26.07.2013 Views

Humanisasi Islam Indonesia - Knowledge leader

Humanisasi Islam Indonesia - Knowledge leader

Humanisasi Islam Indonesia - Knowledge leader

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Daftar Isi<br />

Kata Pengantar (Dadang Kahmad (Direktur Pascasarjana UIN SGD Bandung)<br />

Prolog (Afif Muhammad Ketua Program Studi Religious Studies)<br />

Dialog Agama dan Negara<br />

Arus Deras Wikileaks oleh Mohammad Affan<br />

Berkaca kepada Timnas oleh Acep Hermawan<br />

Etnis Tiongkok di <strong>Indonesia</strong> oleh Kiki Muhamad Hakiki<br />

Kehidupan Harmonis oleh Ibn Ghifarie<br />

Kejahatan Berpayung Agama oleh Kiki Muhamad Hakiki<br />

Mempelajari Kepemimpinan ―Tao‖ oleh Ibn Ghifarie<br />

Nabi dan Kota Makkah oleh Kiki Muhamad Hakiki<br />

Opsi Damai untuk Libya oleh Mohammad Affan<br />

Penjara, Korupsi, dan Negeri Demokrasi oleh Acep Hermawan<br />

Perilaku Teror Israel oleh Mohammad Affan<br />

Peta Konflik Libya oleh Mohammad Affan<br />

Pudarnya Identitas Budaya oleh Kiki Muhamad Hakiki<br />

Rasisme Gaya Baru oleh Kiki Muhamad Hakiki<br />

Dialog Agama dan Publik<br />

Berislam Ala Persis oleh Ibn Ghifarie<br />

Fiqh Lingkungan: Upaya Revitalisasi Hablun Minal ‗Alam oleh Ihsan Faisal<br />

Generasi Sehat 3.0 oleh Ibn Ghifarie<br />

Hari Anak dan "Kaulinan Baheula" oleh Ibn Ghifarie<br />

<strong>Humanisasi</strong> Kurban oleh Acep Hermawan<br />

Imlek dan Perayaan Multikulturalisme oleh Mohammad Affan<br />

Imlek dan Persaudaraan Sejati oleh Ibn Ghifarie<br />

Integrasi Ilmu oleh Kiki Muhamad Hakiki<br />

Keshalihan Sosial oleh Ihsan Faisal<br />

Makna Simbolik Imlek oleh Kiki Muhamad Hakiki<br />

Masjid, Radikalisme Agama dan Pencerahan oleh Hendar Riyadi<br />

Optimalisasi Filantropi <strong>Islam</strong> oleh Kiki Muhamad Hakiki<br />

Sejarah Tradisi Maulid oleh Kiki Muhamad Hakiki<br />

Spektrum Gus Dur di Tatar Sunda oleh Wawan Gunawan<br />

Tiga Kriteria Manusia Terbaik oleh Ihsan Faisal<br />

Epilog (M Anton Athoillah, Asisten Direktur I Pascasarjana UIN SGD Bandung)<br />

Biodata<br />

Sumber


Kata Pengantar<br />

<strong>Islam</strong> dan Pluralisme Agama Menuju Masyarakat Madani<br />

Setiap agama membawa misi sebagai pembawa kedamaian dan keselarasan hidup bukan saja<br />

antar manusia, tetapi juga antar sesama makhluk Tuhan penghuni semesta ini.<br />

Di dalam terminologi al-Qur‘an misi suci itu disebut rahmah li al-‗alamin (rahmat dan<br />

kedamaian bagi semesta). Namun, dalam tataran historisnya, misi agama tidak selalu artikulatif.<br />

Selain sebagai alat pemersatu sosial, agama pun menjadi unsur konflik. Bahkan menurut<br />

Schimmel, dua unsur itu menyatu dalam agama. Mungkin pernyataan ini agak berlebihan.<br />

Namun jika melihat perjalanan sejarah dan realitas di muka bumi ini, pernyataan tersebut<br />

menemukan landasan historisnya sampai sekarang. Hanya, bagaimana realitas itu hendaknya bisa<br />

memicu para pemeluk agama untuk merefleksikan kembali ekspresi keberagamaannya yang<br />

sudah sedemikian mentradisi dalam hidup dan kehidupannya.<br />

Berkaitan dengan itu, maka salah satu yang menjadi problem paling besar dalam kehidupan<br />

beragama dewasa ini, yang ditandai oleh kenyataan pluralisme, adalah bagaimana teologi dari<br />

suatu agama mendefinisikan diri di tengah-tengah agama lain: ―what should one think about<br />

religions other than one‘s own?‖.<br />

Dengan semakin berkembangnya pemahaman mengenai pluralisme agama, berkembanglah suatu<br />

faham teologia religionum. Paham ini menekankan semakin pentingnya dewasa ini untuk<br />

berteologi dalam konteks agama-agama. Pada tingkat pribadi, hubungan antar tokoh agama di<br />

<strong>Indonesia</strong> mungkin tidak menjadi persoalan. Tetapi pada tingkat teologis, yang merupakan dasar<br />

dari agama itu, muncul kebingungan-kebingungan, khususnya mengenai bagaimana kita harus<br />

mendefinisikan diri di tengah agama lain yang juga eksis.<br />

Paparan dalam tulisan ini untuk melihat bagaimana agama bisa berfungsi pada masyarakat yang<br />

pluralistis dan tidak saling berbenturan. Masalahnya, tentu bukan karena agama itu datang builtin<br />

dengan konflik dan tampil a-sosial, tetapi karena sering kita lihat bahwa para pemeluknya<br />

telah mengekspresikan kebenaran agamanya secara monolitik dan eksklusif, dalam arti bahwa<br />

subyektivitas kebenaran yang diyakininya seringkali menafikan kebenaran yang diyakini pihak<br />

lain.<br />

Klaim Kebenaran (truth claim)<br />

Setiap agama memiliki kebenaran. Keyakinan tentang yang benar itu didasarkan kepada Tuhan<br />

sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Dalam tataran sosiologis, klaim kebenaran berubah<br />

menjadi simbol agama yang dipahami secara subyektif personal oleh setiap pemeluk agama. Ia<br />

tidak lagi utuh dan absolut. Pluralitas manusia menyebabkan wajah kebenaran itu tampil beda<br />

ketika akan dimaknai dan dibahasakan. Sebab keperbedaan ini tidak dapat dilepaskan begitu saja<br />

dari berbagai referensi dan latar belakang yang diambil peyakin – dari konsepsi ideal turun ke<br />

bentuk-bentuk normatif yang bersipat kultural. Dan ini yang biasanya di gugat oleh berbagai<br />

gerakan keagamaan (harakah) pada umumnya. Sebab mereka mengklaim telah memahami,<br />

memiliki, dan bahkan menjalankan secara murni dan konsekuen nilai-nilai suci itu.


Keyakinan tersebut menjadi legitimassi dari semua perilaku pemaksaan konsep-konsep<br />

gerakannya kepada manusia lain yang berbeda keyakinan dan pemahaman de-ngan mereka.<br />

Armahedi Mahzar1 menyebutkan bahwa ab-solutisme, eksklusivisme, fanatisme, ekstrimisme,<br />

dan agresivisme adalah ―penyakit‖ yang biasanya menghinggapi aktifis gerakan keagaman.<br />

Absolutisme adalah kesombongan intelektual; ekslusivisme adalah kesombongan sosial;<br />

fanatisme adalah kesombongan emosional; ekstremisme adalah berlebih-lebihan dalam bersikap;<br />

dan agresivisme adalah berlebih-lebihan dalam melakukan tindakan fisik. Tiga penyakit<br />

pertama adalah wakil resmi kesom-bongan (‗ujub). Dua penyakit terakhir adalah wakil resmi<br />

sifat berlebih-lebihan.<br />

Nampaknya, perlu adanya pelurusan pemahaman dari pandangan umum bahwa seseorang yang<br />

memiliki intelektualitas dalam beragama memiliki tingkat ritualitas dan spiritualitas yang tinggi<br />

pula. Tetapi sebaliknya, boleh jadi orang yang dipandang kalangan awam tidak memiliki<br />

intelektualitas cemerlang dan menjalankan ritus ala kadar-nya mempunyai tingkat spiritualitas<br />

yang tinggi. Pandangan seperti itu tidak selamanya benar.<br />

Sosok seorang petani, misalnya, yang kesadaran eksistensial sebagai petani bukan tidak<br />

mungkin lebih religius daripada sosok mahasiswa aktivis dakwah atau misi yang berteriak ke<br />

sana kemari menyuarakan perdamaian, tetapi menyimpan rasa ingin dipuji. Inilah barangkali<br />

yang dikemukakan oleh F. Schuon2 bahwa dikarenakan agama lebih menekankan pada iman<br />

(faith), kebajikan, dan pengalaman (riyadhah) ketimbang akal (rasio). Manusia memiliki jiwa<br />

abadi untuk diselamatkan tanpa harus menjadi pandai. Sebaliknya, tidak setiap pandai dapat<br />

diselamatkan.<br />

Kita memang sulit melepaskan kerangka (frame) subyektivitas ketika keyakinan pribadi<br />

berhadapan dengan keyakinan orang lain yang berbeda. Sekalipun ada yang berpendapat bahwa<br />

kerangka subyektif adalah cermin eksistensi yang alamiah. Lagi pula, setiap manusia mustahil<br />

menempatkan dua hal yang saling berkontradiksi satu sama lain dalam hatinya. Dengan begitu,<br />

kita tidak harus memaksakan inklusivisme ―gaya kita‖ pada orang lain, yang menurut kita<br />

eksklusif. Sebab, bila hal ini terjadi, pemahaman kita pun sebenarnya masih terkungkung pada<br />

jerat-jerat eksklusivisme, tetapi dengan menggunakan nama inklusivisme.<br />

Dengan demikian, pluralisme bisa muncul pada masyarakat di mana pun ia berada. Ia selalu<br />

mengikuti perkembangan masyarakat yang semakin cerdas dan tidak ingin dibatasi oleh sekatsekat<br />

sektarianisme. Pluraslime harus dimaknai sebagai konsekuensi logis dari Keadilan Ilahi –<br />

bahwa keyakinan seseorang tidak dapat diklaim benar atau salah tanpa mengetahui dan<br />

memahami terlebih dahulu latar belakang pembentukannya, seperti lingkungan sosial budaya,<br />

referensi atau informasi yang diterima, tingkat hubungan komunikasi, dan klaim kebenaran yang<br />

dibawa dengan kendaraan ekonomi-politik dan kemudian direkayasa sedemikian rupa demi<br />

kepentingan sesaat, tidak akan diterima oleh seluruh komunitas manusia manapun.<br />

<strong>Islam</strong> dan Pluralitas agama<br />

Al-Qur‘an, sebagai wahyu Allah, dalam pandangan dan keyakinan umat <strong>Islam</strong> adalah sumber<br />

kebenaran dan mutlak benarnya. Namun demikian, kebenaran mutlak itu tidak akan tampak<br />

manakala ia tidak berinteraksi dengan realitas sosial, atau menurut Quraish Shihab,3 bagaimana<br />

al-Qur‘an dibumikan: dibaca, dipahami, dan diamalkan. Ketika kebenaran mutlak itu disikapi<br />

oleh para pemeluknya dengan latar belakang kultural maupun tingkat pengetahuan yang berbeda,


maka akan muncul kebenaran-kebenaran parsial. Sehingga kebenaran yang diperoleh manusia<br />

menjadi relatif, sedangkan kebenaran mutlak tetap milik Tuhan. Untuk menggambarkan ini, pada<br />

hal-hal tertentu, misalnya, ―kebenaran agama‖ Nahdlatul Ulama (NU), tidak berarti akan<br />

diterima pula sebagai ―kebenaran agama‖ Muhammadiyah, begitu pula sebaliknya. Yang jelas<br />

dipandang sebagai tidak benar adalah ketika yang satu menyalahkan yang lain, atau saling<br />

menyalahkan tanpa argumentasi yang akurat. Inilah yang diingatkan Allah (Q.S.49:12) yang<br />

melarang orang-orang yang beriman berprasangka, sebab sebagian prasangka adalah dosa.<br />

Demikian pula sebaliknya, orang yang menganggap dirinya paling benar juga tidak<br />

diperkenankan (Q.S.,53:32). Sikap seperti itu tidak berarti kita harus berdiam diri terhadap<br />

kemungkinan kesalahan orang lain atau lingkungan di sekitarnya. Umat <strong>Islam</strong> harus bersikap<br />

kritis dan melakukan koreksi terhadap segala bentuk patologi sosial. Dalam doktrin <strong>Islam</strong> sikap<br />

korektif ini disebut amar ma‘ruf nahy munkar.<br />

Al-Qur‘an (2:148) mengakui masyarakat terdiri dari berbagai macam komunitas yang memiliki<br />

orientasi kehidupan sendiri-sendiri. Manusia harus menerima kenyataan keragaman budaya dan<br />

agama serta memberikan toleransi kepada masing-masing komunitas dalam menjalankan<br />

ibadahnya. Oleh karena itu, kecurigaan tentang sipat <strong>Islam</strong> yang anti plural sangat tidak<br />

beralasan dari segi ideologis. Bila setiap muslim memahami secara mendalam etika pluralitas<br />

yang terdapat dalam al-Qur‘an, maka tidak perlu lagi ada ketegangan, permusuhan, dan konflik<br />

dengan agama-agama lain, sejauh mereka tidak saling memaksakan.<br />

Pluralisme sebagai ideologi dan gerakan politik, pernah diteladankan oleh Rasulullah kepada<br />

Umar dan diteruskan kepada para Khalifah. Bukti-bukti empiris pluralisme <strong>Islam</strong> terjadi dalam<br />

kehidupan sosial, budaya, dan politik yang konkrit di Andalusia Spanyol pada masa<br />

pemerintahan khalifah Umawy. Sejarah mencatat bahwa kedatangan <strong>Islam</strong> di Spanyol telah<br />

mengakhiri politik monoreligi secara paksa oleh penguasa sebelumnya. Pemerintah <strong>Islam</strong> yang<br />

kemudian berkuasa selama 700 tahun telah menciptakan masyarakat Spanyol yang pluralistik,<br />

sebab para pemeluk tiga agama : <strong>Islam</strong>, Kristen, dan Yahudi dapat hidup saling berdampingan<br />

dan rukun. Mereka menghargai eksistensi kebudayaan lain di luar <strong>Islam</strong> seperti Kristen dan<br />

Yahudi. Dalam hal ini, Max Dimont berpendapat bahwa era pemerintahan khalifah Umawi di<br />

Spanyol dapat dipandang sebagai rahmat yang mengakhiri zaman kezaliman penguasa yang<br />

dominatif.4<br />

Demikian juga, ketika Rasulullah berada di Madinah, apa yang diajarkan Nabi Muhammad<br />

bukanlah upaya melegitimasi agama resmi negara saat itu dan bukan pula alat pemaksa agar<br />

orang-orang memeluk <strong>Islam</strong> seluruhnya. Dengan mengikuti prinsip universal keadilan Ilahi saja,<br />

kita ketahui bersama bahwa perbedaan latar belakang pendidikan, lingkungan sosial budaya, dan<br />

kesempatan seseorang meniscayakan diferensiasi penerimaan konsep tentang Tuhan dan<br />

Agama.<br />

Murtadha Muthahari melihat bahwa selama memerintah di Madinah, Rasulullah tidak pernah<br />

memaksakan masyarakat non-muslim, untuk mengikuti agama penguasa. Bahkan, melalui<br />

perjanjian di antara semua penduduk Madinah ditetapkan dasar-dasar toleransi demi terwujudnya<br />

perdamaian dan kerukunan. Salah satu isi perjanjian dengan Kaum Yahudi menyebutkan: ―Orang<br />

Yahudi yang turut dalam perjanjian dengan kami berhak memperoleh pertolongan dan<br />

perlindungan, tidak akan diperlakukan zalim. Agama Yahudi bagi orang-orang Yahudi dan


agama <strong>Islam</strong> bagi orang-orang <strong>Islam</strong>. Jika ada di antara mereka berbuat zalim, itu hanya akan<br />

mencelakakan dirinya dan ke-luarganya.5<br />

Dalam al-Qur‘an ada ayat terkenal: ―Bagimu agama-mu. Bagiku agamaku‖ (QS109:6). Dengan<br />

demikian, agama digunakan Rasulullah sebagai sumber utama keku-atan moral (moral force).<br />

Perilaku yang murni religius lebih diinginkan daripada formalisasi agama.<br />

Melihat fakta historis itu, Nurcholish Madjid berpendapat bahwa sistem nilai plural adalah<br />

sebuah aturan<br />

Tuhan (sunnatullah) yang tidak mungkin berubah, di ubah, di lawan, dan diingkari. Barangsiapa<br />

yang mencoba menging-kari hukum kemajemukan budaya, maka akan timbul fenomena<br />

pergolakan yang tidak berkesudahan. Boleh dikatakan bahwa memahami pluralitas agama dan<br />

budaya merupakan bagian dari memahami agama. Sebab, memahami agama pada dasarnya<br />

adalah juga memahami kebudayaan masyarakat secara menyeluruh. Dan, jika agama dipahami<br />

secara integral dengan kondisi sosial kulturalnya, pada saat itu pula akan tampak dengan<br />

sendirinya mana aspek budaya yang selaras dengan misi agama dan mana yang tidak.<br />

Langkah bijaksana bagi setiap umat adalah belajar dari kenyataan sejarah, yaitu sejarah yang<br />

mendorong terwujudnya masyarakat plural dan integratif. Oleh karena itu, agenda yang perlu<br />

dirumuskan oleh umat <strong>Islam</strong> <strong>Indonesia</strong> adalah mengubah pluralisme sebagai ideologi dalam<br />

kehidupan konkrit. Tentu saja umat <strong>Islam</strong> harus mampu menahan diri dari hasrat alami manusia,<br />

yakni kehendak untuk berkuasa (will to power) sehingga mampu bersikap toleran terhadap pihak<br />

lain dan menghindari hegemoni dan dominasi politik. Tentu saja tuntututan peran negara yang<br />

positif dalam memperlakukan agama. Agama bukan hanya dipandang sebagai instrumen<br />

mobilisasi politik, tetapi yang lebih penting adalah memperlakukannya sebagai sumber etika<br />

dalam interaksi, baik di antara sesama penguasa maupun antara penguasa dengan rakyat. Kalau<br />

etika pluralisme ini dapat ditegakkan, maka tidak perlu terjadi rangkaian kerusuhan, pertikaian,<br />

dan perusakan tempat-tempat ibadah. Jika orang melakukannya, berarti ia tidak memahami<br />

ideologi pluralisme, atau tidak memahami agamanya sendiri. Kalau sikap pemeluk agama seperti<br />

demikian, maka konflik antar agama akan menjadi tontonan sehari-hari.<br />

Kerukunan antar Agama<br />

Konsep kerukunan antar umat beragama pernah dirumuskan dan ditetapkan oleh pemerintahan<br />

Orde Baru dengan melibatkan semua tokoh agama yang ada di <strong>Indonesia</strong>. Selama masa Orba,<br />

relatif tidak ada konflik antar pemeluk agama yang berbeda. Mungkin orang akan mengira<br />

bahwa itu merupakan keberhasilan menerapkan konsep kerukunan.<br />

Namun, ketika kasus Ambon, Poso dan di berbagai daerah lainnya terjadi berbagai kerusuhan<br />

dan tidakan kekeraasan yang berbau agama, konsep kerukunan antar umat beragama kembali<br />

dipertanyakan. Bisa saja kita menduga-duga, bahwa keberhasilan menerapkan kerukunan umat<br />

beragama di <strong>Indonesia</strong> semasa Orde Baru sejalan dengan kebijakan politis penguasa pada waktu<br />

itu yakni stabilitas Nasional demi berlangsungnya proses pembangunan nasional yang lebih<br />

menekankan pada pendekatan keamanan (security approach).<br />

Sama halnya, pendekatan ini digunakan pula terhadap pelaksanaan kerukunan antar umat<br />

beragama. Oleh karena itu, perlu pengkajian ulang terhadap konsep kerukunan antar umat<br />

beragama yang selama ini diterapkan pemerintah. Ia tidak lagi hanya sebagai bungkus formal


dari kenyataan pluralitas agama di <strong>Indonesia</strong>, tetapi harus menjadi motivator bagi terbentuknya<br />

kesadaran beragama dan berteologi di <strong>Indonesia</strong>. Jika tidak, maka konflik antar agama tidak bisa<br />

terhindarkan akan selalu meledak. Dan, bila hal ini terjadi, akan menghancurkan sendi kehidupan<br />

berbangsa dan bernegara, baik aspek politis, ekonomi maupun sosial budaya.<br />

Agar kerukunan hidup antar umat beragama menjadi etika dalam pergaulan kehidupan beragama,<br />

Hugh Goddard, seorang Kristiani Inggris yang ahli teologi <strong>Islam</strong>, mengingatkan bahwa demi<br />

kerukunan antar umat beragama, maka harus dihindari penggunaan ―standar ganda‖ (double<br />

standars). Orang Kristen maupun <strong>Islam</strong>, misalnya, selalu menerapkan standar yang berbeda<br />

untuk dirinya, yang biasanya standar yang bersipat ideal dan normatif. Sedangkan terhadap<br />

agama lain mereka memakai standar lain yang lebih bersipat realistis dan historis. Melalui<br />

standar ganda inilah muncul prasangka-prasangka teologis yang selanjutnya memperkeruh<br />

suasana hubungan antar umat beragama. Ada tidaknya keselamatan dalam agama lain, seringkali<br />

ditentukan oleh pandangan mengenai standar ganda kita. Keyakinan bahwa agama sendiri yang<br />

paling benar karena berasal dari Tuhan sedangkan agama lain hanyalah konstruksi manusia,<br />

merupakan contoh dari penggunaan standar ganda itu. Dalam sejarah, standar ganda ini biasanya<br />

dipakai untuk menghakimi agama lain dalam derajat keabsahan teologis di bawah agamanya<br />

sendiri. Melalui standar ganda inilah terjadinya perang dan klaim-klaim kebenaran dari satu<br />

agama atas agama lain.<br />

Yang nampak ke permukaan, bahwa terjadinya konflik antar agama muncul bisa sebagai akibat<br />

kesenjangan ekonomi (kesejahteraan), perbedaan kepentingan politik, atau pun perbedaan etnis.<br />

Akhirnya konsep kebenaran dan kebaikan yang berakar dari ideologi politik atau wahyu Tuhan<br />

sering menjadi alasan pembenar penindasan kemanusiaan.<br />

Hal ini pun bisa terjadi ketika kepentingan pembagunan dan ekonomi atas nama kepentingan<br />

umum sering menjadi pembenar tindak kekerasan. Ditambah pula dengan klaim kebenaran (truth<br />

claim) dan watak misioner dari setiap agama, peluang begi terjadinya benturan dan kesalah<br />

mengertian antar penganut agama pun terbuka lebar, sehingga menyebabkan retaknya hubungan<br />

antar umat beragama. Untuk hubungan eksternal agama-agama, maka penting dilakukan dialog<br />

antar agama. Sedangkan untuk internal agama, diperlukan reinterpretasi pesan-pesan agama yang<br />

lebih menyentuh kemanusiaan yang universal. Dalam hal ini, peran para tokoh agama (ulama)<br />

lebih dikedepankan.<br />

Reinterpretasi Pesan-pesan Agama<br />

Agar <strong>Islam</strong> bisa memerankan fungsinya menjadi dialektis konstruktif, sebagaimana telah di ulas<br />

di atas, maka perlu dikembangkan program reinterpretasi pesan-pesan agama. Dalil-dalil<br />

normatif yang ada dalam al-Qur‘an dan Hadits harus di break down dalam bentuk teori-teori<br />

sosial yang dapat diaplikasikan. Atau, lebih tepatnya harus dikontekstualisasikan agar berfungsi<br />

historis, kekinian, dan membumi. Di sini, para Ulama atau para pemuka agama sangat<br />

dibutuhkan dalam melakukan reinterpretasi agama. Ulama diharapkan berperan langsung dalam<br />

melakukan pencerahan kepada masyarakat melalui upaya reinterpretasi agama, sehingga pesanpesan<br />

yang di bawa agama menjadi fungsional serta ajaran keadilan, toleransi dan cinta kasih<br />

yang terkandung dalam agama menjadi im-plementatif dan integratif dalam kehidupan<br />

bermasyarakat dan berbangsa.


Dengan demikian, agama selayaknya berfungsi menafsirkan kenyataan hidup dan mengarahkan,<br />

artinya memiliki fungsi interpretatif dan fungsi etis. Dalam perspektif ini, agama tak hanyut<br />

tenggelam dalam politik dan politik juga tidak memperalat agama. Fungsi interpretatif dan fungsi<br />

etis hanya mungkin dijalankan kalau agama dan politik tidak dicampuradukkan. Dalam situasi<br />

seperti itu, interaksi antar agama dan politik akan menekankan dinamisme dan perubahan yang<br />

dituju, di mana kehidupan bersama akan lebih manusiawi, karena lebih merdeka dan lebih adil.<br />

Tan-pa dua fungsi ini, agama akan mudah menjadi legitimasi atau diperalat oleh praktek politik<br />

ataupun ekonomi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan<br />

Dalam konteks pembinaan kerukunan antar umat beragama, setidaknya pesan-pesan al-Qur‘an<br />

yang berkaitan dengan hubungan antar agama harus dipahami dan dicermati dengan hati-hati.<br />

Misalnya ayat al-Qur‘an yang ber-bunyi: ―Perangilah orang-orang yang tidak beriman ke-pada<br />

Allah,… (QS. 9 : 29). Jika dipahami secara tekstual, ayat ini bisa membahayakan kerukunan<br />

antar umat beragama. Mengenai ayat ini, Sayyid Qutb berkomentar bahwa ayat ini berlaku<br />

temporal dan periodik. Artinya, dalam era damai ia harus disandingkan dengan ayat-ayat lain<br />

yang menganjurkan kasih sayang dan tolong menolong antar sesama.<br />

Dialog antar Agama<br />

Salah satu bagian dari kerukunan antar umat beragama adalah perlu dilakukannya dialog antar<br />

agama. Agar komunikatif dan terhindar dari perdebatan teologis antar pemeluk (tokoh) agama,<br />

maka pesan-pesan agama yang sudah direinterpretasi selaras dengan universalitas kemanusiaan<br />

menjadi modal tercptanya dialog yang harmonis. Jika tidak, maka proses dialog akan berisi<br />

perdebatan dan adu argumentasi antara berbagai pemeluk agama sehingga ada yang menang dan<br />

ada yang kalah. Dialog antar agama, menurut A. Mukti Ali, justru membiarkan hak setiap orang<br />

untuk mengamalkan keyakinannya dan menyampaikannya kepada orang lain. Dialog antar<br />

agama adalah pertemuan hati dan pikiran antar pemeluk berbagai agama yang bertujuan<br />

mencapai kebenaran dan kerja sama dalam masalah-masalah yang dihadapi bersama.<br />

Perhatian terhadap tema itu, tidak harus hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi<br />

menjadi tanggung jawab semua komponen bangsa, terutama pada lingkungan tokoh agama.<br />

Oleh karena itu, sejak 1967 hingga sekarang, dialog antar agama gencar dilaksanakan. Bahkan,<br />

masa antara 1972 sampai dengan 1977, tercatat 23 kali pemerintah me-nyelenggarakan dialog<br />

yang berlangsung di 21 kota. Padatnya frekuensi dialog ini menunjukkan betapa petingnya<br />

jalinan hubungan yang harmonis antara penganut agama.<br />

Menurut Ignas Kleden, bahwa dialog antar agama nampaknya hanya bisa dimulai dengan adanya<br />

keterbukaan sebuah agama terhadap agama lainnya. Keterbukaan ini bisa di lihat dari : pertama,<br />

segi-segi mana dari suatu agama yang memungkinkannya terbuka terhadap agama yang lain,<br />

pada tingkat mana keterbukaan itu dapat ditolerir, dan juga dalam modus yang bagaimana keterbukaan<br />

itu dapat dilaksanakan. Kedua, bagaimana agama menjadi jalan dan sebab seseorang atau<br />

sekelompok orang terbuka kepada kelompok orang yang bergama lain.<br />

Berdasarkan itu, maka persoalan keagamaan yang seringkali muncul adalah terletak pada<br />

problem penafsiran, bukan pada benar tidaknya agama dan wahyu Tuhan itu sendiri.6 Sehingga,<br />

masalah kerukunan keagamaan termasuk didalamnya dialog antar umat beragama harus menjadi<br />

wacana sosiologis dengan menempatkan doktrin keagamaan sebagai dasar pengembangan<br />

pemuliaan kemanusiaan.


Sementara itu, melihat kondisi kehidupan beragama sekarang ini, konflik antar umat beragama,<br />

menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara.<br />

Kejadian tersebut tidak hanya atas dasar perbedaan agama tetapi juga terjadi antara orang atau<br />

ke-lompok-kelompok dengan agama yang sama. Maka, keru-kunan yang perlu dibangun bukan<br />

hanya kerukunan antar agama, melain-kan juga kerukunan antar orang atau kelompok dalam<br />

agama yang sama. Oleh karena itu, tidak heran jika Masdar F. Mas‘udi, Direktur Pelaksana<br />

Pengem-bangan Pesantren dan Masyarakat, dalam sebuah diskusi panel pernah mengatakan:<br />

―Saya lebih suka hidup dengan orang yang berbeda agama tetapi tidak tertekan daripada hidup<br />

bersama dengan orang yang sama agama tetapi ter-tekan‖. Mungkin ia ter-inspirasikan oleh<br />

pernyataan Ibn Taymiyyah yang mengatakan bahwa pemerintahan orang kafir yang baik lebih<br />

utama di banding pemerintahan orang (yang mengaku) Muslim tapi zalim.<br />

Dalam kehidupan agama di <strong>Indonesia</strong> yang pluralistis, sebagaimana diungkapakan di atas,<br />

Nurcholish Madjid melihat bahwa nilai tinggi yang di pilih adalah ―kebebasan‖ atau<br />

―kemerdekaan‖, suatu nilai yang menyentuh kelu-huran martabat manusia. Persoalan yang<br />

muncul ketika ter-jadinya konflik antar agama adalah, adakah nilai kebebasan dan nilai<br />

kemerdekaan ditegakkan di sekitar konflik tersebut? Sebab, ternyata kemerdekaan menyangkut<br />

rasa keadilan yang juga melindungi keluhuran martabat manusia dalam menyelenggarakan<br />

kehidupan bersama.<br />

Dengan melihat di atas, kiranya konflik berwajah agama perlu dilihat dalam kaitan-kaitan politis,<br />

ekonomi, atau pun sosal budayanya. Apabila benar bahwa konflik itu murni konflik agama, maka<br />

masalah kerukunan sejati tetap hanya dapat dibangun atas dasar nilai keadilan, kebebasan, dan<br />

hak asasi manusia, yang menyentuh keluhuran martabat manusia. Makin mendalam rasa<br />

keagamaan, ma-kin mendalam pula rasa keadilan dan kemanusiaan. Seandainya tidak demikian,<br />

agama tidak menyangkat keluhuruan martabat manusia.


Arus Deras Wikileaks<br />

Perburuan Julian Assange akhirnya berakhir. Selasa (7/12), ia ditangkap di London. Apakah<br />

penangkapan itu pertanda bakal tamatnya riwayat WikiLeaks?<br />

Jawabnya tentu saja tidak. Karena WikiLeaks berada dan bekerja dalam kompleksitas jaringan<br />

virtual yang tidak bergantung pada keberadaan Julian Assange. Di balik WikiLeaks ada ratusan<br />

bahkan mungkin ribuan jaringan hacker yang mengoperasikan situs ini. Julian Assange adalah<br />

salah satu yang terhebat di antara mereka, tapi bukan satu-satunya.<br />

Kemunculan Julian Assange dan situsnya hanyalah salah satu fenomena hacker kosmopolitan.<br />

Ada jutaan hacker dan cracker lainnya berseliweran di jagad virtual. Setiap waktu mereka<br />

bekerja, membobol software, merusak program, menyebar virus dan berbagai macam kejahatan<br />

dunia maya. Hanya bedanya, WikiLeaks mengambil spesialisasi pembobol dokumen rahasia<br />

negara, diorganisasi secara profesional, dan dengan dukungan sumber daya serta sumber dana<br />

yang besar.<br />

<strong>Indonesia</strong> sendiri adalah salah satu negara dengan populasi hacker terbanyak. Laporan Verisign<br />

(perusahaan penyedia layanan informasi intelijen di dunia maya) tahun 2004 bahkan<br />

menempatkan <strong>Indonesia</strong> pada posisi tertinggi pelaku kejahatan dunia maya (cyber crime).<br />

Karena itu tidak mengherankan jika Business Software Alliance (BSA) menemukan 86% peranti<br />

lunak yang beredar di <strong>Indonesia</strong> adalah hasil bajakan.<br />

Jumlah mereka dan kemampuannya makin lama terus berkembang seiring kemajuan teknologi.<br />

Dan setiap ada perkembangan baru metode hacking dengan mudah mereka berbagi satu sama<br />

lain. Itulah sebabnya mata rantai hacker tidak pernah putus dan justru semakin kompleks.<br />

Para hacker ini telah membuktikan bahwa tidak ada yang privat dan rahasia di dunia cyber space.<br />

Sekali kita memasukkan data dalam bentuk apa pun, seketika data itu telah berada di area<br />

terbuka. Bagaimanapun cara kita memproteksinya, selalu ditemukan celah untuk mengaksesnya.<br />

Ramalan Baudrillard<br />

Fenomena semacam ini jauh hari sebelumnya sudah disinyalir Baudrillard dalam bukunya<br />

Simulacra and Simulation (2000). Menurut Baudrillard setidaknya ada empat logika sosial<br />

sebagai efek perkembangan hiperteknologi. Keempat logika itu dengan sangat efektif<br />

dimanfaatkan situs WikiLeaks.<br />

Pertama, logika ketidakterlihatan (logic of invisibility). Perkembangan teknologi pengawasan<br />

dan pengintaian (vision machine) seperti satelit, radar, kamera video, dan internet<br />

memungkinkan setiap orang ―bermain-main‖ di dalamnya. Julian Assange dan krunya memiliki<br />

kemahiran tingkat tinggi memanfaatkan perangkat teknologi tersebut sehingga mampu


menembus proteksi keamanan komputer tanpa terdeteksi. Sehingga ribuan bahkan mungkin<br />

jutaan data top secret berhasil dibobol.<br />

Kedua, logika ‗miniaturisasi‘ (logic miniaturization). Dengan logika ini, persepsi mengenai<br />

ruang nyata dapat diambil alih oleh model-model representasinya menggunakan teknologi<br />

simulasi, yang memungkinkan penguasaan medan tanpa dibatasi ruang dan geografis. Teknologi<br />

ini sangat membantu para hacker seperti Julian Assange menembus jaringan sistem keamanan<br />

komputer hanya dengan menguasai simulasinya.<br />

Ketiga, logika pencitraan (logic of image). Di dunia cyber, pencitraan atau tontonan (spectacles)<br />

berperan sangat penting dalam mendefinisikan realitas. WikiLeaks telah memilih positioning<br />

sebagai situs whistleblower yang konsen membongkar data-data rahasia. Segala sesuatu yang<br />

sifatnya ―rahasia‖ pasti mengundang penasaran setiap orang. Posisi inilah yang menjadi brand<br />

menguntungkan situs ini sehingga mendatangkan banyak penggemar, dan tentu saja investor.<br />

Kehadiran Wikileaks, bagaimanapun, bukan sekadar motif mengungkap rahasia negara, tetapi<br />

juga bisnis di dunia maya. Lebih jauh lagi, di balik WikiLeaks tentunya ada ―aktor besar‖ yang<br />

memiliki kepentingan (ekonomi dan politik) dengan dibocorkannya dokumen-dokumen rahasia<br />

itu.<br />

Keempat, logika nomadisme (logic of nomadism). Perkembangan globalisasi telah membuka<br />

peluang besar bagi siapa pun untuk menjalankan nomad strategy. Yaitu, sebuah pola operasi<br />

yang berpindah dan bertransformasi dalam skala global. Strategi inilah yang dijalankan<br />

WikiLeaks sehingga jaringan mereka sulit terdeteksi. Mereka dapat berpindah tempat operasi<br />

kapan saja dan ke mana saja, namun tetap memegang kontrol jaringannya.<br />

Mengantisipasi ancaman WikiLeaks<br />

Menyusul tertangkapnya Julian Assange, mulai muncul reaksi balik dari jaringan aktivis peretas<br />

(hack-tivist) dengan menyerang situs-situs pemerintah, organisasi, lembaga keuangan, dan situs<br />

pribadi tokoh-tokoh yang menentang WikiLeaks. Tak kurang situs resmi pemerintah Swedia,<br />

situs Bank PostFinance di Swiss, dan situs pribadi Sarah Palin dan Senator Joe Lieberman,<br />

seperti dilaporkan BBC, menjadi sasaran hacking. Sementara WikiLeaks terus merilis dokumendokumen<br />

rahasia negara, terutama milik pemerintah Amerika Serikat.<br />

Situasi ini bisa berkembang jauh lebih parah jika nasib Julian Assange tidak jelas. Pasalnya,<br />

Julian Assange ditangkap atas tuduhan pelecehan seksual dan pemerkosaan di Swedia. Tuduhan<br />

itu disangkal Assange, dan banyak pengamat juga tidak meyakini tuduhan tersebut. Penangkapan<br />

Assange justru diduga untuk ―menyandera‖ WikiLeaks agar berhenti membocorkan dukumen<br />

rahasia negara.<br />

Jika tuduhan itu tidak terbukti, ini bisa memicu reaksi lebih besar lagi. Bukan tidak mungkin<br />

dengan kemampuan WikiLeaks saat ini dan didukung jaringan hack-tivist, mereka bisa saja


mengacaukan bahkan merusak sistem jaringan internet global. Kalau itu sampai terjadi, bukan<br />

hanya institusi pemerintahan yang dirugikan, semua masyarakat dunia akan terkena imbasnya.<br />

Mengantisipasi hal-hal terburuk ke depan, hemat penulis, setidaknya ada dua alternatif pilihan<br />

bagi pemerintah <strong>Indonesia</strong>. Pertama, untuk sementara waktu memutuskan jaringan komputer<br />

pemerintah terutama yang menyimpan data-data rahasia dari koneksi internet global. Ini adalah<br />

pilihan terburuk karena konsekuensinya akan mengganggu efektivitas dan lalu lintas jaringan<br />

iformasi dan komunikasi pemerintahan. Tetapi pilihan ini tetap menjadi alternatif dalam situasi<br />

yang darurat.<br />

Kedua, pilihan paling rasional untuk jangka panjang adalah, pemerintah sudah saatnya<br />

mempertimbangkan kerja sama dengan jaringan hacker. Jadikan mereka partner untuk<br />

melindungi situs-situs vital pemerintah. Jika perlu, mereka sebaiknya direkrut untuk dijadikan<br />

polisi-polisi cyber. Karena merekalah yang paling jeli menemukan celah-celah yang bisa<br />

disusupi, sekaligus menutupi celah tersebut.[]


Berkaca Kepada Timnas<br />

Sepak terjang Timnas Sepak Bola <strong>Indonesia</strong> di Piala AFF 2010 usai sudah. Walaupun hasil yang<br />

diraih tidak sesuai impian, Timnas telah memberikan spirit baru bagi rakyat <strong>Indonesia</strong> di tengah<br />

hilangnya kepercayaan mereka kepada para pemimpin politik. Kemenangan <strong>Indonesia</strong> dalam<br />

beberapa pertandingan menumbuhkan semangat baru bahwa sepak bola negeri kita sedang<br />

mengalami kemajuan yang patut diapresiasi oleh siapa pun dan kalangan apa pun masyarakat<br />

<strong>Indonesia</strong>.<br />

Sejak awal dinyanyikan lagu ―<strong>Indonesia</strong> Raya‖ sebelum pertandingan, begitu terasa semangat<br />

patriotisme dalam mewujudkan optimisme bernegara. Sejarah buruk sepak bola <strong>Indonesia</strong> yang<br />

penuh dengan anarkisme pendukung harus segera dihilangkan. Pemain dengan gaya permainan<br />

kasar seperti pernah ditunjukkan Gonzales — yang dihukum akibat aksi pemukulan —<br />

merupakan sejarah buruk yang harus ditinggalkan. Gonzales pun menyadari kesalahan dan<br />

bangkit untuk menorehkan sejarah baru bagi <strong>Indonesia</strong>.<br />

Pengurus Persatuan Sepak Bola Seluruh <strong>Indonesia</strong> (PSSI) seharusnya mulai berbenah bukan<br />

untuk mengurusi polemik organisasi. PSSI harus mulai memperhatikan kebutuhan dasar para<br />

pemain, pelatih, dan prasarana permainan yang memadai. Aksi-aksi pendukung fanatik di luar<br />

lapangan yang merusak fasilitas umum akibat kekalahan tim kesayangan harus disadari sebagai<br />

tindakan yang tidak membawa kebaikan bagi sepak bola kita.<br />

Optimisme para pemain sepak bola perlu menjadi contoh bagi para pemimpin negeri ini agar<br />

sadar dan ikut bangkit melakukan pembenahan di setiap lini yang telah sekian lama bobrok,<br />

terutama dalam kepemimpinan. Optimisme bernegara sangat penting dalam membenahi setiap<br />

lini pemerintah yang belum keluar dari kebobrokan. Soal korupsi dan manajemen buruk<br />

birokrasi, kasus suap Gayus, dan bobroknya manajemen pajak, kasus bailout Bank Century,<br />

korupsi di pemerintah pusat dan daerah, semua harus menjadi prioritas pembenahan agar dana<br />

APBN dimaksimalkan untuk pemenuhan kebutuhan rakyat, bukan kebutuhan pejabat.<br />

Soliditas para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Senayan dan daerah juga tidak lepas<br />

dari obrolan euforia sepak bola yang menyedot perhatian lebih. Sangat diharapkan mereka tidak<br />

melupakan fokus pengesahan Rancangan UU Partai Politik dan konflik keistimewaan DIY yang<br />

harus diselesaikan. Para wakil rakyat yang selama ini berkutat dengan permasalahan klasik<br />

seperti agenda jalan-jalan ke luar negeri dan buruknya kinerja DPR yang seharusnya giat<br />

melakukan pengawasan seharusnya juga mulai sadar dan berbenah.<br />

Program pembuatan dan pengesahan UU yang baru mengesahkan lima belas UU — kurang dari<br />

target yang ditetapkan setahun — harus dibenahi. Rakyat butuh kejelasan aturan di negeri ini<br />

yang terlalu lama menggunakan hukum warisan Belanda yang sudah tidak layak dipakai untuk<br />

pedoman hukum di <strong>Indonesia</strong>. Para wakil rakyat di DPR harus berkaca kepada semangat Timnas<br />

dan optimistis untuk semakin banyak mencetak UU demi kepentingan rakyat yang menunggu<br />

payung hukum demi mewujudkan keberpihakan pada kepentingan dan kesejahteraan rakyat.


Intitusi hukum seperti Polri, MA, dan KPK diharapkan juga berkaca kepada semangat Timnas<br />

dan optimistis untuk bekerja sama satu sama lain, bukan untuk saling melemahkan antarlembaga.<br />

Dengan tim yang solid, permasalahan di negeri ini akan bisa diselesaikan dan harapan besar<br />

<strong>Indonesia</strong> akan bangkit dari keterpurukan dapat terealisasi. Makelar dan mafia kasus di tubuh<br />

institusi hukum harus diberantas tanpa pandang bulu. Dengan kepemimpinan baru Jenderal<br />

Timur Pradopo di tubuh Polri ada tantangan besar memperbaiki citra Polri di mata masyarakat.<br />

Jaksa Agung baru, Basrif Arief, diharapkan mampu membersihkan para makelar kasus di tubuh<br />

Kejaksaan Agung.<br />

Kemenangan ada di tangan kebenaran, bukan pada yang berani membayar. KPK diharapkan<br />

mampu membuktikan diri dan benar-benar membersihkan negeri ini dari pejabat korup.<br />

Pelajaran berharga yang sama-sama kita ambil dari Timnas <strong>Indonesia</strong> adalah pelajaran tentang<br />

optimisme, sebuah pelajaran tentang perjuangan yang memberikan hasil baik dari keadaan<br />

sebelumnya. Tidak berpikir lagi, seberapa banyak gagal dalam pertandingan, tetapi Timnas<br />

optimistis dan terus berusaha bangkit untuk menjadi lebih baik. Demikian pula pada kondisi<br />

politik negeri ini, kita harus optimis bahwa bagaimanapun buruknya manajemen pemerintahan<br />

negeri ini, yang kita butuhkan adalah optimisme bernegara.<br />

Kita yakin <strong>Indonesia</strong> akan menjadi lebih baik dengan dimulai dari diri kita melakukan perbaikan<br />

di setiap lini apa pun. Bangsa dengan kekayaan alam yang melimpah ruah, bangsa yang merdeka<br />

dengan pengorbanan para pejuang. Bangsa yang bisa berdiri tegak karena optimisme bernegara.<br />

Oleh karena itu, kita harus optimistis dalam bernegara, demi <strong>Indonesia</strong> yang lebih baik.<br />

Optimisme Timnas adalah inspirasi yang menggugah kita. []


Etnis Tiongkok di <strong>Indonesia</strong><br />

Secara kuantitatif, etnis Cina masih merupakan golongan keturunan asing terbesar dibandingkan<br />

etnis asing lainnya di <strong>Indonesia</strong>. Bahkan golongan yang kemudian dikenal sebagai ―Overseas<br />

Chinese‖ ini kini telah tersebar diseluruh penjuru Nusantara ini.<br />

Eksistensi etnis Cina di <strong>Indonesia</strong> memang cukup lama. Menurut data sejarah, bangsa Cina<br />

pertamakali datang ke <strong>Indonesia</strong> diperkirakan sejak abad ke-5, tepatnya 411 M.<br />

Dalam catatan sejarah, orang Cina yang pertamakali datang ke Nusantara adalah Fa Hian.<br />

Kedatangannya dalam rangka melaksanakan tugas untuk mengumpulkan kitab suci agama<br />

Budha.<br />

Semenjak kemunculannya, perjuangan eksistensi etnis Cina di <strong>Indonesia</strong> tidak-lah indah. Ribuan<br />

nyawa dan kekayaan telah dikorbankan atau menjadi korban sebagai wujud perjuangan etnis<br />

Cina untuk bertahan eksis dinegeri ini.<br />

Sajian sejarah pilu perjuangan etnis Cina dalam tulisan ini tidak bermaksud membuka kembali<br />

luka lama, akan tetapi, sajian sejarah ini bisa menjadi titik tolak bagaimana pentingnya<br />

menumbuhkan sikap saling menghargai terhadap etnis yang berbeda, atau agama yang berbeda.<br />

Konflik pribumi dengan etnis Cina sebenarnya sudah terjadi ketika pertama kali etnis Cina<br />

datang ke Nusantara. Sikap anti Cina semakin kuat pada zaman Orde Lama (ORLA) tahun 1959<br />

dengan munculnya keputusan larangan dagang bagi orang asing termasuk Cina. Kondisi ini<br />

membuat para pedagang Cina mendapat kesulitan. Buah dari kondisi ini, ada sekitar 100 ribu<br />

etnis Cina mencoba lari dari <strong>Indonesia</strong> menuju negeri asalnya.<br />

Hubungan disharmonis semakin mengkristal terlebih setelah adanya kebijakan pemerintah<br />

ORBA terkait dengan etnis Cina di <strong>Indonesia</strong>; Keputusan Presidium Kabinet<br />

No.127/U/Kep/12/1966 menganai ganti nama bagi warga negara <strong>Indonesia</strong> yang memakai nama<br />

Cina. Instruksi Presiden No. 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina.<br />

Instruksi Mendagri No. X/01 tahun 1977 tentang petunjuk pelaksanaan pendaftaran penduduk<br />

yang membuat warga keturunan dibedakan dengan warga pribumi.<br />

Sikap anti Cina berujung di bulan Mei 1998 di Jakarta yang kemudian dikenal sebagai ―Tragedi<br />

Mei‖. Kerusuhan ini merupakan yang terparah dibandingkan dinegara lainnya, sehingga tak<br />

berlebihan jika Wang Guwu mengatakan bahwa;<br />

‖tidak ada suatu golongan Cina perantauan di dunia yang mengalami demikian banyak<br />

keguncangan seperti yang dialami oleh minoritas Cina di <strong>Indonesia</strong>.‖<br />

Serangkaian sikap anti Cina di atas menurut hemat saya dipicu oleh beberapa faktor; diantaranya<br />

persaingan ekonomi, politik dan agama. Lebih dari itu, faktor yang sifatnya psikologis juga ikut


memperkeruh, diantaranya adalah adanya ketidaksiapan masyarakat Cina dan Pribumi untuk<br />

hidup dalam masyarakat yang majemuk ini.<br />

Adanya ketidaksiapan ini dipicu sikap ―chauvinisme budaya‖. Dalam hal ini orang Cina<br />

kerapkali menampilkan egoisme etnis dan menganggap bahwa mereka lebih hebat dan memiliki<br />

kebudayaan yang tinggi di bandingkan dengan masyarakat pribumi. Jika perasaan ini masih tetap<br />

tumbuh dikalangan etnis Cina, maka prasangkan dan kebencian terhadap etnis Cina akan sulit<br />

untuk dihilangkan.<br />

Sikap anti Cina mulai meredup pada masa Reformasi. Hal tersebut terlihat dari ungkapan<br />

Presiden RI saat itu yakni B.J Habibie yang mengatakan;<br />

‖bangsa <strong>Indonesia</strong> tidak mengenal perbedaan berdasarkan SARA. Menurutnya seluruh warga<br />

negara <strong>Indonesia</strong> adalah pribumi selama mereka masih memiliki komitmen terhadap kehidupan<br />

berbangsa dan bernegara di <strong>Indonesia</strong>. Walaupun lahir dari keturunan pribumi, tetapi tidak<br />

memiliki komitmen terhadap persoalan kebangsaan, maka kualitas kebangsaannya perlu<br />

dipertanyakan.‖<br />

Dengan statemen ini, nasib etnis Cina mulai tercerahkan. ‖Udara segar‖ semakin leluasa dihirup<br />

oleh mereka tepatnya pada masa pemerintahan Gusdur (Alm).<br />

Ia menggagas ide pembauran sejati antara pribumi dan etnis Cina. Pada masa ini, mulai dipahami<br />

sebagai bagian dari kemajemukan budaya, dan mulai dihapuskannya beberapa peraturan negara<br />

yang cenderung merugikan etnis Cina. Salah satunya adalah perayaan Imlek dan upacara adat<br />

Cina lainnya yang sebelumnya dilarang kini sudah mulai diperbolehkan. Bahkan untuk kasus<br />

hari raya Imlek telah dijadikan sebagai hari libur nasional yang harus dihormati oleh seluruh<br />

warga <strong>Indonesia</strong>..<br />

Dengan momen Imlek ini, sejatinya kita sebagai warga <strong>Indonesia</strong> yang dikenal akan keramahan<br />

dan kesantunannya dan etnis Cina, untuk selalu mengedepankan dan memupuk kembali ―pohon‖<br />

perdamaian dan menjalin harmoni. Dan kepada etnis Cina, saya mengucapkan selamat<br />

memperingati hari Imlek, marilah kita jalin kembali tali persaudaraan yang sempat pupus. []


Kehidupan Harmonis<br />

Menjamurnya deklarasi damai dan kerukunan antarumat bergama di Jawa Barat (Bandung,<br />

Garut, Sukabumi, Cianjur,Tasikmalaya, Cirebon) pascatragedi Cikeusik, Temanggung, Sidoarjo<br />

merupakan upaya memerangi perilaku kekerasan atas nama agama.<br />

Setiap ajaran agama mengajarkan umatnya untuk selalu berbuat kebajikan, kebijaksanaan,<br />

kedamaian, saling menghormati, menghargai dan melarang pengikutnya melakukan segala<br />

tindakan kejahatan sekaligus tidak dibenarkan dalam merusak tempat ibadah, hingga<br />

menghilangkan nyawa orang.<br />

Sejatinya, kehadiran perayaan hari raya Nyepi 1933 Saka yang jatuh pada tanggal 05 Maret 2011<br />

harus menjadi modalutama dalam membangun (kehidupan) keharmonisan dialog antaragama dan<br />

membawa pesan kedamaian bagi kerukunan hidup beragama di Bumi Pertiwi yang kian pudar.<br />

Berkah Nyepi<br />

Segenap umat Hindu di mana pun berada meyakini keharmonisan dan perdamaian sebagai<br />

berkah terpenting dalam perayaan Nyepi. Ingat, perayaan Tahun Baru Saka selalu bertepatan<br />

dengan tanggal satu bulan kesepuluh (Eka Sukla Paksa Waisak), sehari setelah Tilem Kasanga<br />

(Panca Dasi Krsna Paksa Caitra). Berkat kegigihan Raja Kaniskha dari Dinasti Kushana, suku<br />

bangsa Yuehchi, pada 78 atau 79 Masehi peresmian Nyepi akhirnya dimulai dan dilaksanakan<br />

secara besar-besaran.<br />

Dalam perjalannanya beberapa tahapan upacara pun harus dilakukan. Pertama, Melasti<br />

(pertobatan). Kedua, Tawur Agung (mengembalikan keseimbangan alam, manusia). Ketiga,<br />

Brata Penyepian (empat ritual puasa: amati geni/tidak menyalakan api, amati karya/tidak<br />

melakukan pekerjaan sehari-hari, amati lelungan/tidak bepergian, amati lelanguan/tidak<br />

menghibur diri serta tidak boleh memasak dan memakai lampu penerangan). Keempat, Ngembak<br />

Geni (melakukan darma santi/ibadah sosial berupa silaturahim kepada sanak kerabat dan<br />

tetangga).<br />

Cita-cita agung dari perayaan ini adalah mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir batin<br />

(jagadhita dan moksa), terbinanya kehidupan yang berlandaskan kebenaran (satyan), kesucian<br />

(siwam), kedamaian (sundaram) keharmonisan dan keindahan (sundaram).<br />

Kuatnya, usaha untuk menjalankan ajaran Hindu dalam kehidupan sehar-hari, maka Parisada<br />

Hindu Dharma <strong>Indonesia</strong> (PHDI) menggelar acara Dharma Santi Nyepi Tahun Saka 1933 (2011)<br />

bertajuk ―Dengan Melaksanakan Catur Brata Nyepi Kita Wujudkan Kehidupan yang Harmonis,<br />

Damai dan Sejahtera‖ di di GOR Ahamd Yani, Mabes TNI Cilangkap, 20 Maret 2011.


Perayaan Hari Raya Nyepi merupakan salah satu perwujudan pengalaman ajaran agama sebagai<br />

sikap bhakti kehadapan Hyang Widhi Wasa dan memberikan makna bagi eksistensi umat Hindu<br />

di tengah-tengah bangsa yang majemuk dengan berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat,<br />

berbangsa dan bernegara melalui jalur kehidupan beragama.<br />

Semakin merosotnya nilai-nilai moral dan etika di masyarakat, kurangnya rasa setiakawanan dan<br />

menurunnya rasa kebersamaan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik <strong>Indonesia</strong> menjadi<br />

penghambat upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan.<br />

Hendaknya Perayaan Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1933 dijadikan momentum untuk<br />

mawas diri, merenungkan dalam suasana hening dharma bhakti yang patut dilaksanakn pada<br />

tahun yang silam guna membangun kehidupan masyarakat yang lebih harmonis, damai dan<br />

sejahtera. (Kerangka Acuan Dharma Santi Nasional Perayaan Hari Raya Nyepi Tahun Baru<br />

Saka 19933 Masyarakat-KORPRI-TNI-POLRI)<br />

Pentingnya hidup, damai, harmonis, toleran dan saling menghargai orang lain termaktub dalam<br />

Bhagawadgita, 4:11; Jalan mana pun yang ditempuh seseorang kepada-Ku, Aku memberinya<br />

nugerah setimpal. Semua orang mencari-Ku dengan berbagai jalan, wahai putera Partha (Arjuna)<br />

Kiranya kita harus mendengungkan pesan Mahatma Gandhi saat ditanya apakah menurutnya<br />

antikekerasan sungguh-sungguh cara terbaik untuk menyelesaikan konflik. ―Tidak‖ jawabnya.<br />

―Antikekerasan bukanlah cara terbaik, melainkan satu-satunya cara‖<br />

Mudah-mudahan segala bentuk kekerasan atas nama apa pun di bumi hanguskan dari nusantara.<br />

Inilah makna terdalam Nyepi dalam mewujudkna kehidupan bermasyarakat, berbangsa,<br />

bernegara yang harmonis, damai dan sejahtera. Selamat Hari Raya Nyepi 1933.[]


Kejahatan Berpayung Agama<br />

Membela agama sebagai sesuatu yang kita yakini kebenarannya agar tegak di bumi ini adalah<br />

sebuah kewajiban pemeluk agama–apapun agamanya. Akan tetapi jika melegalkan prilaku<br />

kejahatan–apa pun bentuknya tentunya tidak dibenarkan oleh agama–apa pun juga agamanya<br />

termasuk di dalamnya <strong>Islam</strong>.<br />

Akan tetapi fenomena seperti itu-lah yang kini marak terjadi seperti yang diberitakan di media–<br />

baik itu cetak maupun elektronik. Meminjam istilah Charles Kimball, dalam bukunya ―When<br />

Religion Becomes Evil‖ bahwa ajaran agama kerap kali di ―korup‖.<br />

Jika memang betul prilaku kejahatan seperti perampokkan, pengrusakan, penganiyayaan dengan<br />

dalih demi perjuangan <strong>Islam</strong> seperti yang diberitakkan media bagaimanapun tak dapat<br />

dibenarkan oleh agama. Karena semua agama tak akan mentolerir penganutnya melagalkan<br />

kejahatan meskipun menurut mereka demi memperjuangkan tegaknya agama.<br />

Memang pada kenyataannya disemua doktrin agama yang tertera dalam kitab sucinya terdapat<br />

ajaran-ajaran yang keras,–seperti jihad dalam <strong>Islam</strong> atau perang suci dalam Kristen. Akan tetapi<br />

semuanya itu tentunya mempunyai konteksnya. Karena itu-lah maka kita sebagai penganut<br />

agama ketika menafsirkan ajaran agama tidak boleh meninggalkan konteks ―turunnya‖ ajaran<br />

tersebut.<br />

Jika kita meninggalkan konteksnya, maka pemahaman akan ajaran tersebut akan ―kering‖<br />

sehingga yang mencul kemudian adalah prilaku ekstrim dan redikal. Itu-lah menurut saya yang<br />

banyak muncul akhir-akhir ini disetiap penganut agama.<br />

Jika kita sebagai penganut agama mau merenungkan barang sejenak, maka semua pemeluk<br />

agama-agama di dunia ini termasuk di dalamnya masyarakat pemeluk agama lokal sekali pun<br />

meyakini bahwa fungsi utama agama atau kepercayaan yang dipeluknya itu adalah memandu<br />

kehidupan manusia agar memperoleh keselamatan di dunia dan keselamatan sesudah hari<br />

kematian.<br />

Kalau saya boleh mengatakan, agama memang seperti ―benda mati‖ yang tergantung dengan<br />

penganutnya. Agama bisa dibuat berwatak jahat jika penganutnya memang berpola fikir jahat,<br />

begitu sebaliknya, agama akan menjadi baik dan humanis jika kita menafsirkan ajarannya<br />

dengan tujuan baik.<br />

Meskipun begitu, sampai saat ini saya masih meyakini bahwa semua agama sebanarnya<br />

mengajarkan kasih sayang pada sesama manusia dan sesama makhluk Tuhan, alam tumbuhtumbuhan,<br />

hewan, hingga benda mati sekali pun. Saya masih meyakini juga bahwa Tuhan<br />

sebagai ―peracik agama‖ lebih menyukai kebaikan dibandingkan keburukan meskipun Tuhan<br />

menciptakan keduanya. Karena sebaliknya, jika agama melegalkan prilaku kejahatan, maka<br />

yakin-lah dalam waktu singkat agama tersebut akan ditinggalkan penganutnya.


Akan tetapi perbincangan tentang agama dan prilaku penganutnya yang aneh-aneh itu memang<br />

tidak akan pernah selesai, seiring dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Baik secara<br />

teologis maupun sosiologis, karena agama dapat dipandang sebagai instrument untuk memahami<br />

dunia. Dengan ciri ini, dimanapun suatu agama berada, dapat memberi panduan nilai bagi<br />

seluruh diskursus kegiatan manusia sehari-hari.<br />

Karena itu, tugas kita selanjutnya yang maha penting adalah bagaimana memelihara dan<br />

merawat agama yang kita yakini itu agar senantiasa hidup dan menyala sebagai penyejuk di<br />

dalam hati nurani manusia <strong>Indonesia</strong>. Hilangkan pola berfikir redikal dalam memahami agama,<br />

jika kita mau agama yang kita yakni ini bertambah ‖penggemarnya‖. Karena sebaliknya, jika<br />

agama yang kita yakini ini ‖berwajah‖ menyeramkan, maka celaan yang akan kita dapatkan.<br />

Jika saja sikap seperti itu yang terus kita pupuk, dipelihara dan selalu menjadi ikhtiar tindakan<br />

seluruh manusia <strong>Indonesia</strong>, mungkin tak akan ada lagi anak yang harus kehilangan bapak atau<br />

ibunya hanya karena beda agama, pemahaman agama, aliran politik, etnisitas dan aroma rasis<br />

lainnya yang ditimbulkan karena salah memahami agamanya. Juga tak akan ada lagi rumah dan<br />

harta benda yang dijarah dan dibakar hanya karena perbedaan identitas.<br />

Karena itu, kita harus percaya dan optimis bahwa setiap konflik, kejahatan, redikalisme,<br />

terorisme itu pasti ada resolusinya. Marilah kita berlomba-lomba untuk menjaga masing-masing<br />

agama kita dengan cara yang santun. Mari kita bertekad dan tinggalkan prilaku kejahatan yang<br />

mengatasnamakan dalih agama, dan buanglah jau-jauh dari pola berfikir kita. Mudah-mudahan !.<br />

[]


Mempelajari Kepemimpinan “Tao”<br />

Berdirinya rumah pengaduan kebohongan publik di Maarif Instutute, Jakarta Selatan merupakan<br />

keseriusan Badan Pekerja Gerakan Tokoh Lintas Agama yang menjadikan tahun 2011 sebagai<br />

momentum peperang melawan kebohongan publik pasca digelarnya diskusi dan dengar pendapat<br />

publik. Peristiwa itu Pertama, digelar di gedung Dakwah PP Muhammadiyah, Senin (10/1).<br />

Kedua, di Persekutuan Gereja-Gereja di <strong>Indonesia</strong>, Jumat (14/1).<br />

Meski 19 kebohongan (8 lama dan 8 baru) yang disuarakan tokoh lintas agama ini mendapatkan<br />

respon dari pemerintah SBY dengan digelarnya pertemuan Presiden SBY-Tokoh Lintas Agama<br />

di Istana Negara Senin (17/1) tidak menghasilkan kesepakan apa-apa kecuali berkumpul santai<br />

semata dan menggelar petemuan lanjutan. (‖PR‖, 18/1)<br />

Memudarnya tradisi antikritik di bumi persada (pemimpin) ini menunjukan bangsa <strong>Indonesia</strong><br />

bangga dalam melakukan kehilafan. Seolah-olah tidak marasa bersalah dan malu bila melakukan<br />

perbuatan lalim. Alhasil, popularitas SBY pun kian anjlok, seperti dirilis Lembaga Survei<br />

<strong>Indonesia</strong> (LSI) pada tanggal 6 Januari 2011. Hasil Survei terakhir pada 18-30 Desesember 2010<br />

dan menggunakan sampel sekira 1.229 responden melalui wawancara tatap muka menunjukan<br />

penurunan yang paling buruk. (www.lsi.or.id)<br />

Kuatnya gerakan moral tokoh lintasa agama untuk tetap menyuarakan nurani masyarakat bawah<br />

(grass roots) memberikan inspirasi positif terhadap 100 tokoh pergerakan yang menjadikan tahun<br />

2011 sebagai tahun kebenaran.<br />

Adakah pelajaran yang bisa petik dari pergantian Hari Raya Tahun China (Xin Nian) yang<br />

diperingati setiap tanggal 1 Imlek (2562) dengan sio Kelinci unsur logam polar Yin yang jatuh<br />

pada tanggal 3 Februari 2011 di tengah-tengah kepemimpinan bangsa yang kian tertutup dan<br />

antikritik ini?<br />

Penanggalan Kongzi<br />

Adalah Kongzi, Khongcu atau Confucius hidup pada jaman Dinasti Zhou (551-479 SM). Kala<br />

itu, ia menganjurkan agar Dinasti Zhou kembali menggunakan Kalender Xia, sebab tahun<br />

barunya jatuh pada musim semi, sehingga cocok dijadikan pedoman bercocok tanam.<br />

Namun nasihat ini baru dilaksanakan Han Wu Di dari Dinasti Han (140-86 sM) pada 104 SM.<br />

Semenjak itulah Kalender Xia dipakai. Kini dikenal dengan sebagai Kalender Imlek.<br />

Upaya penghormatan kepada Kongzi, perhitungan tahun pertama Kalender Imlek ditetapkan oleh<br />

Han Wu Di dihitung sejak kelahiran Kongzi, yaitu sejak tahun 551 SM. Itulah sebabnya<br />

Kalender Imlek lebih awal 551 tahun ketimbang Kalender Masehi. Jika sekarang Kalender<br />

Masehi bertahunkan 2011, maka Kalender Imlek bertahunkan 2011+551=2562.


Pada saat bersamaan agama Khonghucu (Ru Jiao) ditetapkan Han Wu Di sebagai agama negara.<br />

Sejak saat itu penanggalan Imlek juga dikenal sebagai Kongli (Penanggalan Kongzi).<br />

Kebaikan Nabi Kongzi tu, termaktub dalam Kitab Tiong Yong (XXX : 4)/Zhong Yong, ―Maka<br />

gema namanya meliput seluruh Tiongkok, terberita sampai ke tempat Bangsa Ban/Man, dan<br />

Bek/Mo, sampai kemana saja perahu dan kereta dapat mencapainya, tenaga manusia dapat<br />

menempuhnya, yang dinaungi langit, yang didukung bumi, yang disinari matahari dan bulan,<br />

yang ditimpa salju dan embun, semua makhluk yang berdarah dan bernafas, tiada yang tidak<br />

menjunjung dan mencintaiNya.‖ (www.matakin-indonesia.org)<br />

Kepemimpinan “Tao”<br />

Umat Khonghucu menyakini manusia adalah pemberian dari langit, maka kekaisaran China<br />

sering disebut sebagai putra surgawi. Ia mewakili kekuatan-kekuatan alam yang memerintah<br />

dunia.<br />

Dengan demikian, para pemimpin penguasa dan orang-orang bijaksana perlu mempelajari pelaku<br />

alam yang memiliki kemampuan pemimpin manusia ke jalan yang terbaik sesuai dengan<br />

keselarasan alam (harmoni cosmos).<br />

Seorang yang mempelajari Tao umpamanya berusaha mempelajari perilaku air, salah satu benda<br />

alam yang paling banyak menarik perhatian penganut Tao. Seorang pemimpin dapat menarik<br />

ibarat dari perilaku air yang selalu bergerak tapi diam-diam yang tampaknya lembek sekaligus<br />

memiliki kekuatan yang dahsat; mampu menyesuaikan diri di mana pun tetapi sebenarnya<br />

mengalir ke tujuan akhir. Air memberi gambaran dari satu perinsip Tao yang disebut Wu-wei,<br />

suatu pengertian yang sulit dimengerti kecuali dengan melihat suatu contoh atau ibarat seperti<br />

yang dapat dilihat dari perilaku air.<br />

Wu-wei dalam ajaran Tao adalah sauatu cara yang mengandung kekuatan tapi pengertiannya<br />

sulit untuk dijelaskan dan karena itu diterangkan dengan amsal, misalnya bayi yang tak berdaya<br />

tapi mempu mendominasi perhatian selurh keluarga. Air yang lembut dan tenang tapi mampu<br />

mengikis batu karang atau lebah yang rendah tapi lebih mempu menahan angin dari gununung.<br />

Nabi agama Tao Lao-tze mengakui ihwal ajaran-ajaran yang disampaikan itu sulit dijalankan.<br />

Walaupun mudah dimengerti karena secara harfiah mudah dipahami, misalnya dalam ungkapan<br />

―Kata-kata saya‖ kata Lao-tze ―Sangat mudah untuk dipahami, tapi tak ada seorang pun yang<br />

mempu melaksanakannya. Perbuatan-perbuatan saya bersumber dari Tao‖<br />

Mari kita belajar arti kepemimpinan dari Tao Te Ching yang hanya berisikan lebih kurang 5.000<br />

kata-kata bijak pada abad 5 SM ditulis ulang oleh John Heider. Ia mengawali tulisannya<br />

―Keberhasilan saya mempergunakan Tao telah membawa saya ke arah aplikasi yang lebih luas,<br />

terutama untuk kalangan generasi muda yang begitu tertarik kepada soal peranan kepemipinan<br />

dan manajemen sumber daya manusia yang canggih. Adaptasi ini saya percaya akan sangat


erharga begi setiap orang yang menginginkan posisi kepemimpinan. Apakah itu di dalam<br />

keluarga, kelompok, gereja, sekolah, dalam administrasi bisnis, militer, politik maupun<br />

pemerintah‖<br />

Baginya, manuskrip itu bisa mempersatukan keterampilan memimpin dengan paham hidup<br />

pemimpin yang bersangkutan. Jalan yang ditempuh adalah melalui pekerjaan itu sendiri.<br />

Sebagai metode kepemimpinan Tao menuntun seorang pemimpin mendidik orang lain sesuai<br />

dengan hukum-hukum alam. Ini merupakan cara (sikap) hidup bagi pemimpin itu sendiri yaitu<br />

tentang bagaimana hidup secara harmonis dengan alam. Apa yang disebut hukum-hukum alam<br />

dalam ajaran Tao ini tidak lain adalah tentang bagimana segala peristiwa itu terjadi.<br />

―Manusia mengambil hukum dari bumi‖ kata Lao-tze ―Dan bumi mengambil hukum dari langit<br />

dan langit mengambilnya dari Tao dan hukum Tao adalah apa yang terjadi itu‖<br />

Bila dibandingkan dengan para ahli fisika yang mempelajari hukum-hukum matematis yang<br />

berlaku di alam semesta. Metode Tao hanya mengambil ibarat saja, seolah-olah alam hanya<br />

memberi gambaran tentang perilaku yang patut dicontoh oleh manusia. Misalnya seorang<br />

pemimpin mengambil amsal dari sebuah danau di lembah;<br />

―Dapatkah anda belajar untuk bersikap terbuka dan reseptif, tenang, seolah-olah memiliki hasrat<br />

atau tak ingin berbuat sesuatu? Keterbukaan dan reseptif disebut Yin, seperti wanita (lembah).<br />

Bayangkan di lembah itu ada danau. Bila tak ada kekhawatiran dan hasrat yang mengacaukan<br />

permukaan danau itu, maka airnya akan membentuk sebuah cermin yang sempurna. Dalam<br />

cermin itu, engau akan melihat pantulan Tao. Engkau akan melihat kehadiran Tuhan dan engkau<br />

akan melihat penciptaan. Pergilah ke lembah, tenanglah dan perhatikan danau itu. Pergilah<br />

sesering yang engkau suka. Kesunyian dalam dirimu akan tumbuh. Danau itu tak akan kering.<br />

Lembah, danau dan Tao akan bersemayam dalam dirimu‖<br />

Kata-kata di atas hanyalah sebuah adaptasi John Heider terhadap petuah Tao yang mengajarkan<br />

bagaimana seorang pemimpin bersikap terbuka. ―Celakalah para pemimpin yang tidak<br />

memahami ayat-ayat Tao di atas‖<br />

Untuk menjadi pemimpin yang bijaksana seseorang harus bisa belajar dari air. Tanpa membedabedakan<br />

dan tanpa penilaian. Air itu membasuh dan menyegarkan segala sesuatu. Dengan<br />

bebasnya dan tanpa rasa takut. Air itu bergerak di bawah permukaan; cair, lentur dan kerena itu<br />

responsif; mengikuti hukum dengan rasa bebabas dan merdeka.<br />

Seorang pemimpin itu tanpa mengeluh (soal gaji Presiden yang hampir 7 tahun tidak pernah<br />

naik) bekerja dengan siapa pun dan menghadapi masalah apa pun; memberi dan bukan menarik<br />

manfaat; berbicara sederhana dan jujur. Ia hanya melakukan intervensi untuk menjelaskan<br />

sesuatu dan menciptakan harmoni. Dengan belajar perilaku air, (timing) pemilihan waktu itu<br />

penting dalam melakukan sesuatu tindakan. Sebagaimana air seorang pemimpin harus mampu


menghasilkan sesuatu. Ia tidak boleh memaksa dan jangan sampai anak buah itu membangkang<br />

justru karena didorong.<br />

Bagi orang yang ingin menjadi pemimpin yang bijaksana Tao mengajarkan; Pertama, Belajarlah<br />

memimpin dengan mengmbangkan. Kedua, Belajarlah memimpin tanpa niat menguasai orang.<br />

Ketiga, Belajarlah memberi tanpa mengambil manfaat. Keempat, Belajarlah memimpin tanpa<br />

memaksa. (Jurnal Uluml Qur‘an No 3 Vol 1 1989/1410 H)<br />

Konfucius pun mengikuti Dao (Tao) tetapi berbeda dari Lao-tzu, ia menekankan pentingnya<br />

kehidupan bermasyarakat. Manusia dalam kenyataannya selalu hidup bersama dengan manusia<br />

lain. Alam telah menempatkan manusia dalam sebuah kehidupan sosial. Oleh karena itu,<br />

kehidupan bermasyarakat menjadi bagian penting dari hidup manusia. Konfucius menekankan<br />

seorang manusia dalam hubungannya dengan manusia lain harus mengikuti tatacara kehidupan<br />

yang telah dibangun oleh para orang bijak kuno sesuai dengan tatacara alam (Dao).<br />

Dalam kitab Mengzi (Mengsius) dituliskan petunjuk bagi manusia: ―Tinggal di dalam rumah<br />

besar dunia ini, mempertahankan posisi yang betul dalam dunia, dan mengikuti Dao yang agung<br />

dari dunia ini.‖ Semua perilaku manusia harus merujuk kepada alam yang telah miliaran tahun<br />

menata diri dalam harmoni. Alam pun telah menunjukkan apa itu pemimpin dan bagaimana ia<br />

harus berperilaku. (www.bagustakwin.multiply.com)<br />

Kiranya, petuah Rasul Tuntunlah ilmu. Walau sampai ke negeri China layak kita dengungkan.<br />

Bagi M Dawam Rahardjo dari China kita bisa memungut hikmah kepemimpinan melalui hikayat<br />

Tao Te Ching.<br />

Inilah salah satu pelajaran berharga yang bisa kita ambil dari kehadiran Imlek.Semoga tibanya<br />

tahun Kelinci ini para pemimpin bangsa ini semakin terbuka, arif, bijaksana dalam menghadapi<br />

persoalan kebangsaan, keumatan dan keindonesiaan. Selamat Hari Raya Imlek 2562. Gong Xi Fa<br />

Cai.[]


Nabi dan Kota Makkah<br />

Jutaan kaum muslimin diseluruh dunia melakukan perayaan maulid sebagai tanda mengenang<br />

hari kelahiran Nabi Muhammad saw yang dikenal sebagai khatamannabiyiin (pamungkas Nabi).<br />

Perayaan itu di <strong>Indonesia</strong> dikenal dengan disebut ―muludan‖.<br />

Perayaan maulid di <strong>Indonesia</strong> dilakukan dengan beragam cara; ada yang merayakannya dengan<br />

bentuk pengajian dengan mengundang para da‘i-da‘i kondang untuk menceritakan sejarah<br />

kehidupan Nabi, ada juga yang merayakannya dengan tradisi ―riungan‖, yakni sebuah acara<br />

kumpul-kumpul dengan saling membawa berbagai macam bentuk makanan yang kemudian<br />

diringi dengan ritual do‘a dan lainnya.<br />

Terlepas dari itu semua, apa pun bentuknya, semua itu bertujuan memperingati dan mengenang<br />

sejarah dan perjuangan Nabi besar Muhammad saw untuk dijadikan teladan bagi umatnya.<br />

Sebagai wujud kecintaan kepada Nabi Muhammad saw, dalam kesempatan ini saya<br />

menghadirkan sebuah penelusuran sejaran Nabi Muhammad dengan sudut tinjauan yang berbeda<br />

dari yang biasa di lakukan pada umumnya.<br />

Menelusuri jejak sejarah di balik pemilihan kota Makkah atau Macoraba sebagaimana disebut<br />

oleh Ptolemius sebagai tempat kelahiran Nabi Muhammad saw sangat menarik.<br />

Jika menelusuri sejarah Nabi, baik yang tertera dalam Alqur‘an, hadits, maupun kitab-kitab<br />

shirah (sejarah), dapat kita identifikasi kenapa Allah lebih memilih tanah Arab (baca: Makkah)<br />

sebagai tempat kelahiran Nabi terakhir yakni Muhammad saw , bukan wilayah-wilayah lainnya<br />

seperti Israel, Mesir atau yang lainnya.<br />

Tentunya pemilihan ini bukanlah sesuatu kebetulan akan tetapi memiliki nilai historis yang patut<br />

kita renungkan dan telusuri. Menurut hemat saya, sedikitnya ada beberapa hal yang bisa kita<br />

gunakan sebagai sebab kenapa Allah memilih Makkah dibandingkan kota lain di sekitar Arab<br />

atau negara lainnya. Di antara sebab itu adalah sebagai berikut;<br />

Pertama, Menurut cerita, manusia yang membangun Ka‘bah adalah Nabi Adam ketika ia harus<br />

―terusir‖ dari surga. Pada saat itu, Adam merasa sedih karena tak bisa lagi melakukan ibadah<br />

seperti yang dilakukan para Malaikat yang beribadah mengelilingi Singgasana Allah.<br />

Kesedihan yang menimpanya kemudian mendapatkan hiburan dengan diperbolehkannya ia<br />

membangun Ka‘bah sebagai bentuk tiruan dari ‗Arsy-nya Allah. Setelah bangunan itu selesai,<br />

Adam pun diperintahkan untuk mengelilinginya.<br />

Bangunan Ka‘bah yang dibangun Adam pada akhirnya harus sirna tertimbun pasir. Kemudian<br />

datanglah Nabi Ibrahim yang berputra Nabi Ismail membangun kembali Ka‘bah yang tertimbun<br />

atas petunjuk Allah ( QS: al-Baqarah : 127).


Jika dibandingkan dengan the Holy of Holies yang berisi ―sepuluh perintah Tuhan‖, sebagai<br />

tempat paling suci agama Yahudi yang juga pernah menjadi kiblatnya umat <strong>Islam</strong> sebelum<br />

dipindahkan arahnya ke Ka‘bah. Ternyata jika dilihat dari segi usia ke dua tempat suci itu, maka<br />

Ka‘bah jauh lebih tua usianya dari the Holy of Holies yakni sekitar 1000 tahun lebih tua.<br />

Dari data sejarah ini, masuk akal jika kemudian Makkah yang di dalamnya terdapat Ka‘bah<br />

dijadikan lokasi tempat kelahiran Nabi yang ternyata dilihat dari segi nasabnya–antara nabi<br />

Muhammad dengan Ibrahim–adalah sedarah.<br />

Memperkuat data ini, Philip K. Hitti menjelaskan bahwa kota Makkah yang terambil dari bahasa<br />

Saba yakni Makuraba (tempat suci) ternyata menunjukan bahwa kota itu jauh sebelum kelahiran<br />

Nabi merupakan tempat pusat keagamaan.<br />

Kedua, Makkah sebagai jalur perdagangan. Menurut seorang orientalis kawakan yakni Philip K.<br />

Hitti dalam bukunya ―History of the Arabs‖ dikatakan bahwa Mekkah sebelum kota itu dilintasi<br />

―jalur rempah-rempah‖ dari selatan ke utara, Mekkah sejak lama telah menjadi tempat<br />

persinggahan dalam perjalanan antara Ma‘rib dan Gazza.<br />

Orang-orang Makkah yang progresif dan memiliki naluri dagang berhasil mengubah kota<br />

Makkah menjadi pusat kemakmuran. Kemakmuran kota itu bisa digambarkan dari sebuah kafilah<br />

dagang Makkah yang terlibat dalam perang Badr (16 Maret 624).<br />

Ketiga, tradisi nomaden. Dalam sejarah dijelaskan bahwa Makkah adalah kota yang gersang dan<br />

berbukit (QS: Ibrahim: 37) sebagai tanah yang ―tidak bisa ditanami‖ dan bersuhu sangat panas.<br />

Tandusnya kota Makkah membuat masyarakat ini melakukan perpindahan dari satu tempat ke<br />

tempat lain demi mencari sumber air untuk kehidupan mereka dan ternaknya.<br />

Pencarian lokasi ke tempat subur juga kerapkali diawali dengan perebutan bahkan peperangan<br />

antara satu kabilah degan kabilah lainnya. Pola hidup seperti ini (baca: nomaden) kemudian<br />

menjadi karakter yang melekat pada masyarakt Arab.<br />

Karena alsan ini-lah , wajar jika kemudian masyarakat Arab dikenal sebagai masyarakat yang<br />

ambisius, berani, mempunyai loyalitas (ashabiyah) yang tinggi.<br />

Karakter seperti ini di satu sisi ternyata menguntungkan bagi syi‘ar <strong>Islam</strong> pada fase selanjutnya.<br />

<strong>Islam</strong> yang berada di ―tangan‖ orang Arab dengan waktu yang relatif singkat dapat menyebar ke<br />

berbagai kawasan sampai ke Eropa dan Asia.<br />

Jika kita berandai-andai <strong>Islam</strong> di turunkan di <strong>Indonesia</strong> mungkin kondisinya akan lain,<br />

penyebaran <strong>Islam</strong> mungkin tidak secepat di tangan orang-orang Arab.


Dengan kondisi tanah yang subur, dan karakter masyarakat <strong>Indonesia</strong> yang apa adanya, tidak<br />

ambisius, membuat <strong>Islam</strong> mungkin juga berkembang dengan cara yang lamban.<br />

Dari realita sejarah di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa pemilihan Mekkah sebagai tempat<br />

kelahiran Nabi dan awal titik bersinarnya agama <strong>Islam</strong> adalah pemilihan yang tepat, logis dan<br />

realistis, sekaligus mempunyai akar historis yang kuat dan lama. Wallahu a‘lam. []


Opsi Damai Untuk Libya<br />

Sampai saat ini, belum ada tanda-tanda perang saudara di Libya akan berakhir. Kubu oposisi<br />

memang telah mendapatkan bantuan pasukan koalisi yang mengawal resolusi Dewan Keamanan<br />

PBB No 1973.<br />

Namun demikian, pasukan Muammar Kadhafi terus memberikan perlawanan sengit. Bahkan<br />

kondisi Libya terancam lebih parah lagi karena pemerintah telah mempersenjatai rakyat sipil<br />

Libya terutama warga Tripoli untuk mempertahankan daerah mereka dari pasukan asing.<br />

Ini artinya, keterlibatan pasukan asing dan penerapan no fly zone sesungguhnya bukan<br />

penyelesaian terbaik bagi krisis Libya. Karena, konflik ini berkait erat dengan struktur<br />

demografis penduduk Libya.<br />

Rakyat Libya terstruktur di sekitar keluarga, klan atau suku. Dalam konstruksi sosial demikian,<br />

partisipasi dalam kehidupan bermasyarakat lebih didasarkan pada kepentingan pribadi, keluarga<br />

atau suku (ashabiyah), dengan pemimpin suku sebagai penentu keputusan. Dengan kata lain,<br />

perdamaian di Libya sangat bergantung kepada para pemimpin suku mereka.<br />

Karenanya, dapat dipahami mengapa warga Tripoli yang mayoritas dari Suku Gadhafa begitu<br />

patuh kepada Kadhafi karena selain sebagai pemimpin revolusi, Kadhafi juga pemimpin suku<br />

mereka.<br />

Di luar Suku Gadhafa, ada sekitar 140 suku lainnya di Libya. Awalnya, suku-suku utama<br />

tersebar di tiga provinsi, di Cyrenaica (Barka) bagian timur Libya yang beribukota di Benghazi,<br />

Tripolitania di barat yang beribukota di Tripoli dan Fezzan di selatan. Pada era Kadhafi, untuk<br />

memudahkan kontrol suku-suku itu, ketiga provinsi dipecah menjadi 10 kota utama dengan 32<br />

distrik.<br />

Koalisi kelas<br />

Situasi Libya saat ini tak ubahnya era ‗50-an di era pemerintahan Raja Muhammad Idris.<br />

Instabilitas sosial dan politik kala itu terjadi akibat pertentangan antara kabinet pemerintahan<br />

yang merupakan perwakilan suku-suku dengan dewan kerajaan yang didominasi keluarga dan<br />

klan raja. Selama 17 tahun memerintah Libya, Raja Idris selalu mendahulukan keluarganya serta<br />

kepentingan Cyrenaica, wilayah yang menjadi basis kekuatannya.<br />

Kekuasaan Raja Idris berhasil ditumbangkan Kolonel Kadhafi melalui Revolusi Al Fatih 1<br />

September 1969. Salah satu kunci kesuksesan revolusi itu karena Kadhafi berjanji membagi<br />

kekuasaan yang adil dan merata bagi suku-suku utama di Libya. Janji itu diwujudkan Kadhafi<br />

dengan membentuk sistem pemerintahan jamhariyah (massa rakyat populis), yang terdiri dari<br />

organisasi Kongres Rakyat (legislatif), komite-komite (eksekutif) dan kesatuan-kesatuan, yang<br />

sebagian besar diisi perwakilan suku-suku. Di Libya, tidak ada partai politik, yang ada adalah<br />

koalisi kelas atau kesukuan.


Setelah 42 tahun berlalu, rakyat Libya sadar mereka sesungguhnya tidak memegang kedaulatan<br />

penuh. Kongres Rakyat dan komite-komite di bawahnya hanyalah kepanjangan tangan Kadhafi.<br />

Secara de jure, Kadhafi memang tak pernah mengangkat dirinya sebagai presiden atau raja tetapi<br />

hanya sebagai pemimpin revolusi (Qa‘id al-Thawrah). Namun secara de facto, dialah pengendali<br />

utama Libya.<br />

Rakyat yang sudah muak akhirnya menemukan momentum perlawanan terinspirasi oleh saudarasaudara<br />

mereka di Tunisia dan Mesir. Mereka membentuk Dewan Oposisi Transisi Nasional<br />

terdiri dari 31 anggota yang sebagian besar perwakilan suku-suku berpengaruh di Libya.<br />

Kelompok ini berpusat Benghazi, sebuah kota yang dulu adalah basis utama Raja Idris.<br />

Sementara, basis utama Kadhafi berada di Tripoli dan Sirte, tempat suku Gadhafa pendukung<br />

utama Kadhafi.<br />

Opsi damai<br />

Berdasarkan struktur demografis di atas, perdamaian Libya sangat bergantung pada suku-suku.<br />

Jika suku-suku yang menentang Kadhafi dan suku yang mendukungnya bisa didamaikan, perang<br />

akan segera usai. Tanpa dukungan sukunya, Kadhafi tidak akan berarti apa-apa. Ini adalah<br />

hukum sosial yang berlaku di kalangan suku-suku Arab. Dan sekejam-kejamnya Kadhafi, ia<br />

tidak akan membombardir sukunya sendiri.<br />

Dengan begitu, semua suku di Libya dapat bersatu memaksa Kadhafi menyerah dan mundur dari<br />

kekuasaannya. Sama seperti Revolusi Al Fatih yang sukses tanpa banyak menumpahkan darah<br />

karena suku utama Raja Idris menerima revolusi itu.<br />

Jika suku-suku yang bertikai tidak mau berdamai, opsi kedua yang bisa ditempuh adalah<br />

menawarkan referendum bagi rakyat Libya, terutama di wilayah-wilayah yang dikuasai oposisi.<br />

Meskipun konsekuensinya, referendum dapat memecah Libya menjadi dua negara seperti yang<br />

terjadi di Sudan.<br />

Usulan referendum dapat dilakukan Uni Afrika karena Libya masih tercatat sebagai anggota aktif<br />

organisasi ini. Uni Afrika sekaligus dapat menjadi pelaksana dan pengawas jalannya referendum.<br />

Keterlibatan Uni Afrika tidak dapat dipandang sebagai intervensi asing. Dalam Constitutive Act<br />

Uni Afrika disebutkan salah satu tujuan organisasi ini adalah menciptakan stabilitas kawasan<br />

dalam rangka menuju integrasi regional.<br />

Bagaimanapun, opsi damai harus selalu dikedepankan dalam setiap penyelesaian konflik.<br />

Peperangan dan kekerasan hanya menyebabkan kesengsaraan dan penderitaan rakyat sipil tak<br />

berdosa. Para elite dan pemimpin di Libya sudah semestinya mencontoh revolusi damai di<br />

negara tetangga mereka.[]


Penjara, Korupsi, dan Negeri Demokrasi<br />

Menurut Michael J. Lynch, dalam Big Prison Big Dreams (2007: 148), karakteristik lingkungan<br />

sosial penghuni penjara adalah bertemunya narapidana dengan penjahat-penjahat yang lain. Para<br />

pembunuh, pemerkosa, pencuri, dan penyimpang seksual. Pemenjaraan menimbulkan sejumlah<br />

derita (the pains of imprisonment) bagi narapidana, yaitu: kehilangan kemerdekaan (loss of<br />

liberty), kehilangan kepemilikan barang dan pelayanan (loss of goods and services), kehilangan<br />

hubungan heteroseksual (loss of heterosexual relationship), kehilangan otonomi (loss of<br />

autonomy), dan kehilangan rasa aman (loss of security).<br />

Penjara, menurut penjelasan di atas, adalah tempat yang kejam, tidak bersahabat, dan tentu saja<br />

menimbulkan kesengsaraan. Siapa saja yang menghuninya dapat dipastikan tidak akan betah dan<br />

bisa membuat ia tidak mau kembali lagi. Ini apabila penjara benar-benar difungsikan sesuai<br />

tujuannya.<br />

Apa yang terjadi dengan penjara di negeri ini tampaknya tidak demikian. Bagi pelaku kejahatan<br />

kelas bawah yang sakunya tipis, penjara memang neraka, tempat kesengsaraan dan pembatasan<br />

kebebasan. Namun bagi yang bersaku tebal, penjara bukan masalah, sebab dengan uang<br />

segalanya dapat diatur. Penjara tak ada bedanya dengan rumah pribadi yang bisa diatur sesuai<br />

kehendak pemiliknya.<br />

Di tengah maraknya kasus kejahatan korupsi, pemerintah yang dibantu oleh lembaga independen<br />

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) begitu giat melakukan pemberantasan korupsi dengan<br />

menjebloskan pelakunya ke penjara. Namun pada saat yang sama "anjing pun mengonggong<br />

kafilah berlalu".<br />

Anomali Negeri Demokrasi<br />

Tajuk Rencana Kompas (23/1) yang berjudul Terperangkap Korupsi menegaskan bahwa negeri<br />

ini memang sudah terperangkap oleh jeratan korupsi. Di daerah, korupsi dimulai dari mencuri<br />

APBD, korupsi dana pemadam kebakaran, aliran dana, dana proyek, dan dana bantuan. Sudah 79<br />

kasus yang divonis, yang kemudian memenjarakan puluhan serta menyeret 155 kepala daerah ke<br />

ruang sidang pengadilan. Bahkan, menurut Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, setiap<br />

minggu ada satu kepala daerah yang dijadikan tersangka. Sudah ada 17 Gubernur yang<br />

tersangkut masalah hukum, akibat penyalahgunaan kewenangan itu (korupsi).<br />

Merebaknya kasus korupsi ini merupakan anomali negeri demokrasi. Padahal, sistem demokrasi<br />

sejatinya menjamin adanya keterbukaan serta pertanggungjawaban yang jelas dari penyelenggara<br />

negara dalam melaksanakan amanat kepemimpinannya. Pemimpin pun semestinya tak bisa lagi<br />

berlaku seenaknya. Mereka seharusnya lebih berhati-hati menggunakan kewenangannya, sebab<br />

terpantau ketat oleh publik.


Akan tetapi sayang, di tengah arus keterbukaan, justru korupsi kian merebak. Bahkan sejumlah<br />

kasus korupsi tampaknya sulit ditangani secara maksimal hingga membawa pelaku ke penjara.<br />

Kalaupun membawanya ke penjara, sejumlah koruptor tetap saja "berkuasa" dalam menjalankan<br />

"kekuasaannya". Keberadaan penjara tampak tidak lagi bisa diandalkan untuk memenjarakan<br />

perilaku korup.<br />

Dalam sistem demokrasi, penjara merupakan tempat bagi siapa pun yang menghianati ide-ide<br />

dasar demokrasi. Siapa pun yang melawan keadilan, kesetaraan, dan kesejahteraan bersama bisa<br />

berakhir di penjara. Di <strong>Indonesia</strong>, kita menyaksikan sejumlah peristiwa yang sangat ironis.<br />

Penjara malah menjadi tempat "singgah" para koruptor belaka. Bahkan penjara menjadi "villa<br />

baru" bagi sejumlah koruptor kaya.<br />

Para koruptor pun tampak dengan mudah keluar-masuk penjara dan bisa bersahabat baik dengan<br />

para penguasa penjara. Bahkan yang lebih ironis lagi, rezim politik yang terpilih secara<br />

demokratis sekalipun, sering mengaku terus kecolongan terhadap beragam aktivitas para<br />

koruptor di luar penjara. Sangat ironis apabila kekuatan rezim politik demokratis dengan mudah<br />

diobok-obok oleh para koruptor penghuni penjara. Kegagalan negara dalam mengendalikan<br />

penjara kian menunjukkan rapuhnya rezim politik yang berkuasa.<br />

Politik Citra<br />

Mengapa rezim politik begitu tidak berkuasa atas penjara? Persoalan serius terus diidap oleh<br />

rezim politik demokratis yang berkuasa karena berbasis politik citra. Pertama, lemahnya kontrol<br />

rezim politik atas mafia hukum merupakan gelembung persoalan warisan rezim otoriter yang<br />

korup dan penuh dengan KKN. Negara di sini tampak tergopoh-gopoh dan selalu terlambat/kalah<br />

cepat dengan jaringan mafia hukum yang dengan mudah "memperjualbelikan" sanksi hukum<br />

bahkan tiket keluar-masuk penjara.<br />

Kedua, menguatnya kuasa uang dan modal kian mendominasi sudut-sudut kekuasaan negara.<br />

Hilangnya kontrol kuasa penjara menunjukkan betapa beragam kekuasaan yang dimiliki oleh<br />

rezim politik yang berkuasa kian mudah dilelang dalam arena transaksi gelap kekuasaan.<br />

Ketiga, penjara dalam arena politik citra tidak lagi menjadi kuasa kewibawaan daulat negara.<br />

Sebaliknya, penjara kian terjebak sebagai objek komoditisasi politik citra.<br />

Lebih dari itu, bahkan penjara menjadi arena transaksi bagi kontestasi kuasa politik di luar<br />

penjara. Sesuatu yang ironis kemudian adalah jika rezim politik demokratis tidak lagi memiliki<br />

kuasa atas penjara.<br />

Rezim politik yang demokratis sudah selayaknya mampu memfungsikan penjara sebagaimana<br />

yang dijelaskan oleh Lynch agar para koruptor benar-benar jera melakukan korupsi. Bukan<br />

sebaliknya, para koruptor justru lebih berkuasa atas penjara di tangan rezim politik demokratis.<br />

Rezim politik demokratis yang dikuasai oleh koruptor akan berujung kehancuran. []


Perilaku Teror Israel<br />

Lagi-lagi Israel membuktikan kebrutalannya. Kapal Mavi Marmara yang jelas-jelas membawa<br />

bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza, diserang tentara Israel (31/5). Beberapa relawan tewas dan<br />

puluhan lainnya luka-luka.<br />

Israel pasti tahu kapal itu hanya membawa misi kemanusiaan dan tanpa persenjataan militer.<br />

Israel juga sadar aksi brutalnya akan menuai protes keras dunia internasional.<br />

Apalagi, kapal itu membawa aktivis perdamaian dari sekurangnya perwakilan lima puluh negara.<br />

Akan tetapi, mengapa Israel nekat melakukan penyerangan?<br />

Pertama, Israel ingin menunjukkan supremasinya pada dunia Internasional bahwa blokade yang<br />

dilakukannya di Jalur Gaza tidak boleh dan tidak bisa ditembus pihak mana pun, sekalipun itu<br />

untuk misi kemanusiaan. Kalau saja bantuan itu berhasil menembus blokade Israel, tandanya<br />

pemblokadean itu kedodoran dan ada celah untuk keluar masuk Hamas. Dengan kata lain, Israel<br />

ingin menebarkan trauma psikologis kepada siapa pun, yang mencoba menerobos blokade di<br />

Gaza.<br />

Kedua, Israel tidak ingin misinya melumpuhkan Hamas di Jalur Gaza, yang sudah berjalan tiga<br />

tahun lebih, gagal. Masuknya bantuan kemanusiaan dapat memperpanjang napas hidup Hamas<br />

dan memperkuat pengaruhnya terhadap penduduk Gaza. Bagi Israel, bantuan itu dikhawatirkan<br />

menguntungkan Hamas dan semakin menarik simpati penduduk Gaza untuk mendukung Hamas.<br />

Ketiga, Israel tidak ingin nasib dan penderitaan penduduk Gaza, saat ini diketahui publik<br />

internasional. Masuknya misi kemanusiaan dari berbagai negara yang turut membawa wartawan<br />

dan jurnalis berbagai media, dikhawatirkan membuat laporan yang dapat meningkatkan tekanan<br />

dunia internasional pada Israel. Berbagai media itu juga dapat dijadikan ―corong‖ Hamas untuk<br />

memperoleh dukungan dunia.<br />

Oleh karena itu, Israel pun berencana memulangkan semua relawan kemanusiaan tersebut ke<br />

negaranya masing-masing. Sementara bantuan kemanusian itu boleh masuk, hanya jika melalui<br />

otoritas pemerintahan Israel sendiri yang membawa dan menyalurkannya.<br />

Pelanggaran HAM<br />

Terlepas dari motif tersebut, tindakan penyerangan terhadap relawan kemanusiaan dan jurnalis<br />

dalam kondisi apa pun adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Apalagi, kapal Mavi<br />

Marmara yang diserang Israel masih berada dalam perairan internasional dan bukan dalam<br />

kondisi perang.<br />

Dalam Hukum Internasional, Statuta Roma Pasal tujuh disebutkan, ―kejahatan kemanusiaan<br />

adalah perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang<br />

diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terdapat penduduk sipil.‖


Kejahatan terhadap kemanusiaan ini adalah salah satu dari empat pelanggaran HAM berat, yang<br />

berada dalam yurisdiksi International Criminal Court.<br />

Bukan sekali ini saja Israel melakukan pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan, tetapi<br />

berulang-ulang. Lembaga Amnesti Internasional dan Human Rights Watch telah dua kali<br />

melakukan gugatan pada Israel; pada perang Israel-Hezbollah 2006 dan pascaagresi militer Israel<br />

ke Gaza 2009.<br />

Persoalannya siapa yang berani mengadili Israel? Apakah PBB sebagai lembaga internasional<br />

yang memiliki kewenangan mengadili setiap pelanggaran hukum internasional berani mengadili<br />

Israel? Ataukah seperti sebelumnya, ketika Israel tidak memedulikan Resolusi Dewan Keamanan<br />

PBB Nomor 1860 tentang Penghentian Perang.<br />

Persemaian teroris<br />

Aksi brutal Israel ini tidak saja melukai rasa kemanusiaan, melainkan akan menguatkan kembali<br />

sentimen anti-Israel dan berkembang menjadi sentimen anti-Amerika Serikat. Terutama jika AS<br />

tetap menunjukkan keberpihakannya kepada Israel. Sentimen inilah, yang akan menyemai<br />

teroris-teroris baru.<br />

Dalam kerangka ini pula, jika Israel melabeli Hamas sebagai organisasi teroris, predikat yang<br />

sama juga layak disandang Israel. Atau sekurangnya Israel dapat disebut terrorist in reverse (alirhab<br />

al-ma`kus), yaitu, perilaku teror yang dilakukan dengan dalih memerangi teroris. Keduanya<br />

sama-sama menjadikan rakyat sipil sebagai sasaran.<br />

Untuk meminimalisasi bersemainya teroris baru, dunia harus menunjukkan komitmennya<br />

menentang setiap aksi kekerasan Israel. Kasus penyerangan Israel ini harus diajukan ke<br />

Mahkamah Internasional. Negara-negara yang memiliki perwakilan relawan dalam kapal Mavi<br />

Marmara, mesti satu suara menekan PBB agar menjatuhkan sanksi tegas terhadap Israel.<br />

Tentu saja sikap tegas PBB ini akan efektif, jika mendapat dukungan anggota Dewan<br />

Keamanaan PBB, terutama AS dan negara-negara besar lainnya. Tanpa itu, bisa dipastikan upaya<br />

PBB akan kembali kandas di tengah jalan. Sama seperti tidak efektifnya Resolusi DK PBB,<br />

karena abstainnya AS.<br />

Kalau kebrutalan Israel terus dibiarkan, mitos bahwa Israel adalah negara yang berada di atas<br />

hukum internasional (untouchable) semakin terbukti. Sebagai konsekuensinya, dunia akan<br />

kembali dicekam oleh lahirnya teroris-teroris baru. []


Peta Konflik Libya<br />

Sampai saat ini belum ada tanda-tanda perang saudara dan gempuran tentara Barat di Libya akan<br />

berakhir. Masing-masing kubu pro dan anti-Qadafi saling mengklaim telah menguasai kota-kota<br />

penting di Libya.<br />

Daerah-daerah strategis tempat penyulingan minyak, seperti Brega, Ras Lanuf, Zawiyah, dan<br />

Sirte, menjadi rebutan kedua belah pihak. Prinsipnya, siapa yang paling banyak menguasai<br />

kilang minyak, dialah yang paling lama bertahan dalam perang ini. Prinsip ini logis mengingat<br />

perekonomian Libya sangat bergantung pada minyak.<br />

Situasi dilematis<br />

Sejak konflik pertama kali pecah di Libya 15 Februari lalu, baik kubu oposisi maupun rezim<br />

Qadafi menolak intervensi asing bagi penyelesaian konflik tersebut. Sikap ini tidak lepas dari<br />

trauma sejarah masa lalu Libya yang beberapa kali dijajah bangsa asing. Ini juga adalah buah<br />

ideologi nasionalisme dan sosialisme Libya yang selama ini ditanamkan Qadafi.<br />

Di sisi lain, penolakan intervensi asing tidak lepas dari pengaruh kesuksesan revolusi di Tunisia<br />

dan Mesir. Rakyat di dua negara tetangga Libya itu berhasil menggulingkan rezim yang berkuasa<br />

dengan kekuatan mereka sendiri.<br />

Persoalannya, kondisi Libya berbeda dengan Mesir dan Tunisia. Di kedua negara itu, pihak<br />

militer meskipun awalnya mendukung rezim yang berkuasa, belakangan mereka mulai memihak<br />

rakyat. Sementara dalam konflik Libya, institusi militer pecah menjadi dua kubu. Sebagian tetap<br />

mendukung rezim, terutama mereka yang masih satu suku dengan Qadafi, sebagian yang lain<br />

membelot ke oposisi.<br />

Dari segi persenjataan, pasukan Qadafi yang didukung artileri udara dan laut jauh lebih unggul<br />

dibandingkan oposisi-tetapi tidak menghadapi pasukan Barat. Namun secara kuantitas, jumlah<br />

militer oposisi yang banyak mendapat dukungan rakyat sipil jauh lebih besar dibandingkan<br />

pasukan Qadafi. Pasukan oposisi memiliki keunggulan penguasaan medan-medan tempur.<br />

Sejauh ini kelompok oposisi hanya mengandalkan pertempuran darat menggunakan tank-tank<br />

yang mereka kuasai. Namun, kekuatan mereka tentu tidak mampu mengimbangi serangan artileri<br />

udara dan laut yang dilancarkan pasukan Qadafi.<br />

Karena itu, pihak oposisi sangat berharap PBB menerima usulan Amerika Serikat dan sekutunya<br />

untuk menerapkan zona larangan terbang (no-fly zone) di atas Libya. Dengan demikian, mau<br />

tidak mau militer Qadafi harus menghadapi kubu oposisi dalam pertempuran darat. Di situlah<br />

peluang oposisi mengimbangi kekuatan tempur pasukan Qadafi dengan strategi gerilya. Zona<br />

larangan terbang diberlakukan dan pasukan Barat kini yang memukul pasokan pro-Qadafi.<br />

Struktur demografis


Terlepas dari itu, penerapan no-fly zone sesungguhnya bukan penyelesaian terbaik bagi krisis<br />

Libya. Kalaupun opsi ini disetujui PBB, tidak berarti perang akan segera usai. Sebabnya karena<br />

konflik ini berkait erat dengan struktur demografis penduduk Libya.<br />

Rakyat Libya terstruktur di sekitar keluarga, klan, atau suku. Dalam konstruksi sosial demikian,<br />

partisipasi dalam kehidupan bermasyarakat lebih didasarkan pada kepentingan pribadi, keluarga,<br />

atau suku ('ashabiyah). Dalam struktur semacam itu, pemimpin suku memainkan peranan utama.<br />

Ada sekitar 140 suku di Libya. Setelah kemerdekaan dari Italia, suku-suku utama tersebar di tiga<br />

provinsi: Cyrenaica (Barka) bagian timur Libya yang beribu kota di Benghazi, Tripolitania di<br />

barat yang beribu kota di Tripoli, dan Fezzan di selatan. Pada era Qadafi, untuk memudahkan<br />

kontrol suku-suku itu, ketiga provinsi dipecah menjadi 10 kota utama dengan 32 distrik.<br />

Situasi saat ini tak ubahnya era 50-an di era pemerintahan Raja Muhammad Idris. Instabilitas<br />

sosial dan politik kala itu terjadi akibat pertentangan antara kabinet pemerintahan yang<br />

merupakan perwakilan suku-suku dan dewan kerajaan yang didominasi keluarga dan klan raja.<br />

Selama 17 tahun memerintah Libya, Raja Idris selalu mendahulukan keluarganya serta<br />

kepentingan Cyrenaica, wilayah yang menjadi basis kekuatannya.<br />

Salah satu kunci kesuksesan Revolusi Alfatih 1 September 1969 yang dilancarkan Qadafi untuk<br />

menggulingkan rezim Raja Idris adalah karena ia berjanji akan membagi kekuasaan yang adil<br />

dan merata bagi suku-suku utama di Libya. Janji itu diwujudkan Qadafi dengan membentuk<br />

sistem pemerintahan jamhariyah (massa rakyat populis), yang beranggotakan organisasi kongres<br />

rakyat (legislatif), komite-komite (eksekutif), dan kesatuan-kesatuan, yang sebagian besar diisi<br />

perwakilan suku-suku. Di Libya tidak ada partai politik, yang ada adalah koalisi kelas atau<br />

kesukuan.<br />

Setelah 42 tahun di bawah rezim Qadafi, rakyat pun sadar, mereka sesungguhnya tidak<br />

memegang kedaulatan penuh. Kongres rakyat dan komite-komite di bawahnya hanyalah<br />

kepanjangan tangan Qadafi. Secara de jure, Qadafi memang tak pernah mengangkat dirinya<br />

sebagai presiden atau raja, tetapi hanya sebagai pemimpin revolusi (qa'id al-thawrah). Namun<br />

secara de facto, dialah pengendali utama Libya.<br />

Rakyat yang sudah muak akhirnya menemukan momentum perlawanan terinspirasi oleh saudarasaudara<br />

mereka di Tunisia dan Mesir. Mereka membentuk Dewan Oposisi Transisi Nasional,<br />

terdiri dari 31 anggota yang sebagian besar perewakilan suku-suku berpengaruh di Libya.<br />

Kelompok ini berpusat di Benghazi, sebuah kota yang dulu adalah basis utama Raja Idris.<br />

Sementara basis utama Qadafi berada di Tripoli dan Sirte, tempat suku Gadhafa pendukung<br />

utama Qadafi.<br />

Opsi damai


Berdasarkan struktur demografis di atas, perdamaian Libya sangat bergantung pada suku-suku<br />

yang ada. Artinya, jika suku-suku yang menentang Qadafi dan suku yang mendukungnya bisa<br />

didamaikan, perang akan segera usai. Karena Qadafi tanpa dukungan sukunya tidak akan berarti<br />

apa-apa. Ini adalah hukum sosial yang berlaku di kalangan suku-suku Arab. Dan sekejamkejamnya<br />

Qadafi, ia tidak akan membombardir sukunya sendiri.<br />

Dengan begitu, semua suku di Libya dapat bersatu memaksa Qadafi menyerah dan mundur dari<br />

kekuasaannya. Sama seperti Revolusi Alfatih yang sukses tanpa banyak menumpahkan darah<br />

karena suku utama Raja Idris menerima revolusi itu.<br />

Jika suku-suku yang bertikai tidak mau berdamai, opsi kedua yang bisa ditempuh adalah<br />

menawarkan referendum bagi rakyat Libya, terutama di wilayah-wilayah yang dikuasai oposisi.<br />

Meskipun konsekuensinya, referendum dapat memecah Libya menjadi dua negara seperti yang<br />

terjadi di Sudan.<br />

Usulan referendum dapat dilakukan Uni Afrika karena Libya masih tercatat sebagai anggota aktif<br />

organisasi ini. Uni Afrika sekaligus dapat menjadi pelaksana dan pengawas jalannya referendum.<br />

Keterlibatan Uni Afrika tidak dapat dipandang sebagai intervensi asing. Karena dalam<br />

Constitutive Act Uni Afrika disebutkan salah satu tujuan organisasi ini adalah menciptakan<br />

stabilitas kawasan dalam rangka menuju integrasi regional.<br />

Bagaimanapun, opsi damai harus selalu dikedepankan dalam setiap penyelesaian konflik.<br />

Peperangan dan kekerasan hanya menyebabkan kesengsaraan dan penderitaan rakyat sipil tak<br />

berdosa. Para elite dan pemimpin di Libya sudah semestinya mencontoh revolusi damai di<br />

negara tetangga mereka.


Pudarnya Identitas Budaya<br />

Dulu mungkin kita sering mengatakan dengan bangga bahwa saya orang sumatera, saya orang<br />

Jawa, saya orang Sunda, saya orang <strong>Indonesia</strong> atau yang lainnya.Tapi, kini kita tidak lagi bisa<br />

mengatakan seperti itu. Yah, karena dalam diri kita sebenarnya memiliki identitas-identitas<br />

ganda.<br />

Di antara menyusutnya identitas budaya itu karena kita tanpa disadari telah berhubungan dengan<br />

manusia yang secara identitas mereka berbeda. Belum lagi, berbagai kebudayaan yang kita bawa<br />

berbaur dengan kebudayaan lainnya. Sehingga dengan begitu kita pun terkadang mempunyai<br />

identitas yang baru.<br />

Di antara penyebab perubahan identitas budaya adalah; pertama, mencairnya batas-batas<br />

kebudayaan. Dulu kebudayaan selalu diikat oleh batas-batas fisik yang jelas. Sebagai contoh<br />

pakaian kebaya, sungkeman, batik, selalu identik dengan pakaian atau adat buadaya jawa.<br />

Identitas budaya seperti itu selalu dijadikan sebagai batas-batas atau simbol-simbol fisik yang<br />

menjadi dasar dalam pendefinisian keberadaan suatu kebudayaan, khsusnya pada saat sesuatu<br />

yang bersifat fisik itu masih dianggap paling penting dan menentukan.<br />

Namun, ketika kesadaran atau pola pikir manusia mengalami perubahan, mencairnya batas-batas<br />

teritorial identitas, mobilisasi manusia, kecanggihan intelektual yang dimiliki, media komunikasi<br />

yang semakin modern, masyarakat menjadi terintegrasi bukan hanya pada level lokal akan tetapi<br />

dunia,<br />

Karena itu, maka batas-batas identitas suatu kebudayaan itu pun mau tidak mau harus mencair<br />

atau memudar. Tradisi sungkeman, bercium tangan sebagai simbol kepatuhan dan ketundukan<br />

seorang anak kepada orang tua pun menjadi tergantikan hanya lewat telepon atau alat canggih<br />

lainnya.<br />

Bahkan tidak hanya itu, dengan kecanggihan tekhnologi, batas-batas teritorial sebuah komunitas,<br />

kelompok, terasa tak berarti. Orang <strong>Indonesia</strong> dalam waktu yang sama dapat berkomunikasi,<br />

berinteraksi dengan manusia luar yang tanpa di sadarinya transfer budaya pun saling berpindah.<br />

Manusia pun dalam waktu singkat dapat berganti-ganti karakter atau pola pikir layaknya seperti<br />

manusia ―mutan‖.<br />

Irwan Abdullah mencontohkan bahwa dengan semakin canggihnya arus komunikasi dunia<br />

modern, unsur-unsur kebudayaan kerap kali mengalami penyusutan atau penyesuaian. Sebagai<br />

contoh, arsitektur Bali tidak hanya ditemukan di Bali, akan tetapi juga dapat ditemukan di<br />

Jakarta.<br />

Karena itu, kerajinan khas Bali pun dengan mudah dapat kita temukan tidak hanya di Bali, akan<br />

tetapi diluar bahkan sampai dunia Eropa. Kesimpulannya menurut Irwan Abdullah, apa yang ada<br />

atau khas di Bali tidak hanya harus menjadi monopoli Bali, karena unsur-unsur kebudayaan


<strong>Indonesia</strong> yang lain atau unsur kebudayaan dunia dapat dengan mudah ditemukan dalam bentukbentuk<br />

ekspresi simbolik di mana pun.<br />

Karena itu, dengan adanya integrasi tatanan global, kebudayaan kemudian tidak lagi terikat pada<br />

batas-batas fisik yang kaku yang disebabkan oleh ikatan ruang yang bersifat deterministic.<br />

Kedua, sebab adanya perubahan budaya juga karena adanya politik ruang dan makna budaya.<br />

Makna suatu simbol juga disebabkan oleh struktur kekuasaan yang berubah. Hal senada pun<br />

diungkapkan oleh Irwan Abdullah. Ia mengatakan suatu kebudayaan bagaimanapun tidak dapat<br />

dilepaskan begitu saja dari ruang di mana kebudayaan itu dibangun, dipelihara, dan dilestarikan,<br />

atau bahkan diubah.<br />

Dengan adanya kepetingan kekuasaan yang berbeda, maka ruang yang menjadi wadah tempat<br />

kebudayaan telah mengalami re-definisi baru sejalan dengan tumbuhnya gaya hidup modern<br />

yang secara langsung diawali dengan perubahan rancangan ruang.<br />

Ketika kondisi ini terjadi, maka ruang pun menjadi arena yang diperebutkan, demi<br />

melanggengkan sebuah kepentingan kekuasaan atau politik tertentu. Karena itu, makna<br />

kebudayaan pun harus tunduk terhadap siapa yang mendefinisikan ulang.<br />

Buah dari semua ini, maka sebuah simbol dan makna kebudayaan pun menjadi suatu objek yang<br />

kehadirannya dihasilkan oleh suatu proses negosiasi yang melibatkan sejumlah kontestan yang<br />

terlibat dengan kepentingan yang berbeda.<br />

Ketiga, ketika hegemoni kepentingan politik kekuasaan terjadi, maka secara bersamaan,<br />

pemaksaan akan makna ruang dan makna sebuah identitas budaya pun terjadi. Posisi publik yang<br />

enggan mengikuti keinginan penguasa pun tercerai berai menjadi kelompok-kelompok kecil<br />

yang juga beragam di dalam memaknai ruang dan makna identitas budaya.<br />

Kontestasi berbagai institusi terjadi secara intensif yang menyebabkan individu menjadi objek<br />

dan komoditi dari kepentingan-kepentingan yang berbeda. Mereka yang tersubordinasi pun ikut<br />

melakukan kontestasi dalam bentuk pemaknaan dekonstruktif atau pembangkangan terhadap<br />

pendefinisian ruang dan makna identitas badaya yang dilakukan oleh hegemoni pemegang<br />

kendali kuasa.<br />

Tarik menariknya antara pemegang kendali kuasa dengan mereka yang tersubordinasi pun<br />

menjadikan identitas kebudayaan pun mengalami konstruksi dan reproduksi yang berebda yang<br />

tentunya syarat akan kepentingan yang berbeda.<br />

Simbol-simbol budaya pun pada akhirnya dijadikan sebagai alasan penegasan autentisitas<br />

kelompok yang keberadaannya menjadi bagian dari sistem sosial global dengan pertentangan<br />

nilai yang juga tajam.


Kondisi inilah yang menurut saya terjadi saat ini, terlebih ketika beberapa bulan yang lalu saat<br />

kita dikisruhkan tentang perebutan identitas dengan Malysia misalnya. Buah dari kondisi ini<br />

semua, kita rindu akan masa lalu atau dalam bahasa Irwan Abdullah mereka tertarik melakukan<br />

replikasi dari kesukubangsaan dengan parameter yang berbeda yang didasarkan bukan pada nilai<br />

lokal yang sama, tetapi pada minat dan kepentingan yang sama dari mereka yang secara asal usul<br />

berbeda. Dan kita baru sadar bahwa semua itu telah ―hilang‖.[]


Rasisme Gaya Baru<br />

Gagasan ini muncul ketika saya membaca sebuah buku yang ditulis oleh Teun A. Van Dijk<br />

seorang ahli pengamat media di University of Amsterdam, Belanda berjudul ―Ethnic Minorities<br />

and The Media; Changing Cultural Boundaries‖ yang ditebitkan oleh open University Press,<br />

United Kingdom.<br />

Gagasan yang di sampaikan buku ini sangat menarik. Menurutnya tanpa disadari kita sering<br />

berucap, berfikir, dan bertingkah melakukan rasisme ―gaya‖ baru. Bahkan prilaku seperti itu<br />

kerapkali juga dilakukan tanpa di sadarinya oleh para jurnalistik di dalam menulis berita di<br />

media, dan para elite pemerintah dalam membuat kebijakan.<br />

Jika menilik sejarahnya, wacana rasisme gaya baru ini sebenarnya sudah mulai mencuat di gagas<br />

pada era 1980-an sebagai lebel praktis terhadap perubahan-perubahan dalam hakikat hegemoni<br />

dan ketidaksejajaran etnik di dalam masyarakat multikultur kontemporer.<br />

Rasisme ―gaya‖ baru berfokus pada perbedaan-perbedaan kultural, pada ketidaksempurnaan<br />

kultural dan bukan pada inferioritas atau superioritas biologis-genetis seperti apa yang digagas<br />

rasisme gaya lama.<br />

Dalam rasisme gaya baru ketidaksejajaran tidak diwujudkan dengan menindas secara fisik<br />

kelompok lain seperti apa yang dilakukan oleh prilaku rasisme gaya lama, melainkan dengan<br />

menciptakan kerugian social, dan psikologis.<br />

Tanpa kita sadari disetiap kali kita ketemu atau berhadapan dengan seseorang, kelompok yang<br />

berbeda, maka kita akan menjaga jarak bahkan mungkin berkata-kata dengan cibiran. Sebagai<br />

contoh pola berfikir rasisme ―gaya‖ baru adalah; pola berfikir yang mengatakan bahwa<br />

kemiskinan yang melanda masyarakat pedalaman <strong>Indonesia</strong> diakibatkan karena mereka bodoh,<br />

ekslusif dan tidak beradab, atau ketika kita bertemu dengan mereka yang berasal dari pedalaman<br />

<strong>Indonesia</strong> selalu mengatakannya dengan orang terasing, orang tradisional, orang terbelakang,<br />

orang kolot, anti modernisasi, dan istilah-istilah lainnya yang diskriminatif.<br />

Teun A. Van Dijk mengatakan bahwa rasisme medel baru selalu menjadikan tiga pola berfikir<br />

sebagai pijakan, ketiganya adalah; mereka berbeda, mereka menyimpang, dan mereka adalah<br />

ancaman. Dalam rasisme gaya baru, perbedaan-perbedaan selalu dianggap sebagai hal yang<br />

melanggar norma dan aturan kelompok dominan, karena itu penyadaran dan usaha<br />

penyeragaman adalah merupakan keharusan bahkan mungkin kewajiban.<br />

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa pola berfikir rasis gaya baru tersebut juga semakin<br />

mengkristal karena disebabkan oleh peranan media yang lebih memihak pada mereka yang<br />

dominan. Pemegang kuasa dengan aturan mainnya selalu menjadikan media sebagai alat<br />

pembinasaan atau klaim negatif atas mereka yang minoritas yang patut diselamatkan.


Buah dari cara itu menjadikan pola berfikir kita memandang yang minoritas sebagai mereka<br />

yang salah, menyimpang, dan harus berhati-hati terlebih ketika permasalahan itu menyangkut hal<br />

yang sangat subtansial terkait dengan teologi atau keimanan.<br />

Hal ini terjadi karena rasisme gaya baru bahkan yang lama sekalipun adalah wujud dari<br />

kurangnya bahan informasi kita terhadap mereka yang minoritas itu. Klaim negative atas<br />

minoritas itu semakin menjadi-jadi akibat kurangnya kesempatan mereka mengakses ke media.<br />

Karena itu-lah mereka tidak bisa berekspresi secara leluasa untuk membela diri atau membantah<br />

segala tuduhan.<br />

Karena itu, tugas selanjutnya yang maha penting adalah bagaimana kita harus berpikir ulang dan<br />

tentunya tidak gegabah dalam mulakukan justifikasi atas mereka yang berbeda dengan kita.<br />

Mungkin saja pada diri mereka yang minoritas, tradisional, bahkan kolot itu banyak tersimpan<br />

local wisdom (kearifan lokal) yang harus kita pelihara dan rawat agar senantiasa hidup dan<br />

menyala di dalam hati nurani manusia <strong>Indonesia</strong>.<br />

Kalau pola berfikir bijak itu terus kita pupuk, rawat dan selalu menjadi ikhtiar dalam tindakan<br />

seluruh manusia <strong>Indonesia</strong>, mungkin tak akan ada lagi anak yang harus kehilangan identitasnya,<br />

anggota keluarganya hanya karena berbeda–baik itu terkait dengan budaya, kepercayaan, aliran<br />

politik, etnisitas dan aroma rasis lainnya.<br />

Juga tak akan ada lagi rumah dan harta benda yang musnah dan hilang dijarah, dibakar hanya<br />

karena perbedaan identitas. Bukankah para leluhur kita telah memberikan peninggalan atau<br />

warisan nilai untuk selalu bersikap ramah kepada siapa pun sebagai ciri identitas kita sebagai<br />

orang timur.[]


Berislam Ala Persis<br />

Menjelang Muktamar Persatuan <strong>Islam</strong> (Persis) ke-XIV di Masjid Aisyah Tasikmalaya (Pesantren<br />

Benda dan Pesantren Persis Rajapolah) dan Garut (Pesantren Rancabango), Jawa Barat pada 25-<br />

27 September 2010, tiga kandidat ketua umum periode 2010-2015 muncul.<br />

Menurut Jenal Mutakin, Sekretaris Muktamar Persis ke-XIV, tiga nama calon ketua umum Persis<br />

dari hasil tabulasi adalah Prof. Dr. K.H. Maman Abdurahman ketua umum Persis sekarang; Dr.<br />

K.H. Latifatulhayat, M.M., Ph.D., kepala bidang jamiah pengurus pusat Persis; dan K.H. Aceng<br />

Zakaria kiai Pimpinan Pondok Pesantren Persis Rancabango. (Pikiran Rakyat, 3/9 dan Antara,<br />

19/9).<br />

Mampukah kehadiran Muktamar Persis ke-XIV ini tidak hanya diisi pergantian ketua umum,<br />

tetapi menjadi momentum bersama untuk mewujudkan <strong>Islam</strong> sebagai rahmatallil alamin?<br />

Pembaru?<br />

Selama ini, Persis dikategorikan sebagai organisasi masyarakat pembaruan (al-haraqah al-tajdid)<br />

yang giat mengampanyekan kembali kepada Alquran dan assunnah. Tentunya, segala ucapan,<br />

perbuatan, dan tingka lagu yang tidak bersumber pada Alquran dan assunnah disebut sesat<br />

(bidah).<br />

Memang, Persis kadung mendeklarasikan dirinya sebagai penganut aliran haraqah tajdid pada 12<br />

September 1923 bertepatan dengan 1 Shafar 1342 H.<br />

Berawal dari kelompok ―tadarussaan‖ di Kota Bandung, yang dipimpin oleh H. Zam zam dan<br />

H.M. Yunus dengan angota sekitar 20 orang, giat melakukan dan mengkaji ajaran-ajaran <strong>Islam</strong>.<br />

Mereka berkeyakinan dan sadar akan bahaya TBC (takhayul, bidah, dan churafat), kejumudan,<br />

dan keterbelakangan pemahaman <strong>Islam</strong>. Sejak itu komunitas pengajian ini menamakan diri<br />

Persatuan <strong>Islam</strong> (Persis) dengan semboyan ―Dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali<br />

(agama) Tuhan dan janganlah kalian bercerai berai‖ (QS al-Imran:103)<br />

Ingat gerakan pembaru tidak hanya diklaim kelompok Persis, tetapi Muhammadiyah pun<br />

mengidentikkan dirinya sebagai gerakan pembaru yang modernis, meskipun kedua gerakan<br />

haraqah tajdid itu berbeda penekanannya. Bila Persis lebih berorientasi kepada pendidikan dan<br />

fikih, Muhammadiyah mengedepankan aspek-aspek sosial, melalui pendidikan, pelayanan<br />

masyarakat seperti rumah sakit, panti asuh, dan jompo.<br />

Seiring dengan perubahan zaman, gerakan haraqah tajdid dalam tubuh Persis mengalami<br />

kemunduran. Hipotesis ini diungkapkan oleh Fahri Ali dan Bahtiar Efendi ihwal ormas-ormas<br />

islam pembaruan, seperti Persis, Muhammadiyah, Al-Irsayad yang kehilangan ruh dinamika<br />

ataupun pembaharuannya. Alhasil, pembaruan model ini telah berhenti berpikir. Pasalnya, tidak<br />

mampu menangkap semangat dan tantangan zaman serta mengantisipasi ke arah mana masa<br />

depan akan berkembang.


Kehawatiran akan memudarnya gerakan pembaruan pernah dilontarkan Atif Latifulhayat saat<br />

menjabat Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Persis (1995:VII). Yang patut dipertanyakan<br />

adalah apa dan bagaimana sebenarnya fikrah Persis itu? Setiap Persis berganti tokoh dan<br />

bertukar masa kepemimpinan, cara atau gaya kepemimpinan tokoh tersebut selalu diidentikkan<br />

dengan fikrah Persis. Ketika A. Hasan menjadi tokoh sentral. Inilah corak dari fikrah Persis.<br />

Pascakematian gerakan tajdid A. Hasan, Persis justru mengalami ―taaklid buta‖. Pasalnya, kita<br />

hanya ―mengamini‖ hasil keputusan satu dewan hisbah, yang diemban anamat untuk tanggap dan<br />

pandai menyelesaikan segala persoalan keumatan dan kebangsaan. Pengambilan satu keputusan<br />

itu bukan hasil musyawarah dewan hisbah, tetapi hanya hasil ijtihad segelintir (sekelompok)<br />

orang tertentu yang dikultuskan pengikutnya.<br />

Kemandegan pembaruan diungkapkan Inyana (peserta Muktamar) kepada Husni Rofiqoh, saat<br />

menjabat Ketua Umum Pimpinan Pusat pemudi Persis (Majalah Ibier No 414/th. XXXIV/4<br />

Jumadil Ula 1423/15 juli 2002 M: 17).<br />

Berislam<br />

Menjawab pelbagai tantangan itu sebelum muktamar, Persis menggelar diskusi bertajuk ―Persis,<br />

<strong>Islam</strong>, dan Budaya‖ di Aula Redaksi Pikiran Rakyat, Kamis (16/9) pagi. Radikalnya gerakan<br />

pembaruan Persis, hingga dikategorikan antibudaya, membuat Maman Abdurrahman<br />

mengatakan, diskusi ini digelar untuk memberikan pandangan kepada masyarakat umum bahwa<br />

<strong>Islam</strong> tidak hanya mengatur masalah fikih ibadah, tetapi juga semua sektor kehidupan, termasuk<br />

budaya. Salah satu model pembaruan <strong>Islam</strong> sebagai rahmatallil alamin melalui budaya. Selama<br />

ini, Persis dikenal giat berdakwah lewat tulisan Sunda, seperti adanya majalah At-Taq-waa<br />

(1937), Iber (1967) Dakwah; penerbitan (CV Diponegoro dan PT Almaarif).<br />

Oleh karena itu, Atip Latifulhayat, ketua panitia pelaksana muktamar bermaksud memetakan<br />

apa-apa saja yang menjadi perhatian Persis. Selama ini, menurut Atip, ada persepsi eksternal<br />

yang menganggap Persis itu antibudaya hanya karena Persis lebih mengutamakan fikih sehingga<br />

tampaknya hitam dan putih, sementara budaya itu lebih cair.<br />

Sekali lagi, persepsi Persis antibudaya dan semacam itu tidaklah tepat. Hal itu, karena sejak<br />

1963, Persis mempunyai majalah berbahasa Sunda, yaitu Iber. Persis juga mengajarkan bahasa<br />

Sunda di pesantren-pesantrennya sebagai bekal mubalig. (Pikiran Rakyat, 3/9).<br />

Inilah cara berislam Ala Persis yang tidak hanya berpijak kepada Alquran dan assunnah, tetapi<br />

juga berpegang teguh kepada tradisi lokal. Selamat Muktamar Persis ke-XIV. Semoga.[]


Fiqh Lingkungan: Upaya Revitalisasi Hablun Minal „Alam<br />

<strong>Islam</strong> adalah agama yang syamil (integral), kaamil (sempurna), dan mutakaamil<br />

(menyempurnakan semua sistem yang lain), karena ia merupakan sistem hidup yang diturunkan<br />

Allah SWT, sebagaimana dijelaskan-Nya, ―Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu<br />

untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridha <strong>Islam</strong> sebagai<br />

agamamu.‖ (Q.S. Al-Maidah : 3).<br />

Oleh karena itu aturan <strong>Islam</strong> haruslah mencakup semua sisi yang dibutuhkan oleh manusia dalam<br />

kehidupannya. Demikian tinggi, indah, dan rincinya aturan-Nya, sehingga bukan hanya<br />

mencakup aturan bagi sesama manusia, melainkan juga terhadap alam dan lingkungan hidupnya.<br />

Ada tiga sikap hubungan yang harus senantiasa dijaga erat oleh orang <strong>Islam</strong>. Pertama adalah<br />

hubungan vertikal dengan Allah SWT (hablun minallah), kedua adalah hubungan horizontal<br />

dengan sesama manusia (hablun minannaas), dan yang ketiga adalah hubungan diagonal dengan<br />

alam (hablun minal ‗alam). Kedua hubungan pertama telah menjadi hal yang lumrah dilakukan,<br />

tetapi terkadang melupakan sikap yang ketiga berkenaan dengan hubungan terhadap alam.<br />

Urgensi Fiqh Lingkungan<br />

Istilah fiqh lingkungan dalam terminologi <strong>Islam</strong> sering disebut dengan fiqh al bii‘ah yang berarti<br />

memahami urgensinya menjaga lingkungan dan upaya pengaplikasiannya. Saat ini kita sangat<br />

familiar dengan istilah pemanasan global (global warming) yang melanda seluruh negara di<br />

dunia. Mengenai kerusakan lingkungan ini, Prof. Otto Soemarwoto mengatakan, kerusakan<br />

lingkungan itu terbagi dua; yang bersifat regional seperti hujan asam dan yang bersifat global<br />

seperti global warming. (Pikiran Rakyat : 2008)<br />

Ada tiga sumber daya alam (SDA) yang menjadi indikator kerusakan lingkungan yaitu sumber<br />

daya air, sumber daya tanah, dan sumber daya udara. Ketiga SDA itu sangat urgen bagi<br />

kehidupan manusia dan memberikan dampak positif yang signifikan bagi manusia sebaliknya.<br />

Ada peribahasa Sunda (papatet gancang) yang mengindikasikan kerusakan alam; ―Kawung<br />

mabur carulukna, gula leungiteun ganduan, ciamis kari patina, ciherang kantun kiruhna, samak<br />

tinggaleun pandanna, kiai leungiteun aji, pandita ilang komara, kahuruan ku napsuna.‖ (Setia<br />

Hidayat, 2004 : 33)<br />

Dalam peribahasa tersebut ada kalimat yang menyebutkan ciherang kantun kiruhna yang<br />

bermakna air jernih berganti keruh. Kalimat tersebut adalah indikator kerusakan alam. Sekarang<br />

orang akan merasakan nikmat di tempat tinggal berair bersih dan jernih. Aliran sungai yang<br />

melintas permukiman atau perkotaan juga mengindikasikan hal tersebut di atas.


Dalam duplikatnya, Guinnes World Book of Record antara lain mencantumkan 1.871 juta hektar<br />

hutan di <strong>Indonesia</strong> dihancurkan antara tahun 2000-2005, sebuah tingkat kehancuran hutan<br />

sebesar 2 % setiap tahun atau 51 km2 / hari. Menurut Hapsoro, <strong>Indonesia</strong> menghancurkan hutan<br />

seluas 300 lapangan sepakbola setiap jam. Karena itu, katanya, 72 % hutan asli <strong>Indonesia</strong><br />

diperkirakan telah musnah.<br />

Selain itu, dalam tingkat polusi udara, kota Jakarta yang merupakan refresentasi <strong>Indonesia</strong><br />

menempati urutan ke 3 tingkat pencemaran tertinggi di dunia. Data di atas, memberikan sebuah<br />

signal kepada seluruh penduduk negeri ini untuk senantiasa memeperhatikan kembali kelestarian<br />

lingkungan.<br />

Pendekatan ajaran <strong>Islam</strong><br />

Revitalisasi sikap hablun minal ‗alam bisa dilakukan dengan dua pendekatan: Pertama,<br />

Pendekatan teologis melalui ajaran agama. Alquran sebagai pedoman umat <strong>Islam</strong> telah<br />

memberikan petunjuk berupa larangan untuk berbuat kerusakan di muka bumi, ―Dan janganlah<br />

kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya<br />

dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang<br />

berbuat kebaikan.‖ (Q.S. Al-A‘raf : 56).<br />

Kedua, Pendekatan fiqh dengan mengemukakan argumen-argumen ilmiah mengenai kerusakan<br />

lingkungan.Selain upaya di atas, ada beberapa poin penting yang secara konkret bisa menjadi<br />

solusi perbaikan lingkungan di antaranya :<br />

a. Membentuk sumber daya manusia (SDM) handal yang bisa menjaga kelestarian alam<br />

lingkungan. Proses ini tentu tidak bisa mendadak atau instan, perlu pendidikan yang kontinu<br />

kepada anak didik sejak usia dini dan memberikan teladan yang baik (uswah hasanah) dari<br />

seluruh masyarakat dan aparat pemerintahan.<br />

b. Pembangunan yang berkelanjutan. Upaya ini dipandang perlu karena akan menentukan nasib<br />

lingkungan masa depan. Ada sebuah kisah hikmah dalam khazanah cerita <strong>Islam</strong> tentang seorang<br />

kakek tua yang akan menanam pohon kelapa. Ketika ia ditanya mengapa ia masih semangat<br />

menanam pohon padahal secara zahir usianya tidak akan lama lagi dan pasti akan meninggal<br />

sebelum pohonnya berbuah. Si Kakek menjawab, yang dia makan sebelumnya bukanlah hasil<br />

usahanya karena itu dia pun menanam pohon untuk anak keturunannya kelak.<br />

c. Mengembalikannya kepada aturan Ilahi. Usaha ini tentu akan diyakini oleh seluruh pemeluk<br />

agama karena alam merupakan ciptaan Tuhan dan untuk merawatnya harus menggunakan<br />

hukum (aturan) Tuhan pula. Logikanya seperti merawat (maintenance) produk kendaraan<br />

tertentu pasti akan merujuk pada buku panduan produk tersebut atau mendatangi bengkel<br />

resminya.


Lingkungan merupakan amanah Allah SWT yang mesti dijaga, dirawat agar senantiasa lestari.<br />

Persepsi lingkungan/SDA sebagai warisan nenek moyang harus direkonstruksi menjadi titipan<br />

anak cucu. Akhlak terhadap lingkungan merupakan manifestasi dari keimanan seorang muslim.<br />

Semoga kita senantiasa bisa berakhlak terhadap lingkungan dengan baik. Amin. Wallahu a‘lam<br />

bis shawwab.[]


Generasi Sehat 3.0<br />

Disadari atau tidak, internet telah menjadi bagian penting sekaligus kebutuhan dasar (gaya)<br />

hidup manusia kini.<br />

Asalkan pengguna (user) telah tersambungkan ke internet dapat dengan mudah menyampaikan,<br />

berbagi (share) pesan apa pun, dan tidak masuk ke dalam area blankspot (tidak ada sinyal).<br />

Saking pentingnya dunia cyber ini, ada anggapan sebagian masyarakat seakan-akan kita telah<br />

berada ―di dunia lain‖ bila tidak melek internet.<br />

Ini diamini oleh Thomas L. Friedman dalam buku The World is Flat (2006), setiap orang dari<br />

belahan dunia mana pun memiliki kesempatan yang sama bila memanfaatkan internet. Kiranya<br />

ungkapan dia ihwal internet ―Thank you internet, thank you computer‖ ini masih layak kita<br />

dengungkan sebagai bentuk syukur atas mewujudnya media komunikasi di era serbadigital ini.<br />

Ingat, berkat Sir Timothy Berners-Lee, manusia bisa berinternet ria dengan ditemukannya world<br />

wide web (www) untuk setiap laman situs web yang kita akses. Inilah cikal bakal lahirnya<br />

generasi ketiga (web 3.0) yang berbasis web semantik dan sebagai sarana bagi mesin untuk<br />

membaca laman-laman situs web dengan menawarkan metode yang efisien dalam membantu<br />

komputer guna mengorganisasi dan menarik kesimpulan dari data online.<br />

Harus diakui, di dunia maya memang tak ada jarak dan ruang antara user. Seolah-olah semuanya<br />

serbadekat, tanpa batas, dan lebih hidup. Tentunya, kehadiran jejaring sosial (Hi5, Flixster,<br />

Myspace, Friendster, Facebook, Twitter, Blogger) membuat kita kecanduan untuk berlama-lama<br />

berinternet.<br />

Namun, ada kalanya content (isi) media jejaring sosial ini giat mengampanyekan caci maki,<br />

hujatan, permusuhan, peperangan antarsuku dan antaragama. Padahal, konten sehat dan tidak<br />

berbau SARA (suku agama ras antargolongan) menjadi keharusan dalam membangun jejaring<br />

sosial ini.<br />

Bila merujuk pada teori fungsional yang menyatakan segala hal yang tidak berfungsi akan lenyap<br />

dengan sendirinya, maraknya kejahatan (cybercrime) atas nama agama melalui jejaring sosial ini<br />

merupakan otokritik atas ketidakberdayaan agama yang tidak dapat memberikan fungsi<br />

ketenangan, kenyamanan bagi pengikutnya sekaligus menjawab pelbagai tantangan zaman<br />

manusia sekarang.<br />

Sejatinya, fungsi yang harus dimainkan agama bagi Durkheim bisa menjembatani ketegangan<br />

dan menghasilkan solidaritas sosial, menjaga kelangsungan masyarakat ketika dihadapkan pada<br />

tantangan yang mengancam kelangsungan kehidupan baik dari suku lain, orang-orang yang<br />

menyimpang, pemberontak dari suku sendiri, maupun bencana alam. (Peter Connolly [ed],<br />

2002:271).


Memang gejala peperangan di media jejaring sosial tak bisa dimungkiri di mayapada. Ini<br />

dituturkan Enda Nasution, Presiden Blogger <strong>Indonesia</strong>. Jika dilacak, blog yang giat menghina<br />

suatu agama, isinya bisa lebih provokatif. ―Saya tidak melacaknya. Situs seperti itu akan selalu<br />

ada. Internet tidak akan pernah bersih dan pasti akan ada yang abu-abu atau hitam,‖ katanya.<br />

Menurut Komarudin Hidayat, gejala hujat-menghujat tokoh keagamaan di jejaring sosial dari<br />

komunitas tertentu, hingga terjadinya perang di dunia nyata ini disebabkan adanya kekuatan<br />

bahasa agama (1998:105-109). Pasalnya, bahasa dan ekspresi keagamaan merupakan manisfesto<br />

komitmen moral dan iman dari orang-orang yang beragama secara saleh yang dialamatkan dan<br />

diminta disaksikan oleh Tuhan. Ungkapan keagamaan bagaikan puncak gunung es di lautan.<br />

Ketersinggungan umat beragama bila bahasa agamanya dilecehkan karena di dalam dan melalui<br />

teks keagamaan itu penanda artikulasi dan cita-cita keselamatan hidup ditambatkan. Kendati<br />

tidak luput dari ketersinggungan (kemungkinan) distorsi dan deviasi penafsiran.<br />

Dengan demikian, bahasa agama adalah wahah dan reservoir bagi nilai-nilai agung. Kepadanya<br />

orang beriman menimba dan mereguk inspirasi, dengannya mereka mempertautkan diri dengan<br />

Tuhan serta menjalin ukhuwah dengan sesama anggota komunitas orang beriman.<br />

Tentu, bila figur Muhammad, Yesus, Siddhartha Gautama, Laotze, Musa, dilecehkan akan<br />

memancing reaksi dari umatnya. Bagi orang beriman, mereka diyakini sebagai manisfestasi jalan<br />

keselamatan. Upaya penuntutan, pemblokiran oleh komunitas tertentu adalah sesuatu yang wajar.<br />

Mengingat pentingnya kekuatan bahasa agama sebagai artikulasi keselamatan.<br />

Salah satu upaya membumikan generasi sehat (web) 3.0 pascapartisipasi pembaca pada web 2.0<br />

(Tim O`Relly) dengan cara mengisi laman-laman situs web yang mengampanyekan perdamaian,<br />

persatuan untuk meminimalisasi kejahatan atas nama agama pada jejaring sosial ini.<br />

Momentum Hari Blogger Nasional yang diperingati setiap 27 Oktober dengan ditandai Pesta<br />

Blogger harus menjadi wahana untuk memupuk tumbuhkembangnya generasi sehat yang<br />

menghargai keragaman. Pesta Blogger 2010 mengusung tema ―Merayakan Keragaman‖<br />

(Celebrating Diversities) baru dilaksanakan di Epicentrum Walk kawasan Rasuna Epicentrum<br />

Jln. H.R. Rasuna Said Kav. C22 Kuningan, Jakarta Selatan <strong>Indonesia</strong> pada 30 Oktober 2010.<br />

Dengan makin terbukanya akses dan tersedianya berbagai saluran untuk beropini, makin banyak<br />

blogger yang bersuara, dengan tujuan yang gempita. Mulai dari sisi ekonomi kreatif, politik,<br />

gaya hidup, advokasi komunitas, sampai yang murni bersenang-senang. Sungguh tidak ada<br />

kategori salah dan benar, karena kita sedang ―merayakan keragaman‖ sejak suara baru itu<br />

muncul dengan dinamikanya. Keragaman inilah yang harus diperkuat dan diperkaya.<br />

Keragaman tidak hanya dapat menghadirkan perbedaan, tetapi dapat menyatukan dan<br />

menguatkan. Bagaimanakah kita akan mempertemukan yang solid dengan yang cair, yang<br />

bingung dengan yang sudah stabil, yang kebetulan memiliki tujuan yang sama tetapi belum


erjejaring, dan sebagainya. Dengan perkembangan yang muncul, makin banyak alasan untuk<br />

menguatkan kembali jejaring, menentukan tujuan yang konkret, dan menyumbangkan kontribusi<br />

positif bagi sekitar. (www.pestablogger.com).<br />

Menjunjung tinggi etika, norma, aturan dalam berjejaring sosial merupakan bentuk nyata yang<br />

tak bisa dibantah dalam mewujudkan generasi sehat 3.0 yang selalu bersentuhan dengan orang<br />

lain. Mari kita mulai dari diri kita dengan tidak menulis (status, posting-an) yang menyinggung<br />

satu komunitas, agama, golongan tertentu. Semoga.[]


Hari Anak dan "Kaulinan Baheula"<br />

Harus diakui, keberadaan kaulinan barudak baheula tinggal nama. Ini terlihat dari hasil penelitian<br />

Komunitas Hong (Pusat Kajian Mainan Rakyat Jawa Barat) bahwa 168 jenis atau 70 persen jenis<br />

mainan dan permainan tradisional anak-anak di Jabar dan Banten punah.<br />

Tak ada permainan (wayang dari batang singkong, teteot, celempung, kelom batok, dan<br />

rorodaan) serta aktivitas keseharian anak-anak menjelang sore hingga maghrib (oorayan, hadang,<br />

hahayam, jeung careuh, ucing sumput, sorodot gaplok, galah, pepepet jengkol, gatrik, galah asin,<br />

jajangkungan, congkak, engkle, dan hompimpah) di tanah Pasundan.<br />

Tentu semua kaulinan barudak Sunda ini tinggal kenangan budak baheula kolot ayeuna. Kuatnya<br />

arus modernitas dan globalisasi membuat permainan tradisional ini semakin terasing di tengah<br />

kehidupan masyarakat Parahyangan. Malahan budak kiwari merasa bangga bila bisa sekaligus<br />

menamatkan permainan game watch, game boy, Sega, PlayStation, dan game online.<br />

Parahnya, sebagian penghuni bumi persada Parijs van Java ini beranggapan bahwa kaulinan<br />

barudak dapat dikategorikan sebagai permainan kelas bawah yang kotor, berbahaya, dan tidak<br />

berkualitas. Ketiadaan tempat khusus bermain karena disulap menjadi mal dan pusat<br />

perbelanjaan membuat permainan ini semakin terpinggirkan sekaligus terlupakan dari benak kita.<br />

Ironis memang.<br />

Padahal, permainan tradisional sangat cocok sebagai media pembelajaran pendidikan anak usia<br />

dini. Pasalnya, kaulinan barudak mengandung banyak manfaat dan persiapan bagi anak guna<br />

menjalani kehidupan bermasyarakat. Hal itu juga terkait erat dengan pengenalan diri, alam, dan<br />

Tuhan.<br />

Mampukah kehadiran Hari Anak Nasional tiap 23 Juli menjadi momentum awal untuk<br />

menciptakan generasi unggul sekaligus ngamumule kaulinan barudak di Priangan ini sejak<br />

dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1984 tentang Hari Anak Nasional dan<br />

harus diselenggarakan setiap tahun dari 1986 sampai sekarang? "Kaulinan barudak"<br />

"Kaulilan Barudak"<br />

Dalam konteks Jabar, untuk menciptakan generasi unggul dengan melestarikan khazanah<br />

kesundaan, salah satu caranya adalah ngamumule kaulinan barudak baheula. Apalagi, poin<br />

pertama tujuan khusus peringatan Hari Anak Nasional 2010 adalah menyediakan wahana<br />

bermain, unjuk prestasi, kreativitas, dan karya inovatif anak.<br />

Sungguh mulia apa yang dilakukan Mohammad Zaini Alif dengan Komunitas Hong di Jalan<br />

Bukit Pakar Utara Nomor 35, Dago, Bandung; galeri di Jalan Merak Nomor 2, Bandung, serta<br />

sanggar Kampung Kolecer, Kampung Bolang, Desa Cibuluh, Tanjungsiang, Subang. Ia mencoba<br />

menghidupkan kembali kaulinan barudak.


Menurut Saleh Danasamita (1986:83, 107), permainan dan bermain merupakan dua hal yang<br />

tidak bisa dipisahkan dari lingkungan anak-anak serta mempunyai kedudukan sangat penting di<br />

masyarakat Sunda. Pasalnya, segala kaulinan barudak terangkum dalam naskah Siksa Kandang<br />

Karesian.<br />

...Hayang nyaho di pamaceuh ma: ceta maceuh, ceta nirus, tatapukan, babarongan, babakutrakan,<br />

ubang-ubangan, neureuy panca, munikeun le(m)bur, ngadu lesung, asup kana lantar, ngadu nini;<br />

singsawatek (ka) ulinan mah empul tanya" ("Bila ingin tahu permainan, seperti ceta maceuh, ceta<br />

nirus, tatapukan, babarongan, babakutrakan, ubangubangan, neureuy panca, munikeun le(m)bur,<br />

ngadu lesung, asup kana lantar, ngadu nini, segala macam permainan, tanyalah empul").<br />

Kuatnya ikhtiar ngamumule kaulinan budak, Zaini merujuk pada naskah abad ke-15 Saweka<br />

Darma Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung yang menyebutkan tentang<br />

hempul. Hempul adalah orang yang mengetahui aturan memainkan, cara membuat, dan filosofi<br />

mainan atau permainan. Namun, kini hempul sudah punah. Tak ada lagi masyarakat adat di Jabar<br />

yang memiliki hempul.<br />

Disadari atau tidak, naluri bermain merupakan salah satu unsur utama kebudayaan manusia<br />

homo ludens atau manusia yang bermain, seperti dikatakan Johan Huizinga (1872-1945),<br />

sejarawan dan filsuf Belanda.<br />

Merangsang Kreativitas<br />

Sejak berdiri tahun 2003, Komunitas Hong mengampanyekan pentingnya kaulinan budak. Kata<br />

hong berawal dari kata yang diteriakkan anak-anak Sunda saat bertemu teman. "Hong juga<br />

berarti pertemuan dengan Yang Maha Kuasa," ungkap Zaini.<br />

Dalam pemahamannya, permainan rakyat memiliki kelebihan dibandingkan dengan permainan<br />

modern. Bila permainan modern hanya terbatas melatih saraf motorik, kreativitas, dan<br />

kecerdasan anak, kaulinan barudak merangsang kreativitas dan kecerdasan anak serta menjadi<br />

sarana pengenalan rasa si anak terhadap diri, alam, dan Tuhan.<br />

Tengok saja permainan yang mengolah rasa, seperti jajangkung (egrang) untuk melatih<br />

keseimbangan dan keprak (batang bambu yang dibelah salah satu ujungnya menjadi lengkungan)<br />

yang biasa dimainkan untuk mengusir sepi.<br />

Permainan congklak juga memiliki makna perjuangan yang dilakukan seorang manusia tiap hari.<br />

Tujuh lubang menandakan jumlah hari dan satu gunung menandakan lumbung. Jadi, setiap hari<br />

seseorang mengumpulkan satu batu hingga penuh. Setelah penuh, batu atau benda tersebut<br />

dipindahkan ke lumbung untuk ditabung atau dibagikan kepada yang membutuhkan.


Penggunaan lumbung ini tecermin pada kehidupan masyarakat Sunda yang masih menggunakan<br />

lumbung untuk menyimpan hasil bumi. Permainan engkle yang ada di berbagai daerah pun<br />

bermakna perjalanan hidup seseorang dari hari ke hari sampai menuju surga. Kotak-kotak<br />

menandakan hari yang harus dilalui manusia hingga mencapai sebuah lingkaran besar yang<br />

menandakan surga. Setelah sampai di surga, ia melemparkan batu ke belakang untuk memilih<br />

tempat miliknya yang tidak bisa ditempati orang lain.<br />

Kiranya permainan Sunda itu sarat dengan nilai ketuhanan, seperti hompimpa. Kalimat<br />

hompimpa alaium gambreng itu bermakna dari Tuhan kembali ke Tuhan, mari kita bermain<br />

(Kompas, 21/5).<br />

Mudah-mudahan Festival Kaulinan Barudak Baheula di Kota Baru Parahyangan (2008), Festival<br />

Kolecer Kampung Bolang di Subang (2008), Kaulinan Barudak di Pesta Rakyat Hari Jadi Bogor<br />

(2010), dan Ujungberung Festival Ke-6 Kota Bandung (2010) adalah bentuk ngamumule<br />

khazanah kesundaan yang tak bisa ditawar-tawar lagi.<br />

Meluncurnya film dokumenter Hebatnya <strong>Indonesia</strong>ku berkat kerja sama penerbit buku Mizan,<br />

Nestle Dancow, dan Garin Nugroho pun diharapkan mewariskan kebudayaan <strong>Indonesia</strong> yang<br />

beragam, toleransi, dan kebanggaan nasional di kalangan anak-anak melalui "Dan Kau Pun Anak<br />

<strong>Indonesia</strong>".<br />

Inilah makna terdalam Hari Anak Nasional dalam menciptakan generasi unggul sekaligus<br />

melestarikan komunitas kaulinan barudak. Terwujudnya pusat kaulinan barudak memadai<br />

menjadi cita-cita tertinggi masyarakat Sunda. Semoga.[]


<strong>Humanisasi</strong> Kurban<br />

Momen Iduladha bukan hanya sarat dengan nilai ibadah ritual, tetapi juga memuat nilai-nilai<br />

sosial yang sangat tinggi. Disebut demikian karena pada hari ini banyak umat <strong>Islam</strong> yang<br />

berkurban dengan menyembelih hewan kurban: sapi, kerbau, kambing, dan lain-lain, untuk<br />

dibagikan kepada saudara-saudara mereka yang membutuhkannya. Oleh karena itu, hari ini<br />

kerap diistilahkan dengan Hari Raya Kurban.<br />

Perayaan Iduladha di <strong>Indonesia</strong> saat ini berpapasan dengan dengan banyaknya bencana yang<br />

banyak memakan korban jiwa. Kalaupun selamat, mereka harus rela hidup sengsara di<br />

pengungsian. Sebut saja korban letusan Gunung Merapi di Yogyakarta, korban terjangan tsunami<br />

di Mentawai, dan korban banjir bandang di Wasior. Para korban yang jumlahnya tidak sedikit itu<br />

pasti sangat membutuhkan bantuan makanan, obat-obatan, pakaian, dan lain-lain.<br />

Pertanyaannya, bagaimana upaya memanusiakan nilai Hari Raya Kurban agar sesuai dengan<br />

tujuan dan substansinya, yakni kemaslahatan sosial?<br />

Kemaslahatan sosial<br />

Beragama sejatinya tidak menafikan aspek rasionalitas. Rasionalitas ini dapat mengatrol<br />

keberagamaan menuju pengamalan yang transformatif dan progresif, yang menurut Vahiduddin<br />

Khan dalam <strong>Islam</strong> Rediscovered (2002), disebut <strong>Islam</strong> yang objektif. Artinya, harus ada<br />

objektivikasi agar kebaikan-kebaikan dan kemaslahatannya dapat dirasakan dalam kondisi riil.<br />

Apalagi saat ini, <strong>Islam</strong> hidup di alam peradaban modern, peradaban baru yang ditandai dengan<br />

kesadaran pikir, ilmu, praksis, kritik, dan kemajuan.<br />

Kecenderungan pemahaman terhadap ajaran <strong>Islam</strong> yang teosentris perlu ditarik ke ranah sosialhorizontal<br />

(hablu minannas), bukan semata vertikal (hablu minallah). Implikasinya, <strong>Islam</strong> harus<br />

aplikatif, realistis, dan mengedepankan pertimbangan kemaslahatan, bukan pemuasan spiritual<br />

individual. Momentum perayaan Iduladha adalah salah satu pintu mengusung panji-panji<br />

kemartabatan dan kesederajatan korban bencana alam, di samping peran pemerintah dan<br />

asosiasi-asosiasi atau elemen-elemen solidaritas sosial lainnya.<br />

Sebagian kalangan menilai, berkurban adalah ibadah yang ketentuan praktiknya sudah pasti dan<br />

tidak boleh mengalami perubahan. Hanya, bila momentum perayaan Iduladha kali ini terjebak<br />

pada pemahaman yang normatif dan baku, relevansinya akan terkurangi (untuk tidak mengatakan<br />

kehilangan substansi). Oleh karena itu, perlu ada reaktualisasi dan rekontekstualisasi sesuai<br />

dengan tuntutan aktualitas dan konteks. Tanpa ada inisiasi cerdas dan ijtihad kreatif, ibadah<br />

kurban akan kehilangan aspek kemaslahatannya. Atas dasar itulah, calon orang yang berkurban<br />

dalam situasi ini, layak memperhitungkan pengalihan dana kurban untuk membantu para korban<br />

bencana.


Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah tentang kurban dan bencana alam, 29<br />

Oktober 2010, di Yogyakarta menyebutkan, ―Mereka yang karena keterbatasan kemampuan<br />

sehingga harus memilih salah satu di antara dua macam amal tersebut, hendaknya mendahulukan<br />

memberi bantuan dalam rangka menyelamatkan kehidupan mereka yang tertimpa musibah<br />

daripada melaksanakan ibadah kurban sesuai dengan kaidah al-ahamm fa al-muhimm (yang<br />

lebih penting didahulukan atas yang penting).‖<br />

Pada poin lain disebutkan juga, ―Jika dana telah diserahkan kepada panitia kurban dan belum<br />

dibelikan hewan kurban, hendaknya panitia meminta kerelaan calon orang yang berkurban<br />

(shahib al-kurban) untuk mengalihkan dananya kepada bantuan penyelamatan mereka yang<br />

tertimpa musibah gempa bumi/tsunami, letusan Gunung Merapi, dan banjir. Namun jika calon<br />

shahib al-kurban tidak merelakan, dana itu tetap sebagai dana ibadah kurban.‖<br />

Fatwa tersebut adalah ijtihad yang mengusung nilai-nilai sosial kemanusiaan yang tinggi di saat<br />

umat manusia dilanda penderitaan yang tidak ringan. Walaupun sebenarnya, sebagian kalangan<br />

pernah mengajukan opsi kreatif senada tentang kurban. Namun, opsi itu tidak mendapat respons<br />

positif dari masyarakat luas. Realisasi kurban pada akhirnya berkutat pada pembagian daging<br />

walau pada kenyataannya masyarakat tidak begitu membutuhkan.<br />

Kondisi riil yang dihadapi masyarakat korban bencana adalah hilangnya rumah, harta benda,<br />

ternak, ladang, sawah, pekerjaan, anak-anak mereka terancam putus sekolah, kurang gizi, tak ada<br />

persediaan pangan dan sebagainya. Semua membahasakan penderitaan yang mengetuk hati<br />

saudara-saudaranya untuk selalu peka terhadap persoalan itu.<br />

Dengan demikian, untuk sementara waktu, apabila hewan kurban diganti dengan beasiswa, uang<br />

modal usaha, bahan bangunan, bibit padi dan palawija, pupuk untuk pertanian dan perkebunan,<br />

anak sapi atau kambing, dan lain-lain, ibadah kurban lebih mendekati kemaslahatan sosial seperti<br />

yang terbaca dalam tujuan dan substansinya.<br />

Kontekstualisasi di atas bukan tanpa dasar jika dikaitkan dengan orientasi <strong>Islam</strong>. Jasir al-`Audah<br />

dalam Fiqh al-Maqashid: Inathah al-Ahkam al-Syar`iyah (2008), menjelaskan lima aspek<br />

orientasi <strong>Islam</strong> yang disebut dengan mashlahat al-khams (kemaslahatan yang lima) yakni<br />

menjaga agama (din), jiwa (nafs), akal (`aql), harta (mal), dan keturunan (nasab). Bila sasaran<br />

perintah kurban tidak menyentuh lima aspek ini, ibadah kurban mengalami disorientasi nilai dan<br />

tujuan.<br />

Jelas kiranya, dengan beasiswa pendidikan, akal akan terjaga, masyarakat menjadi pintar, cerdas<br />

dan bermanfaat bagi kehidupan sosial bangsa dan negara. Begitu pun dengan hibah bahan<br />

bangunan, pupuk, hewan ternak, bibit pertanian dan sejenisnya, pemberdayaan masyarakat akan<br />

tercipta, dan kemandirian ekonomi terbangun. Pada saat yang sama, ibadah kurban akan<br />

menjelma menjadi penolong yang memanusiakan. Selamat Iduladha 1431 H![]


Imlek dan Perayaan Multikulturalisme<br />

Jauh sebelum Belanda menjajah negeri ini sebenarnya sudah terjadi akulturasi budaya Tiong hoa<br />

dan budaya nusantara. Hasil akulturasi itu tampak dalam berbagai elemen budaya seperti<br />

arsitektur bangunan, makanan, pakaian, dan lain nya. Bukti-bukti hibriditas budaya itu secara<br />

apik diulas Den nis Lombard dalam bukunya Nusa Jawa: Silang Budaya. Sebut saja, misalnya,<br />

Masjid Agung Demak atau beberapa kelenteng di pantai utara Jawa yang sisa-sisanya masih<br />

terlihat sampai sekarang.<br />

Ironisnya, percampuran budaya itu coba disekat oleh rezim Or de Baru dengan mengeluarkan<br />

Inpres No 14/1967 yang me larang segala bentuk ekspresi ber bau Cina, mulai dari huruf, sim<br />

bol, kesenian (barongsai dan Hong), termasuk peraya aan Imlek. Orde Baru ketika itu, demi<br />

meraih simpati ma sya rakat untuk menegakkan re zimnya, mengembuskan ―po litik identitas‖<br />

bah wa orang-orang pribumi ber beda dengan etnis Tionghoa yang penda tang.<br />

Lebih dari 30 tahun lamanya budaya Tionghoa dipinggirkan dari panggung budaya nusantara.<br />

Beruntung negeri ini kemudian melahirkan salah seorang sosok pemimpin yang me miliki<br />

kesadaran multikultu ralisme tinggi. KH Abdurrah man Wahid, Presiden ke-4 RI yang<br />

mengambil keputusan bersejarah dengan mengeluarkan Inpres No 6/2000 yang mencabut Inpres<br />

No 14/1967.<br />

Dengan kebijakan itu, etnis Tionghoa bebas melakukan kegiatan keagamaan, adat istiadat, serta<br />

mengekspresikan ke budayaan mereka. Perayaan Imlek adalah salah satu buah ke bebasan itu<br />

yang kemudian di kukuhkan Presiden Megawati Soekarnoputri dengan Keppres No 19/2002<br />

yang menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional.<br />

Puncaknya, pada era kepemimpinan Presiden Susilo Bam bang Yudhoyono, pemerin tah dan<br />

DPR menorehkan tonggak sejarah baru dengan menghapus diskriminasi kewar ganegaraan, yaitu<br />

mengesahkan UU No 12/2006 tentang Kewarganegaraan RI. Undang-undang itu menyatakan:<br />

―Orang-orang bangsa In donesia asli‖ adalah orang <strong>Indonesia</strong> yang menjadi warga negara<br />

<strong>Indonesia</strong> sejak kela hirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak<br />

sendiri.<br />

Dengan demikian, etnis Tionghoa yang lahir di <strong>Indonesia</strong> ada lah orang In do nesia asli yang<br />

memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan lainnya. Tidak ada kate gori pribumi dan penda<br />

tang. UU di atas sekaligus dapat di baca sebagai politics of recog nition yang memberi<br />

pengakuan setara kepada setiap ragam budaya yang berbeda. Spirit UU itu adalah bangsa In<br />

donesia merupakan ejawantah dari rajutan pernak-pernik ke bangsaan yang berane karagam. Dia<br />

seperti mozaik yang merupakan satu kesatuan warna-warni tak terpisahkan satu sama lain. Dan<br />

itulah esensi multikulturalisme.


Multikulturalisme<br />

Perayaan Imlek juga mengan dung spirit multikul turalis me. Hal itu tampak dari ke<br />

anekaragaman cara orang m erayakan Imlek. Tidak ada standar baku dan model tunggal dalam<br />

merayakannya. Kebe basan demikian menjadikan Imlek sebagai perayaan inklusif yang penuh<br />

ragam bu daya. Sekadar contoh, penulis pernah menyaksikan pertunjukan seni barongsai dalam<br />

su-a sana Imlek yang tidak biasa. Mereka memadukan budaya Cina dengan budaya nusantara.<br />

Perpaduan atau akultu ra si ini makin menambah in dah kedua budaya dalam se ma ngat<br />

persatuan dan kesatuan.<br />

Keanekaragaman Imlek juga berbanding lurus dengan ke nyataan bahwa etnis Ti onghoa sendiri<br />

tidak homogen. Mereka terdiri atas bermacam subetnis, dialek, marga, asalusul geografis, dan<br />

agama yang berbeda-beda. Namun, semangat multikulturalisme mampu menyatukan jiwa etnis<br />

Tionghoa setiap merayakan Imlek.<br />

Bagi etnis Tionghoa yang beragama Tao, Kong Hu Cu, atau Buddha, Imlek kental dengan ritual<br />

keagamaan, sedang kan bagi Tionghoa Muslim atau Kristen, Imlek adalah pe rayaan keluarga,<br />

mereka dipersilakan berdoa dalam rangka Imlek seperti yang bia sanya ramai di Masjid Cheng<br />

Ho Surabaya atau Masjid Karim Oei Jakarta. Di Masjid Syuhada Yogyakarta juga per nah<br />

digunakan Tionghoa Mus lim untuk berdoa. Keunikan lainnya yang khas <strong>Indonesia</strong> adalah tradisi<br />

makan lontong Cap Go Meh pada puncak perayaan Imlek.<br />

Padahal, tradisi semacam itu tidak pernah ada di Tiongkok, negeri asal tradisi Imlek. Bahkan,<br />

saat ini mulai bermunculan simbol-simbol baru, seperti aneka ragam kuliner Imlek khas<br />

<strong>Indonesia</strong>, pernak-pernik, hingga munculnya Semar dan tokoh-tokoh pewayangan berbusana<br />

Tionghoa dalam pawai perayaan Imlek. Contoh-contoh di atas adalah bukti perayaan Imlek sema<br />

kin terintegrasi dengan budaya nusantara. Jadi, biarkan bu daya berkembang secara alami, tanpa<br />

perlu diatur dengan undang-un dang.<br />

Tohmasya rakat ternyata lebih pandai dan bijak me nyikapi multikulturalisme di <strong>Indonesia</strong>. Satu<br />

hal yang perlu diperha tikan, jangan sampai perayaan Imlek terlalu menonjolkan sisi glamor dan<br />

konsu merisme seperti fenomena yang muncul di mal-mal, dan tempat-tempat hiburan. Prak tik<br />

se macam itu tidak saja melenceng dari mak na spiritual pera yaan Imlek, tetapi juga dapat<br />

melukai perasaan saudaraki tayang sebagian masih hidup dalam kemiskinan, atau yang sedang<br />

ditimpa bencana.<br />

Pera yaan semacam itu akan berujung pada eksklusivisme, bukan multikulturalisme. Ke depan,<br />

kita berharap perayaan Imlek semakin ken t al dengan nuansa <strong>Indonesia</strong> melalui perpaduan<br />

berbagai unsur budaya nusantara se hingga Imlek memberikan sum bangan besar bagi pemba<br />

ngunan kebera gaman dan mem perkokoh persatuan bangsa.[]


Imlek dan Persaudaraan Sejati<br />

Diakui atau tidak, penerimaan dan akulturasi budaya <strong>Islam</strong> antara etnis Tionghoa dan Sunda<br />

adalah kegairahan yang tak pernah usai sekaligus saling melengkapi satu sama lain. Kehadiran<br />

<strong>Islam</strong> (Sunda) dari jalur Konfusius (Cina) lebih diterima daripada Arab atau India.<br />

Ini tercantum dalam Pantun Bogor, seperti dikemukakan Anis Jatisunda ihwal seruan untuk<br />

menerima <strong>Islam</strong> dari penyebar yang berkucir dan menolak dari yang bersurban, tulis Bambang<br />

Q-Anees, pegiat khazanah Sunda dalam Seminar Internasional Budaya Sunda-Melayu Nusantara<br />

bertajuk Sunda, <strong>Islam</strong> dan Melayu Nusantara di Universitas Pasundan 21-22 Januari 2011<br />

Berpijak dari cerita Anis Jatisunda maka dibuat rekonstruksi singkat. Pada periode dinasti Sung<br />

(960-1279) <strong>Islam</strong> telah berkembang di Cina dan semakin tumbuh dan berkembang pada zaman<br />

dinasti Ming (1368-1644). Bersama dengan itu berkembang pula ajaran neo-Konfusionisme; t‘ai<br />

chi (Puncak Agung, Nir Agung), hsin (pikiran-dan-hati), chen-I (esa sejati).<br />

Menurut Sachiko Murata, relasi ini merupakan pengaruh dari <strong>Islam</strong> terhadap neo-konfusionisme<br />

yang mewujud pada etika dan harmoni alam.<br />

Mampuhkah kehadiran Imlek 2562 yang jatuh pada 3 Februari 2011 menjadi momentum awal<br />

dalam menjaga keharmonisan antaretnis sekaligus membangun persaudaraan sejati di Tatar<br />

Sunda ini.<br />

Hari Persaudaraan<br />

Umat Khonghucu meyakini, tibanya hari Imlek harus menjadi momentum lambang semangat<br />

perjuangan dan kemenangan di dalam berusaha membina kehidupan agamanya. Pun menjadi<br />

lambang persaudaraan di antara umat Ji Kau/Ru Jiao, Hud Kau/Fo Jiao, dan Too Kau/Dao Jiao.<br />

Upaya merajut persaudaraan dan perilaku toleran diantara keturunan Tionghoa itu terlihat jelas<br />

saat praktik ibadah di Altar Langit (Thian Than) Kelenteng Tri Dharma. Memang indah dan<br />

syahdu. Seakan-akan perbedaan keyakinan (Budha, Tao, Konghucu) menjadi modal dasar dalam<br />

membangun kehidupan yang lebih baik lagi.<br />

Sebutan Tri Dharma (Tiga Ajaran Kebajikan) pun melekat pada tempat peribadatan Tionghoa<br />

sekaligus upaya memelihara, menjunjung nilai-nilai ajaran yang telah disampaikan oleh Kongzu.<br />

Lepas dari apakah mereka dikategoritan agama Budha, Tao atau Konghucu. Yang jelas mereka<br />

keturunan Konzi dan harus memelihara sekaligus menyebarluaskan ajaran kebaikan dan<br />

kebijaksanaan tersebut.<br />

Berkat anjuran dinasti Zhou, kembali digunakan kalender Xia yang merujuk kepada kehidupan<br />

Kongzi, Khongcu atau Confucius pada zaman Dinasti Zhou (551-479 SM). Nasihat suci ini dapat<br />

dilaksanakan Han Wu Di dari Dinasti Han (140-86 SM) pada 104 SM. Sejak itulah kalender


Imlek diterapkan sebagai penanggalan Kongzi dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan<br />

bernegara.<br />

Namun demikian adakalanya terjadi pertumpahan darah, pembunuhan massal, penjarahan yang<br />

dialami keturunan Cina di <strong>Indonesia</strong>. Seperti ditulis Ali Usman; Pembantaian di Batavia 1740,<br />

Pembantaian Cina Masa Perang Jawa 1825-1930, Pembunuhan Massal Etnis Cina di Jawa 1946-<br />

1948, Peristiwa Rasialis 10 Mei 1963, 5 Agustus 1973, Malari 1974 ,dan Kerusuhan Mei 1998.<br />

Padahal di mata Claudine Salmon, peneliti asal Prancis yang mendedikasikan hampir seluruh<br />

kariernya untuk meneliti kebudayaan Cina di <strong>Indonesia</strong>, dalam bukunya Literature in Malay by<br />

the Chinese of <strong>Indonesia</strong>, a Provisional Annotated Bibliography (1981), ia mengatakan, di<br />

<strong>Indonesia</strong>, kalau ada istilah suku-suku, orang Cina dianggap sebagai suku asing.<br />

Akan tetapi, siapa yang asing, siapa yang pribumi, sebenarnya tidak terpisah. ―Saya kira<br />

sejumlah orang <strong>Indonesia</strong> yang menganggap diri sebagai orang pribumi adalah keturunan Cina‖.<br />

(Suara Merdeka, 13/2/2010)<br />

Etika dan Harmoni Alam<br />

Menilik ketidakharmonisan antara penduduk asli dan pendatang di bumi persada ini seakan-akan<br />

kehidupan warga keturunan Cina tak memberikan kontribusi besar terhadap tatanan kebangsaan<br />

dan kenegaraan.<br />

Salah satu cara membangun kerukunan dan persaudaraan di bumi Parahyangan harus bersumber<br />

pada keimanan. Pasalnya, Iman harus dibuktikan dengan perilaku tubuh (badan).<br />

―Tubuh di sini adalah dasar bagi kesadaran menusia dan seluruh hubungan kemanusiaan. Tubuh<br />

perlu dilatih untuk berbuat benar dalam segala keadaan dan berlaku sopan di setiap kehidupan<br />

(Saciko Murata, 2003;51)‖<br />

Bila kita kuat memegang prinsip ini maka persaudaraan akan semakin erat dan mewujud dalam<br />

cara beretika dan harmoni alam. Konon, faktor inilah yang menjadikan dasar penerimaan<br />

masyarakat Sunda terhadap <strong>Islam</strong> dari Cina pada waktu itu. Apalagi, keharomisan dan perilaku<br />

bersaudara menjadi contoh pemaknaan dharma neo-konfusionisme terhadap amar takwini dan<br />

amar taklifi.<br />

Ingat, tradisi intelektual <strong>Islam</strong> membagi perintah Allah dua jenis. Perintah yang menimbulkan<br />

akibat (amar takwini) berkenaan dengan tatanan alam; perintah yang berkenaan dengan perintahperintah<br />

moral dan gerakan sosial yang Allah turunkan kepada para nabi (amar taklifi).<br />

Kiranya, apa yang dialakukan Sufi Cina dalam menerjemahkan dan memahami amanat untuk<br />

tatanan moral dan takdir (nasib) untuk tatanan alam layak kita tiru. ―Apa yang dilimpahkan<br />

langit kepada semua makhluk disebut amanat. Apa yang diterima semua makhluk dari langit<br />

disebut sifat‖


Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari keturunan Tionghoa sangat menjunjung tinggi<br />

keselarasan manusia dengan alam. Ini dibenarkan oleh Fung Yu Lan (1952), menurutnya seorang<br />

manusia dengan manusia lain harus mengikuti tata cara kehidupan yang telah dibangun oleh para<br />

orang bijak kuno sesuai dengan tata cara semesta.<br />

Konteks kesundaan falsafat silih asah, asih dan asuh yang bersumber dari amanat galunggung<br />

atau darma siksa Karesian harus kita tanamkan dalam sanubari kita untuk menciptakan<br />

persaudaraan tanpa batas, sekat dan perbedaan.<br />

Meskipun, untuk hubungan kekrabatan urang Pasundan dikenal ungkapan pancakaki. Ini diamini<br />

Ajip Rosidi (1996), dimana pancakaki memiliki pengertian suatu hubungan seseorang dengan<br />

seseorang yang menunjukan adanya ikatan persaudaraan (keturunan). Temali ikatan adatistiadat-kebiasaan<br />

menjadi menonjol untuk tetap membiasakan bersilaturahim.<br />

Mudah-mudahan adanya tahun Kelinci 2011 yang terdiri dari unsur logam negatif (-) dan kayu<br />

negatif (-) menjadi perekat persaudaraan sesama, antarmanusia yang kian tercabik-cabik di<br />

Tanah Sunda ini.<br />

Apalagi kelinci di mata ahli fengshui, Akino W Azaro melambangkan kemakmuran, silaturahmi,<br />

persaudaraan, kekeluargaan, berhati-hati dan bisa berteman dengan siapa pun.<br />

Terwujudnya masyarakat Jawa Barat yang damai, adil, toleran, harmonis, terbuka, jujur, menjadi<br />

cita-cita bersama dalam membangun kerukunan antaragama, etnis. Inilah makna terdalam Imlek<br />

dalam menciptakan persaudaraan sejati. Semoga. Selamat Imlek 2562. Gong Xi Fa Cai.[]


Integrasi Ilmu<br />

Masih teringat dalam benak saya, ketika kecil dahulu yang hidup di perkampungan, jauh dari<br />

keramaian kota dan modernisasi. Saat masa menuntut ilmu di pesantren tradisional, guru dan<br />

orang tua selalu mewanti-wanti agar mengutamakan mempelajari dan mendalami ilmu agama<br />

dibandingkan ilmu lainnya (baca: umum). Pada saat itu, saya–atau mungkin juga kita–tidak sadar<br />

kalau sebenarnya mereka telah melakukan atau ―tertular‖ oleh namanya ―dikotomi ilmu‖<br />

(pengkotak-kotakan ilmu) sebuah istilah yang asing dan baru.<br />

Pesan orang tua yang masih terngiang dalam benak saya ketika itu adalah: ―Nak…ilmu agama<br />

dapat membawa keselamatan dunia dan akhirat. Tuhan tidak menanyakan apakah kita ahli dalam<br />

ilmu matematika, ekonomi atau lainnya, Tuhan hanya akan menanyakan hal yang berkaitan<br />

dengan agama‖.<br />

Fenomena di atas sangatlah wajar terjadi. Karena, ketika kita membaca karya-karya yang<br />

dihasilkan oleh kalangan ilmuwan (baca: <strong>Islam</strong>), maka permasalahan dikotomi ilmu ke dalam<br />

dua bagian–agama dan non-agama– ternyata bukanlah hal yang baru. Jauh sebelum itu, sekitar<br />

seribu tahun yang lalu misalnya Imam al-Ghozali (w. 1111) dan Ibn Khaldun (w. 1406), dalam<br />

karyanya telah melakukan hal serupa.<br />

Tradisi dikotomi ilmu dikalangan umat <strong>Islam</strong> pada masa itu tidak banyak mengandung problem<br />

dalam pendidikan <strong>Islam</strong>. Berbeda dengan sekarang, yang dimulai ketika Barat melakukan<br />

ekspansi dan imperialisme ke dunia <strong>Islam</strong>, permasalahan dikotomi ilmu kian menemui banyak<br />

problem.<br />

Di antara permasalahan yang muncul adalah adanya kesenjangan dalam sumber hukum. Mereka<br />

yang mendukung ilmu agama akan menganggap pesan Ilahiah dalam bentuk kitab suci-lah yang<br />

paling mempunyai otoritas menilai kebenaran. Hal tersebut berbeda bagi orang yang mendukung<br />

ilmu non-agama (baca: umum), mereka akan menganggap sebaliknya, justru penglihatan panca<br />

indra-lah yang paling benar, karena menurutnya, satu-satunya sumber ilmu adalah pengalaman<br />

empiris.<br />

Permasalahan lainnya berkaitan dengan status hukum–sah atau tidak sah, ilmiah atau tidak<br />

ilmiah untuk dijadikan sebagai disiplin ilmu. Sains Modern telah melakukan vonis bahwa objek<br />

ilmu bisa dikatakan sah dan ilmiah ―jika ia dapat diobservasi dan diamati oleh indra‖. Nah,<br />

dengan demikian, segala macam objek ilmu jika keluar dari ketentuan di atas, sekalipun ia<br />

rasional, maka ia tidaklah sah untuk dikatakan ilmiah.<br />

Pada sisi lain, kalangan ilmuan <strong>Islam</strong>-pun berbuat hal yang serupa, mereka secara fanatik pula<br />

menganggap bahwa panggalian ilmu-ilmu yang non-fisik adalah suatu keharusan karena pada<br />

sisi inilah realitas kebenaran yang sebenarnya akan didapatkan, seperti apa yang diungkapkan<br />

oleh al-Ghozali yang mengatakan bahwa ―mempelajari ilmu-ilmu agama adalah fardhu ‗ain<br />

hukumnya dan mempelajari ilmu-ilmu umum fardhu kifayah‖. Fatwa tersebut secara tidak


disadari menyebabkan kemerosotan dikalangan dunia <strong>Islam</strong> pada penguasaan disiplin ilmu-ilmu<br />

non-agama.<br />

Dua persepsi di atas–yang satu bangga dengan penguasaan ilmu-ilmu fisik dan di lain pihak<br />

bangga dengan ilmu-ilmu non-fisik secara tidak disadari menjadi problem dalam menentukan<br />

klasifikasi ilmu.<br />

Dilain pihak, kalangan pembela agama juga melakukan sikap ekslusifisme terhadap metode<br />

indrawi di atas. Bahkan lebih dari itu mereka merancang seperangkat metode yang sebenarnya<br />

tidak dapat mengembangkan ilmu, justru sebaliknya akan ―mengkerdilkan‖ ilmu tersebut.<br />

Keran-keran berfikir kritis, inofatif dan ilmiah mereka tutup dengan segudang klaim hukum<br />

bid‘ah, haram dan sebagainya. Kalangan pembela ilmu agama menganggap hanya dirinya yang<br />

mempunyai otoritas penuh dan tak dapat diganggu gugat.<br />

Itu-lah di antara sederet permasalahan dan problem meskipun sebenarnya banyak masalah dan<br />

problem lainnya. Karena itu, upaya meng-integrasi-kan ilmu merupakan hal yang urgen saat ini,<br />

dan hal ini-lah yang sedang diupayakan oleh perguruan berbasis <strong>Islam</strong> seperti UIN, IAIN,<br />

STAIN ke depan.<br />

Di antara pola integrasi ilmu yang perlu digalakan saat ini adalah terkait dengan metodologi<br />

ilmiah yakni metode observasi dengan alat indra, metode rasional dengan akal, dan metode<br />

intuitif dengan hati. Hal tersebut harus dilakukan, karena, masing-masing metode tersebut<br />

mempunyai kelemahan dan kelebihan.<br />

Karena itu, kelemahan dan kelebihan itu hendaknya di jadikan sebab untuk saling melengkapi<br />

satu sama lainnya, bukan untuk saling menjatuhkan. Mari kita kembangkan integrasi ilmu, demi<br />

mewujudkan para ilmuan yang berkualitas tinggi sekaligus berbudi luhur.[]


Keshalihan Sosial<br />

Shalih dalam Alquran banyak diulang dalam beberapa ayat dan semuanya menunjukkan pada<br />

satu predikat, yaitu indikator keimanan seseorang. Rangkaian ayat dalam Alquran sering<br />

digabungkan antara ―alladzina aamanuu‖ dengan ―amilus shalihat.‖ Hal ini mengandung faidah<br />

bahwa antara iman dan amal shalih tidak bisa dipisahkan, bagai dua sisi mata uang (like two<br />

sides a coin), satu sama lain saling menyempunakan.<br />

Dalam Kamus al-Munawwir (h.788-789), istilah Shalih mengandung makna al-Jayyid (bagus),<br />

al-Baar (sholeh), al-manfa‘at (kemanfaatan), al-Ni‘mat al-Waafirah (keni‘matan yang<br />

sempurna), dan lain-lain. Semua istilah tersebut merujuk pada satu kata ‗kebaikan.‘ Tolok ukur<br />

kelakuan baik dan buruk mestilah merujuk kepada ketentuan Allah SWT.<br />

Demikian rumus yang diberikan oleh kebanyakan ulama. Apa yang dinilai baik oleh Allah, pasti<br />

baik dalam esensinya. Demikian pula sebaliknya, tidak mungkin Dia menilai kebohongan<br />

sebagai kelakuan baik, karena kebohongan esensinya buruk.<br />

Berbuat baik (amal shalih) tentu tidak cukup hanya untuk diri sendiri saja. Hal tersebut hanya<br />

memberikan kesan menjadi shalih secara individual, padahal <strong>Islam</strong> menganjurkan terwujudnya<br />

suatu sistem akhlak yang mengerucut pada predikat kesahalihan sosial (kolektif/jama‘i).<br />

<strong>Islam</strong> adalah sebagai sistem aturan (agama) yang berfungsi sebagai rahmatan lil ‗alamin. Karena<br />

itu, sasaran akhlak yang baik selain untuk diri sendiri juga untuk Allah SWT, sesama manusia,<br />

dan alam secara keseluruhan (M Quraish Shihab, 2000:261-273).<br />

Perintah agama untuk berbuat kebaikan pada dasarnya merupakan washilah yang akan<br />

menghantarkan kita pada derajat keridhaan Illahi nanti di akhirat. Perintah dan dorongan berbuat<br />

baik itu datang dari Allah melalui para utusan-Nya. Namun sesungguhnya dorongan kepada<br />

kebaikan itu sudah merupakan ―bakat primordial‖ manusia, bersumber dari hati nurani (nurani,<br />

bersifat nur atau terang) karena adanya fitrah pada manusia. Oleh karena itu berbuat baik<br />

merupakan sesuatu yang ―natural‖ atau alami, karena dia tidak lain adalah perpanjangan<br />

nalurinya sendiri, alamnya sendiri, yang ada secara primordial, sejak seseorang dilahirkan ke<br />

dunia ini.<br />

Maka jika Allah memerintahkan kita berbuat baik, sesungguhnya seolah-olah Dia hanyalah<br />

mengingatkan kepada kita akan ―nature‖ kita sendiri, kecenderungan kita sendiri. Dengan kata<br />

lain, berbuat baik adalah sesuatu yang manusiawi, yang sejalan dan mencocoki sifat dasar<br />

manusia itu sendiri. Dengan sendirinya perbuatan jahat adalah melawan kemanusiaan, menyalahi<br />

sifat dasar manusia itu.<br />

Karena itu, dari perspektif ini bisa disimpulkan bahwa perintah berbuat baik dari Allah SWT<br />

kepada kita bukanlah untuk kepentingan Allah sendiri. Dia Maha Kaya (al-Ghaniy), tidak<br />

membutuhkan pelayanan/service dari makhluk-Nya. Sebaliknya, ketika perbuatan baik


dikerjakan manusia maka semuanya akan kembali untuk kebaikan manusia itu sendiri. Hal ini<br />

telah Allah tegaskan dalam QS Fushilat : 46, ―Barang siapa berbuat baik, maka hal itu untuk<br />

dirinya sendiri; dan barang siapa berbuat jahat, maka hal itu adalah atas (kerugian) dirinya<br />

sendiri.‖<br />

Berbagai kajian ilmiah mengenai manusia telah mengukuhkan bahwa manusia yang reach out,<br />

mengulurkan tangan untuk menolong orang lain, adalah orang yang bahagia. Jika suatu kali kita<br />

bertemu dengan orang yang membutuhkan pertolongan, kemudian kita menolongnya, sepintas<br />

lalu nampak seperti perbuatan kita adalah untuk kepentingan orang tersebut. Tetapi, dalam<br />

perenungan yang lebih mendalam, seuntung-untungnya orang yang kita tolong itu, tetap masih<br />

beruntung dan bahagia kita sendiri, justeru karena kita mampu menolong. Lebih lanjut, karena<br />

perasaan bahagia itu, kita akan mendapatkan dunia ini terasa lapang dan luas untuk kita<br />

disebabkan oleh lapang dan luasnya dada (jiwa) kita. Kita dibimbing oleh Allah, berkat<br />

perbuatan baik kita sendiri, kepada kehidupan yang luas,lapang dan penuh harapan (Nurcholis<br />

Madjid, 1999 : 186-187)<br />

Inilah salah satu makna janji Allah SWT dalam firman-Nya QS. Al-Zumar : 10 ―Katakanlah<br />

(Muhammad), ―wahai-wahai hamba-Ku yang beriman! Bertakwalah kepada Tuhanmu.‖ Bagi<br />

orang-orang yang berbuat baik di dunia ini akan memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu luas.<br />

Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pehalanya tanpa batas.‖<br />

Drs H Hamzah Ya‘kub menyebutkan ada beberapa faktor penting dalam membentuk etika atau<br />

akhlak yang baik yang akan menghasilkan amal shalih. Dalam bahasa sekarang diistilahkan<br />

dengan pembentukan karakter (character building). Beberapa faktor tersebut antara lain :<br />

manusia (subjek), instink (naluri), Kebiasaan (habit), Keturunan (hereditas/nasab), lingkungan,<br />

‗Azzam (tekad/motivasi kuat), Suara batin, dan pendidikan (tarbiyah).<br />

Dengan kata lain, kesuksesan seseorang dalam beramal shalih akan banyak ditentukan oleh<br />

faktor-faktor tadi. Akan tetapi hal di atas bukan bermakna menafikan peran hidayah Allah SWT<br />

yang sudah menjadi sifat mutlak bagi makhluk-Nya.<br />

Terjadinya musibah gempa bumi beberapa hari lalu yang menimpa kita dan saudara-saudara<br />

dekat kita di wilayah Kab. Bandung, Bandung Barat dan lebih luasnya Jawa Barat adalah sebagai<br />

lahan untuk mengaktualisasikan makna keshalihan sosial kita. Ketika sebagian besar saudara kita<br />

sedang membutuhkan pertolongan, maka seharusnya lah kita memberikan apapun yang kita<br />

mampu dan yang mereka butuhkan. Kepedulilan sosial kita mengindikasikan tingkat kecerdasan<br />

sosial kita (social intellegience).<br />

Kita berusaha simpati sekaligus empati atas segala musibah yang sedang menimpa saudarasaudara<br />

kita. Sebaliknya, ketika tidak peduli dengan urusan saudaranya, Rasul SAW sampai<br />

memberikan ultimatum: ―Barang siapa yang tidak peduli dengan urusan kaum Muslimin yang<br />

lain, maka dia bukan dari golongan mereka.‖[]


Makna Simbolik Imlek<br />

kikiPerayaan hari raya tahun baru imlek bagi etnis Cina bukan hanya sekedar ritual rutinitas<br />

tahunan biasa dan budaya saja, akan tetapi juga imlek merupakan warisan budaya yang sekaligus<br />

menyatu dengan kepercayaan agama. Karena itu, imlek bagi etnis Cina sangat bernilai sacral.<br />

Jika ditelusuri akar sejarahnya, maka perayaan imlek atau dalam bahasa cina disebut dengan Sin<br />

Tjia, sebenarnya bermula dari sejenis perayaan yang kerapkali dilakukan oleh para petani di Cina<br />

pada setiap tanggal satu di bulan pertama di awal tahun baru. Tradisi ini juga berkaitan dengan<br />

pesta para petani untuk menyambut musim semi, dimulai pada tanggal 30 bulan ke-12 dan<br />

berakhir pada tanggal 15 bulan pertama.<br />

Nilai kesakralan dari perayaan imlek ini biasanya di isi dengan beberapa ritual keagamaan, di<br />

antaranya sembahyang kepada Sang Pencipta Alam, sembahyang leluhur, perayaan Cap Go Meh,<br />

dan banyak lagi ritual-ritual lainnya.<br />

Ritual sembahyang leluhur dalam imlek misalnya, memiliki makna luas, tidak hanya sekadar<br />

memberi makan arwah leluhur. Dalam persepsi orang Cina, sembahyang leluhur adalah wujud<br />

bakti seorang anak kepada orangtuanya. Bakti kepada orang tua tidak hanya merawat dan<br />

menjaga hingga meninggal, tetapi juga setelah meninggal. Ini mengingatkan kita bahwa kita<br />

berada di dunia ini tidak semata-mata karena Tuhan, tetapi juga orangtua,<br />

Ritual lainnya seperti menyalakan lilin atau lampion menurut Yu Ie, seseorang yang banyak<br />

mempelajari sejarah Tionghoa mengatakan bahwa ketika menyalakan lilin atau lampion, warga<br />

Tionghoa berharap agar dalam satu tahun ke depan hidup mereka menjadi terang seperti lilin.<br />

Sedangkan pembuatan kue lapis dalam imlek juga merupakan simbol keinginan agar di tahun<br />

mendatang rezeki melimpah dan berlapis-lapis. Bunga sedap malam dihadirkan sebagai tekad<br />

untuk terus berlaku baik dan harum, seharum bunga sedap malam.<br />

Tradisi simbolik lainnya yang selalu ditunggu-tunggu adalah pemberian ang pau. Makna ang pau<br />

menurut Ketua Majelis Tinggi Agama Konghucu <strong>Indonesia</strong>, Budi Santosa Tanuwibawa,<br />

mengatakan bahwa ang pau yang diberikan pada saat imlek memiliki makna filosofi sebagai<br />

transfer kesejahteraan atau energi. ―Transfer kesejahteraan dari orang mampu ke tidak mampu,<br />

dari orang tua ke anak-anak, dari anak-anak yang sudah menikah ke orang tua,‖<br />

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa tradisi pemberian ang pau, dalam kepercayaan Tionghoa<br />

sudah berlangsung sejak lama. Dalam tradisi Konghucu, pemberian angpau dilakukan tujuh hari<br />

menjelang Tahun Baru Imlek. ―Harinya disebut Hari Persaudaraan. Ini merupakan bentuk<br />

kewajiban orang yang merayakan Tahun Baru Imlek membantu sesama yang tak mampu<br />

merayakannya.‖


Semua tradisi simbolik dalam perayaan imlek tersebut adalah sebagai bentuk perwujudan rasa<br />

syukur atas segala kenikmatan yang diberikan Tuhan kepada Manusia, dan juga doa harapan agar<br />

di tahun depan, mendapat rezeki yang jauh lebih banyak.<br />

Karena itu, berbagai ritual simbolik keagamaan dalam perayaan imlek dapat dijadikan sebagai<br />

jalan keluar terhadap masalah-masalah yang dihadapi manusia, karena manusia itu sendiri<br />

mengalami situasi tekanan emosi dan jalan buntu, sebagaimana peran agama yang dijelaskan<br />

oleh Cliford Geertz.<br />

Makna substansial lainnya dari imlek menurut hemat saya tidak hanya itu, imlek sebagaimana<br />

hari raya idul fitri dalam <strong>Islam</strong>, juga dimaknai sebagai hari raya yang memberikan pesan untuk<br />

saling bersilaturahmi dengan para kerabat dan juga dengan tetangga yang berbeda identitas–baik<br />

suku, ras, etnis, bahkan kepercayaan agama.<br />

Simbol dari pesan silaturrahmi itu terlihat dari banyaknya menu makanan yang dibuat pada<br />

perayaan imlek. Ada sekitar dua belas menu makanan wajib yang harus dibuat. Berbagai menu<br />

makanan tersebut dijadikan sebagai jamuan, bahkan sebagian diberikan kepada para kerabat dan<br />

tetangga yang membutuhkan.<br />

Dengan momen imlek yang ke-2562 kali ini, diharapkan pesan moral yang termaktub dalam<br />

imlek tersebut betul-betul bisa diaplikasikan tidak hanya dalam makna simbolik ritualitas dan<br />

rutinitas saja, akan tetapi juga dalam prilaku nyata manusia sehari-hari.<br />

Pesan moral imlek yang tersimbolkan dalam ritualitas tersebut sejatinya bisa dijadikan sebagai<br />

media memupuk persaudaraan, toleransi, dan humanisme beragama di antara kita yang pernah<br />

terkoyak hanya demi kepentingan semu dan egosentrisme etnis dan agama. Kepada kalangan<br />

etnis Cina yang sedang merayakan imlek, saya mengucapkan selamat merayakannya.[]


Masjid, Radikalisme Agama dan Pencerahan<br />

hendarRadikalisme atau kekerasan dalam dan atas nama agama bukan hanya merupakan ―bidah<br />

keagamaan‖ kontemporer, melainkan juga ―bidah peradaban‖ yang sangat mengkhawatirkan.<br />

Disebut bidah keagamaan, karena praktik radikalisme keagamaan ini tidak pernah diteladankan<br />

oleh Rasul.<br />

Menurut Karen Armstrong (2001: 385), keberhasilan perjuangan Nabi Muhammad, bukanlah<br />

dengan pedang, melainkan dengan menggunakan kebijakan anti kekerasan yang kreatif dan jujur.<br />

Disebut bidah peradaban, karena radikalisme keagamaan tersebut telah menyimpang dari citacita<br />

dan visi peradaban manusia, yaitu hidup harmonis dengan lingkungan dan sesamanya.<br />

Menurut Jim Ife dan Frank Tesoriero (2008: xiii) kebutuhan untuk hidup harmonis antara<br />

manusia dengan lingkungan dan sesamanya itu merupakan prasyarat peradaban.<br />

Sejak 11/9/2001, muncul berbagai studi yang kerap kurang proporsional melabelkan kekerasan<br />

atau radikalisme keagamaan tersebut pada <strong>Islam</strong>. Muncullah sebutan <strong>Islam</strong> radikal, <strong>Islam</strong><br />

funmentalis atau <strong>Islam</strong> lainnya yang dikelompokkan kepada <strong>Islam</strong> garis keras. Dalam sejumlah<br />

studi, tak jarang juga sejumlah institusi keagamaan <strong>Islam</strong>, seperti pesantren dan madrasah<br />

dituduh sebagai ―sarang teroris‖, tempat bersemainya benih kekerasan.<br />

Bahkan, riset baru-baru ini, melansir temuan bahwa masjid sebagai tempat suci par exellence<br />

umat <strong>Islam</strong> yang menjadi basis tumbuhnya benih radikalisme keagamaan. Temuan ini mungkin<br />

ada benarnya, karena fakta sosiologis menunjukan bahwa masjid sangat terbuka bagi akses siapa<br />

pun, termasuk kelompok <strong>Islam</strong> garis keras.<br />

Akan tetapi, adalah fakta sosiologis juga, bahwa masjid sangat terbuka untuk diakses oleh<br />

kelompok <strong>Islam</strong> moderat atau komunitas yang memperkenalkan <strong>Islam</strong> sebagai agama yang<br />

ramah dan penebar rahmat. Oleh karena itu, tulisan ini berpendapat bahwa studi atau temuan<br />

bahwa masjid menjadi basis persemaian radikalisme keagamaan, tidak sepenuhnya benar.<br />

Terdapat sejumlah masjid yang justru melakukan perlawanan terhadap praktik radikalisme<br />

keagamaan dan memperkenalkan agama sebagai rahmat atau pelayan bagi kemanusiaan. Masjid<br />

semacam itu, pada umum dikelola dan dimakmurkan oleh kelompok <strong>Islam</strong> moderat yang<br />

memperkenalkan visi <strong>Islam</strong> sebagai rahmatan lil‘alamin. Satu di antaranya adalah Masjid Raya<br />

Mujahidin yang dikelola oleh Pengurus Wilayah Muhammadiyah Jawa Barat.<br />

Pusat kebudayaan<br />

Konsepsi masjid sebagai pusat ibadah dan kebudayaan telah diterima secara luas oleh hampir<br />

seluruh komunitas peradaban, terutama <strong>Islam</strong>. Secara umum, konsep ini disimbolkan dengan dua<br />

komponen utama masjid, yaitu mihrab dan mimbar. Mihrab atau pangimaman merupakan simbol<br />

pusat ibadah yang memiliki nilai kesucian di mana seorang imam memimpin salat berjamaah.<br />

Sementara mimbar atau podium merupakan simbol pusat kebudayaan, karena di atas mimbar


tersebut, terjadi proses dialog dan kontak kebudayaan antara khatib (penceramah) dengan<br />

mustami‘ (Sidi Gazalba, 1989: 2560).<br />

Konsep masjid sebagai pusat ibadah dan kebudayaan ini telah diwujudkan secara baik pada masa<br />

Nabi dan kekhalifahan yang terbimbing. Masjid pada masa Nabi, selain berfungsi sebagai tempat<br />

sujud atau tempat berkumpulnya kaum Muslimin untuk melaksanakan salat berjemaah, juga<br />

menjadi tempat atau pusat pendidikan, pusat informasi, latihan militer, pengembangan baitul mal<br />

untuk kesejahteraan dan santunan sosial serta menjadi tempat perdamaian dan peradilan<br />

sengketa. Di samping itu juga, Rasulullah menjadikan masjid sebagai tempat konsultasi dan<br />

komunikasi dalam masalah kemasyarakatan dan kenegaraan (termasuk masalah sosial, ekonomi,<br />

budaya) serta sebagai tempat perawatan atau pengobatan (M. Quraish Shihab, 1992, 462).<br />

Berdasarkan konsepsi masjid di atas, tak diragukan lagi, bahwa kehadiran masjid merupakan<br />

komponen utama dalam pembentukan kebudayaan dan peradaban <strong>Islam</strong>. Masjid merupakan ruh<br />

atau jiwa peradaban itu sendiri. Oleh karena itu, tidak heran kalau program utama dan pertama<br />

yang dicanangkan Nabi dalam pembentukan peradaban <strong>Islam</strong> adalah membangun masjid. Masjid<br />

yang dikenal pertama kali didirikan Nabi adalah masjid Quba dan masjid Nabawi. Pentingnya<br />

keberadaan masjid sebagai pusat ibadah dan kebudayaan ini, sangat disadari betul oleh The<br />

Founding Father Muhammadiyah. Ketika Kiai Ahmad Dahlan memulai gerakan pembaruannya,<br />

pertama kali yang dilakukannya adalah memperbaiki masjid dengan meluruskan saf arah<br />

kiblatnya.<br />

Kiai Ahmad Dahlan telah meletakkan dasar gerakan pembaruannya dari masjid. Tradisi yang<br />

sama juga dilanjutkan oleh generasi berikutnya. Pernyataan Ketua PP Muhammadiyah Prof. Din<br />

Syamsuddin pada Pengajian Ramadan 1427 H mengenai perlunya kembali menggerakkan<br />

jemaah dari masjid, semakin mengukuhkan tentang arti strategisnya masjid. Menurut Din<br />

Syamsuddin, kalau mau kuat, Muhammadiyah harus kembali ke masjid dan menggerakkan<br />

jemaahnya dari masjid. Pernyataan Ketua PP Muhammadiyah ini menggambarkan kehadiran<br />

masjid yang sangat strategis dalam menggerakkan jemaah.<br />

Ada tiga pola masjid yang didirikan Muhammadiyah, yaitu pertama, Masjid Muhammadiyah<br />

didirikan sebagai bagian dari kesatuan amal usaha pendidikan dan kesehatan atau amal sosial.<br />

Misalnya, masjid yang dibangun dalam kompleks sekolah, kampus, rumah sakit dan panti<br />

asuhan. Kedua, masjid didirikan oleh komunitas Muhammadiyah di tengah kampung atau desa.<br />

Dalam komunitas ini, masjid menjadi pusat kegiatan ibadah, dakwah dan pelurusan akidah.<br />

Ketiga, masjid Muhammadiyah didirikan menyatu dengan Kantor Muhammadiyah, Kantor<br />

PRM, PCM, PDM, PWM yang maju biasanya dilengkapi dengan masjid (Suara Muhammadiyah,<br />

N0. 21, 2006).<br />

Dengan demikian, masjid di lingkungan Muhammadiyah telah menjadi poros utama dalam<br />

menggerakkan perubahan dan pencerahan dalam masyarakat. Baik yang berkait dengan<br />

pencerahan akidah, ibadah, akhlak maupun pencerahan dalam bidang muamalah secara luas. []


Optimalisasi Filantropi <strong>Islam</strong><br />

Tulisan ini merupakan refleksi ketika saya mengikuti seminar Internasional di UIN Syarif<br />

Hidayatullah, Jakarta, bertema ―Filantropi <strong>Islam</strong>; Media Membangun Peradaban <strong>Islam</strong> di<br />

<strong>Indonesia</strong>‖.<br />

Secara definisi, istilah filantropi (philanthropy) berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari dua kata<br />

yaitu Philos (cinta) dan Anthropos (manusia). Jika diterjemahkan secara harfiah, filantropi<br />

adalah konseptualisasi dari praktek memberi (giving), pelayanan (services) dan asosiasi<br />

(association) secara sukarela untuk membantu pihak lain yang membutuhkan sebagai ekspresi<br />

rasa cinta.<br />

Melihat dari definisi di atas, maka jika ada suatu lembaga yang memiliki tiga unsur di atas<br />

(memberi, melayani, bersifat asosiasi) yang secara sukarela memberikan kepada mereka yang<br />

membutuhkan dan dibumbui rasa cinta, maka lembaga tersebut bisa dikatagorikan sebagai<br />

lembaga yang mengelola dana filantropi.<br />

Praktik filantropi <strong>Islam</strong> di <strong>Indonesia</strong> ternyata dimulai sejak kehadiran agama <strong>Islam</strong> itu sendiri di<br />

Nusantara. Sejak itu, dua institusi yang menyemai tindakan filantropi bagi masyarakat Muslim<br />

adalah masjid dan pesantren.<br />

Kedua lembaga ini telah mulai dibangun sejak abad ke-15 M, ketika komunitas Muslim<br />

khususnya di Jawa mulai menjadikan kedua tempat tersebut sebagai pusat gerakan pendidikan<br />

dan dakwah.<br />

Lantas pertanyaannya, sudah berapa jauh perkembangan yang dicapai oleh lembaga-lembaga<br />

yang mengelola dana filantropi?. Apakah lembaga-lembaga filantropi di <strong>Indonesia</strong> mempunyai<br />

tanggapan positif di mata publik? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini yang menarik untuk diamati.<br />

Menilik sejarahnya, kegiatan filantropi pada masa dahulu (baca: di <strong>Indonesia</strong>) masih sangat<br />

tradisional, sehingga kegiatan-kegiatan filantropi kurang berkembang. Penyebab kondisi<br />

tersebut karena beberapa faktor, salah satu diantaranya adalah manajemen penggalangan dan<br />

penyaluran dana yang kurang tepat sehingga kepercayaan publik lambat laun menjadi hilang.<br />

Untuk itu, belajar dari pengalaman tersebut, maka kini banyak bermunculan beberapa lembaga<br />

atau yayasan yang mengelola dana filantropi dengan menggunakan manajeman modern yang<br />

lebih baik.<br />

Gagasan dan Praktek filantropi sendiri di luar negeri khususnya di Amerika mulai menguat<br />

sekitar pada tahun 1950-an. Ketika itu publik Amerika mulai tertarik dengan ide untuk penguatan<br />

civil rights dan demokrasi yang mulai menggejala di sana yang salah satu tujuannya adalah<br />

pengentasan kemiskinan.


Melihat dari fenomena perkembangan lembaga filantropi di <strong>Indonesia</strong>, maka, berdasarkan<br />

sifatnya dikenal dua bentuk filantropi. Pertama, filantropi tradisional dan filantropi untuk<br />

keadilan sosial. Filantropi tradisional menururt Andi Agung Prihatna adalah filantropi yang<br />

berbasis karitas.<br />

Praktek filantropi tradisional berbentuk pemberian untuk kepentingan pelayanan sosial, misalkan<br />

pemberian langsung para dermawan untuk kalangan miskin dalam rangka memenuhi kebutuhan<br />

sehari-hari.<br />

Melihat dari bentuk penyaluran dana tersebut, bentuk filantropi seperti ini rawan adanya<br />

manipulasi dana berbentuk pengayaan individual, egosentrisme di mata publik . di samping<br />

kelemahan-kelemahan lainnya yakni tidak bisa mengembangkan taraf kehidupan masyarakat<br />

miskin atau dalam istilah sehari-hari hanya memberi ikan tapi tidak memberi pancing (kail).<br />

Berbeda dengan bentuk filantropi untuk keadilan sosial (social justice philanthropy), bentuk<br />

filantropi seperti ini dapat menjembatani jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Jembatan<br />

tersebut diwujudkan dengan upaya memobilisasi sumberdaya untuk mendukung kegiatan yang<br />

menggugat ketidakadilan struktur yang menjadi penyebab langgengnya kemiskinan.<br />

Dengan kata lain, filantropi jenis ini adalah mencari akar permasalahan dari kemiskinan tersebut<br />

yakni adanya faktor ketidakadilan dalam alokasi sumberdaya dan akses kekuasaan dalam<br />

masyarakat. Diantara lembaga filantropi yang menarapkan metode tersebut dan sukses saat ini<br />

adalah Yayasan Dompet Dhu'afa dan Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU).<br />

Kehadiran Yayasan Dompet Dhu'afa sejak 2 Juli 1993 dari ―rahim‖ komunitas pers lambat laun<br />

semakin mununjukan perkembangannya. Bukti perkembangannya secara sederhana dapat dilihat<br />

dari hasil pengumpulan dana yang diperoleh.<br />

Lihat saja, pada penerimaan dana dari tiga program strategi pengumpulan dana yakni zakat, infak<br />

atau sedekah, dan wakaf pada tahun 1993-2009 mencapai jumlah yang mencengangkan. Untuk<br />

zakat mereka memperoleh dana Rp. 71, 794,590,481.13, untuk infak dan sedekah Rp.<br />

12,739,142,858.38, untuk wakaf Rp. 12,626,309,728.20 (Karlina Helmanita: 2005: 103).<br />

Kesuksesan tersebut bisa disebabkan oleh beberapa faktor.<br />

Di antara faktor kesuksesan yayasan ini adalah pada kemampuannya melaksanakan secara<br />

sungguh-sungguh pola manajemen modern dari mulai pola strategi penghimpunan dana,<br />

pendistribusian dana dan target sasaran penerima dana, akuntabilitas dan yang labih penting<br />

adanya transparansi pengelolaan dana yang kemudian melahirkan kepercayaan public (trust<br />

public).<br />

Besarnya dana yang dapat dikumpulkan oleh lembaga filantropi tersebut tentulah disebabkan<br />

oleh pola strategi yang apik--baik itu dari sisi manajemen, marketing, kerjasama dengan media<br />

dan sebagainya.


Karena itu, belajar dari pola pengelolaan lembaga filantropi yang sudah sukses tersebut, marilah<br />

kita bangun lembaga-lembaga filantropi lainnya sebagai media membangun bangsa ini lebih<br />

baik. []


Sejarah Tradisi Maulid<br />

Istilah ―maulid‖ bagi kalangan Muslim <strong>Indonesia</strong> tidaklah asing. Istilah yang kemudian menjadi<br />

tradisi ini selalu diperingati dengan meriah.<br />

Secara etimologi, istilah ―maulid‖ berasal dari bahasa Arab w-l-d yang berarti ―kelahiran‖. Kata<br />

ini biasanya disandingkan atau dikaitkan dengan Nabi Muhammad saw.<br />

Karena itu ―Maulid Nabi Muhammad‖ berarti usaha memperingati hari kelahiran Nabi<br />

Muhammad yang dilakukan oleh seluruh umat <strong>Islam</strong> di seluruh dunia kecuali di Arab Saudi.<br />

Semenjak kapan tradisi maulid ini dikenal di dunia <strong>Islam</strong>?. Dalam hal ini para ulama berbeda<br />

pendapat. Berdasarkan data yang ditemukan bahwa asal mula perayaan maulid dilakukan oleh<br />

penganut mazhab Syi‘ah pada masa dinasti Fatimi di Mesir ketika dipimpin oleh Khalifah al-<br />

Mu‘izz li al-Din Allah (341 H).<br />

Menurut al-Sundubi sebagaimana yang dikutip Nico Kaptein bahwa perayaan maulid yang<br />

dilakukan oleh Khalifah Fatimi saat itu bertujuan ingin membuat dirinya lebih populer di<br />

kalangan rakyat.<br />

Berbeda bagi kalangan Sunni seperti yang diungkapkan oleh Jalal al-Din al-Suyuthi dalam<br />

kitabnya ―Husn al-Maqsid fi ‗Amal al-maulid‖ dijelaskan bahwa awal mula perayaan maulid<br />

dilakukan oleh seorang bernama Muzaffar al-Din Kokburi di kota Irbil.<br />

Pernyataan al-Suyuthi ini nampaknya diambil dari ungkapan Ibn Katsir dalam kitabnya ―Al-<br />

Bidayah wa al-Nihayah fi Tarikh‖ yang mengatakan bahwa al-Malik al-Muzaffar Abu Sa‘id<br />

Kokburi adalah penguasa mulia yang selalu menjalankan ibadah maulid pada bulan Rabiulawal<br />

dan merayakannya secara meriah. (1932: 136).<br />

Pernyataan ini menarik jika dibandingkan dengan pendapat kalangan Syi‘ah di atas. Apa yang<br />

membedakan dua kutub itu berbeda pendapat ?. lagi-lagi pertentangan keyakinan pemikiran dua<br />

kutub itu menjadikan pendapat mereka sengaja atau tidak sengaja berbeda setu dengan lainnya.<br />

Jika ditelusuri kenapa al-Suyuhti seolah-olah menutup mata akan realita sejarah perayaan maulid<br />

Nabi pada masa dinasti Fatimi yang bermazhab Syi‘ah. Perlu mendapat analisa lebih jauh.<br />

Jika alasan bahwa al-Suyuthi tidak mengetahui bahwa pada masa dinasti Fatimi pernah terjadi<br />

perayaan maulid sangatlah tidak logis, mengingat ia seorang ulama masyhur pada zamannya.<br />

Di samping itu, ia pernah menulis kitab ―Husn al-Muhadharah fi tarikh Misr wa al-Qahirah‖<br />

yakni kitab yang berisi uraian tentang sejarah Mesir. Sehingga dengan begitu tidak mungkin jika<br />

ia tidak mengetahui bagaimana perkembangan yang terjadi pada dinasti Fatimi di Mesir.


Salah satu rujukan yang dipakai ketika ia menulis kitabnya adalah kitab ―Khitat‖ karya al-<br />

Maqrizi, dan kitab ―Mir‘at al-Zamaan‖ karya Sibt Ibn al-Jauzi yang menguraikan uraian seputar<br />

perayaan maulid.<br />

Lantas mengapa al-Suyuhti yang ber-mazhab Sunni berbeda pendapat? Menurut hemat saya<br />

sebenarnya al-Suyuthi mengetahui akan perayaan maulid pada masa dinasti Fatimi. Akan tetapi,<br />

ia menutupi realita sejarah itu.<br />

Jika dipahami pilihan yang dipakai oleh al-Suyuthi sangatlah wajar, mengingat permasalahan<br />

tentang maulid adalah sebuah tema yang kontroversial antara dibolehkan atau dilarang.<br />

Al-Suyuthi sebagai ulama yang mendapatkan mandat saat itu untuk memberikan fatwa prihal<br />

maulid adalah sebuah posisi yang penuh resiko. Karena konsekwensinya adalah akan adanya<br />

orang-orang yang akan mendukung atau menolaknya.<br />

Bagi kalangan yang menolak perayaan maulid, mereka mengatakan bahwa maulid Nabi<br />

Muhammad adalah sebuah perbuatan yang bid‘ah karena perayaan ini tidak pernah dijelaskan<br />

dalam Al-qur‘an dan tidak pernah dilakukan oleh sahabat-sahabat nabi.<br />

Alasan pendapat kelompok yang menolak di atas di benarkan oleh al-Suyuthi. Akan tetapi<br />

nampaknya ia mencoba mengantisipasi argumentasi ini dengan mengatakan bahwa perayaan<br />

maulid bagaimanapun pernah dilakukan oleh Muzaffar al-Din Kokburi seorang pemimpin yang<br />

sangat adil dan terpelajar dan salah satu tujuannya adalah tak lain yakni berusaha mendekatkan<br />

diri pada Allah.<br />

Pemilihan al-Suyuthi terhadap Muzaffar al-Din Kokburi dengan menutupi data sejarah<br />

sebenarnya juga karena faktor ketidakcocokan al-Suyuthi terhadap keyakinan akidah yang dianut<br />

oleh Syi‘ah sebagaimana tertuang dalam karyanya yang lain ―Tarikh al-Khulafa‖.<br />

Dalam kitab ini ia mengatakan bahwa ia tidak akan membahas dinasti Fatimi karena imamat<br />

mereka tidaklah sah dengan alasan;<br />

Pertama, garis keturunan mereka diragukan. Bahkan nama dinasti Fatimi juga tidak dibenarkan<br />

dan lebih baik jika memakai nama Banu Ubaid.Kedua, kebanyakan Banu Ubaid termasuk orangorang<br />

ateis yang membelot dari <strong>Islam</strong>. Ketiga, mereka menuntut menjadi Khalifah ketika sudah<br />

ada seorang imam.<br />

Dari sini bisa disimpulkan bahwa perayaan maulid yang kita peringati dengan meriah ini adalah<br />

sebuah tradisi yang mempunyai sejarah cukup lama. Meskipun begitu, perayaan yang tidak<br />

pernah dijelaskan dalam kitab suci ini, adalah warisan tradisi yang patut kita jaga dan lestarikan<br />

karena dengan perayaan maulid ini kita bisa ambil hikmahnya sebagai media mencintai Nabi<br />

terakhir yang saat ini mendapatkan gugatan dari sebagian umat <strong>Islam</strong> yang berfaham beda.<br />

Wallahu a‘lam.[]


Spektrum Gus Dur di Tatar Sunda<br />

Abdurrahman Wahid alias Gus Dur mewariskan nilai-nilai yang luhur. Kepada Jaya Suprana,<br />

sahabatnya, ia pernah berkata bahwa di atas politik masih ada kemanusiaan. Menurut Gus Mus,<br />

sepupunya, Gus Dur begitu yakin bahwa pesan hidupnya adalah untuk sungguh-sungguh<br />

merealisasikan sebuah ayat dalam Al Quran, ―walaqad karamna bani adama‖. Dan sesungguhnya<br />

telah Kami muliakan anak-anak Adam (QS 17:70).<br />

Maka, bagi Gus Dur tidak ada satu macam manusia pun yang boleh dan pantas diperlakukan<br />

tidak adil, dihinakan, didiskriminasikan, dilumpuhkan hak asasinya, dizalimi, dan dipangkas<br />

nilai kemanusiaannya. Itu karena jika Tuhan saja sudah memuliakan manusia, sebagaimana ayat<br />

di atas, bagaimana mungkin kita, baik individu, golongan, maupun negara, dapat melakukan<br />

tindakan-tindakan yang tidak menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Atas keyakinannya itu, tidak<br />

heranlah Gus Dur selalu berdiri menjadi perisai saat di mana pun penindasan terjadi. Lembarlembar<br />

sejarah hidupnya habis untuk membela kaum minoritas, kelompok yang lemah, dan<br />

golongan yang dipinggirkan.<br />

Awalnya saya mengira, sebagai pemimpin, Gus Dur hanya karismatik untuk orang-orang Jawa.<br />

Ternyata tidak. Bahkan, Jawa Barat (Sunda) yang dalam geneologi akar budayanya tidak<br />

mengenal istilah kepemimpinan kolektif sebagaimana halnya pada suku Jawa begitu menerima<br />

sosok Gus Dur. Ini dapat diketahui setelah sang guru bangsa itu wafat.<br />

Saya melihat, irama peringatan wafatnya Gus Dur di Bandung tidak kalah marak dibandingkan<br />

dengan daerah-daerah lain. Bahkan, hingga hari ke-100 lebih, peringatan itu tak kunjung jua<br />

berhenti. Itu dilakukan oleh hampir semua komunitas, dari aktivis pergerakan, penggiat<br />

keagamaan, pendamping buruh, komunitas film dan radio, seniman, hingga yang lainnya.<br />

Pada sekitar hari kesepuluh, misalnya, tajuk acara majelis duka untuk Gus Dur diselenggarakan<br />

di Yayasan Muthahari, pimpinan Jalaluddin Rakhmat. Hadir pada kesempatan itu aktor teater<br />

kawakan, yang sudah malang melintang membacakan puisi hingga ke Amsterdam, Iman Soleh,<br />

juga budayawan gaek Aat Suratin. Selain itu, acara ini juga berisi refleksi tentang Gus Dur dari<br />

para tokoh lintas agama di Jabar dan diakhiri dengan penyampaian doa bersama untuk Gus Dur<br />

dan bangsa <strong>Indonesia</strong>.<br />

Lantas, refleksi 100 hari wafatnya Gus Dur diselenggarakan di Gereja Katedral Bandung, Jalan<br />

Jawa. Hadir pada kesempatan itu Ulil Abshar Abdalla, Jakob Sumardjo, dan para pemuka lintas<br />

agama. Belum lagi apresiasi media massa yang begitu luar biasa. Koran daerah hingga beberapa<br />

hari belakangan ini masih menurunkan berita dan tulisan yang membahas soal Gus Dur.<br />

Ladang-sawah


Pertanyaannya, mengapa Gus Dur begitu diterima di hati orang-orang Jabar, bahkan melampaui<br />

tokoh-tokoh nasional asal Jabar lainnya saat meninggal?<br />

Masyarakat Sunda purba adalah masyarakat yang hidup dengan cara berladang sehingga alam<br />

pikiran Sunda adalah alam pikiran masyarakat ladang. Berbeda dengan masyarakat Jawa.<br />

Mereka hidup bengan cara menyawah yang harus diorganisasi dengan baik. Harus ada<br />

pengaturan air irigasi dan dibutuhkan pemimpin kolektif. Itu karena dalam persawahan ada<br />

pembagian tugas, dari pembajak, penanam, hingga penuai saat panen. Batas-batas kepemilikan<br />

juga harus tegas. Distribusi hasil harus ada mekanismenya dan seterusnya sehingga masyarakat<br />

sawah adalah masyarakat yang secara teoretis memang membutuhkan pemimpin yang<br />

berwibawa dan karismatik demi keteraturan lingkungan dan kehidupannya.<br />

Adapun ladang dapat dikerjakan sendiri-sendiri, setidaknya hanya oleh keluarganya. Dalam<br />

sebuah keluarga pada masyarakat ladang, jika anaknya ada yang menikah, kemudian membentuk<br />

keluarga baru, dia membuka lahan perladangannya sendiri. Begitu seterusnya. Maka,<br />

kepemimpinan dalam masyarakat ladang adalah kepemimpinan pada lingkupnya yang kecil itu,<br />

yaitu lingkup keluarga atau kelompoknya saja. Tidak ada kepemimpinan kolektif dalam jumlah<br />

yang luas. Namun, bagaimana dengan fenomena adanya raja besar Sunda Pajajaran seperti<br />

halnya Prabu Siliwangi? Bukankah itu kepemimpinan dalam wilayah yang besar?<br />

Konsep kepemimpinan masyarakat ladang adalah sebagaimana yang diungkapkan dalam sebuah<br />

pantun, cangkang reujeung eusi, kudu sarua lobana. Artinya, wadah dan isi harus sama<br />

kualitasnya. Masyarakat adalah wadah, dan pemimpin adalah isinya. Jadi, relasi pemimpin dan<br />

yang dipimpin dalam masyarakat jenis ini adalah relasi kualitas. Orang yang berkualitas akan<br />

dihormati oleh kelompok-kelompok ladang yang tersebar itu. Kepemimpinan di sini bukan<br />

dalam soal kebutuhan akan pengaturan, sebagaimana pada masyarakat sawah, tetapi lebih pada<br />

figur. Oleh sebab itu, pemimpin adalah panutan sebab ia berkualitas.<br />

Itulah sebabnya orang di luar Sunda pun dapat menjadi figur di masyarakat Sunda sebab<br />

kualitasnya terakui. Maka dari itu, selain Gus Dur, masyarakat Sunda juga memiliki penghargaan<br />

yang juga tinggi kepada Bung Karno. Jika mengunjungi rumah-rumah orang tua Sunda, tak<br />

jarang kita menemukan foto Bung Karno digantung di dinding.<br />

Pikiran Sunda “buhun”<br />

Menurut Jakob Sumardjo, dalam acara tersebut, Gus Dur dapat diterima di Jabar karena kerap<br />

melakukan sesuatu yang sebetulnya tidak asing bagi alam pikiran Sunda buhun. Dalam pantun<br />

Sunda, misalnya, ada istilah nu panjang ulah diteukteuk, nu pondok ulah disambung.<br />

Artinya, yang panjang biarlah panjang, dan yang pendek biarlah pendek adanya. Itu karena yang<br />

panjang jika dipotong sakit, dan yang pendek jika disambung akan tidak nyaman. Inilah prinsip<br />

pluralisme. Membiarkan sesuatu itu berbeda sebagaimana adanya. Dengan demikian, perjuangan


pluralisme yang selama ini diusung Gus Dur ada di alam pikiran orang Sunda sejak lama.<br />

Rupanya Gus Dur bukan barang asing bagi masyarakat Sunda.<br />

Iip D Yahya, penulis biografi Oto Iskandar Dinata, biografi ajengan Ilyas Ruhiyat, komik Gus<br />

Dur dan Romo Mangun, berpendapat, monumen Gus Dur yang pertama-tama di Jabar adalah<br />

makam Mbah Panjalu. Sewaktu jadi presiden, Gus Dur berziarah ke makam itu.<br />

Dalam literatur kesundaan yang ada, sosok Mbah Panjalu ini bisa dibilang masih kabur, belum<br />

jelas. Namun, Gus Dur saat itu secara tegas memberikan makna bahwa Mbah Panjalu adalah<br />

seorang tokoh pembawa tarikat Syijiliyah di Jabar. Selain itu, masih menurut Iip, hubungan Gus<br />

Dur dengan masyarakat Sunda sudah dimulai oleh ayahnya, Wahid Hasyim. Ayah beliau sudah<br />

sejak lama berhubungan dengan tokoh-tokoh Sunda, semisal Zainal Muttaqien, pengusaha tekstil<br />

Majalaya, Unay Junaidi, Acep Sugandi, dan Hidayat Jaelani.<br />

Bukankah Gus Dur sendiri saat menjadi Ketua Tanfidziyah PBNU berduet dengan Ilyas Ruhiyat,<br />

ajengan karismatik dari Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, sebagai Rais ‗Am-nya?[]


Tiga Kriteria Manusia Terbaik<br />

ihsanManusia merupakan makhluk yang paling mulia yang Allah SWT ciptakan diantara seluruh<br />

makhluk lain di dunia ini, demikian Allah SWT tegaskan dalam QS Al-Israa ayat 70; ―Dan<br />

sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkat mereka di darat dan di laut,<br />

dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak<br />

makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.‖<br />

Kemuliaan yang Allah berikan disertai dengan segala potensi manusia, baik akal, alat indera,<br />

fisik, hati, dan sebagainya. Potensi-potensi tersebut harus diaktualisasikan selain sebagai alat<br />

untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya juga sebagai bentuk ekspresi syukur kepada sang<br />

Khaliq. Diantara sekian banyak umat manusia, mereka ada yang bersyukur (orang beriman) dan<br />

ada yang kufur (musyrik). Orang yang bersyukur inilah yang sesuai dengan harapan Allah untuk<br />

senantiasa beribadah kepada-Nya sebagaimana Allah nyatakan dalam QS.Al-Dzariyat ayat56:<br />

―Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya beribadah kepadaku.‖<br />

Menjadi seorang mu‘min tentulah harus menjadi seorang yang terbaik di antara mu‘min yang<br />

lainnya. Predikat ini lah yang Rasulullah SAW harapkan agar menjadi mu‘min yang berkualitas.<br />

Dalam beberapa haditsnya, Rasul SAW telah memberikan kriteria mu‘min yang terbaik . Saking<br />

banyaknya kriteria tersebut, sampai ada seorang Ulama yang menulis sebuah kitab berjudul<br />

Khairunnas (manusia yang terbaik). Dalam tulisan ini akan dicoba diulas mengenai tiga kriteria<br />

manusia terbaik yang didasarkan pada hadits Rasulullah SAW.<br />

Pertama, khairukum man ta‘allamal Qur‘aan wa ‗Allamahu (orang yang terbaik dii antara kalian<br />

adalah orang yang belajar Alquran dan mengajarkannya (pada orang lain). Mempelajari Alquran<br />

adalah kewajiban individu (fardhu ‗ain) bagi setiap muslim karena merupakan sumber utama<br />

petunjuk hidup manusia bahkan lebih khususnya lagi orang <strong>Islam</strong>. Keselamatan hidup di dunia<br />

ini tentu akan dirasakan jika manusia itu sendiri berpegang teguh pada petunjuk tersebut<br />

sebagaimana telah dijaminkan oleh Rasul SAW.<br />

Seorang ulama bernama Abdullah Darraz mengatakan, ―Alquran bagaikan mutiara yang indah<br />

berkilau. Dari sudut manapun orang melihat mutiara tersebut, pasti akan mendapatkan pancaran<br />

keindahan.‖ Begitu pun Alquran, siapapun orang yang membacanya pasti akan mendapatkan<br />

hidayah darinya, dari mulai orang awam sekalipun sampai tingkat ulama atau intelektual.<br />

Kedua, manyuridillaahu khairan yufaqqihhu fid diin (siapa orang yang Allah kehendaki menjadi<br />

orang terbaik, Dia akan memahamkannya dalam urusan agama). Menjadi orang yang faham<br />

dalam urusan agama merupakan suatu keharusan bagi umat <strong>Islam</strong> karena pemahaman terhadap<br />

agama akan sangat berpengaruh pada pengamalan ajaran agamanya. Rasulullah SAW sendiri<br />

sempat memberikan isyarat betapa urgennya memahami ajaran agama dan Allah SWT pun<br />

menegaskan dalam QS Al-Taubah ayat122; ―….dan hendaklah segolongan di antara kalian ada<br />

orang-orang yang mau mendalami ajaran agama (liyatafaqqohuu fiddiin ) dan memberikan<br />

peringatan kaum yang lainnya…‖


Mendalami ajaran agama bersifat abadi, tidak mengenal waktu, usia, tempat. Selama hayat masih<br />

dikandung badan, selama napas masih berhembus, selama kita masih diberikan kesempatan oleh<br />

Allah SWT. Hadits Rasul SAW mengatakan ―Uthlubul ‗ilma minal mahdi ilal lahdi‖ (carilah<br />

ilmu dari mulai dibuai sampai meninggal). Kefahaman seseorang dalam agama akan<br />

memberikan cahaya penerang bagi umat yang lainnya. Memberikan bimbingan bagi yang<br />

tersesat, memberikan peringatan bagi yang terlalaikan.<br />

Selain alasan di atas, kelangkaan orang yang faqih dalam agama bisa menjadi kekhawatiran bagi<br />

umat <strong>Islam</strong>. Hilangnya seorang pemimpin di pemerintahan atau perusahaan tidak perlu<br />

dikhawatirkan karena sudah banyak orang yang siap menggantinya. Berbeda halnya jika seorang<br />

ulama meninggal, maka akan sangat sulit mencari siapa penggantinya.<br />

Sebuah adagium bahasa Arab yang menyatakan,‖ Jadilah engkau orang yang berilmu, atau orang<br />

yang menuntut ilmu, atau orang yang mendengarkan ilmu, atau orang yang mencintai ilmu. Tapi<br />

jangan menjadi orang yang kelima, maka engkau akan hancur/rusak.‖<br />

Ketiga, khairunnaas anfa‘uhum linnaas (sebaik-baik manusia adalah orang yang paling<br />

bermanfaat untuk manusia yang lainnya). Menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain<br />

merupakan perkara yang sangat dianjurkan oleh agama. Hal ini menjadi indikator berfungsinya<br />

nilai kemanusiaan yang sebenarnya. Eksistensi manusia sebenarnya ditentukan oleh<br />

kemanfataannya pada yang lain. Adakah dia berguna bagi orang lain, atau malah sebaliknya<br />

menjadi parasit buat yang lainnya. Permisalan umum yang sering diungkapkan adalah ―hiduplah<br />

bagai seekor lebah, jangan seperti lalat.‖<br />

Seekor lebah dia hidup selalu dari yang indah/bersih, dia hinggap di tangkai bunga tanpa<br />

mematahkannya, dia mengeluarkan sesuatu dzat yang sangat berguna atau menyehatkan yaitu<br />

madu. Sedangkan lalat, dia hidup selalu di lingkungan yang kotor, memberikan atau<br />

menyebarkan penyakit ke mana-mana.<br />

Kalau kita coba menginstrospeksi diri kita, maka lihatlah keluarga kita, tetangga kita, saudara,<br />

kerabat, dan umat secara keseluruhan. Apakah mereka semua merasa senang ketika kita ada atau<br />

malah sebaliknya ? Secara filosofis keberadaan kita itu harus berimbas kemaslahatan buat yang<br />

lain bukan hanya sekedar diri kita saja.<br />

Dari uraian di atas, kita harus bertekad untuk menjadi manusia yang terbaik (khairunnaas) versi<br />

Allah SWT dan Rasul-Nya. Hal itu akan terasa bahagia dunia dan akhirat, tidak hanya bahagia<br />

dunia saja seperti halnya penghargaan antar manusia (award-award) dunia. Kata kuncinya adalah<br />

memberi manfaat bagi sesama. Semoga. []<br />

Epilog: (coming soon)


Biodata<br />

Acep Hermawan, mahasiswa S3 Pendidikan <strong>Islam</strong> Pascasarjana UIN SGD Bandung<br />

Hendar Riyadi, mahasiswa S3 Religious Studies Pascasarjana UIN SGD Bandung.<br />

Ibn Ghifarie, mahasiswa S2 Religious Studies Pascasarjana UIN SGD Bandung.<br />

Ihsan Faisal, mahasiswa S3 Hukum <strong>Islam</strong> Pascasarjana UIN SGD Bandung<br />

Kiki Muhamad Hakiki, mahasiswa S3 Religious Studies Pascasarjana UIN SGD Bandung<br />

Mohammad Affan, mahasiswa S2 Religious Studies Pascasarjana UIN SGD Bandung<br />

Wawan Gunawan, mahasiswa S2 Religious Studies Pascasarjana UIN SGD Bandung


Dialog Agama dan Negara<br />

Sumber<br />

Arus Deras Wikileaks, Harian Jogja Edisi Jumat 17 Desember 2010<br />

Berkaca kepada Timnas, Pikiran Rakyat 31 Desember 2010<br />

Etnis Tiongkok di <strong>Indonesia</strong>, Radar Lampung 02 Februari 2011<br />

Kehidupan Harmonis, Pikiran Rakyat 4 Maret 2011<br />

Kejahatan Berpayung Agama, Lampung Post 02 Oktober 2010<br />

Mempelajari Kepemimpinan “Tao”, Pikiran Rakyat 2 Februari 2011<br />

Nabi dan Kota Makkah, Radar Lampung 15 Februari 2011<br />

Opsi Damai untuk Libya, Harian Solopos 24 Maret 2011<br />

Penjara, Korupsi, dan Negeri Demokrasi, Galamedia 14 Maret 2011<br />

Perilaku Teror Israel, Pikiran Rakyat 3 Juni 2010<br />

Peta Konflik Libya, Republika 25 Maret 2011<br />

Pudarnya Identitas Budaya, Radar Lampung 23 Februari 2011<br />

Rasisme Gaya Baru, Lampung Post 11 Desember 2010<br />

Dialog Agama dan Publik<br />

Berislam Ala Persis, Pikiran Rakyat, 24 September 2010<br />

Fiqh Lingkungan: Upaya Revitalisasi Hablun Minal „Alam, Galamedia 12 Oktober 2010<br />

Generasi Sehat 3.0, Pikiran Rakyat 01 November 2010<br />

Hari Anak dan "Kaulinan Baheula", Kompas Jawa Barat 26 Juli 2010<br />

<strong>Humanisasi</strong> Kurban, Pikiran Rakyat 16 November 2010<br />

Imlek dan Perayaan Multikulturalisme, Republika 7 februari 2011<br />

Imlek dan Persaudaraan Sejati, Tribun Jabar 1 Februari 2011<br />

Integrasi Ilmu, Lampung Post 7 Januari 2011<br />

Keshalihan Sosial, Republika 02 Maret 2011<br />

Makna Simbolik Imlek, Lampung Post 4 Februari 2011<br />

Masjid, Radikalisme Agama dan Pencerahan, Pikiran Rakyat 4 Oktober 2010<br />

Optimalisasi Filantropi <strong>Islam</strong>, Lampung Post Jum'at, 25 Maret 2011<br />

Sejarah Tradisi Maulid, Lampung Post 18 Februari 2011<br />

Spektrum Gus Dur di Tatar Sunda, Kompas Jabar, 26 Mei 2010<br />

Tiga Kriteria Manusia Terbaik, Republika 10 Januari 2011

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!