24.09.2014 Views

Indriani, Risa; Damayanti, Rini; Aryanti, Tatty; Darminto - Balai Besar ...

Indriani, Risa; Damayanti, Rini; Aryanti, Tatty; Darminto - Balai Besar ...

Indriani, Risa; Damayanti, Rini; Aryanti, Tatty; Darminto - Balai Besar ...

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing<br />

DUKUNGAN TEKNOLOGI VETERINER DAN STRATEGI<br />

PENGENDALIAN PENYAKIT UNGGAS (AYAM)<br />

DI SEKTOR 3 DAN 4<br />

R.M.A. ADJID, R. INDRIANI, R. DAMAYANTI, T. ARYANTI, dan DARMINTO<br />

<strong>Balai</strong> <strong>Besar</strong> Penelitian Veteriner<br />

Jl. R.E. Martadinata No. 30 PO Box 151, Bogor<br />

ABSTRAK<br />

Industri peternakan unggas di Indonesia, berdasarkan sistem produksinya, dibagi ke dalam 4 sektor<br />

dengan porsi terbesar dari segi jumlah petani-peternak yang terlibat adalah sektor 3 dan 4. Disamping itu,<br />

sektor ini memiliki sebaran luas hampir di seluruh wilayah di tanah air. Namun sektor ini memiliki banyak<br />

kelemahan dalam hal sistem kesehatan hewannya dibandingkan dengan sektor 1 dan 2, sehingga kedua sektor<br />

ini lebih mudah mendapat serangan penyakit. Sistem produksi yang berbeda antar sektor 3 dan 4 juga<br />

mengakibatkan perbedaan permasalahan penyakit yang dihadapi. Berbagai penyakit unggas, antara lain<br />

Newcastle Disease (ND), Avian Influenza (AI) dan internal parasit (cacingan) dianggap sangat menonjol pada<br />

ayam di sektor 4. Sementara itu untuk ayam di sektor 3, penyakit Newcastle Disease (ND), Avian Influenza<br />

(AI), Infectious Bursal Disease (IBD), Kolibasillosis, dan Chronic Respiratory Disease (CRD) sering<br />

menimbulkan permasalahan. Permasalahan-permasalahan penyakit tersebut seharusnya sudah dapat diatasi<br />

karena telah tersedianya teknologi veteriner untuk mengatasi penyakit tersebut. Berbagai teknologi veteriner<br />

berupa obat hewan (vaksin, antibiotika), dan teknik diagnosis telah tersedia di Indonesia, beberapa<br />

diantaranya dihasilkan oleh BBalitvet. Namun demikian ketersediaan teknologi tersebut harus diiringi dengan<br />

pengetahuan dan tindakan upaya pengendalian penyakit yang efektif dan efisien. Sosialisasi teknologi dan<br />

strategi pengendalian penyakit, serta tersedianya obat hewan (vaksin dan obat) di sentra-sentra produksi<br />

unggas merupakan upaya pemecahan masalah kesehatan hewan di sektor 3 dan 4 yang perlu dilakukan.<br />

Kata kunci: Teknologi veteriner, unggas, ayam, sektor 3, sektor 4<br />

PENDAHULUAN<br />

Ternak ayam merupakan komoditas<br />

peternakan yang paling banyak dipelihara oleh<br />

para petani-peternak di pedesaan. Produk<br />

komoditas peternakan ini adalah sumber<br />

protein hewani yang dapat dijangkau oleh<br />

lapisan masyarakat secara luas. Berdasarkan<br />

sistem produksinya, maka di Indonesia industri<br />

peternakan ayam dikategorikan ke dalam 4<br />

sektor, yaitu sektor 1 (industri besar<br />

terintegrasi/breeding farm), sektor 2 (populasi<br />

20.000-50.000), sektor 3 (populasi 1000-<br />

20.000 ekor), dan Sektor 4 (ayam kampung<br />

populasi 1-100 ekor).<br />

Penanganan masalah kesehatan unggas di<br />

sektor 1 dan 2 dapat dianggap sudah memadai,<br />

karena sektor ini telah melakukan sistim<br />

kesehatan hewan yang ketat didukung dengan<br />

fasilitas yang sangat lengkap dan dilakukan<br />

secara terprogram. Sementara penanganan<br />

masalah kesehatan hewan di sektor 3 dan 4<br />

masih sangat kurang, sehingga sektor ini<br />

mudah terancam serangan penyakit.<br />

Sektor 3, dengan populasi berkisar antara<br />

1.000–20.000 ekor per peternakan, kebanyakan<br />

adalah ayam ras, baik petelur atau broiler.<br />

Sektor ini memiliki sistem produksi dan<br />

kesehatan hewan yang cukup baik dalam hal<br />

penanganan penyakit, namun tingkat biosekuritinya<br />

masih rendah sehingga masih<br />

rawan terhadap serangan penyakit. Ayam<br />

broiler di sektor 3 sangat terancam dengan<br />

penyakit AI karena lemahnya tingkat<br />

biosekuriti, dan ayam broiler tersebut tidak<br />

divaksinasi terhadap penyakit AI.<br />

Sektor 4 adalah usaha peternakan milik<br />

petani-peternak dengan jumlah kepemilikan<br />

ayam buras sampai sekitar 100 ekor. Sektor ini<br />

sangat lemah dalam sistem kesehatan hewan,<br />

bahkan tidak ada sama sekali, sehingga sangat<br />

rawan terhadap serangan penyakit. Bila tidak<br />

disentuh dengan teknologi veteriner, maka<br />

sektor ini akan hancur dan bahkan dapat<br />

mengganggu terhadap sektor lainnya. Jumlah<br />

22


Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing<br />

peternakan sektor 4 merupakan yang terbanyak<br />

dan tersebar merata di seluruh provinsi/<br />

kabupaten/desa yang ada. Secara keseluruhan<br />

populasi ayam buras di Indonesia diperkirakan<br />

mencapai 297 juta ekor. Kontribusi produk dari<br />

ayam buras (daging dan telur) ini untuk<br />

pemenuhan kebutuhan protein hewani tidak<br />

boleh diabaikan. KUSNADI et al. (2001)<br />

melaporkan dari hasil studinya di Jawa Tengah<br />

pada tahun 1998, yaitu suplai ayam buras<br />

mencapai 58.000 ton daging dan 34.000 ton<br />

telur. Angka ini memperlihatkan bahwa ayam<br />

buras mensuplai 20% daging dan 70% telur<br />

dari total produksi asal ternak. Selanjutnya bila<br />

diusahakan secara baik, dengan skala 300 –<br />

500 ekor ayam buras petelur, peternak akan<br />

mendapat keuntungan sebesar Rp. 475.000,-<br />

per bulan.<br />

Berbagai jenis penyakit unggas menular<br />

tersebar hampir secara merata di wilayah di<br />

Indonesia. Pada daerah endemik penyakit<br />

unggas berbahaya, maka penyakit menjadi<br />

faktor penghambat atau pembatas bahkan<br />

penghancur industri unggas. Saat ini penyakit<br />

AvianiInfluenza (AI) atau Flu Burung menjadi<br />

bukti nyata sangat bahayanya keberadaan suatu<br />

penyakit di sentra produksi unggas. Sementara<br />

itu penyakit lainnya, seperti ND, telah ada dan<br />

harus terus menerus dicegah untuk melindungi<br />

ternak unggas di semua sektor. Upaya<br />

pencegahan penyakit tentunya memberikan<br />

konsekuensi penambahan biaya operasional/<br />

produksi.<br />

Makalah ini menginformasikan dukungan<br />

teknologi veteriner untuk mengendalikan<br />

penyakit unggas yang sering menimbulkan<br />

masalah di sektor 3 dan 4. Beberapa teknologi<br />

veteriner tersebut telah dihasilkan oleh <strong>Balai</strong><br />

<strong>Besar</strong> Penelitian Veteriner (BBalitvet).<br />

Rekomendasi strategi pengendalian penyakit<br />

unggas di sektor 3 dan 4 juga dituangkan<br />

dalam makalah ini.<br />

PENYAKIT MENULAR PADA AYAM DI<br />

SEKTOR 3 DAN 4, SERTA TEKNOLOGI<br />

VETERINER YANG TERSEDIA<br />

Berbagai jenis penyakit ayam telah banyak<br />

dilaporkan kejadiannya di Indonesia, antara<br />

lain Avian influenza (AI), Newcastle Disease<br />

(ND), Infectious Bursal Disease (IBD), Marek,<br />

IB, ILT, Snot, Kolera Unggas, CRD, Pullorum,<br />

Kolibasillosis, Kekerdilan, Ascariasis,<br />

Koksidiosis, dan Leukositozoonosis<br />

(DHARMAYANTI et al., 2004; SAEPULLOH et<br />

al., 2003; HERNOMOADI et al., 2002;<br />

POERNOMO dan JUARINI, 1996; RONOHARDJO<br />

et al., 1992; DARMINTO, 1992; ISTIANA et al.,<br />

1992; POERNOMO, 1975; RONOHARDJO, 1974;<br />

SYAMSUDIN, 1987). Meskipun penyakit<br />

tersebut telah dilaporkan kejadiannya,<br />

informasi yang rinci dan akurat mengenai<br />

prevalensi, distribusi, morbiditas, mortalitas,<br />

serta pengaruhnya pada produktifitas untuk<br />

beberapa penyakit tertentu masih sangat<br />

terbatas. Oleh karena itu maka penelitian<br />

tentang penyakit unggas perlu terus dilakukan,<br />

teknologi veteriner perlu terus dikembangkan,<br />

serta teknologi yang sudah ada perlu<br />

disosialisasikan kepada masyarakat sehingga<br />

dapat diaplikasikan untuk meningkatkan<br />

produktifitas unggas.<br />

Untuk unggas di sektor 3, diantara penyakit<br />

tersebut di atas yang paling sering terjadi<br />

adalah penyakit Avian Influenza (AI),<br />

Newcastle Disease (ND), Infectious Bursal<br />

Disease (IBD), Kolibasillosis, serta Chronic<br />

Respiratory Disease (CRD). Sementara untuk<br />

unggas di Sektor 4, maka penyakit yang paling<br />

dianggap mengganggu adalah Avian Influenza<br />

(AI) dan Newcastle Disease (ND). Penyakit<br />

dan ketersediaan teknologinya dalam rangka<br />

pengendalian penyakit diuraikan seperti di<br />

bawah ini.<br />

Avian influenza (AI) atau flu burung<br />

Avian influenza (AI) atau Flu Burung<br />

disebabkan oleh virus influenza tipe A dari<br />

famili Orthomyxoviridae) (EASTERDAY, et al.,<br />

1997). Sejak mewabahnya penyakit ini tahun<br />

2003 sampai dengan saat ini di Indonesia<br />

penyakit terus mengakibatkan kematian unggas<br />

yang masih rentan. Pada awalnya penyakit<br />

mewabah di pulau Jawa, selanjutnya secara<br />

cepat merebak ke daerah lain seperti Lampung,<br />

Bali, Madura, Kalimantan, Sumatera, NTB,<br />

NTT, Sulawesi dan Papua. Penyakit AI ini<br />

tidak hanya menyerang ayam ras dan lokal,<br />

tetapi juga jenis unggas lainnya seperti itik,<br />

entok, angsa, burung puyuh, merpati, burung<br />

unta, burung merak, beo juga dapat terserang<br />

penyakit AI (BALITVET, 2004). Sampai dengan<br />

saat ini virus AI yang menyerang unggas di<br />

23


Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing<br />

Indonesia adalah virus AI yang sangat ganas<br />

atau Highly Pathogenic Avian Influenza<br />

(HPAI).<br />

Teknologi veteriner yang telah tersedia<br />

adalah vaksin dan teknologi diagnosis. Vaksin<br />

AI produksi dalam dan luar negeri telah<br />

beredar dengan luas di daerah endemik.<br />

Teknologi diagnosis, berupa uji cepat (Rapid<br />

Test) produk impor juga dapat diperoleh<br />

dengan mudah, meskipun harganya relatif<br />

mahal. Untuk analis genetik virus AI,<br />

BBalitvet telah menguasai teknologinya dan<br />

jasa teknologi telah dimanfaatkan oleh<br />

pengguna (Pemda, Produsen vaksin dll)<br />

(DHARMAYANTI et al., 2005). BBalitvet juga<br />

telah menguasai pembuatan vaksin dan<br />

prototipe vaksinnya sudah dibuat (INDRIANI et.<br />

al., 2005). Teknologi pemeriksaan antibodi,<br />

baik pasca vaksinasi ataupun akibat infeksi,<br />

dengan uji Hemaglutinasi Inhibisi (HI) (OIE,<br />

2000 dan INDRIANI et al., 2004), juga telah<br />

secara rutin digunakan. Uji lainnya yaitu, uji<br />

agar gel presipitasi (AGP) dari corion alantoic<br />

membran (CAM) telur terinfeksi dengan<br />

antiserum AI (OIE, 2000, WIYONO et al., 2004;<br />

dan DHARMAYANTI et al., 2004), serta<br />

teknologi deteksi virus pada sediaan organ<br />

dengan teknik immunohistokimia juga telah<br />

dikembangkan (DAMAYANTI et al., 2004).<br />

Penyakit Newcastle Disease (ND) atau Tetelo<br />

Newscastle Disease (ND) atau Tetelo,<br />

menyerang saluran pernafasan dan pencernaan<br />

pada unggas disebabkan oleh virus<br />

paramyxovirus (ALEXANDER, 1997).<br />

KRANEVELD (1926) menemukan penyakit ini<br />

di Jawa untuk pertama kalinya dan sampai saat<br />

ini penyakit bersifat endemik di seluruh<br />

wilayah Indonesia. Menurut derajat<br />

keganasannya, penyakit ND terdiri dari 3<br />

macam, yaitu velogenik, mesogenik dan<br />

lentogenik (SIMON, 1997).<br />

Teknologi yang tersedia untuk penyakit ND<br />

adalah vaksin dan teknologi diagnosis. Vaksin<br />

ND baik produk impor dan lokal terlah tersedia<br />

di pasaran. Teknologi vaksin telah dikuasai<br />

oleh BBalitvet, seperti vaksin ND peroral pada<br />

ayam buras di Indonesia (RONOHARJO et al.,<br />

1988a, DARMINTO et al., 1989, RONOHARJO et<br />

al., 1992). Demikian halnya dengan vaksin ND<br />

aktif-RIVS2, vaksin ND inaktif isolat lokal,<br />

vaksin kombinasi ND-IBD inaktif isolat lokal.<br />

Vaksin kombinasi ND, IB dan IBD inaktif<br />

dalam bentuk emulsi adjuant juga telah<br />

dikembangkan (BALITVET, 2005). Teknologi<br />

diagnosis dengan cara isolasi dan identifikasi<br />

agen serta serologi Hemaglutinasi Inhibisi<br />

(HI) juga telah dikuasai dan secara rutin<br />

digunakan untuk mendeteksi kandungan antibodi<br />

dalam serum ayam.<br />

Infectious Bursal Disease (IBD)<br />

Penyakit Infectious Bursal Disease (IBD)<br />

atau Gumboro menyerang organ utama bursa<br />

fabrisius disebabkan oleh virus dari famili<br />

birnaviridae. Tingkat morbiditas bervariasi (5–<br />

50%) dengan angka kematian yang meningkat<br />

dengan cepat (5–50%), tergantung pada<br />

patogenisitas virus dan kerentanan unggas.<br />

Virus ini bersifat imunosupresif sehingga<br />

memudahkan terjadinya infeksi penyakit<br />

lainnya. AKIBA, et al., (1976) melaporkan<br />

kejadiaan penyakit ini secara serologis untuk<br />

pertamakalinya di Indonesia, yang kemudian<br />

kasusnya secara klinis dan patologis dilaporkan<br />

oleh PARTADIREJA et al., (1981). Penyakit ini<br />

pernah dilaporkan mengakibatkan kerugian<br />

sebesar 7,9 milyar pada saat terjadi wabah di<br />

daerah padat ternak di Jawa barat (KOMPAS,<br />

1991). PAREDE (1994) melaporkan kejadian<br />

pertama Gumboro pada ayam layer jantan di<br />

Bogor. Penyakit Gumboro ini menyebabkan<br />

kematian yang lebih tinggi, sulit dikontrol dan<br />

menyebabkan kerugian ekonomi yang besar<br />

(PAREDE, et al., 1998).<br />

Teknologi vaksin dan diagnosis untuk<br />

penyakit Gumboro telah tersedia di Indonesai.<br />

Produk vaksin asal impor sudah banyak<br />

beredar. BBalitvet mengembangkan vaksin<br />

inaktif gumboro isolat lokal kombinasi dengan<br />

ND dan IB (BALITVET, 2004). Teknologi<br />

diagnosis, mulai dari aspek patologis, isolasi<br />

dan identifikasi sampai uji serologi telah<br />

dikuasai oleh BBalitvet. Respon antibodi pada<br />

ayam yang divaksinasi dilakukan dengan<br />

menggunakan ELISA, namun masih menggunakan<br />

produk impor TropBio, Australia.<br />

Penyakit Chronic Respiratory Disease (CRD)<br />

Penyakit Chronic Respiratory Disease<br />

(CRD) adalah penyakit menular saluran<br />

24


Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing<br />

pernafasan bersifat kronis pada unggas<br />

disebabkan oleh Micoplasma gallisepticum.<br />

Pada umumnya ayam muda bersifat lebih<br />

rentan dengan gejala ngorok, batuk-batuk dan<br />

cairan lendir dari mata dan hidung. Penyakit<br />

akan menjadi semakin parah jika disertai<br />

penyakit lainnya, seperti E. coli atau virus ND<br />

dan akan mengakibatkan morbiditas tinggi<br />

namun mortalitas rendah. Penularan dapat<br />

terjadi secara kontak langsung atau juga tidak<br />

langsung antara ayam sakit dengan yang sehat<br />

melalui udara. Penularan penyakit dapat<br />

berlangsung secara vertikal dari induk ke anak<br />

melalui telur (AKOSO, 1993). Di Indonesia<br />

penyakit CRD dilaporkan pertamakali oleh<br />

RICKEY dan DIRDJOSOEBROTO pada tahun<br />

1965. Selanjutnya, hasil pemeriksaan serologik<br />

diketahui bahwa prevalensi pada ayam ras di<br />

Jawa Barat mencapai 90% (ANONIMUS, 1980).<br />

Reaktor CRD juga ditemukan pada ayam buras<br />

dengan prevalensi 80% dari 231 ekor ayam<br />

jantan dan 92% dari 982 ekor ayam betina<br />

(RONOHARDJO, 1974). Beberapa tahun<br />

kemudian, M. Gallisepticum dapat diisolasi<br />

dari anak ayam broiler pada tahun 1977<br />

(POERNOMO dan HARDJOUTOMO, 1980).<br />

Teknologi vaksin, obat hewan untuk<br />

pengobatan serta teknik diagnosis untuk<br />

penyakit CRD sudah tersedia di Indonesia.<br />

Berbagai vaksin CRD produk impor dapat<br />

dibeli dengan mudah. Obat hewan berupa<br />

antibiotik makrolida (spiramisin, tilosin,<br />

kitamisin, eritromisin) dan antibiotik tiamulin,<br />

linkomisin dan spektomisin untuk pengobatan<br />

penyakit juga telah tersedia di pasaran (AKOSO,<br />

1983). Teknologi diagnosis, mulai dari isolasi<br />

dan identifikasi virus penyebab, serta uji<br />

serologis untuk mendeteksi adanya antibodi<br />

yang bersirkulasi di dalam serum juga telah<br />

dikuasai.<br />

Penyakit Kolibasillosis<br />

Kolibasillosis adalah penyakit unggas<br />

disebabkan oleh infeksi kuman Escherichia<br />

coli galur pathogen. Ayam yang terserang<br />

kolibasillosis ditandai oleh septicemia, radang<br />

kantung udara dan getah radang berfibrin<br />

dengan lesi menyerupai tumor, ayam kurus,<br />

bulu kusam, nafsu makan turun, pertumbuhan<br />

lambat dan diare (AKOSO, 1993; BARNESS dan<br />

GROSS, 1995). Infeksi penyakit dapat terjadi<br />

pada unggas segala umur, namun pada<br />

umumnya ayam muda lebih rentan. Kematian<br />

embrio sebelum telur menetas biasanya terjadi<br />

pada akhir masa pengeraman, sedang kematian<br />

pada anak ayam sampai umur 3 minggu sering<br />

disertai omphalitis, edema, dan jaringan sekitar<br />

pusar lunak. Pada ayam umur tua,<br />

kolibasillosis biasanya timbul akibat infeksi<br />

sekunder oleh penyakit lainnya. Pada kasus air<br />

sacc disease, infeksi E. coli pada saluran<br />

pernafasan terjadi bersamaan dengan infeksi<br />

penyakit CRD dan infeksi virus (IB dan ND).<br />

Gejala umum yang muncul berupa perikarditis,<br />

perihepatitis, kadang-kadang penophtalmitis<br />

dan salpingitis (AKOSO, 1993; GROSS dan<br />

DOMERMUTH, 1980). Di Indonesia penyakit<br />

kolibasillosis sering dijumpai dan menimbulkan<br />

masalah. Pengamatan yang dilakukan oleh<br />

POERNOMO dan JUARINI (1996) memperlihatkan<br />

bahwa dalam periode 1991-1992<br />

penyebaran E. Coli serotype pathogen 0 1 K 1 ,<br />

0 2 K 1 dan 0 78 K 80 sebagai penyebab<br />

kolibasillosis pada ayam di Jabotabek,<br />

Sukabumi, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali,<br />

Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi<br />

Selatan dan Lampung menunjukkan serotipe<br />

0 2 K 1 adalah dominan (51,5%), kemudian<br />

serotype 0 78 K 80 (10,6%) dan 0 1 K 1 (9%), serta<br />

selebihnya serotype lain sebanyak 28,9%.<br />

Teknologi vaksin untuk kolibasillosis pada<br />

unggas belum tersedia di Indonesia. Namun<br />

obat hewan berupa antibiotika untuk<br />

pengobatan penyakit, seperti kanamisin,<br />

ampisillin, trimetopin atau sulfametoksazol<br />

dapat dibeli di pasaran.<br />

STRATEGI PENGENDALIAN<br />

PENYAKIT UNGGAS (AYAM)<br />

DI SEKTOR 3 DAN 4<br />

Strategi pengendalian terhadap suatu<br />

penyakit disusun dengan berdasar pada<br />

epidemiologi dari penyakit tersebut di<br />

lingkungan atau kawasan peternakan.<br />

Penggunaan obat hewan berupa bahan biologis<br />

(vaksin, antisera) ataupun bahan kimia<br />

(antibiotik, antiparasit, desinfektan dll)<br />

disesuaikan dengan jenis agen penyakit.<br />

Sementara penggunaan fisik (pembatas<br />

kawasan/konstruksi kandang dll) dan<br />

peraturan-peraturan atau prosedur (tatacara<br />

masuk kawasan/kebersihan kandang dll)<br />

25


Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing<br />

merupakan komponen dalam rangka<br />

meningkatkan biosekuriti suatu peternakan<br />

atau kawasan budidaya yang tidak kalah<br />

pentingnya.<br />

Secara umum pengendalian penyakit dapat<br />

dilakukan sangat efektif dan efisien dengan<br />

menerapkan kombinasi fisik dan prosedur, obat<br />

hewan, pengetahuan sifat penyakit/agen<br />

penyakit dan kondisi lingkungan budidaya<br />

peternakan. Secara khusus, maka pengendalian<br />

penyakit disusun dengan memperhatikan lebih<br />

mendalam sifat khusus yang dimiliki oleh agen<br />

penyakit.<br />

Saat ini sangat menonjol didengungkan<br />

tentang istilah biosekuriti dalam pengendalian<br />

penyakit Avian influenza (AI). Namun pada<br />

kenyataannya biosekuriti semata tidak akan<br />

menjamin unggas terlindungi secara efektif dan<br />

efisien dari serangan penyakit sangat infeksius<br />

tersebut. Hal ini membuktikan bahwa<br />

dukungan teknologi lainnya sangat diperlukan.<br />

Berdasarkan informasi dan pengalaman<br />

yang diperoleh, untuk peternakan unggas di<br />

sektor 3, maka penyakit Avian Influenza (AI),<br />

Infectious Bursal Disease (IBD), Newcastle<br />

Disease (ND), Kolibasillosis, dan Chronic<br />

Respiratory Disease (CRD) adalah yang paling<br />

sering menyerang. Sementara untuk unggas di<br />

sektor 4, maka penyakit yang paling dianggap<br />

mengganggu adalah Avian Influenza (AI) dan<br />

Newcastle Disease (ND). Dengan demikian<br />

maka penyakit tersebut di atas harus dicegah<br />

dan dikendalikan sesuai dengan jenis<br />

penyakitnya, induk semang rentan dan kondisi<br />

lingkungan budidaya/kawasan.<br />

Inti dari pencegahan dan pengendalian<br />

penyakit secara praktis adalah menerapkan<br />

biosekuriti, vaksinasi, pengobatan, stamping<br />

out/culling, didukung sosialisasi penyakit<br />

kepada masyarakat/peternak/petugas secara<br />

terus menerus. Biosekuriti: adalah upaya agar<br />

agen penyakit tidak masuk/keluar peternakan/<br />

kawasan. Biosekuiti didukung oleh komponen<br />

sarana fisik dan prosedur. Sarana fisik berupa<br />

batas kawasan peternakan (pagar luar), dinding<br />

kandang, bentuk kandang/panggung, pintu<br />

masuk, ruang isolasi (karantina) bagi hewan<br />

baru. Prosedur seperti pengelolaan kandang<br />

oleh petugas khusus (satu kandang satu<br />

petugas); alur masuk kandang; alur keluar<br />

kandang; desinfeksi saat masuk, desinfeksi saat<br />

keluar; ganti pakaian/perlengkapan kerja dll.<br />

Vaksinasi merupakan tindakan pencegahan<br />

penyakit melalui perangsangan sistem<br />

kekebalan tubuh spesifik secara aktif.<br />

Vaksinasi dilakukan secara teratur sesuai<br />

rekomendasi disertai monitoring antibodi<br />

setelah vaksinasi. Pengobatan adalah upaya<br />

penyembuhan hewan sakit akibat agen<br />

penyakit melalui pembunuhan agen penyakit<br />

dengan obat hewan (antibiotik, antiparasit dll).<br />

Stamping out/pemusnahan merupakan tindakan<br />

pemutusan rantai penularan penyakit melalui<br />

pemusnahan hewan sakit/tersangka pembawa<br />

agen penyakit. Tata cara pemusnahan mengikuti<br />

kode etik perlakuan hewan serta<br />

pembuangan limbahnya memperhatikan<br />

kesehatan lingkungan. Sosialisasi merupakan<br />

penyampaian informasi cara pengendalian<br />

penyakit, sifat penyakit serta ketersediaan<br />

teknologinya kepada masyarakat/peternak/<br />

petugas dalam rangka upaya mengendalikan<br />

penyakit.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

AKIBA, K.K., Y. IWATSUKI, Y. SASAKI, FURUYU dan<br />

Y. ANDO. 1976. Report on the Investigation of<br />

Poultry Disease in Indonesia. Japan<br />

International Cooperation Agency.<br />

AKOSO, B.T. 1993. Manual Kesehatan Unggas.<br />

Kanisius, Jakarta.<br />

ALEXANDER, D.J. 1997. Newcastle Disease and<br />

Other Avian Paramyxoviridae Infection.<br />

Deseases of Poultry. 10 th ed. pp. 541-581.<br />

BALITVET. 2004. Pengembangan Vaksin Inaktif<br />

Kombinasi ND, IB dan IBD. Laporan APBN.<br />

BALITVET. 2004. Laporan APBN: Dinamika<br />

Penyakit Avian Influenza di Indonesia.<br />

BARNES, H.J., dan GROSS. 1995. Colibacillosis. In:<br />

Isolation and Identifications of Avian<br />

Pathogens. Second Ed. (Eds. BAY S.B.<br />

HITCHNER, C.H. DOMERMUTH, H.G.<br />

PURCHASE, and J.E. WILLIAMS) American<br />

Association of Avian Pathologist. Creative<br />

Printing Company, Inc. 2001. East Main<br />

Street, Endwell, New York, 13760. pp. 131-<br />

142.<br />

DAMAYANTI. R., NLP. I. DHARMAYANTI., R.<br />

INDRIANI, A. WIYONO dan DARMINTO. 2004.<br />

Deteksi Virus Avian Influenza Subtipe H5N1<br />

pada Organ Ayam yang Terserang Flu Burung<br />

Sangat Patogenik di Jawa Timur dan Jawa<br />

Barat dengan Teknik Imunohistokimia. JITV.<br />

9(3): 197 – 203.<br />

26


Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing<br />

DARMINTO, P. RONOHARDJO. N. SURYANA. M.<br />

ABUBAKAR, dan KUSMAEDI. 1989. Vaksinasi<br />

Penyakit Newcastle melalui Makanan: Studi<br />

Pendahuluan Pemakaian Virus Penyakit<br />

Newcastle Tahan Panas (RIVS)V4 sebagai<br />

Vaksin di Laboratorium. Penyakit Hewan.21<br />

(37):35-39.<br />

DARMINTO. 1995. Diagnosis, Epidemiologi and<br />

Control of Two Major Avian Viral<br />

Respiratory Diseaseas in Indonesia: Infectious<br />

Bronchitis and Newcastel. Disesease. PhD<br />

Thesis. Departemen of Biomedical and<br />

Tropical Veterinary Science, James Cook<br />

University of North Queensland, Townsville,<br />

Australia.<br />

DHARMAYANTI, NLP. I., R. DAMAYANTI, A. WIYONO,<br />

R. INDRIANI, dan DARMINTO. 2005.<br />

Karakterisasi Molekuler Virus Avian influenza<br />

Isolat Indonesia pada Wabah Oktober 2003-<br />

2004. JITV. In press.<br />

DHARMAYANTI, NLP. I., R. DAMAYANTI, A. WIYONO,<br />

R. INDRIANI, dan DARMINTO. 2005.<br />

Karakterisasi Molekuler Virus Avian influenza<br />

Isolat Indonesia pada Wabah Oktober 2003-<br />

2004. JITV. In press.<br />

DIREKTORAT KESEHATAN HEWAN. 2004b.<br />

Perkembangan Wabah Avian influenza.<br />

Workshop Avian influenza. Hotel Kaisar,<br />

Jakarta, Indonesia. 10 Maret 2004.<br />

EASTRADAY, B.C., S. VIRGINIA, HINSHAW, and D.A.<br />

HALVORSON. 1997. Poultry of Diseaser 10 th in:<br />

Influenza. pp 583- 605.<br />

GROSS, W.B., and C.H. DOMERMUTH. 1980.<br />

Colibacillosis. In: Isolation and Identifications<br />

of Avian Pathogens. Second Ed. (Eds. BAY<br />

S.B. HITCHNER, C.H. DOMERMUTH, H.G.<br />

PURCHASE, and J.E. WILLIAMS) American<br />

Association of Avian Pathologist. Creative<br />

Printing Company, Inc. 2001. East Main<br />

Street, Endwell, New York, 13760. pp. 9-10<br />

INDRIANI, R., NLP.I. DHARMAYANTI, L. PAREDE,<br />

A.WIYONO, dan DARMINTO. 2004. Deteksi<br />

Respon Antibodi dengan Uji Hemagglutinasi<br />

Inhibisi dan Titer Proteksi terhadap Virus<br />

Avian influenza Subtipe H5N1. JITV. 9(3):204<br />

– 209.<br />

INDRIANI R., NLP. I. DHARMAYANTI, A. WIYONO,<br />

R.M.A. ADJID, dan T. SYAFRIATI. 2005.<br />

Pengembangan Prototipe Vaksin Inaktif AI<br />

H5N1 Isolat Lokal. JITV. In press.<br />

KRANEDVELD, T.D. 1926. A Poultry Disease in<br />

Dutch East Indies Ned Indisch Diergeneested<br />

38:448-450.<br />

MURPHY, F.A. and KINGSBURY. 1990. Virus<br />

Taxonomy. In: Fields Virology, 2nd ed., vol 1<br />

(Eds. B.N. FIELDS. D.M. KNIPE, R.B.<br />

CHANOCK, M.S. HIRSCH, J.L. MELNICK, T.P.<br />

MONATH, and B. ROIZMAN). Raven Press,<br />

New York. pp. 9-35.<br />

OFFICE INTERNATIONAL DES EPIZOOTIES. 2000.<br />

Manual of Standards for Diagnostik Tests and<br />

Vaccines. pp 212 – 219.<br />

PAREDE, L. 1994. Laporan Hasil Penelitian Penyakit<br />

Gumboro. <strong>Balai</strong> Penelitin Veteriner; Proyek<br />

ARMP 1994-1995.<br />

PAREDE, L., R. INDRIANI, dan S. BAHRI, R. 1998.<br />

The Occurrence of Virulent Infectious Bursal<br />

Diseases Virus Infection in Indonesia. Poster<br />

at 4 th Asia Pacific Poultry Health Conference,<br />

November 1998, Moulbourne, Australia.<br />

PARTADIREJA, M dan B.JOENIMAN. 1985. Isolasi dan<br />

Identifikasi Virus Gumboro di Indonesia.<br />

Hemera Zoa 72:7-14.<br />

POERNOMO, S., dan E. JUARINI. 1996. Penyebaran E.<br />

Coli Serotipe 0 1 K 1 , 0 2 K 1 dan 0 78 K 80 pada<br />

Ayam di Indonesia. JITV 1(3): 194-199.<br />

RONOHARDJO,P, DARMINTO, and M.I. DIRJA. 1988a.<br />

Oral Vaccination Against Newcastle Diseses<br />

in Kampong Chicken in Indonesia. In Poultry<br />

Disese, Proceeding 112 the Asian/Pasific<br />

Poultry Health Contfrence, Surfers Paradise,<br />

Australia. pp 473-480.<br />

RONOHARDJO, P., DARMINTO, A. SAROSA, and L.<br />

PAREDE. 1992. Vaksinasi Penyakit Tetelo<br />

secara Oral pada Ayam Buras: Uji Efikasi<br />

Laboratorium dan Uji Lapang di Beberapa<br />

Daerah di Indonesia dalam rangka<br />

Pemantapan Studi. Penyakit Hewan. Vol 24.<br />

No. 43A. pp 1 – 9.<br />

27

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!