design_NewsLetter STBM copy
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
News Letter<br />
TINJAUAN<br />
PELAKSANAAN<br />
<strong>STBM</strong><br />
DI INDONESIA<br />
1. CRAP Tools sebagai Instrumen Review <strong>STBM</strong><br />
CLTS Rapid Appraisal Protocol (CRAP) Tool –<br />
Unicef 2016 merupakan instrumen dengan<br />
pendekatan partisipatif yang dapat digunakan<br />
oleh pelaku <strong>STBM</strong> untuk melakukan penilaian<br />
kualitatif terhadap kualitas, keefektifan dan<br />
keberlanjutan implementasi program <strong>STBM</strong><br />
suatu negara, dimana instrumen ini tidak hanya<br />
dapat menilai kondisi di tingkat komunitas,<br />
tetapi juga sub-nasional dan nasional. Latar<br />
belakang dikembangkannya instrumen ini<br />
adalah kesadaran akan kompleksitas isu sanitasi<br />
serta beragamnya karakter wilayah yang<br />
kemudian memunculkan tingginya variabilitas<br />
pencapaian <strong>STBM</strong> antara satu daerah dengan<br />
daerah lainnya. CRAP kemudian dikembangkan<br />
untuk memberikan standar umum yang<br />
selayaknya dipenuhi dalam program <strong>STBM</strong>.<br />
Instrumen CRAP melihat bahwa terbentuknya<br />
konteks institusional yang kondusif, kapasitas<br />
yang mumpuni untuk implementasi serta<br />
pemahaman akan elemen yang dibutuhkan<br />
dalam proses <strong>STBM</strong> merupakan kunci dalam<br />
menilai kesuksesan implementasi <strong>STBM</strong><br />
Konsultasi dengan pemangku kepentingan di<br />
berbagai tingkatan administratif menjadi kunci<br />
dalam implementasi instrumen CRAP. Dengan<br />
menggunakan instrumen ini, dapat diperoleh<br />
juga ilustrasi keterkaitan kebijakan sanitasi dan<br />
<strong>STBM</strong> secara vertikal (ada benang merah dan<br />
adopsi kebijakan dari nasional hingga ke lokal)<br />
yang mempengaruhi keefektifan implementasi<br />
di lapangan.
No CRAP-Unicef <strong>STBM</strong> Tujuan<br />
1<br />
2<br />
3<br />
4<br />
5<br />
Policy, Roadmap and<br />
Directives<br />
Financial Planning and<br />
Budgeting<br />
Partnerships, Capacity<br />
and Leadership<br />
CLTS Protocol/Guidance/<br />
Standard<br />
Monitoring and<br />
Coordination<br />
6 Post ODF Sustainability<br />
Enabling Environment<br />
Demand Creration<br />
Monitoring and<br />
Evaluation<br />
7 Supply<br />
Memahami penciptaan lingkungan kondusif<br />
dan dukungan institusi terhadap percepatan<br />
implementasi program <strong>STBM</strong> di tingkat pusat,<br />
dan daerah.<br />
Apakah tersedia dukungan anggaran<br />
mencukupi untuk percepatan program <strong>STBM</strong><br />
di pusat maupun daerah.<br />
Untuk mengetahui apakah sumber daya<br />
di lapangan mencukupi dan kualitasnya<br />
mencukupi.<br />
Mereview kualitas dari Pedoman yang<br />
tersedia.<br />
Apakah ada panduan promosi Kesehatan<br />
untuk mendukung <strong>STBM</strong>.<br />
Bagaimana Proses dan progress dipantau<br />
dengan sistem yang baik.<br />
Apakah ada sistem pemantauan yang<br />
berkelanjutan paska ODF.<br />
Bagaimana sistem penyediaan sarana sanitasi<br />
yang mudah, murah dan menjangkau secara<br />
inklusif.<br />
JEJARING AMPL<br />
Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan<br />
Lingkungan (Pokja AMPL) Nasional merupakan<br />
sebuah lembaga adhoc yang dibentuk pada<br />
tahun 1997 sebagai wadah atau forum<br />
komunikasi dan koordinasi agar pembangunan<br />
air minum dan sanitasi berjalan lebih baik.<br />
Tahapan Pokja AMPL<br />
Perencanaan Pelaksanaan Pemantauan Evaluasi<br />
Selain itu, pembentukan Pokja juga bertujuan untuk meningkatkan koordinasi antar lembaga pemerintah<br />
pelaku pembangunan air minum dan sanitasi.<br />
Pokja AMPL Nasional beranggotakan 8 Kementerian/Lembaga yaitu:<br />
Kementerian PPN/Bappenas,<br />
Kementerian Pekerjaan Umum,<br />
Kementerian Dalam Negeri,<br />
Kementerian Kesehatan,<br />
Kementerian Lingkungan Hidup,<br />
Kementerian Keuangan,<br />
Kementerian Pendidikan dan<br />
Kebudayaan, dan Badan Pusat<br />
Statistik.
Berdasarkan SK Deputi Bidang Sarana dan Prasarana<br />
Kementerian PPN/Bappenas Nomor Kep 38/D.VI/07/2013<br />
tentang Pembentukan Pokja AMPL Nasional, terdapat 6<br />
(enam) bidang di dalam struktur Pokja.<br />
01<br />
Bidang Advokasi dan<br />
Sosialisasi Kebijakan<br />
03<br />
Bidang Teknis Sanitasi<br />
05<br />
Bidang Pendanaan<br />
6 BIDANG DI DALAM STRUKTUR POKJA<br />
Tugas Pokja AMPL Nasional:<br />
02<br />
Bidang Teknis Air Minum<br />
04<br />
Bidang Kelembagaan, Kemitraan<br />
dan Pemberdayaan Masyarakat<br />
06<br />
Bidang Pemantauan<br />
dan Evaluasi<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
4.<br />
5.<br />
6.<br />
SEJUMLAH PROGRAM YANG DIDUKUNG<br />
POKJA AMPL<br />
Percepatan Pembangunan Sanitasi<br />
Permukiman (PPSP)<br />
Sanitasi Total Berbasis Masyarakat<br />
(<strong>STBM</strong>)<br />
Penyedian Air Minum dan Sanitasi<br />
Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS)<br />
Sanitasi Berbasis Masyarakat<br />
(SANIMAS)<br />
Rencana Pengamanan Air Minum<br />
(RPAM)<br />
Sanitation Information System<br />
(NAWASIS) dan Sanitasi Sekolah<br />
Tidak hanya di tingkat pusat, bentuk Pokja<br />
AMPL ini juga diadopsi oleh pemerintah daerah<br />
dengan membentuk Pokja AMPL/Sanitasi<br />
daerah.<br />
Menyiapkan rumusan kebijakan.<br />
Menyusun strategi dan program dalam<br />
pembangunan air minum dan sanitasi.<br />
Mengkoordinasikan dan mengendalikan<br />
pelaksanaan pembangunan air minum.<br />
Menyebarluaskan informasi terkait AMPL.<br />
Selain itu, Pokja AMPL Nasional juga berfungsi sebagai<br />
penggerak advokasi dan sinergi pembangunan AMPL di<br />
Indonesia<br />
Keberadaan Pokja AMPL Nasional mampu memperkuat<br />
koordinasi dan sinergi antar para pelaku pembangunan<br />
sektor air minum dan sanitasi di Indonesi demi mencapai<br />
target RPJMN dan SDGs.
2: Monitoring dan Evaluasi _<br />
Analisa berbasis EMONEV <strong>STBM</strong><br />
Tidak sinkronnya basis data, belum menyeluruhnya<br />
akses sanitasi, dan minimnya efektivitas kegiatan<br />
pemicuan ODF merupakan 3 isu penting yang<br />
muncul dari proses pemantauan dan evaluasi. Di<br />
lain pihak, proses ini juga dapat mengidentifikasi<br />
peluang untuk percepatan ODF di Indonesia;<br />
dimana hingga tataran tertentu, peluang ini dapat<br />
membantu mengatasi isu-isu urgen yang<br />
disampaikan sebelumnya. Dalam proses monitoring<br />
dan evaluasi, diperoleh temuan sebagai berikut:<br />
1. Aspek Basis Data: Ketidaksinkronan antar<br />
lembaga.<br />
Minimnya ketersediaan dan variabilitas data membuat<br />
pelaku tidak dapat menganalisa kasus secara optimal;<br />
tidak sinkronnya data antara satu lembaga dengan<br />
lembaga lain memberikan ketidakpastian bagi pelaku<br />
dalam memilih sumber data yang harus digunakan.<br />
2. Capaian Sanitasi: Tidak meratanya akses sanitasi.<br />
Dari total 74% rumah tangga yang memiliki akses<br />
sanitasi<br />
48%<br />
17%<br />
8%<br />
42 juta rumah tangga yang dikategorikan<br />
sebagai memiliki AKSES LAYAK<br />
(Rumah tangga tersebut memiliki akses ke jamban sehat individu)<br />
11 juta rumah teridentifikasi masih<br />
menggunakan jamban sehat semi permanen<br />
5 juta rumah teridentifikasi masih<br />
menggunakan jamban sehat semi permanen<br />
dan jamban sehat secara komunal atau<br />
menumpang secara berurutan.<br />
Ini menunjukkan masih diperlukannya perbaikan sarana<br />
prasarana sanitasi di daerah.<br />
3. Capaian <strong>STBM</strong>: Belum seluruh daerah<br />
melengkapi proses input data.<br />
Analisa terkait tingkat ketercapaian kegiatan <strong>STBM</strong><br />
hanya dapat dilakukan secara komprehensif apabila<br />
data yang terkumpul cukup untuk mewakili kondisi<br />
riil di lapangan. Kondisi saat ini, lebih dari 50% (19<br />
dari 34 provinsi) provinsi di Indonesia belum<br />
melengkapi proses data input untuk <strong>STBM</strong>. Dari<br />
total 80.805 desa yang terdaftar di basis data <strong>STBM</strong>,<br />
baru 77.460 desa (96%) yang telah melengkapi<br />
proses input data. Provinsi Papua dan Papua Barat<br />
merupakan 2 provinsi dengan tingkat proses input<br />
data terendah di Indonesia.<br />
4. Tingkat ODF: Efek dari kegiatan pemicuan<br />
masih sangat lemah.<br />
Pelaksanaan kegiatan pemicuan pada mulanya<br />
diharapkan akan dapat meningkatkan tingkat<br />
ketercapaian ODF; dimana kegiatan ini difokuskan<br />
pada peningkatan kesadaran masyarakat akan gaya<br />
hidup bersih dan sehat. Hasil analisa menunjukkan<br />
bahwa hingga tahun 2018, kegiatan pemicuan<br />
telah dilakukan di 56% desa di Indonesia. Akan<br />
tetapi efektivitas kegiatan pemicuan tersebut<br />
terhadap ketercapaian ODF di daerah masih sangat<br />
lemah, dimana baru 46% dari desa yang telah<br />
dipicu tersebut yang melakukan claim ODF.<br />
Dengan kata lain, kegiatan pemicuan hanya<br />
berdampak pada munculnya claim ODF dari 26%<br />
desa di Indonesia. Lebih lanjut, dari angka tersebut,<br />
hanya 78% yang telah terverifikasi sebagai desa<br />
ODF.<br />
Kondisi sosial dan geografis Indonesia<br />
sangatlah bervariasi antara satu daerah<br />
dengan daerah lainnya, sehingga ada<br />
berbagai faktor yang dapat mempengaruhi<br />
tingkat penerimaan masyarakat terhadap<br />
kegiatan pemicuan serta tingkat<br />
ketercapaian ODF.
3. Hasil Tinjauan Pelaksanaan <strong>STBM</strong><br />
menggunakan CRAP Tool<br />
Komponen <strong>STBM</strong>: Enabling Environment,<br />
Supply, Demand dan Paska-ODF<br />
Pemantauan dan evaluasi spesifik dilakukan terhadap<br />
aspek-aspek yang berada di bawah kerangka strategi<br />
penyelenggaraan <strong>STBM</strong>, yakni: enabling environment,<br />
supply, demand serta Paska-ODF (follow-up).<br />
1. Komponen Lingkungan yang Kondusif<br />
(Enabling Environment)<br />
Untuk membentuk lingkungan yang dapat<br />
mendukung tercapainya <strong>STBM</strong>, terdapat beberapa<br />
elemen yang berpengaruh, meliputi: kebijakan,<br />
anggaran dan sumber daya serta kemitraan dan<br />
kelembagaan. Secara singkat adalah sebagai berikut:<br />
Kebijakan: Perlunya penguatan<br />
melalui sosialisasi dan supervisi<br />
Memahami kebijakan terkait <strong>STBM</strong> (baik yang<br />
terkait langsung maupun tidak langsung) yang<br />
berlaku di berbagai tataran merupakan hal yang<br />
mutlak dilakukan oleh pemangku kepentingan<br />
terkait. Akan tetapi tentunya keberadaan kebijakan<br />
ini perlu diimbangi oleh fungsi sosialisasi dan<br />
supervisi yang kuat dari pemerintah untuk<br />
menjamin implementasi yang tepat guna dan tepat<br />
sasaran.<br />
Anggaran dan Sumber Daya:<br />
potensi tumpang tindih kegiatan<br />
yang besar<br />
Seiring dengan target pencapaian Universal Access<br />
di tahun 2019, penganggaran untuk kegiatan <strong>STBM</strong><br />
sudah semakin banyak dibuka, sehingga kolaborasi<br />
antara pemerintah dengan mitra pembangunan<br />
merupakan kondisi yang lazim ditemukan saat ini.<br />
Di satu sisi, bervariasinya pipeline anggaran dan<br />
sumber daya untuk sanitasi merupakan hal yang<br />
menguntungkan bagi suatu daerah. Namun di sisi<br />
lain, tumpang tindih kegiatan dan area intervensi<br />
menjadi kondisi yang sering ditemui, yang<br />
berujung kepada tidak efektifnya implementasi<br />
kegiatan dan penganggarannya.<br />
Kemitraan dan Kelembagaan:<br />
pentingnya peran seluruh pihak<br />
Dalam rangka percepatan pencapaian Universal<br />
Access 2019, maka diperlukan kegiatan advokasi<br />
dan sosialisasi isu yang berkelanjutan kepada mitra<br />
pembangunan untuk mendorong kontribusi<br />
mereka di bidang sanitasi, dengan juga<br />
menekankan pentingnya proses pelibatan<br />
masyarakat di dalam kegiatan.<br />
2. Komponen Kebutuhan (Demand)<br />
Aspek kebutuhan sanitasi merupakan hal-hal yang<br />
terkait dengan upaya sistematis untuk<br />
mendapatkan perubahan perilaku yang higienis<br />
dan saniter. Sebagai upaya peningkatan kapasitas,<br />
pemerintah telah mengeluarkan rangkaian<br />
pedoman dan publikasi untuk kebutuhan<br />
implementasi di lapangan, baik yang sifatnya<br />
arahan pelaksanaan maupun pengayaan<br />
pengetahuan; diantaranya:<br />
Petunjuk pelaksanaan Pilar 1 <strong>STBM</strong>.<br />
Katalog informasi pilihan jamban sehat.<br />
Pedoman Promosi Kesehatan <strong>STBM</strong> (Pilar 1)<br />
E-learning <strong>STBM</strong>.<br />
Pengintegrasian modul <strong>STBM</strong> ke dalam<br />
kurikulum Poltekkes (dengan melibatkan<br />
PPSDM).
Keberadaan pedoman dan publikasi ini akan<br />
menjadi lemah apabila proses penyampaian dan<br />
implementasi muatan tidak maksimal. Peran dan<br />
kapasitas fasilitator menjadi krusial dalam hal ini.<br />
Strategi keberlanjutan demand adalah<br />
mekanisme keterlibatan masyarakat baik di<br />
pedesaaan maupun perkotaan dalam<br />
peningkatan layanan sanitasi menuju akses<br />
aman dan penguatan layanan penyedotan serta<br />
kampanye nasional secara masice menggunakan<br />
media promosi yang lebih kreatif dan inovatif.<br />
3. Komponen Supply<br />
Pemenuhan supply dapat dilakukan berbagai<br />
cara:<br />
Pemenuhan kebutuhan supply melalui<br />
Wirausaha Sanitasi.<br />
Terdapat 428 Wirausaha Sanitasi aktif yang<br />
tersebar di Provinsi Sumatera Barat, Lampung,<br />
Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, NTT dan Papua.<br />
Wusan dapat bersinergi bersama Pemda untuk<br />
menyamakan mencapai target bersama.<br />
Diperlukan lebih banyak Wusan aktif untuk<br />
memastikan pemenuhan kebutuhan sanitasi<br />
yang terjangkau dan sesuai kebutuhan (tersedianya<br />
opsi TTG) di seluruh Indonesia.<br />
Tersedianya mekanisme peningkatan kapasitas<br />
sistem Monev Wusan.<br />
Rp<br />
Pemenuhan kebutuhan supply<br />
melalui pembiayaan pemerintah.<br />
Pemenuhan kebutuhan sanitasi dan penyediaan<br />
sistem pengolahan air limbah terpusat yang<br />
lengkap, meliputi: sambungan rumah, pipa air<br />
limbah, bak kontrol dan instalasi pengolahan,<br />
strategi ini diharapkan dapat menjangkau kelompok<br />
marginal (masyarakat sangat miskin dan<br />
masyarakat berkebutuhan khusus).<br />
Diperlukan data kemiskinan dan penyandang<br />
disabilitas sehingga tepat sasaran.<br />
Rp<br />
Skema pembiayaan lain.<br />
Pemenuhan kebutuhan sanitasi dengan<br />
menggunakan akses BPR (mikro kredit),<br />
Bumdes/Bumnag, Bansos, Hibah donatur, Koperasi,<br />
ZISWAF dan lain-lain.<br />
4. Urgensi Paska-ODF<br />
Hal yang dirasa perlu untuk didefinisikan di<br />
bawah kerangka Paska-ODF ini antara lain<br />
pencapaian ‘Akses Layak’ dan ‘Akses Aman’,<br />
pengembangan pilar 2-5 <strong>STBM</strong> serta konteks<br />
sanitasi perkotaan. Tidak hanya mempertahankan<br />
dan meningkatkan ODF suatu daerah,<br />
implementasi tahap Paska-ODF juga diharapkan:<br />
Mendukung peningkatan akses menuju Akses<br />
Aman dengan mempertimbangkan muatan<br />
Peraturan Pemerintah No.2 Tahun 2018 tentang<br />
Standar Pelayanan Minimal, utamanya SPM<br />
Kesehatan dan SPM Pekerjaan Umum.<br />
Paska ODF, diharapkan daerah tidak hanya<br />
berhenti pada tataran penyediaan akses layak,<br />
tetapi bergerak ke penyediaan akses aman<br />
sanitasi dan air bersih; dimana kriteria akses aman<br />
ini akan mengacu kepada PP No 2 tahun 2018<br />
tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang<br />
dikeluarkan oleh pemerintah. Elemen SPM<br />
Pekerjaan umum yang berkaitan dengan <strong>STBM</strong><br />
adalah penyediaan pelayananan pengolahan air<br />
limbah domestik skala kabupaten/kota serta skala<br />
regional; dimana pemenuhan SPM ini sudah<br />
dilakukan secara rutin oleh pemerintah daerah
(kecuali skala regional, karena membutuhkan periode<br />
lebih panjang dalam perencanaan dan<br />
pembangunannya). Tidak seperti SPM Pekerjaan<br />
Umum, konteks sanitasi dan hygiene (dan bahkan<br />
konteks kesehatan khusus lainnya) di bawah SPM<br />
Kesehatan tidak disebutkan secara eksplisit.<br />
Diharapkan ke depannya akan ada indikator SPM yang<br />
lebih spesifik untuk sanitasi dan hygiene yang dapat<br />
menjadi pendorong bagi daerah untuk<br />
mengimplementasikan kegiatan <strong>STBM</strong> serta<br />
melakukan pemantauan dan evaluasi untuk kegiatan<br />
tersebut. Kegiatan paska ODF juga diperlukan apabila<br />
tidak terlihat adanya perubahan perilaku (ke<br />
arah yang positif) terkait sanitasi di suatu<br />
wilayah. Jika dalam jangka waktu lebih dari 9<br />
bulan tidak ada perubahan terkait data <strong>STBM</strong><br />
yang diinput oleh sanitarian pada suatu wilayah<br />
tertentu, maka dapat diasumsikan bahwa tidak<br />
terjadi perubahan perilaku terkait sanitasi di<br />
wilayah tersebut. Adanya kegiatan paska ODF<br />
dapat memberikan informasi faktor-faktor apa<br />
yang menyebabkan tidak adanya perubahan<br />
perilaku tersebut, serta langkah apa yang paling<br />
tepat untuk diterapkan di wilayah tersebut.<br />
4. Pembelajaran Baik di Jawa Tengah,<br />
Aceh, dan Papua<br />
Setelah melihat peran penting kegiatan ini dalam<br />
mengatasi isu sanitasi di daerah <strong>STBM</strong> serta<br />
kelemahan dan kekuatan dalam implementasinya,<br />
maka follow-up keberlanjutan program <strong>STBM</strong> menjadi<br />
hal yang krusial.<br />
Jawa Tengah: Terus Maju Melangkah dalam<br />
Meningkatkan Sanitasi Berbasis 5 Pilar<br />
Pembelajaran utama yang dapat diambil dari proses<br />
implementasi <strong>STBM</strong> adalah krusialnya peran<br />
Pemerintah Provinsi dalam proses implementasi<br />
<strong>STBM</strong> di kabupaten/kota di bawahnya. Peran<br />
provinsi dapat dimaksimalkan dalam melakukan<br />
Pendampingan, Advokasi, dan Verifikasi. Advokasi<br />
kepada kabupaten/kota dengan membawa Surat<br />
Edaran Gubernur Jawa Tengah terkait percepatan<br />
ODF kabupaten/kota telah terbukti berdampak<br />
cukup efektif untuk memotivasi daerah. Pada tahun<br />
2019, Provinsi Jawa Tengah juga akan mendorong<br />
percepatan akses sanitasi dengan mendukung<br />
kegiatan Wusan yang merata ke seluruh wilayah<br />
Jawa Tengah melalui Bansos dan pembinaan UMKM.<br />
Jika berlandaskan kepada strategi penyelenggaraan<br />
<strong>STBM</strong>, pembelajaran yang dapat diambil dari<br />
Provinsi Jawa Tengah di setiap komponen dapat<br />
disampaikan sebagai berikut.<br />
Aceh: Penguatan Peran Fasilitator dalam<br />
Mendorong Koordinasi Horizontal Pemerintah<br />
Daerah<br />
Seperti wilayah perbukitan di Papua, isu gender<br />
juga menjadi tantangan utama implementasi<br />
<strong>STBM</strong> di Provinsi DI Aceh. Hal ini sedikit banyak<br />
dipengaruhi oleh peran agama yang dominan di<br />
wilayah tersebut. Meskipun wanita memiliki<br />
peran aktif dalam bidang kesehatan di<br />
lingkungan masyarakat (bahkan petugas sanitasi<br />
di daerah lebih didominasi oleh wanita), namun<br />
pemuka agama (umumnya laki-laki) memainkan<br />
peran yang dominan dalam menentukan arah<br />
kebijakan pembangunan di masing-masing<br />
wilayah.<br />
Dari gambaran di atas, terlihat bahwa kondisi<br />
sosial keagamaan sangat berpengaruh terhadap<br />
jalannya roda sanitasi di Aceh. Terlepas dari<br />
tantangan yang dihadapi oleh Aceh dalam<br />
implementasi program <strong>STBM</strong> (yang tersaji di<br />
bawah ini), namun ada satu pencapaian yang<br />
patut dibanggakan, dimana Kota Banda Aceh<br />
telah mencapai salah satu target pembangunan<br />
sanitasi yaitu Safely-manage sanitation.
Papua: Penguatan dan Peningkatan Kapasitas<br />
di Seluruh Sektor Pembangunan<br />
Sebagai daerah yang kental dengan nuansa<br />
adatnya, penyampaian pengetahuan tentang<br />
kesehatan dan sanitasi untuk masyarakat Papua<br />
harus dilakukan dengan terlebih dahulu<br />
memahami konteks sosial dan budaya<br />
masyarakatnya. Misalnya saja pengetahuan<br />
bahwa masyarakat di sana lebih memilih untuk<br />
memperoleh jamban permanen, atau<br />
bagaimana mereka tidak suka membangun<br />
jamban di dalam rumah. Contoh konteks sosial<br />
budaya lainnya adalah perbedaan karakter<br />
masyarakat berdasarkan wilayah geografis. Di<br />
wilayah pesisir, yang lebih terbuka terhadap<br />
modernisasi dan peradaban, penduduknya lebih<br />
open-minded dan menerapkan kesetaraan<br />
gender. Sedangkan, penduduk yang mendiami<br />
wilayah pegunungan atau dataran tinggi, masih<br />
menerapkan pola pikir tradisional, atau dominasi<br />
laki-laki diatas perempuan. Meskipun di wilayah<br />
pegunungan ada ketimpangan isu gender, namun<br />
para petugas sanitasi di desa-desa (baik pesisir<br />
maupun pegunungan), didominasi oleh kaum<br />
wanita; dan keberadaannya sangat diapresiasi.<br />
Dengan memahami konteks lokal tersebut, barulah<br />
pelaku kesehatan lingkungan dapat disusun strategi<br />
implementasi <strong>STBM</strong> yang sesuai untuk<br />
daerah-daerah di Papua. Terkait dengan<br />
penyampaian pengetahuan ini, peran fasilitator<br />
dalam implementasi <strong>STBM</strong> di Papua menjadi sangat<br />
signifikan. Dari hasil analisa, Provinsi Papua<br />
merupakan salah satu provinsi dengan tingkat akses<br />
sanitasi dan ODF terendah di Indonesia.