27.12.2013 Views

ii. senyawa aroma dan citarasa dari rempah- rempah dan herbal

ii. senyawa aroma dan citarasa dari rempah- rempah dan herbal

ii. senyawa aroma dan citarasa dari rempah- rempah dan herbal

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

II.<br />

SENYAWA AROMA DAN CITARASA DARI REMPAH-<br />

REMPAH DAN HERBAL<br />

Bagian ini memberikan pemahaman kepada pembaca/mahasiswa mengenai jenis-jenis<br />

<strong>senyawa</strong> <strong>aroma</strong> <strong>dan</strong> <strong>citarasa</strong> yang bersumber <strong>dari</strong> tanaman (<strong>herbal</strong> <strong>dan</strong> <strong>rempah</strong>-<strong>rempah</strong>).<br />

Pembaca/mahasiswa juga diberikan penjelasan mengenai karakteristik <strong>senyawa</strong><strong>senyawa</strong><br />

yang berfungsi sebagai <strong>aroma</strong> <strong>dan</strong> <strong>citarasa</strong>.<br />

Pendahuluan<br />

Senyawa <strong>aroma</strong> adalah <strong>senyawa</strong> kimia yang memiliki <strong>aroma</strong> atau bau. Sebuah <strong>senyawa</strong> kimia<br />

memiliki <strong>aroma</strong> atau bau ketika dua kondisi terpenuhi yaitu (1) <strong>senyawa</strong> tersebut bersifat volatil,<br />

sehingga mudah mencapai sistem penciuman di bagian atas hidung, <strong>dan</strong> (2) perlu konsentrasi<br />

yang cukup untuk dapat berinteraksi dengan satu atau lebih reseptor penciuman. Senyawa<br />

<strong>aroma</strong> dapat ditemukan dalam makanan, anggur, <strong>rempah</strong>-<strong>rempah</strong>, parfum, minyak wangi, <strong>dan</strong><br />

minyak esensial. Disamping itu <strong>senyawa</strong> <strong>aroma</strong> memainkan peran penting dalam produksi<br />

penyedap, yang digunakan di industri jasa makanan, untuk meningkatkan rasa <strong>dan</strong> umumnya<br />

meningkatkan daya tarik produk makanan tersebut. Senyawa <strong>aroma</strong> lebih berperan dalam<br />

memberikan <strong>aroma</strong> pada produk terutama digunakan untuk pengharum ruangan, pembersih,<br />

kosmetik.<br />

Senyawa <strong>citarasa</strong> adalah <strong>senyawa</strong> yang dapat memberikan <strong>citarasa</strong> tertentu pada saat<br />

dicampur dengan bahan pangan ataupun tanpa dicampur. Senyawa <strong>citarasa</strong> biasa juga disebut<br />

<strong>senyawa</strong> flavor. Penggunaan <strong>senyawa</strong> <strong>citarasa</strong> lebih banyak ditujukan untuk meningkatkan<br />

kesukaan pada produk makanan. Meskipun penggunaan <strong>senyawa</strong> <strong>aroma</strong> <strong>dan</strong> <strong>citarasa</strong> berbeda<br />

penekanannya namun sifat-sifatnya <strong>dan</strong> cara ekstraksi <strong>dari</strong> sumbernya mempunyai kesamaan.<br />

Sumber sebagian besar <strong>senyawa</strong> <strong>aroma</strong> <strong>dan</strong> <strong>citarasa</strong> adalah minyak atsiri.<br />

Citarasa<br />

Salah satu faktor yang menentukan kualitas makanan adalah kandungan <strong>senyawa</strong> <strong>citarasa</strong>.<br />

Senyawa <strong>citarasa</strong> merupakan <strong>senyawa</strong> yang menyebabkan timbulnya sensasi rasa (manis,<br />

pahit, masam, asin), trigeminal (astringent, dingin, panas) <strong>dan</strong> <strong>aroma</strong> setelah mengkonsumsi<br />

<strong>senyawa</strong> tersebut (Fisher <strong>dan</strong> Scott, 1997). Pada makanan atau minuman yang tidak atau<br />

sedikit mempunyai <strong>citarasa</strong> sering ditambahkan <strong>senyawa</strong> <strong>citarasa</strong> tertentu, untuk meningkatkan<br />

kualitas rasa <strong>dan</strong> <strong>aroma</strong>nya. Senyawa <strong>citarasa</strong> dapat berasal <strong>dari</strong> bahan sintetik ataupun bahan<br />

alami. Bahan alami dapat berupa bagian akar, batang, biji, bunga atau daun tanaman yang


selanjutnya d<strong>ii</strong>solasi <strong>senyawa</strong> <strong>citarasa</strong>nya. Daun tanaman yang sering digunakan sebagai<br />

pemberi <strong>citarasa</strong> antara lain selasih, kemangi, jeruk purut <strong>dan</strong> salam.<br />

Definisi <strong>citarasa</strong> tergantung pada sudut pan<strong>dan</strong>g pendefinisinya, yaitu yang pertama, <strong>citarasa</strong><br />

adalah persepsi biologis seperti sensasi yang dihasilkan oleh materi yang masuk ke mulut, <strong>dan</strong><br />

yang kedua, <strong>citarasa</strong> adalah karakter/sifat bahan yang menghasilkan sensasi. Citarasa<br />

terutama dirasakan oleh reseptor <strong>aroma</strong> dalam hidung <strong>dan</strong> reseptor rasa dalam mulut (Fisher<br />

<strong>dan</strong> Scott, 1997).<br />

Senyawa <strong>citarasa</strong> merupakan <strong>senyawa</strong> atau campuran <strong>senyawa</strong> kimia yang dapat<br />

mempengaruhi indera tubuh, misalnya lidah sebagai indera pengecap. Pada dasarnya lidah<br />

hanya mampu mengecap empat jenis rasa: yaitu pahit, asam, asin <strong>dan</strong> manis. Selain itu<br />

<strong>citarasa</strong> dapat membangkitkan rasa lewat <strong>aroma</strong> yang disebarkan, lebih <strong>dari</strong> sekedar rasa<br />

pahit, asin, asam <strong>dan</strong> manis. Lewat pen<strong>citarasa</strong> atau proses pemberian <strong>aroma</strong> pada suatu<br />

produk pangan, lidah dapat mengecap rasa lain sesuai <strong>aroma</strong> yang diberikan. Semua <strong>citarasa</strong><br />

tidak tersedia dengan sendirinya, tetapi melewati proses yang rumit, diantaranya proses<br />

distilasi. Sejalan dengan semakin canggihnya teknologi, industri <strong>citarasa</strong> kini mampu<br />

menciptakan <strong>dan</strong> menghasilkan produk yang kisarannya mulai <strong>dari</strong> 100% alami sampai 100%<br />

sintetis (AFFI, 2007a).<br />

Penggunaan produk industri <strong>citarasa</strong> hanya sedikit sekali dalam produk- produk pangan <strong>dan</strong><br />

non pangan, meskipun demikian <strong>citarasa</strong> tersebut besar peranannya dalam menentukan<br />

kualitas hasil akhir yang digunakan masyarakat sehari-hari. Mie instant, es krim <strong>dan</strong> berbagai<br />

jenis makanan, kualitasnya banyak dipengaruhi produk <strong>citarasa</strong>. Produk <strong>citarasa</strong> pada dasarnya<br />

hanya merupakan bahan baku, <strong>dan</strong> bukan produk akhir, oleh karena itu sering luput <strong>dari</strong><br />

perhatian masyarakat. Peran produk <strong>citarasa</strong> cukup besar dalam menentukan minat beli<br />

konsumen, sehingga <strong>citarasa</strong> banyak digunakan untuk menghasilkan berbagai produk dibi<strong>dan</strong>g<br />

industri makanan, minuman, farmasi <strong>dan</strong> kesehatan (AFFI, 2007b).<br />

Citarasa diklasifikasikan menjadi tiga yaitu sensasi rasa (taste), trigeminal <strong>dan</strong> <strong>aroma</strong> (odour).<br />

Sensasi rasa dibagi menjadi empat yaitu asin, manis, masam <strong>dan</strong> pahit, sensasi trigeminal<br />

dideskripsikan sebagai astrigent, pedas <strong>dan</strong> dingin. Sensasi rasa <strong>dan</strong> trigeminal kebanyakan<br />

dihasilkan oleh bahan non volatil, polar <strong>dan</strong> larut dalam air, se<strong>dan</strong>gkan sensasi <strong>aroma</strong><br />

dihasilkan oleh <strong>senyawa</strong> volatil. Selain itu <strong>citarasa</strong> diklasifikasikan berdasarkan sumbernya<br />

diantaranya <strong>citarasa</strong> buah, <strong>citarasa</strong> sayur, <strong>citarasa</strong> <strong>rempah</strong>, <strong>citarasa</strong> daging. Citarasa <strong>rempah</strong><br />

meliputi <strong>aroma</strong>tic herbs yaitu daun tanaman yang mengandung <strong>senyawa</strong> volatil (Fisher <strong>dan</strong><br />

Scott, 1997).


Industri <strong>citarasa</strong> memegang peranan penting dalam perkembangan <strong>dan</strong> kesuksesan industri<br />

makanan <strong>dan</strong> minuman. Klasifikasi <strong>citarasa</strong> yang paling umum adalah berdasarkan keaslian<br />

<strong>dari</strong> <strong>senyawa</strong>nya yaitu terdiri atas natural <strong>citarasa</strong> ; natural <strong>dan</strong> artificial <strong>citarasa</strong> <strong>dan</strong> artificial<br />

<strong>citarasa</strong>. Bahan-bahan alami yang digunakan untuk formulasi <strong>citarasa</strong> adalah isolat minyak<br />

atsiri, kombinasi minyak atsiri dengan ekstrak bahan khusus tertentu, produk hasil proses yang<br />

melibatkan reaksi biologis seperti fermentasi, produk proses hidrolisis, <strong>dan</strong> produk hasil proses<br />

kimia seperti pemasakan, pemanggangan, pencoklatan <strong>dan</strong> esterifikasi. Proses untuk<br />

memproduksi <strong>dan</strong> mengisolasi <strong>senyawa</strong> tersebut memegang peranan penting dalam<br />

manufakturing <strong>citarasa</strong> (Ojha, Singh <strong>dan</strong> Traci, 1995).<br />

Industri <strong>citarasa</strong> dimulai pada akhir abad ke-19 <strong>dan</strong> meningkat selama awal abad ke-20 dengan<br />

meningkatnya riset mengenai isolasi <strong>dan</strong> identifikasi <strong>senyawa</strong> mayor dalam minyak atsiri.<br />

Sumber utama bahan baku industri <strong>citarasa</strong> adalah minyak atsiri hasil distilasi <strong>dan</strong> ekstraksi<br />

tanaman (Wright, 2002). Selanjutnya dinyatakan bahwa <strong>senyawa</strong> <strong>citarasa</strong> dapat berbentuk<br />

padat maupun cairan <strong>dan</strong> dibagi menjadi beberapa tipe yaitu:<br />

(1) Water-soluble liquid flavours, merupakan tipe <strong>citarasa</strong> yang paling umum. Dibuat dengan<br />

cara melarutkan <strong>senyawa</strong> <strong>citarasa</strong> <strong>dan</strong> <strong>senyawa</strong> alami dalam pelarut sederhana seperti<br />

propilenglikol, triasetin atau alkohol dengan penambahan air bila diperlukan.<br />

(2) Clear water-soluble liquid flavours, banyak digunakan untuk <strong>citarasa</strong> cola yang<br />

menginginkan produk akhir nampak jernih.<br />

(3) Oil-soluble liquid flavours, digunakan bila produk akhir adalah minyak atau lemak <strong>dan</strong> tidak<br />

mentolelir a<strong>dan</strong>ya air. Pelarut yang dapat digunakan adalah minyak nabati alami atau<br />

sintetis (medium-chain triglyceride), benzil benzoat trietil sitrat <strong>dan</strong> minyak atsiri seperti<br />

minyak lemon.<br />

(4) Emulsion-based flavours, seperti minyak jeruk yang sering digunakan untuk memberikan<br />

kekeruhan (cloud) pada minuman<br />

(5) Dispersed flavours, merupakan tipe umum, murah <strong>dan</strong> menyenangkan karena disajikan<br />

dalam bentuk bubuk tetapi memiliki umur simpan pendek. Bila semua bahan berbentuk<br />

padat, penggunaannya dengan mencampur semua bahan <strong>dan</strong> dilarutkan dengan pembawa<br />

(carrier) seperti laktosa.<br />

(6) Spray-dried flavours, dihasilkan dengan membuat emulsi dalam larutan gum kemudian<br />

dikeringkan dengan metode spray drying untuk menghasilkan bubuk. Produk yang<br />

dihasilkan mempunyai <strong>citarasa</strong> yang kuat <strong>dan</strong> stabil.


Minyak Atsiri<br />

Minyak atsiri atau minyak eteris (essential oil, volatil oil, etherial oil) adalah minyak mudah<br />

menguap yang diperoleh <strong>dari</strong> tanaman <strong>dan</strong> merupakan campuran <strong>dari</strong> <strong>senyawa</strong>–<strong>senyawa</strong><br />

volatil yang dapat diperoleh dengan distilasi, pengepresan ataupun ekstraksi. Minyak atsiri<br />

mempunyai sifat fisik <strong>dan</strong> kimia yang sangat berbeda dengan minyak pangan (Ketaren, 1987;<br />

Boelens, 1997; Baser, 1999). Penghasil minyak atsiri berasal <strong>dari</strong> berbagai spesies tanaman<br />

yang sangat luas <strong>dan</strong> digunakan karena bernilai sebagai <strong>citarasa</strong> dalam makanan <strong>dan</strong> minuman<br />

serta parfum dalam produk industri, obat-obatan <strong>dan</strong> kosmetik. Minyak atsiri tanaman diperoleh<br />

<strong>dari</strong> tanaman ber<strong>aroma</strong> yang tersebar di seluruh dunia (Simon, 1990). Dari 350.000 spesies<br />

tanaman yang ada, sekitar 17.500 (5%) spesies adalah tanaman penghasil <strong>senyawa</strong> ber<strong>aroma</strong><br />

<strong>dan</strong> sekitar 300 spesies tanaman digunakan untuk memproduksi minyak atsiri untuk industri<br />

makanan, <strong>citarasa</strong> <strong>dan</strong> parfum (Boelens, 1997).<br />

Hampir semua tanaman berbau mengandung minyak atsiri. Tergantung pada tipe tanaman,<br />

beberapa bagian tanaman dapat digunakan sebagai sumber minyak atsiri misalnya buah, biji,<br />

bunga, daun, batang, akar, kulit kayu atau kayunya. Bahan baku yang digunakan dalam<br />

pengolahan minyak atsiri dapat segar, setengah kering atau kering, untuk bunga harus dalam<br />

bentuk segar. Beberapa metode digunakan untuk mengisolasi minyak atsiri <strong>dari</strong> sumbernya<br />

(Sonwa, 2000).<br />

Menurut Reineccius (1999) minyak atsiri terdiri atas campuran kompleks <strong>senyawa</strong> organik yang<br />

dapat diklasifikasikan sebagai berikut :<br />

(1) Terpen yaitu <strong>senyawa</strong> hidrokarbon yang dibangun oleh dua atau lebih unit isopren (C 5, n<br />

=1). Jika n = 2 maka hidrokarbon tersebut dikenal dengan monoterpen, jika n = 3 disebut<br />

seskuiterpen <strong>dan</strong> jika n = 4 disebut diterpen, juga dikenal triterpen (C 30 ) <strong>dan</strong> tetraterpen<br />

(C 40 ). Meskipun jumlahnya signifikan dalam minyak atsiri tetapi terpen hanya memiliki nilai<br />

<strong>citarasa</strong> yang kecil, bila dibandingkan dengan oxygenated derivates.<br />

(2) Turunan terpen teroksidasi (oxygenated derivates) yaitu alkohol, aldehid, keton <strong>dan</strong> ester.<br />

Senyawa tersebut memberikan kontribusi besar pada perbedaan <strong>citarasa</strong> diantara minyak<br />

atsiri. Contoh <strong>senyawa</strong> ini diantaranya sitronelol, geraniol, nerol, mentol, nerolidol, sitral.<br />

(3) Senyawa <strong>aroma</strong>tik dengan gugus fungsi yang bervariasi (alkohol, asam, ester, aldehid,<br />

keton, fenol).


(4) Senyawa yang mengandung nitrogen atau sulfur. Senyawa ini tidak terdapat pada<br />

kebanyakan minyak atsiri, biasanya terdapat pada tanaman yang mengandung bahan<br />

albuminous diantaranya indol <strong>dan</strong> skatol.<br />

Beberapa contoh <strong>senyawa</strong> dalam minyak atsiri <strong>dari</strong> berbagai sumber tanaman disajikan pada<br />

Tabel 3 <strong>dan</strong> beberapa rumus bangunnya disajikan pada Gambar 2.<br />

Golongan terpenoid merupakan <strong>senyawa</strong> yang paling banyak ditemukan pada minyak atsiri.<br />

Terpenoid terbentuk oleh beberapa unit isopren yang berasal <strong>dari</strong> asetil Koenzim A (KoA)<br />

dengan reaksi biosintesis melalui jalur asam mevalonat. Dua asetil KoA membentuk asetoasetil<br />

KoA melalui reaksi Kondensasi Claisen. Asam asetoasetil KoA yang terbentuk bergabung<br />

dengan asetil KoA membentuk glutarat KoA melalui reaksi kondensasi aldol. Setelah glutarat<br />

KoA terbentuk terjadi pembentukan asam mevalonat melalui reaksi hidrolisis <strong>dan</strong> reduksi.<br />

Enzim ortofosforilase mengkatalisis pembentukan 3,5-diortopirofosfomevalonat melalui reaksi<br />

fosforilasi, kemudian mengalami dekarboksilasi <strong>dan</strong> defosforilasi membentuk isopentenil<br />

pirofosfat (IPP). IPP mengalami isomerisasi menjadi dimetilalil pirofosfat (DMAPP). IPP adalah<br />

unit isoprena aktif yang dapat bergabung secara kepala ke ekor (head to tail) dengan DMAPP<br />

membentuk geranil pirofosfat (GPP) yang merupakan <strong>senyawa</strong> intermediet untuk monoterpen.<br />

Proses tersebut dapat terus berlangsung dengan penambahan IPP terhadap GPP dengan<br />

katalis enzim menghasilkan farnesil pirofosfat (FDP) yang merupakan <strong>senyawa</strong> intermediet<br />

untuk seskuiterpen, begitu pula untuk pembentukan geranil-geranil pirofosfat (GGPP) yang<br />

merupa kan <strong>senyawa</strong> intermediet untuk diterpen. Reaksi biosintesis pembentukan terpenoid<br />

disajikan pada Gambar 2 (Kesselmeier <strong>dan</strong> Staudt, 1999). Terpen yang telah terbentuk dapat<br />

mengalami perubahan akibat peristiwa reduksi, oksidasi, esterifikasi <strong>dan</strong> siklisasi.<br />

Tabel 3. Komposisi minyak atsiri <strong>dari</strong> berbagai tanaman<br />

Sumber tanaman Senyawa utama Metode separasi<br />

Daun salam<br />

Daun cengkeh<br />

a. oktanal; 3,7-dimetil-1-oktena;<br />

n-dekanal; - cis-4-dekanal; patkulen;<br />

D-nerolidol; kariofilen oksida<br />

b. ß-osimena; Oktanal; Cis-4- dekenal;<br />

Nonanal; α-humulena; α-pinena<br />

a. eugenol; isokariofilen; α-kariofilen;<br />

eugenol asetat<br />

b. eugenol; eugenol asetat; kariofilen<br />

c. eugenol; kariofilen; 14 <strong>senyawa</strong><br />

minor<br />

a. Distilasi air 1)<br />

b. Distilasi uap 2)<br />

a. tidak dijelaskan 1)<br />

b. tidak dijelaskan 3)<br />

c. Distilasi air 4)<br />

Bunga cengkeh eugenol; eugenol asetat; isoptaldehid Distilasi uap 5)


Daun jeruk purut<br />

Daun pan<strong>dan</strong><br />

wangi<br />

Bunga kamboja<br />

cen<strong>dan</strong>a<br />

sitronelal; linalool; sitronelil-asetat;<br />

sitronelol, geraniol<br />

2 metil pentana; 3 metil pentana;<br />

n-heksana; 2,2 dimetil pentana;<br />

metilsiklopentana;sikloheksana<br />

undekana; dodekana; nonakosana;<br />

heptakosana; tetratetrakontana; transgeraniol;<br />

2-heksil-1-dekanol; linalool<br />

thiogeraniol; 1-eikosanol<br />

Berbagai macam<br />

separasi 2)6<br />

Ekstraksi pelarut 7)<br />

Ekstraksi pelarut 8)<br />

1) Agusta (2000);<br />

2) Wartini (2007); 3) Nurdin et al. (2001); 4) Raina et al. (2001); 5) Geun<br />

Lee <strong>dan</strong> Shibamoto (2001); 6) Wijaya (1995); 7) Saputra (2010); 8) Harland (2011).<br />

Eugenol<br />

Kariofilen<br />

Gambar 2. Rumus struktur eugenol <strong>dan</strong> kariofilen (Peerzada, 1997)<br />

Gambar 3. Reaksi biosintesis terpenoid (Kesselmeier <strong>dan</strong> Staudt, 1999)


1. Keberadaan Minyak Atsiri dalam Tanaman<br />

Minyak atsiri dibentuk dalam sitoplasma <strong>dan</strong> secara normal berbentuk butiran kecil diantara<br />

sel <strong>dan</strong> bersifat volatil <strong>dan</strong> ber<strong>aroma</strong>, tidak berwarna atau agak kuning <strong>dan</strong> agak larut dalam<br />

air <strong>dan</strong> etanol (Sonwa, 2000). Guenther (1987) menyatakan bahwa minyak atsiri yang<br />

kompleks dibentuk <strong>dari</strong> hasil ekskresi atau sekresi akibat proses metabolisme tanaman.<br />

Selanjutnya dinyatakan bahwa vakuola dalam jaringan tanaman berisi butiran-butiran<br />

minyak yang sulit dibedakan <strong>dari</strong> minyak atau lemak pangan. Minyak tersebut dapat<br />

diselidiki dengan pewarnaan su<strong>dan</strong> <strong>dan</strong> asam osmat <strong>dan</strong> perbedaannya dengan minyak<br />

pangan adalah minyak atsiri lebih aktif membentuk warna dengan su<strong>dan</strong>. Sekresi minyak<br />

tampak di dalam kelompok sel yang berbeda yaitu pada kelenjar eksternal <strong>dan</strong> internal.<br />

Kelenjar eksternal merupakan sel-sel epidermis atau modifikasi <strong>dari</strong> sel epidermis, misalnya<br />

rambut-rambut ekskresi. Hasil sekresi biasanya ditimbun di luar sel yang terletak diantara<br />

kutikula <strong>dan</strong> dinding sel bagian luar. Kutikula adalah kulit tipis yang membungkus produk<br />

yang dihaslkan <strong>dan</strong> mudah robek sehingga menghasilkan bau yang khas. Kelenjar internal<br />

terdapat di seluruh bagian tanaman, dibentuk oleh endapan minyak diantara dinding sel.<br />

Bila sel pecah (schizogenous) <strong>dan</strong> d<strong>ii</strong>kuti oleh kerusakan sel di sekitarnya maka terjadi<br />

pembentukan kelenjar schizolysogenous, yang tumbuh membentuk saluran panjang yang<br />

dibungkus oleh lapisan tipis di bagian dalam dinding sel. Lapisan tipis tersebut mempunyai<br />

fungsi ganda yaitu memisahkan jaringan <strong>dari</strong> minyak <strong>dan</strong> membentuk minyak serta resin.<br />

Bentuk tersebut terdapat pada sel-sel epitel atau pada membran <strong>dan</strong> melalui dinding sel<br />

menuju ke bagian dalam kelenjar.<br />

Minyak atsiri dalam tanaman dikategorikan sebagai superficial oil <strong>dan</strong> subcutaneous oil.<br />

Superficial oil dapat dilepaskan dengan mudah <strong>dari</strong> tanaman dengan menggosok<br />

permukaan daun secara hati-hati <strong>dan</strong> biasa ditemukan pada tanaman <strong>dari</strong> famili Labiate,<br />

Verbenaceae <strong>dan</strong> Geraniceae. Subcutaneous oil terkandung dalam sel minyak, secretory<br />

cavities, osmophors, schizogenous, biasa ditemukan pada famili Myrtaceae, Umbellifereae<br />

<strong>dan</strong> Gramineae. Minyak atisri yang tergolong subcutaneous oil lebih sulit dilepaskan <strong>dari</strong><br />

tanaman dibanding superficial oil <strong>dan</strong> dapat dilepaskan <strong>dari</strong> tanaman dengan merusak<br />

jaringan sel. Pada tanaman, ka<strong>dan</strong>g-ka<strong>dan</strong>g minyak atsiri terikat dengan gula dalam bentuk<br />

glikosida sehingga untuk melepaskannya perlu proses hidrolisis (Baser, 1999).


2. Perlakuan terhadap Bahan Baku<br />

Bahan baku minyak atsiri sebelum diekstrak dengan metode tertentu perlu mendapat<br />

perlakuan pendahuluan tergantung <strong>dari</strong> bahannya. Perlakuan pendahuluan diantaranya<br />

curing <strong>dan</strong> preparasi bahan (pengecilan ukuran).<br />

a. Curing<br />

Istilah curing digunakan untuk menyatakan perlakuan terhadap bahan antara pemanenan<br />

sampai pengolahan, berhubungan dengan proses metabolisme bahan tanaman yang masih<br />

hidup. Curing juga tercakup dalam proses penundaan, penyimpanan <strong>dan</strong> pengeringan<br />

bahan yang seringkali dilakukan pada pengolahan minyak atsiri karena terbatasnya<br />

kapasitas proses pengolahan. Proses oksidasi merupakan dasar curing, yang<br />

menyebabkan perubahan fisik <strong>dan</strong> kimia pada bahan, seperti tembakau <strong>dan</strong> vanili, yang<br />

berdampak pada <strong>citarasa</strong> karena selama proses tersebut terjadi reaksi enzimatik (Abdullah<br />

<strong>dan</strong> Soedarmanto, 1986; Man <strong>dan</strong> Jones, 1995).<br />

Curing dibedakan menjadi empat metode yaitu air curing, sun curing, fire smoke curing, <strong>dan</strong><br />

flue curing. Metode air curing yaitu pengolahan daun segar dengan cara menganginanginkan<br />

dalam ruangan yang teduh sehingga tidak terkena cahaya matahari secara<br />

langsung (Setiawan <strong>dan</strong> Trisnawati, 1993). Perubahan yang terjadi pada bahan tanaman<br />

setelah panen, akibat proses biokimia yang masih berlangsung <strong>dan</strong> dapat menghasilkan<br />

<strong>senyawa</strong> yang disukai ataupun tidak disukai (Cheetham, 2002).<br />

Perubahan yang terjadi selama curing pada beberapa bahan dijelaskan sebagai berikut:<br />

a.1. Curing pada Tembakau<br />

Pada curing daun tembakau, terjadi perubahan yang diharapkan yaitu perubahan kadar<br />

air, perubahan warna hijau menjadi kuning <strong>dan</strong> coklat, pemecahan protein menjadi<br />

asam amino, pati menjadi gula sederhana <strong>dan</strong> asam-asam organik yang berdampak<br />

pada kualitas daun tembakau kering (Abdullah <strong>dan</strong> Soedarmanto, 1986; Man <strong>dan</strong><br />

Jones, 1995; Abubakar et al, 2003 <strong>dan</strong> Perdigon, 2006). Pada curing tembakau<br />

berlangsung aktivitas enzim malat dehidrogenase, polifenol oksidase, diaforase, asam<br />

glikolat oksidase <strong>dan</strong> glutamat dehidrogenase (Zelith and Zucker, 1958).<br />

Perubahan warna daun selama curing kemungkinan disebabkan oleh dua hal yaitu (1)<br />

proses oksidasi yang melibatkan enzim lipoksigenase, peroksidase <strong>dan</strong> oksidase<br />

(Gross, 1991) <strong>dan</strong> (2) proses hidrolisis yang melibatkan enzim klorofilase (Von Elbe


and Schwartz, 1996) <strong>dan</strong> enzim magnesium deketalase (Gross, 1991). Beberapa<br />

enzim yang terlibat dalam tahapan degradasi klorofil yaitu tahap hidrolisis klorofil,<br />

pemindahan magnesium, modifikasi struktur cincin tetrapirol <strong>dan</strong> akhirnya memecah<br />

cincin makrosiklik. Selain klorofilase <strong>dan</strong> magnesium deketalase tidak ada enzim lain<br />

yang memiliki fungsi spesifik yang berkaitan dengan metabolisme klorofil. Klorofilase<br />

mengkatalisis proses hidrolisis ikatan ester antara residu 7-asam propionat pada cincin<br />

D <strong>dari</strong> sistem makrosiklik cincin <strong>dan</strong> fitol, dalam klorofil <strong>dan</strong> feofitin. Magnesium<br />

deketalase adalah enzim yang bertanggungjawab pada pemindahan ion Mg sentral.<br />

Hal ini digambarkan dalam bermacam sistem <strong>dan</strong> menunjukkan pemindahan<br />

magnesium <strong>dari</strong> klorofil <strong>dan</strong> klorofilid, tidak jelas mana langkah yang pertama (Schoch<br />

<strong>dan</strong> Vielwerth, 1983 dalam Gross, 1991). Pemucatan klorofil terjadi karena proses<br />

oksidasi yang melibatkan enzim lipoksigenase, peroksidase <strong>dan</strong> oksidase (Gross,<br />

1991). Mekanisme yang diduga sehingga warna hijau (klorofil) berubah menjadi coklat<br />

(feofitin atau feoforbid) menurut Von Elbe and Schwartz (1996) dapat dilihat pada<br />

Gambar 3.<br />

Penurunan berat daun tembakau yang dicuring akibat kehilangan air berkisar antara<br />

60 sampai 80 % tergantung pada kondisi curing. Sebanyak 50% protein dalam daun<br />

tembakau mengalami pemecahan selama curing menjadi asam amino selanjutnya<br />

dipecah menjadi amonia. Pati diubah menjadi dekstrin <strong>dan</strong> maltosa <strong>dan</strong> akhirnya<br />

monosakarida oleh enzim α-amilase. Sampai akhir curing, kadar pati yang tersisa<br />

sebesar 3%. Perubahan asam organik selama curing tembakau diantaranya asam sitrat<br />

<strong>dan</strong> asam malat meningkat tajam se<strong>dan</strong>gkan asam oksalat relatif stabil (Abubakar,<br />

2003).<br />

a.2. Curing pada Vanili<br />

Curing merupakan salah satu proses dalam pengolahan vanili. Pada curing vanili,<br />

terdapat 4 tahap (Gambar 4), yaitu: (1) Killing yaitu penghentian pertumbuhan <strong>dan</strong><br />

pemecahan struktur sel <strong>dari</strong> vanila melalui reaksi enzimatik, (2) Sweating yaitu<br />

perubahan warna, pembentukan <strong>citarasa</strong> dengan pemecahan karbohidrat <strong>dan</strong> asam<br />

organik serta pembentukan ester, eter <strong>dan</strong> resin (3) Drying yaitu pengurangan kadar air<br />

sampai batas tertentu dengan jalan penguapan tanpa merusak jaringan aslinya <strong>dan</strong> (4)<br />

Conditioning yaitu tahap terjadinya reaksi kimia <strong>dan</strong> biokimia seperti esterifikasi,<br />

eterifikasi, degradasi oksidatif, menghasilkan <strong>senyawa</strong> minyak atsiri yang menambah<br />

kualitas <strong>citarasa</strong>. Perubahan <strong>citarasa</strong> <strong>dan</strong> komposisi kimia pada curing vanili


disebabkan terjadinya reaksi hidrolisis, oksidasi, eterifikasi atau esterifikasi (Ranadive,<br />

1994).<br />

Vanilin merupakan <strong>senyawa</strong> terpenting yang menyumbangkan <strong>citarasa</strong> pada vanili.<br />

Pada vanili segar <strong>senyawa</strong> <strong>aroma</strong> terdapat sebagai glukosida. Selama curing<br />

berlangsung, terjadi pelepasan aglikon sehinga glukovanilin diubah menjadi vanilin<br />

dengan a<strong>dan</strong>ya enzim β-glukosidase (Ranadive, 1994; Dignum et.al., 2002).<br />

Peerubahan glukovanilin menjadi vanilin disajikan pada Gambar 5.<br />

a.3. Curing pada bahan baku penghasil minyak atsiri<br />

Perubahan yang terjadi selama curing bahan penghasil minyak atsiri antara lain<br />

perubahan kadar air, perubahan jenis <strong>dan</strong> kadar <strong>senyawa</strong> <strong>citarasa</strong>.<br />

CH 3 CH 3<br />

CH 3<br />

H 3C<br />

H 3C<br />

klorofil<br />

CH 3<br />

CH 3<br />

enzim<br />

H 3C<br />

H 3C<br />

CH 3<br />

HO<br />

CH 3 CH 3<br />

CH 3 CH 3<br />

CH 3<br />

CH 3<br />

CH 3<br />

CH 3<br />

klorofilid<br />

CH 3<br />

CH 3<br />

CH 3<br />

CH 3<br />

-Mg 2+ CH CH CH -Mg 2+<br />

3 CH 3<br />

3<br />

3<br />

H 3C<br />

fitol<br />

OH<br />

CH 3<br />

H 3C<br />

H 3C<br />

H<br />

CH 3<br />

CH 3<br />

CH 3<br />

CH 3<br />

CH 3<br />

H 3C<br />

H 3C<br />

CH 3<br />

CH 3 CH 3 CH 3 CH 3<br />

HO<br />

CH 3<br />

feofitin<br />

feoforbid<br />

Gambar 4. Proses degradasi klorofil (Von Elbe and Schwartz,1996).<br />

O


C<br />

O<br />

H<br />

β - Glukosidase<br />

C<br />

O<br />

H<br />

OCH 3<br />

(Curing)<br />

OCH 3<br />

O<br />

OH<br />

Glu<br />

Glukovanilin<br />

Vanilin<br />

Gambar 5. Perubahan glukovanilin menjadi vanilin selama curing (Ranadive, 1994;<br />

Dignum et al., 2002).<br />

Penguapan air <strong>dan</strong> <strong>senyawa</strong> volátil. Penguapan air terjadi secara bertahap<br />

bersamaan dengan menguapnya <strong>senyawa</strong> yang mudah menguap termasuk <strong>senyawa</strong><br />

<strong>citarasa</strong>. Proses penguapan air <strong>dan</strong> <strong>senyawa</strong> volatil dapat terjadi karena selama curing<br />

atau pengeringan daun, sel epitel daun mengalami retak <strong>dan</strong> pecah. Hal tersebut<br />

terbukti pada hasil pengamatan permukaan daun menggunakan scanning electron<br />

microscopy (SEM) pada daun spearmint (Diaz-Maroto et al., 2003) <strong>dan</strong> daun sweet<br />

basil (Yousif et al., 1999). Kehilangan minyak atsiri selama curing akibat terjadinya<br />

proses oksidasi <strong>dan</strong> resinifikasi.<br />

Pengeringan alami tanaman Lippia scaberrima Sond. pada kondisi ruang (temperatur<br />

24 – 27 0 C, kelembaban relatif 30 – 50%) menyebabkan penurunan berat rata-rata<br />

berturut-turut sebesar 47,6% <strong>dan</strong> 58,9% setelah 48, 96 jam <strong>dan</strong> konstan setelah<br />

pengeringan 144 jam (Combrink et al., 2006).<br />

Perubahan <strong>senyawa</strong> <strong>citarasa</strong>. Senyawa <strong>citarasa</strong> merupakan metabolit sekunder yang<br />

dapat mengalami transformasi ataupun degradasi yaitu modifikasi (substitusi <strong>dan</strong><br />

hidrogenasi diantaranya epoksidasi, metilasi <strong>dan</strong> hidroksilasi), penataan ulang<br />

(rearrange-ment) <strong>dan</strong> degradasi menjadi metabolit primer (Luckner, 1984). Perubahan<br />

posisi ikatan rangkap mudah terjadi dalam minyak atsiri tanaman diantaranya terjadi<br />

pada terpen (osimen <strong>dan</strong> mirsen), aldehid (sitronelal <strong>dan</strong> sitral) <strong>dan</strong> golongan alkohol<br />

siklik (geraniol <strong>dan</strong> linalool) (Gambar 6) (Guenther, 1987).


isomerisasi<br />

OH<br />

OH<br />

Geraniol<br />

Linalool<br />

Gambar 6. Reaksi isomerisasi geraniol <strong>dan</strong> linalool (Guenther,1987)<br />

Perubahan yang terjadi pada <strong>senyawa</strong> <strong>citarasa</strong> pada tanaman selama pengeringan<br />

alami ataupun curing antara lain kehilangan <strong>senyawa</strong> volatil, peningkatan <strong>senyawa</strong><br />

tertentu yang sudah ada ataupun pembentukan <strong>senyawa</strong> baru akibat proses oksidasi,<br />

hidrolisis bentuk glikosida ataupun pelepasan <strong>senyawa</strong> akibat pecahnya dinding sel<br />

(Diaz-Maroto et al., 2002a; Diaz-Maroto et al., 2002b). Salah satu contoh adalah<br />

terjadinya pembentukan (biosintesis) <strong>senyawa</strong> oktanal (Gambar 7). Lukcner (1984)<br />

menyatakan <strong>senyawa</strong> aldehid dibentuk <strong>dari</strong> asam lemak melalui jalur β-oksidasi. Asam<br />

lemak bebas seperti asam nonanoat mengalami degradasi menjadi suatu molekul yang<br />

mempunyai radikal hidrogen pada atom karbon posisi β dalam bentuk intermediet (I).<br />

Intermediet (I) akan membentuk asam-2-hidroperoksi nonanoat, dengan penambahan<br />

radikal OOH. Asam-2-hidroperoksi nonanoat mengalami reaksi dekarboksilasi menjadi<br />

<strong>senyawa</strong> aldehid (oktanal), CO 2 <strong>dan</strong> H 2 O.<br />

asam nonanoat<br />

O<br />

OH<br />

.<br />

H<br />

I<br />

O<br />

OH<br />

O<br />

H<br />

CO<br />

+ 2 +<br />

H 2 O<br />

O<br />

O<br />

OH<br />

OH<br />

oktanal<br />

asam 2-hidroperoksi nonanoat<br />

Gambar 7. Reaksi biosintesis oktanal (Lukcner, 1984)<br />

Pembentukan <strong>senyawa</strong> golongan alkana <strong>dan</strong> alkena dalam bahan tanaman dapat<br />

terjadi melalui reaksi dekarboksilasi asam lemak jenuh <strong>dan</strong> tidak jenuh yang<br />

kemungkinan melibatkan mekanisme α-oksidasi <strong>dan</strong> asam α-hidroksi sebagai<br />

intermediet (Luckner, 1984). Reaksi biosintesis alkana disajikan pada Gambar 8.


Pelepasan maupun pengambilan gugus karboksilat pada molekul alami dengan cara<br />

pemecahan maupun pembentukan ikatan karbon-karbon dioksida sering terjadi pada<br />

metabolisme sekunder (Manitto, 1992).<br />

CH 3 –(CH 2 ) 13 –CH 2 –(CH 2 ) 13 –CH 2 –COOH CH 3 –(CH 2 ) 13 –CH 2 –(CH 2 ) 13 –CH 3 + CO 2<br />

Asam triakontanat<br />

nonakosana<br />

Gambar 8. Reaksi biosintesis alkana (Lukcner, 1984)<br />

Beberapa daun yang memiliki <strong>citarasa</strong> mint dikeringkan sebelum d<strong>ii</strong>solasi <strong>senyawa</strong><br />

<strong>citarasa</strong>nya. Daun tanaman lavender <strong>dan</strong> rosemary perlu dikeringkan sebelum d<strong>ii</strong>solasi<br />

<strong>senyawa</strong> <strong>citarasa</strong>nya, karena selama proses tersebut terjadi reaksi kimia seperti<br />

konversi enzimatik glikosida melitosida menjadi glukosa <strong>dan</strong> asam koumarik. Pada<br />

tanaman yang lain seperti oak <strong>dan</strong> treemos, <strong>senyawa</strong> volatilnya terbentuk setelah<br />

<strong>senyawa</strong> non volatil yang dikandungnya, diantaranya derivat dimerik benzena<br />

dihidrolisis menjadi monomernya misalnya atranorin diubah menjadi metil β-orsinil<br />

karboksilat (Boelens, 1997).<br />

Hasil penelitian Ibanez et al.(1999) menunjukkan bahwa komposisi minyak atsiri daun<br />

rosemary segar <strong>dan</strong> kering sangat berbeda. Senyawa utama minyak atsiri yang<br />

dihasilkan <strong>dari</strong> daun rosemary segar yaitu kamfor (40%), 1,8-sineol (12%), verbenon<br />

(9%), borneol (7%) <strong>dan</strong> bornil asetat (2,5%) se<strong>dan</strong>gkan daun kering hanya<br />

mengandung kamfor (9%), verbenon (16%) <strong>dan</strong> borneol (21%). Hal yang<br />

menyebabkan perbedaan komposisi tersebut adalah penge-ringan mengakibatkan<br />

terjadinya kerusakan dinding sel sehingga mempermudah pelepasan <strong>senyawa</strong> volatil.<br />

Komposisi <strong>senyawa</strong> volatil yang bertanggung jawab pada <strong>citarasa</strong> mengalami<br />

perubahan akibat pengeringan secara alami terjadi pada beberapa daun tanaman yaitu<br />

peningkatan <strong>senyawa</strong> 1,8-sineol <strong>dan</strong> limonen serta penurunan seskuiterpen pada<br />

spearmint, (Diaz-Maroto et al., 2003), peningkatan eugenol pada bay leaf (Diaz-Maroto<br />

et al., 2002a), peningkatan p-mentha-1,3,8-triena pada parsley (Diaz-Maroto et al.,<br />

2002b) <strong>dan</strong> peningkatan metilkavikol pada sweet basil (Yousif et al., 1999). Perubahan<br />

konsentrasi beberapa <strong>senyawa</strong> volatil pada pengeringan bahan tersebut disajikan pada<br />

Tabel 4.<br />

Hasil penelitian Combrink et al. (2006) pada pengeringan alami tanaman Lippia<br />

scaberrima Sond. selama 4 hari, menunjukkan terjadi peningkatan persentase relatif<br />

<strong>senyawa</strong> utama terpen yaitu limonen <strong>dan</strong> carvon, tetapi terjadi penurunan persentase


elatif humulen <strong>dan</strong> kariofilen. Peningkatan persentase relatif limonen <strong>dan</strong> carvon<br />

disebabkan terjadinya reaksi kimia <strong>dan</strong> enzimatik selama pengeringan sehingga<br />

<strong>senyawa</strong> terpen yang semula terdapat dalam bentuk glikosida dapat dibebaskan.<br />

Penurunan persentase relatif humulen <strong>dan</strong> kariofilen selama pengeringan diakibatkan<br />

terjadinya kerusakan glandular trichomes sehingga <strong>senyawa</strong> tersebut menguap.<br />

Kerusakan glandular trichomes dapat dibuktikan dengan pengamatan menggunakan<br />

Scanning Electron Microscopy (SEM).<br />

Pengaruh pengeringan pada pelepasan atau ketahanan <strong>senyawa</strong> volatil dalam bahan<br />

tergantung pada <strong>senyawa</strong>nya <strong>dan</strong> sifat bahannya (Venskutonis, 1997). Pengeringan<br />

dapat mengakibatkan kehilangan <strong>senyawa</strong> volatil karena a<strong>dan</strong>ya kerusakan dinding sel,<br />

peningkatan kadar <strong>senyawa</strong> akibat pembentukan <strong>senyawa</strong> melalui reaksi oksidasi <strong>dan</strong><br />

hidrolisis bentuk glikosida (Huopalahti et al., 1985 in Diaz-Maroto et al, 2002b).<br />

Tabel 4. Perubahan konsentrasi <strong>senyawa</strong> volatil pada beberapa bahan akibat<br />

pengeringan alami<br />

Bahan<br />

Senyawa<br />

Konsentrasi<br />

(μg/g berat kering)<br />

Segar Kering<br />

Spearmint a) α-pinen 307 407<br />

sabinen 296 364<br />

β-pinen 464 584<br />

β-mirsen 325 361<br />

1,8 sineol + limonen 6488 8319<br />

cis-dihidrokarveol 1733 1561<br />

cis-karveol 115 58<br />

karvon 14399 15324<br />

trans-hidrokarvil asetat 430 525<br />

β-bourbon 303 225<br />

β-kariofilen 543 406<br />

epi- bisikloseskuipelandren 425 296<br />

Bay leaf b) α-pinen 338,2 355,3<br />

sabinen 448,4 478,5<br />

β-pinen 269,2 270,8<br />

1,8 sineol 2515,8 2172,2<br />

linalool 1822,6 1708,3<br />

terpinen-4-ol 173,2 146,9<br />

α-terpineol 308,7 278,6<br />

borneol asetat 124,6 99,6<br />

eugenol 222,5 451,0<br />

terpinil asetat 602,5 318,6<br />

metil eugenol 341,2 322,5<br />

Parsley c) β-phelandren 518 476<br />

α-terpinolen 117 83<br />

miristin 264 191


apiol 810 491<br />

γ-kadiden 39 22<br />

β-bisabolon 5 3<br />

a) Diaz-Maroto et al. (2003); b) Diaz-Maroto et al. (2002a); c) Diaz-Maroto et al.<br />

(2002b)<br />

Hasil penelitian Wijaya (1995) menunjukkan perlakuan pendahuluan pada daun jeruk<br />

purut, yaitu penyimpanan irisan daun jeruk pada temperatur 26 o C selama 2, 4 <strong>dan</strong> 6<br />

jam sebelum diekstrak, tidak memberikan hasil yang lebih baik dibanding bahan<br />

segarnya. Hal ini disebabkan terjadinya penurunan kandungan <strong>senyawa</strong> volatil selama<br />

proses penyimpanan. Guenther (1990) menyatakan bahwa penyimpanan daun Pimenta<br />

racemosa (Mill) selama 3 hari dalam memproduksi minyak bay di Puerto Rico bertujuan<br />

untuk meningkatkan rendemen <strong>dan</strong> mempermudah penanganan daun.<br />

a.4. Curing pada Daun Salam<br />

Penurunan berat. Penurunan berat daun salam selama proses curing terjadi karena<br />

masih berlangsungnya proses metabolisme daun antara lain respirasi <strong>dan</strong> penguapan<br />

air <strong>dan</strong> komponen volatil <strong>dari</strong> dalam daun. Penurunan berat selama 2 <strong>dan</strong> 4 hari curing<br />

berturut-turut sebesar 24,4 <strong>dan</strong> 51,70 %.<br />

Perubahan warna. Hasil pengamatan secara visual menunjukkan bahwa semakin<br />

lama proses curing, intensitas warna hijau daun salam berkurang <strong>dan</strong> intensitas warna<br />

coklat bertambah (Gambar 9). Pengukuran warna secara obyektif yang dinyatakan<br />

sebagai nilai L* = tingkat kecerahan, b* = kecenderungan warna biru – kuning <strong>dan</strong> a* =<br />

kecenderungan warna hijau – merah menunjukkan nilai a* semakin tinggi dengan<br />

makin lamanya proses curing. Hal tersebut berkaitan dengan degradasi klorofil yang<br />

berwarna hijau menjadi pheofitin yang berwarna coklat (Gross, 1991; Lawless and<br />

Heymann, 1998). Salah satu sifat terpenting klorofil adalah kelabilannya. Klorofil sangat<br />

sensitif terhadap cahaya, panas, oksigen <strong>dan</strong> degradasi kimia (Gross, 1991).


(a) (b) (c)<br />

Gambar 9. Warna daun salam hasil perlakuan curing<br />

(a) 0 hari (b) 2 hari (c) 4 hari<br />

Komposisi kimia <strong>dan</strong> ekstrak flavour daun salam hasil curing. Komposisi kimia<br />

daun salam hasil curing dipengaruhi oleh perlakuan curing, menunjukkan penurunan<br />

pada semua variabel (Tabel 5). Penurunan kadar pati <strong>dan</strong> gula reduksi selama curing<br />

berkaitan dengan masih berlangsungnya proses metabolisme yang melibatkan aktivitas<br />

enzim. Enzim diastase mengubah pati menjadi dekstrin, disakarida <strong>dan</strong> akhirnya<br />

monosakarida. Monosakarida selanjutnya dalam proses respirasi dioksidasi menjadi<br />

air, karbon dioksida <strong>dan</strong> energi. Kadar total N menurun selama curing, berkaitan<br />

dengan penurunan aktivitas beberapa enzim oksidatif seperti enzim malat<br />

dehidrogenase, polifenol oksidase, diaphorase, asam glikolat oksidase <strong>dan</strong> glutamat<br />

dehidrogenase. Pada curing tembakau terjadi kehilangan 2/3 kadar total N akibat<br />

penurunan aktivitas enzim tersebut (Abubakar et al, 2003). Secara umum pada<br />

tanaman setelah dipanen terjadi penurunan nyata pada gula terlarut, baik gula reduksi<br />

maupun non reduksi akibat meningkatnya proses respirasi (Phan, 1987). Asam organik<br />

menurun selama pelayuan pada kebanyakan jaringan, terutama akibat oksidasi pada<br />

respirasi (Marten and Baardseth. 1987), sehingga terjadi penurunan total asam <strong>dan</strong><br />

peningkatan nilai pH.<br />

Ekstrak <strong>citarasa</strong> daun salam yang dihasilkan pada proses curing daun salam<br />

menunjukkan komposisi yang berbeda, tetapi secara organoleptik ekstrak hasil curing 2<br />

hari <strong>dan</strong> tanpa curing menunjukkan kesukaan <strong>aroma</strong> yang sama.. Komposisi ekstrak<br />

<strong>citarasa</strong> daun salam hasil curing disajikan pada Tabel 6.


Curing<br />

(hari)<br />

Tabel 5. Komposisi kimia daun salam hasil curing<br />

Kadar<br />

pati<br />

(% bk)<br />

Kadar<br />

gula<br />

reduksi<br />

(% bk)<br />

Kadar<br />

total N<br />

(% bk)<br />

Total<br />

asam<br />

(mek/ml<br />

NaOH)<br />

0 22,98 0,15 2,78 0,26 4,67<br />

2 17,73 0,11 2,47 0,17 4,89<br />

4 12,33 0,06 1,98 0,06 5,28<br />

pH<br />

b. Preparasi Bahan<br />

Preparasi bahan dilakukan untuk mempermudah proses keluarnya minyak atsiri <strong>dari</strong> bahan.<br />

Dalam tanaman, minyak atsiri terdapat dalam kelenjar minyak atau pada bulu-bulu kelenjar<br />

<strong>dan</strong> dalam proses separasi dapat dikeluarkan melalui proses difusi. Proses difusi<br />

berlangsung sangat lambat <strong>dan</strong> dapat dipercepat dengan pengecilan ukuran bahan<br />

sebelum diproses. Pengecil-an ukuran bahan dapat dilakukan dengan beberapa cara<br />

tergantung pada jenis bahan, misalnya pemukulan (biji <strong>dan</strong> buah), penggilingan (buah<br />

Umbelliferous) <strong>dan</strong> perajangan (kayu cedar) (Boelens, 1997; Sastrohamidjojo, 2004).<br />

c. Metode Separasi Minyak Atsiri<br />

Ada beberapa cara separasi minyak atsiri <strong>dan</strong> sangat menentukan jumlah <strong>dan</strong> jenis<br />

<strong>senyawa</strong> yang terkandung dalam minyak atsiri yang dihasilkan. Metode yang biasa<br />

digunakan untuk separasi minyak atsiri antara lain distilasi air, distilasi uap-air <strong>dan</strong> distilasi<br />

uap (Sastrohamidjojo, 2004). Guenter (1987) menyatakan bahwa beberapa metode untuk<br />

memperoleh minyak atsiri adalah distilasi (dengan air, uap), ekstraksi (dengan lemak dingin<br />

= enfleurasi, dengan lemak panas = maserasi <strong>dan</strong> dengan pelarut mudah menguap).<br />

Disamping itu metode yang akhir-akhir ini dikembangkan adalah ekstraksi cairan superkritis<br />

CO 2 (supercritical fluid extraction = SFE). Metode ini memerlukan investasi yang sangat<br />

besar sehingga hanya diterapkan pada bahan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi (Ojha<br />

et al., 1995). Enfleurasi <strong>dan</strong> maserasi jarang dilakukan karena memerlukan waktu lama <strong>dan</strong><br />

hanya cocok untuk tanaman tertentu misalnya bunga yang membentuk minyak setelah<br />

dipetik seperti melati. Selain itu, proses ini sering menghasilkan produk yang masih<br />

mengandung lemak sehingga mudah tengik. Distilasi <strong>dan</strong> ekstraksi dengan pelarut mudah<br />

menguap atau kombinasi keduanya merupakan metode yang paling umum digunakan<br />

(Guenter, 1987). Metode yang banyak digunakan dalam isolasi <strong>senyawa</strong> <strong>citarasa</strong> adalah<br />

distilasi-ekstraksi simultan (simultaneous distillation-extraction) karena mempunyai


kelebihan dalam mengekstrak <strong>senyawa</strong> <strong>citarasa</strong> dibanding metode isolasi yang lain<br />

(Parliament, 1997).<br />

Tabel 6. Komposisi ekstrak <strong>citarasa</strong> daun salam hasil curing*<br />

% Relative Area<br />

No. Senyawa<br />

Lama curing (hari)<br />

0 2 4<br />

1. Sikloheksana 0,53 0,54 2,07<br />

2. Toluena tt 0,48 0,67<br />

3 Cis-3-heksena-1-ol 0,67 tt tt<br />

4. 1,2 dimetil benzena tt 0,90 0,49<br />

5. n-heksanol tt 1,53 0,34<br />

6. 1,3-dimetil benzena tt 0,35 0,32<br />

7. 2,2-dimetil pentanal 0,21 tt tt<br />

8. 4,4-dimetil-1-heksena 0,27 0,20 tt<br />

9. Oktanal 29,60 26,85 32,09<br />

10. Heksil asetat 0,44 0,30 tt<br />

11. α- osimen 32,00 44,09 40,62<br />

12. ß-osimen 1,70 1,59 1,51<br />

13. Dodekana tt 0,20 0,17<br />

14. Nonanal 0,47 0,42 0,37<br />

15. 3,4-dimetil-2,4,6-oktatriena 1,01 1,54 1,44<br />

16. Cis-4-dekenal 5,78 4,04 4,05<br />

17 Dekanal 3,55 2,47 2,72<br />

18. Tridekana tt 0,13 tt<br />

19. Heksil heksanoat 0,53 0,18 tt<br />

20. α-kopaena 3,33 2,12 1,91<br />

21. Aromadendrena 0,27 0,25 0,18<br />

22. α-humulen 4,56 2,82 2,29<br />

23. Allo<strong>aroma</strong>dendrena 0,36 0,22 0,13<br />

24. 1-kloro-heksadekana 0,87 0,59 0,51<br />

25. Tidak teridentifikasi 0,21 tt tt<br />

26. ß-kamigrena 2,67 1,64 1,64<br />

27. ß-selinena 2,22 1,49 1,47<br />

28. α-selinena 2,63 1,54 1,48<br />

29. Germakrena 0,30 0,18 tt<br />

30. Δ-kadidena 0,72 0,41 0,30<br />

31. α-panasinsen 1,42 0,84 0,81<br />

32. Nerolidol 2,36 1,42 1,47<br />

33. 1-nonadekena 0,23 0,26 tt<br />

34. Heksadekana 0,59 0,47 0,45<br />

35. Karyofilena oksida 0,34 0,22 0,36<br />

*Wartini et al. (2010); tt: tidak terdeteksi.<br />

Pemilihan metode separasi yang digunakan untuk memperoleh minyak atsiri menurut Ojha<br />

et al. (1995) didasarkan pada kevolatilan <strong>dan</strong> titik didih <strong>dari</strong> bahan ber<strong>aroma</strong>, stabilitas<br />

<strong>senyawa</strong> pada temperatur tinggi, kepolaran kompo-nen volatil, konsentrasi <strong>dan</strong> distribusi


<strong>senyawa</strong> volatil. Bahan ber<strong>aroma</strong> bersifat volatil <strong>dan</strong> sensitif terhadap panas <strong>dan</strong> reaktif,<br />

oleh karena itu pencegahan harus dilakukan agar tidak terjadi reaksi bahan ber<strong>aroma</strong><br />

selama proses separasi.<br />

Hasil penelitian metode separasi pada bahan baku <strong>citarasa</strong> menunjukkan bahwa komposisi<br />

<strong>dan</strong> karakter ekstrak <strong>citarasa</strong> yang dihasilkan tergantung pada metode separasi <strong>dan</strong> kondisi<br />

proses yang dilakukan, diantaranya pada daun jeruk purut (Wijaya, 1995), daun <strong>dan</strong> bunga<br />

L. angustifolia Miller (Yusufoglu et al., 2004), minyak daun rosemary (Boutekedjiret,<br />

Belabbes, Bentahar, Bessière <strong>dan</strong> Rezzoug, 2004), buah X. purpurascens Lallem (Ozek<br />

et al., 2006a), buah P. turcica (Ozek et al., 2006b).<br />

Wijaya menyatakan bahwa ada perbedaan <strong>aroma</strong> <strong>dan</strong> komposisi <strong>senyawa</strong> volatil pada<br />

ekstrak yang dihasilkan dengan metode separasi distilasi uap, distilasi air, maserasi,<br />

perkolasi <strong>dan</strong> simultan distilasi-ekstraksi. Menurut Yusufoglu et al. (2004) produk yang<br />

dihasilkan <strong>dari</strong> daun <strong>dan</strong> bunga L. angustifolia Miller dengan distilasi uap mempunyai<br />

komposisi kimia, sifat fisik <strong>dan</strong> kimia yang berbeda dengan produk yang dihasilkan dengan<br />

ekstraksi pelarut petroleum eter <strong>dan</strong> hal ini menentukan penggunaan produk tersebut,<br />

apakah sebagai <strong>citarasa</strong> makanan, obat atau kosmetik. Senyawa utama pada ekstrak daun<br />

L. angustifolia Miller dengan metode distilasi uap yaitu 1,8-sineol (49,23%), kamfor (34,67%)<br />

<strong>dan</strong> isoborneol (4,60%) cocok digunakan untuk bahan stimulating <strong>dan</strong> ekspektoran. Metode<br />

ekstraksi pelarut menghasilkan ekstrak dengan <strong>senyawa</strong> utama 2,4-dimetil-7-etil-6,8-<br />

dioksabisiklo[3.2.1]okt-3-ene (48,49%), triakontana (12,45%), dokosana (9,01%),<br />

tetrakosana (4,72%) dapat digunakan sebagai kosmetik <strong>dan</strong> pembersih.<br />

Hasil penelitian Ozek et al. (2006a) menunjukkan bahwa <strong>senyawa</strong> utama minyak buah X.<br />

purpurascens Lallem yang diperoleh <strong>dari</strong> metode hidrodistilasi (HD) <strong>dan</strong> mikrodistilasi (MD)<br />

agak mirip, yaitu sebagian besar terdiri atas monoterpen, seperti α-felandren ( 32% <strong>dan</strong><br />

27%), β-felandren (22,8% <strong>dan</strong> 19,8%), limonen ( 5,3% <strong>dan</strong> 4,5%), p-simen ( 3,7% <strong>dan</strong><br />

2,8%) <strong>dan</strong> α-pinen (3,2% <strong>dan</strong> 2%). Senyawa yang diperoleh <strong>dari</strong> metode microsteam<br />

distillation - solid phase microextraction (MSD-SPME) berbeda dengan metode HD <strong>dan</strong> MD<br />

yaitu terdiri atas γ-elemen ( 5,3%), elemen ( 2,66%), geranil asetat ( 2,76%) <strong>dan</strong> spatulenol<br />

( 1,71%) ditemukan dalam jumlah lebih tinggi. Minyak atsiri hasil separasi dengan metode<br />

HD, MD <strong>dan</strong> MSD-SPME berturut-turut mengekstrak seskuiterpen sebanyak 13, 22 <strong>dan</strong><br />

28%.<br />

Minyak atsiri <strong>dari</strong> buah P. turcica yang diperoleh dengan metode HD mengandung <strong>senyawa</strong><br />

utama α-humulen (11,0%), germakren (10,6%), naftalen (8,5%), terpinolen (7,9%) <strong>dan</strong> bornil


asetat (6,9%). Metode MD menghasilkan minyak atsiri dengan kandungan utama p-simen<br />

(12,7%), terpinolen (11,2%), α-pinen (9,9%), naftalen (7,9%), γ-terpinen (7,3%), α-<br />

SPME, mempunyai <strong>senyawa</strong> dominan yaitu germakren (9,2%), naftalen<br />

asetat (8,2%), α-humulen (7,1%) <strong>dan</strong> γ-elemen (6,7%) (Ozek, 2006b).<br />

(8,7%), bornil<br />

Minyak rosemary d<strong>ii</strong>solasi dengan tiga metode yang berbeda yaitu distilasi uap, distilasi air<br />

<strong>dan</strong> controlled instantaneous decompression. Hasil analisis terhadap minyak yang<br />

dihasilkan menunjukkan bahwa<br />

komposisi minyak yang diperoleh <strong>dari</strong> distilasi uap<br />

mempunyai proporsi monoterpen hidrokarbon (antara lain pinen, kamfen, mirsen) lebih<br />

tinggi se<strong>dan</strong>gkan proporsi monoterpen teroksidasinya (antara lain terpineol, linalool, kamfor,<br />

borneol) lebih rendah dibanding distilasi air. Hal tersebut disebabkan selama proses distilasi<br />

air <strong>senyawa</strong> monoterpen tersebut mengalami perubahan kimia dengan a<strong>dan</strong>ya air, terutama<br />

terjadinya reaksi hidrolisis menghasilkan monoterpen teroksidasi (Boutekedjiret et al., 2004).<br />

Ekstrak <strong>citarasa</strong> daun salam yang dihasilkan <strong>dari</strong> beberapa metode separasi menunjukkan<br />

perbedaan komposisi seperti yang disajikan pada Tabel 7 <strong>dan</strong> Tabel 8 menunjukkan<br />

penggolongan <strong>senyawa</strong> penyusun ekstrak <strong>citarasa</strong> daun salam.<br />

Tabel 7. Senyawa utama ekstrak <strong>citarasa</strong> daun salam yang dihasilkan<br />

<strong>dari</strong> metode distilasi uap, distilasi air, distilasi-ekstraksi simultan*<br />

humulen (7,9%) <strong>dan</strong> germakren (6,2%). Minyak atsiri yang dihasilkan dengan metode MSD-<br />

Persentase relatif (% RA)<br />

No.<br />

Distilasiekstraksi<br />

Senyawa<br />

Distilasi uap Distilasi air<br />

simultan<br />

1 Oktanal 6,97 14,01 11,31<br />

2 Cis-4-dekenal 18,74 24,44 28,43<br />

3 Dekanal 3,14 2,86 6,49<br />

4 cis-3-heksenil<br />

0,66 0,34 1,44<br />

heksanoat<br />

5 Kariofilen 3,16 2,56 5,92<br />

6 α-humulen 2,06 2,34 9,20<br />

7 Nerolidol 4,09 20,27 1,44<br />

8 Sitronelol 4,27 16,65 1,39<br />

9 α-bisabolol 4,63 4,54 2,74<br />

10 Farnesol 16,95 1,89 0,93<br />

11 β-mirsen 1,17 tt Tt<br />

12 β-osimen tt tt 9,04<br />

*Wartini et al. (2008); tt: tidak terdeteksi.<br />

Ekstrak <strong>citarasa</strong> daun salam yang dihasilkan dengan metode distilasi uap, distilasi air <strong>dan</strong><br />

distilasi-ekstraksi simultan sebagian besar terdiri atas <strong>senyawa</strong> alkanal terutama cis-4-dekenal


yaitu <strong>senyawa</strong> yang mempunyai <strong>aroma</strong> jeruk (Weast et al., 1985),<br />

<strong>dan</strong> golongan terpen.<br />

Senyawa penyusun ekstrak <strong>citarasa</strong> daun salam yang dihasilkan <strong>dari</strong> metode distilasi uap,<br />

distilasi air <strong>dan</strong> distilasi-ekstraksi simultan dapat digolongkan menjadi golongan <strong>senyawa</strong> yang<br />

secara umum memberi kontribusi terhadap <strong>citarasa</strong> ekstrak yaitu terpen <strong>dan</strong> non terpen.<br />

Golongan terpen terdiri atas monoterpen hidrokarbon (β-osimen, β-mirsen), monoterpen<br />

teroksidasi (sitronelol, tujil alkohol), seskuiterpen hidrokarbon (isokariofilen, trans-kariofilen, α-<br />

humulen, <strong>aroma</strong>dendren, β-kamigren, α-kopaen, farnesen), seskuiterpen teroksidasi (nerolidol,<br />

Δ-kadinol, β-bisabolol, farnesol). Senyawa non terpen terdiri atas aldehid (oktanal, dekanal, cis-<br />

4-dekenal), ester (cis-3-heksenil heksanoat, 5,10-asam undekadienoat).<br />

Tabel 8. Penggolongan <strong>senyawa</strong> penyusun ekstrak <strong>citarasa</strong> daun salam yang<br />

dihasilkan dengan metode distilasi uap, distilasi air <strong>dan</strong> distilasiekstraksi<br />

simultan*<br />

Golongan <strong>senyawa</strong><br />

Persentase relatif (% RA)<br />

Distilasi uap Distilasi air Simultan<br />

Monoterpen hidrokarbon 1,17 1,14 9,04<br />

Monoterpen teroksidasi 5,44 18,31 1,39<br />

Total monoterpen 6,61 19,45 10,43<br />

Seskuiterpen hidrokarbon 11,55 5,53 19,99<br />

Seskuiterpen teroksidasi 25,19 26,7 5,11<br />

Total seskuiterpen 36,74 32,23 25,1<br />

Aldehid 28,85 41,31 46,23<br />

*Wartini et al. (2008)<br />

Komparasi <strong>senyawa</strong> penyusun ekstrak <strong>citarasa</strong> daun salam. Hasil uji kesukaan<br />

terhadap ekstrak <strong>citarasa</strong> daun salam yang dihasilkan dengan metode distilasi uap, distilasi<br />

air <strong>dan</strong> distilasi-ekstraksi simultan ditentukan oleh <strong>senyawa</strong> yang menyusun ekstrak<br />

tersebut.<br />

Persentase relatif <strong>senyawa</strong> penyusun ekstrak <strong>citarasa</strong> daun salam <strong>dan</strong> sifat<br />

organoleptik ekstrak <strong>citarasa</strong> daun salam yang dihasilkan <strong>dari</strong> beberapa metode separasi<br />

disajikan pada Gambar 10 <strong>dan</strong> 11.<br />

Ekstrak <strong>citarasa</strong> dengan tingkat kesukaan paling tinggi ditunjukkan dengan kandungan<br />

monoterpen hidrokarbon <strong>dan</strong> aldehid yang tinggi (Gambar 10), se<strong>dan</strong>gkan <strong>senyawa</strong><br />

seskuiterpen hidrokarbon <strong>dan</strong> monoterpen teroksidasi tidak banyak mempengaruhi<br />

kesukaan. Tingkat kesukaan panelis terhadap ekstrak <strong>citarasa</strong> daun salam hasil distilasiekstraksi<br />

simultan paling tinggi dibanding ekstrak <strong>citarasa</strong> yang dihasilkan <strong>dari</strong> metode<br />

separasi yang lain karena a<strong>dan</strong>ya β-osimen dalam ekstrak <strong>citarasa</strong> tersebut (Gambar 11).<br />

Senyawa β-osimen termasuk monoterpen, banyak ditemukan pada sweet basil oil,<br />

mempunyai <strong>aroma</strong> seperti jeruk, lemon, nanas <strong>dan</strong> sering digunakan sebagai <strong>citarasa</strong> <strong>dan</strong>


golongan <strong>senyawa</strong> penyusun / sifat<br />

organoleptik<br />

50<br />

45<br />

40<br />

35<br />

30<br />

25<br />

20<br />

15<br />

10<br />

5<br />

0<br />

Distilasi uap Disilasi air Simultan<br />

Metode separasi<br />

Monoterpen hidrokarbon (%RA)<br />

Seskuiterpen hidrokarbon (%RA)<br />

Aldehid (% RA)<br />

Kesukaan <strong>aroma</strong><br />

Monoterpen teroksidasi (%RA)<br />

Seskuiterpen hidrokarbon (%RA)<br />

Gambar 10. Persentase relatif golongan <strong>senyawa</strong> penyusun ekstrak<br />

<strong>citarasa</strong> daun salam <strong>dan</strong> sifat organoleptik ekstrak <strong>citarasa</strong> daun<br />

salam yang dihasilkan <strong>dari</strong> beberapa metode separasi<br />

<strong>senyawa</strong> penyusun / sifat organoleptik<br />

30<br />

25<br />

20<br />

15<br />

10<br />

5<br />

0<br />

Distilasi uap Disilasi air Simultan<br />

Metode separasi<br />

Oktanal (%RA) cis-4-dekenal (%RA) Dekanal (%RA)<br />

cis-3-heksenil heksanoat (%RA) Kariofilen (%RA) α-humulen (%RA)<br />

Nerolidol (%RA) Sitronelol (%RA) α-bisabolol (%RA)<br />

Farnesol (%RA) β-mirsen (%RA) β-osimen (%RA)<br />

Kesukaan <strong>aroma</strong><br />

Gambar 11. Persentase relatif <strong>senyawa</strong> penyusun ekstrak <strong>citarasa</strong> daun salam<br />

<strong>dan</strong> tingkat kesukaan ekstrak <strong>citarasa</strong> daun salam yang dihasilkan<br />

<strong>dari</strong> beberapa metode separasi


parfum. Senyawa osimen sering ditemukan sebagai campuran bentuk α-osimen <strong>dan</strong> β-<br />

osimen, bersifat tidak larut dalam air, larut dalam alkohol (Lewis, 1992; Weast <strong>dan</strong> Lide,<br />

1989). Disamping itu persentase relatif cis-4-dekenal yang tinggi juga meningkatkan<br />

kesukaan panelis.<br />

d. Distilasi<br />

Distilasi dapat didefinisikan sebagai metode separasi yang didasarkan pada perbedaan<br />

komposisi antara campuran cairan <strong>dan</strong> uap yang terbentuk. Perbedaan komposisi<br />

menyebabkan perbedaan tekanan uap efektif atau volatilitas <strong>senyawa</strong> dalam cairan<br />

(Sastrohamidjojo, 2004; Fair, 1987). Guenther (1987) <strong>dan</strong> Ojha (1995) menyatakan distilasi<br />

adalah pemisahan <strong>senyawa</strong>-<strong>senyawa</strong> suatu campuran <strong>dari</strong> dua jenis cairan atau lebih<br />

berdasarkan perbedaan tekanan uap <strong>dari</strong> masing-masing zat tersebut. Distilasi dapat<br />

dilakukan jika titik didih <strong>senyawa</strong>-<strong>senyawa</strong> dalam campuran memiliki perbedaan yang<br />

berarti (Sattler <strong>dan</strong> Feindt, 1995). Titik didih adalah temperatur pada saat cairan berubah<br />

menjadi uap pada tekanan atmosfer atau temperatur pada saat tekanan uap <strong>dari</strong> cairan<br />

tersebut sama dengan tekanan gas atau uap yang berada di sekitarnya.<br />

Dua macam distilasi yang dikenal dalam industri minyak atsiri yaitu distilasi dengan uap <strong>dan</strong><br />

distilasi dengan air. Selama proses distilasi kemungkinan terjadi dekomposisi <strong>senyawa</strong> linalil<br />

asetat seperti yang terjadi pada distilasi daun lavender (Reverchon <strong>dan</strong> Porta, 1995).<br />

Distilasi uap <strong>dan</strong> distilasi air sampai saat ini masih merupakan proses yang paling penting<br />

untuk mendapatkan minyak atsiri <strong>dari</strong> tanaman (Sonwa, 2000).<br />

Pada dasarnya ada dua sistem distilasi (Sastrohamidjojo, 2004; Guenther, 1987) yaitu:<br />

1. Distilasi suatu campuran yang berwujud cairan yang tidak saling mencampur, sehingga<br />

membentuk dua fasa atau dua lapisan. Keadaan ini terjadi pada pemisahan minyak<br />

atsiri <strong>dan</strong> air. Distilasi dengan uap air sering disebut hidrodistilasi, dilakukan dengan<br />

memanaskan bahan tanaman penghasil minyak atsiri dengan air atau uap air.<br />

2. Distilasi suatu cairan yang tercampur sempurna sehingga hanya membentuk satu fasa.<br />

Pada keadaan ini pemisahan minyak atsiri menjadi beberapa <strong>senyawa</strong>nya disebut<br />

fraksinasi, bertujuan untuk memurnikan <strong>dan</strong> memisahkan fraksi-fraksi minyak atsiri<br />

tanpa menggunakan uap air.


e. Distilasi pada minyak atsiri<br />

Sistem campuran air <strong>dan</strong> minyak atsiri membentuk cairan dua fasa. Pada temperatur<br />

tertentu molekul-molekul cairan tersebut mempunyai energi tertentu <strong>dan</strong> bergerak bebas<br />

secara tetap dengan kecepatan tertentu. Bila temperatur molekul naik dengan cara<br />

dipanaskan maka tenaga gerak molekul akan bertambah. Molekul-molekul selama bergerak<br />

akan saling bertumbukan. Di lapisan permukaan molekul-molekul memiliki tendensi<br />

bergerak meninggalkan permukaan cairan masuk ke ruang di atas cairan (molekul cairan<br />

berubah menjadi molekul uap). Molekul-molekul dalam keadaan uap memiliki tenaga gerak<br />

lebih besar dibandingkan dalam keadaan cair. Molekul-molekul uap selama bergerak juga<br />

saling bertumbukan <strong>dan</strong> kemungkinan arah geraknya menuju kembali ke permukaan cairan.<br />

Pada suatu saat banyaknya molekul yang lepas <strong>dari</strong> permukaan menjadi uap <strong>dan</strong> kembali<br />

ke fasa cairnya akan sama jumlahnya (disebut pengembunan) sehingga tercapai<br />

keseimbangan dinamik. Tekanan yang dihasilkan oleh uap pada distilasi minyak atsiri,<br />

merupakan hasil <strong>dari</strong> benturan secara terus menerus antara molekul uap yang bergerak<br />

cepat pada dinding pembatas uap tersebut. Besarnya tekanan yang terjadi sama dengan<br />

jumlah tekanan yang ditimbulkan oleh satu molekul dikalikan dengan jumlah molekul yang<br />

membentur dinding persatuan luas dalam satuan waktu tertentu <strong>dan</strong> tergantung pada<br />

konsentrasi molekul atau konsentrasi uapnya. Pada distilasi minyak atsiri dengan dengan<br />

sistem uap air atau air mendidih (hydrodistillation), tekanan dalam ruang uap akan tetap<br />

konstan, karena uap berhubungan dengan atmosfer atau ditentukan oleh alat kontrol yang<br />

dapat menaikkan <strong>dan</strong> menurunkan tekanan. Jika minyak atsiri yang tidak larut dalam air<br />

dimasukkan dalam alat distilasi bersama-sama dengan air maka tekanan dalam ruang uap<br />

lebih besar <strong>dari</strong> 1 atmosfer. Karena ruang uap berhubungan dengan udara luar (atmosfer),<br />

maka tekanan akan turun kembali mencapai tekanan atmosfer. Keadaan ini dapat<br />

berlangsung jika temperatur turun secara otomatis. Jika temperatur cairan diturunkan,<br />

kecenderungan molekul cairan menjadi fase uap juga menurun, sehingga konsentrasi<br />

molekul uap juga berkurang, akibatnya tekanan uap juga turun. Temperatur akan turun<br />

sampai pada keadaan tekanan total yang disebabkan oleh uap campuran sama dengan<br />

tekanan pada saat operasi (tekanan atmosfer). Dengan demikian titik didih <strong>dari</strong> setiap cairan<br />

dua fase akan selalu lebih rendah <strong>dari</strong> titik didih masing-masing cairan murni pada tekanan<br />

yang sama. Salah satu contoh adalah air <strong>dan</strong> benzena masing-masing mempunyai titik didih<br />

100 0 C <strong>dan</strong> 80 0 C, merupakan dua macam cairan yang tidak saling mencampur. Jika<br />

campuran kedua cairan tersebut dididihkan pada tekanan atmosfer, uap akan dihasilkan<br />

secara konstan pada temperatur 69 0 C selama kedua cairan tersebut masih ada dalam


campuran. Jika salah satu <strong>dari</strong> kedua cairan tersebut habis menguap maka temperatur akan<br />

naik mencapai titik didih <strong>senyawa</strong> yang masih ada. Keadaan ini berlaku untuk semua<br />

<strong>senyawa</strong> yang mudah menguap, dengan syarat <strong>senyawa</strong> tersebut tidak larut atau sedikit<br />

larut dalam air <strong>dan</strong> tidak bereaksi dengan air.<br />

Uap pada cairan dua fase terdiri <strong>dari</strong> dua macam molekul <strong>dan</strong> berada dalam<br />

kesetimbangan. Jumlah tekanan uap campuran sama dengan jumlah tekanan <strong>dari</strong> masingmasing<br />

molekul uap. Tekanan yang dihasilkan oleh uap murni pada temperatur yang sama<br />

merupakan tekanan uap <strong>dari</strong> <strong>senyawa</strong> murni, se<strong>dan</strong>g jumlah tekanan uap <strong>dari</strong> campuran<br />

cairan sama dengan jumlah tekanan uap parsial. Tekanan uap parsial adalah tekanan uap<br />

<strong>dari</strong> masing-masing <strong>senyawa</strong> dalam campuran uap. Untuk setiap sistem cairan dua fase,<br />

tekanan uap parsial sama dengan tekanan uap masing-masing <strong>senyawa</strong>.<br />

Komposisi uap yang terbentuk <strong>dari</strong> dua macam campuran cairan, tergantung pada tekanan<br />

uap parsial <strong>dari</strong> <strong>senyawa</strong> murni. Kalau <strong>senyawa</strong> A mempunyai tekanan uap tinggi<br />

se<strong>dan</strong>gkan B rendah, maka campuran uap sebagian besar akan terdiri <strong>dari</strong> <strong>senyawa</strong> A.<br />

Perbandingan berat <strong>senyawa</strong> A <strong>dan</strong> B merupakan perbandingan antara tekanan uap A <strong>dan</strong><br />

B dikalikan dengan perbandingan berat molekul A <strong>dan</strong> B. Peristiwa mendidih terjadi hanya<br />

jika jumlah tekanan parsial yang dihasilkan oleh <strong>senyawa</strong>, sama dengan tekanan dalam<br />

ruang uap, oleh karena itu cairan heterogen (dua fase) akan mendidih atau menguap pada<br />

suatu temperatur pada jumlah tekanan uap sama, dibawah titik didih <strong>dari</strong> <strong>senyawa</strong> bertitik<br />

didih paling rendah.<br />

Distilasi bahan tanaman memiliki hubungan erat dengan proses difusi, terutama dengan<br />

peristiwa osmosis. Pertukaran uap dalam jaringan tanaman segar didasarkan pada sifat<br />

permeabilitasnya dalam keadaan segar. Von Rechenberg dalam Guenther (1987)<br />

menggambarkan proses hidrodifusi pada distilasi bahan tanaman sebagai berikut : pada<br />

temperatur air mendidih, sebagian minyak atsiri larut dalam air yang terdapat dalam<br />

kelenjar. Campuran air <strong>dan</strong> minyak atsiri berdifusi keluar dengan peristiwa osmosis, melalui<br />

selaput membran sampai ke permukaan bahan selanjutnya menguap. Untuk mengganti<br />

minyak yang menguap tersebut, sejumlah minyak masuk ke dalam larutan <strong>dan</strong> menembus<br />

membran sel bersamaan dengan masuknya air. Proses tersebut berlangsung terus sampai<br />

seluruh zat menguap didifusikan <strong>dari</strong> dalam kelenjar minyak <strong>dan</strong> diuapkan bersama uap air<br />

panas. Kecepatan menguapnya minyak atsiri dalam proses hidrodistilasi bahan tidak<br />

dipengaruhi oleh sifat mudah menguapnya <strong>senyawa</strong> dalam minyak, tetapi lebih banyak<br />

ditentukan oleh derajat kelarutannya dalam air.


e.1. Distilasi air<br />

Pada distilasi air bahan kontak langsung dengan air mendidih. Bahan tersebut<br />

mengapung di atas air atau terendam secara sempurna tergantung <strong>dari</strong> bobot jenis <strong>dan</strong><br />

jumlah bahan yang disuling. Air dipanaskan dengan metode pemanasan yang biasa<br />

dilakukan yaitu dengan panas langsung, mantel pemanas, pipa uap melingkar tertutup<br />

atau dengan pipa uap berlingkar terbuka (Guenter, 1987). Distilasi air paling banyak<br />

digunakan untuk mengisolasi minyak <strong>dari</strong> bunga (mawar, melati). Berat air yang<br />

digunakan sama dengan berat bahan yang didistilasi <strong>dan</strong> minyak yang diperoleh<br />

kurang <strong>dari</strong> 0,1% (Boelens, 1997).<br />

Dalam proses distilasi, bahan tanaman <strong>dan</strong> air diletakkan bersama-sama selanjutnya<br />

campuran tersebut dipanaskan. Campuran uap <strong>dari</strong> air <strong>dan</strong> minyak atsiri kemudian<br />

dikondensasikan. Pada proses distilasi air akan diperoleh <strong>senyawa</strong> yang larut dalam air<br />

<strong>dan</strong> bertitik didih rendah, proses difusi uap air ke dalam bahan berlangsung dengan<br />

baik, tetapi memiliki kelemahan yaitu terjadinya hidrolisis <strong>dan</strong> dekomposisi <strong>senyawa</strong><br />

hasil distilasi serta <strong>senyawa</strong>-<strong>senyawa</strong> bertitik didih tinggi tidak terekstrak <strong>dan</strong> efisiensi<br />

proses rendah. Proses distilasi ini biasanya kontinyu dalam waktu dua sampai tiga jam<br />

(Sonwa, 2000).<br />

Distilasi air (hydrodisllation) paling banyak digunakan untuk mengisolasi minyak <strong>dari</strong><br />

bunga (mawar, melati). Berat air yang digunakan sama dengan berat bahan yang<br />

didistilasi <strong>dan</strong> minyak yang diperoleh kurang <strong>dari</strong> 0,1% (Boelens, 1997).<br />

Skema proses distilasi dengan air disajikan pada Gambar 12. Dalam proses ini bahan<br />

tanaman <strong>dan</strong> air diletakkan bersama-sama di dalam bejana A, selanjutnya campuran<br />

tersebut dipanaskan. Campuran uap <strong>dari</strong> air <strong>dan</strong> minyak atsiri dikondensasikan dalam<br />

trap B <strong>dan</strong> dilewatkan pada lapisan hexana yang melarutkan minyak, se<strong>dan</strong>gkan air<br />

kondensasi kembali ke bejana A. Pada proses distilasi air akan diperoleh <strong>senyawa</strong><br />

yang larut dalam air <strong>dan</strong> bertitik didih rendah, proses difusi uap air ke dalam bahan<br />

berlangsung dengan baik, tetapi memiliki kelemahan yaitu terjadinya hidrolisis <strong>dan</strong><br />

dekomposisi <strong>senyawa</strong> hasil distilasi serta <strong>senyawa</strong>-<strong>senyawa</strong> bertitik didih tinggi tidak<br />

terekstrak <strong>dan</strong> efisiensi proses rendah. Proses distilasi ini biasanya kontinyu dalam<br />

waktu dua sampai tiga jam (Sonwa, 2000).


Gambar 12. Skema proses distilasi dengan air (Sonwa, 2000)<br />

e.2. Distilasi uap<br />

Distilasi uap merupakan proses untuk memisahkan <strong>dan</strong> memurnikan <strong>senyawa</strong>-<strong>senyawa</strong><br />

organik yang mudah menguap. Pada prinsipnya proses tersebut menguapkan<br />

substansi dengan melewatkan uap melalui campuran <strong>senyawa</strong> <strong>dan</strong> air. Distilasi uap<br />

terjadi pada temperatur dibawah titik didih air, bahkan pada beberapa kasus jauh<br />

dibawah titik didih <strong>senyawa</strong> organik. Hal ini memberikan kemungkinan untuk melakukan<br />

pemurnian <strong>senyawa</strong> bertitik didih tinggi dengan distilasi temperatur rendah terutama<br />

untuk <strong>senyawa</strong> yang mengalami dekomposisi apabila didistilasi pada tekanan atmosfer.<br />

Hal ini juga penting dalam pemisahan <strong>senyawa</strong> organik yang d<strong>ii</strong>nginkan (Furniss et al.,<br />

1978). Distilasi uap mempunyai kelebihan yaitu efisiensi proses lebih tinggi, temperatur<br />

proses terkontrol di bawah atau sama dengan uap sehingga hidrolisis <strong>dan</strong> dekomposisi<br />

<strong>senyawa</strong> lebih terkendali.<br />

Proses distilasi dengan uap, menggunakan bejana penyulingan yang d<strong>ii</strong>si bahan<br />

tanaman. Uap mengalir melalui bagian bawah tanaman <strong>dan</strong> minyak menguap bersama<br />

air. Campuran uap air <strong>dan</strong> minyak yang bergerak ke koil kemudian didinginkan dengan<br />

air pendingin sehingga uap dikondensasikan. Campuran air kondensasi <strong>dan</strong> minyak<br />

atsiri dikumpulkan <strong>dan</strong> <strong>dan</strong> dipisahkan dengan dekantasi <strong>dan</strong> ka<strong>dan</strong>g-ka<strong>dan</strong>g dengan<br />

sentrifugasi atau jika perlu minyak dibebaskan <strong>dari</strong> air dengan penambahan sodium<br />

sulfat anhidrat. Hal ini untuk mencegah hidrolisis ester <strong>dan</strong> <strong>senyawa</strong> lainnya di dalam<br />

minyak, menjaga <strong>aroma</strong> <strong>dan</strong> sifat-sifatnya (Sonwa, 2000).


Skema proses distilasi dengan uap disajikan pada Gambar 13. Proses penyulingan<br />

dengan uap terdiri <strong>dari</strong> bejana penyulingan yang mengandung bahan tanaman. Uap<br />

mengalir melalui bagian bawah tanaman <strong>dan</strong> minyak menguap. Campuran uap air <strong>dan</strong><br />

minyak yang bergerak ke coil selalu didinginkan dengan air mengalir sehingga uap<br />

dikondensasikan. Campuran air kondensasi <strong>dan</strong> minyak atsiri dikumpulkan <strong>dan</strong> <strong>dan</strong><br />

dipisahkan dengan dekantasi <strong>dan</strong> ka<strong>dan</strong>g-ka<strong>dan</strong>g dengan sentrifugasi. Jika perlu<br />

minyak dibebaskan <strong>dari</strong> air yang terlarut <strong>dan</strong> tersuspensi dengan penambahan sodium<br />

sulfat anhidrat. Hal ini untuk mencegah hidrolisis ester <strong>dan</strong> komponen lainnya di dalam<br />

minyak, menjaga <strong>aroma</strong> <strong>dan</strong> sifat-sifatnya (Sonwa, 2000).<br />

Gambar 13. Skema penyulingan dengan uap (Sonwa, 2000).<br />

e.3. Ekstraksi pelarut<br />

Ekstraksi merupakan pemisahan <strong>senyawa</strong> tertentu <strong>dari</strong> campuran menggunakan<br />

pelarut. Berbeda dengan proses separasi yang lain, ekstraksi menghasilkan <strong>senyawa</strong><br />

tidak murni, karena setelah proses tersebut <strong>senyawa</strong> yang d<strong>ii</strong>nginkan masih tercampur<br />

dengan pelarut, beberapa jenis lilin, albumin <strong>dan</strong> zat warna, sehingga diperlukan<br />

proses pemisahan <strong>dan</strong> pemurnian <strong>senyawa</strong> misalnya rektifikasi. Ekstraksi sering<br />

dilakukan pada industri <strong>citarasa</strong>, dapat dalam bentuk padat-cair atau cair-cair. Selama<br />

isolasi <strong>senyawa</strong> ber<strong>aroma</strong>, bahan alami diperlakukan dengan pelarut yang sesuai untuk<br />

mendapatkan <strong>citarasa</strong> yang d<strong>ii</strong>nginkan dalam jumlah optimal (Furniss et al., 1978; Ojha<br />

et al., 1995). Selanjutnya dinyatakan bahwa ekstraksi secara umum dapat digolongkan<br />

menjadi dua yaitu ekstraksi cair-cair <strong>dan</strong> ekstraksi padat-cair. Pada ekstraksi cair-cair,


<strong>senyawa</strong> yang dipisahkan terdapat dalam campuran yang berupa cairan, se<strong>dan</strong>gkan<br />

ekstraksi padat-cair adalah suatu metode pemisahan <strong>senyawa</strong> <strong>dari</strong> campurannya yang<br />

berupa padatan. Semakin banyak pengulangan dalam ekstraksi, maka semakin besar<br />

jumlah <strong>senyawa</strong> yang terekstrak <strong>dari</strong> campurannya atau efektivitas ekstraksi semakin<br />

tinggi, mengikuti persamaan berikut (Vogel, 1978):<br />

D x V<br />

Xn = Xo ( ) n<br />

D x V x v<br />

Keterangan: Xn = berat zat terlarut yang diperoleh (g)<br />

Xo = berat zat terlarut yang diekstrak (g)<br />

D = perbandingan distribusi kedua fase<br />

V = volume larutan (mL)<br />

v = volume pelarut (mL)<br />

Cara ekstraksi <strong>senyawa</strong> padat-cair dengan prosedur klasik adalah menggunakan<br />

ekstraksi kontinyu dengan alat ekstraktor Soxhlet menggunakan pelarut yang berbedabeda,<br />

misalnya eter, petroleum eter <strong>dan</strong> kloroform. Cara kerja dengan ekstraksi pelarut<br />

menguap cukup sederhana yaitu bahan dimasukkan ke dalam ketel ekstraktor. Pelarut<br />

akan berpenetrasi ke dalam bahan <strong>dan</strong> melarutkan minyak beserta beberapa jenis lilin,<br />

albumin, <strong>dan</strong> zat warna (Guenther, 1987). Ekstrak yang diperoleh disaring dengan<br />

penyaringan vakum, lalu dipekatkan dengan rotary evaporator vakum yang akan<br />

memekatkan larutan tanpa terjadi percikan pada temperatur antara 30 sampai 40 o C.<br />

Saat ini, monoterpen <strong>dan</strong> seskuiterpen d<strong>ii</strong>solasi <strong>dari</strong> jaringan tanaman dengan ekstraksi<br />

memakai eter, eter minyak bumi atau aseton (Harborne, 1987).<br />

Cara lain yang dapat dilakukan adalah maserasi, yaitu menggunakan lemak panas,<br />

dengan temperatur mencapai 80 o C <strong>dan</strong> jaringan tanaman yang dimaserasi dicelupkan<br />

ke dalamnya. Penggunaan lemak panas dapat digantikan dengan pelarut organik yang<br />

volatil. Penekanan utama metode ini adalah tersedianya waktu kontak yang cukup<br />

antara pelarut dengan jaringan yang diekstrasi (Guenther, 1987).<br />

Cara kerja ekstraksi dengan pelarut mudah menguap cukup sederhana yaitu bahan<br />

dimasukkan ke dalam ekstraktor. Pelarut akan berpenetrasi ke dalam bahan <strong>dan</strong><br />

melarutkan minyak beserta beberapa jenis lilin, albumin <strong>dan</strong> zat warna. Larutan<br />

selanjutnya dipekatkan <strong>dan</strong> pelarut diuapkan (Guenther, 1987). Minyak yang dihasilkan<br />

<strong>dari</strong> ekstraksi dengan pelarut mudah menguap biasanya berwarna gelap karena


mengandung pigmen alamiah yang tidak dapat menguap, tetapi proses ini mempunyai<br />

keunggulan yaitu untuk bahan-bahan tertentu mempunyai bau yang mirip dengan bau<br />

tanaman aslinya.<br />

Ekstraksi dengan pelarut dapat dilakukan secara batch atau kontinyu. Proses batch<br />

cenderung kurang efisien dibanding proses kontinyu. Contoh proses ekstraksi kontinyu<br />

pada bahan padat adalah dengan ekstraktor Soxhlet se<strong>dan</strong>gkan proses batch adalah<br />

maserasi yaitu merendam bahan dalam pelarut selama waktu tertentu (Furniss et al.,<br />

1980). Untuk meningkatkan efisiensi proses ekstraksi digunakan panas, contoh di<br />

laboratorium adalah ekstraksi dengan Soxhlet (Ojha et al., 1995).<br />

Pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi harus memenuhi kriteria sebagai<br />

berikut: melarutkan semua zat pemberi <strong>citarasa</strong>, titik didih cukup rendah sehingga<br />

mudah diuapkan, tidak larut dalam air <strong>dan</strong> bersifat inert. Pelarut yang memiliki sifat<br />

paling mendekati kriteria di atas adalah petroleum eter, dengan titik didih 30-70 o C, sifat<br />

stabil, mudah menguap, selektif dalam melarutkan zat. Petroleum eter terdiri <strong>dari</strong><br />

beberapa fraksi hidrokarbon seperti pentana, heptana, heksana <strong>dan</strong> sebagainya<br />

(Furniss et al., 1980).<br />

Produk yang dihasilkan <strong>dari</strong> proses ekstraksi dengan pelarut, mengandung zat<br />

pewangi alamiah, sejumlah kecil lililin, albumin, pigmen <strong>dan</strong> dikenal dengan nama<br />

concrete. Concrete mempunyai konsistensi padat <strong>dan</strong> hanya sebagian yang larut dalam<br />

alkohol. Concrete dapat diproses lebih lanjut menjadi absolute, dengan cara<br />

memisahkan fraksi lilin yang tidak larut dalam alkohol, kemudian dilakukan penyaringan<br />

<strong>dan</strong> penguapan alkohol. Absolute mempunyai kenampakan lebih jernih dibanding<br />

concrete (Guenther, 1987). Yusufoglu et al. (2004), mengekstrak daun <strong>dan</strong> bunga<br />

tanaman L. angustifolia Miller menggunakan petroleum eter pada temperatur 40-60 o C<br />

selama 2 jam dalam ekstraktor Soxhlet. Concrete yang dihasilkan berupa padatan<br />

berwarna hijau gelap untuk bunga <strong>dan</strong> kuning gelap untuk daun. Selanjutnya concrete<br />

direflux dengan alkohol absolut selama 2 jam, didiamkan selama 2 hari <strong>dan</strong> disaring.<br />

Filtrat dievaporasi <strong>dan</strong> dihasilkan absolut yang berupa cairan kental berwarna hijau jika<br />

dihasilkan <strong>dari</strong> bunga <strong>dan</strong> kuning <strong>dari</strong> daun. Skema proses ekstraksi dengan pelarut<br />

disajikan pada Gambar 14.


Gambar 14. Skema proses ekstraksi dengan pelarut (Anon., 2004d)<br />

e.4. Distilasi-ekstraksi simultan<br />

Salah satu teknik yang populer untuk mengisolasi <strong>senyawa</strong> <strong>citarasa</strong> adalah distilasiekstraksi<br />

simultan yang pertama kali diperkenalkan oleh Likens - Nickerson.<br />

Keuntungan <strong>dari</strong> teknik tersebut adalah proses pemisahan <strong>senyawa</strong> volatil <strong>dan</strong><br />

mengkonsentrasikannya dilakukan dalam satu operasi, volume pelarut yang diperlukan<br />

sedikit, <strong>senyawa</strong> yang diambil lebih banyak <strong>dan</strong> sistem bisa dilakukan pada tekanan<br />

yang dikurangi (Parliament, 1997). Skema proses distilasi-ekstraksi simultan disajikan<br />

pada Gambar 15.<br />

Prinsip proses distilasi-ekstraksi simultan adalah sebagai berikut: sampel dipanaskan<br />

dalam labu distilasi bersama-sama dengan air, demikian juga pelarut mudah menguap<br />

d<strong>ii</strong>panaskan dalam labu pelarut. Uap yang dihasilkan <strong>dari</strong> sampel diekstrak dengan uap<br />

pelarut di dalam kondensor <strong>dan</strong> membentuk dua lapisan. Lapisan atas yaitu fraksi<br />

pelarut yang mengandung <strong>senyawa</strong> <strong>citarasa</strong> selanjutnya mengalir ke labu pelarut


se<strong>dan</strong>gkan lapisan bawah yaitu fraksi air kembali ke labu sampel. Pelarut yang<br />

mengandung <strong>senyawa</strong> <strong>citarasa</strong> kemudian dihilangkan pelarutnya (Barcarolo et al.,<br />

1996). Metode distilasi-ekstraksi simultan banyak digunakan untuk mengekstrak<br />

<strong>senyawa</strong> <strong>citarasa</strong> (<strong>senyawa</strong> volatil) karena memberikan hasil yang lebih baik dibanding<br />

metode yang lain (Choi, 2004; Diaz-Maroto, 2002; Pino and Marbut, 2001).<br />

Gambar 15. Skema proses distilasi-ekstraksi simultan (Barcarolo et al., 1996)<br />

Daftar Pustaka<br />

Abdullah, A. <strong>dan</strong> Soedarmanto. 1986. Budidaya Tembakau. C.V. Yasaguna, Jakarta. h. 115 –<br />

117.<br />

AFFI. 2007a. Apa itu <strong>citarasa</strong> <strong>dan</strong> fragran.<br />

http://www.affi.or.id/related2_id.php?PHPSESSID=afcca2821a296753ad92baf0b3f241da.<br />

21 Pebruari 2007.<br />

AFFI. 2007b. Produk Industri Citarasa <strong>dan</strong> Fragran.<br />

http://www.affi.or.id/related2_id.php?PHPSESSID=afcca2821a296753ad92baf0b3f241da.<br />

21 Pebruari 2007.<br />

Barcaloro, R., C. Tutta and P. Casson. 1996. Aroma Compounds in Handbook of Food Analysis<br />

Vol.1. L.M.L.Nollet (Ed.). Marcell Dekker, Inc., New York, Basel. p. 1021 -1022.


Baser, K.H.C. 1999. Essential oil extraction from natural product by conventional methods.<br />

TBAM-ICS/UNIDO Training Course on Quality Improvement of Essential oil. 15 – 19<br />

November 1999. Eskisehir, Turkey.<br />

Boelens, M.H. 1997. Production, Chemistry and Sensory Properties of Natural Isolates in<br />

Flavours and Fragrances. K.A.D. Swift. The Royal Society of Chemistry. p. 77 - 79.<br />

Boutekedjiret, C., R Belabbes, F. Bentahar, J-M Bessière, S. A. Rezzoug. 2004. Isolation of<br />

rosemary oils by different processes.<br />

Journal of Essential Oil Research : JEOR. 16 . (3) : 195 -199.<br />

Cheetham, P.S.J. 2002. Plant-derived Natural Sources of Flavours in Food Citarasa<br />

Technology. A.J. Taylor (Ed.). Sheffield Academic Press. CRC Press. U.S.A. and Canada.<br />

p. 118.<br />

Combrink. S, A.A. Bosman, B.M. Botha, Wilma du Plooy, R.I. McCrindle and E. Retief. 2006.<br />

Effect of post-harvest drying on the essential oil and glandular trichomes of Lippia<br />

scaberrima Sond. Journal of Essential Oil Research : JEOR. Vol. 18 (special edition): 80 -<br />

84.<br />

Diaz-Maroto, M.C., M.S. Perez-Coello and M.D. Cabezudo. 2002a. Effect of drying method on<br />

the volatil in bay leaf (Laurus nobilis L.). J.Agric. Food Chem. 50: 4520 - 4524.<br />

Diaz-Maroto, M.C., M.S. Perez-Coello and M.D. Cabezudo. 2002b. Effect of different drying<br />

methods on the volatil components of parsley (Petroselinum crispum L.). Eur Food Res<br />

Technol. 215 : 227 - 230.<br />

Diaz-Maroto, M.C., M.S. Perez-Coello, M.A.G. Vinaz and M.D. Cabezudo. 2003. Influence of<br />

drying on the flavour quality of spearmint (Mentha spicata L.) J.Agric. Food Chem. 51:<br />

1265 - 1269.<br />

Dignum, M.J.W., J. Kerler and R. Verpoorte. 2003. Vanilla curing under laboratory conditions.<br />

Food Chem. 79: 165-171.<br />

Fair, J.R., 1987. Distillation in Hand Book of Separation Process Technology. R.W.Rousseau<br />

(Ed.), John Wiley & Sons, New York. p. 1010.<br />

Furniss, B.S., A.J. Hannaford, V. Rogers, P.W.G. Smith and A.R. Tatchell. 1980. Vogels<br />

Textbook of Practical Organik Chemistry (Fourth Ed.) The English Language Book Society<br />

and Longman. p. 100 -136.<br />

Gross, J. 1991. Pigments in Vegetables. An Avi Book, Van Nostrand Reinhold, New York. p. 3 -<br />

13<br />

Guenther, E. 1987. The Essential Oils. Penerjemah S. Ketaren. Minyak Atsiri (Jilid I). UI-Press,<br />

Jakarta. h. 20 - 33, 99 - 129.<br />

Kesselmeier J. and M. Staudt. 1999. Biogenic volatil organik compounds (VOC): An overview<br />

on emission, physiology and ecology. Journal of Atmospheric Chemistry. 33:23–88,<br />

http://www.naha.org/articles/biogenesis%20of%20essential%20oils.html. 23 Juni 2006.<br />

Lawless and Heymann. 1998. Sensory Evaluation of Food. Champman and Hall, New York. p.<br />

430.<br />

Luckner, M. 1984. Secondary Metabolism in Microorganisms, Plants, and Animals (2 nd Ed).<br />

Springer-Verlag Berlin, Heidenberg, New York,Tokyo. p. 64, 150 - 156.<br />

Man, C.M and A.A. Jones. 1995. Shelf Life Evaluation of Food. Champman and Hall. New York.


Marten,M. and P. Baardseth. 1987. Sensory Quality in Postharvest Physiology of Vegetables. J.<br />

Weichmann (Ed.) Marcel Dekker Inc., New York and Basel. p. 427 - 454.<br />

Ojha, N.D., H.K. Singh and P. Traci. 1995. Separation Processes in Citarasa Manufacturing in<br />

Bioseparation Processes in Food. R.K. Singh and S.S.H.Rizvi (Ed.). Ift Basic Symposium<br />

Series, New York, Basel Hongkong. p. 417 - 426.<br />

Ozek G., Ozek, T., K. H. C. Baser, A. Duran, M. Sagiroglu. 2006a. Comparison of essential oil<br />

of Xanthogalum purpurascens Lallem obtained via different isolation techniques. Journal<br />

of Essential Oil Research : JEOR. Vol. 18 (2): 181 - 184.<br />

Ozek, G., T Ozek, K. H. C. Baser, A. Duran, M. Sagiroglu and H. Duman. 2006b. Comparison<br />

of the essential oils of Prangos turcica fruits obtained by different iIsolation.Techniques.<br />

Journal of Essential Oil Research : JEOR. 2006. 18 (5) : 511 - 514.<br />

Parliament, T.H. 1997. Solvent Extraction and Distillation Techniques in Techniques for<br />

Analyzing Food Aroma. R. Marsili (Ed.). Marcel Dekker, Inc., New York, Basel. p. 13 - 17.<br />

Peerzada, N. 1997. Chemical composition of the essential oil of Hyptis suaveolens. Molecules<br />

(2): 165 - 168<br />

Perdigon, M.I. 2006. Curing and Fermentation of Tobacco Leaves.<br />

http://www.guerrillero.co.cu/sitiotabaco/curacion/generalidades_a_inglesh.html. 25 Mei<br />

2006.<br />

Pino, J.A. and R. Marbut. 2001. Volatil <strong>citarasa</strong> constituents of Acerola (Mapighia emarginata<br />

DC.). J.Agric. Food Chem. (49): 5880 - 5882.<br />

Ranadive, A.S., 1994. Vanilla Cultivation, Curing, Chemistry, Technology and Commercial<br />

Products in Spices, Herbs, and Edible Fungi. Elsivier Science Inc., Netherlands. p. 532 -<br />

533.<br />

Reverchon, E and G.D. Porta, 1995. Supercritical CO 2 extraction and fractionation of lavender<br />

essential oil and waxes. J. Agric. Food Chem. 43 : 1654 - 1658.<br />

Sastrohamidjojo. 2004. Kimia Minyak Atsiri, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. h. 7 -<br />

12.<br />

Sattler, K. and H.J. Feindt. 1995. Thermal Separation Processes, Principles and Design. VCH,<br />

Weinheim, New York, Base, Cabridge, Tokyo.<br />

Setiawan, A. <strong>dan</strong> Y. Trisnawati. 1993, Pembudidayaan, Pengolahan <strong>dan</strong> Pemasaran<br />

Tembakau. Penebar Swadaya, Jakarta.<br />

Simon, J.E. 1990. Essential oil and Culinary herbs in Advances in New Crops. J. Janick and<br />

J.E. Simon (Ed.). Timber Press, Portland, OR. http://www.tropical<br />

seeds.com/techforum/veg herbs/ess.Oils cull herbs. 4 Maret 2004.<br />

Sonwa, M.M. 2000. Isolation and structure elucidation of essential oil constituents<br />

(comparativenstudy of the oils of Cyperus alopecuroides, Cyperus papyrus, and Cyperus<br />

rotundus). Dissertation, Departement of Organik Chemistry, Fakulty of Chemistry,<br />

University of Hamburg, Hamburg. Diakses 30 Maret 2004.<br />

Von Elbe J. H. and S. J. Schwartz. 1996. Colorants in Food Chemistry (Third Ed.). O.R.<br />

Fennema. Marcel Dekker, Inc. New York, Basel, Hongkong, p. 651 - 722.<br />

Wartini, N.M., Hariyono, T. Susanta, R. Retnowati <strong>dan</strong> Yunianta. 2007. Pengaruh proses curing<br />

terhadap komposisi daun salam (Eugenia polyantha Wight.), profil komponen <strong>dan</strong> tingkat


kesukaan ekstrak <strong>citarasa</strong> hasil distilasi- ekstraksi simultan.. Jurnal Teknologi Pertanian 8<br />

(1) : 10 - 18<br />

Wartini, N.M., Hariyono, T. Susanta, Yunianta <strong>dan</strong> R. Retnowati. 2008. Tingkat kesukaan <strong>dan</strong><br />

<strong>senyawa</strong> penyusun ekstrak <strong>citarasa</strong> daun salam (Eugenia polyantha Wight.) <strong>dari</strong><br />

beberapa metode separasi. Agrotekno 14 (2) : 56 - 60.<br />

Wartini, N.M., P.T. Ina <strong>dan</strong> G.P. Ganda Putra. 2010. Perbedaan kandungan <strong>senyawa</strong> volatil<br />

daun salam (Eugenia polyantha Wight.) pada beberapa proses curing. AGRITECH 30 (4)<br />

: 238-243.<br />

Weast, R. C. and D. R. Lide. 1989. CRC Handbook of Chemistry and Physics. CRC Press. Inc,<br />

Boca Raton. Florida. p. 130.<br />

Wijaya, H. 1995. Oriental natural <strong>citarasa</strong>: liquid and spary dried of “jeruk purut” (Citrus hystrix<br />

DC) leaves in Food Citarasa : Generation, Analysis and Process Influence. G.<br />

Charalambous (Ed.) p. .Elsevier, Amsterdam, New York, Tokyo.<br />

Wright, J. 2002. Creating and Formulating Citarasas in Food Citarasa Technology. A.J. Taylor<br />

(Ed.). Sheffield Academic Press, CRC Press, U.S.A. and Canada. p. 1 - 26.<br />

Yousif, A.N., C.H. Scaman, T.D. Durance and B. Girard. 1999. Citarasa volatils and physical of<br />

vacuum-microwave and air-dried sweet basil (Ocimum basilicum L.). J.Agric. Food Chem.<br />

47: 4777 - 4781.<br />

Yusufoglu, A., H. Celik and F.G. Kirbaslar. Utilization of Lavandula angustifolia Miller extract as<br />

natural repellents, pharmaceutical and industrial auxiliaries. J.Serb. Chem. Soc .69 (1): 1 -<br />

7.<br />

Zelith, J. and M. Zucker. 1958. Changes in oxidative enzyme activity during the curing of<br />

connecticut shade tobacco. Plant Physio. March : 33 (2): 151 -155.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!