22.11.2014 Views

bina swadaya buletin

bina swadaya buletin

bina swadaya buletin

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

BULETIN No.57/Tahun XIV/Agustus 2008<br />

BINA SWADAYA<br />

Bermartabat, Mandiri, Sejahtera, dan Maju Bersama<br />

daftar isi<br />

FOKUS 2-4<br />

Melebarkan Sayap Gerakan<br />

Keuangan Mikro<br />

KIPRAH 5-7<br />

- Transformasi Lembaga<br />

Keuangan Mikro<br />

- Keuangan Mikro Atasi<br />

Pemanasan Global<br />

- Keuangan Mikro Di Dunia<br />

Maya<br />

OPINI 8<br />

Fondasi Perundangan bagi<br />

Keuangan Mikro<br />

redaksi<br />

Penasehat :<br />

Dewan Pengurus Yayasan<br />

Bina Swadaya<br />

Tim Redaksi :<br />

Sigit Jati Waluyo, Eko<br />

Apriantono, Agus Mulyono,<br />

Aris Darmawan<br />

Penerbit :<br />

Yayasan Bina Swadaya<br />

Alamat redaksi :<br />

Wisma Hijau<br />

Jl. Raya Bogor Km. 30,<br />

Cimanggis, Depok 16952<br />

Telp. (021) 8729060<br />

Email : <strong>bina</strong><strong>swadaya</strong>@<br />

<strong>bina</strong><strong>swadaya</strong>.org<br />

editorial<br />

Tak Sekadar Kredit<br />

Apakah perbedaan Keuangan Mikro<br />

dengan Kredit yang diberikan lintah darat?<br />

Bukankah Keuangan Mikro tak ada bedanya<br />

dengan tukang kredit? Bukankah modus<br />

keduanya hampir sama? Perbedaanya mungkin<br />

hanya pada agunan. Keuangan Mikro tidak<br />

mengenal agunan dan tukang kredit jalanan<br />

meminta agunan. Beberapa pertanyaan yang<br />

dianggap usang ini agaknya masih pantas untuk<br />

terus menerus ditanyakan kepada kegiatan<br />

keuangan mikro.<br />

Sebagai sebuah bisnis seringkali Keuangan<br />

Mikro terjebak pada upaya menurunkan NPL<br />

atau memberikan pinjaman yang semakin besar<br />

kepada nasabah. Tetapi aspek pemberdayaan<br />

yang terletak dan terselusup di antara kegiatan<br />

Keuangan Mikro seringkali tergerus. Keuangan<br />

Mikro perlu disadari hanya sebagai alat dan<br />

bukan tujuan dari sebuah usaha pemberdayaan.<br />

Artinya kegiatan Keuangan Mikro hanyalah<br />

bagian dari potret global kegiatan pemberdayaan<br />

masyarakat. Maksudnya adalah pendampingan<br />

anggota kelompok yang menerima kredit<br />

Keuangan Mikro tak hanya berhenti pada<br />

pemberian dan penagihan kredit saja. Tetapi<br />

juga harus diperluas ke dalam pendampingan<br />

untuk pengeloaan usaha mereka.<br />

Seringkali kendala kredit macet dalam<br />

Keuangan Mikro karena faktor rendahnya<br />

kemampuan pengembalian. Dalam konteks<br />

pendampingan yang lebih luas, rendahnya<br />

kemampuan untuk mengembalikan kredit<br />

tersebut ditingkatkan dengan adanya<br />

pendampingan pengelolaan usaha.<br />

Di beberapa negara lain, Keuangan Mikro<br />

merupakan produk dampingan dari usaha<br />

Tentang Bina Swadaya<br />

Bina Swadaya adalah Lembaga Kewirausahaan Sosial<br />

yang bergerak dalam usaha pemberdayaan masyarakat<br />

terutama dalam aspek sosial dan ekonomi. Gerakan<br />

pemberdayaan yang dilakukan sejak tahun 1967 oleh<br />

Bina Swadaya memanfaatkan Kelompok Swadaya<br />

Masyarakat sebagai Ujung Tombak Pemberdayaan.<br />

Sebagai sebuah usaha membangun ke<strong>swadaya</strong>an<br />

dan gerakan pemberdayaan yang berkelanjutan, Bina<br />

Swadaya mengembangkan organisasi ke dalam tujuh<br />

penyelamatan lingkungan hidup. Contoh sukses<br />

yang dilakukan Grameen Shakti merupakan<br />

salah satu keberhasilan diversifikasi kegiatan<br />

Keuangan Mikro di Bangladesh. Gerakan<br />

Keuangan Mikro tak berhenti pada semata-mata<br />

memberikan kredit. Tetapi juga menyasar isu<br />

yang lainnya, yaitu pemanfaatan energi alternatif<br />

serta tetap berfokus pada kegiatan utamanya,<br />

yaitu peningkatan pendapatan masyarakat<br />

miskin.<br />

Kisah sukses dan keberhasilan institusi<br />

Keuangan Mikro di belahan dunia yang sama<br />

dengan Indonesia agaknya pantas menjadi<br />

refleksi bagi Bina Swadaya. Meski pelayanan<br />

keuangan mikro Bina Swadaya banyak<br />

menghadapi tantangan berat secara internal<br />

dan eksternal, termasuk kerugian materiil yang<br />

tidak sedikit, Pengurus Bina Swadaya tetap<br />

berkomitmen bahwa, “Pelayanan keuangan bagi<br />

pengusaha mikro tetap harus terus berlangsung.<br />

Sebab, keuangan mikro merupakan salat<br />

satu alat pembangunan yang strategis untuk<br />

pemberantasan kemiskinan”.<br />

Jadi, terlepas dari badai yang menerpa<br />

reorientasi “roh” pemberdayaan masyarakat<br />

dalam kegiatan Keuangan Mikro justru akan<br />

diperkuat. Jika tidak, keterjebakan ke dalam<br />

komersialisasi dan industrialisasi Keuangan<br />

Mikro yang melupakan pijakan awalnya untuk<br />

melakukan pemberdayaan masyarakat tak bisa<br />

lagi dihindarkan. Di pihak lain, lahir tuntutan<br />

baru bagi Keuangan Mikro di Indonesia dan juga<br />

di Bina Swadaya, yaitu melakukan diversifikasi<br />

layanan selain menata dan mengembangkan<br />

kegiatan Keuangan Mikro. Tujuan utama dari<br />

aktivitas ini adalah semakin mengukuhkan<br />

keuangan mikro sebagai sebuah strategi untuk<br />

melakukan pemberdayaan masyarakat. Dan juga<br />

menguatkan visi keuangan mikro tak sekadar<br />

Kredit. (gm)<br />

pilar aktivitas, yaitu Pemberdayaan Masyarakat Warga<br />

(Bina Swadaya Konsultan), Pengembangan Keuangan<br />

Mikro (BPR dan PPKM), Pengembangan Agribisnis<br />

(Trubus Mitra Swadaya), Pengembangan Komunikasi<br />

Pembangunan (Trubus, Penebar Swadaya, Puspa<br />

Swara, Niaga Swadaya, Trubus Media Swadaya),<br />

Pengembangan Wisata Alternatif (Bina Swadaya Tour),<br />

Pengembangan Jasa Percetakan (Percetakan Penebar<br />

Swadaya), dan Penyediaan Fasilitas Workshop,<br />

Akomodasi Pelatihan serta Pertemuan (Wisma Hijau)


fokus<br />

Melebarkan Sayap<br />

Gerakan Keuangan Mikro<br />

“Microfinance bukan tempat bagi mereka yang hanya mencari keuntungan semata.”<br />

Bangladesh, India dan Pakistan merupakan tiga<br />

negara yang menjadi promotor dari kuatnya<br />

kegiatan keuangan mikro di dunia. Tingginya<br />

tingkat kemiskinan di ketiga daerah tersebut membuat<br />

keuangan mikro menjadi salah satu strategi efektif dalam<br />

mengatasi kemiskinan. Sehingga sangatlah wajar jika<br />

APRMS (Asia Pasific Regional Microcredit Summit) yang<br />

diselenggarakan di Bali, 28-30 Agustus 2008 dipenuhi oleh<br />

peserta dari ketiga negara tersebut. Bahkan Muhammad<br />

Yunus menyempatkan diri untuk menghadiri acara megah<br />

yang di promotori oleh Micro Credit Summit Campaign<br />

dan dilaksanakan oleh GEMA PKM Indonesia serta<br />

mendapatkan dukungan dari Bank Indonesia.<br />

Microfinance yang merupakan bentuk sinergi antara<br />

usaha bisnis dengan peningkatan kapasitas sosial masih<br />

menjadi salah satu topik perdebatan yang menarik.<br />

Tarik-menarik diantara dua kepentingan bisnis dan sosial<br />

masih menjadi salah satu perdebatan tersendiri bagi<br />

peserta APRMS. Dalam salah satu sesinya Muhammad<br />

Yunus mengingatkan pentingnya ownership Lembaga<br />

Keuangan Mikro tidak berada di tangan anggotanya<br />

tetapi di tangan para peminjamnya. Bunga dan<br />

keuntungan sebagai dampak sampingan dari keuangan<br />

mikro seringkali menjadi permasalahan tersendiri.<br />

Terminologi not-for profit yang masih debatable<br />

bagaimana bentuknya merupakan salah satu titik pijak<br />

utamanya.<br />

“Microfinance bukan tempat bagi mereka yang<br />

hanya mencari keuntungan semata,” demikian ungkap<br />

M. Yunus. Semua MFI (Microfinance Institution)<br />

haruslah mencapai keutungan. Tetapi keuntungan<br />

tersebut bukanlah tujuan akhir tetapi hanya sarana<br />

untuk meningkatkan kualitas layanan dan cakupan<br />

layanan yang diberikan oleh MFI kepada masyarakat.


Keberhasilan keuangan mikro tak hanya bisa dilihat dari<br />

berapa besar jumlah gedung atau karyawan yang dimiliki<br />

oleh sebuah MFI. Tetapi seberapa besar dampak MFI bagi<br />

masyarakat yang dilayani. Pertanyaan berapa banyak<br />

masyarakat yang sudah dilayani dan berapa besar pinjaman<br />

yang telah disalurkannya menjadi salah dua dari sekian<br />

banyak ukuran keberhasilan keuangan mikro.<br />

Target group keuangan mikro juga menjadi<br />

permasalahan tersendiri. Walaupun seringkali bercita-cita<br />

reaching the poorest, keuangan mikro dalam beberapa<br />

hal sulit menyentuh kelompok paling miskin. Selain<br />

karena ketiadaan kegiatan ekonomi yang mereka lakukan.<br />

Kelompok termiskin seringkali memiliki ketidakmampuan<br />

untuk mengembalikan pinjaman. Meskipun pendapat<br />

ini cukup logis, tetap ada beberapa Lembaga Keuangan<br />

Mikro di India dan Bangladesh mencoba melepaskan diri<br />

dari mitos tersebut dan memberikan pinjaman kepada<br />

kelompok termiskin.<br />

Tak hanya peningkatan produktifitas<br />

Berbicara keuangan mikro saat ini tak hanya berhenti<br />

pada permasalahan pendapatan semata. Saat ini, keuangan<br />

mikro mulai juga menyikapi permasalahan sanitasi,<br />

pemanasan global dan juga kelompok yang paling miskin<br />

seperti pengemis. Kredit tak lagi dimaknai sebagai sebuah<br />

usaha dari NGO atau lembaga keuangan mikro tetapi telah<br />

dianggap sebagai sebuah hak masyarakat miskin untuk<br />

mendapatkan kehidupan lebih baik. Terminologi tersebut<br />

menjurus pada hak masyarakat dalam mengakses sumber<br />

energi dalam kehidupan mereka sehari-hari.<br />

Paul K, dari SEFA Foundation, India mengungkapkan,<br />

”Adalah hak masyarakat untuk mendapatkan energy yang<br />

bersih bagi kehidupan mereka,”. Hak atas energi inilah<br />

yang disikapi SEFA bersama lembaga keuangan mikro<br />

dari Amerika Serikat untuk melaksanakan program Green<br />

Microfinance. Ketiadaan energi listrik yang merata di<br />

India menjadi salah satu masalah tersendiri yang harus<br />

ditanggapi oleh lembaga keuangan mikro.<br />

Bahkan menyikapi permasalahan tersebut, Grammen<br />

Bank dengan tangannya yang disebut Grameen Shakti<br />

membuat program microfinance untuk menyalurkan energi<br />

alternatif berupa solar cel kepada masyarakat di pedesaan<br />

dan juga diperkotaan. Pedagang-pedagang kaaki lima bisa<br />

memiliki listrik mandiri untuk menerangi tempat usaha<br />

mereka. Tak hanya disitu, konsentrasi Grameen untuk<br />

memberikan pelayanan kepada perempuan membuat<br />

usaha menciptakan enegeri alternatif, murah dan ramah<br />

lingkungan mampu memberikan kehidupan baru kepada<br />

keluarga. Hingga kini, Grameen telah mampu melatih<br />

para perempuan india untuk membuat dan merawat solar<br />

cel. Managing Director Grameen Shakti mengungkapkan,<br />

”Perempuan muda dampingan Grameen telah mampu<br />

merakit dan memperbaiki solar cel yang dimiliki<br />

penduduk”.<br />

Efisiensi, Simpanan dan Kemampuan<br />

Membayar Utang<br />

Pendapat M.Yunus bahwa orang miskin adalah<br />

bankable juga terbukti jelas selama APRMS. Salah<br />

satu lembaga yang berasal dari India membuktikan<br />

hal tersebut. Mereka memberikan pinjaman kepada<br />

pengemis. Sungguh sebuah kegiatan yang mengandung<br />

resiko tinggi. Betapa tidak, ketiadaan kegiatan ekonomi<br />

kelompok pengemis membuat pinjaman yang mereka<br />

berikan memiliki kemungkinan untak tak dikembalikan.<br />

Kekhawatiran tersebut walaupun rasional<br />

tetapi tak terbukti benar. Masyarakat miskin (ultra<br />

poor) seperti pengemis masih memiliki kemampuan<br />

untuk mengembalikan pinjaman. Di tengah-tengah<br />

kemiskinan mereka kelompok miskin masih mampu<br />

untuk menyimpan sebagian pendapatan mereka. Artinya<br />

ketika kelompok masyarakat yang paling miskin pun<br />

selama masih memiliki kemampuan untuk menyimpan<br />

dan melakukan efisiensi terhadap pengeluaran mereka.<br />

Kelompok tersebut dapat menjadi target groups dari<br />

kegiatan keuangan mikro. Keyakinan ini seharusnya<br />

mengantarkan bahwa keuangan mikro tak memiliki batas<br />

target group. Siapapun dan semiskin apapun seseorang<br />

selama masih mampu menyimpan dan melakukan<br />

efisiensi merekalah target pemberdayaan keuangan<br />

mikro.<br />

Kredit tak lagi dimaknai sebagai sebuah<br />

usaha dari NGO atau lembaga keuangan<br />

mikro tetapi telah dianggap sebagai<br />

sebuah hak masyarakat miskin untuk<br />

mendapatkan kehidupan lebih baik.<br />

E-Micro Finance<br />

Keuangan Mikro berkembang tak terbatas pada variasi<br />

layanan yang diberikannya. Kualitas layananpun juga<br />

mendapatkan perhatian tersendiri. Shawankrisnan,<br />

direktur Agriculture Bank di India mengaku telah<br />

mengadopsi IT dalam layanan keuangan mikro yang<br />

diberikannya. Transaksinya menggunakan ATM dan setiap<br />

Nasabah diberikan Smart Card sebagai kartu ATM.<br />

E-Microfinance lainnya dikembangkan oleh KIVA,<br />

sebuah lembaga yang dimotori oleh dua orang yang<br />

bergerak di dunia maya. KIVA memiliki fokus utama<br />

untuk mempertemukan pemberi kredit dan penerima<br />

kredit di dunia maya. Fasilitasi yang dilakukannya<br />

berdasar kerjasama antara KIVA dengan LKM di tingkat<br />

basis. LKM inilah yang berfungsi meng-upload data dari<br />

pemimjam serta memberikan laporan bulanan yang rutin.<br />

Sedangkan peranan KIVA adalah memberikan fasilitasi<br />

dan menghubungkan peminjam dengan calon pemberi<br />

pinjaman. Berdasar data yang diberikan oleh LKM yang


diupload di website www.kiva.org, peminjam yang<br />

berasal dari berbagai kalangan mulai meminjamkan<br />

dananya mulai dari jumlah yang paling rendah 25 US $.<br />

Lebih menarik lagi, pinjaman tersebut diberikan<br />

kepada pemberi pinjaman kepada masyarakat dengan<br />

tanpa bunga. Kejanggalan tersebut mengarah kepada<br />

pertanyaan bagaimana LKM dan KIVA dapat membiayai<br />

kebutuhan operasional mereka. Roni, Managing Director<br />

dari KIVA menyebutkan bahwa KIVA menutupi biaya<br />

dari sumbangan yang diberikan oleh peminjam yang<br />

biasanya sebesar 10% dari dana yang diberikan.<br />

Sedangkan LKM bisa mendapatkan keuntungan dengan<br />

memberikan kredit dengan bunga yang cukup rendah.<br />

Dengan bunga tersebut, LKM dapat menutupi biaya<br />

operasionalnya.<br />

Indonesia yang masih tertinggal<br />

Bagaimana dengan Indonesia? Selama sekian puluh<br />

tahun, keuangan mikro di Indonesia masih terbatas pada<br />

pemenuhan dan peningkatan tingkat perekonomian<br />

masyarakat. Ekspansi pelayanan keuangan mikro<br />

Indonesia hanyalah terbatas pada permasalahan<br />

asuransi kesehatan. Sedangkan aspek lainnya seperti<br />

energi ataupun e-microfinance belum mendapatkan<br />

perhatian tersendiri.<br />

Walaupun Asia Pasfiic Regional Microcredit Summit<br />

(APRMS) diadakan di Bali tak berarti Microcredit<br />

di Indonesia sangatlah baik. Apabila dibandingkan<br />

dengan negara seperti Bangladesh dan India yang<br />

masyarakatnya benar-benar miskin, Indonesia jauh<br />

tertinggal di belakang. Alih-alih menjadikan moment<br />

Internasional tersebut sebagai sebuah proses<br />

pembelajaran bagi bangsa Indonesia. Petinggi-petinggi<br />

perbankan Indonesia malahan menyanjung diri<br />

mereka sendiri dengan memberikan data bombastis<br />

mengenai kredit (yang dianggap) mikro yang telah<br />

disalurkan oleh BRI. Tak ayal, beberapa presentasi<br />

dari kalangan perbankan tersebut dibantah sendiri<br />

oleh peserta dari Indonesia seperti sebuah pertanyaan<br />

dari sebuah Lembaga Keuangan Mikro dari Bali yang<br />

mempertanyakan efektifitas dari Kredit Untuk Rakyat<br />

(KUR).<br />

Komitmen Indonesia terutama pemerintah<br />

terhadap keuangan mikro sangatlah penting untuk<br />

dipertanyakan. Pemahaman mereka terhadap keuangan<br />

mikro yang hanya pada permukaan membuat keuangan<br />

mikro tak mampu menjadi kajian tersendiri. Berbagai<br />

layanan kredit yang diberikan oleh BRI ataupun<br />

perbankan pemerintah lainnya hanya terbatas pada<br />

kelompok pengusaha kecil dan menengah yang memiliki<br />

kolateral. Tetapi bukan kepada pengusaha mikro.<br />

Kesuksesan yang terjadi di India, Bangladesh dan<br />

Pakistan hendaknya dilihat dengan rendah hati. Agar<br />

berbagai kesuksesan tersebut bisa menginsipirasi bagi<br />

Indonesia untuk mengembangkan keuangan mikro.<br />

Ketertinggalan Indonesia di bidang keuangan<br />

mikro bukanlah sesuatu yang pantas diratapi<br />

tetapi haruslah dikoreksi dan direfleksikan.<br />

Sayangnya yang seringkali terjadi adalah respon sebaliknya,<br />

merasa diri lebih baik dari pada berbagai karya yang<br />

dipaparkan tersebut. Sehingga terlupa mengkoreksi beberapa<br />

permasalahan dalam keuangan mikro di Indonesia.<br />

Sebagai sebuah refleksi, setelah hampir lebih dari 115<br />

tahun BRI yang dianggap sebagai cikal bakal keuangan mikro<br />

di Indonesia dilahirkan, keuangan mikro di Indonesia tak<br />

banyak membuat kemajuan yang cukup berarti. Hal ini bila<br />

dibandingkan dengan berbagai keuangan mikro di India,<br />

Pakistan dan Bangladesh yang mampu melebarkan sayapnya<br />

dalam hitungan tahun.<br />

Pekerjaan Rumah<br />

Ketertinggalan Indonesia di bidang keuangan mikro<br />

bukanlah sesuatu yang pantas diratapi tetapi haruslah<br />

dikoreksi dan direfleksikan. Pelaksanaan APRMS di Indonesia<br />

merupakan sebuah kepercayaan yang diberikan kepada<br />

Indonesia demikian ungkap Bambang Ismawan. APRMS di<br />

Bali merupakan penyelenggaraan yang ketiga di tingkat Asia<br />

sejak Global Microcredit Summit diselenggarakan untuk<br />

pertama kali pada tahun 1997. Global Microcredit Summit<br />

sendiri merupakan bagian dari upaya implementasi Social<br />

Development Summit yang diselenggarakan di Kopenhagen<br />

pada tahun 1996, yang mencanangkan tiga tujuan, yaitu<br />

pengentasan kemiskinan (poverty alleviation), pekerjaan<br />

produktif (productive employment), dan integrasi sosial<br />

(social integration).<br />

Bambang Ismawan mengibaratkan Keuangan Mikro<br />

sebagai makhluk baru yang lahir dari “ibu” bernama social<br />

development (pembangunan sosial) dan “ayah” yang bisnis<br />

keuangan. “Jika yang lebih ditekankan pada faktor ‘ayah’,<br />

maka penilaiannya bankable atau tidak (dinilai layak oleh<br />

bank atau tidak). Ini yang menjadi persoalan bagi masyarakat<br />

miskin di mana masyarakat miskin akan mengalami kesulitan<br />

dalam mengakses lembaga keuangan formal ,” ujar Bambang<br />

Ismawan. Apa saja instrumen yang dibutuhkan dalam upaya<br />

mengentaskan kemiskinan di Indonesia, akan dibicarakan<br />

lebih lanjut di Yogyakarta pada bulan November mendatang<br />

sebagai tindak lanjut dari APRMS di Bali. Namun yang jelas,<br />

seperti dikatakan Bambang, target dari APRMS di Bali adalah<br />

mengentaskan 17,5 juta keluarga miskin di Indonesia (atau<br />

sebesar 10 % dari target Tujuan Pembangunan Milenium<br />

yang dicanangkan oleh pemerintah, yaitu sebanyak 175 juta<br />

keluarga miskin di Indonesia yang akan dientaskan dari<br />

kemiskinan) sampai dengan tahun 2015 melalui kegiatan<br />

Keuangan Mikro. Sebuah target yang tak mudah dicapai,<br />

tetapi bukanlah tak mungkin. (gm)


kiprah<br />

institusi perbankan. Menjadi institusi perbankan bukan<br />

berarti lembaga keuangan mikro harus meninggalkan<br />

idealisme dan pelayanan dasar kepada kelompok<br />

miskin. “Menjadi institusi perbankan bukan berarti melupakan<br />

visi dan misi awal yang dimiliki oleh lembaga<br />

keuangan mikro,” ungkap J.S Thomar, CASHPOR Micro<br />

Credit, India.<br />

Menjadi institusi perbankan memungkinkan LKM mengumpulkan<br />

dana dari kelompok masyarakat umum dan<br />

tak terbatas pada kelompok dampingannya. Artinya<br />

LKM yang menjadi institusi perbankan dapat menerima<br />

dan mengelola simpanan dari masyarakat. Dengan simpanan<br />

dari masyarakat umum artinya terdapat cukup<br />

banyak dana yang dapat disalurkan sebagai kredit bagi<br />

kelompok masyarakat miskin.<br />

Transformasi menjadi institusi perbankan membuat<br />

lembaga keuangan mikro memiliki tantangan baru.<br />

Sebagai LKM, indikator sosial menjadi salah satu aspek<br />

yang paling kuat dalam mengukur keberhasilan dalam<br />

proses pendampingan. Setelah bertranformasi menjadi<br />

institusi perbankan, indikator sosial bagi LKM bergeser<br />

menjadi indikator bisnis dan indikator keberlangsungan<br />

institusi bisnis. Disinilah titik kegundahan dan pencaharian<br />

lembaga keuangan mikro. Dalam proses transformasi<br />

tersebut, LKM mulai mencari format baru dalam<br />

tingkatan operasionalnya.<br />

Transformasi<br />

Lembaga Keuangan Mikro<br />

Lembaga keuangan mikro (LKM) yang berkembang<br />

dan dapat memberikan layanan terbaik bagi masyarakat<br />

memiliki tantangan untuk semakin menguatkan<br />

sistem kelembagaannya. LKM yang telah memiliki<br />

kelompok dampingan dengan jumlah ribuan dan menyalurkan<br />

dana dalam angka ratusan juta mau tak mau akan dituntut<br />

akuntabilitas dan transparansinya. Dana masyarakat<br />

yang dikelolanya haruslah mampu dipertanggungjawabkan<br />

oleh lembaga keuangan mikro tak hanya kepada kliennya<br />

tetapi juga kepada masyarakat luas.<br />

Tuntutan akuntabilitas tersebut mendorong LKM untuk<br />

berkembang dan melangkah menjadi sebuah lembaga yang<br />

memiliki badan hukum. Menjadi sebuah lembaga hukum<br />

merupakan salah satu pijakan utama melakukan pemisahan<br />

antara harta yang dimiliki pengelola lembaga dengan harta<br />

lembaga. Dengan bentuk badan hukum dapat memaksa setiap<br />

pengelola LKM untuk mempertanggungjawabkan dana<br />

yang dikelola oleh lembaganya. Dalam konteks Indonesia,<br />

badan hukum bagi lembaga keuangan mikro terserak dari<br />

model koperasi, BMT hingga institusi perbankan.<br />

Namun, pilihan yang paling umum dipilih oleh sejumlah<br />

LKM di dunia adalah mentransformasi dirinya menjadi<br />

Proses transformasi tersebut menjadi titik balik bagi<br />

lembaga keuangan mikro untuk mengembangkan sayap<br />

pelayanan dan jumlah kelompok masyarakat yang dapat<br />

dikucurkan kreditnya ataukah hanya menjadi institusi<br />

bisnis. CHASPOR dan Grameen Bank merupakan dua<br />

buah LKM yang berhasil melewati proses transformasi<br />

tersebut serta tetap mempertahankan idealisme untuk<br />

melayani masyarakat miskin.<br />

Keberhasilan Cashpor ataupun Grameen dalam melewati<br />

proses transformasi tersebut ternyata bukanlah<br />

model yang bisa langsung direduplikasi di berbagai<br />

tempat. Proses transformasi tersebut berlangsung unik<br />

di masing-masing lembaga keuangan mikro. Setiap<br />

lembaga keuangan mikro diharapkan mampu membentuk<br />

polanya sendiri dalam menemukan bentuk barunya<br />

sebagai lembaga keuangan mikro. Seperti halnya ulat<br />

yang bertransformasi menjadi kupu-kupu yang memiliki<br />

ciri yang berbeda, LKM akan menemukan bentuknya<br />

tersendiri di setiap negara. (gm)


Keuangan Mikro<br />

atasi Pemanasan Global<br />

Pemanasan Global dan Keuangan Mikro<br />

seakan dua hal yang tak berhubungan sama<br />

sekali. Keuangan Mikro berbicara mengenai<br />

kemiskinan dan strategi untuk mengentaskannya.<br />

Sedangkan pemanasan global berbicara tentang<br />

perilaku manusia dalam memboroskan alam dan<br />

melobangi ozon yang membuat temperatur bumi<br />

semakin panas. Strategi yang diterapkan untuk<br />

mengatasi permasalahan kedua permasalahan<br />

tersebut juga berbeda. Keuangan mikro menekankan<br />

pada proses kapitalisasi dan peningkatan<br />

kemampuan masyarakat untuk memproduki jasa<br />

dan barang. Dan pemanasan global diatasi dengan<br />

mengurangi penggunaan benda-benda ataupun<br />

teknologi yang merusak alam.<br />

Kedua hal yang tampaknya bertentangan<br />

tersebut ternyata mampu tampil sinergis dan<br />

cantik dalam satu program bersama yang dimotori<br />

oleh Grameen Shakti, Green Microfinance dan<br />

SEFA di Asia Selatan. Energi alternatif yang dapat<br />

diperbaharui merupakan bagian dari hak dasar yang<br />

juga dimiliki masyarakat miskin. Pemberdayaan<br />

masyarakat berarti usaha untuk membuat<br />

masyarakat memiliki sumber energi yang tak<br />

sepenuhnya tergantung oleh sistem pasar. Mahalnya<br />

harga energi listrik dan minyak tanah membuat<br />

masyarakat miskin tidak mampu meningkatkan<br />

produktifitasnya. Menjawab kebutuhan tersebut,<br />

Grameen Shakti dan juga SEFA membuat program<br />

keuangan mikro yang mendekatkan masyarakat<br />

kepada penguasaan energi alternatif. Solar cel<br />

menjadi salah satu energi alternatif yang dipilih<br />

dalam usaha mendekatkan masyarakat terhadap<br />

sumber energi yang terbarukan. Kondisi India dan<br />

bangladesh yang berada di garis equator seperti<br />

Indonesia membuat soal cel menjadi salah satu<br />

energi potensial.<br />

Metode keuangan mikro yang diterapkan<br />

sangatlah sederhana. Grameen Shakti mengenalkan<br />

teknologi solar cel kepada masyarakat miskin.<br />

Kemudian microfinance digunakan sebagai strategi<br />

agar masyarakat mampu memiliki solar cel serta<br />

berbagai alat penunjangnya seperti lampu LED, accu<br />

dan berbagai konverter energi lainnya. Angsuran<br />

tersebut diselesaikan oleh kelompok masyarakat<br />

dalam kurun waktu tak lebih dari dua tahun dengan<br />

bunga bulanan maksimal 2-3% per bulan.<br />

Model tersebut mampu membuat pedagang<br />

kaki lima seperti di Indonesia tak perlu melakukan<br />

Sel surya yang dikembangkan oleh Grameen Shakti (foto : www.gshakti.<br />

com)<br />

pencurian listrik ataupun langgangan listrik kepada<br />

perusahaan listrik. Mereka cukup memanaskan<br />

sel surya pada siang hari dan menggunakannya<br />

untuk menerangi lapak tempatnya berjualan pada<br />

sore hari. Dalam kasus di India dan Bangladesh,<br />

hal tersebut mampu mengurangi konsumsi minyak<br />

tanah dari pedagang kaki lima. Hasil efisiensi<br />

tersebut mampu digunakan untuk mencicil biaya<br />

pembelian solar cel.<br />

Tak hanya berhenti kepada kepemilikan.<br />

Program yang dilakukan Grameen Shakti<br />

dilanjutkan dengan alih teknologi kepada<br />

penggunanya. Beberapa perempuan yang menjadi<br />

target group dari Grameen Shakti dikenalkan<br />

strategi untuk merakit sel surya dan memperbaiki<br />

jika terjadi kerusakan. Artinya, pendekatan tersebut<br />

selain membuat masyarakat untuk menguasai<br />

teknologi alternatif tersebut tetapi juga melahirkan<br />

lapangan kerja baru kepada kelompok masyarakat<br />

miskin. Berbeda dengan Grameen Bank, SEFA<br />

memiliki pendekatan lainnya. Pilihan SEFA jatuh<br />

pada penggunaan biogas sebagai penggunaan<br />

energi alternatif bagi lingkungan rumah tangga.<br />

Pilot project mereka dilakukan pada sebuah<br />

restoran dan hotel yang sederhana di sebuah kota<br />

di India.<br />

Tranformasi kepemilikan energi alternatif<br />

kepada masyarakat miskin melalui keuangan<br />

mikro menjadi salah satu strategi pemberdayaan.<br />

Energi alternatif bagi kelompok miskin sangatlah<br />

berarti dalam menghilangkan ketergantungan<br />

mereka terhadap sebuah sistem pemasaran energi.<br />

Di pihak lain, kasus di India membuktikan biaya<br />

konsumsi energi dalam bentuk minyak tanah yang<br />

masih tinggi dan belum meratanya listrik membuat<br />

masyarakat miskin semakin termarginalkan.<br />

Keuangan mikro lagi-lagi masih mampu<br />

menjadi strategi untuk menjawab permasalahan<br />

kemiskinan. Tentu saja diperlukan modifikasi dan<br />

inovasi pendekatan baru. (gm)


Keuangan Mikro<br />

di Dunia Maya<br />

Website kiva, yang bisa diakses di www.kiva.org<br />

Dunia akan semakin datar, demikian ungkapan yang selalu<br />

dilontarkan oleh para futurolog. Agaknya hal tersebut<br />

semakin mendekati pada kenyataan dengan lahirnya<br />

teknologi informasi yang berkembang melalui dunia maya. Relasi<br />

antara manusia dengan manusia yang lain tak lagi dibatasi oleh<br />

batas negara atau batasan politis. Kehadiran internet dan dunia<br />

maya yang dibentuknya, membuat manusia yang melintasi batas<br />

ruang dan (mungkin) waktu.<br />

Keuangan Mikro sebagai sebuah sistem yang dibangun<br />

manusia juga mengalami syndrome yang serupa yang dialami<br />

oleh futurolog ataupun penganut globalisasi. Keuangan Mikro<br />

yang merupakan relasi pemberdayaan antara pemilik modal<br />

yang memiliki kepedulian dengan masyarakat miskin tak<br />

lagi mengenal batas ruang dan waktu. Transaksi yang terjadi<br />

diantara kedua aktor ini tak lagi dibatasi oleh batas negara,<br />

batas etnisitas, atau batasan fisik lainnya. Hanya kepedulian<br />

dan semangat pemberdayaan sajalah yang menjadi batas relasi<br />

antar manusia tersebut. Keuangan mikro mampu memasuki taraf<br />

tersebut berkat disuntikkannya teknologi informasi dalam sistem<br />

keuangan mikro konvensional.<br />

Hal tersebut dibuktikan oleh salah satu lembaga non-profit<br />

yang bernama KIVA. Lembaga ini berusaha menghilangkan jarak<br />

antara peminjam dengan pengusaha mikro melalui perantaraan<br />

dunia maya. Sehingga seorang pemuda yang memiliki kepedulian<br />

sosial di Amerika Serikat bisa memberikan pinjaman kepada<br />

seorang pedagang sayur di Irak. Ataupun seseorang yang tinggal<br />

di bagian utara Inggris bisa memberikan bantuan kredit kepada<br />

seorang pedagang kelontong di kepulauan Samoa di Samudra<br />

Pasifik. Lagi-lagi seperti kredit mikro lainnya, kepercayaan<br />

menjadi salah satu faktor utama yang tak bisa dielakkan.<br />

Ketiadaan jaminan dalam relasi antara pemodal dengan<br />

pengusaha mikro di benua lain, membuat resiko dalam relasi<br />

tersebut semakin tinggi.<br />

Rico Munoz, Partnership Development Specialist, KIVA, Philipines<br />

mengungkapkan, ”Fondasi utama dari program yang dilakukan<br />

KIVA adalah kepercayaan pemberi kredit kepada KIVA dan<br />

partner KIVA yang tersebar di seluruh dunia,”. Strategi utama<br />

yang membuat orang-orang terus memberikan pinjaman kepada<br />

KIVA adalah kemampuan KIVA untuk menyajikan dampak<br />

dari pinjaman yang diberikan peminjam kepada pengusaha<br />

mikro. Dan laporan rutin dan singkat yang diberikan oleh<br />

KIVA mengenai kemajuan pengusaha mikro setelah menerima<br />

pinjaman kepada pemilik modal menjadi faktor lainnya yang<br />

menumbuhkan kepercayaan.<br />

Semangat philantropi merupakan dasar utama dan peluang<br />

yang dibaca KIVA dalam melakukan gerakan keuangan mikro<br />

di dunia maya. Semangat philantropi yang dimiliki oleh warga<br />

masyarakat dunia yang telah mapan dikelola sedemikian<br />

rupa sehingga dapat diberdayakan untuk memberdayakan<br />

masyarakat di bagian dunia lain yang tidak beruntung.<br />

Peminjam atau pemilik modal memberikan pinjamannya<br />

tanpa bunga dan jaminan. Pemilik modal juga bisa secara<br />

spesifik memilih kepada siapa (pengusaha mikro di daerah<br />

tertentu) dana akan mereka pinjamkan. Kemudian oleh KIVA<br />

sejumlah dana tersebut disalurkan kepada pengusaha mikro<br />

tersebut melalui lembaga keuangan mikro dimana pengusaha<br />

tersebut menjadi anggotanya. Lembaga Keuangan Mikro<br />

tersebut bisa membebankan bunga antara 2-5 % per bulan<br />

sebagai pengganti biaya operasional.<br />

Dasar keberhasilan lainnya yang dimiliki oleh KIVA<br />

adalah kemampuan KIVA untuk memilih partnernya di<br />

masing-masing daerah. Sebelum menggalang dana pinjaman,<br />

terlebih dahulu KIVA mencari mitra-mitra lembaga keuangan<br />

mikro yang ada di daerah. Kemudian lembaga-lembaga<br />

tersebut membentuk semacam profile dari kelompok ataupun<br />

individu yang mereka dampingi. Berdasar profile tersebut,<br />

KIVA kemudian melakukan penggalangan dana dengan<br />

memanfaatkan webiste dan berbagai media kampanye yang<br />

dimilikinya. “Intensitas laporan bulanan dan model laporan<br />

yang deskriptif menjadi prasyarat utama yang harus disiapkan<br />

oleh lembaga keuangan mikro yang menjadi mitra kami,”<br />

ungkap Darren Miao, Microfinance Partnership Manager, KIVA.<br />

Laporan-laporan tersebut membuat orang-orang tertarik<br />

untuk terlibat dalam proyek KIVA.<br />

Jumlah dana yang dipinjamkan pun tidak cukup banyak.<br />

Setiap orang bisa meminjamkan dana dengan jumlah paling<br />

kecil US $ 25 dan dana yang paling besar sebesar US $ 250.<br />

Dan peminjam pun menyadari beberapa resiko sosial dari<br />

kehilangan dana tersebut. Apabila terjadi bencana alam<br />

ataupun bencana sosial lainnya ada kemungkinan dana<br />

tersebut tidak akan kembali. Walaupun dengan resiko yang<br />

cukup besar, hingga saat ini telah banyak warga negara dunia<br />

yang terlibat dalam proyek KIVA baik sebagai peminjam<br />

ataupun sebagai pemberi pinjaman.<br />

Bagaimana KIVA dan Lembaga keuangan mikro<br />

yang menjadi mitranya dapat berkesinambungan? Setiap<br />

individu yang meminjamkan dana kepada pengusaha mikro<br />

selalu ditawari untuk menyumbangkan 10% dana untuk<br />

keberlangsungan kelembagaan KIVA. Sedangkan bagi lembaga<br />

keuangan mikro yang menjadi mitranya bisa menentukan<br />

bungan kepada individu dan kelompok yang disalurkan<br />

pinjamannya. Dengan margin bunga tersebut, lembaga<br />

keuangan mikro dapat menjaga keberlangsungan hidupnya.<br />

Walaupun bisa menentukan bunga pinjaman, jumlahnya<br />

haruslah disepakati oleh KIVA dan juga peminjam.<br />

Kreativitas dan pengembangan keuangan mikro alternatif<br />

agaknya menjadi sebuah tuntutan di era yang semakin<br />

mengglobal ini. Gerakan ke<strong>swadaya</strong>an haruslah mampu<br />

menyiasati pertumbuhan teknologi untuk melebarkan sayap<br />

layanan keuangan mikro kepada kelompok masyarakat yang<br />

tidak mampu di seluruh dunia. Akankah Indonesia mampu?<br />

Jawabannya agaknya masih harus digali dan dipikirkan untuk<br />

sekian tahun ke depan. (gm)


Fondasi Perundangan bagi Keuangan Mikro<br />

Seperti halnya sebuah organisme, pertumbuhan gerakan<br />

Keuangan Mikro sangatlah tergantung lingkungan<br />

gerakannya. Dalam konteks gerakan Keuangan Mikro<br />

Indonesia, fondasi bagi lingkungan yang kondusif bagi<br />

pertumbuhannya adalah perlindungan dan dukungan terhadap<br />

berbagai format keuangan mikro. Beberapa kasus di Indonesia<br />

menunjukkan ketiadaan perlindungan bagi kegiatan keuangan<br />

mikro membuat beberapa lembaga keuangan mikro jatuh<br />

dan dilibas oleh sistem. Sebut saja BMT di sebuah daerah di<br />

pulau Sumatera dianggap ilegal dan pengurusnya ditangkap<br />

karena dianggap melakukan kegiatan serupa bank namun<br />

tak memiliki badan hukum perbankan. Persyaratan badan<br />

hukum yang dalam bentuk bank seringkali membuat lembaga<br />

keuangan mikro dianggap illegal dalam melaksanakan kegiatan<br />

pemberdayaannya.<br />

Faktor lainnya, ketiadaan dukungan bagi lembaga keuangan<br />

mikro (LKM) untuk mengakses dana dari pihak ketiga membuat<br />

LKM seringkali tak mampu melebarkan sayapnya. Betapa tidak,<br />

keterbatasan dana simpanan yang dimiliki<br />

anggotanya berdampak pada kecilnya jumlah<br />

dana yang bisa disalurkan sebagai kredit. Namun<br />

di pihak lain, LKM tidak dimungkinkan untuk<br />

mendorong dan mengumpulkan simpanan diluar<br />

masyarakat yang didampinginya.<br />

Berbagai permasalahan tersebut seringkali<br />

berujung ketiadaan payung hukum bagi kegiatan<br />

keuangan mikro di Indonesia. Berbagai peraturan<br />

perundangan yang sudah ada, seperti mengenai opini<br />

perbankan misalnya, hanya berorientasi pada<br />

institusi bisnis semata. Sehingga mekanisme yang<br />

dibangun murni sistem bisnis dengan berbagai sistem ketat yang<br />

mengikutinya. Seringkali ketatnya sistem tersebut tak mampu<br />

dipenuhi oleh lembaga keuangan mikro yang baru saja berdiri.<br />

Kebutuhan LKM<br />

Perlindungan yang paling utama dibutuhkan oleh LKM<br />

adalah perlindungan dalam setiap aktivitasnya. Aktivitas untuk<br />

mengumpulkan simpanan dan menyalurkan kredit kepada<br />

kelompok masyarakat yang paling miskin haruslah dilindungi.<br />

Perlindungan tersebut setidaknya dengan memperbolehkan LKM<br />

untuk menjalankan kedua kegiatan tersebut kepada anggotanya<br />

selama tidak ada penyelewengan. Ketiadaan payung hukum bagi<br />

pelaksanaan kegiatan LKM, membuat pengurus LKM seperti<br />

hidup di ujung duri.<br />

Lebih lanjut, membuka kemungkinan untuk mengumpulkan<br />

simpanan dari masyarakat diluar anggotanya. Permasalahan<br />

lainnya yang juga muncul adalah minimnya peluang bagi LKM<br />

untuk bekerjasama dengan pihak ketiga terutama perbankan.<br />

Dua hal ini memiliki urgensi penting bagi kelanjutan LKM dalam<br />

mengembangkan sayap kegiatan mereka. Semakin berhasil<br />

kelompok atau anggota dampingan LKM berdampak semakin<br />

tingginya permintaan mereka atas kredit. Ketersediaan jumlah<br />

dana yang cukup untuk disalurkan kepada anggota LKM sebagai<br />

kredit merupakan prasyarat utama pertumbuhan LKM.<br />

Ruang gerak yang lebih luas bagi LKM tersebut berdampak<br />

adanya tuntutan LKM untuk semakin memiliki akuntabilitas<br />

publik dalam melaksanakan berbagai kegiatannya. Di pihak lain,<br />

masyarakat juga harus dibantu untuk memiliki LKM mana yang<br />

baik dan buruk. Ketiadaan mekanisme untuk menjamin tersebut<br />

dapat membuat masyarakat tidak mampu melakukan mobilisasi<br />

dukungan berupa simpanan bagi LKM.<br />

Dalam sebuah prespektif lain yang ditawarkan oleh Sanjay<br />

Sinha, Managing Director, Micro-Credit Ratings International<br />

Ltd adalah dengan membangun Lembaga Independen yang<br />

melakukan semacam sertifikasi bagi LKM. Lembaga ini memiliki<br />

wewenang untuk memberikan sertifikasi kepada LKM. LKM yang<br />

mendapatkan sertifikat dianggap transparan dan akuntabel serta<br />

dapat menjalankan kegiatannya dengan baik. Berbekal sertifikasi<br />

tersebut, LKM dapat menggalang dana publik, masyarakat diluar<br />

anggotanya, melalui simpanan dan bekerjasama dengan sektor<br />

ketiga seperti perbankan.<br />

Mendambakan UU Keuangan Mikro di Indonesia<br />

Melihat pertumbuhan LKM di Indonesia yang semakin<br />

marak membuat perlindungan terhadap segala aktivitas LKM<br />

menjadi penting artinya. Perlindungan tersebut hanya mampu<br />

diberikan ketika Indonesia memiliki sebuah payung hukum bagi<br />

kegiatan keuangan mikro di Indonesia.<br />

Hal tersebut hanya bisa diawali dengan<br />

perubahan prespektif pembuat kebijakan yang<br />

memberikan garis tegas antara kredit bagi<br />

pengusaha kecil dengan kredit dengan pengusaha<br />

mikro. Sayangnya, pemerintah dan legislatif<br />

seringkali tak memiliki komitmen atas masalah<br />

tersebut. Kredit mikro seringkali dianggap sama<br />

dengan kredit bagi pengusaha kecil. Padahal<br />

perbedaannya sangatlah mencolok. Selain<br />

perbedaan dari sisi omset ataupun kepemilikan<br />

harta antara pengusaha mikro dan pengusaha<br />

kecil. Kredit yang disalurkan kepada pengusaha mikro tidak<br />

melibatkan agunan sedangkan agunan menjadi prasyarat utama<br />

dalam penyaluran kredit bagi pengusaha kecil.<br />

Ketiadaan prespektif tersebut membuat UU Keuangan<br />

Mikro yang telah digagas oleh Kelompok Masyarakat Sipil sejak<br />

tahun 2005 terus tersendat-sendat. Malahan sejak lahirnya UU<br />

Usaha Kecil Menengah, usaha mikro dianggap menjadi bagian<br />

dari usaha kecil dan tidak memerlukan perlakukan khusus.<br />

Alhasil LKM masih tetap saja sulit melakukan kegiatan keuangan<br />

mikro.<br />

Komitmen pemerintah terhadap usaha pemberdayaan<br />

masyarakat harusnya diikuti oleh niat baik pemerintah untuk<br />

memberikan perlidungan hukum bagi kegiatan LKM. Salah<br />

satunya adalah dengan melahirkan UU LKM yang memiliki<br />

prespektif untuk meberdayakan dan menumbuhkembangkan<br />

LKM di Indonesia. Agaknya pertanyaan ini penting untuk segera<br />

dijawab sebelum pemerintahan ini berakhir. Apabila tidak,<br />

nasib pertumbuhan LKM masih harus menunggu komitmen<br />

pemerintahan baru akan terpilih pada 2009.<br />

Terlepas dari berbagai konstelasi politis tentang pertumbuhan<br />

keuangan mikro di Indonesia. Keuangan Mikro diyakini sebagai<br />

salah satu strategi yang efektif untuk mengentaskan masyarakat<br />

dari jurang kemiskinan. Hanya keyakinan inilah dan karya nyata<br />

dalam gerakan keuangan mikro yang bisa mendorong dan<br />

melangkahkan keuangan mikro di Indonesia selangkah lebih<br />

maju. (gm)<br />

Ilustrasi : http://handaru.light19.com/wp-content/uploads/2007/12/<br />

judge_hammer.jpg

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!