Hikayat Tanah Hitu.pdf - Zoomshare

Hikayat Tanah Hitu.pdf - Zoomshare Hikayat Tanah Hitu.pdf - Zoomshare

amalatu.zoomshare.com
from amalatu.zoomshare.com More from this publisher
20.01.2013 Views

Sifar Ar-Rijal (Imam Rijali) Sumber source: www.anu.edu.au

Sifar Ar-Rijal (Imam Rijali)<br />

Sumber source: www.anu.edu.au


Sejarah adalah perkembangan penentuan ide diri,<br />

perjalanan perkembangan diri dalam roh. karena roh<br />

hakekatnya bebas,maka sejarah adalah perjalanan<br />

kebebasan.(Hegel)


(potongan seperti dari sumber)Empunya tanah, karena ia dari mulanya<br />

datang. Itulah kesudahan bangsya Ambon. Alkissah peri<br />

mengatakan bangsya Jawa. Maka diceriterakan oleh yang<br />

empunya ceritera tatkala raja Tuban dinaikan kerajaan, maka<br />

tiada ia bersettia dan muafakat dengan kaum kulawarganya.<br />

Maka suatu kaum dua bersyaudara, seorang kiyai Tuli namanya<br />

dan seorang kiyai Dau namanya, dan seorang syaudaranya<br />

perempuan, nyai Mas namanya, ia naik serta kelengkapannya<br />

membawah dirinya mencari tempat kedudukannya. Hatta dengan<br />

kehendak Tuhan Yang Mahatinggi dibawah oleh angin dan arus<br />

datang ke tanah <strong>Hitu</strong>. Ia masuk dalam labuan Husekaak namanya.<br />

Maka tiada melihat negeri dan tiada manusyia, lalu turun daripada<br />

kelengkapannya, naik ke darat membuat negeri akan<br />

kedudukannya.Hatta demikian itu keluar seekor anjing, maka<br />

orang itu dikatakan: ‘Ada anjing, adalah lagi manusyia; jikalau<br />

ada manusyia, ada juga negeri.’ Lalu ditangkap anjing itu,<br />

digantungkan suatu bungkusan di atas leher anjing itu. Ada pun<br />

dalam bungkusan itu serba sedikit daripada alamat negerinya.<br />

Lalu dilepaskan anjing itu pulang ke negeri kepada tuannya. Maka<br />

apalah* dilihat tuannya bungkusan itu, maka ia melihat alamat<br />

serba sedikit itu. Maka ia berkata kepada orang sekalian: ‘Ada<br />

juga manusyia di pantai itu.’ Maka ia mengambil buah-buahan<br />

akan tanda alamat negerinya, lalu digantung kepada leher anjing<br />

itu, dilepaskan pulang keluar ke pantai. Maka dilihat oleh orang<br />

itu, maka kata orang itu: ‘Marilah kita pergi periksyai kepada<br />

negeri itu’, lalu ia berjalan. Hatta ia datang ke tengah jalan, maka<br />

bertemu seorang, lalu dipangil serta dengan dia berjalan menuju<br />

kepada negeri dan orang dalam negeri itu pun keluar semuanya<br />

berjalan ke pantai. Maka ia bertemu dengan penguluh<br />

kelengkapan itu, maka kedua pihak berhadapan bertanyatanyakan<br />

kehendaknya datang itu. Maka menyahut penguluh<br />

kelengkapan itu, segala hal-ahwal semuanya diceriterakan<br />

kepada orang itu. Lalu ia bertanya pula kepada orang negeri itu,<br />

maka menyahut orang itu. Segala hal-ahwal mulanya datang itu<br />

diceriterakan kepada penguluh kelengkapan itu. Tellah demikian<br />

itu, maka kedua pihak bennarnya jual-beli, tukar-menukar<br />

beramai-ramaian. Hatta datang malam orang itu pun pulang ke<br />

negerinya. Apabila datang esok harinya, ia turun juga jual-beli,<br />

tukar-menukar sebagailah. Maka suatupun tiada dalamnya<br />

melainkan melakukan kesukaannya. Itulah kesudahan bangsya<br />

Jawa. Alkissah peri mengatakan bangsya Jailolo dan diceriterakan<br />

oleh yang empunya ceritera, demikian riwayatnya. Ada pun dalam<br />

negeri Jailolo itu dua bangsya, seorang bangsya Jailolo dan<br />

seorang bangsya Jawa, yakni anak raja keduanya. Maka dalam


keduanya itu, setengah mengatakan bangsya Jailolo akan<br />

kerajaan dan setengah mengatakan pula bangsya Jawa akan<br />

kerajaan, maka jadi fitna dalam negeri endak berkelai. Tellah<br />

demikian itu, hatta datang kepada suatu ketika serta dengan<br />

kehendak Allah ta`ala keluar bangsya Jawa serta dengan<br />

kelengkapannya. Entah apa-apa kehendaknya gennap puluh dan<br />

tanjung sehingga datang ke benua Bacang. Maka di belakangnya<br />

itu dinaikan bangsya Jailolo akan kerajaan, lalu ia menyuruh<br />

rusak negeri syaudaranya. Maka disampaikan khabar itu kepada<br />

syaudaranya, demikian katanya: ‘Hai tuhanku, pattik minta maaf<br />

ke bawah dulli yang dipetuhan. Tellah sudah paduka syaudara<br />

enda dinaikan kerajaan dan negeri yang dipetuhan pun sudah<br />

rusak.’ Tellah didengar warta demikian itu, maka ia tiada mau<br />

pulang lagi, lalu ia berangkat mencari tempat akan<br />

kedudukannya. Hatta berapa lamanya di tengah jalan serta<br />

kehendak Tuhan Yang Mahatinggi datang ribut dan angin, maka<br />

cerai-berai kelengkapannya itu, masing-masing membawah<br />

aluannya. Ada datang ke tanah Buru, ada datang ke tanah Seran.<br />

Ia dibawah oleh angin dan arus datang ke tanah Ambon. Maka<br />

syaudaranya dan setengah raiyat turun duduk menjadi penghulu<br />

kepada negeri Lisabata, kiyai pati namanya atau Ulima*<br />

Sitaniya*. Maka ia berangkat sehingga datang ke tanjung Siyal*.<br />

Seorang pula kaum gulawarganya duduk menjadi penghuluh<br />

kepada negeri Waiputih, digelar Sellat* namanya. Lalu<br />

menyeberang ke tanah <strong>Hitu</strong>, masuk dalam labuan, maka ia naik ke<br />

darat mengambil tempat akan negerinya. Maka suatupun tiada<br />

hijab pada mereka itu melakukan kehendaknya. Itulah kesudahan<br />

riwayat bangsya Jailolo. Alkissah peri mengatakan bangsya<br />

Goron* dan diceriterakan oleh yang empunya ceritera demikian<br />

riwayatnya.[Sekali] perastawa* dengan kehendak Allah ta`ala ia<br />

datang kepada suatu tanjung Nukuhali, lalu masuk ke dalam<br />

sungai, diam dirinya dalam utang, seorangpun tiada mengetahui<br />

dia. Tellah demikian itu maka sebuah perau daripada pihak<br />

bangsya Jailolo ia keluar mengambil ikan. Daripada ketika itu<br />

sebuah perau daripada orang yang datang itu keluar memukat.<br />

Lalu ia pulang sehingga seorang juga, ia duduk di tepi sungai itu<br />

menengok pada orang mengambil ikan itu dan orang mengambil<br />

ikan itu pun pandang kepadanya, lalu bertanya-tanyakan:<br />

‘Darimana engkau datang dan di mana engkau duduk?’ Maka ia<br />

menyahut: ‘Di darat sungai ini kami duduk.’ Lalu perau mengambil<br />

ikan itu kembali menyampaikan khabar kepada perdana Jamilu,<br />

maka ia pergi sendirinya kepada orang itu. Sama berhadapan, lalu<br />

bertanya padanya: ‘Darimana datang dan apa kehendakmu<br />

datang ini?’ Maka ia menyahut: ‘Ada pun kami ini datang dari


enua Goron* dan kehendak kami mencari tempat kedudukan<br />

kami.’ Maka kata perdana Jamilu: ‘Maukah duduk serta kami?’<br />

Maka ia menyahut: ‘Mengapa maka tiada mau, jikalau dengan<br />

faedahnya yang baik?’ Maka pula perdana Jamilu: ‘Mengapa maka<br />

tiada dengan faedahnya yang baik? Jika duduk serta kami<br />

kupersuamikan anakku akan isterimu supaya jangan was-was<br />

hatimu kepada kami.’ Maka ia menyahut: ‘Apatah daya lagi, jika<br />

bagai kata demikian itu? Tetapi baik kita periksyai dahulu atau ia<br />

maukah atau tiada mau kepada kami, karena ia anak yang<br />

empunya negeri, ada pun kami ini anak dagang. Itulah sebabnya<br />

baik kita periksai dahulu.’ Lalu keduanya pergi masuk dalam<br />

negeri kepada rumah perdana Jamilu. Maka perintah dengan baik<br />

patut pakaian yang baik kepada hambanya, ia duduk di atas di<br />

hadap orang banyak, dan pakaian yang jahat kepada anaknya, ia<br />

duduk di bawah serta memegang penyapu. Tellah demikian itu,<br />

maka menyuruh orang membawah kepadanya, lalu masuk serta<br />

orang banyak dan permullianya dengan adat sehinggasana. Ia<br />

berhadapan dengan perdana Jamilu bijaksana, maka kata Jamilu:<br />

‘Pada hari ini dan ketika ini kita sempurnakan janjian itu. Tellah<br />

kesudahan kataku termasyhur didengar oleh orang sekalian.<br />

Daripada itulah kurelahkan anaku akan isterimu.’ Maka<br />

menyahut: ‘Kujungjung ke bawah kadim yang memeliharakan dan<br />

mengasih dagang piyatuh.’ Lalu ia menyaksyikan sepahnya,<br />

demikian katanya: ‘Apabila bennar anaknya yang di atas itu,<br />

lettalah kepadanya. Jika benar yang di bawah itu, lettalah<br />

kepadanya. Lalu dicampakan serta dengan kehendak Tuhan Yang<br />

Mahasuci lettalah kepada yang di bawah itu. Maka ia tersunyum<br />

serta barpantung: ‘Harap-harap janji tuhan mengasih dagang<br />

piyatu. Siapa mengetahui tipu dayah tuhan?’ Lalu menyahut<br />

demikian katanya: ‘Dagang piyatu minta maaf. Ada pun yang di<br />

atas itu, dari dunia datang ke akhirat akan syaudaraku dan ada<br />

pun yang di bawah memagang penyapu itu, tuhan perhamba akan<br />

kami.’ Maka kata Jamilu: ‘Betapa kata demikian? Karena ia hamba<br />

mengapa maka kau ambil kepadanya? Didengar orang seolah-olah<br />

dicellai kepada kita, tetapi tiada mengapa. Kepada anaku juga<br />

yang menyasal, karena tiada patut hamba dan orang baik.’ Maka<br />

ia menyahut: ‘Apatah daya? Untung kita serta kehendak Allah<br />

ta`ala.’ Lalu diam dirinya. Maka kata perdana Jamilu: ‘Bennarlah<br />

anaku, orang besar daripada Goron*.’ Lalu dipersuamikan<br />

anaknya serta makan minum bersuka-sukaan dalamnya. Itulah<br />

nyata orang berbahagia dalam dunia. Tellah demikian itu, maka ia<br />

mengambil tempat akan kedudukannya. Itulah negeri bangsya<br />

Goron*, perdana kipati namanya. Tellah kesudahan anak cucu<br />

Goron* linang. Maka jadi empat negeri pada tatkala itu. Maka


dengan kehendak Allah ta`ala muafakat keempat perdana itu<br />

menjadi suatu negeri dan empat negeri itu dijadikan empat<br />

kampung dan empat nama. Alkissah peri mengatakan tatkala<br />

keempat perdana muafakat itu menjadi suatu negeri dan keempat<br />

kampung, serta dipindakan nama keempat itu. Ada pun Zamanjadi<br />

dipindakan Totohatu namanya dan perdana Mulai Mulai<br />

dipindakan Tanihitumesen namanya dan perdana Jamilu<br />

dipindakan Nusatapi namanya dan perdana kiyai pati dipindakan<br />

Pati Tuban namanya. Itulah dimasyhurkan nama keempat itu<br />

dalam tanah <strong>Hitu</strong>. Dan berjanji-janjian serta berputusan barang<br />

sesuatu pekerjaan dalam tanah <strong>Hitu</strong>, maka muafakatlah<br />

keempatnya, lalu dikerjakan dan tiada lain lagi daripada keempat<br />

perdana itu. Itulah seperti emas, tiada dengan supuhnya lagi. Ada<br />

pun keempat perdana itu, jikalau dinamai bendahara pun benar<br />

juga, dan dinaikan kerajaan pun patut juga daripada bangsyanya<br />

datang itu. Karena ia itu tiada dibesarkan dan tiada dan tiada<br />

dihinakan dan tiada dinaikan dan tiada diturunkan, melainkan<br />

melakukan kehendaknya. Itulah kenyataan empat bangsya itu.<br />

Kemudian daripada itu datang suatu bangsya tiga kaum yang ia<br />

datang dari negerinya. Maka dimasukkan tiga kaum itu tiga<br />

kampung, jumlahnya tujuh kampung dalam negeri <strong>Hitu</strong>. Itulah<br />

kesudahan kaum daripada pihak empat perdana. Alkissah peri<br />

mengatakan daripada pihak rayatnya tiga puluh gelaran dan<br />

daripada tiga puluh gelaran itu tujuh pengawanya yang besar.<br />

Ialah mengerjakan sesuatu pekerjaan daripada keempat perdana.<br />

Lain daripada itu tiada dimasukkan, sehingga takluk namanya.<br />

Apabila kepada suatu pekerjaan, maka keempat perdana<br />

muafakat dahuluh. Tellah sudah muafakat, maka dimasukkan tiga<br />

kaum dahuluh. Kemudian daripada tiga itu, maka dimasukkan<br />

tujuh pengawanya serta tiga puluh gelarannya. Itulah diadatkan<br />

zaman datang kepada zaman turun-menurun, tiada berubah lagi.<br />

Itulah kesudahannya. Alkissah peri mengatakan bangsya Ambon<br />

dan peri mengatakan bangsya Jawa, maka diceriterakan oleh<br />

yang empunya ceritera, sekali perastawa dengan kehendak Allah<br />

ta`ala dua kaum, Zamanjadi dan perdana Mulai, keduanya<br />

melakukan kehendaknya. Zamanjadi endak akan kerajaan dan<br />

perdana Mulai pun ia akan kerajaan, maka fitna kedua kaum itu,<br />

lalu berkellai. Hatta berapa lamanya seorangpun tiada manang<br />

kepada seorang dan seorangpun tiada allah kepada seorang. Lalu<br />

Zamanjadi menyuruh mengambil angkatan dari negeri Selan<br />

Binaur datang endak menyarang kepada negeri perdana Mulai.<br />

Dan perdana Mulai pun menghimpunkan segala hulubalangnya,<br />

makan minum sehingga menanti kepada angkatan itu. Berapa<br />

lamanya maka datanglah angkatan itu, lalu turun menyarang


kepada negeri dan empunya negeri pun keluar. Barparanglah<br />

kedua pihak itu. Hatta seketika juga patah angkatan itu, lalu<br />

undur daripada karas parang rakyat perdana Mulai. Maka kembali<br />

angkatan itu tiada boleh allah kepada negeri. Daripada itulah<br />

pantai <strong>Hitu</strong> dinamai Liasela* namanya. Maka angkatan itu pulang<br />

dengan dukkacittanya dan empunya negeri pun makan minum<br />

bersuka-sukaan dan beramai-ramaian dalam negeri. Hatta berapa<br />

lamanya maka perdana Jamilu bijaksana ia pergi kepada perdana<br />

Mulai. Maka ia berkata: ‘Betapa kehendakmu kepada Zamanjadi<br />

itu?’ Maka menyahut perdana Mulai: ‘Ada pun kami kedua kaum<br />

ini kepada bennarnya siapa akan kerajaan?’ Maka kata perdana<br />

Jamilu bijaksana: ‘Jika kepada bennarnya engkau juga, karena<br />

engkau memulai negeri ini. Sebennar ia datang dahulu, tetapi ia<br />

duduk dalam hutan.’ Maka kata perdana Mulai kepada perdana<br />

Jamilu: ‘Maukah tolong kepadaku?’ Maka ia menyahut: ‘Mengapa<br />

maka tiada mau? Tetapi jika ada faedahnya.’ Maka kata pula<br />

perdana Mulai: ‘Apabila engkau tolong kepadaku, apa barang<br />

kehendakmu itu dan apa katamu itu tiada kulalui. Itulah kita<br />

perjanjikan.’ Maka kata perdana Jamilu: ‘Jika bagai kata demikian<br />

itu, ikutlah perintaku.’ Maka diiakan oleh perdana Mulai. Demikian<br />

perinta perdana Jamilu: ‘Apabila datang kepada hari anu,<br />

himpunlah orang serta senjata. Aku pun demikian lagi. Apabila ia<br />

keluar mencari kehendaknya, sunyilah negeri. Maka kita pun<br />

masuklah kepadanya melakukan kehendak kita itu.’ Tellah<br />

berjanji demikian lalu ia pulang. Hatta datang kepada esok<br />

harinya pergi pula kepada Zamanjadi, demikian katanya: ‘Betapa<br />

kehendakmu kepada orang itu?’ Maka menyahut Zamanjadi serta<br />

bertanya kepada perdana Jamilu: ‘Ada pun kami kedua ini kepada<br />

bennarnya siapa patut akan kerajaan?’ Maka kata perdana Jamilu:<br />

‘Jika kepada bennarnya Zamanjadi akan kerajaan. Bennar katanya<br />

ia memulai negeri, tetapi Zamanjadi dahulu datang, ia kemudian.’<br />

Itulah sebabnya, maka kata Zamanjadi kepada perdana Jamilu<br />

bagai kata perdana Mulai itu juga, maka menyahut perdana<br />

Jamilu pun demikian itu juga, serta berjanjian hari dan ketika itu.<br />

Lalu ia pulang masing2 membilang hari yang diperjanjikan itu.<br />

Hatta datanglah kepada hari yang diperjanjikan itu, maka kedua<br />

kaum itu harkat* serta senjata, lalu keluar. Maka datang suruan<br />

perdana Jamilu kepada perdana Mulai, demikian katanya: ‘Apa<br />

tipu kita, karena ia sudah tahu perbuatan kita. Sabar dahulu serta<br />

baik-baikan dengan dia. Apabila sudah lupa kepada harkatnya itu,<br />

kemudian berbuat kehendak kita itu.’ Maka menyuruh pula<br />

kepada Zamanjadi pun demikian juga. Maka kedua kaum diiakan<br />

kata perdana Jamilu itu, lalu ia keluar berhadapan dengan orang<br />

sekalian. Maka ia berkata: ‘Apa tipu kita kepada dua kaum ini?


Apabila Zamanjadi akan kerajaan, perdana Mulai tiada mau<br />

sembah, dan jika perdana Mulai akan kerajaan, Zamanjadi pun<br />

demikian juga tiada mau sembah. Apabila keduanya akan<br />

kerajaan, belum lagi kedangaran dalam dunia suatu negeri dua<br />

kerajaan. Apabila ia keduanya akan kerajaan, jadilah empat<br />

kerajaan dalam negeri, karena empat perdana itu seseorang tiada<br />

tinggi kepada seseorang dan seseorang tiada randah kepada<br />

seseorang. Melainkan kehendak Allah subhanahu wa-ta`ala serta<br />

orang muafakat, maka jadi akan kerajaan. Baik juga kita kata<br />

demikian kepadanya, supaya menanti kehendak Tuhan Yang<br />

Mahamurah berbahagia kepada seseorang akan yang dipetuhan,<br />

itulah sempurna kerajaan. Ada pun pada ketika ini kita buat<br />

demikian pada keduanya: jika ikut kata orang sekalian, al-hamdu<br />

li-'llah, supaya kita menanti karunia Allah ta`ala. Apabila tiada<br />

mengikut, apatah daya sudahlah. Atau salah suatu mengikut kata<br />

ini, yang mengikut itu kaum kita sekalian ini, yang tiada mengikut<br />

itu bukanlah kaum kita sekalian. ’Tellah demikian itu maka<br />

menyuruh kepada dua kaum itu segala perastawa perinta kata itu<br />

semuanya dikatakannya, maka diiakan oleh dua pihak itu. Lalu<br />

keluar kepada orang sekalian, maka demikian keduanya, maka<br />

bersettia muafakat dan bersuka-sukaan kembalilah kepada<br />

adatnya. Maka suatupun tiada ellat lagi dalamnya. Maka keempat<br />

perdana itu seorang tiada tinggi kepada seorang dan seorang<br />

tiada randah kepada seorang, yakni keempatnya bersamakan.<br />

Apabila barang suatu pekerjaan melainkan keempatnya<br />

berhadapan, maka dikerjakan. Kemudian daripada itu jika<br />

seorang tiada atau dua orang atau tiga orang sehingga seorang<br />

jugapun nama keempat juga. Itulah yang bersatuan nama<br />

keempat itu selamah-selamahnya zaman datang kepada zaman.<br />

Itulah adat keempat perdana dalam tanah <strong>Hitu</strong>. Alkissah dan<br />

diceriterakan oleh yang empunya ceritera, sekali perastawa<br />

keempat perdana berhadapan muafakat. Maka perdana Pati Tuban<br />

ia belayar ke benua Jawa tuntuti agama rasul Allah salla 'llahu<br />

alaihi wa-sallama. Tatkala itu seri sultan Maluku paduka Zainul<br />

Abidin khallada 'llahu mulkahu wa-saltatahu ia datang ke benua<br />

Jawa, maka bertemu kepadanya. Lalu bertanya kepada perdana<br />

Pati Tuban Maka segala hal-akhwalnya semuanya diceriterakan<br />

kepada serri sultan. Lalu bersettia dan muafakat serta perjanjijanjian<br />

dan bersumpah-sumpahan sehingga datang kepada hari<br />

kiamat seperti firman Allah: ‘Inna 'llaha la yukhlifu 'l-mi`ada.’<br />

Itulah pertama yang memulai perjanjian. Hatta datang musim<br />

sultan pun pulang. Sehingga datang ke tanah Bima ada suatu<br />

fitnah dengan raja Bima, lalu barparang pada ketika itu. Empat<br />

puluh orang pendagar, yakni antun-antun, mengiring kepada serri


sulthan Zainul Abidin. Hatta dengan ajal Allah maka datang<br />

seorang hulubalang raja Bima. Ia datang menuju serri sultan, lalu<br />

menikam dengan lembingnya kennah kepada sultan Maluku, dan<br />

serri sultan pun serta menettah hulubalang itu. Lalu mati<br />

hulubalang itu dan raja pun luka. Maka keempat puluh pendagar<br />

itu dinaikan kepada raja di atas kelengkapan, lalu belayar. Hatta<br />

berapa lamanya di tengngah jalan maka serri sultan Zainul Abidin<br />

pun wafatlah. Inna li-llahi wa-inna ilaihi raji´un. Pada ketika<br />

itulah bawah kepada pendita yang alim, tuhan Bahrul* namanya,<br />

akan kadi di negeri Ternate. Maka diceriterakan oleh [yang<br />

empunya ceritera] perdana Pati Tuban ia pulang ke tanah <strong>Hitu</strong>,<br />

maka mengatakan peri hal-akhwal perjanjian dengan raja Maluku<br />

itu. Semuanya dikatakannya kepada orang sekalian serta<br />

dijungjung titah itu, sehingga datang kepada sultan Khairun Jamil<br />

akan kerajaan zill Allah fi 'l-alamin. Maka masyhurkan<br />

demikianlah riwayatnya: ada pun tatkala serri sultan Khair Jamil<br />

akan kerajaan itu, lalu ia bertanya kepada perdana yang besar<br />

dalam negeri demikian titah: ‘Hai segala perdana dan parwara<br />

sekalian, berapa kampung dalam negeri kita ini?’ Maka menyahut<br />

mankubumi: ‘Ada pun dalam negeri yang dipetuhan sembilan<br />

kampung jumlahnya, sepuluh dengan negeri <strong>Hitu</strong>.’ Lalu menyuruh<br />

kiaicili* Darwis akan utusan ke tanah Ambon meneguhkan pula<br />

perjanjian itu, sehinggalah termasyhur Ternate dengan <strong>Hitu</strong>. Ada<br />

pun tatkala utusan datang ke Ambon itu singga di tanah Boanoh*,<br />

maka lalu ke pantai Eran* dan dari pantai Eran* itu lalu ke<br />

tanjung Siyal. Ia masuk ke pantai Waibuti, lalu menyeberang ke<br />

tanah <strong>Hitu</strong>. Pada ketika itulah negeri <strong>Hitu</strong> dan negeri Waiputih<br />

serta negeri Eran* ketiganya muafakat bersama-sama. Tellah<br />

demikian itu kuceriterakan yang empunya ceritera. Tatkala<br />

perdana Pati Tuban ia datang dari tanah Jawa itu, lalu negeri <strong>Hitu</strong><br />

pun masuk iman kepada Allah dan nabbi Muhammad serta agama<br />

rasul Allah salla 'llahu alaihi wa-sallama. Maka suatupun tiada<br />

hisab* melainkan memerintahkan tanahnya serta agama Allah<br />

dan agama nabbi Muhammad salla 'llahu alaihi wa-sallama amin<br />

ya Rabb al-`alamin. Alkissah peri mengatakan perdana Jamilu dan<br />

peri mengatakan panngeran Japara. Maka kuceriterakan yang<br />

empunya ceritera demikian riwayatnya. Tatkala perdana Jamilu<br />

menyuruh utusan ke tanah Jawa mengadap kepada pangeran<br />

Japara, maka ia bersettia dan muafakat dengan pangeran. Tatkala<br />

itu nyai Bawang* akan kerajaan, maka ia bertanya bangsya<br />

perdana Jamilu, maka semuanya diceriterakan kepadanya. Lalu ia<br />

memberi nama Patinggi: ‘Karena nama Jamilu itu artinya kepada<br />

bahasa Jawa “jangan mengikut”. Itulah sebabnya dan seperkara<br />

lagi nama syaudaraku itu kuberikan kepadanya.’ Hatta datang


musim utusan itu pun pulang dan orang Japara pun gennap<br />

musim tiada berputusan bedagang ke tanah <strong>Hitu</strong> dan tanah<br />

Ambon sekalian sebagailah, pergi datang berulang2 tiada<br />

berputusan, sehingga Nyai Bawang* pulang ke rahmat Allah. Dan<br />

negeri <strong>Hitu</strong> pun firaklah* dengan negeri Japara daripada raja<br />

yang kemudian itu kuranlah adilnya seperti raja yang dahulu.<br />

Apabila raja itu tiada dengan adilnya diupamakan matahari tiada<br />

dengan bercahayanya. Daripada itulah maka dikatakan firak,<br />

tetapi bukan firak, sehingga tiada sampai ini juga. Itulah<br />

kesudahannya negeri <strong>Hitu</strong> dan negeri Japara. Alkissah peri<br />

mengatakan syariat nabbi akhir zaman. Ada pun tatkala masuk<br />

iman serta mengesakan Allah subhanahu wa-ta`ala dan<br />

termasyhurlah agama rasul Allah salla 'llahu alaihi wa-sallama,<br />

lalu membuat suatu mesjid tujuh pangkat. Tellah itu maka<br />

dinaikan Maulana ibn Ibrahim akan kadi daripada ia mutakalim<br />

daripada alim mahudum* guru sekalian tanah Ambon. Daripada<br />

ialah termasyhur agama Allah dan agama nabi Muhammad rasul<br />

Allah salla 'llahu alaihi wa-sallama. Kemudian daripada itu, maka<br />

kuceriterakan yang empunya ceritera, kepada suatu hari keempat<br />

perdana berhadapan kepada suatu tempat, maka keempatnya<br />

muafakat mengira-mengirakan negerinya. Maka seorang berkata:<br />

‘Mana baik beraja daripada yang tiada beraja?’ Maka kata<br />

seorang: ‘Daripada yang tiada beraja, baik beraja.’ Dan seorang<br />

berkata pula: ‘Daripada beraja baik tiada beraja.’ Maka seorang<br />

pula berkata: ‘Mana faedah yang baik beraja itu dan mana faedah<br />

yang baik daripada tiada beraja itu?’ Lalu berkata keduanya:<br />

‘Demikian faedah yang baik beraja.’ Maka kata seorang pula:<br />

‘Demikian faedah yang baik daripada yang tiada beraja.’ Maka<br />

kata pula: ‘Bennar juga kata keduanya itu tiada salah, tetapi kita<br />

naikan dahulu seorang akan kerajaan, supaya kita periksai<br />

kepada faedahnya yang baik beraja atau faedah yang baik tiada<br />

beraja itu.’ Lalu dinaikan kaum gulawarganya seorang akan<br />

kerajaan. Maka digelarnya Latu Sitania namanya, yakni artinya<br />

‘raja tanya’, nama yang dijungjung. Dan dinaikan hukum*<br />

AbubakarNaseddiki* namanya. Maka suatupun tiada ellat dalam<br />

tanah <strong>Hitu</strong>. Hatta berapa lamanya keempat perdana berhadapan<br />

serta orang banyak, maka raja naik ke atas balai. Ia duduk<br />

bejuntai-juntai, maka kata orang sekalian: ‘Nyatahlah faedah<br />

yang baik beraja dan faedah yang baik tiada beraja.’ Maka kata<br />

keempat perdana: ‘Apa salahnya karena ia kerajaan? Tetapi<br />

sehinggalah kerajaan, yakni dipawahkan*. Ada pun amar dan nahi<br />

serta adat semuanya itu melainkan keempat perdana juga.’ Apa<br />

yang kehendaknya itulah diadatkan daripada zaman datang<br />

kepada zaman turun-menurun. Tiada lain daripada keempat


angsya itu, melainkan kehendak Allah ta`ala juga tiada dapat<br />

dikatakan. Alkissah dan kuceriterakan tatkala itu perastawa<br />

keempat perdana membahagi rakyat. Seorang pengawa empat<br />

gelaran kepada seorang perdana. Demikian juga keempatnya<br />

seorang pengawa empat gelaran turun-menurun, demikian juga<br />

kemudian daripada itu. Dan kuceriterakan sekali perastawa raja<br />

naik kepada sebuah perau. Apa2 kehendaknya tiada ia muafakat<br />

dengan keempat perdana. Ia keluar bersuka-sukaan sehingga<br />

datang kepada suatu pantai, Hunimoa namanya pantai itu. Maka<br />

tiada berupama kepada yang empunya negeri serta melakukan<br />

kehendaknya dan negeri itu pun tiada diketahui kepadanya. Maka<br />

dikata dengan kata yang aib, lalu ia pulang diam dirinya kepada<br />

halnya. Itu pun tiada dikatakan kepada empat perdana itu. Lalu ia<br />

menyuruh kepada negeri yang bukan takluknya. Ia minta tolong<br />

kepadanya. Maka negeri itu keluar dengan angkatan pergi<br />

menyerang kepada negeri itu. Tiada boleh alah, jangan alah naik<br />

ke darat pun tiada boleh, lalu kembali angkatan itu. Maka kata<br />

keempat perdana: ‘Mengapa maka kembali angkatan ini?’ Maka<br />

sahut orang itu: ‘Tiada boleh alah kepadanya.’ ‘Mengapa maka<br />

tiada boleh alah kepadanya?’ Maka kata angkatan itu: ‘Jangan<br />

alah, turun ke pantainya pun tiada dapat.’ Maka kata perdana<br />

Jamilu: ‘Betapa perintah parangnya itu?’ Maka menyahut orang<br />

itu: ‘Ada pun panglimanya itu terlalu sangat gagahnya. Apabila<br />

kita langgar ke darat, maka ia keluar, lalu sekali-kali di aluan<br />

angkatan itu serta menetta. Sebab itulah maka tiada dapat turun.<br />

Demikianlah halnya orang itu.’ Tellah didengar kata orang<br />

demikian itu, serta menyingsing tangan bajunya, lalu ia becakap<br />

di hadapan orang sekalian, demikian katanya: ‘Insya Allah ta`ala<br />

berkat agama rasul Allah salla 'llahu alaihi wa-sallama, jika beta<br />

tiada dapat alah kepada negeri itu, beta pun tiada kembali.’ Tellah<br />

demikian itu maka ia membuat suatu maslahat serta dengan<br />

panah di aluan kelengkapannya itu. Hatta ia datang, lalu langgar<br />

ke darat. Maka panglima negeri itu keluar, lalu sekali-kali di aluan<br />

kelengkapan itu. Maka dilepas kepada maslahat itu serta dengan<br />

kehendak Allah ta`ala kennah panglimanya itu mati dan orang<br />

banyak itu pun undur serta lari. Maka diikut belakangnya orang<br />

itu, lalu alah kepada negerinya. Tellah demikian itu, maka ia<br />

kembali dengan kemenangngannya makan minum bersukasukaan.<br />

Maka kata orang sekalian: ‘Bennarlah perdana Jamilu<br />

pahlawan dan bijaksana dalam tanah <strong>Hitu</strong>.’ Lalu disalin dan<br />

dimuliah kepadanya, tiada seupamanya lagi dalam tanah <strong>Hitu</strong>.<br />

Hatta lama datang kepada lamanya, makin bertambah kebajikan<br />

dan kepujian. Itulah kehendak Tuhan Yang Mahamurah kepada<br />

makhluknya, berbahagia seseorang-orang dalam dunia. Alkissah


dan kuceriterakan yang empunya ceritera: sekali perastawa sebua<br />

perau Saki Besi Nusatelu* ke laut Puluh Tiga mengambil ikan.<br />

Maka ia datang membawah khabar kepada perdana Jamilu,<br />

demikian katanya: ‘Ada kami bertemu sebua perau di laut Puluh<br />

Tiga. Selamanya umur kami hidup dalam dunia, bulum lagi<br />

melihat rupa manusyia bagai rupa orang itu. Tubuhnya putih dan<br />

matanya seperti mata kucing. Lalu kami tanya kepadanya, ia tiada<br />

tahu bahasa kami dan kami pun tiada tahu bangsyanya.’ Maka<br />

kata perdana Jamilu: ‘Pergilah engkau bawah ia ke mari.’ Maka<br />

kembali pula bawah ia datang ke negeri kepada perdana Jamilu.<br />

Lalu ditanya kepadanya: ‘Darimana datang dan apa nama<br />

negerimu?’ Maka ia menyahut: ‘Ada pun kami ini datang di sini<br />

kami sessat tiada tahu jalan. Maka kami jatuh pesir* ke tanah<br />

sebelah dan kapal kami pun tekarang di laut Puluh Burung*. Maka<br />

tinggal kapal kami, naik kepada sampang endak pulang ke negeri<br />

Portugal. Tetapi malim tiada tahu, maka kami datang ke mari.<br />

Apatah daya, untung kami di sini.’ Lalu diberinya tempat<br />

membuat rumahnya ia duduk. Hatta berapa lamanya maka ia<br />

memohon setengah duduk menungguh rumahnya dan setengah<br />

membawah khabar kepada orang besarnya. Hatta datang musim<br />

barat, maka menyuruh kapalnya datang gennap tahun tiada<br />

berputusan lagi. Jadi ramai bandar di tanah <strong>Hitu</strong> dan termasyhur<br />

sekalian tanah Ambon. Kepada zaman itulah maka digelarnya<br />

kepada perdana Jamilu ‘kapitan <strong>Hitu</strong>’ namanya dan berjanjian<br />

apabila datang kapalnya, maka diberinya masara persalin kepada<br />

Kapitan <strong>Hitu</strong>. Gennap tahun diadatkan selamanya, maka suatupun<br />

tiada hujat dalamnya pada ketika itu dan termasyhur nama<br />

Kapitan <strong>Hitu</strong> dari negeri Ambon sampai negeri Portugal. Maka raja<br />

Portugal digelarnya dua nama, suatu Kapitan <strong>Hitu</strong>, kedua Don<br />

Jamilu namanya. Hatta datang lama dengan lamanya serta<br />

kehendak Allah ta`ala yang kebaikannya itu dibalaskan oleh<br />

Tuhan Yang Mahamurah datang kejahatannya. Sekali perastawa<br />

ia minum mabuk, lalu berampas-rampasan serta haru-biru dalam<br />

pasar. Maka disampaikan kepada hukum dan penghuluh agama,<br />

maka kata penghuluh agama: ‘Salah orang itu melainkan sampai<br />

nyawanya.’ Maka kata keempat perdana: ‘Bennar kata hukum dan<br />

penghuluh agama, tetapi ampun dahuluh kepadanya, karena<br />

sudah termasyhur kita membuat baik kepadanya. Kemudian kita<br />

membuat jahat pula, apa hal nama kita didengngar oleh orang?<br />

Baik kita pindahkan dia kepada tempat yang lain, jangan sama<br />

senegeri kita.’ Maka dipindahkan dia ke tanah sebelah kepada<br />

tempat yang baik ia duduk, daripada negeri itu tiada beragama<br />

dan lagi banyak minuman anggur. Seperkara lagi sama<br />

makanannya dan minumannya. Itulah hal keempat perdana. Pada


ketika itu tiada dikira-kirakan kepada hari yang kemudian. Hatta<br />

berapa lamanya menjadi fitna, lalu paranglah dengan dia. Sorangmenyarang,<br />

alah-mengalah sebagailah tiada berputusan parang<br />

sabil Allah. Sekali perastawa keempat perdana menyarang kepada<br />

sebuah negeri kafir. Maka keluar kafir itu serta barparanglah<br />

kedua pihak itu seperti orang bepasaran, jual-beli, tukarmenukar.<br />

Bunyi senjatanya diupamakan guruh di atas langit.<br />

Hatta berapa dalamnya pun parang lanatullah itu dan tentara<br />

Islam itu pulang serta kemenangnya, bersuka-sukaan, makanminum<br />

dan bergela-gelaran nama panglimanya itu, sehingga<br />

dimasyhurkan dua nama, pertama Lekalahabesi dan kedua<br />

Tubanbesi, daripada berkat agama rasul Allah salla 'llahu alaihi<br />

wa-sallama dan Tubanbesi pun syahid pada ketika itu. Tellah<br />

demikian itu maka adinda perdana Jamilu belayar ke tanah Jawa<br />

mengadap kepada pangeran Japara. Maka pangeran Japara<br />

menyuruh tujuh buah gurap mengantarkan dia. Hatta datang ke<br />

tengah laut antara Jawa dan Bali, maka ia sakit serta dengan<br />

ajalnya, maka ia meninggal negeri fanah datang kepada negeri<br />

baka. Inna li-llahi wa-inna ilaihi raji’un. Dan maitnya itu<br />

ditaburkan bauh-bauan, maka dimasukkan ke dalam petti, lalu<br />

belayar dibawah oleh angin dan arus jatuh datang ke tanah Seran.<br />

Maka ia menengar khabar orang, ada sebuah kapal di tanah<br />

Bandan*. Lalu menyuruh sebuah gurap antar kepada mayit itu<br />

dahuluh dan ain inayat naik kepada sampangnya ennam buah itu<br />

dan gurapnya itu menanti di tanah Seran. Hatta ia datang ke<br />

Bandan, lalu naik rampas kepada kapal itu dan orangnya itu habis<br />

dibunuhnya. Maka ia pulang kepada gurapnya, lalu belayar ke<br />

Ambon. Maka didengar oleh kafir itu, ia menyuruh angkatan<br />

mengadang di tengngah jalan. Hatta berapa lamanya, maka<br />

bertemu kedua kelengkapan itu, lalu berparanglah. Maka<br />

penghuluh kelengkapan itu kira-kiranya sukar karena banyak<br />

kafir itu. Maka ia meninggal dua buah gurap sehingga dinaikan<br />

orangnya, lalu ia masuk ke pantai <strong>Hitu</strong> bersama-sama dengan<br />

tamannya yang mengantarkan mayit itu dan diturunkan kepada<br />

mayit itu. Maka dipeliharakan dan diadatkan kepada mayit itu<br />

sehingga datang kepada seratus harinya. Tellah demikian itu<br />

maka dihimpunkan orang serta kelengkapan Japara itu pergi<br />

menyerrang kepada sebuah negeri kafir, Hatiwe namanya. Pada<br />

ketika itulah pendagar Tahalele menyerrang buankan dirinya ke<br />

tengah tentara kafir itu seperti harimau. Tiada dapat terpandang<br />

mukanya oleh musuh itu, lalu alah negeri itu. Maka ia pulang<br />

dengan kemenangngannya sehingga datang ke negeri bersukasukaan,<br />

makan-minum dan disalininya kepada pendagar Tahalele<br />

serta digelarnya pahlawan Tubanbesi dan syamsyirnya Lukululi,


artinya ‘patah tulang’. Namanya digantikan Tubanbesi yang mati<br />

itu. Inilah muafakat orang parang sabil dalam dunia. Entah<br />

berapa lagi dalam akhirat dibalaskan Allah ta`ala karena sabda<br />

nabi salla 'llahu ’alaihi wa-sallama: ‘Apabila mati Islam, dalam<br />

akhirat bulum lagi diterima oleh malak al Ridwan, jika bulum<br />

dilepaskan oleh malak al Zabaniah.’ Yakni artinya bulum lagi<br />

masuk syurga, jika bulum lagi lepas daripada azab naraka.<br />

Apabila Islam mati parang sabil, maka dalam akhirat suatupun<br />

tiada hisab* kepadanya melainkan masuk syurga. Itulah manfaat<br />

orang parang sabil dalam akhirat. Alkissah peri mengatakan<br />

parang Don Duarde datang daripada negeri Portugal serta dengan<br />

kelengkapannya, entah berapa-rapa panglimanya, maka ia naik ke<br />

darat, lalu masuk ke medan dan berbunyilah gendang, suisa* dan<br />

serunai, caramela* pelbagailah bunyi-bunyian. Maka didirikan<br />

panji-panji parang dan tentara Islam pun demikian lagi.<br />

Panglimanya dan pendagarnya serta dengan harkatnya. Maka<br />

kedua pihak berhadapan seperti orang bersembahyang mengadap<br />

kepada kiblat. Lalu bertempik kedua pihak itu upama guru di atas<br />

langit bunyi tempiknya. Hatta seketika juga mardan* Khatib ibn<br />

Maulana dan maradan Tahalele ibn Abubakar Nasiddik keduanya<br />

syahid. Kemudian daripada itu mardan Totohatu ibn Zamanjadi ia<br />

bertempik, lalu menetta, maka ditankis oleh laknatullah itu.<br />

Esfinkarnya* putus kedua pangkal, maka patah parang kafir itu.<br />

Hatta datang seketika lagi masuk pula ke medan, maka bertempik<br />

Umar, pendagar parang. Lalu ia menetta serta merampas panjipanji<br />

kafir laknatullah itu, maka patah pula laknat itu. Seketika<br />

juga himpunkan orang dan panglimanya sekalian serta dengan<br />

Den Daurdia*. Daripada sanngat marah hatinya kepada panjipanjinya<br />

itu, maka masuk pula parang ke medan. Maka kata<br />

pahlawan Tubanbesi: ‘Untunglah aku sekarang pada ketika ini,<br />

karena pintu syurga sudah terbukah.’ Lalu bertempik<br />

menyerbukan dirinya ke dalam tentara kafir itu. Ia beparang<br />

tettak-menettak serta kehendak Allah ta`ala kulitnya tiada makan<br />

besi. Maka dipaluh dengan esfingarnya* laknatullah itu, maka<br />

ditangkis oleh pahlawan itu, patah tulang tangannya yang kiri.<br />

Maka tentara kafir itu cerai-berrai, masing-masing melarikan<br />

dirinya, lalu naik kepada kelengkapannya kembali serta dengan<br />

dukkacittanya dan orang <strong>Hitu</strong> pun kembali memeliharakan<br />

mayitnya itu. Alkissah peri mengatakan sultan Maluku<br />

demikianlah riwayatnya, yang diceriterakan oleh yang empunya<br />

ceritera. Ada pun tatkala itu datang sebuah kapal membawah<br />

kepada serri sultan Maluku ke tanah Ambon. Ia masuk ke Kota<br />

Laha, maka khabarkan orang kepada negeri <strong>Hitu</strong> dan tanah<br />

Ambon sekalian. Maka keempat perdana menyuruh orang


periksyai kepada khabar itu, bennarkah atau tiadakah. Maka<br />

datang orang itu katanya: ‘Bennar juga khabar itu.’ Maka keempat<br />

perdana muafakat: ‘Apa tipu kita karena janjian kita serta<br />

sumpahan?’ Lalu menyuruh kepada kapitan* Feranggi itu minta<br />

bedamai. Maka ia pun mau,lalu bedamai orang <strong>Hitu</strong> dan orang<br />

Feranggi. Tellah demikian itu, maka menyuruh tanya kepada<br />

gurendur Peranggi itu, demikian katanya: Dapatkah atau tiadakah<br />

kami endak menyuruh melalat kepada raja Ternate itu?’ Maka<br />

kata gurendur Feranggi: ‘Mengapa maka tiada dapat, karena kita<br />

sudah bedamai.’ Lalu menyuruh melalawat* dengan tipu<br />

maslahat. Empat puluh mata keris dimasukkan ke dalam gendaga<br />

Seran dan di atas keris itu has* sehellai dan di atas has itu sirri<br />

pinang dan bunga serta bauh-bauan. Dan empat puluh orang<br />

gaggah membawah makanan serta gendaga itu di hadapan raja.<br />

Lalu dibukah sendirinya serta pandang kepada keris itu, maka<br />

raja pun tercengang tiada boleh bersuarah, lalu ditudung pula<br />

kepada gendaga itu. Hatta lagi maka titah syah alam kepada<br />

empat puluh orang itu: ‘Pulanglah engkau bawah gendaga itu dan<br />

sampaikan salamku kepada empat perdana. Ada pun daging<br />

darahku sekali pun tiada bagai demikian ini. Tanda kasih dan<br />

tulus serta kehendaknya itu tellah sampailah kepada kami, maka<br />

kami pun terima dengan sempurnanya. Ialah bennar syaudaraku<br />

dari dunia datang ke akhirat. Inilah tanda berteguhan ikrar dan<br />

tasdik.’ Lalu orang itu pulang serta gendaga itu dan sampaikan<br />

salam titah itu kepada keempat perdana. Maka keempat perdana<br />

pun endak mengulang lagi, lalu kapal pun belayar membawah<br />

kepada serri sultan. Maka tanah <strong>Hitu</strong> serta tanah Ambon sekalian<br />

paranglah dengan kafir laknat itu. Alah-mengalah, sarangmenyarang<br />

sebagailah parang sabil Allah. Alkissah dan<br />

diceriterakan yang empunya ceritera. Kemudian daripada parang<br />

Don Daurde itu, maka datang kapitan Sanjo*, terlalu ammat<br />

gaggahnya. Ia naik ke darat, lalu membuat kotanya di pantai <strong>Hitu</strong>.<br />

Maka ia parang siang malam, pagi petang tiada berkeputusan.<br />

Dan negeri <strong>Hitu</strong> pun pinda ke atas bukit, Ulukulu namanya,<br />

betahanlah di atas bukit itu. Hatta berapa lamanya alah negeri itu,<br />

maka naik pula ke atas bukit Mamala, betahanlah di situ. Hatta<br />

berapa lamanya alah pula bukit itu. Maka negeri semuanya itu<br />

takluklah kepadanya kafir itu. Sehingga keempat perdana dan<br />

setengngah negeri tiada berapa itu pinda ke <strong>Tanah</strong> Besar. Ia<br />

duduk di negeri Lesiela*, maka berulang-ulang beparang di tanah<br />

<strong>Hitu</strong>. Pada ketika itu pahlawan gimelaha* Laulata ada di tanah<br />

Ambon. Ialah memeliharakan negeri sekalian serta mengeluarkan<br />

angkatan ke tanah <strong>Hitu</strong>. Maka ia langgar kepada sebuah kapal,<br />

lalu ia kembali duduk di negeri Luhu serta meneguhkan tanah


Ambon. Tellah demikian itu, maka hukum Abubakar pergi<br />

mengadap kepada serri sultan di Maluku, yakni tentukan<br />

perjanjian itu. Entah apa kehendaknya titah, maka ia pulang ke<br />

tanah Ambon. Hatta didengar negeri sekalian di tanah <strong>Hitu</strong> tellah<br />

datang hukum Abubakar daripada Ternate, lalu menyuruh gelaran<br />

Tuheasal dan Tuhelusun datang kepada hukum dan keempat<br />

perdana, demikian katanya: ‘Negeri sekalian empunya sembah<br />

datang ke bawah kadim tuhanku. Ingatkah lagi rakyat tuhanku<br />

atau tiadakah lagi?’ Maka kata hukum Abubakar: ‘Mengapa maka<br />

kami tiada ingat? Ingat juga, tetapi bulum lagi datang kepada<br />

ketikanya dan waktunya.’ Maka menyahut pula gelaran itu:<br />

‘Bilamana lagi tuhanku maka datang ketikanya dan waktunya?<br />

Tetapi negeri tuhanku sekalian itu sekarang inilah datang<br />

ketikanya dan waktunya melainkan tuhanku pulang dahuluh di<br />

tanah <strong>Hitu</strong>.’ Maka kata hukum Abubakar: ‘Apabila bagai kata<br />

demikian itu, pulanglah engkau, nyiyahkan kepada kafir itu<br />

dahulu, maka kami percahaya.’ Lalu ia pulang memberitahukan<br />

kepada negeri sekalian, lalu dibunuh kafir yang dalam negeri itu.<br />

Tellah dibunuh itu, maka disampaikan kepada hukum dan<br />

keempat perdana. Tellah demikian katanya: ‘Sudahlah bagai<br />

kehendak tuhan-tuhan itu.’ Maka hukum Abubakar dan keempat<br />

perdana pada ketika itulah pulang ke tanah <strong>Hitu</strong>. Ia duduk kepada<br />

bukit Hatunuku. Pada zaman itu negeri <strong>Hitu</strong> sekalian memberi<br />

kepala ikan ia upetti kepada keempat perdana. Itulah perinta<br />

hukum Abubakar Nasiddik dan sekalian negeri pun kembali<br />

kepada hukum Abubakar dan keempat perdana. Hatta berapa<br />

lamanya bertambah -tambah kebajikan dan kemerahan, maka<br />

suatupun tiada ellat sehingga melakukan parang sabil Allah<br />

daripada berkat agama rasul Allah salla 'llahu alaihi wa-sallama.<br />

Tellah demikian itu dan diceriterakan negeri <strong>Hitu</strong> dan negeri<br />

Nusaniwe kedua berhadapan kepada suatu majellis serta<br />

muafakat dan berjanjian. Lalu dipepatutan karena negeri <strong>Hitu</strong> pun<br />

keempat perdana itu empat bangsyanya dan Nusaniwe keempat<br />

perdana juga, tetapi suatu bangsyanya, jumlahnya dualapan<br />

perdana lima bangsyanya. Lalu Lalu dipepatutan: pertama Pati<br />

Lupa* lawannya perdana Tanihitumesen, kedua Totohatu<br />

lawannya Lisakota, ketiga Latuhalat lawannya perdana Nusatapi,<br />

keempat perdana Pati Tuban lawannya perdana Pati Naelai. Itu<br />

bersuatuan namanya. Apabila kasahkitan negeri <strong>Hitu</strong>, ia keduanya<br />

juga, atau kebajikan negeri Nusaniwe, ia keduanya juga. Daripada<br />

itulah negeri Nusaniwe ia pinda datang ke negeri <strong>Hitu</strong>. Suatupun<br />

tiada dengan hisab* karena tatkala muafakat itu<br />

dipersyahdakan*. Nama gelaran negeri Henalale dinamai<br />

Hehahitu dan gelaran negeri Latua dinamai Hehatomi* namanya.


Itulah kesudahan negeri <strong>Hitu</strong> dan negeri Nusaniwe. Tellah<br />

demikian itu dan diceriterakan daripada negeri Urin* dan Asilulu.<br />

Sungguhpun namanya Ulisiwa, tetapi dalam pihak Ulima. Bennar<br />

juga dalam pihak Ulima, tetapi dalam martabat negeri <strong>Hitu</strong>.<br />

Daripada itulah maka tatkala ia bertemu kepada orang Peranggi<br />

itu, maka dibawah kepada perdana Jamilu. Maka keempat<br />

perdana menerima kepadanya itu serta dengan berjanji-janjian,<br />

demikian itu katanya: ‘Apabila jika datang kebaikannya pun kita<br />

bersama-sama, jika datang kejahatannya pun kita bersamasama.’<br />

Dan suatu lagi dijanjikan juga: ‘Apabila jika orang dari<br />

sebela pihak Ulisiwa endak masuk muafakat serta negeri <strong>Hitu</strong>,<br />

maka datang kepada negeri Asilulu, bersama-sama datang ke<br />

negeri <strong>Hitu</strong>.’ Ada pun perjanjian ini sehingga Alan, Liliboi dan<br />

Larike, Wakasihu dan Urin*, Asilulu suatu juga. Alkissah peri<br />

mengatakan johan pahlawan gimelaha Rubohongi. Ia datang akan<br />

bendahara di tanah Ambon serta kaum gulawarganya gimelaha<br />

Haji dan gimelaha Sakatruana. Lain daripada itu tiada<br />

kuceriterakan sehingga ibn bendahara: pertama gimelaha<br />

Kakasingku* dan (kedua) gimelaha Jamali dan (ketiga) gimelaha<br />

Kulabu dan keempat gimelaha Aja dan kelima gimelaha Basi dan<br />

keenam gimelaha Angsari*. Itulah daripada pihak bendahara.<br />

Maka datang kepada kerabat serri sultan daripada bangsya raja:<br />

pertama kiyaicili* Cuka, kedua cili Kodrat, ketiga cili Abu Syahid<br />

dan keempat cili Kaba, kelima cili Naya, keenam cili Ici dan<br />

ketujuh cili Aya, kedualapan baginda cili Ali, tatkala bulum lagi<br />

dinaikan kapitan laut, lain daripada itu tiada kusubutkan. Dan<br />

daripada pihak hamba raja pertama Kalaudi dan kedua Usman dan<br />

ketiga Kabutu Malu dan keempat Sagaluwa*, kelima Sibangua,<br />

keenam Ambalau. Lain daripada itu tiada kusubutkan dan sekalian<br />

ini termasyhur pendagar. Pun ia utusan, pun ia pergi datang<br />

berulang-ulang membawah titah sebagailah, karena pada tatkala<br />

itu sangat parang sabil Allah di tanah Ambon. Ada parang di<br />

darat, ada parang di laut, ada mennang, ada yang dimennang, ada<br />

disarang, ada yang menyarang, sebagailah kedua pihak itu tiada<br />

berputusan lagi. Segali perastawa gimelaha Kakasingku* keluar<br />

dengan kelengkapannya, maka ia bertemu dengan angkatan<br />

Nasrani di tanjung Mamala. Lalu melawanlah kedua angkatan itu<br />

daripada waktu duha sehingga datang kepada bakda lohor. Serta<br />

dengan kehendak Tuhan Yang Mahatinggi sekali-kali dengan<br />

kelengkapannya dan mayitnya perdana Kakasingku* pun sabil<br />

Allah tiada kettahuan lagi. Kemudian daripada itu dan<br />

kuceriterakan, sekalian keluar dengan kelengkapannya<br />

mendattangi sebuah negeri, Latu namanya. Maka datang<br />

angkatan kafir laknat bantu kepada negeri itu. Maka kedua pihak


erparanglah seperti orang bepasarang beramai-ramaian jualbeli.<br />

Hatta datang malam masing-masing pulang kepada<br />

tempatnya. Apabila datang esok harinya demikian juga, tiada<br />

berputusan berkawal-kawal kedua tentara itu. Hatta datang<br />

kepada suatu ketika serta dengan kehendak Allah ta`ala kepada<br />

pihak Islam itu pergi barjalan ke sini dan orang kawal itu pun<br />

serta dengan alpanya ia tidur. Maka dipandang oleh kafir laknat<br />

tempat itu sunyi dan kotanya itu pun tiada manusyia, lalu ia<br />

masuk. Laknat itu alah kepada kota Islam itu. Dan orang sekalian<br />

itu pun lari masing-masing membawah dirinya sehingga gimelaha<br />

Jamali al-Din, dua bersyaudara gimelaha Angsari* dan Liwa al-<br />

Din, hoja* alim mahudum*: ketiganya syahid, karena Jamali al-<br />

Din itu pahlawan yang termasyhur, ketiganya pendagar parang.<br />

Daripada itulah maka tiada berpaling apa tipu orang banyak serta<br />

dengan kehendak Tuhan Yang Mahatinggi daripada kesudahan<br />

hidup manusyia dalam negeri fanah datang kepada negeri yang<br />

baka. Dan Kalaudi pun dengan kelengkapannya masuk, maka ia<br />

bertemu kepada kafir laknat itu, maka ia syahid serta<br />

kelengkapannya pada ketika itu juga. Maka angkatan itu sekalian<br />

kembali masing-masing ke negerinya. Alkissah peri mengatakan<br />

parang kiyai Mas. Tatkala perdana Tubanbesi belayar ke tanah<br />

Jawa mengadap kepada pangngeran minta tolong kepada agama<br />

rasul Allah salla 'llahu alaihi wa-sallama, maka pangeran<br />

menyuruh kepada kiyai Mas serta kelengkapannya. Dan<br />

panglimanya yang gaggah dalam angkatan itu Martajiwa namanya<br />

dan seorang Panarukan namanya dan seorang pula Pasiruwan*<br />

namanya. Hatta ia datang ke tanah <strong>Hitu</strong> dan orang <strong>Hitu</strong> pun<br />

keluar angkatan serta ia mendatangi negeri kafir itu, lalu masuk<br />

ke dalam negeri. Maka negeri ke dalam kotanya dan orang itu pun<br />

mengikut belakangnya sehingga datang ke pintu kotanya. Maka<br />

panglimanya yang gaggah itu syahid, maka patah parang Islam<br />

itu. Ia undur lalu naik kepada kelengkapannya pulang ke negeri<br />

<strong>Hitu</strong>. Hatta datang musim, maka ia belayar kembali ke tanah<br />

Jawa. Itulah kesudahan parang kiyai Mas di tanah <strong>Hitu</strong> tolong<br />

kepada agama rasul Allah salla 'llahu alaihi wa-sallama. Alkissah<br />

dan kuceriterakan yang empunya ceritera, sekali perastawa<br />

keluar angkatan Islam mendatangi negeri kafir dan angkatan<br />

kafir pun keluar. Maka kedua angkatan itu sama bertemu di<br />

tengah jalan antaranya <strong>Hitu</strong> dan Kota Laha. Maka kedua pihak<br />

berhadapan seperti orang berhadapan serta dengan hidangan<br />

karena sangat maksud Islam ke sana kepada kafir laknat itu.<br />

Sebab pada ketika itu baginda cili Cuka ia menjadi kapitan laut,<br />

sendirinya memeggang panji-panji serta membaca salawat. Lalu<br />

bertempik kedua pihak itu seperti datang tofan bakilat-kilat dan


unyi senjatanya diupamakan guruh dari atas langit dan asapnya<br />

senjata itu menjadi awan antara langit dan bumi. Dan parangnya<br />

itu daripada waktu duha sehingga datang kepada waktu asar .<br />

Hatta dengan ajal Allah, maka baginda kiyaicili pun syahid. Dan<br />

daripada orang luka dan mati itu tiada kuceriterakan, daripada<br />

ajal itulah meneguhkan hati manusyia serta memberikan<br />

kesudahannya. Ada pun dalam angkatan kafir itu pun demikian<br />

juga luka dan mati, lalu undurlah keduanya angkatan itu. Islam<br />

pun dukacitta hatinya dan Nasrani pun demikian lagi. Masingmasing<br />

pulang kepada tempatnya. Itulah hal parang sabil Allah.<br />

Alkissah dan kuceriterakan johan pahlawan Tahalele ke tanah<br />

Bandan*minta tolong kepada agama rasul Allah salla 'llahu alaihi<br />

wa-sallama. Maka negeri Bandan* sekalian keluar angkatan ke<br />

tanah <strong>Hitu</strong>. Entah berapa aluannya, tetapi penghulu yang besar<br />

dalam angkatan itu pertama kapitan Falat, kedua kapitan Atijauh,<br />

ketiga orangkaya Watimena dan raja Rosengaing*. Hatta berapa<br />

lamanya datangnya itu dan negeri <strong>Hitu</strong> pun keluar angkatan serta<br />

dia bersama-sama mendatangi kafir laknat itu dan kafir itu pun<br />

keluar angkatan. Hatta terbit fajar kepada bakda subuh keluarlah<br />

kedua pihak angkatan itu berlawanlah dan bunyi senjata itu tiada<br />

dapat dikatakan. Asapnya itu menjadi awan menudung kepada<br />

kedua angkatan itu tiada berkenalan. Hatta hilang awan itu, maka<br />

dilanggar sebuah kapal, lalu patah parang kafir itu dan angkatan<br />

Islam itu kembali serta kemenangannya, makan-minum bersukasukaan.<br />

Kemudian daripada itu pergi alah kepada negeri,<br />

Tuhahan* namanya, maka ia kembali ke negeri <strong>Hitu</strong>. Hatta datang<br />

musim, lalu pulang ke tanah Bandan. Kemudian daripada itu<br />

datang pula angkatan itu ke tanah <strong>Hitu</strong>, tetapi tiada masyhur<br />

parangnya itu. Sehingga datang musim ia pulang. Itulah<br />

kesudahan tanah Bandan* datang ke tanah <strong>Hitu</strong> tolong kepada<br />

agama rasul Allah salla 'llahu alaihi wa-sallama. Alkissah dan<br />

kuceriterakan oleh yang empunya ceritera sekali perastawa orang<br />

<strong>Hitu</strong> keluar dengan kelengkapannya. Dan angkatan Ferangi pun<br />

keluar sama bertemu di pantai Kota Laha, maka melawanlah<br />

kedua angkatan itu. Pada mati dan luka itu tiada dikira-kirakan<br />

lagi. Hatta berapa lamanya serta dengan kehendak Allah ta`ala<br />

sebuah kelengkapan Islam, hulubalang Pati Lihat namanya,<br />

tebakar oleh api obat bedil sendirinya. Maka didapat oleh kafir<br />

laknat itu, lalu undurlah kelengkapan Islam itu kembali dengan<br />

dukkacittanya. Ada pun pada ketika itu ada juga suruan pangeran.<br />

Ia membuat kota di pantai sebelah berhadapan kota Ferangi. Itu<br />

pun tiada juga jadi kota, itu bukan dialah oleh Ferangi, ia<br />

meninggal sendirinya pulang ke negeri <strong>Hitu</strong>. Hatta lama dengan<br />

lamanya sebagai juga tiada berputusan parang sabil Allah. Segali


perastawa keluar angkatan kafir laknat itu serta orang Tidore dan<br />

orang Buru mendatangi di negeri <strong>Hitu</strong> dan orang <strong>Hitu</strong> pun harkat<br />

menanti di pantai. Hatta datang angkatan itu lalu turun, maka<br />

hulubalang Ulu Ahutan ia becakap di hadapan orang sekalian:<br />

‘Jangan dahulu orang keluar, biarlah aku sendiri keluar dahulu.<br />

Apabila tiada patah orang itu, tuhan-tuhan sekalian keluar.’ Lalu<br />

ia bertempik ke dalam tentara kafir itu serta menettak, maka<br />

patah parang laknat itu. Masing-masing lari terjung ke dalam air<br />

berenang kepada tempatnya sehingga hulubalang Sulaiman:<br />

maka ia tiada paling mukanya, maka ia bertankis-tankisan dengan<br />

perisainya serta undur datang kepada air sehingga lututnya, lalu<br />

naik kepada kelengkapannya pulang ke Kota Laha. Tellah<br />

demikian itu dan kuceriterakan tatkala bendahara gimelaha<br />

Rubohongi ia pulang ke rahmat Allah meninggalkan negeri fanah<br />

datang kepada negeri yang baka. Maka dihabarkan orang kepada<br />

kafir laknat itu, lalu ia keluar angkatan. Kehendak kafir itu<br />

menggagahi akan mayit bendahara itu, tetapi tiada dapat lagi,<br />

sebab sudah dipindahkan ke <strong>Tanah</strong> Besar. Lalu ia menyerrang<br />

kepada negeri <strong>Hitu</strong>. Tatkala itu sekalian hulubalang serta<br />

pendagar semuanya tiada, sehingga Jumat pahlawan al-Din ada,<br />

tetapi ia dalam uzur. Maka pada ketika itulah perdana Kapitan<br />

<strong>Hitu</strong> memagang senjata, ia masuk parang kepada tentara kafir itu.<br />

Hatta seketika juga patah parang kafir laknat itu, lalu naik kepada<br />

kelengkapannya pulang ke Kota Laha. Itulah parang sabil di tanah<br />

Ambon, sungguh pun disubut tanah Ambon, tetapi tanah <strong>Hitu</strong> juga<br />

parang siang dan malam tiada berputusan. Kadang-kadang <strong>Tanah</strong><br />

Besar masuk kepada parang. Sebab itulah maka dikatakan tanah<br />

<strong>Hitu</strong> di belakang perisyai dan <strong>Tanah</strong> Besar di dalam perisyai.<br />

Karena tatkala zaman parang itu hulubalang dan pendagar ada<br />

semuhanya -- pertama Ulu Ahutan, kedua hulubalang Hasan Pati,<br />

ketiga hulubalang Hatib Tunsulu,keempat Pati Baraim, kelima<br />

Umar pendagar, keenam Mahir pendagar, ketujuh pendagar<br />

Nahoda, kedualapan pendagar Nasiela -- hulubalang yang<br />

termasyhur dalam tanah <strong>Hitu</strong>. Lain daripada itu tiada kusubutkan<br />

melainkan Jumat, pahlawan al-Din. Ialah yang termasyhur<br />

pendagarnya dan terlalu amat gagahnya daripada sekalian. Itulah<br />

sangat parang sabil Allah di tanah <strong>Hitu</strong>. Dan kuceriterakan<br />

hulubalang kafir laknat itu pertama Don Duarde, kedua kapitan<br />

Sanco*, ketiga Paulo Kastanya dan Dan Tamura dan<br />

Dirgurumaridisi dan Siku Kisua dan Don Disera* dan Fernando<br />

Melo* dan Antoni Laliru. Lain daripada itu tiada kuceriterakan,<br />

sehingga inilah dimasyhurkan sangat parang kafir di tanah<br />

Ambon. Tatkala pada zaman itu alah menang sama kedua pihak<br />

itu. Kuceriterakan menang Islam kepada kafir itu: sekali alah


sebuah kapal di tanah Bandan, kedua sebuah di pantai <strong>Hitu</strong> dan<br />

ketiga sebuah serta angkatan Bandan* dan keempat langgar<br />

kepada pinsu* dan kelima langgar kepada antonibot*. Lain<br />

daripada itu tiada kuceriterakan. Dan menang kafir kepada Islam<br />

pun demikian lagi, karena parang sabil di tanah Ambon itu tujuh<br />

puluh tahun daripada parang Don Duarde sehingga datang parang<br />

Antoni Furtado*. Tatkala belum lagi datang Furtado itu, maka<br />

datang sebuah kapal Wolanda. Ia masuk ke <strong>Hitu</strong>, maka orang <strong>Hitu</strong><br />

tanya kepadanya:‘Darimana datangmu dan apah nama negerimu?’<br />

Maka ia menyahut: ‘Kami datang dari negeri Hollandes* dan nama<br />

raja kami “Paringsi*”.’ Maka kata orang <strong>Hitu</strong>: ‘Bolehkah kami<br />

minta armada tolong kepada kami?’ Maka kata orang itu:<br />

‘Mengapah maka tiada boleh? Boleh juga, tetapi menyuruh sampai<br />

kepada Prings* dan orang besar2 di negeri Holanda* supaya<br />

boleh dengar kepada dia empunya pekatahan, bolehkah atau<br />

tiadakah.’ Maka kata keempat perdana: ‘Jika bagai kata demikian<br />

itu,sampaikan dahulu kami punya pekatahan ini. Bagaimana<br />

kehendaknya Prings dan orang besar2, atau kamikah datang ke<br />

sana atau menyuruhkah datang ke mari?’Serta dengan kiriman<br />

tanda alamat tanah Ambon, lalu ia belayar pulang ke negeri<br />

Holandes menyampaikan katahan itu kepada orang besar2 dari<br />

negeri Holandes. Hatta datang musim barat kapitan amiral<br />

Kurnilis* [dan] Istin Warhaga* pun datang. Maka ia berhadapan<br />

kata serta keempat perdana dan berjanjian apah upahan dan<br />

berputusan barang kerja: apabila barang sesuatu perbuatan, jika<br />

salah kepada adat jangan dikerjakan kepada dua kaum itu. Dan<br />

diperjanjikan upahan: apabila alah kepada kotanya, maka orang<br />

<strong>Hitu</strong> bayar empat ratus bahara kepada Wolanda. Ada pun kotanya<br />

dan senjatanya dan orangnya hitam itu kepada orang <strong>Hitu</strong>, dan<br />

orang putih itu kepada orang Wolanda. Apabila alah kepada kapal,<br />

maka bayar empat puluh bahara. Kapal serta senjatanya dan<br />

orang putih kepada Wolanda, orang hitam kepada orang <strong>Hitu</strong>.<br />

Tellah demikian itu, lalu masuk ke Kotah Laha periksai kepada<br />

kotah Feranggi itu. Maka ia pulang, lalu belayar ke negeri<br />

Wolanda menyampaikan berjanjian berputusan kata sekalian itu<br />

kepada Prings vin Nyuranye* dan orang besar2 dalam negeri<br />

Murucisa*. Dan enam orang dinamai ‘graf*’, yakni syaudagar<br />

yang besar lagi artawan, termasyhur dalam negeri Wolanda, ialah<br />

empunya kapal syaudagar yang datang ke tanah bawah hangin<br />

ini. Dan kuceriterakan yang empunya ceritera. Kemudian daripada<br />

kapal belayar itu, maka kapitan Peranggi menyuruh kepada<br />

keempat perdana, demikian katanya: ‘Marilah kita bedamai dan<br />

bebaikan dunia tanah Ambon.’ Tetapi keempat perdana tiada mau,<br />

karena ia ingat kepada perjanjian dengan amiral Istiwin


Warhaga* itu. Daripada tiada mau mengubah janjinya, lalu<br />

peranglah kedua pihak itu tiada berputusan sehingga datang<br />

Furtado. Itulah halnya orang berjanjian. Alkissah peri<br />

mengatakan datang Furtado. Ada pun tatkala datang Furtado<br />

serta kelengkapannya, lalu ia mendatangi negeri <strong>Hitu</strong>. Dan negeri<br />

<strong>Hitu</strong> pun pinda ke gunung Pinau*, maka ia naik barparanglah di<br />

sana. Hatta berapa lamanya alah gunung itu,maka negeri sekalian<br />

takluk kepadanya. Lalu dibawah kepada perdana Tubanbesi dan<br />

orangkaya Patiwani kepada kafir laknat itu, sehingga keempat<br />

perdana juga pinda ke <strong>Tanah</strong> Besar. Maka kafir itu mendatangi<br />

negeri Luhu dan Lasidi*, Kambelo itu pun alah juga semuanya.<br />

Lalu ia mendatangi negeri Iwa* dan orang Iwa* pun keluar<br />

berparang dia.Hatta seketika juga patah parang kafir, sebab<br />

dilontar dengan batu oleh negeri itu kennah kepala kapitan<br />

Furtado, lalu undur pulang ke Kota Laha. Demikianlah parang<br />

Antoni Furtado* di tanah Ambon sehinggalah perangnya. Maka<br />

kuceriterakan keempat perdana pinda ke <strong>Tanah</strong> Besar itu, dan<br />

perdana Tanihitumesen ia duduk di negeri Anin dan perdana Pati<br />

Tuban ia duduk di negeri Waibuti dan perdana Nusatapi ia duduk<br />

di Gamusungi, yakni negeri Luhu. Maka Kapitan <strong>Hitu</strong> naik kepada<br />

sebuah perau pergi mencari bantu sehingga ke Seran. Maka<br />

bertemu dua buah kapal Wolanda dan ditanya kepadanya: ‘Mana<br />

kapitan-mor*?’ Maka ia menyahut: ‘Kapitan-mor ada di tanah<br />

Bandan.’ Lalu Kapitan <strong>Hitu</strong> belayar ke tanah Bandan, maka ia<br />

bertemu dengan kapitan Wolanda itu dan keduanya berhadapan<br />

kata dan bicara. Maka dinaikan empat orang mengikut kapitanmor<br />

itu, lalu belayar dan Kapitan <strong>Hitu</strong> pun pulang ke tanah<br />

Ambon. Hatta datang musim barat, datang pula sebuah kapal ke<br />

tanah Ambon kepada empat perdana. Maka keempat perdana<br />

menyuruh kepada Mihirjiguna ibn Kapitan <strong>Hitu</strong> dan mardan Sibori<br />

ibn Tubanbesi keduanya naik kepada kapal itu mendapatkan<br />

angkatan. Hatta datang ke tanah Jawah, maka ia menanti<br />

sehingga datang sama negeri Banten. Hatta berapa lamanya<br />

angkatan pun datang, maka Mihirjiguna dan mardan Sibori<br />

bertanya kepada angkatan itu, demikian katanya: ‘Darimana<br />

angkatan ini dan siapa empunya angkatan ini?’ Maka ia<br />

menyahut: ‘Ada pun angkatan ini angkatan Wolanda, keluar dari<br />

negeri Murucisa* dan empunya angkatan ini Prings van<br />

Nyuranye* dan penghulu dalam angkatan ini amiral Matelif* dan<br />

Istiwin Warhaga*.’ Maka kata Mihirjiguna: ‘Endak ke mana?’ Maka<br />

ia menyahut: ‘Mencari kepada musuh kami, Portugal namanya.’<br />

Maka kata pula Mihirjiguna dan mardan Sibori: ‘Marilah sama kita<br />

ke tanah Ambon, karena musuh itu ada di tanah Ambon.’ Maka<br />

menyahut menyahut pula kata Mihirjiguna itu: ‘Apabila jika


dengan faedahnya, maka kami bersama-sama ke tanah Ambon.’<br />

Lalu Mihirjiguna keluarkan surat perjanjian itu kepada amiral<br />

Matelif*dan Istiwin Warhaga*. Maka dibaca surat itu, lalu ia diam<br />

dirinya. Ada pun bunyi dalam surat itu, demikian buninya:<br />

‘Apabila alah kotanya itu, maka kami beri empat ratus bahara<br />

cengkeh. Ada pun kotanya serta senjatanya kepada orang <strong>Hitu</strong><br />

dan orangnya hitam itu pulang kepada hitam dan orangnya putih<br />

itu pulang kepada putih. Apabila jika alah kepada kapalnya, maka<br />

beri empat puluh bahara. Ada pun kapalnya serta senjatanya<br />

kepada Wolanda dan orang putih serta kapalnya, dan orang hitam<br />

kepada orang <strong>Hitu</strong> dan artanya itu bahagi dua.’ Telah demikian<br />

itu, hatta datang kepada hari dan ketika yang baik, lalu belayar<br />

serta Mihirjiguna dan mardan Sibori ke tanah Ambon, lalu masuk<br />

kepada labuan kota Feranggi itu. Hatta datang itu, maka kapitan<br />

Feranggi menyuruh datang tanya kepadanya,demikian katanya:<br />

‘Darimana angkatan ini?’ Maka ia menyahut: ‘Angkatan ini dari<br />

negeri Wolanda.’ Lalu katanya kepada kapitan Feranggi itu:<br />

‘Keluar engkau dari tanah ini.’ Maka kata kapitan Feranggi itu:<br />

‘Mengapah maka kata demikian? Karena kami empunya negeri ini,<br />

mengapah maka kami keluar dari tanah ini?’ Maka kata<br />

amiral:‘Bukan engkau empunya tanah, karena tanah ini ada yang<br />

empunya. Sudah ia berikan kepada kami dan ia pun ada pada<br />

kami.’ Lalu dikeluarkan kepada Mihirjiguna dan mardan Sibori di<br />

hadapan, lalu diam kapitan Feranggi itu tiada berkata-kata lagi.<br />

Hatta datang pagi hari dikeluarkan anak kunci itu diserahkan<br />

kepada tangan amiral, lalu keluar duduk di luar. Maka diberinya<br />

perau, lalu ia belayar pulang ke negerinya. Tellah demikian itu<br />

maka kata amiral Kurnilis Matelif* dan Istiwin Warhaga* kepada<br />

Kapitan <strong>Hitu</strong> dan keempat perdana: ‘Betapa kota ini?’ Maka kata<br />

Kapitan <strong>Hitu</strong> serta orangkaya-kaya: ‘Baik juga kita rusakkan kota<br />

ini buan ke laut.’ Maka kata amiral dan Istiwin Warhaga*: ‘Bennar<br />

juga kata itu, tetapi kita mengambil kota ini seperti kita<br />

mengambil isteri orang. Apabila datang cari kepada isterinya,<br />

bagaimana tempat kita jawab kepadanya? Ada pun tempat kita itu<br />

melainkan dengan kota, maka kita melawan dengan dia.’ Maka<br />

kata Kapitan <strong>Hitu</strong> dan keempat perdana: ‘Jika bagai kata amiral<br />

itu, baiklah Wolanda duduk kepada kota itu, tetapi barang kerja<br />

kota atas orang hitam. Itulah kerjakan dia, ada pun orang<br />

Wolanda sehingga perintahkan dan mengaraskan.’ Maka kata<br />

amiral Matelif* dan Istiwin Warhaga*: ‘Diiakanlah jika bagai kata<br />

demikian itu.’Lalu dinaikan Firdirik Hutman* gurendur di kota<br />

Ambon. Maka amiral Matelif* dan Istiwin Warhaga* pulang serta<br />

angkatannya menyampaikan khabar kepada Frings* dan orang<br />

besar2 dalam negeri Wolanda. Hatta datang musim barat, datang


pula angkatan itu ke tanah <strong>Hitu</strong>, masuk ke Kota Laha. Maka<br />

datang baginda cili Ali dan gimelaha Aja dan hamba raja Ambalau<br />

minta kepada amiral, demikian katanya: ‘Tellah sudah selamat<br />

tanah Ambon daripada bahaya. Marilah kita ke Maluku tolong<br />

kepada negeri Ternate.’ Maka kata amiral Matelif* dan Istiwin<br />

Warhaga* menyahut amiral keduanya: ‘Jika dengan manfaatnya<br />

maka kami mau ke Maluku.’ Maka kata baginda cili Ali dan<br />

gimelaha Aja: ‘Apatah lagi manfaat? Karena Kapitan <strong>Hitu</strong><br />

mengatakan upahan itu kami semuanya di situ.’ Maka kata amiral:<br />

‘Yang tellah sudah itu apa betapa disubut lagi?’ Maka kata kiyaicili<br />

dan gimelaha: ‘Jika bagai kata demikian itu, apatah kehendak<br />

amiral itu? Katakanlah, supaya kami dengar.’ Maka kata amiral<br />

Matelif* dan Istiwin Warhaga*: ‘Berilah hasil tiga negeri itu<br />

kepada kami, maka kami mau ke Ternate.’ Maka kata kiyaicili Ali<br />

dan gimelaha dan hamba raja:‘Mana tiga negeri itu?’ Maka kata<br />

amiral: ‘Negeri Luhu dan Lesidi dan Kambelo, tiga buah negeri itu<br />

kami minta.’ Maka gimelaha dan kiyaicili tiada mau kepadanya<br />

dan amiral pun endak juga kepadanya. Lalu kata gimelaha dan<br />

kiyaicili: ‘Marilah kita pulang dahulu, esok hari maka kita berkatakata’,<br />

lalu pulang. Maka menyuruh panggil kepada kapitan serta<br />

keempat perdana <strong>Hitu</strong>, maka kata baginda cili Ali kepada gimelaha<br />

dan orangkaya-kaya semuanya: ‘Apa tipu kita karena negeri<br />

Ternate dalam kesukaran?’ Maka ia saat*: ‘Endak kepada hasil<br />

tiga buah negeri itu, maka kita berilah salah, tiada beri salah. Apa<br />

tipu kita sekarang ini?’ Maka kata Kapitan <strong>Hitu</strong>: ‘Ada pun sudah<br />

rusak negeri Ternate serta dengan arta isi rumahnya habis<br />

dirampas oleh kafir itu. Moga2 dengan kehendak Allah ta`ala dan<br />

berkat agama rasul Allah salla 'llahu alaihi wa-sallama, maka<br />

kembali negeri Ternate serta dengan kerajaan. Dari mana akan<br />

datang ganti isi astanah raja? Karena rakyat sekalian wa-'llahu<br />

a`lam dalam kesukaran, melainkan hasil datang dari tanah<br />

Ambon. Pada ketika itu, apabila kembali rayat semuanya dan<br />

negeri Ternate pun tettap, sudah tiada kurang kepada hasil masuk<br />

negeri Ternate kepada hari yang kemudian itu.’ Lalu berkata:<br />

‘Apabila angkatan itu ia mau tolong kepada negeri Ternate, insya<br />

Allah, itu upahnya atas tanah <strong>Hitu</strong>.’ Tellah demikian itu maka<br />

gimelaha dan kiyaicili katakan kepada amiral Kurnilis Matelif* dan<br />

Istiwin Warhaga* dan kapitan sekalian dalam angkatan itu. Maka<br />

kata Kapitan <strong>Hitu</strong>, maka diiakanlah kapitan sekalian itu. Dan<br />

Kapitan <strong>Hitu</strong> pun becakaplah di hadapan orang sekalian itu. Lalu<br />

kata amiral: ‘Berilah anak Kapitan <strong>Hitu</strong> ikut kepada kami supaya<br />

kami sampaikan kepada Prings dan orang besar di negeri<br />

Wolanda.’ Maka diberikan anak Kapitan <strong>Hitu</strong>, Unus Halaene<br />

namanya, ia mengikut kepada amiral belayar ke Maluku, sehingga


datang ke Ternate. Maka didirikan kota di negeri Melayu. Maka<br />

sekalian rakyat pun kembali ke negeri Ternate dan dinaikan serri<br />

sulthan paduka Mudafar ibn Sa`id al-Din syah, lil* Allah [fi] 'l-<br />

`alamin akan kerajaan dan diturunkan gurendur serta soldadunya<br />

duduk menunggu kota. Lalu belayar angkatan itu membawah<br />

kepada Unus Halaene ibn Kapitan <strong>Hitu</strong> dan anak raja Nusaniwe<br />

dan anak orangkaya Lakatua dan anak orangkaya Natahuat* ke<br />

negeri Wolanda. Dan kuceriterakan tatkala gurendur Hutman* itu,<br />

maka datang amiral, Simon Hun* namanya, serta<br />

kelengkapannya. Ia itu banyak kasihnya akan artanya kepada<br />

orang serta dengan empenak supaya menjadi jinak sekalian orang<br />

Ambon. Kemudian daripada ia itu maka datang pula amiral, Piter<br />

Bot* namanya,mengantarkan kepada Unus Halaene. Iapun<br />

demikian juga murahnya dan pada ketika itu gurendur Hutman*<br />

pun belayar karena lamanya gurendur Hutman* enam tahun ia<br />

duduk. Maka dinaikan Yangseper Yangsi* akan gurendur sehingga<br />

tiga tahun. Tatkala itu datang jeneral, Gerat Rangsi* namanya. Ia<br />

datang dari Betawih, lalu ke Maluku, dari Maluku datang ke<br />

Ambon, lalu ke Bandan, dari Bandan* datang ke Ambon pula.<br />

Pada zaman itu negeri Luhu dan Kambelo menerima kepada orang<br />

Ingeris, ia duduk di negeri Kambelo. Maka gurendur Yangseper<br />

Yangsi* menyuruh serta kelengkapannya masuk ke pantai<br />

Kambelo suruhnya Ingeris itu keluar, ia tiada mau. Maka kedua<br />

pihak sama petuguhnya, pasang-memasang, tembak-menembak<br />

kedua kaum itu. Hatta berapa lamanya, maka datang jeneral<br />

Gerat Rengsi* dan perdana Kapitan <strong>Hitu</strong> menyuruh kepada<br />

gimelaha Syabidin*, karena gimelaha itu mangkubumi di tanah<br />

Ambon, daripada itulah menyuruh periksai kepadanya. Maka kata<br />

gimelaha Syabidin: ‘Mengapa maka tanya kepada beta lagi?<br />

Karena beta sudah keluarkan dia dari negeri Luhu. Maka sekarang<br />

ini ia duduk di negeri Kambelo, tiada beta mengetahui duduknya<br />

itu. Mana kehendak jeneral itu kerjakan, tetapi serta adil kepada<br />

jeneral, karena tempat duduk Ingeris itu tanah raja Ternate dan<br />

negeri Kambelo itu pun rakyat raja Ternate. Itulah beta taksirkan<br />

dahulu. ’Tellah demikian itu, maka jeneral Gerat Rangsi dan<br />

gurendur Yangseper Yangsi* menyuruh memagang senjata endak<br />

melanggar kepada negeri Kambelo. Maka kata perdana Kapitan<br />

<strong>Hitu</strong> kepada jeneral dan gurendur: ‘Sabar dahulu, supaya kami<br />

menyuruh kepada orangkaya-kaya dalam negeri Kambelo. Apabila<br />

ia mengikut, al-hamdu li-'llah, bebaikan kita serta dia. Jika tiada<br />

mengikut, apatah dayah, lepas taksir kita.’ Maka diiakanlah<br />

jeneral dan gurendur kata Kapitan <strong>Hitu</strong> demikian itu, lalu<br />

menyuruh kepada orangkaya-kaya dalam negeri Kambelo kata<br />

yang kebaikan dan kebenaran. Maka mengikutlah ia, lalu pindah


ke pantai Eran* dan orang Wolanda pun masuk ke dalam negeri<br />

itu dan orang Inggeris pun keluar naik kepada kapalnya, lalu<br />

belayar pulang ke negerinya.Maka jeneral dan gurendur pulang ke<br />

Kota Laha. Maka dinaikan Aren Bulok* akan gurendur ganti<br />

kepada Yangseper Yangsi*, lalu ia belayar pulang ke Betawih dan<br />

gurendur Aren Bulok* duduk di kota Ambon. Pada ketika itu ada<br />

suatu fitna, maka berparanglah dengan negeri Nasrani yang<br />

takluk kepadanya itu, Leitimol* namanya. Hatta berapa lamanya,<br />

maka Kapitan <strong>Hitu</strong> bedamaikan dia, maka suatupun tiada fitna<br />

dalamnya. Hatta lama dengan lamanya sehingga datang kepada<br />

tahunnya, lalu ia pulang dan dinaikan Herman Aspel* akan<br />

gurendur ganti kepada Aren Bulok*. Alkissah peri mengatakan<br />

tatkala Herman Aspel* ia akan gurendur itu, maka kedua kaum<br />

muafakat serta bersakutu bandar Wolanda dan Inggeris itu, maka<br />

suatupun tiada hisab* lagi. Hatta berapa lamanya serta dengan<br />

kehendak Allah ta`ala datang suatu bala Allah.Orang Inggeris dan<br />

Jupun endak tipu kepada Wolanda, serta kotanya maka diketahui<br />

oleh Wolanda, lalu dibunuh kepada Inggeris dan Jupun semuanya,<br />

karena gurendur itu itu sangat bengis. Daripada ia memulai<br />

parang di tanah Ambon. Pertama berkellahi dengan negeri<br />

Hutumuri, kedua berkellahi dengan negeri Lesibata, ia serta<br />

gimelaha Syabidin mengalah kepada negeri itu. Maka Kapitan <strong>Hitu</strong><br />

bawah kepada kipati Lesibata, ia bedamai dengan gurendur.<br />

Segali perastawa tanah Ambon semuanya serta gimelaha<br />

berbantahkan harga cengkeh, tawar-menawar dengan orang<br />

Wolanda. Demikian kata gimelaha dan orangkaya-kaya sekalian:<br />

‘Minta seratus harga sebahara.’ Maka kata gurendur: ‘Enam puluh<br />

harga sebahara.’ Maka kata orangkaya-kaya: ‘Berilah delapan<br />

puluh.’ Maka kata gurendur: ‘Betapa kami disamakan dengan<br />

Inggeris, karena ia tiada hilang belanjanya. Mengapah maka ia<br />

disamakan kami, karena kami banyak belanja hilang kepada<br />

soldadu dan marinero* membuat kota. Mengapah maka minta<br />

delapan puluh daripada kami banyak arta keluar?’ Maka kata<br />

orang Ambon: ‘Mengapa maka gurendur kata demikian? Karena<br />

gurendur banyak arta hilang itu ada dengan hasilnya. Mengapa<br />

maka kata demikian itu?’ Lalu orang Ambon tiada keluarkan<br />

cengkeh, maka jadi fitna, endak berkellai kedua pihak itu. Maka<br />

kata Kapitan <strong>Hitu</strong> kepada kedua pihak itu: ‘Apa kerja berkellai?<br />

Baik juga gurendur menyuruh belayar ke Betawih kepada jeneral<br />

menyampaikan kata orangkaya-kaya itu. Dan apa kata jeneral itu,<br />

maka gurendur dan menyuruh kepada paduka seri sultan di<br />

Ternate. Betapah kehendak titah itu, maka kita lakukan bagai<br />

titah itu.’ Lalu ia menyuruh ke Ternate dan menyuruh ke Betawih.<br />

Hatta datang musim barat maka maka datang kapitan Warhaga,


surat dari Betawih dan titah dari Ternate pun datang. Maka<br />

semuhanya dengan Wolanda pun berhimpun di pantai Luhu<br />

memutuskan harga cengkeh itu. Karena surat dari Betawih<br />

demikian katanya: ‘Ada pun kepada bicara yang lain, baik dan<br />

jahat, seperti membuat kota atau berkellai atau kurang kuasa<br />

barang sesuatu, maka atas kepada jeneral. Jikalau kepada<br />

benyagah Ambon itu atas kepada gurendur dan fetor* semuhanya<br />

di tanah Ambon.’ Itulah kesudahannya. Ada pun daripada titah<br />

seri sultan di Maluku demikian bunyinya: ‘Bahwa sesungguhnya<br />

tanah Ambon itu takluk kepadaku, tetapi kepada artanya itu mana<br />

kehendaknya tiada kepadaku, karena benyagaan itu sama sukah<br />

keduanya.’ Itulah kesudahannya daripada titah. Maka kata orang<br />

sekalian: ‘Jika bagai kata titah keduanya itu, atas kepada<br />

gimelaha dan gurendur memutuskan harga cengkeh ini.’ Maka<br />

kata gurendur: ‘Bukan aku, atas kepada fetor semuhanya.’ Maka<br />

kata fetor kepada orangkaya gimelaha: ‘Betapa harga cengkeh<br />

ini?’ Maka kata orangkaya gimelaha: ‘Bukan aku empunya<br />

cengkeh. Yang empunya cengkeh itu orangkaya-kaya sekalian di<br />

tanah Ambon.’ Lalu kata orangkaya-kaya: ‘Berilah tengah delapan<br />

puluh.’ Maka kata fetor: ‘Tengah tujuh puluh.’ Maka kata<br />

gimelaha: ‘Berilah tujuh puluh.’ Maka fetor pun mau dan<br />

orangkaya-kaya sekalian pun mengikut kata gimelaha itu, tujuh<br />

puluh harga sebahara cengkeh. Kemudian kata gurendur: ‘Sudah<br />

putus tujuh puluh, tetapi beta minta kepada orangkaya gimelaha<br />

dan orangkaya-kaya semuhanya enam puluh tujuh. Tiga real itu<br />

akan harga siri pinang soldadu.’ Maka diiakanlah orangkaya-kaya<br />

semuhanya kepada kata gurendur itu enam puluh tujuh real.<br />

Itulah keputusan harga ce<br />

ngkeh dan negeri sekalian pun keluar cengkeh timbang kepada<br />

fetor. Tellah demikian hatta datang kepada tahun yang lain,<br />

datang utusan dari Ternate minta bantu kepada gurendur, karena<br />

banyak datang Kastila ke Tidore. Tatkala itu jeneral Lurinsu Riyal*<br />

dan amiral Astiwin Warhaga* pun datang serta kelengkapannya<br />

delapan buah kapal. Maka disampaikan surat itu kepadanya, maka<br />

kata jeneral: ‘Ada pun beta ini endak ke Bandan, tetapi surat dari<br />

raja dan gurendur dari Ternate minta bantu ke sana. Maka betapa<br />

tipu orangkaya-kaya semuhanya kepada titah itu. Jikalau mau,<br />

beta minta kepada orangkaya-kaya sekalian keluarkan tujuh real<br />

upamakan harga makanan soldadu. ’Maka diiakanlah orangkaya<br />

sekalian tanah Ambon serta dengan janjinya, demikian katanya:<br />

‘Enam puluh pada harga sebahara cengkeh itu, sehingga dalam<br />

berkellai ini. Apabila alah kepada Kastila dan Tidore atau bedamai<br />

dengan dia, maka cengkeh itu hargakan lagi atau kurang lagi


daripada enam puluh itu atau lebihkan lagi daripada enam puluh<br />

itu.’ Maka diiakanlah oleh kedua pihak itu serta disuratkan dalam<br />

kertas tatkala disuratkan itu di pantai Gamusungi di hadapan<br />

jeneral dan amiral dan perawara sekalian daripada pihak Nasrani<br />

dan hadapan mengkubumi gimelaha Syabidin dan perdana<br />

sekalian perwara di tanah Ambon serta Kapitan <strong>Hitu</strong> daripada<br />

pihak Islam itu, lalu jeneral belayar ke Maluku tolong kepada<br />

negeri Ternate. Itulah kesudahan harga cengkeh pada ketika itu.<br />

Maka suatupun tiada lagi fitna pada kedua pihak itu karena sudah<br />

keputusan kata yang baik dan jahat. Tetapi daripada ia endak<br />

kejahatan itu, maka ia membuat suatu fitna kepada sengaji*<br />

Boano, karena fitna itu tiada subut lagi, yakni sudah di luar<br />

perjanjian. Alkissah peri mengatakan tatkala gurendur keluar<br />

dengan angkatan. Ia datang tanya kepada perdana gimelaha,<br />

demikian katanya: ‘Betapa perbuatan sengaji Boano demikian<br />

itu?’ Maka kata perdana gimelaha: ‘Ada pun perbuatan sengaji itu<br />

kami tiada mengetahui kepadanya. Melainkan dengan adil<br />

gurendur, karena tanah Boano itu tanah raja dan orang itu pun<br />

rakyat raja Ternate. Itulah kita taksirkan kepada gurendur.’ Lalu<br />

gurendur serta angkatannya mendatangi negeri Boano, maka kata<br />

Kapitan <strong>Hitu</strong> kepada gurendur: ‘Ada pun gimelaha itu tiada<br />

bicarakan, sehingga ditaksirkan juga. Maka beta minta kepada<br />

gurendur sabar ahulu, beta menyuruh kata kepada sengaji.<br />

Jikalau mau keluar, beta damaikan dia dengan gurendur; apabila<br />

jika ia tiada mau, apahtah daya? Lapas taksir kita kepada sengaji<br />

dan orangkaya-kaya dalam negeri Boano.’ Tellah demikian itu,<br />

lalu menyuruh kata kepada sengaji dan orangkaya semuhanya<br />

keluar, maka Kapitan <strong>Hitu</strong> dan gurendur serta orangkaya sekalian<br />

menghukumkan kedua pihak itu. Yang benar itu dibenarkan dan<br />

yang salah itu disalahkan serta didamaikan kedua kaum itu<br />

dengan kebajikan. Maka gurendur serta angkatannya pulang ke<br />

Kota Laha dan Kapitan <strong>Hitu</strong> serta kelengkapannya pulang ke<br />

negerinya. Maka suatupun tiada fitna lagi, melainkan melakukan<br />

kebaikan dan kebenaran serta kesukaan dunia dan tiada mengirangirakan<br />

hari yang kemudian,karena kesukaan dan keadaan itu<br />

tiada berapa dalamnya. Tellah demikian itu datang johan<br />

pahlawan gimelaha Hidayat. Alkissah peri mengatakan serta<br />

kuceriterakan tatkala perdana gimelaha Hidayat keluar serta<br />

angkatan datang ke tanah Ambon. Dan negeri sekalian pun<br />

dengan kesukaannya serta dimulianya, karena ia perdana yang<br />

besar dalam negeri Ternate, lagi johan pahlawan, lagi ia hukum<br />

dalam negeri Ternate, lagi ia alim dan tiada orang besar tubuhnya<br />

bagai dia dari Maluku sehingga datang ke Ambon, susunya bagai<br />

susuh perempuan. Sungguhpun besar tubuhnya itu tetapi kuat. Ia


membuat ibadat, taat siang malam tiada berputusan<br />

mengaraskan agama Islam. Ada pun pada tatkala itu barang<br />

hukum daripada zaman yang tiada boleh putuskan orangkayakaya<br />

sekalian di tanah Ambon itu, ialah memutuskan, daripada ia<br />

mengatakan hukum itu serta dengan hukum Allah. Daripada itulah<br />

termasyhur nama johan pahlawan hukum Hidayatullah di tanah<br />

Ambon, upama terbit matahari cahayanya menarangkan yang<br />

adanya. Tellah demikian itu, hatta berapa antaranya dengan<br />

kehendak Allah ta`ala perdana gimelaha Syabidin pun uzur, yakni<br />

sakit. Serta ajal Allah, maka wafatlah perdana gimelaha pulang ke<br />

rahmat Allah. Maka pada ketika itu tanah Ambon dalam hukum<br />

Hidayatullah. Kemudian daripada itu datang jeneral Pitir Eskun*<br />

serta angkatan masuk ke Kota Laha. Maka Kapitan <strong>Hitu</strong> tanya<br />

kepada jeneral: ‘Endak ke mana angkatan ini?’ Maka kata jeneral:<br />

‘Endak ke Bandan* berkellai.’ Maka kata Kapitan <strong>Hitu</strong>: ‘Apa tipu<br />

kita kepada tanah Bandan? Karena tatkala kita berparang dengan<br />

orang Feranggi ia tolong kepada kita. Maka sekarang ini kita<br />

tolong dengan senjata tiada boleh. Sudah kita tolong dengan<br />

makanan tiada sampai. Baiklah kita tolong kepadanya dengan<br />

pekatahan.’ Lalu Kapitan <strong>Hitu</strong> naik kepada angkatan itu, tiada<br />

pulang ke negerinya lagi, sehingga enam orang juga mengikut<br />

dia. Kemudian anak orangkaya-kaya tiga puluh orang serta Unus<br />

Halaene ibn Kapitan <strong>Hitu</strong> naik kepada kapal Inggeris ikut<br />

belakangnya. Hatta datang angkatan itu antaranya laut Puluh<br />

Suanggi* dan Gunung Api, maka didirikan tunggulnya sekalian<br />

kapalnya itu serta bunyi tamburunya*, torompetanya* dan<br />

himpunkan soldadu serta dengan senjatanya, maka masuk di<br />

pantai Lontor. Ia belabu sehingga datang labuan Komber. Maka<br />

kata Kapitan <strong>Hitu</strong> kepada jeneral: ‘Sabar dahulu, kita masuk<br />

kepada orangkaya-kaya tanah Bandan, tanya kepadanya maukah<br />

bedamai atau tiada maukah.’ Maka kata jeneral: ‘Bukan kami<br />

minta bedamai, kami endak berkellai juga. Tetapi daripada<br />

kehendak Kapitan <strong>Hitu</strong> demikian itu, kita ikutlah.’ Maka Kapitan<br />

<strong>Hitu</strong> naik, lalu masuk kepada negeri Salamah berhadapan serta<br />

orangkaya-kaya tanah Bandan* semuhanya. Lalu ia berkata<br />

kepada orangkaya-kaya, demikian katanya: ‘Ada pun beta ini<br />

bukan disuruh oleh jeneral. Daripada beta ingat tanah Bandan*<br />

dan tanah <strong>Hitu</strong> daripada zaman dahulukala. Maka beta tolong<br />

dengan makanan tiada boleh. Maka sekarang ini kita tolong<br />

dengan senjata tiada boleh, melainkan suatu kata kami minta<br />

kepada orangkaya-kaya, jika boleh. Apabila jika tiada boleh,<br />

apahta daya? Karena pekerjaan itu pekerjaan yang benar, tiada<br />

dapat kita tegah kepada perbuatan itu, tetapi ihtiar dahulu<br />

kepada budi akal kita, supaya jangan menyasal kepada hari yang


kemudian. Daripada itulah periksai kepada orangkaya-kaya empat<br />

perkara ini, sudahkah lengkap atau bulum lagikah.’ Maka kata<br />

orangkaya-kaya kepada Kapitan <strong>Hitu</strong>: ‘Apa2 empat perkara itu?’<br />

Maka kata Kapitan <strong>Hitu</strong>: ‘Ada pun empat perkara itu, pertama<br />

negeri, kedua senjata, ketiga manusyia, keempat makanan.<br />

Apabila jika sudah lengkap, apatah lagi dinantikan? Jika kurang<br />

lagi suatu perkara daripada empat itu,bebaikan dahulu dengan<br />

dia, supaya ia pulang. Kita pun lengkapkan kepada empat perkara<br />

itu.’ Maka kata orangkaya-kaya tanah Bandan* kepada Kapitan<br />

<strong>Hitu</strong>: ‘Baiklah, pulang dahulu, supaya kami himpunkan orang<br />

sekalian. Dalam dua hari, apabila di mana kami bedirikan tunggul<br />

putih, di sanalah kami menanti, maka orangkaya datang di sana.’<br />

Tellah kata demikian itu, lalu Kapitan <strong>Hitu</strong> pulang ke kapal. Pada<br />

malam itu datang seorang daripada negeri Bandan. Ia masuk<br />

kepada Wolanda, maka ia berkata kepada jeneral: ‘Kita dengar<br />

orang Bandan* bicara dalam negeri: “Kita berhimpunkan orang<br />

serta senjata menanti di pantai. Apabila jika datang Kapitan <strong>Hitu</strong><br />

dan Wolanda itu kita pagang semuhanya. Kemudian apa2 barang<br />

kehendak kita itu katakan kepadanya”.’ Tellah demikian itu maka<br />

kata jeneral kepada Kapitan <strong>Hitu</strong>: ‘Jika bagai kata ini, jangan lagi<br />

Kapitan <strong>Hitu</strong> turun ke darat, karena perbuatan ini sudah ia<br />

membunuh kepada kami orang banyak.’ Maka kata Kapitan <strong>Hitu</strong><br />

ialah kata jeneral itu: ‘Kita tiada turun kepadanya, tetapi kita<br />

menyuruh juga kepadanya menyampaikan perjanjian kita itu,<br />

jangan kata kita dibebohonkan, artinya dusta, supaya kita dengar<br />

apa kehendaknya itu, maukah atau tiadakah.’ Hatta datang<br />

kepada janjinya, didirikan tunggul putih di pantai, maka dilihat<br />

oleh Kapitan <strong>Hitu</strong> dari kapal, lalu menyuruh turun kepada orang<br />

itu. Maka ia tanya: ‘Mana Kapitan <strong>Hitu</strong>?’ Maka suruan itu<br />

menyahut: ‘Ada pun Kapitan <strong>Hitu</strong> minta ampun daripada<br />

orangkaya-kaya sekalian, ada sakit sedikit, maka tiada ia turun.<br />

Tetapi apa kehendak orangkaya-kaya katakan juga kepada kami,<br />

maka kami katakan kepada orangkaya Kapitan <strong>Hitu</strong> dengan<br />

jeneral.’ Maka kata orangkaya-kaya semuhanya: ‘Katakan kepada<br />

Kapitan <strong>Hitu</strong>, benar juga orangkaya kata kepada empat perkara<br />

itu, tetapi kami parang dengan Wolanda ini bukan sekarang.<br />

Selamanya parang kami sahingilah* empat perkara itu, artinya<br />

kata itu sudah lengkap karena perbuatan manusyia itu serta<br />

dengan harkat. Tetapi kehendak Allah ta`ala itu siapa<br />

mengetahui?’ Maka menyahut pula orang yang disuruh itu:<br />

‘Daripada itulah maka dikira-kirakan. Jika bagai kata orangkayakaya<br />

demikian itu, apatah lagi?’ Lalu pulang orang itu<br />

menyampaikan kata itu kepada orangkaya Kapitan <strong>Hitu</strong> dan<br />

jeneral. Maka kata Kapitan <strong>Hitu</strong> kepada jeneral: ‘Sudah lepas


taksir beta, mana kehendak jeneral itu?’ Maka kata jeneral:‘Esok<br />

pagi kita naik cobah dahulu, supaya kita lihat perintah parangnya<br />

itu, kemudian perintah parang kita.’ Hatta datang pagi hari<br />

naiklah angkatan itu butul di hadapan negeri, maka orang<br />

Bandan* pun keluar. Beramai-ramaian parang kedua pihak itu<br />

daripada waktu duha sehingga datang asar tiada boleh alah. Lalu<br />

undur Wolanda pulang ke kapalnya, maka jeneral menyuruh<br />

panggil kepada orang besarnya serta panglimanya sekalian dalam<br />

angkatan itu datang kepada jeneral, maka kata jeneral: ‘Betapa<br />

perintah parang orang itu?’ Maka kata orang semuhanya:<br />

‘Demikianlah parang orang itu.’ Maka kata jeneral: ‘Jika bagai<br />

demikian itu betapa bicara kita sekarang?’ Maka kata orang<br />

semuhanya: ‘Mana perintah jeneral itu kami kerjakan.’ Serta<br />

dengan cakapnya orang semuhanya itu, lalu kata jeneral: ‘Jika<br />

siyapa naik dahulu maka alah negeri itu, seribu real kuberi<br />

kepadanya. Lain makanannya dan pakaiannya dan apa-apa<br />

rampasan dalam orang banyak itu mana sukanya ia ambil dahulu.<br />

Kemudian tinggalnya itu kepada orang sekalian.’ Maka seorang<br />

kapitan, Pugel* namanya, ia becakap di hadapan jeneral dan<br />

orang besar2 semuhanya, demikian katanya: ‘Beta naik dahulu,<br />

jika tiada boleh alah negeri itu, beta pun tiada kembali.’ Lalu ia<br />

berteguhan kata dengan jeneral, maka diberinya minum arak<br />

pada tempat minuman prings. Itulah adat berteguhan janji<br />

kepada orang itu. Tellah demikian, hatta datang malam, maka<br />

diturunkan gurendur Hutman* akan kapitan. Ia naik dari belakang<br />

negeri dan kapitan Pugel dan kapitan Kuluf* dan kapitan Gemala*<br />

dan kapitan Jupun dan kapitan Siyau dan sekalian kapitan serta<br />

orang banyak semuhanya naik dari laut di hadapan negeri. Hatta<br />

terbit matahari, dipalu gendarang parang dan riuh serta bunyi<br />

bedil seperti guruh di atas langit, dan orang Bandan* pun serta<br />

dengan harkatnya. Maka kedua pihak berparanglah seperti orang<br />

bepasarang beramai-ramaian, jual-beli, tukar-menukar. Tiada<br />

habar kepada yang lain lagi sehingga sana berparang daripada<br />

bakda subuh. Hatta datang bakda lohor serta dengan kehendak<br />

Tuhan sarwa sekalian alam, maka Wolanda daripada kapitan<br />

Hutman* ia naik dari belakang negeri, ia masuk ke dalam serta<br />

bunyi bedil dan riuh dalam negeri. Maka patahlah parang Islam<br />

itu, tiada boleh masuk ke dalam negeri lagi, lalu masuk ke negeri<br />

Ander dan Waier, berhimpunlah di sana dan Wolanda pun duduk<br />

di negeri Lontor. Maka sekalian kapitan serta orang banyak itu<br />

pun pulang kepada kelengkapannya dan jeneral pun pekatahan<br />

yang diperjanjikan kepada panglimanya itu semuhanya<br />

dikerjakannya. Kemudian daripada itu, maka menyuruh tanya<br />

kepada orangkaya-kaya tanah Bandan* sekalian, demikian


katanya: ‘Bukankah Kapitan <strong>Hitu</strong> endak damaikan kita kedua?<br />

Daripada orangkaya-kaya tanah Bandan* tiada mau bebaikan,<br />

maka kita berkellai. Ada pun kepada sekarang ini mana bicara<br />

orangkaya-kaya kita dengar. Jika mau bedamai, marilah kita<br />

bedamai; jika tiada mau bedamai, apahtah daya?’ Maka kata<br />

orangkaya-kaya Bandan: ‘Yang tellah sudah itu jangan disubut<br />

lagi. Jika kepada sekarang ini jeneral mau bebaikan, seribu kali<br />

kami sukah.’ Lalu orangkaya-kaya keluar bedamai dengan dia,<br />

maka kata jeneral: ‘Jika hati bennar mau bedamai, rubuhkan<br />

kotamu dan berikan senjata yang adanya itu.’ Maka kata<br />

orangkaya Bandan: ‘Tiada lagi pada kami, karena senjata itu<br />

semuhanya dalam negeri itu juga.’ Maka kata Wolanda: ‘Barang<br />

seadanya itu berikan kepada kami.’Maka diberikan dua puluh<br />

esfangar* kepada Wolenda itu, maka suatupun tiada lagi fitna.<br />

Lalu keluar bunga pala timbang kepada fetor, bennarnya dengan<br />

dia. Kemudian daripada itu kata Mai Hasan ibn orangkaya Bulaisi<br />

dan orangkaya Orotatan, demikian katanya kepada jeneral: ‘Ada<br />

lagi bedil besar dalam negeri Bandan . Semuhanya itu minta serta<br />

anak orangkaya-kaya empat puluh orang itu. Jika ia katanya tiada<br />

lagi, kemudian beta tunjukan kepada orang yang menaruh dia<br />

itu.’ Tellah demikian itu maka jeneral menyuruh panggil kepada<br />

orangkaya semuhanya, lalu kata kepadanya bagai kata orang itu.<br />

Maka orangkaya-kaya semuhanya tiada dapat besangkal lagi, lalu<br />

dikeluarkan semuhanya serta anak orangkaya-kaya itu. Maka kata<br />

jeneral: ‘Sekarang ini upama tulur hayam digulingkan dari tanah<br />

Bandan* sampai ke tanah Wolanda: tiada boleh pecah lagi, itulah<br />

tanda bebaikan. Maka sekarang ini kami endak belayar. Baik juga<br />

orang semuhanya cerai-berai itu suruh pulang keruan kepada<br />

tempatnya. Kemudian kami belayar supaya kami menyampaikan<br />

kepada orang besar2 di negeri Wolanda pun dengan<br />

kebenarannya.’ Maka disuruh oleh orangkaya-kaya panggil<br />

kepadanya semuhanya datang ke negeri Salamu. Maka ditipu oleh<br />

Wolanda, kuliling soldadu serta senjata, lalu dinaikan ke kapal,<br />

semuhanya delapan ratus delapan puluh orang kepada kapal,<br />

Dragon namanya, dan empat puluh orangkaya-kaya semuhanya<br />

dibunuh oleh Wolanda itu. Lalu belayar ke tanah Ambon, datang<br />

ke tanah <strong>Hitu</strong>, lalu ke Jawahkatra* dan orang Bandan* yang<br />

tinggal itu semuhanya pindah ke tanah Seran dan Goron*. Maka<br />

menyuruh datang mengadap kepada raja Mangkasar minta<br />

pindahkan ke Mangkasar. Maka raja menyuruh angkatan ke Seran<br />

memuatkan dia datang ke Mangkasar. Itulah hal alah tanah<br />

Bandan. Maka jeneral serta angkatannya pulang ke negerinya dan<br />

Kapitan <strong>Hitu</strong> pun pulang ke tanah <strong>Hitu</strong>. Itulah kesudahan berkellai<br />

tanah Bandan. Alkissah dan kuceriterakan kemudian daripada


jeneral belayar membawah kepada orang Bandan* itu, maka<br />

Mihirjiguna masuk mengadapat* perdana Kapitan <strong>Hitu</strong>. Maka ia<br />

menyembah, lalu berkata: ‘Beta endak belayar ke Jawahkatra*.’<br />

Maka kata Kapitan <strong>Hitu</strong>: ‘Apa kehendakmu belayar itu?’ Maka ia<br />

menyahut: ‘Ada pun kita belayar ini tiada kehendak kepada yang<br />

lain melainkan kubicarakan orang Bandan. Jika tiada boleh<br />

kembali ke tanah Bandan* pun, sehingga tanah Ambon pun baik<br />

juga jika dilapaskan oleh jeneral.’ Maka kata Kapitan <strong>Hitu</strong>: ‘Jika<br />

bagai kata demikian itu, belayarlah engkau.’ Lalu ia naik kepada<br />

sebuah kapal, Delf namanya kapal itu. Hatta berapa lamanya<br />

maka datang ke Jawahkatra*, maka Mihirjiguna naik ke darat<br />

berhadapan dengan jeneral serta orang besarnya. Maka apa<br />

kehendaknya Arinjiguna* itu semuhanya dikatakan kepada<br />

jeneral pun terimalah kepada kehendak Mihirjiguna itu. Lalu kata<br />

jeneral kepada Mihirjiguna: ‘Ada pun barang kehendakmu itu<br />

kami terimalah, tetapi musim lagi lambat datang. Apabila datang<br />

musim barat akan perginya pulang, kuserahkanlah kepadanya<br />

yang kehendaknya itu.’ Lalu Mihirjiguna tanya kepada jeneral:<br />

‘Kapal semuhanya itu endak ke mana?’ Maka kata jeneral: ‘Kapal<br />

itu endak ke Malaka, ada ke Jambi, ada ke Laut Mera, ada pulang<br />

ke negeri Holandes, ada ke bandar Masilpatani*.’ Maka kata<br />

Mihirjiguna: ‘Beta minta kepada jeneral sementari lagi lambat<br />

musim,lagi lambat musim, beta endak turut kapal yang ke bandar<br />

Masilpatani*, mau melihat dunia tanah Keling barang seadanya<br />

hidupku sehingga datang musim barat.’ Maka iakan oleh jeneral<br />

dan diberinya seribu real akan bekalnya dan sangat mulliya<br />

kepadanya serta kasih lain2 -- tiada dapat diceriterakan kepada<br />

kasihnya itu --, lalu naik Mihirjiguna belayar. Hatta berapa<br />

lamanya di tengah laut datang tofan angin ribut. Bunyi layar<br />

seperti bunyi bedil, seketika lagi patah tiyang buritang itu. Hatta<br />

terbit matahari,angin pun tedduh. Tellah demikian itu berapa<br />

lamanya datang ke tanah Keling, kepada negeri Tunahpatnan.<br />

Maka naik ke darat bejalan ke negeri Pujiciri*, menubus dengan<br />

harganya dua real seorang, ada tengah tiga real. Ada menjual<br />

dirinya sendiri, ada menjual anaknya. Tellah menubus itu, maka<br />

belayar dari Pudiceri*, lalu kepada Tirubambu* dan<br />

Tirumulawasir* dan Kunmuri*, lalu kepada Nagahpatan*.<br />

Daripada Feranggi duduk dari situ, maka dinamai San* Tumi*.<br />

Ada pun San* Tumi* itu ada suatu bukit, maka didirikan<br />

gerejanya akan tempat berhalanya, Nona Sinyora di Mundi*<br />

namanya. Di situlah tempat ia menyembah berhalanya itu.<br />

Kemudian daripada itu maka belayar sehingga datang ke Palikat*.<br />

Karena di situ ada kota Wolanda, ia berhenti entah berapa<br />

lamanya. Lalu ia belayar ke bandar Masilpatani*, ia duduk kepada


umah syaudagar haji Baba namanya. Di sanalah dimasyhurkan<br />

namanya Mihirjiguna itu ‘sultan karanful*, kipati syah’. Di sanalah<br />

ia melihat perhiasan dunia semuhanya lengkap, sehingga ibu<br />

bapa kita yang bennar itu maka kita tiada bertemu. Lain daripada<br />

itu tiada dapat diceriterakan kepada kelakuan yang indah2,<br />

seperti perbuatan yang kegemaran kepada keelokan serta<br />

keinginan hati manusyia. Dan kejahatan serta kebencian pun<br />

demikian lagi, dan kesukaan dan kedukaan pun demikian lagi,<br />

seperti orang kaya dan orang miskin, dan orang berumah dalam<br />

tanah dan orang tiada berumah selama-lamanya, dan orang<br />

membuang segala najis manusyia dalam negeri itu. Dan<br />

dikerjakan hamam*, ada air sejuk dan air panas kepada suatu<br />

tempat harkat kepada segala manusyia. Apabila datang pagi hari,<br />

maka mandi kepada air yang panas itu, jika datang tengah hari<br />

maka mandi kepada air yang sejuk itu. Dan perbuatan pelbagai<br />

yang andak* dalam dunia semuhanya ia melihat karena<br />

Masilpatani* itu bandar Kutb Syah yakni raja Gulgonda, tatkala<br />

zaman sultan Muhammad Huli akan kerajaan di negeri Gulgonda.<br />

Tellah demikian itu hatta datang musim maka ia pulang. Berapa<br />

lamanya di tengah laut, maka datang masuk selat antara Puluh<br />

Merkata* dan ujung Tanjung Cina, lalu datang ke Banten sehingga<br />

datang ke Jawahkatra*, maka ia berenti di sanalah. Entah berapa<br />

antaranya, maka Mihirjiguna sakit. Sehingga enam hari dengan<br />

kehendak Allah ta`ala wafat meninggal negeri fana datang<br />

kepada negeri yang baka pada bulan Rubiu'l-awal dua belas hari<br />

pada tahun [1032] Ha, pada malam Ahad. Maka dibaiki suatu petti<br />

dilapis dengan tima hitam, maka ditaburkan segala bauh-bauan<br />

dalam kafan, lalu dimasukkan mayit itu ke dalam petti. Entah<br />

berapa lamanya dalam negeri Betawih, maka dinaikan kepada<br />

sebuah kapal membawah kepadanya. Dan pasan jeneral dalam<br />

surat kepada Kapitan <strong>Hitu</strong> dan gurendur Herman Aspel*, demikian<br />

katanya: ‘Ada pun kehendak Arinjiguna* itu seribus* kali beta<br />

terima. Daripada ia tiada empunya untung, maka ia mati pulang<br />

kepada asalnya, tetapi Kapitan <strong>Hitu</strong> dan gurendur kira-kirakan<br />

kehendak Arinjiguna* itu. Apabila jika dengan baiknya musim<br />

yang datang ini suruan ke mari, maka beta serahkan kepada dia.’<br />

Tellah demikian itu, maka diberikan surat itu pada tangan Sifar al-<br />

Rijali, lalu belayar. Entah berapa lamanya di tengah jalan, maka<br />

datang ke Ambon masuk ke Kota Laha. Pada tatkala itu Kapitan<br />

<strong>Hitu</strong> pun ada di Kota Laha, bicarakan Inggeris dan Jupun endak<br />

tipu kepada Wolanda serta kotanya itu.Maka diberikan surat itu<br />

kepada Kapitan <strong>Hitu</strong> dan gurendur, lalu dibaca sendirinya, maka<br />

gurendur kata kepada Kapitan <strong>Hitu</strong>: ‘Baik juga kata jeneral<br />

kepada kita kedua itu kira-kirakan kepada kehendak Mihirjiguna


itu, tetapi inilah perbuatan Inggeris dan Jupun, jika datang orang<br />

Bandan* pula.’ Lalu dibunuh Inggeris dan Jupun itu, maka tiada<br />

jadi kehendak Mihirjiguna itu sebab perbuatan orang itu. Lalu<br />

dinaikan mait itu kepada kelengkapannya orangkaya dan orang<br />

dari negeri pun keluar mendapatkan dia di tengah jalan, sehingga<br />

datang ke negeri. Maka dipertitahkan serta dengan arta<br />

disedekakan kepada fakir dan miskin dan orang besar-besar dan<br />

dipeliharakan sehingga adatnya. Itulah kesudahan pelayaran<br />

Mihirjiguna ke tanah Keling. Serta kehendak Allah ta`ala,<br />

kemudian daripada Arinjiguna* itu Unus Halaene akan hukum.<br />

Ialah bengis di tanah <strong>Hitu</strong> serta kelakuannya, karena adatnya raja<br />

ada kepadanya dan adat bendahara pun ada kepadanya. Dan<br />

kelakuan hulubalang pun ada kepadanya, karena ia berjalan atau<br />

duduk serta senjata tiada boleh meninggalkan dia dan<br />

syaudagarnya pun sangat serta murahnya tangannya. Seorangpun<br />

tiada sebagainya di tanah Ambon. Kemudian daripada itu maka<br />

kuceriterakan tatkala bendahara gimelaha Syabidin meninggalkan<br />

negeri yang fanah itu datang kepada negeri yang baka itu, tanah<br />

Ambon dalam hukum perdana gimelaha Hidayat. Maka ia pinda ke<br />

negeri Lesiela meneguhkan negeri itu daripada ia melihat salah<br />

kelakuan Wolanda itu. Pertama membuat gudang di pantai<br />

Huniyasi*, artinya negeri sengaji Hatuhaha, kedua membuat<br />

kotanya di tanjung Koako, ketiga membawah angkatan<br />

mendatangi di tanah Seran. Lain daripada itu banyak lagi<br />

perbuatannya, itulah sebabnya. Hatta datang berapa lamanya<br />

dengan kehendak Allah ta`ala perdana gimelaha Hidayat pun<br />

uzur, artinya sakit lalu pulang ke rahmat Allah ta`ala. Kemudian<br />

daripada peninggal perdana itu, makin bertambah-tambah fitnah<br />

sebab dagang, lalu paranglah gimelaha Luhu dan gimelaha<br />

Leliyato serta di tanah Ambon semuhanya, sehingga tanah <strong>Hitu</strong><br />

juga tiada mengikut. Maka kedua kaum Islam dan kaum Nasrani<br />

itu berparanglah, sarang-menyarang, alah-mengalah sebagailah.<br />

Hatta berapa lamanya maka datang titah paduka serri sultan<br />

Ternate suruh bedamai. Apabila datang dagang, maka Wolanda<br />

datang rusak kepada dagang itu, maka gimelaha serta orangkayakaya<br />

semuhanya tiada mau rusak dagang dalam bandar. Lalu<br />

berparang pula, sarang-menyarang, alah-mengalah, sentiasa<br />

tiada berputusan parang di tanah Ambon dengan orang Nasrani<br />

itu, karena kehendaknya Nasrani dan Yahudi itu endak<br />

mengarusakkan agama Islam dimasukkan agama Nasrani.<br />

Daripada itulah maka digelar nama kelengkapannya itu ‘buang<br />

destar’ namanya dan demikian lagi kehendaknya Islam endak<br />

mengarusakkan agama Nasrani dan Yahudi dimasukkan kepada<br />

agama Islam. Daripada itulah maka gelarnya kelengkapannya


Daripada itulah maka gelarnya kelengkapannya johan pahlawan<br />

gimelaha Leliyato ‘buang capeu*’ namanya. Daripada itulah maka<br />

parang sabil Allah di tanah Ambon tiada berputusan. Pada tatkala<br />

itu johan pahlawan gimelaha alah kepada sebuah negeri, Wai<br />

namanya. Semuhanya diangkatnya bawah ke negeri Lesiela. Hatta<br />

datang titah disuruh pulangkan, maka dikembalikan dianya.<br />

Itulah halnya tanah Ambon dengan orang Nasrani itu. Segali<br />

perastawa mendamaikan dua kaum itu. Maka kata Kapitan <strong>Hitu</strong><br />

kepada gurendur, lalu keluarkan kotanya di tanjung Koako itu dan<br />

gudang di Huniyasi* itu. Lalu Kapitan <strong>Hitu</strong> dan hamba raja<br />

Kalabata belayar ke Jawahkatra* bebicara dengan jeneral. Hatta<br />

datang di sana raja Mataram menyuruh kepada tumengung*<br />

Bauhraksah mendatangi kota Betawih, maka tiada ketahuan<br />

bicaranya jeneral itu, karena ia dalam kesukaran. Dan di<br />

belakangnya Kapitan <strong>Hitu</strong> datang kapitan lawut baginda kiyaicili<br />

Ali ke tanah Ambon. Maka diturunkan yakni dikeluarkan gimelaha<br />

dua bersyaudara, suruh kembali ke Ternate. Tellah demikian itu<br />

Kapitan <strong>Hitu</strong> pun datang dari Jawahkatra*, lalu masuk ke negeri<br />

Luhu. Maka ia bertemu kepada kapitan laut dan barang apa2<br />

bicara dengan jeneral itu semuhanya diceriterakan kepada<br />

kapitan laut serta muafakat. Lalu kapitan laut pun berangkat ke<br />

Manipa dan Kapitan <strong>Hitu</strong> pun pulang ke tanah <strong>Hitu</strong>. Maka<br />

gurnadur Filipi Lukas* dan hukum Halaene serta angkatannya<br />

mengadap kepada kapitan laut. Maka dibawah kepada gimelaha<br />

dua bersyaudara kembali ke <strong>Tanah</strong> Besar, maka gimelaha Leliyato<br />

ia duduk negeri Kembali dan gimelaha Luhu ia duduk di<br />

Gamusungi, yakni negeri Luhu, tempatnya yang lama. Maka<br />

suatupun tiada fitnah lagi di tanah Ambon dan kapitan laut pun<br />

berangkat ke tanah Sula, dari Sula lalu ke tanah Banggai, dari<br />

Banggai datang ke Tambuku, dari Tambuku lalu membaiki negeri<br />

serta dengan kotanya ia duduk. Hatta berapa lamanya datang<br />

angkatan dari Buton serta anak raja2 dan orang besar2<br />

semuhanya membawah titah serta dengan adat mengadap kepada<br />

raja laut, lalu pindah ke tanah Buton, sehingga sanalah ia<br />

berhenti. Entah berapa lamanya dengan takdir Allah ta`ala pulang<br />

ke rahmat Allah. Itulah kesudahannya datang raja laut di tanah<br />

Ambon. Alkissah peri mengatakan sekali perastawa perdana<br />

Kapitan <strong>Hitu</strong> pada suatu ketika ia duduk, maka ihtiar sendirinya,<br />

demikian katanya: ‘Ada pun aku ini sudah tuah. Siyapa tempat<br />

kuserahkan tanah ini?’ Lalu diserahkan kepada orangkaya Samu2<br />

menunggu tanah <strong>Hitu</strong> serta orangkaya Bulan, keduanya<br />

memerintahkan tatkala perdana Kapitan <strong>Hitu</strong> lagi dalam negeri<br />

Betawih. Hatta datang musim perdana pun pulang, maka suatu<br />

tiada fitnah dalam tanah <strong>Hitu</strong>. Apabila datang suatu fitnah


daripada negeri yang lain bagi Islam atau Nasrani, melainkan<br />

hukum Halaene juga tiada mau kecewa kepada nama tanah <strong>Hitu</strong>.<br />

Daripada ialah orang Wolanda itu tiada dapat melakukan<br />

kehendaknya kepada tanah <strong>Hitu</strong> pada zaman itu. Hatta berapa<br />

lamanya apa2 kehendaknya, maka ia datang kepada gurendur<br />

endak mengatakan kepadanya. Maka datang kehendak Allah<br />

ta`ala kepada seorang perempuan bedzebai, artinya celaka,<br />

memberi racung kepadanya. Maka ia tiada boleh tahan dirinya<br />

lagi, lalu ia kembali sehingga datang ke negeri. Masya Allah ia<br />

meninggal kepada darulfanah datang kepada darulbaka, yakni<br />

meninggal kepada dunia datang kepada akhirat. Maka<br />

dipeliharakan serta adat sehingga datang seratus harinya. Maka<br />

dinaikan kepada Kakiyali akan hukum, maka ia kedua orangkaya<br />

Samu2 keluar serta dengan angkatan melepaskan dukacittanya.<br />

Karena istiadat orang besar yang ternama, apabila ia mati tiada<br />

boleh masuk esukaan dan beramai-ramaian atau bunyi-bunyian<br />

dalam negeri, melainkan alah sebuah negeri atau keluar arta<br />

daripada takluknya sekalian; kemudian daripada itu, maka<br />

bersuka-sukaan serta beramai-ramaian dan bunyi-bunyian dalam<br />

negeri itu. Daripada itulah maka ia keluar membawah angkatan<br />

menyarang negeri. Entah berapa lamanya di tengngah jalan, maka<br />

orangkaya Samu2 pun uzur, yakni sakit serta kehendak Tuhan<br />

Yang Mahatinggi orangkaya pun wafat, pulang ke rahmat Allah.<br />

Maka menyuruh antarkan maitnya orangkaya itu pulang ke<br />

negeri. Lalu Kakiyali membawah angkatan itu menyarang kepada<br />

sebuah negeri Hatumete namanya. Semuhanya ditangkapnya,<br />

kemudian dibagi dua: setengah didudukkan di negerinya dan<br />

setengah dibawah kepadanya ke negeri <strong>Hitu</strong>. Maka ia beramairamaian<br />

kesukaannya serta bunyi-bunyian dalam negeri <strong>Hitu</strong>.<br />

Itulah istiadat mati orang ternama di tanah Ambon. Maka<br />

kuceriterakan tatkala itu negeri Iwa* dan orang Wolanda endak<br />

berkellai sebab Pati Herman. Maka hukum Kakiyali juga membaiki<br />

tiada jadi berkelai, yakni mendamaikan dia. Tellah demikian itu<br />

dan kuceriterakan tatkala itu ada lagi hayat perdana Kapitan <strong>Hitu</strong>,<br />

maka barang sesuatu fitnah dalam tanah <strong>Hitu</strong> atau tanah Ambon,<br />

bagi Islam atau Nasrani, jangankan sesuatu negeri, jikalau<br />

seseorang juga pun, ia juga membaiki. Tetapi kepada fitnah tiada<br />

dapat dikatakan lagi daripada nafsu dunialah. Hatta lama dengan<br />

lamanya orangkaya pun makin tuah serta dengan kehendak Allah<br />

subhanahu wa-ta`ala uzur, maka dalam uzur itu menyuruh<br />

panggil kepada orangkaya-kaya semuhanya. Hatta datang maka<br />

kata perdana Kapitan <strong>Hitu</strong>, demikian katanya: ‘Ada pun kehendak<br />

Allah ta`ala siapa mengetahui? Tetapi pada perasaan diriku,<br />

wa-'llahu a`lam, hanya baik2 bicara kepada tanah ini serta


dengan agama rasul Allah salla 'llahu alaihi wa-sallama.’ Maka<br />

menyahut pula orang banyak itu: ‘Bennar kata tuhanku itu.<br />

Kehendak Allah ta`ala siyapa mengetahui, tetapi jika datang<br />

masya Allah siyapa membawah tanah <strong>Hitu</strong> ini?’ Maka kata<br />

orangkaya: ‘Tiada dapat dikatakan, melainkan mana kehendak<br />

Allah ta`ala serta orang banyak itulah memangku tanah <strong>Hitu</strong>.’<br />

Dan apa2 pekatahan serta adat tanah <strong>Hitu</strong> semuhanya dikatakan<br />

kepada keempat perdana dan berapa2 pekatahan yang dahulu<br />

kala itu semuhanya dikatakan kepada anak buahnya. Tellah<br />

demikian itu datang masya Allah, lalu pulang ke rahmat Allah.<br />

Maka dipeliharakan mait perdana itu dan disedekakan arta<br />

kepada segala penghulu agama dan orangkaya-kaya dalam negeri<br />

<strong>Hitu</strong> sekalian dan diadatkan sehingga datang seratus harinya.<br />

Maka gurendur Artus* dan orangkaya-kaya semuhanya muafakat,<br />

maka dinaikan kepada hukum Kakiyali akan Kapitan <strong>Hitu</strong> serta<br />

perjanjian: ‘Apabila barang suatu pekerjaan atau pekatahan,<br />

jangan seorang mengaku ia sendirinya, melainkan keempat<br />

orangkaya dan Kapitan <strong>Hitu</strong> serta muafakat, maka dikerjakan.’<br />

Karena pada ketika itu mardan Baros akan Nusatapi nama<br />

gelarnya dan mardan Mulutan akan Totohatu nama gelarnya dan<br />

mardan Kelisa akan Pati Tuban nama gelarnya dan mardan Kiyoan<br />

akan Tanihitumesen. Itulah nama keempat serta Kapitan <strong>Hitu</strong><br />

pada zaman itu. Tellah demikian itu entah berapa dalamnya maka<br />

Kapitan <strong>Hitu</strong> menyuruh dua buah parau utusan ke Mangkasar,<br />

maka orang membawah fitnah kepada gurendur itu, demikian<br />

katanya: ‘Ada pun Kapitan <strong>Hitu</strong> menyuruh ke Mangkasar endak<br />

muafakat dengan serri sultan di Goa. Apabila sudah muafakat<br />

serta minta angkatan datang berkellai dengan Wolanda.’ Maka<br />

gurendur pun percaya, tiada dengan periksyanya, maka berapa<br />

kali tipu kepada Kapitan <strong>Hitu</strong>,tetapi bulum lagi dengan kehendak<br />

Allah ta`ala tiada jadi tipunya itu, karena Kapitan <strong>Hitu</strong> sudah<br />

mengetahui kelakuan Wolanda itu. Maka tiada boleh dikerjakan<br />

kehendaknya, lalu gurendur Kisil ia belayar ke Betawih, maka<br />

digantikan Antoni* akan gurendur. Iapun demikian juga<br />

kelakuannya.Karena pada tatkala itu perdana gimelaha serta<br />

negeri semuhanya berkellai dengan Wolanda, sehingga negeri<br />

Luhu juga dua bahagi. Sebahagi serta perdana gimelaha dan<br />

negeri sekalian, maka berparanglah dan sebahagi serta kiyaicili<br />

Sibori memegang Wolanda membuat gudungnya di negeri Luhu<br />

dan paranglah kedua pihak itu, sarang-menyarang, alahmengalah<br />

sebahagai juga tiada berputusan. Hatta berapa lamanya<br />

datang utusan dari Maluku, sadaha* Semaun namanya,<br />

membawah titah datang kepada perdana gimelaha serta Ulima<br />

dan Ulisiwa. Maka ia masuk ke tanah <strong>Hitu</strong>, karena dalam titah itu


demikian buninya: ‘Katakan kepada Kapitan <strong>Hitu</strong> dan orangkayakaya<br />

sekalian dalam negeri <strong>Hitu</strong>, serta utusan sadaha Semaun<br />

mendamaikan kepada gimelaha dengan gurendur dan membaiki<br />

tanah Ambon Ulima dan Ulisiwa, supaya jangan jadi fitnah.<br />

Karena perjanjian Wolanda itu seorangpun tiada mengetahui,<br />

melainkan Kapitan <strong>Hitu</strong> juga mengetahui dia dan ia juga menaruh<br />

surat yang perjanjian itu.’ Tellah demikian titah itu, maka kata<br />

orangkaya-kaya tanah <strong>Hitu</strong>: ‘Jika bagai kehendak titah demikian<br />

itu, baik juga utusan pulang dahulu ke <strong>Tanah</strong> Besar,kemudian<br />

kami mengikut di belakang.’ Maka utusan pulang menanti di<br />

pantai Luhu, maka datang gurendur itu pun demikian juga, lalu ia<br />

mengikut utusan itu menanti di pantai Luhu. Maka Kapitan <strong>Hitu</strong><br />

dan orangkaya-kaya keluar dengan kelengkapannya, lalu<br />

menyebarang. Hatta datang ke <strong>Tanah</strong> Besar, maka gurendur serta<br />

angkatannya mendapatkan dia di pantai Warau. Maka kata<br />

gurendur itu:‘Marilah kita berkata2 dahulu, kemudian kita masuk<br />

ke pantai Luhu kepada orang banyak.’ Maka Kapitan <strong>Hitu</strong> serta<br />

orangkaya-kaya semuhanya naik kepada kelengkapannya<br />

gurendur itu, maka dipagang semuhanya serta Kapitan <strong>Hitu</strong>. Maka<br />

riuhlah orang dalam kelengkapan itu, lalu dikelilingkan angkatan<br />

kepadanya. Ia sebuah2 juga ditengah2 serta pasang-memasang,<br />

tembak-menembak datang pengelodan rawaki itu seperti titi<br />

hujang atas air masing dan asap obat menjadi awan antara langit<br />

dan bumi. Dan buni bedil serta* kilat dan riuh seperti ceritera<br />

buni sangkakalah tatkala hari kiamat kepada yaum al-mahsyar.<br />

Karena angkatan Wolanda itu lima puluh aluan, lain daripada<br />

kapal dan patacoh*, maka ia sebuah2 juga melawan dengan<br />

dia.Sehingga datang kepada tanjung Kahula Wolanda itu pun<br />

undur. Iapun masuk ke pantai Lesiela, lalu menyuruh sebuah<br />

perau membawah kepada Patiwani. Ia pulang ke tanah <strong>Hitu</strong><br />

menyampaikan khabar itu kepada negeri serta dipindahkan negeri<br />

semuhanya naik ke atas gunung. Dan undur angkatan Wolanda<br />

itu, lalu menyebarang ke tanah <strong>Hitu</strong> endak menyarang kepada<br />

negeri, tetapi tiada dapat lagi. Maka menyuruh panggil kepada<br />

orangkaya-kaya, demikian katanya: ‘Apa kerja pindah? Karena<br />

tanah <strong>Hitu</strong> dan Wolanda itu seperti laki-bini. Apabila bini salah itu<br />

melainkan lakinya juga ajar kepada dia, maka beta pagang<br />

kepada Kapitan <strong>Hitu</strong> dan orangkaya-kaya ini. Demikian itulah<br />

halnya orang laki-bini dalam dunia, tetapi keluarlah kita kedua<br />

berbicara serta kebaikan.’ Maka kata orang <strong>Hitu</strong>:‘Bennar juga kata<br />

gurendur itu, tetapi kembalikan dahulu kepada Kapitan <strong>Hitu</strong> dan<br />

orangkaya2 itu, maka kami keluar kepada gurendur.’ Maka<br />

dilepaskan kepada orangkaya-kaya itu, Kapitan <strong>Hitu</strong> juga tiada<br />

dilepaskan. Maka orang <strong>Hitu</strong> pun tiada mau keluar kepadanya


serta memerintahkan negerinya. Dan utusan sadaha Semaun pun<br />

menangkap kepada orangkaya-kaya dalam negeri Luhu; yang<br />

memagang kepada Wolanda itu pun ia bawah ke Maluku. Maka<br />

orangkaya-kaya sekalian di tanah Ambon tercangan terlalu<br />

khairan kepada perbuatan gurendur dan utusan sadaha Semaun<br />

itu, maka tanah Ambon semuhanya tiada ketahui kehendaknya.<br />

Setengah berkata: ‘Baik kita berkellai.’ Dan setengah berkata:<br />

‘Baik kita bedamai, karena sudah didamaikan kita dengan<br />

gurendur.’ Dan setengah pula berkata: ‘Jangan kita berkellai dan<br />

jangan kita bedamai sehingga diam sahanya*, supaya kita<br />

menanti kehendak titah.’ Maka kata perdana gimelaha dua<br />

bersyaudara: ‘Bennar juga kata orangkaya itu. Tetapi kepada<br />

perbuatan Wolanda ini rusak kepada agama rasul Allah di<br />

hadapan titah yang dipetuan, daripada ia tiada berupama ke<br />

bawah dulli paduka serri sultan Hamza, nasrun min Allah syah, zill<br />

Allah fi 'l-`alamin.Daripada itulah baik kita berparang dengan<br />

dia.’ Lalu muafakatlah tanah Ambon semuhanya sehingga sebuah<br />

negeri Luhu juga. Maka kata Sifar ar-Rijali di hadapan<br />

perdana,Ulima dan Ulisiwa: ‘Ada pun berkellai ini sebab, apabila<br />

jika sebab Kapitan <strong>Hitu</strong>, sabar dahulu, supaya kita menanti titah<br />

yang dipetuan dan kabaran.’ Maka kata Ulima dan Ulisiwa: ‘Sebab<br />

agama rasul Allah, kedua perkara sebab titah tiada berupama ke<br />

bawah dulli yang dipetuan.’ Dan barang apa2 pekatahan kepada<br />

hari yang kemudian itu, semuhanya ditaksirkan di hadapan<br />

perdana gimelaha dan orangkaya sekalian. Tellah sudah<br />

ditaksirkan kata demikian itu, lalu ia beli obat bedil empat balas<br />

bahara cengkeh harganya, dan tengah tujuh ratus padang. Lalu ia<br />

pulang serta orangkaya gimelaha dan negeri Waibuti ke tanah<br />

<strong>Hitu</strong> serta muafakat dengan orangkaya2 di tanah <strong>Hitu</strong>. Lalu ia<br />

pulang, maka negeri <strong>Hitu</strong> sekalian berkellai, sehingga orangkaya<br />

Tanihitumesen dengan orangkaya Bulan juga tiada berkellai. Ia<br />

mengikut kepada Wolanda itu, maka ia jadi musuh kepada negeri<br />

<strong>Hitu</strong> sekalian dan negeri sekalian pun memerintahkan kepada<br />

hulu parangnya. Maka digelarnya kepada pendagar Nahoda dan<br />

pendagar Pati Husen* keduanya akan panglima di tanah <strong>Hitu</strong>. Lalu<br />

ia pergi merompa di tanah sebelah kepada pihak tentara Nasrani<br />

itu. Maka diteguhkan Allah subhanahu wa-ta`ala, berkat agama<br />

rasul Allah serta dengan kemenangannya, maka ia pulang di<br />

negeri Wawani, makan-minum, bersuka-sukaan dan disalin<br />

kepadanya serta dengan dimasyhurkan namanya johan pahlawan<br />

Patiwani. Itulah hasiat* orang parang sabil Allah dalam dunia.<br />

Tellah demikian itu pendagar Telukibesi ia pergi merompa pula<br />

kepada pihak tentara Nasrani itu. Maka dengan kehendak Allah<br />

ta`ala berkat agama rasul Allah serta kemenangannya, lalu ia


pulang di negeri Kapahaha bersuka-sukaan dan dimulliya<br />

kepadanya serta dimasyhurkan namanya johan pahlawan<br />

Tubanbesi. Ia duduk di gunung Kapahaha. Itulah faedah orang<br />

parang sabil Allah dalam dunia, entah berapa lagi dan* akhirat;<br />

karena riwayat pandita dalam syarah Sunusi*, dua perkara orang<br />

masuk syurga tiada dengan hisab* lagi, suatu perkara tarekad<br />

dunia, kedua perkara parang sabil Allah. Daripada itulah, maka<br />

beramai-ramaian negeri sekalian berparang dengan Wolanda itu.<br />

Maka kata Wolanda itu: ‘Apabila orang <strong>Hitu</strong> keluar duduk di pantai<br />

seperti dahulu kala itu, maka kami keluarkan Kapitan <strong>Hitu</strong>.’ Maka<br />

kata orang <strong>Hitu</strong>: ‘Bennar juga kata gurendur itu, tetapi keluarkan<br />

dahulu, maka kami turun duduk di pantai kembali seperti dahulu<br />

itu. Jikalau tiada lepaskan dia, kami pun tiada mau keluar.’ Maka<br />

negeri semuhanya tiada keluar sehingga orangkaya Bulan, ayah<br />

mudanya Kapitan <strong>Hitu</strong> serta tujuh negeri keluar duduk di pantai<br />

serta Wolanda itu. Maka kata orang sekalian kepada orangkaya<br />

itu: ‘Betapa kehendak orangkaya keluar itu?’ Maka kata<br />

orangkaya: ‘Baik juga kita keluar ikut katanya. Dalam tujuh bulan<br />

itu apabila dilepaskan kepada Kapitan <strong>Hitu</strong>, maka negeri sekalian<br />

keluar. Jikalau tiada dilepaskan kepada [Kapitan] <strong>Hitu</strong> dalam<br />

tujuh bulan itu kita berbantahkan perjanjiannya.’ Maka orangkaya<br />

keluar serta muafakat dengan orangkaya-kaya, lalu orangkaya<br />

Tanihitumesen belayar ke Betawih. Dan apa2 kehendak<br />

orangkaya itu semuhanya dikatakan kepada jeneral, maka di<br />

belakang orangkaya negeri semuhanya itu keluar masuk kepada<br />

musuh itu,tiada lagi berkellai. Maka kata Sifar ar-Rijali kepada<br />

orangkaya-kaya dan panglima serta pendagar sekalian, demikian<br />

katanya: ‘Apabila perbuatan kita demikian ini?Rusaklah negeri<br />

kita dan Kapitan <strong>Hitu</strong> pun tiada dikembalikan lagi oleh Wolanda<br />

itu.’ Lalu ia pergi merompa kepada orang <strong>Hitu</strong> yang mengikut<br />

kepada Wolanda itu. Hatta dengan takdir Allah ta`ala serta<br />

dengan kemenangannya, maka ia pulanglah ke negeri Wawani<br />

bersuka-sukaan, maka seorangpun tiada keluar lagi.Entah berapa<br />

lamanya datang orangkaya Tanihitumesen, maka orangkaya-kaya<br />

menyuruh tanya kepadanya: ‘Betapa kehendak jeneral kepada<br />

Kapitan <strong>Hitu</strong>, lepaskankah atau tiadakah?’ Maka ia berkata: ‘Ada<br />

pun kata jeneral, tiga bulan lagi datang kapal dari Bandan, maka<br />

dilepaskan kepada Kapitan <strong>Hitu</strong>.’ Maka negeri <strong>Hitu</strong> semuhanya<br />

menanti sehingga datang tiga bulan tiada juga dilepaskan, maka<br />

kata negeri sekalian kepada orangkaya Bulan: ‘Ada pun perjanjian<br />

gurendur kepada orangkaya dalam tujuh bulan, sekarang sudah<br />

lalu tiga bulan, maka tiada ia mengikut perjanjian itu. Betapa lagi<br />

kehendak orangkaya itu, kami ikut juga, tetapi baik orangkaya<br />

undur dahulu. Kemudian apa kehendak orangkaya itu katakan


juga kepada orang sekalian, supaya kita kerjakan.’ Itu pun tiada<br />

juga orangkaya mau undur sehingga empat buah negeri undur<br />

naik ke gunung, lalu paranglah negeri semuhanya beramairamaian.<br />

Pada ketika itu pahlawan Patiwani seorangpun tiada<br />

sebagainya di tanah <strong>Hitu</strong>, di mana merompa di darat atau di laut<br />

tiada lain ia juga. Dan kuceriterakan perdana gimelaha dan<br />

orangkaya-kaya Ulilima dan Ulisiwa, sekalian pati dan sengaji<br />

semuhanya keluar serta dengan angkatan endak menyarang<br />

kepada negeri orangkaya Tanihitumesen. Daripada ia bulum lagi<br />

untungnya, maka tiada jadi mendatangi dia, sehingga<br />

dipindahkan kepada negeri Loin naik ke atas gunung. Lalu datang<br />

ke pantai Wawani, maka ia bertemu kapal Wolanda itu, lalu<br />

melawanlah ia dengan kapal itu daripada waktu duha sehingga<br />

datang waktu asar. Hatta datang angin daratan, lalu kapal pun<br />

belayar dan angkatan pun undur ke pantai Wawani. Apabila<br />

masuk matahari, entah berapa kapal serta kora2 datang pula,<br />

maka kedua pihak pasang-memasang, tetapi iapun tiada turun<br />

dan iapun tiada naik sehingga berapa lamanya Wolanda pun<br />

pulang dan angkatan Islam pun kembali serta perdana gimelaha.<br />

Maka ketika itu tanah Ambon Ulilima dan Ulisiwa semuhanya<br />

berparanglah beramai-ramaian tiada berputusan. Hatta datang<br />

musim barat, datang armada dari Betawih endak menyarang<br />

kepada kota Lesiela, tetapi perdana gimelaha sudah harkat<br />

menanti dia. Maka kedua pihak berparanglah siang dan malam,<br />

pagi pettang tiada berantara lagi. Sebahagai juga parang kedua<br />

pihak itu, tetapi kepada parang Wolanda itu tiada dapat<br />

diceriterakan pelbagai parangnya. Hatta datang tiga bulan<br />

bertungguan tiada boleh alah, lalu ia pulang ke Betawih. Maka<br />

perdana gimelaha serta Ulilima dan Ulisiwa keluar meromparompa<br />

kepada negeri Yahudi dan Nasrani, sarang-menyarang<br />

sebahagailah tiada berhenti lagi. Hatta berapa lamanya datang<br />

utusan dari Maluku, gimelaha Bobawa, membawa titah<br />

memanggil kepada gimelaha dan orangkaya-kaya. Maka Kipati<br />

Luhu dan Pati Tuban dan imam Nusaniwe, lain daripada itu tiada<br />

kusebutkan, serta perdana gimelaha Luhu pergi mengadap ke<br />

bawah dulli paduka serri sultan Hamza, nasrun min llah syah.<br />

Tellah demikian itu maka kuceriterakan: di belakang perdana<br />

gimelaha Luhu itu johan pahlawan gimelaha Leliyato memangku<br />

tanah Ambon serta memerintahkan parang sabil Allah dan berkat<br />

agama rasul Allah serta kemenangannya. Segali perastawa ia<br />

keluar serta angkatannya mendatangi kota dauman*. Hatta<br />

dengan takdir Allah ta`ala entah berapa-rapa negeri Nasrani<br />

takluk Wolanda itu bebali kepada johan pahlawan gimelaha serta<br />

orangkaya-kaya Ulilima dan Ulisiwa. Maka kata johan pahlawan


[kepada] orangkaya-kaya Nasrani itu, demikian katanya: ‘Hai<br />

syaudaraku, engkau sekalian bukan kami endak kepada hamba<br />

sahayamu dan bukan kami kehendak kepada artamu, tetapi<br />

kehendak kami itu melainkan kita bersama-sama membawah<br />

agama rasul Allah.’ Maka diiakan orang itu, lalu ia pulang ke<br />

negeri bersuka-sukaan, makan-minum serta disalini dengan<br />

pakaian yang inda2. Maka gurendur menyuruh sebuah kapal<br />

belayar membawah khabar kepada jeneral serta bawah kepada<br />

Kapitan <strong>Hitu</strong> ke Betawih. Maka kata orang <strong>Hitu</strong> kepada orangkaya<br />

Bulan, demikian katanya: ‘Siya-siyalah orangkaya keluar serta<br />

Wolanda itu . Jangan dikembalikan kepada Kapitan <strong>Hitu</strong>; jika<br />

ditahankan ia duduk sehingga tanah <strong>Hitu</strong> jua pun baik juga, ini<br />

pula dibawah ke ini pula dibawah ke Betawih.’ Lalu orangkaya<br />

belayar ikut ke Betawih dan apa2 kehendaknya orangkaya itu<br />

dikatakan kepada jeneral. Hatta datang musim jeneral pun datang<br />

serta angkatannya ke tanah Ambon, menyarang kepada Lesiela<br />

serta dengan kehendak Allah ta`ala alah kota Lesiela. Maka<br />

orangkaya gimelaha dan orang semuhanya pindah ke negeri<br />

Kambelo,betahanlah di sana serta orang dagang Melayu<br />

Minangkabau. Lalu Wolanda itu ke negeri Hatubawah endak<br />

menyarang kepada gunung Alaka. Itu belum lagi dengan<br />

kehendak Allah ta`ala, maka tiada boleh alah, lalu ia pulang ke<br />

Kota Laha. Hatta dengan takdir Allah ta`ala, maka dikembalikan<br />

kepada Kapitan <strong>Hitu</strong>.Sendiri-dirinya juga, seorangpun tiada serta<br />

dia, nama orang hitam, Nasrani atau Islam, melainkan Wolanda<br />

juga antar kepadanya sehingga datang ke pantai Hila. Maka<br />

ditinggal kepada dia lalu orang Hila antar bawah kepadanya ke<br />

negeri Wawani. Maka negeri <strong>Hitu</strong> sekalian bersuka-sukaan,<br />

makan-minum, beramai-ramaian dengan dia, lalu orangkaya-kaya<br />

semuhanya serta Kapitan <strong>Hitu</strong> pergi ke Kota Laha bedamai<br />

dengan jeneral dan gurendur serta orang besar-besarnya. Entah<br />

berapa lamanya dalam Kota Laha, maka ia pulang ke negeri<br />

Wawani dan negeri sekalian memberi tiga puluh bahara cengkeh<br />

kepada jeneral akan pembeli siri pinang,seperti pantun Melayu:<br />

‘Dapakan bunga setangkai jangan diaibkan orang.’ Tellah<br />

demikian itu orang membawah fitna kepada jeneral dan gurendur,<br />

demikian katanya: ‘Kapitan <strong>Hitu</strong> menjual cengkeh kepada dagang<br />

Mangkasar dan Minangkabau di Puluh Tiga.’ Maka gurendur tiada<br />

dengan periksyai lagi, lalu menyuruh kepada kapitan Yon Yan*<br />

serta orang banyak mencahari. Ganap tanjung dan labuan tiada<br />

dapat, lalu ia mengadang ke laut Puluh Tiga. Itu pun tiada juga<br />

dapat, lalu ia pulang ke Kota Laha. Maka Kapitan <strong>Hitu</strong> pun takut<br />

tiada keluar kepada Wolanda itu, makin bertambah fitnah. Hatta<br />

tiada berapa lamanya datang paduka serri sultan Hamza, nasrun


min Allah syah, zill Allah fi 'l-`alamin, ke tanah Ambon serta raja<br />

Tidore yang diturunkan daripada kerajaannya itu dan raja Jailolo.<br />

Maka Wolanda itu serta angkatannya mendapatkan paduka serri<br />

sultan, lalu masuk ke pantai Kambelo. Maka tanah Ambon dan<br />

Buru sekalian berhimpunlah di sana. Hatta datang titah yang<br />

dipetuan kepada orangkaya-kaya dalam negeri Lesidi dan<br />

Kambelo, sekalian pati dan sengaji: ‘Rubuhkan kotamu itu dan<br />

niyahkan segala orang dagang itu, suruh belayar pulang ke<br />

negerinya.’ Maka kotanya itu pun dirubuhkan dan sekalian dagang<br />

itu pun belayar masing2 mencahari tempatnya. Maka suruh<br />

panggil perdana gimelaha dua bersyaudara, lalu dinaikan<br />

pahlawan gimelaha Leliyato kepada kapal Wolanda itu dan<br />

dikeluarkan gimelaha Luhu. Tellah demikian itu paduka yang<br />

dipetuan berangkat ke tanah <strong>Hitu</strong> serta Wolanda itu dan negeri<br />

<strong>Hitu</strong> sekalian pun keluar jungjung serta dengan adat semuhanya<br />

dikerjakan. Ada yang memagang senjata serta santiagu*, ada<br />

yang bejalan saja, ada yang membawah ayapan, ada yang<br />

membawah arta bejenis-jenis serta bunyi-bunyian mengiringkan<br />

kepada payung kerajaan daulat al sultan Hamza, nasrun min Allah<br />

syah, zill Allah fi 'l-`alamin. Maka berhimpunlah tanah Ambon<br />

sekalian berhadapan . Apabila sudah rubuhkan kotanya, maka<br />

turun Wolanda itu mendatangi negeri Kambelo. Maka orang<br />

Kambelo keluar serta pahlawan Patiwani <strong>Hitu</strong>. Pada ketika itu ia<br />

duduk di negeri Kambelo, maka berparanglah atas bukit itu. Hatta<br />

seketika lagi patah parang Kambelo, berpalinglah orang sekalian,<br />

sehingga Patiwani jua ia betahan parang dengan Wolanda itu.<br />

Tiada dapat kuceriterakan parangnya. Kemudian berhadapan di<br />

bawah dulli yang dipetuan, hatta datang titah kepada orang<br />

sekalian:‘Mana surat perjanjian dengan Wolanda itu?’ Maka<br />

menyahut orangkaya-kaya semuhanya: ‘Ada pun surat perjanjian<br />

Wolanda itu ada kepada patik tuanku Kapitan <strong>Hitu</strong>.’ Lalu<br />

menyuruh panggil kepada Kapitan <strong>Hitu</strong>. Ada pun pada ketika itu<br />

Kapitan <strong>Hitu</strong> pun sakit, lalu pulang orang yang memanggil itu<br />

menyampaikan ke bawah dulli yang dipetuan. Tetapi kepada<br />

jeneral itu tiada ia percaya. Maka menyuruh fetor Soroi* dan<br />

sarinto* pergi periksyai kepada penyakitnya itu. Lalu ia pulang<br />

katakan kepada jeneral: ‘Bennar juga kata orang itu.’ Tellah<br />

demikian itu panglima Nahudimeten serta imam Sifarrijali<br />

keduanya keluar datang mengadap ke bawah dulli serri sultan.<br />

Hatta datang maka titah: ‘Mana Kapitan <strong>Hitu</strong>?’ Maka menyahut<br />

Sifarijali: ‘Daulat tuanku, ampun seribu ampun, patik tuanku<br />

sakit. Jika tiada sakit, sudah datang ke bawah dulli tuanku.’ Maka<br />

titah: ‘Jika ia sakit, manatah surat perjanjian Wolanda itu?’ Maka<br />

menyahut pula Sifarijali: ‘Patik minta maaf. Bennar juga titah


yang dipetuan itu, tetapi tatkala ditipu kepada patik tuanku,<br />

jangankan surat itu, negerinya pun tiada diketahui lagi. Entah<br />

surat itu ta dapat tiada kepada Wolanda, karena ia tempat<br />

merampas isi rumah Kapitan <strong>Hitu</strong>.’ Maka sabda yang<br />

kerajaan:‘Apabila bagai kata yang demikian itu, tiadalah kita<br />

memutuskan kepada perjanjian itu, karena surat pun tiada, yang<br />

memagang surat pun tiada datang.’ Lalu berangkat kepada<br />

kelengkapannya dan orang sekalian pun masing2 pulang kepada<br />

tempatnya. Hatta datang kepada hari yang lain, maka masuk pula<br />

bicara dalam gudang Wolanda itu. Itu pun demikian juga tiada<br />

berputusan, lalu dibawah belayar kepada pahlawan gimelaha<br />

Leliyato ke Jawahkatra*. Maka tanah Ambon pun masing2 pulang<br />

ke negerinya, sehingga kelengkapan dari Ternate itu juga serta<br />

yang dipetuan di tanah <strong>Hitu</strong>. Maka bersumpah-sumpahan kalam<br />

Allah dengan orang <strong>Hitu</strong> dan berjanjian dan muafakat seperti<br />

dahulu itu lagi, lalu berangkat ke Kota Laha. Entah berapa<br />

lamanya di sana, maka berangkat pulang ke <strong>Hitu</strong> pula, dari <strong>Hitu</strong><br />

menyeberang ke Luhu, dari Luhu berangkat ke Kambelo, Lesidi,<br />

lalu pulang ke Maluku, sehinggalah keluar yang dipetuan serri<br />

sultan Hamza, nasrun min Allah syah, meninggalkan benua<br />

Ternate datang ke tanah Ambon, itulah kesudahannya. Telah<br />

demikian itu maka kuceriterakan kemudian daripada itu tanah<br />

Ambon, tiada ketahuan negeri Luhu dan negeri Lesidi, lain<br />

daripada itu tiada kusubutkan serta gimelaha Majira mengikut<br />

kepada Wolanda. Ada pun negeri Kambelo dan Eran* dan Loki,<br />

lain daripada itu tiada kusubutkan serta gimelaha Majira<br />

mengikut kepada Wolanda. Ada pun negeri Kambelo dan Eran*<br />

dan Loki, lain daripada itu tiada kusubutkan, serta gimelaha Luhu.<br />

Dan kepada tanah <strong>Hitu</strong> negeri Hila dan negeri <strong>Hitu</strong>lama, lain<br />

daripada itu tiada kuceriterakan, serta orangkaya Bulan dan<br />

orangkaya Tanihitumesen mengikut kepada Wolanda. Ada pun<br />

negeri <strong>Hitu</strong> dari Wawani dan negeri Asilulu dan negeri Alan,<br />

Liliboy, lain daripada itu tiada kuceriterakan, serta Kapitan <strong>Hitu</strong><br />

dan Pati Tuban dan Tubanbesi, serta johan pahlawan gimelaha<br />

Luhu berparang dengan Wolanda itu, alah-mengalah,sarangmenyarang<br />

sebagailah tiada berputusan parang sabil Allah di<br />

tanah Ambon. Hatta berapa dalamnya, maka orang <strong>Hitu</strong> dan orang<br />

Kambelo serta orangkaya gimelaha belayar mengadap raja<br />

Mangkasar minta tolong kepada agama rasul Allah. Maka serri<br />

sultan Muhammad Sya`id, wa-sultan al-Din, ibn al-sultan marhum<br />

syah, menyuruh tujuh buah perau mengantarkan kepada<br />

orangkaya gimelaha dan orangkaya2 pulang ke tanah Ambon.<br />

Sehingga datang ke pantai Eran*, maka bertemu dua buah kapal .<br />

Berlawanlah di sana dua kaum itu, pasang-memasang, tembak-


menembak, karena kelengkapan Mangkasar membuat<br />

talangkeranya* di darat dan Wolanda membuat di laut atas<br />

kapalnya. Hatta berapa antaranya dalamnya parau dari Kambelo<br />

dan dari <strong>Hitu</strong> datang membawah kepadanya; setengah masuk<br />

duduk di Kambelo dan setengah dibawah ke <strong>Hitu</strong> membuat<br />

kotanya di pantai Seit ia duduk. Lalu menyorong parangnya<br />

kepada negeri Larike dan negeri karas sukar mengalahkan dia.<br />

Hatta datang pahlawan Patiwani melihat kepada negeri itu,<br />

sangngat berahinya, lalu masuk sekali2 tiada dengan was2 lagi,<br />

maka alah negeri itu. Endak lalukan kepada gudang Wolanda itu,<br />

tetapi diteggah oleh penggawa, karena pasan yang dipetuhan<br />

tiada dengan orang Wolanda, karena perjanjian raja kepada<br />

Wolanda itu belum lagi berubah. Maka ia bernanti tiada masuk<br />

kepada gudung itu, sehingga lalu pulang orang sekalian serta<br />

Patiwani ke negeri Wawani, makan-minum, bersuka-sukaan. Dan<br />

yang duduk di Kambelo itu pun menyoron parangnya serta orang<br />

Ternate dan orang Kambelo alah kepada negeri Saluku. Maka ia<br />

pulang serta dengan kemenangnya bersuka-sukaan dalamnya.<br />

Hatta datang musim, maka setengah duduk dan setengah pulang<br />

ke Mangkasar menyampaikan khabar dan minta bantu pula. Hatta<br />

datang musim barat, maka datanglah entah berapa aluwannya.<br />

Tetapi penghulu dalam angkatan itu karaen* Bontomanompo dan<br />

daeng* Bulikan, dan karaen Mampo akan hukum dalam angkatan<br />

itu dan memagang arta raja itu Marala dan karaen Puli dan Malim<br />

dan Besi Lumu*. Lain daripada itu tiada kusebutkan. Hatta datang<br />

ke tanah Ambon, lalu masuk ke tanah <strong>Hitu</strong>, ia duduk di pantai<br />

Seit. Maka datang kapal Wolanda itu, berlawanlah kedua kaum<br />

itu, pasang-memasang, tembah-menembah. Siang dan malam,<br />

pagi petang pertungguwan tiada berkeputusan. Apabila masuk<br />

matahari, berlakulah kedua pihak itu serta senjata bekilat-bekilat<br />

dan bunyi-bunyian tamburnya dan kucapinya atas kepadanya.<br />

Dan daripada Mangkasar pun demikian juga begendang serta<br />

bunyi-bunyian. Hatta berapa lamanya kapal itu pun belayar, maka<br />

Mangkasar pun menyorongnya menyarang kepada negeri<br />

<strong>Hitu</strong>lama serta dengan kehenda Allah ta`ala alah negeri itu. Maka<br />

orang dalam negeri itu semuhanya masuk ke dalam gudung<br />

Wolanda, maka orang Mangkasar endak masuk rusak kepada<br />

gudung itu. Maka datang orangkaya2 dari negeri Kapahaha dan<br />

negeri Mamala minta maaf kepada Mangkasar dan orang Wawani,<br />

demikian katanya: ‘Kami minta maaf banyak-banyak kepada<br />

penggawa dan panglima sekalian undur juga. Ada pun gudung itu<br />

atas kepada kami, alahkan dia, tetapi anak buah kami itu kami<br />

keluarkan dahulu, kemudian kami rusakkan dia.’ Tellah kata<br />

demikian itu, maka orang Mangkasar dan orang Wawani pun


erhenti, tiada jadi berhenti, tiada jadi masuk kepada gudung itu,<br />

lalu pulang. Hatta datang esok harinya, orang dalam gudung itu<br />

pun keluar dan bantu dari Kota Laha pun datang menolong<br />

kepada gudung itu. Maka orang Kapahaha dan orang Mamala dan<br />

Liyan pun tiada jadi mengrusakkan dia. Itulah tanda orang kibria<br />

dalam dunia tiada mengetahui kehendak Allah ta`ala. Tellah<br />

demikian itu hatta datang berapa antaranya menyorong pula<br />

parangnya ke <strong>Tanah</strong> Besar. Daripada Anin dan Laala itu pun<br />

demikian juga, karena orangkaya gimelaha tiada sesungguhnya<br />

parang, karena gimelaha Majira serta orang itu dan pun demikian<br />

lagi dengan negeri Anin dan Laala. Maka berangkat serta orang<br />

Kambelo dan orangkaya gimelaha mendatangi di negeri Lesidi. Itu<br />

pun demikian juga sebab orang Kambelo dan Lesidi tiada dengan<br />

sesungguhnya. Maka sesungguhnya. Maka orang Kambelo dan<br />

orangkaya gimelaha serta Mangkasar tiada jadi menyarang<br />

kepada negeri Lesidi, lalu pulang tiada dengan faedahnya. Tatkala<br />

itu karaeng Jipang dan daeng Manggapa keduanya bedagang di<br />

pantai Kambelo, maka ia keduanya bersama-sama serta angkatan<br />

itu menyeberang ke tanah <strong>Hitu</strong>. Ia duduk di pantai Wawani, lalu<br />

orang Kambelo dan gimelaha bedamai dengan orang Lesidi. Maka<br />

tanah Ambon semuanya mengikut kepada Wolanda, sehingga<br />

negeri Wawani juga berkellahi dengan orang semuhanya itu serta<br />

Wolanda itu. Hatta datang musim karaeng Bontomanompo dan<br />

daeng Bolikan serta kelengkapannya pulang ke Mangkasar<br />

menyampaikan khabar kepada serri sultan Muhammad Sya`id al-<br />

Din, sehingga karaen Jipan* dan Manggapa serta hamba raja<br />

Marala dan Malim menunggu kepada kotanya di pantai Seit. Dan<br />

Wolanda itu pun demikian lagi, menyuruh belayar ke Betawih<br />

membawah khabar kepada jeneral Fandiman*. Hatta datang<br />

musim barat Mangkasar tiada keluar, sebab raja berangkat<br />

menyarang kepada raja Bone. Ada pun kepada Wolanda itu<br />

jeneral keluar dengan angkatannya serta tanah Ambon dengan<br />

angkatan semuanya mendatangi kotanya Mangkasar itu . Serta<br />

dengan kehendak Allah ta`ala alah kota itu. Hatta datang esok<br />

harinya, lalu naik menyarang kepada negeri Wawani, maka orang<br />

<strong>Hitu</strong> dan Mangkasar keluar mengamu. Serta pahlawan Patiwani<br />

menetah, maka ditangkis oleh Wolanda itu sehingga sedikit juga<br />

putus asfanggarnya* itu. Lalu patah parang Wolanda itu, belarilariyan<br />

membuangkan senjatanya. Maka orang <strong>Hitu</strong> dan<br />

Mangkasar mendapat tiga puluh pucu esfangar yang tiada berapi.<br />

Lain daripada itu tiada kusubutkan dan orang mati pun entah<br />

berapa banyak tiada kuceriterakan, karena ada mati oleh pedang,<br />

ada mati beddil, ada mati sendirinya, sebab ia terjung dari atas<br />

gunung tiada berketahuan larinya, masing-masing membawah


dirinya. Maka naik kepada angkatannya, lalu pulang ke negerinya<br />

sehingga meninggal tiga buah kapal menunggu kepada pantai<br />

Wawani. Ada pun tatkala parang itu hamba raja Marala dua<br />

bersyaudara mati dan pahlawan Patiwani luka dan imam Sifar ar-<br />

Rijali pun luka pada ketika itu. Maka negeri Wawani pun selamat.<br />

Kemudian daripada itu Seit dan Hahutuna, lima buah negeri,<br />

keluar serta orangkaya Tanihitumesen masuk kepada Wolanda.<br />

Maka ia berbicarai dengan gurendur, lalu bawah kapal belabu di<br />

tanjung Hulu, membuat talangkeranya serta gudungnya di pantai<br />

Hahutuna. Daripada itulah rusak iman orang parang sabil Allah<br />

dan melamahkan hati orang itu, daripada ia katakan kata yang<br />

baik serta membujuk dengan kata yang manis samanya Islam. Itu<br />

orang meruntuhkan agama rasul Allah dan orang itu orang<br />

munafik, karena orang itu dengan Hehalesi mengaku hadapan ke<br />

pantai <strong>Hitu</strong> dan menyuruh berparang serta Wolanda, karena ia<br />

mengaku di laut atau di darat atas kepada orang itu dengan<br />

Hehalesi. Sebab itulah Kapitan <strong>Hitu</strong> menengar fitnah daripada<br />

orang itu, maka ia berparang dengan Wolanda. Maka<br />

kuceriterakan pada tatkala itu ada dua orang Kastila lari daripada<br />

orang Wolanda datang ke negeri Wawani,masuk kepada Kapitan<br />

<strong>Hitu</strong> dan Kapitan <strong>Hitu</strong> pun percaya kepadanya. Sangkanya bennar<br />

orang lari, tiada mengetahui tipu dayah Kastila itu. Entah berapa<br />

lamanya dalam negeri Wawani dan orang sekalian pun percaya<br />

kepadanya. Hatta datang kepada suatu ketika ia datang kepada<br />

Kapitan <strong>Hitu</strong>, maka ia berkata:‘Kami endak pergi bermain di<br />

negeri kicil.’ Maka kata Kapitan <strong>Hitu</strong>: ‘Pergilah engkau.’ Lalu<br />

keduanya berjalan keluar di pantai Seit, maka ia naik ke kapal<br />

kepada Wolanda itu dan apa-apa katanya Kastila itu, maka<br />

turung, lalu naik ke negeri Wawani. Hatta datang tengah malam<br />

ia masuk ke dalam rumah. Tatkala itu Kapitan <strong>Hitu</strong> pun baringbaring,<br />

lalu tidur sekalih di luar kepada suatu balai. Karena<br />

istiadat Kapitan <strong>Hitu</strong>, jangankan laki-laki, hamba sahayanya<br />

sekalipun, jika panjangnya lima jengkal tiada boleh masuk ke<br />

dalam rumah. Itulah sendirinya beradu tiada dengan<br />

penunggunya, seorangpun tiada. Ia juga sendirinya, lalu masuk<br />

laknat itu. Maka tikam tigabelas kali serta dengan kehendak Allah<br />

ta`ala tiada makan besi kulitnya, sehingga sekali juga makan besi<br />

butul dadanya. Hatta datang ajal Allah, lalu pulang ke rakhmat<br />

Allah. Inna li-llahi wa-inna ilaihi raji’un. Dan laknat itu lari ke<br />

kapal beritahu kepada kapitan. Maka ia pasan muruyumunya*<br />

semuhanya gennap kapalnya serta gudungnya sekalian, maka<br />

negeri <strong>Hitu</strong> sekalian pun menjadi daif daripada ia terkuddun ia.<br />

Tellah demikian itu orang Kaitetu pun keluar serta orang Seit dan<br />

Hahutuna masuk kepada orangkaya Tanihitumesen muafakat.


Maka menyuruh naik ke negeri Wawani, menyampaikan kata<br />

orangkaya itu kepada orangkaya Pati Tuban dan pahlawan<br />

Patiwani serta orangkaya sekalian, demikian katanya: ‘Ada pun<br />

Kapitan <strong>Hitu</strong> sudah pulang ke rakhmat Allah. Bolehkah kita<br />

bertemu dengan orangkaya2? Tetapi kita tiada boleh naik ke<br />

negeri, karena gurendur tiada mau kepada beta naik.’ Maka kata<br />

orangkaya2: ‘Benar kata syaudara kami itu. Apa salahnya?’<br />

‘Daripada itu ia ingat kepada negeri <strong>Hitu</strong> serta agama rasul Allah,<br />

maka ia menyuruh datang kepada kami itu, dan kami pun<br />

demikian juga seperti kata orangkaya itu, tiada boleh naik ke<br />

negeri.’ ‘Benar juga kata orang itu, karena orangkaya dalam<br />

maklum Wolanda itu. Kami pun demikian lagi endah bertemu<br />

dengan orangkaya juga, tetapi kami tiada boleh keluar sebab<br />

orangkaya serta Wolanda.’ Maka suruwan itu pulang beritahu<br />

kepadanya. Maka menyuruh pula berulang-ulang dengan kata<br />

yang baik dan manis, karena piliyan kata yang benar, maka<br />

dikatakan serta dengan empena menjadi jina. Lalu katanya<br />

demikian: ‘Orang kaya2-pun tiada boleh keluar, karena kita<br />

bersama-sama dengan Wolanda. Kita pun tiada boleh naik ke<br />

negeri, karena gurendur tiada mau. Baiklah kita sama bertemu di<br />

luar negeri, supaya kita muafakat mana yang baik itu maka kita<br />

kerjakan. Karena negeri semuanya sudah keluar akan katanya<br />

kepada gurendur; tetapi gurendur tiada percaya karena negeri<br />

sekalian itu mengikut kepada dia. Seperkara lagi, tiada perna ekor<br />

dahulu maka kepala mengikut, melainkan dahulu juga kepala,<br />

maka ekor mengikut. Daripada itulah kita menyuruh datang<br />

kepada orangkaya2 itu serta dengan angkunya. Apabila berbuatan<br />

atau tipu yang jahat bukanlah perbuatan Wolanda, kita empunya<br />

perbuatan itu.’ Maka orang sekalian percaya, sangkanya kata<br />

yang baik, lalu keluar orangkaya2 serta orang banyak mengikut<br />

kepada suruwan itu, sehingga datang kepada suatu padang di tepi<br />

sungai. Maka kata orang Seit dan Hahutuna: ‘Tuanku lalu ke pasar<br />

Lebelehu, karena orangkaya serta orang banyak ada di sana.’ Ia<br />

menanti, lalu pergi ke sana. Hatta datang di sana bertemu dengan<br />

orangkaya serta orang banyak itu. Matahari pun masuk, maka<br />

kata orangkaya dan orang banyak: ‘Ada pun kita ada bicara<br />

sekarang ini, orangkaya2 dari Hila dan dari Mamala dan dari<br />

Kapahaha bulum lagi datang. Baiklah orangkaya2 berhenti. Esok<br />

harinya ia datang, maka muafakat semuanya dahulu. Kemudian<br />

maka kita kira-kira apabila baik kita masuk kepadanya; jika tiada<br />

baik menyuruh panggil kepadanya bicara di luar.’ Maka kata<br />

orangkaya2 Wawani: ‘Jika bagai kata demikian itu, baiklah kami<br />

pulang dahulu. Esok harinya maka kami datang.’ Maka kata<br />

orangkaya dan orang Seit, Hahutuna: ‘Mengapa maka pulang lagi?


Jika begitu tiadalah percaya kepada kami semuanya ini.’ Karena<br />

orangkaya sudah mengaku di hadapan orang semuanya kepada<br />

barang perbuatan yang jahat itu, maka orangkaya2 serta orang<br />

sekalian pun percayalah, sangkanya kata yang benar. Maka ia<br />

berenti di sana, lalu orang Seit dan Hahutuna pulang ke<br />

negerinya, beritahu kepada letnante dan menyuruh antan-antun<br />

dua orang, seorang Goron* dan seorang Tapihuwat namanya,<br />

keduanya naik ke kapal beritahu kepada kapitan gurendur,<br />

Demer* namanya, membilang nama orang yang datang itu dan<br />

nama panglima serta pendagarnya semuanya yang datang itu.<br />

Dan apa-apa kehendaknya itu semuanya dikatakannya kepada<br />

Wolanda. Lalu turun Kompenyi*, naik kepada tengah malam itu<br />

menyarang kepada negeri Wawani. Serta kehendak Allah ta`ala<br />

alah negeri Wawani dan orang dalam negeri itu pun cerai-berai,<br />

masuk dalam hutan dan orangkaya yang keluar itu pun tiada<br />

boleh masuk ke negeri lagi, lalu berjalan di luar masuk utan. Maka<br />

ia bertemu sekalian rakyatnya dan karaen Jipan* dan daen<br />

Manggapa serta rakyatnya dan kiyaicili La Manimpa ibn sipati* di<br />

Buton. Maka semuanya bejalan masuk ke negeri Nukuhali dan<br />

negeri itu pun tiada boleh terima kepadanya. Maka berjalan pula<br />

ke negeri Tehala dan negeri Tehala pun demikian juga tiada dapat<br />

terima, lalu keluar masuk utan, terbit pandang*, naik bukit, turun<br />

bukit dan berapa padang ia berjalan. Entah berapa lamanya dalam<br />

hutan itu sebagai juga sehingga datang ke hulu sungai, Wai Luyi*<br />

namanya sungai itu, maka berentilah di sana. Entah berapa<br />

dalamnya, paduka kiyaicili Laksamana pun sakit lalu mati . Tellah<br />

dipeliharakan paduka kiyaicili itu, maka semuanya muafakat: ‘Apa<br />

tipu kita? Apabila kita dalam hutan juga tiada tahan lagi rakyat<br />

kita ini . Jika kita endah masuk kepada suatu negeri, semuanya<br />

mengikut kepada Wolanda. Baiklah kita menyuruh kepada suatu<br />

negeri, supaya kita dengngar kehendak itu, mauka atau tiadaka,<br />

kemudian kira-kirakan kehendak kita.’ Lalu menyuruh ke negeri<br />

Kapahaha: ‘Boleh kami masuk atau tiadakah?’ Karena tatkala itu<br />

negeri Kapahaha pun bedamai dengan Wolanda, maka kata<br />

orangkaya Tubanbesi: ‘Boleh juga, tetapi sabbar dahulu supaya<br />

kami kira-kira serta orangkaya2 semuanya.’ Tellah demikian itu<br />

entah apa-apa kehendaknya sekalian orangkaya itu, lalu ia datang<br />

sendirinya membawah kepada orang yang tiada dapat berjalan<br />

itu,dijalankan di laut dan orang <strong>Hitu</strong> dan setengah orang<br />

Mangkasar serta daen Manggapa berjalan di darat. Hatta datang<br />

ke pantai Kapahaha, maka didiamkan kepada suatu dusun, Alitan<br />

namanya. Di sanalah ia duduk menanti kepada orang banyak lagi<br />

dalam hutan itu. Apabila datang semuanya kemudian, maka kirakirakan<br />

kepada kedudukan, karena panglima Patiwani dan imam


Sifar ar-Rijali dan pati Larutu bersama-sama karaen Jipan* serta<br />

Mangkasar yang banyak itu lagi dalam hutan. Demikian kehendak<br />

orang itu:’Apabila kita sekalian ini masuk ke dalam negeri,<br />

sukarlah kepada hidupan kita. Baiklah kita di sini supaya kita pun<br />

dapat makanan. Orang dalam negeri itu pun kita antar akan dia.’<br />

Itullah kehendaknya orang itu. Ada pun tatkala ia dalam hutan itu<br />

sekalian negeri itu tiada boleh masuk dalam hutan. Daripada<br />

itulah kubunnya dengan tanamannya semuanya kepada orang itu<br />

mengambil dia. Hatta berapa lamanya dalam hutan itu, maka<br />

datang Wolanda itu mencari dia. Maka bertemu kepada suatu<br />

padang, lalu berparang kedua pihak itu. Hatta seketika juga undur<br />

Wolanda itu pulang ke gudangnya dan karaen Jipan* pun<br />

meninggalkan Mangkasar setengah serta Kartulesi menanti<br />

kepada suatu dusun. Ia membawah setengah serta Patiwani dan<br />

Sifar ar-Rijali masuk ke negeri Kapahaha. Maka diberikan dua<br />

buah perau, lalu ia belayar pulang ke Mangkasar. Maka menyuruh<br />

mengambil perau kepada Kartulesi serta orang yang tinggal<br />

dalam hutan itu. Maka datang pula Wolanda itu serta orang <strong>Hitu</strong><br />

yang mengikut kepada Wolanda itu, maka berparanglah tiga kaum<br />

itu dalam hutan di sana. Hatta seketika juga dengan kehendak<br />

Allah ta`ala tetanam kaki Kartulesi ke dalam lumpur, tiada boleh<br />

bergerak lagi serta dengan ajal Allah lalu ia syahid. Apabila ia<br />

mati maka orang banyak itu masing-masing lari membawah<br />

dirinya. Tiada berketahuan larinya, ada mati dalam hutan, ada<br />

masuk ke <strong>Hitu</strong>lama, ada masuk ke Hila, ada masuk ke negeri kicil,<br />

ada masuk kepada Wolanda itu, ada masuk ke negeri Kapahaha.<br />

Maka kata orangkaya: ‘Apa tipu kita? Karena kita sudah bedamai<br />

dengan dia. Baiklah kita pergi kepadanya minta ampun.’ Lalu<br />

orangkaya-kaya masuk pada gurendur serta membawah tiga ribu<br />

real akan pembeli siri pinang, supaya kami minta minta ampun.<br />

Maka gurendur itu real itu pun diterima dan kepada orang itu<br />

tiada diampunkan. Lalu keluarkan angkatan serta tanah Ambon<br />

semuanya datang ke pantai Mamala. Maka menyuruh panggil<br />

kepada negeri semuanya, demikian kata: ‘Baik siap-siap negeri,<br />

jika tiada ia keluar serta aku, ialah akan musuhku.’ Hatta<br />

didengar kata gurendur demikian itu dan negeri semuanya keluar<br />

serta gurendur itu, sehingga negeri Kapahaha juga tiada keluar.<br />

Maka Wolanda itu dilabukan kapalanya genap tanjung dan labuan<br />

Kapahaha serta mendirikan talankeranya* di pantai itu, lalu<br />

menembang cengkeh serta kayu yang dimakan buah2-nya. Maka<br />

hulubalang negeri Kapahaha, Umarela namanya, ialah rasamu*<br />

kepada orang mudah-mudah dalam negeri Kapahaha pada tatkala<br />

itu, maka ialah keluar merompa pada orang Nasrani itu. Empat<br />

orang ditindisnya di adapan Wolanda itu, lalu ia pulang dengan


kemenangnya, bersuka-sukaannya, makan-minum serta bunyibunyian<br />

dalam negeri Kapahaha. Dan Wolanda itu pun demikian<br />

lagi, sama gagahnya . Maka kedua pihak itu tiada berputusan<br />

berparang siang malam pagi petang, sentiasa kedua kaum itu<br />

sebagai juga. Apabila kepada pihak Islam itu ia keluar mengambil<br />

makanan,tiada ia pulang kepada siang hari, melainkan petang<br />

malam, maka ia pulang dan Wolanda itu pun apabila petang<br />

malam, ia datang mengadap di pantai di mana datang orang itu .<br />

Hatta sama bertemu kedua pihak itu, perparanglah kedua kaum<br />

itu, sentiasa tiada bertinggalan lagi. Apabila petang, malam atau<br />

siang hari, maka keluar orang dari negeri Kapahaha, ia mengadap<br />

di luar talankeranya Wolanda itu dan Wolanda itu pun mengawal.<br />

Maka sama bertemu keduanya lalu berparanglah kedua kaum itu,<br />

pasang-memasang, tatuk-menatak sebagai juga tiada berhenti<br />

lagi. Sama gagahnya dua<br />

pihak itu. Alah mennang daripada kapitannya yang gagah itu<br />

seperti letnante dan alferes* dan sarento* serta kapitan Merlaka*<br />

ia sangat keras mengasakan soldadu kepada parang. Dan<br />

demikian lagi daripada pihak Islam, panglimanya dan<br />

pendagarnya serta pahlawan Patiwani ialah sangat mengasakan<br />

orang mudah2 kepada parang sabil Allah.Maka sama gagah kedua<br />

pihak itu, alah menang Islam pun tiada mau kepada Nasrani dan<br />

orang Nasrani pun tiada mau kepada Islam,samalah kedua kaum<br />

itu. Hatta berapa dalamnya serta dengan kehendaknya Allah<br />

ta`ala pahlawan Patiwani ia naik kepada sebuah perau<br />

menyeberang ke sebelah <strong>Tanah</strong> Besar, maka ia masuk ke dalam<br />

sungai Wai Liyi*. Entah berapa hari dalamnya, maka datang<br />

sebuah perau Wolanda itu dari pantai Lumakai*. Maka ia<br />

keluar,melawanlah keduanya pasang-memasang, tembahmenembah.<br />

Hatta seketika lagi ia memandang ke kiri dan ke<br />

kanan dan ke aluan dan ke buritan, maka dilihatnya jurumudi<br />

putus tangannya sebelah dan mati. Hatib Lukula dari Mamala<br />

tangannya satu bengko dan orang luka pun banyak, maka ia<br />

memarintah kepada orang semuanya, lalu langgar kepada<br />

Wolanda itu. Apabila sudah langgar, maka ia mengunus<br />

syamsyirnya serta melompat naik ke atas kelengkapan Wolanda<br />

itu. Hatta dengan ajal Allah syahidlah ia dalam perau Wolanda itu.<br />

Maka huru-gara majnun pandang kepada johan Patiwani ia dalam<br />

kelengkapan Wolanda itu. Lalu ia menyerbukan dirinya kepada<br />

Wolanda itu, serta menatak sekali juga kennah dua orang.<br />

Seorang itu sehingga sedikit juga putus kedua penggal, ialah<br />

kapitannya dan seorang lagi putus sebelah tangannya ada di jalan<br />

lagi. Maka ditembah oleh Wolanda itu dua lukanya, satu kennah


pahanya dan satu lagi kenah bibirnya,maka jatuh ke air masing,<br />

lalu naik kepada peraunya. Maka datang mengambil kepada johan<br />

pahlawan Pati[wani], maka kedua kaum itu berhanyutan juga<br />

tiada boleh penggayu lagi, karena keduanya sama lellah leti.<br />

Hatta demikian itu, maka kata johan pahlawan Patiwani: ‘Hai<br />

syaudahraku sekallian, kami sudah belakankan dunia, tetapi<br />

menyampaikan salamku kepada orangkaya Tupanbesi serta<br />

orangkaya2 sekallian. Tellah sudah kesudahan kami, tetapi baikbaik<br />

bicara tuan-tuan semuanya, jangan disamakan kita di<br />

belakang tuan-tuan itu.’ Lalu ia mati, maka dibawah pulang<br />

maitnya itu datang ke negeri Kapahaha dan dipeliharakan serta<br />

diadatkan sehingga seratus . harinya . Itulah kesudahan hidupan<br />

pahlawan Patiwani dalam tanah <strong>Hitu</strong>. Apabila suda ia mati, maka<br />

dibelakannya johan itu dan negeri semuanya pun berpalinglah<br />

kepada Wolanda itu. Jadi kuranglah kuat negeri Kapahaha, karena<br />

ia satu negeri juga tiga ratus orang memagang senjata<br />

berparanglah dengan negeri sekalian. Itulah hal negeri Kapahaha<br />

parang sabil Allah. Tellah demikian sekali perastawa gurendur<br />

sendirinya membawah angkatan endah menyerang kepada negeri<br />

Kapahaha. Maka ia naik ke atas bukit antara gunung Hantu* dan<br />

negeri Kapahaha. Maka ia pasang bedil ditembah ke dalam negeri<br />

dan negeri pun menembah kepadanya. Maka kedua kaum itu<br />

melawanlah, pasang-memasang daripada waktu subuh sehingga<br />

datang kepada bakda magrib. Daripada belum dengan ajal Allah<br />

kepada negeri Kapahaha ia lari sendirinya membuangkan<br />

senjatanya. Entah berapa matinya tiada ditentu dalamnya, karena<br />

sekali menembah tujuh orang dikenanya. Itulah Allah dan nabi<br />

Muhammad juga yang mengetahui. Segali lagi ia berjalan dari<br />

bukit Iyaluli* endah mendatangi negeri Kapahaha. Sehingga<br />

tengah jalan, maka ia lari sendirinya membuang senjatanya. Lain<br />

daripada itu tiada dapat kuceriterakan. Ada mennang, ada alah,<br />

itulah hal parang kedua kaum. Segali perastawa orangkaya Pati<br />

Tupan dan Tulesi adindah orangkaya Tubanbesi bawah dua perau<br />

ke <strong>Tanah</strong> Besar. Maka ia pulang bertemu dua buah fergat*, maka<br />

melawanlah keduanya. Hatta seketika lagi orangkaya Patti<br />

[Tuban] pun luka dan Tullesi pun kuka* Lain daripada itu tiada<br />

kusebutkan. Maka didapatnya sebuah perau. Pada ketika itu<br />

mennang Wolanda itu kepada Islam dan kuceriterakan,ada pun<br />

tatkala itu orangkaya2 tanah Ambon, Ulilima dan Ulisiwa, Islam<br />

dan Nasrani, serta orangkaya gimelaha datang suruh minta<br />

bedamai. Maka negeri tiada mau bedamai, karena musuh<br />

semuanya yang datang suruh minta bedamai, melainkan menanti<br />

titah paduka seri sultan dari Maluku. Hatta datang musim utusan<br />

pun datang dari Ternate, lalu masuk ke Kota Laha pada gurendur.


Maka menyuruh panggil kepada orangkaya2 negeri Kapahaha,<br />

maka orangkaya2 serta orang banyak datang kepada utusan dan<br />

gurendur. Maka kata utusan dan gurendur: ‘Pulanglah<br />

orangkaya2, panggil kepada orangkaya Tubanbesi dan<br />

orangkaya2 yang tuah-tuah datang ke mari, supaya ia dengar<br />

kepada titah yang dipetuan.’ Apabila orangkaya2 itu pulang<br />

sehingga tengah jalan, maka bertemu orang datang membawah<br />

khabar, demikian katanya: ‘Ada pun orangkaya2 yang di belakan<br />

mengikut tuan-tuan itu dipagang oleh letnante, dimasukkan ke<br />

dalam talankeranya.’ Lalu orangkaya2 itu masuk hutan mencari<br />

jalan yang lain. Sebab itulah maka tiada jadi bedamai. Lalu<br />

orangkaya-kaya menyuruh menyampaikan ke bawah dulli yang<br />

dipetuhan serta tanya sepata kata, demikian katanya: ‘Betapa hal<br />

kami ini? Karena tanah Ambon negeri sekalian serta dengan<br />

Wolanda, sehingga kami sebuah negeri juga berparang dengan<br />

Wolanda itu. Mana kehendak seri sultan, baik berkellahi atau<br />

bedamai, supaya kami dengar dan mengetahui kehendak titah itu<br />

pun.’ Tiada juga datang titah, hatta berapa dalamnya gimelaha<br />

pun datang dari Ternate,maka orangkaya Kapahaha menyuruh<br />

tanya kepada orangkaya gimelaha. Hatta datang suruwan itu,<br />

apa-apa sebabnya, lalu menyuruh bunuh kepada suruwan itu.<br />

Maka didengar oleh orangkaya-kaya dalam negeri Kapahaha<br />

terlalu khairan ajaib sekali kepada perbuatan gimelaha itu. Maka<br />

kata orangkaya-kaya: ‘Ada pun harap kita kepada perjanjian serri<br />

sultan tatkala dipersekalikan kalam Allah di negeri <strong>Hitu</strong>. Itu pun<br />

tiada juga datang titah, apatah daya untung kita? Tellah demikian<br />

itu datang titah, apatah daya untung kita?’ Tellah demikian itu<br />

datang bala Allah, penyakitan dalam negeri serta kekurangan<br />

makanan, karena negeri sekalian menjadi musuh, berparanglah<br />

dengan negeri Kapahaha. Jangankan negeri lain tiada dapat<br />

dikatakan negeri <strong>Hitu</strong> sendirinya pun akan musuhnya.<br />

Demikianlah hal negeri Kapahaha. Hatta demikian itu dengan<br />

kehendak Tuan Yang Mahatinggi seorang dagang ia lari masuk<br />

kepada Wolanda. Maka ia menunjukkan jalan kepada Wolanda itu,<br />

naik tengah malam serta dengan kehendak Allah ta`ala lalu alah<br />

negeri. Maka orang semuanya itu cerrai-berrai masing-masing<br />

membawah dirinya. Ada mati di tengah jalan, ada mati di bawah<br />

pohon kayu, tiada dapat berjalan lagi, sebab ia kalaparang. Ada<br />

masuk ke dalam hutan, ada masuk ke dalam guwah batu. Barang<br />

apa didapatnya, di situlah ia diam, lalu mati kepada tempatnya.<br />

Dan setengah masuk ke negeri Mamala dan setengah masuk ke<br />

negeri <strong>Hitu</strong>lama dan setengah masuk ke Hila. Ada masuk negeri<br />

Tiyal dan orangkaya Pati Tuban ia masuk ke negeri Wai. Maka<br />

semuanya itu diberikan kepada gurendur itu dan orangkaya


Tubanbesi ia membawah sebuah perau sudah keluar sehingga<br />

pantai Hatuhaha. Maka menyuruh dua orang naik ke negeri,<br />

demikian katanya: ‘Dapatkah orangkaya2 menyuruh seorang atau<br />

dua orang turun kepada orangkaya Tubanbesi atau tiadakah?’<br />

Hatta didengar kata demikian itu, lalu dipagang kepada dua orang<br />

itu dan menyuruh turun endah dipegang kepada orangkaya<br />

Tubanbesi.Tetapi belum lagi untungnya di situ, maka ia lepas, lalu<br />

pulang ke negeri <strong>Hitu</strong>. Maka orang <strong>Hitu</strong> bawah orangkaya dua<br />

beranak kepada Wolanda itu. Maka dibunuhlah kepada orangkaya<br />

dan dinaikan kepada orangkaya Pati Tupan dan orangkaya<br />

Beraim-ela dan Tulesi dan Alam dan Teyaka* serta anak<br />

orangkaya Tubanbesi dua bersyaudarah, seorang Duljalal dan<br />

Pilakan* namanya kanak-kanak itu dan anak orangkaya Kapitan<br />

<strong>Hitu</strong> dua bersyaudara, seorang Wangsa namanya dan seorang<br />

Petinggi namanya kanak-kanak itu, naik kepada kapal, bawah ke<br />

Betawih. Dan kuceriterakan Sifari'l-jalih. Dan tiada kuceriterakan<br />

kesukarangnya serta kejahatannya yang dicellai orang itu,<br />

sehingga kunyatakan tatkala ia keluar itu masuk hutan, terbit<br />

padang dan naik bukit, turun bukit. Maka ia hendak masuk ke<br />

negeri Mamala, tetapi kiranya orang Mamala pun tiada boleh<br />

diterima kepadanya, maka ia tiada jadi masuk ke Mamala lagi, lalu<br />

ia keluar pergi ke dalam hutan. Apabila terbit fajar ia keluar di<br />

pantai basambuni, karena kepada siang hari itu ada orang masuk<br />

mencari dalam hutan. Sebab itulah ia keluar basambuni dakat<br />

pantai. Hatta matahari masuk, maka ia pun keluar pergi berjalan<br />

ke dalam hutan, terbit padang. Maka ia bertemu seorang antanantan<br />

orangkaya Pati Tuban, Sarasara Tahakehena namanya, lalu<br />

keduanya pergi berjalan. Entah berapa jauhnya, maka ia dengar<br />

bunyi anjing dalam hutan. Seketika juga datang anjing serta<br />

tuannya Wolanda itu datang. Daripada belum lagi sampai ajal<br />

Sifarijali keduanya Sarasara Tahakehena, maka anjing itu diyam<br />

dan Wolanda itu pun tiada berkata-berkata. Sama pandangmemandang,<br />

lalu berjalan keduanya. Entah berapa jauhnya<br />

berdapat pula dengan musuh, maka ia bersembuni, maka musuh<br />

itu pun tiada melihat kepadanya. Lalu pergi masuk ke hutan<br />

sehingga datang kepada suatu padang. Maka ia berhenti di<br />

sana,berlindung di dalam alang-alang, lalu menyuruh kepada<br />

Sarasara Tahakehena masu ke dalam negeri Hila, tanya kepada<br />

seorang anak syaudagar yang besar [penggawa] lagi dermawang<br />

pun artawan, ialah menjadi imam dalam negeri itu: ‘Dapatkah<br />

Sifarijali masuk ke negeri atau tiada dapat?’ Maka Tahakehena<br />

pun lasap sekali-sekali, tiada pulang lagi; maka tefakur Sifarijali<br />

dalam cintanya serta berkata: ‘Ajaib sekali akan Tahakehena<br />

pergi berdapat segera datang hendaknya hidup lasap sekali-


sekali.’ Telah demikian, maka ia menanti. Hatta masuk matahari,<br />

ia pun masuk ke negeri berhadapan dengan imam itu, maka ia<br />

datang beri bakal dan makanan. Seketika lagi datang Telesima<br />

dan Abubakar serta kanak-kanak, anak orangkaya Kapitan <strong>Hitu</strong>,<br />

Patinggi namanya, didukun oleh inang pengasuhnya, si Papua<br />

namanya. Maka kata Sifarijali:‘Apa tipu kita kepada kanak-kanak<br />

ini, bawahkah atau tinggalkah?’ Maka kata syaudaranya:<br />

‘Kedudukannya baik juga kita bawah, tetapi jika datang ke hutan<br />

maka kennah hujang dan angin ia tiada boleh tahan. Baik kita<br />

tinggalkan dia supaya ia keluar ke negeri.’ Maka kata imam Rijali:<br />

‘Apa dayah?’ Lalu dipuluh* dan dicium kepada kanak-kanak itu,<br />

maka ia diketinggalkannya, pergi berjalan ke hutan ia duduk<br />

kepada suatu bukit. Apabila masuk matahari, ia keluar berjalan<br />

menapi pantai. Hatta terbit fajar masuk ke hutan ia berhenti,<br />

tiada boleh berjalan kepada siang hari. Sehingga datang ke negeri<br />

Seit dan Hahutuna, seorangpun tiada terima kepadanya dan dia<br />

pun sembuni tiada mau menunjukkan dirinya kepada orang itu.<br />

Maka ia menyuruh pergi kepada Hehalesi. Maka ia terima kepada<br />

dia orang, lalu dibawah dari negeri ke dalam hutan, ia duduk<br />

kepada suatu bukit. Hatta berapa dalamnya maka mengambil<br />

sebuah perau, maka keempatnya menyeberang ke <strong>Tanah</strong> Besar,<br />

sehingga datang ke tanjung Sial. Maka ia bertemu Sakia dari<br />

Waibuti mengambil ikan. Maka ia bertanya kepada Sakia itu,<br />

demikian katanya: ‘Dapat kami naik ke negeri atau tiadakah?’<br />

Maka ia menyahut: ‘Orang itu tiada boleh.’ Lalu ia ke tanah<br />

Kelang, karena pada ketika itu orangkaya gimelaha Daga dengan<br />

kiyaicili [Besi]mulu serta orang Kelan* endah berkelahi dengan<br />

Wolanda itu. Sebab itulah, maka ia datang ke sana bersama-sama<br />

orangkaya Daga dan kiyaicili. Hatta berapa lamanya, maka datang<br />

perdana gimelaha serta orangkaya-kaya Ulilima dan Ulisiwa<br />

datang membawah titah seri sultan Hamza, lalu ia keluar bedamai<br />

dengan gurendur itu. Lalu dipindakan pulang ke negeri Luhu dan<br />

pati Kambelo pun bawah kepada Abubakar. Tinggal lagi tiga orang<br />

juga, daripada itulah Sifarijali terlalu ajaib. Tiada dapat<br />

kuceriterakan dukkacittanya, sehingga itulah menanti kepada<br />

Tuhan Yang Mahasuci. Hatta dengan kehenda Allah ta`ala datang<br />

gimelaha Hasi dari Luhu endah pulang ke Buru. Maka Sifarijali<br />

minta sebuah perau daripada orang Kelan*, lalu mengikut<br />

orangkaya itu ke tanah Buru, duduk di negeri Lesiela bersamasama<br />

orangkaya gimelaha. Entah berapa lamanya, maka datang<br />

gulawarganya, Pati Laik namanya, serta Ulu Ahutan membawah<br />

sebuah perau cari kepadanya. Maka bertemulah sama berhadapan<br />

bertanya-tanyakan hal-ahwal tanah <strong>Hitu</strong> dengan Wolanda itu,<br />

maka semuanya diceriterakan oleh syaudaranya itu. Maka


didengar oleh Sifarijali itu, makin bertambah kedukaannya. Maka<br />

[kata] orang semuanya: ‘Apatah daya kehenda Allah ta`ala? Baik<br />

membuang diri kita tanah lain, supaya kita jangan melihat dan<br />

menengar tanah kita lagi.’ Lalu memohon kepada orangkaya<br />

gimelaha dan kipati. Maka ia belayar ke laut tiga hari datang ke<br />

tanah Bone, maka datang orang Bone tanya kepadanya: ‘Orang<br />

mana?’ Maka menyahut: ‘Kami orang Ambon.’ ‘Endah ke mana?’<br />

‘Kami endah ke Mangkasar, tetapi kami kurang air dan bakal.<br />

Jikalau ada makanan, bawahlah kemari kami beli.’ Maka kata<br />

orang itu: ‘Nantilah di sini, esok hari kami bawah makanan ke<br />

mari, maka ia beli.’ Maka Sifarijali pun menanti. Hatta datang pagi<br />

hari orang itu pun datang serta senjata. Ia basembuni dalam<br />

hutan, maka menyuruh entah berapa orang, ia keluar memanggil<br />

kepada orang dalam perau itu, demikian katanya: ‘Marilah turun<br />

beli makanan itu.’ Karena ia takut tiada mau naik ke perau, maka<br />

ia pun tiada mau turun ke darat, lalu keluar belayar. Itulah<br />

daripada belum dengan kehendak Allah ta`ala. Maka tiada lagi<br />

bakal orang itu, sehingga karan-karan serta daun meninjau<br />

selamanya pergi itu. Hatta datang ke tanah Buton, maka bertemu<br />

kepada karaen Rajipan. Maka diberinya makanan serta kain<br />

bajunya, lalu masuk mengadap kepada raja. Tatkala itu raja La<br />

Mibilu* akan kerajaan tanah Buton. Maka datang titah kepada<br />

bonto* dan biduwandi*: ‘Tanya olemu kepada orang itu endah ke<br />

mana perginya dan apa kehendaknya datang ini?’ Maka menyahut<br />

Sifarijali. Segala hal-ahwalnya itu semuanya diceriterakan kepada<br />

biduwandi* itu, maka ia menyampaikan ke bawah dulli yang<br />

kerajaan. Telah demikian itu ia memohon, lalu pulang ke<br />

peraunya. Hatta datang esok harinya datang pengalas serta<br />

antun-antun membawah titah menunjukkan kampung serta<br />

rumah. Maka menyahut Sifarijali: ‘Ada pun titah kepada dagang<br />

piatu itu, maka dagang piatu pun terima serta junjung kepada<br />

kehenda titah itu, tetapi minta ampun kepada piatu yang hina<br />

karan, belum lagi sampai pada ... itu.’ Maka ia pulang<br />

menyampaikan ke bawah dulli, lalu menyuruh memberi bakalnya.<br />

Maka karaen Rajipan menyuruh sebuah perau bawa kepada dia<br />

dahulu ke negeri dan karaen Rajipan lagi duduk di Buton. Pada<br />

dewasa itu seri sultan paduka Dipatingalowan* ia memerintahkan<br />

tanah Mangkasar dan demikian serri sultan Muhammad Sya`id<br />

akan kerajaan, sultan al-islam, zill al-nabi fi dar al-mu’min. Maka<br />

Sifarijali ia masuk mengadap serta menyampaikan hal-ahwalnya<br />

ke bawah dulli seri sultan. Maka titah paduka Dipatingalowan*:<br />

‘Lamun jika tida kuterima kepada halmu ini, tiada seperti sabda<br />

nabi kepada kita ummatnya: “Wa-'l muslimin ikhwan”.’ Lalu<br />

syahbandar memberi tempat kedudukannya, ia senang dirinya.


Daripada itulah meninggal negeri mencari sennang daripada ia<br />

takut akan Wolanda itu. Maka ia masuk hutan, terbit padang,<br />

menapi tasik, menyeberang laut, sehingga datang ke tanah<br />

Mangkasar. Itulah halnya orang mendapat kediaman dirinya.<br />

Itulah kesudahan hikayat ini. Tamat sah ya sah. Wa-'s-salam bikhair<br />

amin.


Catatan<br />

aji Javanese: sang aji [raja], Ternate: sangaji: kepala wilaya<br />

alferes Portuguese: alferes: letnan muda<br />

andak indah<br />

Angsari Angasari<br />

Antoni Anthonio (van den Heuvel)<br />

apalah apabila ?<br />

Arinjiguna Arinjiguna, alias Mihirjiguna<br />

Artus Artus (Gijsels)<br />

asfanggarnya Portuguese: espingarda: istinggar<br />

Aspel Herman van Speult<br />

Bandan Banda<br />

Bawang nyai Bawang alias Ratu Kali Nyamat<br />

Biduwandi biduanda<br />

Boanoh Boano<br />

bonto Butonese: orangkaya<br />

bot Portuguese: antena bote: andang_andang layar<br />

Bot Pieter Both<br />

Bulok Adriaan Block (Martensz.)<br />

Burung Pulau Burung alias Nusa Manuk<br />

Capeu Portuguese: chapeu: capiau<br />

caramela Portuguese: charamela: seruling<br />

daeng Mak. daeng: gelaran<br />

dan ? dalam<br />

dauman di Oma<br />

Daurdia Dom Duarte (de Meneses)<br />

Demer (Gerrit) Demmer<br />

Diman (Antonio) van Diemen<br />

Dipatingalowan Pattingalloang<br />

dipawahkan Mal. memawahkan: membagi hasil di antara pengusaha dengan pemilik<br />

dipersyahdakan dipersyahadatkan, dipersyuhadakan<br />

dipuluh dipeluk<br />

Disera (Estevão) Teieira (de Macedo)<br />

Duarde Dom Duarte de Meneses<br />

Eran Erang<br />

esfangar Portuguese: espingarda: istinggar<br />

Eskun (Jan) Pieterszoon Coen<br />

fergat Portuguese: fragata, Dutch: fregat, = fregat<br />

fetor Portuguese: feitor: kepala perwakilan kompeni perdagangan<br />

firaklah Ar. firaq: pisah<br />

Frings Prins (Maurits van Oranje)<br />

Furtado André Furtado (de Mendonça)<br />

Gemala (Jan Willemszoon) Gomale<br />

gimelaha Ternate: kimalaha: kepala soa, kepala negeri<br />

Goron Gorom<br />

graf Dutch: graaf: bupati<br />

hamam Ar. hamam: tempat mandi<br />

Hantu Gunung Setan<br />

harkat Ar. haraka: harkat (mulai bergerak)<br />

has Dutch: gaas: kain muslin


hasiat arab: khassiya: khasiat<br />

Hehatomi Hehatomu<br />

Hisab hijab<br />

hoja hujaj<br />

Holanda Portuguese: Holanda [Holland]<br />

hukum Ternate: hukum: hakim<br />

Hun Simon (Jansz.) Hoen<br />

Huniyasi Huniase<br />

Husen Usen (ibn Jumat)<br />

Hutman Frederik de Houtman<br />

Iwa Iha<br />

Iyaluli Ialuli<br />

Jawahkatra Jakatra<br />

Jipan Jipang<br />

Kakasingku Kasingu<br />

kapitan Portuguese: capitaõ: kapten<br />

kapitan-mor Portuguese: capitaõ-mor (do mar): laksamana<br />

karaen Mak. karaeng: raja<br />

karanful Ar. qaranful: cengkeh<br />

Kelan Kelang<br />

kiyaicili Ternate: kaicili, cili: pangeran<br />

Kompenyi Dutch: Compagnie: Kompeni<br />

kuka luka<br />

kuluf (Nicolaes) Colff<br />

Kunmuri Konimere, alias Kanyimedu<br />

Kurnilis Cornelis (Jansz. Schouten)<br />

Lasidi Lesidi<br />

Leitimol Leitimor<br />

Lesiela Waran-ela alias Hoamoal<br />

lil zill<br />

Liyi Wai Lee<br />

Lukas Philip Lucasz.<br />

Lumakai Rumakai<br />

Lumu ? Bisei Lumu<br />

Lupa Lopu(lalan)<br />

Luyi Wai Loi<br />

mahudum makhudum<br />

mardan Persia:. mard(an): yang mulia<br />

marinero Portuguese: marinheiro: pelaut<br />

Masilpatani Masulipatam<br />

Matelif (Cornelis) Matelieff (de Jonge)<br />

melalawat melawat<br />

Melo Gaspar de Melo<br />

Mengadapat menghadap<br />

Merkata Pulau Rakata, Krakatau<br />

Merlaka (Vincent Gijsbert van) Moerlag<br />

Mibilu Mabilu<br />

Mundi Nossa Senhora do Monte<br />

Murucisa Maurits alias Mauritius<br />

muruyumunya Portuguese: Maria,arab: Maryam: meriam<br />

Nagahpatan Negapatnam<br />

Naseddiki Nasidik<br />

Natahuat Hehuat<br />

Nusatelu Nusatelo<br />

Nyuranye Prins (Maurits) van Oranje<br />

Palikat Pulikat


pandang padang<br />

Paringsi Prins (van Oranje)<br />

Pasiruwan Pasuruan<br />

Patacoh Portuguese: patacho: sampan<br />

perastawa peristiwa<br />

pesir pesiar<br />

Pilakan Pelekolan<br />

Pinau Binau<br />

pinsu Portuguese: pinacas, Dutch: pinas: penes<br />

Prings Prins (van Oranje)<br />

Pudiceri Pondicherry<br />

Pugel (Marten Jansz. Visscher, alias) Vogel<br />

Pujiciri Pondicherry<br />

Rangsi Gerard Reynst<br />

rasamu Ar. rasama: mendaftarkan<br />

Rengsi Gerard Reynst<br />

Riyal Laurens Reael<br />

Rosengaing Rosengain<br />

Saat sahut<br />

sadaha Ternate: sadaha: wakil sultan<br />

Sagaluwa Sagalua<br />

Sahanya sahajanya<br />

sahingilah sehinggalah<br />

San São<br />

Sanco Sancho (de Vasconcelos)<br />

santiagu Sp. santiago: berbaris<br />

sarento Portuguese: sargento: sersan<br />

sarinto Portuguese: sargento: sersan<br />

Sellat Ar. shalat<br />

seribus seribu<br />

serta seperti<br />

sipati Butonese: sapati: mangkubumi<br />

Sitaniya Sitania<br />

Siyal Sial<br />

Soroi (Wouter) Seroyen<br />

Suanggi Suangi<br />

suisa Ternate: suisa: tambur<br />

Sunusi (Abu Abd Allah Muhammad al-)Sanusi<br />

Syabidin Sabadin (ibn Jumali)<br />

talangkeranya Portuguese: tranquiera, Mal. terangkera: kubu<br />

tamburunya Portuguese: tambor: tambur<br />

Teyaka Sekatikam<br />

Tirubambu Tirumala(rájan)patnam<br />

Tirumulawasir Tirumulavásal<br />

torompetanya Portuguese: trombeta: terompet<br />

Tuhahan Tuhaha<br />

tumengung Javanese: tumenggung: hulubalang<br />

Tumi Thomé<br />

ul Baharullah<br />

Ulima Ulilima<br />

Urin Ureng<br />

Warhaga Steven van der Haghen<br />

Yan Jan Outgersz. alias Jonge Jan atau Nyong Yan<br />

Yangsi Jasper Jansz.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!