Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Laporan Utama<br />
• Masyarakat Sakai di zaman dahulu.<br />
pur. Selebihnya adalah kawasan Batin<br />
Lima.<br />
Pada peta Lembaga Adat Masyarakat<br />
Sakai Riau (LAMSR) yang diteken<br />
oleh Ketua LAMSR, Muhammad Yatim<br />
Bathin Iyo Banso yang terbingkai di<br />
dinding rumah adat masyarakat Sakai<br />
di Dusun Sebanga Asal Desa Kesumbo<br />
Ampai, Bathin Lima terdiri dari; Bomban<br />
Minas, Bathin Bolutu, Bathin Tongonong,<br />
Bathin Ponaso dan Bathin Beringin.<br />
Lalu Bathin Lapan antara lain; Bathin<br />
Singgo Majo, Bathin Bomban Soi Pauh,<br />
Bathin Sutan Botuah, Bathin Jolelo,<br />
Bathin Bumbung, Bathin Ajongkayo,<br />
Bomban Potani, Bathin Sobanga, Bathin<br />
Botuah dan Bathin Semunai.<br />
“Dulu, Imbang Jayo sebagai Hulu<br />
Balang dan Sutan Janggut menjadi Ketua<br />
Adat. Nah, lantaran Petani menjadi ketua<br />
Bathin Lapan, sudah ada 13 Bomban,<br />
sejak persukuan ini ada. Mulai dari Bomban<br />
Toluk, Buih, Bakung, Kedingkul,<br />
Amuk, Pangautik, Asad, Yasin, Kusam,<br />
Gendil, Dolo, Sahdan dan saya. Bomban<br />
mengurusi pemerintahan sementara<br />
Bathin mengurusi suku,” Musa merinci.<br />
Cerita Musa ini nyaris sama dengan<br />
apa yang diceritakan oleh Bathin Beringin<br />
Sakai, Kitah 63 tahun. Keduanya<br />
sama-sama menceritakan tentang sutan.<br />
Tapi dari cerita Kitah, jumlah sutan justru<br />
bertambah menjadi tiga. Musa tidak<br />
menceritakan keberadaan Sutan Rimbo.<br />
Kalau Musa cerita soal Imbang Jayo,<br />
Kitah hanya menceritakan kalau mereka<br />
berasal dari Kunto Bessalam yang<br />
kemudian membikin perkampungan<br />
di Sialang Rimbun. Tapi akhirnya melarikan<br />
diri ke Suluk Bongkal --- salah<br />
satu dusun di Desa Beringin --- lantaran<br />
mereka tak mau diatur oleh Jepang.<br />
“Waktu itu saya masih kecil,” kenang<br />
ayah tujuh anak ini saat berbincang<br />
dengan <strong>Negeri</strong> <strong>Junjungan</strong> di rumahnya<br />
di Dusun Siang Rimbun akhir bulan lalu.<br />
Lantas Kitah juga cerita kalau jaman<br />
itu warga di Suluk Bongkal hanya berpakaian<br />
kulit pohon torop atau kulit batang<br />
Pudu. “Saat itu hanya ada sekitar 22<br />
kepala keluarga. Semua rumah, rumah<br />
tinggi. Beratap daun berlantai kulit<br />
Kopau. Dinding rumah juga dari kulit<br />
kayu,” katanya.<br />
Namun omongan Kitah ini menjadi<br />
sedikit aneh saat <strong>Negeri</strong> <strong>Junjungan</strong> melongok<br />
sebuah foto di kantor kepala Desa<br />
Petani di kawasan kilometer 10. Di foto<br />
yang disebut-sebut dijepret tahun 1911<br />
itu, Nampak sejumlah masyarakat sudah<br />
menggunakan kain sebagai pakaian,<br />
meski tidak sesempurna sekarang.<br />
“Sakai itu orang terpandang yang<br />
lari dari Pagaruyung dan mencari<br />
penghidupan di sini. Tapi entah kenapa<br />
kemudian menjadi Komunitas Adat<br />
Terpencil (KAT). Menurut saya, ada<br />
unsur politik masuk ke sistem adat sakai.<br />
Makanya kayak begitu. Yang pasti, tak<br />
pernah kami pakai baju kulit kayu. Dulu<br />
kami pakai kain belacu,” bantah Musa.<br />
Yang membikin Musa kian miris,<br />
setelah perusahaan perkebunan dan<br />
perkayuan masuk wilayah Sakai, Sakai<br />
mulai tersisih. “Kami dibikin kayak palito.<br />
Kalau malam dipakai. Kalau siang<br />
disisihkan. Kalau ada kepentingan, Sakai<br />
dikedepankan. Masuknya perkebunan<br />
dan akasia membikin Sakai tertindas.<br />
Malah kita ditempatkan kayak orang<br />
bodoh,” katanya.<br />
• aziz<br />
06 • <strong>Edisi</strong> 02 • <strong>Tahun</strong> I/<strong>2016</strong>