Chapter II.pdf - USU Institutional Repository - Universitas Sumatera ...
Chapter II.pdf - USU Institutional Repository - Universitas Sumatera ...
Chapter II.pdf - USU Institutional Repository - Universitas Sumatera ...
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
BAB <strong>II</strong><br />
TINJAUAN UMUM TERHADAP KELOMPOK, OTAKU, DAN<br />
MANGA (KOMIK JEPANG)<br />
2.1. Masyarakat Jepang Sebagai Masyarakat Kelompok<br />
Dalam masyarakat mungkin terdapat perbedaan-perbedaan besar dalam<br />
penekanan relatif yang diberikan pada individu dan kelompok. Menurut<br />
Suryohadiprojo (1982 : 42), bahwa sifat Jepang yang menonjol adalah peranan<br />
kelompok dalam kehidupan masyarakat. Besarnya peranan kelompok dalam<br />
kehidupan masyarakat, sebenarnya tidak hanya terdapat pada bangsa Jepang, karena<br />
pada umumnya terdapat juga pada umat manusia yang belum terkena individualisme.<br />
Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa masyarakat Jepang menganut paham sosialis<br />
daripada individualis, dimana penekanan kelompok jauh lebih berperan.<br />
Masyarakat Jepang merupakan masyarakat yang menganut paham kelompok<br />
(shuudan shugi). Pengertian shuudan shugi menurut kamus Nihonggo Daijiten<br />
(1989) yaitu merupakan pembentukan susunan atau formasi suatu status yang<br />
disatukan oleh keinginan dalam suatu kelompok yang mengatur berbagai tuntutan<br />
dari tiap individu yang dilaksanakan oleh sebagian besar masyarakat yang menganut<br />
ideologi kelompok. Dapat dikatakan kalau masyarakat Jepang jauh lebih terbiasa<br />
dalam bertindak secara berkelompok dibandingkan masyarakat negara lainnya,<br />
seperti negara Barat atau Amerika.<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
Kebanyakan orang Jepang akan merasa puas sekali dapat menyesuaikan<br />
pakaian, tingkah laku, gaya hidup, dan bahkan pikiran pada norma-norma kelompok<br />
mereka. Afliasi kelompok di Jepang penting sekali, tetapi orang Jepang cenderung<br />
untuk menekankan hal ini dengan berusaha menafsirkan segala sesuatu dari sudut<br />
pandangan yang sama seperti halnya kerja sama (habatsu) kelompok yang bersifat<br />
pribadi dalam politik, hubungan antar kekeluargaan (ie), hubungan akademis<br />
(gakubatsu), perlindungan pribadi dan rekomendasi-rekomendasi. Mereka ingin<br />
menekankan, bahwa yang menentukan bukanlah kemampuan seseorang, tetapi<br />
koneksi seseorang.<br />
Penekanan pada kelompok mempunyai pengaruh yang merasuk ke dalam<br />
gaya hidup Jepang terutama hubungan antar pribadi di Jepang. Sehingga orang<br />
merasa bahwa bangsa Jepang terutama cenderung berkelompok. Ini merupakan<br />
fenomena yang cukup umum terjadi, terutama terlihat bila suatu masyarakat ditinjau<br />
dari luar, tetapi tampaknya lebih kuat di Jepang daripada di banyak tempat lain.<br />
Untuk melaksanakan sistem kelompoknya dengan berhasil, orang Jepang<br />
berpendapat sebaiknya menghindari konfrontasi terbuka. Dengan kata lain, setiap<br />
konflik tajam terjadi maka dikemukakan secara tidak langsung atau hanya berupa<br />
implikasi samar-samar sehingga keharmonisan kelompok tetap terjaga. Kalau ada<br />
perbedaan pendapat, selalu diusahakan kompromi atas dasar makeru ga kachi<br />
(mengalah untuk menang). Dalam kelompok, kehangatan hubungan merupakan hal<br />
yang amat penting dan seseorang mencari amae atau rasa bersatu dengan sesama<br />
anggota kelompok. Setiap anggota kelompok selalu berusaha untuk tidak<br />
menunjukkan 4 emosi, yaitu kesenangan, marah, kesedihan dan gembira. Disamping<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
itu juga mereka tidak mau kelihatan atau dirasakan sebagai menguasai anggota lain.<br />
Dalam suatu masyarakat yang sangat homogen seperti Jepang, bentuk-bentuk<br />
komunikasi non-verbal demikian lebih menguntungkan dalam mempertahankan<br />
kesetiakawanan kelompok. Dapat dikatakan bahwa kecendrungan Jepang untuk<br />
menekankan pada kelompok, sedikit banyak mengorbankan individu.<br />
Pada mayoritas orang Jepang, hidup dalam kelompok berarti menjaga suasana<br />
kelompok tersebut, dan suasana ini dianggap penting daripada prinsip yang harus<br />
dipertahankan.<br />
Kelompok-kelompok dari setiap jenis berlimpahan di seluruh masyarakat<br />
Jepang dan biasanya memainkan peranan yang lebih besar dan memberikan lebih dari<br />
sekedar perasaan identifikasi diri kepada setiap individu dalam kelompok. Bagi orang<br />
Jepang keberhasilan kelompok mereka memberikan suatu kepuasan tersendiri dalam<br />
setiap jiwa individunya.<br />
Dikarenakan telah merasuk ke dalam gaya hidup orang Jepang untuk<br />
berperilaku sama dengan satu kelompoknya. Jika ada saja salah satu individu yang<br />
berbeda maka mungkin dianggap aneh dan akan dikucilkan. Contohnya, para otaku<br />
yang memang memiliki “gaya” berbeda dibandingkan orang Jepang pada umumnya,<br />
baik dari penampilan maupun selera atau hobinya. Dikarenakan memiliki identitas<br />
yang berbeda itulah maka para otaku tersebut membentuk kelompok mereka sendiri.<br />
Dengan membentuk kelompok baru, maka mereka tetap dalam suatu kelompok.<br />
Dapat dikatakan, walaupun tersingkir dari masyarakat umum, mereka kemudian<br />
membentuk komunitas atau kelompok sendiri. Sehingga mereka tetap dalam jalinan<br />
kelompok itu sendiri.<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
2.2. Sejarah dan Perkembangan Otaku di Jepang<br />
2.2.1. Latar Belakang Lahirnya Istilah Otaku di Jepang<br />
Otaku (オタク) adalah istilah untuk menyebut orang yang tergila-gila<br />
terhadap budaya visual modern Jepang yaitu misalnya komik jepang (manga), anime,<br />
game,dan lain-lain.<br />
Kata otaku (お宅) sendiri berarti “rumahmu” atau “kamu” (お宅) dan<br />
mempunyai konotasi formal. Tetapi sejak tahun 80-an, kata “otaku” dipakai dalam<br />
makna lain. Awalnya adalah ketika kalangan penggemar anime dan manga (komik)<br />
ketika bertemu dan saling menyapa, “お宅 の コレクション を<br />
見てもいいですか。” (Bolehkah saya melihat koleksi kamu?) dengan<br />
menggunakan bahasa yang sopan. Agar dapat membedakan kata “otaku” (お宅)<br />
sebagai kata ganti orang kedua tersebut dengan istilah untuk menyebut penggemar<br />
subkultur manga dan anime maka istilah otaku dituliskan dengan memakai huruf<br />
katakana sehingga menjadi オタク.<br />
Istilah otaku awalnya berasal dari creator Macross (1982) yaitu Shoji<br />
Kawamori dan Haruhiko Mikimoto yang bekerja di studio Nue. Karena keduanya<br />
belajar di <strong>Universitas</strong> Keio yang terkenal sebagai institusi pendidikan terhormat,<br />
mereka menggunakan kata otaku untuk saling menyapa. Kemudian staff Studio Nue<br />
juga turut menggunakan sapaan otaku, sehingga menular ke kalangan fans Macross.<br />
Tahun 1983, istilah otaku untuk menyebut fans digunakan dalam artikel<br />
Otaku no kenkyu dalam majalah Manga Burikko yang ditulis oleh jurnalis Akio<br />
Nakamori. Ia menyebut fans sebagai otaku-zoku (generasi otaku) dan menulis bahwa<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
otaku itu anti sosial, tertutup dan aneh.<br />
Pada waktu itu, masyarakat umum sama sekali belum mengenal istilah otaku.<br />
Media massa yang pertama kali menggunakan istilah otaku adalah radio Nippon<br />
Broadcasting System yang mengangkat segmen Otakuzoku no jittai<br />
(おたく族の実態) situasi kalangan otaku) pada acara radio Young Paradise. Istilah<br />
Otakuzoku (secara harafiah: suku Otaku) digunakan untuk menyebut kalangan otaku,<br />
mengikuti sebutan yang sudah ada untuk kelompok anak muda yang memakai<br />
akhiran kata "zoku," seperti Bōsōzoku dan Takenokozoku.<br />
Istilah "otaku" dalam arti sempit awalnya hanya digunakan di antara orang-<br />
orang yang memiliki hobi sejenis yang membentuk kalangan terbatas seperti<br />
penerbitan Dōjinshi(同人誌). Belakangan ini, istilah otaku dalam arti luas sering<br />
dapat mempunyai konotasi negatif atau positif bergantung pada situasi dan orang<br />
yang menggunakannya. Istilah otaku secara negatif digunakan untuk penggemar<br />
fanatik suatu subkultur yang letak bagusnya tidak bisa dimengerti masyarakat umum,<br />
atau orang yang kurang mampu berkomunikasi dan sering tidak mau bergaul dengan<br />
orang lain. Otaku secara positif digunakan untuk menyebut orang yang sangat<br />
mendalami suatu bidang hingga mendetil, dibarengi tingkat pengetahuan yang sangat<br />
tinggi hingga mencapai tingkat pakar dalam bidang tersebut.<br />
Secara derogatif, istilah otaku banyak digunakan orang sebagai sebutan bagi<br />
"laki-laki dengan kebiasaan aneh dan tidak dimengerti masyarakat umum," tanpa<br />
memandang orang tersebut menekuni suatu hobi atau tidak. Anak perempuan di<br />
Jepang sering menggunakan istilah otaku untuk anak laki-laki yang tidak populer di<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
kalangan anak perempuan, tapi sebaliknya istilah ini tidak pernah digunakan untuk<br />
perempuan. Berhubung istilah otaku sering digunakan dalam konteks yang<br />
menyinggung perasaan, penggunaan istilah otaku sering dikritik sebagai praduga atau<br />
perlakuan diskriminasi terhadap seseorang.<br />
Istilah otaku juga identik dengan sebutan Akiba Kei yang digunakan untuk<br />
laki-laki yang berselera buruk dalam soal berpakaian. Sebutan Akiba Kei berasal dari<br />
gaya berpakaian laki-laki yang lebih suka mengeluarkan uang untuk keperluan hobi<br />
di distrik Akihabara, Tokyo daripada membeli baju yang sedang tren. Sebutan lain<br />
yang kurang umum untuk Akiba-Kei adalah A-Boy atau A-Kei, mengikuti istilah B-<br />
Boy (B-Kei atau B-Kaji) yang sudah lebih dulu ada untuk orang yang meniru<br />
penampilan penyanyi hip-hop berkulit hitam.<br />
2.2.2. Perkembangan dan Lahirnya Kelompok Otaku di Jepang<br />
Sebelum istilah otaku menjadi populer di Jepang, sudah ada orang yang<br />
disebut "mania" karena hanya menekuni sesuatu dan tidak mempunyai minat pada<br />
kehidupan sehari-hari yang biasa dilakukan orang. Di Jepang, istilah otaku sering<br />
digunakan di luar konteks penggemar berat anime atau manga untuk menggantikan<br />
istilah mania, sehingga ada istilah Game-otaku, Gundam-otaku (otaku mengenai<br />
robot Gundam), Gunji-otaku (otaku bidang militer), Pasokon-otaku (otaku<br />
komputer), Tetsudō-otaku (otaku kereta api alias Tecchan) dan lain-lain.<br />
Para Otaku tersebut membentuk kelompok-kelompok tersendiri berdasarkan<br />
kesukaan atau hobi yang sama. Mereka berkumpul baik secara langsung maupun<br />
tidak langsung (dari internet) dan membentuk suatu komunitas yang memiliki tujuan<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
dan keinginan yang sama.<br />
Diantara banyaknya kelompok otaku tersebut, komunitas otaku manga dan<br />
anime di Jepang saat ini cukup besar kalau melihat dari tingkat pasar penggemar<br />
manga dan anime. Dapat dikatakan komunitas otaku ini di Jepang dapat terlihat dari<br />
banyaknya kelompok otaku manga dan anime yang bermunculan dalam masyarakat<br />
Jepang saat ini.<br />
2.2.3. Jenis-jenis Otaku di Jepang<br />
• Manga ota. Orang-orang yang suka membaca manga dan mengoleksi manga.<br />
• Seiyuu ota. Seiyuu adalah pengisi suara dari anime. Orang-orang yg<br />
tergolong ini mampu mengenali seiyuu hanya dari mendengar suaranya.<br />
• Tetsudou (Railroad) ota. Ada 2 tipe dari otaku ini, noritetsu: orang yang<br />
memiliki hobi melakukan perjalanan menggunakan kereta, dan toritetsu:<br />
orang yang memiliki hobi mengambil foto dari kereta. Untuk hal ini masih<br />
belum memungkinkan di Indonesia karena perkeretaapian di Indonesia belum<br />
bisa tergolong memiliki daya tarik.<br />
• Idol ota. Berlawanan dengan anime ota, Idol ota tertarik terhadap 3 dimensi<br />
(sanjigen) ketimbang 2 dimensi (nijigen). Mereka biasanya mengambil foto-<br />
foto idolanya menggunakan camera.<br />
• Figure ota. Orang-orang yang mengoleksi action figure. Ada 2 tipe, yang<br />
pertama adalah yg mengoleksi figure-figure yang lebih mahal, dan yang<br />
kedua yang suka mengoleksi gachapon/gashapon (gachapon adalah figure<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
kecil atau trading figure).<br />
• Cosplay ota. Orang-orang yang suka menggunakan pakaian seperti karakter<br />
anime/game.<br />
• Maid ota. Juga dikenal sebagai meidosuki. Orang-orang ini menyukai orang<br />
yang berpakaian dan bertindak seperti seorang maid (pelayan dari abad<br />
pertengahan di Eropa).<br />
• Eroge ota. Eroge artinya erotic game. Orang-orang yang tergolong dalam<br />
otaku ini menyukai permainan erotic game (game porno). Umumnya game-<br />
game seperti ini bisa didapat di Jepang.<br />
• Anime ota. Orang-orang yang suka dengan segala hal berhubungan anime.<br />
• Pasocon ota. Orang-orang yang suka dengan segala hal yang berhubungan<br />
dengan komputer. Atau juga dikenal sebagai computer freak.<br />
• Game ota. Orang-orang yang suka bermain game, tapi bukan yang tergolong<br />
erotic game. Orang-orang ini merupakan gamer-gamer yang sering<br />
menghabiskan waktunya bermain game online maupun offline, dan juga<br />
game-game console.<br />
• Gunji ota. Orang-orang yang suka dengan segala hal yang berhubungan<br />
dengan militer: seragam militer, mainan militer dan lain-lain.<br />
2.2.4. Generasi-generasi Otaku<br />
• Otaku generasi pertama (kelahiran paruh pertama tahun 1960-an)<br />
Otaku generasi pertama dibesarkan sebagai penggemar fiksi sains di saat<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
masyarakat umum masih mengganggap anime sebagai konsumsi anak-anak.<br />
Gekiga yang dimaksudkan sebagai bacaan orang dewasa lalu mulai dikenal<br />
secara luas. Otaku generasi pertama juga mulai ikut-ikutan membaca Gekiga.<br />
Di Jepang, generasi kelahiran tahun 1960-an disebut generasi Shinjinrui<br />
(Generation X) yang sewaktu kecil takjub dengan monster yang bisa berubah<br />
bentuk dan menyenangi Tokusatsu.<br />
• Otaku generasi <strong>II</strong> (kelahiran sekitar tahun 1970-an)<br />
Otaku generasi ini, di masa kecil membaca Space Battleship Yamato, Mobile<br />
Suit Gundam yang nantinya menjadi bekal penting untuk menjadi otaku.<br />
Masyarakat Jepang mulai menerima kehadiran otaku. Sebagian otaku generasi<br />
<strong>II</strong> tidak bisa membedakan antara dunia fiksi sains dengan alam nyata,<br />
misalnya Gundam-otaku (Gun-ota). Permainan video dekade 1980-an juga<br />
menjadi kegemaran otaku generasi <strong>II</strong>. Pada saat yang sama, masyarakat mulai<br />
menaruh praduga terhadap otaku akibat kasus pembunuhan heboh dengan<br />
pelaku seorang otaku. Di kalangan anak sebaya, otaku mulai mendapat<br />
perlakuan diskriminasi.<br />
• Otaku generasi <strong>II</strong>I (kelahiran sekitar tahun 1980-an)<br />
Otaku generasi ini, di masa kecil membaca Neon Genesis Evangelion, otaku<br />
generasi <strong>II</strong>I sekarang menjadi inti gerakan Sekai Kei. Anak-anak dari otaku<br />
generasi I mulai menjadi otaku sehingga citra negatif otaku semakin<br />
berkurang dan otaku hanya dianggap sebagai salah satu hobi. Di kalangan<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
otaku generasi <strong>II</strong>I, kecenderungan Moé (istilah untuk menyebutkan suatu<br />
keadaan sedang berfantasi seksual) sudah menjadi istilah yang disepakati<br />
bersama, sekaligus sebagai prinsip dan tujuan. Otaku generasi <strong>II</strong>I makin<br />
tenggelam di dalam dunia yang digambarkan manga, dan bahkan sampai<br />
menyenangi High Culture (istilah untuk mneyebutkan kebudayaan yang<br />
diciptakan oleh manga dan anime) yang ada di dalamnya.<br />
2.3. Gambaran Kehidupan Sosial dan Perilaku Para Otaku di Jepang<br />
2.3.1. Kehidupan Sosial para Otaku di Jepang dengan Lingkungan Sosialnya<br />
2.3.1.1. Kehidupan Sosial para Otaku dengan Sesama Otaku<br />
Kebiasaan orang Jepang untuk masuk dalam suatu kelompok juga terdapat<br />
dalam komunitas otaku di Jepang. Hal itu dapat terlihat dari berbagai macam jenis<br />
kelompok otaku yang ada di Jepang. Persamaan yang ada dalam diri mereka menjadi<br />
asal mula pembentukan kelompok otaku tersebut.<br />
Para Otaku dalam kehidupan sosialnya kurang dapat terlihat secara langsung.<br />
Mereka lebih suka berkumpul secara tidak langsung seperti dalam dunia maya<br />
(misalnya, internet). Mereka menggunakan jaringan elektronik, karena media itulah<br />
yang membuat mereka tetap bisa tinggal di rumah, sekaligus memampukan mereka<br />
untuk bertemu dengan orang-orang serupa tanpa perlu kontak fisik. Mereka lebih<br />
dapat terbuka tanpa kontak secara langsung. Biasanya mereka membentuk suatu<br />
komunitas yang memiliki persamaan hobi. Dalam suatu komunitas tersebut, mereka<br />
dapat terbuka dan mulai mengungkapkan jati dirinya. Hal ini dikarenakan mereka<br />
merasa aman membuka diri dalam kelompoknya.<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
Biasanya, otaku menghindari komunikasi langsung, tapi terus menerus dan<br />
secara berlebihan, berkomunikasi melalui berbagai teknologi media. Struktur<br />
pertukaran informasi mereka adalah uwasa (desas-desus) dan kuchi-komi<br />
(komunikasi oral, gosip), komunikasi minor, dan ofu rekoodo (off the record), dan<br />
berbagai jenis permainan, penyebaran melalui jaringan elektronik, dan (pada<br />
akhirnya) diskomunikasi. Penting untuk berbicara, namun tidak penting apa yang<br />
dibicarakan. Karakter dari para otaku adalah bahwa mereka berbicara tanpa konteks<br />
tertentu. Mereka hidup dalam sistem yang merujuk diri sendiri yang tidak perlu<br />
memperhatikan isi. Paling penting dalam kesadaran mereka adalah keberadaan<br />
media.<br />
Pada dasarnya, mereka dapat berkomunikasi hanya dengan otaku yang satu<br />
tipe. Percakapan mereka tidaklah interaktif (artinya saling berbalasan), tapi hanya<br />
untuk memamerkan pengetahuan (informasi) yang mereka punya. Setiap orang<br />
mengkategorikan yang lain dengan kesukaan mereka pada detail-detail tertentu. Jika<br />
dua orang dari mereka menemukan kesukaan yang sama, maka mereka akan menjadi<br />
dekat. Tapi jika tidak, mereka tidak merasa perlu untuk saling bercakap-cakap.<br />
Mereka tidak merasa perlu untuk mempengaruhi orang lain untuk menyukai apa yang<br />
mereka sukai.<br />
Kelompok ataupun komunitas otaku tersebut dapat dikatakan memiliki<br />
hubungan sosial yang hampir sama dengan kebanyakan kelompok lainnya. Hanya<br />
saja mungkin cara mereka bergaul atau bersosialisasi sedikit berbeda. Misalnya,<br />
mereka lebih suka bersosialisasi dengan orang yang memiliki minat dan hobi yang<br />
sama dengan dirinya saja. Jika ada yang memiliki minat sedikit berbeda dari mereka,<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
mungkin akan sedikit sulit bersosialisasi dengan mereka. Para otaku tersebut sangat<br />
menghargai orang yang mau memahami minat mereka terhadap hobinya, dan<br />
biasanya cenderung menutup diri pada orang asing (yang berbeda hobi).<br />
Para otaku di Jepang dalam komunitasnya sangat loyalitas, terutama dalam<br />
saling pemberian informasi yang menyangkut hobi mereka. Mereka akan sangat<br />
menghargai dan menghormati orang yang memiliki sumber informasi mengenai hobi<br />
mereka. Karena itu para otaku tersebut saling berlomba-lomba memperoleh informasi<br />
dan melengkapi koleksi mereka untuk dapat diperlihatkan kepada otaku yang lain.<br />
Sesama otaku tersebut memiliki suatu kesamaan akan sesuatu hal dengan otaku<br />
lainnya, dan mereka mulai akan merasa diterima dalam kelompok tersebut. Sehingga<br />
dapat dikatakan sesama otaku tersebut membentuk komunitas mereka atas dasar<br />
persamaan yang ada dalam diri mereka.<br />
2.3.1.2. Kehidupan Sosial para Otaku dengan yang Non-Otaku<br />
Para otaku dalam kehidupan sosialnya dengan yang non-otaku sedikit sulit<br />
terlihat. Biasanya meraka kurang dapat berkomunikasi satu sama lain, karena terdapat<br />
banyak perbedaan yang ada. Misalnya, dari cara berpakaian, hobi, dan cara pandang<br />
mereka terhadap sesuatu hal berbeda dengan masyarakat kebanyakan.<br />
Kalau melihat dari sudut pandang masyarakat kebanyakan yang memandang<br />
negatif para otaku, maka tidak heran para otaku tersebut sedikit demi sedikit mulai<br />
menjauhi kehidupan bermasyarakat dan mulai membentuk komunitas mereka sendiri.<br />
Para otaku tersebut mulai hidup dalam dunia khayalan yang mereka ciptakan<br />
seperti dalam dunia manga dan anime. Mereka lebih suka hidup dalam dunia<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
khayalan tersebut dikarenakan tidak ada tekanan dari masyarakat dan mereka dapat<br />
lebih berekspresi dalam dunia yang mereka ciptakan sendiri. Hal ini menyebabkan<br />
mereka sedikit sulit memisahkan antara yang mana merupakan khayalan dan yang<br />
mana merupakan kenyataan. Sehingga kecendrungan untuk semakin terpisah dari<br />
yang non-otaku (masyarakat) pun terjadi.<br />
Kehidupan sosial para otaku dengan yang non-otaku tersebut dapat dikatakan<br />
sangat jarang terlihat, walaupun mungkin ada beberapa yang non-otaku dapat<br />
memahami keadaan mereka. Tetapi karena pandangan masyarakat yang sudah<br />
terlanjur memandang negatif para otaku, semakin membuat mereka menjauh<br />
perlahan-lahan dalam kehidupan bermasyarakat secara umum.<br />
2.3.2. Perilaku para Otaku<br />
Kehidupan para otaku mungkin tidak jauh berebeda dari kebanyakan orang<br />
lainnya. Namun perilaku maupun tindakan para otaku tersebut berbeda dengan orang<br />
lainnya. Mereka lebih suka diam di rumah untuk membaca manga dan menonton<br />
anime. Mereka seolah-olah masuk ke dalam dunia khayalan yang diciptakan oleh<br />
anime dan manga tersebut dan ikut terhanyut ke dalam ceritanya. Mereka mulai<br />
merasakan kesenangan yang lebih setelah mereka membaca manga dan menonton<br />
anime. Mereka ingin lepas dari tekanan kenyataan kehidupan yang sebenarnya dan<br />
mulai mencari dunia khayalan yang tidak memaksa dan dapat mereka ciptakan<br />
sendiri.<br />
Para otaku tersebut mulai bersikap seperti apa yang diciptakan oleh manga<br />
dan anime tersebut. Perilaku mereka menjadi sedikit aneh dan menyimpang kalau<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
dilihat oleh masyarakat. Keanehan para otaku tersebut seperti : mereka lebih suka<br />
sesuatu yang abstrak daripada yang konkrit, contohnya, mereka lebih menyukai<br />
figure-figure tokoh anime dibandingkan manusia sebenarnya. Mereka kurang cakap<br />
berkomunikasi dengan orang lain daripada dengan tokoh-tokoh game yang dapat<br />
berbicara dengan mereka.<br />
Perilaku para otaku dinilai aneh oleh masyarakat Jepang yang menganggap<br />
sesuatu hal yang yang dilakukan para otaku tersebut menyimpang dari perilaku<br />
kebanyakan orang. Ada kesan bahwa semua otaku tergila-gila pada teknologi. Namun<br />
sebenarnya, itu bukan berarti mereka semua membenci alam, karena ada otaku untuk<br />
ikan tropis dan fosil. Mereka melakukannya dalam gaya otaku. Dalam hal ini yang<br />
penting adalah sikapnya, bukan yang lain.<br />
2.4. Komik dan Manga (komik Jepang)<br />
2.4.1. Defenisi Komik<br />
Komik adalah cerita bergambar (cergam) yang terdiri dari teks atau narasi<br />
yang berfungsi sebagai penjelasan dialog dan alur cerita (Angkat, 2004). Komik<br />
menurut Marcel Bonnet dalam Angkat (2004) adalah salah satu produk akhir dari<br />
hasrat manusia untuk menceritakan pengalamannya, yang dituang dalam gambar dan<br />
tanda, mengarah kepada suatu pemikiran dan perenungan.<br />
Menurut Will Eisner dalam bukunya Graphic Storytelling, komik adalah<br />
tatanan gambar dan balon kata yang berurutan. Scott McCloud punya pendapat lain<br />
lagi, katanya dalam buku Understanding Comics, komik didefinisikan sebagai<br />
gambar yang menyampaikan informasi atau menghasilkan respon estetik pada yang<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
melihatnya. Ada juga yang menyebut komik sebagai cerita bergambar, gambar yang<br />
dinarasikan, kisah ilustrasi, picto-fiksi dan lain-lain.<br />
2.4.2. Sejarah Komik<br />
Sejarah munculnya komik masih menjadi perdebatan. Menurut Scot McCloud<br />
komik bisa jadi bermula dari tulisan hiroglyph Mesir, emaki Jepang atau manuskrip<br />
kuno Amerika Tengah. Tapi, menurut Roger Sabin, komik semestinya merupakan<br />
istilah untuk kisah bergambar yang dicetak. Meski demikian, pengertian ini rancu<br />
sebab film animasi juga merupakan kisah bergambar yang dibuat atau dicetak dengan<br />
media tertentu.<br />
Negara Prancis dikenal sebagai pencetus ide-ide komik cemerlang. Sejarah<br />
komik diduga bermula pada masa prasejarah Digua Lascaux, Prancis selatan , yaitu<br />
ditemukannya torehan berupa gambar gambar bison , sejenis banteng atau kerbau<br />
Amerika. Cikal bakal komik ini menurut Marcel Bonnet dalam Angkat (2004) belum<br />
mengandung sandi yang membentuknya menjadi bahasa namun sudah merupakan "<br />
pesan" sebagai upaya komunikasi non verbal paling kuno.<br />
Di Mesir, cerita tentang dewa maut dalam dunia roh terdapat di kuburan raja<br />
Nakht yang ditoreh diatas (kertas) papirus, papirus ini juga sudah dikenal lama oleh<br />
orang Assiria, Siria dan parsi. Selanjutnya " Komik" diatas daun beralih bentuk<br />
Mozaik ( susunan lempeng batu berwarna) di Yunani, karya ini berlangsung hingga<br />
abad ke 4 masehi, pada masa jaman Romawi cerita bergambar berkembang pesat<br />
yang selanjutnya menyebar hampir ke seluruh Eropa.<br />
Menurut penelusuran Sabin, komik paling awal adalah komik cetak karya<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
Francis Barlow berjudul “A True Narrative of the Horrid Hellish Popish Plot”<br />
(1682) dan “The Punishments of Lemuel Gulliver oleh William Hogarth” (1726).<br />
Tapi Eddie Campbell menolak kesimpulan Sabin, sebab menurut Campbell karya dua<br />
penulis itu mestinya digolongkan pada kartun. Sama halnya dengan komik karya<br />
Rowlandson tahun 1782, yang membuat kartun bertema politik dan ditambah narasi.<br />
Karya para kartunis itu lebih tepat disebut gambar yang dinarasikan.<br />
Tahun 1884, komik karya Ally Sloper berjudul Half Holiday dipublikasikan.<br />
Komik ini disebut sebagai komik strip majalah pertama. Berikutnya terbitlah<br />
terobosan baru dunia perkomikan, yakni kemunculan komik berseri dengan tokoh<br />
tetap tahun 1895. Dibuat oleh R.F Outcault, berjudul “Hogan's Alley”. Komik ini<br />
menjadi sangat populer sehingga meningkatkan penjualan koran yang memuatnya.<br />
Hogan's Alley menjadi penanda awal bangkitnya komik Amerika. Semangat<br />
membuat komik menjalar dimana-mana. Para komikus menciptakan berbagai tokoh<br />
cerita yang kemudian jadi populer hingga ke seluruh dunia. Sebut saja “Superman”<br />
yang muncul pertama kali dalam Action Comics#1 tahun 1938.<br />
2.4.3. Sejarah Manga<br />
Manga merupakan istilah untuk komik Jepang. Berbeda dengan komik<br />
Amerika, manga biasanya dibaca dari kanan ke kiri, sesuai dengan arah tulisan kanji<br />
Jepang.<br />
Komik Jepang yang paling tua dan terkenal pertama kali ditemukan di gudang<br />
Shooshooin di Nara yang memperlihatkan berbagai ekspresi wajah manusia dengan<br />
mata yang keluar dan melorot dalam bentuk Fusakumen. Karya yang lain yaitu<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
disebut Daidaron, menggambarkan mata yang terbelalak dan orang berjenggot.<br />
Selain itu pada langit-langit di Kondoo (gedung utama) kuil Buddha Hooryuuji pada<br />
abad ke-7 dan pada panggung bangunan Brahma dan Indra di kuil Tooshoodaiji pada<br />
abad ke-8, dimana dalam gambar komik ini terdapat unsur-unsur religius dan nilai-<br />
nilai tradisi. Sedangkan di gedung Phoenix kuli Byoodooin, tercatat arsitektur zaman<br />
Heian (794-1185), yang pada saat itu ditemukan sejumlah karikatur pengadilan<br />
rendah.<br />
Namun ada juga yang menyebut manga pertama kali muncul abad 12 (pada<br />
akhir zaman Heian) dimana manga generasi awal ini bertajuk “Choju Jinbutsu Giga”<br />
karya biksu Toba soojoo yang berisi berbagai gambar lucu hewan dan manusia.<br />
Manga yang dibuat banyak seniman ini memenuhi hampir semua persyaratan manga.<br />
Sederhana, memiliki cerita di dalamnya, dan memiliki gambar artistik.<br />
Pada pertengahan abad ke-12, terdapat gulungan surat bergambar yang<br />
terkenal yang disebut Shigisan Engi Emaki, yang menggambarkan gerakan yang<br />
dinamis. Dalam gambar tersebut terdapat sebuah adegan pendeta Buddha Myoren<br />
membuat sebuah panci ajaib terbang ke udara dan membawa gudang beras orang<br />
kaya ke puncak gunung. Sedangkan pada adegan lainnya, karung-karung beras<br />
terbang keluar dari gudang. Kemudian Bandainagon Ekotoba (akhir tahun 1100-an)<br />
memperlihatkan gerbang utama dari sebuah kuil terkenal yang sedang terbakar<br />
dengan ekspresi wajah dari sekitar seratus orang yang dikejutkan oleh api atau orang-<br />
orang yang melarikan diri, hal ini membuat adegan ini menjadi hidup dan membuat<br />
kita merasa ada diantara mereka. Kedua gambar ini termasuk ke dalam kategori cerita<br />
bergambar (emaki-mono).<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
Kemudian pada zaman Kamakura (1185-1333) seiring dengan perkembangan<br />
agama Buddha, komik juga terlihat yaitu pada gulungan surat bergambar seperti<br />
Jigoku Zooshi dalam bentuk adegan gambar neraka dan Gaki Zooshi dalam bentuk<br />
adegan penderitaan, kedua surat bergambar ini memperlihatkan adegan yang<br />
berhubungan dengan kematian.<br />
Pada zaman Muromachi (1333-1568) ada contoh komik berbentuk cerita<br />
pendek yaitu Otogi Zooshi. Pada masa ini keberanian berimajinasi, daya pikir dan<br />
selera humor yang tinggi sudah terlihat jelas.<br />
Di zaman Edo (1603-1867), pertumbuhan kebudayan popular memberikan<br />
semangat baru dalam komik yang merebut daya tarik lebih besar dalam bentuk buku<br />
cetakan blok kayu, seperti pada lukisan Ootsure-e yang dibuat dengan tekanan kuas<br />
yang kasar, lukisan Toba-e dengan sindirannya terhadap manusia, dan lukisan paham<br />
Kuwagata Keisai (1764-1824) yang dikenal juga sebagai Kitao Masayoshi, serta<br />
Yamaguchi Soken (1759-1818).<br />
Sejarah komik Jepang seutuhnya berawal pada zaman Edo, ketika istilah<br />
manga (komik Jepang) pertama kali digunakan oleh pelukis Ukiyo-e (grafis pahatan<br />
kayu) yang terkenal yaitu Hokusai Katsushika. Ia memproduksi sebuah serial buku<br />
bergambar yang diterbitkan dalam 15 jilid antara tahun 1814 dan 1878. manga ini<br />
berisi lebih dari 4000 ilustrasi. Cara Hokusai menggambarkan gerakan badan<br />
manusia, dan pengamatan ilmiahnya tentang gerakan otot benar-benar terlihat alami<br />
dan nyata, seperti dalam komik Suzume Odori-zu (Dancing Sparrow, Burung Pipit<br />
Sedang Menari, Jilid 3). Yari no Keiko-zu (Spear Throwing Practice, Latihan<br />
Melempar, Jilid 6), dan juga Bureiko-zu (Informal Party, Pesta Tidak Resmi, Jilid 8).<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
Pada zaman showa (1926-1989) yang dikenal juga dengan abad manga anak-<br />
anak, dimana saat itu, manga mulai berkembang pesat. Pada tahun 1989 dalam selang<br />
waktu satu tahun telah diterbitkan sekitar 500 juta manga, 500 juta majalah manga<br />
bulanan, dan 700 juta majalah mingguan manga. Dari prestasi yang dicapai ini Jepang<br />
dapat dikatakan sebagai “Kerajaan Manga”, yang mulai bangkit dalam situasi setelah<br />
melewati masa perang lewat manga anak-anak.<br />
Sebelum dan selama Perang Dunia ke-<strong>II</strong>, para seniman lokal menggunakan<br />
The Japan Punch sebagai media penerbitan yang juga merupakan majalah komik<br />
dengan cerita humor yang dikelola oleh orang-orang Inggris yang tinggal di Jepang,<br />
meskipun awalnya The japan Punch muncul sebagai sindiran politik yang pada saat<br />
itu diawasi dengan ketat oleh pemerintah Jepang.<br />
Berkembangnya tekhnologi produksi manga pada pasca Perang Dunia ke-<strong>II</strong><br />
tidak lepas dari peran serta komikus berbakat Osamu Tezuka (1928-1989). Tezuka<br />
mengubah wajah dunia manga pasca Perang Dunia ke-<strong>II</strong> secara radikal. Ia<br />
menggunakan gaya narasi yang unik dengan komposisi cerita menyerupai novel yang<br />
disebut dengan Story Manga (komik naratif) dengan alur cerita yang naik turun saat<br />
menuju klimaks cerita serta menggunakan tehnik-tehnik seperti pada pembuatan film,<br />
dengan sudut pengambilan gambar yang dinamis dengan penggalan-penggalan<br />
gambar yang tidak beraturan, yang sengaja didesain untuk menggambarkan urutan<br />
gerakan dan membangun ketegangan. Bunyi pun juga diungkapkan dengan huruf<br />
sebagai penggambaran aktifitas bisu dan emosi. Tezuka juga memperkenalkan sistem<br />
produksi manga yang baru, yaitu cara mempercepat produksi serta menjamin<br />
kelangsungan usaha manga. Selain itu juga diperkenalkan tehnik sinematik ke dalam<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
komik tradisional.<br />
Selama tahun 1960-an, seiring dengan meningkatnya pendapatan ekonomi<br />
Jepang, perusahaan penerbitan komik menyadari bahwa pasar untuk buku komik dan<br />
majalah komik telah berkembang dan jumlah komik pun meningkat.<br />
Pada tahun 1963, Tezuka membuat animasi televisi untuk pertama kalinya dan<br />
menjual karakter animasi tersebut untuk menutupi biaya produksi. Karya-karyanya<br />
yang sukses besar di luar negeri antara lain yaitu “Mighty Atom” (Astro Boy) dan<br />
“Jungle Emperor”. Tezuka juga memproduksi kartun versinya sendiri yang berjudul<br />
“Faust”, dan “Dostoyevki’s Crime and Punishment” yaitu menceritakan tentang<br />
kehidupan Buddha serta drama mengenai samurai. Kemudian karya Tezuka tersebut<br />
dibuat dalam lembaran komik yang sangat dihargai sebagai suatu karya seni.<br />
Populernya karya-karya Tezuka memacu munculnya banyak serial animasi<br />
yang berdurasi 30 menit, yang kebanyakan didasarkan pada serial yang diterbitkan<br />
majalah-majalah komik. Sejumlah film animasi telah diterjemahkan ke dalam<br />
berbagai bahasa asing dan disiarkan di berbagai negara.<br />
Tezuka telah meletakkan pondasi bagi industri manga di Jepang pasca Perang<br />
Dunia ke-<strong>II</strong> dan merombak tradisi manga lama. Ia meninggal apada tahun 1989, dan<br />
untuk mengenang jasanya didirikanlah Manga Museum pada tahun 1994 di<br />
Tajarazuka.<br />
2.4.4. Perkembangan Manga di Jepang<br />
Industri manga di Jepang mulai berkembang pesat sejak tahun 1963. Ketika<br />
itu, masyarakat Jepang sudah mampu memenuhi kebutuhannya akan hiburan,<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
termasuk membeli televisi. Dengan adanya televisi mendorong para penerbit dan<br />
produser film memperbaiki indusrti manga lebih baik lagi dengan sasaran untuk dapat<br />
diproduksi sebagai program televisi.<br />
Majalah komik dicetak massal dan dijual di berbagai tempat dengan harga<br />
murah. Karena itu, angka penjualan manga mencapai angka yang cukup besar.<br />
Sepuluh majalah manga mingguan terlaris terjual sekitar satu juta eksemplar. Pada<br />
tahun 1992, penjualan manga mencapai sekitar 540 milyar yen atau sekitar 23% dari<br />
penjualan buku di Jepang.<br />
Manga mempunyai posisi yang sangat tinggi dalam industri penerbitan di<br />
Jepang, karena hampir 1/4% hasil penjualan buku merupakan komik dengan angka<br />
penjualan setiap tahunnya terus meningkat, belum termasuk penjualannya di luar<br />
negeri yang juga laris di pasaran. Meningkatnya angka penjualan manga baik di<br />
Jepang maupun luar negeri membuat industri manga di Jepang memiliki kedudukan<br />
yang sangat kuat.<br />
2.4.5. Pengaruh Manga Terhadap Para otaku<br />
Manga secara langsung maupun tidak, banyak memberikan pengaruh pada<br />
sebagian besar budaya Jepang, mulai dari iklan hingga toko aneka barang yang setia<br />
pada barang-barang dengan merk satu tokoh manga. Bila ada tren baru yang muncul<br />
di media, tren ini segera ditiru oleh yang lain. Artis musik pop dibentuk oleh tren<br />
“mari menjadi tokoh manga” dan kemudian mereka menimbulkan genre baru dalam<br />
manga, animasi dan games. Tentu saja mereka memiliki para otaku tersendiri yang<br />
setia.<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
Manga adalah sebuah pasar besar. Perkiraan total sirkulasi dari semua buku<br />
komik di tahun 1988 adalah 1.758.970.000. Di antaranya ada yang setebal buku<br />
telpon. Komk-komik itu ada di mana-mana, di kereta bawah tanah, di rumah makan,<br />
dan di toko buku. Serial-serial yang sukses diterbitkan kembali dalam versi buku,<br />
juga dengan penjualan dalam jutaan eksemplar, selain juga menjadi serial animasi di<br />
televisi dan video-games. Yang paling tinggi tingkat sirkulasinya, yakni “Shonen<br />
Jump”, terjual 5 juta eksemplar setiap minggu. Menurut Yamazaki dalam artikel<br />
Volkar Grassmuck (Desember 1990) “sendirian tapi tak kesepian”, majalah komik ini<br />
adalah majalah yang paling bersifat otaku, memuat banyak kekerasan, mekanik,<br />
fantasi, dan atau kombinasi dari ketiga hal tersebut, misalnya “Gundam” atau<br />
“Ultraman”.<br />
Di balik manga komersial atau di ‘bawah tanah’, kalau ingin disebut<br />
demikian, kita bisa menemukan manga yang dibuat oleh otaku. Manga-manga ini<br />
diproduksi dalam jumlah kecil untuk diedarkan dan dipertukarkan dalam comiket<br />
(comic market, pasar komik) atau lewat pos, dan untuk yang lebih sukses, manga-<br />
manga ini muncul di toko buku komik seperti Takaoka di daerah Kanda, atau Manga<br />
no Mori di daerah Shinjuku. Toko buku Shozen di Kanda merupakan satu tempat lagi<br />
di mana setiap sabtu siang segerombolan otaku memakai baju jeans atau seragam<br />
sekolah berjalan sambil menebar kesan yang membuat orang lain tidak enak,<br />
menerobos gang sempit di antara rak-rak buku di toko yang penuh pengunjung,<br />
dengan diam membuka-buka lembaran komik dan majalah penggemar artis, buku<br />
soft-porno dan games, CD musik games, Dragon Quest dan patung-patung plastik<br />
tokoh komik, kartu telepon bergambar tokoh manga dan artis populer, poster, dan<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
inatang-binatang warna warni penuh ornamen.<br />
Dalam banyak kasus, manga seperti itu merupakan hibrida atau mutasi genre<br />
dari beberapa model komersial yang ada. Mereka menunjukkan sikap “plagiarisme”<br />
yang ceria, yang bahkan tidak berusaha untuk menjadi orisinal. Satu-satunya aspek<br />
yang betul-betul “orisinal” dari mereka adalah manga karya otaku ini memuat gambar<br />
dari bagian-bagian organ seksual tanpa sensor, dan ini sangat berbeda dengan manga-<br />
manga yang dapat dibeli di toko minimarket yang buka 24 jam. Jepang mewajibkan<br />
sensor bagi setiap helai rambut di daerah kemaluan ketika akan ditampilkan di film<br />
atau di media cetak. Sensor berupa ditutup atau diburamkan. Di negara yang seperti<br />
ini, manga-manga amatiran yang menampilkannya secara terang-terangan dapat<br />
dikatakan revolusioner.<br />
2.5. Riwayat Hidup Kio Shimoku dan Karyanya<br />
Kio Shimoku (木尾士目) adalah seorang komikus Jepang yang lahir di Jepang<br />
pada tahun 1974. Kio Shimoku memulai debutnya sebagai mangaka (pengarang<br />
manga) pada tahun 1994. Karya-karya Kio Shimoku antara lain : Ten no Ryoiki<br />
(1994) yang berhasil memenagkan kontes “Afternoon Shiki Prize” sebagai juara<br />
kedua, selain itu karyanya yang lain yaitu Kagerounikii, Yonensei, dan Gonensei<br />
diterbitkan di majalah Afternoon Magazine, setelah itu dia membuat manga<br />
Genshiken (2002), Kujibiki Umbalance (2006), Digopuri (2008).<br />
Kio Shimoku dalam wawancara PWCW (Publisher Weekly Comics Week)<br />
menyatakan dirinya sendiri juga adalah seorang otaku, dan ia ingin agar masyarakat<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
(khususnya di Jepang) dapat memahami dan menerima bagaimana sebenarnya<br />
kehidupan para otaku di Jepang, terlepas dari pandangan negatif masyarakat terhadap<br />
komunitas otaku tersebut. Kio Shimoku juga percaya bahwa para otaku tidak akan<br />
menjadi kelompok minoritas kalau terlalu tidak mendapat tekanan dari dunia yang<br />
memandang mereka dengan “aneh”.<br />
2.6. Defenisi dan Studi Sosiologi Sastra<br />
Sosiologi sastra berasal dari dua kata, yaitu sosiologi dan sastra. Sosiologi<br />
berarti ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antar<br />
manusia dalam masyarakat. Sedangkan sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar.<br />
Namun lebih spesifik lagi setelah sastra terbentuk menjadi kata jadian, yaitu<br />
kesusasteraan, yang artinya kumpulan hasil karya yang baik (Ratna, 2003 : 1).<br />
Menurut Nyoman (2003 : 25-26), studi sosiologis didasarkan atas pemahaman<br />
bahwa setiap fakta kultural lahir dan berkembang dalam kondisis-kondisi sosial<br />
historis tertentu. Sistem produksi karya seni, karya sastra khususnya, dipandang<br />
sebagai akibat hubungan-hubungan bermakna interaksi antar individu di satu pihak,<br />
hubungan-hubungan bermakna individu dan kelompok dengan struktur sosial di<br />
pihak lain. Sistem produksi karya sastra dengan sendirinya tidak hanya didasarkan<br />
atas linear antara pengarang, penerbit, patron, dan masyarakat pembaca pada<br />
umumnya, melainkan juga tradisi dan konvensi sebagai literenya. Tambahan lagi,<br />
Nyoman (2004 : 60) menyatakan bahwa dasar filosofis pendekatan sosiologis adalah<br />
adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat.<br />
Di dalam masyarakat, salah satu kondisi sosiohistoris yang menjadi fakta<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
kultural terwujud adanya stratifikasi sosial, yang merupakan pembedaan posisi<br />
seseorang atau kelompok dalam kedudukan yang berbeda-beda secara vertikal.<br />
Adanya sistem lapisan masyarakat ini dapat terjadi dengan sendirinya dalam proses<br />
pertumbuhan masyarakat itu sendiri. Tetapi ada pula yang dengan sengaja diciptakan<br />
untuk mengejar suatu tujuan bersama. Alasan yang dipakai tiap-tiap masyarakat<br />
mungkin saja berbeda.<br />
Menurut Basrowi (2005 : 62) berpendapat bahwa dasar atau kriteria umum<br />
yang dipakai untuk menggolongkan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan<br />
antara lain berdasarkan kekayaan, kekuasaan, kehormatan, dan ilmu pengetahuan.<br />
Tambahan lagi, menurut Soekanto (1990 : 248), lapisan masyarakat yang sengaja<br />
diciptakan juga dapat timbul karena perbedaan kemampuan individu, perbedaan yang<br />
menyangkut kesukaran untuk melakukan bermacam jenis pekerjaan, perbedaan<br />
kepentingan dari masing-masing jenis pekerjaan, keinginan pada kedudukan yang<br />
formal sebagai alat sosial atau alat organisasi, serta kebutuhan akan perlindungan<br />
bagi seseorang.<br />
Dalam komik Genshiken, Kio Shimoku banyak memasukkan adanya<br />
pembentukan kelompok-kelompok sosial dalam hal ini kelompok otaku dengan<br />
kelompok lainnya. Dimana fakta-fakta sosial tersebut dapat menjadi sebuah<br />
sosiohistoris bagaimana sebenarnya kehidupan para otaku tersebut. Dimana<br />
kelompok otaku dalam komik ini memiliki kehidupan sosial dalam kelompok yang<br />
mereka ciptakan.<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara