04.01.2020 Views

MENAKAR RASIO PEMBATASAN SUBYEK PEMBERI HAK TANGGUNGAN 2

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

MENAKAR RASIO PEMBATASAN SUBYEK PEMBERI HT

DALAM LAYANAN HAK TANGGUNGAN ELEKTRONIK

Oleh : Agus Suhariono

Email : agus.suhariono@gmail.com

PENDAHULUAN

Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996

tentang Hak Tanggungan (selanjutnya disingkat UUHT) adalah hak jaminan kebendaan yang

dapat dibebankan pada hak atas tanah (HAT) atau hak milik atas satuan rumah susun

(HMSRS). Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UUHT, yang dimaksud dengan Hak Tanggungan

adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam

UUPA berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan

tanah itu untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan

kepada Kreditur tertentu terhadap Kreditur-Kreditur lainnya. Pasal 1 angka 1 ini merupakan

definisi yang diberikan UUHT untuk Hak Tanggungan itu sendiri.

Dari pengertian yang disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 tersebut, dapat diuraikan

unsur-unsur pokok Hak Tanggungan:

- hak jaminan untuk pelunasan hutang;

- utang yang dijamin jumlahnya tertentu;

- obyek Hak Tanggungan adalah hak-hak atas tanah sesuai UUPA yaitu Hak Milik, Hak

Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, dan Hak Pakai;

- Hak Tanggungan dapat dibebankan terhadap tanah berikut benda yang berkaitan dengan

tanah atau hanya tanahnya saja;

- Hak Tanggungan, memberikan hak preferen atau hak diutamakan kepada Kreditur

tertentu terhadap Kreditur lain.

Selanjutnya dalam Pasal 8 UUHT mengatur tentang subyek Pemberi HT, tidak

memberikan batasan mengenai siapa yang dapat menjadi subyek Pemberi HT yang akan

dijadikan jaminan, penekanannya pada Pemberi HT adalah yang berhak atas HAT atau

HMSRS yang akan dijadikan obyek HT. Demikian pula pengaturan Pasal 4 ayat (4) dan ayat

(5) juga menunjukkan bahwa HAT yang akan dijaminkan dengan HT termasuk pula dapat

berupa benda bukan tanah yang melekat pada HAT yang bukan milik pemegang HAT.

Menurut UUHT yang berwenang memberikan Hak Tanggungan adalah

pemilik/pemegang HAT atau HMSRS dan/atau pemilik benda bukan tanah yang melekat pada

HAT yang secara sukarela bersedia memberikan HT sebagai jaminan utang. UUHT tidak

membatasi bahwa subyek Pemberi HT harus merupakan debitor pada perjanjian pokok, tapi

bisa juga Pemberi HT adalah pihak ketiga yang terafiliasi dengan debitor.

Dalam prakteknya, tidak adanya pembatasan subyek yang dapat menjadi Pemberi HT

tersebut menimbulkan permasalahan. Jika Pemberi HT adalah debitor atas tanah miliknya

sendiri tidak menimbulkan masalah, karena debitor sudah mengerti risikonya jika ia

wanprestasi, tanah yang dijaminkan akan dilelang untuk pelunasan utangnya. Permasalahan

akan muncul jika tanah yang dijaminkan debitor adalah tanah milik pihak ketiga, karena bisa

saja terjadi kesepakatan antara pihak ketiga sebagai pemilik tanah dengan debitor dalam

meminjamkan tanahnya karena Dwang, Dwaling, Bedrog dan Misbruik van omstandigheden

yang merupakan bentuk cacat kehendak.

Disamping itu tanah yang menjadi obyek HT milik pihak ketiga juga menimbulkan

permasalahan jika debitor dinyatakan pailit. Kedudukan obyek HT milik pihak ketiga dalam

kepailitan belum mendapat pengaturan yang jelas, apakah masuk sebagai boedel pailit debitor

atau bukan.

Untuk mengantisipasi permasalahan tersebut, pemerintah melalui Kementerian

Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional menerbitkan Peraturan Menteri


ATR/BPN Nomor 9 Tahun 2019 tentang Layanan Hak Tanggungan Elektronik, yang

membatasi Hak Tanggungan yang dapat didaftarkan jika Pemberi HT adalah debitor sendiri.

Dari uraian diatas, permasalahan yang menarik untuk dikaji adalah 1) apa rasio

pembatasan subyek pemberi HT dalam layanan HT-el; 2) tepatkah pembatasan tersebut diatur

melalui peraturan menteri.

PEMBAHASAN

1. Obyek Dan Subyek Hak Tanggungan

Secara umum obyek pembebanan hak tanggungan adalah hak atas tanah, namun tidak

semua hak atas tanah dapat dibebani hak atas tanah. Dalam Pasal 4 UUHT disebutkan bahwa

yang dibebani dengan hak tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna

Bangunan. Selain ketiga hak atas tanah sebagaimana dimaksud, hak tanggungan dapat juga

dibebankan pada Hak Pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib

didaftarkan dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan.

Maksud dari Hak Pakai yang diberikan oleh negara kepada orang perorangan dan

badan-badan hukum perdata dengan jangka waktu terbatas. Sedangkan Hak Pakai yang

diberikan kepada instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan-badan Keagamaan dan

Sosial serta Perwakilan Negara Asing yang peruntukkannya tertentu dan telah didaftar bukan

merupakan hak pakai yang dapat dibebani dengan hak tanggungan karena sifatnya tidak dapat

dipindahtangankan. Selain itu, Hak Pakai yang diberikan oleh pemilik tanah juga bukan

merupakan obyek hak tanggungan.

Adapun pemberi hak tanggungan menurut ketentuan Pasal 8 UUHT disebutkan bahwa

Pemberi Hak Tanggungan adalah orang atau badan hukum yang mempunyai kewenangan

untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan yang bersangkutan.

Berdasarkan Pasal 8 tersebut, maka Pemberi Hak Tanggungan di sini adalah pihak yang

berutang atau debitur. Namun, subyek hukum lain dapat pula dimungkinkan untuk menjamin

pelunasan utang debitur dengan syarat Pemberi Hak Tanggungan mempunyai kewenangan

untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan.

Sedangkan menurut ketentuan Pasal 9 UUHT disebutkan bahwa pemegang Hak

tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum, yang berkedudukan sebagai pihak

yang berpiutang. Sebagai pihak yang berpiutang disini dapat berupa lembaga keuangan

berupa bank, lembaga keuangan bukan bank, badan hukum lainnya atau perseorangan.

Hak tanggungan sebagai lembaga jaminan hak atas tanah tidak mengandung

kewenangan untuk menguasai secara fisik dan menggunakan tanah yang dijadikan jaminan,

maka tanah tetap berada dalam penguasaan pemberi hak tanggungan. Kecuali dalam keadaan

yang disebut dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c UUHT.

Dengan demikian pemberi HT tidak harus orang yang berutang atau debitur, akan tetapi

bisa subjek hukum lain yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum

terhadap objek hak tanggungannya.

2. Pembatasan Subyek Pemberi HT

Sebagaimana uraian angka 1 diatas, telah jelas bahwa UUHT tidak memberikan

batasan mengenai subyek Pemberi HT. Namun demikian di dalam prakteknya ditemui

kendala mengenai pelaksanaan eksekusi pada obyek HT yang bukan milik debitor sendiri.

Kendala tersebut membuat pemerintah merasa perlu untuk membatasi subyek pemberi HT,

dengan mengutamakan Pemberi HT sekaligus sebagai debitor.

Penulis berusaha menakar rasio pembatasan subyek pemberi HT tersebut sebagai

berikut :

a. Adanya unsur cacat kehendak

Apabila Pemberi HT adalah debitor atas tanah miliknya sendiri tidak

menimbulkan masalah, karena debitor sudah mengerti resikonya jika ia wanprestasi,

tanah yang dijaminkan akan dilelang untuk pelunasan utangnya. Namun apabila pihak


ketiga sebagai pemberi HT terdapat kemungkinan pihak ketiga tersebut tidak

menyadari resikonya bilamana debitor wanprestasi, ditambah lagi apabila kesepakatan

antara pihak ketiga sebagai pemilik tanah dengan debitor dalam meminjamkan

tanahnya karena adanya ancaman/paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling), penipuan

(bedrog) dan penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) yang

merupakan bentuk cacat kehendak.

b. Kedudukan Obyek HT Milik Pihak Ketiga Dalam Kepailitan Debitor

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UU Kepailitan) dalam Pasal 1

angka (1) menyatakan bahwa kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan

debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah

pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur di dalam undang-undang ini.

Syarat agar seorang debitur dapat dinyatakan pailit diatur di dalam Pasal 2 ayat

(1) UU Kepailitan bahwa seorang debitur dapat dipailitkan apabila :

1. Mempunyai 2 (dua) atau lebih kreditur.

2. Tidak membayar lunas sedikitnya 1 (satu) utang yang telah jatuh waktu dan

dapat ditagih.

Kepailitan mengakibatkan seluruh harta kekayaan debitur serta segala sesuatu

yang diperoleh selama kepailitan berada dalam sitaan umum sejak saat putusan

pernyataan pailit diputuskan. Debitur pailit demi hukum tidak mempunyai

kewenangan lagi untuk menguasai dan mengurus harta kekayaannya dan dimasukkan

ke dalam harta (boedel) pailit.

Selanjutnya mengenai harta pailit dijelaskan pada Pasal 21 UU Kepailitan

menyebutkan : “Kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitur pada saat putusan

pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan”.

Dengan demikian telah jelas apabila debitor dinyatakan pailit maka seluruh

harta debitor berada dalam sitaan umum (boedel pailit). Bagaimana dengan kedudukan

jaminan milik pihak ketiga yang diberikan untuk menjamin pelunasan utang debitor,

apakah termasuk sebagai harta pailit debitor ?

Jika ditinjau dari UUHT, tujuan pihak ketiga menjaminkan hak kepemilikan

atas tanahnya adalah kepada kreditor tertentu; untuk hutang tertentu, serta jumlah

tertentu pula. Dan jika ditinjau dari UU Kepailitan, harta (boedel) pailit adalah harta

kekayaan milik debitor sendiri. Yang berarti bahwa jaminan (HT) milik pihak ketiga

secara teori tidak dapat dimasukkan sebagai boedel pailit debitor. Namun demikian

dalam beberapa putusan pengadilan telah menempatkan jaminan milik pihak ketiga

termasuk sebagai boedel pailit debitor.

Dari 2 (dua) rasio pembatasan subyek Pemberi HT tersebut, besar kemungkinan

pemerintah (dalam hal ini menteri ATR/BPN) merasa perlu untuk mengaturnya agar

mengurangi resiko pembatalan hak tanggungan milik pihak ketiga, sehingga tujuan hak

tanggungan yang memberikan kepastian hukum bagi pihak yang berkepentingan menjadi

tercapai. Yang menjadi permasalahan, apakah pembatasan tersebut tepat diatur melalui

peraturan menteri?

3. Kedudukan PerMen ATR/BPN No. 9/2019 Yang Mengatur Pembatasan Subyek

Pemberi HT

Dalam hierarki peraturan perundangan-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan

(selanjutnya disebut UU P3) menyatakan :

(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;


d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana

dimaksud pada ayat (1).

Dari ketentuan di atas, peraturan menteri bukan merupakan peraturan perundang-undangan.

Namun demikian, jenis peraturan menteri keberadaannya diatur dalam Pasal 8 UU P3, yang

menegaskan:

(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat

(1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat,

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung,

Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia,

Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-

Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota,

Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui

keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan

oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan

kewenangan.

Dari ketentuan di atas, terdapat dua syarat agar peraturan-peraturan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 8 ayat (1) UU P3 memiliki kekuatan mengikat sebagai peraturan perundangundangan,

yaitu:

1. diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; atau

2. dibentuk berdasarkan kewenangan.

Dalam doktrin, hanya dikenal dua macam peraturan perundang-undangan dilihat dasar

kewenangan pembentukannya, yaitu peraturan perundang-undangan yang dibentuk atas dasar:

1. atribusi pembentukan peraturan perundang-undangan; dan

2. delegasi pembentukan peraturan perundang-undangan

A. Hamid S. Attamimmi, menegaskan atribusi kewenangan perundang-undangan

diartikan penciptaan wewenang (baru) oleh konstitusi/grondwet atau oleh pembentuk undangundang

(wetgever) yang diberikan kepada suatu organ negara, baik yang sudah ada maupun

yang dibentuk baru untuk itu. 1 Sementara itu, delegasi dalam bidang perundang-undangan

ialah pemindahan/penyerahan kewenangan untuk membentuk peraturan dari pemegang

kewenangan asal yang memberi delegasi (delegans) kepada yang menerima delegasi

(delegataris) dengan tanggungjawab pelaksanaan kewenangan tersebut pada delegataris

sendiri, sedangkan tanggungjawab delegans terbatas sekali. 2

Peraturan menteri yang dibentuk atas dasar perintah dari undang-undang tersebut

dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan atas dasar delegasi (delegated

legislation). Dengan demikian, secara umum peraturan perundang-undangan delegasi adalah

peraturan perundang-undangan yang dibentuk atas dasar perintah peraturan perundangundangan

yang lebih tinggi.

Keberadaan dan kekuatan mengikat peraturan perundang-undangan yang diatur dalam

Pasal 8 ayat (1) UU P3, termasuk Peraturan Menteri, Pasal 8 ayat (2) UU P3 tidak hanya

mengatur keberadaan peraturan perundang-undangan atas dasar delegasi (peraturan yang

diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi). Pasal 8 ayat (2) UU P3

1 A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan

Pemerintahan Negara : Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam

Kurun Waktu Pelita I – Pelita VI, Disertasi, Fakultas Pasca Sarjana UI, Jakarta, 1990, h. 352..

2 Ibid, h. 377


juga menegaskan adanya peraturan perundang-undangan “yang dibentuk atas dasar

kewenangan”.

Istilah “kewenangan” dalam ketentuan tersebut, tentu saja bukan kewenangan

membentuk peraturan melainkan kewenangan pada ranah lain. Misalnya, Menteri

melaksanakan kewenangan atas urusan pemerintahan tertentu yang merupakan kekuasaan

Presiden. Artinya, apabila Menteri membentuk Peraturan Menteri tanpa adanya “perintah dari

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”, Peraturan Menteri tersebut tetap

dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan. Padahal dalam doktrin tidak dikenal

jenis peraturan perundang-undangan demikian.

Hal itu perlu dikaji lebih lanjut dari perspektif teori perundang-undangan terutama

dalam kaitannya peraturan perundang-undangan sebagai norma hukum yang bersifat hierarki

dimana norma hukum yang lebih rendah mencari validitasnya pada norma hukum yang lebih

tinggi sebagaimana dikemukakan Hans Kelsen sebagai chain of validity. 3

Dalam undang-undang sebelumnya (Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004), tidak

dikenal peraturan perundang-undangan yang dibentuk atas dasar kewenangan, termasuk

dalam hal peraturan menteri. Peraturan Menteri yang dibentuk tanpa adanya pendelegasian

dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sebelum berlaku UU P3, dikenal secara

teoritik sebagai peraturan kebijakan (beleidregels), yaitu suatu keputusan pejabat administrasi

negara yang bersifat mengatur dan secara tidak langsung bersifat mengikat umum, namun

bukan peraturan perundang-undangan. 4

Karena bukan peraturan perundang-undangan, peraturan kebijakan tidak dapat diuji

oleh Mahkamah Agung yang memiliki kewenangan menguji peraturan perundang-undangan

di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Dengan adanya ketentuan Pasal 8 ayat (2)

UU P3, maka tidak lagi perbedaan antara Peraturan Menteri yang merupakan peraturan

perundang-undangan dengan Peraturan Menteri yang merupakan Aturan Kebijakan.

Kedudukan Peraturan Menteri yang telah dibentuk sebelum berlakunya UU P3, tetap

berlaku sepanjang tidak dicabut atau dibatalkan. Namun demikian, terdapat dua jenis

kedudukan Peraturan Menteri yang dibentuk sebelum berlakunya UU P3. Pertama : Peraturan

Menteri yang dibentuk atas dasar perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,

berkualifikasi sebagai peraturan perundang-undangan. Kedua, Peraturan Menteri yang

dibentuk bukan atas dasar perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (atas

dasar kewenangan), berkualifikasi sebagai Aturan Kebijakan. Hal ini disebabkan UU P3

berlaku sejak tanggal diundangkan (vide Pasal 104 UU No. 12/2011 2011), sehingga adanya

Peraturan Menteri yang dibentuk sebelum tanggal diundangkannya UU No. 12/2011 masih

tunduk berdasarkan ketentuan undang-undang yang lama (UU No.10/2004). Konsekuensinya,

hanya Peraturan Menteri kategori pertama di atas, yang dapat dijadikan objek pengujian

Mahkamah Agung.

Selanjutnya, kedudukan Peraturan Menteri yang dibentuk setelah berlakunya UU P3,

baik yang dibentuk atas dasar perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi

maupun yang dibentuk atas dasar kewenangan di bidang urusan pemerintahan tertentu yang

ada pada menteri, berkualifikasi sebagai peraturan perundang-undangan. Dengan demikian,

Peraturan Menteri tersebut memiliki kekuatan hukum yang bersifat mengikat umum dan dapat

dijadikan objek pengujian pada Mahkamah Agung, apabila dianggap bertentangan dengan

undang-undang.

Pendelegasian pembuatan peraturan pelaksanaan memiliki beberapa manfaat, yakni

menghindari salah satu cabang kekuasaan (eksekutif atau legislatif) mendominasi kekuasaan

sehingga dan tidak menciptakan prinsip checks and balances kekuasaan. Apabila peraturan

pelaksanaan didominasi oleh legislatif, dalam arti peraturan pelaksanaan dibuat oleh legislatif,

169.

3 Jimly Asshiddiqie & M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Konpress, Jakarta, 2006, h. 157

4 Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara, Alumni, Bandung, 1997, h.


secara praktis dapat menghambat pelaksanaan suatu undang-undang oleh eksekutif mengingat

legislatif tidak mengetahui praktik pelaksanaan secara detail dan pengaturan lokal.

Sebaliknya apabila peraturan pelaksanaan dibuat secara penuh oleh eksekutif, maka

akan berpotensi kekuasaan legislatif akan diambil alih oleh eksekutif. Selain itu, mencegah

eksekutif menyelenggarakan pemerintahan secara tidak terkendali. Adanya delegasi

kewenangan dari legislatif kepada eksekutif akan mencegah eksekutif melakukan improvisasi

yang tidak tepat dalam menyelanggarakan pemerintahan.

Keberadaan PerMen ATR/BPN No. 9/2019, tidak ada peraturan perundang-undangan

diatasnya yang secara jelas mendelegasikannya. Ketentuan Pasal 9 ayat (5) dari Permen

tersebut yang mengatur bahwa APHT yang dapat didaftarkan dalam sistem HT-el dengan

subyek Pemberi HT harus debitor sendiri berpotensi bertentangan dengan peraturan yang

lebih tinggi yaitu UUHT. Oleh karena Permen tersebut menurut UU P3 dapat dikategorikan

sebagai peraturan perundang-undangan, maka dapat dilakukan uji materi pada Mahkamah

Agung.

1 A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan

Pemerintahan Negara : Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam

Kurun Waktu Pelita I – Pelita VI, Disertasi, Fakultas Pasca Sarjana UI, Jakarta, 1990, h. 352..

2 Ibid, h. 377

3 Jimly Asshiddiqie & M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Konpress, Jakarta, 2006, h. 157

4 Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara, Alumni, Bandung, 1997, h.

169.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!