kong untuk belajar sinematografi di dua negara tersebut,
dan inisiatif sinematek (perpustakaan film) di negara-negara
Asia dengan mengikuti pola Sinematek Indonesia. Dibahas
pula peluang-peluang kerja sama lebih lanjut untuk menunjang
pertukaran kesenian lewat film dalam kerangka sinematek
tersebut. Tindak lanjut seminar akan dibicarakan dalam
rapat Dewan Direktur FPA selama Festival Film Asia di Pusan
pada bulan Juni berikutnya. Soemardjono, Ketua Akademi
Sinematografi LPKJ, memimpin seminar ini.
Soemardjono ketika
membacakan hasil keputusan
seminar di Hong Kong (Sinar
Harapan, 10 Juli 1976).
KARYA • DOSEN & MAHASISWA • PERTUNJUKAN • TARI
Wayang Orang Golek
Menak Cina
3–5 APRIL 1976
20.00 WIB
TEATER ARENA TIM
TIKET
Rp500 & Rp300
Pertunjukan ini merupakan perwujudan
gagasan Sultan Hamengku Buwono IX,
yaitu memadukan wayang golek dan
wayang orang. Artinya, penggarapan tari
dan laku tokoh-tokohnya diilhami wayang
golek. Lakonnya adalah Menak Cina, yang
diambil dari cerita Amir Hamzah.
PENYELENGGARA
Jaya Budaya
KOLABORATOR
LPKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
KOREOGRAFER
Basuki Kuswaraga &
S. Kardjono
KELOMPOK TARI
Jaya Budaya
PEMAIN
Jaya Budaya dan para
pengajar Akademi Tari LPKJ
Ilustrasi tentang pertunjukan
di kalender acara TIM.
1970–
1979
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
37
KARYA • DOSEN & MAHASISWA • PERTUNJUKAN • TEATER
Pesta Pencuri
Teater Lembaga
27 APRIL–1 MEI 1976
20.00 WIB
TEATER ARENA TIM
TIKET
Rp100 & Rp 300
Di media massa, pementasan lakon
ini dianggap kian mempertegas dua
pola penggarapan Teater Lembaga.
Pola pertama dipandang sebagai
kecenderungan realis, khususnya
di bawah arahan sutradara Wahyu
Sihombing. Kedua, di bawah arahan
sutradara Pramana Pmd., hadir
kecenderungan menggabungkan teater
modern dengan model pertunjukan
tradisional. Dalam pertunjukan ini,
Pramana menghadirkan lenong
khas Betawi, lengkap dengan orkes
kromongnya. Namun, upaya stimulasi
dialog melalui cokekan lenong dipandang
malah menghilangkan esensi komedi
naskah. Sebelumnya, Pramana pernah
menggarap lakon Hippolutos karya
Euripides dengan memanfaatkan pola
randai ala Minangkabau.
PENYELENGGARA
Teater Lembaga
PENDUKUNG
PKJ TIM
SUTRADARA
Pramana Pmd.
PENULIS NASKAH
Jean Anouilh (terjemahan
Asrul Sani)
KELOMPOK TEATER
Teater Lembaga
PEMAIN
Eddy de Rounde, Joko
Quartantyo, Gandung
Bondowoso, Lena
Simanjuntak, Adrie Rantung,
Ruslan, Budi Setiawan, Afrizal
Anoda, Bambang B.S., Herman
[Kiri] Eddy de Rounde dan
Bambang B.S. [Kanan] Eddy de
Rounde sebagai Ny. Hurp.
KARYA • DOSEN & MAHASISWA • PERTUNJUKAN • TARI • TRADISIONAL
Dalem Batu Selem
4–6 MEI 1976
20.00 WIB
TEATER ARENA TIM
TIKET
Rp300 & Rp500
I Wayan Diya tidak menuntut bahwa
pendukung tarinya adalah seorang penari.
Hal itu dibuktikan pengajar Akademi Tari
LPKJ ini dalam pergelaran Dalem Batu
Selem. Di antara 30 orang pendukung,
selain penari profesional, dosen, dan
mahasiswa, turut tampil sastrawan Putu
Wijaya, aktor Syaeful Anwar, dan lainnya
yang bukan penari. Dalem Batu Selem
berkisah tentang Gusti Ayu Sari yang
jatuh cinta pada Dalem Batu Selem. Cerita
ini merupakan legenda yang biasanya
dibawakan dalam tontonan tari topeng.
Tafsiran Diya menampilkan tek-tekan—
tetabuhan khas Bali yang biasa dibunyikan
di jalanan—sebagai musik pengiring.
Sebuah pembuktian dari Diya bahwa
kesenian tradisi bukanlah “kesenian yang
beku”.
PENYELENGGARA
Penataran Tari Rasa Dhvani
PENDUKUNG
PKJ TIM
KOREOGRAFER
I Wayan Diya
KELOMPOK TARI
Penataran Tari Rasa Dhvani
dan para mahasiswa
Akademi Tari LPKJ
PEMAIN
Sardono W. Kusumo, Putu
Wijaya, Ida Ayu Oka Sudiasih,
Wiwiek S. Nana, L. Adiri,
S. Trisapto
38 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
SOSOK ALUMNI
Dolorosa Sinaga
LAHIR DI SIBOLGA, 1952
SENI PATUNG, FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN
ANGKATAN 1971
LULUSAN 1977
PENGHARGAAN
Citra Adhikarya Budaya, Pemerintah Republik Indonesia, 2011.
PERUPA
Peristiwa Mei 1998 sempat membuat Dolorosa
Sinaga tak bisa bekerja. Dadanya sesak mendengar
kisah dari kawan-kawan aktivis Komnas Perempuan
yang mencatat lebih dari 150 kasus pemerkosaan
selama bulan penuh gonjang-ganjing itu. Kebanyakan
kasus menimpa perempuan di bawah umur dan
keturunan Tionghoa. Kisah-kisah ini nyaris tak
tersuarakan dan bahkan dianggap mitos oleh
sejumlah kalangan, tapi seniman yang biasa
dipanggil Dolo itu berpikir lain. Ketika kebenaran
dibungkam, seni harus bicara.
Isu perempuan lantas menjadi tema sentral
dalam proses kreatif Dolo. Pada 2000, ia melahirkan
patung Solidaritas yang mewujudkan tujuh sosok
perempuan berdiri berjajar dan saling bergandengan
tangan. Patung yang kini dipajang di ruang tamu
kantor Komnas Perempuan itu menghadirkan
kontradiksi visual. Sosok perempuan dalam patung
tampak pipih, seolah ringkih, namun gestur dan
ekspresi mereka justru tampak tegar dan kuat.
Kepala mereka tegak, siap menghadapi segala
aral melintang, dan sosok perempuan paling kiri
mengepalkan tangan ke udara, tanda semangat
perlawanan. Melalui kontradiksi ini, Dolo menegaskan
bahwa persepsi publik yang cenderung meremehkan
peremuan sejatinya tak selaras dengan realitas
kehidupan perempuan yang penuh daya dan karsa.
Keberpihakan terhadap perempuan kembali
Dolo tunjukkan dalam I, The Witness (2002). Terbuat
dari tembaga, patung setinggi setengah meter itu
menampilkan sosok perempuan bersanggul yang
berdiri di belakang sebuah podium. Serupa dengan
pose para perempuan di Solidaritas, kepalanya tegak
menantang. Karya I, The Witness merupakan buah
perbincangan Dolo dengan ibu dari Ita Martadinata,
seorang penyintas pemerkosaan pada Mei 1998. Ita
ditemukan tewas terbunuh di kamar kosnya pada
9 Oktober 1998, empat hari sebelum jadwalnya
bersaksi di hadapan kongres Perserikatan Bangsa-
Bangsa. Melalui karyanya, Dolo menubuhkan
kesaksian Ita.
Karya-karya Dolo lebih dari ekspresi estetis
semata. Perupa lulusan pertama Seni Patung IKJ itu
selalu mencoba untuk melekatkan permasalahan
publik dalam karya-karyanya. Secara lugas, ia
menyebutkan patungnya “berdiri di antara keputusan
artistik dan sensasi realitas”. Meski karyanya
seringkali tampak abstrak, ia sebisa mungkin merajut
pengalaman sosial dalam bentuk-bentuk patungnya.
Menurut Dolo, seniman punya tanggung jawab untuk
menghasilkan karya yang komunikatif, sehingga
ekspresi seni bisa turut bicara bagi khalayak luas.
Melalui seni, Dolo ingin berpartisipasi dalam
percakapan publik tentang isu-isu kemanusiaan.
Pada 2016, ia menggagas dan mengetuai
penyelenggaraan Belok Kiri Festival, kegiatan seni
dan diskusi yang bertujuan membongkar berbagai
propaganda rezim Soeharto, salah satunya perihal
genosida 1965. Karena isunya yang sensitif,
festival itu dilarang pihak kepolisian setelah panitia
mendapat tekanan dari sejumlah organisasi
masyarakat.
Dolo tetap mencari cara untuk bersuara.
Setahun kemudian, ia kembali mengangkat isu
1965 melalui instalasi The Concise History of Mass
Murdered of 1965 di Jakarta Biennale 2017. Karya
itu menghadirkan patung berwujud seseorang yang
tersungkur di atas buku raksasa. Pada punggung
buku, tertulis judul karya. Di belakang patung,
tergantung sebuah poster yang menampilkan teks
besar “1965” dan “lima puluh tahun disenyapkan”.
Melalui karyanya, pemilik Somalaing Art Studio
itu memberi rupa dan suara bagi korban-korban
pembantaian serta penghilangan yang sampai
sekarang belum menemukan keadilan.
Sumber foto: The Jakarta Post / Ibrahim Irsyad, 2017.
1970–
1979
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
39
40 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
ACARA • PERTUNJUKAN • MUSIK • KLASIK
Kembali Hadir:
Suka Hardjana dan
Ensemble Jakarta
17 MEI 1976
20.00 WIB
TEATER TERTUTUP TIM
TIKET
Rp300 & Rp500
Pagelaran musik Suka Hardjana dan
Ensemble Jakarta ini diadakan setelah
mereka konser di beberapa daerah
di Indonesia. Pada masa itu, grup ini
dikatakan sebagai satu-satunya grup
musik kamar yang kerap menampilkan
nomor-nomor repertoar yang belum
pernah dimainkan di Indonesia. Dalam
kesempatan ini, mereka menyuguhkan
karya-karya Bach, Mozart, Carl Maria
von Weber dalam nomor-nomor kuartet,
tunggal, kuintet. Dalam catatan Franki
Raden di Sinar Harapan (12 Juni 1976),
para pemain lain dipandang belum
mampu menyamai intensitas permainan
Suka Hardjana.
KOLABORATOR
PKJ TIM
KARYA • DOSEN & MAHASISWA • PERTUNJUKAN • TARI • TRADISIONAL
Topeng Babakan
dalam Tarian Nusantara
26–28 MEI 1976
20.00 WIB
TEATER ARENA TIM
TIKET
Rp300 & Rp500
PENYELENGGARA
Nritya Sundara
KOLABORATOR
Perkumpulan Topeng Betawi
Setia Warga
PENDUKUNG
PKJ TIM
KOREOGRAFER
Yulianti Parani
Yulianti Parani berupaya mencari
kemungkinan baru, terutama dari unsur
gerak dalam Topeng Babakan selaku
kesenian khas Betawi. Pertunjukan ini
juga dinyatakan sebagai sebuah studi
untuk menghidupkan kembali Topeng
Betawi sebagai salah satu varian tari
topeng Nusantara. Kecenderungan unsurunsur
teater Betawi dimanfaatkan dan
disiasati dalam penggarapan pertunjukan
untuk menunjang kekhasan Betawi. Salah
satunya terlihat dari “bodoran” antara
para pemain di sela-sela permainan tari.
KELOMPOK TARI
Nritya Sundara, Perkumpulan
Topeng Betawi Setia
Warga, para mahasiswa
Akademi Tari LPKJ
PEMAIN
Dedy Lutan, Trisapto, Wiwiek
Sipala, Zaelani Idris, Usil,
Nasir, Bokir, Ion, Anna, Nori,
Nii, Lydia, Nancy, Ita, Easy,
Bernadette, Nana, Myra,
Edi, Afrizal, Budi, Mamad
PARTISIPASI • DOSEN & MAHASISWA • PERTUNJUKAN • MUSIK & TARI • TRADISIONAL
Urun Kebolehan
dalam Pentas Seni Bali
LKB Saraswati
5–6 JUNI 1976
20.00 WIB
TEATER ARENA TIM
LKB Saraswati sebagai sanggar kesenian
Bali di Jakarta terus menunjukkan
eksistensinya. Dengan melibatkan
seniman-seniman Bali di LPKJ, sanggar
ini mementaskan tari Legong Keraton
yang diiringi karawitan Bali. Tari Legong
merupakan tari klasik tradisional yang
sebagian geraknya bersumber dari ritual
sakral. Pada mulanya tarian ini dimainkan
oleh dua orang perempuan yang masih
gadis. Namun, sejak abad ke-19 tarian
ini dikembangkan sesuai dengan pola
kehidupan keraton, yang tadinya dua
penari saja kini dilengkapi dengan
seorang penari ketiga sebagai condong
(dayang). Hiasan kepala penari pun lebih
megah untuk menunjukkan kebesaran
keraton.
PENYELENGGARA
LKB Saraswati Jakarta
PENDUKUNG
PKJ TIM
JUMLAH PARTISIPAN
37 penabuh, penembang,
dan penari
1970–
1979
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
41
PARTISIPASI • DOSEN • PERTUNJUKAN • TARI
Sentot Sudiharto
Menata Tari Dewi Sri
9–11 JUNI 1976
TEATER ARENA TIM
PENYELENGGARA
Jaya Budaya
PENDUKUNG
DKJ, PKJ TIM
Suasana perdesaan menjadi latar pertunjukan ini: tembang atau
nyanyian “dolanan bocah”, kothekan (bebunyian ritmis dengan
lesung), dan terbangan (rebana) yang diselingi tembang macapat
dan ngungruman (rayuan). Namun, kisah Dewi Sri kurang
meninggalkan kesan. Menurut catatan Usil Susilo H.S. (Horison,
1976, No. 7-8), Sentot Sudiharto sebagai penata tari belum cakap
menggarap pertunjukan tersebut, yang sebetulnya berangkat
dari ide yang bagus. Susunan adegan terlalu fragmenter—
keutuhan cerita tidak tampak. Perpindahan antaradegan banyak
yang kosong sehingga tempo pertunjukan menjadi lambat.
Kekurangan tersebut dapat dimaklumi jika mengingat pengajar
LPKJ ini masih baru sebagai penata tari dibandingkan sebagai
penari.
PARTISIPASI • MAHASISWA • PAMERAN • SENI RUPA
Mahasiswa LPKJ
dalam Pameran
Suasana Kaki Lima
15–20 JUNI 1976
09.00–13.00 WIB
17.00–21.00 WIB
RUANG PAMERAN &
TEATER HALAMAN TIM
PENYELENGGARA
Lingkar Mitra Budaya, Kantor
Pemugaran DKI, DKJ
KOLABORATOR
Universitas Trisakti,
Universitas Tarumanegara,
Universitas Pancasila, LPKJ,
STAPI
PENDUKUNG
PKJ TIM
Pameran unik ini mengikutsertakan masyarakat untuk
menciptakan suasana kaki lima yang menyenangkan dalam
rangka HUT Jakarta ke-449. Maka, hadirlah kehidupan dan
suasana semarak dari pagi hingga malam di kawasan TIM.
Tujuan pameran ini memang membangkitkan kesadaran
publik bahwa kegiatan kaki lima hendaknya dipandang sebagai
bagian dari kehidupan kota yang tumbuh secara alami. Selain
itu, pameran hendak membimbing pedagang kaki lima untuk
mewujudkan keindahan tersendiri. Dalam kesempatan yang
sama, masyarakat umum diajak menentukan arah baru dalam
penataan kota maupun pengelolaan kegiatan ekonomi-sosial.
Maka, mahasiswa dari berbagai kampus diundang untuk ikut
merancang areal kaki lima di beberapa titik ibukota.
Pameran Suasana Kaki Lima di
pelataran TIM.
ACARA • CERAMAH • FILM
Masalah Transisi
dalam Film Cerita
8 JULI 1976
TIM
PENDUKUNG
PKJ TIM
JUMLAH PARTISIPAN
100-an hadirin
PARTISIPAN
Soemardjono (pembicara),
Alam Surawidjaja (moderator),
Baharuddin M.S., Taufiq Ismail,
Soetomo, D. Djajakusuma,
Wahyu Sihombing, Salim
Said, M.D. Alief, H.B. Jassin,
mahasiswa-mahasiswa
Akademi Sinematografi
LPKJ, dll.
Soemardjono tak hanya seorang Ketua Akademi Sinematografi
LPKJ, ia juga memiliki latar pengalaman sebagai penyunting
film. Dalam ceramahnya, ia menekankan bahwa dasar
seni film adalah penyuntingan. Ini setidaknya berdasarkan
pendapat sineas Rusia, Vsevolod Pudovkin. Soemardjono lalu
memaparkan pengertian konsep cerita, treatment, skenario,
terus menuju pembagian berupa shot, scene, sekuen, dan
kesinambungan gerak (movement). Semua inilah yang akan
diterima penonton sebagai gambar hidup. Mungkin karena
materi cenderung berupa pengetahuan spesialisasi maka
suasana ceramah ini disebut-sebut menyerupai suasana
perkuliahan di LPKJ.
42 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
PARTISIPASI • DOSEN & MAHASISWA • PERTUNJUKAN • TARI
Sardono Tampilkan
Cak Rina di Shiraz-
Persepolis Festival of Arts
19–22 AGUSTUS 1976
08.00 PM
NAQSH-E ROSTAM &
JAHAN-NAMA GARDEN,
PERSEPOLIS, IRAN
PENGGAGAS
Shahbanu Farah Pahlavi
(Permaisuri Raja Iran)
PARTISIPAN
Sardono W. Kusumo, Sang Ayu
Ktut Muklen, I Made Grindem,
I Made Netra, I Wayan Rindi, I
Wayan Diya
Cak Rina adalah tarian Bali kontemporer yang pertama digarap
Sardono W. Kusumo di Banjar Teges Kanginan Gianyar pada
1974. Sardono menggarap varian kecak tersebut selama enam
bulan dengan melibatkan 65 orang penduduk setempat yang
bukan penari. Tarian ini menggambarkan pertempuran antara
Sugriwa dan Subali dalam penggalan epos Ramayana. Dalam
wawancara dengan Kompas (31 Agustus 1976), Sardono
menjelaskan mengenai Cak Rina yang telah dibawakannya di
Shiraz-Persepolis Festival of Arts. Dalam pertunjukannya di Iran
itu, ia memadukan “cak”-nya dengan suasana sekitar, terutama
dengan misteri seputar kepercayaan Zoroastrian. Selain itu,
tampil pula di sana Konser Gamelan Semara Pegulingan yang
memainkan Legong Keraton dengan awak 75 seniman Bali.
PARTISIPASI • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS
LPKJ dalam
Pameran Seabad
Seni Rupa Indonesia
20–28 NOVEMBER 1976
BALAI SENI RUPA
JAKARTA
PENYELENGGARA
Balai Seni Rupa Jakarta
PENDUKUNG
Direktorat Pembinaan
Kesenian, Direktorat Jenderal
Kebudayaan, DKJ, Mitra
Budaya, dll.
Peresmian Balai Seni Rupa, yang berlokasi di bekas gedung
Walikota Jakarta Barat, oleh Presiden Soeharto, 20 Agustus
1976, diawali dengan pembukaan pameran seni rupa bertema
“Seabad Seni Rupa Indonesia”. Bertindak sebagai penyeleksi
materi pameran adalah Kusnadi, Soemardjo, Alex Papadimitriou,
Fadjar Sidik, Suparto, ditambah penasihat Basuki Abdullah,
Sudjodjono, Sudarso, dan Zaini. Karya-karya yang dipamerkan
merupakan koleksi Istana Presiden, Direktorat Pembinaan
Kesenian, Direktorat Jendral kebudayaan, Dewan Kesenian
Jakarta, Mitra Budaya, dan perseorangan. Beberapa pihak
menganggap penyeleksian pameran ini kurang ketat dan jumlah
karya seniman yang dipamerkan timpang. Namun, dari pameran
ini dapat dilihat betapa beragamnya corak dan gaya seni rupa di
Indonesia.
KARYA • DOSEN & MAHASISWA • PERTUNJUKAN • TARI • TRADISIONAL
Pesta Desa Teges Kanginan
28–29 AGUSTUS 1976
TEATER TERBUKA &
TEATER HALAMAN TIM
PENYELENGGARA
DKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
SUTRADARA &
KOREOGRAFER
Sardono W. Kusumo
PEMAIN
Sardono W. Kusumo, Sutardji
Calzoum Bachri, Ikranagara,
Sentot Sudiharto
Sardono W. Kusumo menghadirkan apa yang disebut-sebut
sebagai teater-kolase, yang dianggap sebagai jalan untuk
merespons sekitarnya. Pesta Desa Teges Kanginan dimulai
dengan permainan gending Bali, mengiringi beberapa penari
yang muncul dari pintu belakang Teater Terbuka. Para penari
memainkan tari legong dan tari barong yang kemudian
ditutup dengan Cak Rina serta pesta sate kambing. Di tengah
permainan kecak itu muncul mahasiswa-mahasiswa LPKJ
yang meresponsnya, berikut Sutardi Calzoum Bachri dan
Ikranagara yang bertelanjang dada meneriakkan kalimat-kalimat
puisi. Belum lagi ada bagian di mana Sentot Sudiharto dikejar
seseorang bersepeda motor. Namun, Horison (No. 9, 1976)
mencatat bahwa pertunjukan tidak konsisten karena pada hari
pertama berlangsung di Teater Terbuka, sedangkan hari kedua
“mengalir” ke Teater Halaman. Kedua format itu meninggalkan
kesan yang berbeda.
1970–
1979
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
43
SOSOK ALUMNI
Cok Simbara
AKTOR
LAHIR DI TAPANULI SELATAN, 1953
SENI TEATER, FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN
ANGKATAN 1974
PENGHARGAAN
Aktor Pembantu Terpuji (TV) dalam sinetron
Namaku Safina (2007), Festival Film Bandung
2007.
Ucok Hasyim Batubara termasuk golongan perintis.
Ketika film masih dianggap sebatas hiburan populer,
pria yang terkenal dengan nama Cok Simbara itu
merupakan satu dari sejumlah aktor teater yang
menyeberang ke dunia film pada 1970-an. Namanya
direkomendasikan oleh Nurhadie Irawan, teman
sekampusnya di LPKJ, untuk lakon utama dalam
film Kugapai Cintamu (1976). Wim Umboh selaku
sutradara menginginkan wajah baru dan ia melihat
profil Cok sesuai dengan kebutuhannya. Maka,
dimulailah karier Cok Simbara di dunia film.
Kugapai Cintamu, sebagai adaptasi novel populer
berjudul sama karya Ashadi Siregar, sudah punya
basis penonton sebelum filmnya beredar. Terlebih
lagi, sebagai bagian kedua dari sebuah trilogi, ia
didahului oleh Cintaku di Kampus Biru, novel yang
terbit pada 1974 dan kemudian menjelma jadi film
laris pada 1976. Antisipasi penonton begitu besar.
Tak heran, ketika beredar, Kugapai Cintamu menjadi
salah satu film terlaris pada tahunnya dan sosok Cok
sontak menjadi ikon baru perfilman nasional.
Jalannya menuju ketenaran layar lebar ia
jajaki melalui berbagai kelompok teater. Ia sempat
bergabung dalam Teater Keliling arahan Rudolf
Puspa dan Derry Syrna, serta Teater Kaki Lima
pimpinan Tommy Soemarni. Bersama Teater Kaki
Lima, ia sering pentas di klub malam Latin Quarter
yang terkenal pada era 1970-an. Penampilannya
mengundang perhatian sehingga ia diajak ikut
pementasan Kucak Kacik (1975) arahan Arifin C.
Noer di Teater Kecil. Di sana, kemampuan aktingnya
digembleng dalam berbagai pementasan yang akrab
menceritakan persoalan rakyat kecil melalui set
minimalis.
Film layar lebar lantas menjadi jalan penghidupan
Cok. Kematangan aktingnya digemari banyak
sutradara dan membawanya berperan dalam
sejumlah film penting di Indonesia, dari Para Perintis
Kemerdekaan (1977) arahan Asrul Sani, Kerikil-kerikil
Tajam (1984) arahan Sjuman Djaya, Arie Hanggara
(1865) arahan Frank Rorimpandey, hingga Plong
(1991) arahan Putu Wijaya. Sampai 2019, ia telah
berperan dalam setidaknya lima puluh film dan lima
belas sinetron.
Sumber foto: Kapanlagi.com
44 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
PARTISIPASI • MAHASISWA • PAMERAN • SENI RUPA
Karya Mahasiswa LPKJ di
Gelanggang Soemantri
1–3 SEPTEMBER 1976
GEDUNG KONFERENSI
MAHASISWA
SOEMANTRI
BRODJONEGORO
Dalam pameran ini dihadirkan
kurang-lebih 100 buah karya, meliputi
lukisan, sketsa, grafis, kolage, foto,
patung, dan perabotan. Karya-karya
tersebut dihasilkan oleh mahasiswa
LPKJ, Universitas Trisakti, UNTAG,
PTP, Akademi Perawat, IAIN, yang
sebelumnya mengikuti Festival Seni
Rupa Mahasiswa se-Jakarta. Festival
tahunan ini diselenggarakan BKKPT yang
memberi penghargaan kepada tujuh karya
terbaik dari tujuh cabang seni rupa yang
dilombakan.
PENYELENGGARA
BKKPT (Badan Koordinasi
Kegiatan Perguruan Tinggi)
KARYA • DOSEN • PERTUNJUKAN • TARI • TRADISIONAL
Tarian I Made Netra
11–13 SEPTEMBER 1976
20.00 WIB
TEATER ARENA TIM
TIKET
Rp300 & Rp500
I Made Netra sudah memainkan
tarian Bali sejak berumur enam tahun.
Untuk pertunjukan ini, ia bermaksud
mengartikulasikan gerak, kata, dan musik
guna mengungkapkan beragam masalah
kehidupan. Lewat artikulasi tersebut, ia
hendak mengungkapkan persentuhannya
dengan beragam kebudayaan lain sejak
meninggalkan Bali.
PENYELENGGARA
Rasa Dhvani
PENDUKUNG
PKJ TIM
KOREOGRAFER
I Made Netra
KELOMPOK TARI
Rasa Dhvani
PEMAIN
I Made Netra dan Rasa Dhvani
pimpinan I Wayan Diya
Tarian I Made Netra dalam
kalender acara TIM.
PARTISIPASI • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS
Pengajar LPKJ dalam
Pameran 15 Pelukis Jakarta
1–7 OKTOBER 1976
RUANG PAMERAN TIM
Pameran 15 Pelukis Jakarta ini
menampilkan 59 karya. Pengajar-pengajar
LPKJ yang turut berpartisipasi adalah
Oesman Effendi, Nashar, Zaini, dan
Baharuddin M.S.
PENYELENGGARA
DKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
1970–
1979
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
45
ACARA • DISKUSI • FILM
Kebijakan Baru
Impor Film dan
Akibatnya di Indonesia
15 OKTOBER 1976
19.30 WIB
STUDIO MINI AKADEMI
SINEMATOGRAFI LPKJ
Akademi Sinematografi LPKJ
mengundang Soenaryo S.T. selaku
Direktur Bina Film Departemen
Penerangan RI untuk mengetengahkan
persoalan impor film yang belakangan
hangat dibicarakan. Turut diundang pula
karyawan film, produser, pengusaha
bioskop, dan pengimpor film untuk ikut
memberikan pandangan. Pengamat film
Salim Said bertindak sebagai moderator.
PENYELENGGARA
Kelompok Diskusi Akademi
Sinematografi LPKJ
PARTISIPAN
Soenaryo S.T., Soemardjono,
Turino Junaedy, Rudi Lukito,
Sudwikatmono, Salim Said, dll.
ACARA • PERTEMUAN • FILM
Kelompok Penulis
Skenario Film KFT
23 OKTOBER 1976
10.00 WIB
PUSAT PERFILMAN
H. USMAR ISMAIL
KFT sebagai organisasi profesi dalam
perfilman—banyak anggotanya adalah
pengajar LPKJ—menggagas banyak hal.
Salah satunya adalah rencana mendirikan
Kelompok Penulis Skenario Film untuk
ikut menentukan gerak maju produksi film
nasional. Dalam rencana ini, para peserta
Kino-workshop Penulis Skenario Film
LPKJ/Deppen dianggap sebagai unsur
pokok untuk mendampingi para penulis
skenario senior. Mereka diharapkan
membicarakan pengelompokan
penulis-penulis skenario dalam tubuh
organisasi KFT. Kelompok-kelompok
ini nantinya akan mengangkat berbagai
masalah dalam penulisan skenario.
Menyangkut kepentingan mereka, salah
satunya persoalan urusan hak cipta dan
standardisasi honorarium.
PENGGAGAS &
PENYELENGGARA
KFT (Karyawan Film
dan Televisi)
KOLABORATOR
LPKJ
PENDUKUNG
Deppen (Departemen
Penerangan), Pusat
Perfilman H. Usmar Ismail
PARTISIPAN
Soemardjono, Sukri Musa, dll.
KARYA • DOSEN • PERTUNJUKAN • TARI
Sonya Ruri dan
Abimanyu Gugur
24–26 OKTOBER 1976
20.00 WIB
TEATER ARENA TIM
TIKET
Rp1.000
Lakon Sonya Ruri garapan Sulistyo
dan Abimanyu Gugur garapan Retno
Maruti Sudiarto adalah dua tari klasik
tradisional Jawa dalam satu rangkaian
pertunjukan. Sonya Ruri merupakan
penggambaran batin Prabu Basupati Raja
Wirata dalam usaha mencari jati dirinya.
Abimanyu Gugur digarap berdasarkan
cerpen Danarto berjudul “Nostalgia”,
yang kisahnya berangkat dari seri
Bharatayudha.
PENYELENGGARA
Padneçwara
PENDUKUNG
PKJ TIM
KOREOGRAFER
Retno Maruti & Sulistyo
Tirtokusumo
KELOMPOK TARI
Padneçwara
PEMAIN
Retno Maruti, Sulistyo
Tirtokusumo, Martati, Elly,
Watie, Trisapto, Joko, Warsito
46 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
KARYA • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS
Pameran Tunggal Zaini
1–7 NOVEMBER 1976
20.00 WIB
RUANG PAMERAN TIM
PENYELENGGARA
DKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
Pameran ini menandai 30 tahun proses kreatif Zaini dalam dunia
seni rupa, sejak ia pertama kali tiba di Jakarta dari kampung
halamannya di Pariaman, dan belajar pada S. Soedjojono di
Kantor Pusat Kebudayaan. Karya-karya yang dipamerkan
mencakup 31 lukisan cat minyak dan 20 lukisan di balik kaca.
Beberapa ulasan media mengungkapkan pentingnya objek
dalam lukisan-lukisan Zaini. Misalnya, Bambang Bujono dalam
Horison (1976, No. 10-11) menulis bahwa Zaini berangkat dari
sketsa suatu objek lalu berusaha menangkap suasana yang
dibawakan objek tersebut.
Zaini, anggota pengurus harian
Dewan Kesenian Jakarta
sekaligus pengajar LPKJ dan
lukisannya, Dua Burung
KARYA • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS
Pameran Tunggal Srihadi
8 NOVEMBER–
8 DESEMBER 1976
CHASE MANHATTAN
BANK, JAKARTA
Chase Manhattan Bank Jakarta
memberikan kesempatan kepada para
pelukis untuk memperkenalkan karyanya.
Inisiatif khusus ini dinamai Chase
Manhattan’s Art Program. Salah satu
pelukis yang diajak adalah Srihadi, Dekan
Akademi Seni Rupa LPKJ. Sebelum ini,
tepatnya pada 1972, Srihadi pun pernah
memamerkan karyanya di kantor bank
yang sama. Selain di bank tersebut,
hasil karyanya yang dapat dilihat umum,
antara lain, adalah sebuah lukisan dinding
berukuran 3 x 12 meter di Gedung Balai
Kota Jakarta dan relief kayu di Gedung
Executive Club Jakarta.
PENGGAGAS
Adrian Noe, Vice President
& Country Manager Chase
Manhattan Bank
PENYELENGGARA
Chase Manhattan Bank
1970–
1979
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
47
SOSOK ALUMNI
Wiwiek Sipala
PENARI & KOREOGRAFER
LAHIR DI RAHA MUNA, 1953
SENI TARI, FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN
ANGKATAN 1974
LULUSAN 1988
PENGHARGAAN
• Anugrah Seni sebagai Maestro Tari, Dewan
Kesenian Jakarta, 2010.
• Anugrah Seni sebagai Pelopor/Pembaharu
Seni Pertunjukan Indonesia, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, 2015.
Tadinya Wiwiek Sipala berpikir akan kerja di bank,
tapi jalan hidup berkata lain. Pada 1972, saat akan
mendaftar untuk lanjut studi di akademi perbankan,
ia melihat iklan pendaftaran mahasiswa baru IKJ
di kertas koran pembungkus makan siangnya.
Teringatlah ia akan mimpi lamanya. Menari
sedari usia sebelas tahun, Wiwiek sempat serius
mempelajari tari Pakarena, seni tradisional khas
Sulawesi, dan menggubah versinya sendiri sejak
1963. Namun, karena tak direstui orangtua, Wiwiek
terpaksa sembunyi-sembunyi setiap mau latihan,
termasuk selama ia kuliah ekonomi di Universitas
Haluoleo, Kendari.
Jalan hidup Wiwiek lantas belok ke IKJ. Selama
empat belas tahun dan tiga jenjang pendidikan di
IKJ, perempuan bernama asli Wa Ode Siti Marwiyah
Sipala itu semakin mendalami tari Pakarena,
bahkan menjadikannya sebagai fokus tugas
akhirnya. Berdasarkan penelitiannya, ada tiga gaya
Pakarena yang ia temukan: pegunungan, pesisir, dan
kepulauan. Pakarena pesisir mengutamakan gerak
tubuh condong ke depan, Pakarena pegunungan
menampilkan gerak tubuh yang tegak, sementara
Pakarena kepulauan khas akan sikap tubuh yang
condong ke belakang. Meski berbeda gerak,
Wiwiek melihat ketiga gaya Pakarena itu berlandas
pada filosofi yang sama: pengendalian diri. Musik
pengiring pakarena selalu keras, sementara gerak
tarinya lembut.
Terinspirasi, Wiwiek mencoba memadukan unsurunsur
Pakarena dalam koreografi modern. Hasilnya
bisa dilihat pada Pakarena Simombala (2000),
Akkarena Sombali (2010), Pakarena Simombala
(2000), Pakarena Bulan’ne (2011), dan Pakarena
Se’reang Bori (2011). Semuanya sudah dipentaskan
di panggung nasional maupun internasional. Pada
2015, sebagai apresiasi terhadap kontribusinya bagi
khazanah tari di nusantara, Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan menobatkan Wiwiek sebagai
Pelopor/Pembaharu Seni Pertunjukan Indonesia.
Wiwiek Sipala di ruang teater Salihara, 2010.
Sumber foto: © Tempo/Dwianto Wibowo
48 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
KARYA • DOSEN & MAHASISWA • PERTUNJUKAN • TARI
Debut Para Penata
Tari Muda
10–12 NOVEMBER 1976
20.00 WIB
TEATER ARENA TIM
TIKET
Rp300 & Rp500
PENGGAGAS &
PENYELENGGARA
Cipta Karya Tari LPKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
KOREOGRAFER
Farida Feisol, Wiwiek Sipala,
Zaelani Idris, Dedy Lutan
KELOMPOK TARI
Cipta Karya Tari LPKJ
PEMAIN
Farida Feisol, Wiwiek Sipala,
Zaelani Idris, Dedy Lutan
Acara ini merupakan debut tiga mahasiswa Akademi Tari LPKJ
yang dilengkapi dengan karya Farida Feisol selaku dosen.
Zaelani Idris menampilkan tari berjudul Jentreng, Wiwiek Sipala
menyajikan Gandrang Gulo, dan Dedy Lutan mempersembahkan
Indang. Masing-masing mendapat pengaruh dari unsur-unsur
tari tradisional Sunda, Sulawesi, dan Sumatra. Farida sendiri
menghadirkan Resume, yang terdiri atas lima nomor tari, yaitu
Putih-putih, Makan Siang, Kematian, Kenangan, dan Perkelahian.
Inspirasinya berdasarkan lagu-lagu ciptaan Mochtar Embut,
F. Chopin, dan Bimbo. Farida, dalam jumpa persnya tentang
pementasan ini, menyatakan bahwa ketiga penata tari muda ini
sudah waktunya tampil dengan ciptaan mereka sendiri.
FENOMENA
Polemik Tari Putih-Putih
Farida Feisol
Balet Putih-Putih karya Farida
Feisol yang ditentang Taufiq
Ismail dan MUI DKI Jakarta.
Taufiq Ismail hadir pada malam kedua pertunjukan Resume
Karya Tari. Putih-Putih karya Farida Feisol menjadi satu-satunya
tarian dosen di antara tiga karya lain ciptaan mahasiswa,
di Teater Arena, TIM, 10-11 November 1976. Taufiq Ismail
selaku Ketua LPKJ menyaksikan keseluruhan pementasan,
mendengarkan suara azan terlantun dari mulut tujuh penari
perempuan yang berpakaian serba putih menyerupai mukena—
meski bagian lengan dibiarkan terbuka. Para penari menarikan
balet, menengadahkan tangan serupa berdoa sambil diiringi
musik grup Bimbo, kemudian bersujud ke pelbagai arah. “Wah,
tari Putih-Putih ini tidak betul!" kata Taufiq.
Sepulang menonton, Taufiq menulis surat kepada Ketua
Akademi Tari LPKJ, Edi Sedyawati, meminta pertunjukan itu
dihentikan. Ia menganggap koreografer keliru menafsir kiblat,
azan, salat, dan mukena. Edi Sedyawati sepakat menghentikan
Putih-Putih demi mencegah amarah umat Islam meluas. Namun,
laporan surat kabar telanjur tersebar.
Polemik membumbung tinggi, bahkan MUI DKI Jakarta
secara tegas menyayangkan mengapa pihak DKJ teledor
membiarkan tari yang “menghina Islam” naik pentas. Tak ingin
polemik melebar menjadi bola liar, apalagi kondisi politik sedang
memanas menjelang Pemilu 1977, dua tokoh Islam berpengaruh,
Buya Hamka dan Yunan Nasution, coba meredakan situasi.
Keduanya tak serta-merta mengutuk Putih-Putih, hanya meminta
supaya seniman lebih tanggap terhadap situasi.
Farida sendiri menyatakan bahwa inspirasi tari itu lahir
selagi ia tinggal di Malaysia. Ia mendengar azan begitu merdu
menyusup di hati. “Suara azan ini membuat saya tercekam, haru,
begitu syahdu, dan saya mencintainya,” kata pengampu balet
lulusan Bolshoi, Rusia, ini. “Saya betul-betul tak mengerti kalau
tari itu mengundang protes. Sama sekali tak terniat oleh saya
untuk ke sana.”
Mahasiswa LPKJ mendukung Farida. Mereka menempel
pamflet di dinding kampus soal kebebasan berekspresi.
Taufiq Ismail membalas dengan undangan berdiskusi tentang
hubungan estetika-etika dan estetika agama. Polemik mereda
sendiri setelah Farida menerima dengan baik semua kritik dan
protes terhadap karyanya.
1970–
1979
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
49
KARYA • DOSEN • PERTUNJUKAN • TEATER
Topeng Betawi
Anemer Kodok
18–19 NOVEMBER 1976
20.00 WIB
TEATER TERBUKA &
TEATER TERTUTUP TIM
TIKET
Rp200, Rp300, & Rp500
Pertunjukan yang menampilkan tiga jenis
teater rakyat Betawi ini—Lenong, Topeng,
dan Jipeng—adalah bagian dari usaha
menampilkan teater rakyat Betawi ke
dalam bentuk baru. Sutradara Sumantri
Sastrosuwondo dan penata tari Yulianti
Parani berusaha menyeimbangkan unsur
tari dan teater, dua bagian terpenting
kesenian Betawi.
PENYELENGGARA
Produksi Pusat Penelitian dan
Pengembangan Kesenian
Rakyat Jakarta
KOLABORATOR
LPKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
SUTRADARA
Sumantri Sastrosuwondo
KOREOGRAFER
Yulianti Parani
PEMAIN
Anen, Bokir, Nasir T., Ipon,
Anah, Bu Siti
KARYA • DOSEN & MAHASISWA • PERTUNJUKAN • TEATER
Matinya Pedagang Keliling
oleh Teater Lembaga
27 NOVEMBER–
1 DESEMBER 1976
TEATER TERTUTUP TIM
Wahyu Sihombing dikabarkan tidak
mengutak-atik naskah Arthur Miller yang
panjangnya 120 halaman folio ini. Alhasil,
sandiwara oleh para mahasiswa Akademi
Teater ini memakan waktu kurang-lebih
empat jam. Dalam sebuah ulasan (Suara
Karya, 10 Desember 1976), dituliskan
bahwa seandainya masalah yang digali
Arthur Miller dalam naskah tidak menarik,
tentu penonton akan belingsatan
menunggu selesainya pertunjukan. Ennie
A. Yusuf yang berperan sebagai Linda
(istri Willy Loman, sang pedagang keliling)
adalah satu-satunya yang mendapat
pujian dalam ulasan ini. Namun, Putu
Wijaya (Tempo, 11 Desember 1976)
berpendapat bahwa sutradara telah
memimpin para mahasiswanya dengan
sangat baik.
PENGGAGAS &
PENYELENGGARA
Teater Lembaga
PENDUKUNG
PKJ TIM
SUTRADARA
Wahyu Sihombing
PENULIS NASKAH
Arthus Miller, terjemahan
Tatiek Maliyati
KELOMPOK TEATER
Teater Lembaga
PEMAIN
Bambang S. Santoso,
Ruslan Umbaran, Gandung
Bondowoso, Suwanto
Erlangga, Eddy de Rounde,
Ennie A. Yusuf, Lena
Simanjuntak, Budi Setiawan,
Afrizal Anoda, dll.
ACARA • PERTUNJUKAN • MUSIK • KLASIK
Musikus-musikus LPKJ
dalam Ensemble Jakarta
30 NOVEMBER 1976
20.00 WIB
TEATER BESAR TIM
TIKET
Rp500 & Rp1.000
KOLABORATOR
PKJ TIM
PENDUKUNG
DKJ, Goethe Institut, Saardi
Norman Music & Film Prod.
PARTISIPAN
Suka Hardjana, Idris Sardi,
Rudy Laban, Iravati Sudiarso,
Nusyirwan, Syafii Embut, M.
Yunus Sudomo, T. Legiyono,
Sudarto, R.H. Tukijo, A.
Sunardi, M. Fauzan, Mulyadi
Ensemble Jakarta di bawah
pimpinan Suka Hardjana.
Suka Hardjana dan kawan-kawan hadir kembali setelah
Pertunjukan Ensemble Jakarta pada Mei 1976 disambut
meriah oleh khalayak. Penampilan kali ini mengundang Idris
Sardi sebagai violis tambahan. Ditambah beberapa musikus
lain, formasi kelompok ini pun menjadi orkes kamar yang
sesungguhnya dengan jumlah total 14 pemain. Dalam dua
bagian, Ensemble Jakarta memainkan karya-karya F. Haendel,
Vivaldi, J.S. Bach, F.X. Richter, dan L. Boccherini. Nomor Bach,
dengan dua piano oleh Iravati Sudiarso dan Rudy Laban,
khususnya dipuji sebagai salah satu bagian terbaik malam itu.
50 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
ACARA • LOKAKARYA & PERTUNJUKAN • TARI
Pergelaran dan
Lokakarya Tari 1976
27 NOVEMBER–
9 DESEMBER 1976
TEATER ARENA &
KAMPUS AKADEMI
TARI LPKJ
Tari Rantak Kudo, Rangguak,
dan Mai Bagawe, beberapa
tari Melayu yang mendapat
sorotan dalam rangkaian
Pergelaran Tari 1976.
PENGGAGAS &
PENYELENGGARA
DKJ
KOLABORATOR
LPKJ
PENDUKUNG
Dinas Kebudayaan DKI
Jakarta
PARTISIPAN
Tengku Luckman Sihar, Nazly
A. Mansur, Nasroen Putih
Darussalam, M. Thamrin
Sarim, dll.
Pesta Seni DKJ 1976 hadir selama Desember. Bidang tari, yang
digarap Komite Tari DKJ bersama Akademi Tari LPKJ, menggelar
pementasan nomor-nomor tari dan lokakarya. Lokakarya
ini khususnya hendak melihat secara menyeluruh kondisi
tari Melayu setelah periode 1950-an. Waktu itu tari Melayu
diproklamirkan sebagai tarian nasional, khususnya sebagai “tari
pergaulan”. Persoalan identitas dan perkembangan tari Melayu
di Jakarta turut dibicarakan pula. Sementara itu, tarian Melayu
yang ditampilkan lengkap dengan musiknya antara lain Rantak
Kudo, Piring, Nan Tongga, Rangguak, Asyek, Iyo-iyo, dan Mai
Bagawe.
KARYA • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA
Pameran Seni Rupa 12
Kedua
1–7 DESEMBER 1976
09.00–13.00 WIB
17.00–21.00 WIB
RUANG PAMERAN TIM
[Bawah, kiri ke kanan] Karya
Srihadi, D.A. Peransi, dan
Baharuddin M.S.
Untuk yang kedua kalinya, pameran
karya staf pengajar LPKJ ini diadakan.
Menurut sastrawan Putu Wijaya di
Tempo (18 Desember 1976) tentang
pameran ini, wajar jika belum tercetak
seorang “seniman” dari LPKJ—seniman
layaknya “raksasa” seni di masa lalu.
Bagaimanapun, enam tahun untuk sebuah
lembaga pendidikan kesenian dipandang
masih muda. Ia juga menyayangkan
kurangnya sebuah tema yang mengikat
keseluruhan karya. Alhasil, pameran
terasa ramai tanpa ada suara yang
dapat didengar. Namun, ia optimistis,
melihat karya-karya para pengajar ini,
ada harapan akan masa depan yang
menjanjikan.
PENYELENGGARA
LPKJ & DKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
SENIMAN
Arsono, Ananda Adhi Moersid,
Baharuddin M.S., Boeling
Priyadi, D.A. Peransi, Djoni
Djuhari, Hanny Najoan,
Hildawati Siddharta, Yusuf
Affendi, Kusnadi, S. Prinka,
Srihadi, Sukamto, Wiyoso,
Djoni Wisaksono, Zaini
1970–
1979
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
51
SOSOK ALUMNI
Norman Benny
PENYUNTING FILM
LAHIR 1952
SINEMATOGRAFI, FAKULTAS FILM DAN TELEVISI
ANGKATAN 1972
PENGHARGAAN
Penyuntingan Terbaik dalam film Bukan Istri Pilihan (1981),
Festival Film Indonesia 1982.
Norman Benny belajar melalui eksperimen. Sebagai
angkatan awal jurusan sinematografi LPKJ, ia punya
keleluasaan untuk mengakses alat produksi film,
yang pada 1970-an merupakan barang langka dan
hanya tersedia di kalangan sineas profesional. Ia bisa
berkreasi dengan berbagai format film, mulai format
32 mm selaku standar industri hingga format 16
mm dan 8 mm yang biasanya dipakai sineas amatir.
Setahun setelah Norman masuk kuliah, Komite
Film Dewan Kesenian Jakarta menyelenggarakan
Sayembara Film Mini yang khusus menayangkan
film berformat seluloid 8 mm di Taman Ismail
Marzuki. Mengingat kegiatannya dekat kampus,
bisa dipastikan mahasiswa sinematografi LPKJ jadi
peserta terbanyak. Norman termasuk di antaranya.
Festival Film Mini berfokus pada pengolahan
gagasan. Kualitas teknis merupakan pertimbangan
nomor sekian, selama konsep filmnya cemerlang.
Menyikapi kebutuhan itu, Norman bersama Johan
Teranggi merintis kelompok Sinema 8 sebagai
“biro konsultasi”. Mereka menyeleksi film-film
untuk didaftarkan dalam sayembara film mini.
Norman mengajak diskusi mahasiswa yang hendak
berpartisipasi dan menayangkan film rujukan untuk
mendukung proses kreatif mereka. Hasil syuting
yang dirasa potensial lantas disunting, diberi judul,
dicarikan musik yang cocok, dan dikirim atas nama
Sinema 8. Apabila si empunya film keberatan, boleh
dikirim atas nama pribadi.
Pengalaman bersama Sinema 8 menyiapkan
Norman untuk kerja profesional. Sepanjang
kariernya sebagai penyunting gambar, ia sudah
berhadapan dengan beragam visi estetis. Bersama
Arifin C. Noer di Djakarta 1966 (1982), ia dituntut
untuk memaparkan kronologi transisi rezim
Sukarno ke Soeharto beserta puluhan pelakunya
secara komunikatif. Bersama Sjuman Djaya
dalam Kerikil-kerikil Tajam (1984), ia ditantang
untuk mengilustrasikan ketimpangan dampak
pembangunan melalui kontras visual antara kota
dan desa. Dalam film laga Peluru dan Wanita (1987),
ia diarahkan untuk merangkai adegan tembaktembakan
dan kejar-kejaran sehingga menjadi
tontonan yang memikat. Kepiawaiannya yang
merentang beragam jenis film berbuah satu Piala
Citra dan lima nominasi Festival Film Indonesia.
Norman Benny saat menang Piala Citra 1982
untuk film Bukan Istri Pilihan.
Sumber foto: katalog Festival Film Indonesia 1982
(Departemen Penerangan RI).
52 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
ACARA • SAYEMBARA & PEMUTARAN • FILM
Ramaikan
Pekan Film Mini dan
Dokumenter DKJ
11–14 DESEMBER 1976
19.00 WIB
TEATER ARENA TIM
TIKET
Gratis
PENYELENGGARA
DKJ
KOLABORATOR
LPKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
Jumlah karya yang dikirimkan untuk Sayembara Film Mini
1976 adalah 19 film, berkurang dari tahun sebelumnya, yaitu
28 film. Namun, jumlah tersebut menurut juri tidak mengurangi
mutu film jika dibandingkan dengan film-film pemenang
tahun sebelumnya. Meski demikian, persoalan dari tahuntahun
sebelumnya tetap sama, kebanyakan peserta masih
gagap dalam mekanisme kamera dan lensanya. Agenda ini
juga sekaligus menyelenggarakan pemutaran film mini dan
dokumenter hasil sayembara yang sama dari 1973–1975.
Sebelumnya, DKJ bekerja sama dengan Akademi Sinematografi
LPKJ telah menyelenggarakan lokakarya bagi para peminat film
20 Juli–10 Agustus 1976. Pesertanya sebanyak 31 orang dan
datang dari berbagai daerah.
FENOMENA
Film Mahasiswa
dan Sinema 8
Pada 1973, Komite Film DKJ menyelenggarakan Sayembara
Film Mini, khusus melombakan film pendek berbahan seluloid
8 mm. Sayembara itu mengundang juri dari kalangan sineas
dan cendekiawan ternama seperti Soemardjono, D.A. Peransi,
dan Salim Said. Mahasiswa sinematografi LPKJ praktis menjadi
peserta terbanyak. Pada zamannya, Akademi Sinematografi
LPKJ adalah satu dari sedikit institusi publik di Indonesia yang
punya akses ke perangkat produksi film.
Kelar acara, sekelompok mahasiswa LPKJ berkumpul, di
antaranya Johan Teranggi dan Norman Benny. Mereka sepakat
membentuk Sinema 8, lengkap dengan manifestonya: seluloid 8
mm merupakan medium artistik mandiri—alternatif dari seluloid
32 mm yang kala itu menjadi standar industri. Pada praktiknya,
Sinema 8 berperan sebagai biro konsultasi di kampus. Mereka
menyeleksi film-film mahasiswa untuk didaftarkan dalam
sayembara DKJ. Film yang memenuhi syarat diberi judul,
disunting, dicarikan musik yang cocok, lalu dikirim atas nama
Sinema 8. Apabila si empunya film keberatan, boleh dikirim atas
nama pribadi.
Sinema 8 sepenuhnya merupakan inisiatif mahasiswa. Tak
satu pun dosen ikut serta, dimintai pendapat pun tidak. Sinema
8 ingin bertumbuh berdasarkan pengetahuan dan pengalaman
sendiri. Tantangan hadir ketika karya-karya kiriman mereka
menempati jajaran juara pada Sayembara Film Mini selanjutnya.
Sejumlah pihak berpendapat capaian tersebut belumlah
memuaskan, mengingat beberapa juri berasal dari LPKJ—
salah satunya D.A. Peransi yang kala itu Wakil Dekan Akademi
Sinematografi. Saat ditanya, Peransi berseloroh, jika ia tahu
sedang menilai karya dari Sinema 8, ia justru akan memperketat
penilaian.
Reputasi Sinema 8 begitu melegenda bagi mahasiswa LPKJ
pada zamannya. Kiprah mereka menginspirasi mahasiswa
bernama Gotot Prakosa. Pada 1982, ketika Sayembara Film
Mini terhenti karena masalah dana, ia melanjutkan gagasan
Sinema 8 dengan menyelenggarakan Forum Film Pendek. Forum
ini secara gamblang menegaskan film pendek sebagai “film
alternatif”—dapat berdiri sendiri sebagai suatu karya film atau
video, berdampingan dengan film panjang yang menjadi standar
industri.
1970–
1979
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
53
PARTISIPASI • DOSEN • KONFERENSI • SASTRA
Ikut Menjadi Tuan
Rumah Pertemuan
Sastrawan Indonesia III
11–14 DESEMBER 1976
09.00–22.00 WIB
TEATER TERTUTUP TIM
& KAMPUS LPKJ
Pertemuan Sastrawan Indonesia
termasuk acara yang ditunggu-tunggu,
khususnya oleh peminat sastra. Ali
Audah, dari Komite Sastra DKJ, yang
juga mengajar di LPKJ, menyatakan
bahwa dua Pertemuan Sastrawan
sebelum ini terasa besar manfaatnya.
Kali ini, tak seperti sebelum-sebelumnya,
pembicaraan tentang sastra diserahkan
kepada mereka yang bukan sastrawan.
Maka, pemrasaran yang ditunjuk misalnya
adalah sejarawan Taufik Abdullah dan
pelukis Popo Iskandar. Tentu, tak semua
pihak menyambut positif kebijakan
tersebut. Horison (1977, No. 01), misalnya,
mencatat bahwa antusiasme peminat
meredup karena kebijakan tersebut.
PENGGAGAS &
PENYELENGGARA
DKJ
KOLABORATOR
LPKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
JUMLAH PARTISIPAN
150-an sastrawan
Para Peserta Pertemuan
Sastrawan Indonesia III foto
bersama Gubernur DKI Jakarta
Ali Sadikin di Kantor Walikota.
PARTISIPASI • DOSEN & MAHASISWA • PERTUNJUKAN • TEATER & TARI
Pengajar LPKJ
dalam Pameran Besar
Seni Lukis Indonesia II
16–30 DESEMBER 1976
GALERI BARU LANTAI
III, RUANG PAMERAN,
DAN TEATER BESAR
TIM
PENGGAGAS &
PENYELENGGARA
DKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
JUMLAH PARTISIPAN
60-an seniman
[Kiri] Peminat diskusi
"Kepribadian Seni Lukis
Indonesia" membeludak
hingga sebagian duduk di
bawah. [Kanan] Oesman
Effendi dalam diskusi tersebut.
D. Djajakusuma, dalam sambutan pameran mengatakan, tujuan
acara ini adalah pengumpulan data pelukis potensial dan
semacam rekaman periodik. Dengan demikian, khalayak seni
rupa dapat melihat perkembangan atau kemacetan seni rupa
Indonesia mutakhir. Karya-karya yang dihadirkan diharapkan
menyediakan suatu perspektif sejarah dalam kritik, menambah
catatan kebudayaan, dan memperkenalkan seni rupa Indonesia
kepada khalayak baru. Dalam pameran ini dipilih lima lukisan
terbaik, juga diadakan diskusi dengan pembicara Jim Supangkat
(Bandung) dan Oesman Effendi (Padang). Enam pengajar LPKJ
turut terpilih memamerkan karya-karya mereka. Sedangkan total
karya yang dipamerkan berjumlah 119 lukisan.
54 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
ACARA • PAMERAN • SENI RUPA • KRIYA
Dikunjungi Kerajinan
Amerika
AKHIR JANUARI 1977
RUANG PAMERAN LPKJ
Pameran ini menampilkan hasil
kerajinan dari lima kelompok bangsa
Amerika: Indian, penduduk pegunungan
Appalachia, orang Amerika-Spanyol,
orang Eskimo, dan penduduk Kepulauan
Hawaii. Barang-barang itu berupa,
misalnya, topeng Eskimo, buku-bulu
hiasan untuk kepala suku Indian, bakul,
keramik Appalachia, patung, dan lainlain.
Hasil kerajinan Indian dan Eskimo
dianggap tidak sekadar benda-benda
fungsional sehari-hari, tapi menampakkan
semangat penciptaan tersendiri. Namun,
semangat yang sama tidak tampak pada
barang kerajinan Appalachia, Hawai, dan
Amerika-Spanyol. Setidaknya, demikian
menurut Putu Wijaya dalam ulasannya di
Tempo (5 Februari 1977).
PENDUKUNG
LPKJ
1977
PERISTIWA
Pekan Perkenalan
Mahasiswa 1977
Pada 5 Februari 1977, Taufiq Ismail selaku Ketua LPKJ membuka
Pekan Perkenalan Mahasiswa tahun 1977. Sebanyak 163 orang
diterima di kampus ini sebagai mahasiswa baru. Namun yang
hadir dalam acara pembukaan tersebut 143 mahasiswa. Sebagai
tanda dibukanya Pekan tersebut, Taufiq Ismail mengguyur dua
orang perwakilan mahasiswa.
KARYA • MAHASISWA • PERTUNJUKAN • TARI • BALET
Balet Anak
Nritya Sundara
26–27 FEBRUARI 1977
17.00 & 10.00 WIB
TEATER ARENA TIM
PENYELENGGARA
Nritya Sundara
PENDUKUNG
PKJ TIM
KOREOGRAFER
Sunny Pranata, Lidya P.,
Bernadette W., Ratnawati P
KELOMPOK TARI
Nritya Sundara
PEMAIN
Linda Hoemar, Fifi, Dian,
Monica
TIKET
Rata-rata Rp200
Nritya Sundara pimpinan Yulianti
Parani, pengajar Akademi Tari LKPJ,
menampilkan tari balet anak-anak dari
umur 5 hingga 15 tahun. Pementasan ini
diselenggarakan pada akhir pekan agar
banyak anak yang datang menonton.
Diharapkan anak-anak ini akan ikut
tertarik untuk mempelajari balet.
Ilustrasi foto pada kalender
acara TIM mengenai
pementasan tersebut.
1970–
1979
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
55
PARTISIPASI • DOSEN • FESTIVAL • FILM
Sumbangsih LPKJ
dalam FFI 1977
26 FEBRUARI–1 MARET
1977
PUSAT PERFILMAN
H. USMAR ISMAIL
Pada malam penutupan Festival Film
Indonesia (FFI) 1977, Benyamin S. dan
Christine Hakim terpilih sebagai Pemeran
Utama Terbaik. Yang mengejutkan, Dewan
Juri mengumumkan bahwa tahun itu tidak
ada yang ditetapkan sebagai Film Terbaik.
Beberapa dosen dan pejabat LPKJ
termasuk dalam Dewan Juri tersebut.
Mereka adalah D. Djajakusuma, D.A.
Peransi, Iravati M. Sudiarso, dan Taufiq
Ismail.
Dalam kesempatan itu juga
diserahkan beberapa piala selain Piala
Citra, di antaranya Piala Usmar Ismail
untuk sutradara muda berbakat, Piala PWI
untuk bintang cilik, dan Piala Akademi
Sinematografi LPKJ. Piala terakhir ini
dianugerahkan kepada Janis Badar (editor
Si Doel Anak Modern), Syaiful Bachri
(penata musik Wulan di Sarang Penculik),
dan Rieka Ristandi (pengarah artistik
Ranjang Siang Ranjang Malam) sebagai
para pemenang harapan. Upacara
penyerahan piala dilakukan oleh Menteri
Penerangan Mashuri dan Gubernur Ali
Sadikin.
PENYELENGGARA
FFI
KOLABORATOR
LPKJ
KARYA • MAHASISWA • PERTUNJUKAN • MUSIK
"Parentheses I-II" Karya
Slamet Abdul Sjukur
1 MARET 1977
MALAM
TEATER ARENA TIM
PENDUKUNG
PKJ TIM
KOMPONIS
Slamet Abdul Sjukur
PEMAIN
Slamet Abdul Sjukur, Dewi
Rani (penari), Renate Pook dan
Deni Carey (koreografer).
Komposisi ini dipentaskan pertama kali di Paris pada 1972 atas
pesanan Deutsch de la Meurthe, bagian dari Cité Internationale
Universitare de Paris. Slamet Abdul Sjukur sengaja
menyesuaikan komposisinya untuk masyarakat di sana, yang
sudah akrab dengan tradisi musik klasik. Untuk pertunjukan
di Jakarta ini, seorang penari dihadirkan merespons bunyi.
Menurut Putu Wijaya (Tempo, 19 Maret 1977), ada semacam
jalan pikiran yang ditawarkan dalam penampilan tersebut.
Slamet memang tidak memainkan piano secara konvensional:
sesekali ia membuka tutup piano dan memainkan dawai dengan
benda-benda seperti paku dan pensil. Agaknya penonton diajak
menelusuri kembali makna bunyi, hening, dan gerak.
KARYA • DOSEN • PERTUNJUKAN • TARI
I Wayan Diya Pentaskan
Lakon Duta Buta
4–6 MARET 1977
TEATER ARENA TIM
PENYELENGGARA
Rasa Dhvani
PENDUKUNG
PKJ TIM
KOREOGRAFER
I Wayan Diya
KELOMPOK TARI
Rasa Dhvani
Duta Buta adalah lakon bagian dari drama tari Calon Arang.
Bagian ini mengisahkan pertempuran antara pasukan Ki Patih
Taksara Maguna melawan Ni Rarung, murid utama Calon Arang.
Pementasan I Wayan Diya dan kelompoknya ini disebut-sebut
berhasil memindahkan Pulau Bali yang magis ke dalam Teater
Arena. Drama tari tradisional ala Rasa Dhvani menyertakan
pembaruan yang pas dan tidak sampai jatuh menjadi tontonan
turis, seperti yang lazim terjadi di Bali sendiri. Dalam pertunjukan
ini, pembaruan itu sederhana: mengetengahkan esensi tari Bali
dengan menambahkan unsur modern seperti pencahayaan
harmonis.
56 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
PARTISIPASI • DOSEN • DISKUSI • FILM
Wahyu Sihombing:
Pembinaan dan
Pengembangan
Film Indonesia
1 APRIL 1977
MALAM
FAKULTAS
KEDOKTERAN
UNIVERSITAS
AIRLANGGA,SURABAYA
Wahyu Sihombing, dosen LPKJ,
dalam diskusi ini mengatakan bahwa
produser film telah memberi andil dalam
bopengnya dunia perfilman di Indonesia.
Produser film dianggap seenaknya saja
mendikte penulis skenario dan sutradara.
Bahkan, menurut Wahyu, ada produser
film yang meminta penulis skenario
untuk mengambil film Hong Kong dengan
menerjemahkan dan mengubah namanama
pemain di dalamnya. Bopengnya
film Indonesia tersebut juga dianggap
karena tidak ada rasa nasionalisme
dan patriotisme “tukang-tukang film” di
Indonesia.
PENGGAGAS &
PENYELENGGARA
Airlangga Film, kine klub
Senat Mahasiswa kedokteran
Universitas Airlangga
JUMLAH PARTISIPAN
30-an peserta (dosen,
mahasiswa, pengusaha
bioskop), 5 pembicara
PARTISIPAN
Wahyu Sihombing,
Zulharmans (Jakarta), Sam
Abede, Agil H. Ali, Nano A.N.
(Surabaya).
PARTISIPASI • PAMERAN • SENI RUPA • TOPENG
Koleksi LPKJ dalam
Pameran Topeng DKJ
RUANG PAMERAN TIM
25–30 APRIL 1977
Ketua DKJ Ajip Rosidi mengatakan bahwa
pameran topeng penting diadakan karena
banyak sekali kesenian di Indonesia
yang menggunakan topeng. Bahkan di
beberapa daerah, seperti Cirebon dan Bali,
ada tari topeng—yang khusus ditampilkan
dengan menggunakan topeng. Topeng
juga bukan monopoli Nusantara, seperti
yang diperlihatkan dalam pertunjukan
Bengkel Teater Rendra lewat lakon
klasik Yunani, Oedipus Sang Raja. Karya
Sophokles ini aslinya juga menggunakan
properti topeng. Pameran ini, yang
memajang topeng dari Jawa, Bali,
dan beberapa daerah lain, merupakan
cerminan dari salah satu kekayaan
kesenian di Indonesia.
PENGGAGAS &
PENYELENGGARA
DKJ
KOLABORATOR
ITB, Alam Surawidjaja,
Direktorat Pembinaan
Kesenian PDK, Ajip Rosidi,
Ong Hok Ham, LPKJ,
Ipung G., M. Noor, TIM
PENDUKUNG
PKJ TIM
KARYA • DOSEN & MAHASISWA • PERTUNJUKAN • TEATER
Bargawa Rama Parasu
26–28 APRIL 1977
TEATER TERTUTUP TIM
TIKET
Rata-rata Rp300
Drama yang diumumkan sebagai
sandiwara dalam 25 adegan ini diangkat
dan diilhami dari tradisi pewayangan
Jawa. Sutradara D. Djajakusuma
menekankan segi kewajaran yang
diharapkan dapat ditangkap oleh berbagai
kalangan penonton. Masalah penuturan
lakon menjadi perhatian utama sutradara
dalam menggarap pementasan. Episodeepisode
dalam pertunjukan berupaya
mengungkapkan inti masalah tokohtokohnya,
yang disoroti relevansinya
dalam konteks permasalahan
kemanusiaan lebih luas.
PENYELENGGARA
Teater Lembaga
PENDUKUNG
PKJ TIM
SUTRADARA &
PENULIS NASKAH
Djaduk Djajakusuma
KELOMPOK TEATER
Teater Lembaga
PARTISIPAN
Wahyu Sihombing,
Zulharmans (Jakarta), Sam
Abede, Agil H. Ali, Nano A.N.
(Surabaya).
1970–
1979
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
57
KARYA • DOSEN & MAHASISWA • PERTUNJUKAN • TEATER
Dua Lakon
Teater Lembaga
AKHIR APRIL 1977
MALAM
TEATER TERTUTUP TIM
Dua sandiwara ini dapat dianggap sebagai
uji coba bagi mahasiswa Akademi Teater
LPKJ, khususnya yang tergabung dalam
Teater Lembaga. Funa Benkei adalah
sebuah lakon noh, sandiwara tradisional
Jepang, yang mengangkat tema
ketabahan dan kesetiaan. Sementara,
Rama Bargawa adalah sebuah petilan
dari epos perwayangan Jawa. Harian
Merdeka pada 14 Mei 1977, mengulas
bahwa dua pementasan tersebut secara
keseluruhan belum terasa kompak,
humor-humornya tidak lucu, pencahayaan
tidak mendukung, dan kekuatan aktor
belum tampak di atas panggung.
PENYELENGGARA
Teater Lembaga
PENDUKUNG
PKJ TIM
SUTRADARA
D. Djajakusuma
PENATA MUSIK
I Wayan Diya
PENULIS NASKAH
Kojiro Nabumitsu, terjemahan
Sapardi Djoko Damono
KELOMPOK TEATER
Teater Lembaga
KARYA • DOSEN & MAHASISWA • PERTUNJUKAN • TARI • BALET
Balet Folklorik
Pendekar Perempuan
30 APRIL–2 MEI 1977
20.00 WIB
TEATER ARENA TIM
TIKET
Rp300 & Rp500
Menurut Yulianti Parani, yang dimaksud
dengan balet folklorik ini adalah bentuk
penggarapan baru atas balet dengan
memanfaatkan unsur-unsur kesenian
Betawi. Salah satu tujuannya adalah
mengangkat kesenian Betawi sebagai
seni pentas melalui medium tari. Adapun
ide penggarapan berangkat dari cerita
Pendekar Perempuan karya Elanda Rossi.
Tema utamanya adalah pertarungan
klasik antara kekuatan baik dan jahat.
Namun, tari ini pada dasarnya tidak
digarap untuk menyajikan cerita lewat tari.
Yang hendak ditampilkan adalah berbagai
pola dan komposisi dalam suatu jalinan
gerak puitik, sebagai permainan sifat dan
suasana antara kekuatan baik dan jahat
itu tadi.
PENGGAGAS &
PENYELENGGARA
Nritya Sundara
KOLABORATOR
Seniman tari tradisi dan
Akademi Tari LPKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
KOREOGRAFER
Yulianti Parani
KELOMPOK TARI
Nritya Sundara
PEMAIN
Sentot Sudiharto, I Wayan
Diya, Dedy Lutan, Linda
Karim, Wiwiek Sipala, Lydia
Pementasan Pendekar
Perempuan, dimuat di Sinar
Harapan, 30 April 1977.
58 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
SOSOK ALUMNI
LAHIR 1951 DI BANDUNG, WAFAT 2004
KOMPOSISI (MUSIK), FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN
ANGKATAN 1975
Harry Roesli
MUSISI
Dunia musik Indonesia mencatat Harry Roesli
sebagai seorang jenius. Di tangannya, setiap
bunyi bisa punya nilai seni. Pria yang bernama asli
Djauhar Zaharjah Fachruddin Roesli itu dikenal
fasih memainkan beragam alat musik, mulai gitar,
harmonika, perkusi, gamelan, hingga angklung.
Bahkan benda-benda seperti botol, pecahan
beling, hingga knalpot motor pernah ia pakai dalam
komposisi musiknya.
Mulanya Harry bermusik secara kasual dengan
kawan-kawannya. Berawal dari sering jamming
bareng, ia merintis Gang of Harry Roesli bersama
Indra Rivai, Hari Pochang, Albert Warnein, Janto
Soedjono, dan Dadang Latiev. Pada 1973, mereka
merilis album perdana sekaligus satu-satunya,
Philosophy Gang, yang menjadi etalase bagi
kecenderungan progresif musik Harry. Pada “Don’t
Talk About Freedom”, lagu paling terkenal dari
album itu, Harry memulai komposisinya dengan
solo keyboard yang kemudian melebur bersama
ketukan perkusi, raungan gitar, dan tiupan harmonika.
Setiap instrumen punya ritmenya sendiri namun
tetap bisa saling mengisi. Corak serupa nantinya
kian dipertajam dalam album-album solo Harry, Titik
Api (1976) dan Ken Arok (1977), yang mengawinkan
musik rock dengan karawitan Sunda.
Gang of Harry Roesli hanya bertahan sampai
1975. Sang empunya nama keburu sibuk dengan
persiapan pentas teater Ken Arok, yang memperluas
kegiatan seni Harry ke wilayah politis. Melalui kisah
kudeta militer masa kerajaan, Harry mengkritisi
rezim Soeharto yang naik kuasa dengan cara serupa.
Pertama kali pentas di Gedung Merdeka Bandung
pada 1975, pagelaran teater Ken Arok mengundang
perhatian aparat. Pada pementasan keliling di
Semarang pada 1979, tentara datang menyerbu
lokasi acara dan menjebloskan Harry ke penjara.
Ayah Harry, seorang mayor jenderal TNI,
datang menolong. Berkat lobi-lobi sang ayah, Harry
dibebaskan. Aslinya, beberapa tahun sebelumnya,
sang ayah melarang anaknya jadi musisi, karena
menurutnya profesi itu tak punya masa depan dan
identik dengan mabuk-mabukan. Terlebih lagi ketiga
kakak Harry memilih ikut jejak sang ibunda menjadi
dokter. Harry pun diarahkan untuk kuliah di Institut
Teknologi Bandung. Ia cuma sanggup bertahan
sampai semester empat dan kembali menegaskan
niatnya jadi musisi. Kali ini, setelah berunding, Harry
mendapat restu dari kedua orangtuanya dengan
syarat ia mesti tetap kuliah. Ia lantas mendaftar
jurusan komposisi musik di LPKJ, yang dilanjutkan
dengan belajar musik elektronik di Rotterdam
Conservatorium atas beasiswa pemerintah Belanda
Di sela-sela berkesenian, Harry aktif berkegiatan
bersama komunitas Depot Kreasi Seni Bandung.
Bermarkas di rumah Harry sendiri, komunitas itu
menjadi tempat bernaung para musisi jalanan. Di
sana, Harry berkolaborasi dan berbagi pengetahuan
musik dengan para anggota komunitas yang
jumlahnya mencapai enam ribuan orang. Ia juga
mengadvokasi dan menggalang dukungan bagi
masyarakat marjinal. Semenjak Harry tutup usia pada
2004, rumah yang sama dilestarikan sebagai Rumah
Musik Harry Roesli, sebuah pusat kreativitas khusus
anak-anak dan ruang belajar bagi pengamen jalanan.
Harry Roesli dan koleksi alat perkusinya di Bandung, 1984.
Sumber foto: © Tempo/Ida Farida
1970–
1979
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
59
60 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
PERISTIWA
Ketua LPKJ Taufiq Ismail
Berkunjung ke Australia
Pemerintah Australia mengundang Ketua LPKJ Taufiq Ismail
untuk melawat ke negara tersebut selama sebulan. Di Australia,
Taufiq berkunjung ke beberapa kota, bertemu dengan para
seniman, wartawan, dan intelektual, serta mengunjungi
beberapa universitas. Australia baru memiliki satu universitas
di bidang seni, Victoria College of the Arts di Melbourne, yang
baru berumur satu tahun. Taufiq mengungkapkan bahwa LPKJ
akan bekerja sama dengan universitas tersebut. Hal ini akan
meliputi pertukaran dosen, tukar-menukar informasi, dan,
bila memungkinkan, pengiriman mahasiswa senior LPKJ ke
Australia.
PERISTIWA
D. Djajakusuma Membuat
Film tentang Wayang
Sejak enam bulan sebelumnya, Akademi Sinematografi LPKJ
membuat film mengenai Pagelaran Wayang Kulit Purwa.
Lokasi pengambilan gambarnya di Surakarta, Yogyakarta, dan
Jakarta. Di Jakarta, bertempat di Museum Wayang, diadakan
pengambilan gambar oleh D. Djajakusuma. Dalam pengambilan
gambar pada 8 Mei 1977, tampil dalang muda berbakat Rusman
Hadikusumo. Ia salah seorang dari dua dalang yang baru-baru ini
diundang Ki Narto Sabdo untuk pamer kebolehan di Semarang
dan membuat gempar para dalang terkenal di sana.
PARTISIPASI • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA • PATUNG
Edith Ratna dalam
Pameran Patung 1977
9–16 MEI 1977 &
25–31 MEI 1977
09.00–14.00 &
17.00–21.00 WIB (TIM);
09.00–17.00 WIB
(BANDUNG)
GALERI CIPTA TIM &
GALERI SOEMARDJA
ITB, BANDUNG
PENGGAGAS &
PENYELENGGARA
DKJ
KOLABORATOR
Departemen Seni Rupa ITB
PENDUKUNG
PKJ TIM & Galeri Soemardja
ITB, Bandung
PARTISIPAN
Edith Ratna, But Muchtar,
Bambang Irawan, G. Sidharta,
Sunaryo, Surya Pernawa,
Otong Nurjaman, Rita
Widagdo, Iriantine Karnaya,
Jim Supangkat.
Menurut Ketua DKJ Ajip Rosidi, mengadakan pameran patung
lebih sulit dibanding pameran lukisan karena pameran patung
lebih banyak memakan tenaga dan pembiayaan. Namun,
penting untuk bisa mengetahui dan menilai potensi seni patung
kontemporer Indonesia. Apalagi kini telah bertambah jurusan
seni patung di berbagai perguruan tinggi seni rupa, seperti di
ASRI, Departemen Seni Rupa ITB, Akademi Seni Rupa LPKJ,
dan lain-lain. Dari lembaga-lembaga tersebut bermunculan
pematung-pematung yang sudah membuktikan kemampuannya.
Pameran ini juga diadakan dalam rangka 13 tahun berdirinya
Departemen Seni Rupa ITB, yang telah menghasilkan beberapa
pematung muda, yang karyanya ditampilkan bersama dengan
para perintisnya.
Karya Edith Ratna, pengajar
LPKJ, yang dipamerkan.
1970–
1979
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
61
KARYA • DOSEN & MAHASISWA • PERTUNJUKAN • SENI TARI
Putri Putih
11–13 MEI 1977
20.00 WIB
TEATER TERTUTUP TIM
TIKET
Rp300 & Rp500
PENGGAGAS &
PENYELENGGARA
Cipta Karya Tari LPKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
KOREOGRAFER
Farida Feisol & Wiwiek Sipala
KELOMPOK TARI
Cipta Karya Tari LPKJ
PEMAIN
Retno Maruti, Linda Karim,
June Beckx, Wiwiek Sipala,
Nancy Hassan, Sentot
Sudiharto, Achmad Umarella,
Dedy Lutan
Putri Putih merupakan drama tari dua babak yang digarap dari
legenda dan dongeng daerah Sulawesi, dengan gaya dan corak
penggarapan baru. Selain Putri Putih ditampilkan pula garapan
tari Farida Feisol yang lain, yaitu Introspeksi dan Pas de Deux
Windflowers. Musik pengiring diambil dari karya-karya ABBA,
Manfred Mann, dan Deodato.
Putri Putih, dimuat di harian
Pikiran Rakyat, 14 Mei 1977.
ACARA • CERAMAH • MUSIK • KONTEMPORER
Anatomi
Musik Kontemporer
Slamet Abdul Sjukur
16 MEI 1977
20.00 WIB
TEATER ARENA TIM
PENDUKUNG
PKJ TIM
Masalah seni kontemporer menjadi perhatian kalangan seniman
dan banyak orang. Meski demikian, apa dan bagaimana seni
kontemporer belumlah jelas. Apa yang teramati baru dianggap
gejala-gejala. Melalui ceramahnya untuk umum, Slamet Abdul
Sjukur mengurai apa itu musik kontemporer. Pengajar LPKJ
ini pernah menjadi dosen piano dan harmonika di Sekolah
Musik Indonesia di Yogyakarta. Lalu ia mendapat beasiswa
dari pemerintah Prancis untuk belajar di École Normale de
Musique de Paris dan memperoleh ijazah instruktur piano dari
lembaga yang sama. Ia juga penerima Bronze Medal dalam
Festival de Dijon 1975 (Prancis) atas komposisinya yang berjudul
“Angklung”.
PARTISIPASI • MAHASISWA • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS, SENI GRAFIS
Gotot dan Syahnagra
dalam Pameran 55 Tahun
Taman Siswa
1–6 JULI 1977
BALAI BUDAYA
PENDUKUNG
Balai Budaya
PARTISIPAN
Gotot Prakosa, Henky
Hendrato, Ipong Wiryah,
Syahnagra, Tato Darmanto
Pameran dilaksanakan dalam rangka memperingati 55 Tahun
Taman Siswa. Lembaga pendidikan tersebut terus menghasilkan
generasi muda potensial. Lima seniman lulusannya dalam
pameran ini tampil dengan kekhasan masing-masing, termasuk
dua yang masih menempuh pendidikan di LPKJ—Syahnagra dan
Gotot Prakosa.
Syahnagra punya kekuatan dalam warna, Gotot pada sapuan
dan garis, juga detail-detail teknis yang menimbulkan efek
tertentu, Henky Hendarto punya kekuatan dalam komposisi,
Ipong pada imaji-imaji grafis yang berkesan sepi, sedangkan
Tato menjadi satu-satunya pelukis impresionis dalam pameran
ini.
62 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
ACARA
Pekan Hari Jadi LPKJ VII
3–9 JULI 1977
KAWASAN KAMPUS
LPKJ
PENGGAGAS &
PENYELENGGARA
LPKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM, DKJ
Mahasiswa Akademi Tari
tampil dalam Pesta Kreatif di
Pelataran Teater Luwes (Sinar
Harapan, 8 Juli 1977).
LPKJ merayakan hari jadinya yang ketujuh. D.A. Peransi, Ketua
Panitia Pekan Hari Jadi, dalam pembukaan acara berujar bahwa
berbagai kegiatan seni diselenggarakan dalam perayaan ini.
Semua akademi mengerahkan kreativitas para mahasiswanya.
Misalnya, Akademi Tari menghadirkan tari-tarian hasil didikan
dalam kursus-kursus tari, Akademi Teater mementaskan
Bung Besar, dan Akademi Sinematografi mengorganisir
serangkaian simposium. Selain itu, diadakan pula pasar seni dan
pementasan-pementasan spontan, yang tak hanya melibatkan
mahasiswa tetapi juga penonton.
Hari penutupan Pekan Hari Jadi sangat semarak. Ali Sadikin,
Gubernur Jakarta yang akrab dengan kalangan seniman,
“dibajak” ke TIM. Ali Sadikin baru saja menutup PRJ di Monas
dan tidak berencana menghadiri acara LPKJ. Mendadak
beberapa lusin mahasiswa LPKJ, menumpang tiga mobil Colt,
“mengepungnya” dan membawanya ke TIM. Di sana, pesta
dansa ala Batavia tempo dulu sedang diselenggarakan. “Dalang”
Sardono W. Kusumo lalu menyerahkan singgasana kepada
sang gubernur dan istrinya, seolah-olah menggantikan J.P.
Coen— diperankan oleh kritikus Dan Soewaryono—yang telah
“digulingkan”.
Dalam penutupan tersebut, LPKJ juga menyelenggarakan
wisuda pertama atas nama Dolorosa Sinaga. Seniman patung
ini lulus dengan predikat cum laude tanpa gelar sarjana—sesuai
ketentuan LPKJ saat itu. Selain itu, 13 orang mahasiswa
dinyatakan lulus tahap studi dasar. LPKJ juga mencatat
peningkatan jumlah mahasiswa, dari 239 pada 1976 menjadi 376
pada 1977.
ACARA • PERPISAHAN
Perpisahan Para Seniman
dengan Bang Ali Sadikin
5 JULI 1977
GEDUNG BIOSKOP TIM
THEATER
PENYELENGGARA
DKJ, LPKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
Masa jabatan Ali Sadikin sebagai Gubernur DKI sebentar
lagi berakhir. Para seniman mengucapkan selamat jalan dan
mengungkapkan terima kasih mereka. Bang Ali dianggap sosok
yang tak ada duanya sebagai pencetus pusat kebudayaan
ibukota. Di TIM, banyak seniman memberikan kenang-kenangan,
berupa lukisan, buku, album foto, rekaman-rekaman, dll, yang
kemudian diantarkan ke kediamannya. Ada juga pembacaan
sajak oleh Taufiq Ismail dan Rendra. Sementara Sardono W.
Kusumo dan mahasiswa LPKJ mempersembahkan pementasan
Yellow Submarine, yang diakhiri dengan penyerahan bendera
kepada sang Gubernur. Visi Bang Ali, untuk melindungi
kebebasan kreatif tanpa ikatan, kecuali suara kemanusiaan,
telah dibuktikan oleh keberadaan para seniman saat itu.
1970–
1979
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
63
SOSOK ALUMNI
Ibnu Nurwanto
PEMATUNG
LAHIR DI YOGYAKARTA, 1957
SENI PATUNG, FAKULTAS SENI RUPA
ANGKATAN 1974
Guratan Ibnu Nurwanto pada kayu nangka
membentuk corak serupa luberan lumpur. Potongan
kayu berukir itu bertopang pada sebuah tugu beralas
segitiga. Di bawah tugu, ada sebuah prisma dengan
alas berbentuk segitiga, sehingga memberi kesan
goyah dan kurang kokoh. Melalui patung berjudul
Lapindo itu, Ibnu mengurai mimpi buruknya tentang
nasib pemukim di sekitar lumpur Sidoarjo, Jawa
Timur. Sampai hari ini masalahnya belum selesai,
sementara para warga terdampak hidup terkatungkatung
tanpa kejelasan dan keadilan.
Patung Lapindo pertama kali dipamerkan pada
pameran tunggal Mimpi Hitam di Taman Ismail
Marzuki pada 2008. Selama lebih dari tiga dekade
berkarya, Ibnu rutin mengadakan pameran tunggal
untuk mempertemukan karya patungnya dengan
publik. Mimpi Hitam hanyalah satu dari serangkaian
pameran itu. Setiap pameran, Ibnu biasanya
menampilkan puluhan patung yang ia hasilkan
selama tiga sampai empat tahun sebelum pameran.
Dalam Mimpi Hitam, perupa kelahiran Yogyakarta itu
menceritakan problema keseharian melalui ukiran
kayu khasnya.
Patung Ibnu menjadi unik karena terbuat dari
kayu, bukan perunggu atau tembaga yang lumrah
digunakan. Tentunya, pilihan ini punya sejumlah
konsekuensi. Yang utama: ia terbatas pada karyakarya
skala kecil dan personal, berbeda dari patung
perunggu atau tembaga yang bisa diolah hingga
menjadi monumen di ruang publik. Dengan begitu,
ruang pamer Ibnu terbatas pada galeri.
Di sisi lain, medium kayu memungkinkan Ibnu
untuk lebih menjelajahi bentuk-bentuk patung
yang lebih figuratif. Karya-karyanya tidak sebatas
penyarian dari rupa-rupa alamiah. Lebih dari itu, ia
bisa menyentuh problema sosial melalui olahan
imajinatif atas simbol dan bentuk ukiran kayu. Dalam
pengerjaan karya-karyanya, Ibnu lebih sering memilih
kayu nangka dan mahoni. Kedua jenis kayu ini lebih
awet sekaligus pejal, sehingga bisa menghasilkan
pahatan yang lebih detail dan halus.
Sumber foto: © Ibnu Nurwanto, 2017.
64 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
ACARA • PERTUNJUKAN • MUSIK • KLASIK
Gitar Klasik Carl Tanjong
12 JULI 1977
20.00 WIB
TEATER BESAR TIM
TIKET
Rp500 & Rp750
Carl Tanjong bersama muridmuridnya
yang akan ikut tampil
dalam resital ini.
Carl Tanjong, putra Toraja, belajar gitar
klasik di bawah bimbingan maestro
Guglielmo Papararo, gitaris terkenal
Italia. Permainan Carl dari waktu ke
waktu makin mantap dan mengasyikkan.
Sebagai dosen di Akademi Musik LPKJ,
ia juga membina gitaris muda secara
perorangan dan memimpin kursus musik
Gitar Lowrey Music Centre Jakarta. Carl
dan murid-muridnya dalam pertunjukan
ini menampilkan karya-karya J.S. Bach,
Anonimo, Mauro Giuliani, Manuel Ponce,
Beethoven, maupun Villa-Lobos.
PENDUKUNG
PKJ TIM & LPKJ
PARTISIPAN
Enam mahasiswa Carl
Tanjong di LPKJ
ACARA • PERTUNJUKAN & LOKAKARYA • TARI TOPENG
Topeng Cirebon
untuk Mahasiswa
13–14 JULI 1977
20.00 WIB
TEATER ARENA TIM
KOLABORATOR
Para penari topeng Cirebon
PENDUKUNG
PKJ TIM
JUMLAH PARTISIPAN
3 penari topeng
PARTISIPAN
Ibu Sudji, Pak Djana, Keni
Pertunjukan Topeng Cirebon menghadirkan tiga penari
sekaligus. Mereka bergantian membawakan lima tokoh:
Panji, Pamindo, Rumyang, Tumenggung, dan Klana. Sebagai
selingan, ada pula tokoh Jinggananom yang ditampilkan
oleh seorang bodor (pelawak). Pertunjukan dua malam ini
sekaligus merupakan lokakarya bagi mahasiswa LPKJ. Para
pengajar Akademi Tari, Sardono W. Kusumo dan Sal Murgiyanto,
mengulas pertunjukan tersebut di media. Sal Murgiyanto
menyatakan bahwa tari topeng Cirebon tak kalah berbobot
dibanding tarian keraton. Sedangkan Sardono menilai, tari ini
memperlihatkan bahwa tradisi di Indonesia selalu hidup dan
memperbarui diri.
1970–
1979
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
65
KABAR • PENGHARGAAN
Malam Penghargaan
oleh Society for
American-Indonesian
Friendship Inc
15 JULI 1977
PETANG
TEATER ARENA TIM
DKJ dan Society for American-
Indonesian Friendship telah menggalang
penghargaan ini sejak 1974. Iravati M.
Sudiarso, Ketua DKJ, dalam sambutannya
berujar bahwa penghargaan diberikan
kepada seniman-seniman muda yang
terus-menerus berkarya dalam bidang
masing-masing. Tahun ini penghargaan
dianugerahkan kepada Wiwiek Sipala
dan Soetarno K., berupa piagam dan
uang senilai US$250. Wiwiek Sipala
adalah salah satu penari dengan
sederet prestasi. Mahasiswa LPKJ yang
kini anggota staf Biro I di kampus ini
telah mengikuti berbagai misi tari ke
mancanegara. Sementara Soetarno K.
aktif sebagai sutradara teater.
PENYELENGGARA
Society for American-
Indonesian Friendship Inc
KOLABORATOR
DKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
KARYA • DOSEN & MAHASISWA • PERTUNJUKAN • TARI • TRADISIONAL
S. Kardjono Pentaskan
Burisrawa Rante
28–29 JULI 1977
20.00 WIB
TEATER ARENA, TIM
Pengajar LPKJ Surjadi Kardjono
mengungkapkan, tarian gaya Yogyakarta
kurang berkembang di Jakarta. Padahal
kalau ditimbang-timbang, pola gaya tarian
ini sesuai dengan kehidupan metropolitan
yang serba cepat. Untuk membangkitkan
minat khalayak, ia pun menggarap
pertunjukan wayang orang gaya
Yogyakarta dalam lakon Burisrawa Rante.
Ia diperkuat oleh 30 orang penari yang
di antaranya adalah mahasiswa LPKJ.
Dalam penataan tari, S. Kardjono dibantu
oleh Siti Adiyati, yang juga penari keraton
selain perupa. Sebagai pembuka, dua
tari Serimpi, yaitu Pande Lare dan Beksan
Lawung, ditampilkan. Gamelan dua tarian
tersebut diiringi orkes tiup Korps Musik
Kostrad asuhan F.X. Sutopo.
KOLABORATOR
Siti Adiyati, Korps
Musik Kostrad
PENDUKUNG
PKJ TIM
PARTISIPASI • MAHASISWA • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS
Aktif Berkesenian
di Kota Kelahiran
4–8 AGUSTUS 1977
PENDOPO
KAWEDANAN,
PURWOKERTO
Pelukis Muda Purwokerto berdiri pada 17
November 1974 dengan ketua Bambang
Setiana, atau yang selanjutnya populer
dengan nama Bambang Set. Kelompok itu
dibentuk sebagai wahana tukar-menukar
pengetahuan antaranggota. Bambang,
yang juga mahasiswa Akademi Teater
LPKJ, di Purwokerto mengasuh kelompok
Teater 77 yang bernaung di bawah SMA
Kristen Purwokerto. Pameran yang diberi
judul “Eksposisi 4 PMP” ini, sebagai
pameran keempat sejak berdirinya PMP,
menghadirkan 50 lukisan.
PENGGAGAS &
PENYELENGGARA
Pelukis Muda
Purwokerto (PMP)
PARTISIPAN
Bambang Setiana, Agus
Untung, A.A. Gede Raka
Sumidja, Budi Waluyo
66 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
ACARA • PEMBACAAN PUISI
Pembacaan Puisi Peringati
Kemerdekaan RI
22 AGUSTUS 1977
MALAM
PLAZA KAMPUS LPKJ
ACARA • PERTUNJUKAN • LENONG
Lenong Ayub Jago Betawi
24–25 AGUSTUS 1977
20.00 WIB
TEATER TERBUKA TIM
TIKET
Rp200 & Rp300
Beberapa jam sebelum acara dimulai,
plaza kampus LPKJ sudah ramai
dikunjungi oleh mahasiswa dan
masyarakat. Informasi acara memang
sudah disebar di beberapa tempat di
Jakarta. Dikabarkan bahwa khalayak
mahfum jika acara akan melibatkan
caci-maki terhadap pihak-pihak tertentu.
Beberapa penyair dan mahasiswa
kemudian tampil dengan beragam cara
pembacaan puisi. Bung Tomo, pemimpin
militer dalam Perang Revolusi, ikut
tampil membacakan tiga sajak. Suasana
sempat riuh dan terkesan tak terkontrol
saat beberapa pembaca betul-betul
melontarkan caci-maki terkait situasi
politik saat itu. Namun, acara berjalan
lancar hingga selesai.
Inilah jawaban para seniman lenong untuk
Gubernur Ali Sadikin yang menganjurkan
penyelenggaraan Pesta Seni Rakyat
dalam rangka ulang tahun Jakarta
ke-450. Di bawah arahan Sumantri
Sastrosuwondo dan koreografer Yulianti
Parani, cerita lenong Ayub Jago Betawi
berangkat dari karya Lukman Karmani.
Isinya berkisah tentang bagaimana rakyat
Betawi melawan penjajahan Belanda.
Lenong ini menjadi salah satu mata acara
dalam Pesta Seni Rakyat dari seluruh
Indonesia.
PARTISIPAN
Abdul Hadi W.M., Leon Agusta,
Ikranegara, Sutardji Calzoum
Bachri, Taufiq Ismail, Rosihan
Anwar, mahasiswa Universitas
Tujuhbelas Agustus,
mahasiswa LPKJ, Sutomo, dll.
PENYELENGGARA
Pusat Penelitian dan
Pengembangan Kesenian
Rakyat dan Akademi Tari LPKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
PARTISIPAN
Lukman Karmani, S. Nasrin,
Nasir T., Bu Siti, Bokir,
Mamit, M. Toha, Nunung
KARYA • DOSEN & MAHASISWA • PERTUNJUKAN • SENI TARI
Pementasan
Cipta Karya Tari
20–21 SEPTEMBER
1977
20.00 WIB
TEATER ARENA, TIM
Cipta Karya Tari mempersembahkan lima
tarian. Dedy Lutan menampilkan Nadi
yang sepintas dianggap mengesankan
kehidupan Bali. Wiwiek Sipala menyajikan
Image yang memperlihatkan kepekaannya
atas lingkungan dan tempat-tempat
yang pernah ia kunjungi dalam studi
lapangannya di berbagai kota. Sementara
itu, Rotasi karya Nana menelusuri
ekspresi dari perasaan-perasaan
terdalam manusia. Terakhir, I Wayan Diya
menampilkan dua karya, yaitu Awan yang
melukiskan gerak perpindahan awan dan
Nara Nari yang merepresentasikan gerak
laki-laki dan perempuan sehubungan
dengan Paramatma dan Jiwatma dalam
konsepsi Hindu.
PENGGAGAS &
PENYELENGGARA
Cipta Karya Tari LPKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
KOREOGRAFER
Dedy Lutan, Wiwiek Sipala,
I Wayan Diya, Nana
KELOMPOK TARI
Cipta Karya Tari
PEMAIN
Nana, Bernadeth, Achmad
Umarella, Nungki, Ina,
Kusmawati, Yuli, Elly, Linda
Karim, Wiwiek Sipala, Mas
Tok, Deddy, Frans, para
mahasiswa Akademi Musik
LPKJ, dan murid-murid
Kursus Musik LPKJ
1970–
1979
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
67
SOSOK ALUMNI
Syaeful Anwar
SENIMAN TEATER
LAHIR DI PURWAKARTA, 1951
SENI MURNI, FAKULTAS SENI RUPA
ANGKATAN 1973
Perjalanan Achmad Syaeful Anwar menuju panggung
teater berawal dari kuliah seni rupa. Selama jadi
mahasiswa, ia banyak terlibat di Teater Mandiri dan
Teater Keliling yang sering latihan dan pentas di
Taman Ismail Marzuki, persis di sebelah kampus
IKJ. Umumnya, ia berkontribusi sebagai aktor.
Namun, karena bidang studinya, Syaeful juga banyak
dipercaya untuk menangani set, kostum, dan properti
panggung.
Keterlibatan di teater lantas mendekatkan Syaeful
dengan lingkar seniman di Taman Ismail Marzuki.
Di luar jadwal pentas, tak jarang ia menghabiskan
waktu di kompleks seni itu untuk sekadar bergaul
dan unjuk seni. Pada suatu hari, ia membacakan
puisi di panggung teater arena. Penampilannya
yang begitu penuh energi dan kaya ekspresi
mengundang kekaguman Nano Riantiarno, seniman
teater kawakan. Setelah pentas, Nano dari bangku
penonton pun memperkenalkan diri kepada Syaeful
dan tak butuh waktu lama bagi keduanya untuk
menjadi teman akrab. Pada 1977, keduanya bersama
sejumlah pegiat teater lainnya merintis Teater Koma.
Syaeful kembali melakoni peran ganda.
Sebagai aktor, ia menjadi salah satu wajah familiar
dari Teater Koma. Kemampuannya beradaptasi
dengan berbagai tuntutan peran, dari yang realis
hingga yang fantastis, memungkinkan ia tampil
di berbagai pementasan Teater Koma. Sebagai
skenografer atau pengarah artistik, ia dikenal karena
perhatiannya terhadap detail dan ketekunannya
dalam mewujudkan tata panggung yang memukau
secara visual. Dalam pementasan Sie Djin Koei
(2011), misalnya, ia menghadirkan genta setinggi 3,5
meter di atas panggung Graha Bakti Budaya untuk
membangun suasana interior istana Dinasti Tang.
Setiap perabotan dan detail interior juga ia cocokkan
berdasarkan literatur tentang kekaisaran Tiongkok
abad VII.
Seiring waktu, Syaeful lebih fokus kerja di balik
panggung. Selain mengolah kebutuhan artistik
Teater Koma, ia turut berperan dalam melatih aktoraktor
muda. Selain itu, sejak 1991, ia turut berbagi
pengalamannya ke generasi seniman muda dengan
mengajar di Fakultas Seni Rupa serta Fakultas Film
dan Televisi IKJ.
Syaeful Anwar (tengah) dalam pementasan
drama Maaf, Maaf, Maaf oleh Teater Koma di
Taman Ismail Marzuki, 2005.
Sumber foto: © Tempo/Usman Iskandar
68 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
ACARA • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS
Pameran
Mengenang Zaini
13–31 OKTOBER 1977
GALERI BARU LANTAI 3
TEATER BESAR
ACARA • DISKUSI • TEATER
Seri Diskusi
Pekan Teater Tradisional
28 SEPTEMBER–
1 OKTOBER 1977
10.00–13.00 WIB
STUDIO MINI LPKJ
Zaini meninggal mendadak pada 25
September 1977. Ia sedang lari pagi saat
tubuhnya terhuyung dan jatuh. Dukacita
langsung menyelimuti keluarga besar TIM
dan seisinya. Tidak ada yang menyangka
kepergiannya akan begitu cepat. Untuk
mengenang motor banyak kegiatan di
TIM ini, sebuah pameran diselenggarakan
tepat setahun setelah pameran
tunggalnya yang terakhir. Lukisan dipilih
secara kurang-lebih kronologis dari
peninggalan di rumahnya. Sebagian
besar lukisan Zaini sudah menjadi koleksi
museum, perorangan, lembaga-lembaga,
dan “lari” ke luar negeri. Dalam pameran
ini ditampilkan 150 buah karya, baik
berupa cat minyak, aklirik, cat air, pastel,
monotipe, pensil, spidol, sketsa, maupun
buku-buku yang rencana kulitnya dibuat
oleh Zaini.
Seri diskusi diadakan sebagai salah
satu mata acara Pekan Teater
Tradisional. Pada hari pertama diskusi,
diselenggarakan pula pemutaran film
Sejarah Ketoprak. Topik diskusi adalah
“Teater Tradisional di Indonesia”, diampu
oleh A. Kasim Achmad. Pada hari kedua,
giliran yang dibahas adalah ketoprak
(Yogyakarta) oleh Widjaya dan ubrug
(Jawa Barat) oleh Drs. J. Ganda. Hari
ketiga, pembicaraan bergeser mengenai
mamanda (Kalimantan Selatan) oleh M.
Sapri K. dan mendu (Riau, Pulau Tujuh)
oleh B.M. Sjamsudin. Hari terakhir, diskusi
menyoroti Randai (Sumatra Barat) oleh
Drs. Mursal Esten dan topeng Prembon
(Bali) oleh I Wayan Dibia. Definisi teater
tradisional, teater modern, dan teater
rakyat sempat menjadi perdebatan
hangat pada hari pertama.
PENGGAGAS &
PENYELENGGARA
DKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
—
Zaini, anggota Dewan Pekerja
Harian DKJ, pengajar Seni
Rupa LPKJ, dan penerima
Anugerah Seni 1972
Zaini dan lukisan yang
dipamerkan, Kambing.
PENYELENGGARA
DKJ & Direktorat Pembinaan
Kesenian Ditjen Kebudayaan
Departemen P&K
PENDUKUNG
PKJ TIM, LPKJ
PARTISIPAN
A. Kasim Achmad, Widjaya,
J. Ganda, M. Sapri K., B.M.
Sjamsudin, Mursal Ersten,
I.W. Dibia, D. Djajakusuma,
Edi Sedyawati, dll.
Pertunjukan randai, sebuah
teater khas Minang.
ACARA • PAMERAN • SENI RUPA • SENI GRAFIS
Citra Jepang dalam
Pameran Grafis
AWAL OKTOBER 1977
RUANG PAMERAN LPKJ
PENDUKUNG
LPKJ
Teknik puluhan karya grafis yang dipamerkan sudah sedemikian
maju. Warna lokal Jepang terasa jadi lamat-lamat karena
begitu kuatnya pengaruh seni pop, seni optik, dan seni minimal.
Warna lamat-lamat tersebut mungkin karena tradisi lama
yang sudah ratusan tahun dianggap tidak mencerminkan lagi
kehidupan keseharian seniman. Karya-karya ini, pada akhirnya,
menunjukkan betapa Barat dan Timur tidak lagi menjadi sebuah
persoalan. Namun, tetap terasa juga puisi-puisi Jepang yang
lembut dalam beberapa karya. Setidaknya demikian menurut
ulasan Putu Wijaya dalam Tempo (15 Oktober 1977).
1970–
1979
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
69
ACARA • PERTUNJUKAN • MUSIK • KLASIK
Resital Gitar
Roelly Budiono
9 OKTOBER 1977
MALAM
TEATER LUWES LPKJ
Roelly Budiono membawakan
interpretasinya atas tujuh nomor klasik.
Sebagai mahasiswa tahun ketiga sekolah
tinggi musik di Austria, kematangannya
dinilai memadai. Resital malam ini
merupakan penggantian dari jadwal
yang sebelumnya direncanakan pada
2 Oktober. Mungkin itu mengapa diberi
judul “Resital Apologi”. Tujuh karya yang
ia mainkan: “Etude No. 11 in E Moll”
dari Villa Lobos, “Sonata in G Moll” dari
Roncalli, “Danzas Cervantinas in D Moll”
dari G. Sanz, “Grand Sonata in A Moll” dari
Paganini, “Grand Solo Op. 14” dari F. Sor,
“Grande Ouverture Op. 61” dari Giuliani,
dan “Fugue in A moll” dari Bach.
PENGGAGAS &
PENYELENGGARA
Akademi Musik LPKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
PERISTIWA
Aksi Protes
Mahasiswa LPKJ
Pada 24 Oktober 1977, aksi mahasiswa meletup di kampus
LPKJ. Kalangan mahasiswa menganggap pembolosan dosen
sudah keterlaluan. Maka, mereka mengambil-alih kunci kampus
dan menyerahkannya kepada Wakil Gubernur Urip Widodo. Oleh
Wakil Gubernur, kunci diserahkan kepada DKJ agar persoalan
dapat diselesaikan baik-baik. Aksi mahasiswa berpusat di depan
gedung utama LPKJ, ditandai dengan lilitan seutas kain hitam
pada lengan dan pernyataan dalam memorandum sebanyak
empat halaman. Beberapa pamflet disebar, bertuliskan: “Pak
Guru Kamu Ngajar Apa Bikin Film di Luar”, “Dosen LPKJ Kurang
Gizi”, dll. Dosen dan pegawai LPKJ yang lewat disoraki oleh
mahasiswa yang protes. Ditengarai bahwa konflik antarpengajar,
terkait wewenang dan anggaran, menjadi asal-usul kekecewaan
mahasiswa ini.
KARYA • DOSEN & MAHASISWA • PERTUNJUKAN • TEATER
Impian di Tengah Musim
oleh Teater Lembaga
3–5 NOVEMBER 1977
MALAM
TEATER TERTUTUP TIM
PENGGAGAS &
PENYELENGGARA
Teater Lembaga
PENDUKUNG
PKJ TIM
Pramana Pmd. ingin mementaskan
Shakespeare yang jarang dipentaskan
orang. Tragedi Shakespeare lebih
dikenal di sini, sementara komedinya
tidak demikian. Lakon ini pada dasarnya
berkisah mengenai pertentangan
antara anak dan orangtua terkait
hubungan cinta. Namun, interpretasi
Pramana Pmd. mendapat sambutan
yang tawar di beberapa media. Ada
yang beranggapan arahan sutradara ini
sekadar mengeksploitasi kelucuan, ada
pula yang menilai unsur-unsur lokal dalam
lakon Barat ini malah membingungkan.
Pertunjukan Teater Lembaga ini
merupakan produksi kedua pada 1977,
setelah teater noh yang di-Bali-kan dalam
arahan sutradara D. Djajakusuma.
SUTRADARA
Pramana Pmd.
PENULIS NASKAH
William Shakespeare,
terjemahan Trisno Sumardjo
KELOMPOK TEATER
Teater Lembaga
PEMAIN
Mamok Pratomo, Ferry
Sahetapy, Yannes Pardede,
Didi Petet, Eddy de Rounde, dll.
70 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
ACARA • PERTUNJUKAN • LINTAS SENI
Yellow Submarine
untuk Jakarta
10, 19, 20 NOVEMBER
1977
20.00 WIB
BALAI SIDANG
SENAYAN, TEATER
TERBUKA TIM
TIKET
Rp750, Rp500, Rp300
PENGGAGAS &
PENYELENGGARA
LPKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
JUMLAH PARTISIPAN
200-an mahasiswa dan para
pengajarnya.
PARTISIPAN
Sardono, Suka Hardjana,
Pramana, Putu Wijaya, Slamet
Abdul Sjukur, Franki Raden,
Sentot Sudiharto, dll beserta
para mahasiswa.
Ide pertunjukan kolosal ini lahir dari sekelompok mahasiswa
LPKJ lintas disiplin: seni rupa, musik, tari, teater, dan
sinematografi. Pertunjukan ini sekaligus menjadi ucapan terima
kasih dan selamat jalan kepada Gubernur Ali Sadikin, yang
masa jabatannya menjelang berakhir. Pentas pertama pada 10
November bertempat di Balai Sidang Senayan, masih dalam
gaung peringatan Sumpah Pemuda pada Oktober sebelumnya.
Pentas kedua di Teater Terbuka TIM pada hari yang sama
ditujukan untuk memeriahkan Hari Pahlawan. Pentas pada 19
dan 20 November berlangsung di Teater Terbuka TIM.
Berbagai kreasi tari tampil beriringan sekaligus dengan
salindia film tentang perang, aksi muda-mudi yang sedang
mencoba pakaian di butik, pertandingan tinju di atas
arena buatan, kemunculan boneka perempuan di puncak
panggung, dan banyak lagi. Sementara itu, orkes pimpinan
Franki Raden pada saat bersamaan terus memainkan
“Yellow Submarine” ciptaan The Beatles. Tanpa mengusung
narasi tunggal, pertunjukan ini dianggap sebagian kritikus
terlalu membingungkan. Bagaimanapun, Yellow Submarine
memperlihatkan aspirasi yang besar dan luasnya cakupan
wacana yang hidup di kalangan civitas akademika LPKJ.
Sebuah adegan dalam
Yellow Submarine.
PARTISIPASI • MAHASISWA • PAMERAN • SENI RUPA • KRIYA KERAMIK
LPKJ dalam Pameran
Tiga Wajah Keramik
14–19 NOVEMBER 1977
GEDUNG MITRA
BUDAYA
Wajah pertama keramik Indonesia dalam
pameran merupakan “wajah keramik
perguruan tinggi dan akademi seni”. Tiga
lembaga pendidikan seni yang ikut serta
menitikberatkan pada kemurnian artistik,
sedangkan unsur pakai merupakan
faktor kedua. Alhasil, keramik cenderung
berdiri sendiri sebagai hasil ekspresi.
Wajah kedua dalam pameran merupakan
keramik-keramik milik perusahaan dan
lebih memancarkan ekspresi rakyat.
Keragaman gaya dan fungsinya cukup
kaya, walaupun ada juga yang diproduksi
massal. Sedangkan wajah ketiga keramik
Indonesia merupakan keramik-keramik
hasil karya perupa perorangan, yang sarat
eksperimentasi dan ekspresi individual.
PENYELENGGARA
Subdit Seni Rupa Direktorat
Pembinaan Kesenian
PARTISIPAN
Hildawati (LPKJ), Sujatna
(LPKJ), dan Ronald (LPKJ),
dan mahasiswa-mahasiswa
ITB dan STSRI “ASRI”;
Kanatali (Jakarta), Kasongan
(Yogyakarta), Ceramik
Agni Art (Yogyakarta), Art
Gallery Harris (Jakarta), Art
Centre Abiankapas (Bali),
Adi Munardi, Suminto,
Supono, Gatot Sudrajat,
Achmad Masih A. Supriyadi,
S. Sudjojono, Suparto.
1970–
1979
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
71
SOSOK ALUMNI
Gandung
Bondowoso
SENIMAN TEATER DAN JURNALIS
LAHIR DI YOGYAKARTA, 1954
SENI TEATER, FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN
ANGKATAN 1974
Dari balik tirai panggung, Gandung Bondowoso
muncul berpakaian serba hitam. Dengan rambut
tersisir klimis, pria yang terlahir sebagai Hurip
Winarno itu berjalan ke titik yang diterangi lampu.
Pada layar di belakangnya, tersorot sebuah
lukisan perempuan dengan guratan kuas penuh
warna. Gandung pun mulai mengisahkan romansa
antara seorang pelukis dengan seorang biduan
enam dekade silam. Di pojok kiri belakang
panggung, lampu menyinari seorang perempuan
sepuh berambut perak. Dialah biduan itu. Rose
Pandanwangi namanya.
Malam itu, 5 September 2013, Gandung berperan
jamak. Sebagai sutradara, ia membuka setiap babak
dalam pementasan Pandanwangi dari Sudjojono
di Taman Ismail Marzuki. Ia memaparkan konteks
tempat dan waktu, yang ia himpun dari berbagai
literatur dan memorabilia, untuk setiap peristiwa yang
hendak dilakonkan di atas panggung. Sebagai aktor,
ia memerankan Sudjojono muda dan beradu akting
dengan Maya Sudjojono, yang berperan sebagai Rose
muda. Keduanya banyak berdialog menggunakan
baris kalimat dari korespondensi surat antara Rose
dan Sudjojono.
Pandanwangi dari Sudjojono menandai
kembalinya Gandung ke panggung teater setelah tiga
dekade lebih bergelut di bidang jurnalistik. Sebelum
mengurus sejumlah media cetak dalam grup
Gramedia sejak 1987 dan merintis program Kabarkabari
di RCTI sejak 1996, ia aktif sebagai salah satu
anggota Teater Mandiri, yang ia tekuni sejak masih
mahasiswa di LPKJ. Bersama Joseph Ginting dan
sejumlah mahasiswa teater, ia juga aktif mengisi
kegiatan Teater Luwes di LPKJ selama beberapa
tahun sejak 1978.
Teater menjadi cara Gandung mengungkapkan
hormat kepada Rose, ibu mertuanya. Suara dan
sosok Rose menjadi ruh yang mengikat keseluruhan
pentas Pandanwangi dari Sudjojono. Dalam setiap
lakon, lukisan Rose yang dilukis Sudjojono hadir
sebagai latar panggung. Di antara setiap babak,
Rose menembangkan lagu-lagu yang pernah berarti
dalam kisahnya bersama mendiang suaminya.
Pada penghujung pentas, Rose membacakan sajak
yang pernah Sudjojono tulis untuknya. Gandung
beserta pemeran lainnya menunggu di balik layar,
mempersilakan panggung untuk Rose seorang.
Sumber foto: © Gandung Bondowoso.
72 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
PARTISIPASI • MAHASISWA • PERTUNJUKAN • MUSIK • KLASIK
Debut Marusya Bersama
Orkes Simfoni Jakarta
23 NOVEMBER 1977
PENYELENGGARA
Orkes Simponi Jakarta
PARTISIPAN
Marusya Nainggolan,
Adidharma (dirigen)
Debut Marusya Nainggolan, 23 tahun, selaku pianis solo, dalam
konser bersama Orkes Simponi Jakarta, disambut sebagai wajah
segar dalam dunia musik Indonesia. Franki Raden mencatat
(Kompas, 6 Desember 1977), Marusya masih terlalu berhatihati
dalam “Vivace”, bagian pertama dari “Piano Concerto” oleh
Joseph Haydn. Namun, pada bagian kedua, “Andante”, Marusya
sudah mulai lebih lepas memainkan tuts piano. Kelincahan
makin terlihat ketika Marusya memainkan bagian “Rondo
all’Ungherese (Allegro Assai)”. Malam itu, beberapa kekurangan
mahasiswa LPKJ ini masih dapat ditoleransi karena ia masih
dalam proses belajar.
PERISTIWA
Keluarga Mahasiswa
LPKJ Menolak
Pemasungan Kreativitas
Keluarga Mahasiswa LPKJ mengeluarkan pernyataan menolak
pemasungan kreativitas. Pernyataan ini terbit sebagai dukungan
bagi para seniman yang mengadakan aksi protes senada
pada hari yang sama. Para seniman telah menghadap Dirjen
RTF Sumadi dan Ketua DPR RI Adam Malik hari itu untuk
menyampaikan protes. Mereka diwakili oleh Arifin C. Noer,
Ikranegara, Rendra, Slamet Sukirnanto, dan Sjuman Djaya.
Pemicunya adalah beberapa kasus pemberangusan karya, di
antaranya penolakan pemberian izin terhadap film Wasdri dan
Atheis, pementasan Narator di Semarang, pertunjukan Harry
Rusli di Semarang, pementasan “Qasidah Barzanji” Bengkel
Teater Rendra di Ujung Pandang, dll.
PARTISIPASI • MAHASISWA • PERTUNJUKAN • TEATER
Kursus Seni Peran
PARFI-LPKJ
dalam Ledakan Terakhir
12 DESEMBER 1977
GELANGGANG REMAJA
JAKARTA UTARA
Drama Ledakan Terakhir berkisah tentang
perjuangan rakyat Sulawesi Selatan pada
zaman kemerdekaan, dengan penulis
naskah dan sutradara Zainal Bintang.
Sebuah catatan di media massa
menyatakan bahwa pertunjukan ini
berhasil menangkap dimensi lain
dari kepahlawanan dalam penulisan
naskahnya—sekalipun kurang berhasil
dalam penyutradaraan. Kepahlawanan
menjadi sesuatu yang layak direnungkan
dengan adanya berbagai motif individu
di balik suatu tindakan heroik. Dalam
Ledakan Terakhir, penyematan label
“pengkhianat” dan “pahlawan” pada
akhirnya menjadi area abu-abu.
PENYELENGGARA
Kerukunan Warga
Sulawesi Selatan
KOLABORATOR
Para peserta Kursus Seni
Peran PARFI-LPKJ 1977
PARTISIPAN
Erni Tanjung, Abdi
Palallo, Hasan Mintaraga,
Tajuddin Manda
Adegan dalam Ledakan
Terakhir (Angkatan
Bersendjata, 17 Desember
1977).
1970–
1979
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
73
PARTISIPASI • DOSEN & MAHASISWA • SAYEMBARA • FILM
LPKJ dalam Sayembara
Film Mini 1977
11, 13–15 DESEMBER
1977
10.00 WIB
STUDIO MINI AKADEMI
SINEMATOGRAFI LPKJ
& TEATER ARENA TIM
PENGGAGAS &
PENYELENGGARA
DKJ
KOLABORATOR
LPKJ
PARTISIPAN
D.A. Peransi, Prof. Dr. Sularko,
dll.
Sayembara Film Mini merupakan program tahunan Komite
Film DKJ sejak diadakan pertama kali pada 1973 sampai 1981.
Tujuannya adalah mengarahkan kreativitas para pembuat “film
mini”—film-film yang diproduksi dengan kamera seluloid 8 mm.
Tahun ini, sayembara tersebut menyelenggarakan Pengumuman
dan Pemutaran Film-film Mini yang diadakan di Studio Mini
Akademi Sinematografi, LPKJ. Selain itu, diadakan pula diskusi
dengan pembicara D.A. Peransi, Prof. Dr. Sularko, dan lain-lain.
Topik yang dibicarakan dalam diskusi ini meliputi film mini
sebagai media audiovisual dan kemungkinan kegunaannya;
film mini sebagai kegemaran dan kemungkinan peningkatan
kegunaannya; dan sistem pendidikan bagi penggemar film mini.
PARTISIPASI • DOSEN & MAHASISWA • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS
LPKJ Hadir dalam
Pameran Pelukis Muda
Se-Indonesia
17–23 DESEMBER 1977
RUANG PAMERAN DAN
GALERI BARU LANTAI 3,
TEATER BESAR TIM
PENGGAGAS &
PENYELENGGARA
DKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
JUMLAH PARTISIPAN
175 pelukis
Ini adalah perhelatan kedua Pameran Pelukis Muda Se-
Indonesia. Pertama kalinya diadakan pada 1975 dan diikuti 71
perupa dari berbagai kota yang memiliki kegiatan seni rupa.
Kali ini, dalam ajang dua tahunan ini ada pula diskusi dengan
topik “Pendidikan Kesenian di Indonesia” dan “Seni Rupa Baru di
Indonesia”. Karena banyaknya peserta yang menampilkan karya,
dan keterbatasan ruangan DKJ, lukisan peserta dibatasi satu per
orang untuk dipajang. Diharapkan pameran ini akan merangsang
sekaligus menampilkan wajah dan potensi para seniman muda
dari berbagai kota. Dari Jakarta, tampil 39 pelukis, yang 17 di
antaranya tercatat sebagai mahasiswa LPKJ.
ACARA • PAMERAN • SENI RUPA
Pameran Seni Rupa 12
pada 1977
26–31 DESEMBER 1977
RUANG PAMERAN TIM
LPKJ masih rutin mengadakan pameran
akhir tahun sebagai ajang unjuk karya
para pengajarnya. Ketua LPKJ D.
Djajakusuma dalam pengantarnya
menuliskan bahwa berkarya merupakan
aspek maha penting dalam lembaga
kesenian, baik bagi mahasiswa ataupun
pengajarnya. Dalam pameran yang
diikuti 19 seniman ini, berbagai medium
diperlihatkan, sesuai dengan jurusanjurusan
yang ada di lembaga pendidikan
ini. Aneka ragam karya-karya yang
ditonjolkan kiranya mencerminkan latar
belakang dan rangsangan berkarya
masing-masing penciptanya. Keunikan
kampus ibukota ini terlihat, antara lain,
dari partisipasi lukisan Sardono W.
Kusumo sebagai pengajar tari dan partitur
Slamet Abdul Sjukur sebagai pengajar
musik. Tampaknya ini yang disebut
sebagai hubungan erat antara berbagai
cabang kesenian yang telah sering
diungkapkan.
PENGGAGAS &
PENYELENGGARA
LPKJ
PENDUKUNG
DKJ, PKJ TIM
PARTISIPAN
Arsono, Angkama
Setjadipradja, Ananda Adhi
Moersid, Danarto, Edith
Ratna Soerjosoejarso, A.
Girindra, Hildawati Siddharta,
Yusuf Affendi, Kusnadi,
Kaboel Suadi, Sjahrinur
Prinka, Sardono W. Kusumo,
M. Sulebar Sukarman,
Srihadi, Soegianto S.W.,
Sukamto, Wisaksono,
Wagiono Sunarto, Wiyoso.
74 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
ACARA • PERTUNJUKAN • TARI • TRADISIONAL
Pentas Misi
Kesenian Kutai
18 JANUARI 1978
20.00 WIB
TEATER ARENA TIM
Misi kesenian Kutai, Kalimantan Timur,
tampil memperkenalkan kesenian Dayak
kepada khalayak ibukota. Rombongan
misi ini dipimpin oleh Zaelani Idris, lulusan
tahap studi dasar Akademi Tari LPKJ.
Tari-tarian yang dihadirkan berasal dari
tradisi suku Dayak Kenyah dan Dayak
Gaai. Bagi kedua suku tersebut, tari tidak
terpisahkan dari upacara keagamaan.
Upacara Mamat, misalnya, mengandung
tari Kanjet Tengen, Kanjet Dua Usa, Datun
Julud, dan Kanjet Pepatai. Upacara
ini ditujukan untuk pendewasaan lakilaki.
Sedangkan upacara Palan, untuk
mengusir hama, dilaksanakan dengan
tarian Hudog.
PENYELENGGARA
Misi Kesenian Kutai
Kalimantan Timur
PENDUKUNG
LPKJ, PKJ TIM
JUMLAH PARTISIPAN
40 orang penari dan pemusik
PARTISIPAN
Zaelani Idris (pimpinan
rombongan), dll
1978
KARYA • DOSEN • PERTUNJUKAN • MUSIK, TARI, SENI RUPA
Slamet Abdul Sjukur
Pentaskan
"Parentheses IV"
31 JANUARI–
1 FEBRUARI 1978
MALAM
TEATER ARENA TIM
PENDUKUNG
PKJ TIM
KOMPONIS
Slamet Abdul Sjukur
PEMAIN
Lini Widhiasi, Sentot
Sudiharto, Farida Feisol,
Suwandi, Sudarmadi, Budi
Hartono, Ireng Maulana, Eddy
Tulis, Dicky Prawoto, Endang
Kusumaningsih, Suparno,
Supardi.
Lewat Parentheses IV, Slamet ingin “mendamaikan” tiga cabang
seni, yaitu musik, tari, dan lukis. Maka, jika Parentheses I-II
adalah komposisi musik dan tari, kali ini Slamet mengundang
pelukis cilik Lini Widhiasi pula. Namun, gerak tari Farida Feisol,
Suwanto, dan Sentot Sudiharto, yang bertimbal-balik kuat
dengan permainan selo Sudarmadi, sulit diimbangi oleh Lini
Widhiasi. Setidaknya, dua ulasan media menyatakan bahwa
pertunjukan kurang padu karena Lini seperti asyik sendiri.
Menurut Franki Raden (Kompas, 21 Februari 1978), misalnya,
penari dan pemusik berangkat dari bunyi dan gerak yang sudah
dirancang oleh komponis dan koreografer. Sedangkan pelukis
berkarya tidak dengan rancangan bunyi dan gerak tersebut
sehingga di panggung harus peka terhadap unsur-unsur
pertunjukan itu.
ACARA • DISKUSI • TARI
Diskusi dalam Festival
Tari Pencak Silat
7–8 FEBRUARI 1978
09.00–16.00 WIB
STUDIO MINI LPKJ
Dalam tradisi Nusantara, bela diri dan
tari terkadang sejalan seiring. Hal-hal itu
diangkat dalam rangkaian diskusi sebagai
bagian dari Festival Tari Pencak Silat.
Kertas kerja disampaikan oleh beberapa
perwakilan daerah, yang menjelaskan
penampilan mereka dalam festival.
Diskusi yang dipandu pengajar LPKJ Edi
Sedyawati, khususnya, cermat menyoroti
aspek tari dalam bela diri tradisional ini.
Festival Tari Pencak Silat itu sendiri
merupakan upaya untuk mengajak
masyarakat mengenal lebih jauh bentuk
kehidupan seni tradisional sekaligus
bertukar pikiran dan pengalaman. Ada
empat daerah yang terlibat, yaitu DKI
Jakarta, Sumatra Barat, D.I. Yogyakarta,
dan Jawa Barat.
PENGGAGAS &
PENYELENGGARA
DKJ & Direktorat Pembinaan
Kesenian Ditjen Kebudayaan
Departemen P&K
KOLABORATOR
LPKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
PARTISIPAN
Arby Samah, Bagong
Kussudiardja, H. Suhari
Sapari, Pepe Syafe’i, H.
Sa’ali S.H., Edi Sedyawati
1970–
1979
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
75
ACARA • DISKUSI • FILM
Berbicara dalam
Pekan Film Jepang
19 FEBRUARI 1978
SETELAH PEMUTARAN
PUKUL 19.00 WIB
PENGGAGAS &
PENYELENGGARA
Kine Klub DKJ & Japan
Foundation
KOLABORATOR
LPKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
PENDUKUNG
Norman Benny (pembicara
utama), Lubes Widar
(moderator)
Mahasiswa-mahasiswa Akademi Sinematografi IKJ mengampu
sesi diskusi dalam Pekan Film Jepang. Pekan Film ini memutar
karya sutradara-sutradara muda Jepang setelah angkatan Akira
Kurosawa dan Yasujiro Ozu. Beberapa di antaranya adalah Kage
no Kuruma karya Yoshitaro Nomura, Shiawase no Ichiban Boshi
besutan Nariyuki Yamane, dan Izu no Odoriku oleh Katsumi
Nishikawa—yang diangkat dari novel Yasunari Kawabata. Dalam
sambutannya, Alam Surawidjaja dari Kine Klub DKJ menyatakan
bahwa Pekan Film ini berhasil terselenggara tiap tahun sejak
1974.
Ilustrasi pada sampul muka
buku acara Pekan Film Jepang.
PARTISIPASI • SEMINAR • TARI
Sal Murgiyanto Ikuti
Seminar Notasi Tari
23–26 FEBRUARI 1978
GEDUNG MERDEKA,
BANDUNG
Seminar Notasi Tari diadakan berdasarkan
kebutuhan akan adanya sistem notasi
tari. Pengajar LPKJ Sal Murgiyanto (Sinar
Harapan, 8 Maret 1978) mengungkapkan
bahwa sistem notasi mampu merekam
dan mengawetkan berbagai jenis tari.
Notasi juga dapat membantu komunikasi
supaya penyebaran suatu jenis tari
antardaerah, ke dalam dan ke luar negeri,
dapat dilakukan lebih cepat dan efisien.
Di kalangan seni tradisi, menurut Sal,
pencatatan tari dilakukan dengan katakata.
Sementara, notasi tari merupakan
pencatatan menggunakan lambang,
seperti yang menjadi acuan di Barat,
misalnya Sistem Laban dan Benesh.
PENGGAGAS &
PENYELENGGARA
Direktorat Pembinaan
Kesenian Departemen P&K
JUMLAH PARTISIPAN
30 tokoh tari dari Jawa Barat,
Jawa Tengah, Yogyakarta, Bali,
Sumatra Barat, DKI Jakarta.
76 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
PARTISIPASI • EKSPOSISI • MUSIK
Slamet Abdul
Sjukur Hadiri Asian
Composers Expo ‘78
11–19 MARET 1978
BANGKOK
PENDUKUNG
Ikatan Komponis-Komponis
Indonesia (IKKI)
JUMLAH PARTISIPAN
4 komposer dan 3 pemusik
PARTISIPAN
Trisutji Kamal, Slamet Abdul
Sjukur, F.X. Sutopo, M. Husein,
Eben Hermanus, Ny. S. Idrus
Empat komponis dan tiga pemusik Indonesia hadiri Asian
Composers Expo 1978. Di antaranya adalah adalah Slamet Abdul
Sjukur, Trisutji Djulianti Kamal, Ibenzani Usman, dan F.X. Sutopo.
Dalam eksposisi ini, delegasi Indonesia menampilkan gubahan
Trisutji, beberapa rekaman musik daerah, film Parentheses IV
karya Slamet Abdul Sjukur, ceramah Slamet tentang angklung,
dan pameran naskah musik kontemporer dan instrumen
tradisional. Di samping itu, diadakan pula demonstrasi gendang
oleh M. Husein, delegasi dari Sumatra Timur, dan permainan alat
petik Nusa Tenggara Timur oleh Eben Hermanus.
PARTISIPASI • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA • KRIYA
Peran Serta LPKJ
dalam Pameran Karya
Kerajinan Rakyat
17–22 MARET 1978
09.00–13.00 WIB &
17.00–21.00 WIB
RUANG PAMERAN TIM
Bagaimana barang kerajinan tradisional
berkembang di tengah serbuan
peralatan dan dekor rumah tangga
modern? Pameran ini mengajak
masyarakat memperhatikan kedudukan
dan perkembangan barang kerajinan
tersebut. Tak hanya itu, ditampilkan juga
demonstrasi kerajinan, di antaranya
pembuatan bakul dan anyaman oleh
pengrajin dari Tasik Malaya, dan
pembuatan wayang golek oleh perajin dari
Subang. Diadakan pula ceramah dengan
pembicara Elizabeth M. Wijaya dengan
tema “Peranan Bambu dalam Kehidupan
Masyarakat Sepanjang Sejarah bangsa”,
Ananda Moersid dengan tema “Masalah
Bentuk dan Desain dalam Kesenian
Rakyat”, dan Hariyadi dengan tema
“Pembinaan Pengrajin”.
PENGGAGAS &
PENYELENGGARA
DKJ & Yayasan Pekerti
KOLABORATOR
LPKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
PARTISIPAN
Kelompok pengrajin di bawah
naungan Yayasan Pekerti,
Elizabeth M. Wijaya (Lembaga
Biologi Nasional Bogor),
Ananda Moersid (Dosen
Akademi Seni Rupa LPKJ),
Hariyadi (Yayasan Pekerti).
ACARA • PERTUNJUKAN • TARI
Pagelaran Tari Anak dari
Kursus Tari LPKJ
18–19 MARET 1978
17.00 & 10.00 WIB
TEATER TERTUTUP TIM
TIKET
Rata-rata Rp200
PENGGAGAS &
PENYELENGGARA
Kursus Tari Akademi Tari LPKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
PARTISIPAN
Retno Maruti, S. Kardjono,
I Wayan Diya
Pagelaran ini menampilkan hasil pelajaran anak-anak didik
Kursus Tari Akademi Tari yang diampu para pengajar LPKJ.
Anak-anak tersebut menarikan nomor-nomor dari tradisi Solo,
Yogyakarta, dan Bali.
Ilustrasi foto pada kalender
acara TIM mengenai pagelaran
tersebut.
1970–
1979
KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
77
PARTISIPASI • DOSEN • PERTUNJUKAN • WAYANG ORANG
Penari LPKJ Semarakkan
Sukrosono Sumantri
24–26 MARET 1978
20.00 WIB
TEATER ARENA TIM
PENGGAGAS &
PENYELENGGARA
Jaya Budaya
PENDUKUNG
DKJ, PKJ TIM
PARTISIPAN
Sal Murgiyanto, Sardono
W. Kusumo, S. Kardjo,
Sentot Sudiharto, Retno
Maruti, Endang Nrangwesti
Murgiyanto, dll.
Pementasan wayang orang ini berbeda dari yang lumrah
ditampilkan. Antawacana atau dialognya sengaja dikurangi
untuk memberikan tekanan lebih pada beksan (tari), karawitan,
dan tembang secara seimbang. Garapan tarinya itu sendiri
bertitik tolak dari jenis-jenis beksan lama seperti: bedaya, srimpi,
dan wireng. Tata busananya tidak gemerlapan sebagaimana
wayang orang pada umumnya. Namun, kesederhanaan tata
busana itu tidak mengurangi segi keindahan. Dalam kesempatan
ini, kepiawaian para penari yang sebagian di antaranya berasal
dari LPKJ rupanya betul-betul dituntut prima.
PARTISIPASI • DOSEN • PAMERAN • SENI RUPA • GAMBAR
Beberapa Seniman LPKJ
dalam Pameran PERSEGI
28 MARET–2 APRIL
1978
09.00–13.00 WIB &
17.00–21.00 WIB
RUANG PAMERAN TIM
PENYELENGGARA
DKJ
PENDUKUNG
PKJ TIM
PARTISIPAN
T. Susanto, Haryadi Suadi,
Djodjo Gozali, Diddo Kusdinar,
Priyanto Sunarto, Syahrinur
Prinka, Harianto Imam Rahayu,
Wagiono, Rusmadi, Rachmat
“Oseng” Gazali.
PERSEGI (Persekutuan Seniman Gambar Indonesia) secara
resmi dibentuk pada 21 Desember 1976. Kemiripan nama
dengan Persagi (Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia)
tampaknya bukan tak disengaja. Namun, berbeda dari masa
Persagi 40 tahun yang lalu, saat kata gambar dipakai karena
kata lukisan belum jamak, PERSEGI justru mengusung gambar
sebagai medium tersendiri. Dengan kata lain, organisasi ini
berpendapat bahwa gambar sebagai medium tidak kalah nilainya
dibanding lukisan. Tempo (8 April 1978) menyambut positif
eksperimen dan kegembiraan bermain yang terpancar dari
karya-karya dalam pameran ini, termasuk milik dua pengajar
LPKJ, Syahrinur Prinka dan Wagiono.
PARTISIPASI • MAHASISWA • PERTUNJUKAN • DRAMA MUSIKAL
Ugo Haryono
Sutradarai Drama
Musikal Mencari Taman
8–9 APRIL 1978
17.00 WIB & 10.00 WIB
TEATER TERTUTUP TIM
Hampir seluruh bagian dari drama semi
operet ini disisipkan musik. Ceritanya
mengisahkan kerinduan akan alam di kota
yang terindustrialisasi: bising oleh mesin
pabrik, kapal terbang, dan kendaraan
bermotor, serta sarat polusi. Di tengah
keadaan itu, seorang anak bernama
Kasih, dan teman-temannya, mencari
dan menemukan sebuah taman bernama
Sorgaloka. Di sana mereka bermain
sepuasnya hingga orang-orang dewasa
di kota menyadari hilangnya anak-anak
kecil. Naskah ini merupakan karya Noorca
Marendra, pemenang Penulisan Naskah
Drama Direktorat Pembinaan Kesenian
tahun 1978. Mahasiswa Akademi Musik
LPKJ, Ugo Haryono, menjadi pengarah
musiknya.
PENYELENGGARA
Grup Kelompok Baru
KOLABORATOR
Kelompok Musik Yerusalem
PENDUKUNG
PKJ TIM
PEMAIN
Norman Sophan, Ugo
Haryono, siswa-siswa
SMPN IX, dll.
Ilustrasi foto pada kalender
acara TIM mengenai pagelaran
tersebut.
ACARA • PAMERAN • SENI RUPA • SENI GRAFIS
Pameran
Seni Grafis Belanda
20–27 APRIL 1978
16.00 WIB
BALAI SENI RUPA LPKJ
Pameran diselenggarakan sebagai
sumbangan bagi seni grafis di Indonesia.
Setidak-tidaknya, menurut panitia,
sebagai perbandingan seni grafis antara
dua negara.
PENGGAGAS
LPKJ
PENYELENGGARA
LPKJ dan Erasmus Huis
PENDUKUNG
PKJ TIM
78 KONTRIBUSI 50 TAHUN INSTITUT KESENIAN JAKARTA
PARTISIPASI • DOSEN & MAHASISWA • PAMERAN • SENI RUPA • SENI LUKIS
Turut Mewarnai Pameran
Bengkel Pelukis Jakarta
1978
25–30 APRIL 1978
RUANG PAMERAN TIM
PENYELENGGARA
DKJ dan Bengkel Pelukis
Jakarta
PENDUKUNG
PKJ TIM
JUMLAH PARTISIPAN
45 pelukis
Bengkel Pelukis Jakarta dibentuk sebagai wadah bagi pelukis
muda Jakarta pada 1974. Pernah terdaftar lebih daripada
seratus orang sebagai anggota,