02.06.2013 Views

1aFSvkj

1aFSvkj

1aFSvkj

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

PERENCANAAN PENANGKARAN RUSA TIMOR<br />

(Cervus timorensis de Blainville) DENGAN SISTEM<br />

FARMING : Studi Kasus di Penangkaran Rusa Kampus IPB Darmaga<br />

S U M A N T O<br />

SEKOLAH PASCASARJANA<br />

INSTITUT PERTANIAN BOGOR<br />

BOGOR<br />

2006


PERENCANAAN PENANGKARAN RUSA TIMOR<br />

(Cervus timorensis de Blainville) DENGAN SISTEM<br />

FARMING : Studi Kasus di Penangkaran Rusa Kampus IPB Darmaga<br />

S U M A N T O<br />

Tesis<br />

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar<br />

Magister Profesi pada<br />

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan<br />

Sub Program Studi Konservasi Biodiversitas<br />

SEKOLAH PASCASARJANA<br />

INSTITUT PERTANIAN BOGOR<br />

BOGOR<br />

2006<br />

2


Judul Tesis : Perencanaan Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis<br />

de Blainville) dengan Sistem Farming : Studi Kasus di<br />

Penangkaran Rusa Kampus IPB Darmaga<br />

Nama : Sumanto<br />

Nomor Pokok : E051040365<br />

Program Studi : Ilmu Pengetahuan Kehutanan<br />

Sub Program Studi : Konservasi Biodiversitas<br />

Disetujui :<br />

Komisi Pembimbing<br />

Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, M.S Dr. Ir. H. A. Machmud Thohari, DEA<br />

Ketua Anggota<br />

Diketahui :<br />

Ketua Sub Program Studi, Dekan Sekolah Pascasarjana,<br />

Dr. Ir. H. Yanto Santosa, DEA Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc<br />

Tanggal Ujian : 13 Maret 2006 Tanggal Lulus : 27 Maret 2006<br />

3


PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN<br />

SUMBER INFORMASI<br />

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Perencanaan Penangkaran Rusa<br />

Timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan Sistem Farming : Studi Kasus di<br />

Penangkaran Rusa Kampus IPB – Darmaga adalah karya saya sendiri dan belum<br />

diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber<br />

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang<br />

tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan<br />

dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.<br />

Bogor, Maret 2006<br />

Sumanto<br />

NRP E051040365


© Hak cipta milik Sumanto, tahun 2006<br />

Hak cipta dilindungi<br />

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari<br />

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam<br />

Bentuk apa pun, baik cetak, fotocopy, microfilm, dan sebagainya<br />

iii


ABSTRACT<br />

SUMANTO. Captive Breeding Planning of Timor Deer (Cervus timorensis de<br />

Blainville) with farming system : Case Study in Timor Deer Captive Breeding at<br />

IPB Campus – Darmaga. Under the direction of BURHANUDDIN MASY’UD<br />

and A. MACHMUD THOHARI.<br />

Timor deer (Cervus timorensis de Blainville) is one of Indonesia wildlife<br />

species which population growth on natural habitat facing many threats as impact<br />

of human activities, like wild hunting and habitat destinction and fragmentation.<br />

Timor deer can be developed as livestock in the future its ability in difference<br />

geographic area of Indonesia. Farming system is appropriate model to be<br />

developed, because majority of Indonesian farmers have about less than 1<br />

hectares of farm area.<br />

The objectives of this research are: to analyse suitable location, to analyse<br />

breeding plan and economical aspect. The research was caried out in captive<br />

breeding field labratory of IPB Darmaga Campus. Equipments which have been<br />

used are: digital camera, rool meter, weighing-machine and a set of computer<br />

with design program. Materials which used are: map, timor deers and plastic<br />

bags. This research used field observation method, literature study and interview<br />

method.<br />

Pursuant to this research with based on bioecological condition, IPB<br />

captive breeding is suitable for timor deer captive location. Farm location was<br />

devideed into: headquarter zone 0,10 hectare (2,35%) and captive breeding zone<br />

4,15 hectare (97,65%). Captive breeding management to be executed is farming<br />

system. Based on economic analysis, until 21,35% interest, captive breeding<br />

with farming system still give advantage if population size of parent stock in first<br />

year are 105, and 210 in second year and to be taken care until ninth year, with<br />

payback period 4,53 years.<br />

Key word : timor deer, captive breeding planning, deer farming,<br />

site planning, economic analysis<br />

iv


ABSTRAK<br />

SUMANTO. Perencanaan Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis de<br />

Blainville) dengan Sistem Farming : Studi Kasus di Penangkaran Rusa Kampus<br />

IPB – Darmaga. Dibimbing oleh BURHANUDDIN MASY’UD dan A.<br />

MACHMUD THOHARI.<br />

Rusa timor adalah salah satu jenis satwa liar asli indonesia. Rusa timor<br />

(Cervus timorensis de Blainville), adalah salah satu spesies dari keanekaragaman<br />

hayati milik bangsa Indonesia, yang kondisi di habitat aslinya mendapat tekanan<br />

demikian besar sebagai akibat dari kegiatan manusia, dalam bentuk perburuan<br />

liar maupun pengrusakan habitat. Sebagai satwa harapan yang mempunyai daya<br />

adaptasi sangat tinggi serta penyebaran yang luas, rusa timor sangat<br />

memungkinkan untuk dipelihara/ditangkarkan di seluruh Indonesia baik<br />

dengan sistem Deer Ranching maupun dengan sistem Deer Farming.<br />

Mengingat rata-rata kepemilikan lahan bagi masyarakat Indonesia ± 1 ha, maka<br />

sistem penangkaran yang memungkinkan untuk dikembangkan adalah dengan<br />

sistem deer farming.<br />

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kelayakan lokasi,<br />

penyusunan perencanaan penangkaran dan menganalisis kelayakan usaha.<br />

Penelitian ini dilaksanakan di lokasi penangkaran rusa kampus IPB Darmaga.<br />

Alat yang digunakan terdiri dari kamera, roll meter, timbangan dan seperangkat<br />

komputer dengan program disain. Sedangkan bahan yang digunakan adalah :<br />

peta lokasi, rusa timor dan habitatnya serta kantong plastik. Metode yang<br />

digunakan adalah pengamatan langsung dilapangan, studi litelatur dan<br />

wawancara.<br />

Berdasarkan hasil penelitian, maka lokasi yang diperuntukkan bagi<br />

penangkaran rusa di kampus IPB – Darmaga dinyatakan layak secara bioekologi.<br />

Lokasi yang ada dibagi menjadi : zona perkantoran seluas 0,10 ha (2,35%) dan<br />

zona penangkaran 4,15 ha (97,65%). Manajemen penangkaran yang dilaksanakan<br />

adalah penangkaran dengan sistem deer farming.<br />

Berdasarkan hasil analisis finansial, maka usaha penangkaran rusa dengan<br />

sistem deer farming dengan populasi induk pada tahun pertama adalah 105 ekor<br />

dan tahun kedua 110 ekor yang dipertahankan sampai tahun kesembilan cukup<br />

layak dan menguntungkan sampai pada tingkat suku bunga 21,35% dengan<br />

jangka waktu pengembalian modal adalah 4,53 tahun.<br />

Kata kunci : rusa timor, perencanaan penangkaran, deer farming,<br />

perancangan tapak, analisis ekonomi<br />

v


RIWAYAT HIDUP<br />

Penulis dilahirkan pada tanggal 11 Juli 1968 di<br />

Desa Gentan, Kecamatan Gantiwarno, Kabupaten<br />

Klaten, Jawa Tengah. Merupakan anak kelima dari lima<br />

bersaudara pasangan Bapak Sonto Sumardjo dan Ibu<br />

Madiyem (Almh). Pada tahun 1981 menamatkan<br />

Pendidikan Sekolah Dasar di SD Inpres Pulau Mainan II,<br />

tahun 1984 menamatkan Pendidikan Menengah Pertama di SMP Negeri 4<br />

Wonotiung. Tahun 1987 menamatkan Pendidikan Menengah Atas di SMT<br />

Pertanian Negeri Sitiung. Semuanya berada di Kecamatan Koto Baru,<br />

Kabupaten Sawahlunto/Sijunujung (sekarang Kab. Darmas Raya), Sumatera<br />

Barat. Tahun 1992 menamatkan Pendidikan D III/A III di Fakultas Teknologi<br />

Pertanian – IPB.<br />

Sejak tahun 1992 sampai sekarang bertugas sebagai staf pengajar di<br />

Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Pasir Penyu, Indragiri Hulu. Riau. Tahun<br />

2001 menamatkan Pendidikan S-1 di Fakultas Pertanian Universitas Riau –<br />

Pekanbaru pada Program Studi Agronomi. Tahun 2004 diterima sebagai<br />

mahasiswa S2 Sekolah Pascasarjana – IPB pada Program Studi Ilmu Pengetahuan<br />

Kehutanan (IPK) Sub Program Studi Konservasi Biodiversitas.<br />

Beristri Umiyati binti Nadhir Mangun Wiratmo dan dikaruniai tiga orang<br />

putra, yaitu : Hafidha Fatma Sari (12 tahun), Gilang Abiwijaya (7 tahun) dan<br />

Fathaya Putri Handayani (1,5 tahun). Alamat tempat tinggal di Komplek SMK<br />

Negeri 1 Pasir Penyu, Jl. Jend. Sudirman Air Molek, Indragiri Hulu, Riau. 29352.<br />

vi


PRAKATA<br />

Puji dan Syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat<br />

hidayah, karunia, dan petunjuk-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini.<br />

Tesis ini disusun berdasarkan data dan informasi yang diperoleh selama<br />

pengambilan data di lapangan serta analisis hasilnya.<br />

Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister<br />

Profesi dari Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tesis dengan judul<br />

“PERENCANAAN PENANGKARAN RUSA TIMOR (Cervus timorensis de<br />

Blainville) DENGAN SISTEM FARMING”: Studi Kasus di Penangkaran<br />

Rusa Kampus IPB Darmaga ini dapat terselesaikan dibawah tim komisi<br />

pembimbing yang diketuai oleh Bapak Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS.<br />

dengan anggota Bapak Dr. Ir. H. A. Machmud Thohari, DEA. Untuk itu ucapan<br />

terimakasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada komisi pembimbing,<br />

karena tanpa arahan dan masukan yang diberikan selama penelitian dan<br />

penulisan, maka sulit dibayangkan tesis ini dapat selesai dengan baik.<br />

Berbagai pihak telah memberikan kontribusinya secara langsung maupun<br />

tidak langsung bagi penyelesaian dan penyempurnaannya. Namun disadari<br />

bahwa tesis ini masih belum sempurna, baik dalam sistematika maupun teknik-<br />

teknik analisis dan interpretasi data yang mungkin terjadi sepenuhnya menjadi<br />

tanggungjawab penulis.<br />

Ucapkan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada: (1) Yth.<br />

Direktur DIKDASMENJUR DEPDIKNAS, yang telah memberikan sponsor<br />

beasiswa dalam penyelenggaraan pendidikan Program Magister Profesi di Institut<br />

Pertanian Bogor, (2) PEMDA Kabupaten Indragiri Hulu melalui Bapak Kepala<br />

Dinas Pendidikan yang telah memberikan izin kepada penulis untuk mengikuti<br />

program pendidikan di Institut Pertanian Bogor, (3) Yth. Rektor, Dekan Sekolah<br />

Pascasarjana, Ketua Sub Program Studi Konservasi Biodiversitas dan seluruh<br />

civitas akademika IPB, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk<br />

mengikuti pendidikan S2 di Institut Pertanian Bogor, (4) Yth. Bapak Agus<br />

Rosadi, SP selaku Kepala SMK Negeri 1 Pasir Penyu yang telah memberikan izin<br />

dan motivasi kepada penulis untuk mengikuti program pendidikan di Institut<br />

Pertanian Bogor, (5) Yth. Bapak/Ibu Majelis Guru dan Staf Karyawan Tata Usaha<br />

SMK Negeri 1 Pasir Penyu yang telah memberikan dukungan, motivasi dan<br />

vii


pengertian kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini<br />

dengan baik dan (6) Seluruh keluarga (Bapak Sonto Sumardjo, Ibu Sumarlinah,<br />

Mas Sugiman, Mas/Mbak semuanya dan adik-adik serta keponakan semua) yang<br />

telah memberikan motivasi dan dukungan baik secara materiil maupun spirituil,<br />

sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini tanpa hambatan suatu<br />

apapun.<br />

Ucapan terimakasih dan penghargaan yang besar penulis sampaikan kepada<br />

rekan-rekan satu kelas S2 Profesi Konservasi Biodiversitas Angkatan Pertama<br />

atas dukungan dan kerjasamanya, karena berkat dukungan dan kerjasama dari<br />

rekan-rekan studi S2 ini dapat penulis jalani dengan baik. Secara khusus penulis<br />

mengucapkan terima kasih kepada istri (Umiyati) dan anak-anak kami (Hafidha<br />

Fatma Sari, Gilang Abiwijaya dan Fathaya Putri Handayani) atas kasih dan<br />

dukungannya selama penulis menjalani studi, sehingga mengurangi hari-hari<br />

kebersamaan kita. Tanpa pengertian dan dukungan dari istri dan anak-anak<br />

tercinta mustahil pendidikan ini dapat terselesaikan dengan baik. Selain itu tesis<br />

ini dapat terselesaikan juga atas dukungan dan dorongan berbagai pihak yang<br />

tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Untuk itu penulis menyampaikan<br />

terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya.<br />

Akhirnya apabila terdapat kesalahan dalam penulisan dalam tesis ini, maka<br />

hanya penulis yang bertanggungjawab. Kiranya Allah SWT sendiri yang<br />

memberi balasan berkah kepada semua pihak yang telah banyak membantu<br />

penulis dan anhir kata Semoga tesis ini bermanfaat bagi banyak pihak.<br />

viii<br />

Bogor, Maret 2006<br />

Sumanto


DAFTAR ISI<br />

Halaman<br />

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI ..... ii<br />

HAK CIPTA .. ................................................................................................. iii<br />

RIWAYAT HIDUP ...................................................................................... iv<br />

ABSTRACT..................................................................................................... v<br />

PRAKATA ...................................................................................................... vii<br />

DAFTAR ISI.................................................................................................... viii<br />

DAFTAR TABEL ........................................................................................... ix<br />

DAFTAR GAMBAR....................................................................................... x<br />

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xi<br />

PENDAHULUAN<br />

Latar Belakang .......................................................................................... 1<br />

Tujuan ...................................................................................................... 3<br />

Manfaat ..................................................................................................... 3<br />

Output ....................................................................................................... 3<br />

Kerangka Pemikiran ... ............................................................................... 4<br />

TINJAUAN PUSTAKA<br />

Bio-ekologi RusaTimor (Cervus timorensis de Blainville)<br />

Taksonomi .. ........................................................................................ 6<br />

Morfologi............................................................................................. 6<br />

Penyebaran .......................................................................................... 7<br />

Habitat ................................................................................................. 8<br />

Aktivitas Harian dan Perilaku ............................................................. 8<br />

Biologi Reproduksi ............................................................................. 10<br />

Pakan ................................................................................................... 12<br />

Home Range .. ..................................................................................... 14<br />

Deer Farming ............................................................................................. 15<br />

Perancangan Tapak (Site Planning) ... ...................................................... 15<br />

Lanskap ...................................................................................................... 17<br />

Penangkaran RusaTimor (Cervus timorensis de Blainville)<br />

Landasan Kebijakan ............................................................................ 19<br />

Perizinan .. ........................................................................................... 19<br />

Teknik Penangkaran .......................................................................... 21<br />

Kelayakan Ekonomi Usaha Penangkaran Rusa ................................ 27<br />

MATERI DAN METODE<br />

Tempat dan Lokasi Penelitian ................................................................... 30<br />

Alat dan Bahan .......................................................................................... 30<br />

Data Yang Dikumpulkan .......................................................................... 30<br />

Teknik Pengumpulan Data ....................................................................... 31<br />

Analisa Data .. ............................................................................................ 34<br />

ix


HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

Analisis Bio-ekologi Lokasi Penangkaran<br />

Keadaan Fisik lokasi<br />

Letak dan Luas ........................................................................... 38<br />

Iklim dan Curah Hujan ............................................................... 38<br />

Topografi ..................................................................................... 39<br />

Air (Hidrologi) ... ......................................................................... 40<br />

Tanah ........................................................................................... 41<br />

Keadaan Biologis Lokasi Penangkaran<br />

Vegetasi ....................................................................................... 42<br />

Satwaliar ...................................................................................... 43<br />

Daya Dukung Lokasi ................................................................... 44<br />

Perancangan Tapak (Site Planning) Penangkaran rusa timor<br />

(Cervus timorensis de Blainville) dengan Sistem Deer Farming<br />

Analisis Perancangan Tapak ............................................................. 48<br />

Pewilayahan/Zonasi ............................................................................ 48<br />

Faktor-faktor Lanskap .. ...................................................................... 51<br />

Diskripsi dan Tata Letak Tapak .......................................................... 52<br />

Rancangan Manajemen Penangkaran Rusa Timor (Cervus<br />

timorensis de Blainville) denga Sistem Deer Farming<br />

Manajemen Penangkaran .. ................................................................. 57<br />

Sarana dan Prasarana Penangkaran ... ................................................. 70<br />

Proyeksi Perkembangan Populasi ....................................................... 73<br />

Analisis Kelayakan Finansial Usaha Penangkaran Rusa Timor<br />

(Cervus timorensis de Blainville) denga Sistem Deer Farming.. .............. 75<br />

SIMPULAN DAN SARAN<br />

Simpulan ................................................................................................... 79<br />

Saran .... ...................................................................................................... 80<br />

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 81<br />

x


DAFTAR TABEL<br />

Halaman<br />

1. Perbandingan kondisi fisik daerah penyebaran rusa dengan lokasi<br />

penangkaran di kampus IPB – Darmaga ................................................. 41<br />

2. Produktivitas hijauan pakan rusa pada setiap petak contoh di dalam<br />

lokasi penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) di<br />

Kampus IPB – Darmaga .. ....................................................................... 44<br />

3. Proyeksi perkembangan rusa selama 10 tahun pemeliharaan di<br />

penangkaran ... ......................................................................................... 74<br />

4. Proyeksi komponen biaya dan penerimaan pada usaha penangkaran<br />

rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) selama 10 tahun di<br />

penangkaran dengan sistem deer farming ................................................ 75<br />

5. Hasil analisis finansial usaha penangkaran rusa timor (Cervus<br />

timorensis de Blainville) di Kampus IPB – Darmaga .............................. 76<br />

6. Hasil analisis sensitivitas finansial usaha penangkaran rusa timor<br />

(Cervus timorensis de Blainville) di Kampus IPB – Darmaga<br />

terhadap beberapa kemungkinan skenario .. ............................................ 77<br />

xi


Halaman<br />

DAFTAR GAMBAR<br />

1. Kerangka Pemikiran Penelitian Disain Penagkaran Rusa Timor<br />

(Cervus timorensis de Blainville) dengan Sistim Farming . ...................... 5<br />

2. Rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) a. Rusa jantan, b. Rusa<br />

betina .. ....................................................................................................... 6<br />

3. Prosedur perizinan penangkaran satwaliar dan tumbuhan alam<br />

berdasarkan SK Dirjen PHPA No.07/Kpts/DJ-VI/1988 ... ........................ 21<br />

4. Disain Metote Garis Berpetak Dalam Analisis Vegetasi . ......................... 32<br />

5. Peta Topografi Lokasi Penangkaran rusa Timor (Cervus timorensis de<br />

Blainville) di Kampus IPB Dermaga .. ..................................................... 40<br />

6. Keadaan vegetasi yang terdapat di lokasi penangkaran rusa di kampus<br />

IPB Darmaga padasaat studi .. .................................................................. 51<br />

7. Diskripsi dan tata letak tapak pada zona penangkaran (Headquarter<br />

zone).. ......................................................................................................... 53<br />

8. Diskripsi dan tata letak tapak penangkaran di kampus IPB Darmaga.. ..... 55<br />

9. Desain pagar yang disarankan ................................................................... 56<br />

10. Desain jalan inspeksi dan pintu yang disarankan ...................................... 57<br />

xii


DAFTAR LAMPIRAN<br />

Halaman<br />

1a. Hasil analisa vegetasi tingkat bawah/semai di dalam lokasi<br />

penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) di<br />

Kampus IPB – Darmaga .... ...................................................................... 84<br />

1b. Hasil analisa vegetasi tingkat pancang di dalam lokasi<br />

penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) di<br />

Kampus IPB – Darmaga .... ...................................................................... 86<br />

1c Hasil analisa vegetasi tingkat tiang dan pohon di dalam lokasi<br />

penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) di<br />

Kampus IPB – Darmaga .... ....................................................................... 87<br />

2. Daftar jenis satwaliar yang ditemukan di lokasi penangkaran rusa<br />

timor (Cervus timorensis de Blainville) di Kampus IPB – Darmaga<br />

..................................................................................................................... 88<br />

3. Produktivitas hijauan pakan rusa pada setiap petak contoh di dalam<br />

lokasi penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) di<br />

Kampus IPB – Darmaga .. .......................................................................... 89<br />

4. Rencana anggaran biaya pembangunan dan pengembangan sarana<br />

fisik usaha penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de<br />

Blainville) dengan sistem “deer farming” .. .............................................. 91<br />

5. Analisis finansial usaha penangkaran rusa timor (Cervus timorensis<br />

de Blainville) pada skala usaha 100 ekor induk dengan sistem<br />

“deer farming” ......................................................................................... 93<br />

6. Hasil analisis finansial usaha penangkaran rusa timor (Cervus<br />

timorensis de Blainville) pada skala usaha 100 ekor induk dengan<br />

sistem “deer farming” (Skenario penerimaan/harga turun 10% dan<br />

biaya tetap) ................................................................................................ 96<br />

7. Hasil analisis finansial usaha penangkaran rusa timor (Cervus<br />

timorensis de Blainville) pada skala usaha 100 ekor induk dengan<br />

sistem “deer farming” (Skenario penerimaan tetap dan biaya<br />

produksi naik 10%) ................................................................................... 97<br />

8. Hasil analisis finansial usaha penangkaran rusa timor (Cervus<br />

timorensis de Blainville) pada skala usaha 100 ekor induk dengan<br />

sistem “deer farming” (Skenario penerimaan turun 10% dan<br />

biaya produksi naik 10%) ......................................................................... 98<br />

xiii


PENDAHULUAN<br />

Latar Belakang<br />

Rusa timor (Cervus timorensis de Blainville), adalah salah satu bagian dari<br />

keanekaragaman hayati milik bangsa Indonesia, yan g kondisi di habitat aslinya<br />

mendapat tekanan demikian besar sebagai akibat dari kegiatan manusia, dalam<br />

bentuk perburuan liar maupun pengrusakan habitat.<br />

Rusa timor sebenarnya merupakan satwaliar yang relatif mudah dalam hal<br />

reproduksi/perkembangbiakan maupun penyediaan pakannya. Namun karena di<br />

habitat aslinya dikhawatirkan akan terjadi pemanfaatan yang berlebihan sehingga<br />

terancam punah, maka dengan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999, rusa<br />

timor termasuk satwaliar yang dilindungi.<br />

Sejalan dengan pertumbuhan penduduk yang demikian pesat, meningkat<br />

pula pemanfaatan kekayaan alam Indonesia untuk memenuhi kebutuhan<br />

masyarakat. Salah satu contohnya adalah pemenuhan kebutuhan protein hewani.<br />

Atas dasar itulah maka dalam rangka pemanfaatan sumberdaya alam yang<br />

dimiliki bangsa Indonesia, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.<br />

404/Kpts/DT.210/6/2002, rusa dimasukkan sebagai salah satu jenis satwaliar yang<br />

potensial untuk dikembangkan sebagai hewan ternak.<br />

Agar tujuan dari kedua kebijakan tersebut dapat terwujud secara bersama-<br />

sama, maka dengan semangat konservasi pemanfaatan rusa timor sebagai ternak<br />

harapan tetap harus mengacu pada prinsip kelestarian, salah satu cara dapat<br />

dilakukan dengan “penangkaran”.<br />

Sebagai satwa harapan yang mempunyai daya adaptasi sangat tinggi serta<br />

penyebaran yang luas, rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) sangat<br />

mungkin untuk dipelihara/ditangkarkan di seluruh Indonesia. Semangat otonomi<br />

daerah merupakan satu titik terang bagi daerah-daerah yang mempunyai wilayah<br />

cukup luas sangat memungkinkan untuk mengembangkan penangkaran rusa timor<br />

(Cervus timorensis de Blainville) baik dengan sistem Ranching maupun dengan<br />

sistem Farming.<br />

Deer Ranching adalah suatu usaha penangkaran/pemeliharaan rusa yang<br />

dilakukan secara ekstensif, dimana hampir seluruh kebutuhan hidup bagi rusa<br />

berlangsung secara alami dan peran manusia hanya sebatas mengontrol dan<br />

mengatur daya dukung habitatnya. Sedangkan Deer Farming adalah suatu usaha


penangkaran/pemeliharaan rusa yang dilakukan secara semi-intensif, dimana<br />

sebagian besar kebutuhan hidup bagi rusa diatur dan dikendalikan oleh manusia.<br />

Kebutuhan hidup rusa yang dimaksud adalah kebutuhan ruangan, makanan,<br />

minuman, tempat perlindungan (selter), kesehatan sampai perkembangbiakannya.<br />

Untuk dapat mengembangkan penangkaran dengan sistem ranching harus<br />

tersedia lahan yang cukup luas, sementara dengan sistem farming, luasan lahan<br />

tidak merupakan kendala, karena kebutuhan utama bagi kehidupan rusa, yaitu<br />

pakan dan minum dapat dipenuhi dari luar. Mengingat rata-rata kepemilikan<br />

lahan bagi masyarakat Indonesia ± 1 ha, maka sistem penangkaran yang<br />

memungkinkan untuk dikembangkan adalah dengan sistem farming. Namun salah<br />

satu kendala yang dihadapi oleh penangkar saat ini adalah belum adanya contoh<br />

penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) di Indonesia yang<br />

cukup berhasil baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Salah satu penyebabnya<br />

adalah belum adanya perencanaan penangkaran dengan sistem farming yang<br />

memperhatikan aspek bio-ekologi dari rusa timor (Cervus timorensis de<br />

Blainville).<br />

Menurut Masy’ud (2003), desain (rancangan) dapat diartikan sebagai<br />

suatu rencana, struktur dan strategi kegiatan yang dimaksudkan untuk menjawab<br />

permasalahan yang dihadapi secara efisien dan efektif yang memuat secara<br />

sistematik keseluruhan kegiatan yang akan dilakukan, petunjuk prosedural cara<br />

melaksanakan kegiatan, waktu dilaksanakan, data dan informasi apa yang<br />

diperlukan, cara pengumpulan dan penganalisaan data serta kebutuhan tenaga,<br />

biaya dan peralatannya, serta gambaran hasil yang diharapkan dari kegiatan ini.<br />

Disain disebut sebagai rencana, karena disain ini memuat secara sistematis<br />

keseluruhan kegiatan yang akan dilakukan. Disebut sebagai struktur karena<br />

didalam disain tergambar model atau prinsip-prinsip operasional kegiatan serta<br />

sifat atau jenis data yang diperlukan. Disebut sebagai strategi, karena didalamnya<br />

terkandung petunjuk prosedural bagaimana rencana dan struktur kegiatan dapat<br />

dijalankan, sehingga permasalahan yang dihadapi dapat terjawab secara baik<br />

dengan variasi yang dapat dikendalikan (Masy’ud, 2003).<br />

Mengacu pada permasalahan tersebut di atas, maka penelitian tentang<br />

Perencanaan Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan<br />

Sistem Farming ini dilakukan.<br />

2


Penelitian ini dilakukan dengan mengambil lokasi yang mempunyai<br />

ukuran luas areal tidak terlalu luas, yaitu ± 5 ha, yaitu untuk memberikan suatu<br />

model bagi masyarakat Indonesia, bahwa sebenarnya penangkaran rusa timor<br />

tidak harus dilakukan di areal yang luas, tetapi dengan lahan yang dimiliki oleh<br />

kebanyakan petani peternak kita juga dapat dilakukan penangkaran rusa timor<br />

tergantung bagaimana disain dan manajemen penangkaran itu dilakukan. Selain<br />

itu, lokasi ini dipilih karena potensi sumberdaya berupa lokasi dan rusa timor<br />

sudah ada tetapi penataan tapak dan manajemen penangkaran yang dilakukan<br />

dirasa belum baik, sehingga sampai saat ini populasi yang ada belum berkembang<br />

sebagaimana yang diharapkan. Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan<br />

dapat menjadi acuan dalam pengelolaan yang lebih baik dalam usaha<br />

penangkaran yang sudah dilakukan dan dapat dijadikan acuan bagi siapa saja<br />

yang akan mengembangkan penangkaran rusa dengan sistem deer farming.<br />

Tujuan<br />

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah :<br />

1. Mengkaji kelayakan lokasi yang diperuntukkan bagi penangkaran rusa timor<br />

dengan sistem Farming ditinjau dari kajian bio-ekologinya.<br />

2. Menyusun perencanaan penangkaran rusa timor dengan sistem farming :<br />

a. Perancangan tapak penangkaran<br />

b. Rancangan manajemen penangkaran<br />

3. Menganalisis kelayakan finansial usaha penangkaran rusa timor dengan<br />

sistem farming berdasarkan rancangan disain yang dibuat.<br />

Manfaat<br />

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan bagi pihak<br />

pengelola dalam penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville)<br />

dengan sistem farming secara efektif dan efisien, sehingga usaha tersebut tetap<br />

lestari dan berwawasan lingkungan.<br />

Output<br />

Output yang dihasilkan dari penelitian ini adalah Perencanaan Penangkaran<br />

Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan sistem Farming yang sesuai<br />

dengan bio-ekologinya.<br />

3


Kerangka Pemikiran<br />

Potensi sumberdaya alam yang kita miliki berupa lahan dan rusa timor<br />

(Cervus timorensis de Blainville) apabila kita kelola dengan baik menjadi suatu<br />

penangkaran akan dapat memberikan kesejahteraan bagi pengelolanya. Agar<br />

penangkaran dapat berhasil dengan baik, maka prisnsip-prinsip penangkaran yang<br />

merupakan interaksi antara bio-fisik dari lahan dan bio-ekologi dari rusa timor<br />

(Cervus timorensis de Blainville) menjadi syarat mutlak yang harus mendapat<br />

perhatian serius.<br />

Penelitian ini dimulai dari menganalisis kondisi bio-ekologi calon lokasi dan<br />

bio-ekologi rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) serta kebutuhan hidup<br />

rusa timor di penangkaran dan dilanjutkan dengan menganalisis persyaratan untuk<br />

membuat perancangan tapak (site planning) penangkaran yang meliputi bangunan<br />

kantor, pedok, bangunan kandang, kebun rumput, areal pembesaran dan jalan<br />

inspeksi. Bila persyaratan yang dimaksud sudah terpenuhi, maka langkah<br />

selanjutnya adalah melakukan perancangan tapak, yaitu meliputi analisis tapak,<br />

pewilayahan/zonasi dan diskripsi serta tata letak tapak. Tetapi apabila persyaratan<br />

untuk membuat perancangan tapak belum terpenuhi, maka langkah salanjutnya<br />

perlu dilakukan analisis peningkatan kualitas tapak dan sarana dan prasaran,<br />

sehingga persyaratan tersebut terpenuhi. Kemudian dilanjutkan dengan<br />

perancangan tapak.<br />

Dari analisis-analisis tersebut diatas, akhirnya akan terpilih satu alternatif<br />

perancangan tapak yang memperhatikan aspek peruntukan lahan, waktu, biaya<br />

dan tenaga pengembangnya. Selanjutnya akan dihasilkan suatu disain<br />

penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan sistem farming<br />

yang memperhatikan bio-fisik lokasi, bio-ekologi rusa, kebutuhan hidup rusa<br />

serta biaya dan tenaga pengelolanya.<br />

Secara rinci kerangka dan alur pemikiran pada Penelitian Perencanaan<br />

Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan Sistem<br />

Farming dapat dilihat pada Gambar 1.<br />

4


Calon Lokasi<br />

Kondisi Bio-Fisik<br />

Calon Lokasi<br />

1. Letak dan luas :<br />

a. Iklim<br />

b. Topografi<br />

c. Hidrologi<br />

d. Tanah<br />

2. Keadaan biologi<br />

a. Vegetasi<br />

b. Satwaliar<br />

POTENSI<br />

SUMBERDAYA ALAM<br />

Persayaratan<br />

Perancangan Tapak<br />

1. Bangunan kantor<br />

2. Pedok<br />

3. Bangunan kandang<br />

4. Kebun rumput<br />

5. Areal pembesaran<br />

6. Jalan<br />

Memenuhi<br />

Persyaratan<br />

Rusa Timor<br />

(Cervus timorensis)<br />

Ya<br />

Perancangan Tapak<br />

1. Analisis tapak<br />

2. Pewilayahan/zonasi<br />

3. Diskripsi dan tata letak<br />

Bio-Ekologi<br />

Rusa Timor (Cervus<br />

timorensis de Blainville)<br />

1. Taksonomi<br />

2. Morfologi<br />

3. Penyebaran<br />

4. Habitat<br />

5. Perilaku<br />

6. Biologi reproduksi<br />

7. Pakan<br />

8. Home range<br />

Tidak<br />

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian perencanaan penangkaran rusa timor<br />

(Cervus timorensis de Blainville) dengan sistem farming.<br />

5<br />

Kebutuhan Hidup Rusa<br />

Timor (Cervus timorensis de<br />

Blainville) di Penangkaran<br />

1. Pdg. Rumput & Pedok<br />

2. Habitat<br />

3. Perilaku<br />

4. Reproduksi<br />

5. Kesehatan<br />

6. Home range<br />

Analisis Peningkatan<br />

Kualitas Tapak<br />

dan<br />

Analisis Sarana dan<br />

Prasarana Penangkaran<br />

Pemilihan Alternatif<br />

Perancangan Tapak<br />

Alternatif terpilih (peruntukan,<br />

waktu, biaya dan<br />

tenaga pengembangannya)<br />

Perencanaan Penangkaran Rusa<br />

Ti mor (Cervus timorensis de<br />

Blainville) dengan Sistem<br />

FARMING


Taksonomi<br />

TINJAUAN PUSTAKA<br />

Bio-ekologi Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville)<br />

Rusa merupakan satwa timor yang termasuk anggota Klas Mamalia, Ordo<br />

Artiodactyla, Sub Ordo Ruminansia, Famili Cervidae dan Genus Cervus. Genus<br />

Cervus terdiri dari dua species yaitu Cervus timorensis (Rusa Timor), dan Cervus<br />

unicolor (Rusa Sambar).<br />

Rusa timor merupakan rusa tropis kedua terbesar setelah rusa sambar.<br />

Dibandingkan dengan rusa tropis Indonesia lainnya, rusa timor memiliki keunikan<br />

yaitu sebagai rusa yang memiliki banyak sub spesies, dengan daerah penyebaran<br />

yang luas serta nama lokal yang cukup beragam tergantung daerah dimana<br />

habitatnya berada.<br />

Morfologi<br />

Rusa timor merupakan dikenal juga dengan nama rusa Jawa, memiliki<br />

warna bulu coklat abu-abu sampai coklat tua kemerahan dan yang jantan<br />

warnanya lebih gelap. Warna di bagian perut lebih terang dari pada di bagian<br />

punggungnya.<br />

a b<br />

Gambar 2. Rusa timor (Cervus timorenisi de Blainville).<br />

a. rusa jantan, b. rusa betina<br />

6


Tinggi bahu rusa betina dewasa 100 cm, sedangkan yang jantan dapat<br />

mencapai 110 cm. Panjang badan dengan kepala kira-kira 120 – 130 cm, panjang<br />

ekor 10 – 30 cm. Sedangkan bobot badannya dapat mencapai 100 kg.<br />

Rusa jantan dewasa memiliki ranggah atau tanduk yang bercabang tiga,<br />

dengan ujung-ujungnya yang runcing , kasar dan beralur memanjang dari pangkal<br />

hingga ke ujung ranggah. Panjang ranggah rata-rata 80 – 90 cm, tapi ada yang<br />

mencapai 111,5 cm.<br />

Penyebaran<br />

Famili cervidae memiliki penyebaran yang luas, terdapat hampir di seluruh<br />

dunia, kecuali di Afrika yaitu di sebelah selatan Gurun Sahara. Di Australia,<br />

Selandia Baru, Papua dan pulau-pulau kecil yang berdekatan, rusa marupakan<br />

satwa yang diintroduksi. Di Indonesia, penyebaran rusa hampir meliputi seluruh<br />

wilayah. Khusus untuk rusa timor (Cervus timorensis) penyebarannya meliputi<br />

pulau-pulau kecil di Indonesia bagian Timur.<br />

Menurut Van Memmel (1949) dalam Schroder (1976), menyatakan bahwa<br />

di Indonesia Cervus timorensis terdiri dari 8 (delapan) sub species dengan daerah<br />

penyebarannya adalah sebagai berikut :<br />

1. Cervus timorensis rusa, terdapat di Jawa dan Kalimantan<br />

2. Cervus timorensis laronesiotis, terdapat di Pulau Peucang, Nusa Barung,<br />

Karimun jawa, Pulau Kemujan dan Sepanjang.<br />

3. Cervus timorensis renschi Sody, terdapat di Bali<br />

4. Cervus timorensis timorensis, terdapat di Timor, Roti, Semau, Alor, Pantar,<br />

Pulau Rusa dan kambing.<br />

5. Cervus timorensis macassarius, terdapat di Bangai dan Seleyar.<br />

6. Cervus timorensis djongga, terdapat di Pulau Buton dan Muna.<br />

7. Cervus timorensis molucentis, terdapat di Ternate, Mareh Moti, Halmahera,<br />

Bacan, Buru dan Ambon<br />

8. Cervus timorensis floresiensis, terdapat di Lombok, Sumbawa, Komodo,<br />

Rinca, Flores dan Solor.<br />

7


Habitat<br />

Habitat adalah suatu komunitas biotik atau serangkaian komunitas-<br />

komunitas biotik yang ditempati oleh binatang atau populasi kehidupan. Habitat<br />

yang sesuai menyediakan semua kelengkapan habitat bagi suatu spesies selama<br />

musim tertentu atau sepanjang tahun. Kelengkapan habitat terdiri dari berbagai<br />

macam jenis termasuk makanan, perlindungan dan faktor-faktor lainnya yang<br />

diperlukan oleh spesies hidupan liar untuk bertahan hidup dan melangsungkan<br />

reproduksinya secara berhasil (Bailey, 1984).<br />

Habitat rusa timor berupa hutan, dataran terbuka serta padang rumput dan<br />

savanna. Rusa timor diketemukan di dataran rendah hingga pada ketinggian 2600<br />

m di atas permukaan laut (Direktorat PPA, 1978). Padang rumput dan daerah-<br />

daerah terbuka merupakan tempat mencari makan, sedangkan hutan dan semak<br />

belukar merupakan tempat berlindung. Salah satu tempat berlindung yang<br />

disukai oleh rusa timor (Cervus timorensis) adalah semak-semak yang didominasi<br />

oleh kirinyuh (Eupatorium spp.), saliara (Lantana camara), gelagah (Saccarum<br />

spontaneum) dan alang-alang (Imperata cylindrica). Rusa timor termasuk satwa<br />

yang mudah beradaptasi dengan lingkungan yang kering bila dibandingkan<br />

dengan jenis rusa yang lain, karena ketergantungan terhadap ketersediaan air<br />

relatif lebih kecil. Dengan kemampuan adaptasi yang baik ini rusa timor mampu<br />

berkembangbiak dengan baik di daerah-daerah meskipun bukan habitat aslinya.<br />

Berdasarkan beberapa contoh perkembangan rusa timor (Cervus timorensis)<br />

di daerah yang bukan merupakan habitat aslinya, terbukti bahwa populasi rusa<br />

timor (Cervus timorensis) dapat berkembang pesat di daerah-daerah yang bukan<br />

merupakan habitat aslinya, misalnya di Papua, Maluku dan Kalimantan bila<br />

dibandingkan dengan populasi di habitat aslinya, terutama di Pulau Jawa dan<br />

Bali.<br />

Aktivitas Harian dan Perilaku<br />

Rusa adalah satwa yang aktif baik siang maupun malam hari. Namun untuk<br />

rusa timor lebih aktif pada siang hari. Meskipun bukan satwa nocturnal, rusa<br />

timor mampu berubah sifat menjadi nocturnal dalam proses adaptasinya.<br />

8


Aktivitas harian rusa meliputi perjalanan dari dan ke tempat mencari<br />

makanan dan air, makan dan beristirahat. Sebagaimana herbivora pada<br />

umumnmya, rusa menghabiskan waktunya berjam-jam untuk makan dan diselingi<br />

perjalanan-perjalanan pendek untuk beristirahat maupun menuju ke tempat air.<br />

Untuk aktivitas makan rusa timor lebih banyak menghabiskan waktunya pada<br />

pagi dan sore hari. Sedangkan siang hari cenderung mencari perlindungan dari<br />

teriknya sinar matahari, beristirahat sambil memamah biak. Pada malam hari<br />

aktivitas makan juga berlangsung, tetapi tidak begitu aktif.<br />

Dalam perilaku sosial, rusa timor pada umumnya hidup dalam kelompok<br />

antara 3 ekor sampai 20 ekor. Namun jika berada di padang penggembalaan<br />

terkadang dapat membentuk kelompok besar sampai jumlah 75 – 100 ekor.<br />

Kelompok rusa Timor sering dijumpai terdiri dari induk dan anak baik yang<br />

masih kecil maupun yang sudah remaja, serta rusa-rusa muda. Baru menjelang<br />

musim kawin berangsur-angsur rusa jantan mendekati kelompok rusa betina ini.<br />

Di dalam kelompok rusa timor biasanya dijumpai dua pemimpin. Dalam<br />

keadaan normal pemimpin kelompok adalah rusa jantan dewasa. Rusa jantan<br />

dewasa biasanya memimpin kelompoknya dalam rangka perpindahan tempat<br />

untuk mencari makan dan penjelajahan wilayah secara periodik. Dalam keadaan<br />

darurat atau menghadapi ancaman pemimpin kelompok akan diambil alih oleh<br />

induk. Dalam keadaan terdesak induk lebih bertanggung jawab terhadap<br />

kelompoknya, sedangkan pejantan akan panik dan lebih sering pergi<br />

meninggalkan kelompoknya.<br />

Pada musim kawin, perilaku rusa banyak mengalami perubahan. Pada awal<br />

musim kawin, rusa menjadi gelisah dan peka terhadap kedatangan mahluk asing<br />

di lingkungannya. Rusa jantan lebih peka terhadap kedatangan pejantan lain dan<br />

menantang pejantan lain untuk berkelahi dalam rangka memperebutkan atau<br />

mempertahankan betina. Dalam keadaan birahi, berkubang merupakan aktivitas<br />

yang menonjol. Sambil berbaring di kubangan, rusa jantan akan mengayunkan<br />

ranggahnya ke kanan kiri atau menusukkannya ke dalam lumpur. Ranggah juga<br />

sering kali digosok-gosokkan kepohon atau kesemak-semak. Perilaku ini oleh<br />

para pemburu dikenal dengan perilaku “mengasah tanduk/ranggah”.<br />

9


Rusa jantan biasanya menetapkan dan mempertahankan daerah teritorinya<br />

dari pejantan lain. Kadang-kadang daerah teritori ini tumpang tindih untuk<br />

pejantan yang satu dengan pejantan yang lainnya, Daerah teritori ini biasanya<br />

ditandai dengan cara menggores pohon dengan ranggahnya atau ditandai dengan<br />

urin dan bau-bauan lainnya. Daerah teritori ini biasanya hanya berlaku pada<br />

musim kawin saja.<br />

Rusa betina pada musim kawin akan mondar-mandir dari daerah teritori<br />

pejantan satu ke daerah teritori pejantan yang lain untuk memilih pejantan, dan<br />

akhirnya menetap pada daerah teritori pejantan yang dipilihnya sampai terjadi<br />

perkawinan. Pada umumnya kopulasi terjadi pada malam hari.<br />

Rusa betina akan menghabiskan masa buntingnya di dalam kelompok awal.<br />

Menjelang saat-saat melahirkan calon induk menjadi gelisah dan tidak bisa diam.<br />

Kemudian akan memisahkan diri dari kelompoknya untuk mencari tempat yang<br />

sesuai untuk melahirkan anaknya. Biasanya tempat-tempat yang ditumbuhi<br />

semak-semak dan terlindung.<br />

Biologi Reproduksi<br />

1. Musim berkembangbiak<br />

Menurut Van Bammel (1949) dalam Schroder (1976), mengatakan<br />

bahwa rusa-rusa yang ada di Indonesia, melahirkan anak sepanjang tahun,<br />

artinya tidak dibatasi musim tertentu seperti yang terjadi pada daerah yang<br />

beriklim sedang. Namun demikian puncak frekwensi melahirkan terjadi pada<br />

bulan-bulan tertentu di setiap tahunnya. Musim melahirkan biasanya terjadi<br />

pada saat datangnya musim hujan, dimana pada masa-masa ini berbarengan<br />

dengan melimpahnya tumbuh-tumbuhan sebagai sumber pakan.<br />

Sody (1940) dalam Thohari, et al. (1991) menyatakan musim kelahiran<br />

anak-anak sambar di Sumatera adalah pada bulan Juli dan Oktober dan untuk<br />

sambar di Kalimantan adalah pada bulan Maret. Untuk rusa timor, musim<br />

kelahiran berbeda-beda tergantung daerahnya. Di Jawa musim melahirkan<br />

terjadi pada bulan April-Juni dan September. Di Flores terjadi pada bulan<br />

Maret dan di Sulawesi terjadi pada bulan Januari dan Agustus.<br />

2. Reproduksi<br />

10


Rusa timor mengalami masa kebuntingan selama 240 – 270 hari (rata-<br />

rata 267 hari). Seekor induk yang bunting biasanya melahirkan satu ekor<br />

anak, dan kadang-kadang dua ekor anak kembar (van Lavieren, 1983).<br />

Umur termuda untuk melahirkan bagi rusa timor (Cervus timorensis)<br />

adalah 2 – 3 tahun, dan masa mengasuh anak biasanya berlangsung sekitar<br />

4 – 5 bulan.<br />

Menurut Hoogerwerf (1949), nisbah seksual untuk rusa timor (Cervus<br />

timorensis) di Ujung Kulon adalah 2 : 2,3 dan di Indonesia pada umumnya<br />

adalah 1 : 3.<br />

3. Musim Birahi<br />

Seperti halnya musim berkembangbiak, tidak ada batasan waktu yang<br />

jelas bagi musim birahi rusa di Indonesia. Meningkatnya aktivitas musim<br />

birahi dalam setahun dapat diamati, namun waktu-waktu ini bervariasi dari<br />

satu daerah ke daerah lainnya. Meskipun dalam musim birahi, rusa-rusa yang<br />

berada dalam tahap siklus seksual lainnya masih dapat ditemukan.<br />

Meskipun hidup bersama dalam satu kelompok, setiap rusa mengikuti<br />

siklus seksualnya masing-masing. Berdasarkan beberapa hasil penelitian,<br />

terdapat kaitan erat antara musim birahi dengan terlepasnya tanduk-<br />

tanduk/ranggah rusa.<br />

Masa birahi dimulai segera setelah ranggah rusa tumbuh sempurna dan<br />

ditandai dengan terkelupasnya velvet yang membungkus tanduk. Masa birahi<br />

ini lebih dari satu bulan. Hoogeerwerf (1970) menyebutkan bahwa musim<br />

birahi rusa di Jawa Barat berlangsung antara bulan Juli hingga September dan<br />

periode terkelupasnya velvet diperkirakan pada bulan Juni dan Juli. Musim<br />

birahi ini kelihatan sangat jelas ketika jumlah rusa-rusa betina yang berada<br />

dalam keadaan birahi mencapai puncaknya. Hal ini menunjukkan bahwa<br />

musim birahi ditentukan dan dipacu oleh rusa betina.<br />

Musim birahi berakhir pada saat semua betina yang berada dalam<br />

keadaan birahi telah mendapatkan pasangannya. Sementara betina-betina<br />

yang baru mencapai birahi setelah musim ini selesai, kemungkinan hanya<br />

11


Pakan<br />

akan dilayani oleh rusa-rusa jantan yang “abnormal” siklusnya, bahkan tidak<br />

semua betina seperti ini akan mendapat pasangan.<br />

Suksesnya suatu usaha penangkaran satwa antara lain ditunjang oleh pakan<br />

yang berkualitas yang mampu diberikan oleh pemeliharanya. Secara umum<br />

bahan makanan seluruh jenis rusa di Indonesia adalah sama, yaitu rerumputan,<br />

pucuk daun dan tumbuhan muda. Namun demikian karakteristik pakan untuk<br />

Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) adalah pakan utama rumput, daun<br />

muda dan buah-buahan yang jatuh (Maradjo, 1978) dalam Thohari, et al. (1991).<br />

Pakan rusa selain dari rerumputan dan hijuan lainnya sebagai tambahannya<br />

dapat berupa konsentrat, sayur-mayur, umbi-umbian atau limbah pertanian<br />

(Semiadi dan Nugraha, 2004).<br />

Semiadi (1998), menyatakan bahwa hijauan yang dimakan rusa adalah :<br />

Imperata cylindrica, Sacharum spontaneum, Paspalum sp., Leersia hexandra,<br />

Cynodon dactylon, Eleusine indica, Anastrophus compressus, Kyllinga mono-<br />

chephala, Cyperus rotundus, Fimbristylis annua, Ficus sp., Berechtites hieradi-<br />

folia, Centella asiatica dan Crotalaria anaqryoides.<br />

Pada pemeliharaan rusa dengan sistim Deer Farming, beberapa hal yang<br />

perlu diperhatikan dalam pengadaan pakan adalah :<br />

1. Daya dukung habitat<br />

Daya dukung adalah jumlah individu satwaliar dengan kualitas tertentu<br />

yang dapat didukung oleh habitat tanpa menimbulkan kerusakan terhadap<br />

sumberdaya habitat (Bailey, 1984). Menurut Dasmann (1964), Moen (1973)<br />

dan Boughey (1973) dalam Alikodra (2002), daya dukung lingkungan adalah<br />

jumlah satwa liar yang dapat ditampung oleh suatu habitat; batas (limit) atas<br />

pertumbuhan suatu populasi, yang diatasnya jumlah populasi tidak dapat<br />

berkembang lagi; jumlah satwa liar pada suatu habitat yang dapat mendukung<br />

kesehatan dan kesejahteraannya.<br />

Daya dukung akan tercapai apabila pertumbuhan suatu populasi lambat<br />

laun akan menurun dan akhirnya berhenti bertumbuh. Hal ini disebabkan<br />

12


karena pertumbuhan populasi dipengaruhi oleh faktor-faktor persaingan,<br />

terbatasnya ruangan dan makanan (Tarumingkeng, 1994).<br />

Menurut Syarief (1974), besarnya daya dukung suatu areal dapat<br />

dihitung melalui pengukuran salah satu faktor habitat. Untuk menghitung<br />

produktivitas hijauan berupa padang rumput dapat menggunakan cara yang<br />

diperkenalkan oleh Mc. Ilroy Tahun 1964 yaitu dengan pemotongan hijauan<br />

dari suatu luasan padang rumput sebagai sampel, menimbangnya dan dihitung<br />

produksi per unit luas per unit waktu.<br />

Menurut Brown (1954) dalam Susetyo (1980), hijauan yang ada di<br />

lapangan tidak seluruhnya tersedia bagi satwa, tetapi harus ada sebagian yang<br />

ditinggalkan untuk menjamin pertumbuhan selanjutnya dan pemeliharaan<br />

tempat tumbuh. Bagian hijauan yang dapat dimakan oleh satwa disebut<br />

proper use. Susetyo (1980) menyatakan bahwa faktor yang paling<br />

berpengaruh terhadap proper use suatu padang penggembalaan adalah<br />

topografi. Karena hal itu sangat membatasi ruang gerak satwa. Proper use<br />

pada lapangan datar dan bergelombang (kemiringan 0 – 5 o ) adalah 60 –<br />

70%, lapangan bergelombang dan dan berbukit (kemiringan 5 – 23 o ) adalah<br />

40 – 45% dan lapangan berbukit sampai curam (kemiringan lebih dari 23 o )<br />

proper use-nya adalah 25 – 30%.<br />

Menurut Susetyo (1980) apabila daya dukung suatu kawasan dihitung<br />

per hari, maka besarnya daya dukung dapat dihitung dengan menggunakan<br />

rumus sebagai berikut :<br />

Daya dukung<br />

2. Kebutuhan hidup<br />

Produksi hijauan pakan per ha x proper use x luas areal<br />

=<br />

Kebutuhan pakan per ekor per hari<br />

Kebutuhan hidup bagi setiap satwa memerlukan hal yang sangat penting<br />

sekali untuk dapat mempertahankan hidupnya. Beberapa hal yang menyang-<br />

kut kebutuhan hidup bagi seekor satwa antara lain makan, minum dan garam<br />

mineral.<br />

13


Kebutuhan makan bagi seekor rusa dapat diartikan sebagai kebutuhan<br />

akan kalori setiap hari. Energi ini sangat diperlukan untuk hidup dan per-<br />

tumbuhannya, mengganti bagian-bagian tubuh yang mati dan untuk<br />

reproduksi.<br />

Rusa tergolong pada hewan memamah biak dengan makanannya berupa<br />

rerumputan, daun-daun muda dan bahkan buah-buahan yang jatuh. Dalam<br />

pemenuhan kebutuhan pakan rusa hal yang harus diperhatikan adalah jumlah<br />

dan kualitas pakan. Kualitas pakan ditentukan oleh komposisi/kandungan zat<br />

gizi di dalam bahan pakan, dimana komposisi ini harus sesuai dengan<br />

kebutuhan hidup satwa.<br />

Berdasarkan sifat, kimia dan biologis zat gizi yang diperlukan oleh<br />

satwa terdiri dari air, protein, lemak karbohidrat, zat-zat organik dan vitamin.<br />

Home Range<br />

Menurut Boughey (1973), Pyke (1983) dan Van Noordwijk (1985),<br />

wilayah yang dikunjungi satwaliar secara tetap karena dapat mensuplai makanan,<br />

minuman serta mempunyai fungsi sebagai tempat berlindung, tempat kawin<br />

disebut wilayah jelajah (home range). Tempat-tempa tminum dan mencari makan<br />

pada umumnya lebih longgar dipertahankan dalam pemanfaatannya, sehingga<br />

satu tempat minum ataupun makan seringkali dimanfaatkan secara bergantian<br />

ataupun sama-sama oleh beberapa spesies satwaliar.<br />

Jika secara sepintas kita mengamati kehidupan satwaliar di habitat<br />

alamnya, akan diperoleh kesan bahwa mereka bergerak dari satu tempat ke tempat<br />

lainnya tanpa aturan. Akan tetapi jika diperhatikan secara teliti, akan terlihat<br />

bahwa mereka melakukan pergerakan secara teratur.<br />

Menurut Alikodra (2002), kapan satwaliar bergerak, apa dan kemana<br />

tujuannya merupakan fenomena alam, tetapi faktor spesies, musim dan kondisi<br />

lingkungannya, termasuk campur tangan manusia sangat menentukan pola<br />

pergerakan satwaliar tersebut.<br />

14


Menurut Dasmann (1981), di Arizona beberapa wilayah jelajah (home<br />

range) dari rusa merah lebih dari 1.200 ha. Sedangkan di bagian Barat Daya<br />

Texas dilaporkan bahwa rata-rata wilayah jelajah dari rusa merah adalah 700 ha.<br />

Deer Farming<br />

Deer Farming adalah suatu usaha penangkaran/pemeliharaan rusa yang<br />

dilakukan secara semi-intensif, dimana sebagian besar kebutuhan hidup bagi rusa<br />

diatur dan dikendalikan oleh manusia. Kebutuhan hidup rusa yang dimaksud<br />

adalah kebutuhan ruangan, makanan, minuman, tempat perlindungan (shelter),<br />

kesehatan sampai perkembangbiakannya.<br />

Menurut Yerex dan Spiers (1987), deer farming merupakan suatu usaha<br />

menternakkan rusa secara komersil dengan tujuan utama adalah mencari<br />

keuntungan dari produksi berupa daging dan velver/ranggah. Selain itu juga<br />

menyediakan rusa untuk perburuan dan juga pembibitan.<br />

Pada pemeliharaan rusa dalam jumlah yang banyak dan sudah diarahkan<br />

pada usaha yang komersil, maka sistem pemeliharaan yang sesuai adalah dengan<br />

sistem pedok, dimana pedok juga berfungsi sebagai tempat tinggal yang dibatasi<br />

oleh pagar, maka dalam pedok harus pula tersedia sumber air minum dan naungan<br />

yang cukup, sementara kebutuhan pakan dapat dicukupi dari luar areal (Semiadi<br />

dan Nugraha, 2002).<br />

Perancangan Tapak (Site Planning)<br />

Menurut Hakim dan Utomo (2002), proses perancangan yang sistematik<br />

pada garis besarnya terbagi menjadi dua bagian, yaitu tahapan Programing dan<br />

tahapan Design, dimana pada tahapan programing ditekankan pada<br />

penganalisisan segala aspek yang terkait pada rancangan hingga menghasilkan<br />

konsep sistematik yang nantinya menjadi landasan pada tahapan Design<br />

Depelopment. Sedangkan tahapan design dititik beratkan pada bagiamana<br />

merancang penerapan dari konsep-konsep yang telah dihasilkan.<br />

Root (1985), menyatakan bahwa untuk dapat mengembangkan suatu<br />

perancangan tapak secara sistematis ada beberapa faktor yang harus diperhatikan,<br />

15


yaitu ; (1) faktor alam, meliputi kontur, vegetasi dan ruangan terbuka, dan (2)<br />

faktor pelaksanaan, meliputi analisis sumberdaya, analisis lokasi, analisis<br />

penggunaan, analisis pengembangan dan rancangan induk secara menyeluruh.<br />

Perancangan tapak untuk pembuatan desain penangkaran rusa timor<br />

(Cervus timorensis de Blainville) dengan sistem “Farming” dilakukan atas<br />

berbagai masukan data dan informasi, baik yang bersifat primer maupun<br />

sekunder.<br />

Menurut Thohari et al. (1991), pada dasarnya terdapat tiga komponen<br />

penting yang perlu dipertimbangkan dalam perancangan tapak, yaitu :<br />

1. Kondisi bio-fisik tapak kegiatan penangkaran yang direncanakan, seperti<br />

topografi, ketersediaan air, kondisi vegetasi, tanah, elevasi, iklim dan<br />

sebagainya.<br />

2. Sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam suatu usaha penangkaran<br />

3. Bio-ekologi rusa timor (Cervus timorensis de Blainville)<br />

Berdasarkan hasil analisis dari ketiga komponen tersebut, selanjutnya<br />

dilakukan penentuan batas-batas zona pengembangan (zonasi) dengan<br />

mempertimbangkan faktor-faktor pembatas kegiatan dan efisiensi<br />

pengelolaannya. Sebelum itu untuk meningkatkan kemampuan tapak guna<br />

mendukung pembangunan dan pengembangannya, dilakukan peningkatan<br />

kualitas tapak dengan berbagai cara, antara lain : pemenuhan kebutuhan<br />

penangkaran, penanaman pohon-pohon pelindung, perbaikan topografi,<br />

pembuatan saluran drainase dan lain sebagainya.<br />

Menurut Hakim dan Utomo (2002), data yang perlu diketahui untuk<br />

perancangan tapak adalah meliputi luas seluruh tapak, keadaan dan sifat tanah,<br />

geologi, hidrologi, iklim, curah hujan, topografi dan vegetasi.<br />

Dari semua data serta pertimbangan pengelolaan, dibuatlah alternatif<br />

tapak untuk masing-masing penggunaan yang selanjutnya akan menghasilkan satu<br />

alternatif terpilih yang paling layak dikembangkan berdasarkan peruntukan,<br />

biaya, waktu dan tenaga pengembangannya. Setelah kita memahami karakteristik<br />

tapak, maka langkah selanjutnya adalah memasukkan program aktivitas yang<br />

direncanakan ke dalam tapak dengan pertimbangan kondisi dan karakter tapak<br />

16


tersebut. Kemudian tahap selanjutnya adalah melakukan perancangan tapak yang<br />

meliputi penataan letak semua sarana dan prasarana di masing-masing zona<br />

pengembangan.<br />

Lanskap<br />

Lanskap adalah karakter total dari suatu wilayah (von Humbolt dalam<br />

Ferina, 1998). Lanskap adalah konfigurasi partikel topografi, tanaman penutup,<br />

permukaan lahan dan pola kolonisasi yang tidak terbatas, beberapa koherensi dari<br />

kealamian dan proses kultural dan aktifitas (Green dalam Ferina, 1998). Harber<br />

membatasi lanskap sebagai sebuah potongan lahan yang diamati seluruhnya,<br />

tanpa melihat dekat pada komponen-komponennya (Pers Com dalam Ferina,<br />

1998).<br />

Definisi terakhir ini lebih cocok untuk membatasi lanskap sebagai penga-<br />

matan seluruh organisme dari tanaman sampai hewan. Hal yang paling penting<br />

dalam pengelolaan lanskap adalah evaluasi nilai lanskap dan menemukan kriteria<br />

dengan cara mengevaluasi komponen-komponennya.<br />

Ekologi Lanskap dapat berguna bagi konservasi alam karena menyangkut<br />

pemikiran dari pengaturan habitat, pemikiran konsekuensi struktur dan proses<br />

untuk spesies yang berbeda. Terdapat tiga pandangan dalam ekologi lanskap<br />

(Ferina, 1998) antara lain: (1) Manusia: Pada perspektif manusia. Lanskap adalah<br />

dikelompokkan pada fungsi utama yang mempunyai arti untuk kehidupan<br />

manusia, (2) Geobotanical: Distribusi spatial dari komponen lingkungan abiotik<br />

dan biotik, dari lanskap tanah sampai yang didekati oleh tanaman, dan pada<br />

distribusi tanaman utama sebagai komunitas, tanah hutan dan sebagainya dan (3)<br />

Hewan: Pandangan akhir ini konsepnya dihubungkan dengan pengamatan lanskap<br />

manusia, walaupun terdapat perbedaan subs-tantial dalam mendekati secara<br />

langsung.<br />

Masing-masing dari tiga pendekatan ini mengamati pola-pola dan proses-<br />

proses dalam analisa akhir, yang komponen-komponennya dari seluruh sistem<br />

biologi dan sistem ekologi. Dari tiga pandangan ini kita dapat mengkombi-<br />

17


nasikan teori-teori, paradigma, dan model-model yang dihasilkan oleh pendekatan<br />

monodisipliner.<br />

Terdapat sejumlah cara untuk mengukur beberapa hal pokok yang<br />

mendukung sebuah perencanaan lanskap. Pendekatan lanskap ini sangat<br />

bervariasi, sehingga tidak mungkin membahasnya secara keseluruhan dan<br />

mengacu kepada metodologi standart. Kebanyakan pendekatan itu berasal dari<br />

geostatistik, geobotanik, analisa populasi satwa, perilaku ekologi dan sebagainya.<br />

Cara-cara yang paling banyak digunakan untuk menjelaskan kerumitan<br />

suatu lanskap adalah melalui pencitraan sistem informasi geografi. Statistik ruang<br />

dan geometri per bagian. Peta-peta, foto udara dan citra satelit biasanya dilakukan<br />

sebelum dan sesudah suatu lahan dicatat atau di data. Namun hal tersebut banyak<br />

mengalami bias (penyimpangan) yang disebabkan oleh waktu, resolusi, dan<br />

kualitasnya.<br />

Pengolahan data mengenai ruang merupakan inti dari ekologi lanskap.<br />

Terdapat dua tipe informasi yang diproses dalam analisa, yaitu; Path dan<br />

Lanskap. Tipe pertama adalah dimana analisa lebih banyak difokuskan dalam<br />

berbagai ukuran bentuk dan pengaturan ruang dari setiap potongan yang ada. Tipe<br />

yang kedua lebih rumit, karena difokuskan kepada land mozaik (bentukan tanah).<br />

Pendekatan terhadap studi bentuk path ini sangat penting karena keter-<br />

aturan dan ketidakteraturan bentuk path tersebut merupakan konsekuensi-<br />

konsekuensi yang terdapat pada organisme. Jika kita asumsikan lingkaran<br />

merupakan bentukan path yang umum, semakin tidak beraturannya sebuah path<br />

semakin banyak tepian dan semakin berkurang area didalamnya yang tersedia.<br />

Sebuah path yang tidak teratur memiliki lebih banyak proses yang heterogen<br />

dibandingkan yang teratur. Kesesuaian habitat, resiko pemangsa dan tekanan<br />

iklim mikro merupakan beberapa konsekuensi langsung dari bentuk path yang<br />

tidak teratur.<br />

Penelusuran batas pada lanskap bukanlah suatu hal yang mudah, bahkan<br />

akhir dari berbagai habitat atau tipe lahan bukan sebagai batas sesungguhnya.<br />

Sementara batas-batas cukup sempit dan tingkat kepadatan habitat tinggi,<br />

sehingga sangat sulit menemukan antara batas struktur dan batas fungsi.<br />

18


Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville)<br />

Landasan Kebijakan<br />

Penangkaran satwaliar merupakan salah satu program pelestarian dan<br />

pemanfaatan satwaliar, baik untuk tujuan konservasi maupun ekonomi. Dalam<br />

hal ini penangkaran rusa termasuk salah satu upaya pelestarian dan pemanfaatan<br />

berdasarkan prinsif kelestarian hasil.<br />

Undang-undang dan peraturan tentang pelestarian pemanfaatan satwaliar<br />

yang digunakan sebagai dasar dan arahan bagi usaha pengembangan penagkaran<br />

rusa adalah :<br />

1. Undang Undang Republik Indonesia (RI) No. 5 Tahun 1990 tentang<br />

Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.<br />

2. Undang Undang Republik Indonesia (RI) No. 23 Tahun 1997 tentang<br />

Pengelolaan Lingkungan Hidup.<br />

3. Undang Undang Republik Indonesia (RI) No. 41 Tahun 1999 tentang<br />

Kehutanan.<br />

4. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 86/Kpts/II/1983 yang mengatur<br />

tentang pemanfaatan sumberdaya alam (satwaliar dan tumbuhan alam), baik<br />

di dalam maupun luar negeri dan disesuaikan dengan ratifikasi/pengesahan<br />

Konvensi Internasional tentang Perdagangan Satwa Liar dan Tumbuhan<br />

Langka (CITES) yang tertuang dalam Keputusan Presiden No. 43 Tahun<br />

1978.<br />

5. Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan<br />

dan Satwa.<br />

6. Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis<br />

Tumbuhan dan Satwa.<br />

Perizinan<br />

Penangkaran adalah upaya perbanyakan melalui pengembang-biakan dan<br />

perbesaran tumbuhan dan satwa liar dengan tetap mempertahankan kemurnian<br />

jenisnya. Penangkaran dapat dilakukan terhadap jenis tumbuhan dan satwa liar<br />

yang dilindungi atau yang tidak dilindungi.<br />

19


Setiap orang, Badan Hukum, Koperasi atau Lembaga Konservasi yang<br />

mengajukan permohonan untuk melakukan kegiatan penangkaran wajib<br />

memenuhi persyaratan sebagai berikut :<br />

1. Mempekerjakan dan memiliki tenaga ahli dibidang penangkaran jenis yang<br />

bersangkutan<br />

2. Memiliki tempat dan fasilitas penangkaran yang memenuhi syarat-syarat<br />

teknis<br />

3. Membuat dan menyerahkan proposal kerja<br />

Berdasarkan SK Dirjen PHPA No. 07/Kpts/DJ-VI/1988 tentang<br />

Penangkaran Satwaliar dan Tumbuhan Alam, maka untuk memperoleh izin usaha<br />

penangkaran satwaliar dan tumbuhan alam adalah sebagai berikut :<br />

1. Pengajuan permohonan ke Dirjen PHPA dengan tembusan ke Kakanwil<br />

Kehutanan Propinsi dan BKSDA, dengan melampirkan SIUP (Surat Izin<br />

Usaha Perdagangan) dan SITU (Surat Izin Tempat Usaha) dari Departemen<br />

Perdagangan dan Berita Acara Pemeriksaan Persiapan Teknis Penangkaran.<br />

2. Pemeriksaan oleh Kanwil Kehutanan dan BKSDA Propinsi Dati I<br />

3. Berdasarkan lampiran, maka dikeluarkan rekomendasi penangkaran dari<br />

Kanwil Kehutanan ke Dirjen PHPA<br />

4. Dirjen PHPA mengeluarkan izin usaha penangkaran yang berlaku selama<br />

maksimum 5 tahun untuk usaha non komersial dan 10 tahun untuk usaha<br />

komersial dan dapat diperpanjang setelah habis masa berlaku.<br />

Secara lengkap alur prosedur perizinan penangkaran satwa liar dan<br />

tumbuhan alam dapat dilihat pada Gambar 3.<br />

20


Gambar 3. Prosedur perizinan penangkaran satwa liar dan tumbuhan alam<br />

berdasarkan SK Dirjen. PHPA No. 07/Kpts/DJ-VI/1988.<br />

Teknik Penangkaran<br />

1. Adaptasi<br />

Menurut Setiadi dan Tjondronegoro (1989), adaptasi adalah setiap sifat<br />

atau bagian yang dimiliki organisme yang berfaedah bagi kelanjutan hidupnya<br />

pada keadaan sekeliling habitatnya. Adaptasi dapat dinyatakan sebagai suatu<br />

kemampuan individu untuk mengatasi keadaan lingkungan dan menggunakan<br />

sumber-sumber alam lebih baik untuk mempertahankan hidupnya dalam<br />

relung (niche) yang diduduki.<br />

PEMOHON<br />

(Perorangan, Badan Usaha, Koperasi,<br />

Lembaga Ilmiah, Lembaga Konservasi)<br />

NON KOMERSIL KOMERSIL<br />

Dilampiri dengan :<br />

1. Surat tidak keberatan dari<br />

Lurah Setempat<br />

2. SIUP<br />

3. Berita Acara pemeriksaan dari<br />

Balai/Sub Balai KSDA<br />

4. Akta Pendirian perusahaan<br />

Kepala Kantor Wilayah<br />

DEPHUTBUN<br />

Izin Usaha Penangkaran<br />

Non Komersial<br />

(Masa berlaku 5 tahun)<br />

Dilampiri dengan :<br />

1. SIUP dan SITU<br />

2. Berita Acara pemeriksaan<br />

dari Balai/Sub Balai KSDA<br />

3. Akta Pendirian perusahaan<br />

Direktur Jenderal<br />

PHPA<br />

Izin Usaha Penangkaran<br />

Komersial<br />

(Masa berlaku 10 tahun)<br />

Secara alami rusa termasuk satwa yang mempunyai kemampuan<br />

adaptasi lingkungan yang sangat tinggi. Di lingkungan yang banyak aktivitas<br />

manusia, bahkan di lingkungan dengan kondisi makanan yang jelek sekalipun<br />

rusa mampu beradaptasi dengan baik. Meskipun demikian diperlukan<br />

perhatian dan penanganan maupun latihan yang baik dan teratur untuk<br />

21


mencegah kemungkinan yang tidak diinginkan seperti terjadinya stres,<br />

serangan penyakit dan kematian, sehingga dapat mengoptimalkan manfaat<br />

yang diperoleh.<br />

Menurut Thohari et al., (1991), salah satu cara yang dapat dilakukan<br />

untuk mempermudah penanganan rusa yang baru ditangkap ke tempat<br />

penangkaran adalah dengan menempatkan rusa dalam kandang yang gelap<br />

dan relatif tidak luas. Pedok ini dapat dibagun dalam pedok karantina.<br />

Disamping itu untuk membiasakan rusa terhadap penggiringan dapat<br />

dilakukan dengan melatih secara teratur dalam waktu tertentu dengan<br />

memperlihatkan tanda-tanda tertentu (bendera atau suara).<br />

Usaha pengadaptasian ini selain ditujukan pada rusa-rusa yang telah ada<br />

di lokasi penangkaran guna mempermudah penanganannya, juga diperlakukan<br />

pada rusa-rusa yang baru didatangkan dari luar areal penangkaran. Untuk<br />

rusa-rusa yang baru didatangkan dari luar areal penagkaran, langkah<br />

pengadaptasian ini dilakuka di pedok karantina selama 1 – 2 minggu, selain<br />

untuk tujuan adaptasi juga untuk mencegah kemungkinan penyakit yang<br />

dibawanya.<br />

2. Pengembangbiakan<br />

Dalam usaha penangkaran, masalah pengembangbiakan memegang<br />

peranan yang sangat penting, karena dasar keberhasilan usaha penangkaran<br />

terletak pada keberhasilan reproduksinya. Ada tiga cara yang dapat dilakukan<br />

dalam upaya pengembangbiakan rusa di penangkaran, yaitu :<br />

a. Secara alamiah<br />

Dengan membiarkan rusa kawin dan berkembangbiak tanpa campur<br />

tangan manusia.<br />

b. Secara semi alamiah<br />

Sistim perkawinan rusa diatur manusia, antara lain dengan mengatur<br />

perbandingan jumlah jantan. Menurut Semiadi dan Nugraha (2004),<br />

imbangan kelamin untuk rusa tropis adalah 1 : 6 – 10, tetapi pada<br />

pemeliharaan yang lebih intensif dapat mencapai 1 : 20.<br />

22


c. Secara inseminasi buatan (IB)<br />

Sistim perkawinan rusa yang tidak banyak memerlukan pejantan.<br />

Beberapa pejantan yang baik ditampung semennya. Dengan beberapa<br />

perlakuan tertentu, selanjutnya dapat dilakuan perkawinan secara buatan<br />

yang biasa disebut dengan sistim AI (Artificial Insemination). Sistem<br />

perkawinan secara inseminasi buatan dalam dunia rusa awalnya hanya<br />

untuk kepentingan penelitian, yang dimulai tahun 1980 dan meluas sejalan<br />

dengan berkembangnya industri pembibitan rusa yang mengharapkan<br />

diperolehnya pejantan unggul dalam waktu singkat dan efisien.<br />

Komersialisasi pelayanan IB ditingkat pembibitan dimulai tahun 1986an,<br />

tetapi untuk tingkat komersil masih terlalu mahal. Saat ini kegiatan IB<br />

pada rusa di Indonesia masih untuk tujuan penelitian dalam rangka<br />

pemahaman sifat reproduksi rusa tropis, tetapi sosialisasi telah pula<br />

dilakukan di beberapa penangkar yang akan diarahkan menjadi penangkar<br />

pembibit rusa.<br />

Agar dapat diperoleh kualitas keturunan yang baik, dalam usaha<br />

penangkaran perlu dilakukan pemilihan induk dan pejantan yang baik.<br />

Untuk itu dalam jangka panjang usaha penangkaran harus mendasarkan<br />

pada sistim seleksi yang benar. Untuk mendukung pelaksanaan seleksi<br />

yang benar maka perlu dilakukan pencatatan (recording ) yang benar,<br />

terhadap individu rusa yang ada di dalam penangkaran, terutama individu<br />

yang akan dijadikan bibit.<br />

3. Seleksi Bibit<br />

Untuk memperoleh keturunan yang baik, didalam usaha penagkaran rusa<br />

perlu diperhatikan pemilihan induk-induk dan pejantan rusa yang baik. Oleh<br />

karenanya dalam jangka panjang, penangkaran rusa hendaknya mengarah<br />

pada sistim seleksi yang benar serta sistim pencatatan (recording) setiap<br />

individu yang ada dipenangkaran.<br />

adalah :<br />

Dasar seleksi yang dapat diterapkan dalam pemilihan bibit diiantaranya<br />

a. Berdasarkan silsilah/keturunan (Pedegree)<br />

yaitu pemilihan bibit yang didasarkan atas tetuanya yang mempunyai<br />

produksi dan kualitas performen yang baik, misalnya jelas induknya,<br />

pejantannya, tidak cacat atau kelainan genetis lainnya.<br />

23


. Berdasarkan penampilan (Performen)<br />

yaitu pemilihan bibit yang didasarkan atas penampilan bentuk luar dari<br />

rusa calon bibit, misalnya mempunyai pertumbuhan yang baik, tidak<br />

cacat, relatif jinak, bulu halus.<br />

c. Berdasarkan uji keturunan (Uji Zuriat)<br />

yaitu pemilihan bibit khususnya pejantan yang didasarkan atas<br />

produkstivitas keturunannya. Seleksi ini memerlukan waktu yang cukup<br />

panjang<br />

4. Perawatan Kesehatan dan Penyakit<br />

Kesehatan rusa di penangkaran dipengaruhi oleh banyak faktor, antara<br />

lain kondisi lingkungan, makanan, pola manajemen, serta kelainan<br />

metabolisme. Perawatan kesehatan dan pengobatan penyakit secara baik dan<br />

lebih dini akan mendukung keberhasilan usaha penangkaran tersebut.<br />

Untuk menghindari kemungkinan berjangkitnya penyakit perlu<br />

mendapat perhatian, khususnya yang berkaitan dengan pencegahannya,<br />

misalnya : melalui vaksinasi disamping pemeriksaan mulut maupun injeksi.<br />

Dalam hal ini rusa yang baru datang dari luar loksi penangkaran dan anak-<br />

anak rusa yang baru lahir segera diberi vaksin anti cacing dan penyakit<br />

lainnya.<br />

Beberapa jenis parasit yang menyerang rusa diantaranya adalah :<br />

eksternal parasit (lalat hijau dan caplak), internal parasit (cacing<br />

paru/Dictyocaulus spp.), sedangkan penyakit yang perlu mendapat perhatian<br />

adalah : luka pada lambung dan usus, Salmonelosisi, Pnumonia, Malignant<br />

Catarhal Fever, Brucellosis, Tuberculosis, Capture myopathy, Antraks serta<br />

gangguan metabolisme misalnya keracunan.<br />

5. Pembangunan Padang Pengembalaan dan Kebun Rumput<br />

Usaha penangkaran tidak dapat dipisahkan dengan ketersediaan<br />

pakannya. Ketersediaan pakan ini berupa pakan utama (rumput dan hijauan<br />

yang lain) serta pakan tambahan yang dapat berupa ubi-ubian, dedak maupun<br />

pakan konsentrat.<br />

24


Sebagai ruminansia, rusa membutuhkan sebagian besar makanan berupa<br />

rumput. Oleh karena itu, untuk mendukung keberhasilan usaha penangkaran<br />

perlu adanya padang rumput. Padang rumput merupakan suatu lahan yang<br />

didomonasi oleh berbagai tipe tumbuhan terutama jenis rumput-rumputan dan<br />

tumbuhan herba yang lain. Dalam hal usaha penangkaran, keberadaan padang<br />

rumput merupakan sumber pakan hijauan utama bagi rusa yang ditangkarkan.<br />

Beberaqpa jenis rumput yang dapat dijadikan sebagai rumput padang<br />

penggembalaan antara lain rumput Bracihiaria brizanta, rumput Australia<br />

(Paspalum dilatatum), rumput kolonjono (Brachiaria mutica), Brachiaria<br />

decumbens, Panicum maximum dan Setaria sphacelata. Sedangkan untuk<br />

jenis leguminosa antara lain stylo (Sthylosanthes guyanensis), Arachis<br />

hypogea dan kerabatnya serta pohon lamtoro (Leucaena leucosephala) dan<br />

turi (Sesbania grandiflora) yang sekaligus dapat dijadiken sebagai pohon<br />

peneduh.<br />

6. Pedok<br />

Dalam sistim penangkaran rusa skala besar dapat diterapkan pola Deer<br />

Farming. Rusa ditempatkan dalam kelompok-kelompok dalam suatu pedok<br />

yang ukurannya disesuaikan dengan jumlah rusa yang ada.<br />

Keadaan topografi tidak terlalu berpengaruh, sebab rusa termasuk<br />

satwa yang mudah beradaptasi dalam kondisi topografi yang cukup bervariasi.<br />

Namun keadaan topografi yang curam merupakan faktor pembatas bagi<br />

pembuatan jalan, baik untuk koridor maupun jalan bagi kendaraan angkut.<br />

Pada sistem pedok banyak hal yang perlu diperhatikan dalam<br />

pembangunannya. Ini tidak lain karena pada umumnya dalam sistim pedok<br />

luasan lahan yang digunakan adalah besar. Beberapa hal penting yang perlu<br />

diperhatikan adalah :<br />

a. Lokasi pedok<br />

Penentuan loksai pedok memegang peranan penting demi kelancaran<br />

segala kegiatan yang berhubungan dengan penangkaran rusa itu sendiri.<br />

25


. Bentuk Pedok<br />

Bentuk pedok perlu disesuaikan dengan keadaan topografi. Pedok yang<br />

memanjang lebih memudahkan dalam hal penggiringan rusa keluar dari<br />

pedok. Tetapi pada pedok berbentuk persegi empat akan mengurangi<br />

rusa untuk bergerombol di satu sisi, sehingga mengurangi tingkat erosi<br />

atau kerusakan area rumput.<br />

c. Luasan pedok<br />

Penentuan luas pedok berkaitan dengan jumlah pedok yang akan dibuat,<br />

kemudahan pengelolaan rusa dan jumlah rusa yang akan dipelihara.<br />

Satuan pedok hendaknya tidak terlalu luas. Idealnya yang terbesar<br />

sekitar 1,5 – 2,0 ha, yang sedang 0,3 – 1,0 ha dan pedok berukuran kecil<br />

sekitar 50 - 200 m 2 . Secara garis besar kepadatan rusa pada padang<br />

penggembalaan yang cukup subur berkisar antara 12 – 15 ekor/ha untuk<br />

rusa dewasa atau untuk rusa remaja (< 2 tahun) sekitar 15 – 20 ekor/ha<br />

(Semiadi dan Nugraha, 2004).<br />

d. Pintu dan jalan/gang pedok<br />

Setiap pedok harus dihubungkan dengan pintu untuk menuju pedok lain.<br />

Selain itu perlu dibuat jalan/gang tersendiri dari pedok terjauh menuju<br />

kandang kerja atau pedok lainnya dengan tidak melewati pedok di<br />

sebelahnya. Dalam penempatan pintu pedok sebaiknya berada di salah<br />

satu sudut pagar pedok, hal ini untuk mempermudah saat melakukan<br />

penggiringan rusa ke pedok yang lainnya.<br />

e. Naungan<br />

Naungan baik yang alami maupun yang buatan sangat diperlukan bagi<br />

rusa yang berasda di pedok. Di alam bebas naungan akan dicari sendiri<br />

oleh rusa manakala diperlukan, tetapi di dalam pedok rusa harus dapat<br />

menerima apa adanya. Oleh sebab itu untuk menghindari stres bahkan<br />

penurunan produksi akibat ketidak nyamanan cuaca yang ekstrim<br />

(panas, hujan), maka ketersediaan naungan perlu diperhatikan. Naungan<br />

tidaklah harus berupa atap seluruhnya (buatan) atau pohon khusus di<br />

dalam pedok. Tetapi dapat dikemas sebagai bagian dari strategi<br />

pengadaan hijauan pakan, seperti penanaman pohon disepanjang pagar,<br />

26


f. Pagar<br />

dimana kerindangan kanopi dahan dapat berfungsi sebagai naungan dan<br />

daunnya dapat dimanfaatkan sebagai hijauan tambahan.<br />

Sebagai pembatas antara pedok dengan dunia luar atau antara pedok<br />

yang satu dengan pedok lainnya diperlukan pemagaran. Konstruksi<br />

kandang harus kuat, sehingga dapat menjaga kenyamanan rusa yang ada<br />

di dalamnya. Bahan yang dapat dipakai diataranya adalah anyaman<br />

kawat dengan tinggi pagar untuk pemisah antara pedok dengan dunia<br />

luar ± 2,0 m dan pagar didalam (antar pedok) ± 1,75 – 2,0 m. Khusus<br />

pada pedok untuk kelahiran/pedok anak dijaga betul kerapatannya,<br />

sehingga anak rusa tidak dapat keluar atau tidak ada hewan liar yang<br />

masuk ke dalam pedok untuk mengganggu atau memangsa anak-anak<br />

rusa. Namun demikian pagar tidah harus terbuat bdari anyaman kawat<br />

melainnkan dapat terbuat dari bahan lain, misalnya anyaman bambu,<br />

yang penting fungsi sebagai pagar dapat terpenuhi, yaitu melindungi<br />

rusa yang ada di dalamnya dari gangguan dunia luar atau menjaga agar<br />

rusa tidak melarikan diri.<br />

g. Jenis Pedok<br />

Dalam usaha penangkaran dikembangkan beberapa macam pedok,<br />

yaitu : (a) pedok karantina, (b) pedok induk, (c) pedok pejantan, (d)<br />

pedok perkawinan (e) pedok anak dan (f) pedok terminal.<br />

Kelayakan Ekonomi Usaha Penangkaran Rusa<br />

Menurut Gray (1993), salah satu cara mencari ukuran yang menyeluruh<br />

sebagai dasar penerimaan atau perolehan suatu usaha, maka dilakukan analisa<br />

kriteria investasi.<br />

Analisis finansial dilakukan dengan menggunakan discounted cash flow.<br />

Untuk proyek-proyek yang dibiayai dari dana swasta (private investor) maka<br />

analisis/evaluasinya dititik beratkan pada hasil analisis finansial. Dalam hal ini<br />

rencana investasi ditinjau dari segi cash-flow, yakni perbandingan antara hasil<br />

penjualan kotor (gross-sales) dengan jumlah biaya-biaya (total cost). Bila<br />

menunjukkan net benefit positif (profit) maka rencana investasi tersebut<br />

27


dilanjutkan, sedangkan bila menunjukkan net benefit negatif (rugi) maka rencana<br />

investasi tersebut dibatalkan. Nilai-nilai yang dihitung mencakup NPV, IRR dan<br />

BCR. Persamaan yang digunakan untuk menentukan nilai-nilai tersebut adalah<br />

sebagai berikut (Djamin, 1992) :<br />

1. Net Present Value (NPV)<br />

Keuntungan bersih suatu usaha adalah pendapatan kotor dikurangi<br />

jumlah biaya, maka NPV suatu usaha merupakan selisih Present Value arus<br />

keuntungan dengan Present Value arus biaya. Suatu usaha dapat dinyatakan<br />

layak iuntuk dilaksanakan apabila NPV usaha tersebut sama atau lebih besar<br />

dari 0 (nol) dan bila sebaliknya maka usaha tersebut merugi. Nilai NPV<br />

dapat dihitung dengan menggunakan persamaan :<br />

n B − C<br />

NPV = ∑<br />

t<br />

t=<br />

1 1<br />

dimana : Bt<br />

t t<br />

( + i)<br />

2. Benefit Cost Ratio (BRC)<br />

= Pendapatan kotor tahunan<br />

Ct = Biaya tahunan<br />

n = Umur ekonomis proyek<br />

t = Tahun proyek<br />

(1+i) t = Discounted factor (DF)<br />

BRC adalah perbandingan antara pendapatan dengan biaya. Suatu usaha<br />

dikatakan layak untuk diusahakan apabila nilai BRC dari usaha tersebut lebih<br />

besar dari 1 (satu) dan bila sebaliknya, maka usaha tersebut tidak layak untuk<br />

diusahakan. Nilai BCR dapat dihitung dengan menggunakan persamaan :<br />

BCR =<br />

n<br />

∑<br />

t=<br />

1<br />

n<br />

∑<br />

t=<br />

1<br />

B<br />

( 1+<br />

i)<br />

C<br />

t<br />

t<br />

( 1+<br />

i)<br />

t<br />

t<br />

dimana : Bt = Pendapatan kotor tahunan<br />

Ct = Biaya tahunan<br />

n = Umur ekonomis proyek<br />

t = Tahun proyek<br />

(1+i) t = Discounted factor (DF)<br />

28


3. Internal Rate of Return (IRR)<br />

IRR adalah suku bunga diskonto yang menyebabkan jumlah hasil<br />

diskonto pendapatan sama dengan jumlah hasil diskonto biaya, atau suku<br />

bunga yang membuat NPV bernilai 0 (nol). Suatu usaha dikatakan layak<br />

apabila IRR lebih besar dari suku bunga diskonto. Nilai BCR dapat<br />

dihitung dengan menggunakan persamaan :<br />

n B n<br />

t<br />

∑ = ∑<br />

C<br />

t<br />

( 1+ i)<br />

t ( 1 + i)<br />

t=<br />

1 = 1<br />

t<br />

t<br />

NPV<br />

IRR = D FP +<br />

⎡<br />

x( DF N − D FP<br />

⎤<br />

)<br />

⎣<br />

⎢PVP<br />

− PVN ⎦<br />

⎥<br />

dimana : DFP = Discounting factor yang digunakan yang<br />

menghasilkan present value positif<br />

29<br />

DFN = Discounting factor yang digunakan yang<br />

menghasilkan present value negatif<br />

PVP = Present value positif<br />

PVN = Present value negatif<br />

Untuk mengetahui jangka waktu pengembalian (Payback Period) suatu<br />

usaha, yaitu waktu yang diperlukan untuk membayar kembali semua biaya-biaya<br />

yang telah dikeluarkan didalam investasi suatu usaha dapat dihitung dengan<br />

menggunakan rumus :<br />

Payback Period =<br />

Total Biaya Investasi<br />

Pendapatan Bersih Per Tahun


METODE PENELITIAN<br />

Tempat dan Waktu Penelitian<br />

Penelitian ini dilaksanakan di Kampus IPB – Darmaga. Sebagai lokasi<br />

pembanding dilakukan pengamatan ke Penangkaran Rusa di BKPH Jonggol dan<br />

Penangkaran Rusa di Taman Monumen Nasional – Jakarta. Waktu penelitian<br />

dilaksanakan selama lima bulan, yaitu bulan Agustus sampai dengan bulan<br />

Desember 2005.<br />

Alat dan Bahan<br />

Alat yang digunakan selama penelitian adalah :<br />

1. Kamera<br />

2. Roll meter<br />

3. Timbangan<br />

4. Seperangkat Komputer dan Program Disain<br />

Bahan yang digunakan selama penelitian adalah :<br />

1. Peta lokasi<br />

2. Rusa timor (Cervus timorensis) dan habitatnya<br />

3. Kantong Plastik<br />

Data yang Dikumpulkan<br />

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder,<br />

yaitu meliputi :<br />

1. Keadaan fisik :<br />

a. Letak dan luas<br />

b. Iklim<br />

c. Topografi (kemiringan)<br />

d. Hidrologi (sumber air)<br />

e. Tanah (jenis tanah)<br />

30


2. Keadaan biologi<br />

a. Vegetasi (keanekaragaman jenis dan formasi)<br />

b. Satwaliar (kompetitor, predator dan satwa lain)<br />

c. Daya dukung lokasi penangkaran Rusa timor (Cervus timorensis)<br />

dengan pendekatan ketersedaiaan sumber pakan dan keterbatasan lahan<br />

3. Analisis finansial<br />

Data yang dikumpulkan untuk keperluan analisis finansial merupakan<br />

data hipotetik, yaitu meliputi data penerimaan dan data biaya yang ada<br />

dalam penangkaran rusa.<br />

Teknik Pengumpulan Data<br />

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi tiga<br />

cara, yaitu studi litelatur, wawancara dan pengamatan langsung di lapangan.<br />

Namun demikian tidak semua cara dilakukan untuk setiap jenis data, melainkan<br />

disesuaikan dengan jenis data yang dikumpulkan, yaitu :<br />

1. Data keadaan fisik lokasi diperoleh dari data sekunder, yaitu berasal dari<br />

Badan Meteorologi dan Geofisika Wilayah II Bogor, Bagian Propertis IPB,<br />

litelatur dan pengamatan langsung di lapangan<br />

2. Data biologi lokasi dikumpulkan dari pengamatan langsung di lapangan<br />

yaitu melalui analisis vegetasi dan inventarisasi satwa yang ada serta<br />

pengukuran daya dukung melalui petak contoh. Secara rinci tehnik pelak-<br />

sanaan analisis vegetasi dan inventarisasi satwa adalah sebagai berikut :<br />

a). Analisis vegetasi<br />

Untuk mengetahui komposisi jenis dan struktur komunitas vegetasi<br />

dilakukan dengan metode sampling. Pada penelitian ini digunakan<br />

metode garis berpetak, yaitu dengan cara melompati satu atau lebih<br />

petak-petak dalam jalur, sehingga sepanjang rintisan terdapat petak-<br />

petak dengan jarak tertentu yang sama. Bentuk dan ukuran petakan<br />

analisis vegetasi disajikan pada Gambar 4.<br />

31


1 m 10 m<br />

5 m<br />

Arah Rintisan<br />

20 m 20 m<br />

Gambar 4. Disain Metode Garis Berpetak Dalam Analisis Vegetasi<br />

Menurut Kusmana (1995), ukuran plot-plot yang dibuat ber-<br />

dasarkan stadium pertumbuhan vegetasi, yaitu sebagai berikut :<br />

1 m x 1 m untuk semai dan tumbuhan bawah, 5 m x 5 m untuk<br />

pancang, 10 m x 10 m untuk tiang dan 20 m x 20 m untuk pohon.<br />

Adapun kreteria stadium pertumbuhan vegetasi adalah :<br />

(1). Semai : pertumbuhan mulai kecambah sampai anakan<br />

setinggi kurang dari 1,5 m.<br />

(2). Pancang : permudaan dengan tinggi 1,5 m sampai anakan<br />

berdiameter kurang dari 10 cm.<br />

(3). Tiang : Pohon muda berdiameter 10 cm – 20 cm.<br />

(4). Pohon : pohon dewasa berdiameter 20 cm dan lebih.<br />

(5). Tumbuhan bawah : tumbuhan selain permudaan pohon,<br />

misalnya rumput, herba dan semak belukar.<br />

Parameter vegetasi yang diukur secara langsung di lapangan,<br />

yaitu meliputi :<br />

(1). Nama species (ilmiah dan lokal)<br />

(2). Jumlah individu untuk menghitung kerapatan<br />

(3). Penutupan tajuk untuk mengetahui prosentase penutupan<br />

vegetasi terhadap lahan<br />

b). Inventarisasi satwa<br />

Untuk mengetahui jenis satwa yang ada di lokasi penangkaran,<br />

maka dilakukan sensus/pendataan terhadap jenis-jenis satwa yang ada.<br />

Dan selanjutnya dikelompokkan berdasarkan kelas dari masing-<br />

masing satwa tersebut (reptil, aves atau mamalia).<br />

32


c). Daya dukung habitat<br />

Untuk mengetahui daya dukung habitat (padang rumput)<br />

dilakukan dengan cara memotong setiap jenis rumput sampai batas<br />

permukaan tanah dalam setiap petak contoh. Setelah dilakukan<br />

pemanenan hijauan dari masing-masing petak contoh ditimbang berat<br />

basahnya (Prasetyonohadi, 1986). Hijauan pada petak contoh yang<br />

sudah dipotong dibiarkan tumbuh selama 20 hari kemudian dilakukan<br />

pemanenan dan penimbangan kembali. Perlakuan tersebut dilakukan<br />

sebanyak tiga kali.<br />

Pemotongan dilakukan terhadap semua hijauan yang tumbuh di<br />

dalam petak contoh sampai serendah mungkin dari permukaan tanah<br />

yaitu ± 5 cm (jarak pemotongan ini didasarkan atas kemampuan rusa<br />

untuk merumput sampai ± 5 cm di atas permukaan tanah), kemudian<br />

hasil potongan dimasukkan ke dalam kantong plastik yang sudah<br />

disiapkan. Selanjutnya hijauan yang sudah di potong dipisahkan<br />

masing-masing jenisnya dan dikelompokkan antara jenis hijauan yang<br />

dimakan rusa dengan yang tidak dimakan. Kemudian dilakukan<br />

penimbangan pada masing-masing jenis hijauan yang dimakan rusa<br />

untuk mengetahui berat dari masing-masing jenis tersebut.<br />

Ukuran petak contoh untuk mengukur produktivitas hijauan<br />

adalah 1 m x 1 m dengan jumlah petak contoh sebanyak 12 yang<br />

penempatan dilapangan dilakukan secara sistimatis.<br />

b. Kebutuhan hidup Rusa timor (Cervus timorensis)<br />

Untuk mengetahui kebutuhan hidup rusa meliputi pakan, minum,<br />

garam mineral, kesehatan dilakukan dengan studi litelatur dari<br />

berbagai sumber (skripsi, tesis, disertasi, makalah, buku-buku maupun<br />

hasil brownsing internet) yang berkaitan dengan data kebutuhan hidup<br />

rusa.<br />

3. Analisis finansial<br />

Data yang diperlukan untuk kepentingan analisis finansial<br />

dikumpulkan dari berbagai sumber dan merupakan data hipotetik.<br />

Pemanfaatan hasil penangkaran pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua<br />

33


yaitu pemanfaatan dalam bentuk barang dan pemanfaatan dalam bentuk<br />

jasa. Pemanfaatan dalam bentuk barang berupa penjulanan rusa dalam<br />

bentuk hidup sebagai bibit maupun pemanfaatan dalam bentuk daging.<br />

Selain itu juga dapat dimanfaatkan ranggah muda (velvet) sebagai bahan<br />

obat-obatan, maupun ranggah kerasnya untuk hiasan. Sedangkan<br />

pemanfaatan dalam bentuk jasa dapat berupa pemanfaatan sebagai obyek<br />

rekreasi maupun sebagai sarana pendidikan maupun penelitian (Feriyanto,<br />

2002 ).<br />

Analisis Data<br />

Setelah semua data yang diperlukan terkumpul baik data primer maupun<br />

sekunder, maka selanjutnya dilakukan analisis berdasarkan pendekatan kualitatif<br />

dan kuantitatif yang dapat diterapkan, baik menyangkut aspek kelayakan bio-<br />

ekologi, teknis (sarana dan prasarana) maupun lingkungan (data lokasi).<br />

Keadaan Fisik dan Biologi Lokasi<br />

Data tentang keadaan fisik dan biologi lokasi yang telah terkumpul<br />

kemudian dilakukan analisis, terutama data biologi lokasi, yaitu terdiri dari :<br />

1. Analisis vegetasi<br />

Data hasil inventarisasi vegetasi selanjutnya dianalisis untuk mengetahui<br />

keragaman jenis dan dominasinya. Menurut Kusmana (1995), parameter<br />

vegetasi yang dapat dihitung dalam analisis vegetasi adalah :<br />

a. Kerapatan suatu spesies (K)<br />

K<br />

individu suatu spesies<br />

Luas petak contoh<br />

∑<br />

=<br />

b. Kerapatan relatif suatu spesies (KR)<br />

Kerapatan suatu spesies<br />

KR =<br />

Kerapatan seluruh spesies<br />

c. Frekuensi suatu spesies (F)<br />

x 100%<br />

∑ sub petak ditemukan suatu spesies<br />

F =<br />

∑ seluruh sub petak contoh<br />

34


d. Dominasi suatu spesies (D) :<br />

(1). Pohon, tiang, pancang<br />

D =<br />

Luas bidang dasar suatu spesies<br />

Luas petak contoh<br />

(2). Semai, tumbuhan bawah<br />

D =<br />

Luas penutupan tajuk<br />

Luas petak contoh<br />

e. Dominasi relatif suatu spesies (DR)<br />

Dominasi suatu spesies<br />

DR =<br />

Dominasi seluruh spesies<br />

f. Frekuensi relatif suatu spesies (FR)<br />

Frekwensi suatu spesies<br />

FR =<br />

Frkwensi seluruh spesies<br />

g. Indek Nilai Penting (INP)<br />

x 100 %<br />

x 100%<br />

INP = KR + FR + DR, tetapi untuk semai INP = KR + FR<br />

2. Inventarisasi satwa<br />

Dari data hasil inventarisasi satwa, selanjutnya dikelompokkan<br />

berdasarkan kelas dari masing-masing satwa tersebut (reptil, aves atau<br />

mamalia) dan disajikan dalam bentuk tabulasi.<br />

3. Daya dukung habitat<br />

Data produktivitas hijauan yang ada di lokasi penangkaran yang<br />

diperoleh dari masing-masing petak contoh kemudian dihitung dengan koreksi<br />

nilai proper use-nya yaitu dengan rumus (Susetyo, 1980) :<br />

P = produksi hijauan per petak x nilai proper use<br />

Selanjutnya produktivitas hijauan yang ada di lokasi penangkaran dapat<br />

dihitung dengan menggunakan rumus (Alikodra, 1990) :<br />

P<br />

L<br />

=<br />

p<br />

l<br />

dimana : P = Produksi hijauan seluruh areal<br />

L = Luas areal penangkaran<br />

p = Produksi hijauan seluruh petak contoh<br />

l = Luas seluruh petak contoh<br />

35


Dengan diketahuinya produktivitas hijauan pakan dan tingkat konsumsi<br />

pakan oleh rusa timor (Cervus timorensis), maka daya dukung habitat dapat<br />

dihitung dengan menggunakan rumus (Susetyo, 1980) :<br />

K =<br />

Analisis Finansial<br />

P<br />

C<br />

dimana : K = Jumlah rusa yang dapat ditampung<br />

P = Produktivitas hijauan pakan per satuan waktu<br />

36<br />

C = Jumlah konsumsi pakan oleh rusa per satuan<br />

waktu, dimana C = ax1 + bx2 + cx3 + .....+ nxn<br />

(xn = jenis-jenis hijauan yang dimakan rusa)<br />

Data yang perlu terkumpul, yaitu meliputi semua komponen biaya dan<br />

penerimaan, selanjutnya dianalisis guna menentukan kelayakan usaha<br />

penangkaran berdasarkan analisis keproyekan, yaitu meliputi NPV, BCR, IRR<br />

dan PP.<br />

Berdasarkan analisis dari berbagai sumber, maka asumsi-asumsi yang<br />

digunakan dalam analisis finansial usaha penangkaran rusa adalah meliputi ;<br />

biaya investasi, biaya tetap, biaya variabel/operasional dan penerimaan. Secara<br />

rinci asumsi-asumsi rencana anggaran biaya dan penerimaan dari usaha<br />

penangkaran rusa dapat dilihat pada Lampiran 4, sedangkan asumsi-asumsi<br />

teknis biologis sebagai berikut :<br />

1. Target induk jantan dan betina dari luar penangkaran adalah 105 ekor pada<br />

tahun pertama dan 210 ekor pada tahun kedua dan tetap dipertahankan sampai<br />

tahun kesembilan, kemudian secara bertahap dilakukan pengafkiran.<br />

2. Nisbah kelamin (sex ratio) jantan dan betina adalah 1 : 19 - 20<br />

3. Bibit berasal dari luar dapat beranak pada tahun ke-2, sedangkan bibit dari<br />

hasil penangkaran dapat beranak setelah berumur 3 tahun.<br />

4. Jumlah induk dapat beranak dalam satu periode 1 tahun diperkirakan 80%<br />

dari jumlah induk yang siap kawin<br />

5. Lama bunting 8 – 9 bulan


6. Rata-rata jumlah anak per kelahiran per induk adalah 1 (satu) ekor, dengan<br />

nisbah kelamin anak yang dilahirkan sebesar 1 : 1 (50 % jantan dan 50 %<br />

betina).<br />

7. Tingkat mortalitas anak sepanjang tahun diperkirakan 10 % dari jumlah anak<br />

yang dilahirkan.<br />

8. Untuk anak rusa betina yang lahir pada tahun pertama seluruhnya<br />

dialokasikan untuk calon induk, mulai tahun kedua dan seterusnya anak betina<br />

yang dilahirkan ± 50% dijadikan bibit, sisanya sebagian besar dijual dan<br />

sebagian kecil di potong. Sementara anak rusa jantan yang akan dijadikan<br />

calon pejantan untuk bibit jumlahnya disesuaikan dengan nisbah 1 : 20,<br />

sementara untuk calon pejantan yang dijual nisbah kelaminnya 1 : 10. Hal ini<br />

bertujuan untuk meningkatkan jumlah penerimaan.<br />

9. Sisa dari calon induk dan jantan yang tidak terpilih dijual dalam bentuk<br />

daging dan ranggah/velvet untuk yang jantan.<br />

10. Pengafkiran rusa induk mulai dilakukan setelah 10 tahun di penangkaran<br />

dengan pertimbangan rusa sudah berumur 12 tahun, asumsi masa produktif<br />

rusa sampai pada umur 13 tahun dan izin usaha penangkaran komersil berlaku<br />

selama 10 tahun.<br />

Setelah semua data yang diperlukan terkumpul, maka langkah selanjutnya<br />

adalah menganalisis data serta pertimbangan biaya dan pengelolaan guna<br />

membuat alternatif tapak bagi masing-masing penggunaan. Dari analisis tapak<br />

akan menghasilkan suatu alternatif yang paling layak dikembangkan berdasarkan<br />

peruntukan, biaya, waktu dan tenaga pengembangannya. Dan akhirnya akan<br />

diperoleh suatu disain penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville)<br />

dengan sistim Deer Farming.<br />

37


Keadaan Fisik Lokasi<br />

HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

Analisis Bio-ekologi Lokasi Penangkaran<br />

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, maka diperoleh data mengenai<br />

keadaan fisik lokasi penangkaran meliputi :<br />

1. Letak dan Luas<br />

Secara administrasi kepemerintahan, lokasi penangkaran rusa timor<br />

(Cervus timorensis de Blainville) di Kampus IPB – Darmaga termasuk ke<br />

Desa Babakan, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Proponsi Jawa Barat.<br />

Secara geografis lokasi ini terletak antara 06.33’.10.9” Lintang Selatan dan<br />

106.44’.58.5” Bujur Timur (BMG Balai Wilayah II, 2005).<br />

Luas seluruh lokasi Kampus Institut Pertanian Bogor – Darmaga adalah<br />

± 250 ha. Sedangkan lokasi yang dipakai untuk pengembangan penangkaran<br />

rusa seluas ± 4,25 ha.<br />

2. Iklim dan Curah Hujan<br />

Berdasarkan data iklim lima tahun terakhir yang dikeluarkan oleh Badan<br />

Meteorologi dan Geofisika Balai Wilayah II Bogor, lokasi penangkaran rusa<br />

Timor (Cervus timorensis de Blainville) di Kampus IPB – Darmaga menurut<br />

klasifikasi iklim Schmidt & Ferguson termasuk daerah dengan iklim type A,<br />

yaitu bulan kering rata-rata 0,3 maximum 2, frekuensi 1 dan bulan basah rata-<br />

rata 11,2 maximum 12 frekuensi 8.<br />

Berdasarkan data lima tahun terakhir, maka rata-rata curah hujan<br />

setahun di daerah ini 3.892,40 mm. dan hari hujan 271,84 hari. Temperatur<br />

maximum rata-rata : 31,84 0 C, minimum rata-rata 22,64 0 C dan rata-rata<br />

kelembaban 83,76%.<br />

3. Topografi<br />

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, lokasi penangkaran rusa<br />

yang ada di Kampus IPB-Darmaga bertopografi datar sampai bergelombang<br />

ringan, dan terletak pada ketinggian 140 m – 165 m dari permukaan laut.<br />

38


Berdasarkan peta kontur yang ada, maka dapat diketahui tingkat<br />

kemiringan dari lokasi tersebut, dimana kemiringan dapat ketahui dengan<br />

menghitung besar sudut yang dibentuk antara bidang miring (jarak antara dua<br />

titik) dengan bidang datar, dimana untuk mengetahui jarak bidang datar dapat<br />

dihitung secara matematis dengan mengunakan rumus pitagoras. Dari hasil<br />

analisis terhadap peta kontur lokasi, maka tingkat kemiringan lokasi<br />

penangkaran adalah kemiringan 0 – 8% seluas ± 50% dari luas lahan, 8 –<br />

15% seluas ± 30% dan 15 – 20% seluas ± 20%.<br />

Hal ini sesuai dengan pendapat Root (1985), yang mengatakan bahwa<br />

garis dari kontur dapat menyatakan kemiringan suatu lokasi, dimana<br />

kemiringan merupakan perbandingan jarak antara dua titik dengan garis<br />

vertikal yang biasanya dinyakan dalam persentase. Dimana kemiringan<br />

menunjukkan 100% apabila sudut yang dibentuk antara garis vertikal dengan<br />

garis horizontal adalah 45 o .<br />

Berdasarkan data penyebaran dan habitat rusa secara alami ketinggian<br />

ini cukup mendukung kehidupan rusa timor (Cervus timorensis de Blainville).<br />

Selain itu rusa juga mampu beradaptasi dengan baik pada berbagai kondisi<br />

topografi. Namun untuk efisiensi dan efektifitas usaha penangkaran, lokasi<br />

kandang (unit-unit penangkaran) dibatasi pada areal yang memiliki<br />

kemiringan lereng kurang dari 30%. Kriteria ini digunakan agar tercapai<br />

efisiensi energi yang dikeluarkan rusa untuk pergerakan dan terjaminnya<br />

keselamatan induk-induk rusa yang sedang bunting. Hal ini diperkuat oleh<br />

Direktorat PPA (1978) yang menyatakan bahwa rusa timor ditemukan di<br />

dataran rendah hingga ketinggian 2.600 dpl.<br />

Secara rinci peta topografi lokasi penangkaran rusa timor (C. timorensis<br />

de Blainville) di Kampus IPB Darmaga dapat dilihat pada gambar 5.<br />

39


Skala 1 : 2.500<br />

Gambar 5. Peta topografi lokasi penangkaran rusa di Kampus IPB – Darmaga.<br />

4. Air (Hidrologi)<br />

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, lokasi penangkaran rusa<br />

yang ada di Kampus IPB Darmaga dialiri oleh sebuah sungai kecil dengan<br />

sumber air yang tidak pernah kering walaupun musim kemarau. Selain itu<br />

dengan curah hujan yang cukup tinggi dan hampir merata sepanjang tahun,<br />

maka sungai ini diperkirakan dapat memenuhi seluruh kebutuhan air untuk<br />

kepentingan penangkaran rusa. Selain itu, tidak jauh dari batas lokasi<br />

penangkaran terdapat sungai yang mempunyai aliran air cukup besar dan<br />

sepanjang tahun, yaitu sungai Ciapus. Karena air merupakan bagian dari<br />

kebutuhan rusa yang cukup penting, baik untuk minum maupun berkubang<br />

pada musim birahi. Namun berdasarkan data kebutuhan rusa akan air,<br />

penyebaran dan habitat aslinya, rusa timor (Cervus timorensis de Blainville)<br />

kurang tergantung pada ketersediaan air secara berlimpah, sehingga lokasi<br />

penangkaran rusa yang ada di Kampus IPB Darmaga dilihat dari aspek<br />

ketersediaan sumber airnya cukup memenuhi persyaratan sebagai suatu lokasi<br />

penangkaran.<br />

40


5. Tanah<br />

Menurut peta tanah tinjau Propinsi Jawa Barat 1966 dengan skala<br />

1:250.000 tanah di daerah ini termasuk jenis tanah latosol kemerah-merahan<br />

dengan bahan induk tufvolkan intermidier dengan fisiografi vulkan.<br />

Dari data kondisi fisik lokasi penangkaran rusa yang ada di Kampus<br />

IPB Darmaga sebagaimana telah diuraikan diatas, maka dapat dibuat suatu<br />

tabel gambaran fisik lokasi dan kesesuaian bagi penangkaran rusa.<br />

Tabel 1 Perbandingan kondisi fisik daerah penyebaran rusa timor (Cervus<br />

timorensis de Blainville) dengan lokasi penangkaran di Kampus<br />

IPB Darmaga.<br />

Peubah<br />

41<br />

Spesifikasi<br />

Daerah Penyebaran Lokasi Penangkaran Kelayakan<br />

Iklim Iklim tropis Tipe A Layak<br />

Curah Hujan (mm/th) Rendah - tinggi 3.892,40 Layak<br />

Suhu ( o C) Bukan penentu 22,64 – 31,84 Layak<br />

Kelembaban (%) Bukan penentu 83,76 Layak<br />

Topografi/kemiringan (%) 0 – 45 0 – 20 Layak<br />

Sumber Air alami sungai/alami Layak<br />

Jenis Tanah hampir semua jenis latosol Layak<br />

Elevasi (m dpl) s.d 2.600 140 - 165 Layak<br />

Dari Tabel 1 tersebut diketahui bahwa secara fisik, lokasi penangkaran<br />

rusa yang ada di kampus IPB Darmaga sangat layak untuk dijadikan dan<br />

dikembangkan sebagai tempat penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de<br />

Blainville).<br />

Hal ini sesuai dengan pendapat Van Bemmel (1949), yang menyatakan<br />

bahwa rusa memiliki daya adaptasi yang tinggi dan mudah di introduksi pada<br />

daerah yang bukan habitatnya, dimana habitatnya mulai dari hutan dataran<br />

rendah sampai ketinggian 2.600 di atas permukaan laut dengan padang<br />

rumput atau savana sebagai tempat merumput merupakan habitat yang paling<br />

disukai oleh rusa timor (Cervus timorensis de Blainville).


Keadaan Biologis Lokasi Penangkaran<br />

Berdasarkan hasil pengamatan dilapang, diperoleh data kondisi biologis<br />

lokasi adalah sebagai berikut :<br />

1. Vegetasi<br />

Berdasarkan informasi dari beberapa sumber, lokasi penangkaran rusa<br />

yang ada di Kampus IPB Darmaga berasal dari kawasan kebun karet (Havea<br />

brasilliensis) dan kelapa sawit (Elaeis guineensis). Tetapi karena pengelolaan<br />

yang kurang baik, maka saat ini sebagian dari lokasi, yaitu ± 30% dari<br />

total lokasi penangkaran (± 1,28 ha) kondisinya menjadi semak belukar<br />

dengan vegetasi yang cukup beragam, baik pada tingkat tumbuhan<br />

bawah/semai, pancang, tiang maupun pohon. Selain vegetasi semak belukar,<br />

sebagian dari lokasi penangkaran ditanami dengan tanaman berkasiat obat,<br />

yaitu mahkota dewa (Phaleria marcocarpa), tanaman pangan dan tanaman<br />

industri, yaitu sengon/jeunjing (Paraserianthes falcataria) dan sengon buto<br />

(Enterolubium cyclocarpum).<br />

Berdasarkan hasil analisis vegetasi yang dilakukan di lapangan,<br />

ditemukan 65 spesies tumbuhan. Dari 65 spesies tumbuhan yang ditemukan<br />

di lokasi penangkaran diketahui 42 spesies merupakan sumber pakan rusa, 22<br />

spesies dapat berfungsi sebagai pelindung/shelter. Pada tingkat semai dan<br />

tumbuhan bawah tiga spesies yang memiliki Nilai Indek Penting (INP) adalah<br />

jampang piit (Pannicum sp.)dengan INP = 17,64%, jukut karukun (Eragrostis<br />

amabilis) dengan INP = 10,67% dan jukut bau (Hyptis rhamboides) dengan<br />

INP = 9,28%. Sedangkan pada tingkat pancang tiga spesies yang memiliki<br />

INP tertinggi adalah bambu (Gigantochoa apus), yaitu 29,64%, puspa<br />

(Schima wallichii) dengan INP = 20,71% dan pinus (Pinus merkusii) dengan<br />

INP = 14,76. begitu juga pada tingkat tiang, tiga spesies yang memiliki INP<br />

tertinggi adalah bambu (Gigantochoa apus), yaitu 52,76%, puspa (Schima<br />

wallichii) dengan INP = 29,89% dan pinus (Pinus merkusii) dengan INP =<br />

28,12. Sedangkan pada tingkat pohon spesies yang memiliki INP tertinggi<br />

adalah pinus (Pinus merkusii) dengan INP = 80,07%, sengon buto<br />

(Enterolubium cyclocarpum) dengan INP = 77,47%, dan kelapa sawit (Elaeis<br />

guineensis) dengan INP = 77,01%.<br />

42


Untuk pengelolaan usaha penangkaran rusa yang intensif, penutupan<br />

tajuk vegetasi di unit-unit penangkaran, areal pembesaran, areal adaptasi dan<br />

padang penggembalaan diatur sedemikian rupa sehingga memudahkan<br />

pengawasan dan kegiatan pengelolaan yang lain tetapi tidak menghambat<br />

pertumbuhan populasi rusa itu sendiri. Penanaman tanaman yang berfungsi<br />

sebagai pelindung perlu dilakukan, terutama di areal penggembalaan. Untuk<br />

keperluan tersebut, spesies tumbuan yang sudah ada di lokasi penangkaran<br />

dapat digunakan banyak tersedia diantaranya adalah sengon (Paraserianthes<br />

falcataria), puspa (Schima wallichii) dan sengon buto (Enterolubium<br />

cyclocarpum).<br />

Secara rinci daftar jenis-jenis tumbuhan hasil analisis vegetasi yang<br />

dilakukan di dalam lokasi penangkaran dapat dilihat pada Lampiran 1.<br />

2. Satwaliar<br />

Berdasarkan hasil pengamatan, lokasi penangkaran memiliki kekayaan<br />

spesies satwaliar yang cukup tinggi, yaitu tercatat 25 spesies satwaliar. Dari<br />

25 spesies satwaliar tersebut terdiri dari kelas aves sebanyak 10 spesies, kelas<br />

reptil sebanyak 10 spesies dan kelas mamalia sebanyak 5 spesies.<br />

Berdasarkan hasil pengamatan selama melakukan penelitian, satwa<br />

besar yang bersifat kompetitor tidak ada, begitu juga satwa predator besar<br />

tidak dijumpai di lokasi, tetapi menurut informasi petugas yang ada di lokasi<br />

ancaman terhadap rusa-rusa yang ada di penangkaran berasal dari lokasi<br />

sekitarnya, dimana masih terdapat ular sanca (Pyton raticulatus) yang cukup<br />

besar yaitu yang berada di hutan kawasan Cikabayan yang letaknya<br />

berdekatan dengan loksasi penangkaran. Selain itu satwa predator yang selalu<br />

mengancam kehidupan rusa terutama anak-anak rusa yang baru dilahirkan<br />

adalah anjing (Canis lupus familiaris) yang banyak berkeliaran di sekitar<br />

lokasi penangkaran. Sehingga untuk mengantisipasi adanya gangguan dari<br />

binatang predator dari luar perlu dilakukan pemagaran lokasi dengan<br />

menggunakan bahan-bahan yang tidak dapat diterobor oleh satwa predator<br />

yang mengancamnya.<br />

Secara lengkap daftar jenis satwaliar yang ditemui di lokasi penangkaran<br />

dapat dilihat pada Lampiran 2.<br />

43


3. Daya Dukung Lokasi<br />

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, diketahui luasan areal yang<br />

ditumbuhi oleh rumput dan potensi sebagai areal penggembalaan bagi rusa<br />

adalah seluas ± 1,75 ha dari luas total lokasi ± 4,25 ha.<br />

Dari luasan tersebut berdasarkan hasil pengamatan di lapangan<br />

diperoleh data produksi hijauan pakan rusa yang didasarkan atas produktivitas<br />

hijuan pakan pada setiap petak contoh dan setiap kali pemotongan/pemanenan<br />

adalah sebagaimana tercantum pada Tabel 3 dan data secara rinci dapat<br />

dilihat pada Lampiran 3.<br />

Tabel 2 Produktivitas hijauan pakan rusa pada setiap petak contoh di dalam<br />

lokasi penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) di<br />

Kampus IPB Darmaga.<br />

Nomor<br />

Petak<br />

Pemotongan pra<br />

pengamatan<br />

(gram)<br />

Pemotongan saat pengamatan (gram)<br />

I II III Rata-rata<br />

01 947,2 231,3 278,9 214,5 241,6<br />

02 431,7 187,0 339,1 192,3 239,5<br />

03 533,7 218,3 276,8 220,3 238,5<br />

04 812,3 320,5 401,0 305,5 342,3<br />

05 712,1 263,1 289,0 215,7 255,9<br />

06 733,4 242,0 282,8 216,2 247,0<br />

07 853,1 417,5 364,3 298,1 360,0<br />

08 674,3 212,0 232,2 208,1 217,4<br />

09 766,0 274,4 262,2 239,7 258,8<br />

10 864,7 328,8 267,8 293,6 330,1<br />

11 737,0 219,2 251,9 227,9 233,0<br />

12 759,1 233,3 256,1 209,6 233,0<br />

Rata-rata 735,38 262,28 300,18 236,79 266,42<br />

Keterangan :<br />

Pemotongan Pra Pengamatan = pemotongan yang dilakukan sehari sebelum<br />

dimulainnya pengamatan. Hal ini dilakukan untuk memberikan<br />

kondisi awal yang sama pada setiap petak contoh. Pemotongan<br />

ini dilaksanakan pada tanggal 10 Agustus 2005<br />

Pemotongan I = pemotongan yang dilakukan 20 hari setelah pemotongan pra<br />

mengamatan dilakukan, yaitu pada tanggal 30 Agustus 2005<br />

Pemotongan II = pemotongan yang dilakukan 20 hari setelah pemotongan I<br />

dilakukan, yaitu pada tanggal 19 September 2005<br />

Pemotongan III = pemotongan yang dilakukan 20 hari setelah pemotongan II<br />

dilakukan, yaitu pada tanggal 9 Oktober 2005<br />

44


Dari data yang tersaji pada Tabel 2, diketahui bahwa rata-rata produksi<br />

hijauan segar pada petak contoh adalah 266,42 gram/m 2 /20 hari, maka produksi<br />

hijauan segar adalah 13,32 gram/m 2 /hari.<br />

Pada kenyataannya rumput yang terdapat di lokasi penangkaran tidak<br />

seluruhnya tersedia bagi rusa, tetapi sebagian ditinggalkan untuk menjamin<br />

tumbuhnya kembali. Sebagian rumput yang dapat dimakan oleh rusa tersebut<br />

disebut proper use. Bila diasumsikan proper use dari rumput yang ada di lokasi<br />

penangkaran = 65%, maka jumlah hijauan tersedia per m 2 per hari adalah 13,32<br />

gram x 65% = 8,66 gram/hari. Dengan demikian jumlah hijauan yang dapat<br />

diproduksi oleh padang rumput dan tersedia bagi rusa yang ada di lokasi<br />

penangkaran adalah sebesar :<br />

10.000 2<br />

1m<br />

m<br />

2<br />

x<br />

8,66 gram/hari<br />

=<br />

86.580 gram/ha/ha<br />

ri<br />

==><br />

86,58 kg/ha/hari<br />

Hal ini sesuai dengan pendapat Susetyo (1980) yang mengatakan bahwa<br />

untuk daerah yang bertopografi datar dan bergelombang dengan kemiringan<br />

0 – 5 o , maka nilai proper use sebesar 60 – 70%.<br />

Bila daya dukung dihitung berdasarkan perbandingan antara produksi<br />

hijauan dengan tingkat konsumsi pakan rusa per hari, dimana tingkat konsumsi<br />

pakan adalah 6,00 kg/ekor/hari, maka daya dukung lokasi tersebut adalah :<br />

86,58 kg<br />

6,<br />

0 kg<br />

x 1ekor<br />

14,43ekor/ha<br />

Berdasarkan data daya dukung tersebut, maka kepadatan rusa yang dapat<br />

ditampung pada lokasi rumput seluas 1,75 ha adalah 25,25 ekor. Hal ini sesuai<br />

dengan pendapat Semiadi dan Nugraha (2004) yang menyatakan bahwa secara<br />

garis besar kepadatan rusa pada padang rumput di Indonesia adalah 12 – 15<br />

ekor/ha.<br />

=<br />

Kenyataan di lapangan, suatu padang penggembalaan tidak dapat<br />

menyediakan hijauan secara terus menerus sepanjang tahun, dimana diperlukan<br />

waktu istirahat untuk memulihkan pertumbuhannya, maka padang<br />

penggembalaan tersebut perlu diistirahatkan.<br />

.<br />

45


Hal ini berlaku apabila pemenuhan kebutuhan akan hijauan disediakan<br />

sepenuhnya oleh padang penggembalaan. Tetapi bila kebutuhan hijauan sebagian<br />

besar dicukupi dari luar areal penangkaran (kebun rumput) dengan perkiraan<br />

sebesar 75 % dari total kebutuhan, maka daya tampung lokasi tersebut menjadi :<br />

86,58 kg<br />

6,<br />

0 - (6,0 x 75%)<br />

kg/ekor/ha ri<br />

= 19,24<br />

ekor/ha<br />

Sementara kebutuhan hijauan dari luar/kebun rumput adalah 6 kg x 75 % = 4,50<br />

kg/ekor/hari.<br />

Jika produksi rumput unggul rata-rata = 150 ton/ha/th dengan bagian yang<br />

bisa dimakan oleh rusa sebesar 85 %, maka produksi kebun rumput yang dapat<br />

dimakan oleh rusa adalah sebanyak :<br />

150 ton x 85 % = 127,50 ton/th<br />

= 127.500 kg/ha/th = 349,32 kg/ha/hari.<br />

Dengan demikian luas kebun rumput yang harus disediakan untuk setiap ekor<br />

rusa per hari adalah :<br />

4,5 kg/hari<br />

349,<br />

32 kg/ha/hari<br />

0,013ha<br />

Jika suatu kebun rumput setelah dipanen perlu istirahat guna memulihkan<br />

pertumbuhannya rata-rata 20 hari, sehingga seekor rusa untuk mendapatkan<br />

suplai rumput secara terus menerus memerlukan kebun rumput seluas 0,013 ha x<br />

20 = 0,26 ha dengan sistem panen bergilir.<br />

Namun demikian untuk penangkaran dengan sistem farming, ketersediaan<br />

pakan di lokasi bukan merupakan suatu faktor pembatas, karena pemenuhan<br />

pakan didatangkan dari luar areal penangkaran.<br />

Secara rinci hasil analisis produktivitas hijauan pakan rusa di lokasi<br />

penangkaran rusa di Kampus IPB-Darmaga pada setiap petak conton disajikan<br />

pada Lampiran 3.<br />

Guna menanggulangi kekurangan hijauan pakan rusa yang ada di lokasi<br />

penangkaran dapat dilakukan dengan upaya peningkatkan daya dukung lokasi.<br />

Adapun usaha yang dapat dilakukan, adalah :<br />

1. Meningkatkan produktivitas rumput yang ada melalui pemupukan,<br />

penanaman rumput unggul yang tahan terhadap renggutan dan injakan serta<br />

pengaturan pengembalaan yang baik.<br />

=<br />

46


2. Memperluas padang rumput yang ada dan meningkatkan produktivitasnya<br />

dengan menanami jenis rumput unggul yang cocok untuk penggembalaan,<br />

diantaranya adalah rumput Bracihiaria brizanta, rumput Australia (Paspalum<br />

dilatatum), rumput kolonjono (Brachiaria mutica), Brachiaria decumbens,<br />

Panicum maximum dan Setaria sphacelata. Sedangkan untuk jenis<br />

leguminosa antara lain stylo (Sthylosanthes guyanensis), Arachis hypogea dan<br />

kerabatnya serta pohon lamtoro (Leucaena leucosephala) dan turi (Sesbania<br />

glandiflora) yang sekaligus dapat dijadikan sebagai pohon peneduh. Luas<br />

padang rumput yang harus tersedia untuk seekor rusa agar dapat merumput<br />

secara terus menerus sepanjang tahun tanpa adanya hijauan tambahan dari<br />

luar adalah 0,069 ha/ekor (± 14,43 ekor/ha).<br />

3. Mecukupi kebutuhan hijauan dari luar penangkaran, yaitu dengan membuat<br />

kebun rumput unggul di luar areal penangkaran. Melihat potensi lahan yang<br />

ada di Kampus IPB – darmaga masih luas, maka sangat memungkinkan untuk<br />

pembangunan kebun rumput ini, misalnya di lokasi yang bersebelahan<br />

dengan lokasi penangkaran dengan jarak ± 50 m, yaitu di sebelah Timur dari<br />

lokasi terdapat lokasi yang cukup luas dan bertopografi datar sampai saat ini<br />

belum termanfaatkan. Kebutuhan kebun rumput untuk mencukupi kebutuhan<br />

pakan rusa di penangkaran jika ± 75% dari kebutuhan hijauan dipenuhi dari<br />

luar adalah seluas 0,013 ha/ekor (± 77 ekor/ha). Adapun jenis rumput yang<br />

dapat ditanam adalah rumput gajah (Pennisetum purpureum), rumput raja<br />

(Pennisetum purpupoides), rumput bengala (Pennisetum maximum), rumput<br />

setaria/padi (Setaria sphacelata) atau rumput mexico (Euclaena mexicana).<br />

4. Mendatangkan/membeli rumput dari tempat lain.<br />

Berdasarkan analisis finansial yang dilakukan, maka dengan mendatangkan/<br />

membeli rumput dari tempat lain masih dirasa cukup ekonomis pada<br />

penangkaran rusa dengan sistem farmaing, dimana harga beli hijauan<br />

diperkirakan Rp 100,00/kg. Dengan demikian lokasi penangkaran yang ada<br />

benar-benar dapat dimanfaatkan sebagai tempat tinggal bagi rusa.<br />

47


Berdasarkan hasil analisis kondisi bio-fisik dari lokasi penangkaran rusa<br />

yang ada saat ini sangat memungkinkan untuk dikembangkan menjadi usaha<br />

penangkaran yang lebih baik mengarah kepada usaha yang komersil. Hal ini<br />

didukung dengan hasil wawancara dengan pengelola yang ada di lapangan yang<br />

mengatakan sesungguhnya penangkaran ini dapat berkembang dengan baik,<br />

terbukti sampai saat ini belum pernah terjadi kematian pada rusa yang diakibatkan<br />

ketidaksesuaian lingkungan tempat hidupnya. Namun demikian untuk dapat<br />

mengembangkan usaha penangkaran ini mengarah ke usaha yang komersil, yaitu<br />

penangkaran dengan sistem deer farming perlu adanya penataan tapak yang<br />

sesuai dan manajemen pengelolaan yang lebih baik.<br />

Perancangan Tapak (Site Planning) Penangkaran Rusa Timor<br />

(Cervus timorensis de Blainville) dengan Sistem Deer Farming<br />

Mengacu dari apa yang disampaikan Hakim dan Utomo (2002), maka<br />

untuk dapat melakukan perancangan tapak penangkaran dengan baik maka<br />

langkah-langkah yang harus dilakukan adalah :<br />

Analisis Rancangan Tapak<br />

Analisis perancangan tapak yang dimaksudkan adalah kita menganalisis<br />

terhadap potensi dan kendala yang mungkin timbul dari rancangan kita, dimana<br />

kita tidak akan dapat menganalisis sebelum tujuan dan sasaran yang kita inginkan<br />

dirumuskan. Adapun peran utama dari analisis perancangan adalah memberikan<br />

informasi mengenai tapak kita sebelum memulai konsep-konsep perancangan<br />

kita, sehingga pemikiran dini kita tentang bangunan dapat mengabungkan<br />

tanggapan-tanggapan yang berarti terhadap kondisi luaran.<br />

Berdasarkan hasil analisis terhadap lokasi, maka diperoleh data mengenai<br />

potensi lokasi sebagaimana tersaji pada Tabel 2.<br />

Pewilayahan/Zonasi<br />

Ditinjau dari aspek teknis penangkaran rusa, data yang diperoleh dan<br />

pertimbangan terhadap faktor-faktor pembatas serta efisiensi pengelolaan, maka<br />

48


wilayah/zona yang perlu dikembangkan dalam usaha penangkaran rusa timor<br />

(Cervus timorensis de Blainville) minimal terdiri dari 2 zona, yaitu zona<br />

perkantoran (Headquarter zone) dan zona penangkaran (Captive Breeding Zone).<br />

Penetapan zona-zona pengembangan di lokasi penangkaran didasarkan<br />

atas pertimbangan intensitas pengelolaan, intensitas pemanfaatan serta kelayakan<br />

areal yang tersedia. Hal ini perlu diperhatikan karena dimaksudkan agar tujuan<br />

pengelolaan penangkaran rusa dapat dicapai secara efektif dan efisien.<br />

Menurut White (1985), alasan untuk menempatkan sebuah bangunan pada<br />

suatu daerah tertentu pada tapak dapat melibatkan kondisi-kondisi daya dukung<br />

tanah, kontur yang memperkecil pekerjaan tanah selama pembangunan, bukit-<br />

bukit untuk pemandangan atau penghindaran akan beberapa kekayaan yang<br />

teristimewa bernilai yang harus dilestarikan, misalnya pepohonan atau beberapa<br />

kondisi yang negatif misalnya pemandangan buruk.<br />

Menurut Thohari et al. (1991), didalam penentuan zona pengembangan di<br />

lokasi penangkaran rusa harus memenuhi persayatan secara teknis, ekonomis dan<br />

lingkungan.<br />

Berdasarkan peruntukan dan fungsinya, maka lokasi penangkaran rusa<br />

dibagi menjadi dua zona, yaitu :<br />

1. Zona Perkantoran (Headquarter zone)<br />

Zona ini merupakan areal yang berfungsi sebagai pusat pengelolaan/<br />

administrasi kawasan. Dalam penentuan zona ini ada beberapa persyaratan<br />

yang harus dipenuhi, yaitu :<br />

a. Topografi relatif datar sampai berbukit ringan, sehingga pendirian<br />

bagunan relatif tidak merusak tapak<br />

b. Ketersediaan sumber air mudah dimanfaatkan untuk memenuhi kebu-<br />

tuhan air bagi aktivitas pengelolaan sehari-hari<br />

c. Aksesibilitas harus mudah dijangkau<br />

Sarana dan prasarana yang perlu ada di zona ini adalah kantor, pusat<br />

informasi, perumahan, pedok karantina dan klinik satwa serta sarana dan<br />

prasarana penunjang (menara air, instalasi listrik dan sarana komunikasi).<br />

49


2. Zona Penangkaran (Captive Breeding Zone)<br />

Zona ini merupakan areal yang berfungsi untuk pengembangbiakan<br />

dan pembesaran/pemeliharaan satwa pedaging. Persyaratan yang harus<br />

dipertimbangkan dalam menentukan zona penangkaran ini adalah :<br />

a. Topografi diupayakan merupakan daerah yang datar, landai sampai<br />

berbukit ringan segingga rusa dapat menjelajahi dengan baik.<br />

b. Ketersediaan pakan, air dan cover ; perlu dibangun padang pengem-<br />

balaan dan sistem peransuman untuk menjamin ketersediaan makanan,<br />

sistem penyaliran air dan pengaturan cover.<br />

c. Ekosistem; pembangunan areal ini diusahakan sekecil mungkin merubah<br />

kondisi fisik dan vegetasi yang ada, sehingga menjadi tempat hidup dan<br />

berkembangbiak rusa dengan baik.<br />

d. Luasan; mengingat zona penangkaran merupakan zona yang terluas<br />

dalam kegiatan penangkaran ini, maka areal harus cukup luas sesuai<br />

dengan proyeksi pengembangan dan kebutuhan normal hidup dan<br />

berkembangbiak bagi rusa.<br />

Sarana dan prasarana yang perlu ada di zona ini adalah unit penangkaran<br />

(pedok-pedok), kebun rumput, menara/instalasi air, areal pembesaran, padang<br />

pengembalaan, jalan inspeksi, gudang makanan, perumahan, bak penampungan<br />

limbah.<br />

Pada Gambar 6 disajikan keadaan vegetasi yang ada di lokasi penangkaran<br />

rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) yang ada di Kampus IPB Darmaga<br />

pada saat dilakukan studi.<br />

50


Gambar 6. Keadaan vegetasi yang terdapat di lokasi penangkaran rusa di<br />

Kampus IPB Darmaga pada saat studi.<br />

Faktor-faktor Lanskap<br />

Didalam penataan suatu disain tapak, faktor-faktor yang perlu<br />

diperhatikan berkaitan dengan lanskap adalah :<br />

1. Kontur,<br />

Kontur yaitu beda tinggi suatu titik dengan titik lainnya. Kontur<br />

diperlukan agar didalam pembuatan tapak sedapat mungkin tidak merubah<br />

kondisi alami suatu lokasi.<br />

2. Pepohonan<br />

Didalam perancangan tapak penangkaran pepohonan sangat<br />

diperlukan, karena selain berfungsi sebagai peneduh alami juga dapat<br />

berfiungsi sebagai penahan angin, erosi dan menambah nilai estetika suatu<br />

tapak.<br />

Berdasarkan data lima tahun terakhir yang dikeluarkan oleh BMG<br />

Wilayah II Bogor (2004), kecepatan angin di wilayah Darmaga rata-rata 7,02<br />

51


km/jam. Ini masih tergolong kecepatan yang ringan. Dengan demikian,<br />

pepohonan yang ditanam di lokasi penangkaran mempunyai peran utama<br />

sebagai pohon pelindung (shelter) dan juga menambah nilai estetika. Untuk<br />

itu pemilihan jenis pepohonan diutamakan yang mempunyai tajuk cukup lebar<br />

dan pertumbuhannya cepat. Jenis pohon yang terbukti sudah cocok dengan<br />

lokasi penangkaran adalah sengon (Paraserianthes falcataria) dan sengon<br />

buto (Enterolubium cyclocarpum). Namun demikian dalam jangka panjang<br />

jenis beringin (Ficus binjamina) cukup baik untuk ditanam. Selain memiliki<br />

tajuk yang luas, juga mempunyai nilai keindahan yang cukup baik.<br />

3. Sumber air<br />

Sumber air mutlak diperlukan di suatu areal penangkaran, karena air<br />

berfungsi sebagai sumber air minum dan tempat berkubang bagi rusa serta<br />

untuk keperluan lainnya. Guna menambah nilai estetika tetapi tidak<br />

mengurangi fungsinya, maka bak-bak minum yang ada di lokasi penangkaran<br />

dapat didisain sedemikian rupa menjadi bak-bak yang indah.<br />

Diskripsi dan Tata Letak Tapak<br />

1. Zona Perkantoran (Headquarter zone)<br />

Zona perkantoran merupakan pusat kegiatan pengelolaan dan<br />

administrasi penangkaran serta sebagai tempat pelayanan kepada<br />

masyarakat dan tamu yang datang ke lokasi penangkaran.<br />

Zona perkantoran ini dibagi menjadi lima blok, yaitu : (a) kantor dan<br />

pusat informasi, (b) mes (c) karantina dan klinik hewan, (d) Gudang pakan<br />

dan peralatan, (e) rumah generator dan (f) pos jaga. Pengelompokan ini<br />

dimaksudkan untuk kelancaran pelaksanaan administrasi juga kegiatan<br />

pengelolaan dan pelayanan kepada masyarakat lebih efektif dan efisien.<br />

Bangunan kantor ditempatkan di paling depan dari zona perkantoran,<br />

hal ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan bagi pengunjung yang<br />

akan berurusan dengan pengelola penangkaran.<br />

52


Berdasarkan beberapa pertimbangan, maka zona perkantoran<br />

ditetapkan di salah satu sudut lokasi penangkaran. Hal ini didasarkan atas<br />

pertimbangan : (a) lokasi ini memiliki posisi yang strategis, karena berada di<br />

lokasi yang bisa menjangkau ke semua lokasi (b) Bangunan yang akan<br />

didirikan tidak banyak memerlukan peningkatan kualitas tapak karena<br />

lokasinya memiliki topografi yang datar dan (c) dekat dengan sumber air.<br />

Pemilihan lokasi ini sesuai dengan pendapat dari Hakim dan Utomo<br />

(2002), yang mengatakan bahwa umumnya pada lokasi dengan kemiringan<br />

di bawah 4% diklasifikasikan pada daerah datar dan cocok untuk aktivitas/<br />

kegiatan yang padat, kemiringan 4 – 10% untuk kegiatan sedang dan lebih<br />

dari 10% untuk keperluan ruangan khusus.<br />

Secara rinci diskripsi dan tata letak tapak pada zona perkantoran dapat<br />

dilihat pada Gambar 7.<br />

Gambar 7. Diskripsi dan tata letak tapak pada zona perkantoran<br />

(Headquarter zone).<br />

53


2. Zona Penangkaran (Captive Breeding Zone)<br />

Zona ini merupakan satu kesatuan penangkaran yang terdiri dari<br />

pedok induk, pedok jantan, pedok perkawinan dan pedok anak. Pedok<br />

induk merupakan pedok inti usaha penangkaran. Masing-masing pedok<br />

penempatannya didasarkan atas kemudahan pemindahan anak dari pedok<br />

induk ke pedok anak pada saat lepas sapih dan jantan ke dan dari pedok<br />

perkawinan serta pedok induk dari dan ke pedok perkawinan.<br />

Dalam setiap pedok dibuat shelter/tempat berteduh berupa<br />

bangunan atau pohon yang sekaligus dapat berfungsi sebagai tempat<br />

pengasinan, bak air dan palung pakan.<br />

Zona penangkaran ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu unit<br />

penangkaran dan areal pembesaran/ pemeliharaan.<br />

Berdasarkan hasil analisis lokasi penangkaran yang ada, maka pada<br />

prinsipnya lokasi penangkaran yang ada semuanya bisa dijadikan zona<br />

penangkaran, karena topografi lokasi berkisar antara 0 – 20 o . Selain itu<br />

sumber air dapat didistribusikan ke seluruh tapak, sehingga dalam<br />

pembangunannya tidak memerlukan banyak peningkatan tapak. Sedangkan<br />

areal pembesaran ditempatkan disebelah barat. Lokasi ini memiliki kondisi<br />

datar hingga bergelombang kecil, sumber air masih bisa terjangkau dengan<br />

pompanisasi dan pada saat ini merupakan areal padang rumput yang potensi.<br />

Hal ini didukung oleh pendapat Van Bemmel (1949) yang menyebutkan<br />

bahwa padang rumput atau savana sebagai tempat merumput merupakan<br />

habitat yang paling disukai oleh rusa timor (Cervus timorensis de<br />

Blainville).<br />

Jika kebutuhan luas pedok untuk masing-masing kelas umur dan jenis<br />

kelamin diasumsikan: induk = 60 m 2 /ekor, jantan = 125 m 2 /ekor, anak umur<br />

< 1 tahun = 22 m 2 /ekor dan anak umur 1-2 tahun = 30 m 2 /ekor, maka<br />

populasi yang dapat ditampung pada masing-masing pedok setelah 10 tahun<br />

di penangkaran dengan sistem farming adalah sebagaimana tersaji pada<br />

Tabel 4.<br />

54


Secara lengkap diskripsi dan tata letak perancangan tapak yang<br />

disarankan untuk dikembangkan dalam usaha penangkaran rusa timor<br />

(Cervus timorensis de Blainville) dengan sistem farming di Kampus IPB<br />

Darmaga dapat dilihat pada Gambar 8.<br />

Gambar 8. Diskripsi dan tata letak perancangan tapak penangkaran rusa di<br />

Kampus IPB Darmaga dengan sistem farming.<br />

Dari gambar di atas dapat dijelaskan bahwa :<br />

1. Luas zona perkantoran (A) = 0,10 ha atau sama dengan 2,35% dari luas lahan,<br />

terdiri dari kantor utama (kantor dan pusat informasi), mes penangkar, gudang<br />

bahan pakan dan peralatan serta klinik/karantina satwa.<br />

2. Luas pedok induk (B) = 1,50 ha atau sama dengan 35,29% dari luas lahan,<br />

pedok ini dapat menampung 250 ekor induk dengan luas pedok 60 m 2 /ekor.<br />

3. Luas pedok jantan (C) = 0,28 ha atau sama dengan 6,70% dari luas lahan,<br />

pedok ini dapat menampung 23 ekor pejantan dengan luas pedok 125 m 2 /ekor.<br />

55


4. Luas pedok perkawinan (BC) = 0,25 ha atau sama dengan 5,88% dari luas<br />

lahan. Pada pedok ini dapat menampung induk yang sedang birahi sebanyak<br />

20 - 25 ekor dengan luas pedok 100 m 2 /ekor.<br />

5. Luas pedok anak/pembesaran terdiri dari pedok D1 seluas 0,75 ha (17,65%)<br />

untuk anak berumur ≤ 1 tahun, dimana dapat menampung 341 ekor dengan<br />

luas pedok 22 m 2 /ekor dan pedok D2 seluas 0,25 ha (5,90%) untuk anak<br />

berumur 1 – 2 tahun, dimana dapat menampung sebanyak 84 ekor dengan luas<br />

pedok 30 m 2 /ekor. Dengan demikian luas pedok anak/pembesaran (D1 + D2)<br />

adalah 1,00 ha atau sama dengan 23,55% dari luas lahan.<br />

6. Luas kebun rumput sementara (E) = 1,0 ha atau sama dengan 23,55% dari<br />

luas lahan, dimana kebun rumput ini hanya sampai tahun ke-4. Selanjutnya<br />

seiring dengan pertambahan populasi induk, maka kebun rumput ini dijadikan<br />

pedok induk yang dapat menampung 167 ekor dengan luas pedok 60 m 2 /ekor.<br />

7. Pagar terbuat dari kawat dengan tinggi 2 – 2,5 meter. Untuk menghidari<br />

masuknya binatang pengganggu (anjing), maka dibagian bawah setinggi<br />

50 – 75 cm dilapisi dengan kawat harmonika. Secara rinci disain pagar dapat<br />

dilihat pada Gambar 9.<br />

Gambar 9. Desain pagar yang disarankan.<br />

8. Lebar jalan inspeksi = 1,5 meter dengan dasar berpasir yang digunakan<br />

sebagai jarur pemindahan rusa dari dan ke ruang klinik dan karantina dan<br />

untuk jalur pemindahan rusa dari satu pedok ke pedok lainnya. Selain itu juga<br />

digunakan sebagai jalan bagi pengelola dalam pendistribusian pakan dengan<br />

menggunakan gerobak dorong dan pengontrolan. Secara rinci desain jalan<br />

inspeksi dapat dilihat pada Gambar 10.<br />

56


Gambar 10. Desain jalan inspeksi dan pintu yang disarankan.<br />

9. Untuk menghindari becek pada dasar pedok, maka dasar pedok diberi pasir<br />

dan selanjutnya ditanami rumput alam, selain untuk menggurangi erosi juga<br />

sebagai sumber pakan.<br />

Rancangan Manajemen Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis<br />

de Blainville) dengan Sistem Deer Farming<br />

Manajemen Penangkaran<br />

Meskipun usaha penangkaran rusa di Indonesia belum terlalu<br />

memasyarakat, namun dengan tingkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi<br />

yang ada sekarang ini tidak ada kesulitan untuk mengadopsi dan mengembangkan<br />

teknik-teknik penangkaran rusa yang telah berhasil di luar negeri. Ditinjau dari<br />

segi teknis pada prinsipnya penerapkan teknik-teknik peterakan yang telah<br />

dikenal masyarakat, sehingga secara teknis tidak ada kesulitan. Tetapi kenyataan<br />

berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan langsung di lapangan diperoleh<br />

data mengenai penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) yang ada<br />

di Kampus IPB – Darmaga sebagai berikut :<br />

1. Populasi rusa<br />

Populasi rusa yang ada di penangkaran Kampus IPB – Darmaga berjumlah 6<br />

ekor terdiri dari 2 ekor jantan dan 4 ekor betina. Berdasarkan hasil<br />

wawancara dan pengamatan langsung di lokasi, diketahui keempat ekor betina<br />

57


yang ada sedang dalam kondisi bunting dan ternyata pada akhir pengamatan<br />

salah satu diantaranya beranak. Anak yang dilahirkan berjenis kelamin<br />

betina, sehingga populasi rusa di akhir penelitian berjumlah 7 ekor.<br />

2. Pemberian pakan dan minum<br />

Pakan yang diberikan kepada rusa yang ada di penangkaran semata-mata<br />

mengandalkan pasokan dari luar berupa rumput alam hasil dari sabitan<br />

petugas yang ada dilapangan. Jumlah hijauan yang diberikan tidak sesuai<br />

dengan standar kebutuhan hidup rusa, dimana dari segi kuantitas sangat<br />

kurang apalagi dari segi kualitas. Makanan penguatan maupun makanan<br />

tambahan selama pengamatan belum pernah diberikan. Begitu juga<br />

kebutuhan akan air minum semata-mata hanya dipenuhi dari air yang berasal<br />

dari air yang terkandung didalam hijauan yang diberikan, sedangkan air<br />

minum tidak pernah disediakan.<br />

3. Perkembangbiakan<br />

Perkembangbiakan yang terjadi di penangkaran saat ini adalah perkembang-<br />

biakan secara alami murni, dimana tidak ada campur tangan dari pengelola.<br />

Rusa-rusa yang ada dibiarkan melakukan perkembangbiakan dengan<br />

sendirinya, yang penting pengelola sudah menyediakan tempat dan<br />

memberinya pakan hijauan apa adanya.<br />

4. Kontrol penyakit<br />

Kontrol terhadap penyakit selama ini tidak pernah dilakukan. Apalagi<br />

pemberian vaksin, vitamin dan obat-obatan lainnya, sehingga penampilan rusa<br />

yang ada di penangkaran kelihatan kurang sehat. Hal ini dapat dilihat dengan<br />

bulu-bulu yang kusam dan sebagian ada yang rontok.<br />

Berdasarkan hasil kajian potensi lokasi dan juga keadaan penangkaran<br />

yang ada, sesungguhnya penangkaran tersebut dapat diusahakan lebih baik lagi,<br />

yaitu dengan mengembangkan penangkaran rusa sistem deer farming. Ditinjau<br />

dari segi teknis pada prinsipnya penerapan penangkaran rusa hampir sama dengan<br />

teknik-teknik peterakan yang telah dikenal masyarakat, sehingga secara teknis<br />

sesungguhnya tidak ada kesulitan.<br />

58


Secara garis besar, teknik penangkaran rusa dengan sistem farming<br />

meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut :<br />

1. Pemeliharaan, yaitu meliputi :<br />

a. Pengadaan bibit<br />

Jenis rusa yang dikembangkan dalam usaha penangkaran adalah<br />

rusa timor (Cervus timorensis de Blainville). Berdasarkan informasi<br />

dari beberapa sumber yang diperoleh selama melakukan penelitia, bibit<br />

rusa untuk keperluan penangkaran dapat diperoleh dari suakamarga-<br />

satwa, kebun binatang, penangkaran lain dan penangkapan di hutan.<br />

Jumlah rusa yang dapat ditampung dalam suatu lokasi<br />

penangkaran disesuaikan dengan kesiapan lokasi, sarana prasarana,<br />

ketersediaan biaya dan tenaga pengelola serta potensi pasar. Perkiraan<br />

jumlah rusa yang dapat diperoleh didasarkan atas beberapa<br />

pertimbangan, yaitu potensi yang ada didaerah sekitar lokasi<br />

penangkaran dan kemudahan untuk memperolehnya baik dari segi<br />

perizinan maupun penangannya.<br />

b. Seleksi Bibit<br />

Untuk memperoleh kualitas keturunan yang baik dalam usaha<br />

penangkaran rusa perlu diperhatikan pemilihan induk dan pejantan yang<br />

baik. Untuk itu dalam jangka panjang, penangkaran rusa hendaknya<br />

mengarah pada sistem seleksi yang benar serta pencatatan setiap<br />

individu rusa di penangkaran, khususnya individu-individu bibit.<br />

Salah satu masalah penting yang harus dihindari dalam usaha<br />

penangkaran adalah timbulnya inbreeding. Untuk menghindari<br />

meningkatnya koefisien inbreeding, maka seleksi bibit, pencatatan<br />

silsilah tiap individu rusa khususnya rusa-rusa induk/pejantan dan<br />

pengaturan sistem perkawinan menjadi penting untuk diperhatikan.<br />

Pejantan yang digunakan untuk mengawini betina diatur<br />

sedemikian rupa, sehingga pejantan dari satu pedok selalu digantikan<br />

dengan pejantan lain pada setiap musim kawin berikutnya, dalam hal ini<br />

dilakukan pergiliran pejantan secara teratur.<br />

59


Adapun syarat-syarat rusa yang baik untuk dijadikan bibit secara<br />

umum adalah (a) berasal dari induk dan pejantan yang baik (jelas<br />

silsilahnya/tetuanya), (b) tidak cacat, (c) mempunyai pertumbuhan<br />

yang baik, (d) sehat dan (e) memiliki kemampuan adaptasi dengan<br />

lingkungan yang tinggi.<br />

c. Adaptasi<br />

Secara alami rusa termasuk satwa yang mempunyai kemampuan<br />

adaptasi lingkungan yang sangat tinggi. Di lingkungan yang banyak<br />

aktivitas manusia, bahkan di lingkungan dengan kondisi makanan yang<br />

jelek sekalipun rusa mampu beradaptasi dengan baik. Meskipun<br />

demikian diperlukan perhatian dan penanganan maupun latihan yang<br />

baik dan teratur untuk mencegah kemungkinan yang tidak diinginkan<br />

seperti terjadinya stress, serangan penyakit dan kematian, sehingga<br />

dapat mengoptimalkan manfaat yang diperoleh.<br />

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mempermudah<br />

penanganan rusa yang baru ditangkap ke tempat penangkaran adalah<br />

dengan menempatkan rusa dalam kandang yang gelap dan relatif tidak<br />

luas. Pedok ini dapat dibagun dalam pedok karantina. Disamping itu<br />

untuk membiasakan rusa terhadap penggiringan dapat dilakukan dengan<br />

melatih secara teratur dalam waktu tertentu dengan memperlihatkan<br />

tanda-tanda tertentu (bendera atau suara).<br />

Usaha pengadaptasian ini selain ditujukan pada rusa-rusa yang<br />

telah ada di lokasi penangkaran guna mempermudah penanganannya,<br />

juga diperlakukan pada rusa- rusa yang brau didatangkan dari luar areal<br />

penangkaran. Untuk rusa-rusa yang baru didatangkan dari luar<br />

arealpenagkaran, langkah pengadaptasian ini dilakuka di pedok<br />

karantina selama 1 – 2 minggu, selain untuk tujuan adaptasi juga untuk<br />

mencegah kemungkinan penyakit yang dibawanya.<br />

d. Penyediaan Pakan<br />

Dalam suatu usaha penangkaran, makanan merupakan salah satu<br />

komponen produksi yang membutuhkan biaya terbesar, yaitu dapat<br />

60


mencapai 65 – 70% dari seluruh total produksi (Thohari et al. 1991).<br />

Oleh karena itu penyediaan makanan perlu mendapat perhatian khusus<br />

serta penanganan yang baik dan teratur, sehingga kualitas makanan yang<br />

diberikan mampu menhasilkan produktivitas optimum rusa yang<br />

ditangkarkan. Kaitannya dengan penyediaan makanan rusa, terdapat<br />

beberapa faktor yang perlu diperhatikan, yaitu :<br />

(1). Jenis bahan makanan<br />

Jenis makanan yang dapat diberikan pada rusa di<br />

penangkaran dapat berupa hijuan, konsentrat dan makanan<br />

tambahan. Jenis hijauan antara lain rerumputan dan pucuk/daun<br />

muda tumbuhan polong (legum). Dari hasil analisis tumbuhan di<br />

lokasi penangkaran ditemukan beberapa jenis hijauan yang<br />

dimakan rusa, diantaranya yang dominan adalah rumput pahitan<br />

(Paspalum conjungatum), alang-alang (Imperata cylindrica),<br />

jukut kidang (Centotheca lappacea), kacangan (Desmodium<br />

heterocarpum) dan teki (Cyperus rotundus). Sedangkan jenis<br />

konsentrat yang dapat diberikan pada rusa dapat berupa<br />

campuran dedak, jagung dan umbi-umbian. Selain itu hasil<br />

limbah pertanian seperti daun jagung juga disukai dan perlu<br />

dicoba berbagai jenis limbah pertanian yang ada di sekitar lokasi<br />

penangkaran.<br />

(2). Jumlah dan frekwensi pemberian pakan<br />

Secara umum jumlah makanan yang diberikan pada satwa<br />

pemamahbiak per ekor per hari adalah sebesar 5 – 10% dari bobot<br />

badannya, sedangkan frekwensi pemberiannya dapat dilakukan 2 –<br />

3 kali per hari. Bila rata-rata berat badan rusa timor adalah 75 kg,<br />

maka kebutuhan hijauan pakan rata-rata adalah 5,63 kg/ekor/hari.<br />

Untuk keperluan penangkaran ini makanan yang akan<br />

diberikan berdasarkan dari beberapa hasil penelitian adalah<br />

61


sebanyak 6 kg hijauan segar per ekor per hari. Sedangkan<br />

konsentrat diberikan 0,5 kg/ekor/hari.<br />

(3). Cara peramuan dan penyajian pakan<br />

Hijauan yang diberikan adalah jenis rumput unggul, agar<br />

penggunaan pakan lebih efisien, maka rumput dipotong pendek<br />

(dicacah) menjadi sekitar 20 cm atau kurang saat akan diberikan<br />

kemudian diletakkan di dalam palung-palung pakan.<br />

Pemotongan ini dimaksudkan agar tidak banyak hijauan yang<br />

tersisa atau terbuang.<br />

Pakan konsentrat yang diberikan berupa campuran dedak<br />

dan umbi-umbian yang dipotong kecil-kecil, dibasahi dengan air<br />

yang dicampur dengan sedikit garam. Penmberian air ini<br />

bertujuan agar dedak tidak banyak terbuang, sementara garam<br />

diberikan selain untuk meningkatkan palatabelitas pakan juga<br />

untuk mencukupi kebutuhan mineral. Setelah pakan siap,<br />

selanjutnya ditempatkan pada palung-palung pakan.<br />

e. Pengembangbiakan<br />

Dalam usaha penangkaran, masalah pengembangbiakan<br />

memegang peranan yang sangat penting, karena dasar keberhasilan<br />

usaha penangkaran terletak pada keberhasilan reproduksinya. Ada tiga<br />

cara yang dapat dilakukan dalam upaya pengembangbiakan rusa di<br />

penangkaran, yaitu : secara alamiah, semi alamiah dan inseminasi<br />

buatan.<br />

Ada tiga cara yang dapat dilakukan dalam upaya pengembang-<br />

biakan rusa di penangkaran : 1). secara alamiah, yaitu membiarkan rusa<br />

kawin dan berkembangbiak tanpa campur tangan manusia, 2). secara<br />

semi alamiah yaitu sistim perkawinan rusa diatur manusia, antara lain<br />

dengan mengatur perpandingan jumlah jantan, dan 3). secara inseminasi<br />

buatan (IB). Namun demikian pada saat ini kegiatan IB pada rusa di<br />

Indonesia masih untuk tujuan penelitian dalam rangka pemahaman sifat<br />

62


eproduksi rusa tropis dan telah disosialisasikan di beberapa penangkar<br />

yang akan diarahkan menjadi penangkar pembibit rusa.<br />

Menurut penulis pada saat ini cara yang dirasa tepat untuk<br />

diterapkan dalam suatu penangkaran adalah dengan cara semi alami,<br />

yaitu dengan pengaturan nisbah kelamin antara jantan dan betina.<br />

Selain itu melakukan rotasi penggunaan pejantan unggul.<br />

f. Perawatan Kesehatan<br />

Berhasil tidaknya suatu usaha penangkaran rusa ditentukan oleh<br />

banyak faktor, diantaranya adalah kesehatan rusa. Perawatan dan<br />

pengobatan penyakit secara baik dan lebih dini ketika terlihat ada gejala<br />

penyakit merupakan tindakan penting yang perlu dilakukan untuk<br />

menghindari kematian dan meluasnya penyebaran penyakit.<br />

Dibandingkan dengan jenis hewan lainnya yang telah dikenal,<br />

rusa cenderung memiliki daya tahan tubuh yang lebih baik terhadap<br />

serangan penyakit. Sebatas rusa mendapatkan makanan yang cukup dari<br />

segi jumlah dan keseimbangan zat-zat nutrisinya, maka gejala<br />

defisisensi suatu unsur nutrisi tidak akan terjadi.<br />

Hingga saat ini rusa belum banyak terdeteksi sebagai pembawa<br />

penyakit bagi kelompok hewan lain atau sesama ruminansia lainnya.<br />

Tetapi justru rusalah yang sering terinfeksi dari hewan lainnya. Hasil<br />

pemantauan di lapangan ternyata rusa timor dan sabar mempunyai daya<br />

tahan terhadap serangan cacing yang cukup kuat.<br />

Untuk menghindari kemungkinan berjangkitnya penyakit perlu<br />

mendapat perhatian, khususnya yang berkaitan dengan pencegahannya,<br />

misalnya : melalui vaksinasi disamping pemeriksaan mulut maupun<br />

injeksi. Dalam hal ini rusa yang baru datang dari luar loksi penangkaran<br />

dan anak-anak rusa yang baru lahir segera diberi vaksin anti cacing dan<br />

penyakit lainnya.<br />

(1) Beberapa jenis parasit dan penyakit<br />

Beberapa jenis parasit yang biasa menyerang rusa<br />

diantaranya adalah : eksternal parasit (lalat hijau dan caplak),<br />

63


internal parasit (cacing paru/Dictyocaulus spp.), sedangkan<br />

penyakit yang perlu mendapat perhatian adalah : luka pada<br />

lambung dan usus, Salmonelosisi, Pnumonia, Malignant Catarhal<br />

Fever, Brucellosis, Tuberculosis, Capture myopathy, Antraks serta<br />

gangguan metabolisme misalnya keracunan.<br />

(2) Program Perawatan Kesehatan<br />

Pada prisnsipnya tindakan pencegahan lebih baik dan murah<br />

dibandingkan dengan pengobatan. Oleh karena itu sangat<br />

diperlukan suatu program perencanaan perawatan kesehatan yang<br />

baik dan teratur guna mencegak atau meminimalkan resiko<br />

pemeliharaan.<br />

Beberapa program perawatan kesehatan yang perlu<br />

dipertimbangkan untuk dilakukan adalah :<br />

(a) Vaksinasi secara tertatur terhadap penyakit-penyakit seperti<br />

TBC, salmonelosis, clostridial dan lain-lain.<br />

(b) Pembersihan/penyemprotan pedok serta pagar dengan<br />

desinfektan secara berkala.<br />

(c) Jika air didalam pedok tidak mengalir, maka dilakukan<br />

pembersihan dan penggantian air setiap harinya.<br />

(d) Pemberian vitamin dan mineral penting secara teratur<br />

(e) Pemberian dan pengaturan makanan yang baik<br />

(f) Melakukan pengujian veteriner untuk jenis-jenis penyakit<br />

tertentu.<br />

(3) Parameter kesehatan<br />

Apabila rusa mulai turun tingkat kesehatannya namun tidak<br />

terlihat disebabkan oleh suatu penyakit tertentu, maka<br />

kemungkinan besar hal itu disebabkan karena pengaruh stres yang<br />

berkepanjangan, baik karena iklim ( hujan lebat, tanah bevek atau<br />

terik panas matahari) atau lingkungan sekitar (terganggu<br />

ketenangannya).<br />

64


Perlakuan yang dapat dilakukan adalah dengan perbaikan<br />

lingkungan dan pemberian vitamin. Namun demikian indikator<br />

sehatnya seekor rusaseringkali harus dianalisa lewat kondisi darah<br />

dan ini hanya bisa dilakukan setelah didiagnosa oleh dokter hewan.<br />

g. Pembibitan dan Pembesaran<br />

Yang dimaksud dengan pembibitan adalah segala usaha<br />

pengadaan dan pemeliharaan anak-anak rusa baik rusa jantan maupun<br />

betina yang disiapkan sebagai pejantan dan induk dalam penangkaran.<br />

Dalam pengertian ini termasuk pemeliharaan anak-anak rusa yang akan<br />

dijual keluar penangkaran sebagai bibit.<br />

Pemeliharaan anak-anak rusa ini dilakukan sesaat setelah<br />

dilakukan penyapihan yaitu sekitar umur 3 bulan yang ditempatkan pada<br />

pedok tersendiri. Dalam pemeliharaan ini disatukan antara rusa jantan<br />

dan betina sampai mencapai umur dewasa kelamin, dimana hal ini<br />

dilakukan untuk memberikan kesempatan kepada anak-anak rusa<br />

tersebut berinteraksi dan bersosialisasi antara yang satu dengan yang<br />

lainnya. Setelah memasuki umur dewasa kelamin, yaitu lebih umur 8<br />

bulan dengan berat badan ± 40 kg dilakukan pemisahan antara rusa<br />

jantan dengan betina.<br />

Pada saat pemisahan ini sekaligus dilakukan seleksi untuk<br />

memilih rusa-rusa yang akan dijadikan calon induk dan pejantan, yang<br />

selanjutnya akan diberikan tanda (penning) untuk memudahkan dalam<br />

pengelolaan selanjutnya. Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah<br />

bahwa rusa-rusa tersebut untuk tidak segera dikawinkan meskipun sudah<br />

dewasa kelamin, karena pada dasarnya usia produktifnya (minimum<br />

breeding age) baru dicapai pada umur 2 – 3 tahun.<br />

Setelah dilakukan seleksi untuk memilih calon bibit, maka rusa-<br />

srusa yang tidak terpilih untuk selanjutnya dilakukan pemeliharan<br />

pembesaran/penggemukan guna mendapatkan pertumbuhan yang<br />

optimum agar diperoleh rusa-rusa yang gemuk dengan kualitas daging<br />

yang baik. Umur optimum yang diperhitungkan dalam pembesaran/<br />

65


penggemukan ini untuk mencapai usia potong adalahh rata-rata satu<br />

tahun dengan berat badan 60 kg dan prosentase karkas 60% dengan<br />

rata-rata berat daging 36 kg (Thohari et al., 1991).<br />

h. Pencatatan (recording)<br />

Pencatatan (recording) adalah suatu tindakan untuk melakukan<br />

pencatatan tentang identitas satwa yang meliputi : nomor, nama, jenis<br />

kelamin, tempat dan tanggal lahir (umur) dan nama induk. Tujuan<br />

dilakakukannya pencatatan (recording) adalah untuk mengenali satwa<br />

secara jelas, dimana dengan mengenali identitas satwa secara jelas,<br />

diharapkan dapat menghindari terjadinya perkawinan dengan kerabat<br />

dekatnya (inbreeding), sehingga pelaksanaan penangkaran dapat<br />

berjalan dengan baik.<br />

Penandaan atau penomoran setiap individu rusa umumnya<br />

dilakukan dengan memberikan “anting” bernomor (penning) yang<br />

cukup besar tetapi ringan pada daun telingan rusa, sehingga mudah<br />

diamati dari jauh dengan menggunakan teropong binokuler. Penning ini<br />

dipasang pada saat anak rusa baru lahir.<br />

2. Pemanenen, yaitu meliputi :<br />

a. Penggiringan dan Penangkapan<br />

Pengertian penggiringan adalah aktivitas memindahkan<br />

kelompok rusa dari satu pedok ke pedok lainnya sesuai dengan<br />

kehendak kita atau membawa rusa ke kandang kerja. Untuk keperluan<br />

pengobatan atau velveting, penggiringan dilakukan dengan cara<br />

menggiring rusa-rusa yang telah terpilih atau ditentukan untuk ditangkap<br />

ke suatu tempat yang sempit yang telah disiapkan melalui jalur-jalur<br />

pedok, sedangkan untuk keperluan rotasi padang penggembalaan<br />

dilakukan terhadap seluruh rusa yang ada dalam satu pedok.<br />

Apabila penggiringan dilakukan asal-asalan, maka yang terjadi<br />

hanyalah rusa berlari berputar-putar di sekitar pedok dan tidak berani<br />

keluar dari pedok. Pada akhirnya rusa menjadi stres dan kelelahan.<br />

Yang pertama kali perlu diperhatikan dalam penggiringan adalah<br />

66


memperhatikan jarak melarikan diri rusa (JMD, flight distance), yaitu<br />

jarak terdekat anata manusia dengan rusa yang dapat diterima oleh rusa<br />

sebelum rusa tersebut lari menghindar karena merasa terancam.<br />

Yang dimaksud dengan penangkapan adalah baik yang dilakukan<br />

di luar lokasi penangkaran untuk dijadikan bibit maupun rusa-rusa yang<br />

ada di dalam lokasi penangkaran untuk keperluan penanganan-<br />

penanganan tertentu seperti pengobatan, pemanenan/ pengambilan<br />

velvet, perangsangan birahi dan inseminasi buatan. Dalam pengertian iti<br />

juga termasuk penangkapan untuk keperluan pemanenan.<br />

Secara umum beberapa teknik penangkapan rusa yang dapat<br />

diterapkan adalah : penggiringan, penjeratan/pemerangkapan, dan<br />

pembiusan. Pemilihan teknik penengkapan tergantung dari tujuan<br />

penangkapan. Untuk tujuan pengobatan, velveting dan inseminasi<br />

buatan misalnya sejauh mungkin diusahakan untuk menggunakan teknik<br />

penangkapan yang memberikan resiko stres terkecil, yaitu dengan<br />

pembiusan. Tetapi untuk tujuan pemanenan biasa dilakukan dengan<br />

penggiringan atau penjeratan.<br />

b. Pengangkutan<br />

Apabila karena satu dan lain hal rfusa harus diangkut, maka<br />

didalam pengangkutan ada beberapa hal yang harus diperhatikan, karena<br />

sering terjadi kematian dan timbulnya penyakit akibat salah penanganan<br />

dalam pengangkutan. Beberapa hal yang perlu diperhatinan adalah :<br />

(1). Kondisi Rusa<br />

Jika rusa yang akan diangkut adalah jantan dewasa, sangat<br />

disarankan ranggah dalam pertumbuhan apapun dilakukan<br />

pemotongan terlebih dahulu, kecuali pada fase ranggah muda tidak<br />

lebih dari 10 cm. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi rusa yang<br />

cidera. Selain itu pengangkutan rusa yang tidak beranggah<br />

menjadikan ukuran kotak angkut lebih kecil, sehingga praktis<br />

dalam pengangkutan.<br />

67


(2). Cuaca<br />

Pengangkutan rusa sebaiknya dilakukan pada saat cuaca sejuk.<br />

Perjalanan sangat disarankan dilakukan malam hari guna<br />

menghindari stres akibat kondisi panas matahari.<br />

(3). Kotak Pengangkutan<br />

Kotak pengangkutan harus terbuat dari bahan yang kuat,<br />

khususnya pada pengangkutan rusa dewasa, karena hentakan kaki<br />

sering membuat kotak pengangkutan menjadi rusak, sehingga<br />

bahan triplek tebal sangat baik, walaupun papan juga dapat<br />

digunakan. Dalam pwembuatan kotak angkut yang terbaik adalah<br />

jika rusa hanya dapat berdiri dan ke posisi duduk tanpa dapat<br />

berputar<br />

(4). Jarak dan Lama Pengangkutan<br />

Dalam melakukan perjalan yang membawa beberapa kotak<br />

pengangkutan sekaligus, sebaiknya ada jarak antara kotak,<br />

sehingga terjadi sirkulasi udara dengan baik. Selain itu<br />

penempatan tutup diatas alat pengangkut (terpal) perlu<br />

dipertimbangkan untuk perjalan yang panjang (> 24 jam). Bila<br />

pengangkutan memerlukan waktu perjalanan yang panjang,<br />

sebaiknya diperlukan waktu istirahat bagi rusa-rusa di tempat yang<br />

teduh dan sejuk walaupun sebentar.<br />

(5). Pengeluaran Rusa<br />

Pengeluaran rusa dari dalam kotak angkut merupakan tahapan<br />

terakhir yang justru seringkali mematikan. Tidak jarang saat<br />

sampai di lokasi kondisi rusa dalam keadaan stres dan ketakutan<br />

dan lelah, sehingga tidak mampu lagi untuk berdiri. Bila<br />

menemukan kondisi yang demikian disarankan untuk menunggu<br />

agar rusa mau keluar dengan sendirinya. Bila memungkinkan<br />

sebelum rusa keluar diberikan obat anti stres dan vitamin.<br />

Dilarang memberikan siraman air dengan maksud memberikan<br />

68


kesegaran, karena justru sebaliknya yang terjadi adalah sebaliknya<br />

suatu kematian akibat perubahan suhu yang mendadak. Agar<br />

keselamatn terjamin, sebaiknya saat akan melakukan pengeluaran,<br />

kotak angkut sudah berada di dalam wilayah dimana rusa akan<br />

ditempatkan. Lingkungan yang tenang, jauh dari tontonan orang<br />

atau kebisingan saat pelepasan dilakukan sanbgat membantu rusa<br />

untuk cepat beradaptasi dengan daerah baru.<br />

c. Pemanenan Velvet (Velveting)<br />

Ciri khusus dari rusa adalah keberadaan ranggahnya dan hanya<br />

dijumpai pada kelompok rusa jantan. Ranggah merupakan suatu bentuk<br />

pertumbuhan tulang sejati yang terjadi keluar dari anggota badan dengan<br />

siklus tumbuh, mengeras dan luruh berputar secara berkala setiap tahun.<br />

Pertumbuhan ranggah bukanlah di tengkorak, tetapi dibonggolan yang<br />

memang khusus untuk pertumbuhan ranggah yang disebut dengan<br />

pedicle. Pada bibir pedicle akan terdapat bentukan yang menyerupai<br />

lingkaran cincin yang disebut brur atau ada yang menyebutnya junction.<br />

Hal inilah yang membedakan antara pengertian ranggah pada rusa<br />

dengan tanduk pada ternak kambing, domba, sapi dan kerbau.<br />

Pertumbuhan awal ranggah dimulai dengan tumbuhnya pedicle,<br />

dimana pada rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) mulai<br />

tampak pada umur 5 – 7 bulan pada kisaran berat badan 29 – 33 kg.<br />

Setelah pudicle tumbuh sempurna, baru ranggah mulain tumbuh. Pada<br />

setiap siklus pertumbuhan ranggah akan terjadi perubahan bentuk,<br />

ukuran dan berat ranggah. Saat pertama kali tumbuh (tahun pertama),<br />

ranggah rusa hanya berupa sebatang ranggah bulat, kecil dan pendek.<br />

Awalnya lunak terdiri dari tulang rawan yang diselimuti jaringan kulit<br />

tipis dan bulu halus (beludru) yang biasa disebut velvet. Setelah<br />

mencapai pertumbuhan maksimum, maka ranggah muda akan mengeras<br />

atau terjadi proses penulangan (kalsifikasi) yang ditandai dengan<br />

mengelupasnya lapisan kulit tipis yang menyelimutinya. Setelah kulit<br />

tipis mengelupas, maka terlihatlah tulang ranggah keras. Pada posisi ini<br />

69


anggah telah berubah bentuk dari jaringan hidup menjadi jaringan mati.<br />

Setelah beberapa saat dalam keadaan ranggah keras, maka ranggah<br />

tersebut akan lepas (luruh) dari daerah tumbuhnya.<br />

Menurur Semiadi dan Nugraha (2002), kecepatan tumbuh ranggah<br />

muda pada pejantan berkualitas baik dapat mencapai 2 cm/hari sebelum<br />

memasuki proses kalsifikasi. Pada saat pertumbuhan cepat inilah yang<br />

dikelan sebagai ranggah muda/ranggah velvet (velvet antler),<br />

mempunyai nilai jual yang mahal.<br />

Pemanenan/pemotongan ranggah muda biasanya dilakunan pada<br />

umur 50 – 55 hari setelah tumbuh. Penentuan kapan saat yang paling<br />

tepat untuk melakukan pemotongan ranggah muda memerlukan<br />

pengalaman dan kecermatan mata. Intinya saat pemotongan dilakukan,<br />

diharapkan akan diperoleh kualitas ranggah muda yang cukup berat<br />

tetapi porsi jaringan mudanya masih sangat besar. Cara perkiraan yang<br />

umum dipakai adalah dengan memperhatikan ujung ranggah utama<br />

(maen beam).<br />

Menurut Semiadi dan Nugraha (2004), pada rusa timor (Cervus<br />

timorensis de Blainville) pemanenan ranggah muda dilakukan saat ujung<br />

ranggah masih berbentuk bulatan besar, belum terjadi percabangan<br />

dengan pemotongan dilakukan sekitar 3 – 5 cm di atas cincin ranggah.<br />

Sarana dan Prasarana Penangkaran<br />

Secara garis besar sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam usaha<br />

penangkaran rusa meliputi : bangunan kantor, pusat informasi, pedok-pedok<br />

dalam unit penangkaran, kebun rumput, areal pembesaran dan adaptasi (padang<br />

pengembalaan) serta jalan inspeksi.<br />

1. Bangunan Kantor<br />

Kantor menurut fungsinya merupakan pusat pengelolaan/ administrasi.<br />

Untuk itu harus tersedia fasilitas-fasilitas yang memadai dan aksesibilitasnya<br />

cukuptinggi, sehingga kegiatan pengelolaan dapat dilaksanakan secara efektif<br />

dan efisien.<br />

70


2. Pusat Informasi<br />

Pusat informasi merupakan suatu tempat dimana didalamnya terdapat<br />

perpustakaan, ruang pamer dan ruang audiovisual, sehingga setiap<br />

pengunjung yang datang dengan mudah mendapatkan informasi yang<br />

diinginkan tentang penangkaran rusa yang dikelolanya. Ruangan yang<br />

digunakan sebagai pusat informasi merupakan bagian dari bangunan kantor<br />

utama.<br />

3. Mes Penangkar/Pengelola<br />

Di suatu penangkaran rusa diperlukan adanya orang yang tinggal dekat<br />

dengan usaha penangkaran tersebut. Hal ini penting untuk urusan penjagaan<br />

keamanan dan terlebih lagi guna kemudahan dalam pengawasan secara<br />

intensif, seperti disaat musim kawin, musim melahirkan atau penanganan<br />

yang menyangkut rusa sakit. Dengan dekatnya mes dan penangkaran, maka<br />

rusa-rusa yang ada akan dengan mudah menyesuaikan diri/beradaptasi dengan<br />

hiruk pikuk kegiatan manusia seperti adanya suara kendaraan atau hal-hal<br />

lainnya. Karena suara ini setiap hari terdengar, maka rusa tidak mudah stres<br />

dan akan cenderung menjadi lebih tenang sifatnya.<br />

4. Unit-unit Penangkaran/Pengelola<br />

Unit-unit penangkaran pada dasarnya merupakan komponen utama<br />

dalam pembangunan usaha penangraran rusa. Unit ini terdiri dari pedok-<br />

pedok yang berfungsi sebagai kandang induk dan kandang anak rusa, jalur-<br />

jalur penggiringan rusa (race) dan kandang terminal.<br />

Syarat utama dalam pemilihan lokasi untuk unit-unit penangkaran<br />

adalah kondisi topografi relatif datar sampai bergelombang, serta mudah<br />

dijangkau dari komplek perkantoran dan kandang karantina. Selain itu unit-<br />

unit penangkaran harus dekat dengan areal pembesaran dan adaptasi.<br />

5. Kebun Rumput<br />

Kebun rumput berfungsi untuk menyediakan hijauan pakan rusa di<br />

seluruh unit penangkaran. Letak kebun rumput ini tidak memerlukan<br />

pesyaratan khusus. Namun demikian luas dan jenis rumput yang ditanam<br />

71


perlu diperhatikan, sehingga mampu memproduksi jumlah hijauan yang dapat<br />

mencukupi kebutuhan seluruh unit penangkaran dan palatabilitasnya tinggi.<br />

Luasan kebun rumput disesuaikan dengan populasi rusa yang di targetkan,<br />

sedangkan jenis rumput yang dapat ditanam diantaranya adalah rumput gajah<br />

(Pennisetum purpureum), rumput raja/king grass (Pennisestum purpupoides),<br />

rumpur BD (Brachiaria decumbens), rumput Setaria (Setaria sphacelata) dan<br />

lain-lain. Sementara untuk jenis kacangan (legum) dapat ditanam Lamtoro<br />

gung (Leucaena leucocephala), turi (Sesbania grandiflora), kacang ketropong<br />

(Centrocema plumieri), dan lain-lain.<br />

Luasan kebun rumput yang harus disediakan disesuaikan dengan target<br />

rusa yang akan dipelihara. Berdasarkan hasil pengamatan, maka luasan kebun<br />

rumput yang harus disediakan agar rusa-rusa yang dipelihara tidak<br />

kekurangan hijauan adalah seluas 0,26 ha/ekor. Meskipun demikian pada<br />

penangkaran rusa dengan sistem deer farming keterbatasan lahan yang<br />

dimiliki tidak merupakan suatu kendala, karena hijauan dapat dibeli dari luar.<br />

6. Areal Pembesaran dan Adaptasi<br />

Areal pembesaran dan adaptasi adalah areal/pedok yang<br />

diperuntukkan pemeliharaan anak-anak rusa lepas sapih sebelum diseleksi<br />

untuk dijadikan bibit baik yang akan dipelihara maupun di jual. Selain itu<br />

agar anak-anak rusa dapat beradaptasi dengan lingkungan tanpa<br />

ketergantungan dengan induknya.<br />

Untuk areal ini tidak memerlukan persyaratan khusus, sebab rusa<br />

memiliki kemampuan beradabtasi dengan lingkungan yang cukup tinggi.<br />

Adapun sarana dan prasarana yang perlu disediakan pada areal ini terdiri dari :<br />

shelter (baik alami maupun buatan), palung pakan, bak minum, tempat<br />

berkubang dan tempat pengaraman.<br />

7. Jalan Inspeksi<br />

Jalan inspeksi diperlukan pada suatu areal penangkaran, hal ini<br />

berfungsi sebagai jalan untuk melakukan pengamatan dan pengawasan<br />

terhadap rusa-rusa yang ada dilokasi. Dalam pembuatan jalan inspeksi ini<br />

72


diusahakan tidak mengganggu ketenangan rusa saat mereka berada di dalam<br />

pedok, sehingga pemilihan lokasi biasanya di pinggir pedok.<br />

Panjang dari jalan inspeksi ini disesuaikan dengan panjang pedok yang<br />

ada dengan lebar 1,5 - 2,0 meter, karena dengan ukuran ini memudahkan<br />

pengelola untuk melakukan kontrol dan juga pengangkutan pakan ke setiap<br />

pedok yang ada dengan menggunakan gerobak dorong.<br />

8. Gudang<br />

Gudang diperlukan untuk tempat penyimpanan peralatan dan juga stok<br />

bahan pakan. Untuk memudahkan pengelolaan, bagunan gudang pakan dan<br />

peralatan menjadi satu, tetapi ruangan yang berfungsi sebagai gudang alat<br />

dipisahkan dengan ruangan untuk gudang pakan.<br />

9. Peralatan<br />

Peralatan yang diperlukan diantaranya adalah alat pencacah rumput<br />

(copper), alat angkut pendidtribusian pakan (gerobak dorong) dan alat<br />

mencacah umbi-umbian (sabit/parang).<br />

Proyeksi Perkembangan Populasi di Penangkaran<br />

Berdasarkan hasil analisis terhadap daya dukung lokasi yang ada dan<br />

manajemen penangkaran yang akan diterapkan (manajemen deer farming), maka<br />

dapat diperkirakan proyeksi populasi rusa di penangkaran selama 10 tahun<br />

kedepan, dengan asumsi dasar adalah luas lahan yang dimanfaatkan untuk zona<br />

penangkaran (Captive breeding zone) adalah ± 94% dari luas lokasi yang ada,<br />

yaitu 4,0 ha yang dibagi menjadi pedok induk, pedok jantan, pedok perkawinan<br />

dan pedok anak/pembesaran dan asumsi-asumsi teknis biologis sebagaimana<br />

tercantum pada bab metode penelitian.<br />

Secara rinci proyeksi populasi setelah 10 tahun di penangkaran dengan<br />

sistem farming adalah sebagaimana tersaji pada Tabel 3.<br />

73


Tabel 3 Proyeksi perkembangan populasi rusa pertahun selama 10 tahun<br />

pemeliharaan di penangkaran rusa Kampus IPB – Darmaga<br />

N0. Subyek Sex<br />

1.<br />

2.<br />

3.<br />

Jumlah Induk per tahun :<br />

a.Dari luar penangkaran<br />

b. Dari hasil Penangkaran<br />

Jumlah Induk<br />

Tahun ke-<br />

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10<br />

J 5 10 10 10 10 10 10 10 10 5<br />

B 100 200 200 200 200 200 200 200 200 100<br />

J - - - 2 4 6 9 12 15 18<br />

B - - - 36 66 106 156 216 276 336<br />

J 5 10 10 12 14 16 19 22 25 23<br />

B 100 200 200 236 266 306 356 416 476 436<br />

Jumlah anak per tahun :<br />

a. Jumlah anak lahir (80<br />

% dari jumlah induk,<br />

J - 40 80 80 94 106 122 142 166 190<br />

dengan sex ratio 1 : 1) B - 40 80 80 94 106 122 142 166 190<br />

b. Jumlah anak yang mati J - 4 8 8 9 11 12 14 17 19<br />

(10 % dr jml lahir) B - 4 8 8 9 11 12 14 17 19<br />

c. Jumlah anak yg hidup J - 36 72 72 85 96 110 128 150 171<br />

Proyeksi anak :<br />

a. Dijadikan calon bibit<br />

untuk dikembalikan<br />

ke penangkaran<br />

b. Dijual sebagai bibit<br />

c. Dijual Daging/Potong<br />

B - 36 72 72 85 96 110 128 150 171<br />

J - 2 2 2 3 3 3 3 4 5<br />

B - 36 30 40 50 60 60 60 80 100<br />

J - - - 5 4 5 5 6 8 8<br />

B - - - 42 32 35 36 50 68 70<br />

J - - 34 65 66 77 88 101 117 138<br />

B - - - - - - - - - -<br />

4 Jumlah rusa yang diafkir J - - - - - - - - - 5<br />

Keterangan :<br />

B - - - - - - - - - 100<br />

J = jantan B = betina<br />

Dari tabel tersebut diketahui perkembangan populuasi selama 10 tahun di<br />

penangkaran adalah sebagai berikut :<br />

1. Rusa induk sebanyak 459 ekor, yaitu terdiri dari 23 ekor jantan dan 436 ekor<br />

betina (nisbah kelamin 1 : 19 – 20).<br />

2. Rusa anak berumur ≤ 1 tahun sebanyak 342 ekor, yaitu terdiri dari 171 ekor<br />

jantan dan 171 ekor betina.<br />

3. Rusa anak umur 1 – 2 tahun sebanyak 84 ekor, yaitu calan bibit terdiri dari 80<br />

ekor betina dan 4 ekor jantan.<br />

4. Penjualan rusa bibit sampai dengan tahun ke-9 sebanyak 263 ekor, yaitu<br />

terdiri dari 33 ekor jantan dan 296 ekor betina.<br />

5. Jumlah anak yang dipotong sampai tahun ke-9 adalah 548 ekor, semua terdiri<br />

dari rusa jantan.<br />

74


6. Rusa induk yang diafkir sebanyak 105 ekor, yaitu terdiri dari 5 ekor jantan<br />

dan 100 ekor betina.<br />

7. Total populasi pada tahun ke-10 adalah sebanyak 885 ekor, yaitu terdiri dari<br />

induk sebanyak 459 ekor, anak berumur ≤ 1 sebanyak 342 dan anak berumur<br />

1 – 2 tahun sebanyak 84 ekor.<br />

Analisis Kelayakan Finansial Usaha Penangkaran Rusa Timor (Cervus<br />

timorensis de Blainville) dengan Sistem Deer Farming<br />

Berdasarkan proyeksi perkembangan populasi rusa sebagaimana tersaji<br />

pada Tabel 3 tersebut dan asumsi-asumsi yang telah dibuat, maka dapat di<br />

perkirakan analisis finansial dari usaha penangkaran yang dilaksanakan. Di<br />

dalam analisis finansial terdapat beberapa faktor yang harus diperhatikan, yakni:<br />

hasil usaha, biaya investasi (investment cost), dan biaya operasi (operation cost).<br />

Komponen biaya dan penerimaan dari usaha penangkaran rusa dengan sistem<br />

deer farming dapat dilihat pada Tabel 4 dan secara rinci dapat dilihat pada<br />

Lampiran 4.<br />

Tabel 4 Proyeksi komponen biaya dan penerimaan pada usaha penangkaran rusa<br />

timor (Cervus timorensis de Blainville) selama 10 tahun di penangkaran<br />

dengan sistem deer farming<br />

No Komponen Jumlah Harga<br />

1. Biaya :<br />

a. Biaya investasi 1.767.250<br />

b. Biaya Tetap 849.575<br />

c. Biaya Variabel 474.600<br />

2. Penerimaan :<br />

a. Bibit rusa yang dikembalikan ke penangkaran 542 ekor 5.000.000<br />

b. Bibit rusa yang dijual 353 ekor 5.000.000<br />

c. Penjualan daging 25.481 kg 65.000<br />

d. Penjualan non daging (jerohan) 1.416 kg 25.000<br />

e. Penjualan ranggah 160 pasang 200.000<br />

f. Penjualan velvet 354 kg 300.000<br />

g. Penjualan kulit 708 lembar 100.000<br />

75


Dari Tabel 5 tersebut, maka dapat dilakukan analisis finansial dari usaha<br />

penangkaran rusa meliputi analisis NPV, BCR, IRR dan PP. Secara lengkap<br />

proyeksi biaya dan penerimaan setiap tahunnya dapat dilihat pada Lampiran 5.<br />

Hasil analisis finansial usaha penangkaran rusa timor (Cervus timorensis<br />

de Blainville) dengan target pemeliharaan 210 ekor induk dengan nisbah kelamin<br />

1 : 20 yang didatangkan dari luar penangkaran dengan sistem farming selama 10<br />

tahun di penangkaran dengan asumsi suku bunga (discount factor) 18,00%<br />

sebagaimana tersaji pada Tabel 5 dan secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 5.<br />

Tabel 5 Hasil analisis finansial usaha penangkaran rusa timor (Cervus<br />

timorensis de Blainville) di Kampus IPB – Darmaga<br />

No. Komponen<br />

Suku Bunga (%)<br />

17,00 18,00 19,00<br />

1 NPV (x Rp 1.000) 377.657 249.272 130.234<br />

2 BCR 1,16 1,12 1,06<br />

3 IRR 21,35 %<br />

4 PP 4,53 tahun<br />

Berdasarkan data hasil analisis finansial sebagaimana tersaji pada Tabel 5<br />

dapat dilihat bahwa usaha penangkaran rusa timor dengan sistem deer farming<br />

cukup menjanjikan, dimana pada suku bunga 18,00% diperoleh angka BCR 1,12<br />

artinya usaha tersebut menguntungkan sampai 12,00%. Selain itu juga dapat<br />

dilihat perubahan pendapatan dan biaya yang diakibatkan oleh perubahan suku<br />

bunga pada skenario usaha penangkaran yang akan dilakukan, dimana pada setiap<br />

kenaikan suku bunga diikuti dengan penurunan NPV. Pada tingkat suku bunga<br />

diatas 21,35% (IRR), maka nilai NPV akan nol atau bernilai negatif, dengan<br />

demikian usaha yang dilakukan akan mengalami kerugian. Sedangkan waktu<br />

pengembalian seluruh biaya dalam investasi (Payback Period) adalah 4,53 tahun.<br />

Secara lengkap hasil analisis biaya dan manfaat dari usaha penangkaran<br />

rusa ini dapat dilihat pada Lampiran 5.<br />

76


Selanjutnya berdasarkan hasil analisis finansial dapat diketahui tingkat<br />

sensitivitas terhadap kemungkinan penurunan penerimaan dan kenaikan biaya<br />

produksi sebagaimana tersaji pada Tabel 6, dimana asumsi penurunan dan<br />

kenaikan biaya produksi adalah sebesart 10%.<br />

Tabel 6 Hasil analisis sensitivitas finansial usaha penangkaran rusa timor<br />

(Cervus timorensis de Blainville) di Kampus IPB – Darmaga terhadap<br />

kemungkinan beberapa skenario<br />

No Skenario Kemungkinan<br />

Analisis Finansial<br />

NPV BCR IRR<br />

1. Penerimaan turun 10% 19.920 1,01 18,25<br />

2. Biaya naik 10% 44.847 1,02 18,50<br />

3. Penerimaan turun 10% dan biaya naik<br />

10%<br />

(184.505) 0,92 15,50<br />

Berdasarkan hasil analisis sensitivitas sebagaimana tersaji pada Tabel 6<br />

tersebut, maka dapat disimpulkan :<br />

1. Berdasarkan hasil analisis sensitivitas terhadap penurunan peneraimaan dari<br />

seluruh produksi dengan asumsi terjadi penurunan harga sebesar 10% dan<br />

sedangkan biaya produksi tetap akan mengakibatkan penurunan pendapatan,<br />

sehingga akan berpengaruh terhadap nilai NPV, BCR dan IRR. Namun<br />

demikian usaha penangkaran tersebut masih dapat bertahan sampai pada<br />

tingkat suku bunga 18,25%. Secara rinci gambaran tentang nilai NPV, BCR<br />

dan IRR pada berbagai tingkat suku bunga dengan adanya penurunan<br />

penerimaan sebesar 10% dapat dilihat pada Lampiran 6.<br />

2. Berdasarkan hasil analisis sensitivitas terhadap peningkatan seluruh biaya<br />

produksi dengan asumsi terjadi peningkatan biaya sebesar 10% sedangkan<br />

penerimaan tetap, maka akan mengakibatkan penurunan pendapatan dengan<br />

demikian juga akan berpengaruh terhadap nilai NPV, BCR dan IRR.<br />

Namun demikian usaha penangkaran tersebut masih dapat bertahan sampai<br />

pada tingkat suku bunga 18,50%. Secara rinci gambaran tentang nilai NPV,<br />

BCR dan IRR pada berbagai tingkat suku bunga dengan adanya peningkatan<br />

biaya produksi sebesar 10% dapat dilihat pada Lampiran 7.<br />

77


3. Berdasarkan asumsi terjadinya penurunan penerimaan sebesar 10% dan<br />

peningkatan biaya sebesar 10%, maka akan mengakibatkan penurunan<br />

pendapatan dengan demikian juga akan berpengaruh terhadap nilai NPV,<br />

BCR dan IRR. Dimana usaha penangkaran tersebut masih layak diusahakan<br />

sampai pada tingkat bunga 15,50%, sedangkan bila suku bunga diatas<br />

15,50% usaha sudah tidak layak untuk diteruskan. Sebab akan diperoleh<br />

nilai NPV negatif dan BCR di bawah 0. Secara rinci sebagai gambaran<br />

tentang nilai NPV, BCR dan IRR pada berbagai tingkat suku bunga dengan<br />

kenaikan biaya produksi dapat dilihat pada Lampiran 8<br />

78


SIMPULAN DAN SARAN<br />

Simpulan<br />

Berdasarkan hasil studi dan analisis kelayakan terhadap lokasi<br />

penangkaran rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) yang ada di kampus<br />

IPB – Darmaga, maka dapat disimpulkan bahwa :<br />

1. Lokasi yang disediakan untuk penangkaran rusa di Kampus IPB – Darmaga<br />

secara bio-ekologis, teknis dan lingkungan sesuai dengan persyaratan yang<br />

diperlukan serta mendukung kelayakan ekonomi finansial dengan adanya<br />

peningkatan kualitas pada tapak, meliputi pembersihan lahan (land clearing)<br />

kecuali pohon-pohon besar yang dapat digunakan sebagai pohon pelindung<br />

ditinggalkan secara sporadis dan penataan tapak yang sesuai.<br />

2. Berdasarkan analisis kondisi bio-ekologi lokasi dan kebutuhan hidup rusa,<br />

maka :<br />

a. Untuk lebih mengefektifkan dan mengefisienkan dalam pengelolaan,<br />

lokasi yang ada dibagi menjadi : zona perkantoran seluas 0,10 ha (2,4%)<br />

dan zona penangkaran yang meliputi pedok induk 1,50 ha (35,3%) dan<br />

1,00 ha (23,6%), pedok jantan seluas 0,28 ha (6,7%), pedok anak dan<br />

pembesaran seluas 1,00 ha (23,6%) dan pedok kawin seluas 0,25 ha<br />

(5,9%).<br />

b. Dalam rancangan manajemen penangkaran dengan sistem farming,<br />

maka kegiatan yang dilaksanakan terdiri dari: (1) pemeliharaan, yaitu<br />

meliputi pengadaan bibit, seleksi bibit, adaptasi, penyediaan pakan,<br />

pengemvangbiakan, perawatan kesehatan, pembibitan dan pembesaran<br />

serta pencatatan (recording), dan (2) pemanenan, yaitu meliputi<br />

penggiringan dan penangkapan, pengangkutan dan pemanenen velvet<br />

(velveting).<br />

3. Berdasarkan hasil analisis finansial, maka usaha penangkaran rusa dengan<br />

sistem deer farming, akan layak jika populasi induk yang berasal dari luar<br />

pada tahun pertama minimal 105 ekor dan pada tahun kedua 210 ekor induk<br />

yang dipertahankan minimal sampai tahun ke sembilan, dimana akan<br />

diperoleh nilai NPV = 281.581, BCR = 1,14 dan IRR = 22,75% pada tingkat<br />

suku bunga 18%.<br />

79


Saran<br />

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, maka disarankan :<br />

1. Untuk dapat mencukupi kebutuhan akan hijauan pakan, maka perlu dicari<br />

lokasi yang lebih dekat sebagai kebun rumput, sehingga biaya pakan lebih<br />

murah.<br />

2. Untuk dapat mengaplikasikan perencanaan ini perlu segera dilakukan<br />

analisis Disain Enginering pada setiap tapak.<br />

3. Untuk dapat melakukan penjualan produk dalam bentuk daging, maka perlu<br />

dilakukan kerjasama dengan tempat pemotongan hewan (RPH) terdekat.<br />

80


DAFTAR PUSTAKA<br />

Alikodra, H.S. 2002. Pengelolaan Satwaliar. Jilid I. Pusat Antar Universitas<br />

Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. Direktorat Jenderal pendidikan<br />

Tinggi. Departemen pendidikan dan Kebudayaan. Bogor.<br />

Bailey, J.A. 1984. Principles of Wildlife management. John Wiley & Sons.<br />

New York.<br />

BMG. 2005. Badan Meteorologi dan Geofisika. Balai Wilayah II. Stasiun<br />

Klimatologi Kelas I. Darmaga. Bogor.<br />

Boughey, A.S. 1973. Ecology of Populations. Collier MacMillan Publishers,<br />

London.<br />

Dasmann, W. 1981. Deer Range Improvement and Management. McFarland &<br />

Company, Inc. Jefferson, N.C., and London.<br />

Direktorat PPA. 1978. Pedoman pengelolaan Satwa Jilid I. Direktorat<br />

Perlindungan dan Pengawetan Alam. Bogor. pp. 71-73<br />

Djamin, Z. 1993. Perencanaan dan Analisis Proyek. Edisi II. Lembaga Penerbit<br />

Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.<br />

Fausan, N. 2003. Kumpulan Artikel tentang “Deer Farming”. Jurusan<br />

KSH, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor<br />

Farina, Almo. 1998. Principles And Methods In Landscape Ecology. Chapman<br />

& Hall Ltd, London.<br />

Feriyanto. 2002. Pengelolaan Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis de<br />

Blainville) Di Ranca Upas. KPH Bandung Selatan. PT. Perhutani Unit<br />

III Jawa Barat.(Skripsi). Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan.<br />

Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.<br />

Gray, C. 1993. Pengantar Evaluasi Proyek. Gramedia Pustaka Utama Jakarta.<br />

Jakarta<br />

Hakim, Rustam dan Hardi Utomo. 2003. Komponen Perancangan Arsitektur<br />

Lansekap, Prinsif-Unsur dan Aplikasi Disain. Bumi Aksara. Jakarta.<br />

Hoogerweff, A. 1949. De Avifouna van Tjibodas en Emgeving (Java).<br />

Koninklijke Plantentium van Indonesie, Buitenzorg.<br />

Kusmana, C. 1995. Teknik Pengukuran Keanekaragaman Tumbuhan. Bahan<br />

Kuliah Pelatihan Teknik Pengukuran dan Monitoring Biodiversity di<br />

Hutan Tropika Indonesia. Angkatan III Tanggal 19 – 29 Juni 1995.<br />

Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut<br />

Pertanian Bogor. Bogor.<br />

81


Manggung, R. E. R. 1997. Kajian Bio-Ekologi dan Ekonomi Usaha Penangkaran<br />

Rusa Jawa ( Cervus timorensis ) dengan Sistem Setengah<br />

Terbuka. (Skripsi). Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas<br />

Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.<br />

Masy’ud, B. 1979. Reproduksi pada Rusa. Laboratorium Penangkaran<br />

Satwa Liar. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas<br />

Kehutanan, IPB. Bogor.<br />

________________. 2003. Dasar-Dasar Penangkaran Satwaliar. Laboratorium<br />

Penangkaran Satwaliar. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan.<br />

Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.<br />

Prasetyonohadi, D. 1986. Telaahan Tentang Daya Dukung Padang Rumput di<br />

Suaka Maargasatwa Pulau Moyo Sebagai Habitat Rusa Timor (Cervus<br />

timorensis) (Skripsi) Fakultasd Kehutanan IPB.<br />

PT. Perum Perhutani, Kesatuan Pemangjuan Hutan Bogor, 2002. Penangkaran<br />

Rusa di BKPH Jonggol, KPH Bogor, Bogor. (Tidak Diterbitkan).<br />

Pyke, G.H. 1983. Animal Movements: An Optimal Foraging Approach. In : The<br />

Ecology of Animal Movements (I.R. Swingland and P.J. Greenwood<br />

ads.), pp : 7 – 31. Oxford University Press, Oxford.<br />

Redaksi Ensiklopedi Indonesia, 2003, Ensiklopedi Indonesia Seri Fauna<br />

(Mamalia). PT. Ikrar Mandiriabadi, Jakarta.<br />

Richard, B. P., Supriatna J., Indrawan M., Kramadibrata P.,1998. Biologi<br />

Konservasi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.<br />

Root, J.B. 1985. Fundamentals of landscaping and Site Planning. Long Brown<br />

& Associates Fairfax, Virginia. The Avi Publishing Company. Inc.<br />

Westport. Connecticut.<br />

Schroder, T.O. 1976. Deer In Indonesia. Nature Conservation Departement.<br />

Wageningen.<br />

Semiadi G., 1998, Budidaya Rusa Tropika Sebagai Hewan Ternak,<br />

Masyarakat Zoologi Indonesia, Bogor.<br />

Semiadi, G., dan Taufik P.N.R., 2004, Panduan Pemeliharaan Rusa Tropis,<br />

Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,<br />

Bogor.<br />

Setiadi, D., dan P.D. Tjondronegoro. 1989. Dasar-Dasar Ekologi. Departemen<br />

Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.<br />

Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. Bogor.<br />

Susetyo, S. 1980. Padang Pengembalaan. FakultasPeternakan. IPB. Bogor.<br />

Syarief, A. 1974. Kemungkinan pembiakan dan Pembinaan Rusa di Indonesia.<br />

Direktorat Perlindungan danm pengawetan Alam. Bogor.<br />

82


Tarumingkeng, Rudi C., 1994. Dinamika Pertumbuhan Populasi Serangga.<br />

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal<br />

Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Institut<br />

Pertanian Bogor. Bogor.<br />

Teddy. 1998. Analisis Faktor – Faktor Penentu Keberhasilan Usaha Penangkaran<br />

Rusa. Studi Kasus di Penangkaran Rusa Perum Perhutani.(Tesis).<br />

Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.<br />

Thohari, M. 1987. Upaya Penangkaran Satwa Liar. Media Konservasi, Vol. 1<br />

No. 3. Buletin Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas<br />

Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.<br />

Thohari, M. 2005. Manajemen dan Teknologi Konservasi Ex-Situ Satwa Liar.<br />

(Materi Kuliah). Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.<br />

Thohari, M., Haryanto, B. Masy’ud, D. Rinaldi, H. Arief, W.A. Djatmiko, S.N.<br />

Mardiah, N. Kosmaryandi dan Sudjatnika. 1991. Studi Kelayakan dan<br />

Perancangan Tapak Penangkaran Rusa Di BKPH Jonggol, KPH Bogor,<br />

Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Kerjasama Antara Direksi Perum<br />

Perhutani dengan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.<br />

Van Lavieren, L.P. 1983. Planning, Management of Park and Reserves. School<br />

of Environmental Conservation Management. Bogor.<br />

Van Noordwijk, M.A. van. 1985. The Social-Ecology of Sumatran Longtailed<br />

Macaques (Macaca fascicularis): The Behaviour of Individuals.<br />

Drukkerij Elinkwijk BV, Utrecht.<br />

White, E.T., 1985. [Site Planning]. Analisis Tapak. Pembuatan Diagram<br />

Informasi Bagi Perancangan Arsitektur. Diterjemahkan oleh A. K.<br />

Onggodiputro. Intermatra Bandung.<br />

Yerex, D and I. Spiers. 1987. Modern Deer Farm Management. Ampersand<br />

Publishing Associates Ltd. Wellington. New Zealand.<br />

83


Lampiran


Lampiran 1a. Hasil analisa vegetasi tingkat bawah/semai di dalam lokasi penangkaran rusa timor (Cevus<br />

timorensis de Blainville) di Kampus IPB Darmaga.<br />

NO. NAMA LOKAL NAMA ILMIAH KR FR INP SPR<br />

1 Jampang Piit *) Panicum sp. 17.25 0.39 17.64 ya<br />

2 Jukut Karukun *) Eragrostis amabilis 7.42 3.24 10.67 ya<br />

3 Jukut Bau *) Hyptis rhomboides 6.04 3.24 9.28 ya<br />

4 Teki *) Cyperus rotundus 6.33 2.16 8.49 ya<br />

5 Sesereuhan Piper anduncum 5.24 2.16 7.40 tdk<br />

6 Babandotan Blumea chinensis 2.33 3.24 5.57 tdk<br />

7 Kembang Peujeut Melastoma affine 3.64 1.57 5.21 ya<br />

8 Kidemprak Richardian brasilliensis 1.53 3.24 4.77 ya<br />

9 Emprit-empritan Eragrotis japonica 3.64 0.78 4.42 ya<br />

10 Babawangan Eleutherine plantoginoidea 1.02 3.24 4.26 ya<br />

11 Kelapa Sawit Elaeis guineensis 1.82 2.16 3.98 ya<br />

12 Rumput Bambu *) Pogonatherum paniceum 2.40 1.57 3.97 ya<br />

13 Puspa Schima wallichii 1.24 2.70 3.94 tdk<br />

14 Rebah Bagun Mimosa pundica 1.16 2.70 3.87 ya<br />

15 Jukut Kidang *) Centotheca lappocea 1.09 2.74 3.83 ya<br />

16 Darengdeng Cyperus killingia 0.66 3.11 3.77 tdk<br />

17 Paren Mimosa sp. 0.95 2.74 3.69 ya<br />

18 Rumput Geganjuran *) Payaalum sp. 2.40 1.18 3.58 ya<br />

19 Lempuyangan Panicum repens 0.36 3.14 3.50 ya<br />

20 Karet Havea brasiliensis 0.73 2.70 3.43 ya<br />

21 Kiasahan Tetracera indica 1.24 2.16 3.40 ya<br />

22 Nampong Leonotis nepetifolia 0.51 2.74 3.25 ya<br />

23 Alang-alang *) Imperata cylindrica 1.46 1.62 3.08 ya<br />

24 Bayem Tanah Pupalia lappacea 1.46 1.62 3.08 ya<br />

25 Genjoran *) Degitaria longiflora 1.31 1.57 2.88 ya<br />

26 Harendong Melastoma polyanthum 0.66 2.16 2.82 tdk<br />

27 Areuy Carayun *) Merremia vitifolia 1.53 1.18 2.70 ya<br />

28 Teterongan Solanum torvum 0.44 2.16 2.60 tdk<br />

29 Buntelan Thunbergia alata 0.58 1.96 2.54 tdk<br />

30 Amis Panon Cinnomomum burmani 0.87 1.62 2.49 ya<br />

31 Awar-awar Ficus septica 0.22 2.16 2.38 tdk<br />

32 Uwi hutan Dioscorea nummularia 0.22 2.16 2.38 tdk<br />

33 Daroak Microcos tomentosa 0.66 1.62 2.28 ya<br />

34 Paku Bata Geyas Lygodium circinnatum 0.58 1.62 2.20 ya<br />

35 Harendong bulu Clidemia hirta 0.51 1.62 2.13 tdk<br />

36 Mahkota Dewa Phaleria marcocarpa 0.44 1.62 2.06 tdk<br />

37 Laronan Panicum brevifolium 0.87 1.18 2.05 ya<br />

38 Jukut Raket *) Ischaemum barbatum 1.24 0.78 2.02 ya<br />

39 Suket Kembalan *) Pennisetum sp. 1.24 0.78 2.02 ya<br />

40 Kidayang Eupatorium adenophorum 1.60 0.39 1.99 tdk<br />

41 Jajagoan Cyrtococcum sp. 0.80 1.18 1.98 ya<br />

42 Leuleucoan Vernonia cineria 0.87 1.08 1.95 ya<br />

43 Reundeu Beureum Strobilanthes blumei 0.87 1.08 1.95 ya<br />

84


Lampiran 1a. (Lanjutan)<br />

NO. NAMA LOKAL NAMA ILMIAH KR FR INP SPR<br />

44 Jukut Leuleus *) Eulalia amaura 0.73 1.08 1.81 ya<br />

45 Kakacangan Desmodium heterocarpum 0.15 1.57 1.71 ya<br />

46 Jotang yailanthes iabadicensis 1.31 0.39 1.70 ya<br />

47 Jocong Leutik yailanthes ocimifolia 0.58 1.08 1.66 tdk<br />

48 Kitanduk Eugenia sp. 0.58 1.08 1.66 ya<br />

49 Paku Bata Leutik Lygodium circinnatum 0.58 1.08 1.66 tdk<br />

50 Kipait *) Payaalum conjungatum 1.24 0.39 1.63 ya<br />

51 Kirinyuh Eupatorium sp. 0.73 0.78 1.51 ya<br />

52 Katuk Sauropus androgynus 0.36 1.08 1.44 ya<br />

53 Jambu biji Psidium guajava L. 0.36 1.08 1.44 tdk<br />

54 Cente Lantana camara 0.29 1.08 1.37 ya<br />

55 Pepaya Carica papaya 0.22 1.08 1.30 ya<br />

56 Nangsi Areuy Pipturus argenteus 0.22 0.78 1.00 tdk<br />

57 Papayungan *) Cyperus sp. 0.58 0.39 0.97 ya<br />

58 Paku Lumut Selaginella plana 0.58 0.39 0.97 ya<br />

59 Kakasongan Themeda arguens 0.58 0.39 0.97 tdk<br />

60 Paku leuncir Pteris ensiformis 0.58 0.39 0.97 tdk<br />

61 Kasup Cyrtococcum trigonum 0.58 0.39 0.97 tdk<br />

62 Gewor Aneilema nudiflorum 0.58 0.39 0.97 tdk<br />

63 Kipare Glachidion sp. 0.58 0.39 0.97 ya<br />

64 Kicamun Dendrocnide stimulans 0.58 0.39 0.97 tdk<br />

65 Palungpung Cyrtococcum patens 0.58 0.39 0.97 tdk<br />

Jumlah<br />

100 100 200<br />

Keterangan :<br />

KR = Kerapatan Relatif (%)<br />

FR = Frekwensi Relatif (%)<br />

INP = Indek Nilai Penting (%)<br />

SPR = Sumber Pakan Rusa<br />

*) = Famili Graminae (ada 15 jenis)<br />

85


Lampiran 2.<br />

Daftar jenis satwaliar yang ditemukan di lokasi penangkaran rusa<br />

timor (Cervus timorensis de Blainville) Kampus IPB Darmaga.<br />

Kelas<br />

Jenis (spesies)<br />

Nama Daerah/Lokal Nama Ilmiah<br />

Aves Tekukur Streptopelia chinensis<br />

Kutilang / Cangkurileung Pycnotatus aurigaster<br />

Burung Pipit Lonchura leucogastroides<br />

Ayam Galus galus<br />

Burung betet Psittaculla alexandri<br />

Burung kaca mata Zasterop papelorosus<br />

Puyuh Coturnix suscitator<br />

Hahayaman Amaurornis phoericurus<br />

Prenjak Orthotopus sepium<br />

Reptil Kadal Mabouya multifasciata<br />

Bunglon Calotes spp.<br />

Ular sanca Pyton raticulatus<br />

Ular kobra Naja naja sputatrik<br />

Ular tanah calloselasma rhodastoma<br />

Ular hijau<br />

Ular sanca manuk<br />

Elaphe oxycephala<br />

Ular welang Bungarus fasciatus<br />

Hap-hap Draco spp.<br />

Cecak Hemidactilus spp.<br />

Mamalia Anjing Canis lupus familiaris<br />

Bajing Callociurus notatus<br />

Beurit Rattus spp.<br />

Codot<br />

Kampret<br />

Pteropus vampyrus<br />

88


Lampiran 3. Produktivitas hijauan pakan rusa pada setiap petak contoh di dalam lokasi penangkaran rusa timor timor<br />

(Cervus timorensis de Blainville) di Kampus IPB Darmaga.<br />

No<br />

Petak<br />

Jenis Hijuan<br />

Pemotongan pra Pemotongan pada saat pengamatan (gram)<br />

Nama Lokal Nama Ilmiah pengamatan (gram)<br />

I II III Rata-rata<br />

01 Pahitan Paspalum conjungatum 350.4<br />

Jukut kidang Centotheca lappacea 225.6<br />

Kentangan Richardian brasilliensis 100.7<br />

Kacangan Desmodium heterocarpum 90.8<br />

Alang-alang Imperata cylindrica 94.2<br />

Jukut Bau Hyptis rhomboides 85.5<br />

Jumlah<br />

947.2<br />

02 Pahitan Paspalum conjungatum 125.8<br />

Kentangan Richardian brasilliensis 115.6<br />

Kacangan Desmodium heterocarpum 95.7<br />

Alang-alang Imperata cylindrica 94.6<br />

Jumlah<br />

431.7<br />

03 Pahitan Paspalum conjungatum 150.6<br />

Alang-alang Imperata cylindrica 105.9<br />

Kentangan Richardian brasilliensis 95.3<br />

Kacangan Desmodium heterocarpum 94.4<br />

Teki Cyperus rotundus 87.5<br />

Jumlah<br />

533.7<br />

04 Pahitan Paspalum conjungatum 295.1<br />

Jukut kidang Centotheca lappacea 110.6<br />

Kentangan Coleus antropurpureus 97.8<br />

Kacangan Desmodium heterocarpum 111.7<br />

Jukut karukun Eragrostis amabilis 99.9<br />

Genjoran Degitaria longiflora 97.2<br />

Jumlah<br />

812.3<br />

05 Pahitan Paspalum conjungatum 134.8<br />

Jukut kidang Centotheca lappacea 100.4<br />

Jukut karukun Eragrostis amabilis 161.8<br />

Teki Cyperus rotundus 93.1<br />

Genjoran Degitaria longiflora 123.9<br />

Jukut Bau Hyptis rhomboides 98.1<br />

Jumlah<br />

712.1<br />

06 Pahitan Paspalum conjungatum 147.1<br />

Jukut kidang Centotheca lappacea 135.4<br />

Kentangan Coleus antropurpureus 127.7<br />

Jukut karukun Eragrostis amabilis 96.5<br />

Genjoran Degitaria longiflora 146.1<br />

Rumput bambu Pogonatherum paniceum 80.6<br />

Jumlah<br />

733.4<br />

07 Pahitan Paspalum conjungatum 200.4<br />

Jukut kidang Centotheca lappacea 225.3<br />

Kentangan Coleus antropurpureus 107.4<br />

Alang-alang Imperata cylindrica 102.6<br />

Genjoran Degitaria longiflora 117.4<br />

Jukut Bau Hyptis rhomboides 100.0<br />

Jumlah<br />

853.1<br />

94.4<br />

39.3<br />

25.4<br />

26.3<br />

23.7<br />

22.2<br />

231.3<br />

62.6<br />

58.4<br />

29.6<br />

36.4<br />

187.0<br />

96.2<br />

42.4<br />

25.7<br />

28.6<br />

25.4<br />

218.3<br />

158.8<br />

44.5<br />

30.7<br />

29.5<br />

31.3<br />

25.7<br />

320.5<br />

61.1<br />

42.3<br />

75.5<br />

25.2<br />

31.4<br />

27.6<br />

263.1<br />

57.2<br />

33.7<br />

32.5<br />

24.3<br />

75.3<br />

19.0<br />

242.0<br />

201.3<br />

85.3<br />

30.4<br />

25.9<br />

42.2<br />

32.4<br />

417.5<br />

110.7<br />

44.8<br />

45.4<br />

28.3<br />

25.2<br />

24.5<br />

278.9<br />

165.4<br />

95.7<br />

47.6<br />

30.4<br />

339.1<br />

135.2<br />

45.1<br />

31.0<br />

36.6<br />

28.9<br />

276.8<br />

225.9<br />

49.5<br />

32.2<br />

38.4<br />

28.0<br />

27.0<br />

401.0<br />

66.2<br />

40.4<br />

90.0<br />

27.9<br />

34.3<br />

30.2<br />

289.0<br />

65.3<br />

42.5<br />

40.2<br />

32.4<br />

80.7<br />

21.7<br />

282.8<br />

130.7<br />

88.9<br />

37.6<br />

31.3<br />

40.0<br />

35.8<br />

364.3<br />

72.6<br />

36.7<br />

34.4<br />

24.8<br />

24.3<br />

21.7<br />

214.5<br />

84.4<br />

47.4<br />

35.5<br />

25.0<br />

192.3<br />

108.8<br />

29.6<br />

24.8<br />

30.7<br />

26.4<br />

220.3<br />

157.3<br />

38.9<br />

27.5<br />

32.4<br />

25.1<br />

24.3<br />

305.5<br />

47.4<br />

28.7<br />

65.5<br />

22.6<br />

26.7<br />

24.8<br />

215.7<br />

50.2<br />

26.8<br />

25.6<br />

22.9<br />

70.3<br />

20.4<br />

216.2<br />

96.0<br />

70.7<br />

33.2<br />

26.3<br />

40.7<br />

31.2<br />

298.1<br />

89<br />

92.6<br />

40.3<br />

35.1<br />

26.5<br />

24.4<br />

22.8<br />

241.6<br />

104.1<br />

67.2<br />

37.6<br />

30.6<br />

239.5<br />

113.4<br />

39.0<br />

27.2<br />

32.0<br />

26.9<br />

238.5<br />

180.7<br />

44.3<br />

30.1<br />

33.4<br />

28.1<br />

25.7<br />

342.3<br />

58.2<br />

37.1<br />

77.0<br />

25.2<br />

30.8<br />

27.5<br />

255.9<br />

57.6<br />

34.3<br />

32.8<br />

26.5<br />

75.4<br />

20.4<br />

247.0<br />

142.7<br />

81.6<br />

33.7<br />

27.8<br />

41.0<br />

33.1<br />

360.0


No<br />

Jenis Hijuan<br />

Pemotongan pra Pemotongan pada saat pengamatan (gram)<br />

Petak Nama Lokal Nama Ilmiah pengamatan (gram)<br />

I II III Rata-rata<br />

08 Pahitan Paspalum conjungatum 152.5<br />

65.4 77.4 65.2 69.3<br />

Jukut kidang Centotheca lappacea 106.6<br />

35.7 38.4 34.8 36.3<br />

Kentangan Coleus antropurpureus 129.7<br />

33.9 41.4 34.2 36.5<br />

Alang-alang Imperata cylindrica 93.7<br />

24.1 20.3 20.3 21.6<br />

Harendong Clidemia hirta 97.2<br />

27.5 31.0 28.8 29.1<br />

Teki Cyperus rotundus 94.6<br />

25.4 23.7 24.8 24.6<br />

Jumlah<br />

674.3 212.0 232.2 208.1 217.4<br />

09 Kacangan Desmodium heterocarpum 225.8 125.7 116.3 101.3 114.4<br />

Kentangan Coleus antropurpureus 130.6<br />

40.1 29.3 28.9 32.8<br />

Babawangan Eleutherine plantoginoides 124.6<br />

34.4 35.6 32.5 34.2<br />

Jukut Bau Hyptis rhomboides 95.3<br />

24.3 26.4 25.4 25.4<br />

Genjoran Degitaria longiflora 101.9<br />

25.5 30.6 30.2 28.8<br />

Harendong Clidemia hirta 87.8<br />

24.4 24.0 21.4 23.3<br />

Jumlah<br />

766.0 274.4 262.2 239.7 258.8<br />

10 Kacangan Desmodium heterocarpum 266.4 154.3 168.6 100.5 141.1<br />

Kentangan Coleus antropurpureus 150.9<br />

40.4 47.4 54.4 47.4<br />

Babawangan Eleutherine plantoginoides 125.1<br />

39.1 44.0 30.9 38.0<br />

Pahitan Paspalum conjungatum 114.3<br />

30.6 38.7 40.7 36.7<br />

Harendong Clidemia hirta 101.0<br />

27.0 28.5 28.8 28.1<br />

Teki Cyperus rotundus 107.0<br />

37.4 40.6 38.3 38.8<br />

Jumlah<br />

864.7 328.8 367.8 293.6 330.1<br />

11 Kacangan Desmodium heterocarpum 171.7<br />

56.5 73.7 58.7 63.0<br />

Pahitan Paspalum conjungatum 132.5<br />

35.4 39.2 40.8 38.5<br />

Kentangan Coleus antropurpureus 114.4<br />

26.6 32.1 28.5 29.1<br />

Babawangan Eleutherine plantoginoides 94.1<br />

24.2 26.3 25.2 25.2<br />

Jukut karukun Eragrostis amabilis 108.8<br />

35.3 38.5 34.8 36.2<br />

Jukut kidang Centotheca lappacea 115.5<br />

41.2 42.1 39.9 41.1<br />

Jumlah<br />

737.0 219.2 251.9 227.9 233.0<br />

12 Pahitan Paspalum conjungatum 170.7<br />

64.9 64.4 47.4 58.9<br />

Jukut kidang Centotheca lappacea 131.1<br />

40.1 40.3 38.7 39.7<br />

Kentangan Coleus antropurpureus 129.6<br />

40.7 43.7 36.0 40.1<br />

Alang-alang Imperata cylindrica 104.1<br />

25.3 28.4 30.3 28.0<br />

Jukut Bau Hyptis rhomboides 110.8<br />

33.9 39.7 25.0 32.9<br />

Jukut kidang Centotheca lappacea 112.8<br />

28.4 39.6 32.2 33.4<br />

Jumlah<br />

759.1 233.3 256.1 209.6 233.0<br />

Rata-rata 735.38 262.28 300.18 236.79 266.42<br />

Keterangan :<br />

9.01 gram/m2/hari<br />

Pemotongan pra pengamatan = Pemotongan yang dilakukan pada awal pelaksanaan penelitian (Tgl. 10 Agustus 2005)<br />

Pemotongan I = Pemotongan yang dilakukan setelah 20 hari dari pemotongan pra pengamatan (Tgl. 30 Agustus 2005)<br />

Pemotongan II = Pemotongan yang dilakukan setelah 20 hari dari pemotongan I (Tgl. 19 September 2005)<br />

Pemotongan III = Pemotongan yang dilakukan setelah 20 hari dari pemotongan II (Tgl. 9 Oktober 2005)<br />

90


Lampiran 4. Rencana anggaran biaya pembangunan dan pengembangan sarana fisik dan<br />

penerimaan dari usaha penangkaran rusa timor (Cervus timotensis de Blainville)<br />

Uraian<br />

91<br />

Satuan Volume Jml Unit Harga/satuan<br />

A. Biaya Investasi<br />

1 Perizinan paket 1 1 5,000,000<br />

2 Bangunan :<br />

a. Pagar pedok m 2 300 5 400,000<br />

b. Pagar karantina m 2 150 1 400,000<br />

c. Palung pakan m 2 10 8 50,000<br />

d. Bak minum m 2 e. Shelter<br />

10 8 75,000<br />

- kandang m 2 100 5 150,000<br />

- karantina m 2 75 1 150,000<br />

f. Kantor m 2 250 1 750,000<br />

g. Gudang pakan & Peralatan m 2 36 1 750,000<br />

h. Perumahan m 2 i. Instalasi air<br />

36 3 750,000<br />

- sumur unit 1 1 5,000,000<br />

- pompa unit 1 1 2,000,000<br />

- jaringan + menara unit 1 1 7,500,000<br />

j. Pos jaga/pengamatan m 2 9 3 300,000<br />

3 Kendaraan roda 4 unit 1 1 60,000,000<br />

4 Peralatan kantor paket 1 1 15,000,000<br />

5 Sarana listrik unit 1 1 6,000,000<br />

6 Sarana telekomunikasi paket 1 2 1,500,000<br />

7 Pengadaan bibit rusa ekor 210 1 5,500,000<br />

8 Tanah ha 5 1 3,000,000<br />

B. Biaya Tetap<br />

1 Upah<br />

- tenaga ahli orang 1 1 3,000,000<br />

- tenaga teknis/lapangan orang 2 1 1,500,000<br />

2 Perawatan investasi :<br />

a. Bagunan (1,00%) 182,750<br />

b. Kendaraan (2,50%) 1,500,000<br />

c. Peralatan kantor (2,50%) 375,000<br />

d. Sarana listrik (2,50%) 150,000<br />

e. Sarana telekonunikasi (2,50%) 37,500<br />

C. Biaya Variabel<br />

1 Pakan<br />

- hijauan kg 4.5 2583 100<br />

- konsentrat kg 0.5 2583 750<br />

2 Obat-obatan + Vitamin paket 1 210 75,000<br />

3 Listrik bln 120 1 250,000<br />

4 Bahan bakar bln 120 1 200,000<br />

5 ATK bln 120 1 250,000<br />

6 Biaya Non Pajak (6%/ekr) Rp/ekr 1 105 300,000


Lampiran 4. (Lanjutan)<br />

D. Penerimaan<br />

1<br />

2<br />

3<br />

4<br />

5<br />

6<br />

7<br />

Uraian<br />

92<br />

Satuan Volume Jml Unit Harga/satuan<br />

Bibit rusa yang dikembalikan Rp/ekr 5,000,000<br />

ke penangkaran<br />

Bibit rusa yang dijual Rp/ekr 5,000,000<br />

Penjualan daging Rp/kg 65,000<br />

Penjualan non daging (jerohan) Rp/kg 25,000<br />

Penjualan velvet Rp/ekr 500,000<br />

Penjualan ranggah Rp/psg 300,000<br />

Penjualan kulit Rp/lmbr 150,000


Lampiran 5 Analisis finansial usaha penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) pada skala usaha 200 ekor induk dengan sistem farming<br />

I.<br />

BIAYA<br />

A. Biaya Investasi<br />

1 Perizinan 5,000<br />

2<br />

3<br />

4<br />

5<br />

6<br />

7<br />

8<br />

Bangunan :<br />

a. Pagar pedok 600,000<br />

b. Pagar karantin 60,000<br />

c. Palung pakan 4,000<br />

d. Bak minum 6,000<br />

e. Shelter<br />

- kandang 90,000<br />

- karantina 11,250<br />

f. Kantor 187,500<br />

g. Gudang pakan 27,000<br />

h. Perumahan 81,000<br />

i. Instalasi air<br />

B. Biaya Tetap<br />

1<br />

KOMPONEN<br />

- sumur 5,000<br />

- pompa 2,000<br />

- jaringan + menara 7,500<br />

j. Pos jaga/pengamatan 4,500<br />

Kendaraan roda 4 60,000<br />

Peralatan kantor 15,000<br />

Sarana listrik 6,000<br />

Sarana telekomonukasi 3,000<br />

Pengadaan bibit rusa 231,000<br />

Tanah 15,000<br />

Upah<br />

Total A<br />

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10<br />

1,420,750<br />

- tenaga ahli (Rp/th) 36,000<br />

- tenaga teknis/lapangan (Rp/th) 36,000<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

115,500<br />

-<br />

115,500<br />

36,000<br />

36,000<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

115,500<br />

-<br />

115,500<br />

36,000<br />

36,000<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

115,500<br />

-<br />

115,500<br />

36,000<br />

36,000<br />

TAHUN KE ( X Rp 1.000)<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

36,000<br />

36,000<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

36,000<br />

36,000<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

36,000<br />

36,000<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

36,000<br />

36,000<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

36,000<br />

36,000<br />

93<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

36,000<br />

36,000


II<br />

2<br />

KOMPONEN<br />

Perawatan investasi :<br />

C. Biaya Variabel<br />

1<br />

2<br />

3<br />

4<br />

5<br />

6<br />

a. Bangunan (1,00%) 10,858<br />

b. Kendaraan (2,50%) 1,500<br />

c. Peralatan kantor (2,50%) 375<br />

d. Sarana listrik (2,50%) 150<br />

e. Sarana telekonunikasi (2,50%) 75<br />

Pakan<br />

Total I (A + B + C)<br />

PENERIMAAN<br />

A. Anak<br />

B. Afkir<br />

Total B<br />

TAHUN KE ( X Rp 1.000)<br />

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10<br />

84,958<br />

- hijauan 17,010<br />

- konsentrat 14,175<br />

Obat-obatan + Vitamin 7,875<br />

Listrik 3,000<br />

Bahan bakar 2,400<br />

ATK 3,000<br />

Biaya Non Pajak (6%/ekor) -<br />

Total C<br />

47,460<br />

1,553,168<br />

1. Calon Induk dipelihara J -<br />

B -<br />

2. Calon Induk dijual J -<br />

B -<br />

3. Jual daging/dipotong J -<br />

Jumlah A<br />

B -<br />

J -<br />

B -<br />

-<br />

10,858<br />

1,500<br />

375<br />

150<br />

75<br />

84,958<br />

17,010<br />

14,175<br />

7,875<br />

3,000<br />

2,400<br />

3,000<br />

-<br />

47,460<br />

247,918<br />

5,000<br />

180,000<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

185,000<br />

-<br />

-<br />

10,858<br />

1,500<br />

375<br />

150<br />

75<br />

84,958<br />

17,010<br />

14,175<br />

7,875<br />

3,000<br />

2,400<br />

3,000<br />

-<br />

47,460<br />

247,918<br />

10,000<br />

150,000<br />

-<br />

-<br />

91,000<br />

-<br />

251,000<br />

-<br />

-<br />

10,858<br />

1,500<br />

375<br />

150<br />

75<br />

84,958<br />

17,010<br />

14,175<br />

7,875<br />

3,000<br />

2,400<br />

3,000<br />

13,200<br />

60,660<br />

261,118<br />

10,000<br />

200,000<br />

10,000<br />

210,000<br />

176,800<br />

-<br />

606,800<br />

-<br />

-<br />

10,858<br />

1,500<br />

375<br />

150<br />

75<br />

84,958<br />

17,010<br />

14,175<br />

7,875<br />

3,000<br />

2,400<br />

3,000<br />

9,900<br />

57,360<br />

142,318<br />

15,000<br />

250,000<br />

5,000<br />

160,000<br />

179,400<br />

-<br />

609,400<br />

-<br />

-<br />

10,858<br />

1,500<br />

375<br />

150<br />

75<br />

84,958<br />

17,010<br />

14,175<br />

7,875<br />

3,000<br />

2,400<br />

3,000<br />

11,388<br />

58,848<br />

143,806<br />

15,000<br />

300,000<br />

15,000<br />

174,800<br />

205,296<br />

-<br />

710,096<br />

-<br />

-<br />

10,858<br />

1,500<br />

375<br />

150<br />

75<br />

84,958<br />

17,010<br />

14,175<br />

7,875<br />

3,000<br />

2,400<br />

3,000<br />

11,328<br />

58,788<br />

143,746<br />

15,000<br />

300,000<br />

10,000<br />

178,800<br />

235,976<br />

-<br />

739,776<br />

-<br />

-<br />

10,858<br />

1,500<br />

375<br />

150<br />

75<br />

84,958<br />

17,010<br />

14,175<br />

7,875<br />

3,000<br />

2,400<br />

3,000<br />

15,948<br />

63,408<br />

148,366<br />

15,000<br />

300,000<br />

15,000<br />

250,800<br />

270,816<br />

-<br />

851,616<br />

-<br />

-<br />

10,858<br />

1,500<br />

375<br />

150<br />

75<br />

84,958<br />

17,010<br />

14,175<br />

7,875<br />

3,000<br />

2,400<br />

3,000<br />

21,348<br />

68,808<br />

153,766<br />

20,000<br />

400,000<br />

15,000<br />

340,800<br />

317,616<br />

-<br />

1,093,416<br />

-<br />

-<br />

10,858<br />

1,500<br />

375<br />

150<br />

75<br />

84,958<br />

17,010<br />

14,175<br />

7,875<br />

3,000<br />

2,400<br />

3,000<br />

22,728<br />

70,188<br />

155,146<br />

25,000<br />

500,000<br />

30,000<br />

348,800<br />

363,376<br />

-<br />

1,267,176<br />

12,000<br />

240,000


III<br />

KOMPONEN<br />

C. Produk sampingan :<br />

1. Velvet -<br />

2. Ranggah 1,500<br />

3. Kulit -<br />

4. Non daging (Jerohan) -<br />

Total II (A + B + C)<br />

PENDAPATAN KOTOR<br />

1. Penerimaan<br />

2.<br />

TAHUN KE ( X Rp 1.000)<br />

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10<br />

-<br />

1,500<br />

1,500<br />

1,500<br />

Discont faktor 18 % 1,271<br />

Biaya<br />

Jumlah B<br />

Jumlah C<br />

1,553,168<br />

-<br />

-<br />

3,000<br />

-<br />

35<br />

3,035<br />

188,035<br />

188,035<br />

135,044<br />

247,918<br />

-<br />

17,500<br />

3,000<br />

5,250<br />

68<br />

25,818<br />

276,818<br />

276,818<br />

168,480<br />

247,918<br />

-<br />

34,000<br />

3,900<br />

10,200<br />

69<br />

48,169<br />

654,969<br />

654,969<br />

337,826<br />

261,118<br />

-<br />

34,500<br />

4,200<br />

10,350<br />

79<br />

49,129<br />

658,529<br />

658,529<br />

287,849<br />

142,318<br />

-<br />

39,480<br />

5,400<br />

11,844<br />

91<br />

56,815<br />

766,911<br />

766,911<br />

284,088<br />

143,806<br />

Discont faktor 18 % 1,316,244 178,050 150,890 134,682 62,208 53,270<br />

3. Saldo (Net profit)<br />

(1,551,668) (59,883) 28,901 393,852 516,211 623,105<br />

IV Discont faktor 18 % (1,314,972) (43,007) 17,590 203,144 225,641 230,818<br />

IV ANALISIS PROYEK<br />

1 2 3 4 5 6<br />

1. NVP 249,272 471<br />

2. BCR 1.12<br />

1.00<br />

3. IRR (%) 21.35<br />

4. Payback Period (Tahun) 4.53<br />

-<br />

45,380<br />

6,000<br />

13,614<br />

104<br />

65,098<br />

804,874<br />

804,874<br />

252,670<br />

143,746<br />

45,125<br />

661,129<br />

207,545<br />

7<br />

-<br />

52,080<br />

7,200<br />

15,624<br />

122<br />

75,026<br />

926,642<br />

926,642<br />

246,522<br />

148,366<br />

39,471<br />

778,277<br />

207,051<br />

8<br />

-<br />

61,080<br />

8,100<br />

18,324<br />

5,145<br />

92,649<br />

1,186,065<br />

1,186,065<br />

267,406<br />

153,766<br />

34,667<br />

1,032,299<br />

232,738<br />

9<br />

252,000<br />

69,880<br />

8,400<br />

36,714<br />

708<br />

115,702<br />

1,634,878<br />

1,634,878<br />

312,367<br />

155,146<br />

29,643<br />

1,479,732<br />

282,724<br />

10


Lampiran 5 (Lanjutan)<br />

II<br />

2<br />

Perawatan investasi :<br />

C. Biaya Variabel<br />

1<br />

2<br />

3<br />

4<br />

5<br />

6<br />

KOMPONEN<br />

a. Bagunan (1,00%) 10,858<br />

b. Kendaraan (2,50%) 1,500<br />

c. Peralatan kantor (2,50%) 375<br />

d. Sarana listrik (2,50%) 150<br />

e. Sarana telekonunikasi (2,50%) 75<br />

Pakan<br />

Total I (A + B + C)<br />

PENERIMAAN<br />

A. Anak<br />

Total B<br />

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10<br />

84,958<br />

- hijauan 17,010<br />

- konsentrat 14,175<br />

Obat-obatan + Vitamin 7,875<br />

Listrik 3,000<br />

Bahan bakar 2,400<br />

ATK 3,000<br />

Biaya Non Pajak (6%/ekor) -<br />

Total C<br />

47,460<br />

1,553,168<br />

1. Calon Induk dipelihara J -<br />

B -<br />

2. Calon Induk dijual J -<br />

B -<br />

3. Jual daging/dipotong J -<br />

B -<br />

10,858<br />

1,500<br />

375<br />

150<br />

75<br />

84,958<br />

17,010<br />

14,175<br />

7,875<br />

3,000<br />

2,400<br />

3,000<br />

-<br />

47,460<br />

247,918<br />

5,000<br />

180,000<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

10,858<br />

1,500<br />

375<br />

150<br />

75<br />

84,958<br />

17,010<br />

14,175<br />

7,875<br />

3,000<br />

2,400<br />

3,000<br />

-<br />

47,460<br />

247,918<br />

10,000<br />

150,000<br />

-<br />

-<br />

91,000<br />

-<br />

10,858<br />

1,500<br />

375<br />

150<br />

75<br />

84,958<br />

17,010<br />

14,175<br />

7,875<br />

3,000<br />

2,400<br />

3,000<br />

13,200<br />

60,660<br />

261,118<br />

10,000<br />

200,000<br />

10,000<br />

210,000<br />

176,800<br />

-<br />

TAHUN KE ( X Rp 1.000)<br />

10,858<br />

1,500<br />

375<br />

150<br />

75<br />

84,958<br />

17,010<br />

14,175<br />

7,875<br />

3,000<br />

2,400<br />

3,000<br />

9,900<br />

57,360<br />

142,318<br />

15,000<br />

250,000<br />

5,000<br />

160,000<br />

179,400<br />

-<br />

10,858<br />

1,500<br />

375<br />

150<br />

75<br />

84,958<br />

17,010<br />

14,175<br />

7,875<br />

3,000<br />

2,400<br />

3,000<br />

11,388<br />

58,848<br />

143,806<br />

15,000<br />

300,000<br />

15,000<br />

174,800<br />

205,296<br />

-<br />

10,858<br />

1,500<br />

375<br />

150<br />

75<br />

84,958<br />

17,010<br />

14,175<br />

7,875<br />

3,000<br />

2,400<br />

3,000<br />

11,328<br />

58,788<br />

143,746<br />

15,000<br />

300,000<br />

10,000<br />

178,800<br />

235,976<br />

-<br />

10,858<br />

1,500<br />

375<br />

150<br />

75<br />

84,958<br />

17,010<br />

14,175<br />

7,875<br />

3,000<br />

2,400<br />

3,000<br />

15,948<br />

63,408<br />

148,366<br />

15,000<br />

300,000<br />

15,000<br />

250,800<br />

270,816<br />

-<br />

10,858<br />

1,500<br />

375<br />

150<br />

75<br />

84,958<br />

17,010<br />

14,175<br />

7,875<br />

3,000<br />

2,400<br />

3,000<br />

21,348<br />

68,808<br />

153,766<br />

20,000<br />

400,000<br />

15,000<br />

340,800<br />

317,616<br />

-<br />

94<br />

10,858<br />

1,500<br />

375<br />

150<br />

75<br />

84,958<br />

17,010<br />

14,175<br />

7,875<br />

3,000<br />

2,400<br />

3,000<br />

22,728<br />

70,188<br />

155,146<br />

25,000<br />

500,000<br />

30,000<br />

348,800<br />

363,376<br />

-


III<br />

B. Afkir<br />

KOMPONEN<br />

C. Produk sampingan :<br />

J -<br />

B -<br />

1. Velvet -<br />

2. Ranggah 1,500<br />

3. Kulit -<br />

4. Non daging (Jerohan) -<br />

Total II (A + B + C)<br />

PENDAPATAN KOTOR<br />

1. Penerimaan<br />

2.<br />

TAHUN KE ( X Rp 1.000)<br />

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10<br />

-<br />

-<br />

1,500<br />

1,500<br />

1,500<br />

Discont faktor 18 % 1,271<br />

Biaya<br />

Jumlah A<br />

Jumlah B<br />

Jumlah C<br />

1,553,168<br />

185,000<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

3,000<br />

-<br />

35<br />

3,035<br />

188,035<br />

188,035<br />

135,044<br />

247,918<br />

251,000<br />

-<br />

-<br />

-<br />

17,500<br />

3,000<br />

5,250<br />

68<br />

25,818<br />

276,818<br />

276,818<br />

168,480<br />

247,918<br />

606,800<br />

-<br />

-<br />

-<br />

34,000<br />

3,900<br />

10,200<br />

69<br />

48,169<br />

654,969<br />

654,969<br />

337,826<br />

261,118<br />

609,400<br />

-<br />

-<br />

-<br />

34,500<br />

4,200<br />

10,350<br />

79<br />

49,129<br />

658,529<br />

658,529<br />

287,849<br />

142,318<br />

710,096<br />

-<br />

-<br />

-<br />

39,480<br />

5,400<br />

11,844<br />

91<br />

56,815<br />

766,911<br />

766,911<br />

284,088<br />

143,806<br />

Discont faktor 18 % 1,316,244 178,050 150,890 134,682 62,208 53,270<br />

3. Saldo (Net profit)<br />

(1,551,668) (59,883) 28,901 393,852 516,211 623,105<br />

IV Discont faktor 18 % (1,314,972) (43,007) 17,590 203,144 225,641 230,818<br />

IV ANALISIS PROYEK<br />

1 2 3 4 5 6<br />

1. NVP 249,272 471<br />

2. BCR 1.12<br />

1.00<br />

3. IRR (%) 21.35<br />

4. Payback Period (Tahun) 4.53<br />

739,776<br />

-<br />

-<br />

-<br />

45,380<br />

6,000<br />

13,614<br />

104<br />

65,098<br />

804,874<br />

804,874<br />

252,670<br />

143,746<br />

45,125<br />

661,129<br />

207,545<br />

7<br />

851,616<br />

-<br />

-<br />

-<br />

52,080<br />

7,200<br />

15,624<br />

122<br />

75,026<br />

926,642<br />

926,642<br />

246,522<br />

148,366<br />

39,471<br />

778,277<br />

207,051<br />

8<br />

1,093,416<br />

-<br />

-<br />

-<br />

61,080<br />

8,100<br />

18,324<br />

5,145<br />

92,649<br />

1,186,065<br />

1,186,065<br />

267,406<br />

153,766<br />

34,667<br />

1,032,299<br />

232,738<br />

9<br />

1,267,176<br />

12,000<br />

240,000<br />

252,000<br />

69,880<br />

8,400<br />

36,714<br />

708<br />

115,702<br />

1,634,878<br />

1,634,878<br />

312,367<br />

155,146<br />

29,643<br />

1,479,732<br />

282,724<br />

10


Lampiran 5 (Lanjutan)<br />

III<br />

B. Afkir<br />

KOMPONEN<br />

C. Produk sampingan :<br />

J -<br />

B -<br />

1. Velvet -<br />

2. Ranggah 1,500<br />

3. Kulit -<br />

4. Non daging (Jerohan) -<br />

Total II (A + B + C)<br />

PENDAPATAN KOTOR<br />

1. Penerimaan<br />

2.<br />

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10<br />

-<br />

1,500<br />

1,500<br />

1,500<br />

Discont faktor 18 % 1,271<br />

Biaya<br />

Jumlah B<br />

Jumlah C<br />

1,553,168<br />

-<br />

-<br />

-<br />

-<br />

3,000<br />

-<br />

35<br />

3,035<br />

188,035<br />

188,035<br />

135,044<br />

247,918<br />

-<br />

-<br />

-<br />

17,500<br />

3,000<br />

5,250<br />

68<br />

25,818<br />

276,818<br />

276,818<br />

168,480<br />

247,918<br />

-<br />

-<br />

-<br />

34,000<br />

3,900<br />

10,200<br />

69<br />

48,169<br />

654,969<br />

654,969<br />

337,826<br />

261,118<br />

-<br />

-<br />

-<br />

34,500<br />

4,200<br />

10,350<br />

79<br />

49,129<br />

658,529<br />

658,529<br />

287,849<br />

142,318<br />

-<br />

-<br />

-<br />

39,480<br />

5,400<br />

11,844<br />

91<br />

56,815<br />

766,911<br />

766,911<br />

284,088<br />

143,806<br />

Discont faktor 18 % 1,316,244 178,050 150,890 134,682 62,208 53,270<br />

3. Saldo (Net profit)<br />

(1,551,668) (59,883) 28,901 393,852 516,211 623,105<br />

IV Discont faktor 18 % (1,314,972) (43,007) 17,590 203,144 225,641 230,818<br />

IV ANALISIS PROYEK<br />

1 2 3 4 5 6<br />

1. NVP 249,272 471<br />

2. BCR 1.12<br />

1.00<br />

3. IRR (%) 21.35<br />

4. Payback Period (Tahun) 4.53<br />

TAHUN KE ( X Rp 1.000)<br />

-<br />

-<br />

-<br />

45,380<br />

6,000<br />

13,614<br />

104<br />

65,098<br />

804,874<br />

804,874<br />

252,670<br />

143,746<br />

45,125<br />

661,129<br />

207,545<br />

7<br />

-<br />

-<br />

-<br />

52,080<br />

7,200<br />

15,624<br />

122<br />

75,026<br />

926,642<br />

926,642<br />

246,522<br />

148,366<br />

39,471<br />

778,277<br />

207,051<br />

8<br />

-<br />

-<br />

-<br />

61,080<br />

8,100<br />

18,324<br />

5,145<br />

92,649<br />

1,186,065<br />

1,186,065<br />

267,406<br />

153,766<br />

34,667<br />

1,032,299<br />

232,738<br />

9<br />

95<br />

12,000<br />

240,000<br />

252,000<br />

69,880<br />

8,400<br />

36,714<br />

708<br />

115,702<br />

1,634,878<br />

1,634,878<br />

312,367<br />

155,146<br />

29,643<br />

1,479,732<br />

282,724<br />

10


Lampiran 6 Analisis finansial usaha penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) pada skala usaha 200 ekor induk dengan sistem farming<br />

dengan skenario terjadi penurunan penerimaan hingga 10%.<br />

I<br />

PENDAPATAN KOTOR<br />

1. Penerimaan<br />

2.<br />

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10<br />

1,350<br />

Discont faktor 18 % 1,144<br />

Biaya<br />

KOMPONEN<br />

1,553,168<br />

169,232<br />

121,539<br />

247,918<br />

249,136<br />

151,632<br />

247,918<br />

589,472<br />

304,043<br />

261,118<br />

592,676<br />

259,064<br />

142,318<br />

690,220<br />

255,679<br />

143,806<br />

Discont faktor 18 % 1,316,244 178,050 150,890 134,682 62,208 53,270<br />

3. Saldo (Net profit)<br />

(1,551,818) (78,686) 1,219 328,355 450,359 546,414<br />

IV Discont faktor 18 % (1,315,100) (56,511) 742 169,362 196,856 202,409<br />

II ANALISIS PROYEK<br />

1 2 3 4 5 6<br />

1. NVP 19,920 1,984<br />

2. BCR 1.01 1.00<br />

3. IRR (%) 18.25<br />

TAHUN KE ( X Rp 1.000)<br />

724,387<br />

227,403<br />

143,746<br />

45,125<br />

580,641<br />

182,278<br />

7<br />

833,978<br />

221,870<br />

148,366<br />

39,471<br />

685,612<br />

182,399<br />

8<br />

1,067,458<br />

240,665<br />

153,766<br />

34,667<br />

913,693<br />

205,998<br />

9<br />

96<br />

1,471,390<br />

281,130<br />

155,146<br />

29,643<br />

1,316,245<br />

251,488<br />

10


Lampiran 7 Analisis finansial usaha penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) pada skala usaha 200 ekor induk dengan sistem farming<br />

dengan skenario terjadi peningkatan biaya 10%.<br />

I<br />

KOMPONEN<br />

PENDAPATAN KOTOR<br />

1. Penerimaan<br />

2.<br />

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10<br />

1,500<br />

Discont faktor 18 % 1,271<br />

Biaya<br />

1,708,484<br />

188,035<br />

135,044<br />

272,709<br />

276,818<br />

168,480<br />

272,709<br />

654,969<br />

337,826<br />

287,229<br />

658,529<br />

287,849<br />

156,549<br />

766,911<br />

284,088<br />

158,186<br />

Discont faktor 18 % 1,447,868 195,856 165,979 148,150 68,429 58,597<br />

3. Saldo (Net profit)<br />

(1,706,984) (84,674) 4,109 367,740 501,980 608,725<br />

IV Discont faktor 18 % (1,446,597) (60,812) 2,501 189,676 219,420 225,491<br />

II ANALISIS PROYEK<br />

1 2 3 4 5 6<br />

1. NVP 44,847 5,191<br />

2. BCR 1.02<br />

1.00<br />

3. IRR (%) 18.50<br />

TAHUN KE ( X Rp 1.000)<br />

804,874<br />

252,670<br />

158,120<br />

49,638<br />

646,754<br />

203,032<br />

7<br />

926,642<br />

246,522<br />

163,202<br />

43,418<br />

763,440<br />

203,104<br />

8<br />

1,186,065<br />

267,406<br />

169,142<br />

38,134<br />

1,016,923<br />

229,271<br />

9<br />

97<br />

1,634,878<br />

312,367<br />

170,660<br />

32,607<br />

1,464,218<br />

279,760<br />

10


Lampiran 8 Analisis finansial usaha penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville pada skala usaha 200 ekor induk dengan sistem farming<br />

dengan skenario terjadi penurunan penerimaan sebesar 10% dan terjadi peningkatan biaya sebesar 10%.<br />

I<br />

KOMPONEN<br />

PENDAPATAN KOTOR<br />

1. Penerimaan<br />

2.<br />

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10<br />

1,350<br />

Discont faktor 18 % 1,144<br />

Biaya<br />

1,708,484<br />

169,232<br />

121,539<br />

272,709<br />

249,136<br />

151,632<br />

272,709<br />

589,472<br />

304,043<br />

287,229<br />

592,676<br />

259,064<br />

156,549<br />

690,220<br />

255,679<br />

158,186<br />

Discont faktor 18 % 1,447,868 195,856 165,979 148,150 68,429 58,597<br />

3. Saldo (Net profit)<br />

(1,707,134) (103,478) (23,573) 302,243 436,127 532,034<br />

IV Discont faktor 18 % (1,446,724) (74,316) (14,347) 155,893 190,635 197,082<br />

II ANALISIS PROYEK<br />

1 2 3 4 5 6<br />

1. NVP (184,505) 6,971<br />

2. BCR 0.92<br />

1.00<br />

3. IRR (%) 15.50<br />

TAHUN KE ( X Rp 1.000)<br />

724,387<br />

227,403<br />

158,120<br />

49,638<br />

566,267<br />

177,765<br />

7<br />

833,978<br />

221,870<br />

163,202<br />

43,418<br />

670,776<br />

178,452<br />

8<br />

1,067,458<br />

240,665<br />

169,142<br />

38,134<br />

898,316<br />

202,531<br />

9<br />

98<br />

1,471,390<br />

281,130<br />

170,660<br />

32,607<br />

1,300,730<br />

248,523<br />

10


No Petak<br />

Nama Lokal<br />

Nama Jenis<br />

Nama Ilmiah<br />

Pemotongan (gram)<br />

I II III<br />

Rata-rata<br />

1<br />

Rumput Paitan<br />

Rumput Teki<br />

Paspalum conjungatum<br />

Cyperus rotundus<br />

121.9<br />

5.2<br />

107.4<br />

3.4<br />

127.8<br />

3.3<br />

119.0<br />

4.0<br />

Jumlah 127.1 110.8 131.1 123.0<br />

2<br />

Rumput Paitan<br />

Rumput Teki<br />

Paspalum conjungatum<br />

Cyperus rotundus<br />

66.2<br />

4.2<br />

48.6<br />

3.5<br />

85.0<br />

3.5<br />

66.6<br />

3.7<br />

Jumlah 70.4 52.1 88.5 70.3<br />

3<br />

Rumput Paitan<br />

Rumput Teki<br />

Paspalum conjungatum<br />

Cyperus rotundus<br />

30.7<br />

3.3<br />

63.4<br />

5.1<br />

50.6<br />

2.7<br />

48.2<br />

3.7<br />

Jumlah 34.0 68.5 53.3 51.9<br />

4<br />

Rumput Paitan<br />

Rumput Teki<br />

Paspalum conjungatum<br />

Cyperus rotundus<br />

158.2<br />

5.6<br />

38.5<br />

3.5<br />

112.5<br />

2.7<br />

103.1<br />

3.9<br />

Jumlah 163.8 42.0 115.2 107.0<br />

5<br />

Rumput Paitan<br />

Rumput Teki<br />

Paspalum conjungatum<br />

Cyperus rotundus<br />

94.8<br />

3.7<br />

55.2<br />

6.1<br />

68.0<br />

2.5<br />

72.7<br />

4.1<br />

Jumlah 98.5 61.3 70.5 76.8<br />

6<br />

Rumput Paitan<br />

Rumput Teki<br />

Paspalum conjungatum<br />

Cyperus rotundus<br />

8.8<br />

39.7<br />

20.9<br />

54.8<br />

10.7<br />

14.2<br />

13.5<br />

36.2<br />

Jumlah 48.5 75.7 24.9 49.7<br />

7<br />

Rumput Paitan<br />

Rumput Teki<br />

Paspalum conjungatum<br />

Cyperus rotundus<br />

8.0<br />

53.1<br />

8.9<br />

40.2<br />

8.3<br />

34.2<br />

8.4<br />

42.5<br />

Jumlah 61.1 49.1 42.5 50.9<br />

8<br />

Rumput Paitan<br />

Rumput Teki<br />

Paspalum conjungatum<br />

Cyperus rotundus<br />

7.3<br />

21.4<br />

12.7<br />

17.5<br />

8.8<br />

10.1<br />

9.6<br />

16.3<br />

Jumlah 28.7 30.2 18.9 25.9<br />

9<br />

Rumput Paitan<br />

Rumput Teki<br />

Paspalum conjungatum<br />

Cyperus rotundus<br />

8.1<br />

57.0<br />

14.2<br />

52.3<br />

16.7<br />

37.6<br />

13.0<br />

49.0<br />

Jumlah 65.1 66.5 54.3 62.0<br />

10<br />

Rumput Paitan<br />

Rumput Teki<br />

Paspalum conjungatum<br />

Cyperus rotundus<br />

3.5<br />

3.3<br />

3.5<br />

6.8<br />

3.2<br />

3.3<br />

3.4<br />

4.5<br />

Jumlah 6.8 10.3 6.5 7.9<br />

Total Produksi<br />

704.0 566.5 605.7 625.4<br />

Rata-rata produksi<br />

70.40 56.65 60.57 62.54<br />

Dari tabel di atas diketahui bahwa produksi rumput pada petak contoh adalah 62,54 gram/m 2 /12 hari,<br />

dengan demikian maka produksi harian adalah :<br />

62.54<br />

12<br />

gram/m<br />

Dengan demikian dari luasan zona rumput yang ada di Taman Monos seluas 1,5 ha akan menghasilkan<br />

rumput sebanyak : 5,21 gram x 15.000 m = 78,175 gram/hari<br />

78.18 kg/hari<br />

2 = 5.21 /hari<br />

Bila diperkirakan proper use factor = 60 %, maka rumput yang tersedia/dapat dikonsumsi oleh rusa<br />

adalah sebanyak : 60% x 78,18 kg = 46,91 kh/hari


Jika tingkat konsumsi pakan rusa adalah 5,0 kg/ekor/hari, maka zona rumput yang ada dapat menampung<br />

rusa sebanyak :<br />

46.91<br />

= 9,38 ekor/hari<br />

5 kg<br />

jika dihitung kebutuhan lahan rumputnya adalah<br />

1,5 ha<br />

= 0,16 ha/ekor<br />

9,38 ekor<br />

Kenyataan di lapangan, padang rumput tidak setiap hari mampu memproduksi hijauan setiapharinya, dimana<br />

perlu istirahat untuk pertumbuhan kembali. Berdasarkan data penelitian waktu istirahat adalah 12 hari. Dengan<br />

demikian luas lahan yang diperlukan oleh seekor rusa agar dapat merumput sepanjang tahun adalah<br />

0,16 ha x 12 hari = 1,92 ha.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!