You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
Agus Mulyadi| Agus Noor| Ainun Chomsun| Ari Perdana<br />
Binsar Pakpahan| Chozin Amirullah| Dewi Lestari | Dian Paramita<br />
Edi Ramawijaya Putra | Eka Kurniawan | Ezki Suyanto | Henry Manampiring<br />
Henry Nurcahyo | Indra J. Piliang | Jihan Davincka | Jodhi Yudono | Lilik H.S.<br />
L.R. Baskoro | Marzuki Mohamad | Maulana M. Syuhada | Nuran Wibisono<br />
Pandji Pragiwaksono | Puthut EA | Rahmat Arkam | Rianne Subijanto<br />
Usamah El-Madny | Usman Hamid | Venus | Wahyu Aditya<br />
Yoel Krisnanda Sumitro | Yusran Darmawan | Zely Ariane
Kata<br />
Pengantar
Mendokumentasikan<br />
Ingatan<br />
Bangsa Indonesia acap kali disebut sebagai<br />
bangsa yang besar. Istilah “bangsa besar” ini sering<br />
kali kita dengar, entah melalui corong resmi pemerintahan,<br />
diskusi akademik, maupun ajang obrolan<br />
sore hari sekadar melepas lelah di warung-warung<br />
kopi. Namun, imbuhan bangsa besar yang positif ini<br />
terkadang masih ditambahkan pengingat yang juga<br />
tak kalah penting: bangsa pelupa. Siapa pun yang<br />
memulai, terminologi bangsa pelupa atau lazim disebut<br />
short term memory loss, rasanya cukup relevan.<br />
Dalam usia republik yang masih muda, kemajuan<br />
yang relatif lambat dibandingkan negara di kawasan<br />
semacam ASEAN misalnya, sering kita anggap
wajar. Umur Indonesia belum genap 70 tahun. Masih<br />
merangkak belajar demokrasi, menata pemerintahan,<br />
dan seterusnya. Namun, jika dibandingkan dengan<br />
Korea Selatan yang meraih kemerdekaan pada<br />
kurun waktu yang kurang lebih sama, dan merdeka<br />
dari penjajah yang sama, yaitu Jepang, Indonesia<br />
tercinta ini masih tersuruk-suruk jauh di belakang<br />
Korea.<br />
Selain itu, beban sejarah masa lalu juga tampaknya<br />
masih menggelayuti Ibu Pertiwi. Kekelaman kisah<br />
di balik peristiwa 1965 timbul tenggelam dalam<br />
banyak kepentingan. Belum menghitung sejumlah<br />
penghilangan paksa akitivis pro-Reformasi dan nihilnya<br />
informasi penyelesaian pembunuhan Munir<br />
yang tak juga menemukan titik terang. Ini semua<br />
adalah berkas-berkas peristiwa yang sempat mengendap<br />
dalam ingatan, tapi tak juga dituntaskan.<br />
Celakanya, karena ingatan kita cukup pendek,<br />
maka kekhawatiran bahwa berkas ingatan itu akan<br />
menguap tentu jauh lebih besar. Oleh karena itu,<br />
cara yang paling aman adalah membekukan ingatan<br />
itu dalam sebuah file publik dan dapat diakses secara<br />
kolektif. Maka, ini pulalah yang dilakukan Tim<br />
Redaksi dan Editor Bentang Pustaka dengan me-<br />
viii<br />
Selamat Datang Presiden Jokowi
ngumpulkan serpihan-serpihan ingatan demokrasi<br />
pasca-pemilihan langsung <strong>presiden</strong> yang akhirnya<br />
dimenangi oleh pasangan Jokowi-Jusuf Kalla. Dalam<br />
sejarah pemilu pasca Reformasi, barangkali<br />
momentum Pemilihan Presiden 2019 termasuk<br />
di antara sejarah pemilihan umum yang “berdarah-darah”:<br />
begitu emosional dan penuh ketegangan.<br />
Masa ini pula kita menyaksikan efek<br />
kolektif masyarakat dalam bentuk munculnya<br />
relawan-relawan tanpa bayaran yang berani<br />
pasang badan membela Jokowi. Mereka inilah<br />
aktor, kontributor, sekaligus penulis utama dalam<br />
buku ini.<br />
Agar efek kolektifnya lebih terasa lagi, tentu saja<br />
dokumen ini perlu dibuat terbuka dan dapat diunduh<br />
siapa pun. Semua orang dapat berkontribusi<br />
mengusulkan, menambahkan lema, ke dalam dokumen<br />
ini sehingga semakin besar partisipasi publik<br />
tentu akan semakin baik. Bahkan, tidak menutup<br />
kemungkinan file yang dibutuhkan bisa dibagi dan<br />
dicetak oleh siapa pun yang membutuhkan selama<br />
tidak digunakan untuk urusan komersial.<br />
Kumpulan tulisan ini bukan tentang menangkalah.<br />
Buku ini bukan pula tentang menuliskan se-<br />
Kara Pengantar<br />
ix
jarah versi pemenang. Sebab, lawan politik sejatinya<br />
tidak selalu berarti musuh, meskipun pada hakikatnya<br />
berseberang jalan dan pendapat. Seperti halnya<br />
oposisi biner yang terdapat dalam terang dan<br />
gelap. Keduanya tidak saling memusnahkan, tapi<br />
hidup berdampingan, membentuk sebuah potret<br />
utuh yang kita namakan Indonesia. Pada gilirannya<br />
sebuah dokumentasi ingatan yang sama dari kubu<br />
berbeda perlu pula kami terbitkan sebagai pasangan<br />
yang saling melengkapi. Selamat membaca.<br />
Salman Faridi<br />
Yogyakarta, 7 Oktober 2014<br />
x<br />
Selamat Datang Presiden Jokowi
Merekam<br />
Kegembiraan<br />
Pemilihan Presiden 2014 betul-betul peristiwa<br />
yang menguras emosi. Rangkaian kampanye hitam<br />
yang brutal, media-media arus utama yang menampilkan<br />
berita tidak seimbang karena mendukung<br />
calonnya masing-masing, sampai konflik horizontal<br />
sesama pendukung calon <strong>presiden</strong>. Beberapa<br />
kawan saya bahkan sampai memutuskan hubungan<br />
persahabatan dengan kawan yang lain hanya karena<br />
perbedaan pilihan calon <strong>presiden</strong>. Terasa aneh<br />
memang, tapi seperti itulah kenyataannya.<br />
Meski demikian, tentu saja Pilpres 2014 layak dikenang<br />
bukan karena banyaknya sisi negatif yang<br />
muncul. Momen-momen kemarin justru memperli-
hatkan betapa besarnya harapan rakyat terhadap<br />
calon pemimpinnya. Satu hal yang belum pernah<br />
terlihat dalam tiga kali pemilihan <strong>presiden</strong> setelah<br />
Reformasi 1998. Harapan yang menggumpal itu diletakkan<br />
pada pundak pria ceking bernama Joko<br />
Widodo. Ya, sosok baru dalam panggung perpolitikan<br />
nasional.<br />
Pria yang akrab disapa Jokowi seolah tiba-tiba<br />
muncul, dan lantas mencuri perhatian puluhan juta<br />
rakyat Indonesia yang selama ini sudah jenuh dengan<br />
para pemimpinnya sendiri. Euforia kegembiraan<br />
politik itu begitu terasa sampai ke berbagai<br />
daerah. Orang-orang yang selama ini anti terhadap<br />
politik, kini beramai-ramai menjadi relawan untuk<br />
mengantarkan Jokowi duduk di kursi <strong>presiden</strong>.<br />
Mereka bergerak dengan bermacam cara. Tak ada<br />
satu komando selayaknya tim pemenangan yang dipersiapkan<br />
dengan serius. Banyak yang mendirikan<br />
kelompok-kelompok relawan, tetapi tidak sedikit<br />
juga yang menjadi relawan secara personal. Ringkasnya,<br />
mereka ingin berpartisipasi secara aktif. Di<br />
media sosial, euforia atau kegembiraan politik ini<br />
begitu mudah kita temukan.<br />
xii<br />
Selamat Datang Presiden Jokowi
Perkembangan media sosial memang telah menimbulkan<br />
fenomena yang unik. Kalau dulu orangorang<br />
lebih bangga menyebut dirinya golput ketika<br />
menjelang pemilihan <strong>presiden</strong>, tahun 2014 ini<br />
justru semakin banyak orang-orang yang dengan<br />
bangga menunjukkan pilihannya. Simak misalnya<br />
kampanye I stand on the right side yang secara cepat<br />
bergulir di media sosial dan diikuti oleh banyak<br />
orang. Perhatikan juga begitu banyaknya tulisan<br />
mendukung Jokowi yang ditulis baik di koran, majalah,<br />
blog, sampai notes Facebook.<br />
Bentang Pustaka memiliki ide untuk mendokumentasikan<br />
euforia selama pemilihan <strong>presiden</strong> tersebut<br />
ke dalam sebuah buku. Ketika ditawari untuk<br />
mengumpulkan tulisan-tulisan tentang Jokowi<br />
yang berserak, tanpa pikir panjang saya menyanggupi<br />
untuk mengerjakannya. Saya pikir ide untuk<br />
mendokumentasikan berbagai tulisan selama pemilihan<br />
<strong>presiden</strong> ini merupakan ide yang menarik<br />
dan akan menjadi pelajaran berharga bagi generasi<br />
yang akan <strong>datang</strong>.<br />
Saya segera mencari tulisan-tulisan mengenai<br />
Jokowi. Pada era Google, hal tersebut tidak terlalu<br />
Kara Pengantar<br />
xiii
sulit dilakukan. Yang agak sulit adalah memisahkan<br />
tulisan yang secara substansi bagus dengan tulisan<br />
yang provokatif dan cenderung memfitnah. Banyak<br />
sekali tulisan-tulisan yang menyebarkan fitnah.<br />
Meski hal ini bisa dipahami sebagai konsekuensi<br />
keterbukaan dan kebebasan berpendapat pada era<br />
media sosial, tapi tentu tulisan-tulisan semacam ini<br />
tidak menarik dan tidak relevan untuk dibaca.<br />
Setelah beberapa hari mencari, ada puluhan tulisan<br />
yang menurut saya mampu merekam emosi<br />
yang tumpah selama momen-momen pemilihan<br />
<strong>presiden</strong> kemarin, baik sebelum hari pencoblosan<br />
maupun hari-hari setelah pencoblosan. Selama mencari<br />
dan membaca berbagai tulisan-tulisan ini saya<br />
semakin tersadar betapa rakyat sedang bergerak<br />
dengan caranya sendiri untuk memilih pemimpin<br />
baru. Terlihat jelas betapa jenuhnya mereka dengan<br />
praktik politik selama ini. Oleh karena itu mereka<br />
pada akhirnya mau terlibat secara aktif dan sukarela<br />
untuk mengubah keadaan berbarengan.<br />
Langkah selanjutnya, saya mencoba menghubungi<br />
para penulisnya, meminta izin untuk memublikasikan<br />
ulang tulisan mereka. Proses ini tidak be-<br />
xiv<br />
Selamat Datang Presiden Jokowi
gitu berjalan mulus. Ada yang menolak tulisannya<br />
dipublikasikan karena sudah berencana akan membukukan<br />
tulisannya sendiri, ada yang curiga terhadap<br />
pengerjaan buku ini, ada juga yang tidak membalas.<br />
Namun, sebagian besar memberikan respons<br />
positif terhadap buku ini. Akhirnya, terkumpullah<br />
sekitar 32 tulisan yang tersaji ke hadapan pembaca<br />
berikut. Oh iya, ditambah pidato kemenangan Jokowi<br />
yang disampaikan di Pelabuhan Sunda Kelapa,<br />
22 Juli 2014.<br />
Para penulis yang tulisannya dimuat dalam buku<br />
ini sendiri memiliki latar belakang beragam. Beberapa<br />
di antaranya kita kenal sebagai sastrawan,<br />
wartawan, politisi, guru, pengusaha, ada juga mahasiswa.<br />
Peran mereka berbeda-beda dalam pemilihan<br />
<strong>presiden</strong> lalu. Ada yang menjadi lingkaran<br />
satu tim sukses Jokowi-JK dan tugasnya mengawal<br />
kampanye-kampanye Jokowi-JK di berbagai daerah,<br />
sementara sebagian besar menjadi relawan yang tidak<br />
terikat struktur.<br />
Tema tulisan merentang dalam banyak hal. Seperti<br />
juga alasan para penulis tersebut blakblakan<br />
mendukung Jokowi yang memang beragam. Ada<br />
Kara Pengantar<br />
xv
yang bicara hal-hal besar seperti ketakutan terhadap<br />
bangkitnya Orde Baru dan militerisme, tidak<br />
sedikit pula karena terkesan setelah bertemu dan<br />
berdiskusi dengan Jokowi di beberapa forum. Bahkan,<br />
ada yang terkesan setelah perjumpaan dengan<br />
Jokowi di toilet sebuah bandara. Politik menjadi begitu<br />
personal.<br />
Kalau ada yang disebut sebagai tulisan yang<br />
menggerakkan, saya kira tulisan-tulisan dalam<br />
buku ini adalah contohnya. Ia mampu merekam<br />
salah satu momen kritis dalam episode perjalanan<br />
sejarah Indonesia. Ia merekam kegembiraan politik<br />
yang kita rasakan bersama. Di dalamnya terkandung<br />
optimisme sekaligus harapan. Para penulis seperti<br />
ingin mengatakan bahwa mendukung Jokowi<br />
menjadi <strong>presiden</strong> saja tidak cukup. Yang lebih penting<br />
adalah bergerak dan bekerja bersama-sama<br />
untuk kesejahteraan bangsa.<br />
Pada 20 Oktober 2014, Jokowi-JK dilantik sebagai<br />
pemimpin baru Indonesia. Artinya, jika tulisantulisan<br />
yang ada di dalam buku ini dimaknai sebagai<br />
bentuk kampanye untuk memilih Jokowi, tugasnya<br />
sudah selesai. Namun sebagai sebuah semangat, ia<br />
xvi<br />
Selamat Datang Presiden Jokowi
jauh dari kata usai. Semangat yang terkandung di<br />
dalamnya mengajak kita untuk memastikan agar<br />
Presiden Jokowi menunaikan janji-janji kampanyenya.<br />
Akhir kata, <strong>selamat</strong> membaca!<br />
Wisnu Prasetya Utomo<br />
Penyunting<br />
Kara Pengantar<br />
xvii