27.01.2015 Views

Dialog Lintas Agama

Dialog Lintas Agama

Dialog Lintas Agama

SHOW MORE
SHOW LESS
  • No tags were found...

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

<strong>Dialog</strong> <strong>Lintas</strong> <strong>Agama</strong><br />

Jun 14, '09 10:38 PM<br />

for everyone<br />

Minggu, 14 Juni 2009 pukul 01:43:00<br />

<strong>Dialog</strong> Antaragama Pentingnya Toleransi dalam<br />

Perbedaan<br />

TEMA UTAMA<br />

''Pancasila, Bhinneka Tunggal Eka, Undang-Undang Dasar 1945, radikalisme, liberalisme, moderat,<br />

NU, dan Muhammadiyah.''<br />

Kata-kata itu--paling tidak selama tiga hari, 27-29 Mei lalu--kerap terdengar di beberapa ruangan di<br />

Universitas Wina (University of Vienna), Austria.<br />

Kata-kata itu disampaikan oleh KH Hasyim Muzadi (ketua umum PBNU), Prof Dr Syafiq Mughni<br />

(ketua wilayah Muhammadiyah Jawa Timur), Prof Dr Romo Frans Magnis Suseno (pendeta Katolik),<br />

Pendeta Natan Setiabudi (mantan ketua umum Asosiasi Gereja Indonesia/Protestan), I Dewa Gede<br />

Palgunadi MA (dosen Fakultas Hukum, Universitas Udayana, Bali/Hindu), Dr Fatimah Husein (dosen<br />

Fakultas Filsafat dan Ushuludin, UIN Sunan Kalijaga, Yogya), dan Prof Dr Siti Musdah Mulia<br />

(Konferensi Indonesia untuk <strong>Agama</strong> dan Perdamaian).<br />

Para tokoh agama dan akademisi dari Indonesia tersebut merupakan sebagian pembicara dalam<br />

acara Austrian-Indonesian <strong>Dialog</strong>ue Symposium dengan tema State, Law, and Religion in Pluralistic<br />

Societies: Austrian and Indonesian Perspectives. Dalam acara ini, Indonesia mengirimkan delegasi<br />

beranggotakan 14 orang yang dipimpin langsung oleh Dirjen Diplomasi Publik, Departemen Luar<br />

Negeri RI, Andri Hadi.<br />

Mereka berhadapan dengan 19 pembicara dari Austria yang sebagian besar juga bergelar profesor<br />

doktor. Para pembicara dari Austria yang dipimpin oleh Dirjen Kebijakan Luar Negeri untuk Budaya<br />

pada Kementerian Federal untuk Eropa dan Urusan Internasional, Austria, ini merupakan tokoh-tokoh<br />

beken yang sering tampil di forum-forum internasional yang membahas masalah agama, radikalisme<br />

dalam beragama, hukum, perdamaian, pendidikan, dan sebagainya.<br />

Mereka juga menyandang sederet jabatan penting di negaranya. Misalnya, Prof Dr Ednan Aslan<br />

adalah kepala Pendidikan Islam di Departemen <strong>Agama</strong> Islam, Fakultas Filsafat dan Ilmu Pendidikan,<br />

Universitas Wina. Guru besar beragama Islam asal Turki ini sering tampil di media setempat<br />

mengenai umat Islam dan permasalahannya.<br />

Lalu, ada Pendeta Petrus Bsteh (presiden Konferensi <strong>Agama</strong> dan Perdamaian Austria yang juga<br />

mantan rektor Institut Afro-Asia di Wina), Prof Dr Ingeborg Gabriel (ketua Departemen Sosial Etik,<br />

Fakultas Teologi Roman Katolik, Universitas Wina), Dr Wilfried Graf (direktur pelaksana The Institut<br />

for Integrative Conflict Transformation and Peacebuilding), Prof Dr Stefan Hammer (guru besar di<br />

Departemen Konstitusi dan Administrasi Hukum, Universitas Wina), Prof Dr Susanne Heine (kepala<br />

Departement of Practical Theology and Psychology of Religion, Faculty of Protestant Theology,<br />

Universitas Wina).<br />

Selanjutnya adalah Dr Brigitte Holzner (ahli dalam masalah gender dan penasihat di Austrian<br />

Development Agency, Wina), Prof Dr Rene Kuppe (guru besar Departement of Legal Philosophy, Law<br />

of Religion and Culture, Universitas Wina), Prof Dr Ruediger Lohlker (ketua Islamic Studies, Institute<br />

of Oriental Studies, Universitas Wina), Prof Dr Gerhard Luf (guru besar Departement of Legal<br />

Philosophy, Law and Religion and Culture, Universitas Wina), Prof Dr Irmgard Marboe (guru besar<br />

Departement of European, International and Compatative Law, Universitas Wina), serta Franz<br />

Rupprecht (penasihat Kardinal Dr Christoph Schonborn, Archbishop of Vienna) yang juga ahli dalam<br />

hubungan Kristen dengan Islam. Dari kalangan jurnalis, ada Barbara Trionfi MA, manajer komunikasi<br />

dan penasihat kebebasan pers di International Press Institute, Wina.<br />

Peserta dialog Austria-Indonesia ini berasal dari berbagai kalangan. Dari Indonesia, selain para staf di<br />

Kedutaan Besar RI di Wina, juga hadir wakil-wakil dari masyarakat Indonesia di Wina dengan latar<br />

belakang agama yang berbeda-beda. Selain itu, juga hadir presiden Austria-Indonesia Friendship


Association. Sedangkan, dari Austria, selain pejabat pemerintah, akademisi, jurnalis, hadir pula tokohtokoh<br />

masyarakat, pemuka agama, dan mahasiswa.<br />

Tema yang dibahas pun bermacam-macam. Antara lain adalah Peran Komunitas Umat Beragama<br />

dalam Mempromosikan Toleransi di Masyarakat; Kebebasan Beragama, Sekulerisme, dan Netralitas<br />

Negara; Peran <strong>Agama</strong> dalam Mempromosikan Demokrasi dan Kehidupan Sosial di Masyarakat; Hakhak<br />

Minoritas, Otonomi, dan Pluralisme; Globalisasi dan Modernitas Islam; Hak Asasi Manusia dalam<br />

Konteks Eropa; Austria-Indonesia: Cara Mengelola Perbedaan dalam Masyarakat Plural; dan lain<br />

sebagainya yang semuanya terkait dengan masalah agama dan toleransi umat beragama.<br />

Toleransi umat beragama<br />

Sesuai dengan tema-tema tersebut, para pembicara dari Indonesia pun menceritakan pengalaman<br />

Indonesia dalam menciptakan kerukunan dan harmonisasi kehidupan umat beragama dari kacamata<br />

masing-masing. Di sinilah, penyebutan istilah Pancasila, pembukaan UUD 1945, dan seterusnya<br />

sepertinya menjadi 'mantra'.<br />

Romo Frans Magnis Suseno, misalnya, menyampaikan bahwa Pancasila sebagai dasar negara<br />

merupakan alat paling ampuh untuk menciptakan kerukunan umat beragama di Indonesia. Ia pun<br />

memuji para pendiri Indonesia yang berpandangan jauh ke depan. Sebagai contoh, katanya,<br />

meskipun Indonesia berpenduduk mayoritas Muslim, tidak menjadikan Islam sebagai dasar negara<br />

atau menjadikannya sebagai negara Islam. ''Sebaliknya, Indonesia juga bukan negara sekuler karena<br />

masyarakatnya sangat agamis.''<br />

Dengan Pancasila sebagai dasar negara, menurut Romo Magnis, masyarakat Indonesia bebas<br />

memeluk dan melaksanakan agama masing-masing. ''Sebagai umat Katolik, saya bersyukur karena<br />

umat Islam yang mayoritas di Indonesia, sekitar 85 persen lebih, sangat toleran,'' ujarnya.<br />

Toleransi umat Islam itu, lanjutnya, ditunjukkan sejak berdirinya Negara Republik Indonesia. Yakni,<br />

kerelaan sejumlah tokoh Islam pendiri bangsa (founding father) untuk menghapuskan tujuh kata yang<br />

berbunyi, "Dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluknya," dari Piagam Jakarta.<br />

''Sampai sekarang, setiap Natal, para pemuda NU ikut menjaga sejumlah gereja,'' lanjut Romo Magnis<br />

sembari menunjuk KH Hasyim Muzadi, ketua umum PBNU.<br />

Tingkat toleransi agama yang tinggi juga disampaikan Prof Syafiq Mughni dan KH Hasyim Muzadi.<br />

Syafiq menyatakan, di sekolah-sekolah Muhammadiyah, banyak yang muridnya beragama Kristen.<br />

''Bahkan, di Kupang, sebagian besar murid sekolah Muhammadiyah adalah Kristen,'' ujarnya<br />

menjawab pertanyaan dari peserta Austria, apakah sekolah Muhammadiyah juga menerima murid<br />

Kristen.<br />

Ketua Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi, menjelaskan, para warga NU yang menganut Ahlus Sunnah<br />

wal Jamaah--yang juga dianut sebagian besar umat Islam di Indonesia--mengikuti jalan tawassuth<br />

(jalan tengah) dan i'tidal (tegak lurus). Tawassuth dan i'tidal merupakan esensi dari toleransi.<br />

''Ini bukan berarti tidak berbuat sesuatu atau hanya duduk-duduk di pagar. Tapi, sebaliknya, toleransi<br />

adalah sesuatu yang tak bisa dipisahkan dari keyakinan itu sendiri. Dalam perilaku sehari-hari,<br />

toleransi akan menghasilkan keseimbangan dan dialog (tasyawur).''<br />

Dalam penerapannya, lanjut Kiai Hasyim, dalam masyarakat yang multiagama (keyakinan) dan<br />

budaya, dengan tawassuth dan i'tidal, seorang Muslim akan bisa bersikap seimbang antara keyakinan<br />

dan toleransi.<br />

Menurutnya, keyakinan (beragama) tanpa toleransi akan mengarah pada ekstremisme dan<br />

eksklusivisme. Sebaliknya, toleransi tanpa keyakinan akan mengakibatkan seseorang mudah tertipu<br />

dan kebingungan.<br />

''Seorang Muslim akan menganggap toleransi sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan<br />

keyakinan. Keseimbangan di sini bukan berarti 50 persen keyakinan dan 50 persen toleransi. Tapi,<br />

semuanya. Keyakinan dan toleransi harus penuh 100 persen.''<br />

Hasyim juga menjelaskan liberalisme, radikalisme, dan fundamentalisme. Menurutnya, moderat<br />

berbeda dengan keduanya. Kaum liberal, lanjutnya, lebih mengedepankan toleransi daripada


keyakinan (akidah). Mereka menerapkan kebebasan berpikir dalam beragama tanpa kejelasan<br />

metodologi. ''Hal ini sesungguhnya mengabaikan prinsip-prinsip dasar agama dan meninggalkan<br />

aspek-aspek penting dalam beragama, terutama akidah dan ibadah,'' tegasnya.<br />

Sebaliknya, kata Hasyim, kaum fundamental melihat mereka yang berbeda pandangan atau<br />

keyakinan itu sebagai pihak lawan. Berbeda keyakinan bagi kelompoknya dianggap sebagai musuh.<br />

''Dalam masyarakat yang plural, fundamentalisme dan fanatisme bisa mengakibatkan hilangnya<br />

toleransi dan bahkan menyebabkan konflik.''<br />

Karena itu, Kiai Hasyim menggarisbawahi bahwa toleransi itu sangat penting bagi Islam. Dengan<br />

toleransi, mereka yang berpaham moderat akan berjuang untuk mencapai hidup yang damai dengan<br />

orang lain meskipun berbeda keyakinan. ''Inilah wajah Islam yang sebenarnya di Indonesia, yakni<br />

Islam yang moderat.''<br />

Kearifan lokal<br />

Direktur Jenderal (Dirjen) Kebijakan Luar Negeri untuk Budaya pada Kementerian Federal untuk<br />

Eropa dan Urusan Internasional, Austria, Emil Brix, yang merupakan salah seorang penggagas dialog<br />

Austria-Indonesia ini, menyambut baik digelarnya kegiatan yang mempertemukan para tokoh umat<br />

beragama di Indonesia dengan para tokoh agama dan akademisi dari Austria.<br />

Menurutnya, dalam perkembangan dunia yang sangat cepat, banyak efek negatif yang muncul di<br />

masyarakat apabila tidak dikelola dengan baik. ''Di sinilah diperlukan dialog, terutama dengan para<br />

tokoh agama yang banyak pengaruhnya di masyarakat,'' jelas Emil Brix.<br />

Ia memuji Indonesia yang mempunyai kearifan lokal dalam menyelesaikan konflik yang terjadi di<br />

masyarakat. Brix pun menyebut antara Austria dan Indonesia banyak persamaan dan juga<br />

perbedaan. Persamaannya antara lain masyarakat di kedua negara sangat plural dan menjunjung<br />

tinggi kebebasan beragama.<br />

''Dengan adanya dialog antartokoh kedua negara ini, kami harapkan kita bisa saling belajar dari<br />

pengalaman masing-masing,'' jelasnya. ikhwanul kiram masyhuri (Republika 14 Juni 2009)<br />

Tags: my opini<br />

Prev: Bilateral Interfaith <strong>Dialog</strong>ue<br />

reply share

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!