hiperinsulinemia pada sindroma ovarium polikistik - Digilib Unsri
hiperinsulinemia pada sindroma ovarium polikistik - Digilib Unsri
hiperinsulinemia pada sindroma ovarium polikistik - Digilib Unsri
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
HIPERINSULINEMIA PADA SINDROMA OVARIUM POLIKISTIK<br />
I. PENDAHULUAN<br />
Sindroma <strong>ovarium</strong> <strong>polikistik</strong> (SOP) merupakan kelainan endokrin <strong>pada</strong> wanita usia<br />
reproduksi, di Amerika Serikat dan Eropa prevalensinya berkisar 4-6%. 1,2<br />
Kepustakaan lain melaporkan bahwa prevalensinya berkisar 5-10%. 3,4,5,6 Selain<br />
ditandai dengan hiperandrogenisme dan anovulasi kronis, SOP juga disertai oleh<br />
perubahan metabolik berupa gangguan toleransi glukosa, <strong>hiperinsulinemia</strong> dan<br />
resistensi insulin. Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian utama<br />
<strong>pada</strong> penderita SOP, penderita dengan penyakit ini mempunyai risiko 7 kali untuk<br />
terkena infark myocardium. Pada penderita SOP dijumpai peningkatan endotelin-1,<br />
yang merupakan produk yang dihasilkan dari perlukaan endothelium. 1 Diagnosis<br />
SOP ditegakkan atas dasar hiperandrogenisme dan disfungsi ovulasi dengan<br />
menyingkirkan penyebab spesifik lain. Pemeriksaan sonografi saja tidak mempunyai<br />
nilai diagnostik. 3,7,8<br />
Sekarang diyakini bahwa resistensi insulin dan atau respon abnormal insulin terhadap<br />
stimuli glukosa merupakan principal underlying etiologic factors dari SOP. 5,9<br />
II. RESEPTOR DAN AKSI INSULIN<br />
A. Reseptor insulin<br />
1. Reseptor insulin merupakan heterotetramer yang terdiri dari dua subunit α dan<br />
dua subunit β yang dihubungkan oleh ikatan disulfida. Gen untuk reseptor<br />
insulin terletak <strong>pada</strong> lengan pendek kromosom 19, mengandung 22 ekson.<br />
Subunit α bersifat ekstraseluler dan mengandung ligand binding domain<br />
dimana subunit β menembus membran sel, bagian sitoplasmik mengandung<br />
protein tirosin kinase yang akan diaktifkan oleh ligand-mediated<br />
autophosphorilation terhadap residu tirosin spesifik (gambar 1). 3,10
2. Reseptor insulin <strong>pada</strong> <strong>ovarium</strong><br />
Kadar insulin yang bersirkulasi di peredaran darah perifer <strong>pada</strong> wanita normal<br />
adalah 10 μU/ml dalam keadaan puasa dan lebih dari 50 μU/ml setelah 1 jam<br />
mengkonsumsi glukosa. Pada wanita gemuk kadar ini akan lebih tinggi, 15<br />
μU/ml <strong>pada</strong> waktu puasa dan lebih dari 60 μU/ml setelah asupan glukosa oral.<br />
Pada keadaan resistensi insulin, kadarnya 120-180 μU/ml dalam keadaan<br />
puasa dan 1400-2000 μU/ml setelah asupan glukosa oral.<br />
Kadar insulin <strong>pada</strong> cairan folikel berkisar antara 2-65 μU/ml. Insulin<br />
dapat mencapai cairan folikel melalui proses transudasi. Reseptor insulin<br />
tersebar <strong>pada</strong> seluruh kompartemen <strong>ovarium</strong>: jaringan granulosa, teka dan<br />
stroma. Reseptor insulin <strong>pada</strong> <strong>ovarium</strong> sama seperti reseptor insulin <strong>pada</strong><br />
organ lainnya. 10<br />
Gambar 1. The insulin receptor is a heterotetramer consisting of two α, β-dimers linked by<br />
disulfide bonds. The α-subunit contains the ligand-binding site, and the β-subunit contains a<br />
ligand-activated tyrosine kinase. Tyrosine autophosphorylation increase the receptor’s<br />
tyrosine kinase activity whereas serine phosphorylation inhibits it.<br />
Dikutip dari Dunaif A 3<br />
B. Aksi insulin<br />
Insulin akan mempengaruhi fungsi seluler setelah berikatan dan mengaktifasi<br />
reseptor <strong>pada</strong> membran sel. Seperti terlihat <strong>pada</strong> gambar 2, sekali insulin terikat<br />
<strong>pada</strong> resptor, terjadi autofosforilasi residu tirosin spesifik yang menyebabkan<br />
reseptor bagian intrasitoplasma akan memfosforilasi substrat seluler lain seperti<br />
2
insulin reseptor substrate-1 (IRS-1). Ketika IRS-1 difosforilasi <strong>pada</strong> jaringan<br />
adiposa dan aktivasi fosfoinositol-3 kinase sel otot akan menyebabkan<br />
terbebasnya glucose transporter protein-4 (GLUT-4) dari vesikel intraseluler ke<br />
dalam membran sel untuk transpor glukosa. GLUT-4 transporter protein juga<br />
dapat dilepaskan keluar membran setelah aktivasi 5’AMP kinase melalui latihan.<br />
Pada keadaan tidak adanya insulin atau latihan, GLUT-4 transporter protein akan<br />
tetap berada dalam vesikel di dalam sel. Target utama uptake glukosa oleh<br />
insulin adalah jaringan otot, sedangkan jaringan lemak merupakan target<br />
sekunder. 10,11<br />
Gambar 2. The binding of insulin to its receptor, resulting in phosphorylation (P) of tyrosine<br />
(Tyr) residues of the intracytoplasmic portion of receptor. Serine (Ser) residue<br />
phosphorylation will prevent tyrosine residue phosphorylation and activation of the receptor.<br />
Within the cytoplasm, tumor necrosis factor-α (TNF-α) can inhibit downstream signally<br />
following insulin binding to its receptor. Glu=glucose; GLUT-4=glucose transporter protein-4;<br />
(+)=positive effect; (-)= negative effect.<br />
Dikuti dari Zacur HA 11<br />
Pada <strong>ovarium</strong> insulin akan memberikan beberapa pengaruh, tidak ada perbedaan<br />
antara manusia dan spesies lain (tabel 1).<br />
3
Tabel 1. A summary of insulin effects related to ovarian function<br />
Dikutip dari Poretsky L, Cataldo NA, Rosenwaks Z, et al 10<br />
Effect Organ<br />
Directly stimulates steroidogenesis Ovary<br />
Acts synergistically with LH and FSH to stimulate<br />
steroidogenesis<br />
Ovary<br />
Stimulates 17 α-hydroxylase Ovary<br />
Stimulates or inhibits aromatase Ovary, adipose<br />
Up-regulates LH receptors Ovary<br />
Promotes ovarian growth and cyst formation<br />
synergistically with LH/hCG<br />
Ovary<br />
Down regulates insulin receptors Ovary<br />
Up-regulates type I IGF receptors or hybrid<br />
insulin/type I IGF receptors<br />
Ovary<br />
Inhibits IGFBP-1 production Ovary, liver<br />
Potentiates the effect on GnRH on LH and FSH<br />
Inhibits SHBG production<br />
Hypothalamus/pituitary<br />
III. RESISTENSI INSULIN<br />
Resistensi insulin didefinisikan sebagai respon biologis terhadap insulin yang kurang<br />
dari normal. Teknik clamp sekarang digunakan sebagai baku emas untuk<br />
menentukan resistensi insulin. Hubungan antara resistensi insulin dan<br />
hiperandrogenisme pertama kali dilaporkan oleh Achard <strong>pada</strong> tahun 1921.<br />
Patofisiologi resistensi insulin <strong>pada</strong> wanita dengan SOP hingga sekarang belum jelas.<br />
Penurunan jumlah reseptor atau afinitas insulin <strong>pada</strong> penderita PCO nampaknya tidak<br />
terjadi. Dunaif dkk mengemukakan bahwa adanya defek postreseptor <strong>pada</strong> aksi<br />
insulin menyebabkan resistensi insulin. Ia menemukan bahawa sel fibroblas <strong>pada</strong><br />
50% penderita SOP menunjukkan pengurangan autofosforilasi reseptor insulin<br />
setelah berikatan dengan insulin. Defek spesifik terdapat <strong>pada</strong> fosforilasi serin <strong>pada</strong><br />
reseptor insulin. Ketika residu serin <strong>pada</strong> resptor difosforilasi, akan menghambat<br />
kemampuan residu tirosin dalam resptor insulin untuk terfosforilasi. Peningkatan<br />
fosforilasi serin dari resptor insulin dapat terjadi oleh karenan defek genetis.<br />
Adanya defek <strong>pada</strong> transpor glukosa akibat berkurangnya produksi GLUT-4 telah<br />
dilaporkan sebagai penyebab resistensi secara umum dan khususnya <strong>pada</strong> SOP.<br />
Penyebab lain resistensi insulin <strong>pada</strong> wanita dengan SOP adalah peningkatan sekresi<br />
4
insulin pankreas dikarenakan mutasi genetik <strong>pada</strong> gen insulin yang mengatur ekspresi<br />
insulin seperti yang dikemukakan oleh Waterworth dkk.<br />
Gambar 3. Insulin resistance in ~50% of PCOS women appears to be secondary to a cell<br />
membrane-associated factor, presumably a serine/threonine kinase, that serine phosphorilates the<br />
insulin receptor-inhibiting signaling. Serine phosphorylation of IRS-1 appears to be the mechanism<br />
for TNF α-mediated insulin resistance. The membrane glycoprotein PC-1 also inhibits insulin<br />
receptor kinase activity, but it does not cause serine phosphorylation of the receptor. These are<br />
examples of a recently appreciated mechanism for insulin resistance secondary to factor’s tyrosine<br />
kinase activity.<br />
Dikutip dari Dunaif A 3<br />
Miller dkk. mengemukakan bahwa fosforilasi serin dari P450c17 manusia, yang<br />
merupakan enzim kunci untuk sintesis androgen <strong>ovarium</strong> dan adrenal,<br />
meningkatkan aktivitas 17,20 lyase. Hal ini disebabkan oleh peningkatan sekresi<br />
androgen. Perubahan aktivitas enzin steroidogenesis dikarenakan fosforilasi serin<br />
juga disebabkan oleh 17 β-hidroksisteroid dehidrogenase. Hal ini menunjukkan<br />
adanya single genetic defect yang menghubungkan SOP dan resistensi insulin<br />
3, 10, 11<br />
(gambar 4).<br />
5
Gambar 4. A proposed schema for the association of insulin resistance and PCOS. A single<br />
factor that causes serine phosphorilation of the insulin receptor and serine phosphorylation of<br />
P450c17, the key regulatory enzyme controlling androgen biosynthesis, could produce both the<br />
insulin resistance and the hyperandrogenism characteristic of PCOS. It is also possible that the<br />
insulin resistance and the reproductive abnormalities reflect separate genetic defects and that the<br />
insulin resistance unmasks the syndrome in genetically susceptible woman. Recent studies<br />
suggest that insulin acting through its own receptor augments steroidogenesis and LH release.<br />
Androgens amplify the associated insulin resistance.<br />
IV. HIPERANDROGENISME DAN RESISTENSI INSULIN<br />
A. Manakah yang lebih dulu: <strong>hiperinsulinemia</strong> ataukah hiperandogenisme ?<br />
Ada beberapa penelitian yang menyatakan bahwa androgen dapat menyebabkan<br />
<strong>hiperinsulinemia</strong>. Bagaimanapun kebanyakan penelitian lebih menyokong bahwa<br />
sebenarnya <strong>hiperinsulinemia</strong>lah yang merupakan faktor utamanya. Hal ini<br />
dibuktikan dengan cara “mematikan <strong>ovarium</strong>” memalui pemberian GnRH agonis,<br />
yang ternyata tidak mengubah insulinemia atau resistensi insulin. Hal ini<br />
mengindikasikan bahwa aksi insulin mendahului peningkatan kadar androgen.<br />
Setidaknya ada 6 alasan yang menyokong bahwa <strong>hiperinsulinemia</strong>lah yang<br />
merupakan penyebab hiperandrogenisme: 12<br />
1. Pemberian insulin <strong>pada</strong> wanita SOP akan meningkatkan kadar androgen<br />
2. Pemberian glukosa <strong>pada</strong> wanita hiperandrogenik meningkatkan kadar insulin<br />
dan androgen yang bersirkulasi<br />
6
3. Pengurangan berat badan mengurangi kadar insulin dan androgen serta<br />
meningkatkan kadar IGFBP-1<br />
4. Secara in vitro, insulin dapat merangsang pembentukan androgen<br />
5. Pengurangan insulin <strong>pada</strong> wanita SOP akan mengurangi kadar androgen,<br />
tetapi tidak <strong>pada</strong> wanita normal<br />
6. Setelah normalisasi andogen dengan GnRH agonis, respon hiperinsulinisme<br />
terhadap tes tolerasnsi glukosa tetap abnormal <strong>pada</strong> wanita gemuk dengan<br />
SOP.<br />
B. Mekanisme terjadinya hiperandrogenisme <strong>pada</strong> <strong>hiperinsulinemia</strong><br />
Terdapat korelasi antara tingkat <strong>hiperinsulinemia</strong> dengan hiperandrogenisme.<br />
Pada konsentrasi yang lebih tinggi, insulin berikatan dengan reseptor tipe IGF I<br />
(yang mirip dengan reseptor insulin; reseptor IGF dan reseptor insulin<br />
mentransmisikan sinyalnya melalui proses inisiasi autofosforilasi tirosin <strong>pada</strong><br />
reseptornya). Jadi, ketika reseptor insulin terblokade atau kurang jumlahnya,<br />
insulin akan berikatan dengan reseptor tipe IGF I. Aktivasi reseptor IGF I<br />
menyebabkan peningkatan produksi androgen oleh sel teka. Hiperandrogenisme<br />
juga dapat disebabkan oleh proses penghambatan sintesis sex hormone binding<br />
globulin (SHBG) dan pembentukan insulin like-growth factor binding protein-<br />
1oleh hati. Studi in vitro menunjukkan bahwa insulin dan IGF I secara langsung<br />
menghambat sekresi SHBG oleh sel-sel hati. Hal inilah yang menerangkan<br />
terdapatnya hubungan terbalik antara berat badan dengan kadar SHBG yang<br />
bersirkulasi. Dikarenakan SHBG diregulasi oleh insulin, berkurangnya kadar<br />
SHBG <strong>pada</strong> wanita merupakan faktor risiko independen untuk noninsulindependent<br />
diabetus mellitus. 3,12<br />
7
V. IMPLIKASI KLINIS RESISTENSI INSULIN PADA SOP<br />
A. Diagnosis klinis resistensi insulin<br />
Membuat diagnosis resistensi insulin secara klinis merupakan suatu masalah.<br />
Pertama, lebarnya kisaran sensitivitas terhadap insulin <strong>pada</strong> individu normal.<br />
25% individu normal memiliki nilai aksi insulin yang tumpang tindih dengan<br />
individu yang resisten insulin. Kedua, perangkat pengukur aksi insulin secara<br />
klinis yang tersedia seperti nilai glukosa puasa atau nilai glukosa setelah stimulasi<br />
insulin tidak berkorelasi baik dengan sensitivitas insulin dalam setting penelitian.<br />
Dengan kenyataan yang seperti ini, kiranya penting untuk menganggap setiap<br />
wanita penderita SOP mempunyai risiko untuk terjadinya resistensi insulin dan<br />
kelainan metabolik yang berkaitan dengan <strong>sindroma</strong> resistensi insulin. 3 Benarto<br />
dkk. Dalam penelitian yang melibatkan 22 kasus wanita dengan SOP menilai<br />
resistensi insulin dengan kadar insulin puasa ≥ 10 μU/mL dan atau area di bawah<br />
kurva insulin ≥ 800 μU menit/mL. Sedangkan Craig dkk. Menilai resistensi<br />
insulin jika kadar insulin puasa ≥ 20 μU/mL.<br />
B. Gangguan metabolik <strong>pada</strong> SOP<br />
1. Dislipidemia, disfibrinolisis dan penyakit arteri koroner<br />
Wanita dengan SOP berisiko untuk terjadinya dislipidemia dikaranakan<br />
tingginya kadar androgen dan biasanya mereka memiliki postur yang gemuk.<br />
Dikarenakan mereka juga <strong>hiperinsulinemia</strong> dan resisten terhadap insulin,<br />
mereka juga berpotensi untuk menjadi dislipidemia. Beberapa penelitian<br />
menunjukkan bahwa wanita dengan SOP memiliki kadar HDL yang rendah,<br />
LDL serta trigliserida yang lebih tinggi <strong>pada</strong> kelompok kontrol yang sudah dimatching<br />
umur, seks dan beratnya. Wanita dengan SOP juga mengalami<br />
perubahan aktivitas fibrinolisis dengan meningkatnya kadar inhibitor<br />
palsminogen aktivator, PAI-1. Peningkatan PAI-1 berkaitan dengan resistensi<br />
insulin, kadar ini akan menurun seiring dengan perbaikan sensitivitas insulin<br />
melaui pengurangan berat badan dan pemberian insulin sensitizing agents.<br />
Wanita dengan SOP mmemiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengidap<br />
8
VI. TERAPI<br />
penyakit kardiovaskuler. Penderita dengan SOP yang menjalani kateterisasi<br />
jantung yang memiliki riwayat hiperandrogenisme memiliki peningkatan<br />
prevalensi penyakit arteri koroner. 3<br />
2. Hipertensi<br />
Satu penelitian melaporkan peningkatan tekanan darah sistolik secara<br />
signifikan terjadi <strong>pada</strong> penderita SOP, tetapi <strong>pada</strong> penelitian tidak dilakukan<br />
matching terhadap berat badannya. Sedangkan <strong>pada</strong> wanita penderita SOP<br />
yang kurus tidak terjadi peningkatan tekanan darah. Hal ini menunjukkan<br />
bahwa terjadinya hipertensi lebih berkaitan dengan berat badan<br />
dibandimngkan dengan SOP-nya sendiri. 3<br />
Dahulu pengobatan standar untuk SOP adalah dengan pemberian pil kontrasepsi<br />
dengan atau tanpa disertai pemberian androgen blocking agent seperti spironolakton.<br />
Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan obat-obat insulin<br />
sensitizing dapat mengembalikan siklus menstruasi, memperbaiki ovulasi,<br />
menurunkan androgen yang bersirkulasi dan memperbaiki gambaran <strong>sindroma</strong> X.<br />
HDL rendah dan obesitas. Individu dengan <strong>sindroma</strong> ini memiliki risiko besar untuk<br />
mendapat penyakit kardiovaskuler. Penderita SOP seringkali memiliki gambaran<br />
<strong>sindroma</strong> X ini. Penggunaan terapi konvensional seperti pemberian pil kontrasepsi<br />
dan androgen blocking agent tidak mengarah ke<strong>pada</strong> <strong>sindroma</strong> X ini. 13,14<br />
A. Metformin<br />
Metformin termasuk golongan biguanid yang pertama kali dikembangkan <strong>pada</strong><br />
tahun 1957 untuk pengobatan diabetes mellitus tipe 2. Memiliki efek penting<br />
yang menurunkan kadar insulin <strong>pada</strong> penderita diabetes melitus tanpa<br />
menyebabkan hipoglikemia. Tidak seperti golongan sulfonilurea atau insulin,<br />
9
metformin tidak meningkatkan kadar insulin. Metformin juga memperbaiki<br />
sensitivitas insulin perifer dengan mekanisme yang belum jelas. 13<br />
Tabel 2. Current and potential treatments for polycystic ovary syndrome<br />
Dikutip dari Hopkinson ZE, Sattar N, Fleming R et al 5<br />
Treatment Problem addressed<br />
Current treatments<br />
Oral contraceptives<br />
Clomiphene<br />
Menstrual disturbance<br />
Ovarian diathermy or laser treatment<br />
Assisted coseption techniques<br />
Anovulatory infertility<br />
Cyproterone acetate+ethinylestradiol<br />
Spironolactone<br />
Hirsutism and acne<br />
Weight loss Menstrual disturbance and anovulatory<br />
infertility, but also improvement of<br />
metabolic perturbances and thus risk of<br />
coronary heart disease<br />
Potential treatment<br />
Insulin sensitizing agents Obesity and central obesity<br />
Androgen excess<br />
Menstrual disturbances<br />
Anovulatory infertility<br />
Metabolic perturbances<br />
1. Penggunaan <strong>pada</strong> wanita gemuk 13<br />
Penggunaan metformin pertama kali dipublikasikan <strong>pada</strong> tahun 1994 oleh<br />
Velazquez dkk. Penelitian uncontrolled ini melibatkan 26 wanita gemuk yang<br />
diterapi dengan pemberian metformin 1500 mg/hari selama 8 minggu. Secara<br />
bermakna metformin menurunkan konsentrasi insulin serum dan juga<br />
testosteron serum bebas sebesar 52%. Sedangkan 3 dari 26 penderita<br />
mengalami kehamilan.<br />
Nestler dan Jacubowicz (1996) dalam sebuah penelitian placebo-controlled<br />
trial yang menggunakan metformin 1500 mg/hari untuk 4-8 minggu <strong>pada</strong> 24<br />
wanita gemuk dengan SOP, mendapatkan hasil berupa insuli dalam sirkulasi<br />
berkurang <strong>pada</strong> wanita yang diterapi dengan metformin. Juga didapati<br />
penurunan LH yang distimulasi oleh GnRH, berkurangnya produksi androgen<br />
<strong>ovarium</strong> dan konsentrasi serum testosteron bebas sebesar 44%.<br />
10
Sedangkan delapan penelitian lainnya menggunakan metformin<br />
menunjukkan perbaikan menstruasi atau pengurangan androgen <strong>pada</strong> wanita<br />
dengan SOP.<br />
2. Wanita kurus<br />
Walaupun wanita dengan SOP biasanya gemuk, setidaknya 20% dari<br />
penderita tersebut kurus. Pada penelitian dengan wanita SOP yang kurus,<br />
didapatkan hasil yang sama seperti <strong>pada</strong> wanita yang gemuk, metformin<br />
menurunkan kadar glucose puasa, menueunkan LH basal dan yang distimulasi<br />
oleh GnRH, mengurangi konsentrasi testosteron bebas dan total serta<br />
meningkatkan SHBG. 13<br />
3. Efek terhadap ovulasi, pola menstrusi dan kehamilan<br />
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nestler dkk. yang melibatkan 66 orang<br />
wanita gemuk dengan SOP, menggunakan metformin selama 5minggu dan<br />
dilanjutkan dengan pemberian 50 mg klomifen sitrat. Ia mendapatkan hasil<br />
berupa peningkatan 8 kali ovulasi spontan dibandingkan dengan kelompok<br />
plasebo. 13<br />
Pada penelitian lain, wanita dengan SOP yang sudah resisten dengan<br />
pemberian klomifen sitrat diterapi dengan metformin selama 1 bulan sebelum<br />
dilakukan pemberian FSH. Didapatkan hasil bahwa banyaknya folikel yang<br />
berukuran >15 mm <strong>pada</strong> hari pemeberian HCG secara signifikan lebih rendah<br />
<strong>pada</strong> wanita yang sebelumnya menerima metformin, hal ini menunjukkan<br />
bahwa pemeberian metformin akan mengurangi kejadian hiperstimulasi<br />
<strong>ovarium</strong> selama pemberian FSH. Benarto mendapatkan hasil membaikknya<br />
perkembangan folikel <strong>pada</strong> 22 kasus SOP yang resisten insulin setelah<br />
menerima metformin 2 kali 250 mg/hari selama 2 siklus (70 hari). 14<br />
Ibanez dkk dalam penelitian yang melibatkan 18 wanita SOP non-obese<br />
dengan anovulasi persisten, setelah pemberian 1275 mg/hari metformin<br />
selama 6 bulan mendapatkan hasil kembali teraturnya menstruasi <strong>pada</strong> 16<br />
11
wanita dalam 4 bulan terapi. Ia berkesimpulan bahwa pemberian insulin<br />
sensitizing agents adalah penedektan yang efektif untuk meninduksi ovulasi<br />
<strong>pada</strong> wanita SOP non-obese. 15<br />
Papunen dkk. berkesimpulan bahwa pemberian metformin 1500 mg/hari<br />
selama 6 bulan <strong>pada</strong> wanita gemuk dengan gangguan menstruasi akan<br />
memberikan hasil yang baik, dimana 68,8% penderita mengalami menstruasi<br />
yang lebih teratur setelah terapi. Sedangkan Velazquez mendapatkan angka<br />
perbaikan siklus menstruasi sebesar 95,7%. 16<br />
Penelitian in vitro menunjukkan bahwa penggunaan metformin selama<br />
kehamilan tidak menunjukkan efek teratogenitas. Pemberian metformin <strong>pada</strong><br />
kehamilan trimester I tidak menunjukkan efek teratogen, seperti yang<br />
dilaporkan oleh Glueck. 16 Penggunaannya <strong>pada</strong> trimester I akan menurunkan<br />
kejadian abortus spontan <strong>pada</strong> trimester pertama <strong>pada</strong> wanita hamil dengan<br />
SOP dibandingkan dengan kelompok kontrol. 4,17,18,19 Sedangkan pemberian<br />
<strong>pada</strong> trimester II dan tiga yang melibatkan 60 wanita hamil menunjukkan<br />
peningkatan ringan kejadian neonatal jaundice, sedangkan abnormalitas<br />
neonatus dikatakan tidak berbeda secara bermakna dibandingkan dengan<br />
kelompok kontrol. 13<br />
Kenaikan serum testosteron <strong>pada</strong> penderita SOP yang hamil dapat<br />
menyebabkan virilisasi fetus perempuan. Sarlis dkk. melaporkan sebuah<br />
kasus wanita dengan SOP dimana kadar testosteron total dan bebasnya<br />
mencapai 550 ng/dL dan 80 ng/dL <strong>pada</strong> kehamilan 10 minggu. Wanita ini<br />
diterapi dengan metformin selama kehamilannya dimulai dari usia kehamilan<br />
14 minggu. Selama pemberian metformin, kadar testosteron total dan<br />
bebasnya kembali normal. Penderita mengalami seksio sesaria <strong>pada</strong> usia<br />
kehamilan 30 minggu atas indikasi preeklampsia, melahirkan bayi laki-laki<br />
sehat dengan berat 1335 dan tidak disertai virilisasi. 13<br />
12
B. Troglitazone<br />
Dikarenakan obat ini menyebabkan toksisitas terhadap hati janin, maka <strong>pada</strong><br />
tahun 1999 FDA melarang peredarannya di pasaran. Troglitazone akan<br />
menyebabkan perbaikan sensitivitas insulin perifer dan akan menueunkan kadar<br />
insulin sirkulasi <strong>pada</strong> penderita diabetes mellitus tipe 2 dan <strong>pada</strong> penderita obese<br />
non diabetik. Seperti mertformin, tidak meningkatkan sekresi insulin, oleh<br />
karenanya tidak akan mnyebabklan hipoglikemia jika diguinakan sebagai<br />
monoterapi. Empat penelitian yang telah dilakukan <strong>pada</strong> wanita SOP<br />
menunjukkan bahwa triglitazone menurunkan insulin sirkulasi, LH dan<br />
hiperandrogenemia. Satu penelitian yang mengkombinasikan penggunaannya<br />
dengan klomifen sitrat secara signifikan meningkatkan tingkat ovulasi dari 34,9<br />
hingga 72,7%. Tidak ada penelitian yang membandingkan penggunaan<br />
metformin dan triglitazone untuk terapi SOP. 13<br />
C. D-Chiro-Inositol<br />
Nestler dkk. <strong>pada</strong> suatu penelitian yang melibatkan 22 orang wanita obese dengan<br />
SOP memberikan obat ini dalan jangka waktu 6 hingga 8 minggu. Hasilnya<br />
berupa penurunan serum testosteron bebas sebesar 55%, 86% wanita dalam<br />
kelompok d-chiro inositol mengalami ovulasi dibandingkan 27% wanita <strong>pada</strong><br />
kelompok plasebo. 13<br />
D. Efek obat insulin-sensitizing terhadap <strong>sindroma</strong> X <strong>pada</strong> SOP 13<br />
Salah satu keuntungan unik dari obat insulin-sensitizing <strong>pada</strong> terapi SOP adalah<br />
kemampuannya untuk mengoreksi abnormalitas yang berhubungan dengan<br />
<strong>sindroma</strong> X: <strong>hiperinsulinemia</strong>, hiperlipidemia dan hipertensi. Dislipidemia yang<br />
berhubungan dengan SOP adalah rendahnya kadar HDL plasma dan tingginya<br />
kadar trigliserida. Sebagai tambahan, wamita dengan SOP memiliki risiko tinggi<br />
untuk menderita diabetes melitus tipe 2 atau intoleransi glukosa <strong>pada</strong> saat berusia<br />
30 tahun.<br />
13
Velazquez dkk. melaporkan penurunan 10 mmHg rata-rata tekanan darah<br />
sistolik ketika wanita obese penderita SOP menerima metformin. Pada penelitian<br />
ini ternyata metformin tidak menurunkan serum trigliserida atau menaikkan<br />
serum HDL. Pada penelitian berdurasi singkat lain oleh Morin-Papunen dkk.<br />
tidak dijumpai perubahan <strong>pada</strong> tekanan darah dan kolesterol. Moghetti dkk.<br />
menggunakan metformin selama lebih dari 12 bulan <strong>pada</strong> wanita SOP yang<br />
moderately obese, didapatkan kenaikan 10% serum HDL secara signifikan<br />
(p
VII. RINGKASAN<br />
Sindroma <strong>ovarium</strong> <strong>polikistik</strong> merupakan kelainan endokrin tersering <strong>pada</strong> wanita usia<br />
reproduksi. Hiperinsulinemia yang terjadi <strong>pada</strong> wanita dengan SOP merupakan dasar<br />
patogenesis penyakit ini. Hiperinsulinemia menyebabkan terjadinya peningkatan<br />
androgen sirkulasi. Terapi yang rasional adalah dengan pemberian obat-obat insulin<br />
sensitizing. Metformin sering digunakan <strong>pada</strong> terapi SOP dengan hasil yang baik.<br />
15
VIII. RUJUKAN<br />
1. Kandarakis ED, Spina G, Kouli C, et al. Increased endothelin-1 levels in Woman with<br />
polycystic ovary syndrome and the beneficial effect of metformin therapy. J Clin Endocrinol<br />
Metab 2001; 86: 4666-73.<br />
2. Velazquez E, Acosta A, Mendoza SG. Menstrual cyclicity after metformin therapy in polycystic<br />
ovary syndrome. Obstet Gynecol 1997; 90: 392-5.<br />
3. Dunaif A. Insulin resistance and the polycystic ovary syndrome: mechanism and implications for<br />
pathogenesis. Endocr Rev 1997; 18: 774-800.<br />
4. Jakubowicz DJ, Iuorno MJ, Jakubowicz S. Effects of metformin on early pregnancy loss in the<br />
polycystic ovary syndrome. J Clin Endocrinol Metab 2002; 87: 524-29.<br />
5. Hopkinson ZE, Sattar N, Fleming R et al. Polycystic ovarian syndrome: the metabolic<br />
syndrome comes to gynaecology. BMJ 1998;317: 329-33.<br />
6. Fleming R, Hopkinson ZE, Wallace AM, et al. Ovarian function and metabolic factors inj<br />
woman with oligomenorrhea treated with metformin in a randomized double blind placebocontrolled<br />
trial. J Clin Endocrinol Metab 2002; 87: 569-74.<br />
7. Ehrman DA, Barnes RB, Rosenfield RL. Polycystic ovary syndrome as a form of functional<br />
ovarian hyperandrogenism due to dysregulation of androgen secretion. Endocr Rev 1995; 16:322-<br />
349<br />
8. Junter MH, Sterrett JJ. Polycystic ovary syndrome: it’s not just infertility. American family<br />
phycian 2000.<br />
9. Legro RS. Diabetes prevalence and risk factors in polycystic ovary syndrome. Obstetrics and<br />
Gynecology Clinics of North America 2001; 28: 99-109.<br />
10. Poretsky L, Cataldo NA, Rosenwaks Z, et al. The insulin-related ovarian regulatory system in<br />
helath and disease. Endocr Rev 1999; 20: 535-82.<br />
11. Zacur HA. Polycystic ovary syndrome, hiperandrogenism, and insulin resistance. Obstetrics and<br />
Gynecology Clinics of North America 2001; 28: 21-33<br />
12. Speroff L, Glass RH, Kase NG. Anovulation and the polycystic ovary. In: clinical gynecologic<br />
endocrinology and infertility, 5 th ed. Baltimore: The Williams and Wilkind Company, 1999, 487-<br />
521.<br />
13. Iuorno MJ, Nestler JE. Insulin-lowering drugs in polycystic ovary syndrome. Obstetrics and<br />
Gynecology Clinics of North America 2001; 28: 153-64.<br />
14. Benarto J, Kadarusman Y, Jacoeb TZ. Pengaruh metformin terhadap perkembangan folikel<br />
<strong>ovarium</strong> dan siklus haid <strong>pada</strong> kasus sindrom <strong>ovarium</strong> <strong>polikistik</strong> resisten insulin. Kumpulan<br />
Makalah PIT FER 2002.<br />
15. Papunen LCM, Koivunen RM, Ruokonen A, et al. Metformin therapy improves the menstrual<br />
pattern with minimal endocrine and metabolic effects in women with polycystic ovary syndrome.<br />
Fertil Steril 1998; 69: 691-701.<br />
16. Ibanez L, Valls C, Ferrer A, et al. Sensitization to insulin induces ovulation in nonobese<br />
adolescents with anovulatory hyperandrogenism. J Clin Endocrinol Metab 2001; 86: 3595-98.<br />
17. Glueck CJ, Phillips H, Cameron D, et al. Continuing metformin throughout pregnancy in<br />
woman with polycystic ovary syndrome appears to safely reduce first-trimester spontaneous<br />
abortion: a pilot study. Fertil Steril 2001; 75: 46-52.<br />
18. Craig LB, Ke RW, Kutteh WH. Increased prevalence on insulin resistance in women with a<br />
history of recurrent pregnancy loss. Fertil Steril 2002; 78: 487-490<br />
19. Jakubowcz DJ, Seppala M, Jakubowcz S, et al. Insulin reduction with metformin increases<br />
luteal phase serum glycodelin and insulin-like growth factor-binding protein 1 consentrations and<br />
enhances uterine vascularity and blood flow in the polycystic ovary syndrome. J Clin Endocrinol<br />
Metab; 86: 1126-33.<br />
16