26.04.2013 Views

newsletter bahasa april 10.indd

newsletter bahasa april 10.indd

newsletter bahasa april 10.indd

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Edisi dua<strong>bahasa</strong> - April 2010<br />

ILO Jakarta<br />

SEDIKITNYA terdapat 4 juta dari 58,8 juta anak usia 5-17 tahun di Indonesia yang terpaksa<br />

bekerja. Dari angka tersebut, sedikitnya 1,7 juta adalah pekerja anak. Selanjutnya, sekitar 50 persen<br />

dari anak-anak yang bekerja, mereka sedikitnya bekerja 21 jam per minggu, 25 persen bekerja<br />

12 jam per minggu, sedangkan mereka yang dikategorikan pekerja anak bekerja selama 35,1 jam<br />

per minggu, demikian Survei Pekerja Anak Indonesia 2009 ILO dengan Badan Pusat Statistik (BPS)<br />

Indonesia yang diluncurkan 11 Februari 2010 lalu di Jakarta,<br />

Dalam survei pertama yang dijabarkan dalam buku “Pekerja Anak Indonesia 2009” (Working<br />

Children in Indonesia 2009), juga menemukan sedikitnya 48,1 juta anak bersekolah, sementara 24,3<br />

juta terlibat dalam pekerjaan domestik dan 6,7 juga termasuk golongan “pasif”, tidak bersekolah,<br />

tidak membantu di rumah atau tidak bekerja. Anak-anak yang bekerja kebanyakan masih sekolah,<br />

bekerja tanpa dibayar sebagai anggota keluarga serta terlibat dalam pekerjaan di bidang<br />

pertanian, pelayanan dan manufaktur.<br />

Kali pertama dilakukan, survei ini merupakan sub-sampel dan diintegrasikan ke dalam Survei<br />

Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2009. Diambil dari hasil survei tahun 2008 dari 248<br />

kabupaten, 760 blok sensus dan 12.000 rumah tangga dipilih dengan menggunakan teknik<br />

penetapan sampel yang sama. Survei ini juga membuat kuesioner, manual serta konsep-konsep<br />

dasar yang diadopsi dari rekomendasi Program Internasional ILO untuk Penghapusan Pekerjaan<br />

untuk Anak (ILO-IPEC).<br />

Edisi Khusus<br />

Pekerja Rumah<br />

Tangga Indonesia<br />

“Mengakui<br />

PRT sebagai<br />

PEKERJAAN”<br />

Indonesia Luncurkan<br />

Survei Pekerja Anak<br />

Istilah “pekerja anak” yang digunakan dalam survei mencakup semua anak yang<br />

bekerja di usia 5-12 tahun, dengan tidak melihat jam kerja mereka, pekerja anak<br />

usia 13-14 tahun yang bekerja lebih dari 15 jam per minggu, serta pekerja anak usia<br />

15-17 tahun yang bekerja lebih dari 40 jam seminggu.<br />

Arizal Ahnaf, Wakil Kepala Statistik Bidang Sosial, mengatakan, survei tidak hanya<br />

menyajikan data jumlah anak-anak yang bekerja, tetapi juga data lain mengenai<br />

kelompok anak-anak usia 5-17 tahun. Data itu itu antara lain jumlah anak-anak<br />

yang bekerja dan dapat dikategorikan sebagai pekerja anak, jumlah anak usia<br />

5-17 yang dapat dikategorikan pasif (tidak bersekolah ataupun bekerja), serta<br />

karakter sosio-ekonomi dari anak-anak yang bekerja dan orangtuanya.


liputanutama<br />

2<br />

Komitmen BPS ini sejalan<br />

dengan mandat tahap kedua<br />

Rencana Aksi Nasional tentang<br />

Penghapusan Bentuk-bentuk<br />

Pekerjaan Terburuk untuk<br />

Anak 2008-2012. Program<br />

ini mewajibkan pemerintah<br />

Indonesia membuat program<br />

berdasarkan pengumpulan data<br />

dan pemetaan secara berkala<br />

tentang bentuk-bentuk pekerjaan<br />

terburuk hingga Indonesia benarbenar<br />

terbebas dari pekerja anak<br />

pada tahun 2022.<br />

Sementara itu, Pejabat<br />

Sementara ILO Jakarta, Peter<br />

van Rooij mengatakan, data<br />

mengenai pekerja anak seperti<br />

ini sangat penting untuk<br />

menentukan pengambilan<br />

keputusan dan pembuatan<br />

program untuk memerangi<br />

pekerja anak di Indonesia.<br />

“Survei ini sangat penting sebagai acuan<br />

dalam mengukur secara objektif kemajuan<br />

penghapusan pekerja anak di Indonesia.<br />

Langkah ini juga mampu memberi kontribusi<br />

bagi analisis tren pekerja anak di tingkat<br />

global,“ dia menambahkan.<br />

Menanggapi temuan survei, Hari Hikmat,<br />

Direktur Layanan Sosial Anak, Kementerian<br />

Sosial, mengatakan, “Meskipun tidak mencakup<br />

Anak Usia 5-17 Berdasarkan Jenis Kegiatan dan Jenis Kelamin (000)<br />

Agustus 2009<br />

Jenis Kegiatan Laki-laki Perempuan Total<br />

Anak dalam kegiatan ekonomi<br />

Anak-anak yang bekerja<br />

Mencari kerja<br />

Anak di luar kegiatan ekonomi<br />

Total<br />

Yang bekerja saja<br />

Yang bekerja dan sekolah<br />

Yang bekerja dan bekerja di rumah<br />

Yang bekerja, sekolah dan bekerja di rumah<br />

Sekolah saja<br />

Sekolah dan merawat rumah<br />

Merawat rumah saja<br />

Pasif (sisa)<br />

Anak yang bekerja<br />

A. Standar (standar Sakernas)<br />

B. Dipertajam*<br />

C. Diperluas **<br />

2,612.6<br />

2,391.3<br />

221.4<br />

27,517.7<br />

30,130.3<br />

585.0<br />

1,147.4<br />

1,433.1<br />

774.3<br />

16,159.9<br />

7,941.4<br />

651.6<br />

3,760.5<br />

2,391.3<br />

2,496.5<br />

3,237.8<br />

1,915.8<br />

1,661.5<br />

254.2<br />

26,791.1<br />

28,706.9<br />

101.6<br />

988.1<br />

1,423.6<br />

851.8<br />

10,491.5<br />

13,014.8<br />

1,417.6<br />

2,973.2<br />

1,661.5<br />

1,788.2<br />

2,432.3<br />

*) A Termasuk anak-anak yang tidak bekerja (sesuai standar Sakernas) tetapi melakukan kegiatan ekonomi.<br />

**) B Termasuk anak-anak yang tidak bekerja maupun melakukan kegiatan ekonomi, tetapi melakukan kegiatankegiatan<br />

dengan nilai ekonomi nyata di rumah.<br />

Survei ini menunjukkan komitmen BPS<br />

terhadap penghapusan pekerja anak,<br />

terutama bentuk-bentuk terburuknya. Meski<br />

hanya berupa estimasi, survei mampu menunjukkan<br />

angka-angka yang hampir sama dengan angka-angka<br />

sebenarnya dan kami yakin survei seperti ini harus<br />

dilanjutkan<br />

Arizal Ahnaf,<br />

Wakil Kepala BPS bidang Masalah Sosial<br />

4,528.4<br />

4,052.8<br />

475.6<br />

54,308.9<br />

58,837.2<br />

686.6<br />

2,135.5<br />

2,856.8<br />

1,626.1<br />

26,651.4<br />

20,956.2<br />

2,069.2<br />

6,733.7<br />

4,052.8<br />

4,284.8<br />

5,670.2<br />

anak-anak yang tidak tercatat, hasil survei<br />

dapat digunakan sebagai acuan dan<br />

basis yang baik bagi pengembangan<br />

lebih lanjut dari program pemerintah,<br />

terutama di Kementerian Sosial,” kata<br />

Hari. Sependapat dengan Hari, Tianggur<br />

Sinaga, pejabat senior Kementerian<br />

Tenaga Kerja dan Transmigrasi,<br />

menegaskan survei dapat digunakan<br />

sebagai acuan utama bagi komite-komite<br />

di semua tingkatan dalam melaksanakan<br />

program aksi memerangi pekerja anak<br />

dalam bentuk-bentuk terburuknya.<br />

“Selain dapat digunakan untuk mendesain<br />

ulang berbagai kebijakan, terutama bagi<br />

anak-anak yang masih sekolah tetapi<br />

bekerja setiap minggunya, hasil survei juga<br />

bisa menguatkan komitmen pemangku<br />

kepentingan yang relevan di tingkat<br />

provinsi serta kabupaten/kota untuk secara<br />

progresif menghapus dan mencegah<br />

pekerja anak dengan menggunakan<br />

alokasi dana mereka sendiri,” kata Arum<br />

Ratnawati, Kepala Penasihat Teknis<br />

Program Pekerja Anak ILO.


DENGAN pertumbuhan lebih<br />

dari empat persen di banding tahun<br />

lalu, juga angka pengangguran yang<br />

menurun secara bertahap, prospek<br />

Indonesia terlihat lebih baik.<br />

Namun begitu, tetap ada sejumlah<br />

tantangan yang memerlukan<br />

perhatian dan dukungan. Ekonomi<br />

informal, misalnya, walau telah<br />

meredam dampak krisis yang<br />

berawal dari krisis keuangan,<br />

tapi kemudian meluas ke krisis<br />

ekonomi riil dan berdampak pada<br />

masyarakat. Pekerjaan yang layak<br />

pun mengalami kemunduran.<br />

Karena itu, ILO memilih Indonesia<br />

sebagai negara yang harus didukung<br />

dalam menghadapi dampak krisis<br />

melalui Pakta Lapangan Kerja Global<br />

(Global Jobs Pact). Melalui Pakta ini,<br />

kami akan melanjutkan program kerja dengan para konstituen:<br />

Pemerintah Indonesia, organisasi pekerja, dan Asosiasi<br />

Pengusaha Indonesia (Apindo). Dalam berbagai bidang,<br />

program ini tentu bisa memberi kontribusi dalam mewujudkan,<br />

menguatkan dan mempertahankan pekerjaan yang layak.<br />

Pemerintah Indonesia baru saja mengeluarkan Rencana<br />

Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) untuk periode<br />

2010-2014. Dokumen ini menegaskan pentingnya berbagai<br />

dimensi dari pekerjaan yang layak, seperti pekerjaan bagi kaum<br />

daftar<br />

isi ...<br />

Liputan Utama 1<br />

Dari Kami 3<br />

Pekerja Anak 6<br />

Hak-hak dalam Bekerja 8<br />

Ketenagakerjaan 11<br />

Perlindungan Soaial 18<br />

Wawancara 22<br />

Pojok Karyawan 23<br />

Buku 15<br />

Indonesia di ILO.<br />

Redaksi<br />

muda. Dari sini, kami akan mendukung<br />

pembangunan selanjutnya, termasuk<br />

dalam perumusan Program Nasional<br />

Pekerjaan Layak bagi Indonesia (2011-<br />

2015), di samping kebutuhan serta<br />

prioritas para pekerja dan pengusaha.<br />

Tahun ini beberapa peraturan<br />

ketenagakerjaan penting sedang<br />

dibahas oleh Pemerintah Indonesia,<br />

termasuk tentang pekerja rumah<br />

tangga dan jaminan sosial. Kini,<br />

kami tengah menantikan sejumlah<br />

perkembangan atas peraturan<br />

ketenagakerjaan ini. Kemungkinan<br />

diterbitkannya undang-undang<br />

tentang pekerja rumah tangga ini<br />

bertepatan dengan penyusunan<br />

standar perburuhan internasional<br />

tentang pekerja rumah tangga, Juni<br />

ini di Jenewa. Konferensi Perburuhan<br />

Internasional ILO ini tentunya dapat<br />

mendukung pekerja rumah tangga,<br />

termasuk di Indonesia. Bulan Juni nanti<br />

juga menandai 60 tahun keanggotaan<br />

Akhir kata, kami menyampaikan terima kasih kepada Alan<br />

Boulton yang telah menyelesaikan tugasnya sebagai Direktur<br />

ILO Jakarta. Dia bekerja secara luar biasa selama delapan<br />

tahun terakhir. Di bawah manajemennya yang sangat baik,<br />

ILO dapat melakukan jauh lebih banyak dan lebih baik dalam<br />

mencapai pekerjaan yang layak di Indonesia. Tak lupa kami<br />

mendoakan yang terbaik untuk Alan yang sekarang bermukim<br />

di Australia. <br />

Pimpinan P Redaksi: Peter van Rooij<br />

Editor E Eksekutif: Gita Lingga<br />

Koordinator K<br />

Editorial: Gita Lingga<br />

Sirkulasi: S Budi Setiawati<br />

Kontributor: K<br />

Abdul Hakim, Albert Y. Bonasahat,<br />

Arum A Ratnawati, Dede Shinta Sudono, Dyah<br />

R. R Sudarto, Emma Allen, Gita Lingga, Januar<br />

Rustandie, R Kazutoshi Chatani, Lotte Kejser, Lucky<br />

Ferdinand, F Matthieu Cognac, M. Bey Sonata,<br />

Muce M Mochtar, Patrick Daru, Tauvik Muhamad,<br />

Tendy T Gunawan and Vanda Day<br />

Desain D & Produksi: Balegraph<br />

Warta ILO Jakarta<br />

Gedung Menara Thamrin<br />

Jl. M. H. Thamrin Kav 3, Jakarta 10250, Indonesia<br />

Telp. (62-21) 391-3112, Faks (62-21) 310-0766<br />

Email: Jakarta@ilo.org, Website: www.ilo.org/<br />

jakarta<br />

Warta ILO Jakarta merupakan terbitan ILO<br />

dalam dua <strong>bahasa</strong> yang bertujuan memberitakan<br />

kegiatan-kegiatan pokok ILO Jakarta di Indonesia.<br />

Warta ini akan dipublikasikan tiga kali dalam<br />

setahun serta dapat diakses secara online. Opiniopini<br />

yang tercantum di dalam publikasi ini tidak<br />

mencerminkan pandangan dari ILO.<br />

3


liputankhusus<br />

4<br />

Indonesia Mengacu pada<br />

Pakta Lapangan Kerja<br />

untuk Atasi Krisis Ekonomi<br />

KRISIS keuangan dan lapangan kerja global terjadi pada<br />

2007 di sektor keuangan Amerika Serikat. Dengan semakin<br />

memburuknya krisis, banyak perusahaan, terutama di sektor<br />

ekspor, harus tutup dan akibatnya jutaan pekerja kehilangan<br />

pekerjaan dan meningkatkan jumlah pekerja yang harus<br />

mencari pekerjaan di ekonomi informal dan/atau mendapatkan<br />

penghasilan dari berbagai bentuk pekerjaan yang serabutan<br />

dan rentan.<br />

Krisis ini meruntuhkan pertumbuhan ekonomi dan sosial yang<br />

ada. Kendati tetap optimis, dunia menghadapi kemungkinan<br />

menajamnya pengangguran, kemiskinan dan ketidaksetaraan.<br />

Berdasarkan pengalaman sebelumnya, diperkirakan pemulihan<br />

lapangan kerja akan tertinggal beberapa tahun dari pemulihan<br />

ekonomi.<br />

Untuk mengatasi dampak sosial dan ketenagakerjaan dari krisis<br />

keuangan dan ekonomi ini, perwakilan pemerintah, pekerja<br />

dan pengusaha secara penuh mengadopsi Pakta Lapangan<br />

Kerja Global (Global Jobs Pact) pada Konferensi Perburuhan<br />

Internasional 2009 di Jenewa. “Langkah mendesak diperlukan<br />

saat ini untuk mendorong pemulihan ekonomi dan penciptaan<br />

lapangan kerja seraya menyiapkan ekonomi global yang ramah<br />

lingkungan, seimbang, adil dan berkelanjutan,” demikian<br />

Direktur Jenderal ILO Juan Somavia. “Pakta ini memberikan<br />

panduan yang dirancang bersama semua anggota ILO dan<br />

berdasarkan kebijakan yang telah menjalani uji coba.<br />

Pakta ini menawarkan respons kebijakan yang sudah<br />

diujicobakan dan menempatkan ketenagakerjaan dan<br />

perlindungan sosial sebagai fokus dari respons terhadap<br />

krisis dan pemulihan. Kendati Pakta memberikan prinsipprinsip<br />

panduan dan saran-saran kebijakan untuk para negara<br />

anggotanya dalam menyikapi dampak ekonomi dan sosial<br />

dari krisis, perangkat kebijakan yang diadopsi masing-masing<br />

negara harus sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masingmasing<br />

negara.<br />

Kepala-kepala negara G20, Sidang Umum PBB, Badan Program<br />

Pembangunan PBB (UNDP) dan banyak organisasi serta<br />

lembaga lainnya telah menyuarakan dukungan mereka.<br />

Menindaklanjuti permintaan dari Pemerintah Indonesia untuk<br />

membahas pelaksanaan Pakta ini, perwakilan tripartit yang<br />

terdiri dari Pemerintah Indonesia, organisasi pengusaha dan<br />

pekerja bertemu pada 18 Februari lalu di Jakarta. Mereka<br />

menegaskan bahwa krisis global keuangan dan ekonomi<br />

telah mempengaruhi kondisi pekerja dan perusahaan di<br />

Indonesia. Mereka pun mengakui keterkaitan Pakta ini terhadap<br />

Indonesia, menyadari adanya pengakuan internasional dan<br />

kerangka kebijakan terpadu dalam melindungi masyarakat dan<br />

mendukung pemulihan lapangan kerja.<br />

Yang lebih penting lagi, mereka pun menganggap pentingnya<br />

mengadaptasi Pakta ini sejalan dengan kebutuhan-kebutuhan<br />

khusus Indonesia, termasuk strategi dan aksi terpadunya untuk:<br />

Mempromosikan pengembangan keterampilan dan<br />

sertifi kasi;<br />

Menciptakan lingkungan yang mendukung perusahaan<br />

dan mendorong kewirausahaan;<br />

Memaksimalkan dampak ketenagakerjaan terhadap<br />

investasi infrastruktur dan program investasi pemerintah<br />

lainnya;<br />

Memperluas perlindungan sosial bagi pekerja yang<br />

belum terlindungi, khususnya mereka yang berada di<br />

ekonomi informal;<br />

Memperkuat kapasitas pemerintah serta organisasi<br />

pengusaha dan pekerja untuk terlibat dalam dialog sosial<br />

dan pengembangan kebijakan; dan<br />

Meningkatkan perencanaan dan koordinasi kebijakan,<br />

berdasarkan sistem pengawasan dan evalusi yang kokoh.<br />

Dengan mengembangkan versi nasional dari Pakta ini,<br />

Indonesia akan mengambil langkah-langkah kongkret dalam<br />

mengatasi krisis dan membangun masa depan yang lebih baik.<br />

Pakta Lapangan Kerja Indonesia yang berhasil akan membawa<br />

dampak positif terhadap kehidupan masyarakat dan menjadi<br />

contoh bagi negara-negara lain yang akan melakukan hal sama.<br />

Dengan dukungan dari ILO, perwakilan Indonesia akan bekerja<br />

sama untuk menciptakan dan menerapkan Pakta ini sebagai<br />

upaya untuk membangun jalan ke arah pemulihan lapangan<br />

kerja dan pemulihan lainnya. Sebagai tindak lanjut dari<br />

pertemuan pertama pada Februari, para konstituen tripartit<br />

akan membentuk panitia pelaksana dan mulai merancang<br />

langkah-langkah yang akan mewujudkan Pakta Lapangan Kerja<br />

Indonesia.


Pakta Lapangan<br />

KerjaGlobal<br />

DIHADAPKAN dengan kemungkinan<br />

menajamnya pengangguran, kemiskinan dan<br />

ketidaksetaraan global dan runtuhnya<br />

perusahaan-perusahaan, ILO mengadopsi<br />

Pakta Lapangan Kerja Global (Global Jobs<br />

Pact) yang dirancang untuk memandu<br />

kebijakan nasional dan internasional<br />

pada upaya mendorong pemulihan<br />

ekonomi, penciptaan lapangan kerja dan<br />

memberikan perlindungan kepada para<br />

pekerja dan keluarga mereka.<br />

Pakta ini menawarkan berbagai respons<br />

terhadap krisis yang dapat diadaptasi di<br />

tingkat negara sesuai dengan kebutuhan<br />

dan kondisi masing-masing negara.<br />

Ini bukan merupakan sebuah solusi<br />

untuk semua, tapi merupakan pilihanpilihan<br />

berdasarkan contoh-contoh<br />

keberhasilan, yang juga dirancang untuk<br />

menginformasikan dan mendukung aksi<br />

di tingkat multilateral. Pakta ini terdiri dari<br />

kebijakan terpadu di empat bidang:<br />

Mempercepat penciptaan kerja,<br />

pemulihan kerja dan mempertahankan<br />

usaha.<br />

Membangun sistem perlindungan sosial dan<br />

melindungi masyarakat.<br />

Memperkuat pengakuan terhadap standar-standar<br />

ketenagakerjaan internasional.<br />

Dialog sosial: perundingan bersama, penentuan<br />

prioritas, penetapan aksi.<br />

Ketimbang hanya terlibat dalam upaya perbaikan, Pakta<br />

ini mendorong perubahan transformasional dengan<br />

mempromosikan sektor keuangan dan perdagangan<br />

yang efi sien dan teregulasi baik, ekonomi yang ramah<br />

lingkungan, dialog sosial dan tripartisme, standar<br />

ketenagakerjaan yang lebih baik, serta upaya baru<br />

yang menempatkan penciptaan lapangan kerja dan<br />

perlindungan sosial sebagai tujuan kunci kebijakan<br />

ekonomi dan sosial. Pakta pun mendorong prakarsa<br />

pembangunan positif seperti usaha dan pekerjaan<br />

yang ramah lingkungan, kualitas layanan Publik dan<br />

meningkatnya peluang pendidikan.<br />

Pakta pun menyerukan pemerintah, pekerja dan<br />

pengusaha dari masing-masing negara untuk bersamasama<br />

mengembangkan rencana aksi yang mendalam<br />

yang dapat menjangkau tujuan-tujuan yang lebih luas<br />

dari penciptaan lapangan kerja dan perlindungan<br />

masyarakat dengan tujuan jangka panjang meningkatkan<br />

prinsip-prinsip mendasar dari kerangka kerja masyarakat<br />

global. Dengan mengadopsi Pakta ini, para konstituen<br />

ILO berkomitmen untuk menciptakan dunia yang<br />

berbeda dan lebih baik di mana kemajuan globalisasi<br />

dan ekonomi saling terpadu dan terkait dengan<br />

keberlanjutan, keadilan sosial dan hak asasi manusia. <br />

Mengkaji<br />

Tren dan Pola<br />

Perekonomian Informal Indonesia<br />

MENURUT Badan Pusat Statistik 2009, 68 persen orang<br />

Indonesia bekerja di sektor perekonomian informal: sebuah<br />

sektor perekonomian yang memberikan upah rendah, pekerjaan<br />

yang berbahaya dan jaminan sosial yang tidak terlindungi. Untuk<br />

menghadapi masalah ini, Departemen Kebijakan Ketenagakerjaan<br />

(EMP/Policy) ILO Jenewa dan Kantor ILO Jakarta melakukan studi<br />

mengenai tren, isu, pola dan kebijakan sektor perekonomian informal.<br />

Studi dilakukan oleh Prof. Suahasil Nazara dari Universitas Indonesia<br />

dan Dr. Satish Misra dari Strategic Asia.<br />

Studi ini menemukan, sektor perekonomian di Indonesia merupakan<br />

fenomena pedesaan dan perkotaan dengan perbedaan yang sangat<br />

besar antara satu daerah dengan daerah lain. Sektor perekonomian<br />

informal meningkat sejak setelah krisis fi nansial 1998, sehingga<br />

menghentikan transformasi ekonomi dari pertanian ke industrialisasi di<br />

Indonesia.<br />

Dari sudut pandang perumusan kebijakan, studi juga mengindikasikan<br />

pemerintah tidak memfokuskan kebijakan pada sektor perekonomian<br />

informal. Perumusan kebijakan tahun 2008 dan 2009 kerap didorong<br />

oleh upaya-upaya pemulihan dari krisis.<br />

Untuk menyelesaikan studi tersebut, ILO menyelenggarakan<br />

pertemuan teknis di Jakarta, 29 Desember 2009 silam. Pertemuan ini<br />

dihadiri oleh akademisi, perwakilan organisasi pekerja dan pengusaha,<br />

serta pengurus organisasi non pemerintah. Mereka mengulas<br />

kembali pola, masalah dan tren sektor perekonomian informal serta<br />

memberikan pilihan kebijakan untuk mengatasinya. Pertemuan ini<br />

merekomendasikan untuk mendefi nisikan ulang sektor ekonomi<br />

informal dari sudut pandang statistik, agar bisa memperhitungkan<br />

jenis pekerjaan bersamaan dengan status ketenagakerjaan.<br />

Tauvik Muhamad, staf program ILO, mengatakan, penetapan<br />

defi nisi standar sektor perekonomian informal di Indonesia bisa<br />

dilakukan dengan belajar dari berbagai kasus internasional, termasuk<br />

memberikan pemahaman yang sama mengenai proses pembuatan<br />

keputusan, memfasilitasi identifi kasi dan perumusan pilihan-pilihan<br />

kebijakan untuk mendukung pekerjaan yang layak.<br />

“Memahami faktor-faktor pendorong di balik pola dan tren sektor<br />

perekonomian informal Indonesia, serta mengetahui apakah itu<br />

merupakan fenomena yang permanen atau bersifat transisional,<br />

merupakan kunci bagi perumusan kebijakan-kebijakan yang secara<br />

efektif dapat mengatasi masalah pengurangan kemiskinan melalui<br />

formalisasi sektor perekonomian informal,” Tauvik menyimpulkan. <br />

5<br />

cuplikan


pekerjaanak<br />

6<br />

Hapuskan<br />

PEKERJA RUMAH TANGGA ANAK<br />

Pekerja rumah tangga anak acapkali harus melakukan pekerjaan<br />

berbahaya dalam kondisi eksploitatif. Banyak hak-hak mendasar<br />

anak diabaikan, tidak mendapat pendidikan dan memperoleh<br />

bentuk-bentuk pengembangan diri lainnya. Kebanyakan dari<br />

mereka bekerja dengan jam kerja yang panjang (lebih dari 15<br />

jam per hari) tujuh hari seminggu, menerima upah rendah atau<br />

tanpa upah sama sekali. Mereka pun tidak memunyai waktu<br />

untuk bermain, bersosialisasi atau mempelajari keterampilanketerampilan<br />

baru.<br />

Pekerja rumah tangga anak—kebanyakan perempuan—yang<br />

berusia di bawah 15 tahun, berada dalam situasi di mana<br />

mereka harus melakukan pekerjaan rumah tangga di rumah<br />

pihak ketiga atau pemberi kerja. Sebagian besar dari mereka<br />

sering kali sangat tereksploitasi dan terlecehkan. Mereka hidup<br />

dan bekerja di balik bayang-bayang masyarakat, tersembunyi<br />

di balik pintu rumah pemberi kerja, terisolasi dari keluarga dan<br />

teman sebayanya, serta dari pengawasan hukum pemerintah<br />

yang sangat lemah.<br />

Adanya “penerimaan” yang melingkupi berbagai kejadian<br />

buruk ini, umumnya didasari anggapan sebagai alternatif<br />

yang lebih baik bagi anak-anak dari keluarga miskin dengan<br />

pendidikan dan keterampilan yang tidak memadai. Satu<br />

dari jutaan anak yang harus menghadapi buruknya kondisi<br />

pekerjaan rumah tangga adalah Kaminah, 14 tahun. Ia,<br />

misalnya, menjalani jam kerja panjang karena harus bangun<br />

sebelum jam 04.00 dini hari dan terus bekerja tanpa henti<br />

hingga jam 01.00 tengah malam. Dia pun harus mengerjakan<br />

beragam pekerjaan, mulai dari membersihkan rumah,<br />

memasak, mencuci pakaian dan menjaga anak, dengan<br />

makanan dan istirahat yang tidak memadai. madai. Setelah bekerja<br />

selama sembilan bulan, ia bahkan tidak mendapatkan gaji.<br />

Untuk memastikan agar program penarikan dan pencegahan<br />

pekerja rumah tangga anak bisa efektif, di tahun 2009 dan<br />

awal 2010, ILO melalui Program Internasional Penghapusan<br />

Pekerjaan untuk Anak (IPEC), bekerja sama dengan pemerintah<br />

daerah melakukan serangkaian lokakarya untuk meningkatkan<br />

peranan para pemangku kebijakan di enam kabupaten/<br />

kotamadya: Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bekasi,<br />

Kabupaten Jember, Kotamadya Bandung, Kotamadya Malang<br />

dan Kotamadya Surabaya. Kota dan kabupaten<br />

tersebut selama ini merupakan daerah perkotaan<br />

dan sub-perkotaan yang menjadi area tempat<br />

tinggal keluarga kelas menengah yang banyak<br />

mempekerjakan pekerja rumah tangga anak.<br />

Rangkaian lokakarya ini merupakan bagian dari<br />

upaya ILO-IPEC memberikan pengakuan dan<br />

pengetahuan yang lebih baik tentang hakhak<br />

anak. Rangkaian lokakarya ini bertujuan<br />

meningkatkan kesadaran para pemangku<br />

kepentingan lokal mengenai masalah pekerja<br />

rumah tangga anak di Indonesia serta<br />

memperkuat komitmen pemerintah lokal untuk<br />

menghapus dan mencegah pekerja rumah tangga<br />

anak di wilayahnya.<br />

Setiap lokakarya disimpulkan dengan penyusunan<br />

strategi dan rekomendasi bagi berbagai masalah<br />

dan tantangan yang dihadapi masing-masing<br />

kotamadya/kabupaten, peran para pemangku<br />

kepentingan serta tindak lanjut yang akan<br />

dilakukan untuk menarik dan mencegah anakanak<br />

menjadi pekerja rumah tangga anak.<br />

Beberapa rekomendasi itu, antara lain<br />

membentuk komite yang terdiri dari berbagai<br />

pemangku kepentingan yang relevan untuk memastikan<br />

pelaksanaan program penarikan dan pencegahan; perumusan<br />

rencana kerja lokal mengenai penghapusan bentuk-bentuk<br />

pekerjaan terburuk untuk anak, termasuk pekerja rumah tangga<br />

anak; aktivitas peningkatan kesadaran; serta penyusunan<br />

peraturan daerah tentang pekerja rumah tangga anak. <br />

Hak-hak anak harus dilindungi.<br />

Perhatian terhadap pekerja rumah<br />

tangga anak merupakan suatu hal<br />

yang vital. Mereka sering terabaikan<br />

karena eksploitasi dan pelecehan terjadi di<br />

balik pintu tertutup<br />

Arum Ratnawati,<br />

Kepala Penasihat Teknis Program Pekerja Anak ILO


pekerjaanak<br />

Meraih Mimpi<br />

lewat Sanggar Belajar<br />

BELASAN anak memadati sebuah<br />

rumah kecil di Kampung Tugu Utara, Jakarta<br />

Utara. Penuh antusias mereka menyaksikan<br />

fi lm Meraih Mimpi. Mata mereka lekat di<br />

layar, menikmati setiap adegan fi lm yang<br />

menceritakan tentang kepercayaan diri dalam<br />

meraih mimpi. Selesai menonton fi lm, anakanak<br />

tersebut berkumpul untuk membicarakan<br />

mimpi mereka, termasuk bagaimana cara<br />

menggapai mimpi tersebut.<br />

Kegiatan istimewa ini diselenggarakan oleh<br />

Sanggar Belajar Anak-anak yang dikelola<br />

Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCAB). Sanggar<br />

ini memang disediakan untuk anak-anak kurang<br />

mampu di wilayah itu. “Pemutaran fi lm-fi lm<br />

pendidikan untuk anak-anak merupakan salah<br />

satu program reguler kami untuk menarik<br />

minat anak dan orangtuanya agar datang<br />

ke pusat pendidikan ini,” ungkap Stevens<br />

Onsoe, Manajer Program YCAB. Sanggar juga<br />

memunyai beberapa program pendidikan lain<br />

untuk membantu anak-anak mengisi waktu<br />

luang mereka dengan kegiatan-kegiatan pendidikan dan<br />

hiburan, ketimbang harus menghabiskan waktunya di jalan.<br />

Selain Meraih Mimpi, juga diputar beberapa fi lm inspiratif lain<br />

seperti Laskar Pelangi dan Garuda di Dadaku.<br />

YCAB adalah lembaga nirlaba independen yang didirikan<br />

Agustus 1999. Tiga pilar strategis yayasan ini adalah gaya hidup<br />

sehat (pencegahan penggunaan narkoba dan pendidikan<br />

bagi anak-anak di sekolah); rumah belajar (tempat belajar<br />

bagi anak jalanan dan putus sekolah); dan pembangunan<br />

masyarakat. Dengan dukungan ILO melalui Program<br />

Internasional Penghapusan Pekerja Anak (IPEC), Sanggar Tugu<br />

Utara mulai beroperasi Maret 2009 dan telah memberikan<br />

beberapa layanan terkait pendidikan seperti program remedial,<br />

pendidikan keterampilan, dan memberikan fasilitas bagi<br />

kegiatan kreatif dan seni.<br />

“Pada dasarnya kami mencoba memindahkan tempat<br />

bermain mereka dari jalanan ke lembaga ini, agar lebih mudah<br />

diawasi. Anak-anak yang tidak muncul dalam beberapa hari<br />

akan dikunjungi oleh petugas lapangan kami di sekolah dan<br />

rumah mereka. Kami juga melakukan pertemuan reguler<br />

dengan orangtua, untuk memberitahu perkembangan yang<br />

dicapai oleh anak-anak serta meningkatkan kesadaran mereka<br />

mengenai berbagai isu anak, seperti hak-hak anak, perburuhan<br />

anak, dan sebagainya,” jelas Stevens.<br />

Hingga saat ini, Sanggar telah menjangkau lebih dari 150 anak.<br />

Umumnya mereka berasal dari keluarga yang sedang mengikuti<br />

Program Keluarga Harapan (PKH). Melalui program ini,<br />

pemerintah memberikan sejumlah uang kepada keluarga yang<br />

sangat miskin agar bisa mencapai kondisi tertentu, termasuk<br />

menjaga anak-anak tetap bersekolah (formal atau non-formal)<br />

atau mengirim anak-anak putus sekolah kembali ke sekolah.<br />

Asih Susanti, 16 tahun, mengikuti program remedial di Sanggar<br />

ini pada Oktober 2009. Ia baru saja lulus Sekolah Menengah<br />

Pertama pada Januari 2010. “Saya keluar dari sekolah<br />

sebelumnya karena tidak menyukainya. Saya bersyukur Sanggar<br />

ini menemukan saya sehingga saya bisa melanjutkan sekolah<br />

dan mendapat ijazah SMP. Saya tidak pernah berpikir saya<br />

bisa,” katanya dengan riang.<br />

ILO-IPEC juga mendukung sanggar belajar serupa di<br />

Kampung Lagoa, Kecamatan Koja, yang dikelola oleh<br />

Yayasan Sekolah Rakyat Indonesia (YSRI). Untuk menjangkau<br />

keluarga-keluarga yang mengikuti PKH, ILO-IPEC membantu<br />

Pusat Pengembangan Sumber Daya Wanita (PPSW) untuk<br />

memberdayakan keluarga secara ekonomis melalui koperasi<br />

simpan pinjam serta meningkatkan pemahaman mereka untuk<br />

menjadi orangtua yang baik. Selain itu, ILO-IPEC mendukung<br />

upaya-upaya pemberian layanan pendidikan kepada hampir<br />

5.000 anak dari keluarga-keluarga yang mengikuti Program<br />

PKH di Jawa Barat (Sukabumi, Cianjur dan Kabupaten Bandung<br />

Barat) serta Jawa Timur (Kabupaten Jember). <br />

Pada dasarnya kami mencoba<br />

memindahkan tempat bermain<br />

mereka dari jalanan ke lembaga<br />

ini, agar lebih mudah diawasi. Anakanak<br />

yang tidak muncul dalam beberapa<br />

hari akan dikunjungi oleh petugas<br />

lapangan kami di sekolah dan rumah<br />

mereka Stevens Onsoe,<br />

Manajer Program YCAB<br />

7


hak-hak dalam bekerja<br />

8<br />

Hentikan Derita<br />

Buruh Migran<br />

“Mereka menyiram saya dengan air panas, saya merasakan seluruh kulit seperti<br />

terbakar. Saya tak bisa berbuat apa-apa, yang bisa saya lakukan hanya berteriak. Saya<br />

merasakan sakit yang tidak tertahankan, rasanya sakit sekali.” Suara parau itu terhenti<br />

sejenak. Dengan tercekat, Sumasri, nama perempuan itu, berusaha melanjutkan<br />

kisahnya saat disiksa oleh bekas majikannya di Malaysia<br />

SUMASRI, pekerja migran perempuan dari Blitar, Jawa<br />

Timur, itu adalah satu dari tiga pekerja migran asal Indonesia<br />

yang memberikan testimoni pengalaman disiksa sang majikan<br />

di hadapan pejabat Pemerintah Indonesia dan Malaysia.<br />

Testimoni itu dilaksanakan sebagai bagian dari acara dialog<br />

publik “Refl eksi Hari Pekerja Migran Internasional 2009”, 17<br />

Desember 2009 lalu, di Jakarta.<br />

Dibuka Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Indonesia,<br />

Muhaimin Iskandar, dialog diselenggarakan bersamaan dengan<br />

peringatan Hari Pekerja Migran Internasional 2009. Dialog<br />

tersebut diselenggarakan Migrant Care dengan dukungan<br />

ILO melalui Proyek Memerangi Kerja Paksa dan Perdagangan<br />

terhadap Pekerja Migran Indonesia. Didanai oleh Pemerintah<br />

Norwegia, proyek ini bertujuan memberikan perlindungan yang<br />

lebih baik bagi pekerja migran Indonesia.<br />

Beberapa tahun terakhir ini kisah tentang penyiksaan pekerja<br />

migran Indonesia memang kian sering terdengar. Dalam<br />

berbagai kisah tragis ini, sayangnya, seringkali para pelakunya<br />

tidak dihukum atau keluarga pekerja migran yang mengalami<br />

penyiksaan tidak memperoleh kompensasi. Sebagai akibatnya,<br />

pada 2009, Pemerintah Indonesia pun menunda perjanjian<br />

bilateral dengan Pemerintah Malaysia.<br />

melalui Perjanjian Bilateral<br />

dan Konvensi Internasional<br />

Menyikapi berbagai kasus itu, dialog difokuskan untuk<br />

memperkuat perlindungan dan hak-hak pekerja rumah<br />

tangga migran Indonesia di negeri jiran. Dialog yang juga<br />

menyoroti langkah pemerintah kedua negara dalam memenuhi<br />

kewajibannya itu menghadirkan Y. Bhg Dato’ Ismail Bin Hj.<br />

Abdul Rahim (Direktur Jenderal Departemen Tenaga Kerja<br />

Peninsula Malaysia, Menteri Sumber Daya Manusia Malaysia),<br />

Malik Harahap<br />

(Sekretaris<br />

Direktorat<br />

Jenderal<br />

Pengembangan<br />

dan Penempatan<br />

Pekerja<br />

Indonesia,<br />

Kementerian<br />

Tenaga Kerja<br />

dan Transmigrasi<br />

Indonesia), dan<br />

Da’i Bachtiar<br />

(Duta Besar<br />

Indonesia untuk<br />

Malaysia).<br />

Dalam diskusi,<br />

perwakilan<br />

pemerintah<br />

Indonesia dan<br />

Malaysia samasama<br />

mengakui<br />

masalah<br />

yang mereka<br />

hadapi dan<br />

menyatakan<br />

berkomitmen untuk memperbaiki kondisi ini. Mereka juga<br />

merujuk perjanjian bilateral kedua negara tentang penempatan<br />

pekerja migran Indonesia di Malaysia dengan jaminan<br />

perlindungan yang lebih baik.<br />

Alex Ong dari Migrant Care di Malaysia meminta pemerintah<br />

kedua negara untuk memastikan perjanjian tersebut memuat<br />

semua kekurangan dalam perlindungan pekerja rumah<br />

tangga migran, sesuai dengan standar-standar internasional<br />

tentang hak asasi manusia dan standar-standar ILO tentang<br />

hak-hak mendasar pekerja. Sementara, Lotte Kejser, Kepala<br />

Penasihat Teknis ILO tentang Pekerja Migran, menekankan<br />

perlunya pemerintah kedua negara untuk meratifi kasi konvensi<br />

internasional mengenai pekerja migran.


Dialog ini juga mengulas rencana amandemen Undang-<br />

Undang Nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan<br />

Perlindungan Pekerja Migran, dengan menghadirkan Nursuhud<br />

(anggota Komisi IX DPR RI), Bernard Nababan (Migrant Care<br />

Indonesia), Yulian Nur (Ketua Konsorsium Asuransi Indonesia),<br />

dan Abdullah Syakir (Deputi Pelatihan dan Pemberdayaan<br />

Asosiasi Penyalur Tenaga Kerja Indonesia). Mereka berulang kali<br />

menekankan perlunya memperkuat perlindungan bagi pekerja<br />

migran melalui amandemen undang-undang tersebut—yang<br />

selama ini lebih banyak mengatur administrasi penempatan<br />

ketimbang perlindungan dan pelayanan bagi pekerja migran<br />

Indonesia.<br />

Mempromosikan Hak-hak<br />

Pekerja Migran Indonesia<br />

Sebagai rangkaian dari peringatan Hari Pekerja Migran<br />

Internasional, ILO melalui Proyek Memerangi Kerja Paksa<br />

dan Perdagangan terhadap Pekerja Migran Indonesia,<br />

juga mendukung Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI)<br />

menggelar dialog interaktif radio di tiga kota (Medan,<br />

Surabaya dan Semarang) pada 21 Desember 2009. Dialog<br />

interaktif ini disiarkan secara langsung oleh jaringan Radio<br />

SmartFM.<br />

Merespons makin banyaknya<br />

kasus eksploitasi pekerja migran<br />

yang terjadi pada tahap-tahap<br />

awal siklus migrasi dari komunitas<br />

pengirim, dialog diarahkan untuk<br />

mendiskusikan perlindungan serta<br />

layanan yang diperlukan pada<br />

tingkat lokal. Dari diskusi tersebut<br />

disimpulkan, ada kebutuhan<br />

mendesak bagi pemerintah daerah<br />

serta para pemangku kepentingan<br />

lain untuk menyebarkan informasi<br />

dan memberikan layanan serta<br />

bantuan bagi para pekerja migran<br />

dan keluarganya, termasuk layanan<br />

keuangan, pinjaman mikro serta<br />

pelatihan.<br />

Sebagai negara pengirim dan<br />

penerima utama, Indonesia<br />

dan Malaysia perlu meratifi kasi<br />

konvensi-konvensi internasional<br />

tentang pekerja migran untuk memastikan<br />

pemenuhan hak-hak mendasar pekerja<br />

dan perlindungan bagi semua kelompok<br />

pekerja migran, termasuk pekerja migran<br />

rumah tangga<br />

Lotte Kejser,<br />

Kepala Penasihat Teknis Program Pekerja Migran ILO<br />

Dialog diakhiri dengan malam refl eksi untuk menghormati<br />

para pekerja migran Indonesia yang menjadi korban<br />

penyiksaan dan kekerasan saat berusaha meraih mimpi<br />

untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Dengan<br />

menampilkan foto-foto korban dan penyalaan lilin dalam<br />

ruangan, para pekerja migran yang selamat dari penyiksaan<br />

juga keluarga para pekerja migran yang meninggal atau<br />

hilang menyampaikan keprihatinan mereka. Effendy Ghozali,<br />

pakar komunikasi politik dari Universitas Indonesia memimpin<br />

jalannya refl eksi tersebut. <br />

Disimpulkan pula, harus ada upaya yang lebih besar dan<br />

konsisten dari pemerintah daerah untuk mengalokasikan<br />

anggaran guna mendukung kegiatan-kegiatan tersebut serta<br />

mendorong akuntabilitas pemerintah dalam melaksanakan<br />

program-program ini. <br />

9<br />

hak-hak dalam bekerja


hak-hak dalam childlabour bekerja<br />

Seperti hampir kebanyakan sebayanya di Subang, Jawa Barat,<br />

Cassina memunyai keinginan kuat untuk bisa membawa<br />

keluarganya keluar dari kemiskinan. Pernikahan pada 1996<br />

silam, tak membuat kehidupannya membaik. Penghasilan<br />

suaminya sebagai pengendara ojek tidak cukup untuk<br />

memenuhi kebutuhan sehari-hari, juga membayar uang sekolah<br />

bulanan anak laki-lakinya. Mendengar cerita sukses temanteman<br />

sekampungnya yang bekerja di Malaysia dan Timur<br />

Tengah, ia pun bertekad untuk bekerja di Abu Dhabi.<br />

10<br />

Terperangkap<br />

Kisah Cassina<br />

Dibantu perantara pencari kerja, Cassina direkrut oleh<br />

perusahaan penyalur PT Delta Rona Adiguna. Agen penyalur<br />

mengharuskannya membayar Rp 3 juta tanpa memberikan<br />

pelatihan apa pun hingga Cassina berangkat ke Abu Dhabi<br />

pada akhir Januari 2007. Ia masuk ke Abu Dhabi dengan visa<br />

turis dan tinggal selama hampir dua bulan di asrama milik sang<br />

agen, sebelum akhirnya bekerja sebagai pekerja rumah tangga<br />

di sebuah keluarga besar dengan upah US$ 200 per bulan.<br />

Bekerja selama sebulan, Cassina merasa tidak cocok dengan<br />

kesembilan anggota keluarga majikannya. Mereka berlaku<br />

buruk dan mempekerjakannya lebih dari 12 jam sehari. “Itu<br />

merupakan perbudakan ketimbang pekerjaan. Ketika majikan<br />

menolak pengunduran diri saya, saya melarikan diri dan pergi<br />

ke agen saya untuk mencari pekerjaan lain. Agen sangat marah<br />

dan menahan saya dalam sebuah ruangan tertutup tanpa<br />

makanan selama dua hari,” ujarnya. Tragisnya, upah Cassina<br />

bekerja selama dua bulan pun tidak dibayarkan.<br />

Setelah akhirnya sang agen sepakat untuk mencarikan<br />

pekerjaan di kota lain, ia diterbangkan bersama beberapa<br />

pekerja migran lain dari Banglades, Filipina dan Indonesia, ke<br />

negara yang dirahasiakan. “Saya beberapa kali menanyakan<br />

tujuan kami, tapi saya hanya diberitahu bahwa kami akan<br />

segera tiba di negara yang akan membayar kami lebih baik,”<br />

tuturnya.<br />

Setelah mendarat di sebuah bandara di Kurdistan Irak,<br />

provinsi paling utara Irak, Cassina dan para pekerja migran lain<br />

ditempatkan dalam sebuah asrama. Di situ mereka bertemu<br />

dengan pekerja migran lain dari Indonesia yang juga sedang<br />

menunggu untuk ditempatkan.<br />

Di awal bulan kedua tinggal di asrama itu, ia dikirim ke sebuah<br />

keluarga besar Irak dengan janji akan mendapatkan upah US$<br />

200 per bulan.<br />

dalam Perang Irak<br />

Setelah bekerja selama tiga bbulan,<br />

ia mengatakan kepada<br />

majikannya ingin berhenti kar karena tidak tahan bekerja lebih<br />

dari 15 jam per hari. Mengetahui hal itu, sang agen mendesak<br />

Cassina tetap menjalani kontrak kerjanya. Ia pun dibawa<br />

kembali ke asrama.<br />

Suatu malam, teman sekerjanya, Elli, mengajak melarikan<br />

diri. Mereka pergi ke kantor sebuah organisasi internasional<br />

untuk meminta bantuan. Pegawai di sana mengatakan mereka<br />

tidak bisa membantu tanpa paspor dan visa kerja. Apalagi,<br />

dokumen-dokumen itu dipegang oleh agen.<br />

Mereka terpaksa tinggal di sebuah pertokoan yang sudah<br />

tutup selama beberapa malam sampai akhirnya ditemukan<br />

kembali oleh pegawai agen dan dibawa kembali ke asrama.<br />

“Saat itu, kesehatan kami memburuk. Saya hampir tidak<br />

bisa bicara karena infeksi paru-paru, sementari Elli terkena<br />

komplikasi dari operasi kanker payudara yang dilakukan<br />

sebelumnya,” ujarnya.<br />

Tanpa peduli terhadap<br />

masalah kesehatan<br />

keduanya, pegawai<br />

agen tersebut memukuli<br />

keduanya sebagai<br />

ganjaran karena telah<br />

melarikan diri.<br />

Mendapat perlakuan<br />

buruk seperti itu selama<br />

seminggu di asrama,<br />

Cassina tidak punya<br />

pilihan lain kecuali harus<br />

menerima bekerja dengan<br />

majikan baru, seorang<br />

pejabat Irak, Husein Jabari,<br />

yang berjanji akan membayar US$ 200 sebulan. Suatu hari,<br />

ia mendapat kesempatan menghubungi Kementerian Luar<br />

Negeri di Jakarta untuk meminta bantuan. Tapi salah satu<br />

pejabat tinggi kementerian malah memintanya berusaha<br />

melarikan diri sendiri. Pejabat tersebut mengatakan,<br />

Kementerian Luar Negeri tidak bisa berbuat banyak di wilayah<br />

perang.<br />

Untunglah, Cassina berhasil menghubungi Kedutaan<br />

Indonesia di Amman, Yordan, melalui sambungan telepon.<br />

Pegawai kedutaan berjanji akan membantu dan memintanya<br />

untuk tetap tenang. Dengan bantuan Kedutaan Indonesia di<br />

Yordan dan Migrant Care di Jakarta, yang mempekerjakan<br />

seorang sukarelawan bernama Usman di Kurdistan Irak,<br />

ia menempuh perjalanan dari Irak ke Yordan, dan dari<br />

sana ia terbang kembali ke Jakarta. Setibanya di Bandara<br />

Internasional Soekarno-Hatta, ia dibawa ke Rumah Sakit<br />

Umum Kepolisian di Jakarta Timur untuk menjalani perawatan<br />

trauma perut dan psikologis.<br />

“Saya masih menjalani terapi rutin di rumah sakit,” ujarnya.<br />

Ia pun berjanji tidak akan pernah lagi bekerja di luar negeri.<br />

Ibunya meninggal tahun 2004 ketika ia masih bekerja di luar<br />

negeri, dan ayahnya meninggal 40 hari sebelum ia kembali.<br />

“Saya mau tinggal di sini untuk mengurus anak, dan sekarang<br />

saya sedang menanti kelahiran anak kedua,” katanya.


Mempertahankan Usaha<br />

yang Kompetitif dan Bertanggung Jawab<br />

MENGIKUTI model Program Peningkatan Pabrik (Factory<br />

Improvement Programme/FIP) yang sukses di Sri Lanka dan<br />

Vietnam, ILO memprakarsai pembentukan Keberlanjutan<br />

melalui Usaha yang Kompetitif dan Bertanggungjawab<br />

(Sustainability through Competitive and Responsible<br />

Enterprises/SCORE) di Indonesia. Program FIP dibentuk ILO<br />

tahun 2002 untuk mengatasi masalah hubungan kerja, kondisi<br />

kerja dan peningkatan daya saing. Program ini diawali dari<br />

pabrik-pabrik sektor garmen di Sri Lanka<br />

dan dikembangkan di Vietnam, dengan<br />

menggunakan pendekatan multisektor<br />

yang mencakup sektor otomotif,<br />

percetakan, pakaian, alas kaki, elektronik<br />

dan perlengkapan medis.<br />

Di Indonesia, setelah melakukan<br />

serangkaian konsultasi dengan para<br />

pemangku kepentingan terkait, proyek<br />

SCORE mencakup sektor otomotif. Didanai<br />

Sekretariat Negara Urusan Ekonomi Swiss<br />

(Swiss State Secretariat for Economic<br />

Affairs/SECO), proyek ini dimulai sejak 2009<br />

selama tiga tahun, hingga 2012, dengan<br />

mencakup wilayah Jakarta dan sekitarnya.<br />

“ILO bekerja sama dengan badan-badan<br />

nasional dan internasional lain untuk<br />

melaksanakan berbagai aktivitas pengembangan kapasitas<br />

tentang produktivitas dan manajemen lingkungan,” jelas Januar<br />

Rustandie, Manajer Proyek SCORE di Indonesia.<br />

Sejumlah proyek akan dilaksanakan melalui mitra-mitra utama,<br />

yakni Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Yayasan<br />

Dharma Bhakti Astra (YDBA). Sebelum peluncuran proyek pada<br />

April 2010, pertemuan pengenalan dilaksanakan di YDBA pada<br />

28 Januari lalu. Tujuannya untuk menyosialisasikan modulmodul<br />

dan program SCORE serta mendapatkan komitmen dari<br />

para pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) yang memasok<br />

produknya ke jaringan grup Astra.<br />

“Berdasarkan hasil pertemuan awal, dari 15 UKM yang<br />

berpartisipasi, 11 telah mendaftarkan diri dan menyatakan<br />

komitmennya untuk bergabung dan berpartisipasi dalam<br />

program-program pelatihan SCORE yang akan diadakan<br />

pada bulan Maret. Hal ini juga sejalan dengan penerima<br />

manfaat utama proyek ini, yaitu para pekerja dan pengusaha<br />

di perusahaan kecil dan menengah manufaktur suku cadang<br />

otomotif yang memiliki 50-200 karyawan,” ucap Januar.<br />

Program-program pelatihan SCORE terdiri dari lokakarya<br />

dua hari dengan para pakar SCORE, dan tiga kunjungan<br />

lapangan ke masing-masing perusahaan peserta dalam satu<br />

modul pelatihan. Lima modul pelatihan mencakup isu-isu<br />

yang berkaitan dengan kerja sama di tempat kerja, kualitas,<br />

produktivitas dan produksi yang lebih bersih, manajemen<br />

sumber daya manusia, keselamatan dan kesehatan, serta<br />

hubungan di tempat kerja.<br />

“Banyak UKM di negara-negara berkembang mengalami<br />

kesulitan untuk tetap beroperasi akibat dari krisis keuangan<br />

global, kompetisi pasar yang ketat, dan akibatnya, kualitas kerja<br />

mereka jadi dikompromikan. Harus diakui juga, sebagian besar<br />

lapangan kerja bagi laki-laki dan perempuan terdapat di UKM.<br />

Kunci dari pembangunan ekonomi berkesinambungan yang<br />

bisa menurunkan secara efektif angka kemiskinan juga terdapat<br />

pada UKM yang kompetitif dan bertumbuh,” ungkap Januar,<br />

menjelaskan tentang pentingnya UKM.<br />

Karena itu, Januar menambahkan, tujuan utama program<br />

ini adalah mempromosikan praktik-praktik baik di tempat<br />

kerja bagi UKM guna meningkatkan produktivitas serta<br />

meningkatkan kesadaran dan pemahaman pekerja dan<br />

pengusaha mengenai hubungan yang erat antara daya saing<br />

dan praktik kerja yang bertanggungjawab.<br />

Seperti diperlihatkan hasil penelitian belum lama ini, inovasi<br />

dalam organisasi kerja, pembelajaran berkesinambungan di<br />

tempat kerja, hubungan karyawan-manajemen yang baik, dan<br />

penghormatan hak-hak pekerja merupakan langkah penting<br />

bagi peningkatan produktivitas sambil mempromosikan<br />

pekerjaan yang layak. <br />

Dengan kesadaran dan<br />

pemahaman yang lebih baik<br />

tentang produktivitas, daya<br />

saing dan praktik tempat kerja<br />

yang bertanggungjawab, diharapkan<br />

UKM dapat meningkatkan pertumbuhan<br />

bisnisnya sehingga mampu meningkatkan<br />

kualitas dan produktivitas, budaya<br />

usaha yang mendorong kerja sama<br />

karyawan-manajemen yang harmonis,<br />

dan manajemen tempat kerja yang bisa<br />

memperkecil kecelakaan kerja dan izin<br />

sakit<br />

Januar Rustandie,<br />

Manajer Proyek SCORE di Indonesia<br />

11<br />

ketenagakerjaan


ketenagakerjaan<br />

12<br />

Mengembangkan Kewirausahaan Perempuan<br />

di Pegunungan Papua<br />

MESKI merupakan daerah terkaya di Indonesia,<br />

perekonomian Papua termasuk yang terburuk—dengan 41,8<br />

persen dari masyarakatnya hidup di bawah garis kemiskinan.<br />

Indeks Pembangunan Sumber Daya Manusia Papua juga paling<br />

rendah. Dengan populasi 2,3 juta orang, Papua tertinggal<br />

dari provinsi lain dalam indikator kemiskinan non-penghasilan<br />

terkait Tujuan Pembangunan Milenium (MDG) dengan<br />

kesetaraan jender yang sangat rendah.<br />

Untuk mengurangi kemiskinan di Papua, ILO bekerja sama<br />

dengan UNDP melalui Program Pengembangan Sentra<br />

Masyarakat (Community Centre Development Programme/<br />

CcDP), mengembangkan program Pengembangan<br />

Keterampilan Kewirausahaan atau (Entrepreneurship Skills<br />

Development/ESD). Fokus program ini adalah memberi<br />

perhatian khusus pada perempuan di tiga kabupaten:<br />

Jayawijaya, Lani Jaya dan Yahukimo di Pegunungan Papua,<br />

salah satu kabupaten termiskin di Papua. Proyek ini bertujuan<br />

memfasilitasi berbagai kegiatan pengembangan keterampilan<br />

kewirausahaan masyarakat, khususnya perempuan asli Papua.<br />

Proyek yang dimulai Januari 2009 ini akan berakhir pada<br />

September 2010. Untuk mencapai sasaran proyek, tiga strategi<br />

Kenapa perempuan? Perempuan<br />

sangat produktif. Mereka adalah<br />

inti dari mata pencaharian<br />

ekonomi keluarga di pegunungan<br />

Papua<br />

Tauvik Muhamad,<br />

Staf ILO Jakarta<br />

te ttelah la ditetapkan. Strategi<br />

pert pertama difokuskan pada<br />

pen peningkatan kesadaran tentang<br />

pote potensi sumber daya alam dan<br />

usah usaha di wilayah tersebut. Strategi<br />

ked kedua mencakup peningkatan<br />

kete keterampilan kewirausahaan<br />

bag bagi anggota masyarakat mitra,<br />

khus khususnya perempuan, dan ketiga<br />

mem membangun kapasitas wirausaha<br />

mik mikro dan kecil agar mampu<br />

men mengelola usaha secara efektif,<br />

men meningkatkan pendapatan dan<br />

pelu peluang kerja.<br />

Di ta tahun pertama proyek ini,<br />

mel melalui tiga pelatihan untuk<br />

pela pelatih dan 21 pelatihan lokakarya<br />

wira wirausaha, 625 pelaku wirausaha<br />

tela telah dilatih keterampilan<br />

dasa dasar kewirausahaan dengan<br />

men menggunakan prinsip-prinsip<br />

pak paket pelatihan ILO–Gender<br />

dan<br />

Kewirausahaan (Gender<br />

and Entrepreneurship Together/GET Ahead). Modul GET<br />

Ahead tidak hanya difokuskan pada administrasi, keuangan<br />

dan pemasaran, tapi juga peluang bagi perempuan untuk<br />

menyampaikan pendapat, sehingga memberikan mereka ruang<br />

untuk bersuara.<br />

Proyek ini juga telah membuat pencapaian-pencapaian penting<br />

dalam mengatasi tantangan dan ketidaksetaraan jender yang<br />

terjadi di Pegunungan Tengah. Jumlah penerima manfaat pun<br />

melebihi rencana semula, 250 pelaku wirausaha. Pelatihan ini<br />

berhasil memenuhi target khusus jender karena 70 persen dari<br />

peserta (437 orang) adalah perempuan dan 137 orang berhasil<br />

dilatih menjadi pelatih. Secara keseluruhan, kebanyakan<br />

peserta lokakarya kewirausahaan merasakan dampak positif dan<br />

mendapatkan pengetahuan tentang bagaimana menjalankan<br />

usaha, khususnya di bidang keuangan dan administrasi.<br />

Agar efektif, proyek<br />

menggunakan berbagai<br />

media strategis seperti<br />

program radio interaktif<br />

yang disiarkan setiap<br />

Selasa pagi selama dua<br />

bulan, pengiriman 2-5<br />

pesan harian tentang<br />

peran pelaku wirausaha<br />

perempuan serta drama<br />

radio mingguan, yang<br />

disiarkan hingga akhir<br />

November 2009.<br />

“Agar bisa dilaksanakan<br />

secara berkelanjutan,<br />

proyek ini memberikan


pelatihan kewirausahaan praktis dengan penekanan pada<br />

pemasaran dan pendampingan, baik bagi pelaku wirausaha<br />

baru maupun lembaga swadaya mayarakat terkait seperti<br />

Yasumat dan Ekonomus yang berperan sebagai pemberi<br />

layanan pengembangan usaha,” jelas Tauvik. Untuk menilai<br />

keberhasilan program, evaluator independen dilibatkan<br />

untuk menilai apakah proyek ini relevan dengan kebutuhan<br />

dan kepentingan masyarakat, serta sesuai dengan prioritas<br />

kerja pemerintah.<br />

Di samping itu, proyek memfasilitasi cara berhubungan<br />

dengan lembaga-lembaga keuangan mikro. Hal ini tentunya<br />

membantu para penerima manfaat, termasuk perempuan,<br />

gereja, pejabat pemerintah dan relawan dalam memahami<br />

proses dan langkah yang diperlukan. Hasilnya, aplikasi dari<br />

sekitar 18 perempuan yang telah dilatih disetujui oleh Bank<br />

Papua cabang Wamena.<br />

Menurut Christian Sohilait, Kepala Badan Perencanaan<br />

Pembangunan Lani Jaya, banyak perubahan yang telah<br />

berhasil dicapai. “Sekarang setiap orang di daerah ini<br />

mendengar bagaimana kaum perempuan bisa memintal wol<br />

dengan mesin. Sebelumnya, perempuan di Pegunungan<br />

Papua hidup dalam masyarakat patriarkis yang lama tidak<br />

diberdayakan. Mereka hanya boleh menjalankan peran<br />

rumah tangga dan tidak bisa mengembangkan keterampilan<br />

lain,” terang Christian.<br />

Perkembangan itu kian nyata. Di Jayawijaya, misalnya,<br />

semakin banyak perempuan terlibat dalam kegiatan usaha<br />

berupah. Perubahan-perubahan ini, seperti dijelaskan<br />

Wmpi Wetipo, Bupati Jayawijaya, berawal sejak masyarakat<br />

menyadari bahwa mereka harus mengubah pola pikir untuk<br />

menggapai kehidupan yang lebih baik.<br />

Hal ini juga diungkapkan Serlina Wenda, pengusaha<br />

penggilingan kopi. “Program ILO tidak hanya memberikan<br />

saya pengetahuan, tapi juga kesempatan untuk<br />

mengembangkan usaha dengan memfasilitasi perolehan<br />

pinjaman,” ungkapnya. Ketika bergabung dengan program<br />

ILO-ESD pada 2009, Serlina adalah pelaku wirausaha yang<br />

sudah mapan dan telah menjalankan usahanya selama lebih<br />

dari satu dekade. Tetapi ia yakin, ia harus memperbarui<br />

dan mengembangkan pengetahuannya. Setelah mengikuti<br />

pelatihan ILO-ESD, ia merasa pelatihan tersebut telah<br />

memperkaya dan menyegarkan pikirannya.<br />

Pengetahuan yang diperoleh pun mampu meningkatkan<br />

keterampilan manajemen<br />

keuangannya secara<br />

signifi kan. Sebagai pelaku<br />

wirausaha berpengalaman,<br />

pelatihan ini sangat sesuai<br />

dengan kebutuhannya dalam<br />

meningkatkan administrasi<br />

dan mendapatkan akses<br />

permodalan. “Saya bersyukur<br />

atas bantuan ini. Ini benarbenar<br />

nyata,” ungkapnya. Ia lalu<br />

mengutip pepatah tua daerah<br />

itu: nyeki awa loh halok,<br />

nyape awalok hat yang artinya<br />

jika tangan tidak melakukan<br />

apa-apa, mulut pun tidak<br />

mengunyah. <br />

Dokumenter<br />

tentang Masyarakat Adat<br />

ILO Jakarta melalui proyek Pemberdayaan Masyarakat<br />

Adat Papua (Papuan Indigenous Peoples Empowerment/<br />

PIPE) dan Pengembangan Keterampilan Kewirausahaan<br />

(Entrepreneurship Skills Development/ESD) di Papua,<br />

meluncurkan tiga fi lm dokumenter mengenai pemberdayaan<br />

masyarakat adat di Papua. Ketiga fi lm itu adalah:<br />

Membuka Potensi Masyarakat<br />

Adat Papua. Film ini<br />

menggambarkan potensi masyarakat<br />

adat Papua dalam memberikan<br />

kontribusi bagi pembangunan untuk<br />

mengurangi kemiskinan melalui<br />

penciptaan lapangan kerja dan<br />

penghasilan berkesinambungan,<br />

mendorong kesetaraan serta<br />

meningkatkan mekanisme<br />

perdamaian dan pembangunan<br />

melalui pembangunan partisipatif<br />

berbasis masyarakat.<br />

Permata Tersembunyi dari<br />

Lembah Baliem. Film dokumenter<br />

ini menggambarkan keberhasilan<br />

perempuan Wamena, Papua yang<br />

secara aktif memberikan kontribusi<br />

bagi kehidupan perekonomian<br />

masyarakatnya. Film juga<br />

menceritakan tentang kegiatankegiatan<br />

pengembangan kapasitas<br />

yang dijalankan melalui program ini<br />

mampu meningkatkan keterampilan<br />

kewirausahaan anggota masyarakat<br />

mitra, terutama perempuan, dalam<br />

mengelola usaha mereka secara efektif dan menciptakan lebih<br />

banyak peluang kerja.<br />

GET Ahead. Merupakan panduan<br />

modul pelatihan GET Ahead<br />

(Gender and Entrepreneurship<br />

Together) yang telah diadaptasi<br />

sesuai dengan konteks dan budaya<br />

lokal Papua. Modul memfokuskan<br />

pada kesetaraan jender dan<br />

pengelolaan usaha, perempuan dan<br />

pembangunan jejaring, pemasaran,<br />

produk, layanan serta manajemen<br />

teknologi dan keuangan. Modul<br />

bahan pembelajaran yang sangat<br />

mudah digunakan ini mengulas<br />

tentang keterampilan kewirausahaan praktis dengan<br />

penekanan khusus pada pemasaran dan pendampingan.<br />

Modul juga memperlihatkan kesulitan dalam menilai instruktur<br />

berpengalaman. <br />

13<br />

ketenagakerjaan


ketenagakerjaan<br />

employment<br />

14<br />

Pengakuan atas Hak<br />

Masyarakat Hukum Adat di Indonesia<br />

JUMLAH masyarakat adat di dunia terdiri lebih<br />

dari 5.000 kelompok masyarakat dengan populasi lebih<br />

dari 370 juta jiwa, yang tersebar di 70 negara, termasuk<br />

Indonesia. Dengan 1.072 kelompok suku, termasuk 11<br />

kelompok dengan populasi lebih dari satu juta jiwa,<br />

Indonesia dinilai sebagai negara dengan budaya paling<br />

beragam di dunia.<br />

Di Indonesia, meskipun hak-hak masyarakat adat diakui<br />

dalam Undang-Undang Dasar 1945, namun tidak ada<br />

undang-undang yang secara umum melindungi hakhak<br />

mereka. Karena itu, untuk menjamin keberadaan<br />

masyarakat adat, ILO bekerja sama dengan Komisi<br />

Nasional Hak Asasi<br />

Manusia dan Sekretariat<br />

Nasional Masyarakat Adat<br />

menyelenggarakan lokakarya<br />

nasional pada 28 Oktober<br />

2009.<br />

Lokakarya ini digelar<br />

bertepatan dengan perayaan<br />

81 tahun Sumpah Pemuda,<br />

yang menegaskan pentingnya<br />

satu negara, satu bangsa dan satu <strong>bahasa</strong> nasional, serta<br />

pentingnya prinsip-prinsip universalitas dan keberagaman,<br />

termasuk pengakuan keberadaan masyarakat adat.<br />

Lokakarya dibuka oleh Irman Gusman, Ketua Dewan Perwakilan<br />

Daerah (DPD) dan Alan Boulton, yang saat itu menjabat<br />

Direktur ILO di Indonesia, serta dihadiri oleh Duta Besar<br />

Peru—negara yang terkenal dengan masyarakat adatnya dan<br />

telah meratifi kasi Konvensi ILO No. 169 Tahun 1989 mengenai<br />

Masyarakat Adat.<br />

Alan menegaskan, ILO telah lama memberikan perhatian<br />

terhadap kondisi masyarakat adat. “Mempromosikan<br />

standar-standar internasional terkait merupakan prioritas<br />

dari upaya Organisasi ini untuk meningkatkan kondisi<br />

kehidupan dan pekerjaan masyarakat adat. Pengalaman<br />

memperlihatkan bahwa bentuk pekerjaan tradisional dan<br />

kearifan lokal masyarakat adat bisa menjadi bagian dari<br />

strategi pembangunan yang didasarkan pada partisipasi dan<br />

kebersamaan,” kata dia.<br />

Lokakarya ini bertujuan membangun kesadaran tentang<br />

pentingnya melindungi hak-hak masyarakat adat dan<br />

memaparkan praktik-praktik terbaik rancangan undang-undang<br />

tentang Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat.<br />

Lokakarya yang terbagi dalam tiga panel ini menghadirkan<br />

para pakar internasional masyarakat adat seperti Dr. Saafroedin<br />

Bahar, Sekretariat Nasional Masyarakat Adat Indonesia, Coen<br />

Compier, staf ahli ILO, Dr. Enny Soeprapto, pakar hukum<br />

Internasional, dan Mahir Takaka, Sekretaris Jenderal Aliansi<br />

Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).<br />

Lokakarya juga membahas strategi efektif bagi pelaksanaan<br />

rancangan undang-undang tentang Perlindungan Hak-hak<br />

Masyarakat Adat. Isu lainnya adalah tantangan dan manfaat<br />

dari pengakuan yang lebih besar terhadap hak-hak masyarakat<br />

adat bagi pembangunan Indonesia, defi nisi masyarakat adat,<br />

harmonisasi hukum dan peraturan dengan rancangan undangundang,<br />

serta perlunya membuat rancangan peraturan yang<br />

mengakui hukum tradisional dan melindungi masyarakat hukum<br />

adat.<br />

Tauvik Muhamad, staf program ILO, mengatakan, ILO telah<br />

bersentuhan dengan masyarakat adat sejak tahun 1920.<br />

“Konvensi ILO No. 169 melindungi hak-hak masyarakat adat<br />

atas tanah, pekerjaan, pelatihan, jaminan sosial, pendidikan dan<br />

kerja sama lintas perbatasan antar masyarakat adat,“ kata dia.<br />

Ia menambahkan, Konvensi ini juga telah dibahas pada<br />

lokakarya tingkat nasional yang diselenggarakan ILO dan<br />

Mahkamah Konstitusi pada 2007. “ILO berencana untuk terus<br />

melakukan upaya untuk meningkatan kesadaran pegawai<br />

negeri dan pemangku kepentingan lain di tingkat nasional<br />

serta membuat program peningkatan kapasitas di tingkat lokal<br />

maupun regional,” ujarnya. <br />

Masyarakat adat memunyai budaya, cara<br />

hidup, tradisi dan hukum adat sendiri.<br />

Tercatat dalam sejarah, kurangnya<br />

penghargaan terhadap berbagai budaya<br />

masyarakat adat telah menimbulkan<br />

banyak kasus konfl ik sosial di seluruh<br />

dunia. Saat ini, mayoritas masyarakat adat<br />

di seluruh dunia hanya bisa bekerja di<br />

sektor informal


Tren T Ketenagakerjaan dan Sosial di Indonesia 2009:<br />

Pasar Kerja Hadapi Pemulihan yang Panjang<br />

kendati Terjadi Pertumbuhan Ekonomi<br />

ILO IL meluncurkan dan menerbitkan<br />

lap laporan terbarunya berjudul Tren<br />

Ke Ketenagakerjaan dan Sosial di Indonesia<br />

20 2009: Pemulihan dan langkah-langkah<br />

se selanjutnya melalui pekerjaan yang layak<br />

pa pada 17 November, di Jakarta. Laporan<br />

menengaskan bahwa pekerjaan yang layak dan produktif harus<br />

ditempatkan sebagai inti dari kebijakan ekonomi dan sosial<br />

guna mengurangi dampak negatif dari pemulihan pasar tenaga<br />

kerja dari krisis keuangan global.<br />

Laporan ini pun menegaskan bahwa krisis keuangan global<br />

berdampak paling parah kepada Indonesia melalui turunnya<br />

ekspor, yang berakibat pada meluasnya pemutusan kerja pada<br />

pekerja kontrak, musiman, dan sementara pada industri-industri<br />

berorientasi ekspor yang memang menjadi industri yang paling<br />

terkena imbasnya. Pembatasan ketersediaan kredit untuk<br />

usaha kecil menengah (UKM) pun menghambat percepatan<br />

pemulihan ekonomi dan penyerapan kerja.<br />

Kendati tingkat pengangguran menurun 8,1 persen pada<br />

Februari 2009, dampak krisis memanifestasi dirinya dalam<br />

bentuk kualitas kerja. Sementara itu penciptaan lapangan kerja<br />

formal mandek, sedangkan lapangan kerja informal meningkat<br />

tajam. Tingkat pekerjaan informal meningkat dari 61,3 persen<br />

pada Agustus 2008 menjadi 67,9 persen pada Februari 2009.<br />

Laporan pun mencatat bahwa resesi global memperlihatkan<br />

tanda-tanda awal pemulihan. Namun, konsekuensinya pada<br />

pasar tenaga kerja Indonesia mungkin berlarut-larut; menyusul<br />

krisis keuangan Asia 1997-98, diperlukan beberapa tahun<br />

untuk indikator-indikator seperti pengangguran, produktivitas,<br />

kemiskinan dan jumlah pekerja dalam pekerjaan yang bersifat<br />

rentan kembali ke posisi semula pada masa sebelum krisis.<br />

“Menggairahkan kembali sektor UKM dan meningkatkan iklim<br />

investasi merupakan kunci untuk mempercepat pemulihan<br />

dan dan penciptaan lapangan kerja,” kata Kazutoshi Chatani,<br />

Buku<br />

Memperluas Cakupan Jaminan Sosial bagi<br />

Pekerja Sektor Perekonomian Informal: Langkah<br />

ke Depan<br />

ISBN: 978-92-2-823422-0 (print)<br />

Laporan ini mengkaji perkembangan<br />

jaminan sosial di Indonesia selama<br />

beberapa tahun ini, termasuk prakarsa<br />

terbaru dari pemerintah dan organisasi<br />

terkait lainnya mengenai para pekerja<br />

ekonomi informal. Laporan ini<br />

menampilkan berbagai rekomendasi<br />

atas langkah-langkah yang dapat diambil<br />

untuk memperluas cakupan jaminan sosial<br />

kepada ekonomi informal.<br />

Ekonom dari ILO di Indonesia yang juga menjadi salah satu<br />

penyusun laporan ini.<br />

Laporan ini menganalisis melampaui krisis dan mengkaji<br />

bagaimana pondasi dari pembangunan yang kaya pekerjaan<br />

dapat diperkokoh. Laporan pun menyoroti diantaranya<br />

kebutuhan akan dasar perlindungan sosial yang juga<br />

mencakup perbaikan akses terhadap peluang kerja, perawatan<br />

kesehatan dasar, perlindungan dan pendidikan untuk anak,<br />

serta bantuan sosial bagi kaum miskin. Laporan menyarankan<br />

agar pendidikan dan pelatihan memainkan peran penting<br />

dalam mempersiapkan angkatan kerja agar secara efektif<br />

dapat menyesuaikan dengan perubahan struktural, perubahan<br />

teknologi dan rancangan ekonomi yang tidak stabil.<br />

“Pekerjaan yang layak dan produktif berkontribusi pada<br />

pengurangan kemiskinan seperti ditegaskan oleh pemerintahan<br />

baru,” ujar Kazutoshi. Ia mengingatkan bahwa “ekspansi<br />

pekerjaan musiman di Indonesia mengkhawatirkan”. Antara<br />

2000 dan 2008, pertumbuhan tingkat pekerjaan musiman<br />

mencapai 8,4 persen, yang dapat melambankan laju<br />

pengurangan kemiskinan. <br />

Jaminan Sosial bagi Tenaga Kerja di Sektor<br />

Perekonomian Informal di Indonesia: Mencari<br />

program fl eksibel yang Ditargetkan<br />

ISBN: 978-92-2-823424-4 (print)<br />

Laporan survei yang dilakukan pada<br />

April – Mei 2009 membahas mengenai<br />

perluasan jaminan sosial terhadap<br />

ekonomi informal di Indonesia. Laporan<br />

ini bertujuan untuk berkontribusi pada<br />

diskusi mengenai langkah-langkah realistis<br />

yang dapat dilakukan untuk meningkatkan<br />

skema jaminan sosial yang ada serta<br />

mengenai rencana aksi untuk menerapkan<br />

sistem jaminan sosial di Indonesia.<br />

Laporan ini pun menggali program<br />

yang fl eksibel dan tersasar yang ditujukan untuk memperluas<br />

jangkauan jaminan sosial.<br />

15<br />

ketenagakerjaan<br />

employment


ketenagakerjaan<br />

16<br />

Membangun<br />

Perdamaian dan Perekonomian<br />

SELAMA 1999-2003, masyarakat Maluku didera konfl ik<br />

etnis yang memakan korban lebih dari 9.000 jiwa dan membuat<br />

hampir 400.000 orang terpaksa mengungsi. Aktivitas ekonomi<br />

di Maluku pun ikut terpuruk akibat kerusakan bangunan,<br />

lingkungan usaha, kapal hingga peralatan penangkap ikan.<br />

Akibatnya, Provinsi Maluku dinilai sebagai salah satu provinsi<br />

termiskin di Indonesia dengan penghasilan per kapita yang<br />

rendah dan tingkat pengangguran tinggi.<br />

Untuk membantu pemerintah Provinsi Maluku dan masyarakat<br />

Maluku memelihara perdamaian serta merevitalisasi<br />

perekonomiannya, pemerintah Jepang menyetujui memberikan<br />

proyek tiga tahun UN Trust Fund for Human Security (UNTFHS)<br />

dengan anggaran US$ 2,1 juta. Dimulai 2009, proyek bertajuk<br />

“Mewujudkan Standar Hidup Minimum Masyarakat Tertinggal<br />

melalui Pembangunan Perdamaian dan Pengembangan<br />

Perekonomian Berbasis Desa” ini dilaksanakan bersama<br />

Organisasi PBB untuk Pengembangan Industri (UNIDO) sebagai<br />

lembaga utama, serta ILO sebagai lembaga bantuan, bekerja<br />

sama dengan pemerintah Provinsi Maluku.<br />

Sebagai lembaga utama, Unido memfokuskan diri pada<br />

pemilihan penerima manfaat, pembentukan kelompokkelompok<br />

desa produktif, pengembangan agroindustri berbasis<br />

pedesaan dengan membantu pelatihan, peralatan yang<br />

diperlukan serta alih teknologi. Sementara itu, sebagai lembaga<br />

bantuan, ILO memberi kontribusi dalam pengembangan<br />

perekonomian daerah, pembangunan perdamaian,<br />

pengembangan usaha dan kewirausahaan, meningkatkan<br />

kondisi kesehatan, keselamatan serta kehidupan.<br />

di Maluku<br />

Proyek ini bertujuan menjaga perdamaian dan menekan angka<br />

kemiskinan dengan mengurangi kerentanan, mendorong<br />

pengembangan perekonomian lokal, meningkatkan kondisi<br />

sumber penghasilan, dan mendukung berbagai aktivitas<br />

yang menghasilkan pendapatan di antara para penerima<br />

manfaat yang terkena dampak konfl ik. Proyek juga mendorong<br />

penggunaan sumber daya lokal yang tersedia seperti sagu,<br />

kacang mete, nanas, kelapa, cokelat, kayu putih dan ikan untuk<br />

menghasilkan produk bernilai<br />

tinggi. Di samping itu, budi<br />

daya sayuran dan rumput laut<br />

(dengan budi daya terlindung)<br />

juga sedang dikembangkan<br />

sebagai sumber penghasilan.<br />

Dalam proyek ini, aktivitas yang<br />

terintegrasi di masyarakat telah<br />

dimulai di delapan desa di<br />

Ambon. Berbagai pertemuan<br />

dengan pemerintah desa dan<br />

kepala kelompok adat juga<br />

dilakukan untuk menjelaskan<br />

kriteria pemilihan, untuk<br />

mendapatkan dukungan serta<br />

menumbuhkan kepemilikan dan<br />

komitmen lokal.<br />

Lokakarya-lokakarya teknis<br />

dan analisa permasalahan<br />

terfokus pun dilaksanakan<br />

dengan melibatkan masyarakat<br />

yang lebih luas untuk<br />

mengidentifi kasi sumber<br />

daya desa, mempelajari pola<br />

penggunaan sumber daya yang<br />

tersedia, serta menemukan<br />

hambatan yang dihadapi masyarakat setempat dalam produksi,<br />

pengolahan dan pemasaran komoditi juga produk.<br />

Hingga Ferbruari 2010, sebanyak 579 pemangku kepentingan<br />

dan penerima manfaat, 123 di antaranya perempuan, telah<br />

berpartisipasi dan memperoleh manfaat dari berbagai<br />

lokakarya, pertemuan dan pelatihan. <br />

Proyek yang lebih dikenal dengan nama<br />

Pelagandong ini mencakup 21 desa<br />

dari tiga daerah sasaran, yaitu Kota<br />

Ambon, Seram Barat dan Maluku Tengah.<br />

Pelagandong berarti kerja sama dan<br />

kekerabatan, sebuah nilai tradisional yang<br />

telah dipertahankan selama berabad-abad<br />

oleh berbagai kelompok masyarakat di<br />

Maluku, terlepas dari perbedaan agama<br />

dan etnis mereka.


Kegiatan LED<br />

strategis untuk kabupaten mereka masing-masing. Mereka<br />

bertemu selama dua hari untuk merumuskan rencana aksi bagi<br />

setiap kabupaten. Difasilitasi oleh ILO, Forum ini menetapkan<br />

di Maluku ketenagakerjaan<br />

ILO mempunyai pengalaman panjang dalam mendukung<br />

inisiatif pembangunan ekonomi lokal (LED) bagi populasi yang<br />

terkena dampak krisis seperti konfl ik bersenjata, bencana<br />

alam serta transisi politik dan ekonomi. Di Indonesia, melalui<br />

proyek Kesempatan Kerja Bagi Kaum Muda (JOY), ILO berhasil<br />

melaksanakan proyek-proyek LED di Jawa Timur.<br />

ILO telah mengembangkan berbagai bahan dan perangkat<br />

LED, termasuk panduan operasional bagi LED dalam situasi<br />

pasca krisis yang bisa menjadi titik awal untuk meningkatkan<br />

dan memperbaiki dialog antara berbagai pemangku<br />

kepentingan termasuk kemitraan publik-swasta dan<br />

pengukuran potensi ekonomi lokal di sektor-sektor tertentu.<br />

Di bawah proyek Pelagandong, serangkaian lokakarya LED<br />

yang ditargetkan bagi penerima manfaat diselenggarakan,<br />

dan ILO berhasil memfasilitasi pembentukan forum LED di<br />

setiap kabupaten. Forum ini terdiri dari pejabat pemerintah<br />

dari berbagai kementerian, wirausahawan, pemuka masyarakat,<br />

organisasi pekerja dan pengusaha, lembaga keuangan serta<br />

pemangku kepentingan terkait.<br />

Baru-baru ini, di bulan Februari 2010, masing-masing forum<br />

di ketiga kabupaten bertemu dan merumuskan rencana<br />

GUNA menanggulangi kemungkinan berlanjutnya<br />

peningkatan global dalam hal pengangguran, kemiskinan<br />

dan ketidaksetaraan serta berlanjutnya keruntuhan<br />

perusahaan-perusahaan, ILO, bekerjasama dengan the<br />

Organization for Economic Cooperation and Development<br />

(OECD), menyelenggarakan konferensi pakar selama<br />

tiga hari mengenai strategi-strategi untuk pemulihan<br />

ketenagakerjaan lokal, pengembangan keterampilan dan<br />

perlindungan sosial di Asia”, pada 1 – 3 Desember 2009,<br />

di Malang, Jawa Timur.<br />

Konferensi yang bertajuk “Routes out of the Crisis:<br />

Strategies for Local Employment Development<br />

Recovery, Skills Development and Social Protection in<br />

Asia” menghadirkan para pembuat kebijakan, pakar<br />

ketenagakerjaan, jasa pelatihan dan praktisi di tingkat<br />

internasional, nasional dan provinsi dari 15 negara<br />

di seluruh dunia untuk berbagi pengalaman dan<br />

mengembangkan langkah-langkah efektif untuk mengaitkan<br />

pendekatan-pendekatan kebijakan mengenai ketenagakerjaan<br />

dan pengembangan keterampilan melalui pembangunan<br />

ekonomi lokal.<br />

Pemerintah dan pihak terkait setempat di Malang juga secara<br />

aktif terlibat dalam konferensi ini dengan memperkenalkan<br />

prakarsa pembangunan ekonomi lokal yang sudah dilakukan<br />

sejak 2008. Para peserta Konferensi mengikuti pembukaan<br />

“Festival Bromo Semeru Tengger” di Kecamatan Poncokusumo<br />

pada 2 Desember, yang menampilkan hasil-hasil produksi<br />

setempat dan mempromosikan fasilitas pariwisata yang ada.<br />

visi, tujuan dan kegiatan-kegiatan konkrit untuk tahun 2010<br />

yang ditujukan untuk mengatasi masalah-masalah kunci yang<br />

diidentifi kasi oleh masing-masing Forum.<br />

Visi dari setiap kabupaten secara jelas disebutkan sebagai<br />

berikut:<br />

Seram Barat: Menciptakan taraf hidup yang lebih<br />

baik bagi masyarakat Seram Barat melalui LED dan<br />

mencapainya pada tahun 2016.<br />

Maluku Tengah: Mewujudkan Maluku Utara sebagai<br />

kabupaten yang cerdas, independen, dan kompetitif<br />

melalui LED.<br />

Kota Ambon: Menciptakan masyarakat Ambon yang<br />

makmur melalui pembangunan bidang ekonomi<br />

yang berkesinambungan<br />

Di samping itu, ketiga Forum ini juga sepakat bahwa pariwisata<br />

dan perikanan adalah dua sektor utama yang akan mendorong<br />

pembangunan ekonomi Maluku. Untuk itu, Pemerintah Indonesia<br />

telah menetapkan Kota Ambon sebagai gerbang pariwisata<br />

Indonesia timur. Salah satu upaya yang telah dilakukan adalah<br />

peluncuran “Sail Banda” sebagai acara pelayaran internasional<br />

pada Agustus 2010. <br />

Mengembangkan Strategi<br />

demi Pemulihan Ketenagakerjaan Lokal di Asia<br />

Diakhir Konferensi, para peserta diharapkan menyusun responsrespons<br />

kebijakan lokal serta mengembangkan serangkaian<br />

rekomendasi kunci bagi para pembuat kebijakan nasional dan<br />

lokal. Rekomendasi-rekomendasi ini akan digunakan sebagai<br />

masukan dalam pertemuan dua tahunan ILO Asian Regional<br />

Meeting of Labour Ministries, Employers’ and Workers’<br />

Organizations pada 2010 dan akan dilaporkan pada sesi ke-56<br />

the OECD LEED Directing Committee pada 2010.<br />

Sekitar 80 peserta dari 15 negara akan menghadiri Konferensi<br />

ini. Negara-negara yang menjadi peserta, antara lain, Pakistan,<br />

Nepal, Kamboja, Vietnam, Cina, Filipina, Australia dan<br />

Indonesia. <br />

17


perlindungansosial<br />

ketenagakerjaan<br />

18<br />

Mencegah Pandemi Infl uenza<br />

di Tempat Kerja<br />

JENIS infl uenza baru yang kondang dengan sebutan<br />

Infl uenza A (H1N1), muncul Mei 2009, dan menyebar secara<br />

global dengan cepat hingga menjadi pandemi. Di<br />

Indonesia, munculnya pandemi ini membuat ILO<br />

meningkatkan upaya untuk membantu pencegahan<br />

infeksi dan kesiagaan usaha di perusahaan-perusahaan.<br />

Saat ini, ILO telah mendapatkan persetujuan untuk<br />

proyek “Perencanaan Keberlangsungan Usaha di<br />

saat Pandemi” (Business Continuity Plan in times of<br />

Pandemic) dari Dana PBB untuk Aksi Infl uenza (UN Multi<br />

Donor Trust Fund). Proyek ini merupakan kelanjutan dan<br />

perluasan kerja ILO dari proyek sebelumnya, “Flu Burung<br />

dan Tempat Kerja di Indonesia”.<br />

Proyek baru ini diharapkan dapat membantu pengusaha<br />

juga pekerja dalam merespons dan bersiap menghadapi<br />

dampak pandemi infl uenza baik di masa sekarang<br />

maupun kejadian-kejadian lain yang tidak terduga di<br />

masa mendatang yang dapat menimbulkan gangguan<br />

bagi kelancaran usaha. Bagi ILO, sangat penting<br />

mencegah agar para pekerja tidak terinfeksi infl uenza<br />

termasuk membantu pengusaha dalam melindungi<br />

pekerja dan usaha mereka dari dampak pandemi ini.<br />

ILO yang bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan<br />

dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi juga telah<br />

mengembangkan dan menerbitkan panduan tentang<br />

perencanaan keberlangsungan usaha dalam pandemi infl uenza<br />

berjudul “Perencanaan Keberlangsungan Usaha dalam<br />

Menghadapi Pandemi Infl uenza: Buku Kerja”. Buku kerja ini<br />

memberikan tujuh langkah perencanaan keberlangsungan<br />

usaha bagi perusahaan, terutama bagi usaha kecil dan<br />

menengah.<br />

SEDIKITNYA 100 kaum muda putus sekolah di<br />

Maluku siap menjadi pelaut. Ini merupakan salah satu<br />

capaian kemitraan antara ILO—melalui Proyek Pendidikan<br />

dan Pelatihan Keterampilan bagi Kaum Muda (EAST)—<br />

dengan perusahaan perikanan PT Pusaka Benjina<br />

Resources. Kemitraan ini dilaksanakan melalui kerja sama<br />

unik dengan sejumlah pemangku kepentingan yakni Dinas<br />

Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Aru; Sekolah<br />

Kejuruan Perikanan Negeri Dobo, Kabupaten Aru; Sekolah<br />

Menengah Atas di Ambon—di bawah Kementerian<br />

Kelautan dan Perikanan; Serikat Pelaut Indonesia; LPPM,<br />

sebuah LSM di Ambon, Maluku; dan Yayasan Leer Vivin,<br />

sebuah lembaga lokal di Dobo, Kabupaten Aru.<br />

Kemitraan ini mampu menciptakan perpaduan efektif<br />

antara pencari kerja dan pengusaha. Di satu pihak<br />

kaum muda putus sekolah di Pulau Aru tidak memiliki<br />

keterampilan bekerja namun sedang mencari pekerjaan,<br />

di lain pihak PT Pusaka Benjina Resources memiliki<br />

kebutuhan akan pekerja terampil untuk bekerja di kapalkapal<br />

penangkapan ikan. Selama ini, perusahaan ini harus<br />

mempekerjakan pekerja dari luar negeri sebagai akibat dari<br />

kurangnya tenaga kerja terlatih di Provinsi Maluku.<br />

“Rencana keberlangsungan usaha memberikan peluang, tidak<br />

saja dalam mengatasi kejadian-kejadian yang merugikan,<br />

tetapi juga dalam membuat pendekatan strategis yang<br />

mampu meningkatkan proses dan pengoperasian usaha secara<br />

keseluruhan. Rencana ini juga memberikan dampak positif<br />

bagi masyarakat terkait kesiapan dan pemulihan,” kata M. Bey<br />

Sonata, mantan Manajer Proyek Flu Burung ILO. Menurut Bey,<br />

meskipun dampak pandemi tidak separah yang diperkirakan,<br />

namun dunia usaha tetap harus siap dan waspada.


KEMENTERIAN Koordinator Bidang Ekonomi bekerja<br />

sama dengan Kantor Regional ILO Asia Pasifi k di Bangkok dan<br />

Kantor ILO Jakarta menyelenggarakan lokakarya pekerjaan<br />

ramah lingkungan di Hotel Borobudur, Jakarta, 10 Maret lalu.<br />

Lokakarya ini merupakan tindak lanjut dari pertemuan pertama<br />

yang diadakan Oktober 2009, sebagai tanggapan terhadap<br />

permintaan Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi.<br />

Dalam lokakarya ini, perwakilan Badan Perencanaan<br />

Pembanggunan Nasional (Bappenas) dan Kementerian Negara<br />

Lingkungan Hidup menegaskan akan pentingnya pekerjaan<br />

ramah lingkungan serta prioritas strategis dalam rencana<br />

pembangunan jangka menengah Indonesia.<br />

Emil Salim, mantan menteri lingkungan hidup, juga<br />

mengingatkan perlunya berbagai peraturan untuk mendorong<br />

indikator-indikator sosial, penciptaan lapangan kerja juga<br />

tentang perubahan iklim, mitigasi dan upayaupaya<br />

adaptasi. “Perusakan lingkungan hidup<br />

akan terus berlangsung dan biayanya akan<br />

ditanggung oleh generasi-generasi setelah<br />

kita,” ungkapnya.<br />

Vincent Jugault, staf ahli ILO untuk pekerjaan<br />

ramah lingkungan, mengatakan, program<br />

ini mampu membantu mengurangi dampak<br />

lingkungan yang ditimbulkan perusahaan<br />

dan sektor-sektor perekonomian, termasuk<br />

membantu melindungi ekosistem dan<br />

keragaman biologis; mengurangi konsumsi energi, bahan baku,<br />

dan air; dekarbonisasi; serta memiminimalisir munculnya segala<br />

bentuk sampah dan polusi.<br />

“Bagi masyarakat, pekerjaan yang ramah lingkungan tidak<br />

akan menghilangkan potensi ekonomi. Justru sebaliknya,<br />

akan memberikan hasil yang lebih tinggi nilainya, karena<br />

juga berhasil menjaga kesinambungan ekologis,” katanya.<br />

Karenanya, ia menambahkan, ILO akan terus mengintegrasikan<br />

pekerjaan ramah lingkungan dalam semua kegiatannya. <br />

Melihat permintaan ini bisa menjadi bagian dari proses<br />

pengukuran pasar kerja, Yayasan Leer Vivin, LPPM Maluku dan<br />

ILO-EAST mengupayakan kerja sama dengan pengusaha dan<br />

sekolah perikanan. Hasilnya, mereka mendukung pelatihan<br />

kaum muda putus sekolah sebagai pelaut, sehingga nantinya<br />

bisa bekerja di kapal-kapal penangkap ikan.<br />

Kaum muda putus sekolah yang mengikuti program pelatihan<br />

tersebut dikumpulkan melalui iklan di radio lokal, poster-poster<br />

yang dipasang di jalan, serta pengumuman-pengumuman di<br />

kantor dinas tenaga kerja setempat. Pemerintah desa juga<br />

berpartisipasi aktif dalam proses ini. Hasilnya, 100 kaum muda<br />

berhasil dikumpulkan dari tiga desa.<br />

Sekolah-sekolah perikanan sangat berhasil melaksanakan<br />

program pelatihan berbasis kompetensi. Masalah keselamatan<br />

dan kesehatan kerja diintegrasikan ke dalam modul-modul<br />

pelatihan. Guna meningkatkan kesadaran para pekerja muda<br />

mengenai hak-hak mendasar mereka, ILO-EAST juga menjalin<br />

kemitraan dengan Serikat Pelaut Indonesia yang sepakat<br />

Pekerjaan Ramah<br />

Lingkungan<br />

Pekerjaan ramah lingkungan merupakan<br />

inisiatif bersama antara Program<br />

Lingkungan Hidup PBB (UNEP), ILO,<br />

Konfederasi Serikat Buruh Internasional<br />

(ITUC) dan Organisasi Pengusaha<br />

Internasional (IOE). Inisiatif ini diluncurkan<br />

untuk mengembangkan kesempatan,<br />

kesetaraan dan transisi yang adil dalam<br />

mendukung pemerintah, pengusaha dan<br />

pekerja untuk terlibat dalam kebijakan<br />

dan program yang efektif bagi terciptanya<br />

perekonomian pe<br />

ramah lingkungan dan<br />

pekerjaan pe<br />

yang layak bagi semua.<br />

untuk memberikan pelatihan bagi mereka. Kini<br />

Serikat Pelaut Indonesia sedang melakukan<br />

negosiasi mengenai kesepakatan bersama dengan<br />

perusahaan.<br />

Para kaum muda akan dinilai dan mendapatkan<br />

sertifi kat dari Akademi Pelaut Indonesia, sebagai badan<br />

yang berkompeten dalam memberikan sertifi kasi nasional<br />

mengenai kompetensi pelaut. Peraturan-peraturan pelaut,<br />

yang merupakan dokumen-dokumen wajib untuk bekerja<br />

sebagai pelaut, dipersiapkan oleh Pejabat Pelabuhan<br />

Maluku. Dan 100 pekerja muda tersebut diharapkan sudah<br />

mulai bekerja dalam minggu ketiga Februari 2010.<br />

Mereka pun mendapat pelatihan orientasi selama satu<br />

minggu di perusahaan dan akan ditempatkan di kapal-kapal<br />

penangkap ikan. Para pekerja muda ini akan mendapat upah<br />

minimum bulanan sebesar Rp 1,2 juta (USD 128), atau lebih<br />

tinggi dari upah minimum provinsi sebesar Rp. 1,010 juta<br />

ditambah bonus-bonus yang dikaitkan dengan jumlah ikan<br />

yang berhasil ditangkap.<br />

Melalui program ini, kontribusi ILO-EAST adalah melakukan<br />

pengukuran kerja masyarakat, melakukan dialog dengan para<br />

mitra, serta mendukung biaya pelatihan keterampilan dan<br />

sertifi kasinya. <br />

19<br />

ketenagakerjaan


perlindungansosial<br />

20<br />

Pekerja Lansia&Produktivitas<br />

DI Asia dan Pasifi k, jumlah orang lanjut usia bertambah<br />

dengan cepat, dari 410 juta pada 2007 menjadi 733 juta pada<br />

2025, dan diharapkan menjadi 1,3 milyar pada 2050. Penuaan<br />

juga akan semakin membesar 50 tahun ke depan dan populasi<br />

berusia di atas 60 tahun di Asia akan meningkat hampir tiga<br />

kali lipat dari 9 persen pada 2000 menjadi sekitar 24 persen<br />

pada 2050. Pada 2020, jumlah orang lanjut usia di Indonesia<br />

diperkirakan meningkat menjadi 28,8 juta (11 persen dari<br />

keseluruhan penduduk).<br />

Banyak perhatian kebijakan difokuskan pada permasalahan<br />

pensiun dan produktivitis bagi pekerja lanjut usia. Namun,<br />

lapangan kerja yang tersedia bagi mereka juga memainkan<br />

peran penting. Mereka mempengaruhi keputusan pekerja lanjut<br />

usia untuk bekerja atau pensiun, kemampuan pengusaha untuk<br />

mempekerjakan dan mempertahankan pekerja lanjut usia dan<br />

bagaimana masyarakat memberikan dukungan bagi masyarakat<br />

lanjut usia yang tidak lagi mampu bekerja.<br />

Untuk membahas permasalahan ini lebih lanjut, Universitas<br />

Indonesia (UI), dengan dukungan dari ILO, menyelenggarakan<br />

seminar satu hari mengenai pekerja lanjut usia dan produktivitas<br />

pada 15 Maret 2010, di Kampus UI, Depok, Jawa Barat. Seminar<br />

ini sekaligus menandai peluncuran Centre for Ageing Studies,<br />

UI (CAS UI) dan peringatan hari Lanjut Usia Nasional.<br />

di Indonesia<br />

Peter van Rooij, Pejabat sementara ILO Jakarta, menyambut<br />

baik pendirian Pusat Studi ini. Ia mengatakan bahwa perhatian<br />

terhadap pekerja lanjut usia bukanlah merupakan isu baru bagi<br />

ILO. ILO telah menaruh perhatian serius pada permasalahan ini<br />

sejak akhir tahun 1970-an, yang tercermin pada Rekomendasi ILO<br />

No. 162 tentang Pekerja Lanjut Usia.<br />

“Salah satu tantangan sosial utama dari masyarakat lanjut usia<br />

adalah memastikan tingkat pendapatan yang memadai bagi<br />

semua orang lanjut usia tanpa membebani kapasitas generasi<br />

yang lebih muda,” kata dia, seraya menambahkan bahwa<br />

mengingat banyak orang lanjut usia tidak mampu menikmati<br />

masa pensiun, tantangannya adalah memperpanjang masa kerja<br />

dan meningkatkan kemampuan pekerja lanjut usia.<br />

Tujuan dari seminar dan pendirian CAS UI ini adalah memahami<br />

secara lebih baik masyarakat lanjut usia dari sudut pandang<br />

ketenagakerjaan dan meningkatkan kesadaran generasi<br />

muda yang lebih muda untuk mempersiapkan diri menjadi<br />

pekerja lanjut usia yang produktif. Acara ini pun bertujuan<br />

memperkenalkan peran CAS UI dalam mendukung kebijakan dan<br />

program terkait lanjut usia di tingkat nasional dan internasional.<br />

Sementara ILO telah mengeluarkan paket mengenai lanjut<br />

usia yang dirancang dalam bentuk pelatihan bagi organisasi<br />

pengusaha dan perusahaan untuk membantu mereka<br />

mengembangkan program dan kebijakan yang menciptakan<br />

kondisi kerja yang layak dan produktif bagi pekerja lanjut usia. <br />

UNTUK memberikan apresiasi dan penghargaan kepada<br />

jurnalis yang selama ini meliput isu perburuhan di Indonesia,<br />

ILO, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), American Center<br />

for International Labor Solidarity (ACILS) dan Friedrich<br />

Ebert Stiftung (FES), menggelar Lomba Karya Jurnalistik<br />

Isu Perburuhan. Untuk lomba di tahun 2009 ini, Sudrajat<br />

(Koran Tempo), Ridwan Sijabat (The Jakarta Post), dan Ayu<br />

Prawitasari (Solo Pos), masing-masing memenangi kategori<br />

juara I, II, dan III.<br />

Sedangkan Andreas Ronny dan Irvan Irmansyah (keduanya<br />

dari radio KBR68H Jakarta), dan Sri Lestari (BBC Indonesia),<br />

masing-masing memenangi juara I, II, III untuk kategori<br />

radio. Untuk kategori teve, Utami Dewi dan Ubaidilah NS<br />

(TPI), Yolinda Puspita Rini (Trans7) dan Elly Husin serta Vicci<br />

Fatalaya (RCTI) masing-masing memenangi juara I, II, dan III.<br />

Penghargaan kali ini juga memperkenalkan kategori baru,<br />

fotografi . Juara I, II, dan III kategori foto, secara berurutan<br />

dimenangkan oleh Afriadi Hikmal (Jakarta Globe), Raden<br />

Yusuf Hidayat (Batam Pos) dan Danu Kusworo (Kompas).<br />

Karya para pemenang diseleksi dari 149 karya jurnalistik cetak<br />

(85 peserta), teve (13 peserta), radio (18 peserta) dan foto (33<br />

peserta). Karya-karya tersebut diseleksi berdasarkan tema,<br />

presentasi, teknik, komposisi, etika dan isi. Para pemenang<br />

mendapatkan penghargaan dan laptop, serta laporan mereka<br />

dipublikasikan dalam sebuah buku berjudul Hujan Batu Buruh<br />

Kita: Kumpulan Cerita Perburuhan, yang diluncurkan 11<br />

Desember silam.


Mengkomunikasikan<br />

BAGAIMANA para jurnalis seharusnya memberitakan<br />

dinamika hubungan industrial, terutama yang berkaitan dengan<br />

kebebasan berserikat dan perundingan bersama, agar berbagai<br />

peran media massa yang diemban dapat dijalankan secara<br />

ideal? Bagaimana agar pemberitaan dinamika hubungan<br />

industrial tidak membuat jurnalis terjebak pada situasi dan<br />

kondisi yang berpotensi menimbulkan kesalahan persepsi dan<br />

interpretasi di kalangan khalayak medianya? Bagaimana pula<br />

pengusaha bisa menyampaikan pemikiran dan advokasi secara<br />

baik melalui media?<br />

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, ILO<br />

menyelenggarakan lokakarya untuk para pengusaha dan<br />

journalis bertajuk “Mengomunikasikan Kebebasan Berserikat<br />

dan Perundingan Bersama” pada 17 – 18 Februari di Jakarta.<br />

Lokakarya ini bertujuan untuk mendukung para konstituen<br />

ILO di Indonesia, khususnya Asosiasi Pengusaha Indonesia<br />

(Apindo), agar mampu berkomunikasi dengan lebih baik<br />

kepada media, dan agar mampu menjangkau para konstituen<br />

mereka sendiri secara lebih efektif menyangkut masalah<br />

Penghargaan Jurnalistik<br />

Perburuhan<br />

2009<br />

Berbeda dengan tahun<br />

sebelumnya, acara<br />

penganugerahan<br />

penghargaan dilanjutkan<br />

dengan diskusi perburuhan<br />

yang dibuka oleh Menteri<br />

Tenaga Kerja dan<br />

Transmigrasi, Muhaimin<br />

Iskandar. Dalam diskusi ini,<br />

ekonom ILO, Kazutoshi<br />

Chatani, memaparkan kondisi<br />

sosial dan perburuhan<br />

Indonesia.<br />

Diskusi ini juga<br />

menghadirkan aktor-aktor<br />

perburuhan Indonesia,<br />

seperti Sofjan Wanandi, Presiden Asosiasi Pengusaha Indonesia<br />

(Apindo), Thamrin Mosii, Ketua KSPI, dan Anwar Ma’ruf dari<br />

Komite Solidaritas Nasional. Mereka menyambut baik inisiatif<br />

Kebebasan<br />

Berserikat dan Perundingan Bersama<br />

hak-hak mendasar dari kebebasan berserikat dan perundingan<br />

bersama.<br />

Dalam lokakarya ini, para peserta bukan hanya mendapat<br />

pembekalan teori, tetapi juga berinteraksi langsung<br />

mempraktikkan topik-topik pem<strong>bahasa</strong>n dalam simulasi layaknya<br />

kejadian faktual dan aktual di lapangan. Lokakarya sejenis pun<br />

akan digelar di Tanzania dan Paraguay, disasarkan kepada<br />

pemerintah dan serikat pekerja. Hasil dari pelatihan-pelatihan ini<br />

akan dikumpulkan ke dalam sebuah panduan global mengenai<br />

bagaimana mengomunikasikan kebebasan berserikat dan<br />

perundingan bersama dengan media massa <br />

Dedy Ananto, Apindo Bogor<br />

“Pelatihan media ini sangat bermanfaat, khususnya saat sesi<br />

pelatihan praktis di mana saya harus menjadi seorang wartawan<br />

dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang hubungan<br />

industrial. Menjadi wartawan ternyata tidak semudah yang saya<br />

bayangkan. Pelatihan ini membantu saya memahami secara lebih<br />

baik bagaimana media bekerja.”<br />

Marleni, Reporter Televisi Pendidikan Indonesia (TPI)<br />

“Saya belajar banyak mengenai bagaimana membangun<br />

komunikasi yang lebih efektif antara pengusaha dan media massa.<br />

Mendengar apa yang dipikirkan para pengusaha mengenai media<br />

dan persepsi mereka tentang bagaimana media bekerja dalam<br />

mendapatkan berita benar-benar membuka mata saya.”<br />

Nina Suartika, Reporter Radio Voice of Human Rights<br />

“Saya tidak hanya belajar keterampilan jurnalistik tentang<br />

bagaimana mengumpulkan informasi dan menyusun berita, tapi<br />

juga belajar mengenai hal-hal yang harus dihadapi para pengusaha<br />

selama krisis dan pentingnya keterbukaan antara pengusaha dan<br />

wartawan, khususnya di saat situasi krisis.”<br />

pemberian penghargaan untuk menghargai kontribusi<br />

para jurnalis dan media dalam mempromosikan isu-isu<br />

perburuhan.<br />

Masih dalam satu rangkaian dengan lomba ini, empat<br />

lokakarya tentang isu perburuhan diselenggarakan<br />

pada Oktober 2009 di empat kota besar: Jakarta,<br />

Malang, Batam dan Mataram.<br />

Lokakarya tersebut diikuti 90<br />

jurnalis dari berbagai media.<br />

Acara tersebut bertujuan<br />

membantu jurnalis dan<br />

media untuk memperluas<br />

pemahaman mereka mengenai<br />

isu dan permasalahan terkait<br />

perburuhan, khususnya di<br />

tingkat provinsi. Dengan<br />

menggunakan pendekatan<br />

praktis dan partisipatif,<br />

lokakarya ini diharapkan<br />

dapat memberikan persepsi<br />

yang jelas mengenai relevansi<br />

dan dimensi sosial dari isu<br />

serta permasalahan terkait<br />

perburuhan, yang pada gilirannya mampu melahirkan lebih<br />

banyak lagi peliputan mengenai perburuhan, baik di media<br />

elektronik maupun cetak. <br />

21<br />

cuplikan


wawancara<br />

22<br />

Wawancara<br />

Akhir Alan Boulton<br />

dengan the Jakarta Post<br />

Pemerintah harus perhatikan<br />

pekerja informal<br />

Alan Boulton<br />

Director ILO Jakarta Offi ce<br />

2001-2009<br />

Alan Boulton, perwakilan Organisasi Perburuhan<br />

Internasional (ILO) di Jakarta mengakhiri<br />

masa jabatannya selama delapan tahun di<br />

Indonesia pada November 2009. Di bawah<br />

kepemimpinannya, ILO memainkan peran<br />

sebagai mitra negara ini dalam perkembangan<br />

ketenagakerjaan. Berikut adalah cuplikan<br />

wawancara dengan Ridwan Max Sijabat dari<br />

The Jakarta Post yang diterbitkan Senin, 30<br />

November 2009.<br />

Bagaimana pendapat Anda mengenai perkembangan<br />

ketenagakerjaan di Indonesia selama delapan tahun<br />

belakangan ini?<br />

Indonesia telah berbuat banyak dalam meningkatkan kondisi<br />

perburuhan dan ketenagakerjaannya. Sejumlah contoh<br />

termasuk penyempurnaan paket reformasi perundangan<br />

ketenagakerjaan yang telah memberikan sistem baru dalam<br />

penyelesaian perselisihan industrial, kemajuan dalam<br />

permasalahan pekerja anak, perhatian yang lebih besar kepada<br />

hak-hak pekerja migran dan penekanan lebih pada perbaikan<br />

kebijakan ketenagakerjaan.<br />

Namun masih banyak tantangan yang dihadapi Indonesia<br />

dalam bidang ini. Terdapat kebutuhan akan penciptaan<br />

lapangan kerja yang lebih besar untuk menyerap para lulusan<br />

sekolah sebelum mereka lulus, dan mengatasi masalah<br />

pengangguran yang cukup kronis. Ini merupakan penyianyian<br />

dari aset sumber daya manusia nasional yang besar<br />

dan merupakan tantangan serius di saat Indonesia berupaya<br />

mengentaskan kemiskinan. Juga diperlukan perhatian yang<br />

lebih besar kepada hak-hak 70 juta pekerja, termasuk pekerja<br />

rumah tangga perempuan yang saat ini berada di sektor<br />

informal.<br />

Apakah kondisi ekonomi dan mata pencaharian pekerja<br />

memburuk dan mengapa?<br />

Kendati Indonesia mampu menghindari dampak besar dari<br />

krisis keuangan global saat ini, krisis ini sangat berdampak<br />

besar pada sektor ekspor dengan adanya penutupan pabrikpabrik<br />

dan pemberhentian kerja. Krisis ini pun mempengaruhi<br />

bagian-bagian lain ekonomi sehingga menyulitkan bagi<br />

banyak perusahaan untuk mempertahankan kesamaan tingkat<br />

kegiatan dan kerja, yang berakibat pada hilangnya pekerjaan<br />

di sektor-sektor lain. Selanjutnya, terdapat kecenderungan<br />

ke arah pekerjaan yang lebih tidak aman di banyak negara<br />

berkembang. Dalam kasus Indonesia, proporsi angkatan kerja<br />

di ekonomi informal meningkat tahun-tahun belakangan ini.<br />

Krisis memang ikut bertanggungjawab untuk hal ini, namun<br />

praktik-praktik ketenagakerjaan pun berubah dan tawaran<br />

kerja yang ada umumnya bersifat tidak aman dan sementara.<br />

Apapun alasannya, hal ini menjadi pola yang sedang muncul di<br />

Indonesia.<br />

Apa tren ketenagakerjaan dan sosial di masa mendatang?<br />

ILO baru-baru ini menerbitkan laporan berjudul “Tren<br />

Ketenagakerjaan dan Sosial di Indonesia 2009: Pemulihan dan<br />

langkah-langkah selanjutnya melalui pekerjaan yang layak”.<br />

Laporan ini menunjukkan bahwa krisis keuangan global telah<br />

berdampak buruk terhadap Indonesia melalui jatuhnya ekspor,<br />

yang mengakibatkan meluasnya kehilangan pekerjaan bagi<br />

para pekerja sub-kontrak, musiman dan lepas di industriindustri<br />

ekspor yang memang paling terkena dampak krisis<br />

ini. Laporan pun memperlihatkan bahwa ketersediaan kredit<br />

yang terbatas bagi perusahaan kecil dan menengah (UKM)<br />

menghambat pemulihan ekonomi dan penyerapan kerja<br />

dalam sektor ini dan sektor-sektor ekonomi lainnya. Jika<br />

krisis keuangan Asia 1998-1999 dijadikan acuan, dibutuhkan<br />

beberapa tahun agar indikator-indikator seperti pengangguran,<br />

produktivitas, kemiskinan dan jumlah pekerja dalam sektor<br />

ketenagakerjaan yang rentan untuk kembali ke masa sebelum<br />

krisis. Strategi-strategi untuk meningkatkan situasi ini perlu<br />

menyikapi masalah kualitas pendidikan dan pelatihan agar<br />

dapat mempersiapkan pekerja Indonesia dengan lebih baik dan<br />

meningkatkan keterampilan mereka sehingga perusahaan lebih<br />

memiliki daya saing dalam ekonomi yang terglobalisasi.<br />

Kendati sudah ada perundangan ketenagakerjaan,<br />

mayoritas pekerja baik di sektor formal dan informal belum<br />

terlindungi. Komentar Anda?<br />

Seperti juga banyak negara berkembang lainnya, ada masalah<br />

di Indonesia dalam hal penegakkan hukum. Ini artinya, kerap<br />

kali terjadi perselisihan yang berkepanjangan untuk memastikan<br />

para pekerja menerima hak mereka sesuai dengan peraturan<br />

atau perjanjian kerja bersama. Hal ini seharusnya ditanggulangi<br />

melalui layanan pengawas ketenagakerjaan yang lebih efektif,<br />

murah dan transparan dari para penegak hukum. Permasalahan<br />

yang dihadapi mereka yang berada di lapangan kerja informal<br />

jauh berbeda. Para pekerja informal kerap kali tidak menikmati<br />

hak-hak yang diatur dalam peraturan ataupun perjanjian.<br />

Ini dapat menyebabkan berbagai masalah di Indonesia<br />

mengingat penduduknya saat ini lebih terinformasi mengenai<br />

bagaimana seharusnya perlakuan yang adil dan tidak lagi dapat<br />

menoleransi kesewenang-wenangan.<br />

Apa yang harus dilakukan pemerintah untuk melindungi<br />

pekerja yang memasuki sektor informal?<br />

Hak-hak dan perlindungan-perlindungan dasar dalam<br />

sektor informal perlu lebih ditegakkan. Terhadap bukti-bukti<br />

eksploitasi di sejumlah sektor perlu diberkan aksi peringatan<br />

oleh pemerintah dan pembuat hukum. Para pekerja rumah<br />

tangga, misalnya, tidak memilik hak atas upah, jam dan


kondisi kerja yang memadai serta pensiun. Pemerintah<br />

harus memberikan keamanan yang lebih besar kepada<br />

para pekerja di ekonomi informal melalui jalinan kerja sama<br />

dengan pemerintah dan perwakilan pekerja setempat untuk<br />

menanggulangi permasalahan seperti hak pekerja, perizinan<br />

dan peraturan.<br />

Menurut Anda, apakah sistem upah yang rendah<br />

merupakan permasalahan ketenagakerjaan utama di<br />

Indonesia?<br />

Untuk berbagai alasan Indonesia perlu menciptakan peluang<br />

kerja bagi pekerja berketerampilan rendah. Ini artinya<br />

mendorong dan mendukung industri-industri padat karya,<br />

kendati upah dan kondisi di industri-industri ini relatif buruk.<br />

Dengan berjalannya waktu, dasar keterampilan angkatan<br />

kerja Indonesia perlu ditingkatkan dengan pendidikan dan<br />

pelatihan yang lebih baik sehingga para pekerja dapat<br />

mendapatkan pekerjaan yang berpenghasilan baik.<br />

Bagaimana memperbaiki sistem upah minimum yang ada?<br />

Sistem pengupahan minimum telah melalui berbagai<br />

perubahan tahun-tahun belakangan ini dan secara umum<br />

telah melahirkan peningkatan upah yang sejalan dengan<br />

infl asi. Dalam sejumlah hal, terlalu banyak harapan terhadap<br />

sistem ini. Kebanyakan sistem upah minimum di seluruh dunia<br />

dirancang untuk melindungi angkatan kerja yang berupah<br />

paling minim. Namun, di Indonesia sistem ini tidak mencakup<br />

pekerja-pekerja di sektor informal (sekitar 70 persen dari<br />

angkatan kerja). Sistem ini pun cenderung meneratapkan<br />

“angka rata-rata” bagi pekerja di sektor formal. Inilah<br />

bagaimana sistem penetapan upah ditetapkan di negara ini<br />

dan akan sulit untuk mengubahnya.<br />

Apakah Anda melihat perlunya semua konfederasi dan<br />

serikat pekerja, seperti Australia, membentuk partai<br />

politik atau membuat perjanjian politik dengan partaipartai<br />

yang ada sebagai saluran aspirasi para pekerja?<br />

Serikat-serikat pekerja akan lebih berpengaruh pada<br />

pemerintah dan memiliki kekuatan tawar terhadap pengusaha<br />

apabila mereka menemukan cara untuk bekerja sama<br />

secara efektif. Apakah hal ini melibatkan merjer merupakan<br />

permasalahan yang harus diputuskan sendiri oleh serikat dan<br />

pekerja. Namun, tren di banyak negara adalah memiliki satu<br />

organisasi nasional. Sejalan dengan perkembangan serikat di<br />

Indonesia (mengingat kebebasan berserikat sudah berjalan<br />

11 tahun di negara ini) mereka akan mulai menemukan caracara<br />

untuk memperkuat perwakilan pekerja di forum-forum<br />

pembuat kebijakan. Saat ini, mungkin masih sulit bagi serikatserikat<br />

pekerja untuk membentuk partai politik karena hal ini<br />

melibatkan aliansi dengan partai-partai yang ada. Namun,<br />

ini Indonesia dan, ya, Anda tidak akan pernah tahu apa yang<br />

akan terjadi!<br />

pojok karyawan<br />

SESI PEMBELAJARAN PBB: Staf ILO mengikuti Sesi<br />

Pembelajaran PBB mengenai HIV dan AIDS pada 19 Februari<br />

dan 26 Maret 2010. Tujuan dari program ini adalah<br />

meningkatkan kesadaran mengenai informasi dasar HIV and<br />

AIDS dan menghapuskan stigma dan diskriminasi terhadap<br />

HIV dan AIDS. <br />

PENGEMBANGAN TIM: Kantor ILO Jakarta menggelar<br />

kegiatan pembangunan tim sebagai bagian dari program<br />

ILO untuk pengembangan karyawannya pada November<br />

2009. Tujuannya adalah membangun lingkungan kerja yang<br />

berorientasi kelompok dan meningkatkan motivasi kerja<br />

para staf. <br />

PESTA PERPISAHAN: Alan Boulton, Direktur ILO Jakarta,<br />

mengakhiri penugasannya selama delapan tahun di<br />

Indonesia pada November 2009. Pesta perpisahan digelar<br />

sebagai penghormatan terhadap kontribusinya bagi<br />

program ILO di Indonesia. “Kami mendoakan yang terbaik<br />

untuk tugas selanjutnya di Australia!” <br />

Smart Workers adalah bincang-bincang<br />

radio interaktif, kerja sama ILO dengan<br />

radio SmartFM yang dirancang untuk<br />

meningkatkan kesadaran mengenai hak-hak<br />

mendasar di tempat kerja. Bagi Anda yang<br />

tertarik mempelajari lebih lanjut tentang isu<br />

ketenagakerjaan, simak terus 95,9 FM!<br />

Kontak: (021) 398 33 888<br />

SMS: 0812 1112 959<br />

23<br />

cuplikan


ketenagakerjaan<br />

Membangun Akses Pedesaan<br />

yang Lebih Baik<br />

UNTUK mendukung strategi umum negara guna<br />

menurunkan angka kemiskinan dan meningkatkan manajemen<br />

sumber daya berkesinambungan, ILO melaksanakan Proyek<br />

Akses dan Pengembangan Kapasitas Pedesaan-Kepulauan<br />

Nias (Nias-RACBP) selama tiga tahun, sejak 2009 sampai 2012.<br />

Dibiayai Dana Multidonor untuk Aceh dan Sumatera Utara<br />

(MDFANS), proyek ini memfokuskan diri pada perbaikan<br />

jaringan transportasi pedesaan strategis di tiga kelompok<br />

wilayah di bagian utara, selatan dan barat Kepulauan Nias.<br />

Proyek ini menggabungkan pendekatan “keterhubungan<br />

jaringan jalan” dan “biaya terkecil” dalam konstruksi dan<br />

rehabilitasi yang memerlukan perawatan minimum. Proyek<br />

ini juga mengintegrasikan sub-komponen akses pedesaan,<br />

pelatihan serta pengembangan kapasitas yang mencakup<br />

semua tahapan dalam siklus proyek, termasuk latihan sambil<br />

bekerja, pembelajaran dari proyek-proyek sebelumnya,<br />

keterlibatan masyarakat, memastikan keseimbangan dan<br />

pengintegrasian jender serta penggunaan optimal tenaga<br />

kerja dan bahan-bahan konstruksi yang tersedia di sana,<br />

dikombinasikan dengan peralatan ringan.<br />

Setelah disahkan oleh Bank Dunia, 26 Oktober 2009 silam,<br />

proyek telah melaksanakan beberapa aktivitas, seperti:<br />

- Pengembangan dan pelaksanaan rencana mobilisasi<br />

bagi perekrutan staf, kantor, peralatan dan kendaraan.<br />

- Perekrutan konsultan untuk Penyusunan Prioritas<br />

Infrastruktur Transportasi Pedesaan (Rural Transport<br />

Infrastructure Prioritization/RTIP) serta pengembangan<br />

kapasitas perencanaan dan strategis.<br />

- Lokakarya sosialisasi terakhir di Gunungsitoli, 19-20<br />

Januari 2010.<br />

Lokakarya sosialisasi ini bertujuan menyusun kriteria seleksi<br />

sub-proyek dan menyelesaikan hasil-hasil rancangan<br />

kerangka kerja berdasarkan masukan dari para pemangku<br />

PERTENGAHAN 2009, ILO diminta<br />

pemerintah Indonesia untuk memberikan<br />

bantuan teknis, membuat perangkat konsultasi<br />

kebijakan yang dapat menganalisa efektivitas dan efi siensi<br />

dalam bidang lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan.<br />

Saat itu, pemerintah Indonesia tengah mengeluarkan paket<br />

stimulus fi skal, dengan investasi infrastruktur publik sebesar Rp<br />

12,2 triliun untuk mengatasi dampak krisis keuangan global.<br />

Sejak saat itu pula Program Investasi Padat Lapangan Kerja<br />

bekerja sama dengan Kementerian Koordinator Ekonomi dan<br />

Badan Pusat Statistik membuat Matrik Akuntansi Sosial Dinamis<br />

(Dynamic Sosial Accounting Matrix/DySAM). DySAM adalah<br />

sebuah instrumen yang didasarkan pada matrik akuntansi sosial<br />

statis yang memuat informasi tambahan tentang akun-akun<br />

nasional sepanjang waktu. Analisis kelipatan DySAM dapat<br />

membantu pembuat keputusan lebih memahami hubungan<br />

interdependensi dinamis antara berbagai sektor dan institusi<br />

yang ada di perekonomian.<br />

Sejak Oktober 2009, data untuk membuat matrik ini<br />

dikumpulkan dari beberapa kementerian termasuk Kementerian<br />

di Nias<br />

kepentingan. Dibuka oleh Widjang Winarno dari Kementerian<br />

Pengembangan Daerah Tertinggal. Dalam sambutannya,<br />

Widjang menekankan pentingnya Proyek Nias-RACB dalam<br />

mendukung pengembangan lapangan kerja dan ekonomi<br />

di Kepulauan Nias melalui akses dan kapasitas sumber daya<br />

manusia yang lebih baik. Dia juga menegaskan adanya<br />

dukungan kuat yang diberikan pemerintah dan masyarakat<br />

setempat bagi pelaksanaan proyek.<br />

Kegiatan lanjutan dalam pembangunan juga perawatan<br />

akses dan infrastruktur pedesaan strategis serta rehabilitasi/<br />

rekonstruksi fasilitas-fasilitas cagar budaya di Nias juga terus<br />

dilakukan. Di samping itu, peran dan tanggung jawab setiap<br />

pemangku kepentingan juga dijabarkan agar pekerjaan<br />

infrastruktur dan konstruksi dapat terlaksana dengan efektif. <br />

Pekerjaan Umum, Bappenas, Kementerian Tenaga Kerja dan<br />

Transmigrasi, serta Badan Pusat Statistik. DySAM memiliki akun<br />

satelit lapangan kerja serta data detail yang memungkinkan<br />

pembuat keputusan mempertimbangkan peran pilihan<br />

teknologi dalam investasi publik. Sama seperti Matrik Akuntansi<br />

Sosial (Sosial Accounting Matrix/SAM) standar, DySAM dapat<br />

dikembangkan dengan memasukkan informasi tambahan,<br />

seperti akun satelit lingkungan hidup dan emisi CO2.<br />

“Untuk meningkatkan kapasitas pengguna, ILO memberikan<br />

pelatihan kepada staf beberapa kementerian dan perwakilan<br />

akademisi. Program pelatihan ini menggabungkan<br />

pembelajaran sendiri selama satu bulan dengan pelatihan<br />

intensif selama dua minggu, dan para peserta pelatihan akan<br />

diberikan kesempatan untuk mengaplikasikan keterampilan<br />

yang sudah mereka kembangkan dengan membuat sebuah<br />

studi kasus,” ujar Emma Allen, staf peneliti ILO. Menurut<br />

Emma, beberapa akademisi telah dipilih untuk ikut dalam<br />

program pelatihan untuk pelatih dan diiharapkan model ini<br />

akan diluncurkan pertengahan 2010 nanti.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!