1aFSvkj
1aFSvkj
1aFSvkj
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
PERENCANAAN PENANGKARAN RUSA TIMOR<br />
(Cervus timorensis de Blainville) DENGAN SISTEM<br />
FARMING : Studi Kasus di Penangkaran Rusa Kampus IPB Darmaga<br />
S U M A N T O<br />
SEKOLAH PASCASARJANA<br />
INSTITUT PERTANIAN BOGOR<br />
BOGOR<br />
2006
PERENCANAAN PENANGKARAN RUSA TIMOR<br />
(Cervus timorensis de Blainville) DENGAN SISTEM<br />
FARMING : Studi Kasus di Penangkaran Rusa Kampus IPB Darmaga<br />
S U M A N T O<br />
Tesis<br />
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar<br />
Magister Profesi pada<br />
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan<br />
Sub Program Studi Konservasi Biodiversitas<br />
SEKOLAH PASCASARJANA<br />
INSTITUT PERTANIAN BOGOR<br />
BOGOR<br />
2006<br />
2
Judul Tesis : Perencanaan Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis<br />
de Blainville) dengan Sistem Farming : Studi Kasus di<br />
Penangkaran Rusa Kampus IPB Darmaga<br />
Nama : Sumanto<br />
Nomor Pokok : E051040365<br />
Program Studi : Ilmu Pengetahuan Kehutanan<br />
Sub Program Studi : Konservasi Biodiversitas<br />
Disetujui :<br />
Komisi Pembimbing<br />
Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, M.S Dr. Ir. H. A. Machmud Thohari, DEA<br />
Ketua Anggota<br />
Diketahui :<br />
Ketua Sub Program Studi, Dekan Sekolah Pascasarjana,<br />
Dr. Ir. H. Yanto Santosa, DEA Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc<br />
Tanggal Ujian : 13 Maret 2006 Tanggal Lulus : 27 Maret 2006<br />
3
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN<br />
SUMBER INFORMASI<br />
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Perencanaan Penangkaran Rusa<br />
Timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan Sistem Farming : Studi Kasus di<br />
Penangkaran Rusa Kampus IPB – Darmaga adalah karya saya sendiri dan belum<br />
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber<br />
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang<br />
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan<br />
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.<br />
Bogor, Maret 2006<br />
Sumanto<br />
NRP E051040365
© Hak cipta milik Sumanto, tahun 2006<br />
Hak cipta dilindungi<br />
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari<br />
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam<br />
Bentuk apa pun, baik cetak, fotocopy, microfilm, dan sebagainya<br />
iii
ABSTRACT<br />
SUMANTO. Captive Breeding Planning of Timor Deer (Cervus timorensis de<br />
Blainville) with farming system : Case Study in Timor Deer Captive Breeding at<br />
IPB Campus – Darmaga. Under the direction of BURHANUDDIN MASY’UD<br />
and A. MACHMUD THOHARI.<br />
Timor deer (Cervus timorensis de Blainville) is one of Indonesia wildlife<br />
species which population growth on natural habitat facing many threats as impact<br />
of human activities, like wild hunting and habitat destinction and fragmentation.<br />
Timor deer can be developed as livestock in the future its ability in difference<br />
geographic area of Indonesia. Farming system is appropriate model to be<br />
developed, because majority of Indonesian farmers have about less than 1<br />
hectares of farm area.<br />
The objectives of this research are: to analyse suitable location, to analyse<br />
breeding plan and economical aspect. The research was caried out in captive<br />
breeding field labratory of IPB Darmaga Campus. Equipments which have been<br />
used are: digital camera, rool meter, weighing-machine and a set of computer<br />
with design program. Materials which used are: map, timor deers and plastic<br />
bags. This research used field observation method, literature study and interview<br />
method.<br />
Pursuant to this research with based on bioecological condition, IPB<br />
captive breeding is suitable for timor deer captive location. Farm location was<br />
devideed into: headquarter zone 0,10 hectare (2,35%) and captive breeding zone<br />
4,15 hectare (97,65%). Captive breeding management to be executed is farming<br />
system. Based on economic analysis, until 21,35% interest, captive breeding<br />
with farming system still give advantage if population size of parent stock in first<br />
year are 105, and 210 in second year and to be taken care until ninth year, with<br />
payback period 4,53 years.<br />
Key word : timor deer, captive breeding planning, deer farming,<br />
site planning, economic analysis<br />
iv
ABSTRAK<br />
SUMANTO. Perencanaan Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis de<br />
Blainville) dengan Sistem Farming : Studi Kasus di Penangkaran Rusa Kampus<br />
IPB – Darmaga. Dibimbing oleh BURHANUDDIN MASY’UD dan A.<br />
MACHMUD THOHARI.<br />
Rusa timor adalah salah satu jenis satwa liar asli indonesia. Rusa timor<br />
(Cervus timorensis de Blainville), adalah salah satu spesies dari keanekaragaman<br />
hayati milik bangsa Indonesia, yang kondisi di habitat aslinya mendapat tekanan<br />
demikian besar sebagai akibat dari kegiatan manusia, dalam bentuk perburuan<br />
liar maupun pengrusakan habitat. Sebagai satwa harapan yang mempunyai daya<br />
adaptasi sangat tinggi serta penyebaran yang luas, rusa timor sangat<br />
memungkinkan untuk dipelihara/ditangkarkan di seluruh Indonesia baik<br />
dengan sistem Deer Ranching maupun dengan sistem Deer Farming.<br />
Mengingat rata-rata kepemilikan lahan bagi masyarakat Indonesia ± 1 ha, maka<br />
sistem penangkaran yang memungkinkan untuk dikembangkan adalah dengan<br />
sistem deer farming.<br />
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kelayakan lokasi,<br />
penyusunan perencanaan penangkaran dan menganalisis kelayakan usaha.<br />
Penelitian ini dilaksanakan di lokasi penangkaran rusa kampus IPB Darmaga.<br />
Alat yang digunakan terdiri dari kamera, roll meter, timbangan dan seperangkat<br />
komputer dengan program disain. Sedangkan bahan yang digunakan adalah :<br />
peta lokasi, rusa timor dan habitatnya serta kantong plastik. Metode yang<br />
digunakan adalah pengamatan langsung dilapangan, studi litelatur dan<br />
wawancara.<br />
Berdasarkan hasil penelitian, maka lokasi yang diperuntukkan bagi<br />
penangkaran rusa di kampus IPB – Darmaga dinyatakan layak secara bioekologi.<br />
Lokasi yang ada dibagi menjadi : zona perkantoran seluas 0,10 ha (2,35%) dan<br />
zona penangkaran 4,15 ha (97,65%). Manajemen penangkaran yang dilaksanakan<br />
adalah penangkaran dengan sistem deer farming.<br />
Berdasarkan hasil analisis finansial, maka usaha penangkaran rusa dengan<br />
sistem deer farming dengan populasi induk pada tahun pertama adalah 105 ekor<br />
dan tahun kedua 110 ekor yang dipertahankan sampai tahun kesembilan cukup<br />
layak dan menguntungkan sampai pada tingkat suku bunga 21,35% dengan<br />
jangka waktu pengembalian modal adalah 4,53 tahun.<br />
Kata kunci : rusa timor, perencanaan penangkaran, deer farming,<br />
perancangan tapak, analisis ekonomi<br />
v
RIWAYAT HIDUP<br />
Penulis dilahirkan pada tanggal 11 Juli 1968 di<br />
Desa Gentan, Kecamatan Gantiwarno, Kabupaten<br />
Klaten, Jawa Tengah. Merupakan anak kelima dari lima<br />
bersaudara pasangan Bapak Sonto Sumardjo dan Ibu<br />
Madiyem (Almh). Pada tahun 1981 menamatkan<br />
Pendidikan Sekolah Dasar di SD Inpres Pulau Mainan II,<br />
tahun 1984 menamatkan Pendidikan Menengah Pertama di SMP Negeri 4<br />
Wonotiung. Tahun 1987 menamatkan Pendidikan Menengah Atas di SMT<br />
Pertanian Negeri Sitiung. Semuanya berada di Kecamatan Koto Baru,<br />
Kabupaten Sawahlunto/Sijunujung (sekarang Kab. Darmas Raya), Sumatera<br />
Barat. Tahun 1992 menamatkan Pendidikan D III/A III di Fakultas Teknologi<br />
Pertanian – IPB.<br />
Sejak tahun 1992 sampai sekarang bertugas sebagai staf pengajar di<br />
Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Pasir Penyu, Indragiri Hulu. Riau. Tahun<br />
2001 menamatkan Pendidikan S-1 di Fakultas Pertanian Universitas Riau –<br />
Pekanbaru pada Program Studi Agronomi. Tahun 2004 diterima sebagai<br />
mahasiswa S2 Sekolah Pascasarjana – IPB pada Program Studi Ilmu Pengetahuan<br />
Kehutanan (IPK) Sub Program Studi Konservasi Biodiversitas.<br />
Beristri Umiyati binti Nadhir Mangun Wiratmo dan dikaruniai tiga orang<br />
putra, yaitu : Hafidha Fatma Sari (12 tahun), Gilang Abiwijaya (7 tahun) dan<br />
Fathaya Putri Handayani (1,5 tahun). Alamat tempat tinggal di Komplek SMK<br />
Negeri 1 Pasir Penyu, Jl. Jend. Sudirman Air Molek, Indragiri Hulu, Riau. 29352.<br />
vi
PRAKATA<br />
Puji dan Syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat<br />
hidayah, karunia, dan petunjuk-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini.<br />
Tesis ini disusun berdasarkan data dan informasi yang diperoleh selama<br />
pengambilan data di lapangan serta analisis hasilnya.<br />
Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister<br />
Profesi dari Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tesis dengan judul<br />
“PERENCANAAN PENANGKARAN RUSA TIMOR (Cervus timorensis de<br />
Blainville) DENGAN SISTEM FARMING”: Studi Kasus di Penangkaran<br />
Rusa Kampus IPB Darmaga ini dapat terselesaikan dibawah tim komisi<br />
pembimbing yang diketuai oleh Bapak Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS.<br />
dengan anggota Bapak Dr. Ir. H. A. Machmud Thohari, DEA. Untuk itu ucapan<br />
terimakasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada komisi pembimbing,<br />
karena tanpa arahan dan masukan yang diberikan selama penelitian dan<br />
penulisan, maka sulit dibayangkan tesis ini dapat selesai dengan baik.<br />
Berbagai pihak telah memberikan kontribusinya secara langsung maupun<br />
tidak langsung bagi penyelesaian dan penyempurnaannya. Namun disadari<br />
bahwa tesis ini masih belum sempurna, baik dalam sistematika maupun teknik-<br />
teknik analisis dan interpretasi data yang mungkin terjadi sepenuhnya menjadi<br />
tanggungjawab penulis.<br />
Ucapkan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada: (1) Yth.<br />
Direktur DIKDASMENJUR DEPDIKNAS, yang telah memberikan sponsor<br />
beasiswa dalam penyelenggaraan pendidikan Program Magister Profesi di Institut<br />
Pertanian Bogor, (2) PEMDA Kabupaten Indragiri Hulu melalui Bapak Kepala<br />
Dinas Pendidikan yang telah memberikan izin kepada penulis untuk mengikuti<br />
program pendidikan di Institut Pertanian Bogor, (3) Yth. Rektor, Dekan Sekolah<br />
Pascasarjana, Ketua Sub Program Studi Konservasi Biodiversitas dan seluruh<br />
civitas akademika IPB, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk<br />
mengikuti pendidikan S2 di Institut Pertanian Bogor, (4) Yth. Bapak Agus<br />
Rosadi, SP selaku Kepala SMK Negeri 1 Pasir Penyu yang telah memberikan izin<br />
dan motivasi kepada penulis untuk mengikuti program pendidikan di Institut<br />
Pertanian Bogor, (5) Yth. Bapak/Ibu Majelis Guru dan Staf Karyawan Tata Usaha<br />
SMK Negeri 1 Pasir Penyu yang telah memberikan dukungan, motivasi dan<br />
vii
pengertian kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini<br />
dengan baik dan (6) Seluruh keluarga (Bapak Sonto Sumardjo, Ibu Sumarlinah,<br />
Mas Sugiman, Mas/Mbak semuanya dan adik-adik serta keponakan semua) yang<br />
telah memberikan motivasi dan dukungan baik secara materiil maupun spirituil,<br />
sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini tanpa hambatan suatu<br />
apapun.<br />
Ucapan terimakasih dan penghargaan yang besar penulis sampaikan kepada<br />
rekan-rekan satu kelas S2 Profesi Konservasi Biodiversitas Angkatan Pertama<br />
atas dukungan dan kerjasamanya, karena berkat dukungan dan kerjasama dari<br />
rekan-rekan studi S2 ini dapat penulis jalani dengan baik. Secara khusus penulis<br />
mengucapkan terima kasih kepada istri (Umiyati) dan anak-anak kami (Hafidha<br />
Fatma Sari, Gilang Abiwijaya dan Fathaya Putri Handayani) atas kasih dan<br />
dukungannya selama penulis menjalani studi, sehingga mengurangi hari-hari<br />
kebersamaan kita. Tanpa pengertian dan dukungan dari istri dan anak-anak<br />
tercinta mustahil pendidikan ini dapat terselesaikan dengan baik. Selain itu tesis<br />
ini dapat terselesaikan juga atas dukungan dan dorongan berbagai pihak yang<br />
tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Untuk itu penulis menyampaikan<br />
terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya.<br />
Akhirnya apabila terdapat kesalahan dalam penulisan dalam tesis ini, maka<br />
hanya penulis yang bertanggungjawab. Kiranya Allah SWT sendiri yang<br />
memberi balasan berkah kepada semua pihak yang telah banyak membantu<br />
penulis dan anhir kata Semoga tesis ini bermanfaat bagi banyak pihak.<br />
viii<br />
Bogor, Maret 2006<br />
Sumanto
DAFTAR ISI<br />
Halaman<br />
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI ..... ii<br />
HAK CIPTA .. ................................................................................................. iii<br />
RIWAYAT HIDUP ...................................................................................... iv<br />
ABSTRACT..................................................................................................... v<br />
PRAKATA ...................................................................................................... vii<br />
DAFTAR ISI.................................................................................................... viii<br />
DAFTAR TABEL ........................................................................................... ix<br />
DAFTAR GAMBAR....................................................................................... x<br />
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xi<br />
PENDAHULUAN<br />
Latar Belakang .......................................................................................... 1<br />
Tujuan ...................................................................................................... 3<br />
Manfaat ..................................................................................................... 3<br />
Output ....................................................................................................... 3<br />
Kerangka Pemikiran ... ............................................................................... 4<br />
TINJAUAN PUSTAKA<br />
Bio-ekologi RusaTimor (Cervus timorensis de Blainville)<br />
Taksonomi .. ........................................................................................ 6<br />
Morfologi............................................................................................. 6<br />
Penyebaran .......................................................................................... 7<br />
Habitat ................................................................................................. 8<br />
Aktivitas Harian dan Perilaku ............................................................. 8<br />
Biologi Reproduksi ............................................................................. 10<br />
Pakan ................................................................................................... 12<br />
Home Range .. ..................................................................................... 14<br />
Deer Farming ............................................................................................. 15<br />
Perancangan Tapak (Site Planning) ... ...................................................... 15<br />
Lanskap ...................................................................................................... 17<br />
Penangkaran RusaTimor (Cervus timorensis de Blainville)<br />
Landasan Kebijakan ............................................................................ 19<br />
Perizinan .. ........................................................................................... 19<br />
Teknik Penangkaran .......................................................................... 21<br />
Kelayakan Ekonomi Usaha Penangkaran Rusa ................................ 27<br />
MATERI DAN METODE<br />
Tempat dan Lokasi Penelitian ................................................................... 30<br />
Alat dan Bahan .......................................................................................... 30<br />
Data Yang Dikumpulkan .......................................................................... 30<br />
Teknik Pengumpulan Data ....................................................................... 31<br />
Analisa Data .. ............................................................................................ 34<br />
ix
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Analisis Bio-ekologi Lokasi Penangkaran<br />
Keadaan Fisik lokasi<br />
Letak dan Luas ........................................................................... 38<br />
Iklim dan Curah Hujan ............................................................... 38<br />
Topografi ..................................................................................... 39<br />
Air (Hidrologi) ... ......................................................................... 40<br />
Tanah ........................................................................................... 41<br />
Keadaan Biologis Lokasi Penangkaran<br />
Vegetasi ....................................................................................... 42<br />
Satwaliar ...................................................................................... 43<br />
Daya Dukung Lokasi ................................................................... 44<br />
Perancangan Tapak (Site Planning) Penangkaran rusa timor<br />
(Cervus timorensis de Blainville) dengan Sistem Deer Farming<br />
Analisis Perancangan Tapak ............................................................. 48<br />
Pewilayahan/Zonasi ............................................................................ 48<br />
Faktor-faktor Lanskap .. ...................................................................... 51<br />
Diskripsi dan Tata Letak Tapak .......................................................... 52<br />
Rancangan Manajemen Penangkaran Rusa Timor (Cervus<br />
timorensis de Blainville) denga Sistem Deer Farming<br />
Manajemen Penangkaran .. ................................................................. 57<br />
Sarana dan Prasarana Penangkaran ... ................................................. 70<br />
Proyeksi Perkembangan Populasi ....................................................... 73<br />
Analisis Kelayakan Finansial Usaha Penangkaran Rusa Timor<br />
(Cervus timorensis de Blainville) denga Sistem Deer Farming.. .............. 75<br />
SIMPULAN DAN SARAN<br />
Simpulan ................................................................................................... 79<br />
Saran .... ...................................................................................................... 80<br />
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 81<br />
x
DAFTAR TABEL<br />
Halaman<br />
1. Perbandingan kondisi fisik daerah penyebaran rusa dengan lokasi<br />
penangkaran di kampus IPB – Darmaga ................................................. 41<br />
2. Produktivitas hijauan pakan rusa pada setiap petak contoh di dalam<br />
lokasi penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) di<br />
Kampus IPB – Darmaga .. ....................................................................... 44<br />
3. Proyeksi perkembangan rusa selama 10 tahun pemeliharaan di<br />
penangkaran ... ......................................................................................... 74<br />
4. Proyeksi komponen biaya dan penerimaan pada usaha penangkaran<br />
rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) selama 10 tahun di<br />
penangkaran dengan sistem deer farming ................................................ 75<br />
5. Hasil analisis finansial usaha penangkaran rusa timor (Cervus<br />
timorensis de Blainville) di Kampus IPB – Darmaga .............................. 76<br />
6. Hasil analisis sensitivitas finansial usaha penangkaran rusa timor<br />
(Cervus timorensis de Blainville) di Kampus IPB – Darmaga<br />
terhadap beberapa kemungkinan skenario .. ............................................ 77<br />
xi
Halaman<br />
DAFTAR GAMBAR<br />
1. Kerangka Pemikiran Penelitian Disain Penagkaran Rusa Timor<br />
(Cervus timorensis de Blainville) dengan Sistim Farming . ...................... 5<br />
2. Rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) a. Rusa jantan, b. Rusa<br />
betina .. ....................................................................................................... 6<br />
3. Prosedur perizinan penangkaran satwaliar dan tumbuhan alam<br />
berdasarkan SK Dirjen PHPA No.07/Kpts/DJ-VI/1988 ... ........................ 21<br />
4. Disain Metote Garis Berpetak Dalam Analisis Vegetasi . ......................... 32<br />
5. Peta Topografi Lokasi Penangkaran rusa Timor (Cervus timorensis de<br />
Blainville) di Kampus IPB Dermaga .. ..................................................... 40<br />
6. Keadaan vegetasi yang terdapat di lokasi penangkaran rusa di kampus<br />
IPB Darmaga padasaat studi .. .................................................................. 51<br />
7. Diskripsi dan tata letak tapak pada zona penangkaran (Headquarter<br />
zone).. ......................................................................................................... 53<br />
8. Diskripsi dan tata letak tapak penangkaran di kampus IPB Darmaga.. ..... 55<br />
9. Desain pagar yang disarankan ................................................................... 56<br />
10. Desain jalan inspeksi dan pintu yang disarankan ...................................... 57<br />
xii
DAFTAR LAMPIRAN<br />
Halaman<br />
1a. Hasil analisa vegetasi tingkat bawah/semai di dalam lokasi<br />
penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) di<br />
Kampus IPB – Darmaga .... ...................................................................... 84<br />
1b. Hasil analisa vegetasi tingkat pancang di dalam lokasi<br />
penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) di<br />
Kampus IPB – Darmaga .... ...................................................................... 86<br />
1c Hasil analisa vegetasi tingkat tiang dan pohon di dalam lokasi<br />
penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) di<br />
Kampus IPB – Darmaga .... ....................................................................... 87<br />
2. Daftar jenis satwaliar yang ditemukan di lokasi penangkaran rusa<br />
timor (Cervus timorensis de Blainville) di Kampus IPB – Darmaga<br />
..................................................................................................................... 88<br />
3. Produktivitas hijauan pakan rusa pada setiap petak contoh di dalam<br />
lokasi penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) di<br />
Kampus IPB – Darmaga .. .......................................................................... 89<br />
4. Rencana anggaran biaya pembangunan dan pengembangan sarana<br />
fisik usaha penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de<br />
Blainville) dengan sistem “deer farming” .. .............................................. 91<br />
5. Analisis finansial usaha penangkaran rusa timor (Cervus timorensis<br />
de Blainville) pada skala usaha 100 ekor induk dengan sistem<br />
“deer farming” ......................................................................................... 93<br />
6. Hasil analisis finansial usaha penangkaran rusa timor (Cervus<br />
timorensis de Blainville) pada skala usaha 100 ekor induk dengan<br />
sistem “deer farming” (Skenario penerimaan/harga turun 10% dan<br />
biaya tetap) ................................................................................................ 96<br />
7. Hasil analisis finansial usaha penangkaran rusa timor (Cervus<br />
timorensis de Blainville) pada skala usaha 100 ekor induk dengan<br />
sistem “deer farming” (Skenario penerimaan tetap dan biaya<br />
produksi naik 10%) ................................................................................... 97<br />
8. Hasil analisis finansial usaha penangkaran rusa timor (Cervus<br />
timorensis de Blainville) pada skala usaha 100 ekor induk dengan<br />
sistem “deer farming” (Skenario penerimaan turun 10% dan<br />
biaya produksi naik 10%) ......................................................................... 98<br />
xiii
PENDAHULUAN<br />
Latar Belakang<br />
Rusa timor (Cervus timorensis de Blainville), adalah salah satu bagian dari<br />
keanekaragaman hayati milik bangsa Indonesia, yan g kondisi di habitat aslinya<br />
mendapat tekanan demikian besar sebagai akibat dari kegiatan manusia, dalam<br />
bentuk perburuan liar maupun pengrusakan habitat.<br />
Rusa timor sebenarnya merupakan satwaliar yang relatif mudah dalam hal<br />
reproduksi/perkembangbiakan maupun penyediaan pakannya. Namun karena di<br />
habitat aslinya dikhawatirkan akan terjadi pemanfaatan yang berlebihan sehingga<br />
terancam punah, maka dengan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999, rusa<br />
timor termasuk satwaliar yang dilindungi.<br />
Sejalan dengan pertumbuhan penduduk yang demikian pesat, meningkat<br />
pula pemanfaatan kekayaan alam Indonesia untuk memenuhi kebutuhan<br />
masyarakat. Salah satu contohnya adalah pemenuhan kebutuhan protein hewani.<br />
Atas dasar itulah maka dalam rangka pemanfaatan sumberdaya alam yang<br />
dimiliki bangsa Indonesia, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.<br />
404/Kpts/DT.210/6/2002, rusa dimasukkan sebagai salah satu jenis satwaliar yang<br />
potensial untuk dikembangkan sebagai hewan ternak.<br />
Agar tujuan dari kedua kebijakan tersebut dapat terwujud secara bersama-<br />
sama, maka dengan semangat konservasi pemanfaatan rusa timor sebagai ternak<br />
harapan tetap harus mengacu pada prinsip kelestarian, salah satu cara dapat<br />
dilakukan dengan “penangkaran”.<br />
Sebagai satwa harapan yang mempunyai daya adaptasi sangat tinggi serta<br />
penyebaran yang luas, rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) sangat<br />
mungkin untuk dipelihara/ditangkarkan di seluruh Indonesia. Semangat otonomi<br />
daerah merupakan satu titik terang bagi daerah-daerah yang mempunyai wilayah<br />
cukup luas sangat memungkinkan untuk mengembangkan penangkaran rusa timor<br />
(Cervus timorensis de Blainville) baik dengan sistem Ranching maupun dengan<br />
sistem Farming.<br />
Deer Ranching adalah suatu usaha penangkaran/pemeliharaan rusa yang<br />
dilakukan secara ekstensif, dimana hampir seluruh kebutuhan hidup bagi rusa<br />
berlangsung secara alami dan peran manusia hanya sebatas mengontrol dan<br />
mengatur daya dukung habitatnya. Sedangkan Deer Farming adalah suatu usaha
penangkaran/pemeliharaan rusa yang dilakukan secara semi-intensif, dimana<br />
sebagian besar kebutuhan hidup bagi rusa diatur dan dikendalikan oleh manusia.<br />
Kebutuhan hidup rusa yang dimaksud adalah kebutuhan ruangan, makanan,<br />
minuman, tempat perlindungan (selter), kesehatan sampai perkembangbiakannya.<br />
Untuk dapat mengembangkan penangkaran dengan sistem ranching harus<br />
tersedia lahan yang cukup luas, sementara dengan sistem farming, luasan lahan<br />
tidak merupakan kendala, karena kebutuhan utama bagi kehidupan rusa, yaitu<br />
pakan dan minum dapat dipenuhi dari luar. Mengingat rata-rata kepemilikan<br />
lahan bagi masyarakat Indonesia ± 1 ha, maka sistem penangkaran yang<br />
memungkinkan untuk dikembangkan adalah dengan sistem farming. Namun salah<br />
satu kendala yang dihadapi oleh penangkar saat ini adalah belum adanya contoh<br />
penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) di Indonesia yang<br />
cukup berhasil baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Salah satu penyebabnya<br />
adalah belum adanya perencanaan penangkaran dengan sistem farming yang<br />
memperhatikan aspek bio-ekologi dari rusa timor (Cervus timorensis de<br />
Blainville).<br />
Menurut Masy’ud (2003), desain (rancangan) dapat diartikan sebagai<br />
suatu rencana, struktur dan strategi kegiatan yang dimaksudkan untuk menjawab<br />
permasalahan yang dihadapi secara efisien dan efektif yang memuat secara<br />
sistematik keseluruhan kegiatan yang akan dilakukan, petunjuk prosedural cara<br />
melaksanakan kegiatan, waktu dilaksanakan, data dan informasi apa yang<br />
diperlukan, cara pengumpulan dan penganalisaan data serta kebutuhan tenaga,<br />
biaya dan peralatannya, serta gambaran hasil yang diharapkan dari kegiatan ini.<br />
Disain disebut sebagai rencana, karena disain ini memuat secara sistematis<br />
keseluruhan kegiatan yang akan dilakukan. Disebut sebagai struktur karena<br />
didalam disain tergambar model atau prinsip-prinsip operasional kegiatan serta<br />
sifat atau jenis data yang diperlukan. Disebut sebagai strategi, karena didalamnya<br />
terkandung petunjuk prosedural bagaimana rencana dan struktur kegiatan dapat<br />
dijalankan, sehingga permasalahan yang dihadapi dapat terjawab secara baik<br />
dengan variasi yang dapat dikendalikan (Masy’ud, 2003).<br />
Mengacu pada permasalahan tersebut di atas, maka penelitian tentang<br />
Perencanaan Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan<br />
Sistem Farming ini dilakukan.<br />
2
Penelitian ini dilakukan dengan mengambil lokasi yang mempunyai<br />
ukuran luas areal tidak terlalu luas, yaitu ± 5 ha, yaitu untuk memberikan suatu<br />
model bagi masyarakat Indonesia, bahwa sebenarnya penangkaran rusa timor<br />
tidak harus dilakukan di areal yang luas, tetapi dengan lahan yang dimiliki oleh<br />
kebanyakan petani peternak kita juga dapat dilakukan penangkaran rusa timor<br />
tergantung bagaimana disain dan manajemen penangkaran itu dilakukan. Selain<br />
itu, lokasi ini dipilih karena potensi sumberdaya berupa lokasi dan rusa timor<br />
sudah ada tetapi penataan tapak dan manajemen penangkaran yang dilakukan<br />
dirasa belum baik, sehingga sampai saat ini populasi yang ada belum berkembang<br />
sebagaimana yang diharapkan. Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan<br />
dapat menjadi acuan dalam pengelolaan yang lebih baik dalam usaha<br />
penangkaran yang sudah dilakukan dan dapat dijadikan acuan bagi siapa saja<br />
yang akan mengembangkan penangkaran rusa dengan sistem deer farming.<br />
Tujuan<br />
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah :<br />
1. Mengkaji kelayakan lokasi yang diperuntukkan bagi penangkaran rusa timor<br />
dengan sistem Farming ditinjau dari kajian bio-ekologinya.<br />
2. Menyusun perencanaan penangkaran rusa timor dengan sistem farming :<br />
a. Perancangan tapak penangkaran<br />
b. Rancangan manajemen penangkaran<br />
3. Menganalisis kelayakan finansial usaha penangkaran rusa timor dengan<br />
sistem farming berdasarkan rancangan disain yang dibuat.<br />
Manfaat<br />
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan bagi pihak<br />
pengelola dalam penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville)<br />
dengan sistem farming secara efektif dan efisien, sehingga usaha tersebut tetap<br />
lestari dan berwawasan lingkungan.<br />
Output<br />
Output yang dihasilkan dari penelitian ini adalah Perencanaan Penangkaran<br />
Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan sistem Farming yang sesuai<br />
dengan bio-ekologinya.<br />
3
Kerangka Pemikiran<br />
Potensi sumberdaya alam yang kita miliki berupa lahan dan rusa timor<br />
(Cervus timorensis de Blainville) apabila kita kelola dengan baik menjadi suatu<br />
penangkaran akan dapat memberikan kesejahteraan bagi pengelolanya. Agar<br />
penangkaran dapat berhasil dengan baik, maka prisnsip-prinsip penangkaran yang<br />
merupakan interaksi antara bio-fisik dari lahan dan bio-ekologi dari rusa timor<br />
(Cervus timorensis de Blainville) menjadi syarat mutlak yang harus mendapat<br />
perhatian serius.<br />
Penelitian ini dimulai dari menganalisis kondisi bio-ekologi calon lokasi dan<br />
bio-ekologi rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) serta kebutuhan hidup<br />
rusa timor di penangkaran dan dilanjutkan dengan menganalisis persyaratan untuk<br />
membuat perancangan tapak (site planning) penangkaran yang meliputi bangunan<br />
kantor, pedok, bangunan kandang, kebun rumput, areal pembesaran dan jalan<br />
inspeksi. Bila persyaratan yang dimaksud sudah terpenuhi, maka langkah<br />
selanjutnya adalah melakukan perancangan tapak, yaitu meliputi analisis tapak,<br />
pewilayahan/zonasi dan diskripsi serta tata letak tapak. Tetapi apabila persyaratan<br />
untuk membuat perancangan tapak belum terpenuhi, maka langkah salanjutnya<br />
perlu dilakukan analisis peningkatan kualitas tapak dan sarana dan prasaran,<br />
sehingga persyaratan tersebut terpenuhi. Kemudian dilanjutkan dengan<br />
perancangan tapak.<br />
Dari analisis-analisis tersebut diatas, akhirnya akan terpilih satu alternatif<br />
perancangan tapak yang memperhatikan aspek peruntukan lahan, waktu, biaya<br />
dan tenaga pengembangnya. Selanjutnya akan dihasilkan suatu disain<br />
penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan sistem farming<br />
yang memperhatikan bio-fisik lokasi, bio-ekologi rusa, kebutuhan hidup rusa<br />
serta biaya dan tenaga pengelolanya.<br />
Secara rinci kerangka dan alur pemikiran pada Penelitian Perencanaan<br />
Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan Sistem<br />
Farming dapat dilihat pada Gambar 1.<br />
4
Calon Lokasi<br />
Kondisi Bio-Fisik<br />
Calon Lokasi<br />
1. Letak dan luas :<br />
a. Iklim<br />
b. Topografi<br />
c. Hidrologi<br />
d. Tanah<br />
2. Keadaan biologi<br />
a. Vegetasi<br />
b. Satwaliar<br />
POTENSI<br />
SUMBERDAYA ALAM<br />
Persayaratan<br />
Perancangan Tapak<br />
1. Bangunan kantor<br />
2. Pedok<br />
3. Bangunan kandang<br />
4. Kebun rumput<br />
5. Areal pembesaran<br />
6. Jalan<br />
Memenuhi<br />
Persyaratan<br />
Rusa Timor<br />
(Cervus timorensis)<br />
Ya<br />
Perancangan Tapak<br />
1. Analisis tapak<br />
2. Pewilayahan/zonasi<br />
3. Diskripsi dan tata letak<br />
Bio-Ekologi<br />
Rusa Timor (Cervus<br />
timorensis de Blainville)<br />
1. Taksonomi<br />
2. Morfologi<br />
3. Penyebaran<br />
4. Habitat<br />
5. Perilaku<br />
6. Biologi reproduksi<br />
7. Pakan<br />
8. Home range<br />
Tidak<br />
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian perencanaan penangkaran rusa timor<br />
(Cervus timorensis de Blainville) dengan sistem farming.<br />
5<br />
Kebutuhan Hidup Rusa<br />
Timor (Cervus timorensis de<br />
Blainville) di Penangkaran<br />
1. Pdg. Rumput & Pedok<br />
2. Habitat<br />
3. Perilaku<br />
4. Reproduksi<br />
5. Kesehatan<br />
6. Home range<br />
Analisis Peningkatan<br />
Kualitas Tapak<br />
dan<br />
Analisis Sarana dan<br />
Prasarana Penangkaran<br />
Pemilihan Alternatif<br />
Perancangan Tapak<br />
Alternatif terpilih (peruntukan,<br />
waktu, biaya dan<br />
tenaga pengembangannya)<br />
Perencanaan Penangkaran Rusa<br />
Ti mor (Cervus timorensis de<br />
Blainville) dengan Sistem<br />
FARMING
Taksonomi<br />
TINJAUAN PUSTAKA<br />
Bio-ekologi Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville)<br />
Rusa merupakan satwa timor yang termasuk anggota Klas Mamalia, Ordo<br />
Artiodactyla, Sub Ordo Ruminansia, Famili Cervidae dan Genus Cervus. Genus<br />
Cervus terdiri dari dua species yaitu Cervus timorensis (Rusa Timor), dan Cervus<br />
unicolor (Rusa Sambar).<br />
Rusa timor merupakan rusa tropis kedua terbesar setelah rusa sambar.<br />
Dibandingkan dengan rusa tropis Indonesia lainnya, rusa timor memiliki keunikan<br />
yaitu sebagai rusa yang memiliki banyak sub spesies, dengan daerah penyebaran<br />
yang luas serta nama lokal yang cukup beragam tergantung daerah dimana<br />
habitatnya berada.<br />
Morfologi<br />
Rusa timor merupakan dikenal juga dengan nama rusa Jawa, memiliki<br />
warna bulu coklat abu-abu sampai coklat tua kemerahan dan yang jantan<br />
warnanya lebih gelap. Warna di bagian perut lebih terang dari pada di bagian<br />
punggungnya.<br />
a b<br />
Gambar 2. Rusa timor (Cervus timorenisi de Blainville).<br />
a. rusa jantan, b. rusa betina<br />
6
Tinggi bahu rusa betina dewasa 100 cm, sedangkan yang jantan dapat<br />
mencapai 110 cm. Panjang badan dengan kepala kira-kira 120 – 130 cm, panjang<br />
ekor 10 – 30 cm. Sedangkan bobot badannya dapat mencapai 100 kg.<br />
Rusa jantan dewasa memiliki ranggah atau tanduk yang bercabang tiga,<br />
dengan ujung-ujungnya yang runcing , kasar dan beralur memanjang dari pangkal<br />
hingga ke ujung ranggah. Panjang ranggah rata-rata 80 – 90 cm, tapi ada yang<br />
mencapai 111,5 cm.<br />
Penyebaran<br />
Famili cervidae memiliki penyebaran yang luas, terdapat hampir di seluruh<br />
dunia, kecuali di Afrika yaitu di sebelah selatan Gurun Sahara. Di Australia,<br />
Selandia Baru, Papua dan pulau-pulau kecil yang berdekatan, rusa marupakan<br />
satwa yang diintroduksi. Di Indonesia, penyebaran rusa hampir meliputi seluruh<br />
wilayah. Khusus untuk rusa timor (Cervus timorensis) penyebarannya meliputi<br />
pulau-pulau kecil di Indonesia bagian Timur.<br />
Menurut Van Memmel (1949) dalam Schroder (1976), menyatakan bahwa<br />
di Indonesia Cervus timorensis terdiri dari 8 (delapan) sub species dengan daerah<br />
penyebarannya adalah sebagai berikut :<br />
1. Cervus timorensis rusa, terdapat di Jawa dan Kalimantan<br />
2. Cervus timorensis laronesiotis, terdapat di Pulau Peucang, Nusa Barung,<br />
Karimun jawa, Pulau Kemujan dan Sepanjang.<br />
3. Cervus timorensis renschi Sody, terdapat di Bali<br />
4. Cervus timorensis timorensis, terdapat di Timor, Roti, Semau, Alor, Pantar,<br />
Pulau Rusa dan kambing.<br />
5. Cervus timorensis macassarius, terdapat di Bangai dan Seleyar.<br />
6. Cervus timorensis djongga, terdapat di Pulau Buton dan Muna.<br />
7. Cervus timorensis molucentis, terdapat di Ternate, Mareh Moti, Halmahera,<br />
Bacan, Buru dan Ambon<br />
8. Cervus timorensis floresiensis, terdapat di Lombok, Sumbawa, Komodo,<br />
Rinca, Flores dan Solor.<br />
7
Habitat<br />
Habitat adalah suatu komunitas biotik atau serangkaian komunitas-<br />
komunitas biotik yang ditempati oleh binatang atau populasi kehidupan. Habitat<br />
yang sesuai menyediakan semua kelengkapan habitat bagi suatu spesies selama<br />
musim tertentu atau sepanjang tahun. Kelengkapan habitat terdiri dari berbagai<br />
macam jenis termasuk makanan, perlindungan dan faktor-faktor lainnya yang<br />
diperlukan oleh spesies hidupan liar untuk bertahan hidup dan melangsungkan<br />
reproduksinya secara berhasil (Bailey, 1984).<br />
Habitat rusa timor berupa hutan, dataran terbuka serta padang rumput dan<br />
savanna. Rusa timor diketemukan di dataran rendah hingga pada ketinggian 2600<br />
m di atas permukaan laut (Direktorat PPA, 1978). Padang rumput dan daerah-<br />
daerah terbuka merupakan tempat mencari makan, sedangkan hutan dan semak<br />
belukar merupakan tempat berlindung. Salah satu tempat berlindung yang<br />
disukai oleh rusa timor (Cervus timorensis) adalah semak-semak yang didominasi<br />
oleh kirinyuh (Eupatorium spp.), saliara (Lantana camara), gelagah (Saccarum<br />
spontaneum) dan alang-alang (Imperata cylindrica). Rusa timor termasuk satwa<br />
yang mudah beradaptasi dengan lingkungan yang kering bila dibandingkan<br />
dengan jenis rusa yang lain, karena ketergantungan terhadap ketersediaan air<br />
relatif lebih kecil. Dengan kemampuan adaptasi yang baik ini rusa timor mampu<br />
berkembangbiak dengan baik di daerah-daerah meskipun bukan habitat aslinya.<br />
Berdasarkan beberapa contoh perkembangan rusa timor (Cervus timorensis)<br />
di daerah yang bukan merupakan habitat aslinya, terbukti bahwa populasi rusa<br />
timor (Cervus timorensis) dapat berkembang pesat di daerah-daerah yang bukan<br />
merupakan habitat aslinya, misalnya di Papua, Maluku dan Kalimantan bila<br />
dibandingkan dengan populasi di habitat aslinya, terutama di Pulau Jawa dan<br />
Bali.<br />
Aktivitas Harian dan Perilaku<br />
Rusa adalah satwa yang aktif baik siang maupun malam hari. Namun untuk<br />
rusa timor lebih aktif pada siang hari. Meskipun bukan satwa nocturnal, rusa<br />
timor mampu berubah sifat menjadi nocturnal dalam proses adaptasinya.<br />
8
Aktivitas harian rusa meliputi perjalanan dari dan ke tempat mencari<br />
makanan dan air, makan dan beristirahat. Sebagaimana herbivora pada<br />
umumnmya, rusa menghabiskan waktunya berjam-jam untuk makan dan diselingi<br />
perjalanan-perjalanan pendek untuk beristirahat maupun menuju ke tempat air.<br />
Untuk aktivitas makan rusa timor lebih banyak menghabiskan waktunya pada<br />
pagi dan sore hari. Sedangkan siang hari cenderung mencari perlindungan dari<br />
teriknya sinar matahari, beristirahat sambil memamah biak. Pada malam hari<br />
aktivitas makan juga berlangsung, tetapi tidak begitu aktif.<br />
Dalam perilaku sosial, rusa timor pada umumnya hidup dalam kelompok<br />
antara 3 ekor sampai 20 ekor. Namun jika berada di padang penggembalaan<br />
terkadang dapat membentuk kelompok besar sampai jumlah 75 – 100 ekor.<br />
Kelompok rusa Timor sering dijumpai terdiri dari induk dan anak baik yang<br />
masih kecil maupun yang sudah remaja, serta rusa-rusa muda. Baru menjelang<br />
musim kawin berangsur-angsur rusa jantan mendekati kelompok rusa betina ini.<br />
Di dalam kelompok rusa timor biasanya dijumpai dua pemimpin. Dalam<br />
keadaan normal pemimpin kelompok adalah rusa jantan dewasa. Rusa jantan<br />
dewasa biasanya memimpin kelompoknya dalam rangka perpindahan tempat<br />
untuk mencari makan dan penjelajahan wilayah secara periodik. Dalam keadaan<br />
darurat atau menghadapi ancaman pemimpin kelompok akan diambil alih oleh<br />
induk. Dalam keadaan terdesak induk lebih bertanggung jawab terhadap<br />
kelompoknya, sedangkan pejantan akan panik dan lebih sering pergi<br />
meninggalkan kelompoknya.<br />
Pada musim kawin, perilaku rusa banyak mengalami perubahan. Pada awal<br />
musim kawin, rusa menjadi gelisah dan peka terhadap kedatangan mahluk asing<br />
di lingkungannya. Rusa jantan lebih peka terhadap kedatangan pejantan lain dan<br />
menantang pejantan lain untuk berkelahi dalam rangka memperebutkan atau<br />
mempertahankan betina. Dalam keadaan birahi, berkubang merupakan aktivitas<br />
yang menonjol. Sambil berbaring di kubangan, rusa jantan akan mengayunkan<br />
ranggahnya ke kanan kiri atau menusukkannya ke dalam lumpur. Ranggah juga<br />
sering kali digosok-gosokkan kepohon atau kesemak-semak. Perilaku ini oleh<br />
para pemburu dikenal dengan perilaku “mengasah tanduk/ranggah”.<br />
9
Rusa jantan biasanya menetapkan dan mempertahankan daerah teritorinya<br />
dari pejantan lain. Kadang-kadang daerah teritori ini tumpang tindih untuk<br />
pejantan yang satu dengan pejantan yang lainnya, Daerah teritori ini biasanya<br />
ditandai dengan cara menggores pohon dengan ranggahnya atau ditandai dengan<br />
urin dan bau-bauan lainnya. Daerah teritori ini biasanya hanya berlaku pada<br />
musim kawin saja.<br />
Rusa betina pada musim kawin akan mondar-mandir dari daerah teritori<br />
pejantan satu ke daerah teritori pejantan yang lain untuk memilih pejantan, dan<br />
akhirnya menetap pada daerah teritori pejantan yang dipilihnya sampai terjadi<br />
perkawinan. Pada umumnya kopulasi terjadi pada malam hari.<br />
Rusa betina akan menghabiskan masa buntingnya di dalam kelompok awal.<br />
Menjelang saat-saat melahirkan calon induk menjadi gelisah dan tidak bisa diam.<br />
Kemudian akan memisahkan diri dari kelompoknya untuk mencari tempat yang<br />
sesuai untuk melahirkan anaknya. Biasanya tempat-tempat yang ditumbuhi<br />
semak-semak dan terlindung.<br />
Biologi Reproduksi<br />
1. Musim berkembangbiak<br />
Menurut Van Bammel (1949) dalam Schroder (1976), mengatakan<br />
bahwa rusa-rusa yang ada di Indonesia, melahirkan anak sepanjang tahun,<br />
artinya tidak dibatasi musim tertentu seperti yang terjadi pada daerah yang<br />
beriklim sedang. Namun demikian puncak frekwensi melahirkan terjadi pada<br />
bulan-bulan tertentu di setiap tahunnya. Musim melahirkan biasanya terjadi<br />
pada saat datangnya musim hujan, dimana pada masa-masa ini berbarengan<br />
dengan melimpahnya tumbuh-tumbuhan sebagai sumber pakan.<br />
Sody (1940) dalam Thohari, et al. (1991) menyatakan musim kelahiran<br />
anak-anak sambar di Sumatera adalah pada bulan Juli dan Oktober dan untuk<br />
sambar di Kalimantan adalah pada bulan Maret. Untuk rusa timor, musim<br />
kelahiran berbeda-beda tergantung daerahnya. Di Jawa musim melahirkan<br />
terjadi pada bulan April-Juni dan September. Di Flores terjadi pada bulan<br />
Maret dan di Sulawesi terjadi pada bulan Januari dan Agustus.<br />
2. Reproduksi<br />
10
Rusa timor mengalami masa kebuntingan selama 240 – 270 hari (rata-<br />
rata 267 hari). Seekor induk yang bunting biasanya melahirkan satu ekor<br />
anak, dan kadang-kadang dua ekor anak kembar (van Lavieren, 1983).<br />
Umur termuda untuk melahirkan bagi rusa timor (Cervus timorensis)<br />
adalah 2 – 3 tahun, dan masa mengasuh anak biasanya berlangsung sekitar<br />
4 – 5 bulan.<br />
Menurut Hoogerwerf (1949), nisbah seksual untuk rusa timor (Cervus<br />
timorensis) di Ujung Kulon adalah 2 : 2,3 dan di Indonesia pada umumnya<br />
adalah 1 : 3.<br />
3. Musim Birahi<br />
Seperti halnya musim berkembangbiak, tidak ada batasan waktu yang<br />
jelas bagi musim birahi rusa di Indonesia. Meningkatnya aktivitas musim<br />
birahi dalam setahun dapat diamati, namun waktu-waktu ini bervariasi dari<br />
satu daerah ke daerah lainnya. Meskipun dalam musim birahi, rusa-rusa yang<br />
berada dalam tahap siklus seksual lainnya masih dapat ditemukan.<br />
Meskipun hidup bersama dalam satu kelompok, setiap rusa mengikuti<br />
siklus seksualnya masing-masing. Berdasarkan beberapa hasil penelitian,<br />
terdapat kaitan erat antara musim birahi dengan terlepasnya tanduk-<br />
tanduk/ranggah rusa.<br />
Masa birahi dimulai segera setelah ranggah rusa tumbuh sempurna dan<br />
ditandai dengan terkelupasnya velvet yang membungkus tanduk. Masa birahi<br />
ini lebih dari satu bulan. Hoogeerwerf (1970) menyebutkan bahwa musim<br />
birahi rusa di Jawa Barat berlangsung antara bulan Juli hingga September dan<br />
periode terkelupasnya velvet diperkirakan pada bulan Juni dan Juli. Musim<br />
birahi ini kelihatan sangat jelas ketika jumlah rusa-rusa betina yang berada<br />
dalam keadaan birahi mencapai puncaknya. Hal ini menunjukkan bahwa<br />
musim birahi ditentukan dan dipacu oleh rusa betina.<br />
Musim birahi berakhir pada saat semua betina yang berada dalam<br />
keadaan birahi telah mendapatkan pasangannya. Sementara betina-betina<br />
yang baru mencapai birahi setelah musim ini selesai, kemungkinan hanya<br />
11
Pakan<br />
akan dilayani oleh rusa-rusa jantan yang “abnormal” siklusnya, bahkan tidak<br />
semua betina seperti ini akan mendapat pasangan.<br />
Suksesnya suatu usaha penangkaran satwa antara lain ditunjang oleh pakan<br />
yang berkualitas yang mampu diberikan oleh pemeliharanya. Secara umum<br />
bahan makanan seluruh jenis rusa di Indonesia adalah sama, yaitu rerumputan,<br />
pucuk daun dan tumbuhan muda. Namun demikian karakteristik pakan untuk<br />
Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) adalah pakan utama rumput, daun<br />
muda dan buah-buahan yang jatuh (Maradjo, 1978) dalam Thohari, et al. (1991).<br />
Pakan rusa selain dari rerumputan dan hijuan lainnya sebagai tambahannya<br />
dapat berupa konsentrat, sayur-mayur, umbi-umbian atau limbah pertanian<br />
(Semiadi dan Nugraha, 2004).<br />
Semiadi (1998), menyatakan bahwa hijauan yang dimakan rusa adalah :<br />
Imperata cylindrica, Sacharum spontaneum, Paspalum sp., Leersia hexandra,<br />
Cynodon dactylon, Eleusine indica, Anastrophus compressus, Kyllinga mono-<br />
chephala, Cyperus rotundus, Fimbristylis annua, Ficus sp., Berechtites hieradi-<br />
folia, Centella asiatica dan Crotalaria anaqryoides.<br />
Pada pemeliharaan rusa dengan sistim Deer Farming, beberapa hal yang<br />
perlu diperhatikan dalam pengadaan pakan adalah :<br />
1. Daya dukung habitat<br />
Daya dukung adalah jumlah individu satwaliar dengan kualitas tertentu<br />
yang dapat didukung oleh habitat tanpa menimbulkan kerusakan terhadap<br />
sumberdaya habitat (Bailey, 1984). Menurut Dasmann (1964), Moen (1973)<br />
dan Boughey (1973) dalam Alikodra (2002), daya dukung lingkungan adalah<br />
jumlah satwa liar yang dapat ditampung oleh suatu habitat; batas (limit) atas<br />
pertumbuhan suatu populasi, yang diatasnya jumlah populasi tidak dapat<br />
berkembang lagi; jumlah satwa liar pada suatu habitat yang dapat mendukung<br />
kesehatan dan kesejahteraannya.<br />
Daya dukung akan tercapai apabila pertumbuhan suatu populasi lambat<br />
laun akan menurun dan akhirnya berhenti bertumbuh. Hal ini disebabkan<br />
12
karena pertumbuhan populasi dipengaruhi oleh faktor-faktor persaingan,<br />
terbatasnya ruangan dan makanan (Tarumingkeng, 1994).<br />
Menurut Syarief (1974), besarnya daya dukung suatu areal dapat<br />
dihitung melalui pengukuran salah satu faktor habitat. Untuk menghitung<br />
produktivitas hijauan berupa padang rumput dapat menggunakan cara yang<br />
diperkenalkan oleh Mc. Ilroy Tahun 1964 yaitu dengan pemotongan hijauan<br />
dari suatu luasan padang rumput sebagai sampel, menimbangnya dan dihitung<br />
produksi per unit luas per unit waktu.<br />
Menurut Brown (1954) dalam Susetyo (1980), hijauan yang ada di<br />
lapangan tidak seluruhnya tersedia bagi satwa, tetapi harus ada sebagian yang<br />
ditinggalkan untuk menjamin pertumbuhan selanjutnya dan pemeliharaan<br />
tempat tumbuh. Bagian hijauan yang dapat dimakan oleh satwa disebut<br />
proper use. Susetyo (1980) menyatakan bahwa faktor yang paling<br />
berpengaruh terhadap proper use suatu padang penggembalaan adalah<br />
topografi. Karena hal itu sangat membatasi ruang gerak satwa. Proper use<br />
pada lapangan datar dan bergelombang (kemiringan 0 – 5 o ) adalah 60 –<br />
70%, lapangan bergelombang dan dan berbukit (kemiringan 5 – 23 o ) adalah<br />
40 – 45% dan lapangan berbukit sampai curam (kemiringan lebih dari 23 o )<br />
proper use-nya adalah 25 – 30%.<br />
Menurut Susetyo (1980) apabila daya dukung suatu kawasan dihitung<br />
per hari, maka besarnya daya dukung dapat dihitung dengan menggunakan<br />
rumus sebagai berikut :<br />
Daya dukung<br />
2. Kebutuhan hidup<br />
Produksi hijauan pakan per ha x proper use x luas areal<br />
=<br />
Kebutuhan pakan per ekor per hari<br />
Kebutuhan hidup bagi setiap satwa memerlukan hal yang sangat penting<br />
sekali untuk dapat mempertahankan hidupnya. Beberapa hal yang menyang-<br />
kut kebutuhan hidup bagi seekor satwa antara lain makan, minum dan garam<br />
mineral.<br />
13
Kebutuhan makan bagi seekor rusa dapat diartikan sebagai kebutuhan<br />
akan kalori setiap hari. Energi ini sangat diperlukan untuk hidup dan per-<br />
tumbuhannya, mengganti bagian-bagian tubuh yang mati dan untuk<br />
reproduksi.<br />
Rusa tergolong pada hewan memamah biak dengan makanannya berupa<br />
rerumputan, daun-daun muda dan bahkan buah-buahan yang jatuh. Dalam<br />
pemenuhan kebutuhan pakan rusa hal yang harus diperhatikan adalah jumlah<br />
dan kualitas pakan. Kualitas pakan ditentukan oleh komposisi/kandungan zat<br />
gizi di dalam bahan pakan, dimana komposisi ini harus sesuai dengan<br />
kebutuhan hidup satwa.<br />
Berdasarkan sifat, kimia dan biologis zat gizi yang diperlukan oleh<br />
satwa terdiri dari air, protein, lemak karbohidrat, zat-zat organik dan vitamin.<br />
Home Range<br />
Menurut Boughey (1973), Pyke (1983) dan Van Noordwijk (1985),<br />
wilayah yang dikunjungi satwaliar secara tetap karena dapat mensuplai makanan,<br />
minuman serta mempunyai fungsi sebagai tempat berlindung, tempat kawin<br />
disebut wilayah jelajah (home range). Tempat-tempa tminum dan mencari makan<br />
pada umumnya lebih longgar dipertahankan dalam pemanfaatannya, sehingga<br />
satu tempat minum ataupun makan seringkali dimanfaatkan secara bergantian<br />
ataupun sama-sama oleh beberapa spesies satwaliar.<br />
Jika secara sepintas kita mengamati kehidupan satwaliar di habitat<br />
alamnya, akan diperoleh kesan bahwa mereka bergerak dari satu tempat ke tempat<br />
lainnya tanpa aturan. Akan tetapi jika diperhatikan secara teliti, akan terlihat<br />
bahwa mereka melakukan pergerakan secara teratur.<br />
Menurut Alikodra (2002), kapan satwaliar bergerak, apa dan kemana<br />
tujuannya merupakan fenomena alam, tetapi faktor spesies, musim dan kondisi<br />
lingkungannya, termasuk campur tangan manusia sangat menentukan pola<br />
pergerakan satwaliar tersebut.<br />
14
Menurut Dasmann (1981), di Arizona beberapa wilayah jelajah (home<br />
range) dari rusa merah lebih dari 1.200 ha. Sedangkan di bagian Barat Daya<br />
Texas dilaporkan bahwa rata-rata wilayah jelajah dari rusa merah adalah 700 ha.<br />
Deer Farming<br />
Deer Farming adalah suatu usaha penangkaran/pemeliharaan rusa yang<br />
dilakukan secara semi-intensif, dimana sebagian besar kebutuhan hidup bagi rusa<br />
diatur dan dikendalikan oleh manusia. Kebutuhan hidup rusa yang dimaksud<br />
adalah kebutuhan ruangan, makanan, minuman, tempat perlindungan (shelter),<br />
kesehatan sampai perkembangbiakannya.<br />
Menurut Yerex dan Spiers (1987), deer farming merupakan suatu usaha<br />
menternakkan rusa secara komersil dengan tujuan utama adalah mencari<br />
keuntungan dari produksi berupa daging dan velver/ranggah. Selain itu juga<br />
menyediakan rusa untuk perburuan dan juga pembibitan.<br />
Pada pemeliharaan rusa dalam jumlah yang banyak dan sudah diarahkan<br />
pada usaha yang komersil, maka sistem pemeliharaan yang sesuai adalah dengan<br />
sistem pedok, dimana pedok juga berfungsi sebagai tempat tinggal yang dibatasi<br />
oleh pagar, maka dalam pedok harus pula tersedia sumber air minum dan naungan<br />
yang cukup, sementara kebutuhan pakan dapat dicukupi dari luar areal (Semiadi<br />
dan Nugraha, 2002).<br />
Perancangan Tapak (Site Planning)<br />
Menurut Hakim dan Utomo (2002), proses perancangan yang sistematik<br />
pada garis besarnya terbagi menjadi dua bagian, yaitu tahapan Programing dan<br />
tahapan Design, dimana pada tahapan programing ditekankan pada<br />
penganalisisan segala aspek yang terkait pada rancangan hingga menghasilkan<br />
konsep sistematik yang nantinya menjadi landasan pada tahapan Design<br />
Depelopment. Sedangkan tahapan design dititik beratkan pada bagiamana<br />
merancang penerapan dari konsep-konsep yang telah dihasilkan.<br />
Root (1985), menyatakan bahwa untuk dapat mengembangkan suatu<br />
perancangan tapak secara sistematis ada beberapa faktor yang harus diperhatikan,<br />
15
yaitu ; (1) faktor alam, meliputi kontur, vegetasi dan ruangan terbuka, dan (2)<br />
faktor pelaksanaan, meliputi analisis sumberdaya, analisis lokasi, analisis<br />
penggunaan, analisis pengembangan dan rancangan induk secara menyeluruh.<br />
Perancangan tapak untuk pembuatan desain penangkaran rusa timor<br />
(Cervus timorensis de Blainville) dengan sistem “Farming” dilakukan atas<br />
berbagai masukan data dan informasi, baik yang bersifat primer maupun<br />
sekunder.<br />
Menurut Thohari et al. (1991), pada dasarnya terdapat tiga komponen<br />
penting yang perlu dipertimbangkan dalam perancangan tapak, yaitu :<br />
1. Kondisi bio-fisik tapak kegiatan penangkaran yang direncanakan, seperti<br />
topografi, ketersediaan air, kondisi vegetasi, tanah, elevasi, iklim dan<br />
sebagainya.<br />
2. Sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam suatu usaha penangkaran<br />
3. Bio-ekologi rusa timor (Cervus timorensis de Blainville)<br />
Berdasarkan hasil analisis dari ketiga komponen tersebut, selanjutnya<br />
dilakukan penentuan batas-batas zona pengembangan (zonasi) dengan<br />
mempertimbangkan faktor-faktor pembatas kegiatan dan efisiensi<br />
pengelolaannya. Sebelum itu untuk meningkatkan kemampuan tapak guna<br />
mendukung pembangunan dan pengembangannya, dilakukan peningkatan<br />
kualitas tapak dengan berbagai cara, antara lain : pemenuhan kebutuhan<br />
penangkaran, penanaman pohon-pohon pelindung, perbaikan topografi,<br />
pembuatan saluran drainase dan lain sebagainya.<br />
Menurut Hakim dan Utomo (2002), data yang perlu diketahui untuk<br />
perancangan tapak adalah meliputi luas seluruh tapak, keadaan dan sifat tanah,<br />
geologi, hidrologi, iklim, curah hujan, topografi dan vegetasi.<br />
Dari semua data serta pertimbangan pengelolaan, dibuatlah alternatif<br />
tapak untuk masing-masing penggunaan yang selanjutnya akan menghasilkan satu<br />
alternatif terpilih yang paling layak dikembangkan berdasarkan peruntukan,<br />
biaya, waktu dan tenaga pengembangannya. Setelah kita memahami karakteristik<br />
tapak, maka langkah selanjutnya adalah memasukkan program aktivitas yang<br />
direncanakan ke dalam tapak dengan pertimbangan kondisi dan karakter tapak<br />
16
tersebut. Kemudian tahap selanjutnya adalah melakukan perancangan tapak yang<br />
meliputi penataan letak semua sarana dan prasarana di masing-masing zona<br />
pengembangan.<br />
Lanskap<br />
Lanskap adalah karakter total dari suatu wilayah (von Humbolt dalam<br />
Ferina, 1998). Lanskap adalah konfigurasi partikel topografi, tanaman penutup,<br />
permukaan lahan dan pola kolonisasi yang tidak terbatas, beberapa koherensi dari<br />
kealamian dan proses kultural dan aktifitas (Green dalam Ferina, 1998). Harber<br />
membatasi lanskap sebagai sebuah potongan lahan yang diamati seluruhnya,<br />
tanpa melihat dekat pada komponen-komponennya (Pers Com dalam Ferina,<br />
1998).<br />
Definisi terakhir ini lebih cocok untuk membatasi lanskap sebagai penga-<br />
matan seluruh organisme dari tanaman sampai hewan. Hal yang paling penting<br />
dalam pengelolaan lanskap adalah evaluasi nilai lanskap dan menemukan kriteria<br />
dengan cara mengevaluasi komponen-komponennya.<br />
Ekologi Lanskap dapat berguna bagi konservasi alam karena menyangkut<br />
pemikiran dari pengaturan habitat, pemikiran konsekuensi struktur dan proses<br />
untuk spesies yang berbeda. Terdapat tiga pandangan dalam ekologi lanskap<br />
(Ferina, 1998) antara lain: (1) Manusia: Pada perspektif manusia. Lanskap adalah<br />
dikelompokkan pada fungsi utama yang mempunyai arti untuk kehidupan<br />
manusia, (2) Geobotanical: Distribusi spatial dari komponen lingkungan abiotik<br />
dan biotik, dari lanskap tanah sampai yang didekati oleh tanaman, dan pada<br />
distribusi tanaman utama sebagai komunitas, tanah hutan dan sebagainya dan (3)<br />
Hewan: Pandangan akhir ini konsepnya dihubungkan dengan pengamatan lanskap<br />
manusia, walaupun terdapat perbedaan subs-tantial dalam mendekati secara<br />
langsung.<br />
Masing-masing dari tiga pendekatan ini mengamati pola-pola dan proses-<br />
proses dalam analisa akhir, yang komponen-komponennya dari seluruh sistem<br />
biologi dan sistem ekologi. Dari tiga pandangan ini kita dapat mengkombi-<br />
17
nasikan teori-teori, paradigma, dan model-model yang dihasilkan oleh pendekatan<br />
monodisipliner.<br />
Terdapat sejumlah cara untuk mengukur beberapa hal pokok yang<br />
mendukung sebuah perencanaan lanskap. Pendekatan lanskap ini sangat<br />
bervariasi, sehingga tidak mungkin membahasnya secara keseluruhan dan<br />
mengacu kepada metodologi standart. Kebanyakan pendekatan itu berasal dari<br />
geostatistik, geobotanik, analisa populasi satwa, perilaku ekologi dan sebagainya.<br />
Cara-cara yang paling banyak digunakan untuk menjelaskan kerumitan<br />
suatu lanskap adalah melalui pencitraan sistem informasi geografi. Statistik ruang<br />
dan geometri per bagian. Peta-peta, foto udara dan citra satelit biasanya dilakukan<br />
sebelum dan sesudah suatu lahan dicatat atau di data. Namun hal tersebut banyak<br />
mengalami bias (penyimpangan) yang disebabkan oleh waktu, resolusi, dan<br />
kualitasnya.<br />
Pengolahan data mengenai ruang merupakan inti dari ekologi lanskap.<br />
Terdapat dua tipe informasi yang diproses dalam analisa, yaitu; Path dan<br />
Lanskap. Tipe pertama adalah dimana analisa lebih banyak difokuskan dalam<br />
berbagai ukuran bentuk dan pengaturan ruang dari setiap potongan yang ada. Tipe<br />
yang kedua lebih rumit, karena difokuskan kepada land mozaik (bentukan tanah).<br />
Pendekatan terhadap studi bentuk path ini sangat penting karena keter-<br />
aturan dan ketidakteraturan bentuk path tersebut merupakan konsekuensi-<br />
konsekuensi yang terdapat pada organisme. Jika kita asumsikan lingkaran<br />
merupakan bentukan path yang umum, semakin tidak beraturannya sebuah path<br />
semakin banyak tepian dan semakin berkurang area didalamnya yang tersedia.<br />
Sebuah path yang tidak teratur memiliki lebih banyak proses yang heterogen<br />
dibandingkan yang teratur. Kesesuaian habitat, resiko pemangsa dan tekanan<br />
iklim mikro merupakan beberapa konsekuensi langsung dari bentuk path yang<br />
tidak teratur.<br />
Penelusuran batas pada lanskap bukanlah suatu hal yang mudah, bahkan<br />
akhir dari berbagai habitat atau tipe lahan bukan sebagai batas sesungguhnya.<br />
Sementara batas-batas cukup sempit dan tingkat kepadatan habitat tinggi,<br />
sehingga sangat sulit menemukan antara batas struktur dan batas fungsi.<br />
18
Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville)<br />
Landasan Kebijakan<br />
Penangkaran satwaliar merupakan salah satu program pelestarian dan<br />
pemanfaatan satwaliar, baik untuk tujuan konservasi maupun ekonomi. Dalam<br />
hal ini penangkaran rusa termasuk salah satu upaya pelestarian dan pemanfaatan<br />
berdasarkan prinsif kelestarian hasil.<br />
Undang-undang dan peraturan tentang pelestarian pemanfaatan satwaliar<br />
yang digunakan sebagai dasar dan arahan bagi usaha pengembangan penagkaran<br />
rusa adalah :<br />
1. Undang Undang Republik Indonesia (RI) No. 5 Tahun 1990 tentang<br />
Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.<br />
2. Undang Undang Republik Indonesia (RI) No. 23 Tahun 1997 tentang<br />
Pengelolaan Lingkungan Hidup.<br />
3. Undang Undang Republik Indonesia (RI) No. 41 Tahun 1999 tentang<br />
Kehutanan.<br />
4. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 86/Kpts/II/1983 yang mengatur<br />
tentang pemanfaatan sumberdaya alam (satwaliar dan tumbuhan alam), baik<br />
di dalam maupun luar negeri dan disesuaikan dengan ratifikasi/pengesahan<br />
Konvensi Internasional tentang Perdagangan Satwa Liar dan Tumbuhan<br />
Langka (CITES) yang tertuang dalam Keputusan Presiden No. 43 Tahun<br />
1978.<br />
5. Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan<br />
dan Satwa.<br />
6. Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis<br />
Tumbuhan dan Satwa.<br />
Perizinan<br />
Penangkaran adalah upaya perbanyakan melalui pengembang-biakan dan<br />
perbesaran tumbuhan dan satwa liar dengan tetap mempertahankan kemurnian<br />
jenisnya. Penangkaran dapat dilakukan terhadap jenis tumbuhan dan satwa liar<br />
yang dilindungi atau yang tidak dilindungi.<br />
19
Setiap orang, Badan Hukum, Koperasi atau Lembaga Konservasi yang<br />
mengajukan permohonan untuk melakukan kegiatan penangkaran wajib<br />
memenuhi persyaratan sebagai berikut :<br />
1. Mempekerjakan dan memiliki tenaga ahli dibidang penangkaran jenis yang<br />
bersangkutan<br />
2. Memiliki tempat dan fasilitas penangkaran yang memenuhi syarat-syarat<br />
teknis<br />
3. Membuat dan menyerahkan proposal kerja<br />
Berdasarkan SK Dirjen PHPA No. 07/Kpts/DJ-VI/1988 tentang<br />
Penangkaran Satwaliar dan Tumbuhan Alam, maka untuk memperoleh izin usaha<br />
penangkaran satwaliar dan tumbuhan alam adalah sebagai berikut :<br />
1. Pengajuan permohonan ke Dirjen PHPA dengan tembusan ke Kakanwil<br />
Kehutanan Propinsi dan BKSDA, dengan melampirkan SIUP (Surat Izin<br />
Usaha Perdagangan) dan SITU (Surat Izin Tempat Usaha) dari Departemen<br />
Perdagangan dan Berita Acara Pemeriksaan Persiapan Teknis Penangkaran.<br />
2. Pemeriksaan oleh Kanwil Kehutanan dan BKSDA Propinsi Dati I<br />
3. Berdasarkan lampiran, maka dikeluarkan rekomendasi penangkaran dari<br />
Kanwil Kehutanan ke Dirjen PHPA<br />
4. Dirjen PHPA mengeluarkan izin usaha penangkaran yang berlaku selama<br />
maksimum 5 tahun untuk usaha non komersial dan 10 tahun untuk usaha<br />
komersial dan dapat diperpanjang setelah habis masa berlaku.<br />
Secara lengkap alur prosedur perizinan penangkaran satwa liar dan<br />
tumbuhan alam dapat dilihat pada Gambar 3.<br />
20
Gambar 3. Prosedur perizinan penangkaran satwa liar dan tumbuhan alam<br />
berdasarkan SK Dirjen. PHPA No. 07/Kpts/DJ-VI/1988.<br />
Teknik Penangkaran<br />
1. Adaptasi<br />
Menurut Setiadi dan Tjondronegoro (1989), adaptasi adalah setiap sifat<br />
atau bagian yang dimiliki organisme yang berfaedah bagi kelanjutan hidupnya<br />
pada keadaan sekeliling habitatnya. Adaptasi dapat dinyatakan sebagai suatu<br />
kemampuan individu untuk mengatasi keadaan lingkungan dan menggunakan<br />
sumber-sumber alam lebih baik untuk mempertahankan hidupnya dalam<br />
relung (niche) yang diduduki.<br />
PEMOHON<br />
(Perorangan, Badan Usaha, Koperasi,<br />
Lembaga Ilmiah, Lembaga Konservasi)<br />
NON KOMERSIL KOMERSIL<br />
Dilampiri dengan :<br />
1. Surat tidak keberatan dari<br />
Lurah Setempat<br />
2. SIUP<br />
3. Berita Acara pemeriksaan dari<br />
Balai/Sub Balai KSDA<br />
4. Akta Pendirian perusahaan<br />
Kepala Kantor Wilayah<br />
DEPHUTBUN<br />
Izin Usaha Penangkaran<br />
Non Komersial<br />
(Masa berlaku 5 tahun)<br />
Dilampiri dengan :<br />
1. SIUP dan SITU<br />
2. Berita Acara pemeriksaan<br />
dari Balai/Sub Balai KSDA<br />
3. Akta Pendirian perusahaan<br />
Direktur Jenderal<br />
PHPA<br />
Izin Usaha Penangkaran<br />
Komersial<br />
(Masa berlaku 10 tahun)<br />
Secara alami rusa termasuk satwa yang mempunyai kemampuan<br />
adaptasi lingkungan yang sangat tinggi. Di lingkungan yang banyak aktivitas<br />
manusia, bahkan di lingkungan dengan kondisi makanan yang jelek sekalipun<br />
rusa mampu beradaptasi dengan baik. Meskipun demikian diperlukan<br />
perhatian dan penanganan maupun latihan yang baik dan teratur untuk<br />
21
mencegah kemungkinan yang tidak diinginkan seperti terjadinya stres,<br />
serangan penyakit dan kematian, sehingga dapat mengoptimalkan manfaat<br />
yang diperoleh.<br />
Menurut Thohari et al., (1991), salah satu cara yang dapat dilakukan<br />
untuk mempermudah penanganan rusa yang baru ditangkap ke tempat<br />
penangkaran adalah dengan menempatkan rusa dalam kandang yang gelap<br />
dan relatif tidak luas. Pedok ini dapat dibagun dalam pedok karantina.<br />
Disamping itu untuk membiasakan rusa terhadap penggiringan dapat<br />
dilakukan dengan melatih secara teratur dalam waktu tertentu dengan<br />
memperlihatkan tanda-tanda tertentu (bendera atau suara).<br />
Usaha pengadaptasian ini selain ditujukan pada rusa-rusa yang telah ada<br />
di lokasi penangkaran guna mempermudah penanganannya, juga diperlakukan<br />
pada rusa-rusa yang baru didatangkan dari luar areal penangkaran. Untuk<br />
rusa-rusa yang baru didatangkan dari luar areal penagkaran, langkah<br />
pengadaptasian ini dilakuka di pedok karantina selama 1 – 2 minggu, selain<br />
untuk tujuan adaptasi juga untuk mencegah kemungkinan penyakit yang<br />
dibawanya.<br />
2. Pengembangbiakan<br />
Dalam usaha penangkaran, masalah pengembangbiakan memegang<br />
peranan yang sangat penting, karena dasar keberhasilan usaha penangkaran<br />
terletak pada keberhasilan reproduksinya. Ada tiga cara yang dapat dilakukan<br />
dalam upaya pengembangbiakan rusa di penangkaran, yaitu :<br />
a. Secara alamiah<br />
Dengan membiarkan rusa kawin dan berkembangbiak tanpa campur<br />
tangan manusia.<br />
b. Secara semi alamiah<br />
Sistim perkawinan rusa diatur manusia, antara lain dengan mengatur<br />
perbandingan jumlah jantan. Menurut Semiadi dan Nugraha (2004),<br />
imbangan kelamin untuk rusa tropis adalah 1 : 6 – 10, tetapi pada<br />
pemeliharaan yang lebih intensif dapat mencapai 1 : 20.<br />
22
c. Secara inseminasi buatan (IB)<br />
Sistim perkawinan rusa yang tidak banyak memerlukan pejantan.<br />
Beberapa pejantan yang baik ditampung semennya. Dengan beberapa<br />
perlakuan tertentu, selanjutnya dapat dilakuan perkawinan secara buatan<br />
yang biasa disebut dengan sistim AI (Artificial Insemination). Sistem<br />
perkawinan secara inseminasi buatan dalam dunia rusa awalnya hanya<br />
untuk kepentingan penelitian, yang dimulai tahun 1980 dan meluas sejalan<br />
dengan berkembangnya industri pembibitan rusa yang mengharapkan<br />
diperolehnya pejantan unggul dalam waktu singkat dan efisien.<br />
Komersialisasi pelayanan IB ditingkat pembibitan dimulai tahun 1986an,<br />
tetapi untuk tingkat komersil masih terlalu mahal. Saat ini kegiatan IB<br />
pada rusa di Indonesia masih untuk tujuan penelitian dalam rangka<br />
pemahaman sifat reproduksi rusa tropis, tetapi sosialisasi telah pula<br />
dilakukan di beberapa penangkar yang akan diarahkan menjadi penangkar<br />
pembibit rusa.<br />
Agar dapat diperoleh kualitas keturunan yang baik, dalam usaha<br />
penangkaran perlu dilakukan pemilihan induk dan pejantan yang baik.<br />
Untuk itu dalam jangka panjang usaha penangkaran harus mendasarkan<br />
pada sistim seleksi yang benar. Untuk mendukung pelaksanaan seleksi<br />
yang benar maka perlu dilakukan pencatatan (recording ) yang benar,<br />
terhadap individu rusa yang ada di dalam penangkaran, terutama individu<br />
yang akan dijadikan bibit.<br />
3. Seleksi Bibit<br />
Untuk memperoleh keturunan yang baik, didalam usaha penagkaran rusa<br />
perlu diperhatikan pemilihan induk-induk dan pejantan rusa yang baik. Oleh<br />
karenanya dalam jangka panjang, penangkaran rusa hendaknya mengarah<br />
pada sistim seleksi yang benar serta sistim pencatatan (recording) setiap<br />
individu yang ada dipenangkaran.<br />
adalah :<br />
Dasar seleksi yang dapat diterapkan dalam pemilihan bibit diiantaranya<br />
a. Berdasarkan silsilah/keturunan (Pedegree)<br />
yaitu pemilihan bibit yang didasarkan atas tetuanya yang mempunyai<br />
produksi dan kualitas performen yang baik, misalnya jelas induknya,<br />
pejantannya, tidak cacat atau kelainan genetis lainnya.<br />
23
. Berdasarkan penampilan (Performen)<br />
yaitu pemilihan bibit yang didasarkan atas penampilan bentuk luar dari<br />
rusa calon bibit, misalnya mempunyai pertumbuhan yang baik, tidak<br />
cacat, relatif jinak, bulu halus.<br />
c. Berdasarkan uji keturunan (Uji Zuriat)<br />
yaitu pemilihan bibit khususnya pejantan yang didasarkan atas<br />
produkstivitas keturunannya. Seleksi ini memerlukan waktu yang cukup<br />
panjang<br />
4. Perawatan Kesehatan dan Penyakit<br />
Kesehatan rusa di penangkaran dipengaruhi oleh banyak faktor, antara<br />
lain kondisi lingkungan, makanan, pola manajemen, serta kelainan<br />
metabolisme. Perawatan kesehatan dan pengobatan penyakit secara baik dan<br />
lebih dini akan mendukung keberhasilan usaha penangkaran tersebut.<br />
Untuk menghindari kemungkinan berjangkitnya penyakit perlu<br />
mendapat perhatian, khususnya yang berkaitan dengan pencegahannya,<br />
misalnya : melalui vaksinasi disamping pemeriksaan mulut maupun injeksi.<br />
Dalam hal ini rusa yang baru datang dari luar loksi penangkaran dan anak-<br />
anak rusa yang baru lahir segera diberi vaksin anti cacing dan penyakit<br />
lainnya.<br />
Beberapa jenis parasit yang menyerang rusa diantaranya adalah :<br />
eksternal parasit (lalat hijau dan caplak), internal parasit (cacing<br />
paru/Dictyocaulus spp.), sedangkan penyakit yang perlu mendapat perhatian<br />
adalah : luka pada lambung dan usus, Salmonelosisi, Pnumonia, Malignant<br />
Catarhal Fever, Brucellosis, Tuberculosis, Capture myopathy, Antraks serta<br />
gangguan metabolisme misalnya keracunan.<br />
5. Pembangunan Padang Pengembalaan dan Kebun Rumput<br />
Usaha penangkaran tidak dapat dipisahkan dengan ketersediaan<br />
pakannya. Ketersediaan pakan ini berupa pakan utama (rumput dan hijauan<br />
yang lain) serta pakan tambahan yang dapat berupa ubi-ubian, dedak maupun<br />
pakan konsentrat.<br />
24
Sebagai ruminansia, rusa membutuhkan sebagian besar makanan berupa<br />
rumput. Oleh karena itu, untuk mendukung keberhasilan usaha penangkaran<br />
perlu adanya padang rumput. Padang rumput merupakan suatu lahan yang<br />
didomonasi oleh berbagai tipe tumbuhan terutama jenis rumput-rumputan dan<br />
tumbuhan herba yang lain. Dalam hal usaha penangkaran, keberadaan padang<br />
rumput merupakan sumber pakan hijauan utama bagi rusa yang ditangkarkan.<br />
Beberaqpa jenis rumput yang dapat dijadikan sebagai rumput padang<br />
penggembalaan antara lain rumput Bracihiaria brizanta, rumput Australia<br />
(Paspalum dilatatum), rumput kolonjono (Brachiaria mutica), Brachiaria<br />
decumbens, Panicum maximum dan Setaria sphacelata. Sedangkan untuk<br />
jenis leguminosa antara lain stylo (Sthylosanthes guyanensis), Arachis<br />
hypogea dan kerabatnya serta pohon lamtoro (Leucaena leucosephala) dan<br />
turi (Sesbania grandiflora) yang sekaligus dapat dijadiken sebagai pohon<br />
peneduh.<br />
6. Pedok<br />
Dalam sistim penangkaran rusa skala besar dapat diterapkan pola Deer<br />
Farming. Rusa ditempatkan dalam kelompok-kelompok dalam suatu pedok<br />
yang ukurannya disesuaikan dengan jumlah rusa yang ada.<br />
Keadaan topografi tidak terlalu berpengaruh, sebab rusa termasuk<br />
satwa yang mudah beradaptasi dalam kondisi topografi yang cukup bervariasi.<br />
Namun keadaan topografi yang curam merupakan faktor pembatas bagi<br />
pembuatan jalan, baik untuk koridor maupun jalan bagi kendaraan angkut.<br />
Pada sistem pedok banyak hal yang perlu diperhatikan dalam<br />
pembangunannya. Ini tidak lain karena pada umumnya dalam sistim pedok<br />
luasan lahan yang digunakan adalah besar. Beberapa hal penting yang perlu<br />
diperhatikan adalah :<br />
a. Lokasi pedok<br />
Penentuan loksai pedok memegang peranan penting demi kelancaran<br />
segala kegiatan yang berhubungan dengan penangkaran rusa itu sendiri.<br />
25
. Bentuk Pedok<br />
Bentuk pedok perlu disesuaikan dengan keadaan topografi. Pedok yang<br />
memanjang lebih memudahkan dalam hal penggiringan rusa keluar dari<br />
pedok. Tetapi pada pedok berbentuk persegi empat akan mengurangi<br />
rusa untuk bergerombol di satu sisi, sehingga mengurangi tingkat erosi<br />
atau kerusakan area rumput.<br />
c. Luasan pedok<br />
Penentuan luas pedok berkaitan dengan jumlah pedok yang akan dibuat,<br />
kemudahan pengelolaan rusa dan jumlah rusa yang akan dipelihara.<br />
Satuan pedok hendaknya tidak terlalu luas. Idealnya yang terbesar<br />
sekitar 1,5 – 2,0 ha, yang sedang 0,3 – 1,0 ha dan pedok berukuran kecil<br />
sekitar 50 - 200 m 2 . Secara garis besar kepadatan rusa pada padang<br />
penggembalaan yang cukup subur berkisar antara 12 – 15 ekor/ha untuk<br />
rusa dewasa atau untuk rusa remaja (< 2 tahun) sekitar 15 – 20 ekor/ha<br />
(Semiadi dan Nugraha, 2004).<br />
d. Pintu dan jalan/gang pedok<br />
Setiap pedok harus dihubungkan dengan pintu untuk menuju pedok lain.<br />
Selain itu perlu dibuat jalan/gang tersendiri dari pedok terjauh menuju<br />
kandang kerja atau pedok lainnya dengan tidak melewati pedok di<br />
sebelahnya. Dalam penempatan pintu pedok sebaiknya berada di salah<br />
satu sudut pagar pedok, hal ini untuk mempermudah saat melakukan<br />
penggiringan rusa ke pedok yang lainnya.<br />
e. Naungan<br />
Naungan baik yang alami maupun yang buatan sangat diperlukan bagi<br />
rusa yang berasda di pedok. Di alam bebas naungan akan dicari sendiri<br />
oleh rusa manakala diperlukan, tetapi di dalam pedok rusa harus dapat<br />
menerima apa adanya. Oleh sebab itu untuk menghindari stres bahkan<br />
penurunan produksi akibat ketidak nyamanan cuaca yang ekstrim<br />
(panas, hujan), maka ketersediaan naungan perlu diperhatikan. Naungan<br />
tidaklah harus berupa atap seluruhnya (buatan) atau pohon khusus di<br />
dalam pedok. Tetapi dapat dikemas sebagai bagian dari strategi<br />
pengadaan hijauan pakan, seperti penanaman pohon disepanjang pagar,<br />
26
f. Pagar<br />
dimana kerindangan kanopi dahan dapat berfungsi sebagai naungan dan<br />
daunnya dapat dimanfaatkan sebagai hijauan tambahan.<br />
Sebagai pembatas antara pedok dengan dunia luar atau antara pedok<br />
yang satu dengan pedok lainnya diperlukan pemagaran. Konstruksi<br />
kandang harus kuat, sehingga dapat menjaga kenyamanan rusa yang ada<br />
di dalamnya. Bahan yang dapat dipakai diataranya adalah anyaman<br />
kawat dengan tinggi pagar untuk pemisah antara pedok dengan dunia<br />
luar ± 2,0 m dan pagar didalam (antar pedok) ± 1,75 – 2,0 m. Khusus<br />
pada pedok untuk kelahiran/pedok anak dijaga betul kerapatannya,<br />
sehingga anak rusa tidak dapat keluar atau tidak ada hewan liar yang<br />
masuk ke dalam pedok untuk mengganggu atau memangsa anak-anak<br />
rusa. Namun demikian pagar tidah harus terbuat bdari anyaman kawat<br />
melainnkan dapat terbuat dari bahan lain, misalnya anyaman bambu,<br />
yang penting fungsi sebagai pagar dapat terpenuhi, yaitu melindungi<br />
rusa yang ada di dalamnya dari gangguan dunia luar atau menjaga agar<br />
rusa tidak melarikan diri.<br />
g. Jenis Pedok<br />
Dalam usaha penangkaran dikembangkan beberapa macam pedok,<br />
yaitu : (a) pedok karantina, (b) pedok induk, (c) pedok pejantan, (d)<br />
pedok perkawinan (e) pedok anak dan (f) pedok terminal.<br />
Kelayakan Ekonomi Usaha Penangkaran Rusa<br />
Menurut Gray (1993), salah satu cara mencari ukuran yang menyeluruh<br />
sebagai dasar penerimaan atau perolehan suatu usaha, maka dilakukan analisa<br />
kriteria investasi.<br />
Analisis finansial dilakukan dengan menggunakan discounted cash flow.<br />
Untuk proyek-proyek yang dibiayai dari dana swasta (private investor) maka<br />
analisis/evaluasinya dititik beratkan pada hasil analisis finansial. Dalam hal ini<br />
rencana investasi ditinjau dari segi cash-flow, yakni perbandingan antara hasil<br />
penjualan kotor (gross-sales) dengan jumlah biaya-biaya (total cost). Bila<br />
menunjukkan net benefit positif (profit) maka rencana investasi tersebut<br />
27
dilanjutkan, sedangkan bila menunjukkan net benefit negatif (rugi) maka rencana<br />
investasi tersebut dibatalkan. Nilai-nilai yang dihitung mencakup NPV, IRR dan<br />
BCR. Persamaan yang digunakan untuk menentukan nilai-nilai tersebut adalah<br />
sebagai berikut (Djamin, 1992) :<br />
1. Net Present Value (NPV)<br />
Keuntungan bersih suatu usaha adalah pendapatan kotor dikurangi<br />
jumlah biaya, maka NPV suatu usaha merupakan selisih Present Value arus<br />
keuntungan dengan Present Value arus biaya. Suatu usaha dapat dinyatakan<br />
layak iuntuk dilaksanakan apabila NPV usaha tersebut sama atau lebih besar<br />
dari 0 (nol) dan bila sebaliknya maka usaha tersebut merugi. Nilai NPV<br />
dapat dihitung dengan menggunakan persamaan :<br />
n B − C<br />
NPV = ∑<br />
t<br />
t=<br />
1 1<br />
dimana : Bt<br />
t t<br />
( + i)<br />
2. Benefit Cost Ratio (BRC)<br />
= Pendapatan kotor tahunan<br />
Ct = Biaya tahunan<br />
n = Umur ekonomis proyek<br />
t = Tahun proyek<br />
(1+i) t = Discounted factor (DF)<br />
BRC adalah perbandingan antara pendapatan dengan biaya. Suatu usaha<br />
dikatakan layak untuk diusahakan apabila nilai BRC dari usaha tersebut lebih<br />
besar dari 1 (satu) dan bila sebaliknya, maka usaha tersebut tidak layak untuk<br />
diusahakan. Nilai BCR dapat dihitung dengan menggunakan persamaan :<br />
BCR =<br />
n<br />
∑<br />
t=<br />
1<br />
n<br />
∑<br />
t=<br />
1<br />
B<br />
( 1+<br />
i)<br />
C<br />
t<br />
t<br />
( 1+<br />
i)<br />
t<br />
t<br />
dimana : Bt = Pendapatan kotor tahunan<br />
Ct = Biaya tahunan<br />
n = Umur ekonomis proyek<br />
t = Tahun proyek<br />
(1+i) t = Discounted factor (DF)<br />
28
3. Internal Rate of Return (IRR)<br />
IRR adalah suku bunga diskonto yang menyebabkan jumlah hasil<br />
diskonto pendapatan sama dengan jumlah hasil diskonto biaya, atau suku<br />
bunga yang membuat NPV bernilai 0 (nol). Suatu usaha dikatakan layak<br />
apabila IRR lebih besar dari suku bunga diskonto. Nilai BCR dapat<br />
dihitung dengan menggunakan persamaan :<br />
n B n<br />
t<br />
∑ = ∑<br />
C<br />
t<br />
( 1+ i)<br />
t ( 1 + i)<br />
t=<br />
1 = 1<br />
t<br />
t<br />
NPV<br />
IRR = D FP +<br />
⎡<br />
x( DF N − D FP<br />
⎤<br />
)<br />
⎣<br />
⎢PVP<br />
− PVN ⎦<br />
⎥<br />
dimana : DFP = Discounting factor yang digunakan yang<br />
menghasilkan present value positif<br />
29<br />
DFN = Discounting factor yang digunakan yang<br />
menghasilkan present value negatif<br />
PVP = Present value positif<br />
PVN = Present value negatif<br />
Untuk mengetahui jangka waktu pengembalian (Payback Period) suatu<br />
usaha, yaitu waktu yang diperlukan untuk membayar kembali semua biaya-biaya<br />
yang telah dikeluarkan didalam investasi suatu usaha dapat dihitung dengan<br />
menggunakan rumus :<br />
Payback Period =<br />
Total Biaya Investasi<br />
Pendapatan Bersih Per Tahun
METODE PENELITIAN<br />
Tempat dan Waktu Penelitian<br />
Penelitian ini dilaksanakan di Kampus IPB – Darmaga. Sebagai lokasi<br />
pembanding dilakukan pengamatan ke Penangkaran Rusa di BKPH Jonggol dan<br />
Penangkaran Rusa di Taman Monumen Nasional – Jakarta. Waktu penelitian<br />
dilaksanakan selama lima bulan, yaitu bulan Agustus sampai dengan bulan<br />
Desember 2005.<br />
Alat dan Bahan<br />
Alat yang digunakan selama penelitian adalah :<br />
1. Kamera<br />
2. Roll meter<br />
3. Timbangan<br />
4. Seperangkat Komputer dan Program Disain<br />
Bahan yang digunakan selama penelitian adalah :<br />
1. Peta lokasi<br />
2. Rusa timor (Cervus timorensis) dan habitatnya<br />
3. Kantong Plastik<br />
Data yang Dikumpulkan<br />
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder,<br />
yaitu meliputi :<br />
1. Keadaan fisik :<br />
a. Letak dan luas<br />
b. Iklim<br />
c. Topografi (kemiringan)<br />
d. Hidrologi (sumber air)<br />
e. Tanah (jenis tanah)<br />
30
2. Keadaan biologi<br />
a. Vegetasi (keanekaragaman jenis dan formasi)<br />
b. Satwaliar (kompetitor, predator dan satwa lain)<br />
c. Daya dukung lokasi penangkaran Rusa timor (Cervus timorensis)<br />
dengan pendekatan ketersedaiaan sumber pakan dan keterbatasan lahan<br />
3. Analisis finansial<br />
Data yang dikumpulkan untuk keperluan analisis finansial merupakan<br />
data hipotetik, yaitu meliputi data penerimaan dan data biaya yang ada<br />
dalam penangkaran rusa.<br />
Teknik Pengumpulan Data<br />
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi tiga<br />
cara, yaitu studi litelatur, wawancara dan pengamatan langsung di lapangan.<br />
Namun demikian tidak semua cara dilakukan untuk setiap jenis data, melainkan<br />
disesuaikan dengan jenis data yang dikumpulkan, yaitu :<br />
1. Data keadaan fisik lokasi diperoleh dari data sekunder, yaitu berasal dari<br />
Badan Meteorologi dan Geofisika Wilayah II Bogor, Bagian Propertis IPB,<br />
litelatur dan pengamatan langsung di lapangan<br />
2. Data biologi lokasi dikumpulkan dari pengamatan langsung di lapangan<br />
yaitu melalui analisis vegetasi dan inventarisasi satwa yang ada serta<br />
pengukuran daya dukung melalui petak contoh. Secara rinci tehnik pelak-<br />
sanaan analisis vegetasi dan inventarisasi satwa adalah sebagai berikut :<br />
a). Analisis vegetasi<br />
Untuk mengetahui komposisi jenis dan struktur komunitas vegetasi<br />
dilakukan dengan metode sampling. Pada penelitian ini digunakan<br />
metode garis berpetak, yaitu dengan cara melompati satu atau lebih<br />
petak-petak dalam jalur, sehingga sepanjang rintisan terdapat petak-<br />
petak dengan jarak tertentu yang sama. Bentuk dan ukuran petakan<br />
analisis vegetasi disajikan pada Gambar 4.<br />
31
1 m 10 m<br />
5 m<br />
Arah Rintisan<br />
20 m 20 m<br />
Gambar 4. Disain Metode Garis Berpetak Dalam Analisis Vegetasi<br />
Menurut Kusmana (1995), ukuran plot-plot yang dibuat ber-<br />
dasarkan stadium pertumbuhan vegetasi, yaitu sebagai berikut :<br />
1 m x 1 m untuk semai dan tumbuhan bawah, 5 m x 5 m untuk<br />
pancang, 10 m x 10 m untuk tiang dan 20 m x 20 m untuk pohon.<br />
Adapun kreteria stadium pertumbuhan vegetasi adalah :<br />
(1). Semai : pertumbuhan mulai kecambah sampai anakan<br />
setinggi kurang dari 1,5 m.<br />
(2). Pancang : permudaan dengan tinggi 1,5 m sampai anakan<br />
berdiameter kurang dari 10 cm.<br />
(3). Tiang : Pohon muda berdiameter 10 cm – 20 cm.<br />
(4). Pohon : pohon dewasa berdiameter 20 cm dan lebih.<br />
(5). Tumbuhan bawah : tumbuhan selain permudaan pohon,<br />
misalnya rumput, herba dan semak belukar.<br />
Parameter vegetasi yang diukur secara langsung di lapangan,<br />
yaitu meliputi :<br />
(1). Nama species (ilmiah dan lokal)<br />
(2). Jumlah individu untuk menghitung kerapatan<br />
(3). Penutupan tajuk untuk mengetahui prosentase penutupan<br />
vegetasi terhadap lahan<br />
b). Inventarisasi satwa<br />
Untuk mengetahui jenis satwa yang ada di lokasi penangkaran,<br />
maka dilakukan sensus/pendataan terhadap jenis-jenis satwa yang ada.<br />
Dan selanjutnya dikelompokkan berdasarkan kelas dari masing-<br />
masing satwa tersebut (reptil, aves atau mamalia).<br />
32
c). Daya dukung habitat<br />
Untuk mengetahui daya dukung habitat (padang rumput)<br />
dilakukan dengan cara memotong setiap jenis rumput sampai batas<br />
permukaan tanah dalam setiap petak contoh. Setelah dilakukan<br />
pemanenan hijauan dari masing-masing petak contoh ditimbang berat<br />
basahnya (Prasetyonohadi, 1986). Hijauan pada petak contoh yang<br />
sudah dipotong dibiarkan tumbuh selama 20 hari kemudian dilakukan<br />
pemanenan dan penimbangan kembali. Perlakuan tersebut dilakukan<br />
sebanyak tiga kali.<br />
Pemotongan dilakukan terhadap semua hijauan yang tumbuh di<br />
dalam petak contoh sampai serendah mungkin dari permukaan tanah<br />
yaitu ± 5 cm (jarak pemotongan ini didasarkan atas kemampuan rusa<br />
untuk merumput sampai ± 5 cm di atas permukaan tanah), kemudian<br />
hasil potongan dimasukkan ke dalam kantong plastik yang sudah<br />
disiapkan. Selanjutnya hijauan yang sudah di potong dipisahkan<br />
masing-masing jenisnya dan dikelompokkan antara jenis hijauan yang<br />
dimakan rusa dengan yang tidak dimakan. Kemudian dilakukan<br />
penimbangan pada masing-masing jenis hijauan yang dimakan rusa<br />
untuk mengetahui berat dari masing-masing jenis tersebut.<br />
Ukuran petak contoh untuk mengukur produktivitas hijauan<br />
adalah 1 m x 1 m dengan jumlah petak contoh sebanyak 12 yang<br />
penempatan dilapangan dilakukan secara sistimatis.<br />
b. Kebutuhan hidup Rusa timor (Cervus timorensis)<br />
Untuk mengetahui kebutuhan hidup rusa meliputi pakan, minum,<br />
garam mineral, kesehatan dilakukan dengan studi litelatur dari<br />
berbagai sumber (skripsi, tesis, disertasi, makalah, buku-buku maupun<br />
hasil brownsing internet) yang berkaitan dengan data kebutuhan hidup<br />
rusa.<br />
3. Analisis finansial<br />
Data yang diperlukan untuk kepentingan analisis finansial<br />
dikumpulkan dari berbagai sumber dan merupakan data hipotetik.<br />
Pemanfaatan hasil penangkaran pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua<br />
33
yaitu pemanfaatan dalam bentuk barang dan pemanfaatan dalam bentuk<br />
jasa. Pemanfaatan dalam bentuk barang berupa penjulanan rusa dalam<br />
bentuk hidup sebagai bibit maupun pemanfaatan dalam bentuk daging.<br />
Selain itu juga dapat dimanfaatkan ranggah muda (velvet) sebagai bahan<br />
obat-obatan, maupun ranggah kerasnya untuk hiasan. Sedangkan<br />
pemanfaatan dalam bentuk jasa dapat berupa pemanfaatan sebagai obyek<br />
rekreasi maupun sebagai sarana pendidikan maupun penelitian (Feriyanto,<br />
2002 ).<br />
Analisis Data<br />
Setelah semua data yang diperlukan terkumpul baik data primer maupun<br />
sekunder, maka selanjutnya dilakukan analisis berdasarkan pendekatan kualitatif<br />
dan kuantitatif yang dapat diterapkan, baik menyangkut aspek kelayakan bio-<br />
ekologi, teknis (sarana dan prasarana) maupun lingkungan (data lokasi).<br />
Keadaan Fisik dan Biologi Lokasi<br />
Data tentang keadaan fisik dan biologi lokasi yang telah terkumpul<br />
kemudian dilakukan analisis, terutama data biologi lokasi, yaitu terdiri dari :<br />
1. Analisis vegetasi<br />
Data hasil inventarisasi vegetasi selanjutnya dianalisis untuk mengetahui<br />
keragaman jenis dan dominasinya. Menurut Kusmana (1995), parameter<br />
vegetasi yang dapat dihitung dalam analisis vegetasi adalah :<br />
a. Kerapatan suatu spesies (K)<br />
K<br />
individu suatu spesies<br />
Luas petak contoh<br />
∑<br />
=<br />
b. Kerapatan relatif suatu spesies (KR)<br />
Kerapatan suatu spesies<br />
KR =<br />
Kerapatan seluruh spesies<br />
c. Frekuensi suatu spesies (F)<br />
x 100%<br />
∑ sub petak ditemukan suatu spesies<br />
F =<br />
∑ seluruh sub petak contoh<br />
34
d. Dominasi suatu spesies (D) :<br />
(1). Pohon, tiang, pancang<br />
D =<br />
Luas bidang dasar suatu spesies<br />
Luas petak contoh<br />
(2). Semai, tumbuhan bawah<br />
D =<br />
Luas penutupan tajuk<br />
Luas petak contoh<br />
e. Dominasi relatif suatu spesies (DR)<br />
Dominasi suatu spesies<br />
DR =<br />
Dominasi seluruh spesies<br />
f. Frekuensi relatif suatu spesies (FR)<br />
Frekwensi suatu spesies<br />
FR =<br />
Frkwensi seluruh spesies<br />
g. Indek Nilai Penting (INP)<br />
x 100 %<br />
x 100%<br />
INP = KR + FR + DR, tetapi untuk semai INP = KR + FR<br />
2. Inventarisasi satwa<br />
Dari data hasil inventarisasi satwa, selanjutnya dikelompokkan<br />
berdasarkan kelas dari masing-masing satwa tersebut (reptil, aves atau<br />
mamalia) dan disajikan dalam bentuk tabulasi.<br />
3. Daya dukung habitat<br />
Data produktivitas hijauan yang ada di lokasi penangkaran yang<br />
diperoleh dari masing-masing petak contoh kemudian dihitung dengan koreksi<br />
nilai proper use-nya yaitu dengan rumus (Susetyo, 1980) :<br />
P = produksi hijauan per petak x nilai proper use<br />
Selanjutnya produktivitas hijauan yang ada di lokasi penangkaran dapat<br />
dihitung dengan menggunakan rumus (Alikodra, 1990) :<br />
P<br />
L<br />
=<br />
p<br />
l<br />
dimana : P = Produksi hijauan seluruh areal<br />
L = Luas areal penangkaran<br />
p = Produksi hijauan seluruh petak contoh<br />
l = Luas seluruh petak contoh<br />
35
Dengan diketahuinya produktivitas hijauan pakan dan tingkat konsumsi<br />
pakan oleh rusa timor (Cervus timorensis), maka daya dukung habitat dapat<br />
dihitung dengan menggunakan rumus (Susetyo, 1980) :<br />
K =<br />
Analisis Finansial<br />
P<br />
C<br />
dimana : K = Jumlah rusa yang dapat ditampung<br />
P = Produktivitas hijauan pakan per satuan waktu<br />
36<br />
C = Jumlah konsumsi pakan oleh rusa per satuan<br />
waktu, dimana C = ax1 + bx2 + cx3 + .....+ nxn<br />
(xn = jenis-jenis hijauan yang dimakan rusa)<br />
Data yang perlu terkumpul, yaitu meliputi semua komponen biaya dan<br />
penerimaan, selanjutnya dianalisis guna menentukan kelayakan usaha<br />
penangkaran berdasarkan analisis keproyekan, yaitu meliputi NPV, BCR, IRR<br />
dan PP.<br />
Berdasarkan analisis dari berbagai sumber, maka asumsi-asumsi yang<br />
digunakan dalam analisis finansial usaha penangkaran rusa adalah meliputi ;<br />
biaya investasi, biaya tetap, biaya variabel/operasional dan penerimaan. Secara<br />
rinci asumsi-asumsi rencana anggaran biaya dan penerimaan dari usaha<br />
penangkaran rusa dapat dilihat pada Lampiran 4, sedangkan asumsi-asumsi<br />
teknis biologis sebagai berikut :<br />
1. Target induk jantan dan betina dari luar penangkaran adalah 105 ekor pada<br />
tahun pertama dan 210 ekor pada tahun kedua dan tetap dipertahankan sampai<br />
tahun kesembilan, kemudian secara bertahap dilakukan pengafkiran.<br />
2. Nisbah kelamin (sex ratio) jantan dan betina adalah 1 : 19 - 20<br />
3. Bibit berasal dari luar dapat beranak pada tahun ke-2, sedangkan bibit dari<br />
hasil penangkaran dapat beranak setelah berumur 3 tahun.<br />
4. Jumlah induk dapat beranak dalam satu periode 1 tahun diperkirakan 80%<br />
dari jumlah induk yang siap kawin<br />
5. Lama bunting 8 – 9 bulan
6. Rata-rata jumlah anak per kelahiran per induk adalah 1 (satu) ekor, dengan<br />
nisbah kelamin anak yang dilahirkan sebesar 1 : 1 (50 % jantan dan 50 %<br />
betina).<br />
7. Tingkat mortalitas anak sepanjang tahun diperkirakan 10 % dari jumlah anak<br />
yang dilahirkan.<br />
8. Untuk anak rusa betina yang lahir pada tahun pertama seluruhnya<br />
dialokasikan untuk calon induk, mulai tahun kedua dan seterusnya anak betina<br />
yang dilahirkan ± 50% dijadikan bibit, sisanya sebagian besar dijual dan<br />
sebagian kecil di potong. Sementara anak rusa jantan yang akan dijadikan<br />
calon pejantan untuk bibit jumlahnya disesuaikan dengan nisbah 1 : 20,<br />
sementara untuk calon pejantan yang dijual nisbah kelaminnya 1 : 10. Hal ini<br />
bertujuan untuk meningkatkan jumlah penerimaan.<br />
9. Sisa dari calon induk dan jantan yang tidak terpilih dijual dalam bentuk<br />
daging dan ranggah/velvet untuk yang jantan.<br />
10. Pengafkiran rusa induk mulai dilakukan setelah 10 tahun di penangkaran<br />
dengan pertimbangan rusa sudah berumur 12 tahun, asumsi masa produktif<br />
rusa sampai pada umur 13 tahun dan izin usaha penangkaran komersil berlaku<br />
selama 10 tahun.<br />
Setelah semua data yang diperlukan terkumpul, maka langkah selanjutnya<br />
adalah menganalisis data serta pertimbangan biaya dan pengelolaan guna<br />
membuat alternatif tapak bagi masing-masing penggunaan. Dari analisis tapak<br />
akan menghasilkan suatu alternatif yang paling layak dikembangkan berdasarkan<br />
peruntukan, biaya, waktu dan tenaga pengembangannya. Dan akhirnya akan<br />
diperoleh suatu disain penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville)<br />
dengan sistim Deer Farming.<br />
37
Keadaan Fisik Lokasi<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Analisis Bio-ekologi Lokasi Penangkaran<br />
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, maka diperoleh data mengenai<br />
keadaan fisik lokasi penangkaran meliputi :<br />
1. Letak dan Luas<br />
Secara administrasi kepemerintahan, lokasi penangkaran rusa timor<br />
(Cervus timorensis de Blainville) di Kampus IPB – Darmaga termasuk ke<br />
Desa Babakan, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Proponsi Jawa Barat.<br />
Secara geografis lokasi ini terletak antara 06.33’.10.9” Lintang Selatan dan<br />
106.44’.58.5” Bujur Timur (BMG Balai Wilayah II, 2005).<br />
Luas seluruh lokasi Kampus Institut Pertanian Bogor – Darmaga adalah<br />
± 250 ha. Sedangkan lokasi yang dipakai untuk pengembangan penangkaran<br />
rusa seluas ± 4,25 ha.<br />
2. Iklim dan Curah Hujan<br />
Berdasarkan data iklim lima tahun terakhir yang dikeluarkan oleh Badan<br />
Meteorologi dan Geofisika Balai Wilayah II Bogor, lokasi penangkaran rusa<br />
Timor (Cervus timorensis de Blainville) di Kampus IPB – Darmaga menurut<br />
klasifikasi iklim Schmidt & Ferguson termasuk daerah dengan iklim type A,<br />
yaitu bulan kering rata-rata 0,3 maximum 2, frekuensi 1 dan bulan basah rata-<br />
rata 11,2 maximum 12 frekuensi 8.<br />
Berdasarkan data lima tahun terakhir, maka rata-rata curah hujan<br />
setahun di daerah ini 3.892,40 mm. dan hari hujan 271,84 hari. Temperatur<br />
maximum rata-rata : 31,84 0 C, minimum rata-rata 22,64 0 C dan rata-rata<br />
kelembaban 83,76%.<br />
3. Topografi<br />
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, lokasi penangkaran rusa<br />
yang ada di Kampus IPB-Darmaga bertopografi datar sampai bergelombang<br />
ringan, dan terletak pada ketinggian 140 m – 165 m dari permukaan laut.<br />
38
Berdasarkan peta kontur yang ada, maka dapat diketahui tingkat<br />
kemiringan dari lokasi tersebut, dimana kemiringan dapat ketahui dengan<br />
menghitung besar sudut yang dibentuk antara bidang miring (jarak antara dua<br />
titik) dengan bidang datar, dimana untuk mengetahui jarak bidang datar dapat<br />
dihitung secara matematis dengan mengunakan rumus pitagoras. Dari hasil<br />
analisis terhadap peta kontur lokasi, maka tingkat kemiringan lokasi<br />
penangkaran adalah kemiringan 0 – 8% seluas ± 50% dari luas lahan, 8 –<br />
15% seluas ± 30% dan 15 – 20% seluas ± 20%.<br />
Hal ini sesuai dengan pendapat Root (1985), yang mengatakan bahwa<br />
garis dari kontur dapat menyatakan kemiringan suatu lokasi, dimana<br />
kemiringan merupakan perbandingan jarak antara dua titik dengan garis<br />
vertikal yang biasanya dinyakan dalam persentase. Dimana kemiringan<br />
menunjukkan 100% apabila sudut yang dibentuk antara garis vertikal dengan<br />
garis horizontal adalah 45 o .<br />
Berdasarkan data penyebaran dan habitat rusa secara alami ketinggian<br />
ini cukup mendukung kehidupan rusa timor (Cervus timorensis de Blainville).<br />
Selain itu rusa juga mampu beradaptasi dengan baik pada berbagai kondisi<br />
topografi. Namun untuk efisiensi dan efektifitas usaha penangkaran, lokasi<br />
kandang (unit-unit penangkaran) dibatasi pada areal yang memiliki<br />
kemiringan lereng kurang dari 30%. Kriteria ini digunakan agar tercapai<br />
efisiensi energi yang dikeluarkan rusa untuk pergerakan dan terjaminnya<br />
keselamatan induk-induk rusa yang sedang bunting. Hal ini diperkuat oleh<br />
Direktorat PPA (1978) yang menyatakan bahwa rusa timor ditemukan di<br />
dataran rendah hingga ketinggian 2.600 dpl.<br />
Secara rinci peta topografi lokasi penangkaran rusa timor (C. timorensis<br />
de Blainville) di Kampus IPB Darmaga dapat dilihat pada gambar 5.<br />
39
Skala 1 : 2.500<br />
Gambar 5. Peta topografi lokasi penangkaran rusa di Kampus IPB – Darmaga.<br />
4. Air (Hidrologi)<br />
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, lokasi penangkaran rusa<br />
yang ada di Kampus IPB Darmaga dialiri oleh sebuah sungai kecil dengan<br />
sumber air yang tidak pernah kering walaupun musim kemarau. Selain itu<br />
dengan curah hujan yang cukup tinggi dan hampir merata sepanjang tahun,<br />
maka sungai ini diperkirakan dapat memenuhi seluruh kebutuhan air untuk<br />
kepentingan penangkaran rusa. Selain itu, tidak jauh dari batas lokasi<br />
penangkaran terdapat sungai yang mempunyai aliran air cukup besar dan<br />
sepanjang tahun, yaitu sungai Ciapus. Karena air merupakan bagian dari<br />
kebutuhan rusa yang cukup penting, baik untuk minum maupun berkubang<br />
pada musim birahi. Namun berdasarkan data kebutuhan rusa akan air,<br />
penyebaran dan habitat aslinya, rusa timor (Cervus timorensis de Blainville)<br />
kurang tergantung pada ketersediaan air secara berlimpah, sehingga lokasi<br />
penangkaran rusa yang ada di Kampus IPB Darmaga dilihat dari aspek<br />
ketersediaan sumber airnya cukup memenuhi persyaratan sebagai suatu lokasi<br />
penangkaran.<br />
40
5. Tanah<br />
Menurut peta tanah tinjau Propinsi Jawa Barat 1966 dengan skala<br />
1:250.000 tanah di daerah ini termasuk jenis tanah latosol kemerah-merahan<br />
dengan bahan induk tufvolkan intermidier dengan fisiografi vulkan.<br />
Dari data kondisi fisik lokasi penangkaran rusa yang ada di Kampus<br />
IPB Darmaga sebagaimana telah diuraikan diatas, maka dapat dibuat suatu<br />
tabel gambaran fisik lokasi dan kesesuaian bagi penangkaran rusa.<br />
Tabel 1 Perbandingan kondisi fisik daerah penyebaran rusa timor (Cervus<br />
timorensis de Blainville) dengan lokasi penangkaran di Kampus<br />
IPB Darmaga.<br />
Peubah<br />
41<br />
Spesifikasi<br />
Daerah Penyebaran Lokasi Penangkaran Kelayakan<br />
Iklim Iklim tropis Tipe A Layak<br />
Curah Hujan (mm/th) Rendah - tinggi 3.892,40 Layak<br />
Suhu ( o C) Bukan penentu 22,64 – 31,84 Layak<br />
Kelembaban (%) Bukan penentu 83,76 Layak<br />
Topografi/kemiringan (%) 0 – 45 0 – 20 Layak<br />
Sumber Air alami sungai/alami Layak<br />
Jenis Tanah hampir semua jenis latosol Layak<br />
Elevasi (m dpl) s.d 2.600 140 - 165 Layak<br />
Dari Tabel 1 tersebut diketahui bahwa secara fisik, lokasi penangkaran<br />
rusa yang ada di kampus IPB Darmaga sangat layak untuk dijadikan dan<br />
dikembangkan sebagai tempat penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de<br />
Blainville).<br />
Hal ini sesuai dengan pendapat Van Bemmel (1949), yang menyatakan<br />
bahwa rusa memiliki daya adaptasi yang tinggi dan mudah di introduksi pada<br />
daerah yang bukan habitatnya, dimana habitatnya mulai dari hutan dataran<br />
rendah sampai ketinggian 2.600 di atas permukaan laut dengan padang<br />
rumput atau savana sebagai tempat merumput merupakan habitat yang paling<br />
disukai oleh rusa timor (Cervus timorensis de Blainville).
Keadaan Biologis Lokasi Penangkaran<br />
Berdasarkan hasil pengamatan dilapang, diperoleh data kondisi biologis<br />
lokasi adalah sebagai berikut :<br />
1. Vegetasi<br />
Berdasarkan informasi dari beberapa sumber, lokasi penangkaran rusa<br />
yang ada di Kampus IPB Darmaga berasal dari kawasan kebun karet (Havea<br />
brasilliensis) dan kelapa sawit (Elaeis guineensis). Tetapi karena pengelolaan<br />
yang kurang baik, maka saat ini sebagian dari lokasi, yaitu ± 30% dari<br />
total lokasi penangkaran (± 1,28 ha) kondisinya menjadi semak belukar<br />
dengan vegetasi yang cukup beragam, baik pada tingkat tumbuhan<br />
bawah/semai, pancang, tiang maupun pohon. Selain vegetasi semak belukar,<br />
sebagian dari lokasi penangkaran ditanami dengan tanaman berkasiat obat,<br />
yaitu mahkota dewa (Phaleria marcocarpa), tanaman pangan dan tanaman<br />
industri, yaitu sengon/jeunjing (Paraserianthes falcataria) dan sengon buto<br />
(Enterolubium cyclocarpum).<br />
Berdasarkan hasil analisis vegetasi yang dilakukan di lapangan,<br />
ditemukan 65 spesies tumbuhan. Dari 65 spesies tumbuhan yang ditemukan<br />
di lokasi penangkaran diketahui 42 spesies merupakan sumber pakan rusa, 22<br />
spesies dapat berfungsi sebagai pelindung/shelter. Pada tingkat semai dan<br />
tumbuhan bawah tiga spesies yang memiliki Nilai Indek Penting (INP) adalah<br />
jampang piit (Pannicum sp.)dengan INP = 17,64%, jukut karukun (Eragrostis<br />
amabilis) dengan INP = 10,67% dan jukut bau (Hyptis rhamboides) dengan<br />
INP = 9,28%. Sedangkan pada tingkat pancang tiga spesies yang memiliki<br />
INP tertinggi adalah bambu (Gigantochoa apus), yaitu 29,64%, puspa<br />
(Schima wallichii) dengan INP = 20,71% dan pinus (Pinus merkusii) dengan<br />
INP = 14,76. begitu juga pada tingkat tiang, tiga spesies yang memiliki INP<br />
tertinggi adalah bambu (Gigantochoa apus), yaitu 52,76%, puspa (Schima<br />
wallichii) dengan INP = 29,89% dan pinus (Pinus merkusii) dengan INP =<br />
28,12. Sedangkan pada tingkat pohon spesies yang memiliki INP tertinggi<br />
adalah pinus (Pinus merkusii) dengan INP = 80,07%, sengon buto<br />
(Enterolubium cyclocarpum) dengan INP = 77,47%, dan kelapa sawit (Elaeis<br />
guineensis) dengan INP = 77,01%.<br />
42
Untuk pengelolaan usaha penangkaran rusa yang intensif, penutupan<br />
tajuk vegetasi di unit-unit penangkaran, areal pembesaran, areal adaptasi dan<br />
padang penggembalaan diatur sedemikian rupa sehingga memudahkan<br />
pengawasan dan kegiatan pengelolaan yang lain tetapi tidak menghambat<br />
pertumbuhan populasi rusa itu sendiri. Penanaman tanaman yang berfungsi<br />
sebagai pelindung perlu dilakukan, terutama di areal penggembalaan. Untuk<br />
keperluan tersebut, spesies tumbuan yang sudah ada di lokasi penangkaran<br />
dapat digunakan banyak tersedia diantaranya adalah sengon (Paraserianthes<br />
falcataria), puspa (Schima wallichii) dan sengon buto (Enterolubium<br />
cyclocarpum).<br />
Secara rinci daftar jenis-jenis tumbuhan hasil analisis vegetasi yang<br />
dilakukan di dalam lokasi penangkaran dapat dilihat pada Lampiran 1.<br />
2. Satwaliar<br />
Berdasarkan hasil pengamatan, lokasi penangkaran memiliki kekayaan<br />
spesies satwaliar yang cukup tinggi, yaitu tercatat 25 spesies satwaliar. Dari<br />
25 spesies satwaliar tersebut terdiri dari kelas aves sebanyak 10 spesies, kelas<br />
reptil sebanyak 10 spesies dan kelas mamalia sebanyak 5 spesies.<br />
Berdasarkan hasil pengamatan selama melakukan penelitian, satwa<br />
besar yang bersifat kompetitor tidak ada, begitu juga satwa predator besar<br />
tidak dijumpai di lokasi, tetapi menurut informasi petugas yang ada di lokasi<br />
ancaman terhadap rusa-rusa yang ada di penangkaran berasal dari lokasi<br />
sekitarnya, dimana masih terdapat ular sanca (Pyton raticulatus) yang cukup<br />
besar yaitu yang berada di hutan kawasan Cikabayan yang letaknya<br />
berdekatan dengan loksasi penangkaran. Selain itu satwa predator yang selalu<br />
mengancam kehidupan rusa terutama anak-anak rusa yang baru dilahirkan<br />
adalah anjing (Canis lupus familiaris) yang banyak berkeliaran di sekitar<br />
lokasi penangkaran. Sehingga untuk mengantisipasi adanya gangguan dari<br />
binatang predator dari luar perlu dilakukan pemagaran lokasi dengan<br />
menggunakan bahan-bahan yang tidak dapat diterobor oleh satwa predator<br />
yang mengancamnya.<br />
Secara lengkap daftar jenis satwaliar yang ditemui di lokasi penangkaran<br />
dapat dilihat pada Lampiran 2.<br />
43
3. Daya Dukung Lokasi<br />
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, diketahui luasan areal yang<br />
ditumbuhi oleh rumput dan potensi sebagai areal penggembalaan bagi rusa<br />
adalah seluas ± 1,75 ha dari luas total lokasi ± 4,25 ha.<br />
Dari luasan tersebut berdasarkan hasil pengamatan di lapangan<br />
diperoleh data produksi hijauan pakan rusa yang didasarkan atas produktivitas<br />
hijuan pakan pada setiap petak contoh dan setiap kali pemotongan/pemanenan<br />
adalah sebagaimana tercantum pada Tabel 3 dan data secara rinci dapat<br />
dilihat pada Lampiran 3.<br />
Tabel 2 Produktivitas hijauan pakan rusa pada setiap petak contoh di dalam<br />
lokasi penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) di<br />
Kampus IPB Darmaga.<br />
Nomor<br />
Petak<br />
Pemotongan pra<br />
pengamatan<br />
(gram)<br />
Pemotongan saat pengamatan (gram)<br />
I II III Rata-rata<br />
01 947,2 231,3 278,9 214,5 241,6<br />
02 431,7 187,0 339,1 192,3 239,5<br />
03 533,7 218,3 276,8 220,3 238,5<br />
04 812,3 320,5 401,0 305,5 342,3<br />
05 712,1 263,1 289,0 215,7 255,9<br />
06 733,4 242,0 282,8 216,2 247,0<br />
07 853,1 417,5 364,3 298,1 360,0<br />
08 674,3 212,0 232,2 208,1 217,4<br />
09 766,0 274,4 262,2 239,7 258,8<br />
10 864,7 328,8 267,8 293,6 330,1<br />
11 737,0 219,2 251,9 227,9 233,0<br />
12 759,1 233,3 256,1 209,6 233,0<br />
Rata-rata 735,38 262,28 300,18 236,79 266,42<br />
Keterangan :<br />
Pemotongan Pra Pengamatan = pemotongan yang dilakukan sehari sebelum<br />
dimulainnya pengamatan. Hal ini dilakukan untuk memberikan<br />
kondisi awal yang sama pada setiap petak contoh. Pemotongan<br />
ini dilaksanakan pada tanggal 10 Agustus 2005<br />
Pemotongan I = pemotongan yang dilakukan 20 hari setelah pemotongan pra<br />
mengamatan dilakukan, yaitu pada tanggal 30 Agustus 2005<br />
Pemotongan II = pemotongan yang dilakukan 20 hari setelah pemotongan I<br />
dilakukan, yaitu pada tanggal 19 September 2005<br />
Pemotongan III = pemotongan yang dilakukan 20 hari setelah pemotongan II<br />
dilakukan, yaitu pada tanggal 9 Oktober 2005<br />
44
Dari data yang tersaji pada Tabel 2, diketahui bahwa rata-rata produksi<br />
hijauan segar pada petak contoh adalah 266,42 gram/m 2 /20 hari, maka produksi<br />
hijauan segar adalah 13,32 gram/m 2 /hari.<br />
Pada kenyataannya rumput yang terdapat di lokasi penangkaran tidak<br />
seluruhnya tersedia bagi rusa, tetapi sebagian ditinggalkan untuk menjamin<br />
tumbuhnya kembali. Sebagian rumput yang dapat dimakan oleh rusa tersebut<br />
disebut proper use. Bila diasumsikan proper use dari rumput yang ada di lokasi<br />
penangkaran = 65%, maka jumlah hijauan tersedia per m 2 per hari adalah 13,32<br />
gram x 65% = 8,66 gram/hari. Dengan demikian jumlah hijauan yang dapat<br />
diproduksi oleh padang rumput dan tersedia bagi rusa yang ada di lokasi<br />
penangkaran adalah sebesar :<br />
10.000 2<br />
1m<br />
m<br />
2<br />
x<br />
8,66 gram/hari<br />
=<br />
86.580 gram/ha/ha<br />
ri<br />
==><br />
86,58 kg/ha/hari<br />
Hal ini sesuai dengan pendapat Susetyo (1980) yang mengatakan bahwa<br />
untuk daerah yang bertopografi datar dan bergelombang dengan kemiringan<br />
0 – 5 o , maka nilai proper use sebesar 60 – 70%.<br />
Bila daya dukung dihitung berdasarkan perbandingan antara produksi<br />
hijauan dengan tingkat konsumsi pakan rusa per hari, dimana tingkat konsumsi<br />
pakan adalah 6,00 kg/ekor/hari, maka daya dukung lokasi tersebut adalah :<br />
86,58 kg<br />
6,<br />
0 kg<br />
x 1ekor<br />
14,43ekor/ha<br />
Berdasarkan data daya dukung tersebut, maka kepadatan rusa yang dapat<br />
ditampung pada lokasi rumput seluas 1,75 ha adalah 25,25 ekor. Hal ini sesuai<br />
dengan pendapat Semiadi dan Nugraha (2004) yang menyatakan bahwa secara<br />
garis besar kepadatan rusa pada padang rumput di Indonesia adalah 12 – 15<br />
ekor/ha.<br />
=<br />
Kenyataan di lapangan, suatu padang penggembalaan tidak dapat<br />
menyediakan hijauan secara terus menerus sepanjang tahun, dimana diperlukan<br />
waktu istirahat untuk memulihkan pertumbuhannya, maka padang<br />
penggembalaan tersebut perlu diistirahatkan.<br />
.<br />
45
Hal ini berlaku apabila pemenuhan kebutuhan akan hijauan disediakan<br />
sepenuhnya oleh padang penggembalaan. Tetapi bila kebutuhan hijauan sebagian<br />
besar dicukupi dari luar areal penangkaran (kebun rumput) dengan perkiraan<br />
sebesar 75 % dari total kebutuhan, maka daya tampung lokasi tersebut menjadi :<br />
86,58 kg<br />
6,<br />
0 - (6,0 x 75%)<br />
kg/ekor/ha ri<br />
= 19,24<br />
ekor/ha<br />
Sementara kebutuhan hijauan dari luar/kebun rumput adalah 6 kg x 75 % = 4,50<br />
kg/ekor/hari.<br />
Jika produksi rumput unggul rata-rata = 150 ton/ha/th dengan bagian yang<br />
bisa dimakan oleh rusa sebesar 85 %, maka produksi kebun rumput yang dapat<br />
dimakan oleh rusa adalah sebanyak :<br />
150 ton x 85 % = 127,50 ton/th<br />
= 127.500 kg/ha/th = 349,32 kg/ha/hari.<br />
Dengan demikian luas kebun rumput yang harus disediakan untuk setiap ekor<br />
rusa per hari adalah :<br />
4,5 kg/hari<br />
349,<br />
32 kg/ha/hari<br />
0,013ha<br />
Jika suatu kebun rumput setelah dipanen perlu istirahat guna memulihkan<br />
pertumbuhannya rata-rata 20 hari, sehingga seekor rusa untuk mendapatkan<br />
suplai rumput secara terus menerus memerlukan kebun rumput seluas 0,013 ha x<br />
20 = 0,26 ha dengan sistem panen bergilir.<br />
Namun demikian untuk penangkaran dengan sistem farming, ketersediaan<br />
pakan di lokasi bukan merupakan suatu faktor pembatas, karena pemenuhan<br />
pakan didatangkan dari luar areal penangkaran.<br />
Secara rinci hasil analisis produktivitas hijauan pakan rusa di lokasi<br />
penangkaran rusa di Kampus IPB-Darmaga pada setiap petak conton disajikan<br />
pada Lampiran 3.<br />
Guna menanggulangi kekurangan hijauan pakan rusa yang ada di lokasi<br />
penangkaran dapat dilakukan dengan upaya peningkatkan daya dukung lokasi.<br />
Adapun usaha yang dapat dilakukan, adalah :<br />
1. Meningkatkan produktivitas rumput yang ada melalui pemupukan,<br />
penanaman rumput unggul yang tahan terhadap renggutan dan injakan serta<br />
pengaturan pengembalaan yang baik.<br />
=<br />
46
2. Memperluas padang rumput yang ada dan meningkatkan produktivitasnya<br />
dengan menanami jenis rumput unggul yang cocok untuk penggembalaan,<br />
diantaranya adalah rumput Bracihiaria brizanta, rumput Australia (Paspalum<br />
dilatatum), rumput kolonjono (Brachiaria mutica), Brachiaria decumbens,<br />
Panicum maximum dan Setaria sphacelata. Sedangkan untuk jenis<br />
leguminosa antara lain stylo (Sthylosanthes guyanensis), Arachis hypogea dan<br />
kerabatnya serta pohon lamtoro (Leucaena leucosephala) dan turi (Sesbania<br />
glandiflora) yang sekaligus dapat dijadikan sebagai pohon peneduh. Luas<br />
padang rumput yang harus tersedia untuk seekor rusa agar dapat merumput<br />
secara terus menerus sepanjang tahun tanpa adanya hijauan tambahan dari<br />
luar adalah 0,069 ha/ekor (± 14,43 ekor/ha).<br />
3. Mecukupi kebutuhan hijauan dari luar penangkaran, yaitu dengan membuat<br />
kebun rumput unggul di luar areal penangkaran. Melihat potensi lahan yang<br />
ada di Kampus IPB – darmaga masih luas, maka sangat memungkinkan untuk<br />
pembangunan kebun rumput ini, misalnya di lokasi yang bersebelahan<br />
dengan lokasi penangkaran dengan jarak ± 50 m, yaitu di sebelah Timur dari<br />
lokasi terdapat lokasi yang cukup luas dan bertopografi datar sampai saat ini<br />
belum termanfaatkan. Kebutuhan kebun rumput untuk mencukupi kebutuhan<br />
pakan rusa di penangkaran jika ± 75% dari kebutuhan hijauan dipenuhi dari<br />
luar adalah seluas 0,013 ha/ekor (± 77 ekor/ha). Adapun jenis rumput yang<br />
dapat ditanam adalah rumput gajah (Pennisetum purpureum), rumput raja<br />
(Pennisetum purpupoides), rumput bengala (Pennisetum maximum), rumput<br />
setaria/padi (Setaria sphacelata) atau rumput mexico (Euclaena mexicana).<br />
4. Mendatangkan/membeli rumput dari tempat lain.<br />
Berdasarkan analisis finansial yang dilakukan, maka dengan mendatangkan/<br />
membeli rumput dari tempat lain masih dirasa cukup ekonomis pada<br />
penangkaran rusa dengan sistem farmaing, dimana harga beli hijauan<br />
diperkirakan Rp 100,00/kg. Dengan demikian lokasi penangkaran yang ada<br />
benar-benar dapat dimanfaatkan sebagai tempat tinggal bagi rusa.<br />
47
Berdasarkan hasil analisis kondisi bio-fisik dari lokasi penangkaran rusa<br />
yang ada saat ini sangat memungkinkan untuk dikembangkan menjadi usaha<br />
penangkaran yang lebih baik mengarah kepada usaha yang komersil. Hal ini<br />
didukung dengan hasil wawancara dengan pengelola yang ada di lapangan yang<br />
mengatakan sesungguhnya penangkaran ini dapat berkembang dengan baik,<br />
terbukti sampai saat ini belum pernah terjadi kematian pada rusa yang diakibatkan<br />
ketidaksesuaian lingkungan tempat hidupnya. Namun demikian untuk dapat<br />
mengembangkan usaha penangkaran ini mengarah ke usaha yang komersil, yaitu<br />
penangkaran dengan sistem deer farming perlu adanya penataan tapak yang<br />
sesuai dan manajemen pengelolaan yang lebih baik.<br />
Perancangan Tapak (Site Planning) Penangkaran Rusa Timor<br />
(Cervus timorensis de Blainville) dengan Sistem Deer Farming<br />
Mengacu dari apa yang disampaikan Hakim dan Utomo (2002), maka<br />
untuk dapat melakukan perancangan tapak penangkaran dengan baik maka<br />
langkah-langkah yang harus dilakukan adalah :<br />
Analisis Rancangan Tapak<br />
Analisis perancangan tapak yang dimaksudkan adalah kita menganalisis<br />
terhadap potensi dan kendala yang mungkin timbul dari rancangan kita, dimana<br />
kita tidak akan dapat menganalisis sebelum tujuan dan sasaran yang kita inginkan<br />
dirumuskan. Adapun peran utama dari analisis perancangan adalah memberikan<br />
informasi mengenai tapak kita sebelum memulai konsep-konsep perancangan<br />
kita, sehingga pemikiran dini kita tentang bangunan dapat mengabungkan<br />
tanggapan-tanggapan yang berarti terhadap kondisi luaran.<br />
Berdasarkan hasil analisis terhadap lokasi, maka diperoleh data mengenai<br />
potensi lokasi sebagaimana tersaji pada Tabel 2.<br />
Pewilayahan/Zonasi<br />
Ditinjau dari aspek teknis penangkaran rusa, data yang diperoleh dan<br />
pertimbangan terhadap faktor-faktor pembatas serta efisiensi pengelolaan, maka<br />
48
wilayah/zona yang perlu dikembangkan dalam usaha penangkaran rusa timor<br />
(Cervus timorensis de Blainville) minimal terdiri dari 2 zona, yaitu zona<br />
perkantoran (Headquarter zone) dan zona penangkaran (Captive Breeding Zone).<br />
Penetapan zona-zona pengembangan di lokasi penangkaran didasarkan<br />
atas pertimbangan intensitas pengelolaan, intensitas pemanfaatan serta kelayakan<br />
areal yang tersedia. Hal ini perlu diperhatikan karena dimaksudkan agar tujuan<br />
pengelolaan penangkaran rusa dapat dicapai secara efektif dan efisien.<br />
Menurut White (1985), alasan untuk menempatkan sebuah bangunan pada<br />
suatu daerah tertentu pada tapak dapat melibatkan kondisi-kondisi daya dukung<br />
tanah, kontur yang memperkecil pekerjaan tanah selama pembangunan, bukit-<br />
bukit untuk pemandangan atau penghindaran akan beberapa kekayaan yang<br />
teristimewa bernilai yang harus dilestarikan, misalnya pepohonan atau beberapa<br />
kondisi yang negatif misalnya pemandangan buruk.<br />
Menurut Thohari et al. (1991), didalam penentuan zona pengembangan di<br />
lokasi penangkaran rusa harus memenuhi persayatan secara teknis, ekonomis dan<br />
lingkungan.<br />
Berdasarkan peruntukan dan fungsinya, maka lokasi penangkaran rusa<br />
dibagi menjadi dua zona, yaitu :<br />
1. Zona Perkantoran (Headquarter zone)<br />
Zona ini merupakan areal yang berfungsi sebagai pusat pengelolaan/<br />
administrasi kawasan. Dalam penentuan zona ini ada beberapa persyaratan<br />
yang harus dipenuhi, yaitu :<br />
a. Topografi relatif datar sampai berbukit ringan, sehingga pendirian<br />
bagunan relatif tidak merusak tapak<br />
b. Ketersediaan sumber air mudah dimanfaatkan untuk memenuhi kebu-<br />
tuhan air bagi aktivitas pengelolaan sehari-hari<br />
c. Aksesibilitas harus mudah dijangkau<br />
Sarana dan prasarana yang perlu ada di zona ini adalah kantor, pusat<br />
informasi, perumahan, pedok karantina dan klinik satwa serta sarana dan<br />
prasarana penunjang (menara air, instalasi listrik dan sarana komunikasi).<br />
49
2. Zona Penangkaran (Captive Breeding Zone)<br />
Zona ini merupakan areal yang berfungsi untuk pengembangbiakan<br />
dan pembesaran/pemeliharaan satwa pedaging. Persyaratan yang harus<br />
dipertimbangkan dalam menentukan zona penangkaran ini adalah :<br />
a. Topografi diupayakan merupakan daerah yang datar, landai sampai<br />
berbukit ringan segingga rusa dapat menjelajahi dengan baik.<br />
b. Ketersediaan pakan, air dan cover ; perlu dibangun padang pengem-<br />
balaan dan sistem peransuman untuk menjamin ketersediaan makanan,<br />
sistem penyaliran air dan pengaturan cover.<br />
c. Ekosistem; pembangunan areal ini diusahakan sekecil mungkin merubah<br />
kondisi fisik dan vegetasi yang ada, sehingga menjadi tempat hidup dan<br />
berkembangbiak rusa dengan baik.<br />
d. Luasan; mengingat zona penangkaran merupakan zona yang terluas<br />
dalam kegiatan penangkaran ini, maka areal harus cukup luas sesuai<br />
dengan proyeksi pengembangan dan kebutuhan normal hidup dan<br />
berkembangbiak bagi rusa.<br />
Sarana dan prasarana yang perlu ada di zona ini adalah unit penangkaran<br />
(pedok-pedok), kebun rumput, menara/instalasi air, areal pembesaran, padang<br />
pengembalaan, jalan inspeksi, gudang makanan, perumahan, bak penampungan<br />
limbah.<br />
Pada Gambar 6 disajikan keadaan vegetasi yang ada di lokasi penangkaran<br />
rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) yang ada di Kampus IPB Darmaga<br />
pada saat dilakukan studi.<br />
50
Gambar 6. Keadaan vegetasi yang terdapat di lokasi penangkaran rusa di<br />
Kampus IPB Darmaga pada saat studi.<br />
Faktor-faktor Lanskap<br />
Didalam penataan suatu disain tapak, faktor-faktor yang perlu<br />
diperhatikan berkaitan dengan lanskap adalah :<br />
1. Kontur,<br />
Kontur yaitu beda tinggi suatu titik dengan titik lainnya. Kontur<br />
diperlukan agar didalam pembuatan tapak sedapat mungkin tidak merubah<br />
kondisi alami suatu lokasi.<br />
2. Pepohonan<br />
Didalam perancangan tapak penangkaran pepohonan sangat<br />
diperlukan, karena selain berfungsi sebagai peneduh alami juga dapat<br />
berfiungsi sebagai penahan angin, erosi dan menambah nilai estetika suatu<br />
tapak.<br />
Berdasarkan data lima tahun terakhir yang dikeluarkan oleh BMG<br />
Wilayah II Bogor (2004), kecepatan angin di wilayah Darmaga rata-rata 7,02<br />
51
km/jam. Ini masih tergolong kecepatan yang ringan. Dengan demikian,<br />
pepohonan yang ditanam di lokasi penangkaran mempunyai peran utama<br />
sebagai pohon pelindung (shelter) dan juga menambah nilai estetika. Untuk<br />
itu pemilihan jenis pepohonan diutamakan yang mempunyai tajuk cukup lebar<br />
dan pertumbuhannya cepat. Jenis pohon yang terbukti sudah cocok dengan<br />
lokasi penangkaran adalah sengon (Paraserianthes falcataria) dan sengon<br />
buto (Enterolubium cyclocarpum). Namun demikian dalam jangka panjang<br />
jenis beringin (Ficus binjamina) cukup baik untuk ditanam. Selain memiliki<br />
tajuk yang luas, juga mempunyai nilai keindahan yang cukup baik.<br />
3. Sumber air<br />
Sumber air mutlak diperlukan di suatu areal penangkaran, karena air<br />
berfungsi sebagai sumber air minum dan tempat berkubang bagi rusa serta<br />
untuk keperluan lainnya. Guna menambah nilai estetika tetapi tidak<br />
mengurangi fungsinya, maka bak-bak minum yang ada di lokasi penangkaran<br />
dapat didisain sedemikian rupa menjadi bak-bak yang indah.<br />
Diskripsi dan Tata Letak Tapak<br />
1. Zona Perkantoran (Headquarter zone)<br />
Zona perkantoran merupakan pusat kegiatan pengelolaan dan<br />
administrasi penangkaran serta sebagai tempat pelayanan kepada<br />
masyarakat dan tamu yang datang ke lokasi penangkaran.<br />
Zona perkantoran ini dibagi menjadi lima blok, yaitu : (a) kantor dan<br />
pusat informasi, (b) mes (c) karantina dan klinik hewan, (d) Gudang pakan<br />
dan peralatan, (e) rumah generator dan (f) pos jaga. Pengelompokan ini<br />
dimaksudkan untuk kelancaran pelaksanaan administrasi juga kegiatan<br />
pengelolaan dan pelayanan kepada masyarakat lebih efektif dan efisien.<br />
Bangunan kantor ditempatkan di paling depan dari zona perkantoran,<br />
hal ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan bagi pengunjung yang<br />
akan berurusan dengan pengelola penangkaran.<br />
52
Berdasarkan beberapa pertimbangan, maka zona perkantoran<br />
ditetapkan di salah satu sudut lokasi penangkaran. Hal ini didasarkan atas<br />
pertimbangan : (a) lokasi ini memiliki posisi yang strategis, karena berada di<br />
lokasi yang bisa menjangkau ke semua lokasi (b) Bangunan yang akan<br />
didirikan tidak banyak memerlukan peningkatan kualitas tapak karena<br />
lokasinya memiliki topografi yang datar dan (c) dekat dengan sumber air.<br />
Pemilihan lokasi ini sesuai dengan pendapat dari Hakim dan Utomo<br />
(2002), yang mengatakan bahwa umumnya pada lokasi dengan kemiringan<br />
di bawah 4% diklasifikasikan pada daerah datar dan cocok untuk aktivitas/<br />
kegiatan yang padat, kemiringan 4 – 10% untuk kegiatan sedang dan lebih<br />
dari 10% untuk keperluan ruangan khusus.<br />
Secara rinci diskripsi dan tata letak tapak pada zona perkantoran dapat<br />
dilihat pada Gambar 7.<br />
Gambar 7. Diskripsi dan tata letak tapak pada zona perkantoran<br />
(Headquarter zone).<br />
53
2. Zona Penangkaran (Captive Breeding Zone)<br />
Zona ini merupakan satu kesatuan penangkaran yang terdiri dari<br />
pedok induk, pedok jantan, pedok perkawinan dan pedok anak. Pedok<br />
induk merupakan pedok inti usaha penangkaran. Masing-masing pedok<br />
penempatannya didasarkan atas kemudahan pemindahan anak dari pedok<br />
induk ke pedok anak pada saat lepas sapih dan jantan ke dan dari pedok<br />
perkawinan serta pedok induk dari dan ke pedok perkawinan.<br />
Dalam setiap pedok dibuat shelter/tempat berteduh berupa<br />
bangunan atau pohon yang sekaligus dapat berfungsi sebagai tempat<br />
pengasinan, bak air dan palung pakan.<br />
Zona penangkaran ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu unit<br />
penangkaran dan areal pembesaran/ pemeliharaan.<br />
Berdasarkan hasil analisis lokasi penangkaran yang ada, maka pada<br />
prinsipnya lokasi penangkaran yang ada semuanya bisa dijadikan zona<br />
penangkaran, karena topografi lokasi berkisar antara 0 – 20 o . Selain itu<br />
sumber air dapat didistribusikan ke seluruh tapak, sehingga dalam<br />
pembangunannya tidak memerlukan banyak peningkatan tapak. Sedangkan<br />
areal pembesaran ditempatkan disebelah barat. Lokasi ini memiliki kondisi<br />
datar hingga bergelombang kecil, sumber air masih bisa terjangkau dengan<br />
pompanisasi dan pada saat ini merupakan areal padang rumput yang potensi.<br />
Hal ini didukung oleh pendapat Van Bemmel (1949) yang menyebutkan<br />
bahwa padang rumput atau savana sebagai tempat merumput merupakan<br />
habitat yang paling disukai oleh rusa timor (Cervus timorensis de<br />
Blainville).<br />
Jika kebutuhan luas pedok untuk masing-masing kelas umur dan jenis<br />
kelamin diasumsikan: induk = 60 m 2 /ekor, jantan = 125 m 2 /ekor, anak umur<br />
< 1 tahun = 22 m 2 /ekor dan anak umur 1-2 tahun = 30 m 2 /ekor, maka<br />
populasi yang dapat ditampung pada masing-masing pedok setelah 10 tahun<br />
di penangkaran dengan sistem farming adalah sebagaimana tersaji pada<br />
Tabel 4.<br />
54
Secara lengkap diskripsi dan tata letak perancangan tapak yang<br />
disarankan untuk dikembangkan dalam usaha penangkaran rusa timor<br />
(Cervus timorensis de Blainville) dengan sistem farming di Kampus IPB<br />
Darmaga dapat dilihat pada Gambar 8.<br />
Gambar 8. Diskripsi dan tata letak perancangan tapak penangkaran rusa di<br />
Kampus IPB Darmaga dengan sistem farming.<br />
Dari gambar di atas dapat dijelaskan bahwa :<br />
1. Luas zona perkantoran (A) = 0,10 ha atau sama dengan 2,35% dari luas lahan,<br />
terdiri dari kantor utama (kantor dan pusat informasi), mes penangkar, gudang<br />
bahan pakan dan peralatan serta klinik/karantina satwa.<br />
2. Luas pedok induk (B) = 1,50 ha atau sama dengan 35,29% dari luas lahan,<br />
pedok ini dapat menampung 250 ekor induk dengan luas pedok 60 m 2 /ekor.<br />
3. Luas pedok jantan (C) = 0,28 ha atau sama dengan 6,70% dari luas lahan,<br />
pedok ini dapat menampung 23 ekor pejantan dengan luas pedok 125 m 2 /ekor.<br />
55
4. Luas pedok perkawinan (BC) = 0,25 ha atau sama dengan 5,88% dari luas<br />
lahan. Pada pedok ini dapat menampung induk yang sedang birahi sebanyak<br />
20 - 25 ekor dengan luas pedok 100 m 2 /ekor.<br />
5. Luas pedok anak/pembesaran terdiri dari pedok D1 seluas 0,75 ha (17,65%)<br />
untuk anak berumur ≤ 1 tahun, dimana dapat menampung 341 ekor dengan<br />
luas pedok 22 m 2 /ekor dan pedok D2 seluas 0,25 ha (5,90%) untuk anak<br />
berumur 1 – 2 tahun, dimana dapat menampung sebanyak 84 ekor dengan luas<br />
pedok 30 m 2 /ekor. Dengan demikian luas pedok anak/pembesaran (D1 + D2)<br />
adalah 1,00 ha atau sama dengan 23,55% dari luas lahan.<br />
6. Luas kebun rumput sementara (E) = 1,0 ha atau sama dengan 23,55% dari<br />
luas lahan, dimana kebun rumput ini hanya sampai tahun ke-4. Selanjutnya<br />
seiring dengan pertambahan populasi induk, maka kebun rumput ini dijadikan<br />
pedok induk yang dapat menampung 167 ekor dengan luas pedok 60 m 2 /ekor.<br />
7. Pagar terbuat dari kawat dengan tinggi 2 – 2,5 meter. Untuk menghidari<br />
masuknya binatang pengganggu (anjing), maka dibagian bawah setinggi<br />
50 – 75 cm dilapisi dengan kawat harmonika. Secara rinci disain pagar dapat<br />
dilihat pada Gambar 9.<br />
Gambar 9. Desain pagar yang disarankan.<br />
8. Lebar jalan inspeksi = 1,5 meter dengan dasar berpasir yang digunakan<br />
sebagai jarur pemindahan rusa dari dan ke ruang klinik dan karantina dan<br />
untuk jalur pemindahan rusa dari satu pedok ke pedok lainnya. Selain itu juga<br />
digunakan sebagai jalan bagi pengelola dalam pendistribusian pakan dengan<br />
menggunakan gerobak dorong dan pengontrolan. Secara rinci desain jalan<br />
inspeksi dapat dilihat pada Gambar 10.<br />
56
Gambar 10. Desain jalan inspeksi dan pintu yang disarankan.<br />
9. Untuk menghindari becek pada dasar pedok, maka dasar pedok diberi pasir<br />
dan selanjutnya ditanami rumput alam, selain untuk menggurangi erosi juga<br />
sebagai sumber pakan.<br />
Rancangan Manajemen Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis<br />
de Blainville) dengan Sistem Deer Farming<br />
Manajemen Penangkaran<br />
Meskipun usaha penangkaran rusa di Indonesia belum terlalu<br />
memasyarakat, namun dengan tingkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi<br />
yang ada sekarang ini tidak ada kesulitan untuk mengadopsi dan mengembangkan<br />
teknik-teknik penangkaran rusa yang telah berhasil di luar negeri. Ditinjau dari<br />
segi teknis pada prinsipnya penerapkan teknik-teknik peterakan yang telah<br />
dikenal masyarakat, sehingga secara teknis tidak ada kesulitan. Tetapi kenyataan<br />
berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan langsung di lapangan diperoleh<br />
data mengenai penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) yang ada<br />
di Kampus IPB – Darmaga sebagai berikut :<br />
1. Populasi rusa<br />
Populasi rusa yang ada di penangkaran Kampus IPB – Darmaga berjumlah 6<br />
ekor terdiri dari 2 ekor jantan dan 4 ekor betina. Berdasarkan hasil<br />
wawancara dan pengamatan langsung di lokasi, diketahui keempat ekor betina<br />
57
yang ada sedang dalam kondisi bunting dan ternyata pada akhir pengamatan<br />
salah satu diantaranya beranak. Anak yang dilahirkan berjenis kelamin<br />
betina, sehingga populasi rusa di akhir penelitian berjumlah 7 ekor.<br />
2. Pemberian pakan dan minum<br />
Pakan yang diberikan kepada rusa yang ada di penangkaran semata-mata<br />
mengandalkan pasokan dari luar berupa rumput alam hasil dari sabitan<br />
petugas yang ada dilapangan. Jumlah hijauan yang diberikan tidak sesuai<br />
dengan standar kebutuhan hidup rusa, dimana dari segi kuantitas sangat<br />
kurang apalagi dari segi kualitas. Makanan penguatan maupun makanan<br />
tambahan selama pengamatan belum pernah diberikan. Begitu juga<br />
kebutuhan akan air minum semata-mata hanya dipenuhi dari air yang berasal<br />
dari air yang terkandung didalam hijauan yang diberikan, sedangkan air<br />
minum tidak pernah disediakan.<br />
3. Perkembangbiakan<br />
Perkembangbiakan yang terjadi di penangkaran saat ini adalah perkembang-<br />
biakan secara alami murni, dimana tidak ada campur tangan dari pengelola.<br />
Rusa-rusa yang ada dibiarkan melakukan perkembangbiakan dengan<br />
sendirinya, yang penting pengelola sudah menyediakan tempat dan<br />
memberinya pakan hijauan apa adanya.<br />
4. Kontrol penyakit<br />
Kontrol terhadap penyakit selama ini tidak pernah dilakukan. Apalagi<br />
pemberian vaksin, vitamin dan obat-obatan lainnya, sehingga penampilan rusa<br />
yang ada di penangkaran kelihatan kurang sehat. Hal ini dapat dilihat dengan<br />
bulu-bulu yang kusam dan sebagian ada yang rontok.<br />
Berdasarkan hasil kajian potensi lokasi dan juga keadaan penangkaran<br />
yang ada, sesungguhnya penangkaran tersebut dapat diusahakan lebih baik lagi,<br />
yaitu dengan mengembangkan penangkaran rusa sistem deer farming. Ditinjau<br />
dari segi teknis pada prinsipnya penerapan penangkaran rusa hampir sama dengan<br />
teknik-teknik peterakan yang telah dikenal masyarakat, sehingga secara teknis<br />
sesungguhnya tidak ada kesulitan.<br />
58
Secara garis besar, teknik penangkaran rusa dengan sistem farming<br />
meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut :<br />
1. Pemeliharaan, yaitu meliputi :<br />
a. Pengadaan bibit<br />
Jenis rusa yang dikembangkan dalam usaha penangkaran adalah<br />
rusa timor (Cervus timorensis de Blainville). Berdasarkan informasi<br />
dari beberapa sumber yang diperoleh selama melakukan penelitia, bibit<br />
rusa untuk keperluan penangkaran dapat diperoleh dari suakamarga-<br />
satwa, kebun binatang, penangkaran lain dan penangkapan di hutan.<br />
Jumlah rusa yang dapat ditampung dalam suatu lokasi<br />
penangkaran disesuaikan dengan kesiapan lokasi, sarana prasarana,<br />
ketersediaan biaya dan tenaga pengelola serta potensi pasar. Perkiraan<br />
jumlah rusa yang dapat diperoleh didasarkan atas beberapa<br />
pertimbangan, yaitu potensi yang ada didaerah sekitar lokasi<br />
penangkaran dan kemudahan untuk memperolehnya baik dari segi<br />
perizinan maupun penangannya.<br />
b. Seleksi Bibit<br />
Untuk memperoleh kualitas keturunan yang baik dalam usaha<br />
penangkaran rusa perlu diperhatikan pemilihan induk dan pejantan yang<br />
baik. Untuk itu dalam jangka panjang, penangkaran rusa hendaknya<br />
mengarah pada sistem seleksi yang benar serta pencatatan setiap<br />
individu rusa di penangkaran, khususnya individu-individu bibit.<br />
Salah satu masalah penting yang harus dihindari dalam usaha<br />
penangkaran adalah timbulnya inbreeding. Untuk menghindari<br />
meningkatnya koefisien inbreeding, maka seleksi bibit, pencatatan<br />
silsilah tiap individu rusa khususnya rusa-rusa induk/pejantan dan<br />
pengaturan sistem perkawinan menjadi penting untuk diperhatikan.<br />
Pejantan yang digunakan untuk mengawini betina diatur<br />
sedemikian rupa, sehingga pejantan dari satu pedok selalu digantikan<br />
dengan pejantan lain pada setiap musim kawin berikutnya, dalam hal ini<br />
dilakukan pergiliran pejantan secara teratur.<br />
59
Adapun syarat-syarat rusa yang baik untuk dijadikan bibit secara<br />
umum adalah (a) berasal dari induk dan pejantan yang baik (jelas<br />
silsilahnya/tetuanya), (b) tidak cacat, (c) mempunyai pertumbuhan<br />
yang baik, (d) sehat dan (e) memiliki kemampuan adaptasi dengan<br />
lingkungan yang tinggi.<br />
c. Adaptasi<br />
Secara alami rusa termasuk satwa yang mempunyai kemampuan<br />
adaptasi lingkungan yang sangat tinggi. Di lingkungan yang banyak<br />
aktivitas manusia, bahkan di lingkungan dengan kondisi makanan yang<br />
jelek sekalipun rusa mampu beradaptasi dengan baik. Meskipun<br />
demikian diperlukan perhatian dan penanganan maupun latihan yang<br />
baik dan teratur untuk mencegah kemungkinan yang tidak diinginkan<br />
seperti terjadinya stress, serangan penyakit dan kematian, sehingga<br />
dapat mengoptimalkan manfaat yang diperoleh.<br />
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mempermudah<br />
penanganan rusa yang baru ditangkap ke tempat penangkaran adalah<br />
dengan menempatkan rusa dalam kandang yang gelap dan relatif tidak<br />
luas. Pedok ini dapat dibagun dalam pedok karantina. Disamping itu<br />
untuk membiasakan rusa terhadap penggiringan dapat dilakukan dengan<br />
melatih secara teratur dalam waktu tertentu dengan memperlihatkan<br />
tanda-tanda tertentu (bendera atau suara).<br />
Usaha pengadaptasian ini selain ditujukan pada rusa-rusa yang<br />
telah ada di lokasi penangkaran guna mempermudah penanganannya,<br />
juga diperlakukan pada rusa- rusa yang brau didatangkan dari luar areal<br />
penangkaran. Untuk rusa-rusa yang baru didatangkan dari luar<br />
arealpenagkaran, langkah pengadaptasian ini dilakuka di pedok<br />
karantina selama 1 – 2 minggu, selain untuk tujuan adaptasi juga untuk<br />
mencegah kemungkinan penyakit yang dibawanya.<br />
d. Penyediaan Pakan<br />
Dalam suatu usaha penangkaran, makanan merupakan salah satu<br />
komponen produksi yang membutuhkan biaya terbesar, yaitu dapat<br />
60
mencapai 65 – 70% dari seluruh total produksi (Thohari et al. 1991).<br />
Oleh karena itu penyediaan makanan perlu mendapat perhatian khusus<br />
serta penanganan yang baik dan teratur, sehingga kualitas makanan yang<br />
diberikan mampu menhasilkan produktivitas optimum rusa yang<br />
ditangkarkan. Kaitannya dengan penyediaan makanan rusa, terdapat<br />
beberapa faktor yang perlu diperhatikan, yaitu :<br />
(1). Jenis bahan makanan<br />
Jenis makanan yang dapat diberikan pada rusa di<br />
penangkaran dapat berupa hijuan, konsentrat dan makanan<br />
tambahan. Jenis hijauan antara lain rerumputan dan pucuk/daun<br />
muda tumbuhan polong (legum). Dari hasil analisis tumbuhan di<br />
lokasi penangkaran ditemukan beberapa jenis hijauan yang<br />
dimakan rusa, diantaranya yang dominan adalah rumput pahitan<br />
(Paspalum conjungatum), alang-alang (Imperata cylindrica),<br />
jukut kidang (Centotheca lappacea), kacangan (Desmodium<br />
heterocarpum) dan teki (Cyperus rotundus). Sedangkan jenis<br />
konsentrat yang dapat diberikan pada rusa dapat berupa<br />
campuran dedak, jagung dan umbi-umbian. Selain itu hasil<br />
limbah pertanian seperti daun jagung juga disukai dan perlu<br />
dicoba berbagai jenis limbah pertanian yang ada di sekitar lokasi<br />
penangkaran.<br />
(2). Jumlah dan frekwensi pemberian pakan<br />
Secara umum jumlah makanan yang diberikan pada satwa<br />
pemamahbiak per ekor per hari adalah sebesar 5 – 10% dari bobot<br />
badannya, sedangkan frekwensi pemberiannya dapat dilakukan 2 –<br />
3 kali per hari. Bila rata-rata berat badan rusa timor adalah 75 kg,<br />
maka kebutuhan hijauan pakan rata-rata adalah 5,63 kg/ekor/hari.<br />
Untuk keperluan penangkaran ini makanan yang akan<br />
diberikan berdasarkan dari beberapa hasil penelitian adalah<br />
61
sebanyak 6 kg hijauan segar per ekor per hari. Sedangkan<br />
konsentrat diberikan 0,5 kg/ekor/hari.<br />
(3). Cara peramuan dan penyajian pakan<br />
Hijauan yang diberikan adalah jenis rumput unggul, agar<br />
penggunaan pakan lebih efisien, maka rumput dipotong pendek<br />
(dicacah) menjadi sekitar 20 cm atau kurang saat akan diberikan<br />
kemudian diletakkan di dalam palung-palung pakan.<br />
Pemotongan ini dimaksudkan agar tidak banyak hijauan yang<br />
tersisa atau terbuang.<br />
Pakan konsentrat yang diberikan berupa campuran dedak<br />
dan umbi-umbian yang dipotong kecil-kecil, dibasahi dengan air<br />
yang dicampur dengan sedikit garam. Penmberian air ini<br />
bertujuan agar dedak tidak banyak terbuang, sementara garam<br />
diberikan selain untuk meningkatkan palatabelitas pakan juga<br />
untuk mencukupi kebutuhan mineral. Setelah pakan siap,<br />
selanjutnya ditempatkan pada palung-palung pakan.<br />
e. Pengembangbiakan<br />
Dalam usaha penangkaran, masalah pengembangbiakan<br />
memegang peranan yang sangat penting, karena dasar keberhasilan<br />
usaha penangkaran terletak pada keberhasilan reproduksinya. Ada tiga<br />
cara yang dapat dilakukan dalam upaya pengembangbiakan rusa di<br />
penangkaran, yaitu : secara alamiah, semi alamiah dan inseminasi<br />
buatan.<br />
Ada tiga cara yang dapat dilakukan dalam upaya pengembang-<br />
biakan rusa di penangkaran : 1). secara alamiah, yaitu membiarkan rusa<br />
kawin dan berkembangbiak tanpa campur tangan manusia, 2). secara<br />
semi alamiah yaitu sistim perkawinan rusa diatur manusia, antara lain<br />
dengan mengatur perpandingan jumlah jantan, dan 3). secara inseminasi<br />
buatan (IB). Namun demikian pada saat ini kegiatan IB pada rusa di<br />
Indonesia masih untuk tujuan penelitian dalam rangka pemahaman sifat<br />
62
eproduksi rusa tropis dan telah disosialisasikan di beberapa penangkar<br />
yang akan diarahkan menjadi penangkar pembibit rusa.<br />
Menurut penulis pada saat ini cara yang dirasa tepat untuk<br />
diterapkan dalam suatu penangkaran adalah dengan cara semi alami,<br />
yaitu dengan pengaturan nisbah kelamin antara jantan dan betina.<br />
Selain itu melakukan rotasi penggunaan pejantan unggul.<br />
f. Perawatan Kesehatan<br />
Berhasil tidaknya suatu usaha penangkaran rusa ditentukan oleh<br />
banyak faktor, diantaranya adalah kesehatan rusa. Perawatan dan<br />
pengobatan penyakit secara baik dan lebih dini ketika terlihat ada gejala<br />
penyakit merupakan tindakan penting yang perlu dilakukan untuk<br />
menghindari kematian dan meluasnya penyebaran penyakit.<br />
Dibandingkan dengan jenis hewan lainnya yang telah dikenal,<br />
rusa cenderung memiliki daya tahan tubuh yang lebih baik terhadap<br />
serangan penyakit. Sebatas rusa mendapatkan makanan yang cukup dari<br />
segi jumlah dan keseimbangan zat-zat nutrisinya, maka gejala<br />
defisisensi suatu unsur nutrisi tidak akan terjadi.<br />
Hingga saat ini rusa belum banyak terdeteksi sebagai pembawa<br />
penyakit bagi kelompok hewan lain atau sesama ruminansia lainnya.<br />
Tetapi justru rusalah yang sering terinfeksi dari hewan lainnya. Hasil<br />
pemantauan di lapangan ternyata rusa timor dan sabar mempunyai daya<br />
tahan terhadap serangan cacing yang cukup kuat.<br />
Untuk menghindari kemungkinan berjangkitnya penyakit perlu<br />
mendapat perhatian, khususnya yang berkaitan dengan pencegahannya,<br />
misalnya : melalui vaksinasi disamping pemeriksaan mulut maupun<br />
injeksi. Dalam hal ini rusa yang baru datang dari luar loksi penangkaran<br />
dan anak-anak rusa yang baru lahir segera diberi vaksin anti cacing dan<br />
penyakit lainnya.<br />
(1) Beberapa jenis parasit dan penyakit<br />
Beberapa jenis parasit yang biasa menyerang rusa<br />
diantaranya adalah : eksternal parasit (lalat hijau dan caplak),<br />
63
internal parasit (cacing paru/Dictyocaulus spp.), sedangkan<br />
penyakit yang perlu mendapat perhatian adalah : luka pada<br />
lambung dan usus, Salmonelosisi, Pnumonia, Malignant Catarhal<br />
Fever, Brucellosis, Tuberculosis, Capture myopathy, Antraks serta<br />
gangguan metabolisme misalnya keracunan.<br />
(2) Program Perawatan Kesehatan<br />
Pada prisnsipnya tindakan pencegahan lebih baik dan murah<br />
dibandingkan dengan pengobatan. Oleh karena itu sangat<br />
diperlukan suatu program perencanaan perawatan kesehatan yang<br />
baik dan teratur guna mencegak atau meminimalkan resiko<br />
pemeliharaan.<br />
Beberapa program perawatan kesehatan yang perlu<br />
dipertimbangkan untuk dilakukan adalah :<br />
(a) Vaksinasi secara tertatur terhadap penyakit-penyakit seperti<br />
TBC, salmonelosis, clostridial dan lain-lain.<br />
(b) Pembersihan/penyemprotan pedok serta pagar dengan<br />
desinfektan secara berkala.<br />
(c) Jika air didalam pedok tidak mengalir, maka dilakukan<br />
pembersihan dan penggantian air setiap harinya.<br />
(d) Pemberian vitamin dan mineral penting secara teratur<br />
(e) Pemberian dan pengaturan makanan yang baik<br />
(f) Melakukan pengujian veteriner untuk jenis-jenis penyakit<br />
tertentu.<br />
(3) Parameter kesehatan<br />
Apabila rusa mulai turun tingkat kesehatannya namun tidak<br />
terlihat disebabkan oleh suatu penyakit tertentu, maka<br />
kemungkinan besar hal itu disebabkan karena pengaruh stres yang<br />
berkepanjangan, baik karena iklim ( hujan lebat, tanah bevek atau<br />
terik panas matahari) atau lingkungan sekitar (terganggu<br />
ketenangannya).<br />
64
Perlakuan yang dapat dilakukan adalah dengan perbaikan<br />
lingkungan dan pemberian vitamin. Namun demikian indikator<br />
sehatnya seekor rusaseringkali harus dianalisa lewat kondisi darah<br />
dan ini hanya bisa dilakukan setelah didiagnosa oleh dokter hewan.<br />
g. Pembibitan dan Pembesaran<br />
Yang dimaksud dengan pembibitan adalah segala usaha<br />
pengadaan dan pemeliharaan anak-anak rusa baik rusa jantan maupun<br />
betina yang disiapkan sebagai pejantan dan induk dalam penangkaran.<br />
Dalam pengertian ini termasuk pemeliharaan anak-anak rusa yang akan<br />
dijual keluar penangkaran sebagai bibit.<br />
Pemeliharaan anak-anak rusa ini dilakukan sesaat setelah<br />
dilakukan penyapihan yaitu sekitar umur 3 bulan yang ditempatkan pada<br />
pedok tersendiri. Dalam pemeliharaan ini disatukan antara rusa jantan<br />
dan betina sampai mencapai umur dewasa kelamin, dimana hal ini<br />
dilakukan untuk memberikan kesempatan kepada anak-anak rusa<br />
tersebut berinteraksi dan bersosialisasi antara yang satu dengan yang<br />
lainnya. Setelah memasuki umur dewasa kelamin, yaitu lebih umur 8<br />
bulan dengan berat badan ± 40 kg dilakukan pemisahan antara rusa<br />
jantan dengan betina.<br />
Pada saat pemisahan ini sekaligus dilakukan seleksi untuk<br />
memilih rusa-rusa yang akan dijadikan calon induk dan pejantan, yang<br />
selanjutnya akan diberikan tanda (penning) untuk memudahkan dalam<br />
pengelolaan selanjutnya. Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah<br />
bahwa rusa-rusa tersebut untuk tidak segera dikawinkan meskipun sudah<br />
dewasa kelamin, karena pada dasarnya usia produktifnya (minimum<br />
breeding age) baru dicapai pada umur 2 – 3 tahun.<br />
Setelah dilakukan seleksi untuk memilih calon bibit, maka rusa-<br />
srusa yang tidak terpilih untuk selanjutnya dilakukan pemeliharan<br />
pembesaran/penggemukan guna mendapatkan pertumbuhan yang<br />
optimum agar diperoleh rusa-rusa yang gemuk dengan kualitas daging<br />
yang baik. Umur optimum yang diperhitungkan dalam pembesaran/<br />
65
penggemukan ini untuk mencapai usia potong adalahh rata-rata satu<br />
tahun dengan berat badan 60 kg dan prosentase karkas 60% dengan<br />
rata-rata berat daging 36 kg (Thohari et al., 1991).<br />
h. Pencatatan (recording)<br />
Pencatatan (recording) adalah suatu tindakan untuk melakukan<br />
pencatatan tentang identitas satwa yang meliputi : nomor, nama, jenis<br />
kelamin, tempat dan tanggal lahir (umur) dan nama induk. Tujuan<br />
dilakakukannya pencatatan (recording) adalah untuk mengenali satwa<br />
secara jelas, dimana dengan mengenali identitas satwa secara jelas,<br />
diharapkan dapat menghindari terjadinya perkawinan dengan kerabat<br />
dekatnya (inbreeding), sehingga pelaksanaan penangkaran dapat<br />
berjalan dengan baik.<br />
Penandaan atau penomoran setiap individu rusa umumnya<br />
dilakukan dengan memberikan “anting” bernomor (penning) yang<br />
cukup besar tetapi ringan pada daun telingan rusa, sehingga mudah<br />
diamati dari jauh dengan menggunakan teropong binokuler. Penning ini<br />
dipasang pada saat anak rusa baru lahir.<br />
2. Pemanenen, yaitu meliputi :<br />
a. Penggiringan dan Penangkapan<br />
Pengertian penggiringan adalah aktivitas memindahkan<br />
kelompok rusa dari satu pedok ke pedok lainnya sesuai dengan<br />
kehendak kita atau membawa rusa ke kandang kerja. Untuk keperluan<br />
pengobatan atau velveting, penggiringan dilakukan dengan cara<br />
menggiring rusa-rusa yang telah terpilih atau ditentukan untuk ditangkap<br />
ke suatu tempat yang sempit yang telah disiapkan melalui jalur-jalur<br />
pedok, sedangkan untuk keperluan rotasi padang penggembalaan<br />
dilakukan terhadap seluruh rusa yang ada dalam satu pedok.<br />
Apabila penggiringan dilakukan asal-asalan, maka yang terjadi<br />
hanyalah rusa berlari berputar-putar di sekitar pedok dan tidak berani<br />
keluar dari pedok. Pada akhirnya rusa menjadi stres dan kelelahan.<br />
Yang pertama kali perlu diperhatikan dalam penggiringan adalah<br />
66
memperhatikan jarak melarikan diri rusa (JMD, flight distance), yaitu<br />
jarak terdekat anata manusia dengan rusa yang dapat diterima oleh rusa<br />
sebelum rusa tersebut lari menghindar karena merasa terancam.<br />
Yang dimaksud dengan penangkapan adalah baik yang dilakukan<br />
di luar lokasi penangkaran untuk dijadikan bibit maupun rusa-rusa yang<br />
ada di dalam lokasi penangkaran untuk keperluan penanganan-<br />
penanganan tertentu seperti pengobatan, pemanenan/ pengambilan<br />
velvet, perangsangan birahi dan inseminasi buatan. Dalam pengertian iti<br />
juga termasuk penangkapan untuk keperluan pemanenan.<br />
Secara umum beberapa teknik penangkapan rusa yang dapat<br />
diterapkan adalah : penggiringan, penjeratan/pemerangkapan, dan<br />
pembiusan. Pemilihan teknik penengkapan tergantung dari tujuan<br />
penangkapan. Untuk tujuan pengobatan, velveting dan inseminasi<br />
buatan misalnya sejauh mungkin diusahakan untuk menggunakan teknik<br />
penangkapan yang memberikan resiko stres terkecil, yaitu dengan<br />
pembiusan. Tetapi untuk tujuan pemanenan biasa dilakukan dengan<br />
penggiringan atau penjeratan.<br />
b. Pengangkutan<br />
Apabila karena satu dan lain hal rfusa harus diangkut, maka<br />
didalam pengangkutan ada beberapa hal yang harus diperhatikan, karena<br />
sering terjadi kematian dan timbulnya penyakit akibat salah penanganan<br />
dalam pengangkutan. Beberapa hal yang perlu diperhatinan adalah :<br />
(1). Kondisi Rusa<br />
Jika rusa yang akan diangkut adalah jantan dewasa, sangat<br />
disarankan ranggah dalam pertumbuhan apapun dilakukan<br />
pemotongan terlebih dahulu, kecuali pada fase ranggah muda tidak<br />
lebih dari 10 cm. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi rusa yang<br />
cidera. Selain itu pengangkutan rusa yang tidak beranggah<br />
menjadikan ukuran kotak angkut lebih kecil, sehingga praktis<br />
dalam pengangkutan.<br />
67
(2). Cuaca<br />
Pengangkutan rusa sebaiknya dilakukan pada saat cuaca sejuk.<br />
Perjalanan sangat disarankan dilakukan malam hari guna<br />
menghindari stres akibat kondisi panas matahari.<br />
(3). Kotak Pengangkutan<br />
Kotak pengangkutan harus terbuat dari bahan yang kuat,<br />
khususnya pada pengangkutan rusa dewasa, karena hentakan kaki<br />
sering membuat kotak pengangkutan menjadi rusak, sehingga<br />
bahan triplek tebal sangat baik, walaupun papan juga dapat<br />
digunakan. Dalam pwembuatan kotak angkut yang terbaik adalah<br />
jika rusa hanya dapat berdiri dan ke posisi duduk tanpa dapat<br />
berputar<br />
(4). Jarak dan Lama Pengangkutan<br />
Dalam melakukan perjalan yang membawa beberapa kotak<br />
pengangkutan sekaligus, sebaiknya ada jarak antara kotak,<br />
sehingga terjadi sirkulasi udara dengan baik. Selain itu<br />
penempatan tutup diatas alat pengangkut (terpal) perlu<br />
dipertimbangkan untuk perjalan yang panjang (> 24 jam). Bila<br />
pengangkutan memerlukan waktu perjalanan yang panjang,<br />
sebaiknya diperlukan waktu istirahat bagi rusa-rusa di tempat yang<br />
teduh dan sejuk walaupun sebentar.<br />
(5). Pengeluaran Rusa<br />
Pengeluaran rusa dari dalam kotak angkut merupakan tahapan<br />
terakhir yang justru seringkali mematikan. Tidak jarang saat<br />
sampai di lokasi kondisi rusa dalam keadaan stres dan ketakutan<br />
dan lelah, sehingga tidak mampu lagi untuk berdiri. Bila<br />
menemukan kondisi yang demikian disarankan untuk menunggu<br />
agar rusa mau keluar dengan sendirinya. Bila memungkinkan<br />
sebelum rusa keluar diberikan obat anti stres dan vitamin.<br />
Dilarang memberikan siraman air dengan maksud memberikan<br />
68
kesegaran, karena justru sebaliknya yang terjadi adalah sebaliknya<br />
suatu kematian akibat perubahan suhu yang mendadak. Agar<br />
keselamatn terjamin, sebaiknya saat akan melakukan pengeluaran,<br />
kotak angkut sudah berada di dalam wilayah dimana rusa akan<br />
ditempatkan. Lingkungan yang tenang, jauh dari tontonan orang<br />
atau kebisingan saat pelepasan dilakukan sanbgat membantu rusa<br />
untuk cepat beradaptasi dengan daerah baru.<br />
c. Pemanenan Velvet (Velveting)<br />
Ciri khusus dari rusa adalah keberadaan ranggahnya dan hanya<br />
dijumpai pada kelompok rusa jantan. Ranggah merupakan suatu bentuk<br />
pertumbuhan tulang sejati yang terjadi keluar dari anggota badan dengan<br />
siklus tumbuh, mengeras dan luruh berputar secara berkala setiap tahun.<br />
Pertumbuhan ranggah bukanlah di tengkorak, tetapi dibonggolan yang<br />
memang khusus untuk pertumbuhan ranggah yang disebut dengan<br />
pedicle. Pada bibir pedicle akan terdapat bentukan yang menyerupai<br />
lingkaran cincin yang disebut brur atau ada yang menyebutnya junction.<br />
Hal inilah yang membedakan antara pengertian ranggah pada rusa<br />
dengan tanduk pada ternak kambing, domba, sapi dan kerbau.<br />
Pertumbuhan awal ranggah dimulai dengan tumbuhnya pedicle,<br />
dimana pada rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) mulai<br />
tampak pada umur 5 – 7 bulan pada kisaran berat badan 29 – 33 kg.<br />
Setelah pudicle tumbuh sempurna, baru ranggah mulain tumbuh. Pada<br />
setiap siklus pertumbuhan ranggah akan terjadi perubahan bentuk,<br />
ukuran dan berat ranggah. Saat pertama kali tumbuh (tahun pertama),<br />
ranggah rusa hanya berupa sebatang ranggah bulat, kecil dan pendek.<br />
Awalnya lunak terdiri dari tulang rawan yang diselimuti jaringan kulit<br />
tipis dan bulu halus (beludru) yang biasa disebut velvet. Setelah<br />
mencapai pertumbuhan maksimum, maka ranggah muda akan mengeras<br />
atau terjadi proses penulangan (kalsifikasi) yang ditandai dengan<br />
mengelupasnya lapisan kulit tipis yang menyelimutinya. Setelah kulit<br />
tipis mengelupas, maka terlihatlah tulang ranggah keras. Pada posisi ini<br />
69
anggah telah berubah bentuk dari jaringan hidup menjadi jaringan mati.<br />
Setelah beberapa saat dalam keadaan ranggah keras, maka ranggah<br />
tersebut akan lepas (luruh) dari daerah tumbuhnya.<br />
Menurur Semiadi dan Nugraha (2002), kecepatan tumbuh ranggah<br />
muda pada pejantan berkualitas baik dapat mencapai 2 cm/hari sebelum<br />
memasuki proses kalsifikasi. Pada saat pertumbuhan cepat inilah yang<br />
dikelan sebagai ranggah muda/ranggah velvet (velvet antler),<br />
mempunyai nilai jual yang mahal.<br />
Pemanenan/pemotongan ranggah muda biasanya dilakunan pada<br />
umur 50 – 55 hari setelah tumbuh. Penentuan kapan saat yang paling<br />
tepat untuk melakukan pemotongan ranggah muda memerlukan<br />
pengalaman dan kecermatan mata. Intinya saat pemotongan dilakukan,<br />
diharapkan akan diperoleh kualitas ranggah muda yang cukup berat<br />
tetapi porsi jaringan mudanya masih sangat besar. Cara perkiraan yang<br />
umum dipakai adalah dengan memperhatikan ujung ranggah utama<br />
(maen beam).<br />
Menurut Semiadi dan Nugraha (2004), pada rusa timor (Cervus<br />
timorensis de Blainville) pemanenan ranggah muda dilakukan saat ujung<br />
ranggah masih berbentuk bulatan besar, belum terjadi percabangan<br />
dengan pemotongan dilakukan sekitar 3 – 5 cm di atas cincin ranggah.<br />
Sarana dan Prasarana Penangkaran<br />
Secara garis besar sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam usaha<br />
penangkaran rusa meliputi : bangunan kantor, pusat informasi, pedok-pedok<br />
dalam unit penangkaran, kebun rumput, areal pembesaran dan adaptasi (padang<br />
pengembalaan) serta jalan inspeksi.<br />
1. Bangunan Kantor<br />
Kantor menurut fungsinya merupakan pusat pengelolaan/ administrasi.<br />
Untuk itu harus tersedia fasilitas-fasilitas yang memadai dan aksesibilitasnya<br />
cukuptinggi, sehingga kegiatan pengelolaan dapat dilaksanakan secara efektif<br />
dan efisien.<br />
70
2. Pusat Informasi<br />
Pusat informasi merupakan suatu tempat dimana didalamnya terdapat<br />
perpustakaan, ruang pamer dan ruang audiovisual, sehingga setiap<br />
pengunjung yang datang dengan mudah mendapatkan informasi yang<br />
diinginkan tentang penangkaran rusa yang dikelolanya. Ruangan yang<br />
digunakan sebagai pusat informasi merupakan bagian dari bangunan kantor<br />
utama.<br />
3. Mes Penangkar/Pengelola<br />
Di suatu penangkaran rusa diperlukan adanya orang yang tinggal dekat<br />
dengan usaha penangkaran tersebut. Hal ini penting untuk urusan penjagaan<br />
keamanan dan terlebih lagi guna kemudahan dalam pengawasan secara<br />
intensif, seperti disaat musim kawin, musim melahirkan atau penanganan<br />
yang menyangkut rusa sakit. Dengan dekatnya mes dan penangkaran, maka<br />
rusa-rusa yang ada akan dengan mudah menyesuaikan diri/beradaptasi dengan<br />
hiruk pikuk kegiatan manusia seperti adanya suara kendaraan atau hal-hal<br />
lainnya. Karena suara ini setiap hari terdengar, maka rusa tidak mudah stres<br />
dan akan cenderung menjadi lebih tenang sifatnya.<br />
4. Unit-unit Penangkaran/Pengelola<br />
Unit-unit penangkaran pada dasarnya merupakan komponen utama<br />
dalam pembangunan usaha penangraran rusa. Unit ini terdiri dari pedok-<br />
pedok yang berfungsi sebagai kandang induk dan kandang anak rusa, jalur-<br />
jalur penggiringan rusa (race) dan kandang terminal.<br />
Syarat utama dalam pemilihan lokasi untuk unit-unit penangkaran<br />
adalah kondisi topografi relatif datar sampai bergelombang, serta mudah<br />
dijangkau dari komplek perkantoran dan kandang karantina. Selain itu unit-<br />
unit penangkaran harus dekat dengan areal pembesaran dan adaptasi.<br />
5. Kebun Rumput<br />
Kebun rumput berfungsi untuk menyediakan hijauan pakan rusa di<br />
seluruh unit penangkaran. Letak kebun rumput ini tidak memerlukan<br />
pesyaratan khusus. Namun demikian luas dan jenis rumput yang ditanam<br />
71
perlu diperhatikan, sehingga mampu memproduksi jumlah hijauan yang dapat<br />
mencukupi kebutuhan seluruh unit penangkaran dan palatabilitasnya tinggi.<br />
Luasan kebun rumput disesuaikan dengan populasi rusa yang di targetkan,<br />
sedangkan jenis rumput yang dapat ditanam diantaranya adalah rumput gajah<br />
(Pennisetum purpureum), rumput raja/king grass (Pennisestum purpupoides),<br />
rumpur BD (Brachiaria decumbens), rumput Setaria (Setaria sphacelata) dan<br />
lain-lain. Sementara untuk jenis kacangan (legum) dapat ditanam Lamtoro<br />
gung (Leucaena leucocephala), turi (Sesbania grandiflora), kacang ketropong<br />
(Centrocema plumieri), dan lain-lain.<br />
Luasan kebun rumput yang harus disediakan disesuaikan dengan target<br />
rusa yang akan dipelihara. Berdasarkan hasil pengamatan, maka luasan kebun<br />
rumput yang harus disediakan agar rusa-rusa yang dipelihara tidak<br />
kekurangan hijauan adalah seluas 0,26 ha/ekor. Meskipun demikian pada<br />
penangkaran rusa dengan sistem deer farming keterbatasan lahan yang<br />
dimiliki tidak merupakan suatu kendala, karena hijauan dapat dibeli dari luar.<br />
6. Areal Pembesaran dan Adaptasi<br />
Areal pembesaran dan adaptasi adalah areal/pedok yang<br />
diperuntukkan pemeliharaan anak-anak rusa lepas sapih sebelum diseleksi<br />
untuk dijadikan bibit baik yang akan dipelihara maupun di jual. Selain itu<br />
agar anak-anak rusa dapat beradaptasi dengan lingkungan tanpa<br />
ketergantungan dengan induknya.<br />
Untuk areal ini tidak memerlukan persyaratan khusus, sebab rusa<br />
memiliki kemampuan beradabtasi dengan lingkungan yang cukup tinggi.<br />
Adapun sarana dan prasarana yang perlu disediakan pada areal ini terdiri dari :<br />
shelter (baik alami maupun buatan), palung pakan, bak minum, tempat<br />
berkubang dan tempat pengaraman.<br />
7. Jalan Inspeksi<br />
Jalan inspeksi diperlukan pada suatu areal penangkaran, hal ini<br />
berfungsi sebagai jalan untuk melakukan pengamatan dan pengawasan<br />
terhadap rusa-rusa yang ada dilokasi. Dalam pembuatan jalan inspeksi ini<br />
72
diusahakan tidak mengganggu ketenangan rusa saat mereka berada di dalam<br />
pedok, sehingga pemilihan lokasi biasanya di pinggir pedok.<br />
Panjang dari jalan inspeksi ini disesuaikan dengan panjang pedok yang<br />
ada dengan lebar 1,5 - 2,0 meter, karena dengan ukuran ini memudahkan<br />
pengelola untuk melakukan kontrol dan juga pengangkutan pakan ke setiap<br />
pedok yang ada dengan menggunakan gerobak dorong.<br />
8. Gudang<br />
Gudang diperlukan untuk tempat penyimpanan peralatan dan juga stok<br />
bahan pakan. Untuk memudahkan pengelolaan, bagunan gudang pakan dan<br />
peralatan menjadi satu, tetapi ruangan yang berfungsi sebagai gudang alat<br />
dipisahkan dengan ruangan untuk gudang pakan.<br />
9. Peralatan<br />
Peralatan yang diperlukan diantaranya adalah alat pencacah rumput<br />
(copper), alat angkut pendidtribusian pakan (gerobak dorong) dan alat<br />
mencacah umbi-umbian (sabit/parang).<br />
Proyeksi Perkembangan Populasi di Penangkaran<br />
Berdasarkan hasil analisis terhadap daya dukung lokasi yang ada dan<br />
manajemen penangkaran yang akan diterapkan (manajemen deer farming), maka<br />
dapat diperkirakan proyeksi populasi rusa di penangkaran selama 10 tahun<br />
kedepan, dengan asumsi dasar adalah luas lahan yang dimanfaatkan untuk zona<br />
penangkaran (Captive breeding zone) adalah ± 94% dari luas lokasi yang ada,<br />
yaitu 4,0 ha yang dibagi menjadi pedok induk, pedok jantan, pedok perkawinan<br />
dan pedok anak/pembesaran dan asumsi-asumsi teknis biologis sebagaimana<br />
tercantum pada bab metode penelitian.<br />
Secara rinci proyeksi populasi setelah 10 tahun di penangkaran dengan<br />
sistem farming adalah sebagaimana tersaji pada Tabel 3.<br />
73
Tabel 3 Proyeksi perkembangan populasi rusa pertahun selama 10 tahun<br />
pemeliharaan di penangkaran rusa Kampus IPB – Darmaga<br />
N0. Subyek Sex<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
Jumlah Induk per tahun :<br />
a.Dari luar penangkaran<br />
b. Dari hasil Penangkaran<br />
Jumlah Induk<br />
Tahun ke-<br />
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10<br />
J 5 10 10 10 10 10 10 10 10 5<br />
B 100 200 200 200 200 200 200 200 200 100<br />
J - - - 2 4 6 9 12 15 18<br />
B - - - 36 66 106 156 216 276 336<br />
J 5 10 10 12 14 16 19 22 25 23<br />
B 100 200 200 236 266 306 356 416 476 436<br />
Jumlah anak per tahun :<br />
a. Jumlah anak lahir (80<br />
% dari jumlah induk,<br />
J - 40 80 80 94 106 122 142 166 190<br />
dengan sex ratio 1 : 1) B - 40 80 80 94 106 122 142 166 190<br />
b. Jumlah anak yang mati J - 4 8 8 9 11 12 14 17 19<br />
(10 % dr jml lahir) B - 4 8 8 9 11 12 14 17 19<br />
c. Jumlah anak yg hidup J - 36 72 72 85 96 110 128 150 171<br />
Proyeksi anak :<br />
a. Dijadikan calon bibit<br />
untuk dikembalikan<br />
ke penangkaran<br />
b. Dijual sebagai bibit<br />
c. Dijual Daging/Potong<br />
B - 36 72 72 85 96 110 128 150 171<br />
J - 2 2 2 3 3 3 3 4 5<br />
B - 36 30 40 50 60 60 60 80 100<br />
J - - - 5 4 5 5 6 8 8<br />
B - - - 42 32 35 36 50 68 70<br />
J - - 34 65 66 77 88 101 117 138<br />
B - - - - - - - - - -<br />
4 Jumlah rusa yang diafkir J - - - - - - - - - 5<br />
Keterangan :<br />
B - - - - - - - - - 100<br />
J = jantan B = betina<br />
Dari tabel tersebut diketahui perkembangan populuasi selama 10 tahun di<br />
penangkaran adalah sebagai berikut :<br />
1. Rusa induk sebanyak 459 ekor, yaitu terdiri dari 23 ekor jantan dan 436 ekor<br />
betina (nisbah kelamin 1 : 19 – 20).<br />
2. Rusa anak berumur ≤ 1 tahun sebanyak 342 ekor, yaitu terdiri dari 171 ekor<br />
jantan dan 171 ekor betina.<br />
3. Rusa anak umur 1 – 2 tahun sebanyak 84 ekor, yaitu calan bibit terdiri dari 80<br />
ekor betina dan 4 ekor jantan.<br />
4. Penjualan rusa bibit sampai dengan tahun ke-9 sebanyak 263 ekor, yaitu<br />
terdiri dari 33 ekor jantan dan 296 ekor betina.<br />
5. Jumlah anak yang dipotong sampai tahun ke-9 adalah 548 ekor, semua terdiri<br />
dari rusa jantan.<br />
74
6. Rusa induk yang diafkir sebanyak 105 ekor, yaitu terdiri dari 5 ekor jantan<br />
dan 100 ekor betina.<br />
7. Total populasi pada tahun ke-10 adalah sebanyak 885 ekor, yaitu terdiri dari<br />
induk sebanyak 459 ekor, anak berumur ≤ 1 sebanyak 342 dan anak berumur<br />
1 – 2 tahun sebanyak 84 ekor.<br />
Analisis Kelayakan Finansial Usaha Penangkaran Rusa Timor (Cervus<br />
timorensis de Blainville) dengan Sistem Deer Farming<br />
Berdasarkan proyeksi perkembangan populasi rusa sebagaimana tersaji<br />
pada Tabel 3 tersebut dan asumsi-asumsi yang telah dibuat, maka dapat di<br />
perkirakan analisis finansial dari usaha penangkaran yang dilaksanakan. Di<br />
dalam analisis finansial terdapat beberapa faktor yang harus diperhatikan, yakni:<br />
hasil usaha, biaya investasi (investment cost), dan biaya operasi (operation cost).<br />
Komponen biaya dan penerimaan dari usaha penangkaran rusa dengan sistem<br />
deer farming dapat dilihat pada Tabel 4 dan secara rinci dapat dilihat pada<br />
Lampiran 4.<br />
Tabel 4 Proyeksi komponen biaya dan penerimaan pada usaha penangkaran rusa<br />
timor (Cervus timorensis de Blainville) selama 10 tahun di penangkaran<br />
dengan sistem deer farming<br />
No Komponen Jumlah Harga<br />
1. Biaya :<br />
a. Biaya investasi 1.767.250<br />
b. Biaya Tetap 849.575<br />
c. Biaya Variabel 474.600<br />
2. Penerimaan :<br />
a. Bibit rusa yang dikembalikan ke penangkaran 542 ekor 5.000.000<br />
b. Bibit rusa yang dijual 353 ekor 5.000.000<br />
c. Penjualan daging 25.481 kg 65.000<br />
d. Penjualan non daging (jerohan) 1.416 kg 25.000<br />
e. Penjualan ranggah 160 pasang 200.000<br />
f. Penjualan velvet 354 kg 300.000<br />
g. Penjualan kulit 708 lembar 100.000<br />
75
Dari Tabel 5 tersebut, maka dapat dilakukan analisis finansial dari usaha<br />
penangkaran rusa meliputi analisis NPV, BCR, IRR dan PP. Secara lengkap<br />
proyeksi biaya dan penerimaan setiap tahunnya dapat dilihat pada Lampiran 5.<br />
Hasil analisis finansial usaha penangkaran rusa timor (Cervus timorensis<br />
de Blainville) dengan target pemeliharaan 210 ekor induk dengan nisbah kelamin<br />
1 : 20 yang didatangkan dari luar penangkaran dengan sistem farming selama 10<br />
tahun di penangkaran dengan asumsi suku bunga (discount factor) 18,00%<br />
sebagaimana tersaji pada Tabel 5 dan secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 5.<br />
Tabel 5 Hasil analisis finansial usaha penangkaran rusa timor (Cervus<br />
timorensis de Blainville) di Kampus IPB – Darmaga<br />
No. Komponen<br />
Suku Bunga (%)<br />
17,00 18,00 19,00<br />
1 NPV (x Rp 1.000) 377.657 249.272 130.234<br />
2 BCR 1,16 1,12 1,06<br />
3 IRR 21,35 %<br />
4 PP 4,53 tahun<br />
Berdasarkan data hasil analisis finansial sebagaimana tersaji pada Tabel 5<br />
dapat dilihat bahwa usaha penangkaran rusa timor dengan sistem deer farming<br />
cukup menjanjikan, dimana pada suku bunga 18,00% diperoleh angka BCR 1,12<br />
artinya usaha tersebut menguntungkan sampai 12,00%. Selain itu juga dapat<br />
dilihat perubahan pendapatan dan biaya yang diakibatkan oleh perubahan suku<br />
bunga pada skenario usaha penangkaran yang akan dilakukan, dimana pada setiap<br />
kenaikan suku bunga diikuti dengan penurunan NPV. Pada tingkat suku bunga<br />
diatas 21,35% (IRR), maka nilai NPV akan nol atau bernilai negatif, dengan<br />
demikian usaha yang dilakukan akan mengalami kerugian. Sedangkan waktu<br />
pengembalian seluruh biaya dalam investasi (Payback Period) adalah 4,53 tahun.<br />
Secara lengkap hasil analisis biaya dan manfaat dari usaha penangkaran<br />
rusa ini dapat dilihat pada Lampiran 5.<br />
76
Selanjutnya berdasarkan hasil analisis finansial dapat diketahui tingkat<br />
sensitivitas terhadap kemungkinan penurunan penerimaan dan kenaikan biaya<br />
produksi sebagaimana tersaji pada Tabel 6, dimana asumsi penurunan dan<br />
kenaikan biaya produksi adalah sebesart 10%.<br />
Tabel 6 Hasil analisis sensitivitas finansial usaha penangkaran rusa timor<br />
(Cervus timorensis de Blainville) di Kampus IPB – Darmaga terhadap<br />
kemungkinan beberapa skenario<br />
No Skenario Kemungkinan<br />
Analisis Finansial<br />
NPV BCR IRR<br />
1. Penerimaan turun 10% 19.920 1,01 18,25<br />
2. Biaya naik 10% 44.847 1,02 18,50<br />
3. Penerimaan turun 10% dan biaya naik<br />
10%<br />
(184.505) 0,92 15,50<br />
Berdasarkan hasil analisis sensitivitas sebagaimana tersaji pada Tabel 6<br />
tersebut, maka dapat disimpulkan :<br />
1. Berdasarkan hasil analisis sensitivitas terhadap penurunan peneraimaan dari<br />
seluruh produksi dengan asumsi terjadi penurunan harga sebesar 10% dan<br />
sedangkan biaya produksi tetap akan mengakibatkan penurunan pendapatan,<br />
sehingga akan berpengaruh terhadap nilai NPV, BCR dan IRR. Namun<br />
demikian usaha penangkaran tersebut masih dapat bertahan sampai pada<br />
tingkat suku bunga 18,25%. Secara rinci gambaran tentang nilai NPV, BCR<br />
dan IRR pada berbagai tingkat suku bunga dengan adanya penurunan<br />
penerimaan sebesar 10% dapat dilihat pada Lampiran 6.<br />
2. Berdasarkan hasil analisis sensitivitas terhadap peningkatan seluruh biaya<br />
produksi dengan asumsi terjadi peningkatan biaya sebesar 10% sedangkan<br />
penerimaan tetap, maka akan mengakibatkan penurunan pendapatan dengan<br />
demikian juga akan berpengaruh terhadap nilai NPV, BCR dan IRR.<br />
Namun demikian usaha penangkaran tersebut masih dapat bertahan sampai<br />
pada tingkat suku bunga 18,50%. Secara rinci gambaran tentang nilai NPV,<br />
BCR dan IRR pada berbagai tingkat suku bunga dengan adanya peningkatan<br />
biaya produksi sebesar 10% dapat dilihat pada Lampiran 7.<br />
77
3. Berdasarkan asumsi terjadinya penurunan penerimaan sebesar 10% dan<br />
peningkatan biaya sebesar 10%, maka akan mengakibatkan penurunan<br />
pendapatan dengan demikian juga akan berpengaruh terhadap nilai NPV,<br />
BCR dan IRR. Dimana usaha penangkaran tersebut masih layak diusahakan<br />
sampai pada tingkat bunga 15,50%, sedangkan bila suku bunga diatas<br />
15,50% usaha sudah tidak layak untuk diteruskan. Sebab akan diperoleh<br />
nilai NPV negatif dan BCR di bawah 0. Secara rinci sebagai gambaran<br />
tentang nilai NPV, BCR dan IRR pada berbagai tingkat suku bunga dengan<br />
kenaikan biaya produksi dapat dilihat pada Lampiran 8<br />
78
SIMPULAN DAN SARAN<br />
Simpulan<br />
Berdasarkan hasil studi dan analisis kelayakan terhadap lokasi<br />
penangkaran rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) yang ada di kampus<br />
IPB – Darmaga, maka dapat disimpulkan bahwa :<br />
1. Lokasi yang disediakan untuk penangkaran rusa di Kampus IPB – Darmaga<br />
secara bio-ekologis, teknis dan lingkungan sesuai dengan persyaratan yang<br />
diperlukan serta mendukung kelayakan ekonomi finansial dengan adanya<br />
peningkatan kualitas pada tapak, meliputi pembersihan lahan (land clearing)<br />
kecuali pohon-pohon besar yang dapat digunakan sebagai pohon pelindung<br />
ditinggalkan secara sporadis dan penataan tapak yang sesuai.<br />
2. Berdasarkan analisis kondisi bio-ekologi lokasi dan kebutuhan hidup rusa,<br />
maka :<br />
a. Untuk lebih mengefektifkan dan mengefisienkan dalam pengelolaan,<br />
lokasi yang ada dibagi menjadi : zona perkantoran seluas 0,10 ha (2,4%)<br />
dan zona penangkaran yang meliputi pedok induk 1,50 ha (35,3%) dan<br />
1,00 ha (23,6%), pedok jantan seluas 0,28 ha (6,7%), pedok anak dan<br />
pembesaran seluas 1,00 ha (23,6%) dan pedok kawin seluas 0,25 ha<br />
(5,9%).<br />
b. Dalam rancangan manajemen penangkaran dengan sistem farming,<br />
maka kegiatan yang dilaksanakan terdiri dari: (1) pemeliharaan, yaitu<br />
meliputi pengadaan bibit, seleksi bibit, adaptasi, penyediaan pakan,<br />
pengemvangbiakan, perawatan kesehatan, pembibitan dan pembesaran<br />
serta pencatatan (recording), dan (2) pemanenan, yaitu meliputi<br />
penggiringan dan penangkapan, pengangkutan dan pemanenen velvet<br />
(velveting).<br />
3. Berdasarkan hasil analisis finansial, maka usaha penangkaran rusa dengan<br />
sistem deer farming, akan layak jika populasi induk yang berasal dari luar<br />
pada tahun pertama minimal 105 ekor dan pada tahun kedua 210 ekor induk<br />
yang dipertahankan minimal sampai tahun ke sembilan, dimana akan<br />
diperoleh nilai NPV = 281.581, BCR = 1,14 dan IRR = 22,75% pada tingkat<br />
suku bunga 18%.<br />
79
Saran<br />
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, maka disarankan :<br />
1. Untuk dapat mencukupi kebutuhan akan hijauan pakan, maka perlu dicari<br />
lokasi yang lebih dekat sebagai kebun rumput, sehingga biaya pakan lebih<br />
murah.<br />
2. Untuk dapat mengaplikasikan perencanaan ini perlu segera dilakukan<br />
analisis Disain Enginering pada setiap tapak.<br />
3. Untuk dapat melakukan penjualan produk dalam bentuk daging, maka perlu<br />
dilakukan kerjasama dengan tempat pemotongan hewan (RPH) terdekat.<br />
80
DAFTAR PUSTAKA<br />
Alikodra, H.S. 2002. Pengelolaan Satwaliar. Jilid I. Pusat Antar Universitas<br />
Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. Direktorat Jenderal pendidikan<br />
Tinggi. Departemen pendidikan dan Kebudayaan. Bogor.<br />
Bailey, J.A. 1984. Principles of Wildlife management. John Wiley & Sons.<br />
New York.<br />
BMG. 2005. Badan Meteorologi dan Geofisika. Balai Wilayah II. Stasiun<br />
Klimatologi Kelas I. Darmaga. Bogor.<br />
Boughey, A.S. 1973. Ecology of Populations. Collier MacMillan Publishers,<br />
London.<br />
Dasmann, W. 1981. Deer Range Improvement and Management. McFarland &<br />
Company, Inc. Jefferson, N.C., and London.<br />
Direktorat PPA. 1978. Pedoman pengelolaan Satwa Jilid I. Direktorat<br />
Perlindungan dan Pengawetan Alam. Bogor. pp. 71-73<br />
Djamin, Z. 1993. Perencanaan dan Analisis Proyek. Edisi II. Lembaga Penerbit<br />
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.<br />
Fausan, N. 2003. Kumpulan Artikel tentang “Deer Farming”. Jurusan<br />
KSH, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor<br />
Farina, Almo. 1998. Principles And Methods In Landscape Ecology. Chapman<br />
& Hall Ltd, London.<br />
Feriyanto. 2002. Pengelolaan Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis de<br />
Blainville) Di Ranca Upas. KPH Bandung Selatan. PT. Perhutani Unit<br />
III Jawa Barat.(Skripsi). Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan.<br />
Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.<br />
Gray, C. 1993. Pengantar Evaluasi Proyek. Gramedia Pustaka Utama Jakarta.<br />
Jakarta<br />
Hakim, Rustam dan Hardi Utomo. 2003. Komponen Perancangan Arsitektur<br />
Lansekap, Prinsif-Unsur dan Aplikasi Disain. Bumi Aksara. Jakarta.<br />
Hoogerweff, A. 1949. De Avifouna van Tjibodas en Emgeving (Java).<br />
Koninklijke Plantentium van Indonesie, Buitenzorg.<br />
Kusmana, C. 1995. Teknik Pengukuran Keanekaragaman Tumbuhan. Bahan<br />
Kuliah Pelatihan Teknik Pengukuran dan Monitoring Biodiversity di<br />
Hutan Tropika Indonesia. Angkatan III Tanggal 19 – 29 Juni 1995.<br />
Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut<br />
Pertanian Bogor. Bogor.<br />
81
Manggung, R. E. R. 1997. Kajian Bio-Ekologi dan Ekonomi Usaha Penangkaran<br />
Rusa Jawa ( Cervus timorensis ) dengan Sistem Setengah<br />
Terbuka. (Skripsi). Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas<br />
Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.<br />
Masy’ud, B. 1979. Reproduksi pada Rusa. Laboratorium Penangkaran<br />
Satwa Liar. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas<br />
Kehutanan, IPB. Bogor.<br />
________________. 2003. Dasar-Dasar Penangkaran Satwaliar. Laboratorium<br />
Penangkaran Satwaliar. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan.<br />
Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.<br />
Prasetyonohadi, D. 1986. Telaahan Tentang Daya Dukung Padang Rumput di<br />
Suaka Maargasatwa Pulau Moyo Sebagai Habitat Rusa Timor (Cervus<br />
timorensis) (Skripsi) Fakultasd Kehutanan IPB.<br />
PT. Perum Perhutani, Kesatuan Pemangjuan Hutan Bogor, 2002. Penangkaran<br />
Rusa di BKPH Jonggol, KPH Bogor, Bogor. (Tidak Diterbitkan).<br />
Pyke, G.H. 1983. Animal Movements: An Optimal Foraging Approach. In : The<br />
Ecology of Animal Movements (I.R. Swingland and P.J. Greenwood<br />
ads.), pp : 7 – 31. Oxford University Press, Oxford.<br />
Redaksi Ensiklopedi Indonesia, 2003, Ensiklopedi Indonesia Seri Fauna<br />
(Mamalia). PT. Ikrar Mandiriabadi, Jakarta.<br />
Richard, B. P., Supriatna J., Indrawan M., Kramadibrata P.,1998. Biologi<br />
Konservasi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.<br />
Root, J.B. 1985. Fundamentals of landscaping and Site Planning. Long Brown<br />
& Associates Fairfax, Virginia. The Avi Publishing Company. Inc.<br />
Westport. Connecticut.<br />
Schroder, T.O. 1976. Deer In Indonesia. Nature Conservation Departement.<br />
Wageningen.<br />
Semiadi G., 1998, Budidaya Rusa Tropika Sebagai Hewan Ternak,<br />
Masyarakat Zoologi Indonesia, Bogor.<br />
Semiadi, G., dan Taufik P.N.R., 2004, Panduan Pemeliharaan Rusa Tropis,<br />
Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,<br />
Bogor.<br />
Setiadi, D., dan P.D. Tjondronegoro. 1989. Dasar-Dasar Ekologi. Departemen<br />
Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.<br />
Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. Bogor.<br />
Susetyo, S. 1980. Padang Pengembalaan. FakultasPeternakan. IPB. Bogor.<br />
Syarief, A. 1974. Kemungkinan pembiakan dan Pembinaan Rusa di Indonesia.<br />
Direktorat Perlindungan danm pengawetan Alam. Bogor.<br />
82
Tarumingkeng, Rudi C., 1994. Dinamika Pertumbuhan Populasi Serangga.<br />
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal<br />
Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Institut<br />
Pertanian Bogor. Bogor.<br />
Teddy. 1998. Analisis Faktor – Faktor Penentu Keberhasilan Usaha Penangkaran<br />
Rusa. Studi Kasus di Penangkaran Rusa Perum Perhutani.(Tesis).<br />
Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.<br />
Thohari, M. 1987. Upaya Penangkaran Satwa Liar. Media Konservasi, Vol. 1<br />
No. 3. Buletin Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas<br />
Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.<br />
Thohari, M. 2005. Manajemen dan Teknologi Konservasi Ex-Situ Satwa Liar.<br />
(Materi Kuliah). Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.<br />
Thohari, M., Haryanto, B. Masy’ud, D. Rinaldi, H. Arief, W.A. Djatmiko, S.N.<br />
Mardiah, N. Kosmaryandi dan Sudjatnika. 1991. Studi Kelayakan dan<br />
Perancangan Tapak Penangkaran Rusa Di BKPH Jonggol, KPH Bogor,<br />
Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Kerjasama Antara Direksi Perum<br />
Perhutani dengan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.<br />
Van Lavieren, L.P. 1983. Planning, Management of Park and Reserves. School<br />
of Environmental Conservation Management. Bogor.<br />
Van Noordwijk, M.A. van. 1985. The Social-Ecology of Sumatran Longtailed<br />
Macaques (Macaca fascicularis): The Behaviour of Individuals.<br />
Drukkerij Elinkwijk BV, Utrecht.<br />
White, E.T., 1985. [Site Planning]. Analisis Tapak. Pembuatan Diagram<br />
Informasi Bagi Perancangan Arsitektur. Diterjemahkan oleh A. K.<br />
Onggodiputro. Intermatra Bandung.<br />
Yerex, D and I. Spiers. 1987. Modern Deer Farm Management. Ampersand<br />
Publishing Associates Ltd. Wellington. New Zealand.<br />
83
Lampiran
Lampiran 1a. Hasil analisa vegetasi tingkat bawah/semai di dalam lokasi penangkaran rusa timor (Cevus<br />
timorensis de Blainville) di Kampus IPB Darmaga.<br />
NO. NAMA LOKAL NAMA ILMIAH KR FR INP SPR<br />
1 Jampang Piit *) Panicum sp. 17.25 0.39 17.64 ya<br />
2 Jukut Karukun *) Eragrostis amabilis 7.42 3.24 10.67 ya<br />
3 Jukut Bau *) Hyptis rhomboides 6.04 3.24 9.28 ya<br />
4 Teki *) Cyperus rotundus 6.33 2.16 8.49 ya<br />
5 Sesereuhan Piper anduncum 5.24 2.16 7.40 tdk<br />
6 Babandotan Blumea chinensis 2.33 3.24 5.57 tdk<br />
7 Kembang Peujeut Melastoma affine 3.64 1.57 5.21 ya<br />
8 Kidemprak Richardian brasilliensis 1.53 3.24 4.77 ya<br />
9 Emprit-empritan Eragrotis japonica 3.64 0.78 4.42 ya<br />
10 Babawangan Eleutherine plantoginoidea 1.02 3.24 4.26 ya<br />
11 Kelapa Sawit Elaeis guineensis 1.82 2.16 3.98 ya<br />
12 Rumput Bambu *) Pogonatherum paniceum 2.40 1.57 3.97 ya<br />
13 Puspa Schima wallichii 1.24 2.70 3.94 tdk<br />
14 Rebah Bagun Mimosa pundica 1.16 2.70 3.87 ya<br />
15 Jukut Kidang *) Centotheca lappocea 1.09 2.74 3.83 ya<br />
16 Darengdeng Cyperus killingia 0.66 3.11 3.77 tdk<br />
17 Paren Mimosa sp. 0.95 2.74 3.69 ya<br />
18 Rumput Geganjuran *) Payaalum sp. 2.40 1.18 3.58 ya<br />
19 Lempuyangan Panicum repens 0.36 3.14 3.50 ya<br />
20 Karet Havea brasiliensis 0.73 2.70 3.43 ya<br />
21 Kiasahan Tetracera indica 1.24 2.16 3.40 ya<br />
22 Nampong Leonotis nepetifolia 0.51 2.74 3.25 ya<br />
23 Alang-alang *) Imperata cylindrica 1.46 1.62 3.08 ya<br />
24 Bayem Tanah Pupalia lappacea 1.46 1.62 3.08 ya<br />
25 Genjoran *) Degitaria longiflora 1.31 1.57 2.88 ya<br />
26 Harendong Melastoma polyanthum 0.66 2.16 2.82 tdk<br />
27 Areuy Carayun *) Merremia vitifolia 1.53 1.18 2.70 ya<br />
28 Teterongan Solanum torvum 0.44 2.16 2.60 tdk<br />
29 Buntelan Thunbergia alata 0.58 1.96 2.54 tdk<br />
30 Amis Panon Cinnomomum burmani 0.87 1.62 2.49 ya<br />
31 Awar-awar Ficus septica 0.22 2.16 2.38 tdk<br />
32 Uwi hutan Dioscorea nummularia 0.22 2.16 2.38 tdk<br />
33 Daroak Microcos tomentosa 0.66 1.62 2.28 ya<br />
34 Paku Bata Geyas Lygodium circinnatum 0.58 1.62 2.20 ya<br />
35 Harendong bulu Clidemia hirta 0.51 1.62 2.13 tdk<br />
36 Mahkota Dewa Phaleria marcocarpa 0.44 1.62 2.06 tdk<br />
37 Laronan Panicum brevifolium 0.87 1.18 2.05 ya<br />
38 Jukut Raket *) Ischaemum barbatum 1.24 0.78 2.02 ya<br />
39 Suket Kembalan *) Pennisetum sp. 1.24 0.78 2.02 ya<br />
40 Kidayang Eupatorium adenophorum 1.60 0.39 1.99 tdk<br />
41 Jajagoan Cyrtococcum sp. 0.80 1.18 1.98 ya<br />
42 Leuleucoan Vernonia cineria 0.87 1.08 1.95 ya<br />
43 Reundeu Beureum Strobilanthes blumei 0.87 1.08 1.95 ya<br />
84
Lampiran 1a. (Lanjutan)<br />
NO. NAMA LOKAL NAMA ILMIAH KR FR INP SPR<br />
44 Jukut Leuleus *) Eulalia amaura 0.73 1.08 1.81 ya<br />
45 Kakacangan Desmodium heterocarpum 0.15 1.57 1.71 ya<br />
46 Jotang yailanthes iabadicensis 1.31 0.39 1.70 ya<br />
47 Jocong Leutik yailanthes ocimifolia 0.58 1.08 1.66 tdk<br />
48 Kitanduk Eugenia sp. 0.58 1.08 1.66 ya<br />
49 Paku Bata Leutik Lygodium circinnatum 0.58 1.08 1.66 tdk<br />
50 Kipait *) Payaalum conjungatum 1.24 0.39 1.63 ya<br />
51 Kirinyuh Eupatorium sp. 0.73 0.78 1.51 ya<br />
52 Katuk Sauropus androgynus 0.36 1.08 1.44 ya<br />
53 Jambu biji Psidium guajava L. 0.36 1.08 1.44 tdk<br />
54 Cente Lantana camara 0.29 1.08 1.37 ya<br />
55 Pepaya Carica papaya 0.22 1.08 1.30 ya<br />
56 Nangsi Areuy Pipturus argenteus 0.22 0.78 1.00 tdk<br />
57 Papayungan *) Cyperus sp. 0.58 0.39 0.97 ya<br />
58 Paku Lumut Selaginella plana 0.58 0.39 0.97 ya<br />
59 Kakasongan Themeda arguens 0.58 0.39 0.97 tdk<br />
60 Paku leuncir Pteris ensiformis 0.58 0.39 0.97 tdk<br />
61 Kasup Cyrtococcum trigonum 0.58 0.39 0.97 tdk<br />
62 Gewor Aneilema nudiflorum 0.58 0.39 0.97 tdk<br />
63 Kipare Glachidion sp. 0.58 0.39 0.97 ya<br />
64 Kicamun Dendrocnide stimulans 0.58 0.39 0.97 tdk<br />
65 Palungpung Cyrtococcum patens 0.58 0.39 0.97 tdk<br />
Jumlah<br />
100 100 200<br />
Keterangan :<br />
KR = Kerapatan Relatif (%)<br />
FR = Frekwensi Relatif (%)<br />
INP = Indek Nilai Penting (%)<br />
SPR = Sumber Pakan Rusa<br />
*) = Famili Graminae (ada 15 jenis)<br />
85
Lampiran 2.<br />
Daftar jenis satwaliar yang ditemukan di lokasi penangkaran rusa<br />
timor (Cervus timorensis de Blainville) Kampus IPB Darmaga.<br />
Kelas<br />
Jenis (spesies)<br />
Nama Daerah/Lokal Nama Ilmiah<br />
Aves Tekukur Streptopelia chinensis<br />
Kutilang / Cangkurileung Pycnotatus aurigaster<br />
Burung Pipit Lonchura leucogastroides<br />
Ayam Galus galus<br />
Burung betet Psittaculla alexandri<br />
Burung kaca mata Zasterop papelorosus<br />
Puyuh Coturnix suscitator<br />
Hahayaman Amaurornis phoericurus<br />
Prenjak Orthotopus sepium<br />
Reptil Kadal Mabouya multifasciata<br />
Bunglon Calotes spp.<br />
Ular sanca Pyton raticulatus<br />
Ular kobra Naja naja sputatrik<br />
Ular tanah calloselasma rhodastoma<br />
Ular hijau<br />
Ular sanca manuk<br />
Elaphe oxycephala<br />
Ular welang Bungarus fasciatus<br />
Hap-hap Draco spp.<br />
Cecak Hemidactilus spp.<br />
Mamalia Anjing Canis lupus familiaris<br />
Bajing Callociurus notatus<br />
Beurit Rattus spp.<br />
Codot<br />
Kampret<br />
Pteropus vampyrus<br />
88
Lampiran 3. Produktivitas hijauan pakan rusa pada setiap petak contoh di dalam lokasi penangkaran rusa timor timor<br />
(Cervus timorensis de Blainville) di Kampus IPB Darmaga.<br />
No<br />
Petak<br />
Jenis Hijuan<br />
Pemotongan pra Pemotongan pada saat pengamatan (gram)<br />
Nama Lokal Nama Ilmiah pengamatan (gram)<br />
I II III Rata-rata<br />
01 Pahitan Paspalum conjungatum 350.4<br />
Jukut kidang Centotheca lappacea 225.6<br />
Kentangan Richardian brasilliensis 100.7<br />
Kacangan Desmodium heterocarpum 90.8<br />
Alang-alang Imperata cylindrica 94.2<br />
Jukut Bau Hyptis rhomboides 85.5<br />
Jumlah<br />
947.2<br />
02 Pahitan Paspalum conjungatum 125.8<br />
Kentangan Richardian brasilliensis 115.6<br />
Kacangan Desmodium heterocarpum 95.7<br />
Alang-alang Imperata cylindrica 94.6<br />
Jumlah<br />
431.7<br />
03 Pahitan Paspalum conjungatum 150.6<br />
Alang-alang Imperata cylindrica 105.9<br />
Kentangan Richardian brasilliensis 95.3<br />
Kacangan Desmodium heterocarpum 94.4<br />
Teki Cyperus rotundus 87.5<br />
Jumlah<br />
533.7<br />
04 Pahitan Paspalum conjungatum 295.1<br />
Jukut kidang Centotheca lappacea 110.6<br />
Kentangan Coleus antropurpureus 97.8<br />
Kacangan Desmodium heterocarpum 111.7<br />
Jukut karukun Eragrostis amabilis 99.9<br />
Genjoran Degitaria longiflora 97.2<br />
Jumlah<br />
812.3<br />
05 Pahitan Paspalum conjungatum 134.8<br />
Jukut kidang Centotheca lappacea 100.4<br />
Jukut karukun Eragrostis amabilis 161.8<br />
Teki Cyperus rotundus 93.1<br />
Genjoran Degitaria longiflora 123.9<br />
Jukut Bau Hyptis rhomboides 98.1<br />
Jumlah<br />
712.1<br />
06 Pahitan Paspalum conjungatum 147.1<br />
Jukut kidang Centotheca lappacea 135.4<br />
Kentangan Coleus antropurpureus 127.7<br />
Jukut karukun Eragrostis amabilis 96.5<br />
Genjoran Degitaria longiflora 146.1<br />
Rumput bambu Pogonatherum paniceum 80.6<br />
Jumlah<br />
733.4<br />
07 Pahitan Paspalum conjungatum 200.4<br />
Jukut kidang Centotheca lappacea 225.3<br />
Kentangan Coleus antropurpureus 107.4<br />
Alang-alang Imperata cylindrica 102.6<br />
Genjoran Degitaria longiflora 117.4<br />
Jukut Bau Hyptis rhomboides 100.0<br />
Jumlah<br />
853.1<br />
94.4<br />
39.3<br />
25.4<br />
26.3<br />
23.7<br />
22.2<br />
231.3<br />
62.6<br />
58.4<br />
29.6<br />
36.4<br />
187.0<br />
96.2<br />
42.4<br />
25.7<br />
28.6<br />
25.4<br />
218.3<br />
158.8<br />
44.5<br />
30.7<br />
29.5<br />
31.3<br />
25.7<br />
320.5<br />
61.1<br />
42.3<br />
75.5<br />
25.2<br />
31.4<br />
27.6<br />
263.1<br />
57.2<br />
33.7<br />
32.5<br />
24.3<br />
75.3<br />
19.0<br />
242.0<br />
201.3<br />
85.3<br />
30.4<br />
25.9<br />
42.2<br />
32.4<br />
417.5<br />
110.7<br />
44.8<br />
45.4<br />
28.3<br />
25.2<br />
24.5<br />
278.9<br />
165.4<br />
95.7<br />
47.6<br />
30.4<br />
339.1<br />
135.2<br />
45.1<br />
31.0<br />
36.6<br />
28.9<br />
276.8<br />
225.9<br />
49.5<br />
32.2<br />
38.4<br />
28.0<br />
27.0<br />
401.0<br />
66.2<br />
40.4<br />
90.0<br />
27.9<br />
34.3<br />
30.2<br />
289.0<br />
65.3<br />
42.5<br />
40.2<br />
32.4<br />
80.7<br />
21.7<br />
282.8<br />
130.7<br />
88.9<br />
37.6<br />
31.3<br />
40.0<br />
35.8<br />
364.3<br />
72.6<br />
36.7<br />
34.4<br />
24.8<br />
24.3<br />
21.7<br />
214.5<br />
84.4<br />
47.4<br />
35.5<br />
25.0<br />
192.3<br />
108.8<br />
29.6<br />
24.8<br />
30.7<br />
26.4<br />
220.3<br />
157.3<br />
38.9<br />
27.5<br />
32.4<br />
25.1<br />
24.3<br />
305.5<br />
47.4<br />
28.7<br />
65.5<br />
22.6<br />
26.7<br />
24.8<br />
215.7<br />
50.2<br />
26.8<br />
25.6<br />
22.9<br />
70.3<br />
20.4<br />
216.2<br />
96.0<br />
70.7<br />
33.2<br />
26.3<br />
40.7<br />
31.2<br />
298.1<br />
89<br />
92.6<br />
40.3<br />
35.1<br />
26.5<br />
24.4<br />
22.8<br />
241.6<br />
104.1<br />
67.2<br />
37.6<br />
30.6<br />
239.5<br />
113.4<br />
39.0<br />
27.2<br />
32.0<br />
26.9<br />
238.5<br />
180.7<br />
44.3<br />
30.1<br />
33.4<br />
28.1<br />
25.7<br />
342.3<br />
58.2<br />
37.1<br />
77.0<br />
25.2<br />
30.8<br />
27.5<br />
255.9<br />
57.6<br />
34.3<br />
32.8<br />
26.5<br />
75.4<br />
20.4<br />
247.0<br />
142.7<br />
81.6<br />
33.7<br />
27.8<br />
41.0<br />
33.1<br />
360.0
No<br />
Jenis Hijuan<br />
Pemotongan pra Pemotongan pada saat pengamatan (gram)<br />
Petak Nama Lokal Nama Ilmiah pengamatan (gram)<br />
I II III Rata-rata<br />
08 Pahitan Paspalum conjungatum 152.5<br />
65.4 77.4 65.2 69.3<br />
Jukut kidang Centotheca lappacea 106.6<br />
35.7 38.4 34.8 36.3<br />
Kentangan Coleus antropurpureus 129.7<br />
33.9 41.4 34.2 36.5<br />
Alang-alang Imperata cylindrica 93.7<br />
24.1 20.3 20.3 21.6<br />
Harendong Clidemia hirta 97.2<br />
27.5 31.0 28.8 29.1<br />
Teki Cyperus rotundus 94.6<br />
25.4 23.7 24.8 24.6<br />
Jumlah<br />
674.3 212.0 232.2 208.1 217.4<br />
09 Kacangan Desmodium heterocarpum 225.8 125.7 116.3 101.3 114.4<br />
Kentangan Coleus antropurpureus 130.6<br />
40.1 29.3 28.9 32.8<br />
Babawangan Eleutherine plantoginoides 124.6<br />
34.4 35.6 32.5 34.2<br />
Jukut Bau Hyptis rhomboides 95.3<br />
24.3 26.4 25.4 25.4<br />
Genjoran Degitaria longiflora 101.9<br />
25.5 30.6 30.2 28.8<br />
Harendong Clidemia hirta 87.8<br />
24.4 24.0 21.4 23.3<br />
Jumlah<br />
766.0 274.4 262.2 239.7 258.8<br />
10 Kacangan Desmodium heterocarpum 266.4 154.3 168.6 100.5 141.1<br />
Kentangan Coleus antropurpureus 150.9<br />
40.4 47.4 54.4 47.4<br />
Babawangan Eleutherine plantoginoides 125.1<br />
39.1 44.0 30.9 38.0<br />
Pahitan Paspalum conjungatum 114.3<br />
30.6 38.7 40.7 36.7<br />
Harendong Clidemia hirta 101.0<br />
27.0 28.5 28.8 28.1<br />
Teki Cyperus rotundus 107.0<br />
37.4 40.6 38.3 38.8<br />
Jumlah<br />
864.7 328.8 367.8 293.6 330.1<br />
11 Kacangan Desmodium heterocarpum 171.7<br />
56.5 73.7 58.7 63.0<br />
Pahitan Paspalum conjungatum 132.5<br />
35.4 39.2 40.8 38.5<br />
Kentangan Coleus antropurpureus 114.4<br />
26.6 32.1 28.5 29.1<br />
Babawangan Eleutherine plantoginoides 94.1<br />
24.2 26.3 25.2 25.2<br />
Jukut karukun Eragrostis amabilis 108.8<br />
35.3 38.5 34.8 36.2<br />
Jukut kidang Centotheca lappacea 115.5<br />
41.2 42.1 39.9 41.1<br />
Jumlah<br />
737.0 219.2 251.9 227.9 233.0<br />
12 Pahitan Paspalum conjungatum 170.7<br />
64.9 64.4 47.4 58.9<br />
Jukut kidang Centotheca lappacea 131.1<br />
40.1 40.3 38.7 39.7<br />
Kentangan Coleus antropurpureus 129.6<br />
40.7 43.7 36.0 40.1<br />
Alang-alang Imperata cylindrica 104.1<br />
25.3 28.4 30.3 28.0<br />
Jukut Bau Hyptis rhomboides 110.8<br />
33.9 39.7 25.0 32.9<br />
Jukut kidang Centotheca lappacea 112.8<br />
28.4 39.6 32.2 33.4<br />
Jumlah<br />
759.1 233.3 256.1 209.6 233.0<br />
Rata-rata 735.38 262.28 300.18 236.79 266.42<br />
Keterangan :<br />
9.01 gram/m2/hari<br />
Pemotongan pra pengamatan = Pemotongan yang dilakukan pada awal pelaksanaan penelitian (Tgl. 10 Agustus 2005)<br />
Pemotongan I = Pemotongan yang dilakukan setelah 20 hari dari pemotongan pra pengamatan (Tgl. 30 Agustus 2005)<br />
Pemotongan II = Pemotongan yang dilakukan setelah 20 hari dari pemotongan I (Tgl. 19 September 2005)<br />
Pemotongan III = Pemotongan yang dilakukan setelah 20 hari dari pemotongan II (Tgl. 9 Oktober 2005)<br />
90
Lampiran 4. Rencana anggaran biaya pembangunan dan pengembangan sarana fisik dan<br />
penerimaan dari usaha penangkaran rusa timor (Cervus timotensis de Blainville)<br />
Uraian<br />
91<br />
Satuan Volume Jml Unit Harga/satuan<br />
A. Biaya Investasi<br />
1 Perizinan paket 1 1 5,000,000<br />
2 Bangunan :<br />
a. Pagar pedok m 2 300 5 400,000<br />
b. Pagar karantina m 2 150 1 400,000<br />
c. Palung pakan m 2 10 8 50,000<br />
d. Bak minum m 2 e. Shelter<br />
10 8 75,000<br />
- kandang m 2 100 5 150,000<br />
- karantina m 2 75 1 150,000<br />
f. Kantor m 2 250 1 750,000<br />
g. Gudang pakan & Peralatan m 2 36 1 750,000<br />
h. Perumahan m 2 i. Instalasi air<br />
36 3 750,000<br />
- sumur unit 1 1 5,000,000<br />
- pompa unit 1 1 2,000,000<br />
- jaringan + menara unit 1 1 7,500,000<br />
j. Pos jaga/pengamatan m 2 9 3 300,000<br />
3 Kendaraan roda 4 unit 1 1 60,000,000<br />
4 Peralatan kantor paket 1 1 15,000,000<br />
5 Sarana listrik unit 1 1 6,000,000<br />
6 Sarana telekomunikasi paket 1 2 1,500,000<br />
7 Pengadaan bibit rusa ekor 210 1 5,500,000<br />
8 Tanah ha 5 1 3,000,000<br />
B. Biaya Tetap<br />
1 Upah<br />
- tenaga ahli orang 1 1 3,000,000<br />
- tenaga teknis/lapangan orang 2 1 1,500,000<br />
2 Perawatan investasi :<br />
a. Bagunan (1,00%) 182,750<br />
b. Kendaraan (2,50%) 1,500,000<br />
c. Peralatan kantor (2,50%) 375,000<br />
d. Sarana listrik (2,50%) 150,000<br />
e. Sarana telekonunikasi (2,50%) 37,500<br />
C. Biaya Variabel<br />
1 Pakan<br />
- hijauan kg 4.5 2583 100<br />
- konsentrat kg 0.5 2583 750<br />
2 Obat-obatan + Vitamin paket 1 210 75,000<br />
3 Listrik bln 120 1 250,000<br />
4 Bahan bakar bln 120 1 200,000<br />
5 ATK bln 120 1 250,000<br />
6 Biaya Non Pajak (6%/ekr) Rp/ekr 1 105 300,000
Lampiran 4. (Lanjutan)<br />
D. Penerimaan<br />
1<br />
2<br />
3<br />
4<br />
5<br />
6<br />
7<br />
Uraian<br />
92<br />
Satuan Volume Jml Unit Harga/satuan<br />
Bibit rusa yang dikembalikan Rp/ekr 5,000,000<br />
ke penangkaran<br />
Bibit rusa yang dijual Rp/ekr 5,000,000<br />
Penjualan daging Rp/kg 65,000<br />
Penjualan non daging (jerohan) Rp/kg 25,000<br />
Penjualan velvet Rp/ekr 500,000<br />
Penjualan ranggah Rp/psg 300,000<br />
Penjualan kulit Rp/lmbr 150,000
Lampiran 5 Analisis finansial usaha penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) pada skala usaha 200 ekor induk dengan sistem farming<br />
I.<br />
BIAYA<br />
A. Biaya Investasi<br />
1 Perizinan 5,000<br />
2<br />
3<br />
4<br />
5<br />
6<br />
7<br />
8<br />
Bangunan :<br />
a. Pagar pedok 600,000<br />
b. Pagar karantin 60,000<br />
c. Palung pakan 4,000<br />
d. Bak minum 6,000<br />
e. Shelter<br />
- kandang 90,000<br />
- karantina 11,250<br />
f. Kantor 187,500<br />
g. Gudang pakan 27,000<br />
h. Perumahan 81,000<br />
i. Instalasi air<br />
B. Biaya Tetap<br />
1<br />
KOMPONEN<br />
- sumur 5,000<br />
- pompa 2,000<br />
- jaringan + menara 7,500<br />
j. Pos jaga/pengamatan 4,500<br />
Kendaraan roda 4 60,000<br />
Peralatan kantor 15,000<br />
Sarana listrik 6,000<br />
Sarana telekomonukasi 3,000<br />
Pengadaan bibit rusa 231,000<br />
Tanah 15,000<br />
Upah<br />
Total A<br />
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10<br />
1,420,750<br />
- tenaga ahli (Rp/th) 36,000<br />
- tenaga teknis/lapangan (Rp/th) 36,000<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
115,500<br />
-<br />
115,500<br />
36,000<br />
36,000<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
115,500<br />
-<br />
115,500<br />
36,000<br />
36,000<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
115,500<br />
-<br />
115,500<br />
36,000<br />
36,000<br />
TAHUN KE ( X Rp 1.000)<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
36,000<br />
36,000<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
36,000<br />
36,000<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
36,000<br />
36,000<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
36,000<br />
36,000<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
36,000<br />
36,000<br />
93<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
36,000<br />
36,000
II<br />
2<br />
KOMPONEN<br />
Perawatan investasi :<br />
C. Biaya Variabel<br />
1<br />
2<br />
3<br />
4<br />
5<br />
6<br />
a. Bangunan (1,00%) 10,858<br />
b. Kendaraan (2,50%) 1,500<br />
c. Peralatan kantor (2,50%) 375<br />
d. Sarana listrik (2,50%) 150<br />
e. Sarana telekonunikasi (2,50%) 75<br />
Pakan<br />
Total I (A + B + C)<br />
PENERIMAAN<br />
A. Anak<br />
B. Afkir<br />
Total B<br />
TAHUN KE ( X Rp 1.000)<br />
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10<br />
84,958<br />
- hijauan 17,010<br />
- konsentrat 14,175<br />
Obat-obatan + Vitamin 7,875<br />
Listrik 3,000<br />
Bahan bakar 2,400<br />
ATK 3,000<br />
Biaya Non Pajak (6%/ekor) -<br />
Total C<br />
47,460<br />
1,553,168<br />
1. Calon Induk dipelihara J -<br />
B -<br />
2. Calon Induk dijual J -<br />
B -<br />
3. Jual daging/dipotong J -<br />
Jumlah A<br />
B -<br />
J -<br />
B -<br />
-<br />
10,858<br />
1,500<br />
375<br />
150<br />
75<br />
84,958<br />
17,010<br />
14,175<br />
7,875<br />
3,000<br />
2,400<br />
3,000<br />
-<br />
47,460<br />
247,918<br />
5,000<br />
180,000<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
185,000<br />
-<br />
-<br />
10,858<br />
1,500<br />
375<br />
150<br />
75<br />
84,958<br />
17,010<br />
14,175<br />
7,875<br />
3,000<br />
2,400<br />
3,000<br />
-<br />
47,460<br />
247,918<br />
10,000<br />
150,000<br />
-<br />
-<br />
91,000<br />
-<br />
251,000<br />
-<br />
-<br />
10,858<br />
1,500<br />
375<br />
150<br />
75<br />
84,958<br />
17,010<br />
14,175<br />
7,875<br />
3,000<br />
2,400<br />
3,000<br />
13,200<br />
60,660<br />
261,118<br />
10,000<br />
200,000<br />
10,000<br />
210,000<br />
176,800<br />
-<br />
606,800<br />
-<br />
-<br />
10,858<br />
1,500<br />
375<br />
150<br />
75<br />
84,958<br />
17,010<br />
14,175<br />
7,875<br />
3,000<br />
2,400<br />
3,000<br />
9,900<br />
57,360<br />
142,318<br />
15,000<br />
250,000<br />
5,000<br />
160,000<br />
179,400<br />
-<br />
609,400<br />
-<br />
-<br />
10,858<br />
1,500<br />
375<br />
150<br />
75<br />
84,958<br />
17,010<br />
14,175<br />
7,875<br />
3,000<br />
2,400<br />
3,000<br />
11,388<br />
58,848<br />
143,806<br />
15,000<br />
300,000<br />
15,000<br />
174,800<br />
205,296<br />
-<br />
710,096<br />
-<br />
-<br />
10,858<br />
1,500<br />
375<br />
150<br />
75<br />
84,958<br />
17,010<br />
14,175<br />
7,875<br />
3,000<br />
2,400<br />
3,000<br />
11,328<br />
58,788<br />
143,746<br />
15,000<br />
300,000<br />
10,000<br />
178,800<br />
235,976<br />
-<br />
739,776<br />
-<br />
-<br />
10,858<br />
1,500<br />
375<br />
150<br />
75<br />
84,958<br />
17,010<br />
14,175<br />
7,875<br />
3,000<br />
2,400<br />
3,000<br />
15,948<br />
63,408<br />
148,366<br />
15,000<br />
300,000<br />
15,000<br />
250,800<br />
270,816<br />
-<br />
851,616<br />
-<br />
-<br />
10,858<br />
1,500<br />
375<br />
150<br />
75<br />
84,958<br />
17,010<br />
14,175<br />
7,875<br />
3,000<br />
2,400<br />
3,000<br />
21,348<br />
68,808<br />
153,766<br />
20,000<br />
400,000<br />
15,000<br />
340,800<br />
317,616<br />
-<br />
1,093,416<br />
-<br />
-<br />
10,858<br />
1,500<br />
375<br />
150<br />
75<br />
84,958<br />
17,010<br />
14,175<br />
7,875<br />
3,000<br />
2,400<br />
3,000<br />
22,728<br />
70,188<br />
155,146<br />
25,000<br />
500,000<br />
30,000<br />
348,800<br />
363,376<br />
-<br />
1,267,176<br />
12,000<br />
240,000
III<br />
KOMPONEN<br />
C. Produk sampingan :<br />
1. Velvet -<br />
2. Ranggah 1,500<br />
3. Kulit -<br />
4. Non daging (Jerohan) -<br />
Total II (A + B + C)<br />
PENDAPATAN KOTOR<br />
1. Penerimaan<br />
2.<br />
TAHUN KE ( X Rp 1.000)<br />
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10<br />
-<br />
1,500<br />
1,500<br />
1,500<br />
Discont faktor 18 % 1,271<br />
Biaya<br />
Jumlah B<br />
Jumlah C<br />
1,553,168<br />
-<br />
-<br />
3,000<br />
-<br />
35<br />
3,035<br />
188,035<br />
188,035<br />
135,044<br />
247,918<br />
-<br />
17,500<br />
3,000<br />
5,250<br />
68<br />
25,818<br />
276,818<br />
276,818<br />
168,480<br />
247,918<br />
-<br />
34,000<br />
3,900<br />
10,200<br />
69<br />
48,169<br />
654,969<br />
654,969<br />
337,826<br />
261,118<br />
-<br />
34,500<br />
4,200<br />
10,350<br />
79<br />
49,129<br />
658,529<br />
658,529<br />
287,849<br />
142,318<br />
-<br />
39,480<br />
5,400<br />
11,844<br />
91<br />
56,815<br />
766,911<br />
766,911<br />
284,088<br />
143,806<br />
Discont faktor 18 % 1,316,244 178,050 150,890 134,682 62,208 53,270<br />
3. Saldo (Net profit)<br />
(1,551,668) (59,883) 28,901 393,852 516,211 623,105<br />
IV Discont faktor 18 % (1,314,972) (43,007) 17,590 203,144 225,641 230,818<br />
IV ANALISIS PROYEK<br />
1 2 3 4 5 6<br />
1. NVP 249,272 471<br />
2. BCR 1.12<br />
1.00<br />
3. IRR (%) 21.35<br />
4. Payback Period (Tahun) 4.53<br />
-<br />
45,380<br />
6,000<br />
13,614<br />
104<br />
65,098<br />
804,874<br />
804,874<br />
252,670<br />
143,746<br />
45,125<br />
661,129<br />
207,545<br />
7<br />
-<br />
52,080<br />
7,200<br />
15,624<br />
122<br />
75,026<br />
926,642<br />
926,642<br />
246,522<br />
148,366<br />
39,471<br />
778,277<br />
207,051<br />
8<br />
-<br />
61,080<br />
8,100<br />
18,324<br />
5,145<br />
92,649<br />
1,186,065<br />
1,186,065<br />
267,406<br />
153,766<br />
34,667<br />
1,032,299<br />
232,738<br />
9<br />
252,000<br />
69,880<br />
8,400<br />
36,714<br />
708<br />
115,702<br />
1,634,878<br />
1,634,878<br />
312,367<br />
155,146<br />
29,643<br />
1,479,732<br />
282,724<br />
10
Lampiran 5 (Lanjutan)<br />
II<br />
2<br />
Perawatan investasi :<br />
C. Biaya Variabel<br />
1<br />
2<br />
3<br />
4<br />
5<br />
6<br />
KOMPONEN<br />
a. Bagunan (1,00%) 10,858<br />
b. Kendaraan (2,50%) 1,500<br />
c. Peralatan kantor (2,50%) 375<br />
d. Sarana listrik (2,50%) 150<br />
e. Sarana telekonunikasi (2,50%) 75<br />
Pakan<br />
Total I (A + B + C)<br />
PENERIMAAN<br />
A. Anak<br />
Total B<br />
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10<br />
84,958<br />
- hijauan 17,010<br />
- konsentrat 14,175<br />
Obat-obatan + Vitamin 7,875<br />
Listrik 3,000<br />
Bahan bakar 2,400<br />
ATK 3,000<br />
Biaya Non Pajak (6%/ekor) -<br />
Total C<br />
47,460<br />
1,553,168<br />
1. Calon Induk dipelihara J -<br />
B -<br />
2. Calon Induk dijual J -<br />
B -<br />
3. Jual daging/dipotong J -<br />
B -<br />
10,858<br />
1,500<br />
375<br />
150<br />
75<br />
84,958<br />
17,010<br />
14,175<br />
7,875<br />
3,000<br />
2,400<br />
3,000<br />
-<br />
47,460<br />
247,918<br />
5,000<br />
180,000<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
10,858<br />
1,500<br />
375<br />
150<br />
75<br />
84,958<br />
17,010<br />
14,175<br />
7,875<br />
3,000<br />
2,400<br />
3,000<br />
-<br />
47,460<br />
247,918<br />
10,000<br />
150,000<br />
-<br />
-<br />
91,000<br />
-<br />
10,858<br />
1,500<br />
375<br />
150<br />
75<br />
84,958<br />
17,010<br />
14,175<br />
7,875<br />
3,000<br />
2,400<br />
3,000<br />
13,200<br />
60,660<br />
261,118<br />
10,000<br />
200,000<br />
10,000<br />
210,000<br />
176,800<br />
-<br />
TAHUN KE ( X Rp 1.000)<br />
10,858<br />
1,500<br />
375<br />
150<br />
75<br />
84,958<br />
17,010<br />
14,175<br />
7,875<br />
3,000<br />
2,400<br />
3,000<br />
9,900<br />
57,360<br />
142,318<br />
15,000<br />
250,000<br />
5,000<br />
160,000<br />
179,400<br />
-<br />
10,858<br />
1,500<br />
375<br />
150<br />
75<br />
84,958<br />
17,010<br />
14,175<br />
7,875<br />
3,000<br />
2,400<br />
3,000<br />
11,388<br />
58,848<br />
143,806<br />
15,000<br />
300,000<br />
15,000<br />
174,800<br />
205,296<br />
-<br />
10,858<br />
1,500<br />
375<br />
150<br />
75<br />
84,958<br />
17,010<br />
14,175<br />
7,875<br />
3,000<br />
2,400<br />
3,000<br />
11,328<br />
58,788<br />
143,746<br />
15,000<br />
300,000<br />
10,000<br />
178,800<br />
235,976<br />
-<br />
10,858<br />
1,500<br />
375<br />
150<br />
75<br />
84,958<br />
17,010<br />
14,175<br />
7,875<br />
3,000<br />
2,400<br />
3,000<br />
15,948<br />
63,408<br />
148,366<br />
15,000<br />
300,000<br />
15,000<br />
250,800<br />
270,816<br />
-<br />
10,858<br />
1,500<br />
375<br />
150<br />
75<br />
84,958<br />
17,010<br />
14,175<br />
7,875<br />
3,000<br />
2,400<br />
3,000<br />
21,348<br />
68,808<br />
153,766<br />
20,000<br />
400,000<br />
15,000<br />
340,800<br />
317,616<br />
-<br />
94<br />
10,858<br />
1,500<br />
375<br />
150<br />
75<br />
84,958<br />
17,010<br />
14,175<br />
7,875<br />
3,000<br />
2,400<br />
3,000<br />
22,728<br />
70,188<br />
155,146<br />
25,000<br />
500,000<br />
30,000<br />
348,800<br />
363,376<br />
-
III<br />
B. Afkir<br />
KOMPONEN<br />
C. Produk sampingan :<br />
J -<br />
B -<br />
1. Velvet -<br />
2. Ranggah 1,500<br />
3. Kulit -<br />
4. Non daging (Jerohan) -<br />
Total II (A + B + C)<br />
PENDAPATAN KOTOR<br />
1. Penerimaan<br />
2.<br />
TAHUN KE ( X Rp 1.000)<br />
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10<br />
-<br />
-<br />
1,500<br />
1,500<br />
1,500<br />
Discont faktor 18 % 1,271<br />
Biaya<br />
Jumlah A<br />
Jumlah B<br />
Jumlah C<br />
1,553,168<br />
185,000<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
3,000<br />
-<br />
35<br />
3,035<br />
188,035<br />
188,035<br />
135,044<br />
247,918<br />
251,000<br />
-<br />
-<br />
-<br />
17,500<br />
3,000<br />
5,250<br />
68<br />
25,818<br />
276,818<br />
276,818<br />
168,480<br />
247,918<br />
606,800<br />
-<br />
-<br />
-<br />
34,000<br />
3,900<br />
10,200<br />
69<br />
48,169<br />
654,969<br />
654,969<br />
337,826<br />
261,118<br />
609,400<br />
-<br />
-<br />
-<br />
34,500<br />
4,200<br />
10,350<br />
79<br />
49,129<br />
658,529<br />
658,529<br />
287,849<br />
142,318<br />
710,096<br />
-<br />
-<br />
-<br />
39,480<br />
5,400<br />
11,844<br />
91<br />
56,815<br />
766,911<br />
766,911<br />
284,088<br />
143,806<br />
Discont faktor 18 % 1,316,244 178,050 150,890 134,682 62,208 53,270<br />
3. Saldo (Net profit)<br />
(1,551,668) (59,883) 28,901 393,852 516,211 623,105<br />
IV Discont faktor 18 % (1,314,972) (43,007) 17,590 203,144 225,641 230,818<br />
IV ANALISIS PROYEK<br />
1 2 3 4 5 6<br />
1. NVP 249,272 471<br />
2. BCR 1.12<br />
1.00<br />
3. IRR (%) 21.35<br />
4. Payback Period (Tahun) 4.53<br />
739,776<br />
-<br />
-<br />
-<br />
45,380<br />
6,000<br />
13,614<br />
104<br />
65,098<br />
804,874<br />
804,874<br />
252,670<br />
143,746<br />
45,125<br />
661,129<br />
207,545<br />
7<br />
851,616<br />
-<br />
-<br />
-<br />
52,080<br />
7,200<br />
15,624<br />
122<br />
75,026<br />
926,642<br />
926,642<br />
246,522<br />
148,366<br />
39,471<br />
778,277<br />
207,051<br />
8<br />
1,093,416<br />
-<br />
-<br />
-<br />
61,080<br />
8,100<br />
18,324<br />
5,145<br />
92,649<br />
1,186,065<br />
1,186,065<br />
267,406<br />
153,766<br />
34,667<br />
1,032,299<br />
232,738<br />
9<br />
1,267,176<br />
12,000<br />
240,000<br />
252,000<br />
69,880<br />
8,400<br />
36,714<br />
708<br />
115,702<br />
1,634,878<br />
1,634,878<br />
312,367<br />
155,146<br />
29,643<br />
1,479,732<br />
282,724<br />
10
Lampiran 5 (Lanjutan)<br />
III<br />
B. Afkir<br />
KOMPONEN<br />
C. Produk sampingan :<br />
J -<br />
B -<br />
1. Velvet -<br />
2. Ranggah 1,500<br />
3. Kulit -<br />
4. Non daging (Jerohan) -<br />
Total II (A + B + C)<br />
PENDAPATAN KOTOR<br />
1. Penerimaan<br />
2.<br />
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10<br />
-<br />
1,500<br />
1,500<br />
1,500<br />
Discont faktor 18 % 1,271<br />
Biaya<br />
Jumlah B<br />
Jumlah C<br />
1,553,168<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
3,000<br />
-<br />
35<br />
3,035<br />
188,035<br />
188,035<br />
135,044<br />
247,918<br />
-<br />
-<br />
-<br />
17,500<br />
3,000<br />
5,250<br />
68<br />
25,818<br />
276,818<br />
276,818<br />
168,480<br />
247,918<br />
-<br />
-<br />
-<br />
34,000<br />
3,900<br />
10,200<br />
69<br />
48,169<br />
654,969<br />
654,969<br />
337,826<br />
261,118<br />
-<br />
-<br />
-<br />
34,500<br />
4,200<br />
10,350<br />
79<br />
49,129<br />
658,529<br />
658,529<br />
287,849<br />
142,318<br />
-<br />
-<br />
-<br />
39,480<br />
5,400<br />
11,844<br />
91<br />
56,815<br />
766,911<br />
766,911<br />
284,088<br />
143,806<br />
Discont faktor 18 % 1,316,244 178,050 150,890 134,682 62,208 53,270<br />
3. Saldo (Net profit)<br />
(1,551,668) (59,883) 28,901 393,852 516,211 623,105<br />
IV Discont faktor 18 % (1,314,972) (43,007) 17,590 203,144 225,641 230,818<br />
IV ANALISIS PROYEK<br />
1 2 3 4 5 6<br />
1. NVP 249,272 471<br />
2. BCR 1.12<br />
1.00<br />
3. IRR (%) 21.35<br />
4. Payback Period (Tahun) 4.53<br />
TAHUN KE ( X Rp 1.000)<br />
-<br />
-<br />
-<br />
45,380<br />
6,000<br />
13,614<br />
104<br />
65,098<br />
804,874<br />
804,874<br />
252,670<br />
143,746<br />
45,125<br />
661,129<br />
207,545<br />
7<br />
-<br />
-<br />
-<br />
52,080<br />
7,200<br />
15,624<br />
122<br />
75,026<br />
926,642<br />
926,642<br />
246,522<br />
148,366<br />
39,471<br />
778,277<br />
207,051<br />
8<br />
-<br />
-<br />
-<br />
61,080<br />
8,100<br />
18,324<br />
5,145<br />
92,649<br />
1,186,065<br />
1,186,065<br />
267,406<br />
153,766<br />
34,667<br />
1,032,299<br />
232,738<br />
9<br />
95<br />
12,000<br />
240,000<br />
252,000<br />
69,880<br />
8,400<br />
36,714<br />
708<br />
115,702<br />
1,634,878<br />
1,634,878<br />
312,367<br />
155,146<br />
29,643<br />
1,479,732<br />
282,724<br />
10
Lampiran 6 Analisis finansial usaha penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) pada skala usaha 200 ekor induk dengan sistem farming<br />
dengan skenario terjadi penurunan penerimaan hingga 10%.<br />
I<br />
PENDAPATAN KOTOR<br />
1. Penerimaan<br />
2.<br />
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10<br />
1,350<br />
Discont faktor 18 % 1,144<br />
Biaya<br />
KOMPONEN<br />
1,553,168<br />
169,232<br />
121,539<br />
247,918<br />
249,136<br />
151,632<br />
247,918<br />
589,472<br />
304,043<br />
261,118<br />
592,676<br />
259,064<br />
142,318<br />
690,220<br />
255,679<br />
143,806<br />
Discont faktor 18 % 1,316,244 178,050 150,890 134,682 62,208 53,270<br />
3. Saldo (Net profit)<br />
(1,551,818) (78,686) 1,219 328,355 450,359 546,414<br />
IV Discont faktor 18 % (1,315,100) (56,511) 742 169,362 196,856 202,409<br />
II ANALISIS PROYEK<br />
1 2 3 4 5 6<br />
1. NVP 19,920 1,984<br />
2. BCR 1.01 1.00<br />
3. IRR (%) 18.25<br />
TAHUN KE ( X Rp 1.000)<br />
724,387<br />
227,403<br />
143,746<br />
45,125<br />
580,641<br />
182,278<br />
7<br />
833,978<br />
221,870<br />
148,366<br />
39,471<br />
685,612<br />
182,399<br />
8<br />
1,067,458<br />
240,665<br />
153,766<br />
34,667<br />
913,693<br />
205,998<br />
9<br />
96<br />
1,471,390<br />
281,130<br />
155,146<br />
29,643<br />
1,316,245<br />
251,488<br />
10
Lampiran 7 Analisis finansial usaha penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) pada skala usaha 200 ekor induk dengan sistem farming<br />
dengan skenario terjadi peningkatan biaya 10%.<br />
I<br />
KOMPONEN<br />
PENDAPATAN KOTOR<br />
1. Penerimaan<br />
2.<br />
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10<br />
1,500<br />
Discont faktor 18 % 1,271<br />
Biaya<br />
1,708,484<br />
188,035<br />
135,044<br />
272,709<br />
276,818<br />
168,480<br />
272,709<br />
654,969<br />
337,826<br />
287,229<br />
658,529<br />
287,849<br />
156,549<br />
766,911<br />
284,088<br />
158,186<br />
Discont faktor 18 % 1,447,868 195,856 165,979 148,150 68,429 58,597<br />
3. Saldo (Net profit)<br />
(1,706,984) (84,674) 4,109 367,740 501,980 608,725<br />
IV Discont faktor 18 % (1,446,597) (60,812) 2,501 189,676 219,420 225,491<br />
II ANALISIS PROYEK<br />
1 2 3 4 5 6<br />
1. NVP 44,847 5,191<br />
2. BCR 1.02<br />
1.00<br />
3. IRR (%) 18.50<br />
TAHUN KE ( X Rp 1.000)<br />
804,874<br />
252,670<br />
158,120<br />
49,638<br />
646,754<br />
203,032<br />
7<br />
926,642<br />
246,522<br />
163,202<br />
43,418<br />
763,440<br />
203,104<br />
8<br />
1,186,065<br />
267,406<br />
169,142<br />
38,134<br />
1,016,923<br />
229,271<br />
9<br />
97<br />
1,634,878<br />
312,367<br />
170,660<br />
32,607<br />
1,464,218<br />
279,760<br />
10
Lampiran 8 Analisis finansial usaha penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville pada skala usaha 200 ekor induk dengan sistem farming<br />
dengan skenario terjadi penurunan penerimaan sebesar 10% dan terjadi peningkatan biaya sebesar 10%.<br />
I<br />
KOMPONEN<br />
PENDAPATAN KOTOR<br />
1. Penerimaan<br />
2.<br />
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10<br />
1,350<br />
Discont faktor 18 % 1,144<br />
Biaya<br />
1,708,484<br />
169,232<br />
121,539<br />
272,709<br />
249,136<br />
151,632<br />
272,709<br />
589,472<br />
304,043<br />
287,229<br />
592,676<br />
259,064<br />
156,549<br />
690,220<br />
255,679<br />
158,186<br />
Discont faktor 18 % 1,447,868 195,856 165,979 148,150 68,429 58,597<br />
3. Saldo (Net profit)<br />
(1,707,134) (103,478) (23,573) 302,243 436,127 532,034<br />
IV Discont faktor 18 % (1,446,724) (74,316) (14,347) 155,893 190,635 197,082<br />
II ANALISIS PROYEK<br />
1 2 3 4 5 6<br />
1. NVP (184,505) 6,971<br />
2. BCR 0.92<br />
1.00<br />
3. IRR (%) 15.50<br />
TAHUN KE ( X Rp 1.000)<br />
724,387<br />
227,403<br />
158,120<br />
49,638<br />
566,267<br />
177,765<br />
7<br />
833,978<br />
221,870<br />
163,202<br />
43,418<br />
670,776<br />
178,452<br />
8<br />
1,067,458<br />
240,665<br />
169,142<br />
38,134<br />
898,316<br />
202,531<br />
9<br />
98<br />
1,471,390<br />
281,130<br />
170,660<br />
32,607<br />
1,300,730<br />
248,523<br />
10
No Petak<br />
Nama Lokal<br />
Nama Jenis<br />
Nama Ilmiah<br />
Pemotongan (gram)<br />
I II III<br />
Rata-rata<br />
1<br />
Rumput Paitan<br />
Rumput Teki<br />
Paspalum conjungatum<br />
Cyperus rotundus<br />
121.9<br />
5.2<br />
107.4<br />
3.4<br />
127.8<br />
3.3<br />
119.0<br />
4.0<br />
Jumlah 127.1 110.8 131.1 123.0<br />
2<br />
Rumput Paitan<br />
Rumput Teki<br />
Paspalum conjungatum<br />
Cyperus rotundus<br />
66.2<br />
4.2<br />
48.6<br />
3.5<br />
85.0<br />
3.5<br />
66.6<br />
3.7<br />
Jumlah 70.4 52.1 88.5 70.3<br />
3<br />
Rumput Paitan<br />
Rumput Teki<br />
Paspalum conjungatum<br />
Cyperus rotundus<br />
30.7<br />
3.3<br />
63.4<br />
5.1<br />
50.6<br />
2.7<br />
48.2<br />
3.7<br />
Jumlah 34.0 68.5 53.3 51.9<br />
4<br />
Rumput Paitan<br />
Rumput Teki<br />
Paspalum conjungatum<br />
Cyperus rotundus<br />
158.2<br />
5.6<br />
38.5<br />
3.5<br />
112.5<br />
2.7<br />
103.1<br />
3.9<br />
Jumlah 163.8 42.0 115.2 107.0<br />
5<br />
Rumput Paitan<br />
Rumput Teki<br />
Paspalum conjungatum<br />
Cyperus rotundus<br />
94.8<br />
3.7<br />
55.2<br />
6.1<br />
68.0<br />
2.5<br />
72.7<br />
4.1<br />
Jumlah 98.5 61.3 70.5 76.8<br />
6<br />
Rumput Paitan<br />
Rumput Teki<br />
Paspalum conjungatum<br />
Cyperus rotundus<br />
8.8<br />
39.7<br />
20.9<br />
54.8<br />
10.7<br />
14.2<br />
13.5<br />
36.2<br />
Jumlah 48.5 75.7 24.9 49.7<br />
7<br />
Rumput Paitan<br />
Rumput Teki<br />
Paspalum conjungatum<br />
Cyperus rotundus<br />
8.0<br />
53.1<br />
8.9<br />
40.2<br />
8.3<br />
34.2<br />
8.4<br />
42.5<br />
Jumlah 61.1 49.1 42.5 50.9<br />
8<br />
Rumput Paitan<br />
Rumput Teki<br />
Paspalum conjungatum<br />
Cyperus rotundus<br />
7.3<br />
21.4<br />
12.7<br />
17.5<br />
8.8<br />
10.1<br />
9.6<br />
16.3<br />
Jumlah 28.7 30.2 18.9 25.9<br />
9<br />
Rumput Paitan<br />
Rumput Teki<br />
Paspalum conjungatum<br />
Cyperus rotundus<br />
8.1<br />
57.0<br />
14.2<br />
52.3<br />
16.7<br />
37.6<br />
13.0<br />
49.0<br />
Jumlah 65.1 66.5 54.3 62.0<br />
10<br />
Rumput Paitan<br />
Rumput Teki<br />
Paspalum conjungatum<br />
Cyperus rotundus<br />
3.5<br />
3.3<br />
3.5<br />
6.8<br />
3.2<br />
3.3<br />
3.4<br />
4.5<br />
Jumlah 6.8 10.3 6.5 7.9<br />
Total Produksi<br />
704.0 566.5 605.7 625.4<br />
Rata-rata produksi<br />
70.40 56.65 60.57 62.54<br />
Dari tabel di atas diketahui bahwa produksi rumput pada petak contoh adalah 62,54 gram/m 2 /12 hari,<br />
dengan demikian maka produksi harian adalah :<br />
62.54<br />
12<br />
gram/m<br />
Dengan demikian dari luasan zona rumput yang ada di Taman Monos seluas 1,5 ha akan menghasilkan<br />
rumput sebanyak : 5,21 gram x 15.000 m = 78,175 gram/hari<br />
78.18 kg/hari<br />
2 = 5.21 /hari<br />
Bila diperkirakan proper use factor = 60 %, maka rumput yang tersedia/dapat dikonsumsi oleh rusa<br />
adalah sebanyak : 60% x 78,18 kg = 46,91 kh/hari
Jika tingkat konsumsi pakan rusa adalah 5,0 kg/ekor/hari, maka zona rumput yang ada dapat menampung<br />
rusa sebanyak :<br />
46.91<br />
= 9,38 ekor/hari<br />
5 kg<br />
jika dihitung kebutuhan lahan rumputnya adalah<br />
1,5 ha<br />
= 0,16 ha/ekor<br />
9,38 ekor<br />
Kenyataan di lapangan, padang rumput tidak setiap hari mampu memproduksi hijauan setiapharinya, dimana<br />
perlu istirahat untuk pertumbuhan kembali. Berdasarkan data penelitian waktu istirahat adalah 12 hari. Dengan<br />
demikian luas lahan yang diperlukan oleh seekor rusa agar dapat merumput sepanjang tahun adalah<br />
0,16 ha x 12 hari = 1,92 ha.