Utusan Damai di Kemelut Perang
Utusan Damai di Kemelut Perang
Utusan Damai di Kemelut Perang
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Daftar Isi<br />
Prakata<br />
<strong>Utusan</strong> <strong>Damai</strong> <strong>di</strong> <strong>Kemelut</strong> <strong>Perang</strong><br />
Peran Zen<strong>di</strong>ng dalam <strong>Perang</strong> Toba<br />
Berdasarkan Laporan I.L. Nommensen dan penginjil RMG lain<br />
oleh<br />
Uli Kozok<br />
© 2009 Uli Kozok (kozok@hawaii.edu)<br />
Hak Cipta <strong>di</strong>lindungi undang-undang<br />
Ludwig Ingwer Nommensen adalah seorang tokoh yang oleh sebagian orang<br />
Batak tidak hanya <strong>di</strong>hormati atas jasanya menyebarkan agama Kristen <strong>di</strong> Tanah<br />
Batak, tetapi bahkan <strong>di</strong>anggap sebagai rasul atau apostel Batak.<br />
Sumbangan Nommensen dan tokoh-tokoh injil lainnya – yang namanya jarang<br />
<strong>di</strong>sebut – berdampak luas pada masyarakat Batak, bukan saja <strong>di</strong> bidang<br />
kerohanian, tetapi juga <strong>di</strong> bidang pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan, kesehatan, dan sebagainya.<br />
Tokoh penginjilan dari Rheinische Missions-Gesellschaft (RMG), lembaga<br />
penginjilan asal Jerman, ini hidup <strong>di</strong> antara orang Batak selama lebih dari 50 tahun.<br />
Tentu dapat <strong>di</strong>pahami bahwa orang Batak yang beragama Kristen Protestan<br />
mengenang Nommensen dengan rasa kagum dan bangga.<br />
Nommensen memang seorang tokoh yang berkarisma tetapi <strong>di</strong>a juga hanya<br />
salah satu dari banyak penginjil Batakmission (zen<strong>di</strong>ng Batak) yang <strong>di</strong>tugaskan<br />
untuk menyebarkan injil. Dia bukan pemrakarsa zen<strong>di</strong>ng Batak dan otoritasnya<br />
terbatas. Disiplin dan kepatuhan terhadap atasan memang sangat <strong>di</strong>utamakan<br />
dalam kalangan RMG, dan para penginjil sadar bahwa mereka <strong>di</strong>harap<br />
melaksanakan tugasnya sesuai dengan kehendak dan kebijakan pimpinan RMG.<br />
Sebagai pelaksana, para penginjil <strong>di</strong>wajibkan untuk setiap bulan menulis laporan.<br />
Laporan-laporan itu kemu<strong>di</strong>an <strong>di</strong>olah dan <strong>di</strong>terbitkan dalam sebuah majalah yang<br />
<strong>di</strong>namakan Berichte der Rheinische Missions-Gesellschaft, <strong>di</strong>singkat BRMG. Secara<br />
total ada sekitar 5.000 halaman yang <strong>di</strong>tulis oleh para penginjil RMG <strong>di</strong> Tanah
Batak tentang segala hal yang terja<strong>di</strong> <strong>di</strong> wilayah penginjilannya. Dengan demikian<br />
BRMG merupakan sumber historis yang teramat penting.<br />
Salah satu peristiwa penting dalam sejarah Batak adalah <strong>Perang</strong> Toba yang<br />
terja<strong>di</strong> pada tahun 1878 dan 1883 sebagai inti perlawanan Si Singamangaraja XII<br />
terhadap kekuasaan Belanda. Di dalam buku yang sederhana ini kami sajikan<br />
laporan-laporan para zendeling tentang <strong>Perang</strong> Toba Pertama. Laporan para<br />
penginjil itu kami sajikan dalam bentuk e<strong>di</strong>si faksimile agar secara mudah teks asli<br />
yang berbahasa Jerman dapat <strong>di</strong>ban<strong>di</strong>ngkan dengan terjemahan bahasa Indonesia,<br />
dan untuk menjaga keakuratan terjemahannya.<br />
Buku ini mengungkap catatan perjalanan para penginjil, terutama Ludwig Ingwer<br />
Nomensen dan Wilhelm Metzler selama masa <strong>Perang</strong> Toba. Laporan Nommensen<br />
dan Metzler berbicara sen<strong>di</strong>ri dan tidak perlu banyak <strong>di</strong>komentari. Akan tetapi yang<br />
perlu <strong>di</strong>lakukan ialah mencari alasan mengapa para penginjil begitu rela membantu<br />
tentara Belanda menumpaskan perjuangan Si Singamangaraja XII. Sebagai <strong>di</strong><strong>di</strong>kan<br />
seminaris RMG para penginjil tentu <strong>di</strong>pengaruhi oleh para guru mereka, dan guru<br />
mereka sen<strong>di</strong>ri <strong>di</strong>pengaruhi oleh aliran teologi dan ideologi yang sedang<br />
berkembang pada waktu itu.<br />
Oleh sebab itu buku ini tidak hanya mengulas latar belakang teologi <strong>di</strong> RMG pada<br />
pertengahan abad ke-19 melainkan juga ideologi yang sedang berkembang <strong>di</strong><br />
Eropa, dan khususnya <strong>di</strong> Jerman. Hanya dengan adanya pengetahuan tentang latar<br />
belakang kehidupan para misionaris maka kita bisa memahami tindakan mereka.<br />
Pengetahuan kita tentang tindakan mereka akan juga bermanfaat untuk<br />
menghindar agar jangan terja<strong>di</strong> pembentukan mitos dan legenda yang tidak sehat.<br />
Sesuai dengan perkembangan zaman, penilaian terhadap tokoh-tokoh sejarah<br />
bisa saja terja<strong>di</strong>, dan hal tersebut adalah sesuatu yang lumrah. Saya menyadari<br />
bahwa buku yang sederhana ini oleh sebagian orang <strong>di</strong>anggap “kontroversial”.<br />
Sesungguhnya buku ini hanya bisa menja<strong>di</strong> “kontroversial” karena selama ini<br />
penulisan sejarah penginjilan <strong>di</strong> Tanah Batak <strong>di</strong>dominasi oleh para penulis yang<br />
dekat dengan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) sebagai penerus RMG. Sayang<br />
penulisan sejarah seperti itu sangat sepihak dan tanpa adanya upaya untuk secara<br />
kritis mengevaluasi tokoh-tokoh penginjilan serta motivasi lembaga penginjilan<br />
yang ber<strong>di</strong>ri <strong>di</strong> belakangnya.<br />
Honolulu, September 2010,<br />
Dr. Uli Kozok
Pendahuluan<br />
“Mereka mengatakan secara blak-blakan bahwa kami<br />
pelopor pemerintah kolonial yang awalnya berbuat amal<br />
dengan cara memberi obat dsb. untuk akhirnya<br />
menyerahkan tanah dan rakyat kepada pemerintah.”<br />
Demikian keluhan I.L. Nommensen ketika baru membuka pos zen<strong>di</strong>ng <strong>di</strong> lembah<br />
Sipirok. Dugaan orang Sipirok ternyata benar. Tidak lama sesudah pindah ke<br />
lembah Silindung, tepatnya pada awal tahun 1878, Nommensen berulang kali<br />
meminta kepada pemerintah kolonial agar selekasnya menaklukkan Silindung<br />
menja<strong>di</strong> bagian dari wilayah Hin<strong>di</strong>a-Belanda.<br />
Pemerintah Belanda akhirnya mengabulkan permintaan Nommensen sehingga<br />
terbentuk koalisi injil dan pedang yang sangat sukses karena kedua belah pihak<br />
memiliki musuh yang sama: Singamangaraja XII yang oleh zen<strong>di</strong>ng <strong>di</strong>cap sebagai<br />
“musuh bebuyutan pemerintah Belanda dan zen<strong>di</strong>ng Kristen.” Bersama-sama<br />
mereka berangkat untuk mematahkan perjuangan Singamangaraja. Pihak<br />
pemerintah <strong>di</strong>bekali dengan persenjataan, organisasi, dan ilmu pengetahuan<br />
peperangan modern sementara pihak zen<strong>di</strong>ng <strong>di</strong>bekali dengan pengetahuan adat-<br />
istiadat dan bahasa. Kedua belah pihak, zen<strong>di</strong>ng Batak dan pemerintah kolonial,<br />
saling membutuhkan dan saling melengkapi, dan tujuan mereka pun pada<br />
hakikatnya sama: Memastikan agar orang Batak “terbuka pada pengaruh Eropa dan<br />
tunduk pada kekuasaan Eropa”.<br />
Berkat pengetahuan bahasa dan budaya pihak zen<strong>di</strong>ng (terutama zendeling<br />
Nommensen dan Simoneit) berhasil meyakinkan ratusan raja agar berhenti<br />
mengadakan perlawanan dan menyerah pada kekuasaan Belanda:<br />
“Bantuan dan keikutsertaan para misionaris yang mendampingi ekspe<strong>di</strong>si<br />
militer hingga ke Dana Toba juga mempunyai tujuan yang lain: yaitu<br />
untuk meyakinkan rakyat untuk menghentikan perlawanan mereka yang<br />
sia-sia dan mendesak mereka untuk menyerahkan <strong>di</strong>ri.”<br />
Sementara yang tidak mau menyerah <strong>di</strong>denda dan kampungnya <strong>di</strong>bakar.<br />
Melalui Gubernur Sumatra pemerintah Belanda membalas bu<strong>di</strong> para penginjil<br />
dengan mengeluarkan surat penghargaan yang resmi:<br />
Pemerintah mengucapkan terima kasih kepada penginjil Rheinische<br />
Missions-Gesellschaft <strong>di</strong> Barmen, terutama Bapak I. Nommensen dan<br />
Bapak A. Simoneit yang bertempat tinggal <strong>di</strong> Silindung, atas jasa yang<br />
telah <strong>di</strong>berikan selama ekspe<strong>di</strong>si melawan Toba.<br />
Selain surat penghargaan, para misionaris juga memperoleh 1000 Gulden dari<br />
pemerintah yang “dapat <strong>di</strong>ambil setiap saat”.
Kerja sama antara para penginjil RMG (Rheinische Missionsgesellschaft) dan<br />
pemerintahan kolonial berlangsung sampai musuh mereka, Singamangaraja XII,<br />
tewas dalam pertempuran dengan tentara Belanda pada tahun 1907.<br />
Secara resmi <strong>Perang</strong> Toba I hanya berlangsung selama dua bulan namun<br />
perlawanan dari pihak Singamangaraja tetap ada. Pada tahun 1880 misalnya pos<br />
zen<strong>di</strong>ng dan gereja <strong>di</strong> Simorangkir <strong>di</strong>bakar oleh seorang raja yang berpihak pada<br />
Singamangaraja yang menaruh dendam terhadap pendeta Simoneit. Alasan<br />
pembakaran itu karena Simoneit “atas permintaan pemerintah, ikut pada sebuah<br />
ekspe<strong>di</strong>si militer kecil sebagai penerjemah.”<br />
Walaupun peran dan tujuan Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) dan<br />
penginjilnya, terutama Ludwig Ingwer Nommensen, dalam <strong>Perang</strong> Toba Pertama<br />
(1878) terang sekali, ada pihak yang melihat adanya ‘kontroversi’. Ada dua isu<br />
yang sering menja<strong>di</strong> topik perdebatan yang kontroversial, terutama <strong>di</strong> kalangan<br />
Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang merupakan penerus RMG <strong>di</strong> zaman<br />
kemerdekaan: 1. Peran para penginjil dalam menaklukkan Onafhankelijke<br />
Bataklanden (Tanah Batak yang Merdeka) dan 2. Hubungan Singamangaraja XII<br />
dengan Zen<strong>di</strong>ng.<br />
Butir kedua menja<strong>di</strong> persoalan yang memang peka karena sebagian besar orang<br />
Batak memeluk agama Kristen dan menganggap I.L. Nommensen sebagai apostel<br />
atau rasul sedangkan Singamangaraja XII <strong>di</strong>angkat sebagai Pahlawan Nasional oleh<br />
pemerintah pada 9 November 1961. Bagaimana kalau kedua pahlawan yang dua-<br />
duanya <strong>di</strong>anggap sakral oleh orang Batak ternyata saling bermusuhan? Tentu hal<br />
itu akan menimbulkan <strong>di</strong>lema.<br />
Dr. W.B. Sidjabat yang pada tahun 1982 menulis buku berjudul “Ahu Si<br />
Singamangaraja: Arti historis, politis, ekonomis dan religius Si Singamangaraja XII”<br />
berusaha keras untuk meluruskan <strong>di</strong>lema itu dengan ‘mendamaikan’ kedua tokoh<br />
sakral tersebut, dan juga berusaha untuk mengesampingkan peran zen<strong>di</strong>ng dalam<br />
penaklukan Tanah Batak yang masih merdeka.<br />
Sejarahwan Batak beragama Kristen Protestan ini menggunakan sumber baik<br />
primer maupun sekunder, yang tertulis dalam berbagai bahasa termasuk Jerman<br />
dan Belanda. Selain mengandalkan sumber tertulis ia juga melengkapinya dengan<br />
puluhan wawancara. Di antara sumber primer termasuk bahan arsip Belanda, dan<br />
juga bahan dari RMG itu sen<strong>di</strong>ri, terutama laporan tahunan (Jahresbericht) RMG,<br />
tetapi ia tidak menggunakan laporan RMG yang lebih terinci dan yang <strong>di</strong>terbitkan<br />
sebulan sekali (Berichte der Rheinischen Missionsgesellschaft). Daripada<br />
menggunakan sumber primer, yaitu tulisan I.L. Nommensen sen<strong>di</strong>ri yang terdapat<br />
dalam BRMG, khusus untuk <strong>Perang</strong> Toba I, Sidjabat menggunakan buku yang
<strong>di</strong>tulis oleh J.T. Nommensen (anak I.L. Nommensen) berjudul Porsorion ni L.<br />
Nommensen yang <strong>di</strong>terbitkan pada tahun 1925 oleh Zen<strong>di</strong>ngsdrukkerij Laguboti<br />
setelah I.L. Nommensen meninggal (1918) dan menceritakan riwayat hidupnya<br />
yang sebagian berdasarkan tulisan Nommensen <strong>di</strong> BRMG, tetapi tentu sudah<br />
<strong>di</strong>sadur dan <strong>di</strong>ringkas.<br />
Dalam BAB VI Pertarungan rakyat Sumatra Utara bersama Si Singamangaraja<br />
XII melawan Belanda butir 1–11 (hal. 151–186) membahas <strong>Perang</strong> Toba I, dan<br />
BAB itu sangat <strong>di</strong>warnai oleh sumber sekunder Porsorion ni L. Nommensen. Sayang<br />
Sidjabat tidak memanfaatkan sumber primernya, yaitu laporan Nommensen dalam<br />
RBMG. Padahal BRMG merupakan sumber sejarah Batak yang tak ternilai yang<br />
menceritakan sejarah Batak dari sudut pandang zen<strong>di</strong>ng selama lebih dari 50 tahun<br />
<strong>di</strong> atas sekitar 5.000 halaman. Tampaknya hingga kini laporan lengkap I.L.<br />
Nommensen tentang <strong>Perang</strong> Toba I tidak pernah <strong>di</strong>gunakan untuk penulisan<br />
sejarah Batak hingga <strong>di</strong>rasakan perlu untuk menerbitkan ulang catatan<br />
Nommensen tentang perang Toba dalam terjemahan bahasa Indonesia.<br />
Sidjabat tidak berniat menuliskan sejarah secara objektif. Dengan sangat jelas ia<br />
memperlihatkan sikap pro zen<strong>di</strong>ng, pro Singamangaraja, dan anti Belanda. Belanda<br />
<strong>di</strong>gambarkan sebagai orang yang “cer<strong>di</strong>k” (hal. 157), memiliki “tangan kotor”<br />
(158), “hendak memanfaatkan Nommensen”, menggunakan “tindakan keganasan”<br />
(171), “mengadakan kegiatan ganas” (171), tujuannya “<strong>di</strong>dorong oleh keserakahan<br />
ekonomi dan militer”, dan pada pasukan Belanda, demikian <strong>di</strong>tulisnya, yang<br />
menonjol “hanya unsur kebinatangan manusia” (179).<br />
Walaupun Nommensen pada <strong>Perang</strong> Toba I mendampingi pasukan Belanda dari<br />
hari pertama sampai hari terakhir, dan walaupun ia sangat berperan dalam<br />
pecahnya perang tersebut, Nommensen dan pihak zen<strong>di</strong>ng jarang sekali <strong>di</strong>sebut<br />
oleh Sidjabat, dan kalaupun <strong>di</strong>sebut maka Nommensen dan kawan-kawannya<br />
<strong>di</strong>gambarkan secara serba positif. Sidjabat berusaha keras meyakinkan pembaca<br />
bukunya bahwa “keha<strong>di</strong>rannya [...] bukan dalam rangka penjajahan” (156),<br />
Nommensen melakukan “pelbagai usaha untuk mengelakkan pertumpahan darah”<br />
(165), “berulang kali mengatakan kese<strong>di</strong>aannya menempuh jalan damai” (166),<br />
“tidak dapat menyetujui tindakan kekerasan yang <strong>di</strong>gunakan oleh Belanda” (159),<br />
dan “merasa se<strong>di</strong>h sekali” melihat kampung-kampung Batak <strong>di</strong>bakar Belanda<br />
Nommensen akhirnya ‘merasa pusing kepala dan terpaksa membaringkan<br />
<strong>di</strong>rinya <strong>di</strong> dekat sebatang pohon ara dekat Paindoan’. Hasil pekerjaannya<br />
sejak tahun 1876 <strong>di</strong> Toba pastilah akan mengalami kesulitan akibat<br />
tindakan kekerasan Belanda ini. [...] Pihak Nommensen bersama zendeling<br />
lain, yang memang terjepit dalam keadaan ini [maksudnya <strong>Perang</strong> Toba,<br />
U.K.], masih berusaha untuk mengelakkan pertumpahan darah.
Sidjabat tidak menafikan bahwa Nommensen memanggil Belanda ke Silindung<br />
tetapi ia berargumentasi bahwa Belanda bagaimana pun sudah bertekad masuk ke<br />
Silindung sehingga “Nommensen hanya bahan pelengkap saja dan bukan<br />
merupakan alasan sebenarnya mengirim serdadu ke Silindung.” Kalau pun, <strong>di</strong><br />
samping laporan Nommensen kepada Belanda tentang rencana Singamangaraja<br />
untuk membunuh atau mengusir para penginjil dan semua orang beragama<br />
Kristen, masih ada alasan lain maka Belanda mau masuk ke Silindung, tetapi<br />
kesimpulan Sidjabat “bahwa kedatangan Belanda ke Silindung itu ialah atas<br />
permintaan Nommensen, tidak benar” bertolak belakang dengan laporan<br />
Nommensen sen<strong>di</strong>ri. Sidjabat lalu meneruskan argumentasinya:<br />
Nommensen masih berusaha sekuat tenaga untuk mendekati Residen<br />
Boyle dan Kontelir van Hoevel dan mengusulkan, agar jangan sampai<br />
mengadakan tindakan kekerasan.<br />
Pertumpahan darah dan kekerasan berlebihan memang dapat memojokkan<br />
pihak zen<strong>di</strong>ng, namun para penginjil bukan secara mutlak anti kekerasan. Pasukan<br />
bantuan Kristen yang <strong>di</strong>persenjatai Belanda, dan yang <strong>di</strong>kecam keras bukan hanya<br />
oleh surat-kabar Hin<strong>di</strong>a Belanda tetapi juga oleh surat kabar Belanda seperti<br />
Nieuwe Rotterdamsche Courant (20 Mei 1878) karena tindakan mereka yang<br />
“bengis dan keji” dalam <strong>Perang</strong> Toba I, <strong>di</strong>bela pihak zen<strong>di</strong>ng dengan kata-kata<br />
berikut: “Memang benar bahwa mereka [pasukan bantuan Kristen, UK]<br />
<strong>di</strong>perintahkan Belanda untuk membakar beberapa kampung. Kalau dalam perang<br />
memang ada pertumpahan darah, hal itu perlu <strong>di</strong>maklumi, <strong>di</strong> Eropa pun halnya<br />
demikian, namun para penginjil selalu berusaha agar tidak ada pertumpahan darah<br />
yang berlebihan.” (BRMG 1878 hal. 195)<br />
Sidjabat mengakui bahwa tidak semua orang Batak berpihak pada<br />
Singamangaraja:<br />
...semangat juang dari pihak rakyat tidak pernah mundur kecuali<br />
semangat mereka yang mengkhianati perjuangan<br />
Namun secara umum timbul kesan seolah-olah para raja secara bahu-membahu<br />
melawan Belanda:<br />
Pihak Singamangaraja pun segera pula mengadakan reaksi. Raja-raja dan<br />
para panglima <strong>di</strong>ajak bermusyawarah untuk menentukan apakah mereka<br />
berse<strong>di</strong>a melihat daerahnya <strong>di</strong>preteli atau mengadakan perlawanan.<br />
Peristiwa ini terja<strong>di</strong> pada tahun 1877. Mufakat pun tercapai untuk tidak<br />
membiarkan politik ekspansi Belanda berjalan terus.<br />
Kenyataan yang sebenarnya jauh lebih kompleks sebagaimana yang <strong>di</strong>ceritakan<br />
Sidjabat. Pihak zen<strong>di</strong>ng melaporkan bahwa “banyak daerah yang sudah berulang
kali meminta kepada pemerintah Belanda agar wilayahnya <strong>di</strong>aneksasi”. Raja yang<br />
memeluk agama Kristen rata-rata setuju kalau Silindung <strong>di</strong>masukkan ke dalam<br />
wilayah kolonial Belanda, dan juga <strong>di</strong> antara raja yang masih berpegang pada<br />
agama nenek moyangnya tidak semua anti Belanda.<br />
Sangat penting bagi Sidjabat adalah rekonsiliasi zen<strong>di</strong>ng dengan<br />
Singamangaraja dan untuk upaya tersebut ia menye<strong>di</strong>akan sebuah BAB secara<br />
eksklusif: IX Sikap Sisingamangaraja XII terhadap Zen<strong>di</strong>ng (hal. 395–411).<br />
Menurutnya ada kontinuitas sikap dari Singamangaraja X hingga XII terhadap<br />
zen<strong>di</strong>ng yang <strong>di</strong>tandai oleh rasa persahabatan: “tidak ada sikap permusuhan dari Si<br />
Singamangaraja X terhadap pihak zen<strong>di</strong>ng” (157), melainkan “sejak tibanya pihak<br />
zendeling, hubungan dengan Singamangaraja segera <strong>di</strong>pelihara dengan baik (157),<br />
“Si Singamangaraja XI juga malah berkelakar dengan Nommensen” (158). Menurut<br />
Sidjabat Singamangaraja bukan “musuh bebuyutan pemerintah Belanda dan<br />
zen<strong>di</strong>ng Kristen” sebagaimana ia <strong>di</strong>cap oleh pihak zen<strong>di</strong>ng, melainkan anggapan<br />
zen<strong>di</strong>ng itu hanya merupakan “godogan [sic!] pihak Kolonial Belanda.”<br />
Kalau kita percaya pada kesimpulan Sidjabat maka para penginjil terus-menerus<br />
<strong>di</strong>akali dan <strong>di</strong>manfaatkan Belanda. Sulit untuk mempercaya bahwa Nommensen<br />
dkk., apalagi pihak pimpinan RMG yang selalu memantau pekerjaan mereka<br />
dengan sangat seksama, begitu naif.<br />
Pendekatan <strong>di</strong>kotomi hitam-putih yang sedemikian agaknya tidak sesuai dengan<br />
kenyataan, dan jelas tidak <strong>di</strong>dukung oleh catatan para penginjil, terutama<br />
Nommensen dalam laporannya <strong>di</strong> BRMG.<br />
Pada tahun 1876 Nommensen masih percaya bahwa pekerjaan zen<strong>di</strong>ng bisa<br />
lebih sukses <strong>di</strong> daerah yang merdeka:<br />
Menurut berita yang kami peroleh dari Sibolga, tampaknya pemerintahan<br />
Belanda untuk sementara tidak <strong>di</strong>tetapkan <strong>di</strong> Silindung. Berita itu<br />
menggembirakan. Makin lama makin kami sadari bahwa keadaan <strong>di</strong><br />
daerah merdeka lebih mendukung daripada <strong>di</strong> daerah pemerintahan<br />
betapa pun kejamnya dan liarnya orang Batak merdeka bisa menyusahkan<br />
seorang penginjil. Orang Batak merdeka lebih bersemangat dan jiwanya<br />
lebih terbuka [daripada mereka <strong>di</strong> daerah yang <strong>di</strong>kuasai Belanda].<br />
Namun alasan utama maka zen<strong>di</strong>ng tidak menginginkan Belanda masuk karena<br />
para zendeling khawatir bahwa bersama dengan orang Belanda orang Islam akan<br />
masuk ke Tanah Batak:<br />
Semoga dengan bantuan Tuhan kami berhasil mengkristenkan semua<br />
orang Batak <strong>di</strong> lembah ini [Silindung] sebelum datang pemerintahan<br />
Belanda karena pemerintahan Belanda tentu akan membawa orang Islam<br />
ke sini.
Sikap ini berubah setelah zen<strong>di</strong>ng memiliki basis umat Kristen yang lebih kokoh.<br />
Pada tahun 1878, setelah keadaan <strong>di</strong> Silindung menghangat, zen<strong>di</strong>ng meminta<br />
kepada pemerintah Belanda agar Silindung segera <strong>di</strong>masukkan ke dalam wilayah<br />
Hin<strong>di</strong>a-Belanda:<br />
Kalau Belanda sekarang hendak menyelenggarakan pemerintahan maka<br />
hal ini tentu membawa berkat. [..] Apakah hal itu juga menguntungkan<br />
zen<strong>di</strong>ng, apakah dengan pemerintahan Belanda agama Islam akan masuk<br />
adalah pertanyaan yang lain lagi. Oleh sebab itu maka para misionaris<br />
belum pernah meminta agar Silindung <strong>di</strong>aneksasi. Kalau hal itu sekarang<br />
<strong>di</strong>minta [...] jelas pemerintahan Belanda juga sangat bermanfaat bagi<br />
zen<strong>di</strong>ng kita, dan bila kelak kita harus bersaing dengan agama Islam maka<br />
sekarang agama Kristen <strong>di</strong> Silindung sudah memiliki kemajuan yang susah<br />
terkejar? (BRMG 1878:118)<br />
Ternyata zen<strong>di</strong>ng tidak menduga bahwa permintaan mereka agar pemerintah<br />
mengirim pasukan ke Silindung akan mendapat kecaman keras.<br />
Malahan pihak <strong>di</strong> Belanda yang bersahabat dengan zen<strong>di</strong>ng keberatan<br />
dengan kenyataan bahwa penginjil kita meminta bantuan pemerintah<br />
Belanda. (BRMG 1878:193)<br />
Menurut penginjil mereka tidak bersalah memanggil bantuan Belanda karena<br />
mereka berada <strong>di</strong> wilayah yang “pada hakikatnya” (eigentlich) berada <strong>di</strong> bawah<br />
kekuasaan Belanda. Masalahnya <strong>di</strong> sini bahwa mungkin de jure (secara hukum)<br />
Silindung sudah termasuk wilayah Hin<strong>di</strong>a-Belanda tetapi tidak de facto (secara<br />
nyata) karena pemerintah Belanda tidak ada perwakilan apa-apa <strong>di</strong> sana dan<br />
pemerintahan sepenuhnya berada <strong>di</strong> tangan raja.<br />
Kalau ada utusan Singamangaraja datang ke Silindung untuk menghasut<br />
rakyat – yang pada hakikatnya telah berada <strong>di</strong> bawah kekuasaan Belanda<br />
– dan menyerukan agar mereka tunduk pada Aceh, dan kalau penginjil<br />
kita mendengar rencana orang Aceh itu untuk men<strong>di</strong>rikan kekuasaannya <strong>di</strong><br />
atas kerajaan Singamangaraja, dan berusaha lagi untuk menjatuhkan<br />
kekuasaan Belanda <strong>di</strong> Angkola, Mandailing, dan Padang Bolak, apakah<br />
penginjil kita bukan berkewajiban untuk segera melaporkan hal itu kepada<br />
Residen? Bukannya tidak bertanggung jawab kalau mereka tidak<br />
melakukan apa-apa? Kalau pemerintah Belanda, berdasarkan laporan<br />
penginjil kita, mengirim pasukannya ke Silindung apakah hal itu kesalahan<br />
penginjil kita? (BRMG 1878:94)<br />
Alasan hukum sekali lagi <strong>di</strong>manfaatkan ketika zen<strong>di</strong>ng <strong>di</strong>kecam bersama dengan<br />
pasukan memasuki dan menduduki Bahal Batu yang termasuk wilayah<br />
Singamangaraja - hal mana sudah barang tentu merupakan provokasi. Di sini<br />
mereka menjawab bahwa 1. Bahal Batu pun sudah termasuk wilayah Belanda, dan<br />
2. Singamangaraja hanya menja<strong>di</strong> raja <strong>di</strong> Bangkara. Menarik untuk <strong>di</strong>catat <strong>di</strong> sini
ahwa hanya setahun sebelumnya, 1977, Gubernur Sumatra menyuruh penginjil<br />
untuk meninggalkan Bahal Batu karena menurutnya Bahal Batu tidak termasuk<br />
wilayah Hin<strong>di</strong>a-Belanda. Pernyataan itu memang kemu<strong>di</strong>an <strong>di</strong>tarik kembali, tetapi<br />
kisah ini membuktikan bahwa pemerintah Belanda sen<strong>di</strong>ri tidak mengetahui dengan<br />
pasti daerah mana yang termasuk wilayahnya dan mana yang tidak karena mereka<br />
tidak berminat untuk menyelenggarakan pemerintahan <strong>di</strong> daerah Silindung.<br />
Pandangan dan interpretasi Sidjabat tentang sejarah seputar <strong>Perang</strong> Toba<br />
Pertama sekarang secara umum <strong>di</strong>terima, terutama oleh kalangan HKBP. Di dalam<br />
salah satu makalah keluaran HKBP berjudul Pahlawan Nasional Indonesia Si<br />
Singamangaraja <strong>di</strong> mata HKBP oleh Pdt. Rachman Tua Munthe, Praeses HKBP<br />
Distrik III Humbang, <strong>di</strong>sebutkan bahwa,<br />
...selama timbulnya bentrokan <strong>di</strong> antara Si Singamangaraja XII dengan<br />
pemerintah Belanda, Gereja (Zen<strong>di</strong>ng) berada pada pihak ketiga yang<br />
mencoba mengadakan perjanjian perdamaian. Dengan demikian,<br />
pemerintah kolonial Belanda tidak sejajar dengan Zen<strong>di</strong>ng dan Gereja.<br />
Munthe juga mengutip buku berjudul Abastraksi [sic!] Pelayanan DR. Ingwer<br />
Ludwig Nommensen <strong>di</strong> Tanah Batak:<br />
Waktu perang Raja Sisingamangaraja XII melawan Tentara Belanda,<br />
Nommensen mengambil sikap bijaksana dan netral.<br />
Tentu saja kepentingan zen<strong>di</strong>ng dan pemerintah sering berbeda, tetapi <strong>di</strong><br />
berbagai bidang kepentingan mereka sejajar, dan <strong>di</strong> bawah Fabri sebagai <strong>di</strong>rektur<br />
RMG yang sekaligus merangkap sebagai guru, para calon misionaris belajar bahwa<br />
kepentingan misi pada hakekatnya sejajar dengan kepentingan pemerinth kolonial.<br />
Fabri, yang notabene menja<strong>di</strong> penulis buku berjudul Bedarf Deutschland der<br />
Colonien? (Apakah Jerman Membutuhkan Daerah Jajahan?) malahan menganjurkan<br />
agar penginjilan <strong>di</strong>manfaatkan sebagai alat untuk merintis penjajahan. Baik para<br />
misionaris maupun pegawai pemerintah kolonial yakin bahwa mereka berbuat baik<br />
dengan membawa peradaban pada bangsa Batak yang mereka cap sebagai liar dan<br />
biadab.<br />
Para misionaris juga menekankan bahwa Belanda senantiasa dapat<br />
mengandalkan Batak Kristen sebagai teman yang setia:<br />
Betapa orang Batak Kristen dapat <strong>di</strong>andalkan tampak jelas sekarang,<br />
sebagai orang Islam orang Batak takkan mungkin menja<strong>di</strong> rakyat yang<br />
patuh pada Belanda. [...] memang benar bahwa orang Silindung yang<br />
Kristen adalah teman setia Belanda, dan bahwa pasukan bantuan mereka<br />
berperang bersama pasukan Belanda. (BRMG 1878:154)
Kesejajaran zen<strong>di</strong>ng dan pemerintah tampak pada bahasa yang <strong>di</strong>gunakan<br />
Nommensen. Ketika ia menceritakan kembali perjalanannya mengikuti ekspe<strong>di</strong>si<br />
Toba ia secara konsisten menggunakan kata ‘kami’. Kata ‘kami’ malahan<br />
<strong>di</strong>gunakannya untuk kegiatan yang <strong>di</strong>lakukan tentara. Dari hal ini ternyata betapa<br />
Nommensen mengidentifikasikan <strong>di</strong>ri dengan tentara:<br />
• Sesudah Residen Boyle bersama Kolonel Engel naik ke sini bersama dengan<br />
200 pasukan lagi maka kami mulai menyerang.<br />
• Sekitar jam 3 sore kampung-kampung itu sudah <strong>di</strong> tangan kami. 10–12 lakilaki<br />
dan sekitar 70 perempuan jatuh ke tangan kami lalu <strong>di</strong>tawan.<br />
• Di pihak kami dua yang meninggal dan 12 yang cedera.<br />
• [...] berpura-pura menja<strong>di</strong> teman dan mengatakan takluk pada kami.<br />
• Sedangkan para pejuang <strong>di</strong> pihak Singamangaraja <strong>di</strong>sebutnya sebagai<br />
musuh:<br />
• Belum ada berita tentang adanya gerakan dari pihak musuh.<br />
• Pihak musuh menyerang dua kali masing-masing sekitar 500–700 orang.<br />
Serangan kedua lebih kuat tetapi dua-duanya dapat <strong>di</strong>tangkis dengan mudah<br />
dan tanpa jatuhnya korban <strong>di</strong> pihak Belanda sementara <strong>di</strong> pihak musuh ada<br />
20 orang yang cedera dan 2 yang mati. [...] Kalau pasukan <strong>di</strong> Bahal Batu<br />
dapat bertahan sampai pasukan tambahan tiba maka kemungkinan pihak<br />
musuh menang sangat tipis karena Belanda unggul dalam hal persenjataan<br />
dan <strong>di</strong>siplin.<br />
• Dari Bahal Batu mereka menuju arah barat ke Butar dan menaklukkan<br />
kampung-kampung yang berpihak pada musuh.<br />
• Hal tersebut <strong>di</strong>utamakan oleh para zendeling supaya para musuh pun bisa<br />
melihat niat baiknya.<br />
• Setelah kami bekerja dengan tenang selama beberapa minggu musuh kami<br />
yang jahat bergerak lagi.<br />
• Simoneit dan Israel tinggal <strong>di</strong> sini untuk membantu kami kalau-kalau pos<br />
<strong>di</strong>serang musuh.<br />
• Pada malam hari tanggal 16 Februari musuh menembaki kamp tentara dan<br />
meninggalkan tiga surat dari buluh yang mengumumkan perang terhadap<br />
kami.<br />
• Setiap hari musuh datang, kadang-kadang ribuan orang.<br />
• Kebanyakan musuh berasal dari daerah <strong>di</strong> sekitar Danau Toba, dari Butar<br />
dan Lobu Siregar, <strong>di</strong>gerakkan oleh Singamangaraja, seorang demagog yang<br />
menghasut dan mencelakakan rakyatnya.<br />
• Beberapa kali peluru masuk ke rumah pada malam hari, dua kali musuh<br />
berusaha untuk membakarnya.
Masih banyak lagi contoh dapat <strong>di</strong>sebut yang menunjukkan bahwa para zen<strong>di</strong>ng<br />
Batakmission jelas berpihak pada Belanda dan menganggap para pejuang yang<br />
ingin mempertahankan kemerdekaannya sebagai musuhnya.<br />
Argumentasi Sidjabat dan pengarang lain yang sering menekankan adanya jarak<br />
antara penginjil RMG dan pihak Belanda karena bangsa mereka berbeda, tidak<br />
dapat <strong>di</strong>terima. Para penginjil RMG berkebangsaan Jerman sementara pemerintah<br />
kolonial <strong>di</strong>jalankan oleh bangsa Belanda. Dengan demikian, begitu kesimpulannya,<br />
penjajahan bukan kepentingan para penginjil. Hal itu keliru karena, sesuai dengan<br />
pelajaran mereka <strong>di</strong> seminaris RMG, penjajahan bangsa putih terhadap bangsa<br />
yang berwarna adalah hal yang penting demi mengangkat martabat bangsa<br />
keturunan Ham. Pihak penginjil RMG sama sekali tidak anti penjajahan melainkan<br />
mendukungnya dengan penuh hati.<br />
Kita juga bisa melihat dari laporan Nommensen bahwa ia tidak begitu<br />
membedakan antara Belanda dan Jerman dan lebih menekankan kepentingan<br />
bersama dengan menggunakan istilah Eropa daripada Belanda:<br />
Hal yang paling penting adalah bahwa Toba keluar dari isolasinya, terbuka<br />
pada pengaruh Eropa dan tunduk pada kekuasaan Eropa sehingga dengan<br />
sangat mudah zen<strong>di</strong>ng kita bisa masuk. Memang ada kemungkinan bahwa<br />
orang Toba membenci orang Eropa setelah Belanda mengalahkan dan<br />
membakar kampung mereka. Namun hal itu tidak terja<strong>di</strong>. (BRMG<br />
1882:202)<br />
Perlu juga <strong>di</strong>ingatkan bahwa orang Belanda waktu itu masih menamakan<br />
bahasanya ‘Nederduits’ (Jerman Rendah) sementara Nommensen sen<strong>di</strong>ri penutur<br />
asli bahasa Frisia yang merupakan salah satu <strong>di</strong>alek Jerman Rendah yang sangat<br />
dekat dengan bahasa Belanda. Selain itu, sesuai dengan pelajaran yang<br />
<strong>di</strong>perolehnya ketika belajar <strong>di</strong> seminaris, Belanda dan Jerman masih merupakan<br />
keturunan ras Germania yang sama.<br />
Sebagaimana jauh para penginjil mengidentifikasikan <strong>di</strong>ri dengan para penjajah<br />
tampak pada kutipan berikut:<br />
Untuk menilai benar salahnya penaklukan Toba yang <strong>di</strong>lakukan dengan<br />
begitu cepat dan dengan sangat se<strong>di</strong>kit biaya maupun jumlah korban,<br />
maka perlu <strong>di</strong>perhatikan butir-butir berikut: [...] (BRMG 1882:202)<br />
Rupanya bagi zen<strong>di</strong>ng jumlah korban <strong>di</strong> pihak musuh mereka (pejuang<br />
Singamangaraja) tidak perlu <strong>di</strong>hitung. Tidak <strong>di</strong>ketahui dengan pasti berapa banyak<br />
orang meninggal <strong>di</strong> pihak pejuang Singamangaraja dan sekutunya serta <strong>di</strong><br />
kalangan penduduk sipil. Paling tidak puluhan namun lebih mungkin sampai<br />
beberapa ratus korban yang tewas belum lagi yang cedera. Jumlah yang tidak<br />
se<strong>di</strong>kit, tetapi yang <strong>di</strong>ungkapkan zen<strong>di</strong>ng dalam konteks ini malahan biaya perang.
Kedekatan Nommensen dan para penginjil lain dengan penjajah sebenarnya<br />
tidak mengherankan mengingat pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan yang mereka peroleh <strong>di</strong> RMG. Fabri,<br />
Direktur RMG, menekankan agar para penginjil senantiasa menjalin kerja sama<br />
yang erat dengan pemerintah kolonial karena tujuan zen<strong>di</strong>ng dan pemerintahan<br />
kolonial pada hakikatnya sama.<br />
RMG memang senantiasa berusaha untuk melakukan konsolidasi agama dan<br />
politik, tidak hanya <strong>di</strong> Batakmission tetapi juga <strong>di</strong> wilayah kerja yang lain seperti <strong>di</strong><br />
Afrika Selatan. Di situ pun RMG tetap berusaha untuk menjalin hubungan yang baik<br />
dengan pemerintah kolonial dan membantunya. Sejak pemberontakan Herero pada<br />
tahun 1904 para misionaris tidak menaruh simpati apa pun pada gerakan<br />
kemerdekaan masyarakat hitam <strong>di</strong> Afrika Selatan. Demikian juga <strong>di</strong> Tanah Batak.<br />
Ketika benih gerakan kemerdekaan mulai tumbuh <strong>di</strong> kalangan orang Batak, dan<br />
ketika Kristen Batak meminta agar mereka dapat menentukan sen<strong>di</strong>ri nasib<br />
gerejanya maka RMG dengan sangat tegas menolak gagasan keman<strong>di</strong>rian gereja<br />
Batak dan mengutuk organisasi Batak seperti Hatopan Kristen Batak dengan alasan<br />
bahwa keman<strong>di</strong>rian bertentangan dengan kehendak Tuhan yang memang sudah<br />
menak<strong>di</strong>rkan orang putih sebagai pemimpin 1 .<br />
Nommensen juga memuji perwira dan pegawai administrasi Belanda:<br />
Berkat tangan Tuhan, [...] dan hal ini menja<strong>di</strong> tanda bahwa Tuhan<br />
menghendaki rakyat hidup dalam kedamaian, berkat tangan Tuhan<br />
ekspe<strong>di</strong>si militer <strong>di</strong>kepalai oleh seorang yang sudah bertahun-tahun<br />
mengenal orang Batak, orang yang mengetahui kepentingan rakyat, dan<br />
yang <strong>di</strong>dampingi perwira yang merasa belas kasihan dengan musuh, yang<br />
<strong>di</strong>segani musuh karena keberaniannya menyerang, yang dengan lapang<br />
hati tidak mengejar mereka yang lari. Dengan demikian orang Batak dapat<br />
kesan betapa besar keagungan dan kemuliaan orang Eropa sehingga<br />
mereka tidak dapat membenci kita, apalagi karena Tuhan<br />
menunjukkannya bahwa mereka sen<strong>di</strong>ri bersalah. (BRMG 1882:204)<br />
Perlu <strong>di</strong>tekankan bahwa Nommensen membantu pemerintah dan tentara<br />
Belanda dengan rela hati tanpa ada unsur paksaan apa pun. Nommensen<br />
melakukannya karena menurut apa yang <strong>di</strong>pelajarinya <strong>di</strong> seminaris RMG <strong>di</strong> Barmen<br />
para penginjil berkewajiban untuk selalu bekerjasama dengan pihak pemerintah<br />
kolonial dan karena ia percaya bahwa orang Batak hanya bisa menja<strong>di</strong> manusia<br />
yang beradab bila berada <strong>di</strong> bawah kekuasaan bangsa Eropa.<br />
Belakangan ini saya membaca sebuah esai <strong>di</strong> internet yang <strong>di</strong>tulis oleh Limantina<br />
Sihaloho, seorang teolog dari Sumatra Utara:<br />
Secara priba<strong>di</strong>, saya juga kagum pada I.L. Nommensen. Masalahnya,<br />
1 Lihat Aritonang 1988.
kagum saja tidak cukup. Menja<strong>di</strong>kan seseorang menja<strong>di</strong> legenda bahkan<br />
mitos juga dapat berbahaya. Sayangnya manusia mempunyai<br />
kecenderungan untuk melegendakan dan memitoskan seseorang terutama<br />
yang telah lama meninggal. [...] Nommensen adalah anak zamannya,<br />
dengan segala kelebihan dan kekurangannya.<br />
Makalah ini tidak bermaksud untuk mengurangi rasa kagum pada laki-laki suku<br />
Frisia dari pulau Nordstrand itu, tetapi sebagai salah satu sumbangan agar I.L.<br />
Nommensen dan tokoh penginjilan Batak lainnya <strong>di</strong>pandang sebagai “anak zaman<br />
dengan segala kelebihan dan kekurangannya” dan tidak sebagai tokoh legendaris.<br />
Seorang tokoh dari abad ke-19 tidak patut <strong>di</strong>nilai berdasarkan nilai-nilai abad ke-<br />
21. Bila sekarang seorang Jerman mengatakan bahwa bangsa Jerman lebih unggul<br />
dari bangsa lain maka orang itu pasti <strong>di</strong>tertawakan. Konsep keunggulan ras kini<br />
<strong>di</strong>anggap sebagai sesuatu dari zaman yang berlalu yang sama sekali tidak ada<br />
tempat dalam masyarakat Jerman modern. Pada awal abad ke-21 paham<br />
keunggulan ras Germania <strong>di</strong>anggap sebagai paham yang sesat sementara pada<br />
abad ke-19, zamannya Nommensen, keunggulan ras putih <strong>di</strong>anggap sebagai<br />
kenyataan.<br />
Nommensen <strong>di</strong>lahirkan pada tahun 1834 <strong>di</strong> pulau Nordstrand (yang bila<br />
<strong>di</strong>terjemahkan berarti Pantai Utara). Ketika ia berumur 14 tahun gerakan<br />
demokrasi Jerman memberontak melawan kekaisaran, namun revolusi itu gagal.<br />
Waktu Nommensen masuk seminaris RMG pada tahun 1857 Jerman belum bersatu<br />
tetapi ter<strong>di</strong>ri atas puluhan negeri kecil yang masing-masing berhak untuk membuat<br />
peraturan sen<strong>di</strong>ri. Ketika Nommensen pindah ke Pearaja, negeri Jerman (Deutsches<br />
Reich) baru berumur dua tahun. Setelah kerajaan-kerajaan kecil akhirnya bersatu<br />
dalam Deutsches Reich maka Jerman mengalami perkembangan yang pesat dan<br />
barangkali menja<strong>di</strong> negara termaju <strong>di</strong> dunia. Namun, beda dengan negara Eropa<br />
lainnya, Jerman, yang baru menja<strong>di</strong> sebuah negara pada tahun 1871, belum<br />
memiliki daerah penjajahan.<br />
Nommensen dan penginjil RMG lainnya bukan hanya anak zaman, tetapi juga<br />
<strong>di</strong>pengaruhi oleh aliran teologi yang dominan <strong>di</strong> seminaris RMG.<br />
Sejarah Masuknya Injil ke Tanah Batak<br />
“Gerakan penginjilan [...] bermula bertepatan dengan<br />
waktu munculnya kolonialisme, imperialisme, dan,<br />
sebagai akibatnya, rasisme. Oleh sebab itu maka<br />
gerakan penginjilan secara hakiki terkait dengan<br />
sejarah rasisme.”
Ph. Potter, Dewan Gereja Se-Dunia 2<br />
Orang-orang yang memainkan peranan penting pada sejarah masuknya injil ke<br />
Tanah Batak kini hampir terlupakan. Nama seperti Franz Wilhelm Junghuhn, Pieter<br />
Johannes Veth, Herman Neubronner van der Tuuk, dan Friedrich Fabri kini jarang<br />
<strong>di</strong>sebut dalam publikasi yang berkaitan dengan sejarah penginjilan <strong>di</strong> Indonesia.<br />
Ahli botani F. W. Junghuhn mungkin orang pertama yang menganjurkan agar injil<br />
<strong>di</strong>bawa ke Tanah Batak. Usulan Junghuhn kemu<strong>di</strong>an menarik perhatian <strong>di</strong>rektur<br />
Serikat Penginjilan Belanda P. J. Veth. H.N. van der Tuuk menja<strong>di</strong> orang pertama<br />
yang menerjemahkan injil kepada bahasa Batak, dan Friedrich Fabri menja<strong>di</strong> 'otak'<br />
<strong>di</strong> balik penginjilan orang Batak.<br />
Franz Wilhelm Junghuhn (1809–1864) lahir <strong>di</strong> Mansfeld, Kerajaan Westfalia<br />
(sekarang menja<strong>di</strong> bagian Jerman). Oleh orang tuanya ia <strong>di</strong>paksa menja<strong>di</strong> seorang<br />
dokter namun ia jauh lebih tertarik pada botani dan geologi. Pada tahun 1834 ia<br />
pindah ke Belanda dan pada tahun 1852 Junghuhn memilih menja<strong>di</strong> warga negara<br />
Belanda. Karena ingin ke Hin<strong>di</strong>a-Belanda maka ia mendaftar <strong>di</strong> tentara Belanda<br />
sebagai dokter tentara. Tahun 1836 Junghuhn tiba <strong>di</strong> Jawa dan pada tahun 1840 ia<br />
<strong>di</strong>tugaskan ke Padang. Di dalam kapal ia bertemu dengan Pieter Merkus, seorang<br />
pejabat yang pada tahun 1841 menja<strong>di</strong> Gubernur Jenderal Hin<strong>di</strong>a Belanda. Berkat<br />
bakat geologi dan botani Merkus menugaskannya untuk meneliti Tanah Batak yang<br />
pada saat itu masih merdeka.<br />
Pada waktu itu pemerintah kolonial masih berpegangan pada kebijakan untuk<br />
tidak memperluas wilayah Hin<strong>di</strong>a Belanda melainkan membatasinya pada Jawa,<br />
Maluku, dan beberapa daerah <strong>di</strong> Sumatra. Karena politik tidak campur tangan<br />
dalam urusan raja-raja <strong>di</strong> Nusantara (onthou<strong>di</strong>ngspolitiek) maka Belanda tidak<br />
mempunyai rencana konkret untuk mencaplok Tanah Batak, tetapi karena sudah<br />
ada beberapa raja yang mengutarakan niatnya tunduk pada Belanda maka<br />
pemerintah Belanda menganggapnya penting untuk lebih mengetahui keadaan<br />
daerah yang nantinya dapat <strong>di</strong>pergunakan kalau sudah tiba saatnya untuk masuk<br />
ke Tanah Batak.<br />
Informasi yang <strong>di</strong>cari tentu informasi yang sesuai dengan kebutuhan penjajah.<br />
Mereka ingin mengetahui topografi daerah, kesuburan tanah, jalan darat dan jalan<br />
sungai, jarak antar kampung, iklim, kesuburan tanah, hasil bumi, sumber daya<br />
2 Philip Potter, Sekretaris Jenderal Dewan Gereja Se-Dunia tahun 1972-1984: “Die<br />
missionarische Bewegung (...) entstand genau in der Zeit, als Kolonialismus, Imperialis-<br />
mus und als eine Folge davon der Rassismus aufkamen. Deshalb ist <strong>di</strong>e missionarische<br />
Bewegung auch auf Gedeih und Verderb mit der Geschichte des Rassismus verbunden.”<br />
[Dikutip dari Jura 2002:285].
alam, potensi pertambangan, jenis kayu yang cocok untuk membangun kapal, dsb.<br />
Junghuhn juga <strong>di</strong>minta membuat peta dan mencari informasi tentang kebudayaan,<br />
adat, dan pemerintahan <strong>di</strong> Tanah Batak termasuk lembaga-lembaga pemerintahan<br />
yang ada, sistem hukum yang berlaku, adat-istiadat, bahasa, aksara, dan juga<br />
tentang kanibalisme.<br />
Pada 2 Oktober 1840 Junghuhn tiba <strong>di</strong> Teluk Tapanuli. Kontrak kerjanya tidak<br />
terbatas sehingga dapat <strong>di</strong>simpulkan bahwa pemerintah Belanda menghendaki<br />
Junghuhn lama tinggal <strong>di</strong> daerah Batak untuk melakukan penelitian yang sungguh-<br />
sungguh. Akan tetapi keadaan kesehatan tidak mengizinkannya tinggal lama <strong>di</strong><br />
daerah Batak. Sesudah menetap <strong>di</strong> Barus selama delapan belas bulan terpaksa<br />
Junghuhn kembali ke Jawa dalam keadaan sakit parah. Ekspe<strong>di</strong>si pertama<br />
Junghuhn ke Tanah Batak merdeka <strong>di</strong>mulai pada pertengahan November 1840 dan<br />
membawanya ke Hurung, Humbang, dan Lembah Silindung. Pada akhir Desember<br />
Junghuhn sudah harus kembali karena jatuh sakit.<br />
Perjalanan kedua <strong>di</strong>mulai pada 2 November 1841 tetapi hanya berlangsung<br />
selama dua minggu karena sekali lagi Junghuhn jatuh sakit. Pada ekspe<strong>di</strong>si yang<br />
pertama Junghuhn <strong>di</strong>dampingi oleh lima belas kuli pengangkat barang dan<br />
pembantunya yang ter<strong>di</strong>ri dari orang Melayu, Nias, dan Jawa. Dua raja Batak dari<br />
wilayah pemerintah yang masing-masing membawa anak buahnya sen<strong>di</strong>ri menja<strong>di</strong><br />
pengawal dan sekaligus penerjemahnya. Kedua orang Batak dan pembantunya<br />
<strong>di</strong>persenjatai dengan be<strong>di</strong>l yang modern. Seluruh anggota rombongan sekitar 25<br />
orang (Angerler 1993: 6).<br />
Walaupun sakit-sakitan selama berada <strong>di</strong> Tanah Batak Junghuhn sempat menulis<br />
dua jilid dengan hasil penelitiannya berjudul Die Battaländer auf Sumatra. Bukunya<br />
<strong>di</strong>bagi atas enam belas BAB yang mengandung informasi tentang asal-usul, ras,<br />
kebudayaan, adat-istiadat, sistem hukum, perbudakan, kanibalisme, permainan,<br />
musik, dan terutama tentang segala kegiatan ekonomi termasuk pertanian,<br />
peternakan, dan irigasi.<br />
Sesuai dengan permintaan pemerintah kolonial yang mempekerjakannya,<br />
Junghuhn memberi rekomendasi bagaimana “orang Batta dapat <strong>di</strong>ja<strong>di</strong>kan warga<br />
negara yang patuh” (<strong>di</strong>e Battäer zu gehorsamen Unterthanen zu machen). Antara<br />
lain ia memberi saran agar Belanda jangan mengangkat seorang Batak menja<strong>di</strong><br />
kepala pemerintahan karena hal itu akan <strong>di</strong>manfaatkan untuk memberontak<br />
melawan Belanda. Junghuhn menyarankan agar Belanda membiarkan keadaan asli<br />
tanpa pemerintahan pusat karena hal itu membantu menaklukkan orang Batak.<br />
Menurut Junghuhn daerah Batak lebih baik <strong>di</strong>perintah langsung oleh Belanda. Perlu<br />
<strong>di</strong>catat <strong>di</strong> sini bahwa Belanda pada umumnya lebih suka memerintahkan para
pribumi dengan memanfaatkan struktur pemerintahan yang sudah ada. Belanda<br />
biasanya tidak suka bila bangsa pribumi <strong>di</strong>perintah langsung oleh pegawai Belanda<br />
karena biayanya lebih tinggi. Namun demikian ternyata Belanda memperhatikan<br />
nasihat Junghuhn sehingga daerah Batak menja<strong>di</strong> salah satu dari tidak banyak<br />
wilayah <strong>di</strong> Indonesia yang <strong>di</strong>perintah secara langsung.<br />
Menurut ukuran zamannya Junghuhn dapat <strong>di</strong>golongkan liberal. Ia amat kecewa<br />
melihat keadaan tanah airnya: “Di Eropa kita lihat penderitaan, kemiskinan,<br />
kelaparan, penjara penuh dengan penjahat, perbudakan yang <strong>di</strong>halalkan oleh<br />
gereja, perampokan, pembunuhan, ketidakpuasan rakyat terhadap penguasa,<br />
pergolakan berdarah, penguasa yang takut pada rakyat – perang! – kapal dan<br />
benteng pertahanan <strong>di</strong>ledakkan, ribuan manusia <strong>di</strong>korbankan dalam sedetik; orang<br />
saling mencurigai, benci...” Junghuhn terutama menyalahkan gereja Kristen untuk<br />
keadaan Eropa yang begitu menye<strong>di</strong>hkan. Sebagai seorang Freidenker dan panteis<br />
ia bersikap tidak bersahabat pada agama Kristen dan menolak secara tegas upaya<br />
penginjilan <strong>di</strong> Jawa.<br />
Apa alasan maka dalam Die Battaländer auf Sumatra Junghuhn yang sen<strong>di</strong>ri<br />
anti-Kristen menyarankan agar pemerintah kolonial memperkenalkan agama<br />
Kristen pada orang Batak? Ternyata untuk “memperkenalkan agama kontra-Islam”<br />
(Junghuhn, 1847a:119; 1847b:20 catatan kaki). Pencegahan masuknya agama<br />
Islam <strong>di</strong> Tanah Batak merupakan “kebijakan yang teramat penting”. Agar cepat<br />
orang Batak masuk Kristen dan jangan telanjur menja<strong>di</strong> Islam maka ia tidak<br />
keberatan “bila konversi pada agama Kristen hanya bersifat nominal”. (Junghuhn,<br />
1847b:83 catatan kaki).<br />
Dalam BAB 1 yang membahas ras dan asal-usul orang Batak, dan BAB 16.1<br />
tentang watak, adat, dan hukum Batak, Junghuhn tiba pada kesimpulan yang,<br />
<strong>di</strong>tinjau dari sudut pandang abad ke-21, kedengaran sangat aneh. Ia melihat<br />
adanya kemiripan antara bangsa Batak dan bangsa Eropa!<br />
Tingkat budaya orang Batak tidak dapat <strong>di</strong>katakan rendah walaupun tentu<br />
masih jauh dari bangsa-bangsa Eropa. Dari bentuk tengkorak maupun<br />
muka tampak bahwa orang Tobah yang belum bercampur [dengan bangsa<br />
lain] tidak termasuk ras Melayu apalagi ras Mongoloid. Tubuhnya<br />
menunjukkan kemiripan dengan ras hindu-kaukasus (indo-eropa). Muka<br />
mereka oval dan harmonis dengan bentuk yang lebih indah daripada orang<br />
Melayu. (Junghuhn, 1847a:275)<br />
Warna kulit yang cokelat cenderung menja<strong>di</strong> putih, terutama pada<br />
perempuan yang kulitnya biasanya sangat halus sehingga pipinya<br />
kelihatan kemerah-merahan. Rambutnya tidak hitam melainkan, khusus,<br />
pada perempuan, cokelat tua dan lebih halus daripada rambut orang<br />
Melayu atau orang Jawa, hampir seperti sutera. Tubuhnya berotot dan
proporsi tubuhnya seimbang. 3 ” (ibid. hal. 7)<br />
Anehnya kemiripan dengan bangsa Eropa terutama ia dapatkan pada perempuan<br />
Batak!<br />
Bentuk muka oval yang dapat <strong>di</strong>sebut sub-Yunani lebih sering dapat<br />
<strong>di</strong>temukan pada perempuan Toba sementara laki-laki lebih cenderung<br />
memiliki wajah monyet Melayu yang jelek. (ibid.)<br />
Uraian Junghuhn menarik perhatian Pieter Johannes Veth (1814-1895), guru<br />
besar pada Universitas <strong>di</strong> Leiden dan pen<strong>di</strong>ri In<strong>di</strong>sch Genootschap, yang sejak 1843<br />
menja<strong>di</strong> anggota dewan pimpinan Nederlandsch Bijbelgenootschap (Lembaga<br />
Alkitab Belanda) 4 . Pada rapat tahunan NBG tahun 1847 Veth membacakan halaman<br />
275 dari buku Junghuhn Die Battaländer auf Sumatra kepada anggota-anggota<br />
dewan NBG. Masih pada tahun yang sama NBG memutuskan bahwa penginjilan<br />
orang Batak perlu <strong>di</strong>laksanakan.<br />
NBG langsung memulai persiapan penginjilan dengan mempekerjakan Herman<br />
Neubronner van der Tuuk (1824-1894), seorang ahli bahasa yang masih sangat<br />
muda, untuk meneliti bahasa Batak dan untuk menerjemahkan kitab Injil. Van der<br />
Tuuk lahir <strong>di</strong> Melaka dari seorang ayah berkebangsaan Belanda dan seorang ibu<br />
yang separuh Jerman dan separuh Indo. Setahun sesudah Melaka menja<strong>di</strong> wilayah<br />
Inggris sebagai akibat Perjanjian London (1824) keluarga Van der Tuuk pindah ke<br />
Surabaya. Tahun 1836 Herman Neubronner van der Tuuk <strong>di</strong>sekolahkan ke Belanda<br />
dan mulai tahun 1840 pada usia 16 tahun ia mulai kuliah hukum, <strong>di</strong> Groningen dan<br />
<strong>di</strong> Leiden. Di sana ia juga mempelajari bahasa Arab, Farsi, dan Sansekerta.<br />
Kerena bakatnya yang luar biasa – ia <strong>di</strong>katakan bisa mempelajari sebuah bahasa<br />
dalam waktu hanya tiga bulan – maka ia <strong>di</strong>pekerjakan oleh Nederlandsch<br />
Bijbelgenootschap untuk meneliti bahasa-bahasa Batak, dan untuk menerjemahkan<br />
alkitab injil. Selama berada <strong>di</strong> daerah Batak (1851-1857) Van der Tuuk<br />
menerjemahkan sebagian dari alkitab injil ke dalam bahasa Toba, menyusun kamus<br />
bahasa Batak (Mandailing, Toba dan Pakpak) – Belanda, menyusun tata bahasa<br />
Toba yang menja<strong>di</strong> terkenal sebagai tata bahasa pertama yang ilmiah <strong>di</strong> Hin<strong>di</strong>a<br />
3 Dabei verbleicht der braune Teint der Haut immer mehr, besonders bei den Frauen, deren<br />
Haut im Allgemeinen sehr zart ist, so daß selbst ein schwaches Rosenroth der Backen<br />
hindurch schimmert. Dabei sind <strong>di</strong>e Haare nicht schwarz, sondern gewöhnlich, und bei<br />
den Frauen vorzugsweise, dunkelbraun und viel zarter, seidenartiger, als bei den Maleien<br />
und Javanen. Der Körper ist wohlgebaut, stark muskulös.<br />
4 NBG itu bukan lembaga zen<strong>di</strong>ng dalam arti yang sebenarnya karena tidak menye<strong>di</strong>akan<br />
zendelingen (penginjil) melainkan ahli bahasa untuk mempersiapkan dan melaksanakan<br />
terjemahan alkitab.
Belanda, dan sebuah kumpulan cerita rakyat dalam bahasa Toba, Mandailing, dan<br />
Pakpak.<br />
Ketika memutuskan untuk mempekerjakannya NBG sudah menyadari bahwa van<br />
der Tuuk adalah seorang ateis namun <strong>di</strong> lain pihak NBG juga sadar akan<br />
kemampuan intelek Van der Tuuk. Walaupun Van der Tuuk kerap kali menghina<br />
para penginjil sebagai “pengobral buku murahan” ia juga bersikap setia pada NBG<br />
sehingga ada dua pihak yang bertolak belakang tetapi sekaligus juga saling<br />
melengkapi. Walaupun seorang ateis, Van der Tuuk juga tiba pada kesimpulan yang<br />
sama dengan Junghuhn: Orang Batak harus <strong>di</strong>injilkan untuk membendung<br />
pengaruh Islam <strong>di</strong> bagian utara pulau Sumatra.<br />
Upaya penginjilan <strong>di</strong> Tanah Batak <strong>di</strong>pelopori oleh Hermanus Willem Witteveen<br />
(1815– 1884) yang pada tahun 1859 men<strong>di</strong>rikan Jemaat Zen<strong>di</strong>ng<br />
(Zen<strong>di</strong>ngsgemeente) dan Gereja Zen<strong>di</strong>ng (Zen<strong>di</strong>ngskerk) <strong>di</strong> Ermelo 5 . Seusai<br />
kebaktian pada tanggal 11 Desember 1853 seorang pemuda yang seharian bekerja<br />
sebagai pengembala kambing mendatangi Pastor Witteveen karena hendak<br />
menja<strong>di</strong> penginjil (Groot 1984: 90). Suatu hari ketika pemuda yang bernama<br />
Gerrit van Asselt (1832–1910) itu berada <strong>di</strong> ladang ia tiba-tia mendengar<br />
Mazmur 96:2 “Bernyanyilah bagi Tuhan dan pujilah Dia; setiap hari siarkanlah<br />
kabar gembira bahwa Ia telah menyelamatkan kita.” Beberapa minggu kemu<strong>di</strong>an<br />
ketika ia bangun tidur terdengar lagi suara Yesaya 60:1 “Bangkitlah, menja<strong>di</strong><br />
teranglah, sebab terangmu datang, dan kemuliaan Tuhan terbit atasmu.” Pemuda<br />
setengah buta huruf itu lalu belajar pada Pastor Witteveen. Ds Witteveen<br />
menghubungi Nederlandsche Zendelinggenootschap (NZG) menanyakan apa von<br />
Asselt bisa menja<strong>di</strong> tukang pada zen<strong>di</strong>ng NZG. Akan tetapi permintaan itu <strong>di</strong>tolak<br />
dengan alasan bahwa si Gerrit itu terlalu bodoh untuk mempelajari bahasa asing.<br />
Selain itu van Asselt <strong>di</strong>anggap terlalu fanatik. Namun akhirnya Witteveen berhasil<br />
untuk meyakinkan Persatuan Pendukung Zen<strong>di</strong>ng Perempuan Amsterdam<br />
(Amsterdamsche Vrouwenvereeniging tot bevordering der Zen<strong>di</strong>ngszaak) yang<br />
<strong>di</strong>pimpin oleh Wilhelmina E. van Vollenhoven untuk menampung Van Asselt. Lalu<br />
Van Asselt berangkat ke Amsterdam untuk belajar <strong>di</strong> seminaris. Ia belajar bahasa<br />
Melayu dari Isaäc Esser (1818–1885) yang dari 1861–1864 menja<strong>di</strong> residen <strong>di</strong><br />
Timor. Esser sering mengadakan ceramah tentang Sumatra, antara lain dengan<br />
tujuan untuk mencari uang buat Van Asselt. Esser menginginkan agar van Asselt<br />
menja<strong>di</strong> penginjil <strong>di</strong> Sumatra untuk “menaklukkan kerajaan Minangkabau untuk<br />
Tuhan.” Pada tahun 1856 Gerrit van Asselt mendampingi H.C. Klinkert (yang<br />
5 Pastor Witteveen menja<strong>di</strong> salah seorang pen<strong>di</strong>ri Vrije Evangelische Gemeenten (Jemaat<br />
Injil Bebas) <strong>di</strong> Belanda.
menerjemahkan alkitab Injil ke dalam bahasa Belanda) ke Batavia. Setiba <strong>di</strong> sana<br />
ia minta izin pada pemerintah untuk berangkat ke Sumatra Barat agar –sesuai<br />
dengan amanat Esser– menyebarkan injil <strong>di</strong> ranah Minangkabau. Namun<br />
permintaannya <strong>di</strong>tolak karena daerah itu sudah menja<strong>di</strong> Islam, dan ia <strong>di</strong>tawari<br />
gubernur menja<strong>di</strong> administrator perkebunan kopi <strong>di</strong> Sipirok sambil menyebarkan<br />
injil. 6 (Groot 1984: 91-93)<br />
Sementara ini ada tiga pemuda lainnya yang pernah bertemu dengan Esser<br />
ketika beliau berceramah tentang Sumatra <strong>di</strong> muka “Persatuan Pemuda Pekerja” <strong>di</strong><br />
Amsterdam. Secara teratur ketiga tukang itu belajar pada Esser dan lalu mereka<br />
<strong>di</strong>tahbiskan oleh Pastor Witteveen.<br />
Pada tahun 1859 Pastor Witteveen lalu mengutus ketiga pemuda itu, yaitu<br />
Friedrich Wilhelm Betz (1832–1881), J. Dammerboer, dan J.Ph.D. Koster, untuk<br />
mendampingi van Asselt <strong>di</strong> Sumatra. Ketika mereka bergabung dengan van Asselt<br />
<strong>di</strong> Sipirok maka Van Asselt pun meninggalkan pekerjaan sebagai administrator<br />
kebun untuk bersama dengan Betz membuka pos zen<strong>di</strong>ng <strong>di</strong> Silindung. Namun<br />
permintaan Asselt <strong>di</strong>tolak gubernur dengan alasan keamanan dan juga karena<br />
pemerinta tidak berniat untuk memperluas pengaruhnya hingga ke Tanah Batak<br />
yang masih merdeka. Lalu mereka memutuskan untuk memperluas kegiatan<br />
zen<strong>di</strong>ng ke Angkola. Betz bertugas <strong>di</strong> Bunga Bondar dari tahun 1860 hingga 1869 7<br />
sementara Dammerboer, Koster dan van Dalen (yang <strong>di</strong>tahbiskan <strong>di</strong> Ermelo pada<br />
21-10-186) membuka pos <strong>di</strong> Huta Rimbaru, dan Pargarutan (Angkola) sementara<br />
Van Asselt tetap <strong>di</strong> Parau Sorat (Sipirok). Dammerboer lalu memutuskan untuk<br />
meninggalkan zen<strong>di</strong>ng. (BRMG 1910:253-257) (Groot 1984: 93-94)<br />
Pada tahun 1859 serikat penginjilan Rheinische Missionsgesellschaft yang<br />
berkedudukan <strong>di</strong> Barmen (Wuppertal), Jerman, mengalami musibah. Sembilan<br />
penginjil RMG <strong>di</strong>bunuh ketika <strong>Perang</strong> Banjar meletus <strong>di</strong> Kalimantan sementara<br />
penginjil yang lain <strong>di</strong>amankan ke Pulau Jawa.<br />
Ketika itu Friedrich Fabri (1824-1891) menja<strong>di</strong> Direktur RMG (1857-1884).<br />
Ketika Fabri berkunjung ke Amsterdam untuk menjejaki kemungkinan untuk<br />
menempatkan para misionaris yang sedang berada <strong>di</strong> Jawa <strong>di</strong> tempat yang lain.<br />
Sewaktu berada <strong>di</strong> kantor NBG Fabri melihat injil Yohanes hasil terjemahan Van der<br />
Tuuk. Pada kunjungan itu Fabri juga bertemu langsung dengan van der Tuuk yang<br />
6 Van der Tuuk sangat terkejut mendengar bahwa zen<strong>di</strong>ng Batak <strong>di</strong>prakarsai oleh Van<br />
Asselt yang <strong>di</strong>anggapnya kampungan dan secara intelek tidak mampu menangani tugas<br />
yang sedemikian berat.<br />
7 Christian Philip Schütz (1838–1922) menja<strong>di</strong> pengganti Betz <strong>di</strong> Bunga Bondar dari tahun<br />
1868 hingga ia pensiun pada tahun 1912. Bertugas selama 44 tahun Schütz hanya sekali<br />
berlibur ke Jerman (1893–1895).
pada saat itu sedang berada <strong>di</strong> Amsterdam. Lalu pihak RMG menghubungi Domine<br />
Witteveen untuk menjejaki kerjasama antara Zen<strong>di</strong>ngskerk Ermelo dengan RMG.<br />
Setelah <strong>di</strong>run<strong>di</strong>ngkan dengan Pastor Witteveen maka <strong>di</strong>putuskan bahwa ketiga<br />
misionaris dari Domine Witteveen yang sudah ada <strong>di</strong> Sumatra, yaitu van Asselt,<br />
Betz, dan Dammerboer selanjutnya <strong>di</strong>pekerjakan oleh RMG dan <strong>di</strong>perbantukan oleh<br />
tiga misionaris dari Kalimantan, Karl Klammer, Carl Wilhelm Heine, dan Ernst<br />
Ludwig Denninger. Pada 7 Oktober 1861 empat penginjil, yaitu Van Asselt, Betz,<br />
Heine dan Klammer (Dammerboer sudah meninggalkan zen<strong>di</strong>ng sedangkan<br />
Denninger masih berada <strong>di</strong> Padang) mengadakan pertemuan untuk membicarakan<br />
kelanjutan penginjilan <strong>di</strong> Tanah Batak. Betz <strong>di</strong>tempati <strong>di</strong> Bunga Bondar, Klammer <strong>di</strong><br />
Sipirok, dan Van Asselt bersama Heine membuka pos baru <strong>di</strong> Pangaloan. Tanggal<br />
7-10-1861 kini <strong>di</strong>anggap sebagai hari ja<strong>di</strong> Huria Kristen Batak Protestan (HKBP).<br />
Tidak lama kemu<strong>di</strong>an L.I. Nommensen bergabung dengan mereka. Awalnya<br />
Nommensen <strong>di</strong>tempatkan <strong>di</strong> Barus dan dari situ ia berangkat ke Angkola untuk<br />
bergabung dengan keempat penginjil yang sudah berada <strong>di</strong> sana.<br />
Misi <strong>di</strong> daerah-daerah selatan (pos zen<strong>di</strong>ng <strong>di</strong> Sipirok, Bunga Bondar, Prau<br />
Sorat) berada <strong>di</strong> wilayah pemerintah kolonial Belanda. Pada awalnya pemerintahan<br />
belum stabil, tetapi mulai tahun 1875 sudah ada seorang kontrolir berkebangsaan<br />
Belanda. Pada awal kedatangan para penginjil masih belum banyak orang yang<br />
menganut agama Islam dan terutama pada periode sekitar 1867–1871 ada<br />
kemajuan yang pesat <strong>di</strong> daerah selatan sehingga pada tahun 1871 telah ada<br />
hampir 700 orang yang menganut agama Kristen. Pada tahun-tahun berikut tidak<br />
ada lagi kemajuan yang berarti. Tahun 1873 tidak ada lagi pertumbuhan <strong>di</strong><br />
Bungabondar karena hampir seluruh penduduk telah memeluk agama Islam kecuali<br />
308 orang yang memilih agama Kristen (JB 1873:27). Keadaan yang sama juga<br />
<strong>di</strong>laporkan dari Sipirok dan Parausorat (JB 1874:12).<br />
Ludwig Ingwer Nommensen<br />
L.I. Nommensen (kadang-kadang namanya juga <strong>di</strong>tulis I. L. Nommensen) <strong>di</strong>lahirkan pada 6 Februari<br />
1834 <strong>di</strong> Nordstrand, wilayah Schleswig yang pada masa itu menja<strong>di</strong> bagian dari Kerajaan Denmark.<br />
Setelah mengalami kecelakaan ketika berusia 12 tahun ia berjanji akan menja<strong>di</strong> penginjil. Ia <strong>di</strong>terima<br />
<strong>di</strong> seminaris RMG <strong>di</strong> Wuppertal-Barmen (1857–1861) dan setelah tamat Nommensen langsung pergi<br />
ke Belanda untuk naik kapal ke Sumatra bertepatan dengan malam Natal 1861. Di Amsterdam,<br />
Nommensen masih sempat belajar bahasa Batak pada H.N. van der Tuuk yang pada saat itu sedang<br />
berada <strong>di</strong> Belanda.
L. I. Nommensen umumnya <strong>di</strong>anggap sebagai salah seorang misionaris yang paling berhasil. Pada<br />
tahun kematiannya gereja Batak Toba Huria Kristen Batak Protestant memiliki 500 paroki dengan<br />
180.000 jemaah, 34 pastor (pan<strong>di</strong>ta Batak), hampir 800 guru dan lebih dari 2.000 Sintua. Tahun 1940<br />
HKBP menja<strong>di</strong> man<strong>di</strong>ri, 1948 menja<strong>di</strong> anggota Dewan Oikumene (ÖkumenischerRat der Kirchen), dan<br />
1952 menja<strong>di</strong> anggota Serikat Dunia Luther (Lutheranischer Weltbund). Dengan jumlah jemaah sekitar<br />
2,5 juta HKPB menja<strong>di</strong> gereja terbesar <strong>di</strong> Asia Tenggara. Atas jasanya tahun 1904 Nommensen<br />
memperoleh gelar doktor honoris causa dari Universitas Bonn, dan tahun 1911 ia memperoleh<br />
penghargaan Kerajaan Belanda dengan menja<strong>di</strong> Officier 8 Ordo Oranye-Nassau.<br />
Kini nama Nommensen terlupakan oleh orang Jerman. Hal itu terutama <strong>di</strong>sebabkan bahwa malahan<br />
dalam lingkungan gereja upaya penginjilan sering <strong>di</strong>anggap sebagai tindakan pemaksaan terhadap<br />
bangsa-bangsa “berwarna” dalam konteks imperialisme kolonial.<br />
Dalam Pengakuan Bersalah (Schuldbekenntnis) tertanggal 27-9-1971 secara resmi Vereinigte<br />
Evangelische Mission, (VEM) sebagai pengganti RMG mengakui: “Kami terlalu sering menyerah pada<br />
godaan bersekongkolan dengan para penguasa sekuler dengan mengorbankan saudara dan saudari<br />
pribumi.” 9<br />
Sejak awal sekali para misionaris sebetulnya menargetkan daerah Toba dan<br />
Silindung yang padat penduduk. Tahun 1861, segera sesudah <strong>di</strong>kirim ke Sumatra,<br />
Nommensen mengadakan perjalanan ke daerah Toba dan <strong>di</strong>sambut dengan baik,<br />
namun pemerintah melarangnya untuk menetap <strong>di</strong> sana. Pemerintah tidak bersikap<br />
anti-zen<strong>di</strong>ng dan malahan sangat mendukung upaya penginjilan, tetapi para<br />
penguasa takut bahwa keha<strong>di</strong>ran misionaris akan mengakibatkan adanya<br />
pemberontakan sebagaimana terja<strong>di</strong> <strong>di</strong> Kalimantan tahun 1859 (<strong>Perang</strong> Banjar).<br />
Karena tidak dapat menetap <strong>di</strong> Toba terpaksa Nommensen <strong>di</strong>tempatkan dulu <strong>di</strong><br />
Parausorat. Pada November 1863 ia mengadakan perjalanan ke Silindung untuk<br />
melacak kemungkinan akan <strong>di</strong>terima <strong>di</strong> sana, namun sambutan penduduk tidak<br />
begitu hangat: “Mereka mengemukakan kekhawatiran (yang memang bukan tidak<br />
beralasan) bahwa apabila sudah ada guru asal Eropa yang menetap <strong>di</strong> antaranya<br />
hal itu pasti akan berujung pada aneksasi tanah mereka ke dalam wilayah<br />
pemerintah Belanda.” (JB 1863:46)<br />
Baru pada bulan Mei tahun 1864 Nommensen, dengan bantuan raja Pontas<br />
Lumbantobing, pindah ke lembah Silindung. Walaupun mendapatkan perlawanan<br />
yang hebat dari penduduk, ia berhasil membaptis beberapa keluarga <strong>di</strong> bulan<br />
Agustus 1865. Setahun kemu<strong>di</strong>an Nommensen <strong>di</strong>dampingi oleh Peter Hinrich<br />
Johannsen (1839-1898) yang juga berasal dari Schleswig (tempat kelahiran<br />
Johannsen, Wed<strong>di</strong>ngstedt <strong>di</strong> Holstein, tidak jauh dari kampung halaman<br />
8 Penghargaan tersebut ada enam tingkatan. Penghargaan yang tertinggi adalah Ridder<br />
Grootkruis, <strong>di</strong>ikuti oleh Grootofficier, Commandeur, Officier, Ridder, dan Lid.<br />
9 “Wir bekennen, daß wir oftmals der Versuchung erlegen sind, mit den weltlichen<br />
Machthabern auf Kosten unserer einheimischen Brüder und Schwestern<br />
zusammenzuarbeiten”. Dikutip dari majalah Vereinte Evangelischen Mission In <strong>di</strong>e Welt -<br />
für <strong>di</strong>e Welt No. 12/1971, hal. 13).
Nommensen). Beliau yang antara lain terkenal karena menerjemahkan alkitab ke<br />
dalam bahasa Batak, men<strong>di</strong>rikan pos zen<strong>di</strong>ng yang baru <strong>di</strong> Pansur na Pitu (1867)<br />
dan menja<strong>di</strong> misionaris dan guru <strong>di</strong> sana hingga ia meninggal pada tahun 1898.<br />
Walaupun RMG mengalami kesulitan dalam soal keuangan, penginjilan <strong>di</strong><br />
Silindung mereka prioritaskan dengan menambahkan pos-pos zen<strong>di</strong>ng baru <strong>di</strong><br />
Sipoholon (1870), Simorangkir (1875), dan Bahal Batu (1876). Jumlah orang<br />
Kristen, walaupun masih minoritas, berkembang dengan pesat dan pada tahun<br />
1870an golongan Batak Kristen <strong>di</strong> Silindung sudah cukup besar untuk menja<strong>di</strong><br />
kekuatan sosial dan politik.<br />
Mulai tahun 1830 Belanda memutuskan untuk tidak lagi memperluas wilayah<br />
kekuasaan <strong>di</strong> Indonesia. Alasannya karena daerah <strong>di</strong> luar Jawa akan kurang<br />
menguntungkan bagi negara Belanda, dan juga karena administrasi kolonial tidak<br />
sanggup memerintah seluruh Nusantara yang luasnya lebih dari empat puluh kali<br />
lipat negara induknya. Oleh sebab itu wilayah jajahan Belanda <strong>di</strong> Nusantara<br />
<strong>di</strong>batasi pada Pulau Jawa, Ambon serta beberapa daerah <strong>di</strong> Sumatra. Masih pada<br />
tahun 1861 menteri untuk urusan penjajahan (minister van koloniën) mengatakan<br />
bahwa tiap upaya perluasan wilayah berarti “suatu langkah lagi menuju kehancuran<br />
kita” 10 . Kebijakan onthou<strong>di</strong>ngspolitiek (politik tidak campur tangan) itu baru mulai<br />
<strong>di</strong>tinggal pada tahun 1870an sehingga pada tahun 1907 hampir semua wilayah <strong>di</strong><br />
Nusantara sudah menja<strong>di</strong> bagian dari Hin<strong>di</strong>a Belanda.<br />
Suatu peristiwa yang sangat penting untuk sejarah Sumatra bagian utara adalah<br />
pembukaan terusan Suez pada tahun 1869. Sebelum terusan Suez <strong>di</strong>buka<br />
kepulauan Indonesia <strong>di</strong>capai melalui Selat Sunda dari Afrika. Dari terusan Suez,<br />
laluan ke Indonesia, dan juga ke Singapura yang <strong>di</strong>kuasai Inggris, lebih pendek<br />
melalui Selat Melaka. Inggris yang merasa terganggu oleh pembajak laut <strong>di</strong><br />
perairan Aceh membatalkan Perjanjian Sumatra 1824 yang menjamin kedaulatan<br />
Aceh dan menandatangani Perjanjian Sumatra 1871 yang memberi Belanda<br />
keleluasaan untuk berdagang <strong>di</strong> seluruh Sumatra termasuk Aceh sementara<br />
Belanda berjanji untuk menjamin keamanan <strong>di</strong> Selat Melaka. Akibat Perjanjian<br />
Sumatra, Aceh mengadakan hubungan <strong>di</strong>plomatik dengan Konsul Amerika Serikat,<br />
Kerajaan Italia, Kesultanan Usmaniyah (Turki) <strong>di</strong> Singapura yang pada giliran<br />
<strong>di</strong>ja<strong>di</strong>kan alasan Belanda untuk menyerang Aceh.<br />
Keha<strong>di</strong>ran para zendeling <strong>di</strong> Tanah Batak tentu tidak <strong>di</strong>setujui oleh<br />
Singamangaraja XII yang menggantikan ayahnya pada tahun 1867 apalagi setelah<br />
mereka mengundang Gubernur Pantai Barat Sumatra Arriens menjelang Natal<br />
10 “een schrede nader tot onze ondergang.”
1868. Pada kesempatan itu para misionaris menekankan kepada gubernur bahwa<br />
mereka akan menyambut baik aneksasi Tanah Batak demi adanya pemerintah<br />
yang menjalankan hukum dan kea<strong>di</strong>lan (Recht und Gerechtigkeit) (BRMG<br />
1869:300, BRMG 1871:142-3). Misionaris Johannsen malah menganggap Arriens<br />
sebagai “sungguh-sungguh wakil Allah yang untuk membawa kesenangan bagi<br />
Silindung” 11 .<br />
Tentu Singamangaraja merasa kedaulatannya <strong>di</strong>ingkari dengan kedatangan<br />
pembesar Belanda ke dalam wilayah kekuasaan Singamangaraja tetapi ternyata<br />
tidak ada reaksi apa-apa mungkin karena beliau masih muda dan belum cukup<br />
berpengalaman.<br />
Pecahnya <strong>Perang</strong> Aceh <strong>di</strong> tahun 1873 mengubah peta politik Sumatra. Belanda<br />
yang mengharapkan kemenangan yang gilang-gemilang ternyata <strong>di</strong>pukul balik oleh<br />
pasukan Aceh dan sang pemimpin pasukan Belanda Jenderal Johan Harmen Rudolf<br />
Köhler tewas. Pada ekspe<strong>di</strong>si berikut tahun 1874 Belanda berhasil menduduki<br />
Banda Aceh sementara orang Aceh tetap memerangi Belanda dengan strategi<br />
gerilya.<br />
Dalam upaya untuk mencari sekutu melawan Belanda orang Aceh ternyata juga<br />
menghubungi Singamangaraja dan pada tahun 1877 <strong>di</strong>laporkan bahwa ada<br />
sejumlah orang Aceh <strong>di</strong> Tanah Batak. Pada waktu itu Singamangaraja sudah<br />
memutuskan untuk menjalin kerjasama dengan Aceh dan untuk mengusir para<br />
misionaris yang <strong>di</strong>anggap sebagai pelopor kekuasaan Belanda. memberi perintah<br />
agar para misionaris harus meninggalkan wilayahnya.<br />
Pada bulan Januari 1878 para misionaris <strong>di</strong>perintahkan untuk segera<br />
meninggalkan wilayah Singamangaraja. Karena merasa terancam para misionaris<br />
meminta bantuan tentara Belanda, dan pada gilirannya mereka juga membantu<br />
tentara Belanda:<br />
Ekspe<strong>di</strong>si itu sangat berhasil dan berlangsung dengan sangat cepat pula –<br />
dari awal Februari hingga akhir Maret. Ekspe<strong>di</strong>si itu begitu luar biasa<br />
berhasil karena Silindung menja<strong>di</strong> pangkalan yang sangat aman [bagi<br />
tentara Belanda], dan karena tentara <strong>di</strong>pandu dan <strong>di</strong>nasihati oleh para<br />
misionaris yang sangat mengetahui masyarakat Batak dan daerahnya.<br />
Dukungan dan bantuan para misionaris yang ikut pada ekspe<strong>di</strong>si itu juga<br />
mempunyai tujuan yang satu lagi, yaitu untuk meyakinkan masyarakat<br />
bahwa perlawanan mereka sia-sia dan supaya sebaiknya mereka<br />
menyerah. (JB 1878:31)<br />
11 Immanuel Februari 1894 (<strong>di</strong>kutip dari Aritonang 1988:160)
Para Penginjil <strong>di</strong> Tanah Batak<br />
Siapa para misionaris itu dan mengapa mereka begitu mudah <strong>di</strong>peralat oleh<br />
tentara kolonial?<br />
Para misonaris RMG percaya bahwa bangsa-bangsa <strong>di</strong> Asia dan Afrika harus<br />
<strong>di</strong>bebaskan dari belegu “kekafiran” dan “kebarbaran”. Sebagai penganut aliran<br />
pietisme mereka berkeyakinan bahwa tidak lama lagi Yesus Kristus akan bangkit<br />
kembali dan bahwa mereka memiliki tugas untuk menyelamatkan jiwa-jiwa yang<br />
sesat. Seperti Aritonang (1988) menunjukkan dalam bukunya Sejarah Pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan<br />
Kristen <strong>di</strong> Tanah Batak maka perjumpaan orang Batak dengan para misionaris<br />
bukanlah sebuah perjumpaan antara dua pihak yang sederajat. Para misionaris<br />
RMG adalah anak zamannya yang percaya pada keunggulan peradaban Eropa, dan<br />
pada keunggulan ras putih.<br />
Pada tahun 1878, ketika Silindung dan Toba <strong>di</strong>aneksi dalam <strong>Perang</strong> Toba I, ada<br />
enam penginjil <strong>di</strong> Silindung – Johannsen, Metzler, Mohri, Nommensen, Püse, dan<br />
Simoneit. Yang paling tua adalah Nommensen yang ketika itu berumur 43 tahun<br />
sementara yang paling muda, Metzler, berumur 30 tahun. Pada waktu mereka<br />
mulai pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kannya untuk menja<strong>di</strong> misionaris <strong>di</strong> seminaris RMG <strong>di</strong> Barmen,<br />
mereka berusia antara 21 (Johannsen) dan 26 tahun (Mohri dan Püse). Sesuai<br />
dengan kebiasaan <strong>di</strong> RMG mereka segera berangkat ke tempat tujuannya setelah<br />
mereka tamat seminaris <strong>di</strong> Barmen dan menerima or<strong>di</strong>nasi yang hanya berlaku<br />
untuk penginjilan pada bangsa non-Kristen. Ketika keenam misionaris itu untuk<br />
pertama kali menginjak Tanah Batak mereka berusia antara 26 dan 32 tahun, dan<br />
mereka semua belum kawin.<br />
Keputusan untuk menja<strong>di</strong> seorang misionaris berarti bahwa mereka akan<br />
memasuki kehidupan yang serba berbeda. Rata-rata para misionaris RMG<br />
berkebangsaan Jerman yang berangkat ke Sumatra antara 1861 dan 1875 berada<br />
<strong>di</strong> Tanah Batak selama 30 tahun. Mereka memang <strong>di</strong>harapkan untuk tetap berada<br />
<strong>di</strong> tempat tujuan hingga mencapai usia pensiun. Satu-satunya misionaris yang<br />
<strong>di</strong>panggil kembali adalah August Wilhelm Schreiber (sen.) yang <strong>di</strong>butuhkan sebagai<br />
guru <strong>di</strong> seminaris Barmen 12 . Misionaris yang paling lama tinggal <strong>di</strong> Tanah Batak<br />
adalah L.I. Nommensen yang ber<strong>di</strong>am <strong>di</strong> Tanah Batak selama 57 tahun, <strong>di</strong>ikuti oleh<br />
M. Metzler (49 tahun), A. Mohri (40 tahun), J. Christiansen, serta P. Johannsen (33<br />
tahun). Empat dari 13 misionaris itu malahan menetap <strong>di</strong> Tanah Batak hingga<br />
mereka meninggal. Johannsen meninggal <strong>di</strong> Pansur na Pitu pada usia 59 tahun,<br />
12 Schreiber hanya tujuh tahun menja<strong>di</strong> misionaris (1867-1873) <strong>di</strong> Prau Sorat.
Mohri <strong>di</strong> Purba pada usia 72 tahun, Nommensen <strong>di</strong> Sigumpar pada usia 84 tahun,<br />
dan Staudte <strong>di</strong> Sipirok pada usia 39 tahun. Ja<strong>di</strong> kebanyakan misionaris memilih<br />
masa pensiun <strong>di</strong> Jerman, tetapi ada juga <strong>di</strong> antaranya, seperti Nommensen, dan<br />
Mohri yang memutuskan untuk tidak kembali ke tanah airnya. Ada pula misionaris<br />
yang masih tetap bertugas hingga mencapai usia pensiun dan baru kembali ke<br />
Jerman pada usia yang sudah lanjut. Ch. Schütz misalnya baru kembali ke Jerman<br />
pada usia 74 tahun, dan W. Metzler masih bertugas <strong>di</strong> Pearaja hingga mencapai<br />
umur 78 tahun.<br />
Para misionaris <strong>di</strong>perbolehkan untuk sekali-sekali pulang ke tanah airnya.<br />
Nommensen misalnya empat kali kembali ke Jerman (tahun 1880-81, 1892, 1905,<br />
dan 1912) sementara Johannsen, Mohri, dan Simoneit hanya sekali dalam 30 tahun<br />
lebih mengambil cuti ke Jerman.<br />
Setelah <strong>di</strong>utus ke masing-masing wilayah kerjanya para misionaris <strong>di</strong>wajibkan<br />
untuk senantiasa patuh pada pimpinan RMG. Pada semua keputusan yang penting<br />
(misalnya meminjam uang, memindahkan lokasi pos penginjilan) para misionaris<br />
tidak hanya memerlukan persetujuan daripada misionaris lainnya <strong>di</strong> wilayah<br />
kerjanya tetapi mereka juga membutuhkan izin tertulis dari pimpinan RMG. Mereka<br />
yang tidak mematuhi peraturan ini segera <strong>di</strong>berhentikan.<br />
Tabel 1 Data Misionaris RMG 1861–1878<br />
A B C D E<br />
Asselt, Gerrit von 1832 1856 1862 1875 1910<br />
Betz, Friedrich Wilhelm 1832 1860 1858 1869 1881<br />
Christiansen, Julius 1844 1871 1879 1906 1934<br />
Heine, Carl Wilhelm 1833 1860 1866 1873 1897<br />
Johannsen, Peter 1839 1865 1870 1898<br />
Klammer, Johann 1826 1855 1861 1883 1919<br />
Leipoldt, Christian 1844 1869 1874 1879 1911<br />
Metzler, Wilhelm 1847 1875 1877 1924 1935<br />
Mohri, August 1835 1867 1871 1907<br />
Nommensen, I.L. 1834 1861 1866 1918<br />
Püse, Heinrich 1842 1874 1882 1905 1920<br />
Schreiber, August 1839 1866 1866 1873 1903<br />
Schütz, Christian 1838 1867 1870 1912 1922<br />
Simoneit, August 1842 1873 1882 1886 1886<br />
Staudte, Friedrich 1845 1873 1877 1884
A Tahun Kelahiran, B Tahun Keberangkatan ke Sumatra, C Tahun Perkawinan, D Tahun<br />
Kepulangan, E Tahun Kematian<br />
Peraturan yang berkaitan dengan mencari teman hidup sangat ketat bagi para<br />
misionaris. Apabila seorang seminaris bertunangan sebelum tamat maka ia harus<br />
segera meninggalkan seminaris. Karena para penginjil biasanya segera sesudah<br />
tamat <strong>di</strong>kirim ke luar negeri dan berada <strong>di</strong> wilayah kerjanya selama bertahun-tahun<br />
maka mereka tidak sempat untuk memilih teman hidup sen<strong>di</strong>ri. Oleh sebab itu<br />
maka pilihan calon istri menja<strong>di</strong> tugas pimpinan RMG. Istri Mohri, misalnya,<br />
berangkat dari Jerman pada akhir tahun 1869 bersama dengan tiga perempuan<br />
pilihan RMG lain yang <strong>di</strong>tentukan bagi tiga penginjil <strong>di</strong> Borneo. Mereka satu<br />
rombongan dengan penginjil Zimmer dan istri Zimmer <strong>di</strong>tunjuk untuk menjaga<br />
ketiga calon istri itu. Setiba <strong>di</strong> Batavia calon istri Mohri naik kapal ke Padang, dan<br />
lalu ke Sibolga untuk bertemu dengan penginjil Mohri. Perkawinan <strong>di</strong> antara kedua<br />
pengantin yang belum pernah bertemu sebelumnya <strong>di</strong>laksanakan pada 22 Februari<br />
1870, dan pada 10 Maret ketiga perempuan lainnya <strong>di</strong>kawinkan dengan ketiga<br />
penginjil <strong>di</strong> Kuala Kapuas. Februari 1871 Johannsen menjemput istrinya <strong>di</strong> Sibolga.<br />
Para misionaris memperoleh istri pilihan pimpinan RMG rata-rata lima tahun<br />
setelah mulai menetap <strong>di</strong> Sumatra. Hal itu sesuai dengan peraturan RMG yang<br />
mengharuskan para penginjil menunggu minimal dua atau bahkan lima tahun<br />
sebelum <strong>di</strong>perbolehkan kawin. Metzler mendapatkan pasangan hidupnya setelah<br />
hanya dua tahun bertugas, tetapi kebanyakan misonaris harus menunggu sampai<br />
lima, dan penginjil Püse dan Simoneit malahan tujuh dan sembilan tahun.<br />
Para calon istri misionaris juga belajar <strong>di</strong> RMG namun pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kannya berfokus<br />
pada keterampilan seperti memasak dan menjahit sementara pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan teologi<br />
sangat kurang. Terutama menjahit dan menyanyi <strong>di</strong>lihat sebagai wahana<br />
penginjilan yang efektif. Kehidupan para istri misionaris cukup susah karena<br />
ruangan gerak mereka sangat terbatas, dan mereka malahan hanya <strong>di</strong>izinkan<br />
mengasuh anaknya hingga usia sekolah dasar karena untuk pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan sekolah<br />
anak-anak misionaris <strong>di</strong>kirim ke Jerman untuk <strong>di</strong>asuh pihak RMG.<br />
Mengingat bahwa para misionaris tiba <strong>di</strong> Tanah Batak sebagai bujangan berumur<br />
20an tahun maka seharusnya ada paling tidak beberapa <strong>di</strong> antara misionaris itu<br />
yang memperistri seorang perempuan Batak. Ternyata hal itu tidak pernah terja<strong>di</strong>,<br />
tidak <strong>di</strong> zamannya Nommensen dan juga tidak <strong>di</strong> kemu<strong>di</strong>an hari. Dari lebih dari<br />
seratus penginjil yang <strong>di</strong>utus RMG ke Tanah Batak tidak seorang pun yang<br />
memperistri seorang boru Batak.<br />
Setahu kami tidak pernah ada peraturan yang melarang perkawinan seorang<br />
penginjil dengan seorang ga<strong>di</strong>s pribumi, namun ada semacam perjanjian tidak
tertulis bahwa hal itu takkan boleh terja<strong>di</strong>. Kendati demikian asmara tidak<br />
senantiasa terbendung, dan pada bulan November tahun 1900 Wilhelm Müller yang<br />
menja<strong>di</strong> penginjil Norddeutsche Missions-Gesellschaft <strong>di</strong> Togo pada November 1900<br />
mengajukan permohonan kepada atasannya untuk mengawini seorang ga<strong>di</strong>s<br />
Kristen dari suku Ewe. August Wilhelm Schreiber (jun.) menerima permintaan<br />
tersebut dan meneruskannya kepada dewan NMG yang harus memutuskannya.<br />
Pada surat tersebut Schreiber membubuhkan catatan: “Saya telah memberitahu<br />
penginjil Schreiber bahwa saya tidak pernah akan menyetujui perkawinan antara<br />
seorang penginjil dengan seorang Negro.” Permohonan Müller <strong>di</strong>tolak dan Müller<br />
meninggalkan zen<strong>di</strong>ng NMG yang merupakan salah satu badan zen<strong>di</strong>ng yang<br />
progresif pada waktu itu. Perkawinan dengan seorang pribumi <strong>di</strong>khawatirkan bisa<br />
menja<strong>di</strong> isyarat bahwa masyarakat pribumi dan penginjil sederajat, dan hal itu<br />
harus <strong>di</strong>hindari. Keja<strong>di</strong>an serupa terulang pada tahun 1914 ketika penginjil Karl<br />
Frank meminta persetujuan NMG untuk mengawini seorang ga<strong>di</strong>s Kristen Ewe.<br />
Permintaan ini pun <strong>di</strong>tolak dan hubungan kerja dengan penginjil Frank <strong>di</strong>putuskan<br />
(Altena 2003:148-149).<br />
Para penginjil senantiasa <strong>di</strong>sadari bahwa dana RMG berasal dari sumbangan para<br />
pendukung dan oleh karena itu mereka <strong>di</strong>harapkan untuk hidup lebih sederhana<br />
daripada penginjil dari serikat penginjilan lainnya. Kebanyakan penginjil bagaimana<br />
pun sudah terbiasa hidup dalam kesederhanaan. Latar belakang sosial mereka<br />
sangat bersahaja. Nommensen misalnya berasal dari sebuah keluarga yang miskin<br />
<strong>di</strong> Nordstrand – sebuah kampung kecil dan terbelakang <strong>di</strong> daerah Schleswig yang<br />
pada tahun kelahiran Nommensen masih menja<strong>di</strong> wilayah Denmark: “Saya anak<br />
dari orang tua miskin dan sakit-sakitan yang <strong>di</strong>besarkan dengan roti tanpa isi,<br />
hanya pakai garam, dengan kacang dan sup arcis, kentang tanpa lauk, dan bubur<br />
gandum” 13 . Ketika berumur tujuh tahun Nommensen memilih menggembala angsa<br />
daripada duduk <strong>di</strong> bangku sekolah, pada usia delapan ia menja<strong>di</strong> penggembala<br />
kambing, pada usia sembilan ia belajar menja<strong>di</strong> tukang atap, pada umur sepuluh ia<br />
menja<strong>di</strong> tukang kuda, pada usia sebelas tahun ia menja<strong>di</strong> buruh tani, dan sebelum<br />
masuk seminaris RMG ia sempat menja<strong>di</strong> guru bantu. Leipoldt dan Christiansen,<br />
teman Nommensen dari Nordstrand, juga sempat menja<strong>di</strong> guru bantu. Metzler<br />
menja<strong>di</strong> Lohgerber (tukang yang mengolah kulit binatang), Mohri menja<strong>di</strong><br />
Eisenfabrikarbeiter (buruh pabrik besi), Püse menja<strong>di</strong> Zimmermann (tukang<br />
bangunan), Klammer dan Simoneit menja<strong>di</strong> Schreiner (tukang kayu), Schütz<br />
13 Ich war ein Junge armer, kränklicher Eltern, der bei trockenem Brot und Salz,<br />
Pferdebohnen und Erbsensuppe, trockenen Karthoffen und Roggenmehlbrei groß<br />
geworden. (Warneck 1950:9)
menja<strong>di</strong> Anstreicher (tukang cat), Staudte menja<strong>di</strong> Drechsler (tukang kayu), dan<br />
Heine menja<strong>di</strong> Bauer (petani). Hanya satu <strong>di</strong> antara keenam penginjil <strong>di</strong> Silindung,<br />
Johannsen, menja<strong>di</strong> guru sekolah sebelum masuk seminaris RMG. Betapa susah<br />
pun dari segi kenyamanan dan materi kehidupan para misionaris, <strong>di</strong>ban<strong>di</strong>ngkan<br />
dengan kehidupan <strong>di</strong> Jerman status sosial mereka <strong>di</strong> Sumatra jauh lebih tinggi. 14<br />
(Angerler 1993:56–57)<br />
August Schreiber berbeda dari semua misionaris lainnya karena hanya ia sen<strong>di</strong>ri<br />
yang berpen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan tinggi. Schreiber juga bukan tamatan seminaris <strong>di</strong> Barmen<br />
melainkan tamatan universitas dengan gelar doktor teologi. Dr. Schreiber menja<strong>di</strong><br />
guru <strong>di</strong> seminaris <strong>di</strong> Barmen antara tahun 1865-1866 dan 1873-1884 dan mulai<br />
tahun 1884 hingga tahun 1903 ia menja<strong>di</strong> Inspektor (<strong>di</strong>rektur) RMG.<br />
Sikap terhadap pribumi<br />
Walaupun kebanyakan penginjil berasal dari latar belakang sosial yang<br />
sederhana, mereka berkeyakinan menja<strong>di</strong> “wakil peradaban yang begitu jauh lebih<br />
unggul daripada budaya kafir” (AMZ 6, 1879:352) 15 . Masyarakat <strong>di</strong> wilayah<br />
penginjilan <strong>di</strong>anggap tidak memiliki peradaban sehingga <strong>di</strong>perlukan adanya transfer<br />
budaya dan peradaban Eropa. Untuk transfer budaya satu arah itu Warneck<br />
menggunakan istilah Culturkampf (perang budaya) yang <strong>di</strong>laksanakan “<strong>di</strong> semua<br />
tempat pertemuan Cultur Kristen Eropa dengan kebarbaran dan Uncultur bangsa-<br />
bangsa <strong>di</strong> luar Eropa.” 16<br />
Oleh karena masyarakat “primitif” tidak memiliki Cultur (budaya) melainkan<br />
Uncultur (non-budaya/kekacauan) maka sebagian besar unsur budaya yang sudah<br />
ada harus <strong>di</strong>hilangkan. Namun dalam praktek para penginjil, paling tidak <strong>di</strong> daerah<br />
Batak, melihat adanya unsur budaya Batak yang perlu <strong>di</strong>lestarikan, termasuk<br />
aksara Batak, sastra lisan, dan arsitektur. Namun sebagian besar budaya Batak<br />
<strong>di</strong>anggap tidak penting atau malahan bertentangan dengan agama Kristen sehingga<br />
perlu <strong>di</strong>hilangkan. Penginjil Nommensen misalnya melarang jemaatnya untuk<br />
14<br />
Perlu <strong>di</strong>ketahui bahwa kehidupan seorang tukang, buruh, atau petani pada pertengahan<br />
abad ke-19 jauh sekali berbeda dengan keadaan yang sekarang. Hampir semua<br />
misionaris berasal dari keluarga yang miskin.<br />
15<br />
Majalah Allgemeine Missions-Zeitschrift (AMZ) <strong>di</strong><strong>di</strong>rikan oleh Gustav Warneck, <strong>di</strong>rektur<br />
RMG.<br />
16<br />
Überall wo unsere christliche, europäische Cultur und Civilisation mit der Uncultur und<br />
Barbarei der nicht europäischen Völker in Berührung getreten (<strong>di</strong>kutip dari Schubert<br />
2003:126).
ermain musik (margondang), menari (manortor), dan malahan sistem<br />
kekerabatan orang Batak yang <strong>di</strong>kenal sebagai dalihan na tolu ingin <strong>di</strong>hilangkannya<br />
dengan mengizinkan perkawinan antara orang sesama marga. Setelah<br />
mendapatkan perlawanan dari orang Batak maka para penginjil berse<strong>di</strong>a untuk<br />
berkompromi, tetapi gondang dan tortor Batak tetap <strong>di</strong>larang dan <strong>di</strong>ganti dengan<br />
musik tiup asal Jerman. Bukan saja <strong>di</strong> Batakmission tetapi juga <strong>di</strong> Afrika seni tari<br />
selain tari Eropa <strong>di</strong>anggap kegiatan yang berdosa (Paczensky, 1991:134).<br />
Perasaan unggul yang <strong>di</strong>miliki oleh hampir semua orang Eropa terhadap bangsa<br />
“primitif” membuatnya cenderung untuk melihat masyarakat setempat dengan<br />
serba negatif.<br />
Dalam buku hariannya tahun 1853 Carl Hugo Hahn, misionaris pertama <strong>di</strong><br />
Namibia, menyimpulkan watak suku Nama sebagai berikut: “Watak mereka<br />
sombong, tidak setia, licik, curiga, curang, tidak mau memaafkan, keras kepala,<br />
tidak teguh pen<strong>di</strong>rian, tamak, birahi, suka membunuh, dan pemabuk. Selain itu<br />
mereka teramat membenci bangsa kulit putih.” 17 Prasangka yang serba negatif<br />
juga <strong>di</strong>kemukakan oleh Junghuhn. Menurutnya orang Batak memiliki sifat<br />
pemabuk, takhyuli, curiga, kejam, tidak sabar, tidak patuh, keras kepala dan<br />
malas, tetapi Junghuhn juga melihat adanya sifat positif pada orang Batak seperti<br />
berani, jujur, berterus-terang, baik hati dan man<strong>di</strong>ri (Junghuhn 1847a:240).<br />
Penilaian positif tersebut tentu juga berkaitan dengan keunggulan ras yang –<br />
menurut Junghuhn– <strong>di</strong>miliki oleh orang Batak terhadap suku-suku lain <strong>di</strong> Hin<strong>di</strong>a-<br />
Belanda.<br />
Junghuhn menekankan bahwa “orang Batak malas seperti semua orang yang<br />
tinggal <strong>di</strong> daerah khatulistiwa.” (idem 237). Menurut bekas <strong>di</strong>rektur RMG Gustav<br />
Warneck “kemalasan merupakan masalah terutama pada bangsa-bangsa primitif”<br />
dan bahwa “dalam hal ini suku bangsa buas seperti kanak-kanak. Mereka harus<br />
<strong>di</strong>paksa untuk bekerja. Kalau kita membiarkan mereka sen<strong>di</strong>ri mereka akan tetap<br />
malas” (AMZ 6, 1879:430). Sesuai dengan semboyan ora et labora, ora (berdoa)<br />
<strong>di</strong>lihat sebagai budaya, dan labora (bekerja) sebagai inti peradaban dan budaya<br />
sekaligus (Schubert 2003:126).<br />
Oleh sebab itu maka zen<strong>di</strong>ng memiliki tugas untuk men<strong>di</strong><strong>di</strong>k masyarakat pribumi<br />
agar bisa bekerja dengan tekun dan rajin. Bagi masyarakat “kafir” <strong>di</strong> Afrika<br />
pekerjaan terutama yang <strong>di</strong>untukkan bagi bangsa pribumi adalah sebagai kuli<br />
17 Die hervorstechenden Züge ihres Charakters sind: unbegrenzter Hochmut, Treulosigkeit,<br />
Hinterlist, Misstrauen, Verschlagenheit und Unversöhnlichkeit und Hartnäckigkeit und<br />
doch auch Wankelmut, Mord- und Habsucht ... und Wollust und Trunkenheit. Dazu gesellt<br />
sich ein unauslöschlicher bitterer Hass gegen alle Weißen [...]. Buku Harian penginjil Carl<br />
Hugo Hahn, 1853. Dikutip dari http://de.wikipe<strong>di</strong>a.org/wiki/Nama_(Volk).
perkebunan. Terutama Warneck berulang kali menekankan dalam AMZ betapa<br />
penting zen<strong>di</strong>ng dalam pembentukan watak yang sesuai dengan kepentingan<br />
penjajah (Schubert 2003:125–131).<br />
Namun keadaan <strong>di</strong> Batakmission berbeda dengan Afrika. Afrika Barat Daya<br />
<strong>di</strong>jajah oleh Jerman sementara Tanah Batak menja<strong>di</strong> bagian Hin<strong>di</strong>a-Belanda.<br />
Jerman memang ada kepentingan ekonomi <strong>di</strong> Sumatra Timur karena ada sejumlah<br />
perkebunan yang <strong>di</strong>miliki oleh perusahaan Jerman, namun Deli, yang <strong>di</strong>juluki Het<br />
Dollarland (Tanah Dolar), dengan kekayaan yang melimpah, cukup jauh dari<br />
Tapanuli. Dari segi ekonomi Tanah Batak kurang menarik bagi pemerintah Hin<strong>di</strong>a-<br />
Belanda – apalagi bagi pemerintah Jerman. Daerah Batak tidak memiliki kekayaan<br />
alam yang layak untuk <strong>di</strong>eksploitasi, dan juga tidak sesuai untuk membuka<br />
perkebunan. “Kemalasan” orang Batak yang <strong>di</strong>keluhkan para penginjil (BRMG<br />
1863:16) memang termasuk <strong>di</strong> antara sifat-sifat buruk yang perlu <strong>di</strong>perantas,<br />
tetapi terutama karena tuntutan etos Protestan dan bukan karena kebutuhan<br />
ekonomi. Selain sifat negatif seperti pendendam, keras kepala, dan susah dapat<br />
<strong>di</strong>atur, para misionaris juga melihat adanya sifat positif – terutama sesudah mereka<br />
telah bertahun-tahun tinggal <strong>di</strong> tengah-tengah masyarakat Batak.<br />
Tidak dapat <strong>di</strong>pungkiri bahwa setelah kedatangan Batakmission ada kemajuan<br />
pesat <strong>di</strong> Tanah Batak. Namun faktor utama kemajuan bukan Batakmission sen<strong>di</strong>ri<br />
melainkan keadaan politik yang relatif stabil <strong>di</strong> bawah pemerintahan kolonial, dan<br />
kemajuan ekonomi sebagai akibat keadaan politik dan karena peningkatan<br />
prasarana selama masa penjajahan. Beda dengan orang Minangkabau atau orang<br />
Jawa yang teramat menderita <strong>di</strong> bawah sistem tanam paksa, zaman penjajahan<br />
bagi kebanyakan orang Batak membawa dampak yang positif, terutama dari segi<br />
ekonomi. Harga-harga turun drastis, terutama setelah <strong>di</strong>buka jalan raya yang<br />
menghubungkan Tapanuli dengan Deli, Sibolga dan Padang. Barang-barang yang<br />
belum pernah <strong>di</strong>kenal tiba-tiba terse<strong>di</strong>a, terbuka lapangan untuk perdagangan dan<br />
segala macam pekerjaan yang sebelumnya tidak <strong>di</strong>kenal, adanya sistem pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan<br />
dan kesehatan modern juga mendorong kesejahteraan masyarakat.<br />
Namun tetap ada duri <strong>di</strong> dalam daging: orang Batak <strong>di</strong>kuasai oleh bangsa asing,<br />
dan tidak <strong>di</strong>beri kesempatan untuk mengatur kehidupan sen<strong>di</strong>ri; tidak <strong>di</strong><br />
pemerintahan dan juga tidak <strong>di</strong> gereja. Batakmission <strong>di</strong>kuasai oleh para misionaris<br />
Jerman dan mereka tidak berse<strong>di</strong>a untuk melepaskan kekuasaan mereka itu.<br />
Dalam buku Sejarah Pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan Kristen <strong>di</strong> Tanah Batak, Jan S. Aritonang<br />
menulis: “Lambat laun sebagaian masyarakat Batak Kristen semakin jelas melihat<br />
bahwa para zendeling Batakmission itu sangat menonjolkan superioritas dan<br />
paternalisme mereka sebagai orang Kristen Barat, dan mereka mulai tidak betah
terhadap sikap yang demikian.” (Aritonang, 1988:440). Gerakan keman<strong>di</strong>rian dan<br />
nasionalisme <strong>di</strong> bahwa semboyan Hamajuon (kemajuan) <strong>di</strong>kecam keras oleh para<br />
penginjil yang dengan tegas menolak setiap upaya orang Batak men<strong>di</strong>rikan<br />
lembaga kemasyarakatan <strong>di</strong> luar zen<strong>di</strong>ng. Lembaga seperti HKB <strong>di</strong>kecam keras<br />
apalagi setelah HKB menja<strong>di</strong> semakin nasionalis dan malahan bekerja sama dengan<br />
organisasi politik nasional seperti Sarekat Islam:<br />
Sejak 1918 para zendeling berusaha membendung perkembangan HKB,<br />
antara lain dengan mengimbau masyarakat Batak Kristen agar menja<strong>di</strong><br />
anggota Christelijke Etische (sic!) Partij [...] atau dengan mengajukan<br />
HKB kepada pemerintah sebagai organisasi yang mengancam eksistensi<br />
Zen<strong>di</strong>ng dan pemerintah <strong>di</strong> Tanah Batak. (Aritonang, 1988:296) 18<br />
Mereka yang tidak betah dengan paternalisme para zendeling men<strong>di</strong>rikan<br />
gereja-gereja tan<strong>di</strong>ngan seperti Huria Christen Batak, Gereja Mission Batak, dan<br />
Punguan Kristen Batak, tetapi “tidak semua aktivis gerakan keman<strong>di</strong>rian itu<br />
memisahkan <strong>di</strong>ri dari “gereja resmi” [...] walaupun sebagian dari mereka merasa<br />
<strong>di</strong>perlakukan kurang wajar atau merasa kurang <strong>di</strong>hargai oleh para zendeling”<br />
(Aritonang, 1988:300)<br />
Kritik yang <strong>di</strong>lontarkan HKB antara lain bahwa Batakmission kurang berhasil <strong>di</strong><br />
bidang pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan. Keterse<strong>di</strong>aan lembaga pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan yang memadai memang<br />
sudah lama menja<strong>di</strong> sengketa antara para zendeling dan masyarakat Batak. Karena<br />
takut atas pengaruh Islam maka lama sekali Batakmission menolak membuka<br />
sekolah yang mengajarkan bahasa Melayu. Karena para penginjil tetap ingin<br />
mempertahankan bahasa Batak sebagai me<strong>di</strong>a instruksi, mereka juga enggan<br />
untuk membuka sekolah berbahasa Belanda. Padahal lulusan sekolah yang<br />
berbahasa Melayu dan Belanda lebih mudah mendapatkan pekerjaan terutama <strong>di</strong><br />
pemerintahan. Baru pada tahun 1908 dan atas desakan masyarakat Batakmission<br />
berse<strong>di</strong>a untuk membuka sekolah berbahasa Belanda, dan baru tahun 1914<br />
Batakmission membuka sekolah berbahasa Melayu yang pertama. Bahkan untuk<br />
menja<strong>di</strong>kan bahasa Melayu sebagai mata pelajaran <strong>di</strong> semua sekolah dasar pun<br />
Batakmission tidak berse<strong>di</strong>a.<br />
Para penginjil memang menginginkan agar orang Batak tetap hidup terisolir<br />
dengan sese<strong>di</strong>kit mungkin hubungan ke luar dengan alasan agar kebatakannya<br />
lestari, agar jangan <strong>di</strong>pengaruhi agama Islam, dan agar jangan bersentuhan arus<br />
modernisasi seperti gerakan nasionalisme. Namun <strong>di</strong> belakang perbedaan<br />
kepentingan sesungguhnya terdapat konflik yang lebih mendasar: Batakmission<br />
18 Christelijke Ethische Partij adalah partai politik yang <strong>di</strong>bentuk dan <strong>di</strong>dominasi oleh orang<br />
Kristen Belanda.
ertujuan untuk menciptakan sebuah masyarakat nasrani yang ideal sementara<br />
orang Batak lebih condong berpegangan pada filsafat mereka yang tra<strong>di</strong>sional.<br />
Tujuan hidup menurut falsafat Batak ialah mencapai cita-cita tertinggi yaitu<br />
hamoraon (kekayaan), hagabeon (banyak keturunan), dan hasangapon<br />
(kemuliaan). Ketiga cita-cita tersebut pernah <strong>di</strong>sebut oleh penginjil Nommensen<br />
sebagai ketiga dosa H. Terutama <strong>di</strong> waktu sesudah perang dunia pertama ketiga<br />
‘dosa’ H itu malahan <strong>di</strong>tambah lagi dengan ‘dosa’ keempat, yaitu hamajuon –<br />
gerakan keman<strong>di</strong>rian untuk menentukan sen<strong>di</strong>ri nasib gereja, untuk berasosiasi<br />
secara bebas dengan suku bangsa lain dalam rangka menentukan nasib bangsa.<br />
RMG dengan sangat tegas menolak gagasan keman<strong>di</strong>rian gereja Batak dan<br />
mengutuk organisasi Batak seperti Hatopan Kristen Batak dengan alasan bahwa<br />
keman<strong>di</strong>rian bertentangan dengan kehendak Tuhan yang memang sudah<br />
menak<strong>di</strong>rkan orang putih sebagai pemimpin.<br />
Dengan sikap yang demikian Batakmission akhirnya malahan <strong>di</strong>nilai masyarakat<br />
sebagai penghambat kemajuan sehingga bermunculan berbagai upaya untuk<br />
men<strong>di</strong>rikan lembaga-lembaga kemasyarakatan dan pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan alternatif, dan<br />
sekaligus untuk mendorong Batakmission agar bersikap lebih terbuka pada<br />
permintaan dan kebutuhan masyarakat, dan tidak lagi memperlakukan mereka<br />
seperti anak-anak.<br />
Sikap terhadap agama lain<br />
Setelah Jerman bersatu sebagai Deutsches Reich (Kerajaan Jerman) pada tahun<br />
1871 maka raja Prusia menja<strong>di</strong> kepala negara dengan gelar kaisar sementara<br />
Austria yang Katolik tidak <strong>di</strong>ikutsertakan. Tanpa Austria kaum Katolik menja<strong>di</strong><br />
minoritas (14 juta) <strong>di</strong>ban<strong>di</strong>ngkan dengan 24 juta Protestan. Kaum Protestan yang<br />
menganggap <strong>di</strong>ri sebagai “Jerman sejati” (der wahre Deutsche) meragukan<br />
patriotisme kaum Katolik. Pada tahun ber<strong>di</strong>rinya yang kedua Kerajaan Jerman yang<br />
<strong>di</strong>dominasi oleh kaum Protestan, dan dengan kepala negara yang Protestan, sudah<br />
melarang Ordo Yesuit. Pada tahun ketika (1873) <strong>di</strong>terbitkan Maigesetze (undang-<br />
undang Mei) yang men<strong>di</strong>skriminasikan kaum Katolik dan membatasi ruang gerak<br />
gereja Katolik. Sikap anti-Katolik juga merasuki tubuh RMG dan zen<strong>di</strong>ng Katolik <strong>di</strong><br />
Tanah Batak mendapatkan perlawanan yang hebat dari pihak HKBP yang<br />
menganggapnya sebagai “musuh besar” (JB 1932/1933: h.33).<br />
Namun musuh yang terbesar adalah Islam yang mereka sebut sebagai “agama<br />
nabi yang palsu”, “ajaran sesat”, “ajaran Iblis yang harus <strong>di</strong>berantas” (Aritonang,
1988:151). Penginjil Batakmission Gottfried Simon menja<strong>di</strong> spesialis agama Islam<br />
<strong>di</strong> RMG. Buku-bukunya tentu saja condong untuk menyudutkan agama Islam,<br />
tetapi ia masih berusaha untuk mempertahankan kesan keobjektifan – berbeda<br />
dengan tokoh-tokoh lain <strong>di</strong> RMG seperti misalnya <strong>di</strong>rektur RMG Spiecker yang pada<br />
tahun 1911 menyerukan agar “seluruh umat Kristen harus berjuang hingga<br />
penganut terakhir nabi yang palsu bertekuk lutut” 19 .<br />
Teologi dan Ideologi RMG<br />
Karena latar belakang pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan yang terbatas dan usia yang masih muda<br />
maka para murid seminaris dengan mudah dapat <strong>di</strong>bentuk oleh guru-gurunya.<br />
Sudah jelas bahwa teologi serta Weltanschauung mereka rata-rata tidak jauh<br />
berbeda dari paham yang <strong>di</strong>anuti gurunya. Guru yang paling berpengaruh pada<br />
para misionaris adalah F. Fabri (1824–1891) dan G.L. Rohden (1815–1889) 20 . Fabri<br />
menja<strong>di</strong> guru dan sekaligus <strong>di</strong>rektur RMG dari tahun 1857 hingga 1884 sementara<br />
Rohden menja<strong>di</strong> guru dari 1846–1889 dan <strong>di</strong>rektur RMG dari tahun 1884–1889<br />
menggantikan Fabri yang meninggalkan RMG agar sepenuhnya dapat mengab<strong>di</strong>kan<br />
<strong>di</strong>ri pada gerakan kolonial Jerman. 21<br />
Baik Fabri maupun Rohden adalah orang yang <strong>di</strong> spektrum politik dapat<br />
<strong>di</strong>golongkan konservatif, anti-demokrasi, dan pro-kerajaan. Kedua tokoh spiritual<br />
RMG ini juga <strong>di</strong>pengaruhi oleh paham yang pada saat itu sangat dominan, yaitu<br />
rasisme dan nasionalisme. Sebelum kita menguraikan secara terperinci teologi dan<br />
ideologi Rohden dan Fabri kedua paham yang ta<strong>di</strong> <strong>di</strong>sebut perlu <strong>di</strong>soroti terlebih<br />
dahulu.<br />
Berkembangnya Paham Rasisme<br />
“Karena tiada manusia yang bisa merampas,<br />
memperbudak, dan membunuh sesama manusia<br />
tanpa melakukan kejahatan maka bangsa yang <strong>di</strong>jajah<br />
<strong>di</strong>nyatakan bukan manusia.”<br />
Jean-Paul Sartre<br />
19 Dikutip dari Jongeling 1966:116<br />
20 Hanya tiga <strong>di</strong> antara keenam penginjil yang mendapat pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan, selain dari Fabri dan<br />
Rohden, juga oleh C. Wallmann yang masih mengajar hingga tahun 1865.<br />
21 Tentang alasan maka Fabri meninggalkan RMG lihat Bade (1995:369-384).
Asal usul kata ‘ras’ tidak <strong>di</strong>ketahui dengan jelas. Ada kemungkinan kata tersebut<br />
berasal dari bahasa Latin ratio (alam/watak), ra<strong>di</strong>x (akar), atau generatio<br />
(pembuatan), namun ada pula teori yang mengatakan bahwa istilah ras berasal<br />
dari bahasa Slawonik, bahasa Germania, atau malahan bahasa Arab. Istilah ras<br />
pertama kali muncul dalam bahasa-bahasa Romawi sebagai razza (bahasa Itali),<br />
raza (Spanyol), raca (Portugal), dan race (Prancis) sejak abad ke-13. Menjelang<br />
abad ke-16 kata itu juga masuk dari bahasa Prancis ke dalam bahasa Inggris. Pada<br />
waktu itu kata ras belum punya konotasi biologis melainkan berarti “keturunan”,<br />
atau “bangsa” seperti dalam perkataan “bangsa tuan tanah”, atau “bangsa<br />
aristokrat”. Kata ras dalam arti “golongan bangsa berdasarkan ciri-ciri fisik” baru<br />
mulai <strong>di</strong>gunakan pada abad ke-17 dan ke-18, dan baru pada abad ke-19 kata<br />
rasisme masuk dalam perbendaharaan kata bahasa-bahasa Eropa. Dengan<br />
demikian tampak bahwa sejarah rasisme sebagai ideologi masih relatif baru.<br />
Paham atau ideologi rasisme sebagai “ilmu” lahir pada zaman pencerahan dan<br />
mencapai puncak pada paruh pertama abad ke-20.<br />
Pada zaman pencerahan manusia melepaskan <strong>di</strong>ri dari ideologi gereja yang<br />
melihat seluruh alam semesta sebagai ciptaan Tuhan, dan para ilmuwan mulai<br />
dengan giat berusaha untuk memahami alam semesta secara rasional. Segala-<br />
galanya yang ada, terutama tumbuhan dan hewan <strong>di</strong>ja<strong>di</strong>kan objek penelitian,<br />
<strong>di</strong>ukur, <strong>di</strong>timbang, dan <strong>di</strong>kelompokkan menurut kategori-kategori yang mereka<br />
ciptakan.<br />
Kalau tumbuhan dan hewan dapat <strong>di</strong>kategorikan menja<strong>di</strong> kerajaan, <strong>di</strong>visi, kelas,<br />
ordo, famili, genus, dan spesies maka manusia pun dapat <strong>di</strong>kelompokkan.<br />
Demikianlah usul Franois Bernier (1620-1688) yang menyarankan <strong>di</strong> majalah ilmiah<br />
“Journal des Scavants” agar manusia <strong>di</strong>kategorikan menurut warna kulit, postur,<br />
dan bentuk muka. Beliaulah yang untuk pertama kali menggunakan istilah ras<br />
dalam arti yang sekarang.<br />
Ilmuwan Jerman Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716) berusaha untuk<br />
memadukan agama dengan ilmu pengetahuan dan menekankan bahwa seluruh<br />
bangsa manusia berasal dari nenek moyang yang sama dan bahwa perbedaan-<br />
perbedaan ras <strong>di</strong>akibatkan oleh pengaruh lingkungan hidup, terutama iklim.<br />
Carl von Linné (1707-1778), ahli botani dan zoologi asal Swe<strong>di</strong>a untuk pertama<br />
kali meletakkan dasar tata nama biologi. Beliau juga mengelompokkan manusia<br />
modern (homo sapiens) pada puncak primata. Spesies manusia <strong>di</strong>kelompokkannya<br />
dalam empat kelas yang masing-masing memiliki bukan hanya ciri-ciri fisik tetapi<br />
juga ciri-ciri watak. Kelas orang Afrika misalnya <strong>di</strong>sebut sebagai “jahat, malas,<br />
lalai”. Menurut Linné manusia dapat <strong>di</strong>bagi atas empat ras, yaitu ras putih (Eropa),
as kuning (Asia), ras merah (Amerika), dan ras hitam (Afrika). Pembagian ini<br />
menggantikan pembagian non-rasional berdasarkan kitab Injil yang pada tahun<br />
1666 <strong>di</strong>lakukan oleh Georgius Hornius, yang membedakan tiga golongan, yaitu ras<br />
keturunan Yafet (putih), ras keturunan Sem (kuning) dan ras keturunan Ham<br />
(hitam).<br />
Profesor kedokteran asal Jerman Johann Friedrich Blumenbach (1752-1840)<br />
menja<strong>di</strong> pelopor kraniometri (ilmu tengkorak). Ia percaya bahwa perbedaan antara<br />
ras dapat <strong>di</strong>lihat pada bentuk tengkorak, namun ia juga mengakui bahwa tidak ada<br />
batas antar-ras yang pasti. Blumenbach menambahkan ras kelima yaitu ras cokelat<br />
(Melayu).<br />
Sesudah Blumenbach ada sejumlah besar ilmuwan yang menekuni bidang<br />
kraniometri serta bidang-bidang ilmu yang mirip seperti frenologi, ilmu yang<br />
meneliti sikap-sikap kepriba<strong>di</strong>an, dan fisiognomy yang mempelajari bentuk muka<br />
namun semua upaya ini tidak membuahkan hasil apa-apa kecuali memberi kesan<br />
bahwa rasisme memang memiliki dasar yang rasional.<br />
Kini <strong>di</strong>ketahui bahwa pengelompokan ras berdasarkan warna kulit tidak memiliki<br />
dasar ilmiah yang kuat. Bahan pewarna (pigmen) yang <strong>di</strong>kenali sebagai melanin<br />
yang <strong>di</strong>dapati <strong>di</strong> dalam kulit menentukan warna kulit manusia. Kulit yang hitam<br />
melindungi manusia terhadap kerusakan yang dapat <strong>di</strong>akibatkan oleh sinar<br />
ultraungu. Oleh sebab itu ada kecenderungan bahwa manusia <strong>di</strong> daerah tropis<br />
memiliki kulit yang lebih cokelat <strong>di</strong>ban<strong>di</strong>ngkan dengan manusia yang men<strong>di</strong>ami<br />
daerah berhawa <strong>di</strong>ngin. Namun demikian, <strong>di</strong> dalam suatu populasi selalu terdapat<br />
variasi warna kulit yang signifikan sehingga klasifikasi manusia menurut warna kulit<br />
tidak akurat. Baik <strong>di</strong> Eropa, <strong>di</strong> Amerika dan <strong>di</strong> Asia Timur ada spektrum warna dari<br />
putih hingga cokelat, tergantung pada in<strong>di</strong>vidu, dan juga tergantung pada daerah.<br />
Ternyata dalam sejarah evolusi manusia, warna kulit hitam (atau cokelat) adalah<br />
warna kulit yang asli sementara warna putih <strong>di</strong> Eropa dan Asia merupakan<br />
perkembangan <strong>di</strong> kemu<strong>di</strong>an hari. 22<br />
Di dalam zaman imperialisme Eropa rasisme menja<strong>di</strong> salah paham yang secara<br />
‘ilmiah’ membenarkan penjajahan bangsa berwarna oleh bangsa putih. Tentu saja<br />
kaum penjajah tak ingin <strong>di</strong>kenang sepanjang sejarah sebagai “penjarah”.<br />
Karenanya, mereka berusaha mendapatkan pembenaran bagi tindakannya ini.<br />
Mereka berdalih dengan menganggap bangsa terjajah sebagai bangsa terbelakang<br />
yang hanya dapat mencapai tingkat peradaban bila <strong>di</strong>bantu oleh ras putih. Dengan<br />
demikian penjajahan dapat <strong>di</strong>benarkan sebagai tindakan yang sebetulnya<br />
22 Lihat juga Sweet, Frank W. 2002. The Paleo-Etiology of Human Skin Tone: Essays on the<br />
Color Line and the One-Drop Rule. http://backintyme.com/essays/?p=4
ermaksud untuk membantu kaum terjajah untuk mencapai tingkat peradaban<br />
yang lebih tinggi.<br />
Nasionalisme dan Keunggulan Germania<br />
Sama dengan kata ‘rasisme’, kata ‘nasionalisme’ pun masih belum <strong>di</strong>kenal pada<br />
abad ke-18.<br />
Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan<br />
kedaulatan sebuah negara dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama<br />
untuk sekelompok manusia.<br />
Dalam Theories of Nationalism Anthony D. Smith (1971) menyebut empat<br />
keyakinan yang menandai seorang penganut paham nasionalisme:<br />
• Keyakinan bahwa umat manusia secara alamiah <strong>di</strong>bagi atas bangsa-bangsa<br />
atau kelompok-kelompok etnik yang masing-masing memiliki karakter<br />
nasional, sejarah nasional, serta tak<strong>di</strong>r sen<strong>di</strong>ri-sen<strong>di</strong>ri. Perdamaian dan<br />
kea<strong>di</strong>lan global menuntut adanya dunia yang ter<strong>di</strong>ri atas bangsa-bangsa<br />
yang otonom.<br />
• Keyakinan bahwa in<strong>di</strong>vidu untuk bisa menja<strong>di</strong> bebas harus menja<strong>di</strong> bagian<br />
dari suatu bangsa, dan mengidentifikasikan <strong>di</strong>ri dengan bangsanya. Hal itu<br />
menyebabkan seorang in<strong>di</strong>vidu menja<strong>di</strong> setia pada bangsanya dan kesetiaan<br />
kepada bangsa adalah prioritas utama baginya.<br />
• Keyakinan bahwa sebuah bangsa hanya dapat berkembang apabila memiliki<br />
negara dengan pemerintahan sen<strong>di</strong>ri.<br />
• Keyakinan bahwa bangsa itu merupakan satu-satunya sumber kekuasaan<br />
politik.<br />
Menurut penganut paham nasionalisme suatu bangsa harus memiliki otonomi<br />
yang utuh, dan bisa mengatur <strong>di</strong>ri sen<strong>di</strong>ri, memiliki kesatuan wilayah, dan memiliki<br />
identitas nasional yang dalam bahasa Jerman <strong>di</strong>sebut Volkscharakter ‘watak<br />
bangsa’.<br />
Nasionalisme sering <strong>di</strong>sebut sebagai sejenis “agama politik” karena memang ada<br />
banyak kemiripan antara agama dan nasionalisme. Keduanya melibatkan emosi<br />
atau semacam getaran jiwa, keduanya memiliki sistem kepercayaan, doktrin, dan<br />
ajaran yang tertentu, keduanya memiliki upacara dan ritual, dan keduanya memiliki<br />
kelompok penganutnya.<br />
Baik nasionalisme maupun rasisme mempunyai landasan ideologis yang berakar<br />
pada ide-ide zaman pencerahan dan zaman romantik yang secara ekonomi <strong>di</strong>tandai<br />
oleh oleh perubahan dari masyarakat pertanian kepada lahirnya sistem kapitalis<br />
dan komersial dengan munculnya kaum borjuis, dan secara ideologis <strong>di</strong>tandai oleh
munculnya perhatian pada in<strong>di</strong>vidu dan berkurangnya perhatian pada teologi dan<br />
metafisika. Zaman pencerahan itu juga zaman rasionalisme yang <strong>di</strong>tandai oleh<br />
berkembangnya ilmu pengetahuan.<br />
Istilah nasionalisme untuk pertama kali <strong>di</strong>gunakan oleh Johann Gottfried von<br />
Herder (1744–1803). Namun pengertian ‘nasionalisme’ baginya bukan dalam arti<br />
sempit sebagaimana <strong>di</strong>pakai oleh kebanyakan nasionalis. Nasionalisme Herder<br />
bukan chauvinisme (nasionalisme yang berlebihan) yang menempatkan bangsanya<br />
sen<strong>di</strong>ri <strong>di</strong> atas bangsa yang lain. Lain dengan banyak nasionalis Jerman <strong>di</strong><br />
kemu<strong>di</strong>an hari yang yakin akan keunggulan bangsa Germania 23 dan amat<br />
membenci Perancis dan bangsa-bangsa Slavia 24 . Herder malahan sangat<br />
menghargai budaya dan Volkscharakter Slavia, dan mengilhami timbulnya<br />
nasionalisme Slavia.<br />
Nasionalisme yang berlebihan sering <strong>di</strong>iringi oleh rasisme. Di Jerman, kebencian<br />
terhadap kaum Yahu<strong>di</strong> yang oleh sebagian orang <strong>di</strong>anggap sebagai ras inferior<br />
berakibat pada pembantaian terhadap kaum Yahu<strong>di</strong>. Di berbagai negara bagian <strong>di</strong><br />
Amerika Serikat perkawinan antar-ras malahan <strong>di</strong>larang dan larangan itu berlaku<br />
hingga tahun 1967. Tergantung pada negara bagian, peraturan-peraturan itu<br />
berbeda-beda, tetapi selalu <strong>di</strong>maksud untuk ‘melindungi’ bangsa putih agar tidak<br />
‘tercemar’ oleh darah yang bukan murni Eropa. Di Arizona, misalnya, mengeluarkan<br />
undang-undang pada tahun 1865 yang melarang perkawinan antara orang putih<br />
dengan orang hitam, namun pada tahun 1931 laragan itu <strong>di</strong>perluas mencakup<br />
bangsa In<strong>di</strong>a dan bangsa Melayu: “The marriage of a person of Caucasian blood<br />
with a Negro, Mongolian, Malay or Hindu is null and void.” 25 Apabila ada anak yang<br />
lahir dari hubungan antara seorang putih dengan seorang yang non-putih maka<br />
secara otomatis keturunan itu <strong>di</strong>anggap hitam. Peraturan tersebut menja<strong>di</strong> terkenal<br />
sebagai one-drop rule yang berarti apabila seorang memiliki hanya setetes darah<br />
hitam ia tetap <strong>di</strong>anggap hitam.<br />
Melalui pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan yang mereka peroleh <strong>di</strong> seminaris maka para misionaris RMG<br />
tidak hanya <strong>di</strong>pengaruhi oleh teologi kebangkitan yang <strong>di</strong>pupuk oleh nasionalisme<br />
Herder, tetapi juga oleh rasisme yang <strong>di</strong>balut dalam kemasan keagamaan. Oleh<br />
sebab itu mustahillah seorang pemuda misionaris akan mengawini seorang<br />
perempuan Batak karena perbuatan yang tercela itu akan mengancam kemurnian<br />
23<br />
Bangsa Germania biasanya <strong>di</strong>definisikan berdasarkan bahasa. Rumpun bahasa Germania<br />
termasuk Jerman, Belanda, Denmark, Swe<strong>di</strong>a, Norwegia, Islan<strong>di</strong>a, dan Inggris.<br />
24<br />
Bahasa-bahasa Slavia yang terbesar termasuk Rusia, Polan<strong>di</strong>a, Ukraina, Serbia, Ceko,<br />
Bulgaria, Belarus, dan Slowakia.<br />
25<br />
Sejak 1967 semua undang-undang yang melarang perkawinan antar-bangsa <strong>di</strong>batalkan.
darah Jerman, dan perkawinan campur <strong>di</strong>anggap akan menghasilkan keturunan<br />
yang rendah derajatnya.<br />
Teologi RMG <strong>di</strong> bawah Rohden dan Fabri<br />
Gerakan misi <strong>di</strong>prakarsai oleh serikat pengijnjilan Inggris pada akhir abad ke-18.<br />
Pada tahun 1792 Baptist Mission Society <strong>di</strong><strong>di</strong>rikan <strong>di</strong>susul oleh London Mission<br />
Society (1795) dan Mission Society for Africa and the Orient (1797). Pada tahun<br />
yang sama ber<strong>di</strong>ri Nederlandsche Zendelinggenootschap, dan ketika itu <strong>di</strong> Jerman<br />
pun bermunculan beberapa serikat penginjilan. Gerakan misi itu merupakan akibat<br />
langsung dari zaman penjajahan karena ekspansi Eropa ke daerah-daerah yang<br />
hingga itu belum <strong>di</strong>kenal membuka lahan penginjilan pada bangsa-bangsa yang<br />
memiliki agamanya sen<strong>di</strong>ri yang pada waktu itu <strong>di</strong>cap sebagai kekafiran. Demikian<br />
pun halnya <strong>di</strong> tanah Batak. Agama mereka yang sesungguhnya tidak jauh berbeda<br />
dengan agama Bali yang <strong>di</strong> kemu<strong>di</strong>an hari menja<strong>di</strong> Hindu <strong>di</strong>cap sebagai<br />
kepercayaan kafir yang perlu <strong>di</strong>berantas.<br />
Serikat Penginjilan Kawasan Sungai Rhein atau Rheinische Missionsgesellschaft<br />
(RMG) <strong>di</strong><strong>di</strong>rikan pada tahun 1828 ketika tiga serikat penginjilan bergabung. 26 Basis<br />
RMG terutama <strong>di</strong> Rheinland dan <strong>di</strong> Westfalen (kedua daerah kini mencakup negara<br />
bagian Nordrhein-Westfalen dan negara bagian Rheinland Pfalz). Di situ<br />
bermunculan kelompok-kelompok pendukung yang menyumbangkan dana yang<br />
menja<strong>di</strong> tulang punggung operasional RMG. Medan zen<strong>di</strong>ng RMG terutama <strong>di</strong> Afrika<br />
(mulai tahun 1829), Cina (mulai 1846) Kalimantan (1836-1859), dan Sumatra<br />
(mulai 1861).<br />
Pimpinan RMG ter<strong>di</strong>ri dari seorang presiden (Präses) yang biasanya merupakan<br />
orang kaya yang memiliki hubungan baik dengan perusahaan-perusahaan besar<br />
yang turut menyumbangkan dana operasional RMG, dan seorang <strong>di</strong>rektur yang<br />
memiliki latar belakang teologi dan yang bertanggung jawab untuk pelaksanaan<br />
misi. Para misionaris berada langsung <strong>di</strong> bawah <strong>di</strong>rektur, dan mereka <strong>di</strong>harapkan<br />
untuk senantiasa patuh pada <strong>di</strong>rektur dan melaksanakan perintahnya.<br />
Johann Christian Wallmann (1811-1865) menja<strong>di</strong> <strong>di</strong>rektur RMG dari 1848<br />
hingga 1857. Menurut Schreiner (1972:35) Wallmann meletakkan dasar untuk<br />
teologi RMG yang merupakan “teologi penebusan yang berasal dari gerakan<br />
kebangkitan” yang menekankan kebutuhan orang akan penebusan, pertobatan dan<br />
26 Pada tahun 1971 RMG bergabung dengan Bethel Mission <strong>di</strong> bawah nama Vereinigte<br />
Evangelische Mission (Persatuan Penginjilan Evangelis) yang pada tahun 1996 menja<strong>di</strong><br />
Vereinte Evangelische Mission (Penginjilan Evangelis Bersatu)
keselamatan (Aritonang, 1988:101). Berbeda dengan penggantinya, Rohden dan<br />
Fabri, Wallmann “tidak terlalu mengagungkan peradaban Eropa” dan mengimbau<br />
kepada muridnya agar menyebarkan injil tanpa memaksakan nilai-nilai Eropa<br />
(ibid.). Namun untuk periode yang <strong>di</strong>soroti dalam buku ini Wallmann tidak<br />
seberapa berpengaruh karena sudah meninggal pada tahun 1865.<br />
Selama empat tahun belajar <strong>di</strong> seminaris para misionaris terutama <strong>di</strong>pengaruhi<br />
oleh heilsgeschichtliche Theologie (Teologi Sejarah Keselamatan) yang juga <strong>di</strong>kenal<br />
sebagai Teologi Kerajaan Allah (Reich-Gottes-Theologie) sebagaimana <strong>di</strong>ajarkan<br />
oleh Friedrich Fabri dan Ludwig von Rohden. Baik teologi von Rohden maupun<br />
Fabri kuat <strong>di</strong>pengaruhi oleh paham nasionalisme yang menekankan keunggulan<br />
bangsa Germania serta paham rasisme yang menegaskan keunggulan ras putih.<br />
Ludwig von Rohden (1815-1889) mengajar sejarah, geografi, antropologi, dan<br />
teologi. Bagi Rohden sejarah dunia adalah sejarah kerajaan Allah dan satu-satunya<br />
sumber yang menurutnya dapat <strong>di</strong>andalkan dan yang tidak boleh <strong>di</strong>pertanyakan<br />
adalah alkitab injil. Rohden menja<strong>di</strong> pengarang buku sejarah yang <strong>di</strong>pakai <strong>di</strong><br />
seminaris RMG dan menja<strong>di</strong> pegangan utama bagi para misionaris. Buku teks yang<br />
berjudul Leitfaden der Weltgeschichte (Pedoman Sejarah Dunia) bertolak belakang<br />
tidak hanya dengan ilmu sejarah modern tetapi juga dengan teologi Kristen mana<br />
pun yang ada dewasa ini. Bagi pembaca masa kini Leitfaden der Weltgeschichte<br />
adalah buku yang sering tidak masuk akal karena mengandung pernyataan yang<br />
acap bertolak belakang, dan penuh dengan asumsi yang <strong>di</strong>pengaruhi oleh kedua<br />
paham ideologi yang sangat laku <strong>di</strong> Jerman pada abad ke-19 yaitu nasionalisme<br />
dan rasisme yang <strong>di</strong>padukan oleh Rohden dengan peristiwa “sejarah” yang<br />
<strong>di</strong>ambilnya dari alkitab injil.<br />
Bagi Rohden seluruh manusia adalah keturunan nabi Nuh karena hanya nabi Nuh<br />
beserta keluarganya selamat pada air bah yang menurut Rohden melanda dunia<br />
5000 tahun yang lalu. 27 Rohden berpedoman pada kisah dalam Kitab Keja<strong>di</strong>an<br />
ketika nabi Nuh mengutuk Kanaan.<br />
9:18 Anak-anak Nuh yang keluar dari kapal itu ialah Sem, Yafet dan Ham. (Ham adalah ayah Kanaan.)<br />
9:19 Ketiga anak Nuh itu adalah nenek moyang semua orang <strong>di</strong> dunia.<br />
9:20 Nuh seorang petani, dan <strong>di</strong>alah yang pertama-tama membuat kebun anggur.<br />
27 Kini <strong>di</strong>perkirakan bahwa air bah terja<strong>di</strong> sekitar 5600 SM ketika zaman es berakhir dan<br />
permukaan lau naik sehingga Laut Tengah meluap ke dalam Laut Hitam yang sebelumnya<br />
merupakan sebuah danau air tawar yang dangkal dan jauh lebih kecil dan yang <strong>di</strong>kelilingi<br />
oleh dataran yang subur. Air yang mengalir melalui Bosporus selama 300 hari dengan<br />
kecepatan 96 km/jam melepas volume air 200 kali lipat dari air terjun Niagara, dan<br />
membanjiri daratan seluas 155.000 km 2 .
9:21 Setelah Nuh minum anggurnya, ia menja<strong>di</strong> mabuk. Dilepaskannya segala pakaiannya lalu<br />
tidurlah ia telanjang <strong>di</strong> dalam kemahnya.<br />
9:22 Ketika Ham, yaitu ayah Kanaan, melihat bahwa ayahnya telanjang, ia keluar dan<br />
memberitahukan hal itu kepada kedua saudaranya.<br />
9:23 Kemu<strong>di</strong>an Sem dan Yafet mengambil sehelai jubah dan membentangkannya pada bahu<br />
mereka. Mereka berjalan mundur memasuki kemah itu dan menyelimuti ayah mereka dengan<br />
jubah itu. Mereka memalingkan muka supaya tidak melihat ayah mereka yang telanjang itu.<br />
9:24 Setelah Nuh sadar dari mabuknya dan mengetahui apa yang <strong>di</strong>perbuat anak bungsunya<br />
terhadap <strong>di</strong>rinya,<br />
9:25 ia berkata, "Terkutuklah Kanaan! Dia akan menja<strong>di</strong> budak terhina bagi saudara-saudaranya.<br />
9:26 Pujilah TUHAN, Allah Sem! Kanaan akan menja<strong>di</strong> budak Sem.<br />
9:27 Semoga Allah menambahkan berkat kepada Yafet dengan meluaskan tempat ke<strong>di</strong>amannya.<br />
Semoga keturunannya tinggal bersama-sama dengan keturunan Sem. Kanaan akan menja<strong>di</strong><br />
budak Yafet."<br />
9:28 Sesudah banjir itu, Nuh masih hidup 350 tahun lagi.<br />
9:29 Ia meninggal pada usia 950 tahun.<br />
Bagian dari Kitab Keja<strong>di</strong>an ini menimbulkan berbagi kesulitan: 1. Tidak jelas<br />
mengapa justeru Kanaan (anak Ham yang tidak melakukan apa-apa) <strong>di</strong>kutuk, 2.<br />
Tidak semua nama tempat yang <strong>di</strong>sebut <strong>di</strong>ketahui keberadaannya. 3. Tidak jelas<br />
apa yang terja<strong>di</strong> dengan bagian dunia yang tidak <strong>di</strong>sebut dalam alkitab seperti<br />
bagian selatan Afrika, Asia Timur, Asia Tenggara, Australia, dan Amerika.<br />
Masalahnya pada waktu Kitab Perjanjian <strong>di</strong>tulis kawasan-kawasan tersebut<br />
memang belum <strong>di</strong>ketahui keberadaannya.<br />
Rohden tidak menyinggung masalah yang <strong>di</strong>sebut <strong>di</strong> bawah butir 1 dan 2, tetapi<br />
persoalan yang ketiga ia pecahkan dengan menggunakan interpretasinya sen<strong>di</strong>ri:<br />
Keturunan Yafet tersebar <strong>di</strong> seluruh belahan utara bumi terkecuali Amerika, dan<br />
keturunan Ham <strong>di</strong> belahan selatan. Di antara kedua wilayah, tempatnya kedua<br />
keturunan mulai bercampur baur, menetap keturunan Sem.” (Rohden, 1867:12)<br />
Walaupun alkitab injil sama sekali tidak menyebut kawasan Asia Tenggara,<br />
Rohden membuat interpretasi sen<strong>di</strong>ri bahwa bangsa-bangsa Asia Tenggara adalah<br />
keturunan Ham dan dengan demikian mereka <strong>di</strong>tak<strong>di</strong>rkan menja<strong>di</strong> budak:<br />
Di dalam kitab suci <strong>di</strong>sebut sebagai kenyataan yang tidak dapat <strong>di</strong>ragukan<br />
bahwa Mesir atau Mizraim merupakan keturunan Ham: Mizrain menja<strong>di</strong><br />
putra Ham dan saudara Kush (Tanah Negro, Etiopia) dan Put (Libia).<br />
Ketiga bangsa yang masih bersaudara itu menduduki seluruh bagian<br />
selatan Asia dan Afrika. Mereka menempati kawasan <strong>di</strong> sekitar Samudera<br />
In<strong>di</strong>a, Laut Persia, bagian selatan semenanjung Arabia hingga ke negaranegara<br />
<strong>di</strong> belakang sungai Nil arah ke gurun Afrika dan Samudera Atlantik.
Termasuk juga pulau-pulau <strong>di</strong> Samudera Pasifik serta semenanjungsemenanjung<br />
<strong>di</strong> Asia Tenggara dari dahulu dan sebagaian besar masih<br />
hingga kini <strong>di</strong><strong>di</strong>ami oleh keturunan yang sama. (Rohden, 1867:25)<br />
Rohden mengaitkan interpretasinya dengan paham rasisme yang<br />
mengidentifikasikan lima ras menurut warna kulit: putih, kuning, merah, cokelat,<br />
dan hitam. Menurut Rohden warna kulit keturunan nabi Nuh <strong>di</strong>tentukan oleh derajat<br />
dosa yang <strong>di</strong>pikulnya: Semakin berdosa sebuah bangsa, semakin berubah bentuk<br />
dan warna kulitnya. Semakin hitam warna kulit sebuah bangsa semakin berdosa<br />
bangsa itu:<br />
Secara bertahap-tahap manusia menjauhkan <strong>di</strong>ri dari sumber kehidupan<br />
ilahi. Semakin jauh [sebuah bangsa] menjauhkan <strong>di</strong>ri semakin merosot<br />
moral dan kecerdasan seiring dengan itu juga postur, bentuk tubuh, dan<br />
warna kulitnya. Bangsa yang paling dekaden mendapatkan kulit yang<br />
paling hitam, dan bentuk tubuhnya menja<strong>di</strong> mirip dengan binatang.<br />
Namun perbedaan hakiki antara manusia dan binatang masih tetap ada:<br />
ialah jiwa yang <strong>di</strong>hembuskan Allah kepada jasad sebagai bagian kehidupan<br />
ilahi. 28<br />
Menurut Rohden bangsa yang berkulit hitam malahan bisa saja menja<strong>di</strong> putih<br />
kembali melalui pengaruh agama Protestan!<br />
Negro yang paling rendah derajat pun masih bisa <strong>di</strong>angkat menja<strong>di</strong><br />
manusia ter<strong>di</strong><strong>di</strong>k bila <strong>di</strong><strong>di</strong><strong>di</strong>k dengan cara yang tepat melalui pengaruh<br />
Kekristenan yang bersifat menyembuhkan. Seiring dengan [proses<br />
penyembuhan] itu maka raut muka yang kebinatangan menghilang,<br />
pandangan mata, dan tubuhnya akan menja<strong>di</strong> lebih sempurna, dan<br />
bahkan warna kulitnya, secara turun-temurun, bisa menja<strong>di</strong> lebih putih. 29<br />
Karena Rohden percaya pada keunggulan bangsa Germania maka ia<br />
menyimpulkan bahwa keturunan Yafet sesungguhnya adalah bangsa Germania.<br />
Untuk membenarkan asumsinya Rohden menggunakan argumentasi bahwa semula<br />
memang bangsa Israel menja<strong>di</strong> bangsa yang terpilih, namun <strong>di</strong> kemu<strong>di</strong>an hari<br />
28 Die Menschen aber haben sich in verschiedener Stufenfolge bald weniger, bald mehr von<br />
ihrem göttlichen Lebensquell losgerissen, und in dem Maße wie das geschehen ist, hat<br />
sich zugleich mit ihrem sittlichem Bewusstsein und ihren geistigen Fähigkeiten auch ihre<br />
Gestalt, ihre Körperform, ihre Farbe verändert. Die am meisen ausgearteten sind auch am<br />
tiefsten (schwarz) gefärbt, und in ihrer Erscheinung den Thieren am ähnlichsten<br />
geworden. Der himmelsweite Unterschied zwischen Mensch und Thier bleibt immer noch<br />
bestehen, das ist <strong>di</strong>e vernünftige menschliche Seele, <strong>di</strong>e den Menschen von Gott<br />
eingehaucht ist als Theil und Stück göttlichen Lebens in ihm (Rohden 1867:4)<br />
29 Auch der am tiefsten heruntergekommene Neger kann durch zweckmäßige Anleitung<br />
unter dem heiligenden Einfluß des Christenthums auf <strong>di</strong>e Höhe menschlicher Bildung<br />
gehoben werden, und in dem selben Maße, als das geschieht, wird seine thierische<br />
Gesichtsbildung schwinden, der Ausdruck seines Auges und <strong>di</strong>e weicheren Theile seiner<br />
Gestalt sich veredeln, ja seine Farbe, wenigstens in der Folge der Geschlechter, von ihrer<br />
Dunkelheit verlieren. (ibid.)
pusat sejarah dunia bergeser ke barat, mula-mula ke Roma, dan sesudah zaman<br />
reformasi ke Jerman sehingga “Jerman adalah jantung yang mengalirkan darah<br />
tubuh Kristen Eropa. Sebagaimana bangsa Israel <strong>di</strong>pilih Tuhan dari keturunan Sem<br />
maka sekarang Jerman menja<strong>di</strong> bangsa terpilih dari keturunan Yafet.”<br />
Interpretasi alkitab sebagaimana <strong>di</strong>lakukan oleh Rohden tidak hanya<br />
membenarkan kolonialisme tetapi juga perbudakan: “Juga <strong>di</strong> Amerika keturunan<br />
Ham dan Yafet bertemu, dan <strong>di</strong> situ pun terwujud kutukan bahwa Ham harus<br />
menja<strong>di</strong> budak bagi saudara-saudaranya” 30 . Ja<strong>di</strong> bangsa putih berhak untuk<br />
menjajah dan mengeksploitasi bangsa berwarna. Penjajahan malah merupakan<br />
tindakan manusiawi untuk memajukan bangsa berkulit hitam. Salah satu cara<br />
untuk mengangkat martabat bangsa terkutuk itu adalah dengan mengkristenkan<br />
mereka supaya mereka menja<strong>di</strong> lebih beradab dan untuk menyelamatkan jiwa-jiwa<br />
yang sesat. Akan tetapi, kendatipun mereka sudah beragama Kristen, bangsa<br />
keturunan Ham tetap lebih rendah daripada ras Eropa yang keturunan Yafet.<br />
Dr. Friedrich Fabri (1824–1891) mempunyai latar belakang teologi dan<br />
ideologi yang tidak jauh berbeda dengan Rohden, dan yang telah ia bukukan dalam<br />
Die Entstehung des Heidenthums und <strong>di</strong>e Aufgabe der Heidenmission (Munculnya<br />
Kekafiran dan Tugas Misi Kafir, 1859).<br />
Fabri juga meyakini keunggulan bangsa putih, dan terutama bangsa Germania<br />
yang menja<strong>di</strong> “penyokong baru sejarah dunia” 31 . Menurutnya kiamat semakin<br />
mendekat sehingga penginjilan memiliki tugas untuk menyebarkan agama Kristen<br />
sebelum kiamat tiba sehingga para penginjil menja<strong>di</strong> alat Tuhan yang memberitahu<br />
kedatangan kerajaan Allah. Dalam hal ini ia merujuk pada Matius 24,14 “Dan Kabar<br />
Baik tentang bagaimana Allah memerintah akan <strong>di</strong>beritakan ke seluruh dunia,<br />
supaya semua orang mendengarnya. Sesudah itu barulah datang kiamat.”<br />
Sama dengan von Rohden, Fabri juga <strong>di</strong>pengaruhi oleh paham rasisme:<br />
Kalau kita berhadapan dengan seorang negro, berkulit hitam pekat,<br />
berambut keriting, dengan kepala gepeng berdahi rendah sementara<br />
bagian belakang kepala dan bagian bawah muka terlalu besar, dengan<br />
bibir lebar dan hidung pesek, kalau kita memperhatikannya betapa ia tak<br />
mampu menahan birahinya, lalu tenggelam dalam ketidakpedulian,<br />
lamban, tidak mengindahkan apa-apa, acuh tak acuh terhadap siksaan,<br />
[...] maka kita mendapat kesan – ini bukan hanya manusia purba yang<br />
menja<strong>di</strong> rusak oleh dosa, <strong>di</strong> sinilah terbenam sebuah rahasia yang belum<br />
tercatat dalam sejarah manusia. (Fabri 1859:8–9)<br />
30 Auch in der neuen Welt (America) sind Ham’s und Japhet’s Söhne zusammengetroffen,<br />
und auch da erfüllt sich das alte Fluchwort, daß Ham’s Nachkomme ein Knecht sein soll<br />
unter seinen Brüdern (Rohden 1867:12).<br />
31 Die neuberufenen Träger der Weltgeschichte (Fabri 1859:7).
Fabri menganggap peristiwa pembangunan menara Babel sebagai peristiwa yang<br />
menentukan, dan bahwa adanya kekafiran berkaitan langsung dengan peristiwa<br />
tersebut. Pada awal sejarah manusia masih menja<strong>di</strong> satu keluarga besar dan<br />
seluruh umat manusia memiliki satu bahasa yang sama, dan mereka memuja<br />
Tuhan yang maha esa. Terdorong oleh kesombongan dan keangkuhan, manusia<br />
menjauhkan <strong>di</strong>ri dari Tuhan dan malahan berusaha melebihi Tuhan. Untuk itu<br />
mereka mulai membangun menara setinggi langit. Pembangunan menara ini<br />
<strong>di</strong>prakarsai oleh Nimrod, anak cucu Nabi Nuh. Orang tua Nimrod adalah Cush, putra<br />
Ham. Bahkan, demikian menurut cerita, Kota Babilon dan Niniwe juga mula<br />
pertama <strong>di</strong>bangun oleh Nimrod.<br />
11:1 Semula, bangsa-bangsa <strong>di</strong> seluruh dunia hanya mempunyai satu bahasa dan mereka memakai<br />
kata-kata yang sama.<br />
11:2 Ketika mereka mengembara ke sebelah timur, sampailah mereka <strong>di</strong> sebuah dataran <strong>di</strong><br />
Babilonia, lalu menetap <strong>di</strong> sana.<br />
11:3 Mereka berkata seorang kepada yang lain, "Ayo kita membuat batu bata dan membakarnya<br />
sampai keras." Demikianlah mereka mempunyai batu bata untuk batu rumah dan ter untuk<br />
bahan perekatnya.<br />
11:4 Kata mereka, "Mari kita men<strong>di</strong>rikan kota dengan sebuah menara yang puncaknya sampai ke<br />
langit, supaya kita termasyhur dan tidak tercerai berai <strong>di</strong> seluruh bumi."<br />
11:5 Maka turunlah Tuhan untuk melihat kota dan menara yang <strong>di</strong><strong>di</strong>rikan oleh manusia.<br />
11:6 Lalu Ia berkata, "Mereka ini satu bangsa dengan satu bahasa, dan ini baru permulaan dari<br />
rencana-rencana mereka. Tak lama lagi mereka akan sanggup melakukan apa saja yang mereka<br />
kehendaki.<br />
11:7 Sebaiknya Kita turun dan mengacaukan bahasa mereka supaya mereka tidak mengerti lagi satu<br />
sama lain."<br />
11:8 Demikianlah Tuhan menceraiberaikan mereka ke seluruh bumi. Lalu berhentilah mereka<br />
men<strong>di</strong>rikan kota itu.<br />
11:9 Sebab itu kota itu <strong>di</strong>beri nama Babel, karena <strong>di</strong> situ Tuhan mengacaukan bahasa semua bangsa,<br />
dan dari situ mereka <strong>di</strong>ceraiberaikan oleh Tuhan ke seluruh bumi.<br />
Dalam alkitab <strong>di</strong>katakan bahwa Tuhan menghukum manusia dengan<br />
mengacaukan bahasa dan menceraiberaikan mereka ke seluruh bumi. Fabri<br />
mengaitkannya dengan konsep ras: “Ras, kebangsaan, yang menggantikan<br />
keluarga manusia” 32 .<br />
Menurut Fabri Nimrod (cucunya Ham yang bagaimana pun sudah terkutuk) serta<br />
keturunannya mendapatkan hukuman yang paling keras karena ia memprakarsai<br />
baik perencanaan maupun pelaksanaan pembangunan menara Babel:<br />
Semakin besar keterlibatan suatu keturunan [pada pembangunan menara<br />
32 Die Rasse, <strong>di</strong>e Nationalität, ist an <strong>di</strong>e Stelle der Menschheitsfamilie getreten (Fabri<br />
1859:52).
Babel] semakin jelek tubuhnya dan semakin miskin bahasanya, dan<br />
semakin banyak dewa pujaan mereka. Semakin kecil keterlibatan semakin<br />
indah tubuhnya, semakin kaya bahasanya, semakin berkembang keesaan<br />
Tuhan. Kalau kita memahami ini maka menja<strong>di</strong> jelas mengapa bangsa<br />
Hamit hingga kini menja<strong>di</strong> bangsa yang paling hina <strong>di</strong> muka bumi ini.<br />
Sekarang kita mengerti betapa kejahatan yang mereka lakukan ribuan<br />
tahun yang lalu menghancurkan tubuh mereka, termasuk warna kulit dan<br />
bentuk tubuhnya. 33<br />
Oleh sebab itulah maka bangsa putih berhak untuk menja<strong>di</strong> pemimpin, dan<br />
bangsa yang berkulit berwarna tidak perlu mengharapkan mendapatkan<br />
kemerdekaan sampai pada akhir dunia. Kalau pun mereka memeluk agama Kristen<br />
kaum berwarna akan tetap lebih rendah daripada bangsa putih. Karena bangsa<br />
berwarna (keturunan Nimrod) merupakan bangsa yang sejak pembangunan<br />
menara Babel tidak lagi mengenal keesaan Tuhan dan menja<strong>di</strong> bangsa yang kafir<br />
sementara pada keturunan Sem dan Yafet masih ada unsur keesaan Tuhan maka<br />
bangsa putih pun memiliki kewajiban untuk menyebarkan injil kepada bangsa yang<br />
berwarna.<br />
Keturunan Ham, terkutuk karena Ham melihat aurat ayahnya, dan berdosa<br />
karena mau membangun menara yang bisa mencapai langit – demikianlah ideologi<br />
Fabri– <strong>di</strong>hukum Tuhan dengan membuat keturunannya menja<strong>di</strong> rusak, kekurangan<br />
dalam semua hal, rupa, warna kulit, dan intelek.<br />
Namun <strong>di</strong> antara ras berwarna kulit cokelat yang <strong>di</strong>anggap serba dekaden itu<br />
ternyata ada satu bangsa yang tingkat kerusakannya tidak terlalu parah. Dalam<br />
majalah Berichte der Rheinischen Missionsgesellschaft Fabri, yang ternyata<br />
<strong>di</strong>pengaruhi oleh Junghuhn, melaporkan bahwa:<br />
Diban<strong>di</strong>ngkan orang Melayu orang Batak jauh lebih mirip dengan ras Indo-<br />
Germania baik dari segi bentuk kepala, tubuh, atau warna kulit. Warna<br />
kulitnya sedemikian cokelat muda sehingga malahan ada yang pipinya<br />
kemerah-merahan. Rambutnya juga lebih lebat dan lebih lembut daripada<br />
rambut orang Melayu, dan kadang-kadang kecokelat-cokelatan. Tubuhnya<br />
tegap dan berotot. Tampaknya mereka merupakan ras menengah antara<br />
ras Eropa dan Melayu. 34<br />
33 Je mehr sich ein Geschlecht daran betheiligte, desto ärmer <strong>di</strong>e Sprache, desto<br />
polytheistischer das Gottesbewusstsein; je weniger Betheiligung, desto edler <strong>di</strong>e Gestalt,<br />
desto reicher <strong>di</strong>e Sprache, desto mehr Anklänge an den ursprünglichen Monotheismus in<br />
der Mythologie. Nun begreifen wir einigermaßen, warum <strong>di</strong>e Hamiten <strong>di</strong>e in jeder<br />
Beziehung am meisten zertretenen Völker der Erde bis auf den heutigen Tag sind, und<br />
ahnen nun auch, wie das Geheimniß der Bosheit, zu dessen Hauptträgern sie sich vor<br />
Jahrtausenden gemacht, seine furchtbaren und entstellenden Wirkungen sebst in Farbe<br />
und Körpergestalt bis auf den heutigen Tag ausgrprägt hat. (Fabri 1859:93-40)<br />
34 Weit mehr als <strong>di</strong>e Malaien nähern sie sich dem indogermanischen Völkerstamme, sowohl<br />
in der Schädelform, als auch in der Gestalt und Körperfarbe. Ihre Farbe ist so
Berdasarkan dugaan Junghuhn, yang tentu sama sekali tidak beralasan, Fabri<br />
menganggap bangsa Batak lebih unggul dari bangsa-bangsa Melayu, tetapi tentu<br />
tetap <strong>di</strong> bawah ras putih karena menurutnya dosa yang <strong>di</strong>pikul oleh keturunan Ham<br />
aba<strong>di</strong> dan tidak berkurang bahkan kalau mereka memeluk agama Kristen.<br />
Fabri juga melihat adanya kemiripan antara bangsa Germania dan bangsa Batak<br />
karena kedua-duanya <strong>di</strong>kepung oleh bangsa yang hendak memusnahkannya.<br />
Jerman <strong>di</strong>ancam dari barat oleh musuh bebuyutan Prancis yang hendak<br />
membinasakan bangsa Germania dengan bisa kemerosotan moralnya, dan <strong>di</strong>ancam<br />
dari timur oleh bangsa Slawonik yang sangat rendah derajatnya. Demikian juga<br />
keadaan orang Batak yang menurut Fabri <strong>di</strong>kepung oleh bangsa Melayu. Ber<strong>di</strong>ri<br />
sen<strong>di</strong>ri secara kokoh dalam keadaan <strong>di</strong>kepung oleh musuh adalah gambaran yang<br />
sering <strong>di</strong>kemukakan oleh para nasionalis Jerman, dan hal yang sama juga<br />
<strong>di</strong>ungkapkan oleh Junghuhn: “Batak merupakan bangsa kecil yang ber<strong>di</strong>ri sen<strong>di</strong>ri<br />
<strong>di</strong>kelilingi oleh bangsa Melayu” (II: 13).<br />
Selain daripada rasisme dan chauvinisme tentu ada juga unsur agama karena<br />
bangsa yang “mengancam” Jerman beragama Katolik (Prancis dan Polan<strong>di</strong>a) atau<br />
Ortodoks (Rusia), dan bangsa Melayu yang “mengancam” orang Batak beragama<br />
Islam.<br />
Selama Fabri menja<strong>di</strong> Direktur RMG ia semakin tertarik pada penjajahan dan<br />
tiba pada kesimpulan bahwa penjajahan merupakan salah satu cara terbaik untuk<br />
mengatasi persoalan-persoalan sosial yang semakin nyata <strong>di</strong> Jerman.<br />
Fabri dan Paham Penginjilan Kolonial<br />
Kepentingan misi pada hakikatnya sejajar dengan kepentingan ekonomi dan<br />
politik dan penginjilan seharusnya <strong>di</strong>ja<strong>di</strong>kan alat untuk merintis penjajahan. Hal ini<br />
<strong>di</strong>yakini Fabri, dan teorinya ia simpulkan dalam ceramah pada Konferensi<br />
Penginjilan Eropa Daratan 35 yang berjudul Die Bedeutung geordneter politischer<br />
Zustände für <strong>di</strong>e Entwicklung der Mission (Keadaan Politik yang Stabil sebagai<br />
Faktor Pendukung Penginjilan). Bersama mantan misionaris RMG C.G. Büttner dan<br />
lichtbräunlich, daß man oftmals rothen Wagen unter ihnen begegnet. Sie haben auch ein<br />
reicheres und weicheres Haar als <strong>di</strong>e Malaien, öfters von brauner Farbe, und sind stark<br />
und muskulös gebaut. Im Ganzen kann man sagen, daß sie zwischen der kaukasischen<br />
und malaiischen Race eine gewisse Mittelstellung einnehmen. (Fabri BRMG 1862:12)<br />
35 6. Kontinentale Missionskonferenz (Bremen 20 Maret 1884).
superintenden misionaris Merensky 36 Fabri menja<strong>di</strong> salah seorang perintis paham<br />
penginjilan kolonial (koloniale Missionsauffassung).<br />
Fabri percaya bahwa Jerman memerlukan daerah jajahan untuk mengatasi<br />
masalah sosial yang melanda Jerman. Kepadatan penduduk dan angka<br />
pengangguran yang tinggi mengakibatkan kemiskinan massal sehingga timbul<br />
berbagai masalah sosial yang nantinya dapat menjurus ke sosialisme dan<br />
komunisme. Oleh sebab itu masalah sosial (<strong>di</strong>e soziale Frage) merupakan masalah<br />
utama abad ke-19 dan “masalah hidup atau mati bagi masa depan” (Lebensfrage<br />
für <strong>di</strong>e Zukunft). Oleh sebab itu Jerman perlu daerah jajahan yang tidak hanya<br />
dapat menampung kaum miskin Jerman tetapi juga meningkatkan kekayaan<br />
Jerman sehingga Fabri melihat kolonialisme sebagai satu-satunya jalan untuk<br />
mengatasi masalah sosial.<br />
Di samping itu, demikian penjelasan Fabri, kolonialisme juga bermanfaat bagi<br />
mereka yang <strong>di</strong>jajah. “Karakter dasar” para pribumi daerah tropis yang “kurang<br />
lebih lemas, lalai, dan malas” dapat <strong>di</strong>ubah kalau mereka <strong>di</strong><strong>di</strong>k oleh orang Eropa<br />
untuk berkerja keras. Oleh karena itu “kekuasaan Eropa menja<strong>di</strong> syarat mutlak”<br />
untuk membudayakan kaum pribumi. Karena berkecimpung <strong>di</strong> bidang penginjilan<br />
luar Eropa maka Fabri menja<strong>di</strong> tertarik pada politik kolonial, tetapi keyakinan akan<br />
perlunya penjajahan terutama ia dasarkan pada alasan sosial-politik, dan bukan<br />
penginjilan.<br />
Menurut Fabri para penginjil perlu mendukung pihak penjajah sementara<br />
pemerintah kolonial <strong>di</strong>harapkan membantu para penginjil dengan menaklukkan<br />
daerah penginjilan untuk mencapai keadaan politik yang stabil (Bade 2005:104). 37<br />
Pengalaman Fabri sebagai <strong>di</strong>rektur RMG membuatnya menja<strong>di</strong> makin tertarik pada<br />
politik kolonial sehingga tahun 1884 ia keluar dari RMG untuk mengab<strong>di</strong>kan <strong>di</strong>ri<br />
sepenuhnya pada gerakan kolonial Jerman yang <strong>di</strong>peloporinya.<br />
Fabri juga amat dekat dengan para industrialis, terutama sejak pada tahun 1869<br />
ia men<strong>di</strong>rikan Wuppertaler Aktien-Gesellschaft für Handel in den Arbeitsgebieten<br />
der Rheinischen Mission (Perseroan untuk Perdagangan <strong>di</strong> Wilayah Kerja RMG,<br />
Wuppertal) yang biasanya <strong>di</strong>singkat Missions-Handelsgesellschaft (Serikat Dagang<br />
Misi) atau MHG dengan modal awal 50.000 Taler yang <strong>di</strong>dapatkannya dari<br />
36 Lihat publikasi A. Merensky: Was lehren uns <strong>di</strong>e Erfahrungen, welche andere Völker bei<br />
Kolonisationsversuchen in Afrika gemachten haben? (Kita bisa belajar apa dari upaya<br />
penjajahan bangsa lain <strong>di</strong> Afrika?), Berlin 1880; dan Wie erzieht man am besten den<br />
Neger zur Plantagenarbeit? (Bagaimana cara terbaik mengajar si Negro menja<strong>di</strong> buruh<br />
perkebunan?), Berlin 1912.<br />
37 Fabri sen<strong>di</strong>ri pda tahun 1880 pernah meminta perlindungan untuk para penginjil <strong>di</strong> Teluk<br />
Paus (Walfischbai, Afrika Barat Daya) dari kementerian luar negeri Jerman, namun<br />
kanselir Bismarck menolak permintaan Fabri. (Bade 2005: 335)
pengusaha-pengusaha <strong>di</strong> sekitar Wuppertal. Sepuluh tahun kemu<strong>di</strong>an, pada tahun<br />
1879, Fabri menawarkan kepada pemerintah Kerajaan Jerman agar para penginjil<br />
merintis jalan untuk men<strong>di</strong>rikan daerah jajahan baru <strong>di</strong> Afrika Tengah. Melalui MHG<br />
para penginjil <strong>di</strong>harapkan merintis perdagangan yang nantinya akan berujung pada<br />
penjajahan. Para penginjil juga <strong>di</strong>harapkan untuk merintis perkebunan dengan hasil<br />
bumi yang menguntungkan.<br />
Untuk tujuan itu Fabri mengusulkan untuk men<strong>di</strong>rikan pos-pos zen<strong>di</strong>ng pada<br />
pantai barat dan pantai timur Afrika Tengah dengan menekankan bahwa para<br />
penginjil “akan bermanfaat merintis jalan untuk perusahaan-perusahaan<br />
perdagangan dan aneksasi kolonial yang akan menyusul”. Oleh sebab itu ia<br />
menegaskan bahwa sudah tiba saatnya agar pemerintah Jerman menyadari bahwa<br />
penginjilan ‘sangat bermanfaat, dan malahan bisa menja<strong>di</strong> syarat mutlak’ (höchst<br />
nützlich, unter Umständen sogar unentbehrlich) untuk ekspansi kolonial. (Bade<br />
2005:145)<br />
Tidak semua orang <strong>di</strong> RMG setuju dengan kebijakan Fabri yang pro-industri, dan<br />
kecenderungan Fabri untuk bersekongkol dengan para industriawan, apalagi<br />
kegagalan usaha-usaha Fabri yang <strong>di</strong>harapkan akan mendatangkan dana bagi RMG<br />
akhirnya menja<strong>di</strong> penyebab bahwa Fabri terpaksa mengundurkan <strong>di</strong>ri dari jabatan<br />
sebagai <strong>di</strong>rektur Rheinische Mission.<br />
w<br />
Penginjil sebagai Penjajah<br />
Salah seorang misionaris yang paling terkenal adalah David Livingstone (1813–<br />
1873) yang pada masanya <strong>di</strong> tanah airnya Inggris <strong>di</strong>anggap sebagai pahlawan<br />
nasional yang datang ke Afrika untuk merintis jalan untuk “perdagangan dan<br />
kekristenan”. Mengab<strong>di</strong> pada Tuhan menja<strong>di</strong> tujuan utama para misionaris, tetapi<br />
sebagai patriot mereka menganggapnya sama penting untuk mengab<strong>di</strong> pada Tuan<br />
Kolonial, dan acapkali mereka mahalan merangkap menja<strong>di</strong> penjajah. (Paczensky<br />
1991: 262)<br />
Pada tahun 1842 misionaris dari Rheinische Missionsgesellschaft mulai menetap<br />
<strong>di</strong> “Großnamaqualand” – 40 tahun sebelum kawasan itu yang sekarang <strong>di</strong>kenal<br />
sebagai Namibia menja<strong>di</strong> daerah jajahan Jerman. Sebagai perintis kolonialisme,
dan tanpa <strong>di</strong>suruh oleh siapa-siapa, mereka mengibarkan bendera Prusia (Kerajaan<br />
Jerman baru ber<strong>di</strong>ri sejak tahun 1871) pada tahun 1844, tetapi pemerintah Prusia<br />
tidak pada saat itu tidak berminat untuk mendapatkan daerah jajahan.<br />
Ketika para misionaris tiba <strong>di</strong> Windhoek pada tahun 1842 kawasan Namaqualand<br />
<strong>di</strong>huni oleh suku Nama yang mata pencaharian terutama dari beternak. Pada saat<br />
itu suku Nama yang sudah memiliki sejumlah senjata api, masuk ke Tanah Herero<br />
untuk memperluas tanah peternakannya. Sudah sejak awal para misionaris selalu<br />
terlibat dalam pertikaian antara kedua suku tersebut dan berusaha untuk melarai<br />
perselisihian. Karena pertikaian tidak dapat <strong>di</strong>selesaikan dan konflik semakin<br />
berkobar maka para misionaris RMG menginginkan agar wilayah misi mereka<br />
<strong>di</strong>aneksasi, entah oleh Inggris atau oleh Jerman.<br />
Dalam pertikaian itu para penginjil cenderung untuk berpihak pada suku Herero,<br />
dan pada tahun 1863 penginjil RMG malahan membantu sejumlah orang Eropa<br />
yang ter<strong>di</strong>ri atas pengusaha pertambangan tembaga dan beberapa petualang,<br />
mempersenjatai Herero untuk memerangi suku Nama. (Steinmetz 1972:111 band.<br />
hal. 245)<br />
Ketika pertikaian berkobar lagi pada tahun 1868 maka para misionaris meminta<br />
perlindungan pada pemerintah Jerman (Prusia) namun pihak RMG kecewa karena<br />
kanselir Bismarck tidak yakin bahwa wilayah penjajahan akan menguntungkan<br />
Jerman.<br />
Pada awal tahun 1880an konflik antara Herero dan Naman semakin menja<strong>di</strong>,<br />
dan karena Inggris tidak menunjukkan minat untuk intervensi, maka pada 3 Juni<br />
1880 Fabri mengajukan permohonan kepada Kementrian Luar Negeri (Auswertiges<br />
Amt) agar Auswertiges Amt minta bantuan Inggris untuk mengirim pasukan guna<br />
melindungi para penginjil RMG dan pos-pos perdagangan (Schubert 2003:122,<br />
band. BRMG 1880-196-204). Pada waktu yang sama Fabri juga menegaskan bahwa<br />
menurutnya seyogyanya kawasan itu <strong>di</strong>jajah oleh Jerman dan bukan oleh Inggris<br />
karena <strong>di</strong>anggapnya lebih sesuai “bila penginjil dan penjajah berasal dari bangsa<br />
yang sama” (ibid., hal.123).<br />
Kali ini juga Bismarck menolak permintaan RMG, namun sikap Bismarck<br />
terhadap daerah jajahan telah mulai berubah pada akhir 1870an setelah Jerman<br />
bersatu. Antara 1884 dan 1899 Jerman memperoleh sejumlah wilayah penjajahan<br />
terutama <strong>di</strong> Afrika. Perolehan Afrika Barat Daya yang sekarang menja<strong>di</strong> Namibia<br />
sebagai jajahan Jerman terja<strong>di</strong> dengan dukungan dan bantuan para misionaris<br />
RMG. Jerman menjalin perjanjian dengan para kepala suku yang pada hakikatnya,<br />
dan tanpa pengetahuan mereka, mengatur perampasan wilayahnya. Misionaris
Büttman, Heidmann, dan Judt membantu pemerintah kolonial dalam pelaksanaan<br />
perjanjian tersebut.<br />
Setelah Afrika Barat Daya resmi menja<strong>di</strong> wilayah penjajahan Jerman para<br />
misionaris berperilaku layak tuan kolonial. Mereka lama mendukung Hendrik<br />
Witbooi (?1830–1905), kepala suku Orlam yang memeluk agama Kristen. Ketika<br />
Witbooi ingin memperluas wilayah kekuasaan ke arah utara maka suku Herero<br />
yang men<strong>di</strong>ami daerah itu meminta perlindungan kepada Jerman. Witbooi tidak lagi<br />
memperhatikan nasihat para penginjil dan malahan melarang mereka untuk masuk<br />
ke wilayahnya. Ketika pada tahun 1893 Witbooi berdamai dengan suku Herero,<br />
pemerintah khawatir Witbooi menja<strong>di</strong> terlalu kuat dan menyerang markasnya<br />
dengan membunuh 78 perempuan dan anak-anak dan 10 laki-laki. Witbooi sen<strong>di</strong>ri<br />
lepas. Di BRMG 1893 para penginjil menulis bahwa “Kalau pengacau keamanan<br />
yang sudah bertahun-tahun mengacaukan negerinya itu <strong>di</strong>musnahkan, baru ada<br />
harapan maka negerinya bisa berkembang.” Mereka menyesal Wittboi sen<strong>di</strong>ri yang<br />
“berangan-angan secara kegilaan bisa melawan kekuasaan Jerman” lepas. Tahun<br />
1894 tentara kolonial Jerman berhasil menangkap Wittboi. Dalam Lembaran Negara<br />
Kolonial (Deutsches Kolonialblatt) peranan para misionaris pada penangkapannya<br />
<strong>di</strong>akui secara resmi dan Kementrian Luar Negeri malahan mengucapkan terima<br />
kasih pada penginjil RMG “atas jasa yang berharga dan nasihat yang sangat<br />
berguna” (Paczensky 1991:267).<br />
Pada 12 Januari 1904 suku Herero <strong>di</strong> bawah pimpinan Samuel Maharero<br />
memberontak terhadap kekuasaan kolonial Jerman. Pada pertempuran Waterberg<br />
pasukan Herero mengalami kekalahan dan <strong>di</strong>paksa mundur ke gurun Namib.<br />
Jenderal von Trotha memerintah pasukannya untuk membasmi suku Herero.<br />
Mereka yang mau menyerah langsung <strong>di</strong>bunuh. Dalam keadaan terkepung para<br />
Herero <strong>di</strong>biarkan mati kehausan <strong>di</strong> gurun Namib, dan sisanya mati karena<br />
meminum air sumur yang <strong>di</strong>racuni oleh pasukan Jerman.<br />
Pada bulan Oktober 1904 terja<strong>di</strong> pemberontakan lagi – kali ini dari suku Nama.<br />
Nasib mereka tidak lebih baik daripada nasib suku Herero. Di sini juga dengan<br />
sengaja pasukan Jerman berusaha untuk membunuh sebagian besar rakyat.<br />
Diperkirakan bahwa sekitar separuh dari seluruh populasi Nama <strong>di</strong>bunuh pada<br />
waktu itu sementara jumlah korban pada suku Herero lebih tinggi lagi; <strong>di</strong>perkirakan<br />
bahwa 50% hingga 70% rakyat Herero, termasuk anak-anak dan perempuan, mati.<br />
Peristiwa ini kemu<strong>di</strong>an menja<strong>di</strong> terkenal sebagai genosida Nama dan Herero.<br />
Seluruh tanah mereka <strong>di</strong>rampas dan mereka yang bertahan hidup <strong>di</strong>paksa bekerja<br />
untuk tuan tanah orang putih.
Pada tahun 1906 para misonaris mencatat bahwa “keadaan menja<strong>di</strong> tenang<br />
sekali” dan bahwa semakin banyak rakyat Nama dan Herero masuk agama Kristen.<br />
Sesudah masyarakat tra<strong>di</strong>sional mereka <strong>di</strong>hancurkan secara total oleh para<br />
penjajah maka mereka tiada lagi pegangan untuk dapat bertahan <strong>di</strong> bahwa orde<br />
baru sehingga terpaksa mereka andalkan satu-satunya lembaga yang masih<br />
berfungsi yaitu lembaga Kristen (Paczensky 1991:262-268).<br />
Penginjil sebagai Pedagang<br />
Gustav Warneck <strong>di</strong>rektur RMG dari tahun 1871–1874 dan pen<strong>di</strong>ri majalah<br />
zen<strong>di</strong>ng Allgemeine Missions-Zeitschrift (AMZ) pernah menyebut zen<strong>di</strong>ng sebagai<br />
“satuan pengaman untuk perdagangan internasional” (AMZ 5, 1878, hal.67) dan<br />
menambahkan bahwa jasa itu <strong>di</strong>se<strong>di</strong>akan dengan cuma-cuma. Para misionaris<br />
memang sering menja<strong>di</strong> perintis dan hampir selalu <strong>di</strong>ikuti oleh para pedagang.<br />
Yang paling penting bagi para pedagang adalah kenyataan bahwa dengan adanya<br />
para penginjil mereka bisa melaksanakan kegiatan dengan lebih aman.<br />
Adapun kalanya para misionaris ikut berdagang. Untuk tujuan ini pada tahun<br />
1869 RMG men<strong>di</strong>rikan perseroan terbatas “Missions-Handels-Aktien-Gesellschaft zu<br />
Barmen” yang <strong>di</strong>prakarsai oleh Fabri. Sama dengan pedagang lainnya mereka<br />
menjual pakaian, berbagai jenis barang keperluan sehari-hari, terutama yang dari<br />
besi, dan bahan pangan. Hanya alkohol, yang menja<strong>di</strong> barang dagangan yang<br />
sangat laku, tidak mereka jual. Barang dagangan mereka <strong>di</strong>tukar dengan ternak,<br />
bulu burung unta, dan ga<strong>di</strong>ng (Rohden 1888:327). Awalnya menguntung, lama-<br />
kelamaan P.T. Dagang Zen<strong>di</strong>ng Barmen merugi, terutama karena hewan itu sudah<br />
mulai punah:<br />
Semua orang ikut berburu. Hewan apa saja yang dapat <strong>di</strong>bunuh, mereka<br />
tikam atau tembak. Baik yang jantan maupun yang betina, dan bahkan<br />
anak hewan <strong>di</strong>binasakan sehingga tiada lagi yang dapat <strong>di</strong>buru (Rohden<br />
1888:330). 38<br />
Lalu mereka berupaya untuk memperdagangkan kawanan lembu milik suku Ova<br />
Herero, tetapi usaha itu pun gagal karena terlalu banyak hewan mati selama<br />
perjalanan panjang <strong>di</strong> gurun pasir. (ibid.). Lalu ketika pada tahun 1880 pecah<br />
38 Alles, was auf <strong>di</strong>e Beine zu bringen war, zog aus auf <strong>di</strong>e Jagd. Da wurde totgeschlagen<br />
und totgeschossen alles, was zu erreichen war, männlich und weiblich. Von Schonung des<br />
Nachwuchses war keine Rede. Die Folge war, dass in der Nähe bald nichts Jagdbares<br />
mehr zu finden war.
perang antara suku Naman dan Herero maka terpaksa P.T. Dagang Zen<strong>di</strong>ng gulung<br />
tikar.<br />
Sesudah kepergian Fabri kebijakan RMG berubah drastis, dan pada tahun 1884<br />
para penginjil <strong>di</strong>imbau:<br />
Tugas kalian menyebarkan injil dan menyelamatkan jiwa-jiwa pada bangsa<br />
[tujuan penginjilan] kalian sedangkan mereka hendak memperkaya <strong>di</strong>ri,<br />
ingin berdagang dan berusaha tidak peduli apakah hal itu membinasakan<br />
rakyatnya. Munculnya kawasan penjajahan <strong>di</strong> daerah kekafiran senantiasa<br />
<strong>di</strong>iringi ketidaka<strong>di</strong>lan, entah bangsa penjajah itu Portugis, Spanyol,<br />
Belanda, atau Inggris. Orang Jerman pun tidak akan melakukannya<br />
dengan lebih baik, dan tugas kalian adalah untuk sedapat-dapatnya<br />
melindungi rakyat kalian terhadap kekerasan dan penganiayaan oleh<br />
bangsa putih. [...]. Jauhkan <strong>di</strong>ri dari segala masalah politik. 39<br />
August Schreiber yang menggantikan Fabri berupaya untuk menjaga jarak<br />
dengan pemerintah kolonial:<br />
Kolonisasi bertujuan untuk menambah kekuasaan dan kehormatan tanah<br />
air kita yang tercinta sedangan penginjilan demi kebesaran kerajaan Allah<br />
dan demi kehormatan raja kita <strong>di</strong> surga Yesus Kristus. Oleh sebab itu<br />
kedua urusan itu jangan <strong>di</strong>campur karena bermanfaat bagi kedua belah<br />
pihak bila ada pemisahan yang jelas antara kedua urusan tersebut. Dari<br />
sejarah kita mengetahui betapa buruknya bila penginjil berupaya untuk<br />
menja<strong>di</strong> penjajah, dan sama buruk hasilnya bila pemerintah berupaya<br />
untuk menyebarkan injil. 40<br />
Namun Schreiber pun tetap berkeyakinan bahwa perampasan wilayah adalah hal<br />
yang wajar, dan bahwa para pribumi seharusnya bersyukur kepada penjajah, dan<br />
ia mengeluh bahwa “sayang sekali hal ini jarang <strong>di</strong>sadari oleh bangsa yang<br />
<strong>di</strong>taklukkan”.<br />
39 “Eure Aufgabe ist es, Christum zu pre<strong>di</strong>gen und <strong>di</strong>e Seele Eures Volkes zu retten; jene<br />
aber wollen sich selbst bereichern, wollen Handel, Gewerbe, Industrie, unbekümmert, ob<br />
das Volk darüber zugrunde geht. Noch nirgend ist in der Heidenwelt eine europäische<br />
Kolonie entstanden ohne <strong>di</strong>e schwersten Ungerechtigkeiten. Portugiesen und Spanier,<br />
Holländer und Engländer haben darin ziemlich gleichen Schritt gehalten. Die Deutschen<br />
werden es schwerlich viel besser machen, und Ihr werdet <strong>di</strong>e Aufgabe haben, Euer Volk<br />
vor Mißhandlungen und Vergewaltigung der Weißen zu schützen, solange Ihr könnt [...].<br />
Haltet Euch von allen politischen Fragen fern.” Deputation Rheinische Mission kepada<br />
Namakonferenz, 29-12-1884, ARM M SWA, hal. 86–89. Dikutip dari Bade 205:225-226.<br />
40 Kolonisation <strong>di</strong>ent zur Ausbreitung der Macht und des Ansehens unseres lieben deutschen<br />
Vaterlandes, <strong>di</strong>e Mission dagegen will <strong>di</strong>enen zur Ausbreitung des Reiches und der Ehre<br />
unseres himmlischen Königs, Jesus Christus. So wolle man auch hier nicht<br />
verschiedenartige Dinge durcheinandermischen oder miteinander verwechseln; es wird<br />
beiden zugute kommen, wenn man sie reinlich und deutlich auseinander hält, denn <strong>di</strong>e<br />
Geschichte kann uns lehren, dass noch niemals gute Resultate dabei herausgekommen<br />
sind, wenn <strong>di</strong>e Missionare Kolonien gründeten, noch wenn <strong>di</strong>e Kolonialmacht missionierte.
Terjemahan Artikel BRMG<br />
Berikut kami sajikan secara kronologis terjemahan enam artikel dari Berichte der<br />
Rheinischen Missionsgesellschaft (BRMG) yang berkaitan dengan <strong>Perang</strong> Toba I,<br />
termasuk artikel dari dua saksi mata. Artikel BRMG 1878 hal. 193-202 yang<br />
pertama berjudul <strong>Perang</strong> <strong>di</strong> Toba memuat laporan penginjil Metzler dari Bahal Batu<br />
dan Silindung. Artikel <strong>di</strong> BRMG 1878 (12): 361-381 yang berjudul Laporan Terakhir<br />
tentang <strong>Perang</strong> <strong>di</strong> Toba (Endgültiger Bericht über den Krieg auf Sumatra)<br />
mengandung laporan L.I. Nommensen ketika ia mendampingi tentara Belanda<br />
dalam <strong>Perang</strong> Toba I dari Bahal Batu sampai ke Bangkara dan Balige.<br />
Berikut ini urutan peristiwa perang Toba sebagaimana <strong>di</strong>rekonstruksi dari<br />
laporan penginjil Nommensen dan Metzler. Tanggal-tanggal setelah 5 Mei tidak<br />
pasti karena tidak <strong>di</strong>sebut berapa lama pasukan Belanda beristirahat <strong>di</strong> Paranginan.<br />
Akhir 1877 Desas-desus Aceh akan bersekutu dengan Toba<br />
17/12/1877<br />
Penginjil <strong>di</strong> Bahal Batu menerima surat dari Silindung bahwa para<br />
ulubalang sudah tiba <strong>di</strong> Bangkara<br />
Jan. 1878<br />
<strong>Utusan</strong> Singamangaraja datang mengancam misionaris dan orang<br />
Kristen<br />
Akhir Jan. ‘78 Para Penginjil minta agar Belanda mengirim pasukannya<br />
01/02/1878<br />
Pasukan pertama <strong>di</strong> bawah pimpinan Kapten Scheltens bersama<br />
dengan Kontrolir Hoevel menuju Pearaja<br />
06/02/1878 Pasukan dengan 80 tentara dan seorang Kontrolir tiba <strong>di</strong> Pearaja<br />
15/02/1878 Pasukan tiba <strong>di</strong> Bahal Batu bersama dengan penginjil dari Silindung<br />
16/02/ 1878 Pengumuman perang dari pihak SSM<br />
17/02/1878<br />
Metzler <strong>di</strong>suruh membawa istrinya ke Silindung. Ibu Metzler <strong>di</strong>antar<br />
suaminya dan Johannsen ke Pansur na Pitu<br />
19/02/1878<br />
Metzler kembali ke Bahal Batu, tetapi tanggal 20 Feb 1878 kembali lagi<br />
ke Silindung<br />
Feb. 1878 Pasukan Singamangaraja menyerang Bahal Batu.<br />
01/03/1878 Pasukan tambahan berangkat dari Sibolga.<br />
14/03/1878<br />
Residen Boyle datang bersama 250 tentara dan Kolonel Engels dari<br />
Sibolga.<br />
15/03/1878 Silindung <strong>di</strong>nyatakan menja<strong>di</strong> bagian dari wilayah Hin<strong>di</strong>a-Belanda.<br />
16/03/1878<br />
Pasukan berangkat ke Bahal Batu. Bahal Batu pun <strong>di</strong>nyatakan menja<strong>di</strong><br />
wilayah Hin<strong>di</strong>a-Belanda.<br />
17-20/03/1878 Butar, Lobu Siregar dan Naga Saribu <strong>di</strong>serang.<br />
Maret Pasukan tambahan 300 tentara dan 100 narapidana <strong>di</strong>berangkatkan.<br />
Ekspe<strong>di</strong>si militer untuk menumpaskan pasukan Singamangaraja<br />
30/04/1878 <strong>di</strong>mulai. Penginjil Nommensen dan Simoneit mendampingi pasukan<br />
Belanda. Lintong ni Huta <strong>di</strong>taklukkan.<br />
01/05/1878 Bangkara <strong>di</strong>serang<br />
02/05/1878 Kampung-kampung <strong>di</strong> sekitar Bangkara <strong>di</strong>serang.
03/05/1878<br />
Raja-raja <strong>di</strong> Bangkara <strong>di</strong>paksa melakukan sumpah setia mengakui<br />
kedaulatan Belanda.<br />
04/05/1878 Pasukan maju ke Paranginan.<br />
05/05/1878 Pasukan beristirahat selama beberapa hari <strong>di</strong> Paranginan.<br />
8 Mei 1878<br />
Huta Ginjang, Meat dan Gugur <strong>di</strong>taklukkan. Pasukan beristirahat<br />
selama beberapa hari <strong>di</strong> Gurgur.<br />
11/05/1878<br />
Pasukan menaklukkan Lintong ni Huta Pohan, Pangho<strong>di</strong>a dan Tara<br />
Bunga.<br />
12/05/1878<br />
Pasukan kembali ke Bahal Batu melalui Onan Geang-Geang, Pintu Bosi,<br />
Parik Sabungan dan Lobu Siregar.<br />
akhir Mei Nommensen membantu Residen <strong>di</strong> Bahal Batu.<br />
Benteng untuk 80 tentara <strong>di</strong>bangun <strong>di</strong> Sipoholon<br />
27/12/1878<br />
Nommensen dan Simoneit menerima penghargaan dari pemerintah<br />
Belanda<br />
Sumber primer dan sekunder: Catatan Metodologi<br />
Artikel-artikel yang kami terjemahkan berasal dari majalah Berichte der<br />
Rheinischen Missionsgesellschaft (BRMG). Sebagian dari artikel BRMG merupakan<br />
sumber primer karena <strong>di</strong>tulis langsung oleh pihak RMG <strong>di</strong> Barmen namun nama<br />
pengarang biasanya tidak <strong>di</strong>sebut. Di antara keenam artikel yang <strong>di</strong>terjemahkan<br />
terdapat dua yang bisa <strong>di</strong>anggap sebagai sumber sekunder yaitu “<strong>Perang</strong> <strong>di</strong> Toba”<br />
yang merupakan salinan dari sepucuk surat yang <strong>di</strong>tulis oleh penginjil Metzler (15-<br />
3-1878 Nomor arsip RMG 1.937 Bd.1), dan “Laporan Terakhir tentang <strong>Perang</strong> <strong>di</strong><br />
Toba” yang <strong>di</strong>tulis berdasarkan surat Nommensen (20-6-1878, No. arsip RMG<br />
1.926 Bd.1).<br />
Surat asli dari para misionaris <strong>di</strong>cetak <strong>di</strong> BRMG setelah <strong>di</strong>sunting oleh para<br />
e<strong>di</strong>tor. Proses penyuntingan itu biasanya hanya sekadar meluruskan salah ejaan<br />
dan gaya bahasanya tanpa mengubah isinya. Namun demikian, sekali-sekali para<br />
e<strong>di</strong>tor melakukan penge<strong>di</strong>tan bila para misionaris terlalu kuat mengecam<br />
pemerintah kolonial. Hal itu terja<strong>di</strong> pada surat penginjil Pilgrim yang pada 25-11-<br />
1887 menulis tentang <strong>Perang</strong> Toba Kedua:<br />
Para serdadu telah kembali dari Dolok Sanggul. Baru ta<strong>di</strong> Kontelir Welsink<br />
datang kemari. Mereka membakar 60 kampung yang indah. Para musuh<br />
mengungsi ke hutan dengan membawa harta karun mereka dan tidak<br />
kembali selama enam minggu. Melalui seorang pengantara mereka<br />
<strong>di</strong>paksa untuk membayar denda 1500 Gulden. Bangkara dan Lintong akan<br />
<strong>di</strong>hukum dari Danau Toba karena pemerintah akan mengirim kapal ke<br />
Danau Toba. Mudah-mudahan hal itu akan berakibat positif terhadap Si<br />
Gaol dan Samosir sehingga kita dengan aman bisa menyebarkan injil.<br />
Beberapa hari yang lalu kami <strong>di</strong>beritahu oleh Nommensen bahwa Sarbet<br />
(?) dan 15 orang Aceh berada <strong>di</strong> Samosir. Maunya dengan bantuan Tuhan
injil dapat juga <strong>di</strong>bawa kepada orang Aceh yang selama ini berada <strong>di</strong><br />
kemelut perang. Sampai sekarang yang mereka dapatkan dari kita orang<br />
Eropa hanyalah peluru dan mesiu. Tidak mengherankan kalau mereka<br />
membalas dengan menyerang kita seperti harimau. (RMG 1.941<br />
tertanggal 25-11-1887)<br />
Cuplikan dari surat asli Pilgram <strong>di</strong> atas <strong>di</strong>terbitkan dalam BRMG dalam versi yang<br />
lebih pendek dan lebih moderat:<br />
Para serdadu sudah kembali dari Dolok Sanggul. Mereka membakar<br />
sejumlah kampung, dan musuh <strong>di</strong>denda 1500 Gulden, tetapi itu pun hanya<br />
melalui seorang pengantara karena sejak enam minggu mereka tidak<br />
kelihatan lagi. Bangkara dan Lintong <strong>di</strong>rencanakan akan <strong>di</strong>hukum dari<br />
Danau Toba melalui kapal yang akan <strong>di</strong>luncurkan. (BRMG 1888:42-43)<br />
Ja<strong>di</strong> ekspresi simpati dengan korban perang tidak <strong>di</strong>muat oleh pihak RMG.<br />
Penulis buku ini telah membaca kedua surat yang asli yang kini berada <strong>di</strong> arsip<br />
RMG <strong>di</strong> Wuppertal dan memban<strong>di</strong>ngkannya dengan salinannya <strong>di</strong> BRMG.<br />
Nommensen dan Metzler menulis suratnya dengan tangan dan tentu terdapat<br />
beberapa kesalahan dalam ejaan atau tata bahasa. Oleh sebab itu semua surat<br />
<strong>di</strong>periksa dulu untuk memastikan tiada kesalahan yang sempat masuk ke e<strong>di</strong>si<br />
cetakan. Proses penyuntingan yang <strong>di</strong>lakukan oleh staf e<strong>di</strong>torial RMG sama sekali<br />
tidak mengubah arti surat asli melainkan hanya meralat kesalahan atau<br />
menambahkan informasi waktu bilamana <strong>di</strong>anggap perlu.<br />
Berikut ini foto halaman pertama surat Nommensen yang <strong>di</strong>tujukan kepada<br />
“Lieber Herr Inspektor” (Tuan Direktur yang terhormat). Tampaknya surat<br />
Nommensen <strong>di</strong>cetak ulang dalam BRMG dengan sangat akurat. Satu-satunya<br />
perbaikan yang <strong>di</strong>buat oleh para penge<strong>di</strong>t ialah penambahan “im Juni 1877” (pada<br />
bulan 1877)<br />
Demikian pula pada halaman-halaman berikut pihak RMG hampir tidak<br />
melakukan penyuntingan apa-apa melainkan menyalin teks tanpa mengubahnya<br />
sama sekali.<br />
Berikut ini kami sajikan halaman terakhir surat Nommensen yang <strong>di</strong>cetak <strong>di</strong><br />
BRMG 1878 (12) pada halaman 364:<br />
Gambar 1Surat Nommensen 20-6-1878; RMG 1.926 Bd.1<br />
Bila <strong>di</strong>ban<strong>di</strong>ngkan dengan surat asli hanya terdapat satu perbedaan kecil. Para<br />
e<strong>di</strong>tor <strong>di</strong> RMG menambahkan kata “natūrlich” (tentu saja) pada baris ke-10 (kata<br />
terakhir pada baris ke-7 pada e<strong>di</strong>si cetakan):
“Mereka bertanya kepada kami apakah pemerintah akan membantu mereka<br />
sekiranya mereka <strong>di</strong>serang oleh kaum kafir Silindung. Tentu saja kami tidak bisa<br />
menjaminnya.”<br />
BRMG 1878 115-118<br />
Desas-desus yang Memprihatinkan<br />
w<br />
Sudah <strong>di</strong> bulan Januari kami mendengar dari Belanda desas-desus yang<br />
memprihatinkan dari Sumatra, yang awalnya tidak begitu jelas, tetapi <strong>di</strong> kemu<strong>di</strong>an<br />
hari menja<strong>di</strong> semakin jelas. Terdengar orang Aceh telah menjalin persekutuan<br />
dengan orang Toba melawan pemerintahan Belanda, dan semua penginjil beserta<br />
keluarganya berada dalam keadaan bahaya, atau bahkan telah <strong>di</strong>bunuh. Setelah<br />
kami melacak asal-usul desas-desus itu, ternyata bersumber dari surat seorang<br />
sahabat kita yang bermukim <strong>di</strong> Padang. Karena itu kami yakin bahwa desas-desus<br />
itu bukan khayalan belaka. Kami sen<strong>di</strong>ri sudah mengetahui dari surat-surat<br />
penginjil kami yang <strong>di</strong>kirim pada bulan November [tahun 1877] bahwa ada kabar<br />
angin tentang adanya persiapan perang, namun penginjil kita tidak<br />
menganggapnya dengan serius. Oleh sebab itu kami percaya bahwa desas-desus<br />
itu –sebagaimana layak terja<strong>di</strong>– semakin jauh dari tempat asalnya, menja<strong>di</strong><br />
semakin heboh.<br />
Selain itu kami yakin bahwa apabila terja<strong>di</strong> hal yang paling buruk, atau apabila<br />
penginjil kita terpaksa meninggalkan posnya maka kami pasti telah <strong>di</strong>kabari melalui<br />
telegram dari Sibolga. Selain itu tampaknya mustahil bahwa orang Aceh akan<br />
bersekutu dengan orang Toba, dan untuk apa pula Aceh memutuskan untuk<br />
menyerang Silindung dan bukan Deli yang jauh lebih kaya kalau memang mereka<br />
berniat untuk menyerang wilayah pemerintah. Mempertimbangkan hal itu maka<br />
kami tidak merasa terlalu cemas, tetap percaya pada Tuhan dan menunggu adanya<br />
berita selanjutnya. Berita baru kini sudah tiba <strong>di</strong> sini –yang terakhir kami menerima
pada tanggal 15 Januari [1878]– sehingga keadaan menja<strong>di</strong> semakin jelas, dan ada<br />
harapan bahwa masalah ini tidak menja<strong>di</strong> lebih daripada sekadar berita angin.<br />
Ceritanya begini: Di Toba, tepatnya <strong>di</strong> daerah Bangkara <strong>di</strong> pantai Danau Toba,<br />
ber<strong>di</strong>am seorang tokoh yang bergelar Singamangaraja, yang berarti, bila<br />
<strong>di</strong>terjemahkan ke dalam bahasa Jerman, raja singa. Namun orang itu bukan<br />
seorang raja melainkan seorang raja-imam. Raja imam yang pertama <strong>di</strong>angkat oleh<br />
Melayu Muslim (Padri) yang datang ke sini 40 tahun yang lalu. Ja<strong>di</strong> raja imam yang<br />
awalnya Islam kini menja<strong>di</strong> kafir. Kekuasaan, atau, lebih tepat, kewibawaan<br />
Singamangaraja – yang <strong>di</strong>perolehnya berkat adanya cerita-cerita yang tolol,<br />
misalnya bahwa lidahnya berbulu – dahulu kala terasa sampai <strong>di</strong> Silindung. Tata<br />
acara serta waktu pelaksanaan sajian yang setiap tahun harus <strong>di</strong>beri kepada roh-<br />
roh juga <strong>di</strong>turuti <strong>di</strong> Silindung. Dengan masuknya injil ke Silindung maka pengaruh<br />
Singamangaraja tentu merosot, hal mana juga <strong>di</strong>sadarinya sehingga berulang kali<br />
ia mencoba untuk mengusir atau membunuh para misionaris.<br />
Namun upaya itu selalu gagal karena selalu ada sesuatu yang menghalanginya,<br />
entah wabah cacar atau perang <strong>di</strong> Toba, sehingga lama-kelamaan ia tampak pasrah<br />
dengan berkurangnya kewibawaan dan pengaruhnya <strong>di</strong> Silindung. Suatu hari <strong>di</strong>a<br />
malahan mengunjungi penginjil Nommensen dan <strong>di</strong>jamu <strong>di</strong> rumahnya. Akan tetapi<br />
kini ia tidak begitu <strong>di</strong>hormati lagi <strong>di</strong> Silindung karena <strong>di</strong>a membawa lari istri<br />
seorang raja. Sejak itu tiada lagi berita darinya.<br />
Konon terdengar berita adanya Singamangaraja baru yang dengan sungguh-<br />
sungguh berusaha untuk mengembalikan pengaruhnya yang dulu – tentu saja<br />
dengan cara mengusir para misionaris. Demi mencapai cita-cita itu maka ia<br />
mendatangkan sejumlah ulubalang, menurut berita orang antara 40 hingga 50<br />
laskar dari Singkel atau Terumon yang <strong>di</strong> antaranya termasuk sejumlah orang<br />
Aceh. Adanya orang Aceh <strong>di</strong> antaranya membuatnya menja<strong>di</strong> berita karena paling<br />
laku ulubalang yang berasal dari tempat yang jauh. Hal ini <strong>di</strong>sebabkan karena<br />
ulubalang dari tempat yang jauh tentu tidak terikat hubungan kekerabatan dengan<br />
musuhnya yang dapat menja<strong>di</strong> penghalang dalam pekerjaan berdarah mereka.<br />
Belum ada berita tentang adanya gerakan dari pihak musuh atau upaya untuk<br />
menyerang Silindung atau Bahal Batu. Namun demikian pemerintah Belanda sudah<br />
bersiap-siap mendatangkan senjata dan amunisi ke Silindung, dan <strong>di</strong> Sibolga<br />
pasukan sudah siap siaga untuk segera naik ke Silindung apabila ada serangan dari<br />
pihak musuh.<br />
Jika hal itu terja<strong>di</strong> maka kemungkinan Silindung berikut Sigompulan dan<br />
Pangaloan <strong>di</strong>aneksasi menja<strong>di</strong> bagian daerah jajahan Belanda.
Bagi para pembaca yang mungkin keberatan dengan hal yang ta<strong>di</strong> kami sebut<br />
perlu kami mengemukakan kenyataan bahwa 1) Silindung secara hukum<br />
bagaimana pun sudah termasuk wilayah jajahan Belanda. Namun penyelenggaraan<br />
pemerintahan tidak pernah <strong>di</strong>laksanakan dan perjanjian-perjanjian yang telah<br />
<strong>di</strong>jalin dengan para raja yang, antara lain, melarang adanya perang <strong>di</strong> antara<br />
mereka, tidak pernah <strong>di</strong>tindaklanjuti. 2) Banyak daerah yang sudah berulang kali<br />
meminta kepada pemerintah Belanda agar wilayahnya <strong>di</strong>aneksasi – maka tuduhan<br />
penindasan dari pihak zen<strong>di</strong>ng tidak beralasan sama sekali. Daerah-daerah itu<br />
[Silindung] secara hukum sebelum kedatangan zen<strong>di</strong>ng sudah menja<strong>di</strong> bagian<br />
jajahan Belanda, dan kalau Belanda sekarang hendak menyelenggarakan<br />
pemerintahan maka hal ini tentu membawa berkat bagi rakyat dan negeri-negeri<br />
[yang ada <strong>di</strong> tanah Batak]. Apakah hal itu juga menguntungkan zen<strong>di</strong>ng, apakah<br />
dengan pemerintahan Belanda agama Islam akan masuk [<strong>di</strong> tanah Batak] adalah<br />
pertanyaan yang lain lagi. Oleh sebab itu maka para misionaris belum pernah<br />
meminta agar Silindung <strong>di</strong>aneksasi. Kalau hal itu sekarang <strong>di</strong>minta – Tuhan tentu<br />
akan menolong kita; jelas pemerintahan Belanda juga sangat bermanfaat bagi<br />
zen<strong>di</strong>ng kita, dan bila kelak kita harus bersaing dengan agama Islam maka<br />
sekarang agama Kristen <strong>di</strong> Silindung sudah memiliki kemajuan yang susah terkejar.<br />
BRMG 1878 hal. 153–154<br />
<strong>Perang</strong> <strong>di</strong> Toba (Sumatra)<br />
w<br />
Pada bulan Januari 1878 muncul utusan Singamangaraja yang menghasut orang<br />
agar membunuh para misionaris dan semua orang beragama Kristen. Ketika mau<br />
<strong>di</strong>tangkap oleh para raja yang sudah memeluk agama Kristen maka utusan itu<br />
melarikan <strong>di</strong>ri. Sebagai akibat dari ini serta gelagat buruk lainnya maka pasukan<br />
100 tentara yang telah siaga <strong>di</strong> Sibolga <strong>di</strong>suruh naik ke Silindung. Kontrolir yang<br />
mendampingi pasukan tersebut <strong>di</strong>beri tugas untuk mengadakan perun<strong>di</strong>ngan damai<br />
yang tidak berhasil karena raja-raja <strong>di</strong> Silindung tidak mau sekali lagi bersumpah<br />
setia kepada pemerintah Belanda yang selama ini tidak pernah peduli dengan<br />
perjanjian-perjanjian yang dahulu <strong>di</strong>jalinnya. Raja-raja dari Toba, khususnya
Singamangaraja, sama sekali tidak datang kecuali satu yang berpura-pura<br />
bersahabat namun kemu<strong>di</strong>an ketahuan bermusuhan.<br />
Maka pasukan maju sampai Bahal Batu, pos paling utara, lalu men<strong>di</strong>rikan<br />
benteng pertahanan <strong>di</strong> sana. Singamangaraja dan para raja dari Toba secara resmi<br />
mengumumkan perang terhadap Belanda. Penginjil Metzler menuruti nasihat<br />
Kontrolir untuk datang ke Silindung sementara penginjil Püse, Simoneit dan<br />
Staudte serta seluruh orang Batak yang Kristen bergabung dengan pasukan <strong>di</strong><br />
benteng.<br />
Pihak musuh menyerang dua kali masing-masing dengan sekitar 500–700 orang.<br />
Serangan kedua lebih kuat tetapi dua-duanya dapat <strong>di</strong>tangkis dengan mudah dan<br />
tanpa jatuhnya korban <strong>di</strong> pihak Belanda sementara <strong>di</strong> pihak musuh ada 20 orang<br />
yang cedera dan 2 yang mati.<br />
Serangan yang lebih dahsyat <strong>di</strong>perkirakan akan <strong>di</strong>langsungkan pada 2 Maret.<br />
Pasukan tambahan sebanyak 200 atau 300 tentara <strong>di</strong>rencanakan berangkat 1<br />
Maret dari Sibolga. Kalau pasukan <strong>di</strong> Bahal Batu dapat bertahan sampai pasukan<br />
tambahan tiba maka kemungkinan pihak musuh menang sangat tipis karena<br />
Belanda unggul dalam hal persenjataan dan <strong>di</strong>siplin. Kolonel Engel yang memimpin<br />
pasukan ini malah <strong>di</strong>beri tugas untuk melancarkan serangan bahkan sampai ke<br />
Danau Toba. Tampaknya jelas bahwa Silindung tidak lagi dapat <strong>di</strong>biarkan tanpa<br />
pemerintahan. Selain itu perlu <strong>di</strong>pikirkan apakah bukan lebih baik bagi pemerintah<br />
Belanda untuk langsung saja menaklukkan seluruh Toba dan sekaligus menjaga<br />
agar orang Aceh yang beragama Islam jangan menguasai Toba dan mengislamkan<br />
ratusan ribu kafir Toba. Betapa orang Batak Kristen dapat <strong>di</strong>andalkan tampak jelas<br />
sekarang, sebagai orang Islam orang Batak takkan mungkin menja<strong>di</strong> rakyat yang<br />
patuh pada Belanda.<br />
w
BRMG 1878 hal. 170-171<br />
Berita Lain dari Sumatra<br />
Semua sahabat zen<strong>di</strong>ng yang membaca tentang peristiwa <strong>di</strong> Sumatra pada e<strong>di</strong>si<br />
yang lalu, tentu sudah penasaran ingin mengetahui kelanjutan ceritanya. Belum<br />
banyak yang sejak itu kami ketahui, tetapi berita yang kami dengar adalah berita<br />
yang penting, dan insya Allah, baik.<br />
Pasukan tambahan <strong>di</strong> bawah Kolonel Engels yang awal Maret <strong>di</strong>kirim dari Sibolga<br />
untuk membantu pasukan yang bertempur <strong>di</strong> Bahal Batu tiba tepat pada waktu.<br />
Sebelum kedatangannya serangan Batak ketiga juga berhasil <strong>di</strong>tangkis. Sesudah<br />
pasukan tambahan tiba maka Belanda merasa cukup kuat untuk melancarkan<br />
serangan.<br />
Dari Bahal Batu mereka menuju arah barat ke Butar dan menaklukkan<br />
kampung-kampung yang berpihak pada musuh. Pada waktu itu pasukan juga<br />
datang ke kampung kawan kita yang lama, Ompu Baliga Bosi, yang dahulu pernah<br />
memberi perlindungan kepada penginjil Heine dan Johannsen namun selanjutnya<br />
pindah ke kubu musuh. Kampungnya <strong>di</strong>serang dan <strong>di</strong>bumihanguskan. Dari situ<br />
mereka maju ke arah timur ke Lobu Siregar yang letaknya <strong>di</strong> utara dari Bahal Batu.<br />
Di situ mereka, pada tanggal 20 Maret, membakar beberapa kampung. Bersama<br />
dengan pasukan datang pula Residen dari Sibolga ke Silindung yang meresmikan<br />
aneksasi Silindung, dan, tidak bisa <strong>di</strong>ragukan lagi, Pangaloan dan Sigompulan, dan<br />
Silindung <strong>di</strong>nyatakan menja<strong>di</strong> wilayah taklukan Belanda. Keja<strong>di</strong>an selanjutnya<br />
dapat kita menanti dengan tenang. Yang penting, mara bahaya yang belakangan<br />
<strong>di</strong>hadapi oleh penginjil dan zen<strong>di</strong>ng kita kini sudah berlalu, dan dapat <strong>di</strong>harapkan<br />
agar perang yang sudah <strong>di</strong>mulai pihak Belanda dengan penuh kemenangan dapat<br />
<strong>di</strong>selesaikan penuh kemenangan pula.<br />
Mengingat kon<strong>di</strong>si yang sekarang, para penginjil setuju dengan kita bahwa<br />
sebaiknya seluruh Toba <strong>di</strong>taklukkan saja. Untuk zen<strong>di</strong>ng kita hal itu berarti akan<br />
adanya perubahan secara mendasar dan kita perlu mengerahkan semua tenaga<br />
untuk memanfaatkan ketika yang mujur ini.<br />
Pada tahun yang kita merayakan hari ulang tahun zen<strong>di</strong>ng ini barangkali misi<br />
Batak bisa mengalami kemajuan yang sama besar yang telah <strong>di</strong>alami zen<strong>di</strong>ng Basel<br />
dengan penginjilan <strong>di</strong> Tiongkok.<br />
w
BRMG 1878 (7) hal. 193-202<br />
<strong>Perang</strong> <strong>di</strong> Toba<br />
Berkaitan dengan perang yang sedang berlangsung <strong>di</strong> Toba maka sejumlah surat<br />
kabar Hin<strong>di</strong>a-Belanda melontarkan berbagai tuduhan kepada penginjil kita.<br />
Tuduhan bahwa kita memilih wilayah penginjilan ini untuk memperkaya <strong>di</strong>ri sen<strong>di</strong>ri<br />
tidak perlu <strong>di</strong>hiraukan sama sekali. Namun tuduhan yang lain perlu kita tanggapi<br />
sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Malahan pihak <strong>di</strong> Belanda yang<br />
bersahabat dengan zen<strong>di</strong>ng keberatan dengan kenyataan bahwa penginjil kita<br />
meminta bantuan pemerintah Belanda. Akan tetapi penginjil kita <strong>di</strong> Silindung<br />
berada <strong>di</strong> kawasan Belanda dengan izin dari pemerintah. Ja<strong>di</strong> apa salahnya kalau<br />
mereka dalam keadaan terjepit meminta perlindungan pemerintah? Penginjil kita<br />
<strong>di</strong>beri tahu Residen Sibolga bahwa sejumlah orang Aceh dari Barus dan Singkil<br />
datang ke Toba, dan supaya mereka memperhatikan tindak-tanduknya. Kalau ada<br />
utusan Singamangaraja datang ke Silindung untuk menghasut rakyat – yang pada<br />
hakekatnya telah berada <strong>di</strong> bawah kekuasaan Belanda – dan menyerukan [194]<br />
agar mereka tunduk pada Aceh, dan kalau penginjil kita mendengar rencana orang<br />
Aceh itu untuk men<strong>di</strong>rikan kekuasaannya <strong>di</strong> atas kerajaan Singamangaraja, dan<br />
berusaha lagi untuk menjatuhkan kekuasaan Belanda <strong>di</strong> Angkola, Mandailing, dan<br />
Padang Bolak, apakah penginjil kita bukan berkewajiban untuk segera melaporkan<br />
hal itu kepada Residen?<br />
Bukannya tidak bertanggung jawab kalau mereka tidak melakukan apa-apa?<br />
Kalau pemerintah Belanda, berdasarkan laporan penginjil kita, mengirim<br />
pasukannya ke Silindung apakah hal itu kesalahan penginjil kita?<br />
Pada surat kabar yang lain <strong>di</strong>beritakan bahwa penginjil kita mendukung<br />
kependudukan Bahal Batu dan penyerangan terhadap kerajaan Singamangaraja.<br />
Mereka mengabsahkan bantuan Belanda terhadap penginjil kita, tetapi mereka<br />
tidak setuju bahwa pasukan maju sampai ke Bahal Batu karena hal itu merupakan<br />
provokasi sehingga Singamangaraja memang punya alasan untuk membela<br />
kerajaannya dengan mengumumkan perang karena Bahal Batu merupakan bagian<br />
dari kerajaannya. Namun tuduhan itu tidak beralasan karena Bahal Batu berada <strong>di</strong><br />
dalam kawasan yang sudah menja<strong>di</strong> milik pemerintahan Belanda. Jelas Bahal Batu<br />
bukan bagian kerajaan Singamangaraja karena Singamangaraja hanya berkuasa <strong>di</strong><br />
Bangkara. Di luarnya, <strong>di</strong> Toba, Silindung, dan Bahal Batu Singamangaraja hanya<br />
<strong>di</strong>akui sebagai raja imam. Memang benar bahwa penginjil kita menghancurkan<br />
dasar wibawa Singamangaraja dengan menyebarkan ajaran injil sehingga ia marah<br />
dan memusuhi kita. Dari segi itu penginjil kita memang memikul tanggung jawab
atas perang itu. Selain itu <strong>di</strong>beritakan bahwa pasukan bantuan Kristen bertindak<br />
secara bengis dan keji yang menunjukkan bahwa tidak ada pun nilai Kristen pada<br />
orang-orang Silindung itu. Dalam hal itu perlu kita jawab bahwa memang benar<br />
bahwa orang Silindung yang Kristen adalah teman setia Belanda, dan bahwa<br />
pasukan bantuan mereka berperang bersama pasukan Belanda. Memang benar<br />
bahwa mereka <strong>di</strong>perintahkan Belanda untuk membakar beberapa kampung. [195]<br />
Kalau dalam perang memang ada pertumpahan darah, hal itu perlu <strong>di</strong>maklumi,<br />
<strong>di</strong> Eropa pun halnya demikian, namun para penginjil selalu berusaha agar tidak ada<br />
pertumpahan darah yang berlebihan, dan supaya manusia maupun harta benda<br />
sedapat-dapatnya <strong>di</strong>lindungi. Hal tersebut <strong>di</strong>utamakan oleh para zendeling supaya<br />
para musuh pun bisa melihat niat baiknya. Tidak ada seorang tahanan pun yang<br />
<strong>di</strong>bunuh, melainkan semua <strong>di</strong>lepaskan setelah sanak saudaranya datang membayar<br />
tebusannya.<br />
Pihak Belanda sekarang sudah sangat maju dan tampaknya seolah-olah mereka<br />
hendak menaklukkan seluruh Toba sampai pada pantai Danau Toba. Hal itu<br />
memang sangat penting demi mengukuhkan kekuasaan mereka <strong>di</strong> Sibolga dan<br />
Deli. Menurut berita terakhir selain Bahal Batu, Butar dan Lobu Siregar kini Sianjur,<br />
Pintu Bai dan Lintong ni Huta sudah dapat <strong>di</strong>taklukkan. Suatu hal yang sangat<br />
menguntungkan bagi zen<strong>di</strong>ng kita adalah bahwa baik Residen Sibolga maupun<br />
Gubernur Pantai Barat Sumatra adalah orang yang mengenal zen<strong>di</strong>ng kita secara<br />
langsung dan selalu bersikap ramah terhadap kita.<br />
Berikut ini surat penginjil Metzler dari Bahal Batu, yang beberapa bulan yang lalu<br />
membawa istrinya yang masih muda ke pos zen<strong>di</strong>ng. Surat yang <strong>di</strong>kirim pada bulan<br />
Maret berbunyi sebagai berikut:<br />
Pada saat saya menulis surat terakhir saya orang Bahal Batu masih bersikap<br />
baik setelah kedatangan istri saya. Namun sikapnya berubah ketika harapan<br />
mereka akan mendapatkan uang dan busana tidak terpenuhi. Hal itu membuat<br />
kami cemas sekaligus se<strong>di</strong>h. Banyak yang dulu mengha<strong>di</strong>ri misa kini tidak datang<br />
lagi. Para raja yang paling parah karena baju ha<strong>di</strong>ah istri saya ternyata tidak cukup<br />
bagus bagi mereka, dan yang selalu minta uang saja. Malahan Portaon Angin,<br />
kepala raja, sampai melarang kami mengambil air dan kayu bakar, membeli beras,<br />
susu, dsb. [196] yang tentu sangat merepotkan kami. Selain itu saya juga sakit<br />
dan tidak bisa keluar rumah setelah saya mengalami kecelakaan ketika sedang<br />
bertukang. Waktu itu penginjil dari Silindung datang untuk mencari pos buat<br />
penginjil Püse <strong>di</strong> Butar. Walaupun orang Butar minta supaya kami datang mereka<br />
menyambut kami dengan tidak ramah dan malahan menembaki kami sehingga<br />
upaya itu gagal. Tetapi orang dari Lobu Siregar sudah mendesak agar penginjil
Püse <strong>di</strong>tempatkan <strong>di</strong> situ sehingga hal itu langsung <strong>di</strong>konfirmasikan. Lalu para<br />
penginjil dari Silindung memanggil Portaon Angin bertanya mengapa ia<br />
menunjukkan sikap yang begitu buruk, dan bila sikapnya tidak berubah maka pos<br />
zen<strong>di</strong>ng <strong>di</strong>tarik kembali dan hanya seorang guru sekolah <strong>di</strong>tempatkan <strong>di</strong><br />
kampungnya. Mendengar ini ia menyesal dan meminta maaf.<br />
Hari berikut kami ke Silindung, dan hanya Püse yang tinggal <strong>di</strong> Bahal Batu.<br />
Pedoman kami untuk hari ini adalah Keja<strong>di</strong>an 45:5 “Jangan takut atau menyesali<br />
<strong>di</strong>rimu karena kalian telah menjual saya. Sebenarnya Allah sen<strong>di</strong>ri yang membawa<br />
saya ke sini mendahului kalian untuk menyelamatkan banyak orang.” Di Silindung<br />
kami berada selama sekitar enam minggu, dan keadaan kesehatan saya pulih<br />
sepenuhnya. Kami sangat berterima kasih atas kasih sayang saudara kami <strong>di</strong> sana.<br />
Kepergian kami ternyata berdampak baik pada Portaon Angin dan raja lainnya.<br />
Mereka sering menulis surat dan minta supaya kami kembali.<br />
Tanggal 19 November tahun yang lalu kami kembali ke Bahal Batu dan <strong>di</strong>sambut<br />
hangat oleh saudara Püse. Portaon Angin beserta anak laki-lakinya dan raja-raja<br />
lain menyalami kami dan berjanji akan bersikap lebih ramah terhadap kami.<br />
[197] Sampai sekarang raja tua itu menepati janjinya dan setiap hari Minggu ia<br />
datang mengha<strong>di</strong>ri misa bersama dengan keluarganya.<br />
Hari kedua setelah kedatangan kami <strong>di</strong>kejutkan dengan kisah <strong>di</strong> bawah ini:<br />
Seorang anak raja yang saya berikan baju minta supaya <strong>di</strong>beri celana. Karena saya<br />
tidak punya celana yang bisa saya berikan padanya maka ia menyuluti atap rumah<br />
kami. Kami sedang makan siang ketika kami mendengar jeritan anak kecil dan<br />
salah satu <strong>di</strong> antara anak buah kami memanggil kami. Bersama dengan bantuan<br />
orang kampung kami naik ke atap. Püse dan istri saya membawa air cuci pakaian<br />
dan anak-anak lain membawa air dari sawah. Dengan bantuan Tuhan Allah kami<br />
berhasil memadamkan api walaupun angin bertiup kencang dari timur. Pelaku yang<br />
melarikan <strong>di</strong>ri <strong>di</strong>tangkap dan para raja mau langsung memotong orang itu. Atas<br />
permohonan kami <strong>di</strong>a tidak <strong>di</strong>bunuh tetapi <strong>di</strong>denda seekor babi yang mereka<br />
makan bersama pada malam hari. Pada kesempatan itu mereka bersumpah akan<br />
mendenda barang siapa yang hendak berbuat jahat pada kami. Tanpa bantuan<br />
Tuhan rumah kami sekarang tinggal abu saja.<br />
Setelah kami bekerja dengan tenang selama beberapa minggu musuh kita yang<br />
jahat bergerak lagi. Kami <strong>di</strong>kabari Tuan Residen adanya 40 ulubalang (laskar) asal<br />
Aceh dari Singkel menuju ke sini, dan supaya kami waspada. Beberapa minggu<br />
yang lalu raja imam Batak datang ke Lobu Siregar melarang penduduk menampung<br />
para zendeling dan menyuruh mereka mengusir kami dari Bahal Batu dan dari
Silindung karena masa kekafiran akan berakhir kalau mereka menja<strong>di</strong> Kristen.<br />
Mulai saat itu orang Lobu Siregar menunjukkan sikap bermusuhan.<br />
Kala itu Singamangaraja [198] telah <strong>di</strong>am-<strong>di</strong>am menjalin perjanjian dengan raja<br />
Lobu Siregar yang memanggil ulubalang, dan sekarang nyata bahwa <strong>di</strong>alah biang<br />
kela<strong>di</strong> kerusuhan.<br />
Desas-desus makin menja<strong>di</strong>. Tanggal 17 Desember kami menerima surat dari<br />
Silindung bahwa para ulubalang sudah tiba <strong>di</strong> Bangkara yang berjarak hanya satu<br />
hari jalan kaki dari sini, dan kami <strong>di</strong>suruh untuk segera berangkat. Maka kami<br />
berangkat setelah membungkus pakaian dan pos zen<strong>di</strong>ng kami serahkan kepada<br />
raja tua. Sedang <strong>di</strong> perjalanan kami dapat surat dari Silindung supaya untuk<br />
sementara kami tetap tinggal <strong>di</strong> Bahal Batu. Raja tua itu senang bahwa kami<br />
kembali dan pada hari-hari mendatang terpaksa kami ganti-gantian jaga pada<br />
malam hari. Kian hari kian mencemaskan desas-desus yang kami dengar.<br />
Lalu datanglah penginjil Nommensen, Püse, Simoneit, dan Israel. Sebagian<br />
besar Silindung berjanji untuk membela para penginjil dan melawan jika <strong>di</strong>serang.<br />
Para raja Bahal Batu pun menyatakan akan membela kami, dan Portaon Angin<br />
malahan mengatakan musuh terlebih dahulu harus membunuh kalau mau<br />
mengancam kami. Simoneit dan Israel tinggal <strong>di</strong> sini untuk membantu kami kalau-<br />
kalau pos <strong>di</strong>serang musuh.<br />
Minggu-minggu yang akan datang penuh dengan kecemasan dan keresahan.<br />
Namun dalam kesengsaraan ini berkat Tuhan kami menikmati suasana hangat<br />
saling mendukung satu sama lain<br />
Sementara ini dan khusus untuk orang Kristen dan raja yang berpihak pada<br />
zen<strong>di</strong>ng pemerintah menye<strong>di</strong>akan 50 be<strong>di</strong>l beserta amunisi serta menjamin adanya<br />
bantuan tentara karena pemerintah khawatir akan timbul musibah sebagaimana<br />
yang terja<strong>di</strong> tahun 1859 <strong>di</strong> Kalimantan. Penginjil Nommensen menyuruh orang<br />
bertanya pada raja imam Singamangaraja mengapa ia memusuhi para penginjil,<br />
namun ia menyangkal memiliki sikap bermusuhan, demikian juga raja yang<br />
memanggil ulubalang itu.<br />
[199] Namun demikian tetap ada surat dan berita dari Danau Toba ke Silindung<br />
dan Bahal Batu menyuruh kami untuk pergi sementara Singamangaraja menghasut<br />
orang untuk memusuhi kami.<br />
Di bawah rasa kecemasan tetapi percaya akan pertolongan Tuhan kami<br />
merayakan Natal dan memasuki Tahun Baru. Delapan hari setelah hari Tahun Baru<br />
para penginjil meninggalkan kami. Desas-desus yang mencemaskan itu masih tetap<br />
tidak reda. Dari Barus pun datang berita perkara itu ke Sibolga sehingga Residen <strong>di</strong><br />
Sibolga menyuruh beberapa raja untuk menyeli<strong>di</strong>kinya. Awal Februari datang 80
tentara Belanda dengan seorang Komisaris (Kontrolir) untuk menyeli<strong>di</strong>ki lebih<br />
lanjut perkara itu. Selama tentara berada <strong>di</strong> Silindung suasana menja<strong>di</strong> tenang.<br />
Lalu datang surat dari Singamangaraja. Katanya kalau tentara pergi <strong>di</strong>a akan<br />
datang mengusir kami bersama dengan raja dari Bahal Batu. Raja-raja lain dari<br />
arah pegunungan secara umum memberitahu <strong>di</strong> pasar-pasar akan menyembilih<br />
kami. Lalu Residen mengirim surat kepada Singamangaraja menanyakan apa<br />
tujuan <strong>di</strong>a yang sebenarnya. Dia membalas <strong>di</strong>a tidak keberatan dengan keberadaan<br />
zen<strong>di</strong>ng, <strong>di</strong>a hanya ingin agar pasukan Belanda kembali, dan setelah itu ia berse<strong>di</strong>a<br />
untuk datang dan berbicara dengan kami. Surat balasan Residen <strong>di</strong>robeknya dan<br />
mau memakan pengantar surat itu, namun ada seorang raja menghalanginya.<br />
Tanggal 15 Februari [1878] pasukan tiba <strong>di</strong> Bahal Batu bersama dengan<br />
penginjil dari Silindung. Selama dua hari keadaan tenang. Pada malam hari tanggal<br />
16 Februari musuh menembaki kamp tentara dan meninggalkan tiga surat dari<br />
buluh yang mengumumkan perang terhadap kami dan bahwa mereka tidak tinggal<br />
<strong>di</strong>am sampai kepala-kepala Tuan Belanda itu ada <strong>di</strong> tangan mereka. Pada surat<br />
bambu itu mereka ikat ubi rambat yang <strong>di</strong>tusuk sebagai tanda akan menusuk<br />
serdadu dan tuan-tuan dan memakannya seperti ubi. [200] Pada pagi hari tanggal<br />
17 Tuan Kontrolir menjelaskan bahwa saya harus segera membawa istri saya ke<br />
Silindung karena <strong>di</strong>a tidak bisa tinggal <strong>di</strong> sini kalau perang sudah pecah. Raja tua<br />
hendak menghalanginya tetapi Kontrolir memerintah seorang perwira berpangkat<br />
letnan untuk mengawal kami sampai pertengahan jalan ke Silindung. Pada jam<br />
10:00 kami berangkat dengan saudara Johannsen dan menjelang malam hari kami<br />
tiba, dalam hujan deras, <strong>di</strong> Pansur na Pitu.<br />
Pada hari Selasa tanggal 19 saya sen<strong>di</strong>rian kembali ke Bahal Batu. Tuan-tuan<br />
sudah tinggal <strong>di</strong> kamp dan mendesak kami agar meninggalkan pos zen<strong>di</strong>ngnya.<br />
Pada tanggal 20 Tuan Kontrolir menyuruh kami meninggalkan pos zen<strong>di</strong>ng.<br />
Penginjil lain pun mendesak agar saya pergi dari sana sehingga saya kembali ke<br />
Silindung. Atas keputusan para penginjil dan atas permintaan saudara Simoneit<br />
yang baik hati maka saya menempati pos Simorangkir hingga penginjil Simoneit<br />
kembali dari Toba. Dia secara rela memutuskan mendampingi penginjil Püse hingga<br />
perang selesai dan saya bisa kembali ke Bahal Batu bersama istri saya.<br />
Sementara itu pertempuran <strong>di</strong> Bahal Batu telah <strong>di</strong>mulai. Setiap hari musuh<br />
datang, kadang-kadang ribuan orang, tetapi setiap kali hanya sebagian dari<br />
ulubalang ikut berperang dan selalu serangan mereka dapat <strong>di</strong>tangkis dengan<br />
berjatuhan korban <strong>di</strong> pihak mereka. Kebanyakan musuh berasal dari daerah <strong>di</strong><br />
sekitar Danau Toba, dari Butar dan Lobu Siregar, <strong>di</strong>gerakkan oleh Singamangaraja,<br />
seorang demagog yang menghasut dan mencelakakan rakyatnya. Seorang yang
tertangkap dalam keadaan cedera langsung mau <strong>di</strong>bunuh dan <strong>di</strong>makan oleh<br />
penduduk Bahal Batu, tetapi mereka <strong>di</strong>halangi oleh Simoneit dan Püse dan<br />
beberapa orang serdadu. Orang itu <strong>di</strong>bawa ke pos zen<strong>di</strong>ng dan kemu<strong>di</strong>an ke huta<br />
[kampung] Portaon Angin lalu ia <strong>di</strong>tebus oleh keluarga dengan sekitar 300 Gulden.<br />
Setelah kami tinggalkan pos zen<strong>di</strong>ng <strong>di</strong>jaga oleh orang Bahal Batu.<br />
Beberapa kali peluru masuk ke rumah pada malam hari, dua kali musuh<br />
berusaha untuk membakarnya, namun cukup cepat <strong>di</strong>ketahui dan para pelaku<br />
<strong>di</strong>usir. Raja Angin Solobean menawarkan 300 dolar Spanyol yang kira-kira sama<br />
dengan 900 Gulden bagi barang siapa yang berhasil membakar pos zen<strong>di</strong>ng. Hal itu<br />
<strong>di</strong>lakukan karena balas dendam untuk keponakannya yang gugur <strong>di</strong> Bahal Batu.<br />
Berkat pertolongan Allah pos zen<strong>di</strong>ng hingga kini selamat, dan <strong>di</strong> Bahal Batu belum<br />
ada seorang serdadu pun yang gugur, yang cedera pun belum ada.<br />
Pada 14 Maret Bapak Residen datang sen<strong>di</strong>ri dari Sibolga bersama 250 tentara<br />
dan Kolonel Engels yang telah membuktikan keberaniannya <strong>di</strong> Aceh. Tanggal 15<br />
Silindung <strong>di</strong>nyatakan menja<strong>di</strong> bagian dari wilayah Hin<strong>di</strong>a-Belanda, dan pada tanggal<br />
16 para Tuan beserta dengan pasukan berangkat ke Bahal Batu. Sekali lagi Tuan<br />
Residen berusaha untuk, bersama dengan para penginjil, meyakinkan musuh untuk<br />
menyerah, akan tetapi usaha tersebut <strong>di</strong>tolak. Setelah itu Bahal Batu pun<br />
<strong>di</strong>nyatakan menja<strong>di</strong> wilayah Hin<strong>di</strong>a-Belanda dan para raja harus melakukan<br />
sumpah setia. Lalu pasukan berangkat ke Butar dengan para penginjil sebagai<br />
penerjemah. Orang Butar pun <strong>di</strong>suruh menyerah bila mau selamat. Setelah<br />
penawaran itu mereka tolak maka tentara menyerbu kelima kampung dan<br />
membakarnya. Penduduknya tidak <strong>di</strong>tangkap tetapi ada beberapa orang yang mati<br />
dan cedera <strong>di</strong> antaranya. Di pihak tentara ada seorang bintara yang luka berat dan<br />
beberapa hari kemu<strong>di</strong>an meninggal <strong>di</strong> Bahal Batu. Kampung-kampung lain <strong>di</strong> Butar<br />
lalu menyerah; 11 raja <strong>di</strong>tangkap dan <strong>di</strong>bawa ke Bahal Batu, dan masing-masing<br />
<strong>di</strong>wajibkan membayar pampasan perang sebanyak 200–300 dolar Spanyol atau<br />
600–900 Gulden. Kini mereka sudah <strong>di</strong>lepaskan. Atas permintaan para penginjil<br />
maka Butar <strong>di</strong>perlakukan dengan lunak sehingga tidak terlalu banyak kampung<br />
yang <strong>di</strong>bakar. Sayang sekali raja yang dulu pernah menyelamatkan jiwa para<br />
penginjil yang <strong>di</strong>tahan <strong>di</strong> Butar kini menja<strong>di</strong> pemimpin musuh.<br />
Atas permintaan penginjil [202] kampungnya tidak <strong>di</strong>bakar, hal mana semoga<br />
akan membuat <strong>di</strong>a merenungkan peristiwa yang berlalu.<br />
Semua perun<strong>di</strong>ngan dengan Lobu Siregar gagal, dan tentara yang masuk ke situ<br />
<strong>di</strong>serang. Lima kampung <strong>di</strong>bakar kecuali kampung seorang raja yang bersikap<br />
netral. Raja-raja yang lain semua harus membayar pampasan perang. Semoga<br />
Tuhan melimpahkan berkatNya kepada rakyat supaya mereka mau menyerah saja
dan tidak menuruti pemimpinnya yang hanya mencelakakan mereka. Bagaimana<br />
pun mereka akan kalah.<br />
Barangkali seluruh Toba sekarang bisa menja<strong>di</strong> wilayah Hin<strong>di</strong>a-Belanda. Residen<br />
telah memperoleh izin untuk aneksasi dari Batavia. Bagaimana pun ja<strong>di</strong>nya,<br />
zen<strong>di</strong>ng Toba kini berada dalam krisis berat, dan bagaimana akibat perang yang<br />
tragis ini untuk zen<strong>di</strong>ng kita masih belum <strong>di</strong>ketahui. Semoga Tuhan senantiasa<br />
menolong dan memberkati kita demi berhasilnya pembangunan kerajaannya.<br />
Barangkali seluruh Toba sekarang bisa menja<strong>di</strong> wilayah Hin<strong>di</strong>a-Belanda. Residen<br />
telah memperoleh izin untuk aneksasi dari Batavia. Bagaimana pun ja<strong>di</strong>nya,<br />
zen<strong>di</strong>ng Toba kini berada dalam krisis berat, dan bagaimana akibat perang yang<br />
tragis ini untuk zen<strong>di</strong>ng kita masih belum <strong>di</strong>ketahui. Semoga Tuhan senantiasa<br />
menolong dan memberkati kita demi berhasilnya pembangunan kerajaannya.<br />
w<br />
BRMG 1878 (12): 361-381<br />
Laporan Terakhir tentang <strong>Perang</strong> <strong>di</strong> Toba<br />
oleh I.L. Nommensen<br />
Sepanjang tahun ini kita sudah berulang kali menyajikan berita tentang perang<br />
<strong>di</strong> Toba, tetapi baru sekarang kami bisa mencetak laporan lengkap oleh saudara<br />
kita Nommensen yang dengan mata sen<strong>di</strong>ri melihat peristiwa yang terja<strong>di</strong>. <strong>Perang</strong><br />
ini dan perubahan yang terja<strong>di</strong> akibat perang itu betapa penting sehingga <strong>di</strong>rasakan<br />
perlu untuk menulis ulang sejarah peristiwa itu sekali lagi walaupun sebagian yang<br />
sudah pernah <strong>di</strong>tulis sebelumnya <strong>di</strong>ulang lagi. Penulisan sejarah perang dari<br />
penginjil Nommensen yang sesuai dengan fakta dapat kiranya membantah segala<br />
tuduhan yang <strong>di</strong>lontarkan kepada pihak zen<strong>di</strong>ng Kristen Batak. Para penginjil kita<br />
tidak perlu merasa malu atas peranan mereka dalam perkara ini.<br />
Di tengah-tengah kemelut perang mereka menja<strong>di</strong> malaikat perdamaian. Kami<br />
yakin bahwa perang itu akan bermanfaat bagi mereka untuk membuka jalan bagi<br />
injil dan memenangkan hati orang. Untuk memahami kisah berikut tentang<br />
berlangsungnya perang kiranya berguna bila pembaca melihat peta Toba yang<br />
terdapat <strong>di</strong> e<strong>di</strong>si ke-8 tahun ini
Berikut ini surat Nommensen:<br />
[362] Badai yang mulai melanda kami segera sesudah konferensi terakhir<br />
dengan segala kekacauan dengan bantuan Tuhan kini sudah berlalu. Keadaan <strong>di</strong><br />
sini berubah total, tetapi sekarang akhirnya saya punya waktu untuk menceritakan<br />
kembali rangkaian peristiwa tahun yang lalu.<br />
Segera sesudah konferensi Juni 1877 musim pesta bermula bagi orang Batak<br />
yang jatuh bertepatan dengan mulai musim tanam yang baru, dari 1 Juli hingga<br />
bulan September. Itulah musim pesta. Banyak marga mengadakan pesta horja;<br />
yang langsung memengaruhi kami ialah pesta dua marga yang tinggal dekat sini<br />
sehingga banyak anggota paroki kami mempunyai hubungan keluarga dengan<br />
mereka. Pada malam hari mereka memukul gendang, meniup serunai, makan dan<br />
minum. Pada siang hari mereka membunyikan be<strong>di</strong>l dan menari. Kemeriahan itu<br />
tentu menarik perhatian orang, terutama muda-mu<strong>di</strong>. Beberapa muda-mu<strong>di</strong>, dan<br />
juga orang-orang yang mempunyai talian saudara dengan pihak pelaksana pesta,<br />
tergoda mengha<strong>di</strong>ri pesta itu. Hal mana yang tiap kali <strong>di</strong>sambut kaum kafir sebagai<br />
kemenangan mereka.<br />
Tahun yang lalu paroki saya menghadapi banyak percobaan. Karena pergaulan<br />
laki-laki [umat paroki Nommensen] dengan tentara maka mereka banyak<br />
<strong>di</strong>hadapkan percobaan karena pekerjaan yang mereka lakukan umumnya sebagai<br />
kuli, dan, karena mereka lebih mengetahui keadaan setempat, mereka juga<br />
menja<strong>di</strong> calo untuk perbekalan [tentara] sehingga ada <strong>di</strong> antara mereka yang<br />
imannya menja<strong>di</strong> rusak. Namun kesetiaan penggembala Tuhan kita yang<br />
menghibur kita. Sebabnya tahun yang lalu banyak orang jatuh sakit, hal mana<br />
<strong>di</strong>lakukan Tuhan untuk menghukum dan menegakkan <strong>di</strong>siplin <strong>di</strong> antara umatnya.<br />
Namun tahun yang lalu juga <strong>di</strong>anugerahi rahmat Allah. Banyak orang meninggal<br />
karena {5} tifus dan <strong>di</strong>sentri. Hampir semua orang Batak yang berjalan dari<br />
Silindung ke Bahal Batu kena salah satu dari penyakit itu.<br />
[363] Banyak orang yang terpaksa <strong>di</strong>tandu pulang, lain orang membawa<br />
kumannya ke Silindung menularkan penyakit pada keluarganya. Di antara orang<br />
yang meninggal terdapat Nathanael dan Benjamin Kepergian mereka sangat<br />
menye<strong>di</strong>hkan saya. Nathanael termasuk salah satu orang yang <strong>di</strong>baptis pada 14<br />
Oktober 1866.<br />
[Berikut ini laporan saya tentang perang.] Menurut saya dalam sejarah Hin<strong>di</strong>a-<br />
Belanda belum pernah ada ekspe<strong>di</strong>si militer yang begitu cepat dan begitu berhasil<br />
seperti Ekspe<strong>di</strong>si Toba, dan saya yakin pemerintah tidak akan melarang usaha kita<br />
untuk secepatnya menetap <strong>di</strong> Toba. Untuk sementara waktu para penginjil terpaksa<br />
meninggalkan Bahal Batu karena Bahal Batu menurut Gubernur [Sumatra] tidak
termasuk wilayah Silindung. Namun sekarang sudah terbukti sehingga Gubernur<br />
tidak ada pilihan lain, ia harus mempercayainya. Dulu penginjil Püse hanya minta<br />
izin untuk bertugas <strong>di</strong> Pangaloan sementara penginjil Metzler hanya ada surat izin<br />
untuk menetap <strong>di</strong> Hin<strong>di</strong>a-Belanda. Keduanya sekarang sudah minta izin untuk<br />
bertugas <strong>di</strong> Tapian Na Uli sehingga tidak lama lagi Püse bisa kembali ke situ.<br />
Penginjil Metzler mungkin tidak akan kembali ke sana karena keadaan kesehatan<br />
fisik maupun mental.<br />
Sekarang kita kembali pada cerita perang: Pada akhir musim gugur [akhir<br />
November–pertengahan Desember] 1877 terdengar bermacam-macam desas-<br />
desus. Orang Batak yang kembali dari pesisir membawa kabar bahwa Raja Stambul<br />
(Raja Konstantinopel) bersama dengan rakyatnya akan datang ke Sumatra untuk<br />
bersekutu dengan orang Aceh kalau Kerajaan Ottoman tidak lagi bisa bertahan<br />
menghadapi Rusia. Harinya bendera hijau nabi berkibar sudah <strong>di</strong>tetapkan dan umat<br />
Islam akan bangkit dan membunuh semua orang kafir dan Kristen. Setiap hari ada<br />
kabar angin baru. Terdengar orang Belanda tidak lagi mempunyai tentara dan akan<br />
kalah dalam perang Aceh.<br />
[364] Khotbah kami tidak <strong>di</strong>percayai oleh kaum kafir, mereka percaya pada<br />
cerita bohong itu dan saling menakuti satu sama lain. Bahkan beberapa orang<br />
Kristen meminta nasihat kepada kami. Kabar bahwa ada 40 orang Aceh masuk ke<br />
Toba membuat keadaan menja<strong>di</strong> lebih parah lagi. Masyarakat menja<strong>di</strong> makin resah<br />
dan mulai menggali harta bendanya. Lalu datang utusan Singamangaraja ke<br />
Silindung mengumumkan <strong>di</strong> pasar-pasar bahwa Singamangaraja akan datang<br />
bersama dengan orang Aceh dan membunuh orang Eropa dan orang Kristen. Kaum<br />
kafir tidak perlu khawatir asal bersikap netral. Raja yang beragama Kristen<br />
berun<strong>di</strong>ng dan mempertimbangkan menyerang utusan Singamangaraja dan<br />
membawanya ke Sibolga. Mereka bertanya kepada kami apakah pemerintah akan<br />
membantu mereka sekiranya mereka <strong>di</strong>serang oleh kaum kafir Silindung. Tentu<br />
saja kami tidak bisa menjaminnya. Waktu mereka berun<strong>di</strong>ng utusan<br />
Singamangaraja ternyata sudah pergi, barangkali karena rencana mereka tidak<br />
berhasil atau karena mereka mendengar para raja Kristen hendak menangkapnya.<br />
Beberapa raja memperlihatkan kepada mereka keuntungan yang mereka peroleh<br />
dari adanya para penginjil: 1) tiada lagi Bonjol (Melayu) yang datang mengganggu<br />
sejak kedatangan para penginjil, 2) para penginjil hanya berbuat baik seperti<br />
memberi obat, dan 3) sangat tolol kalau Singamangaraja sekarang mau bersekutu<br />
dengan mereka yang membunuh neneknya. Mereka juga mengatakan akan<br />
menjaga keselamatan para penginjil. Setelah utusan Singamangaraja kembali
mereka membeberkan berita bahwa orang Bonjol akan menyerang lagi, dan bahwa<br />
orang Silindung sudah bersekutu dengan orang Bonjol. [365]<br />
Maka terja<strong>di</strong>lah bahwa seorang Silindung bernama Morsait Hujur berjalan ke<br />
Toba untuk menjemput istri dan anaknya. Setiba <strong>di</strong> Naga Saribu mereka <strong>di</strong>tangkap<br />
dan <strong>di</strong>pasung karena sebuah perkara lama, demikian alasannya. Setelah keja<strong>di</strong>an<br />
itu tidak banyak orang Silindung berani berjalan ke Toba; orang Toba juga masih<br />
marah pada orang Silindung karena desas-desus ta<strong>di</strong>. Akibatnya makin banyak<br />
kabar angin yang tidak jelas atau <strong>di</strong>lebih-lebihkan perihal tindak-tanduk orang Aceh<br />
<strong>di</strong> Toba yang masih tetap ada <strong>di</strong> Bangkara dan <strong>di</strong> Muara. Beberapa orang kelahiran<br />
Toba yang menetap <strong>di</strong> Silindung membawa berita bahwa orang Aceh akan ke<br />
Silindung dulu, namun lain orang mengatakan mereka akan ke Samosir dulu.<br />
Dalam keadaan seperti itu kami sen<strong>di</strong>ri tidak mungkin ke sana dan kami juga tidak<br />
berani menyuruh orang Kristen dari Silindung ke Toba karena menurut adat Batak<br />
kami yang harus menanggung mereka hal mana tidak mungkin kami lakukan. Dari<br />
Barus dan Singkel <strong>di</strong>konfirmasi memang ada 40 orang Aceh yang berangkat ke<br />
Toba. Seorang raja <strong>di</strong> Silindung mengkonfirmasikan kedatangan raja-raja dari<br />
Padang Bolak ke Huta Tinggi, dan bahwa raja-raja <strong>di</strong> Huta Tinggi kembali dengan<br />
mereka ke Padang Bolak untuk merekrut pasukan bantuan. Hari keberangkatannya<br />
ke Toba juga sudah <strong>di</strong>ketahui, dan memang mereka berangkat pada hari itu ke<br />
Toba, tetapi tidak lewat Silindung melainkan melalui Sipahutar ke Butar lalu ke<br />
Huta Tinggi karena sudah ada serdadu <strong>di</strong> sekitar Silindung<br />
Keresahan makin menja<strong>di</strong> dan kami tidak sanggup untuk mengetahui keadaan<br />
yang sebenarnya karena tidak ada yang berani pergi ke Toba. Semua orang siap<br />
siaga dengan memegang senjata, dan penginjil <strong>di</strong> Bahal Batu saking <strong>di</strong>takuti oleh<br />
orang yang datang dari Toba sehingga mereka percaya bahwa pada malam itu juga<br />
orang Aceh dan sekutunya akan datang.<br />
[366] Surat dengan berita ta<strong>di</strong> tiba <strong>di</strong> sini pada jam 1:30 malam. Pada keesokan<br />
hari bersama dengan penginjil Simoneit yang sedang ada <strong>di</strong> sini, kami berangkat ke<br />
Bahal Batu naik kuda. Dalam perjalanan kami bertemu dengan Israel yang juga<br />
ikut dengan kami. Setiba <strong>di</strong> Bahal Batu kami mendapatkan penduduk kampung<br />
duduk <strong>di</strong> luar kampungnya dengan membawa lembing dan be<strong>di</strong>l. Setiba <strong>di</strong> pos<br />
zen<strong>di</strong>ng datanglah Partaon Angin yang sudah tua itu dan kami memberitahu bahwa<br />
kami datang untuk menjemput Saudari Metzler sementara Penginjil Simoneit dan<br />
Israel tetap <strong>di</strong> situ dengan penginjil Püse. Namun orang tua yang cerdas itu<br />
menjawab: “Lebih baik aku mati <strong>di</strong>bunuh daripada saya membiarkan Saudari<br />
Metzler pergi karena beliaulah jiwa kami; kalau ia pergi maka seluruh isi Bahal Batu<br />
akan pergi pula. Biarkan saja <strong>di</strong>a <strong>di</strong> sini bersama suaminya. Mereka tidak perlu
khawatir, kami akan melindungi mereka. Selama Saudari Metzler <strong>di</strong> sini maka Bahal<br />
Batu tetap akan ada. Dari pembicaraan selanjutnya tampak jelas bahwa <strong>di</strong>a hanya<br />
ingin memanfaatkan keberadaan Saudari Metzler. Dalam pikirannya, selama masih<br />
ada perempuan Eropa <strong>di</strong> sini mereka pasti akan berusaha agar Bahal Batu selamat,<br />
kalau <strong>di</strong>a pergi mereka tidak peduli.<br />
Sebentar kemu<strong>di</strong>an ia berkata lagi: “Laki-laki itu seperti burung yang tidak bisa<br />
<strong>di</strong>jaga, pada malam hari mereka pergi.” – Walaupun demikian cara pikirannya kami<br />
tetap menasihatkan kedua saudara Metzler agar tetap <strong>di</strong> Bahal Batu karena jelas<br />
bahwa orang itu akan sangat keberatan kalau mereka pergi, dan juga karena kami<br />
percaya keadaan masih agak aman.<br />
Namun demikian desas-desus tetap ada dan ketidakpastian sangat meresahkan<br />
penduduk. Sebagian besar orang kafir memutuskan untuk bersikap netral dan<br />
beberapa <strong>di</strong> antara mengatakan [367] akan berpihak pada pihak mana yang<br />
menang, dan kalau perlu masuk Islam asal mereka dan hartanya selamat.<br />
Hal mana, demikian penjelasannya, juga <strong>di</strong>lakukan oleh Mangkali Bonar dari<br />
Sigompulan pada masa perang Padri dan ternyata ia menja<strong>di</strong> kaya dan terkenal.<br />
Pendapat yang sedemikian menja<strong>di</strong> makin populer apalagi karena orang-orang tua<br />
masih mengingat cerita orang tuanya bahwa orang Batak bersaudara dengan, dan<br />
pernah membayar upeti kepada Aceh dan . Sampai sekarang pun orang masih<br />
memanjatkan doa kepada Soripada <strong>di</strong> Anse. Maka dengan demikian mereka sudah<br />
membiasakan <strong>di</strong>ri bakalan berada <strong>di</strong> bawah kekuasaan Aceh. Waktu itu pemerintah<br />
begitu baik hati untuk mengirim 50 be<strong>di</strong>l lengkap dengan amunisi bagi umat Kristen<br />
supaya mereka bisa membela <strong>di</strong>ri kalau <strong>di</strong>serang.<br />
Minggu demi minggu berlalu namun keadaan tidak membaik juga. Lalu tiba<br />
berita bahwa beberapa utusan Kontrolir Asahan dalam perjalanan ke sini tewas<br />
<strong>di</strong>bunuh <strong>di</strong> Huta ni Tingkir, berjarak hanya satu hari berjalan kaki dari Bahal Batu.<br />
Peristiwa itu dan hubungan antara Padang Bolak dan Huta Tinggi Simamora<br />
menunjuk pada rencana Aceh yang lebih luas. Lagi pula kelompok 40 orang Aceh<br />
ternyata <strong>di</strong>pimpin oleh Willem Daut, anak seorang perempuan Eropa, dan Said<br />
Muhamed, pemberontak dan Muslim fanatik, yang dulu sudah pernah mengancam<br />
Singkel.<br />
Oleh sebab itu maka kami merasakan perlu untuk meminta agar pemerintah<br />
menunjukkan kekuatan militernya. Pemerintah yang telah mewaspadai gerombolan<br />
itu dari Barus dan Singkil, dan sama dengan kami tidak menginginkan orang Aceh<br />
menetap <strong>di</strong> Toba, ternyata sudah mengirim pasukannya. Pasukan pertama <strong>di</strong><br />
bawah pimpinan Kapten Scheltens bersama dengan Kontrolir Hoevel sudah<br />
berangkat pada 1 Februari ketika permintaan [untuk mengirim tentara] kami
sampaikan dari sini. Pada tanggal 6 Februari sekitar jam 10:00 pasukan tiba <strong>di</strong><br />
Pearaja. Kontrolir van Hoevel dan Upas [368] Bartolemy bermalam <strong>di</strong> tempat kami,<br />
laki-laki yang lain tinggal bersama tentara.<br />
Rumah <strong>di</strong> kampungnya Obaja sudah <strong>di</strong>se<strong>di</strong>akan untuk tentara dan <strong>di</strong>lengkapi<br />
dengan tikar. Kayu api <strong>di</strong>se<strong>di</strong>akan oleh anak buah Obaja. Para perwira tinggal <strong>di</strong><br />
pusat kampung <strong>di</strong> antara tentara, <strong>di</strong> rumahnya Jesaia supaya dekat tentara kalau-<br />
kalau ada sesuatu yang terja<strong>di</strong>. Soalnya ada beberapa raja yang pada acara<br />
musyawarah berbicara blak-blakan, dan raja yang lain malahan tidak mengha<strong>di</strong>ri<br />
musyawarah karena mereka pikir: Tidak ada seorang yang berhak menyuruh kami.<br />
Seusai musyawarah dan setelah upacara penaikan bendera Belanda maka tentara<br />
masuk ke Sipoholon, kampung yang letaknya dekat dengan pos zen<strong>di</strong>ng. Di situ<br />
pun <strong>di</strong>adakan musyawarah dan maksud kedatangan tentara <strong>di</strong>jelaskan kepada para<br />
raja, dan sesudah <strong>di</strong>lakukan pengamatan maka <strong>di</strong>putuskan pergi ke Bahal Batu.<br />
Waktu itu tiba surat dari Singamangaraja membalas surat Residen. Katanya <strong>di</strong>a<br />
tidak datang karena ada tentara tetapi berse<strong>di</strong>a bertemu dengan saya <strong>di</strong> Pintu Bosi<br />
dengan syarat saya tidak <strong>di</strong>temani lebih dari dua orang. Permintaannya <strong>di</strong>tolak oleh<br />
Kontrolir. Katanya karena ia sudah berjalan jauh dari Sibolga maka pantas<br />
Singamangaraja datang ke Bahal Batu. Ketika Singamangaraja menerima surat<br />
balasan Kontrolir ia hendak memakan pembawa surat itu, namun hal itu tidak<br />
mungkin karena pembawa surat itu masih semarga dengannya. Maka surat itu<br />
<strong>di</strong>robek-robek dan mereka tidak membalasnya sehingga putuslah perun<strong>di</strong>ngannya.<br />
Sementara itu tiba kabar dari Sibolga bahwa tentara <strong>di</strong>kirim ke Bahal Batu. Tidak<br />
lama kemu<strong>di</strong>an tentara naik dan sesudah beberapa hari raja-raja dari Balige<br />
membawa kabar soal perobekan surat [369] serta pengumuman perang asli Batak<br />
yang <strong>di</strong>namakan pulas.<br />
Pulas itu ter<strong>di</strong>ri dari sebuah kentang yang agak panjang yang <strong>di</strong>ukir hingga<br />
menyerupai manusia dan <strong>di</strong>tusuk dengan beberapa lembing kecil dan <strong>di</strong>sertai tiga<br />
surat bambu dengan kata-kata cercaan dan hasutan serta sebuah sumbu yang<br />
bekas <strong>di</strong>sulut. Pulas itu <strong>di</strong>gantungkan pada pintu kampung lalu terdengar beberapa<br />
kali tembakan.<br />
Hal itu terja<strong>di</strong> pada malam hari sehingga tidak jelas apakah orang yang<br />
namanya tertera pada surat ta<strong>di</strong> memang menggantungkan pengumuman perang<br />
itu ataukah sebaliknya musuh mereka yang melakukannya. Orang yang namanya<br />
tertera pada pulas itu adalah teman dari orang yang memanggil orang Aceh,<br />
namun menurut hasil penyeli<strong>di</strong>kan <strong>di</strong> kemu<strong>di</strong>an hari mereka ternyata tidak bersalah<br />
dan menja<strong>di</strong> korban tipu muslihat musuh mereka. Dengan demikian tetap tidak<br />
jelas pengumuman perang itu berasal dari pihak mana.
Beberapa hari kemu<strong>di</strong>an seorang raja dari Lobu Siregar datang dan mengatakan<br />
bahwa pada keesokan hari orang Toba akan menyerang benteng pertahanan<br />
tempat tinggalnya tentara. Sekitar 600 orang Toba datang dan sudah mulai<br />
menembak dan berteriak ketika mereka masih jauh dari benteng. Ketika mereka<br />
lebih dekat kami <strong>di</strong>hujani peluru. Ketika berada pada jarak sekitar 200m mereka<br />
menjerit secara mengerikan sambil menembak dan bertari perang; <strong>di</strong> situlah<br />
Kapten memberi aba-aba untuk mulai menembak serta meniupkan trompet yang<br />
menghasilkan bunyi yang amat hebat. Orang Batak ber<strong>di</strong>am sejenak lalu lari.<br />
Mereka berkumpul <strong>di</strong> luar jangkauan peluru <strong>di</strong> atas bukit-bukit sampai ada granat<br />
yang meledak (yang mendarat jauh <strong>di</strong> belakang mereka) yang mengakibatkan<br />
mereka mundur. Sepertinya pada hari itu tidak ada yang cedera. Pada penyerangan<br />
kedua dan ketiga [370] ada beberapa orang Toba yang cedera, dan ada juga yang<br />
mati namun jumlahnya susah <strong>di</strong>tentukan.<br />
Pada awalnya kami tinggal <strong>di</strong> pos zen<strong>di</strong>ng, juga sesudah pengumuman perang,<br />
tetapi sesudah beberapa hari kami terpaksa meninggalkan pos zen<strong>di</strong>ng dan dengan<br />
membawa harta benda kami pindah ke benteng.<br />
Sesudah Residen Boyle bersama Kolonel Engel naik ke sini bersama dengan 200<br />
pasukan lagi maka kami mulai menyerang. Yang pertama <strong>di</strong>serang adalah Butar<br />
dan orang Batak lari semua. Di pihak pasukan ada seorang yang tewas; lima<br />
kampung <strong>di</strong>bakar. Atas nasihat kami, kampung-kampung yang lain mengibarkan<br />
bendera putih dan menyerah maka kampungnya tidak <strong>di</strong>bumihanguskan. Sekitar<br />
50–60 kampung <strong>di</strong> Butar yang tidak <strong>di</strong>bakar namun raja-rajanya <strong>di</strong>tahan <strong>di</strong> Bahal<br />
Batu sampai mereka membayar denda yang <strong>di</strong>tetapkan oleh Residen Boyle.<br />
Sesudah beberapa hari Lobu Siregar <strong>di</strong>serang. Setelah bertempur selama 1½–2<br />
jam lima kampung <strong>di</strong>bakar. Kampung pertama sudah <strong>di</strong>kosongkan namun makan<br />
waktu 1 jam sebelum pasukan bisa masuk karena begitu kokoh pertahanannya.<br />
Pada hari-hari pasukan tidak melakukan penyerangan sekitar 300 kampung <strong>di</strong><br />
sekitarnya <strong>di</strong>ambil sumpah setia. Raja-rajanya datang ke Bahal Batu untuk<br />
menyatakan bahwa mereka menyerah. Mereka harus bersumpah 1) bahwa mereka<br />
tidak pernah melakukan tindakan memusuhi pemerintah, 2) mengakui kekuasaan<br />
pemerintah, 3) berjanji tidak akan memusuhi pemerintah atau rakyat yang berada<br />
<strong>di</strong> bawah kekuasaan pemerintah, dan 4) melarang orang melakukan tindakan<br />
melawan pemerintah <strong>di</strong> dalam wilayahnya. Silindung bersama Sipoholon dan Bahal<br />
Batu dan juga Pagar Sinon<strong>di</strong> bersumpah setia pada pemerintah dengan<br />
menjanjikan bahwa mereka sebagai rakyat setia akan melaksanakan perintah<br />
pemerintah dan kaki tangannya. Bagi mereka yang pernah melawan [371] tentara<br />
maka bunyi sumpah tentu berbeda.
Pada hari-hari pasukan tidak melakukan penyerangan sekitar 300 kampung <strong>di</strong><br />
sekitarnya <strong>di</strong>ambil sumpah setia. Raja-rajanya datang ke Bahal Batu untuk<br />
menyatakan bahwa mereka menyerah. Mereka harus bersumpah 1) bahwa mereka<br />
tidak pernah melakukan tindakan memusuhi pemerintah, 2) mengakui kekuasaan<br />
pemerintah, 3) berjanji tidak akan memusuhi pemerintah atau rakyat yang berada<br />
<strong>di</strong> bawah kekuasaan pemerintah, dan 4) melarang orang melakukan tindakan<br />
melawan pemerintah <strong>di</strong> dalam wilayahnya. Silindung bersama Sipoholon dan Bahal<br />
Batu dan juga Pagar Sinon<strong>di</strong> bersumpah setia pada pemerintah dengan<br />
menjanjikan bahwa mereka sebagai rakyat setia akan melaksanakan perintah<br />
pemerintah dan kaki tangannya. Bagi mereka yang pernah melawan [371] tentara<br />
maka bunyi sumpah tentu berbeda.<br />
Setelah acara sumpah setia masih ada enam kampung <strong>di</strong> Naga Saribu yang<br />
menolak untuk menyerah. Pagi-pagi keesokan hari kami berangkat dari Bahal Batu<br />
melewati ujung timur laut Butar dan tiba <strong>di</strong> Naga Saribu pada sekitar jam 11:30.<br />
Penduduk keenam kampung tidak mengadakan perlawanan karena sadar bahwa<br />
hal itu akan sia-sia. Ternyata mereka percaya bahwa tidak mungkin tentara bisa<br />
sampai ke kampungnya dalam tempo satu hari, dan <strong>di</strong> samping itu mereka juga<br />
berharap bahwa pemerintah tidak akan datang hanya gara-gara enam kampung<br />
mengingat bahwa kebanyakan kampung sudah menyerah dan membayar denda.<br />
Ketika mereka menyadari bahwa kampung-kampung lain selamat maka mereka<br />
sangat menyesal, tetapi terlambat sudah.<br />
Dengan sangat lelah kami tiba kembali <strong>di</strong> Bahal Batu pada jam 19:30. Sebagai<br />
misionaris kami memang tidak perlu memikul senjata dan perbekalan akan tetapi<br />
tugas kami tidak lebih ringan <strong>di</strong>ban<strong>di</strong>ng tugas serdadu. Pada waktu tentara istirahat<br />
– ketika pembakaran berlangsung – kami harus berjalan dari kampung ke kampung<br />
<strong>di</strong> sekitar Naga Saribu untuk mendatangi raja-raja yang sudah tunduk tetapi belum<br />
melunasi denda. Harinya panas dan kering. Pasir <strong>di</strong>terbangkan angin sehingga<br />
mata menja<strong>di</strong> perih. Menjelang malam, ketika kami masih harus menempuh jalan<br />
selama 2½ jam lagi, hawa berubah menja<strong>di</strong> <strong>di</strong>ngin lalu turun hujan <strong>di</strong>sertai<br />
halilintar dan gemuruh sehingga kami basah kuyup.<br />
Lalu ada berita dari Padang akan ada pasukan tambahan sebanyak 300 tentara<br />
dan 100 narapidana karena pemerintah bermaksud untuk maju sampai ke Danau<br />
Toba untuk mendenda mereka yang datang menyerang dari jauh. Hal itu memang<br />
perlu karena sewaktu <strong>di</strong>lakukan persiapan ekspe<strong>di</strong>si ke Toba datang pula orang<br />
Toba dari Balige, Gurgur, Si Anjur dan lain-lain tempat untuk sekali lagi menyerang<br />
Bahal Batu. Kali ini Kolonel tidak menunggui orang Batak <strong>di</strong> benteng, melainkan<br />
menyuruh pasukannya menyerang dan [372] berkubu <strong>di</strong> balik sebuah bukit
Orang Toba tidak berani mendekat karena mereka melihat bahwa <strong>di</strong> bukit<br />
sebelah utara dari kampung Partaon Angin berkumpul ratusan orang Batak yang<br />
tidak pernah terja<strong>di</strong> sebelumnya. Ketika tentara melepaskan tembakan dan<br />
mencederai seorang <strong>di</strong> antara mereka maka mereka langsung lari karena takut<br />
akan <strong>di</strong>kejar tentara dan tidak sempat untuk menyeberang sungai Aek Simokmok.<br />
Orang Bahal Batu memang mengejar orang Toba sampai ke sana dan menembak<br />
mati seorang.<br />
Sesudah semua pasukan tiba dari Sibolga maka tanggal 30 April kami berangkat<br />
ke Bangkara. Pada hari pertama kami berjalan kaki sampai ke Lintong ni Huta dan<br />
Si Hombing. Negeri itu yang ter<strong>di</strong>ri atas sekitar 70 kampung sudah bersumpah<br />
setia <strong>di</strong> Bahal Batu. Keesokan harinya kami meneruskan perjalanan ke Bangkara.<br />
Ketika kami berjarak 15 menit dari Lintong ni Huta kami bertemu dengan Ompu ni<br />
Chordopang dari Bangkara, raja yang memanggil orang Aceh. Ia berpura-pura<br />
seolah-olah menja<strong>di</strong> sahabat lama. Karena saya berjalan paling depan dan saya<br />
langsung mengenalnya maka saya melaporkannya kepada Residen. Lalu <strong>di</strong>a<br />
<strong>di</strong>tangkap. Ketika kami mendekati tebing terlihat lembah Bangkara yang indah.<br />
Pemandangan yang menakjubkan! Jalannya menurun tajam ke lembah yang<br />
terletak 550–600 meter <strong>di</strong> bawah. Ketika kami tiba <strong>di</strong> kompleks kampung yang<br />
salah satu <strong>di</strong> antaranya adalah kampungnya Singamangaraja maka setengah lusin<br />
granat <strong>di</strong>tembakkan dari atas namun jaraknya terlalu jauh sehingga tidak sampai<br />
jatuh <strong>di</strong> kampung. Lalu kami turun. Tiba <strong>di</strong> bawah, kami melihat pertahanan<br />
kampung ternyata kokoh sekali. Setiap kampung <strong>di</strong>kelilingi tembok setinggi 4<br />
meter yang terbuat dari batu besar. Tembok itu begitu kokoh dan terjal sehingga<br />
orang bisa kagum melihat kesabaran mereka membuat tembok. Di atas [373]<br />
tembok tumbuh tanaman rambat yang berduri yang tidak dapat <strong>di</strong>pegang dengan<br />
tangan telanjang.<br />
Penduduk kampung-kampung itu melawan dengan gigih dan serdadu yang<br />
berusaha memanjat tembok <strong>di</strong>lempari dengan batu sehingga jatuh berguling. Dari<br />
atas kami bisa melihat keja<strong>di</strong>an <strong>di</strong> kampung dengan sangat jelas. Ternyata mereka<br />
membela kampungnya dengan berani dan tidak ada suatu tindakan pun yang<br />
<strong>di</strong>lakukan dengan tergesa-gesa sehingga tampak jelas bahwa mereka tidak takut.<br />
Seorang serdadu tewas ketika peluru kena kepalanya, dan beberapa lagi cedera.<br />
Sekitar jam 3 sore kampung-kampung itu sudah <strong>di</strong> tangan kami. 10–12 laki-laki<br />
dan sekitar 70 perempuan jatuh ke tangan kami lalu <strong>di</strong>tawan.<br />
Tentara menempati empat dan kami bersama orang dari Silindung satu<br />
kampung. Kampung-kampung yang lain <strong>di</strong>tempati oleh mereka dari Bahal Batu,<br />
Butar, dan dari lain tempat <strong>di</strong> Toba. Laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang
<strong>di</strong>tangkap, <strong>di</strong>serahkan kepada kami. Anak-anak dan perempuan <strong>di</strong>tahan <strong>di</strong> sebuah<br />
rumah besar dan laki-laki <strong>di</strong> rumah yang satu lagi. Kami menghibur mereka dan<br />
berbuat baik kepada mereka sehingga mereka cepat menaruh kepercayaan pada<br />
kami dan mereka tenang-tenang saja dan tidak berusaha untuk melarikan <strong>di</strong>ri.<br />
Mereka <strong>di</strong>tahan selama dua hari dua malam karena Residen ingin mengetahui apa<br />
<strong>di</strong> antaranya ada istri dari raja-raja yang terkemuka. Maksudnya supaya<br />
meyakinkan para raja melalui istrinya agar mereka mau menyerah.<br />
Keesokan hari serdadu berangkat pagi-pagi sekali untuk menaklukkan kampung-<br />
kampung lainnya yang berjumlah sekitar 30-40 kampung yang langsung <strong>di</strong>bakar.<br />
Bapak Residen meminta bantuan saya untuk mendampinginya. Tugas saya untuk<br />
berbicara dengan para raja yang ingin menyerah dan untuk membawa mereka<br />
kepadanya. Namun ketika api mulai berkobar <strong>di</strong> kampung-kampung yang paling<br />
dekat maka penduduk berlari-lari kepanikan berusaha memanjat tebing bukit yang<br />
tingginya sekitar 550 meter. [374]<br />
Jerit-tangis laki-laki, perempuan, anak-anak, kakek-kakek dan nenek-nenek<br />
bergema <strong>di</strong> seluruh lembah. Lalu saya menghampiri Kapten van Berg, seorang yang<br />
<strong>di</strong>hormati dan ayah sembilan anak, dan memintanya agar jangan terlalu cepat<br />
membakar kampung supaya saya sempat berbicara dengan para raja dan<br />
meyakinkan mereka supaya menyerah dan tunduk pada Belanda. Bersama dengan<br />
beberapa orang yang kenal dengan penduduk kampung saya mengejar mereka<br />
yang memanjat tebing – hal mana berlangsung dengan sangat lambat karena<br />
banyaknya anak-anak dan orang-orang yang sudah tua. Kepala raja yang<br />
mengibarkan bendera putih berteriak “Patu ma hami!” (Kami menyerah!). Ketika<br />
melihat saya ia turun menghampiri saya dan lalu berse<strong>di</strong>a untuk <strong>di</strong>bawa kepada<br />
Kapten. Waktunya memang sudah mendesak karena kampungnya sudah <strong>di</strong>kepung<br />
tentara dan orang Batak yang suka merampas sudah mulai mengangkat pa<strong>di</strong> agar<br />
tidak hangus, dan juga sudah mulai memotong ternak babi. Lalu saya beritahu<br />
kepada Kapten bahwa raja itu hendak menyerah. Ketika para serdadu pergi maka<br />
jerit-tangis semakin berkurang. Raja yang masih sangat muda itu lalu <strong>di</strong>jaga oleh<br />
tentara dan saya menyuruh Si Daut, seorang Kristen, untuk mendampinginya.<br />
Habis itu saya pergi ke kompleks kampung yang lain lagi, tetapi penduduk sudah<br />
naik ke atas dan kampung-kampung mereka <strong>di</strong>bakar semua. Saya berjalan terus<br />
dan bertemu beberapa orang yang berse<strong>di</strong>a untuk memanggil rajanya. Karena<br />
mereka langsung datang masih ada waktu untuk meyakinkan mereka agar mau<br />
tunduk pada pemerintah sebelum tentara datang. Sesudah para raja itu saya<br />
serahkan kepada Kapten saya meneruskan perjalanan dan kampung mereka tidak<br />
<strong>di</strong>bakar. Ketika kami tiba <strong>di</strong> atas bukit kami melihat sungai yang deras yang tidak
sangat dalam, tetapi cukup dalam untuk menghalang kami karena arus yang deras.<br />
Para serdadu juga sudah lelah seusai melewati [375] sawah-sawah <strong>di</strong> terik<br />
matahari maka kami istirahat dulu.<br />
Lalu kami melihat penginjil Simoneit yang <strong>di</strong> seberang sungai menyemaikan bibit<br />
perdamaian. Beberapa orang mengibarkan bendera putih tanda menyerah. Kapten<br />
menyuruh seorang Silindung untuk mengantar sepucuk surat kepada Kolonel<br />
meminta instruksi lanjutan. Kolonel lalu memerintah pasukannya untuk kembali<br />
karena kampung-kampung <strong>di</strong> ujung selatan lembah Bangkara juga sudah<br />
menyerah.<br />
Raja itu <strong>di</strong>denda dan <strong>di</strong>wajibkan melunasi dendanya dalam tempo 24 jam. Pada<br />
hari ketiga para raja harus bersumpah agar tunduk pada pemerintah dan semua<br />
tawanan <strong>di</strong>lepaskan. Pada hari keempat kami meninggalkan Bangkara sesudah<br />
kampung-kampung yang kami tempati <strong>di</strong>bakar oleh serdadu.<br />
Makan waktu sangat lama hingga semua tentara berikut perlengkapannya<br />
sampai <strong>di</strong> dataran tinggi. Para narapidana harus pergi dua kali karena 20–30 kuli<br />
yang ketinggalan. Peluh bercucuran dari mendaki tebing yang terjal sehingga kami<br />
menja<strong>di</strong> basah. Karena cuaca <strong>di</strong> atas jauh lebih <strong>di</strong>ngin maka Simoneit dan saya<br />
tidak mau duduk-duduk ke<strong>di</strong>nginan. Kami jalan-jalan arah ke utara untuk bisa<br />
melihat Danau Toba dari berbagai sudut pandang. Setelah kami berjalan sekitar<br />
satu jam dan sudah jauh dari pasukan maka kami melihat sekelompok orang<br />
bersenjata menuju kami. Di antara kami dan mereka ada lembah yang lumayan<br />
dalam. Mereka mempercepat langkah untuk bisa menyergap kami dan kami<br />
memutuskan untuk selekasnya kembali. Ternyata mereka bukan pemberani karena<br />
mereka mendaki bukit dengan sangat lambat. Di atas bukit itu ada bekas kubu<br />
tempat kami ta<strong>di</strong> ber<strong>di</strong>ri untuk menikmati pemandangan. Sewaktu kami sudah<br />
agak jauh baru mereka berani naik ke kubu itu.<br />
Sementara itu pasukan sudah siap untuk berangkat, dan setiba kami <strong>di</strong> sana<br />
kami langsung bergerak arah ke timur. [376]<br />
Melintasi wilayah Lintong ni Huta kami berjalan ke Paranginan. Di sepanjang<br />
jalan itu <strong>di</strong>pasang bambu runcing yang pasti <strong>di</strong>lakukan pada hari sebelumnya.<br />
Ternyata mereka mau menghalang kami namun ketika kami datang mereka<br />
tampak ketakutan. Hanya satu dua <strong>di</strong> antara mereka nekad menodongkan laras<br />
senjata kepada kami. Mereka kaget mendengar kami berbahasa Batak. Mereka<br />
lebih kaget lagi melihat <strong>di</strong> antara kami orang Silindung yang mereka kenal. Orang<br />
Silindung itu segera menghadangnya lalu menepiskan laras be<strong>di</strong>lnya.<br />
Lalu kami meneruskan perjalanan ke kampung Ompuraja Hain. Beliau tidak ada<br />
karena sedang bermusyawarah dengan raja-raja lain <strong>di</strong> pasar. Rupanya mereka
tidak duga kami datang begitu cepat sehingga mereka tidak sempat untuk<br />
bersekutu dan mengadakan perlawanan. Kami tinggal <strong>di</strong> Paranginan selama<br />
beberapa hari. Para raja harus melakukan sumpah setia dan sesudah mereka<br />
melihat bahwa kami tidak melukai atau merugikan mereka maka mereka mulai<br />
menaruh kepercayaan pada kami.<br />
Dari Paranginan kami meneruskan perjalanan ke Huta Ginjang. Di sini pun orang<br />
Batak berusaha menghalangi kami dengan menggali lubang <strong>di</strong> tengah jalan yang <strong>di</strong><br />
dalamnya mereka pasang ranjau duri. Rupanya mereka kira kami datang pada<br />
malam hari hal mana sering mereka lakukan. Di Huta Ginjang kami berhenti <strong>di</strong><br />
pasar untuk berbicara dengan para raja, kemu<strong>di</strong>an kami turun ke Meat, sebuah<br />
lembah seperti Bangkara tetapi lebih kecil. Orang Meat menyerah dan perjalanan<br />
<strong>di</strong>teruskan ke Gurgur.<br />
Jalan ke Gurgur terjal sekitar 550-600 meter lebih tinggi – hampir sama<br />
keadaan seperti <strong>di</strong> Bangkara. Orang Batak sudah berkumpul <strong>di</strong> atas dan<br />
menggulingkan batu arah ke tentara. Di sinilah paling besar kerugian tentara.<br />
[377]<br />
Di pihak kami dua yang meninggal dan 12 yang cedera. Sesudah beberapa<br />
serdadu berhasil naik ke atas mereka lari. Kami istirahat selama dua hari <strong>di</strong> Gurgur<br />
dan raja-raja <strong>di</strong> Huta Ginjang, Meat dan Tangga Batu <strong>di</strong>wajibkan melakukan<br />
sumpah setia pada Belanda. Pada hari ketiga pasukan menuju Lintong ni Huta<br />
Pohan, Pangho<strong>di</strong>a, dan Tara Bunga. Hampir semua kampung <strong>di</strong> Gurgur <strong>di</strong>bakar<br />
karena membiarkan musuh menembaki kami <strong>di</strong> wilayahnya sementara mereka<br />
berpura-pura menja<strong>di</strong> sahabat dan mengatakan takluk pada kami dan menja<strong>di</strong><br />
pemandu jalan kami. Namun setelah kami sampai <strong>di</strong> atas, mereka tidak kelihatan<br />
lagi. Rupanya mereka yakin tentara tidak mungkin naik ke atas melainkan harus<br />
berjalan kembali. Setelah itu mereka berencana agar semua bangkit [melawan<br />
Belanda]. Namun sekarang, ketika mereka lihat bahwa teman-temannya lari<br />
mereka menja<strong>di</strong> ketakutan.<br />
Setelah pembakaran <strong>di</strong>selesaikan kami menuju Lintong ni Huta. Orang Batak<br />
sudah berkumpul <strong>di</strong> situ dan keluar dari persembunyiannya menyerang kami<br />
dengan menembak, menjerit, dan menari. Ketika berjarak sekitar 250 m tentara<br />
menyerang dan mereka lari bersembunyi <strong>di</strong> kampung-kampung. Setelah beberapa<br />
granat <strong>di</strong>tembakkan ke arah kampung-kampung itu mereka lari menurun tebing ke<br />
pantai danau dan menyelamatkan <strong>di</strong>ri naik perahu. Tentara tetap menembaki<br />
mereka dan salah satu perahu kena peluru sehingga orang yang duduk <strong>di</strong> dalam<br />
terpaksa lompat ke air dan berenang ke darat. Lalu kampungnya <strong>di</strong>bakar. Hanya<br />
beberapa kampung tidak <strong>di</strong>bakar karena beberapa anak raja dari Tangga Batu yang
sudah takluk minta kepada residen agar kampung-kampung itu tidak <strong>di</strong>bakar<br />
karena mereka memiliki rumah <strong>di</strong> situ. Sewaktu tentara sibuk membakar, sejumlah<br />
orang Batak, orang Silindung, orang Bahal Batu, orang Butar, [378] orang Gohan<br />
terjun ke ladang dan kembali dengan mengiring kerbau, lembu, dan kuda keluar<br />
dari tempat persembunyiannya ke arah tentara.<br />
Sementara Residen dan Kolonel mendatangi kampung-kampung <strong>di</strong> tanjung Tara<br />
Bunga bersama dengan tentara maka saya bersama penginjil Simoneit tetap <strong>di</strong> sini,<br />
<strong>di</strong> jalan menuju Balige. Di sinilah tampaknya kekejaman perang. Di mana-mana<br />
terlihat kampung yang hangus masih berasap yang penghuninya bersembunyi <strong>di</strong><br />
jurang-jurang pegunungan dan langsung lari apabila ada yang mendekati<br />
persembunyiannya. Itulah saat yang paling menye<strong>di</strong>hkan bagi kami yang datang<br />
sebagai utusan damai dan sekarang kami harus melihat bagaimana penduduk<br />
<strong>di</strong>usir dari rumahnya.<br />
Ketika kami sampai kami <strong>di</strong>sambut raja Balige yang dua tahun yang lalu<br />
menyambut kedatangan kami dengan sangat ramah. Katanya ia mau tunduk<br />
bersama dengan 60 kampungnya. Waktu kami <strong>di</strong> Gurgur <strong>di</strong>a datang ke sana<br />
meminta agar kami menyampaikan kepada Residen permohonannya agar<br />
wilayahnya tidak <strong>di</strong>ganggu namun karena Residen saat itu sangat marah karena<br />
kerugian yang <strong>di</strong>deritanya <strong>di</strong> Gurgur maka kami tidak menyampaikan permohonan<br />
itu. Akhirnya Residen menerima penundukannya akan tetapi menja<strong>di</strong> agak jengkel<br />
ketika kami mendapatkan pintu kampung-kampung pertama dalam keadaan<br />
tertutup rapat. Sesudah itu kami membawanya keliling selama kira-kira satu jam<br />
sampai pada pinggir danau <strong>di</strong> pasar Balige, dan ia puas karena pintu kampung <strong>di</strong><br />
sana terbuka semua. Serdadu yang datang 30 menit kemu<strong>di</strong>an langsung man<strong>di</strong><br />
sampai ke lutut <strong>di</strong> danau karena harinya sangat panas, dan kawasan pinggir danau<br />
termasuk Bangkara, Unte Mungkur, Muara, Meat, Balige dll. berhawa panas karena<br />
rendah letaknya. Tiga kampung <strong>di</strong>pilih sebagai tempat tentara dan setelah mereka<br />
merasa nyaman <strong>di</strong> tempat barunya semua terjun ke danau untuk man<strong>di</strong>. Pertama<br />
kali <strong>di</strong> Danau Toba kata mereka semua. Banyak <strong>di</strong> antaranya mengungkapkan<br />
perasaan jengkelnya bahwa bangsa kafir yang jorok itu memiliki bagian dunia yang<br />
begitu indah. [379]<br />
Pada malam hari sekitar jam 7 terdengar suara tembakan. Dikatakan seorang<br />
musuh, Raja Deang, datang dan mereka menyerang sebuah kampung yang sudah<br />
takluk kepada pemerintah. Pada keesokan hari tentara berangkat tetapi saya tidak<br />
ikut karena merasa pening dan karena bagaimana pun hanya ada acara berperang<br />
dan membakar kampung. Pada hari itu sekitar 50–60 kampung <strong>di</strong>bakar. Awalnya<br />
musuh melawan dengan gigih tetapi akhirnya lari juga. Menjelang siang saya
erjalan sekitar satu jam arah ke timur. Di tempat itu Raja Deang men<strong>di</strong>rikan kubu<br />
dan pertempuran berlangsung. Di Lumban Atas, Paninduan, saya duduk <strong>di</strong> bawah<br />
pohon besar dan menonton hiruk-pikuk manusia. Orang dari Balige dan Paninduan<br />
pergi untuk menjarah kampung-kampung yang <strong>di</strong>bakar. pada sore hari sekitar jam<br />
3 pasukan kembali dan pada jam 5 sore datanglah perahu Ompu ni Pardopur dan<br />
Ompu ni Binsara dengan membawa orang Aceh yang terjepit dan bersengketa <strong>di</strong><br />
tanjung. Mereka menyerahkan <strong>di</strong>ri kepada Residen. Setelah senjatanya <strong>di</strong>rampas<br />
mereka <strong>di</strong>jebloskan <strong>di</strong> sebuah rumah dan <strong>di</strong>jaga. Pada keesokan hari raja-raja yang<br />
menyatakan <strong>di</strong>ri takluk <strong>di</strong>denda dan <strong>di</strong>ambil sumpah setia. Karena mereka tidak<br />
begitu cepat bisa mengumpulkan uang untuk membayar denda maka mereka<br />
<strong>di</strong>bawa ke Bahal Batu untuk <strong>di</strong> kemu<strong>di</strong>an hari <strong>di</strong>tebus oleh keluarganya. Pada hari<br />
keempat kami berjalan ke Onan Geang-Geang tempat tinggal mertua<br />
Singamangaraja. Kampung-kampung <strong>di</strong> sana pun <strong>di</strong>bakar karena penduduknya<br />
mengungsi. Masih pada hari yang sama kami pergi ke Pintu Bosi yang kampungnya<br />
besar-besar. Di sini pun penduduk mengungsi sehingga kampung-kampung mereka<br />
<strong>di</strong>bakar. Parik Sabungan, yang dekat dengan Pintu Bosi, menyerah, <strong>di</strong>denda, dan<br />
[raja-rajanya] <strong>di</strong>bawa ke Bahal Batu untuk <strong>di</strong>ambil sumpahnya. Perjalanan kami<br />
lewat Lobu Siregar dan pada jam lima sore kami tiba <strong>di</strong> Bahal Batu. [380]<br />
Ekspe<strong>di</strong>si telah selesai. Tiada yang merasa lebih lega daripada saya. Namun saya<br />
masih harus tinggal <strong>di</strong> Bahal Batu selama delapan hari lagi untuk membantu<br />
Residen sebagai penerjemah. Berangsur-angsur tentara kembali, dan tentu lewat<br />
Pearaja untuk singgah <strong>di</strong> gereja kita. Saya sangat menyesal tidak bisa berada <strong>di</strong><br />
rumah membantu istri saya dalam masa yang kacau seperti ini. Namun dengan<br />
bantuan Tuhan mereka semua selamat dan sehat sentosa. Pada hari sesudah kami<br />
tiba <strong>di</strong>adakan musyawarah umum <strong>di</strong> Sipoholon. Para raja <strong>di</strong>beri tahu bahwa wilayah<br />
mereka telah <strong>di</strong>masukkan ke dalam wilayah Hin<strong>di</strong>a-Belanda. Mereka <strong>di</strong>haruskan<br />
bersumpah setia dan <strong>di</strong>peringatkan bahwa mereka harus mematuhi perintah<br />
Kontrolir. Di Sipoholon, sekitar setengah jam <strong>di</strong> atas pos penginjil Mohri, <strong>di</strong>bangun<br />
benteng tempat tinggalnya 80 tentara yang akan menetap <strong>di</strong> sini. Rumah Kontrolir<br />
Pluggers membangun rumah <strong>di</strong> dekat Pearaja dalam jarak sekitar 20 menit dari<br />
sini. Seluruh 306 kampung <strong>di</strong> Silindung telah tunduk pada pemerintah dan kini<br />
mereka sudah mulai membangun jalan ke Sibolga. Untuk itu setiap kampung harus<br />
menye<strong>di</strong>akan satu orang. Kontrolir adalah orang yang rajin dan cukup <strong>di</strong>beri<br />
kesempatan untuk menunjukkan kecakapannya karena begitu banyak perselisihan<br />
yang harus <strong>di</strong>selesaikannya.<br />
<strong>Perang</strong> sudah berakhir dan kami meneruskan pekerjaan sehari-hari dengan<br />
semangat baru. Hasil dari ekspe<strong>di</strong>si sangat menguntungkan pemerintah. Boleh
<strong>di</strong>katakan seluruh Toba <strong>di</strong>taklukkan, dan hanya <strong>di</strong> Toba Humbang masih <strong>di</strong>perlukan<br />
beberapa wakil pemerintah untuk menetapkan pemerintahan <strong>di</strong> sana. Namun hal<br />
itu tidak terja<strong>di</strong> karena pemerintah tidak tertarik akan Toba Humbang. Mereka<br />
terlalu repot menghadapi Aceh. Untuk zen<strong>di</strong>ng kita pun bagus begitu karena kami<br />
kurang tenaga untuk menempatkan cukup banyak penginjil sehingga kami malahan<br />
bisa <strong>di</strong>dahului Islam. Sekarang kami punya cukup waktu untuk menggarap<br />
Silindung dulu sebelum kami masuk ke Toba dalam waktu beberapa tahun<br />
mendatang.<br />
Pemerintah tidak akan melarang karena orang Toba [381] akan makin dekat<br />
dengan pemerintah sehingga kita tidak perlu khawatir. Sekarang kita harus<br />
bersiap-siap mengerahkan tenaga maupun dana sehingga, bila waktunya datang,<br />
kita bisa menuruti petunjuk Tuhan.<br />
Sejak Silindung menja<strong>di</strong> wilayah Hin<strong>di</strong>a-Belanda dan perang telah berakhir maka<br />
datanglah ratusan orang Toba berbondong-bondong kemari. Banyak orang<br />
berimigrasi ke sini termasuk <strong>di</strong> antaranya mereka yang kehilangan rumah yang<br />
<strong>di</strong>bakar tentara, dan banyak lagi yang akan datang. Dengan demikian maka injil<br />
pun akan lebih <strong>di</strong>ketahui <strong>di</strong> Toba Humbang. Sekarang saja, karena keadaan <strong>di</strong><br />
Toba, pengaruh kita sudah mulai terasa <strong>di</strong> sana. Semoga Singamangaraja pun mau<br />
datang untuk menyerah dan tunduk pada pemerintah.<br />
Tidak lama lagi terbukalah lahan yang sangat luas. Tenaga dan dana perlu<br />
<strong>di</strong>gandakan untuk, sebagai contoh, membuka pos penginjilan <strong>di</strong> Balige karena <strong>di</strong><br />
Deli misi Katolik sudah mulai beroperasi, dan mereka sudah menjelajah sampai ke<br />
Bila. Belum tentu mereka langsung ke Balige karena masih berada jauh <strong>di</strong> utara,<br />
namun semboyan kita harus tetap: Maju! Di Silindung sudah banyak yang<br />
mendaftar mau menja<strong>di</strong> Kristen, kian hari kian banyak orang, namun berapa <strong>di</strong><br />
antaranya yang bersungguh-sungguh hanya akan <strong>di</strong>ketahui <strong>di</strong> kemu<strong>di</strong>an hari. Kami<br />
senang bahwa paling tidak mereka bisa mendengar berita yang baik namun dalam<br />
musim pancaroba seperti ini kesungguhan mereka masih perlu <strong>di</strong>pertanyakan.<br />
Banyak yang datang karena mereka kira kami akan membantu mereka sebagai<br />
penengah dalam perkara penga<strong>di</strong>lan. Masalah yang sama yang dulu <strong>di</strong>hadapi<br />
penginjil <strong>di</strong> Sipirok kini kami hadapi <strong>di</strong> sini. Hanya kami <strong>di</strong> sini lebih beruntung<br />
karena agama Islam belum ada dan agama Kristen sudah berakar <strong>di</strong> sini. Dapat<br />
<strong>di</strong>harapkan dalam dasawarsa yang akan datang seluruh Silindung menganut agama<br />
Kristen.<br />
w
BRMG 1879 (6) 169-170<br />
Surat Penghargaan dari Pemerintah Belanda<br />
Penginjil Nommensen menulis pada 26 Februari:<br />
Dari pihak pemerintah kami menerima dokumen berikut:<br />
Atas nama Gubernur Pantai Barat Sumatra kami ingin mengucapkan terima<br />
kasih atas jasa Tuan-Tuan selama Ekspe<strong>di</strong>si Militer ke Toba.<br />
Keputusan Pemerintah No. 8 tertanggal 27 Desember tahun yang lalu [1878]<br />
berbunyi sebagaimana berikut: [170]<br />
Melalui Gubernur [Pantai Barat Sumatra] pemerintah mengucapkan terima kasih<br />
kepada penginjil Rheinische Missions-Gesellschaft <strong>di</strong> Barmen, terutama Bapak I.<br />
Nommensen dan Bapak A. Simoneit yang bertempat tinggal <strong>di</strong> Silindung, atas jasa<br />
yang telah <strong>di</strong>berikan selama ekspe<strong>di</strong>si melawan Toba. Dengan keputusan ini<br />
pemerintah memberi ganti rugi sebesar 1000fl. Jumlah tersebut dapat <strong>di</strong>ambil<br />
setiap saat.<br />
Residen Tapanuli.<br />
BRMG 1882 (7) 202–205<br />
Menaklukkan Toba<br />
w<br />
Setelah mengadakan perjalanan ke Danau Toba para penginjil berniat untuk<br />
menetap dan membuka pos zen<strong>di</strong>ng <strong>di</strong> sana. Kemungkinan itu dulu sudah pernah<br />
<strong>di</strong>singgung oleh penginjil Nommensen dalam laporan tahun 1876.<br />
<strong>Perang</strong> dan penaklukan Toba sangat mendukung dan mempercepat upaya<br />
pembukaan pos penginjilan. Walaupun tidak secara langsung, para penginjil kita <strong>di</strong><br />
Silindung memainkan peranan cukup besar dalam ekspe<strong>di</strong>si militer Belanda<br />
terhadap Toba. Upaya mereka untuk menyebarkan injil <strong>di</strong> Silindung mendapatkan<br />
perlawanan dari Singamangaraja yang dulu maupun dari Singamangaraja yang<br />
sekarang. Karena sudah kehilangan sebagian besar kekuasaan dua-duanya<br />
berusaha untuk memperoleh kembali pengaruhnya yang hilang dengan mengusir<br />
para penginjil. Singamangaraja terutama memusuhi agama Kristen, akan tetapi
karena ia bersekutu dengan orang Aceh <strong>di</strong> utara maupun dengan orang Batak Islam<br />
<strong>di</strong> timur maka kegiatan mereka juga memusuhi pemerintah Belanda. Dengan<br />
demikian sangat bijaksana keputusan pemerintah untuk langsung bertindak<br />
memperluas dan memperkokoh kekuasaan mengingat tindak-tanduk orang Aceh<br />
dan jaringan mereka yang makin hari menja<strong>di</strong> makin ketat dan luas.<br />
Untuk menilai benar salahnya penaklukan Toba yang <strong>di</strong>lakukan dengan begitu<br />
cepat dan dengan sangat se<strong>di</strong>kit biaya maupun jumlah korban, maka perlu<br />
<strong>di</strong>perhatikan butir-butir berikut:<br />
[1.] Secara formal Silindung sudah lama termasuk wilayah kolonial Belanda<br />
walaupun mereka memang jarang sekali melaksanakan pemerintahannya. Karena<br />
status hukum Silindung sebagai wilayah kekuasaan Belanda maka penginjil kita<br />
mendapatkan izin untuk menetap, dan berhak untuk meminta perlindungan<br />
pemerintah. [203]<br />
[2.] Mengingat hubungan Silindung dan Toba yang begitu erat maka upaya<br />
pemerintah untuk melaksanakan pemerintahan <strong>di</strong> Silindung hanya dapat <strong>di</strong>lakukan<br />
dengan sekalian menaklukkan Toba. Hal itu penting karena Toba, yang padat<br />
penduduk, terletak <strong>di</strong> antara wilayah perkebunan yang subur <strong>di</strong> pantai timur dan<br />
Tapanuli dengan pelabuhannya yang penting <strong>di</strong> pantai barat.<br />
[3.] Penaklukan Toba menja<strong>di</strong> begitu penting dan tidak dapat <strong>di</strong>undurkan lagi<br />
karena adanya unsur Aceh. Selain itu kita tidak boleh melupakan bahwa Belanda<br />
sudah lama merencanakan dan mengupayakan penaklukan seluruh bagian utara<br />
pulau Sumatra. Aceh menja<strong>di</strong> musuh yang bertahun-tahun sangat merepotkan<br />
mereka, dan malahan sampai sekarang masih sering merepotkan pemerintah. Aceh<br />
<strong>di</strong> dahulu kala pernah menguasai hampir seluruh kawasan pesisir Sumatra. Orang<br />
Batak juga pernah berada <strong>di</strong> bawah kekuasaan Aceh dan bagian utara daerah Batak<br />
hingga kini masih berada <strong>di</strong> bawah pengaruh Aceh. Pada masa kekacauan<br />
menjelang ekspe<strong>di</strong>si terhadap Toba, orang-orang tua menceritakan bahwa mereka<br />
dengar dari orang tuanya bahwa dahulu mereka membayar upeti pada orang Aceh.<br />
Dalam doa sampai sekarang pun mereka masih menyembah Partuan Soripada <strong>di</strong><br />
Atse. Oleh sebab itu maka Belanda harus secara tegas mematahkan tiap upaya<br />
Aceh untuk memperluas pengaruh atau malahan mempersatukan suku-suku yang<br />
ada <strong>di</strong> pedalaman pulau Sumatra untuk melawan Belanda.<br />
Penaklukan Toba amat penting untuk pemerintah Belanda, tetapi lebih penting<br />
lagi untuk zen<strong>di</strong>ng kita. Sekiranya Singamangaraja beserta dengan sekutunya, baik<br />
Islam, Aceh, maupun yang lain, berhasil mengusir para penginjil dan menghapus<br />
agama Kristen <strong>di</strong> Silindung maka akibatnya bukan revitalisasi kekafiran melainkan
masuknya agama Islam, dan kemungkinan agama Kristen berkembang <strong>di</strong> sana<br />
menja<strong>di</strong> hampir sirna.<br />
Pada masa kekacauan menjelang perang Toba banyak orang kafir <strong>di</strong> Silindung<br />
dan <strong>di</strong> kawasan arah utara dari Silindung mempertimbangkan untuk masuk Islam.<br />
[204] Waktu itulah para penginjil menyadari betapa se<strong>di</strong>kit mereka peduli pada<br />
kekafirannya dan betapa mudah mereka mempertimbangkan langkah yang<br />
sedemikian menyesatkan.<br />
Puji Allah hal itu tidak terja<strong>di</strong>. Kemenangan Belanda dalam ekspe<strong>di</strong>si yang amat<br />
cepat dan perluasan kekuasaan mereka hingga ke Danau Toba membawa berkat<br />
kepada zen<strong>di</strong>ng kita, dan sangat penting dalam tiga hal: 1. Pemerintahan <strong>di</strong><br />
Silindung <strong>di</strong>laksanakan secara semestinya sehingga para penginjil dapat beroperasi<br />
tanpa ancaman. Pemerintahan Belanda yang <strong>di</strong>tetapkan <strong>di</strong> bawah kon<strong>di</strong>si yang<br />
begitu unik, mestinya – <strong>di</strong> mata penduduk – kelihatan seperti pemerintah yang<br />
Kristen atau paling tidak ramah terhadap agama Kristen. Hal itu merupakan faktor<br />
yang begitu menentukan <strong>di</strong> Silindung yang juga akan berpengaruh <strong>di</strong> Toba. 2. Hal<br />
yang paling penting adalah bahwa Toba keluar dari isolasinya, terbuka pada<br />
pengaruh Eropa dan tunduk pada kekuasaan Eropa sehingga dengan sangat mudah<br />
zen<strong>di</strong>ng kita bisa masuk. Memang ada kemungkinan bahwa orang Toba membenci<br />
orang Eropa setelah Belanda mengalahkan dan membakar kampung mereka.<br />
Namun hal itu tidak terja<strong>di</strong>. “Berkat tangan Tuhan”, demikianlah tulisnya penginjil<br />
Nommensen waktu itu, “dan hal ini menja<strong>di</strong> tanda bahwa Tuhan menghendaki<br />
rakyat hidup dalam kedamaian, berkat tangan Tuhan ekspe<strong>di</strong>si militer <strong>di</strong>kepalai<br />
oleh seorang yang sudah bertahun-tahun mengenal orang Batak, orang yang<br />
mengetahui kepentingan rakyat, dan yang <strong>di</strong>dampingi perwira yang merasa belas<br />
kasihan dengan musuh, yang <strong>di</strong>segani musuh karena keberaniannya menyerang,<br />
yang dengan lapang hati tidak mengejar mereka yang lari. Dengan demikian orang<br />
Batak dapat kesan betapa besar keagungan dan kemuliaan orang Eropa sehingga<br />
mereka tidak dapat membenci kita, apalagi karena Tuhan menunjukkannya bahwa<br />
mereka sen<strong>di</strong>ri bersalah. Kalau keja<strong>di</strong>an berlanjut sebagaimana sekarang maka <strong>di</strong><br />
dalam beberapa tahun terbukalah lahan yang luas bagi zen<strong>di</strong>ng kita. [205] Kalau<br />
situasi menja<strong>di</strong> tenang kembali maka kita bisa masuk, apalagi karena kita <strong>di</strong>lihat<br />
sebagai pelindung terhadap pemerintah. Mereka melihat bahwa siapa saja yang<br />
menuruti nasihat kami tidak akan menderita, dan tidak perlu khawatir. Mereka<br />
yang menderita salah sen<strong>di</strong>ri karena mereka tidak menerima nasihat kita.<br />
Usahakanlah agar sebanyak-banyaknya penginjil bisa datang ke Toba karena<br />
sekarang masa penginjilan mulai <strong>di</strong> Toba.”<br />
Dengan demikian juga terucap butir ketiga:
3. Akibat perang Toba maka orang makin percaya pada penginjil dan sudah ada<br />
yang minta agar kita datang.<br />
Daftar Pustaka<br />
w<br />
Altena, Thorsten. 2003. Ein Häuflein Christen mitten in der Heidenwelt des dunklen<br />
Erdteils. Zum Selbst- und Fremdverständnis protestantischer Missionare im<br />
kolonialen Afrika 1884–1918. Waxmann. Münster.<br />
Angerler, Hans. “Mission, Kolonialismus und Missionierte: Über <strong>di</strong>e deutsche<br />
Batakmission in Sumatra.” Beiträge zur historischen Sozialkunde 2 (1993): 53-61.<br />
Aritonang, Jan S. 1988. Sejarah pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan Kristen <strong>di</strong> Tanah Batak: suatu telaah<br />
historis-teologis atas perjumpaan orang Batak dengan zen<strong>di</strong>ng (kususnya RMG) <strong>di</strong><br />
bidang pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan, 1861–1940. BPK Gunung Mulia. Jakarta.<br />
Aritonang, Jan S. 2004. Sejarah perjumpaan Kristen dan Islam <strong>di</strong> Indonesia. BPK<br />
Gunung Mulia. Jakarta.<br />
Bade, Klaus J. Friedrich Fabri und der Imperialismus in der Bismarckzeit: Revolution -<br />
Depression - Expansion. Osnabrück, 2005.<br />
Fabri, Friedrich. Die Entstehung des Heidenthums und <strong>di</strong>e Aufgabe der Heidenmission.<br />
Barmen, 1859.<br />
Fabri, Friedrich. 1884. Die Bedeutung geordneter politischer Zustände für <strong>di</strong>e Mission.<br />
Rede vor der 6. Kontinentalen Missionskonferenz am 20.3.1884 in Bremen.<br />
Allgemeine Missions-Zeitschrift 11. Hal. 97-112<br />
Groot, A. de. 1984. Hermanus Willem Witteveen en zijn Zen<strong>di</strong>ngsgemeente te Ermelo.<br />
G.F. Callenbach. Nijkerk.<br />
Jongeling, Maria Cornelia. 1966. Het Zen<strong>di</strong>ngsconsulaat in Nederlands-In<strong>di</strong>ë 1906-1942.<br />
Van Loghum Slaterus. Arnhem.<br />
Junghuhn, Franz. Die Battaländer auf Sumatra. 2.Theil: Völkerkunde. Berlin: G. Reimer,<br />
1847.
Junghuhn, Franz. Die Battaländer auf Sumatra. 1.Theil: Chorographie. Berlin: G.<br />
Reimer, 1847.<br />
Jura, Guido. 2002. Deutsche Spuren in der Kirchen- und Gesellschaftsgeschichte<br />
Namibias: Eine Analyse unter besonderer Berü!cksichtigung des<br />
Emanzipationsprozesses einer ehemals kolonialen Missionskirche zu einer<br />
eigenstä!n<strong>di</strong>gen Partnerkirche im heutigen Namibia sowie der<br />
Interessenwahrnehmung der deutschsprachigen Minderheit innerhalb einer eigenen<br />
lutherischen Kirchengemeinschaft. Fakultät für Sozialwissenschaft. Ruhr-Universitä#t<br />
Bochum. http://www-brs.ub.ruhr-uni-bochum.de/netahtml/HSS/Diss/JuraGuido/<strong>di</strong>ss.pdf<br />
Menzel, Gustav. 1978. Aus 150 Jahren Missionsgeschichte: Die Rheinische Mission.<br />
Verlag der Vereinigten Evangelischen Mission. Wuppertal.<br />
Rohden, Ludwig von. 1867. Leitfaden der Weltgeschichte für <strong>di</strong>e höheren Classen<br />
evangelischer Gymnasien und Realschulen, sowie zum Privatgebrauch für Lehrer<br />
und für Gebildete überhaupt. Von Rohden’sche Buchhandlung. Lübeck.<br />
Rohden, Ludwig von. 1888. Geschichte der Rheinischen Missions-Gesellschaft. Wiemann.<br />
Barmen.<br />
Schreiner, Lothar. Adat und Evangelium: Zur Bedeutung der altvölkischen<br />
Lebensordnungen für Kirche und Mission unter den Batak in Nordsumatra. Vol.<br />
Gütersloh, 1972.<br />
Schubert, Michael. 2003. Der schwarze Fremde: Das Bild des Schwarzafrikaners in der<br />
parlamentarischen und publizistischen Kolonial<strong>di</strong>skussion von den 1870er bis in <strong>di</strong>e<br />
1930er Jahre. Franz Steiner Verlag. Stuttgart.<br />
Smith, Anthony D. 1971. Theories of Nationalism. Harper & Row. New York.<br />
Steinmetz, George. 2007. The devil’s handwriting: precoloniality and the German<br />
colonial state in Quingdao, Samoa, and Southwest Africa. University of Chicago<br />
Press. Chicago.<br />
Warneck, Johannes. D. Ludwig J. Nommensen. Ein Lebensbild 1834 + 1934, Wuppertal-<br />
Barmen 1934, 4. erg. Aufl., 7-17; Wilhelm Landgrebe: Ludwig Nommensen. Kampf<br />
und Sieg eines Sumatra-Missionars, Zeugen des gegenwärtigen Glaubens 77/78,<br />
Gießen und Basel 1963; Gottlob Mundle: Der Gänsejunge von Nordstrand,<br />
Wuppertal-Barmen 1950, 3-10; Erika Hellmann: Ein Mann kann warten, Wuppertal-<br />
Barmen 19582, 6f.