17.11.2014 Views

WG_Indonesian_Palm_Oil_Benefits_Bahasa_Report-2_11

WG_Indonesian_Palm_Oil_Benefits_Bahasa_Report-2_11

WG_Indonesian_Palm_Oil_Benefits_Bahasa_Report-2_11

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Manfaat Minyak Sawit bagi<br />

Perekonomian Indonesia<br />

Laporan World Growth<br />

Februari 20<strong>11</strong>


Memberantas Kemiskinan melalui Penciptaan Kekayaan<br />

Kelapa sawit menyediakan jalan keluar dari kemiskinan bagi negara berkembang dan<br />

rakyat miskin. Mengembangkan pertanian yang efisien dan berkelanjutan seperti<br />

perkebunan kelapa sawit berarti menyediakan sarana bagi pemilik perkebunan besar<br />

maupun kecil untuk meningkatkan standar hidup mereka.<br />

Pengembangan Berkelanjutan<br />

Pengembangan pertanian kelapa sawit dan pertumbuhan industri sawit secara<br />

berkelanjutan di negara berkembang dapat dan akan tercapai melalui konsultasi dan<br />

kerja sama dengan kalangan industri, petani, kelompok pelobi, dan masyarakat yang<br />

lebih luas.<br />

Iklim dan Lingkungan<br />

Kelapa sawit adalah sumber makanan dan bahan bakar yang memberikan hasil tinggi<br />

dan sangat efisien. Perkebunan kelapa sawit adalah cara efektif untuk memproduksi<br />

alternatif bahan bakar fosil dan menangkap karbon dari atmosfer.<br />

Peluang dan Kesejahteraan<br />

Negara berkembang harus diberi kesempatan untuk menanam dan mengembangkan<br />

tanpa diganggu oleh campur tangan politik dari kelompok pembela lingkungan atau<br />

negara maju. Sangatlah penting bahwa negara berkembang diberi peluang yang sama<br />

dengan yang pernah dinikmati negara maju.<br />

Hak atas Kekayaan<br />

Perkebunan kelapa sawit yang efisien dan permintaan minyak sawit yang terus<br />

meningkat memberikan peluang lebih besar bagi para pemilik lahan sempit untuk<br />

mencari nafkah dari lahannya sendiri, mempertahankan kepemilikannya dan<br />

mendukung hak mereka atas kekayaan dan kesejahteraan<br />

2 • Manfaat Minyak Sawit bagi Perekonomian Indonesia


ISI<br />

Isi<br />

Ringkasan Eksekutif . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4<br />

1. Pendahuluan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5<br />

2. Pentingnya Minyak Sawit bagi<br />

Perekonomian Dunia . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 6<br />

Kecenderungan Produksi dan<br />

Perdagangan Minyak Sawit Dunia . . . . . . . . . . . 7<br />

Kecenderungan Konsumsi Minyak<br />

Sawit Dunia . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 7<br />

Kecenderungan Konsumsi Minyak<br />

Nabati di Dunia . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 9<br />

3. Pentingnya Minyak Sawit bagi Perekonomian<br />

Indonesia . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 10<br />

Kontribusi Sektor Pertanian bagi<br />

Perekonomian Indonesia . . . . . . . . . . . . . . . . . . 10<br />

Kontribusi Kelapa Sawit bagi<br />

Perekonomian Indonesia . . . . . . . . . . . . . . . . . . <strong>11</strong><br />

Kelapa Sawit dan Pembangunan<br />

Pedesaan di Indonesia . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 12<br />

Imbal Hasil dari Produksi Kelapa Sawit . . . . . . 14<br />

4. Prospek Masa Depan Kelapa Sawit . . . . . . . . . . 15<br />

Prospek Permintaan Minyak Sawit Dunia . . . 15<br />

Produksi dan Peluang Minyak Sawit Dunia . . . 15<br />

Kendala Utama dan Peluang Sektor<br />

Kelapa Sawit Indonesia . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 16<br />

Daftar Pustaka . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 22<br />

Lampiran<br />

Produksi Sawit dan Kemiskinan Per Provinsi . . . . 26<br />

Manfaat Minyak Sawit bagi Perekonomian Indonesia • 3


RINGKASAN EKSEKUTIF<br />

Ringkasan Eksekutif<br />

LSM lingkungan memperjuangkan agenda “tanpa<br />

konversi” dalam upaya menghentikan konversi lahan<br />

hutan untuk pertanian, termasuk perkebunan kelapa<br />

sawit. Agenda ini telah meluas hingga mencapai operasi<br />

pemerintah dan organisasi internasional.<br />

Pada Mei 2010, Indonesia dan Norwegia menandatangani<br />

Letter of Intent yang menjadi kerangka kerja<br />

Indonesia untuk menerima sumbangan keuangan dari<br />

Pemerintah Norwegia dengan imbalan pelaksanaan<br />

kebijakan pengurangan emisi, termasuk penangguhan<br />

semua konsesi baru untuk konversi gambut dan hutan<br />

alam selama dua tahun.<br />

Pada Juli 2010, Bank Dunia mengusulkan kerangka kerja<br />

bagi keterlibatannya dalam sektor kelapa sawit, atas<br />

permintaan LSM lingkungan untuk memperketat<br />

kebijakan persyaratan dukungan keuangan Kelompok<br />

itu bagi proyek Kelapa Sawit. Versi kerangka kerja yang<br />

telah direvisi diterbitkan pada Januari 20<strong>11</strong> untuk<br />

dijadikan pegangan.<br />

pedesaan Indonesia. Industri kelapa sawit Indonesia<br />

diperkirakan akan terus berkembang pesat dalam<br />

jangka menengah; tetapi, daya saingnya akan terpukul<br />

oleh agenda antiminyak sawit.<br />

Pasar minyak sawit dunia mengalami pertumbuhan<br />

pesat dalam beberapa dasawarsa terakhir dengan<br />

produksi minyak sawit saat ini diperkirakan lebih dari<br />

45 juta ton. Indonesia merupakan salah satu produsen<br />

dan eksportir minyak sawit terbesar di dunia, dengan<br />

produksi lebih dari 18 juta ton minyak sawit per tahun.<br />

Pertanian dan Kemiskinan di Daerah<br />

Meskipun hanya menyumbang sekitar 14 persen PDB,<br />

pertanian menyediakan lapangan kerja bagi lebih dari<br />

41 persen penduduk Indonesia dan menjadi mata<br />

pencarian sekitar dua pertiga rumah tangga pedesaan.<br />

Industri kelapa sawit merupakan kontributor yang<br />

signifikan bagi pendapatan masyarakat pedesaan di<br />

Indonesia. Pada 2008, lebih dari 41 persen perkebunan<br />

kelapa sawit dimiliki oleh petani kecil, menghasilkan 6,6<br />

juta ton minyak sawit.<br />

Pembatasan konversi kawasan hutan akan berdampak<br />

negatif pada pertumbuhan ekonomi dan keamanan<br />

pangan di Indonesia, dan berdampak langsung terhadap<br />

penduduk miskin. Karena inilah, negara berkembang<br />

menolak untuk memasukkan “tanpa konversi” dalam<br />

pendekatan kehutanan dan REDD dalam Konferensi PBB<br />

tentang Perubahan Iklim di Cancun pada Desember 2010.<br />

Pembatasan konversi kawasan hutan akan<br />

berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi dan<br />

keamanan pangan di Indonesia, dan berdampak<br />

langsung terhadap penduduk miskin.<br />

Manfaat Kelapa Sawit bagi Perekonomian<br />

Industri kelapa sawit berpotensi menghasilkan<br />

perkembangan ekonomi dan sosial yang signifikan di<br />

Indonesia. Kelapa sawit merupakan produk pertanian<br />

paling sukses kedua di Indonesia setelah padi, dan<br />

merupakan ekspor pertanian terbesar. Industri ini<br />

menjadi sarana meraih nafkah dan perkembangan<br />

ekonomi bagi sejumlah besar masyarakat miskin di<br />

Dengan lebih dari separuh penduduk Indonesia tinggal<br />

di daerah pedesaan—dan lebih dari 20 persen di<br />

antaranya hidup di bawah garis kemiskinan—industri<br />

kelapa sawit menyediakan sarana pengentasan<br />

kemiskinan yang tidak terbandingi. Pembatasan<br />

konversi hutan untuk pertanian atau kelapa sawit<br />

menutup peluang peningkatan standar hidup dan<br />

manfaat ekonomi yang cukup prospektif bagi warga<br />

pedesaan, membenamkan mereka ke standar<br />

kehidupan yang kian rendah.<br />

Pertumbuhan Industri Masa Depan<br />

Karena permintaan dunia akan minyak sawit diperkirakan<br />

akan semakin meningkat di masa depan,<br />

minyak sawit menawarkan prospek ekonomi yang<br />

paling menjanjikan bagi Indonesia. Produksi minyak<br />

sawit dunia diperkirakan meningkat 32 persen menjadi<br />

hampir 60 juta ton menjelang 2020.<br />

Pembatasan konversi hutan untuk perkebunan kelapa<br />

sawit Indonesia akan mengurangi ketersediaan lahan<br />

subur dan menghambat ekspansi industri ini. Kebijakan<br />

pemerintah harus bertujuan meningkatkan produktivitas,<br />

bukan menerapkan kebijakan LSM yang<br />

antipertumbuhan.<br />

4 • Manfaat Minyak Sawit bagi Perekonomian Indonesia


1. Pendahuluan<br />

Indonesia merupakan salah satu produsen minyak sawit<br />

terbesar di dunia dan industri ini merupakan sektor<br />

ekspor pertanian yang paling tinggi nilainya selama<br />

dasawarsa terakhir.<br />

Industri minyak sawit merupakan kontributor penting<br />

dalam produksi di Indonesia. Pada 2008, Indonesia<br />

memproduksi lebih dari 18 juta ton minyak sawit.<br />

Industri ini juga berkontribusi dalam pembangunan<br />

daerah, sebagai sumber daya penting untuk<br />

pengentasan kemiskinan melalui budidaya pertanian<br />

dan pemrosesan selanjutnya. Produksi minyak sawit<br />

menjadi jenis pendapatan yang dapat diandalkan oleh<br />

banyak penduduk miskin pedesaan di Indonesia.<br />

Menurut satu sumber, sektor produksi kelapa sawit di<br />

Indonesia dapat menyediakan lapangan kerja bagi lebih<br />

dari 6 juta orang dan mengentaskan mereka dari<br />

kemiskinan. Lebih dari 6,6 juta ton minyak sawit<br />

dihasilkan oleh petani kecil yang memiliki lebih dari 41<br />

persen dari total perkebunan kelapa sawit. Pada 2006,<br />

didapati sekitar 1,7-2 juta orang bekerja di industri<br />

kelapa sawit.<br />

Industri kelapa sawit Indonesia baru-baru ini mendapat<br />

kecaman dari sejumlah LSM yang berkampanye<br />

menentang industri ini karena dianggap bertanggung<br />

jawab atas penggundulan hutan, emisi karbon, dan<br />

hilangnya keragaman hayati. Akibatnya, muncul keluhan<br />

yang meluas bahwa industri minyak sawit tidak<br />

berkelanjutan serta usul untuk menghentikan atau<br />

membatasi semua konversi lahan hutan di masa depan.<br />

Pada Mei 2010, Pemerintah Indonesia menyiratkan<br />

akan ada moratorium dua tahun dalam pemberian<br />

konsesi baru untuk pembukaan hutan alam dan lahan<br />

gambut, berdasarkan kesepakatan yang ditandatangani<br />

dengan Pemerintah Norwegia, yang bertujuan<br />

mengurangi gas rumah kaca. Sebagai imbalan atas<br />

kesepakatan tersebut, Norwegia setuju berinvestasi<br />

satu miliar dolar dalam proyek pelestarian hutan di<br />

Indonesia. Setahun sebelumnya, pemerintah Indonesia<br />

mengumumkan akan menggandakan produksi minyak<br />

sawitnya menjadi 40 juta ton sebelum tahun 2020.<br />

Keberhasilan pertumbuhan industri minyak sawit<br />

Indonesia akan sangat terpengaruh oleh pembatasan<br />

konversi lahan di samping kampanye negatif terhadap<br />

industri tersebut. Pencapaian target pemerintah<br />

Indonesia untuk melipatgandakan produksi minyak<br />

kelapa sawit juga akan sangat terpengaruh oleh<br />

moratorium itu, karena perkembangan ekonomi<br />

memerlukan konversi lahan dalam tingkat tertentu.<br />

Laporan ini disusun sebagai penilaian independen<br />

tentang manfaat industri minyak sawit bagi perekonomian,<br />

untuk menjadi bahan pertimbangan bagi<br />

pejabat dan pembuat kebijakan. Laporan ini menelaah<br />

kinerja industri saat ini dan mempertimbangkan<br />

prospek pertumbuhannya di masa depan. Komponen<br />

utamanya meliputi:<br />

• Kecenderungan saat ini dan proyeksi permintaan<br />

minyak dunia di masa depan;<br />

• Kontribusi pertanian dan kelapa sawit bagi<br />

perekonomian Indonesia;<br />

• Kontribusi kelapa sawit terhadap pembangunan<br />

pedesaan; dan<br />

• Kendala utama dan peluang industri kelapa sawit<br />

Indonesia<br />

Laporan ini disusun sebagai penilaian independen<br />

tentang manfaat industri minyak sawit bagi<br />

perekonomian, untuk menjadi bahan pertimbangan<br />

bagi pejabat dan pembuat kebijakan.<br />

1. PENDAHULUAN<br />

Manfaat Minyak Sawit bagi Perekonomian Indonesia • 5


Somalia<br />

2. PENTINGNYA MINYAK SAWIT BAGI<br />

PEREKONOMIAN DUNIA<br />

2. Pentingnya Minyak Sawit bagi<br />

Perekonomian Dunia<br />

Minyak sawit adalah minyak nabati yang berasal dari<br />

buah kelapa sawit, digunakan baik untuk konsumsi<br />

makanan maupun nonmakanan. Total produksi minyak<br />

sawit dunia diperkirakan lebih dari 45 juta ton, dengan<br />

Indonesia dan Malaysia sebagai produsen dan eksportir<br />

utama dunia. Importir utama di antaranya India, Cina,<br />

dan Uni Eropa.<br />

Industri minyak sawit mengalami pertumbuhan pesat<br />

dalam beberapa dasawarsa terakhir, dan menjadi<br />

kontributor penting dalam pasar minyak nabati dunia.<br />

Permintaan akan minyak sawit terus meningkat dalam<br />

beberapa tahun terakhir seiring dengan banyaknya<br />

negara maju yang beralih dari penggunaan lemak-trans<br />

ke alternatif yang lebih sehat. Minyak sawit sering<br />

digunakan sebagai pengganti lemak-trans karena<br />

merupakan salah satu lemak nabati sangat jenuh yang<br />

berbentuk semi-padat pada suhu kamar, dan relatif<br />

murah.<br />

Perdagangan minyak sawit dunia meningkat secara<br />

signifikan karena kenaikan permintaan dunia. Namun,<br />

ada juga keprihatinan masyarakat tentang dampak<br />

minyak sawit pada penggundulan hutan, emisi karbon,<br />

dan hilangnya keragaman hayati. Imbal hasil yang tinggi<br />

mendorong penanaman modal di industri minyak sawit<br />

Indonesia, dan pertumbuhan industri yang ditimbulkannya<br />

berkontribusi secara signifikan bagi perkembangan<br />

ekonomi pedesaan dan pengentasan<br />

kemiskinan. Namun, meski permintaan di masa depan<br />

diperkirakan akan meningkat, pembatasan penggunaan<br />

lahan (seperti moratorium dua-tahun baru-baru ini<br />

untuk konsesi baru pembukaan hutan alam dan lahan<br />

gambut di Indonesia) dapat menghambat perkembangan<br />

industri ini, karena pertumbuhan industri ini<br />

memerlukan konversi lahan dalam tingkat tertentu.<br />

Gambar 2.1<br />

Budidaya Minyak Sawit di 43 Negara Produsen Minyak Sawit Pada 2006<br />

Mexico<br />

Honduras<br />

Guatemala<br />

Nicaragua<br />

Costa Rica<br />

Panama<br />

Ecuador<br />

Colombia<br />

Dominican<br />

Republic<br />

Peru<br />

Paraguay<br />

Senegal & Gambia<br />

Ivory Coast<br />

Ghana<br />

Togo<br />

Benin<br />

Venezuela<br />

Guinea Bissau<br />

Suriname Guinea<br />

Sierra Leone<br />

Liberia<br />

Sao Tome &<br />

Principe<br />

Equatorial Guinea<br />

Brazil<br />

Gabon<br />

Congo<br />

Angola<br />

Nigeria<br />

Cameroon<br />

Thailand<br />

Central African Republic<br />

Democratic Republic of Congo<br />

Burundi<br />

Tanzania<br />

Madagascar<br />

China<br />

Malaysia<br />

Indonesia<br />

> 1 million ha<br />

100,000 to 1 million ha<br />

Philippines<br />

Papua New<br />

Guinea<br />

Soloman<br />

Islands<br />

10,000 to 100,000 ha<br />

< 10,000 ha<br />

Sumber: Koh and Wilcove 2008<br />

6 • Manfaat Minyak Sawit bagi Perekonomian Indonesia


Gambar 2.2<br />

Produksi Minyak Sawit Dunia, 1989-2007<br />

45<br />

40<br />

tonnes (millions)<br />

35<br />

30<br />

25<br />

20<br />

15<br />

10<br />

5<br />

0<br />

1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007<br />

World Malaysia Indonesia<br />

Other<br />

Africa<br />

South East Asia (other)<br />

Catatan: Bagian Lain Dunia mencakup semua negara selain negara yang dicantumkan, termasuk negara-negara Asia Tenggara<br />

Sumber: FAO (2010)<br />

Kecenderungan Produksi dan<br />

Perdagangan Minyak Sawit Dunia<br />

Kelapa sawit yang berasal dari Afrika diperkenalkan ke<br />

Malaysia dan Indonesia pada masa penjajahan. Budidaya<br />

tanaman ini kini terkonsentrasi di daerah tropis<br />

Amerika, Afrika, dan Asia Tenggara, khususnya Indonesia<br />

dan Malaysia, yang kondisi iklimnya sangat cocok untuk<br />

pertumbuhan kelapa sawit. Negara produsen minyak<br />

sawit utama yang lain adalah Nigeria, Thailand,<br />

Kolombia, Ekuador, dan negara Afrika yang lain.<br />

Total produksi minyak sawit dunia meningkat hampir<br />

tiga kali lipat selama 3 dasawarsa terakhir hingga 2009. 1<br />

Pada 2009/10, total produksi minyak sawit diperkirakan<br />

45,1 juta ton 2 , dengan Indonesia dan Malaysia<br />

mencapai lebih dari 85 persen total dunia. Indonesia<br />

dan Malaysia masing-masing memproduksi lebih dari<br />

18 juta ton minyak sawit.<br />

Total perdagangan minyak sawit dan minyak inti sawit<br />

mencapai lebih dari 35 juta ton, impor dan ekspor.<br />

Eksportir utama minyak sawit adalah Indonesia dan<br />

Malaysia yang masing-masing mengekspor 15,7 dan<br />

Imbal hasil yang tinggi mendorong penanaman modal<br />

di industri minyak sawit Indonesia, dan pertumbuhan<br />

industri yang ditimbulkannya berkontribusi secara<br />

signifikan bagi perkembangan ekonomi pedesaan dan<br />

pengentasan kemiskinan.<br />

15,1 juta ton. Negara pengimpor utama adalah India,<br />

Cina, dan Uni Eropa, yang masing-masing mengimpor<br />

6,7 juta, 6,3 juta, dan 4,6 juta ton. 3<br />

Kecenderungan Konsumsi Minyak Sawit Dunia<br />

Sekitar 80 persen produksi minyak sawit dunia<br />

digunakan untuk makanan, termasuk minyak goreng,<br />

dalam margarin, mi, makanan panggang, dll. Selain itu,<br />

minyak sawit digunakan sebagai bahan dalam produk<br />

nonmakanan, termasuk produksi bahan bakar hayati,<br />

sabun, detergen dan surfaktan, kosmetik, obat-obatan,<br />

serta beraneka ragam produk rumah tangga dan<br />

1 FAO (2010)<br />

2 FARPI (2010)<br />

3 FAO (2010)<br />

Manfaat Minyak Sawit bagi Perekonomian Indonesia • 7


industri yang lain. Pada 2009, dunia mengonsumsi<br />

sekitar 6,5 kilogram minyak sawit per kapita setiap<br />

tahun. 4 Minyak sawit dan minyak inti sawit, baik dalam<br />

produk makanan maupun nonmakanan, tumbuh secara<br />

signifikan. Menjelang 2020, konsumsi minyak sawit<br />

dunia diperkirakan tumbuh sampai hampir 60 juta ton.<br />

Permintaan minyak sawit di dunia juga meningkat, dan<br />

cenderung terus meningkat, karena negara berkembang<br />

beralih dari lemak-trans buatan ke alternatif yang lebih<br />

sehat. Lemak-trans sering digunakan untuk<br />

menggantikan lemak padat alami dan lemak cair dalam<br />

produksi makanan komersial, khususnya makanan<br />

cepat saji dan industri camilan dan makanan panggang.<br />

Lemak-trans artifisial dan sintesis dibuat oleh industri<br />

makanan olahan dengan menghidrogenasi-sebagian<br />

lemak nabati tak-jenuh. Belum lama ini, negara maju<br />

mengakui risiko kesehatan yang ditimbulkan lemaktrans,<br />

dan mulai membatasi penggunaannya. Negara<br />

seperti Demark, Swiss, dan beberapa county A.S. telah<br />

melarang penggunaan lemak-trans di restoran dan<br />

waralaba makanan cepat saji. Negara lain seperti<br />

Inggris, Kanada, dan Brasil telah menerapkan kebijakan<br />

yang bertujuan mengurangi penggunaan lemak-trans,<br />

termasuk kewajiban mencantumkan lemak-trans di<br />

label makanan. Untuk menggantikan lemak-trans,<br />

permintaan minyak sawit meningkat. Selain merupakan<br />

Investasi untuk memperbesar kapasitas<br />

pengolahan biodiesel semakin meningkat;<br />

Pemerintah Indonesia dan Malaysia telah<br />

mengeluarkan kebijakan untuk mengembangkan<br />

industri biodiesel dan menargetkan alokasi 6 juta<br />

ton minyak sawit untuk industri itu setiap tahun.<br />

sumber lemak tak-jenuh yang sehat, minyak sawit tidak<br />

berbau dan tidak berasa, serta tidak memerlukan<br />

hidrogenasi untuk mencapai keadaan padat. Sifat-sifat<br />

ini menjadikan minyak sawit ideal untuk margarin,<br />

makanan panggang, dan makanan kemasan,<br />

menjadikannya pesaing kuat bagi minyak nabati yang<br />

dibuat dari kacang kedelai dan canola yang memerlukan<br />

hidrogenasi untuk mencapai keadaan padat. Selain itu,<br />

minyak sawit tahan panas tinggi, sehingga bermanfaat<br />

dalam industri makanan goreng dan makanan cepat saji.<br />

Kontribusi minyak sawit yang meningkat dalam industri<br />

bahan bakar hayati juga memicu permintaan lain.<br />

Namun, permintaan ini relatif rendah jika dibandingkan<br />

dengan sumber lain, karena saat ini tak sampai 5 persen<br />

produksi biodiesel dunia yang menggunakan minyak<br />

sawit. 5 Sekitar 95 persen konsumsi energi dunia berasal<br />

dari bahan bakar fosil; menjelang 2030 konsumsi energi<br />

diperkirakan naik 50 persen lagi. 6 Banyak negara<br />

menetapkan target untuk melepaskan diri dari<br />

ketergantungan pada bahan bakar fosil, dengan<br />

menggunakan lebih banyak energi terbarukan, guna<br />

mengurangi emisi gas rumah kaca. Salah satu sumber<br />

energi terbarukan yang tumbuh secara signifikan<br />

selama dasawarsa terakhir adalah bahan bakar hayati.<br />

Minyak sawit digunakan secara luas sebagai bahan baku<br />

produksi biodiesel. Meskipun tergantung pada kebijakan<br />

pemerintah, peningkatan penggunaan bahan<br />

bakar hayati ini diperkirakan memicu peningkatan<br />

permintaan minyak sawit. OECD memperkirakan penggunaan<br />

minyak nabati dunia dalam produksi biodiesel<br />

akan meningkat lebih dari dua kali lipat antara 2006-08<br />

hingga 2018. 7 Minyak sawit adalah minyak nabati yang<br />

paling murah untuk memproduksi biodiesel. 8 Banyak<br />

negara saat ini mengadopsi kebijakan yang mendorong<br />

penggunaan bahan bakar hayati. Jika aturan pencampuran<br />

bahan bakar hayati tersebut diberlakukan,<br />

diperlukan tambahan empat juta hektare perkebunan<br />

kelapa sawit untuk memenuhi kebutuhan Uni Eropa<br />

saja. Tambahan sejuta hektare lagi mungkin diperlukan<br />

untuk memenuhi kebutuhan Cina, menjadikan produksi<br />

bahan bakar hayati semakin menarik. 9<br />

4 FARPI (2010)<br />

5 Sheil et al (2009)<br />

6 Sheil et al (2009)<br />

7 OECD-FAO (2009)<br />

8 Thoenes (2006)<br />

9 Sheil et al (2009)<br />

8 • Manfaat Minyak Sawit bagi Perekonomian Indonesia


Gambar 2.3 Konsumsi Minyak Nabati Dunia, 1980-2009<br />

Minyak Nabati 1980 1990 2000 2009<br />

Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah %<br />

Minyak Kedelai 13,4 33,7 16,1 26,5 25,6 27,7 35,9 27,0<br />

Minyak Sawit 4,5 <strong>11</strong>,3 <strong>11</strong>,0 18,1 21,9 23,7 45,1 34,0<br />

Minyak Canola 3,5 8,8 8,2 13,5 14,5 15,7 21,5 16,2<br />

Minyak Bunga Matahari 5,0 12,6 7,9 12,9 9,7 10,5 13,0 9,8<br />

Minyak Inti Sawit 0,6 1,5 1,5 2,5 2,7 2,9 5,2 3,9<br />

Minyak Nabati Lain 12,8 32,1 16,1 26,5 18,1 19,6 12,0 9,0<br />

Total Minyak Nabati 39,8 60,8 92,5 132,8<br />

Catatan: Jumlah dalam juta ton<br />

Sumber: <strong>Oil</strong> World (2010), dalam Hai Teoh (2010)<br />

Investasi untuk memperbesar kapasitas pengolahan<br />

biodiesel semakin meningkat; Pemerintah Indonesia dan<br />

Malaysia telah mengeluarkan kebijakan untuk<br />

mengembangkan industri biodiesel dan menargetkan<br />

alokasi 6 juta ton minyak sawit untuk industri itu setiap<br />

tahun. 10 Perusahaan penyulingan minyak di Finlandia<br />

(Neste <strong>Oil</strong>) telah membangun pabrik biodiesel terbesar<br />

di dunia di Singapura, <strong>11</strong> sementara produsen utama<br />

lainnya (Sime Darby Berhad) memiliki kapasitas<br />

pengolahan tahunan 200.000 ton biodiesel di Belanda. 12<br />

Namun, dalam beberapa kasus, penetrasi minyak sawit<br />

dalam pasar bahan bakar hayati terganggu oleh tindakan<br />

bantuan pemerintah. Sebagai contoh, penggunaan<br />

minyak sawit terhalang oleh kebijakan proteksi Uni<br />

Eropa yang menentang impor minyak sawit untuk digunakan<br />

sebagai bahan bakar hayati. Pada 2008, Parlemen<br />

Eropa mengeluarkan instruksi yang membatasi<br />

penggunaan bahan bakar hayati berbahan baku minyak<br />

sawit, karena pertimbangan lingkungan dan sosial. Ini<br />

akan berdampak langsung pada permintaan minyak<br />

sawit dunia karena Uni Eropa merupakan konsumen<br />

bahan bakar hayati terbesar di dunia.<br />

Kecenderungan Konsumsi Minyak Nabati Dunia<br />

Selama lebih dari 3 dasawarsa, terjadi pertumbuhan<br />

pesat dalam konsumsi minyak nabati dunia. Konsumsi<br />

antara 1980 dan 2008 meningkat lebih dari tiga kali<br />

lipat, dari 40 juta ton menjadi lebih dari 130 juta ton.<br />

Selain itu, terjadi pergeseran besar pangsa pasar relatif<br />

berbagai macam minyak nabati. Pada 1980, pangsa<br />

pasar minyak kelapa sawit <strong>11</strong> persen; minyak nabati<br />

utama di pasar dunia adalah minyak kedelai,<br />

mencakup kira-kira sepertiga konsumsi total. Sejak<br />

itu, pangsa pasar minyak kedelai terus menurun, dan<br />

minyak sawit menjadi minyak nabati utama yang<br />

dikonsumsi. Dalam waktu 30 tahun, konsumsi minyak<br />

sawit meningkat sepuluh kali lipat dari 4,5 menjadi 45<br />

juta ton (termasuk pertumbuhan 100 persen dalam<br />

dasawarsa terakhir) dan sekarang mencakup 34 persen<br />

pasar dunia. Pada 2009, meskipun konsumsi minyak<br />

kedelai naik 22,5 juta ton, pangsa pasarnya turun<br />

menjadi 27 persen. Pangsa pasar minyak canola 16<br />

persen dan minyak bunga matahari 10 persen.<br />

10 Thoenes (2006)<br />

<strong>11</strong> Neste <strong>Oil</strong> (2007)<br />

12 Darby Sime<br />

Manfaat Minyak Sawit bagi Perekonomian Indonesia • 9


3. PENTINGNYA MINYAK SAWIT BAGI<br />

PEREKONOMIAN INDONESIA<br />

3. Pentingnya Minyak Sawit bagi<br />

Perekonomian Indonesia<br />

PDB Indonesia diperkirakan $510,77 miliar pada<br />

2008, sehingga Indonesia termasuk negara<br />

berpenghasilan menengah ke bawah. Dalam<br />

dasawarsa terakhir, pertumbuhan PDB rata-rata 5<br />

persen (6,0 persen pada 2008) dan pertumbuhan<br />

penduduk rata-rata 1,2 persen. PDB per kapita juga<br />

tumbuh secara ajek. Penduduk Indonesia diperkirakan<br />

terus tumbuh dengan angka pertumbuhan tahunan<br />

Dewasa ini, produksi Indonesia terutama<br />

didominasi oleh sektor industri, yang<br />

berkontribusi sedikit di atas 48 persen dalam<br />

kegiatan perekonomian total, termasuk migas yang<br />

berkontribusi lebih dari 10 persen PDB.<br />

0,57 persen menjadi lebih dari 271 juta menjelang<br />

2030. 13<br />

Komposisi struktur ekonomi Indonesia berubah<br />

banyak dalam waktu empat dasawarsa terakhir.<br />

Seperti kebanyakan negara di kawasan ini, terjadi<br />

peralihan dari ekonomi pertanian yang tadinya<br />

menonjol menjadi sektor industri dan jasa. Dewasa ini,<br />

produksi Indonesia terutama didominasi oleh sektor<br />

industri, yang berkontribusi sedikit di atas 48 persen<br />

dalam kegiatan perekonomian total, termasuk migas<br />

yang berkontribusi lebih dari 10 persen PDB. 14 Sektor<br />

jasa berkontribusi 38 persen, sementara sektor<br />

pertanian 14 persen. 15<br />

Kontribusi Sektor Pertanian<br />

bagi Perekonomian Indonesia<br />

Produk pertanian utama Indonesia mencakup beras,<br />

minyak sawit, daging ayam, kelapa, dan karet, dengan<br />

ekspor utama minyak sawit, karet, minyak inti sawit,<br />

cokelat, dan kopi. Kontribusi sektor pertanian dalam<br />

Gambar 3.1<br />

Struktur Ekonomi Indonesia, 1960-2005<br />

100<br />

90<br />

80<br />

70<br />

60<br />

50<br />

40<br />

30<br />

20<br />

10<br />

0<br />

1960 1965 1970 1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005<br />

Services Industry Agriculture<br />

Sumber: Bank Dunia (2010)<br />

13 Data PBB (2010)<br />

14 Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (2010)b<br />

15 OECD (2010)<br />

10 • Manfaat Minyak Sawit bagi Perekonomian Indonesia


Gambar 3.2<br />

Pangsa Komoditas Produksi Pertanian Indonesia, 2009<br />

Rice Paddy<br />

<strong>Palm</strong> <strong>Oil</strong><br />

Chicken Meat<br />

Coconuts<br />

Natural Rubber<br />

Other<br />

Sumber: FAO (2010)b<br />

PDB terus menurun selama 20 tahun terakhir. Pada<br />

2008, sektor pertanian berkontribusi 14,4 persen<br />

dalam PDB (bandingkan dengan sekitar 22,5 persen<br />

pada 1988 dan 18,1 persen pada 1998).<br />

Kontribusi Kelapa Sawit<br />

bagi Perekonomian Indonesia<br />

Minyak sawit adalah produk pertanian kedua terbesar<br />

Indonesia; pada 2008, Indonesia menghasilkan lebih<br />

dari 18 juta ton minyak sawit. Selama dasawarsa yang<br />

lalu, minyak sawit merupakan ekspor pertanian<br />

Indonesia yang paling penting. Pada 2008, Indonesia<br />

mengekspor lebih dari $14,5 juta dalam bentuk produk<br />

yang berkaitan dengan sawit. 16 Industri minyak<br />

sawit Indonesia mengalami pertumbuhan pesat dalam<br />

beberapa tahun belakangan ini, kira-kira 1,3 juta ha<br />

lahan baru dijadikan perkebunan kelapa sawit sejak<br />

2005, sehingga mencapai hampir 5 juta ha pada 2007<br />

(mencakup 10,3 persen dari 48,1 juta ha lahan<br />

pertanian) 17 . Perluasan luar biasa ini terjadi karena<br />

imbal hasil tinggi yang dipicu oleh permintaan yang<br />

semakin besar. Kebun kelapa sawit Indonesia yang<br />

luas berada di Sumatra, mencakup lebih dari 75 persen<br />

total areal kelapa sawit matang dan 80 persen total<br />

produksi minyak sawit. 18 Provinsi produksi utama di<br />

Indonesia adalah Riau, Sumatra Utara, Sumatra<br />

Selatan, Jambi, dan Sumatra Barat.<br />

Pada 2008, sekitar 49 persen perkebunan kelapa sawit<br />

dimiliki swasta, 41 persen dimiliki petani kecil, dan<br />

sisanya yang 10 persen dimiliki pemerintah.<br />

Perkebunan swasta adalah penghasil minyak sawit<br />

terbesar di Indonesia, menghasilkan lebih dari 9,4 juta<br />

ton berdasarkan perhitungan pada 2008. Pada tahun<br />

yang sama, perkebunan petani kecil menghasilkan 6,7<br />

Selama dasawarsa yang lalu, minyak sawit<br />

merupakan ekspor pertanian Indonesia yang<br />

paling penting. Pada 2008, Indonesia mengekspor<br />

lebih dari $14,5 juta dalam bentuk produk yang<br />

berkaitan dengan sawit.<br />

16 Komisi Minyak Kelapa Sawit Indonesia (2008), GAPKI (2009), statistik beragam menurut sumbernya, statistik tidak resmi dari FAO<br />

(2010) memperkirakan produksi pada 2008 di atas 16,9 juta ton.<br />

17 Sebagaimana yang diukur oleh FAO (2010)<br />

18 USDA (2009)<br />

Manfaat Minyak Sawit bagi Perekonomian Indonesia • <strong>11</strong>


Gambar 3.3<br />

Areal Utama Kebun Kelapa Sawit di Malaysia dan Indonesia<br />

Nanggroe<br />

Aceh<br />

Darussalam<br />

MALAYSIA<br />

BRUNEI<br />

Serawak<br />

Sabah<br />

Riau<br />

West<br />

Sumatra<br />

Jambi<br />

SINGAPORE<br />

West<br />

Kalimantan<br />

Central<br />

Kalimantan<br />

South<br />

Kalimantan<br />

West<br />

Papua<br />

Papua<br />

INDONESIA<br />

Bali<br />

TIMOR LESTE<br />

AUSTRALIA<br />

Sumber: Sheil, D. et al (2009), hlm. 4<br />

juta ton, dan perkebunan pemerintah menghasilkan<br />

2,2 juta ton.<br />

Kelapa Sawit dan Pembangunan<br />

Pedesaan di Indonesia<br />

Kemiskinan di Indonesia pada umumnya terdapat di<br />

pedesaan. Pada 2009, dari 32,5 juta orang Indonesia<br />

yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional, 20,6<br />

juta di antaranya tinggal di daerah pedesaan.<br />

Persentase penduduk miskin di daerah pedesaan<br />

Indonesia jauh melampaui persentase penduduk<br />

miskin di perkotaan, dengan lebih dari 17,3 persen<br />

penduduk desa hidup di bawah garis kemiskinan, jika<br />

dibandingkan dengan 10,7 persen di daerah<br />

perkotaan. 19 Angka kemiskinan umum ini tidak<br />

Pertumbuhan industri minyak sawit yang signifikan<br />

menyebabkan minyak sawit menjadi komponen<br />

kegiatan ekonomi di sejumlah negara di wilayah ini.<br />

termasuk jutaan orang yang hidup sedikit di atas garis<br />

kemiskinan. 20 Dana Internasional untuk Pembangunan<br />

Pertanian (IFAD) mendapati bahwa penduduk<br />

termiskin di daerah pedesaan pada umumnya buruh<br />

tani, dan luas lahan milik petani kecil tidak sampai 0,5<br />

hektare.<br />

Lebih dari separuh penduduk Indonesia tinggal di<br />

daerah pedesaan. Pada 2002, pertanian meliputi dua<br />

pertiga lapangan kerja di pedesaan dan mencakup<br />

hampir separuh pendapatan rumah tangga pedesaan<br />

(upah dan pendapatan dari pertanian) 21 . Sebuah kajian<br />

pada 2004 menunjukkan bahwa pertumbuhan PDB<br />

pertanian di Indonesia berperan besar dalam<br />

menurunkan angka kemiskinan, terutama di daerah<br />

pedesaan. Tepatnya, pertumbuhan tahunan 1 persen<br />

ternyata menurunkan kemiskinan total sebesar 1,9<br />

persen (kemiskinan perkotaan sebesar 1,1 persen, dan<br />

kemiskinan pedesaan sebesar 2,9 persen) 22 . World<br />

growth (2009) mencatat bahwa selama dasawarsa<br />

terakhir, perluasan industri – khususnya minyak sawit<br />

– merupakan sumber yang signifikan dalam<br />

penurunan angka kemiskinan melalui budidaya<br />

pertanian dan pemrosesan selanjutnya.<br />

19 Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (2010)<br />

20 IFAD, diakses September 2010<br />

21 ADB (2006), hlm. 3<br />

22 Sumatro dan Suryahadi (2004) dalam ADB(2006)<br />

12 • Manfaat Minyak Sawit bagi Perekonomian Indonesia


Gambar 3.4<br />

Produksi, Areal Lahan, dan Hasil Menurut Jenis Perkebunan, 2002-2008<br />

25<br />

20<br />

hectares/tonnes (millions)<br />

4<br />

3<br />

15<br />

10<br />

2<br />

yield<br />

5<br />

1<br />

0<br />

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008<br />

0<br />

Production (Other)<br />

Production (Smallholders)<br />

Mature Land Area (Other)<br />

Mature Land Area (Smallholders)<br />

Yield (Other)<br />

Yield (Smallholders)<br />

Catatan: Hasil dihitung sebagai total produksi areal perkebunan kelapa sawit matang. Lainnya adalah total produksi yang lebih kecil daripada produksi petani kecil.<br />

Sumber: perhitungan World Growth dari Statistik Komisi Sawit Indonesia<br />

Pertumbuhan industri minyak sawit yang signifikan<br />

menyebabkan minyak sawit menjadi komponen kegiatan<br />

ekonomi di sejumlah negara di wilayah ini. Di wilayah<br />

tertentu, kelapa sawit merupakan tanaman yang dominan<br />

dan berperan besar dalam pembangunan ekonomi. Pada<br />

dasawarsa terakhir, areal perkebunan kelapa sawit terus<br />

bertambah luas, rata-rata 13 persen di Kalimantan dan 8<br />

persen di Sulawesi. 23 Penanaman dan panen kelapa sawit<br />

bersifat padat karya, sehingga industri ini berperan cukup<br />

besar dalam penyediaan lapangan kerja di banyak<br />

wilayah. Goenadi (2008) memperkirakan industri kelapa<br />

sawit di Indonesia mungkin dapat menyediakan lapangan<br />

kerja bagi lebih dari 6 juta jiwa dan mengentaskan<br />

mereka dari kemiskinan. 24 Manfaat lain bagi pekerja<br />

industri kelapa sawit mencakup pendapatan pasti, akses<br />

ke perawatan kesehatan dan pendidikan. 25 Industri kelapa<br />

sawit memberikan pendapatan berkelanjutan bagi<br />

banyak penduduk miskin di pedesaan; dan areal<br />

pengembangan kelapa sawit utama seperti Sumatera dan<br />

Riau juga memiliki persentase penduduk miskin yang<br />

besar. Lampiran 1 mengikhtisarkan statistik produksi<br />

kelapa sawit dan kemiskinan untuk sejumlah provinsi<br />

utama di Indonesia.<br />

Goenadi (2008) memperkirakan industri kelapa<br />

sawit di Indonesia mungkin dapat menyediakan<br />

lapangan kerja bagi lebih dari 6 juta jiwa dan<br />

mengentaskan mereka dari kemiskinan.<br />

Kontribusi Kelapa Sawit bagi<br />

Perekonomian Lokal dan Petani Kecil<br />

Kelapa sawit menyediakan lapangan kerja untuk<br />

banyak petani kecil, dengan lebih dari 6,7 juta ton<br />

kelapa sawit dihasilkan oleh petani kecil pada 2008.<br />

Pada 2006, sekitar 1,7 hingga 2 juta orang bekerja di<br />

industri kelapa sawit. 26 Pada 2008, Komisi Minyak<br />

Sawit Indonesia mendapati bahwa lebih dari 41 persen<br />

total perkebunan kelapa sawit dimiliki petani kecil,<br />

dan 49 persen dimiliki swasta – sisanya yang 10 persen<br />

dimiliki pemerintah. Industri kelapa sawit berperan<br />

besar dalam pendapatan penduduk pedesaan,<br />

terutama petani kecil. Pada 1997, pendapatan rata-rata<br />

23 USDA (2009)<br />

24 Goenadi (2008), hlm 3.<br />

25 Sheil, D. et al (2009)<br />

26 Zen et al (2006) dan Sheil, D. et al (2009)<br />

Manfaat Minyak Sawit bagi Perekonomian Indonesia • 13


petani kecil kelapa sawit tujuh kali pendapatan petani<br />

yang mengandalkan hidup dari tanaman pangan. 27<br />

Dalam hal penggunaan lahan, kelapa sawit<br />

memberikan hasil tertinggi per unit luas jika<br />

dibandingkan dengan benih minyak nabati lainnya.<br />

Peranan penting industri kelapa sawit bagi<br />

pembangunan pedesaan sudah dimaklumi, baik oleh<br />

Pemerintah Indonesia maupun sektor swasta.<br />

Misalnya, Pemerintah Indonesia pernah melaksanakan<br />

serangkaian program perbaikan sosialekonomi<br />

yang diperuntukkan bagi petani kecil kelapa<br />

sawit. Sebelum 2001, penggunaan ‘lahan inti’ kelapa<br />

sawit disarankan untuk meningkatkan pendapatan<br />

lebih dari 500.000 orang petani. Zen et al (2006) juga<br />

mengemukakan adanya sejumlah prakarsa oleh<br />

perusahaan kelapa sawit komersial yang dimaksudkan<br />

untuk memperbaiki status sosial-ekonomi sejumlah<br />

besar penduduk pedesaan. Misalnya, pada 1996,<br />

sebuah perusahaan di Sumatra membagikan masingmasing<br />

tiga ekor sapi kepada 500 keluarga karyawan<br />

untuk melahap limbah minyak kelapa sawit dan<br />

bungkil inti sawit. Pada 2003, jumlah sapi sudah<br />

berlipat dua, areal panen per karyawan meningkat dari<br />

10 menjadi 15 hektare, dan pendapatan karyawan<br />

meningkat secara proporsional. Prakarsa komersial<br />

lainnya meliputi areal kelapa sawit dan lahan inti<br />

masyarakat.<br />

Imbal Hasil dari Produksi Kelapa Sawit<br />

Dalam hal penggunaan lahan, kelapa sawit memberikan<br />

hasil tertinggi per unit luas jika dibandingkan<br />

dengan benih minyak nabati lainnya. Minyak yang<br />

rata-rata dihasilkan dari 1 ha kebun kelapa sawit<br />

adalah 4,09 ton, dibandingkan dengan kedelai, bunga<br />

matahari, dan canola yang masing-masing menghasilkan<br />

0,37, 0,5, dan 0,75 ton. 28 Varietas kelapa sawit<br />

modern berhasil tinggi, dalam cuaca ideal dan<br />

pengelolaan yang baik, mampu menghasilkan 5 ton<br />

minyak sawit per hektare per tahun. 29<br />

Di masa lalu, perkebunan rakyat kurang produktif<br />

dibandingkan dengan perkebunan kelapa sawit<br />

lainnya. Pada 2008, produksi petani kecil diperkirakan<br />

3,04 ton/ha dibandingkan dengan 3,7 ton/ha di<br />

perkebunan pemerintah dan perkebunan swasta. 30<br />

World Growth (2009) mengemukakan petani kecil di<br />

Indonesia berpotensi besar meningkatkan hasil kebun<br />

di lahan yang sudah ada dengan menggunakan pupuk<br />

dan stok genetis baru. 31<br />

Goenadi (2008) mengemukakan bahwa, karena iklim<br />

tanam di Indonesia, hasil minyak sawit mungkin dapat<br />

mencapai 6-7 ton per hektare. Namun, pada 2008,<br />

Indonesia hanya menghasilkan rata-rata 3-4 ton<br />

kelapa sawit per hektare. 32 Dengan meningkatkan<br />

hasil produksi kelapa sawit, Indonesia berpotensi<br />

meningkatkan produksi tanpa harus melakukan<br />

konversi lahan tambahan.<br />

Imbal hasil penggunaan lahan kelapa sawit cukup<br />

signifikan jika dibandingkan dengan bentuk<br />

penggunaan lahan lainnya. Pada 2007, laporan yang<br />

disusun untuk Stern Review memperkirakan imbal<br />

hasil dari penggunaan lahan kelapa sawit berkisar dari<br />

$960/ha hingga $3340/ha. Ini dibandingkan dengan<br />

panen karet, beras bera, singkong, dan kayu yang<br />

masing-masing menghasilkan $72/ha, $28/ha, $19/ha,<br />

dan $1099/ha. Tepatnya, imbal hasil penggunaan<br />

lahan untuk kelapa sawit diperkirakan mencakup:<br />

• $960/ha untuk petani independen berhasilrendah;<br />

• $960/ha untuk petani independen berhasil-tinggi;<br />

• $2100/ha untuk petani bersubsidi; dan<br />

• $3340/ha untuk petani berskala besar. 33<br />

27 Hardter et al (1997), hlm 99<br />

28 Sustainable Development Project (2010) dan <strong>Oil</strong> World (2010)<br />

29 FAO (2002)<br />

30 Komisi Minyak Sawit Indonesia (2008)<br />

31 World Growth (2009), hlm 13 dan 14.<br />

32 Komisi Minyak Sawit Indonesia (2008), hlm 25<br />

33 Greig-Gran M (2008)<br />

14 • Manfaat Minyak Sawit bagi Perekonomian Indonesia


4. Prospek Masa Depan Kelapa Sawit<br />

Prospek Permintaan Minyak Sawit Dunia<br />

Peningkatan imbal hasil akibat permintaan minyak<br />

nabati yang tinggi secara global diperkirakan akan<br />

meningkatkan penanaman modal di industri minyak<br />

sawit, yang menyebabkan pertumbuhan berkelanjutan<br />

dalam jangka menengah, karena konsumsi dunia<br />

diperkirakan meningkat lebih dari 30 persen pada<br />

dasawarsa mendatang. 34 Menjelang 2020, konsumsi<br />

dunia dan produksi minyak sawit diperkirakan sudah<br />

meningkat menjadi hampir 60 juta ton.<br />

Sifat-sifat menyehatkan dan daya saing harga minyak<br />

sawit, dibarengi potensi perannya dalam energi<br />

terbarukan, diperkirakan ikut menyebabkan<br />

pertumbuhan lebih dari 30 persen pada dasawarsa<br />

mendatang. Selama ini pertumbuhan industri minyak<br />

sawit disebabkan oleh keunggulan biaya produksi<br />

dalam budidaya kelapa sawit. Kelapa sawit adalah<br />

tanaman pohon yang sangat produktif jika<br />

dibandingkan dengan biji minyak nabati – hasil<br />

minyaknya 5 hingga 9 kali lebih tinggi daripada hasil<br />

yang dicapai oleh kedelai, canola, dan bunga matahari.<br />

Biaya minyak sawit lebih unggul karena harga lahan<br />

yang rendah serta masukan energi yang rendah.<br />

Di saat negara maju beralih dari lemak-trans ke<br />

alternatif yang lebih sehat, permintaan minyak sawit<br />

juga akan cenderung meningkat, relatif terhadap para<br />

pesaingnya. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak<br />

negara maju mengurangi dan melarang lemak-trans<br />

sehingga banyak pabrik makanan mengganti lemaktrans<br />

dengan minyak sawit. Selain daya saing dari segi<br />

biaya, minyak sawit kaya akan lemak-mono-tak-jenuh<br />

yang dipandang bermanfaat menurunkan risiko<br />

penyakit jantung. 35<br />

Selain peningkatan total dalam keseluruhan konsumsi,<br />

konsumsi minyak sawit per kapita pun terus<br />

meningkat di beberapa negara maju besar akibat<br />

pertumbuhan pendapatan yang mantap. Minyak sawit<br />

memetik keuntungan dari perkembangan ini karena<br />

energinya yang relatif tinggi per gram makanan. Pada<br />

2009-10, Cina dan India membukukan lebih dari 40<br />

persen impor neto dalam perdagangan dunia.<br />

Pertumbuhan ekonomi di kedua negara ini di masa<br />

mendatang akan meningkatkan permintaan minyak<br />

nabati impor.<br />

Produksi dan Peluang Minyak Sawit Dunia<br />

Sebelum 2010, FAPRI memperkirakan bahwa<br />

Indonesia akan menghasilkan hampir 30 juta ton<br />

minyak sawit, termasuk mengekspor hampir 23 juta<br />

ton. Pertumbuhan ini akan dicapai melalui<br />

peningkatan hasil dan konversi lahan lebih lanjut.<br />

Malaysia tampaknya memiliki peluang terbatas untuk<br />

perluasan melalui konversi lahan karena pembatasan<br />

penetapan peruntukan lahan. Ketersediaan lahan yang<br />

terbatas diperkirakan akan memperlambat pertumbuhan<br />

produksi minyak sawit, terutama di<br />

Semenanjung Malaysia dan Sabah.<br />

Peningkatan hasil dari areal pembudidayaan yang<br />

4. PROSPEK MASA DEPAN KELAPA SAWIT<br />

Gambar 4.1<br />

Proyeksi Pasokan Minyak Sawit Dunia dan Penggunaannya<br />

2009/2010 2019/2020<br />

(ribu ton) (ribu ton) % perubahan<br />

Konsumsi 44.330 58.639 32%<br />

Produksi 45.132 59.264 31%<br />

Perdagangan 30.760 41.649 35%<br />

Sumber: FAPRI 2010<br />

34 OECD-FAO (2009)<br />

35 Malaysian <strong>Palm</strong> <strong>Oil</strong> Council (2008)<br />

Manfaat Minyak Sawit bagi Perekonomian Indonesia • 15


Gambar 4.2<br />

Proyeksi Pasokan Minyak Sawit dan Penggunaannya<br />

45<br />

40<br />

tonnes (millions)<br />

35<br />

30<br />

25<br />

20<br />

15<br />

0<br />

2010 20<strong>11</strong> 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020<br />

PRODUCTION<br />

CONSUMPTION<br />

TRADE<br />

World<br />

Indonesia<br />

Malaysia<br />

Sumber: FAPRI 2010<br />

sudah ada merupakan cara lain untuk memperbesar<br />

keluaran. Namun, ada tanda-tanda yang menunjukkan<br />

bahwa peningkatan hasil perkebunan di<br />

Indonesia dan Malaysia mulai melambat. 36 Biaya<br />

untuk membuka perkebunan baru juga meningkat<br />

karena tuntutan lingkungan. Jika kecenderungan ini<br />

terus berlanjut dan kendala penggunaan lahan<br />

menjadi semakin ketat, ada peluang untuk munculnya<br />

pemasok baru. FAPRI memperkirakan produksi<br />

minyak sawit Malaysia akan meningkat 26,5 persen<br />

menjadi 23,4 juta ton sebelum 2020, lebih sedikit<br />

daripada perkiraan produksi Indonesia sebesar 28,5<br />

juta ton. Prospek yang baik tentang permintaan<br />

minyak sawit dapat memacu investasi industri di<br />

negara lain, termasuk Nigeria dan Thailand yang<br />

masing-masing menghasilkan sekitar 1,3 juta ton pada<br />

2008. 37 Sejumlah laporan baru-baru ini menunjukkan<br />

bahwa sejumlah perusahaan Cina sedang bernegosiasi<br />

untuk mendapatkan lahan di Republik Demokrasi<br />

Kongo dan Zambia untuk perkebunan kelapa sawit. 38<br />

Ada juga laporan tentang investor yang menyimak<br />

pertumbuhan perkebunan di Afrika Barat dan<br />

perusahaan Malaysia yang menyimak peluang<br />

pengembangan di Brasil. 39<br />

Kendala Utama dan Peluang<br />

Sektor Kelapa Sawit Indonesia<br />

Kendala Lingkungan<br />

Meningkatnya produksi kelapa sawit dunia, terutama<br />

di Malaysia dan Indonesia telah mengundang<br />

perhatian sejumlah LSM besar, termasuk Greenpeace,<br />

WWF, dan Friends of the Earth. Pada mulanya<br />

tentangan utama terhadap kelapa sawit adalah soal<br />

penggundulan hutan, sementara keprihatinan<br />

belakangan ini menyangkut dampak perluasan kebun<br />

kelapa sawit pada menyusutnya keragaman hayati<br />

(termasuk habitat orang utan) dan emisi CO 2 . Klaim<br />

utama kampanye lingkungan yang menentang<br />

industri kelapa sawit adalah bahwa penggundulan<br />

hutan, terutama konversi lahan hutan menjadi kebun<br />

kelapa sawit, merupakan penyebab utama emisi CO 2 .<br />

Budidaya kelapa sawit di lahan gambut dan<br />

perubahan secara tidak langsung tata-guna lahan<br />

sering disebut-sebut sebagai ancaman utama<br />

terhadap perubahan iklim. Namun, terdapat<br />

ketidakpastian dan perdebatan sengit tentang data<br />

dan model yang digunakan untuk mendukung klaim<br />

36 Thoenes (2006)<br />

37 FAO (2010)<br />

38 Economist (2009)<br />

39 Reuters (2010)<br />

16 • Manfaat Minyak Sawit bagi Perekonomian Indonesia


tersebut. 40 Penyebab utama penggundulan hutan<br />

adalah pertumbuhan kota, pertanian subsisten,<br />

perumahan, dan pengumpulan kayu bakar. 41<br />

Ada perdebatan sengit tentang seberapa parah<br />

penggundulan hutan di Indonesia, terutama akibat<br />

beragamnya tafsiran tentang istilah itu dan informasi<br />

yang tidak memadai. Dalam waktu sepuluh tahun<br />

hingga 2010, FAO memperkirakan bahwa areal hutan<br />

di Indonesia menyusut 5 persen, dari 99,4 juta hektare<br />

menjadi 94,4 juta hektare. 42 Laju penyusutan ini<br />

berkurang dari dasawarsa sebelumnya, ketika areal<br />

hutan menyusut 1,75 persen per tahun dari <strong>11</strong>8,5 juta<br />

hektare menjadi 99,4 juta hektare. Pada dasawarsa<br />

yang lalu, meskipun perubahan persentase tahun per<br />

tahun (yoy) dalam kawasan hutan meningkat (karena<br />

basis hutan yang relatif semakin kecil setiap tahun),<br />

penyusutan kawasan hutan lebih kecil dalam angka<br />

absolut. Gambar 4.3 memperlihatkan total kawasan<br />

hutan dan laju perubahan kawasan hutan dari tahun<br />

ke tahun di Indonesia sejak 1990.<br />

Data spesifik tentang peranan kelapa sawit dalam<br />

penggundulan hutan memang terbatas, dan perkiraan<br />

juga sangat beragam. Statistik tentang peranan kelapa<br />

sawit dalam penggundulan hutan mengasumsikan<br />

bahwa semua pertumbuhan areal kelapa sawit<br />

diakibatkan oleh konversi lahan hutan menjadi kebun<br />

kelapa sawit, menghitung peranan industri ini dalam<br />

penggundulan hutan dengan menganggap bahwa<br />

perubahan areal kelapa sawit sama dengan tingkat<br />

penggundulan hutan, dalam kurun waktu tertentu.<br />

Hal ini memberikan citra menyesatkan tentang<br />

peranan kelapa sawit dalam penggundulan hutan,<br />

mengingat sebagian perluasan dilakukan pada lahan<br />

kritis. 43<br />

Gambar 4.3<br />

Kawasan Hutan Indonesia, 1990-2010<br />

140<br />

120<br />

hectares (millions)<br />

100<br />

80<br />

60<br />

40<br />

20<br />

0<br />

1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010<br />

Forest Area Annual Change (level) Annual Change (precentage)<br />

Catatan: Angka 2009 didasarkan pada titik setengah jalan antara angka 2008 dan 2010.<br />

Sumber: FAO (2010)<br />

40 World Growth (2010) menyatakan bahwa banyak di antara klaim ini memiliki sedikit atau tanpa bukti kuat, dan hanya mengandalkan<br />

pernyataan absolut dan seruan tanpa dasar yang dirancang mengundang simpati konsumen di negara maju. Hanya terdapat data terbatas<br />

tentang luas hutan dan areal kebun kelapa sawit di Indonesia. Tidak ada definisi baku tentang apa yang disebut lahan hutan gundul di<br />

Indonesia dan perkiraan laju penggundulan hutan sering didasarkan pada ilmu yang sangat lemah, sehingga tentu saja statistik yang tersedia<br />

pun sangat berbeda-beda. Perhitungan terkini tentang penyerapan karbon dan penggundulan hutan pada umumnya didasarkan pada<br />

pencitraan satelit yang hanya memperhitungkan sampel kawasan yang luas dan perkiraannya sering berlebihan dan sudah usang.<br />

41 FAO (2010)<br />

42 FAO (2010)c<br />

43 Sejumlah perusahaan besar di Indonesia, termasuk APP dan APRIL, telah berupaya meningkatkan keberlanjutan kegiatan mereka<br />

dengan menyetujui untuk melakukan beberapa kegiatan berkelanjutan, seperti komitmen untuk melindungi Hutan dengan Nilai<br />

Konservasi Tinggi, dll.


Gambar 4.4 Tata guna lahan di Indonesia, 1990-2005<br />

1990 1995 2000 2005<br />

(ribu ha) (ribu ha) (ribu ha) (ribu ha)<br />

Buah sawit* 673 1.190 2.014 3.690<br />

Perubahan 517 824 1.676<br />

Lahan Pertanian 45.083 42.187 44.777 48.446<br />

Perubahan -2.896 2.590 3.669<br />

Lahan Hutan <strong>11</strong>8.545 108.977 99.409 97.857<br />

Perubahan -9.568 -9.568 -1.552<br />

*Areal panen, angka ini berbeda dengan angka Komisi Sawit Indonesia yang mengukur total areal perkebunan kelapa sawit seluas 5,95 juta ha pada 2005 dan<br />

7,02 juta ha pada 2008.<br />

Sumber: FA0 (2010)<br />

Pada 2008, kontribusi relatif emisi CO 2 global dari<br />

penggundulan hutan dan penyusutan hutan<br />

diperkirakan sekitar 12 persen. 44 Pada 2006, Indonesia<br />

melepaskan 1,5 ton kubik CO 2 per kapita, lebih rendah<br />

daripada rata-rata Asia Timur dan Pasifik serta negara<br />

berpenghasilan menengah bawah, dan jauh lebih<br />

rendah daripada Inggris dan Amerika Serikat yang<br />

masing-masing melepaskan 9,3 ton kubik dan 19,3 ton<br />

kubik. 45 Meskipun terdapat kampanye yang menentang<br />

industri kelapa sawit, produksi minyak sawit lebih<br />

berkelanjutan daripada minyak nabati lainnya.<br />

Produksi minyak sawit menggunakan energi jauh lebih<br />

sedikit, menggunakan lahan lebih sedikit, dan<br />

menghasilkan lebih banyak minyak per hektare<br />

dibandingkan dengan biji minyak lain, memiliki jejak<br />

karbon yang lebih kecil, dan merupakan penyerap<br />

karbon yang efektif. 46 Dampak penggundulan hutan<br />

pada menyusutnya keragaman hayati, terutama<br />

menyusutnya habitat orang utan juga merupakan<br />

keprihatinan yang lazim dikemukakan. Tekanan<br />

terhadap keragaman hayati berasal dari berbagai<br />

sumber, antara lain kemiskinan, kegiatan<br />

pertanian/kehutanan, lembaga, dan teknologi.<br />

Penyusutan habitat tidak semata-mata akibat konversi<br />

lahan hutan menjadi kebun kelapa sawit. Antara 2000<br />

dan 2007, penggunaan lahan kelapa sawit meningkat<br />

2,9 juta hektare dibandingkan dengan penggunaan<br />

lahan untuk keperluan lain yang meningkat 9,4 juta<br />

hektare. Habitat orang utan juga dilestarikan melalui<br />

suaka margasatwa di Indonesia yang telah ditetapkan<br />

dan mematuhi sejumlah undang-undang. Lebih dari<br />

23 persen Indonesia dicadangkan untuk pelestarian<br />

hutan, termasuk 42 persen di Aceh dan 40 persen di<br />

Kalimantan. 47<br />

Kendala Ketersediaan Lahan<br />

Terbatasnya ketersediaan lahan untuk dikonversi<br />

menjadi kebun kelapa sawit merupakan tantangan<br />

berat bagi pertumbuhan industri kelapa sawit<br />

Indonesia, mengingat diperlukannya konversi lahan<br />

menjadi kebun kelapa sawit dalam tingkat tertentu<br />

agar pertumbuhan industri ini dapat berlanjut.<br />

Sejumlah LSM memprakarsai kampanye menentang<br />

industri kelapa sawit dan konversi hutan hujan<br />

Indonesia menjadi kebun kelapa sawit. Akibatnya,<br />

Pemerintah Indonesia meluncurkan serangkaian<br />

program untuk menangani penggundulan hutan –<br />

yang paling signifikan adalah penangguhan 2 tahun<br />

dalam pemberian konsesi baru untuk membuka<br />

hutan. 48 Pada Mei 2010, pemerintah Indonesia<br />

menandatangani kesepakatan dengan pemerintah<br />

44 G.R. van der Werf (2009)<br />

45 Bank Dunia (2010)<br />

46 World Growth (2009)<br />

47 World Growth (2010)<br />

48 Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Norwegia (2010)<br />

18 • Manfaat Minyak Sawit bagi Perekonomian Indonesia


Norwegia untuk memberlakukan penangguhan dua<br />

tahun yang dimaksudkan untuk mengurangi gas<br />

rumah kaca; sebagai imbalannya Norwegia akan<br />

menginvestasikan $1 miliar dalam proyek pelestarian<br />

hutan di Indonesia. Selain itu, pemerintah juga<br />

memperkenalkan sejumlah program penggundulan<br />

hutan dengan dukungan keuangan dari sejumlah<br />

negara berkembang. Misalnya, program REDD<br />

(Reducing Emissions from Deforestation and<br />

Degradation) PBB menyumbangkan lebih dari $5,6<br />

juta kepada Indonesia antara 2009 dan 20<strong>11</strong> untuk<br />

mengurangi penggundulan hutan. 49<br />

Kesuksesan pertumbuhan industri kelapa sawit<br />

Indonesia akan sangat dipengaruhi oleh pembatasan<br />

konversi lahan menjadi kebun kelapa sawit, karena<br />

pembangunan ekonomi memerlukan konversi lahan<br />

dalam tingkat tertentu.<br />

Konversi Lahan Kritis<br />

Pada Mei 2010, untuk mengurangi penggundulan<br />

hutan, Pemerintah Indonesia mengumumkan kebijakan<br />

untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit<br />

di lahan kritis, alih-alih terus mengonversi hutan atau<br />

lahan gambut. Para pejabat Indonesia mengemukakan<br />

bahwa industri kelapa sawit masih dapat diperluas<br />

dengan mengakuisisi enam juta hektare lahan kritis. 50<br />

Areal kelapa sawit saat ini 7 juta hektare. Namun,<br />

keberhasilan penggunaan lahan kritis bergantung<br />

pada parahnya kerusakan.<br />

Saat ini belum ada definisi resmi tentang lahan kritis;<br />

tetapi, kerusakan lahan biasanya menyiratkan<br />

merosotnya kemampuan produksi lahan. Perkiraan<br />

luas areal yang terpengaruh oleh kerusakan sangat<br />

beragam. FAO memperkirakan lahan kritis di<br />

Indonesia pada umumnya akibat erosi air dan angin<br />

yang disebabkan oleh penggundulan hutan dan<br />

kerusakan kimiawi. Kira-kira 38 persen (71 juta<br />

hektare) lahan Indonesia terkena dampak kerusakan<br />

(32 persen lahan rusak parah dan 6 persen rusak<br />

sangat parah); 30 persen di antaranya rusak karena<br />

ulah manusia yang melakukan kegiatan pertanian,<br />

setara dengan <strong>11</strong> persen total lahan. 51<br />

Pembatasan pemerintah mengenai konversi lahan<br />

hutan menjadi kebun kelapa sawit akan menyebabkan<br />

Indonesia semakin perlu memanfaatkan jenis lahan<br />

Terbatasnya ketersediaan lahan untuk dikonversi<br />

menjadi kebun kelapa sawit merupakan tantangan<br />

berat bagi pertumbuhan industri kelapa sawit<br />

Indonesia, mengingat diperlukannya konversi<br />

lahan menjadi kebun kelapa sawit dalam tingkat<br />

tertentu agar pertumbuhan industri ini dapat<br />

berlanjut.<br />

yang lain, termasuk lahan kritis. Namun, keberhasilan<br />

produksi kelapa sawit di lahan kritis sangat bergantung<br />

pada kualitas lahan yang tersedia. Saat ini belum ada<br />

metodologi umum serta data ruang yang akurat dan<br />

mutakhir, untuk mengidentifikasi areal kerusakan yang<br />

masih layak bagi areal perkebunan kelapa sawit<br />

berkelanjutan. 52 Sebagai bagian dari kesepakatan 2010<br />

antara Indonesia dan Norwegia, pemerintah Indonesia<br />

setuju mendirikan pangkalan data lahan kritis, yang<br />

menyediakan informasi yang diperlukan guna mengenali<br />

areal lahan yang layak bagi kegiatan ekonomi,<br />

termasuk perkebunan kelapa sawit. 53<br />

Hak Tanah dan Kerusakan Lahan<br />

Penggunaan lahan kritis untuk perkebunan kelapa<br />

sawit bergantung pada parahnya kerusakan dan<br />

kualitas lahan yang tersedia. Degradasi terjadi karena<br />

pembukaan lahan, penggembalaan berlebihan, praktik<br />

pertanian yang buruk, kegiatan pertanian yang<br />

berlebihan, pengelolaan tanah yang buruk, dan<br />

49 REDD-PBB (2010)<br />

50 Reuters (2010)c<br />

51 FAO/AGL (2010), dalam Global Assessment of Human Induced Soil Degradation (GALSOD) 1980 memperkirakan 16,53 persen luas<br />

lahan (31,4 juta hektare) di Indonesia terkena dampak kerusakan.<br />

52 World Resources Institute (2010)<br />

53 Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Norwegia (2010)<br />

Manfaat Minyak Sawit bagi Perekonomian Indonesia • 19


Gambar 4.5<br />

Target Bahan Bakar Hayati dan Biodiesel Sejumlah Negara<br />

Target Status Prakarsa kebijakan<br />

Brasil 2% pada 2008, 5% sebelum 2013 Sudah dilaksanakan Insentif pajak, mandat<br />

Kanada 2% sebelum 2010 Menunjukkan niat Tidak Ada<br />

Cina 15% bahan bakar hayati sebelum 2020 Tidak ada kebijakan nyata Usul dukungan pajak<br />

Uni Eropa 5,75% sebelum 2010, 10% sebelum 2020 Sudah dilaksanakan Subsidi, insentif pajak<br />

India<br />

Menyiapkan undang-undang<br />

Indonesia 2-5% sebelum 2010 Sudah diusulkan<br />

Jepang 5% pada 2009 Menyiapkan undang-undang<br />

Korea 5% Sudah dilaksanakan Mandat<br />

Malaysia 5% Sudah diusulkan<br />

Filipina 1% pada 2007, 2% sebelum 2009<br />

Thailand 10% sebelum 2012 Sudah dilaksanakan Keringanan pajak, mandat masa depan<br />

A.S. 28,4 miliar liter bahan bakar hayati sebelum 2012 Sudah dilaksanakan Kredit pajak, mandat negara bagian<br />

Catatan: Kecuali jika dinyatakan lain dalam tabel, angka menunjukkan persentase campuran biodiesel, misalnya 5% = 5% campuran biodiesel.<br />

Sumber: Sheil et al (2009)<br />

pelestarian yang tidak memadai. Untuk mengurangi<br />

parahnya kerusakan lahan, para pengguna lahan<br />

memerlukan insentif untuk mengelola dan melestarikan<br />

lahan dengan baik.<br />

Tata guna lahan di Indonesia pada umumnya<br />

ditetapkan menurut hak sementara untuk<br />

pembudidayaan, pembukaan, dan sebagainya. 54 Sejak<br />

desentralisasi, hak untuk pembudidayaan dan<br />

pembukaan lahan diterbitkan oleh berbagai tingkat<br />

pemerintahan. Desentralisasi kewenangan pengelolaan<br />

sumber daya hutan menimbulkan kebingungan serta<br />

tidak adanya tanggung jawab pengelolaan lahan. Djogo<br />

dan Syaf (2003) mengemukakan bahwa desentralisasi<br />

kewenangan untuk mengelola hutan, di samping<br />

undang-undang yang membebankan tanggung jawab<br />

pelestarian dan pemulihan hutan kepada pemerintah<br />

pusat menyebabkan para pejabat pemerintah daerah<br />

bersikap mendua dalam hal rehabilitasi dan pelestarian<br />

hutan. Juga terdapat benturan wewenang antara<br />

berbagai lembaga seperti Dinas Taman Nasional dan<br />

dinas kehutanan tingkat provinsi dan kabupaten.<br />

Perbedaan antara peta rencana tata ruang yang disusun<br />

oleh pemerintah provinsi dan kabupaten kadangkadang<br />

menyebabkan konversi lahan tanpa izin yang<br />

didukung oleh pemda tingkat dua tanpa persetujuan<br />

pemerintah provinsi ataupun pusat. 55 Hak kepemilikan<br />

lahan yang terbatas atau tidak pasti merupakan sebab<br />

utama perubahan tata guna lahan yang mengarah pada<br />

penggundulan dan perusakan hutan. 56 Penyewa yang<br />

tidak memiliki hak kepemilikan lahan yang pasti boleh<br />

dikatakan tidak memiliki insentif untuk memelihara<br />

dan melindungi lahan mereka jika dibandingkan<br />

dengan mereka yang memiliki hak guna yang pasti.<br />

Pemantapan hak kepemilikan lahan dan hak guna<br />

lahan diperlukan untuk memberikan insentif kepada<br />

pengguna lahan untuk berinvestasi guna perbaikan<br />

lahan. Insentif kepada pengguna lahan untuk<br />

memelihara dan memulihkan lahan – sehingga<br />

parahnya kerusakan dapat dikurangi dan lahan pulih<br />

kembali – memerlukan hak atas lahan dan proses<br />

akuntabilitas yang efektif, pasti, dan transparan.<br />

54 Colchester et al (2006)<br />

55 Djogo dan Syaf (2003)<br />

56 Hatcher (2009)<br />

20 • Manfaat Minyak Sawit bagi Perekonomian Indonesia


Menghilangkan Kesenjangan Produktivitas<br />

Tantangan berat yang dihadapi industri kelapa sawit<br />

adalah besarnya kesenjangan produktivitas antara<br />

hasil sebenarnya dan hasil yang dapat dicapai oleh<br />

perkebunan kelapa sawit. Di Indonesia, hasil kelapa<br />

sawit rata-rata 3-4 ton/ha, namun sejumlah pihak<br />

memperkirakan bahwa potensi hasilnya bisa mencapai<br />

8,6 ton/ha. 57 Sinar matahari yang hampir selalu ada<br />

sepanjang tahun, curah hujan yang tinggi, lahan yang<br />

kaya zat vulkanik, serta pemahaman yang baik tentang<br />

pengelolaan kelapa sawit menguntungkan Indonesia<br />

dalam menghasilkan produk pertanian dan kelapa<br />

sawit. 58 Goenadi (2008) mengemukakan bahwa<br />

paduan semua sumber daya di atas dengan bibit<br />

kelapa sawit baru jenis unggul serta bibit yang tersedia<br />

sekarang, potensi produksi tahunan dari segi genetik<br />

bisa mencapai sekitar 6-7 ton kelapa sawit per hektare.<br />

Namun, pada kenyataannya rata-rata hasil yang<br />

diperoleh hanya mencapai setengahnya saja. Pada<br />

2008, Komisi Sawit Indonesia mengukur bahwa hasil<br />

kelapa sawit rata-rata 3-4 ton per hektare. Perlu ada<br />

upaya sungguh-sungguh untuk mengurangi<br />

kesenjangan ini, dan Goenadi mengusulkan agar<br />

upaya tersebut mencakup persiapan lahan secara<br />

bertahap, pengelolaan kebun secara rutin, dan<br />

penggunaan teknologi baru. Peningkatan produktivitas,<br />

terutama pada petani kecil, merupakan<br />

tantangan terbesar. Hasil perkebunan petani kecil juga<br />

amat beragam, mungkin karena perbedaan cara<br />

bertani dan usaha, bukan potensi tanaman dari segi<br />

genetik. 59 Peningkatan produktivitas petani sawit<br />

dapat meningkatkan keuntungan sektor ini tanpa<br />

perlu banyak menambah perluasan lahan atau biaya<br />

produksi. Peningkatan produksi 20 persen dapat<br />

menghasilkan tambahan 3,7 juta ton sawit di<br />

Indonesia, setara dengan hasil panen 1,07 juta hektare<br />

saat ini. 60 Tantangan utama lainnya untuk produktivitas<br />

sektor kelapa sawit Indonesia, terutama di<br />

Kalimantan, adalah lahan yang kurang subur, musim<br />

kemarau tahunan, dan potensi pertikaian soal lahan. 61<br />

Industri Biodiesel Indonesia<br />

Meskipun minyak sawit saat ini tidak sampai 5 persen<br />

dari produksi biodiesel dunia, permintaan cenderung<br />

meningkat mengingat banyak negara mengadopsi<br />

kebijakan yang mendorong penggunaan bahan bakar<br />

hayati. 62 Meskipun pangsa pasarnya masih kecil,<br />

minyak sawit sering digunakan sebagai bahan baku<br />

dalam produksi biodiesel, dan karena bahan baku<br />

merupakan unsur biaya yang besar dalam produksi,<br />

industri biodiesel merupakan pilihan bagus bagi<br />

Indonesia. Banyak negara menetapkan target untuk<br />

mengubah ketergantungan pada bahan bakar fosil<br />

dengan menggunakan lebih banyak energi terbarukan,<br />

termasuk bahan bakar hayati, untuk mengurangi emisi<br />

gas rumah kaca, dan ini meningkatkan permintaan<br />

bahan bakar alternatif secara global. Permintaan yang<br />

meningkat dan berlimpahnya tenaga kerja di<br />

Indonesia serta status sebagai penghasil minyak dan<br />

minyak bumi dunia, menempatkan Indonesia pada<br />

posisi yang relatif bagus untuk memproduksi biodiesel.<br />

Pemerintah Indonesia sudah bertekad bulat untuk<br />

mengembangkan bahan bakar hayati, termasuk<br />

menyusun strategi terpadu untuk melaksanakan<br />

program bahan bakar hayati. 63 Sementara itu, negara<br />

seperti Uni Eropa, Cina, A.S. dan lain-lain menetapkan<br />

target pencampuran bahan bakar untuk biodiesel<br />

berkisar dari 2 persen di Filipina hingga 10 persen di<br />

Uni Eropa sebelum 2020.<br />

Meskipun minyak sawit saat ini tidak sampai 5<br />

persen dari produksi biodiesel dunia, permintaan<br />

cenderung meningkat mengingat banyak negara<br />

mengadopsi kebijakan yang mendorong<br />

penggunaan bahan bakar hayati.<br />

57 Henson (1990)<br />

58 Goenadi (2008), hlm. 2<br />

59 Hai Teoh (2010)<br />

60 dihitung dari data Komisi Sawit Indonesia<br />

61 Perba et al (2006)<br />

62 Sheil et al (2009)<br />

63 Bio-fuel Indonesia (2010)<br />

Manfaat Minyak Sawit bagi Perekonomian Indonesia • 21


Daftar Pustaka<br />

Ansari, F., Bhartata, A., Hudata, A., Kurniawan, P.M., dan Rianda E., (2007) <strong>Indonesian</strong> Tropical Deforestation: APRIL and<br />

APP case studies, Erasmus Universiteit Rotterdam.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Asian Development Bank (1995), Project Completion <strong>Report</strong>, dapat diakses di:<br />

http://www.adb.org/Documents/PCRs/INO/18<strong>11</strong>0-INO-PCR.pdf, diakses pada September 2010<br />

Asian Development Bank (2006), Indonesia: Strategic Vision for Agriculture and Rural Development.<br />

Bio-fuel Indonesia (2010), dapat diakses di: http://www.bio-fuelindonesia.com, diakses September 2010<br />

Cheng Hai Teoh (2010), Key Sustainability Issues in the palm oil sector, dapat diakses di:<br />

http://www.ifc.org/ifcext/agriconsultation.nsf/AttachmentsByTitle/Discussion+Paper/$FILE/Discussion+Paper_<br />

FINAL.pdf, diakses September 2010<br />

Darby, Sime (tanpa tanggal), isi situs web, tersedia di http://www.simedarbyplantation.com/Bio-diesel_-_Overseas.aspx,<br />

diakses September 2010<br />

Djago, T. dan Syaf, R. (2003), Decentralization without Accountability: Power and Authority over Local Forest Governance<br />

in Indonesia, tersedia di: http://www.cifor.cgiar.org/acm/download/pub/djogo-EWC.pdf, diakses September 2010<br />

Economist (2009), The scramble for land in Africa and Asia, 21 Mei, tersedia di:<br />

http://www.economist.com/PrinterFriendly.cfm?story_id=13692889&source=login_payBarrier<br />

Uni Eropa (2003), The Directive on the Promotion of the use of bio-fuels and other renewable fuels for transport<br />

(2003/30/EC), diakses di: http://eur-lex.europa.eu/LexUriServ/LexUriServ.do?uri=CELEX:32009L0028:EN:NOT<br />

Food and Agricultural Policy Research Institute (2010), U.S. and World Agricultural Outlook, FARPI, Iowa. Tersedia di:<br />

http://www.fapri.iastate.edu/outlook/2010/, diakses September 2010<br />

Food and Agricultural Policy Research (2010)b, Food and agricultural commodities production statistics: Indonesia and<br />

Production Indices: Indonesia, dapat diakses di: http://faostat.fao.org, diakses September 2010.<br />

Food and Agricultural Policy Research (2010)c, Global Forest Resources Assessment 2010: Country <strong>Report</strong> Indonesia, The<br />

Forest Resources Assessment Programme.<br />

Food and Agricultural Policy Research (2005), National Soil Degradation Maps, dapat diakses di: http://www.fao.org/landandwater/agll/glasod/glasodmaps.jsp?country=IDN&search=Display+map+!<br />

Diakses September 2010.<br />

Food and Agricultural Policy Research Unit (2001), Contract Farming: Partnerships for Growth, Chapter 3: Types of<br />

Contract Farming, dapat diakses di: http://www.fao.org/docrep/004/y0937e/y0937e05.htm, diakses September 2010<br />

Food and Agriculture Organisation of the United Nations (FAO), (2002), ‘Small-Scale <strong>Palm</strong> <strong>Oil</strong> Processing in africa’, Chapter<br />

3, FAO Agricultural Services Bulletin 148, dapat diakses di: http://www.fao.org/DOCREP/005/y4355e/y4355e03.htm,<br />

diakses September 2010<br />

Food and Agriculture Organisation of the United Nations (FAO), (2010), Global Forest Resources Assessment 2010, dapat<br />

diakses di: http://www.fao.org/forestry/fra/fra2010/en/, diakses September 2010<br />

FAOSTAT (2010), http://faostat.fao.org/site/291/default.aspx, diakses September 2010<br />

22 • Manfaat Minyak Sawit bagi Perekonomian Indonesia


FAO TradeSTAT (2010), http://faostat.fao.org/site/342/default.aspx, diakses September 2010<br />

FAO ProdSTAT (2010), http://faostat.fao.org/site/339/default.aspx, diakses September 2010<br />

Food and Agriculture Organisation of the United Nations Land and Water Development Department (FAO/AGL), (2010),<br />

TERRASTAT, dapat diakses di:<br />

http://www.fao.org/ag/agl/agll/terrastat/wsrout.asp?wsreport=4&region=1&search=Display+statistics+!, diakses September<br />

2010<br />

GAPKI (2009), ‘Build Indonesia with <strong>Palm</strong> <strong>Oil</strong>’, dalam majalah InfoSARWIT.<br />

Greig-Gran M. (2008), The Cost of Avoiding Deforestation: Update of the <strong>Report</strong> Prepared for the Stern Review of the<br />

Economics of Climate Change, International Institute for Environment and Development.<br />

G.R. van der Werf, et al. (2009), ‘CO2 emissions from forest loss’, Nature Geoscience, hlm. 737-738<br />

Goenadi (2008), Perspective on <strong>Indonesian</strong> <strong>Palm</strong> <strong>Oil</strong> Production, Makalah yang disampaikan pada Rapat 2008 Musim Semi<br />

International Food & Agricultural Trade Policy Council, 12 Mei 2008, Bogor, Indonesia<br />

Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Norwegia (2010), Letter of Intent between the Government of the Kingdom of<br />

Norway and the Government of the Republic of Indonesia on “Cooperating on reducing greenhouse gas emissions from<br />

deforestation and forest degradation”, dapat diakses di: http://www.redd-monitor.org/wordpress/wpcontent/uploads/2010/05/Norway-Indonesia-LoI.pdf,<br />

diakses September 2010.<br />

Hardter, R., Chow, W. Y., dan Hock, O. S. (1997), ‘Intensive plantation cropping, a source of sustainable food and energy<br />

production in the tropical rain forest areas in Southeast Asia’, Forest Ecology and Management, Vol. 91, No. 1, hlm. 93-102.<br />

Hatcher, J. (2009), Securing Tenure Rights and Reducing Emissions from Deforestation and Degradation, Social<br />

Development Papers: Social dimensions of climate change, Paper No.120/December 2009<br />

Independent Evaluation Group (2001), Nucleus Estates and Smallholders Projects in Indonesia, dapat diakses di:<br />

http://lnweb90.worldbank.org/oed/oeddoclib.nsf/DocUNIDViewForJavaSearch/95d104dd2107d21d852567f5005d8461?Op<br />

enDocument&Click= diakses September 2010.<br />

Komisi Sawit Indonesia (2008), <strong>Indonesian</strong> <strong>Palm</strong> <strong>Oil</strong> Statistics 2008, Kementerian Pertanian Indonesia, Jakarta.<br />

International Fund for Agricultural Development (IFAD), Rural Poverty in Indonesia, dapat diakses di:<br />

http://www.ruralpovertyportal.org/web/guest/country/home/tags/indonesia , diakses September 2010.<br />

Malaysian <strong>Palm</strong> <strong>Oil</strong> Council (2008), Facts on Fats, Global <strong>Oil</strong>s & Fats Business Magazine, Vol. 5, Issue No. 3<br />

Neste <strong>Oil</strong> (2007), Neste <strong>Oil</strong> to build a NExBTL Renewable Diesel plant in Singapore, Siaran Pers, tersedia di:<br />

http://www.nesteoil.com/default.asp?path=1;41;540;1259;1261;7440;9494<br />

Sheil, D. et al (2009), The impacts and opportunities of oil palm in Southeast Asia, CIFOR, Occasional Paper No. 51<br />

OECD-FAO (2009), Agricultural Outlook 2009, dapat diakses di: www.agri-outlook.org<br />

OECD (2010), Country Statistical Profiles 2010: Indonesia, tersedia di: http://stats.oecd.org/Index.aspx<br />

<strong>Oil</strong> world (2008), <strong>Oil</strong> World Annual 2010, Hamburg<br />

Manfaat Minyak Sawit bagi Perekonomian Indonesia • 23


Perba et al (2006), Yield Potential of <strong>Oil</strong> <strong>Palm</strong> in Indonesia: A Country report, disampaikan pada International Seminar on<br />

Yield Potential in <strong>Oil</strong> <strong>Palm</strong> II, dapat diakses di: http://isopb.org/?kit=links&menuid=6, diakses September 2010.<br />

Reuters (2010), Wilmar aims to grow sugar business in Indonesia, Brasil, 6 Juli, tersedia di: http://www.reuters.com/article/idUSSGE6650ES20100706<br />

Reuters (2010)b, Q+A-Indonesia issues draft rules on forest clearing, 6 Juli, tersedia di:<br />

http://af.reuters.com/article/energy<strong>Oil</strong>News/idAFJAK26185620100706?pageNumber=2&virtualBrandChannel=0<br />

Reuters (2010)c, Indonesia says it won’t revoke existing forestry licenses, tersedia di:<br />

http://www.alertnet.org/thenews/newsdesk/SGE65109U.htm, diakses September 2010.<br />

Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (2010), Number and Percentage of Poor People, Poverty Line, Poverty Gap Index,<br />

Poverty Severity Index by Province,<br />

http://dds.bps.go.id/eng/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=23&notab=3, diakses September 2010.<br />

Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (2010), Gross Regional Domestic Product at Current Market Prices by Provinces,<br />

http://dds.bps.go.id/eng/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=52&notab=1, diakses September 2010.<br />

Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (2010)b, Gross Domestic Product at Current Market Prices by Industrial Origin,<br />

dapat diakses di: http://dds.bps.go.id/eng/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=<strong>11</strong>&notab=1<br />

Sustainable Development Project (2010), Submission to the World Bank’s Framework for Engagement in the <strong>Palm</strong> <strong>Oil</strong><br />

Sector, dapat diakses di: http://sustainabledev.org/wp-content/uploads/2010/08/100823-SUBMISSION-World-Bank-and-<br />

<strong>Palm</strong>-<strong>Oil</strong>.pdf<br />

Thoenes, P. (2006), Bio-fuels and Commodity Markets – <strong>Palm</strong> <strong>Oil</strong> Focus 1, FAO Commodities and Trade Division, Roma<br />

Perserikatan Bangsa-Bangsa (2010), UN Data a world of Information dapat diakses di: http://data.un.org/, diakses<br />

September 2010<br />

United Nations collaborative program on Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradation in developing<br />

countries (UN-REDD), (2010), dapat diakses di: http://www.un-redd.org/AboutREDD/tabid/582/Default.aspx, diakses<br />

September 2010.<br />

United States Department of Agriculture (2009), Indonesia: <strong>Palm</strong> oil production growth to continue, dapat diakses di:<br />

http://www.pecad.fas.usda.gov/highlights/2009/03/Indonesia/, diakses September 2010.<br />

Wicke, B. et al (2008), Drivers of land use change and the role of palm oil production in Indonesia and Malaysia: Overview<br />

of past developments and future projections, Copernicus Institute, Universiteit Utrecht<br />

Bank Dunia (2010), Agriculture & Rural Development Data, http://data.worldbank.org/topic/agriculture-and-rural-development,<br />

diakses September 2010<br />

Bank Dunia (2010), Country Data: Indonesia, tersedia di: http://data.worldbank.org/country/indonesia, diakses September<br />

2010<br />

World Growth (2009), Conversion: The Immutable Link Between Forestry and Development, Arlington, VA, tersedia di:<br />

http://www.worldgrowth.org/assets/files/<strong>WG</strong>_Forestry_Conversion_<strong>Report</strong>.pdf<br />

24 • Manfaat Minyak Sawit bagi Perekonomian Indonesia


World Growth (2010), Caught Red Handed, dapat diakses di:<br />

http://www.worldgrowth.org/assets/files/<strong>WG</strong>_Green_Paper_Caught_Red_Handed_5_10.pdf<br />

World Growth (2009), <strong>Palm</strong> <strong>Oil</strong> – The Sustainable <strong>Oil</strong>, Arlington, VA, tersedia di:<br />

http://www.worldgrowth.org/assets/files/<strong>Palm</strong>_<strong>Oil</strong>.pdf<br />

World Resources Institute (2010), Degraded Land, Sustainable <strong>Palm</strong> <strong>Oil</strong>, and Indonesia’s Future, dapat diakses di:<br />

http://www.wri.org/stories/2010/07/degraded-land-sustainable-palm-oil-and-indonesias-future, diakses September 2010.<br />

Zen, Z., Barlow, C., dan Gondowarsito, R. (2006), ‘<strong>Oil</strong> palm in <strong>Indonesian</strong> socio-economic improvement: a review of options’,<br />

Industry Economic Journal, Vol. 6, hlm. 18-29<br />

Manfaat Minyak Sawit bagi Perekonomian Indonesia • 25


Lampiran: Produksi Sawit dan Kemiskinan Per Provinsi<br />

Tabel berikut ini mengikhtisarkan statistik produksi kelapa sawit untuk lima provinsi penghasil sawit tertinggi di<br />

Indonesia (Riau, Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Jambi, dan Sumatra Barat) dan lima provinsi penghasil sawit<br />

terendah (Papua Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Lampung, dan Bengkulu).<br />

LAMPIRAN<br />

Tabel 1 Produksi Sawit dan Kemiskinan di Indonesia Per Provinsi, 2007<br />

PDB Regional Pop* % Indeks Petani<br />

Name (triliun rupiah) (juta) Miskin Keparahan Swasta Kecil Pemerintah Total<br />

Riau 210,0 4,45 12,9 0,67 2.131.450 2.054.854 335.245 4.521.549<br />

Sumatra Utara 181,8 12,99 13,63 0,51 1.664.575 1.022.472 1.025.005 3.712.052<br />

Sumatra Selatan 109,9 7,45 18,43 0,83 855.521 759.034 140.346 1.754.901<br />

Jambi 32,1 3,09 7,81 0,32 434.899 709.242 133.531 1.277.672<br />

Sumatra Barat 59,8 4,85 13,01 0,52 548.316 326.580 40.998 915.894<br />

Papua Barat 10,4 0,76 48,84 7,29 15.915 25.366 32.087 73.368<br />

Sulawesi Tenggara 18,0 2,23 25,84 1,52 0 0 10.274 10.274<br />

Sulawesi Tengah 19,3 2,63 24,97 1,6 97.077 8.180 9.173 <strong>11</strong>4.430<br />

Lampung 49,1 7,60 23,7 1,12 149.262 162.590 36.376 348.228<br />

Bengkulu <strong>11</strong>,4 1,71 21,66 0,92 208.923 217.022 8.072 434.017<br />

Indonesia 3.950 237,56 17,35 tidak tersedia 9.263.089 6.358.388 2.174.897 17.796.374<br />

Catatan: * Perhitungan sensus 2010<br />

Sumber: Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (2010) dan Komisi Sawit Indonesia (2008).<br />

26 • Manfaat Minyak Sawit bagi Perekonomian Indonesia


PO Box 3693<br />

Arlington, VA 22203-3693<br />

(866) 467-7200<br />

www.worldgrowth.org

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!