You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
<strong>Identitas</strong> <strong>Nasional</strong>
meragu telah merasuk jiwa<br />
dirimu ada di pelupuk mata<br />
sayang, wajahmu tidak berubah<br />
tidak, tidak, tidak sama sekali<br />
aku kenal landai alis matamu<br />
tak bisa dibantah,<br />
senyum itu milikmu<br />
mengapa tidak hilang ini ragu?<br />
<strong>Identitas</strong> <strong>Nasional</strong><br />
kamu masih dirimu, tapi di mana<br />
dirimu?<br />
kamu tersenyum seperti mereka<br />
untai rambutmu seperti mereka<br />
lentik jarimu seperti mereka<br />
hilanglah dirimu di dalam dirimu<br />
lalu kemana harus kucari kamu?<br />
rengkuh lenganmu masih sama<br />
namun hangatnya kian berkurang<br />
takutkah kamu? tidak bisa seperti<br />
mereka?
ahasa kasihmu berbeda dengan<br />
mereka, sayang<br />
mengapa begitu takut berbeda?<br />
Foto oleh:<br />
Jeremia Edward<br />
bahasa kasihmu tidak salah,<br />
sayang<br />
Ditulis Oleh:<br />
Amyra Salsabila<br />
aku rindu kamu, benar<br />
namun aku tak temukan kamu<br />
pada raga yang berdiri di depanku
Perkembangan teknologi, kebutuhan<br />
sosial, dan ekonomi negara, memaksa<br />
pembangunan urban yang cepat.<br />
Akibatnya, pembangunan arsitektur<br />
instan tanpa identitas hadir di tengah<br />
negara. Indonesia sebagai negara yang<br />
memiliki keberagaman budaya pada<br />
dasarnya memiliki kekayaan arsitektur.<br />
Namun seiring dengan perkembangan<br />
zaman, keberagaman yang dahulu ada<br />
sudah tidak nampak lagi di kawasan<br />
urban.<br />
Kommunzine <strong>10</strong> hadir kembali dengan<br />
isu <strong>Identitas</strong> <strong>Nasional</strong> untuk mengupas<br />
pandangan berbagai perspektif<br />
mengenai perkembangan identitas<br />
arsitektur Indonesia dalam konteks<br />
urban.<br />
<strong>Identitas</strong> <strong>Nasional</strong>
<strong>Identitas</strong> <strong>Nasional</strong><br />
Memasuki Era Modern<br />
Menelusuri Sejarah Arsitektur Indonesia<br />
Persepsi dan <strong>Identitas</strong> Arsitektur Indonesia<br />
1<br />
4<br />
7<br />
11<br />
Adaptasi Terhadap Konteks Nusantara<br />
Menjadi Indonesia<br />
Ragam Gaya Arsitektur di Indonesia<br />
Candi Sebagai Salah Satu <strong>Identitas</strong> Indonesia<br />
Bahasa Bangsa<br />
16<br />
19<br />
22<br />
27<br />
30<br />
Vernakular: Sebuah Proses dalam Berarsitektur<br />
Menemukan Jati Diri Bangsa<br />
Apakah Indonesia Harus Berbeda?<br />
35<br />
39<br />
42<br />
Review Karya: Elevation<br />
oleh Andra Matin<br />
Permainan<br />
47<br />
49
<strong>Identitas</strong> <strong>Nasional</strong><br />
<strong>Identitas</strong><br />
<strong>Nasional</strong><br />
Fenomena masyarakat kita<br />
saat ini menghadapkan kita<br />
pada suatu kondisi dimana<br />
budaya dan ciri khas bangsa<br />
ini semakin memudar<br />
seiring berlangsungnya<br />
perkembangan zaman<br />
serta era globalisasi yang<br />
terjadi. Kebudayaan dan<br />
tradisi tanah air inilah yang<br />
seharusnya dapat kita<br />
bela dan kita jaga sebagai<br />
identitas bangsa Indonesia.<br />
<strong>Identitas</strong> merupakan suatu<br />
ciri khas yang dimiliki suatu<br />
bangsa dan khusus teruntuk<br />
suatu kelompok tersebut<br />
yang tidak dimiliki oleh<br />
bangsa lain. <strong>Identitas</strong> berupa<br />
ciri-ciri atau jati diri yang<br />
melekat pada sesuatu yang<br />
membedakannya dengan<br />
yang lain dan nasional<br />
mencakup suatu bangsa<br />
atau sekelompok masyarakat<br />
yang hidup bersamaan yang<br />
mempunyai asal usul yang<br />
sama.<br />
<strong>Identitas</strong> nasional memilki<br />
fungsi sebagai pemersatu<br />
bangsa, di mana perbedaan<br />
budaya akan melebur menjadi<br />
satu kesatuan yang utuh,<br />
sebagai landasan sebuah<br />
negara. Tentunya identitas<br />
menjadi tolak ukur pembeda<br />
antar satu negara dengan<br />
negara lainnya.<br />
Kehidupan berbangsa dan<br />
bernegara yang sangat<br />
beragam menciptakan<br />
nilai-nilai budaya yang<br />
tumbuh berkembang dalam<br />
peradaban yang berkembang<br />
selama ratusan tahun dalam<br />
berbagai aspek kehidupan<br />
berbangsa.<br />
Setiap bangsa sejak dahulu<br />
hingga sekarang memiliki<br />
kebiasaan yang berbedabeda<br />
dari segi kebutuhan dan<br />
keinginan yang disesuaikan<br />
dengan kondisi daerah<br />
masing-masing. Seiring<br />
perkembangan zaman, tiap<br />
daerah akan memiliki suatu<br />
ciri khas yang menjadi<br />
identitas daerah tersebut<br />
yang dipertahankan hingga<br />
sekarang.
02<br />
Indonesia, yang memiliki<br />
300 suku etnik dan mencapai<br />
1340 suku bangsa,<br />
kebudayaan yang sangat<br />
beragam dan menghasilkan<br />
banyak perbedaan dalam<br />
karya. Seluruh keragaman<br />
budaya tersebut dihimpun<br />
menjadi satu kesatuan yang<br />
disebut sebagai kebudayaan<br />
nasiolnal. Pada dasarnya<br />
kebudayaan nasional berupa<br />
gabungan antar unsurunsur<br />
kebudayaan daerah<br />
yang dipahami dan diakui<br />
serta memberi makna bagi<br />
seluruh bangsa. Kehidupan<br />
tidak dapat dipisahkan dari<br />
arsitektur, dan arsitektur<br />
indonesia khususnya<br />
memiliki ciri khas yang sangat<br />
beragam dimana masingmasing<br />
daerah memiliki<br />
tradisi yang unik.<br />
Era globalisasi memberikan<br />
suatu tantangan bagi<br />
identitas nasional Indonesia<br />
dimana keaslian indonesia<br />
mulai diuji dengan masuknya<br />
budaya dan referensi dari<br />
luar, serta teknologi yang<br />
dapat menghilangkan<br />
identitas Indonesia sendiri.<br />
Dalam kebudayaan nasional<br />
Indonesia secara arsitektur<br />
terdapat unsur kebudayaan<br />
bangsa, kebudayaan<br />
asing, serta perpaduan<br />
kedua unsur tersebut yang<br />
menghasilkan apa yang kita<br />
kenal sebagai arsitektur<br />
Indonesia.<br />
Ditulis Oleh:<br />
M. Ariq Naufal
<strong>Identitas</strong> <strong>Nasional</strong><br />
Namun seperti apakah<br />
arsitektur Indonesia<br />
itu sendiri?
04<br />
Memasuki<br />
Era Modern<br />
Foto oleh:<br />
Arya Wardhana<br />
Modernisme menjadi gaya baru atau filosofi arsitektur dan<br />
desain yang penting setelah Perang Dunia II, yang dikaitkan<br />
dengan pendekatan analitis terhadap fungsi bangunan,<br />
penggunaan material yang rasional, inovasi struktural<br />
dan penghapusan ornamen. Di era setelah berakhirnya<br />
Perang Dunia II, dengan kebutuhan pembangunan dunia<br />
yang cepat, tujuan awal dari arsitektur modern adalah<br />
menciptakan arsitektur yang dapat diproduksi massal<br />
untuk melayani kebutuhan masyarakat.<br />
Ditulis Oleh:<br />
Tasya Taranusyura
“Form follows function”<br />
“Ornament is crime”<br />
<strong>Identitas</strong> <strong>Nasional</strong><br />
Pada awal abad ke-20, arsitek Amerika Louis Sullivan<br />
menyatakan kalimat yang kini sudah sangat kita kenal, “Form<br />
follows function.” Beberapa tahun kemudian, Adolph Loos dalam<br />
esainya tahun 1908 “Ornament and Crime,” menyatakan bahwa<br />
kurangnya ornamen adalah “tanda kekuatan spiritual.” Kedua ide<br />
ini dengan cepat menjadi dogma profesi arsitektur. Satu generasi<br />
arsitek dengan kecenderungan politik sosialis dan fasis melihat<br />
ornamen sebagai tanda dekadensi borjuis, dan mulai membuang<br />
setiap elemen desain yang dapat dianggap hanya merupakan<br />
hiasan tanpa fungsi lain. Arsitektur modern juga dianggap<br />
sebagai simbol dari kejujuran, menampilkan karya arsitektur<br />
apa adanya, tanpa menutupi kekurangannya. Banyak sosialis<br />
di abad ke-20 berpendapat bahwa praktik arsitektur yang tidak<br />
menggunakan elemen dekoratif dan bentuk-bentuk tradisional<br />
merupakan wujud dari semangat revolusioner kesederhanaan,<br />
solidaritas, dan pengorbanan.
Arsitektur modern tanpa penggunaan ornamen ini merupakan<br />
solusi yang tepat dalam pembangunan efektif yang hancur<br />
setelah Perang Dunia II, tapi juga menciptakan celah antar masa<br />
modern dan masa pra-modern, dan mengerucutkan identitas<br />
arsitektur setiap bangsa dan budaya menjadi satu. Namun<br />
apakah hal tersebut berarti meluruhkan identitas arsitektur<br />
bangsa-bangsa di dunia? Atau justru refleksi identitas arsitektur<br />
diwujudkan melalui ekspresi arsitektur yang serupa dalam satu<br />
waktu dan kontras terhadap masa sebelumnya?<br />
06
Menelusuri<br />
Sejarah<br />
Arsitektur<br />
Indonesia<br />
Era pasca kemerdekaan merupakan tonggak awal dari<br />
keberlanjutannya arsitektur di Indonesia. Proyek-proyek yang<br />
ambisius banyak dibangun pada masa itu. Pendidikan arsitektur<br />
dalam negeri pada era itu membuat berbagai kemajuan pada<br />
pembangunan negara pasca kemerdekaan. Namun, sebagai<br />
titik awal kelahiran arsitektur nasional, apakah identitas sudah<br />
tercermin pada era itu?<br />
<strong>Identitas</strong> <strong>Nasional</strong><br />
Yuswadi Saliya, nama itu mungkin sudah sering terdengar<br />
di setiap telinga orang yang berkecimpung di dunia arsitektur<br />
baik praktisi maupun pelajar. Sebagai salah satu lulusan arsitek<br />
Indonesia yang pertama, Yuswadi Saliya menyaksikan dinamika<br />
dan perkembangan arsitektur era pasca kemerdekaan hingga<br />
sekarang, demikian pula dari sudut pandang identitas.
08<br />
Berbicara mengenai identitas, menurut Yuswadi Saliya, identitas<br />
merupakan sesuatu yang dibentuk bukan dicari. Dibutuhkan<br />
juga konsistensi agar terbentuk ciri khas yang menjadikan itu<br />
sebagai identitas, dan pada akhirnya, dibutuhkan pengakuan<br />
agar identitas itu bisa dikenal. Hal tersebut juga berlaku dalam<br />
bidang arsitektur.<br />
Di Indonesia, iklim tropis yang menjadi identitas dari segi arsitektur.<br />
Menurutnya, identitas arsitektur nasional itu lahir sebagai bentuk<br />
penyelesaian masalah terhadap iklim ketropisan. Hal itu dilakukan<br />
secara konsisten sehingga menjadi identitas, “adaptasi kita<br />
sebagai makhluk hidup yaitu dengan menyesuaikan diri dengan<br />
lingkungan, pada penyesuaian itu lah terjadi dan terbentuk<br />
identitas” ujar Yuswadi Saliya. Hal itu kemudian berpadu dengan<br />
kebhinekaan budaya yang ada di Indonesia.<br />
Yuswadi Saliya juga bercerita bahwa, berbagai bangunan<br />
monumental yang dibangun pada era kemerdekaan menjadi<br />
tonggak kemajuan arsitektur di Indonesia. Ir. Soekarno yang<br />
menjadi presiden pertama Indonesia menentukan berbagai<br />
kebijakan yang menjadi penentu arah dari arsitektur Indonesia<br />
pada waktu itu. Selain sebagai bukti bahwa Indonesia merupakan<br />
negara yang kaya, bangunan yang dibangun pada era Ir. Soekarno<br />
juga menjadi bukti identitas arsitektur nasional. Gelora Bung<br />
Karno, Monas, dan bangunan bangunan lain yang dibangun pada<br />
era itu seolah olah membawa semangat demi kemajuan bangsa<br />
Indonesia.<br />
Yuswadi Saliya menyebutkan beberapa nama yang menjadi<br />
tokoh pertama keberlanjutannya arsitektur di Indonesia.<br />
Frederich Silaban dan Soejoedi Wirjoatmodjo. Menurutnya kedua<br />
tokoh itulah yang paling memperlihatkan identitas arsitektur<br />
nasional pada setiap bangunan yang mereka desain. Yuswadi<br />
Saliya berucap “Karya-karya mereka menafsirkan sebagaimana<br />
kebutuhan cuaca pada saat itu dalam arsitektur. dan kalau gaya<br />
ini banyak pengikutnya dan setuju dengan itu jadi memperkuat<br />
dan memperpanjang dalam kurun waktu yang lama, sehingga<br />
identitas menjadi terbentuk”<br />
Foto oleh:<br />
Mas Reva<br />
Ditulis oleh:<br />
Nur Shadrina<br />
dan Satrio Aji<br />
Narasumber:<br />
Yuswadi Saliya
<strong>Identitas</strong> <strong>Nasional</strong><br />
Monumen nasional, merupakan satu contoh dari bangunan yang<br />
menginterpretasikan identitas nasional Indonesia. “Monumen<br />
nasional itu kan Lingga dan Yoni. Hal itu merupakan lambang<br />
dari kesuburan. Jadi maksudnya Negara Indoneia itu hidup adil,<br />
makmur, dan subur jadi selalu melahirkan kembali hal-hal baru<br />
ke peradaban.” ujar Yuswadi Saliya. Menurutnya semakin jauh<br />
penafsiran akan bentuk yang kita pakai untuk saat ini, maka<br />
semakin kokoh juga kita di masa depan. Jika kita tidak kenal<br />
dengan sejarah masa lalu kita, maka kita tidak akan kenal<br />
dengan masa depan. Namun sejarah itu harus ditafisirkan. Jika<br />
tidak dicerna maka kita akan menjadi kuno.
Pada akhir kata Yuswadi Saliya memberikan beberapa wejangan<br />
terhadap semua orang yang bergerak di praktik arsitektur.<br />
Yuswadi saliya berkata bahwa kemampuan arsitek dalam<br />
mendesain tetap harus mengutamakan penggunanya. Jika<br />
pengguna tidak bisa beradaptasi, disitulah arsitek dikatakan<br />
gagal. Arsitek yang baik harus bisa memberikan akomodasi<br />
terbaik terhadap penggunanya. Jangan sampai pengguna terlalu<br />
lama dalam beradaptasi sehingga pada akhirnya gagal untuk itu.<br />
Khususnya dalam segi fungsi dan penyenyesuaiannya terhadap<br />
konteks kelokalan terutama iklim. Mungkin itulah spirit yang<br />
ditanam dan dipupuk oleh para pendahulu kita untuk kita selalu<br />
jaga dan kembangkan.<br />
<strong>10</strong>
Persepsi dan<br />
<strong>Identitas</strong><br />
Arsitektur<br />
Indonesia<br />
Pada masa kini Indonesia dipenuhi dengan gedung tinggi<br />
yang memiliki bentuk serupa dan dilingkupi kaca, tanpa<br />
merepresentasikan ciri khas arsitektur Indonesia sendiri.<br />
Fenomena ini sering kali dikatakan sebagai tanda bahwa<br />
Arsitektur Indonesia mulai kehilangan identitasnya. Namun,<br />
dengan Indonesia yang memiliki berbagai macam bentuk<br />
arsitektur, bagaimana sebenarnya identitas arsitektur Indonesia?<br />
<strong>Identitas</strong> <strong>Nasional</strong><br />
Eko Prawoto, seorang arsitek dan edukator yang dikenal akan<br />
karya arsitekturnya yang mengartikulasi relasi manusia dengan<br />
alam, serta mengombinasikan desain kontemporer dengan<br />
material lokal berpendapat bahwa arsitektur Indonesia tidak<br />
bisa ditunggalkan, “...untuk kemudian melebur menjadi satu<br />
yang dilabel Indonesia menurut saya juga tidak perlu. Lebih baik<br />
Indonesia digunakan sebagai bingkai besar dan di dalam itu ada<br />
banyak keragaman.”
Foto oleh:<br />
Clara Florida<br />
dan Raisha Alifia<br />
12<br />
Indonesia terdiri dari ribuan pulau, serta ratusan suku dan<br />
budaya yang masing-masing memiliki bangunan arsitektur yang<br />
berbeda. Maka itu menurut Eko Prawoto, mempertanyakan<br />
identitas arsitektur Indonesia sama dengan mempertanyakan,<br />
“Orang Indonesia itu seperti apa?”. Pertanyaan tersebut akan<br />
sulit dijawab, karena jawabannya tidak hanya satu dan bersifat<br />
konkret. Walaupun setiap suku memiliki budaya yang berbeda<br />
dengan satu sama lain, mereka tetaplah masyarakat Indonesia.<br />
Lalu, bila arsitektur Indonesia tidak bisa ditunggalkan, apakah hal<br />
tersebut berarti arsitektur Indonesia tidak memiliki identitas?<br />
“<strong>Identitas</strong> hanyalah sebagian dari bentuk relasi arsitektur dengan<br />
konteksnya. Konteks yang kompleks tersebut tidak bisa direduksi<br />
hanya menjadi ‘bentuk’.” Respon Eko Prawoto ketika ditanya<br />
mengenai makna dari identitas arsitektur Indonesia. Beliau<br />
melanjutkan bahwa justru hal yang lebih penting dipersoalkan<br />
daripada bentuk adalah peran karya arsitektur sendiri dalam<br />
membentuk kehidupan yang lebih baik di tempat karya tersebut<br />
berada, bagaimana karya tersebut membentuk relasi dengan<br />
makhluk hidup, “Selama ini, kedekatan relasi itu lah yang<br />
kemudian membentuk nilai. Nilai itu kemudian yang dihidupi<br />
dalam waktu yang sangat panjang, kemudian menjadi tafsiran<br />
hidup sepanjang waktu yang dapat terus berganti. Sudah saatnya<br />
kita mulai bicara mengenai dampak dari arsitektur, bukan hanya<br />
bentuk dari karya arsitektur itu sendiri,” ucapnya.<br />
Eko Prawoto sendiri menganggap bahwa kebudayaan yang<br />
diekspresikan dalam suatu arsitektur sebagai salah satu<br />
intrepetasi atas persoalan pada waktu itu, atau solusi kreatif atas<br />
sebuah persoalan pada waktu tertentu. Maka itu, solusi tersebut<br />
bisa bersifat jangka panjang, dan bisa saja tidak. Seorang arsitek<br />
harus melihat arsitektur pada masa lalu tersebut sebagai rujukan<br />
saja, bukan dengan mengambil bentuk arsitektur tersebut<br />
seutuhnya tanpa memperhatikan relasi dengan makhluk hidup<br />
dan dampaknya terhadap lingkungan.<br />
Ditulis oleh:<br />
Salma Thalia dan<br />
Tasya Taranusyura<br />
Narasumber:<br />
Eko Prawoto
Beliau juga mengingatkan bahwa di zaman ini, sulit untuk<br />
berbicara mengenai hitam-putih, atau Timur-Barat. Kita sebagai<br />
rakyat Indonesia memang memiliki peran sebagai pewaris yang<br />
sah dari budaya Indonesia, tapi tidak boleh dilupakan fakta bahwa<br />
kita adalah pewaris yang sah dari budaya dunia juga. Hanya<br />
saja, kita juga punya peran yang spesifik dalam peran ruang<br />
dan waktu, bagaimana “ke-ada-dirian” kita dapat bermanfaat<br />
bagi banyak orang. Walaupun tidak dikenal oleh dunia sebagai<br />
satu gaya yang formal, tidak dapat dipungkiri bahwa arsitektur<br />
Indonesia memiliki identitas sendiri. Namun, bukan hanya karena<br />
suatu hal tidak dikenal, hal tersebut bernilai buruk, dan bukan<br />
hanya suatu hal dikenal lebih luas, maka nilainya akan menjadi<br />
lebih baik. Di balik setiap label terdapat kepentingan tersendiri.<br />
<strong>Identitas</strong> <strong>Nasional</strong><br />
Menurut Eko Prawoto, identitas bukanlah tentang kata yang<br />
melabelkannya dan popularitas dari kata tersebut, tapi tentang<br />
kemampuan untuk memberikan dampak. Pembentuk identitas<br />
itu seringkali berasal dari luar. Analoginya seperti ikan yang tidak<br />
bisa melihat air, tapi kita sebagai manusia yang melihat dari luar<br />
akuarium bisa melihat keberadaan air tersebut. Pada dasarnya,<br />
pembentukan identitas adalah masalah persepsi, bagaimana kita<br />
memilih untuk melihat dan mendefinisikan suatu keberadaan<br />
arsitektur.
14
Adaptasi<br />
Terhadap<br />
Konteks<br />
Nusantara<br />
<strong>Identitas</strong> <strong>Nasional</strong><br />
Berkembang dan dinamis, mungkin kedua kata itu merupakan<br />
suatu kata yang sangat melekat pada dunia arsitektur.<br />
Penyesuaian dengan konteks mulai dari aspek penggunanya,<br />
tempat ia berada, sampai dengan iklim tempat tersebut membuat<br />
arsitektur sangat dinamis. Pada abad ke 19 pergerakan<br />
arsitektur modern-pun muncul. Revolusi industri membuat<br />
berbagai pembaharuan dari segi material dan sistem konstruksi.<br />
Pandangan hidup yang lebih “manusiawi” diterapkan dalam<br />
bangunan. Pada tahun 1920an International Style menjadi<br />
sebuah gaya yang mendominasi dalam dunia arsitektur.
16<br />
Indonesia, negara yang terletak jauh dari pusat perkembangan<br />
arsitektur modern saat itu juga mendapat percikan dari hal itu.<br />
Arsitektur modern dibawa oleh arsitek-arsitek berkebangsaan<br />
Belanda yang pada saat itu bermukim di Indonesia. Kebutuhan<br />
Bangsa Belanda sebagai negara yang bermukim di Indonesia<br />
akan ruang, membuat berbagai arsitek dari negara itu<br />
membangun bangunan dengan berbagai fungsi seperti, rumah,<br />
villa, hotel, kantor dan sebagainya.<br />
Berbagai bangunan pun didirikan dengan gaya arsitektur yang<br />
berorientasi kearah arsitektur Belanda. Namun karena iklim<br />
tropis di Indonesia, pengguna merasakan ketidaknyamanan<br />
untuk beraktifitas di dalam ruang dan perawatan menjadi sangat<br />
berat. Prinsip - prinsip pada arsitektur modern pun tidak dapat<br />
diimplementasikan secara sempurna. Arsitek belanda pada<br />
saat itu terkesan hanya memindahkan bangunan dengan gaya<br />
yang ada di Belanda ke Indonesia, tanpa menyesuaikan dengan<br />
konteks lokalitas.<br />
Penyesuaian dengan konteks kelokalan yang ada di Indonesia<br />
pun dilakukan. Morfologi bangunan yang dibangun di Indonesia<br />
pada akhirnya menjadi berbeda dengan morfologi bangunan<br />
yang ada di Belanda. Istilah Nieuwe Indische Bouwstijl atau New<br />
Indies Style pun muncul sebagai gaya baru akan perpaduan<br />
antara arsitektur modern yang ada di Belanda dengan kondisi<br />
kelokalan yang ada di Indonesia.<br />
Nama - nama seperti Henri Maclaine Pont, Thomas Karsten, Wolff<br />
Schoemaker, Albert Aalbers, Cosman Citroen adalah beberapa<br />
nama arsitek yang terkenal pada masa itu. Bumi Parahyangan<br />
atau yang lebih dikenal dengan nama Villa Isola merupakan<br />
salah bangunan bergaya art deco karya Wolff Schoemaker yang<br />
sangat terkenal di Kota Bandung. Bangunan ini berada di Jalan<br />
Setiabudi tepatnya di Komplek Universitas Pendidikan Indonesia.<br />
Bangunan yang didirikan pada tahun 1933 ini merupakan<br />
sebuah rumah tinggal milik Dominique Willem Barretty seorang<br />
pengusaha asal Belanda yang tinggal di Indonesia. Selepas<br />
peninggalan Dominique Willem Barretty, Villa Isola yang awalnya<br />
digunakan sebagai rumah tinggal telah beralih fungsi menjadi<br />
hotel dan kini menjadi Gedung Rektorat Universitas Pendidikan<br />
Indonesia.<br />
Ditulis oleh:<br />
Seto Ardhana dan<br />
Satrio Aji
<strong>Identitas</strong> <strong>Nasional</strong>
18<br />
Bangunan dengan ciri khas bentuk melengkung ini memadukan<br />
gaya art deco dengan kondisi iklim di Indonesia. Jendela yang<br />
besar, teritis yang menaungi fasad bangunan, balkon sebagai<br />
ruangan semi terbuka merupakan beberapa penyesuaian<br />
terhadap iklim tropis di Indonesia khususnya Kota Bandung.<br />
Kondisi iklim tropis di Indonesia tidak selalu menjadi masalah<br />
bagi para arsitek pada masa itu. Wolff Schoemaker mampu<br />
memanfaatkan sinar matahari untuk menciptakan efek light and<br />
shadow pada Villa Isola sehingga fasad bangunan menjadi lebih<br />
dramatis dan eksotis.<br />
Perpaduan antara arsitektur modern dengan arsitektur Indonesia<br />
tidak hanya selalu bersinggungan dengan konteks iklim, tapi<br />
dapat dipadukan dengan konteks budaya di Indonesia. Aula<br />
Barat dan Timur Institut Teknologi Bandung merupakan karya<br />
dari Henri Maclaine Pont pada tahun 1918. Gaya arsitektur<br />
pada bangunan ini lebih dikanal dengan gaya arsitektur Indische,<br />
yakni perpaduan antara arsitektur modern Eropa dan arsitektur<br />
nusantara. Unsur modern pada bangunan ini lebih dominan pada<br />
penggunaan material kayu laminasi sebagai struktur atap yang<br />
diekspos pada interior bangunan. Unsur kelokalan tercermin<br />
pada bentuk atap yang merupakan peleburan antara bentuk -<br />
bentuk atap tradisional yang ada di nusantara. Pentutup atap<br />
yang tebuat dari kayu - kayu sirap semakin memperkuat nilai<br />
lokalitas pada bangunan kembar ini.<br />
Penyesuaian terhadap konteks Indonesia tidak hanya<br />
menciptakan identitas dan keunikan yang kuat pada bangunan<br />
kembar ini. Sudah satu abad bangunan usia bangunan kembar<br />
ini dan masih kuat berdiri dengan gagah di Komplek Institut<br />
Teknologi Bandung. Banyak elemen arsitektur pada bangunan ini<br />
masih asli sejak pertama kali dibangun, contohnya pintu utama<br />
Aula Barat dan Timur.
<strong>Identitas</strong> <strong>Nasional</strong><br />
Menjadi<br />
Indonesia
20<br />
Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki kebudayaan<br />
yang ragamnya sulit disama ratakan. Dalam sejarah panjang<br />
pun Indonesia tidak pernah seragam, konsep hidupnya pun<br />
beragam. Keberagaman yang dimiliki Indonesia harus dipandang<br />
sebagai aset. Sehingga dalam politik kebudayaan, proses<br />
menghargai perbedaan baik personal dan non-personal harus<br />
dikedepankan.<br />
Gregorius Djaduk Ferianto atau yang lebih disapa Djaduk adalah<br />
seorang musikus, aktor, dan budayawan asal Yogyakarta. Ia<br />
adalah putra dari Bagong Kussudiardja, koreografer dan pelukis<br />
senior. Kiprahnya di dunia seni melalui grup musik Kua Etnika dan<br />
Sinten Remen serta kelompok Teater Gandrik telah mendapat<br />
banyak pengakuan dan penghargaan. Gagasan-gagasannya<br />
mengenai kebudayaan juga menarik untuk disimak.<br />
Desember 2018 lalu, Djaduk terlibat dalam Kongres Kebudayaan<br />
Indonesia (KKI) bersama dengan pemerintah, para ahli, dan<br />
pelaku budaya untuk melahirkan Strategi Kebudayaan. Strategi<br />
ini mewadahi budaya Indonesia ketika diletakan di era modern.<br />
”Perlu digarisbawahi, modernitas adalah cara berpikir, bukan<br />
hardware, bukan kulit,” kata Djaduk.<br />
Cara berpikir yang beragam membuat interpretasi mengenai<br />
keindonesiaan terkadang berbeda-beda. Djaduk juga<br />
menekankan bahwa modernisasi adalah proses dekonsturksi<br />
dari kemapamam yang sudah ada. Sehingga budaya Indonesia<br />
juga dapat berubah seiring berjalannya waktu. Cara berpikir baru<br />
memunculkan interpretasi baru terhadap budaya Indonesia.<br />
“Dalam konteks kebudayaan, ada yang hilang, ada yang muncul,”<br />
kata Djaduk. Terkadang munculnya pola-pola penyeragaman<br />
terjadi bukan karena paksaan, tapi karena selera. Cross culture<br />
juga membuat kebudayaan saling melebur dan melahirkan<br />
kebudayaan baru.<br />
Ilustrasi oleh:<br />
Ghibran Ramadhan<br />
Ditulis oleh:<br />
Gallus Presiden<br />
Narasumber:<br />
Djaduk Ferianto
Dinamisnya kebudayaan memengaruhi ruang-ruang sosial yang<br />
terbentuk. Dalam arsitektur pun terdapat ruang sosial, ruang<br />
politik, ruang ekonomi, dan itu adalah produk kebudayaan.<br />
“Arsitektur juga produk kebudayaan, dan pelakunya adalah<br />
seniman,” ujar Djaduk. Seniman memiliki keliaran dalam<br />
membangun imaji dan tafsir sehingga rasa harus dilibatkan<br />
dalam meletakan suatu objek di tengah lingkungan masyarakat.<br />
Arsitek yang dikatakan termasuk sebagai seniman, memiliki<br />
kekuatan-kekuatan secara personal. Setiap seniman memiliki<br />
kemampuan dan kelebihan sehingga memunculkan identitasnya<br />
sendiri. “Di seni ada namanya -isme-, tapi kalau senimannya<br />
berambisi punya -isme-, biasanya malah nggak terwujud,” kata<br />
Djaduk. Dengan interpretasi masing-masing seniman yang<br />
memiliki pengetahuan, membaca, dan berelasi dengan yang di<br />
luar ilmunya, akan terwujud suatu karya seni sesuai bahasanya<br />
masing-masing.<br />
“Ada yang namanya cakra manggilingan, hidup itu berputar,” ucap<br />
Djaduk. Arsitektur, kesenian, dan keterkaitannya dengan budaya,<br />
juga harus siap didekonstruksi sehingga terus bertumbuh,<br />
organik. Namun untuk menyebut pertumbuhan itu sebagai<br />
identitas Indonesia, diperlukan kehati-hatian.<br />
“Menyebut arsitektur beridentitas Indonesia itu menurut saya<br />
terlalu gegabah, menjadi Indonesia itu proses,” kata Djaduk.<br />
Menemukan wujud arsitektur Indonesia adalah proses, akan<br />
ditemukan dengan sendirinya dan bukan karena pretensi dari<br />
para arsitek. <strong>Identitas</strong> arsitektur tidak ditentukan oleh arsiteknya,<br />
namun oleh waktu dan zaman.<br />
<strong>Identitas</strong> <strong>Nasional</strong><br />
“Kalau ada karya arsitektur orang Indonesia terlihat ke-<br />
Indonesiaan-nya, ya karena dia orang Indonesia,” ujar Djaduk<br />
menekankan. Akademisi selalu mencari definisi. Bagi para<br />
seniman, defisini tidaklah begitu penting. Tidak memiliki definisi<br />
berarti dapat menarik ulur dan membuatnya berproses. Perlu<br />
ditekankan, menjadi Indonesia itu adalah sebuah proses. “Tidak<br />
berpolitik itu berpolitik. Dalam konteks arsitektur, ketika tidak<br />
punya identitas itu tadi adalah identitas,” ucap Djaduk.
Foto oleh:<br />
Anastasia Nathania<br />
22<br />
Ragam Gaya<br />
Ditulis oleh:<br />
Samuel Geovano<br />
dan Joshua Toindo<br />
Arsitektur
<strong>Identitas</strong> <strong>Nasional</strong><br />
Indonesia merupakan negara dengan beragam budaya dan<br />
keunikan. Walau demikian berbeda dengan negara-negara<br />
ASEAN lainnya, gaya arsitektur di Indonesia tidak begitu terasa<br />
bahkan dirasakan ”absent” oleh beberapa orang. Padahal<br />
sebelumnya perkembangan arsitektur di Indonesia sangat maju<br />
bahkan merupakan karya yang dapat dibilang sebagai karya<br />
agung arsitektur Indonesia yang diakui oleh negara-negara<br />
lainnya. Melalui fenomena ini kami mencari tahu alasan tidak<br />
terasanya atau terbentuknya gaya arsitektur yang konkrit dan<br />
mencoba untuk mencari “missing link” dari fenomena ini.
24<br />
Arsitektur<br />
Kolonial<br />
Kota Tua,<br />
Jakarta<br />
Arsitektur Kolonial masuk pada abad ke 17<br />
di Jawa bersamaan dengan masuknya era<br />
penjajahan Belanda di Indonesia (VOC), saat<br />
itu bentuk bangunannya belum disesuaikan<br />
dengan iklim setempat. Kemudian pada tahap<br />
selanjutnya ditandai dengan bangunan arsitektur<br />
yang mulai disesuaikan dengan iklim setempat<br />
dengan gaya yang berdasarkan gaya arsitektur<br />
yang berkembang di eropa dan Belanda. Pada<br />
tahap berikutnya, masuk gaya “empire style” yang<br />
popular di Perancis pada akhir abad ke 17 dan<br />
18 awal, berkaitan juga dengan berkembangnya<br />
rumah tradisional di Jawa maka terjadi akulturasi<br />
budaya yang menciptakan gaya “indische empire”<br />
di nusantara. Kemudian gaya ini terus berkembang<br />
menuju kepada tahap akhir pada awal abad ke-<br />
20 yang ditandai terbentuknya arsitektur kolonial<br />
moderen yang sudah disesuaikan dengan iklim,<br />
teknologi dan bahan setempat. Dapat dibilang gaya<br />
ini berakhir ketika selesainya masa penjajahan di<br />
Indonesia, dan mewajibkan Bangsa Belanda untuk<br />
kembali ke negara asalnya.<br />
Arsitektur<br />
Pasca<br />
Kolonial<br />
Arsitektur pasca modern tidak terlepas dari sosok<br />
Bung Karno untuk membangun citra modernisasi<br />
Indonesia dengan semangat nasionalisme dan<br />
patriotisme. Dengan gagasan konsep TRISAKTI:<br />
berdaulat dalam politik , berdikari dalam ekonomi<br />
dan berkepribadian dalam budaya. Beliau memiliki<br />
visi untuk menciptakan gaya arsitektur pada<br />
bangsa baru, sebagai identitas bangsa dalam<br />
kancah international yang tidak menjiplak dari<br />
bangsa lain tapi dari bangsa Indonesia sendiri.Hal<br />
ini dibuktikan dengan dibangunnya berbagai objek<br />
arsitektur seperti monas, Gelora Bung Karno, Hotel<br />
Indonesia, Bank Indonesia, Gedung CONEFO,<br />
Sarinah, Masjid Istiqlal, Gedung Pola dan patungpatung<br />
serta tata kota Jakarta pada era Orde Lama.<br />
Dalam perancangannya desain dikembangkan<br />
dengan pendekatan modern/ fungsional dan<br />
rasional , selain selain juga menyesuaikan dengan<br />
iklim, teknologi dan material setempat.
Arsitektur Keraton<br />
Berbeda dengan gaya-gaya sebelumnya, gaya arsitektur<br />
keraton masih dapat kita rasakan apabila kita pergi ke<br />
kota Yogyakarta. Sangat terasa gaya arsitektur Keraton<br />
yang menampilkan kekentalan budaya Jawa yang terlihat<br />
sangat kontras dengan bangunan modern serta kotakota<br />
lainnya. Salah satu faktor yang menyebabkan gaya<br />
ini masih terus hidup dan dilestarikan adalah status dari<br />
kota Yogyakarta yang merupakan daerah istimewa yang<br />
sejak dulu keberadaanya dihormati termasuk pada masa<br />
penjajahan kolonial yang membuat arsitekturnya masih<br />
tetap dilestarikan.<br />
<strong>Identitas</strong> <strong>Nasional</strong><br />
Arsitektur<br />
Yankee<br />
Pada tahun 1950an muncul gaya arsitektur Jengki<br />
yang terinspirasi oleh bangunan-bangunan modern di<br />
Barat. Jengki berasal dari kata Yankee yang merupakan<br />
sebutan orang Inggris terhadap para kolonis Belanda.<br />
Karakteristiknya adalah kolom bentuk V , bidang mengecil<br />
ke bawah, atap meja atau pelana, bukaan berupa jendela<br />
trapesium, lubang ventilasi berbentuk lingkaran.
26<br />
Arsitektur Peranakan<br />
Straits Elektik<br />
Gaya arsitektur peranakan bertumbuh dan<br />
berkembang pada abad ke-19 dan abad ke-20, gaya<br />
ini menggabungkan unsur budaya Barat dan Timur<br />
yang ditandai dengan karya seni keramik. Asal mulanya<br />
gaya ini adalah ketika pria dari Cina yang mulanya<br />
hanya datang untuk berdagang mulai menikahi wanita<br />
lokal dan kemudian terjadilah perpaduan budaya di<br />
antara keduanya.<br />
Kemudian selama masa penjajahan Belanda dan<br />
Inggris, orang peranakan digolongkan sebagai<br />
komunitas kelas putih perkotaan dengan kelas sosial<br />
tinggi sehingga mengambil beberapa gaya arsitektur<br />
yang mewah ala orang Eropa. Ciri khas dari bungalow<br />
kolonial yang dibangun pada akhir abad ke-19<br />
dan awal abad ke-20 adalah struktur yang tinggi,<br />
beranda dengan bentuk melengkung, langit-langit<br />
tinggi, beranda luas, jendela Perancis, dan dinding<br />
dengan plester batu bata. Di bungalow ini terdapat<br />
lantai marmer, ubin warna-warni, chandelier, furnitur<br />
Blackwood dan lemari jati yang diisi dengan barangbarang<br />
Nyonya.
Candi<br />
Sebagai<br />
Salah Satu<br />
<strong>Identitas</strong><br />
Indonesia<br />
<strong>Identitas</strong> <strong>Nasional</strong><br />
Dr. Rahadian Prajudi Herwindo, S.T., M.T., salah satu guru besar<br />
program Studi Arsitektur UNPAR memiliki kecintaan terhadap<br />
candi sejak ia kecil. Pertemuannya dengan candi dimulai dari kelas<br />
sejarah saat ia bersekolah SD. Karena kegemarannya itu Ia mulai<br />
memfoto serta mengoleksi gambar-gambar candi di Indonesia,<br />
spesifik di Jawa. Namun saat beliau berkuliah S1 di Arsitektur<br />
UNPAR, candi Indonesia tidak dibahas secara spesifik. Beriringan<br />
dengan ditambahkannya skripsi sebagai syarat kelulusan, Pak<br />
Dodo mengorek kembali foto-foto candi yang ia miliki dan<br />
menjadikannya topik skripsinya yang dibimbing oleh Dr. Yuswadi<br />
Saliya, Ir., M.Arch. Ia melanjutkan penelitiannya pada tahap S2 di<br />
ITB dan jurnalnya dianugerahi medali emas dari LIPI.
28<br />
Saat melanjutkan jenjang doktornya, timbul suatu pemikiran di<br />
benak pak Dodo. Setelah menganalisis candi-candi yang ada<br />
di Indonesia, terus apa? Apa relevansinya dengan arsitektur<br />
sekarang? Lalu Ia sadari bahwa pengaruh arsitektur candi<br />
terhadap arsitektur modern Indonesia sangatlah besar. Bermula<br />
dari arsitektur kolonial seperti Gedung Sate yang mengambil<br />
bentuk meru, hingga arsitektur pasca kemerdekaan dimana<br />
Soekarno ingin menunjukan Indonesia yang modern tapi pro<br />
lokal dalam Monumen <strong>Nasional</strong> yang terinspirasi dari arsitektur<br />
Majapahit.<br />
Mengutip dari Pak Yuswadi, Pak Dodo menyatakan bahwa<br />
identitas itu tidak bisa langsung hadir. <strong>Identitas</strong> itu hasil dari suatu<br />
proses yang panjang. Candi bisa menjadi identitas arsitektur<br />
Indonesia sebab Ia nampak secara menerus sejak masa kerajaan<br />
Hindu-Buddha, kerajaan Islam, masa kolonial hingga masa pasca<br />
kemerdekaan.<br />
Candi di Indonesia bermula dari agama Hindu-Buddha yang<br />
dibawa dari India, namun oleh warga lokal di kembangkan. Contoh<br />
candi Prambanan, bangunan tinggi pertama di Asia Tenggara.<br />
Dan karena itu, baru mulai bermunculan candi-candi di wilayah<br />
lain yang terinspirasi oleh candi yang ada di wilayah Indonesia.<br />
Indonesia memiliki arsitektur yang dapat mempengaruhi tren<br />
global pada waktu itu.<br />
Foto oleh:<br />
Daren Lang<br />
Ditulis oleh:<br />
Gevin Timotius<br />
dan Yovine Rachellea<br />
Narasumber:<br />
Rahadian Prajudi H.
<strong>Identitas</strong> <strong>Nasional</strong><br />
Sekarang, arsitektur Indonesia lah yang dipengaruhi oleh<br />
arsitektur global. Apakah kita akan mengglobalkan yang<br />
lokal? Atau melokalkan yang global? Bagaimana kita dapat<br />
menghadirkan Indonesia namun hanya dengan tropis?<br />
Regionalisme kritis lah yang melanjutkan arsitektur lokal menurut<br />
fungsi modern, namun dengan relevansi yang benar. Membaca<br />
arsitektur Indonesia tidak dari style saja, dan karena itu jangan<br />
romantik (revival) namun di aplikasi dengan rasionalitasnya.
30<br />
Bahasa<br />
Bangsa<br />
Saat ini, media yang kita konsumsi berotasi secara global. Berita<br />
dari seluruh dunia sangat mudah diakses dengan tautan yang<br />
tepat. Entah berita dari kanal-kanal formal seperti CNN, atau<br />
sesederhana tulisan dari seorang fotografer asal Taiwan pada<br />
blog pribadinya, berita-berita yang sangat mudah diakses ini<br />
menggunakan Bahasa Inggris; bahasa yang disepakati secara<br />
internasional sebagai bahasa internasional. Menggunakan<br />
bahasa internasional memberikan jaminan tidak tertulis bahwa<br />
konten yang dibawanya akan relevan dalam taraf global. Oleh<br />
karena itu, banyak kanal berita lokal mulai mengubah bahasa<br />
utama mereka menjadi Bahasa Inggris, dengan harapan agar<br />
cerita mereka menjadi relevan di mata internasional. Suka atau<br />
tidak, kita sebagai satu bangsa sedang berusaha keras melatih<br />
lidah Indonesia ini untuk bisa berbahasa Inggris.<br />
Foto oleh:<br />
David Mulyawan<br />
Ditulis oleh:<br />
Myra Salsabila
<strong>Identitas</strong> <strong>Nasional</strong>
32<br />
Tanpa disadari, tumbuh kesenjangan antara bahasa internasional<br />
ini dengan bahasa nusantara. Terdapat stigma yang menempel<br />
dengan bebal, berkata bahwa Bahasa Inggris lebih hebat dan<br />
konten dengan Bahasa Inggris langsung mendapat tepuk tangan<br />
yang meriah. Segala yang datang dari barat dianggap hebat,<br />
seakan saat ini para Meneer dan Gubermen masih berkuasa di<br />
atas Tanah Air. Dulu, seorang pribumi memiliki kesempatan untuk<br />
hidup lebih besar ketika ia berharga untuk para Meneer itu. Dulu,<br />
seorang pribumi yang bisa berbahasa belanda bisa naik pangkat<br />
menjadi juru tulis di perkebunan, atau bahkan bekerja langsung<br />
pada para tuan tanah. Segala hal yang menjamin keluarganya<br />
dapat hidup satu hari lagi.<br />
Konsep itu seakan masih melekat bersama bangsa Indonesia,<br />
bahkan ketika sudah tidak dijajah. Bukannya tidak cinta tanah<br />
air, konsep bahwa yang barat pasti lebih hebat masih menjajah<br />
pikiran bangsa kita.<br />
Padahal bahasa adalah bagian yang penting dari sebuah budaya.<br />
Bahasa khas dari suatu budaya adalah cara budaya tersebut<br />
bercerita dan berekspresi. Bukankah banyak ekspresi serta<br />
frasa bahasa Indonesia yang tidak bisa diterjemahkan ke Bahasa<br />
Inggris? Begitu pula dengan sebaliknya. Bahasa menjadi bagian<br />
integral suatu budaya, terutama bagi manusia yang bernaung di<br />
bawah budaya tersebut.<br />
Dalam arsitektur, produk arsitektur sering kali digunakan<br />
untuk menilai suatu budaya. Mudahnya, karena bangunan dan<br />
monumen menggambarkan kebiasaan dan pola pikir dari manusia<br />
yang hidup di dalamnya. Seperti bahasa, arsitektur adalah salah<br />
satu cara untuk mengekspresikan identitas suatu masyarakat<br />
kolektif. Ruang bersama yang besar dalam rumah tradisional<br />
Toraja menggambarkan kebersamaan yang sangat dijaga oleh<br />
masyarakat Toraja. Perkampungan di Papua seperti sebuah<br />
rumah besar untuk satu desa, dengan satu dapur besar dan<br />
rumah laki-laki dan perempuan yang terpisah menggambarkan<br />
keterkaitan dan kekeluargaan yang medarah daging di antara<br />
mereka. Cerita-cerita ini dapat dirasakan dari membaca bahasa<br />
arsitektur, bagaimana seluruh ruang dan struktur tersebut<br />
berbicara.
Namun, saat ini bentuk dan ruang yang diwariskan oleh nenek<br />
moyang kita tergantikan oleh bentuk-bentuk sederhana, hasil<br />
observasi dan kekaguman pada karya para arsitek barat. Seakan<br />
golden ratio bisa memberikan cerita yang lebih baik dari asta<br />
kosala kosali. Kapan akan disadari, bahwa bangunan cantik dari<br />
Norwegia itu tidak bisa diletakkan di Jakarta? Itu bukan cerita<br />
bangsa kita.<br />
Pramoedya Ananta Toer pernah berkata dalam salah satu<br />
novelnya bahwa seorang penulis yang menulis dalam bahasa<br />
asing dan bukan asalnya, tidak memahami kebutuhan rakyatnya.<br />
Bukankah arsitektur hanya membentuk dan mereformasi<br />
ruang untuk memenuhi kebutuhan klien? Istilah “pemecahan<br />
masalah” dan “manusia yang memanusiakan manusia” adalah<br />
istilah yang keluar dengan mudah ketika kita memutar otak<br />
untuk menghasilkan desain baru dengan fungsi apapun yang<br />
dibutuhkan oleh banyak orang. Memahami kebutuhan orangorang<br />
kita adalah sesuatu yang kita lakukan dengan buruk, dan<br />
sayangnya pikiran kita yang terjajah ini terlalu keras kepala untuk<br />
mengubah apa pun.<br />
Menempatkan payung di atas sesuatu, memastikan bahwa<br />
semua yang ada di bawahnya tercakup. Tetapi, ketika kita<br />
berbicara tentang identitas budaya, apakah kita rela hanya<br />
berada di bawah suatu “cakupan”?<br />
Berada di bawah payung berarti tercakup, tetapi tidak ada<br />
yang mengatakan apa pun tentang terwakili. Rasa superioritas<br />
dalam menggunakan bahasa ruang dan bentuk dari barat ini<br />
membunuh atap tinggi dan bentuk linear ala bangsa kita; bahasa<br />
bangsa kita. Memahami kebutuhan bangsa kita adalah lebih dari<br />
sekadar mengetahui di mana harus menempatkan ruangan apa.<br />
Memahami kebutuhan bangsa kita adalah memahami bahwa<br />
cerita-cerita kita hanya dapat dimengerti ketika kami berbicara<br />
dalam bahasa yang dimengerti.<br />
<strong>Identitas</strong> <strong>Nasional</strong>
34<br />
“<strong>Identitas</strong> itu dibentuk,<br />
bukan dicari.”<br />
– Yuswadi Saliya
Tiap negara memiliki ciri khasnya masing-masing dalam arsitektur. Indonesia tidak<br />
beda dari yang lain, ciri khas dalam arsitekturnya menjadi pembeda Indonesia<br />
dengan negara-negara lain. Dalam konteks ini, akan dibahas arsitektur yang<br />
menjadi salah satu pembeda negara Indonesia dengan negara-negara lainnya<br />
yaitu arsitektur vernakular, arsitektur yang berasal dari masyarakatnya sendiri.<br />
Vernakular:<br />
Sebuah<br />
Proses dalam<br />
Berarsitektur<br />
<strong>Identitas</strong> <strong>Nasional</strong><br />
Arsitektur vernakular awalnya tumbuh dari kebutuhan akan ruang<br />
untuk aktivitas sehingga mengakibatkan terbentuknya ruangruang<br />
tersebut sebagai wadah untuk kegiatan. Dengan sumber<br />
daya alam yang ada, kepercayaan yang unik di tempat tersebut,<br />
sumber daya manusia yang tersedia, dan berbagai keunikan lain<br />
yang ada di tiap tempat, ruang yang terbentuk menjadi unik di<br />
tiap tempat.
36<br />
Dalam wawancaranya,<br />
Yenny Gunawan mengatakan bahwa,<br />
“arsitekturnya muncul mulai<br />
dari kebutuhan masyarakat<br />
akan tempat tinggal, jadi<br />
dimana pun kita berada kita<br />
membutuhkan tempat tinggal,<br />
dan karena itu kita mulai<br />
membangun, membangun<br />
wadah wadah ruang yang<br />
disepakati bersama-sama”<br />
Foto oleh:<br />
Clara Florida<br />
Iklim juga memengaruhi bangunan vernakular contohnya iklim<br />
tropis dengan curah hujannya yang tinggi mengakibatkan<br />
bangunan diangkat dari tanah dan atap besar yang dominan<br />
menutupi bangunan, suhu yang hangat mengakibatkan<br />
dinding-dinding yang tipis, di Kalimantan dengan budaya yang<br />
mengedepankan kesatuan menciptakan ruang yang menyatu<br />
antar rumah dalam rumah panjang, aktivitas warga yang terpaku<br />
pada laut mengakibatkan rumah masyarakat bajau yang terletak<br />
di atas laut, dan masih banyak lagi kebutuhan yang disikapi.<br />
Ditulis oleh:<br />
Ahimsa Sirait<br />
dan Mikael Tanara<br />
Narasumber:<br />
Yenny Gunawan<br />
Berbeda dengan tradisional, menurut Yenny Gunawan, tradisi<br />
dalam elemen suatu bangunan merupakan warisan dari leluhur<br />
yang diturunkan dari generasi ke generasi. Vernakular merupakan<br />
arsitektur yang dilihat dari sisi prosesnya bagaimana dan alasan<br />
terciptanya sebuah bangunan sedemikian rupa.
<strong>Identitas</strong> <strong>Nasional</strong>
38<br />
Sama dengan arsitektur vernakular di luar negeri, tujuannya<br />
menjawab kebutuhan ruang yang mengadaptasi. Bangunan<br />
vernakular yang ada di daerah Eropa memiliki bukaan yang<br />
kecil dan dinding yang tebal untuk menyikapi suhu dingin pada<br />
musim salju, kelimpahan batu alam pada daerah mediterania<br />
mengakibatkan batu menjadi material utama pada bangunan<br />
vernakular mediterania.<br />
Arsitektur vernakular yang ada di Indonesia memiliki beberapa<br />
kesamaan dalam elemen-elemen bentuknya dalam menyikapi<br />
iklim tropis yang ada. Kesamaan arsitektur vernakular yang ada<br />
di Indonesia ini tidak menjadi pembeda arsitektur vernakular luar<br />
negeri. Keragaman arsitektur vernakular yang ada di Indonesia<br />
tidak memungkinkan untuk dirangkum menciptakan suatu<br />
keseragaman. Berbagai budaya yang beragam dan kekayaan<br />
alamnya yang melimpah dan unik menciptakan keragaman ini.<br />
Keberagaman arsitektur vernakular ini yang menjadi pembeda<br />
arsitektur vernakular di Indonesia dan diluar, keberagaman ini<br />
yang menjadi identitas arsitektur vernakular di Indonesia.<br />
Dari semua hal diatas, kita dapat mengerti bahwa tidak ada tolak<br />
ukur yang pasti dalam arsitektur vernakular, semua itu tergantung<br />
dari siapa, di mana, dan bagaimana yang membangunnya. Pada<br />
akhirnya arsitektur vernakular memiliki kesamaan yang mendasar<br />
yaitu tumbuh dari insting manusia untuk beradaptasi untuk<br />
menyelesaikan masalah dan memanfaatkan potensi yang ada di<br />
sekitarnya tetapi menghasilkan perbedaan berupa keunikan dari<br />
tiap bangunan dalam menyelesaikan masalahnya.
Menemukan<br />
Jati Diri<br />
Bangsa<br />
<strong>Identitas</strong> <strong>Nasional</strong><br />
Sebagai pendiri Imelda Akmal Architectural Writer Studio<br />
(Media cetak arsitektur terkemuka di Indonesia), Imelda<br />
Akmal sudah akrab dengan dunia arsitektur Indonesia yang<br />
Ia tuangkan dalam buku-bukunya yang meliputi arsitek<br />
serta arsitektur di Nusantara. Tim Redaksi KOMMUNARS<br />
berkesempatan untuk mewawancara Imelda Akmal mengenai<br />
<strong>Identitas</strong> <strong>Nasional</strong> dalam arsitektur pada acara diskusi panel<br />
Prospective yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa<br />
Program Studi Arsitektur Universitas Katolik Parahyangan.
Foto oleh:<br />
Andhika Fauzan<br />
40<br />
Apa itu <strong>Identitas</strong>? Apakah<br />
penting dalam mewujudkan<br />
Arsitektur Indonesia?<br />
Ditulis oleh:<br />
Yovine Rachaella<br />
dan Gevin Timotius<br />
Dewasa ini identitas sering disalahgunakan. Banyak orang<br />
meninggalkan identitasnya sendiri dan bersikeras dengan<br />
identitas yang diinginkan. <strong>Identitas</strong> diperalat sebagai penunjuk keaku-an.<br />
Penting atau tidaknya suatu identitas, saya tidak punya<br />
jawaban, tidak ada habisnya mencari jati diri arsitektur di Indonesia<br />
karena identitas tersebut terus berubah seiring perubahan zaman.<br />
Menurut saya, lebih baik mengkhawatirkan fenomena global<br />
daripada mencari identitas ke-aku-an. Ketika karakter kita adalah<br />
ingin membuat kebaikan, bukankah itu identitas?<br />
Narasumber:<br />
Imelda Akmal
Fenomena apa yang terjadi di<br />
dunia arsitektur di Indonesia<br />
yang mewakili penyalahgunaan<br />
identitas tersebut?<br />
Saya melihat banyak sekali kekonyolan<br />
yang berusaha menonjolkan identitas dalam<br />
arsitektur. Misalnya penggunaan bentuk<br />
arsitektur tradisional di luar konteks dengan<br />
proporsinya yang berbeda dan material yang<br />
berbeda, alhasil menjadi tidak bermakna.<br />
Seperti bandara-bandara di Indonesia yang<br />
ingin beridentitas dipaksakan dengan bentuk<br />
atap rumah tradisional. Arsitektur tradisional<br />
Indonesia lebih dari apa yang dilihat mata<br />
dan tidak bisa diambil dari bentuknya saja.<br />
<strong>Identitas</strong> <strong>Nasional</strong><br />
Bagaimana arsitektur Indonesia<br />
yang ideal dalam konteks<br />
perkotaan Indonesia? Apakah<br />
sekarang sudah sesuai dengan<br />
masyarakat perkotaan Indonesia<br />
masa kini?<br />
Arsitektur Indonesia yang ideal adalah yang<br />
merespon fenomena serta masalah yang<br />
ada di Indonesia. Ketika diselesaikan secara<br />
spesifik, arsitektur tersebut menjadi identik<br />
dan kemudian menjadi identitas arsitektur<br />
yang baik dan benar dalam area tersebut<br />
sebab tidak ada tempat yang memiliki<br />
fenomena serta masalah alam dan sosial<br />
yang persis sama, tidak bisa digeneralisasi.<br />
Arsitektur tradisional lahir dari konteks dan<br />
kebutuhan desa tersebut. Namun untuk<br />
arsitektur perkotaan Indonesia, perancang<br />
harus mewujudkan desain yang menjadi<br />
kebutuhan warga kota yang beragam.<br />
Perlukah dibuat menurut identitas tertentu?<br />
Jangan, agar menghindari egoisme dari<br />
satu kaum. Arsitektur tradisional adalah<br />
konsekuensi kebutuhan daerah tertentu,<br />
berbeda dengan kota yang terdiri dari<br />
kumpulan orang dari berbagai daerah.<br />
Perkembangan arsitektur perkotaan di<br />
Indonesia berbeda-beda, namun bisa dilihat<br />
dari peraturan daerahnya. Ada daerah yang<br />
memaksakan ornamentasi pada bangunan,<br />
adapun yang memberi wewenang pada<br />
perancang agar dapat mengembangkan<br />
arsitektur di daerah tersebut.
Ditulis oleh:<br />
Ariel Latasha<br />
Foto oleh:<br />
Madeleine Suwigno<br />
dan Regentzza A.<br />
42<br />
Apakah Indonesia harus berbeda?
<strong>Identitas</strong>.<br />
Sebuah kata yang kuat tak terdefinisi,<br />
sedikit ganar, namun bisa dilihat.<br />
Siapa Indonesia?<br />
Di mana wajah kami?<br />
<strong>Identitas</strong> <strong>Nasional</strong><br />
Apakah wajah kami berada di pegunungan tinggi dan hutan hijau menyungkup hujan atau lautan luas dan pasir<br />
lembut menyambut senja?
44<br />
Kutulis petualanganku mencari wajah negeriku.<br />
Melihat rumah-rumah panggung yang sederhana namun<br />
kokoh berdiri seperti bapak yang siap mencari nafkah di<br />
pagi hari;<br />
Melihat atap-atap tinggi yang melindungiku dari teriknya<br />
sinar matahari;<br />
Melihat seniman-seniman membuat ornamen rumahnya<br />
seperti ibu yang berdandan sebelum pergi;<br />
Kutulis semua dalam buku kecilku;<br />
Dan mencari lagi dimana wajah negeriku<br />
Ketika aku berpindah tempat, kutemukan lagi wajah yang lain.<br />
Serpihan mungkin?<br />
Atau wajah baru?<br />
Apakah mungkin ini wajah yang sesungguhnya kucari?
Kulihat gedung-gedung tinggi mencakar langit<br />
abu tertutup awan;<br />
Kaca-kaca besar memantulkan bayanganku;<br />
Asap kendaraan mengepul di udara,<br />
sepertinya hendak mencekik siapapun yang menghirupnya;<br />
Sedikit kulihat hijaunya daun dan rindangnya pepohonan;<br />
Sedikit kulihat seniman yang menunjukan kebolehannya dalam<br />
menghias rumahnya;<br />
Tak jauh berbeda dari petualanganku ke negeri tetangga.<br />
Tak jauh berbeda dari wajah temanku yang jauh di seberang<br />
benua.<br />
Tidak kulihat karakter.<br />
Kemudian wajah negeriku terlihat kabur.<br />
Lalu siapa Indonesia?<br />
Mengapa kita tak jauh berbeda dari negeri temanku?<br />
Ketika temanku bertanya;<br />
“siapakah kalian?”<br />
Aku hanya menggaruk kepala dan memalingkan wajahku.<br />
Ketika ia bertanya lagi;<br />
“Tidak.”<br />
“apakah kalian bagian dari kami?”<br />
Aku sadar bahwa aku tidak mau temanku menyamakan aku<br />
dengan yang lain.<br />
Aku sadar bahwa kami memiliki karakter, sesuatu yang berbeda<br />
dari negeri temanku, dan aku tidak sudi mereka label siapa aku.<br />
Aku menentukan predikatku;<br />
<strong>Identitas</strong> <strong>Nasional</strong><br />
Namaku.<br />
Wajahku.<br />
“apakah kalian bagian dari kami?”
46<br />
Dan aku kembali mencari wajah negeriku.<br />
Mengetahui bahwa pada dasarnya<br />
identitas tak lain adalah pemersatu<br />
kami yang memiliki banyak wajah,<br />
seperti sebuah kendi yang pecah<br />
menyisakan serpihan.<br />
Mengetahui bahwa identitas<br />
adalah perekat bangsa dan bahwa;<br />
<strong>Identitas</strong> nasional,<br />
adalah identitas individual yang menyandang rasa memiliki akan<br />
suatu tempat dan komunitas,<br />
tanah air dan bangsa kita;<br />
Indonesia.<br />
Aku menulis lagi di buku kecilku. Kali ini aku bagikan pada kalian,<br />
Tanyaku akan wajah negeriku.<br />
Siapa Indonesia?<br />
Di mana wajah kami?
<strong>Identitas</strong> <strong>Nasional</strong><br />
Review Karya:<br />
Elevation<br />
oleh Andra<br />
Matin
48<br />
Andra Matin, salah satu arsitek kondang di Indonesia, telah<br />
membawa karya seni instalasi meruangnya yang bernama<br />
“Elevation” dari ajang Venice Architecture Biennale 2018 ke<br />
Pameran “Matter and Space” di Museum Macan hingga Juli<br />
2019 nanti. Karyanya ini mendapatkan Special Mention oleh juri,<br />
menjadikannya arsitek Indonesia pertama yang dianugerahkan<br />
dengan penghargaan tersebut. Elevation adalah cara Andra<br />
Matin mengenalkan arsitektur vernakular Indonesia kepada<br />
dunia internasional.<br />
Sesuai dengan judul karyanya, instalasi mewakilkan arsitektur<br />
vernakular Indonesia dalam tampak dan ketinggian. Tampak<br />
bangunan berupa anyaman rotan dengan pola geometris,<br />
menggambarkan tenun-tenun serta ciri arsitektur vernakular<br />
nusantara yang memiliki pelingkup semi-transparan. Elevasi dari<br />
dasar bangunan vernakular terhadap tanah di wujudkan dalam<br />
instalasi dengan tangga dan bordes dari kayu Jabon.<br />
Memasuki instalasi dari celah tampak rotan, pengunjung<br />
dibawa kepada sebuah peta Indonesia dan introduksi kepada<br />
arsitektur vernakular Indonesia yang tertera pada sehelai kain.<br />
Lalu, kita dibawa kepada sebuah tangga spiral dengan bordes<br />
pada ketinggian-ketinggian berbeda menurut elevasi rumah<br />
vernakular tersebut dengan maket miniaturnya. Bermula dari<br />
rumah Honai pada elevasi terendah, rumah Jawa-Bali, Mbaru<br />
Niang dan Uma Mbatanggu dari Nusa Tenggara, Omo Hada<br />
dari Nias, Tongkonan Toraja dan Rumah Panjang Dayak, hingga<br />
rumah Korowai pada elevasi tertinggi. Dengan void yang<br />
menemani tiap elevasi, pengunjung dapat merasakan ketinggian<br />
serta perspektif yang berbeda dari tiap rumah vernakular dalam<br />
satu instalasi.<br />
Ke-Indonesia-an yang diwujudkan oleh Andra Matin tidak<br />
disajikan secara literal, namun sesuai dengan jiwa arsitektur<br />
vernakular Indonesia. Skala dan proporsi ruang yang disajikan,<br />
ekspresi dari material, serta komposisi ruang menjadi terpadu<br />
dalam menggambarkan rumah-rumah secara bersama. Oleh<br />
karena itu, pengunjung dapat mengerti betul pengalaman ruang<br />
dari arsitektur vernakular Indonesia yang berbeda dan beragam.<br />
Ditulis oleh:<br />
Gevin Timotius
Pilih bentuk di samping sesuai<br />
tanggal lahir mu dan kreasikan<br />
menjadi sebuah bangunan dengan<br />
persepsi mu terhadap identitas<br />
arsitektur Indonesia!<br />
Gambar kreasimu di bawah ini<br />
<strong>Identitas</strong> <strong>Nasional</strong>
50
Ketua Kommunars<br />
Anastasia Nathania<br />
Ketua Kommunzine <strong>10</strong><br />
Randy Rizky<br />
Pemimpin Redaksi<br />
Aldy Nisar<br />
Pemimpin Desain<br />
Sarah Adeline<br />
Pemimpin Publikasi &<br />
Dokumentasi<br />
Zharfan Hadyansyah<br />
Sekretaris<br />
Ariel Latasha<br />
Bendahara<br />
Ardhisty Shafira<br />
Redaksi<br />
Ahimsa Sirait<br />
Bahagia Raihan<br />
Gabriela Leticia<br />
Gallus Presiden D<br />
Gevin Timotius<br />
Ghiffari Alfarisyi<br />
Jeremy Riona<br />
Joshua Toindo<br />
Katya Annamarie<br />
Mikhael Tanara<br />
M Ariq Naufal<br />
Myra Salsabila<br />
Nur Shadrina<br />
Ramzy Pebriansyah<br />
Samuel Geovano<br />
Salma Thalia Putri<br />
Satrio Aji Nugroho<br />
Seto Ardhana<br />
Tasya Taranusyura<br />
Yovine Rachellea<br />
Desain<br />
Allisha Shenny<br />
Anatasha Meigatha<br />
Aryadiza Gunawan<br />
Dhaneswara Dewata<br />
Ghefaza Pratsany S<br />
Ghibran Ramadhan<br />
Gracia Dame<br />
Hagai G Batara<br />
Jerrick Makani<br />
Marsella Ho<br />
Nadine Noor<br />
Nadira Anandisya<br />
Patrick Padua<br />
Pininta Taruli<br />
Rizqy Prathama P<br />
Sofian Johan S<br />
Tahira Purbo<br />
Tania Callista<br />
ilustrasi<br />
Ghibran Ramadhan<br />
Pininta Taruli<br />
Publikasi &<br />
Dokumentasi<br />
Amirah Dwila<br />
Anastasya Dwita<br />
Arya Wardhana<br />
Brian Sunardi<br />
Clara Florida<br />
Daren Lang<br />
David Mulyawan Troy<br />
Evan Hezekiah<br />
Jeremia Edward<br />
Lydia Lavinia<br />
M Andhika Fauzan<br />
Mirelle Eldens H<br />
Mas Reva R P<br />
Madeleine Y S<br />
Raisha Alifia<br />
Regentzza Aqila B<br />
Ruth Dea Juwita<br />
Verren A<br />
Vallen Trisandy<br />
Yohanes Noel<br />
52