16.05.2013 Views

Utusan Damai di Kemelut Perang

Utusan Damai di Kemelut Perang

Utusan Damai di Kemelut Perang

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Daftar Isi<br />

Prakata<br />

<strong>Utusan</strong> <strong>Damai</strong> <strong>di</strong> <strong>Kemelut</strong> <strong>Perang</strong><br />

Peran Zen<strong>di</strong>ng dalam <strong>Perang</strong> Toba<br />

Berdasarkan Laporan I.L. Nommensen dan penginjil RMG lain<br />

oleh<br />

Uli Kozok<br />

© 2009 Uli Kozok (kozok@hawaii.edu)<br />

Hak Cipta <strong>di</strong>lindungi undang-undang<br />

Ludwig Ingwer Nommensen adalah seorang tokoh yang oleh sebagian orang<br />

Batak tidak hanya <strong>di</strong>hormati atas jasanya menyebarkan agama Kristen <strong>di</strong> Tanah<br />

Batak, tetapi bahkan <strong>di</strong>anggap sebagai rasul atau apostel Batak.<br />

Sumbangan Nommensen dan tokoh-tokoh injil lainnya – yang namanya jarang<br />

<strong>di</strong>sebut – berdampak luas pada masyarakat Batak, bukan saja <strong>di</strong> bidang<br />

kerohanian, tetapi juga <strong>di</strong> bidang pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan, kesehatan, dan sebagainya.<br />

Tokoh penginjilan dari Rheinische Missions-Gesellschaft (RMG), lembaga<br />

penginjilan asal Jerman, ini hidup <strong>di</strong> antara orang Batak selama lebih dari 50 tahun.<br />

Tentu dapat <strong>di</strong>pahami bahwa orang Batak yang beragama Kristen Protestan<br />

mengenang Nommensen dengan rasa kagum dan bangga.<br />

Nommensen memang seorang tokoh yang berkarisma tetapi <strong>di</strong>a juga hanya<br />

salah satu dari banyak penginjil Batakmission (zen<strong>di</strong>ng Batak) yang <strong>di</strong>tugaskan<br />

untuk menyebarkan injil. Dia bukan pemrakarsa zen<strong>di</strong>ng Batak dan otoritasnya<br />

terbatas. Disiplin dan kepatuhan terhadap atasan memang sangat <strong>di</strong>utamakan<br />

dalam kalangan RMG, dan para penginjil sadar bahwa mereka <strong>di</strong>harap<br />

melaksanakan tugasnya sesuai dengan kehendak dan kebijakan pimpinan RMG.<br />

Sebagai pelaksana, para penginjil <strong>di</strong>wajibkan untuk setiap bulan menulis laporan.<br />

Laporan-laporan itu kemu<strong>di</strong>an <strong>di</strong>olah dan <strong>di</strong>terbitkan dalam sebuah majalah yang<br />

<strong>di</strong>namakan Berichte der Rheinische Missions-Gesellschaft, <strong>di</strong>singkat BRMG. Secara<br />

total ada sekitar 5.000 halaman yang <strong>di</strong>tulis oleh para penginjil RMG <strong>di</strong> Tanah


Batak tentang segala hal yang terja<strong>di</strong> <strong>di</strong> wilayah penginjilannya. Dengan demikian<br />

BRMG merupakan sumber historis yang teramat penting.<br />

Salah satu peristiwa penting dalam sejarah Batak adalah <strong>Perang</strong> Toba yang<br />

terja<strong>di</strong> pada tahun 1878 dan 1883 sebagai inti perlawanan Si Singamangaraja XII<br />

terhadap kekuasaan Belanda. Di dalam buku yang sederhana ini kami sajikan<br />

laporan-laporan para zendeling tentang <strong>Perang</strong> Toba Pertama. Laporan para<br />

penginjil itu kami sajikan dalam bentuk e<strong>di</strong>si faksimile agar secara mudah teks asli<br />

yang berbahasa Jerman dapat <strong>di</strong>ban<strong>di</strong>ngkan dengan terjemahan bahasa Indonesia,<br />

dan untuk menjaga keakuratan terjemahannya.<br />

Buku ini mengungkap catatan perjalanan para penginjil, terutama Ludwig Ingwer<br />

Nomensen dan Wilhelm Metzler selama masa <strong>Perang</strong> Toba. Laporan Nommensen<br />

dan Metzler berbicara sen<strong>di</strong>ri dan tidak perlu banyak <strong>di</strong>komentari. Akan tetapi yang<br />

perlu <strong>di</strong>lakukan ialah mencari alasan mengapa para penginjil begitu rela membantu<br />

tentara Belanda menumpaskan perjuangan Si Singamangaraja XII. Sebagai <strong>di</strong><strong>di</strong>kan<br />

seminaris RMG para penginjil tentu <strong>di</strong>pengaruhi oleh para guru mereka, dan guru<br />

mereka sen<strong>di</strong>ri <strong>di</strong>pengaruhi oleh aliran teologi dan ideologi yang sedang<br />

berkembang pada waktu itu.<br />

Oleh sebab itu buku ini tidak hanya mengulas latar belakang teologi <strong>di</strong> RMG pada<br />

pertengahan abad ke-19 melainkan juga ideologi yang sedang berkembang <strong>di</strong><br />

Eropa, dan khususnya <strong>di</strong> Jerman. Hanya dengan adanya pengetahuan tentang latar<br />

belakang kehidupan para misionaris maka kita bisa memahami tindakan mereka.<br />

Pengetahuan kita tentang tindakan mereka akan juga bermanfaat untuk<br />

menghindar agar jangan terja<strong>di</strong> pembentukan mitos dan legenda yang tidak sehat.<br />

Sesuai dengan perkembangan zaman, penilaian terhadap tokoh-tokoh sejarah<br />

bisa saja terja<strong>di</strong>, dan hal tersebut adalah sesuatu yang lumrah. Saya menyadari<br />

bahwa buku yang sederhana ini oleh sebagian orang <strong>di</strong>anggap “kontroversial”.<br />

Sesungguhnya buku ini hanya bisa menja<strong>di</strong> “kontroversial” karena selama ini<br />

penulisan sejarah penginjilan <strong>di</strong> Tanah Batak <strong>di</strong>dominasi oleh para penulis yang<br />

dekat dengan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) sebagai penerus RMG. Sayang<br />

penulisan sejarah seperti itu sangat sepihak dan tanpa adanya upaya untuk secara<br />

kritis mengevaluasi tokoh-tokoh penginjilan serta motivasi lembaga penginjilan<br />

yang ber<strong>di</strong>ri <strong>di</strong> belakangnya.<br />

Honolulu, September 2010,<br />

Dr. Uli Kozok


Pendahuluan<br />

“Mereka mengatakan secara blak-blakan bahwa kami<br />

pelopor pemerintah kolonial yang awalnya berbuat amal<br />

dengan cara memberi obat dsb. untuk akhirnya<br />

menyerahkan tanah dan rakyat kepada pemerintah.”<br />

Demikian keluhan I.L. Nommensen ketika baru membuka pos zen<strong>di</strong>ng <strong>di</strong> lembah<br />

Sipirok. Dugaan orang Sipirok ternyata benar. Tidak lama sesudah pindah ke<br />

lembah Silindung, tepatnya pada awal tahun 1878, Nommensen berulang kali<br />

meminta kepada pemerintah kolonial agar selekasnya menaklukkan Silindung<br />

menja<strong>di</strong> bagian dari wilayah Hin<strong>di</strong>a-Belanda.<br />

Pemerintah Belanda akhirnya mengabulkan permintaan Nommensen sehingga<br />

terbentuk koalisi injil dan pedang yang sangat sukses karena kedua belah pihak<br />

memiliki musuh yang sama: Singamangaraja XII yang oleh zen<strong>di</strong>ng <strong>di</strong>cap sebagai<br />

“musuh bebuyutan pemerintah Belanda dan zen<strong>di</strong>ng Kristen.” Bersama-sama<br />

mereka berangkat untuk mematahkan perjuangan Singamangaraja. Pihak<br />

pemerintah <strong>di</strong>bekali dengan persenjataan, organisasi, dan ilmu pengetahuan<br />

peperangan modern sementara pihak zen<strong>di</strong>ng <strong>di</strong>bekali dengan pengetahuan adat-<br />

istiadat dan bahasa. Kedua belah pihak, zen<strong>di</strong>ng Batak dan pemerintah kolonial,<br />

saling membutuhkan dan saling melengkapi, dan tujuan mereka pun pada<br />

hakikatnya sama: Memastikan agar orang Batak “terbuka pada pengaruh Eropa dan<br />

tunduk pada kekuasaan Eropa”.<br />

Berkat pengetahuan bahasa dan budaya pihak zen<strong>di</strong>ng (terutama zendeling<br />

Nommensen dan Simoneit) berhasil meyakinkan ratusan raja agar berhenti<br />

mengadakan perlawanan dan menyerah pada kekuasaan Belanda:<br />

“Bantuan dan keikutsertaan para misionaris yang mendampingi ekspe<strong>di</strong>si<br />

militer hingga ke Dana Toba juga mempunyai tujuan yang lain: yaitu<br />

untuk meyakinkan rakyat untuk menghentikan perlawanan mereka yang<br />

sia-sia dan mendesak mereka untuk menyerahkan <strong>di</strong>ri.”<br />

Sementara yang tidak mau menyerah <strong>di</strong>denda dan kampungnya <strong>di</strong>bakar.<br />

Melalui Gubernur Sumatra pemerintah Belanda membalas bu<strong>di</strong> para penginjil<br />

dengan mengeluarkan surat penghargaan yang resmi:<br />

Pemerintah mengucapkan terima kasih kepada penginjil Rheinische<br />

Missions-Gesellschaft <strong>di</strong> Barmen, terutama Bapak I. Nommensen dan<br />

Bapak A. Simoneit yang bertempat tinggal <strong>di</strong> Silindung, atas jasa yang<br />

telah <strong>di</strong>berikan selama ekspe<strong>di</strong>si melawan Toba.<br />

Selain surat penghargaan, para misionaris juga memperoleh 1000 Gulden dari<br />

pemerintah yang “dapat <strong>di</strong>ambil setiap saat”.


Kerja sama antara para penginjil RMG (Rheinische Missionsgesellschaft) dan<br />

pemerintahan kolonial berlangsung sampai musuh mereka, Singamangaraja XII,<br />

tewas dalam pertempuran dengan tentara Belanda pada tahun 1907.<br />

Secara resmi <strong>Perang</strong> Toba I hanya berlangsung selama dua bulan namun<br />

perlawanan dari pihak Singamangaraja tetap ada. Pada tahun 1880 misalnya pos<br />

zen<strong>di</strong>ng dan gereja <strong>di</strong> Simorangkir <strong>di</strong>bakar oleh seorang raja yang berpihak pada<br />

Singamangaraja yang menaruh dendam terhadap pendeta Simoneit. Alasan<br />

pembakaran itu karena Simoneit “atas permintaan pemerintah, ikut pada sebuah<br />

ekspe<strong>di</strong>si militer kecil sebagai penerjemah.”<br />

Walaupun peran dan tujuan Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) dan<br />

penginjilnya, terutama Ludwig Ingwer Nommensen, dalam <strong>Perang</strong> Toba Pertama<br />

(1878) terang sekali, ada pihak yang melihat adanya ‘kontroversi’. Ada dua isu<br />

yang sering menja<strong>di</strong> topik perdebatan yang kontroversial, terutama <strong>di</strong> kalangan<br />

Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang merupakan penerus RMG <strong>di</strong> zaman<br />

kemerdekaan: 1. Peran para penginjil dalam menaklukkan Onafhankelijke<br />

Bataklanden (Tanah Batak yang Merdeka) dan 2. Hubungan Singamangaraja XII<br />

dengan Zen<strong>di</strong>ng.<br />

Butir kedua menja<strong>di</strong> persoalan yang memang peka karena sebagian besar orang<br />

Batak memeluk agama Kristen dan menganggap I.L. Nommensen sebagai apostel<br />

atau rasul sedangkan Singamangaraja XII <strong>di</strong>angkat sebagai Pahlawan Nasional oleh<br />

pemerintah pada 9 November 1961. Bagaimana kalau kedua pahlawan yang dua-<br />

duanya <strong>di</strong>anggap sakral oleh orang Batak ternyata saling bermusuhan? Tentu hal<br />

itu akan menimbulkan <strong>di</strong>lema.<br />

Dr. W.B. Sidjabat yang pada tahun 1982 menulis buku berjudul “Ahu Si<br />

Singamangaraja: Arti historis, politis, ekonomis dan religius Si Singamangaraja XII”<br />

berusaha keras untuk meluruskan <strong>di</strong>lema itu dengan ‘mendamaikan’ kedua tokoh<br />

sakral tersebut, dan juga berusaha untuk mengesampingkan peran zen<strong>di</strong>ng dalam<br />

penaklukan Tanah Batak yang masih merdeka.<br />

Sejarahwan Batak beragama Kristen Protestan ini menggunakan sumber baik<br />

primer maupun sekunder, yang tertulis dalam berbagai bahasa termasuk Jerman<br />

dan Belanda. Selain mengandalkan sumber tertulis ia juga melengkapinya dengan<br />

puluhan wawancara. Di antara sumber primer termasuk bahan arsip Belanda, dan<br />

juga bahan dari RMG itu sen<strong>di</strong>ri, terutama laporan tahunan (Jahresbericht) RMG,<br />

tetapi ia tidak menggunakan laporan RMG yang lebih terinci dan yang <strong>di</strong>terbitkan<br />

sebulan sekali (Berichte der Rheinischen Missionsgesellschaft). Daripada<br />

menggunakan sumber primer, yaitu tulisan I.L. Nommensen sen<strong>di</strong>ri yang terdapat<br />

dalam BRMG, khusus untuk <strong>Perang</strong> Toba I, Sidjabat menggunakan buku yang


<strong>di</strong>tulis oleh J.T. Nommensen (anak I.L. Nommensen) berjudul Porsorion ni L.<br />

Nommensen yang <strong>di</strong>terbitkan pada tahun 1925 oleh Zen<strong>di</strong>ngsdrukkerij Laguboti<br />

setelah I.L. Nommensen meninggal (1918) dan menceritakan riwayat hidupnya<br />

yang sebagian berdasarkan tulisan Nommensen <strong>di</strong> BRMG, tetapi tentu sudah<br />

<strong>di</strong>sadur dan <strong>di</strong>ringkas.<br />

Dalam BAB VI Pertarungan rakyat Sumatra Utara bersama Si Singamangaraja<br />

XII melawan Belanda butir 1–11 (hal. 151–186) membahas <strong>Perang</strong> Toba I, dan<br />

BAB itu sangat <strong>di</strong>warnai oleh sumber sekunder Porsorion ni L. Nommensen. Sayang<br />

Sidjabat tidak memanfaatkan sumber primernya, yaitu laporan Nommensen dalam<br />

RBMG. Padahal BRMG merupakan sumber sejarah Batak yang tak ternilai yang<br />

menceritakan sejarah Batak dari sudut pandang zen<strong>di</strong>ng selama lebih dari 50 tahun<br />

<strong>di</strong> atas sekitar 5.000 halaman. Tampaknya hingga kini laporan lengkap I.L.<br />

Nommensen tentang <strong>Perang</strong> Toba I tidak pernah <strong>di</strong>gunakan untuk penulisan<br />

sejarah Batak hingga <strong>di</strong>rasakan perlu untuk menerbitkan ulang catatan<br />

Nommensen tentang perang Toba dalam terjemahan bahasa Indonesia.<br />

Sidjabat tidak berniat menuliskan sejarah secara objektif. Dengan sangat jelas ia<br />

memperlihatkan sikap pro zen<strong>di</strong>ng, pro Singamangaraja, dan anti Belanda. Belanda<br />

<strong>di</strong>gambarkan sebagai orang yang “cer<strong>di</strong>k” (hal. 157), memiliki “tangan kotor”<br />

(158), “hendak memanfaatkan Nommensen”, menggunakan “tindakan keganasan”<br />

(171), “mengadakan kegiatan ganas” (171), tujuannya “<strong>di</strong>dorong oleh keserakahan<br />

ekonomi dan militer”, dan pada pasukan Belanda, demikian <strong>di</strong>tulisnya, yang<br />

menonjol “hanya unsur kebinatangan manusia” (179).<br />

Walaupun Nommensen pada <strong>Perang</strong> Toba I mendampingi pasukan Belanda dari<br />

hari pertama sampai hari terakhir, dan walaupun ia sangat berperan dalam<br />

pecahnya perang tersebut, Nommensen dan pihak zen<strong>di</strong>ng jarang sekali <strong>di</strong>sebut<br />

oleh Sidjabat, dan kalaupun <strong>di</strong>sebut maka Nommensen dan kawan-kawannya<br />

<strong>di</strong>gambarkan secara serba positif. Sidjabat berusaha keras meyakinkan pembaca<br />

bukunya bahwa “keha<strong>di</strong>rannya [...] bukan dalam rangka penjajahan” (156),<br />

Nommensen melakukan “pelbagai usaha untuk mengelakkan pertumpahan darah”<br />

(165), “berulang kali mengatakan kese<strong>di</strong>aannya menempuh jalan damai” (166),<br />

“tidak dapat menyetujui tindakan kekerasan yang <strong>di</strong>gunakan oleh Belanda” (159),<br />

dan “merasa se<strong>di</strong>h sekali” melihat kampung-kampung Batak <strong>di</strong>bakar Belanda<br />

Nommensen akhirnya ‘merasa pusing kepala dan terpaksa membaringkan<br />

<strong>di</strong>rinya <strong>di</strong> dekat sebatang pohon ara dekat Paindoan’. Hasil pekerjaannya<br />

sejak tahun 1876 <strong>di</strong> Toba pastilah akan mengalami kesulitan akibat<br />

tindakan kekerasan Belanda ini. [...] Pihak Nommensen bersama zendeling<br />

lain, yang memang terjepit dalam keadaan ini [maksudnya <strong>Perang</strong> Toba,<br />

U.K.], masih berusaha untuk mengelakkan pertumpahan darah.


Sidjabat tidak menafikan bahwa Nommensen memanggil Belanda ke Silindung<br />

tetapi ia berargumentasi bahwa Belanda bagaimana pun sudah bertekad masuk ke<br />

Silindung sehingga “Nommensen hanya bahan pelengkap saja dan bukan<br />

merupakan alasan sebenarnya mengirim serdadu ke Silindung.” Kalau pun, <strong>di</strong><br />

samping laporan Nommensen kepada Belanda tentang rencana Singamangaraja<br />

untuk membunuh atau mengusir para penginjil dan semua orang beragama<br />

Kristen, masih ada alasan lain maka Belanda mau masuk ke Silindung, tetapi<br />

kesimpulan Sidjabat “bahwa kedatangan Belanda ke Silindung itu ialah atas<br />

permintaan Nommensen, tidak benar” bertolak belakang dengan laporan<br />

Nommensen sen<strong>di</strong>ri. Sidjabat lalu meneruskan argumentasinya:<br />

Nommensen masih berusaha sekuat tenaga untuk mendekati Residen<br />

Boyle dan Kontelir van Hoevel dan mengusulkan, agar jangan sampai<br />

mengadakan tindakan kekerasan.<br />

Pertumpahan darah dan kekerasan berlebihan memang dapat memojokkan<br />

pihak zen<strong>di</strong>ng, namun para penginjil bukan secara mutlak anti kekerasan. Pasukan<br />

bantuan Kristen yang <strong>di</strong>persenjatai Belanda, dan yang <strong>di</strong>kecam keras bukan hanya<br />

oleh surat-kabar Hin<strong>di</strong>a Belanda tetapi juga oleh surat kabar Belanda seperti<br />

Nieuwe Rotterdamsche Courant (20 Mei 1878) karena tindakan mereka yang<br />

“bengis dan keji” dalam <strong>Perang</strong> Toba I, <strong>di</strong>bela pihak zen<strong>di</strong>ng dengan kata-kata<br />

berikut: “Memang benar bahwa mereka [pasukan bantuan Kristen, UK]<br />

<strong>di</strong>perintahkan Belanda untuk membakar beberapa kampung. Kalau dalam perang<br />

memang ada pertumpahan darah, hal itu perlu <strong>di</strong>maklumi, <strong>di</strong> Eropa pun halnya<br />

demikian, namun para penginjil selalu berusaha agar tidak ada pertumpahan darah<br />

yang berlebihan.” (BRMG 1878 hal. 195)<br />

Sidjabat mengakui bahwa tidak semua orang Batak berpihak pada<br />

Singamangaraja:<br />

...semangat juang dari pihak rakyat tidak pernah mundur kecuali<br />

semangat mereka yang mengkhianati perjuangan<br />

Namun secara umum timbul kesan seolah-olah para raja secara bahu-membahu<br />

melawan Belanda:<br />

Pihak Singamangaraja pun segera pula mengadakan reaksi. Raja-raja dan<br />

para panglima <strong>di</strong>ajak bermusyawarah untuk menentukan apakah mereka<br />

berse<strong>di</strong>a melihat daerahnya <strong>di</strong>preteli atau mengadakan perlawanan.<br />

Peristiwa ini terja<strong>di</strong> pada tahun 1877. Mufakat pun tercapai untuk tidak<br />

membiarkan politik ekspansi Belanda berjalan terus.<br />

Kenyataan yang sebenarnya jauh lebih kompleks sebagaimana yang <strong>di</strong>ceritakan<br />

Sidjabat. Pihak zen<strong>di</strong>ng melaporkan bahwa “banyak daerah yang sudah berulang


kali meminta kepada pemerintah Belanda agar wilayahnya <strong>di</strong>aneksasi”. Raja yang<br />

memeluk agama Kristen rata-rata setuju kalau Silindung <strong>di</strong>masukkan ke dalam<br />

wilayah kolonial Belanda, dan juga <strong>di</strong> antara raja yang masih berpegang pada<br />

agama nenek moyangnya tidak semua anti Belanda.<br />

Sangat penting bagi Sidjabat adalah rekonsiliasi zen<strong>di</strong>ng dengan<br />

Singamangaraja dan untuk upaya tersebut ia menye<strong>di</strong>akan sebuah BAB secara<br />

eksklusif: IX Sikap Sisingamangaraja XII terhadap Zen<strong>di</strong>ng (hal. 395–411).<br />

Menurutnya ada kontinuitas sikap dari Singamangaraja X hingga XII terhadap<br />

zen<strong>di</strong>ng yang <strong>di</strong>tandai oleh rasa persahabatan: “tidak ada sikap permusuhan dari Si<br />

Singamangaraja X terhadap pihak zen<strong>di</strong>ng” (157), melainkan “sejak tibanya pihak<br />

zendeling, hubungan dengan Singamangaraja segera <strong>di</strong>pelihara dengan baik (157),<br />

“Si Singamangaraja XI juga malah berkelakar dengan Nommensen” (158). Menurut<br />

Sidjabat Singamangaraja bukan “musuh bebuyutan pemerintah Belanda dan<br />

zen<strong>di</strong>ng Kristen” sebagaimana ia <strong>di</strong>cap oleh pihak zen<strong>di</strong>ng, melainkan anggapan<br />

zen<strong>di</strong>ng itu hanya merupakan “godogan [sic!] pihak Kolonial Belanda.”<br />

Kalau kita percaya pada kesimpulan Sidjabat maka para penginjil terus-menerus<br />

<strong>di</strong>akali dan <strong>di</strong>manfaatkan Belanda. Sulit untuk mempercaya bahwa Nommensen<br />

dkk., apalagi pihak pimpinan RMG yang selalu memantau pekerjaan mereka<br />

dengan sangat seksama, begitu naif.<br />

Pendekatan <strong>di</strong>kotomi hitam-putih yang sedemikian agaknya tidak sesuai dengan<br />

kenyataan, dan jelas tidak <strong>di</strong>dukung oleh catatan para penginjil, terutama<br />

Nommensen dalam laporannya <strong>di</strong> BRMG.<br />

Pada tahun 1876 Nommensen masih percaya bahwa pekerjaan zen<strong>di</strong>ng bisa<br />

lebih sukses <strong>di</strong> daerah yang merdeka:<br />

Menurut berita yang kami peroleh dari Sibolga, tampaknya pemerintahan<br />

Belanda untuk sementara tidak <strong>di</strong>tetapkan <strong>di</strong> Silindung. Berita itu<br />

menggembirakan. Makin lama makin kami sadari bahwa keadaan <strong>di</strong><br />

daerah merdeka lebih mendukung daripada <strong>di</strong> daerah pemerintahan<br />

betapa pun kejamnya dan liarnya orang Batak merdeka bisa menyusahkan<br />

seorang penginjil. Orang Batak merdeka lebih bersemangat dan jiwanya<br />

lebih terbuka [daripada mereka <strong>di</strong> daerah yang <strong>di</strong>kuasai Belanda].<br />

Namun alasan utama maka zen<strong>di</strong>ng tidak menginginkan Belanda masuk karena<br />

para zendeling khawatir bahwa bersama dengan orang Belanda orang Islam akan<br />

masuk ke Tanah Batak:<br />

Semoga dengan bantuan Tuhan kami berhasil mengkristenkan semua<br />

orang Batak <strong>di</strong> lembah ini [Silindung] sebelum datang pemerintahan<br />

Belanda karena pemerintahan Belanda tentu akan membawa orang Islam<br />

ke sini.


Sikap ini berubah setelah zen<strong>di</strong>ng memiliki basis umat Kristen yang lebih kokoh.<br />

Pada tahun 1878, setelah keadaan <strong>di</strong> Silindung menghangat, zen<strong>di</strong>ng meminta<br />

kepada pemerintah Belanda agar Silindung segera <strong>di</strong>masukkan ke dalam wilayah<br />

Hin<strong>di</strong>a-Belanda:<br />

Kalau Belanda sekarang hendak menyelenggarakan pemerintahan maka<br />

hal ini tentu membawa berkat. [..] Apakah hal itu juga menguntungkan<br />

zen<strong>di</strong>ng, apakah dengan pemerintahan Belanda agama Islam akan masuk<br />

adalah pertanyaan yang lain lagi. Oleh sebab itu maka para misionaris<br />

belum pernah meminta agar Silindung <strong>di</strong>aneksasi. Kalau hal itu sekarang<br />

<strong>di</strong>minta [...] jelas pemerintahan Belanda juga sangat bermanfaat bagi<br />

zen<strong>di</strong>ng kita, dan bila kelak kita harus bersaing dengan agama Islam maka<br />

sekarang agama Kristen <strong>di</strong> Silindung sudah memiliki kemajuan yang susah<br />

terkejar? (BRMG 1878:118)<br />

Ternyata zen<strong>di</strong>ng tidak menduga bahwa permintaan mereka agar pemerintah<br />

mengirim pasukan ke Silindung akan mendapat kecaman keras.<br />

Malahan pihak <strong>di</strong> Belanda yang bersahabat dengan zen<strong>di</strong>ng keberatan<br />

dengan kenyataan bahwa penginjil kita meminta bantuan pemerintah<br />

Belanda. (BRMG 1878:193)<br />

Menurut penginjil mereka tidak bersalah memanggil bantuan Belanda karena<br />

mereka berada <strong>di</strong> wilayah yang “pada hakikatnya” (eigentlich) berada <strong>di</strong> bawah<br />

kekuasaan Belanda. Masalahnya <strong>di</strong> sini bahwa mungkin de jure (secara hukum)<br />

Silindung sudah termasuk wilayah Hin<strong>di</strong>a-Belanda tetapi tidak de facto (secara<br />

nyata) karena pemerintah Belanda tidak ada perwakilan apa-apa <strong>di</strong> sana dan<br />

pemerintahan sepenuhnya berada <strong>di</strong> tangan raja.<br />

Kalau ada utusan Singamangaraja datang ke Silindung untuk menghasut<br />

rakyat – yang pada hakikatnya telah berada <strong>di</strong> bawah kekuasaan Belanda<br />

– dan menyerukan agar mereka tunduk pada Aceh, dan kalau penginjil<br />

kita mendengar rencana orang Aceh itu untuk men<strong>di</strong>rikan kekuasaannya <strong>di</strong><br />

atas kerajaan Singamangaraja, dan berusaha lagi untuk menjatuhkan<br />

kekuasaan Belanda <strong>di</strong> Angkola, Mandailing, dan Padang Bolak, apakah<br />

penginjil kita bukan berkewajiban untuk segera melaporkan hal itu kepada<br />

Residen? Bukannya tidak bertanggung jawab kalau mereka tidak<br />

melakukan apa-apa? Kalau pemerintah Belanda, berdasarkan laporan<br />

penginjil kita, mengirim pasukannya ke Silindung apakah hal itu kesalahan<br />

penginjil kita? (BRMG 1878:94)<br />

Alasan hukum sekali lagi <strong>di</strong>manfaatkan ketika zen<strong>di</strong>ng <strong>di</strong>kecam bersama dengan<br />

pasukan memasuki dan menduduki Bahal Batu yang termasuk wilayah<br />

Singamangaraja - hal mana sudah barang tentu merupakan provokasi. Di sini<br />

mereka menjawab bahwa 1. Bahal Batu pun sudah termasuk wilayah Belanda, dan<br />

2. Singamangaraja hanya menja<strong>di</strong> raja <strong>di</strong> Bangkara. Menarik untuk <strong>di</strong>catat <strong>di</strong> sini


ahwa hanya setahun sebelumnya, 1977, Gubernur Sumatra menyuruh penginjil<br />

untuk meninggalkan Bahal Batu karena menurutnya Bahal Batu tidak termasuk<br />

wilayah Hin<strong>di</strong>a-Belanda. Pernyataan itu memang kemu<strong>di</strong>an <strong>di</strong>tarik kembali, tetapi<br />

kisah ini membuktikan bahwa pemerintah Belanda sen<strong>di</strong>ri tidak mengetahui dengan<br />

pasti daerah mana yang termasuk wilayahnya dan mana yang tidak karena mereka<br />

tidak berminat untuk menyelenggarakan pemerintahan <strong>di</strong> daerah Silindung.<br />

Pandangan dan interpretasi Sidjabat tentang sejarah seputar <strong>Perang</strong> Toba<br />

Pertama sekarang secara umum <strong>di</strong>terima, terutama oleh kalangan HKBP. Di dalam<br />

salah satu makalah keluaran HKBP berjudul Pahlawan Nasional Indonesia Si<br />

Singamangaraja <strong>di</strong> mata HKBP oleh Pdt. Rachman Tua Munthe, Praeses HKBP<br />

Distrik III Humbang, <strong>di</strong>sebutkan bahwa,<br />

...selama timbulnya bentrokan <strong>di</strong> antara Si Singamangaraja XII dengan<br />

pemerintah Belanda, Gereja (Zen<strong>di</strong>ng) berada pada pihak ketiga yang<br />

mencoba mengadakan perjanjian perdamaian. Dengan demikian,<br />

pemerintah kolonial Belanda tidak sejajar dengan Zen<strong>di</strong>ng dan Gereja.<br />

Munthe juga mengutip buku berjudul Abastraksi [sic!] Pelayanan DR. Ingwer<br />

Ludwig Nommensen <strong>di</strong> Tanah Batak:<br />

Waktu perang Raja Sisingamangaraja XII melawan Tentara Belanda,<br />

Nommensen mengambil sikap bijaksana dan netral.<br />

Tentu saja kepentingan zen<strong>di</strong>ng dan pemerintah sering berbeda, tetapi <strong>di</strong><br />

berbagai bidang kepentingan mereka sejajar, dan <strong>di</strong> bawah Fabri sebagai <strong>di</strong>rektur<br />

RMG yang sekaligus merangkap sebagai guru, para calon misionaris belajar bahwa<br />

kepentingan misi pada hakekatnya sejajar dengan kepentingan pemerinth kolonial.<br />

Fabri, yang notabene menja<strong>di</strong> penulis buku berjudul Bedarf Deutschland der<br />

Colonien? (Apakah Jerman Membutuhkan Daerah Jajahan?) malahan menganjurkan<br />

agar penginjilan <strong>di</strong>manfaatkan sebagai alat untuk merintis penjajahan. Baik para<br />

misionaris maupun pegawai pemerintah kolonial yakin bahwa mereka berbuat baik<br />

dengan membawa peradaban pada bangsa Batak yang mereka cap sebagai liar dan<br />

biadab.<br />

Para misionaris juga menekankan bahwa Belanda senantiasa dapat<br />

mengandalkan Batak Kristen sebagai teman yang setia:<br />

Betapa orang Batak Kristen dapat <strong>di</strong>andalkan tampak jelas sekarang,<br />

sebagai orang Islam orang Batak takkan mungkin menja<strong>di</strong> rakyat yang<br />

patuh pada Belanda. [...] memang benar bahwa orang Silindung yang<br />

Kristen adalah teman setia Belanda, dan bahwa pasukan bantuan mereka<br />

berperang bersama pasukan Belanda. (BRMG 1878:154)


Kesejajaran zen<strong>di</strong>ng dan pemerintah tampak pada bahasa yang <strong>di</strong>gunakan<br />

Nommensen. Ketika ia menceritakan kembali perjalanannya mengikuti ekspe<strong>di</strong>si<br />

Toba ia secara konsisten menggunakan kata ‘kami’. Kata ‘kami’ malahan<br />

<strong>di</strong>gunakannya untuk kegiatan yang <strong>di</strong>lakukan tentara. Dari hal ini ternyata betapa<br />

Nommensen mengidentifikasikan <strong>di</strong>ri dengan tentara:<br />

• Sesudah Residen Boyle bersama Kolonel Engel naik ke sini bersama dengan<br />

200 pasukan lagi maka kami mulai menyerang.<br />

• Sekitar jam 3 sore kampung-kampung itu sudah <strong>di</strong> tangan kami. 10–12 lakilaki<br />

dan sekitar 70 perempuan jatuh ke tangan kami lalu <strong>di</strong>tawan.<br />

• Di pihak kami dua yang meninggal dan 12 yang cedera.<br />

• [...] berpura-pura menja<strong>di</strong> teman dan mengatakan takluk pada kami.<br />

• Sedangkan para pejuang <strong>di</strong> pihak Singamangaraja <strong>di</strong>sebutnya sebagai<br />

musuh:<br />

• Belum ada berita tentang adanya gerakan dari pihak musuh.<br />

• Pihak musuh menyerang dua kali masing-masing sekitar 500–700 orang.<br />

Serangan kedua lebih kuat tetapi dua-duanya dapat <strong>di</strong>tangkis dengan mudah<br />

dan tanpa jatuhnya korban <strong>di</strong> pihak Belanda sementara <strong>di</strong> pihak musuh ada<br />

20 orang yang cedera dan 2 yang mati. [...] Kalau pasukan <strong>di</strong> Bahal Batu<br />

dapat bertahan sampai pasukan tambahan tiba maka kemungkinan pihak<br />

musuh menang sangat tipis karena Belanda unggul dalam hal persenjataan<br />

dan <strong>di</strong>siplin.<br />

• Dari Bahal Batu mereka menuju arah barat ke Butar dan menaklukkan<br />

kampung-kampung yang berpihak pada musuh.<br />

• Hal tersebut <strong>di</strong>utamakan oleh para zendeling supaya para musuh pun bisa<br />

melihat niat baiknya.<br />

• Setelah kami bekerja dengan tenang selama beberapa minggu musuh kami<br />

yang jahat bergerak lagi.<br />

• Simoneit dan Israel tinggal <strong>di</strong> sini untuk membantu kami kalau-kalau pos<br />

<strong>di</strong>serang musuh.<br />

• Pada malam hari tanggal 16 Februari musuh menembaki kamp tentara dan<br />

meninggalkan tiga surat dari buluh yang mengumumkan perang terhadap<br />

kami.<br />

• Setiap hari musuh datang, kadang-kadang ribuan orang.<br />

• Kebanyakan musuh berasal dari daerah <strong>di</strong> sekitar Danau Toba, dari Butar<br />

dan Lobu Siregar, <strong>di</strong>gerakkan oleh Singamangaraja, seorang demagog yang<br />

menghasut dan mencelakakan rakyatnya.<br />

• Beberapa kali peluru masuk ke rumah pada malam hari, dua kali musuh<br />

berusaha untuk membakarnya.


Masih banyak lagi contoh dapat <strong>di</strong>sebut yang menunjukkan bahwa para zen<strong>di</strong>ng<br />

Batakmission jelas berpihak pada Belanda dan menganggap para pejuang yang<br />

ingin mempertahankan kemerdekaannya sebagai musuhnya.<br />

Argumentasi Sidjabat dan pengarang lain yang sering menekankan adanya jarak<br />

antara penginjil RMG dan pihak Belanda karena bangsa mereka berbeda, tidak<br />

dapat <strong>di</strong>terima. Para penginjil RMG berkebangsaan Jerman sementara pemerintah<br />

kolonial <strong>di</strong>jalankan oleh bangsa Belanda. Dengan demikian, begitu kesimpulannya,<br />

penjajahan bukan kepentingan para penginjil. Hal itu keliru karena, sesuai dengan<br />

pelajaran mereka <strong>di</strong> seminaris RMG, penjajahan bangsa putih terhadap bangsa<br />

yang berwarna adalah hal yang penting demi mengangkat martabat bangsa<br />

keturunan Ham. Pihak penginjil RMG sama sekali tidak anti penjajahan melainkan<br />

mendukungnya dengan penuh hati.<br />

Kita juga bisa melihat dari laporan Nommensen bahwa ia tidak begitu<br />

membedakan antara Belanda dan Jerman dan lebih menekankan kepentingan<br />

bersama dengan menggunakan istilah Eropa daripada Belanda:<br />

Hal yang paling penting adalah bahwa Toba keluar dari isolasinya, terbuka<br />

pada pengaruh Eropa dan tunduk pada kekuasaan Eropa sehingga dengan<br />

sangat mudah zen<strong>di</strong>ng kita bisa masuk. Memang ada kemungkinan bahwa<br />

orang Toba membenci orang Eropa setelah Belanda mengalahkan dan<br />

membakar kampung mereka. Namun hal itu tidak terja<strong>di</strong>. (BRMG<br />

1882:202)<br />

Perlu juga <strong>di</strong>ingatkan bahwa orang Belanda waktu itu masih menamakan<br />

bahasanya ‘Nederduits’ (Jerman Rendah) sementara Nommensen sen<strong>di</strong>ri penutur<br />

asli bahasa Frisia yang merupakan salah satu <strong>di</strong>alek Jerman Rendah yang sangat<br />

dekat dengan bahasa Belanda. Selain itu, sesuai dengan pelajaran yang<br />

<strong>di</strong>perolehnya ketika belajar <strong>di</strong> seminaris, Belanda dan Jerman masih merupakan<br />

keturunan ras Germania yang sama.<br />

Sebagaimana jauh para penginjil mengidentifikasikan <strong>di</strong>ri dengan para penjajah<br />

tampak pada kutipan berikut:<br />

Untuk menilai benar salahnya penaklukan Toba yang <strong>di</strong>lakukan dengan<br />

begitu cepat dan dengan sangat se<strong>di</strong>kit biaya maupun jumlah korban,<br />

maka perlu <strong>di</strong>perhatikan butir-butir berikut: [...] (BRMG 1882:202)<br />

Rupanya bagi zen<strong>di</strong>ng jumlah korban <strong>di</strong> pihak musuh mereka (pejuang<br />

Singamangaraja) tidak perlu <strong>di</strong>hitung. Tidak <strong>di</strong>ketahui dengan pasti berapa banyak<br />

orang meninggal <strong>di</strong> pihak pejuang Singamangaraja dan sekutunya serta <strong>di</strong><br />

kalangan penduduk sipil. Paling tidak puluhan namun lebih mungkin sampai<br />

beberapa ratus korban yang tewas belum lagi yang cedera. Jumlah yang tidak<br />

se<strong>di</strong>kit, tetapi yang <strong>di</strong>ungkapkan zen<strong>di</strong>ng dalam konteks ini malahan biaya perang.


Kedekatan Nommensen dan para penginjil lain dengan penjajah sebenarnya<br />

tidak mengherankan mengingat pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan yang mereka peroleh <strong>di</strong> RMG. Fabri,<br />

Direktur RMG, menekankan agar para penginjil senantiasa menjalin kerja sama<br />

yang erat dengan pemerintah kolonial karena tujuan zen<strong>di</strong>ng dan pemerintahan<br />

kolonial pada hakikatnya sama.<br />

RMG memang senantiasa berusaha untuk melakukan konsolidasi agama dan<br />

politik, tidak hanya <strong>di</strong> Batakmission tetapi juga <strong>di</strong> wilayah kerja yang lain seperti <strong>di</strong><br />

Afrika Selatan. Di situ pun RMG tetap berusaha untuk menjalin hubungan yang baik<br />

dengan pemerintah kolonial dan membantunya. Sejak pemberontakan Herero pada<br />

tahun 1904 para misionaris tidak menaruh simpati apa pun pada gerakan<br />

kemerdekaan masyarakat hitam <strong>di</strong> Afrika Selatan. Demikian juga <strong>di</strong> Tanah Batak.<br />

Ketika benih gerakan kemerdekaan mulai tumbuh <strong>di</strong> kalangan orang Batak, dan<br />

ketika Kristen Batak meminta agar mereka dapat menentukan sen<strong>di</strong>ri nasib<br />

gerejanya maka RMG dengan sangat tegas menolak gagasan keman<strong>di</strong>rian gereja<br />

Batak dan mengutuk organisasi Batak seperti Hatopan Kristen Batak dengan alasan<br />

bahwa keman<strong>di</strong>rian bertentangan dengan kehendak Tuhan yang memang sudah<br />

menak<strong>di</strong>rkan orang putih sebagai pemimpin 1 .<br />

Nommensen juga memuji perwira dan pegawai administrasi Belanda:<br />

Berkat tangan Tuhan, [...] dan hal ini menja<strong>di</strong> tanda bahwa Tuhan<br />

menghendaki rakyat hidup dalam kedamaian, berkat tangan Tuhan<br />

ekspe<strong>di</strong>si militer <strong>di</strong>kepalai oleh seorang yang sudah bertahun-tahun<br />

mengenal orang Batak, orang yang mengetahui kepentingan rakyat, dan<br />

yang <strong>di</strong>dampingi perwira yang merasa belas kasihan dengan musuh, yang<br />

<strong>di</strong>segani musuh karena keberaniannya menyerang, yang dengan lapang<br />

hati tidak mengejar mereka yang lari. Dengan demikian orang Batak dapat<br />

kesan betapa besar keagungan dan kemuliaan orang Eropa sehingga<br />

mereka tidak dapat membenci kita, apalagi karena Tuhan<br />

menunjukkannya bahwa mereka sen<strong>di</strong>ri bersalah. (BRMG 1882:204)<br />

Perlu <strong>di</strong>tekankan bahwa Nommensen membantu pemerintah dan tentara<br />

Belanda dengan rela hati tanpa ada unsur paksaan apa pun. Nommensen<br />

melakukannya karena menurut apa yang <strong>di</strong>pelajarinya <strong>di</strong> seminaris RMG <strong>di</strong> Barmen<br />

para penginjil berkewajiban untuk selalu bekerjasama dengan pihak pemerintah<br />

kolonial dan karena ia percaya bahwa orang Batak hanya bisa menja<strong>di</strong> manusia<br />

yang beradab bila berada <strong>di</strong> bawah kekuasaan bangsa Eropa.<br />

Belakangan ini saya membaca sebuah esai <strong>di</strong> internet yang <strong>di</strong>tulis oleh Limantina<br />

Sihaloho, seorang teolog dari Sumatra Utara:<br />

Secara priba<strong>di</strong>, saya juga kagum pada I.L. Nommensen. Masalahnya,<br />

1 Lihat Aritonang 1988.


kagum saja tidak cukup. Menja<strong>di</strong>kan seseorang menja<strong>di</strong> legenda bahkan<br />

mitos juga dapat berbahaya. Sayangnya manusia mempunyai<br />

kecenderungan untuk melegendakan dan memitoskan seseorang terutama<br />

yang telah lama meninggal. [...] Nommensen adalah anak zamannya,<br />

dengan segala kelebihan dan kekurangannya.<br />

Makalah ini tidak bermaksud untuk mengurangi rasa kagum pada laki-laki suku<br />

Frisia dari pulau Nordstrand itu, tetapi sebagai salah satu sumbangan agar I.L.<br />

Nommensen dan tokoh penginjilan Batak lainnya <strong>di</strong>pandang sebagai “anak zaman<br />

dengan segala kelebihan dan kekurangannya” dan tidak sebagai tokoh legendaris.<br />

Seorang tokoh dari abad ke-19 tidak patut <strong>di</strong>nilai berdasarkan nilai-nilai abad ke-<br />

21. Bila sekarang seorang Jerman mengatakan bahwa bangsa Jerman lebih unggul<br />

dari bangsa lain maka orang itu pasti <strong>di</strong>tertawakan. Konsep keunggulan ras kini<br />

<strong>di</strong>anggap sebagai sesuatu dari zaman yang berlalu yang sama sekali tidak ada<br />

tempat dalam masyarakat Jerman modern. Pada awal abad ke-21 paham<br />

keunggulan ras Germania <strong>di</strong>anggap sebagai paham yang sesat sementara pada<br />

abad ke-19, zamannya Nommensen, keunggulan ras putih <strong>di</strong>anggap sebagai<br />

kenyataan.<br />

Nommensen <strong>di</strong>lahirkan pada tahun 1834 <strong>di</strong> pulau Nordstrand (yang bila<br />

<strong>di</strong>terjemahkan berarti Pantai Utara). Ketika ia berumur 14 tahun gerakan<br />

demokrasi Jerman memberontak melawan kekaisaran, namun revolusi itu gagal.<br />

Waktu Nommensen masuk seminaris RMG pada tahun 1857 Jerman belum bersatu<br />

tetapi ter<strong>di</strong>ri atas puluhan negeri kecil yang masing-masing berhak untuk membuat<br />

peraturan sen<strong>di</strong>ri. Ketika Nommensen pindah ke Pearaja, negeri Jerman (Deutsches<br />

Reich) baru berumur dua tahun. Setelah kerajaan-kerajaan kecil akhirnya bersatu<br />

dalam Deutsches Reich maka Jerman mengalami perkembangan yang pesat dan<br />

barangkali menja<strong>di</strong> negara termaju <strong>di</strong> dunia. Namun, beda dengan negara Eropa<br />

lainnya, Jerman, yang baru menja<strong>di</strong> sebuah negara pada tahun 1871, belum<br />

memiliki daerah penjajahan.<br />

Nommensen dan penginjil RMG lainnya bukan hanya anak zaman, tetapi juga<br />

<strong>di</strong>pengaruhi oleh aliran teologi yang dominan <strong>di</strong> seminaris RMG.<br />

Sejarah Masuknya Injil ke Tanah Batak<br />

“Gerakan penginjilan [...] bermula bertepatan dengan<br />

waktu munculnya kolonialisme, imperialisme, dan,<br />

sebagai akibatnya, rasisme. Oleh sebab itu maka<br />

gerakan penginjilan secara hakiki terkait dengan<br />

sejarah rasisme.”


Ph. Potter, Dewan Gereja Se-Dunia 2<br />

Orang-orang yang memainkan peranan penting pada sejarah masuknya injil ke<br />

Tanah Batak kini hampir terlupakan. Nama seperti Franz Wilhelm Junghuhn, Pieter<br />

Johannes Veth, Herman Neubronner van der Tuuk, dan Friedrich Fabri kini jarang<br />

<strong>di</strong>sebut dalam publikasi yang berkaitan dengan sejarah penginjilan <strong>di</strong> Indonesia.<br />

Ahli botani F. W. Junghuhn mungkin orang pertama yang menganjurkan agar injil<br />

<strong>di</strong>bawa ke Tanah Batak. Usulan Junghuhn kemu<strong>di</strong>an menarik perhatian <strong>di</strong>rektur<br />

Serikat Penginjilan Belanda P. J. Veth. H.N. van der Tuuk menja<strong>di</strong> orang pertama<br />

yang menerjemahkan injil kepada bahasa Batak, dan Friedrich Fabri menja<strong>di</strong> 'otak'<br />

<strong>di</strong> balik penginjilan orang Batak.<br />

Franz Wilhelm Junghuhn (1809–1864) lahir <strong>di</strong> Mansfeld, Kerajaan Westfalia<br />

(sekarang menja<strong>di</strong> bagian Jerman). Oleh orang tuanya ia <strong>di</strong>paksa menja<strong>di</strong> seorang<br />

dokter namun ia jauh lebih tertarik pada botani dan geologi. Pada tahun 1834 ia<br />

pindah ke Belanda dan pada tahun 1852 Junghuhn memilih menja<strong>di</strong> warga negara<br />

Belanda. Karena ingin ke Hin<strong>di</strong>a-Belanda maka ia mendaftar <strong>di</strong> tentara Belanda<br />

sebagai dokter tentara. Tahun 1836 Junghuhn tiba <strong>di</strong> Jawa dan pada tahun 1840 ia<br />

<strong>di</strong>tugaskan ke Padang. Di dalam kapal ia bertemu dengan Pieter Merkus, seorang<br />

pejabat yang pada tahun 1841 menja<strong>di</strong> Gubernur Jenderal Hin<strong>di</strong>a Belanda. Berkat<br />

bakat geologi dan botani Merkus menugaskannya untuk meneliti Tanah Batak yang<br />

pada saat itu masih merdeka.<br />

Pada waktu itu pemerintah kolonial masih berpegangan pada kebijakan untuk<br />

tidak memperluas wilayah Hin<strong>di</strong>a Belanda melainkan membatasinya pada Jawa,<br />

Maluku, dan beberapa daerah <strong>di</strong> Sumatra. Karena politik tidak campur tangan<br />

dalam urusan raja-raja <strong>di</strong> Nusantara (onthou<strong>di</strong>ngspolitiek) maka Belanda tidak<br />

mempunyai rencana konkret untuk mencaplok Tanah Batak, tetapi karena sudah<br />

ada beberapa raja yang mengutarakan niatnya tunduk pada Belanda maka<br />

pemerintah Belanda menganggapnya penting untuk lebih mengetahui keadaan<br />

daerah yang nantinya dapat <strong>di</strong>pergunakan kalau sudah tiba saatnya untuk masuk<br />

ke Tanah Batak.<br />

Informasi yang <strong>di</strong>cari tentu informasi yang sesuai dengan kebutuhan penjajah.<br />

Mereka ingin mengetahui topografi daerah, kesuburan tanah, jalan darat dan jalan<br />

sungai, jarak antar kampung, iklim, kesuburan tanah, hasil bumi, sumber daya<br />

2 Philip Potter, Sekretaris Jenderal Dewan Gereja Se-Dunia tahun 1972-1984: “Die<br />

missionarische Bewegung (...) entstand genau in der Zeit, als Kolonialismus, Imperialis-<br />

mus und als eine Folge davon der Rassismus aufkamen. Deshalb ist <strong>di</strong>e missionarische<br />

Bewegung auch auf Gedeih und Verderb mit der Geschichte des Rassismus verbunden.”<br />

[Dikutip dari Jura 2002:285].


alam, potensi pertambangan, jenis kayu yang cocok untuk membangun kapal, dsb.<br />

Junghuhn juga <strong>di</strong>minta membuat peta dan mencari informasi tentang kebudayaan,<br />

adat, dan pemerintahan <strong>di</strong> Tanah Batak termasuk lembaga-lembaga pemerintahan<br />

yang ada, sistem hukum yang berlaku, adat-istiadat, bahasa, aksara, dan juga<br />

tentang kanibalisme.<br />

Pada 2 Oktober 1840 Junghuhn tiba <strong>di</strong> Teluk Tapanuli. Kontrak kerjanya tidak<br />

terbatas sehingga dapat <strong>di</strong>simpulkan bahwa pemerintah Belanda menghendaki<br />

Junghuhn lama tinggal <strong>di</strong> daerah Batak untuk melakukan penelitian yang sungguh-<br />

sungguh. Akan tetapi keadaan kesehatan tidak mengizinkannya tinggal lama <strong>di</strong><br />

daerah Batak. Sesudah menetap <strong>di</strong> Barus selama delapan belas bulan terpaksa<br />

Junghuhn kembali ke Jawa dalam keadaan sakit parah. Ekspe<strong>di</strong>si pertama<br />

Junghuhn ke Tanah Batak merdeka <strong>di</strong>mulai pada pertengahan November 1840 dan<br />

membawanya ke Hurung, Humbang, dan Lembah Silindung. Pada akhir Desember<br />

Junghuhn sudah harus kembali karena jatuh sakit.<br />

Perjalanan kedua <strong>di</strong>mulai pada 2 November 1841 tetapi hanya berlangsung<br />

selama dua minggu karena sekali lagi Junghuhn jatuh sakit. Pada ekspe<strong>di</strong>si yang<br />

pertama Junghuhn <strong>di</strong>dampingi oleh lima belas kuli pengangkat barang dan<br />

pembantunya yang ter<strong>di</strong>ri dari orang Melayu, Nias, dan Jawa. Dua raja Batak dari<br />

wilayah pemerintah yang masing-masing membawa anak buahnya sen<strong>di</strong>ri menja<strong>di</strong><br />

pengawal dan sekaligus penerjemahnya. Kedua orang Batak dan pembantunya<br />

<strong>di</strong>persenjatai dengan be<strong>di</strong>l yang modern. Seluruh anggota rombongan sekitar 25<br />

orang (Angerler 1993: 6).<br />

Walaupun sakit-sakitan selama berada <strong>di</strong> Tanah Batak Junghuhn sempat menulis<br />

dua jilid dengan hasil penelitiannya berjudul Die Battaländer auf Sumatra. Bukunya<br />

<strong>di</strong>bagi atas enam belas BAB yang mengandung informasi tentang asal-usul, ras,<br />

kebudayaan, adat-istiadat, sistem hukum, perbudakan, kanibalisme, permainan,<br />

musik, dan terutama tentang segala kegiatan ekonomi termasuk pertanian,<br />

peternakan, dan irigasi.<br />

Sesuai dengan permintaan pemerintah kolonial yang mempekerjakannya,<br />

Junghuhn memberi rekomendasi bagaimana “orang Batta dapat <strong>di</strong>ja<strong>di</strong>kan warga<br />

negara yang patuh” (<strong>di</strong>e Battäer zu gehorsamen Unterthanen zu machen). Antara<br />

lain ia memberi saran agar Belanda jangan mengangkat seorang Batak menja<strong>di</strong><br />

kepala pemerintahan karena hal itu akan <strong>di</strong>manfaatkan untuk memberontak<br />

melawan Belanda. Junghuhn menyarankan agar Belanda membiarkan keadaan asli<br />

tanpa pemerintahan pusat karena hal itu membantu menaklukkan orang Batak.<br />

Menurut Junghuhn daerah Batak lebih baik <strong>di</strong>perintah langsung oleh Belanda. Perlu<br />

<strong>di</strong>catat <strong>di</strong> sini bahwa Belanda pada umumnya lebih suka memerintahkan para


pribumi dengan memanfaatkan struktur pemerintahan yang sudah ada. Belanda<br />

biasanya tidak suka bila bangsa pribumi <strong>di</strong>perintah langsung oleh pegawai Belanda<br />

karena biayanya lebih tinggi. Namun demikian ternyata Belanda memperhatikan<br />

nasihat Junghuhn sehingga daerah Batak menja<strong>di</strong> salah satu dari tidak banyak<br />

wilayah <strong>di</strong> Indonesia yang <strong>di</strong>perintah secara langsung.<br />

Menurut ukuran zamannya Junghuhn dapat <strong>di</strong>golongkan liberal. Ia amat kecewa<br />

melihat keadaan tanah airnya: “Di Eropa kita lihat penderitaan, kemiskinan,<br />

kelaparan, penjara penuh dengan penjahat, perbudakan yang <strong>di</strong>halalkan oleh<br />

gereja, perampokan, pembunuhan, ketidakpuasan rakyat terhadap penguasa,<br />

pergolakan berdarah, penguasa yang takut pada rakyat – perang! – kapal dan<br />

benteng pertahanan <strong>di</strong>ledakkan, ribuan manusia <strong>di</strong>korbankan dalam sedetik; orang<br />

saling mencurigai, benci...” Junghuhn terutama menyalahkan gereja Kristen untuk<br />

keadaan Eropa yang begitu menye<strong>di</strong>hkan. Sebagai seorang Freidenker dan panteis<br />

ia bersikap tidak bersahabat pada agama Kristen dan menolak secara tegas upaya<br />

penginjilan <strong>di</strong> Jawa.<br />

Apa alasan maka dalam Die Battaländer auf Sumatra Junghuhn yang sen<strong>di</strong>ri<br />

anti-Kristen menyarankan agar pemerintah kolonial memperkenalkan agama<br />

Kristen pada orang Batak? Ternyata untuk “memperkenalkan agama kontra-Islam”<br />

(Junghuhn, 1847a:119; 1847b:20 catatan kaki). Pencegahan masuknya agama<br />

Islam <strong>di</strong> Tanah Batak merupakan “kebijakan yang teramat penting”. Agar cepat<br />

orang Batak masuk Kristen dan jangan telanjur menja<strong>di</strong> Islam maka ia tidak<br />

keberatan “bila konversi pada agama Kristen hanya bersifat nominal”. (Junghuhn,<br />

1847b:83 catatan kaki).<br />

Dalam BAB 1 yang membahas ras dan asal-usul orang Batak, dan BAB 16.1<br />

tentang watak, adat, dan hukum Batak, Junghuhn tiba pada kesimpulan yang,<br />

<strong>di</strong>tinjau dari sudut pandang abad ke-21, kedengaran sangat aneh. Ia melihat<br />

adanya kemiripan antara bangsa Batak dan bangsa Eropa!<br />

Tingkat budaya orang Batak tidak dapat <strong>di</strong>katakan rendah walaupun tentu<br />

masih jauh dari bangsa-bangsa Eropa. Dari bentuk tengkorak maupun<br />

muka tampak bahwa orang Tobah yang belum bercampur [dengan bangsa<br />

lain] tidak termasuk ras Melayu apalagi ras Mongoloid. Tubuhnya<br />

menunjukkan kemiripan dengan ras hindu-kaukasus (indo-eropa). Muka<br />

mereka oval dan harmonis dengan bentuk yang lebih indah daripada orang<br />

Melayu. (Junghuhn, 1847a:275)<br />

Warna kulit yang cokelat cenderung menja<strong>di</strong> putih, terutama pada<br />

perempuan yang kulitnya biasanya sangat halus sehingga pipinya<br />

kelihatan kemerah-merahan. Rambutnya tidak hitam melainkan, khusus,<br />

pada perempuan, cokelat tua dan lebih halus daripada rambut orang<br />

Melayu atau orang Jawa, hampir seperti sutera. Tubuhnya berotot dan


proporsi tubuhnya seimbang. 3 ” (ibid. hal. 7)<br />

Anehnya kemiripan dengan bangsa Eropa terutama ia dapatkan pada perempuan<br />

Batak!<br />

Bentuk muka oval yang dapat <strong>di</strong>sebut sub-Yunani lebih sering dapat<br />

<strong>di</strong>temukan pada perempuan Toba sementara laki-laki lebih cenderung<br />

memiliki wajah monyet Melayu yang jelek. (ibid.)<br />

Uraian Junghuhn menarik perhatian Pieter Johannes Veth (1814-1895), guru<br />

besar pada Universitas <strong>di</strong> Leiden dan pen<strong>di</strong>ri In<strong>di</strong>sch Genootschap, yang sejak 1843<br />

menja<strong>di</strong> anggota dewan pimpinan Nederlandsch Bijbelgenootschap (Lembaga<br />

Alkitab Belanda) 4 . Pada rapat tahunan NBG tahun 1847 Veth membacakan halaman<br />

275 dari buku Junghuhn Die Battaländer auf Sumatra kepada anggota-anggota<br />

dewan NBG. Masih pada tahun yang sama NBG memutuskan bahwa penginjilan<br />

orang Batak perlu <strong>di</strong>laksanakan.<br />

NBG langsung memulai persiapan penginjilan dengan mempekerjakan Herman<br />

Neubronner van der Tuuk (1824-1894), seorang ahli bahasa yang masih sangat<br />

muda, untuk meneliti bahasa Batak dan untuk menerjemahkan kitab Injil. Van der<br />

Tuuk lahir <strong>di</strong> Melaka dari seorang ayah berkebangsaan Belanda dan seorang ibu<br />

yang separuh Jerman dan separuh Indo. Setahun sesudah Melaka menja<strong>di</strong> wilayah<br />

Inggris sebagai akibat Perjanjian London (1824) keluarga Van der Tuuk pindah ke<br />

Surabaya. Tahun 1836 Herman Neubronner van der Tuuk <strong>di</strong>sekolahkan ke Belanda<br />

dan mulai tahun 1840 pada usia 16 tahun ia mulai kuliah hukum, <strong>di</strong> Groningen dan<br />

<strong>di</strong> Leiden. Di sana ia juga mempelajari bahasa Arab, Farsi, dan Sansekerta.<br />

Kerena bakatnya yang luar biasa – ia <strong>di</strong>katakan bisa mempelajari sebuah bahasa<br />

dalam waktu hanya tiga bulan – maka ia <strong>di</strong>pekerjakan oleh Nederlandsch<br />

Bijbelgenootschap untuk meneliti bahasa-bahasa Batak, dan untuk menerjemahkan<br />

alkitab injil. Selama berada <strong>di</strong> daerah Batak (1851-1857) Van der Tuuk<br />

menerjemahkan sebagian dari alkitab injil ke dalam bahasa Toba, menyusun kamus<br />

bahasa Batak (Mandailing, Toba dan Pakpak) – Belanda, menyusun tata bahasa<br />

Toba yang menja<strong>di</strong> terkenal sebagai tata bahasa pertama yang ilmiah <strong>di</strong> Hin<strong>di</strong>a<br />

3 Dabei verbleicht der braune Teint der Haut immer mehr, besonders bei den Frauen, deren<br />

Haut im Allgemeinen sehr zart ist, so daß selbst ein schwaches Rosenroth der Backen<br />

hindurch schimmert. Dabei sind <strong>di</strong>e Haare nicht schwarz, sondern gewöhnlich, und bei<br />

den Frauen vorzugsweise, dunkelbraun und viel zarter, seidenartiger, als bei den Maleien<br />

und Javanen. Der Körper ist wohlgebaut, stark muskulös.<br />

4 NBG itu bukan lembaga zen<strong>di</strong>ng dalam arti yang sebenarnya karena tidak menye<strong>di</strong>akan<br />

zendelingen (penginjil) melainkan ahli bahasa untuk mempersiapkan dan melaksanakan<br />

terjemahan alkitab.


Belanda, dan sebuah kumpulan cerita rakyat dalam bahasa Toba, Mandailing, dan<br />

Pakpak.<br />

Ketika memutuskan untuk mempekerjakannya NBG sudah menyadari bahwa van<br />

der Tuuk adalah seorang ateis namun <strong>di</strong> lain pihak NBG juga sadar akan<br />

kemampuan intelek Van der Tuuk. Walaupun Van der Tuuk kerap kali menghina<br />

para penginjil sebagai “pengobral buku murahan” ia juga bersikap setia pada NBG<br />

sehingga ada dua pihak yang bertolak belakang tetapi sekaligus juga saling<br />

melengkapi. Walaupun seorang ateis, Van der Tuuk juga tiba pada kesimpulan yang<br />

sama dengan Junghuhn: Orang Batak harus <strong>di</strong>injilkan untuk membendung<br />

pengaruh Islam <strong>di</strong> bagian utara pulau Sumatra.<br />

Upaya penginjilan <strong>di</strong> Tanah Batak <strong>di</strong>pelopori oleh Hermanus Willem Witteveen<br />

(1815– 1884) yang pada tahun 1859 men<strong>di</strong>rikan Jemaat Zen<strong>di</strong>ng<br />

(Zen<strong>di</strong>ngsgemeente) dan Gereja Zen<strong>di</strong>ng (Zen<strong>di</strong>ngskerk) <strong>di</strong> Ermelo 5 . Seusai<br />

kebaktian pada tanggal 11 Desember 1853 seorang pemuda yang seharian bekerja<br />

sebagai pengembala kambing mendatangi Pastor Witteveen karena hendak<br />

menja<strong>di</strong> penginjil (Groot 1984: 90). Suatu hari ketika pemuda yang bernama<br />

Gerrit van Asselt (1832–1910) itu berada <strong>di</strong> ladang ia tiba-tia mendengar<br />

Mazmur 96:2 “Bernyanyilah bagi Tuhan dan pujilah Dia; setiap hari siarkanlah<br />

kabar gembira bahwa Ia telah menyelamatkan kita.” Beberapa minggu kemu<strong>di</strong>an<br />

ketika ia bangun tidur terdengar lagi suara Yesaya 60:1 “Bangkitlah, menja<strong>di</strong><br />

teranglah, sebab terangmu datang, dan kemuliaan Tuhan terbit atasmu.” Pemuda<br />

setengah buta huruf itu lalu belajar pada Pastor Witteveen. Ds Witteveen<br />

menghubungi Nederlandsche Zendelinggenootschap (NZG) menanyakan apa von<br />

Asselt bisa menja<strong>di</strong> tukang pada zen<strong>di</strong>ng NZG. Akan tetapi permintaan itu <strong>di</strong>tolak<br />

dengan alasan bahwa si Gerrit itu terlalu bodoh untuk mempelajari bahasa asing.<br />

Selain itu van Asselt <strong>di</strong>anggap terlalu fanatik. Namun akhirnya Witteveen berhasil<br />

untuk meyakinkan Persatuan Pendukung Zen<strong>di</strong>ng Perempuan Amsterdam<br />

(Amsterdamsche Vrouwenvereeniging tot bevordering der Zen<strong>di</strong>ngszaak) yang<br />

<strong>di</strong>pimpin oleh Wilhelmina E. van Vollenhoven untuk menampung Van Asselt. Lalu<br />

Van Asselt berangkat ke Amsterdam untuk belajar <strong>di</strong> seminaris. Ia belajar bahasa<br />

Melayu dari Isaäc Esser (1818–1885) yang dari 1861–1864 menja<strong>di</strong> residen <strong>di</strong><br />

Timor. Esser sering mengadakan ceramah tentang Sumatra, antara lain dengan<br />

tujuan untuk mencari uang buat Van Asselt. Esser menginginkan agar van Asselt<br />

menja<strong>di</strong> penginjil <strong>di</strong> Sumatra untuk “menaklukkan kerajaan Minangkabau untuk<br />

Tuhan.” Pada tahun 1856 Gerrit van Asselt mendampingi H.C. Klinkert (yang<br />

5 Pastor Witteveen menja<strong>di</strong> salah seorang pen<strong>di</strong>ri Vrije Evangelische Gemeenten (Jemaat<br />

Injil Bebas) <strong>di</strong> Belanda.


menerjemahkan alkitab Injil ke dalam bahasa Belanda) ke Batavia. Setiba <strong>di</strong> sana<br />

ia minta izin pada pemerintah untuk berangkat ke Sumatra Barat agar –sesuai<br />

dengan amanat Esser– menyebarkan injil <strong>di</strong> ranah Minangkabau. Namun<br />

permintaannya <strong>di</strong>tolak karena daerah itu sudah menja<strong>di</strong> Islam, dan ia <strong>di</strong>tawari<br />

gubernur menja<strong>di</strong> administrator perkebunan kopi <strong>di</strong> Sipirok sambil menyebarkan<br />

injil. 6 (Groot 1984: 91-93)<br />

Sementara ini ada tiga pemuda lainnya yang pernah bertemu dengan Esser<br />

ketika beliau berceramah tentang Sumatra <strong>di</strong> muka “Persatuan Pemuda Pekerja” <strong>di</strong><br />

Amsterdam. Secara teratur ketiga tukang itu belajar pada Esser dan lalu mereka<br />

<strong>di</strong>tahbiskan oleh Pastor Witteveen.<br />

Pada tahun 1859 Pastor Witteveen lalu mengutus ketiga pemuda itu, yaitu<br />

Friedrich Wilhelm Betz (1832–1881), J. Dammerboer, dan J.Ph.D. Koster, untuk<br />

mendampingi van Asselt <strong>di</strong> Sumatra. Ketika mereka bergabung dengan van Asselt<br />

<strong>di</strong> Sipirok maka Van Asselt pun meninggalkan pekerjaan sebagai administrator<br />

kebun untuk bersama dengan Betz membuka pos zen<strong>di</strong>ng <strong>di</strong> Silindung. Namun<br />

permintaan Asselt <strong>di</strong>tolak gubernur dengan alasan keamanan dan juga karena<br />

pemerinta tidak berniat untuk memperluas pengaruhnya hingga ke Tanah Batak<br />

yang masih merdeka. Lalu mereka memutuskan untuk memperluas kegiatan<br />

zen<strong>di</strong>ng ke Angkola. Betz bertugas <strong>di</strong> Bunga Bondar dari tahun 1860 hingga 1869 7<br />

sementara Dammerboer, Koster dan van Dalen (yang <strong>di</strong>tahbiskan <strong>di</strong> Ermelo pada<br />

21-10-186) membuka pos <strong>di</strong> Huta Rimbaru, dan Pargarutan (Angkola) sementara<br />

Van Asselt tetap <strong>di</strong> Parau Sorat (Sipirok). Dammerboer lalu memutuskan untuk<br />

meninggalkan zen<strong>di</strong>ng. (BRMG 1910:253-257) (Groot 1984: 93-94)<br />

Pada tahun 1859 serikat penginjilan Rheinische Missionsgesellschaft yang<br />

berkedudukan <strong>di</strong> Barmen (Wuppertal), Jerman, mengalami musibah. Sembilan<br />

penginjil RMG <strong>di</strong>bunuh ketika <strong>Perang</strong> Banjar meletus <strong>di</strong> Kalimantan sementara<br />

penginjil yang lain <strong>di</strong>amankan ke Pulau Jawa.<br />

Ketika itu Friedrich Fabri (1824-1891) menja<strong>di</strong> Direktur RMG (1857-1884).<br />

Ketika Fabri berkunjung ke Amsterdam untuk menjejaki kemungkinan untuk<br />

menempatkan para misionaris yang sedang berada <strong>di</strong> Jawa <strong>di</strong> tempat yang lain.<br />

Sewaktu berada <strong>di</strong> kantor NBG Fabri melihat injil Yohanes hasil terjemahan Van der<br />

Tuuk. Pada kunjungan itu Fabri juga bertemu langsung dengan van der Tuuk yang<br />

6 Van der Tuuk sangat terkejut mendengar bahwa zen<strong>di</strong>ng Batak <strong>di</strong>prakarsai oleh Van<br />

Asselt yang <strong>di</strong>anggapnya kampungan dan secara intelek tidak mampu menangani tugas<br />

yang sedemikian berat.<br />

7 Christian Philip Schütz (1838–1922) menja<strong>di</strong> pengganti Betz <strong>di</strong> Bunga Bondar dari tahun<br />

1868 hingga ia pensiun pada tahun 1912. Bertugas selama 44 tahun Schütz hanya sekali<br />

berlibur ke Jerman (1893–1895).


pada saat itu sedang berada <strong>di</strong> Amsterdam. Lalu pihak RMG menghubungi Domine<br />

Witteveen untuk menjejaki kerjasama antara Zen<strong>di</strong>ngskerk Ermelo dengan RMG.<br />

Setelah <strong>di</strong>run<strong>di</strong>ngkan dengan Pastor Witteveen maka <strong>di</strong>putuskan bahwa ketiga<br />

misionaris dari Domine Witteveen yang sudah ada <strong>di</strong> Sumatra, yaitu van Asselt,<br />

Betz, dan Dammerboer selanjutnya <strong>di</strong>pekerjakan oleh RMG dan <strong>di</strong>perbantukan oleh<br />

tiga misionaris dari Kalimantan, Karl Klammer, Carl Wilhelm Heine, dan Ernst<br />

Ludwig Denninger. Pada 7 Oktober 1861 empat penginjil, yaitu Van Asselt, Betz,<br />

Heine dan Klammer (Dammerboer sudah meninggalkan zen<strong>di</strong>ng sedangkan<br />

Denninger masih berada <strong>di</strong> Padang) mengadakan pertemuan untuk membicarakan<br />

kelanjutan penginjilan <strong>di</strong> Tanah Batak. Betz <strong>di</strong>tempati <strong>di</strong> Bunga Bondar, Klammer <strong>di</strong><br />

Sipirok, dan Van Asselt bersama Heine membuka pos baru <strong>di</strong> Pangaloan. Tanggal<br />

7-10-1861 kini <strong>di</strong>anggap sebagai hari ja<strong>di</strong> Huria Kristen Batak Protestan (HKBP).<br />

Tidak lama kemu<strong>di</strong>an L.I. Nommensen bergabung dengan mereka. Awalnya<br />

Nommensen <strong>di</strong>tempatkan <strong>di</strong> Barus dan dari situ ia berangkat ke Angkola untuk<br />

bergabung dengan keempat penginjil yang sudah berada <strong>di</strong> sana.<br />

Misi <strong>di</strong> daerah-daerah selatan (pos zen<strong>di</strong>ng <strong>di</strong> Sipirok, Bunga Bondar, Prau<br />

Sorat) berada <strong>di</strong> wilayah pemerintah kolonial Belanda. Pada awalnya pemerintahan<br />

belum stabil, tetapi mulai tahun 1875 sudah ada seorang kontrolir berkebangsaan<br />

Belanda. Pada awal kedatangan para penginjil masih belum banyak orang yang<br />

menganut agama Islam dan terutama pada periode sekitar 1867–1871 ada<br />

kemajuan yang pesat <strong>di</strong> daerah selatan sehingga pada tahun 1871 telah ada<br />

hampir 700 orang yang menganut agama Kristen. Pada tahun-tahun berikut tidak<br />

ada lagi kemajuan yang berarti. Tahun 1873 tidak ada lagi pertumbuhan <strong>di</strong><br />

Bungabondar karena hampir seluruh penduduk telah memeluk agama Islam kecuali<br />

308 orang yang memilih agama Kristen (JB 1873:27). Keadaan yang sama juga<br />

<strong>di</strong>laporkan dari Sipirok dan Parausorat (JB 1874:12).<br />

Ludwig Ingwer Nommensen<br />

L.I. Nommensen (kadang-kadang namanya juga <strong>di</strong>tulis I. L. Nommensen) <strong>di</strong>lahirkan pada 6 Februari<br />

1834 <strong>di</strong> Nordstrand, wilayah Schleswig yang pada masa itu menja<strong>di</strong> bagian dari Kerajaan Denmark.<br />

Setelah mengalami kecelakaan ketika berusia 12 tahun ia berjanji akan menja<strong>di</strong> penginjil. Ia <strong>di</strong>terima<br />

<strong>di</strong> seminaris RMG <strong>di</strong> Wuppertal-Barmen (1857–1861) dan setelah tamat Nommensen langsung pergi<br />

ke Belanda untuk naik kapal ke Sumatra bertepatan dengan malam Natal 1861. Di Amsterdam,<br />

Nommensen masih sempat belajar bahasa Batak pada H.N. van der Tuuk yang pada saat itu sedang<br />

berada <strong>di</strong> Belanda.


L. I. Nommensen umumnya <strong>di</strong>anggap sebagai salah seorang misionaris yang paling berhasil. Pada<br />

tahun kematiannya gereja Batak Toba Huria Kristen Batak Protestant memiliki 500 paroki dengan<br />

180.000 jemaah, 34 pastor (pan<strong>di</strong>ta Batak), hampir 800 guru dan lebih dari 2.000 Sintua. Tahun 1940<br />

HKBP menja<strong>di</strong> man<strong>di</strong>ri, 1948 menja<strong>di</strong> anggota Dewan Oikumene (ÖkumenischerRat der Kirchen), dan<br />

1952 menja<strong>di</strong> anggota Serikat Dunia Luther (Lutheranischer Weltbund). Dengan jumlah jemaah sekitar<br />

2,5 juta HKPB menja<strong>di</strong> gereja terbesar <strong>di</strong> Asia Tenggara. Atas jasanya tahun 1904 Nommensen<br />

memperoleh gelar doktor honoris causa dari Universitas Bonn, dan tahun 1911 ia memperoleh<br />

penghargaan Kerajaan Belanda dengan menja<strong>di</strong> Officier 8 Ordo Oranye-Nassau.<br />

Kini nama Nommensen terlupakan oleh orang Jerman. Hal itu terutama <strong>di</strong>sebabkan bahwa malahan<br />

dalam lingkungan gereja upaya penginjilan sering <strong>di</strong>anggap sebagai tindakan pemaksaan terhadap<br />

bangsa-bangsa “berwarna” dalam konteks imperialisme kolonial.<br />

Dalam Pengakuan Bersalah (Schuldbekenntnis) tertanggal 27-9-1971 secara resmi Vereinigte<br />

Evangelische Mission, (VEM) sebagai pengganti RMG mengakui: “Kami terlalu sering menyerah pada<br />

godaan bersekongkolan dengan para penguasa sekuler dengan mengorbankan saudara dan saudari<br />

pribumi.” 9<br />

Sejak awal sekali para misionaris sebetulnya menargetkan daerah Toba dan<br />

Silindung yang padat penduduk. Tahun 1861, segera sesudah <strong>di</strong>kirim ke Sumatra,<br />

Nommensen mengadakan perjalanan ke daerah Toba dan <strong>di</strong>sambut dengan baik,<br />

namun pemerintah melarangnya untuk menetap <strong>di</strong> sana. Pemerintah tidak bersikap<br />

anti-zen<strong>di</strong>ng dan malahan sangat mendukung upaya penginjilan, tetapi para<br />

penguasa takut bahwa keha<strong>di</strong>ran misionaris akan mengakibatkan adanya<br />

pemberontakan sebagaimana terja<strong>di</strong> <strong>di</strong> Kalimantan tahun 1859 (<strong>Perang</strong> Banjar).<br />

Karena tidak dapat menetap <strong>di</strong> Toba terpaksa Nommensen <strong>di</strong>tempatkan dulu <strong>di</strong><br />

Parausorat. Pada November 1863 ia mengadakan perjalanan ke Silindung untuk<br />

melacak kemungkinan akan <strong>di</strong>terima <strong>di</strong> sana, namun sambutan penduduk tidak<br />

begitu hangat: “Mereka mengemukakan kekhawatiran (yang memang bukan tidak<br />

beralasan) bahwa apabila sudah ada guru asal Eropa yang menetap <strong>di</strong> antaranya<br />

hal itu pasti akan berujung pada aneksasi tanah mereka ke dalam wilayah<br />

pemerintah Belanda.” (JB 1863:46)<br />

Baru pada bulan Mei tahun 1864 Nommensen, dengan bantuan raja Pontas<br />

Lumbantobing, pindah ke lembah Silindung. Walaupun mendapatkan perlawanan<br />

yang hebat dari penduduk, ia berhasil membaptis beberapa keluarga <strong>di</strong> bulan<br />

Agustus 1865. Setahun kemu<strong>di</strong>an Nommensen <strong>di</strong>dampingi oleh Peter Hinrich<br />

Johannsen (1839-1898) yang juga berasal dari Schleswig (tempat kelahiran<br />

Johannsen, Wed<strong>di</strong>ngstedt <strong>di</strong> Holstein, tidak jauh dari kampung halaman<br />

8 Penghargaan tersebut ada enam tingkatan. Penghargaan yang tertinggi adalah Ridder<br />

Grootkruis, <strong>di</strong>ikuti oleh Grootofficier, Commandeur, Officier, Ridder, dan Lid.<br />

9 “Wir bekennen, daß wir oftmals der Versuchung erlegen sind, mit den weltlichen<br />

Machthabern auf Kosten unserer einheimischen Brüder und Schwestern<br />

zusammenzuarbeiten”. Dikutip dari majalah Vereinte Evangelischen Mission In <strong>di</strong>e Welt -<br />

für <strong>di</strong>e Welt No. 12/1971, hal. 13).


Nommensen). Beliau yang antara lain terkenal karena menerjemahkan alkitab ke<br />

dalam bahasa Batak, men<strong>di</strong>rikan pos zen<strong>di</strong>ng yang baru <strong>di</strong> Pansur na Pitu (1867)<br />

dan menja<strong>di</strong> misionaris dan guru <strong>di</strong> sana hingga ia meninggal pada tahun 1898.<br />

Walaupun RMG mengalami kesulitan dalam soal keuangan, penginjilan <strong>di</strong><br />

Silindung mereka prioritaskan dengan menambahkan pos-pos zen<strong>di</strong>ng baru <strong>di</strong><br />

Sipoholon (1870), Simorangkir (1875), dan Bahal Batu (1876). Jumlah orang<br />

Kristen, walaupun masih minoritas, berkembang dengan pesat dan pada tahun<br />

1870an golongan Batak Kristen <strong>di</strong> Silindung sudah cukup besar untuk menja<strong>di</strong><br />

kekuatan sosial dan politik.<br />

Mulai tahun 1830 Belanda memutuskan untuk tidak lagi memperluas wilayah<br />

kekuasaan <strong>di</strong> Indonesia. Alasannya karena daerah <strong>di</strong> luar Jawa akan kurang<br />

menguntungkan bagi negara Belanda, dan juga karena administrasi kolonial tidak<br />

sanggup memerintah seluruh Nusantara yang luasnya lebih dari empat puluh kali<br />

lipat negara induknya. Oleh sebab itu wilayah jajahan Belanda <strong>di</strong> Nusantara<br />

<strong>di</strong>batasi pada Pulau Jawa, Ambon serta beberapa daerah <strong>di</strong> Sumatra. Masih pada<br />

tahun 1861 menteri untuk urusan penjajahan (minister van koloniën) mengatakan<br />

bahwa tiap upaya perluasan wilayah berarti “suatu langkah lagi menuju kehancuran<br />

kita” 10 . Kebijakan onthou<strong>di</strong>ngspolitiek (politik tidak campur tangan) itu baru mulai<br />

<strong>di</strong>tinggal pada tahun 1870an sehingga pada tahun 1907 hampir semua wilayah <strong>di</strong><br />

Nusantara sudah menja<strong>di</strong> bagian dari Hin<strong>di</strong>a Belanda.<br />

Suatu peristiwa yang sangat penting untuk sejarah Sumatra bagian utara adalah<br />

pembukaan terusan Suez pada tahun 1869. Sebelum terusan Suez <strong>di</strong>buka<br />

kepulauan Indonesia <strong>di</strong>capai melalui Selat Sunda dari Afrika. Dari terusan Suez,<br />

laluan ke Indonesia, dan juga ke Singapura yang <strong>di</strong>kuasai Inggris, lebih pendek<br />

melalui Selat Melaka. Inggris yang merasa terganggu oleh pembajak laut <strong>di</strong><br />

perairan Aceh membatalkan Perjanjian Sumatra 1824 yang menjamin kedaulatan<br />

Aceh dan menandatangani Perjanjian Sumatra 1871 yang memberi Belanda<br />

keleluasaan untuk berdagang <strong>di</strong> seluruh Sumatra termasuk Aceh sementara<br />

Belanda berjanji untuk menjamin keamanan <strong>di</strong> Selat Melaka. Akibat Perjanjian<br />

Sumatra, Aceh mengadakan hubungan <strong>di</strong>plomatik dengan Konsul Amerika Serikat,<br />

Kerajaan Italia, Kesultanan Usmaniyah (Turki) <strong>di</strong> Singapura yang pada giliran<br />

<strong>di</strong>ja<strong>di</strong>kan alasan Belanda untuk menyerang Aceh.<br />

Keha<strong>di</strong>ran para zendeling <strong>di</strong> Tanah Batak tentu tidak <strong>di</strong>setujui oleh<br />

Singamangaraja XII yang menggantikan ayahnya pada tahun 1867 apalagi setelah<br />

mereka mengundang Gubernur Pantai Barat Sumatra Arriens menjelang Natal<br />

10 “een schrede nader tot onze ondergang.”


1868. Pada kesempatan itu para misionaris menekankan kepada gubernur bahwa<br />

mereka akan menyambut baik aneksasi Tanah Batak demi adanya pemerintah<br />

yang menjalankan hukum dan kea<strong>di</strong>lan (Recht und Gerechtigkeit) (BRMG<br />

1869:300, BRMG 1871:142-3). Misionaris Johannsen malah menganggap Arriens<br />

sebagai “sungguh-sungguh wakil Allah yang untuk membawa kesenangan bagi<br />

Silindung” 11 .<br />

Tentu Singamangaraja merasa kedaulatannya <strong>di</strong>ingkari dengan kedatangan<br />

pembesar Belanda ke dalam wilayah kekuasaan Singamangaraja tetapi ternyata<br />

tidak ada reaksi apa-apa mungkin karena beliau masih muda dan belum cukup<br />

berpengalaman.<br />

Pecahnya <strong>Perang</strong> Aceh <strong>di</strong> tahun 1873 mengubah peta politik Sumatra. Belanda<br />

yang mengharapkan kemenangan yang gilang-gemilang ternyata <strong>di</strong>pukul balik oleh<br />

pasukan Aceh dan sang pemimpin pasukan Belanda Jenderal Johan Harmen Rudolf<br />

Köhler tewas. Pada ekspe<strong>di</strong>si berikut tahun 1874 Belanda berhasil menduduki<br />

Banda Aceh sementara orang Aceh tetap memerangi Belanda dengan strategi<br />

gerilya.<br />

Dalam upaya untuk mencari sekutu melawan Belanda orang Aceh ternyata juga<br />

menghubungi Singamangaraja dan pada tahun 1877 <strong>di</strong>laporkan bahwa ada<br />

sejumlah orang Aceh <strong>di</strong> Tanah Batak. Pada waktu itu Singamangaraja sudah<br />

memutuskan untuk menjalin kerjasama dengan Aceh dan untuk mengusir para<br />

misionaris yang <strong>di</strong>anggap sebagai pelopor kekuasaan Belanda. memberi perintah<br />

agar para misionaris harus meninggalkan wilayahnya.<br />

Pada bulan Januari 1878 para misionaris <strong>di</strong>perintahkan untuk segera<br />

meninggalkan wilayah Singamangaraja. Karena merasa terancam para misionaris<br />

meminta bantuan tentara Belanda, dan pada gilirannya mereka juga membantu<br />

tentara Belanda:<br />

Ekspe<strong>di</strong>si itu sangat berhasil dan berlangsung dengan sangat cepat pula –<br />

dari awal Februari hingga akhir Maret. Ekspe<strong>di</strong>si itu begitu luar biasa<br />

berhasil karena Silindung menja<strong>di</strong> pangkalan yang sangat aman [bagi<br />

tentara Belanda], dan karena tentara <strong>di</strong>pandu dan <strong>di</strong>nasihati oleh para<br />

misionaris yang sangat mengetahui masyarakat Batak dan daerahnya.<br />

Dukungan dan bantuan para misionaris yang ikut pada ekspe<strong>di</strong>si itu juga<br />

mempunyai tujuan yang satu lagi, yaitu untuk meyakinkan masyarakat<br />

bahwa perlawanan mereka sia-sia dan supaya sebaiknya mereka<br />

menyerah. (JB 1878:31)<br />

11 Immanuel Februari 1894 (<strong>di</strong>kutip dari Aritonang 1988:160)


Para Penginjil <strong>di</strong> Tanah Batak<br />

Siapa para misionaris itu dan mengapa mereka begitu mudah <strong>di</strong>peralat oleh<br />

tentara kolonial?<br />

Para misonaris RMG percaya bahwa bangsa-bangsa <strong>di</strong> Asia dan Afrika harus<br />

<strong>di</strong>bebaskan dari belegu “kekafiran” dan “kebarbaran”. Sebagai penganut aliran<br />

pietisme mereka berkeyakinan bahwa tidak lama lagi Yesus Kristus akan bangkit<br />

kembali dan bahwa mereka memiliki tugas untuk menyelamatkan jiwa-jiwa yang<br />

sesat. Seperti Aritonang (1988) menunjukkan dalam bukunya Sejarah Pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan<br />

Kristen <strong>di</strong> Tanah Batak maka perjumpaan orang Batak dengan para misionaris<br />

bukanlah sebuah perjumpaan antara dua pihak yang sederajat. Para misionaris<br />

RMG adalah anak zamannya yang percaya pada keunggulan peradaban Eropa, dan<br />

pada keunggulan ras putih.<br />

Pada tahun 1878, ketika Silindung dan Toba <strong>di</strong>aneksi dalam <strong>Perang</strong> Toba I, ada<br />

enam penginjil <strong>di</strong> Silindung – Johannsen, Metzler, Mohri, Nommensen, Püse, dan<br />

Simoneit. Yang paling tua adalah Nommensen yang ketika itu berumur 43 tahun<br />

sementara yang paling muda, Metzler, berumur 30 tahun. Pada waktu mereka<br />

mulai pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kannya untuk menja<strong>di</strong> misionaris <strong>di</strong> seminaris RMG <strong>di</strong> Barmen,<br />

mereka berusia antara 21 (Johannsen) dan 26 tahun (Mohri dan Püse). Sesuai<br />

dengan kebiasaan <strong>di</strong> RMG mereka segera berangkat ke tempat tujuannya setelah<br />

mereka tamat seminaris <strong>di</strong> Barmen dan menerima or<strong>di</strong>nasi yang hanya berlaku<br />

untuk penginjilan pada bangsa non-Kristen. Ketika keenam misionaris itu untuk<br />

pertama kali menginjak Tanah Batak mereka berusia antara 26 dan 32 tahun, dan<br />

mereka semua belum kawin.<br />

Keputusan untuk menja<strong>di</strong> seorang misionaris berarti bahwa mereka akan<br />

memasuki kehidupan yang serba berbeda. Rata-rata para misionaris RMG<br />

berkebangsaan Jerman yang berangkat ke Sumatra antara 1861 dan 1875 berada<br />

<strong>di</strong> Tanah Batak selama 30 tahun. Mereka memang <strong>di</strong>harapkan untuk tetap berada<br />

<strong>di</strong> tempat tujuan hingga mencapai usia pensiun. Satu-satunya misionaris yang<br />

<strong>di</strong>panggil kembali adalah August Wilhelm Schreiber (sen.) yang <strong>di</strong>butuhkan sebagai<br />

guru <strong>di</strong> seminaris Barmen 12 . Misionaris yang paling lama tinggal <strong>di</strong> Tanah Batak<br />

adalah L.I. Nommensen yang ber<strong>di</strong>am <strong>di</strong> Tanah Batak selama 57 tahun, <strong>di</strong>ikuti oleh<br />

M. Metzler (49 tahun), A. Mohri (40 tahun), J. Christiansen, serta P. Johannsen (33<br />

tahun). Empat dari 13 misionaris itu malahan menetap <strong>di</strong> Tanah Batak hingga<br />

mereka meninggal. Johannsen meninggal <strong>di</strong> Pansur na Pitu pada usia 59 tahun,<br />

12 Schreiber hanya tujuh tahun menja<strong>di</strong> misionaris (1867-1873) <strong>di</strong> Prau Sorat.


Mohri <strong>di</strong> Purba pada usia 72 tahun, Nommensen <strong>di</strong> Sigumpar pada usia 84 tahun,<br />

dan Staudte <strong>di</strong> Sipirok pada usia 39 tahun. Ja<strong>di</strong> kebanyakan misionaris memilih<br />

masa pensiun <strong>di</strong> Jerman, tetapi ada juga <strong>di</strong> antaranya, seperti Nommensen, dan<br />

Mohri yang memutuskan untuk tidak kembali ke tanah airnya. Ada pula misionaris<br />

yang masih tetap bertugas hingga mencapai usia pensiun dan baru kembali ke<br />

Jerman pada usia yang sudah lanjut. Ch. Schütz misalnya baru kembali ke Jerman<br />

pada usia 74 tahun, dan W. Metzler masih bertugas <strong>di</strong> Pearaja hingga mencapai<br />

umur 78 tahun.<br />

Para misionaris <strong>di</strong>perbolehkan untuk sekali-sekali pulang ke tanah airnya.<br />

Nommensen misalnya empat kali kembali ke Jerman (tahun 1880-81, 1892, 1905,<br />

dan 1912) sementara Johannsen, Mohri, dan Simoneit hanya sekali dalam 30 tahun<br />

lebih mengambil cuti ke Jerman.<br />

Setelah <strong>di</strong>utus ke masing-masing wilayah kerjanya para misionaris <strong>di</strong>wajibkan<br />

untuk senantiasa patuh pada pimpinan RMG. Pada semua keputusan yang penting<br />

(misalnya meminjam uang, memindahkan lokasi pos penginjilan) para misionaris<br />

tidak hanya memerlukan persetujuan daripada misionaris lainnya <strong>di</strong> wilayah<br />

kerjanya tetapi mereka juga membutuhkan izin tertulis dari pimpinan RMG. Mereka<br />

yang tidak mematuhi peraturan ini segera <strong>di</strong>berhentikan.<br />

Tabel 1 Data Misionaris RMG 1861–1878<br />

A B C D E<br />

Asselt, Gerrit von 1832 1856 1862 1875 1910<br />

Betz, Friedrich Wilhelm 1832 1860 1858 1869 1881<br />

Christiansen, Julius 1844 1871 1879 1906 1934<br />

Heine, Carl Wilhelm 1833 1860 1866 1873 1897<br />

Johannsen, Peter 1839 1865 1870 1898<br />

Klammer, Johann 1826 1855 1861 1883 1919<br />

Leipoldt, Christian 1844 1869 1874 1879 1911<br />

Metzler, Wilhelm 1847 1875 1877 1924 1935<br />

Mohri, August 1835 1867 1871 1907<br />

Nommensen, I.L. 1834 1861 1866 1918<br />

Püse, Heinrich 1842 1874 1882 1905 1920<br />

Schreiber, August 1839 1866 1866 1873 1903<br />

Schütz, Christian 1838 1867 1870 1912 1922<br />

Simoneit, August 1842 1873 1882 1886 1886<br />

Staudte, Friedrich 1845 1873 1877 1884


A Tahun Kelahiran, B Tahun Keberangkatan ke Sumatra, C Tahun Perkawinan, D Tahun<br />

Kepulangan, E Tahun Kematian<br />

Peraturan yang berkaitan dengan mencari teman hidup sangat ketat bagi para<br />

misionaris. Apabila seorang seminaris bertunangan sebelum tamat maka ia harus<br />

segera meninggalkan seminaris. Karena para penginjil biasanya segera sesudah<br />

tamat <strong>di</strong>kirim ke luar negeri dan berada <strong>di</strong> wilayah kerjanya selama bertahun-tahun<br />

maka mereka tidak sempat untuk memilih teman hidup sen<strong>di</strong>ri. Oleh sebab itu<br />

maka pilihan calon istri menja<strong>di</strong> tugas pimpinan RMG. Istri Mohri, misalnya,<br />

berangkat dari Jerman pada akhir tahun 1869 bersama dengan tiga perempuan<br />

pilihan RMG lain yang <strong>di</strong>tentukan bagi tiga penginjil <strong>di</strong> Borneo. Mereka satu<br />

rombongan dengan penginjil Zimmer dan istri Zimmer <strong>di</strong>tunjuk untuk menjaga<br />

ketiga calon istri itu. Setiba <strong>di</strong> Batavia calon istri Mohri naik kapal ke Padang, dan<br />

lalu ke Sibolga untuk bertemu dengan penginjil Mohri. Perkawinan <strong>di</strong> antara kedua<br />

pengantin yang belum pernah bertemu sebelumnya <strong>di</strong>laksanakan pada 22 Februari<br />

1870, dan pada 10 Maret ketiga perempuan lainnya <strong>di</strong>kawinkan dengan ketiga<br />

penginjil <strong>di</strong> Kuala Kapuas. Februari 1871 Johannsen menjemput istrinya <strong>di</strong> Sibolga.<br />

Para misionaris memperoleh istri pilihan pimpinan RMG rata-rata lima tahun<br />

setelah mulai menetap <strong>di</strong> Sumatra. Hal itu sesuai dengan peraturan RMG yang<br />

mengharuskan para penginjil menunggu minimal dua atau bahkan lima tahun<br />

sebelum <strong>di</strong>perbolehkan kawin. Metzler mendapatkan pasangan hidupnya setelah<br />

hanya dua tahun bertugas, tetapi kebanyakan misonaris harus menunggu sampai<br />

lima, dan penginjil Püse dan Simoneit malahan tujuh dan sembilan tahun.<br />

Para calon istri misionaris juga belajar <strong>di</strong> RMG namun pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kannya berfokus<br />

pada keterampilan seperti memasak dan menjahit sementara pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan teologi<br />

sangat kurang. Terutama menjahit dan menyanyi <strong>di</strong>lihat sebagai wahana<br />

penginjilan yang efektif. Kehidupan para istri misionaris cukup susah karena<br />

ruangan gerak mereka sangat terbatas, dan mereka malahan hanya <strong>di</strong>izinkan<br />

mengasuh anaknya hingga usia sekolah dasar karena untuk pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan sekolah<br />

anak-anak misionaris <strong>di</strong>kirim ke Jerman untuk <strong>di</strong>asuh pihak RMG.<br />

Mengingat bahwa para misionaris tiba <strong>di</strong> Tanah Batak sebagai bujangan berumur<br />

20an tahun maka seharusnya ada paling tidak beberapa <strong>di</strong> antara misionaris itu<br />

yang memperistri seorang perempuan Batak. Ternyata hal itu tidak pernah terja<strong>di</strong>,<br />

tidak <strong>di</strong> zamannya Nommensen dan juga tidak <strong>di</strong> kemu<strong>di</strong>an hari. Dari lebih dari<br />

seratus penginjil yang <strong>di</strong>utus RMG ke Tanah Batak tidak seorang pun yang<br />

memperistri seorang boru Batak.<br />

Setahu kami tidak pernah ada peraturan yang melarang perkawinan seorang<br />

penginjil dengan seorang ga<strong>di</strong>s pribumi, namun ada semacam perjanjian tidak


tertulis bahwa hal itu takkan boleh terja<strong>di</strong>. Kendati demikian asmara tidak<br />

senantiasa terbendung, dan pada bulan November tahun 1900 Wilhelm Müller yang<br />

menja<strong>di</strong> penginjil Norddeutsche Missions-Gesellschaft <strong>di</strong> Togo pada November 1900<br />

mengajukan permohonan kepada atasannya untuk mengawini seorang ga<strong>di</strong>s<br />

Kristen dari suku Ewe. August Wilhelm Schreiber (jun.) menerima permintaan<br />

tersebut dan meneruskannya kepada dewan NMG yang harus memutuskannya.<br />

Pada surat tersebut Schreiber membubuhkan catatan: “Saya telah memberitahu<br />

penginjil Schreiber bahwa saya tidak pernah akan menyetujui perkawinan antara<br />

seorang penginjil dengan seorang Negro.” Permohonan Müller <strong>di</strong>tolak dan Müller<br />

meninggalkan zen<strong>di</strong>ng NMG yang merupakan salah satu badan zen<strong>di</strong>ng yang<br />

progresif pada waktu itu. Perkawinan dengan seorang pribumi <strong>di</strong>khawatirkan bisa<br />

menja<strong>di</strong> isyarat bahwa masyarakat pribumi dan penginjil sederajat, dan hal itu<br />

harus <strong>di</strong>hindari. Keja<strong>di</strong>an serupa terulang pada tahun 1914 ketika penginjil Karl<br />

Frank meminta persetujuan NMG untuk mengawini seorang ga<strong>di</strong>s Kristen Ewe.<br />

Permintaan ini pun <strong>di</strong>tolak dan hubungan kerja dengan penginjil Frank <strong>di</strong>putuskan<br />

(Altena 2003:148-149).<br />

Para penginjil senantiasa <strong>di</strong>sadari bahwa dana RMG berasal dari sumbangan para<br />

pendukung dan oleh karena itu mereka <strong>di</strong>harapkan untuk hidup lebih sederhana<br />

daripada penginjil dari serikat penginjilan lainnya. Kebanyakan penginjil bagaimana<br />

pun sudah terbiasa hidup dalam kesederhanaan. Latar belakang sosial mereka<br />

sangat bersahaja. Nommensen misalnya berasal dari sebuah keluarga yang miskin<br />

<strong>di</strong> Nordstrand – sebuah kampung kecil dan terbelakang <strong>di</strong> daerah Schleswig yang<br />

pada tahun kelahiran Nommensen masih menja<strong>di</strong> wilayah Denmark: “Saya anak<br />

dari orang tua miskin dan sakit-sakitan yang <strong>di</strong>besarkan dengan roti tanpa isi,<br />

hanya pakai garam, dengan kacang dan sup arcis, kentang tanpa lauk, dan bubur<br />

gandum” 13 . Ketika berumur tujuh tahun Nommensen memilih menggembala angsa<br />

daripada duduk <strong>di</strong> bangku sekolah, pada usia delapan ia menja<strong>di</strong> penggembala<br />

kambing, pada usia sembilan ia belajar menja<strong>di</strong> tukang atap, pada umur sepuluh ia<br />

menja<strong>di</strong> tukang kuda, pada usia sebelas tahun ia menja<strong>di</strong> buruh tani, dan sebelum<br />

masuk seminaris RMG ia sempat menja<strong>di</strong> guru bantu. Leipoldt dan Christiansen,<br />

teman Nommensen dari Nordstrand, juga sempat menja<strong>di</strong> guru bantu. Metzler<br />

menja<strong>di</strong> Lohgerber (tukang yang mengolah kulit binatang), Mohri menja<strong>di</strong><br />

Eisenfabrikarbeiter (buruh pabrik besi), Püse menja<strong>di</strong> Zimmermann (tukang<br />

bangunan), Klammer dan Simoneit menja<strong>di</strong> Schreiner (tukang kayu), Schütz<br />

13 Ich war ein Junge armer, kränklicher Eltern, der bei trockenem Brot und Salz,<br />

Pferdebohnen und Erbsensuppe, trockenen Karthoffen und Roggenmehlbrei groß<br />

geworden. (Warneck 1950:9)


menja<strong>di</strong> Anstreicher (tukang cat), Staudte menja<strong>di</strong> Drechsler (tukang kayu), dan<br />

Heine menja<strong>di</strong> Bauer (petani). Hanya satu <strong>di</strong> antara keenam penginjil <strong>di</strong> Silindung,<br />

Johannsen, menja<strong>di</strong> guru sekolah sebelum masuk seminaris RMG. Betapa susah<br />

pun dari segi kenyamanan dan materi kehidupan para misionaris, <strong>di</strong>ban<strong>di</strong>ngkan<br />

dengan kehidupan <strong>di</strong> Jerman status sosial mereka <strong>di</strong> Sumatra jauh lebih tinggi. 14<br />

(Angerler 1993:56–57)<br />

August Schreiber berbeda dari semua misionaris lainnya karena hanya ia sen<strong>di</strong>ri<br />

yang berpen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan tinggi. Schreiber juga bukan tamatan seminaris <strong>di</strong> Barmen<br />

melainkan tamatan universitas dengan gelar doktor teologi. Dr. Schreiber menja<strong>di</strong><br />

guru <strong>di</strong> seminaris <strong>di</strong> Barmen antara tahun 1865-1866 dan 1873-1884 dan mulai<br />

tahun 1884 hingga tahun 1903 ia menja<strong>di</strong> Inspektor (<strong>di</strong>rektur) RMG.<br />

Sikap terhadap pribumi<br />

Walaupun kebanyakan penginjil berasal dari latar belakang sosial yang<br />

sederhana, mereka berkeyakinan menja<strong>di</strong> “wakil peradaban yang begitu jauh lebih<br />

unggul daripada budaya kafir” (AMZ 6, 1879:352) 15 . Masyarakat <strong>di</strong> wilayah<br />

penginjilan <strong>di</strong>anggap tidak memiliki peradaban sehingga <strong>di</strong>perlukan adanya transfer<br />

budaya dan peradaban Eropa. Untuk transfer budaya satu arah itu Warneck<br />

menggunakan istilah Culturkampf (perang budaya) yang <strong>di</strong>laksanakan “<strong>di</strong> semua<br />

tempat pertemuan Cultur Kristen Eropa dengan kebarbaran dan Uncultur bangsa-<br />

bangsa <strong>di</strong> luar Eropa.” 16<br />

Oleh karena masyarakat “primitif” tidak memiliki Cultur (budaya) melainkan<br />

Uncultur (non-budaya/kekacauan) maka sebagian besar unsur budaya yang sudah<br />

ada harus <strong>di</strong>hilangkan. Namun dalam praktek para penginjil, paling tidak <strong>di</strong> daerah<br />

Batak, melihat adanya unsur budaya Batak yang perlu <strong>di</strong>lestarikan, termasuk<br />

aksara Batak, sastra lisan, dan arsitektur. Namun sebagian besar budaya Batak<br />

<strong>di</strong>anggap tidak penting atau malahan bertentangan dengan agama Kristen sehingga<br />

perlu <strong>di</strong>hilangkan. Penginjil Nommensen misalnya melarang jemaatnya untuk<br />

14<br />

Perlu <strong>di</strong>ketahui bahwa kehidupan seorang tukang, buruh, atau petani pada pertengahan<br />

abad ke-19 jauh sekali berbeda dengan keadaan yang sekarang. Hampir semua<br />

misionaris berasal dari keluarga yang miskin.<br />

15<br />

Majalah Allgemeine Missions-Zeitschrift (AMZ) <strong>di</strong><strong>di</strong>rikan oleh Gustav Warneck, <strong>di</strong>rektur<br />

RMG.<br />

16<br />

Überall wo unsere christliche, europäische Cultur und Civilisation mit der Uncultur und<br />

Barbarei der nicht europäischen Völker in Berührung getreten (<strong>di</strong>kutip dari Schubert<br />

2003:126).


ermain musik (margondang), menari (manortor), dan malahan sistem<br />

kekerabatan orang Batak yang <strong>di</strong>kenal sebagai dalihan na tolu ingin <strong>di</strong>hilangkannya<br />

dengan mengizinkan perkawinan antara orang sesama marga. Setelah<br />

mendapatkan perlawanan dari orang Batak maka para penginjil berse<strong>di</strong>a untuk<br />

berkompromi, tetapi gondang dan tortor Batak tetap <strong>di</strong>larang dan <strong>di</strong>ganti dengan<br />

musik tiup asal Jerman. Bukan saja <strong>di</strong> Batakmission tetapi juga <strong>di</strong> Afrika seni tari<br />

selain tari Eropa <strong>di</strong>anggap kegiatan yang berdosa (Paczensky, 1991:134).<br />

Perasaan unggul yang <strong>di</strong>miliki oleh hampir semua orang Eropa terhadap bangsa<br />

“primitif” membuatnya cenderung untuk melihat masyarakat setempat dengan<br />

serba negatif.<br />

Dalam buku hariannya tahun 1853 Carl Hugo Hahn, misionaris pertama <strong>di</strong><br />

Namibia, menyimpulkan watak suku Nama sebagai berikut: “Watak mereka<br />

sombong, tidak setia, licik, curiga, curang, tidak mau memaafkan, keras kepala,<br />

tidak teguh pen<strong>di</strong>rian, tamak, birahi, suka membunuh, dan pemabuk. Selain itu<br />

mereka teramat membenci bangsa kulit putih.” 17 Prasangka yang serba negatif<br />

juga <strong>di</strong>kemukakan oleh Junghuhn. Menurutnya orang Batak memiliki sifat<br />

pemabuk, takhyuli, curiga, kejam, tidak sabar, tidak patuh, keras kepala dan<br />

malas, tetapi Junghuhn juga melihat adanya sifat positif pada orang Batak seperti<br />

berani, jujur, berterus-terang, baik hati dan man<strong>di</strong>ri (Junghuhn 1847a:240).<br />

Penilaian positif tersebut tentu juga berkaitan dengan keunggulan ras yang –<br />

menurut Junghuhn– <strong>di</strong>miliki oleh orang Batak terhadap suku-suku lain <strong>di</strong> Hin<strong>di</strong>a-<br />

Belanda.<br />

Junghuhn menekankan bahwa “orang Batak malas seperti semua orang yang<br />

tinggal <strong>di</strong> daerah khatulistiwa.” (idem 237). Menurut bekas <strong>di</strong>rektur RMG Gustav<br />

Warneck “kemalasan merupakan masalah terutama pada bangsa-bangsa primitif”<br />

dan bahwa “dalam hal ini suku bangsa buas seperti kanak-kanak. Mereka harus<br />

<strong>di</strong>paksa untuk bekerja. Kalau kita membiarkan mereka sen<strong>di</strong>ri mereka akan tetap<br />

malas” (AMZ 6, 1879:430). Sesuai dengan semboyan ora et labora, ora (berdoa)<br />

<strong>di</strong>lihat sebagai budaya, dan labora (bekerja) sebagai inti peradaban dan budaya<br />

sekaligus (Schubert 2003:126).<br />

Oleh sebab itu maka zen<strong>di</strong>ng memiliki tugas untuk men<strong>di</strong><strong>di</strong>k masyarakat pribumi<br />

agar bisa bekerja dengan tekun dan rajin. Bagi masyarakat “kafir” <strong>di</strong> Afrika<br />

pekerjaan terutama yang <strong>di</strong>untukkan bagi bangsa pribumi adalah sebagai kuli<br />

17 Die hervorstechenden Züge ihres Charakters sind: unbegrenzter Hochmut, Treulosigkeit,<br />

Hinterlist, Misstrauen, Verschlagenheit und Unversöhnlichkeit und Hartnäckigkeit und<br />

doch auch Wankelmut, Mord- und Habsucht ... und Wollust und Trunkenheit. Dazu gesellt<br />

sich ein unauslöschlicher bitterer Hass gegen alle Weißen [...]. Buku Harian penginjil Carl<br />

Hugo Hahn, 1853. Dikutip dari http://de.wikipe<strong>di</strong>a.org/wiki/Nama_(Volk).


perkebunan. Terutama Warneck berulang kali menekankan dalam AMZ betapa<br />

penting zen<strong>di</strong>ng dalam pembentukan watak yang sesuai dengan kepentingan<br />

penjajah (Schubert 2003:125–131).<br />

Namun keadaan <strong>di</strong> Batakmission berbeda dengan Afrika. Afrika Barat Daya<br />

<strong>di</strong>jajah oleh Jerman sementara Tanah Batak menja<strong>di</strong> bagian Hin<strong>di</strong>a-Belanda.<br />

Jerman memang ada kepentingan ekonomi <strong>di</strong> Sumatra Timur karena ada sejumlah<br />

perkebunan yang <strong>di</strong>miliki oleh perusahaan Jerman, namun Deli, yang <strong>di</strong>juluki Het<br />

Dollarland (Tanah Dolar), dengan kekayaan yang melimpah, cukup jauh dari<br />

Tapanuli. Dari segi ekonomi Tanah Batak kurang menarik bagi pemerintah Hin<strong>di</strong>a-<br />

Belanda – apalagi bagi pemerintah Jerman. Daerah Batak tidak memiliki kekayaan<br />

alam yang layak untuk <strong>di</strong>eksploitasi, dan juga tidak sesuai untuk membuka<br />

perkebunan. “Kemalasan” orang Batak yang <strong>di</strong>keluhkan para penginjil (BRMG<br />

1863:16) memang termasuk <strong>di</strong> antara sifat-sifat buruk yang perlu <strong>di</strong>perantas,<br />

tetapi terutama karena tuntutan etos Protestan dan bukan karena kebutuhan<br />

ekonomi. Selain sifat negatif seperti pendendam, keras kepala, dan susah dapat<br />

<strong>di</strong>atur, para misionaris juga melihat adanya sifat positif – terutama sesudah mereka<br />

telah bertahun-tahun tinggal <strong>di</strong> tengah-tengah masyarakat Batak.<br />

Tidak dapat <strong>di</strong>pungkiri bahwa setelah kedatangan Batakmission ada kemajuan<br />

pesat <strong>di</strong> Tanah Batak. Namun faktor utama kemajuan bukan Batakmission sen<strong>di</strong>ri<br />

melainkan keadaan politik yang relatif stabil <strong>di</strong> bawah pemerintahan kolonial, dan<br />

kemajuan ekonomi sebagai akibat keadaan politik dan karena peningkatan<br />

prasarana selama masa penjajahan. Beda dengan orang Minangkabau atau orang<br />

Jawa yang teramat menderita <strong>di</strong> bawah sistem tanam paksa, zaman penjajahan<br />

bagi kebanyakan orang Batak membawa dampak yang positif, terutama dari segi<br />

ekonomi. Harga-harga turun drastis, terutama setelah <strong>di</strong>buka jalan raya yang<br />

menghubungkan Tapanuli dengan Deli, Sibolga dan Padang. Barang-barang yang<br />

belum pernah <strong>di</strong>kenal tiba-tiba terse<strong>di</strong>a, terbuka lapangan untuk perdagangan dan<br />

segala macam pekerjaan yang sebelumnya tidak <strong>di</strong>kenal, adanya sistem pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan<br />

dan kesehatan modern juga mendorong kesejahteraan masyarakat.<br />

Namun tetap ada duri <strong>di</strong> dalam daging: orang Batak <strong>di</strong>kuasai oleh bangsa asing,<br />

dan tidak <strong>di</strong>beri kesempatan untuk mengatur kehidupan sen<strong>di</strong>ri; tidak <strong>di</strong><br />

pemerintahan dan juga tidak <strong>di</strong> gereja. Batakmission <strong>di</strong>kuasai oleh para misionaris<br />

Jerman dan mereka tidak berse<strong>di</strong>a untuk melepaskan kekuasaan mereka itu.<br />

Dalam buku Sejarah Pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan Kristen <strong>di</strong> Tanah Batak, Jan S. Aritonang<br />

menulis: “Lambat laun sebagaian masyarakat Batak Kristen semakin jelas melihat<br />

bahwa para zendeling Batakmission itu sangat menonjolkan superioritas dan<br />

paternalisme mereka sebagai orang Kristen Barat, dan mereka mulai tidak betah


terhadap sikap yang demikian.” (Aritonang, 1988:440). Gerakan keman<strong>di</strong>rian dan<br />

nasionalisme <strong>di</strong> bahwa semboyan Hamajuon (kemajuan) <strong>di</strong>kecam keras oleh para<br />

penginjil yang dengan tegas menolak setiap upaya orang Batak men<strong>di</strong>rikan<br />

lembaga kemasyarakatan <strong>di</strong> luar zen<strong>di</strong>ng. Lembaga seperti HKB <strong>di</strong>kecam keras<br />

apalagi setelah HKB menja<strong>di</strong> semakin nasionalis dan malahan bekerja sama dengan<br />

organisasi politik nasional seperti Sarekat Islam:<br />

Sejak 1918 para zendeling berusaha membendung perkembangan HKB,<br />

antara lain dengan mengimbau masyarakat Batak Kristen agar menja<strong>di</strong><br />

anggota Christelijke Etische (sic!) Partij [...] atau dengan mengajukan<br />

HKB kepada pemerintah sebagai organisasi yang mengancam eksistensi<br />

Zen<strong>di</strong>ng dan pemerintah <strong>di</strong> Tanah Batak. (Aritonang, 1988:296) 18<br />

Mereka yang tidak betah dengan paternalisme para zendeling men<strong>di</strong>rikan<br />

gereja-gereja tan<strong>di</strong>ngan seperti Huria Christen Batak, Gereja Mission Batak, dan<br />

Punguan Kristen Batak, tetapi “tidak semua aktivis gerakan keman<strong>di</strong>rian itu<br />

memisahkan <strong>di</strong>ri dari “gereja resmi” [...] walaupun sebagian dari mereka merasa<br />

<strong>di</strong>perlakukan kurang wajar atau merasa kurang <strong>di</strong>hargai oleh para zendeling”<br />

(Aritonang, 1988:300)<br />

Kritik yang <strong>di</strong>lontarkan HKB antara lain bahwa Batakmission kurang berhasil <strong>di</strong><br />

bidang pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan. Keterse<strong>di</strong>aan lembaga pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan yang memadai memang<br />

sudah lama menja<strong>di</strong> sengketa antara para zendeling dan masyarakat Batak. Karena<br />

takut atas pengaruh Islam maka lama sekali Batakmission menolak membuka<br />

sekolah yang mengajarkan bahasa Melayu. Karena para penginjil tetap ingin<br />

mempertahankan bahasa Batak sebagai me<strong>di</strong>a instruksi, mereka juga enggan<br />

untuk membuka sekolah berbahasa Belanda. Padahal lulusan sekolah yang<br />

berbahasa Melayu dan Belanda lebih mudah mendapatkan pekerjaan terutama <strong>di</strong><br />

pemerintahan. Baru pada tahun 1908 dan atas desakan masyarakat Batakmission<br />

berse<strong>di</strong>a untuk membuka sekolah berbahasa Belanda, dan baru tahun 1914<br />

Batakmission membuka sekolah berbahasa Melayu yang pertama. Bahkan untuk<br />

menja<strong>di</strong>kan bahasa Melayu sebagai mata pelajaran <strong>di</strong> semua sekolah dasar pun<br />

Batakmission tidak berse<strong>di</strong>a.<br />

Para penginjil memang menginginkan agar orang Batak tetap hidup terisolir<br />

dengan sese<strong>di</strong>kit mungkin hubungan ke luar dengan alasan agar kebatakannya<br />

lestari, agar jangan <strong>di</strong>pengaruhi agama Islam, dan agar jangan bersentuhan arus<br />

modernisasi seperti gerakan nasionalisme. Namun <strong>di</strong> belakang perbedaan<br />

kepentingan sesungguhnya terdapat konflik yang lebih mendasar: Batakmission<br />

18 Christelijke Ethische Partij adalah partai politik yang <strong>di</strong>bentuk dan <strong>di</strong>dominasi oleh orang<br />

Kristen Belanda.


ertujuan untuk menciptakan sebuah masyarakat nasrani yang ideal sementara<br />

orang Batak lebih condong berpegangan pada filsafat mereka yang tra<strong>di</strong>sional.<br />

Tujuan hidup menurut falsafat Batak ialah mencapai cita-cita tertinggi yaitu<br />

hamoraon (kekayaan), hagabeon (banyak keturunan), dan hasangapon<br />

(kemuliaan). Ketiga cita-cita tersebut pernah <strong>di</strong>sebut oleh penginjil Nommensen<br />

sebagai ketiga dosa H. Terutama <strong>di</strong> waktu sesudah perang dunia pertama ketiga<br />

‘dosa’ H itu malahan <strong>di</strong>tambah lagi dengan ‘dosa’ keempat, yaitu hamajuon –<br />

gerakan keman<strong>di</strong>rian untuk menentukan sen<strong>di</strong>ri nasib gereja, untuk berasosiasi<br />

secara bebas dengan suku bangsa lain dalam rangka menentukan nasib bangsa.<br />

RMG dengan sangat tegas menolak gagasan keman<strong>di</strong>rian gereja Batak dan<br />

mengutuk organisasi Batak seperti Hatopan Kristen Batak dengan alasan bahwa<br />

keman<strong>di</strong>rian bertentangan dengan kehendak Tuhan yang memang sudah<br />

menak<strong>di</strong>rkan orang putih sebagai pemimpin.<br />

Dengan sikap yang demikian Batakmission akhirnya malahan <strong>di</strong>nilai masyarakat<br />

sebagai penghambat kemajuan sehingga bermunculan berbagai upaya untuk<br />

men<strong>di</strong>rikan lembaga-lembaga kemasyarakatan dan pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan alternatif, dan<br />

sekaligus untuk mendorong Batakmission agar bersikap lebih terbuka pada<br />

permintaan dan kebutuhan masyarakat, dan tidak lagi memperlakukan mereka<br />

seperti anak-anak.<br />

Sikap terhadap agama lain<br />

Setelah Jerman bersatu sebagai Deutsches Reich (Kerajaan Jerman) pada tahun<br />

1871 maka raja Prusia menja<strong>di</strong> kepala negara dengan gelar kaisar sementara<br />

Austria yang Katolik tidak <strong>di</strong>ikutsertakan. Tanpa Austria kaum Katolik menja<strong>di</strong><br />

minoritas (14 juta) <strong>di</strong>ban<strong>di</strong>ngkan dengan 24 juta Protestan. Kaum Protestan yang<br />

menganggap <strong>di</strong>ri sebagai “Jerman sejati” (der wahre Deutsche) meragukan<br />

patriotisme kaum Katolik. Pada tahun ber<strong>di</strong>rinya yang kedua Kerajaan Jerman yang<br />

<strong>di</strong>dominasi oleh kaum Protestan, dan dengan kepala negara yang Protestan, sudah<br />

melarang Ordo Yesuit. Pada tahun ketika (1873) <strong>di</strong>terbitkan Maigesetze (undang-<br />

undang Mei) yang men<strong>di</strong>skriminasikan kaum Katolik dan membatasi ruang gerak<br />

gereja Katolik. Sikap anti-Katolik juga merasuki tubuh RMG dan zen<strong>di</strong>ng Katolik <strong>di</strong><br />

Tanah Batak mendapatkan perlawanan yang hebat dari pihak HKBP yang<br />

menganggapnya sebagai “musuh besar” (JB 1932/1933: h.33).<br />

Namun musuh yang terbesar adalah Islam yang mereka sebut sebagai “agama<br />

nabi yang palsu”, “ajaran sesat”, “ajaran Iblis yang harus <strong>di</strong>berantas” (Aritonang,


1988:151). Penginjil Batakmission Gottfried Simon menja<strong>di</strong> spesialis agama Islam<br />

<strong>di</strong> RMG. Buku-bukunya tentu saja condong untuk menyudutkan agama Islam,<br />

tetapi ia masih berusaha untuk mempertahankan kesan keobjektifan – berbeda<br />

dengan tokoh-tokoh lain <strong>di</strong> RMG seperti misalnya <strong>di</strong>rektur RMG Spiecker yang pada<br />

tahun 1911 menyerukan agar “seluruh umat Kristen harus berjuang hingga<br />

penganut terakhir nabi yang palsu bertekuk lutut” 19 .<br />

Teologi dan Ideologi RMG<br />

Karena latar belakang pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan yang terbatas dan usia yang masih muda<br />

maka para murid seminaris dengan mudah dapat <strong>di</strong>bentuk oleh guru-gurunya.<br />

Sudah jelas bahwa teologi serta Weltanschauung mereka rata-rata tidak jauh<br />

berbeda dari paham yang <strong>di</strong>anuti gurunya. Guru yang paling berpengaruh pada<br />

para misionaris adalah F. Fabri (1824–1891) dan G.L. Rohden (1815–1889) 20 . Fabri<br />

menja<strong>di</strong> guru dan sekaligus <strong>di</strong>rektur RMG dari tahun 1857 hingga 1884 sementara<br />

Rohden menja<strong>di</strong> guru dari 1846–1889 dan <strong>di</strong>rektur RMG dari tahun 1884–1889<br />

menggantikan Fabri yang meninggalkan RMG agar sepenuhnya dapat mengab<strong>di</strong>kan<br />

<strong>di</strong>ri pada gerakan kolonial Jerman. 21<br />

Baik Fabri maupun Rohden adalah orang yang <strong>di</strong> spektrum politik dapat<br />

<strong>di</strong>golongkan konservatif, anti-demokrasi, dan pro-kerajaan. Kedua tokoh spiritual<br />

RMG ini juga <strong>di</strong>pengaruhi oleh paham yang pada saat itu sangat dominan, yaitu<br />

rasisme dan nasionalisme. Sebelum kita menguraikan secara terperinci teologi dan<br />

ideologi Rohden dan Fabri kedua paham yang ta<strong>di</strong> <strong>di</strong>sebut perlu <strong>di</strong>soroti terlebih<br />

dahulu.<br />

Berkembangnya Paham Rasisme<br />

“Karena tiada manusia yang bisa merampas,<br />

memperbudak, dan membunuh sesama manusia<br />

tanpa melakukan kejahatan maka bangsa yang <strong>di</strong>jajah<br />

<strong>di</strong>nyatakan bukan manusia.”<br />

Jean-Paul Sartre<br />

19 Dikutip dari Jongeling 1966:116<br />

20 Hanya tiga <strong>di</strong> antara keenam penginjil yang mendapat pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan, selain dari Fabri dan<br />

Rohden, juga oleh C. Wallmann yang masih mengajar hingga tahun 1865.<br />

21 Tentang alasan maka Fabri meninggalkan RMG lihat Bade (1995:369-384).


Asal usul kata ‘ras’ tidak <strong>di</strong>ketahui dengan jelas. Ada kemungkinan kata tersebut<br />

berasal dari bahasa Latin ratio (alam/watak), ra<strong>di</strong>x (akar), atau generatio<br />

(pembuatan), namun ada pula teori yang mengatakan bahwa istilah ras berasal<br />

dari bahasa Slawonik, bahasa Germania, atau malahan bahasa Arab. Istilah ras<br />

pertama kali muncul dalam bahasa-bahasa Romawi sebagai razza (bahasa Itali),<br />

raza (Spanyol), raca (Portugal), dan race (Prancis) sejak abad ke-13. Menjelang<br />

abad ke-16 kata itu juga masuk dari bahasa Prancis ke dalam bahasa Inggris. Pada<br />

waktu itu kata ras belum punya konotasi biologis melainkan berarti “keturunan”,<br />

atau “bangsa” seperti dalam perkataan “bangsa tuan tanah”, atau “bangsa<br />

aristokrat”. Kata ras dalam arti “golongan bangsa berdasarkan ciri-ciri fisik” baru<br />

mulai <strong>di</strong>gunakan pada abad ke-17 dan ke-18, dan baru pada abad ke-19 kata<br />

rasisme masuk dalam perbendaharaan kata bahasa-bahasa Eropa. Dengan<br />

demikian tampak bahwa sejarah rasisme sebagai ideologi masih relatif baru.<br />

Paham atau ideologi rasisme sebagai “ilmu” lahir pada zaman pencerahan dan<br />

mencapai puncak pada paruh pertama abad ke-20.<br />

Pada zaman pencerahan manusia melepaskan <strong>di</strong>ri dari ideologi gereja yang<br />

melihat seluruh alam semesta sebagai ciptaan Tuhan, dan para ilmuwan mulai<br />

dengan giat berusaha untuk memahami alam semesta secara rasional. Segala-<br />

galanya yang ada, terutama tumbuhan dan hewan <strong>di</strong>ja<strong>di</strong>kan objek penelitian,<br />

<strong>di</strong>ukur, <strong>di</strong>timbang, dan <strong>di</strong>kelompokkan menurut kategori-kategori yang mereka<br />

ciptakan.<br />

Kalau tumbuhan dan hewan dapat <strong>di</strong>kategorikan menja<strong>di</strong> kerajaan, <strong>di</strong>visi, kelas,<br />

ordo, famili, genus, dan spesies maka manusia pun dapat <strong>di</strong>kelompokkan.<br />

Demikianlah usul Franois Bernier (1620-1688) yang menyarankan <strong>di</strong> majalah ilmiah<br />

“Journal des Scavants” agar manusia <strong>di</strong>kategorikan menurut warna kulit, postur,<br />

dan bentuk muka. Beliaulah yang untuk pertama kali menggunakan istilah ras<br />

dalam arti yang sekarang.<br />

Ilmuwan Jerman Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716) berusaha untuk<br />

memadukan agama dengan ilmu pengetahuan dan menekankan bahwa seluruh<br />

bangsa manusia berasal dari nenek moyang yang sama dan bahwa perbedaan-<br />

perbedaan ras <strong>di</strong>akibatkan oleh pengaruh lingkungan hidup, terutama iklim.<br />

Carl von Linné (1707-1778), ahli botani dan zoologi asal Swe<strong>di</strong>a untuk pertama<br />

kali meletakkan dasar tata nama biologi. Beliau juga mengelompokkan manusia<br />

modern (homo sapiens) pada puncak primata. Spesies manusia <strong>di</strong>kelompokkannya<br />

dalam empat kelas yang masing-masing memiliki bukan hanya ciri-ciri fisik tetapi<br />

juga ciri-ciri watak. Kelas orang Afrika misalnya <strong>di</strong>sebut sebagai “jahat, malas,<br />

lalai”. Menurut Linné manusia dapat <strong>di</strong>bagi atas empat ras, yaitu ras putih (Eropa),


as kuning (Asia), ras merah (Amerika), dan ras hitam (Afrika). Pembagian ini<br />

menggantikan pembagian non-rasional berdasarkan kitab Injil yang pada tahun<br />

1666 <strong>di</strong>lakukan oleh Georgius Hornius, yang membedakan tiga golongan, yaitu ras<br />

keturunan Yafet (putih), ras keturunan Sem (kuning) dan ras keturunan Ham<br />

(hitam).<br />

Profesor kedokteran asal Jerman Johann Friedrich Blumenbach (1752-1840)<br />

menja<strong>di</strong> pelopor kraniometri (ilmu tengkorak). Ia percaya bahwa perbedaan antara<br />

ras dapat <strong>di</strong>lihat pada bentuk tengkorak, namun ia juga mengakui bahwa tidak ada<br />

batas antar-ras yang pasti. Blumenbach menambahkan ras kelima yaitu ras cokelat<br />

(Melayu).<br />

Sesudah Blumenbach ada sejumlah besar ilmuwan yang menekuni bidang<br />

kraniometri serta bidang-bidang ilmu yang mirip seperti frenologi, ilmu yang<br />

meneliti sikap-sikap kepriba<strong>di</strong>an, dan fisiognomy yang mempelajari bentuk muka<br />

namun semua upaya ini tidak membuahkan hasil apa-apa kecuali memberi kesan<br />

bahwa rasisme memang memiliki dasar yang rasional.<br />

Kini <strong>di</strong>ketahui bahwa pengelompokan ras berdasarkan warna kulit tidak memiliki<br />

dasar ilmiah yang kuat. Bahan pewarna (pigmen) yang <strong>di</strong>kenali sebagai melanin<br />

yang <strong>di</strong>dapati <strong>di</strong> dalam kulit menentukan warna kulit manusia. Kulit yang hitam<br />

melindungi manusia terhadap kerusakan yang dapat <strong>di</strong>akibatkan oleh sinar<br />

ultraungu. Oleh sebab itu ada kecenderungan bahwa manusia <strong>di</strong> daerah tropis<br />

memiliki kulit yang lebih cokelat <strong>di</strong>ban<strong>di</strong>ngkan dengan manusia yang men<strong>di</strong>ami<br />

daerah berhawa <strong>di</strong>ngin. Namun demikian, <strong>di</strong> dalam suatu populasi selalu terdapat<br />

variasi warna kulit yang signifikan sehingga klasifikasi manusia menurut warna kulit<br />

tidak akurat. Baik <strong>di</strong> Eropa, <strong>di</strong> Amerika dan <strong>di</strong> Asia Timur ada spektrum warna dari<br />

putih hingga cokelat, tergantung pada in<strong>di</strong>vidu, dan juga tergantung pada daerah.<br />

Ternyata dalam sejarah evolusi manusia, warna kulit hitam (atau cokelat) adalah<br />

warna kulit yang asli sementara warna putih <strong>di</strong> Eropa dan Asia merupakan<br />

perkembangan <strong>di</strong> kemu<strong>di</strong>an hari. 22<br />

Di dalam zaman imperialisme Eropa rasisme menja<strong>di</strong> salah paham yang secara<br />

‘ilmiah’ membenarkan penjajahan bangsa berwarna oleh bangsa putih. Tentu saja<br />

kaum penjajah tak ingin <strong>di</strong>kenang sepanjang sejarah sebagai “penjarah”.<br />

Karenanya, mereka berusaha mendapatkan pembenaran bagi tindakannya ini.<br />

Mereka berdalih dengan menganggap bangsa terjajah sebagai bangsa terbelakang<br />

yang hanya dapat mencapai tingkat peradaban bila <strong>di</strong>bantu oleh ras putih. Dengan<br />

demikian penjajahan dapat <strong>di</strong>benarkan sebagai tindakan yang sebetulnya<br />

22 Lihat juga Sweet, Frank W. 2002. The Paleo-Etiology of Human Skin Tone: Essays on the<br />

Color Line and the One-Drop Rule. http://backintyme.com/essays/?p=4


ermaksud untuk membantu kaum terjajah untuk mencapai tingkat peradaban<br />

yang lebih tinggi.<br />

Nasionalisme dan Keunggulan Germania<br />

Sama dengan kata ‘rasisme’, kata ‘nasionalisme’ pun masih belum <strong>di</strong>kenal pada<br />

abad ke-18.<br />

Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan<br />

kedaulatan sebuah negara dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama<br />

untuk sekelompok manusia.<br />

Dalam Theories of Nationalism Anthony D. Smith (1971) menyebut empat<br />

keyakinan yang menandai seorang penganut paham nasionalisme:<br />

• Keyakinan bahwa umat manusia secara alamiah <strong>di</strong>bagi atas bangsa-bangsa<br />

atau kelompok-kelompok etnik yang masing-masing memiliki karakter<br />

nasional, sejarah nasional, serta tak<strong>di</strong>r sen<strong>di</strong>ri-sen<strong>di</strong>ri. Perdamaian dan<br />

kea<strong>di</strong>lan global menuntut adanya dunia yang ter<strong>di</strong>ri atas bangsa-bangsa<br />

yang otonom.<br />

• Keyakinan bahwa in<strong>di</strong>vidu untuk bisa menja<strong>di</strong> bebas harus menja<strong>di</strong> bagian<br />

dari suatu bangsa, dan mengidentifikasikan <strong>di</strong>ri dengan bangsanya. Hal itu<br />

menyebabkan seorang in<strong>di</strong>vidu menja<strong>di</strong> setia pada bangsanya dan kesetiaan<br />

kepada bangsa adalah prioritas utama baginya.<br />

• Keyakinan bahwa sebuah bangsa hanya dapat berkembang apabila memiliki<br />

negara dengan pemerintahan sen<strong>di</strong>ri.<br />

• Keyakinan bahwa bangsa itu merupakan satu-satunya sumber kekuasaan<br />

politik.<br />

Menurut penganut paham nasionalisme suatu bangsa harus memiliki otonomi<br />

yang utuh, dan bisa mengatur <strong>di</strong>ri sen<strong>di</strong>ri, memiliki kesatuan wilayah, dan memiliki<br />

identitas nasional yang dalam bahasa Jerman <strong>di</strong>sebut Volkscharakter ‘watak<br />

bangsa’.<br />

Nasionalisme sering <strong>di</strong>sebut sebagai sejenis “agama politik” karena memang ada<br />

banyak kemiripan antara agama dan nasionalisme. Keduanya melibatkan emosi<br />

atau semacam getaran jiwa, keduanya memiliki sistem kepercayaan, doktrin, dan<br />

ajaran yang tertentu, keduanya memiliki upacara dan ritual, dan keduanya memiliki<br />

kelompok penganutnya.<br />

Baik nasionalisme maupun rasisme mempunyai landasan ideologis yang berakar<br />

pada ide-ide zaman pencerahan dan zaman romantik yang secara ekonomi <strong>di</strong>tandai<br />

oleh oleh perubahan dari masyarakat pertanian kepada lahirnya sistem kapitalis<br />

dan komersial dengan munculnya kaum borjuis, dan secara ideologis <strong>di</strong>tandai oleh


munculnya perhatian pada in<strong>di</strong>vidu dan berkurangnya perhatian pada teologi dan<br />

metafisika. Zaman pencerahan itu juga zaman rasionalisme yang <strong>di</strong>tandai oleh<br />

berkembangnya ilmu pengetahuan.<br />

Istilah nasionalisme untuk pertama kali <strong>di</strong>gunakan oleh Johann Gottfried von<br />

Herder (1744–1803). Namun pengertian ‘nasionalisme’ baginya bukan dalam arti<br />

sempit sebagaimana <strong>di</strong>pakai oleh kebanyakan nasionalis. Nasionalisme Herder<br />

bukan chauvinisme (nasionalisme yang berlebihan) yang menempatkan bangsanya<br />

sen<strong>di</strong>ri <strong>di</strong> atas bangsa yang lain. Lain dengan banyak nasionalis Jerman <strong>di</strong><br />

kemu<strong>di</strong>an hari yang yakin akan keunggulan bangsa Germania 23 dan amat<br />

membenci Perancis dan bangsa-bangsa Slavia 24 . Herder malahan sangat<br />

menghargai budaya dan Volkscharakter Slavia, dan mengilhami timbulnya<br />

nasionalisme Slavia.<br />

Nasionalisme yang berlebihan sering <strong>di</strong>iringi oleh rasisme. Di Jerman, kebencian<br />

terhadap kaum Yahu<strong>di</strong> yang oleh sebagian orang <strong>di</strong>anggap sebagai ras inferior<br />

berakibat pada pembantaian terhadap kaum Yahu<strong>di</strong>. Di berbagai negara bagian <strong>di</strong><br />

Amerika Serikat perkawinan antar-ras malahan <strong>di</strong>larang dan larangan itu berlaku<br />

hingga tahun 1967. Tergantung pada negara bagian, peraturan-peraturan itu<br />

berbeda-beda, tetapi selalu <strong>di</strong>maksud untuk ‘melindungi’ bangsa putih agar tidak<br />

‘tercemar’ oleh darah yang bukan murni Eropa. Di Arizona, misalnya, mengeluarkan<br />

undang-undang pada tahun 1865 yang melarang perkawinan antara orang putih<br />

dengan orang hitam, namun pada tahun 1931 laragan itu <strong>di</strong>perluas mencakup<br />

bangsa In<strong>di</strong>a dan bangsa Melayu: “The marriage of a person of Caucasian blood<br />

with a Negro, Mongolian, Malay or Hindu is null and void.” 25 Apabila ada anak yang<br />

lahir dari hubungan antara seorang putih dengan seorang yang non-putih maka<br />

secara otomatis keturunan itu <strong>di</strong>anggap hitam. Peraturan tersebut menja<strong>di</strong> terkenal<br />

sebagai one-drop rule yang berarti apabila seorang memiliki hanya setetes darah<br />

hitam ia tetap <strong>di</strong>anggap hitam.<br />

Melalui pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan yang mereka peroleh <strong>di</strong> seminaris maka para misionaris RMG<br />

tidak hanya <strong>di</strong>pengaruhi oleh teologi kebangkitan yang <strong>di</strong>pupuk oleh nasionalisme<br />

Herder, tetapi juga oleh rasisme yang <strong>di</strong>balut dalam kemasan keagamaan. Oleh<br />

sebab itu mustahillah seorang pemuda misionaris akan mengawini seorang<br />

perempuan Batak karena perbuatan yang tercela itu akan mengancam kemurnian<br />

23<br />

Bangsa Germania biasanya <strong>di</strong>definisikan berdasarkan bahasa. Rumpun bahasa Germania<br />

termasuk Jerman, Belanda, Denmark, Swe<strong>di</strong>a, Norwegia, Islan<strong>di</strong>a, dan Inggris.<br />

24<br />

Bahasa-bahasa Slavia yang terbesar termasuk Rusia, Polan<strong>di</strong>a, Ukraina, Serbia, Ceko,<br />

Bulgaria, Belarus, dan Slowakia.<br />

25<br />

Sejak 1967 semua undang-undang yang melarang perkawinan antar-bangsa <strong>di</strong>batalkan.


darah Jerman, dan perkawinan campur <strong>di</strong>anggap akan menghasilkan keturunan<br />

yang rendah derajatnya.<br />

Teologi RMG <strong>di</strong> bawah Rohden dan Fabri<br />

Gerakan misi <strong>di</strong>prakarsai oleh serikat pengijnjilan Inggris pada akhir abad ke-18.<br />

Pada tahun 1792 Baptist Mission Society <strong>di</strong><strong>di</strong>rikan <strong>di</strong>susul oleh London Mission<br />

Society (1795) dan Mission Society for Africa and the Orient (1797). Pada tahun<br />

yang sama ber<strong>di</strong>ri Nederlandsche Zendelinggenootschap, dan ketika itu <strong>di</strong> Jerman<br />

pun bermunculan beberapa serikat penginjilan. Gerakan misi itu merupakan akibat<br />

langsung dari zaman penjajahan karena ekspansi Eropa ke daerah-daerah yang<br />

hingga itu belum <strong>di</strong>kenal membuka lahan penginjilan pada bangsa-bangsa yang<br />

memiliki agamanya sen<strong>di</strong>ri yang pada waktu itu <strong>di</strong>cap sebagai kekafiran. Demikian<br />

pun halnya <strong>di</strong> tanah Batak. Agama mereka yang sesungguhnya tidak jauh berbeda<br />

dengan agama Bali yang <strong>di</strong> kemu<strong>di</strong>an hari menja<strong>di</strong> Hindu <strong>di</strong>cap sebagai<br />

kepercayaan kafir yang perlu <strong>di</strong>berantas.<br />

Serikat Penginjilan Kawasan Sungai Rhein atau Rheinische Missionsgesellschaft<br />

(RMG) <strong>di</strong><strong>di</strong>rikan pada tahun 1828 ketika tiga serikat penginjilan bergabung. 26 Basis<br />

RMG terutama <strong>di</strong> Rheinland dan <strong>di</strong> Westfalen (kedua daerah kini mencakup negara<br />

bagian Nordrhein-Westfalen dan negara bagian Rheinland Pfalz). Di situ<br />

bermunculan kelompok-kelompok pendukung yang menyumbangkan dana yang<br />

menja<strong>di</strong> tulang punggung operasional RMG. Medan zen<strong>di</strong>ng RMG terutama <strong>di</strong> Afrika<br />

(mulai tahun 1829), Cina (mulai 1846) Kalimantan (1836-1859), dan Sumatra<br />

(mulai 1861).<br />

Pimpinan RMG ter<strong>di</strong>ri dari seorang presiden (Präses) yang biasanya merupakan<br />

orang kaya yang memiliki hubungan baik dengan perusahaan-perusahaan besar<br />

yang turut menyumbangkan dana operasional RMG, dan seorang <strong>di</strong>rektur yang<br />

memiliki latar belakang teologi dan yang bertanggung jawab untuk pelaksanaan<br />

misi. Para misionaris berada langsung <strong>di</strong> bawah <strong>di</strong>rektur, dan mereka <strong>di</strong>harapkan<br />

untuk senantiasa patuh pada <strong>di</strong>rektur dan melaksanakan perintahnya.<br />

Johann Christian Wallmann (1811-1865) menja<strong>di</strong> <strong>di</strong>rektur RMG dari 1848<br />

hingga 1857. Menurut Schreiner (1972:35) Wallmann meletakkan dasar untuk<br />

teologi RMG yang merupakan “teologi penebusan yang berasal dari gerakan<br />

kebangkitan” yang menekankan kebutuhan orang akan penebusan, pertobatan dan<br />

26 Pada tahun 1971 RMG bergabung dengan Bethel Mission <strong>di</strong> bawah nama Vereinigte<br />

Evangelische Mission (Persatuan Penginjilan Evangelis) yang pada tahun 1996 menja<strong>di</strong><br />

Vereinte Evangelische Mission (Penginjilan Evangelis Bersatu)


keselamatan (Aritonang, 1988:101). Berbeda dengan penggantinya, Rohden dan<br />

Fabri, Wallmann “tidak terlalu mengagungkan peradaban Eropa” dan mengimbau<br />

kepada muridnya agar menyebarkan injil tanpa memaksakan nilai-nilai Eropa<br />

(ibid.). Namun untuk periode yang <strong>di</strong>soroti dalam buku ini Wallmann tidak<br />

seberapa berpengaruh karena sudah meninggal pada tahun 1865.<br />

Selama empat tahun belajar <strong>di</strong> seminaris para misionaris terutama <strong>di</strong>pengaruhi<br />

oleh heilsgeschichtliche Theologie (Teologi Sejarah Keselamatan) yang juga <strong>di</strong>kenal<br />

sebagai Teologi Kerajaan Allah (Reich-Gottes-Theologie) sebagaimana <strong>di</strong>ajarkan<br />

oleh Friedrich Fabri dan Ludwig von Rohden. Baik teologi von Rohden maupun<br />

Fabri kuat <strong>di</strong>pengaruhi oleh paham nasionalisme yang menekankan keunggulan<br />

bangsa Germania serta paham rasisme yang menegaskan keunggulan ras putih.<br />

Ludwig von Rohden (1815-1889) mengajar sejarah, geografi, antropologi, dan<br />

teologi. Bagi Rohden sejarah dunia adalah sejarah kerajaan Allah dan satu-satunya<br />

sumber yang menurutnya dapat <strong>di</strong>andalkan dan yang tidak boleh <strong>di</strong>pertanyakan<br />

adalah alkitab injil. Rohden menja<strong>di</strong> pengarang buku sejarah yang <strong>di</strong>pakai <strong>di</strong><br />

seminaris RMG dan menja<strong>di</strong> pegangan utama bagi para misionaris. Buku teks yang<br />

berjudul Leitfaden der Weltgeschichte (Pedoman Sejarah Dunia) bertolak belakang<br />

tidak hanya dengan ilmu sejarah modern tetapi juga dengan teologi Kristen mana<br />

pun yang ada dewasa ini. Bagi pembaca masa kini Leitfaden der Weltgeschichte<br />

adalah buku yang sering tidak masuk akal karena mengandung pernyataan yang<br />

acap bertolak belakang, dan penuh dengan asumsi yang <strong>di</strong>pengaruhi oleh kedua<br />

paham ideologi yang sangat laku <strong>di</strong> Jerman pada abad ke-19 yaitu nasionalisme<br />

dan rasisme yang <strong>di</strong>padukan oleh Rohden dengan peristiwa “sejarah” yang<br />

<strong>di</strong>ambilnya dari alkitab injil.<br />

Bagi Rohden seluruh manusia adalah keturunan nabi Nuh karena hanya nabi Nuh<br />

beserta keluarganya selamat pada air bah yang menurut Rohden melanda dunia<br />

5000 tahun yang lalu. 27 Rohden berpedoman pada kisah dalam Kitab Keja<strong>di</strong>an<br />

ketika nabi Nuh mengutuk Kanaan.<br />

9:18 Anak-anak Nuh yang keluar dari kapal itu ialah Sem, Yafet dan Ham. (Ham adalah ayah Kanaan.)<br />

9:19 Ketiga anak Nuh itu adalah nenek moyang semua orang <strong>di</strong> dunia.<br />

9:20 Nuh seorang petani, dan <strong>di</strong>alah yang pertama-tama membuat kebun anggur.<br />

27 Kini <strong>di</strong>perkirakan bahwa air bah terja<strong>di</strong> sekitar 5600 SM ketika zaman es berakhir dan<br />

permukaan lau naik sehingga Laut Tengah meluap ke dalam Laut Hitam yang sebelumnya<br />

merupakan sebuah danau air tawar yang dangkal dan jauh lebih kecil dan yang <strong>di</strong>kelilingi<br />

oleh dataran yang subur. Air yang mengalir melalui Bosporus selama 300 hari dengan<br />

kecepatan 96 km/jam melepas volume air 200 kali lipat dari air terjun Niagara, dan<br />

membanjiri daratan seluas 155.000 km 2 .


9:21 Setelah Nuh minum anggurnya, ia menja<strong>di</strong> mabuk. Dilepaskannya segala pakaiannya lalu<br />

tidurlah ia telanjang <strong>di</strong> dalam kemahnya.<br />

9:22 Ketika Ham, yaitu ayah Kanaan, melihat bahwa ayahnya telanjang, ia keluar dan<br />

memberitahukan hal itu kepada kedua saudaranya.<br />

9:23 Kemu<strong>di</strong>an Sem dan Yafet mengambil sehelai jubah dan membentangkannya pada bahu<br />

mereka. Mereka berjalan mundur memasuki kemah itu dan menyelimuti ayah mereka dengan<br />

jubah itu. Mereka memalingkan muka supaya tidak melihat ayah mereka yang telanjang itu.<br />

9:24 Setelah Nuh sadar dari mabuknya dan mengetahui apa yang <strong>di</strong>perbuat anak bungsunya<br />

terhadap <strong>di</strong>rinya,<br />

9:25 ia berkata, "Terkutuklah Kanaan! Dia akan menja<strong>di</strong> budak terhina bagi saudara-saudaranya.<br />

9:26 Pujilah TUHAN, Allah Sem! Kanaan akan menja<strong>di</strong> budak Sem.<br />

9:27 Semoga Allah menambahkan berkat kepada Yafet dengan meluaskan tempat ke<strong>di</strong>amannya.<br />

Semoga keturunannya tinggal bersama-sama dengan keturunan Sem. Kanaan akan menja<strong>di</strong><br />

budak Yafet."<br />

9:28 Sesudah banjir itu, Nuh masih hidup 350 tahun lagi.<br />

9:29 Ia meninggal pada usia 950 tahun.<br />

Bagian dari Kitab Keja<strong>di</strong>an ini menimbulkan berbagi kesulitan: 1. Tidak jelas<br />

mengapa justeru Kanaan (anak Ham yang tidak melakukan apa-apa) <strong>di</strong>kutuk, 2.<br />

Tidak semua nama tempat yang <strong>di</strong>sebut <strong>di</strong>ketahui keberadaannya. 3. Tidak jelas<br />

apa yang terja<strong>di</strong> dengan bagian dunia yang tidak <strong>di</strong>sebut dalam alkitab seperti<br />

bagian selatan Afrika, Asia Timur, Asia Tenggara, Australia, dan Amerika.<br />

Masalahnya pada waktu Kitab Perjanjian <strong>di</strong>tulis kawasan-kawasan tersebut<br />

memang belum <strong>di</strong>ketahui keberadaannya.<br />

Rohden tidak menyinggung masalah yang <strong>di</strong>sebut <strong>di</strong> bawah butir 1 dan 2, tetapi<br />

persoalan yang ketiga ia pecahkan dengan menggunakan interpretasinya sen<strong>di</strong>ri:<br />

Keturunan Yafet tersebar <strong>di</strong> seluruh belahan utara bumi terkecuali Amerika, dan<br />

keturunan Ham <strong>di</strong> belahan selatan. Di antara kedua wilayah, tempatnya kedua<br />

keturunan mulai bercampur baur, menetap keturunan Sem.” (Rohden, 1867:12)<br />

Walaupun alkitab injil sama sekali tidak menyebut kawasan Asia Tenggara,<br />

Rohden membuat interpretasi sen<strong>di</strong>ri bahwa bangsa-bangsa Asia Tenggara adalah<br />

keturunan Ham dan dengan demikian mereka <strong>di</strong>tak<strong>di</strong>rkan menja<strong>di</strong> budak:<br />

Di dalam kitab suci <strong>di</strong>sebut sebagai kenyataan yang tidak dapat <strong>di</strong>ragukan<br />

bahwa Mesir atau Mizraim merupakan keturunan Ham: Mizrain menja<strong>di</strong><br />

putra Ham dan saudara Kush (Tanah Negro, Etiopia) dan Put (Libia).<br />

Ketiga bangsa yang masih bersaudara itu menduduki seluruh bagian<br />

selatan Asia dan Afrika. Mereka menempati kawasan <strong>di</strong> sekitar Samudera<br />

In<strong>di</strong>a, Laut Persia, bagian selatan semenanjung Arabia hingga ke negaranegara<br />

<strong>di</strong> belakang sungai Nil arah ke gurun Afrika dan Samudera Atlantik.


Termasuk juga pulau-pulau <strong>di</strong> Samudera Pasifik serta semenanjungsemenanjung<br />

<strong>di</strong> Asia Tenggara dari dahulu dan sebagaian besar masih<br />

hingga kini <strong>di</strong><strong>di</strong>ami oleh keturunan yang sama. (Rohden, 1867:25)<br />

Rohden mengaitkan interpretasinya dengan paham rasisme yang<br />

mengidentifikasikan lima ras menurut warna kulit: putih, kuning, merah, cokelat,<br />

dan hitam. Menurut Rohden warna kulit keturunan nabi Nuh <strong>di</strong>tentukan oleh derajat<br />

dosa yang <strong>di</strong>pikulnya: Semakin berdosa sebuah bangsa, semakin berubah bentuk<br />

dan warna kulitnya. Semakin hitam warna kulit sebuah bangsa semakin berdosa<br />

bangsa itu:<br />

Secara bertahap-tahap manusia menjauhkan <strong>di</strong>ri dari sumber kehidupan<br />

ilahi. Semakin jauh [sebuah bangsa] menjauhkan <strong>di</strong>ri semakin merosot<br />

moral dan kecerdasan seiring dengan itu juga postur, bentuk tubuh, dan<br />

warna kulitnya. Bangsa yang paling dekaden mendapatkan kulit yang<br />

paling hitam, dan bentuk tubuhnya menja<strong>di</strong> mirip dengan binatang.<br />

Namun perbedaan hakiki antara manusia dan binatang masih tetap ada:<br />

ialah jiwa yang <strong>di</strong>hembuskan Allah kepada jasad sebagai bagian kehidupan<br />

ilahi. 28<br />

Menurut Rohden bangsa yang berkulit hitam malahan bisa saja menja<strong>di</strong> putih<br />

kembali melalui pengaruh agama Protestan!<br />

Negro yang paling rendah derajat pun masih bisa <strong>di</strong>angkat menja<strong>di</strong><br />

manusia ter<strong>di</strong><strong>di</strong>k bila <strong>di</strong><strong>di</strong><strong>di</strong>k dengan cara yang tepat melalui pengaruh<br />

Kekristenan yang bersifat menyembuhkan. Seiring dengan [proses<br />

penyembuhan] itu maka raut muka yang kebinatangan menghilang,<br />

pandangan mata, dan tubuhnya akan menja<strong>di</strong> lebih sempurna, dan<br />

bahkan warna kulitnya, secara turun-temurun, bisa menja<strong>di</strong> lebih putih. 29<br />

Karena Rohden percaya pada keunggulan bangsa Germania maka ia<br />

menyimpulkan bahwa keturunan Yafet sesungguhnya adalah bangsa Germania.<br />

Untuk membenarkan asumsinya Rohden menggunakan argumentasi bahwa semula<br />

memang bangsa Israel menja<strong>di</strong> bangsa yang terpilih, namun <strong>di</strong> kemu<strong>di</strong>an hari<br />

28 Die Menschen aber haben sich in verschiedener Stufenfolge bald weniger, bald mehr von<br />

ihrem göttlichen Lebensquell losgerissen, und in dem Maße wie das geschehen ist, hat<br />

sich zugleich mit ihrem sittlichem Bewusstsein und ihren geistigen Fähigkeiten auch ihre<br />

Gestalt, ihre Körperform, ihre Farbe verändert. Die am meisen ausgearteten sind auch am<br />

tiefsten (schwarz) gefärbt, und in ihrer Erscheinung den Thieren am ähnlichsten<br />

geworden. Der himmelsweite Unterschied zwischen Mensch und Thier bleibt immer noch<br />

bestehen, das ist <strong>di</strong>e vernünftige menschliche Seele, <strong>di</strong>e den Menschen von Gott<br />

eingehaucht ist als Theil und Stück göttlichen Lebens in ihm (Rohden 1867:4)<br />

29 Auch der am tiefsten heruntergekommene Neger kann durch zweckmäßige Anleitung<br />

unter dem heiligenden Einfluß des Christenthums auf <strong>di</strong>e Höhe menschlicher Bildung<br />

gehoben werden, und in dem selben Maße, als das geschieht, wird seine thierische<br />

Gesichtsbildung schwinden, der Ausdruck seines Auges und <strong>di</strong>e weicheren Theile seiner<br />

Gestalt sich veredeln, ja seine Farbe, wenigstens in der Folge der Geschlechter, von ihrer<br />

Dunkelheit verlieren. (ibid.)


pusat sejarah dunia bergeser ke barat, mula-mula ke Roma, dan sesudah zaman<br />

reformasi ke Jerman sehingga “Jerman adalah jantung yang mengalirkan darah<br />

tubuh Kristen Eropa. Sebagaimana bangsa Israel <strong>di</strong>pilih Tuhan dari keturunan Sem<br />

maka sekarang Jerman menja<strong>di</strong> bangsa terpilih dari keturunan Yafet.”<br />

Interpretasi alkitab sebagaimana <strong>di</strong>lakukan oleh Rohden tidak hanya<br />

membenarkan kolonialisme tetapi juga perbudakan: “Juga <strong>di</strong> Amerika keturunan<br />

Ham dan Yafet bertemu, dan <strong>di</strong> situ pun terwujud kutukan bahwa Ham harus<br />

menja<strong>di</strong> budak bagi saudara-saudaranya” 30 . Ja<strong>di</strong> bangsa putih berhak untuk<br />

menjajah dan mengeksploitasi bangsa berwarna. Penjajahan malah merupakan<br />

tindakan manusiawi untuk memajukan bangsa berkulit hitam. Salah satu cara<br />

untuk mengangkat martabat bangsa terkutuk itu adalah dengan mengkristenkan<br />

mereka supaya mereka menja<strong>di</strong> lebih beradab dan untuk menyelamatkan jiwa-jiwa<br />

yang sesat. Akan tetapi, kendatipun mereka sudah beragama Kristen, bangsa<br />

keturunan Ham tetap lebih rendah daripada ras Eropa yang keturunan Yafet.<br />

Dr. Friedrich Fabri (1824–1891) mempunyai latar belakang teologi dan<br />

ideologi yang tidak jauh berbeda dengan Rohden, dan yang telah ia bukukan dalam<br />

Die Entstehung des Heidenthums und <strong>di</strong>e Aufgabe der Heidenmission (Munculnya<br />

Kekafiran dan Tugas Misi Kafir, 1859).<br />

Fabri juga meyakini keunggulan bangsa putih, dan terutama bangsa Germania<br />

yang menja<strong>di</strong> “penyokong baru sejarah dunia” 31 . Menurutnya kiamat semakin<br />

mendekat sehingga penginjilan memiliki tugas untuk menyebarkan agama Kristen<br />

sebelum kiamat tiba sehingga para penginjil menja<strong>di</strong> alat Tuhan yang memberitahu<br />

kedatangan kerajaan Allah. Dalam hal ini ia merujuk pada Matius 24,14 “Dan Kabar<br />

Baik tentang bagaimana Allah memerintah akan <strong>di</strong>beritakan ke seluruh dunia,<br />

supaya semua orang mendengarnya. Sesudah itu barulah datang kiamat.”<br />

Sama dengan von Rohden, Fabri juga <strong>di</strong>pengaruhi oleh paham rasisme:<br />

Kalau kita berhadapan dengan seorang negro, berkulit hitam pekat,<br />

berambut keriting, dengan kepala gepeng berdahi rendah sementara<br />

bagian belakang kepala dan bagian bawah muka terlalu besar, dengan<br />

bibir lebar dan hidung pesek, kalau kita memperhatikannya betapa ia tak<br />

mampu menahan birahinya, lalu tenggelam dalam ketidakpedulian,<br />

lamban, tidak mengindahkan apa-apa, acuh tak acuh terhadap siksaan,<br />

[...] maka kita mendapat kesan – ini bukan hanya manusia purba yang<br />

menja<strong>di</strong> rusak oleh dosa, <strong>di</strong> sinilah terbenam sebuah rahasia yang belum<br />

tercatat dalam sejarah manusia. (Fabri 1859:8–9)<br />

30 Auch in der neuen Welt (America) sind Ham’s und Japhet’s Söhne zusammengetroffen,<br />

und auch da erfüllt sich das alte Fluchwort, daß Ham’s Nachkomme ein Knecht sein soll<br />

unter seinen Brüdern (Rohden 1867:12).<br />

31 Die neuberufenen Träger der Weltgeschichte (Fabri 1859:7).


Fabri menganggap peristiwa pembangunan menara Babel sebagai peristiwa yang<br />

menentukan, dan bahwa adanya kekafiran berkaitan langsung dengan peristiwa<br />

tersebut. Pada awal sejarah manusia masih menja<strong>di</strong> satu keluarga besar dan<br />

seluruh umat manusia memiliki satu bahasa yang sama, dan mereka memuja<br />

Tuhan yang maha esa. Terdorong oleh kesombongan dan keangkuhan, manusia<br />

menjauhkan <strong>di</strong>ri dari Tuhan dan malahan berusaha melebihi Tuhan. Untuk itu<br />

mereka mulai membangun menara setinggi langit. Pembangunan menara ini<br />

<strong>di</strong>prakarsai oleh Nimrod, anak cucu Nabi Nuh. Orang tua Nimrod adalah Cush, putra<br />

Ham. Bahkan, demikian menurut cerita, Kota Babilon dan Niniwe juga mula<br />

pertama <strong>di</strong>bangun oleh Nimrod.<br />

11:1 Semula, bangsa-bangsa <strong>di</strong> seluruh dunia hanya mempunyai satu bahasa dan mereka memakai<br />

kata-kata yang sama.<br />

11:2 Ketika mereka mengembara ke sebelah timur, sampailah mereka <strong>di</strong> sebuah dataran <strong>di</strong><br />

Babilonia, lalu menetap <strong>di</strong> sana.<br />

11:3 Mereka berkata seorang kepada yang lain, "Ayo kita membuat batu bata dan membakarnya<br />

sampai keras." Demikianlah mereka mempunyai batu bata untuk batu rumah dan ter untuk<br />

bahan perekatnya.<br />

11:4 Kata mereka, "Mari kita men<strong>di</strong>rikan kota dengan sebuah menara yang puncaknya sampai ke<br />

langit, supaya kita termasyhur dan tidak tercerai berai <strong>di</strong> seluruh bumi."<br />

11:5 Maka turunlah Tuhan untuk melihat kota dan menara yang <strong>di</strong><strong>di</strong>rikan oleh manusia.<br />

11:6 Lalu Ia berkata, "Mereka ini satu bangsa dengan satu bahasa, dan ini baru permulaan dari<br />

rencana-rencana mereka. Tak lama lagi mereka akan sanggup melakukan apa saja yang mereka<br />

kehendaki.<br />

11:7 Sebaiknya Kita turun dan mengacaukan bahasa mereka supaya mereka tidak mengerti lagi satu<br />

sama lain."<br />

11:8 Demikianlah Tuhan menceraiberaikan mereka ke seluruh bumi. Lalu berhentilah mereka<br />

men<strong>di</strong>rikan kota itu.<br />

11:9 Sebab itu kota itu <strong>di</strong>beri nama Babel, karena <strong>di</strong> situ Tuhan mengacaukan bahasa semua bangsa,<br />

dan dari situ mereka <strong>di</strong>ceraiberaikan oleh Tuhan ke seluruh bumi.<br />

Dalam alkitab <strong>di</strong>katakan bahwa Tuhan menghukum manusia dengan<br />

mengacaukan bahasa dan menceraiberaikan mereka ke seluruh bumi. Fabri<br />

mengaitkannya dengan konsep ras: “Ras, kebangsaan, yang menggantikan<br />

keluarga manusia” 32 .<br />

Menurut Fabri Nimrod (cucunya Ham yang bagaimana pun sudah terkutuk) serta<br />

keturunannya mendapatkan hukuman yang paling keras karena ia memprakarsai<br />

baik perencanaan maupun pelaksanaan pembangunan menara Babel:<br />

Semakin besar keterlibatan suatu keturunan [pada pembangunan menara<br />

32 Die Rasse, <strong>di</strong>e Nationalität, ist an <strong>di</strong>e Stelle der Menschheitsfamilie getreten (Fabri<br />

1859:52).


Babel] semakin jelek tubuhnya dan semakin miskin bahasanya, dan<br />

semakin banyak dewa pujaan mereka. Semakin kecil keterlibatan semakin<br />

indah tubuhnya, semakin kaya bahasanya, semakin berkembang keesaan<br />

Tuhan. Kalau kita memahami ini maka menja<strong>di</strong> jelas mengapa bangsa<br />

Hamit hingga kini menja<strong>di</strong> bangsa yang paling hina <strong>di</strong> muka bumi ini.<br />

Sekarang kita mengerti betapa kejahatan yang mereka lakukan ribuan<br />

tahun yang lalu menghancurkan tubuh mereka, termasuk warna kulit dan<br />

bentuk tubuhnya. 33<br />

Oleh sebab itulah maka bangsa putih berhak untuk menja<strong>di</strong> pemimpin, dan<br />

bangsa yang berkulit berwarna tidak perlu mengharapkan mendapatkan<br />

kemerdekaan sampai pada akhir dunia. Kalau pun mereka memeluk agama Kristen<br />

kaum berwarna akan tetap lebih rendah daripada bangsa putih. Karena bangsa<br />

berwarna (keturunan Nimrod) merupakan bangsa yang sejak pembangunan<br />

menara Babel tidak lagi mengenal keesaan Tuhan dan menja<strong>di</strong> bangsa yang kafir<br />

sementara pada keturunan Sem dan Yafet masih ada unsur keesaan Tuhan maka<br />

bangsa putih pun memiliki kewajiban untuk menyebarkan injil kepada bangsa yang<br />

berwarna.<br />

Keturunan Ham, terkutuk karena Ham melihat aurat ayahnya, dan berdosa<br />

karena mau membangun menara yang bisa mencapai langit – demikianlah ideologi<br />

Fabri– <strong>di</strong>hukum Tuhan dengan membuat keturunannya menja<strong>di</strong> rusak, kekurangan<br />

dalam semua hal, rupa, warna kulit, dan intelek.<br />

Namun <strong>di</strong> antara ras berwarna kulit cokelat yang <strong>di</strong>anggap serba dekaden itu<br />

ternyata ada satu bangsa yang tingkat kerusakannya tidak terlalu parah. Dalam<br />

majalah Berichte der Rheinischen Missionsgesellschaft Fabri, yang ternyata<br />

<strong>di</strong>pengaruhi oleh Junghuhn, melaporkan bahwa:<br />

Diban<strong>di</strong>ngkan orang Melayu orang Batak jauh lebih mirip dengan ras Indo-<br />

Germania baik dari segi bentuk kepala, tubuh, atau warna kulit. Warna<br />

kulitnya sedemikian cokelat muda sehingga malahan ada yang pipinya<br />

kemerah-merahan. Rambutnya juga lebih lebat dan lebih lembut daripada<br />

rambut orang Melayu, dan kadang-kadang kecokelat-cokelatan. Tubuhnya<br />

tegap dan berotot. Tampaknya mereka merupakan ras menengah antara<br />

ras Eropa dan Melayu. 34<br />

33 Je mehr sich ein Geschlecht daran betheiligte, desto ärmer <strong>di</strong>e Sprache, desto<br />

polytheistischer das Gottesbewusstsein; je weniger Betheiligung, desto edler <strong>di</strong>e Gestalt,<br />

desto reicher <strong>di</strong>e Sprache, desto mehr Anklänge an den ursprünglichen Monotheismus in<br />

der Mythologie. Nun begreifen wir einigermaßen, warum <strong>di</strong>e Hamiten <strong>di</strong>e in jeder<br />

Beziehung am meisten zertretenen Völker der Erde bis auf den heutigen Tag sind, und<br />

ahnen nun auch, wie das Geheimniß der Bosheit, zu dessen Hauptträgern sie sich vor<br />

Jahrtausenden gemacht, seine furchtbaren und entstellenden Wirkungen sebst in Farbe<br />

und Körpergestalt bis auf den heutigen Tag ausgrprägt hat. (Fabri 1859:93-40)<br />

34 Weit mehr als <strong>di</strong>e Malaien nähern sie sich dem indogermanischen Völkerstamme, sowohl<br />

in der Schädelform, als auch in der Gestalt und Körperfarbe. Ihre Farbe ist so


Berdasarkan dugaan Junghuhn, yang tentu sama sekali tidak beralasan, Fabri<br />

menganggap bangsa Batak lebih unggul dari bangsa-bangsa Melayu, tetapi tentu<br />

tetap <strong>di</strong> bawah ras putih karena menurutnya dosa yang <strong>di</strong>pikul oleh keturunan Ham<br />

aba<strong>di</strong> dan tidak berkurang bahkan kalau mereka memeluk agama Kristen.<br />

Fabri juga melihat adanya kemiripan antara bangsa Germania dan bangsa Batak<br />

karena kedua-duanya <strong>di</strong>kepung oleh bangsa yang hendak memusnahkannya.<br />

Jerman <strong>di</strong>ancam dari barat oleh musuh bebuyutan Prancis yang hendak<br />

membinasakan bangsa Germania dengan bisa kemerosotan moralnya, dan <strong>di</strong>ancam<br />

dari timur oleh bangsa Slawonik yang sangat rendah derajatnya. Demikian juga<br />

keadaan orang Batak yang menurut Fabri <strong>di</strong>kepung oleh bangsa Melayu. Ber<strong>di</strong>ri<br />

sen<strong>di</strong>ri secara kokoh dalam keadaan <strong>di</strong>kepung oleh musuh adalah gambaran yang<br />

sering <strong>di</strong>kemukakan oleh para nasionalis Jerman, dan hal yang sama juga<br />

<strong>di</strong>ungkapkan oleh Junghuhn: “Batak merupakan bangsa kecil yang ber<strong>di</strong>ri sen<strong>di</strong>ri<br />

<strong>di</strong>kelilingi oleh bangsa Melayu” (II: 13).<br />

Selain daripada rasisme dan chauvinisme tentu ada juga unsur agama karena<br />

bangsa yang “mengancam” Jerman beragama Katolik (Prancis dan Polan<strong>di</strong>a) atau<br />

Ortodoks (Rusia), dan bangsa Melayu yang “mengancam” orang Batak beragama<br />

Islam.<br />

Selama Fabri menja<strong>di</strong> Direktur RMG ia semakin tertarik pada penjajahan dan<br />

tiba pada kesimpulan bahwa penjajahan merupakan salah satu cara terbaik untuk<br />

mengatasi persoalan-persoalan sosial yang semakin nyata <strong>di</strong> Jerman.<br />

Fabri dan Paham Penginjilan Kolonial<br />

Kepentingan misi pada hakikatnya sejajar dengan kepentingan ekonomi dan<br />

politik dan penginjilan seharusnya <strong>di</strong>ja<strong>di</strong>kan alat untuk merintis penjajahan. Hal ini<br />

<strong>di</strong>yakini Fabri, dan teorinya ia simpulkan dalam ceramah pada Konferensi<br />

Penginjilan Eropa Daratan 35 yang berjudul Die Bedeutung geordneter politischer<br />

Zustände für <strong>di</strong>e Entwicklung der Mission (Keadaan Politik yang Stabil sebagai<br />

Faktor Pendukung Penginjilan). Bersama mantan misionaris RMG C.G. Büttner dan<br />

lichtbräunlich, daß man oftmals rothen Wagen unter ihnen begegnet. Sie haben auch ein<br />

reicheres und weicheres Haar als <strong>di</strong>e Malaien, öfters von brauner Farbe, und sind stark<br />

und muskulös gebaut. Im Ganzen kann man sagen, daß sie zwischen der kaukasischen<br />

und malaiischen Race eine gewisse Mittelstellung einnehmen. (Fabri BRMG 1862:12)<br />

35 6. Kontinentale Missionskonferenz (Bremen 20 Maret 1884).


superintenden misionaris Merensky 36 Fabri menja<strong>di</strong> salah seorang perintis paham<br />

penginjilan kolonial (koloniale Missionsauffassung).<br />

Fabri percaya bahwa Jerman memerlukan daerah jajahan untuk mengatasi<br />

masalah sosial yang melanda Jerman. Kepadatan penduduk dan angka<br />

pengangguran yang tinggi mengakibatkan kemiskinan massal sehingga timbul<br />

berbagai masalah sosial yang nantinya dapat menjurus ke sosialisme dan<br />

komunisme. Oleh sebab itu masalah sosial (<strong>di</strong>e soziale Frage) merupakan masalah<br />

utama abad ke-19 dan “masalah hidup atau mati bagi masa depan” (Lebensfrage<br />

für <strong>di</strong>e Zukunft). Oleh sebab itu Jerman perlu daerah jajahan yang tidak hanya<br />

dapat menampung kaum miskin Jerman tetapi juga meningkatkan kekayaan<br />

Jerman sehingga Fabri melihat kolonialisme sebagai satu-satunya jalan untuk<br />

mengatasi masalah sosial.<br />

Di samping itu, demikian penjelasan Fabri, kolonialisme juga bermanfaat bagi<br />

mereka yang <strong>di</strong>jajah. “Karakter dasar” para pribumi daerah tropis yang “kurang<br />

lebih lemas, lalai, dan malas” dapat <strong>di</strong>ubah kalau mereka <strong>di</strong><strong>di</strong>k oleh orang Eropa<br />

untuk berkerja keras. Oleh karena itu “kekuasaan Eropa menja<strong>di</strong> syarat mutlak”<br />

untuk membudayakan kaum pribumi. Karena berkecimpung <strong>di</strong> bidang penginjilan<br />

luar Eropa maka Fabri menja<strong>di</strong> tertarik pada politik kolonial, tetapi keyakinan akan<br />

perlunya penjajahan terutama ia dasarkan pada alasan sosial-politik, dan bukan<br />

penginjilan.<br />

Menurut Fabri para penginjil perlu mendukung pihak penjajah sementara<br />

pemerintah kolonial <strong>di</strong>harapkan membantu para penginjil dengan menaklukkan<br />

daerah penginjilan untuk mencapai keadaan politik yang stabil (Bade 2005:104). 37<br />

Pengalaman Fabri sebagai <strong>di</strong>rektur RMG membuatnya menja<strong>di</strong> makin tertarik pada<br />

politik kolonial sehingga tahun 1884 ia keluar dari RMG untuk mengab<strong>di</strong>kan <strong>di</strong>ri<br />

sepenuhnya pada gerakan kolonial Jerman yang <strong>di</strong>peloporinya.<br />

Fabri juga amat dekat dengan para industrialis, terutama sejak pada tahun 1869<br />

ia men<strong>di</strong>rikan Wuppertaler Aktien-Gesellschaft für Handel in den Arbeitsgebieten<br />

der Rheinischen Mission (Perseroan untuk Perdagangan <strong>di</strong> Wilayah Kerja RMG,<br />

Wuppertal) yang biasanya <strong>di</strong>singkat Missions-Handelsgesellschaft (Serikat Dagang<br />

Misi) atau MHG dengan modal awal 50.000 Taler yang <strong>di</strong>dapatkannya dari<br />

36 Lihat publikasi A. Merensky: Was lehren uns <strong>di</strong>e Erfahrungen, welche andere Völker bei<br />

Kolonisationsversuchen in Afrika gemachten haben? (Kita bisa belajar apa dari upaya<br />

penjajahan bangsa lain <strong>di</strong> Afrika?), Berlin 1880; dan Wie erzieht man am besten den<br />

Neger zur Plantagenarbeit? (Bagaimana cara terbaik mengajar si Negro menja<strong>di</strong> buruh<br />

perkebunan?), Berlin 1912.<br />

37 Fabri sen<strong>di</strong>ri pda tahun 1880 pernah meminta perlindungan untuk para penginjil <strong>di</strong> Teluk<br />

Paus (Walfischbai, Afrika Barat Daya) dari kementerian luar negeri Jerman, namun<br />

kanselir Bismarck menolak permintaan Fabri. (Bade 2005: 335)


pengusaha-pengusaha <strong>di</strong> sekitar Wuppertal. Sepuluh tahun kemu<strong>di</strong>an, pada tahun<br />

1879, Fabri menawarkan kepada pemerintah Kerajaan Jerman agar para penginjil<br />

merintis jalan untuk men<strong>di</strong>rikan daerah jajahan baru <strong>di</strong> Afrika Tengah. Melalui MHG<br />

para penginjil <strong>di</strong>harapkan merintis perdagangan yang nantinya akan berujung pada<br />

penjajahan. Para penginjil juga <strong>di</strong>harapkan untuk merintis perkebunan dengan hasil<br />

bumi yang menguntungkan.<br />

Untuk tujuan itu Fabri mengusulkan untuk men<strong>di</strong>rikan pos-pos zen<strong>di</strong>ng pada<br />

pantai barat dan pantai timur Afrika Tengah dengan menekankan bahwa para<br />

penginjil “akan bermanfaat merintis jalan untuk perusahaan-perusahaan<br />

perdagangan dan aneksasi kolonial yang akan menyusul”. Oleh sebab itu ia<br />

menegaskan bahwa sudah tiba saatnya agar pemerintah Jerman menyadari bahwa<br />

penginjilan ‘sangat bermanfaat, dan malahan bisa menja<strong>di</strong> syarat mutlak’ (höchst<br />

nützlich, unter Umständen sogar unentbehrlich) untuk ekspansi kolonial. (Bade<br />

2005:145)<br />

Tidak semua orang <strong>di</strong> RMG setuju dengan kebijakan Fabri yang pro-industri, dan<br />

kecenderungan Fabri untuk bersekongkol dengan para industriawan, apalagi<br />

kegagalan usaha-usaha Fabri yang <strong>di</strong>harapkan akan mendatangkan dana bagi RMG<br />

akhirnya menja<strong>di</strong> penyebab bahwa Fabri terpaksa mengundurkan <strong>di</strong>ri dari jabatan<br />

sebagai <strong>di</strong>rektur Rheinische Mission.<br />

w<br />

Penginjil sebagai Penjajah<br />

Salah seorang misionaris yang paling terkenal adalah David Livingstone (1813–<br />

1873) yang pada masanya <strong>di</strong> tanah airnya Inggris <strong>di</strong>anggap sebagai pahlawan<br />

nasional yang datang ke Afrika untuk merintis jalan untuk “perdagangan dan<br />

kekristenan”. Mengab<strong>di</strong> pada Tuhan menja<strong>di</strong> tujuan utama para misionaris, tetapi<br />

sebagai patriot mereka menganggapnya sama penting untuk mengab<strong>di</strong> pada Tuan<br />

Kolonial, dan acapkali mereka mahalan merangkap menja<strong>di</strong> penjajah. (Paczensky<br />

1991: 262)<br />

Pada tahun 1842 misionaris dari Rheinische Missionsgesellschaft mulai menetap<br />

<strong>di</strong> “Großnamaqualand” – 40 tahun sebelum kawasan itu yang sekarang <strong>di</strong>kenal<br />

sebagai Namibia menja<strong>di</strong> daerah jajahan Jerman. Sebagai perintis kolonialisme,


dan tanpa <strong>di</strong>suruh oleh siapa-siapa, mereka mengibarkan bendera Prusia (Kerajaan<br />

Jerman baru ber<strong>di</strong>ri sejak tahun 1871) pada tahun 1844, tetapi pemerintah Prusia<br />

tidak pada saat itu tidak berminat untuk mendapatkan daerah jajahan.<br />

Ketika para misionaris tiba <strong>di</strong> Windhoek pada tahun 1842 kawasan Namaqualand<br />

<strong>di</strong>huni oleh suku Nama yang mata pencaharian terutama dari beternak. Pada saat<br />

itu suku Nama yang sudah memiliki sejumlah senjata api, masuk ke Tanah Herero<br />

untuk memperluas tanah peternakannya. Sudah sejak awal para misionaris selalu<br />

terlibat dalam pertikaian antara kedua suku tersebut dan berusaha untuk melarai<br />

perselisihian. Karena pertikaian tidak dapat <strong>di</strong>selesaikan dan konflik semakin<br />

berkobar maka para misionaris RMG menginginkan agar wilayah misi mereka<br />

<strong>di</strong>aneksasi, entah oleh Inggris atau oleh Jerman.<br />

Dalam pertikaian itu para penginjil cenderung untuk berpihak pada suku Herero,<br />

dan pada tahun 1863 penginjil RMG malahan membantu sejumlah orang Eropa<br />

yang ter<strong>di</strong>ri atas pengusaha pertambangan tembaga dan beberapa petualang,<br />

mempersenjatai Herero untuk memerangi suku Nama. (Steinmetz 1972:111 band.<br />

hal. 245)<br />

Ketika pertikaian berkobar lagi pada tahun 1868 maka para misionaris meminta<br />

perlindungan pada pemerintah Jerman (Prusia) namun pihak RMG kecewa karena<br />

kanselir Bismarck tidak yakin bahwa wilayah penjajahan akan menguntungkan<br />

Jerman.<br />

Pada awal tahun 1880an konflik antara Herero dan Naman semakin menja<strong>di</strong>,<br />

dan karena Inggris tidak menunjukkan minat untuk intervensi, maka pada 3 Juni<br />

1880 Fabri mengajukan permohonan kepada Kementrian Luar Negeri (Auswertiges<br />

Amt) agar Auswertiges Amt minta bantuan Inggris untuk mengirim pasukan guna<br />

melindungi para penginjil RMG dan pos-pos perdagangan (Schubert 2003:122,<br />

band. BRMG 1880-196-204). Pada waktu yang sama Fabri juga menegaskan bahwa<br />

menurutnya seyogyanya kawasan itu <strong>di</strong>jajah oleh Jerman dan bukan oleh Inggris<br />

karena <strong>di</strong>anggapnya lebih sesuai “bila penginjil dan penjajah berasal dari bangsa<br />

yang sama” (ibid., hal.123).<br />

Kali ini juga Bismarck menolak permintaan RMG, namun sikap Bismarck<br />

terhadap daerah jajahan telah mulai berubah pada akhir 1870an setelah Jerman<br />

bersatu. Antara 1884 dan 1899 Jerman memperoleh sejumlah wilayah penjajahan<br />

terutama <strong>di</strong> Afrika. Perolehan Afrika Barat Daya yang sekarang menja<strong>di</strong> Namibia<br />

sebagai jajahan Jerman terja<strong>di</strong> dengan dukungan dan bantuan para misionaris<br />

RMG. Jerman menjalin perjanjian dengan para kepala suku yang pada hakikatnya,<br />

dan tanpa pengetahuan mereka, mengatur perampasan wilayahnya. Misionaris


Büttman, Heidmann, dan Judt membantu pemerintah kolonial dalam pelaksanaan<br />

perjanjian tersebut.<br />

Setelah Afrika Barat Daya resmi menja<strong>di</strong> wilayah penjajahan Jerman para<br />

misionaris berperilaku layak tuan kolonial. Mereka lama mendukung Hendrik<br />

Witbooi (?1830–1905), kepala suku Orlam yang memeluk agama Kristen. Ketika<br />

Witbooi ingin memperluas wilayah kekuasaan ke arah utara maka suku Herero<br />

yang men<strong>di</strong>ami daerah itu meminta perlindungan kepada Jerman. Witbooi tidak lagi<br />

memperhatikan nasihat para penginjil dan malahan melarang mereka untuk masuk<br />

ke wilayahnya. Ketika pada tahun 1893 Witbooi berdamai dengan suku Herero,<br />

pemerintah khawatir Witbooi menja<strong>di</strong> terlalu kuat dan menyerang markasnya<br />

dengan membunuh 78 perempuan dan anak-anak dan 10 laki-laki. Witbooi sen<strong>di</strong>ri<br />

lepas. Di BRMG 1893 para penginjil menulis bahwa “Kalau pengacau keamanan<br />

yang sudah bertahun-tahun mengacaukan negerinya itu <strong>di</strong>musnahkan, baru ada<br />

harapan maka negerinya bisa berkembang.” Mereka menyesal Wittboi sen<strong>di</strong>ri yang<br />

“berangan-angan secara kegilaan bisa melawan kekuasaan Jerman” lepas. Tahun<br />

1894 tentara kolonial Jerman berhasil menangkap Wittboi. Dalam Lembaran Negara<br />

Kolonial (Deutsches Kolonialblatt) peranan para misionaris pada penangkapannya<br />

<strong>di</strong>akui secara resmi dan Kementrian Luar Negeri malahan mengucapkan terima<br />

kasih pada penginjil RMG “atas jasa yang berharga dan nasihat yang sangat<br />

berguna” (Paczensky 1991:267).<br />

Pada 12 Januari 1904 suku Herero <strong>di</strong> bawah pimpinan Samuel Maharero<br />

memberontak terhadap kekuasaan kolonial Jerman. Pada pertempuran Waterberg<br />

pasukan Herero mengalami kekalahan dan <strong>di</strong>paksa mundur ke gurun Namib.<br />

Jenderal von Trotha memerintah pasukannya untuk membasmi suku Herero.<br />

Mereka yang mau menyerah langsung <strong>di</strong>bunuh. Dalam keadaan terkepung para<br />

Herero <strong>di</strong>biarkan mati kehausan <strong>di</strong> gurun Namib, dan sisanya mati karena<br />

meminum air sumur yang <strong>di</strong>racuni oleh pasukan Jerman.<br />

Pada bulan Oktober 1904 terja<strong>di</strong> pemberontakan lagi – kali ini dari suku Nama.<br />

Nasib mereka tidak lebih baik daripada nasib suku Herero. Di sini juga dengan<br />

sengaja pasukan Jerman berusaha untuk membunuh sebagian besar rakyat.<br />

Diperkirakan bahwa sekitar separuh dari seluruh populasi Nama <strong>di</strong>bunuh pada<br />

waktu itu sementara jumlah korban pada suku Herero lebih tinggi lagi; <strong>di</strong>perkirakan<br />

bahwa 50% hingga 70% rakyat Herero, termasuk anak-anak dan perempuan, mati.<br />

Peristiwa ini kemu<strong>di</strong>an menja<strong>di</strong> terkenal sebagai genosida Nama dan Herero.<br />

Seluruh tanah mereka <strong>di</strong>rampas dan mereka yang bertahan hidup <strong>di</strong>paksa bekerja<br />

untuk tuan tanah orang putih.


Pada tahun 1906 para misonaris mencatat bahwa “keadaan menja<strong>di</strong> tenang<br />

sekali” dan bahwa semakin banyak rakyat Nama dan Herero masuk agama Kristen.<br />

Sesudah masyarakat tra<strong>di</strong>sional mereka <strong>di</strong>hancurkan secara total oleh para<br />

penjajah maka mereka tiada lagi pegangan untuk dapat bertahan <strong>di</strong> bahwa orde<br />

baru sehingga terpaksa mereka andalkan satu-satunya lembaga yang masih<br />

berfungsi yaitu lembaga Kristen (Paczensky 1991:262-268).<br />

Penginjil sebagai Pedagang<br />

Gustav Warneck <strong>di</strong>rektur RMG dari tahun 1871–1874 dan pen<strong>di</strong>ri majalah<br />

zen<strong>di</strong>ng Allgemeine Missions-Zeitschrift (AMZ) pernah menyebut zen<strong>di</strong>ng sebagai<br />

“satuan pengaman untuk perdagangan internasional” (AMZ 5, 1878, hal.67) dan<br />

menambahkan bahwa jasa itu <strong>di</strong>se<strong>di</strong>akan dengan cuma-cuma. Para misionaris<br />

memang sering menja<strong>di</strong> perintis dan hampir selalu <strong>di</strong>ikuti oleh para pedagang.<br />

Yang paling penting bagi para pedagang adalah kenyataan bahwa dengan adanya<br />

para penginjil mereka bisa melaksanakan kegiatan dengan lebih aman.<br />

Adapun kalanya para misionaris ikut berdagang. Untuk tujuan ini pada tahun<br />

1869 RMG men<strong>di</strong>rikan perseroan terbatas “Missions-Handels-Aktien-Gesellschaft zu<br />

Barmen” yang <strong>di</strong>prakarsai oleh Fabri. Sama dengan pedagang lainnya mereka<br />

menjual pakaian, berbagai jenis barang keperluan sehari-hari, terutama yang dari<br />

besi, dan bahan pangan. Hanya alkohol, yang menja<strong>di</strong> barang dagangan yang<br />

sangat laku, tidak mereka jual. Barang dagangan mereka <strong>di</strong>tukar dengan ternak,<br />

bulu burung unta, dan ga<strong>di</strong>ng (Rohden 1888:327). Awalnya menguntung, lama-<br />

kelamaan P.T. Dagang Zen<strong>di</strong>ng Barmen merugi, terutama karena hewan itu sudah<br />

mulai punah:<br />

Semua orang ikut berburu. Hewan apa saja yang dapat <strong>di</strong>bunuh, mereka<br />

tikam atau tembak. Baik yang jantan maupun yang betina, dan bahkan<br />

anak hewan <strong>di</strong>binasakan sehingga tiada lagi yang dapat <strong>di</strong>buru (Rohden<br />

1888:330). 38<br />

Lalu mereka berupaya untuk memperdagangkan kawanan lembu milik suku Ova<br />

Herero, tetapi usaha itu pun gagal karena terlalu banyak hewan mati selama<br />

perjalanan panjang <strong>di</strong> gurun pasir. (ibid.). Lalu ketika pada tahun 1880 pecah<br />

38 Alles, was auf <strong>di</strong>e Beine zu bringen war, zog aus auf <strong>di</strong>e Jagd. Da wurde totgeschlagen<br />

und totgeschossen alles, was zu erreichen war, männlich und weiblich. Von Schonung des<br />

Nachwuchses war keine Rede. Die Folge war, dass in der Nähe bald nichts Jagdbares<br />

mehr zu finden war.


perang antara suku Naman dan Herero maka terpaksa P.T. Dagang Zen<strong>di</strong>ng gulung<br />

tikar.<br />

Sesudah kepergian Fabri kebijakan RMG berubah drastis, dan pada tahun 1884<br />

para penginjil <strong>di</strong>imbau:<br />

Tugas kalian menyebarkan injil dan menyelamatkan jiwa-jiwa pada bangsa<br />

[tujuan penginjilan] kalian sedangkan mereka hendak memperkaya <strong>di</strong>ri,<br />

ingin berdagang dan berusaha tidak peduli apakah hal itu membinasakan<br />

rakyatnya. Munculnya kawasan penjajahan <strong>di</strong> daerah kekafiran senantiasa<br />

<strong>di</strong>iringi ketidaka<strong>di</strong>lan, entah bangsa penjajah itu Portugis, Spanyol,<br />

Belanda, atau Inggris. Orang Jerman pun tidak akan melakukannya<br />

dengan lebih baik, dan tugas kalian adalah untuk sedapat-dapatnya<br />

melindungi rakyat kalian terhadap kekerasan dan penganiayaan oleh<br />

bangsa putih. [...]. Jauhkan <strong>di</strong>ri dari segala masalah politik. 39<br />

August Schreiber yang menggantikan Fabri berupaya untuk menjaga jarak<br />

dengan pemerintah kolonial:<br />

Kolonisasi bertujuan untuk menambah kekuasaan dan kehormatan tanah<br />

air kita yang tercinta sedangan penginjilan demi kebesaran kerajaan Allah<br />

dan demi kehormatan raja kita <strong>di</strong> surga Yesus Kristus. Oleh sebab itu<br />

kedua urusan itu jangan <strong>di</strong>campur karena bermanfaat bagi kedua belah<br />

pihak bila ada pemisahan yang jelas antara kedua urusan tersebut. Dari<br />

sejarah kita mengetahui betapa buruknya bila penginjil berupaya untuk<br />

menja<strong>di</strong> penjajah, dan sama buruk hasilnya bila pemerintah berupaya<br />

untuk menyebarkan injil. 40<br />

Namun Schreiber pun tetap berkeyakinan bahwa perampasan wilayah adalah hal<br />

yang wajar, dan bahwa para pribumi seharusnya bersyukur kepada penjajah, dan<br />

ia mengeluh bahwa “sayang sekali hal ini jarang <strong>di</strong>sadari oleh bangsa yang<br />

<strong>di</strong>taklukkan”.<br />

39 “Eure Aufgabe ist es, Christum zu pre<strong>di</strong>gen und <strong>di</strong>e Seele Eures Volkes zu retten; jene<br />

aber wollen sich selbst bereichern, wollen Handel, Gewerbe, Industrie, unbekümmert, ob<br />

das Volk darüber zugrunde geht. Noch nirgend ist in der Heidenwelt eine europäische<br />

Kolonie entstanden ohne <strong>di</strong>e schwersten Ungerechtigkeiten. Portugiesen und Spanier,<br />

Holländer und Engländer haben darin ziemlich gleichen Schritt gehalten. Die Deutschen<br />

werden es schwerlich viel besser machen, und Ihr werdet <strong>di</strong>e Aufgabe haben, Euer Volk<br />

vor Mißhandlungen und Vergewaltigung der Weißen zu schützen, solange Ihr könnt [...].<br />

Haltet Euch von allen politischen Fragen fern.” Deputation Rheinische Mission kepada<br />

Namakonferenz, 29-12-1884, ARM M SWA, hal. 86–89. Dikutip dari Bade 205:225-226.<br />

40 Kolonisation <strong>di</strong>ent zur Ausbreitung der Macht und des Ansehens unseres lieben deutschen<br />

Vaterlandes, <strong>di</strong>e Mission dagegen will <strong>di</strong>enen zur Ausbreitung des Reiches und der Ehre<br />

unseres himmlischen Königs, Jesus Christus. So wolle man auch hier nicht<br />

verschiedenartige Dinge durcheinandermischen oder miteinander verwechseln; es wird<br />

beiden zugute kommen, wenn man sie reinlich und deutlich auseinander hält, denn <strong>di</strong>e<br />

Geschichte kann uns lehren, dass noch niemals gute Resultate dabei herausgekommen<br />

sind, wenn <strong>di</strong>e Missionare Kolonien gründeten, noch wenn <strong>di</strong>e Kolonialmacht missionierte.


Terjemahan Artikel BRMG<br />

Berikut kami sajikan secara kronologis terjemahan enam artikel dari Berichte der<br />

Rheinischen Missionsgesellschaft (BRMG) yang berkaitan dengan <strong>Perang</strong> Toba I,<br />

termasuk artikel dari dua saksi mata. Artikel BRMG 1878 hal. 193-202 yang<br />

pertama berjudul <strong>Perang</strong> <strong>di</strong> Toba memuat laporan penginjil Metzler dari Bahal Batu<br />

dan Silindung. Artikel <strong>di</strong> BRMG 1878 (12): 361-381 yang berjudul Laporan Terakhir<br />

tentang <strong>Perang</strong> <strong>di</strong> Toba (Endgültiger Bericht über den Krieg auf Sumatra)<br />

mengandung laporan L.I. Nommensen ketika ia mendampingi tentara Belanda<br />

dalam <strong>Perang</strong> Toba I dari Bahal Batu sampai ke Bangkara dan Balige.<br />

Berikut ini urutan peristiwa perang Toba sebagaimana <strong>di</strong>rekonstruksi dari<br />

laporan penginjil Nommensen dan Metzler. Tanggal-tanggal setelah 5 Mei tidak<br />

pasti karena tidak <strong>di</strong>sebut berapa lama pasukan Belanda beristirahat <strong>di</strong> Paranginan.<br />

Akhir 1877 Desas-desus Aceh akan bersekutu dengan Toba<br />

17/12/1877<br />

Penginjil <strong>di</strong> Bahal Batu menerima surat dari Silindung bahwa para<br />

ulubalang sudah tiba <strong>di</strong> Bangkara<br />

Jan. 1878<br />

<strong>Utusan</strong> Singamangaraja datang mengancam misionaris dan orang<br />

Kristen<br />

Akhir Jan. ‘78 Para Penginjil minta agar Belanda mengirim pasukannya<br />

01/02/1878<br />

Pasukan pertama <strong>di</strong> bawah pimpinan Kapten Scheltens bersama<br />

dengan Kontrolir Hoevel menuju Pearaja<br />

06/02/1878 Pasukan dengan 80 tentara dan seorang Kontrolir tiba <strong>di</strong> Pearaja<br />

15/02/1878 Pasukan tiba <strong>di</strong> Bahal Batu bersama dengan penginjil dari Silindung<br />

16/02/ 1878 Pengumuman perang dari pihak SSM<br />

17/02/1878<br />

Metzler <strong>di</strong>suruh membawa istrinya ke Silindung. Ibu Metzler <strong>di</strong>antar<br />

suaminya dan Johannsen ke Pansur na Pitu<br />

19/02/1878<br />

Metzler kembali ke Bahal Batu, tetapi tanggal 20 Feb 1878 kembali lagi<br />

ke Silindung<br />

Feb. 1878 Pasukan Singamangaraja menyerang Bahal Batu.<br />

01/03/1878 Pasukan tambahan berangkat dari Sibolga.<br />

14/03/1878<br />

Residen Boyle datang bersama 250 tentara dan Kolonel Engels dari<br />

Sibolga.<br />

15/03/1878 Silindung <strong>di</strong>nyatakan menja<strong>di</strong> bagian dari wilayah Hin<strong>di</strong>a-Belanda.<br />

16/03/1878<br />

Pasukan berangkat ke Bahal Batu. Bahal Batu pun <strong>di</strong>nyatakan menja<strong>di</strong><br />

wilayah Hin<strong>di</strong>a-Belanda.<br />

17-20/03/1878 Butar, Lobu Siregar dan Naga Saribu <strong>di</strong>serang.<br />

Maret Pasukan tambahan 300 tentara dan 100 narapidana <strong>di</strong>berangkatkan.<br />

Ekspe<strong>di</strong>si militer untuk menumpaskan pasukan Singamangaraja<br />

30/04/1878 <strong>di</strong>mulai. Penginjil Nommensen dan Simoneit mendampingi pasukan<br />

Belanda. Lintong ni Huta <strong>di</strong>taklukkan.<br />

01/05/1878 Bangkara <strong>di</strong>serang<br />

02/05/1878 Kampung-kampung <strong>di</strong> sekitar Bangkara <strong>di</strong>serang.


03/05/1878<br />

Raja-raja <strong>di</strong> Bangkara <strong>di</strong>paksa melakukan sumpah setia mengakui<br />

kedaulatan Belanda.<br />

04/05/1878 Pasukan maju ke Paranginan.<br />

05/05/1878 Pasukan beristirahat selama beberapa hari <strong>di</strong> Paranginan.<br />

8 Mei 1878<br />

Huta Ginjang, Meat dan Gugur <strong>di</strong>taklukkan. Pasukan beristirahat<br />

selama beberapa hari <strong>di</strong> Gurgur.<br />

11/05/1878<br />

Pasukan menaklukkan Lintong ni Huta Pohan, Pangho<strong>di</strong>a dan Tara<br />

Bunga.<br />

12/05/1878<br />

Pasukan kembali ke Bahal Batu melalui Onan Geang-Geang, Pintu Bosi,<br />

Parik Sabungan dan Lobu Siregar.<br />

akhir Mei Nommensen membantu Residen <strong>di</strong> Bahal Batu.<br />

Benteng untuk 80 tentara <strong>di</strong>bangun <strong>di</strong> Sipoholon<br />

27/12/1878<br />

Nommensen dan Simoneit menerima penghargaan dari pemerintah<br />

Belanda<br />

Sumber primer dan sekunder: Catatan Metodologi<br />

Artikel-artikel yang kami terjemahkan berasal dari majalah Berichte der<br />

Rheinischen Missionsgesellschaft (BRMG). Sebagian dari artikel BRMG merupakan<br />

sumber primer karena <strong>di</strong>tulis langsung oleh pihak RMG <strong>di</strong> Barmen namun nama<br />

pengarang biasanya tidak <strong>di</strong>sebut. Di antara keenam artikel yang <strong>di</strong>terjemahkan<br />

terdapat dua yang bisa <strong>di</strong>anggap sebagai sumber sekunder yaitu “<strong>Perang</strong> <strong>di</strong> Toba”<br />

yang merupakan salinan dari sepucuk surat yang <strong>di</strong>tulis oleh penginjil Metzler (15-<br />

3-1878 Nomor arsip RMG 1.937 Bd.1), dan “Laporan Terakhir tentang <strong>Perang</strong> <strong>di</strong><br />

Toba” yang <strong>di</strong>tulis berdasarkan surat Nommensen (20-6-1878, No. arsip RMG<br />

1.926 Bd.1).<br />

Surat asli dari para misionaris <strong>di</strong>cetak <strong>di</strong> BRMG setelah <strong>di</strong>sunting oleh para<br />

e<strong>di</strong>tor. Proses penyuntingan itu biasanya hanya sekadar meluruskan salah ejaan<br />

dan gaya bahasanya tanpa mengubah isinya. Namun demikian, sekali-sekali para<br />

e<strong>di</strong>tor melakukan penge<strong>di</strong>tan bila para misionaris terlalu kuat mengecam<br />

pemerintah kolonial. Hal itu terja<strong>di</strong> pada surat penginjil Pilgrim yang pada 25-11-<br />

1887 menulis tentang <strong>Perang</strong> Toba Kedua:<br />

Para serdadu telah kembali dari Dolok Sanggul. Baru ta<strong>di</strong> Kontelir Welsink<br />

datang kemari. Mereka membakar 60 kampung yang indah. Para musuh<br />

mengungsi ke hutan dengan membawa harta karun mereka dan tidak<br />

kembali selama enam minggu. Melalui seorang pengantara mereka<br />

<strong>di</strong>paksa untuk membayar denda 1500 Gulden. Bangkara dan Lintong akan<br />

<strong>di</strong>hukum dari Danau Toba karena pemerintah akan mengirim kapal ke<br />

Danau Toba. Mudah-mudahan hal itu akan berakibat positif terhadap Si<br />

Gaol dan Samosir sehingga kita dengan aman bisa menyebarkan injil.<br />

Beberapa hari yang lalu kami <strong>di</strong>beritahu oleh Nommensen bahwa Sarbet<br />

(?) dan 15 orang Aceh berada <strong>di</strong> Samosir. Maunya dengan bantuan Tuhan


injil dapat juga <strong>di</strong>bawa kepada orang Aceh yang selama ini berada <strong>di</strong><br />

kemelut perang. Sampai sekarang yang mereka dapatkan dari kita orang<br />

Eropa hanyalah peluru dan mesiu. Tidak mengherankan kalau mereka<br />

membalas dengan menyerang kita seperti harimau. (RMG 1.941<br />

tertanggal 25-11-1887)<br />

Cuplikan dari surat asli Pilgram <strong>di</strong> atas <strong>di</strong>terbitkan dalam BRMG dalam versi yang<br />

lebih pendek dan lebih moderat:<br />

Para serdadu sudah kembali dari Dolok Sanggul. Mereka membakar<br />

sejumlah kampung, dan musuh <strong>di</strong>denda 1500 Gulden, tetapi itu pun hanya<br />

melalui seorang pengantara karena sejak enam minggu mereka tidak<br />

kelihatan lagi. Bangkara dan Lintong <strong>di</strong>rencanakan akan <strong>di</strong>hukum dari<br />

Danau Toba melalui kapal yang akan <strong>di</strong>luncurkan. (BRMG 1888:42-43)<br />

Ja<strong>di</strong> ekspresi simpati dengan korban perang tidak <strong>di</strong>muat oleh pihak RMG.<br />

Penulis buku ini telah membaca kedua surat yang asli yang kini berada <strong>di</strong> arsip<br />

RMG <strong>di</strong> Wuppertal dan memban<strong>di</strong>ngkannya dengan salinannya <strong>di</strong> BRMG.<br />

Nommensen dan Metzler menulis suratnya dengan tangan dan tentu terdapat<br />

beberapa kesalahan dalam ejaan atau tata bahasa. Oleh sebab itu semua surat<br />

<strong>di</strong>periksa dulu untuk memastikan tiada kesalahan yang sempat masuk ke e<strong>di</strong>si<br />

cetakan. Proses penyuntingan yang <strong>di</strong>lakukan oleh staf e<strong>di</strong>torial RMG sama sekali<br />

tidak mengubah arti surat asli melainkan hanya meralat kesalahan atau<br />

menambahkan informasi waktu bilamana <strong>di</strong>anggap perlu.<br />

Berikut ini foto halaman pertama surat Nommensen yang <strong>di</strong>tujukan kepada<br />

“Lieber Herr Inspektor” (Tuan Direktur yang terhormat). Tampaknya surat<br />

Nommensen <strong>di</strong>cetak ulang dalam BRMG dengan sangat akurat. Satu-satunya<br />

perbaikan yang <strong>di</strong>buat oleh para penge<strong>di</strong>t ialah penambahan “im Juni 1877” (pada<br />

bulan 1877)<br />

Demikian pula pada halaman-halaman berikut pihak RMG hampir tidak<br />

melakukan penyuntingan apa-apa melainkan menyalin teks tanpa mengubahnya<br />

sama sekali.<br />

Berikut ini kami sajikan halaman terakhir surat Nommensen yang <strong>di</strong>cetak <strong>di</strong><br />

BRMG 1878 (12) pada halaman 364:<br />

Gambar 1Surat Nommensen 20-6-1878; RMG 1.926 Bd.1<br />

Bila <strong>di</strong>ban<strong>di</strong>ngkan dengan surat asli hanya terdapat satu perbedaan kecil. Para<br />

e<strong>di</strong>tor <strong>di</strong> RMG menambahkan kata “natūrlich” (tentu saja) pada baris ke-10 (kata<br />

terakhir pada baris ke-7 pada e<strong>di</strong>si cetakan):


“Mereka bertanya kepada kami apakah pemerintah akan membantu mereka<br />

sekiranya mereka <strong>di</strong>serang oleh kaum kafir Silindung. Tentu saja kami tidak bisa<br />

menjaminnya.”<br />

BRMG 1878 115-118<br />

Desas-desus yang Memprihatinkan<br />

w<br />

Sudah <strong>di</strong> bulan Januari kami mendengar dari Belanda desas-desus yang<br />

memprihatinkan dari Sumatra, yang awalnya tidak begitu jelas, tetapi <strong>di</strong> kemu<strong>di</strong>an<br />

hari menja<strong>di</strong> semakin jelas. Terdengar orang Aceh telah menjalin persekutuan<br />

dengan orang Toba melawan pemerintahan Belanda, dan semua penginjil beserta<br />

keluarganya berada dalam keadaan bahaya, atau bahkan telah <strong>di</strong>bunuh. Setelah<br />

kami melacak asal-usul desas-desus itu, ternyata bersumber dari surat seorang<br />

sahabat kita yang bermukim <strong>di</strong> Padang. Karena itu kami yakin bahwa desas-desus<br />

itu bukan khayalan belaka. Kami sen<strong>di</strong>ri sudah mengetahui dari surat-surat<br />

penginjil kami yang <strong>di</strong>kirim pada bulan November [tahun 1877] bahwa ada kabar<br />

angin tentang adanya persiapan perang, namun penginjil kita tidak<br />

menganggapnya dengan serius. Oleh sebab itu kami percaya bahwa desas-desus<br />

itu –sebagaimana layak terja<strong>di</strong>– semakin jauh dari tempat asalnya, menja<strong>di</strong><br />

semakin heboh.<br />

Selain itu kami yakin bahwa apabila terja<strong>di</strong> hal yang paling buruk, atau apabila<br />

penginjil kita terpaksa meninggalkan posnya maka kami pasti telah <strong>di</strong>kabari melalui<br />

telegram dari Sibolga. Selain itu tampaknya mustahil bahwa orang Aceh akan<br />

bersekutu dengan orang Toba, dan untuk apa pula Aceh memutuskan untuk<br />

menyerang Silindung dan bukan Deli yang jauh lebih kaya kalau memang mereka<br />

berniat untuk menyerang wilayah pemerintah. Mempertimbangkan hal itu maka<br />

kami tidak merasa terlalu cemas, tetap percaya pada Tuhan dan menunggu adanya<br />

berita selanjutnya. Berita baru kini sudah tiba <strong>di</strong> sini –yang terakhir kami menerima


pada tanggal 15 Januari [1878]– sehingga keadaan menja<strong>di</strong> semakin jelas, dan ada<br />

harapan bahwa masalah ini tidak menja<strong>di</strong> lebih daripada sekadar berita angin.<br />

Ceritanya begini: Di Toba, tepatnya <strong>di</strong> daerah Bangkara <strong>di</strong> pantai Danau Toba,<br />

ber<strong>di</strong>am seorang tokoh yang bergelar Singamangaraja, yang berarti, bila<br />

<strong>di</strong>terjemahkan ke dalam bahasa Jerman, raja singa. Namun orang itu bukan<br />

seorang raja melainkan seorang raja-imam. Raja imam yang pertama <strong>di</strong>angkat oleh<br />

Melayu Muslim (Padri) yang datang ke sini 40 tahun yang lalu. Ja<strong>di</strong> raja imam yang<br />

awalnya Islam kini menja<strong>di</strong> kafir. Kekuasaan, atau, lebih tepat, kewibawaan<br />

Singamangaraja – yang <strong>di</strong>perolehnya berkat adanya cerita-cerita yang tolol,<br />

misalnya bahwa lidahnya berbulu – dahulu kala terasa sampai <strong>di</strong> Silindung. Tata<br />

acara serta waktu pelaksanaan sajian yang setiap tahun harus <strong>di</strong>beri kepada roh-<br />

roh juga <strong>di</strong>turuti <strong>di</strong> Silindung. Dengan masuknya injil ke Silindung maka pengaruh<br />

Singamangaraja tentu merosot, hal mana juga <strong>di</strong>sadarinya sehingga berulang kali<br />

ia mencoba untuk mengusir atau membunuh para misionaris.<br />

Namun upaya itu selalu gagal karena selalu ada sesuatu yang menghalanginya,<br />

entah wabah cacar atau perang <strong>di</strong> Toba, sehingga lama-kelamaan ia tampak pasrah<br />

dengan berkurangnya kewibawaan dan pengaruhnya <strong>di</strong> Silindung. Suatu hari <strong>di</strong>a<br />

malahan mengunjungi penginjil Nommensen dan <strong>di</strong>jamu <strong>di</strong> rumahnya. Akan tetapi<br />

kini ia tidak begitu <strong>di</strong>hormati lagi <strong>di</strong> Silindung karena <strong>di</strong>a membawa lari istri<br />

seorang raja. Sejak itu tiada lagi berita darinya.<br />

Konon terdengar berita adanya Singamangaraja baru yang dengan sungguh-<br />

sungguh berusaha untuk mengembalikan pengaruhnya yang dulu – tentu saja<br />

dengan cara mengusir para misionaris. Demi mencapai cita-cita itu maka ia<br />

mendatangkan sejumlah ulubalang, menurut berita orang antara 40 hingga 50<br />

laskar dari Singkel atau Terumon yang <strong>di</strong> antaranya termasuk sejumlah orang<br />

Aceh. Adanya orang Aceh <strong>di</strong> antaranya membuatnya menja<strong>di</strong> berita karena paling<br />

laku ulubalang yang berasal dari tempat yang jauh. Hal ini <strong>di</strong>sebabkan karena<br />

ulubalang dari tempat yang jauh tentu tidak terikat hubungan kekerabatan dengan<br />

musuhnya yang dapat menja<strong>di</strong> penghalang dalam pekerjaan berdarah mereka.<br />

Belum ada berita tentang adanya gerakan dari pihak musuh atau upaya untuk<br />

menyerang Silindung atau Bahal Batu. Namun demikian pemerintah Belanda sudah<br />

bersiap-siap mendatangkan senjata dan amunisi ke Silindung, dan <strong>di</strong> Sibolga<br />

pasukan sudah siap siaga untuk segera naik ke Silindung apabila ada serangan dari<br />

pihak musuh.<br />

Jika hal itu terja<strong>di</strong> maka kemungkinan Silindung berikut Sigompulan dan<br />

Pangaloan <strong>di</strong>aneksasi menja<strong>di</strong> bagian daerah jajahan Belanda.


Bagi para pembaca yang mungkin keberatan dengan hal yang ta<strong>di</strong> kami sebut<br />

perlu kami mengemukakan kenyataan bahwa 1) Silindung secara hukum<br />

bagaimana pun sudah termasuk wilayah jajahan Belanda. Namun penyelenggaraan<br />

pemerintahan tidak pernah <strong>di</strong>laksanakan dan perjanjian-perjanjian yang telah<br />

<strong>di</strong>jalin dengan para raja yang, antara lain, melarang adanya perang <strong>di</strong> antara<br />

mereka, tidak pernah <strong>di</strong>tindaklanjuti. 2) Banyak daerah yang sudah berulang kali<br />

meminta kepada pemerintah Belanda agar wilayahnya <strong>di</strong>aneksasi – maka tuduhan<br />

penindasan dari pihak zen<strong>di</strong>ng tidak beralasan sama sekali. Daerah-daerah itu<br />

[Silindung] secara hukum sebelum kedatangan zen<strong>di</strong>ng sudah menja<strong>di</strong> bagian<br />

jajahan Belanda, dan kalau Belanda sekarang hendak menyelenggarakan<br />

pemerintahan maka hal ini tentu membawa berkat bagi rakyat dan negeri-negeri<br />

[yang ada <strong>di</strong> tanah Batak]. Apakah hal itu juga menguntungkan zen<strong>di</strong>ng, apakah<br />

dengan pemerintahan Belanda agama Islam akan masuk [<strong>di</strong> tanah Batak] adalah<br />

pertanyaan yang lain lagi. Oleh sebab itu maka para misionaris belum pernah<br />

meminta agar Silindung <strong>di</strong>aneksasi. Kalau hal itu sekarang <strong>di</strong>minta – Tuhan tentu<br />

akan menolong kita; jelas pemerintahan Belanda juga sangat bermanfaat bagi<br />

zen<strong>di</strong>ng kita, dan bila kelak kita harus bersaing dengan agama Islam maka<br />

sekarang agama Kristen <strong>di</strong> Silindung sudah memiliki kemajuan yang susah terkejar.<br />

BRMG 1878 hal. 153–154<br />

<strong>Perang</strong> <strong>di</strong> Toba (Sumatra)<br />

w<br />

Pada bulan Januari 1878 muncul utusan Singamangaraja yang menghasut orang<br />

agar membunuh para misionaris dan semua orang beragama Kristen. Ketika mau<br />

<strong>di</strong>tangkap oleh para raja yang sudah memeluk agama Kristen maka utusan itu<br />

melarikan <strong>di</strong>ri. Sebagai akibat dari ini serta gelagat buruk lainnya maka pasukan<br />

100 tentara yang telah siaga <strong>di</strong> Sibolga <strong>di</strong>suruh naik ke Silindung. Kontrolir yang<br />

mendampingi pasukan tersebut <strong>di</strong>beri tugas untuk mengadakan perun<strong>di</strong>ngan damai<br />

yang tidak berhasil karena raja-raja <strong>di</strong> Silindung tidak mau sekali lagi bersumpah<br />

setia kepada pemerintah Belanda yang selama ini tidak pernah peduli dengan<br />

perjanjian-perjanjian yang dahulu <strong>di</strong>jalinnya. Raja-raja dari Toba, khususnya


Singamangaraja, sama sekali tidak datang kecuali satu yang berpura-pura<br />

bersahabat namun kemu<strong>di</strong>an ketahuan bermusuhan.<br />

Maka pasukan maju sampai Bahal Batu, pos paling utara, lalu men<strong>di</strong>rikan<br />

benteng pertahanan <strong>di</strong> sana. Singamangaraja dan para raja dari Toba secara resmi<br />

mengumumkan perang terhadap Belanda. Penginjil Metzler menuruti nasihat<br />

Kontrolir untuk datang ke Silindung sementara penginjil Püse, Simoneit dan<br />

Staudte serta seluruh orang Batak yang Kristen bergabung dengan pasukan <strong>di</strong><br />

benteng.<br />

Pihak musuh menyerang dua kali masing-masing dengan sekitar 500–700 orang.<br />

Serangan kedua lebih kuat tetapi dua-duanya dapat <strong>di</strong>tangkis dengan mudah dan<br />

tanpa jatuhnya korban <strong>di</strong> pihak Belanda sementara <strong>di</strong> pihak musuh ada 20 orang<br />

yang cedera dan 2 yang mati.<br />

Serangan yang lebih dahsyat <strong>di</strong>perkirakan akan <strong>di</strong>langsungkan pada 2 Maret.<br />

Pasukan tambahan sebanyak 200 atau 300 tentara <strong>di</strong>rencanakan berangkat 1<br />

Maret dari Sibolga. Kalau pasukan <strong>di</strong> Bahal Batu dapat bertahan sampai pasukan<br />

tambahan tiba maka kemungkinan pihak musuh menang sangat tipis karena<br />

Belanda unggul dalam hal persenjataan dan <strong>di</strong>siplin. Kolonel Engel yang memimpin<br />

pasukan ini malah <strong>di</strong>beri tugas untuk melancarkan serangan bahkan sampai ke<br />

Danau Toba. Tampaknya jelas bahwa Silindung tidak lagi dapat <strong>di</strong>biarkan tanpa<br />

pemerintahan. Selain itu perlu <strong>di</strong>pikirkan apakah bukan lebih baik bagi pemerintah<br />

Belanda untuk langsung saja menaklukkan seluruh Toba dan sekaligus menjaga<br />

agar orang Aceh yang beragama Islam jangan menguasai Toba dan mengislamkan<br />

ratusan ribu kafir Toba. Betapa orang Batak Kristen dapat <strong>di</strong>andalkan tampak jelas<br />

sekarang, sebagai orang Islam orang Batak takkan mungkin menja<strong>di</strong> rakyat yang<br />

patuh pada Belanda.<br />

w


BRMG 1878 hal. 170-171<br />

Berita Lain dari Sumatra<br />

Semua sahabat zen<strong>di</strong>ng yang membaca tentang peristiwa <strong>di</strong> Sumatra pada e<strong>di</strong>si<br />

yang lalu, tentu sudah penasaran ingin mengetahui kelanjutan ceritanya. Belum<br />

banyak yang sejak itu kami ketahui, tetapi berita yang kami dengar adalah berita<br />

yang penting, dan insya Allah, baik.<br />

Pasukan tambahan <strong>di</strong> bawah Kolonel Engels yang awal Maret <strong>di</strong>kirim dari Sibolga<br />

untuk membantu pasukan yang bertempur <strong>di</strong> Bahal Batu tiba tepat pada waktu.<br />

Sebelum kedatangannya serangan Batak ketiga juga berhasil <strong>di</strong>tangkis. Sesudah<br />

pasukan tambahan tiba maka Belanda merasa cukup kuat untuk melancarkan<br />

serangan.<br />

Dari Bahal Batu mereka menuju arah barat ke Butar dan menaklukkan<br />

kampung-kampung yang berpihak pada musuh. Pada waktu itu pasukan juga<br />

datang ke kampung kawan kita yang lama, Ompu Baliga Bosi, yang dahulu pernah<br />

memberi perlindungan kepada penginjil Heine dan Johannsen namun selanjutnya<br />

pindah ke kubu musuh. Kampungnya <strong>di</strong>serang dan <strong>di</strong>bumihanguskan. Dari situ<br />

mereka maju ke arah timur ke Lobu Siregar yang letaknya <strong>di</strong> utara dari Bahal Batu.<br />

Di situ mereka, pada tanggal 20 Maret, membakar beberapa kampung. Bersama<br />

dengan pasukan datang pula Residen dari Sibolga ke Silindung yang meresmikan<br />

aneksasi Silindung, dan, tidak bisa <strong>di</strong>ragukan lagi, Pangaloan dan Sigompulan, dan<br />

Silindung <strong>di</strong>nyatakan menja<strong>di</strong> wilayah taklukan Belanda. Keja<strong>di</strong>an selanjutnya<br />

dapat kita menanti dengan tenang. Yang penting, mara bahaya yang belakangan<br />

<strong>di</strong>hadapi oleh penginjil dan zen<strong>di</strong>ng kita kini sudah berlalu, dan dapat <strong>di</strong>harapkan<br />

agar perang yang sudah <strong>di</strong>mulai pihak Belanda dengan penuh kemenangan dapat<br />

<strong>di</strong>selesaikan penuh kemenangan pula.<br />

Mengingat kon<strong>di</strong>si yang sekarang, para penginjil setuju dengan kita bahwa<br />

sebaiknya seluruh Toba <strong>di</strong>taklukkan saja. Untuk zen<strong>di</strong>ng kita hal itu berarti akan<br />

adanya perubahan secara mendasar dan kita perlu mengerahkan semua tenaga<br />

untuk memanfaatkan ketika yang mujur ini.<br />

Pada tahun yang kita merayakan hari ulang tahun zen<strong>di</strong>ng ini barangkali misi<br />

Batak bisa mengalami kemajuan yang sama besar yang telah <strong>di</strong>alami zen<strong>di</strong>ng Basel<br />

dengan penginjilan <strong>di</strong> Tiongkok.<br />

w


BRMG 1878 (7) hal. 193-202<br />

<strong>Perang</strong> <strong>di</strong> Toba<br />

Berkaitan dengan perang yang sedang berlangsung <strong>di</strong> Toba maka sejumlah surat<br />

kabar Hin<strong>di</strong>a-Belanda melontarkan berbagai tuduhan kepada penginjil kita.<br />

Tuduhan bahwa kita memilih wilayah penginjilan ini untuk memperkaya <strong>di</strong>ri sen<strong>di</strong>ri<br />

tidak perlu <strong>di</strong>hiraukan sama sekali. Namun tuduhan yang lain perlu kita tanggapi<br />

sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Malahan pihak <strong>di</strong> Belanda yang<br />

bersahabat dengan zen<strong>di</strong>ng keberatan dengan kenyataan bahwa penginjil kita<br />

meminta bantuan pemerintah Belanda. Akan tetapi penginjil kita <strong>di</strong> Silindung<br />

berada <strong>di</strong> kawasan Belanda dengan izin dari pemerintah. Ja<strong>di</strong> apa salahnya kalau<br />

mereka dalam keadaan terjepit meminta perlindungan pemerintah? Penginjil kita<br />

<strong>di</strong>beri tahu Residen Sibolga bahwa sejumlah orang Aceh dari Barus dan Singkil<br />

datang ke Toba, dan supaya mereka memperhatikan tindak-tanduknya. Kalau ada<br />

utusan Singamangaraja datang ke Silindung untuk menghasut rakyat – yang pada<br />

hakekatnya telah berada <strong>di</strong> bawah kekuasaan Belanda – dan menyerukan [194]<br />

agar mereka tunduk pada Aceh, dan kalau penginjil kita mendengar rencana orang<br />

Aceh itu untuk men<strong>di</strong>rikan kekuasaannya <strong>di</strong> atas kerajaan Singamangaraja, dan<br />

berusaha lagi untuk menjatuhkan kekuasaan Belanda <strong>di</strong> Angkola, Mandailing, dan<br />

Padang Bolak, apakah penginjil kita bukan berkewajiban untuk segera melaporkan<br />

hal itu kepada Residen?<br />

Bukannya tidak bertanggung jawab kalau mereka tidak melakukan apa-apa?<br />

Kalau pemerintah Belanda, berdasarkan laporan penginjil kita, mengirim<br />

pasukannya ke Silindung apakah hal itu kesalahan penginjil kita?<br />

Pada surat kabar yang lain <strong>di</strong>beritakan bahwa penginjil kita mendukung<br />

kependudukan Bahal Batu dan penyerangan terhadap kerajaan Singamangaraja.<br />

Mereka mengabsahkan bantuan Belanda terhadap penginjil kita, tetapi mereka<br />

tidak setuju bahwa pasukan maju sampai ke Bahal Batu karena hal itu merupakan<br />

provokasi sehingga Singamangaraja memang punya alasan untuk membela<br />

kerajaannya dengan mengumumkan perang karena Bahal Batu merupakan bagian<br />

dari kerajaannya. Namun tuduhan itu tidak beralasan karena Bahal Batu berada <strong>di</strong><br />

dalam kawasan yang sudah menja<strong>di</strong> milik pemerintahan Belanda. Jelas Bahal Batu<br />

bukan bagian kerajaan Singamangaraja karena Singamangaraja hanya berkuasa <strong>di</strong><br />

Bangkara. Di luarnya, <strong>di</strong> Toba, Silindung, dan Bahal Batu Singamangaraja hanya<br />

<strong>di</strong>akui sebagai raja imam. Memang benar bahwa penginjil kita menghancurkan<br />

dasar wibawa Singamangaraja dengan menyebarkan ajaran injil sehingga ia marah<br />

dan memusuhi kita. Dari segi itu penginjil kita memang memikul tanggung jawab


atas perang itu. Selain itu <strong>di</strong>beritakan bahwa pasukan bantuan Kristen bertindak<br />

secara bengis dan keji yang menunjukkan bahwa tidak ada pun nilai Kristen pada<br />

orang-orang Silindung itu. Dalam hal itu perlu kita jawab bahwa memang benar<br />

bahwa orang Silindung yang Kristen adalah teman setia Belanda, dan bahwa<br />

pasukan bantuan mereka berperang bersama pasukan Belanda. Memang benar<br />

bahwa mereka <strong>di</strong>perintahkan Belanda untuk membakar beberapa kampung. [195]<br />

Kalau dalam perang memang ada pertumpahan darah, hal itu perlu <strong>di</strong>maklumi,<br />

<strong>di</strong> Eropa pun halnya demikian, namun para penginjil selalu berusaha agar tidak ada<br />

pertumpahan darah yang berlebihan, dan supaya manusia maupun harta benda<br />

sedapat-dapatnya <strong>di</strong>lindungi. Hal tersebut <strong>di</strong>utamakan oleh para zendeling supaya<br />

para musuh pun bisa melihat niat baiknya. Tidak ada seorang tahanan pun yang<br />

<strong>di</strong>bunuh, melainkan semua <strong>di</strong>lepaskan setelah sanak saudaranya datang membayar<br />

tebusannya.<br />

Pihak Belanda sekarang sudah sangat maju dan tampaknya seolah-olah mereka<br />

hendak menaklukkan seluruh Toba sampai pada pantai Danau Toba. Hal itu<br />

memang sangat penting demi mengukuhkan kekuasaan mereka <strong>di</strong> Sibolga dan<br />

Deli. Menurut berita terakhir selain Bahal Batu, Butar dan Lobu Siregar kini Sianjur,<br />

Pintu Bai dan Lintong ni Huta sudah dapat <strong>di</strong>taklukkan. Suatu hal yang sangat<br />

menguntungkan bagi zen<strong>di</strong>ng kita adalah bahwa baik Residen Sibolga maupun<br />

Gubernur Pantai Barat Sumatra adalah orang yang mengenal zen<strong>di</strong>ng kita secara<br />

langsung dan selalu bersikap ramah terhadap kita.<br />

Berikut ini surat penginjil Metzler dari Bahal Batu, yang beberapa bulan yang lalu<br />

membawa istrinya yang masih muda ke pos zen<strong>di</strong>ng. Surat yang <strong>di</strong>kirim pada bulan<br />

Maret berbunyi sebagai berikut:<br />

Pada saat saya menulis surat terakhir saya orang Bahal Batu masih bersikap<br />

baik setelah kedatangan istri saya. Namun sikapnya berubah ketika harapan<br />

mereka akan mendapatkan uang dan busana tidak terpenuhi. Hal itu membuat<br />

kami cemas sekaligus se<strong>di</strong>h. Banyak yang dulu mengha<strong>di</strong>ri misa kini tidak datang<br />

lagi. Para raja yang paling parah karena baju ha<strong>di</strong>ah istri saya ternyata tidak cukup<br />

bagus bagi mereka, dan yang selalu minta uang saja. Malahan Portaon Angin,<br />

kepala raja, sampai melarang kami mengambil air dan kayu bakar, membeli beras,<br />

susu, dsb. [196] yang tentu sangat merepotkan kami. Selain itu saya juga sakit<br />

dan tidak bisa keluar rumah setelah saya mengalami kecelakaan ketika sedang<br />

bertukang. Waktu itu penginjil dari Silindung datang untuk mencari pos buat<br />

penginjil Püse <strong>di</strong> Butar. Walaupun orang Butar minta supaya kami datang mereka<br />

menyambut kami dengan tidak ramah dan malahan menembaki kami sehingga<br />

upaya itu gagal. Tetapi orang dari Lobu Siregar sudah mendesak agar penginjil


Püse <strong>di</strong>tempatkan <strong>di</strong> situ sehingga hal itu langsung <strong>di</strong>konfirmasikan. Lalu para<br />

penginjil dari Silindung memanggil Portaon Angin bertanya mengapa ia<br />

menunjukkan sikap yang begitu buruk, dan bila sikapnya tidak berubah maka pos<br />

zen<strong>di</strong>ng <strong>di</strong>tarik kembali dan hanya seorang guru sekolah <strong>di</strong>tempatkan <strong>di</strong><br />

kampungnya. Mendengar ini ia menyesal dan meminta maaf.<br />

Hari berikut kami ke Silindung, dan hanya Püse yang tinggal <strong>di</strong> Bahal Batu.<br />

Pedoman kami untuk hari ini adalah Keja<strong>di</strong>an 45:5 “Jangan takut atau menyesali<br />

<strong>di</strong>rimu karena kalian telah menjual saya. Sebenarnya Allah sen<strong>di</strong>ri yang membawa<br />

saya ke sini mendahului kalian untuk menyelamatkan banyak orang.” Di Silindung<br />

kami berada selama sekitar enam minggu, dan keadaan kesehatan saya pulih<br />

sepenuhnya. Kami sangat berterima kasih atas kasih sayang saudara kami <strong>di</strong> sana.<br />

Kepergian kami ternyata berdampak baik pada Portaon Angin dan raja lainnya.<br />

Mereka sering menulis surat dan minta supaya kami kembali.<br />

Tanggal 19 November tahun yang lalu kami kembali ke Bahal Batu dan <strong>di</strong>sambut<br />

hangat oleh saudara Püse. Portaon Angin beserta anak laki-lakinya dan raja-raja<br />

lain menyalami kami dan berjanji akan bersikap lebih ramah terhadap kami.<br />

[197] Sampai sekarang raja tua itu menepati janjinya dan setiap hari Minggu ia<br />

datang mengha<strong>di</strong>ri misa bersama dengan keluarganya.<br />

Hari kedua setelah kedatangan kami <strong>di</strong>kejutkan dengan kisah <strong>di</strong> bawah ini:<br />

Seorang anak raja yang saya berikan baju minta supaya <strong>di</strong>beri celana. Karena saya<br />

tidak punya celana yang bisa saya berikan padanya maka ia menyuluti atap rumah<br />

kami. Kami sedang makan siang ketika kami mendengar jeritan anak kecil dan<br />

salah satu <strong>di</strong> antara anak buah kami memanggil kami. Bersama dengan bantuan<br />

orang kampung kami naik ke atap. Püse dan istri saya membawa air cuci pakaian<br />

dan anak-anak lain membawa air dari sawah. Dengan bantuan Tuhan Allah kami<br />

berhasil memadamkan api walaupun angin bertiup kencang dari timur. Pelaku yang<br />

melarikan <strong>di</strong>ri <strong>di</strong>tangkap dan para raja mau langsung memotong orang itu. Atas<br />

permohonan kami <strong>di</strong>a tidak <strong>di</strong>bunuh tetapi <strong>di</strong>denda seekor babi yang mereka<br />

makan bersama pada malam hari. Pada kesempatan itu mereka bersumpah akan<br />

mendenda barang siapa yang hendak berbuat jahat pada kami. Tanpa bantuan<br />

Tuhan rumah kami sekarang tinggal abu saja.<br />

Setelah kami bekerja dengan tenang selama beberapa minggu musuh kita yang<br />

jahat bergerak lagi. Kami <strong>di</strong>kabari Tuan Residen adanya 40 ulubalang (laskar) asal<br />

Aceh dari Singkel menuju ke sini, dan supaya kami waspada. Beberapa minggu<br />

yang lalu raja imam Batak datang ke Lobu Siregar melarang penduduk menampung<br />

para zendeling dan menyuruh mereka mengusir kami dari Bahal Batu dan dari


Silindung karena masa kekafiran akan berakhir kalau mereka menja<strong>di</strong> Kristen.<br />

Mulai saat itu orang Lobu Siregar menunjukkan sikap bermusuhan.<br />

Kala itu Singamangaraja [198] telah <strong>di</strong>am-<strong>di</strong>am menjalin perjanjian dengan raja<br />

Lobu Siregar yang memanggil ulubalang, dan sekarang nyata bahwa <strong>di</strong>alah biang<br />

kela<strong>di</strong> kerusuhan.<br />

Desas-desus makin menja<strong>di</strong>. Tanggal 17 Desember kami menerima surat dari<br />

Silindung bahwa para ulubalang sudah tiba <strong>di</strong> Bangkara yang berjarak hanya satu<br />

hari jalan kaki dari sini, dan kami <strong>di</strong>suruh untuk segera berangkat. Maka kami<br />

berangkat setelah membungkus pakaian dan pos zen<strong>di</strong>ng kami serahkan kepada<br />

raja tua. Sedang <strong>di</strong> perjalanan kami dapat surat dari Silindung supaya untuk<br />

sementara kami tetap tinggal <strong>di</strong> Bahal Batu. Raja tua itu senang bahwa kami<br />

kembali dan pada hari-hari mendatang terpaksa kami ganti-gantian jaga pada<br />

malam hari. Kian hari kian mencemaskan desas-desus yang kami dengar.<br />

Lalu datanglah penginjil Nommensen, Püse, Simoneit, dan Israel. Sebagian<br />

besar Silindung berjanji untuk membela para penginjil dan melawan jika <strong>di</strong>serang.<br />

Para raja Bahal Batu pun menyatakan akan membela kami, dan Portaon Angin<br />

malahan mengatakan musuh terlebih dahulu harus membunuh kalau mau<br />

mengancam kami. Simoneit dan Israel tinggal <strong>di</strong> sini untuk membantu kami kalau-<br />

kalau pos <strong>di</strong>serang musuh.<br />

Minggu-minggu yang akan datang penuh dengan kecemasan dan keresahan.<br />

Namun dalam kesengsaraan ini berkat Tuhan kami menikmati suasana hangat<br />

saling mendukung satu sama lain<br />

Sementara ini dan khusus untuk orang Kristen dan raja yang berpihak pada<br />

zen<strong>di</strong>ng pemerintah menye<strong>di</strong>akan 50 be<strong>di</strong>l beserta amunisi serta menjamin adanya<br />

bantuan tentara karena pemerintah khawatir akan timbul musibah sebagaimana<br />

yang terja<strong>di</strong> tahun 1859 <strong>di</strong> Kalimantan. Penginjil Nommensen menyuruh orang<br />

bertanya pada raja imam Singamangaraja mengapa ia memusuhi para penginjil,<br />

namun ia menyangkal memiliki sikap bermusuhan, demikian juga raja yang<br />

memanggil ulubalang itu.<br />

[199] Namun demikian tetap ada surat dan berita dari Danau Toba ke Silindung<br />

dan Bahal Batu menyuruh kami untuk pergi sementara Singamangaraja menghasut<br />

orang untuk memusuhi kami.<br />

Di bawah rasa kecemasan tetapi percaya akan pertolongan Tuhan kami<br />

merayakan Natal dan memasuki Tahun Baru. Delapan hari setelah hari Tahun Baru<br />

para penginjil meninggalkan kami. Desas-desus yang mencemaskan itu masih tetap<br />

tidak reda. Dari Barus pun datang berita perkara itu ke Sibolga sehingga Residen <strong>di</strong><br />

Sibolga menyuruh beberapa raja untuk menyeli<strong>di</strong>kinya. Awal Februari datang 80


tentara Belanda dengan seorang Komisaris (Kontrolir) untuk menyeli<strong>di</strong>ki lebih<br />

lanjut perkara itu. Selama tentara berada <strong>di</strong> Silindung suasana menja<strong>di</strong> tenang.<br />

Lalu datang surat dari Singamangaraja. Katanya kalau tentara pergi <strong>di</strong>a akan<br />

datang mengusir kami bersama dengan raja dari Bahal Batu. Raja-raja lain dari<br />

arah pegunungan secara umum memberitahu <strong>di</strong> pasar-pasar akan menyembilih<br />

kami. Lalu Residen mengirim surat kepada Singamangaraja menanyakan apa<br />

tujuan <strong>di</strong>a yang sebenarnya. Dia membalas <strong>di</strong>a tidak keberatan dengan keberadaan<br />

zen<strong>di</strong>ng, <strong>di</strong>a hanya ingin agar pasukan Belanda kembali, dan setelah itu ia berse<strong>di</strong>a<br />

untuk datang dan berbicara dengan kami. Surat balasan Residen <strong>di</strong>robeknya dan<br />

mau memakan pengantar surat itu, namun ada seorang raja menghalanginya.<br />

Tanggal 15 Februari [1878] pasukan tiba <strong>di</strong> Bahal Batu bersama dengan<br />

penginjil dari Silindung. Selama dua hari keadaan tenang. Pada malam hari tanggal<br />

16 Februari musuh menembaki kamp tentara dan meninggalkan tiga surat dari<br />

buluh yang mengumumkan perang terhadap kami dan bahwa mereka tidak tinggal<br />

<strong>di</strong>am sampai kepala-kepala Tuan Belanda itu ada <strong>di</strong> tangan mereka. Pada surat<br />

bambu itu mereka ikat ubi rambat yang <strong>di</strong>tusuk sebagai tanda akan menusuk<br />

serdadu dan tuan-tuan dan memakannya seperti ubi. [200] Pada pagi hari tanggal<br />

17 Tuan Kontrolir menjelaskan bahwa saya harus segera membawa istri saya ke<br />

Silindung karena <strong>di</strong>a tidak bisa tinggal <strong>di</strong> sini kalau perang sudah pecah. Raja tua<br />

hendak menghalanginya tetapi Kontrolir memerintah seorang perwira berpangkat<br />

letnan untuk mengawal kami sampai pertengahan jalan ke Silindung. Pada jam<br />

10:00 kami berangkat dengan saudara Johannsen dan menjelang malam hari kami<br />

tiba, dalam hujan deras, <strong>di</strong> Pansur na Pitu.<br />

Pada hari Selasa tanggal 19 saya sen<strong>di</strong>rian kembali ke Bahal Batu. Tuan-tuan<br />

sudah tinggal <strong>di</strong> kamp dan mendesak kami agar meninggalkan pos zen<strong>di</strong>ngnya.<br />

Pada tanggal 20 Tuan Kontrolir menyuruh kami meninggalkan pos zen<strong>di</strong>ng.<br />

Penginjil lain pun mendesak agar saya pergi dari sana sehingga saya kembali ke<br />

Silindung. Atas keputusan para penginjil dan atas permintaan saudara Simoneit<br />

yang baik hati maka saya menempati pos Simorangkir hingga penginjil Simoneit<br />

kembali dari Toba. Dia secara rela memutuskan mendampingi penginjil Püse hingga<br />

perang selesai dan saya bisa kembali ke Bahal Batu bersama istri saya.<br />

Sementara itu pertempuran <strong>di</strong> Bahal Batu telah <strong>di</strong>mulai. Setiap hari musuh<br />

datang, kadang-kadang ribuan orang, tetapi setiap kali hanya sebagian dari<br />

ulubalang ikut berperang dan selalu serangan mereka dapat <strong>di</strong>tangkis dengan<br />

berjatuhan korban <strong>di</strong> pihak mereka. Kebanyakan musuh berasal dari daerah <strong>di</strong><br />

sekitar Danau Toba, dari Butar dan Lobu Siregar, <strong>di</strong>gerakkan oleh Singamangaraja,<br />

seorang demagog yang menghasut dan mencelakakan rakyatnya. Seorang yang


tertangkap dalam keadaan cedera langsung mau <strong>di</strong>bunuh dan <strong>di</strong>makan oleh<br />

penduduk Bahal Batu, tetapi mereka <strong>di</strong>halangi oleh Simoneit dan Püse dan<br />

beberapa orang serdadu. Orang itu <strong>di</strong>bawa ke pos zen<strong>di</strong>ng dan kemu<strong>di</strong>an ke huta<br />

[kampung] Portaon Angin lalu ia <strong>di</strong>tebus oleh keluarga dengan sekitar 300 Gulden.<br />

Setelah kami tinggalkan pos zen<strong>di</strong>ng <strong>di</strong>jaga oleh orang Bahal Batu.<br />

Beberapa kali peluru masuk ke rumah pada malam hari, dua kali musuh<br />

berusaha untuk membakarnya, namun cukup cepat <strong>di</strong>ketahui dan para pelaku<br />

<strong>di</strong>usir. Raja Angin Solobean menawarkan 300 dolar Spanyol yang kira-kira sama<br />

dengan 900 Gulden bagi barang siapa yang berhasil membakar pos zen<strong>di</strong>ng. Hal itu<br />

<strong>di</strong>lakukan karena balas dendam untuk keponakannya yang gugur <strong>di</strong> Bahal Batu.<br />

Berkat pertolongan Allah pos zen<strong>di</strong>ng hingga kini selamat, dan <strong>di</strong> Bahal Batu belum<br />

ada seorang serdadu pun yang gugur, yang cedera pun belum ada.<br />

Pada 14 Maret Bapak Residen datang sen<strong>di</strong>ri dari Sibolga bersama 250 tentara<br />

dan Kolonel Engels yang telah membuktikan keberaniannya <strong>di</strong> Aceh. Tanggal 15<br />

Silindung <strong>di</strong>nyatakan menja<strong>di</strong> bagian dari wilayah Hin<strong>di</strong>a-Belanda, dan pada tanggal<br />

16 para Tuan beserta dengan pasukan berangkat ke Bahal Batu. Sekali lagi Tuan<br />

Residen berusaha untuk, bersama dengan para penginjil, meyakinkan musuh untuk<br />

menyerah, akan tetapi usaha tersebut <strong>di</strong>tolak. Setelah itu Bahal Batu pun<br />

<strong>di</strong>nyatakan menja<strong>di</strong> wilayah Hin<strong>di</strong>a-Belanda dan para raja harus melakukan<br />

sumpah setia. Lalu pasukan berangkat ke Butar dengan para penginjil sebagai<br />

penerjemah. Orang Butar pun <strong>di</strong>suruh menyerah bila mau selamat. Setelah<br />

penawaran itu mereka tolak maka tentara menyerbu kelima kampung dan<br />

membakarnya. Penduduknya tidak <strong>di</strong>tangkap tetapi ada beberapa orang yang mati<br />

dan cedera <strong>di</strong> antaranya. Di pihak tentara ada seorang bintara yang luka berat dan<br />

beberapa hari kemu<strong>di</strong>an meninggal <strong>di</strong> Bahal Batu. Kampung-kampung lain <strong>di</strong> Butar<br />

lalu menyerah; 11 raja <strong>di</strong>tangkap dan <strong>di</strong>bawa ke Bahal Batu, dan masing-masing<br />

<strong>di</strong>wajibkan membayar pampasan perang sebanyak 200–300 dolar Spanyol atau<br />

600–900 Gulden. Kini mereka sudah <strong>di</strong>lepaskan. Atas permintaan para penginjil<br />

maka Butar <strong>di</strong>perlakukan dengan lunak sehingga tidak terlalu banyak kampung<br />

yang <strong>di</strong>bakar. Sayang sekali raja yang dulu pernah menyelamatkan jiwa para<br />

penginjil yang <strong>di</strong>tahan <strong>di</strong> Butar kini menja<strong>di</strong> pemimpin musuh.<br />

Atas permintaan penginjil [202] kampungnya tidak <strong>di</strong>bakar, hal mana semoga<br />

akan membuat <strong>di</strong>a merenungkan peristiwa yang berlalu.<br />

Semua perun<strong>di</strong>ngan dengan Lobu Siregar gagal, dan tentara yang masuk ke situ<br />

<strong>di</strong>serang. Lima kampung <strong>di</strong>bakar kecuali kampung seorang raja yang bersikap<br />

netral. Raja-raja yang lain semua harus membayar pampasan perang. Semoga<br />

Tuhan melimpahkan berkatNya kepada rakyat supaya mereka mau menyerah saja


dan tidak menuruti pemimpinnya yang hanya mencelakakan mereka. Bagaimana<br />

pun mereka akan kalah.<br />

Barangkali seluruh Toba sekarang bisa menja<strong>di</strong> wilayah Hin<strong>di</strong>a-Belanda. Residen<br />

telah memperoleh izin untuk aneksasi dari Batavia. Bagaimana pun ja<strong>di</strong>nya,<br />

zen<strong>di</strong>ng Toba kini berada dalam krisis berat, dan bagaimana akibat perang yang<br />

tragis ini untuk zen<strong>di</strong>ng kita masih belum <strong>di</strong>ketahui. Semoga Tuhan senantiasa<br />

menolong dan memberkati kita demi berhasilnya pembangunan kerajaannya.<br />

Barangkali seluruh Toba sekarang bisa menja<strong>di</strong> wilayah Hin<strong>di</strong>a-Belanda. Residen<br />

telah memperoleh izin untuk aneksasi dari Batavia. Bagaimana pun ja<strong>di</strong>nya,<br />

zen<strong>di</strong>ng Toba kini berada dalam krisis berat, dan bagaimana akibat perang yang<br />

tragis ini untuk zen<strong>di</strong>ng kita masih belum <strong>di</strong>ketahui. Semoga Tuhan senantiasa<br />

menolong dan memberkati kita demi berhasilnya pembangunan kerajaannya.<br />

w<br />

BRMG 1878 (12): 361-381<br />

Laporan Terakhir tentang <strong>Perang</strong> <strong>di</strong> Toba<br />

oleh I.L. Nommensen<br />

Sepanjang tahun ini kita sudah berulang kali menyajikan berita tentang perang<br />

<strong>di</strong> Toba, tetapi baru sekarang kami bisa mencetak laporan lengkap oleh saudara<br />

kita Nommensen yang dengan mata sen<strong>di</strong>ri melihat peristiwa yang terja<strong>di</strong>. <strong>Perang</strong><br />

ini dan perubahan yang terja<strong>di</strong> akibat perang itu betapa penting sehingga <strong>di</strong>rasakan<br />

perlu untuk menulis ulang sejarah peristiwa itu sekali lagi walaupun sebagian yang<br />

sudah pernah <strong>di</strong>tulis sebelumnya <strong>di</strong>ulang lagi. Penulisan sejarah perang dari<br />

penginjil Nommensen yang sesuai dengan fakta dapat kiranya membantah segala<br />

tuduhan yang <strong>di</strong>lontarkan kepada pihak zen<strong>di</strong>ng Kristen Batak. Para penginjil kita<br />

tidak perlu merasa malu atas peranan mereka dalam perkara ini.<br />

Di tengah-tengah kemelut perang mereka menja<strong>di</strong> malaikat perdamaian. Kami<br />

yakin bahwa perang itu akan bermanfaat bagi mereka untuk membuka jalan bagi<br />

injil dan memenangkan hati orang. Untuk memahami kisah berikut tentang<br />

berlangsungnya perang kiranya berguna bila pembaca melihat peta Toba yang<br />

terdapat <strong>di</strong> e<strong>di</strong>si ke-8 tahun ini


Berikut ini surat Nommensen:<br />

[362] Badai yang mulai melanda kami segera sesudah konferensi terakhir<br />

dengan segala kekacauan dengan bantuan Tuhan kini sudah berlalu. Keadaan <strong>di</strong><br />

sini berubah total, tetapi sekarang akhirnya saya punya waktu untuk menceritakan<br />

kembali rangkaian peristiwa tahun yang lalu.<br />

Segera sesudah konferensi Juni 1877 musim pesta bermula bagi orang Batak<br />

yang jatuh bertepatan dengan mulai musim tanam yang baru, dari 1 Juli hingga<br />

bulan September. Itulah musim pesta. Banyak marga mengadakan pesta horja;<br />

yang langsung memengaruhi kami ialah pesta dua marga yang tinggal dekat sini<br />

sehingga banyak anggota paroki kami mempunyai hubungan keluarga dengan<br />

mereka. Pada malam hari mereka memukul gendang, meniup serunai, makan dan<br />

minum. Pada siang hari mereka membunyikan be<strong>di</strong>l dan menari. Kemeriahan itu<br />

tentu menarik perhatian orang, terutama muda-mu<strong>di</strong>. Beberapa muda-mu<strong>di</strong>, dan<br />

juga orang-orang yang mempunyai talian saudara dengan pihak pelaksana pesta,<br />

tergoda mengha<strong>di</strong>ri pesta itu. Hal mana yang tiap kali <strong>di</strong>sambut kaum kafir sebagai<br />

kemenangan mereka.<br />

Tahun yang lalu paroki saya menghadapi banyak percobaan. Karena pergaulan<br />

laki-laki [umat paroki Nommensen] dengan tentara maka mereka banyak<br />

<strong>di</strong>hadapkan percobaan karena pekerjaan yang mereka lakukan umumnya sebagai<br />

kuli, dan, karena mereka lebih mengetahui keadaan setempat, mereka juga<br />

menja<strong>di</strong> calo untuk perbekalan [tentara] sehingga ada <strong>di</strong> antara mereka yang<br />

imannya menja<strong>di</strong> rusak. Namun kesetiaan penggembala Tuhan kita yang<br />

menghibur kita. Sebabnya tahun yang lalu banyak orang jatuh sakit, hal mana<br />

<strong>di</strong>lakukan Tuhan untuk menghukum dan menegakkan <strong>di</strong>siplin <strong>di</strong> antara umatnya.<br />

Namun tahun yang lalu juga <strong>di</strong>anugerahi rahmat Allah. Banyak orang meninggal<br />

karena {5} tifus dan <strong>di</strong>sentri. Hampir semua orang Batak yang berjalan dari<br />

Silindung ke Bahal Batu kena salah satu dari penyakit itu.<br />

[363] Banyak orang yang terpaksa <strong>di</strong>tandu pulang, lain orang membawa<br />

kumannya ke Silindung menularkan penyakit pada keluarganya. Di antara orang<br />

yang meninggal terdapat Nathanael dan Benjamin Kepergian mereka sangat<br />

menye<strong>di</strong>hkan saya. Nathanael termasuk salah satu orang yang <strong>di</strong>baptis pada 14<br />

Oktober 1866.<br />

[Berikut ini laporan saya tentang perang.] Menurut saya dalam sejarah Hin<strong>di</strong>a-<br />

Belanda belum pernah ada ekspe<strong>di</strong>si militer yang begitu cepat dan begitu berhasil<br />

seperti Ekspe<strong>di</strong>si Toba, dan saya yakin pemerintah tidak akan melarang usaha kita<br />

untuk secepatnya menetap <strong>di</strong> Toba. Untuk sementara waktu para penginjil terpaksa<br />

meninggalkan Bahal Batu karena Bahal Batu menurut Gubernur [Sumatra] tidak


termasuk wilayah Silindung. Namun sekarang sudah terbukti sehingga Gubernur<br />

tidak ada pilihan lain, ia harus mempercayainya. Dulu penginjil Püse hanya minta<br />

izin untuk bertugas <strong>di</strong> Pangaloan sementara penginjil Metzler hanya ada surat izin<br />

untuk menetap <strong>di</strong> Hin<strong>di</strong>a-Belanda. Keduanya sekarang sudah minta izin untuk<br />

bertugas <strong>di</strong> Tapian Na Uli sehingga tidak lama lagi Püse bisa kembali ke situ.<br />

Penginjil Metzler mungkin tidak akan kembali ke sana karena keadaan kesehatan<br />

fisik maupun mental.<br />

Sekarang kita kembali pada cerita perang: Pada akhir musim gugur [akhir<br />

November–pertengahan Desember] 1877 terdengar bermacam-macam desas-<br />

desus. Orang Batak yang kembali dari pesisir membawa kabar bahwa Raja Stambul<br />

(Raja Konstantinopel) bersama dengan rakyatnya akan datang ke Sumatra untuk<br />

bersekutu dengan orang Aceh kalau Kerajaan Ottoman tidak lagi bisa bertahan<br />

menghadapi Rusia. Harinya bendera hijau nabi berkibar sudah <strong>di</strong>tetapkan dan umat<br />

Islam akan bangkit dan membunuh semua orang kafir dan Kristen. Setiap hari ada<br />

kabar angin baru. Terdengar orang Belanda tidak lagi mempunyai tentara dan akan<br />

kalah dalam perang Aceh.<br />

[364] Khotbah kami tidak <strong>di</strong>percayai oleh kaum kafir, mereka percaya pada<br />

cerita bohong itu dan saling menakuti satu sama lain. Bahkan beberapa orang<br />

Kristen meminta nasihat kepada kami. Kabar bahwa ada 40 orang Aceh masuk ke<br />

Toba membuat keadaan menja<strong>di</strong> lebih parah lagi. Masyarakat menja<strong>di</strong> makin resah<br />

dan mulai menggali harta bendanya. Lalu datang utusan Singamangaraja ke<br />

Silindung mengumumkan <strong>di</strong> pasar-pasar bahwa Singamangaraja akan datang<br />

bersama dengan orang Aceh dan membunuh orang Eropa dan orang Kristen. Kaum<br />

kafir tidak perlu khawatir asal bersikap netral. Raja yang beragama Kristen<br />

berun<strong>di</strong>ng dan mempertimbangkan menyerang utusan Singamangaraja dan<br />

membawanya ke Sibolga. Mereka bertanya kepada kami apakah pemerintah akan<br />

membantu mereka sekiranya mereka <strong>di</strong>serang oleh kaum kafir Silindung. Tentu<br />

saja kami tidak bisa menjaminnya. Waktu mereka berun<strong>di</strong>ng utusan<br />

Singamangaraja ternyata sudah pergi, barangkali karena rencana mereka tidak<br />

berhasil atau karena mereka mendengar para raja Kristen hendak menangkapnya.<br />

Beberapa raja memperlihatkan kepada mereka keuntungan yang mereka peroleh<br />

dari adanya para penginjil: 1) tiada lagi Bonjol (Melayu) yang datang mengganggu<br />

sejak kedatangan para penginjil, 2) para penginjil hanya berbuat baik seperti<br />

memberi obat, dan 3) sangat tolol kalau Singamangaraja sekarang mau bersekutu<br />

dengan mereka yang membunuh neneknya. Mereka juga mengatakan akan<br />

menjaga keselamatan para penginjil. Setelah utusan Singamangaraja kembali


mereka membeberkan berita bahwa orang Bonjol akan menyerang lagi, dan bahwa<br />

orang Silindung sudah bersekutu dengan orang Bonjol. [365]<br />

Maka terja<strong>di</strong>lah bahwa seorang Silindung bernama Morsait Hujur berjalan ke<br />

Toba untuk menjemput istri dan anaknya. Setiba <strong>di</strong> Naga Saribu mereka <strong>di</strong>tangkap<br />

dan <strong>di</strong>pasung karena sebuah perkara lama, demikian alasannya. Setelah keja<strong>di</strong>an<br />

itu tidak banyak orang Silindung berani berjalan ke Toba; orang Toba juga masih<br />

marah pada orang Silindung karena desas-desus ta<strong>di</strong>. Akibatnya makin banyak<br />

kabar angin yang tidak jelas atau <strong>di</strong>lebih-lebihkan perihal tindak-tanduk orang Aceh<br />

<strong>di</strong> Toba yang masih tetap ada <strong>di</strong> Bangkara dan <strong>di</strong> Muara. Beberapa orang kelahiran<br />

Toba yang menetap <strong>di</strong> Silindung membawa berita bahwa orang Aceh akan ke<br />

Silindung dulu, namun lain orang mengatakan mereka akan ke Samosir dulu.<br />

Dalam keadaan seperti itu kami sen<strong>di</strong>ri tidak mungkin ke sana dan kami juga tidak<br />

berani menyuruh orang Kristen dari Silindung ke Toba karena menurut adat Batak<br />

kami yang harus menanggung mereka hal mana tidak mungkin kami lakukan. Dari<br />

Barus dan Singkel <strong>di</strong>konfirmasi memang ada 40 orang Aceh yang berangkat ke<br />

Toba. Seorang raja <strong>di</strong> Silindung mengkonfirmasikan kedatangan raja-raja dari<br />

Padang Bolak ke Huta Tinggi, dan bahwa raja-raja <strong>di</strong> Huta Tinggi kembali dengan<br />

mereka ke Padang Bolak untuk merekrut pasukan bantuan. Hari keberangkatannya<br />

ke Toba juga sudah <strong>di</strong>ketahui, dan memang mereka berangkat pada hari itu ke<br />

Toba, tetapi tidak lewat Silindung melainkan melalui Sipahutar ke Butar lalu ke<br />

Huta Tinggi karena sudah ada serdadu <strong>di</strong> sekitar Silindung<br />

Keresahan makin menja<strong>di</strong> dan kami tidak sanggup untuk mengetahui keadaan<br />

yang sebenarnya karena tidak ada yang berani pergi ke Toba. Semua orang siap<br />

siaga dengan memegang senjata, dan penginjil <strong>di</strong> Bahal Batu saking <strong>di</strong>takuti oleh<br />

orang yang datang dari Toba sehingga mereka percaya bahwa pada malam itu juga<br />

orang Aceh dan sekutunya akan datang.<br />

[366] Surat dengan berita ta<strong>di</strong> tiba <strong>di</strong> sini pada jam 1:30 malam. Pada keesokan<br />

hari bersama dengan penginjil Simoneit yang sedang ada <strong>di</strong> sini, kami berangkat ke<br />

Bahal Batu naik kuda. Dalam perjalanan kami bertemu dengan Israel yang juga<br />

ikut dengan kami. Setiba <strong>di</strong> Bahal Batu kami mendapatkan penduduk kampung<br />

duduk <strong>di</strong> luar kampungnya dengan membawa lembing dan be<strong>di</strong>l. Setiba <strong>di</strong> pos<br />

zen<strong>di</strong>ng datanglah Partaon Angin yang sudah tua itu dan kami memberitahu bahwa<br />

kami datang untuk menjemput Saudari Metzler sementara Penginjil Simoneit dan<br />

Israel tetap <strong>di</strong> situ dengan penginjil Püse. Namun orang tua yang cerdas itu<br />

menjawab: “Lebih baik aku mati <strong>di</strong>bunuh daripada saya membiarkan Saudari<br />

Metzler pergi karena beliaulah jiwa kami; kalau ia pergi maka seluruh isi Bahal Batu<br />

akan pergi pula. Biarkan saja <strong>di</strong>a <strong>di</strong> sini bersama suaminya. Mereka tidak perlu


khawatir, kami akan melindungi mereka. Selama Saudari Metzler <strong>di</strong> sini maka Bahal<br />

Batu tetap akan ada. Dari pembicaraan selanjutnya tampak jelas bahwa <strong>di</strong>a hanya<br />

ingin memanfaatkan keberadaan Saudari Metzler. Dalam pikirannya, selama masih<br />

ada perempuan Eropa <strong>di</strong> sini mereka pasti akan berusaha agar Bahal Batu selamat,<br />

kalau <strong>di</strong>a pergi mereka tidak peduli.<br />

Sebentar kemu<strong>di</strong>an ia berkata lagi: “Laki-laki itu seperti burung yang tidak bisa<br />

<strong>di</strong>jaga, pada malam hari mereka pergi.” – Walaupun demikian cara pikirannya kami<br />

tetap menasihatkan kedua saudara Metzler agar tetap <strong>di</strong> Bahal Batu karena jelas<br />

bahwa orang itu akan sangat keberatan kalau mereka pergi, dan juga karena kami<br />

percaya keadaan masih agak aman.<br />

Namun demikian desas-desus tetap ada dan ketidakpastian sangat meresahkan<br />

penduduk. Sebagian besar orang kafir memutuskan untuk bersikap netral dan<br />

beberapa <strong>di</strong> antara mengatakan [367] akan berpihak pada pihak mana yang<br />

menang, dan kalau perlu masuk Islam asal mereka dan hartanya selamat.<br />

Hal mana, demikian penjelasannya, juga <strong>di</strong>lakukan oleh Mangkali Bonar dari<br />

Sigompulan pada masa perang Padri dan ternyata ia menja<strong>di</strong> kaya dan terkenal.<br />

Pendapat yang sedemikian menja<strong>di</strong> makin populer apalagi karena orang-orang tua<br />

masih mengingat cerita orang tuanya bahwa orang Batak bersaudara dengan, dan<br />

pernah membayar upeti kepada Aceh dan . Sampai sekarang pun orang masih<br />

memanjatkan doa kepada Soripada <strong>di</strong> Anse. Maka dengan demikian mereka sudah<br />

membiasakan <strong>di</strong>ri bakalan berada <strong>di</strong> bawah kekuasaan Aceh. Waktu itu pemerintah<br />

begitu baik hati untuk mengirim 50 be<strong>di</strong>l lengkap dengan amunisi bagi umat Kristen<br />

supaya mereka bisa membela <strong>di</strong>ri kalau <strong>di</strong>serang.<br />

Minggu demi minggu berlalu namun keadaan tidak membaik juga. Lalu tiba<br />

berita bahwa beberapa utusan Kontrolir Asahan dalam perjalanan ke sini tewas<br />

<strong>di</strong>bunuh <strong>di</strong> Huta ni Tingkir, berjarak hanya satu hari berjalan kaki dari Bahal Batu.<br />

Peristiwa itu dan hubungan antara Padang Bolak dan Huta Tinggi Simamora<br />

menunjuk pada rencana Aceh yang lebih luas. Lagi pula kelompok 40 orang Aceh<br />

ternyata <strong>di</strong>pimpin oleh Willem Daut, anak seorang perempuan Eropa, dan Said<br />

Muhamed, pemberontak dan Muslim fanatik, yang dulu sudah pernah mengancam<br />

Singkel.<br />

Oleh sebab itu maka kami merasakan perlu untuk meminta agar pemerintah<br />

menunjukkan kekuatan militernya. Pemerintah yang telah mewaspadai gerombolan<br />

itu dari Barus dan Singkil, dan sama dengan kami tidak menginginkan orang Aceh<br />

menetap <strong>di</strong> Toba, ternyata sudah mengirim pasukannya. Pasukan pertama <strong>di</strong><br />

bawah pimpinan Kapten Scheltens bersama dengan Kontrolir Hoevel sudah<br />

berangkat pada 1 Februari ketika permintaan [untuk mengirim tentara] kami


sampaikan dari sini. Pada tanggal 6 Februari sekitar jam 10:00 pasukan tiba <strong>di</strong><br />

Pearaja. Kontrolir van Hoevel dan Upas [368] Bartolemy bermalam <strong>di</strong> tempat kami,<br />

laki-laki yang lain tinggal bersama tentara.<br />

Rumah <strong>di</strong> kampungnya Obaja sudah <strong>di</strong>se<strong>di</strong>akan untuk tentara dan <strong>di</strong>lengkapi<br />

dengan tikar. Kayu api <strong>di</strong>se<strong>di</strong>akan oleh anak buah Obaja. Para perwira tinggal <strong>di</strong><br />

pusat kampung <strong>di</strong> antara tentara, <strong>di</strong> rumahnya Jesaia supaya dekat tentara kalau-<br />

kalau ada sesuatu yang terja<strong>di</strong>. Soalnya ada beberapa raja yang pada acara<br />

musyawarah berbicara blak-blakan, dan raja yang lain malahan tidak mengha<strong>di</strong>ri<br />

musyawarah karena mereka pikir: Tidak ada seorang yang berhak menyuruh kami.<br />

Seusai musyawarah dan setelah upacara penaikan bendera Belanda maka tentara<br />

masuk ke Sipoholon, kampung yang letaknya dekat dengan pos zen<strong>di</strong>ng. Di situ<br />

pun <strong>di</strong>adakan musyawarah dan maksud kedatangan tentara <strong>di</strong>jelaskan kepada para<br />

raja, dan sesudah <strong>di</strong>lakukan pengamatan maka <strong>di</strong>putuskan pergi ke Bahal Batu.<br />

Waktu itu tiba surat dari Singamangaraja membalas surat Residen. Katanya <strong>di</strong>a<br />

tidak datang karena ada tentara tetapi berse<strong>di</strong>a bertemu dengan saya <strong>di</strong> Pintu Bosi<br />

dengan syarat saya tidak <strong>di</strong>temani lebih dari dua orang. Permintaannya <strong>di</strong>tolak oleh<br />

Kontrolir. Katanya karena ia sudah berjalan jauh dari Sibolga maka pantas<br />

Singamangaraja datang ke Bahal Batu. Ketika Singamangaraja menerima surat<br />

balasan Kontrolir ia hendak memakan pembawa surat itu, namun hal itu tidak<br />

mungkin karena pembawa surat itu masih semarga dengannya. Maka surat itu<br />

<strong>di</strong>robek-robek dan mereka tidak membalasnya sehingga putuslah perun<strong>di</strong>ngannya.<br />

Sementara itu tiba kabar dari Sibolga bahwa tentara <strong>di</strong>kirim ke Bahal Batu. Tidak<br />

lama kemu<strong>di</strong>an tentara naik dan sesudah beberapa hari raja-raja dari Balige<br />

membawa kabar soal perobekan surat [369] serta pengumuman perang asli Batak<br />

yang <strong>di</strong>namakan pulas.<br />

Pulas itu ter<strong>di</strong>ri dari sebuah kentang yang agak panjang yang <strong>di</strong>ukir hingga<br />

menyerupai manusia dan <strong>di</strong>tusuk dengan beberapa lembing kecil dan <strong>di</strong>sertai tiga<br />

surat bambu dengan kata-kata cercaan dan hasutan serta sebuah sumbu yang<br />

bekas <strong>di</strong>sulut. Pulas itu <strong>di</strong>gantungkan pada pintu kampung lalu terdengar beberapa<br />

kali tembakan.<br />

Hal itu terja<strong>di</strong> pada malam hari sehingga tidak jelas apakah orang yang<br />

namanya tertera pada surat ta<strong>di</strong> memang menggantungkan pengumuman perang<br />

itu ataukah sebaliknya musuh mereka yang melakukannya. Orang yang namanya<br />

tertera pada pulas itu adalah teman dari orang yang memanggil orang Aceh,<br />

namun menurut hasil penyeli<strong>di</strong>kan <strong>di</strong> kemu<strong>di</strong>an hari mereka ternyata tidak bersalah<br />

dan menja<strong>di</strong> korban tipu muslihat musuh mereka. Dengan demikian tetap tidak<br />

jelas pengumuman perang itu berasal dari pihak mana.


Beberapa hari kemu<strong>di</strong>an seorang raja dari Lobu Siregar datang dan mengatakan<br />

bahwa pada keesokan hari orang Toba akan menyerang benteng pertahanan<br />

tempat tinggalnya tentara. Sekitar 600 orang Toba datang dan sudah mulai<br />

menembak dan berteriak ketika mereka masih jauh dari benteng. Ketika mereka<br />

lebih dekat kami <strong>di</strong>hujani peluru. Ketika berada pada jarak sekitar 200m mereka<br />

menjerit secara mengerikan sambil menembak dan bertari perang; <strong>di</strong> situlah<br />

Kapten memberi aba-aba untuk mulai menembak serta meniupkan trompet yang<br />

menghasilkan bunyi yang amat hebat. Orang Batak ber<strong>di</strong>am sejenak lalu lari.<br />

Mereka berkumpul <strong>di</strong> luar jangkauan peluru <strong>di</strong> atas bukit-bukit sampai ada granat<br />

yang meledak (yang mendarat jauh <strong>di</strong> belakang mereka) yang mengakibatkan<br />

mereka mundur. Sepertinya pada hari itu tidak ada yang cedera. Pada penyerangan<br />

kedua dan ketiga [370] ada beberapa orang Toba yang cedera, dan ada juga yang<br />

mati namun jumlahnya susah <strong>di</strong>tentukan.<br />

Pada awalnya kami tinggal <strong>di</strong> pos zen<strong>di</strong>ng, juga sesudah pengumuman perang,<br />

tetapi sesudah beberapa hari kami terpaksa meninggalkan pos zen<strong>di</strong>ng dan dengan<br />

membawa harta benda kami pindah ke benteng.<br />

Sesudah Residen Boyle bersama Kolonel Engel naik ke sini bersama dengan 200<br />

pasukan lagi maka kami mulai menyerang. Yang pertama <strong>di</strong>serang adalah Butar<br />

dan orang Batak lari semua. Di pihak pasukan ada seorang yang tewas; lima<br />

kampung <strong>di</strong>bakar. Atas nasihat kami, kampung-kampung yang lain mengibarkan<br />

bendera putih dan menyerah maka kampungnya tidak <strong>di</strong>bumihanguskan. Sekitar<br />

50–60 kampung <strong>di</strong> Butar yang tidak <strong>di</strong>bakar namun raja-rajanya <strong>di</strong>tahan <strong>di</strong> Bahal<br />

Batu sampai mereka membayar denda yang <strong>di</strong>tetapkan oleh Residen Boyle.<br />

Sesudah beberapa hari Lobu Siregar <strong>di</strong>serang. Setelah bertempur selama 1½–2<br />

jam lima kampung <strong>di</strong>bakar. Kampung pertama sudah <strong>di</strong>kosongkan namun makan<br />

waktu 1 jam sebelum pasukan bisa masuk karena begitu kokoh pertahanannya.<br />

Pada hari-hari pasukan tidak melakukan penyerangan sekitar 300 kampung <strong>di</strong><br />

sekitarnya <strong>di</strong>ambil sumpah setia. Raja-rajanya datang ke Bahal Batu untuk<br />

menyatakan bahwa mereka menyerah. Mereka harus bersumpah 1) bahwa mereka<br />

tidak pernah melakukan tindakan memusuhi pemerintah, 2) mengakui kekuasaan<br />

pemerintah, 3) berjanji tidak akan memusuhi pemerintah atau rakyat yang berada<br />

<strong>di</strong> bawah kekuasaan pemerintah, dan 4) melarang orang melakukan tindakan<br />

melawan pemerintah <strong>di</strong> dalam wilayahnya. Silindung bersama Sipoholon dan Bahal<br />

Batu dan juga Pagar Sinon<strong>di</strong> bersumpah setia pada pemerintah dengan<br />

menjanjikan bahwa mereka sebagai rakyat setia akan melaksanakan perintah<br />

pemerintah dan kaki tangannya. Bagi mereka yang pernah melawan [371] tentara<br />

maka bunyi sumpah tentu berbeda.


Pada hari-hari pasukan tidak melakukan penyerangan sekitar 300 kampung <strong>di</strong><br />

sekitarnya <strong>di</strong>ambil sumpah setia. Raja-rajanya datang ke Bahal Batu untuk<br />

menyatakan bahwa mereka menyerah. Mereka harus bersumpah 1) bahwa mereka<br />

tidak pernah melakukan tindakan memusuhi pemerintah, 2) mengakui kekuasaan<br />

pemerintah, 3) berjanji tidak akan memusuhi pemerintah atau rakyat yang berada<br />

<strong>di</strong> bawah kekuasaan pemerintah, dan 4) melarang orang melakukan tindakan<br />

melawan pemerintah <strong>di</strong> dalam wilayahnya. Silindung bersama Sipoholon dan Bahal<br />

Batu dan juga Pagar Sinon<strong>di</strong> bersumpah setia pada pemerintah dengan<br />

menjanjikan bahwa mereka sebagai rakyat setia akan melaksanakan perintah<br />

pemerintah dan kaki tangannya. Bagi mereka yang pernah melawan [371] tentara<br />

maka bunyi sumpah tentu berbeda.<br />

Setelah acara sumpah setia masih ada enam kampung <strong>di</strong> Naga Saribu yang<br />

menolak untuk menyerah. Pagi-pagi keesokan hari kami berangkat dari Bahal Batu<br />

melewati ujung timur laut Butar dan tiba <strong>di</strong> Naga Saribu pada sekitar jam 11:30.<br />

Penduduk keenam kampung tidak mengadakan perlawanan karena sadar bahwa<br />

hal itu akan sia-sia. Ternyata mereka percaya bahwa tidak mungkin tentara bisa<br />

sampai ke kampungnya dalam tempo satu hari, dan <strong>di</strong> samping itu mereka juga<br />

berharap bahwa pemerintah tidak akan datang hanya gara-gara enam kampung<br />

mengingat bahwa kebanyakan kampung sudah menyerah dan membayar denda.<br />

Ketika mereka menyadari bahwa kampung-kampung lain selamat maka mereka<br />

sangat menyesal, tetapi terlambat sudah.<br />

Dengan sangat lelah kami tiba kembali <strong>di</strong> Bahal Batu pada jam 19:30. Sebagai<br />

misionaris kami memang tidak perlu memikul senjata dan perbekalan akan tetapi<br />

tugas kami tidak lebih ringan <strong>di</strong>ban<strong>di</strong>ng tugas serdadu. Pada waktu tentara istirahat<br />

– ketika pembakaran berlangsung – kami harus berjalan dari kampung ke kampung<br />

<strong>di</strong> sekitar Naga Saribu untuk mendatangi raja-raja yang sudah tunduk tetapi belum<br />

melunasi denda. Harinya panas dan kering. Pasir <strong>di</strong>terbangkan angin sehingga<br />

mata menja<strong>di</strong> perih. Menjelang malam, ketika kami masih harus menempuh jalan<br />

selama 2½ jam lagi, hawa berubah menja<strong>di</strong> <strong>di</strong>ngin lalu turun hujan <strong>di</strong>sertai<br />

halilintar dan gemuruh sehingga kami basah kuyup.<br />

Lalu ada berita dari Padang akan ada pasukan tambahan sebanyak 300 tentara<br />

dan 100 narapidana karena pemerintah bermaksud untuk maju sampai ke Danau<br />

Toba untuk mendenda mereka yang datang menyerang dari jauh. Hal itu memang<br />

perlu karena sewaktu <strong>di</strong>lakukan persiapan ekspe<strong>di</strong>si ke Toba datang pula orang<br />

Toba dari Balige, Gurgur, Si Anjur dan lain-lain tempat untuk sekali lagi menyerang<br />

Bahal Batu. Kali ini Kolonel tidak menunggui orang Batak <strong>di</strong> benteng, melainkan<br />

menyuruh pasukannya menyerang dan [372] berkubu <strong>di</strong> balik sebuah bukit


Orang Toba tidak berani mendekat karena mereka melihat bahwa <strong>di</strong> bukit<br />

sebelah utara dari kampung Partaon Angin berkumpul ratusan orang Batak yang<br />

tidak pernah terja<strong>di</strong> sebelumnya. Ketika tentara melepaskan tembakan dan<br />

mencederai seorang <strong>di</strong> antara mereka maka mereka langsung lari karena takut<br />

akan <strong>di</strong>kejar tentara dan tidak sempat untuk menyeberang sungai Aek Simokmok.<br />

Orang Bahal Batu memang mengejar orang Toba sampai ke sana dan menembak<br />

mati seorang.<br />

Sesudah semua pasukan tiba dari Sibolga maka tanggal 30 April kami berangkat<br />

ke Bangkara. Pada hari pertama kami berjalan kaki sampai ke Lintong ni Huta dan<br />

Si Hombing. Negeri itu yang ter<strong>di</strong>ri atas sekitar 70 kampung sudah bersumpah<br />

setia <strong>di</strong> Bahal Batu. Keesokan harinya kami meneruskan perjalanan ke Bangkara.<br />

Ketika kami berjarak 15 menit dari Lintong ni Huta kami bertemu dengan Ompu ni<br />

Chordopang dari Bangkara, raja yang memanggil orang Aceh. Ia berpura-pura<br />

seolah-olah menja<strong>di</strong> sahabat lama. Karena saya berjalan paling depan dan saya<br />

langsung mengenalnya maka saya melaporkannya kepada Residen. Lalu <strong>di</strong>a<br />

<strong>di</strong>tangkap. Ketika kami mendekati tebing terlihat lembah Bangkara yang indah.<br />

Pemandangan yang menakjubkan! Jalannya menurun tajam ke lembah yang<br />

terletak 550–600 meter <strong>di</strong> bawah. Ketika kami tiba <strong>di</strong> kompleks kampung yang<br />

salah satu <strong>di</strong> antaranya adalah kampungnya Singamangaraja maka setengah lusin<br />

granat <strong>di</strong>tembakkan dari atas namun jaraknya terlalu jauh sehingga tidak sampai<br />

jatuh <strong>di</strong> kampung. Lalu kami turun. Tiba <strong>di</strong> bawah, kami melihat pertahanan<br />

kampung ternyata kokoh sekali. Setiap kampung <strong>di</strong>kelilingi tembok setinggi 4<br />

meter yang terbuat dari batu besar. Tembok itu begitu kokoh dan terjal sehingga<br />

orang bisa kagum melihat kesabaran mereka membuat tembok. Di atas [373]<br />

tembok tumbuh tanaman rambat yang berduri yang tidak dapat <strong>di</strong>pegang dengan<br />

tangan telanjang.<br />

Penduduk kampung-kampung itu melawan dengan gigih dan serdadu yang<br />

berusaha memanjat tembok <strong>di</strong>lempari dengan batu sehingga jatuh berguling. Dari<br />

atas kami bisa melihat keja<strong>di</strong>an <strong>di</strong> kampung dengan sangat jelas. Ternyata mereka<br />

membela kampungnya dengan berani dan tidak ada suatu tindakan pun yang<br />

<strong>di</strong>lakukan dengan tergesa-gesa sehingga tampak jelas bahwa mereka tidak takut.<br />

Seorang serdadu tewas ketika peluru kena kepalanya, dan beberapa lagi cedera.<br />

Sekitar jam 3 sore kampung-kampung itu sudah <strong>di</strong> tangan kami. 10–12 laki-laki<br />

dan sekitar 70 perempuan jatuh ke tangan kami lalu <strong>di</strong>tawan.<br />

Tentara menempati empat dan kami bersama orang dari Silindung satu<br />

kampung. Kampung-kampung yang lain <strong>di</strong>tempati oleh mereka dari Bahal Batu,<br />

Butar, dan dari lain tempat <strong>di</strong> Toba. Laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang


<strong>di</strong>tangkap, <strong>di</strong>serahkan kepada kami. Anak-anak dan perempuan <strong>di</strong>tahan <strong>di</strong> sebuah<br />

rumah besar dan laki-laki <strong>di</strong> rumah yang satu lagi. Kami menghibur mereka dan<br />

berbuat baik kepada mereka sehingga mereka cepat menaruh kepercayaan pada<br />

kami dan mereka tenang-tenang saja dan tidak berusaha untuk melarikan <strong>di</strong>ri.<br />

Mereka <strong>di</strong>tahan selama dua hari dua malam karena Residen ingin mengetahui apa<br />

<strong>di</strong> antaranya ada istri dari raja-raja yang terkemuka. Maksudnya supaya<br />

meyakinkan para raja melalui istrinya agar mereka mau menyerah.<br />

Keesokan hari serdadu berangkat pagi-pagi sekali untuk menaklukkan kampung-<br />

kampung lainnya yang berjumlah sekitar 30-40 kampung yang langsung <strong>di</strong>bakar.<br />

Bapak Residen meminta bantuan saya untuk mendampinginya. Tugas saya untuk<br />

berbicara dengan para raja yang ingin menyerah dan untuk membawa mereka<br />

kepadanya. Namun ketika api mulai berkobar <strong>di</strong> kampung-kampung yang paling<br />

dekat maka penduduk berlari-lari kepanikan berusaha memanjat tebing bukit yang<br />

tingginya sekitar 550 meter. [374]<br />

Jerit-tangis laki-laki, perempuan, anak-anak, kakek-kakek dan nenek-nenek<br />

bergema <strong>di</strong> seluruh lembah. Lalu saya menghampiri Kapten van Berg, seorang yang<br />

<strong>di</strong>hormati dan ayah sembilan anak, dan memintanya agar jangan terlalu cepat<br />

membakar kampung supaya saya sempat berbicara dengan para raja dan<br />

meyakinkan mereka supaya menyerah dan tunduk pada Belanda. Bersama dengan<br />

beberapa orang yang kenal dengan penduduk kampung saya mengejar mereka<br />

yang memanjat tebing – hal mana berlangsung dengan sangat lambat karena<br />

banyaknya anak-anak dan orang-orang yang sudah tua. Kepala raja yang<br />

mengibarkan bendera putih berteriak “Patu ma hami!” (Kami menyerah!). Ketika<br />

melihat saya ia turun menghampiri saya dan lalu berse<strong>di</strong>a untuk <strong>di</strong>bawa kepada<br />

Kapten. Waktunya memang sudah mendesak karena kampungnya sudah <strong>di</strong>kepung<br />

tentara dan orang Batak yang suka merampas sudah mulai mengangkat pa<strong>di</strong> agar<br />

tidak hangus, dan juga sudah mulai memotong ternak babi. Lalu saya beritahu<br />

kepada Kapten bahwa raja itu hendak menyerah. Ketika para serdadu pergi maka<br />

jerit-tangis semakin berkurang. Raja yang masih sangat muda itu lalu <strong>di</strong>jaga oleh<br />

tentara dan saya menyuruh Si Daut, seorang Kristen, untuk mendampinginya.<br />

Habis itu saya pergi ke kompleks kampung yang lain lagi, tetapi penduduk sudah<br />

naik ke atas dan kampung-kampung mereka <strong>di</strong>bakar semua. Saya berjalan terus<br />

dan bertemu beberapa orang yang berse<strong>di</strong>a untuk memanggil rajanya. Karena<br />

mereka langsung datang masih ada waktu untuk meyakinkan mereka agar mau<br />

tunduk pada pemerintah sebelum tentara datang. Sesudah para raja itu saya<br />

serahkan kepada Kapten saya meneruskan perjalanan dan kampung mereka tidak<br />

<strong>di</strong>bakar. Ketika kami tiba <strong>di</strong> atas bukit kami melihat sungai yang deras yang tidak


sangat dalam, tetapi cukup dalam untuk menghalang kami karena arus yang deras.<br />

Para serdadu juga sudah lelah seusai melewati [375] sawah-sawah <strong>di</strong> terik<br />

matahari maka kami istirahat dulu.<br />

Lalu kami melihat penginjil Simoneit yang <strong>di</strong> seberang sungai menyemaikan bibit<br />

perdamaian. Beberapa orang mengibarkan bendera putih tanda menyerah. Kapten<br />

menyuruh seorang Silindung untuk mengantar sepucuk surat kepada Kolonel<br />

meminta instruksi lanjutan. Kolonel lalu memerintah pasukannya untuk kembali<br />

karena kampung-kampung <strong>di</strong> ujung selatan lembah Bangkara juga sudah<br />

menyerah.<br />

Raja itu <strong>di</strong>denda dan <strong>di</strong>wajibkan melunasi dendanya dalam tempo 24 jam. Pada<br />

hari ketiga para raja harus bersumpah agar tunduk pada pemerintah dan semua<br />

tawanan <strong>di</strong>lepaskan. Pada hari keempat kami meninggalkan Bangkara sesudah<br />

kampung-kampung yang kami tempati <strong>di</strong>bakar oleh serdadu.<br />

Makan waktu sangat lama hingga semua tentara berikut perlengkapannya<br />

sampai <strong>di</strong> dataran tinggi. Para narapidana harus pergi dua kali karena 20–30 kuli<br />

yang ketinggalan. Peluh bercucuran dari mendaki tebing yang terjal sehingga kami<br />

menja<strong>di</strong> basah. Karena cuaca <strong>di</strong> atas jauh lebih <strong>di</strong>ngin maka Simoneit dan saya<br />

tidak mau duduk-duduk ke<strong>di</strong>nginan. Kami jalan-jalan arah ke utara untuk bisa<br />

melihat Danau Toba dari berbagai sudut pandang. Setelah kami berjalan sekitar<br />

satu jam dan sudah jauh dari pasukan maka kami melihat sekelompok orang<br />

bersenjata menuju kami. Di antara kami dan mereka ada lembah yang lumayan<br />

dalam. Mereka mempercepat langkah untuk bisa menyergap kami dan kami<br />

memutuskan untuk selekasnya kembali. Ternyata mereka bukan pemberani karena<br />

mereka mendaki bukit dengan sangat lambat. Di atas bukit itu ada bekas kubu<br />

tempat kami ta<strong>di</strong> ber<strong>di</strong>ri untuk menikmati pemandangan. Sewaktu kami sudah<br />

agak jauh baru mereka berani naik ke kubu itu.<br />

Sementara itu pasukan sudah siap untuk berangkat, dan setiba kami <strong>di</strong> sana<br />

kami langsung bergerak arah ke timur. [376]<br />

Melintasi wilayah Lintong ni Huta kami berjalan ke Paranginan. Di sepanjang<br />

jalan itu <strong>di</strong>pasang bambu runcing yang pasti <strong>di</strong>lakukan pada hari sebelumnya.<br />

Ternyata mereka mau menghalang kami namun ketika kami datang mereka<br />

tampak ketakutan. Hanya satu dua <strong>di</strong> antara mereka nekad menodongkan laras<br />

senjata kepada kami. Mereka kaget mendengar kami berbahasa Batak. Mereka<br />

lebih kaget lagi melihat <strong>di</strong> antara kami orang Silindung yang mereka kenal. Orang<br />

Silindung itu segera menghadangnya lalu menepiskan laras be<strong>di</strong>lnya.<br />

Lalu kami meneruskan perjalanan ke kampung Ompuraja Hain. Beliau tidak ada<br />

karena sedang bermusyawarah dengan raja-raja lain <strong>di</strong> pasar. Rupanya mereka


tidak duga kami datang begitu cepat sehingga mereka tidak sempat untuk<br />

bersekutu dan mengadakan perlawanan. Kami tinggal <strong>di</strong> Paranginan selama<br />

beberapa hari. Para raja harus melakukan sumpah setia dan sesudah mereka<br />

melihat bahwa kami tidak melukai atau merugikan mereka maka mereka mulai<br />

menaruh kepercayaan pada kami.<br />

Dari Paranginan kami meneruskan perjalanan ke Huta Ginjang. Di sini pun orang<br />

Batak berusaha menghalangi kami dengan menggali lubang <strong>di</strong> tengah jalan yang <strong>di</strong><br />

dalamnya mereka pasang ranjau duri. Rupanya mereka kira kami datang pada<br />

malam hari hal mana sering mereka lakukan. Di Huta Ginjang kami berhenti <strong>di</strong><br />

pasar untuk berbicara dengan para raja, kemu<strong>di</strong>an kami turun ke Meat, sebuah<br />

lembah seperti Bangkara tetapi lebih kecil. Orang Meat menyerah dan perjalanan<br />

<strong>di</strong>teruskan ke Gurgur.<br />

Jalan ke Gurgur terjal sekitar 550-600 meter lebih tinggi – hampir sama<br />

keadaan seperti <strong>di</strong> Bangkara. Orang Batak sudah berkumpul <strong>di</strong> atas dan<br />

menggulingkan batu arah ke tentara. Di sinilah paling besar kerugian tentara.<br />

[377]<br />

Di pihak kami dua yang meninggal dan 12 yang cedera. Sesudah beberapa<br />

serdadu berhasil naik ke atas mereka lari. Kami istirahat selama dua hari <strong>di</strong> Gurgur<br />

dan raja-raja <strong>di</strong> Huta Ginjang, Meat dan Tangga Batu <strong>di</strong>wajibkan melakukan<br />

sumpah setia pada Belanda. Pada hari ketiga pasukan menuju Lintong ni Huta<br />

Pohan, Pangho<strong>di</strong>a, dan Tara Bunga. Hampir semua kampung <strong>di</strong> Gurgur <strong>di</strong>bakar<br />

karena membiarkan musuh menembaki kami <strong>di</strong> wilayahnya sementara mereka<br />

berpura-pura menja<strong>di</strong> sahabat dan mengatakan takluk pada kami dan menja<strong>di</strong><br />

pemandu jalan kami. Namun setelah kami sampai <strong>di</strong> atas, mereka tidak kelihatan<br />

lagi. Rupanya mereka yakin tentara tidak mungkin naik ke atas melainkan harus<br />

berjalan kembali. Setelah itu mereka berencana agar semua bangkit [melawan<br />

Belanda]. Namun sekarang, ketika mereka lihat bahwa teman-temannya lari<br />

mereka menja<strong>di</strong> ketakutan.<br />

Setelah pembakaran <strong>di</strong>selesaikan kami menuju Lintong ni Huta. Orang Batak<br />

sudah berkumpul <strong>di</strong> situ dan keluar dari persembunyiannya menyerang kami<br />

dengan menembak, menjerit, dan menari. Ketika berjarak sekitar 250 m tentara<br />

menyerang dan mereka lari bersembunyi <strong>di</strong> kampung-kampung. Setelah beberapa<br />

granat <strong>di</strong>tembakkan ke arah kampung-kampung itu mereka lari menurun tebing ke<br />

pantai danau dan menyelamatkan <strong>di</strong>ri naik perahu. Tentara tetap menembaki<br />

mereka dan salah satu perahu kena peluru sehingga orang yang duduk <strong>di</strong> dalam<br />

terpaksa lompat ke air dan berenang ke darat. Lalu kampungnya <strong>di</strong>bakar. Hanya<br />

beberapa kampung tidak <strong>di</strong>bakar karena beberapa anak raja dari Tangga Batu yang


sudah takluk minta kepada residen agar kampung-kampung itu tidak <strong>di</strong>bakar<br />

karena mereka memiliki rumah <strong>di</strong> situ. Sewaktu tentara sibuk membakar, sejumlah<br />

orang Batak, orang Silindung, orang Bahal Batu, orang Butar, [378] orang Gohan<br />

terjun ke ladang dan kembali dengan mengiring kerbau, lembu, dan kuda keluar<br />

dari tempat persembunyiannya ke arah tentara.<br />

Sementara Residen dan Kolonel mendatangi kampung-kampung <strong>di</strong> tanjung Tara<br />

Bunga bersama dengan tentara maka saya bersama penginjil Simoneit tetap <strong>di</strong> sini,<br />

<strong>di</strong> jalan menuju Balige. Di sinilah tampaknya kekejaman perang. Di mana-mana<br />

terlihat kampung yang hangus masih berasap yang penghuninya bersembunyi <strong>di</strong><br />

jurang-jurang pegunungan dan langsung lari apabila ada yang mendekati<br />

persembunyiannya. Itulah saat yang paling menye<strong>di</strong>hkan bagi kami yang datang<br />

sebagai utusan damai dan sekarang kami harus melihat bagaimana penduduk<br />

<strong>di</strong>usir dari rumahnya.<br />

Ketika kami sampai kami <strong>di</strong>sambut raja Balige yang dua tahun yang lalu<br />

menyambut kedatangan kami dengan sangat ramah. Katanya ia mau tunduk<br />

bersama dengan 60 kampungnya. Waktu kami <strong>di</strong> Gurgur <strong>di</strong>a datang ke sana<br />

meminta agar kami menyampaikan kepada Residen permohonannya agar<br />

wilayahnya tidak <strong>di</strong>ganggu namun karena Residen saat itu sangat marah karena<br />

kerugian yang <strong>di</strong>deritanya <strong>di</strong> Gurgur maka kami tidak menyampaikan permohonan<br />

itu. Akhirnya Residen menerima penundukannya akan tetapi menja<strong>di</strong> agak jengkel<br />

ketika kami mendapatkan pintu kampung-kampung pertama dalam keadaan<br />

tertutup rapat. Sesudah itu kami membawanya keliling selama kira-kira satu jam<br />

sampai pada pinggir danau <strong>di</strong> pasar Balige, dan ia puas karena pintu kampung <strong>di</strong><br />

sana terbuka semua. Serdadu yang datang 30 menit kemu<strong>di</strong>an langsung man<strong>di</strong><br />

sampai ke lutut <strong>di</strong> danau karena harinya sangat panas, dan kawasan pinggir danau<br />

termasuk Bangkara, Unte Mungkur, Muara, Meat, Balige dll. berhawa panas karena<br />

rendah letaknya. Tiga kampung <strong>di</strong>pilih sebagai tempat tentara dan setelah mereka<br />

merasa nyaman <strong>di</strong> tempat barunya semua terjun ke danau untuk man<strong>di</strong>. Pertama<br />

kali <strong>di</strong> Danau Toba kata mereka semua. Banyak <strong>di</strong> antaranya mengungkapkan<br />

perasaan jengkelnya bahwa bangsa kafir yang jorok itu memiliki bagian dunia yang<br />

begitu indah. [379]<br />

Pada malam hari sekitar jam 7 terdengar suara tembakan. Dikatakan seorang<br />

musuh, Raja Deang, datang dan mereka menyerang sebuah kampung yang sudah<br />

takluk kepada pemerintah. Pada keesokan hari tentara berangkat tetapi saya tidak<br />

ikut karena merasa pening dan karena bagaimana pun hanya ada acara berperang<br />

dan membakar kampung. Pada hari itu sekitar 50–60 kampung <strong>di</strong>bakar. Awalnya<br />

musuh melawan dengan gigih tetapi akhirnya lari juga. Menjelang siang saya


erjalan sekitar satu jam arah ke timur. Di tempat itu Raja Deang men<strong>di</strong>rikan kubu<br />

dan pertempuran berlangsung. Di Lumban Atas, Paninduan, saya duduk <strong>di</strong> bawah<br />

pohon besar dan menonton hiruk-pikuk manusia. Orang dari Balige dan Paninduan<br />

pergi untuk menjarah kampung-kampung yang <strong>di</strong>bakar. pada sore hari sekitar jam<br />

3 pasukan kembali dan pada jam 5 sore datanglah perahu Ompu ni Pardopur dan<br />

Ompu ni Binsara dengan membawa orang Aceh yang terjepit dan bersengketa <strong>di</strong><br />

tanjung. Mereka menyerahkan <strong>di</strong>ri kepada Residen. Setelah senjatanya <strong>di</strong>rampas<br />

mereka <strong>di</strong>jebloskan <strong>di</strong> sebuah rumah dan <strong>di</strong>jaga. Pada keesokan hari raja-raja yang<br />

menyatakan <strong>di</strong>ri takluk <strong>di</strong>denda dan <strong>di</strong>ambil sumpah setia. Karena mereka tidak<br />

begitu cepat bisa mengumpulkan uang untuk membayar denda maka mereka<br />

<strong>di</strong>bawa ke Bahal Batu untuk <strong>di</strong> kemu<strong>di</strong>an hari <strong>di</strong>tebus oleh keluarganya. Pada hari<br />

keempat kami berjalan ke Onan Geang-Geang tempat tinggal mertua<br />

Singamangaraja. Kampung-kampung <strong>di</strong> sana pun <strong>di</strong>bakar karena penduduknya<br />

mengungsi. Masih pada hari yang sama kami pergi ke Pintu Bosi yang kampungnya<br />

besar-besar. Di sini pun penduduk mengungsi sehingga kampung-kampung mereka<br />

<strong>di</strong>bakar. Parik Sabungan, yang dekat dengan Pintu Bosi, menyerah, <strong>di</strong>denda, dan<br />

[raja-rajanya] <strong>di</strong>bawa ke Bahal Batu untuk <strong>di</strong>ambil sumpahnya. Perjalanan kami<br />

lewat Lobu Siregar dan pada jam lima sore kami tiba <strong>di</strong> Bahal Batu. [380]<br />

Ekspe<strong>di</strong>si telah selesai. Tiada yang merasa lebih lega daripada saya. Namun saya<br />

masih harus tinggal <strong>di</strong> Bahal Batu selama delapan hari lagi untuk membantu<br />

Residen sebagai penerjemah. Berangsur-angsur tentara kembali, dan tentu lewat<br />

Pearaja untuk singgah <strong>di</strong> gereja kita. Saya sangat menyesal tidak bisa berada <strong>di</strong><br />

rumah membantu istri saya dalam masa yang kacau seperti ini. Namun dengan<br />

bantuan Tuhan mereka semua selamat dan sehat sentosa. Pada hari sesudah kami<br />

tiba <strong>di</strong>adakan musyawarah umum <strong>di</strong> Sipoholon. Para raja <strong>di</strong>beri tahu bahwa wilayah<br />

mereka telah <strong>di</strong>masukkan ke dalam wilayah Hin<strong>di</strong>a-Belanda. Mereka <strong>di</strong>haruskan<br />

bersumpah setia dan <strong>di</strong>peringatkan bahwa mereka harus mematuhi perintah<br />

Kontrolir. Di Sipoholon, sekitar setengah jam <strong>di</strong> atas pos penginjil Mohri, <strong>di</strong>bangun<br />

benteng tempat tinggalnya 80 tentara yang akan menetap <strong>di</strong> sini. Rumah Kontrolir<br />

Pluggers membangun rumah <strong>di</strong> dekat Pearaja dalam jarak sekitar 20 menit dari<br />

sini. Seluruh 306 kampung <strong>di</strong> Silindung telah tunduk pada pemerintah dan kini<br />

mereka sudah mulai membangun jalan ke Sibolga. Untuk itu setiap kampung harus<br />

menye<strong>di</strong>akan satu orang. Kontrolir adalah orang yang rajin dan cukup <strong>di</strong>beri<br />

kesempatan untuk menunjukkan kecakapannya karena begitu banyak perselisihan<br />

yang harus <strong>di</strong>selesaikannya.<br />

<strong>Perang</strong> sudah berakhir dan kami meneruskan pekerjaan sehari-hari dengan<br />

semangat baru. Hasil dari ekspe<strong>di</strong>si sangat menguntungkan pemerintah. Boleh


<strong>di</strong>katakan seluruh Toba <strong>di</strong>taklukkan, dan hanya <strong>di</strong> Toba Humbang masih <strong>di</strong>perlukan<br />

beberapa wakil pemerintah untuk menetapkan pemerintahan <strong>di</strong> sana. Namun hal<br />

itu tidak terja<strong>di</strong> karena pemerintah tidak tertarik akan Toba Humbang. Mereka<br />

terlalu repot menghadapi Aceh. Untuk zen<strong>di</strong>ng kita pun bagus begitu karena kami<br />

kurang tenaga untuk menempatkan cukup banyak penginjil sehingga kami malahan<br />

bisa <strong>di</strong>dahului Islam. Sekarang kami punya cukup waktu untuk menggarap<br />

Silindung dulu sebelum kami masuk ke Toba dalam waktu beberapa tahun<br />

mendatang.<br />

Pemerintah tidak akan melarang karena orang Toba [381] akan makin dekat<br />

dengan pemerintah sehingga kita tidak perlu khawatir. Sekarang kita harus<br />

bersiap-siap mengerahkan tenaga maupun dana sehingga, bila waktunya datang,<br />

kita bisa menuruti petunjuk Tuhan.<br />

Sejak Silindung menja<strong>di</strong> wilayah Hin<strong>di</strong>a-Belanda dan perang telah berakhir maka<br />

datanglah ratusan orang Toba berbondong-bondong kemari. Banyak orang<br />

berimigrasi ke sini termasuk <strong>di</strong> antaranya mereka yang kehilangan rumah yang<br />

<strong>di</strong>bakar tentara, dan banyak lagi yang akan datang. Dengan demikian maka injil<br />

pun akan lebih <strong>di</strong>ketahui <strong>di</strong> Toba Humbang. Sekarang saja, karena keadaan <strong>di</strong><br />

Toba, pengaruh kita sudah mulai terasa <strong>di</strong> sana. Semoga Singamangaraja pun mau<br />

datang untuk menyerah dan tunduk pada pemerintah.<br />

Tidak lama lagi terbukalah lahan yang sangat luas. Tenaga dan dana perlu<br />

<strong>di</strong>gandakan untuk, sebagai contoh, membuka pos penginjilan <strong>di</strong> Balige karena <strong>di</strong><br />

Deli misi Katolik sudah mulai beroperasi, dan mereka sudah menjelajah sampai ke<br />

Bila. Belum tentu mereka langsung ke Balige karena masih berada jauh <strong>di</strong> utara,<br />

namun semboyan kita harus tetap: Maju! Di Silindung sudah banyak yang<br />

mendaftar mau menja<strong>di</strong> Kristen, kian hari kian banyak orang, namun berapa <strong>di</strong><br />

antaranya yang bersungguh-sungguh hanya akan <strong>di</strong>ketahui <strong>di</strong> kemu<strong>di</strong>an hari. Kami<br />

senang bahwa paling tidak mereka bisa mendengar berita yang baik namun dalam<br />

musim pancaroba seperti ini kesungguhan mereka masih perlu <strong>di</strong>pertanyakan.<br />

Banyak yang datang karena mereka kira kami akan membantu mereka sebagai<br />

penengah dalam perkara penga<strong>di</strong>lan. Masalah yang sama yang dulu <strong>di</strong>hadapi<br />

penginjil <strong>di</strong> Sipirok kini kami hadapi <strong>di</strong> sini. Hanya kami <strong>di</strong> sini lebih beruntung<br />

karena agama Islam belum ada dan agama Kristen sudah berakar <strong>di</strong> sini. Dapat<br />

<strong>di</strong>harapkan dalam dasawarsa yang akan datang seluruh Silindung menganut agama<br />

Kristen.<br />

w


BRMG 1879 (6) 169-170<br />

Surat Penghargaan 
dari Pemerintah Belanda<br />

Penginjil Nommensen menulis pada 26 Februari:<br />

Dari pihak pemerintah kami menerima dokumen berikut:<br />

Atas nama Gubernur Pantai Barat Sumatra kami ingin mengucapkan terima<br />

kasih atas jasa Tuan-Tuan selama Ekspe<strong>di</strong>si Militer ke Toba.<br />

Keputusan Pemerintah No. 8 tertanggal 27 Desember tahun yang lalu [1878]<br />

berbunyi sebagaimana berikut: [170]<br />

Melalui Gubernur [Pantai Barat Sumatra] pemerintah mengucapkan terima kasih<br />

kepada penginjil Rheinische Missions-Gesellschaft <strong>di</strong> Barmen, terutama Bapak I.<br />

Nommensen dan Bapak A. Simoneit yang bertempat tinggal <strong>di</strong> Silindung, atas jasa<br />

yang telah <strong>di</strong>berikan selama ekspe<strong>di</strong>si melawan Toba. Dengan keputusan ini<br />

pemerintah memberi ganti rugi sebesar 1000fl. Jumlah tersebut dapat <strong>di</strong>ambil<br />

setiap saat.<br />

Residen Tapanuli.<br />

BRMG 1882 (7) 202–205<br />

Menaklukkan Toba<br />

w<br />

Setelah mengadakan perjalanan ke Danau Toba para penginjil berniat untuk<br />

menetap dan membuka pos zen<strong>di</strong>ng <strong>di</strong> sana. Kemungkinan itu dulu sudah pernah<br />

<strong>di</strong>singgung oleh penginjil Nommensen dalam laporan tahun 1876.<br />

<strong>Perang</strong> dan penaklukan Toba sangat mendukung dan mempercepat upaya<br />

pembukaan pos penginjilan. Walaupun tidak secara langsung, para penginjil kita <strong>di</strong><br />

Silindung memainkan peranan cukup besar dalam ekspe<strong>di</strong>si militer Belanda<br />

terhadap Toba. Upaya mereka untuk menyebarkan injil <strong>di</strong> Silindung mendapatkan<br />

perlawanan dari Singamangaraja yang dulu maupun dari Singamangaraja yang<br />

sekarang. Karena sudah kehilangan sebagian besar kekuasaan dua-duanya<br />

berusaha untuk memperoleh kembali pengaruhnya yang hilang dengan mengusir<br />

para penginjil. Singamangaraja terutama memusuhi agama Kristen, akan tetapi


karena ia bersekutu dengan orang Aceh <strong>di</strong> utara maupun dengan orang Batak Islam<br />

<strong>di</strong> timur maka kegiatan mereka juga memusuhi pemerintah Belanda. Dengan<br />

demikian sangat bijaksana keputusan pemerintah untuk langsung bertindak<br />

memperluas dan memperkokoh kekuasaan mengingat tindak-tanduk orang Aceh<br />

dan jaringan mereka yang makin hari menja<strong>di</strong> makin ketat dan luas.<br />

Untuk menilai benar salahnya penaklukan Toba yang <strong>di</strong>lakukan dengan begitu<br />

cepat dan dengan sangat se<strong>di</strong>kit biaya maupun jumlah korban, maka perlu<br />

<strong>di</strong>perhatikan butir-butir berikut:<br />

[1.] Secara formal Silindung sudah lama termasuk wilayah kolonial Belanda<br />

walaupun mereka memang jarang sekali melaksanakan pemerintahannya. Karena<br />

status hukum Silindung sebagai wilayah kekuasaan Belanda maka penginjil kita<br />

mendapatkan izin untuk menetap, dan berhak untuk meminta perlindungan<br />

pemerintah. [203]<br />

[2.] Mengingat hubungan Silindung dan Toba yang begitu erat maka upaya<br />

pemerintah untuk melaksanakan pemerintahan <strong>di</strong> Silindung hanya dapat <strong>di</strong>lakukan<br />

dengan sekalian menaklukkan Toba. Hal itu penting karena Toba, yang padat<br />

penduduk, terletak <strong>di</strong> antara wilayah perkebunan yang subur <strong>di</strong> pantai timur dan<br />

Tapanuli dengan pelabuhannya yang penting <strong>di</strong> pantai barat.<br />

[3.] Penaklukan Toba menja<strong>di</strong> begitu penting dan tidak dapat <strong>di</strong>undurkan lagi<br />

karena adanya unsur Aceh. Selain itu kita tidak boleh melupakan bahwa Belanda<br />

sudah lama merencanakan dan mengupayakan penaklukan seluruh bagian utara<br />

pulau Sumatra. Aceh menja<strong>di</strong> musuh yang bertahun-tahun sangat merepotkan<br />

mereka, dan malahan sampai sekarang masih sering merepotkan pemerintah. Aceh<br />

<strong>di</strong> dahulu kala pernah menguasai hampir seluruh kawasan pesisir Sumatra. Orang<br />

Batak juga pernah berada <strong>di</strong> bawah kekuasaan Aceh dan bagian utara daerah Batak<br />

hingga kini masih berada <strong>di</strong> bawah pengaruh Aceh. Pada masa kekacauan<br />

menjelang ekspe<strong>di</strong>si terhadap Toba, orang-orang tua menceritakan bahwa mereka<br />

dengar dari orang tuanya bahwa dahulu mereka membayar upeti pada orang Aceh.<br />

Dalam doa sampai sekarang pun mereka masih menyembah Partuan Soripada <strong>di</strong><br />

Atse. Oleh sebab itu maka Belanda harus secara tegas mematahkan tiap upaya<br />

Aceh untuk memperluas pengaruh atau malahan mempersatukan suku-suku yang<br />

ada <strong>di</strong> pedalaman pulau Sumatra untuk melawan Belanda.<br />

Penaklukan Toba amat penting untuk pemerintah Belanda, tetapi lebih penting<br />

lagi untuk zen<strong>di</strong>ng kita. Sekiranya Singamangaraja beserta dengan sekutunya, baik<br />

Islam, Aceh, maupun yang lain, berhasil mengusir para penginjil dan menghapus<br />

agama Kristen <strong>di</strong> Silindung maka akibatnya bukan revitalisasi kekafiran melainkan


masuknya agama Islam, dan kemungkinan agama Kristen berkembang <strong>di</strong> sana<br />

menja<strong>di</strong> hampir sirna.<br />

Pada masa kekacauan menjelang perang Toba banyak orang kafir <strong>di</strong> Silindung<br />

dan <strong>di</strong> kawasan arah utara dari Silindung mempertimbangkan untuk masuk Islam.<br />

[204] Waktu itulah para penginjil menyadari betapa se<strong>di</strong>kit mereka peduli pada<br />

kekafirannya dan betapa mudah mereka mempertimbangkan langkah yang<br />

sedemikian menyesatkan.<br />

Puji Allah hal itu tidak terja<strong>di</strong>. Kemenangan Belanda dalam ekspe<strong>di</strong>si yang amat<br />

cepat dan perluasan kekuasaan mereka hingga ke Danau Toba membawa berkat<br />

kepada zen<strong>di</strong>ng kita, dan sangat penting dalam tiga hal: 1. Pemerintahan <strong>di</strong><br />

Silindung <strong>di</strong>laksanakan secara semestinya sehingga para penginjil dapat beroperasi<br />

tanpa ancaman. Pemerintahan Belanda yang <strong>di</strong>tetapkan <strong>di</strong> bawah kon<strong>di</strong>si yang<br />

begitu unik, mestinya – <strong>di</strong> mata penduduk – kelihatan seperti pemerintah yang<br />

Kristen atau paling tidak ramah terhadap agama Kristen. Hal itu merupakan faktor<br />

yang begitu menentukan <strong>di</strong> Silindung yang juga akan berpengaruh <strong>di</strong> Toba. 2. Hal<br />

yang paling penting adalah bahwa Toba keluar dari isolasinya, terbuka pada<br />

pengaruh Eropa dan tunduk pada kekuasaan Eropa sehingga dengan sangat mudah<br />

zen<strong>di</strong>ng kita bisa masuk. Memang ada kemungkinan bahwa orang Toba membenci<br />

orang Eropa setelah Belanda mengalahkan dan membakar kampung mereka.<br />

Namun hal itu tidak terja<strong>di</strong>. “Berkat tangan Tuhan”, demikianlah tulisnya penginjil<br />

Nommensen waktu itu, “dan hal ini menja<strong>di</strong> tanda bahwa Tuhan menghendaki<br />

rakyat hidup dalam kedamaian, berkat tangan Tuhan ekspe<strong>di</strong>si militer <strong>di</strong>kepalai<br />

oleh seorang yang sudah bertahun-tahun mengenal orang Batak, orang yang<br />

mengetahui kepentingan rakyat, dan yang <strong>di</strong>dampingi perwira yang merasa belas<br />

kasihan dengan musuh, yang <strong>di</strong>segani musuh karena keberaniannya menyerang,<br />

yang dengan lapang hati tidak mengejar mereka yang lari. Dengan demikian orang<br />

Batak dapat kesan betapa besar keagungan dan kemuliaan orang Eropa sehingga<br />

mereka tidak dapat membenci kita, apalagi karena Tuhan menunjukkannya bahwa<br />

mereka sen<strong>di</strong>ri bersalah. Kalau keja<strong>di</strong>an berlanjut sebagaimana sekarang maka <strong>di</strong><br />

dalam beberapa tahun terbukalah lahan yang luas bagi zen<strong>di</strong>ng kita. [205] Kalau<br />

situasi menja<strong>di</strong> tenang kembali maka kita bisa masuk, apalagi karena kita <strong>di</strong>lihat<br />

sebagai pelindung terhadap pemerintah. Mereka melihat bahwa siapa saja yang<br />

menuruti nasihat kami tidak akan menderita, dan tidak perlu khawatir. Mereka<br />

yang menderita salah sen<strong>di</strong>ri karena mereka tidak menerima nasihat kita.<br />

Usahakanlah agar sebanyak-banyaknya penginjil bisa datang ke Toba karena<br />

sekarang masa penginjilan mulai <strong>di</strong> Toba.”<br />

Dengan demikian juga terucap butir ketiga:


3. Akibat perang Toba maka orang makin percaya pada penginjil dan sudah ada<br />

yang minta agar kita datang.<br />

Daftar Pustaka<br />

w<br />

Altena, Thorsten. 2003. Ein Häuflein Christen mitten in der Heidenwelt des dunklen<br />

Erdteils. Zum Selbst- und Fremdverständnis protestantischer Missionare im<br />

kolonialen Afrika 1884–1918. Waxmann. Münster.<br />

Angerler, Hans. “Mission, Kolonialismus und Missionierte: Über <strong>di</strong>e deutsche<br />

Batakmission in Sumatra.” Beiträge zur historischen Sozialkunde 2 (1993): 53-61.<br />

Aritonang, Jan S. 1988. Sejarah pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan Kristen <strong>di</strong> Tanah Batak: suatu telaah<br />

historis-teologis atas perjumpaan orang Batak dengan zen<strong>di</strong>ng (kususnya RMG) <strong>di</strong><br />

bidang pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan, 1861–1940. BPK Gunung Mulia. Jakarta.<br />

Aritonang, Jan S. 2004. Sejarah perjumpaan Kristen dan Islam <strong>di</strong> Indonesia. BPK<br />

Gunung Mulia. Jakarta.<br />

Bade, Klaus J. Friedrich Fabri und der Imperialismus in der Bismarckzeit: Revolution -<br />

Depression - Expansion. Osnabrück, 2005.<br />

Fabri, Friedrich. Die Entstehung des Heidenthums und <strong>di</strong>e Aufgabe der Heidenmission.<br />

Barmen, 1859.<br />

Fabri, Friedrich. 1884. Die Bedeutung geordneter politischer Zustände für <strong>di</strong>e Mission.<br />

Rede vor der 6. Kontinentalen Missionskonferenz am 20.3.1884 in Bremen.<br />

Allgemeine Missions-Zeitschrift 11. Hal. 97-112<br />

Groot, A. de. 1984. Hermanus Willem Witteveen en zijn Zen<strong>di</strong>ngsgemeente te Ermelo.<br />

G.F. Callenbach. Nijkerk.<br />

Jongeling, Maria Cornelia. 1966. Het Zen<strong>di</strong>ngsconsulaat in Nederlands-In<strong>di</strong>ë 1906-1942.<br />

Van Loghum Slaterus. Arnhem.<br />

Junghuhn, Franz. Die Battaländer auf Sumatra. 2.Theil: Völkerkunde. Berlin: G. Reimer,<br />

1847.


Junghuhn, Franz. Die Battaländer auf Sumatra. 1.Theil: Chorographie. Berlin: G.<br />

Reimer, 1847.<br />

Jura, Guido. 2002. Deutsche Spuren in der Kirchen- und Gesellschaftsgeschichte<br />

Namibias: Eine Analyse unter besonderer Berü!cksichtigung des<br />

Emanzipationsprozesses einer ehemals kolonialen Missionskirche zu einer<br />

eigenstä!n<strong>di</strong>gen Partnerkirche im heutigen Namibia sowie der<br />

Interessenwahrnehmung der deutschsprachigen Minderheit innerhalb einer eigenen<br />

lutherischen Kirchengemeinschaft. Fakultät für Sozialwissenschaft. Ruhr-Universitä#t<br />

Bochum. http://www-brs.ub.ruhr-uni-bochum.de/netahtml/HSS/Diss/JuraGuido/<strong>di</strong>ss.pdf<br />

Menzel, Gustav. 1978. Aus 150 Jahren Missionsgeschichte: Die Rheinische Mission.<br />

Verlag der Vereinigten Evangelischen Mission. Wuppertal.<br />

Rohden, Ludwig von. 1867. Leitfaden der Weltgeschichte für <strong>di</strong>e höheren Classen<br />

evangelischer Gymnasien und Realschulen, sowie zum Privatgebrauch für Lehrer<br />

und für Gebildete überhaupt. Von Rohden’sche Buchhandlung. Lübeck.<br />

Rohden, Ludwig von. 1888. Geschichte der Rheinischen Missions-Gesellschaft. Wiemann.<br />

Barmen.<br />

Schreiner, Lothar. Adat und Evangelium: Zur Bedeutung der altvölkischen<br />

Lebensordnungen für Kirche und Mission unter den Batak in Nordsumatra. Vol.<br />

Gütersloh, 1972.<br />

Schubert, Michael. 2003. Der schwarze Fremde: Das Bild des Schwarzafrikaners in der<br />

parlamentarischen und publizistischen Kolonial<strong>di</strong>skussion von den 1870er bis in <strong>di</strong>e<br />

1930er Jahre. Franz Steiner Verlag. Stuttgart.<br />

Smith, Anthony D. 1971. Theories of Nationalism. Harper & Row. New York.<br />

Steinmetz, George. 2007. The devil’s handwriting: precoloniality and the German<br />

colonial state in Quingdao, Samoa, and Southwest Africa. University of Chicago<br />

Press. Chicago.<br />

Warneck, Johannes. D. Ludwig J. Nommensen. Ein Lebensbild 1834 + 1934, Wuppertal-<br />

Barmen 1934, 4. erg. Aufl., 7-17; Wilhelm Landgrebe: Ludwig Nommensen. Kampf<br />

und Sieg eines Sumatra-Missionars, Zeugen des gegenwärtigen Glaubens 77/78,<br />

Gießen und Basel 1963; Gottlob Mundle: Der Gänsejunge von Nordstrand,<br />

Wuppertal-Barmen 1950, 3-10; Erika Hellmann: Ein Mann kann warten, Wuppertal-<br />

Barmen 19582, 6f.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!