12.07.2015 Views

MENELISIK SEJARAH NASIONAL INDONESIA purwanta

MENELISIK SEJARAH NASIONAL INDONESIA purwanta

MENELISIK SEJARAH NASIONAL INDONESIA purwanta

SHOW MORE
SHOW LESS
  • No tags were found...

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

<strong>MENELISIK</strong> <strong>SEJARAH</strong> <strong>NASIONAL</strong> <strong>INDONESIA</strong>:Eksplorasi Awal terhadap Pengaruh Sumber Belajar SejarahA. PengantarIlmu pengetahuan dan teknologi diciptakan oleh masyarakat manusia untukmempertahankan dan mengembangkan kehidupannya. Sejarah, sebagai salah satucabang ilmu pengetahuan, juga memiliki tanggungjawab yang sama. Secara sosiokultural,sejarah memiliki dua tanggungjawab utama, yaitu mewariskan identitaskultural dan menjaga kohesivitas sosial. Sebagai media pewaris identitas kultural,sejarah bertanggungjawab menjadikan generasi baru memahami siapa diri merekadan kemana hidup harus diarahkan, meyakini berbagai keutamaan yang dijadikanlandasan untuk mengarungi dan memaknai kehidupan masa kini dan mendatang.Sejarah dituntut untuk melahirkan generasi baru yang bangga terhadap kebudayaanmasyarakat di mana mereka tinggal.H. PurwantaSalah satu contoh bagaimana masyarakat menghidupi identitasnya,dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat Wotgaleh. Merekamengidentifikasi diri sebagai masyarakat pemberani yang tak mengenal rasa takutuntuk membela kebenaran yang diyakini. Oleh masyarakat sekitar, masyarakatWotgaleh diidentifikasi sebagai tukang berkelahi. Identitas Wotgaleh tersebutberakar dari keyakinan bahwa mereka merupakan pengikut setia Pangeran Purboyo,panglima perang sakti kerajaan Mataram dan pemilik perdikan Wotgaleh, yangtidak pernah mengenal rasa takut.Untuk menghidupi identitas kolektifnya, masyarakat Wotgaleh membuateksplanasi sejarah tentang kehebatan Pangeran Purboyo yang disampaikan kepadagenerasi muda melalui pertemuan rutin di Masjid Sulthoni. Identitas tersebut sampaisekarang tetap dihidupi, sehingga generasi baru mereka mewarisi sikap pantangmenyerah untuk meminta kembalinya kampung Wotgaleh yang telah menjadi milikAdisucipto.Hal yang sama juga dilakukan oleh bangsa Eropa ketika membuat eksplanasisejarahnya:Why all the emphasis on the Greeks? It is because the Greeks were thefirst people in ancient times who thought and acted much like us. Theydisplayed a keen intellectual curiosity, which led to speculation on almostevery subject. They also had a strong individualistic spirit, and would notaccept any law, rule or fact just because somebody. 1Dari perspektif ini, eksplanasi sejarah nasional Indonesia akan dipandang baik olehmasyarakat apabila mampu mewariskan nilai-nilai kepahlawanan, keteladanan,kepeloporan, patriotisme, nasionalisme, dan semangat pantang menyerah. 2Bagaimana kalau eksplanasi sejarah tidak memenuhi fungsi untukmewariskan identitas kultural atau bahkan mendestruksinya? Dapat diprediksiDrs. H. Purwanta, adalah dosen tetap pada Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra - UniversitasSanata Dharma Yogyakarta.1http://www.xenohistorian.faithweb.com/index.html2KTSP Mata Pelajaran Sejarah untuk SMA dan MA, pada bagian Latar Belakang. DepartemenPendidikan Nasional RI, 2006.


akibatnya, yaitu lahirnya generasi baru yang tidak memiliki identitas kultural.Sartono menjelaskan :Tanpa identitas, sukar bahkan mustahil melakukan komunikasi dalammasyarakat. Identitas mendefinisikan status dan peran seseorang,mencakup ciri-ciri pokok seseorang baik yang fisik maupun sosial-budaya...Jika seseorang kehilangan memori, antara lain karena senilitas ataupenyakit syaraf, timbullah pada dirinya kekacauan dalam berkomunikasidengan orang lain. Kecuali tidak mampu mengenal identitas dirinyasendiri, dia juga tidak dapat menentukan identitas orang lain. Akibatnyaialah miskomunikasi terus menerus. 3Selain memiliki fungsi sebagai pewaris identitas kultural, eksplanasi sejarahjuga memiliki fungsi untuk menjaga kohesivitas sosial kontemporer. Dalam rangkamencapai cita-cita kolektif, masyarakat menghadapi berbagai permasalahan, baikberupa persaingan, konflik maupun perang, yang tidak jarang mengancamkepaduan kehidupan mereka sebagai komunitas. Untuk memperoleh solusi yangtepat, masyarakat akan bertanya kepada sejarah. Dalam konteks ini, eksplanasisejarah sudah seharusnya mampu menyumbang solusi terhadap problem aktualyang sedang dihadapi. Sejarah dikodratkan menjadi basis data yang berupakumpulan solusi semua permasalahan hidup manusia. Oleh karena itu, melaluikoleksinya sejarah memiliki tanggungjawab untuk memberikan eksplanasi berbagaiperistiwa masa lampau yang memiliki relevansi tinggi terhadap problem aktual,sehingga masyarakat mampu mengambil langkah yang tepat dalam usahamengembalikan kohesivitas sosialnya.Salah satu usaha untuk menjadikan eksplanasi sejarah sebagai sumber solusibagi problem aktual masyarakat adalah tulisan Sartono Kartodirdjo saat menanggapigejolak masyarakat di Way Jepara, Talangsari, Lampung. Dengan membahasgerakan protes petani akhir abad XIX dan awal abad XX, dia berusaha menyatakanbahwa terdapat kemiripan pola dengan gerakan protes di Way Jepara.Dipandang dengan perspektif sejarah, Peristiwa Lampung tidakmerupakan kejutan sejarah karena dalam pola, struktur dan kecenderungantidak banyak berbeda dengan peristiwa-peristiwa gerakan protes petani yanglegio (massal) itu. Frekuensinya masa kini jauh berkurang dan denganpengetahuan kita mengenai sifat dan hakekatnya yang lebih luas, kiranyarelatif lebih gampang juga diketemukan pendekatan yang efektif danbijaksana selaras dengan etos Bangsa Indonesia. 4Dengan demikian, sejarah memiliki tanggungjawab terhadap terjaganyakohesivitas sosial. Sejarah memiliki kewajiban ikut mendorong semua lapisanmasyarakat untuk menjunjung tinggi berbagai kesepakatan publik yang telahdicapai berdasar hikmat kebijaksanaan. Melalui eksplanasi diakronisnya, sejarahmemiliki kesempatan luas untuk meninjau secara kritis berbagai kesepakatan publik,sehingga setiap anggota masyarakat memiliki kebanggaan rasional untuk mengikutisistem yang berlaku. Sejajar dengan itu, eksplanasi sejarah Indonesia diharapkanmampu mengembangkan persatuan, persaudaraan dan solidaritas nasional dan3 Sartono Kartodirdjo, Sejak Indische sampai Indonesia. Jakarta: Kompas, 2005, hlm. 114-115.4 Ibid., hlm. 30


historiografi Indonesia, paling tidak ditemukan dua fenomena yang menarik untukdicermati lebih lanjut. Pertama adalah pemahaman dan pandangan mereka tentangsejarah Indonesia. Dengan memilih jawaban b., yaitu bangsa Indonesia akan menjaditradisional, bodoh, miskin, terbelakang, menunjukkan bahwa dalam konstrukpikiran mereka perkembangan bangsa Indonesia sangat tergantung padakeberadaan bangsa asing.Fenomena kedua adalah besarnya pengaruh hidtoriografi terhadappembacanya dengan pemahaman bahwa konstruk pikiran mereka dibentuk olehekplanasi sejarah, mengindikasikan historiografi Indonesia mengarahkan pikiranpembacanya untuk menempatkan Indonesia sebagai masyarakat yang sangattergantung pada asing. Dengan kata lain, dari pengalaman empiris pada mahasiswadan guru sejarah di atas, dapat diperoleh gambaran bahwa eksplanasi sejarahIndonesia berhasil membangun konstruk pikiran para pembacanya. Dalampemikiran mahasiswa dan guru tertanam pemahaman bahwa bangsa asing adalahsumber kemajuan bagi bangsa Indonesia. Dengan bahasa berbeda, bangsa Indonesiadalam pandangan mereka adalah bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa tanpakehadiran bangsa asing. Para pembaca sejarah merasa bahwa mereka tidakmemperoleh warisan berharga dari nenek moyangnya sendiri. Berbagai warisanberharga yang sampai di tangan mereka saat ini adalah hasil kebaikbudian bangsaasing.Jawaban dari guru-guru sejarah dan para mahasiswa mengindikasikanbahwa kedua tanggungjawab sejarah dapat dikatakan gagal untuk dipenuhi olehhistoriografi Indonesia, dalam konteks ini buku-buku sejarah yang dibaca oleh paraguru dan bekas murid-muridnya. Pembacaan sejarah yang dilakukan, tidakmembuat mereka menjadi bangga terhadap kebudayaan Indonesia. Bahkansebaliknya, mereka cenderung rendah diri dan melihat Indonesia kontemporersebagai penuh kegelapan, seperti korupsi, kolusi, nepotisme dan berbagaikepentingan sesaat. Meski menempatkan Indonesia kontemporer sebagaimasyarakat yang tidak mempedulikan harmoni sosial, pembacaan sejarah tidakmembuat mereka terlibat aktif dalam kegiatan menegakkan dan mempertahankankohesivitas sosial di lingkungannya.C. Menelisik Sejarah Nasional IndonesiaRealitas yang terdapat pada konsumen sejarah menggelitik untuk dikaji lebihjauh. Pertanyaannya adalah: eksplanasi sejarah seperti apakah yang mampumenciptakan pemahaman bahwa bangsanya sendiri bukan siapa-siapa dan bukanapa-apa tanpa bangsa asing? Perhatian difokuskan kepada Sejarah NasionalIndonesia, karena sampai sekarang ditempatkan buku tersebut sebagai indukberbagai eksplanasi sejarah Indonesia. Dari enam jilid yang diterbitkan, untukeksplorasi ini dipilih jilid I, II dan V. Pemilihan jilid I didasarkan alasan bahwa padaperiode itu masyarakat Indonesia masih asli atau belum berinteraksi dengan bangsalain. Pemilihan jilid II didasarkan pemahaman bahwa periode itu merupakan awalinteraksi bangsa Indonesia dengan bangsa asing. Jilid V dipilih karena pada periodeitu berkembang nasionalisme Indonesia yang nantinya akan berpuncak padaproklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945..1. Sejarah Nasional Indonesia IBuku ini membahas Indonesia pada masa pra sejarah. Ketika membahasperubahan permukaan bumi akibat perkembangan jaman pada masa paleogeografi,


tampak sekali usaha para penyusun untuk menempatkan Indonesia sebagai bagiandari dunia secara global. Secara akademik eksplanasi yang dilakukan dapatdipertanggungjawabkan, akan tetapi bagaimana dengan sasaran kultural dan sosial?Permasalahan itu wajar dilakukan apabila topik pembahasan adalah perkembanganglobal. Akan tetapi, ketika kajian yang dilakukan adalah untuk sebuah sejarahnasional, ketidakbersediaan membahas Indonesia sebagai unit kajian tersendiri danmandiri, sangat terbuka kemungkinan untuk dimaknai sebagai ketergantunganIndonesia pada faktor luar. 7Selain ketidakbersediaan menempatkan kajian Indonesia sebagai unitmandiri, pada Jilid I terdapat tiga macam eksplanasi yang ternarasi secara tumpangtindih, yaitu tentang perkembangan arkheologi sebagai ilmu, perkembanganpenelitian arkheologis di Indonesia dan perkembangan masyarakat Indonesia padajaman pra sejarah. Eksplanasi perkembangan arkheologi sebagai ilmu antara lainpada penjelasan tentang penggunaan cara penentuan umur modern. 8 Salah satucontoh eksplanasi tentang penelitian arkheologis di Indonesia adalah:Sejarah penelitian fosil hewan di Indonesia tidak dapatdilepaskan dari usaha penelitian ke arah sejarah manusia purba danbudayanya, atau dengan perkataan lain, penelitian fosil hewansering sekali difokuskan pada usaha mencari jejak manusia purba.Seorang pelopor penelitian paleontologi di Indonesia adalahDubois, seorang dokter tentara Belanda yang pada akhir abad yanglalu menaruh minat terhadap evolusi manusia purba. Iaberpendapat bahwa sumber manusia purba terdapat di daerahtropik, termasuk kepulauan Indonesia. Fosil hewan pertama yangditemukan Dubois dalam suatu penggalian di Sumatera Baratberupa beberapa buah gigi mawas dan fosil manusia Pithecanthropuspertama ditemukannya di Trinil (Jawa Tengah) padatahun 1891. 9Tertarik oleh temuan Dubois di Trinil pada tahun 1891tersebut, maka pada tahun 1907 – 1908 Selenka melakukanpenggalian di daerah yang sama. Hasilnya ialah didapatkannyasejumlah besar fosil hewan, tanpa menemukan fosil manusia purbasatu pun.Gambaran eksplanasi perkembangan masyarakat Indonesia dapat disimak antaralain pada:Gotong royong merupakan kewajiban yang sama-samadirasakan keperluannya oleh setiap anggota masyarakat. Menebanghutan, membakar semak belukar, menabur benih... semuanyadilakukan secara gotong royong. Meskipun demikian pembagiankerja antara kaum wanita dengan laki-laki sudah tampak pada masaitu... Kaum lelaki membangun rumah tempat tinggal dan kaumwanita merawat rumah itu serta memberi dekorasi yang menarik789Ketidakbersediaan tersebut juga tampak pada saat membahas lukisan dinding gua di Indonesia.Tanpa memiliki signifikansi yang berarti dengan topik yang dibahas, tiba-tiba penyusun bukumemunculkan lukisan dinding gua di Perancis yang lebih tua umurnya.Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, ed., Sejarah Nasional Indonesia I.Jakarta: Balai Pustaka, 1984, hlm. 203.Ibid., hlm. 53. Tidak jarang eksplanasi disertai dengan tabel hasil-hasil temuan penelitianarkheologis seperti pada hlm. 94 dan 95.


menurut seleranya. Memelihara bayi dan anak-anak di bawah umurdilakukan oleh wanita.Demikianlah terjalin kerjasama yang sehat yang dituntut atasdasar kepentingan bersama. Kepentingan masyarakat di ataskepentingan individu. Semua itu berjalan melalui komunikasi yangmurni serta dipimpin oleh seorang kepala yang dipatuhi bersamasamadengan jujur... 10Di antara ketiga macam eksplanasi tersebut, perkembangan penelitianarkheologis di Indonesia diberikan ruang yang paling besar. Apabila ditinjau darisudut pandang metode penelitian sejarah, SNI jilid I didominasi oleh eksplanasitentang hasil pengumpulan sumber sampai analisis dan tidak dilanjutkan denganinterpretasi sebagai lem perekat antar data sehingga membentuk satu kesatuanrangkaian eksplanasi yang utuh.Dari dominasi eksplanasi tentang perkembangan penelitian arkheologis diIndonesia akan sulit untuk diharapkan mampu menyampaikan pesan yang jelas danmeyakinkan tentang perkembangan masyarakat Indonesia masa pra sejarah. Pesanyang tertangkap jauh lebih banyak adalah tentang tokoh-tokoh penemu bendaarkheologis dan hasil temuannya. Kekaburan pesan tentang perkembanganmasyarakat Indonesia semakin terasa oleh sedikitnya interpretasi yang dilakukanoleh penyusun terhadap semua sumber yang berhasil dikumpulkan.2. Sejarah Nasional Indonesia IIEksplanasi sejarah pada Jilid II diawali dengan penjelasan tentang hubunganantara Indonesia yang negara kepulauan dengan India dan Cina. Mulai sub bab D(hlm 21) tampak penyusun menggantungkan perkembangan Indonesia padakekuatan asing (India) dengan memunculkan teori spekulatif tentang tiga aktorpembawa kebudayaan India ke Indonesia, yaitu Brahmana, Ksatria dan Vaisya.Penjelasan dilanjutkan dengan perkembangan kerajaan-kerajaan di nusantara danberbagai benda arkheologis peninggalan masa itu. Berbeda dengan SNI Jilid I, padajilid II ini pesan yang hendak disampaikan lebih jelas. Dengan menggambarkantokoh-tokoh imajiner (tanpa bukti empiris) dan hasil kerjanya di nusantara,tampaknya jilid II hendak menyampaikan pesan bahwa berkat kehadirankebudayaan India, bangsa nusantara mengalami kemajuan yang pesat. Pesan itusemakin kuat ketika membahas kerajaan Kutai:Berdasarkan silsilahnya dapat dipastikan, bahwa Kudungaadalah seorang Indonesia asli, yang barangkali untuk pertamakalinya tersentuh oleh pengaruh budaya India. Tetapi sedemikianjauh, Kudunga sendiri masih tetap mempertahankan ciri-cirikeindonesiaannya, dan itu pulalah rupanya yang menyebabkan iatidak dianggap sebagai pendiri keluarga raja. Dari data yang sedikititu dapat disimpulkan, bahwa rupanya pengertian keluarga rajapada waktu itu, terbatas kepada keluarga kerajaan yang telahmenyerap budaya India di dalam kehidupan sehari-harinya. 111011Ibid., hlm. 201-202. Penggunaan kata “Meskipun demikian” menunjukkan penyusun bukumemandang bahwa pembagian kerja merupakan keanehan bagi sistem gotong royong. Pada alineakedua ketidakjelasan pesan tampak pada kata “komunikasi yang murni” dan “dipatuhi bersamasamadengan jujur”Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, ed., Sejarah Nasional Indonesia II.Jakarta: Balai Pustaka, 1984, hlm. 34. Kutipan tersebut menjelaskan pesan yang disampaikan


Pada kalimat kedua dari kutipan di atas, penyusun menuliskan “Kudungasendiri masih tetap mempertahankan ciri-ciri keindonesiaannya, dan itu pulalah rupanyayang menyebabkan ia tidak dianggap sebagai pendiri keluarga raja”. Dari pernyataan itu,penulis dengan sengaja hendak menyampaikan pesan bahwa keindonesiaan perludisingkirkan, apabila tidak hendak diabaikan seperti Kudunga.Tidak dipungkiri bahwa pada uraian berikutnya di SNI Jilid II, penyusunberusaha memperkecil ketergantungan dengan menyatakan bahwa unsur budayaIndonesia lama masih nampak dominan sekali dalam semua lapisan masyarakat.Akan tetapi, sampai eksplanasi berakhir tidak tampak secara jelas unsur-unsur apasaja yang masih dominan dan berlangsung terus sejak jaman pra sejarah, baik yangberupa nilai, norma, institusi maupun prasarana fisik. Ketidakjelasan itumengindikasikan bahwa penyusun hendak menonjolkan unsur perubahan. Hal yangsama juga terjadi pada eksplanasi tentang keunggulan budaya maritim Indonesia:Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan penelitian pra sejarahdan etnografi dapat diketahui bahwa penduduk Asia Tenggara,khususnya penduduk kepulauan Indonesia, adalah pelaut-pelautyang mampu melayari samudera lepas...Sehubungan dengan kenyataan yang ditemukan olehpenelitian-penelitian tadi, maka bukanlah suatu hal yang mustahilbahwa pelayaran ke teluk Benggala, dan mungkin juga sampai keIndia Selatan, bukanlah hal yang sulit untuk pelaut Indonesia. 12Keunggulan budaya maritim itu tidak menjadikan masyarakat Indonesia penuhpercaya diri dan bangga terhadap kebudayaannya. Oleh penyusun buku, Indonesiaditampilkan sebagai pihak harus menjadi pengikut setia kekuatan asing. 13Untuk memperteguh ketidakjelasan gambaran tentang masyarakat Indonesia,penyusun buku menyatakan:Apakah Rakai Panangkaran yang memindahkan pusatkerajaannya lebih ke timur dari daerah Kedu, yaitu lembah di lerenggunung Merapi? Kesulitannya ialah bahwa kita pertama-tama harustahu dahulu di mana letak She-p’o-ech’eng (Yawapura), pusatkerajaan Rakai Watukura Dyah Balitung. Apakah di daerah Kedu,ataukah di daerah sekitar Prambanan, ataukah di daerah Purwodadi– Grobogan?, yang terang sudah tidak di daerahPekalongan/Banyumas... 143. Sejarah Nasional Indonesia VPenjelasan sejarah pada jilid V fokus pada sejarah nasional Indonesia periodeabad XIX sampai dengan abad XX. Meskipun merupakan sejarah nasional,121314penyusun bahwa tidak hanya Indonesia tergantung pada India, tetapi juga resiko yang harusditerima apabila mempertahankan identitas kultural Indonesia.Ibid., hlm. 4Keharusan tersebut dilakukan dengan teori spekulatif tentang upacara vratyastoma. Logika agamasamawi tampak jelas digunakan, yaitu bahwa pengambilan unsur kebudayaan harus melalui proses“pembacaan syahadat” dan melupakan kemungkinan bahwa orang Batak dapat ikut kenduri dipedesaan Jawa tanpa harus melalui proses “penjawaan”.Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, ed., op cit., hlm 104. Kutipan itu tentulebih mengesankan ingin mengajak pembacanya kebingungan dari pada memperoleh pemahamanyang mendalam. Oleh karena itu, tidak berlebihan apabila disimpulkan bahwa pemuatanpernyataan tersebut pada buku SNI lebih berfungsi mengaburkan dari pada memperjelas.


penjelasannya diawali dengan alinea “Pada pergantian abad secara resmipemerintah Indonesia pindah dari tangan VOC ke tangan pemerintah Belanda.Setelah pada tahun 1795 ijin (oktroi)-nya ditiadakan pada tahun 1798 VOCdibubarkan dengan saldo kerugian sebesar 14,7 gulden.” 15 Dengan alinea pembukaseperti itu dapat diperkirakan bahwa uraian akan dilakukan pada halaman-halamanberikutnya adalah bukan tentang orang Indonesia, tetapi lebih membahas orangBelanda di Indonesia. Tampaknya penulis hendak menyampaikan pesan bahwapengertian nasional yang digunakan adalah perspektif geografis, sehinggamerupakan tindakan yang sah dan baik untuk menulis sejarah bangsa asing diIndonesia hampir 100 halaman dalam sejarah nasional Indonesia.Baru mulai halaman 99 penulis membahas tentang penduduk Indonesiadengan judul bab: struktur sosial. Ketika membahas tentang bangsa asing diIndonesia, penulis menempatkan bangsa asing sebagai subyek kehidupan. Berbagaiterobosan, kebijakan dan perjuangan diuraikan dengan jelas. Sebagai contoh adalahketika membahas tentang Politik Etis, penulis membuka dengan menyatakan:Garis politik kolonial baru pertama-tama diucapkan secararesmi oleh van Dedem sebagai anggota Parlemen. Dalam pidatonyapada tahun 1891 diutarakannya keharusan untuk memisahkankeuangan Indonesia dari negeri Belanda. Diperjuangkannya (jugakemajuan rakyat a.l. dengan membuat bangunan umum)disentralisasi; kesejahteraan rakyat dan expansi yang padaumumnya menuju ke suatu politik yang konstruktif. 16Sebaliknya, ketika membahas struktur sosial, penulis terlihat mengubahmodel eksplanasi dengan menempatkan bangsa pribumi sebagai angka (jumlahkuantitatif) dan obyek perkembangan. Penempatan penduduk pribumi sekedarsebagai angka tampak pada pembukaan bab struktur sosial:Waktu Raffles memerintah sebagai Letnan GubernurJenderal Inggris, ia memperhitungkan bahwa penduduk pulau Jawasebanyak empat juta setengah jiwa. Dengan angka ini saja pulauJawa sudah merupakan pulau yang terpadat di daerah apa yangdulu disebut Hindia Timur ini.... Menurut sensus 1930, pendudukpulau Jawa telah berjumlah 40 juta jiwa. Jadi dalam waktu 130 – 140tahun saja penduduk Jawa dan Madura telah naik sepuluh kalilipat. 17Penempatan penduduk pribumi sebagai obyek perkembangan secara jelasdapat disimak dari pernyataan:Sebagai catatan perlulah diingat bahwa pemilikan tanah diDaerah Istimewa Yogyakarta (dulu disebut sebagai salah satuVorstenlanden), adalah gejala baru yang bersumber dari perobahanhukum tanah yang dimulai berlaku sejak tahun 1918. Sebelumperiode itu para petani hanyalah mempunyai kewajibanmengerjakan tanah yang dipercayakan kepadanya oleh pemegang151617Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, ed., Sejarah Nasional Indonesia V.Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 1Ibid., hlm. 35.Ibid., hlm. 99.


hak apanage – yaitu yang diberi hak oleh raja mewakilinya sebagaipemilik tanah yang sesungguhnya. Sejak tahun 1918 hak-hakapanage dihapuskan. Dengan ini maka hak raja, sebagai pemeliktanah kerajaan yang tunggal dihapuskan pula. Akibatnya yalahikatan petani tambah liat... Akibat selanjutnya tentu sajapengepingan tanah terus berlanjut sesuai dengan jumlah keturunanyang berhak. 18Kutipan tersebut menjelaskan petani hanya menjadi obyek dan sebagaiakibat, mulai dari akibat perubahan hukum tanah tahun 1918, hukum tanahsebelumnya. Ketika tiba giliran pribumi ditempatkan sebagai subyek, oleh penulisdiuraikan bahwa hasilnya adalah negatif atau memperparah peri kehidupan. Darikalimat terakhir pada dua kutipan di atas, penulis sengaja menampilkan fenomena“telah naik sepuluh kali lipat” dan “pengepingan tanah terus berlanjut” untukmenyampaikan pesan bahwa kehidupan pribumi selalu diwarnai keburukan.Pandangan negatif terhadap pribumi tetap kuat pada uraian di bab-babberikutnya, bahkan ketika membahas nasionalisme Indonesia pada bab pergerakannasional. Ketika membahas Boedi Oetomo, pandangan negatif terasa hampir padasemua alinea. Bahkan pada kalimat pertama atau kedua. Sebagai contoh, pada duakalimat paling awal di alinea pertama penulis menyatakan:Dengan semboyan hendak meningkatkan martabat rakyat,Mas Ngabehi Wahidin Sudirohusodo, seorang dokter Jawa diJogyakarta dan termasuk golongan priyayi rendahan, dalam tahun1906 dan 1907 mulai kampanye di kalangan priyayi di Pulau Jawa.Walaupun hasil kampanye tidak sebagaimana yang diharapkantetapi hasilnya juga ada, seperti di Jawa Tengah sendiri sejak ituterbuka kemungkinan adanya kerjasama di antara pejabat pribumi.Marilah kita perhatikan pada pernyataan penulis Sejarah Nasional IndonesiaV yang untuk kepentingan kajian ini diberi garis bawah. Apabila seorang sejarawanmemiliki hak untuk menyeleksi sumber, kiranya wajar dipertanyakan maksudpenulis menyertakan informasi “termasuk golongan priyayi rendahan” yangkorelasinya tidak signifikan dengan kalimat-kalimat selanjutnya atau bahkankeseluruhan penjelasan tentang Boedi Oetomo. Pesan yang tersampaikan kepadapembaca atas informasi itu adalah bahwa masyarakat Yogyakarta pada masa itufeodal (tradisional). Hal yang sama juga berlaku pada garis bawah kedua.Pemaknaan penulis tentang hasil kampanye tokoh sejarah, yaitu “juga ada”, terasasangat merendahkan. Pesan negatif yang disembunyikan penulis akan semakintampak apabila digunakan pembuktian terbalik, yaitu melalui penghilangan keduapernyataan yang diberi garis bawah. Penghilangan akan mengakibatkanpemahaman historis tetap diperoleh secara relatif lengkap dan bahkan pembaca akanmampu menangkap semangat tokoh sejarah dengan lebih mudah.D. Pesan dan PengaruhnyaDari rangkaian pesan yang tersampaikan oleh sejarah nasional tampak dua alurkonstruk pemikiran yang melingkupi para penyusun Sejarah Nasional Indonesia,yaitu:1. Indonesia variabel tergantung.18Ibid., hlm. 107.


Disadari atau tidak, eksplanasi sejarah yang terdapat pada Sejarah NasionalIndonesia didominasi oleh ideologi yang menempatkan bangsa Indonesia sebagaivariabel tergantung dan bangsa asing sebagai variabel bebas. Apabila dibahasakanmatematika, bangsa asing adalah konstanta sedang bangsa Indonesia adalahvariabel. Ideologi itu tampak dari judul-judul yang digunakannya, seperti PengaruhHindu-Budha, Pengaruh Islam dan Penjajahan Barat. Dari judul saja tampak bahwasubyek atau aktor utama dalam panggung sejarah Indonesia adalah kekuatan asing,baik bangsa India, Hadrami maupun Belanda. Bangsa Indonesia ditempatkansebagai obyek yang menerima perlakuan berbagai kekuatan asing, tanpa memilikidaya, kuasa dan kesempatan untuk menolak.Penempatkan kekuatan asing sebagai variabel bebas atau konstantamenjadikan setiap prestasi yang berhasil dicapai oleh bangsa Indonesia ditempatkansebagai akibat atau pengaruh kekuatan asing. Kasus nekara yang memilikikemiripan dengan model Dongson membawa penyusun SNI jilid I pada kesimpulanakan adanya pengaruh dari Cina ke nusantara. Hal yang sama juga diberlakukanketika di nusantara banyak terdapat peninggalan berhuruf pallawa, berbahasaSanskerta dan bangunan candi. Dalam konstruk pemikiran para penyusun SNI jilidII langsung terbayang tiga tokoh imajiner dari India yang datang membawa ilmupengetahuan canggih yang melatih orang-orang dari nusantara untuk membangunberbagai peninggalan tersebut.Masyarakat nusantara tunduk dan berpindah menjadi muslim ketika orangorangArab datang untuk berdagang dan menyebarkan agama. Hal yang hampirsama terjadi ketika orang-orang Eropa datang untuk berdagang dan menyebarkanagama. Bahkan oleh penyusun SNI jilid V, kesadaran nasional Indonesia pundigantungkan pada kebaikan budi pemerintah kolonial Belanda yang meluncurkanpolitik Etisch.2. Indonesia selalu berubahSecara turun temurun, eksplanasi sejarah mengandung dua aspek, yaitukesinambungan (continuity) dan perubahan (change). Meski tidak ada panduanilmiah tentang resep yang harus diikuti, pada umumnya sejarah menempatkankesinambungan (untuk selanjutnya disebut kontinuitas) lebih besar prosentasenyadari pada perubahan. Akan tetapi, apabila dicermati secara mendalam parapenyusun SNI tampak sekali memberi eksplanasi perubahan jauh lebih besar daripada kontinuitas.Porsi besar perubahan tampak hampir di semua jilid yang diproduksi.Apabila jilid I ditempatkan sebagai modal yang berupa sistem kehidupan khasIndonesia (meski masih samar-samar), sebagian besar unsur dari sistem itu hilangdan diubah dengan sistem baru (yang terkenal sebagai sistem kehidupan Hindu –Budha) pada jilid II. Perubahan terus terjadi setiap waktu dan berlangsung sampaiabad XX yang dijelaskan pada Jilid V.3. Indonesia penuh petakaEksplanasi sejarah pada SNI, khususnya pada jilid IV, juga mengindikasikankuatnya asumsi bahwa kebaikan hidup masyarakat datang terutama melalui prosesbelajar terhadap kesalahan, kesengsaraan dan petaka. Dengan mempelajarikekurangan pada diri sendiri, masyarakat diharapkan melakukan pertobatan dankemudian dilanjutkan dengan mengubah diri menjadi baik. Asumsi tersebutmendasari sejarawan untuk dengan sengaja memilih peristiwa, dari jutaan peristiwalain, tentang kesengsaraan masyarakat Indonesia. Peristiwa yang masuk kategori


layak dipilih adalah apabila mengandung petaka masyarakat.Dengan asumsi bahwa penarasian kesengsaraan masyarakat akan menjadisumber belajar yang bernilai tinggi bagi masyarakat, maka eksplanasi sejarahdipenuhi dengan kisah kemalangan yang diderita oleh masyarakat, sepertipengurangan jumlah pengiring para bangsawan dan keterdesakan kehidupan petanioleh adanya monetisasi.E. RefleksiSejarah merupakan ilmu yang memiliki kekuatan sangat besar untukmempengaruhi masyarakat. Pesan-pesan yang disampaikan melalui eksplanasinya,diyakini oleh masyarakat sebagai penuh kebenaran, sehingga secara kuat memberiinspirasi bagi mereka dalam menjalani kehidupan masa kini dan masa depan.1. Sindrom rendah diri“Pengarahan opini publik” melalui ekplanasi sejarah dengan menempatkanIndonesia sebagai variabel tergantung dan menggunakan ideologi perubahan akanmelahirkan generasi baru masyarakat Indonesia yang memiliki sindrom rendah diri.Masyarakat merasa tak diberi warisan satu halpun yang positif atau berharga olehleluhur mereka. Setiap membaca sejarah, yang ditemui hanyalah kebiadaban,kebodohan, kemiskinan, dan kekolotan nenek moyang. Sebaliknya, kekuatan luarselalu dipandang sebagai pembawa pencerahan yang pada kadar tertentumemajukan masyarakat Indonesia. Kekuatan yang “memaksa” masyarakatIndonesia mengubah sesuai dengan “kehendak” kekuatan luar tersebut.Permasalahannya adalah apakah sejarah yang memproduksi sindrom rendahdiri inikah yang hendak disusun untuk sejarah nasional Indonesia? Secarapsikologis, sindrom rendah diri akan menjadikan hidup selalu dalam keragu-raguanketika harus mengambil keputusan, sehingga banyak peluang yang tidak dapatdimanfaatkan untuk mengembangkan kehidupan. Permasalahan berlarutnya krisismoneter, hingga berkembang menjadi krisis ekonomi dan bahkan krisismultidimensional, salah satunya disebabkan masyarakat Indonesia dipenuhi keraguraguandalam mengambil langkah untuk mengatasi problem aktual.Sindrom rendah diri juga menjadikan banyak tindakan yang tidakmenggunakan akal sehat. Segala sesuatu yang datang dari asing dianggap benar danlebih baik. Contoh adalah pengetahuan tentang kebutuhan hidup yang diajarkan disekolah. Hampir seluruh siswa sekolah akan menjelaskan bahwa kebutuhan hidupmanusia tidak terbatas. Pengetahuan tersebut tentu diperoleh dari guru (gurumemperoleh pengetahuan dari dosen) yang tidak mampu menggunakan akal sehatuntuk membedakan kebutuhan (need) dengan keinginan (want). Mereka tidakmemiliki ingatan sedikitpun tentang nenek moyang masyarakat Indonesia yangberusaha keras hanya memanfaatkan alam untuk memenuhi kebutuhan (need) danmencegah pengembangan keinginan (want). Akibat dari tidak digunakannya akalsehat sungguh sangat besar, karena semua keinginan dimaknai sebagai kebutuhandan masyarakat Indonesia sejak kecil dibentuk untuk mengembangkan hidupkonsumtif.Selain memandang asing sebagai lebih baik, sindrom rendah diri jugamengakibatkan lahirnya pandangan negatif terhadap segala sesuatu tentangmasyarakat dan bangsanya sendiri. Apabila ditanyakan kepada masyarakat tentangpandangan mereka terhadap Indonesia, jawaban yang diperoleh tentu tidak jauh


dari daftar hal-hal negatif, seperti korup, malas, bodoh dan kolot.2. Masyarakat Tanpa AkarIdeologi perubahan menjadikan memiliki banyak fenomena tidak dapatdijelaskan secara memuaskan asal usulnya. Sebagai contoh adalah kasus munculnyaMuhammadiyah dan Nahdatul Ulama pada awal abad XX. Penjelasan lahirnyaMuhammadiyah yang ada adalah gaya variabel tergantung yang menempatkanGerakan Muhammad Abduh di Timur Tengah sebagai variabel bebasnya. AnggotaMuhammadiyah tidak memperoleh penjelasan yang memadai tentang akar historisyang mereka miliki, sehingga purifikasi kehidupan beragama merupakan “impian“lama yang baru dapat terwujud. Hal yang sama juga terjadi dengan eksplanasitentang kelahiran Nahdatul Ulama yang menurut gaya variabel tergantung sebagairespon kelahiran Muhammadiyah. Oleh eksplanasi sejarah gaya variabel tergantung,kaum Nahdliyin tidak diberi sandaran historis yang mampu menjadi akarperjuangan mereka mempertahankan identitas kultural lokal dari usaha Arabisasi.Perasaan tidak memiliki akar historis tidak hanya dialami oleh anggotaMuhammadiyah dan Nahdatul Ulama, tetapi hampir oleh seluruh lapisanmasyarakat Indonesia dari Aceh sampai Papua. Sejarah tidak bersedia menjelaskanperistiwa manusiawi mengapa masyarakat berkumpul ketika salah satu oranganggotanya meninggal dan menyiapkan segala sesuatu perlengkapan upacarapenguburan, tanpa meminta upah satu rupiahpun. Eksplanasi sejarah juga tidakmampu memberi legitimasi historis ilmiah tentang akar dari julukan Yogyakartayang populer beberapa dekade lampau sebagai kota budaya.Ketiadaan akar historis paling parah dialami oleh generasi muda. Merekamemandang Indonesia sekedar satuan geografis:Ask young Indonesians today what makes them Indonesians, andthe answer may likely surprise, or disappoint you."I'm Indonesian because I was born in Indonesia and I'm a citizen ofIndonesia, I just have to live with that," Intan Nirwani, a 14-year-oldhigh school student, said when she was asked about what it meantbeing an Indonesian.Swastika, 24, an anchor at a TV station and also Javanese, gave asimilar answer."It's just a statistical status. I mean...you are Indonesian because yourID and your passport say so," Swastika stated.It may be a false assumption to say that Intan and Swastika representthe general feeling of Indonesia's younger generation about theircountry, but their answers reflect a growing trend among theyounger generation. They seem to have grown further away fromthe sense of being Indonesian that was still very much alive amongthe previous generations.For many of today's young people, being Indonesian means nothingmore than a "geographical fact" -- because they were born and raisedin the country. Nothing more, nothing less.Ramadhani, 22, a high school dropout and a street beggar, andIsmail, 17, a student at the Santi Rama school for the disabled, said


they were Indonesians only because they lived here. 19Generasi muda tidak memiliki ikatan emosional dengan masa lampau Indonesia,apalagi untuk belajar darinya. Generasi baru yang hidup tanpa sejarah. Akibatnyadapat diperkirakan bahwa mereka kemudian mencari ikatan-ikatan emosionaldengan identitas global.3. Berkembangnya Historiografi Non FormalSelain sindrom rendah diri, penempatan Indonesia pada posisi selalutergantung pada pengaruh asing, juga menjadikan masyarakat cenderung menolakeksplanasi sejarah sebagai masa lampau mereka. Masyarakat memahami bahwaeksplanasi sejarah selalu “bukan tentang kami”. Sejarah hanya menceritakan tentangkiprah kekuatan luar atau “mereka” di Indonesia. 20 Sindiran bahwa historiografiIndonesia merupakan sejarah tanpa masyarakat kiranya cukup tepat untukmenggambarkan relasi eksplanasi sejarah dengan masyarakat. Buku-buku sejarahtidak diminati dan pendidikan sejarah sebagai mata pelajaran yang membosankan.Penolakan terhadap eksplanasi sejarah, menjadikan masyarakat secaraswadaya menghidupi historiografi non formal 21 mereka masing-masing. Merekamengadakan kegiatan produksi dan reproduksi eksplanasi sendiri. Pada masyarakatpedesaan, tradisi penceritaan tentang cikal bakal oleh tetua masyarakat tetapberjalan dari berabad lampau. Pemimpin upacara penghormatan leluhur pada setiapbulan ruwah tetap mengkisahkan dengan heroik petualangan cikal bakal sampaimembangun desa mereka. Sejajar dengan itu, dewasa ini juga banyak bermunculanbuku-buku peringatan. Mereka tidak mempedulikan apakah historiografi itumemenuhi kriteria akademik atau tidak, karena kepentingan utama mereka adalahmencari penjelas siapa mereka sebagai komunitas.4. Kematian SejarahIlmu pengetahuan dan teknologi dicipta oleh masyarakat manusia dalamrangka mempertahankan dan mengembangkan peri kehidupan, sehingga perjalananpanjangnya menjadi lebih nyaman dan bermakna. Akan tetapi ketika dia tidak lagimenyumbang, entah karena perangainya yang justru mengancam atau karenaditemukan ilmu pengetahuan dan teknologi baru yang lebih canggih, berartiwaktunya telah tiba untuk menyimpannya dalam museum.Barangkali sejarah menjadi salah satu cabang ilmu pengetahuan yang sudahhampir tiba waktunya untuk masuk ke museum. Sejarah telah meninggalkankodratnya sebagai ilmu yang bertugas untuk menghidupi identitas masyarakat.Eksplanasi yang disampaikannya bagai dinamit yang meluluh lantakkan identitaske-Indonesia-an. Kewajibannya untuk merekonstruksi masa lampau diingkari danyang dimunculkan justru eksplanasi yang men-destruksi masa lampau.Tanda-tanda kematian telah jelas: di bidang pendidikan, ketersingkiransejarah terjadi dari tingkat Sekolah Dasar sampai dengan Sekolah Menengah Atas.192021Jakarta Post, 16 Agustus 2003Kritik tajam dapat disimak pada Henk Schulte Nordholt, De-colonising IndonesianHistoriography, Paper delivered at the Centre for East and South-East Asian Studiespublic lecture series “Focus Asia”, 25-27 May, 2004 at Lund University, Sweden.Dalam berbagai kajian tentang historiografi Indonesia, eksistensi eksplanasi sejarah olehmasyarakat, khususnya oleh masyarakat pedesaan, tidak dianggap, maka pada tulisan ini dinamaisebagai historiografi non formal.


Dilihat dari Ujian Nasional yang dilaksanakan pemerintah, posisi mata pelajaransejarah jauh di bawah Pendidikan Bahasa Inggris yang merupakan bahasa asing,karena tidak termasuk mata pelajaran yang diujikan. Dilihat dari waktupembelajaran, pada Kurikulum 2006 (KTSP) terjadi pengurangan jam pelajaranSejarah yang signifikan apabila dibandingkan dengan Kurikulum 1994. Bahkan padaSekolah Menengah Kejuruan, mata pelajaran sejarah digabungkan denganPendidikan Kewarganegaraan menjadi mata pelajaran PKPS (PendidikanKewarganegaraan dan Pendidikan Sosial) Pada tingkat kelembagaan, ketersingkiranditandai dengan berpindahnya Balai Kajian Sejarah dan Nilai-nilai Tradisional dariDepartemen Pendidikan Nasional ke Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.Pemindahan itu mengindikasikan bahwa sejarah tidak lagi dipandang pentingsebagai media pendidikan dan ditempatkan hanya sebagai sarana rekreatif.Daftar PustakaJakarta Post, 16 Agustus 2003.Henk Schulte Nordholt, De-colonising Indonesian Historiography, Paper deliveredat the Centre for East and South-East Asian Studies public lecture series“Focus Asia”, 25-27 May, 2004 at Lund University, Sweden.http://www.xenohistorian.faithweb.com/index.html.KTSP Mata Pelajaran Sejarah untuk SMA dan MA.Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, ed., 1984, SejarahNasional Indonesia I. Jakarta: Balai Pustaka._______________, Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka._______________, Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka.Sartono Kartodirdjo, 2005, Sejak Indische sampai Indonesia. Jakarta: Kompas.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!