25.12.2013 Views

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Gangguan tidur biasa ...

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Gangguan tidur biasa ...

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Gangguan tidur biasa ...

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

<strong>BAB</strong> I<br />

<strong>PENDAHULUAN</strong><br />

A. <strong>LATAR</strong> <strong>BELAKANG</strong><br />

<strong>Gangguan</strong> <strong>tidur</strong> <strong>biasa</strong> terjadi pada masyarakat umum terutama dikalangan<br />

pekerja, insomnia merupakan gangguan yang sering terjadi. Masyarakat yang<br />

mengalami insomnia dan berusaha mencari bantuan untuk mengatasi masalah ini<br />

mencapai hingga 30%.<br />

Dan itu dikarena masih banyak masyarakat menganggap<br />

kalau insomnia adalah gangguan <strong>tidur</strong> yang disebabkan oleh stress, cemas dan<br />

bekerja.<br />

Dan <strong>tidur</strong> adalah merupakan suatu proses otak yang dibutuhkan oleh<br />

seseorang untuk dapat berfungsi dengan baik. Masyarakat awam belum begitu<br />

mengenal gangguan <strong>tidur</strong> sehingga jarang mencari pertolongan. Pendapat yang<br />

menyatakan bahwa tidak ada orang yang meninggal karena tidak <strong>tidur</strong> adalah<br />

tidak benar. Beberapa gangguan <strong>tidur</strong> dapat mengancam jiwa baik secara langsung<br />

atau secara tidak langsung misalnya kecelakaan akibat gangguan <strong>tidur</strong>.<br />

Menurut Aribowo Prijosaksono dan Roy Sembel dalam salah satu situs<br />

internet, mereka mengatakan bahwa: “insomnia adalah suatu gangguan <strong>tidur</strong> yang<br />

dialami oleh penderita dengan gejala-gejala selalu merasa letih dan lelah<br />

sepanjang hari dan secara terus menerus (lebih dari sepuluh hari) mengalami<br />

kesulitan untuk <strong>tidur</strong> atau selalu terbangun ditengah malam dan tidak dapat<br />

kembali <strong>tidur</strong>”.<br />

(http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/mandiri/2002/02/I/man01.html)


Menurut penelitian di luar negeri, 70% pasien psikiatrik yang dirawat di<br />

rumah sakit menderita insomnia. Di Inggris, 15% pasien yang mengunjungi<br />

dokter<br />

keluarga menderita insomnia. Prevalensi insomnia meningkat dengan<br />

bertambahnya usia. Insomnia lebih sering dijumpai pada wanita daripada pria. Mc<br />

Ghie dan Russell meneliti 2500 orang di Skotlandia yang meliputi berbagai<br />

golongan, tingkat usia dan tingkat sosial. Mereka mendapatkan bahwa orang yang<br />

merasa tergolong bertemperamen nervous (gugup) juga merasa kurang <strong>tidur</strong>.<br />

Penelitian di berbagai negara menunjukkan hasil bahwa wanita lebih sering<br />

mengalami insomnia daripada pria (2 : 1). Di Skotlandia, 45% dari wanita yang<br />

berusia lebih dari 75 tahun mempunyai ke<strong>biasa</strong>an makan obat <strong>tidur</strong> secara teratur.<br />

Mc Ghie dan Russell tersebut di atas terhadap 400 orang berusia 15 - 24 tahun,<br />

5% diantaranya mengalami insomnia. Pada penelitian di Jakarta tahun 1988<br />

terhadap 2500 siswa SLTP Negeri, sekitar 31% mengaku sering susah <strong>tidur</strong><br />

(Joewana, 1988).<br />

Ada dua jenis insomnia yang <strong>biasa</strong> ditemui yaitu transient insomnia<br />

(insomnia sesaat) dan persistent insomnia (insomnia menetap). Insomnia sesaat<br />

<strong>biasa</strong>nya disebabkan karena rasa kehilangan, rasa berduka, perubahan kehidupan<br />

dan stres fisik maupun mental. Dan kondisi seperti ini <strong>biasa</strong>nya tidak berbahaya.<br />

Sedangkan ciri insomnia menetap <strong>biasa</strong>nya ditandai dengan kesulitan<br />

memulai <strong>tidur</strong> yang umumnya disebabkan kecemasan atau ketegangan<br />

somatik/fisik. Pikiran yang terus berkecamuk menjelang <strong>tidur</strong> menjadi pemicu<br />

timbulnya kondisi ini. “Insomnia jenis ini <strong>biasa</strong>nya terjadi jika terdapat masalah di


kantor atau di rumah yang menimbulkan stres.<br />

Meski demikian, sebagian<br />

penderita insomnia ini bisa sembuh dengan jalan menikmati liburan.<br />

Insomnia ini bisa disebabkan menyerang semua golongan usia. Meskipun<br />

demikian, angka kejadian insomnia akan meningkat seiring dengan bertambahnya<br />

usia. Hal ini mungkin disebabkan oleh stress yang sering menghinggapi orang<br />

yang berusia lebih tua. Disamping itu, perempuan dikatakan lebih sering<br />

menderita insomnia bila dibandingkan laki laki. Selain karena masalah stress,<br />

insomnia juga bisa terjadi karena ada masalah pada makanan. Hal lain yang bisa<br />

menyebabkan insomnia adalah suasana kamar yang tidak mendukung, cemas,<br />

hingga konsumsi kafein yang berlebih.<br />

Gejala gangguan <strong>tidur</strong> ini mudah dikenali. Apabila seseorang sulit untuk<br />

mulai <strong>tidur</strong> atau sulit untuk mempertahankan <strong>tidur</strong>, bisa jadi ia menderita<br />

insomnia. Kesulitan memulai <strong>tidur</strong> dapat disebabkan kondisi medis (rasa nyeri<br />

atau tidak nyaman yang ditimbulkan oleh sakit, adanya luka di sistem saraf pusat<br />

otak seperti pada pasien stroke) atau karena gangguan kejiwaan atau lingkungan<br />

(gangguan kecemasan, perubahan lingkungan, tekanan ketika akan menghadapi<br />

suatu peristiwa penting seperti akan menghadapi ujian).<br />

Penderita insomnia yang sulit mempertahankan <strong>tidur</strong>nya juga bisa<br />

disebabkan oleh kondisi medis seperti sindrom henti napas saat <strong>tidur</strong> (sleep<br />

apnea), ada penyakit infeksi, rasa nyeri dan tidak nyaman karena penyakit, serta<br />

konsumsi alkohol yang berlebihan. Sementara depresi, skizofrenia, gangguan stres<br />

pasca trauma, gangguan siklus sirkadian, dan perubahan lingkungan merupakan


Dalam bukunya Psikologi Klinis Ardani (2007 : 37) stres adalah tekanan<br />

internal maupun eksternal serta kondisi bermasalah lainnya dalam kehidupan (an<br />

interna and eksternal pressure and other troublesome condition life).<br />

Sedangkan Maramis (1994 : 134) menyatakan bahwa stres adalah segala<br />

masalah atau tuntutan menyesuaikan diri, yang karena tuntutan itulah individu<br />

merasa terganggu keseimbangan hidupnya.<br />

Indikator stres dapat dilihat dari dua gejala, yaitu gejala fisik dan gejala<br />

mental. Adapun yang termasuk gejala fisik antara lain: tidak peduli dengan<br />

penampilan fisik, menggigit-gigit kuku, berkeringat, mulut kering, mengetukkan<br />

atau menggerakkan kaki dengan snewen, wajah tampak lelah, gangguan pola <strong>tidur</strong><br />

yang normal, memilki kecenderungan yang berlebihan pada makanan dan terlalu<br />

sering ketoilet. Sedangkan untuk gejala mentalnya antara lain: kemarahan yang<br />

tak terkendali atau lekas marah/agresivitas, mencemaskan hal-hal kecil,<br />

ketidakmampuan dalam memprioritaskan, berkonsentrasi dan memutuskan apa<br />

yang harus dilakukan, suasana hati yang sulit ditebak atau tingkah laku yang tak<br />

wajar, ketakutan atau fobia yang berlebihan, hilangnya kepercayaan pada diri<br />

sendiri, cenderung menjaga jarak, terlalu banyak berbicara atau menjadi benar –<br />

benar tidak komunikatif, ingatan terganggu dan dalam kasus-kasus yang ekstrem<br />

benar-benar kacau (Walia, 2005 : 5)<br />

Ada beberapa sumber stres yang berasal dari lingkungan, diantaranya<br />

adalah lingkungan fisik seperti polusi udara, kebisingan, kesesakan, dan<br />

lingkungan kontak sosial yang bervariasi, serta kompetisi hidup yang tinggi.<br />

Seperti yang dikutip oleh Patel bahwa pada Holmes and Rahe Schedule of Recent


Life Events telah diteliti berbagai peristiwa kehidupan yang membutuhkan<br />

penyesuaian sosial kembali dan memberinya rating berdasarkan muatan nilai<br />

stresnya. Stresor yang berupa peristiwa-peristiwa perubahan di sekolah (change in<br />

school) berada pada peringkat 33 yang dapat menimbulkan stres. (Wulandari,<br />

2008 : 13).<br />

Berdasarkan pemaparan di atas maka dalam penelitian ini bertujuan hanya<br />

sebatas untuk mengetahui bagaimana strategi coping yang mereka gunakan,<br />

apakah menggunakan problem focused coping atau emotion focused coping dan<br />

coping maladaftif. Untuk itu peneliti mengambil subyek dikalangan pekerja<br />

karena dikalangan pekerja pasti banyak sekali permasalahan yang datang baik itu<br />

dipekerjaannya maupun keluarganya sehingga subyek mengalami stress dan<br />

dengan munculnya stress karena adanya permasalahan yang sudah diterangkan<br />

diatas, maka subyek harus memiliki stategi coping stress yang berfungsi untuk<br />

meminimalisir stress yang ada.<br />

B. FOKUS PENELITIAN<br />

Berdasarkan pada paparan latar belakang di atas, maka penelitian ini<br />

memiliki fokus untuk memahami “bagaimana strategi coping stress pada<br />

penderita insomnia?”<br />

C. TUJUAN PENELITIAN<br />

Untuk mengetahui strategi coping stress pada penderita insomnia.<br />

D. MANFAAT PENELITIAN<br />

Hasil penelitian tersebut diharapkan kelak dapat memberi manfaat teoritis<br />

dan praktis. Adapun manfaat yang dimaksud adalah:


1. Manfaat teoritis<br />

1) Mampu menjadi referensi ilmiah mengenai manfaat coping stress pada<br />

penderita insomnia<br />

2) Mampu memberikan sumbangan pada pengembangan keilmuwan<br />

psikologi klinis tentang penyelesaian masalah yang dialami oleh para<br />

pekerja dalam menghadapi permasalahannya melalui strategi coping stress<br />

2. Manfaat praktis<br />

1) Dari penelitian in diharapkan dapat membantu bagaimana cara untuk<br />

mengurangi atau meminimalisasikan sumber stress pada penderita<br />

insomnia, serta dapat menemukan bagaimana solusi yang baik untuk<br />

membantu individu yang mengalami tekanan dengan strategi coping yang<br />

dimilikinya.<br />

2) Memberikan pandangan bagi masyarakat mengenai strategi coping stress,<br />

khususnya bagi pekerja.Untuk memperluas pengetahuan dan melatih<br />

kemampuan penulis dalam melakukan analisis terhadap permasalahan<br />

yang sedang penulis bahas. Sehingga, penulis berharap masyarakat bisa<br />

peka terhadap permasalahan yang timbul dilingkungan sekitarnya.<br />

E. SISTEMATIKA PEMBAHASAN<br />

Bagian ini merupakan jalan untuk memudahkan peneliti dalam<br />

mengklasifikasikan hal – dalam penelitian, maka dari itu peneliti membuat tulisan<br />

dengan bentuk per-bab, yaitu:


<strong>BAB</strong> I : Bab ini membahas tentang pendahuluan yang berisi tentang<br />

penjelasan mengenai latar belakang permasalahan, perumusan<br />

masalah<br />

penelitian, tujun penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.<br />

<strong>BAB</strong> II : Bab ini mengemukakan kajian pustaka yang membahas tentang<br />

teori – teori coping yang di dalamnya membahas 1. Definisi coping; 2. Bentuk –<br />

bentuk coping; 3. Faktor-Faktor yang mempengaruhi perilaku coping; 4. Fungsi<br />

perilaku coping;<br />

5. Perilaku coping yang efektif; 6. Tujuan perilaku coping.<br />

Kemudian stress yang di dalamnya membahas 1. Definisi stress; 2. Gejala – gejala<br />

stress; 3. Sumber stress; 4. Jenis stress. Lalu gangguan insomnia yang di<br />

dalamnya membahas 1. Definisi insomnia; 2. Sebab-sebab insomnia; 3. Jenis-jenis<br />

insomnia; 4. Dampak negative penderita insomnia; 5. Dampak positif penderita<br />

insomnia; 6. Gejala-gejala insomnia; 7. Cara mengatasi gangguan insomnia.<br />

Kemudian penjelasan tentang beberapa penelitian terdahulu yang relevan dan<br />

menjelaskan kerangka teoritik.<br />

<strong>BAB</strong> III : Bab ini menjelaskan tentang metode penelitian, yang di<br />

dalamnya menguraikan tentang pendekatan jenis penelitian, kehadiran peneliti,<br />

lokasi penelitian, subyek penelitian, jenis data dan sumber data, prosedur<br />

pengumpulan data, analisis data dan pengecekan keabsahan temuan.<br />

<strong>BAB</strong> IV : Bab ini merupakan hasil penelitian dan pembahasan yang<br />

diperoleh selama proses penelitian berlangsung, yang meliputi setting penelitian,<br />

hasil penelitian serta pembahasan.


<strong>BAB</strong> V : Bab in merupakan penutup yang berisikan kesimpulan atas<br />

jawaban permasalahan dalam bab I, serta saran – saran terhadap pihak yang terkait<br />

dengan permasalahan penelitian.


<strong>BAB</strong> II<br />

KAJIAN PUSTAKA<br />

A. TEORI – TEORI<br />

1. STRATEGI COPING<br />

a) Definisi Coping<br />

Konsep coping digunakan untuk menjelaskan hubungan antara stres dan<br />

tingkah laku individu dalam menghadapi tekanan. Menurut Lazarus dan Folkman<br />

coping didefinisikan sebagai proses untuk mengelola jarak antara tuntutantuntutan<br />

baik yang berasal dari individu maupun di luar individu dengan sumbersumber<br />

daya yang digunakan dalam menghadapi tekanan (Smet, 1994 : 143).<br />

Kartono (1987 : 488) menjelaskan perilaku coping ialah perilaku yang<br />

digunakan untuk mengurangi kegugupan akibat kekecewaan terhadap konflik<br />

motivasional.<br />

Perarlin dan Schololer mengemukakan perilaku coping ialah bentuk usaha<br />

yang dilakukan oleh individu untuk melindungi diri dari tekanan psikologi yang<br />

ditimbulkan oleh problematika pengalaman sosial (Wahyusari, 2002 : 5).<br />

Sedangkan menurut Ardani (2007 : 40) perilaku coping adalah mengatasi<br />

stres dengan melakukan transaksi antar lingkungan, yang mana hubungan<br />

transaksi ini merupakan suatu proses yang dinamis.<br />

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa coping<br />

merupakan upaya mental atau perilaku dalam menguasai, mentoleransi atau<br />

mengurangi efek suatu situasi atau kejadian yang penuh tekanan.


) Bentuk-Bentuk Coping<br />

Dalam suatu permasalahan orang mempunyai kecenderungan untuk<br />

menyelesaikan masalah dengan cara yang berbeda-beda. Cara mengatasi stress<br />

(coping) antara orang yang satu dengan yang lain berbeda-beda. Namun demikian<br />

para ahli telah menggolong-golongkan bentuk coping. Adapun bentuk-bentuk<br />

coping menurut Lazarus dan Folkman terbagi menjadi 2 yaitu :<br />

a. Emotional focused coping,<br />

Yaitu usaha untuk mengatur respon emosional terhadap stress dengan<br />

merubah cara dalam merasakan permasalahan atau situasi yang mendatangkan<br />

stress. Bentuk coping ini meliputi :<br />

1) kontrol diri : menjaga keseimbangan dan menahan emosi dalam dirinya<br />

2) membuat jarak : menjauhi diri dari teman-teman dan lingkungan sekitar<br />

3) penilaian kembali secara positif : dapat menerima masalah yang sedang<br />

terjadi dengan berpikir secara positif dalam mengatasi masalah<br />

4) lari atau menghindar : menjauh dari permasalahan yang dialami<br />

5) menerima tanggung jawab : menerima tugas dalam keadaan apapun saat<br />

mengahadapi masalah dan bisa menanggung segala sesuatunya<br />

b. Problem focused coping<br />

Yaitu usaha untuk mengurangi atau menghilangkan stres dengan<br />

mempelajari cara-cara atau ketrampilan-ketrampilan baru untuk memodifikasi<br />

permasalahan yang mendatangkan stres. Bentuk ini meliputi :


1) Konfrontasi, yaitu individu berpegang teguh pada pendiriannya dan<br />

mempertahankan apa yang diinginkannya, mengubah situasi secara agresif<br />

dan adanya keberanian mengambil resiko<br />

2) Mencari dukungan sosial<br />

3) Merencanakan pemecahan masalah dengan memikirkan, membuat, dan<br />

menyusun rencana untuk menyelesaikan masalah (Smet, 1994 : 143-144).<br />

Pendapat lain yang serupa dengan Lazarus dan Folkman adalah pendapat<br />

Aldwin dan Revenson juga mengemukakan indikator-indikator strategis dalam<br />

menghadapi permasalahan yang dikembangkan dari teori Folkman dan Lazarus.<br />

Adlwin dan Revenson juga membagi coping menjadi dua yaitu:<br />

a. Problem focused coping<br />

Indikator yang menunjukkan berorientasi pada strategi ini antara lain;<br />

1) Instrumental action (tindakan secara langsung)<br />

Individu melakukan usaha dan memecahkan langkah-langkah yang<br />

mengarahkan pada penyelesaian masalah secara langsung serta menyusun rencana<br />

bertindak dan melaksanakannya.<br />

2) Cautiousness (kehati-hatian)<br />

Individu berfikir, meninjau dan mempertimbangkan beberapa alternatif<br />

pemecahan masalah, berhati-hati dalam memutuskan masalah, meminta pendapat<br />

orang lain dan mengevaluasi tentang strategi yang pernah diterapkan selanjutnya.<br />

3) Negotiation (negosiasi)<br />

Individu membicarakan serta mencari penyelesaian dengan orang lain<br />

yang terlibat di dalamnya dengan harapan masalah dapat terselesaikan.


. Emosional focused coping<br />

Indikator yang menunjukkan berorientasi pada strategi ini antara lain;<br />

1. Escapism (pelarian diri dari masalah)<br />

Usaha yang dilakukan individu dengan cara berkhayal atau<br />

membayangkan hasil yang akan terjadi atau mengkhayalkan seandainya ia berada<br />

dalam situasi yang lebih baik dari situasi yang dialaminya sekarang.<br />

2. Minimization (meringankan beban masalah)<br />

Usaha yang dilakukannya adalah dengan menolak memikirkan masalah<br />

dan menganggapnya seakan-akan masalah-masalah tersebut tidak ada dan<br />

membuat masalah menjadi ringan.<br />

3. Self Blame (menyalahkan diri sendiri)<br />

Perasaan menyesal, menghukum dan menyalahkan diri sendiri atas<br />

tekanan masalah yang terjadi. Strategi ini bersifat pasif dan intropunitive yang<br />

ditunjukkan dalam diri sendiri.<br />

4. Seeking Meaning (mencari arti)<br />

Usaha individu untuk mencari makna atau hikmah dari kegagalan yang<br />

dialaminya dan melihat hal-hal lain yang penting dalam kehidupan (Wahyusari,<br />

2002 : 7-8)<br />

Sedangkan Morris mempunyai pendapat yang sebenarnya mempunyai<br />

persamaan dengan Lazarus dan Folkman maupun dengan Adlwin dan Revenson.<br />

Ia membagi bentuk-bentuk perilaku coping menjadi dua macam:


1. Direct Coping, meliputi :<br />

a. Confrontation, adalah menghadapi situasi dan permasalahan yang ada<br />

dengan cara mencari jalan keluar dari permasalahan tersebut<br />

b. Compromise, adalah salah satu cara yang efektif untuk mengatasi masalah<br />

c. Withdrawal, merupakan usaha yang dilakukan individu untuk menarik diri<br />

dari situasi yang sedang dihadapi<br />

2. Defensive Coping, meliputi :<br />

a. Denial, adalah menekan atau menutupi perasaan yang menyakitkan.<br />

b. Repression, yaitu menekan atau menutupi perasaan yang menyakitkan.<br />

c. Projection, yaitu melemparkan sebab-sebab kegagalan yang dialaminya<br />

kepada pihak di luar dirinya.<br />

d. Identification, adalah meniru sifat seseorang untuk mengurangi atau<br />

membuang perasaan yang tidak menyenangkan.<br />

e. Regression, yaitu perilaku kekanak-kanakan<br />

f. Intelectualization, adalah berfikir abstrak terhadap permasalahan untuk<br />

mendapatkan jalan keluar.<br />

g. Reaction Formation, adalah reaksi emosi yang ditunjukkan individu pada<br />

saat menghadapi bermacam-macam permasalahan yang berbeda pada saat<br />

yang sama.<br />

h. Sublimation, adalah dengan mencari penyaluran atau tujuan pengganti<br />

(Morris, 1996 : 495-499).<br />

Pendapat yang agak berbeda dengan ahli yang lain adalah pendapat<br />

Vaillant, ia membagi bentuk-bentuk perilaku coping ke dalam dua bentuk yaitu:


a. Perilaku coping matang<br />

Perilaku coping matang terbagi menjadi tiga macam aspek, yaitu<br />

antisipasi, supresi, dan humor. Ketiga aspek tersebut menunjukkan pada individu<br />

untuk menghadapi masalah serta menyelesaikannya secara matang dengan<br />

pertimbangan-pertimbangan dan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di<br />

masa yang akan datang, misalnya timbul konflik, rasa cemas, dan panik. Dengan<br />

perilaku coping yang matang dapat membantu memelihara keharmonisan diri,<br />

mengurangi kegelisahan serta menjadikan individu untuk lebih berpikir positif<br />

terhadap dirinya sendiri serta orang lain.<br />

b. Perilaku coping tidak matang<br />

Di dalam perilaku coping tidak matang terdapat tiga macam bentuk yaitu<br />

penyangkalan, distorsi dan proyeksi. Di dalamnya termasuk mekanisme petahanan<br />

(defens mechanisme), berorientasi pada masa lalu dan sekarang. Freud<br />

mengatakan bahwa mekanisme pertahanan yang berlebihan pada dirinya, sehingga<br />

tidak jarang individu menempuh jalan atau cara ekstrim untuk menghilangkan<br />

kecemasan yang dialaminya. Mekanisme pertahanan bukan satu-satunya cara<br />

untuk menghilangkan kegelisahan, tetapi hanya membantu individu untuk<br />

menghidupkan serta mereduksi dan meningkatkan emosi-emosi yang normal,<br />

mengurangi rasa takut, gelisah dan perasaan bersalah.<br />

Hasil dari perilaku coping tidak matang adalah kegagalan, serta sering<br />

menambah kegelisahan pada diri individu dengan kata lain perilaku coping tidak<br />

matang akan menambah permasalahan.


Dari berbagai macam model pilihan coping diatas, jenis coping teorinya<br />

Adlwin dan Revenson yang dikembangkan dari teori Lazarus dan Folkman yang<br />

akan digunakan dalam penelitian ini. Hal ini dikarenakan teori tersebut<br />

mempunyai beberapa indikator maupun deskriptor yang lebih jelas dibandingkan<br />

dengan teori yang diungkapkan para ahli yang lain dan juga bila dicermati<br />

pencakupan model coping teori tersebut sangat terlihat perbedaannya dengan yang<br />

lain. Perbedaan tersebut terlihat pada bagaimana Adlwin dan Revenson membagi<br />

jelas antara Emotional Focused Coping dengan Problem Focused Coping.<br />

(Nurhasanah, 2005 : 21)<br />

c) Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Coping<br />

Individu mempunyai perilaku coping berbeda-beda, sebenarnya ini dapat<br />

dimaklumi. Hal ini dikarena proses pemilihan coping menurut Smet dipengaruhi<br />

oleh beberapa faktor, antara lain sebagai berikut :<br />

a. Kondisi individu : umur, tahap kehidupan, jenis kelamin, temperamen,<br />

pendidikan, intelegensi, suku, kebudayaan, status ekonomi dan kondisi<br />

fisik.<br />

b. Karakteristik kepribadian : introvert-ekstrovert, stabilitas emosi secara<br />

umum, kekebalan dan ketahanan.<br />

c. Sosial-kognitif : dukungan sosial yang dirasakan, jaringan sosial.<br />

d. Hubungan dengan lingkungan sosial, dukungan yang diterima, integrasi<br />

dalam jaringan sosial.<br />

e. Strategi dalam melakukan coping (Smet, 1994 :130).


Sedangkan Morris menjabarkan beberapa faktor yang dapat<br />

mempengaruhi strategi coping, antara lain :<br />

a. Perbedaan ekonomi. Individu yang hidup dalam kemiskinan lebih sering<br />

merasa terancam yang hidupnya lebih menantang sehingga mereka lebih<br />

sering memiliki masalah dibandingkan orang yang memiliki banyak uang.<br />

b. Perbedaan gender. Laki-laki dan wanita sama-sama dipengaruhi stres,<br />

sekalipun pada kenyataannya wanita lebih sering mengalami stres<br />

dibandingkan dengan laki-laki.<br />

c. Kesehatan. Perilaku coping dipengaruhi oleh reaksi individu terhadap<br />

stress fisik dan psikologisnya. Hal ini menimbulkan dampak pada<br />

kesehatan diri individu tersebut (Morris, 1996 : 513)<br />

Sedangkan Mu’tadin mengatakan bahwa cara individu menangani situasi<br />

yang mengandung tekanan ditentukan oleh sumber daya individu sendiri yang<br />

meliputi:<br />

a. Kesehatan fisik; kesehatan merupakan hal yang penting karena selama<br />

dalam usaha mengatasi stress individu dituntut untuk mengerahkan tenaga<br />

yang cukup besar.<br />

b. Keyakinan atau pandangan positif; keyakinan menjadi sumber daya<br />

psikologis yang sangat penting, seperti keyakinan akan nasib (eksternal<br />

locus of control) yang mengerahkan individu pada penilaian ketidak<br />

berdayaan (helplessness) yang akan menurunkan kemampuan strategi<br />

coping tipe problem-solving focused coping.


c. Ketrampilan memecahkan masalah; ketrampilan ini meliputi kemampuan<br />

untuk mencari informasi, menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah<br />

dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif tindakan, kemudian<br />

mempertimbangkan alternatif tersebut sehubungan dengan hasil yang<br />

ingin dicapai, dan pada akhirnya melaksanakan rencana dengan melakukan<br />

suite tindakan yang tepat.<br />

d. Ketrampilan sosial; ketrampilan ini meliputi kemampuan untuk<br />

berkomunikasi dan bertingkah laku dengan cara-cara yang sesuai dengan<br />

nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat.<br />

e. Dukungan sosial; dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan<br />

informasi dan emosional pada diri individu yang diberikan oleh orang tua,<br />

anggota keluarga lain, saudara, teman dan lingkungan masyarakat<br />

sekitarnya.<br />

f. Materi; dukungan ini meliputi sumber daya berupa uang, barang-barang<br />

atau layanan yang <strong>biasa</strong>nya dapat dibeli (http.//tim e- psikologi.html).<br />

d) Fungsi Perilaku Coping<br />

Apapun bentuk coping yang dipilih individu sebenarnya mempunyai<br />

fungsi. Menurut Folkman dan Lazarus (Tamam, 2002 : 16) strategi coping yang<br />

berpusat pada emosi (emotional focused coping) berfungsi untuk meregulasi<br />

respon emosional terhadap masalah. Strategi coping ini sebagian besar terdiri dari<br />

proses-proses kognitif yang ditujukan pada pengukuran tekanan emosional dan<br />

strategi yang termasuk di dalamnya adalah :<br />

a. Penghindaran, peminiman atau pembuatan jarak


. Perhatian yang selektif<br />

c. Memberikan penilain yang positif pada kejadian yang negatif<br />

Sedangkan strategi coping yang berpusat pada masalah (problem focused<br />

coping) berfungsi untuk mengatur dan merubah masalah penyebab stress. Strategi<br />

yang termasuk di dalamnya adalah :<br />

a. Mengidentifikasikan masalah<br />

b. Mengumpulkan alternatif pemecahan masalah<br />

c. Mempertimbangkan nilai dan keuntungan alternatif tesebut<br />

d. Memilih alternatif terbaik<br />

e. Mengambil tindakan.<br />

e) Perilaku Coping yang Efektif<br />

Apapun perilaku Coping, ia akan memberikan efek bagi penggunanya,<br />

apakah itu baik atau buruk. Namun demikian Feldman telah mengembangkan<br />

beberapa pedoman yang efektif dalam menghadapi stres atau menghadapi sebuah<br />

permasalahan, antara lain :<br />

a. Menjadikan ancaman sebagai tantangan : pedoman ini dapat digunakan<br />

bila situasi yang mendatangkan stres dapat dikontrol.<br />

b. Mengurangi ancaman dari situasi yang mendatangkan stres : pedoman ini<br />

digunakan bila situasi yang mendatangkan stres tampaknya tidak mudah<br />

untuk dikontrol. Hal ini dengan cara merubah penafsiran terhadap situasi<br />

tersebut, melihatnya dalam keterangan yang berbeda dan memodifikasi<br />

sikap terhadapnya.


c. Merubah tujuan dengan tujuan yang mudah dicapai : pedoman ini dapat<br />

digunakan bila situasi yang mendatangkan stres tidak dapat dikontrol atau<br />

dikendalikan.<br />

d. Melakukan kegiatan fisik : dengan kegiatan fisik seperti olah raga dapat<br />

mengurangi tekanan darah dan kecepatan denyut jantung dan konsekuensi<br />

lain karena stres yang berat.<br />

e. Menyiapkan diri sebelum stres terjadi : dengan coping yang proaktif ini<br />

individu dapat menyiapkan diri menghadapi kejadian atau peristiwa stres<br />

yang akan datang dan dapat mengurangi konsekuensi negatifnya (Affandi,<br />

2004 : 23).<br />

f) Tujuan Perilaku Coping<br />

Tujuan yang ingin dicapai oleh coping tergambar jelas dalam tugas-tugas<br />

coping Cohen dan Lazarus (Nurhasanah, 2005 : 21) yang mengemukakan lima<br />

tugas utama coping yang antara lain adalah :<br />

a. Mengurangi kondisi lingkungan yang membahayakan dan mempertinggi<br />

kemungkinan kesembuhan.<br />

b. Mentolerasi atau mengatur peristiwa-peritiwa dan kenyataan-kenyataan<br />

yang negatif.<br />

c. Memelihara self image yang positif.<br />

d. Memelihara keseimbangan emosi.<br />

e. Melestarikan hubungan baik dengan orang lain.


2. Stress<br />

a) Definisi Stress<br />

Stres merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari-hari. Sarafino<br />

(Smet, 1994 : 112) mendefinisikan stres sebagai suatu kondisi yang disebabkan<br />

oleh transaksi antara individu dengan lingkungan yang menimbulkan jarak antara<br />

tuntutan-tuntutan yang berasal dari berbagai situasi dengan sumber-sumber daya<br />

sistem biologis, psikologis dan sosial seseorang.<br />

Definisi lain diungkapkan oleh Sutherland dan Cooper bahwa stres adalah<br />

pengalaman subjektif yang didasarkan pada persepsi terhadap situasi yang tidak<br />

semata-mata tampak dalam lingkungan (Smet, 1994 : 110).<br />

Sedangkan Maramis (1994 : 134) menyatakan bahwa stres adalah segala<br />

masalah atau tuntutan menyesuaikan diri, yang karena tuntutan itulah individu<br />

merasa terganggu keseimbangan hidupnya.<br />

Muhammad Surya (2001 : 180) berpendapat bahwa stres merupakan<br />

keadaan dimana seseorang yang mengalami ketegangan karena adanya kondisikondisi<br />

yang mempengaruhi dirinya.<br />

Dalam bukunya Psikologi Klinis Ardani (2007 : 37) stres adalah tekanan<br />

internal maupun eksternal serta kondisi bermasalah lainnya dalam kehidupan (an<br />

interna and eksternal pressure and other troublesome condition life).<br />

Dari berbagai macam definisi tentang stres pendapat Sarafino (Anoraga,<br />

2005 : 110) lebih definitif dan kompleks jika dibandingkan dengan pendapat ahliahli<br />

yang lainnya.


) Gejala –Gejala Stres<br />

Stres yang tidak teratasi menimbulkan gejala badaniah, jiwa dan gejala<br />

sosial. Gejalanya antara lain:<br />

a. Gejala badan : Sakit kepala pusing separo, sakit maag, mudah kaget<br />

(berdebar-debar), banyak keluar keringat dingin, gangguan pola <strong>tidur</strong>, lesu,<br />

letih, kaku leher belakang sampai punggung, dada rasa panas/nyeri, rasa<br />

tersumbat di kerongkongan, gangguan psikoseksual, nafsu makan<br />

menurun, mual, muntah, gejala kulit, bermacam-macam gangguan<br />

menstruasi, keputihan, kejang-kejang, pingsandan sejumlah gejala lain.<br />

b. Gejala Emosional : Pelupa, sukar konsentrasi, sukar mengambil<br />

keputusan, cemas, was-was, kuatir, mimpi-mimpi buruk, murung, mudah<br />

marah/jengkel, mudah menangis, pikiran bunuh diri, gelisah, pandangan<br />

putus asa, dan sebagainya.<br />

c. Gejala Sosial : Makin banyak merokok/minum/ makan, sering mengontrol<br />

pintu, jendela, menarik diri dari pergaulan sosial, mudah bertengkar,<br />

membunuh dan lainnya.<br />

Indikator stres dapat dilihat dari dua gejala, yaitu gejala fisik dan gejala<br />

mental. Adapun yang termasuk gejala fisik antara lain: tidak peduli dengan<br />

penampilan fisik, menggigit-gigit kuku, berkeringat, mulut kering, mengetukkan<br />

atau menggerakkan kaki dengan snewen, wajah tampak lelah, gangguan pola <strong>tidur</strong><br />

yang normal, memilki kecenderungan yang berlebihan pada makanan dan terlalu<br />

sering ketoilet. Sedangkan untuk gejala mentalnya antara lain: kemarahan yang<br />

tak terkendali atau lekas marah/agresivitas, mencemaskan hal-hal kecil,


ketidakmampuan dalam memprioritaskan, berkonsentrasi dan memutuskan apa<br />

yang harus dilakukan, suasana hati yang sulit ditebak atau tingkah laku yang tak<br />

wajar, ketakutan atau fobia yang berlebihan, hilangnya kepercayaan pada diri<br />

sendiri, cenderung menjaga jarak, terlalu banyak berbicara atau menjadi benar –<br />

benar tidak komunikatif, ingatan terganggu dan dalam kasus-kasus yang ekstrem<br />

benar-benar kacau (Walia, 2005 : 5)<br />

Levy, Dignan, dan Shirreffs (1984) menyebutkan situasi-situasi yang dapat<br />

menimbulkan stres, yaitu kondisi seperti situasi yang kacau, tempat kerja, tidak<br />

mendapatkan pekerjaan, stres dari lingkungan fisik (misalnya cahaya, antrian atau<br />

kemacetan), dan stres sosial (misalnya persaingan saudara kandung, persaingan<br />

teman sebaya, atau konflik dengan keluarga).<br />

Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa coping stress<br />

adalah Kejadian-kejadian diatas mungkin sering dialami oleh banyak orang.<br />

Kejadian yang membuat marah, kesal dan stress dan akhirnya membuat mood<br />

memburuk selama sehari penuh. Banyak cara untuk menangani stress.<br />

c) Sumber Stress atau Stresor<br />

Stresor adalah faktor-faktor dalam kehidupan manusia yang<br />

mengakibatkan terjadinya respon stres. Stresor dapat berasal dari berbagai<br />

sumber, baik dari kondisi fisik, psikologis, maupun sosial, dan juga muncul pada<br />

situasi kerja, di rumah, dalam kehidupan sosial, dan lingkungan luar lainnya.


Secara garis besar, stresor bisa dikelompokkan menjadi dua yaitu :<br />

1. Stresor mayor : yang berupa major live events yang meliputi peristiwa<br />

kematian orang yang disayangi, masuk sekolah untuk pertama kali, dan<br />

perpisahan.<br />

2. Stresor minor : yang <strong>biasa</strong>nya berawal dari stimulus tentang masalah<br />

hidup sehari-hari, misalnya ketidaksenangan emosional terhadap hal-hal<br />

tertentu sehingga menyebabkan munculnya stress (Wulandari, 2008 : 10-<br />

11).<br />

Taylor (1995) merinci beberapa karakteristik kejadian yang berpotensi<br />

untuk dinilai menciptakan stres, antara lain :<br />

1. Kejadian negatif agaknya lebih banyak menimbulkan stress daripada<br />

kejadian positif.<br />

2. Kejadian yang tidak terkontrol dan tidak terprediksi lebih membuat stress<br />

daripada kejadian yang terkontrol dan terprediksi.<br />

3. Kejadian “ambigu” seringkali dipandang lebih mengakibatkan stres<br />

daripada kejadian yang jelas.<br />

4. Manusia yang tugasnya melebihi kapasitas (overload) lebih mudah<br />

mengalami stres daripada orang yang memiliki tugas lebih sedikit.<br />

Ada beberapa sumber stres yang berasal dari lingkungan, diantaranya<br />

adalah lingkungan fisik seperti polusi udara, kebisingan, kesesakan, dan<br />

lingkungan kontak sosial yang bervariasi, serta kompetisi hidup yang tinggi.<br />

Seperti yang dikutip oleh Patel bahwa pada Holmes and Rahe Schedule of Recent<br />

Life Events telah diteliti berbagai peristiwa kehidupan yang membutuhkan


penyesuaian sosial kembali dan memberinya rating berdasarkan muatan nilai<br />

stresnya. Stresor yang berupa peristiwa-peristiwa perubahan di sekolah (change in<br />

school) berada pada peringkat 33 yang dapat menimbulkan stres.<br />

Holmes dan Rahe merumuskan adanya sumber stres berasal dari:<br />

1. Dalam diri individu<br />

Hal ini berkaitan dengan adanya konflik. Pendorong dan penarik konflik<br />

menghasilkan dua kecenderungan yang berkebalikan, yaitu approach dan<br />

avoidance. Kecenderungan ini menghasilkan tipe dasar konflik, yaitu :<br />

a. Approach-approach Conflict<br />

Muncul ketika kita tertarik terhadap dua tujuan yang sama-sama baik.<br />

b. Avoidance-avoidance Conflict<br />

Muncul ketika kita dihadapkan pada satu pilihan antara dua situasi yang<br />

tidak menyenangkan.<br />

c. Approach-avoidance Conflict<br />

Muncul ketika kita melihat kondisi yang menarik dan tidak menarik dalam<br />

satu tujuan atau situasi.<br />

2. Dalam keluarga<br />

Dari keluarga ini yang cenderung memungkinkan munculnya stres adalah<br />

hadirnya anggota baru, sakit, dan kematian dalam keluarga.<br />

3. Dalam komunitas dan masyarakat<br />

Kontak dengan orang di luar keluarga menyediakan banyak sumber stres.<br />

Misalnya, pengalaman anak di sekolah dan persaingan (Wulandari, 2008 : 13).


Dari berbagai penjelasan di atas, maka stresor atau hal-hal yang dapat<br />

menyebabkan terjadinya stres dapat berupa faktor-faktor fisiologis, psikologis,<br />

dan lingkungan di sekitar individu (baik fisik maupun sosial). Namun, Stresor<br />

tersebut dapat menimbulkan stres ataupun tidak tergantung bagaimana individu<br />

menyikapi stresor itu.<br />

d) Jenis Stress<br />

Menurut Quick and Quick (1984), mengkategorikan jenis stress menjadi<br />

dua, yaitu:<br />

1. Eustress, yaitu hasil dari respon terhadap stress yang bersifat sehat, positif<br />

dan konstruktif (bersifat membangun). Hal tersebut termasuk<br />

kesejahteraan individu dan juga organisasi yang diasosiasikan dengan<br />

pertumbuhan, fleksibilitas, keampuan adaptasi dan tingkat performance<br />

yang tinggi.<br />

2. Distress, yaitu hasil dari respon terhadap stress yang bersifat tidak sehat,<br />

negative dan destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut termasuk<br />

konsekuensi individu dan juga organisasi seperti penyakit kardiovaskular<br />

dan tingkat ketidak hadiran yang tinggi, yang diasosiasikan dengan<br />

keadaan sakit, penurunan dan kematian<br />

(http.//rumahbelajarpsikologi.comindex.php/stress-kerja.html, 2009)<br />

3. <strong>Gangguan</strong> Insomnia<br />

a) Definisi Insomnia<br />

Menurut Diana Diahwati (2001: 110) dalam bukunya “serba-serbi manfaat<br />

dan gangguan <strong>tidur</strong>”, mengatakan bahwa: “insomnia adalah suatu keadaan dimana


seseorang tidak mampu tiidur dengan nyaman. Meskipun sudah 1 jam lebih,<br />

seseorang berada diatas tempat <strong>tidur</strong>nya, tetapi mata tetap sulit saja dipicingkan,<br />

tidak mau tertutup juga”.<br />

Menurut Aribowo Prijosaksono dan Roy Sembel dalam salah satu situs<br />

internet, mereka mengatakan bahwa: “insomnia adalah suatu gangguan <strong>tidur</strong> yang<br />

dialami oleh penderita dengan gejala-gejala selalu merasa letih dan lelah<br />

sepanjang hari dan secara terus menerus (lebih dari sepuluh hari) mengalami<br />

kesulitan untuk <strong>tidur</strong> atau selalu terbangun ditengah malam dan tidak dapat<br />

kembali <strong>tidur</strong>”<br />

(http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/mandiri/2002/02/I/man01.html)<br />

Dari beberapa pengertian diatas kita dapat menyimpulkan bahwa insomnia<br />

atau gangguan sulit <strong>tidur</strong> merupakan suatu keadaan seseorang dengan kuantitas<br />

dan kualitas <strong>tidur</strong> yang kurang.<br />

b) Sebab - Sebab Insomnia<br />

Jumlah orang dewasa yang sering kali mengalami kurang <strong>tidur</strong> panda<br />

malam hari mencapai 40 %. Menurut seorang dokter, mengatakan bahwa yang<br />

banyak menjadikan orang mengalami gangguan sulit <strong>tidur</strong> atau insomnia adalah<br />

sebagai berikut:<br />

1. <strong>Gangguan</strong> fisik<br />

Sindrom kaki yang menggelisahka, gas troesophageal reflux, sleep apnea,<br />

fibromyalgia, radang persendian, rasa sakit menahan, masalah jantung, kegagalan<br />

jantung karena tersumbat, emfisema (pembengkakan paru-paru), asma dan<br />

pembesaran prostat.


2. <strong>Gangguan</strong> psikologis<br />

Mimpi buruk, depresi, stress, trauma, cemas, problem kegelisahan, rasa<br />

takut terhadap insomnia, diskusi atau argumentasi emosional sebelum <strong>tidur</strong>.<br />

3. Lingkungan <strong>tidur</strong> yang tidak tepat<br />

Kebisingan, suhu udara yang terlalu tinggi atau terlalu rendah, kasur yang<br />

terlalu keras atau terlalu empuk, terlalu terang atauterlalu gelap, teman <strong>tidur</strong> yang<br />

<strong>tidur</strong>nya mendengkur atau tidak bisa tenang.<br />

4. Ke<strong>biasa</strong>an kurang <strong>tidur</strong><br />

Terlalu banyak menghabiskan waktu diranjang untuk membaca atau<br />

menonton TV, <strong>tidur</strong> siang dan jadwal <strong>tidur</strong> yang tidak menentu.<br />

5. Ketidaknormalan siklus circadian<br />

Jet lag (terganggunya siklus <strong>tidur</strong> internal biologis tubuh yang kompleks<br />

karena melintasi beberapa zona waktu dengan cepat), kerja shift (kerja giliran)<br />

dan kebutaan.<br />

6. Penggunaan subtansi yang berlebihan<br />

Nikotin, kafein, alcohol, obat <strong>tidur</strong> yang berlebihan, stimulant tipe<br />

amphetamine, obat-obatan penurun berat badan, asam amino seperti tirosin dan<br />

fenilalanin, obat-obatan untuk demam seperti sudafet, ramuan herbal seperti ma<br />

huang yang mengandung ephedra, dan obat-obatan tertentuyang diresepkan<br />

(diuretics, theophylline). (Ray Sahelian, 2001: 66-67).<br />

c) Jenis-jenis Insomnia<br />

Menurut klasifikasi diagnostic dari WHO panda tahun 1990, insomnia<br />

dimasukkan dalam golongan DIMS (disorder of iniating and maintaining sleep),


yang secara praktis diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu insomnia primer<br />

dan insomnia sekunder.<br />

1. Insomnia primer<br />

Insomnia primer merupakan gangguan sulit <strong>tidur</strong> yang penyebabnya belum<br />

diketahui secara pasti. Sehingga dengan demikian, pengobatannya masih relative<br />

sukar dilakukan dan <strong>biasa</strong>nya berlangsung lama atau kronis (long term insomnia).<br />

Insomnia primer ini sering menyebabkan terjadinya komplikasi kecemasan dan<br />

depresi, yang justru dapat menyebabkan semakin parahnya ganggiuan sulit <strong>tidur</strong><br />

tersebut. Sebagian penderita golongan ini mempunyai dasar gangguan psikiatris,<br />

khususnya depresi ringan sampai menengah berat. Adapun sebagian penderita lain<br />

merupakan pecandu alcohol atau obat-obatan terlarang (narkotika). Kelompok<br />

yang terahir ini memerlukan penanganan khusus secara terpadu mencakup<br />

perbaikan kondisi <strong>tidur</strong> (sleep environments), pengobatan dan terapi kejiwaan<br />

(psikoterapi).<br />

2. Insomnia sekunder<br />

Insomnia sekunder merupakan gangguan sulit <strong>tidur</strong> yang penyebabnya<br />

dapat diketahui secara pasti, gangguan tersebut dapat berupa factor gangguan sakit<br />

fisik, maupun gangguan kejiwaan (psikis). Pengobatan insomnia sekunder relative<br />

lebih mudah dilakukan, terutama dengan menghilangkan penyebab utamanya<br />

terlebih dahulu.


Insomnia sekunder dapat dibedakan sebagai berikut:<br />

a. Insomnia sementara (transient insomnia)<br />

Insomnia sementara terjadi panda seseorang yang termasuk dalam<br />

golongan dapat <strong>tidur</strong> normal, namun karena adanya stress atau ketegangan<br />

sementara (misalnya karena adanya kebisingan atau pindah tempat <strong>tidur</strong>), menjadi<br />

sulit <strong>tidur</strong><br />

b. Insomnia jangka pendek (short term insomnia)<br />

Insomnia jangka pendek merupakan gangguan sulit <strong>tidur</strong> yang terjadi pada<br />

para penderita sakit fisik (misalnya batuk, rematik dan lain sebagainya), atau<br />

mendapat stress situasional (misalnya kehilangan atau kematian orang dekat,<br />

pindah pekerjaan dan lain sebagainya). (Endang Lanywati, 2001: 13-15)<br />

d) Dampak Negatif Penderita Insomnia<br />

Berikut 10 hal mengejutkan yang terjadi akibat kurang <strong>tidur</strong>, Dampak<br />

Negatif Akibat Kurang Tidur yang harus diketahui :<br />

a. Kecelakaan<br />

Kurang <strong>tidur</strong> adalah salah satu faktor bencana terbesar, harus disadari<br />

kurang <strong>tidur</strong> juga berdampak pada keselamatan saat mengemudi di jalan. Karena<br />

kelelahan merupakan penyebab kecelakaan mobil, yang setara dengan mabuk saat<br />

menyetir.<br />

Kurang <strong>tidur</strong> atau memiliki kualitas <strong>tidur</strong> yang rendah juga dapat<br />

menyebabkan kecelakaan dan cedera saat bekerja. Dalam sebuah penelitian,<br />

pekerja yang mengeluh mengantuk berlebihan pada siang hari rentan terluka saat<br />

bekerja dan secara terus-menerus mengalami kecelakaan yang sama saat bekerja.


. Konsentrasi menurun<br />

Tidur yang baik memainkan peran penting dalam berpikir dan belajar.<br />

Kurang <strong>tidur</strong> dapat memengaruhi banyak hal, Pertama : Mengganggu<br />

kewaspadaan, konsentrasi, penalaran, dan pemecahan masalah. Hal ini membuat<br />

belajar menjadi sulit dan tidak efisien. Kedua : Siklus <strong>tidur</strong> pada malam hari<br />

berperan dalam “menguatkan” memori dalam pikiran. Jika tidak cukup <strong>tidur</strong>,<br />

maka kamu tidak akan mampu mengingat apa yang kamu pelajari dan alami<br />

selama seharian.<br />

c. Masalah kesehatan serius<br />

<strong>Gangguan</strong> <strong>tidur</strong> dan kurang <strong>tidur</strong> tahap kronis dapat membawa pada risiko<br />

: Penyakit jantung, Serangan jantung, Gagal jantung, Detak jantung tidak teratur,<br />

Tekanan darah tinggi, Stroke, dan Diabetes<br />

Menurut beberapa penelitian, 90 persen penderita insomnia “gangguan<br />

<strong>tidur</strong>yang ditandai dengan sulit <strong>tidur</strong> dan tetap terjaga sepanjang malam” juga<br />

mengalami risiko kesehatan serupa.<br />

d. Gairah seks menurun<br />

Para ahli melaporkan, kurang <strong>tidur</strong> pada pria dan wanita menurunkan<br />

tingkat libido dan dorongan melakukan hubungan seksual. Hal ini dikarenakan<br />

energi terkuras, mengantuk, dan tensi yang meningkat.<br />

Bagi pria yang mengidap sleep apnea (masalah pernapasan yang<br />

mengganggu saat <strong>tidur</strong>) kurang <strong>tidur</strong> menyebabkan gairah seksual melempem.<br />

Sebuah studi yang diterbitkan dalam Journal of Clinical Endocrinology &<br />

Metabolism 2002 menunjukkan, hampir semua orang yang menderita sleep apnea


memiliki kadar testosteron yang rendah. Hampir setengah dari orang yang<br />

menderita sleep apnea parah memiliki tingkat testosteron yang rendah pada<br />

malam hari.<br />

e. Menyebabkan depresi<br />

Dalam studi tahun 1997, peneliti dari Universitas Pensylvania melaporkan<br />

bahwa orang-orang yang <strong>tidur</strong> kurang dari 5 jam per hari selama tujuh hari<br />

menyebabkan stres, marah, sedih, dan kelelahan mental. Selain itu, kurang <strong>tidur</strong><br />

dan gangguan <strong>tidur</strong> menjadi salah satu penyebab gejala depresi.<br />

Insomnia dan tidak nafsu makan akibat depresi saling berhubungan.<br />

Kurang <strong>tidur</strong> memperparah gejala depresi dan depresi membuat lebih sulit <strong>tidur</strong>.<br />

Sisi positifnya, pola <strong>tidur</strong> yang baik dapat membantu mengobati depresi.<br />

f. Memengaruhi kesehatan kulit<br />

Kebanyakan orang mengalami kulit pucat dan mata bengkak setelah<br />

beberapa malam kurang <strong>tidur</strong>. Keadaan tersebut benar karena kurang <strong>tidur</strong> yang<br />

kronis dapat mengakibatkan kulit kusam, garis-garis halus pada wajah, dan<br />

lingkaran hitam di bawah mata.<br />

Bila tidak mendapatkan cukup <strong>tidur</strong>, tubuh akan melepaskan lebih banyak<br />

hormon stres atau kortisol. Dalam jumlah yang berlebihan, kortisol dapat<br />

memecah kolagen kulit atau protein yang membuat kulit tetap halus dan elastis.<br />

Kurang <strong>tidur</strong> juga dapat menyebabkan tubuh lebih sedikit mengeluarkan<br />

hormon pertumbuhan. Ketika kita masih muda, hormon pertumbuhan manusia<br />

mendorong pertumbuhan. Dalam hal ini, hormon tersebut membantu<br />

meningkatkan massa otot, menebalkan kulit, dan memperkuat tulang.


g. Pelupa<br />

Pada tahun 2009, peneliti dari Amerika dan Perancis menemukan bahwa<br />

peristiwa otak yang disebut sharp wave ripples bertanggung jawab menguatkan<br />

memori pada otak. Peristiwa ini juga mentransfer informasi dari hipokampus ke<br />

neokorteks di otak, tempat kenangan jangka panjang disimpan. Sharp wave<br />

ripples kebanyakan terjadi pada saat <strong>tidur</strong>.<br />

h. Tubuh jadi “melar”<br />

Kalo kamu mengabaikan efek kurang <strong>tidur</strong>, maka bersiaplah dengan<br />

ancaman kelebihan berat badan. Kurang <strong>tidur</strong> berhubungan dengan peningkatan<br />

rasa lapar dan nafsu makan, dan kemungkinan bisa menjadi obesitas.<br />

Hubungan antara <strong>tidur</strong> dan peptida yang mengatur nafsu makan. Ghrelin<br />

merangsang rasa lapar dan leptin memberi sinyal kenyang ke otak dan<br />

merangsang nafsu makan. Waktu <strong>tidur</strong> singkat dikaitkan dengan penurunan leptin<br />

dan peningkatan dalam ghrelin.<br />

Kurang <strong>tidur</strong> tak hanya merangsang nafsu makan. Hal ini juga merangsang<br />

hasrat menyantap makanan berlemak dan makanan tinggi karbohidrat. Riset yang<br />

tengah berlangsung dilakukan untuk meneliti apakah <strong>tidur</strong> yang layak harus<br />

menjadi bagian standar dari program penurunan berat badan.<br />

i. Meningkatkan risiko kematian<br />

Dalam penelitian Whitehall ke-2, peneliti Inggris menemukan bagaimana<br />

pola <strong>tidur</strong> memengaruhi angka kematian lebih dari 10.000 pegawai sipil Inggris<br />

selama dua dekade. Berdasarkan hasil penelitian yang dipublikasikan pada 2007,<br />

mereka yang telah <strong>tidur</strong> kurang dari 5-7 jam sehari mengalami kenaikan risiko


kematian akibat berbagai faktor. Bahkan kurang <strong>tidur</strong> meningkatkan dua kali lipat<br />

risiko kematian akibat penyakit kardiovaskular.<br />

j. Merusak penilaian terutama tentang <strong>tidur</strong><br />

Kurang <strong>tidur</strong> dapat memengaruhi penafsiran tentang peristiwa. Keadaan<br />

tubuh yang lemas membuat kita tidak bisa menilai situasi secara akurat dan<br />

bijaksana. Bagi yang kurang <strong>tidur</strong> sangat rentan terhadap penilaian buruk ketika<br />

sampai pada saat menilai apa yang kurang terhadap sesuatu (Endang Lanywati,<br />

2001: 17-19)<br />

e) Dampak Positif Penderita Insomnia<br />

Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa insomnia, kualitas buruk<br />

daripada kuantitas <strong>tidur</strong> dikaitkan dengan gangguan fungsi di siang hari dan<br />

Kualitas Hidup . Namun obat <strong>tidur</strong> telah disetujui atas dasar perbaikan dalam<br />

induksi <strong>tidur</strong> dan / atau pemeliharaan tetapi tidak dalam kualitas <strong>tidur</strong> dan kinerja<br />

hari berikutnya.<br />

Sulitnya memejamkan mata di malam hari, bagi beberapa orang akan<br />

dimanfaatkan untuk menyelesaikan tugas dan kewajiban di tempat kerja, kuliah<br />

dan keseluruhan civitas yang tertunda di siang hari. Selain itu, selama pengobatan<br />

insomnia berlangsung kita bisa memaksimalkan kedekatan kita pada Tuhan YME<br />

dengan memperbanyak ibadah dimalam hari sehingga secara psikologis kita<br />

menjadi tenang dan sedikit melepaskan ketegangan pikiran kita terhadap duniawi.<br />

Penderita insomnia menghabiskan waktu yang berlebihan di tempat <strong>tidur</strong>.<br />

Jadi terapi perilaku yang efektif untuk insomnia adalah untuk membatasi waktu di<br />

tempat <strong>tidur</strong> dengan jumlah jam yang seseorang <strong>tidur</strong>. Itulah yang disebut terapi


pembatasan <strong>tidur</strong>. Jika seseorang pergi ke tempat <strong>tidur</strong> jam 10.30 dan bangun jam<br />

6:30 pagi, tetapi sebenarnya hanya <strong>tidur</strong> 6,5 jam di malam hari, yang ideal akan<br />

mengatakan, "Pergilah ke tempat <strong>tidur</strong> pada tengah malam dan bangun pada 6:30<br />

di pagi hari Kami ingin. Anda berada di tempat <strong>tidur</strong> hanya beberapa jam<br />

dilaporkan menjadi waktu <strong>tidur</strong>. " Jika seseorang dapat <strong>tidur</strong> efektif untuk 85%<br />

atau lebih dari waktu di tempat <strong>tidur</strong>, kita menambahkan 15 menit tambahan, dan<br />

terus menambahkan sedikit waktu ekstra di tempat <strong>tidur</strong> sampai <strong>tidur</strong> mulai<br />

memburuk. Enam jam adalah batas bawah umumnya direkomendasikan dari<br />

pembatasan <strong>tidur</strong> kecuali Anda tahu bahwa orang itu mungkin perlu waktu kurang<br />

dari 6 jam, yang jarang terjadi.<br />

Dengan demikian kecil sekali yang bisa kita dapatkan dari ke<strong>biasa</strong>an sulit<br />

terpejam/ <strong>tidur</strong> dimalam hari. Insomnia begitu berpengaruh bagi kondisi fisik dan<br />

mental kita di siang hari meskipun ada kemungkinan positifnya namun hal<br />

tersebut akan lebih optimal jika kita mampu membuat sebuah manajemen hidup<br />

yang lebih berkualitas dengan melakukan aktivitas kita sehari-hari secara<br />

seimbang. Sehingga tidak perlu mengidap insomnia untuk kita bisa bekerja<br />

dimalam hari atau merasa stress dengan pekerjaan sehingga merasa 24 jam sehari<br />

tidak pernah cukup untuk kita yang dituntut banyak aktivitas. (James B. Maas,<br />

2002: 196)<br />

f) Gejala – gejala Insomnia<br />

jika anda sulit <strong>tidur</strong>, terbangun berkali-kali pada malam hari, bangun lebih<br />

awal daripada yang anda inginkan, selalu merasa seakan-akan anda butuh <strong>tidur</strong><br />

pada siang hari, ter<strong>tidur</strong> sewaktu menonton acara televisi atau sewaktu menunggu


lampu lalu lintas menjadi hijau, kemungkinan besar anda mengidap insomnia.<br />

Kalau begitu, anda tidak sendirian. Satu dari setiap dua orang Amerika telah<br />

mengalami imsomnia, gangguan <strong>tidur</strong> yang paling umum.<br />

Dalam kasus perubahan endocrinal, gangguan <strong>tidur</strong> jelas gejala seperti<br />

dalam kasus-kasus masalah tiroid, di mana pasien dengan insomnia atau kelebihan<br />

<strong>tidur</strong>.Masalah yang terkait dengan menopause dan kehamilan juga terkait sangat<br />

umum dengan insomnia. Perubahan dalam ritme sirkadian adalah penyebab utama<br />

bagi banyak gangguan <strong>tidur</strong>. Pekerja shift <strong>biasa</strong>nya mengalami gangguan <strong>tidur</strong><br />

karena mereka mengubah pola <strong>tidur</strong> dan jet lag adalah alasan untuk gangguan<br />

<strong>tidur</strong> bagi para pelancong yang bepergian menggunakan pesawat .<br />

Mereka yang menderita insomnia mengalami tidak cukup <strong>tidur</strong>, atau<br />

merasa tidak cukup beristirahat setelah bangun <strong>tidur</strong>. Hal ini sering merusak<br />

fungsi sosial dan kerja, dan dapat disertai dengan perasaan gelisah, mudah marah,<br />

khawatir, lelah panda siang hari dan kecapaian. (James B. Maas, 2002: 198)<br />

Buku applikations in self-management (Brian T. Yates, 1986),<br />

memberikan daftar untuk mendiagnosis insomnia. Anda mungkin menderita<br />

insomnia jika gejala-gejala berikut terjadi pada diri anda:<br />

1. Anda merasa lelah dan tertekan panda waktu pagi hari atau malam hari<br />

2. Anda memiliki lingkaran gelap dan membengkak disekitar mata anda<br />

3. Anda jatuh ter<strong>tidur</strong> di pesta atau setelah makan malam di rumah orang<br />

4. Anda kurang aktif dan memliki sedikit hubungan sosial


5. Anda merasa seperti kehilangan focus perhatian yang membuat anda tidak<br />

dapat merespon rangsangan dari luar dan membuat anda sensitive terhadap<br />

hali lainnya<br />

6. Anda sangat sensitive terhadap rangsangan internal sakit perut (maag) atau<br />

kejang-kejang<br />

7. Anda sering tidak dapat <strong>tidur</strong>, <strong>tidur</strong> tidak nyenyak ataupun bangun terlalu<br />

dini<br />

8. Anda takut menghadapi malam hari karena anda susah <strong>tidur</strong><br />

9. Anda mudah tersinggung atas hal-hal yang tidak penting<br />

10. Anda mengkonsumsi obat <strong>tidur</strong> dalam beberapa bulan terahir<br />

11. Anda sering menggunakan rokok, alcohol atau obat-obatan untuk<br />

menenangkan diri dan membantu anda untuk <strong>tidur</strong><br />

12. Anda kecanduan obat-obatan, terutama yang mengandung zat penenang.<br />

Jika anda salah satu dari sejumlah daftar tersebut terjadi panda anda, maka<br />

dapat dipastikan anda telah mengalami insomnia. (Aribowo, 2002)<br />

g) Cara mengatasi gangguan Insomnia<br />

Tips Mengatasi Susah Tidur / Insomnia :<br />

1. Olahraga teratur<br />

Berolah raga teratur. Beberapa penelitian menyebutkan berolah raga yang<br />

teratur dapat membantu orang yang mengalami masalah dengan <strong>tidur</strong>. Olah raga<br />

sebaiknya dilakukan pada pagi hari dan bukan beberapa menit menjelang <strong>tidur</strong>.<br />

Dengan berolah raga, kesehatan anda menjadi lebih optimal sehingga tubuh dapat<br />

melawan stress yang muncul dengan lebih baik.


2. Kurangi konsumsi kaffein<br />

Minimalisasikan asupan kafein seperti teh atau kopi. Bila Anda ingin<br />

mengkonsumsinya, lakukanlah di pagi hari, atau paling lambat 4 jam sebelum<br />

<strong>tidur</strong> di malam hari. Kafein yang dikonsumsi terlalu dekat dengan waktu <strong>tidur</strong><br />

hanya akan menghambat datangnya rasa kantuk.<br />

3. Perhatikan waktu makan<br />

Anda mesti memperhatikan waktu makan, beri waktu minimal dua jam<br />

sebelum <strong>tidur</strong> setelah menyantap makanan terakhir makan malam. Jarak makan<br />

yang terlalu dekat dengan waktu <strong>tidur</strong> justru akan meningkatkan metabolisme dan<br />

suhu tubuh, sehingga membuat <strong>tidur</strong> semakin sulit. Dengan cara ini, Anda juga<br />

dapat menjaga berat badan, mengingat <strong>tidur</strong> setelah makan besar akan banyak<br />

menyimpan lemak.<br />

Jika benar-benar kelaparan, pilihlah cemilan seperti sereal gandum yang<br />

dicampur susu, tofu, bubur gandum, atau roti yang ditaburi wijen. Namun, tetap<br />

saja berikan jarak minimal satu jam sebelum <strong>tidur</strong> karena tryptophan juga<br />

membutuhkan waktu untuk merangsang otak.<br />

4. Makanlah makanan berkarbohidrat menjelang <strong>tidur</strong><br />

Untuk bisa <strong>tidur</strong> dengan nyenyak, tubuh Anda membutuhkan trytophan<br />

atau yang sering disebut zat penidur. Trytophan, yang merupakan jenis asam<br />

lemak, berfungsi menghasilkan serotonin yang dapat mengendurkan syaraf pada<br />

pusat otak. Saat otak sudah rileks, Anda akan lebih mudah ter<strong>tidur</strong> dengan kualitas<br />

yang baik.


Trytophan banyak terdapat pada makanan berkabohidrat ringan. Kue<br />

muffin, biskuit, atau buah bisa dijadikan solusi. Namun jangan terlalu kenyang,<br />

pencernaan Anda akan terbebani karena harus bekerja keras mencerna, sehingga<br />

istirahat Anda tidak dapat maksimal.<br />

5. Lakukan aktivitas yang membuat Anda nyaman untuk <strong>tidur</strong><br />

Anda bisa memulainya dengan menuangkan minyak aromaterapi pada<br />

diffuser, mandi air hangat, menyetel lagu favorit atau melapisi tempat <strong>tidur</strong><br />

dengan selimut yang nyaman. Saat <strong>tidur</strong>, matikan lampu, matikan hal hal yang<br />

menimbulan suara, pastikan anda nyaman dengan suhu ruangan <strong>tidur</strong> anda.<br />

Jauhkan jam meja dari pandangan anda karena benda itu dapat membuat anda<br />

cemas karena belum dapat terlelap sementara jarum jam kian larut.<br />

6. Tempat <strong>tidur</strong> hanya untuk <strong>tidur</strong><br />

Bila Anda ingin membaca atau menonton tv sebaiknya lakukan di tempat<br />

lain sehingga saat Anda pergi ke tempat <strong>tidur</strong>, 'alarm' di tubuh Anda segera<br />

mengingatkan bahwa ini adalah waktu untuk <strong>tidur</strong>. Hal ini akan membantu tubuh<br />

anda menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat <strong>tidur</strong>. Saat anda berbaring di<br />

tempat <strong>tidur</strong>, maka akan timbul rangsangan untuk <strong>tidur</strong>.<br />

7. Jernihkan pikiran<br />

Jernihkan pikiran anda. Enyahkan segala kekhawatiran yang<br />

menghinggapi pikiran anda. Salah satu cara untuk ini adalah menuliskan semua<br />

pikiran anda lewat media blog.


8. Tidur dan bangunlah dalam periode yang teratur<br />

Tidur dan bangunlah dalam periode waktu yang teratur setiap hari. Waktu<br />

<strong>tidur</strong> yang /kacau akan mengacaukan waktu <strong>tidur</strong> anda selanjutnya (Ray Sahelian,<br />

2001: 69-72).<br />

B. Penelitian Terdahulu yang Relevan<br />

Menurut sepengetahuan peneliti, penelitian terdahulu mengenai coping<br />

mayoritas diteliti oleh mahasiswa psikologi, hal tersebut didasari karena<br />

pembahasan coping memang tepat untuk dijadikan pembahasan oleh mahasiswa<br />

psikologi. Berikut ini akan peneliti deskripsikan beberapa hasil penelitian yang<br />

berkaitan dengan strategi coping yang telah ditulis oleh peneliti terdahulu.<br />

Pertama, penelitian yang telah diteliti oleh Leonarda Diah Purwandani,<br />

skripsi mahasiswa Unika Atma Jaya tahun 2005, dengan judul ”Gambaran<br />

Sumber Stres dan Strategi Coping Stres Pada Konselor yang Membantu<br />

Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga”. Penelitian ini membahas<br />

tentang seorang konselor yang membantu perempuan korban kekerasan dalam<br />

rumah tangga, yang pastinya tidak akan terhindar dari kesulitan-kesulitan yang<br />

dapat menghambat kinerja mereka. Kesulitan tersebutlah yang akhirnya akan<br />

dapat menimbulkan rasa frustasi, hopeles, dan helples. Jika hal tersebut berlarutlarut,<br />

maka seorang konselor dapat mengalami stres. Disini hasil penelitian<br />

menunjukkan bahwa beberapa sumber stres yang dirasakan oleh konselor saat<br />

menjalankan pekerjaan mereka, adalah budaya partriarki yang masih sangat kental<br />

di indonesia, perilaku pelaku kekerasan yang agresif, dan stresor karena<br />

tanggungjawab konselor terhadap hidup orang lain yaitu klien mereka. Sedangkan


strategi coping yang <strong>biasa</strong> mereka gunakan untuk meminimalisir stres, mereka<br />

mempunyai<br />

kecenderungan untuk menggunakan strategi coping aktif (active<br />

coping), strategi coping perencanaan (planning), dan strategi coping penerimaan<br />

(acceptance). Hasil penelitian mengungkapkan bahwa konselor merasa strategi<br />

coping yang berpusat pada masalah (problem focused coping) merupakan strategi<br />

coping yang paling efektif untuk mengatasi stres.<br />

Kedua, penelitian yang telah diteliti oleh Putik Erdinalita, skripsi Fakultas<br />

Psikologi Universitas Airlangga tahun 2007, dengan judul ”Strategi Coping Stres<br />

Pada Waria”. Penelitian ini menjelaskan tentang strategi coping stres yang<br />

digunakan oleh waria dalam menghadapi sumber-sumber stres kehidupannya.<br />

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, waria sebagai individu memiliki perbedaan<br />

dalam strategi coping yang digunakan untuk menyelesaikan masalah<br />

kehidupannya. Yaitu, subyek 1 yang cenderung menggunakan problem focused<br />

coping, yaitu strategi coping yang bertujuan untuk mengontrol sumber stres,<br />

dalam rangka menghilangkan atau meminimalisir kondisi stres yang dihadapi.<br />

Subyek 2 cenderung menggunakan emotion focused coping, yaitu usaha yang<br />

dilakukan untuk mengatur emosinya dalam rangka menyesuaikan diri dengan<br />

dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang penuh<br />

tekanan, sedangkan subyek 3 cenderung menggunakan coping maladaptif, coping<br />

yang cenderung kurang efektif atau bersifat maladaptif.<br />

Ketiga, penelitian yang telah diteliti oleh Joko Parjianto, skripsi Fakultas<br />

Psikologi UMS tahun 2004, dengan judul ”Strategi Coping Pengguna Narkotika<br />

Dan Obat Terlarang”. Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui


entuk-bentuk strategi coping yang dilakukan pengguan narkotika dan obat<br />

terlarang. Sampel dalam penelitian ini adalah pengguna narkotika dan obat<br />

terlarang yang tercatat sebagai penduduk di wilayah Kotamadya Surakarta,<br />

adapun karakteristik subyek penelitian, yaitu (a) usia 20-25 tahun, (b) pria, (c)<br />

pendidikan minimal SLTA, (d) berdomisili di wilayah Surakarta. Gejala<br />

penelitian yang ingin diteliti yaitu strategi coping. Dari hasil analisis data yang<br />

diperoleh kesimpulan bahwa bentuk strategi coping yang dilakukan pengguna<br />

narkoba digolongkan menjadi 6 (enam) kategori, yaitu sikap tegas dan tertutup,<br />

agresif, melakukan aktifitas sosial, berhenti secara bertahap, mencari dukungan<br />

sosial, pasrah dan putus asa. Kategori-kategori tersebut diperoleh berdasarkan<br />

kesimpulan yang diambil secara analisis deskriptif dari hasil wawancara dan<br />

observasi. Disamping itu bentuk-bentuk strategi coping yang dilakukan pengguna<br />

narkotika dan obat terlarang dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti: jenis<br />

kelamin, umur dan perkembangan, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi.<br />

Dari penjelasan penelitian terdahulu di atas, maka dapat diketahui bahwa<br />

terdapat perbedaan yang mendasar seperti subyek penelitian, lokasi penelitian,<br />

hasil penelitian dsb, meskipun terdapat kesamaan dalam bidang kajian yaitu<br />

strategi coping. Sebagai bahan perbandingan, disini peneliti mengambil judul<br />

”Coping Stres Pada Penderita Insomnia”.<br />

Pada penelitian ini, peneliti terinspirasi untuk meneliti strategi coping pada<br />

penderita insomnia. Karena, kondisi ini dimungkinkan banyak permasalahan yang<br />

menarik untuk diteliti. Selain itu, penelitian ini diharapkan bisa memberikan<br />

masukan atau sumbang pemikiran pada keilmuan psikologi.


Tema ini juga pernah diangkat oleh peneliti lain. Adanya hasil penelitian<br />

terdahulu, menjadi referensi peneliti. Tapi peneliti yakin nantinya, hasil dari<br />

penelitian ini mempunyai perbedaan dengan penelitian terdahulu. Karena ditinjau<br />

dari judul, subyek penelitian dan lokasi penelitian sudah dapat dilihat akan<br />

membuahkan perbedaan.<br />

C. KERANGKA TEORI<br />

Penelitian ini menggunakan subyek yang menderita insomnia dengan<br />

obyek yang diteliti yaitu bagaimana strategi coping stress yang dialami oleh<br />

kalangan pekerja. Menurut Diana Diahwati (2001: 110) dalam bukunya “serbaserbi<br />

manfaat dan gangguan <strong>tidur</strong>”, mengatakan bahwa: “insomnia adalah suatu<br />

keadaan dimana seseorang tidak mampu tiidur dengan nyaman. Meskipun sudah 1<br />

jam lebih, seseorang berada diatas tempat <strong>tidur</strong>nya, tetapi mata tetap sulit saja<br />

dipicingkan, tidak mau tertutup juga”.<br />

Mereka yang sedang menderita insomnia mengalami tidak cukup <strong>tidur</strong>,<br />

atau merasa tidak cukup beristirahat setelah bangun <strong>tidur</strong>. Hal ini sering merusak<br />

fungsi sosial dan kerja, dan dapat disertai dengan perasaan gelisah, mudah marah,<br />

khawatir, lelah panda siang hari dan kecapaian. (James B. Maas, 2002: 198)<br />

Jadi dengan menjadi seorang pekerja yang lagi menderita insomnia pasti<br />

segala permasalahan mulai bermunculan, dari permasalahan ekonomi, masalah<br />

pola asuh anak, masalah emosi, dan masalah sosial. Segala permasalahan yang<br />

dihadapi tersebut dapat menimbulkan stress bagi para kalangan pekerja.<br />

W.F. Maramis (1998: 65) menyatakan bahwa stress adalah masalah atau<br />

tuntutan penyesuaian diri karena sesuatu yang mengganggu keseimbangan kita,


ila kita tidak mengatasinya dengan baik akan mengganggu keseimbangan badan<br />

atau jiwa kita.<br />

Menurut Ardani (2007: 40) perilaku coping adalah mengatasi stress<br />

dengan melakukan transaksi antar lingkungan, yang mana hubungan transaksi ini<br />

merupakan suite proses yang dinamis.<br />

Dalam penelitian ini tujuan peneliti hanya sebatas untuk mengetahui<br />

bagaimana strategi coping yang mereka gunakan, apakah menggunakan problem<br />

focused coping atau emotion focused coping dan coping maladaftif. Untuk itu<br />

dengan munculnya stress karena adanya permasalahan yang sudah diterangkan<br />

diatas, maka sebagai orang dikalangan pekerja harus memiliki stategi coping<br />

stress yang berfungsi untuk meminimalisir stress yang ada. Dalam penelitian ini<br />

tujuan peneliti hanya sebatas untuk mengetahui bagaimana strategi coping yang<br />

mereka gunakan, apakah menggunakan problem-solving focused coping (bekerja,<br />

tidak berdiam diri, menceritakan masalah ke orang lain), dimana individu secara<br />

aktif mencari penyelesaian diri masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi<br />

yang menimbulkan stress; dan emotion-focused coping (diam agar tenang,<br />

mendekatkan diri panda tuhan, mengaji), dimana individu melibatkan usaha-usaha<br />

untuk mengatur emosinya dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang<br />

akan ditimbulkan oleh suite kondisi tau situasi yang penuh tekanan, ditambah satu<br />

golongan coping oleh Carven yaitu maladaptive. Adapun yang dimaksud dengan<br />

coping maladaptive adalah stratregi coping yang cenderung kurang efektif atau<br />

bersifat maladaptive. Keputusan untuk menggunakan coping milik lazarus dan<br />

folkman adalah karena hasil penelitian membuktikan bahwa menggunakan kedua


cara tersebut untuk mengatasi berbagai masalah yang menekan dalam berbagai<br />

ruang lingkup kehidupan sehari-hari.


<strong>BAB</strong> III<br />

METODE PENELITIAN<br />

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian<br />

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan metode dengan pendekatan<br />

kualitatif, dalam penelitian kualitatif merupakan suatu prosedur penelitian yang<br />

menghasilkan data deskriptif dimana kejadian yang terjadi digambarkan menurut<br />

keadaan yang sebenarnya, dengan cara mengamati orang dalam lingkungan<br />

hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran<br />

mereka tentang dunia sekitarnya. Penelitian kualitatif ini menggunakan latar<br />

alamiah, dengan maksud untuk menafsirkan fenomena yang terjadi (Sugiyono,<br />

2007 : 180).<br />

Dalam hal ini peneliti hanya ingin memahami hal – hal yang berhubungan<br />

dengan keadaan sesuatu, yakni mengetahui strategi coping stress pada penderita<br />

insomnia. Berdasarkan tempatnya, penelitian ini termasuk dalam penelitian<br />

lapangan karena penelitian dilakukaan pada objek yang ada dilapangan.<br />

B. Kehadiran Peneliti<br />

Peneliti selalu terlibat dalam setiap pengambilan data karena “kehadiran<br />

peneliti di lapangan untuk penelitian kualitatif mutlak dilakukan”. Peneliti juga<br />

sebagai pengamat penuh penelitian ini sehingga peneliti dapat mengamati apa<br />

yang sedang dilakukan oleh subyek maupun dengan informan lainnya. Kehadiran<br />

peneliti dilokasi sudah diketahui oleh subyek maupun informan lainnya sebagai<br />

peneliti.


Informan pendukung ini sangat antusias dalam membantu peneliti dalam<br />

menjawab setiap pertanyaan dengan apa adanya, namun untuk subyek sendiri<br />

yang didapat peneliti masih dirasa masih kurang.<br />

C. Lokasi Penelitian<br />

Penelitian ini dilakukan dirumah subyek untuk hal-hal yang bersifat<br />

rahasia dan membutuhkan suasana yang kondusif. Demikian juga dengan<br />

significan outhernya peneliti mewawancarai mereka di tempat tinggalnya. Lokasi<br />

tempatnya di daerah kedung rejo timur-waru-sidoarjo, rumah ini mempunyai<br />

ruang yang tidak terlalu sempit, didalam ruangan tersebut ada beberapa fasilitas<br />

yang meringankan dan memanjakan penghuninya seperti tv, hp, lemari, tempat<br />

<strong>tidur</strong> dll. Alasan peneliti memilih lokasi ini dikarenakan wawancara yang<br />

dilakukan akan lebih kondusif tanpa ada orang lain yang mengetahui.<br />

D. Subyek Penelitian<br />

Disini subyek penelitiannya berinisial AS, berjenis kelamin laki-laki,<br />

usianya sekitar dua puluh enam tahun, subyek anak ke tiga dari enam bersaudara,<br />

subyek disini statusnya sudah menikah dan mempunyai satu orang anak laki-laki,<br />

dia bekerja disalah satu CV di daerah Sedati dan dia tinggal satu rumah dengan<br />

mertua, istri, dan anaknya.<br />

Subyek pertama kali menderita insomnia pada waktu pertama dia masuk<br />

kerja dan pada waktu itu juga dia terkena sif pagi dan malam, semenjak itu subyek<br />

sulit untuk <strong>tidur</strong> karena dia sepulang dari kerja langsung mengajak anaknya<br />

bermain sehingga pada saat subyek berangkat bekerja dia merasa letih, tidak<br />

mempunyai semangat untuk bekerja, dan dia juga merasakan kalau badannya


terasa pegal-pegal atau capek sekali dengan begitu subyek merasa stress karena<br />

dia merasa sulit untuk <strong>tidur</strong> dan belum juga beban atau masalah yang dia hadapi<br />

sekarang ini.<br />

Dan disini subyek telah bersedia menjadi subyek penelitian dan subyek<br />

juga mau untuk diwawancarai maupun observasi jadi peneliti tidak ada kendala<br />

apapun untuk meneliti kehidupan subyek yang mengenai dia sulit untuk <strong>tidur</strong> atau<br />

bisa disebut juga gangguan insomnia. Dan dari factor pendukung peneliti<br />

mengambil beberapa informan yaitu dari keluarganya diantaranya dari ibu, dan<br />

istrinya. Dan disini peneliti juga tidak menemukan kendala apapun sehingga<br />

wawancara dan observasi berjalan dengan lancar<br />

E. Sumber Data<br />

Sumber data berasal dari subyek utama yang telah dipilih berdasarkan<br />

kriteria subyek. Alat-alat yang di gunakan untuk membantu penggalian data lebih<br />

intensif adalah buku catatan, notebook (laptop), tape recorder dan camera. Hal ini<br />

bermanfaat untuk mencatat dan mendokumentasikan seluruh hasil galian data dari<br />

sumber data. Sedangkan untuk mengkros cek data penelitian, subyek memilih<br />

istri, dan teman dekat subyek utama.<br />

a. Subyek Utama<br />

Nama<br />

: AS<br />

Jenis kelamin : Laki-laki<br />

Tempat lahir<br />

: Mojokerto<br />

Tanggal lahir : 16 Agustus 1985<br />

Usia<br />

: 27 tahun


Status marital : Sudah menikah<br />

Suku/bangsa<br />

: Jawa/Indonesia<br />

Subyek utama di pilih karena sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan<br />

pada awal penelitian. Subyek juga menderita insomnia. Peneliti menentukan AS<br />

sebagai subyek utama juga karena peneliti melihat adanya perbedaan aktifitas<br />

subyek yang aktifitasnya lebih banyak bila dibandingkan dengan teman-teman<br />

seusianya yang kebanyakan belum berkeluarga atau menikah dan tidak menderita<br />

insomnia.<br />

b. Informan penelitian I<br />

Nama<br />

: NK<br />

Jenis kelamin : Wanita<br />

Tempat lahir<br />

: Sidoarjo<br />

Tanggal lahir : 5 November 1989<br />

Usia<br />

: 23 tahun<br />

Status marital : Sudah menikah / Istri subyek utama<br />

Suku/Bangsa<br />

: Jawa/Indonesia<br />

Peneliti memilih NK sebagai informan penelitian karena merupakan istri<br />

subyek utama yang lebih mengetahui informasi tentang pribadi, keluh kesah<br />

subyek, ke<strong>biasa</strong>an dan aktifitas subyek utama sehari-hari.<br />

c. Informan penelitian II<br />

Nama<br />

: S<br />

Jenis kelamin : Laki-laki<br />

Usia<br />

: 27 tahun


Status marital : Belum menikah / Teman dekat subyek utama<br />

Suku/Bangsa<br />

: Jawa/Indonesia<br />

Peneliti memilih S sebagai informan karena S merupakan sahabat dekat<br />

subyek utama yang telah mengenal subyek jauh lebih lama daripada istri subyek.<br />

Sahabat dekat subyek ini merupakan teman seperjuangan subyek selama bekerja.<br />

Menurut penuturan S, subyek banyak bercerita tentang kehidupannya pada<br />

sahabat dekatnya ini.<br />

F. Teknik Pengumpulan Data<br />

Instrument yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode<br />

observasi dan wawancara mendalam (depth interview). Peneliti membuat panduan<br />

wawancara mendetail untuk subyek agar mendapatkan informasi yang diinginkan.<br />

Daftar wawancara dibuat berdasarkan elaborasi dari teori.<br />

Dalam proses pengumpulan data, peneliti merupakan instrument penelitian<br />

yang utama. Interaksi antara peneliti dengan informan diharapkan dapat<br />

memperoleh informasi yang mampu mengungkap permasalahan di lapangan<br />

secara lengkap dan tuntas.<br />

Teknik pengumpulan data menggunakan multi sumber bukti (triangulasi),<br />

artinya untuk menemukan pemicu dan gambaran insomnia pada AS, peneliti<br />

menggunakan observasi partisipasi, catatan lapangan (field note), wawancara<br />

mendalam dan dokumentasi.


Berikut keempat teknik pengumpulan data, yaitu:<br />

1. Metode Observasi<br />

Patton (dalam poerwandari, 2005:118) mengungkapkan observasi sebagai<br />

alat pengumpulan data esensial dalam penelitian, apalagi penelitian dengan<br />

pendekatan kualitatif. Observasi dimaksudkan untuk memberikan data yang<br />

akurat dan bermanfaat. Observasi sebagai metode ilmiah harus dilakukan oleh<br />

peneliti yang sudah melewati latihan-latihan yang memadai serta telah<br />

mengadakan persiapan yang teliti dan lengkap.<br />

Bufford Junker (dalam Moeloeng, 2005:176) dengan tepat memberikan<br />

gambaran tentang peranan peneliti sebagai pengamat seperti berikut: a) pemeran<br />

serta sebagai pengamat, dalam hal ini tidak sepenuhnya sebagai pemeran serta<br />

tetapi melakukan fungsi pengamatan saja. Peranan tersebut masih membatasi para<br />

subyek menyerahkan dan memberikan informasi terutama bersifat rahasia; b)<br />

pengamat sebagai pemeran serta yang secara terbuka diketahui oleh umum bahkan<br />

mungkin ia atau mereka disponsori oleh para subyek. Karena itu, maka segala<br />

macam informasi termasuk rahasia sekalipun dapat dengan mudah diperolehnya;<br />

c) pengamat penuh, <strong>biasa</strong>nya hal ini terjadi pada pengamatan suatu eksperimen di<br />

laboratorium yang menggunakan kaca sepihak (one way screen). Peneliti dengan<br />

bebas mengamati secara jelas subyeknya dari belakang kaca sedangkan subyeknya<br />

sama sekali tidak mengetahui bila mereka sedang diamati.<br />

Dalam penelitian ini peran peneliti dalam pengamatan atau observasi<br />

adalah sebagai pemeran serta yang telah diketahui sejak awal oleh subyek dan atas<br />

kesadaran subyek sendiri yang menawarkan diri menjadi subyek penelitian.


Peneliti menggunakan observasi partisipasi pasif. Dimana dalam metode ini<br />

peneliti dating ke tempat kegiatan subyek penelitian tapi tidak terlibat dalam<br />

kegiatan tersebut. Observasi dalam penelitian ini dilakukan dirumah subyek dan<br />

karena subyek tidak mengijinkan peneliti untuk melakukan observasi ditempat<br />

subyek saat ini bekerja karena alasan jauh, maka peneliti tidak melakukan<br />

observasi ditempat kerja subyek bekerja saat ini.<br />

2. Metode Wawancara<br />

Wawancara merupakan percakapan dengan maksud tertentu. Wawancara<br />

dalam penelitian kualitatif dilakukan untuk memperoleh tentang makna-makna<br />

subjektif yang dipahami individu yang berkenan dengan topik yang diteliti dan<br />

bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut (Banister dalam<br />

Poerwandari 2005:127).<br />

Macam-macam wawancara kualitatif antara lain: a) wawancara informal<br />

yang didasarkan sepenuhnya pada berkembangnya pertanyaan-pertanyaan secara<br />

spontan dalam interaksi alamiah; b) wawancara dengan pedoman umum yaitu<br />

peneliti memiliki pedoman wawancara yang sangat umum, yang mencantumkan<br />

isu-isu yang sedang diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan, bahkan mungkin<br />

tanpa bentuk pertanyaan eksplisit; c) wawancara dengan pedoman terstandar yang<br />

terbuka yaitu dengan menggunakan pedoman wawancara yang tertulis secara<br />

rinci, lengkap dengan set pertanyaan dan penjabarannya dalam kalimat.<br />

Peneliti menggunakan metode wawancara informal yaitu dengan<br />

menggunakan pedoman wawancara dibuat berdasarkan turunan dari hasil<br />

elaborasi teori kemudian pertanyaanya menjadi berkembang melalui interaksi


alamiah tanpa keluar dari isu yang sedang diteliti. Peneliti membuat panduan<br />

wawancara berdasarkan teori yang digunakan. Dalam kerangka pertanyaanpertanyaan,<br />

peneliti mempunyai kebebasan untuk menggali informasi dengan<br />

probing yang tidak kaku. Dengan begitu arah wawancara masih terletak di tangan<br />

peneliti.<br />

Pertama kali peneliti mewawancara AS dan meminta ijin mengadakan<br />

penelitian skripsi, dimana AS sebagai subyek penelitian. Setelah itu peneliti<br />

melakukan kros cek data dengan mewawancarai istri dan teman dekat AS.<br />

3. Catatan Lapangan<br />

Bogdan dan Biklen (dalam Moleong, 2005:209) menyebutkan bahwa<br />

catatan lapangan merupakan catatan tertulis tentang apa yang di dengar, di amati,<br />

di lihat, di alami, di pikirkan dalam rangka pengumpulan data dan refleksi<br />

terhadap data dalam penelitian kualitatif. Dalam penelitian kuailtatif, peneliti<br />

perlu untuk mencatat kondisi lapangan ketika peneliti melakukan penelitian.<br />

Catatan lapangan tersebut berisi catatan seperlunya yang dipersingkat antara lain<br />

kata-kata kunci, frase, pokok-pokok isi pembicaraan, mungkin gambar, sosiogram<br />

atau diagram. Proses ini dilakukan setiap kali selesai mengadakan pengamatan.<br />

4. Dokumentasi<br />

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan dokumen yang berbentuk<br />

tulisan dan gambar, yaitu biodata, serta foto-foto lingkungan tempat tinggal<br />

subyek.


G. Analisis Data<br />

Patton (dalam Moleong, 2005:280) bahwa analisis data merupakan proses<br />

mengatur urutan data, mengorganisasikan dalam suatu pola, kategori dan satu<br />

uraian dasar, membedakannya dengan penafsiran yaitu memberikan arti yang<br />

signifikan terhadap hasil analisis, menjelaskan pola uraian, dan mencari hubungan<br />

antara dimensi-dimensi uraian.<br />

Tahap-tahap analisis data Glasser & Strauss (Moleong, 2005:280) antara<br />

lain reduksi data yaitu mengidentifikasi satuan terkecil yang ditemukan dalam<br />

data yang memiliki makna bila dikaitkan dengan fokus dan masalah penelitian.<br />

Lalu, setelah satuan diperoleh langkah berikutnya ialah pemberian koding agar<br />

tetap dapat ditelusuri data atau satuannya, berasal dari sumber mana. Kedua ialah<br />

menyusun kategori untuk memilah-milah satuan ke dalam bagian-bagian yang<br />

memiliki kesamaan. Tiap kategori diberi nama yang disebut label. Ketiga ialah<br />

mensintesiskan atau mencari kaitan antara satu kategori dengan kategori yang lain<br />

yang kemudian diberi label lagi. Terakhir menyusun hipotesis kerja yaitu dengan<br />

cara merumuskan suatu pernyataan yang proposional. Hipotesis kerja sekaligus<br />

menjawab pertanyaan penelitian.<br />

H. Teknik Keabsahan Data<br />

Moleong (2005:232) menyatakan untuk menetapkan keabsahan data,<br />

diperlukan teknik pemeriksaan. Sedangkan teknik pemeriksaan keabsahan data,<br />

yaitu perpanjangan keikutsertaan, ketekunan pengamatan, triangulasi, kecukupan<br />

referensial.


Perpanjangan keikutsertaan berarti peneliti tinggal dilapangan penelitian<br />

hingga pengumpulan kejenuhan tercapai. Jika hal tersebut dilakukan maka akan<br />

membatasi<br />

gangguan dari dampak peneliti pada konteks, membatasi bias,<br />

mengkompensasikan pengaruh dari kejadian-kejadian yang tidak <strong>biasa</strong>. Hal-hal<br />

tersebut akan meningkatkan derajat kepercayaan.<br />

Ketekunan pengamatan bermaksud menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur<br />

dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan yang sedang dicari lalu<br />

memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci.<br />

Triangulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data yang<br />

memanfaatkan sesuatu yang lain seperti sighnificant others atau individu yang<br />

bukan subyek utama penelitian. Dalam hal ini peneliti memilih triangulasi dengan<br />

penggunaan metode yang menurut patton (dalam Moleong, 2005:331) terdapat<br />

dua strategi yaitu pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian<br />

beberapa teknik pengumpulan data dan pengecekan derajat kepercayaan beberapa<br />

sumber data dengan metode yang sama.<br />

Pemeriksaan teman sejawat melalui diskusi dengan cara mengekspos hasil<br />

akhir yang diperoleh dalam bentuk diskusi dengan rekan-rekan yang tujuannya<br />

agar peneliti mempertahankan sikap terbuka dan jujur, memberikan kesempatan<br />

pada peneliti untuk mulai menguji hipotesis yang muncul dari pemikiran peneliti.<br />

Pengecekan anggota yang terlibat dalam proses penelitian. Peneliti<br />

mengumpulkan para peserta yang ikut menjadi sumber data dan mengecek<br />

kebenaran data dan interpretasinya.


<strong>BAB</strong> IV<br />

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN<br />

A. Setting Penelitian<br />

1. Persiapan Penelitian<br />

Dalam setting penelitian yang dilakukan peneliti, terdapat beberapa<br />

poin, antara lain:<br />

a. Penentuan Subyek<br />

Latar belakang penelitian ini adalah keinginan peneliti dalam melihat pola<br />

coping seorang yang menderita insomnia dalam menyelesaikan masalah, yang<br />

menjadi sumber stress dalam kehidupan mereka. Pola coping dalam<br />

menyelesaikan permasalahan, maupun tekanan-tekanan dalam hidup itulah yang<br />

menjadi ciri setiap individu yang berbeda. Alasan kenapa peneliti memilih<br />

seorang pekerja yang menderita insomnia ini adalah karena meski subyek menjadi<br />

orang yang menderita insomnia dalam arti susah <strong>tidur</strong> dan banyaknya<br />

permasalahan yang menjadi stressor. <strong>Gangguan</strong> <strong>tidur</strong> subyek ini terjadi karena<br />

“jam pekerjaannya tidak tetap kadang masuk pagi dan kadang juga masuk malam<br />

atau disebut juga dia terkena sif, di rumah dia harus membantu istrinya untuk<br />

menjaga anaknya, dan subyek juga terkadang di ajak temannya untuk nongkrong<br />

di depan rumahnya sampai tengah malam” (wawancara subyek, tanggal 08 april<br />

2012).<br />

Subyek adalah seorang yang menderita insomnia, terlahir sebagai anak ke<br />

3 dari 6 bersaudara. Memiliki istri dan satu putra, dia dilahirkan dalam keluarga


yang sederhana. Semenjak kecil dia tinggal dengan ibu, bapak, dan semua<br />

saudaranya. Bapaknya dulu pernah kerja di pemotongan ayam dan ibunya dulu<br />

pernah jualan ayam, tapi sekarang keduanya sudah berganti untuk jualan jamu<br />

keliling kampung.<br />

Subyek tinggal dan dibesarkan dipedesaan, dengan keadaan rumah yang<br />

berdempetan. Dia tinggal disebuah rumah yang lumayan besar dengan segala<br />

fasilitas, meski bukan tergolong mewah, namun cukup lengkap. Bekerja membuat<br />

sebagian besar waktunya dihabiskan diluar sendiri yang menjadikan waktunya<br />

sebagaian besar dihabiskan untuk bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,<br />

istri, anak dan ibu mertuanya.<br />

Pencarian subyek penelitian diperoleh dengan mudah, karena dari awal<br />

peneliti sudah tertarik dengan sosok pekerja yang menderita insomnia, hingga<br />

pencarianpun sudah terencana. Awalnya peneliti meminta kesediaan subyek untuk<br />

diteliti. Setelah adanya kesepakatan, maka proses penelitian terlaksana.<br />

b. Persiapan Wawancara<br />

Wawancara ini termasuk wawancara mendalam (in-depth interview) yaitu<br />

proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian, dengan cara tanya jawab<br />

sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang<br />

diwawancarai dengan menggunakan guide wawancara. Untuk itu peneliti terlebih<br />

dahulu menyiapkan dan menyusun guide wawancara agar dapat penggalian data<br />

peneliti akan lebih terfokus pada data yang ingin diungkap.


c. Persiapan Observasi<br />

Observasi dilakukan selama proses wawancara berlangsung. Observasi<br />

yang dilakukan lebih ditujukan untuk mengamati aspek-aspek dari subyek<br />

penelitian.<br />

2. Pelaksanaan Penelitian<br />

a. Gambaran umum penelitian<br />

Penelitian ini dilaksanakan dalam rentang waktu tiga bulan, terhitung<br />

dimulai pada bulan april 2012 dalam kurung waktu tersebut peneliti mulai<br />

mencari data-data yang mendukung. Kemudian mulai bulan juni 2012<br />

sampai<br />

selesai hasil wawancara dan observasi dianalisis untuk penyusunan laporan.<br />

Pelaksanaan penelitian secara langsung melalui wawancara dan observasi dengan<br />

para informan mulai dilakukan sejak turun ke lapangan tanggal 01 april sampai<br />

dengan selesai. Pertemuan ini disesuaikan dengan tempat dan waktu yang<br />

diajukan oleh subyek.<br />

Table: 4.1<br />

Rincian jadwal penelitian dengan subyek dan significant other<br />

No Tanggal Tempat Pukul Lama Kegiatan<br />

1 01 april<br />

Rumah<br />

09.00 –<br />

30 menit Perkenalan dan<br />

2012<br />

subyek<br />

09.30<br />

menjalin<br />

rapport,<br />

meminta<br />

kesediaan<br />

untuk diteliti dan<br />

sebagai bahan observasi


2 08 april<br />

Rumah<br />

15.00 –<br />

Dua jam Observasi dan<br />

2012<br />

subyek<br />

17.00<br />

wawancara I dengan<br />

subyek<br />

3 15 april<br />

Rumah<br />

19.00 –<br />

Satu jam,<br />

Observasi<br />

dan<br />

2012<br />

subyek<br />

20.30<br />

30 menit<br />

wawancara II dengan<br />

subyek<br />

4 08 april<br />

Rumah<br />

13.00 –<br />

Satu jam,<br />

Observasi<br />

dan<br />

2012<br />

informan<br />

14.30<br />

30 menit<br />

wawancara I dengan<br />

NK<br />

5 15 april<br />

Rumah<br />

16.30 –<br />

Satu jam,<br />

Observasi<br />

dan<br />

2012<br />

informan<br />

18.00<br />

30 menit<br />

wawancara II dengan<br />

NK<br />

6 13 mei<br />

Rumah<br />

08.00 –<br />

Satu jam,<br />

Observasi<br />

dan<br />

2012<br />

informan<br />

09.30<br />

30 menit<br />

wawancara I dengan S<br />

Proses pengambilan data dilakukan dengan cara wawancara terhadap<br />

beberapa informan diantaranya subyek sendiri, istri, dan teman dekat/ teman<br />

kerjanya. Selain wawancara pengambilan data juga dilakukan dengan observasi,<br />

dimana observasi yang dilakukan oleh peneliti berlangsung secara bersama-sama<br />

dengan proses wawancara maupun disaat yang lainnya. Observasi dan wawancara


yang dilakukan oleh peneliti tidak dilakukan setiap minggu namun secara spontan,<br />

artinya disaat informan waktunya luang.<br />

Pengambilan data dilakukan diberbagai tempat, diantaranya dirumah,<br />

ditempat beraktivitas bersama anaknya. Sedangkan untuk beberapa informan<br />

lainnya proses pengambilan data dilakukan ditempat-tempat yang telah ditetapkan<br />

oleh informan, terkadang ditempat beraktivitas, rumah dan tempat lainnya.<br />

Peneliti sengaja tidak menetapkan sendiri dan jadwalnya karena peneliti tidak<br />

ingin mengganggu aktivitas serta kepentingan subyek maupun informan lainnya<br />

dengan demikian data yang diperoleh baik dari hasil wawancara maupun<br />

observasi benar-benar data yang diungkap oleh para informan sesuai dengan<br />

keinginan dan tanpa ada rasa paksaan. Disamping itu cara tersebut dirasa oleh<br />

peneliti lebih efektif dalam menggali data dari berbagai macam aktivitas maupun<br />

kepentingan masing-masing.<br />

Pengambilan data berlangsung kurang lebih tiga bulan dengan waktu<br />

penelitian yang tidak ditentukan, karena peneliti lebih terkendali dengan<br />

pembagian waktu, yaitu dengan mengatur waktu diri sendiri untuk mengerjakan<br />

dan untungnya tidak menemukan kesulitan yang terlalu saat mengadakan rapport<br />

dengan informan, hingga proses pengambilan data dapat berjalan dengan lancar<br />

hal ini menjadiakan data yang diperoleh semakin banyak sampai panda penemuan<br />

suatu data tentang informasi strategi coping stress pada penderita insomnia.<br />

Kegiatan observasi dalam penelitian ini dilakukan secara bersamaan<br />

selama proses wawancara berlangsung. Aspek-aspek yang diobservasi antara lain:<br />

a) Lokasi wawancara


) Gambaran subyek<br />

c) Sikap subyek selama proses wawancara<br />

d) Komunikasi verbal dan non verbal<br />

b. Kendala selama penelitian<br />

Penelitian ini dalam pelaksanaannya menemuai beberapa kendala baik<br />

yang muncul karena faktor internal maupun factor eksternal peneliti, yaitu:<br />

1. Factor internal<br />

a. Dalam hal ini peneliti mempunyai waktu yang singkat dalam<br />

penelitian<br />

b. subyeknya juga sulit untuk ditemui karena kesibukannya dalam<br />

bekerja.<br />

2. Factor eksternal<br />

a. Ketidak keterbukaan subyek, karena kesulitan dalam menjawab<br />

dibutuhkan waktu yang khusus untuk melakukan pendekatan.<br />

b. Wawancara yang dilakukan ada yang menggunakan bahasa campuran<br />

yaitu bahasa jawa dan bahasa Indonesia.<br />

c. Langkah-langkah mengatasi kendala<br />

Langkah-langkah yang dilakukan peneliti, dalam upaya mencapai hasil<br />

penelitian yang maksimal terkait dengan factor di atas, antara lain:<br />

1. Terkait dengan factor internal<br />

a. Memanfaatkan waktu yang terbatas dengan menggunakan sebaikbaiknya<br />

agar memperoleh informasi yang optimal


. Menggunakan waktu luang subyek disela-sela kesibukannya dalam<br />

bekerja<br />

2. Terkait dengan factor eksternal<br />

a. Peneliti menggunakan pendekatan secara personal dengan sering<br />

mengunjungi dengan banyak melakukan aktifitas ditempat subyek<br />

seperti main, makan bersama keluarga kecil subyek.<br />

b. Dengan mengikuti bahasa informan sehingga lebih leluasa kemudian<br />

menganalisisnya dibahasa indonesiakan.<br />

B. Hasil Penelitian<br />

1. Deskripsi Temuan Penelitian<br />

a. Deskripsi informan<br />

1. Profil informan 1 (subyek)<br />

Inisial<br />

Jenis kelamin<br />

: AS<br />

: Laki-laki<br />

Lahir : Mojokerto, 16 Agustus 1985<br />

Usia<br />

Pendidikan<br />

Alamat<br />

Agama<br />

Suku bangsa<br />

: 27 tahun<br />

: SMA<br />

: Waru - Sidoarjo<br />

: Islam<br />

: Jawa<br />

Anak ke : 3<br />

Pendidikan yang di laluinya :<br />

1. SD Negeri 1 Gedeg, tahun 1993 s/d 1999, jl. Raya gedeg-mojokerto


2. SMP Negeri 1 Gedeg, tahun 1999 s/d 2002, jl. Pendidikan gedegmojokerto<br />

3. SMA Negeri 1 Gedeg, tahun 2002 s/d 2005, jl. Pendidikan gedegmojokerto<br />

2. Profil informan 2<br />

Inisial<br />

Jenis kelamin<br />

: NK<br />

: Perempuan<br />

Lahir : Sidoarjo, 05 November 1989<br />

Usia<br />

Pendidikan<br />

Agama<br />

Suku bangsa<br />

Hubungan dengan subyek<br />

: 23 tahun<br />

: SMA<br />

: Islam<br />

: Jawa<br />

: istri subyek utama<br />

3. Profil informan 3<br />

Inisial<br />

Jenis kelamin<br />

Usia<br />

Agama<br />

Suku bangsa<br />

Hubungan dengan subyek<br />

: S<br />

: Laki – laki<br />

: 27 tahun<br />

: Islam<br />

: Jawa<br />

: Teman dekat / teman kerja<br />

b. Hasil observasi dilapangan<br />

Wawancara dilakukan di rumah subyek (AS) yang berada didaerah kedung<br />

rejo-waru-sidoarjo, rumah yang dibilang besar dengan beberapa fasilitas yang


meringankan dan memanjakan penghuninya seperti kulkas, laptop, tv, motor, vcd,<br />

hp dll. Rumah dengan dua kamar, musholah, dua kamar mandi, ruang tamu,<br />

dapur, dan ruang makan. Subyek mempunyai kamar yang cukup lumayan besar,<br />

karena memang barang-barangnya yang banyak, dia juga <strong>tidur</strong> dengan istri dan<br />

putranya, dia juga tidak suka membeli barang yang tidak begitu penting, subyek<br />

lebih suka nongkrong dan mendaki gunung bersama teman dekatnya. Subyek<br />

tidak sendirian tinggal dirumah itu subyek berada di rumah dengan istri, ibu<br />

mertua, dan anak laki-lakinya. Pada wawancara pertama ini saat itu di dalam<br />

ruangan tersebut ada subyek beserta anaknya yang lagi sedang bermain dengan<br />

demikian istrinya juga lagi duduk disebelah subyek, dalam wawancara subyek<br />

terlihat antusias dikarenakan dari awal subyek sudah mengetahui dengan<br />

penelitian ini, dengan sesekali mengawasi anak, membuatkan susu anaknya yang<br />

ingin dibuatkan susu di dalam botol, sedangkan untuk wawancara yang kedua saat<br />

itu berada di ruang tamu. Saat itu subyek sedang berkumpul dengan istri dan<br />

anaknya untuk menonton tv, dengan sesekali bercanda dengan putranya tersebut<br />

peneliti mengajukan pertanyaan satu persatu dapat dijawab oleh subyek dengan<br />

lancar karena subyek berharap pengalamannya nanti akan dapat bermanfaat buat<br />

orang lain, akan tetapi jawaban dari subyek peneliti terima dirasa masih<br />

mengambang/abstrak untuk itu dibutuhkan informan lain.<br />

Untuk informan yang ke 2 saat wawancara dan observasi pertama<br />

dilakukan informan juga terlihat antusias dan senang sekali diwawancarai dengan<br />

mengawasi anaknya yang sedang bermain, informan 2 menjawab pertanyaan<br />

peneliti dengan gambling. Lokasi wawancara pada informan 2 ini yaitu berada


diteras depan rumah dengan keadaan duduk di kursi dalam suasana santai disiang<br />

hari. sedangkan untuk wawancara kedua berada di dalam ruang tamu hanya ada<br />

kami berdua tanpa sedikit diselingi senda gurau informan ini menjawab tanpa<br />

adanya keterpaksaan secara lancer. Pemilihan informan 2 ini karena, dengan<br />

pertimbangan beliau selain juga tinggal serumah dengan subyek yang otomatis<br />

sedikit banyak tahu tentang bagaimana kondisi subyek saat itu dan kondisi<br />

lingkungan sekitar hingga diharapkan dapat melengkapi informasi yang sudah<br />

didapat dari subyek sendiri.<br />

Sedangkan untuk informan yang ke 3 wawancara dan observasi saat itu<br />

dilakukan di salah satu tempat tongkrongannya, karena waktu itu informan sedang<br />

nongkrong atau ngopi bersama subyek kemudian dia menjawab setiap pertanyaan<br />

yang peneliti berikan dengan lebih antusias dari subyek sendiri. Peneliti memilih<br />

informan ini, karena dia adalah teman dekat sekaligus teman sekerja juga jadi<br />

siapa yang tidak akan tahu mengenai subyek selama bekerja disitu.<br />

c. Gambaran insomnia pada subyek<br />

Disini subyek menyadari bahwa selama ini dia menderita insomnia, dia<br />

mengetahui hal tersebut dari gejala-gejala yang dialaminya seperti terbangun<br />

berkali-kali pada malam hari, bangun lebih awal daripada yang dia inginkan,<br />

didaerah sekitar lingkaran mata berwarna gelap dan membengkak, kurang aktif<br />

dan memiliki sedikit hubungan sosial dan subyek juga sering mengkonsumsi obat<br />

<strong>tidur</strong> kalau dia mau <strong>tidur</strong>.<br />

Setelah subyek menderita insomnia, subyek mengalami perubahan seperti<br />

egois, sering emosi atau marah tidak seperti jawaban subyek sendiri, karena


subyek sudah kehilangan focus perhatian yang membuat dia tidak dapat merespon<br />

rangsangan dari luar.<br />

Sedangkan dalam kenyataannya perubahan perilaku dari subyek terlihat<br />

sekarang jadi orang yang workaholic, seperti yang diutarakan informan NK.<br />

2. Hasil Analisis Data<br />

a. Hasil wawancara<br />

1) Strategi coping hubungan interpersonal<br />

Subyek AS berusia dua puluh tujuh tahun dibesarkan dikeluarga besar<br />

sebagai anak ke tiga dari enam orang bersaudara.<br />

“ceritakan tentang struktur keluarga anda?”<br />

“berbicara mengenai struktur keluarga….. saya merupakan anak ke tiga<br />

dari enam bersaudara,……..”( AS.CHW 1.3)<br />

Subyek memang pernah bertengkar dengan saudara, tapi itu hanya<br />

dianggap hal yang <strong>biasa</strong> terjadi karena beda karakter kepribadian saja<br />

“adakah konflik antar anda dengan anggota keluarga?”<br />

“memiliki keluarga besar dengan berbagai macam karakter kepribadian<br />

pastinya akan ada konflik, akan tetapi selama ini tidak ada yang berat<br />

konfliknya…… hanyalah riyak-riyak kecil……”(AS.CHW 1.5)<br />

Subyek kalau dengan teman sekerjanya hampir tidak pernah ada konflik<br />

sedikitpun kalau ada itupun hanya sekedar salah paham dalam bekerja dan itu<br />

dianggap cuma bercanda di dalam pekerjaan yang terlalu banyak.<br />

“adakah konflik antar anda dengan teman kerja?”


“kalau dengan teman sekerja saya sebenarnya tidak ada konflik apapun<br />

kalaupun itu ada itu cuma sekedar salah paham dalam bercanda karena<br />

mereka sering mengajak bercanda kalu pekerjaan kita banyak dan niat<br />

mereka cuma menghibur supaya kita dalam bekerja tidak stress……”<br />

(AS.CHW 1.8)<br />

Subyek juga pernah timbul masalah dengan istri dan anaknya, tapi itu<br />

hanya dianggap hal yang <strong>biasa</strong> terjadi di dalam keluraga kecilnya, bagi subyek<br />

yang paling mengganggu waktu <strong>tidur</strong>nya adalah mempunyai masalah dengan<br />

istrinya.<br />

“adakah konflik antar anda dengan istri dan anak?”<br />

“memiliki istri dan anak pastinya akan ada konflik, kalau sama istri saya<br />

sering timbul masalah sehingga waktu <strong>tidur</strong> saya jadi terganggu,<br />

meskipun begitu selama ini tidak ada konflik yang begitu berat…….”<br />

(AS.CHW 1.9)<br />

Subyek termasuk sosok yang lebih hati-hati dalam bersikap, karena subyek<br />

lebih dalam juga memikirkan hasil yang akan dihasilkan dari setiap sikap yang<br />

akan diambilnya. Apalagi masalah ini menyangkut dengan keluarga.<br />

“bagaimana cara anda menyelesaikannya?”<br />

“jika ada masalah tentunya harus dipikirkan lebih dalam cara<br />

menyampaikannya, agar tidak terjadi ketersinggungan…..karena setiap<br />

penyampaian kata-kata kita dan seberapa besar persoalan kita sangat<br />

mempengaruhi hasil penyelesaian konflik tersebut, apalagi dengan anak,<br />

istri, dan saudara sendiri maupun itu teman kerja….”(AS.CHW 1.10)


Di awal pekerjaannya hubungan dengan atasan <strong>biasa</strong> saja, ini dikarenakan<br />

saat itu atasan masih belum mengenal maupun tahu tentang bagaimana cara<br />

bekerjanya, yang penting bagi subyek dengan menjaga sikap dengan baik dan<br />

bekerja dengan sebaik-baiknya agar atasan puas dengan hasil pekerjaannya<br />

dengan begitu subyek bisa bekerja dengan nyaman dan tanpa ada beban apapun<br />

dipikirannya.<br />

“bagaiman hubungan anda dengan atasan di awal pekerjaan?”<br />

“kebetulan awal saya bekerja, posisi atasan masih belum mengenal<br />

maupun belum tahu tentang gimana pekerjaan saya saat itu emmmm…..<br />

prinsipnya yang terpenting saya harus bisa menjaga sikap dengan baik<br />

dan bekerja dengan sebaik-baiknya agar atasan puas dengan hasil yang<br />

saya kerjakan itu dan dengan begitu saya bisa bekerja dengan nyaman<br />

dan dengan begitu juga saya tidak ada beban apapun dipikiran saya<br />

selama saya bekerja.”( AS.CHW 2.3)<br />

Kesimpulan :<br />

Dari hasil wawncara ini di dalam keluarga subyek lebih menggunakan<br />

coping yang terfokus pada masalah (problem – focused coping), yaitu strategi<br />

coping yang bertujuan untuk mengontrol stress, dalam rangka menghilangkan atau<br />

meminimalisir kondisi stress yang dihadapi. Subyek akan lebih berhati-hati dalam<br />

pengambilan keputusan apabila mempunyai konflik dengan istri, anak, saudara,<br />

atasan, dan teman kerja.


2) Strategi coping personal<br />

Subyek menganggap sebuah permasalahan dikatakan telah berahir apabila<br />

diantara kedua belah pihak saling ikhlas dan ketika semua orang yang di dekatnya<br />

tidak merasa terganggu.<br />

“sejauh apa konflik dikatakan selesai menurut anda?”<br />

“menurut saya konflik dikatakan selesai apabila kedua belah pihak bisa<br />

legowo/ikhlas dan ketika semua orang yang didekatnya merasa tidak<br />

terganggu.”( AS.CHW 1.7)<br />

Subyek dalam menyelesaikan permasalahan hidupnya lebih menekankan<br />

dengan bekerja, melihat sebuah pengalaman, baik pengalaman diri sendiri<br />

maupun orang lain, berusaha menjadi sosok yang berkepribadian baik, sabar,<br />

banyak syukur dan memperjuangkan harapan yang diinginkan.<br />

“bagaimana cara mas menyelesaikan permasalahan hidup?”<br />

“dengan bekerja, banyak belajar dari pengalaman orang lain/pribadi,<br />

berdo’a, berusaha menjadi pribadi yang lebih baik, sabar dan banyak<br />

bersyukur atas apa yang sudah dimiliki dan memperjuangkan yang<br />

diharapkan”( AS.CHW 1.13)<br />

Motivasi hidup subyek sekarang adalah istri, anak, orang tua, dan karir<br />

“motivasi hidup mas sekarang apa/siapa?”<br />

“motivasi hidup saya sekarang adalah istri, anak, orang tua, keluarga,<br />

dan karir”( AS.CHW 1.14)


Subyek akan mencoba mencari posisi yang lebih menenangkan hati jika<br />

emosi tersebut belum terlampiaskan, namun akan langsung memeluk istri dan<br />

anak dan meminta maaf jika sudah terlampiaskan kepada istri dan anaknya.<br />

“misalnya saat emosi sedang tidak terkontrol, <strong>biasa</strong>nya apa yang mas<br />

lakukan?”<br />

“apabila emosi sudah memuncak, tapi belum sempat terlampiaskan saya<br />

<strong>biasa</strong>nya minggir mencari posisi yang bisa lebih menenangkan hati, tapi<br />

bila sudah terlanjur terlampiaskan ke istri dan anak <strong>biasa</strong>nya istri dan<br />

anak saya langsung saya peluk dan meminta maaf kepada mereka”<br />

(AS.CHW 2.7)<br />

Subyek berusaha mencari peluang bisnis, mencari pekerjaan dan pada saat<br />

ada masalah yang tidak bisa dihadapi seperti masalah perekonomian saya berdo’a<br />

karena saya yakin pasti ada jalan keluar bagi orang yang mau berusaha.<br />

“mas kan pernah bilang kalau ada masalah perekonomian yang sedang<br />

kacau, saat itu apa yang mas lakukan untuk mengatasinya?”<br />

“berdo’a sambil berusaha mencari peluang bisnis, mencari pekerjaan.<br />

Saya percaya akan ada jalan bagi orang-orang yang mau berusaha”<br />

(AS.CHW 2.9)<br />

Kesimpulan:<br />

Untuk strategi coping personal subyek menggunakan kedua<br />

klasifikasicoping tersebut yaitu coping yang terfokus pada masalah problem –<br />

focused coping adalah strategi coping yang bertujuan untuk mengontrol stress,<br />

dalam rangka menghilangkan atau meminimalisir kondisi stress yang dihadapi,


dalam hal ini subyek menunjukkannya dengan cara memikirkan dan melakukan<br />

sesuatu untuk melepaskan diri dari pikiran terhadap kesulitan yang dihadapi<br />

dengan jalan bekerja, mencari peluang bisnis, segala sesuatu yang membuatnya<br />

beraktifitas. Berdo’a saat mendapat masalah juga menjadi salah satu alternative<br />

saat menerima stressor dari masyarakat. Kemudian subyek juga menggunakan<br />

coping yang terfokus panda emosi (emotion – focused coping) adalah suatu usaha<br />

yang dilakukan individu untuk mengatur emosinya dalam rangka menyesuaikan<br />

diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang<br />

penuh tekanan. Dalam hal ini subyek menunjukkan dengan jalan bersabar, banyak<br />

bersyukur atas apa yang sudah dimiliki.<br />

b. Triangulasi<br />

Temuan yang ditemukan dengan mewawancarai significan other ternyata<br />

tidak semuanya sama dengan yang dikatakan oleh subyek seperti yang<br />

ditunjukkan table dibawah ini:<br />

Table: 4.2 triangulasi<br />

1) Strategi coping hubungan interpersonal<br />

Coping yang<br />

dipakai<br />

Subyek NK S<br />

Problem<br />

focused<br />

coping stress<br />

Subyek akan lebih<br />

berhati-hati dalam<br />

pengambilan keputusan<br />

apabila mempunyai<br />

konflik dengan saudara<br />

sendiri, subyek bila<br />

mempunyai masalah dia<br />

akan mencari jalan<br />

keluarnya, contoh<br />

Ya…. Dia lebih<br />

suka langsung<br />

pergi keluar<br />

ketempat<br />

temannya,<br />

karena dia tidak<br />

mau<br />

menyelesaikan<br />

masalahnya<br />

Ya… saya tidak<br />

begitu tahu<br />

banyak ya mbak<br />

tentang AS ada<br />

apa tidaknya<br />

masalah dengan<br />

istrinya, tapi<br />

sepengetahuan ku,<br />

ya itu tadi AS


dengan<br />

cara<br />

menanyakan langsung<br />

apalagi mengenai<br />

persoalan dengan istri<br />

dan anak, dia akan lebih<br />

mencermati dan terlebih<br />

dahulu mencari<br />

penyebab dari<br />

permasalahan<br />

(AS.CHW 1.10)<br />

dengan<br />

pertengkaran,<br />

karena dengan<br />

begitu masalah<br />

tidak akan<br />

terselesaikan<br />

maupun kita juga<br />

tidak akan bisa<br />

menemukan<br />

jalan keluar dari<br />

permasalahan itu<br />

(NK.CHW<br />

1.1.10)<br />

kalau jenuh<br />

dirumah dia sering<br />

pergi keluar<br />

ketempat ku dan<br />

kadang AS ngajak<br />

saya nongkrong<br />

ditempat <strong>biasa</strong>nya<br />

(S.CHW 2.1.10)<br />

Kesimpulan<br />

Menurut kedua informan sama dengan apa yang dikatakan oleh<br />

subyek, yaitu dengan mencari cara penyelesaiannya dengan<br />

menanyakan langsung, demikian jika bermasalah dengan istri<br />

dan anaknya subyek akan meminta maaf kepada keduanya<br />

2) Strategi coping hubungan personal<br />

Coping yang<br />

dipakai<br />

Subyek NK S<br />

problem focused<br />

coping stress<br />

subyek<br />

menunjukkannya<br />

dengan cara<br />

memikirkan dan<br />

melakukan sesuatu<br />

untuk melepaskan<br />

diri dari pikiran<br />

terhadap kesulitan<br />

yang dihadapinya<br />

dengan jalan<br />

bekerja, mencari<br />

peluang bisnis,<br />

segala sesuatu yang<br />

membuatnya<br />

beraktifitas. Berdo’a<br />

“enjoy, seperti<br />

<strong>biasa</strong>, Kalau<br />

masalah sholatnya<br />

AS jarang sholat<br />

kalau disuruh<br />

sholat susah<br />

(NK.CHW 1.1.14)<br />

Kalau masalah<br />

sholat, AS kalu<br />

dipabrik tidak<br />

pernah sholat<br />

kalu saya ajak<br />

sholat dia tidak<br />

mau, mungkin<br />

dia tidak takut<br />

sama yang<br />

diatas mungkin<br />

(S.CHW<br />

2.1.14)


saat mendapati<br />

masalah juga<br />

menjadi salah satu<br />

alternative saat<br />

menerima stressor<br />

(AS.CHW 1.13)<br />

Emotion focused<br />

coping stress<br />

Ini subyek<br />

menunjukkannya<br />

dengan jalan<br />

bersabar, banyak<br />

bersyukur atas apa<br />

yang sudah dimiliki<br />

(AS.CHW 1.13)<br />

“Preeettt….saya<br />

pikir agak keras<br />

kepala, egois, apa<br />

yang diinginkan<br />

seolah-olah minta<br />

dituruti”(NK.CHW<br />

1.1.13)<br />

Sama dengan<br />

informan NK<br />

Kesimpulan<br />

Menurut kedua informan apa yang dipaparkan subyek, tidak<br />

seperti yang dirasa oleh informan karena menurutnya kalau<br />

subyek itu keras kepala, egois, seolah-olah apa yang<br />

diinginkan selalu minta dituruti<br />

c. Analisis data<br />

1. Permasalahan hidup seorang pekerja yang menderita insomnia<br />

Table: 4.3<br />

No Permasalahan Solusi<br />

1 Ekonomi Mencari pekerjaan, berbagai macam peluang<br />

pekerjaan dicobanya demi memenuhi kebutuhan<br />

keluarganya<br />

2 Pola asuh anak Kesibukan subyek membuat waktu untuk<br />

keluarga tersita. Sehingga sang anak sering<br />

ditemani ibu dan neneknya dirumah. Namun


saat subyek sedang libur, dia berusaha<br />

memberikan waktu berkualitas dengan istri dan<br />

anaknya.<br />

3 Emosi Ketika emosi subyek memuncak dia lebih<br />

banyak mengalihkan perhatiannya dengan<br />

menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Dan<br />

menghabiskan<br />

waktu dengan teman-temannya,<br />

sebagai ajang curhat. Kadang kemarahan itu<br />

ditumpahkan di rumah.<br />

2. Gambaran stress pada subyek<br />

Gambar: 4.3<br />

Pola stress<br />

Mengatasi<br />

Berhasil<br />

Stressor Stress Coping<br />

Melarikan<br />

diri<br />

Mekanisme<br />

defensif<br />

diri<br />

Tidak berhasil


Dengan melihat pola stress di atas dapat dijelaskan bahwasannya para<br />

pekerja yang menderita insomnia ini menghadapi stressor yang beraneka ragam<br />

yang nantinya dapat direspon menjadi stress, yaitu akan mengalami shock ringan<br />

yang meliputi salah satu keseluruhan dari berbagai respon fisiologis, kognitif,<br />

respon emosi, dan respon tingkah laku (Geocities.com, 2009)<br />

Jika para pekerja yang menderita insomnia ini tidak dapat mengcoping<br />

masalahnya dengan tepat, maka akan berkembang menjadi distress, yaitu stress<br />

yang destruktif dan membahayakan, namun sebaliknya jika subyek dapat<br />

melakukan coping yang tepat, maka stress tersebut akan berkembang menjadi<br />

eustress, yaitu stress yang positif, membangun dan justru stress yang akan<br />

membawa kebaikan. Dengan melalui defence mechanism, yaitu strategi yang<br />

dipakai individu untuk bertahan melawan ekspresi impuls id serta menentang<br />

tekanan super ego, jika hal itu gagal dilakukan maka hal itu menjadi stressor yang<br />

mungkin jauh dari sebelumnya.<br />

Adapun respon stress yang dialami subyek dapat dilihat di table berikut:<br />

Table: 4.4<br />

Respon stress subyek<br />

Aspek Indicator Keterangan<br />

Fisiologis Pola makan berubah Nafsu makan subyek bertambah<br />

dari <strong>biasa</strong>nya hingga berat<br />

badannya bertambah.<br />

Mimiknya selalu nampak serius


Ekspresi wajah<br />

sehingga istri dan saudara lainnya<br />

tidak berani untuk menegurnya.<br />

Kulit<br />

Subyek jadi berjerawat, dibawah<br />

lingkar mata berwarna coklat<br />

kehitaman.<br />

Emosi<br />

Cemas<br />

Gelisah karena memikirkan<br />

kehidupan istri dan anaknya dan<br />

juga banyaknya hutang<br />

Marah<br />

Kalau sedang tidak terkontrol<br />

akhirnya marah tanpa piker<br />

apapun yang diomongkannya<br />

Kecewa<br />

Subyek kecewa dengan dia belum<br />

bisa menyenangkan atau<br />

membahagiakan keluarganya<br />

Kognisi<br />

Insomnia / susah <strong>tidur</strong><br />

Saat malam hari subyek tidak bisa<br />

<strong>tidur</strong><br />

Berlebihan<br />

Subyek susah <strong>tidur</strong>, yang akhirnya<br />

pagi bangunnya kesiangan<br />

Perilaku Workholic Subyek lebih senang<br />

menghabiskan waktunya dengan


ekerja / jadi gila kerja<br />

Subyek lebih senang<br />

Menarik diri<br />

menghabiskan waktu dengan<br />

teman sekerjanya, tapi dia<br />

membatasi pergaulan dengan<br />

masyarakat sekitarnya<br />

3. Strategi coping stress pada penderita insomnia<br />

Menurut Ross dan Aimaier (2006: 153), mengemukakan bahwa coping<br />

adalah tindakan yang dilakukan seseorang sebagai respon terhadap sumber stress,<br />

baik itu yang bersifat nyata (real) maupun hal-hal yang dipersiapkan individu<br />

sebagai sumber stress. (Erdinalita, 2006)<br />

Sedangkan folkman dan lazarus (1988: 159), memberikan definisi lain<br />

yang menyatakan bahwa coping adalah usaha kognitif dan behavioral untuk<br />

mengatasi tuntutan-tuntutan spesifik yang bersifat eksternal maupun internal,<br />

dimana kapasitasnya dianggap melebihi sumber daya yang dimiliki individu.<br />

Dalam hal ini, penelitian ini ditujukan untuk mengetahui strategi coping<br />

stress apakah yang digunkan penderita insomnia dikalangan pekerja dalam<br />

mengelola stress yang tengah dia hadapi, apakah menggunakan strategi problem<br />

focused coping atau emotion focused coping dan menggunakan yang mal adaptif.<br />

Dengan melalui berbagai proses observasi dan wawancara, maka strategi coping<br />

stress yang dilakukan oleh penderita insomnia dikalangan pekerja sebagai bentuk<br />

pertahanan dari stress yang ia hadapi adalah sebagai berikut:


Table: 4.5<br />

Strategi coping stress pada penderita insomnia<br />

Coping stress Aspek Terpenuhi Keterangan<br />

problem<br />

1. Agresi (attack)<br />

Aspek Agresi<br />

Di sini subyek berusaha<br />

Focused Coping<br />

2. Menghindar<br />

(avoidance)<br />

melindungi diri dari<br />

kerugian bersifat<br />

3. Apathy<br />

(inaction)<br />

immaterial<br />

Emotion<br />

1. Represi<br />

Aspek<br />

Subyek<br />

berusaha<br />

Focused Coping<br />

2. Rasionalitas<br />

3. Proyeksi<br />

4. Identifikasi<br />

Identifikasi<br />

menyelesaikan<br />

masalahnya dengan<br />

mengadopsi solusi dari<br />

orang lain yang<br />

dianggap sudah cukup<br />

berpengalaman<br />

dan<br />

sukses<br />

Mal Adaptif 1. Berfokus pada<br />

emosi<br />

2. Behavioral<br />

disengagement<br />

3. Mental<br />

disengagement<br />

Berfokus<br />

pada emosi<br />

Di saat tertentu subyek<br />

bermasalah dengan<br />

kontrol amarah<br />

Berdasarkan table di atas dapat disimpulkan bahwa subyek yang menderita<br />

insomnia<br />

telah menggunakan ketiga coping tersebut dalam mengolah stressornya,<br />

namun dengan aspek yang spesifik. Untuk stressor yang paling berpengaruh<br />

banyak kepada subyek adalah keluarga dalam hal ini yaitu istri dan anaknya.


Sedangkan untuk strategi coping yang dominan subyek gunakan adalah problem<br />

focused coping stress dalam mengatasi permasalahannya, yaitu subyek langsung<br />

mencari solusi yang tepat untuk menekan stress yang diterimanya. Sedangkan<br />

emotion focused coping juga terpakai lebih rendah dari yang satunya dan untuk<br />

maladaptive hanya sesekali kalau yang keduanya itu belum terpakai atau<br />

stressornya terlalu lama mengendap.<br />

d. Pembahasan<br />

1. Permasalahan hidup para pekerja yang menderita insomnia<br />

Permasalahan yang dialami oleh para pekerja yang menderita insomnia ini<br />

sangat beraneka ragam dari masalah ekonomi, pola asuh anak dan masalah emosi.<br />

Hal tersebut subyek alami setelah menderita insomnia. Subyek coba mengatasi<br />

masalah-masalahnya secara bertahap, seperti penjelasan berikut ini:<br />

a. Masalah ekonomi, solusi subyek untuk mengatasi masalah dengan mencari<br />

pekerjaan, berbagai macam peluang pekerjaan dicobanya demi memenuhi<br />

kebutuhan keluarganya.<br />

b. Pola asuh anak, kesibukan subyek membuat waktu untuk keluarga tersita.<br />

Sehingga, sang anak sering ditemani ibu dan neneknya dirumah. Namun<br />

saat subyek sedang libur, dia berusaha memberikan waktu berkualitas<br />

dengan anaknya.<br />

c. Emosi, ketika emosi subyek memuncak dia lebih banyak mengalihkan<br />

perhatiannya dengan menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Dan<br />

menghabiskan waktu dengan teman-temannya, sebagai ajang curhat.<br />

Namun apabila tidak terkontrol kadang kemarahan itu ditumpahkan juga


apabila dia marah ke istri selang beberapa waktu subyek coba untuk<br />

langsung meminta maaf.<br />

2. Stress<br />

Stress merupakan sebuah kekecewaan yang mendalam akibat kegagalan<br />

dalam proses aktualisasi diri. Dalam penelitian ini akan focus pada stress yang<br />

dialami pekerja akibat penderita insomnianya.<br />

W.F. Maramis (1998: 65) menyatakan bahwa stress adalah masalah atau<br />

tuntutan penyesuaian diri karena sesuatu yang mengganggu keseimbangan kita,<br />

bila kita tidak mengatasinya dengan baik akan mengganggu keseimbangan badan<br />

atau jiwa kita.<br />

Taylor (1991), menyatakan bahwa stress dapat menghasilkan berbagai<br />

respon. Berbagai peneliti telah membuktikan bahwa respon-respon tersebut dapat<br />

berguna sebagai indicator terjadinya stress pada individu, dan mengukur tingkat<br />

stress yang dialami individu. Respon stress dapat terlihat dalam berbagai aspek,<br />

yaitu:<br />

1. Respon fisiologis; dapat ditandai dengan meningkatnya tekanan darah,<br />

detak jantung, detak nadi, dan sistem pernafasan.<br />

2. Respon kognitif; dapat terlihat lewat terganggunya proses kognitif<br />

individu, seperti pikiran menjadi kacau, menurunnya daya konsentrasi,<br />

pikiran berulang, dan pikiran tidak wajar.<br />

3. Respon emosi; dapat muncul sangat luas, menyangkut emosi yang<br />

mungkin dialami individu, seperti takut, cemas, malu, marah, dan<br />

sebagainya.


4. Respon tingkah laku; dapat dibedakan menjadi fight, yaitu melawan situasi<br />

yang menekan dan flight, yaitu menghindari.<br />

(http://rumahbelajarpsikologi.com/index.php/stres,2009)<br />

Dalam hal ini subyek juga mengalami hal tersebut, seperti respon<br />

fisiologis dialami subyekdengan indicator pola makan subyek yang berubah jadi<br />

lebih nafsu makannya hingga mengakibatkan berat badan yang bertambah, respon<br />

emosi seperti marah, cemas, kecewa, sedangkan respon kognisi berakibat subyek<br />

insomnia / susah <strong>tidur</strong> dan yang terahir perilaku subyek menjadi orang yang<br />

workaholic bekerja sangat keras sekali menjadi jarang dirumah, menjadi sosok<br />

yang menarik diri dalam lingkungan sekitar rumahnya hingga dia membatasi<br />

dengan siapa dia bergaul.<br />

3. Strategi coping stress pada penderita insomnia<br />

Dari hasil observasi dan wawancara dapat menunjukkan kependeritaan<br />

insomnia yang dialami subyek penelitian tidak menimbulkan kekecewaan yang<br />

mendalam. Seperti dalam wawancara buktinya subyek sudah siap menerima<br />

konsekuensinya, awalnya memang tidak mudah karena segala permasalahan akan<br />

timbul dimulai dari masalah ekonomi, pola asuh anak, sampai pada emosi diri.<br />

Hal ini bisa mengubah perilakunya dikeluarga maupun dilingkungan sosialnya.<br />

Perubahan yang dia lakukan dalam keluarga yaitu subyek menjadi orang yang<br />

agak keras sifatnya. Sedangkan secara financial memang awal insomnia terjadi<br />

kekacauan financial kata subyek karena banyak hutang yang harus dia lunasi<br />

sehinnga dia terus mencari peluang bisnis, mencari kerja, hingga awal usahanya<br />

itu dia pernah membantu jualan jamu orang tuanya namun sekarang dia sudah


ekerja dipabrik. Banyak hal yang dilakukan subyek penelitian untuk mengatasi<br />

masalah emotional yang ada pada dirinya. Dan tidak jarang dia tidak bisa<br />

menekan emosinya dan melampiaskan dengan amarah. Kadang dia harus mencari<br />

cara keluar dari permasalahannya dengan menyibukkan diri dengan pekerjaannya<br />

diluar rumah.<br />

Dalam penelitian ini menjelaskan tentang penyelesaian masalah yang<br />

dilakukan subyek penelitian. Dengan menggunakan strategi coping Lazarus dan<br />

Folkman, mengklasifikasikan strategi coping kedalam dua kelompok utama, yaitu:<br />

1. Coping yang terfokus pada masalah (problem – focused coping)<br />

Adalah strategi coping yang bertujuan untuk mengontrol stress, dalam<br />

rangka menghilangkan atau meminimalisir kondisi stress yang dihadapi. Dengan<br />

jenis:<br />

a. Agresi (attack)<br />

Merupakan salah satu cara individu untuk mengatasi kesulitan dengan cara<br />

melindungi diri dari kerugian, prasangka terluka, kehilangan atau terhadap obyek<br />

yang dirasa merupakan sumber ancaman yang membahayakan diri. Subyek<br />

mengatasi masalah dengan bekerja keras.<br />

b. Menghindar (avoidance)<br />

Yaitu individu berusaha untuk memikirkan atau melakukan sesuatu untuk<br />

melepaskan diri dari pikiran terhadap kesulitan yang dihadapinya. Dengan<br />

berkumpul dengan teman-teman kerjanya sekarang menjadi salah satu penghibur<br />

diri baginya.


c. Apathy (inaction)<br />

Cara individu mengatasi masalah dengan cara pasrah atau menyerah tanpa<br />

ada alternative pemecahan terhadap ancaman atau tekanan yang dihadapi, dengan<br />

cara ini individu tidak melakukan apa-apa dan bersikap pasif terhadap keadaan<br />

yang ada. Saat ada masalah subyek hanya diam saja membiarkan hanya waktu<br />

yang membuktikannya.<br />

2. Coping yang terfokus pada emosi (Emotion – focused coping)<br />

Adalah suatu usaha yang dilakukan individu untuk mengatur emosinya<br />

dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh<br />

suite kondisi atau situasi yang penuh tekanan. Dengan jenis:<br />

a) Represi<br />

Upaya individu untuk menyingkirkan frustasi, konflik bathin, mimpi buruk<br />

dan sejenisnya, yang dapat menimbulkan kecemasan. Dengan rekreasi, berkumpul<br />

mengisi liburan dengan istri dan anaknya menjadi hiburan baginya.<br />

b) Rasionalitas<br />

Yaitu upaya individu memutarbalikkan kenyataan yang mengancam ego<br />

dengan alasan yang seakan-akan masuk akal agar tidak lagi mengancam ego<br />

individu. Cara ini digunakan sebagai upaya untuk mencari alasan yang dapat<br />

diterima secara sosial untuk membenarkan atau menyembunyikan perilaku yang<br />

buruk.<br />

c) Proyeksi<br />

Biasanya dengan teknik ini individu dengan cepat dalam memperlihatkan<br />

ciri pribadi lain yang tidak dia suka dan apa yang dapat dia perhatikan itu


cenderung dibesar-besarkan. Teknik ini individu dituntut harus dapat menerima<br />

kenyataan akan keburukan dirinya sendiri.<br />

Kalau dengan istri dan anaknya subyek cenderung “sabar” dalam arti<br />

sebenarnya subyek selalu menuruti apa yang di mau istri dan anaknya karena rasa<br />

tanggung jawab dan ketidak berdayaannya dia merasa kasihan kepada istri dan<br />

anaknya.<br />

d) Identifikasi<br />

Yaitu usaha untuk mempersamakan diri sendiri dengan orang lain yang<br />

dianggap sudah lebih berpengalaman dalam hidupnya. Subyek kebetulan banyak<br />

bertemu dengan orang yang senasip dengannya, finansialnya untuk itu subyek<br />

menganggap kalau mereka bisa saya pun pasti bisa hingga subyek termotifasi.<br />

Hasil penelitian membuktikan bahwa individu menggunakan kedua<br />

klasifikasi tersebut untuk mengatasi berbagai masalah yang menekan dalam<br />

berbagai ruang lingkup kehidupan sehari-hari. selain mengkategorikan strategistrategi<br />

coping kedalam dua golongan utama, yaitu coping yang berfokus panda<br />

masalah dan coping yang berfokus panda emosi, subyek juga melakukan coping<br />

maladaftif yaitu menumpahkan stresnya dalam bentuk amarah.<br />

Dalam penelitian ini tujuan peneliti hanya sebatas untuk mengetahui<br />

bagaiman strategi coping yang mereka gunakan, apakah menggunakan problem –<br />

solving focused coping (bekerja, tidak berdiam diri, menceritakan masalah ke<br />

orang lain), dimana individu secara aktif mencari penyelesaian dari masalah untuk<br />

menghilangkan kondisi atau situasi yang menimbulkan stress, dan emotion –<br />

focused coping (diam agar tenang, mendekatkan diri pada tuhan, mengaji),


dimana individu melibatkan usaha-usaha untuk mengatur emosinya dalam rangka<br />

menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau<br />

situasi yang penuh tekanan, ditambah satu golongan coping oleh Carven yaitu<br />

coping maladaptive. Adapun yang dimaksud dengan coping maladaptive adalah<br />

strategi coping yang cenderung kurang efektif atau bersifat maladaptive.<br />

Keputusan untuk menggunakan coping milik lazarus dan folkman adalah karena<br />

hasil penelitian membuktikan bahwa menggunakan kedua cara tersebut untuk<br />

mengatasi berbagai masalah yang menekan dalam berbagai ruang lingkup<br />

kehidupan sehari-hari.<br />

Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa pekerja yang lagi menderita<br />

insomnia memiliki tingkat stressor yang lebih tinggi dibanding dengan pekerja<br />

yang tidak menderita insomnia. Dalam hal ini mereka menggunakan semua<br />

coping tersebut, namun subyek lebih sering menggunakan problem focus coping.<br />

Artinya saat pekerja yang sedang menderita insomnia mengalami masalah dirinya<br />

langsung mengambil tindakan untuk memecahkan masalah atau mencari<br />

informasi yang berguna untuk membantu pemecahan masalah dan menggunakan<br />

emotion focused coping dengan berusaha mencari jawaban atas permasalahannya.<br />

Namun diantara keduanya strategi focus copinglah yang lebih sering subyek<br />

gunakan. Strategi coping maladaptive terpakai jika stressornya tidak terpecahkan<br />

atau lama mengendap.


<strong>BAB</strong> V<br />

PENUTUP<br />

A. Kesimpulan<br />

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti, dapat<br />

disimpulkan bahwa dangan menjadi seorang yang sedang menderita insomnia<br />

pastinya masalah yang diterima akan lebih kompleks seperti masalah ekonomi,<br />

pola asuh anak, dan masalah emosi, daripada seorang yang tidak menderita<br />

insomnia karena segala yang dilakukan dalam menjalani permasalahan hidup<br />

subyek sendirian.<br />

Ada beberapa area besar sumber stress yang umumnya dialami oleh<br />

penderita insomnia yaitu berada pada keluarga lebih-lebih pada istri dan anaknya,<br />

karena masalah istri dan anak masih menjadi PR terbesar dalam hidup subyek.<br />

Sumber stress yang paling intens adalah berasal dari keluarga sendiri<br />

karena besarnya harapan keluarganya. Dalam hal ini dalam penyelesaian<br />

masalahnya menggunakan kedua strategi coping tersebut, kadang problem<br />

focused coping kadang emotion focused coping yang terpakai menyesuaikan<br />

masalah apa yang sedang dihadapinya.<br />

Dalam menyelesaikan masalahnya subyek penelitian sering kali<br />

menggunakan dua model strategi coping, yakni problem – solving focused coping<br />

(bekerja, tidak berdiam diri, menceritakan masalah ke orang lain), dimana<br />

individu secara aktif mencari penyelesaian dari masalah untuk menghilangkan<br />

kondisi atau situasi yang menimbulkan stress, dan emotion – focused coping<br />

(diam agar tenang, mendekatkan diri panda tuhan, mengaji), dimana individu


melibatkan usaha-usaha untuk mengatur emosinya dalam rangka menyesuaikan<br />

diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang<br />

penuh tekanan. Namun diantara keduanya strategi focus copinglah yang sering<br />

digunakan. Strategi coping maladaptive juga terpakai kalau subyek tidak dapat<br />

kontrol emosinya.<br />

Jadi pekerja yang lagi menderita insomnia dalam proses penggunaan<br />

copingnya untuk mengatasi sumber stress tidak hanya menggunakan satu strategi<br />

coping saja, tapi semuanya dapat terpakai namun menyesuaikan dengan masalah<br />

yang dihadapi. Untuk itu seseorang akan tetap memiliki kecenderungan strategi<br />

mana yang digunakan.<br />

B. Saran<br />

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang diuraikan di atas, maka<br />

ada beberapa saran yang perlu untuk diperhatikan, yaitu:<br />

1. Secara teoritik<br />

Untuk penelitian selanjutnya, diharapkan dapat ditemukan strategi yang<br />

tepat untuk mengatasi stress ataupun depresi, serta lebih memperpanjang waktu<br />

pengamatan sehingga diperoleh gambaran yang lebih jelas dan lengkap terkait<br />

strategi coping. Peneliti selanjutnya hendaknya bisa mengontrol dan lebih bersifat<br />

obyektif dalam proses pengumpulan data dan analisis data.<br />

2. Secara praktis<br />

Untuk keluarga, seharusnya dengan keadaan seorang pekerja yang lagi<br />

menderita insomnia, keluarga sendiri lebih bersikap lebih menyayangi, bersatu<br />

untuk kenyamanan bersama.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!