05.11.2014 Views

AKuNTanINDONESIA

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

<strong>AKuNTanINDONESIA</strong><br />

plus<br />

Laporan dari pertemuan dewan standar dunia di London<br />

29 September – 1 Oktober 2014<br />

Amortisasi Goodwill: Akankah<br />

diadopsi kembali oleh IASB?<br />

untuk kegiatan World Standard Setters Meeting (WSS) dan<br />

International Forum of Accounting Standard meeting (IFASS).<br />

Oleh:<br />

Ersa Tri Wahyuni, SE.,<br />

M.Acc., Ak., CA., CPMA. *<br />

Perdebatan sengit apakah goodwill sebaiknya<br />

diamortisasi atau diturunkan nilainya (impairment)<br />

sudah berlangsung selama lebih dari dua dekade.<br />

Ketika FASB menghapuskan amortisasi goodwill tahun<br />

2001 banyak riset akademik saat itu yang menunjukkan<br />

bahwa angka amortisasi goodwill tidak memiliki relevansi<br />

terhadap nilai perusahaan di pasar modal. IASB mengambil<br />

langkah serupa pada tahun 2002 ketika menerbitkan IFRS<br />

3 Business Combination, amortisasi goodwill maksimum<br />

20 tahun dihapuskan dan diganti dengan tes penurunan<br />

goodwill setiap tahun. Perdebatan tersebut kembali muncul<br />

dalam diskusi antar dewan standar akuntansi dunia yang<br />

berkumpul di London tanggal 29 September – 1 Oktober<br />

Post Implementation Review (PIR) IFRS 3 Business<br />

Combination<br />

IFRS 3 Business Combination dikeluarkan IASB sejak 2004<br />

menggantikan IAS 22 dan sejak saat itu sering mengalami<br />

perubahan dengan amandemen signifikan pada tahun 2008.<br />

Sejak tahun 2004 amortisasi goodwill dan metode pooling of<br />

interest sudah dihapuskan. Pada periode tersebut Indonesia<br />

masih menerapkan IAS 22 (yang diadopsi menjadi PSAK 22<br />

Akuntansi Penggabungan Usaha) dan baru mengadopsi<br />

IFRS 3 pada tahun 2011. PSAK 22 yang diterbitkan sejak<br />

1994 mewajibkan goodwill diamortisasi selama dua tahun,<br />

dengan adopsi IFRS 3 maka amortisasi goodwill di Indonesia<br />

dihentikan sejak tahun 2011.<br />

Dalam proses penyusunan IFRS, IASB melakukan<br />

review standar beberapa tahun setelah mereka berlaku<br />

efektif (lihat kotak 1). IFRS 3 termasuk standar kontroversial<br />

dan memiliki banyak isu implementasi di berbagai negara,<br />

semisal di Jepang yang sampai saat ini masih melakukan<br />

amortisasi goodwill dan juga di beberapa negara lain seperti<br />

Perancis yang mengeluh proses amortisasi goodwill terlalu<br />

berat. Pada Januari 2014, IASB memutuskan melakukan<br />

konsultasi publik untuk mereview IFRS 3 ini. Undangan ini<br />

Kotak 1 Proses Penyusunan Standar di IASB<br />

Research Programme Standards Programme Review Programme<br />

Research<br />

Discussion<br />

Paper*<br />

Proposal<br />

Exposure<br />

Draft*<br />

Published<br />

IFRS<br />

Post-implementation<br />

review*<br />

64<br />

akuntan indonesia | oktober-NOVEMBER 2014


disambut antusias oleh dewan standar Jepang, Italia dan<br />

juga dewan standar akuntansi Uni Eropa, yang kemudian<br />

memutuskan melakukan riset bersama untuk menanyakan<br />

konstituen mereka mengenai implementasi IFRS 3.<br />

IASB menerima 93 surat komentar dari seluruh dunia ketika<br />

kegiatan konsultasi publik ditutup pada akhir Mei 2014. IASB<br />

juga melakukan “outreach” meeting di berbagai kota di dunia<br />

untuk mendiskusikan IFRS 3 dengan para konstituen. Dalam<br />

proses outreach ini, IASB melakukan 30 kegiatan yang terdiri<br />

dari seminar, focus group discussion, maupun teleconference.<br />

Argumen Penurunan Nilai VS Amortisasi untuk Goodwill<br />

Hasil dari kegiatan review ini kemudian dilaporkan IASB<br />

baik di dalam situs mereka maupun dipaparkan dalam<br />

pertemuan WSS di London tersebut. Dalam kegiatan PIR ini,<br />

IASB menanyakan banyak pertanyaan kepada konstituen<br />

seperti misalnya apakah ada kesulitan untuk menggunakan<br />

definisi “business” dalam IFRS 3, atau apakah ada kesulitan<br />

untuk memisahkan aset takberwujud lainnya dari goodwill,<br />

dan sebagainya. Namun mengenai perlakukan akuntansi<br />

goodwill nampaknya menjadi perdebatan yang paling alot.<br />

IASB menerima berbagai argumen dari kedua belah pihak yang<br />

mendukung model penurunan nilai maupun yang menolak<br />

dan lebih mendukung model amortisasi. Diskusi mengenai<br />

goodwill juga mendominasi perdebatan dalam WSS dan IFASS.<br />

Mereka yang mendukung penurunan nilai goodwill<br />

beragumen bahwa informasi penurunan nilai lebih relevan<br />

daripada informasi mengenai amortisasi yang merupakan<br />

alokasi sistematis dari goodwill. Informasi penurunan<br />

nilai goodwill lebih relevan karena menunjukkan apakah<br />

akuisisi yang dilakukan sukses atau tidak. Bila akuisisinya<br />

berhasil dan sinergi dari akuisisi (yang tercermin dalam<br />

nilai goodwill) memang terasa manfaatnya, maka goodwill<br />

harusnya tidak diturunkan nilainya. Bila goodwill sampai<br />

turun nilainya di awal-2 tahun setelah akuisisi, informasi<br />

itu juga berharga karena berarti manajemen mengakui<br />

mereka melakukan kesalahan (akuisisinya kurang sukses)<br />

dan perusahaan bisa “move on”. Riset-riset akademik<br />

mengenai informasi penurunan nilai juga memiliki nilai<br />

relevansi atas harga saham perusahaan.<br />

Sementara mereka yang mendukung amortisasi goodwill<br />

juga memberikan sederetan argumen yang tak kalah kuatnya.<br />

Beberapa argument pendukung amortisasi adalah:<br />

1. Asumsi-asumsi dari tes penurunan nilai terlalu optimistik<br />

sehingga sering tes penurunan nilai dilakukan<br />

sudah terlambat. Bila akuisisi dianggap tidak berhasil,<br />

maka harga saham perusahaan setelah akuisisi akan turun<br />

dengan cepat sehingga penurunan nilai goodwill sudah<br />

“terserap” informasinya di pasar modal. Ketika perusahaan<br />

melakukan tes penurunan nilai, informasi yang dihasilkan<br />

sudah terlambat untuk pengambilan keputusan.<br />

2. Umur ekonomis goodwill dapat diestimasi, sama<br />

dengan umur aset takberwujud lainnya.<br />

3. Amortisasi goodwill membuat laporan keuangan perusahaan<br />

lebih dapat dibandingkan terutama perusahaan<br />

yang berkembang secara organik dibandingkan perusahaan<br />

yang berkembang karena sering melakukan akuisisi.<br />

Perusahaan yang jarang mengakuisisi tidak bisa membukukan<br />

goodwill yang dihasilkan secara internal, sedangkan<br />

perusahaan yang rajin mengakuisisi bisa membukukan<br />

goodwill. Goodwill yang didapatkan dari akuisisi bila tidak<br />

diamortisasi sebenarnya lama kelamaan akan bercampur<br />

dengan goodwill yang dihasilkan internal.<br />

4. Goodwill mencerminkan profit di masa depan yang<br />

akan dihasilkan dari akuisisi. Karena profit masa depan<br />

tersebut sudah diakui pada saat kini, seharusnya dapat<br />

tercermin dalam angka profit seiring berjalannya<br />

waktu. Bila goodwill tidak diamortisasi dan perusahaan<br />

menganggap goodwill tidak pernah turun nilainya maka<br />

goodwill tidak pernah memberikan efek kepada profit.<br />

Amortisasi goodwill mengurangi volatilitas angka profit<br />

bila dibandingkan dengan model penurunan nilai.<br />

istimewa<br />

Suasana rapat IFASS tanggal 1 Oktober 2014<br />

Djohan Pinnarwan (kiri) bersama delegasi dar Korea Selatan.<br />

akuntan indonesia | oktober-NOVEMBER 2014 65


5. Bila goodwill bisa diamortisasi, bukan berarti goodwill tidak<br />

boleh diturunkan nilainya bila memang kenya taannya<br />

memang demikian. Ketika dulu IAS 22 mewajibkan<br />

goodwill diamortisasi, IAS 36 Impairment of Asset juga<br />

mengijinkan perusahaan melakukan penurunan nilai.<br />

Riset yang dilakukan oleh Jepang, Italia dan EFRAG juga<br />

menguatkan argumen pendukung model amortisasi goodwill.<br />

Hasil riset mereka dipresentasi dalam rapat IFASS dan<br />

mendapatkan banyak komentar dari para peserta rapat. Kesimpulan<br />

riset mereka serupa dengan dengan argumen di<br />

atas plus mereka juga menekankan biaya untuk melakukan<br />

tes penurunan nilai setiap tahun cukup signifikan dan proses<br />

penurunan nilai sangat kompleks sehingga biaya yang dikeluarkan<br />

tidak seimbang dengan nilai informasi yang dihasilkan.<br />

Hasil riset mengusulkan agar amortisasi goodwill kembali diadopsi<br />

dan juga standar mengenai penurunan nilai diperkuat<br />

terutama pada bagian pengungkapan.<br />

Beberapa peserta rapat WSS berfoto di depan ruruntuhan tembok<br />

Romawi sebelum makan malam.<br />

istimewa<br />

Isu Goodwill di Indonesia<br />

Diskusi mengenai goodwill memunculkan banyak pertanyaan<br />

untuk Indonesia yang dapat dijadikan bahan riset<br />

para akademisi dan mendukung proses adopsi IFRS di Indonesia.<br />

Konon ketika Indonesia berencana untuk mengadopsi<br />

IFRS 3, beberapa perusahaan yang hendak melakukan<br />

akuisisi pada tahun 2010 memutuskan untuk memundurkan<br />

proses akuisisi mereka di tahun 2011. Konon pula perusahaan-perusahaan<br />

di Indonesia sangat kesulitan untuk<br />

melakukan tes penurunan nilai goodwill setiap tahun. Riset<br />

mengenai goodwill yang pernah saya lakukan di Indonesia<br />

menunjukkan bahwa hanya segelintir perusahaan saja yang<br />

memiliki angka goodwill besar (lebih dari 5% dari total asset).<br />

Hal ini berbeda dengan perusahaan-perusahaan di Amerika<br />

Serikat yang gemar melakukan akuisisi sehingga nilai goodwill<br />

cukup signifikan dalam neraca mereka.<br />

Kombinasi bisnis di Indonesia juga banyak yang dilakukan<br />

di dalam satu grup atau yang dikenal dengan Business<br />

Combination Under Common Control (BCUCC). Indonesia memiliki<br />

PSAK 38 untuk mengatur masalah ini yang diturunkan<br />

dari standar akuntansi Amerika Serikat dan saat ini belum dicabut<br />

oleh DSAK-IAI karena tidak ada padanannya dalam IFRS.<br />

IASB memahami kebutuhan ini karena juga disuarakan oleh<br />

banyak negara dan saat ini sedang memulai riset mengenai<br />

BCUCC. Indonesia terlibat aktif dalam diskusi BCUCC yang<br />

dilakukan oleh IASB dalam diskusi tertutup dengan anggota<br />

Emerging Economic Group (EEG) di London. Dalam diskusi EEG<br />

berikutnya di Jakarta bulan Desember mendatang, IASB, Indonesia<br />

dan negara-negara anggota EEG lainnya akan kembali<br />

mendiskusikan masalah ini.<br />

Refleksi Penulis<br />

Sebagai dosen yang mengajarkan mata kuliah akun tansi<br />

keuangan, sangat sulit bagi saya menjawab pertanyaan kritis<br />

mahasiswa mengapa suatu kebijakan akuntansi dapat masuk<br />

keluar standar akuntansi. Apakah asumsi-asumsi yang digunakan<br />

untuk menghapus suatu kebijakan akuntansi sekarang<br />

sudah tidak relevan lagi? Bila ada suatu kebijakan akuntansi<br />

yang sudah dihapus kemudian masuk lagi apakah berarti dewan<br />

standar akuntansi dulunya melakukan kesalahan?<br />

Bukan hanya mengenai amortisasi goodwill yang sepertinya<br />

sekarang mendapatkan banyak pendukung untuk<br />

diadopsi kembali, ada juga beberapa kebijakan akuntansi<br />

yang diadopsi kembali oleh IASB setelah sebelumnya dihapus.<br />

Contohnya adalah pengukuran menggunakan model<br />

ekuitas yang kembali lagi diizinkan tahun 2014 untuk laporan<br />

keuangan tersendiri, setelah dihapus oleh IASB pada<br />

tahun 2008. Model ekuitas diadopsi kembali karena di beberapa<br />

negara (seperti Brazil), regulasi UU nya mewajibkan<br />

penggunaan model ekuitas, sehingga bila model ekuitas<br />

tidak tersedia maka laporan keuangan tersendiri perusahaan-perusahaan<br />

di Brazil terancam tidak sesuai dengan<br />

IFRS. Dengan demikian untuk pengukuan investasi anak<br />

perusahaan pada laporan keuangan tersendiri saat ini IAS<br />

27 Separate Financial Statament kembali memiliki tiga opsi:<br />

menggunakan metode biaya, metode ekuitas dan metode<br />

nilai wajar sebagai aset keuangan tersedia untuk dijual.<br />

Wakil ketua DSAK-IAI, Djohan Pinnarwan yang juga menghadiri<br />

rangkaian kegiatan di London menjawab kegundahan<br />

hati saya dalam diskusi kami di sela-sela rehat kopi, “Ersa, penyusunan<br />

standar akuntansi adalah proses politik. Mahasiswa<br />

harus memahami hal ini.” Saya setuju sekali dengan pendapat<br />

Pak Djohan, lagipula standar akuntansi adalah institutusi sosial<br />

yang kehadirannya dipengaruhi oleh para pemangku kepentingan<br />

yang terlibat dalam proses. Sebutlah misalnya amortisasi<br />

goodwill akan kembali diadopsi lagi dua tahun kedepan<br />

oleh IASB, siapa yang menjamin sepuluh tahun kemudian kita<br />

akan kembali mendebatkan hal yang sama bahwa amortisasi<br />

goodwill harus dihapus dari standar?*<br />

* Ersa Tri Wahyuni adalah Technical Advisor IAI dan dosen akuntansi<br />

Universitas Padjadjaran Bandung yang saat ini sedang menempuh<br />

program doktor di Manchester Business School, University of<br />

Manchester, Inggris.<br />

66<br />

akuntan indonesia | oktober-NOVEMBER 2014

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!