24.11.2014 Views

JUAL BELI GHARAR (Tinjauan terhadap Proses dan Obyek ...

JUAL BELI GHARAR (Tinjauan terhadap Proses dan Obyek ...

JUAL BELI GHARAR (Tinjauan terhadap Proses dan Obyek ...

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

<strong>JUAL</strong> <strong>BELI</strong> <strong>GHARAR</strong><br />

(<strong>Tinjauan</strong> <strong>terhadap</strong> <strong>Proses</strong> <strong>dan</strong> <strong>Obyek</strong> Transaksi Jual Beli)<br />

Oleh: Akhmad Nur Zaroni<br />

Abstract: Islam has urged its follower to seek sustenance<br />

through trading. As a matter of fact, the Prophet is a role<br />

model of a successful trader and so did many of the<br />

Prophet’s companion e.g. Abu Bakar, Umar Ibn Khattab,<br />

Utsman Ibn Affan, Abdurrahman Ibn Auf and so forth.<br />

When urging the trading, Islam has given guidelines of<br />

what is allowed and prohibited. One of them is the<br />

prohibition of gharar because it involves uncertainty<br />

(betting or gambling) in doing business. This article is to<br />

discuss the concept of gharar in Islamic business law.<br />

Accordingly, there are two types of gharar i.e. uncertainty<br />

in contract and uncertainty in object of contract.<br />

Kata Kunci: Gharar, Madharat, Transaksi, <strong>Obyek</strong> Transaksi.<br />

Pendahuluan<br />

Islam adalah agama yang mudah <strong>dan</strong> syamil (menyeluruh)<br />

meliputi segenap aspek kehidupan termasuk masalah jual beli.<br />

Dalam mengatur kehidupan, Islam selalu memperhatikan berbagai<br />

maslahat <strong>dan</strong> menghilangkan segala bentuk madharat. Termasuk<br />

dalam maslahat tersebut adalah sesuatu yang Allah syariatkan dalam<br />

jual beli dengan berbagai aturan yang melindungi hak-hak pelaku<br />

bisnis <strong>dan</strong> memberikan berbagai kemudahan- kemudahan dalam<br />

pelaksanaannya.<br />

Di samping membahas masalah ibadah-ibdah ritual yang<br />

bersifat mahdah, Islam juga membahas permasalahan jual beli<br />

secara mendetail. Dalam Islam tidak mengenal dikotomi antara<br />

aktivitas duniawi dengan ukhrawi. Setiap aktivitas dunia senantiasa<br />

berkaitan erat dengan aktivitas akhirat sehingga harus berada dalam<br />

bingkai ajaran Islam.<br />

Islam mendorong ummatnya berusaha mencari rizki supaya<br />

kehidupan mereka menjadi baik <strong>dan</strong> menyenangkan. Allah SWT<br />

menjadikan langit, bumi, laut <strong>dan</strong> apa saja untuk kepentingan <strong>dan</strong><br />

manfaat manusia.<br />

Penulis adalah Dosen Tetap STAIN Samarinda Jurusan Syariah


Akhmad Nur Zaroni, Jual Beli Gharar…… 69<br />

Dan Kami jadikan malam sebagai pakaian. Dan Kami<br />

jadikan siang untuk mencari penghidupan.<br />

Dalam ayat tersebut Allah mengajarkan keseimbangan antara<br />

mencari rizki untuk kehidupan <strong>dan</strong> beristirahat (leisure). Malam hari<br />

untuk beristirahat <strong>dan</strong> mengumpulkan tenaga <strong>dan</strong> siang hari bekerja<br />

mencurahkan tenaga, berbisnis berdagang untuk mencari rizki.<br />

Dalam beberapa hadist Rasulullah SAW memberikan<br />

dorongan kepada ummatnya untuk mencari rizki dengan berusaha<br />

<strong>dan</strong> berdagang. Rasulullah sendiri adalah contoh seorang pedagang<br />

yang sukses. Ketika masih kecil beliau telah menemani pamannya<br />

Abu Thalib berdagang ke Syam, bahkan beliau sendiri menjalankan<br />

bisnis milik Siti Khadijah ke Syam <strong>dan</strong> kembali dengan keuntungan<br />

yang besar. Ini adalah bukti kemampuan, kepercayaan <strong>dan</strong> amanah<br />

beliau sebagai pedagang. Para sahabat Rasul juga banyak yang<br />

menjadi pengusaha <strong>dan</strong> bussinessman yang sukses. Diantaranya<br />

adalah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ustman bin Affan,<br />

Abdurrahman bin Auf, <strong>dan</strong> lain-lain.<br />

Rasulullah SAW bersabda :<br />

Pedagang yang amanah <strong>dan</strong> benar kelak di hari kiamat<br />

bersama-sama dengan para nabi para shiddiqin <strong>dan</strong> para<br />

syuhada. 1<br />

Tidak ada makanan yang lebih baik yang dimakan oleh<br />

seseorang daripada yang dihasilkan oleh tangannya<br />

sendiri. 2<br />

Walaupun Islam mendorong ummatnya untuk berdagang,<br />

bukan berarti dapat dilakukan sesuka <strong>dan</strong> sekehendak manusia,<br />

seperti lepas kendali. Adab <strong>dan</strong> etika bisnis dalam Islam harus<br />

dihormati <strong>dan</strong> dipatuhi jika para pedagang <strong>dan</strong> pebisnis ingin<br />

termasuk dalam golongan para Nabi, Syuhada <strong>dan</strong> Shiddiqien.<br />

Ummat Islam dalam kiprahnya mencari kekayaan <strong>dan</strong><br />

menjalankan usahanya diharuskan menjadikan Islam sebagai<br />

1<br />

Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, (Beirut: Dar Ihya al-Turas al-Arabi, tt), h.<br />

120.<br />

2<br />

Imam Bukhari, Shahih Bukhari Jilid II, trj. H. Zainuddin Hamidy, dkk,<br />

Cet. 13 (Jakarta : Widjaya, 1992), h. 254


70<br />

, Vol. IV, No. 1, Juni 2007<br />

dasarnya <strong>dan</strong> ridha Allah sebagai tujuan akhir <strong>dan</strong> utama. Mencari<br />

keuntungan dalam melakukan perdagangan merupakan salah satu<br />

tujuan, tetapi tidak boleh mengalahkan tujuan utama. Dalam<br />

pan<strong>dan</strong>gan Islam bisnis merupakan sarana untuk beribadah kepada<br />

Allah <strong>dan</strong> merupakah fardlu kifayah, oleh karena itu bisnis <strong>dan</strong><br />

perdagangan tidak boleh lepas dari peran Syari’ah Islamiyah.<br />

Sistem Islam melarang setiap aktivitas perekonomian—tak<br />

terkecuali jual beli (perdagangan)—yang mengandung unsur<br />

paksaan, mafsadah (lawan dari manfaat), <strong>dan</strong> gharar (penipuan).<br />

Se<strong>dan</strong>gkan, bentuk perdagangan Islam mengijinkan a<strong>dan</strong>ya sistem<br />

kerja sama (patungan) atau lazim disebut dengan syirkah.<br />

Pengertian<br />

Gharar secara bahasa berarti khatar (resiko, berbahaya), <strong>dan</strong><br />

tahgrir berarti melibatkan diri dalam sesuatu yang gharar.<br />

Dikatakan gharrara binafsihi wa malihi taghriran berarti<br />

‘aradahuma lilhalakah min ghairi an ya’rif (jika seseorang<br />

melibatkan diri <strong>dan</strong> hartanya dalam wilayah gharar maka itu berarti<br />

keduanya telah dihadapkan kepada suatu kebinasaan yang tidak<br />

diketahui olehnya).<br />

Lafal gharar dari segi tata bahasa merupakan isim (kata<br />

benda). Gharar dalam terminologi para ulama fiqh memiliki<br />

beragam difinisi, antara lain:<br />

Gharar dikategorikan <strong>dan</strong> dibatasi <strong>terhadap</strong> sesuatu yang tidak<br />

dapat diketahui antara tercapai <strong>dan</strong> tidaknya suatu tujuan, <strong>dan</strong> tidak<br />

termasuk di dalamnya hal yang majhul (tidak diketahui). Seperti<br />

definisi yang dipaparkan oleh Ibn Abidin yaitu, “gharar adalah<br />

keraguan atas wujud fisik dari obyek transaksi”.<br />

Gharar dibatasi dengan sesuatu yang majhul (tidak diketahui),<br />

<strong>dan</strong> tidak termasuk di dalamnya unsur keraguan dalam<br />

pencapaiannya. Definisi ini adalah pendapat murni mazhab Dhahiri.<br />

Ibn Haz mengatakan “unsur gharar dalam transaksi bisnis jual beli<br />

adalah sesuatu yang tidak diketahui oleh pembeli apa yang ia beli<br />

<strong>dan</strong> penjual apa yang ia jual.<br />

Kombinasi antar kedua pendapat tersebut di atas, yaitu gharar<br />

meliputi dalam hal yang tidak diketahui pencapaiannya <strong>dan</strong> juga atas<br />

sesuatu yang majhul (tidak diketahui). Contoh dari definisi ini<br />

adalah yang dipaparkan oleh Imam Sarkhasi: “gharar adalah sesuatu<br />

yang akibatnya tidak dapat diprediksi. Ini adalah pendapat mayoritas<br />

ulama fiqh.


Akhmad Nur Zaroni, Jual Beli Gharar…… 71<br />

Se<strong>dan</strong>g menurut Ibnu Taimiyah, gharar adalah yang tidak jelas<br />

hasilnya (majhul al ‘aqibah), menurut Syaikh As-Sa’di al-gharar<br />

adalah al-Mukhatarah (pertaruhan) <strong>dan</strong> al Jahalah (ketidak jelasan),<br />

perihal ini masuk dalam kategori perjudian.<br />

Dari beberapa definisi di atas dapat diambil pengertian, yang<br />

dimaksud jual beli gharar adalah, semua jual beli yang mengandung<br />

ketidakjelasan, seperti pertaruhan atau perjudian karena tidak dapat<br />

dipastikan jumlah <strong>dan</strong> ukurannya atau tidak mungkin diserah<br />

terimakan. 3<br />

Hukum Jual Beli Gharar<br />

Jual beli gharar dilarang dalam Islam berdasarkan al Qur’an<br />

<strong>dan</strong> Hadis Nabi. Larangan jual beli gharar dalam al Qur’an<br />

didasarkan kepada ayat-ayat yang melarang memakan harta orang<br />

lain dengan cara batil, sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:<br />

Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian<br />

yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil <strong>dan</strong><br />

(janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada<br />

hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta<br />

orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu<br />

mengetahui. 4<br />

Dalam surat lain Allah berfirman:<br />

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling<br />

memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali<br />

dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama<br />

suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh<br />

dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha penyayang<br />

kepadamu. 5<br />

Alasan pelarangan jual beli gharar menurut Syaikhul Islam<br />

Ibnu Taimiyyah selain karena memakan harta orang lain dengan<br />

cara batil, juga merupakan transaksi yang mengandung unsur judi,<br />

seperti menjual burung di udara, onta <strong>dan</strong> budak yang kabur, buah-<br />

3 Ghufran A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: PT. Raja<br />

Grafindo Persada, 2002), h. 133<br />

4<br />

QS. Al Baqarah: 188.<br />

5 QS. An Nisa: 29.


72<br />

, Vol. IV, No. 1, Juni 2007<br />

buahan sebelum tampak buahnya, <strong>dan</strong> jual beli hashah. Se<strong>dan</strong>g<br />

judi dalam al Qur’an sangat jalas pengharamannya. 6<br />

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum)<br />

khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib<br />

dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan<br />

setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu<br />

mendapat keberuntungan. 7<br />

Adapun larangan jual beli gharar dalam hadis Nabi sesuai<br />

dengan hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa,<br />

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli alhashah<br />

<strong>dan</strong> jual beli gharar”. 8 Dalam riwayat lain yang<br />

diriwayatkan oleh jama’ah tsiqat para sahabat yang terpercaya,<br />

bahwa Rasulullah saw telah melarang seluruh transaksi jual beli<br />

gharar.<br />

Hadis tersebut diriwayatkan dari Abu Hurairah, Ibn Umar, Ibn<br />

Abbas, Abi Said, serta Anas dengan tambahan redaksi pada<br />

beberapa riwayat. Hadis ini dijumpai dalam shahih Muslim dengan<br />

syarah oleh Nawawi 3/156, Sunan Ibn Majah 6/10, Sunan Abu<br />

dawud 3/346, jami’u shahih Imam Tirmidzi 3/532, Sunan Nasai<br />

dengan syarah Suyuti 8/262.<br />

Adapun Imam Bukhari meskipun belum pernah meriwayatkan<br />

dalam shahihnya hadis tentang larangan bisnis jual beli yang<br />

mengandung gharar secara tekstual akan tetapi beliau menyebutkan<br />

dalam penjelasannya. Dalam hadis yang yang melarang tentang jual<br />

beli habl al hablah 3/70 yang merupakan salah satu jenis dari bisnis<br />

jual beli yang mengandung unsur gharar, <strong>dan</strong> beliau menyebutkan<br />

gharar dalam maknanya yang umum kemudian diikuti dengan habl<br />

al hablah, maka metode athaf (pengikutan) makna khusus kepada<br />

makna yang umum adalah untuk menjelaskan, bahwa macammacam<br />

jual beli gharar sangat banyak bentuknya. Oleh karena itu<br />

Bukhari tidak menyebutkan dalam riwayatnya kecuali tentang habl<br />

al hablah, hal ini dimaksudkan untuk tanbih (perhatian) dengan<br />

metode makhsus (sesuatu yang dikhususkan) ma’lul (memiliki tanda<br />

6<br />

Ibn Taimiyyah, Mukhtashar Al-Fatawa Al-Mishriyyah, tahqiq: Abdul<br />

Majid Sulaim, (Kairo: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, tt), h. 342.<br />

7<br />

QS. Al-Maidah: 90<br />

8<br />

Imam Muslim, Shahih Muslim, ter. Ma’mur Daud, jilid III, Kitabul Buyu’,<br />

(Jakarta: Widjaya, 1993), h. 139


Akhmad Nur Zaroni, Jual Beli Gharar…… 73<br />

atau argumentasi hukum) dengan illat dalam setiap jenis <strong>dan</strong><br />

macam-macam bentuk jual beli gharar. 9<br />

Kesimpulan hukum dari hadis tersebut adalah: Pertama,<br />

pengharaman melakukan transaksi bisnis jual-beli yang mengandung<br />

unsur gharar, karena sighat nahy (bentuk larangan dalam hadis)<br />

menunjukkan atas haramnya sesuatu dengan mengacu kepada yang<br />

dipilih oleh para ahli ushul fiqh. Kesimpulan ini tidak dapat dipakai<br />

argumentasi atas yang lainnya kecuali dalam sighat majaz. 10<br />

Kedua, rusaknya transaksi bisnis jual beli yang mengandung<br />

unsur gharar, atau tidak berpengaruhnya transaksi tersebut <strong>terhadap</strong><br />

transaksi yang dilakukan adalah menurut pendapat mayoritas ulama.<br />

Petunjuk umum tentang haram <strong>dan</strong> rusaknya setiap transaksi<br />

bisnis jual beli yang mengandung unsur gharar, menurut pendapat<br />

yang mengatakan, bahwa perkataan sahabat mengenai larangan Nabi<br />

saw tentang sesuatu, maka hal hal tersebut berlaku secara umum. 11<br />

Bentuk-Bentuk Gharar dalam Jual Beli<br />

Gharar dalam Akad<br />

1. Bai’ataini fii Ba’iah.<br />

Rasulullah melarang melakukan dua kesepakatan dalam<br />

satu transaksi (bai’ataini fii ba’iah). Para ulama ahli fiqh sepakat<br />

dengan hadis ini secara umum <strong>dan</strong> mereka melarang seseorang<br />

untuk mengadakan dua transaksi dalam satu kesepakatan.<br />

Diantara hadis tersebut adalah yang diriwayatkan oleh Abu<br />

Hurairah ra.<br />

;<br />

(<br />

Dari Abu Hurairah ra: telah bersabda Rasulullah SAW “<br />

Barang siapa yang menjual dua penjuaan dalam satu barang,<br />

maka baginya kerugian atau riba”. 12<br />

Akan tetapi dalam memahami hadis ini mereka berselisih<br />

interpretasi, baik dalam variasi bentuk transaksi yang bersifat<br />

)<br />

9<br />

Husain Syahatah <strong>dan</strong> Siddiq Muh. Al-Amin Adh-Dhahir, Transaksi <strong>dan</strong><br />

Etika Bisnis Islam, terj. Saptono Budi Satryo <strong>dan</strong> Fauziah R., (Jakarta: Visi Insani<br />

Publishing, 2005), h. 142<br />

10 Lihat, Muhammad Khudhuri, Ushul Fiqh, (al Jamaliyah, 1329 H.), h. 240<br />

11 Husain Syahatah <strong>dan</strong> Siddiq Muh. Al-Amin Adh-Dhahir, Op.cit., h. 143<br />

12<br />

Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Nail al Authar,. Jilid V,( Syirkah<br />

Ikatiddin, 1979),h.172


74<br />

, Vol. IV, No. 1, Juni 2007<br />

mutlak ataupun yang sifatnya tidak mutlak. Beberapa interpretasi<br />

tersebut adalah :<br />

a. Bahwa yang dimaksud hadits tersebut adalah jual beli ‘inah,<br />

yaitu seorang yang membeli barang dengan kredit, kemudian<br />

ia jual kembali kepada orang yang menjual tadi secara tunai<br />

dengan harga yang lebih murah pada waktu itu juga. 13<br />

b. Ada pula yang menafsirkan seseorang meminjamkan satu<br />

dinar kepada orang lain selama satu bulan dengan ketentuan<br />

dibayar satu takar gandum. Kemudian setelah datang waktu<br />

yang ditentukan <strong>dan</strong> gandum itu telah dimintanya, maka<br />

orang yang pinjam itu berkata: “Juallah gandum itu<br />

kepadaku dengan tempo pembayaran dua bulan, yang akan<br />

saya bayar dengan dua takar. Maka inilah bentuk dua macam<br />

penjualan dalam satu penjualan, karena penjualan kedua ini<br />

telah masuk dalam pada penjualan pertama. 14<br />

c. Menurut Imam Syafi’I itu artinya adalah seorang penjual<br />

berkata : “Aku jual rumahku kepada engkau dengan syarat<br />

kamu jual kudamu kepadaku. 15<br />

d. Tafsiran yang lain adalah seorang penjual mengatakan aku<br />

jual barang seharga 1000 dengan cara tunai <strong>dan</strong> 2000 dengan<br />

tempo satu tahun, <strong>dan</strong> pembeli menjawab saya terima, tanpa<br />

menjelaskan harga mana yang ia ambil. Dan inilah yang<br />

menjadi masalah (barang tersebut diterima dengan harga<br />

mubham). Jika pembeli mengatakan aku terima barang ini<br />

dengan harga 1000 kontan atau harga 2000 dengan tempo<br />

maka jual beli tersebut akan sah.<br />

Beberapa penafsiran di atas semuanya menunjukkan a<strong>dan</strong>ya<br />

unsur gharar dalam transaksi atau sighat akad terkait dengan dua<br />

kesepakatan dalam satu transaksi, <strong>dan</strong> inilah yang menjadi illat<br />

mengapa hukumnya dilarang dilakukan dalam transaksi bisnis.<br />

2. Bai’ Urban<br />

Bai’ Urban adalah seseorang membeli sebuah komoditi <strong>dan</strong><br />

sebagian pembayaran diserahkan kepada penjual sebagai uang<br />

muka (DP). Jika pembeli jadi mengambil komoditi maka uang<br />

13<br />

Ibnu Rusdy, Bidayatul Mujtahid Wa NihayatulMuqtasid, (Beirut: Dar Al<br />

Fikr, Tt.), h. 102<br />

14 Muhammad bin Ali Asy-Syaukani,.Op.Cit,.h. 172<br />

15 Wahbah Al-Zuhaily, Op.Cit., h.471


Akhmad Nur Zaroni, Jual Beli Gharar…… 75<br />

pembayaran tersebut termasuk dalam perhitungan harga. Akan<br />

tetapi jika pembeli tidak mengambil komoditi tersebut maka<br />

uang muka tersebut menjadi milik penjual. 16<br />

Berkaitan dengan bai’ urban terdapat dua hadis yang<br />

melarang <strong>dan</strong> yang membolehkan. Hadis yang melarang adalah<br />

yang diriwayatkan oleh Imam Malik dari seorang yang tsiqah<br />

sebagaimana berikut:<br />

Dari Amr Ibn Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya<br />

bahwasanya Rasulullah saw melarang jual beli urban. 17<br />

Adapun hadis yang membolehkan adalah yang dikeluarkan<br />

oleh Abdul Razak dalam mushanifnya sebagaimana berikut:<br />

Dari Zaid Ibn Aslam bahwasanya ia telah bertanya<br />

kepada Rasulullah saw tentang jual beli urban maka<br />

Rasulullah saw membolehkannya. 18<br />

Meskipun terdapat dua hadis yang berbeda, namun<br />

mayoritas ulama hadis menerima <strong>dan</strong> mensahihkan hadis yang<br />

melarang jual beli urban <strong>dan</strong> menolak hadis yang<br />

membolehkannya. Kelompok ulama yang melarang adalah<br />

mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Syiah Zaidiyah, Abu Al-Khitab<br />

dari mazhab Hambali <strong>dan</strong> juga yang diriwayatkan dari Ibn Abas<br />

serta Hasan. Adapun yang membolehkan adalah Imam Ahmad<br />

<strong>dan</strong> telah diriwayatkan akan pembolehannya dari Umar serta<br />

anaknya, sebagian golongan tabi’in diantaranya adalah Ibn Sirin,<br />

Nafi’ Ibn Abdul Haris, serta Zaid Ibn Aslam. 19<br />

Larangan Bai’ Urban yang dilakukan oleh jumhur<br />

sebagaimana dijelaskan dalam kitab Bidayah al Mujtahid adalah<br />

karena a<strong>dan</strong>ya unsur gharar <strong>dan</strong> resiko serta memakan harta tanpa<br />

a<strong>dan</strong>ya ‘iwadh (pengganti) yang sepa<strong>dan</strong> dalam pan<strong>dan</strong>gan<br />

16<br />

Husain Syahatah <strong>dan</strong> Siddiq Muh. Al-Amin Adh-Dhahir, Op.cit., h.154<br />

17<br />

Ibid., h. 154<br />

18<br />

Ibid., h. 155<br />

19<br />

Ibid., h. 156


76<br />

, Vol. IV, No. 1, Juni 2007<br />

syariah. 20 A<strong>dan</strong>ya unsur gharar tersebut juga karena masingmasing<br />

pihak, baik penjual maupun pembeli tidak mengetahui<br />

apakah transaksi jual beli yang telah disepakati dapat<br />

berlangsung secara sempurna atau tidak.<br />

3. Jual Beli Jahiliyah (Bai’ Al-Hashah, Bai’ Al-Mulamasah, Bai’<br />

Al-Munabadzah)<br />

Unsur gharar juga terdapat dalam tiga macam jual beli<br />

yang telah biasa dipraktekkan oleh orang-orang jahiliyah<br />

sebelum Islam. Tiga macam jual beli tersebut adalah sebagai<br />

berikut;<br />

Bai al Hashah adalah suatu transaksi bisnis dimana<br />

penjual <strong>dan</strong> pembeli bersepakat atas jual beli suatu komoditi<br />

pada harga tertentu dengan lemparan hashah (batu kecil) yang<br />

dilakukan oleh salah satu pihak kepada pihak lain yang dijadikan<br />

pedoman atas berlangsung tidaknya transaksi tersebut, atau juga<br />

meletakan batu kecil tersebut di atas komoditi, <strong>dan</strong> juga jatuhnya<br />

batu di pihak manapun yang mengharuskan orang tersebut<br />

melakukan transaksi.<br />

Bai’ al Mulasmasah adalah ketika kedua pihak (penjual<br />

<strong>dan</strong> pembeli) melakukan aktivitas tawar menawar atas suatu<br />

komoditi, kemudian apabila calon pembeli menyentuh komoditi<br />

tersebut (baik sengaja maupun tidak) maka dia harus<br />

membelinya baik sang pemilik komoditi tersebut rela atau tidak.<br />

Atau seorang penjual berkata kepada pembeli, “Jika ada yang<br />

menyentuh baju ini maka itu berarti anda harus membelinya<br />

dengan harga sekian, sehingga mereka menjadikan sentuhan<br />

<strong>terhadap</strong> obyek bisnis sebagai alasan untuk berlangsungnya<br />

transaksi jual beli.<br />

Bai’ al Munabadzah adalah seorang penjual berkata<br />

kepada calon pembeli, ”Jika saya lemparkan sesuatu kepada<br />

anda maka transaksi jual beli harus berlangsung diantara kita”,<br />

atau juga ketika pihak penjual <strong>dan</strong> calon pembeli melakukan<br />

tawar menawar komoditi kemudian penjual melemparkan<br />

sesuatu kepada calon pembeli maka ia harus membeli komoditi<br />

tersebut <strong>dan</strong> ia tidak mempunyai pilihan lain kecuali menerima<br />

transaksi tersebut, atau dengan gambaran lain seorang penjual<br />

20 Abu al Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibn<br />

Rusyd al Qurtubi, Bidayatul Mujtahid fii Nihayatil Muqtashid, (Mathbaatu al<br />

Istiamah, 1370 H.), h.162.


Akhmad Nur Zaroni, Jual Beli Gharar…… 77<br />

berkata kepada calon pembeli, “Jika saya lemparkan komoditi<br />

ini kepada anda maka itu berarti saya jual komoditi ini kepada<br />

anda dengan harga sekian”.<br />

Tiga macam jual bel tersebut masuk dalam kategori jual<br />

beli gharar <strong>dan</strong> dilarang dalam Islam. Dalam sebuah hadis Nabi<br />

yang riwayatnya sahih dijelaskan bahwa “Rasulullah saw<br />

melarang jual beli hashah <strong>dan</strong> jual beli gharar”. 21 Dalam hadis<br />

riwayat Abu Hurairah juga dijelaskan bahwa, “Rasulullah saw<br />

melarang transaksi mulamasah <strong>dan</strong> munabadzah” 22<br />

Unsur gharar yang terdapat dalam jual beli jahiliyah<br />

tersebut terletak pada shigat (kalimat) transaksinya. Hal ini<br />

dikarenakan pernyataan penjual bahwa lemparan batu kecil,<br />

sentuhan <strong>terhadap</strong> baju, <strong>dan</strong> lemparan komoditi dijadikan dasar<br />

dalam berlangsungnya kesepakatan jual beli.<br />

4. Bai’ al-Muallaq<br />

Bai’ Muallaq adalah suatu transaksi jual beli dimana<br />

keberlangsungannya tergantung pada transaksi lainnya yang<br />

disyaratkan. Keberhasilan transaksi dapat terjadi dengan<br />

mengikuti instrumen-instrumen yang ada dalam ta’liq (syarat)<br />

tersebut. Sebagai contoh adalah ketika seorang penjual<br />

mengatakan kepada calon pembeli, “Saya jual rumahku kepada<br />

anda dengan harga sekian jika si Fulan menjual rumahnya<br />

kepada saya”. Kemudian calon pembeli menjawab, “saya<br />

terima”. Kesepakatan dalam suatu transaksi jual beli semestinya<br />

tidak dapat menerima penggantungan atau pernyataan tertentu<br />

yang dijadikan ikatan atau dasar berlangsungnya transaksi. Jika<br />

hal tersebut dilakukan maka transaksi bisnis jual beli tersebut<br />

menjadi rusak, karena ada unsur gharar.<br />

Unsur gharar pada jual beli muallaq adalah ketika kedua<br />

belah pihak (penjual <strong>dan</strong> pembeli) tidak mengetahui tercapai<br />

tidaknya masalah yang dijadikan ikatan sehingga dapat<br />

melangsungkan transaksi jual beli diantara keduanya,<br />

sebagaimana kedua belah pihak tidak mengetahui dalam kondisi<br />

yang bagaimana transaksi dapat terlaksana, karena bisa saja<br />

transaksi semacam ini terlaksana ketika keinginan pembeli atau<br />

penjual berubah seketika. Oleh karena itu jelas terdapat unsur<br />

gharar baik dari aspek terlaksana tidaknya akad, aspek waktu<br />

pelaksanaan, atau juga gharar dalam mewujudkan rasa saling<br />

21 Imam Muslim, Loc.cit<br />

22 Imam Bukhari, jilid II, Kitabul Buyu’, Op.cit., h. 275


78<br />

, Vol. IV, No. 1, Juni 2007<br />

rela atau tidaknya antara kedua belah pihak ketika ada syarat<br />

yang menyertainya.<br />

Menurut mazhab Hanafi ta’liq tersebut tergolong perjudian<br />

(qimar), sehingga jual beli semacam itu tidak diperbolehkan.<br />

Se<strong>dan</strong>g Ibnu Taimiyah <strong>dan</strong> Ibnu al Qayyim berpendapat lain,<br />

bahwa ta’liq diperbolehkan dalam transaksi jual beli dengan<br />

syarat kedua belah pihak tidak melihat a<strong>dan</strong>ya unsur gharar. 23<br />

5. Bai’ Al-Mudhaf<br />

Bai’ Mudhaf adalah kesepakatan untuk melakukan<br />

transaksi jual beli untuk waktu yang akan datang, seperti<br />

perkataan penjual kepada calon pembeli, “ Saya jual rumahku<br />

kepada anda dengan harga sekian pada awal tahun depan”. 24<br />

Unsur gharar dalam jual beli mudhaf adalah pada aspek<br />

probabilitas dari kejadian pada beberapa kondisi, yaitu hilangnya<br />

aspek maslahah di salah satu pihak (penjual <strong>dan</strong> pembeli) serta<br />

kerelaan keduanya ketika kesepakatan jatuh tempo sesuai<br />

dengan yang disepakati, sehingga sekiranya seseorang pembeli<br />

komoditi dengan akad mudhaf <strong>dan</strong> kemudian kondisi pasar serta<br />

perekonomian berubah sehingga menyebabkan turunya harga<br />

komoditi pada waktu akad telah jatuh tempo, maka dapat<br />

dipastikan pembeli tidak menyukai karena a<strong>dan</strong>ya selisih antara<br />

harga akad dengan kondisi real saat itu kemudian pembeli<br />

menyesal atas tindakannya.<br />

Jadi unsur gharar yang ada dalam bai’ al mudhaf terletak<br />

pada pelaku akadnya. Ketika mereka tidak mengetahui kondisi<br />

pasar <strong>dan</strong> harga di masa yang akan datang jika dibandingkan<br />

dengan kondisi pada waktu transaksi disepakati. 25<br />

Gharar dalam <strong>Obyek</strong> Akad<br />

Dalam hukum perjanjian Islam obyek akad dimaksudkan<br />

sebagai suatu hal yang karenanya akad dibuat <strong>dan</strong> berlaku akibatakibat<br />

hukum akad. <strong>Obyek</strong> akad dapat berupa benda, manfaat benda,<br />

jasa atau pekerjaan, atau suatu yang lain yang tidak bertentangan<br />

dengan Syariah. 26<br />

23<br />

Husain Syahatah <strong>dan</strong> Siddiq Muh. Al-Amin Adh-Dhahir, Op.cit., h.159<br />

24<br />

Ibid., h. 161<br />

25<br />

Ibid., h. 162<br />

26<br />

Muhammad Sallam Madkur, al-Fiqh a-Islami: al-Madkhal wa al-Amwal<br />

wa al-Huquq wa al-Milkiyyah wa al-‘Aqd, (Mesir: Maktabah Abdillah Wahbah,<br />

1955), h. 426


Akhmad Nur Zaroni, Jual Beli Gharar…… 79<br />

Kedudukan obyek akad adalah sangat penting karena ia<br />

termasuk bagian yang harus ada (rukun) dalam hukum perjanjian<br />

Islam. Oleh karena keberadaannya sangat menentukan sah tidaknya<br />

perjanjian yang akan dilakukan, maka obyek akad harus memnuhi<br />

syarat-syarat sahnya seperti terbebas dari unsur-unsur gharar<br />

(ketidakjelasan). Ada beberapa gharar yang dapat terjadi dalam<br />

obyek akad <strong>dan</strong> akan mempengaruhi sah tidaknya suatu perjanjian:<br />

1. Ketidakjelasan dalam Jenis <strong>Obyek</strong> Akad<br />

Mengetahui jenis obyek akad secara jelas adalah syarat<br />

sahnya jual beli. Maka jual beli yang obyeknya tidak diketahui<br />

tidak sah hukumnya karena terdapat gharar yang banyak di<br />

dalamnya. Seperti menjual sesuatu dalam karung yang mana<br />

pembeli tidak mengetahui dengan jelas jenis barang apa yang<br />

akan ia beli.<br />

Namun demikian terdapat pendapat dari Mazhab Maliki<br />

yang membolehkan transaksi jual beli yang jenis obyek<br />

transaksinya tidak diketahui, jika disyaratkan kepada pembeli<br />

khiyar ru’ya (hak melihat komoditinya). 27 Begitu juga dalam<br />

mazhab Hanafi menetapkan khiyar ru’yah tanpa dengan a<strong>dan</strong>ya<br />

syarat, 28 berdasarkan hadis berikut:<br />

Siapa yang membeli sesuatu yang belum ia lihat, maka ia<br />

berhak khiyar apabila telah melihat barang itu.<br />

Akan tetapi ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa jual beli<br />

barang yang gaib tidak sah, baik barang itu disebutkan sifatnya<br />

waktu akad maupun tidak. Oleh sebab itu, menurut mereka,<br />

khiyar ru’yah tidak berlaku, karena akad itu mengandung unsur<br />

penipuan (gharar). 29<br />

2. Ketidakjelasan dalam Macam <strong>Obyek</strong> Akad<br />

Gharar dalam macam obyek akad dapat menghalangi<br />

sahnya jual beli sebagaimana terjadi dalam jenis obyek akad.<br />

Tidak sahnya akad seperti ini karena mengandung unsur<br />

27 Khiyar ru’yah adalah hak pilih bagi pembeli untuk menyatakan berlaku<br />

atau batal jual beli yang ia lakukan <strong>terhadap</strong> suatu obyek yang belum ia lihat<br />

ketika akad berlangsung. Nasroun Haroun, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media<br />

Pratama, 2000), h. 137<br />

28<br />

Abu al Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibn<br />

Rusyd al Qurtubi, Op.Cit., h. 154<br />

29<br />

Ibid., h. 138


80<br />

, Vol. IV, No. 1, Juni 2007<br />

ketidakjelasan dalam obyeknya. Seperti seorang penjual berkata,<br />

“saya jual kepada anda binatang dengan harga sekian” tanpa<br />

menjelaskan binatang apa <strong>dan</strong> yang mana. 30<br />

Oleh karena itu obyek akad disyaratkan harus ditentukan<br />

secara jelas. Dasar ketentuan ini adalah larangan Nabi saw.<br />

mengenahi jual beli kerikil (bai’ al-Hashah) yang mirip judi <strong>dan</strong><br />

biasa dilakukan oleh orang jahiliyyah. Yaitu jual beli dengan<br />

cara melemparkan batu kerikil kepada obyek jual beli, <strong>dan</strong> obyek<br />

mana yang terkena lemparan batu tersebut maka itulah jual beli<br />

yang harus dilakukan. Dalam hal ini pembeli sama sekali tidak<br />

dapat memilih apa yang seharusnya dinginkan untuk dibeli. 31<br />

Dari Abu Hurairah diceritakan, ia berkata:<br />

Rasulullah Saw melarang jual beli lempar krikil <strong>dan</strong><br />

jual beli gharar. (HR. Muslim). 32<br />

3. Ketidakjelasan dalam Sifat <strong>dan</strong> Karakter <strong>Obyek</strong> Transaksii<br />

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqh<br />

tentang persyaratan dalam menyebutkan sifat-sifat obyek<br />

transaksi dalam jual beli, akan tetapi mayoritas ulama fiqh<br />

berpendapat untuk mensyaratkannya.<br />

Diantara perbedaan itu adalah; Mazhab Hanafiyah melihat,<br />

bahwa jika obyek transaksinya terlihat dalam transaksi, baik itu<br />

komoditi ataupun uang, maka tidak perlu untuk mengetahui sifat<br />

<strong>dan</strong> karakternya. Tetapi jika obyek transaksinya tidak terlihat<br />

oleh penjual <strong>dan</strong> pembeli, maka para ulama fiqh mazhab<br />

Hanafiyah berselisih pendapat. Sebagian mensyaratkan<br />

penjelasan sifat <strong>dan</strong> karakter obyek akad, <strong>dan</strong> sebagian tidak.<br />

Mereka yang tidak mensyaratkan berpendapat bahwa<br />

ketidaktahuan sifat tidak menyebabkan perselisihan, disamping<br />

itu pembeli juga mempunyai hak khiyar ru’yah. Silang pendapat<br />

di atas adalah yang berkaitan dengan komoditi bukan harga,<br />

30<br />

Husain Syahatah <strong>dan</strong> Siddiq Muh. Al-Amin Adh-Dhahir, Transaksi <strong>dan</strong><br />

Etika Bisnis Islam, terj. Saptono Budi Satryo <strong>dan</strong> Fauziah, (Jakarta: Visi Insani<br />

Publishing, 2005), h. 167<br />

31 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad<br />

dalam Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), h. 191<br />

32 Imam Muslim, Loc. cit


Akhmad Nur Zaroni, Jual Beli Gharar…… 81<br />

adapun tentang harga (tsaman) semua ulama sepakat untuk<br />

disebutkan sifat <strong>dan</strong> karakternya. 33<br />

Se<strong>dan</strong>g Ulama Mazhab Maliki mensyaratkan penyebutan<br />

sifat <strong>dan</strong> karakter baik <strong>terhadap</strong> komoditi maupun harga<br />

(tsaman). Karena tidak a<strong>dan</strong>ya kejelasan dalam sifat <strong>dan</strong><br />

karakter komoditi <strong>dan</strong> harga adalah merupakan gharar yang<br />

dilarang dalam akad. 34 Begitu juga ulama mazhab Syafi’i<br />

mensyaratkan penyebutan sifat <strong>dan</strong> karakter komoditi <strong>dan</strong><br />

mengatakan bahwa jual beli yang tidak jelas sifat <strong>dan</strong> karakter<br />

komoditinya hukumnya tidak sah kecuali jika pembeli diberi hak<br />

untuk melakukan khiyar ru’yah. Mazhab Hambali juga tidak<br />

membolehkan jual beli yang obyek transaksinya tidak jelas sifat<br />

<strong>dan</strong> karakternya. 35<br />

4. Ketidakjelasan dalam Ukuran <strong>Obyek</strong> Transaksi<br />

Tidak sah jual beli sesuatu yang kadarnya tidak diketahui,<br />

baik kadar komoditinya maupun kadar harga atau uangnya. Illat<br />

(alasan) hukum dilarangnya adalah karena a<strong>dan</strong>ya unsur gharar<br />

sebagaimana para ulama ahli fiqh dari mazhab Maliki <strong>dan</strong><br />

Syafi’i dengan jelas memaparkan pendapatnya. 36<br />

Contoh dari transaksi jual beli yang dilarang karena unsur<br />

gharar yang timbul akibat ketidaktahuan dalam kadar <strong>dan</strong><br />

takaran obyek transaksi adalah bai’ muzabanah. Yaitu jual beli<br />

barter antara buah yang masih berada di pohon dengan kurma<br />

yang telah dipanen, anggur yang masih basah dengan zabib<br />

(anggur kering), <strong>dan</strong> tanaman dengan makanan dalam takaran<br />

tertentu. Adapun illat dari pengharamannya adalah a<strong>dan</strong>ya unsur<br />

riba yaitu aspek penambahan <strong>dan</strong> gharar karena tidak konkritnya<br />

ukuran <strong>dan</strong> obyek atau komoditi. 37<br />

5. Ketidaktahuan dalam Dzat <strong>Obyek</strong> Transaksi<br />

Ketidaktahuan dalam zat obyek transaksi adalah bentuk<br />

dari gharar yang terlarang. Hal ini karena dzat dari komoditi<br />

tidak diketahui, walaupun jenis, macam, sifat, <strong>dan</strong> kadarnya<br />

diketahui, sehingga berpotensi untuk menimbulkan perselisihan<br />

33<br />

Husain Syahatah <strong>dan</strong> Siddiq Muh. Al-Amin Adh-Dhahir, Op.cit., h. 168<br />

34 Ibn Rusyd, Op.cit., h. 172<br />

35<br />

Husain Syahatah <strong>dan</strong> Siddiq Muh. Al-Amin Adh-Dhahir, Op.cit., h. 169<br />

36 Ibid., h. 175<br />

37 Ibn Rusyd, Op. Cit., h. 156


82<br />

, Vol. IV, No. 1, Juni 2007<br />

dalam penentuan. Seperti jual pakaian atau kambing yang<br />

bermacam-macam. 38<br />

Mazhab Syafi’i, Hambali, <strong>dan</strong> Dhahiri melarang transaksi<br />

jual beli semacam ini, baik dalam kuantitas banyak maupun<br />

sedikit karena a<strong>dan</strong>ya unsur gharar. Se<strong>dan</strong>g mazhab Maliki<br />

membolehkan baik dalam kuantitas banyak maupun sedikit<br />

dengan syarat ada khiyar bagi pembeli yang menjadikan unsur<br />

gharar tidak berpengaruh <strong>terhadap</strong> akad. Adapun mazhab<br />

Hanafiyah membolehkan dalam jumlah dua atau tiga, <strong>dan</strong><br />

melarang yang melebihi dari tiga. 39<br />

6. Ketidaktahuan dalam Waktu Akad<br />

Jual beli tangguh (kredit), jika tidak dijelaskan waktu<br />

pembayarannya, maka ia termasuk jual beli gharar yang<br />

terlarang. 40 Seperti jual beli habl al-hablah, yaitu jual beli<br />

dengan sistem tangguh bayar hingga seekor unta melahirkan<br />

anaknya, atau hingga seekor unta melahirkan anak <strong>dan</strong> anak<br />

tersebut melahirkan juga anaknya. Jual beli semacam ini<br />

dikategorikan dalam jual beli gharar yang terlarang karena tidak<br />

ada kejelasan secara kongkrit dalam penentuan penangguhan<br />

pembayaran. 41<br />

7. Ketidakmampuan dalam Penyerahan Komoditi.<br />

Kemampuan menyerahkan obyek transaksi adalah syarat<br />

sahnya dalam jual beli. Maka jika obyek transaksi tidak dapat<br />

diserahkan, secara otomatis jual belinya tidak sah karena<br />

terdapat unsur gharar (tidak jelas). Seperti menjual onta yang<br />

lari atau hilang <strong>dan</strong> tidak diketahui tempatnya.Nabi Saw<br />

melarang jual beli seperti ini karena mempertimbangkan bahwa<br />

barang itu tidak dapat dipastikan apakah akan dapat diserahkan<br />

oleh penjual atau tidak. 42<br />

38<br />

Ibid., h. 148<br />

39 Ibrahim ibn Yusuf al-Syirazi, al-Mihadzab, (Mesir: Isa al Halbi, 476H),<br />

h. 263<br />

40<br />

Ibid., h. 209<br />

41<br />

Husain Syahatah <strong>dan</strong> Siddiq Muh. Al-Amin Adh-Dhahir, Op.cit., h. 180<br />

42 Syamsul Anwar, Op.cit., h. 191


Akhmad Nur Zaroni, Jual Beli Gharar…… 83<br />

Dari Hakim Ibn Hizam, ia berkata: Aku bertanya kepada<br />

Nabi Saw. kataku: wahai Rasulullah, seseorang datang<br />

kepadaku minta aku menjual suatu yang tidak ada padaku.<br />

Lalu aku menjualnya kepa<strong>dan</strong>ya, kemudian aku membelinya<br />

di pasar untuk aku serahkan kepa<strong>dan</strong>ya. Beliau menjawab :<br />

jangan engkau menjual barang yang tidak ada padamu.<br />

(HR. An-Nasa’i). 43<br />

8. Melakukan Akad Atas Sesuatu yang Ma’dum (tidak nyata<br />

a<strong>dan</strong>ya).<br />

Gharar yang dapat mempengaruhi sahnya jual beli adalah<br />

tidak a<strong>dan</strong>ya (ma’dum) obyek transaksi. Yaitu keberadaan obyek<br />

transaksi bersifat spekulatif, mungkin ada atau mungkin tidak<br />

ada, maka jual beli seperti ini tidak sah. Seperti transaksi jual<br />

beli anak unta yang belum lahir <strong>dan</strong> buah sebelum dipanen.<br />

Seekor unta yang mengandung bisa jadi melahirkan <strong>dan</strong> ada<br />

kemungkinan tidak (keguguran), begitu juga buah terka<strong>dan</strong>g<br />

berbuah <strong>dan</strong> terka<strong>dan</strong>g juga tidak ada. 44<br />

9. Tidak A<strong>dan</strong>ya Hak Melihat atas <strong>Obyek</strong> Transaksi.<br />

Yaitu jual beli yang obyeknya tidak dapat dilihat oleh salah<br />

satu dari pihak penjual atau pembeli pada saat transaksi<br />

berlangsung, baik dikarenakan komoditinya tidak ada atau ada<br />

tetapi berada dalam pembungkus. Jual beli seperti ini juga sering<br />

disebut dengan jual beli ‘ainul ghaib, yaitu komoditi dimiliki<br />

penuh oleh penjual tetapi tidak dapat dilihat oleh pembeli. 45<br />

Berkaitan dengan jual beli’ainul ghaib ini terdapat<br />

beberapa pendapat di kalangan ulama fiqh. Imam Syafi’i<br />

berpendapat tidak boleh menjual ‘ainul ghaib secara mutlak<br />

walaupun sifat <strong>dan</strong> karakternya sudah diketahui dengan pasti.<br />

Mayoritas ulama fiqh memperbolehkan jika sifat <strong>dan</strong><br />

karakternya diketahui.<br />

43<br />

Lihat an-Nasa’I, Sunan Nasa’I, ed. Abu al-Fath Abu Guddah (Aleppo:<br />

Maktab al-Mathbu’at al Islamiyyah, 1406H), VII: 289, hadis no.4613<br />

44 Lihat Ibrahim bin Fathi bin Abd Muqtadir, Uang Haram, terj. Ahmad<br />

Khotib dkk., (Jakarta: Amzah, 2006), h. 16<br />

45<br />

Husain Syahatah <strong>dan</strong> Siddiq Muh. Al-Amin Adh-Dhahir, Op.cit., h. 185


84<br />

, Vol. IV, No. 1, Juni 2007<br />

Ulama bermazhab Hanafi <strong>dan</strong> Syafi’i berpendapat jual beli<br />

semacam ini tidak lazim, <strong>dan</strong> pembeli memiliki hak khiyar<br />

ru’yah, yaitu berhak membatalkan atau melanjutkan akad setelah<br />

melihat obyek transaksi. 46<br />

Menurut ulama bermazhab Maliki <strong>dan</strong> Hambali bahwa<br />

transaksi jual beli menjadi keharusan bagi sang pembeli jika ia<br />

mendapati komoditi sesuai dengan yang ia kehendaki, jika tidak<br />

sesuai maka pembeli memiliki khiyar untuk melanjutkan atau<br />

membatalkan. 47<br />

Penutup<br />

Islam adalah agama yang tidak hanya berisi tentang ibadah<br />

ritual saja, tetapi ia juga merupa sistem hidup yang mengatur segala<br />

aspek kehidupan manusia termasuk ekonomi. Aturan-aturan tersebut<br />

bersumber dari syariah yang tertuang dalam sumber hukum Islam<br />

baik yang nakli maupun akli yang semuanya itu dibahas dalam<br />

disiplin-disiplin ilmu yang secara mendalam dibahas oleh para<br />

ulama ahli <strong>dan</strong> menjadi kasanah keilmuan dalam studi Islam. Salah<br />

satu aturan ekonomi yang dibahas dalam fiqh muamalah adalah<br />

yang berkaitan dengan jual beli. Dalam sejarah peradaban manusia<br />

terdapat praktek jual beli yang bermacam-macam, ada yang secara<br />

syar’i diperbolehkan <strong>dan</strong> ada yang ditolak. Diantara jual beli yang<br />

ditolak adalah jual beli gharar. Pelarangan jual beli gharar tersebut<br />

karena mengandung ketidakjelasan, seperti pertaruhan atau<br />

perjudian, tidak dapat dipastikan jumlah <strong>dan</strong> ukurannya atau tidak<br />

mungkin diserah terimakan. Gharar dapat terjadi baik dalam sistem<br />

transaksi maupun sesuatu yang menjadi obyek transaksi. Dalam<br />

sistem transaksi misalnya, Bai’ataini fii Ba’iah, Bai’ Urban, Bai’ Al-<br />

Hashah, Bai’ Al-Mulamasah, Bai’ Al-Munabadzah Bai’ al-Muallaq,<br />

<strong>dan</strong> Bai’ Al-Mudhaf. Se<strong>dan</strong>g dalam obyek transaksi bisa terjadi pada<br />

ketidak jelasan jenis, macam, <strong>dan</strong> karakter obyek akad, serta tidak<br />

a<strong>dan</strong>ya fasilitas lain bagi pembeli seperti khiyar <strong>dan</strong> yang<br />

sejenisnya.<br />

46<br />

Ibid., h. 186<br />

47<br />

Ibid., h. 187.


Akhmad Nur Zaroni, Jual Beli Gharar…… 85<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Anwar, Syamsul, Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori<br />

Akad dalam Fiqh Muamalah, Jakarta: Rajawali Pers, 2007.<br />

Bukhari, Imam, Shahih Bukhari Jilid II, trj. H. Zainuddin Hamidy,<br />

dkk, Cet. 13, Jakarta : Widjaya, 1992.<br />

Haroun, Nasroun, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama,<br />

2000.<br />

Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Beirut: Dar Ihya al-Turas al-Arabi, tt.<br />

Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid fii Nihayatil Muqtashid, Mathbaatu<br />

al Istiamah, 1370 H.<br />

Ibn Taimiyyah, Mukhtashar Al-Fatawa Al-Mishriyyah, tahqiq:<br />

Abdul Majid Sulaim, Kairo: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, tt.<br />

Ibnu Rusdy, Bidayatul Mujtahid Wa NihayatulMuqtasid, Beirut: Dar<br />

Al Fikr, tt.<br />

Ibrahim bin Fathi bin Abd Muqtadir, Uang Haram, terj. Ahmad<br />

Khotib dkk.,Jakarta: Amzah, 2006.<br />

Khudhuri, Muhammad, Ushul Fiqh, al Jamaliyah, 1329 H.<br />

Madkur, Muhammad Sallam, al-Fiqh a-Islami: al-Madkhal wa al-<br />

Amwal wa al-Huquq wa al-Milkiyyah wa al-‘Aqd, Mesir:<br />

Maktabah Abdillah Wahbah, 1955.<br />

Mas’adi, Ghufran A., Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta: PT.<br />

Raja Grafindo Persada, 2002.<br />

Muslim, Imam, Shahih Muslim, ter. Ma’mur Daud, jilid III, Kitabul<br />

Buyu’, Jakarta: Widjaya, 1993.<br />

Nasa’I, Sunan Nasa’I, ed. Abu al-Fath Abu Guddah, Aleppo:<br />

Maktab al-Mathbu’at al Islamiyyah, 1406H<br />

Syahatah, Husain <strong>dan</strong> Siddiq Muh. Al-Amin Adh-Dhahir, Transaksi<br />

<strong>dan</strong> Etika Bisnis Islam, terj. Saptono Budi Satryo <strong>dan</strong><br />

Fauziah R., Jakarta: Visi Insani Publishing, 2005.<br />

Syaukani, Muhammad bin Ali, Nail al Authar,. Jilid V,Syirkah<br />

Ikatiddin, 1979.<br />

Syirazi, Ibrahim ibn Yusuf, al-Muhadzab, Mesir: Isa al Halbi, 476H.


This document was created with Win2PDF available at http://www.<strong>dan</strong>eprairie.com.<br />

The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!