12.07.2015 Views

diskursus hak asasi manusia di indonesia - International Center for ...

diskursus hak asasi manusia di indonesia - International Center for ...

diskursus hak asasi manusia di indonesia - International Center for ...

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

pentingnya aspek agama dalam HAM, pendapat dari Joseph Runzo, Nancy M. Martindan Arvind Sharma pada kata pengantar buku, Human Rights and Responsibilities inthe World Religions (2003) perlu <strong>di</strong>perhatikan:Religions have too often been used to justify the violation of humanrights, in part through the hierarchical and selective use of role ethicsand the postponement of temporal justice to devine judgement of futurekarmic consequences. Yet the world religions have also provided aconstant voice of critique against the violation of human rights bycalling <strong>for</strong> equality, and universal compassion and love, call whichreach far beyond the mere protection of human rights.Poin penting pendapat Runzo, Martin, dan Sharma adalah, bagaimana agama dalamkonsruksi yang positif—sekalipun agama sering <strong>di</strong>salahgunakan sebagai alatjustifikasi pelanggaraan <strong>hak</strong> <strong>asasi</strong> <strong>manusia</strong> (the violation of human rights)—<strong>di</strong>ja<strong>di</strong>kansebagai sumber energi bagi upaya penegakan <strong>hak</strong> <strong>asasi</strong> <strong>manusia</strong> dalam pelbagaiaspek. Meskipun HAM telah menja<strong>di</strong> peraturan internasional, pelanggaran terhadapHAM sering terja<strong>di</strong> <strong>di</strong> beberapa negara. Di antara bentuk pelanggaran HAM yangperlu <strong>di</strong>perhatikan adalah pelanggaran terhadap kebebasan beragama atauberkepercayaan. Kebebasan beragama atau kepercayaan, merupakan <strong>hak</strong> <strong>asasi</strong><strong>manusia</strong> yang berlaku universal serta <strong>di</strong>ko<strong>di</strong>fikasi dalam instrumen internasionalHAM. Pada tingkat normatif, sejak awal era HAM sudah tampak jelas bahwakebebasan beragama atau kepercayaan merupakan <strong>hak</strong> fundamental, dan benar-benarmerupakan salah satu <strong>hak</strong>-<strong>hak</strong> fundamental yang utama. Muncul pertama kali sejakPerang Dunia II, <strong>hak</strong> tersebut telah <strong>di</strong>rumuskan dalam pasal 18 Deklarasi Hak-<strong>hak</strong>Asasi Manusia (the Universal Declaration of Human Rights) serta PerjanjianInternasional tentang Hak-<strong>hak</strong> Politik dan Sipil (the <strong>International</strong> Covenant on Civiland Political Rights).Sebagai salah satu <strong>hak</strong> yang paling fundamental, pelaksanaan kebebasan beragamaatau berkepercayaan <strong>di</strong>dasarkan pada delapan norma 2 (Tore Lindholm, W. ColeDurham, Jr., Bahia G. Tahzib-Lie dan Nazila Ghanea, 2004) sebagai berikut:2 Menurut Nicola Colbran, Legal Advisor, Norwegian Centre <strong>for</strong> Human Rights, Universityof Oslo, kedelapan norma tersebut juga merupakan inti <strong>hak</strong> kebebasan beragama atauberkepercayaan. Pandangan ini <strong>di</strong>kemukakan oleh Colbran pada saat menyajikan makalah,Hak Kebebasan Beragama atau Berkepercayaan, pada workshop dengan tema, MemperkuatJustisiabilitas Hak-<strong>hak</strong> Ekonomi, Sosial dan Budaya: Prospek dan Tantangan, kerjasamaantara Norwegian Centre <strong>for</strong> Human Rights (NCHR) , University of Oslo, dengan Pusat Stu<strong>di</strong>6


Pertama, internal freedom (kebebasan internal). Berdasarkan pada norma ini,setiap orang <strong>di</strong>pandang memiliki <strong>hak</strong> kebebasan berpikir, berkesadaran, danberagama. Norma ini juga mengakui kebebasan setiap in<strong>di</strong>vidu untuk memiliki,mengadopsi, mempertahankan atau mengubah agama dan kepercayaannya.Kedua, external freedom (kebebasan eksternal). Norma ini mengakui kebebasanmewujudkan kebebasan atau keyakinan dalam berbagai bentuk manifestasiseperti kebebasan dalam pengajaran, praktik, peribadatan, ketaatan. Manifestasikebebasan beragama dan berkepercayaan dapat <strong>di</strong>laksanakan baik <strong>di</strong>wilayahpriba<strong>di</strong> maupun publik. Kebebasan juga bisa <strong>di</strong>lakukan secara in<strong>di</strong>vidual danbersama-sama orang lain.Ketiga, noncoercion (tanpa paksaan). Norma ini menekankan adanyakemerdekaan in<strong>di</strong>vidu dari segala bentuk paksaan dalam mengadopsi suatuagama atau berkepercayaan. Dengan kata lain, setiap in<strong>di</strong>vidu memilikikebebasan memiliki suatu agama atau kepercayaan tanpa perlu <strong>di</strong>paksa olehsiapa pun.Keempat, non<strong>di</strong>scrimination (tanpa <strong>di</strong>skriminasi). Berdasarkan norma ini,negara berkewajiban menghargai dan memastikan bahwa seluruh in<strong>di</strong>vidu <strong>di</strong>dalam wilayah kekuasaanya dan yuris<strong>di</strong>ksinya memperoleh jaminan kebebasanberagama atau berkepercayaan tanpa membedakan warna kulit, jenis kelamin,bahasa, agama atau kepercayaan,pandanga politik dan pandangan lainnya, asalusulbangsa, kekayaan, status kelahiran.Kelima, rights of parent and guar<strong>di</strong>an (<strong>hak</strong> orang tua dan wali). Menurut normaini, negara berkewajiban menghargai kebebasan orang tua dan para wali yangabash secara hukum untuk memastikan pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan agama dan moral bagi anakanakmereka sesuai dengan kepercayaan mereka sen<strong>di</strong>ri. Negara juga harusmemberikan perlindungan atas <strong>hak</strong>-<strong>hak</strong> setiap anak untuk bebas beragama atauberkepercayaan sesuai dengan kemampuan mereka sen<strong>di</strong>ri.Keenam, corporate freedom and legal status (kebebasan berkumpul danmemperoleh status hukum). Aspek penting kebebasan beragama atauberkepercayaan terutama dalam kehidupan kontemporer adalah adanya <strong>hak</strong> bagikomunitas keagamaan untuk mengorganisasikan <strong>di</strong>ri atau membentuk asosiasi .Ketujuh, limits of permissible restrictions on external freedom (pembatasanyang <strong>di</strong>perkenankan terhadap kebebasan eksternal). Kebebasan untukmewujudkan atau mengeskpresikan suatu agama atau kepercayaan dapat <strong>di</strong>kenaipembatasan oleh hukum dengan alasan ingin melindungi keselamatan umum,ketertiban, kesehatan dan moral dan <strong>hak</strong>-<strong>hak</strong> dasar lainnya.Kedelapan, nonderogability. Negara tidak boleh mengurangi <strong>hak</strong> kebebasanberagama atau berkepercayaan bahkan dalam situasi darurat sekalipun.Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM-UII), Yogyakarta. Workshop<strong>di</strong>laksanakan pada 13-15 November 2007.7


Pada kenyataannya, kedelapan norma kebebasan beragama atau berkepercayaantersebut tidak berjalan mulus. Di beberapa negara sering <strong>di</strong>jumpai pelanggaranterhadap kebebasan beragama atau berkepercayaan. Salah satu negara yang seringmendapat sorotan terkait dengan pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinanadalah Indonesia. Meskipun memiliki cukup banyak landasan normatif, ternyataIndonesia belum bebas dari pelanggaran terhadap kebebasan beragama atauberkeyakinan. Berdasarkan analisis yang <strong>di</strong>lakukan oleh Imparsial (2006),pelanggaran yang <strong>di</strong>lakukan negara terhadap kebebasan beragama atauberkepercayaan menggunakan dua modus.Modus pertama, negara melakukan pelanggaran secara tidak langsung dengan caramelakukan pembiaran atas berbagai kasus yang terja<strong>di</strong> sehingga menimbulkan aksikekerasan yang <strong>di</strong>lakukan masyarakat. Dalam beberapa kasus terlihat sikap aparatkeamanan yang membiarkan dan tidak melakukan pencegahan sehingga mendorongsekelompok orang untuk tetap melanjutkan aksinya seperti menutup tempat ibadahatau melakukan penyerangan terhadap kepercayaan kelompok lain. Sebagai pi<strong>hak</strong>yang punya kewenangan dalam pengendalian keamanan dan ketertiban <strong>di</strong> masyarakat,aparat keamanan seharusnya menindak pelaku kekerasan tersebut. Tetapi tidak jarangaparat keamanan melakukan pembiaran seakan tindakan pelaku kekerasan<strong>di</strong>benarkan. Tindakan pembiaran yang <strong>di</strong>lakukan oleh aparat keamanan menurutImparsial tidak dapat <strong>di</strong>benarkan karena sama halnya negara tidak memberikanjaminan dan perlindungan terhadap kebebasan beragama atau berkepercayaan.Sedangkan dalam modus kedua, negara melakukan pelanggaran secara langsungmelalui pembuatan dan penguatan berbagai kebijakan yang membatasi danmembelenggu keberagama dan berkepercayaan.Masih mengenai pelanggaran yang <strong>di</strong>lakukan oleh negara. Menurut Ghufron Mabruri(2007), pelanggaran tersebut <strong>di</strong>sebabkan oleh ketidakmampuan negara dalammengambil jarak terhadap persoalan agama yang muncul <strong>di</strong> masyarakat. Kebebasanberagama atau berkepercayaan merupakan bagian dari <strong>hak</strong>-<strong>hak</strong> sipil dan politik yang<strong>di</strong>kategorikan sebagai <strong>hak</strong> negatif (negative rights)—berbeda dengan <strong>hak</strong>-<strong>hak</strong> sosial,ekonomi, dan budaya yang <strong>di</strong>kategorikan sebagai <strong>hak</strong> positif (positive rights). Hakpositif (sosial, ekonomi, dan budaya) bisa terpenuhi jika negara ikut berperan aktifmemajukannya. Sebaliknya, <strong>hak</strong> negatif, bisa <strong>di</strong>wujudkan jika negara tidak terlalu8


anyak mencampuri urusan agama dalam masyarakat . Mabruri menyebut keberadaanDirektorat Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat dan Keagamaan (Pakem)sebagai contoh campur tangan negara yang terlalu jauh dalam urusan agama dankeyakinan. Direktorat ini berada <strong>di</strong> bawah Kejaksaan Agung yang terbentukberdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung Nomor KEP-108/JA/5/1984 tentangPembentukan Tim Koor<strong>di</strong>nasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat.Menurut Mabruri, peran negara seharusnya terbatas pada menjamin <strong>hak</strong> setiap warga.Dalam kaitannya dengan kebebasan beragama atau berkepercayaan, negara menurutMabruri perlu melakukan dua hal, yakni: Pertama, tidak membuat regulasi yangmembatasi dan mengekang kebebasan beragama. Kebebasan beragama atauberkepercayaan merupakan bagian dari <strong>hak</strong> <strong>asasi</strong> <strong>manusia</strong> yang tidak dapat <strong>di</strong>kurangi(nonderogable rights) dalam keadaan apapun dan oleh siapapun meliputi; <strong>hak</strong> untukhidup, <strong>hak</strong> untuk tidak <strong>di</strong>siksa, <strong>hak</strong> kebebasan priba<strong>di</strong>, <strong>hak</strong> beragama, <strong>hak</strong> untuk tidak<strong>di</strong>perbudak, <strong>hak</strong> untuk <strong>di</strong>akui sebagai priba<strong>di</strong> dan persamaan <strong>di</strong>hadapan hukum dan<strong>hak</strong> untuk tidak <strong>di</strong>tuntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Perlindungan atas <strong>hak</strong><strong>asasi</strong> <strong>manusia</strong> yang fundamental ini <strong>di</strong>atur dalam Pasal 4 UU No. 39 tahun 1999tentang HAM. Dalam penjelasannya <strong>di</strong>nyatakan bahwa yang <strong>di</strong>maksud dengan―dalam keadaan apapun‖ termasuk keadaan perang, sengketa bersenjata dan/ataukeadaan darurat. Yang <strong>di</strong>maksud dengan ―siapapun‖ adalah negara, pemerintah danatau anggota masyarakat. Melihat perumusan dari Pasal 4 undang-undang tersebutjelas dapat <strong>di</strong>pahami bahwa <strong>di</strong> Indonesia kebebasan beragama <strong>di</strong>jamin dan <strong>di</strong>lindungioleh peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, segala bentuk prilaku tidaka<strong>di</strong>l dan <strong>di</strong>skriminatif atas dasar etnik, ras, warna kulit, budaya, bangsa, agama,golongan jenis kelamin dan status sosial lainnya yang dapat mengakibatkanpenderitaan, kesengsaraan dan kesenjangan sosial harus <strong>di</strong>hapuskan (FernandoJ.M.M. Karisoh, http://www.psik-parama<strong>di</strong>na.org). Kemu<strong>di</strong>an hal kedua yang perlu<strong>di</strong>lakukan oleh negara menurut Mabruri adalah, mencegah setiap potensi yangmemungkinkan adanya gangguan dan hambatan bagi setiap orang untuk memilih danmenjalankan keyakinannya <strong>di</strong> tengah masyarakat.Pelanggaran terhadap kebebasan beragama atau berkepercayaan oleh negaramemberikan peluang terhadap masyarakat untuk melakukan hal yang sama. Dengankata lain, masyarakat juga menja<strong>di</strong> aktor yang melakukan pelanggaran terhadapkebebasan beragama atau berkepercayaan setelah adanya peluang dari negara. Tetapi9


apakah pelanggaran yang <strong>di</strong>lakukan oleh masyarakat hanya <strong>di</strong>sebabkan oleh peluangyang <strong>di</strong>berikan negara? Kendati negara tidak mungkin <strong>di</strong>abaikan, kon<strong>di</strong>si internalmasyarakat sen<strong>di</strong>ri sebagai penyebab terja<strong>di</strong>nya pelanggaran terhadap kebebasanberagama atau berkepercayaan perlu <strong>di</strong>ungkap. Apakah pelanggaran yang <strong>di</strong>lakukanoleh masyarakat ada kaitannya dengan cara pandang suatu kelompok kepadakelompok yang lain? Stu<strong>di</strong> yang <strong>di</strong>lakukan oleh Fatimah Husein, Muslim-ChristianRelations in the New Order Indonesia: The Exclusivist and Inclusivist MuslimPerspectives (2005), patut <strong>di</strong>pertimbangkan untuk menjawab pertanyaan tersebut.Hubungan Muslim dan Kristen yang menja<strong>di</strong> fokus stu<strong>di</strong> Husein merupakan topikpenting sekaligus sensitif. Konflik dan kekerasan sering mewarnai perkembanganIslam dan Kristen <strong>di</strong> Indonesia. Dalam pandangan Husein, relasi antara Islam danKristen tidak bisa <strong>di</strong>lepaskan dari cara pandang masing-masing pemeluk agamatersebut terhadap agamanya sen<strong>di</strong>ri maupun agama kelompok lain. Dalam stu<strong>di</strong>nyaHusein mengungkap dua cara pandang dominan <strong>di</strong> kalangan Muslim yangmempengaruhi relasi Islam dan Kristen, yakni: eksklusif (exclusive) dan inklusif(inclusive). Muslim eksklusif memiliki keyakinan Islam sebagai agama terakhir untukmengoreksi (kesalahan) agama lain. Cara pandang ini menurut Husein menimbulkansikap tidak toleran (intolerance) terhadap keberadaan agama lain. Sedangkan Musliminklusif memiliki keyakinan bahwa Islam merupakan agama yang benar. Meskipunbegitu, mereka tidak menegasikan agama <strong>di</strong> luar Islam yang juga dapat memberikankeselamatan (salvation) bagi pemeluknya. Dengan cara pandang ini, Muslim inklusifbersikap lebih terbuka terhadap kelompok agama lain.Kategori yang <strong>di</strong>buat Husein bisa <strong>di</strong>gunakan untuk menjelaskan proses pelanggarankebebasan beragama atau berkepercayaan yang <strong>di</strong>lakukan oleh masyarakat. Dengandemikian dapat <strong>di</strong>katakan pelanggaran yang <strong>di</strong>lakukan masyarakat <strong>di</strong>pengaruhi olehcara pandang mereka terhadap kelompok agama dan kepercayaan lain. Di antara duacara pandang tersebut (eksklusif dan inklusif) yang berpotensi menimbulkanpelanggaran adalah cara pandang eksklusif.Sekedar mempertegas definisi eksklusivisme dari Husein, perlu <strong>di</strong>kutip jugapenjelasan Joseph Runzo (2003) apa yang <strong>di</strong>sebut dengan religious exclusivism, yaknisikap keagamaan yang menganggap bahwa satu-satunya agama yang benar hanyaagama dan keyakinan yang <strong>di</strong>peluknya, sedangkan agama dan kepercayaan lain salah.10


Mengapa ada yang berpandangan eksklusif, sementara lainnya inklusif? Apakah carapandang tersebut <strong>di</strong>pengaruhi oleh doktrin agama? Jika eksklusivisme <strong>di</strong>pengaruhioleh doktrin agama dan (eksklusivisme) berpotensi menimbulkan pelanggaranterhadap kebebasan beragama atau berkepercayaan, apakah bisa <strong>di</strong>katakan agamaperlu bertanggung jawab terhadap pelanggaran tersebut? Sederatan pertanyaan iniperlu <strong>di</strong>kemukakan karena tidak jarang muncul sikap curiga dan pesimistis terhadapkontribusi agama dalam menegakkan kebebasan beragama atau berkepercayaan.Di antara agama besar <strong>di</strong> dunia yang sering sikapi dengan penuh curiga dan pesimisdalam kaitannya dengan kebebasan beragama atau berkepercayaan adalah Islam.Islam dalam <strong><strong>di</strong>skursus</strong> ilmu politik dan dalam literatur, terutama <strong>di</strong> lingkaranakademisi Barat <strong>di</strong>pandang sebagai agama yang tidak kompatibel dengan HAM (SusEko Ernada, 2007). Pandangan ini menimbulkan kritik dan penolakan dari kalanganakademisi Muslim. Mereka tidak setuju jika Islam <strong>di</strong>nilai tidak kompatibel denganHAM. Sebab bila <strong>di</strong>ban<strong>di</strong>ngkan dengan Barat, Islam bahkan lebih awal berbicaraHAM. Sejarah HAM <strong>di</strong> Barat <strong>di</strong>mulai dengan Magna Charta (1215) 3 yang kemu<strong>di</strong>anberlanjut pada Bill of Rights (1689), 4 Declaration of Independence, USA (1776) 5 ,Deklarasi Hak-<strong>hak</strong> Manusia dan Warganegara (Déclaration des Droits de l‟Homme et3 Piagam ini merupakan bentuk kompromi pembagian kekuasaan antara Raja John denganpara bangsawan. Piagam ini juga membatasi kekuasan Raja John <strong>di</strong> Inggris. Menurut ScottDavidson (1993), pada Magna Charta (1215) belum terdapat ketentuan-ketentuan yangmengatur perlindungan <strong>hak</strong>-<strong>hak</strong> atau kebebasan in<strong>di</strong>vidu.4 Diban<strong>di</strong>ngkan dengan Magna Charta (1215), Bill of Rights (1689), menurut Davidson(1993) lebih menjanjikan dalam memberikan perlindungan terhadap <strong>hak</strong>-<strong>hak</strong> atau kebebasanin<strong>di</strong>vidu. Pada Bill of Rights (1689)—judul panjangnya berbunyi, An Act Declaring theRights and Liberties of the Subject and Setting the Succesion of the Crown—terdapatketentuan-ketentuan perlindungan terhadap <strong>hak</strong>-<strong>hak</strong> atau kebebasan in<strong>di</strong>vidu. Dalamsejarahnya, Bill of Rights(1689) <strong>di</strong>sahkan setelah terja<strong>di</strong> revolusi yang <strong>di</strong>kenal dengan namaGlorious Revolution yang berhasil memaksa turun Raja James II dari takhta kekuasaan.5 Dalam deklarasi yang <strong>di</strong>susun oleh Thomas Jafferson ini terdapat penegasan bahwa setiapmanausia memiliki kedudukan yang sama. Dalam deklrasi ini, antara lain terdapat pernyataanseperti berikut:”We hold these truths to be self-evident, that all men are created equal, thatthey are endowed by their Creator with certain unalienable Rights, that among these are Life,Liberty and the pursuit of Happiness.--That to secure these rights, Governments are institutedamong Men, deriving their just powers from the consent of the governed,--That whenever anyForm of Government becomes destructive of these ends, it is the Right of the People to alteror to abolish it, and to institute new Government, laying its foundation on such principles andorganizing its powers in such <strong>for</strong>m, as to them shall seem most likely to effect their Safety andHappiness.” (Encyclope<strong>di</strong>a Britannica 2008).11


du Citoyen), Prancis 1789 6 , Four Freedom (Roosevelt) pada 1941, 7 dan puncaknyapada Universal Declaration of Human Rights (1948). Sementara Islam semenjak abadke-7 M telah berbicara tentang kebebasan termasuk kebebasan beragama atauberkepercayaan seperti <strong>di</strong>ungkap <strong>di</strong> beberapa ayat dalam al-Qur‘an (Wahyu Hidayati,2008). Ebrahim Moosa (www.jhfc. duke.edu.) mengungkap setidaknya dua ceritayang dapat <strong>di</strong>ja<strong>di</strong>kan bukti adanya kaitan kompatibel antara Islam dengan HAM.Pertama, pidato perpisahan Nabi Muhammad ketika melaksanakan haji wada‘ yangmenegaskan kembali visi Islam terhadap perlindungan <strong>hak</strong>-<strong>hak</strong> dasar <strong>manusia</strong>.Substansi pidato Nabi Muhammad pada haji wada‘ itu, menurut Moosa, padadasarnya merupakan penegasan belaka terhadap kandungan beberapa ayat al-Qur‘anyang berbicara tentang perlindungan terhadap pemilihan harta, martabat, dankehormatan <strong>manusia</strong>. Kedua, sejumlah tindakan yang <strong>di</strong>lakukan oleh para khalifahrasyidah dalam menindak pelanggaran HAM. Salah satu contoh yang paling baikdalam penegakan HAM adalah tindakan yang <strong>di</strong>lakukan Khalifah kedua, Umar ibnKhattab yang memberikan teguran kepada Gubernur Mesir, Amr ibn Ash karenamemberikan sanksi hukum tanpa melewati proses penga<strong>di</strong>lan. Kedua cerita sejarahini, menurut Moosa, sering <strong>di</strong>ja<strong>di</strong>kan rujukan oleh kalangan Islam untuk memperkuatargumen teologis keterkaitan antara Islam dengan HAM modern.Dengan memban<strong>di</strong>ngkan sejarah tersebut, maka kalangan Islam menolak jika Islam<strong>di</strong>anggap tidak kompatibel dengan HAM. Tetapi yang perlu <strong>di</strong>pertimbangkan juga,tidak se<strong>di</strong>kit dari kalangan Islam yang menggunakan pertimbangan teologis ketikabersikap secara eksklusif terhadap kelompok agama dan keyakinan lain yang bisamengarah pada pelanggaran kebebasan beragama atau berkepercayaan. Sikapeksklusif tersebut dapat saja muncul karena doktrin dalam Islam sebagaimanatermuat dalam al-Qur‘an memungkinkan banyak penafsiran. Di satu pi<strong>hak</strong>, al-Qur‘anmemberikan pengakuan terhadap kebebasan beragama seperti termaktup dalam al-Baqarah (ayat 256), asy-Syura (ayat 48), al-Ghasyiah (ayat 21), Yunus (ayat 99), al-6 Deklarasi menitikberatkan pada lima <strong>hak</strong> <strong>asasi</strong>: pemilikan harta (propiété), kebebasan(liberté), persamaan (egalité), keamanan (securité), dan perlawanan terhadap penindasan(resistence é l‟oppression).7 Empat kebebasan (four freedoms) merupakan prinsip-prinsip <strong>hak</strong> <strong>asasi</strong> <strong>manusia</strong> yang<strong>di</strong>rumuskan oleh presiden Amerika Serikat Franklin D. Roosevelt pada 6 Januari 1941 dalamII (1939-1945) yang ter<strong>di</strong>ri dari: freedom of speech and expression, freedom of worship,freedom from want, and freedom from fear (Encarta, 2008).12


Kahfi (ayat 29), Qaf (ayat 45), dan al-Kafirun (ayat 6). Ayat-ayat tersebut menurutMohammad Hashim Kamali (2006) merupakan bukti bahwa Islam merupakan agamayang memberi penguatan (affirmative) terhadap kebebasan beragama dan pluralisme.Tetapi <strong>di</strong> pi<strong>hak</strong> lain, dalam al-Qur‘an terdapat beberapa ayat yang memungkinkan –setelah memperoleh penafsiran berdasarkan pendekatan tertentu—bisa menciptakanhubungan yang rumit antara Islam dengan HAM (Heiner Bielefeldt, 2001)sebagaimana tergambar dalam buku, Tolerance and Coercion in Islam: InterfaithRelations in the Muslim Tra<strong>di</strong>tion (2000), yang <strong>di</strong>tulis Yohanan Friedmann.Sementara itu, Abdullahi Ahmed an-Naim (1998) menemukan setidaknya lima kasusdalam al-Qur‘an yang sering <strong>di</strong>gunakan oleh kalangan Islam untuk membenarkantindakan <strong>di</strong>skriminatifnya karena alasan gender dan perbedaan agama serta keyakinan.Keenam kasus yang <strong>di</strong>maksud an-Na‘im <strong>di</strong>paparkan berikut ini:Pertama, laki-laki Muslim boleh mengawini perempuan Kristen atauYahu<strong>di</strong> (Ahli Kitab), sedangkan laki-laki Kristen dan Yahu<strong>di</strong> tidakboleh mengawini perempuan Muslim. Laki-laki dan perempuanMuslim tidak boleh mengawini orang musyrik (Q.S.al-Maidah: 5 danal-Baqarah: 221).Kedua, perbedaan agama menja<strong>di</strong> penghalang adanya hubungansaling mewarisi. Seorang Muslim tidak dapat mewarisi ataumewariskan kepada nonmuslim, demikian sebaliknya.Ketiga, laki-laki Muslim dapat mengawini hingga empat orangperempuan dalam waktu yang bersamaan, sedang perempuan hanyadapat kawin dengan seorang laki-laki (Q.S. al-Nisa: 2).Keempat, seorang laki-laki Muslim dapat menceraikan isterinya, atauseorang isteri dan isteri-isterinya dengan meninggalkan begitu sajatanpa akad, talak, tanpa berkewajiban memberikan berbagai alas anatau pembenaran atas tindakannya itu. Sebaliknya, perempuan hanyadapat bercerai dengan kerelaan suami atau surat keputusanpenga<strong>di</strong>lan yang mengizinkannya dengan alas an-alasan khusus,seperti ketidakmampuan suami dan keenganannya untuk mengurusisteri (Q.S. al-Baqarah: 226-232).Kelima, dalam pewarisan, seorang perempuan Muslim menerimabagian yang lebih se<strong>di</strong>kit daripada bagian laki-laki Muslim, ketikakeduanya berada dalam kedekatan hubungan kekeluargaan yangsama dengan yang meninggal (Q.S.al-Nisa: 11; 176).Pertimbangan teologis, baik eksklusif maupun inklusif, tidak bisa <strong>di</strong>abaikanpengaruhnya dalam <strong><strong>di</strong>skursus</strong> dan praksis kebebasan beragama atau berkepercayaan.13


Mengikuti penjelasan teoritik dalam sosiologi bahwa tindakan <strong>manusia</strong> antara lain<strong>di</strong>pengaruhi oleh sistem makna yang <strong>di</strong>milikinya, maka persoalan kebebasanberagama atau berkepercayaan <strong>di</strong> Indonesia juga bisa <strong>di</strong>runut pada sistem makna yang<strong>di</strong>gunakan oleh masyarakat.3. Penjelasan Kata Kunci: Agama (Religion) dan Keyakinan (Belief)Pada bagian ini akan <strong>di</strong>jelaskan setidaknya dua kata kunci yang sering muncul dalampembahasan, yaitu: agama dan keyakinan. Dalam perbincangan sehari-hari, istilahagama lebih sering <strong>di</strong>gunakan daripada istilah keyakinan. Namun demikian, tidakberarti istilah agama mudah <strong>di</strong>definisikan. Istilah agama biasanya –untukmemudahkan pemahaman terhadap arti agama--<strong>di</strong>hubungkan dengan nama-namaagama yang sudah <strong>di</strong>kenal seperti Islam, Kristen, Hindu, Budha, Yahu<strong>di</strong>, danKonghucu. Tetapi dalam kajian ilmu-ilmu sosial, sosiologi, misalnya, pemahamanterhadap arti agama tidak sesederhana seperti pada perbincangan sehari-hari tersebut.Dalam sosiologi <strong>di</strong>bedakan antara pengertian agama secara eksklusif dan inklusif.Dalam pengertian yang inklusif, agama tidak hanya mencakup sistem-sistem yangteistik yang menekankan pada keyakinan pada hal-hal yang bersifat supranatural,tetapi juga berbagai sistem keyakinan nonteistik seperti komunisme, nasionalisme,atau humanism. Hal ini berbeda dengan pengertian eksklusif terhadap agama. Dalampengertian eksklusif, agama hanya <strong>di</strong>batasi pada sistem-sistem teistik, yakni yangmemiliki seperangkat keyakinan dan ritual. Elemen ini terorganisasikan secara sosialdan <strong>di</strong>berlakukan oleh anggota-anggota suatu masyarakat atau beberapa segmen suatumasyarakat. Dengan demikian, pemikiran-pemikiran priba<strong>di</strong> bukan merupakan agamasepanjang pemikiran itu bersifat priba<strong>di</strong> dan tidak termasuk dalam semacamkumpulan doktrin dan ritual yang lebih besar (pemikiran tersebut mungkin sajabersifat religious, tetapi tidak merupakan agama). Berdasarkan pada pengertianeksklusif ini, sistem-sistem nonteistik tidak <strong>di</strong>akui sebagai agama karena tidakmencakup dunia supranatural. Islam, Kristen, Hindu, Budha, Yahu<strong>di</strong>, merupakanagama dalam pengertian eksklusif. Sedangkan komunisme, humanisme, nasionalismetidak bisa <strong>di</strong>sebut sebagai agama (Stephen K. Sanderson, 1991). Dalam kontekskajian ini, pengertian agama yang <strong>di</strong>pilih adalah yang eksklusif.14


Bagaimana dengan istilah keyakinan? Dalam perbincangan sehari-hari, antara agamadan keyakinan sulit <strong>di</strong>bedakan sebab keyakinan merupakan elemen utama agama.Stround‘s Ju<strong>di</strong>cial Dictionary, seperti <strong>di</strong>kutip Natan Lerner (2000), mengemukakan:“The essential elements of religion are belief in and worship of God.” Di sini,perbedaan antara agama dan keyakinan menja<strong>di</strong> kabur. Tetapi jika mencermatirumusan Universal Declaration of Human Rights, keyakinan memerlukan pengertiantersen<strong>di</strong>ri sehingga dapat <strong>di</strong>temukan perbedaan dengan agama. Pada Pasal 18Universal Declaration of Human Rights terdapat rumusan sebagai berikut:Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion;this rights includes freedom to change his religion of belief (cetak tebaldari penulis), and freedom either alone or in community with others an<strong>di</strong>n public or private, to manifest his religion or belief (cetak tebal daripenulis)in teaching, practice, worship and observance.Pada Pasal 18 tersebut,Istilah ―keyakinan‖ dua kali mengikuti istilah ―agama‖.―Keyakinan‖, menurut Natan Lerner (2004) perlu <strong>di</strong>tafsirkan secara benar dalamkaitannya dengan istilah ―agama‖.Penyebutan istilah keyakinan setelah agama(religion or belief) pada Pasal 18 tersebut serta <strong>di</strong> beberapa instrumen HAM lainnya,tampaknya <strong>di</strong>maksudkan untuk memberikan penegasan bahwa <strong>di</strong> luar keyakinan yangmelekat pada agama (keyakinan teistik) , juga terdapat keyakinan nonteistik (sepertiateistik, agnostik, dan rasionalistik) yang perlu <strong>di</strong>akui dan <strong>di</strong>lindungi oleh instrumenHAM. Di Indonesia, keberadaan pengikut keyakinan nonteistik terutama yangberbentuk ateistik mungkin sulit <strong>di</strong>lacak keberadaannya. Tetapi keyakinan yangberbentuk apa yang <strong>di</strong>sebut dengan ―aliran kepercayaan‖, jauh melampaui jumlah―agama resmi‖ <strong>di</strong> Indonesia yang masih berkisar <strong>di</strong> angka enam (Islam, Katolik,Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu). Sejauh ini belum terdapat data yang pastimengenai jumlah ―aliran kepercayaan‖ tersebut. Buku, Menekuk Agama, MembangunTahta: Kebijakan Agama Orde Baru (2004), memperkirakan jumlah ―alirankepercayaan‖ sebanyak 100 hingga 300 kelompok. Sedangkan menurut perkiraanKontras, ―aliran kepercayaan‖ <strong>di</strong> Indonesia berjumlah sekitar 517 kelompok(http://kontras.org). Istilah kepercayaan (belief)—<strong>di</strong> samping agama (religion)—yang<strong>di</strong>gunakan dalam kajian ini mengacu pada kelompok-kelompok ―aliran kepercayaan‖yang tidak masuk dalam kategori agama. Kajian ini juga menggunakan pengertian―kepercayaan‖ yang <strong>di</strong>buat Lerner untuk memahami kelompok-kelompok keagamaan<strong>di</strong> luar arus utama (nonmainstream) terutama yang muncul dalam masyarakat Islam15


seperti Ahma<strong>di</strong>yah, Lia Aminu<strong>di</strong>n, al-Qiyadah al-Islamiyah, dan kelompok-kelompoklainnya.4. Diskursus HAM dan Kebebasan Beragamaatau Berkeyakinan <strong>di</strong> IndonesiaBagian ini menyajikan perkembangan perbincangan HAM <strong>di</strong> Indonesiayangmelibatkan juga pi<strong>hak</strong> Islam. Sebagai kelompok mayoritas, keterlibatan pi<strong>hak</strong> Islamperlu <strong>di</strong>pandang sebagai hal yang alamiah sebagaimana juga terja<strong>di</strong> pada kelompokmayoritas <strong>di</strong> negara-negara lain. Keadaan yang alamiah tersebut semakin memperolehpenegasan manakala juga mempertimbangkan ajaran Islam yang juga berkaitandengan HAM. Maka keterlibatan pi<strong>hak</strong> Islam terhadap perbincangan HAM <strong>di</strong>Indonesia bukan sebagai hal yang berlebihan jika mempertimbangkan posisisosiologis dan karakter ajaran Islam tersebut. Tetapi karena yang <strong>di</strong>ja<strong>di</strong>kan obyekperbincangan, yaitu HAM dan terutama lagi kebebasan beragama atau berkeyakinan,bukan sesuatu yang bersifat taken <strong>for</strong> granted, maka terja<strong>di</strong>nya keragaman <strong>di</strong>kalangan Islam sen<strong>di</strong>ri mustahil bisa <strong>di</strong>hindari.Dalam konteks perkembangan HAM <strong>di</strong> Indonesia, keterlibatan pi<strong>hak</strong> Islam <strong>di</strong>mulaiketika Indonesia sedang berada <strong>di</strong> awal-awal persiapan kemerdekan. Sebagaimanatelah <strong>di</strong>kupas dalam buku-buku sejarah, menjelang kemerdekaan Indonesia,pemerintah pendudukan Jepang membentuk Badan Penyeli<strong>di</strong>k Usaha PersiapanKemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Sesuai dengan namanya, badan ini melakukanpersiapan menjelang kemerdekaan Indonesia. Sejak <strong>di</strong>bentuknya BPUPKI perdebatantentang HAM yang akan menja<strong>di</strong> bagian penting konstitusi Indonesia, <strong>di</strong>mulai. Bukubukusejarah merekam perdebatan dua pi<strong>hak</strong> tentang pentingnya HAM dalamkonstitusi, yakni Supomo <strong>di</strong> satu pi<strong>hak</strong>, sedangkan <strong>di</strong> pi<strong>hak</strong> lain ada Hatta dan Moh.Yamin.Nama yang <strong>di</strong>sebut pertama mengajukan pandangan agar konstitusi yang <strong>di</strong>gunakansetelah kemerdekaan Indonesia perlu <strong>di</strong>bebaskan dari pasal-pasal yang berhubungandengan HAM. Dalam pembacaan Supomo, HAM lebih menekankan padain<strong>di</strong>vidualisme. Sementara negara Indonesia—setidaknya dalam bayangan Supomo—justru <strong>di</strong>dasarkan pada prinsip kekeluargaan atau integralisme. Dengan prinsip ini,in<strong>di</strong>vidualisme yang melekat pada HAM tidak memperoleh tempat sebab dapat16


memisahkan in<strong>di</strong>vidu dari negara. Negara Indonesia, tegas Supomo, harus bisamenjaga kesatuan secara totalistik antara rakyat (in<strong>di</strong>vidu) dengan negara. Denganpaham integralismenya tersebut, Supomo rupanya mengabaikan kemungkinan negaramelakukan praktik penindasan terhadap rakyat. Berbeda dengan Supomo, Hatta yang<strong>di</strong>dukung oleh Moh. Yamin, mengantisipasi munculnya kemungkinan negatiftersebut yang sengaja <strong>di</strong>abaikan oleh Supomo. Menurut Hatta dan Yamin, kekuasaannegara bisa terhindar dari praktik negatif bila konstitusi mampu memuat pasal-pasalyang memberi pengakuan terhadap <strong>hak</strong>-<strong>hak</strong> dasar rakyat Indonesia (JumlyAsshid<strong>di</strong>qie, 2005; Adnan Buyung Nasution, 2000).Kegigihan Hatta dan Yamin membuahkan kompromi. Satu hari setelah<strong>di</strong>proklamasikan kemerdekaan Indonesia (17 Agustus 1945), Indonesia memilikiUndang-Undang Dasar (UUD) 1945 hasil bentukan BPUPKI pada bulan Juli 1945.Pada UUD 1945 yang ter<strong>di</strong>ri dari 37 pasal ini, ada lima pasal yang memuat ketentuanmengenai HAM, yakni pasal 27, 28, 29, 30, dan 31. Pasal yang memuat pengakuanterhadap kebebasan beragama atau berkeyakinan terdapat pada pasal 29 yangberbunyi sebagai berikut: (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa; (2)Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanyamasing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.Diakomodasikannya HAM dalam UUD 1945 merupakan kemajuan yang signifikanjika <strong>di</strong>ban<strong>di</strong>ngkan dengan gagasan Supomo, apalagi setelah tiga tahun kemu<strong>di</strong>an,yakni pada 10 Desember 1948, PBB mengeluarkan Deklarasi Universal Hak-<strong>hak</strong>Asasi Manusia (DUHAM).Pada beberapa literatur, preferensi keagamaan yang mendasari perbincangan HAMmenjelang kemerdekaan Indonesia tersebut tidak pernah <strong>di</strong>ungkap sehingga juga tidakmudah menyebutkan bahwa Supomo <strong>di</strong> satu pi<strong>hak</strong>, serta Hatta dan Yamin <strong>di</strong> pi<strong>hak</strong>lain, merupakan representasi kelompok keagamaan tertentu <strong>di</strong> Indonesia, katakanlahIslam. Salah satu literatur yang dapat <strong>di</strong>ja<strong>di</strong>kan rujukan untuk mengetahuiketerlibatan Islam dalam percaturan politik nasional, setidaknya sampai padapersidangan Majelis Konstituante (1956-1959) adalah, Islam dan MasalahKenegaraan: Stu<strong>di</strong> tentang Percaturan dalam Konstituante (1987), yang <strong>di</strong>tulis olehAhmad Syafii Maarif. Pada buku ini, juga tidak <strong>di</strong>ungkap preferensi keagamaanyang <strong>di</strong>ja<strong>di</strong>kan acuan oleh Supomo, Hatta, dan Yamin. Maarif baru mengungkap17


preferensi keagamaan dalam perbincangan HAM dalam persidangan MajelisKonstituante. Selama persidangan <strong>di</strong> Majelis Konstituante, perbincangan <strong>di</strong> seputarHAM sebenarnya masih kalah alot dengan perbincangan tentang ideologi negara dansistem pemerintahan. Alotnya perbincangan terhadap kedua isu tersebut <strong>di</strong>tandaidengan terja<strong>di</strong>nya polarisasi ideologis peserta sidang <strong>di</strong> Majelis Konstituante dalamtiga kelompok, yaitu: nasionalis, Islamis, dan sosialis; yang pada akhirnyamengkristal menja<strong>di</strong> dua kelompok yang saling bertolak belakang: Islamis dansekularis (Ahmad Nur Fuad et.al, 2007). Kendati kalah alot jika <strong>di</strong>ban<strong>di</strong>ngkan denganperbincangan tentang ideologi dan sistem pemerintahan, perbincangan terhadap HAMselama persidangan Majelis Konstituante perlu <strong>di</strong>ja<strong>di</strong>kan bahan kajian, sebab seperti<strong>di</strong>kemukakan oleh Todung Mulya Lubis (2000), pemikiran Islam memberikankontribusi penting terhadap perkembangan (pemikiran) HAM <strong>di</strong> Indonesia.Bagaimana kalangan Islam merespons isu HAM selama persidanganMajelisKonstituante? Penelitian yang <strong>di</strong>lakukan oleh Maarif mengungkap satu nama yang<strong>di</strong>anggap menonjol memberikan respons terhadap isu HAM dari perspektif Islam,yaitu Hasbi Asshid<strong>di</strong>qie, politisi dari Masyumi. Asshid<strong>di</strong>qie, yang juga <strong>di</strong>kenalsebagai ahli hukum Islam, memandang pendasaran HAM dengan Islam merupakansuatu kewajaran karena al-Qur‘an dan Sunnah memberikan penjelasan yang lebihmemadai ketimbang penjelasan HAM <strong>di</strong> luar Islam. Dengan bersandar pada al-Qur‘an, tegas Asshid<strong>di</strong>qie, pemikiran HAM bisa terhindar dari keragaman danpertentangan sebagaimana yang terja<strong>di</strong> pada HAM <strong>di</strong> Barat karena hanya <strong>di</strong>dasarkanpada pemikiran filsafat yang <strong>di</strong>hasilkan dari pemikiran <strong>manusia</strong>. Asshid<strong>di</strong>qie tambahoptimis terhadap kemungkinan melakukan pendasaran tersebut setelah dalam al-Qur‘an <strong>di</strong>jumpai banyak ayat yang menegaskan kemulian <strong>manusia</strong>. Salah satu ayatal-Qur‘an yang <strong>di</strong>sebut oleh Asshid<strong>di</strong>qie terdapat dalam surat al-Isra‘ ayat 70: “Dansungguh Kami telah memuliakan anak-anak Adam dan Kami angkut mereka <strong>di</strong> dasardan <strong>di</strong> laut serta Kami anugerahi mereka rezeki yang baik-baik dan Kami lebihkanmereka dengan kelebihan yang sempurna daripada kebanyakan makhluk yang telahKami ciptakan.” Ayat ini menurut Asshid<strong>di</strong>qie membuktikan penghargaan Islamterhadap <strong>manusia</strong> secara universal tanpa membedakan latar belakang etnis, politik,agama, dan berbagai jenis perbedaan lainnya . Lebih jauh—berdasarkan surat al-Isra‘ayat 70—Asshid<strong>di</strong>qie menguraikan tiga kemuliaan yang <strong>di</strong>berikan Tuhan terhadap<strong>manusia</strong>, yaitu: (1) Kemuliaan priba<strong>di</strong> (karamah far<strong>di</strong>yah) yang meliputi aspek18


material dan spiritual; (2) Kemuliaan kolektif (karamah ijtima‟iyyah) bahwa<strong>manusia</strong>—apa pun latar belakangnya—memiliki derajat yang sama; (3) Kemuliaansecara politis (karamah siyasiyyah) yang berarti Islam memberi <strong>hak</strong> politik terhadapin<strong>di</strong>vidu untuk memilih atau <strong>di</strong>pilih pada posisi politik tertentu.Ketiga konsep kemuliaan yang merupakan elaborasi terhadap surat al-Isra‘ ayat 70,menurut Asshid<strong>di</strong>qie dapat <strong>di</strong>ja<strong>di</strong>kan pijakan untuk mengembangkan keterkaitanIslam dengan setidaknya lima aspek dalam HAM, yakni; Pertama, <strong>hak</strong> hidup dankeselamatan <strong>di</strong>ri, serta <strong>hak</strong> memperoleh perlindungan <strong>di</strong>ri, kehormatan dan harta.Sebagaimana ketika membicarakan kemuliaan <strong>manusia</strong>, kelima aspek HAM tersebutoleh Asshid<strong>di</strong>qie juga <strong>di</strong>carikan justifikasinya dalam al-Qur‘an. Dalil al-Qur‘an yang<strong>di</strong>ja<strong>di</strong>kan rujukan oleh Asshid<strong>di</strong>qie ketika menyebut <strong>hak</strong> yang pertama antara lainsurat al-Ma‘idah ayat 32: “…barangsiapa yang membunuh seorang <strong>manusia</strong> bukankarena orang itu membunuh orang lain atau bukan karena membuat kekacauan <strong>di</strong>muka bumi, maka seakan-akan <strong>di</strong>a telah membunuh <strong>manusia</strong> seluruhynya.”Kedua, <strong>hak</strong> merdeka beragama dan menganut suatu paham; Hak ini juga <strong>di</strong>dasarkanpada al-Qur‘an yakni surat Yunus ayat 99; “Dan sekiranya Tuhanmu menghendaki,tentulah beriman semua orang yang <strong>di</strong>muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu(hendak) memaksa <strong>manusia</strong> supaya mereka menja<strong>di</strong> orang-orang yang berimansemuanya?.” Ayat ini menurut Asshid<strong>di</strong>qie mengandung penegasan Islam terhadapprinsip kesukarelaan dalam beragama. Maka berdasarkan pada prinsip ini, tegasAsshid<strong>di</strong>qie, setiap orang wajib menghormati <strong>hak</strong> orang lain untuk menganut agamadan keyakinan yang <strong>di</strong>kehendakinya. Orang lain yang sudah memiliki agama jugatidak bisa <strong>di</strong>paksa untuk menganut agama seperti yang <strong>di</strong>peluknya. Untukmemperkuat pernyatannya ini, Asshid<strong>di</strong>qie mengutip al-Qur‘an surat al-Baqarah ayat256; “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelasjalan yang benar daripada jalan yang sesat…”Ketiga, <strong>hak</strong> kepemilikan terhadap harta benda. Hak ini oleh Asshid<strong>di</strong>qie <strong>di</strong>dasarkanpada al-Qur‘an surat an-Nisa‘ ayat 32: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apayang <strong>di</strong>karuniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yanglain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usa<strong>hak</strong>an, danbagi para wanita pun ada bagian dari apa yang mereka usa<strong>hak</strong>an, dan mohonlah19


kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahuisegala sesuatu.”Kendati Islam memberikan pengakuan terhadap kepemilikan,Asshi<strong>di</strong>qie mengingatkan terhadap adanya nilai sosial pada harta yang <strong>di</strong>miliki olehin<strong>di</strong>vidu sehingga seseorang yang memiliki kelebihan harta berkewajibanmen<strong>di</strong>stribusikan setidaknya secara proporsional terhadap orang lain yangberkekurangan.Keempat, <strong>hak</strong> memilih dan mendapat pekerjaan. Hak ini pun oleh Asshid<strong>di</strong>qie<strong>di</strong>dasarkan pada al-Qur‘an, yakni surat al-Mulk ayat 15: “Dialah yang menja<strong>di</strong>kanbumi itu mudah bagi kamu, maka berjalankah <strong>di</strong> segala penjurunya dan makanlahsebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah)<strong>di</strong>bangkitkan.”Kelima, <strong>hak</strong> kemerdekan berpikir, mengeluarkan pendapat, dan <strong>hak</strong> memperolehpengajaran serta pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan. Hak ini menurut Asshid<strong>di</strong>qie menja<strong>di</strong> petunjuk pentingbahwa Islam menghargai penggunaan akal pikiran agar orang terhindar dari sikapbertaklid buta. Asshid<strong>di</strong>qie menyebut dua dalil dalam al-Qur‘an untuk memperkuat<strong>hak</strong> yang kelima. Dalil pertama terdapat dalam surat al-A‘raf ayat 179: “Dansesungguhnya Kami ja<strong>di</strong>kan isi nereka Jahannam kebanyakan dari jin dan <strong>manusia</strong>,mereka mempunyai hati, tetapi tidak <strong>di</strong>pergunakannya untuk memahami (ayat-ayatAllah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak <strong>di</strong>pergunakannya untuk melihat(tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak<strong>di</strong>pergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatangternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” Dalilkedua adalah surat at-Taubah ayat 122; ” Tidak sepatutnya bagi orang-orang yangmu‟min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiapgolongan <strong>di</strong> antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuanmereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabilamereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga <strong>di</strong>rinya.”Mencermati pandangan Asshid<strong>di</strong>qie tersebut, penilaian Lubis bahwa Islammemberikan kontribusi terhadap perkembangan pemikiran HAM <strong>di</strong> Indonesia, tidakterlalu berlebihan. Pemikiran Asshid<strong>di</strong>qie –seperti yang <strong>di</strong>rekonstruksi oleh Maarif—sama sekali tidak memperlihatkan penolakan terhadap prinsip-prinsip universal HAM20


termasuk kebebasan beragama atau berkeyakinan. Terhadap masalah krusial dansensitif ini, Asshid<strong>di</strong>qie justru mengungkap secara elegan pandangan Islam yangmemberikan penguatan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan. Kesimpulanyang bisa <strong>di</strong>ambil dari pendapat Asshid<strong>di</strong>qie sebagai bahan kajian lebih lanjut adalah,dalam Islam sebenarnya terdapat skema ajaran yang dapat <strong>di</strong>ja<strong>di</strong>kan acuan untukmerapatkan hubungan Islam dengan HAM termasuk kebebasan beragama atauberkeyakinan. Tidak <strong>di</strong>pungkiri, isu mengenai HAM memberikan tantangan terhadapdunia Islam, sehingga tidak se<strong>di</strong>kit yang menolak. Meskipun demikian, isu mengenaiHAM terutama setalah menja<strong>di</strong> gagasn universal, menurut Mohammed Arkoun (Sua<strong>di</strong>Putro, 1998), membuka kesempatan emas bagi umat Islam untuk merevisi secarara<strong>di</strong>kal seluruh sistem pemikiran tra<strong>di</strong>sional menuju suatu sistem pemikiran baru yangdapat mendorong penghormatan terhadap HAM, tanpa memandang perbedaan agama,golongan, ras, bahasa, dan lain sebagainya. Dan apa yang <strong>di</strong>lakukan oleh Asshid<strong>di</strong>qiepada masa 1950-an itu ingin menunjukkan bahwa secara teologis Islam memberikanpenghormatan terhadap HAM.Selain Asshid<strong>di</strong>qie tentu masih banyak tokoh lain <strong>di</strong> kalangan Islam yang memilikipenafsiran konstruktif terhadap HAM. Setelah Indonesia melewati tahapanpersidangan Konstituante, HAM terus <strong>di</strong>perbincangkan oleh kalangan Islam.Perbincangan mengenai hubungan Islam dengan HAM seperti menemukan lahanyang subur pada saat perkembangan pemikiran Islam <strong>di</strong> Indonesia—hampir satu dasawarsa setelah persidangan <strong>di</strong> Majelis Kosntituante-- memasuki tahapan apa yang olehGreg Barton (1995) <strong>di</strong>sebut dengan neo-modernisme 8 . Tahapan ini merupakan8 Istilah neomodernisme berasal dari Fazlurrahman. Istilah ini <strong>di</strong>gunakan oleh Rahman untukmenjelaskan empat tahapan gerakan pembaruan Islam sejak akhir abad ke-18 sampai padadua abad berikutnya. Keempat tahapan yang <strong>di</strong>maksud Rahman adalah sebagai berikut: (1)Gerakan Revivalis. Gerakan ini muncul <strong>di</strong> akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 (yaitugerakan Wahibiyah <strong>di</strong> Arab, Sanusiyah <strong>di</strong> Afrika Utara dan Fulaniyah <strong>di</strong> Afrika Barat); (2)Gerakan Modernis. Di In<strong>di</strong>a gerakan ini <strong>di</strong>pelopori oleh Sayyid Ahmad Khan. Sedangkan <strong>di</strong>Mesir <strong>di</strong>pelopori oleh Jamalud<strong>di</strong>n al-Afghani, Muhammad Abdud, dan Rasyid Ridha; (3)Gerakan Neo-Revivalisme. Yang sering <strong>di</strong>sebut sebagai eksemplar gerakan ini adalahMaudu<strong>di</strong> <strong>di</strong> Pakistan; dan (4) Neo-Modernisme. Fazlurrahman menyebut <strong>di</strong>rinya sebagaibagian dari gerakan neo-modernisme Islam. Kategori Rahman bisa <strong>di</strong>ban<strong>di</strong>ngkan dengankategori dari Mark R Woodward (2001) yang membagi pemikiran Islam dalam limakelompok sebagai berikut: (1)Inginized Islam, yakni sebuah ekspresi keislaman nyang bersifatlokal. Secara <strong>for</strong>mal mereka mengakui sebagai pemeluk Islam. Tetapi keislaman (secara<strong>for</strong>mal) tersebut tidak <strong>di</strong>sertai dengan komitmen melaksanakan ajaran Islam, bahkan merekalebih memilih ritual yang <strong>di</strong>dasarkan pada kepercayaan lokal; (2) Kelompok Islam tra<strong>di</strong>sional.Kelompok ini memilih pendekatan akomodatif terhadap kepercayaan lokal selama tidak21


tahapan penting dalam sejarah intelektualisme Islam <strong>di</strong> Indonesia. Fachry Ali danBahtiar Effendy (1986) merekam dengan lengkap terja<strong>di</strong>nya proliferasi pemikiranIslam pada tahapan ini lewat penelitian yang bertajuk, Merambah jalan Baru Islam:Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru (1986). Salah satu isupenting –selain demokrasi--yang mendapat respons dari intelektual Muslim padatahapan ini menurut penelitian yang <strong>di</strong>lakukan Masykuri Ab<strong>di</strong>llah (1999) adalahHAM. Hal menarik yang <strong>di</strong>paparkan oleh Ab<strong>di</strong>llah, ternyata respons kalanganintelektual Muslim terhadap HAM lebih terbuka <strong>di</strong>ban<strong>di</strong>ngkan dengan demokrasi.Masykuri Ab<strong>di</strong>llah menilai, perbedaan tersebut merupakan hal yang wajar bilamempertimbangkan kedekatan demokrasi dan HAM dalam Islam. Diban<strong>di</strong>ngkandengan demokrasi, jelas Masykuri Ab<strong>di</strong>llah, HAM lebih mudah <strong>di</strong>kenal karenamemiliki kesamaan dari sisi bahasa. Dalam bahasa Arab sudah lama <strong>di</strong>kenal istilahhaq 9 yang <strong>di</strong>terjemahkan menja<strong>di</strong> <strong>hak</strong>, sementara demokrasi tidak saja <strong>di</strong>pandangsebagai kosa kata baru, melainkan juga dari Barat.Tetapi, lebih dari sekedar perbedaan bahasa, dalam tra<strong>di</strong>si keilmuan Islam, kata haq(<strong>hak</strong>) memang lebih awal memperoleh elaborasi <strong>di</strong>ban<strong>di</strong>ngkan dengan demokrasi.Bagi yang menekuni keilmuan klasik Islam, akan menemukan kategori konsep <strong>hak</strong>seperti:<strong>hak</strong>-<strong>hak</strong> Allah (huququllah) , <strong>hak</strong>-<strong>hak</strong> <strong>manusia</strong> atau <strong>hak</strong>-<strong>hak</strong> perorangan(huququl „ibad/huququnnas), dan <strong>hak</strong> bersama antara Allah dan <strong>manusia</strong> (OzlemDenli Harvey, 2000; Ebrahem Moosa, www.jhfc. duke.edu.) Huququllah adalahsegala <strong>hak</strong> dan kewajiban yang <strong>di</strong>perintahkan melalui wahyu dan ajaran keagamaan.Hak Allah tersebut dapat berupa kewajiban berupa perintah yang berwujud dalambentuk kewajiban ritual, atau <strong>hak</strong>-<strong>hak</strong> Allah itu dapat berupa beragam kegiatan yangbermanfaat bagi masyarakat luas. Berbagai kewajiban yang terdapat dalam rukunIslam berupa pengucapan dua kalimat syahadat, melaksanakan shalat, membayarbertentangan dengan Islam. Nahdlatul Ulama (NU) sering <strong>di</strong>ja<strong>di</strong>kan contoh sebagai kelompokIslam terutama karena sikap akomodatif terhadap pelbagai bentuk tra<strong>di</strong>si lokal; (3) Islammodernis. Muhamma<strong>di</strong>yah sering <strong>di</strong>ja<strong>di</strong>kan contoh dalam kelompok ini. Islam modernismemiliki cirri cenderung mengakomodasi ide-ide modern daripada ide-ide tra<strong>di</strong>sional; (4)Islamisme. Penamaan ini merupakan sebutan lain dari fundamentalisme atau ra<strong>di</strong>kalisme; dan(5) Neo-modernisme Islam. Kelompok ini melakukan kritik terhadap paham keislaman yangsudah mapan. Mereka biasanya menolak terhadap segala bentuk <strong>for</strong>malisasi ajaran Islam.9 Kata ini, menurut Ali Yafie (1994), memiliki pengertian antara lain kebenaran; yangsesungguhya ada; yang benar; kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntutsesuatu; kewenangan untuk berbuat sesuatu (karena telah <strong>di</strong>tentukan oleh aturan, undangundangdan sebagainya). Juga berarti milik; kepunyaan. Dalam bahasa aslinya, mengandungjuga arti kea<strong>di</strong>lan; keyakinan; kewajaran; bagian; maut; keputusan; dan kepastian.22


zakat, melaksanakan puasa dan menunaikan ibadah haji dapat <strong>di</strong>pandang sebagaimemenuhi <strong>hak</strong>-<strong>hak</strong> Allah. Berbagai pelayanan yang dapat melindungi masyarakat darikerusakan dan menganjurkan beragam kebaikan dalam pengertian yang lebih luasdapat juga <strong>di</strong>masukkan dalam kategori <strong>hak</strong>-<strong>hak</strong> Allah.Hak-<strong>hak</strong> perorangan merupakan dunia yang secara jelas menegaskan—sekulermaupun sipil—yang ada dalam perintah dan pertimbangan mereka . Hak-<strong>hak</strong> itu adapada setiap kepentingan perseorangan dan kelompok. Hak-<strong>hak</strong> serupa itu sangatumum, seperti <strong>hak</strong> mendapatkan kesehatan, <strong>hak</strong> memiliki anak, <strong>hak</strong> mendapatkeselematan, atau <strong>hak</strong>-<strong>hak</strong> itu juga bisa menja<strong>di</strong> lebih khusus seperti perlindunganterhadap pemilikan harta atau <strong>hak</strong> untuk melakukan transaksi jual beli dalamperdagangan.Hak bersama berasal dari perintah dan ajaran agama maupun pemikiran <strong>manusia</strong>lainnya. Contoh dari <strong>hak</strong> bersama antara Tuhan dan <strong>manusia</strong> ini dapat <strong>di</strong>lihat padaadanya keharusan untuk memperlakukan masa tunggu (‗iddah) bagi perempuan yangbercerai hidup atau mati selama tiga kali menstruasi guna memeriksa apakahperempuan itu sedang hamil atau tidak. Logikanya adalah bahwa Allah menetapkanbahwa garis keturunan seseorang dengan bapak hanya dapat <strong>di</strong>peroleh dalamperkawinan yang sah dan perintah untuk pemeriksaan kehamilan harus <strong>di</strong>lakukanterhadap perempuan yang <strong>di</strong>ceraikan atau janda tersebut sebagai masa tunggusebelum <strong>di</strong>a boleh melaksanakan perkawinan baru.Dengan adanya istilah haq beserta elaborasinya yang kemu<strong>di</strong>an dalam tra<strong>di</strong>sikeilmuan Islam berkembang konsep huququl „ibad/huququnnas <strong>di</strong> sampinghuququllah, dan <strong>hak</strong> bersama (Allah dan <strong>manusia</strong>) menandakan bahwa HAM telahlama mendapat perhatian Islam. Kenyataan ini bisa <strong>di</strong>ja<strong>di</strong>kan acuan untuk menepispandangan yang terlalu berlebihan (over generalization) bahwa Islam secara in totummerupakan agama yang tidak mungkin bisa <strong>di</strong>ja<strong>di</strong>kan sebagai dasar kultural bagiimpelementasi prinsip-prinsip universal HAM. Salah seorang ahli yang berpandangandemikian adalah Samuel P. Huntington. Huntington <strong>di</strong>kenal sebagai penganut teorirelativisme kultural yang menolak pandangan universalisme HAM. Menurut pencetustesis the clash of civilization ini HAM merupakan produk (budaya) Barat, oleh karenaitu tidak mungkin cocok dengan budaya non-Barat.Bagi Huntington, upaya23


memromosikan gagasan universal HAM oleh pi<strong>hak</strong> Barat merupakan hal yang tidakproduktif (counterproductive). Terkait dengan upaya <strong>di</strong>seminasi HAM terhadapIslam, Huntington bahkan memiliki pendapat yang mengerikan. Menurutnya,<strong>di</strong>seminasi HAM terhadap Islam justru bisa menja<strong>di</strong> faktor munculnya gerakanfundamentalisme Islam (Ann Elizabeth Meyer, 1994). Mayer menolak pandangannegatif Huntington ini. Menurut Mayer, fundamentalisme Islam merupakan fenomenayang komplek (a complex phenomenon) sehingga kalau hanya <strong>di</strong>kaitkan dengan isuHAM, secara kronologis tidak bisa <strong>di</strong>benarkan.Dalam <strong><strong>di</strong>skursus</strong> HAM kontemporer, Huntington bisa <strong>di</strong>sebut sebagai penganut theadversarial perspective yang cenderung mempertentangkan antara Islam denganHAM. Perspektif ini menurut Mashood A. Bederin (2007) tidak bisa membantu upaya<strong>di</strong>seminasi HAM dalam suatu masyarakat yang memiliki pelbagai keragaman budaya.Dalam konteks masyarakat Islam, Baderin lebih memilih the harmonic perpectivekarena lebih membantu dalam menggunakan Islam sebagai wahana untukmemromosikan HAM. Bagi Baderin, the harmonic perspective berpeluang besar<strong>di</strong>kembangkan lantaran Islam memiliki potensi, baik secara teologis maupunkeilmuan yang <strong>di</strong>tunjukkan oleh beberapa dalil al-Qur‘an dan konsep dasar yangberkaitan dengan HAM sebagaimana telah <strong>di</strong>kemukakan pada paragraf-paragrafsebelumnya. Pada bagian ini perlu <strong>di</strong>tambahkan bagaimana konsep dasar huququnnas<strong>di</strong>elaborasi dalam keilmuan fiqh untuk memperkuat argumen keharmonisan antaraIslam dan HAM seperti <strong>di</strong>kemukakan Baderin. Sengaja fiqh <strong>di</strong>kemukakan <strong>di</strong> bagianini karena mempertimbangkan popularitasnya dalam lembaga pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan Islamtermasuk <strong>di</strong> Indonesia. Pada salah satu cabang keilmuan Islam ini terdapatpembahasan yang <strong>di</strong>sebut maqasid al-syariah (tujuan syariah). Satria Effen<strong>di</strong> (2005)memahami maqasid al-syariah sebagai tujuan Allah dan Rasul-Nya dalammerumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan ini dapat <strong>di</strong>telusuri dalam al-Qur‘an danSunnah Rasulullah sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasikepada kemaslahatan umat <strong>manusia</strong>. Di kalangan ahli hukum Islam terdapat pendapatyang sudah begitu populer tentang tujuan hukum atau syariat Allah, yakni untukmemelihara kemaslahatan <strong>manusia</strong> sekaligus untuk menghindari mafsadat, baik <strong>di</strong>dunia maupun <strong>di</strong> akhirat (Fathurrahman Djamil, 1995). Untuk menetapkankemaslahatan dan menghindari mafsadat tersebut, ada lima hal pokok yang harusmendapatkan pertimbangan, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kelima24


hal pokok ini juga <strong>di</strong>sebut sebagai inti tujuan syariat Islam. Dengan kata lain, tujuansyariat Islam <strong>di</strong>maksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap agama, jiwa,akal, keturunan, dan harta. Seorang Muslim yang <strong>di</strong>sebut sebagai mukallaf (orangyang berkewajiban melaksanakan ketentuan Allah) dapat memperoleh kemaslahatan,dan bisa terhindari dari mafsadat, bila mampu memelihara kelima hal pokok tersebut.Kelima hal pokok dalam maqasid al-syariah tersebut selalu <strong>di</strong>ja<strong>di</strong>kan bahanpertimbangan oleh intelektual Muslim ketika mengembangkan konsep HAM daripersepektif Islam. Terkait dengan isu kebebasan beragama atau berkeyakinan, <strong>di</strong>antara kelima hal pokok maqâsid al-syarâ‟ah yang sering <strong>di</strong>ja<strong>di</strong>kan acuan adalahperlindungan terhadap agama. Hal yang menarik ketika konsep perlindungan terhadapagama (hifdz al-dîn) dengan isu kebebasan beragam dan berkeyakinan, intelektualMuslim memiliki pandangan terbuka. Sebut saja misalnya pandangan Masdar F.Mas‘u<strong>di</strong>. Pada salah satu tulisannya, Hak Azasi Manusia dalam Islam (2000), Mas‘u<strong>di</strong>mengatakan, prinsip kebebasan berkeyakinan merupakan bagian dari perlindunganterhadap agama. Oleh karena itu, tegas Mas‘u<strong>di</strong>, tidak <strong>di</strong>perbolehkan ada pemaksaandalam memeluk agama. Sebagai kelanjutan dari pandangannya ini, Mas‘u<strong>di</strong> kemu<strong>di</strong>anmengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap peraturan hukum Islam yang memberisanksi keras terhadap orang yang pindah agama (riddah). Mas‘u<strong>di</strong> memberikan alasansebagai berikut:Pada mulanya riddah merupakan <strong>hak</strong> bagi setiap orang karena dalamal-Qur‘an <strong>di</strong>katakan:”barangsiapa yang mau beriman, makaberimanlah dan barang siapa mau kufur maka kufurlah.” Pilihan imanatau kufur ini semuanya merupakan pilihan in<strong>di</strong>vidual. Begitu shalat,sesungguhnya tidak ada hukuman bagi orang yang meninggalkanshalat. Tetapi lama kelamaan penguasa (dalam sejarah Islam, pen)mengaku sebagai perwujudan dari Allah. Oleh karena itu, <strong>hak</strong> Allahkemu<strong>di</strong>an <strong>di</strong>ambil alih oleh <strong>di</strong>rinya (negara) dan negara kemu<strong>di</strong>anmencoba menegakkan <strong>hak</strong>-<strong>hak</strong> Allah pada <strong>manusia</strong>. Dengan demikian,shalat yang ta<strong>di</strong>nya sebenarnya merupakan urusan priba<strong>di</strong> yangbersangkutan dengan Allah, kemu<strong>di</strong>an menja<strong>di</strong> urusan seseorangdengan sultan, sehingga sultan ber<strong>hak</strong> menghukum orang yang tidakshalat. Begitu pula orang yang murtad atau pindah agama, sebenarnyahal itu merupakan <strong>hak</strong> yang bersangkutan yang berkaitan dengan <strong>hak</strong>Allah untuk yakin dan tidak yakin pada agama tertentu. Artinya,urusan riddah ini merupakan urusan priba<strong>di</strong> yang bersangkutandengan Allah. Tapi kemu<strong>di</strong>an <strong>hak</strong> Allah <strong>di</strong>ambil alih oleh kekuasaan,sehingga penguasa memfungsikan <strong>di</strong>ri sebagai Allah dan memaksakan25


orang serta memberikan sanksi bagi orang yang riddah melakukanperpindahan kepercayaan.Selain Mas‘u<strong>di</strong>, intelektual Muslim berikutnya yang berpandangan terbuka dalammemahami konsep perlindungan agama adalah Jalalud<strong>di</strong>n Rakhmat (1993). Sepertihalnya Mas‘u<strong>di</strong>, Rakhmat juga memasukkan ―doktrin tidak ada paksaan‖ sebagaicakupan penting dari konsep perlindungan terhadap agama. Dengan adanya doktrintersebut, agama, tegas Rakhmat, harus <strong>di</strong>lindungi dari setiap tindakan agresif.Rakhmat menyebut empat jenis kebebasan beragama yang <strong>di</strong>tetapkan Islam yangharus <strong>di</strong>lindungi dari tindakan agresif, yakni: (1) Kebebasan memilih agama; (2)Kebebasan memeluk agama (3) Kebebasan menyembunyikan agama; (4) Kebebasanmenampakkan agama.Pada bagian ini perlu <strong>di</strong>sebut juga pemikiran M. Dawam Rahardjo. Sebagaiintelektual Muslim, Rahardjo memiliki pemikiran dengan spektrum yang begitu luas.Salah satu yang menja<strong>di</strong> kepedulian intelektual Rahardjo adalah pluralisme agamaatau kemajemukan agama. Terhadap masalah tersebut yang juga bersentuhan denganisu kebebasan beragama atau berkeyakinan, Rahardjo memiliki pandangan yang tegas(firm). Ketegasan Rahardjo antara lain dapat <strong>di</strong>cermati pada artikelnya, D<strong>asasi</strong>laKebebasan Beragama, yang <strong>di</strong>muat dalam situs Jaringan Islam Liberal (JIL),www.islamlib.com. Dalam artikel tersebut, Rahardjo dengan tegas mengatakan bahwaagama merupakan persoalan in<strong>di</strong>vidu yang tidak boleh <strong>di</strong>intervensi oleh otoritasmanapun baik negara maupun institusi keagaman tertentu. Untuk memperkuatargumennya ini, Rahardjo merujuk pada prinsip lâ rahbâniyyah fil Islâm (tidak adaotoritas keagamaan dalam Islam). Sebab, bagi Rahardjo, otoritas keagamaan selalucenderung pada pengurangan kebebasan beragama. Padahal iman tidak bisa<strong>di</strong>paksakan oleh otoritas apa pun sebagaimana juga <strong>di</strong>tekankan oleh prinsip lâ ikrâhafid dîn (tidak ada paksaan dalam agama).Mencermati pemikiran Mas‘u<strong>di</strong>, Rakhmat, Rahardjo, <strong>di</strong> atas, tampaknya tidak jauhberbeda dengan pemikiran Nurcholish Madjid, seorang intelektual Muslim yangseharusnya paling banyak <strong>di</strong>sebut ketika membicarakan perkembanganneomodernisme Islam <strong>di</strong> Indonesia. Pemikiran Madjid juga memiliki spektrum yangbegitu luas. Nyaris tidak ada tema keislaman penting yang tidak memperolehsentuhan analisisnya yang mendalam. Madjid juga memiliki kepedulian terhadap isu26


kebebasan beragama atau berkeyakinan. Sebagaimana lazimnya cara berpikirintelektual Muslim lainnya, Madjid juga merujuk pada al-Qur‘an ketikamembicarakan kebebasan beragama atau berkeyakinan. Inti pandangan Madjidsebagaimana juga <strong>di</strong>kemukakan Mas‘u<strong>di</strong>, Rakhmat, Rahardjo, dan Mulia, adalahIslam dapat <strong>di</strong>ja<strong>di</strong>kan sebagai landasan teologis bagi kebebasan beragama atauberkeyakinan.Cara yang <strong>di</strong>gunakan oleh Madjid pada saat membicarakan kebebasan beragama atauberkeyakinan berdasarkan perspektif Islam, pertama-tama dengan memahami ruhajaran Islam. Menurut Madjid, seperti <strong>di</strong>kemukakan pada bagian pengantar bukukumpulan tulisannya, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentangMasalah Keimanan, Ke<strong>manusia</strong>an, dan Kemoderenan (1992), ruh atau semangatajaran Islam—setelah Ketuhanan (habl min-Allah)—adalah ke<strong>manusia</strong>an (habl minal-nas). Menurut Madjid, dengan memberikan penekanan pada spek ke<strong>manusia</strong>an,Islam ingin memberikan suatu penyadaran bahwa pada <strong>hak</strong>ikatnya kehidupan<strong>manusia</strong> <strong>di</strong>cirikan dengan pelbagai aspek kemajemukan. Kemajemukan ini, tegasMadjid, tidak bisa <strong>di</strong>tolak dan <strong>di</strong>hindari oleh <strong>manusia</strong> karena telah menja<strong>di</strong> desainbesar ciptaan Allah. Pandangan Madjid yang begitu afirmatif terhadap kemajemukan<strong>di</strong>dasarkan pada al-Qur‘an surat al-Hud ayat 118-119. Menurut Madjid, firman Allahini memberikan suatu penegasan terhadap fakta kemajemukan yang tidak bisa<strong>di</strong>bantah oleh <strong>manusia</strong>. “Ja<strong>di</strong> tidak ada masyarakat yang tunggal, monolitik, samadan sebangun dalam segi,” demikian <strong>di</strong>katakan Madjid dalam bukunya, Islam AgamaKe<strong>manusia</strong>an: Membangun Tra<strong>di</strong>si dan Visi Baru Islam Indonesia (1995), Madjidmenegaskan Oleh karena itu, jelas lebih lanjut Madjid, <strong>manusia</strong> hanya memiliki satupilihan, yakni mengelola kemajemukan tersebut berdasarkan prinsip pluralisme. BagiMadjid, pluralisme tidak perlu <strong>di</strong>pandang sebagai paham yang bertentangan denganIslam karena <strong>di</strong>pertemukan dengan pandangan yang sama ketika meresponi masalahkemajemukan. Sebagai kelanjutan dari semangat ke<strong>manusia</strong>an, menurut Madjid,Islam—<strong>di</strong> samping memberikan afirmasi terhadap kemajemukan kehidupan<strong>manusia</strong>—memberikan kebebasan terhadap tiap-tiap kelompok untuk bereksistensidan menempuh hidup sesuai dengan keyakinannya. Pandangan Islam yang demikian,menurut Madjid, pararel dengan pluralisme. Di bawah ini <strong>di</strong>kutipkan pernyataanMadjid yang <strong>di</strong>kemukakan dalam, Islam Doktrin dan Peradaban:27


…Jika dalam Kitab Suci <strong>di</strong>sebutkan bahwa <strong>manusia</strong> <strong>di</strong>ciptakanberbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal danmenghargai—(Q., 49:13), maka pluralitas itu meningkat menja<strong>di</strong>pluralisme, yaitu suatu sistem nilai yang memandang secara positifoptimisterhadap kemajemukan itu sen<strong>di</strong>ri, dengan menerimanyasebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin berdasar kenyataan itu.Dalam Kitab Suci juga <strong>di</strong>sebutkan bahwa perbedaan antara <strong>manusia</strong>dalam bahasa dan warna kulit harus <strong>di</strong>terima sebagai kenyataan yangpositif, yang merupakan salah satu tanda-tanda kebesaran Allah—(Q.,30:32). Juga terdapat penegasan dalam Kitab Suci tentangkemajemukan dalam pandangan dan cara hidup antara <strong>manusia</strong> yangtidak perlu <strong>di</strong>gusarkan, dan hendaknya <strong>di</strong>pakai sebagai pangkal tolakberloma-lomba menuju berbagai kebaikan, dan bahwa Tuhanlah yangakan menerangkan mengapa <strong>manusia</strong> berbeda-beda, nanti ketikakembali kepada-Nya—(Q., 5: 48).Pandangan Islam yang bernada inklusif dan pararel dengan pluralisme tersebut, dalampandangan Madjid, selanjutnya dapat <strong>di</strong>ja<strong>di</strong>kan legitimasi bagi terjaminnya kebebasanberagama atau berkeyakinan. Madjid seperti tidakmemiliki beban pada saatmengaitkan kebebasan beragama atau berkeyakinan dengan Islam, sekalipun isutersebut <strong>di</strong>akui berkaitan dengan hal-hal yang cukup rumit serta bersentuhan dengansegi-segi paling emosional. Bagi Madjid, membicarakan kebebasan beragama atauberkeyakinan berdasarkan perspektif Islam seharusnya <strong>di</strong>pandang sebagai hal yangwajar karena—sebagai kelanjutan pengakuan Islam terhadap kemajemukan—al-Qur‘an secara elegan memberikan jaminan terhadap isu tersebut. Karena al-Qur‘anmemberikan jaminan, Madjid menegaskan, umat Islam <strong>di</strong>tuntut memiliki kedewasaandalam menyikapi isu kebebasan beragama atau berkeyakinan. Berikut pernyataanMadjid seperti <strong>di</strong>kemukakan dalam buku, Cita-cita Politik Islam Era Re<strong>for</strong>masi(1999):Prinsip kebebasan beragama ini menyangkut hal-hal yang cukup rumit,karena berkaitan dengan segi-segi emosional dan perasaan mendalamkehidupan kita. Pelaksanaan prinsip kebebasan beragama akanberjalan dengan baik jika masing-masing kita mampu mencegahkemenangan emosi atas pertimbangan akal yang sehat. Dankemampuan itu menyangkut tingkat kedewasaan tertentu sertakemantapan kepada <strong>di</strong>ri sen<strong>di</strong>ri, baik pada tingkat in<strong>di</strong>vidual maupunpada tingkat kolektif. Dalam al-Qur‘an, prinsip kebebasan beragamaitu dengan tegas <strong>di</strong>hubungkan dengan sikap tanpa emosi,pertimbangan akal sehat dan kemantapan kepada <strong>di</strong>ri sen<strong>di</strong>ri tersebut,karena percaya akan adanya kejelasan kriterium mana yang benar danmana yang palsu: ―Tidak ada paksaan dalam agama; sungguh telahjelas (perbedaan) kebenaran dari kepalsuan. Karena itu, barangsiapamenolak tirani (al-taghut) dan percaya kepada Tuhan, makasebenarnya ia telah berpegangan kepada tali yang amat kuat dan tidak28


akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.‖ (Q.s. al-Baqarah/2: 156).Karena al-Qur‘an—dalam pemahaman Madjid—begitu terbuka terhadap beberapa isuyang berkaitan dengan HAM, maka pada tataran empirik, <strong>di</strong>perlukan keterbukaanpula terhadap HAM yang telah menja<strong>di</strong> gagasan universal bagi <strong>manusia</strong> sejagad(Deklarasi Universal Hak-<strong>hak</strong> Asasi Manusia PBB) . Dibeberapa buku yang <strong>di</strong>tulis,Madjid sepertinya tidak ingin mempertentangkan HAMberdasarkan preferensibudaya tertentu, katakanlah masyarakat Islam dan Indonesia, seperti lazimnyakalangan relativis kultural. Dalam buku, Islam Agama Ke<strong>manusia</strong>an, misalnya,Madjid membuat penegasan menarik bahwa Deklarasi Universal Hak-<strong>hak</strong> AsasiManusia yang <strong>di</strong>buat PBB merupakan rujukan paling baku bila membicarakan <strong>hak</strong><strong>hak</strong><strong>asasi</strong> <strong>manusia</strong>.Sampai pada pemikiran Madjid, hubungan antara Islam dan HAM beserta salah satuderivasinya, kebebasan beragama atau berkeyakinan, seperti tidak ada pertentangan.Tetapi untuk kepentingan mengetahui lebih lengkap peta perbincangan mengenaihubungan antara Islam dan HAM, maka perlu <strong>di</strong>cermati juga pandangan yang bernadasebaliknya. Di Indonesia, penolakan terhadap HAM <strong>di</strong>kemukakan secara terbuka olehkelompok keagamaan dalam masyarakat Islam yang bisa <strong>di</strong>sebut beraliran keras(hardliner). Di antara beberapa kelompok keagamaan hardliner yang bisa <strong>di</strong>sebutmisalnya Hizbut Tahrir Indonesis (HTI). HTI menolak dengan tegas terhadap HAMyang lahir dari rahim demokrasi. HTI memang <strong>di</strong>kenal sebagai kelompok keagamaanyang menolak demokrasi dengan tegas. Maka semua pemikiran yang merupakanderivasi dari demokrasi seperti kebebasan juga <strong>di</strong>tolak oleh HTI. Salah satu bukuyang selalu <strong>di</strong>ja<strong>di</strong>kan rujukan oleh aktivis HTI untuk menolak demokrasi beserta tematurunannya seperti kebebasan adalah, Demokrasi Sistem Kufur: Haram Mengambil,Menerapkan, dan Menyebarluaskannya (2003), yang <strong>di</strong>tulis oleh Abdul Qa<strong>di</strong>mZallum, salah seorang tokoh Hizbut Tahrir internasional. Dalam buku ini, Zallumdengan tegas menolak demokrasi karena berasal dari budaya Barat. Bagi Zallum,demokrasi yang <strong>di</strong>jajakan Barat merupakan sistem kufur, tidak ada hubungannyadengan Islam, baik secara langsung maupun tidak langsung. Wajar apabila Zallumsampai pada kesimpulan seperti itu, karena Zallum memiliki pandangan terhadapdemokrasi seperti <strong>di</strong> bawah ini.29


Pertama, demokrasi merupakan bagian dari produk akal <strong>manusia</strong>,bukan berasal dari Allah swt. Demokrasi tidak <strong>di</strong>sandarkan samasekali pada wahyu Allah dan tidak memiliki hubungan sama sekalidengan agama manapun yang pernah <strong>di</strong>turunkan Allah kepada paraRasūl-Nya.Kedua, demokrasi lahir dari aqidah pemisahan agama dari kehidupanyang selanjutnya melahirkan pemisahan agama dari negara.Ketiga, demokrasi <strong>di</strong>landaskan pada dua ide: (1) kedaulatan <strong>di</strong> tanganrakyat; (2) rakyat merupakan sumber kekuasaan.Keempat, demokrasi adalah sistem pemerintahan mayoritas. Pemilihanpenguasa dan anggota dewan perwakilan <strong>di</strong>selenggarakan berdasarkansuara mayoritas para pemilih. Semua keputusan dalam lembagalembagatersebut juga <strong>di</strong>ambil berdasarkan pendapat mayoritas.Kelima, demokrasi menyatakan adannya empat macam kebebasanyang bersifat umum, yaitu (1) kebebasan beragama (freedom ofreligius); (2) kebebasan berpendapat (freedom of speech); (3)kebebasan kepemilikan (freedom of ownership); (4) kebebasanberprilaku (personal freedom).Dengan pemahaman seperti <strong>di</strong> atas, sudah cukup bagi Zallum memberikan label kufurkepada demokrasi. Sebagai sistem kufur, implikasi hukumnya menurut Zallum jelas.Zallum mengatakan, kaum muslim <strong>di</strong>haramkan mengambil sistem pemerintahandemokrasi sebagaimana haramnya mengadopsi sistem ekonomi kapitalisme. Untukmemperkuat pendapatnya itu, Zallum mengungkap beberapa sisi dalam demokrasiyang <strong>di</strong>pandang bertolak belakang dengan Islam. Yang pertama adalah konsepdemokrasi bahwa kedaulatan ada <strong>di</strong> tangan rakyat. Dalam pandangan Zallum, konsepini bertolak belakang dengan Islam yang memiliki pandangan kedaulatan ada <strong>di</strong>tangan (pembuat) syariat, bukan <strong>di</strong> tangan umat. Umat secara keseluruhan tidak<strong>di</strong>perbolehkan membuat hukum, meskipun hanya satu hukum. Zallum kemu<strong>di</strong>anmemberikan ilustrasi sebagai berikut:Umat secara keseluruhan tidak ber<strong>hak</strong> membuat hukum, walaupunhanya satu hukum. Sekiranya seluruh umat Islam berkumpul, lalumereka menyepakati berbagai hal yang bertentangan dengan Islam—seperti membolehkan riba dalam rangka meningkatkan kon<strong>di</strong>siperekonomian; membolehkan adanya lokalisasi perzinaan dengandalih agar zina tidak menyebar luas <strong>di</strong> tengah masyarakat; menghapuskepemilikan in<strong>di</strong>vidu; menghapus puasa ramadan agar dapatmeningkatkan produktivitas kerja; atau mengadopsi ide kebebasanin<strong>di</strong>vidu yang memberikan kebebasan kepada seorang muslim untuk30


meyakini aqidah apa saja yang <strong>di</strong>inginkannya, memberikan <strong>hak</strong>kepadanya untuk mengembangkan hartanya dengan segala cara(meskipun haram), memberikan kebebasan berperilaku kepadanyauntuk menikmati hidup sesuka hatinya seperti menenggak khamar danberzina—maka seluruh kesepakatan ini tidak ada artinya. Bahkan,dalam pandangan Islam, seluruh kesepakatan ini tidak ada nilai samasekali, walaupun jika <strong>di</strong>ban<strong>di</strong>ngkan dengan harga sehelai sayapnyamuk. Jika ada sekelompok kaum muslim yang menyepakati hal-haltersebut, maka mereka wajib <strong>di</strong>perangi sampai mereka melepaskan<strong>di</strong>ri dari kesepakatan tersebut.Sisi demokrasi lainnya yang <strong>di</strong>pandang bertolak belakang dengan Islam, menurutZallum, adalah konsep demokrasi sebagai pemerintahan mayoritas, dan hukummayoritas. Konsep ini bertentangan dengan Islam. Dalam pemikiran Zallum, dalammasalah penentuan hukum, kriterianya tidak bergantung pada pendapat mayoritas atauminoritas, melainkan pada nas-nas syariat. Sebab yang menja<strong>di</strong> pembuat syari`athanyalah Allah swt., bukan umat. Lalu, siapa yang mempunyai kewenanganmengadopsi (melakukan proses legislasi) hukum-hukum syariat? Khalifah, kataZallum. Khalifah mengambil hukum dari nas-nas syariat yang bersumber dari al-Qur‘ān dan sunnan Rasūl-Nya.Berikutnya, kosep demokrasi yang <strong>di</strong>nilai Zallum bertentangan dengan Islam adalahkonsep kebebasan umum yang ter<strong>di</strong>ri dari: kebebasan beragama, kebebasanberpendapat, kebebasan kepemilikan, dan kebebasan berperilaku. Menurut Zallum,keempat kebebasan tersebut tidak <strong>di</strong>jumpai dalam Islam. Seorang muslim wajibmengikatkan <strong>di</strong>ri dengan hukum syariat dalam seluruh perbuatannya. Seorang muslimtidak <strong>di</strong>benarkan berbuat sekehendaknya. Dalam Islam, tidak ada yang <strong>di</strong>sebutkebebasan, kecuali kebebasan budak dari perbudakan, sedangkan perbudakan itusen<strong>di</strong>ri sudah lenyap sejak lama.Selain HTI, perlu juga <strong>di</strong>sebut Majelis Mujahi<strong>di</strong>n Indonesia (MMI). Diban<strong>di</strong>ngkandengan HTI, MMI relatif lebih terbuka terhadap HAM. Hal ini bisa <strong>di</strong>cermati padakonsep, Amandemen UUD ‟45 Disesuaikan dengan Syariat Islam, yang <strong>di</strong>terbitkanoleh Markaz Pusat Majelis Mujahi<strong>di</strong>n Indonesia <strong>di</strong> Yogyakarta. Dalam konsepamandemen ini, MMI juga memuat bab tentang <strong>hak</strong> <strong>asasi</strong> <strong>manusia</strong> sebagaimana UUD31


1945 yang sudah <strong>di</strong>amandemen. Perbedaan antara amandemen UUD 1945 versi MMIdengan versi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) terdapat pada pasal 28E danpasal 29. Pada pasal 28E ayat 1 UUD 1945 versi MMI terdapat pernyataan sebagaiberikut: “Setiap orang ber<strong>hak</strong> memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,dan bagi muslim tidak boleh murtad dari Islam.” Pada pasal 29 terdapat pernyataansebagai berikut: “(1) Negara berkewajiban untuk mengatur dan mengawasi agarwarga negara Indonesia menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran agama masingmasing;(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memelukagamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama yang <strong>di</strong>peluknya.”Dalam amandemen UUD 1945 versi MMI terdapat dua ketentuan yang bertolakbelakang dengan prinsip HAM, yakni: Pertama, larangan terhadap Muslim pindah keagama lain (murtad). Kedua, negara <strong>di</strong>bolehkan, bahkan <strong>di</strong>wajibkan, mengatur praktikibadah agar sesuai dengan agama yang <strong>di</strong>peluk oleh seseorang.5. Islam, HAM, dan Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan:Catatan AkhirDengan pemaparan pandangan HTI dan MMI tersebut, maka dapat <strong>di</strong>simpulkanbahwa <strong>di</strong> kalangan Islam sen<strong>di</strong>ri terdapat perbedaan pendapat dalam merespons isuHAM. Jika <strong>di</strong>buatkan kategorisasi, maka ada pandangan yang memiliki pandanganinklusif, sedangkan lainnya lagi berpandangan eksklusif.Pandangan yangberpandangan inklusif, menerima gagasan universal HAM termasuk ketentuankebebasan beragama atau berkepercayaan. Bagi mereka, HAM tidak perlu<strong>di</strong>pandang sebagai konsep yang bertentangan dengan Islam. Di samping karena telahbanyak negara berpenduduk mayoritas Islam mengakui dan meratifikasi instrumenHAM yang <strong>di</strong>keluarkan PBB, pandangan yang berpandangan inklusif menggunakanalasan teologis dan historis. Secara teologis, Islam memiliki sumber autentik yangdapat <strong>di</strong>ja<strong>di</strong>kan legitimasi penerimaan umat Islam terhadap HAM. Sumber yang<strong>di</strong>maksud adalah al-Qur‘an.Menurut pemahaman kelompok inklusif, dalam al-Qur‘an terdapat banyak ayat yangdapat meneguhkan ide-ide utama HAM yang muncul dari Barat. Ayat-ayat al-Qur‘anyang sering <strong>di</strong>kutip oleh kelompok inklusif adalah: surat al-Baqarah (2) ayat 256; al-Kahfi (18) ayat 29; surat al-Kafirun (109) ayat 6. Menurut mereka, ayat-ayat tersebutmerupakan bukti pengakuan Islam terhadap kebebasan beragama atau berkeyakinan32


yang <strong>di</strong>tekankan oleh HAM. Pandangan ini berbeda dengan pandangan yang<strong>di</strong>kategorikan eksklusif. Jika pandangan inklusif menepis adanya kontra<strong>di</strong>ksi antaraHAM dengan Islam, sementara bagi kelompok eksklusif, cenderung menempatkanHAM dan Islam dalam posisi yang bertentangan sehingga tidak bisa <strong>di</strong>terapkan padamasyarakat Islam. Mereka berpandangan, konsep HAM yang <strong>di</strong>cetuskan oleh PBBtidak bisa <strong>di</strong>berlakukan secara universal karena lebih <strong>di</strong>dominasi oleh pandanganBarat. Salah satu yang menja<strong>di</strong> sasaran kritik mereka adalah pada aspek kebebasanberagama atau berkeyakinan yang <strong>di</strong>tekankan oleh HAM. Dalam pandangan mereka,kebebasan beragama atau berkeyakinan tidak bisa <strong>di</strong>berlakukan secara universalterhadap masyarakat Islam kendatipun al-Qur‘an sering menyinggung masalahkebebasan. Kebebasan dalam al-Qur‘an, hanya berlaku secara eksternal. Sementaraterhadap umat Islam sen<strong>di</strong>ri yang sudah memeluk agama Islam tidak ada pilihan lagiselain tetap memeluk agamanya.Cara pandang antara kelompok inklusif dan eksklusif tampaknya sulit <strong>di</strong>pertemukan.Dapat <strong>di</strong>perkirakan pula, perkembangan wacana kebebasan beragama danberkeyakinan akan tetap terbagi ke dalam dua pandangan tersebut. Perkiraan ini<strong>di</strong>dasarkan pada proses demokratisasi transisional yang sedang berjalan <strong>di</strong> Indonesia.Apa kaitan antara proses ini dengan wacana kebebasan beragama atau berkeyakinanbaik yang eksklusif maupun inklusif? Demokratisasi transisional—sebagai tahapankedua dalam demokrasi—<strong>di</strong>tandai dengan keterbukaan. Pada tahapan inilah pelbagaielemen masyarakat memperoleh kebebasan untuk mengartikulasikan pendapatnyasekalipun berbeda dengan negara dan kelompok lain. Wacana keagamaan jugaberkembang pesat pada tahapan yang <strong>di</strong>sebut juga era refomasi ini.Oleh karena itu, munculnya wacana inklusif dan eksklusif semestinya tidak perlu<strong>di</strong>pandang sebagai hal yang aneh. Hanya yang perlu mendapat perhatian adalah,bagaimana perbedaan wacana tersebut tidak berakibat pada terja<strong>di</strong>nya praktik anarkisseperti yang marak belakangan ini. Hal ini perlu mendapat perhatian karena padasetiap terja<strong>di</strong>nya praktik anarkis yang bernuansakan perbedaan agama dan pahamkeagamaan terdapat kaitan dengan wacana keagamaan tertentu. Meskipun keragamanwacana tidak mungkin bisa <strong>di</strong>hindarkan, tidak berarti pengembangan wacana yanglebih afirmatif terhadap HAM dan kebebasan beragama atau berkeyakinan tidak bisa<strong>di</strong>lakukan. Cara yang bisa <strong>di</strong>tempuh antara lain dengan memanfatkan istitusi33


pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan umat Islam seperti yang <strong>di</strong>miliki oleh Muhamma<strong>di</strong>yah dan NahdlatulUlama untuk mempromosikan HAM dan kebebasan beragama atau berkeyakinan.[]BIBLIOGRAFIAb<strong>di</strong>llah, Masykuri. Demokrasi <strong>di</strong> Persimpangan Makna: Respons Intelektual MuslimIndonesia terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993). Yogyakarta, TiaraWacana, 1999.Ali, Fachry dan Bahtiar Effendy. Merambah Jalan Baru Islam: RekonstruksiPemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru. Bandung, Mizan, 1986.Asshid<strong>di</strong>qie, Jimly. ―Pengantar.‖ Dalam Hak Asasi Manusia dalam KonsitusiIndonesia: Dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun2002, Majda el-Muhtaj. Jakarta, Prenada Me<strong>di</strong>a, 2005.Baderin, Mashood A. ―Islam and the Realization of Human Rights in the MuslimWorld: A Reflection on Two Essential Approaches and Two DivergentPerspective.‖ Muslim World Journal of Human Rights, Volume 4, Issue 1, 2007.Barton, Greg. The Emergence of Neo-Modernism: A Progressive, Liberal Movementof Islamic Thought in Indonesia (A Textual Examining the Writing ofNurcholish Madjid, Djohan Effendy, Ahmad Wahib and Abdurrahman Wahid1968-1980). Departement of Asian Stu<strong>di</strong>es and Language, Monash University,1995.Beatty, Andrew. Variasi Agama <strong>di</strong> Jawa: Suatu Pendekatan Antropologi. Jakarta,Murai Kencana, 2001.Bielefeldt, Heiner. ―Western‖ versus ―Islamic‖ Human Rights Coceptions?: ACritique of Cultural Essentialism in the Discussion on Human Rights.‖ PoliticalTheory, Vol. 28, Nomor 1, Februari 2000.Davidson, Scott. Human Rights. Buckingham, Open University Press, 1993.Dhofir, Zamakhsyari. Tra<strong>di</strong>si Pesantren. Jakarta, LP3ES, 1982.Djamil, Fathurrahman. Metode Ijtihad Majlis Tarjid Muhamma<strong>di</strong>yah. Jakarta, Logos,1995.Effen<strong>di</strong>, Satria. Ushul Fiqh. Jakarta, Kencana, 2005.Eltayeb, Mohammed S.M. ―A Human Rights Framework <strong>for</strong> Defining andUnderstan<strong>di</strong>ng Intra-Religious Persecution in Muslim Countries.‖ Dalam TheChallenge of Religious Discrimination at the Dawn of the Millenium, ed. NazilaGhanea. Leiden, Martinus Nijhoff Publisher, 2003.34


Ernada, Sus Eko. ―Issues of Compability of Human Rights and Islam: The Experienceof Egypt and Indonesia.‖ Journal of Indonesian Islam, Volume 01, Number 01,June 2007.Friedmann, Yohanan. Tolerance and Coercion in Islam: Interfaith Relations in theMuslim Tra<strong>di</strong>tion. Cambridge, Cambridge University Press, 2003.Fuad, Ahmad Nur et.al. ―Islam and Human Rights in Indonesia: An Account ofMuslim Intellectuals‘ Views.‖ Al-Jami‟ah Journal of Islamic Stu<strong>di</strong>es Volume45, No. 2, 2007/1428.Geertz, Clif<strong>for</strong>d. The Religion of Java. Glencoe, The Free Press, 1960.Ha<strong>di</strong>, Syamsul, dkk. Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal danDinamika Internasional. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2007.Harvey, Ozlem Denli. Islam and the Freedom of Religion or Belief: Perspective fromContemporary Turkey. Oslo, Norwegian Institute of Human Rights, 2000.Howard, Rhoda E. Human Rights and the Search <strong>for</strong> Community. Boulder, WestviewPress, 1995.Hidayati, Wahyu. Apakah Kebebasan Beragama=Bebas Pindah Agama?: PerspektifHukum Islam dan HAM. Salatiga, STAIN Salatiga Press, 2008.Husein, Fatimah. Muslim-Chriatian Relations in the New Order Indonesia: TheExclusivist and Inclusivist Muslims‟ Perspective. Bandung, Mizan, 2005.Kamali, Mohammad Hashim. An Introduction to Shari‟ah. Selangor, IlmiahPublisher, 2006.Kusbandrijo, Bambang. ―Partai dan Konflik Sosial: Konflik Kepartaian dan Massa <strong>di</strong>Jawa Timur.‖ Dalam Dalam Bangsa yang Berdarah: Jawa Timur dan PotensiKonflik 2004, ed. Khoirul Rosya<strong>di</strong>, dkk. Surabaya, LP3Jatim, 2003.Lerner, Natan. Religion, Belief, and <strong>International</strong> Human Rights. Maryknoll, OrbisBooks, 2000.Lerner, Natan. ―The Nature and Minimum Standards of Freedom of Religion orBelieif.‖ Dalam Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook, ed.Tore Lindholm, W. Cole Durham, Jr., Bahia G. Tahzib-Lie. Norway, MartinusNijhoff Publisher, 2004.Lindholm, Tore, Durham, W. Cole, Jr., Lie, Bahia G. Tahzib, and Ghania, Nazila.―Introduction.‖ Dalam Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook,ed. Tore Lindholm, W. Cole Durham, Jr., Bahia G. Tahzib-Lie. Norway,Martinus Nijhoff Publisher, 2004.Lubis, Todung Mulya. ―Perkembangan Pemikiran dan Perdebatan HAM.‖ DalamDiseminasi Hak Asasi Manusia: Perspektif dan Aksi, ed. E. Shobirin Nadj danNaning Mar<strong>di</strong>niah. Jakarta, CESDA dan LP3ES, 2000.35


Maarif, Ahmad Syafii. Islam dan Masalah Kenegaraan: Stu<strong>di</strong> tentang Percaturandalam Konstituante. LP3ES, Jakarta, 1987.Mabruri, Ghufron. ―Kebebasan Beragama dalam Negara Demokrasi‖. HuridocsVolume 4, E<strong>di</strong>si Oktober-Desember 2007.Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban: Telaah Kritis tentang MasalahKeimanan, Ke<strong>manusia</strong>an, dan Kemoderenan. Jakarta, Parama<strong>di</strong>na, 1992.Madjid, Nurcholish. Islam Agama Ke<strong>manusia</strong>an: Membangun Tra<strong>di</strong>si dan Visi BaruIslam Indonesia. Jakarta, Parama<strong>di</strong>na, 1995.Madjid, Nurcholis. Cita-cita Politik Islam Era In<strong>for</strong>masi. Jakarta, Parama<strong>di</strong>na, 1999.Marpaung, Rus<strong>di</strong> dan Sugiarto, J. Heri (ed.). Demokrasi Selektif terhadap PenegakanHAM: Laporan Kon<strong>di</strong>si HAM Indonesia 2005. Jakarta, Imparsial, 2006.Mas‘u<strong>di</strong>, Masdar F. ―Hak Azai Manusia dalam Islam.‖ Dalam Diseminasi Hak AsasiManusia: Perspektif dan Aksi, ed. E. Shobirin Nadj dan Naning Mar<strong>di</strong>niah.Jakarta, CESDA dan LP3ES, 2000.Mayer, Ann Elizabeth. Islam and Human Rights: Tra<strong>di</strong>tion and Politics. Boulder,Westview, 1999.Mayer, Ann Elizabeth. ―Universal Versus Islamic Human Rights: A Clash of Culturesor a Clash with a Construct?.‖ Michigan Journal of <strong>International</strong> Law, Vol. 15,No. 2 Winter 1994.Moosa, Ebrahim. ―The Dilemma of Islamic Rights Schemes‖. www.jhfc. duke.edu.Mulia, Siti Musdah. ―Menuju Kebebasan Beragama <strong>di</strong> Indonesia.‖ Dalam BayangbayangFanatisme: Esai-esai untuk Mengenang Nurcholish Madjid, ed. Abd.Hakim dan Yu<strong>di</strong> Latif. Jakarta, Pusat Stu<strong>di</strong> Islam dan Kenegaraan (PSIK)Universitas Parama<strong>di</strong>na, 2007.An-Na‘im, Abdullahi Ahmed. ―Shari‘a and Basic Human Rights Concerns.‖ DalamLiberal Islam: A Sourcebook, ed. Charles Kurzman. Ox<strong>for</strong>d, Ox<strong>for</strong>d UniversityPress, 1998.An-Na‘im, Abdullahi Ahmed. Toward an Islamic Re<strong>for</strong>mation: Civil Liberties,Human Rights and <strong>International</strong> Law. Syracuse, Syracuse University Press,1990.An-Nai‘m, Abdullahi Ahmed. Islam and the Secular State: Negotiating the Future ofShari‟a. Harvard, Harvard University Press, 2008.Nasution, Adnan Buyung. ― Sejarah Perdebatan HAM <strong>di</strong> Indonesia.‖ DalamDiseminasi Hak Asasi Manusia: Perspektif dan Aksi, ed. E. Shobirin Nadj danNaning Mar<strong>di</strong>niah. Jakarta, CESDA dan LP3ES, 2000.36


Price, Daniel E. Islamic Political Culture, Democracy and Human Rights: AComparative Study. Westport, Praeger Publisher, 1999.Putro, Sua<strong>di</strong>. Mohammed Arkoun tentang Islam dan Modernitas. Jakarta, Parama<strong>di</strong>na,1998.Rahardjo, M. Dawam. ―D<strong>asasi</strong>la Kebebasan Beragama‖. www.islamlib.comRakhmat, Jalalud<strong>di</strong>n. ‖Hak-<strong>hak</strong> Rakyat: Perspektif Islam.‖ Dalam Agama dan HakRakyat, ed. Masdar F. Mas‘u<strong>di</strong>. Jakarta, Perhimpunan Pengembangan Pesantrendan Masyarakat (P3M), 1993.Ridwan, Nur Khalik dan Aizu<strong>di</strong>n, Anas.‖Konflik Penutupan Gereja: Kasus GKJKronelan dan Pantekosta Demakan Sukoharjo.‖ Dalam Politisasi Agama danKonflik Komunal: Beberapa Isu Penting <strong>di</strong> Indonesia, ed. Ahmad Suaedy, dkk.Jakarta, The Wahid Institute, 2007.Rozi, Syafuan, dkk. Kekerasan Komunal: Anatomi dan Resolusi Konflik <strong>di</strong> Indonesia.Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006.Runzo, Joseph Martin, Nancy M., Sharma, Arvind. ―Introduction. ―Dalam HumanRights and Responsibilities in the Modern Religions, ed.Joseph Runzo, NancyM.Martin dan Arvind Sharma. Ox<strong>for</strong>d, Oneworld Publications, 2003.Sai<strong>di</strong>, Anas (ed.). Menekuk Agama, Membangun Tahta: Kebijakan Agama Orde Baru.Depok, Desantara, 2004.Salim, Arskal and Azra, Azyumar<strong>di</strong>. ―Introduction: The State and Shari‘a in thePerspective of Indonesian Legal Politics.‖ Dalam Shari‟a and Politics inModern Indonesia, ed. Arskal Salim and Azyumar<strong>di</strong> Azra. Singapore, Instituteof Southeast Asian Stu<strong>di</strong>es, 2003.Salim, Arskal dan Azra Azyumar<strong>di</strong>. ―Negara dan Syariat dalam Perspektif PolitikHukum Indonesia‖. Dalam Syariat Islam: Pandangan Muslim Liberal, ed.Burhanud<strong>di</strong>n. Jakarta: Jaringan Islam Liberal dan The Asia Foundation, 2003.Santoso, Thomas. Kekerasan Politik-Agama: Suatu Stu<strong>di</strong> Konstruksi Sosial tentangPerusakan Gereja <strong>di</strong> Situbondo, 1996. Surabaya, Lutfansah Me<strong>di</strong>atama, 2003.Sihbu<strong>di</strong>, Riza dan Nurhasim, Moch (ed.). Kerusuhan Sosial <strong>di</strong> Indonesia: Stu<strong>di</strong> KasusKupang, Mataram, dan Sambas. Jakarta, Grasindo, 2001.Soon, Kang Young. Antara Tra<strong>di</strong>si dan Konflik: Kepolitikan Nahdlatul Ulama.Jakarta, UIP, 2007.Subhan, Zaitunah. Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan. Jakarta, el-Kahfi,2008.Suha<strong>di</strong>. Kawin Lintas Agama: Perspektif Kritik Nalar Islam. Yogyakarta, LKIS,2006.37


Sujana, I Nyoman. ―Jawa Timur dan Potensi Konflik Sosial Politik Pemilu 2004‖.Dalam Bangsa yang Berdarah: Jawa Timur dan Potensi Konflik 2004, ed.Khoirul Rosya<strong>di</strong>, dkk. Surabaya, LP3Jatim, 2003.Suseso, Frans Magnis. ―Hak Asasi Manusia dalam Teologi KatolikKontemporer.‖Dalam Diseminasi Hak Asasi Manusia: Perspektif dan Aksi, ed.E. Shobirin Nadj dan Naning Mar<strong>di</strong>niah. Jakarta, CESDA dan LP3ES, 2000.Sutanto, Trisno S. ―Menuntut Jaminan Kebebasan Berkeyakinan‖. Makalah pada―Nurcholish Madjid Memorial Lecture‖ <strong>di</strong> Universitas Sam Ratulangie,Manado, 13 Juli 2006.Yafie, Ali. Menggagas Fiqih Sosial: Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi hinggaUkhuwah. Bandung, Mizan, 1994.Yazid, Abdullah, dkk. Demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Malang, Averroes Press,2007.Zallum, Abdul Qa<strong>di</strong>m. Demokrasi Sistem Kufur: Haram Mengambil, Menerapkan,dan Menyebarluaskannya. Bogo, Pustaka Thariqul Izzah, 2003.38

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!