RH7yFQ
RH7yFQ
RH7yFQ
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
menguasai mayoritas kursi di parlemen lokal dan posisi gubernur/wakil<br />
gubernur, mereka memiliki kesempatan untuk mendorong kejahatan<br />
masa lalu dengan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi<br />
(KKR) Aceh. Akan tetapi apa yang terjadi? Hingga kini KKR Aceh<br />
belum terbentuk dengan dalih ketiadaan dasar legalitasnya.<br />
Terdapat dua skema utama yang selama ini dikenal luas kerangka<br />
penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia berat. Pertama, melalui<br />
pengadilan hak asasi manusia, dan jalur kedua lewat komisi kebenaran<br />
dan rekonsiliasi. Zainal Abidin dari ELSAM menguraikan kedua<br />
mekanisme tersebut dengan becermin pada proses penyelesaian<br />
kejahatan hak asasi manusia di negara-negara lain.<br />
Indonesia mengenal dua mekanisme penyelesaian tersebut,<br />
hanya saja untuk penyelesaian melalui KKR tidak pernah terjadi. Komisi<br />
ini bahkan tak pernah ada dan dasar hukum pembentukannya dianulir<br />
oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006. Sementara pengadilan hak asasi<br />
manusia telah dijamin keberadaannya lewat UU No. 26 tahun 2000<br />
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.<br />
Bila terkait dengan kasus sebelum UU disahkan, mekanismenya<br />
lewat pembentukan pengadilan HAM Adhoc. Untuk kasus sesudahnya<br />
lewat pengadilan HAM biasa. Untuk pembentukan Pengadilan HAM<br />
Adhoc harus ada rekomendasi dari DPR dan pembentukannya berdasar<br />
Keputusan Presiden. Bisa dibayangkan betapa berlikunya mekanisme<br />
penyelesaian kejahatan hak asasi manusia masa lalu di negara ini.<br />
Menurut Hajriyanto Thohari, wakil ketua Majelis<br />
Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan segala kerumitan yang ada,<br />
pembentukan UU KKR sebagai sarana untuk penyelesaian kejahatan<br />
masa lalu perlu didorong kembali.<br />
Ada banyak kasus yang niscaya saat ini sedang ditunggu<br />
kepastian penyelesaiannya oleh para korban. Menurut Irawan Saptono<br />
(2002), dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia, terdapat tiga tipologi<br />
korban yang perlu dilihat dalam menjamin keadilan mereka yang<br />
terlanggar haknya. Satu, mereka yang masuk klasifikasi korban langsung.<br />
Dua, korban tak langsung yang biasanya menderita psikis dan emosi<br />
yang berat. Dan ketiga, para aktivis yang turut diculik karena<br />
memperjuangkan pengungkapan kejahatan hak asasi manusia.<br />
5