30.05.2018 Views

sastraku-sayang-sastraku-malang-tragedi-pengajaran-sastra-di-indonesia

esai sastra

esai sastra

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Sastraku Sayang Sastraku Malang Trage<strong>di</strong> Pengajaran Sastra Di Indonesia - Esai - Horison Online<br />

Ditulis oleh Haniah<br />

Selasa, 04 Maret 2014 10:48<br />

1. Pendahuluan<br />

Akhir-akhir ini orang merasakan perlunya memperbaiki moral bangsa yang telah terpuruk<br />

dengan mengusulkan pelajaran bu<strong>di</strong> pekerti <strong>di</strong>hidupkan kembali. Suara pro dan kontra pun<br />

timbul. Yang pro masih belum tahu, dalam bentuk apa pelajaran bu<strong>di</strong> pekerti itu harus<br />

<strong>di</strong>ajarkan. Sementara yang kontra menyangsikan kegunaan pelajaran itu karena hanya akan<br />

menambah beban siswa saja.<br />

Dari fenomena itu sesungguhnya kita <strong>di</strong>sadarkan bahwa ada yang salah dalam <strong>pengajaran</strong><br />

<strong>sastra</strong> kita selama ini. Kita tidak pernah tahu akan fungsi <strong>sastra</strong> sebagai benteng/penjaga moral<br />

bangsa kendati kita menggalakkan bulan bahasa dan <strong>sastra</strong> dengan biaya yang tidak kecil<br />

setiap bulan Oktober. Apresiasi <strong>sastra</strong> <strong>di</strong>laksanakan tanpa pemahaman sama sekali karena<br />

pelajaran <strong>sastra</strong> hanya <strong>di</strong>ja<strong>di</strong>kan penunjang pelajaran bahasa. Sastra sebagai seni tidak pernah<br />

<strong>di</strong>kenal sehingga minat baca siswa pun mati dan ilmu pengetahuan tidak berkembang. Dunia<br />

pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan akhirnya tinggal rangka dan sumber daya manusia pun terpuruk. Ja<strong>di</strong> terapi untuk<br />

memperbaiki moral bangsa bukan dengan membuka lahan baru yang bernama bu<strong>di</strong> pekerti,<br />

tetapi memperbaiki <strong>pengajaran</strong> <strong>sastra</strong>, baik <strong>di</strong> sekolah maupun <strong>di</strong> fakultas <strong>sastra</strong>.<br />

Konon kabarnya, <strong>di</strong> Amerika seorang mahasiswa dari berbagai jurusan baru dapat menerima<br />

ijazah sarjananya jika ia berhasil lulus dalam mata kuliah <strong>sastra</strong> Amerika. Ini menunjukkan<br />

betapa pentingnya moral bagi para sarjana, yang kelak mungkin akan memangku berbagai<br />

posisi penting dalam pengambilan keputusan. Mereka sadar bahwa <strong>di</strong> tangan orang yang<br />

bermoral, ilmu pengetahuan mendapatkan tempatnya yang pas (tidak <strong>di</strong>salahgunakan),<br />

sehingga para sarjana (ilmuwan) <strong>di</strong>bekali dengan <strong>sastra</strong>. Ja<strong>di</strong>, fungsi <strong>sastra</strong> sangat<br />

menentukan. Oleh karena itu, mengefektifkan pelajaran <strong>sastra</strong> berarti menanamkan moral<br />

pada anak-anak <strong>di</strong><strong>di</strong>k. Sekali merengkuh dayung, dua-tiga pulau terlampaui.<br />

Bagaimanakah mendongkrak <strong>pengajaran</strong> <strong>sastra</strong> yang mandul itu? Makalah ini mencoba<br />

menjawab pertanyaan itu sebagai urun rembug (partisipasi) untuk mengatasi masalah itu.<br />

1 / 16


Sastraku Sayang Sastraku Malang Trage<strong>di</strong> Pengajaran Sastra Di Indonesia - Esai - Horison Online<br />

Ditulis oleh Haniah<br />

Selasa, 04 Maret 2014 10:48<br />

2. Sastra adalah Moral<br />

Jika orang membaca suatu karya <strong>sastra</strong>, ia ingin memperoleh kenikmatan darinya. Atas dasar<br />

itu, <strong>sastra</strong> harus <strong>di</strong>tempatkan pada posisi yang benar, yaitu posisi seni, bukan ilmu. Sastra<br />

adalah seni bahasa (poetic language). Ia sejajar dengan seni-seni lainnya, seperti seni lukis,<br />

seni patung, tari, dst. karena ia menyampaikan pesan melalui me<strong>di</strong>um simbolis. Ja<strong>di</strong>,<br />

kenikmatan seni tidak berhenti pada kenikmatan sensual, tetapi berlanjut pada kenikmatan<br />

intelektual.<br />

Sastra yang lebih khusus lagi adalah novel dan drama karena <strong>di</strong> dalamnya terdapat tokoh-tokoh<br />

yang hidup. Sambil menghibur novel atau drama mengajak kita berpikir, merenung, tentang<br />

tindakan tokoh-tokoh dan akibat yang <strong>di</strong>timbulkan oleh tindakan-tindakan itu. Dengan cara<br />

demikian pembaca menemukan teladan bagi kehidupannya, yaitu berupa nilai-nilai moral<br />

(kebenaran) yang universal. Nilai-nilai moral itulah yang membuat <strong>sastra</strong> mempunyai nilai tinggi<br />

sebagai kebudayaan batin suatu bangsa. Ja<strong>di</strong>, <strong>sastra</strong> bukanlah objek atau benda mati,<br />

melainkan subjek karena ia hidup. Sastra <strong>di</strong>hidupkan oleh tokoh-tokohnya. Tugas pembaca<br />

adalah memahami tindakan tokoh-tokoh itu. Memahami berarti mencapai fusi antara dunia<br />

tokoh dan dunia pembaca. Ja<strong>di</strong>, hubungan pembaca dengan tokoh-tokoh imajiner <strong>di</strong> dalamnya<br />

itu adalah intersubjektif seperti kita ber<strong>di</strong>alog dengan teman-teman dekat kita.<br />

3. Sastra Sebagai Me<strong>di</strong>a<br />

Sebagai seni yang bermuatan moral, <strong>sastra</strong> adalah me<strong>di</strong>a komunikasi antara pengarang dan<br />

pembaca. Sastra berusaha menyampaikan pesan kepada pembacanya. Dalam hal ini<br />

kemampuan pembaca dan kemampuan pengarang haruslah seimbang untuk dapat menangkap<br />

pesan itu. Di sini pembaca <strong>di</strong>harapkan paling tidak dapat merekonstruksi karya yang <strong>di</strong>bacanya.<br />

Usaha rekonstruksi ini membutuhkan kajian ilmiah. Di sini <strong>sastra</strong> sebagai me<strong>di</strong>a berubah<br />

menja<strong>di</strong> objek. Sebagai objek stu<strong>di</strong>, <strong>sastra</strong> adalah simbol (symbolic form) yang harus<br />

<strong>di</strong>tafsirkan. Sastra memiliki makna ganda, yaitu makna harfiah (literal) dan makna kiasan<br />

2 / 16


Sastraku Sayang Sastraku Malang Trage<strong>di</strong> Pengajaran Sastra Di Indonesia - Esai - Horison Online<br />

Ditulis oleh Haniah<br />

Selasa, 04 Maret 2014 10:48<br />

(figuratif). Kita tidak berhenti pada maknanya yang harfiah, tetapi berlanjut pada maknanya<br />

yang figuratif<br />

(the<br />

meaning of meaning)<br />

. Makna yang terakhir inilah yang <strong>di</strong>sebut pesan<br />

(message)<br />

. Dalam hal ini ucapan Marshall McLuhan,<br />

'the me<strong>di</strong>um is the message'<br />

juga berlaku dalam <strong>sastra</strong>.<br />

Tujuan kita dengan menafsirkan <strong>sastra</strong> adalah menangkap pesan atau maknanya yang figuratif<br />

itu. Pesan itu bersifat metaforis karena <strong>sastra</strong> adalah cermin atau model bagi tindakan kita. Ia<br />

serupa pil pahit yang berlapis gula. Sastra memberi pelajaran tanpa menggurui, memberi<br />

nasihat tanpa menyakiti. Atas dasar itulah <strong>sastra</strong> adalah seni, ia mengungkapkan kebenaran<br />

yang pahit dalam kemasan yang indah, halus, dan menyejukkan. Sastra adalah dulce dan<br />

sekaligus<br />

utile<br />

sebagaimana kata Horatio.<br />

4. Sastra Sebagai Simbol<br />

Dengan judul ini <strong>di</strong>maksudkan bahwa pemisahan <strong>sastra</strong> dalam bentuk dan isi sebagaimana<br />

yang terja<strong>di</strong> selama ini dalam <strong>pengajaran</strong> <strong>sastra</strong> kita adalah sangat menyesatkan. Sastra<br />

adalah entitas (wujud) yang takterbagi karena <strong>sastra</strong> adalah simbol. Sebagai simbol <strong>sastra</strong><br />

bermakna ganda. Maknanya inilah yang harus <strong>di</strong>gali, bukan justru entitasnya yang<br />

<strong>di</strong>pecah-pecah. Begitu <strong>di</strong>pecah menja<strong>di</strong> bentuk dan isi, <strong>sastra</strong> kehilangan sifatnya yang hakiki<br />

sebagai simbol dan tidak bisa lagi <strong>di</strong>pahami.<br />

Sebagai seni, <strong>sastra</strong> adalah ekspresi simbolis (symbolic form), karena tidak menunjuk pada<br />

gejalanya sen<strong>di</strong>ri atau pengalamannya sen<strong>di</strong>ri secara langsung melainkan pada pengalaman<br />

yang sudah <strong>di</strong>simbolkan, yakni menja<strong>di</strong> ungkapan simbolis dari pengalaman tersebut. Sastra<br />

adalah pengalaman yang sudah mengalami transformasi. Ia merupakan universalisasi<br />

pengalaman. Artinya, dalam menciptakan seninya, seniman merenungkan dan merasakan<br />

pengalaman yang langsung dan selanjutnya membuat pengalaman langsung itu menja<strong>di</strong><br />

3 / 16


Sastraku Sayang Sastraku Malang Trage<strong>di</strong> Pengajaran Sastra Di Indonesia - Esai - Horison Online<br />

Ditulis oleh Haniah<br />

Selasa, 04 Maret 2014 10:48<br />

pengalaman yang umum, yang bisa <strong>di</strong>cernakkan juga oleh orang lain.<br />

Dengan demikian, <strong>sastra</strong> adalah lukisan formal sebuah kehidupan. Sebagai konsekuensinya,<br />

kajian <strong>sastra</strong> pun harus <strong>di</strong>lakukan secara formal pula. Dalam hal ini, semiotik adalah metode<br />

ilmiah yang cocok bagi <strong>sastra</strong>. Semiotik adalah <strong>di</strong>siplin yang meneliti semua bentuk komunikasi<br />

sejauh hal ini <strong>di</strong>dasarkan pada sistem tanda (kode). Semiotik menggunakan ilmu bahasa<br />

(linguistik) sebagai modelnya, yaitu bahasa sebagai sistem. Ja<strong>di</strong>, baik linguistik maupun<br />

semiotik mengarahkan penelitiannya pada sistem. Linguistik meneliti sistem bahasa atau<br />

gramar, semiotik <strong>sastra</strong> meneliti sistem <strong>sastra</strong> atau konvensi <strong>sastra</strong>.<br />

4. Semiotik sebagai Teori Sastra<br />

Setiap karya <strong>sastra</strong> (poetic language) adalah tanda, yaitu kesatuan penanda (bentuk/struktur)<br />

dan petanda (isi). Tidak ada dualisme antara penanda dan petanda atau antara bentuk/struktur<br />

dan isi. Selanjutnya, hubungan antartanda <strong>di</strong>sebut sintaksis, hubungan tanda dan acuannya<br />

<strong>di</strong>sebut semantik, dan hubungan tanda dan pemakainya <strong>di</strong>sebut pragmatik. Ja<strong>di</strong>, ada tiga aspek<br />

dalam hubungan tanda.<br />

Tanda juga <strong>di</strong>bedakan atas ikon, indeks dan simbol. Karya <strong>sastra</strong> sebagai tanda adalah simbol,<br />

yang membutuhkan penafsiran untuk memahaminya atau menemukan maknanya. Dalam<br />

penafsiran aspek semantik mendapatkan fungsinya, karena pemahaman adalah<br />

menghubungkan tanda (dunia fiksi yang <strong>di</strong>ciptakan pengarang) dan acuannya (dunia 'nyata').<br />

Namun, untuk pemahaman yang ilmiah harus <strong>di</strong>tempuh dua cara secara berurutan, yaitu<br />

secara naif (verstehen) dan secara kritis (erklaren). Pada yang pertama penafsiran bertujuan<br />

menemukan makna (semantik luar), sedangkan pada yang kedua bertujuan menemukan sistem<br />

(semantik dalam). Ja<strong>di</strong>, tanpa yang pertama kita tidak akan mencapai yang kedua.<br />

4 / 16


Sastraku Sayang Sastraku Malang Trage<strong>di</strong> Pengajaran Sastra Di Indonesia - Esai - Horison Online<br />

Ditulis oleh Haniah<br />

Selasa, 04 Maret 2014 10:48<br />

4.1. Tahap Verstehen<br />

Makna secara ilmiah adalah kebenaran, yang dalam ilmu humaniora <strong>di</strong>sebut kebenaran<br />

performatif, yaitu kesesuaian antara ucapan dan tindakan dalam berkomunikasi. Kebenaran<br />

performatif muncul dari tuturan performatif, yaitu kalimat yang menggunakan persona pertama,<br />

bentuk in<strong>di</strong>katif, waktu sekarang, aktif, <strong>di</strong> mana ucapan tidak punya isi selain tindakan yang<br />

<strong>di</strong>tuturkan dalam ucapan itu. Di sini bahasa bukan sekedar alat untuk menuturkan tindakan,<br />

tetapi alat untuk melaksanakan tindakan yang <strong>di</strong>tuturkan. Demikian juga sebaliknya, "ketika<br />

anda berbicara (atau menulis) anda tidak hanya melaksanakan suatu tindakan, tetapi juga<br />

menuturkan tindakan yang sedang anda laksanakan" (J.L. Austin, How to Do Things with<br />

Words<br />

, Oxford University<br />

Press, 1962).<br />

Sastra sebagai humaniora adalah juga bentuk performatif. Di sini peran pengarang sebagai<br />

kreator berubah menja<strong>di</strong> pengrajin sehingga <strong>sastra</strong> pun berubah menja<strong>di</strong> teks yang otonom.<br />

Sastra menciptakan <strong>di</strong>rinya sen<strong>di</strong>ri dengan peran kreator <strong>di</strong>pegang oleh subjek teks (tokoh)<br />

lewat tindakannya yang <strong>di</strong>ucapkannya dalam tuturan performatif. Ja<strong>di</strong>, menulis tidak merujuk<br />

suatu pekerjaan merekam, mencatat, dst, tetapi merujuk suatu bentuk performatif yang <strong>di</strong><br />

dalamnya ucapan hanya berisi tindakan yang <strong>di</strong>tuturkan oleh ucapan itu.<br />

... that writing can no longer designate an operation of recor<strong>di</strong>ng, notation, representation,<br />

'depiction' (as the Classic would say); rather, it designates exactly what linguists, refering to<br />

Oxford philosophy, call a performative, a rare verbal form (exclusively given in the first person<br />

and in the present tense) in which the enunciation has no other content (contains no other<br />

proposition) than the act by which it is uttered--something like "the I declare" of kings or "the I<br />

sing" of very ancient poets. Having buried the Author, the modern scriptor can thus no longer<br />

believe, as accor<strong>di</strong>ng to the pathetic view of his predecessor, that this hand is too slow for his<br />

thought or passion and that consequently, making a law of necessity, he must emphasize this<br />

delay and indefinitely 'polish' his form. For him, on the contrary, the hand, cuts off from any<br />

voice, borne by a pure gesture of inscription (and not of expression), traces a field without<br />

origin--or which, at least, has no other origin than language itself, language which ceaselessly<br />

calls into question all origins. (Barthes dalam Rice, 1989:116)<br />

5 / 16


Sastraku Sayang Sastraku Malang Trage<strong>di</strong> Pengajaran Sastra Di Indonesia - Esai - Horison Online<br />

Ditulis oleh Haniah<br />

Selasa, 04 Maret 2014 10:48<br />

Memahami makna suatu teks berarti menemukan kebenaran performatif teks itu. Hal itu dapat<br />

<strong>di</strong>capai hanya melalui pemahaman akan lakuan tokohnya. Untuk memahami lakuan tokoh perlu<br />

<strong>di</strong>pertanyakan hubungan antara pelaku dan lakuannya. Apakah pelaku adalah penyebab<br />

lakuannya? Jawabnya bisa ya dan bisa tidak tergantung pada kesadarannya, karena tidak<br />

semua lakuan tokoh <strong>di</strong>sadari oleh yang bersangkutan. Di sini kita sampai pada perbedaan<br />

hubungan antara sebab dan motif. Ada sebab tanpa motif dan ada motif tanpa sebab yang<br />

menimbulkan tindakan manusia. Pada yang pertama pelaku tidak menyadari tindakannya,<br />

sedangkan pada yang kedua pelaku sangat sadar. Hal yang pertama <strong>di</strong>kenal sebagai kendala (<br />

constraint)<br />

, sedangkan yang kedua <strong>di</strong>sebut motivasi, sesuatu yang muncul dari dalam, seperti keinginan,<br />

cita-cita, hasrat<br />

(desire)<br />

.<br />

Sebagai hal yang tidak <strong>di</strong>sadari, kendala bukan sesuatu yang mudah <strong>di</strong>pahami. Tugas kajian<br />

<strong>sastra</strong> adalah memahami lakuan tokoh yang <strong>di</strong>timbulkan oleh kendalanya. Hal itu akan jelas<br />

dalam pertanyaan: apa yang menyebabkan seseorang melakukan hal itu? Kendala dapat<br />

<strong>di</strong>pahami jika konteksnya <strong>di</strong>ketahui. Itulah sebabnya <strong>sastra</strong> tidak berlaku universal atau bahkan<br />

nasional. Sastra Jawa tidak untuk <strong>di</strong>konsumsi orang Batak, misalnya. Bahkan ada kalanya<br />

kelokalannya <strong>di</strong>eksplisitkan dengan menggunakan bahasa lokalnya sen<strong>di</strong>ri. Ja<strong>di</strong>, tidak heran<br />

jika ada <strong>sastra</strong> Indonesia yang banyak menggunakan kata-kata daerah, seperti Pengakuan<br />

Pariyem .<br />

Dengan memahami kesadaran tokoh--yang berarti mampu memahami kendalanya--membaca<br />

<strong>sastra</strong> adalah ber<strong>di</strong>alog dengan tokoh dalam <strong>sastra</strong>. Hubungan pembaca dengan tokoh imajiner<br />

itu bukanlah hubungan subjek-objek, melainkan intersubjek, seperti kita ber<strong>di</strong>alog dengan<br />

manusia yang hidup. Kemampuan pembaca berempati dengan tokoh imajiner itu menentukan<br />

kemampuannya menangkap makna cerita yang <strong>di</strong>bacanya. Dengan demikian, memahami<br />

berarti mencapai fusi antara dunia tokoh dan dunia pembaca.<br />

6 / 16


Sastraku Sayang Sastraku Malang Trage<strong>di</strong> Pengajaran Sastra Di Indonesia - Esai - Horison Online<br />

Ditulis oleh Haniah<br />

Selasa, 04 Maret 2014 10:48<br />

4.2. Tahap Erklaren<br />

Penafsiran seperti <strong>di</strong> atas (verstehen) masih <strong>di</strong>ragukan keilmiahannya. Ini berarti makna itu<br />

masih perlu <strong>di</strong>perjelas<br />

(erklaren). Ja<strong>di</strong>, untuk mencapai<br />

taraf ilmiah penelitian harus bergerak dari semantik ke semiotik, atau--seperti telah <strong>di</strong>katakan <strong>di</strong><br />

atas--dari semantik luar ke semantik dalam. Atau--dengan kata lain--dari<br />

parole<br />

ke<br />

langue<br />

atau dari fenomena ke sistem yang mengaturnya.<br />

In order to become a science any human <strong>di</strong>scipline must move from the phenomena it<br />

recognize to the system that governs them, from the parole to langue. In language, of course no<br />

utterance is intelligible to a speaker who lacks the language system that govern its meaning.<br />

The implication of this for literature are striking. No literary utterance, no "work" of literature, can<br />

be meaningful if we lack a sense of the literary system into which it fits. This is why Roman<br />

Jakobson insists that the proper object of literary study is "literariness".... (Scholes, 1974:14-5).<br />

Dalam tahap ini makna teks yang simbolis itu <strong>di</strong>rumuskan dalam suatu model generatif narasi<br />

yang <strong>di</strong> dalamnya termuat gramar narasi dan semantik. Model yamng <strong>di</strong>bangun oleh Greimas<br />

itu <strong>di</strong>sebut model aktan, yang berupa tiga hubungan oposisi biner yang seluruhnya ter<strong>di</strong>ri atas<br />

enam aktan (peran): yaitu hubungan subjek/objek, pengirim/penerima, penolong/penentang.<br />

Ketiga hubungan itu menguraikan tiga pola dasar yang berulang dalam semua naratif: (1)<br />

kehendak, hasrat, atau tujuan (Subjek/Objek), (2) komunikasi (pengirim/penerima), dan (3)<br />

tindakan (penolong/penentang). Selanjutnya, Greimas menerapkan hukum transformasi<br />

terhadap ketiga hubungan dalam model aktan itu dan <strong>di</strong>sebut model fungsional, yaitu berupa<br />

tiga tahap perkembangan: tahap kecakapan, tahap utama, dan tahap gemilang.<br />

Model aktan yang bersifat akronis dan model fungsional yang bersifat <strong>di</strong>akronis tersebut adalah<br />

abstraksi lakuan tokoh (parole), yang oleh Roman Jakobson <strong>di</strong>sebut literariness atau langue of<br />

literature.<br />

7 / 16


Sastraku Sayang Sastraku Malang Trage<strong>di</strong> Pengajaran Sastra Di Indonesia - Esai - Horison Online<br />

Ditulis oleh Haniah<br />

Selasa, 04 Maret 2014 10:48<br />

Man is the Talking Animal: he is homo loquens. So, the fundamental structures of his<br />

language must inevitably inform and shape the fundamental structures of his stories. And even<br />

though those stories seems <strong>di</strong>fferent on the surface, a 'structural' analysis reveals that they<br />

spring from a common 'grammar' or (to use the term which Greimas employs to give the sense<br />

of the model's fundamentally dramatic, interlocutory nature) 'enunciation-spectacle'<br />

(enonce-spectacle<br />

); the content of the actions changes all the time; the actor vary, but the enunciation-spectacle<br />

remains always the same, for its permanence is guaranteed by the fixed <strong>di</strong>stribution of the roles.<br />

(Hawkes, 1972: 89)<br />

Menurut Jakobson, ke<strong>sastra</strong>an inilah yang memungkinkan ilmu <strong>sastra</strong> dapat man<strong>di</strong>ri. Oleh<br />

sebab itu, subjek ilmu <strong>sastra</strong> bukanlah <strong>sastra</strong> (literature) melainkan ke<strong>sastra</strong>an (literariness).<br />

With the object of literary stu<strong>di</strong>es circumscribed on the basis of <strong>di</strong>fferentiation and not on that of<br />

inherent qualities, it becomes possible both to established the notion of literariness, and to<br />

give some kind of scientific status to the study of literature. These two features are central to<br />

Formalist theory. Literariness, and not this or that work by this or that author, is the object of<br />

literary stu<strong>di</strong>es. Or, as Jakobson put it, 'The subject of literary science is not literature, but<br />

literariness, i.e. that which makes a given work a literary work.' (O'Toole and Shukman 1977:<br />

17). It was as a result of studying in<strong>di</strong>vidual literary works that prece<strong>di</strong>ng types of literary study<br />

had been led astray into adjacent <strong>di</strong>sciplines. The heterogeneous nature of its object had led to<br />

a heterogeneous <strong>di</strong>scipline, and it was only by making literariness the object of its enquiry that<br />

literary science could exist as an independent and indeed as a coherent and systematic type of<br />

study. (Jefferson, 1984: 20--21)<br />

5. Hermeneutik sebagai Teori Kritis<br />

8 / 16


Sastraku Sayang Sastraku Malang Trage<strong>di</strong> Pengajaran Sastra Di Indonesia - Esai - Horison Online<br />

Ditulis oleh Haniah<br />

Selasa, 04 Maret 2014 10:48<br />

Dengan semiotik kita baru mencapai tahap rekonstruksi, kita baru memahami teks (sense)<br />

secara ilmiah. Bagi kajian <strong>sastra</strong> yang komprehensif dan kritis hal ini belum cukup. Di sini<br />

pembaca <strong>di</strong>tuntut kritis terhadap teks yang <strong>di</strong>bacanya, bahkan juga <strong>di</strong>tuntut lebih pandai dari<br />

pengarangnya.<br />

Pencarian makna yang lebih mendalam <strong>di</strong>lakukan dalam kajian hermeneutik karena<br />

hermenenutik adalah pendukung prinsip polisemi teks. Di sini penafsiran tidak berhenti pada<br />

maksud teks seperti pada semiotik yang menekankan prinsip monosemi teks, tetapi berlanjut<br />

dengan menyoroti perspektif pembaca karena hermeneutik adalah pendukung teori resepsi<br />

yang mengutamakan peran pembaca. Ja<strong>di</strong>, kajian hermenenutik mencakup dua tahap yang<br />

berurutan, yaitu tahap rekonstruktif yang hanya menyoroti intensi teks dan tahap produktif yang<br />

menyoroti perspektif pembaca. Yang pertama bertujuan menghindari salah paham, sedangkan<br />

yang kedua bertujuan agar dapat "memahami dengan lebih baik daripada pengarangnya". Ini<br />

berarti, setelah berhasil memahami teks yang <strong>di</strong>bacanya, pembaca <strong>di</strong>tuntut untuk memahami<br />

<strong>di</strong>ri lewat karya yang <strong>di</strong>pahaminya itu (refleksi). Oleh karena itu, Ricoeur berpendapat bahwa<br />

memahami adalah gerak dari apa yang <strong>di</strong>katakan (sense) ke tentang apa yang <strong>di</strong>katakan (refer<br />

ence<br />

).<br />

Untuk menjelaskan pendapatnya itu, Ricoeur--seorang penganut teori makna<br />

pluralis--membedakan antara makna penutur (noetika) dan makna tuturan (noematika).<br />

Perbedaan ini perlu karena ia ingin mempertahankan keha<strong>di</strong>ran subjek dalam wacana (human<br />

<strong>di</strong>scourse)<br />

. Makna penutur mempunyai tandanya dalam makna tuturan karena struktur kalimat mengacu<br />

kembali ke si penutur lewat prosedur gramatikal yang <strong>di</strong>sebut "<br />

shifter<br />

" (kata ganti, nama <strong>di</strong>ri, kata penunjuk, adverbia ruang dan waktu), sedangkan makna tuturan<br />

adalah isi proposisi yang merupakan sisi objektif wacana. Makna tuturan mencakup "apa"-nya<br />

wacana (<br />

sense<br />

) dan "tentang apa"-nya wacana<br />

(reference)<br />

.<br />

Sense<br />

adalah intensi teks yang dalam <strong>sastra</strong> identik dengan maksud narator, sedangkan<br />

reference<br />

adalah tanggapan pembaca. Berbeda dengan<br />

sense<br />

yang bersifat tertutup sebagai hasil rekonstruksi dari intensi teks,<br />

9 / 16


Sastraku Sayang Sastraku Malang Trage<strong>di</strong> Pengajaran Sastra Di Indonesia - Esai - Horison Online<br />

Ditulis oleh Haniah<br />

Selasa, 04 Maret 2014 10:48<br />

reference<br />

bersifat terbuka sebagai hasil refleksi oleh pembaca (apropriasi).<br />

Dengan mengha<strong>di</strong>rkan reference, Ricoeur menentang tesis dasar strukturalisme bahwa bahasa<br />

adalah sistem tertutup. Ricoeur berpendapat bahwa pemahaman tidak terhenti pada<br />

sense<br />

yang hanya bersifat rekonstruktif, tetapi harus berlanjut ke<br />

reference<br />

agar melalui teks yang <strong>di</strong>bacanya pembaca dapat menemukan<br />

meaning<br />

atau makna bagi <strong>di</strong>rinya sen<strong>di</strong>ri. Di sini, horison pembaca lebur dalam horison penulis dengan<br />

teks sebagai perantara dalam penyatuan horison ini. Peleburan ini <strong>di</strong>harapkan menghasilkan<br />

pemahaman <strong>di</strong>ri. Dengan demikian, penafsiran menja<strong>di</strong> produktif.<br />

The purpose of all interpretation is to conquer a remoteness, a <strong>di</strong>stance between the past<br />

cultural epoch to which the text belongs and the interpreter himself. By overcoming this<br />

<strong>di</strong>stance, by making himself contemporary with the text, the exegete can appropriate its<br />

meaning to himself: foreign, he makes it familiar, that is, he makes it his own. It is thus the<br />

growth of his own understan<strong>di</strong>ng of himself that he pursues through his understan<strong>di</strong>ng of the<br />

other. Every hermeneutics is thus, explicitly or implicitly, self-understan<strong>di</strong>ng by means of<br />

understan<strong>di</strong>ng others. (Reagan, 1978:101)<br />

Pemahaman <strong>di</strong>ri atau transformasi <strong>di</strong>ri adalah usaha menangkap kembali Ego dalam cermin<br />

objek dan tindakan, simbol dan tandanya. Ja<strong>di</strong>, penafsiran teks memucak pada penafsiran <strong>di</strong>ri.<br />

Hal itulah yang terja<strong>di</strong> dalam refleksi.<br />

...that the interpretation of a text culminates in the self-interpretation of a subject who<br />

thenceforth understands himself better, understand himself <strong>di</strong>fferently, or simply begins to<br />

understand himself. This culmination on the understan<strong>di</strong>ng of a text in self-understan<strong>di</strong>ng is<br />

characteristic of the kind of reflective philosophy which, on various occasions, I have called<br />

'concrete reflection'. (Thompson (Ed.) 1981:158)<br />

10 / 16


Sastraku Sayang Sastraku Malang Trage<strong>di</strong> Pengajaran Sastra Di Indonesia - Esai - Horison Online<br />

Ditulis oleh Haniah<br />

Selasa, 04 Maret 2014 10:48<br />

Dengan demikian, penafsiran bukan sekedar cara mengenal dunia, melainkan cara berada <strong>di</strong><br />

dunia (interpretation is not only a mode of knowing, but a mode of being in the world). Pendapat<br />

Ricoeur itu telah sejalan dengan nasihat Marx untuk "mengubah realitas dan bukan hanya<br />

menafsirkannya."<br />

6. Penutup<br />

Sastra modern yang tertulis dalam bahasa Indonesia mencakup berbagai budaya yang<br />

membentang dari Sabang sampai Merauke. Hal ini dapat <strong>di</strong>lihat dari latarnya. Pengakuan<br />

Pariyem berlatar<br />

Jawa,<br />

W<br />

arisan<br />

berlatar Minang,<br />

Upacara<br />

berlatar Dayak, dan lainnya. (Ada juga <strong>sastra</strong> yang berlatar Islam, Hindu, dsb.) Dari latar itu kita<br />

tahu bahwa karya-karya itu hanya untuk komunitasnya sen<strong>di</strong>ri. Untuk memahami karya-karya<br />

yang etnosentris itu <strong>di</strong>butuhkan kajian budayanya (<br />

cultural study<br />

). Hal inilah yang tidak pernah terja<strong>di</strong> <strong>di</strong> Fakultas Sastra <strong>di</strong> seluruh Indonesia sehingga<br />

<strong>pengajaran</strong> <strong>sastra</strong> gagal membentuk bu<strong>di</strong> pekerti<br />

(character and nation buil<strong>di</strong>ng)<br />

sebagaimana yang <strong>di</strong>cita-citakan oleh para bapak bangsa kita dulu. Pluralitas budaya yang<br />

tampak dalam <strong>sastra</strong> <strong>di</strong>buang dan <strong>di</strong>gantikan dengan kajian yang konon kabarnya ilmiah<br />

sehingga seragam. Semua <strong>sastra</strong> dengan latar belakang apa pun <strong>di</strong>kaji hanya dari urutan<br />

peristiwa (sekuen), penokohan, dan latar yang satu sama lain tidak berkaitan sehingga hampa<br />

dari nilai-nilai kehidupan. Sastra menja<strong>di</strong> benda mati yang tidak berbicara apa-apa kepada<br />

pembacanya.<br />

Sastraku <strong>sayang</strong> <strong><strong>sastra</strong>ku</strong> <strong>malang</strong>. Dunia pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan yang seharusnya mampu memanfaatkan<br />

<strong>sastra</strong> sebagai sarana pembentukan priba<strong>di</strong> anak, justru melecehkan <strong>sastra</strong>. Di<br />

sekolah-sekolah menengah <strong>sastra</strong> hanya <strong>di</strong>ja<strong>di</strong>kan penunjang pelajaran bahasa (ancilla<br />

linguistica) ,<br />

dan <strong>di</strong> Fakultas Sastra sen<strong>di</strong>ri <strong>sastra</strong> <strong>di</strong>pasung sehingga kehilangan identitasnya. Di sinilah<br />

ironisnya! Fakultas <strong>sastra</strong> bukan membentuk kritikus <strong>sastra</strong> yang andal, melainkan<br />

menghancurkan kepekaan murid akan <strong>sastra</strong>.<br />

11 / 16


Sastraku Sayang Sastraku Malang Trage<strong>di</strong> Pengajaran Sastra Di Indonesia - Esai - Horison Online<br />

Ditulis oleh Haniah<br />

Selasa, 04 Maret 2014 10:48<br />

Keinginan banyak pakar pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan untuk menghidupkan kembali pelajaran bu<strong>di</strong> pekerti <strong>di</strong><br />

sekolah-sekolah dengan memanfaatkan cerita rakyat sebagai bahannya adalah langkah surut.<br />

Pelajaran semacam itu tidak sesuai dengan umur anak yang sudah membutuhkan pelajaran<br />

yang merangsang berpikir. Cerita rakyat adalah cerita pengantar tidur yang <strong>di</strong>kisahkan untuk<br />

mempererat ikatan emosional anak dan orang tuanya. Dari cerita pengantar tidur itulah motivasi<br />

anak akan <strong>sastra</strong> harus <strong>di</strong>bangkitkan lewat pelajaran <strong>sastra</strong>, bukannya malah <strong>di</strong>tindas.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Barthes, Roland. "The Death of the Author" dalam Philip Rice & Patricia Waugh. 1989. Modern<br />

Literary Theory: A Reader.<br />

London: Edward Arnold.<br />

12 / 16


Sastraku Sayang Sastraku Malang Trage<strong>di</strong> Pengajaran Sastra Di Indonesia - Esai - Horison Online<br />

Ditulis oleh Haniah<br />

Selasa, 04 Maret 2014 10:48<br />

Daiches, David. 1968. A Study of Literature For Readers and Critics. London: Andre Deutsch<br />

Frye, Northrop. 1964. The Educated Imagination. Bloomington: In<strong>di</strong>ana University Press.<br />

Hawkes, Terence. 1977. Structuralism & Semiotics. London: Methuen & Co. Ltd.<br />

Jefferson, Ann and David Robey (Ed.). 1984. Modern Literary Theory. A Comparative<br />

Introduction. New Jersey: Barnes & Noble Books.<br />

Ricoeur, Paul. 1976. Interpretation Theory and Surplus Meaning. Fort Worth: Texas Christian<br />

University Press.<br />

Reagen, Charles E. & David Stewart (Ed.) 1978. The Philosophy of Paul Ricoeur: An Anthology<br />

of His Works. Boston: Beacon Press<br />

13 / 16


Sastraku Sayang Sastraku Malang Trage<strong>di</strong> Pengajaran Sastra Di Indonesia - Esai - Horison Online<br />

Ditulis oleh Haniah<br />

Selasa, 04 Maret 2014 10:48<br />

Shukman, Ann. 1977. Literature and Semiotics: A Study of the Writing of Yu. M. Lotman.<br />

Oxford: North-Holland Publishing Company.<br />

Su<strong>di</strong>ardja, A. 1983. "Manusia dalam Dimensi Simbolis" dalam<br />

Sastrapratedja, M. (Ed.) Manusia Multi Dimensional: Sebuah<br />

Renungan Filsafat. Jakarta: Grame<strong>di</strong>a.<br />

Scholes, Robert. 1968. Elements of Fiction. New York: Oxford<br />

University Press.<br />

Scholes, Robert. 1974. Structuralism in Literature: An<br />

Introduction. New Haven: Yale University Press.<br />

14 / 16


Sastraku Sayang Sastraku Malang Trage<strong>di</strong> Pengajaran Sastra Di Indonesia - Esai - Horison Online<br />

Ditulis oleh Haniah<br />

Selasa, 04 Maret 2014 10:48<br />

Scholes, Robert and Robert Kellog "The Problem of Reality" dalam Philip Stevick (Ed.). 1967.<br />

The Theory of the Novel.<br />

New York:<br />

The Free Press.<br />

Thompson, John B. (Ed.) 1981. Paul Ricoeur Hemenenutics and the<br />

Human Sciences: Essays on Language, Action, and<br />

Interpretation. Cambridge: Cambridge University Press.<br />

Victor, Erlich. 1980. Russian Formalism: History-Doctrine. The<br />

Hague: Mouton<br />

15 / 16


Sastraku Sayang Sastraku Malang Trage<strong>di</strong> Pengajaran Sastra Di Indonesia - Esai - Horison Online<br />

Ditulis oleh Haniah<br />

Selasa, 04 Maret 2014 10:48<br />

Wiles, Katie. 1991. A Dictionary of Stylistics. London & New York:<br />

Longman<br />

Woodberry, George E. 1969. The Appreciation of Literature.<br />

York: Kennikat Press.<br />

Joomla SEO by AceSEF<br />

16 / 16

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!