04.04.2014 Views

Dokumen_Buku_Informasi_Perubahan_Iklim_dan_Kualitas_Udara

Dokumen_Buku_Informasi_Perubahan_Iklim_dan_Kualitas_Udara

Dokumen_Buku_Informasi_Perubahan_Iklim_dan_Kualitas_Udara

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 0


I. PENDAHULUAN<br />

Hingga saat ini terjadinya perubahan iklim beserta dampaknya sudah mulai<br />

dirasakan dimana-mana hampir di seluruh dibelahan dunia ini, termasuk juga yang<br />

terjadi di Indonesia. Laporan ilmiah tentang perubahan iklim telah dirilis oleh<br />

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada awal Februari 2007 yang<br />

lalu berupa laporan tentang hasil pengamatan <strong>dan</strong> proyeksi dampak perubahan iklim<br />

di dunia dalam berbagai skenario. Seperti kita ketahui <strong>Iklim</strong> adalah rata-rata <strong>dan</strong><br />

variasi dari unsur keadaan atmosfer atau cuaca seperti curah hujan, temperatur,<br />

tekanan, kelembaban, penguapan, angin, penyinaran matahari selama periode<br />

tertentu yang berkisar dalam hitungan bulan, tahun, decade, abad bahkan hingga<br />

jutaan tahun.<br />

Dengan bertambahnya umur bumi, diiringi laju pertumbuhan penduduk yang<br />

semakin tidak terkendali <strong>dan</strong> berkembang pesatnya industri telah mengubah secara<br />

perlahan-lahan kondisi bumi <strong>dan</strong> akan merubah komposisi atmosfer yang<br />

menyelimutinya. Kondisi ini akan menjadikan cuaca dari waktu ke waktu menjadi<br />

berubah, <strong>dan</strong> iklimpun perlahan lahan menjadi berubah pula. Dampak dari<br />

perubahan iklim mulai dirasakan..<br />

<strong>Iklim</strong> yang ada di bumi sangat dipengaruhi oleh kesetimbangan panas yang terjadi<br />

di bumi itu sendiri. Aliran panas yang selama ini berada dalam sistem iklim di bumi<br />

adalah bekerja karena a<strong>dan</strong>ya proses radiasi <strong>dan</strong> sumber utama radiasinya adalah<br />

matahari. Dari seluruh jumlah radiasi matahari yang menuju ke permukaan bumi,<br />

sepertiganya dipantulkan kembali ke ruang angkasa oleh atmosfer <strong>dan</strong> permukaan<br />

bumi (lihat Gambar 1).<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 1


Gambar 1. Kesetimbangan radiasi matahari di bumi<br />

Pemantulan radiasi oleh atmosfer terjadi karena a<strong>dan</strong>ya awan <strong>dan</strong> partikel yang<br />

disebut aerosol. Keberadaan salju, es <strong>dan</strong> gurun juga memainkan peranan penting<br />

dalam memantulkan kembali radiasi matahari yang sampai di permukaan bumi.<br />

Dua pertiga radiasi yang tidak dipantulkan, besarnya energi sekitar 240 Watt/m 2 ,<br />

diserap oleh permukaan bumi <strong>dan</strong> atmosfer. Agar menjaga kesetimbangan panas,<br />

bumi memancarkan kembali panas yang diserap tersebut dalam bentuk radiasi<br />

gelombang pendek. Sebagian radiasi gelombang pendek yang dipancarkan oleh<br />

bumi diserap oleh gas-gas tertentu di dalam atmosfer yang dikenal sebagai gas<br />

rumah kaca. Selanjutnya gas rumah kaca meradiasikan kembali panas tersebut<br />

kembali ke bumi. Mekanisme ini dikenal sebagai efek rumah kaca. Efek rumah kaca<br />

inilah yang menyebabkan suhu bumi relatif hangat dengan rata-rata 14 o C, tanpa<br />

efek rumah kaca suhu bumi hanya sekitar -19 o C.<br />

Sebagian kecil panas yang ada di bumi, yang disebut panas laten, kondisi ini<br />

digunakan untuk menguapkan air. Panas laten ini dilepaskan kembali ketika uap air<br />

terkondensasi di awan (lihat Gambar 1). Gas rumah kaca yang paling dominan<br />

adalah uap air (H2O), kemudian disusul oleh karbondioksida (CO2). Gas rumah<br />

kaca yang lain adalah methana (CH4), dinitro-oksida (N2O), ozone (O3) <strong>dan</strong> gasgas<br />

lain dalam jumlah yang lebih kecil.Dengan demikian pengertian dari Pemanasan<br />

global pada dasarnya adalah peningkatan suhu rata-rata atmosfer di dekat<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 2


permukaan bumi <strong>dan</strong> laut selama beberapa dekade terakhir <strong>dan</strong> proyeksi untuk<br />

beberapa waktu yang akan datang.<br />

Sementara itu hasil pengamatan selama 157 tahun terakhir menunjukkan bahwa<br />

suhu permukaan bumi global mengalami peningkatan sebesar 0,05 oC/dekade. Dan<br />

selama 25 tahun terakhir peningkatan suhu semakin tajam, yaitu sebesar 0,18<br />

oC/dekade (lihat Gambar 2). Gejala pemanasan juga terlihat dampaknya dengan<br />

a<strong>dan</strong>ya peningkatan suhu laut, naiknya permukaan laut, pencairan es <strong>dan</strong><br />

berkurangnya salju di belahan kutub utara.<br />

Gambar 2: Kenaikan suhu rata-rata bumi sejak abad 19<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 3


II.<br />

ANALISIS PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA<br />

Analisis perubahan iklim memuat informasi berbagai perubahan yang terjadi pada<br />

beberapa parameter iklim seperti suhu <strong>dan</strong> curah hujan. Analisis perubahan iklim<br />

memberikan informasi berupa tabel, grafik <strong>dan</strong> pemetaan tentang kecenderungan<br />

(tren) temperatur <strong>dan</strong> curah hujan, <strong>dan</strong> analisis peta kerentanan di beberapa stasiun<br />

pengamatan meteorologi / klimatologi di wilayah Indonesia. Untuk edisi <strong>Buku</strong><br />

<strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> tahun 2012 ini dikhususkan pada<br />

wilayah Pulau Jawa.<br />

Secara umum perubahan iklim yang terjadi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh<br />

aktivitas manusia <strong>dan</strong> beberapa unsur alami. Aktifitas manusia menghasilkan empat<br />

macam gas rumah kaca yang utama yaitu : Karbondioksida (CO 2 ), Metana (CH 4 ),<br />

Dinitrogen Oksida (N 2 O), <strong>dan</strong> Halocarbon (kelompok gas yang mengadung Flour,<br />

Chlor, <strong>dan</strong> Brom). Gas-gas ini terakumulasi di atmosfer sehingga konsentrasinya<br />

semakin meningkat dengan berjalannya waktu. Peningkatan yang signifikan pada<br />

semua gas-gas ini terjadi pada era industri.<br />

2.1 METODOLOGI ANALISA<br />

2.1.1 Pengumpulan Data <strong>dan</strong> Metode Analisis<br />

Pengumpulan data <strong>dan</strong> metode analisis terkait dengan analisis perubahan iklim<br />

dilakukan di beberapa stasiun klimatologi, meteorologi <strong>dan</strong> geofisika milik BMKG<br />

serta menggunakan standar internasional sesuai dengan prosedur dari World<br />

Meteorological Organization (WMO). Di dalam penerbitan kali ini, telah dipilih<br />

beberapa stasiun pengamatan klimatologi, meteorologi <strong>dan</strong> geofisika di wilayah<br />

Indonesia seperti yang terlihat pada Tabel 1 <strong>dan</strong> metode analisis seperti yang<br />

terlihat pada Tabel 2.<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 4


Tabel 1. Stasiun Klimatologi , Meteorologi <strong>dan</strong> Geofisika dalam Mendukung Analisis<br />

<strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong>.<br />

No<br />

Nama Stasiun<br />

1. Stasiun Geofisika Cemara – Bandung (Jawa Barat)<br />

2. Stasiun Klimatologi Karang Ploso – Malang (Jawa Timur)<br />

3. Stasiun Meteorologi Citeko –Bogor (Jawa Barat)<br />

4. Stasiun Klimatologi Semarang (Jawa Tengah)<br />

5. Stasiun Klimatologi Pondok Betung – Tangerang (Banten)<br />

6. Stasiun Klimatologi Dramaga – Bogor (Jawa Barat)<br />

7. Stasiun Geofisika Tangerang (Banten)<br />

8. Stasiun Geofisika Yogyakarta ( DI Yogyakarta)<br />

Tabel 2. Metode Analisis<br />

No Parameter Metode Analisis<br />

1. Temperatur Analisis Kecenderungan (Tren) berdasarkan<br />

time series data suhu udara rata-rata,<br />

maksimum <strong>dan</strong> minimum serta maksimum<br />

<strong>dan</strong> minimum absolut tahunan<br />

2. Curah Hujan Analisis tren awal musim <strong>dan</strong> panjang<br />

musim berdasarkan time series data <strong>dan</strong><br />

tren jumlah curah hujan 6 (enam) bulanan<br />

dari bulan Oktober – Maret <strong>dan</strong> April -<br />

September<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 5


2.2 STASIUN GEOFISIKA BANDUNG<br />

1. Tren Panjang Musim Hujan<br />

Gambar 3. Tren panjang musim hujan di Stasiun Geofisika Bandung<br />

Dari data tahun 1999 sampai 2011, panjang musim hujan (PMH) di Stasiun<br />

Geofisika Bandung menunjukkan tren peningkatan dari tahun ke tahun dengan<br />

peningkatan sebesar 0.4 dasarian atau sekitar 4 hari per musim hujan. Artinya<br />

musim hujan semakin panjang dari tahun ke tahun. Musim hujan terpanjang terjadi<br />

pada musim hujan 2009/2010 yang mencapai 29 dasarian, <strong>dan</strong> terpendek pada<br />

musim hujan 2006/2007 yang hanya 16 dasarian.<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 6


2. Tren Awal Musim Hujan<br />

Gambar 4. Tren awal musim hujan di Stasiun Geofisika Bandung<br />

Dari data tahun 1999 sampai 2011, awal musim hujan (AMH) di Stasiun Geofisika<br />

Bandung menunjukkan tren penurunan dari tahun ke tahun yang berarti musim<br />

hujan maju namun trennya sangat kecil 0.05 dasarian. Musim hujan paling maju<br />

terjadi pada musim hujan 2010/2011 yang musim hujan dimulai pada dasarian ke-1<br />

<strong>dan</strong> musim hujan paling mundur pada musim hujan 2006/2007 yang musim<br />

hujannya baru dimulai pada dasarian ke 9.<br />

3. Tren Panjang Musim Kemarau<br />

Gambar 5. Tren panjang musim kemarau di Stasiun Geofisika Bandung<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 7


Dari data tahun 1999 sampai 2011, panjang musim kemarau (PMK) di Stasiun<br />

Geofisika Bandung menunjukkan tren penurunan dari tahun ke tahun dengan<br />

penurunan sebesar 0.4 dasarian atau sekitar 4 hari per musim kemarau. Hal ini<br />

menunujukkan bahwa musim kemarau memendek dari tahun ke tahun. Musim<br />

kemarau terpendek terjadi pada musim kemarau 2010/2011 yang hanya selama 4<br />

dasarian dasarian, <strong>dan</strong> terpanjang pada musim kemarau 2006/2007 yang mencapai<br />

20 dasarian.<br />

4. Tren Awal Musim Kemarau<br />

Gambar 6. Tren awal musim kemarau di Stasiun Geofisika Bandung<br />

Dari data tahun 1999 sampai 2011, awal musim kemarau (AMK) di Stasiun Geofisika<br />

Bandung menunjukkan tren peningkatan dari tahun ke tahun yang berarti musim<br />

kemarau mengalami kemunduran dengan tren 0.3 dasarian (atau 3 hari). Musim<br />

kemarau paling mundur terjadi pada musim hujan 2010/2011 yang musim kemarau<br />

dimulai pada dasarian ke-10 <strong>dan</strong> musim kemarau paling cepat pada musim hujan<br />

2001/2002 yang musim hujannya baru dimulai pada dasarian ke-1.<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 8


5. Tren suhu rata-rata tahunan<br />

Gambar 7. Tren suhu rata-rata tahunan di Stasiun Geofisika Bandung<br />

Dari data tahun 1952-2011, suhu rata-rata tahunan di Stasiun Geofisika Bandung<br />

menunjukkan tren peningkatan sebesar 0.012ºC per tahun. Suhu rata-rata tertinggi<br />

tercatat pada tahun 1998 sebesar 24.3 ºC <strong>dan</strong> suhu rata-rata terendah terjadi pada<br />

tahun 1974 sebesar 21.4 ºC.<br />

6. Tren Suhu Maximum Absolut Tahunan<br />

Gambar 8. Tren suhu maksimum absolute tahunan di Stasiun Geofisika Bandung<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 9


Dari data tahun 1971-2011, suhu maksimum absolut tahunan di Stasiun Geofisika<br />

Bandung menunjukkan tren peningkatan sebesar 0.025ºC per tahun. Suhu<br />

maksimum absolut tertinggi tercatat pada tahun 1972 sebesar 29.4 ºC <strong>dan</strong> suhu<br />

maksimum absolute terendah terjadi pada tahun 1974 sebesar 27.3 ºC.<br />

7. Tren Suhu Minimum Absolut Tahunan<br />

Gambar 9. Tren suhu minimum absolut tahunan di Stasiun Geofisika Bandung<br />

Dari data tahun 1971-2011, suhu minimum absolut tahunan di Stasiun Geofisika<br />

Bandung menunjukkan tren peningkatan sebesar 0.033ºC per tahun. Suhu<br />

minimum absolut tertinggi tercatat pada tahun 2010 sebesar 20.0 ºC <strong>dan</strong> suhu<br />

minimum absolut terendah terjadi pada tahun 1992 sebesar 17.0 ºC.<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 10


8. Jumlah Curah Hujan Bulanan<br />

Gambar 10. Tren curah hujan 6 bulanan (April – September) di Stasiun Geofisika<br />

Bandung<br />

Tren curah hujan musim kemarau (April-September) di Stasiun Geofisika Bandung<br />

menunjukkan tren penurunan sebesar 0.037 mm per musim. Artinya curah hujan<br />

yang turun selama musim kemarau mengalami penurunan. Curah hujan musim<br />

kemarau tertinggi terjadi pada tahun 1988 mencapai 250 mm.<br />

Gambar 11. Tren curah hujan 6 bulanan (Oktober – Maret) di Stasiun Geofisika<br />

Bandung<br />

Tren curah hujan musim hujan (Oktober-Maret) di Stasiun Geofisika Bandung<br />

menunjukkan tren peningkatan sebesar 3.676 mm per musim. Artinya curah hujan<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 11


yang turun selama musim hujan mengalami peningkatan. Curah hujan musim hujan<br />

tertinggi terjadi pada tahun 2010 mencapai hampir 2500 mm.<br />

9. Data Kejadian Ekstrim Persepuluh Tahunan Stasiun Geofisika Bandung<br />

Gambar 12. Tren suhu maksimum tertinggi persepuluh tahunan di Stasiun Geofisika<br />

Bandung<br />

Tren suhu maksimum paling tinggi persepuluh tahunan terhitung semenjak tahun<br />

1980 hingga 2010 mengalami peningkatan sebesar 0.95 °C. Hal ini menunjukkan<br />

terjadi peningkatan suhu ekstrim pada siang hari yang menjadi semakin panas<br />

hingga mencapai 35°C pada dekade 2001-2010.<br />

Gambar 13. Tren suhu minimum terendah persepuluh tahun di Stasiun Geofisika<br />

Bandung<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 12


Tren suhu minimum terendah di stasiun Geofisika Bandung mengalami peningkatan<br />

sebesar 0.7 °C dengan nilai tertinggi pada dekade 1991-2000 mencapai 13 °C. Hal<br />

ini menunjukkan suhu udara semakin panas <strong>dan</strong> kering.<br />

2.3 STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG<br />

1. Tren Panjang Musim Hujan<br />

Gambar 14. Tren Panjang musim hujan di Stasiun Klimatologi Semarang<br />

Dari data tahun 1968 sampai 2010, panjang musim hujan (PMH) di Stasiun<br />

Klimatologi Semarang menunjukkan tren penurunan dari tahun ke tahun dengan<br />

peningkatan sebesar 0.03 dasarian Artinya ada tren musim hujan semakin pendek<br />

dari tahun ke tahun. Musim hujan terpanjang terjadi pada musim hujan 1973 yang<br />

mencapai 30 dasarian, <strong>dan</strong> terpendek pada musim hujan 1992 yang hanya 11<br />

dasarian.<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 13


2. Tren Awal Musim Hujan<br />

Gambar 15. Tren awal musim hujan di Stasiun Klimatologi Semarang<br />

Dari data tahun 1968 sampai 2010, awal musim hujan (AMH) di Stasiun Klimatologi<br />

Semarang menunjukkan tren peningkatan dari tahun ke tahun yang berarti musim<br />

hujan mundur namun trennya sangat kecil 0.064 dasarian. Musim hujan paling maju<br />

terjadi pada musim hujan 1992 yang musim hujan dimulai pada dasarian ke-1 <strong>dan</strong><br />

musim hujan paling mundur pada musim hujan 2009 yang musim hujan baru dimulai<br />

pada dasarian ke 36.<br />

3. Tren Panjang Musim Kemarau<br />

Gambar 16. Tren panjang musim kemarau di Stasiun Klimatologi Semarang<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 14


Dari data tahun 1968 sampai 2011, panjang musim kemarau (PMK) di Stasiun<br />

Klimatologi Semarang menunjukkan tren peningkatan dari tahun ke tahun dengan<br />

tren sebesar 0.026 dasarian. Hal ini menunujukkan bahwa ada tren memanjangnya<br />

musim kemarau. Musim kemarau terpendek terjadi pada musim kemarau 1973<br />

yang hanya selama 3 dasarian <strong>dan</strong> terpanjang pada musim kemarau 1993 yang<br />

mencapai 28 dasarian.<br />

4. Tren Awal Musim Kemarau<br />

Gambar 17. Tren awal musim kemarau di Stasiun Klimatologi Semarang<br />

Dari data tahun 1969 sampai 2011, awal musim kemarau (AMK) di Stasiun<br />

Klimatologi Semarang menunjukkan tren penurunan dari tahun ke tahun yang berarti<br />

musim kemarau maju dengan tren yang relative kecil 0.052 dasarian. Musim<br />

kemarau paling maju terjadi pada musim kemarau 1990 yang musim kemarau<br />

dimulai pada dasarian ke-8 <strong>dan</strong> musim kemarau paling lambat pada musim hujan<br />

1973 yang musim hujannya baru dimulai pada dasarian ke-21.<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 15


5. Tren Suhu Rata-rata Tahunan<br />

Gambar 18. Tren suhu rata-rata tahunan di Stasiun Klimatologi Semarang<br />

Data dari tahun 1978 sampai 2010, tren suhu rata-rata tahunan di Stasiun<br />

Klimatologi Semarang menunjukkan tren peningkatan suhu sebesar 0.01 ºC<br />

pertahun. Suhu rata-rata tertinggi pada kurun waktu tersebut terjadi pada tahun<br />

1998 yaitu 28.3ºC <strong>dan</strong> suhu rata-rata terendah terjadi pada tahun 1984 sebesar 27.1<br />

ºC.<br />

6. Tren Suhu Maksimum Absolut Tahunan<br />

Gambar 19. Tren suhu maksimum absolute tahunan di Stasiun Klimatologi<br />

Semarang<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 16


Dari data dari tahun 1978 sampai 2010, suhu maksimum absolut menunjukkan tren<br />

penurunan sebesar 0.024 ºC/ tahun. Dalam kurung waktu tersebut suhu maksimum<br />

tertinggi tercatat pada tahun 1987 sebesar 35.2ºC <strong>dan</strong> terendah sebesar 33.5ºC<br />

pada tahun 2000.<br />

7. Tren Suhu Minimum Absolut Tahunan<br />

Gambar 20. Tren suhu minimum absolute tahunan di Stasiun Klimatologi Semarang<br />

Dari data tahun 1978 sampai 2010, suhu minimum absolut menunjukkan tren<br />

peningkatan sebesar 0.051 ºC/ tahun. Dalam kurung waktu tersebut suhu minimum<br />

tertinggi tercatat pada tahun 1998 sebesar 23.0ºC <strong>dan</strong> terendah sebesar 18.5ºC<br />

pada tahun 1983.<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 17


8. Tren Jumlah Curah Hujan Enam Bulanan<br />

Gambar 21. Tren curah hujan 6 bulanan (Oktober – Maret) di Stasiun Klimatologi<br />

Semarang<br />

Tren curah hujan musim hujan (Oktober-Maret) di Stasiun Klimatologi Semarang<br />

menunjukkan tren peningkatan sebesar 3.15 mm. Artinya curah hujan yang turun<br />

selama musim hujan mengalami peningkatan sebesar 3.15 mm per tahun. Curah<br />

hujan musim hujan tertinggi terjadi pada tahun 1984 mencapai 2500 mm. Curah<br />

hujan musim hujan terendah terjadi pada tahun 1968 yang hanya 800 mm.<br />

Gambar 22. Tren curah hujan 6 bulanan (April – September) di Stasiun Klimatologi<br />

Semarang<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 18


Tren curah hujan musim kemarau (April-September) di Stasiun Klimatologi<br />

Semarang menunjukkan tren penurunan sebesar 2.67 mm. Artinya curah hujan yang<br />

turun selama musim kemarau mengalami penurunan sebesar 2.67 mm per tahun.<br />

Curah hujan musim kemarau tertinggi terjadi pada tahun 1973 mencapai 1300 mm<br />

<strong>dan</strong> terendah pada tahun 1976 sebesar 250 mm.<br />

2.4 STASIUN METEOROLOGI CITEKO<br />

1. Tren Suhu Rata-rata Tahunan<br />

Gambar 23. Tren suhu rata-rata tahunan di stasiun Meteorologi Citeko<br />

Dari data tahun 1985-2010, suhu rata-rata tahunan di Stasiun Meteorologi Citeko<br />

menunjukkan tren penurunan sebesar 0.002ºC per tahun. Suhu rata-rata tertinggi<br />

tercatat pada tahun 1987 sebesar 22.3 ºC <strong>dan</strong> suhu rata-rata terendah terjadi pada<br />

tahun 1993 sebesar 20.2 ºC.<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 19


2. Tren Suhu Maksimum Absolut Tahunan<br />

Gambar 24. Tren suhu maksimum absolute tahunan di Stasiun Meteorologi Citeko<br />

Dari data tahun 1985-2010, suhu maksimum absolut tahunan di Stasiun Meteorologi<br />

Citeko menunjukkan tren peningkatan sebesar 0.039ºC per tahun. Suhu maksimum<br />

absolut tertinggi tercatat pada tahun 2006 sebesar 28.5 ºC <strong>dan</strong> suhu maksimum<br />

absolut terendah terjadi pada tahun 1985 sebesar 27.0 ºC.<br />

3. Tren Suhu Minimum Absolut Tahunan<br />

Gambar 25. Tren suhu minimum absolute tahunan di Stasiun Meteorologi Citeko<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 20


Dari data tahun 1985-2010, suhu minimum absolut tahunan di Stasiun Meteorologi<br />

Citeko menunjukkan tren peningkatan sebesar 0.038ºC per tahun. Suhu minimum<br />

absolut tertinggi tercatat pada tahun 2009 sebesar 18.5 ºC <strong>dan</strong> suhu minimum<br />

absolut terendah terjadi pada tahun 2002 sebesar 15.0 ºC.<br />

4. Jumlah Curah Hujan Enam Bulanan<br />

Gambar 26. Tren curah hujan 6 bulanan (April – September) di Stasiun Meteorologi<br />

Citeko<br />

Tren curah hujan musim kemarau (April-September) di Stasiun Meteorologi Citeko<br />

menunjukkan tren penurunan sebesar 3.66 mm. Artinya curah hujan yang turun<br />

selama musim kemarau mengalami penurunan sebesar 3.66 mm per tahun. Curah<br />

hujan musim kemarau tertinggi terjadi pada tahun 2010 mencapai 1420 mm <strong>dan</strong><br />

terendah pada tahun 1987 sebesar 500 mm.<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 21


Gambar 27. Tren curah hujan 6 bulanan (Oktober – Maret) di Stasiun Meteorologi<br />

Citeko<br />

Tren curah hujan musim hujan (Oktober-Maret) di Stasiun Meteorologi Citeko<br />

menunjukkan tren peningkatan sebesar 16.49 mm. Artinya curah hujan yang turun<br />

selama musim hujan mengalami peningkatan sebesar 16.49 mm per tahun. Curah<br />

hujan musim hujan tertinggi terjadi pada tahun 1996 mencapai 3000 mm. Curah<br />

hujan musim hujan terendah terjadi pada tahun 1985 yang hanya 1000 mm.<br />

2.5 STASIUN KLIMATOLOGI KARANGPLOSO<br />

1. Tren Panjang Musim Hujan<br />

Gambar 28. Tren Panjang musim hujan di Stasiun Klimatologi Karangploso<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 22


Pada grafik Panjang Musim Hujan di Stasiun Klimatologi Karangploso - Malang,<br />

terjadi peningkatan panjang musim dari tahun 1990 sampai tahun 2010 dengan<br />

besar peningkatan setiap tahunnya sebesar 0.1571 mm. Jika tidak ada tren, panjang<br />

musim hujan di Karangploso rata-rata 14.5 dasarian (145 hari).<br />

2. Tren Awal Musim Hujan<br />

Gambar 29. Tren awal musim hujan di Stasiun Klimatologi Karangploso<br />

Pada grafik awal musim hujan di Karangploso dengan periode tahun yang sama,<br />

kecenderungannya menurun tiap tahunnya sekitar 0.0836 mm. Jika tidak ada tren,<br />

awal musim hujan terdapat pada sekitar dasarian ke 31 <strong>dan</strong> ke 32 atau minggu I <strong>dan</strong><br />

minggu ke II bulan November.<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 23


3. Tren Panjang Musim Kemarau<br />

Gambar 30. Tren Panjang musim kemarau di Stasiun Klimatologi Karangploso<br />

Grafik Panjang Musim Kemarau menunjukkan terdapat kecenderungan menurun<br />

panjang musim kemaraunya dari tahun yang sama, dengan nilai tren laju<br />

penurunannya sebesar 0.0883 atau jika tidak terjadi tren, panjang musim kemarau di<br />

Stasiun Klimatologi Karangploso rata-rata 20.9 dasarian (209 hari).<br />

4. Tren Awal Musim Kemarau<br />

Gambar 31. Tren awal musim kemarau di Stasiun Klimatologi Karangploso<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 24


Grafik awal musim kemarau di Karangploso bias dikatakan tidak terjadi tren<br />

(kecenderungan), dengan awal musim kemarau di sekitar dasarian ke 11 atau<br />

minggu ke III bulan April.<br />

5. Tren Suhu Rata-rata Tahunan<br />

Pada identifikasi perubahan suhu dengan lokasi Stasiun Klimatologi Karangploso,<br />

data yang digunakan dari tahun 1990 sampai tahun 2010, dari data harian diolah<br />

menjadi data bulanan.<br />

Gambar 32. Grafik Tren Suhu Rata-rata Tahunan di Stasiun Klimatologi<br />

Karangploso<br />

<strong>Perubahan</strong> suhu rata-rata tahunan terjadi di stasiun Karangploso dengan nilai tren<br />

0.03 derajat Celcius, jika tidak terdapat tren, nilai suhu rata-rata tahunannya sekitar<br />

22.96 derajat Celcius.<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 25


6. Tren Suhu Maksimum Absolut<br />

Gambar 33. Grafik Tren Suhu Absolut Maksimum di Stasiun Klimatologi<br />

Karangploso<br />

Grafik tren suhu absolut maksimum stasiun Karangploso tidak terdapat peningkatan<br />

ataupun penurunan di setiap tahunnya, nilai suhu absolut maksimumnya rata-rata<br />

sekitar 29.93 derajat Celcius.<br />

7. Tren Suhu Minimum Absolut<br />

Gambar 34. Grafik Tren Suhu Absolut Minimum di Stasiun Klimatologi Karangploso<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 26


Pada grafik tren suhu absolut minimum di Stasiun Klimatologi Karangploso bisa<br />

dikatakan tidak terdapat tren dengan nilai suhu absolut minimum rata-rata sekitar<br />

16.11 derajat Celcius.<br />

8. Jumlah Curah Hujan 6 bulanan<br />

Gambar 35. Tren curah hujan 6 bulanan (Oktober – Maret) di Stasiun Klimatologi<br />

Karangploso<br />

Pada grafik jumlah curah hujan 6 bulanan pada musim hujan di Karangploso<br />

terdapat kecenderungan (tren) menurun dengan nilai 8.05 mm per tahunnya, <strong>dan</strong><br />

jika tidak ada tren rata-rata jumlah curah hujannya di musim hujan (bulan Oktober<br />

sampai Maret) sekitar 1573 mm.<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 27


Gambar 36. Tren curah hujan 6 bulanan (April – September) di Stasiun Klimatologi<br />

Karangploso<br />

Untuk grafik jumlah curah hujan pada musim kemarau (bulan April sampai<br />

September) terjadi peningkatan tren dengan nilai sebesar 9.1408 setiap tahunnya,<br />

jika tidak ada tren rata-rata jumlah curah hujannya pada bulan-bulan tersebut sekitar<br />

185.2 mm.<br />

2.6 STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG<br />

1. Tren Suhu Rata rata Tahunan<br />

Pada identifikasi perubahan suhu dengan lokasi Stasiun Klimatologi Pondok Betung,<br />

data yang digunakan dari tahun 1979 sampai tahun 2006, dari data harian diolah<br />

menjadi data bulanan.<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 28


Gambar 37. Grafik Tren Suhu Rata-rata Bulanan di Stasiun Klimatologi Pondok<br />

Betung<br />

Pada grafik tren suhu rata-rata tahunan di Stasiun Klimatologi Pondok Betung,<br />

terdapat kecenderungan naik sekitar 0.06 derajat Celcius per tahunnya, jika tidak<br />

terjadi tren suhu rata-rata bulanannya setiap tahunnya sekitar 26.04 derajat Celcius.<br />

2. Tren Suhu Rata-rata Maksimum Absolut<br />

Gambar 38. Grafik Tren Suhu Absolut Maksimum di Stasiun Klimatologi Pondok<br />

Betung<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 29


Pada grafik tren suhu absolut maksimum di Stasiun Pondok Betung cenderung<br />

meningkat dengan nilai Trend 0.08 derajat Celcius, bila tidak terdapat Trend suhu<br />

absolut maksimumnya sekitar 33.02 derajat Celcius.<br />

Gambar 39. Grafik Trend Suhu Absolut Minimum di Stasiun Klimatologi Pondok<br />

Betung<br />

Grafik Trend suhu absolut minimum tersebut di atas cenderung meningkat dengan<br />

nilai Trend 0.08 derajat Celcius, bila tidak terdapat Trend suhu absolut maximumnya<br />

sekitar 20.28 derajat Celcius.<br />

3. Jumlah Curah Hujan Enam Bulan<br />

Gambar 40. Tren curah hujan 6 bulanan (April - September) di Stasiun Klimatologi<br />

Pondok Betung<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 30


Berdasarkan gambar 40. tren curah hujan musim kemarau (April-September) di<br />

Stasiun klimatologi Pondok Betung dari tahun 1975 hingga 2006 menunjukkan tren<br />

penurunan sebesar 2.05 mm. Artinya curah hujan yang turun pada musim kemarau<br />

mengalami penurunan sebesar 2.05 mm per tahun. Curah hujan musim kemarau<br />

tertinggi terjadi pada tahun 1991 mencapai 1560.7 mm <strong>dan</strong> terendah pada tahun<br />

1990 sebesar 257 mm.<br />

Berdasarkan gambar 41. tren curah hujan musim hujan (Oktober-Maret) di Stasiun<br />

Klimatologi Pondok Betung dari tahun 1976 hingga 2006 menunjukkan tren<br />

penurunan sebesar 0.52 mm. Artinya curah hujan yang turun pada musim hujan<br />

mengalami penurunan sebesar 0.52 mm per tahun. Curah hujan musim hujan<br />

tertinggi terjadi pada tahun 1978 mencapai 1839 mm. Curah hujan musim hujan<br />

terendah terjadi pada tahun 1982 sebesar 706 mm.<br />

Gambar 41. Tren curah hujan 6 bulanan (Oktober - Maret) di Stasiun Klimatologi<br />

Pondok Betung<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 31


2.7. STASIUN KLIMATOLOGI DRAMAGA<br />

1. Tren Suhu Rata-rata Tahunan<br />

Gambar 42. Tren suhu rata-rata tahunan di Stasiun Klimatologi Dramaga<br />

Berdasarkan gambar 42 dari tahun 1975 hingga 2010 terjadi tren peningkatan suhu<br />

rata-rata tahunan di Stasiun Klimatologi Dramaga bogor sebesar 0.0194 °C. Suhu<br />

terendah terjadi pada tahun 1975 sebesar 24.8°C <strong>dan</strong> tertinggi pada tahun 1998<br />

sebesar 26.1 °C.<br />

2. Tren Suhu Maksimum Absolut Tahunan<br />

Berdasarkan gambar 43 tren suhu maksimum absolut tahunan di Stasiun Klimatologi<br />

Dramaga Bogor dari tahun 1975 hingga 2010 menunjukkan terjadi peningkatan<br />

sebesar 0.012 °C. Suhu maksimum absolut tertinggi terjadi pada tahun 1976<br />

sebesar 33.9 °C <strong>dan</strong> terendah terjadi pada tahun 1984 sebesar 32.2 °C.<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 32


Gambar 43. Tren suhu maksimum absolut Tahunan di Stasiun Klimatologi Dramaga<br />

3. Tren Suhu Minimum Absolut Tahunan<br />

Gambar 44. Tren suhu minimum absolut tahunan di Stasiun Klimatologi Dramaga<br />

Berdasarkan gambar 44 tren suhu minimum absolut tahunan dari tahun 1975 hingga<br />

2010 di Stasiun Klimatologi Dramaga menunjukkan terjadi peningkatan sebesar<br />

0.049 °C. Suhu minimum absolut tertinggi terjadi pada tahun 1998 sebesar 21.7 °C<br />

<strong>dan</strong> terendah pada tahun 1979 sebesar 18.5 °C.<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 33


Berdasarkan gambar 42 hingga 44 menunjukkan suhu di sekitar Stasiun Klimatologi<br />

Dramaga Bogor dari tahn 1975 hingga 2010 mengalami peningkatan yaitu suhu<br />

udara semakin panas <strong>dan</strong> kering.<br />

4. Jumlah Curah Hujan Enam Bulanan<br />

Berdasarkan gambar 45 tren curah hujan musim kemarau (April-September) di<br />

Stasiun Klimatologi Dramaga dari tahun 1959 hingga 2009 menunjukkan tidak terjadi<br />

tren penurunan maupun peningkatan. Curah hujan musim kemarau tertinggi terjadi<br />

pada tahun 1973 mencapai 2600 mm <strong>dan</strong> terendah pada tahun 1963 sebesar 820<br />

mm. Se<strong>dan</strong>gkan nilai rata-rata sebesar 1627 mm.<br />

Gambar 45. Tren curah hujan 6 bulanan (April - September) di Stasiun Klimatologi<br />

Dramaga<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 34


Gambar 46. Tren curah hujan 6 bulanan (Oktober - Maret) di Stasiun Klimatologi<br />

Dramaga<br />

Berdasarkan gambar 46. Tren curah hujan musim hujan (Oktober-Maret) di Stasiun<br />

Klimatologi Dramaga dari tahun 1959 hingga 2009 tidak menunjukkan terjadinya tren<br />

penurunan maupun peningkatan. Curah hujan musim hujan tertinggi terjadi pada<br />

tahun 1960 mencapai 3333 mm. Curah hujan musim hujan terendah terjadi pada<br />

tahun 1998 sebesar 1569 mm, dengan nilai rata-rata sebesar 2212 mm.<br />

2.8 STASIUN GEOFISIKA TANGERANG<br />

1. Tren Suhu <strong>Udara</strong> Rata-rata Tahunan<br />

Gambar 47. Tren suhu rata-rata tahunan di Stasiun Geofisika Tangerang<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 35


Berdasarkan gambar 47 dari tahun 1983 hingga 2008 suhu udara rata-rata di<br />

stasiun geofisika Tangerang dari tahun ke tahun mengalami peningkatan sebesar<br />

0.04°C. Suhu rataan tertinggi terjadi pada tahun 2002 sebesar 27.9 °C <strong>dan</strong><br />

terendah terjadi pada tahun 1984 sebesar 26.3 °C. Nilai rata-rata suhu rataan<br />

selama tahun tersebut yaitu 26.6 °C.<br />

2. Tren Suhu Maksimum Absolut Tahunan<br />

Gambar 48. Tren suhu maksimum absolut tahunan di Stasiun Geofisika Tangerang<br />

Berdasarkan gambar 48 dari tahun 1993 hingga 2008 suhu udara maksimum<br />

absolut di stasiun geofisika Tangerang dari tahun ke tahun mengalami peningkatan<br />

sebesar 0.0654 °C. Suhu maksimum absolut tertinggi terjadi pada tahun 2004<br />

sebesar 35.6 °C <strong>dan</strong> terendah terjadi pada tahun 1996 sebesar 33.7 °C. Nilai ratarata<br />

suhu maksimum absolut selama tahun tersebut yaitu 34.1°C.<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 36


3.Tren Suhu Minimum Absolut Tahunan<br />

Gambar 49. Tren suhu minimum absolut tahunan di Stasiun Geofisika Tangerang<br />

Berdasarkan gambar 49. dari tahun 1993 hingga 2008 suhu udara minimum absolut<br />

di stasiun geofisika Tangerang dari tahun ke tahun tidak menunjukkan tren<br />

peningkatan atau penurunan. Suhu rataan tertinggi terjadi pada tahun 1998 sebesar<br />

22.5 °C <strong>dan</strong> terendah terjadi pada tahun 1993 sebesar 19.7 °C. Nilai rata-rata suhu<br />

minimum absolut selama tahun tersebut yaitu 21.2 °C.<br />

Berdasarkan gambar 47 sampai dengan 49 menunjukkan suhu udara di wilayah<br />

sekitar Stasiun Geofisika Tangerang mengalami peningkatan yaitu suhu udara ratarata<br />

<strong>dan</strong> suhu maksimum absolutnya. Hal ini menunjukkan suhu yang semakin<br />

panas di wilayah tersebut.<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 37


5. Jumlah Curah Hujan Enam Bulanan<br />

Gambar 50. Tren curah hujan 6 bulanan (April - September) di Stasiun Geofisika<br />

Tangerang<br />

Berdasarkan gambar 50 tren curah hujan musim kemarau (April-September) di<br />

Stasiun Geofisika Tangerang dari tahun 1983 hingga 2008 menunjukkan tren<br />

penurunan sebesar 3.32 mm. Artinya curah hujan yang turun pada musim kemarau<br />

mengalami penurunan sebesar 3.32 mm per tahun. Curah hujan musim kemarau<br />

tertinggi terjadi pada tahun 1991 mencapai 1560.7 mm <strong>dan</strong> terendah pada tahun<br />

1990 sebesar 257 mm, se<strong>dan</strong>gkan nilai rata-rata sebesar 553.2 mm.<br />

Berdasarkan gambar 51 Tren curah hujan musim hujan (Oktober-Maret) di Stasiun<br />

Geofisika Tangerang dari tahun 1983 hingga 2008 menunjukkan tren penurunan<br />

sebesar 6.86 mm. Artinya curah hujan yang turun pada musim hujan mengalami<br />

penurunan sebesar 6.86 mm per tahun. Curah hujan musim hujan tertinggi terjadi<br />

pada tahun 2001 mencapai 1994 mm. Curah hujan musim hujan terendah terjadi<br />

pada tahun 2008 sebesar 399 mm.<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 38


Gambar 51. Tren curah hujan 6 bulanan (Oktober - Maret) di Stasiun Geofisika<br />

Tangerang<br />

2.9 STASIUN GEOFISIKA YOGYAKARTA<br />

1. Tren Suhu <strong>Udara</strong> Rata-rata Tahunan<br />

Gambar 52. Tren suhu rata-rata tahunan di Stasiun Geofisika Yogyakarta<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 39


Berdasarkan gambar 52 dari tahun 2004 hingga 2011 suhu udara rata-rata di stasiun<br />

geofisika Yogyakarta dari tahun ke tahun mengalami penurunan sebesar 0.024 °C.<br />

Suhu rataan tertinggi terjadi pada tahun 2010 sebesar 26.3 °C <strong>dan</strong> terendah terjadi<br />

pada tahun 2007 sebesar 25.5 °C. Nilai rata-rata suhu rataan selama tahun tersebut<br />

yaitu 25.78 °C<br />

2. Tren Suhu Maksimum Absolut Tahunan<br />

Berdasarkan gambar 53 dari tahun 2004 hingga 2011 suhu maksimum absolut di<br />

stasiun geofisika Yogyakarta dari tahun ke tahun mengalami peningkatan sebesar<br />

0.225 °C. Suhu maksimum absolute tertinggi terjadi pada tahun 2009 sebesar 35.1<br />

°C <strong>dan</strong> terendah terjadi pada tahun 2006 sebesar 33.4 °C. Nilai rata-rata suhu<br />

maksimum absolut selama tahun tersebut yaitu 33.16 °C<br />

Gambar 53 Tren suhu maksimum absolut tahunan di Stasiun Geofisika Yogyakarta<br />

3.Tren Suhu Minimum Absolut Tahunan<br />

Berdasarkan gambar 54 dari tahun 2004 hingga 2011 suhu minimum absolut di<br />

stasiun geofisika Yogyakarta dari tahun ke tahun mengalami penurunan sebesar<br />

0.146 °C. Suhu minimum absolute tertinggi terjadi pada tahun 2006 sebesar 21.4 °C<br />

<strong>dan</strong> terendah terjadi pada tahun 2009 sebesar 18.7°C. Nilai rata-rata suhu minimum<br />

absolut selama tahun tersebut yaitu 21.09 °C<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 40


Gambar 54. Tren suhu minimum absolut tahunan di Stasiun Geofisika Yogyakarta<br />

Berdasarkan Gambar 52 sampai dengan gambar 54 kecenderungan suhu rata-rata<br />

<strong>dan</strong> suhu minimum absolut di Stasiun Geofisika Yogyakarta mengalami penurunan,<br />

se<strong>dan</strong>gkan suhu maksimum absolute mengalami peningkatan. Ketersediaan data di<br />

Stasiun Geofisika Yogyakarta masih kurang panjang untuk menganalisa perubahan<br />

iklim karena sesuai dengan tahun berdirinya stasiun tersebut .<br />

4. Jumlah Curah Hujan enam bulan<br />

Gambar 55. Tren curah hujan 6 bulanan (April – September) di Stasiun Geofisika<br />

Yogyakarta<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 41


Gambar 56. Tren curah hujan 6 bulanan (Oktober – Maret) di Stasiun Geofisika<br />

Yogyakarta<br />

Berdasarkan gambar 55. tren curah hujan musim kemarau (April-September) di<br />

Stasiun Geofisika Yogyakarta dari tahun 2004 hingga 2011 menunjukkan tren<br />

peningkatan sebesar 75.72 mm. Artinya curah hujan yang turun pada musim<br />

kemarau mengalami peningkatan sebesar 75.72 mm per tahun. Curah hujan musim<br />

kemarau tertinggi terjadi pada tahun 2010 mencapai 1042.8 mm <strong>dan</strong> terendah pada<br />

tahun 2005 sebesar 131 mm, se<strong>dan</strong>gkan nilai rata-rata sebesar 437.5 mm.<br />

Berdasarkan gambar 56 Tren curah hujan musim hujan (Oktober - Maret) di Stasiun<br />

Geofisika Yogyakarta dari tahun 2004 hingga 2010 menunjukkan tren peningkatan<br />

sebesar 43.26 mm. Artinya curah hujan yang turun pada musim hujan mengalami<br />

peningkatan sebesar 43.26 mm per tahun. Curah hujan musim hujan tertinggi terjadi<br />

pada tahun 2010 mencapai 2072.6 mm. Curah hujan musim hujan terendah terjadi<br />

pada tahun 2009 sebesar 1088.5 mm. Nilai rata-rata curah hujan musim hujan<br />

sebesar 1590.7 mm.<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 42


III.<br />

PETA KERENTANAN PERUBAHAN IKLIM<br />

Salah satu aktivitas dari Bi<strong>dan</strong>g <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> adalah pembuatan peta<br />

kerentanan perubahan iklim. Dimana terdapat 3 (tiga) sub komponen dalam<br />

pembuatan peta ini, kerentanan (vulnerability) merupakan fungsi dari exposure,<br />

sensitivity, adaptive capacity.<br />

Vulnerability = f (exposure, sensitivity, adaptive capacity)<br />

Exposure<br />

Didefinisikan sebagai the nature <strong>dan</strong> derajat dimana system diekspos<br />

terhadap keragaman iklim yang signifikan.<br />

Sensitivity<br />

Didefinisikan sebagai derajat dimana system dipengaruhi apakah<br />

menguntungkan atau merugikan olehs timulasi yang berhubungan dengan<br />

iklim.<br />

Adaptive capacity<br />

Didefinisikan sebagai kemampuan sebuah system untuk menyesuaikan<br />

terhadap perubahan iklim (termasuk variabilitas <strong>dan</strong> ekstrim iklim), untuk<br />

memoderatkan potensi kerusakan oleh perubahan iklim <strong>dan</strong> untuk<br />

mengambil keuntungan dari kesempatan (opportunity) atau menanggulangi<br />

konsekuensinya.<br />

Gambar 57. Nilai kerentanan dipengaruhi 3 sub komponen<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 43


Pada tahap penentuan indeks exposure, BMKG berperan dalam identifikasi<br />

perubahan iklim, yang meliputi:<br />

Identifikasi hari tidak hujan berturut-turut maksimumnya (dry spell)<br />

Identifikasi hari hujan berturut-turut maksimumnya (wet spell)<br />

Identifikasi untuk frekuensi curah hujan lebat (> 50 mm/hari)<br />

Dari identifikasi perubahan iklim tersebut di atas diambil nilai dari kecenderungannya<br />

(tren), yang kemudian akan diberi pembobotan (weighting) yang akan menentukan<br />

indeks exposure.<br />

3.1. IDENTIFIKASI PERUBAHAN JUMLAH MAKSIMUM HARI TIDAK HUJAN<br />

BERTURUT-TURUT (DRY SPELL)<br />

Untuk identifikasi perubahan jumlah maksimum hari tidak hujan berturut-turut (dry<br />

spell), jumlah maksimum hari hujan berturut-turut (wet spell), <strong>dan</strong> frekuensi hujan<br />

lebat di Pulau Jawa menggunakan data hujan harian dengan time series 1975 –<br />

2010.<br />

Gambar 58. Peta Tren Dryspell Pulau Jawa<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 44


Wilayah dengan tren dry spell-nya meningkat makin tinggi adalah kabupaten<br />

Majalengka bagian utara, kota Tasikmalaya, <strong>dan</strong> Jasinga yaitu 35 hari dry spell<br />

dalam kurun waktu 100 tahun. Hal ini menunjukkan wilayah-wilayah tersebut<br />

keadaannya cenderung semakin kering.<br />

Wilayah DKI Jakarta, Bekasi hingga Karawang tren dry spell-nya 15 hingga 25 hari<br />

dry spell. Demikian juga yang terjadi pada wilayah Indramayu, Bandung, sebagian<br />

Rangkasbitung bagian utara <strong>dan</strong> Tangerang bagian selatan, Bogor, Kabupaten<br />

Tasikmalaya, <strong>dan</strong> Ciamis bagian utara.<br />

Pada sebagian besar wilayah Banten bagian tengah, Subang bagian selatan,<br />

sebagian Sume<strong>dan</strong>g, Kabupaten Tasikamalaya bagian selatan, sebagian besar<br />

Ciamis <strong>dan</strong> Kuningan, tren dry spell-nya menurun atau bernilai negatif. Hal ini<br />

menunjukkan wilayah-wilayah tersebut cenderung basah. Nilai tren negatifnya<br />

mencapai -10 hari dalam periode 100 tahun.<br />

Sebagian besar wilayah Yogjakarta tren dry spell-nya semakin meningkat mencapai<br />

30 hari dry spell dalam kurun waktu 100 tahun. Hal ini menunjukkan wilayah ini<br />

keadaannya cenderung semakin kering.<br />

Wilayah Brebes bagian timur, Cilacap bagian selatan, Kebumen bagian utara,<br />

Pekalongan bagian barat, Kendal bagian selatan, Magelang bagian selatan,<br />

Surakarta, Sukoharjo, Wonogiri, Ponorogo bagian utara, Tulungagung bagian barat,<br />

batu, sebagian malang <strong>dan</strong> Lumajang, tren dryspellnya pada kisaran angka 0 hingga<br />

10 hari dry spell dalam 100 tahun.<br />

Pada sebagian Batu bagian timur, tren dry spell-nya menurun atau bernilai negatif<br />

yang cukup besar. Hal ini menunjukkan wilayah tersebut cenderung basah. Nilai tren<br />

negatifnya mencapai -30 hari dalam periode 100 tahun. Dan di sebagian besar<br />

wilayah Pasuruan, Malang bagian utara <strong>dan</strong> Boyolali bagian selatan tren dry spell<br />

negatif pada kisaran angka 0 hingga -10 hari.<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 45


3.2. IDENTIFIKASI PERUBAHAN JUMLAH MAKSIMUM HARI HUJAN<br />

BERTURUT-TURUT (WETSPELL)<br />

Gambar 59. Peta Tren Wetspell di Pulau Jawa<br />

Wilayah dengan tren wet spellnya meningkat makin tinggi adalah Depok, Bogor,<br />

Bandung bagian selatan, <strong>dan</strong> sebagian besar Garut pada angka 5 - 10 hari wet spell<br />

dalam kurun waktu 100 tahun. Hal ini menunjukkan wilayah-wilayah tersebut<br />

keadaannya cenderung semakin basah.<br />

Wilayah Tangerang, Jakarta Selatan, Bogor bagian barat, Subang, Purwakarta, Kota<br />

Sukabumi, Kabupaten Bandung, Indramayu bagian timur, sebagian Sume<strong>dan</strong>g,<br />

sebagian Cirebon, <strong>dan</strong> sebagian Kuningan tren wet spell-nya 0 hingga 5 hari wet<br />

spell.<br />

Pada sebagian besar wilayah Banten bagian selatan, sebagian besar DKI Jakarta,<br />

<strong>dan</strong> sebagian besar Jawa Barat tren wet spell-nya menurun atau bernilai negatif. Hal<br />

ini menunjukkan wilayah-wilayah tersebut cenderung kering disaat musim hujan.<br />

Nilai tren negatifnya mencapai -5 hari dalam periode 100 tahun.<br />

Wilayah dengan wet spell maksimum pertahun yang meningkat <strong>dan</strong> semakin tinggi<br />

adalah sebagian besar Lamongan bagian utara <strong>dan</strong> Gresik bagian utara, dengan<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 46


wet spell maksimum mencapai 50 - 60 hari per tahun. Hal ini menunjukkan wilayahwilayah<br />

tersebut keadaannya cenderung semakin basah.<br />

Wilayah Purbalingga bagian utara, Pemalang bagian selatan, Lamongan bagian<br />

tengah, <strong>dan</strong> Gresik bagian tengah, wet spell maksimumnya 40 hingga 50 hari wet<br />

spell dalam satu tahun.<br />

Brebes bagian barat, Pekalongan, Magelang, Kota Kediiri, Lamongan bagian<br />

selatan, Gresik bagian selatan, Pasuruan bagian barat, <strong>dan</strong> Blitar bagian utara wet<br />

spellmaksimumnya 30 hingga 40 hari wet spell dalam satu tahun.<br />

Sebagian besar Jawa Tengah, Yogjakarta, <strong>dan</strong> Jawa Timur umumnya wet spell<br />

maksimumnya 20 hingga 30 hari wet spell dalam satu tahun.<br />

Cilacap bagian utara, Banyumas bagian selatan, Kebumen bagian timur, Kendal,<br />

Demak. Grobogan, Boyolali, Surakarta, Karanganyar, <strong>dan</strong> Sukoharjo wet spell<br />

maksimumnya 10 hingga 20 hari wet spell dalam satu tahun.<br />

3.3. IDENTIFIKASI PERUBAHAN FREKUENSI HUJAN LEBAT ( > 50 MM /<br />

HARI)<br />

Gambar 60. Peta Tren Frekuensi Hujan Lebat di Pulau Jawa<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 47


Wilayah dengan tren frekuensi kejadian hujan lebat meningkat makin tinggi adalah<br />

kabupaten Serang, , kota Sukabumi, sebagian besar DKI Jakarta, kota Sukabumi,<br />

sebagian besar Purwakarta, Kota Bogor, sebagain Subang bagian barat, sebagaian<br />

Kabupaten Bandung bagian utara <strong>dan</strong> selatan, Kota Bandung, sebagian besar<br />

Cirebon, Majalengka, <strong>dan</strong> Kuningan, tren frekuensi hujan lebat dalam kurun waktu<br />

100 tahun meningkat 5 - 10 hari. Hal ini menunjukkan wilayah-wilayah tersebut<br />

keadaannya cenderung semakin sering mengalami hujan ekstrim.<br />

Wilayah Rangkasbitung, Cianjur, sebagian Garut, Subang, Tasikmalaya tren<br />

frekuensi hujan lebat mencapai -10 hingga -15 hari. Se<strong>dan</strong>gkan sebagian besar<br />

propinsi Banten, kabupaten Sukabumi, Bekasi, Karawang, Indramayu, kota<br />

Tasikmalaya, <strong>dan</strong> sebagian besar Cirebon, tren frekuensi hujan lebat 0 hingga -5<br />

hari. Hal ini menunjukkan pada wilayah ini kejadian ektrim hujan lebat makin<br />

menurun.<br />

Wilayah dengan tren frekuensi kejadian hujan >50 mm perhari meningkat makin<br />

tinggi adalah Maos, Prembun, Randudongkal, Weleri, Kota Surakarta, sebagian<br />

besar Tulungagung, Blitar, Batu bagian selatan, Malang bagian barat, Jombang<br />

bagian utara, <strong>dan</strong> pasuruan bagian utara. Hal ini menunjukkan wilayah-wilayah<br />

tersebut keadaannya cenderung semakin sering mengalami hujan ekstrim. Angka<br />

frekuensi kejadiannya adalah 1 hingga 2 hari.<br />

Wilayah Brebes bagian tengah, Cilacap bagian selatan, Pekalongan bagian utara,<br />

batang bagian utara, Kebumen bagian selatan, Kota Semarang bagian selatan,<br />

Kabupaten Semarang bagian utara, Purworejo bagian timur, sebagian besar<br />

Jogjakarta, Trenggaleke, sebagaian Blitar bagian utara, Jombang bagian selatan,<br />

Mojokerto bagian selatan, <strong>dan</strong> Jemebr bagian selatan tren frekuensi hujan > 60 mm<br />

perhari menurun pada angka -1 hingga -2 hari. Hal ini menunjukkan pada wilayah ini<br />

kejadian ektrim hujan lebat makin berkurang.<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 48


IV. KUALITAS UDARA<br />

4.1. UMUM<br />

Semakin pesatnya kemajuan ekonomi mendorong semakin bertambahnya<br />

kebutuhan akan transportasi, dilain sisi lingkungan alam yang mendukung hajat<br />

hidup manusia semakin terancam kualitasnya, efek negatif pencemaran udara<br />

kepada kehidupan manusia kian hari kian bertambah. Pencemaran udara adalah<br />

masuknya, atau tercampurnya unsur-unsur berbahaya ke dalam atmosfir yang dapat<br />

mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan, gangguan pada kesehatan<br />

manusia secara umum serta menurunkan kualitas lingkungan. Pencemaran udara<br />

dapat terjadi dimana-mana, misalnya di dalam rumah, sekolah, <strong>dan</strong> kantor.<br />

Pencemaran ini sering disebut pencemaran dalam ruangan (indoor pollution).<br />

Sementara itu pencemaran di luar ruangan (outdoor pollution) berasal dari emisi<br />

kendaraan bermotor, industri, perkapalan, <strong>dan</strong> proses alami oleh makhluk hidup.<br />

Sumber pencemar udara dapat diklasifikasikan menjadi sumber diam <strong>dan</strong> sumber<br />

bergerak. Sumber diam terdiri dari pembangkit listrik, industri <strong>dan</strong> rumah tangga.<br />

Se<strong>dan</strong>gkan sumber bergerak adalah aktifitas lalu lintas kendaraan bermotor <strong>dan</strong><br />

tranportasi laut. Dari data BPS tahun 1999, di beberapa propinsi terutama di kotakota<br />

besar seperti Me<strong>dan</strong>, Surabaya <strong>dan</strong> Jakarta, emisi kendaraan bermotor<br />

merupakan kontribusi terbesar terhadap konsentrasi NO2 <strong>dan</strong> CO di udara yang<br />

jumlahnya lebih dari 50%. Penurunan kualitas udara yang terus terjadi selama<br />

beberapa tahun terakhir menunjukkan kita bahwa betapa pentingnya digalakkan<br />

usaha-usaha pengurangan emisi ini. Baik melalui penyuluhan kepada masyarakat<br />

ataupun dengan mengadakan penelitian bagi penerapan teknologi pengurangan<br />

emisi.<br />

4.2. ZAT-ZAT PENCEMAR UDARA<br />

1. Emisi Karbon Monoksida (CO)<br />

Asap kendaraan merupakan sumber utama bagi karbon monoksida di berbagai<br />

perkotaan. Data mengungkapkan bahwa 60% pencemaran udara di Jakarta<br />

disebabkan karena benda bergerak atau transportasi umum yang berbahan bakar<br />

solar terutama berasal dari Metromini. Formasi CO merupakan fungsi dari rasio<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 49


kebutuhan udara <strong>dan</strong> bahan bakar dalam proses pembakaran di dalam ruang bakar<br />

mesin diesel. Percampuran yang baik antara udara <strong>dan</strong> bahan bakar terutama yang<br />

terjadi pada mesin-mesin yang menggunakan Turbocharge merupakan salah satu<br />

strategi untuk meminimalkan emisi CO. Karbon monoksida yang meningkat di<br />

berbagai perkotaan dapat mengakibatkan turunnya berat janin <strong>dan</strong> meningkatkan<br />

jumlah kematian bayi serta kerusakan otak. Karena itu strategi penurunan kadar<br />

karbon monoksida akan tergantung pada pengendalian emisi seperti pengggunaan<br />

bahan katalis yang mengubah bahan karbon monoksida menjadi karbon dioksida<br />

<strong>dan</strong> penggunaan bahan bakar terbarukan yang rendah polusi bagi kendaraan<br />

bermotor<br />

2. Nitrogen Oksida (NOx)<br />

Sampai tahun 1999 NOx yang berasal dari alat transportasi laut di Jepang<br />

menyumbangkan 38% dari total emisi NOx (25.000 ton/tahun). NOx terbentuk atas<br />

tiga fungsi yaitu Suhu (T), Waktu Reaksi (t), <strong>dan</strong> konsentrasi Oksigen (O 2 ), NOx = f<br />

(T, t, O 2 ). Secara teoritis ada 3 teori yang mengemukakan terbentuknya NOx, yaitu :<br />

1. Thermal NOx (Extended Zeldovich Mechanism)<br />

Proses ini disebabkan gas nitrogen yang beroksidasi pada suhu tinggi pada<br />

ruang bakar (>1800 K). Thermal NOx ini didominasi oleh emisi NO (NOx = NO +<br />

NO 2 ).<br />

2. Prompt NOx<br />

Formasi NOx ini akan terbentuk cepat pada zona pembakaran.<br />

3. Fuel NOx<br />

NOx formasi ini terbentuk karena kandungan N dalam bahan bakar.<br />

Kira-kira 90% dari emisi NOx adalah disebabkan proses thermal NOx, <strong>dan</strong> tercatat<br />

bahwa dengan penggunaan HFO (Heavy Fuel Oil), bahan bakar yang biasa<br />

digunakan di kapal, menyumbangkan emisi NOx sebesar 20-30%. Nitrogen oksida<br />

yang ada di udara yang dihirup oleh manusia dapat menyebabkan kerusakan paruparu.<br />

Setelah bereaksi dengan atmosfir zat ini membentuk partikel-partikel nitrat<br />

yang amat halus yang dapat menembus bagian terdalam paru-paru. Selain itu zat<br />

oksida ini jika bereaksi dengan asap bensin yang tidak terbakar dengan sempurna<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 50


<strong>dan</strong> zat hidrokarbon lain akan membentuk ozon rendah atau smog kabut berawan<br />

coklat kemerahan yang menyelimuti sebagian besar kota di dunia.<br />

3. SOx (Sulfur Oxide : SO 2 , SO 3 )<br />

Emisi SOx terbentuk dari fungsi kandungan sulfur dalam bahan bakar, selain itu<br />

kandungan sulfur dalam pelumas, juga menjadi penyebab terbentuknya SOx emisi.<br />

Struktur sulfur terbentuk pada ikatan aromatic <strong>dan</strong> alkyl. Dalam proses pembakaran<br />

sulfur dioxide <strong>dan</strong> sulfur trioxide terbentuk dari reaksi:<br />

S + O 2 = SO 2<br />

SO 2 + 1/2 O 2 = SO 3<br />

Kandungan SO 3 dalam SOx sangat kecil sekali yaitu sekitar 1-5%. Gas yang berbau<br />

tajam tapi tidak berwarna ini dapat menimbulkan serangan asma, gas ini pun jika<br />

bereaksi di atmosfir akan membentuk zat asam. Ba<strong>dan</strong> WHO PBB menyatakan<br />

bahwa pada tahun 1987 jumlah sulfur dioksida di udara telah mencapai ambang<br />

batas yg ditetapkan oleh WHO.<br />

4. Emisi Hidrokarbon (HC)<br />

Pada mesin, emisi Hidrokarbon (HC) terbentuk dari bermacam-macam sumber.<br />

Tidak terbakarnya bahan bakar secara sempurna, tidak terbakarnya minyak pelumas<br />

silinder adalah salah satu penyebab munculnya emisi HC. Emisi HC pada bahan<br />

bakar HFO yang biasa digunakan pada mesin-mesin diesel besar akan lebih sedikit<br />

jika dibandingkan dengan mesin diesel yang berbahan bakar Diesel Oil (DO). Emisi<br />

HC ini berbentuk gas metana (CH 4 ). Jenis emisi ini dapat menyebabkan leukemia<br />

<strong>dan</strong> kanker.<br />

5. Partikulat Matter (PM)<br />

Partikel debu dalam emisi gas buang terdiri dari bermacam-macam komponen.<br />

Bukan hanya berbentuk padatan tapi juga berbentuk cairan yang mengendap dalam<br />

partikel debu. Pada proses pembakaran debu terbentuk dari pemecahan unsur<br />

hidrokarbon <strong>dan</strong> proses oksidasi setelahnya. Dalam debu tersebut terkandung debu<br />

sendiri <strong>dan</strong> beberapa kandungan metal oksida. Dalam proses ekspansi selanjutnya<br />

di atmosfir, kandungan metal <strong>dan</strong> debu tersebut membentuk partikulat. Beberapa<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 51


unsur kandungan partikulat adalah karbon, SOF (Soluble Organic Fraction), debu,<br />

SO 4 , <strong>dan</strong> H 2 O. Sebagian benda partikulat keluar dari cerobong pabrik sebagai asap<br />

hitam tebal, tetapi yang paling berbahaya adalah butiran-butiran halus sehingga<br />

dapat menembus bagian terdalam paru-paru. Diketahui juga bahwa di beberapa<br />

kota besar di dunia perubahan menjadi partikel sulfat di atmosfir banyak disebabkan<br />

karena proses oksida oleh molekul sulfur.<br />

4.3. EFEK NEGATIF PENCEMARAN UDARA BAGI KESEHATAN TUBUH<br />

Tabel 1 menjelaskan tentang pengaruh pencemaran udara terhadap makhluk hidup.<br />

Rentang nilai menunjukkan batasan kategori daerah sesuai tingkat kesehatan untuk<br />

dihuni oleh manusia. Karbon monoksida, nitrogen, ozon, sulfur dioksida <strong>dan</strong><br />

partikulat matter adalah beberapa parameter polusi udara yang dominan dihasilkan<br />

oleh sumber pencemar. Dari pantauan lain diketahui bahwa dari beberapa kota yang<br />

diketahui masuk dalam kategori tidak sehat berdasarkan ISPU (Indeks Standar<br />

Pencemar <strong>Udara</strong>) adalah Jakarta (26 titik), Semarang (1 titik), Surabaya (3 titik),<br />

Bandung (1 titik), Me<strong>dan</strong> (6 titik), Pontianak (16 titik), Palangkaraya (4 titik), <strong>dan</strong><br />

Pekan Baru (14 titik). Satu lokasi di Jakarta yang diketahui merupakan daerah<br />

kategori sangat tidak sehat berdasarkan pantauan lapangan.<br />

Tabel 2 memperlihatkan sumber emisi <strong>dan</strong> standar kesehatan yang ditetapkan oleh<br />

pemerintah melalui keputusan Bapedal. BPLHD Propinsi DKI Jakarta pun mencatat<br />

bahwa a<strong>dan</strong>ya penurunan yang signifikan jumlah hari dalam kategori baik untuk<br />

dihirup dari tahun ke tahun sangat mengkhawatirkan. Dimana pada tahun 2000<br />

kategori udara yang baik sekitar 32% (117 hari dalam satu tahun) <strong>dan</strong> di tahun 2003<br />

turun menjadi hanya 6.85% (25 hari dalam satu tahun). Hal ini menandakan<br />

Indonesia sudah seharusnya memperketat peraturan tentang pengurangan emisi<br />

baik sektor industri maupun sektor transportasi darat/laut. Selain itu tentunya<br />

penemuan-penemuan teknologi baru pengurangan emisi dilanjutkan dengan<br />

pengaplikasiannya di masyarakat menjadi suatu prioritas utama bagi pengendalian<br />

polusi udara di Indonesia.<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 52


Tabel 1. Pengaruh Pencemaran <strong>Udara</strong> Terhadap Makhluk Hidup<br />

Kategori<br />

Rentang<br />

Karbon<br />

monoksida<br />

(CO)<br />

Nitrogen (NO 2 ) Ozon (O 3 )<br />

Sulfur<br />

dioksida (SO 2 )<br />

Partikulat<br />

Baik 0-50 Tidak ada efek Sedikit berbau<br />

Luka pada<br />

Beberapa<br />

spesies<br />

tumbuhan<br />

akibat<br />

kombinasi<br />

dengan SO 2<br />

(Selama 4<br />

Jam)<br />

Luka pada<br />

Beberapa<br />

spesies<br />

tumbuhan<br />

akibat<br />

kombinasi<br />

dengan O 3<br />

(Selama 4<br />

Jam)<br />

Tidak ada efek<br />

Se<strong>dan</strong>g 51 - 100<br />

<strong>Perubahan</strong><br />

kimia darah tapi<br />

tidak terdeteksi<br />

Berbau<br />

Luka pada<br />

Beberapa<br />

spesies<br />

tumbuhan<br />

Luka pada<br />

Beberapa<br />

spesies<br />

tumbuhan<br />

Terjadi<br />

penurunan<br />

pada jarak<br />

pan<strong>dan</strong>g<br />

Tidak<br />

Sehat<br />

Sangat<br />

Tidak<br />

Sehat<br />

101 - 199<br />

200-299<br />

Peningkatan<br />

pada<br />

kardiovaskular<br />

pada perokok<br />

yang sakit<br />

jantung<br />

Meningkatnya<br />

kardiovaskular<br />

pada orang<br />

bukan perokok<br />

yang<br />

berpenyakit<br />

Jantung, <strong>dan</strong><br />

akan tampak<br />

beberapa<br />

kelemahan<br />

yang terlihat<br />

secara nyata<br />

Bau <strong>dan</strong><br />

kehilangan<br />

warna.<br />

Peningkatan<br />

reaktivitas<br />

pembuluh<br />

tenggorokan<br />

pada penderita<br />

asma<br />

Meningkatnya<br />

sensitivitas<br />

pasien yang<br />

berpenyakit<br />

asma <strong>dan</strong><br />

bronchitis<br />

Penurunan<br />

kemampuan<br />

pada atlit<br />

yang berlatih<br />

keras<br />

Olah raga<br />

ringan<br />

mengakibatk<br />

an pengaruh<br />

parnafasan<br />

pada pasien<br />

yang<br />

berpenyakit<br />

paru-paru<br />

kronis<br />

Bau,<br />

Meningkatnya<br />

kerusakan<br />

tanaman<br />

Meningkatnya<br />

sensitivitas<br />

pada pasien<br />

berpenyakit<br />

asma <strong>dan</strong><br />

bronchitis<br />

Jarak pan<strong>dan</strong>g<br />

turun <strong>dan</strong><br />

terjadi<br />

pengotoran<br />

debu di manamana<br />

Meningkatnya<br />

sensitivitas<br />

pada pasien<br />

berpenyakit<br />

asma <strong>dan</strong><br />

bronchitis<br />

Berbahaya<br />

300 -<br />

lebih<br />

Tingkat yang berbahaya bagi semua populasi yang terpapar<br />

Tabel 2 Sumber Emisi <strong>dan</strong> Standar Kesehatan yang Ditetapkan Oleh<br />

Pemerintah<br />

Pencemar Sumber Keterangan<br />

Karbonmonoksida<br />

(CO)<br />

Buangan<br />

kendaraanbermotor;<br />

beberapa proses industri<br />

Standar kesehatan: 10<br />

mg/m 3 (9 ppm)<br />

Sulfur dioksida (SO 2 )<br />

Panas <strong>dan</strong> fasilitas<br />

pembangkit listrik<br />

Standar kesehatan: 80<br />

ug/m 3 (0.03 ppm)<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 53


Partikulat Matter<br />

Nitrogen dioksida<br />

(NO 2 )<br />

Ozon (O 3 )<br />

Buangan kendaraan<br />

bermotor; beberapa proses<br />

industri<br />

Buangan kendaraan<br />

bermotor; panas <strong>dan</strong> fasilitas<br />

Terbentuk di atmosfir<br />

Standarkesehatan: 50 ug/m 3<br />

selama 1 tahun; 150 ug/m 3<br />

Standarkesehatan: 100<br />

pg/m 3 (0.05 ppm) selama 1<br />

jam<br />

Standarkesehatan: 235<br />

ug/m 3 (0.12 ppm) selama 1<br />

jam<br />

4.4 TEKNOLOGI PENANGGULANGAN EMISI DARI KENDARAAN<br />

Secara sekilas teknologi penanggulangan emisi dari mesin dapat dikategorikan<br />

menjadi dua bagian besar yaitu Pengurangan emisi metoda primer <strong>dan</strong><br />

Pengurangan emisi metoda sekunder. Untuk pengurangan emisi metoda primer<br />

adalah sebagai berikut :<br />

Berdasarkan bahan bakar :<br />

Penggunaan bahan bakar yang rendah Nitrogen <strong>dan</strong> Sulfur termasuk<br />

penggunaan non fossil fuel<br />

Penggalangan penggunaan Non Petroleum Liquid Fuels<br />

Penggunaan angka cetan yang tinggi bagi motor diesel <strong>dan</strong> angka oktan bagi<br />

motor bensin<br />

Penggunaan bahan bakar Gas<br />

Penerapan teknologi emulsifikasi (pencampuran bahan bakar dengan air atau<br />

lainnya)<br />

Berdasarkan Perlakuan <strong>Udara</strong> :<br />

Penggunaan teknologi Exhaust Gas Recirculation (EGR)<br />

Pengaturan temperature udara yang masuk pada motor<br />

Humidifikasi<br />

Berdasarkan Proses Pembakaran :<br />

Modifikasi pada pompa bahan bakar <strong>dan</strong> sistem injeksi bahan bakar<br />

Pengaturan waktu injeksi bahan bakar<br />

Pengaturan ukuran droplet dari bahan bakar yang diinjeksikan<br />

Injeksi langsung air ke dalam ruang pembakaran<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 54


Sementara itu pengurangan emisi metoda sekunder adalah :<br />

Penggunaan Selective Catalytic Reduction (SCR)<br />

Penerapan teknologi Sea Water Scrubber untuk aplikasi di kapal<br />

Penggunaan katalis magnet yang dipasang pada pipa bahan bakar<br />

Penggunaan katalis pada pipa gas buang kendaraan bermotor<br />

4.5. AKHIR<br />

Polusi udara merupakan salah satu permasalahan lingkungan yang serius di<br />

Indonesia saat ini, sejalan dengan semakin meningkatnya jumlah kendaraan<br />

bermotor <strong>dan</strong> peningkatan ekonomi transportasi. Uji kelayakan emisi yang sejak<br />

beberapa tahun terakhir didengung-dengungkan oleh pemerintah <strong>dan</strong> LSM ternyata<br />

juga tidak berjalan dengan yang diharapkan. Jumlah kendaraan bermotor di jalan<br />

raya kian hari semakin meningkat. Di wilayah DKI Jakarta pertambahan kendaraan<br />

tercatat 8.74% per tahun sementara prasarana jalan meningkat 6.28% per tahun,<br />

menambah semakin terpuruknya kondisi lingkungan udara kita. Kenaikan harga<br />

pokok bahan bakar minyak bagi kendaraan yang ditetapkan pemerintah diharapkan<br />

dapat menjadi salah satu momentum untuk melangkah berpikir tentang lingkungan<br />

udara yang sehat. Kesadaran masyarakat akan pembatasan penggunaan<br />

kendaraan pribadi <strong>dan</strong> didukung dengan penyediaan angkutan massal yang baik<br />

<strong>dan</strong> nyaman oleh pemerintah akan menciptakan lingkungan udara yang sehat bagi<br />

manusia Indonesia.<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 55


V. ANALISIS KUALITAS UDARA DI INDONESIA<br />

5.1 PENDAHULUAN<br />

Analisis kualitas udara memuat informasi kualitas udara di Indonesia berdasarkan<br />

rata-rata bulanan selama periode enam bulan (semester). Penerbitan periode<br />

pertama memuat informasi kualitas udara dari bulan Juli sampai dengan bulan<br />

Desember 2011.<br />

Analisis kualitas udara memberikan informasi berupa grafik <strong>dan</strong> pemetaan mengenai<br />

kadar polutan debu (partikulat) <strong>dan</strong> tingkat keasaman air hujan (pH-air hujan) di<br />

Indonesia. Khusus untuk daerah Jakarta selain informasi debu juga disajikan<br />

kecenderungan (Trend) kadar polutan SO 2 , <strong>dan</strong> NO 2 , <strong>dan</strong> ozon permukaan.<br />

Umumnya, kondisi kualitas udara ambien di suatu daerah dipengaruhi oleh<br />

beberapa faktor antara lain yaitu: sumber emisi, kondisi meteorologi <strong>dan</strong> karakteristik<br />

kekasaran permukaan (topografi).<br />

5.2 METODA SAMPLING DAN METODA ANALISIS LABORATORIUM<br />

Peralatan sampling kualitas udara <strong>dan</strong> metoda analisis laboratorium yang dilakukan<br />

oleh BMKG menggunakan standar internasional sesuai dengan prosedur dari World<br />

Meteorological Organization (WMO). Pengambilan sampel <strong>dan</strong> Peralatan seperti<br />

terlihat pada Tabel 5 <strong>dan</strong> Metoda analisis <strong>dan</strong> Peralatan laboratorium seperti terlihat<br />

pada Tabel 6.<br />

Tabel 5. Pengambilan Sampel <strong>dan</strong> Peralatan<br />

Parameter<br />

SPM (Suspended Particulate Matter)<br />

Kimia Air Hujan<br />

SO 2 (Sulfur Dioksida)<br />

NO 2 (Nitrogen Dioksida)<br />

O 3 (Ozon Permukaan)<br />

Peralatan<br />

High Volume Sampler (HVS)<br />

Wet & Dry Sampler<br />

Passive Sampler<br />

Passive Sampler<br />

Ozone Analyzer<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 56


Tabel 6. Metode Analisis <strong>dan</strong> Peralatan Laboratorium<br />

Parameter Metode Analisis Peralatan<br />

SPM Gravimetric Analitical Balance<br />

PM 10 Gravimetric Analitical Balance<br />

SO 2 Milli-Q Ion Chromatograph<br />

NO 2 Milli-Q Spektrophotometer<br />

Ozon permukaan UV-Photometri Ozone Analyzer<br />

Kimia Air Hujan Chromatography Ion Chromatograph<br />

5.3 HASIL PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA KUALITAS UDARA<br />

5.3.1 Kadar Debu (Partikulat) Tahun 2011<br />

Secara umum, kadar debu di beberapa kota di Indonesia dari bulan Juli–Desember<br />

2011 berkisar antara 1,27–437,94 μgram/m 3 , kondisi ini menunjukkan bahwa kadar<br />

debu di beberapa kota di Indonesia sudah di atas nilai ambang batas yang<br />

diperbolehkan (230 μgram/m 3 ), antara lain di Glodok, Ancol, Kenten-Palembang,<br />

<strong>dan</strong> Pd.Betung-Ciledug.<br />

Secara lebih rinci kadar debu tertinggi <strong>dan</strong> terendah di Indonesia pada periode<br />

Januari-Juni 2010 dapat dilihat pada Tabel 7.<br />

Tabel 7. Kadar Debu di Indonesia (Juli-Desember 2011)<br />

Debu tertinggi<br />

Debu terendah<br />

No.<br />

Bulan<br />

Lokasi<br />

Kadar<br />

Kadar<br />

Lokasi<br />

(μgram/m 3 ) (μgram/m 3 )<br />

1. Juli<br />

Glodok-<br />

DKI Jakarta<br />

313,88<br />

Angkasa Pura-<br />

Jayapura<br />

4.06<br />

2. Agustus<br />

Kenten-<br />

Palembang<br />

372,14<br />

Angkasa Pura-<br />

Jayapura<br />

5,32<br />

3. September<br />

Kenten-<br />

Palembang<br />

437,94<br />

Angkasa Pura-<br />

Jayapura<br />

1,27<br />

4. Oktober<br />

Kenten -<br />

Palembang<br />

358,88<br />

Angkasa Pura-<br />

Jayapura<br />

2,56<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 57


5. November<br />

Pd.Betung-<br />

Ciledug<br />

307,88<br />

GAW-<br />

Koto Tabang<br />

2,92<br />

6. Desember<br />

Ancol-<br />

Jakarta<br />

DKI<br />

287,67<br />

GAW-<br />

Koto Tabang<br />

2,56<br />

Keterangan : Nilai Baku Mutu = 230 μgram/m 3<br />

Kadar debu di Indonesia berdasarkan rata-rata bulanan adalah sebagai berikut:<br />

Pada bulan Juli 2011, kadar debu berkisar antara 4,06–313,88 μgram/m 3 . Kadar debu<br />

tertinggi terdapat di Glodok sekitar 313,88 μgram/m 3 <strong>dan</strong> sudah di atas nilai baku mutu yang<br />

diperbolehkan (230 μgram/m 3 ). Kadar debu terendah terdapat di Jayapura sekitar 4,06<br />

μgram/m 3 (Gambar 61).<br />

KADAR SPM (µgram/m³) RATA-RATA BULANAN DI INDONESIA (JULI 2011)<br />

Gambar 61. Kadar Debu (partikulat) bulan Juli 2011 di Indonesia<br />

Pada bulan Agustus 2011, kadar debu berkisar antara 5,32 – 372,14 μgram/m 3 .<br />

Kadar debu tertinggi terdapat di Kenten - Palembang sebesar 372,14 μgram/m 3 <strong>dan</strong><br />

sudah di atas nilai baku mutu yang diperbolehkan (230 μgram/m 3 ). Kadar debu<br />

terendah terdapat di Angkasa - Jayapura sekitar 5,32 μgram/m 3 (Gambar 62).<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 58


KADAR SPM (µgram/m³) RATA-RATA BULANANA DI INDONESIA (AGUSTUS 2011)<br />

Gambar 62. Kadar Debu (partikulat) bulan Agustus 2011 di Indonesia<br />

Pada bulan September 2011, kadar debu berkisar antara 1,27– 437,94 μgram/m 3 . Kadar<br />

debu tertinggi terdapat di Kenten - Palembang sekitar 437,94 μgram/m 3 <strong>dan</strong> sudah di atas<br />

nilai baku mutu yang diperbolehkan (230 μgram/m 3 ). Kadar terendah terdapat di Angkasa –<br />

Jayapura sekitar 1,27 μgram/m 3 (Gambar 63).<br />

KADAR SPM (µgram/m³) RATA-RATA BULANAN DI INDONESIA (SEPTEMBER 2011)<br />

Gambar 63. Kadar Debu (partikulat) bulan September 2011 di Indonesia<br />

Pada bulan Oktober 2011, kadar debu berkisar antara 2,56–358,88 μgram/m 3 . Kadar<br />

tertinggi terdapat di Kenten - Palembang sebesar 339,39 μgram/m 3 <strong>dan</strong> sudah di atas nilai<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 59


aku mutu yang diperbolehkan (230 μgram/m 3 ). Kadar terendah terdapat di Angkas-<br />

Jayapura sekitar 2,56 μgram/m 3 (Gambar 64).<br />

KADAR SPM (µgram/m³) RATA-RATA BULANAN DI INDONESIA (OKTOBER 2011)<br />

Gambar 64. Kadar Debu (partikulat) bulan Oktober 2011 di Indonesia<br />

Pada bulan November 2011, kadar debu berkisar antara 2,92–307,88 μgram/m 3 . Kadar<br />

tertinggi terdapat di Pd.Betung-Ciledug sebesar 307,88 μgram/m 3 <strong>dan</strong> sudah di atas nilai<br />

ambang batas yang diperbolehkan (230 μgram/m 3 ). Kadar terendah terdapat di GAW-<br />

Kototabang sebesar 2,92 μgram/m 3 (Gambar 65).<br />

KADAR SPM (µgram/m³) RATA-RATA BULANAN DI INDONESIA ( NOVEMBER 2011)<br />

Gambar 65. Kadar Debu (partikulat) bulan November 2011 di Indonesia<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 60


Pada bulan Desember 2011, kadar debu berkisar antara 2,56–457,37 μgram/m 3 . Kadar<br />

debu tertinggi terdapat di Ancol-DKI Jakarta 287,67 μgram/m 3 <strong>dan</strong> sudah di atas nilai<br />

ambang batas yang diperbolehkan (230 μgram/m 3 ). Kadar terendah terdapat di GAW-<br />

Kototabang sekitar 16,25 μgram/m 3 (Gambar 66).<br />

KADAR SPM (µgram/m³) RATA-RATA BULANAN DI INDONESIA (DESEMBER 2011)<br />

Gambar 66. Kadar Debu (partikulat) bulan Desember 2011 di Indonesia<br />

5.3.2 Tingkat Keasaman (pH) Air Hujan<br />

Tingkat keasaman (pH) air hujan di beberapa kota di Indonesia dari bulan Januari –<br />

Juni 2010 berkisar antara 4,39–6,77, kondisi ini menunjukkan bahwa kualitas air<br />

hujan yang turun di beberapa kota di Indonesia bersifat asam yaitu masih di bawah<br />

nilai ambang batas normal (pH = 5,6) antara lain di Bandung, <strong>dan</strong> Tjilikriwut. Secara<br />

lebih rinci nilai pH air hujan tertinggi <strong>dan</strong> terendah di Indonesia pada periode<br />

Januari-Juni 2010 dapat dilihat pada Tabel 8.<br />

Tabel 8. Nilai pH air hujan di Indonesia (Juli-Desember 2011)<br />

No. Bulan pH Air Hujan Tertinggi pH Air Hujan terendah<br />

Lokasi<br />

Nilai<br />

pH<br />

Lokasi<br />

Nilai pH<br />

1. Juli<br />

2. Agustus<br />

Beto ambari -<br />

Bau-bau<br />

Kenten-<br />

Palembang<br />

6,55 Jakarta 4,14<br />

6,00 Tangerang 4,67<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 61


No. Bulan pH Air Hujan Tertinggi pH Air Hujan terendah<br />

Lokasi<br />

Nilai<br />

pH<br />

Lokasi<br />

Nilai pH<br />

3. September<br />

4. Oktober<br />

Cisarua-<br />

Bogor<br />

Sampali-<br />

Me<strong>dan</strong><br />

6,09 Tangerang 4,36<br />

7,63 Sicincin 3.51<br />

5. November<br />

Patimura-<br />

Ambon<br />

7,11<br />

Branti-<br />

Tanjung Karang<br />

4,29<br />

6. Desember Selaparang-Mataram 8,47 Sicincin 3,07<br />

Keterangan: ‣ Nilai Ambang Batas untuk pH air hujan alami sekitar 5,6<br />

‣ pH air hujan semakin rendah maka kualitas air hujan semakin jelek.<br />

Nilai pH air hujan di Indonesia berdasarkan rata-rata bulanan adalah sebagai<br />

berikut:<br />

Pada bulan Juli 2011, nilai pH air hujan berkisar antara 4,14 – 6,55. pH air hujan<br />

terendah 4,14 terdapat di Jakarta <strong>dan</strong> pH air hujan tertinggi 6,55 terdapat di Beto<br />

Ambari-Bau bau. (Gambar 67).<br />

KADAR pH AIR HUJAN RATA-RATA BULANAN DI INDONESIA ( JULI 2011)<br />

Gambar 67. Tingkat Keasaman (pH) air hujan bulan Juli 2011 di Indonesia<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 62


Pada bulan Agustus 2011, nilai pH air hujan berkisar antara 4,67– 6,00. pH air<br />

hujan terendah 4,67 terdapat di Tangerang <strong>dan</strong> pH air hujan tertinggi 6,00 terdapat<br />

di Kenten - Palembang. (Gambar 68).<br />

KADAR pH AIR HUJAN RATA-RATA BULANAN DI INDONESIA (AGUSTUS 2011)<br />

Gambar 68. Tingkat Keasaman (pH) air hujan bulan Agustus 2011 di Indonesia<br />

Pada bulan September 2011, nilai pH air hujan berkisar antara 4,36 – 6,09. pH air hujan<br />

terendah 4,36 terdapat di Tangerang <strong>dan</strong> pH tertinggi 6,09 terdapat di Cisarua-Bogor.<br />

(Gambar 69).<br />

KADAR pH AIR HUJAN RATA-RATA BULANAN DI INDONESIA (SEPTEMBER 2011)<br />

Gambar 69. Tingkat Keasaman (pH) air hujan bulan September 2011 di Indonesia<br />

Pada bulan Oktober 2011, nilai pH air hujan berkisar antara 3.51–7,63.pH air hujan<br />

terendah 3.57 terdapat di Sicincin <strong>dan</strong> pH tertinggi 7,63 terdapat di Sampali - Me<strong>dan</strong>.<br />

(Gambar 70).<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 63


KADAR pH AIR HUJAN RATA-RATA BULANAN DI INDONESIA (OKTOBER 2011)<br />

Gambar 70. Tingkat Keasaman (pH) air hujan bulan Oktober 2011 di Indonesia<br />

Pada bulan November 2011, nilai pH air hujan berkisar antara 4,29–8,47. pH air hujan<br />

terendah 4,29 terdapat di Branti – Tanjung Karang <strong>dan</strong> pH tertinggi 7,11 terdapat di<br />

Patimura-Ambon. (Gambar 71).<br />

KADAR pH AIR HUJAN RATA-RATA BULANANAN DI INDONESIA (NOVEMBER 2011)<br />

Gambar 71. Tingkat Keasaman (pH) air hujan bulan November 2011 di Indonesia<br />

Pada bulan Desember 2011, nilai pH air hujan berkisar antara 3,07–8,47. pH air hujan<br />

terendah 3,07 terdapat di Sicincin <strong>dan</strong> pH tertinggi 8,47 terdapat di Selaparang-Mataram.<br />

(Gambar 72).<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 64


KADAR pH AIR HUJAN RATA-RATA BULANAN DI INDONESIA ( DESEMBER 2011)<br />

Gambar 72. Tingkat Keasaman (pH) air hujan bulan Desember 2011 di Indonesia<br />

5.3.3 Kadar Sulfat (SO 4 ) dalam Air Hujan<br />

Kadar SO 4 dalam air hujan di Indonesia berkisar antara 0,22–9,24 mg/l. Kadar<br />

tertinggi terdapat di Patimura - Ambon sebesar 9,24 mg/l, kadar terendah terdapat di<br />

Sicincin sebesar 0,22 mg/l. Secara lebih rinci kadar SO 4 tertinggi <strong>dan</strong> terendah di<br />

beberapa lokasi di Indonesia pada periode Juli – Desember 2011 dapat dilihat pada<br />

Tabel 9.<br />

Tabel 9. Kadar SO 4 di Indonesia (Juli – Desember 2011)<br />

Kadar SO 4 tertinggi<br />

Kadar SO 4 terendah<br />

No.<br />

Bulan<br />

Lokasi<br />

Kadar<br />

(mg/l)<br />

Lokasi<br />

Kadar<br />

(mg/l)<br />

1. Juli<br />

Karang Ploso-<br />

Malang<br />

7,99<br />

Supadio-<br />

Pontianak<br />

0,59<br />

2. Agustus Maros - Makasar 4,37<br />

Siantan -<br />

Pontianak<br />

0,40<br />

3. September Cisarua - Bogor<br />

7,21<br />

Tjilik Riwut -<br />

Palangkaraya<br />

0,84<br />

4. Oktober<br />

Pulau baai -<br />

6,55<br />

Angkasapura -<br />

0,65<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 65


Bengkulu<br />

Jayapura<br />

5. November Patimura - Ambon 9,24 Sicincin 0,38<br />

6. Desember<br />

Tjilik Riwut -<br />

Palangkaraya<br />

4.53 Sicincin 0,22<br />

Kadar SO 4 dalam air hujan di Indonesia berdasarkan rata-rata bulanan adalah sebagai<br />

berikut :<br />

Pada Bulan Juli 2011, nilai SO 4 air hujan berkisar antara 0,59 – 7,99 mg/l. SO 4 air hujan<br />

terendah 0,59 mg/l terdapat di Supadio-Pontianak, <strong>dan</strong> SO 4 tertinggi sebesar 7,99 mg/l<br />

terdapat di Karang Ploso-Malang. (Gambar 73).<br />

KADAR SO 4<br />

(mg/l) AIR HUJAN RATA-RATA BULANAN DI INDONESIA (JULI 2011)<br />

Gambar 73. Kadar SO 4 Bulan Juli 2011 di Beberapa Lokasi di Indonesia<br />

Pada Bulan Agustus 2011, nilai SO 4 air hujan berkisar antara 0,64 – 9,57 mg/l. SO 4<br />

terendah sebesar 0,64 mg/l terdapat di Angkasapura - Jayapura, <strong>dan</strong> SO 4 tertinggi sebesar<br />

9,57 mg/l terdapat di Sicincin. (Gambar 74).<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 66


KADAR SO 4<br />

(mg/l) AIR HUJAN RATA-RATA BULANAN DI INDONESIA (AGUSTUS 2011)<br />

Gambar 74. Kadar SO 4 Bulan Agustus 2011 di Beberapa Lokasi di Indonesia<br />

Pada Bulan September 2011, nilai SO 4 air hujan berkisar antara 0,84 – 7,21 mg/l. Kadar<br />

terendah terdapat di Tjilik Riwut - Palangkaraya sebesar 0,84 mg/l <strong>dan</strong> SO 4 terbesar<br />

terdapat di Cisarua - Bogor sebesar 7,21 mg/l. (Gambar 75).<br />

KADAR SO 4 (mg/l AIR HUJAN RATA-RATA BULANAN DI INDONESIA ( SEPTEMBER 2011)<br />

Gambar 75. Kadar SO 4 Bulan September 2011 di Beberapa Lokasi di Indonesia<br />

Pada Bulan Oktober 2011, nilai SO 4 air hujan berkisar antara 0,65 – 6,55 mg/l. SO 4<br />

terendah terdapat di Angkasapura - Jayapura sebesar 0,65 mg/l <strong>dan</strong> SO 4 tertinggi terdapat<br />

di Pulau Baai –Bengkulu sebesar 6,55 mg/l. (Gambar 76).<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 67


KADAR SO 4 (mg/l) AIR HUJAN RATA-RATA BULANAN DI INDONESIA (OKTOBER 2011)<br />

Gambar 76. Kadar SO 4 Bulan Oktober 2011 di Beberapa Lokasi di Indonesia<br />

Pada Bulan November 2011, nilai SO 4 air hujan berkisar antara 0,38– 9,24 mg/l. SO 4<br />

terendah terdapat di Sicincin sebesar 0,38 mg/l <strong>dan</strong> SO 4 tertinggi terdapat di Patimura –<br />

Ambon sebesar 9,24 mg/l. (Gambar 77).<br />

KADAR SO 4 (mg/l) AIR HUJAN RATA-RATA BULANAN DI INDONESIA (NOVEMBER 2011)<br />

Gambar 77. Kadar SO 4 Bulan November 2011 di Beberapa Lokasi di Indonesia<br />

Pada Bulan Desember 2011, nilai SO 4 air hujan berkisar antara 0,22– 4.53 mg/l. Kadar<br />

terendah terdapat di Sicincin sebesar 0,22 mg/l <strong>dan</strong> SO 4 terbesar terdapat di Tjilik Riwut –<br />

Palangkaraya sebesar 4.53 mg/l. (Gambar 78).<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 68


KADAR SO 4 (mg/l) AIR HUJAN RATA-RATA BULANAN DI INDONESIA (DESEMBER 2011)<br />

Gambar 78. Kadar SO 4 Bulan Desember 2011 di Beberapa Lokasi di Indonesia<br />

5.3.4 Kadar Nitrat (NO 3 ) dalam Air Hujan<br />

Kadar NO 3 dalam air hujan di Indonesia berkisar antara 0,005–4,719 mg/l. Kadar<br />

tertinggi terdapat di Bandung sekitar 4,719 mg/l, kadar terendah terdapat di GAW<br />

Kototabang sebesar 0,005 mg/l. Secara lebih rinci kadar NO 3 tertinggi <strong>dan</strong> terendah<br />

di Indonesia pada periode Juli - Desember 2011 dapat dilihat pada tabel 10.<br />

Tabel 10. Kadar NO 3 di Indonesia (Juli - Desember 2011)<br />

No. Bulan Kadar NO 3 tertinggi Kadar NO 3 terendah<br />

Lokasi<br />

Kadar<br />

(mg/l)<br />

Lokasi<br />

Kadar<br />

(mg/l)<br />

1. Juli<br />

Balai Besar Wil. I -<br />

Me<strong>dan</strong><br />

7.261<br />

Samratulangi -<br />

Manado<br />

0.025<br />

2. Agustus Dermaga - Bogor 4.827<br />

3. September Cisarua - Bogor 12,469<br />

Angkasa Pura-<br />

Jayapura<br />

Samratulangi -<br />

Manado<br />

0.188<br />

0,200<br />

4. Oktober<br />

Karangploso -<br />

Malang<br />

3,746<br />

Beto Ambari - Bau<br />

Bau<br />

0,009<br />

5. November<br />

Branti - Tanjung<br />

Karang<br />

3,440 Sicincin 0,175<br />

6. Desember Palangkaraya 3.327<br />

Angkasapura-<br />

Jayapura<br />

0.037<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 69


Kadar NO 3 dalam air hujan di Indonesia berdasarkan rata-rata bulanan adalah sebagai<br />

berikut:<br />

Pada Bulan Juli 2011, nilai NO 3 air hujan berkisar antara 0,03 – 7,26 mg/l. NO 3 air hujan<br />

terendah 0,03 mg/l terdapat di Samratulangi - Manado, <strong>dan</strong> NO 3 tertinggi sebesar 7,26 mg/l<br />

terdapat di Balai Besar Wil. I -Me<strong>dan</strong>. (Gambar 79).<br />

KADAR NO3 (mg/l) AIR HUJAN RATA-RATA BULANAN DI INDONESIA (JULI 2011)<br />

Gambar 79. Kadar NO 3 Bulan Juli 2011 di Beberapa Lokasi di Indonesia<br />

Pada Bulan Agustus 2011, nilai NO 3 air hujan berkisar antara 0,19 – 4,83 mg/l. NO 3 air<br />

hujan terendah 0,19 mg/l terdapat di Angkasa Pura-Jayapura, <strong>dan</strong> NO 3 tertinggi sebesar<br />

4,83 mg/l terdapat di Dermaga - Bogor. (Gambar 80).<br />

KADAR NO₃ NO3 (mg/l) AIR AIR HUJAN RATA-RATA BULANAN DI INDONESIA (AGUSTUS ( 2011) 2011)<br />

Gambar 80. Kadar NO 3 Bulan Agustus 2011 di Beberapa Lokasi di Indonesia<br />

Pada Bulan September 2011, nilai NO 3 air hujan berkisar antara 0,200 – 12,469 mg/l. NO 3<br />

air hujan terendah 0,200 mg/l terdapat di Samratulangi - Manado, <strong>dan</strong> NO 3 tertinggi sebesar<br />

12,469 mg/l terdapat di Cisarua - Bogor. (Gambar 81).<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 70


KADAR NO3 NO₃ (mg/l) AIR HUJAN RATA-RATA BULANAN DI DI INDONESIA ( (SEPTEMBER 2011) 2011)<br />

Gambar 81. Kadar NO 3 Bulan September 2011 di Beberapa Lokasi di Indonesia<br />

Pada Bulan Oktober 2011, nilai NO 3 air hujan berkisar antara 0,009– 3,746 mg/l. NO 3 air<br />

hujan terendah 0,009 mg/l terdapat di Beto Ambari – Bau Bau <strong>dan</strong> NO 3 tertinggi sebesar<br />

3,746 mg/l terdapat di Karangploso - Malang. (Gambar 82).<br />

KADAR NO3 (mg/l) AIR HUJAN RATA-RATA BULANAN DI INDONESIA (OKTOBER 2011)<br />

Gambar 82. Kadar NO 3 Bulan Oktober 2011 di Beberapa Lokasi di Indonesia<br />

Pada Bulan November 2011, nilai NO 3 air hujan berkisar antara 0.175 – 3.440 mg/l. NO 3 air<br />

hujan terendah 0.175 mg/l terdapat di Sicincin, <strong>dan</strong> NO 3 tertinggi sebesar 3.440 mg/l<br />

terdapat di Branti - Tanjungkarang (Gambar 83).<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 71


KADAR NO3 (mg/l) AIR HUJAN RATA-RATA BULANAN DI INDONESIA (NOVEMBER 2011)<br />

Gambar 83. Kadar NO 3 Bulan November 2011 di Beberapa Lokasi di Indonesia<br />

Pada Bulan Desember 2011, nilai NO 3 air hujan berkisar antara 0.037 – 3.327 mg/l. NO 3 air<br />

hujan terendah 0.037 mg/l terdapat di Angkasa - Jayapura, <strong>dan</strong> NO 3 tertinggi sebesar 3.327<br />

mg/l terdapat di Tjilik Riwut - Palangkaraya (Gambar 84).<br />

KADAR NO3 (mg/l) AIR HUJAN RATA-RATA BULANAN DI INDONESIA (DESEMBER 2011)<br />

Gambar 84. Kadar NO 3 bulan Desember 2011 di beberapa Lokasi di Indonesia<br />

5.4 KONDISI KUALITAS UDARA DI JAKARTA TAHUN 2011<br />

5.4.1 Kadar SO 2 <strong>dan</strong> NO 2<br />

Secara umum, hasil pemantauan kadar SO 2 <strong>dan</strong> NO 2 di beberapa lokasi di Jakarta masih<br />

relatif rendah <strong>dan</strong> jauh di bawah nilai ambang batas yang diperbolehkan. Kadar rata-rata<br />

bulanan SO 2 <strong>dan</strong> NO 2 periode Juli – Desember 2011 adalah sebagai berikut:<br />

Kadar SO 2 rata-rata bulanan di beberapa lokasi di Jakarta masih cukup baik <strong>dan</strong> berada di<br />

bawah nilai ambang batas yang diperbolehkan (0,14 ppm). (Gambar 85).<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 72


Gambar 85. Kadar SO 2 di beberapa Lokasi di Jakarta (Juli - Desember 2010)<br />

Kadar NO 3 rata-rata bulanan di beberapa lokasi di Jakarta masih cukup baik <strong>dan</strong> berada di<br />

bawah nilai ambang batas yang diperbolehkan (0,08 ppm). (Gambar 86).<br />

Gambar 86. Kadar NO 3 di beberapa Lokasi di Jakarta (Juli-Desember 2011)<br />

5.4.2. Kadar Debu (SPM) di Jakarta<br />

Pemantauan kadar debu di Jakarta dilakukan di 5 (lima) lokasi yaitu daerah Kemayoran,<br />

Glodok, Bandengan, Ancol, <strong>dan</strong> Monas. Umumnya, kadar debu di daerah Glodok pada<br />

bulan Juli-Desember 2011 sangat tinggi melebihi nilai ambang batas yang di perbolehkan<br />

(230 gram/m 3 ). Tingginya kadar debu di Glodok diperkirakan merupakan kontribusi dari<br />

kendaraan bermotor, karena lokasi pengukuran dekat dengan jalan raya (road site). Kadar<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 73


debu di daerah Kemayoran relatif cukup baik <strong>dan</strong> berada di bawah nilai ambang batas.<br />

(Gambar 87)<br />

Gambar 87. Kadar Debu di beberapa Lokasi di Jakarta (Juli-Desember 2011)<br />

Secara lebih rinci kadar debu tertinggi <strong>dan</strong> terendah di Jakarta pada periode Juli-<br />

Desember 2011 dapat dilihat pada Tabel 11.<br />

Tabel 11. Kadar debu di Jakarta (Juli – Desember 2011)<br />

Kadar debu tertinggi<br />

Kadar debu terendah<br />

No.<br />

Bulan<br />

Lokasi<br />

Kadar<br />

Kadar<br />

Lokasi<br />

(μgram/m 3 ) (μgram/m 3 )<br />

1. Juli Glodok 314 Ancol 222<br />

2. Agustus Glodok 366 Monas 248<br />

3. September Monas 361 Ancol 214<br />

4. Oktober. Glodok 334 Bandengan 238<br />

5. November Glodok 303 Bandengan 194<br />

6. Desember Ancol 288 Bandengan 153<br />

Keterangan: Nilai Ambang Batas untuk kadar debu adalah 230 gram/m 3<br />

5.4.3.Konsentrasi Ozon Permukaan (O 3 )<br />

Pemantauan Ozon Permukaan dilakukan di stasiun BMKG-Kemayoran dilakukan dengan<br />

peralatan otomatis Ozone Analyzer dengan metode UV Photometric.<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 74


Hasil pengukuran ozon pada bulan Juli, menunjukkan bahwa konsentrasi ozon tertinggi<br />

terjadi pada tanggal 30 sekitar 62,87 ppb, (Gambar 88).<br />

Gambar 88. Kadar Ozon Permukaan (O 3 ) Bulan Juli di Jakarta<br />

Hasil pengukuran ozon pada bulan Agustus menunjukkan bahwa konsentrasi ozon tertinggi<br />

terjadi pada tanggal 25 sekitar 110,93 ppb, (Gambar 89)<br />

Gambar 89. Kadar Ozon Permukaan (O 3 ) Bulan Agustus di Jakarta<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 75


Hasil pengukuran ozon pada bulan September menunjukan bahwa konsentrasi ozon<br />

tertinggi terjadi pada tanggal 22 sekitar 104,76 ppb, (Gambar 90).<br />

Gambar 90. Kadar Ozon Permukaan (O 3 ) Bulan September di Jakarta<br />

Hasil pengukuran ozon pada bulan Oktober menunjukan bahwa konsentrasi ozon tertinggi<br />

terjadi pada tanggal 26 sekitar 17,21 ppb, (Gambar 91).<br />

Gambar 91. Kadar Ozon Permukaan (O 3 ) Bulan Oktober di Jakarta<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 76


Hasil pengukuran ozon pada bulan November menunjukan bahwa konsentrasi ozon tertinggi<br />

terjadi pada tanggal 30 sekitar 18,50 ppb, (Gambar 92)<br />

Gambar 92. Kadar Ozon Permukaan (O 3 ) Bulan November di Jakarta<br />

Hasil pengukuran ozon pada bulan Desember menunjukan bahwa konsentrasi ozon tertinggi<br />

terjadi pada tanggal 8 sekitar 85,74 ppb, (Gambar 93)<br />

Gambar 93. Kadar Ozon Permukaan (O 3 ) Bulan Desember di Jakarta<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 77


VI. TRAYEKTORI DAN DISPERSI AKTIVITAS GUNUNG BERAPI<br />

Indonesia merupakan wilayah yang dikelilingi oleh aktivitas vulkanik seperti gunung<br />

berapi. Letusan gunung api di wilayah Indonesia pada waktu tertentu akan<br />

mengakibatkan kerugian moril maupun materi bagi masayarakat yang tinggal di<br />

sekitar lokasi bencana.<br />

Pusat <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> (PUSPIKU) di dalam tugas pokonya<br />

adalah melakukan pengelolaan data <strong>dan</strong> pelayanan informasi di bi<strong>dan</strong>g<br />

perubahan iklim <strong>dan</strong> kualitas udara. Artinya bahwa sehubungan dengan kegiatan<br />

tersebut, maka PUSPIKU wajib menyediakan berbagai informasi yang berkaitan<br />

dengan aktivitas gunung berapi di Indonesia serta kaitannya dengan sebaran debu<br />

vulkanik.<br />

6.1 REKAM JEJAK (TRAJECTORY) DAN PENYEBARAN (DISPERSION)<br />

Hingga saat ini PUSPIKU telah mengembangkan berbagai model terutama di dalam<br />

memantau rekam jejak (trajectory) <strong>dan</strong> pola sebaran (dispersi) debu gunung berapi di<br />

wilayah Indoenesia. Model tersebut merupakan model operasional yang dikembangkan<br />

berdasarkan hasil kerja sama antara PUSPIKU dengan lembaga penelitian antara lain<br />

model Hysplit (NOAA-AS). Model ini memiliki beberapa spesifikasi khusus, diantaranya<br />

berfungsi untuk mengetahui sebaran serta prediksi debu gunung berapi.<br />

Pada periode bulan Juli hingga Desember 2011, telah terjadi beberapa kejadian letusan<br />

gunung berapi diantaranya :<br />

1. Gunung Merapi di Jawa Tengah tanggal 11-20 Agustus 2011<br />

2. Gunung Soputan di Sulawesi Utara tanggal 16-20 Agustus 2011<br />

3. Gunung Lokon di Sulawesi Utara tanggal 26-28 Oktober 2011<br />

4. Gunung Gamalama di Maluku tanggal 5-9 Desember 2011<br />

5. Gunung Sundoro di Jawa Tengah 6-9 Desember 2011.<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 78


Gambar 94. Trayektori debu gunung Marapi tanggal 11-20 Agustus 2011<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 79


Gambar 95. Trayektori debu gunung Soputani tanggal 16-20 Agustus 2011<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 80


Gambar 96. Trayektori debu gunung Lokon tanggal 26-28 Oktober 2011<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 81


Gambar 97. Trayektori debu gunung Gamalama tanggal 5-9 Desember 2011<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 82


Gambar 98. Trayektori debu gunung Sundoro tanggal 6-9 Desember 2011<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 83


LAMPIRAN<br />

STASIUN PEMANTAU KUALITAS UDARA BMKG DI INDONESIA<br />

Sampai saat ini BMKG memiliki 44 jaringan stasiun pemantau kualitas udara. Dari 44<br />

Stasiun/ Unit Kerja Pemantau <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong>, 42 Stasiun melakukan pengamatan parameter<br />

SPM (Suspended Particulate Matter), 31 stasiun parameter Kimia Air Hujan (KAH), 7 stasiun<br />

parameter SO 2 <strong>dan</strong> NO 2 , 4 stasiun parameter PM 10 , 3 stasiun parameter Aerosol, <strong>dan</strong> 2<br />

stasiun melakukan pengamatan parameter Ozon (O 3 ) permukaan serta 1 stasiun lainnya<br />

melaksanakan monitoring Gas Rumah Kaca (GRK).<br />

Lampiran. 1. Peta Stasiun <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 84


Lampiran. 2. Site Monitoring <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di DKI Jakarta<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 85


GLOSARIUM<br />

Awal Musim Hujan adalah ditetapkan berdasarkan jumlah curah hujan dalam satu<br />

dasarian (10 hari) sama atau lebih dari 50 milimeter <strong>dan</strong> diikuti oleh dua dasarian<br />

berikutnya. Permulaan musim hujan, bisa terjadi lebih awal (maju), sama, atau lebih<br />

lambat (mundur) dari normalnya (rata-rata 1971-2000).<br />

Awal Musim Kemarau adalah ditetapkan berdasarkan jumlah curah hujan dalam<br />

satu dasarian (10 hari) kurang dari 50 milimeter <strong>dan</strong> diikuti oleh dua dasarian<br />

berikutnya. Permulaan musim kemarau, bisa terjadi lebih awal (maju), sama, atau<br />

lebih lambat (mundur) dari normalnya (rata-rata 1971-2000).<br />

Dasarian adalah rentang waktu selama 10 (sepuluh hari). Dalam satu bulan dibagi<br />

menjadi 3 (tiga) dasarian, yaitu: Dasarian I: tanggal 1 sampai 10, Dasarian II: tanggal<br />

11 sampai 20, Dasarian III: tanggal 21 sampai akhir bulan.<br />

Dry spell maksimum adalah jumlah maksimum hari tidak hujan berturut-turut.<br />

Efek Rumah Kaca adalah suatu proses pemantulan energi panas ke atmosfer<br />

dalam bentuk sinar-sinar infra merah. Sinar-sinar infra merah ini diserap oleh<br />

karbondioksida <strong>dan</strong> di atmosfer menyebabkan kenaikan suhu (Sumber : IPCC,<br />

2007).<br />

Exposure didefinisikan sebagai the nature <strong>dan</strong> derajat di mana sistem diekspos<br />

terhadap keragaman iklim yang signifikan.<br />

Gas Rumah Kaca adalah berbagai unsur di atmosfer yang mengakibatkan efek<br />

rumah kaca. Beberapa gas rumah kaca dihasilkan secara alamiah di atmosfer,<br />

sementara yang lainnya merupakan akibat berbagai aktivitas manusia seperti<br />

membakar bahan bakar fosil seperti batu bara. Gas rumah kaca terdiri dari uap air,<br />

karbon dioksida, metan, nitrogen oksida <strong>dan</strong> ozon. (Sumber : IPCC, 2007).<br />

Kapasitas Adaptasi (Adaptive Capacity) adalah kemampuan sebuah sistem untuk<br />

menyesuaikan terhadap perubahan iklim (termasuk variabilitas <strong>dan</strong> ekstrim iklim).<br />

Kerentanan terhadap perubahan iklim adalah sebuah kondisi yang mengurangi<br />

kemampuan manusia untuk menyiapkan diri, atau menghadapi kerawanan ataupun<br />

bencana.<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 86


Panjang Musim Hujan adalah Rentang waktu (dasarian) mulai permulaan masuk<br />

musim hujan sampai berakhirnya musim hujan (permulaan musim kemarau).<br />

Panjang Musim Kemarau adalah Rentang waktu (dasarian) mulai permulaan<br />

masuk musim kemarau sampai berakhirnya musim kemarau (permulaan musim<br />

hujan).<br />

Pemanasan Global adalah kenaikan rata-rata suhu udara di dekat permukaan bumi<br />

<strong>dan</strong> samudera dalam beberapa dekade terkahir ini beserta proyeksi kelanjutannya<br />

(Sumber : IPCC, 2007).<br />

<strong>Perubahan</strong> iklim adalah berubahnya iklim yang diakibatkan, langsung atau tidak<br />

langsung, oleh aktivitas manusia yang menyebabkan perubahan komposisi atmosfer<br />

secara global serta perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun<br />

waktu yang dapat dibandingkan (Sumber : UU No. 31 Tahun 2009).<br />

Sensititivitas (Sensitivity) adalah tingkatan dimana suatu sistem yang dipengaruhi<br />

oleh stimulasi yang berhubungan dengan iklim sehingga menimbulkan efek baik<br />

yang menguntungkan atau merugikan.<br />

Suhu <strong>Udara</strong> adalah keadaan panas atau dinginnya udara. Alat untuk mengukur<br />

suhu udara atau derajad panas disebut termometer. Pengukuran biasa dinyatakan<br />

dalam skala Celsius (C), Reamur (R), Kelvin (K) <strong>dan</strong> Fahrenheit (F).<br />

Suhu <strong>Udara</strong> Rata-rata harian adalah suhu udara hasil pengukuran termometer<br />

kering yang dihitung dengan merata-ratakan pengukuran termometer tersebut pada<br />

jam 00 GMT, 06 GMT <strong>dan</strong> 11 GMT dengan rumus ((2 X suhu jam 00 GMT) + suhu<br />

jam 06 GMT + suhu jam 11 GMT) dibagi empat.<br />

Suhu <strong>Udara</strong> Rata-rata bulanan adalah rata-rata data suhu udara rata-rata harian<br />

dalam satu bulan.<br />

Suhu <strong>Udara</strong> Maksimum Harian adalah suhu udara hasil pengukuran thermometer<br />

maksimum merupakan suhu paling tinggi dalam satu hari pada jam 2 – 3 siang.<br />

Suhu <strong>Udara</strong> Maksimum Rata-rata adalah rata-rata data suhu udara maksimum<br />

harian dalam satu bulan.<br />

Suhu <strong>Udara</strong> Maksimum Absolut adalah nilai suhu maksimum harian paling tinggi<br />

dalam satu bulan.<br />

Suhu <strong>Udara</strong> Minimum Harian adalah suhu udara hasil pengukuran thermometer<br />

minimum merupakan suhu paling rendah dalam satu hari pada jam 2 – 3 pagi.<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 87


Suhu <strong>Udara</strong> Minimum Rata-rata adalah rata-rata data suhu udara minimum harian<br />

dalam satu bulan.<br />

Suhu <strong>Udara</strong> Minimum Absolut adalah nilai suhu minimum harian paling rendah<br />

dalam satu bulan.<br />

Tren adalah kecenderungan perubahan nilai parameter iklim naik atau turun pada<br />

suatu periode tertentu. Dalam hal ini adalah tren maju atau mundur awal musim <strong>dan</strong><br />

tren memanjang atau memendeknya panjang musim.<br />

Wet spell maksimum adalah jumlah maksimum hari hujan berturut-turut.<br />

<strong>Udara</strong> ambien adalah udara bebas dipermukaan bumi pada lapisan troposfir yang berada<br />

di dalam wilayah yurisdiksi Republik Indonesia yang dibutuhkan <strong>dan</strong> mempengaruhi<br />

kesehatan manusia, makhluk hidup <strong>dan</strong> unsur lingkungan hidup lainnya.<br />

Mutu udara ambien adalah kadar zat, energi, <strong>dan</strong>/atau komponen lain yang ada di udara<br />

bebas.<br />

Baku mutu udara ambien (Nilai Ambang Batas) adalah ukuran batas atau kadar zat,<br />

energi, <strong>dan</strong>/atau komponen yang ada atau yang seharusnya ada <strong>dan</strong>/atau unsur pencemar<br />

yang ditenggang keberadaannya dalam udara ambien.<br />

Emisi adalah zat, energi <strong>dan</strong>/atau komponen lain yang dihasilkan dari suatu kegiatan yang<br />

masuk <strong>dan</strong>/atau dimasukkannya ke dalam udara ambien yang mempunyai <strong>dan</strong>/atau tidak<br />

mempunyai potensi sebagai unsur pencemar.<br />

Sumber emisi adalah setiap usaha <strong>dan</strong>/atau kegiatan yang mengeluarkan emisi dari<br />

sumber bergerak, sumber bergerak spesifik, sumber tidak bergerak, maupun sumber tidak<br />

bergerak spesifik.<br />

Sumber bergerak adalah sumber emisi yang bergerak atau tidak tetap pada suatu tempat<br />

yang berasal dari kendaraan bermotor.<br />

Sumber bergerak spesifik adalah sumber emisi yang bergerak atau tidak tetap pada suatu<br />

tempat yang berasal dari kereta api, pesawat terbang, kapal laut <strong>dan</strong> kendaraan berat<br />

lainnya.<br />

Sumber tidak bergerak adalah sumber emisi yang tetap pada suatu tempat.<br />

Sumber tidak bergerak spesifik adalah sumber emisi yang tetap pada suatu tempat yang<br />

berasal dari kebakaran hutan <strong>dan</strong> pembakaran sampah.<br />

Faktor meteorologi dominan yang mempengaruhi kualitas udara ambien antara lain suhu<br />

udara, arah <strong>dan</strong> kecepatan angin, awan <strong>dan</strong> hujan.<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 88


‣ Suhu udara berperan untuk menentukan sebaran polutan secara vertikal di udara<br />

(atmosfer).<br />

‣ Arah angin berperan untuk menentukan sebaran polutan secara horizontal di udara.<br />

‣ Kecepatan angin berperan untuk menentukan jarak sebaran polutan dari sumber<br />

polutan.<br />

‣ Awan <strong>dan</strong> hujan berperan proses pengenceran (dillution) <strong>dan</strong> pencucian (wash out)<br />

polutan di udara.<br />

Karakteristik kekasaran permukaan (topografi) antara lain pepohonan, bangunan,<br />

pegunungan <strong>dan</strong> lembah.<br />

μgram/m 3<br />

= mikrogram per meter kubik<br />

ppm<br />

ppb<br />

mg/l<br />

= part per million<br />

= part per billion<br />

= milligram per liter<br />

<strong>Buku</strong> <strong>Informasi</strong> <strong>Perubahan</strong> <strong>Iklim</strong> <strong>dan</strong> <strong>Kualitas</strong> <strong>Udara</strong> di Indonesia P a g e | 89

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!