Humanisasi Islam Indonesia - Knowledge leader
Humanisasi Islam Indonesia - Knowledge leader
Humanisasi Islam Indonesia - Knowledge leader
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
Daftar Isi<br />
Kata Pengantar (Dadang Kahmad (Direktur Pascasarjana UIN SGD Bandung)<br />
Prolog (Afif Muhammad Ketua Program Studi Religious Studies)<br />
Dialog Agama dan Negara<br />
Arus Deras Wikileaks oleh Mohammad Affan<br />
Berkaca kepada Timnas oleh Acep Hermawan<br />
Etnis Tiongkok di <strong>Indonesia</strong> oleh Kiki Muhamad Hakiki<br />
Kehidupan Harmonis oleh Ibn Ghifarie<br />
Kejahatan Berpayung Agama oleh Kiki Muhamad Hakiki<br />
Mempelajari Kepemimpinan ―Tao‖ oleh Ibn Ghifarie<br />
Nabi dan Kota Makkah oleh Kiki Muhamad Hakiki<br />
Opsi Damai untuk Libya oleh Mohammad Affan<br />
Penjara, Korupsi, dan Negeri Demokrasi oleh Acep Hermawan<br />
Perilaku Teror Israel oleh Mohammad Affan<br />
Peta Konflik Libya oleh Mohammad Affan<br />
Pudarnya Identitas Budaya oleh Kiki Muhamad Hakiki<br />
Rasisme Gaya Baru oleh Kiki Muhamad Hakiki<br />
Dialog Agama dan Publik<br />
Berislam Ala Persis oleh Ibn Ghifarie<br />
Fiqh Lingkungan: Upaya Revitalisasi Hablun Minal ‗Alam oleh Ihsan Faisal<br />
Generasi Sehat 3.0 oleh Ibn Ghifarie<br />
Hari Anak dan "Kaulinan Baheula" oleh Ibn Ghifarie<br />
<strong>Humanisasi</strong> Kurban oleh Acep Hermawan<br />
Imlek dan Perayaan Multikulturalisme oleh Mohammad Affan<br />
Imlek dan Persaudaraan Sejati oleh Ibn Ghifarie<br />
Integrasi Ilmu oleh Kiki Muhamad Hakiki<br />
Keshalihan Sosial oleh Ihsan Faisal<br />
Makna Simbolik Imlek oleh Kiki Muhamad Hakiki<br />
Masjid, Radikalisme Agama dan Pencerahan oleh Hendar Riyadi<br />
Optimalisasi Filantropi <strong>Islam</strong> oleh Kiki Muhamad Hakiki<br />
Sejarah Tradisi Maulid oleh Kiki Muhamad Hakiki<br />
Spektrum Gus Dur di Tatar Sunda oleh Wawan Gunawan<br />
Tiga Kriteria Manusia Terbaik oleh Ihsan Faisal<br />
Epilog (M Anton Athoillah, Asisten Direktur I Pascasarjana UIN SGD Bandung)<br />
Biodata<br />
Sumber
Kata Pengantar<br />
<strong>Islam</strong> dan Pluralisme Agama Menuju Masyarakat Madani<br />
Setiap agama membawa misi sebagai pembawa kedamaian dan keselarasan hidup bukan saja<br />
antar manusia, tetapi juga antar sesama makhluk Tuhan penghuni semesta ini.<br />
Di dalam terminologi al-Qur‘an misi suci itu disebut rahmah li al-‗alamin (rahmat dan<br />
kedamaian bagi semesta). Namun, dalam tataran historisnya, misi agama tidak selalu artikulatif.<br />
Selain sebagai alat pemersatu sosial, agama pun menjadi unsur konflik. Bahkan menurut<br />
Schimmel, dua unsur itu menyatu dalam agama. Mungkin pernyataan ini agak berlebihan.<br />
Namun jika melihat perjalanan sejarah dan realitas di muka bumi ini, pernyataan tersebut<br />
menemukan landasan historisnya sampai sekarang. Hanya, bagaimana realitas itu hendaknya bisa<br />
memicu para pemeluk agama untuk merefleksikan kembali ekspresi keberagamaannya yang<br />
sudah sedemikian mentradisi dalam hidup dan kehidupannya.<br />
Berkaitan dengan itu, maka salah satu yang menjadi problem paling besar dalam kehidupan<br />
beragama dewasa ini, yang ditandai oleh kenyataan pluralisme, adalah bagaimana teologi dari<br />
suatu agama mendefinisikan diri di tengah-tengah agama lain: ―what should one think about<br />
religions other than one‘s own?‖.<br />
Dengan semakin berkembangnya pemahaman mengenai pluralisme agama, berkembanglah suatu<br />
faham teologia religionum. Paham ini menekankan semakin pentingnya dewasa ini untuk<br />
berteologi dalam konteks agama-agama. Pada tingkat pribadi, hubungan antar tokoh agama di<br />
<strong>Indonesia</strong> mungkin tidak menjadi persoalan. Tetapi pada tingkat teologis, yang merupakan dasar<br />
dari agama itu, muncul kebingungan-kebingungan, khususnya mengenai bagaimana kita harus<br />
mendefinisikan diri di tengah agama lain yang juga eksis.<br />
Paparan dalam tulisan ini untuk melihat bagaimana agama bisa berfungsi pada masyarakat yang<br />
pluralistis dan tidak saling berbenturan. Masalahnya, tentu bukan karena agama itu datang builtin<br />
dengan konflik dan tampil a-sosial, tetapi karena sering kita lihat bahwa para pemeluknya<br />
telah mengekspresikan kebenaran agamanya secara monolitik dan eksklusif, dalam arti bahwa<br />
subyektivitas kebenaran yang diyakininya seringkali menafikan kebenaran yang diyakini pihak<br />
lain.<br />
Klaim Kebenaran (truth claim)<br />
Setiap agama memiliki kebenaran. Keyakinan tentang yang benar itu didasarkan kepada Tuhan<br />
sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Dalam tataran sosiologis, klaim kebenaran berubah<br />
menjadi simbol agama yang dipahami secara subyektif personal oleh setiap pemeluk agama. Ia<br />
tidak lagi utuh dan absolut. Pluralitas manusia menyebabkan wajah kebenaran itu tampil beda<br />
ketika akan dimaknai dan dibahasakan. Sebab keperbedaan ini tidak dapat dilepaskan begitu saja<br />
dari berbagai referensi dan latar belakang yang diambil peyakin – dari konsepsi ideal turun ke<br />
bentuk-bentuk normatif yang bersipat kultural. Dan ini yang biasanya di gugat oleh berbagai<br />
gerakan keagamaan (harakah) pada umumnya. Sebab mereka mengklaim telah memahami,<br />
memiliki, dan bahkan menjalankan secara murni dan konsekuen nilai-nilai suci itu.
Keyakinan tersebut menjadi legitimassi dari semua perilaku pemaksaan konsep-konsep<br />
gerakannya kepada manusia lain yang berbeda keyakinan dan pemahaman de-ngan mereka.<br />
Armahedi Mahzar1 menyebutkan bahwa ab-solutisme, eksklusivisme, fanatisme, ekstrimisme,<br />
dan agresivisme adalah ―penyakit‖ yang biasanya menghinggapi aktifis gerakan keagaman.<br />
Absolutisme adalah kesombongan intelektual; ekslusivisme adalah kesombongan sosial;<br />
fanatisme adalah kesombongan emosional; ekstremisme adalah berlebih-lebihan dalam bersikap;<br />
dan agresivisme adalah berlebih-lebihan dalam melakukan tindakan fisik. Tiga penyakit<br />
pertama adalah wakil resmi kesom-bongan (‗ujub). Dua penyakit terakhir adalah wakil resmi<br />
sifat berlebih-lebihan.<br />
Nampaknya, perlu adanya pelurusan pemahaman dari pandangan umum bahwa seseorang yang<br />
memiliki intelektualitas dalam beragama memiliki tingkat ritualitas dan spiritualitas yang tinggi<br />
pula. Tetapi sebaliknya, boleh jadi orang yang dipandang kalangan awam tidak memiliki<br />
intelektualitas cemerlang dan menjalankan ritus ala kadar-nya mempunyai tingkat spiritualitas<br />
yang tinggi. Pandangan seperti itu tidak selamanya benar.<br />
Sosok seorang petani, misalnya, yang kesadaran eksistensial sebagai petani bukan tidak<br />
mungkin lebih religius daripada sosok mahasiswa aktivis dakwah atau misi yang berteriak ke<br />
sana kemari menyuarakan perdamaian, tetapi menyimpan rasa ingin dipuji. Inilah barangkali<br />
yang dikemukakan oleh F. Schuon2 bahwa dikarenakan agama lebih menekankan pada iman<br />
(faith), kebajikan, dan pengalaman (riyadhah) ketimbang akal (rasio). Manusia memiliki jiwa<br />
abadi untuk diselamatkan tanpa harus menjadi pandai. Sebaliknya, tidak setiap pandai dapat<br />
diselamatkan.<br />
Kita memang sulit melepaskan kerangka (frame) subyektivitas ketika keyakinan pribadi<br />
berhadapan dengan keyakinan orang lain yang berbeda. Sekalipun ada yang berpendapat bahwa<br />
kerangka subyektif adalah cermin eksistensi yang alamiah. Lagi pula, setiap manusia mustahil<br />
menempatkan dua hal yang saling berkontradiksi satu sama lain dalam hatinya. Dengan begitu,<br />
kita tidak harus memaksakan inklusivisme ―gaya kita‖ pada orang lain, yang menurut kita<br />
eksklusif. Sebab, bila hal ini terjadi, pemahaman kita pun sebenarnya masih terkungkung pada<br />
jerat-jerat eksklusivisme, tetapi dengan menggunakan nama inklusivisme.<br />
Dengan demikian, pluralisme bisa muncul pada masyarakat di mana pun ia berada. Ia selalu<br />
mengikuti perkembangan masyarakat yang semakin cerdas dan tidak ingin dibatasi oleh sekatsekat<br />
sektarianisme. Pluraslime harus dimaknai sebagai konsekuensi logis dari Keadilan Ilahi –<br />
bahwa keyakinan seseorang tidak dapat diklaim benar atau salah tanpa mengetahui dan<br />
memahami terlebih dahulu latar belakang pembentukannya, seperti lingkungan sosial budaya,<br />
referensi atau informasi yang diterima, tingkat hubungan komunikasi, dan klaim kebenaran yang<br />
dibawa dengan kendaraan ekonomi-politik dan kemudian direkayasa sedemikian rupa demi<br />
kepentingan sesaat, tidak akan diterima oleh seluruh komunitas manusia manapun.<br />
<strong>Islam</strong> dan Pluralitas agama<br />
Al-Qur‘an, sebagai wahyu Allah, dalam pandangan dan keyakinan umat <strong>Islam</strong> adalah sumber<br />
kebenaran dan mutlak benarnya. Namun demikian, kebenaran mutlak itu tidak akan tampak<br />
manakala ia tidak berinteraksi dengan realitas sosial, atau menurut Quraish Shihab,3 bagaimana<br />
al-Qur‘an dibumikan: dibaca, dipahami, dan diamalkan. Ketika kebenaran mutlak itu disikapi<br />
oleh para pemeluknya dengan latar belakang kultural maupun tingkat pengetahuan yang berbeda,
maka akan muncul kebenaran-kebenaran parsial. Sehingga kebenaran yang diperoleh manusia<br />
menjadi relatif, sedangkan kebenaran mutlak tetap milik Tuhan. Untuk menggambarkan ini, pada<br />
hal-hal tertentu, misalnya, ―kebenaran agama‖ Nahdlatul Ulama (NU), tidak berarti akan<br />
diterima pula sebagai ―kebenaran agama‖ Muhammadiyah, begitu pula sebaliknya. Yang jelas<br />
dipandang sebagai tidak benar adalah ketika yang satu menyalahkan yang lain, atau saling<br />
menyalahkan tanpa argumentasi yang akurat. Inilah yang diingatkan Allah (Q.S.49:12) yang<br />
melarang orang-orang yang beriman berprasangka, sebab sebagian prasangka adalah dosa.<br />
Demikian pula sebaliknya, orang yang menganggap dirinya paling benar juga tidak<br />
diperkenankan (Q.S.,53:32). Sikap seperti itu tidak berarti kita harus berdiam diri terhadap<br />
kemungkinan kesalahan orang lain atau lingkungan di sekitarnya. Umat <strong>Islam</strong> harus bersikap<br />
kritis dan melakukan koreksi terhadap segala bentuk patologi sosial. Dalam doktrin <strong>Islam</strong> sikap<br />
korektif ini disebut amar ma‘ruf nahy munkar.<br />
Al-Qur‘an (2:148) mengakui masyarakat terdiri dari berbagai macam komunitas yang memiliki<br />
orientasi kehidupan sendiri-sendiri. Manusia harus menerima kenyataan keragaman budaya dan<br />
agama serta memberikan toleransi kepada masing-masing komunitas dalam menjalankan<br />
ibadahnya. Oleh karena itu, kecurigaan tentang sipat <strong>Islam</strong> yang anti plural sangat tidak<br />
beralasan dari segi ideologis. Bila setiap muslim memahami secara mendalam etika pluralitas<br />
yang terdapat dalam al-Qur‘an, maka tidak perlu lagi ada ketegangan, permusuhan, dan konflik<br />
dengan agama-agama lain, sejauh mereka tidak saling memaksakan.<br />
Pluralisme sebagai ideologi dan gerakan politik, pernah diteladankan oleh Rasulullah kepada<br />
Umar dan diteruskan kepada para Khalifah. Bukti-bukti empiris pluralisme <strong>Islam</strong> terjadi dalam<br />
kehidupan sosial, budaya, dan politik yang konkrit di Andalusia Spanyol pada masa<br />
pemerintahan khalifah Umawy. Sejarah mencatat bahwa kedatangan <strong>Islam</strong> di Spanyol telah<br />
mengakhiri politik monoreligi secara paksa oleh penguasa sebelumnya. Pemerintah <strong>Islam</strong> yang<br />
kemudian berkuasa selama 700 tahun telah menciptakan masyarakat Spanyol yang pluralistik,<br />
sebab para pemeluk tiga agama : <strong>Islam</strong>, Kristen, dan Yahudi dapat hidup saling berdampingan<br />
dan rukun. Mereka menghargai eksistensi kebudayaan lain di luar <strong>Islam</strong> seperti Kristen dan<br />
Yahudi. Dalam hal ini, Max Dimont berpendapat bahwa era pemerintahan khalifah Umawi di<br />
Spanyol dapat dipandang sebagai rahmat yang mengakhiri zaman kezaliman penguasa yang<br />
dominatif.4<br />
Demikian juga, ketika Rasulullah berada di Madinah, apa yang diajarkan Nabi Muhammad<br />
bukanlah upaya melegitimasi agama resmi negara saat itu dan bukan pula alat pemaksa agar<br />
orang-orang memeluk <strong>Islam</strong> seluruhnya. Dengan mengikuti prinsip universal keadilan Ilahi saja,<br />
kita ketahui bersama bahwa perbedaan latar belakang pendidikan, lingkungan sosial budaya, dan<br />
kesempatan seseorang meniscayakan diferensiasi penerimaan konsep tentang Tuhan dan<br />
Agama.<br />
Murtadha Muthahari melihat bahwa selama memerintah di Madinah, Rasulullah tidak pernah<br />
memaksakan masyarakat non-muslim, untuk mengikuti agama penguasa. Bahkan, melalui<br />
perjanjian di antara semua penduduk Madinah ditetapkan dasar-dasar toleransi demi terwujudnya<br />
perdamaian dan kerukunan. Salah satu isi perjanjian dengan Kaum Yahudi menyebutkan: ―Orang<br />
Yahudi yang turut dalam perjanjian dengan kami berhak memperoleh pertolongan dan<br />
perlindungan, tidak akan diperlakukan zalim. Agama Yahudi bagi orang-orang Yahudi dan
agama <strong>Islam</strong> bagi orang-orang <strong>Islam</strong>. Jika ada di antara mereka berbuat zalim, itu hanya akan<br />
mencelakakan dirinya dan ke-luarganya.5<br />
Dalam al-Qur‘an ada ayat terkenal: ―Bagimu agama-mu. Bagiku agamaku‖ (QS109:6). Dengan<br />
demikian, agama digunakan Rasulullah sebagai sumber utama keku-atan moral (moral force).<br />
Perilaku yang murni religius lebih diinginkan daripada formalisasi agama.<br />
Melihat fakta historis itu, Nurcholish Madjid berpendapat bahwa sistem nilai plural adalah<br />
sebuah aturan<br />
Tuhan (sunnatullah) yang tidak mungkin berubah, di ubah, di lawan, dan diingkari. Barangsiapa<br />
yang mencoba menging-kari hukum kemajemukan budaya, maka akan timbul fenomena<br />
pergolakan yang tidak berkesudahan. Boleh dikatakan bahwa memahami pluralitas agama dan<br />
budaya merupakan bagian dari memahami agama. Sebab, memahami agama pada dasarnya<br />
adalah juga memahami kebudayaan masyarakat secara menyeluruh. Dan, jika agama dipahami<br />
secara integral dengan kondisi sosial kulturalnya, pada saat itu pula akan tampak dengan<br />
sendirinya mana aspek budaya yang selaras dengan misi agama dan mana yang tidak.<br />
Langkah bijaksana bagi setiap umat adalah belajar dari kenyataan sejarah, yaitu sejarah yang<br />
mendorong terwujudnya masyarakat plural dan integratif. Oleh karena itu, agenda yang perlu<br />
dirumuskan oleh umat <strong>Islam</strong> <strong>Indonesia</strong> adalah mengubah pluralisme sebagai ideologi dalam<br />
kehidupan konkrit. Tentu saja umat <strong>Islam</strong> harus mampu menahan diri dari hasrat alami manusia,<br />
yakni kehendak untuk berkuasa (will to power) sehingga mampu bersikap toleran terhadap pihak<br />
lain dan menghindari hegemoni dan dominasi politik. Tentu saja tuntututan peran negara yang<br />
positif dalam memperlakukan agama. Agama bukan hanya dipandang sebagai instrumen<br />
mobilisasi politik, tetapi yang lebih penting adalah memperlakukannya sebagai sumber etika<br />
dalam interaksi, baik di antara sesama penguasa maupun antara penguasa dengan rakyat. Kalau<br />
etika pluralisme ini dapat ditegakkan, maka tidak perlu terjadi rangkaian kerusuhan, pertikaian,<br />
dan perusakan tempat-tempat ibadah. Jika orang melakukannya, berarti ia tidak memahami<br />
ideologi pluralisme, atau tidak memahami agamanya sendiri. Kalau sikap pemeluk agama seperti<br />
demikian, maka konflik antar agama akan menjadi tontonan sehari-hari.<br />
Kerukunan antar Agama<br />
Konsep kerukunan antar umat beragama pernah dirumuskan dan ditetapkan oleh pemerintahan<br />
Orde Baru dengan melibatkan semua tokoh agama yang ada di <strong>Indonesia</strong>. Selama masa Orba,<br />
relatif tidak ada konflik antar pemeluk agama yang berbeda. Mungkin orang akan mengira<br />
bahwa itu merupakan keberhasilan menerapkan konsep kerukunan.<br />
Namun, ketika kasus Ambon, Poso dan di berbagai daerah lainnya terjadi berbagai kerusuhan<br />
dan tidakan kekeraasan yang berbau agama, konsep kerukunan antar umat beragama kembali<br />
dipertanyakan. Bisa saja kita menduga-duga, bahwa keberhasilan menerapkan kerukunan umat<br />
beragama di <strong>Indonesia</strong> semasa Orde Baru sejalan dengan kebijakan politis penguasa pada waktu<br />
itu yakni stabilitas Nasional demi berlangsungnya proses pembangunan nasional yang lebih<br />
menekankan pada pendekatan keamanan (security approach).<br />
Sama halnya, pendekatan ini digunakan pula terhadap pelaksanaan kerukunan antar umat<br />
beragama. Oleh karena itu, perlu pengkajian ulang terhadap konsep kerukunan antar umat<br />
beragama yang selama ini diterapkan pemerintah. Ia tidak lagi hanya sebagai bungkus formal
dari kenyataan pluralitas agama di <strong>Indonesia</strong>, tetapi harus menjadi motivator bagi terbentuknya<br />
kesadaran beragama dan berteologi di <strong>Indonesia</strong>. Jika tidak, maka konflik antar agama tidak bisa<br />
terhindarkan akan selalu meledak. Dan, bila hal ini terjadi, akan menghancurkan sendi kehidupan<br />
berbangsa dan bernegara, baik aspek politis, ekonomi maupun sosial budaya.<br />
Agar kerukunan hidup antar umat beragama menjadi etika dalam pergaulan kehidupan beragama,<br />
Hugh Goddard, seorang Kristiani Inggris yang ahli teologi <strong>Islam</strong>, mengingatkan bahwa demi<br />
kerukunan antar umat beragama, maka harus dihindari penggunaan ―standar ganda‖ (double<br />
standars). Orang Kristen maupun <strong>Islam</strong>, misalnya, selalu menerapkan standar yang berbeda<br />
untuk dirinya, yang biasanya standar yang bersipat ideal dan normatif. Sedangkan terhadap<br />
agama lain mereka memakai standar lain yang lebih bersipat realistis dan historis. Melalui<br />
standar ganda inilah muncul prasangka-prasangka teologis yang selanjutnya memperkeruh<br />
suasana hubungan antar umat beragama. Ada tidaknya keselamatan dalam agama lain, seringkali<br />
ditentukan oleh pandangan mengenai standar ganda kita. Keyakinan bahwa agama sendiri yang<br />
paling benar karena berasal dari Tuhan sedangkan agama lain hanyalah konstruksi manusia,<br />
merupakan contoh dari penggunaan standar ganda itu. Dalam sejarah, standar ganda ini biasanya<br />
dipakai untuk menghakimi agama lain dalam derajat keabsahan teologis di bawah agamanya<br />
sendiri. Melalui standar ganda inilah terjadinya perang dan klaim-klaim kebenaran dari satu<br />
agama atas agama lain.<br />
Yang nampak ke permukaan, bahwa terjadinya konflik antar agama muncul bisa sebagai akibat<br />
kesenjangan ekonomi (kesejahteraan), perbedaan kepentingan politik, atau pun perbedaan etnis.<br />
Akhirnya konsep kebenaran dan kebaikan yang berakar dari ideologi politik atau wahyu Tuhan<br />
sering menjadi alasan pembenar penindasan kemanusiaan.<br />
Hal ini pun bisa terjadi ketika kepentingan pembagunan dan ekonomi atas nama kepentingan<br />
umum sering menjadi pembenar tindak kekerasan. Ditambah pula dengan klaim kebenaran (truth<br />
claim) dan watak misioner dari setiap agama, peluang begi terjadinya benturan dan kesalah<br />
mengertian antar penganut agama pun terbuka lebar, sehingga menyebabkan retaknya hubungan<br />
antar umat beragama. Untuk hubungan eksternal agama-agama, maka penting dilakukan dialog<br />
antar agama. Sedangkan untuk internal agama, diperlukan reinterpretasi pesan-pesan agama yang<br />
lebih menyentuh kemanusiaan yang universal. Dalam hal ini, peran para tokoh agama (ulama)<br />
lebih dikedepankan.<br />
Reinterpretasi Pesan-pesan Agama<br />
Agar <strong>Islam</strong> bisa memerankan fungsinya menjadi dialektis konstruktif, sebagaimana telah di ulas<br />
di atas, maka perlu dikembangkan program reinterpretasi pesan-pesan agama. Dalil-dalil<br />
normatif yang ada dalam al-Qur‘an dan Hadits harus di break down dalam bentuk teori-teori<br />
sosial yang dapat diaplikasikan. Atau, lebih tepatnya harus dikontekstualisasikan agar berfungsi<br />
historis, kekinian, dan membumi. Di sini, para Ulama atau para pemuka agama sangat<br />
dibutuhkan dalam melakukan reinterpretasi agama. Ulama diharapkan berperan langsung dalam<br />
melakukan pencerahan kepada masyarakat melalui upaya reinterpretasi agama, sehingga pesanpesan<br />
yang di bawa agama menjadi fungsional serta ajaran keadilan, toleransi dan cinta kasih<br />
yang terkandung dalam agama menjadi im-plementatif dan integratif dalam kehidupan<br />
bermasyarakat dan berbangsa.
Dengan demikian, agama selayaknya berfungsi menafsirkan kenyataan hidup dan mengarahkan,<br />
artinya memiliki fungsi interpretatif dan fungsi etis. Dalam perspektif ini, agama tak hanyut<br />
tenggelam dalam politik dan politik juga tidak memperalat agama. Fungsi interpretatif dan fungsi<br />
etis hanya mungkin dijalankan kalau agama dan politik tidak dicampuradukkan. Dalam situasi<br />
seperti itu, interaksi antar agama dan politik akan menekankan dinamisme dan perubahan yang<br />
dituju, di mana kehidupan bersama akan lebih manusiawi, karena lebih merdeka dan lebih adil.<br />
Tan-pa dua fungsi ini, agama akan mudah menjadi legitimasi atau diperalat oleh praktek politik<br />
ataupun ekonomi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan<br />
Dalam konteks pembinaan kerukunan antar umat beragama, setidaknya pesan-pesan al-Qur‘an<br />
yang berkaitan dengan hubungan antar agama harus dipahami dan dicermati dengan hati-hati.<br />
Misalnya ayat al-Qur‘an yang ber-bunyi: ―Perangilah orang-orang yang tidak beriman ke-pada<br />
Allah,… (QS. 9 : 29). Jika dipahami secara tekstual, ayat ini bisa membahayakan kerukunan<br />
antar umat beragama. Mengenai ayat ini, Sayyid Qutb berkomentar bahwa ayat ini berlaku<br />
temporal dan periodik. Artinya, dalam era damai ia harus disandingkan dengan ayat-ayat lain<br />
yang menganjurkan kasih sayang dan tolong menolong antar sesama.<br />
Dialog antar Agama<br />
Salah satu bagian dari kerukunan antar umat beragama adalah perlu dilakukannya dialog antar<br />
agama. Agar komunikatif dan terhindar dari perdebatan teologis antar pemeluk (tokoh) agama,<br />
maka pesan-pesan agama yang sudah direinterpretasi selaras dengan universalitas kemanusiaan<br />
menjadi modal tercptanya dialog yang harmonis. Jika tidak, maka proses dialog akan berisi<br />
perdebatan dan adu argumentasi antara berbagai pemeluk agama sehingga ada yang menang dan<br />
ada yang kalah. Dialog antar agama, menurut A. Mukti Ali, justru membiarkan hak setiap orang<br />
untuk mengamalkan keyakinannya dan menyampaikannya kepada orang lain. Dialog antar<br />
agama adalah pertemuan hati dan pikiran antar pemeluk berbagai agama yang bertujuan<br />
mencapai kebenaran dan kerja sama dalam masalah-masalah yang dihadapi bersama.<br />
Perhatian terhadap tema itu, tidak harus hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi<br />
menjadi tanggung jawab semua komponen bangsa, terutama pada lingkungan tokoh agama.<br />
Oleh karena itu, sejak 1967 hingga sekarang, dialog antar agama gencar dilaksanakan. Bahkan,<br />
masa antara 1972 sampai dengan 1977, tercatat 23 kali pemerintah me-nyelenggarakan dialog<br />
yang berlangsung di 21 kota. Padatnya frekuensi dialog ini menunjukkan betapa petingnya<br />
jalinan hubungan yang harmonis antara penganut agama.<br />
Menurut Ignas Kleden, bahwa dialog antar agama nampaknya hanya bisa dimulai dengan adanya<br />
keterbukaan sebuah agama terhadap agama lainnya. Keterbukaan ini bisa di lihat dari : pertama,<br />
segi-segi mana dari suatu agama yang memungkinkannya terbuka terhadap agama yang lain,<br />
pada tingkat mana keterbukaan itu dapat ditolerir, dan juga dalam modus yang bagaimana keterbukaan<br />
itu dapat dilaksanakan. Kedua, bagaimana agama menjadi jalan dan sebab seseorang atau<br />
sekelompok orang terbuka kepada kelompok orang yang bergama lain.<br />
Berdasarkan itu, maka persoalan keagamaan yang seringkali muncul adalah terletak pada<br />
problem penafsiran, bukan pada benar tidaknya agama dan wahyu Tuhan itu sendiri.6 Sehingga,<br />
masalah kerukunan keagamaan termasuk didalamnya dialog antar umat beragama harus menjadi<br />
wacana sosiologis dengan menempatkan doktrin keagamaan sebagai dasar pengembangan<br />
pemuliaan kemanusiaan.
Sementara itu, melihat kondisi kehidupan beragama sekarang ini, konflik antar umat beragama,<br />
menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara.<br />
Kejadian tersebut tidak hanya atas dasar perbedaan agama tetapi juga terjadi antara orang atau<br />
ke-lompok-kelompok dengan agama yang sama. Maka, keru-kunan yang perlu dibangun bukan<br />
hanya kerukunan antar agama, melain-kan juga kerukunan antar orang atau kelompok dalam<br />
agama yang sama. Oleh karena itu, tidak heran jika Masdar F. Mas‘udi, Direktur Pelaksana<br />
Pengem-bangan Pesantren dan Masyarakat, dalam sebuah diskusi panel pernah mengatakan:<br />
―Saya lebih suka hidup dengan orang yang berbeda agama tetapi tidak tertekan daripada hidup<br />
bersama dengan orang yang sama agama tetapi ter-tekan‖. Mungkin ia ter-inspirasikan oleh<br />
pernyataan Ibn Taymiyyah yang mengatakan bahwa pemerintahan orang kafir yang baik lebih<br />
utama di banding pemerintahan orang (yang mengaku) Muslim tapi zalim.<br />
Dalam kehidupan agama di <strong>Indonesia</strong> yang pluralistis, sebagaimana diungkapakan di atas,<br />
Nurcholish Madjid melihat bahwa nilai tinggi yang di pilih adalah ―kebebasan‖ atau<br />
―kemerdekaan‖, suatu nilai yang menyentuh kelu-huran martabat manusia. Persoalan yang<br />
muncul ketika ter-jadinya konflik antar agama adalah, adakah nilai kebebasan dan nilai<br />
kemerdekaan ditegakkan di sekitar konflik tersebut? Sebab, ternyata kemerdekaan menyangkut<br />
rasa keadilan yang juga melindungi keluhuran martabat manusia dalam menyelenggarakan<br />
kehidupan bersama.<br />
Dengan melihat di atas, kiranya konflik berwajah agama perlu dilihat dalam kaitan-kaitan politis,<br />
ekonomi, atau pun sosal budayanya. Apabila benar bahwa konflik itu murni konflik agama, maka<br />
masalah kerukunan sejati tetap hanya dapat dibangun atas dasar nilai keadilan, kebebasan, dan<br />
hak asasi manusia, yang menyentuh keluhuran martabat manusia. Makin mendalam rasa<br />
keagamaan, ma-kin mendalam pula rasa keadilan dan kemanusiaan. Seandainya tidak demikian,<br />
agama tidak menyangkat keluhuruan martabat manusia.
Arus Deras Wikileaks<br />
Perburuan Julian Assange akhirnya berakhir. Selasa (7/12), ia ditangkap di London. Apakah<br />
penangkapan itu pertanda bakal tamatnya riwayat WikiLeaks?<br />
Jawabnya tentu saja tidak. Karena WikiLeaks berada dan bekerja dalam kompleksitas jaringan<br />
virtual yang tidak bergantung pada keberadaan Julian Assange. Di balik WikiLeaks ada ratusan<br />
bahkan mungkin ribuan jaringan hacker yang mengoperasikan situs ini. Julian Assange adalah<br />
salah satu yang terhebat di antara mereka, tapi bukan satu-satunya.<br />
Kemunculan Julian Assange dan situsnya hanyalah salah satu fenomena hacker kosmopolitan.<br />
Ada jutaan hacker dan cracker lainnya berseliweran di jagad virtual. Setiap waktu mereka<br />
bekerja, membobol software, merusak program, menyebar virus dan berbagai macam kejahatan<br />
dunia maya. Hanya bedanya, WikiLeaks mengambil spesialisasi pembobol dokumen rahasia<br />
negara, diorganisasi secara profesional, dan dengan dukungan sumber daya serta sumber dana<br />
yang besar.<br />
<strong>Indonesia</strong> sendiri adalah salah satu negara dengan populasi hacker terbanyak. Laporan Verisign<br />
(perusahaan penyedia layanan informasi intelijen di dunia maya) tahun 2004 bahkan<br />
menempatkan <strong>Indonesia</strong> pada posisi tertinggi pelaku kejahatan dunia maya (cyber crime).<br />
Karena itu tidak mengherankan jika Business Software Alliance (BSA) menemukan 86% peranti<br />
lunak yang beredar di <strong>Indonesia</strong> adalah hasil bajakan.<br />
Jumlah mereka dan kemampuannya makin lama terus berkembang seiring kemajuan teknologi.<br />
Dan setiap ada perkembangan baru metode hacking dengan mudah mereka berbagi satu sama<br />
lain. Itulah sebabnya mata rantai hacker tidak pernah putus dan justru semakin kompleks.<br />
Para hacker ini telah membuktikan bahwa tidak ada yang privat dan rahasia di dunia cyber space.<br />
Sekali kita memasukkan data dalam bentuk apa pun, seketika data itu telah berada di area<br />
terbuka. Bagaimanapun cara kita memproteksinya, selalu ditemukan celah untuk mengaksesnya.<br />
Ramalan Baudrillard<br />
Fenomena semacam ini jauh hari sebelumnya sudah disinyalir Baudrillard dalam bukunya<br />
Simulacra and Simulation (2000). Menurut Baudrillard setidaknya ada empat logika sosial<br />
sebagai efek perkembangan hiperteknologi. Keempat logika itu dengan sangat efektif<br />
dimanfaatkan situs WikiLeaks.<br />
Pertama, logika ketidakterlihatan (logic of invisibility). Perkembangan teknologi pengawasan<br />
dan pengintaian (vision machine) seperti satelit, radar, kamera video, dan internet<br />
memungkinkan setiap orang ―bermain-main‖ di dalamnya. Julian Assange dan krunya memiliki<br />
kemahiran tingkat tinggi memanfaatkan perangkat teknologi tersebut sehingga mampu
menembus proteksi keamanan komputer tanpa terdeteksi. Sehingga ribuan bahkan mungkin<br />
jutaan data top secret berhasil dibobol.<br />
Kedua, logika ‗miniaturisasi‘ (logic miniaturization). Dengan logika ini, persepsi mengenai<br />
ruang nyata dapat diambil alih oleh model-model representasinya menggunakan teknologi<br />
simulasi, yang memungkinkan penguasaan medan tanpa dibatasi ruang dan geografis. Teknologi<br />
ini sangat membantu para hacker seperti Julian Assange menembus jaringan sistem keamanan<br />
komputer hanya dengan menguasai simulasinya.<br />
Ketiga, logika pencitraan (logic of image). Di dunia cyber, pencitraan atau tontonan (spectacles)<br />
berperan sangat penting dalam mendefinisikan realitas. WikiLeaks telah memilih positioning<br />
sebagai situs whistleblower yang konsen membongkar data-data rahasia. Segala sesuatu yang<br />
sifatnya ―rahasia‖ pasti mengundang penasaran setiap orang. Posisi inilah yang menjadi brand<br />
menguntungkan situs ini sehingga mendatangkan banyak penggemar, dan tentu saja investor.<br />
Kehadiran Wikileaks, bagaimanapun, bukan sekadar motif mengungkap rahasia negara, tetapi<br />
juga bisnis di dunia maya. Lebih jauh lagi, di balik WikiLeaks tentunya ada ―aktor besar‖ yang<br />
memiliki kepentingan (ekonomi dan politik) dengan dibocorkannya dokumen-dokumen rahasia<br />
itu.<br />
Keempat, logika nomadisme (logic of nomadism). Perkembangan globalisasi telah membuka<br />
peluang besar bagi siapa pun untuk menjalankan nomad strategy. Yaitu, sebuah pola operasi<br />
yang berpindah dan bertransformasi dalam skala global. Strategi inilah yang dijalankan<br />
WikiLeaks sehingga jaringan mereka sulit terdeteksi. Mereka dapat berpindah tempat operasi<br />
kapan saja dan ke mana saja, namun tetap memegang kontrol jaringannya.<br />
Mengantisipasi ancaman WikiLeaks<br />
Menyusul tertangkapnya Julian Assange, mulai muncul reaksi balik dari jaringan aktivis peretas<br />
(hack-tivist) dengan menyerang situs-situs pemerintah, organisasi, lembaga keuangan, dan situs<br />
pribadi tokoh-tokoh yang menentang WikiLeaks. Tak kurang situs resmi pemerintah Swedia,<br />
situs Bank PostFinance di Swiss, dan situs pribadi Sarah Palin dan Senator Joe Lieberman,<br />
seperti dilaporkan BBC, menjadi sasaran hacking. Sementara WikiLeaks terus merilis dokumendokumen<br />
rahasia negara, terutama milik pemerintah Amerika Serikat.<br />
Situasi ini bisa berkembang jauh lebih parah jika nasib Julian Assange tidak jelas. Pasalnya,<br />
Julian Assange ditangkap atas tuduhan pelecehan seksual dan pemerkosaan di Swedia. Tuduhan<br />
itu disangkal Assange, dan banyak pengamat juga tidak meyakini tuduhan tersebut. Penangkapan<br />
Assange justru diduga untuk ―menyandera‖ WikiLeaks agar berhenti membocorkan dukumen<br />
rahasia negara.<br />
Jika tuduhan itu tidak terbukti, ini bisa memicu reaksi lebih besar lagi. Bukan tidak mungkin<br />
dengan kemampuan WikiLeaks saat ini dan didukung jaringan hack-tivist, mereka bisa saja
mengacaukan bahkan merusak sistem jaringan internet global. Kalau itu sampai terjadi, bukan<br />
hanya institusi pemerintahan yang dirugikan, semua masyarakat dunia akan terkena imbasnya.<br />
Mengantisipasi hal-hal terburuk ke depan, hemat penulis, setidaknya ada dua alternatif pilihan<br />
bagi pemerintah <strong>Indonesia</strong>. Pertama, untuk sementara waktu memutuskan jaringan komputer<br />
pemerintah terutama yang menyimpan data-data rahasia dari koneksi internet global. Ini adalah<br />
pilihan terburuk karena konsekuensinya akan mengganggu efektivitas dan lalu lintas jaringan<br />
iformasi dan komunikasi pemerintahan. Tetapi pilihan ini tetap menjadi alternatif dalam situasi<br />
yang darurat.<br />
Kedua, pilihan paling rasional untuk jangka panjang adalah, pemerintah sudah saatnya<br />
mempertimbangkan kerja sama dengan jaringan hacker. Jadikan mereka partner untuk<br />
melindungi situs-situs vital pemerintah. Jika perlu, mereka sebaiknya direkrut untuk dijadikan<br />
polisi-polisi cyber. Karena merekalah yang paling jeli menemukan celah-celah yang bisa<br />
disusupi, sekaligus menutupi celah tersebut.[]
Berkaca Kepada Timnas<br />
Sepak terjang Timnas Sepak Bola <strong>Indonesia</strong> di Piala AFF 2010 usai sudah. Walaupun hasil yang<br />
diraih tidak sesuai impian, Timnas telah memberikan spirit baru bagi rakyat <strong>Indonesia</strong> di tengah<br />
hilangnya kepercayaan mereka kepada para pemimpin politik. Kemenangan <strong>Indonesia</strong> dalam<br />
beberapa pertandingan menumbuhkan semangat baru bahwa sepak bola negeri kita sedang<br />
mengalami kemajuan yang patut diapresiasi oleh siapa pun dan kalangan apa pun masyarakat<br />
<strong>Indonesia</strong>.<br />
Sejak awal dinyanyikan lagu ―<strong>Indonesia</strong> Raya‖ sebelum pertandingan, begitu terasa semangat<br />
patriotisme dalam mewujudkan optimisme bernegara. Sejarah buruk sepak bola <strong>Indonesia</strong> yang<br />
penuh dengan anarkisme pendukung harus segera dihilangkan. Pemain dengan gaya permainan<br />
kasar seperti pernah ditunjukkan Gonzales — yang dihukum akibat aksi pemukulan —<br />
merupakan sejarah buruk yang harus ditinggalkan. Gonzales pun menyadari kesalahan dan<br />
bangkit untuk menorehkan sejarah baru bagi <strong>Indonesia</strong>.<br />
Pengurus Persatuan Sepak Bola Seluruh <strong>Indonesia</strong> (PSSI) seharusnya mulai berbenah bukan<br />
untuk mengurusi polemik organisasi. PSSI harus mulai memperhatikan kebutuhan dasar para<br />
pemain, pelatih, dan prasarana permainan yang memadai. Aksi-aksi pendukung fanatik di luar<br />
lapangan yang merusak fasilitas umum akibat kekalahan tim kesayangan harus disadari sebagai<br />
tindakan yang tidak membawa kebaikan bagi sepak bola kita.<br />
Optimisme para pemain sepak bola perlu menjadi contoh bagi para pemimpin negeri ini agar<br />
sadar dan ikut bangkit melakukan pembenahan di setiap lini yang telah sekian lama bobrok,<br />
terutama dalam kepemimpinan. Optimisme bernegara sangat penting dalam membenahi setiap<br />
lini pemerintah yang belum keluar dari kebobrokan. Soal korupsi dan manajemen buruk<br />
birokrasi, kasus suap Gayus, dan bobroknya manajemen pajak, kasus bailout Bank Century,<br />
korupsi di pemerintah pusat dan daerah, semua harus menjadi prioritas pembenahan agar dana<br />
APBN dimaksimalkan untuk pemenuhan kebutuhan rakyat, bukan kebutuhan pejabat.<br />
Soliditas para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Senayan dan daerah juga tidak lepas<br />
dari obrolan euforia sepak bola yang menyedot perhatian lebih. Sangat diharapkan mereka tidak<br />
melupakan fokus pengesahan Rancangan UU Partai Politik dan konflik keistimewaan DIY yang<br />
harus diselesaikan. Para wakil rakyat yang selama ini berkutat dengan permasalahan klasik<br />
seperti agenda jalan-jalan ke luar negeri dan buruknya kinerja DPR yang seharusnya giat<br />
melakukan pengawasan seharusnya juga mulai sadar dan berbenah.<br />
Program pembuatan dan pengesahan UU yang baru mengesahkan lima belas UU — kurang dari<br />
target yang ditetapkan setahun — harus dibenahi. Rakyat butuh kejelasan aturan di negeri ini<br />
yang terlalu lama menggunakan hukum warisan Belanda yang sudah tidak layak dipakai untuk<br />
pedoman hukum di <strong>Indonesia</strong>. Para wakil rakyat di DPR harus berkaca kepada semangat Timnas<br />
dan optimistis untuk semakin banyak mencetak UU demi kepentingan rakyat yang menunggu<br />
payung hukum demi mewujudkan keberpihakan pada kepentingan dan kesejahteraan rakyat.
Intitusi hukum seperti Polri, MA, dan KPK diharapkan juga berkaca kepada semangat Timnas<br />
dan optimistis untuk bekerja sama satu sama lain, bukan untuk saling melemahkan antarlembaga.<br />
Dengan tim yang solid, permasalahan di negeri ini akan bisa diselesaikan dan harapan besar<br />
<strong>Indonesia</strong> akan bangkit dari keterpurukan dapat terealisasi. Makelar dan mafia kasus di tubuh<br />
institusi hukum harus diberantas tanpa pandang bulu. Dengan kepemimpinan baru Jenderal<br />
Timur Pradopo di tubuh Polri ada tantangan besar memperbaiki citra Polri di mata masyarakat.<br />
Jaksa Agung baru, Basrif Arief, diharapkan mampu membersihkan para makelar kasus di tubuh<br />
Kejaksaan Agung.<br />
Kemenangan ada di tangan kebenaran, bukan pada yang berani membayar. KPK diharapkan<br />
mampu membuktikan diri dan benar-benar membersihkan negeri ini dari pejabat korup.<br />
Pelajaran berharga yang sama-sama kita ambil dari Timnas <strong>Indonesia</strong> adalah pelajaran tentang<br />
optimisme, sebuah pelajaran tentang perjuangan yang memberikan hasil baik dari keadaan<br />
sebelumnya. Tidak berpikir lagi, seberapa banyak gagal dalam pertandingan, tetapi Timnas<br />
optimistis dan terus berusaha bangkit untuk menjadi lebih baik. Demikian pula pada kondisi<br />
politik negeri ini, kita harus optimis bahwa bagaimanapun buruknya manajemen pemerintahan<br />
negeri ini, yang kita butuhkan adalah optimisme bernegara.<br />
Kita yakin <strong>Indonesia</strong> akan menjadi lebih baik dengan dimulai dari diri kita melakukan perbaikan<br />
di setiap lini apa pun. Bangsa dengan kekayaan alam yang melimpah ruah, bangsa yang merdeka<br />
dengan pengorbanan para pejuang. Bangsa yang bisa berdiri tegak karena optimisme bernegara.<br />
Oleh karena itu, kita harus optimistis dalam bernegara, demi <strong>Indonesia</strong> yang lebih baik.<br />
Optimisme Timnas adalah inspirasi yang menggugah kita. []
Etnis Tiongkok di <strong>Indonesia</strong><br />
Secara kuantitatif, etnis Cina masih merupakan golongan keturunan asing terbesar dibandingkan<br />
etnis asing lainnya di <strong>Indonesia</strong>. Bahkan golongan yang kemudian dikenal sebagai ―Overseas<br />
Chinese‖ ini kini telah tersebar diseluruh penjuru Nusantara ini.<br />
Eksistensi etnis Cina di <strong>Indonesia</strong> memang cukup lama. Menurut data sejarah, bangsa Cina<br />
pertamakali datang ke <strong>Indonesia</strong> diperkirakan sejak abad ke-5, tepatnya 411 M.<br />
Dalam catatan sejarah, orang Cina yang pertamakali datang ke Nusantara adalah Fa Hian.<br />
Kedatangannya dalam rangka melaksanakan tugas untuk mengumpulkan kitab suci agama<br />
Budha.<br />
Semenjak kemunculannya, perjuangan eksistensi etnis Cina di <strong>Indonesia</strong> tidak-lah indah. Ribuan<br />
nyawa dan kekayaan telah dikorbankan atau menjadi korban sebagai wujud perjuangan etnis<br />
Cina untuk bertahan eksis dinegeri ini.<br />
Sajian sejarah pilu perjuangan etnis Cina dalam tulisan ini tidak bermaksud membuka kembali<br />
luka lama, akan tetapi, sajian sejarah ini bisa menjadi titik tolak bagaimana pentingnya<br />
menumbuhkan sikap saling menghargai terhadap etnis yang berbeda, atau agama yang berbeda.<br />
Konflik pribumi dengan etnis Cina sebenarnya sudah terjadi ketika pertama kali etnis Cina<br />
datang ke Nusantara. Sikap anti Cina semakin kuat pada zaman Orde Lama (ORLA) tahun 1959<br />
dengan munculnya keputusan larangan dagang bagi orang asing termasuk Cina. Kondisi ini<br />
membuat para pedagang Cina mendapat kesulitan. Buah dari kondisi ini, ada sekitar 100 ribu<br />
etnis Cina mencoba lari dari <strong>Indonesia</strong> menuju negeri asalnya.<br />
Hubungan disharmonis semakin mengkristal terlebih setelah adanya kebijakan pemerintah<br />
ORBA terkait dengan etnis Cina di <strong>Indonesia</strong>; Keputusan Presidium Kabinet<br />
No.127/U/Kep/12/1966 menganai ganti nama bagi warga negara <strong>Indonesia</strong> yang memakai nama<br />
Cina. Instruksi Presiden No. 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina.<br />
Instruksi Mendagri No. X/01 tahun 1977 tentang petunjuk pelaksanaan pendaftaran penduduk<br />
yang membuat warga keturunan dibedakan dengan warga pribumi.<br />
Sikap anti Cina berujung di bulan Mei 1998 di Jakarta yang kemudian dikenal sebagai ―Tragedi<br />
Mei‖. Kerusuhan ini merupakan yang terparah dibandingkan dinegara lainnya, sehingga tak<br />
berlebihan jika Wang Guwu mengatakan bahwa;<br />
‖tidak ada suatu golongan Cina perantauan di dunia yang mengalami demikian banyak<br />
keguncangan seperti yang dialami oleh minoritas Cina di <strong>Indonesia</strong>.‖<br />
Serangkaian sikap anti Cina di atas menurut hemat saya dipicu oleh beberapa faktor; diantaranya<br />
persaingan ekonomi, politik dan agama. Lebih dari itu, faktor yang sifatnya psikologis juga ikut
memperkeruh, diantaranya adalah adanya ketidaksiapan masyarakat Cina dan Pribumi untuk<br />
hidup dalam masyarakat yang majemuk ini.<br />
Adanya ketidaksiapan ini dipicu sikap ―chauvinisme budaya‖. Dalam hal ini orang Cina<br />
kerapkali menampilkan egoisme etnis dan menganggap bahwa mereka lebih hebat dan memiliki<br />
kebudayaan yang tinggi di bandingkan dengan masyarakat pribumi. Jika perasaan ini masih tetap<br />
tumbuh dikalangan etnis Cina, maka prasangkan dan kebencian terhadap etnis Cina akan sulit<br />
untuk dihilangkan.<br />
Sikap anti Cina mulai meredup pada masa Reformasi. Hal tersebut terlihat dari ungkapan<br />
Presiden RI saat itu yakni B.J Habibie yang mengatakan;<br />
‖bangsa <strong>Indonesia</strong> tidak mengenal perbedaan berdasarkan SARA. Menurutnya seluruh warga<br />
negara <strong>Indonesia</strong> adalah pribumi selama mereka masih memiliki komitmen terhadap kehidupan<br />
berbangsa dan bernegara di <strong>Indonesia</strong>. Walaupun lahir dari keturunan pribumi, tetapi tidak<br />
memiliki komitmen terhadap persoalan kebangsaan, maka kualitas kebangsaannya perlu<br />
dipertanyakan.‖<br />
Dengan statemen ini, nasib etnis Cina mulai tercerahkan. ‖Udara segar‖ semakin leluasa dihirup<br />
oleh mereka tepatnya pada masa pemerintahan Gusdur (Alm).<br />
Ia menggagas ide pembauran sejati antara pribumi dan etnis Cina. Pada masa ini, mulai dipahami<br />
sebagai bagian dari kemajemukan budaya, dan mulai dihapuskannya beberapa peraturan negara<br />
yang cenderung merugikan etnis Cina. Salah satunya adalah perayaan Imlek dan upacara adat<br />
Cina lainnya yang sebelumnya dilarang kini sudah mulai diperbolehkan. Bahkan untuk kasus<br />
hari raya Imlek telah dijadikan sebagai hari libur nasional yang harus dihormati oleh seluruh<br />
warga <strong>Indonesia</strong>..<br />
Dengan momen Imlek ini, sejatinya kita sebagai warga <strong>Indonesia</strong> yang dikenal akan keramahan<br />
dan kesantunannya dan etnis Cina, untuk selalu mengedepankan dan memupuk kembali ―pohon‖<br />
perdamaian dan menjalin harmoni. Dan kepada etnis Cina, saya mengucapkan selamat<br />
memperingati hari Imlek, marilah kita jalin kembali tali persaudaraan yang sempat pupus. []
Kehidupan Harmonis<br />
Menjamurnya deklarasi damai dan kerukunan antarumat bergama di Jawa Barat (Bandung,<br />
Garut, Sukabumi, Cianjur,Tasikmalaya, Cirebon) pascatragedi Cikeusik, Temanggung, Sidoarjo<br />
merupakan upaya memerangi perilaku kekerasan atas nama agama.<br />
Setiap ajaran agama mengajarkan umatnya untuk selalu berbuat kebajikan, kebijaksanaan,<br />
kedamaian, saling menghormati, menghargai dan melarang pengikutnya melakukan segala<br />
tindakan kejahatan sekaligus tidak dibenarkan dalam merusak tempat ibadah, hingga<br />
menghilangkan nyawa orang.<br />
Sejatinya, kehadiran perayaan hari raya Nyepi 1933 Saka yang jatuh pada tanggal 05 Maret 2011<br />
harus menjadi modalutama dalam membangun (kehidupan) keharmonisan dialog antaragama dan<br />
membawa pesan kedamaian bagi kerukunan hidup beragama di Bumi Pertiwi yang kian pudar.<br />
Berkah Nyepi<br />
Segenap umat Hindu di mana pun berada meyakini keharmonisan dan perdamaian sebagai<br />
berkah terpenting dalam perayaan Nyepi. Ingat, perayaan Tahun Baru Saka selalu bertepatan<br />
dengan tanggal satu bulan kesepuluh (Eka Sukla Paksa Waisak), sehari setelah Tilem Kasanga<br />
(Panca Dasi Krsna Paksa Caitra). Berkat kegigihan Raja Kaniskha dari Dinasti Kushana, suku<br />
bangsa Yuehchi, pada 78 atau 79 Masehi peresmian Nyepi akhirnya dimulai dan dilaksanakan<br />
secara besar-besaran.<br />
Dalam perjalannanya beberapa tahapan upacara pun harus dilakukan. Pertama, Melasti<br />
(pertobatan). Kedua, Tawur Agung (mengembalikan keseimbangan alam, manusia). Ketiga,<br />
Brata Penyepian (empat ritual puasa: amati geni/tidak menyalakan api, amati karya/tidak<br />
melakukan pekerjaan sehari-hari, amati lelungan/tidak bepergian, amati lelanguan/tidak<br />
menghibur diri serta tidak boleh memasak dan memakai lampu penerangan). Keempat, Ngembak<br />
Geni (melakukan darma santi/ibadah sosial berupa silaturahim kepada sanak kerabat dan<br />
tetangga).<br />
Cita-cita agung dari perayaan ini adalah mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir batin<br />
(jagadhita dan moksa), terbinanya kehidupan yang berlandaskan kebenaran (satyan), kesucian<br />
(siwam), kedamaian (sundaram) keharmonisan dan keindahan (sundaram).<br />
Kuatnya, usaha untuk menjalankan ajaran Hindu dalam kehidupan sehar-hari, maka Parisada<br />
Hindu Dharma <strong>Indonesia</strong> (PHDI) menggelar acara Dharma Santi Nyepi Tahun Saka 1933 (2011)<br />
bertajuk ―Dengan Melaksanakan Catur Brata Nyepi Kita Wujudkan Kehidupan yang Harmonis,<br />
Damai dan Sejahtera‖ di di GOR Ahamd Yani, Mabes TNI Cilangkap, 20 Maret 2011.
Perayaan Hari Raya Nyepi merupakan salah satu perwujudan pengalaman ajaran agama sebagai<br />
sikap bhakti kehadapan Hyang Widhi Wasa dan memberikan makna bagi eksistensi umat Hindu<br />
di tengah-tengah bangsa yang majemuk dengan berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat,<br />
berbangsa dan bernegara melalui jalur kehidupan beragama.<br />
Semakin merosotnya nilai-nilai moral dan etika di masyarakat, kurangnya rasa setiakawanan dan<br />
menurunnya rasa kebersamaan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik <strong>Indonesia</strong> menjadi<br />
penghambat upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan.<br />
Hendaknya Perayaan Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1933 dijadikan momentum untuk<br />
mawas diri, merenungkan dalam suasana hening dharma bhakti yang patut dilaksanakn pada<br />
tahun yang silam guna membangun kehidupan masyarakat yang lebih harmonis, damai dan<br />
sejahtera. (Kerangka Acuan Dharma Santi Nasional Perayaan Hari Raya Nyepi Tahun Baru<br />
Saka 19933 Masyarakat-KORPRI-TNI-POLRI)<br />
Pentingnya hidup, damai, harmonis, toleran dan saling menghargai orang lain termaktub dalam<br />
Bhagawadgita, 4:11; Jalan mana pun yang ditempuh seseorang kepada-Ku, Aku memberinya<br />
nugerah setimpal. Semua orang mencari-Ku dengan berbagai jalan, wahai putera Partha (Arjuna)<br />
Kiranya kita harus mendengungkan pesan Mahatma Gandhi saat ditanya apakah menurutnya<br />
antikekerasan sungguh-sungguh cara terbaik untuk menyelesaikan konflik. ―Tidak‖ jawabnya.<br />
―Antikekerasan bukanlah cara terbaik, melainkan satu-satunya cara‖<br />
Mudah-mudahan segala bentuk kekerasan atas nama apa pun di bumi hanguskan dari nusantara.<br />
Inilah makna terdalam Nyepi dalam mewujudkna kehidupan bermasyarakat, berbangsa,<br />
bernegara yang harmonis, damai dan sejahtera. Selamat Hari Raya Nyepi 1933.[]
Kejahatan Berpayung Agama<br />
Membela agama sebagai sesuatu yang kita yakini kebenarannya agar tegak di bumi ini adalah<br />
sebuah kewajiban pemeluk agama–apapun agamanya. Akan tetapi jika melegalkan prilaku<br />
kejahatan–apa pun bentuknya tentunya tidak dibenarkan oleh agama–apa pun juga agamanya<br />
termasuk di dalamnya <strong>Islam</strong>.<br />
Akan tetapi fenomena seperti itu-lah yang kini marak terjadi seperti yang diberitakan di media–<br />
baik itu cetak maupun elektronik. Meminjam istilah Charles Kimball, dalam bukunya ―When<br />
Religion Becomes Evil‖ bahwa ajaran agama kerap kali di ―korup‖.<br />
Jika memang betul prilaku kejahatan seperti perampokkan, pengrusakan, penganiyayaan dengan<br />
dalih demi perjuangan <strong>Islam</strong> seperti yang diberitakkan media bagaimanapun tak dapat<br />
dibenarkan oleh agama. Karena semua agama tak akan mentolerir penganutnya melagalkan<br />
kejahatan meskipun menurut mereka demi memperjuangkan tegaknya agama.<br />
Memang pada kenyataannya disemua doktrin agama yang tertera dalam kitab sucinya terdapat<br />
ajaran-ajaran yang keras,–seperti jihad dalam <strong>Islam</strong> atau perang suci dalam Kristen. Akan tetapi<br />
semuanya itu tentunya mempunyai konteksnya. Karena itu-lah maka kita sebagai penganut<br />
agama ketika menafsirkan ajaran agama tidak boleh meninggalkan konteks ―turunnya‖ ajaran<br />
tersebut.<br />
Jika kita meninggalkan konteksnya, maka pemahaman akan ajaran tersebut akan ―kering‖<br />
sehingga yang mencul kemudian adalah prilaku ekstrim dan redikal. Itu-lah menurut saya yang<br />
banyak muncul akhir-akhir ini disetiap penganut agama.<br />
Jika kita sebagai penganut agama mau merenungkan barang sejenak, maka semua pemeluk<br />
agama-agama di dunia ini termasuk di dalamnya masyarakat pemeluk agama lokal sekali pun<br />
meyakini bahwa fungsi utama agama atau kepercayaan yang dipeluknya itu adalah memandu<br />
kehidupan manusia agar memperoleh keselamatan di dunia dan keselamatan sesudah hari<br />
kematian.<br />
Kalau saya boleh mengatakan, agama memang seperti ―benda mati‖ yang tergantung dengan<br />
penganutnya. Agama bisa dibuat berwatak jahat jika penganutnya memang berpola fikir jahat,<br />
begitu sebaliknya, agama akan menjadi baik dan humanis jika kita menafsirkan ajarannya<br />
dengan tujuan baik.<br />
Meskipun begitu, sampai saat ini saya masih meyakini bahwa semua agama sebanarnya<br />
mengajarkan kasih sayang pada sesama manusia dan sesama makhluk Tuhan, alam tumbuhtumbuhan,<br />
hewan, hingga benda mati sekali pun. Saya masih meyakini juga bahwa Tuhan<br />
sebagai ―peracik agama‖ lebih menyukai kebaikan dibandingkan keburukan meskipun Tuhan<br />
menciptakan keduanya. Karena sebaliknya, jika agama melegalkan prilaku kejahatan, maka<br />
yakin-lah dalam waktu singkat agama tersebut akan ditinggalkan penganutnya.
Akan tetapi perbincangan tentang agama dan prilaku penganutnya yang aneh-aneh itu memang<br />
tidak akan pernah selesai, seiring dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Baik secara<br />
teologis maupun sosiologis, karena agama dapat dipandang sebagai instrument untuk memahami<br />
dunia. Dengan ciri ini, dimanapun suatu agama berada, dapat memberi panduan nilai bagi<br />
seluruh diskursus kegiatan manusia sehari-hari.<br />
Karena itu, tugas kita selanjutnya yang maha penting adalah bagaimana memelihara dan<br />
merawat agama yang kita yakini itu agar senantiasa hidup dan menyala sebagai penyejuk di<br />
dalam hati nurani manusia <strong>Indonesia</strong>. Hilangkan pola berfikir redikal dalam memahami agama,<br />
jika kita mau agama yang kita yakni ini bertambah ‖penggemarnya‖. Karena sebaliknya, jika<br />
agama yang kita yakini ini ‖berwajah‖ menyeramkan, maka celaan yang akan kita dapatkan.<br />
Jika saja sikap seperti itu yang terus kita pupuk, dipelihara dan selalu menjadi ikhtiar tindakan<br />
seluruh manusia <strong>Indonesia</strong>, mungkin tak akan ada lagi anak yang harus kehilangan bapak atau<br />
ibunya hanya karena beda agama, pemahaman agama, aliran politik, etnisitas dan aroma rasis<br />
lainnya yang ditimbulkan karena salah memahami agamanya. Juga tak akan ada lagi rumah dan<br />
harta benda yang dijarah dan dibakar hanya karena perbedaan identitas.<br />
Karena itu, kita harus percaya dan optimis bahwa setiap konflik, kejahatan, redikalisme,<br />
terorisme itu pasti ada resolusinya. Marilah kita berlomba-lomba untuk menjaga masing-masing<br />
agama kita dengan cara yang santun. Mari kita bertekad dan tinggalkan prilaku kejahatan yang<br />
mengatasnamakan dalih agama, dan buanglah jau-jauh dari pola berfikir kita. Mudah-mudahan !.<br />
[]
Mempelajari Kepemimpinan “Tao”<br />
Berdirinya rumah pengaduan kebohongan publik di Maarif Instutute, Jakarta Selatan merupakan<br />
keseriusan Badan Pekerja Gerakan Tokoh Lintas Agama yang menjadikan tahun 2011 sebagai<br />
momentum peperang melawan kebohongan publik pasca digelarnya diskusi dan dengar pendapat<br />
publik. Peristiwa itu Pertama, digelar di gedung Dakwah PP Muhammadiyah, Senin (10/1).<br />
Kedua, di Persekutuan Gereja-Gereja di <strong>Indonesia</strong>, Jumat (14/1).<br />
Meski 19 kebohongan (8 lama dan 8 baru) yang disuarakan tokoh lintas agama ini mendapatkan<br />
respon dari pemerintah SBY dengan digelarnya pertemuan Presiden SBY-Tokoh Lintas Agama<br />
di Istana Negara Senin (17/1) tidak menghasilkan kesepakan apa-apa kecuali berkumpul santai<br />
semata dan menggelar petemuan lanjutan. (‖PR‖, 18/1)<br />
Memudarnya tradisi antikritik di bumi persada (pemimpin) ini menunjukan bangsa <strong>Indonesia</strong><br />
bangga dalam melakukan kehilafan. Seolah-olah tidak marasa bersalah dan malu bila melakukan<br />
perbuatan lalim. Alhasil, popularitas SBY pun kian anjlok, seperti dirilis Lembaga Survei<br />
<strong>Indonesia</strong> (LSI) pada tanggal 6 Januari 2011. Hasil Survei terakhir pada 18-30 Desesember 2010<br />
dan menggunakan sampel sekira 1.229 responden melalui wawancara tatap muka menunjukan<br />
penurunan yang paling buruk. (www.lsi.or.id)<br />
Kuatnya gerakan moral tokoh lintasa agama untuk tetap menyuarakan nurani masyarakat bawah<br />
(grass roots) memberikan inspirasi positif terhadap 100 tokoh pergerakan yang menjadikan tahun<br />
2011 sebagai tahun kebenaran.<br />
Adakah pelajaran yang bisa petik dari pergantian Hari Raya Tahun China (Xin Nian) yang<br />
diperingati setiap tanggal 1 Imlek (2562) dengan sio Kelinci unsur logam polar Yin yang jatuh<br />
pada tanggal 3 Februari 2011 di tengah-tengah kepemimpinan bangsa yang kian tertutup dan<br />
antikritik ini?<br />
Penanggalan Kongzi<br />
Adalah Kongzi, Khongcu atau Confucius hidup pada jaman Dinasti Zhou (551-479 SM). Kala<br />
itu, ia menganjurkan agar Dinasti Zhou kembali menggunakan Kalender Xia, sebab tahun<br />
barunya jatuh pada musim semi, sehingga cocok dijadikan pedoman bercocok tanam.<br />
Namun nasihat ini baru dilaksanakan Han Wu Di dari Dinasti Han (140-86 sM) pada 104 SM.<br />
Semenjak itulah Kalender Xia dipakai. Kini dikenal dengan sebagai Kalender Imlek.<br />
Upaya penghormatan kepada Kongzi, perhitungan tahun pertama Kalender Imlek ditetapkan oleh<br />
Han Wu Di dihitung sejak kelahiran Kongzi, yaitu sejak tahun 551 SM. Itulah sebabnya<br />
Kalender Imlek lebih awal 551 tahun ketimbang Kalender Masehi. Jika sekarang Kalender<br />
Masehi bertahunkan 2011, maka Kalender Imlek bertahunkan 2011+551=2562.
Pada saat bersamaan agama Khonghucu (Ru Jiao) ditetapkan Han Wu Di sebagai agama negara.<br />
Sejak saat itu penanggalan Imlek juga dikenal sebagai Kongli (Penanggalan Kongzi).<br />
Kebaikan Nabi Kongzi tu, termaktub dalam Kitab Tiong Yong (XXX : 4)/Zhong Yong, ―Maka<br />
gema namanya meliput seluruh Tiongkok, terberita sampai ke tempat Bangsa Ban/Man, dan<br />
Bek/Mo, sampai kemana saja perahu dan kereta dapat mencapainya, tenaga manusia dapat<br />
menempuhnya, yang dinaungi langit, yang didukung bumi, yang disinari matahari dan bulan,<br />
yang ditimpa salju dan embun, semua makhluk yang berdarah dan bernafas, tiada yang tidak<br />
menjunjung dan mencintaiNya.‖ (www.matakin-indonesia.org)<br />
Kepemimpinan “Tao”<br />
Umat Khonghucu menyakini manusia adalah pemberian dari langit, maka kekaisaran China<br />
sering disebut sebagai putra surgawi. Ia mewakili kekuatan-kekuatan alam yang memerintah<br />
dunia.<br />
Dengan demikian, para pemimpin penguasa dan orang-orang bijaksana perlu mempelajari pelaku<br />
alam yang memiliki kemampuan pemimpin manusia ke jalan yang terbaik sesuai dengan<br />
keselarasan alam (harmoni cosmos).<br />
Seorang yang mempelajari Tao umpamanya berusaha mempelajari perilaku air, salah satu benda<br />
alam yang paling banyak menarik perhatian penganut Tao. Seorang pemimpin dapat menarik<br />
ibarat dari perilaku air yang selalu bergerak tapi diam-diam yang tampaknya lembek sekaligus<br />
memiliki kekuatan yang dahsat; mampu menyesuaikan diri di mana pun tetapi sebenarnya<br />
mengalir ke tujuan akhir. Air memberi gambaran dari satu perinsip Tao yang disebut Wu-wei,<br />
suatu pengertian yang sulit dimengerti kecuali dengan melihat suatu contoh atau ibarat seperti<br />
yang dapat dilihat dari perilaku air.<br />
Wu-wei dalam ajaran Tao adalah sauatu cara yang mengandung kekuatan tapi pengertiannya<br />
sulit untuk dijelaskan dan karena itu diterangkan dengan amsal, misalnya bayi yang tak berdaya<br />
tapi mempu mendominasi perhatian selurh keluarga. Air yang lembut dan tenang tapi mampu<br />
mengikis batu karang atau lebah yang rendah tapi lebih mempu menahan angin dari gununung.<br />
Nabi agama Tao Lao-tze mengakui ihwal ajaran-ajaran yang disampaikan itu sulit dijalankan.<br />
Walaupun mudah dimengerti karena secara harfiah mudah dipahami, misalnya dalam ungkapan<br />
―Kata-kata saya‖ kata Lao-tze ―Sangat mudah untuk dipahami, tapi tak ada seorang pun yang<br />
mempu melaksanakannya. Perbuatan-perbuatan saya bersumber dari Tao‖<br />
Mari kita belajar arti kepemimpinan dari Tao Te Ching yang hanya berisikan lebih kurang 5.000<br />
kata-kata bijak pada abad 5 SM ditulis ulang oleh John Heider. Ia mengawali tulisannya<br />
―Keberhasilan saya mempergunakan Tao telah membawa saya ke arah aplikasi yang lebih luas,<br />
terutama untuk kalangan generasi muda yang begitu tertarik kepada soal peranan kepemipinan<br />
dan manajemen sumber daya manusia yang canggih. Adaptasi ini saya percaya akan sangat
erharga begi setiap orang yang menginginkan posisi kepemimpinan. Apakah itu di dalam<br />
keluarga, kelompok, gereja, sekolah, dalam administrasi bisnis, militer, politik maupun<br />
pemerintah‖<br />
Baginya, manuskrip itu bisa mempersatukan keterampilan memimpin dengan paham hidup<br />
pemimpin yang bersangkutan. Jalan yang ditempuh adalah melalui pekerjaan itu sendiri.<br />
Sebagai metode kepemimpinan Tao menuntun seorang pemimpin mendidik orang lain sesuai<br />
dengan hukum-hukum alam. Ini merupakan cara (sikap) hidup bagi pemimpin itu sendiri yaitu<br />
tentang bagaimana hidup secara harmonis dengan alam. Apa yang disebut hukum-hukum alam<br />
dalam ajaran Tao ini tidak lain adalah tentang bagimana segala peristiwa itu terjadi.<br />
―Manusia mengambil hukum dari bumi‖ kata Lao-tze ―Dan bumi mengambil hukum dari langit<br />
dan langit mengambilnya dari Tao dan hukum Tao adalah apa yang terjadi itu‖<br />
Bila dibandingkan dengan para ahli fisika yang mempelajari hukum-hukum matematis yang<br />
berlaku di alam semesta. Metode Tao hanya mengambil ibarat saja, seolah-olah alam hanya<br />
memberi gambaran tentang perilaku yang patut dicontoh oleh manusia. Misalnya seorang<br />
pemimpin mengambil amsal dari sebuah danau di lembah;<br />
―Dapatkah anda belajar untuk bersikap terbuka dan reseptif, tenang, seolah-olah memiliki hasrat<br />
atau tak ingin berbuat sesuatu? Keterbukaan dan reseptif disebut Yin, seperti wanita (lembah).<br />
Bayangkan di lembah itu ada danau. Bila tak ada kekhawatiran dan hasrat yang mengacaukan<br />
permukaan danau itu, maka airnya akan membentuk sebuah cermin yang sempurna. Dalam<br />
cermin itu, engau akan melihat pantulan Tao. Engkau akan melihat kehadiran Tuhan dan engkau<br />
akan melihat penciptaan. Pergilah ke lembah, tenanglah dan perhatikan danau itu. Pergilah<br />
sesering yang engkau suka. Kesunyian dalam dirimu akan tumbuh. Danau itu tak akan kering.<br />
Lembah, danau dan Tao akan bersemayam dalam dirimu‖<br />
Kata-kata di atas hanyalah sebuah adaptasi John Heider terhadap petuah Tao yang mengajarkan<br />
bagaimana seorang pemimpin bersikap terbuka. ―Celakalah para pemimpin yang tidak<br />
memahami ayat-ayat Tao di atas‖<br />
Untuk menjadi pemimpin yang bijaksana seseorang harus bisa belajar dari air. Tanpa membedabedakan<br />
dan tanpa penilaian. Air itu membasuh dan menyegarkan segala sesuatu. Dengan<br />
bebasnya dan tanpa rasa takut. Air itu bergerak di bawah permukaan; cair, lentur dan kerena itu<br />
responsif; mengikuti hukum dengan rasa bebabas dan merdeka.<br />
Seorang pemimpin itu tanpa mengeluh (soal gaji Presiden yang hampir 7 tahun tidak pernah<br />
naik) bekerja dengan siapa pun dan menghadapi masalah apa pun; memberi dan bukan menarik<br />
manfaat; berbicara sederhana dan jujur. Ia hanya melakukan intervensi untuk menjelaskan<br />
sesuatu dan menciptakan harmoni. Dengan belajar perilaku air, (timing) pemilihan waktu itu<br />
penting dalam melakukan sesuatu tindakan. Sebagaimana air seorang pemimpin harus mampu
menghasilkan sesuatu. Ia tidak boleh memaksa dan jangan sampai anak buah itu membangkang<br />
justru karena didorong.<br />
Bagi orang yang ingin menjadi pemimpin yang bijaksana Tao mengajarkan; Pertama, Belajarlah<br />
memimpin dengan mengmbangkan. Kedua, Belajarlah memimpin tanpa niat menguasai orang.<br />
Ketiga, Belajarlah memberi tanpa mengambil manfaat. Keempat, Belajarlah memimpin tanpa<br />
memaksa. (Jurnal Uluml Qur‘an No 3 Vol 1 1989/1410 H)<br />
Konfucius pun mengikuti Dao (Tao) tetapi berbeda dari Lao-tzu, ia menekankan pentingnya<br />
kehidupan bermasyarakat. Manusia dalam kenyataannya selalu hidup bersama dengan manusia<br />
lain. Alam telah menempatkan manusia dalam sebuah kehidupan sosial. Oleh karena itu,<br />
kehidupan bermasyarakat menjadi bagian penting dari hidup manusia. Konfucius menekankan<br />
seorang manusia dalam hubungannya dengan manusia lain harus mengikuti tatacara kehidupan<br />
yang telah dibangun oleh para orang bijak kuno sesuai dengan tatacara alam (Dao).<br />
Dalam kitab Mengzi (Mengsius) dituliskan petunjuk bagi manusia: ―Tinggal di dalam rumah<br />
besar dunia ini, mempertahankan posisi yang betul dalam dunia, dan mengikuti Dao yang agung<br />
dari dunia ini.‖ Semua perilaku manusia harus merujuk kepada alam yang telah miliaran tahun<br />
menata diri dalam harmoni. Alam pun telah menunjukkan apa itu pemimpin dan bagaimana ia<br />
harus berperilaku. (www.bagustakwin.multiply.com)<br />
Kiranya, petuah Rasul Tuntunlah ilmu. Walau sampai ke negeri China layak kita dengungkan.<br />
Bagi M Dawam Rahardjo dari China kita bisa memungut hikmah kepemimpinan melalui hikayat<br />
Tao Te Ching.<br />
Inilah salah satu pelajaran berharga yang bisa kita ambil dari kehadiran Imlek.Semoga tibanya<br />
tahun Kelinci ini para pemimpin bangsa ini semakin terbuka, arif, bijaksana dalam menghadapi<br />
persoalan kebangsaan, keumatan dan keindonesiaan. Selamat Hari Raya Imlek 2562. Gong Xi Fa<br />
Cai.[]
Nabi dan Kota Makkah<br />
Jutaan kaum muslimin diseluruh dunia melakukan perayaan maulid sebagai tanda mengenang<br />
hari kelahiran Nabi Muhammad saw yang dikenal sebagai khatamannabiyiin (pamungkas Nabi).<br />
Perayaan itu di <strong>Indonesia</strong> dikenal dengan disebut ―muludan‖.<br />
Perayaan maulid di <strong>Indonesia</strong> dilakukan dengan beragam cara; ada yang merayakannya dengan<br />
bentuk pengajian dengan mengundang para da‘i-da‘i kondang untuk menceritakan sejarah<br />
kehidupan Nabi, ada juga yang merayakannya dengan tradisi ―riungan‖, yakni sebuah acara<br />
kumpul-kumpul dengan saling membawa berbagai macam bentuk makanan yang kemudian<br />
diringi dengan ritual do‘a dan lainnya.<br />
Terlepas dari itu semua, apa pun bentuknya, semua itu bertujuan memperingati dan mengenang<br />
sejarah dan perjuangan Nabi besar Muhammad saw untuk dijadikan teladan bagi umatnya.<br />
Sebagai wujud kecintaan kepada Nabi Muhammad saw, dalam kesempatan ini saya<br />
menghadirkan sebuah penelusuran sejaran Nabi Muhammad dengan sudut tinjauan yang berbeda<br />
dari yang biasa di lakukan pada umumnya.<br />
Menelusuri jejak sejarah di balik pemilihan kota Makkah atau Macoraba sebagaimana disebut<br />
oleh Ptolemius sebagai tempat kelahiran Nabi Muhammad saw sangat menarik.<br />
Jika menelusuri sejarah Nabi, baik yang tertera dalam Alqur‘an, hadits, maupun kitab-kitab<br />
shirah (sejarah), dapat kita identifikasi kenapa Allah lebih memilih tanah Arab (baca: Makkah)<br />
sebagai tempat kelahiran Nabi terakhir yakni Muhammad saw , bukan wilayah-wilayah lainnya<br />
seperti Israel, Mesir atau yang lainnya.<br />
Tentunya pemilihan ini bukanlah sesuatu kebetulan akan tetapi memiliki nilai historis yang patut<br />
kita renungkan dan telusuri. Menurut hemat saya, sedikitnya ada beberapa hal yang bisa kita<br />
gunakan sebagai sebab kenapa Allah memilih Makkah dibandingkan kota lain di sekitar Arab<br />
atau negara lainnya. Di antara sebab itu adalah sebagai berikut;<br />
Pertama, Menurut cerita, manusia yang membangun Ka‘bah adalah Nabi Adam ketika ia harus<br />
―terusir‖ dari surga. Pada saat itu, Adam merasa sedih karena tak bisa lagi melakukan ibadah<br />
seperti yang dilakukan para Malaikat yang beribadah mengelilingi Singgasana Allah.<br />
Kesedihan yang menimpanya kemudian mendapatkan hiburan dengan diperbolehkannya ia<br />
membangun Ka‘bah sebagai bentuk tiruan dari ‗Arsy-nya Allah. Setelah bangunan itu selesai,<br />
Adam pun diperintahkan untuk mengelilinginya.<br />
Bangunan Ka‘bah yang dibangun Adam pada akhirnya harus sirna tertimbun pasir. Kemudian<br />
datanglah Nabi Ibrahim yang berputra Nabi Ismail membangun kembali Ka‘bah yang tertimbun<br />
atas petunjuk Allah ( QS: al-Baqarah : 127).
Jika dibandingkan dengan the Holy of Holies yang berisi ―sepuluh perintah Tuhan‖, sebagai<br />
tempat paling suci agama Yahudi yang juga pernah menjadi kiblatnya umat <strong>Islam</strong> sebelum<br />
dipindahkan arahnya ke Ka‘bah. Ternyata jika dilihat dari segi usia ke dua tempat suci itu, maka<br />
Ka‘bah jauh lebih tua usianya dari the Holy of Holies yakni sekitar 1000 tahun lebih tua.<br />
Dari data sejarah ini, masuk akal jika kemudian Makkah yang di dalamnya terdapat Ka‘bah<br />
dijadikan lokasi tempat kelahiran Nabi yang ternyata dilihat dari segi nasabnya–antara nabi<br />
Muhammad dengan Ibrahim–adalah sedarah.<br />
Memperkuat data ini, Philip K. Hitti menjelaskan bahwa kota Makkah yang terambil dari bahasa<br />
Saba yakni Makuraba (tempat suci) ternyata menunjukan bahwa kota itu jauh sebelum kelahiran<br />
Nabi merupakan tempat pusat keagamaan.<br />
Kedua, Makkah sebagai jalur perdagangan. Menurut seorang orientalis kawakan yakni Philip K.<br />
Hitti dalam bukunya ―History of the Arabs‖ dikatakan bahwa Mekkah sebelum kota itu dilintasi<br />
―jalur rempah-rempah‖ dari selatan ke utara, Mekkah sejak lama telah menjadi tempat<br />
persinggahan dalam perjalanan antara Ma‘rib dan Gazza.<br />
Orang-orang Makkah yang progresif dan memiliki naluri dagang berhasil mengubah kota<br />
Makkah menjadi pusat kemakmuran. Kemakmuran kota itu bisa digambarkan dari sebuah kafilah<br />
dagang Makkah yang terlibat dalam perang Badr (16 Maret 624).<br />
Ketiga, tradisi nomaden. Dalam sejarah dijelaskan bahwa Makkah adalah kota yang gersang dan<br />
berbukit (QS: Ibrahim: 37) sebagai tanah yang ―tidak bisa ditanami‖ dan bersuhu sangat panas.<br />
Tandusnya kota Makkah membuat masyarakat ini melakukan perpindahan dari satu tempat ke<br />
tempat lain demi mencari sumber air untuk kehidupan mereka dan ternaknya.<br />
Pencarian lokasi ke tempat subur juga kerapkali diawali dengan perebutan bahkan peperangan<br />
antara satu kabilah degan kabilah lainnya. Pola hidup seperti ini (baca: nomaden) kemudian<br />
menjadi karakter yang melekat pada masyarakt Arab.<br />
Karena alsan ini-lah , wajar jika kemudian masyarakat Arab dikenal sebagai masyarakat yang<br />
ambisius, berani, mempunyai loyalitas (ashabiyah) yang tinggi.<br />
Karakter seperti ini di satu sisi ternyata menguntungkan bagi syi‘ar <strong>Islam</strong> pada fase selanjutnya.<br />
<strong>Islam</strong> yang berada di ―tangan‖ orang Arab dengan waktu yang relatif singkat dapat menyebar ke<br />
berbagai kawasan sampai ke Eropa dan Asia.<br />
Jika kita berandai-andai <strong>Islam</strong> di turunkan di <strong>Indonesia</strong> mungkin kondisinya akan lain,<br />
penyebaran <strong>Islam</strong> mungkin tidak secepat di tangan orang-orang Arab.
Dengan kondisi tanah yang subur, dan karakter masyarakat <strong>Indonesia</strong> yang apa adanya, tidak<br />
ambisius, membuat <strong>Islam</strong> mungkin juga berkembang dengan cara yang lamban.<br />
Dari realita sejarah di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa pemilihan Mekkah sebagai tempat<br />
kelahiran Nabi dan awal titik bersinarnya agama <strong>Islam</strong> adalah pemilihan yang tepat, logis dan<br />
realistis, sekaligus mempunyai akar historis yang kuat dan lama. Wallahu a‘lam. []
Opsi Damai Untuk Libya<br />
Sampai saat ini, belum ada tanda-tanda perang saudara di Libya akan berakhir. Kubu oposisi<br />
memang telah mendapatkan bantuan pasukan koalisi yang mengawal resolusi Dewan Keamanan<br />
PBB No 1973.<br />
Namun demikian, pasukan Muammar Kadhafi terus memberikan perlawanan sengit. Bahkan<br />
kondisi Libya terancam lebih parah lagi karena pemerintah telah mempersenjatai rakyat sipil<br />
Libya terutama warga Tripoli untuk mempertahankan daerah mereka dari pasukan asing.<br />
Ini artinya, keterlibatan pasukan asing dan penerapan no fly zone sesungguhnya bukan<br />
penyelesaian terbaik bagi krisis Libya. Karena, konflik ini berkait erat dengan struktur<br />
demografis penduduk Libya.<br />
Rakyat Libya terstruktur di sekitar keluarga, klan atau suku. Dalam konstruksi sosial demikian,<br />
partisipasi dalam kehidupan bermasyarakat lebih didasarkan pada kepentingan pribadi, keluarga<br />
atau suku (ashabiyah), dengan pemimpin suku sebagai penentu keputusan. Dengan kata lain,<br />
perdamaian di Libya sangat bergantung kepada para pemimpin suku mereka.<br />
Karenanya, dapat dipahami mengapa warga Tripoli yang mayoritas dari Suku Gadhafa begitu<br />
patuh kepada Kadhafi karena selain sebagai pemimpin revolusi, Kadhafi juga pemimpin suku<br />
mereka.<br />
Di luar Suku Gadhafa, ada sekitar 140 suku lainnya di Libya. Awalnya, suku-suku utama<br />
tersebar di tiga provinsi, di Cyrenaica (Barka) bagian timur Libya yang beribukota di Benghazi,<br />
Tripolitania di barat yang beribukota di Tripoli dan Fezzan di selatan. Pada era Kadhafi, untuk<br />
memudahkan kontrol suku-suku itu, ketiga provinsi dipecah menjadi 10 kota utama dengan 32<br />
distrik.<br />
Koalisi kelas<br />
Situasi Libya saat ini tak ubahnya era ‗50-an di era pemerintahan Raja Muhammad Idris.<br />
Instabilitas sosial dan politik kala itu terjadi akibat pertentangan antara kabinet pemerintahan<br />
yang merupakan perwakilan suku-suku dengan dewan kerajaan yang didominasi keluarga dan<br />
klan raja. Selama 17 tahun memerintah Libya, Raja Idris selalu mendahulukan keluarganya serta<br />
kepentingan Cyrenaica, wilayah yang menjadi basis kekuatannya.<br />
Kekuasaan Raja Idris berhasil ditumbangkan Kolonel Kadhafi melalui Revolusi Al Fatih 1<br />
September 1969. Salah satu kunci kesuksesan revolusi itu karena Kadhafi berjanji membagi<br />
kekuasaan yang adil dan merata bagi suku-suku utama di Libya. Janji itu diwujudkan Kadhafi<br />
dengan membentuk sistem pemerintahan jamhariyah (massa rakyat populis), yang terdiri dari<br />
organisasi Kongres Rakyat (legislatif), komite-komite (eksekutif) dan kesatuan-kesatuan, yang<br />
sebagian besar diisi perwakilan suku-suku. Di Libya, tidak ada partai politik, yang ada adalah<br />
koalisi kelas atau kesukuan.
Setelah 42 tahun berlalu, rakyat Libya sadar mereka sesungguhnya tidak memegang kedaulatan<br />
penuh. Kongres Rakyat dan komite-komite di bawahnya hanyalah kepanjangan tangan Kadhafi.<br />
Secara de jure, Kadhafi memang tak pernah mengangkat dirinya sebagai presiden atau raja tetapi<br />
hanya sebagai pemimpin revolusi (Qa‘id al-Thawrah). Namun secara de facto, dialah pengendali<br />
utama Libya.<br />
Rakyat yang sudah muak akhirnya menemukan momentum perlawanan terinspirasi oleh saudarasaudara<br />
mereka di Tunisia dan Mesir. Mereka membentuk Dewan Oposisi Transisi Nasional<br />
terdiri dari 31 anggota yang sebagian besar perwakilan suku-suku berpengaruh di Libya.<br />
Kelompok ini berpusat Benghazi, sebuah kota yang dulu adalah basis utama Raja Idris.<br />
Sementara, basis utama Kadhafi berada di Tripoli dan Sirte, tempat suku Gadhafa pendukung<br />
utama Kadhafi.<br />
Opsi damai<br />
Berdasarkan struktur demografis di atas, perdamaian Libya sangat bergantung pada suku-suku.<br />
Jika suku-suku yang menentang Kadhafi dan suku yang mendukungnya bisa didamaikan, perang<br />
akan segera usai. Tanpa dukungan sukunya, Kadhafi tidak akan berarti apa-apa. Ini adalah<br />
hukum sosial yang berlaku di kalangan suku-suku Arab. Dan sekejam-kejamnya Kadhafi, ia<br />
tidak akan membombardir sukunya sendiri.<br />
Dengan begitu, semua suku di Libya dapat bersatu memaksa Kadhafi menyerah dan mundur dari<br />
kekuasaannya. Sama seperti Revolusi Al Fatih yang sukses tanpa banyak menumpahkan darah<br />
karena suku utama Raja Idris menerima revolusi itu.<br />
Jika suku-suku yang bertikai tidak mau berdamai, opsi kedua yang bisa ditempuh adalah<br />
menawarkan referendum bagi rakyat Libya, terutama di wilayah-wilayah yang dikuasai oposisi.<br />
Meskipun konsekuensinya, referendum dapat memecah Libya menjadi dua negara seperti yang<br />
terjadi di Sudan.<br />
Usulan referendum dapat dilakukan Uni Afrika karena Libya masih tercatat sebagai anggota aktif<br />
organisasi ini. Uni Afrika sekaligus dapat menjadi pelaksana dan pengawas jalannya referendum.<br />
Keterlibatan Uni Afrika tidak dapat dipandang sebagai intervensi asing. Dalam Constitutive Act<br />
Uni Afrika disebutkan salah satu tujuan organisasi ini adalah menciptakan stabilitas kawasan<br />
dalam rangka menuju integrasi regional.<br />
Bagaimanapun, opsi damai harus selalu dikedepankan dalam setiap penyelesaian konflik.<br />
Peperangan dan kekerasan hanya menyebabkan kesengsaraan dan penderitaan rakyat sipil tak<br />
berdosa. Para elite dan pemimpin di Libya sudah semestinya mencontoh revolusi damai di<br />
negara tetangga mereka.[]
Penjara, Korupsi, dan Negeri Demokrasi<br />
Menurut Michael J. Lynch, dalam Big Prison Big Dreams (2007: 148), karakteristik lingkungan<br />
sosial penghuni penjara adalah bertemunya narapidana dengan penjahat-penjahat yang lain. Para<br />
pembunuh, pemerkosa, pencuri, dan penyimpang seksual. Pemenjaraan menimbulkan sejumlah<br />
derita (the pains of imprisonment) bagi narapidana, yaitu: kehilangan kemerdekaan (loss of<br />
liberty), kehilangan kepemilikan barang dan pelayanan (loss of goods and services), kehilangan<br />
hubungan heteroseksual (loss of heterosexual relationship), kehilangan otonomi (loss of<br />
autonomy), dan kehilangan rasa aman (loss of security).<br />
Penjara, menurut penjelasan di atas, adalah tempat yang kejam, tidak bersahabat, dan tentu saja<br />
menimbulkan kesengsaraan. Siapa saja yang menghuninya dapat dipastikan tidak akan betah dan<br />
bisa membuat ia tidak mau kembali lagi. Ini apabila penjara benar-benar difungsikan sesuai<br />
tujuannya.<br />
Apa yang terjadi dengan penjara di negeri ini tampaknya tidak demikian. Bagi pelaku kejahatan<br />
kelas bawah yang sakunya tipis, penjara memang neraka, tempat kesengsaraan dan pembatasan<br />
kebebasan. Namun bagi yang bersaku tebal, penjara bukan masalah, sebab dengan uang<br />
segalanya dapat diatur. Penjara tak ada bedanya dengan rumah pribadi yang bisa diatur sesuai<br />
kehendak pemiliknya.<br />
Di tengah maraknya kasus kejahatan korupsi, pemerintah yang dibantu oleh lembaga independen<br />
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) begitu giat melakukan pemberantasan korupsi dengan<br />
menjebloskan pelakunya ke penjara. Namun pada saat yang sama "anjing pun mengonggong<br />
kafilah berlalu".<br />
Anomali Negeri Demokrasi<br />
Tajuk Rencana Kompas (23/1) yang berjudul Terperangkap Korupsi menegaskan bahwa negeri<br />
ini memang sudah terperangkap oleh jeratan korupsi. Di daerah, korupsi dimulai dari mencuri<br />
APBD, korupsi dana pemadam kebakaran, aliran dana, dana proyek, dan dana bantuan. Sudah 79<br />
kasus yang divonis, yang kemudian memenjarakan puluhan serta menyeret 155 kepala daerah ke<br />
ruang sidang pengadilan. Bahkan, menurut Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, setiap<br />
minggu ada satu kepala daerah yang dijadikan tersangka. Sudah ada 17 Gubernur yang<br />
tersangkut masalah hukum, akibat penyalahgunaan kewenangan itu (korupsi).<br />
Merebaknya kasus korupsi ini merupakan anomali negeri demokrasi. Padahal, sistem demokrasi<br />
sejatinya menjamin adanya keterbukaan serta pertanggungjawaban yang jelas dari penyelenggara<br />
negara dalam melaksanakan amanat kepemimpinannya. Pemimpin pun semestinya tak bisa lagi<br />
berlaku seenaknya. Mereka seharusnya lebih berhati-hati menggunakan kewenangannya, sebab<br />
terpantau ketat oleh publik.
Akan tetapi sayang, di tengah arus keterbukaan, justru korupsi kian merebak. Bahkan sejumlah<br />
kasus korupsi tampaknya sulit ditangani secara maksimal hingga membawa pelaku ke penjara.<br />
Kalaupun membawanya ke penjara, sejumlah koruptor tetap saja "berkuasa" dalam menjalankan<br />
"kekuasaannya". Keberadaan penjara tampak tidak lagi bisa diandalkan untuk memenjarakan<br />
perilaku korup.<br />
Dalam sistem demokrasi, penjara merupakan tempat bagi siapa pun yang menghianati ide-ide<br />
dasar demokrasi. Siapa pun yang melawan keadilan, kesetaraan, dan kesejahteraan bersama bisa<br />
berakhir di penjara. Di <strong>Indonesia</strong>, kita menyaksikan sejumlah peristiwa yang sangat ironis.<br />
Penjara malah menjadi tempat "singgah" para koruptor belaka. Bahkan penjara menjadi "villa<br />
baru" bagi sejumlah koruptor kaya.<br />
Para koruptor pun tampak dengan mudah keluar-masuk penjara dan bisa bersahabat baik dengan<br />
para penguasa penjara. Bahkan yang lebih ironis lagi, rezim politik yang terpilih secara<br />
demokratis sekalipun, sering mengaku terus kecolongan terhadap beragam aktivitas para<br />
koruptor di luar penjara. Sangat ironis apabila kekuatan rezim politik demokratis dengan mudah<br />
diobok-obok oleh para koruptor penghuni penjara. Kegagalan negara dalam mengendalikan<br />
penjara kian menunjukkan rapuhnya rezim politik yang berkuasa.<br />
Politik Citra<br />
Mengapa rezim politik begitu tidak berkuasa atas penjara? Persoalan serius terus diidap oleh<br />
rezim politik demokratis yang berkuasa karena berbasis politik citra. Pertama, lemahnya kontrol<br />
rezim politik atas mafia hukum merupakan gelembung persoalan warisan rezim otoriter yang<br />
korup dan penuh dengan KKN. Negara di sini tampak tergopoh-gopoh dan selalu terlambat/kalah<br />
cepat dengan jaringan mafia hukum yang dengan mudah "memperjualbelikan" sanksi hukum<br />
bahkan tiket keluar-masuk penjara.<br />
Kedua, menguatnya kuasa uang dan modal kian mendominasi sudut-sudut kekuasaan negara.<br />
Hilangnya kontrol kuasa penjara menunjukkan betapa beragam kekuasaan yang dimiliki oleh<br />
rezim politik yang berkuasa kian mudah dilelang dalam arena transaksi gelap kekuasaan.<br />
Ketiga, penjara dalam arena politik citra tidak lagi menjadi kuasa kewibawaan daulat negara.<br />
Sebaliknya, penjara kian terjebak sebagai objek komoditisasi politik citra.<br />
Lebih dari itu, bahkan penjara menjadi arena transaksi bagi kontestasi kuasa politik di luar<br />
penjara. Sesuatu yang ironis kemudian adalah jika rezim politik demokratis tidak lagi memiliki<br />
kuasa atas penjara.<br />
Rezim politik yang demokratis sudah selayaknya mampu memfungsikan penjara sebagaimana<br />
yang dijelaskan oleh Lynch agar para koruptor benar-benar jera melakukan korupsi. Bukan<br />
sebaliknya, para koruptor justru lebih berkuasa atas penjara di tangan rezim politik demokratis.<br />
Rezim politik demokratis yang dikuasai oleh koruptor akan berujung kehancuran. []
Perilaku Teror Israel<br />
Lagi-lagi Israel membuktikan kebrutalannya. Kapal Mavi Marmara yang jelas-jelas membawa<br />
bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza, diserang tentara Israel (31/5). Beberapa relawan tewas dan<br />
puluhan lainnya luka-luka.<br />
Israel pasti tahu kapal itu hanya membawa misi kemanusiaan dan tanpa persenjataan militer.<br />
Israel juga sadar aksi brutalnya akan menuai protes keras dunia internasional.<br />
Apalagi, kapal itu membawa aktivis perdamaian dari sekurangnya perwakilan lima puluh negara.<br />
Akan tetapi, mengapa Israel nekat melakukan penyerangan?<br />
Pertama, Israel ingin menunjukkan supremasinya pada dunia Internasional bahwa blokade yang<br />
dilakukannya di Jalur Gaza tidak boleh dan tidak bisa ditembus pihak mana pun, sekalipun itu<br />
untuk misi kemanusiaan. Kalau saja bantuan itu berhasil menembus blokade Israel, tandanya<br />
pemblokadean itu kedodoran dan ada celah untuk keluar masuk Hamas. Dengan kata lain, Israel<br />
ingin menebarkan trauma psikologis kepada siapa pun, yang mencoba menerobos blokade di<br />
Gaza.<br />
Kedua, Israel tidak ingin misinya melumpuhkan Hamas di Jalur Gaza, yang sudah berjalan tiga<br />
tahun lebih, gagal. Masuknya bantuan kemanusiaan dapat memperpanjang napas hidup Hamas<br />
dan memperkuat pengaruhnya terhadap penduduk Gaza. Bagi Israel, bantuan itu dikhawatirkan<br />
menguntungkan Hamas dan semakin menarik simpati penduduk Gaza untuk mendukung Hamas.<br />
Ketiga, Israel tidak ingin nasib dan penderitaan penduduk Gaza, saat ini diketahui publik<br />
internasional. Masuknya misi kemanusiaan dari berbagai negara yang turut membawa wartawan<br />
dan jurnalis berbagai media, dikhawatirkan membuat laporan yang dapat meningkatkan tekanan<br />
dunia internasional pada Israel. Berbagai media itu juga dapat dijadikan ―corong‖ Hamas untuk<br />
memperoleh dukungan dunia.<br />
Oleh karena itu, Israel pun berencana memulangkan semua relawan kemanusiaan tersebut ke<br />
negaranya masing-masing. Sementara bantuan kemanusian itu boleh masuk, hanya jika melalui<br />
otoritas pemerintahan Israel sendiri yang membawa dan menyalurkannya.<br />
Pelanggaran HAM<br />
Terlepas dari motif tersebut, tindakan penyerangan terhadap relawan kemanusiaan dan jurnalis<br />
dalam kondisi apa pun adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Apalagi, kapal Mavi<br />
Marmara yang diserang Israel masih berada dalam perairan internasional dan bukan dalam<br />
kondisi perang.<br />
Dalam Hukum Internasional, Statuta Roma Pasal tujuh disebutkan, ―kejahatan kemanusiaan<br />
adalah perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang<br />
diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terdapat penduduk sipil.‖
Kejahatan terhadap kemanusiaan ini adalah salah satu dari empat pelanggaran HAM berat, yang<br />
berada dalam yurisdiksi International Criminal Court.<br />
Bukan sekali ini saja Israel melakukan pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan, tetapi<br />
berulang-ulang. Lembaga Amnesti Internasional dan Human Rights Watch telah dua kali<br />
melakukan gugatan pada Israel; pada perang Israel-Hezbollah 2006 dan pascaagresi militer Israel<br />
ke Gaza 2009.<br />
Persoalannya siapa yang berani mengadili Israel? Apakah PBB sebagai lembaga internasional<br />
yang memiliki kewenangan mengadili setiap pelanggaran hukum internasional berani mengadili<br />
Israel? Ataukah seperti sebelumnya, ketika Israel tidak memedulikan Resolusi Dewan Keamanan<br />
PBB Nomor 1860 tentang Penghentian Perang.<br />
Persemaian teroris<br />
Aksi brutal Israel ini tidak saja melukai rasa kemanusiaan, melainkan akan menguatkan kembali<br />
sentimen anti-Israel dan berkembang menjadi sentimen anti-Amerika Serikat. Terutama jika AS<br />
tetap menunjukkan keberpihakannya kepada Israel. Sentimen inilah, yang akan menyemai<br />
teroris-teroris baru.<br />
Dalam kerangka ini pula, jika Israel melabeli Hamas sebagai organisasi teroris, predikat yang<br />
sama juga layak disandang Israel. Atau sekurangnya Israel dapat disebut terrorist in reverse (alirhab<br />
al-ma`kus), yaitu, perilaku teror yang dilakukan dengan dalih memerangi teroris. Keduanya<br />
sama-sama menjadikan rakyat sipil sebagai sasaran.<br />
Untuk meminimalisasi bersemainya teroris baru, dunia harus menunjukkan komitmennya<br />
menentang setiap aksi kekerasan Israel. Kasus penyerangan Israel ini harus diajukan ke<br />
Mahkamah Internasional. Negara-negara yang memiliki perwakilan relawan dalam kapal Mavi<br />
Marmara, mesti satu suara menekan PBB agar menjatuhkan sanksi tegas terhadap Israel.<br />
Tentu saja sikap tegas PBB ini akan efektif, jika mendapat dukungan anggota Dewan<br />
Keamanaan PBB, terutama AS dan negara-negara besar lainnya. Tanpa itu, bisa dipastikan upaya<br />
PBB akan kembali kandas di tengah jalan. Sama seperti tidak efektifnya Resolusi DK PBB,<br />
karena abstainnya AS.<br />
Kalau kebrutalan Israel terus dibiarkan, mitos bahwa Israel adalah negara yang berada di atas<br />
hukum internasional (untouchable) semakin terbukti. Sebagai konsekuensinya, dunia akan<br />
kembali dicekam oleh lahirnya teroris-teroris baru. []
Peta Konflik Libya<br />
Sampai saat ini belum ada tanda-tanda perang saudara dan gempuran tentara Barat di Libya akan<br />
berakhir. Masing-masing kubu pro dan anti-Qadafi saling mengklaim telah menguasai kota-kota<br />
penting di Libya.<br />
Daerah-daerah strategis tempat penyulingan minyak, seperti Brega, Ras Lanuf, Zawiyah, dan<br />
Sirte, menjadi rebutan kedua belah pihak. Prinsipnya, siapa yang paling banyak menguasai<br />
kilang minyak, dialah yang paling lama bertahan dalam perang ini. Prinsip ini logis mengingat<br />
perekonomian Libya sangat bergantung pada minyak.<br />
Situasi dilematis<br />
Sejak konflik pertama kali pecah di Libya 15 Februari lalu, baik kubu oposisi maupun rezim<br />
Qadafi menolak intervensi asing bagi penyelesaian konflik tersebut. Sikap ini tidak lepas dari<br />
trauma sejarah masa lalu Libya yang beberapa kali dijajah bangsa asing. Ini juga adalah buah<br />
ideologi nasionalisme dan sosialisme Libya yang selama ini ditanamkan Qadafi.<br />
Di sisi lain, penolakan intervensi asing tidak lepas dari pengaruh kesuksesan revolusi di Tunisia<br />
dan Mesir. Rakyat di dua negara tetangga Libya itu berhasil menggulingkan rezim yang berkuasa<br />
dengan kekuatan mereka sendiri.<br />
Persoalannya, kondisi Libya berbeda dengan Mesir dan Tunisia. Di kedua negara itu, pihak<br />
militer meskipun awalnya mendukung rezim yang berkuasa, belakangan mereka mulai memihak<br />
rakyat. Sementara dalam konflik Libya, institusi militer pecah menjadi dua kubu. Sebagian tetap<br />
mendukung rezim, terutama mereka yang masih satu suku dengan Qadafi, sebagian yang lain<br />
membelot ke oposisi.<br />
Dari segi persenjataan, pasukan Qadafi yang didukung artileri udara dan laut jauh lebih unggul<br />
dibandingkan oposisi-tetapi tidak menghadapi pasukan Barat. Namun secara kuantitas, jumlah<br />
militer oposisi yang banyak mendapat dukungan rakyat sipil jauh lebih besar dibandingkan<br />
pasukan Qadafi. Pasukan oposisi memiliki keunggulan penguasaan medan-medan tempur.<br />
Sejauh ini kelompok oposisi hanya mengandalkan pertempuran darat menggunakan tank-tank<br />
yang mereka kuasai. Namun, kekuatan mereka tentu tidak mampu mengimbangi serangan artileri<br />
udara dan laut yang dilancarkan pasukan Qadafi.<br />
Karena itu, pihak oposisi sangat berharap PBB menerima usulan Amerika Serikat dan sekutunya<br />
untuk menerapkan zona larangan terbang (no-fly zone) di atas Libya. Dengan demikian, mau<br />
tidak mau militer Qadafi harus menghadapi kubu oposisi dalam pertempuran darat. Di situlah<br />
peluang oposisi mengimbangi kekuatan tempur pasukan Qadafi dengan strategi gerilya. Zona<br />
larangan terbang diberlakukan dan pasukan Barat kini yang memukul pasokan pro-Qadafi.<br />
Struktur demografis
Terlepas dari itu, penerapan no-fly zone sesungguhnya bukan penyelesaian terbaik bagi krisis<br />
Libya. Kalaupun opsi ini disetujui PBB, tidak berarti perang akan segera usai. Sebabnya karena<br />
konflik ini berkait erat dengan struktur demografis penduduk Libya.<br />
Rakyat Libya terstruktur di sekitar keluarga, klan, atau suku. Dalam konstruksi sosial demikian,<br />
partisipasi dalam kehidupan bermasyarakat lebih didasarkan pada kepentingan pribadi, keluarga,<br />
atau suku ('ashabiyah). Dalam struktur semacam itu, pemimpin suku memainkan peranan utama.<br />
Ada sekitar 140 suku di Libya. Setelah kemerdekaan dari Italia, suku-suku utama tersebar di tiga<br />
provinsi: Cyrenaica (Barka) bagian timur Libya yang beribu kota di Benghazi, Tripolitania di<br />
barat yang beribu kota di Tripoli, dan Fezzan di selatan. Pada era Qadafi, untuk memudahkan<br />
kontrol suku-suku itu, ketiga provinsi dipecah menjadi 10 kota utama dengan 32 distrik.<br />
Situasi saat ini tak ubahnya era 50-an di era pemerintahan Raja Muhammad Idris. Instabilitas<br />
sosial dan politik kala itu terjadi akibat pertentangan antara kabinet pemerintahan yang<br />
merupakan perwakilan suku-suku dan dewan kerajaan yang didominasi keluarga dan klan raja.<br />
Selama 17 tahun memerintah Libya, Raja Idris selalu mendahulukan keluarganya serta<br />
kepentingan Cyrenaica, wilayah yang menjadi basis kekuatannya.<br />
Salah satu kunci kesuksesan Revolusi Alfatih 1 September 1969 yang dilancarkan Qadafi untuk<br />
menggulingkan rezim Raja Idris adalah karena ia berjanji akan membagi kekuasaan yang adil<br />
dan merata bagi suku-suku utama di Libya. Janji itu diwujudkan Qadafi dengan membentuk<br />
sistem pemerintahan jamhariyah (massa rakyat populis), yang beranggotakan organisasi kongres<br />
rakyat (legislatif), komite-komite (eksekutif), dan kesatuan-kesatuan, yang sebagian besar diisi<br />
perwakilan suku-suku. Di Libya tidak ada partai politik, yang ada adalah koalisi kelas atau<br />
kesukuan.<br />
Setelah 42 tahun di bawah rezim Qadafi, rakyat pun sadar, mereka sesungguhnya tidak<br />
memegang kedaulatan penuh. Kongres rakyat dan komite-komite di bawahnya hanyalah<br />
kepanjangan tangan Qadafi. Secara de jure, Qadafi memang tak pernah mengangkat dirinya<br />
sebagai presiden atau raja, tetapi hanya sebagai pemimpin revolusi (qa'id al-thawrah). Namun<br />
secara de facto, dialah pengendali utama Libya.<br />
Rakyat yang sudah muak akhirnya menemukan momentum perlawanan terinspirasi oleh saudarasaudara<br />
mereka di Tunisia dan Mesir. Mereka membentuk Dewan Oposisi Transisi Nasional,<br />
terdiri dari 31 anggota yang sebagian besar perewakilan suku-suku berpengaruh di Libya.<br />
Kelompok ini berpusat di Benghazi, sebuah kota yang dulu adalah basis utama Raja Idris.<br />
Sementara basis utama Qadafi berada di Tripoli dan Sirte, tempat suku Gadhafa pendukung<br />
utama Qadafi.<br />
Opsi damai
Berdasarkan struktur demografis di atas, perdamaian Libya sangat bergantung pada suku-suku<br />
yang ada. Artinya, jika suku-suku yang menentang Qadafi dan suku yang mendukungnya bisa<br />
didamaikan, perang akan segera usai. Karena Qadafi tanpa dukungan sukunya tidak akan berarti<br />
apa-apa. Ini adalah hukum sosial yang berlaku di kalangan suku-suku Arab. Dan sekejamkejamnya<br />
Qadafi, ia tidak akan membombardir sukunya sendiri.<br />
Dengan begitu, semua suku di Libya dapat bersatu memaksa Qadafi menyerah dan mundur dari<br />
kekuasaannya. Sama seperti Revolusi Alfatih yang sukses tanpa banyak menumpahkan darah<br />
karena suku utama Raja Idris menerima revolusi itu.<br />
Jika suku-suku yang bertikai tidak mau berdamai, opsi kedua yang bisa ditempuh adalah<br />
menawarkan referendum bagi rakyat Libya, terutama di wilayah-wilayah yang dikuasai oposisi.<br />
Meskipun konsekuensinya, referendum dapat memecah Libya menjadi dua negara seperti yang<br />
terjadi di Sudan.<br />
Usulan referendum dapat dilakukan Uni Afrika karena Libya masih tercatat sebagai anggota aktif<br />
organisasi ini. Uni Afrika sekaligus dapat menjadi pelaksana dan pengawas jalannya referendum.<br />
Keterlibatan Uni Afrika tidak dapat dipandang sebagai intervensi asing. Karena dalam<br />
Constitutive Act Uni Afrika disebutkan salah satu tujuan organisasi ini adalah menciptakan<br />
stabilitas kawasan dalam rangka menuju integrasi regional.<br />
Bagaimanapun, opsi damai harus selalu dikedepankan dalam setiap penyelesaian konflik.<br />
Peperangan dan kekerasan hanya menyebabkan kesengsaraan dan penderitaan rakyat sipil tak<br />
berdosa. Para elite dan pemimpin di Libya sudah semestinya mencontoh revolusi damai di<br />
negara tetangga mereka.
Pudarnya Identitas Budaya<br />
Dulu mungkin kita sering mengatakan dengan bangga bahwa saya orang sumatera, saya orang<br />
Jawa, saya orang Sunda, saya orang <strong>Indonesia</strong> atau yang lainnya.Tapi, kini kita tidak lagi bisa<br />
mengatakan seperti itu. Yah, karena dalam diri kita sebenarnya memiliki identitas-identitas<br />
ganda.<br />
Di antara menyusutnya identitas budaya itu karena kita tanpa disadari telah berhubungan dengan<br />
manusia yang secara identitas mereka berbeda. Belum lagi, berbagai kebudayaan yang kita bawa<br />
berbaur dengan kebudayaan lainnya. Sehingga dengan begitu kita pun terkadang mempunyai<br />
identitas yang baru.<br />
Di antara penyebab perubahan identitas budaya adalah; pertama, mencairnya batas-batas<br />
kebudayaan. Dulu kebudayaan selalu diikat oleh batas-batas fisik yang jelas. Sebagai contoh<br />
pakaian kebaya, sungkeman, batik, selalu identik dengan pakaian atau adat buadaya jawa.<br />
Identitas budaya seperti itu selalu dijadikan sebagai batas-batas atau simbol-simbol fisik yang<br />
menjadi dasar dalam pendefinisian keberadaan suatu kebudayaan, khsusnya pada saat sesuatu<br />
yang bersifat fisik itu masih dianggap paling penting dan menentukan.<br />
Namun, ketika kesadaran atau pola pikir manusia mengalami perubahan, mencairnya batas-batas<br />
teritorial identitas, mobilisasi manusia, kecanggihan intelektual yang dimiliki, media komunikasi<br />
yang semakin modern, masyarakat menjadi terintegrasi bukan hanya pada level lokal akan tetapi<br />
dunia,<br />
Karena itu, maka batas-batas identitas suatu kebudayaan itu pun mau tidak mau harus mencair<br />
atau memudar. Tradisi sungkeman, bercium tangan sebagai simbol kepatuhan dan ketundukan<br />
seorang anak kepada orang tua pun menjadi tergantikan hanya lewat telepon atau alat canggih<br />
lainnya.<br />
Bahkan tidak hanya itu, dengan kecanggihan tekhnologi, batas-batas teritorial sebuah komunitas,<br />
kelompok, terasa tak berarti. Orang <strong>Indonesia</strong> dalam waktu yang sama dapat berkomunikasi,<br />
berinteraksi dengan manusia luar yang tanpa di sadarinya transfer budaya pun saling berpindah.<br />
Manusia pun dalam waktu singkat dapat berganti-ganti karakter atau pola pikir layaknya seperti<br />
manusia ―mutan‖.<br />
Irwan Abdullah mencontohkan bahwa dengan semakin canggihnya arus komunikasi dunia<br />
modern, unsur-unsur kebudayaan kerap kali mengalami penyusutan atau penyesuaian. Sebagai<br />
contoh, arsitektur Bali tidak hanya ditemukan di Bali, akan tetapi juga dapat ditemukan di<br />
Jakarta.<br />
Karena itu, kerajinan khas Bali pun dengan mudah dapat kita temukan tidak hanya di Bali, akan<br />
tetapi diluar bahkan sampai dunia Eropa. Kesimpulannya menurut Irwan Abdullah, apa yang ada<br />
atau khas di Bali tidak hanya harus menjadi monopoli Bali, karena unsur-unsur kebudayaan
<strong>Indonesia</strong> yang lain atau unsur kebudayaan dunia dapat dengan mudah ditemukan dalam bentukbentuk<br />
ekspresi simbolik di mana pun.<br />
Karena itu, dengan adanya integrasi tatanan global, kebudayaan kemudian tidak lagi terikat pada<br />
batas-batas fisik yang kaku yang disebabkan oleh ikatan ruang yang bersifat deterministic.<br />
Kedua, sebab adanya perubahan budaya juga karena adanya politik ruang dan makna budaya.<br />
Makna suatu simbol juga disebabkan oleh struktur kekuasaan yang berubah. Hal senada pun<br />
diungkapkan oleh Irwan Abdullah. Ia mengatakan suatu kebudayaan bagaimanapun tidak dapat<br />
dilepaskan begitu saja dari ruang di mana kebudayaan itu dibangun, dipelihara, dan dilestarikan,<br />
atau bahkan diubah.<br />
Dengan adanya kepetingan kekuasaan yang berbeda, maka ruang yang menjadi wadah tempat<br />
kebudayaan telah mengalami re-definisi baru sejalan dengan tumbuhnya gaya hidup modern<br />
yang secara langsung diawali dengan perubahan rancangan ruang.<br />
Ketika kondisi ini terjadi, maka ruang pun menjadi arena yang diperebutkan, demi<br />
melanggengkan sebuah kepentingan kekuasaan atau politik tertentu. Karena itu, makna<br />
kebudayaan pun harus tunduk terhadap siapa yang mendefinisikan ulang.<br />
Buah dari semua ini, maka sebuah simbol dan makna kebudayaan pun menjadi suatu objek yang<br />
kehadirannya dihasilkan oleh suatu proses negosiasi yang melibatkan sejumlah kontestan yang<br />
terlibat dengan kepentingan yang berbeda.<br />
Ketiga, ketika hegemoni kepentingan politik kekuasaan terjadi, maka secara bersamaan,<br />
pemaksaan akan makna ruang dan makna sebuah identitas budaya pun terjadi. Posisi publik yang<br />
enggan mengikuti keinginan penguasa pun tercerai berai menjadi kelompok-kelompok kecil<br />
yang juga beragam di dalam memaknai ruang dan makna identitas budaya.<br />
Kontestasi berbagai institusi terjadi secara intensif yang menyebabkan individu menjadi objek<br />
dan komoditi dari kepentingan-kepentingan yang berbeda. Mereka yang tersubordinasi pun ikut<br />
melakukan kontestasi dalam bentuk pemaknaan dekonstruktif atau pembangkangan terhadap<br />
pendefinisian ruang dan makna identitas badaya yang dilakukan oleh hegemoni pemegang<br />
kendali kuasa.<br />
Tarik menariknya antara pemegang kendali kuasa dengan mereka yang tersubordinasi pun<br />
menjadikan identitas kebudayaan pun mengalami konstruksi dan reproduksi yang berebda yang<br />
tentunya syarat akan kepentingan yang berbeda.<br />
Simbol-simbol budaya pun pada akhirnya dijadikan sebagai alasan penegasan autentisitas<br />
kelompok yang keberadaannya menjadi bagian dari sistem sosial global dengan pertentangan<br />
nilai yang juga tajam.
Kondisi inilah yang menurut saya terjadi saat ini, terlebih ketika beberapa bulan yang lalu saat<br />
kita dikisruhkan tentang perebutan identitas dengan Malysia misalnya. Buah dari kondisi ini<br />
semua, kita rindu akan masa lalu atau dalam bahasa Irwan Abdullah mereka tertarik melakukan<br />
replikasi dari kesukubangsaan dengan parameter yang berbeda yang didasarkan bukan pada nilai<br />
lokal yang sama, tetapi pada minat dan kepentingan yang sama dari mereka yang secara asal usul<br />
berbeda. Dan kita baru sadar bahwa semua itu telah ―hilang‖.[]
Rasisme Gaya Baru<br />
Gagasan ini muncul ketika saya membaca sebuah buku yang ditulis oleh Teun A. Van Dijk<br />
seorang ahli pengamat media di University of Amsterdam, Belanda berjudul ―Ethnic Minorities<br />
and The Media; Changing Cultural Boundaries‖ yang ditebitkan oleh open University Press,<br />
United Kingdom.<br />
Gagasan yang di sampaikan buku ini sangat menarik. Menurutnya tanpa disadari kita sering<br />
berucap, berfikir, dan bertingkah melakukan rasisme ―gaya‖ baru. Bahkan prilaku seperti itu<br />
kerapkali juga dilakukan tanpa di sadarinya oleh para jurnalistik di dalam menulis berita di<br />
media, dan para elite pemerintah dalam membuat kebijakan.<br />
Jika menilik sejarahnya, wacana rasisme gaya baru ini sebenarnya sudah mulai mencuat di gagas<br />
pada era 1980-an sebagai lebel praktis terhadap perubahan-perubahan dalam hakikat hegemoni<br />
dan ketidaksejajaran etnik di dalam masyarakat multikultur kontemporer.<br />
Rasisme ―gaya‖ baru berfokus pada perbedaan-perbedaan kultural, pada ketidaksempurnaan<br />
kultural dan bukan pada inferioritas atau superioritas biologis-genetis seperti apa yang digagas<br />
rasisme gaya lama.<br />
Dalam rasisme gaya baru ketidaksejajaran tidak diwujudkan dengan menindas secara fisik<br />
kelompok lain seperti apa yang dilakukan oleh prilaku rasisme gaya lama, melainkan dengan<br />
menciptakan kerugian social, dan psikologis.<br />
Tanpa kita sadari disetiap kali kita ketemu atau berhadapan dengan seseorang, kelompok yang<br />
berbeda, maka kita akan menjaga jarak bahkan mungkin berkata-kata dengan cibiran. Sebagai<br />
contoh pola berfikir rasisme ―gaya‖ baru adalah; pola berfikir yang mengatakan bahwa<br />
kemiskinan yang melanda masyarakat pedalaman <strong>Indonesia</strong> diakibatkan karena mereka bodoh,<br />
ekslusif dan tidak beradab, atau ketika kita bertemu dengan mereka yang berasal dari pedalaman<br />
<strong>Indonesia</strong> selalu mengatakannya dengan orang terasing, orang tradisional, orang terbelakang,<br />
orang kolot, anti modernisasi, dan istilah-istilah lainnya yang diskriminatif.<br />
Teun A. Van Dijk mengatakan bahwa rasisme medel baru selalu menjadikan tiga pola berfikir<br />
sebagai pijakan, ketiganya adalah; mereka berbeda, mereka menyimpang, dan mereka adalah<br />
ancaman. Dalam rasisme gaya baru, perbedaan-perbedaan selalu dianggap sebagai hal yang<br />
melanggar norma dan aturan kelompok dominan, karena itu penyadaran dan usaha<br />
penyeragaman adalah merupakan keharusan bahkan mungkin kewajiban.<br />
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa pola berfikir rasis gaya baru tersebut juga semakin<br />
mengkristal karena disebabkan oleh peranan media yang lebih memihak pada mereka yang<br />
dominan. Pemegang kuasa dengan aturan mainnya selalu menjadikan media sebagai alat<br />
pembinasaan atau klaim negatif atas mereka yang minoritas yang patut diselamatkan.
Buah dari cara itu menjadikan pola berfikir kita memandang yang minoritas sebagai mereka<br />
yang salah, menyimpang, dan harus berhati-hati terlebih ketika permasalahan itu menyangkut hal<br />
yang sangat subtansial terkait dengan teologi atau keimanan.<br />
Hal ini terjadi karena rasisme gaya baru bahkan yang lama sekalipun adalah wujud dari<br />
kurangnya bahan informasi kita terhadap mereka yang minoritas itu. Klaim negative atas<br />
minoritas itu semakin menjadi-jadi akibat kurangnya kesempatan mereka mengakses ke media.<br />
Karena itu-lah mereka tidak bisa berekspresi secara leluasa untuk membela diri atau membantah<br />
segala tuduhan.<br />
Karena itu, tugas selanjutnya yang maha penting adalah bagaimana kita harus berpikir ulang dan<br />
tentunya tidak gegabah dalam mulakukan justifikasi atas mereka yang berbeda dengan kita.<br />
Mungkin saja pada diri mereka yang minoritas, tradisional, bahkan kolot itu banyak tersimpan<br />
local wisdom (kearifan lokal) yang harus kita pelihara dan rawat agar senantiasa hidup dan<br />
menyala di dalam hati nurani manusia <strong>Indonesia</strong>.<br />
Kalau pola berfikir bijak itu terus kita pupuk, rawat dan selalu menjadi ikhtiar dalam tindakan<br />
seluruh manusia <strong>Indonesia</strong>, mungkin tak akan ada lagi anak yang harus kehilangan identitasnya,<br />
anggota keluarganya hanya karena berbeda–baik itu terkait dengan budaya, kepercayaan, aliran<br />
politik, etnisitas dan aroma rasis lainnya.<br />
Juga tak akan ada lagi rumah dan harta benda yang musnah dan hilang dijarah, dibakar hanya<br />
karena perbedaan identitas. Bukankah para leluhur kita telah memberikan peninggalan atau<br />
warisan nilai untuk selalu bersikap ramah kepada siapa pun sebagai ciri identitas kita sebagai<br />
orang timur.[]
Berislam Ala Persis<br />
Menjelang Muktamar Persatuan <strong>Islam</strong> (Persis) ke-XIV di Masjid Aisyah Tasikmalaya (Pesantren<br />
Benda dan Pesantren Persis Rajapolah) dan Garut (Pesantren Rancabango), Jawa Barat pada 25-<br />
27 September 2010, tiga kandidat ketua umum periode 2010-2015 muncul.<br />
Menurut Jenal Mutakin, Sekretaris Muktamar Persis ke-XIV, tiga nama calon ketua umum Persis<br />
dari hasil tabulasi adalah Prof. Dr. K.H. Maman Abdurahman ketua umum Persis sekarang; Dr.<br />
K.H. Latifatulhayat, M.M., Ph.D., kepala bidang jamiah pengurus pusat Persis; dan K.H. Aceng<br />
Zakaria kiai Pimpinan Pondok Pesantren Persis Rancabango. (Pikiran Rakyat, 3/9 dan Antara,<br />
19/9).<br />
Mampukah kehadiran Muktamar Persis ke-XIV ini tidak hanya diisi pergantian ketua umum,<br />
tetapi menjadi momentum bersama untuk mewujudkan <strong>Islam</strong> sebagai rahmatallil alamin?<br />
Pembaru?<br />
Selama ini, Persis dikategorikan sebagai organisasi masyarakat pembaruan (al-haraqah al-tajdid)<br />
yang giat mengampanyekan kembali kepada Alquran dan assunnah. Tentunya, segala ucapan,<br />
perbuatan, dan tingka lagu yang tidak bersumber pada Alquran dan assunnah disebut sesat<br />
(bidah).<br />
Memang, Persis kadung mendeklarasikan dirinya sebagai penganut aliran haraqah tajdid pada 12<br />
September 1923 bertepatan dengan 1 Shafar 1342 H.<br />
Berawal dari kelompok ―tadarussaan‖ di Kota Bandung, yang dipimpin oleh H. Zam zam dan<br />
H.M. Yunus dengan angota sekitar 20 orang, giat melakukan dan mengkaji ajaran-ajaran <strong>Islam</strong>.<br />
Mereka berkeyakinan dan sadar akan bahaya TBC (takhayul, bidah, dan churafat), kejumudan,<br />
dan keterbelakangan pemahaman <strong>Islam</strong>. Sejak itu komunitas pengajian ini menamakan diri<br />
Persatuan <strong>Islam</strong> (Persis) dengan semboyan ―Dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali<br />
(agama) Tuhan dan janganlah kalian bercerai berai‖ (QS al-Imran:103)<br />
Ingat gerakan pembaru tidak hanya diklaim kelompok Persis, tetapi Muhammadiyah pun<br />
mengidentikkan dirinya sebagai gerakan pembaru yang modernis, meskipun kedua gerakan<br />
haraqah tajdid itu berbeda penekanannya. Bila Persis lebih berorientasi kepada pendidikan dan<br />
fikih, Muhammadiyah mengedepankan aspek-aspek sosial, melalui pendidikan, pelayanan<br />
masyarakat seperti rumah sakit, panti asuh, dan jompo.<br />
Seiring dengan perubahan zaman, gerakan haraqah tajdid dalam tubuh Persis mengalami<br />
kemunduran. Hipotesis ini diungkapkan oleh Fahri Ali dan Bahtiar Efendi ihwal ormas-ormas<br />
islam pembaruan, seperti Persis, Muhammadiyah, Al-Irsayad yang kehilangan ruh dinamika<br />
ataupun pembaharuannya. Alhasil, pembaruan model ini telah berhenti berpikir. Pasalnya, tidak<br />
mampu menangkap semangat dan tantangan zaman serta mengantisipasi ke arah mana masa<br />
depan akan berkembang.
Kehawatiran akan memudarnya gerakan pembaruan pernah dilontarkan Atif Latifulhayat saat<br />
menjabat Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Persis (1995:VII). Yang patut dipertanyakan<br />
adalah apa dan bagaimana sebenarnya fikrah Persis itu? Setiap Persis berganti tokoh dan<br />
bertukar masa kepemimpinan, cara atau gaya kepemimpinan tokoh tersebut selalu diidentikkan<br />
dengan fikrah Persis. Ketika A. Hasan menjadi tokoh sentral. Inilah corak dari fikrah Persis.<br />
Pascakematian gerakan tajdid A. Hasan, Persis justru mengalami ―taaklid buta‖. Pasalnya, kita<br />
hanya ―mengamini‖ hasil keputusan satu dewan hisbah, yang diemban anamat untuk tanggap dan<br />
pandai menyelesaikan segala persoalan keumatan dan kebangsaan. Pengambilan satu keputusan<br />
itu bukan hasil musyawarah dewan hisbah, tetapi hanya hasil ijtihad segelintir (sekelompok)<br />
orang tertentu yang dikultuskan pengikutnya.<br />
Kemandegan pembaruan diungkapkan Inyana (peserta Muktamar) kepada Husni Rofiqoh, saat<br />
menjabat Ketua Umum Pimpinan Pusat pemudi Persis (Majalah Ibier No 414/th. XXXIV/4<br />
Jumadil Ula 1423/15 juli 2002 M: 17).<br />
Berislam<br />
Menjawab pelbagai tantangan itu sebelum muktamar, Persis menggelar diskusi bertajuk ―Persis,<br />
<strong>Islam</strong>, dan Budaya‖ di Aula Redaksi Pikiran Rakyat, Kamis (16/9) pagi. Radikalnya gerakan<br />
pembaruan Persis, hingga dikategorikan antibudaya, membuat Maman Abdurrahman<br />
mengatakan, diskusi ini digelar untuk memberikan pandangan kepada masyarakat umum bahwa<br />
<strong>Islam</strong> tidak hanya mengatur masalah fikih ibadah, tetapi juga semua sektor kehidupan, termasuk<br />
budaya. Salah satu model pembaruan <strong>Islam</strong> sebagai rahmatallil alamin melalui budaya. Selama<br />
ini, Persis dikenal giat berdakwah lewat tulisan Sunda, seperti adanya majalah At-Taq-waa<br />
(1937), Iber (1967) Dakwah; penerbitan (CV Diponegoro dan PT Almaarif).<br />
Oleh karena itu, Atip Latifulhayat, ketua panitia pelaksana muktamar bermaksud memetakan<br />
apa-apa saja yang menjadi perhatian Persis. Selama ini, menurut Atip, ada persepsi eksternal<br />
yang menganggap Persis itu antibudaya hanya karena Persis lebih mengutamakan fikih sehingga<br />
tampaknya hitam dan putih, sementara budaya itu lebih cair.<br />
Sekali lagi, persepsi Persis antibudaya dan semacam itu tidaklah tepat. Hal itu, karena sejak<br />
1963, Persis mempunyai majalah berbahasa Sunda, yaitu Iber. Persis juga mengajarkan bahasa<br />
Sunda di pesantren-pesantrennya sebagai bekal mubalig. (Pikiran Rakyat, 3/9).<br />
Inilah cara berislam Ala Persis yang tidak hanya berpijak kepada Alquran dan assunnah, tetapi<br />
juga berpegang teguh kepada tradisi lokal. Selamat Muktamar Persis ke-XIV. Semoga.[]
Fiqh Lingkungan: Upaya Revitalisasi Hablun Minal „Alam<br />
<strong>Islam</strong> adalah agama yang syamil (integral), kaamil (sempurna), dan mutakaamil<br />
(menyempurnakan semua sistem yang lain), karena ia merupakan sistem hidup yang diturunkan<br />
Allah SWT, sebagaimana dijelaskan-Nya, ―Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu<br />
untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridha <strong>Islam</strong> sebagai<br />
agamamu.‖ (Q.S. Al-Maidah : 3).<br />
Oleh karena itu aturan <strong>Islam</strong> haruslah mencakup semua sisi yang dibutuhkan oleh manusia dalam<br />
kehidupannya. Demikian tinggi, indah, dan rincinya aturan-Nya, sehingga bukan hanya<br />
mencakup aturan bagi sesama manusia, melainkan juga terhadap alam dan lingkungan hidupnya.<br />
Ada tiga sikap hubungan yang harus senantiasa dijaga erat oleh orang <strong>Islam</strong>. Pertama adalah<br />
hubungan vertikal dengan Allah SWT (hablun minallah), kedua adalah hubungan horizontal<br />
dengan sesama manusia (hablun minannaas), dan yang ketiga adalah hubungan diagonal dengan<br />
alam (hablun minal ‗alam). Kedua hubungan pertama telah menjadi hal yang lumrah dilakukan,<br />
tetapi terkadang melupakan sikap yang ketiga berkenaan dengan hubungan terhadap alam.<br />
Urgensi Fiqh Lingkungan<br />
Istilah fiqh lingkungan dalam terminologi <strong>Islam</strong> sering disebut dengan fiqh al bii‘ah yang berarti<br />
memahami urgensinya menjaga lingkungan dan upaya pengaplikasiannya. Saat ini kita sangat<br />
familiar dengan istilah pemanasan global (global warming) yang melanda seluruh negara di<br />
dunia. Mengenai kerusakan lingkungan ini, Prof. Otto Soemarwoto mengatakan, kerusakan<br />
lingkungan itu terbagi dua; yang bersifat regional seperti hujan asam dan yang bersifat global<br />
seperti global warming. (Pikiran Rakyat : 2008)<br />
Ada tiga sumber daya alam (SDA) yang menjadi indikator kerusakan lingkungan yaitu sumber<br />
daya air, sumber daya tanah, dan sumber daya udara. Ketiga SDA itu sangat urgen bagi<br />
kehidupan manusia dan memberikan dampak positif yang signifikan bagi manusia sebaliknya.<br />
Ada peribahasa Sunda (papatet gancang) yang mengindikasikan kerusakan alam; ―Kawung<br />
mabur carulukna, gula leungiteun ganduan, ciamis kari patina, ciherang kantun kiruhna, samak<br />
tinggaleun pandanna, kiai leungiteun aji, pandita ilang komara, kahuruan ku napsuna.‖ (Setia<br />
Hidayat, 2004 : 33)<br />
Dalam peribahasa tersebut ada kalimat yang menyebutkan ciherang kantun kiruhna yang<br />
bermakna air jernih berganti keruh. Kalimat tersebut adalah indikator kerusakan alam. Sekarang<br />
orang akan merasakan nikmat di tempat tinggal berair bersih dan jernih. Aliran sungai yang<br />
melintas permukiman atau perkotaan juga mengindikasikan hal tersebut di atas.
Dalam duplikatnya, Guinnes World Book of Record antara lain mencantumkan 1.871 juta hektar<br />
hutan di <strong>Indonesia</strong> dihancurkan antara tahun 2000-2005, sebuah tingkat kehancuran hutan<br />
sebesar 2 % setiap tahun atau 51 km2 / hari. Menurut Hapsoro, <strong>Indonesia</strong> menghancurkan hutan<br />
seluas 300 lapangan sepakbola setiap jam. Karena itu, katanya, 72 % hutan asli <strong>Indonesia</strong><br />
diperkirakan telah musnah.<br />
Selain itu, dalam tingkat polusi udara, kota Jakarta yang merupakan refresentasi <strong>Indonesia</strong><br />
menempati urutan ke 3 tingkat pencemaran tertinggi di dunia. Data di atas, memberikan sebuah<br />
signal kepada seluruh penduduk negeri ini untuk senantiasa memeperhatikan kembali kelestarian<br />
lingkungan.<br />
Pendekatan ajaran <strong>Islam</strong><br />
Revitalisasi sikap hablun minal ‗alam bisa dilakukan dengan dua pendekatan: Pertama,<br />
Pendekatan teologis melalui ajaran agama. Alquran sebagai pedoman umat <strong>Islam</strong> telah<br />
memberikan petunjuk berupa larangan untuk berbuat kerusakan di muka bumi, ―Dan janganlah<br />
kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya<br />
dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang<br />
berbuat kebaikan.‖ (Q.S. Al-A‘raf : 56).<br />
Kedua, Pendekatan fiqh dengan mengemukakan argumen-argumen ilmiah mengenai kerusakan<br />
lingkungan.Selain upaya di atas, ada beberapa poin penting yang secara konkret bisa menjadi<br />
solusi perbaikan lingkungan di antaranya :<br />
a. Membentuk sumber daya manusia (SDM) handal yang bisa menjaga kelestarian alam<br />
lingkungan. Proses ini tentu tidak bisa mendadak atau instan, perlu pendidikan yang kontinu<br />
kepada anak didik sejak usia dini dan memberikan teladan yang baik (uswah hasanah) dari<br />
seluruh masyarakat dan aparat pemerintahan.<br />
b. Pembangunan yang berkelanjutan. Upaya ini dipandang perlu karena akan menentukan nasib<br />
lingkungan masa depan. Ada sebuah kisah hikmah dalam khazanah cerita <strong>Islam</strong> tentang seorang<br />
kakek tua yang akan menanam pohon kelapa. Ketika ia ditanya mengapa ia masih semangat<br />
menanam pohon padahal secara zahir usianya tidak akan lama lagi dan pasti akan meninggal<br />
sebelum pohonnya berbuah. Si Kakek menjawab, yang dia makan sebelumnya bukanlah hasil<br />
usahanya karena itu dia pun menanam pohon untuk anak keturunannya kelak.<br />
c. Mengembalikannya kepada aturan Ilahi. Usaha ini tentu akan diyakini oleh seluruh pemeluk<br />
agama karena alam merupakan ciptaan Tuhan dan untuk merawatnya harus menggunakan<br />
hukum (aturan) Tuhan pula. Logikanya seperti merawat (maintenance) produk kendaraan<br />
tertentu pasti akan merujuk pada buku panduan produk tersebut atau mendatangi bengkel<br />
resminya.
Lingkungan merupakan amanah Allah SWT yang mesti dijaga, dirawat agar senantiasa lestari.<br />
Persepsi lingkungan/SDA sebagai warisan nenek moyang harus direkonstruksi menjadi titipan<br />
anak cucu. Akhlak terhadap lingkungan merupakan manifestasi dari keimanan seorang muslim.<br />
Semoga kita senantiasa bisa berakhlak terhadap lingkungan dengan baik. Amin. Wallahu a‘lam<br />
bis shawwab.[]
Generasi Sehat 3.0<br />
Disadari atau tidak, internet telah menjadi bagian penting sekaligus kebutuhan dasar (gaya)<br />
hidup manusia kini.<br />
Asalkan pengguna (user) telah tersambungkan ke internet dapat dengan mudah menyampaikan,<br />
berbagi (share) pesan apa pun, dan tidak masuk ke dalam area blankspot (tidak ada sinyal).<br />
Saking pentingnya dunia cyber ini, ada anggapan sebagian masyarakat seakan-akan kita telah<br />
berada ―di dunia lain‖ bila tidak melek internet.<br />
Ini diamini oleh Thomas L. Friedman dalam buku The World is Flat (2006), setiap orang dari<br />
belahan dunia mana pun memiliki kesempatan yang sama bila memanfaatkan internet. Kiranya<br />
ungkapan dia ihwal internet ―Thank you internet, thank you computer‖ ini masih layak kita<br />
dengungkan sebagai bentuk syukur atas mewujudnya media komunikasi di era serbadigital ini.<br />
Ingat, berkat Sir Timothy Berners-Lee, manusia bisa berinternet ria dengan ditemukannya world<br />
wide web (www) untuk setiap laman situs web yang kita akses. Inilah cikal bakal lahirnya<br />
generasi ketiga (web 3.0) yang berbasis web semantik dan sebagai sarana bagi mesin untuk<br />
membaca laman-laman situs web dengan menawarkan metode yang efisien dalam membantu<br />
komputer guna mengorganisasi dan menarik kesimpulan dari data online.<br />
Harus diakui, di dunia maya memang tak ada jarak dan ruang antara user. Seolah-olah semuanya<br />
serbadekat, tanpa batas, dan lebih hidup. Tentunya, kehadiran jejaring sosial (Hi5, Flixster,<br />
Myspace, Friendster, Facebook, Twitter, Blogger) membuat kita kecanduan untuk berlama-lama<br />
berinternet.<br />
Namun, ada kalanya content (isi) media jejaring sosial ini giat mengampanyekan caci maki,<br />
hujatan, permusuhan, peperangan antarsuku dan antaragama. Padahal, konten sehat dan tidak<br />
berbau SARA (suku agama ras antargolongan) menjadi keharusan dalam membangun jejaring<br />
sosial ini.<br />
Bila merujuk pada teori fungsional yang menyatakan segala hal yang tidak berfungsi akan lenyap<br />
dengan sendirinya, maraknya kejahatan (cybercrime) atas nama agama melalui jejaring sosial ini<br />
merupakan otokritik atas ketidakberdayaan agama yang tidak dapat memberikan fungsi<br />
ketenangan, kenyamanan bagi pengikutnya sekaligus menjawab pelbagai tantangan zaman<br />
manusia sekarang.<br />
Sejatinya, fungsi yang harus dimainkan agama bagi Durkheim bisa menjembatani ketegangan<br />
dan menghasilkan solidaritas sosial, menjaga kelangsungan masyarakat ketika dihadapkan pada<br />
tantangan yang mengancam kelangsungan kehidupan baik dari suku lain, orang-orang yang<br />
menyimpang, pemberontak dari suku sendiri, maupun bencana alam. (Peter Connolly [ed],<br />
2002:271).
Memang gejala peperangan di media jejaring sosial tak bisa dimungkiri di mayapada. Ini<br />
dituturkan Enda Nasution, Presiden Blogger <strong>Indonesia</strong>. Jika dilacak, blog yang giat menghina<br />
suatu agama, isinya bisa lebih provokatif. ―Saya tidak melacaknya. Situs seperti itu akan selalu<br />
ada. Internet tidak akan pernah bersih dan pasti akan ada yang abu-abu atau hitam,‖ katanya.<br />
Menurut Komarudin Hidayat, gejala hujat-menghujat tokoh keagamaan di jejaring sosial dari<br />
komunitas tertentu, hingga terjadinya perang di dunia nyata ini disebabkan adanya kekuatan<br />
bahasa agama (1998:105-109). Pasalnya, bahasa dan ekspresi keagamaan merupakan manisfesto<br />
komitmen moral dan iman dari orang-orang yang beragama secara saleh yang dialamatkan dan<br />
diminta disaksikan oleh Tuhan. Ungkapan keagamaan bagaikan puncak gunung es di lautan.<br />
Ketersinggungan umat beragama bila bahasa agamanya dilecehkan karena di dalam dan melalui<br />
teks keagamaan itu penanda artikulasi dan cita-cita keselamatan hidup ditambatkan. Kendati<br />
tidak luput dari ketersinggungan (kemungkinan) distorsi dan deviasi penafsiran.<br />
Dengan demikian, bahasa agama adalah wahah dan reservoir bagi nilai-nilai agung. Kepadanya<br />
orang beriman menimba dan mereguk inspirasi, dengannya mereka mempertautkan diri dengan<br />
Tuhan serta menjalin ukhuwah dengan sesama anggota komunitas orang beriman.<br />
Tentu, bila figur Muhammad, Yesus, Siddhartha Gautama, Laotze, Musa, dilecehkan akan<br />
memancing reaksi dari umatnya. Bagi orang beriman, mereka diyakini sebagai manisfestasi jalan<br />
keselamatan. Upaya penuntutan, pemblokiran oleh komunitas tertentu adalah sesuatu yang wajar.<br />
Mengingat pentingnya kekuatan bahasa agama sebagai artikulasi keselamatan.<br />
Salah satu upaya membumikan generasi sehat (web) 3.0 pascapartisipasi pembaca pada web 2.0<br />
(Tim O`Relly) dengan cara mengisi laman-laman situs web yang mengampanyekan perdamaian,<br />
persatuan untuk meminimalisasi kejahatan atas nama agama pada jejaring sosial ini.<br />
Momentum Hari Blogger Nasional yang diperingati setiap 27 Oktober dengan ditandai Pesta<br />
Blogger harus menjadi wahana untuk memupuk tumbuhkembangnya generasi sehat yang<br />
menghargai keragaman. Pesta Blogger 2010 mengusung tema ―Merayakan Keragaman‖<br />
(Celebrating Diversities) baru dilaksanakan di Epicentrum Walk kawasan Rasuna Epicentrum<br />
Jln. H.R. Rasuna Said Kav. C22 Kuningan, Jakarta Selatan <strong>Indonesia</strong> pada 30 Oktober 2010.<br />
Dengan makin terbukanya akses dan tersedianya berbagai saluran untuk beropini, makin banyak<br />
blogger yang bersuara, dengan tujuan yang gempita. Mulai dari sisi ekonomi kreatif, politik,<br />
gaya hidup, advokasi komunitas, sampai yang murni bersenang-senang. Sungguh tidak ada<br />
kategori salah dan benar, karena kita sedang ―merayakan keragaman‖ sejak suara baru itu<br />
muncul dengan dinamikanya. Keragaman inilah yang harus diperkuat dan diperkaya.<br />
Keragaman tidak hanya dapat menghadirkan perbedaan, tetapi dapat menyatukan dan<br />
menguatkan. Bagaimanakah kita akan mempertemukan yang solid dengan yang cair, yang<br />
bingung dengan yang sudah stabil, yang kebetulan memiliki tujuan yang sama tetapi belum
erjejaring, dan sebagainya. Dengan perkembangan yang muncul, makin banyak alasan untuk<br />
menguatkan kembali jejaring, menentukan tujuan yang konkret, dan menyumbangkan kontribusi<br />
positif bagi sekitar. (www.pestablogger.com).<br />
Menjunjung tinggi etika, norma, aturan dalam berjejaring sosial merupakan bentuk nyata yang<br />
tak bisa dibantah dalam mewujudkan generasi sehat 3.0 yang selalu bersentuhan dengan orang<br />
lain. Mari kita mulai dari diri kita dengan tidak menulis (status, posting-an) yang menyinggung<br />
satu komunitas, agama, golongan tertentu. Semoga.[]
Hari Anak dan "Kaulinan Baheula"<br />
Harus diakui, keberadaan kaulinan barudak baheula tinggal nama. Ini terlihat dari hasil penelitian<br />
Komunitas Hong (Pusat Kajian Mainan Rakyat Jawa Barat) bahwa 168 jenis atau 70 persen jenis<br />
mainan dan permainan tradisional anak-anak di Jabar dan Banten punah.<br />
Tak ada permainan (wayang dari batang singkong, teteot, celempung, kelom batok, dan<br />
rorodaan) serta aktivitas keseharian anak-anak menjelang sore hingga maghrib (oorayan, hadang,<br />
hahayam, jeung careuh, ucing sumput, sorodot gaplok, galah, pepepet jengkol, gatrik, galah asin,<br />
jajangkungan, congkak, engkle, dan hompimpah) di tanah Pasundan.<br />
Tentu semua kaulinan barudak Sunda ini tinggal kenangan budak baheula kolot ayeuna. Kuatnya<br />
arus modernitas dan globalisasi membuat permainan tradisional ini semakin terasing di tengah<br />
kehidupan masyarakat Parahyangan. Malahan budak kiwari merasa bangga bila bisa sekaligus<br />
menamatkan permainan game watch, game boy, Sega, PlayStation, dan game online.<br />
Parahnya, sebagian penghuni bumi persada Parijs van Java ini beranggapan bahwa kaulinan<br />
barudak dapat dikategorikan sebagai permainan kelas bawah yang kotor, berbahaya, dan tidak<br />
berkualitas. Ketiadaan tempat khusus bermain karena disulap menjadi mal dan pusat<br />
perbelanjaan membuat permainan ini semakin terpinggirkan sekaligus terlupakan dari benak kita.<br />
Ironis memang.<br />
Padahal, permainan tradisional sangat cocok sebagai media pembelajaran pendidikan anak usia<br />
dini. Pasalnya, kaulinan barudak mengandung banyak manfaat dan persiapan bagi anak guna<br />
menjalani kehidupan bermasyarakat. Hal itu juga terkait erat dengan pengenalan diri, alam, dan<br />
Tuhan.<br />
Mampukah kehadiran Hari Anak Nasional tiap 23 Juli menjadi momentum awal untuk<br />
menciptakan generasi unggul sekaligus ngamumule kaulinan barudak di Priangan ini sejak<br />
dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1984 tentang Hari Anak Nasional dan<br />
harus diselenggarakan setiap tahun dari 1986 sampai sekarang? "Kaulinan barudak"<br />
"Kaulilan Barudak"<br />
Dalam konteks Jabar, untuk menciptakan generasi unggul dengan melestarikan khazanah<br />
kesundaan, salah satu caranya adalah ngamumule kaulinan barudak baheula. Apalagi, poin<br />
pertama tujuan khusus peringatan Hari Anak Nasional 2010 adalah menyediakan wahana<br />
bermain, unjuk prestasi, kreativitas, dan karya inovatif anak.<br />
Sungguh mulia apa yang dilakukan Mohammad Zaini Alif dengan Komunitas Hong di Jalan<br />
Bukit Pakar Utara Nomor 35, Dago, Bandung; galeri di Jalan Merak Nomor 2, Bandung, serta<br />
sanggar Kampung Kolecer, Kampung Bolang, Desa Cibuluh, Tanjungsiang, Subang. Ia mencoba<br />
menghidupkan kembali kaulinan barudak.
Menurut Saleh Danasamita (1986:83, 107), permainan dan bermain merupakan dua hal yang<br />
tidak bisa dipisahkan dari lingkungan anak-anak serta mempunyai kedudukan sangat penting di<br />
masyarakat Sunda. Pasalnya, segala kaulinan barudak terangkum dalam naskah Siksa Kandang<br />
Karesian.<br />
...Hayang nyaho di pamaceuh ma: ceta maceuh, ceta nirus, tatapukan, babarongan, babakutrakan,<br />
ubang-ubangan, neureuy panca, munikeun le(m)bur, ngadu lesung, asup kana lantar, ngadu nini;<br />
singsawatek (ka) ulinan mah empul tanya" ("Bila ingin tahu permainan, seperti ceta maceuh, ceta<br />
nirus, tatapukan, babarongan, babakutrakan, ubangubangan, neureuy panca, munikeun le(m)bur,<br />
ngadu lesung, asup kana lantar, ngadu nini, segala macam permainan, tanyalah empul").<br />
Kuatnya ikhtiar ngamumule kaulinan budak, Zaini merujuk pada naskah abad ke-15 Saweka<br />
Darma Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung yang menyebutkan tentang<br />
hempul. Hempul adalah orang yang mengetahui aturan memainkan, cara membuat, dan filosofi<br />
mainan atau permainan. Namun, kini hempul sudah punah. Tak ada lagi masyarakat adat di Jabar<br />
yang memiliki hempul.<br />
Disadari atau tidak, naluri bermain merupakan salah satu unsur utama kebudayaan manusia<br />
homo ludens atau manusia yang bermain, seperti dikatakan Johan Huizinga (1872-1945),<br />
sejarawan dan filsuf Belanda.<br />
Merangsang Kreativitas<br />
Sejak berdiri tahun 2003, Komunitas Hong mengampanyekan pentingnya kaulinan budak. Kata<br />
hong berawal dari kata yang diteriakkan anak-anak Sunda saat bertemu teman. "Hong juga<br />
berarti pertemuan dengan Yang Maha Kuasa," ungkap Zaini.<br />
Dalam pemahamannya, permainan rakyat memiliki kelebihan dibandingkan dengan permainan<br />
modern. Bila permainan modern hanya terbatas melatih saraf motorik, kreativitas, dan<br />
kecerdasan anak, kaulinan barudak merangsang kreativitas dan kecerdasan anak serta menjadi<br />
sarana pengenalan rasa si anak terhadap diri, alam, dan Tuhan.<br />
Tengok saja permainan yang mengolah rasa, seperti jajangkung (egrang) untuk melatih<br />
keseimbangan dan keprak (batang bambu yang dibelah salah satu ujungnya menjadi lengkungan)<br />
yang biasa dimainkan untuk mengusir sepi.<br />
Permainan congklak juga memiliki makna perjuangan yang dilakukan seorang manusia tiap hari.<br />
Tujuh lubang menandakan jumlah hari dan satu gunung menandakan lumbung. Jadi, setiap hari<br />
seseorang mengumpulkan satu batu hingga penuh. Setelah penuh, batu atau benda tersebut<br />
dipindahkan ke lumbung untuk ditabung atau dibagikan kepada yang membutuhkan.
Penggunaan lumbung ini tecermin pada kehidupan masyarakat Sunda yang masih menggunakan<br />
lumbung untuk menyimpan hasil bumi. Permainan engkle yang ada di berbagai daerah pun<br />
bermakna perjalanan hidup seseorang dari hari ke hari sampai menuju surga. Kotak-kotak<br />
menandakan hari yang harus dilalui manusia hingga mencapai sebuah lingkaran besar yang<br />
menandakan surga. Setelah sampai di surga, ia melemparkan batu ke belakang untuk memilih<br />
tempat miliknya yang tidak bisa ditempati orang lain.<br />
Kiranya permainan Sunda itu sarat dengan nilai ketuhanan, seperti hompimpa. Kalimat<br />
hompimpa alaium gambreng itu bermakna dari Tuhan kembali ke Tuhan, mari kita bermain<br />
(Kompas, 21/5).<br />
Mudah-mudahan Festival Kaulinan Barudak Baheula di Kota Baru Parahyangan (2008), Festival<br />
Kolecer Kampung Bolang di Subang (2008), Kaulinan Barudak di Pesta Rakyat Hari Jadi Bogor<br />
(2010), dan Ujungberung Festival Ke-6 Kota Bandung (2010) adalah bentuk ngamumule<br />
khazanah kesundaan yang tak bisa ditawar-tawar lagi.<br />
Meluncurnya film dokumenter Hebatnya <strong>Indonesia</strong>ku berkat kerja sama penerbit buku Mizan,<br />
Nestle Dancow, dan Garin Nugroho pun diharapkan mewariskan kebudayaan <strong>Indonesia</strong> yang<br />
beragam, toleransi, dan kebanggaan nasional di kalangan anak-anak melalui "Dan Kau Pun Anak<br />
<strong>Indonesia</strong>".<br />
Inilah makna terdalam Hari Anak Nasional dalam menciptakan generasi unggul sekaligus<br />
melestarikan komunitas kaulinan barudak. Terwujudnya pusat kaulinan barudak memadai<br />
menjadi cita-cita tertinggi masyarakat Sunda. Semoga.[]
<strong>Humanisasi</strong> Kurban<br />
Momen Iduladha bukan hanya sarat dengan nilai ibadah ritual, tetapi juga memuat nilai-nilai<br />
sosial yang sangat tinggi. Disebut demikian karena pada hari ini banyak umat <strong>Islam</strong> yang<br />
berkurban dengan menyembelih hewan kurban: sapi, kerbau, kambing, dan lain-lain, untuk<br />
dibagikan kepada saudara-saudara mereka yang membutuhkannya. Oleh karena itu, hari ini<br />
kerap diistilahkan dengan Hari Raya Kurban.<br />
Perayaan Iduladha di <strong>Indonesia</strong> saat ini berpapasan dengan dengan banyaknya bencana yang<br />
banyak memakan korban jiwa. Kalaupun selamat, mereka harus rela hidup sengsara di<br />
pengungsian. Sebut saja korban letusan Gunung Merapi di Yogyakarta, korban terjangan tsunami<br />
di Mentawai, dan korban banjir bandang di Wasior. Para korban yang jumlahnya tidak sedikit itu<br />
pasti sangat membutuhkan bantuan makanan, obat-obatan, pakaian, dan lain-lain.<br />
Pertanyaannya, bagaimana upaya memanusiakan nilai Hari Raya Kurban agar sesuai dengan<br />
tujuan dan substansinya, yakni kemaslahatan sosial?<br />
Kemaslahatan sosial<br />
Beragama sejatinya tidak menafikan aspek rasionalitas. Rasionalitas ini dapat mengatrol<br />
keberagamaan menuju pengamalan yang transformatif dan progresif, yang menurut Vahiduddin<br />
Khan dalam <strong>Islam</strong> Rediscovered (2002), disebut <strong>Islam</strong> yang objektif. Artinya, harus ada<br />
objektivikasi agar kebaikan-kebaikan dan kemaslahatannya dapat dirasakan dalam kondisi riil.<br />
Apalagi saat ini, <strong>Islam</strong> hidup di alam peradaban modern, peradaban baru yang ditandai dengan<br />
kesadaran pikir, ilmu, praksis, kritik, dan kemajuan.<br />
Kecenderungan pemahaman terhadap ajaran <strong>Islam</strong> yang teosentris perlu ditarik ke ranah sosialhorizontal<br />
(hablu minannas), bukan semata vertikal (hablu minallah). Implikasinya, <strong>Islam</strong> harus<br />
aplikatif, realistis, dan mengedepankan pertimbangan kemaslahatan, bukan pemuasan spiritual<br />
individual. Momentum perayaan Iduladha adalah salah satu pintu mengusung panji-panji<br />
kemartabatan dan kesederajatan korban bencana alam, di samping peran pemerintah dan<br />
asosiasi-asosiasi atau elemen-elemen solidaritas sosial lainnya.<br />
Sebagian kalangan menilai, berkurban adalah ibadah yang ketentuan praktiknya sudah pasti dan<br />
tidak boleh mengalami perubahan. Hanya, bila momentum perayaan Iduladha kali ini terjebak<br />
pada pemahaman yang normatif dan baku, relevansinya akan terkurangi (untuk tidak mengatakan<br />
kehilangan substansi). Oleh karena itu, perlu ada reaktualisasi dan rekontekstualisasi sesuai<br />
dengan tuntutan aktualitas dan konteks. Tanpa ada inisiasi cerdas dan ijtihad kreatif, ibadah<br />
kurban akan kehilangan aspek kemaslahatannya. Atas dasar itulah, calon orang yang berkurban<br />
dalam situasi ini, layak memperhitungkan pengalihan dana kurban untuk membantu para korban<br />
bencana.
Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah tentang kurban dan bencana alam, 29<br />
Oktober 2010, di Yogyakarta menyebutkan, ―Mereka yang karena keterbatasan kemampuan<br />
sehingga harus memilih salah satu di antara dua macam amal tersebut, hendaknya mendahulukan<br />
memberi bantuan dalam rangka menyelamatkan kehidupan mereka yang tertimpa musibah<br />
daripada melaksanakan ibadah kurban sesuai dengan kaidah al-ahamm fa al-muhimm (yang<br />
lebih penting didahulukan atas yang penting).‖<br />
Pada poin lain disebutkan juga, ―Jika dana telah diserahkan kepada panitia kurban dan belum<br />
dibelikan hewan kurban, hendaknya panitia meminta kerelaan calon orang yang berkurban<br />
(shahib al-kurban) untuk mengalihkan dananya kepada bantuan penyelamatan mereka yang<br />
tertimpa musibah gempa bumi/tsunami, letusan Gunung Merapi, dan banjir. Namun jika calon<br />
shahib al-kurban tidak merelakan, dana itu tetap sebagai dana ibadah kurban.‖<br />
Fatwa tersebut adalah ijtihad yang mengusung nilai-nilai sosial kemanusiaan yang tinggi di saat<br />
umat manusia dilanda penderitaan yang tidak ringan. Walaupun sebenarnya, sebagian kalangan<br />
pernah mengajukan opsi kreatif senada tentang kurban. Namun, opsi itu tidak mendapat respons<br />
positif dari masyarakat luas. Realisasi kurban pada akhirnya berkutat pada pembagian daging<br />
walau pada kenyataannya masyarakat tidak begitu membutuhkan.<br />
Kondisi riil yang dihadapi masyarakat korban bencana adalah hilangnya rumah, harta benda,<br />
ternak, ladang, sawah, pekerjaan, anak-anak mereka terancam putus sekolah, kurang gizi, tak ada<br />
persediaan pangan dan sebagainya. Semua membahasakan penderitaan yang mengetuk hati<br />
saudara-saudaranya untuk selalu peka terhadap persoalan itu.<br />
Dengan demikian, untuk sementara waktu, apabila hewan kurban diganti dengan beasiswa, uang<br />
modal usaha, bahan bangunan, bibit padi dan palawija, pupuk untuk pertanian dan perkebunan,<br />
anak sapi atau kambing, dan lain-lain, ibadah kurban lebih mendekati kemaslahatan sosial seperti<br />
yang terbaca dalam tujuan dan substansinya.<br />
Kontekstualisasi di atas bukan tanpa dasar jika dikaitkan dengan orientasi <strong>Islam</strong>. Jasir al-`Audah<br />
dalam Fiqh al-Maqashid: Inathah al-Ahkam al-Syar`iyah (2008), menjelaskan lima aspek<br />
orientasi <strong>Islam</strong> yang disebut dengan mashlahat al-khams (kemaslahatan yang lima) yakni<br />
menjaga agama (din), jiwa (nafs), akal (`aql), harta (mal), dan keturunan (nasab). Bila sasaran<br />
perintah kurban tidak menyentuh lima aspek ini, ibadah kurban mengalami disorientasi nilai dan<br />
tujuan.<br />
Jelas kiranya, dengan beasiswa pendidikan, akal akan terjaga, masyarakat menjadi pintar, cerdas<br />
dan bermanfaat bagi kehidupan sosial bangsa dan negara. Begitu pun dengan hibah bahan<br />
bangunan, pupuk, hewan ternak, bibit pertanian dan sejenisnya, pemberdayaan masyarakat akan<br />
tercipta, dan kemandirian ekonomi terbangun. Pada saat yang sama, ibadah kurban akan<br />
menjelma menjadi penolong yang memanusiakan. Selamat Iduladha 1431 H![]
Imlek dan Perayaan Multikulturalisme<br />
Jauh sebelum Belanda menjajah negeri ini sebenarnya sudah terjadi akulturasi budaya Tiong hoa<br />
dan budaya nusantara. Hasil akulturasi itu tampak dalam berbagai elemen budaya seperti<br />
arsitektur bangunan, makanan, pakaian, dan lain nya. Bukti-bukti hibriditas budaya itu secara<br />
apik diulas Den nis Lombard dalam bukunya Nusa Jawa: Silang Budaya. Sebut saja, misalnya,<br />
Masjid Agung Demak atau beberapa kelenteng di pantai utara Jawa yang sisa-sisanya masih<br />
terlihat sampai sekarang.<br />
Ironisnya, percampuran budaya itu coba disekat oleh rezim Or de Baru dengan mengeluarkan<br />
Inpres No 14/1967 yang me larang segala bentuk ekspresi ber bau Cina, mulai dari huruf, sim<br />
bol, kesenian (barongsai dan Hong), termasuk peraya aan Imlek. Orde Baru ketika itu, demi<br />
meraih simpati ma sya rakat untuk menegakkan re zimnya, mengembuskan ―po litik identitas‖<br />
bah wa orang-orang pribumi ber beda dengan etnis Tionghoa yang penda tang.<br />
Lebih dari 30 tahun lamanya budaya Tionghoa dipinggirkan dari panggung budaya nusantara.<br />
Beruntung negeri ini kemudian melahirkan salah seorang sosok pemimpin yang me miliki<br />
kesadaran multikultu ralisme tinggi. KH Abdurrah man Wahid, Presiden ke-4 RI yang<br />
mengambil keputusan bersejarah dengan mengeluarkan Inpres No 6/2000 yang mencabut Inpres<br />
No 14/1967.<br />
Dengan kebijakan itu, etnis Tionghoa bebas melakukan kegiatan keagamaan, adat istiadat, serta<br />
mengekspresikan ke budayaan mereka. Perayaan Imlek adalah salah satu buah ke bebasan itu<br />
yang kemudian di kukuhkan Presiden Megawati Soekarnoputri dengan Keppres No 19/2002<br />
yang menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional.<br />
Puncaknya, pada era kepemimpinan Presiden Susilo Bam bang Yudhoyono, pemerin tah dan<br />
DPR menorehkan tonggak sejarah baru dengan menghapus diskriminasi kewar ganegaraan, yaitu<br />
mengesahkan UU No 12/2006 tentang Kewarganegaraan RI. Undang-undang itu menyatakan:<br />
―Orang-orang bangsa In donesia asli‖ adalah orang <strong>Indonesia</strong> yang menjadi warga negara<br />
<strong>Indonesia</strong> sejak kela hirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak<br />
sendiri.<br />
Dengan demikian, etnis Tionghoa yang lahir di <strong>Indonesia</strong> ada lah orang In do nesia asli yang<br />
memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan lainnya. Tidak ada kate gori pribumi dan penda<br />
tang. UU di atas sekaligus dapat di baca sebagai politics of recog nition yang memberi<br />
pengakuan setara kepada setiap ragam budaya yang berbeda. Spirit UU itu adalah bangsa In<br />
donesia merupakan ejawantah dari rajutan pernak-pernik ke bangsaan yang berane karagam. Dia<br />
seperti mozaik yang merupakan satu kesatuan warna-warni tak terpisahkan satu sama lain. Dan<br />
itulah esensi multikulturalisme.
Multikulturalisme<br />
Perayaan Imlek juga mengan dung spirit multikul turalis me. Hal itu tampak dari ke<br />
anekaragaman cara orang m erayakan Imlek. Tidak ada standar baku dan model tunggal dalam<br />
merayakannya. Kebe basan demikian menjadikan Imlek sebagai perayaan inklusif yang penuh<br />
ragam bu daya. Sekadar contoh, penulis pernah menyaksikan pertunjukan seni barongsai dalam<br />
su-a sana Imlek yang tidak biasa. Mereka memadukan budaya Cina dengan budaya nusantara.<br />
Perpaduan atau akultu ra si ini makin menambah in dah kedua budaya dalam se ma ngat<br />
persatuan dan kesatuan.<br />
Keanekaragaman Imlek juga berbanding lurus dengan ke nyataan bahwa etnis Ti onghoa sendiri<br />
tidak homogen. Mereka terdiri atas bermacam subetnis, dialek, marga, asalusul geografis, dan<br />
agama yang berbeda-beda. Namun, semangat multikulturalisme mampu menyatukan jiwa etnis<br />
Tionghoa setiap merayakan Imlek.<br />
Bagi etnis Tionghoa yang beragama Tao, Kong Hu Cu, atau Buddha, Imlek kental dengan ritual<br />
keagamaan, sedang kan bagi Tionghoa Muslim atau Kristen, Imlek adalah pe rayaan keluarga,<br />
mereka dipersilakan berdoa dalam rangka Imlek seperti yang bia sanya ramai di Masjid Cheng<br />
Ho Surabaya atau Masjid Karim Oei Jakarta. Di Masjid Syuhada Yogyakarta juga per nah<br />
digunakan Tionghoa Mus lim untuk berdoa. Keunikan lainnya yang khas <strong>Indonesia</strong> adalah tradisi<br />
makan lontong Cap Go Meh pada puncak perayaan Imlek.<br />
Padahal, tradisi semacam itu tidak pernah ada di Tiongkok, negeri asal tradisi Imlek. Bahkan,<br />
saat ini mulai bermunculan simbol-simbol baru, seperti aneka ragam kuliner Imlek khas<br />
<strong>Indonesia</strong>, pernak-pernik, hingga munculnya Semar dan tokoh-tokoh pewayangan berbusana<br />
Tionghoa dalam pawai perayaan Imlek. Contoh-contoh di atas adalah bukti perayaan Imlek sema<br />
kin terintegrasi dengan budaya nusantara. Jadi, biarkan bu daya berkembang secara alami, tanpa<br />
perlu diatur dengan undang-un dang.<br />
Tohmasya rakat ternyata lebih pandai dan bijak me nyikapi multikulturalisme di <strong>Indonesia</strong>. Satu<br />
hal yang perlu diperha tikan, jangan sampai perayaan Imlek terlalu menonjolkan sisi glamor dan<br />
konsu merisme seperti fenomena yang muncul di mal-mal, dan tempat-tempat hiburan. Prak tik<br />
se macam itu tidak saja melenceng dari mak na spiritual pera yaan Imlek, tetapi juga dapat<br />
melukai perasaan saudaraki tayang sebagian masih hidup dalam kemiskinan, atau yang sedang<br />
ditimpa bencana.<br />
Pera yaan semacam itu akan berujung pada eksklusivisme, bukan multikulturalisme. Ke depan,<br />
kita berharap perayaan Imlek semakin ken t al dengan nuansa <strong>Indonesia</strong> melalui perpaduan<br />
berbagai unsur budaya nusantara se hingga Imlek memberikan sum bangan besar bagi pemba<br />
ngunan kebera gaman dan mem perkokoh persatuan bangsa.[]
Imlek dan Persaudaraan Sejati<br />
Diakui atau tidak, penerimaan dan akulturasi budaya <strong>Islam</strong> antara etnis Tionghoa dan Sunda<br />
adalah kegairahan yang tak pernah usai sekaligus saling melengkapi satu sama lain. Kehadiran<br />
<strong>Islam</strong> (Sunda) dari jalur Konfusius (Cina) lebih diterima daripada Arab atau India.<br />
Ini tercantum dalam Pantun Bogor, seperti dikemukakan Anis Jatisunda ihwal seruan untuk<br />
menerima <strong>Islam</strong> dari penyebar yang berkucir dan menolak dari yang bersurban, tulis Bambang<br />
Q-Anees, pegiat khazanah Sunda dalam Seminar Internasional Budaya Sunda-Melayu Nusantara<br />
bertajuk Sunda, <strong>Islam</strong> dan Melayu Nusantara di Universitas Pasundan 21-22 Januari 2011<br />
Berpijak dari cerita Anis Jatisunda maka dibuat rekonstruksi singkat. Pada periode dinasti Sung<br />
(960-1279) <strong>Islam</strong> telah berkembang di Cina dan semakin tumbuh dan berkembang pada zaman<br />
dinasti Ming (1368-1644). Bersama dengan itu berkembang pula ajaran neo-Konfusionisme; t‘ai<br />
chi (Puncak Agung, Nir Agung), hsin (pikiran-dan-hati), chen-I (esa sejati).<br />
Menurut Sachiko Murata, relasi ini merupakan pengaruh dari <strong>Islam</strong> terhadap neo-konfusionisme<br />
yang mewujud pada etika dan harmoni alam.<br />
Mampuhkah kehadiran Imlek 2562 yang jatuh pada 3 Februari 2011 menjadi momentum awal<br />
dalam menjaga keharmonisan antaretnis sekaligus membangun persaudaraan sejati di Tatar<br />
Sunda ini.<br />
Hari Persaudaraan<br />
Umat Khonghucu meyakini, tibanya hari Imlek harus menjadi momentum lambang semangat<br />
perjuangan dan kemenangan di dalam berusaha membina kehidupan agamanya. Pun menjadi<br />
lambang persaudaraan di antara umat Ji Kau/Ru Jiao, Hud Kau/Fo Jiao, dan Too Kau/Dao Jiao.<br />
Upaya merajut persaudaraan dan perilaku toleran diantara keturunan Tionghoa itu terlihat jelas<br />
saat praktik ibadah di Altar Langit (Thian Than) Kelenteng Tri Dharma. Memang indah dan<br />
syahdu. Seakan-akan perbedaan keyakinan (Budha, Tao, Konghucu) menjadi modal dasar dalam<br />
membangun kehidupan yang lebih baik lagi.<br />
Sebutan Tri Dharma (Tiga Ajaran Kebajikan) pun melekat pada tempat peribadatan Tionghoa<br />
sekaligus upaya memelihara, menjunjung nilai-nilai ajaran yang telah disampaikan oleh Kongzu.<br />
Lepas dari apakah mereka dikategoritan agama Budha, Tao atau Konghucu. Yang jelas mereka<br />
keturunan Konzi dan harus memelihara sekaligus menyebarluaskan ajaran kebaikan dan<br />
kebijaksanaan tersebut.<br />
Berkat anjuran dinasti Zhou, kembali digunakan kalender Xia yang merujuk kepada kehidupan<br />
Kongzi, Khongcu atau Confucius pada zaman Dinasti Zhou (551-479 SM). Nasihat suci ini dapat<br />
dilaksanakan Han Wu Di dari Dinasti Han (140-86 SM) pada 104 SM. Sejak itulah kalender
Imlek diterapkan sebagai penanggalan Kongzi dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan<br />
bernegara.<br />
Namun demikian adakalanya terjadi pertumpahan darah, pembunuhan massal, penjarahan yang<br />
dialami keturunan Cina di <strong>Indonesia</strong>. Seperti ditulis Ali Usman; Pembantaian di Batavia 1740,<br />
Pembantaian Cina Masa Perang Jawa 1825-1930, Pembunuhan Massal Etnis Cina di Jawa 1946-<br />
1948, Peristiwa Rasialis 10 Mei 1963, 5 Agustus 1973, Malari 1974 ,dan Kerusuhan Mei 1998.<br />
Padahal di mata Claudine Salmon, peneliti asal Prancis yang mendedikasikan hampir seluruh<br />
kariernya untuk meneliti kebudayaan Cina di <strong>Indonesia</strong>, dalam bukunya Literature in Malay by<br />
the Chinese of <strong>Indonesia</strong>, a Provisional Annotated Bibliography (1981), ia mengatakan, di<br />
<strong>Indonesia</strong>, kalau ada istilah suku-suku, orang Cina dianggap sebagai suku asing.<br />
Akan tetapi, siapa yang asing, siapa yang pribumi, sebenarnya tidak terpisah. ―Saya kira<br />
sejumlah orang <strong>Indonesia</strong> yang menganggap diri sebagai orang pribumi adalah keturunan Cina‖.<br />
(Suara Merdeka, 13/2/2010)<br />
Etika dan Harmoni Alam<br />
Menilik ketidakharmonisan antara penduduk asli dan pendatang di bumi persada ini seakan-akan<br />
kehidupan warga keturunan Cina tak memberikan kontribusi besar terhadap tatanan kebangsaan<br />
dan kenegaraan.<br />
Salah satu cara membangun kerukunan dan persaudaraan di bumi Parahyangan harus bersumber<br />
pada keimanan. Pasalnya, Iman harus dibuktikan dengan perilaku tubuh (badan).<br />
―Tubuh di sini adalah dasar bagi kesadaran menusia dan seluruh hubungan kemanusiaan. Tubuh<br />
perlu dilatih untuk berbuat benar dalam segala keadaan dan berlaku sopan di setiap kehidupan<br />
(Saciko Murata, 2003;51)‖<br />
Bila kita kuat memegang prinsip ini maka persaudaraan akan semakin erat dan mewujud dalam<br />
cara beretika dan harmoni alam. Konon, faktor inilah yang menjadikan dasar penerimaan<br />
masyarakat Sunda terhadap <strong>Islam</strong> dari Cina pada waktu itu. Apalagi, keharomisan dan perilaku<br />
bersaudara menjadi contoh pemaknaan dharma neo-konfusionisme terhadap amar takwini dan<br />
amar taklifi.<br />
Ingat, tradisi intelektual <strong>Islam</strong> membagi perintah Allah dua jenis. Perintah yang menimbulkan<br />
akibat (amar takwini) berkenaan dengan tatanan alam; perintah yang berkenaan dengan perintahperintah<br />
moral dan gerakan sosial yang Allah turunkan kepada para nabi (amar taklifi).<br />
Kiranya, apa yang dialakukan Sufi Cina dalam menerjemahkan dan memahami amanat untuk<br />
tatanan moral dan takdir (nasib) untuk tatanan alam layak kita tiru. ―Apa yang dilimpahkan<br />
langit kepada semua makhluk disebut amanat. Apa yang diterima semua makhluk dari langit<br />
disebut sifat‖
Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari keturunan Tionghoa sangat menjunjung tinggi<br />
keselarasan manusia dengan alam. Ini dibenarkan oleh Fung Yu Lan (1952), menurutnya seorang<br />
manusia dengan manusia lain harus mengikuti tata cara kehidupan yang telah dibangun oleh para<br />
orang bijak kuno sesuai dengan tata cara semesta.<br />
Konteks kesundaan falsafat silih asah, asih dan asuh yang bersumber dari amanat galunggung<br />
atau darma siksa Karesian harus kita tanamkan dalam sanubari kita untuk menciptakan<br />
persaudaraan tanpa batas, sekat dan perbedaan.<br />
Meskipun, untuk hubungan kekrabatan urang Pasundan dikenal ungkapan pancakaki. Ini diamini<br />
Ajip Rosidi (1996), dimana pancakaki memiliki pengertian suatu hubungan seseorang dengan<br />
seseorang yang menunjukan adanya ikatan persaudaraan (keturunan). Temali ikatan adatistiadat-kebiasaan<br />
menjadi menonjol untuk tetap membiasakan bersilaturahim.<br />
Mudah-mudahan adanya tahun Kelinci 2011 yang terdiri dari unsur logam negatif (-) dan kayu<br />
negatif (-) menjadi perekat persaudaraan sesama, antarmanusia yang kian tercabik-cabik di<br />
Tanah Sunda ini.<br />
Apalagi kelinci di mata ahli fengshui, Akino W Azaro melambangkan kemakmuran, silaturahmi,<br />
persaudaraan, kekeluargaan, berhati-hati dan bisa berteman dengan siapa pun.<br />
Terwujudnya masyarakat Jawa Barat yang damai, adil, toleran, harmonis, terbuka, jujur, menjadi<br />
cita-cita bersama dalam membangun kerukunan antaragama, etnis. Inilah makna terdalam Imlek<br />
dalam menciptakan persaudaraan sejati. Semoga. Selamat Imlek 2562. Gong Xi Fa Cai.[]
Integrasi Ilmu<br />
Masih teringat dalam benak saya, ketika kecil dahulu yang hidup di perkampungan, jauh dari<br />
keramaian kota dan modernisasi. Saat masa menuntut ilmu di pesantren tradisional, guru dan<br />
orang tua selalu mewanti-wanti agar mengutamakan mempelajari dan mendalami ilmu agama<br />
dibandingkan ilmu lainnya (baca: umum). Pada saat itu, saya–atau mungkin juga kita–tidak sadar<br />
kalau sebenarnya mereka telah melakukan atau ―tertular‖ oleh namanya ―dikotomi ilmu‖<br />
(pengkotak-kotakan ilmu) sebuah istilah yang asing dan baru.<br />
Pesan orang tua yang masih terngiang dalam benak saya ketika itu adalah: ―Nak…ilmu agama<br />
dapat membawa keselamatan dunia dan akhirat. Tuhan tidak menanyakan apakah kita ahli dalam<br />
ilmu matematika, ekonomi atau lainnya, Tuhan hanya akan menanyakan hal yang berkaitan<br />
dengan agama‖.<br />
Fenomena di atas sangatlah wajar terjadi. Karena, ketika kita membaca karya-karya yang<br />
dihasilkan oleh kalangan ilmuwan (baca: <strong>Islam</strong>), maka permasalahan dikotomi ilmu ke dalam<br />
dua bagian–agama dan non-agama– ternyata bukanlah hal yang baru. Jauh sebelum itu, sekitar<br />
seribu tahun yang lalu misalnya Imam al-Ghozali (w. 1111) dan Ibn Khaldun (w. 1406), dalam<br />
karyanya telah melakukan hal serupa.<br />
Tradisi dikotomi ilmu dikalangan umat <strong>Islam</strong> pada masa itu tidak banyak mengandung problem<br />
dalam pendidikan <strong>Islam</strong>. Berbeda dengan sekarang, yang dimulai ketika Barat melakukan<br />
ekspansi dan imperialisme ke dunia <strong>Islam</strong>, permasalahan dikotomi ilmu kian menemui banyak<br />
problem.<br />
Di antara permasalahan yang muncul adalah adanya kesenjangan dalam sumber hukum. Mereka<br />
yang mendukung ilmu agama akan menganggap pesan Ilahiah dalam bentuk kitab suci-lah yang<br />
paling mempunyai otoritas menilai kebenaran. Hal tersebut berbeda bagi orang yang mendukung<br />
ilmu non-agama (baca: umum), mereka akan menganggap sebaliknya, justru penglihatan panca<br />
indra-lah yang paling benar, karena menurutnya, satu-satunya sumber ilmu adalah pengalaman<br />
empiris.<br />
Permasalahan lainnya berkaitan dengan status hukum–sah atau tidak sah, ilmiah atau tidak<br />
ilmiah untuk dijadikan sebagai disiplin ilmu. Sains Modern telah melakukan vonis bahwa objek<br />
ilmu bisa dikatakan sah dan ilmiah ―jika ia dapat diobservasi dan diamati oleh indra‖. Nah,<br />
dengan demikian, segala macam objek ilmu jika keluar dari ketentuan di atas, sekalipun ia<br />
rasional, maka ia tidaklah sah untuk dikatakan ilmiah.<br />
Pada sisi lain, kalangan ilmuan <strong>Islam</strong>-pun berbuat hal yang serupa, mereka secara fanatik pula<br />
menganggap bahwa panggalian ilmu-ilmu yang non-fisik adalah suatu keharusan karena pada<br />
sisi inilah realitas kebenaran yang sebenarnya akan didapatkan, seperti apa yang diungkapkan<br />
oleh al-Ghozali yang mengatakan bahwa ―mempelajari ilmu-ilmu agama adalah fardhu ‗ain<br />
hukumnya dan mempelajari ilmu-ilmu umum fardhu kifayah‖. Fatwa tersebut secara tidak
disadari menyebabkan kemerosotan dikalangan dunia <strong>Islam</strong> pada penguasaan disiplin ilmu-ilmu<br />
non-agama.<br />
Dua persepsi di atas–yang satu bangga dengan penguasaan ilmu-ilmu fisik dan di lain pihak<br />
bangga dengan ilmu-ilmu non-fisik secara tidak disadari menjadi problem dalam menentukan<br />
klasifikasi ilmu.<br />
Dilain pihak, kalangan pembela agama juga melakukan sikap ekslusifisme terhadap metode<br />
indrawi di atas. Bahkan lebih dari itu mereka merancang seperangkat metode yang sebenarnya<br />
tidak dapat mengembangkan ilmu, justru sebaliknya akan ―mengkerdilkan‖ ilmu tersebut.<br />
Keran-keran berfikir kritis, inofatif dan ilmiah mereka tutup dengan segudang klaim hukum<br />
bid‘ah, haram dan sebagainya. Kalangan pembela ilmu agama menganggap hanya dirinya yang<br />
mempunyai otoritas penuh dan tak dapat diganggu gugat.<br />
Itu-lah di antara sederet permasalahan dan problem meskipun sebenarnya banyak masalah dan<br />
problem lainnya. Karena itu, upaya meng-integrasi-kan ilmu merupakan hal yang urgen saat ini,<br />
dan hal ini-lah yang sedang diupayakan oleh perguruan berbasis <strong>Islam</strong> seperti UIN, IAIN,<br />
STAIN ke depan.<br />
Di antara pola integrasi ilmu yang perlu digalakan saat ini adalah terkait dengan metodologi<br />
ilmiah yakni metode observasi dengan alat indra, metode rasional dengan akal, dan metode<br />
intuitif dengan hati. Hal tersebut harus dilakukan, karena, masing-masing metode tersebut<br />
mempunyai kelemahan dan kelebihan.<br />
Karena itu, kelemahan dan kelebihan itu hendaknya di jadikan sebab untuk saling melengkapi<br />
satu sama lainnya, bukan untuk saling menjatuhkan. Mari kita kembangkan integrasi ilmu, demi<br />
mewujudkan para ilmuan yang berkualitas tinggi sekaligus berbudi luhur.[]
Keshalihan Sosial<br />
Shalih dalam Alquran banyak diulang dalam beberapa ayat dan semuanya menunjukkan pada<br />
satu predikat, yaitu indikator keimanan seseorang. Rangkaian ayat dalam Alquran sering<br />
digabungkan antara ―alladzina aamanuu‖ dengan ―amilus shalihat.‖ Hal ini mengandung faidah<br />
bahwa antara iman dan amal shalih tidak bisa dipisahkan, bagai dua sisi mata uang (like two<br />
sides a coin), satu sama lain saling menyempunakan.<br />
Dalam Kamus al-Munawwir (h.788-789), istilah Shalih mengandung makna al-Jayyid (bagus),<br />
al-Baar (sholeh), al-manfa‘at (kemanfaatan), al-Ni‘mat al-Waafirah (keni‘matan yang<br />
sempurna), dan lain-lain. Semua istilah tersebut merujuk pada satu kata ‗kebaikan.‘ Tolok ukur<br />
kelakuan baik dan buruk mestilah merujuk kepada ketentuan Allah SWT.<br />
Demikian rumus yang diberikan oleh kebanyakan ulama. Apa yang dinilai baik oleh Allah, pasti<br />
baik dalam esensinya. Demikian pula sebaliknya, tidak mungkin Dia menilai kebohongan<br />
sebagai kelakuan baik, karena kebohongan esensinya buruk.<br />
Berbuat baik (amal shalih) tentu tidak cukup hanya untuk diri sendiri saja. Hal tersebut hanya<br />
memberikan kesan menjadi shalih secara individual, padahal <strong>Islam</strong> menganjurkan terwujudnya<br />
suatu sistem akhlak yang mengerucut pada predikat kesahalihan sosial (kolektif/jama‘i).<br />
<strong>Islam</strong> adalah sebagai sistem aturan (agama) yang berfungsi sebagai rahmatan lil ‗alamin. Karena<br />
itu, sasaran akhlak yang baik selain untuk diri sendiri juga untuk Allah SWT, sesama manusia,<br />
dan alam secara keseluruhan (M Quraish Shihab, 2000:261-273).<br />
Perintah agama untuk berbuat kebaikan pada dasarnya merupakan washilah yang akan<br />
menghantarkan kita pada derajat keridhaan Illahi nanti di akhirat. Perintah dan dorongan berbuat<br />
baik itu datang dari Allah melalui para utusan-Nya. Namun sesungguhnya dorongan kepada<br />
kebaikan itu sudah merupakan ―bakat primordial‖ manusia, bersumber dari hati nurani (nurani,<br />
bersifat nur atau terang) karena adanya fitrah pada manusia. Oleh karena itu berbuat baik<br />
merupakan sesuatu yang ―natural‖ atau alami, karena dia tidak lain adalah perpanjangan<br />
nalurinya sendiri, alamnya sendiri, yang ada secara primordial, sejak seseorang dilahirkan ke<br />
dunia ini.<br />
Maka jika Allah memerintahkan kita berbuat baik, sesungguhnya seolah-olah Dia hanyalah<br />
mengingatkan kepada kita akan ―nature‖ kita sendiri, kecenderungan kita sendiri. Dengan kata<br />
lain, berbuat baik adalah sesuatu yang manusiawi, yang sejalan dan mencocoki sifat dasar<br />
manusia itu sendiri. Dengan sendirinya perbuatan jahat adalah melawan kemanusiaan, menyalahi<br />
sifat dasar manusia itu.<br />
Karena itu, dari perspektif ini bisa disimpulkan bahwa perintah berbuat baik dari Allah SWT<br />
kepada kita bukanlah untuk kepentingan Allah sendiri. Dia Maha Kaya (al-Ghaniy), tidak<br />
membutuhkan pelayanan/service dari makhluk-Nya. Sebaliknya, ketika perbuatan baik
dikerjakan manusia maka semuanya akan kembali untuk kebaikan manusia itu sendiri. Hal ini<br />
telah Allah tegaskan dalam QS Fushilat : 46, ―Barang siapa berbuat baik, maka hal itu untuk<br />
dirinya sendiri; dan barang siapa berbuat jahat, maka hal itu adalah atas (kerugian) dirinya<br />
sendiri.‖<br />
Berbagai kajian ilmiah mengenai manusia telah mengukuhkan bahwa manusia yang reach out,<br />
mengulurkan tangan untuk menolong orang lain, adalah orang yang bahagia. Jika suatu kali kita<br />
bertemu dengan orang yang membutuhkan pertolongan, kemudian kita menolongnya, sepintas<br />
lalu nampak seperti perbuatan kita adalah untuk kepentingan orang tersebut. Tetapi, dalam<br />
perenungan yang lebih mendalam, seuntung-untungnya orang yang kita tolong itu, tetap masih<br />
beruntung dan bahagia kita sendiri, justeru karena kita mampu menolong. Lebih lanjut, karena<br />
perasaan bahagia itu, kita akan mendapatkan dunia ini terasa lapang dan luas untuk kita<br />
disebabkan oleh lapang dan luasnya dada (jiwa) kita. Kita dibimbing oleh Allah, berkat<br />
perbuatan baik kita sendiri, kepada kehidupan yang luas,lapang dan penuh harapan (Nurcholis<br />
Madjid, 1999 : 186-187)<br />
Inilah salah satu makna janji Allah SWT dalam firman-Nya QS. Al-Zumar : 10 ―Katakanlah<br />
(Muhammad), ―wahai-wahai hamba-Ku yang beriman! Bertakwalah kepada Tuhanmu.‖ Bagi<br />
orang-orang yang berbuat baik di dunia ini akan memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu luas.<br />
Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pehalanya tanpa batas.‖<br />
Drs H Hamzah Ya‘kub menyebutkan ada beberapa faktor penting dalam membentuk etika atau<br />
akhlak yang baik yang akan menghasilkan amal shalih. Dalam bahasa sekarang diistilahkan<br />
dengan pembentukan karakter (character building). Beberapa faktor tersebut antara lain :<br />
manusia (subjek), instink (naluri), Kebiasaan (habit), Keturunan (hereditas/nasab), lingkungan,<br />
‗Azzam (tekad/motivasi kuat), Suara batin, dan pendidikan (tarbiyah).<br />
Dengan kata lain, kesuksesan seseorang dalam beramal shalih akan banyak ditentukan oleh<br />
faktor-faktor tadi. Akan tetapi hal di atas bukan bermakna menafikan peran hidayah Allah SWT<br />
yang sudah menjadi sifat mutlak bagi makhluk-Nya.<br />
Terjadinya musibah gempa bumi beberapa hari lalu yang menimpa kita dan saudara-saudara<br />
dekat kita di wilayah Kab. Bandung, Bandung Barat dan lebih luasnya Jawa Barat adalah sebagai<br />
lahan untuk mengaktualisasikan makna keshalihan sosial kita. Ketika sebagian besar saudara kita<br />
sedang membutuhkan pertolongan, maka seharusnya lah kita memberikan apapun yang kita<br />
mampu dan yang mereka butuhkan. Kepedulilan sosial kita mengindikasikan tingkat kecerdasan<br />
sosial kita (social intellegience).<br />
Kita berusaha simpati sekaligus empati atas segala musibah yang sedang menimpa saudarasaudara<br />
kita. Sebaliknya, ketika tidak peduli dengan urusan saudaranya, Rasul SAW sampai<br />
memberikan ultimatum: ―Barang siapa yang tidak peduli dengan urusan kaum Muslimin yang<br />
lain, maka dia bukan dari golongan mereka.‖[]
Makna Simbolik Imlek<br />
kikiPerayaan hari raya tahun baru imlek bagi etnis Cina bukan hanya sekedar ritual rutinitas<br />
tahunan biasa dan budaya saja, akan tetapi juga imlek merupakan warisan budaya yang sekaligus<br />
menyatu dengan kepercayaan agama. Karena itu, imlek bagi etnis Cina sangat bernilai sacral.<br />
Jika ditelusuri akar sejarahnya, maka perayaan imlek atau dalam bahasa cina disebut dengan Sin<br />
Tjia, sebenarnya bermula dari sejenis perayaan yang kerapkali dilakukan oleh para petani di Cina<br />
pada setiap tanggal satu di bulan pertama di awal tahun baru. Tradisi ini juga berkaitan dengan<br />
pesta para petani untuk menyambut musim semi, dimulai pada tanggal 30 bulan ke-12 dan<br />
berakhir pada tanggal 15 bulan pertama.<br />
Nilai kesakralan dari perayaan imlek ini biasanya di isi dengan beberapa ritual keagamaan, di<br />
antaranya sembahyang kepada Sang Pencipta Alam, sembahyang leluhur, perayaan Cap Go Meh,<br />
dan banyak lagi ritual-ritual lainnya.<br />
Ritual sembahyang leluhur dalam imlek misalnya, memiliki makna luas, tidak hanya sekadar<br />
memberi makan arwah leluhur. Dalam persepsi orang Cina, sembahyang leluhur adalah wujud<br />
bakti seorang anak kepada orangtuanya. Bakti kepada orang tua tidak hanya merawat dan<br />
menjaga hingga meninggal, tetapi juga setelah meninggal. Ini mengingatkan kita bahwa kita<br />
berada di dunia ini tidak semata-mata karena Tuhan, tetapi juga orangtua,<br />
Ritual lainnya seperti menyalakan lilin atau lampion menurut Yu Ie, seseorang yang banyak<br />
mempelajari sejarah Tionghoa mengatakan bahwa ketika menyalakan lilin atau lampion, warga<br />
Tionghoa berharap agar dalam satu tahun ke depan hidup mereka menjadi terang seperti lilin.<br />
Sedangkan pembuatan kue lapis dalam imlek juga merupakan simbol keinginan agar di tahun<br />
mendatang rezeki melimpah dan berlapis-lapis. Bunga sedap malam dihadirkan sebagai tekad<br />
untuk terus berlaku baik dan harum, seharum bunga sedap malam.<br />
Tradisi simbolik lainnya yang selalu ditunggu-tunggu adalah pemberian ang pau. Makna ang pau<br />
menurut Ketua Majelis Tinggi Agama Konghucu <strong>Indonesia</strong>, Budi Santosa Tanuwibawa,<br />
mengatakan bahwa ang pau yang diberikan pada saat imlek memiliki makna filosofi sebagai<br />
transfer kesejahteraan atau energi. ―Transfer kesejahteraan dari orang mampu ke tidak mampu,<br />
dari orang tua ke anak-anak, dari anak-anak yang sudah menikah ke orang tua,‖<br />
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa tradisi pemberian ang pau, dalam kepercayaan Tionghoa<br />
sudah berlangsung sejak lama. Dalam tradisi Konghucu, pemberian angpau dilakukan tujuh hari<br />
menjelang Tahun Baru Imlek. ―Harinya disebut Hari Persaudaraan. Ini merupakan bentuk<br />
kewajiban orang yang merayakan Tahun Baru Imlek membantu sesama yang tak mampu<br />
merayakannya.‖
Semua tradisi simbolik dalam perayaan imlek tersebut adalah sebagai bentuk perwujudan rasa<br />
syukur atas segala kenikmatan yang diberikan Tuhan kepada Manusia, dan juga doa harapan agar<br />
di tahun depan, mendapat rezeki yang jauh lebih banyak.<br />
Karena itu, berbagai ritual simbolik keagamaan dalam perayaan imlek dapat dijadikan sebagai<br />
jalan keluar terhadap masalah-masalah yang dihadapi manusia, karena manusia itu sendiri<br />
mengalami situasi tekanan emosi dan jalan buntu, sebagaimana peran agama yang dijelaskan<br />
oleh Cliford Geertz.<br />
Makna substansial lainnya dari imlek menurut hemat saya tidak hanya itu, imlek sebagaimana<br />
hari raya idul fitri dalam <strong>Islam</strong>, juga dimaknai sebagai hari raya yang memberikan pesan untuk<br />
saling bersilaturahmi dengan para kerabat dan juga dengan tetangga yang berbeda identitas–baik<br />
suku, ras, etnis, bahkan kepercayaan agama.<br />
Simbol dari pesan silaturrahmi itu terlihat dari banyaknya menu makanan yang dibuat pada<br />
perayaan imlek. Ada sekitar dua belas menu makanan wajib yang harus dibuat. Berbagai menu<br />
makanan tersebut dijadikan sebagai jamuan, bahkan sebagian diberikan kepada para kerabat dan<br />
tetangga yang membutuhkan.<br />
Dengan momen imlek yang ke-2562 kali ini, diharapkan pesan moral yang termaktub dalam<br />
imlek tersebut betul-betul bisa diaplikasikan tidak hanya dalam makna simbolik ritualitas dan<br />
rutinitas saja, akan tetapi juga dalam prilaku nyata manusia sehari-hari.<br />
Pesan moral imlek yang tersimbolkan dalam ritualitas tersebut sejatinya bisa dijadikan sebagai<br />
media memupuk persaudaraan, toleransi, dan humanisme beragama di antara kita yang pernah<br />
terkoyak hanya demi kepentingan semu dan egosentrisme etnis dan agama. Kepada kalangan<br />
etnis Cina yang sedang merayakan imlek, saya mengucapkan selamat merayakannya.[]
Masjid, Radikalisme Agama dan Pencerahan<br />
hendarRadikalisme atau kekerasan dalam dan atas nama agama bukan hanya merupakan ―bidah<br />
keagamaan‖ kontemporer, melainkan juga ―bidah peradaban‖ yang sangat mengkhawatirkan.<br />
Disebut bidah keagamaan, karena praktik radikalisme keagamaan ini tidak pernah diteladankan<br />
oleh Rasul.<br />
Menurut Karen Armstrong (2001: 385), keberhasilan perjuangan Nabi Muhammad, bukanlah<br />
dengan pedang, melainkan dengan menggunakan kebijakan anti kekerasan yang kreatif dan jujur.<br />
Disebut bidah peradaban, karena radikalisme keagamaan tersebut telah menyimpang dari citacita<br />
dan visi peradaban manusia, yaitu hidup harmonis dengan lingkungan dan sesamanya.<br />
Menurut Jim Ife dan Frank Tesoriero (2008: xiii) kebutuhan untuk hidup harmonis antara<br />
manusia dengan lingkungan dan sesamanya itu merupakan prasyarat peradaban.<br />
Sejak 11/9/2001, muncul berbagai studi yang kerap kurang proporsional melabelkan kekerasan<br />
atau radikalisme keagamaan tersebut pada <strong>Islam</strong>. Muncullah sebutan <strong>Islam</strong> radikal, <strong>Islam</strong><br />
funmentalis atau <strong>Islam</strong> lainnya yang dikelompokkan kepada <strong>Islam</strong> garis keras. Dalam sejumlah<br />
studi, tak jarang juga sejumlah institusi keagamaan <strong>Islam</strong>, seperti pesantren dan madrasah<br />
dituduh sebagai ―sarang teroris‖, tempat bersemainya benih kekerasan.<br />
Bahkan, riset baru-baru ini, melansir temuan bahwa masjid sebagai tempat suci par exellence<br />
umat <strong>Islam</strong> yang menjadi basis tumbuhnya benih radikalisme keagamaan. Temuan ini mungkin<br />
ada benarnya, karena fakta sosiologis menunjukan bahwa masjid sangat terbuka bagi akses siapa<br />
pun, termasuk kelompok <strong>Islam</strong> garis keras.<br />
Akan tetapi, adalah fakta sosiologis juga, bahwa masjid sangat terbuka untuk diakses oleh<br />
kelompok <strong>Islam</strong> moderat atau komunitas yang memperkenalkan <strong>Islam</strong> sebagai agama yang<br />
ramah dan penebar rahmat. Oleh karena itu, tulisan ini berpendapat bahwa studi atau temuan<br />
bahwa masjid menjadi basis persemaian radikalisme keagamaan, tidak sepenuhnya benar.<br />
Terdapat sejumlah masjid yang justru melakukan perlawanan terhadap praktik radikalisme<br />
keagamaan dan memperkenalkan agama sebagai rahmat atau pelayan bagi kemanusiaan. Masjid<br />
semacam itu, pada umum dikelola dan dimakmurkan oleh kelompok <strong>Islam</strong> moderat yang<br />
memperkenalkan visi <strong>Islam</strong> sebagai rahmatan lil‘alamin. Satu di antaranya adalah Masjid Raya<br />
Mujahidin yang dikelola oleh Pengurus Wilayah Muhammadiyah Jawa Barat.<br />
Pusat kebudayaan<br />
Konsepsi masjid sebagai pusat ibadah dan kebudayaan telah diterima secara luas oleh hampir<br />
seluruh komunitas peradaban, terutama <strong>Islam</strong>. Secara umum, konsep ini disimbolkan dengan dua<br />
komponen utama masjid, yaitu mihrab dan mimbar. Mihrab atau pangimaman merupakan simbol<br />
pusat ibadah yang memiliki nilai kesucian di mana seorang imam memimpin salat berjamaah.<br />
Sementara mimbar atau podium merupakan simbol pusat kebudayaan, karena di atas mimbar
tersebut, terjadi proses dialog dan kontak kebudayaan antara khatib (penceramah) dengan<br />
mustami‘ (Sidi Gazalba, 1989: 2560).<br />
Konsep masjid sebagai pusat ibadah dan kebudayaan ini telah diwujudkan secara baik pada masa<br />
Nabi dan kekhalifahan yang terbimbing. Masjid pada masa Nabi, selain berfungsi sebagai tempat<br />
sujud atau tempat berkumpulnya kaum Muslimin untuk melaksanakan salat berjemaah, juga<br />
menjadi tempat atau pusat pendidikan, pusat informasi, latihan militer, pengembangan baitul mal<br />
untuk kesejahteraan dan santunan sosial serta menjadi tempat perdamaian dan peradilan<br />
sengketa. Di samping itu juga, Rasulullah menjadikan masjid sebagai tempat konsultasi dan<br />
komunikasi dalam masalah kemasyarakatan dan kenegaraan (termasuk masalah sosial, ekonomi,<br />
budaya) serta sebagai tempat perawatan atau pengobatan (M. Quraish Shihab, 1992, 462).<br />
Berdasarkan konsepsi masjid di atas, tak diragukan lagi, bahwa kehadiran masjid merupakan<br />
komponen utama dalam pembentukan kebudayaan dan peradaban <strong>Islam</strong>. Masjid merupakan ruh<br />
atau jiwa peradaban itu sendiri. Oleh karena itu, tidak heran kalau program utama dan pertama<br />
yang dicanangkan Nabi dalam pembentukan peradaban <strong>Islam</strong> adalah membangun masjid. Masjid<br />
yang dikenal pertama kali didirikan Nabi adalah masjid Quba dan masjid Nabawi. Pentingnya<br />
keberadaan masjid sebagai pusat ibadah dan kebudayaan ini, sangat disadari betul oleh The<br />
Founding Father Muhammadiyah. Ketika Kiai Ahmad Dahlan memulai gerakan pembaruannya,<br />
pertama kali yang dilakukannya adalah memperbaiki masjid dengan meluruskan saf arah<br />
kiblatnya.<br />
Kiai Ahmad Dahlan telah meletakkan dasar gerakan pembaruannya dari masjid. Tradisi yang<br />
sama juga dilanjutkan oleh generasi berikutnya. Pernyataan Ketua PP Muhammadiyah Prof. Din<br />
Syamsuddin pada Pengajian Ramadan 1427 H mengenai perlunya kembali menggerakkan<br />
jemaah dari masjid, semakin mengukuhkan tentang arti strategisnya masjid. Menurut Din<br />
Syamsuddin, kalau mau kuat, Muhammadiyah harus kembali ke masjid dan menggerakkan<br />
jemaahnya dari masjid. Pernyataan Ketua PP Muhammadiyah ini menggambarkan kehadiran<br />
masjid yang sangat strategis dalam menggerakkan jemaah.<br />
Ada tiga pola masjid yang didirikan Muhammadiyah, yaitu pertama, Masjid Muhammadiyah<br />
didirikan sebagai bagian dari kesatuan amal usaha pendidikan dan kesehatan atau amal sosial.<br />
Misalnya, masjid yang dibangun dalam kompleks sekolah, kampus, rumah sakit dan panti<br />
asuhan. Kedua, masjid didirikan oleh komunitas Muhammadiyah di tengah kampung atau desa.<br />
Dalam komunitas ini, masjid menjadi pusat kegiatan ibadah, dakwah dan pelurusan akidah.<br />
Ketiga, masjid Muhammadiyah didirikan menyatu dengan Kantor Muhammadiyah, Kantor<br />
PRM, PCM, PDM, PWM yang maju biasanya dilengkapi dengan masjid (Suara Muhammadiyah,<br />
N0. 21, 2006).<br />
Dengan demikian, masjid di lingkungan Muhammadiyah telah menjadi poros utama dalam<br />
menggerakkan perubahan dan pencerahan dalam masyarakat. Baik yang berkait dengan<br />
pencerahan akidah, ibadah, akhlak maupun pencerahan dalam bidang muamalah secara luas. []
Optimalisasi Filantropi <strong>Islam</strong><br />
Tulisan ini merupakan refleksi ketika saya mengikuti seminar Internasional di UIN Syarif<br />
Hidayatullah, Jakarta, bertema ―Filantropi <strong>Islam</strong>; Media Membangun Peradaban <strong>Islam</strong> di<br />
<strong>Indonesia</strong>‖.<br />
Secara definisi, istilah filantropi (philanthropy) berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari dua kata<br />
yaitu Philos (cinta) dan Anthropos (manusia). Jika diterjemahkan secara harfiah, filantropi<br />
adalah konseptualisasi dari praktek memberi (giving), pelayanan (services) dan asosiasi<br />
(association) secara sukarela untuk membantu pihak lain yang membutuhkan sebagai ekspresi<br />
rasa cinta.<br />
Melihat dari definisi di atas, maka jika ada suatu lembaga yang memiliki tiga unsur di atas<br />
(memberi, melayani, bersifat asosiasi) yang secara sukarela memberikan kepada mereka yang<br />
membutuhkan dan dibumbui rasa cinta, maka lembaga tersebut bisa dikatagorikan sebagai<br />
lembaga yang mengelola dana filantropi.<br />
Praktik filantropi <strong>Islam</strong> di <strong>Indonesia</strong> ternyata dimulai sejak kehadiran agama <strong>Islam</strong> itu sendiri di<br />
Nusantara. Sejak itu, dua institusi yang menyemai tindakan filantropi bagi masyarakat Muslim<br />
adalah masjid dan pesantren.<br />
Kedua lembaga ini telah mulai dibangun sejak abad ke-15 M, ketika komunitas Muslim<br />
khususnya di Jawa mulai menjadikan kedua tempat tersebut sebagai pusat gerakan pendidikan<br />
dan dakwah.<br />
Lantas pertanyaannya, sudah berapa jauh perkembangan yang dicapai oleh lembaga-lembaga<br />
yang mengelola dana filantropi?. Apakah lembaga-lembaga filantropi di <strong>Indonesia</strong> mempunyai<br />
tanggapan positif di mata publik? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini yang menarik untuk diamati.<br />
Menilik sejarahnya, kegiatan filantropi pada masa dahulu (baca: di <strong>Indonesia</strong>) masih sangat<br />
tradisional, sehingga kegiatan-kegiatan filantropi kurang berkembang. Penyebab kondisi<br />
tersebut karena beberapa faktor, salah satu diantaranya adalah manajemen penggalangan dan<br />
penyaluran dana yang kurang tepat sehingga kepercayaan publik lambat laun menjadi hilang.<br />
Untuk itu, belajar dari pengalaman tersebut, maka kini banyak bermunculan beberapa lembaga<br />
atau yayasan yang mengelola dana filantropi dengan menggunakan manajeman modern yang<br />
lebih baik.<br />
Gagasan dan Praktek filantropi sendiri di luar negeri khususnya di Amerika mulai menguat<br />
sekitar pada tahun 1950-an. Ketika itu publik Amerika mulai tertarik dengan ide untuk penguatan<br />
civil rights dan demokrasi yang mulai menggejala di sana yang salah satu tujuannya adalah<br />
pengentasan kemiskinan.
Melihat dari fenomena perkembangan lembaga filantropi di <strong>Indonesia</strong>, maka, berdasarkan<br />
sifatnya dikenal dua bentuk filantropi. Pertama, filantropi tradisional dan filantropi untuk<br />
keadilan sosial. Filantropi tradisional menururt Andi Agung Prihatna adalah filantropi yang<br />
berbasis karitas.<br />
Praktek filantropi tradisional berbentuk pemberian untuk kepentingan pelayanan sosial, misalkan<br />
pemberian langsung para dermawan untuk kalangan miskin dalam rangka memenuhi kebutuhan<br />
sehari-hari.<br />
Melihat dari bentuk penyaluran dana tersebut, bentuk filantropi seperti ini rawan adanya<br />
manipulasi dana berbentuk pengayaan individual, egosentrisme di mata publik . di samping<br />
kelemahan-kelemahan lainnya yakni tidak bisa mengembangkan taraf kehidupan masyarakat<br />
miskin atau dalam istilah sehari-hari hanya memberi ikan tapi tidak memberi pancing (kail).<br />
Berbeda dengan bentuk filantropi untuk keadilan sosial (social justice philanthropy), bentuk<br />
filantropi seperti ini dapat menjembatani jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Jembatan<br />
tersebut diwujudkan dengan upaya memobilisasi sumberdaya untuk mendukung kegiatan yang<br />
menggugat ketidakadilan struktur yang menjadi penyebab langgengnya kemiskinan.<br />
Dengan kata lain, filantropi jenis ini adalah mencari akar permasalahan dari kemiskinan tersebut<br />
yakni adanya faktor ketidakadilan dalam alokasi sumberdaya dan akses kekuasaan dalam<br />
masyarakat. Diantara lembaga filantropi yang menarapkan metode tersebut dan sukses saat ini<br />
adalah Yayasan Dompet Dhu'afa dan Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU).<br />
Kehadiran Yayasan Dompet Dhu'afa sejak 2 Juli 1993 dari ―rahim‖ komunitas pers lambat laun<br />
semakin mununjukan perkembangannya. Bukti perkembangannya secara sederhana dapat dilihat<br />
dari hasil pengumpulan dana yang diperoleh.<br />
Lihat saja, pada penerimaan dana dari tiga program strategi pengumpulan dana yakni zakat, infak<br />
atau sedekah, dan wakaf pada tahun 1993-2009 mencapai jumlah yang mencengangkan. Untuk<br />
zakat mereka memperoleh dana Rp. 71, 794,590,481.13, untuk infak dan sedekah Rp.<br />
12,739,142,858.38, untuk wakaf Rp. 12,626,309,728.20 (Karlina Helmanita: 2005: 103).<br />
Kesuksesan tersebut bisa disebabkan oleh beberapa faktor.<br />
Di antara faktor kesuksesan yayasan ini adalah pada kemampuannya melaksanakan secara<br />
sungguh-sungguh pola manajemen modern dari mulai pola strategi penghimpunan dana,<br />
pendistribusian dana dan target sasaran penerima dana, akuntabilitas dan yang labih penting<br />
adanya transparansi pengelolaan dana yang kemudian melahirkan kepercayaan public (trust<br />
public).<br />
Besarnya dana yang dapat dikumpulkan oleh lembaga filantropi tersebut tentulah disebabkan<br />
oleh pola strategi yang apik--baik itu dari sisi manajemen, marketing, kerjasama dengan media<br />
dan sebagainya.
Karena itu, belajar dari pola pengelolaan lembaga filantropi yang sudah sukses tersebut, marilah<br />
kita bangun lembaga-lembaga filantropi lainnya sebagai media membangun bangsa ini lebih<br />
baik. []
Sejarah Tradisi Maulid<br />
Istilah ―maulid‖ bagi kalangan Muslim <strong>Indonesia</strong> tidaklah asing. Istilah yang kemudian menjadi<br />
tradisi ini selalu diperingati dengan meriah.<br />
Secara etimologi, istilah ―maulid‖ berasal dari bahasa Arab w-l-d yang berarti ―kelahiran‖. Kata<br />
ini biasanya disandingkan atau dikaitkan dengan Nabi Muhammad saw.<br />
Karena itu ―Maulid Nabi Muhammad‖ berarti usaha memperingati hari kelahiran Nabi<br />
Muhammad yang dilakukan oleh seluruh umat <strong>Islam</strong> di seluruh dunia kecuali di Arab Saudi.<br />
Semenjak kapan tradisi maulid ini dikenal di dunia <strong>Islam</strong>?. Dalam hal ini para ulama berbeda<br />
pendapat. Berdasarkan data yang ditemukan bahwa asal mula perayaan maulid dilakukan oleh<br />
penganut mazhab Syi‘ah pada masa dinasti Fatimi di Mesir ketika dipimpin oleh Khalifah al-<br />
Mu‘izz li al-Din Allah (341 H).<br />
Menurut al-Sundubi sebagaimana yang dikutip Nico Kaptein bahwa perayaan maulid yang<br />
dilakukan oleh Khalifah Fatimi saat itu bertujuan ingin membuat dirinya lebih populer di<br />
kalangan rakyat.<br />
Berbeda bagi kalangan Sunni seperti yang diungkapkan oleh Jalal al-Din al-Suyuthi dalam<br />
kitabnya ―Husn al-Maqsid fi ‗Amal al-maulid‖ dijelaskan bahwa awal mula perayaan maulid<br />
dilakukan oleh seorang bernama Muzaffar al-Din Kokburi di kota Irbil.<br />
Pernyataan al-Suyuthi ini nampaknya diambil dari ungkapan Ibn Katsir dalam kitabnya ―Al-<br />
Bidayah wa al-Nihayah fi Tarikh‖ yang mengatakan bahwa al-Malik al-Muzaffar Abu Sa‘id<br />
Kokburi adalah penguasa mulia yang selalu menjalankan ibadah maulid pada bulan Rabiulawal<br />
dan merayakannya secara meriah. (1932: 136).<br />
Pernyataan ini menarik jika dibandingkan dengan pendapat kalangan Syi‘ah di atas. Apa yang<br />
membedakan dua kutub itu berbeda pendapat ?. lagi-lagi pertentangan keyakinan pemikiran dua<br />
kutub itu menjadikan pendapat mereka sengaja atau tidak sengaja berbeda setu dengan lainnya.<br />
Jika ditelusuri kenapa al-Suyuhti seolah-olah menutup mata akan realita sejarah perayaan maulid<br />
Nabi pada masa dinasti Fatimi yang bermazhab Syi‘ah. Perlu mendapat analisa lebih jauh.<br />
Jika alasan bahwa al-Suyuthi tidak mengetahui bahwa pada masa dinasti Fatimi pernah terjadi<br />
perayaan maulid sangatlah tidak logis, mengingat ia seorang ulama masyhur pada zamannya.<br />
Di samping itu, ia pernah menulis kitab ―Husn al-Muhadharah fi tarikh Misr wa al-Qahirah‖<br />
yakni kitab yang berisi uraian tentang sejarah Mesir. Sehingga dengan begitu tidak mungkin jika<br />
ia tidak mengetahui bagaimana perkembangan yang terjadi pada dinasti Fatimi di Mesir.
Salah satu rujukan yang dipakai ketika ia menulis kitabnya adalah kitab ―Khitat‖ karya al-<br />
Maqrizi, dan kitab ―Mir‘at al-Zamaan‖ karya Sibt Ibn al-Jauzi yang menguraikan uraian seputar<br />
perayaan maulid.<br />
Lantas mengapa al-Suyuhti yang ber-mazhab Sunni berbeda pendapat? Menurut hemat saya<br />
sebenarnya al-Suyuthi mengetahui akan perayaan maulid pada masa dinasti Fatimi. Akan tetapi,<br />
ia menutupi realita sejarah itu.<br />
Jika dipahami pilihan yang dipakai oleh al-Suyuthi sangatlah wajar, mengingat permasalahan<br />
tentang maulid adalah sebuah tema yang kontroversial antara dibolehkan atau dilarang.<br />
Al-Suyuthi sebagai ulama yang mendapatkan mandat saat itu untuk memberikan fatwa prihal<br />
maulid adalah sebuah posisi yang penuh resiko. Karena konsekwensinya adalah akan adanya<br />
orang-orang yang akan mendukung atau menolaknya.<br />
Bagi kalangan yang menolak perayaan maulid, mereka mengatakan bahwa maulid Nabi<br />
Muhammad adalah sebuah perbuatan yang bid‘ah karena perayaan ini tidak pernah dijelaskan<br />
dalam Al-qur‘an dan tidak pernah dilakukan oleh sahabat-sahabat nabi.<br />
Alasan pendapat kelompok yang menolak di atas di benarkan oleh al-Suyuthi. Akan tetapi<br />
nampaknya ia mencoba mengantisipasi argumentasi ini dengan mengatakan bahwa perayaan<br />
maulid bagaimanapun pernah dilakukan oleh Muzaffar al-Din Kokburi seorang pemimpin yang<br />
sangat adil dan terpelajar dan salah satu tujuannya adalah tak lain yakni berusaha mendekatkan<br />
diri pada Allah.<br />
Pemilihan al-Suyuthi terhadap Muzaffar al-Din Kokburi dengan menutupi data sejarah<br />
sebenarnya juga karena faktor ketidakcocokan al-Suyuthi terhadap keyakinan akidah yang dianut<br />
oleh Syi‘ah sebagaimana tertuang dalam karyanya yang lain ―Tarikh al-Khulafa‖.<br />
Dalam kitab ini ia mengatakan bahwa ia tidak akan membahas dinasti Fatimi karena imamat<br />
mereka tidaklah sah dengan alasan;<br />
Pertama, garis keturunan mereka diragukan. Bahkan nama dinasti Fatimi juga tidak dibenarkan<br />
dan lebih baik jika memakai nama Banu Ubaid.Kedua, kebanyakan Banu Ubaid termasuk orangorang<br />
ateis yang membelot dari <strong>Islam</strong>. Ketiga, mereka menuntut menjadi Khalifah ketika sudah<br />
ada seorang imam.<br />
Dari sini bisa disimpulkan bahwa perayaan maulid yang kita peringati dengan meriah ini adalah<br />
sebuah tradisi yang mempunyai sejarah cukup lama. Meskipun begitu, perayaan yang tidak<br />
pernah dijelaskan dalam kitab suci ini, adalah warisan tradisi yang patut kita jaga dan lestarikan<br />
karena dengan perayaan maulid ini kita bisa ambil hikmahnya sebagai media mencintai Nabi<br />
terakhir yang saat ini mendapatkan gugatan dari sebagian umat <strong>Islam</strong> yang berfaham beda.<br />
Wallahu a‘lam.[]
Spektrum Gus Dur di Tatar Sunda<br />
Abdurrahman Wahid alias Gus Dur mewariskan nilai-nilai yang luhur. Kepada Jaya Suprana,<br />
sahabatnya, ia pernah berkata bahwa di atas politik masih ada kemanusiaan. Menurut Gus Mus,<br />
sepupunya, Gus Dur begitu yakin bahwa pesan hidupnya adalah untuk sungguh-sungguh<br />
merealisasikan sebuah ayat dalam Al Quran, ―walaqad karamna bani adama‖. Dan sesungguhnya<br />
telah Kami muliakan anak-anak Adam (QS 17:70).<br />
Maka, bagi Gus Dur tidak ada satu macam manusia pun yang boleh dan pantas diperlakukan<br />
tidak adil, dihinakan, didiskriminasikan, dilumpuhkan hak asasinya, dizalimi, dan dipangkas<br />
nilai kemanusiaannya. Itu karena jika Tuhan saja sudah memuliakan manusia, sebagaimana ayat<br />
di atas, bagaimana mungkin kita, baik individu, golongan, maupun negara, dapat melakukan<br />
tindakan-tindakan yang tidak menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Atas keyakinannya itu, tidak<br />
heranlah Gus Dur selalu berdiri menjadi perisai saat di mana pun penindasan terjadi. Lembarlembar<br />
sejarah hidupnya habis untuk membela kaum minoritas, kelompok yang lemah, dan<br />
golongan yang dipinggirkan.<br />
Awalnya saya mengira, sebagai pemimpin, Gus Dur hanya karismatik untuk orang-orang Jawa.<br />
Ternyata tidak. Bahkan, Jawa Barat (Sunda) yang dalam geneologi akar budayanya tidak<br />
mengenal istilah kepemimpinan kolektif sebagaimana halnya pada suku Jawa begitu menerima<br />
sosok Gus Dur. Ini dapat diketahui setelah sang guru bangsa itu wafat.<br />
Saya melihat, irama peringatan wafatnya Gus Dur di Bandung tidak kalah marak dibandingkan<br />
dengan daerah-daerah lain. Bahkan, hingga hari ke-100 lebih, peringatan itu tak kunjung jua<br />
berhenti. Itu dilakukan oleh hampir semua komunitas, dari aktivis pergerakan, penggiat<br />
keagamaan, pendamping buruh, komunitas film dan radio, seniman, hingga yang lainnya.<br />
Pada sekitar hari kesepuluh, misalnya, tajuk acara majelis duka untuk Gus Dur diselenggarakan<br />
di Yayasan Muthahari, pimpinan Jalaluddin Rakhmat. Hadir pada kesempatan itu aktor teater<br />
kawakan, yang sudah malang melintang membacakan puisi hingga ke Amsterdam, Iman Soleh,<br />
juga budayawan gaek Aat Suratin. Selain itu, acara ini juga berisi refleksi tentang Gus Dur dari<br />
para tokoh lintas agama di Jabar dan diakhiri dengan penyampaian doa bersama untuk Gus Dur<br />
dan bangsa <strong>Indonesia</strong>.<br />
Lantas, refleksi 100 hari wafatnya Gus Dur diselenggarakan di Gereja Katedral Bandung, Jalan<br />
Jawa. Hadir pada kesempatan itu Ulil Abshar Abdalla, Jakob Sumardjo, dan para pemuka lintas<br />
agama. Belum lagi apresiasi media massa yang begitu luar biasa. Koran daerah hingga beberapa<br />
hari belakangan ini masih menurunkan berita dan tulisan yang membahas soal Gus Dur.<br />
Ladang-sawah
Pertanyaannya, mengapa Gus Dur begitu diterima di hati orang-orang Jabar, bahkan melampaui<br />
tokoh-tokoh nasional asal Jabar lainnya saat meninggal?<br />
Masyarakat Sunda purba adalah masyarakat yang hidup dengan cara berladang sehingga alam<br />
pikiran Sunda adalah alam pikiran masyarakat ladang. Berbeda dengan masyarakat Jawa.<br />
Mereka hidup bengan cara menyawah yang harus diorganisasi dengan baik. Harus ada<br />
pengaturan air irigasi dan dibutuhkan pemimpin kolektif. Itu karena dalam persawahan ada<br />
pembagian tugas, dari pembajak, penanam, hingga penuai saat panen. Batas-batas kepemilikan<br />
juga harus tegas. Distribusi hasil harus ada mekanismenya dan seterusnya sehingga masyarakat<br />
sawah adalah masyarakat yang secara teoretis memang membutuhkan pemimpin yang<br />
berwibawa dan karismatik demi keteraturan lingkungan dan kehidupannya.<br />
Adapun ladang dapat dikerjakan sendiri-sendiri, setidaknya hanya oleh keluarganya. Dalam<br />
sebuah keluarga pada masyarakat ladang, jika anaknya ada yang menikah, kemudian membentuk<br />
keluarga baru, dia membuka lahan perladangannya sendiri. Begitu seterusnya. Maka,<br />
kepemimpinan dalam masyarakat ladang adalah kepemimpinan pada lingkupnya yang kecil itu,<br />
yaitu lingkup keluarga atau kelompoknya saja. Tidak ada kepemimpinan kolektif dalam jumlah<br />
yang luas. Namun, bagaimana dengan fenomena adanya raja besar Sunda Pajajaran seperti<br />
halnya Prabu Siliwangi? Bukankah itu kepemimpinan dalam wilayah yang besar?<br />
Konsep kepemimpinan masyarakat ladang adalah sebagaimana yang diungkapkan dalam sebuah<br />
pantun, cangkang reujeung eusi, kudu sarua lobana. Artinya, wadah dan isi harus sama<br />
kualitasnya. Masyarakat adalah wadah, dan pemimpin adalah isinya. Jadi, relasi pemimpin dan<br />
yang dipimpin dalam masyarakat jenis ini adalah relasi kualitas. Orang yang berkualitas akan<br />
dihormati oleh kelompok-kelompok ladang yang tersebar itu. Kepemimpinan di sini bukan<br />
dalam soal kebutuhan akan pengaturan, sebagaimana pada masyarakat sawah, tetapi lebih pada<br />
figur. Oleh sebab itu, pemimpin adalah panutan sebab ia berkualitas.<br />
Itulah sebabnya orang di luar Sunda pun dapat menjadi figur di masyarakat Sunda sebab<br />
kualitasnya terakui. Maka dari itu, selain Gus Dur, masyarakat Sunda juga memiliki penghargaan<br />
yang juga tinggi kepada Bung Karno. Jika mengunjungi rumah-rumah orang tua Sunda, tak<br />
jarang kita menemukan foto Bung Karno digantung di dinding.<br />
Pikiran Sunda “buhun”<br />
Menurut Jakob Sumardjo, dalam acara tersebut, Gus Dur dapat diterima di Jabar karena kerap<br />
melakukan sesuatu yang sebetulnya tidak asing bagi alam pikiran Sunda buhun. Dalam pantun<br />
Sunda, misalnya, ada istilah nu panjang ulah diteukteuk, nu pondok ulah disambung.<br />
Artinya, yang panjang biarlah panjang, dan yang pendek biarlah pendek adanya. Itu karena yang<br />
panjang jika dipotong sakit, dan yang pendek jika disambung akan tidak nyaman. Inilah prinsip<br />
pluralisme. Membiarkan sesuatu itu berbeda sebagaimana adanya. Dengan demikian, perjuangan
pluralisme yang selama ini diusung Gus Dur ada di alam pikiran orang Sunda sejak lama.<br />
Rupanya Gus Dur bukan barang asing bagi masyarakat Sunda.<br />
Iip D Yahya, penulis biografi Oto Iskandar Dinata, biografi ajengan Ilyas Ruhiyat, komik Gus<br />
Dur dan Romo Mangun, berpendapat, monumen Gus Dur yang pertama-tama di Jabar adalah<br />
makam Mbah Panjalu. Sewaktu jadi presiden, Gus Dur berziarah ke makam itu.<br />
Dalam literatur kesundaan yang ada, sosok Mbah Panjalu ini bisa dibilang masih kabur, belum<br />
jelas. Namun, Gus Dur saat itu secara tegas memberikan makna bahwa Mbah Panjalu adalah<br />
seorang tokoh pembawa tarikat Syijiliyah di Jabar. Selain itu, masih menurut Iip, hubungan Gus<br />
Dur dengan masyarakat Sunda sudah dimulai oleh ayahnya, Wahid Hasyim. Ayah beliau sudah<br />
sejak lama berhubungan dengan tokoh-tokoh Sunda, semisal Zainal Muttaqien, pengusaha tekstil<br />
Majalaya, Unay Junaidi, Acep Sugandi, dan Hidayat Jaelani.<br />
Bukankah Gus Dur sendiri saat menjadi Ketua Tanfidziyah PBNU berduet dengan Ilyas Ruhiyat,<br />
ajengan karismatik dari Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, sebagai Rais ‗Am-nya?[]
Tiga Kriteria Manusia Terbaik<br />
ihsanManusia merupakan makhluk yang paling mulia yang Allah SWT ciptakan diantara seluruh<br />
makhluk lain di dunia ini, demikian Allah SWT tegaskan dalam QS Al-Israa ayat 70; ―Dan<br />
sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkat mereka di darat dan di laut,<br />
dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak<br />
makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.‖<br />
Kemuliaan yang Allah berikan disertai dengan segala potensi manusia, baik akal, alat indera,<br />
fisik, hati, dan sebagainya. Potensi-potensi tersebut harus diaktualisasikan selain sebagai alat<br />
untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya juga sebagai bentuk ekspresi syukur kepada sang<br />
Khaliq. Diantara sekian banyak umat manusia, mereka ada yang bersyukur (orang beriman) dan<br />
ada yang kufur (musyrik). Orang yang bersyukur inilah yang sesuai dengan harapan Allah untuk<br />
senantiasa beribadah kepada-Nya sebagaimana Allah nyatakan dalam QS.Al-Dzariyat ayat56:<br />
―Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya beribadah kepadaku.‖<br />
Menjadi seorang mu‘min tentulah harus menjadi seorang yang terbaik di antara mu‘min yang<br />
lainnya. Predikat ini lah yang Rasulullah SAW harapkan agar menjadi mu‘min yang berkualitas.<br />
Dalam beberapa haditsnya, Rasul SAW telah memberikan kriteria mu‘min yang terbaik . Saking<br />
banyaknya kriteria tersebut, sampai ada seorang Ulama yang menulis sebuah kitab berjudul<br />
Khairunnas (manusia yang terbaik). Dalam tulisan ini akan dicoba diulas mengenai tiga kriteria<br />
manusia terbaik yang didasarkan pada hadits Rasulullah SAW.<br />
Pertama, khairukum man ta‘allamal Qur‘aan wa ‗Allamahu (orang yang terbaik dii antara kalian<br />
adalah orang yang belajar Alquran dan mengajarkannya (pada orang lain). Mempelajari Alquran<br />
adalah kewajiban individu (fardhu ‗ain) bagi setiap muslim karena merupakan sumber utama<br />
petunjuk hidup manusia bahkan lebih khususnya lagi orang <strong>Islam</strong>. Keselamatan hidup di dunia<br />
ini tentu akan dirasakan jika manusia itu sendiri berpegang teguh pada petunjuk tersebut<br />
sebagaimana telah dijaminkan oleh Rasul SAW.<br />
Seorang ulama bernama Abdullah Darraz mengatakan, ―Alquran bagaikan mutiara yang indah<br />
berkilau. Dari sudut manapun orang melihat mutiara tersebut, pasti akan mendapatkan pancaran<br />
keindahan.‖ Begitu pun Alquran, siapapun orang yang membacanya pasti akan mendapatkan<br />
hidayah darinya, dari mulai orang awam sekalipun sampai tingkat ulama atau intelektual.<br />
Kedua, manyuridillaahu khairan yufaqqihhu fid diin (siapa orang yang Allah kehendaki menjadi<br />
orang terbaik, Dia akan memahamkannya dalam urusan agama). Menjadi orang yang faham<br />
dalam urusan agama merupakan suatu keharusan bagi umat <strong>Islam</strong> karena pemahaman terhadap<br />
agama akan sangat berpengaruh pada pengamalan ajaran agamanya. Rasulullah SAW sendiri<br />
sempat memberikan isyarat betapa urgennya memahami ajaran agama dan Allah SWT pun<br />
menegaskan dalam QS Al-Taubah ayat122; ―….dan hendaklah segolongan di antara kalian ada<br />
orang-orang yang mau mendalami ajaran agama (liyatafaqqohuu fiddiin ) dan memberikan<br />
peringatan kaum yang lainnya…‖
Mendalami ajaran agama bersifat abadi, tidak mengenal waktu, usia, tempat. Selama hayat masih<br />
dikandung badan, selama napas masih berhembus, selama kita masih diberikan kesempatan oleh<br />
Allah SWT. Hadits Rasul SAW mengatakan ―Uthlubul ‗ilma minal mahdi ilal lahdi‖ (carilah<br />
ilmu dari mulai dibuai sampai meninggal). Kefahaman seseorang dalam agama akan<br />
memberikan cahaya penerang bagi umat yang lainnya. Memberikan bimbingan bagi yang<br />
tersesat, memberikan peringatan bagi yang terlalaikan.<br />
Selain alasan di atas, kelangkaan orang yang faqih dalam agama bisa menjadi kekhawatiran bagi<br />
umat <strong>Islam</strong>. Hilangnya seorang pemimpin di pemerintahan atau perusahaan tidak perlu<br />
dikhawatirkan karena sudah banyak orang yang siap menggantinya. Berbeda halnya jika seorang<br />
ulama meninggal, maka akan sangat sulit mencari siapa penggantinya.<br />
Sebuah adagium bahasa Arab yang menyatakan,‖ Jadilah engkau orang yang berilmu, atau orang<br />
yang menuntut ilmu, atau orang yang mendengarkan ilmu, atau orang yang mencintai ilmu. Tapi<br />
jangan menjadi orang yang kelima, maka engkau akan hancur/rusak.‖<br />
Ketiga, khairunnaas anfa‘uhum linnaas (sebaik-baik manusia adalah orang yang paling<br />
bermanfaat untuk manusia yang lainnya). Menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain<br />
merupakan perkara yang sangat dianjurkan oleh agama. Hal ini menjadi indikator berfungsinya<br />
nilai kemanusiaan yang sebenarnya. Eksistensi manusia sebenarnya ditentukan oleh<br />
kemanfataannya pada yang lain. Adakah dia berguna bagi orang lain, atau malah sebaliknya<br />
menjadi parasit buat yang lainnya. Permisalan umum yang sering diungkapkan adalah ―hiduplah<br />
bagai seekor lebah, jangan seperti lalat.‖<br />
Seekor lebah dia hidup selalu dari yang indah/bersih, dia hinggap di tangkai bunga tanpa<br />
mematahkannya, dia mengeluarkan sesuatu dzat yang sangat berguna atau menyehatkan yaitu<br />
madu. Sedangkan lalat, dia hidup selalu di lingkungan yang kotor, memberikan atau<br />
menyebarkan penyakit ke mana-mana.<br />
Kalau kita coba menginstrospeksi diri kita, maka lihatlah keluarga kita, tetangga kita, saudara,<br />
kerabat, dan umat secara keseluruhan. Apakah mereka semua merasa senang ketika kita ada atau<br />
malah sebaliknya ? Secara filosofis keberadaan kita itu harus berimbas kemaslahatan buat yang<br />
lain bukan hanya sekedar diri kita saja.<br />
Dari uraian di atas, kita harus bertekad untuk menjadi manusia yang terbaik (khairunnaas) versi<br />
Allah SWT dan Rasul-Nya. Hal itu akan terasa bahagia dunia dan akhirat, tidak hanya bahagia<br />
dunia saja seperti halnya penghargaan antar manusia (award-award) dunia. Kata kuncinya adalah<br />
memberi manfaat bagi sesama. Semoga. []<br />
Epilog: (coming soon)
Biodata<br />
Acep Hermawan, mahasiswa S3 Pendidikan <strong>Islam</strong> Pascasarjana UIN SGD Bandung<br />
Hendar Riyadi, mahasiswa S3 Religious Studies Pascasarjana UIN SGD Bandung.<br />
Ibn Ghifarie, mahasiswa S2 Religious Studies Pascasarjana UIN SGD Bandung.<br />
Ihsan Faisal, mahasiswa S3 Hukum <strong>Islam</strong> Pascasarjana UIN SGD Bandung<br />
Kiki Muhamad Hakiki, mahasiswa S3 Religious Studies Pascasarjana UIN SGD Bandung<br />
Mohammad Affan, mahasiswa S2 Religious Studies Pascasarjana UIN SGD Bandung<br />
Wawan Gunawan, mahasiswa S2 Religious Studies Pascasarjana UIN SGD Bandung
Dialog Agama dan Negara<br />
Sumber<br />
Arus Deras Wikileaks, Harian Jogja Edisi Jumat 17 Desember 2010<br />
Berkaca kepada Timnas, Pikiran Rakyat 31 Desember 2010<br />
Etnis Tiongkok di <strong>Indonesia</strong>, Radar Lampung 02 Februari 2011<br />
Kehidupan Harmonis, Pikiran Rakyat 4 Maret 2011<br />
Kejahatan Berpayung Agama, Lampung Post 02 Oktober 2010<br />
Mempelajari Kepemimpinan “Tao”, Pikiran Rakyat 2 Februari 2011<br />
Nabi dan Kota Makkah, Radar Lampung 15 Februari 2011<br />
Opsi Damai untuk Libya, Harian Solopos 24 Maret 2011<br />
Penjara, Korupsi, dan Negeri Demokrasi, Galamedia 14 Maret 2011<br />
Perilaku Teror Israel, Pikiran Rakyat 3 Juni 2010<br />
Peta Konflik Libya, Republika 25 Maret 2011<br />
Pudarnya Identitas Budaya, Radar Lampung 23 Februari 2011<br />
Rasisme Gaya Baru, Lampung Post 11 Desember 2010<br />
Dialog Agama dan Publik<br />
Berislam Ala Persis, Pikiran Rakyat, 24 September 2010<br />
Fiqh Lingkungan: Upaya Revitalisasi Hablun Minal „Alam, Galamedia 12 Oktober 2010<br />
Generasi Sehat 3.0, Pikiran Rakyat 01 November 2010<br />
Hari Anak dan "Kaulinan Baheula", Kompas Jawa Barat 26 Juli 2010<br />
<strong>Humanisasi</strong> Kurban, Pikiran Rakyat 16 November 2010<br />
Imlek dan Perayaan Multikulturalisme, Republika 7 februari 2011<br />
Imlek dan Persaudaraan Sejati, Tribun Jabar 1 Februari 2011<br />
Integrasi Ilmu, Lampung Post 7 Januari 2011<br />
Keshalihan Sosial, Republika 02 Maret 2011<br />
Makna Simbolik Imlek, Lampung Post 4 Februari 2011<br />
Masjid, Radikalisme Agama dan Pencerahan, Pikiran Rakyat 4 Oktober 2010<br />
Optimalisasi Filantropi <strong>Islam</strong>, Lampung Post Jum'at, 25 Maret 2011<br />
Sejarah Tradisi Maulid, Lampung Post 18 Februari 2011<br />
Spektrum Gus Dur di Tatar Sunda, Kompas Jabar, 26 Mei 2010<br />
Tiga Kriteria Manusia Terbaik, Republika 10 Januari 2011