05.11.2014 Views

AKuNTanINDONESIA

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

5. Bila goodwill bisa diamortisasi, bukan berarti goodwill tidak<br />

boleh diturunkan nilainya bila memang kenya taannya<br />

memang demikian. Ketika dulu IAS 22 mewajibkan<br />

goodwill diamortisasi, IAS 36 Impairment of Asset juga<br />

mengijinkan perusahaan melakukan penurunan nilai.<br />

Riset yang dilakukan oleh Jepang, Italia dan EFRAG juga<br />

menguatkan argumen pendukung model amortisasi goodwill.<br />

Hasil riset mereka dipresentasi dalam rapat IFASS dan<br />

mendapatkan banyak komentar dari para peserta rapat. Kesimpulan<br />

riset mereka serupa dengan dengan argumen di<br />

atas plus mereka juga menekankan biaya untuk melakukan<br />

tes penurunan nilai setiap tahun cukup signifikan dan proses<br />

penurunan nilai sangat kompleks sehingga biaya yang dikeluarkan<br />

tidak seimbang dengan nilai informasi yang dihasilkan.<br />

Hasil riset mengusulkan agar amortisasi goodwill kembali diadopsi<br />

dan juga standar mengenai penurunan nilai diperkuat<br />

terutama pada bagian pengungkapan.<br />

Beberapa peserta rapat WSS berfoto di depan ruruntuhan tembok<br />

Romawi sebelum makan malam.<br />

istimewa<br />

Isu Goodwill di Indonesia<br />

Diskusi mengenai goodwill memunculkan banyak pertanyaan<br />

untuk Indonesia yang dapat dijadikan bahan riset<br />

para akademisi dan mendukung proses adopsi IFRS di Indonesia.<br />

Konon ketika Indonesia berencana untuk mengadopsi<br />

IFRS 3, beberapa perusahaan yang hendak melakukan<br />

akuisisi pada tahun 2010 memutuskan untuk memundurkan<br />

proses akuisisi mereka di tahun 2011. Konon pula perusahaan-perusahaan<br />

di Indonesia sangat kesulitan untuk<br />

melakukan tes penurunan nilai goodwill setiap tahun. Riset<br />

mengenai goodwill yang pernah saya lakukan di Indonesia<br />

menunjukkan bahwa hanya segelintir perusahaan saja yang<br />

memiliki angka goodwill besar (lebih dari 5% dari total asset).<br />

Hal ini berbeda dengan perusahaan-perusahaan di Amerika<br />

Serikat yang gemar melakukan akuisisi sehingga nilai goodwill<br />

cukup signifikan dalam neraca mereka.<br />

Kombinasi bisnis di Indonesia juga banyak yang dilakukan<br />

di dalam satu grup atau yang dikenal dengan Business<br />

Combination Under Common Control (BCUCC). Indonesia memiliki<br />

PSAK 38 untuk mengatur masalah ini yang diturunkan<br />

dari standar akuntansi Amerika Serikat dan saat ini belum dicabut<br />

oleh DSAK-IAI karena tidak ada padanannya dalam IFRS.<br />

IASB memahami kebutuhan ini karena juga disuarakan oleh<br />

banyak negara dan saat ini sedang memulai riset mengenai<br />

BCUCC. Indonesia terlibat aktif dalam diskusi BCUCC yang<br />

dilakukan oleh IASB dalam diskusi tertutup dengan anggota<br />

Emerging Economic Group (EEG) di London. Dalam diskusi EEG<br />

berikutnya di Jakarta bulan Desember mendatang, IASB, Indonesia<br />

dan negara-negara anggota EEG lainnya akan kembali<br />

mendiskusikan masalah ini.<br />

Refleksi Penulis<br />

Sebagai dosen yang mengajarkan mata kuliah akun tansi<br />

keuangan, sangat sulit bagi saya menjawab pertanyaan kritis<br />

mahasiswa mengapa suatu kebijakan akuntansi dapat masuk<br />

keluar standar akuntansi. Apakah asumsi-asumsi yang digunakan<br />

untuk menghapus suatu kebijakan akuntansi sekarang<br />

sudah tidak relevan lagi? Bila ada suatu kebijakan akuntansi<br />

yang sudah dihapus kemudian masuk lagi apakah berarti dewan<br />

standar akuntansi dulunya melakukan kesalahan?<br />

Bukan hanya mengenai amortisasi goodwill yang sepertinya<br />

sekarang mendapatkan banyak pendukung untuk<br />

diadopsi kembali, ada juga beberapa kebijakan akuntansi<br />

yang diadopsi kembali oleh IASB setelah sebelumnya dihapus.<br />

Contohnya adalah pengukuran menggunakan model<br />

ekuitas yang kembali lagi diizinkan tahun 2014 untuk laporan<br />

keuangan tersendiri, setelah dihapus oleh IASB pada<br />

tahun 2008. Model ekuitas diadopsi kembali karena di beberapa<br />

negara (seperti Brazil), regulasi UU nya mewajibkan<br />

penggunaan model ekuitas, sehingga bila model ekuitas<br />

tidak tersedia maka laporan keuangan tersendiri perusahaan-perusahaan<br />

di Brazil terancam tidak sesuai dengan<br />

IFRS. Dengan demikian untuk pengukuan investasi anak<br />

perusahaan pada laporan keuangan tersendiri saat ini IAS<br />

27 Separate Financial Statament kembali memiliki tiga opsi:<br />

menggunakan metode biaya, metode ekuitas dan metode<br />

nilai wajar sebagai aset keuangan tersedia untuk dijual.<br />

Wakil ketua DSAK-IAI, Djohan Pinnarwan yang juga menghadiri<br />

rangkaian kegiatan di London menjawab kegundahan<br />

hati saya dalam diskusi kami di sela-sela rehat kopi, “Ersa, penyusunan<br />

standar akuntansi adalah proses politik. Mahasiswa<br />

harus memahami hal ini.” Saya setuju sekali dengan pendapat<br />

Pak Djohan, lagipula standar akuntansi adalah institutusi sosial<br />

yang kehadirannya dipengaruhi oleh para pemangku kepentingan<br />

yang terlibat dalam proses. Sebutlah misalnya amortisasi<br />

goodwill akan kembali diadopsi lagi dua tahun kedepan<br />

oleh IASB, siapa yang menjamin sepuluh tahun kemudian kita<br />

akan kembali mendebatkan hal yang sama bahwa amortisasi<br />

goodwill harus dihapus dari standar?*<br />

* Ersa Tri Wahyuni adalah Technical Advisor IAI dan dosen akuntansi<br />

Universitas Padjadjaran Bandung yang saat ini sedang menempuh<br />

program doktor di Manchester Business School, University of<br />

Manchester, Inggris.<br />

66<br />

akuntan indonesia | oktober-NOVEMBER 2014

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!