Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
30 desember 6 januari 2013 2012<br />
komunitas 16<br />
MEnghilang paDa<br />
1965 karEna takut<br />
Dianggap punya<br />
kEtErkaitan<br />
DEngan koMunis.<br />
Keramaian itu tak mengusik<br />
keasyikan sekitar 10 pemuda<br />
yang duduk di salah satu<br />
sudut food court. Mereka adalah<br />
anggota komunitas penutur bahasa<br />
Esperanto yang tergabung dalam<br />
Esperiga Suno.<br />
“Bonan vesperon. Kiel vi fartas (Selamat<br />
sore, apa kabar),” kata Ilia Dewi,<br />
34 tahun, saat Detik menyambangi<br />
dia dan kawan-kawannya di food court<br />
Plaza Semanggi, 23 Desember lalu.<br />
Bukan bahasa Spanyol, Skandinavia,<br />
atau bahasa resmi negara di<br />
dunia lainnya. Bukan juga bahasa<br />
yang benar-benar baru.<br />
Ya, apa yang disampaikan Ilia adalah<br />
bahasa Esperanto yang diciptakan<br />
warga Polandia, Ludwig Lazarus<br />
Zamenhoff/Ludoviko Zamenhof, pada<br />
1887. Bahasa itu dibuat sebagai<br />
pemersatu untuk mengakhiri persoalan<br />
ragam bahasa. Rusia menjadi<br />
wilayah utama penyebarannya,<br />
EspEranto, Dari rusia<br />
kE sEratus nEgara<br />
yang kemudian menyebar ke berbagai<br />
belahan dunia tanpa batas geo-<br />
grafis. Belum menyamai pengguna<br />
bahasa Inggris tentu saja. Saat ini<br />
Esperanto digunakan sekitar 2 juta<br />
pembicara di lebih dari 100 negara.<br />
Di Indonesia, bahasa ini sempat<br />
populer, tapi kemudian mati suri pada<br />
1965. Namun kini Esperanto kembali<br />
dipelajari banyak orang di Tanah<br />
Air, seperti dilakukan oleh mereka<br />
yang tergabung dalam komunitas<br />
Esperiga Suno. “Mungkin kalau<br />
pertama-tama memang agak susah,<br />
tapi lama-lama enak juga. Asyiknya,<br />
belajarnya santai, jadi lebih cepat<br />
mengerti,” kata Jiefri Rikarman.<br />
Siswa Sekolah Menengah Kejuruan<br />
Al-Bahri yang baru bergabung<br />
dengan Esperiga Suno tersebut juga<br />
sedang belajar bahasa Spanyol dan<br />
rela jauh-jauh datang dari Bekasi<br />
untuk mengikuti jadwal belajarmengajar.<br />
Ia juga mengasah ilmu<br />
dengan mempelajari Esperanto dari<br />
Internet sehingga lebih lancar.<br />
Lain lagi dengan Ratna Juwita.<br />
Mahasiswi semester V Fakultas<br />
Hukum Universitas Jayabaya ini<br />
mengaku salah satu motivasinya<br />
bergabung dengan komunitas Espe<br />
riga Suno adalah melihat<br />
temannya bisa jalan-jalan ke luar<br />
negeri berkat belajar Esperanto.<br />
Karena itu, sejak Oktober tahun<br />
lalu, warga Bekasi ini juga membulatkan<br />
tekad belajar bahasa<br />
Esperanto.<br />
“Ya sudah, aku tertariklah mau<br />
ikut. Ternyata bahasanya juga<br />
mudah dimengerti, jadi nambah<br />
ilmu juga,” kata wanita yang akrab<br />
dipanggil Ayang itu.<br />
Ia menambahkan, sejauh pengalamannya<br />
belajar bahasa asing,<br />
seperti Inggris dan Belanda, bahasa<br />
Esperanto masih lebih mudah<br />
dimengerti. “Aku pernah belajar<br />
bahasa Belanda, tapi itu lebih<br />
susah. Kalau ini enggak berbelit,<br />
mudah diucapin,” kata dia.<br />
Menambah kemampuan berbahasa<br />
memang perlu, sama halnya<br />
menambah ilmu. Sebab, bahasa<br />
akan jadi gerbang komunikasi<br />
untuk melihat dunia yang lebih<br />
luas lagi. Alasan itu pulalah yang<br />
disampaikan Mardhatilla Pefiza<br />
Sidik, 16 tahun, pelajar SMAN 78.<br />
“Aku kepingin menambah wawasan<br />
bahasa internasional selain<br />
bahasa Inggris dan aku pengen<br />
jadi polygot (orang yang bisa lebih<br />
dari satu bahasa),” katanya.<br />
Meski saat itu kondisi udara<br />
sangat panas dan berisik, ketiga<br />
orang itu terlihat antusias bersama<br />
belasan orang lainnya menuliskan<br />
kata dan mengikuti intonasi<br />
serta mimik Ilia mengucapkan<br />
kata demi kata saat belajar angka,<br />
perkenalan, dan beberapa kata