BAB II
BAB II
BAB II
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
<strong>II</strong>.1 Tinjauan Pustaka<br />
<strong>II</strong>.1.1 Gagal Jantung<br />
a. Definisi<br />
<strong>BAB</strong> <strong>II</strong><br />
LANDASAN TEORITIS<br />
Menurut Masdanang (2008) gagal jantung adalah sindrom klinis<br />
(sekumpulan tanda dan gejala), yang ditandai dengan adanya sesak napas<br />
dan fatik (saat istirahat atau saat aktifitas) yang disebabkan oleh kelainan<br />
struktur atau fungsi jantung. Pada gagal jantung terjadi keadaan yang<br />
mana jantung tidak dapat menghantarkan curah jantung yang cukup untuk<br />
memenuhi kebutuhan metabolik tubuh.<br />
Menurut Sutanto (2010) pengertian dari gagal jantung adalah suatu<br />
keadaan dimana jantung sebagai pompa tidak mampu memenuhi<br />
kebutuhan darah untuk metabolisme tubuh.<br />
b. Etiologi<br />
Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara<br />
epidemiologi cukup penting untuk mengetahui penyebab dari gagal<br />
jantung, di negara berkembang. Penyakit arteri koroner dan hipertensi<br />
merupakan penyebab terbanyak sedangkan di negara berkembang yang<br />
menjadi penyebab terbanyak adalah penyakit jantung katup dan penyakit<br />
jantung akibat malnutrisi. Pada beberapa keadaan sangat sulit untuk<br />
menentukan penyebab dari gagal jantung (Firmansyah,2009).<br />
Penyakit jantung koroner pada Framingham Study dikatakan<br />
bahwa merupakan penyebab gagal jantung pada 46% laki-laki dan 27%<br />
pada wanita. Faktor risiko koroner seperti diabetes dan merokok juga<br />
merupakan faktor yang dapat berpengaruh pada perkembangan dari gagal<br />
jantung. Selain itu berat badan serta tingginya rasio kolesterol total dengan<br />
5
kolesterol HDL juga dikatakan sebagai faktor risiko independen<br />
perkembangan gagal jantung (Firmansyah,2009).<br />
c. Patofisiologi<br />
yaitu :<br />
Terdapat tiga kondisi yang mendasari terjadinya gagal jantung,<br />
1. Gangguan mekanik ; beberapa faktor yang mungkin bisa terjadi<br />
secara tunggal atau bersamaan yaitu :<br />
a) Beban tekanan<br />
b) Beban volume<br />
c) Tamponade jantung atau konstriski perikard, jantung tidak dapat<br />
diastole<br />
d) Obstruksi pengisian ventrikel<br />
e) Aneurisma ventrikel<br />
f) Disinergi ventrikel<br />
g) Restriksi endokardial atu miokardial<br />
2. Abnormalitas otot jantung<br />
a) Primer: kardiomiopati, miokarditis metabolik (DM, gagal ginjal<br />
kronik, anemia) toksin atau sitostatika.<br />
b) Sekunder: Iskemia, penyakit sistemik, penyakit infiltratif,<br />
korpulmonal<br />
3. Gangguan irama jantung atau gangguan konduksi<br />
d. Epidemiologi<br />
Gagal jantung adalah merupakan suatu sindrom, bukan merupakan<br />
suatu diagnosa penyakit dengan meningkatnya harapan hidup disertai<br />
makin tingginya angka keselamatan setelah serangan infark miokard akut<br />
akibat kemajuan pengobatan dan penatalaksanaannya, mengakibatkan<br />
6
semakin banyak pasien yang hidup dengan disfungsi ventrikel kiri yang<br />
selanjutnya masuk ke dalam gagal jantung kronis, akibatnya angka<br />
perawatan di rumah sakit karena gagal jantung kongestif juga ikut<br />
meningkat. Prevalensi gagal jantung di Amerika dan Eropa sekitar 1– 2%.<br />
Diperkirakan bahwa 5,3 juta warga Amerika saat ini memiliki<br />
gagaljantung kronik dan setidaknya ada 550.000 kasus gagal jantung baru<br />
didiagnosis setiap tahunnya. Pasien dengan gagal jantung akut kira-kira<br />
mencapai 20% dari seluruh kasus gagal jantung (Indrawati,2009).<br />
e. Mekanisme kompensasi gagal jantung<br />
1) Mekanisme Frank-Starling<br />
Mekanisme Frank-Starling meningkatkan stroke volume berarti<br />
terjadi peningkatan volume ventricular end-diastolic. Bila terjadi<br />
peningkatan pengisian diastolik, berarti ada peningkatan peregangan<br />
dari serat otot jantung, lebih optimal pada filamen aktin dan miosin,<br />
dan hasilnya meningkatkan tekanan pada kontraksi berikutnya<br />
(Boediono,2008; Marulam,2006).<br />
Pada gagal jantung, mekanisme Frank-Starling membantu<br />
mendukung cardiac output. Cardiac output mungkin akan normal pada<br />
penderita gagal jantung yang sedang beristirahat, dikarenakan<br />
terjadinya peningkatan volume ventricular end-diastolic dan<br />
mekanisme Frank-Starling. Mekanisme ini menjadi tidak efektif ketika<br />
jantung mengalami pengisian yang berlebihan dan serat otot<br />
mengalami peregangan yang berlebihan (Boediono,2008;<br />
Marulam,2006).<br />
2) Aktivasi neurohormonal yang mempengaruhi sistem saraf simpatetik<br />
Stimulasi sistem saraf simpatetik berperan penting dalam respon<br />
kompensasi menurunkan cardiac output dan patogenesis gagal jantung.<br />
Stimulasi langsung irama jantung dan kontraktilitas otot jantung oleh<br />
7
pengaturan vascular tone, sistem saraf simpatetik membantu memelihara<br />
perfusi berbagai organ, terutama otak dan jantung (Boediono,2008;<br />
Marulam,2006).<br />
Aspek negatif dari peningkatan aktivitas system saraf simpatetik<br />
melibatkan peningkatan tahanan sistem vaskular dan kelebihan<br />
kemampuan jantung dalam memompa. Stimulasi simpatetik yang<br />
berlebihan juga menghasilkan penurunan aliran darah ke kulit, otot,<br />
ginjal, dan organ abdominal. Hal ini tidak hanya menurunkan perfusi<br />
jaringan tetapi juga berkontribusi meningkatkan sistem tahanan vaskular<br />
dan stres berlebihan dari jantung (Boediono,2008; Marulam,2006).<br />
3) Mekanisme Renin-Angiotensin-Aldosteron<br />
Salah satu efek yang paling penting dalam menurunkan cardiac<br />
output dalam gagal jantung adalah reduksi aliran darah pada ginjal dan<br />
kecepatan filtrasi glomerulus, yang menyebabkan retensi garam dan air.<br />
Penurunan aliran darah ke ginjal, meningkatkan sekresi renin oleh ginjal<br />
yang secara paralel akan meningkatkan pula angiotensin <strong>II</strong>. Peningkatan<br />
konsentrasi angiotensin <strong>II</strong> berkontribusi pada keadaan vasokonstriksi dan<br />
menstimulasi produksi aldosteron dari adrenal korteks. Aldosteron akan<br />
meningkatkan reabsorpsi natrium dengan meningkatkan retensi air<br />
(Boediono,2008; Marulam,2006).<br />
Selain itu angiotensin <strong>II</strong> dan aldosteron juga terlibat dalam<br />
inflamasi proses perbaikan karena adanya kerusakan jaringan.<br />
Keduanya menstimulasi produksi sitokin, adhesi sel inflamasi (contoh<br />
neutrofil dan makrofag) dan kemotaksis; mengaktivasi makrofag pada<br />
sisi kerusakan dan perbaikan; dan menstimulasi pertumbuhan fibroblas<br />
dan sintesis jaringan kolagen (Boediono,2008; Marulam,2006).<br />
4) Peptida natriuretik dan substansi vasoaktif yang diproduksi secara<br />
lokal<br />
8
Ada tiga jenis natriuretic peptide yaitu atrial natriuretic peptide<br />
(ANP), brain natriuretic peptide (BNP), dan C-type natriuretic peptide<br />
(CNP). ANP dihasilkan dari sel atrial sebagai respon meningkatkan<br />
ketegangan tekanan atrial, memproduksi natriuresis cepat dan<br />
sementara, diuretik dan kehilangan kalium dalam jumlah sedang dalam<br />
urine. BNP dikeluarkan sebagai respon tekanan pengisian ventrikel<br />
sedangkan fungsi CNP masih belum jelas (Boediono,2008;<br />
Marulam,2006).<br />
5) Hipertrofi otot jantung dan remodeling<br />
Perkembangan hipertrofi otot jantung dan remodeling merupakan<br />
salah satu mekanisme akibat meningkatnya kerja yang berlebih.<br />
Meskipun hipertrofi ventrikel memperbaiki kerja jantung, ini juga<br />
merupakan faktor risiko yang penting bagi morbiditas dan mortalitas.<br />
Keadaan hipertrofi dan remodeling dapat menyebabkan perubahan dalam<br />
struktur (massa otot, dilatasi chamber) dan fungsi (gangguan fungsi<br />
sistolik dan diastoli) (Boediono,2008; Marulam,2006).<br />
9
Aktivasi sistem<br />
simpatis<br />
Kontraktilitas Laju nadi Vasokonstriksi Volume Sirkulasi<br />
Arteriol Vena<br />
Aliran Balik Vena<br />
+ Curah<br />
- (Preload )<br />
Jantung<br />
Stroke Volume<br />
10<br />
Edema Perifer &<br />
Kongesti Paru<br />
Gambar 1. Mekanisme Kompensasi Neurohormonal sebagai Respon terhadap<br />
Penurunan Curah Jantung dan Tekanan Darah pada Gagal Jantung<br />
Dikutip dari: “Shah RV, Fifer MA. Heart failure. Lilly LS, editor. In:<br />
Pathophysiology of heart disease. 4 th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams and<br />
Wilkins; 2007. p. 237” (telah diolah kembali)<br />
f. Faktor Resiko<br />
Penurunan Curah Jantung<br />
Aktivasi Sistem Renin<br />
Angiotensin<br />
Tekanan<br />
darah<br />
dipertahankan<br />
Hormon<br />
Antidiuretik<br />
Faktor risiko dari penyakit jantung koroner dapat digolongkan<br />
menjadi 2 kategori yang berbeda, yakni faktor risiko yang dapat<br />
dimodifikasi dan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi. Beberapa
faktor risiko yang dapat dimodifikasi antara lain kadar kolesterol darah<br />
tinggi, kadar LDL (Low Density Lipoprotein) tinggi, kadar trigliserida<br />
tinggi, hipertensi, diabetes, obesitas, aktivitas fisik yang kurang, serta<br />
merokok. Semua faktor risiko tadi merupakan faktor risiko yang dapat<br />
dikontrol, baik dengan perubahan gaya hidup maupun medikasi.<br />
Sedangkan usia tua, jenis kelamin wanita dan riwayat penyakit jantung<br />
pada keluarga merupakan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi<br />
(Irnizarifka,2010).<br />
g. Klasifikasi Gagal Jantung<br />
1. Klasifikasi Gagal Jantung menurut New York Heart<br />
Association (NYHA) (Melilea,2008)<br />
a) NYHA kelas I<br />
11<br />
Para penderita penyakit jantung tanpa pembatasan<br />
dalam kegiatan fisik serta tidak menunjukkan gejala-gejala<br />
penyakit jantung seperti cepat lelah, sesak nafas atau<br />
berdebar-debar, apabila mereka melakukan kegiatan<br />
biasa(Melilea,2008).<br />
b) NYHA kelas <strong>II</strong><br />
Penderita dengan sedikit pembatasan dalam kegiatan<br />
fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan<br />
tetapi kegiatan fisik yang biasa menimbulkan gejala-gejala<br />
insufisiensi jantung seperti kelelahan, jantung berdebar, sesak<br />
nafas atau nyeri dada (Melilea,2008).<br />
c) NYHA kelas <strong>II</strong>I<br />
Penderita penyakit jantung dengan banyak pembatasan<br />
dalam kegiatan fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu<br />
istirahat, akan tetapi kegiatan fisik yang kurang dari kegiatan
h. Prognosis<br />
biasa sudah menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung<br />
seperti yang tersebut di atas (Melilea,2008).<br />
d) NYHA kelas IV<br />
12<br />
Penderita tidak mampu melakukan kegiatan fisik<br />
apapun tanpa menimbulkan keluhan. Waktu istirahat juga<br />
dapat menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung, yang<br />
bertambah apabila mereka melakukan kegiatan fisik meskipun<br />
sangat ringan (Melilea,2008).<br />
2. Klasifikasi berdasarkan American College of Cardiology and<br />
the American Heart Association (Melilea,2008):<br />
a) Tahap A<br />
Mempunyai risiko tinggi terhadap perkembangan<br />
gagal jantung tetapi tidak menunjukkan struktur abnormal<br />
dari jantung (Melilea,2008).<br />
b) Tahap B<br />
Adanya stuktur yang abnormal pada jantung pasien<br />
tetapi tidak bergejala (Melilea,2008).<br />
c) Tahap C<br />
Adanya struktural yang abnormal dari pasien dengan<br />
gejala awal gagal jantung (Melilea,2008).<br />
d) Tahap D<br />
Pasien dengan gejala tahap akhir gagal jantung sulit<br />
diterapi dengan pengobatan standar (Melilea,2008).<br />
Prognosis gagal jantung tergantung dari derajat disfungsi<br />
miokardium. Menurut New York Heart Assosiation, gagal jantung kelas I-<br />
<strong>II</strong>I didapatkan mortalitas 1 dan 5 tahun masing-masing 25% dab 52%.<br />
Sedangkan kelas IV mortalitas 1 tahun adalah sekitar 40%-50%.
<strong>II</strong>.1.2 Penyakit Jantung Koroner<br />
a. Definisi<br />
Penyakit jantung koroner (PJK) adalah suatu kondisi dimana plak<br />
(plaque) terbentuk di dalam arteri koroner yang dapat menyebabkan<br />
penyakit aterosklerosis. penyakit jantung koroner merupakan penyebab<br />
kematian dan kecacatan utama, dimana pembuluh darah yang membawa<br />
oksigen dan nutrisi ke otot jantung tersumbat dan menyempit. Apabila<br />
pembuluh darah (arteri koroner) menjadi tersumbat, suplai darah ke otot<br />
jantung akan berkurang sehingga dapat menyebabkan gejala seperti<br />
angina. Jika bekuan darah di arteri menyempit dan benar-benar memblok<br />
suplai darah ke jantung maka dapat menyebabkan serangan jantung yang<br />
mengancam jiwa (Heart foundation,2006).<br />
Penyakit jantung koroner adalah merupakan keadaaan dimana<br />
telah terjadi ketidakseimbangan antara kebutuhan miokardium terhadap<br />
oksigen dengan penyediaan yang di berikan oleh pembuluh darah koroner.<br />
Terdapat 4 faktor yang menentukan besarnya kebutuhan oksigen<br />
miokardium yaitu frekuensi denyut jantung, daya kontraksi, massa otot,<br />
dan tegangan dinding ventrikel. Bila kebutuhan miokardium meningkat,<br />
otomatis penyediaan oksigen juga harus meningkat. Untuk meningkatkan<br />
penyediaan oksigen dalam jumlah yang memadai, aliran pembuluh darah<br />
koroner harus ditingkatkan. Rangsangan yang paling kuat untuk<br />
mendilatasi arteri koronaria dan meningkatkan aliran darah koroner adalah<br />
hipoksia jaringan lokal. Pembuluh darah koroner dapat melebar sekitar<br />
lima sampai enam kali sehingga dapat memenuhi kebutuhan miokardium.<br />
Namun, pembuluh darah dapat mengalami stenosis dan tersumbat<br />
akibatnya kebutuhan miokardium akan oksigen tidak dapat terpenuhi<br />
(Supriyono,2010).<br />
13
. Epidemiologi<br />
Sejak tahun 1996 penyakit jantung koroner adalah penyebab<br />
kematian nomor satu di Indonesia. Padahal sebelumnya menduduki<br />
peringkat ketiga. Di Indonesia penyakit ini adalah pembunuh nomor satu<br />
dengan jumlah kejadiannya yang terus meningkat dari tahun ke tahun.<br />
Data statistik menunjukkan bahwa pada tahun 1992 persentase penderita<br />
PJK di Indonesia adalah 16,5%, dan pada tahun 2000 melonjak menjadi<br />
26,4% (Kurniati,2007). Tidak hanya di Indonesia, prevalensi PJK di dunia<br />
ternyata semakin meningkat. Menurut WHO diperkirakan pada tahun<br />
2005 tardapat 17,5 juta orang meninggal karena penyakit kardiovaskuler,<br />
mewakili 30% dari seluruh kasus kematian di dunia. Dari kematian ini, 7,6<br />
juta diantaranya terkena serangan jantung dan 5,7 juta diantaranya stroke.<br />
c. Etiologi<br />
Aterosklerosis pembuluh darah koroner merupakan penyebab<br />
tersering dari penyakit jantung koroner. Aterosklerosis terjadi disebabkan<br />
oleh adanya penimbunan lipid di lumen arteri koronaria sehingga secara<br />
progresif mempersempit lumen arteri tersebut dan bila hal ini terus<br />
berlanjut, maka dapat menurunkan kemampuan pembuluh darah untuk<br />
berdilatasi. Dengan demikian, keseimbangan penyedia dan kebutuhan<br />
oksigen menjadi tidak stabil sehingga membahayakan miokardium yang<br />
terletak sebelah distal daerah lesi. Lesi biasanya diklasifikasikan sebagai<br />
berikut:<br />
Endapan lemak, merupakan tanda awal terbentuknya aterosklerosis,<br />
ditandai dengan adanya penimbunan makrofag dan sel – sel otot polos<br />
berisi lemak (terutama kolesterol oleat) pada daerah fokal tunika<br />
intima pembuluh darah.<br />
Plak fibrosa (plak ateromatosa), merupakan daerah penebalan tunika<br />
intima yang meninggi dan dapat diraba sebagai bentuk kubah dengan<br />
permukaan opak dan mengkilat yang keluar ke arah lumen sehingga<br />
14
menyebabkan obstruksi. Plak fibrosa terdiri atas inti pusat lipid dan<br />
debris sel nekrotik yang ditutupi oleh jaringan fibromuskular<br />
mengandung banyak sel – sel otot polos dan kolagen. Seiring<br />
berkembangnya lesi, terjadilah pembatasan aliran darah koroner,<br />
remodeling vaskular, dan stenosis luminal sehingga rentan terjadinya<br />
ruptur plak yang memicu trombosis vena.<br />
Lesi lanjutan (komplikata), terjadi apabila suatu plak fibrosa rentan<br />
terhadap terjadinya kalsifikasi, nekrosis sel, perdarahan, trombosis,<br />
atau ulserasi dan dapat menyebabkan infark miokard.<br />
d. Faktor Risiko<br />
Terdapat beberapa faktor yang dikenal sebagai faktor resiko yang<br />
meningkatkan kerentanan terhadap terjadinya aterosklerosis koroner<br />
terhadap individu tertentu, yaitu tiga faktor biologi yang tidak dapat<br />
diubah, yaitu : usia, laki – laki, dan riwayat keluarga (genetik). Kerentanan<br />
terhadap penyakit jantung koroner meningkat seiring bertambahnya usia.<br />
Pada usia 40-60 tahun, kejadian infark miokard dapat meningkat 5 kali<br />
lipat. Sedangkan faktor risiko yang dapat diubah, yaitu : adanya<br />
peningkatan kadar lipid serum, hipertensi, merokok (perokok aktif dan<br />
perokok pasif), diabetes melitus (tipe I dan tipe <strong>II</strong>), aktivitas fisik (olah<br />
raga) yang kurang, obesitas (indeks massa tubuh > 30 kg/m 2 ), dan adanya<br />
peningkatan kadar homosistein (Price,2005).<br />
e. Manifestasi Klinis<br />
Penyakit jantung koroner dapat memberi manifestasi klinis yang<br />
berbeda-beda. Manisfestasi klinis PJK meliputi:<br />
1) Asimptomatik (Silent Myocardial Ischemia)<br />
Kelompok penderita ini tidak pernah mengeluh adanya nyeri<br />
dada (angina) baik saat istirahat ataupun saat beraktifitas. Ketika EKG<br />
menunjukkan depresi segmen ST, penderita tidak mengeluh adanya<br />
15
nyeri dada. Pemeriksaan fisik, foto dada dan lain-lain dalam masih<br />
dalam batas normal (Joewono,2005).<br />
2) Angina Pektoris<br />
Angina pektoris memiliki arti nyeri dada intermiten yang<br />
disebabkan oleh iskemia miokardium yang reversible dan<br />
sementara(Robins,2007)<br />
a) Angina Pektoris Stabil atau STEMI (ST elevation myocardial<br />
infarction)<br />
Mengacu pada nyeri dada episodik saat melakukan aktifitas<br />
berolahraga atau sedang mengalami bentuk stress lainnya, bersifat<br />
kronis (lebih dari 2 bulan). Nyeri precordial terutama di daerah<br />
retrosternal, terasa seperti diremas atau seperti tertekan benda berat<br />
atau terasa panas yang menjalar ke lengan kiri atas atau bawah<br />
bagian medial, ke leher, daerah maksila hingga ke dagu atau ke<br />
pungguang, tapi jarang menjalar ke lengan kanan. Angina pektoris<br />
stabil biasanya disebabkan oleh penyempitan aterosklerosis tetap<br />
satu atau lebih arteri koronaria (Robins,2007). Nyeri biasanya<br />
berlangsung singkat (1-5 menit) dan rasa nyeri hilang bila penderita<br />
istirahat atau dengan pemberian nitrogliserin (Joewono,2005)<br />
b) Angina Pektoris tidak Stabil atau NSTEMI (Non-ST elevation<br />
myocardial infarction)<br />
Angina pektoris tidak stabil ditandai dengan adanya nyeri<br />
angina yang frekuensinya meningkat. Serangan cenderung dipicu<br />
oleh olahraga yang semakin ringan, dan serangan menjadi lebih<br />
intens dan berlangsung lebih lama daripada angina pektoris stabil<br />
(Robins,2007).<br />
16
Pada pemeriksaan elektrokardiografi di dapatkan adanya depresi<br />
segmen-ST, kadar enzim jantung tidak mengalami peningkatan<br />
(Joewono,2005).<br />
3) Infark Miokard Akut (IMA)<br />
Infark adalah kematian jaringan yang disebabkan oleh iskemia.<br />
Infark miokard akut terjadi saat iskemia miokard yang terlokalisasi<br />
menyebabkan suatu nekrosis dengan batas yang jelas. Hal ini<br />
menyebabkan terbentuknya trombus yang menyumbat arteri, sehingga<br />
menyebabkan penghentian pasokan darah ke regio jantung yang<br />
disuplainya (Philip,2008). Penderita IMA sering didahului oleh<br />
keluhan dada yang terasa tidak enak (chest discomfort). Nyeri dada<br />
berlangsung lebih dari 30 menit bahkan sampai berjam-jam. Kualitas<br />
nyeri dirasakan menekan, diremas, tercekik, berat, tajam, seperti<br />
terbakar.<br />
- Pemeriksaan fisik:<br />
Tampak ketakutan, gelisah, tegang, nadi bervariasi, tekanan<br />
darah normal namun terkadang tekanan nadi sering menurun.<br />
Auskultasi jantung suara jantung (S1) melemah dan sering<br />
tidak terdengar. Sering terdengar suara gallop S3 ataupun S4.<br />
- Elektrokardiografi:<br />
Menunjukkan adanya elevasi segmen-ST sesuai lokasi dinding<br />
ventrikel yang mengalami infark. Pada fase hiperakut,<br />
perubahan EKG didahului oleh gelombang T yang meninggi,<br />
kemudian elevasi segmen-T selanjutnya terbentuk gelombang<br />
Q yang patologis disertai elevasi segmen-ST.<br />
17
- Pemeriksaan laboratorium<br />
f. Patogenesis<br />
enzim CK meningkat dalam 4-8 jam dan menurun ke kadar<br />
normal dalam 2-3 hari dengan kadar puncak pada 24 jam. CK<br />
isoenzim (CK-MB) meningkat dalam 3-12 jam pertama dan<br />
mencapai puncak dalm 18-36 jam selanjutnya menjadi normal<br />
setelah 3-4 hari. Sementara lactic dehidrogenase (LDH)<br />
meningkat pada 10 jam dengan kadar puncaknya tercapai<br />
dalam 24-48 jam dan kembali normal setelah 10-14 hari<br />
(Joewono,2005).<br />
Menurut WHO kriteria diagnostik untuk IMA adalah jika ada 2<br />
dari faktor berikut yaitu; adanya nyeri dada yang spesifik,<br />
perubahan EKG (gelombang Q patologis dengan elevasi<br />
segmen-ST) dan peningkatan kadar enzim jantung<br />
(Joewono,2005).<br />
Awal terbentuknya aterosklerosis merupakan adanya respon<br />
terjadinya cidera pada dinding pembuluh darah oleh beberapa pajanan<br />
seperti faktor – faktor hemodinamik, hipertensi, hiperlipidemia, derivat<br />
rokok, dan toksin (misalnya homosistein atau LDL-C teroksidasi).<br />
Tahapan – tahapan patogenesis aterosklerosis adalah :<br />
o Cidera dan disfungsi endotel menyebabkan terjadi peningkatan<br />
perlekatan trombosit dan leukosit, permeabilitas, koagulasi, inflamasi,<br />
dan migrasi monosit ke dalam dnding arteri; LDL-C teroksidasi masuk<br />
ke dalam tunika intima.<br />
o Pembentukan bercak lemak, bercak lemak terdiri atas makrofag<br />
mengandung lemak (sel busa) dan limfosit T. Trombosit dan<br />
pengaktivan GF (faktor pertumbuhan yang dilepaskan oleh makrofag<br />
mengakibatkan pertumbuhan dan migrasi otot polos pembuluh darah<br />
18
dari media ke dalam intima, sehingga proses ini mengubah bercak<br />
lemak menjadi ateroma matur.<br />
o Pembentukan lesi aterosklerosis komplikata lanjut, bercak lemak<br />
berkembang menjadi intermediet dan lesi membentuk lapisan fibrosa<br />
yang membatasi lesi dari lumen pembuluh darah, lesi ini berupa<br />
campuran dari leukosit, debris, sel busa, dan lipid bebas yang nantinya<br />
membentuk inti nekrotik.<br />
o Komplikata plak ateromatosa, dimana trombosis terjadi dari perlekatan<br />
trombosit ke tepian ateroma yang kasar.<br />
g. Patofisiologi<br />
Berkurangnya kadar oksigen miokardium mengubah metabolisme<br />
pada sel-sel miokardium dari aerob menjadi anaerob. Hasil akhir<br />
metabolisme anaerob yaitu asam laktat yang akan tertimbun dan dapat<br />
menurunkan pH sel. Berkurangnya energi yang tersedia dan keadaan<br />
asidosis dapat mengganggu fungsi ventrikel dalam memompa darah,<br />
sehingga miokardium yang mengalami iskemia kekuatannya berkurang,<br />
serabut – serabutnya memendek, dan daya serta kecepatannya berkurang.<br />
Selain itu dinding segmen yang mengalami iskemia menjadi abnormal;<br />
bagian tersebut akan menonjol keluar setiap kali ventrikel berkontraksi.<br />
Berkurangnya daya kontraksi dan gangguan gerakan jantung<br />
menyebabkan perubahan hemodinamika yang bervariasi sesuai tingkat<br />
keparahan iskemi dari miokard. Menurunnya fungsi ventrikel kiri dapat<br />
mengurangi curah jantung dengan berkurangnya volume sekuncup.<br />
Akibatnya tekanan jantung kiri akan meningkat sehingga terjadi<br />
peningkatan ringan tekanan darah dan denyut jantung sebelum timbul<br />
nyeri. Iskemia miokardium biasanya disertai dengan 2 perubahan EKG<br />
akibat perubahan elektrofisiologi sel, yaitu gelombang T terbalik dan<br />
depressi segmen ST.<br />
19
Iskemia yang berlangsung lebih dari 30 – 45 menit akan<br />
mengakibatkan kerusakan sel irreversible serta nekrosis miokard. Miokard<br />
yang mengalami infark atau nekrosis akan berhenti berkontraksi secara<br />
permanen. Terdapat 2 jenis infark, infark transmural (mengenai seluruh<br />
tebal miokard yang bersangkutan) dan infark subendokardial (terbatas<br />
pada separuh bagian dalam endokardium.<br />
h. Komplikasi<br />
Komplikasi akibat adanya aterosklerosis yang menjadikan iskemia<br />
dan infark miokard yaitu :<br />
Gagal jantung kongestif<br />
Syok kardiogenik<br />
Disfungsi m. papilaris<br />
Defek septum ventrikel<br />
Ruptur jantung<br />
Aneurisme ventrikel<br />
Tromboembolisme<br />
Perikarditis<br />
Sindrom dressler<br />
Disritmia<br />
i. Penatalaksanaan<br />
a) Pencegahan primer<br />
Harus dilakukan tindakan pencegahan untuk menghilangkan<br />
atau mengendalikan faktor- faktor risiko pada setiap individu.<br />
b) Pengobatan<br />
Tujuan pengobatan iskemia miokard adalah untuk mencegah<br />
terjadinya kerusakan miokard dengan mempertahankan keseimbangan<br />
antara konsumsi oksigen miokardium dan penyediaan oksigen.<br />
20
Memperbaiki lesi aterosklerosis pada arteri koroner dapat<br />
menggunakan teknik CABG (Coronary Artery Bypass Graft) yang<br />
pertama kali dilakukan oleh Favaloro 1969 dan juga dapat<br />
menggunakan teknik PTCA (Percutaneous Transluminal Coronary<br />
Angioplasty) tanpa menggunakan pembedahan.<br />
c) Rehabilitasi<br />
Tujuan akhir pengobatan penyakit jantung koroner adalah<br />
mengembalikan penderita ke gaya hidup produktif dan menyenangkan.<br />
Rehabilitasi jantung, seperti yang didefinsikan oleh American Heart<br />
association dan The Task Force on Cardiovascular Rehabilitation of<br />
the National Heart, Lung, and Blood Institute adalah proses<br />
memulihkan dan memelihara potensi fisik, psikologis, sosial,<br />
pendidikan, dan pekerjaan pasien. Pasien harus dibantu untuk<br />
meneruskan kembali tingkat kegiatan mereka sesuai fisik mereka dan<br />
tidak dihambat oleh tekanan psikologis.<br />
<strong>II</strong>.1.3 Hubungan Penyakit Jantung Koroner dan Gagal Jantung<br />
Penyakit jantung koroner merupakan akibat dari aterosklerosis dan<br />
dapat menyebabkan gagal jantung melalui berbagai mekanisme, salah<br />
satunya adalah nekrosis otot jantung yang mengakibatkan kegagalan<br />
pompa jantung. Oklusi mendadak yang terjadi pada pembuluh darah<br />
koroner menyebabkan disfungsi kontraktilitas diastolik dan sistolik. Efek<br />
lainnya adalah perubahan metabolisme aerobik menjadi anareobik.<br />
Akibatnya, terjadilah akumulasi fosfat dari pemecahan keratin fosfat dan<br />
ATP di dalam sel. Ion hidrogen dan fosfat secara langsung mengganggu<br />
protein yang berperan dalam kontraktilitas jantung. Oklusi total pada<br />
arteri menyebabkan nekrosis hemoragik pada miokard yang diperdarahi<br />
oleh arteri tersebut sehingga terjadilah infark miokard yang permanen.<br />
Disfungsi endotel yang biasa terjadi pada penyakit jantung koroner<br />
menyebabkan berkurangnya kemampuan pembuluh darah dalam<br />
21
eradaptasi terhadap perubahan aliran darah dan tekanan, sehingga terjadi<br />
peningkatan resistensi vaskular. Berkurangnya aliran darah koroner tidak<br />
hanya menyebabkan nekrosis dan apoptosis otot jantung tetapi juga<br />
hibernasi otot jantung. Keadaan hibernasi ini berkembang sebagai respon<br />
adaptasi terhadap penurunan aliran darah untuk otot jantung yang<br />
berlangsung lama. Pada keadaan ini, perfusi jaringan cukup untuk<br />
mempertahankan viabilitas sel otot namun tidak cukup untuk fungsi<br />
kontraktilitas normal. Sel otot jantung yang mengalami iskemi atau<br />
hibernasi inilah yang menjadi target terapi. Namun, pengobatan gagal<br />
jantung akut dengan vasoaktif seperti dopamin, dobutamin, dopamine dan<br />
milrinone dapat menyebabkan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan<br />
dengan meningkatkan kontraktilitas atau nadi sekaligus menurunkan<br />
tekanan darah akibat efek vasodilatasi. Akhirnya, terjadi penurunan<br />
perfusi koroner yang dapat memicu kerusakan miokardium. Hal ini<br />
menjelaskan mengapa pengobatan jangka pendek pada gagal jantung<br />
akut, khususnya pada pasien penyakit jantung koroner dapat memperbaiki<br />
kondisi hemodinamik dan gejala namun mortalitas pasca perawatan dapat<br />
meningkat. Pasien dengan gagal jantung akut dan penyakit jantung<br />
koroner sering memiliki prognosis yang buruk dibandingkan pasien yang<br />
tidak memiliki penyakit jantung koroner. Hal ini mungkin terkait tingkat<br />
keparahan penyakit jantung koroner serta adanya komorbid lain pada<br />
pasien yang mengalami penyakit jantung koroner. Secara umum, penyakit<br />
jantung koroner dapat meningkatkan mortalitas pasien gagal jantung akut.<br />
Angka mortalitas mencapai 20-40% pada gagal jantung yang<br />
berhubungan dengan infark miokard akut.<br />
22
<strong>II</strong>.2. Kerangka Teoritis<br />
Penyakit Jantung Koroner<br />
Left ventricular injury<br />
Pathologic remodelling<br />
Fraksi ejeksi melemah<br />
Kegagalan memompa<br />
Gagal jantung<br />
Bagan 1. Kerangka Teoritis<br />
23
<strong>II</strong>.3. Kerangka konsep<br />
Variable independen Variable dependen<br />
Riwayat Penyakit Jantung<br />
Koroner<br />
<strong>II</strong>.4. Hipotesis<br />
Bagan 2. Kerangka Konsep<br />
H0 : Ada hubungan antara riwayat penyakit jantung koroner terhadap angka<br />
kejadian penyakit gagal jantung kongestif di poli jantung RSPAD Gatot<br />
Soebroto periode Juli 2010 – Desember 2010<br />
H1 : Tidak ada hubungan antara riwayat penyakit jantung koroner terhadap<br />
angka kejadian penyakit gagal jantung kongestif di poli jantung RSPAD Gatot<br />
Soebroto periode Juli 2010 – Desember 2010<br />
Gagal Jantung<br />
kongestif<br />
24