24.06.2013 Views

konsep pembaruan Pendidikan Agama Islam menuju masyarakat

konsep pembaruan Pendidikan Agama Islam menuju masyarakat

konsep pembaruan Pendidikan Agama Islam menuju masyarakat

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

KONSEP PEMBARUAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM<br />

MENUJU MASYARAKAT MADANI<br />

(Analisis Paradigma Pengembangan Kurikulum Menurut Prof.<br />

Dr. H. Muhaimin, M.A.)<br />

SKRIPSI<br />

Oleh :<br />

Mar’atus Sholihah<br />

03110028<br />

JURUSAN PENDIDIKAN<br />

AGAMA ISLAM<br />

FAKULTAS TARBIYAH<br />

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MALANG<br />

2007<br />

KONSEP PEMBARUAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM<br />

MENUJU MASYARAKAT MADANI<br />

(Analisis Paradigma Pengembangan Kurikulum Menurut Prof.<br />

Dr. H. Muhaimin, M.A.)<br />

i 1


SKRIPSI<br />

Diajukan kepada Fakultas Tarbiyah Universitas <strong>Islam</strong> Negeri (UIN)<br />

Malang untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Guna Memperoleh Gelar<br />

Strata Satu Sarjana <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> (S.Pd.I)<br />

Oleh :<br />

Mar’atus Sholihah<br />

03110028<br />

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM<br />

FAKULTAS TARBIYAH<br />

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MALANG<br />

2007<br />

HALAMAN PERSETUJUAN<br />

KONSEP PEMBARUAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM<br />

MENUJU MASYARAKAT MADANI<br />

(Analisis Paradigma Pengembangan Kurikulum Menurut Prof.<br />

Dr. H. Muhaimin, M.A.)<br />

i 2<br />

Oleh :<br />

Mar’atus Sholihah<br />

03110028


Telah Disetujui pada tanggal 28 Juli 2007<br />

Oleh Dosen Pembimbing :<br />

Muhammad Amin Nur, M.A.<br />

NIP. 150 327 263<br />

Mengetahui,<br />

Ketua Jurusan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong><br />

Drs. Moh. Padil, M.PdI.<br />

NIP. 150 267 235<br />

HALAMAN PENGESAHAN<br />

KONSEP PEMBARUAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM MENUJU<br />

MASYARAKAT MADANI<br />

(Analisis Paradigma Pengembangan Kurikulum Menurut Prof. Dr. H.<br />

Muhaimin, M.A.)<br />

SKRIPSI<br />

dipersiapkan dan disusun oleh<br />

Mar’atus Sholihah (03110028)<br />

telah dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal 30 Juli 2007<br />

dengan nilai A dan telah dinyatakan diterima sebagai salah satu persyaratan untuk<br />

memperoleh gelar strata satu Sarjana <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> (S.Pd.I)<br />

i 3<br />

pada tanggal 4 Juli 2007:


Ketua Sidang<br />

Drs. A. Zuhdi<br />

NIP. 150 275 611<br />

Penguji Utama<br />

Drs. Moh. Padil, M.PdI.<br />

NIP. 150 267 235<br />

Panitia Ujian<br />

Mengesahkan,<br />

Dekan Fakultas Tarbiyah<br />

Universitas <strong>Islam</strong> Negeri (UIN) Malang<br />

Prof. Dr. H. M. Djunaidi Ghony<br />

NIP. 150 042 031<br />

PERSEMBAHAN<br />

Kupersembahkan karya ini untuk:<br />

Sekretaris Sidang<br />

Muhammad Amin Nur, M.A.<br />

NIP. 150 327 263<br />

Pembimbing<br />

Muhammad Amin Nur, M.A.<br />

NIP. 150 327 263<br />

Kedua orang tuaku tersayang Bapak Moh. Anam dan Ibunda Binti Amansiyah<br />

yang selama ini telah membimbing dan mendidikku dengan sabar dan bijaksana,<br />

sejak awal beliau selalu menginginkan anak-anaknya menjadi anak saleh dan<br />

shalihah dan berhasil dalam menggapai harapan dan cita-cita. Berkat do’a tulus<br />

hati, kesabaran dan kepercayaan yang selalu mengiringi perjalanan studi penulis<br />

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.<br />

"Sembah sungkem kagem beliau"<br />

Nenekku (Alm.), terimakasih atas nasehatnya untuk selalu berhati-hati dalam<br />

melangkah. Semoga amal ibadahnya diterima disisi-Nya.<br />

Kakak-kakakku tercinta Yusuf Bahruddin (Alm.), Yayuk Istikanah, Mujannatun<br />

(Alm.), Syamsul Arifin dan kakak iparku Budi Prasetyo yang selalu membuatku<br />

bangkit dan membangun semangatku dalam meraih cita-cita.<br />

Keponakan-keponakan tersayang Moh. Naufal Zaky dan Shabrina Nailah<br />

Mazro’atul Ulya. Yang selalu membuatku tertawa dan menghibur serta<br />

membuatku bersemangat kembali sehingga membuat hidupku lebih hidup.<br />

"Kalian sungguh berarti dalam Hidupku"<br />

i 4


Sahabatku semuanya yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Terimakasih<br />

atas motivasi untuk terus bersama-sama berjuang mengejar impian, cita, dan<br />

menggapai asa serta bantuan dalam penyelesaian skripsiku.<br />

"Kalian akan selalu berada dalam hatiku"<br />

Segenap anggota KSR-PMI Unit UIN Malang dari semua angkatan (mas, mbak<br />

dan adik-adik) yang membuat ku tertawa, senyum, dan menangis dalam<br />

kebersamaan indah tak terlupakan, kita adalah saudara selamanya.<br />

"Bravo KSR"<br />

Semua Bocah-bocah kediri Yang tergabung pada Forum Komunikasi Mahasiswa<br />

Kediri (FKM-K) terimakasih atas kepercayaan dan kebersamaannya.<br />

"Semoga Sukses menyertai kita"<br />

Someone in My Hearth "My-Greatest Inspiracy" yang masih menjadi misteri illahi,<br />

yang selalu tiada henti-henti membuatku bersemangat terus berjuang disetiap<br />

waktu serta selalu mendampingiku disaat kuragu melangkah menghadapi duniaku.<br />

Bapak dan Ibu guru serta dosen dari Taman-kanak-Kanak sampai Perguruan<br />

Tinggi terimakasih ”jasamu tiada tara” semoga ilmu yang diajarkan bermanfaat<br />

di dunia dan akhirat kelak. Amin<br />

MOTTO<br />

pk r'¯»t úï Ï %©!$# (#qã ZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# ö Ý àZtFø 9ur Ó §ø ÿtR $¨B ôMtB£ s% 7<br />

tóÏ 9 ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 ¨bÎ ) ©!$# 7 Î 7yz $yJÎ / tbqè=yJ÷ès? ÇÊ Ñ È<br />

Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap hari<br />

(individu) melakukan Nadzar terhadap sesuatu<br />

(ide, <strong>konsep</strong>, rencana kerja) yang telah diajukan dan ditawarkan<br />

untuk hari esok (masa depan) dan bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha<br />

Pemberi khabar terhadap<br />

prestasi kerjamu.<br />

i 5<br />

(QS Al-Hasyr (59): 18)<br />

$


__________________<br />

(DEPAG, Al-Qur'an dan Terjemahannya, Semarang: CV Toha Putra, 1989, hlm.<br />

919)<br />

Muhammad Amin Nur, M.A<br />

Dosen Fakultas Tarbiyah<br />

Universitas <strong>Islam</strong> Negeri Malang<br />

NOTA DINAS PEMBIMBING<br />

Hal : Skripsi Mar’atus Sholihah Malang, 9 Juni 2007<br />

Lamp. : 6 (Enam)Eksemplar<br />

Kepada Yth.<br />

Dekan Fakultas Tarbiyah UIN Malang<br />

di<br />

Malang<br />

Assalamu’alaikum Wr. Wb.<br />

Sesudah melakukan beberapa kali bimbingan, baik dari segi isi, bahasa<br />

maupun tehnik penulisan, dan setelah membaca skripsi mahasiswa tersebut di<br />

bawah ini :<br />

Nama : Mar’atus Sholihah<br />

NIM : 03110028<br />

Jurusan : <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong><br />

i 6


Judul Skripsi : Konsep Pembaruan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> Menuju<br />

Masyarakat Madani (Analisis Paradigma<br />

Pengembangan Kurikulum Menurut Prof. Dr. H.<br />

Muhaimin, M.A.)<br />

Maka selaku Pembimbing, kami berpendapat bahwa skripsi tersebut sudah layak<br />

diajukan untuk diujikan.<br />

Demikian, mohon dimaklumi adanya.<br />

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.<br />

Pembimbing,<br />

SURAT PERNYATAAN<br />

Muhammad Amin Nur, M.A.<br />

NIP. 150 327 263<br />

Dengan ini saya menyatakan, bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya<br />

yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada suatu perguruan<br />

tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya, juga tidak terdapat karya atau pendapat<br />

yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis<br />

diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.<br />

i 7<br />

Malang, 9 Juni 2007<br />

Penulis<br />

Mar’atus Sholihah


i 8


Assalamu'alaikum Wr. Wb.<br />

KATA PENGANTAR<br />

Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang<br />

telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat<br />

menyelesaikan skripsi ini dengan judul "Konsep Pembaruan <strong>Pendidikan</strong><br />

<strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> Menuju Masyarakat Madani (Analisis Paradigma<br />

Pengembangan Kurikulum Menurut Prof. Dr. H. Muhaimin, M.A.)".<br />

Shalawat serta salam tetap terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Besar<br />

Muhammad SAW., yang telah membimbing ummatnya ke jalan yang benar yakni<br />

Dinnul <strong>Islam</strong>.<br />

Penulis menyadari bahwa baik dalam perjalanan studi maupun dalam<br />

penyelesaian skripsi ini, penulis banyak memperoleh bimbingan dan motivasi dari<br />

berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa<br />

syukur dan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:<br />

1.Ayahanda dan Ibunda tercinta yang sangat banyak<br />

memberikan dorongan baik moril, materiil, dan spirituil,<br />

semoga atas pengorbanannya, kasih sayangnya, semoga Allah<br />

SWT memberikan imbalan yang sebesar-besarnya.<br />

2.Bapak Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, selaku Rektor<br />

Universitas <strong>Islam</strong> Negeri (UIN) Malang, dan para pembantu<br />

Rektor, atas segala motivasi dan layanan fasilitas yang telah<br />

diberikan selama penulis menempuh studi.<br />

3.Bapak Prof. Dr. H. M. Djunaidi Ghony, selaku Dekan Fakultas<br />

Tarbiyah Universitas <strong>Islam</strong> Negeri (UIN) Malang<br />

4.Bapak Drs. Moh Padil, M.PdI, selaku Ketua Jurusan<br />

<strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> Universitas <strong>Islam</strong> Negeri (UIN) Malang<br />

5.Yang Terhormat Bapak Muhammad Amin Nur, M.A., selaku<br />

Dosen Pembimbing yang penuh perhatian, ketelatenan,<br />

kesabaran dalam memberikan bimbingan dan arahan dalam<br />

i 9


penulisan skripsi ini, dan terimakasih yang sebesar-besarnya<br />

atas waktu yang diluangkannya<br />

6.Seluruh Dosen UIN Malang yang telah berjasa membantu<br />

penulis dalam mencari dan mendalami ilmu pengetahuan<br />

selama studi<br />

7.Seluruh Karyawan UIN Malang yang telah membantu dan<br />

memudahkan penulis dalam berurusan dengan administrasi di<br />

lembanga UIN Malang.<br />

8.Yang Terhormat Bapak Prof. Dr. H. Muhaimin, M.A, sebagai<br />

tokoh utama dalam penyusunan Skripsi dalam memberikan<br />

sumbangan pemikiran, bimbingan, arahan penulisan studi<br />

tokoh ini, terimakasih atas waktu dan kesempatan yang telah<br />

diberikan.<br />

9.Saudara-Saudaraku di Forum komunikasi Mahasiswa Kediri<br />

(FKM-K) yang telah memberikan kesempatan untuk<br />

mendarmabaktikan dan keloyalan dalam organisasi daerah<br />

Kediri<br />

10.Saudara-Saudaraku di UKM KSR-PMI UIN Malang yang<br />

telah memberikan motivasi dengan rasa persaudaraan.<br />

11.Seluruh pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini,<br />

yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.<br />

Tiada ucapan yang dapat penulis haturkan kecuali "Jazaakumullah<br />

Ahsanul Jazaa " semoga semua amal baiknya diterima oleh Allah SWT.<br />

Dan akhirnya penulis mengharapkan masukan berupa saran dan kritik<br />

yang konstruktif dari pembaca demi memperbaiki karya tulis yang sederhana ini<br />

dan semoga skripsi ini dapat membawa manfaat bagi para pengkaji/ pembaca dan<br />

bagi penulis sendiri. Amiin Ya Robbal 'Alamiin.<br />

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.<br />

i 10<br />

Malang, 9 Juni 2007


DAFTAR LAMPIRAN<br />

Penulis<br />

Lampiran I : Contoh Butir-Butir Standar Kompetensi Lulusan Program<br />

Studi PAI<br />

Lampiran II : Contoh Standar Kompetensi Bahan Kajian Matakuliah-<br />

Matakuliah Dari Masing-Masing Rumpun Kompetensi<br />

Lulusan<br />

Lampiran III : Contoh Profil & Standar Kompetensi Lulusan Fakultas<br />

Tarbiyah Jurusan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong><br />

Lampiran IV : Contoh Silabus mata kuliah Perbandingan <strong>Agama</strong><br />

Lampiran V : Pedoman Wawancara<br />

Lampiran VI : Dokumentasi Hasil Wawancara<br />

Lampiran VII : Bukti Konsultasi<br />

Lampiran VIII : Gambar PETA KONSEP (Kerangka Pikir Pembahasan)<br />

i 11


DAFTAR ISI<br />

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i<br />

HALAMAN PENGAJUAN ................................................................................. ii<br />

HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................... iii<br />

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. iv<br />

HALAMAN PERSEMBAHAN........................................................................... v<br />

HALAMAN MOTTO.......................................................................................... vi<br />

HALAMAN NOTA DINAS .............................................................................. vii<br />

HALAMAN PERNYATAAN .......................................................................... viii<br />

KATA PENGANTAR ......................................................................................... ix<br />

DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................... x<br />

DAFTAR ISI........................................................................................................ xi<br />

ABSTRAK........................................................................................................... xii<br />

BAB I : PENDAHULUAN<br />

A. Latar Belakang Masalah.........................................................1<br />

B. Rumusan Masalah ................................................................... 9<br />

C. Tujuan Penelitian ...................................................................10<br />

i 12


D. Manfaat Penelitian ................................................................ 10<br />

E. Ruang Lingkup Pembahasan ................................................. 11<br />

F. Penegasan Istilah.................................................................... 11<br />

G. Metode Penelitian.................................................................. 14<br />

H. Sistematika Pembahasan........................................................20<br />

BAB II : HISTORIKA BIOGRAFI DAN INTELEKTUAL<br />

A. Riwayat Kehidupan Muhaimin............................................. 21<br />

B. <strong>Pendidikan</strong> dan Karir Muhaimin...........................................23<br />

C. Karya-karya Muhaimin......................................................... 24<br />

BAB III : KONSEP PEMBARUAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM<br />

MENUJU MASYARAKAT MADANI MENURUT<br />

PANDANGAN MUHAIMIN DI PTAI<br />

A.Konsep Sejarah Perkembangan Masyarakat Madani...........38<br />

B.Konsep dan Latar Belakang Pembaruan pendidikan<br />

<strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> dalam Mewujudkan Masyarakat Madani<br />

di PTAI.............................................................................<br />

49<br />

C.Pandangan dasar dan kritik Muhaimin Terhadap<br />

Pembaruan PAI <strong>menuju</strong> Masyarakat Madani<br />

73<br />

D.Filsafat pendidikan <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> dan Implikasinya<br />

terhadap paradigma pengembangan kurikulum...........83<br />

BAB IV : UPAYA MUHAIMIN DALAM MENGAPLIKASIKAN<br />

i 13


BAB V : PENUTUP<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

LAMPIRAN-LAMPIRAN<br />

PARADIGMA PENGEMBANGAN KURIKULUM DI PTAI<br />

A. Konsep paradigma pengembangan kurikulum PAI.............. 97<br />

B. Strategi Pembaruan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> Melalui<br />

paradigma pengembangan kurikulum di PTAI..........116<br />

C. Aktualisasi Pembaruan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong><br />

Melalui paradigma pengembangan kurikulum di PTAI<br />

....................................................................................134<br />

D. Model pengembangan kurikulum pendidikan <strong>Islam</strong> di<br />

PTAI sebagai alternatif dalam mewujudkan <strong>masyarakat</strong><br />

madani........................................................................145<br />

A.Kesimpulan......................................................................... 178<br />

B.Saran................................................................................... 181<br />

i 14


ABSTRAK<br />

Mar’atus Sholihah, Konsep Pembaruan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> Menuju<br />

Masyarakat Madani (Analisis Paradigma Pengembangan Kurikulum Menurut<br />

Prof. Dr. H. Muhaimin, M.A.). Skripsi, Jurusan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>, Fakultas<br />

Tarbiyah, Universitas <strong>Islam</strong> Negeri (UIN) Malang. Muhammad Amin Nur, M.A.<br />

Kata Kunci: Konsep Pembaruan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong>, <strong>masyarakat</strong><br />

madani, paradigma pengembangan kurikulum, tokoh Prof. Dr. H.<br />

Muhaimin, M.A<br />

.<br />

Muhaimin adalah seorang tokoh dalam <strong>pembaruan</strong> <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong><br />

<strong>Islam</strong> di PTAI yang memiliki kapakaran di bidangnya. Dan juga merupakan salah<br />

satu Guru Besar dalam bidang ilmu pendidikan <strong>Islam</strong>. Dari pemikiran Muhaimin<br />

diharapkan mampu membawa PTAI <strong>menuju</strong> ke gerbang percaturan dunia yang<br />

menjadi cita-cita <strong>masyarakat</strong> madani yang memiliki karakteristik ideal dalam<br />

rangka menghadapi dunia yang syarat dengan perbedaan, pluralisme,<br />

multikulturalisme, dan krisis multidimensional, serta dekadensi moral. Sehingga<br />

paradigma yang dikembangkan menjadi jelas arah dan wilayah pengembangannya<br />

dan output PTAI yang dihasilkan berciri khas <strong>Islam</strong>i dan memiliki daya saing di<br />

bidangnya.<br />

Berpijak dengan latar belakang di atas maka rumusan masalahnya adalah:<br />

(1) Bagaimana <strong>konsep</strong> <strong>pembaruan</strong> <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> <strong>menuju</strong> <strong>masyarakat</strong><br />

madani menurut Muhaimin dan (2) Bagaimana upaya Muhaimin dalam<br />

mengaplikasikan <strong>pembaruan</strong> pengembangan kurikulum PAI <strong>menuju</strong> <strong>masyarakat</strong><br />

madani. Adapun tujuan yang dalam permasalahan ini adalah: (1) Mendiskripsikan<br />

<strong>konsep</strong> <strong>pembaruan</strong> PAI dalam membangun <strong>masyarakat</strong> madani sesuai dengan<br />

analisis paradigma pengembangan kurikulum menurut Muhaimin; (2) Untuk<br />

mengetahui aplikasi, aktualisasi dan peran PAI dalam upaya mewujudkan<br />

<strong>masyarakat</strong> madani menurut Muhaimin.<br />

Penulisan skripsi ini penulis menggunakan penelitian kepustakaan (library<br />

research) dimana penulis menggunakan metode penelitian deskriptif-kualitatif.<br />

i 15


Untuk mengumpulkan data, penulis menggunakan metode dokumentasi dan<br />

wawancara. Sumber data primer adalah buku-buku dan hasil wawancara dengan<br />

Muhaimin dan data sekunder adalah orang-orang terdekat dengan beliau, dan<br />

menganalisis buku-buku literatur yang mendukung pembahasan skripsi ini. Dalam<br />

analisis, penulis menggunakan content analisis yakni pemahaman secara<br />

<strong>konsep</strong>sional yang berkelanjutan didalam deskripsi, artinya melakukan analisis<br />

terhadap makna yang terkandung dalam keseluruhan pemikiran Muhaimin tentang<br />

paradigma pengembangan kurikulum <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> di PTAI.<br />

Hasil analisa, menunjukkan bahwa <strong>konsep</strong> <strong>pembaruan</strong> PAI <strong>menuju</strong><br />

<strong>masyarakat</strong> madani di PTAI adalah dengan menciptakan dan mengembangkan<br />

paradigma pengembangan kurikulum. Sehingga diharapkan mampu menjadi salah<br />

satu <strong>konsep</strong> yang tepat dalam upaya memperbarui pendidikan <strong>Islam</strong> yang menjadi<br />

landasan keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta<br />

berimplikasi pada pengembangan kepribadian, penciptaan budaya akademik yang<br />

<strong>Islam</strong>i, dan etos belajar yang tinggi serta membentuk suasana religius dalam<br />

lingkungan PTAI yang sesuai dengan tuntutan <strong>masyarakat</strong> madani, yakni<br />

<strong>masyarakat</strong> yang beradab mencintai perbedaan, hasil wawancara dengan<br />

Muhaimin penulis menghasilkan temuan-temuan dan fakta-fakta bahwa UIN atau<br />

PTAI harus berbeda dengan Perguruan Tinggi yang lain, harus memiliki ciri khas<br />

<strong>Islam</strong>i tanpa cenderung pada madzhab tertentu dan bersifat non sekterianisme dan<br />

kemudian dijabarkan pada rumpun-rumpun mata-kuliah yang diajarkan dan<br />

pengembangan kurikulum yang dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari<br />

melalui hidden kurikulum. Dalam pembahasan ini, ada hal-hal yang perlu dikaji<br />

ulang dan perlu dicari solusinya sehingga dapat dilaksanakan sebagai suatu<br />

program nyata pada masa yang akan datang, yakni persoalan kurikulum yang<br />

dikembangkan dan disesuaikan dengan kebutuhan <strong>masyarakat</strong> yang notabene<br />

sebagai <strong>masyarakat</strong> yang multikultural, humanistik, pluralistik dalam rangka<br />

mewujudkan <strong>masyarakat</strong> madani. Dan model pengembangan kurikulum yang<br />

harus dikembangkan adalah model pendekatan rekonstruksi social yang relevan<br />

dengan kebutuhan <strong>masyarakat</strong> madani. Dan menciptakan arah baru lulusan PTAI<br />

yang siap pakai (link and match) sesuai dengan kebutuhan <strong>masyarakat</strong> madani.<br />

Sehingga dengan pengembangan kurikulum ini mencapai standar<br />

kompetensi lulusan di PTAI yang sesuai dengan harapan, yakni terciptanya<br />

generasi ulul albab dan lulusan yang mampu bersaing di dunia kerja dan memiliki<br />

kepribadian <strong>Islam</strong>i, etos kerja/ belajar yang tinggi dan memiliki kepribadian yang<br />

tecermin dari ciri dan karakteristik <strong>masyarakat</strong> madani di PTAI. Masyarakat<br />

madani adalah <strong>masyarakat</strong> yang egaliter, menghargai orang berdasarkan prestasi,<br />

keterbukaan, partisipasi seluruh <strong>masyarakat</strong> anggota aktif, penegakan hukum,<br />

keadilan, toleransi, pluralisme, musyawarah dan demokrasi.<br />

i 16


A. Latar Belakang Masalah<br />

i<br />

BAB I<br />

PENDAHULUAN<br />

Dewasa ini kehidupan bangsa Indonesia tengah dilanda krisis. Krisis<br />

ini telah melanda berbagai aspek kehidupan seperti ekonomi, politik, sosial,<br />

budaya, hukum, ilmu pengetahuan, pertahanan dan keamanan dan lain<br />

sebagainya. Misalnya saja dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi<br />

yang sering disalahgunakan untuk tujuan-tujuan destruktif, selain itu juga<br />

adanya dikhotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Sedangkan krisis<br />

dalam bidang kebudayaan ditandai oleh kebudayaan hedonistik, mengabdi<br />

kepada pemuasan hawa nafsu dan bebas nilai. Keadaan <strong>masyarakat</strong> yang<br />

demikian mirip dengan keadaan Arab Jahiliyah pada awal kedatangan <strong>Islam</strong><br />

Untuk mengatasi masalah tersebut diatas, kini tengah dicari <strong>konsep</strong><br />

yang tepat untuk menggantikan <strong>konsep</strong> ke<strong>masyarakat</strong>an model sebelumnya<br />

yang dinilai banyak mengandung berbagai kelemahan. Konsep yang<br />

diharapkan dapat mengatasi permasalahan ke<strong>masyarakat</strong>an tersebut diatas<br />

adalah <strong>konsep</strong> <strong>masyarakat</strong> madani. Sementara itu pendidikan <strong>Islam</strong> sebagai<br />

sarana pembentukan dan penyiapan umat manusia, diharapkan mampu<br />

memberikan kontribusi bagi upaya mewujudkan <strong>masyarakat</strong> madani. 1<br />

1 Abuddin Nata, Manajemen <strong>Pendidikan</strong>; Mengatasi Kelemahan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> Di<br />

Indonesia (Jakarta: Prenada Media, 2001), Hlm. 123<br />

1


i<br />

Menurut Nurcholis Madjid yang menyatakan bahwa <strong>masyarakat</strong><br />

madani adalah <strong>masyarakat</strong> yang berperadaban sebagaimana yang dibangun<br />

Rasulullah SAW selama 10 tahun di Madinah. Yakni <strong>masyarakat</strong> yang adil,<br />

terbuka dan demokratis, dengan landasan taqwa kepada Allah SWT dan taat<br />

pada ajaran-ajarannya. 2 serta mulai populer di Indonesia seiring dengan era<br />

reformasi politik di Indonesia. Namun tugas mewujudkan <strong>masyarakat</strong><br />

madani bukanlah hal yang mudah, diperlukan proses yang panjang dan<br />

kesabaran yang tidak pernah henti. Dalam konteks kehidupan bangsa<br />

sekarang ini, dimana moralitas dan akhlak sudah hampir terkubur dalam<br />

gempita konsumerisme dan hedonisme, kehadiran pendidikan yang<br />

membebaskan sangat berarti. <strong>Pendidikan</strong> yang membebaskan adalah<br />

pendidikan dimana manusia mampu membebaskan dirinya dan<br />

<strong>masyarakat</strong>nya dari kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan. 3<br />

Membangun <strong>masyarakat</strong> madani tidak cukup hanya dengan<br />

melontarkan slogan kehidupan <strong>masyarakat</strong> madani. Perwujudan <strong>masyarakat</strong><br />

madani tidak sebatas ucapan dan tidak dapat dinyatakan dalam bentuk<br />

verbal, tetapi dapat dinyatakan dengan aktualisasi tindakan manusia sehari-<br />

hari. Masyarakat madani hanya dapat dibangun oleh individu manusia yang<br />

memiliki karakteristik kehidupan dalam <strong>masyarakat</strong> madani itu, dan<br />

membangun individu tidak dapat terjadi secara spontan, melainkan<br />

diperlukan proses sosialisasi panjang dengan pendidikan, karena tatanan<br />

2 Sufyanto, Masyarakat Tamaddun Kritik hermeunitas Masyarakat Madani Nurcholis<br />

Madjid (Yogyakarta: LP2IP Bekerja Sama Dengan Pustaka Pelajar, 2001), Hlm.3<br />

3 Jawahir Thontowi, Siasat Gerakan Kota Jalan Menuju Masyarakat Baru<br />

(Yogyakarta: Penerbit Shalahuddin), hlm. 76<br />

2


i<br />

<strong>masyarakat</strong> madani memiliki beberapa muatan karakteristik individu<br />

manusia, misalnya sikap, moral, kebiasaan, nilai, dan kepribadian. Oleh<br />

sebab itu membangun <strong>masyarakat</strong> madani melalui pendidikan melibatkan<br />

mekanisme membangun sikap, sampai dengan kepribadian manusia itu. 4<br />

<strong>Pendidikan</strong> merupakan sistem dan cara meningkatkan kualitas hidup<br />

manusia dalam segala aspek kehidupan manusia. Dalam sejarah umat<br />

manusia, hampir tidak ada kelompok manusia yang tidak menggunakan<br />

pendidikan sebagai alat pembudayaan dan peningkatan kualitasnya,<br />

sekalipun dalam <strong>masyarakat</strong> yang masih terbelakang (primitif). Dengan<br />

demikian, bagaimanapun sederhananya peradaban <strong>masyarakat</strong>, didalamnya<br />

terjadi atau berlangsung suatu proses pendidikan. Oleh karena itu, sering<br />

dinyatakan bahwa pendidikan telah ada sepanjang peradaban umat manusia.<br />

Karena pendidikan pada hakikatnya merupakan usaha manusia melestarikan<br />

hidupnya. 5<br />

<strong>Pendidikan</strong> merupakan bagian terpenting bagi kehidupan manusia<br />

yang sekaligus membedakan manusia dengan hewan. Manusia dikarunia<br />

Tuhan akal pikiran, sehingga proses belajar bagi manusia adalah merupakan<br />

usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai<br />

dalam <strong>masyarakat</strong> dan kebudayaannya. 6<br />

4<br />

Djohar, <strong>Pendidikan</strong> Strategik Alternatif Untuk <strong>Pendidikan</strong> Masa Depan (Yogyakarta:<br />

Kurnia Kalam Semesta, 2003), hlm. 173<br />

5<br />

Ihsan Hamdani dan Ihsan Fuad, Filsafat <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> (Bandung: CV Pustaka<br />

Setia, 2001), hlm. 28<br />

6<br />

Tim Dosen FKIP IKIP Malang, Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan (Surabaya:<br />

Usaha Nasional, 1988), hlm. 2<br />

3


i<br />

Pada era reformasi ini, <strong>masyarakat</strong> Indonesia ingin mewujudkan<br />

perubahan dalam semua aspek kehidupan. <strong>Pendidikan</strong> dibutuhkan untuk<br />

menyiapkan anak manusia demi menunjang perannya di masa mendatang.<br />

Mengingat pendidikan merupakan kebutuhan penting bagi setiap<br />

manusia, Negara dan maupun pemerintah, maka pendidikan harus selalu<br />

ditumbuhkembangkan secara sistematis oleh para pengambil kebijakan yang<br />

berwenang di Republik ini. Berangkat dari kerangka ini, maka upaya<br />

pendidikan yang dilakukan oleh suatu bangsa selalu memiliki hubungan<br />

yang sangat signifikan dengan rekayasa Bangsa dimasa mendatang, sebab<br />

pendidikan selalu dihadapkan pada perubahan <strong>masyarakat</strong>. Oleh karena itu,<br />

mau tidak mau pendidikan harus didesain mengikuti irama perubahan<br />

tersebut, kalau tidak pendidikan akan ketinggalan. Tuntutan <strong>pembaruan</strong><br />

pendidikan menjadi suatu keharusan dan “<strong>pembaruan</strong>” pendidikan selalu<br />

mengikuti dan relevan dengan kebutuhan <strong>masyarakat</strong>, baik pada <strong>konsep</strong>,<br />

kurikulum, proses, fungsi, tujuan, menajemen lembaga-lembaga pendidikan,<br />

dan sumber daya pengelola pendidikan. 7<br />

Mencermati <strong>konsep</strong> <strong>pembaruan</strong> pendidikan di atas, maka <strong>pembaruan</strong><br />

pendidikan merupakan suatu usaha atau proses multidimensional yang<br />

kompleks, dan tidak hanya bertujuan untuk menyempurnakan kekurangan-<br />

kekurangan yang dirasakan, tetapi terutama merupakan suatu usaha<br />

penelaahan kembali atas aspek-aspek sistem pendidikan yang berorientasi<br />

pada rumusan tujuan yang baru dan selalu berorientasi pada perubahan<br />

7 Hujair AH Sanaky, Paradigma <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> Membangun Masyarakat Madani<br />

Indonesia (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003), hlm. 5<br />

4


i<br />

<strong>masyarakat</strong>. Upaya <strong>pembaruan</strong> pendidikan tidak akan ada ujung akhir<br />

sampai kapanpun. 8 Apabila mencermati keadaan pendidikan di Indonesia,<br />

sebenarnya telah banyak di lakukan <strong>pembaruan</strong>, dan tujuan <strong>pembaruan</strong> itu<br />

pada akhirnya ialah:<br />

“Untuk menjaga agar produk pendidikan kita tetap relevan dengan<br />

kebutuhan dunia kerja atau persyaratan bagi pendidikan lanjut pada<br />

jenjang pendidikan berikutnya. Patut diakui bahwa perkembangan<br />

pendidikan di Indonesia secara kuantitatif mengalami kemajuan, tetapi<br />

pemberdayaan <strong>masyarakat</strong> secara luas sebagai cermin dari kemajuan itu<br />

belum tercapai”.<br />

Banyak paradigma pendidikan telah dilontarkan oleh beberapa<br />

orang, namun paradigma mana yang relevan untuk masa depan pendidikan<br />

di Indonesia, oleh sebab itu perlu analisis spekulatif berdasarkan keadaan<br />

objektif <strong>masyarakat</strong> kita masa depan, yakni <strong>masyarakat</strong> madani<br />

kedudukannya di tengah <strong>masyarakat</strong> global. Sekarang ini tampak adanya<br />

pemikiran yang rasional yang sekarang kita kembangkan didalam system<br />

pendidikan kita tampaknya tidak lagi mendapat tempat dan tidak lagi<br />

fungsional untuk mengakomodasikan perubahan keadaan yang akan terjadi.<br />

Karakteristik keadaan ini yang mendorong kita harus memiliki paradigma<br />

pendidikan untuk masa depan khususnya di Indonesia, yakni sistem<br />

pendidikan yang memungkinkan peserta didik dan pelaku praksis<br />

pendidikan dapat mengaktualisasikan dirinya. Oleh karena itu dasar<br />

pemikiran paradigma pendidikan ini tampaknya lebih kearah yang<br />

berdampak terhadap praksis pendidikan kita. Sehubungan dengan itu<br />

8 Ibid, hlm. 6<br />

5


i<br />

membuat begitu pentingnya kita untuk lebih besar memperhatikan<br />

pendidikan kita sebagai dasar melihat masa depan. 9<br />

Dalam konteks pendidikan, ide-ide atau nilai-nilai dasar itu<br />

seharusnya diturunkan kebawah, yaitu kedalam UUD 1945, undang-undang,<br />

dan secara operasional sampai kepada peraturan-peraturan pemerintah<br />

kebawah. Hanya saja pada tataran yang lebih operasional, ide-ide atau nilai-<br />

nilai itu mulai tidak jelas atau bahkan menghilang, terutama ketika<br />

diimplementasikan dalam pendidikan sekolah atau perguruan tinggi, dimana<br />

keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, belum sepenuhnya manjadi<br />

inti atau core dalam pengembangan pendidikannya. Akibatnya parah sekali,<br />

antara lain lulusan sekolah atau perguruan tinggi kurang memiliki keimanan<br />

dan ketakwaan yang kuat, yang pada gilirannya dapat menimbulkan krisis<br />

multidimensional sebagaimana keadaan bangsa Indonesia sekarang ini, yang<br />

intinya terletak pada krisis moral dan akhlak. Timbulnya tindakan-tindakan<br />

dekadensi moral, termasuk didalamnya KKN (korupsi, kolusi dan<br />

nepotisme), antara lain disebabkan karena rendahnya kualitas keimanan dan<br />

ketakwaan kepada Allah SWT. 10<br />

Pada kenyataannya pengembangan kurikulum kita sekarang ini<br />

belum mengantisipasi masa depan dan <strong>masyarakat</strong> madani. Artinya belum<br />

mampu menyiapkan output yang sesuai dengan permintaan pasar, kurang<br />

memiliki kemampuan bersaing secara kompetitif dan outputnya hanya<br />

sekedar mengandalkan ijazah resmi dari bidang studi tertentu dari suatu<br />

9 Djohar, op.cit., hlm. 85-86<br />

10 Muhaimin, Nuansa Baru <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> Mengurai Benang Kusut Dunia<br />

<strong>Pendidikan</strong>. (Jakata: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 88<br />

6


i<br />

lembaga pendidikan dengan kemampuan yang sangat terbatas atau pas-<br />

pasan. <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> pada dasarnya adalah pendidikan yang bertujuan<br />

untuk membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh<br />

potensi manusia baik yang berbentuk jasmani maupun rohani.<br />

Menumbuhsuburkan hubungan yang harmonis setiap pribadi dengan Allah,<br />

manusia dan alam semesta. 11<br />

Dalam konteks yang terakhir tersebut, pada dekade yang lalu, kajian<br />

yang berkembang di PTAI, sebagaimana tercermin dalam Fakultas- Fakultas<br />

dan Jurusan yang ada, lebih menekankan pada perkembangan ilmu<br />

pengetahuan agama <strong>Islam</strong> dalam pengertian al-ulum al-naqliyah (perennial<br />

knowledge). Pengembangan semacam itu ternyata telah mendapat kritik,<br />

yaitu bahwa paradigma yang mendasari PTAI tersebut dianggap kurang<br />

relevan lagi bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan tuntutan<br />

pembangunan nasional, karena bersifat sangat sektoral, hanya memenuhi<br />

satu sektor tertentu dalam kehidupan <strong>Islam</strong> di Indonesia, yaitu memenuhi<br />

kebutuhan akan sarjana-sarjana yang mendapatkan pengetahuan tinggi<br />

mengenai agama <strong>Islam</strong>. Dengan demikian PTAI lebih mengabadikan faham<br />

dualisme atau dikothomi, dan melahirkan over specialization, bahkan terjadi<br />

isolasi akademik. Disamping itu PTAI dengan paradigmanya tersebut<br />

dipandang tidak memungkinkan untuk melahirkan manusia-manusia yang<br />

kompetitif dalam era globalisasi yang didominasi oleh ilmu pengetahuan dan<br />

teknologi, sehingga PTAI dituntut untuk dapat melahirkan manusia-manusia<br />

11 Haidar Putra Daulay, <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> Dalam System <strong>Pendidikan</strong> Nasional Di<br />

Indonesia (Jakarta: Prenada Media, 2004), hlm. 31<br />

7


i<br />

yang menguasai iptek dan sekaligus hidup di dalam nilai-nilai agama<br />

(<strong>Islam</strong>), yang hal ini merupakan pilar-pilar <strong>masyarakat</strong> madani. 12<br />

Setiap kegiatan ilmiah memerlukan suatu perencanaan, organisasi.<br />

Kegiatan tersebut harus dilaksanakan secara sistematis dan terstuktur.<br />

Demikian pula dalam pendidikan, diperlukan adanya program yang mapan<br />

dan dapat menghantarkan proses pendidikan sampai pada tujuan yang<br />

diinginkan. Proses pelaksanaan, sampai penilaian pendidikan lebih dikenal<br />

dengan istilah “kurikulum pendidikan”. 13 Sudah banyak pakar pendidikan<br />

yang menyumbangkan pikiran tentang pengembangan kurikulum. Salah satu<br />

diantara pakar itu adalah Muhaimin.<br />

Dalam penelitian ini peneliti menganalisis tentang pemikiran<br />

Muhaimin. Karena banyak memiliki, yakni:<br />

1) Pengalaman dan kepakaran ilmu yang digelutinya serta berhasil di<br />

bidangnya;<br />

2) Banyak buku-buku yang dihasilkan atau mempunyai karya-karya<br />

monumental;<br />

3) Muhaimin merupakan salah seorang bagian penting dalam<br />

pengembangan kurikulum PTAI, terutama di UIN Malang;<br />

4) Ketokohannya diakui secara "Mutawatir".<br />

Dari berbagai uraian diatas yang menjadi sebab ketertarikan bagi<br />

penulis untuk mengkaji analisis paradigma pendidikan <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> yang<br />

dihasilkan beliau, yang mana semua ide-ide dan gagasan beliau tentang<br />

pengembangan kurikulum banyak mewarnai pendidikan <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> di<br />

12 Muhaimin, Arah Baru Pengembangan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>, Pemberdayaan,<br />

Pengembangan Kurikulum, Hingga Redefinisi <strong>Islam</strong>isasi Pengetahuan (Bandung: nuansa,<br />

2003), hlm.297<br />

13 Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>, Kajian Filosofis Dan<br />

Kerangka Dasar Operasionalisasinya (Bandung : Penerbit Trigenda Karya, 1993), hlm. 183-<br />

184<br />

8


Indonesia ini, terutama di UIN Malang. Maka peneliti ingin menggali dan<br />

menganalisis ide-idenya khususnya dalam pengembangan kurikulum.<br />

Berdasarkan latar belakang diatas maka Penggalian ini dituangkan oleh<br />

peneliti dalam sebuah karya tulis ilmiah yang berjudul “KONSEP<br />

PEMBARUAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM MENUJU<br />

MASYARAKAT MADANI (Analisis Paradigma Pengembangan<br />

Kurikulum menurut Prof. Dr. H. Muhaimin, MA.”.<br />

Diharapkan dengan hadirnya <strong>konsep</strong> <strong>pembaruan</strong> pendidikan <strong>Agama</strong><br />

<strong>Islam</strong> yang didasarkan pada analisis paradigma pengembangan kurikulum<br />

dapat dijadikan sebuah alternatif bagi dunia pendidikan dalam mengatasi<br />

krisis multidimensional serta mengatasi permasalahan kehidupan umat<br />

manusia dalam rangka mewujudkan <strong>masyarakat</strong> madani.<br />

B. Rumusan Masalah<br />

i<br />

Bertitik tolak dari latar belakang diatas, penulis dapat merumuskan<br />

masalah dalam pembahasan skripsi ini sebagai berikut :<br />

1. Bagaimana <strong>konsep</strong> <strong>pembaruan</strong> <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> <strong>menuju</strong><br />

<strong>masyarakat</strong> madani menurut pandangan Muhaimin di PTAI?<br />

2. Bagaimana upaya Muhaimin dalam mengaplikasikan paradigma<br />

pengembangan kurikulum <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> <strong>menuju</strong> <strong>masyarakat</strong><br />

madani di PTAI?<br />

9


C. Tujuan Penelitian<br />

Merujuk pada latar belakang masalah dan rumusan masalah diatas,<br />

besar harapan penulis agar tulisan ini dapat menjadi sumbangan pemikiran<br />

bagi pendidikan <strong>Islam</strong> di masa mendatang yang penuh dengan perubahan<br />

dan menuntut untuk disikapi secara arif dan bijaksana. Adapun tujuan<br />

penulisan ini adalah:<br />

1. Untuk mendeskripsikan <strong>konsep</strong> <strong>pembaruan</strong> <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong><br />

dalam membangun <strong>masyarakat</strong> madani sesuai dengan analisis paradigma<br />

pengembangan kurikulum menurut Muhaimin.<br />

2. Untuk mengetahui aplikasi Konsep Pembaruan PAI dalam upaya<br />

mewujudkan <strong>masyarakat</strong> madani melalui analisis paradigma<br />

pengembangan kurikulum menurut Muhaimin.<br />

D. Manfaat Penelitian<br />

i<br />

Dengan adanya penelitian studi tokoh Muhaimin. Mengenai analisis<br />

paradigma pengembangan kurikulum pendidikan <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> yang<br />

diharapkan dapat bermanfaat :<br />

1. Secara teoritis; Penelitian ini sebagai salah satu acuan dalam<br />

pengembangan kurikulum <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> dalam<br />

meningkatkan khazanah ilmiah dalam dimensi <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong>.<br />

Selain itu sebagai inovasi bagi lembaga <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> yang<br />

selalu mengadakan <strong>pembaruan</strong> <strong>menuju</strong> kearah kemajuan, sehingga peran<br />

dan fungsinya dapat dirasakan oleh <strong>masyarakat</strong>. Khususnya lembaga Di<br />

Universitas <strong>Islam</strong> Negeri Malang.<br />

10


2. Secara praksis; Bermanfaat bagi kalangan pembaca dan penambahan<br />

karya ilmiah di Perpustakaan UIN Malang. Dan juga memberikan<br />

sumbangan dan kontribusi pemikiran tentang pentingnya membangun<br />

<strong>masyarakat</strong> madani melalui jalur pengembangan kurikulum pendidikan<br />

<strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong>. Sehingga memunculkan suatu pemikiran <strong>konsep</strong><br />

pendidikan <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> dalam membangun <strong>masyarakat</strong> madani,<br />

sehingga menjadi <strong>konsep</strong> yang lebih maju dan menjadi wacana<br />

pengembangan pemikiran terhadap pendidikan <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> tentang<br />

persoalan-persoalan kontemporer yang dihadapi <strong>masyarakat</strong> madani.<br />

E. Ruang Lingkup Pembahasan<br />

Adapun yang menjadi ruang lingkup pembahasan dalam penulisan<br />

skripsi ini lebih mengarah kepada analisis paradigma pengembangan<br />

kurikulum menurut Muhaimin. Penulis sangat perlu manyajikan analisis ini<br />

mengingat dunia pendidikan khususnya pengembangan kurikulum harus<br />

mampu memenuhi tuntutan kebutuhan <strong>masyarakat</strong>, yang dapat<br />

meningkatkan sumber daya manusia <strong>menuju</strong> <strong>masyarakat</strong> madani, khususnya<br />

pendidikan <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> sendiri yang mempunyai tujuan untuk membentuk<br />

Insanul kamil (manusia paripurna).<br />

F. Penegasan Istilah<br />

i<br />

Dalam rangka menghindari kekaburan dan untuk mempermudah<br />

pemahaman dalam skripsi ini, maka perlu adanya pemahaman konkrit<br />

mengenai istilah-istilah yang digunakan.<br />

11


i<br />

Dalam penegasan ini antara lain menjelaskan tentang <strong>pembaruan</strong><br />

pendidikan <strong>Islam</strong> <strong>menuju</strong> <strong>masyarakat</strong> madani dan analisis paradigma<br />

pengembangan kurikulum. Diantara penegasan istilah ini adalah :<br />

1. Pembaruan adalah identik dengan pembangunan “development “<br />

yaitu proses, multidimensional yang kompleks menurutnya<br />

<strong>pembaruan</strong> haruslah sesuai dengan kerangka <strong>pembaruan</strong>. Dalam<br />

konteks ini pendidikan dianggap sebagai prasyarat dan kondisi<br />

yang mutlak bagi <strong>masyarakat</strong> untuk menjalankan program dan<br />

mencapai tujuan <strong>pembaruan</strong>. Dengan demikian tak heran ketika<br />

pendidikan dikatakan sebagai kunci kearah <strong>pembaruan</strong>.<br />

2. <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> adalah usaha sadar untuk menyiapkan<br />

siswa dan meyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan<br />

ajaran agama <strong>Islam</strong> melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan<br />

latihan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati<br />

agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama<br />

dalam <strong>masyarakat</strong> untuk mewujudkan persatuan nasional. 14<br />

3. Masyarakat madani adalah <strong>masyarakat</strong> yang adil, terbuka dan<br />

demokratis, dengan landasan taqwa kepada Allah SWT dan taat<br />

pada ajaran-ajarannya serta membentuk manusia-manusia yang<br />

kompetitif dalam era globalisasi yang didominasi oleh ilmu<br />

pengetahuan dan teknologi, sehingga PTAI dituntut untuk dapat<br />

melahirkan manusia-manusia yang menguasai IPTEK dan sekaligus<br />

14 Muhaimin, Paradigma <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> Upaya Mengefektifkan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong><br />

<strong>Islam</strong> Di Sekolah ( Bandung : PT Remaja Rosdakarya Offset, 2004), hlm: 75-76<br />

12


i<br />

hidup didalam nilai-nilai agama <strong>Islam</strong>, dalam hal ini merupakan<br />

pilar-pilar <strong>masyarakat</strong> madani.<br />

4. Paradigma dalam konteks pengembangan ilmu, paradigma<br />

merupakan khas mekanisme berpikirnya seorang ahli. Validitas<br />

suatu paradigma akan menjadi lebih tinggi jika banyak ahli yang<br />

mengadopsinya. Paradigma ini lebih mendeskripsikan mekanisme<br />

atau dinamika, serta lebih menonjolkan interaksi dan interpedensi<br />

antar komponen atau faktor. Misalnya saja pada persoalan<br />

pengembangan kurikulum adalah suatu contoh paradigma. 15<br />

5. Pengembangan kurikulum PAI adalah kegiatan menghasilkan<br />

kurikulum PAI atau proses yang mengkaitkan komponen dengan<br />

yang lainnya untuk menghasilkan kurikulum PAI yang lebih baik,<br />

serta kegiatan penyusunan (desain), pelaksanaan, penilaian dan<br />

penyempurnaan kurikulum.<br />

6. Analisis <strong>konsep</strong> adalah suatu analisis mengenai istilah-istilah (kata-<br />

kata) yang mewakili gagasan atau <strong>konsep</strong>. jika dalam suatu analisis<br />

berusaha menemukan jawaban apanya sesuatu, maka apa yang<br />

dilakukannya ini adalah analisis filosofis. Dalam analisis <strong>konsep</strong>,<br />

jawabannya berbentuk definisi-definisi, dan definisi tergantung pula<br />

kepada tokoh-tokoh atau lembaga yang mengeluarkan atau<br />

menciptakannya. 16<br />

15<br />

Muhaimin, Nuansa Baru <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> Mengurai Benang Kusut Dunia<br />

<strong>Pendidikan</strong>. Op.Cit. hlm.3<br />

16<br />

Djumransjah, Pengantar Filsafat <strong>Pendidikan</strong>,Kata Pengantar Imam Suprayogo,<br />

(Malang: Bayumedia, 2004), hlm.40<br />

13


G. Metodologi Penelitian<br />

i<br />

1. Pendekatan Dan Jenis Penelitian<br />

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan penelitian<br />

kepustakaan (library research) dimana penulis menggunakan metode<br />

penelitian deskriptif-kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah suatu<br />

penelitian yang ditujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis<br />

fenomene, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi,<br />

pemikiran orang secara individual maupun kelompok. 17 Penelitian<br />

kualitatif ini dapat menunjukkan pada penelitian tentang kehidupan<br />

<strong>masyarakat</strong>, tingkah laku, juga tentang fungsionalisasi organisasi,<br />

pergerakan-pergerakan sosial, atau hubungan kekerabatan. 18<br />

Penelitian ini lebih menekankan pada kekuatan analisis data pada<br />

sumber-sumber data yang ada yang didapat dari buku-buku, tulisan-<br />

tulisan dan dengan mengandalkan teori-teori yang ada untuk<br />

diinterpretasikan secara luas dan mendalam. Untuk itu, penulis<br />

menggunakan pendekatan deskriptif kepustakaan dengan berdasarkan<br />

tulisan yang mengarah pada pembahasan skripsi ini. Selain itu peneliti<br />

menggunakan pendekatan interpretasi adalah suatu pendekatan<br />

17 Nana Syodih Sukmadinata, Metode Penelitian <strong>Pendidikan</strong>, (Bandung: Program Pasca<br />

Sarjana Universitas <strong>Pendidikan</strong> Indonesia dan PT. Remaja Rosdakarya, 2005), hlm.60<br />

18 Anselm Strauss and Juliet Corbin, Basics Of Qualitative Research grounded theory<br />

procedures and techniques (Dasar -Dasar Penelitian Kualitatif Prosedur, Teknik, Dan Teori<br />

Grounded), Penyadur Djunaidi Ghony, (Surabaya : PT Bina Ilmu Ofset, 1997), hlm 11<br />

14


i<br />

penelitian yang dilakukan oleh peneliti untuk menjelaskan bagian-bagian<br />

yang kurang jelas berdasarkan asumsi dan pemahaman peneliti. 19<br />

2. Sumber Data<br />

Dalam pustaka yang dijadikan sumber acuan dalam kajian<br />

pustaka seyogyanya menggunakan sumber primer dan dapat juga<br />

menggunakan sumber sekunder. 20 Dalam hal ini penulis menggunakan<br />

sumber data yaitu: (a) Sumber data primer; Dalam hal ini adalah buku-<br />

buku karya Muhaimin yang berkaitan dan sesuai dengan pokok<br />

persoalan <strong>konsep</strong> analisis paradigma pengembangan kurikulum<br />

<strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong>. Adapun buku-bukunya antara lain:<br />

Pengembangan Kurikulum <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> di Sekolah,<br />

Madrasah dan Perguruan Tinggi (2005). Jakarta: Rajawali Pers,<br />

Paradigma <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> Upaya Mengefektifkan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong><br />

Di Sekolah (Bandung): Remaja Rosdakarya, 2001); Wacana<br />

Pengembangan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003);<br />

Arah Baru Pengembangan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> Pemberdayaan,<br />

Pengembangan Kurikulum Hingga <strong>Islam</strong>isasi Pengetahuan (Bandung:<br />

Nuansa, 2003). Selain itu penulis menggunakan data dari hasil<br />

wawancara langsung dari Muhaimin (b) Sumber data sekunder; Adalah<br />

sumber lain yang sependapat dengan pemikiran Muhaimin yang relevan<br />

dengan pokok persoalan dalam kajian ini, dalam hal ini dapat berupa<br />

19<br />

Neong Muhajir, Metode Penelitian Kualitatif, Edisi III (Yogyakarta, Rake Sarasin,<br />

1996), hlm. 49<br />

20<br />

Biro Admisnistrasi Akademik, Perencanaan, dan Sistem Informasi bekerjasama<br />

dengan Penerbit Universitas Negeri Malang, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Edisi<br />

Keempat, (Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang, Cetakan Ketiga 2003), hlm 3<br />

15


i<br />

buku-buku literature, makalah-makalah, artikel-artikel, serta hal-hal lain<br />

yang memakai pemikiran Muhaimin dalam mendukung penulisan skripsi<br />

ini. (c) data penunjang, adalah orang-orang yang pernah bergelut dengan<br />

keseharian Muhaimin dalam rangka memperjelas analisis pemikiran<br />

Muhaimin.<br />

3. Prosedur Pengumpulan Data<br />

tahap, yaitu:<br />

Prosedur pengumpulan data dalam studi ini dilakukan dalam tiga<br />

a) Tahap orientasi. Peneliti mengumpulkan data secara umum tentang<br />

tokoh untuk mencari hal-hal menarik dan penting untuk diteliti;<br />

b) Tahap eksplorasi; pada saat menggali informasi dan memperoleh<br />

data peneliti membatasinya pada hal-hal yang relevan dengan fokus<br />

studi;<br />

c) Tahap fokus studi; peneliti mulai melakukan studi secara mendalam<br />

yang terfokus pada maslah keberhasilan, keunikan, dan karya sang<br />

tokoh yang dianggap penting dan mempunyai pengaru signifikan<br />

pada <strong>masyarakat</strong>.<br />

4. Metode Pengumpulan Data<br />

Dalam Studi tokoh pada umumnya menggunakan dua metode<br />

pengumpulan data, yakni: 21<br />

a. Wawancara, Wawancara adalah metode pengumpulan data yang<br />

merupakan salah satu aspek penting karena sifatnya yang luwes,<br />

”Rapport” atau hubungan baik dengan orang yang diwawancarai<br />

dapat memberikan suasana kerjasama, sehingga memungkinkan<br />

diperolehnya informasi yang benar. 22<br />

21<br />

Arief Furchan dan Agus Maimun MA. Studi Tokoh, Metode Penelitian Mengenai<br />

Tokoh.( Jakarta : Pustaka Pelajar, 2005), hlm.50-58<br />

22<br />

Arief Furchan, Pengantar Penelitian Dalam <strong>Pendidikan</strong>, (Surabaya: Usaha Nasional,<br />

1982) hlm. 248<br />

16


i<br />

Wawancara adalah metode pengumpulan data dengan cara<br />

menanyakan sesuatu kepada subyek penelitian atau informan.metode<br />

wawancara yang digunakan dapat mengacu pada wawancara tidak<br />

berstruktur atau wawancara mendalam. Wawancara tidak berstruktur<br />

menurut Danundjaja (1984) dibagi menjadi dua, yaitu wawancara<br />

terarah dan wawancara tidak terarah. Melalui wawancara terarah ini<br />

diharapkan dapat diungkap berbagai persoalan yang berkaitan<br />

dengan obyek studi. Sementara dari wawancara tidak terarah dapat<br />

diungkap berbagai informasi yang dapat mendukung data yang<br />

diperoleh dari wawancara terarah. Untuk mendukung wawancara<br />

tidak terarah. Dapat dilakukan juga wawancara sambil lalu (casual<br />

interview), dimana subyek studi atau informan yang diwawancarai<br />

tidak diseleksi lebih dahulu dan wawancara itu dilakukan secar<br />

informal dan spontanitas. Wawancara terbuka (open-ended)<br />

dilakukan untuk menggali ide, pendapat, pandangan sang tokoh.<br />

Wawancara sebaiknya dilakukan pada waktu dan konteks yang<br />

dianggap tepat untuk mendapatkan data akurat dan dilakukan<br />

berkali-kali sesuai dengan keperluan. Wawancara semacam ini sering<br />

disebut indepth interview. Wawancara juga dapat dilakukan secara<br />

langsung maupun tidak langsung. Yaitu:<br />

1. Wawancara langsung, yang dilakukan oleh peneliti secara<br />

langsung kepada tokoh dengan mendengarkan dan menanyakan<br />

hal-hal yang belum jelas tentang pemikiran tokoh. Wawancara<br />

ini biasanya dilakukan apabila tokoh masih hidup.<br />

17


i<br />

2. Wawancara tidak langsung, yang dilakukan oleh peneliti<br />

kepada orang lain yang mengetahui tentang aktivitas dan<br />

produktivitas sang tokoh.<br />

b. Dokumentasi<br />

Dalam hal ini data dokumentasi ini digunakan untuk<br />

melengkapi data yang diperoleh dari wawancara. Dengan<br />

dokumentasi, peneliti dapat mencatat karya-karya yang dihasilkan<br />

sang tokoh. Selama ini atau tulisan-tulisan orang lain yang berkaitan<br />

dengan sang tokoh. Disamping itu, dengan dokumentasi peneliti<br />

diharapkan dapat melacak dokumen pribadi sang tokoh. Dokumen<br />

pribadi ini terdiri dari dua jenis:<br />

1. Dokumen pribadi berdasarkan permintaan (solicated). Dokumen<br />

pribadi yang dibuat atas permintaan adalah dokumen pribadi<br />

yang dibuat atas permintaan peneliti<br />

2. Dokumen pribadi yang tidak berdasarkan permintaan<br />

(unsolicated). Dokumen yang tidak berdasarkan permintaan<br />

adalah dokumen yang dibuat oleh sang tokoh untuk keperluan<br />

sendiri atau atas permintaan orang lain yang bukan peneliti. Jadi<br />

peneliti memakai dokumen yang sudah ada. Tugas peneliti<br />

hanyalah memilih, mencari, menyajikan dan menganalisis<br />

dokumen tersebut.<br />

5. Tehnik Analisis Data<br />

Analisis data adalah kegiatan mengatur, mengurutkan,<br />

mengelompokkan, memberi tanda/ kode, dan mengkategorikan data<br />

sehingga dapat ditemukan dan dirumuskan hipotesis kerja berdasarkan<br />

data tersebut. 23 Sedangkan menurut Neong Muhadjir Analisis data<br />

merupakan upaya mancari dan menata secara sistematis catatan hasil<br />

23<br />

Lexy Moeleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja<br />

Rosdakarya, 2004), hlm.10<br />

18


i<br />

observasi, wawancara dan lainnya untuk meningkatkan pemahaman<br />

peneliti tentang kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan<br />

bagi orang lain. 24 Dalam menganalisa data, penulis menggunakan<br />

content analisis yakni pemahaman secara <strong>konsep</strong>sional yang<br />

berkelanjutan didalam deskripsi, artinya melakukan analisis terhadap<br />

makna yang terkandung dalam keseluruhan pemikiran Muhaimin tentang<br />

paradigma pengembangan kurikulum <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> di PTAI.<br />

6. Pengecekan keabsahan data<br />

Dalam penelitian kualitatif, yang termasuk studi tokoh,<br />

pengecekan keabsahan data dapat dilakukan dengan cara antara lain : 25<br />

a) Kredibilitas data: Upaya peneliti untuk menjamin kesahihan data<br />

dengan mengkonfirmasikan data yang diperoleh kepada subyek<br />

penelitian. Tujuannya adalah untuk membuktikan bahwa apa yang<br />

ditemukan peneliti sesuai dan benar dengan apa yang dilakukan<br />

subyek penelitian.<br />

b) Transferabilitas data: Dilakukan dengan cara memberikan<br />

kesempatan kepada orang untuk membaca laporan penelitian<br />

(sementara) yang telah dihasilkan oleh peneliti;<br />

24<br />

Neong Muhajir, Metode Penelitian Kualitatif, Edisi III (Yogyakarta, Rake Sarasin,<br />

1996), hlm 104<br />

25<br />

Arief Furchan dan Agus Maimun. Op.Cit. hlm.50-58<br />

19


H. Sistematika Pembahasan.<br />

i<br />

dibawah ini :<br />

Adapun sistematika pembahasan skripsi adalah sebagaimana tersebut<br />

BAB I Merupakan bab pendahuluan; berisi latar belakang, rumusan<br />

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup<br />

pembahasan, penegasan istilah, metode penelitian, dan deskripsi<br />

tentang sistematika pembahasan.<br />

BAB II Merupakan pemaparan Biografi Muhaimin yang mencakup<br />

riwayat kehidupan, pendidikan dan karir serta hasil karya tulis<br />

dan kegiatan yang digelutinya<br />

BAB III Merupakan analisis tentang <strong>konsep</strong> Pembaruan <strong>Pendidikan</strong><br />

<strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> <strong>menuju</strong> <strong>masyarakat</strong> madani menurut Muhaimin di<br />

PTAI<br />

BAB IV Membahas tentang analisis pengembangan kurikulum menurut<br />

Muhaimin. Bab ini juga merupakan pengembangan dari bab<br />

sebelumnya untuk mencari modus vivendy (titik temu) dari<br />

rumusan masalah yang menjadi problema penulis.<br />

BAB V Merupakan penutup yang meliputi Kesimpulan dan saran yang<br />

bersifat konstruktif agar semua upaya yang pernah dilakukan<br />

serta segala hasil yang telah dicapai bisa ditingkatkan lagi kearah<br />

yang lebih baik<br />

20


BAB II<br />

HISTORIKA BIOGRAFI DAN INTELEKTUAL<br />

A. Riwayat Kehidupan Muhaimin. 1<br />

Nama lengkapnya adalah Muhaimin dilahirkan di Lumajang, 11 Desember<br />

1956. Ayahnya bernama H. Soelchan (alm.) dan Ibu Hj. Chotimah (alm.). Kedua<br />

orangtua Muhaimin sudah meninggal dunia. Kedua orangtua Muhaimin adalah<br />

salah satu tokoh <strong>masyarakat</strong>/ kyai di Lumajang dan memiliki pondok pesantren.<br />

Kedua orangtua Muhaimin telah berhasil mendidik dan membimbing dengan<br />

sabar dan bijaksana. Sejak awal orangtuanya selalu menginginkan Muhaimin<br />

menjadi anak yang saleh, yang berguna bagi keluarga, <strong>masyarakat</strong>, Nusa dan<br />

Bangsanya. Muhaimin selalu berharap untuk mewujudkan keinginan orang tuanya<br />

sampai akhir hayatnya. Muhaimin merupakan putera keempat dari tujuh<br />

bersaudara.<br />

Muhaimin menikah dengan seorang wanita yang berbudi pekerti luhur dan<br />

cantik yang bernama Hj. Rosida Rahayu, istri Muhaimin inilah yang sangat setia<br />

menemani dan mengingatkan atas kekeliruan dan juga memberikan solusi apabila<br />

Muhaimin memiliki persoalan, dan yang tiada henti-hentinya memberikan<br />

dukungan kepada Muhaimin dengan penuh kesabaran. Dari hasil pernikahannya<br />

ini Muhaimin dikaruniai tiga orang putra dan putri; putri sulungnya bernama<br />

Qurrotu Aini (Malang, 23 Januari 1984); Moh. Rosyidi Alhamdani (Malang, 27<br />

1<br />

Wawancara dengan Muhaimin, Dosen Tetap/ Guru Besar UIN Malang, tanggal 26<br />

Februari 2007<br />

i<br />

21


Oktober 1986); dan bungsu Mahro Syihabuddin (Malang, 3 September 1988). 2<br />

Sekarang Muhaimin bertempat tinggal bersama keluarga tercinta disebuah rumah<br />

yang asri dikawasan perumahan padat penduduk di Jl. Joyo Raharjo 150 Malang<br />

65144 Telp. (0341) 583968.<br />

Semasa mahasiswa, aktif mengikuti kegiatan organisasi yakni mengikuti<br />

PMII selama 1 tahun, lalu mengikuti HMI dan pernah menjabat sebagaii sekretaris<br />

HMI. Namun setelah itu Muhaimin mulai merambah dunia pendidikan dengan<br />

mengabdi di MTS Nurul Huda Sumbersari selama empat tahun. Selama studi di<br />

S1 Muhaimin mendapatkan beasiswa selama 2 tahun. Selama studi Muhaimin<br />

sempat mengikuti Ngaji "Wetonan“ di pondok pesantren Gading. Sahabat dekat<br />

Muhaimin salah satunya dalah Hasyim Asy’ari, sahabat pada saat menempuh<br />

pendidikan Di PGA di Lumajang. Hasyim sekarang menjadi ketua KUA DEPAG<br />

di Lumajang. Hasyim Asy’ari inilah yang mengajarkan Muhaimin dalam<br />

membimbing pada saat Mengikuti IPNU. Pada saat itu Muhaimin pernah<br />

menjabat sebagai Ketua IPNU pada tahun 1974-1976. Dalam pemikiran<br />

Muhaimin banyak dipengaruhi oleh pemikiran tokoh-tokoh pendidikan yang juga<br />

merupakan guru-guru Muhaimin, diantaranya adalah Nurcholis Madjid, Amin<br />

Abdullah, Harun Nasution, Quraish Shihab, Mukti Ali, Syafi'i Ma'arif, Neong<br />

Muhadjir, dan masih banyak lagi.<br />

Muhaimin pernah menjadi Kepala Jaminan Mutu (KJM). Dan sekarang<br />

menjadi Dosen Tetap/Guru Besar Bidang Ilmu <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> di UIN Malang<br />

dan bergelar lengkap sebagai Prof. Dr. H. Muhaimin, M.A. Dahulu berkantor di<br />

2 Muhaimin, <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> Berwawasan Rekonstruksi Social, Dalam Pidato<br />

Ilmiah Disampaikan Di Hadapan Sidang Terbuka Senat UIN Malang dalam rangka Pengukuhan<br />

Guru Besar, (Malang: DEPAG UIN Malang, 2004), hlm 39<br />

i<br />

22


UIN Malang Jalan Gajayana-Dinoyo No. 50 Malang 65145, Telp.(0341) 551354,<br />

Fax. (0341) 572533. Selain itu Muhamin juga pernah menjadi yang tersebut<br />

dibawah ini:<br />

1. Anggota Majelis Pertimbangan <strong>Pendidikan</strong> dan Pengajaran <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> di<br />

Jawa Timur.<br />

2. Konsultan dan Pelatih Pengembangan <strong>Pendidikan</strong> TK/RA, Madrasah (MI,<br />

MTs, MA) dan Madrasah Diniyah di Kanwil Depag Jatim.<br />

3. Tim Pengembang Kurikulum PTAI Ditpertais Depag RI (2004-2005).<br />

4. Konsultan dan Pelatih Pengawas PAI dan Kepala Madrasah Kanwil Depag di<br />

Jatim.<br />

5. Konsultan Penulisan Buku Paket PAI SMP pada MGMP PAI Kotamadya<br />

Malang. Anggota Tim Pakar Penyusunan Kurikulum Berbasis Kompetensi<br />

PAI Madrasah Ditmapendais Depag Pusat (2003-2004).<br />

6. Konsultan dan Pelatih Pengembangan Madrasah di Kanwil Depag Propinsi<br />

Bali. Instruktur dan Pelatih pada Diklat Kanwil Depag Jawa Timur."<br />

B. <strong>Pendidikan</strong> Dan Karir Muhaimin.<br />

<strong>Pendidikan</strong> diawali di MI Lumajang (1969), PGAN 4 Tahun (1973),<br />

PGAN 6 Tahun Lumajang (1975), dan Sarjana Muda Jurusan Bahasa Arab<br />

Fakultas Tarbiyah IAIN Malang (1979), serta Sarjana Lengkap IAIN Sunan<br />

Ampel Fakultas Tarbiyah Malang (1982), S-2 IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta<br />

(1989), dan mengambil S-3 di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dengan judul<br />

disertasi "FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM INDONESIA: Suatu Kajian<br />

Tipologis". Selain mengajar muhaimin memiliki berbagai Pengalaman ke Luar<br />

Negeri antara lain: Pada Tahun 2000, Muhaimin Mengikuti School Management<br />

Training di Kanada, selama 3 bulan, Ke Saudi Arabia (Ibadah Haji) Tahun 2001,<br />

Kunjungan ke Iran (Tahun 2003), Kunjungan Kerja ke Sudan, Qatar dan Mesir<br />

(Tahun 2004), Kunjungan Kerja ke Malaysia (tahun 2004), Nara Sumber Pada<br />

Seminar <strong>Pendidikan</strong> di Riyardh (Tahun 2005).<br />

i<br />

23


Muhaimin juga memiliki berbagai macam pengalaman-pengalaman dalam<br />

menjalankan profesi yang digelutinya sejak masih muda yakni sebagai berikut:<br />

1. Pegawai Harian Fak. Tarbiyah IAIN SA Malang (1981-1983);<br />

2. Kasi Umum pada Fak. yang sama (1983-1984);<br />

3. Kasi Pengajaran pada Fak. yang sama (1985-1987);<br />

4. Dosen Tetap Pada Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel/STAIN Malang<br />

sejak 1985 s.d sekarang;<br />

5. Sekretaris Fakultas Tarbiyah UMM (1983-1984) dan Dekan Fakultas<br />

Tarbiyah UMM (1984-1987);<br />

6. Sekretaris Jurusan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel<br />

di Malang (1992 s.d 1996);<br />

7. Pembantu Dekan II Fakultas Tarbiyah Malang IAIN Sunan Ampel (1997);<br />

8. Staf Pengajar di STIT Kepanjen Malang (1991-1997);<br />

9. Staf Pengajar Fak.Tarbiyah UNISMA (1984-1996);<br />

10. Staf Pengajar STAIPANA Bangil Pasuruan (1993-1998);<br />

11. Staf Pengajar di UMM Program S1 (1984-1998);<br />

12. Staf Pengajar pada Pasca Sarjana/S2 UMM Program Magister <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong><br />

tahun 1996 s.d sekarang;<br />

13. Staf Pengajar Program Pascasarjana Univ. Muhammadiyah Sidoarjo (2000 s.d<br />

2003);<br />

14. Staf Pengajar Program Pascasarjana UM Surabaya (2004 s.d sekarang).<br />

15. Pembantu Ketua II STAIN Malang (1997-1998);<br />

16. Pembantu Ketua I STAIN Malang (1998 s.d 2004) dan Pembantu Rektor I<br />

UIN Malang (2004-2005).<br />

17. Pembantu Rektor II UIN Malang (2005-2007).<br />

18. Kepala Kantor Jaminan Mutu UIN Malang (2005-2007).<br />

19. Staf Pengajar Program Pascasarjana (S2) STAIN/UIN Malang (1999 s.d<br />

sekarang).<br />

20. Staf pengajar Program Pascasarjana (S2) UNIPDU Jombang (2002 s.d<br />

sekarang).<br />

21. Staf Pengajar Program Doktor IAIN Sunan Ampel Surabaya (2005 s.d<br />

sekarang).<br />

22. Pembimbing Disertasi di Universitas <strong>Islam</strong> Negeri Malang dan IAIN Sunan<br />

Ampel Surabaya.<br />

C. Karya-Karya Muhaimin.<br />

Memahami makna kreativitas dan produktivitas Tuhan alam raya ini<br />

kiranya merefleksikan kinerja Muhaimin sebagai pribadi pengabdi untuk berkreasi<br />

dan bekerja keras, ada beberapa buku yang bisa di identifikasikan sebagai hasil<br />

kreatifitasnya. Dalam menerbitkan buku-buku Muhaimin bekerja sama dengan<br />

i<br />

24


penerbit-penerbit terkenal seperti Pustaka pelajar yogyakarta, Remaja Rosdakarya<br />

Bandung, Trigenda Karya, Ramadhani Solo, dan penerbit lainnya yang terkenal.<br />

Adapun buku-bukunya adalah:<br />

1. Problematika <strong>Agama</strong> Dalam Kehidupan Manusia (1989). Jakarta: Kalam<br />

Mulia.<br />

2. Konsep <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> (Sebuah Telaah Komponen Dasar Kurikulum)<br />

(1991). Solo : Ramadhani.<br />

3. Belajar Sebagai Sarana Pengembangan Fitrah Manusia (1991). Jakarta: Kalam<br />

Mulia.<br />

4. Pengenalan Kurikulum Madrasah (1992). Solo : Ramadhani.<br />

5. Pemikiran <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> (Kajian Filosofik Dan Kerangka Dasar<br />

Operasionalnya) (1993). Bandung: Trigenda Karya.<br />

6. Bekal Para Juru Dakwah Masa Kini (1994). Bandung: Trigenda Karya.<br />

7. Dimensi-Dimensi Studi <strong>Islam</strong> (1995). Surabaya: Karya Abditama.<br />

8. Strategi Belajar-Mengajar (Penerapannya Dalam Pembelajaran <strong>Pendidikan</strong><br />

<strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong>) (1996). Surabaya: Citra Media.<br />

9. Dasar-Dasar Kependidikan <strong>Islam</strong> (Suatu Pengantar Ilmu <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>)<br />

(1996). Surabaya: Karya Abditama.<br />

10. Tema-Tema Pokok Dakwah <strong>Islam</strong> Di Tengah Transformasi Sosial (1998).<br />

Surabaya: Karya Abditama.<br />

11. Paradigma <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> Upaya Mengefektifkan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> di<br />

Sekolah , Bandung: Remaja Rosdakarya.. Cetakan I (2001) dan Cetakan II<br />

(Januari, 2002).<br />

12. Wacana Pengembangan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> (2003). Yogyakarta: Pustaka<br />

Pelajar. (Cetakan Kedua, Agustus 2004).<br />

13. Arah Baru Pengembangan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>, Pemberdayaan, Pengembangan<br />

Kurikulum hingga <strong>Islam</strong>isasi Pengetahuan (2003). Bandung: Nuansa<br />

Cendekia.<br />

14. Pengembangan Kurikulum <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> di Sekolah, Madrasah<br />

dan Perguruan Tinggi (2005). Jakarta: Rajawali Pers.<br />

15. Pengembangan Kurikulum di PTAI (2005). Yogyakarta: Pustaka<br />

16. Pelajar Kawasan dan Wawasan Studi <strong>Islam</strong> (2005). Jakarta: Prenada.<br />

17. Manajemen Penjaminan Mutu di UIN Malang. Malang: UIN, 2005.<br />

18. Nuansa Baru <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> Mengurai Benang Kusut <strong>Pendidikan</strong>. Jakarta:<br />

Raja Grafindo Persada, 2006.<br />

19. Pedoman dan Implementasi Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan<br />

<strong>Pendidikan</strong> (KTSP) Madrasah Ibtidaiyah (MI). Surabaya: Kanwil Depag<br />

Jatim, 2007.<br />

20. Pedoman dan Implementasi Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan<br />

<strong>Pendidikan</strong> (KTSP) Madrasah Tsanawiyah (MTs). Surabaya: Kanwil Depag<br />

Jatim, 2007.<br />

i<br />

25


21. Pedoman dan Implementasi Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan<br />

<strong>Pendidikan</strong> (KTSP) Madrasah Aliyah (MA). Surabaya: Kanwil Depag Jatim,<br />

2007.<br />

Di samping menulis beberapa buku, Muhaimin juga melakukan Penelitian-<br />

penelitian, diantaranya penelitian yang pernah dilakukan adalah:<br />

1. Deskripsi Empat Pondok Pesantren Di Jawa Timur: Studi Dan Eksperimentasi<br />

Pengembangan Pondok Pesantren Di Jawa Timur (1982)-Riset kolektif.<br />

Persepsi Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Malang Terhadap Jabatan Guru<br />

<strong>Agama</strong> (1987).<br />

2. Mencari Alternatif Pola Pengembangan Program Pengalaman Lapangan Di<br />

Fakultas Tarbiyah IAIN Malang (1988).<br />

3. Telaah Kurikulum Madrasah Berdasarkan Konsep <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> (1989).<br />

4. Tinjauan <strong>Islam</strong> Tentang Beberapa Upacara Di Gunung Kawi (1991)-Riset<br />

Kolektif Strategi Pembinaan Dan Pengembangan Perpustakaan Masjid<br />

Sebagai Pusat Informasi Dan Dakwah Di Kotamadya Malang (1992).<br />

5. Kesiapan Masyarakat Desa Dalam Menghadapi Wajib Belajar <strong>Pendidikan</strong><br />

Dasar 9 Tahun Di Kecamatan Bantur dan Gedangan Kabupaten Malang<br />

(1993).<br />

6. Eksistensi <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> Luar Sekolah Di Pedesaan (Studi<br />

Kasus Di Desa Tembokrejo Kecamatan Muncar Kabupaten Banyuwangi Jawa<br />

Timur) (1994).<br />

7. Studi Tentang Aliran-Aliran Pemikiran Teologi Dalam <strong>Islam</strong> Pada Periode<br />

Klasik (1995).<br />

8. Upaya K.H. Moh. Yahya Dalam Mengembangkan <strong>Pendidikan</strong> Di Pondok<br />

Pesantren Miftahul Huda Gading Kasri Malang (1996).<br />

9. Pengembangan Sumber Daya Manusia Di Pondok Pesantren Kecamatan<br />

Lowokwaru Kotamadya Malang (1996) -Riset Kolektif. Pelaksanaan<br />

<strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> di Madrasah-Madrasah Kodya Malang (1997)-Riset<br />

Kolektif. Penciptaan Suasana Religius Di Sekolah-Sekolah Kotamadya<br />

Malang (1998).<br />

10. Pemberlakuan Sistem Guru Kelas dalam Peningkatan SDM pada Madrasah<br />

Ibtidaiyah di Kotamadya Malang (1999).<br />

11. Etos Kerja Guru <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> di SMU Negeri Kotamadya<br />

Malang (1999/2000)-Penelitian Kompetitif. Evaluasi <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong><br />

pada Perguruan Tinggi Umum (2003).<br />

12. Pengembangan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> Sebagai Budaya Sekolah Studi Kasus di<br />

SMA Kotamadya Malang (2006).<br />

Adapun yang termasuk hasil karya Muhaimin selama mengajar di<br />

Perguruan Tinggi adalah menyusun Buku-Buku Diktat Kuliah. Antara lain::<br />

i<br />

26


1. Kuliah Pengantar Ilmu <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong>.<br />

2. Dirosah <strong>Islam</strong>iyah: Aspek Teologi.<br />

3. Dirosah <strong>Islam</strong>iyah: Aspek Filsafat.<br />

4. Manusia Dan <strong>Pendidikan</strong>: Kajian Tentang Belajar Menurut Konsep <strong>Islam</strong>.<br />

5. Pergumulan Umat <strong>Islam</strong> Di Pentas Sejarah: Seri Kuliah Sejarah Kebudayaan<br />

<strong>Islam</strong>.<br />

6. Pemikiran Teologi <strong>Islam</strong> Pada Periode Klasik.<br />

7. Modul Ulum al-Hadits.<br />

8. Strategi Pembelajaran <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong>.<br />

9. Bekal Pendidik <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> Luar Sekolah<br />

10. Pengembangan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>: Menggagas Format <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> Masa<br />

Depan.<br />

11. Problematika <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong><br />

12. Lima Belas Isu Penting Dalam Pengembangan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong><br />

13. Esei-Esei Pemikiran Pengembangan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>.<br />

Aktif mengikuti kegiatan ilmiah, seperti seminar, lokakarya, work shop,<br />

pelatihan. Judul-Judul Makalah Yang Telah Diseminarkan adalah:<br />

1. Perspektif filsafat pendidikan <strong>Islam</strong> dalam konteks pendidikan di Indonesia<br />

(Disajikan pada Forum Ilmiah Fak. Tarbiyah Malang IAIN Sunan Ampel).<br />

2. Pengembangan SDM dalam transformasi Iptek <strong>menuju</strong> terciptanya kaderkader<br />

HMI yang mandiri (Disajikan pada Batra HMI Malang)<br />

3. Pengembangan Perpustakaan di Fakultas Tarbiyah: Menyongsong sarjana<br />

tarbiyah masa depan (Dialog Ilmiah).<br />

4. <strong>Islam</strong>, Jihad dan Transformamsi sosial (Disajikan pada PKD PMII Malang).<br />

5. Filsafat <strong>Islam</strong>: Kajian ontologis, epistemologis & aksiologis (Disajikan pada<br />

LSAFI HMI Malang).<br />

6. Strategi pembelajaran pendidikan agama <strong>Islam</strong> pada pendidikan dasar dan<br />

menengah (Disajikan pada Seminar dan Workshop dalam rangka HAB<br />

Depag Kodya Malang).<br />

7. Kiat Fakultas Tarbiyah dalam menyiapkan lulusan yang siap pakai<br />

(Disajikan pada seminar regional UNMUH Surabaya).<br />

8. Feminisme dalam pandangan <strong>Islam</strong> (Disajikan pada seminar regional di<br />

Malang).<br />

9. Beberapa pokok pikiran tentang pengembangan kurikulum Fakultas<br />

Tarbiyah (Disajikan pada seminar dan lokakarya kurikulum IAIN Sunan<br />

Ampel).<br />

10. Model-model pengembangan pendidikan agama <strong>Islam</strong> (Disajikan pada<br />

seminar regional Fak. Tarbiyah Malang IAIN Sunan Ampel).<br />

11. Peran Lembaga <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> dalam penanggulangan HIV/AIDS<br />

(Disajikan pada penataran Upaya Penanggulangan HIV/AIDS Kotamadya<br />

Malang).<br />

12. Profil Guru <strong>Agama</strong> pada era tinggal landas (Disajikan pada diolog ilmiah<br />

dalam rangka HAB Depag Kodya Malang).<br />

i<br />

27


13. Model Penyusunan kurikulum lokal: suatu tinjauan praktis (Disajikan pada<br />

Semlok kurikulum lokal Fak. Tarbiyah IAIN Sunan Ampel).<br />

14. Pendekatan keagamaan dalam pendidikan anak di TKA (Disajikan pada<br />

seminar dan lokakarya nasional di Fakultas Tarbiyah Jember IAIN Sunan<br />

Ampel).<br />

15. Refleksi ramadlan dalam konteks peningkatan etos kerja dan amal saleh di<br />

era globalisasi (Disajikan pada dialog ilmiah di MIN I Malang).<br />

16. Pemurnian aqidah issue sentral dakwah <strong>Islam</strong>iyah (Disajikan pada pelatihan<br />

khatib di Kabupaten Malang).<br />

17. Is Muhammad Feminism? (Disajikan pada seminar regional SEMA Fak.<br />

Tarbiyah Malang IAIN Sunan Ampel).<br />

18. Ujian negara bagi PTAIS jurusan PAI: Implikasinya dalam penyebaran<br />

mata kuliah per-semester (Disajikan pada diskusi di Kopertais Wilayah IV<br />

Surabaya).<br />

19. Aktualisasi kebijakan nasional tentang pendidikan <strong>Islam</strong> (Disajikan pada<br />

seminar regional di STIT Ibrahimi Banyuwangi).<br />

20. Pembelajaran pendidikan agama di sekolah dan madrasah (Disajikan pada<br />

seminar dan lokakarya nasional di UNDAR Jombang).<br />

21. Profil guru agama: Sebuah renungan (Disajikan pada seminar dalam<br />

rangka HAB Depag Kodya Malang).<br />

22. Menyiapkan calon guru agama di IAIN: Sebuah pemikiran awal (Disajikan<br />

pada seminar sehari Lustrum V IAIN Sunan Ampel).<br />

23. Tantangan guru agama dalam era modernisasi dan industrialisasi (Disajikan<br />

pada seminar regional HMJ PAI Fak. Tarbiyah Malang IAIN Sunan Ampel).<br />

24. Membangun Kompetensi guru agama (Disajikan pada penataran dan<br />

lokakarya Fakultas Tarbiyah Malang IAIN Sunan Ampel).<br />

25. Prospek guru agama dalam menatap masa depan (Disajikan pada seminar<br />

regional di STIT Raden Rahmat Kepanjen Malang).<br />

26. Profil mahasiswa IAIN dalam menatap era globalisasi (Disajikan pada<br />

dialog ilmiah IAIN Sunan Ampel Fakultas Tarbiyah Malang).<br />

27. Profil guru agama dalam menatap wajib belajar 9 tahun (Disajikan pada<br />

seminar regional program D-2 Fakultas Tarbiyah).<br />

28. Iman dan Taqwa: Sebuah Tinjauan Qur'ani. (Disajikan pada seminar Dosen<br />

Fakultas Tarbiyah Malang IAIN Sunan Ampel).<br />

29. Metodologi Studi <strong>Islam</strong> sebagai MKDU di STAIN (Disajikan pada seminar<br />

dosen STAIN Malang).<br />

30. Landasan filosofis pendidikan Madrasah (Disajikan pada penataran dan<br />

lokakarya Kurikulum Madrasah bagi Pejabat dan Pengawas PAI Kanwil<br />

DEPAG Jawa Timur di STAIN Malang).<br />

31. Perkembangan Pemikiran Modern Dalam <strong>Islam</strong> (Disajikan pada Penataran<br />

Intensifikasi Pembelajaran Sejarah Kebudayaan <strong>Islam</strong> bagi Guru-Guru<br />

MAN se Indonesia di UNISMA Malang, Tgl. 20 - 24 Agustus 1998).<br />

32. Landasan filosofis pendidikan Madrasah (Disajikan pada penataran dan<br />

lokakarya Kurikulum Madrasah bagi Pengawas <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong><br />

Kanwil DEPAG Jawa Timur di UNISMA Malang).<br />

i<br />

28


33. Kepala Madrasah Sebagai Pengembang Kurikulum (Disajikan pada<br />

Pelatihan Manajemen Kepala Madrasah di STAIN Malang).<br />

34. Tugas Kepala Madrasah Dalam Evaluasi Kurikulum (Disajikan pada<br />

Pelatihan Manajemen Kepala Madrasah di STAIN Malang).<br />

35. Kepala Madrasah Sebagai Pengembang dan Evaluator Kurikulum<br />

(Disajikan pada Penataran dan Lokakarya Sosialisasi Kurikulum 1994 Bagi<br />

Kepala Madrasah Aliyah se Wilayah Indonesia Timur di STAIN Malang).<br />

36. Profil Mahasiswa Muslim Masa Depan. Makalah Disajikan pada Pelatihan<br />

Kepemimpinan Mahasiswa di STAIN Malang, Juli 1999.<br />

37. Membangun sinergi antara Madrasah Model dan Madrasah Satelit, Makalah<br />

disajikan pada Workshop Manajemen Madrasah se-Jatim, 20 Oktober 1999.<br />

38. Problem Statement Kepemimpinan pendidikan di Madrasah, Makalah<br />

disajikan pada Workshop Manajemen Madrasah se Jatim, 20 Oktober 1999.<br />

39. Pengembangan jurusan/program studi di STAIN Malang. Makalah<br />

Disajikan pada Rapat Kerja Jurusan/Program Studi Tanggal 10 Desember<br />

1999 di STAIN Malang.<br />

40. Konsolidasi internal di bidang akademik (suatu upaya pencerahan STAIN<br />

Malang di masa depan). Makalah disajikan pada Rapat Kerja STAIN<br />

Malang, Tgl. 8-9 Mei 1999.<br />

41. Pengembangan kurikulum pendidikan agama <strong>Islam</strong> di sekolah umum.<br />

Makalah disajikan pada Penataran Guru <strong>Agama</strong> SLTP se Jawa Timur, tgl. 4<br />

Agustus 1999, di <strong>Islam</strong>ic Center Surabaya.<br />

42. Pendekatan keagamaan dalam pendidikan anak di Taman Kanak-kanak.<br />

Makalah disajikan pada Penataran Guru <strong>Agama</strong> TK se Jawa Timur, tgl. 4<br />

Agustus 1999, di <strong>Islam</strong>ic Center Surabaya.<br />

43. Pengembangan tenaga kependidikan di Madrasah, Makalah disajikan pada<br />

Penataran Kepala Madrasah se Kotamadya dan Kabupaten Kediri, 20-21<br />

Maret 2000.<br />

44. Pengembangan kurikulum pendidikan agama <strong>Islam</strong> di sekolah umum.<br />

Makalah disajikan pada Penataran GPAI dan Kasi Pendais se-Jawa Timur,<br />

tgl. 13Agustus 2000, di Wisma Sejahtera Surabaya.<br />

45. Pengembangan Tenaga Kependidikan <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> dalam Menatap Era<br />

Globalisasi. Makalah disajikan pada Lokakarya GPAI, Kasi pendais se Jawa<br />

Timur, tgl. 13 September 2000 di <strong>Islam</strong>ic Center Surabaya.<br />

46. Pengembangan Kurikulum PAI. Makalah disajikan pada Penataran KKG,<br />

MGMP, Kasi Pendais dan PPAI se Jawa Timur, tgl. 14 Oktober 2000 di<br />

Hotel Asida Batu Malang.<br />

47. Pengembangan Jurusan/Program Studi di STAIN dalam Perspektif UIN.<br />

Makalah disajikan pada Rapat Kerja STAIN Malang, tgl. 29-30 April 2000.<br />

48. Prospek Fakultas/Jurusan Tarbiyah Dalam Menatap Otonomi Daerah.<br />

Makalah disajikan pada Studium General di STIT Maskumambang Gresik<br />

Jawa Timur, tgl. 17 September 2000.<br />

49. Membangun Masyarakat Belajar yang Profesional. Makalah Disajikan pada<br />

Diskusi Dosen Jurusan Tarbiyah STAIN Malang, tgl. 16 Desember 2000<br />

50. Tergesernya Peranan Guru <strong>Agama</strong>. Makalah Disajikan pada Pelatihan Guru<br />

<strong>Agama</strong> SMU Se Jawa Timur, tgl. 6 Mei 2001.<br />

i<br />

29


51. Posisi Bahasa Arab dalam pengembangan studi <strong>Islam</strong>, Makalaha disajikan<br />

pada Workshop Pembelajaran Bidang Studi Bahasa Arab MA se Jatim dan<br />

Nusa Tenggara, 24 Mei 2001.<br />

52. Manajemen <strong>Pendidikan</strong> Berbasis Madrasah Dalam Konteks Otonomi<br />

Daerah. Makalah Disajikan Pada Lokakarya Pengawas <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong><br />

<strong>Islam</strong> se Jawa Timur, 2 Juni 2001.<br />

53. Redefinisi <strong>Islam</strong>isasi Pengetahuan. Makalah Disajikan pada Seminar PPS<br />

Magister <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> UMM, tgl. 10 Juni 2001.<br />

54. Problema Umat <strong>Islam</strong> Dulu, Kini dan Yang Akan Datang. Makalah<br />

Disajikan Pada Silaturrahmi Ulama se Kabupaten Malang, Rabu, 4 Juli<br />

2001, di Kandepag Kabupaten Malang.<br />

55. Pengembangan model school visit, Makalah disajikan pada Residensial<br />

Program Sertifikasi Guru Madrasah se Kabupaten Lamongan, Bangkalan<br />

dan Trenggalek, 20 Juli 2001.<br />

56. Pengembangan Masyarakat Belajar yang Profesional di Madrasah.<br />

Makalah Disajikan Pada Lokakarya Kepala Madrasah dan Pengurus<br />

Madrasah se Kabupaten Malang, 12 Oktober 2001.<br />

57. EBTANAS Masihkah Fungsional?Makalah Disajikan Pada Sarasehan yang<br />

Diselenggarakan oleh Forum Intelektual Kotamadya Malang Jawa Pos, 25<br />

November 2001.<br />

58. Tantangan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> di Masa Depan. Makalah Disajikan<br />

pada Pertemuan Para Kasi Pendais se Wilayah Kantor Departemen <strong>Agama</strong><br />

Jawa Timur di Tretes Pandaan Jatim, tgl. 5 Januari 2002.<br />

59. Performa Guru <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> Jenjang <strong>Pendidikan</strong> Dasar,<br />

Makalah disajikan pada Seminar sehari Ketua MGMP PAI se Kabupaten<br />

Malang, Februari 2002.<br />

60. Profesionalisme GPAI di Sekolah, Makalah disajikan pada Seminar Sehari<br />

Kelompok Kerja GPAI Kabupaten Malang, Maret 2002.<br />

61. Problem <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> di Sekolah/Madrasah, Makalah Disajikan<br />

pada Seminar Sehari Bagi Pengawas PAI Se Jatim di Batu Malang, Februari<br />

2002<br />

62. Profesionalisme Guru Madrasah. Makalah Disajikan pada Seminar Guru-<br />

Guru Madrasah Se Jatim di Surabaya, April 2002.<br />

63. Pengembangan Kurikulum STAIN Malang Upaya Elaborasi Tarbiyah Ulul<br />

Albab, Makalah disajikan di Diskusi pimpinan dan dosen, 5 Juni 2002.<br />

64. Visi dan Misi STAIN dan Aktualisasinya dalam Pengembangan Program<br />

PPL, Makalah disajikan pada Orientasi PPL tgl. 11 Juli 2002.<br />

65. Pola Pengembangan kurikulum Bahasa Arab, Makalah disajikan pada<br />

Pelatihan Bahasa Arab bagi Guru MA & MAK se Jatim, Bali, NTB dan<br />

NTT, tgl. 12 Agustus 2002.<br />

66. Integrasi Imtaq dan Ipteks, Makalah Disajikan pada Seminar di Surabaya,<br />

Juni 2002.<br />

67. Strategi Penyusunan Kurikulum dan Silabi PTAI, Makalah Disajikan pada<br />

Seminar dan Workshop Kurikulum di STAIN Tulungagung, 28 Mei 2002<br />

68. Pengembangan Pembelajaran Baca Tulis Al-Qur’an, Makalah Disajikan<br />

pada Pelatihan GPAI SLTP Se Jatim Di Surabaya, September 2002.<br />

i<br />

30


69. <strong>Pendidikan</strong> kecakapan hidup dalam perspektif <strong>Islam</strong>, Makalah disajikan<br />

pada Seminar sehari HMJ Tarbiyah, 21 Oktober 2002.<br />

70. Model-Model Pengembangan Kurikulum PAI, Makalah disajikan pada<br />

Workshop Penyusunan Kurikulum Nasional PAI, tgl. 29 Mei 2003.<br />

71. Paradigma Pengembangan Pengabdian Kepada <strong>masyarakat</strong>, Makalah<br />

disajikan pada Seminar Dosen, 13 Juni 2003.<br />

72. Pengembangan Kurikulum Madrasah Aliyah Keagamaan (Pondok<br />

Pesantren). Makalah Disajikan Pada Acara Pembinaan dan Peningkatan<br />

SDM Pengasuh Pondok Pesantren se Jawa Timur, Tgl. 23 s.d 25 Juni 2003<br />

di Gedung Pusat Pengembangan <strong>Islam</strong> Surabaya.<br />

73. Teori pengembangan kurikulum Bahasa Arab di PTAI, Makalah disajikan<br />

pada Pelatihan Dosen Bahasa Arab PTAI se Indonesia, 5 Juli 2003.<br />

74. Pengelolaan Kurikulum Berbasis Madrasah, Makalah Disajikan pada<br />

Seminar dan Workshop KBK Bagi Kabid Mapendais Kanwil Depag Se<br />

Indonesia di Ciawi Bogor, Juni 2003.<br />

75. Pengembangan Kurikulum PAI Berbasis kompetensi, Makalah Disajikan<br />

pada Pelatihan Pengawas PAI Se Jatim di Surabaya, Juli 2003.<br />

76. Teori Pengembangan Kurikulum Program Studi di Lingkungan<br />

IAIN/STAIN, Makalah Disajikan pada Pertemuan Ketua Program Studi<br />

IAIN/STAIN se Indonesia di Ciputat Jakarta, 24 Juli 2003.<br />

77. Kurikulum Berbasis Kompetensi PAI di Madrasah, Makalah Disajikan pada<br />

Pelatihan Kepala dan Wakil Kepala Madrasah Se Jatim di Surabaya,<br />

Agustus 2003<br />

78. Integrasi <strong>Pendidikan</strong> Budi Pekerti dan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong>, Makalah<br />

disajikan pada Pelatihan Guru-Guru PAI Se Jatim di Surabaya, Agustus<br />

2003.<br />

79. Implementasi Kurikulum PAI KBK, Makalah disajikan pada Orientasi KBK<br />

bagi Wakil Kepala Madrasah dan Guru MTs se Jatim di Surabaya, 25-28<br />

Agustus 2003.<br />

80. Pengembangan Keguatan Belajar-Mengajar PAI, Makalah disajikan pada<br />

Orientasi KBK bagi Wakil Kepala Madrasah dan Guru MTs se Jatim di<br />

Surabaya, 25-28 Agustus 2003.<br />

81. Model penyusunan draft Pedoman Umum dan Program Kerja MGMP<br />

MA/SMU se Indonesia, Makalah disajikan pada Temu Konsultasi MGMP<br />

tgl. 30 Agustus 2003.<br />

82. Mengimplisitkan Pendekatan Keagamaan Dalam Pembelajaran Kemampuan<br />

BTQ (BacaTulis Al-Qur’an) Di SD/SLTP, Makalah Disajikan Pada Seminar<br />

dan Workshop Guru PAI SD/SLTP Se Jatim Di Surabaya, September 2003.<br />

83. Strategi pengembangan kurikulum Fakultas Syariah, Makalah disajikan pada<br />

Seminar dan Lokakarya Pemberdayaan Kualitas Lulusan Fakultas Syariah di<br />

Pasaran Kerja, 3 September 2003.<br />

84. Membangun sinergi antara Madrasah, Orang Tua, dan Tokoh Masyarakat,<br />

Makalah disajikan pada Pelatihan Manajemen Madrasah Aliyah se<br />

Kabupaten Kediri, 11 September 2003.<br />

i<br />

31


85. Pengembangan Kurikulum PTAI, Makalah Disajikan pada Pertemuan<br />

Dekan dan Pembantu Dekan I IAIN Se Indonesia di Jakarta, 22-23<br />

Nopember 2003<br />

86. Indikator Kinerja Dewan <strong>Pendidikan</strong> dan Komite Madrasah: Implikasinya<br />

Terhadap Pengembangan Action Plan, Makalah Disajikan pada Temu<br />

Konsultasi MGMP PAI MA/SMU Se Indonesia, September 2003.<br />

87. Pengembangan Kurikulum Berbasis kompetensi PTAI, Makalah Disajikan<br />

pada Woorkshop Pengembangan Kurikulum di Kopertais Makasar Ujung<br />

Pandang, September 2003.<br />

88. Konsep dan impelementasi KBK di PTAI, Makalah Disajikan pada<br />

Workshop KBK di STAIN Ponorogo, 22-25 Agustus 2003<br />

89. Pengembangan Program Studi Umum di PTAI (Sebuah Pertanggungan<br />

Jawab Akademis), Makalah Disajikan pada Seminar dan Workshop STAIN<br />

Se Jawa Barat dan Jawa Tengah di STAIN Cirebon, 16 Juni 2003<br />

90. Pengembangan kurikulum PTAI Berbasis Kompetensi, Makalah Disajikan<br />

pada Seminar dan Workshop STAIN Se Jawa Barat dan Jawa Tengah di<br />

STAIN Cirebon, 16 Juni 2003.<br />

91. Prospek Mahasiswa Tarbiyah, Makalah Disajikan pada Seminar Sehari di<br />

STIT Kertosono-Nganjuk, Agustus 2003.<br />

92. Model-Model Pembelajaran PAI, Makalah Disajikan pada Workshop<br />

Peningkatan Mutu Pembelajaran PAI bagi Guru-guru Madrasah Se Jatim di<br />

Surabaya, September 2003.<br />

93. Manajemen Peningkatan Mutu Madrasah, Makalah Disajikan Pada Pelatihan<br />

Kepala Madrasah Aliyah Se-Jatim di Surabaya, Oktober 2003.<br />

94. Strategi Global <strong>Pendidikan</strong> Indonesia Dalam Menyikapi Persaingan<br />

<strong>Pendidikan</strong> Dalam Konteks Model Baru Kelulusan SLTP/SMU, Disajikan<br />

pada Talk Show <strong>Pendidikan</strong> “Tantangan dan Peluang Format Baru<br />

Pelulusan SLTP/SMU”di Gedung SC UIIS Malang, Tgl. 29 April 2003<br />

95. Visi dan Misi MA: Aktualisasinya dalam manajemen. Makalah disajikan<br />

pada Seminar Kelompok Kerja Madrasah Aliyah se Kabupeten Gresik, 20<br />

Desember 2003.<br />

96. Tantangan PAI di Era Golabalisasi, Makalah Disajikan Pada Seminar Sehari<br />

Bagi Pengawas PAI, Kepala TK/RA & Kepala Madrasah se Kabupaten<br />

Madiun, di Madiun Januari 2004<br />

97. Pengembangan Kurikulum dan Silabus STAIN, Makalah Disajikan pada<br />

Workshop di STAIN Kediri, Februari 2004<br />

98. Landasan Pengembangan Kurikulum Madrasah, Makalah Disajikan pada<br />

Workshop Guru-Guru Madrasah Se Kabupaten Malang, 2 April 2004.<br />

99. Akreditasi Madrasah, Makalah Disajikan pada Workshop Pengawas PAI Se<br />

Kabupaten Malang, Maret 2004.<br />

100. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Madrasah, Makalah Disajikan pada<br />

Workshop Kepala Madrasah Aliyah Se Kabupaten Gresik, di Bungah Gresik<br />

Jatim, Februari 2004.<br />

101. Korupsi dalam Perspektif <strong>Pendidikan</strong>, Disajikan pada Musyawarah Majelis<br />

Tarjih Muhammadiyah Jatim di Probolinggo, April 2004.<br />

i<br />

32


102. Tantangan STIT di Era otonomi Daerah, Pidato Ilmiah Disampaikan Pada<br />

Dies Natalis dan Wisuda STIT Al-Mustaqim Negara-Bali, Tgl. 30 Mei 2004.<br />

103. Kurikulum Berbasis Kompetensi PAI di Madrasah Aliyah, Makalah<br />

Disajikan pada Workshop Kepala dan Wakil Kepala MA Se Kabupaten<br />

Gresik, 4 – 6 Juni 2004<br />

104. Inovasi <strong>Pendidikan</strong> Implikasinya terhadap Madrasah, Makalah Disajikan<br />

pada Seminar dan Workshop Pengembangan Madrasah di Denpasar Bali, 9-<br />

11 Juni 2004.<br />

105. Peningkatan Kualitas Program Studi di UIN Malang, Makalah disajikan<br />

pada Workshop Kurikulum Program Studi Bahasa dan Sastera Arab dan<br />

Inggris.<br />

106. Pengembangan Kurikulum UIN Malang, Makalah disajikan pada Workshop<br />

Kurikulum Program Studi Bahasa dan Sastera Arab dan Inggris.<br />

107. Pengembangan Kurikulum UIN Malang, Makalah disajikan pada Diskusi<br />

Dekan dan PD I, Unit-Unit Penunjang di lingkungan UIN Malang<br />

108. Upaya Peningkatan Mutu Program Studi di UIN Malang, Makalah disajikan<br />

pada Diskusi Dekan dan PD I, Unit-Unit Penunjang di lingkungan UIN<br />

Malang<br />

109. Pengembangan Standar Kompetensi Lulusan UIN Malang, Makalah<br />

disajikan pada Diskusi Dekan dan PD I, Unit-Unit Penunjang di lingkungan<br />

UIN Malang.<br />

110. Pengembangan Standar Kompetensi Lulusan Fakultas Tarbiyah UIN<br />

Malang, Makalah disajikan pada Diskusi dosen-dosen di lingkungan<br />

Fakultas Tarbiyah UIN Malang.<br />

111. Manajemen Program Pelatihan (Training). Makalah Disajikan pada Seminar<br />

Widyaiswara Diklat di Surabaya, Tgl. 7 Desember 2004.<br />

112. Posisi Strategis Penjaminan Mutu Dalam Rangka Pemberdayaan Madrasah.<br />

Makalah Disajikan Pada Seminar dan Workshop Kepala MA se Jawa Timur<br />

di Surabaya, tgl. 20 Mei 2005.<br />

113. Musykilah at-Tarbiyah al-<strong>Islam</strong>iyah Wa Tanmiyatuha bi Indonesia. Makalah<br />

Disajikan Pada Seminar <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> di Riyadh. Tgl. 23 – 24 Mei 2005.<br />

114. Peningkatan Mutu Madrasah Tsanawiyah. Makalah Disajikan Pada Seminar<br />

dan Workshop Kepala MTs se Jawa Timur di Surabaya, tgl. 8 Juni 2005.<br />

115. Quality Assurance di Madrasah. Makalah Disajikan Pada Seminar dan<br />

Workshop Kepala MA Kegamaan se Jawa Timur di Surabaya, tgl. 14 Juni<br />

2005.<br />

116. Pengembangan Wawasan Keislaman & Pembentukan Sikap Sosial Siswa.<br />

Disajikan Pada Seminar Wakil Kepala SMA Bidang Kesiswaan se Jawa<br />

Timur di Surabaya, tgl. 9 Agustus 2005<br />

117. Mendesain Kurikulum STAIN. Makalah Disajikan Pada Seminar &<br />

Workshop Pengembangan Kurikulum STAIN Ponorogo, Tgl. 11 September<br />

2005.<br />

118. Pengembangan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> Menatap Masa Depan. Pidato Ilmiah<br />

Disampaikan pada Rapat Terbuka Senat STAIPANA Bangil Dalam Rangka<br />

Wisuda Sarjana S1 dan Lulusan D2, Tgl. 10 September 2005.<br />

i<br />

33


119. Tantangan Lembaga <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> Di Masa Depan. Pidato Ilmiah<br />

Disampaikan pada Rapat Terbuka Senat STKIP-STIT Muhammadiyah<br />

Lumajang Dalam Rangka Wisuda tahun 2005, Tgl. 25 September 2005.<br />

120. Pengembangan Kurikulum di PTAIN. Makalah Disajikan Pada Seminar &<br />

Workshop Pembelajaran, Penyusunan Kurikulum & SAP Bagi Dosen<br />

STAIN Kendari, Tgl. 8 Oktober 2005.<br />

121. Manajemen Penjaminan Mutu di PTAIN. Makalah disajikan pada Seminar<br />

dan Workshop Pembantu Rektor & Pembantu Ketua Bidang Akademik<br />

PTAIN se Indonesia di Malang, Tgl. 27 Oktober 2005.<br />

122. Membangun Etos Kerja Dosen. Makalah Disajikan pada Pelatihan Dosen<br />

PTAIN Se Jawa Timur, Tgl. 4 November 2005.<br />

123. Merancang dan Membuat Program Pengajaran. Makalah Disajikan pada<br />

Pelatihan Dosen PTAIN se Jawa Timur di Diklat Surabaya, Tgl. 16 Mei<br />

2006.<br />

124. Strategi Pembudayaan <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> Dalam Komunitas Sekolah. Makalah<br />

Disajikan Pada Seminar dan Workshop Guru PAI SMP se Jawa Timur. Tgl.<br />

21 Juli 2006.<br />

125. Strategi Pengembangan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> Di SMA/K. Makalah<br />

Disajikan pada Seminar Guru <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> SMA/K Se Jawa Timur di<br />

Surabaya, Tgl. 2 Agustus 2006.<br />

126. Pengembangan Lembaga Penjaminan Mutu di PTAIN. Makalah disajikan<br />

pada Seminar dan Workshop Pembantu Rektor & Pembantu Ketua Bidang<br />

Akademik PTAIN se Indonesia di Jakarta, Tgl. 14 Agustus 2006.<br />

127. Menggali & Membangun Potensi Sumberdaya Manusia Dalam Menghadapi<br />

Dunia Kerja. Makalah Disajikan Pada Seminar Nasional Pengembangan<br />

SDM, Tgl. 2 September 2006, di Kotamadya Madiun.<br />

128. Penjaminan Mutu di STAIN. Makalah Disajikan Pada Seminar dan<br />

Workshop Pimpinan dan Dosen-Dosen STAIN Tulungagung, tgl. 21<br />

September 2006.<br />

129. Interelasi Materi <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> Dan Civic Education Di<br />

Madrasah Tsanawiyah. Makalah disajikan pada Seminar AUSAID, Tgl. 25<br />

September 2006 di Hotel Pelangi Malang.<br />

130. Menggali makna Ibadah Puasa Ramadlan dan Pengembangannya Di<br />

SMA/K. Makalah Disajikan pada Seminar Guru <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> SMA/K Se<br />

Jawa Timur, Tgl. 7 Oktober 2006.<br />

131. Konsep Kurikulum Jurusan Kependidikan <strong>Islam</strong> Dalam Menjawab<br />

Tantangan Global. Makalah disajikan pada Seminar Jurusan Kependidikan<br />

<strong>Islam</strong> (KI) Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya, pada tgl. 30<br />

Nopember 2006.<br />

132. Reorientasi Kurikulum STAIN Jember (Pengembangan Kurikulum STAIN<br />

ke Arah Inovasi <strong>Pendidikan</strong>). Makalah disajikan pada Seminar & Workshop<br />

Pimpinan dan Dosen pada tgl. 7 -8 Desember 2006 di STAIN Jember.<br />

133. Peningkatan dan Pengembangan Lembaga Penjaminan Mutu di PTAIN.<br />

Makalah disajikan pada Seminar dan Workshop Dosen-Dosen PTAIN se<br />

Indonesia Bagian Barat di Padang, Tgl. 24 Desember 2006.<br />

i<br />

34


134. Peningkatan Lembaga Penjaminan Mutu di PTAIN. Makalah disajikan pada<br />

Seminar dan Workshop Dosen-Dosen PTAIN se Indonesia Bagian Tengah<br />

di Surabaya, Tgl. 26 Desember 2006.<br />

135. Peningkatan dan Pengembangan Lembaga Penjaminan Mutu di PTAIN.<br />

Makalah disajikan pada Seminar dan Workshop Dosen-Dosen PTAIN se<br />

Indonesia Bagian Timur di Gorontalo, Tgl. 28 Desember 2006.<br />

136. Madrasah Aliyah Keagamaan dan Standar Nasional <strong>Pendidikan</strong>. Makalah<br />

Disajikan pada Seminar & Workshop Kepala MAK Se Jawa Timur, Tgl. 9<br />

Januari 2007, Diselenggarakan oleh Madrasah Development Center di<br />

Surabaya.<br />

137. Kesiapan Sekolah/Madrasah Dalam Pengembangan KTSP. Makalah<br />

Disajikan pada Seminar Sehari Dalam Rangka HAB Depag di Kabupaten<br />

Gresik, Tgl. 21 Januari 2007<br />

138. Implementasi Pengembangan KTSP di Madrasah. Makalah Disajikan pada<br />

Seminar dan Workshop Penyusunan KTSP Bagi Kasi Mapendais Depag dan<br />

Pengawas PAI se Jawa Timur Tgl. 29 Januari 2007.<br />

139. Membangun Madrasah Aliyah Negeri Yang Berwawasan Lokal dan Global.<br />

Makalah Disajikan pada Seminar Sehari di MAN Pasuruan, Tgl. 8 Februari<br />

2007.<br />

140. Pengembangan Kurikulum Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah.<br />

Makalah Disajikan pada Seminar Sehari Kepala MTs dan MA se Kabupaten<br />

Malang, Tgl. 14 Februari 2007. Dan makalah-makalah lainnya yang tidak<br />

sempat terdokumentasikan.<br />

Beliau juga berkarya dengan menulis di majalah/surat kabar, yakni:<br />

1. Menguak kebangkitan <strong>Islam</strong> dalam perspektif sejarah. Majalah Tarbiyah<br />

No. 20 tahun VIII.<br />

2. Strategi belajar-mengajar (sebuah telaah praktek pendidikan dari segi CBSA<br />

di Fak. Tarbiyah IAIN).<br />

3. Majalah Tarbiyah No. 16 tahun VII Redupnya sebuah almamater.<br />

4. Majalah Tarbiyah No. 17 tahun VII. <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> antara cita dan fakta.<br />

Majalah Tarbiyah No. 15 tahun VI.<br />

5. Istilah tarbiyah masih menjadi masalah. Majalah Tarbiyah No. 14 tahun VI.<br />

6. Ibnu Rusyd membela filsafat. Majalah Tarbiyah No. 18 tahun VII.<br />

7. Upaya mengaktualisasikan kebijakan nasional tentang pendidikan <strong>Islam</strong>.<br />

Majalah Al-Syarif Pondok Pesantren Sukorejo Situbondo Jawa Timur, No.<br />

perdana, 1993.<br />

8. Fungsi dan peran guru agama (sebuah telaah kurikulum pendidikan dasar<br />

1994). Majalah Tarbiyah No. 37 tahun XIII.<br />

9. Fungsi pendidikan dan pendekatannya dalam PBM. Majalah Mimbar<br />

Pembangunan <strong>Agama</strong> Kanwil Depag Jatim.<br />

10. Wajib belajar 9 tahun sebagai upaya pengentasan kemiskinan. Majalah<br />

Tarbiyah No. 36 tahun XIII.<br />

i<br />

35


11. Mewujudkan moral agama di kalangan <strong>masyarakat</strong>. Majalah Mimbar<br />

Pembangunan <strong>Agama</strong> Kanwil Depag Jatim. Muwajahah al-mutathorrif fi al-<br />

<strong>Islam</strong>. Jurnal <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> Vol. I.<br />

12. <strong>Pendidikan</strong> dan Keadilan. Majalah Tarbiyah No. 23 tahun IX.<br />

13. Jihad dan transformasi sosial: Implikasinya terhadap guru agama. Majalah<br />

Tarbiyah No. 38 tahun XIII.<br />

14. Iman dan Taqwa (Tinjauan Konseptual dan Pengembangannya dalam<br />

<strong>Pendidikan</strong>). Majalah Tarbiyah No. 41 tahun XIII.<br />

15. Upaya fakultas tarbiyah dalam menyiapkan sarjana siap pakai. Majalah<br />

Tarbiyah No. 42 tahun XIII.<br />

16. Eksistensi madrasah sebagai sekolah yang berciri khas agama <strong>Islam</strong>.<br />

Majalah Tarbiyah No. 45 tahun XIV.<br />

17. The Religious Approach For Childhood Education In TPQ. Majalah<br />

Tarbiyah No. 44 tahun XIV.<br />

18. Era Baru Kebangkitan STAIN Malang (Dari Persatuan semu ke arah<br />

Persatuan sejati). Gema STAIN Malang, Nov. 1997.<br />

19. Wawasan dan Kawasan Metodologi Studi <strong>Islam</strong> sebagai MKDU di<br />

IAIN/STAIN. Majalah El-Harokah No. 47 Tahun XV.<br />

20. Masalah sosial dan pelanggaran hak asasi manusia. Majalah El-Harokah No.<br />

48 Tahun XV<br />

21. Gerakan Intelektual: Respon terhadap kemunduran peradaban <strong>Islam</strong>.<br />

Majalah El-Harokah No. 49 Tahun XV.<br />

22. Potret Paradigma Pengembangan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> di Indonesia. Jurnal<br />

STAIN Malang Edisi No. 5 Tahun 1998.<br />

23. Menyiapkan Imam Bagi Orang-Orang Bertaqwa.<br />

24. Majalah El-Harakah STAIN Malang, Nomor 50, tahun XVI, September-<br />

Nopember 1998.<br />

25. Pemikiran Modern Dalam <strong>Islam</strong> (Implikasinya Terhadap Studi <strong>Islam</strong> di<br />

STAIN).<br />

26. Majalah El-Harakah STAIN Malang, Nomor 51, tahun XVII, Maret 1999.<br />

27. Shafhah Syakhshiyah al-Thalib al-Muslim fi al-Mustaqbal. El-Hujum<br />

STAIN Malang, September 1999/Jumadil Ula 1419.<br />

28. Sketsa Pengembangan Kurikulum di STAIN Malang.<br />

29. Majalah el-Harakah No. 52/XVIII/Juni-Agustus 1999.<br />

30. Pengembangan Jurusan/Program Studi dalam Perspektif UIN. Majalah el-<br />

Harakah No. 54/XX/Januari-Maret 2000.<br />

31. Peran Kepala Madrasah dalam Pengembangan Masyarakat Belajar Yang<br />

Profesional. Majalah Mimbar Pembangunan <strong>Agama</strong>, Maret 2001/Th. XV.<br />

32. Perbincangan Tentang <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> di Indonesia, Ulul Albab, Jurnal<br />

Studi <strong>Islam</strong>, Sains dan Teknologi, Vol. 3 No. 2 Tahun 2001. Azmah Akhlaq<br />

al-Muta'allim: Man al-Mas’ul 'Anha?El-Hujum STAIN Malang, Februari<br />

2002.<br />

33. Mencari Format Membangun Ukhuwah, Republika, Jum’at 21 Maret 2003.<br />

34. Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Life Skill, Lektur, Jurnal <strong>Pendidikan</strong><br />

<strong>Islam</strong>, STAIN Cirebon Seri XVIII 2003.<br />

i<br />

36


35. Arah Pengembangan Program Studi Manajemen <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>. El-Jadid,<br />

Jurnal Ilmu Pengetahuan <strong>Islam</strong>, Vol.1,No. I, Mei–Oktober 2003.<br />

36. Mencermati Paradigma Pengembangan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> di Sekolah dan<br />

PTU, Jurnal Diknas Jakarta, Februari 2004. KTSP Wujud Otonomi<br />

Sekolah/Madrasah. Majalah Mimbar Pembangunan <strong>Agama</strong>, Nov. 2006<br />

37. Membumikan Ulul Albab Upaya Kembali ke Khittah PTAIN. Gema Pers<br />

UIN Malang, Desember 2006.<br />

38. Penulis Artikel, Pengisi Rubrik Zikir Kontekstual dan Pengamat <strong>Pendidikan</strong><br />

pada Jawa Pos:<br />

1) Ribuan Siswa Putus Sekolah<br />

2) Krisis Akhlak Salah siapa?<br />

3) Puasa dan pengendalian diri;<br />

4) Ebtanas jangan semuanya pusat;<br />

5) Puasa dan etos kerja;<br />

6) Rindukan ramadlan lagi;<br />

7) SKS perlu dirasionalisasi;<br />

8) Hakekat kurban;<br />

9) Membangun Negara Terpuruk;<br />

10) Mendesak, Reorientasi Peran Guru;<br />

11) Tak hanya jadi transformer;<br />

12) <strong>Pendidikan</strong> belum “Jreng”;<br />

13) Kuliah Tugu Bubar, Yes;<br />

14) Sewa rahim dalam konteks pendidikan;<br />

15) Puasa <strong>menuju</strong> life skill;<br />

16) Kecakapan hadirkan Tuhan;<br />

17) Iqra’ sebagai basic skill;<br />

18) ZIS wujud pengembangan social skill;<br />

19) Berkurban sejati;<br />

20) Idul Fitri Titik Tolak Mewujudkan Perdamaian;<br />

21) Zikir Kontekstual: Dikabulkan atau direspon;<br />

22) Zikir Kontekstual: Pacaran, Allah atau Setan yang menemani;<br />

23) Zikir Kontekstual: Rahmah, Maghfirah, & Itqun Min an-Nar;<br />

24) Puasa Hidupkan iman inklusif (1);<br />

25) Puasa Hidupkan iman inklusif (2);<br />

26) Kategorisasi Shaim (1);<br />

27) Kategorisasi Shaim (2);<br />

28) Korbannya Sekolah Pinggiran;<br />

29) Melatih Hidup dalam iman;<br />

30) Tadarus Lahirkan generasi tilawah;<br />

31) Puasa dan kepemimpinan;<br />

32) Shaim sebagai pemelihara al-Qur’an;<br />

33) Niat puasa dan membangun bangsa;<br />

34) Mengapa pahala orang berpuasa berlipat ganda?;<br />

35) Shaim hadapi upacara wisuda, Dll;<br />

i<br />

37


BAB III<br />

KONSEP PEMBARUAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM<br />

MENUJU MASYARAKAT MADANI MENURUT<br />

PANDANGAN MUHAIMIN DI PTAI<br />

A. Konsep Sejarah Perkembangan Masyarakat Madani<br />

Pada dasarnya gagasan <strong>masyarakat</strong> madani sebenarnya bukanlah sebuah<br />

wacana baru, Gellner menelusuri akar gagasan ini kemasa lampau melalui sejarah<br />

peradaban barat (Eropa dan Amerika), dan antara lain yang menjadi perhatian<br />

adalah ketika <strong>konsep</strong> ini pertama kali dipopulerkan oleh seorang pemikir terkenal<br />

dari Skotlandia, Azam Ferguson (1723-1816) dalam karya klasiknya “An Esyay<br />

on History of Civil Society” (1967), hingga perkembangan <strong>konsep</strong> <strong>masyarakat</strong><br />

lebih lanjut oleh kalangan pemikir modern seperti Locke, Rousseau, Hegel, Marx,<br />

dan Toeguevlle, hingga upaya menghidupkan kembali di Eropa dan Barat di<br />

zaman kontemporer. Istilah “Masyarakat Madani” yang disosialisasikan di<br />

Indonesia, sebagai terjemahan dari bahasa Inggris Civil Society. Kata Civil<br />

Society, sebenarnya dari bahasa latin Civitas Dei, artinya kota Ilahi dan society<br />

yang berarti <strong>masyarakat</strong>, maka dari kata civil ini membentuk kata civilization,<br />

berarti peradaban. Dengan demikian, kata civil sociaty, diartikan sebagai<br />

komunitas <strong>masyarakat</strong> kota, yakni <strong>masyarakat</strong> yang telah berperadaban maju. 1<br />

1 Hujair AH Sanaky, Paradigma <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>, Membangun Masyarakat Madani<br />

Indonesia (Yogyakarta : Safiria Insania Press, 2003), hlm. 42<br />

i<br />

38


Sebagaimana yang di sampaikan oleh Muhaimin, bahwa:<br />

"Masyarakat Madani itu adalah <strong>masyarakat</strong> yang beradab, <strong>masyarakat</strong> yang<br />

pluralis dalam berpendapat, multikulturalisme, postmodernisme" 2<br />

Dalam perspektif <strong>Islam</strong>, Civil society lebih mengacu kepada penciptaan<br />

peradaban. Kata Al-din, yang umumnya diterjemahkan sebagai agama, berkaitan<br />

dengan makna Al-tamaddun, atau peradaban. Keduanya menyatu dalam<br />

pengertian Al-madinah yang artinya harfiahnya adalah kota. Dengan demikian,<br />

maka civil society yang diterjemahkan sebagai <strong>masyarakat</strong> madani yang<br />

mengandung tiga hal, yakni; <strong>Agama</strong>, peradaban, dan perkotaan. Di sini agama<br />

merupakan sumber, peradaban adalah prosesnya, dan <strong>masyarakat</strong> kota adalah<br />

hasilnya. 3<br />

Secara etimologi, madinah adalah derivat kata bahasa arab yang mempuyai<br />

dua pengertian: pertama, madinah berarti kota atau disebut dengan <strong>masyarakat</strong><br />

kota, karena kata madani adalah turunan dari bahasa arab “Madinah”, yang juga<br />

dalam bahasa yunani polis dan politica yang kemudian menjadi dasar kata policy<br />

dan politic dalam bahasa Inggris. kedua “<strong>masyarakat</strong> berperadaban”, karena<br />

madinah juga derivat dari kata tamaddun atau madaniyah yang berarti<br />

“peradaban” yang dalam bahasa Inggris dikenal sebagai civility dan civilization<br />

dan kata sifat dari kata madinah adalah madani. Civilized Society atau civil society<br />

dalam bahasa arab dapat disebut Mujtama’Madani, <strong>masyarakat</strong> “berperadaban”<br />

2<br />

Wawancara dengan Muhaimin, Dosen Tetap/ Guru Besar UIN Malang, tanggal 26<br />

Februari 2007<br />

3<br />

M. Dawam Rahardjo, Sejarah <strong>Agama</strong> Dan Masyarakat Madani, dalam Wododo Utsman<br />

Dkk. (Editor) Membongkar ‘Mitos’ Masyarakat Madani’, (Pustaka Pelajar Offset Cet I, 2000),<br />

hlm. 30<br />

i<br />

39


jadi <strong>masyarakat</strong> madani dapat berarti sama dengan civil society, karena<br />

<strong>masyarakat</strong> yang menjunjung tinggi nilai- nilai peradaban. 4<br />

Secara terminologi, menurut Ahmad Hatta sebagaimana yang dikutip<br />

Hujair A.H Sanaky, <strong>masyarakat</strong> madani adalah komunitas muslim pertama di kota<br />

Madinah yang dipimpin langsung oleh Rasulullah SAW dan diikuti oleh keempat<br />

khulafaur-Rasyidin. Masyarakat madani yang dibangun pada zaman Rasul<br />

tersebut identik dengan civil society, karena secara sosial-kultural mengandung<br />

substansi keadaban atau civility. Pendapat ini senada dengan Nurcholis Madjid<br />

yang menyatakan bahwa <strong>masyarakat</strong> madani adalah <strong>masyarakat</strong> yang<br />

berperadaban sebagaimana yang dibangun Rasulullah SAW selama 10 tahun di<br />

madinah. Yakni <strong>masyarakat</strong> yang adil, terbuka dan demokratis, dengan landasan<br />

taqwa kepada Allah SWT dan taat pada ajaran-ajarannya. Madinah merupakan<br />

negara yang didirikan untuk membangun peradaban baru, para sejarawan ada<br />

yang mengatakan bahwa madani berarti madinah yaitu kota tujuan hijrah Nabi<br />

Muhammad SAW yang dulunya bernama Yastrib. Kemudian, perubahan nama<br />

dari Yastrib menjadi Madinah yang dipahami oleh umat <strong>Islam</strong> sebagai manifesto<br />

<strong>konsep</strong>tual mengenai upaya Nabi untuk mewujudkan sebuah <strong>masyarakat</strong> madani,<br />

dihadapkan dengan <strong>masyarakat</strong> badawi atau nomad. Nabi mengubah nama<br />

Yastrib menjadi Madinah pada hakikatnya merupakan sebuah pernyataan umat,<br />

sikap, proklamasi atau demokrasi bahwa ditempat baru itu, Nabi bersama<br />

pendukungnya yakni kaum Anshor dan Muhajirin hendak mendirikan dan<br />

i<br />

4 Hujair.AH Sanaky, Op cit, hlm. 30<br />

40


membangun suatu <strong>masyarakat</strong> yang beradab, yaitu suatu <strong>masyarakat</strong> yang teratur<br />

atau berperaturan, sebagaimana mestinya sebuah <strong>masyarakat</strong>. 5<br />

Dengan tindakan ini, menurut Nurcholis Madjid, Nabi Muhammad SAW<br />

telah merintis dan memberi teladan kepada umat manusia dalam membangun<br />

<strong>masyarakat</strong> madani. Yaitu <strong>masyarakat</strong> yang beradab (Ber-“Madaniyah”) karena<br />

tunduk dan patuh (dana-yadinu) kepada ajaran kepatuhan (Dia). Masyarakat<br />

madani pada hakikatnya adalah reformasi total pada <strong>masyarakat</strong> yang tak kenal<br />

hukum (lawness) Arab jahiliyah, dan terhadap supremasi kekuasaan pribadi<br />

seorang penguasa seperti selama ini menjadi pengertian umum negara. Perkataan<br />

“Madinah” yang digunakan oleh Nabi SAW untuk menukar nama kota hijrah<br />

beliau itu, kita menangkapnya sebagai isyarat langsung, semacam definisi<br />

proklamasi, deklarasi, bahwa di tempat baru itu beliau hendak mewujudkan suatu<br />

<strong>masyarakat</strong> teratur (berperaturan), sebagaimana mestinya sebuah <strong>masyarakat</strong>.<br />

Maka sebuah <strong>konsep</strong>, Madinah adalah pola kehidupan sosial yang sopan, yang<br />

ditegakkan atas dasar kewajiban dan kesadaran umum untuk patuh kepada<br />

peraturan atau hukum. 6<br />

Apabila ditelusuri, munculnya <strong>masyarakat</strong> madani di Indonesia 1995,<br />

bermula dari gagasan yang diberikan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim, ketika itu<br />

menteri keuangan dan timbalan perdana menteri Malaysia, yang membawa ke<br />

Indonesia istilah <strong>masyarakat</strong> madani sebagai terjemahan civil society, dalam<br />

ceramahnya pada simposium nasional dalam rangka forum ilmiah pada festifal<br />

istiqlal, 26 september 1995 (menurut suatu keterangan, istilah itu sendiri ia<br />

5 Sufyanto, Masyarakat Tamaddun Kritik Hermeneutis Masyarakat Madani Nurcholis<br />

Madjid, (Yogyakarta : LP21P Bekerja Sama Dengan Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 3<br />

6 Ibid,. Hlm.115-117<br />

i<br />

41


terjemahkan dari bahasa Arab ‘Mujtama’Madani’. Yang diperkenalkan oleh Prof<br />

Naquib Al-Attas, seorang ahli sejarah dan peradaban <strong>Islam</strong> dari Malaysia, pendiri<br />

sebuah lembaga yang bernama Institute For <strong>Islam</strong>ic Thourtht And Civilization<br />

(ISTAC) yang di sponsori oleh Anwar Ibrahim. 7 Dalam ceramahnya yang<br />

berjudul “<strong>Islam</strong> dan pembentukan <strong>masyarakat</strong> madani”, ia mengemukakan<br />

sebagai berikut:<br />

“Yang dimaksud dengan <strong>masyarakat</strong> madani ialah sistem sosial yang subur yang<br />

diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan<br />

perorangan dengan kestabilan <strong>masyarakat</strong>. Masyarakat mendorong daya usaha<br />

serta inisiatif individu baik dari segi pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintahan<br />

mengikuti undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan individu menjadikan<br />

keterdugaan predintability serta ketulusan transparancy system”. 8<br />

Dari sini paling tidak <strong>masyarakat</strong> madani adalah <strong>masyarakat</strong> (mahasiswa)<br />

yang saling menghargai sesama, memberikan kebebasan perseorangan, memiliki<br />

kemampuan spiritual, berilmu, bermoral, kemampuan inovasi dalam membangun<br />

dan menata kehidupan dunia yang rahmatan lil alamin. Latar belakang Anwar<br />

Ibrahim memiliki gagasan tentang <strong>masyarakat</strong> madani, dikarenakan fenomena<br />

pada kelemahan dan keterbelakangan umat <strong>Islam</strong> rantau yang mayoritas muslim.<br />

Yaitu sebagaimana pernyataannya bahwa:<br />

“Kemelut yang diderita oleh umat semasa semasa seperti meluasnya keganasan<br />

sikap melampaui dan tidak tasamuh, kemiskinan dan kemelaratan, ketidakadilan<br />

dan kebejatan sosial, kejahilan, kelesuan intelektual dan kemuflisan budaya<br />

adalah manifestasi kritis <strong>masyarakat</strong> madani. Kemelut ini kita saksikan di<br />

kalangan <strong>masyarakat</strong> <strong>Islam</strong> baik di Asia maupun di Afrika, seolah-olah umat<br />

terjerumus kepada salah satu kezaliman. Kezaliman akibat kediktatoran atau<br />

kezaliman yang timbul dari runtuhnya atau ketiadaan order politik serta<br />

peminggiran rakyat dari proses politik”. 9<br />

7<br />

M. Dawam, Rahardjo, Masyarakat Madani di Indonesia : Sebuah Penjajakan Awal<br />

(Jurnal Pemikiran <strong>Islam</strong>, Paramadina. Vol.1. no.02, 1999) , Hlm .8<br />

8<br />

Ibid, hlm. 23<br />

9<br />

Sufyanto, Op. cit. Hlm.95<br />

i<br />

42


Di sini pokok yang menjadi dasar <strong>masyarakat</strong> madani yaitu: prinsip moral,<br />

keadilan, keseksamaan, musyawarah dan demokrasi. Dimana agama merupakan<br />

sumber, peradaban adalah prosesnya, dan <strong>masyarakat</strong> kota adalah hasilnya.<br />

Dengan demikian, maka civil society diterjemahkan sebagai “<strong>masyarakat</strong><br />

madani”, yang mengandung tiga hal yakni agama, peradaban, dan perkotaan.<br />

Sejarah ini dapat dilacak dari kehidupan Rasulullah Muhammad SAW, dalam<br />

konteks <strong>masyarakat</strong> madani kala itu. Gambaran tentang integritas umat itu<br />

misalnya terlihat melalui wujud Nahdhatul ulama dan Muhammadiyah di<br />

Indonesia. Dengan demikian, <strong>konsep</strong> <strong>masyarakat</strong> madani mengandung tiga hal<br />

yaitu; agama sebagai sumbernya, peradaban sebagai prosesnya, dan <strong>masyarakat</strong><br />

kota atau perkumpulan sebagai hasilnya. 10 Penyebutan karakteristik <strong>masyarakat</strong><br />

madani dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa dalam merealisasikan wacana<br />

<strong>masyarakat</strong> madani diperlukan prasyarat-prasyarat yang menjadi nilai universal<br />

dalam penegakan <strong>masyarakat</strong> madani. Prasyarat ini tidak bisa dipisahkan satu<br />

sama lain atau hanya mengambil salah satunya saja. Melainkan merupakan satu<br />

kesatuan yang integral yang menjadi dasar dan nilai bagi eksistensi <strong>masyarakat</strong><br />

madani. 11<br />

Masyarakat madani yang hendak diwujudkan antara lain mempunyai<br />

karakteristik sebagai berikut :<br />

1) Masyarakat beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa yang<br />

memiliki pemahaman mendalam akan agama serta hidup berdampingan dan<br />

saling menghargai perbedaan agama masing-masing.<br />

10 Adi Suryani Culla, MASYARAKAT MADANI: Pemikiran, Teori Dan Relevansinya<br />

Dengan Cita-Cita Reformasi, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 183<br />

11 Dede Rosyada, Dkk, <strong>Pendidikan</strong> Kewarganegaraan (Civil Education) Demokrasi, Hak<br />

Asasi manusia, Dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta<br />

Bekerja Sama Dengan The Asian Foundation Dan FRENADA MEDIA, 2003), hlm.247<br />

i<br />

43


2) Masyarakat demokratis dan beradab yang menghargai adanya perbedaan<br />

orang lain. Memberi tempat dan penghargaan perbedaan pendapat serta<br />

mendahulukan kepentingan individu, kelompok, dan golongan.<br />

3) Masyarakat yang menghargai hak-hak asasi manusia. Mulai dari hak untuk<br />

mengeluarkan pendapat, berkumpul, berserikat, hak atas kehidupan ynag<br />

layak, hak memilih agama, hak atas pendidikan dan pengajaran, serta hak<br />

untuk memperoleh pelayanan dan perlindungan hukum yang adil.<br />

4) Masyarakat tertib dan sadar hukum yang direfleksikan dari adanya budaya<br />

malu apabila melanggar hukum.<br />

5) Masyarakat yang kreatif, mandiri, dan percaya diri. Masyarakat yang<br />

memiliki orientasi kuat pada penyusunan ilmu pengetahuan dan teknologi.<br />

6) Masyarakat yang memiliki semangat kompetitif dalam suasana kooperatif,<br />

penuh persaudaraan dengan bangsa-bangsa lain dengan semangat<br />

kemanusiaan universal (pluralistik). 12<br />

Mengenai bentuk <strong>masyarakat</strong> yang diinginkan untuk masa depan umat<br />

manusia dalam milenium ke 3 yang mengaku akan harkat dan manusia (human<br />

dignity) yaitu hak-hak dan kewajibannya dalam <strong>masyarakat</strong>. Masyarakat tersebut<br />

yaitu <strong>masyarakat</strong> madani (civil society), dapat digambarkan mempunyai<br />

karakteristik sebagai berikut:<br />

1) Manusia dapat mengakui akan hakikat kemanusiaan (dignity of man) yang<br />

bukan hanya sekedar untuk mengisi kebutuhannya untuk hidup (proses<br />

humanisasi), tetapi juga untuk eksis sebagai manusia (proses humanisasi);<br />

2) Pengakuan akan hidup bersama manusia segi makhluk sosial melalui sarana<br />

yang berbentuk organisasi sosial seperti Negara;<br />

3) Masyarakat yang mengakui kedua karakteristik tersebut, yaitu yang<br />

mengakui akan hak asasi manusia dalam kehidupan yang demokratis. Inilah<br />

yang disebut <strong>masyarakat</strong> madani atau civil society. 13<br />

Sebagaimana yang di sampaikan oleh Muhaimin, bahwa:<br />

"Masyarakat Madani di lingkungan perguruan tinggi adalah <strong>masyarakat</strong> dari<br />

kalangan mahasiswa, dosen, karyawan dan seluruh komponen di lembaga<br />

perguruan tinggi yang diharuskan memiliki ciri khas sebagai perguruan tinggi<br />

berciri khas islami, jadi PTAI harus berbeda dalam <strong>konsep</strong> dengan perguruan<br />

tinggi umum yang lainnya" 14<br />

12<br />

Hujair Sanaky, Op, cit. hlm.50-51<br />

13<br />

Ibid. hlm: 155-156<br />

14<br />

Wawancara dengan Muhaimin, Dosen Tetap/ Guru Besar UIN Malang, tanggal 26<br />

Februari 2007<br />

i<br />

44


Kalau kita melihat kembali pengertian (<strong>masyarakat</strong> madani) civil society<br />

atau Madinah (kota) yakni terbentuknya suatu <strong>masyarakat</strong> yang mandiri, beradab<br />

(civilized) dan tahu hak dan kewajibannya serta mengerti peranan yang<br />

dilakukannya. Maka tataran yang demikian memiliki ciri khas yang<br />

mengedepankan sikap mandiri, beradab (percaya ada tatanan dari pada anarkis),<br />

taat hukum, mendahulukan penyelesaian otak daripada otot (rasional dari pada<br />

anarkhis), taat hukum, mendahulukan penyelesaian otak daripada otot (rasional<br />

daripada emosional) terhadap suatu permasalahan yang muncul, menggunakan<br />

pendekatan diplomasi dari pada cara militer, mempunyai toleransi yang tinggi dari<br />

pada ngotot-ngototan, menghargai kerja keras, menghargai ilmu dan keahlian<br />

(meritokrasi, menghargai suasana yang majemuk (SARA), dan mempunyai<br />

simbol peradaban yang maju seperti kualitas pendidikan, pembagian kerja yang<br />

canggih (division of labour), ada sarana operasi ilmu pengetahuan dan seni seperti<br />

perpustakaan, gedung kesenian dan museum. 15<br />

Lebih jauh Nurcholis Madjid mengungkapkan beberapa ciri mendasar dari<br />

<strong>masyarakat</strong> madani yang dibangun Nabi, antara lain:<br />

1) Egaliterisme;<br />

2) Penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi;<br />

3) Keterbukaan partisipasi seluruh <strong>masyarakat</strong> anggota aktif;<br />

4) Toleransi dan pluralisme;<br />

5) Musyawarah. 16<br />

Dalam mewujudkan <strong>masyarakat</strong> madani menurut Nurcholis Madjid.<br />

Dibutuhkan manusia-manusia yang secara pribadi berpandangan hidup dengan<br />

15<br />

Chairil Anwar, <strong>Islam</strong> Dan Tantangan Kemanusiaan Abad XXI (Yogyakarta: Pustaka<br />

Pelajar Offset, 2000), hlm. 77<br />

16<br />

Adi Surtani Culla, <strong>Agama</strong> Dan Masyarakat Madani Iii, Dalam Adi Suryani Culla,<br />

Masyarakat Madani : Pemikiran, Teori, Dan Relevansinya Dengan Cita-Cita Reformasi, (Jakarta :<br />

PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm : 193<br />

i<br />

45


semangat ketuhanan, dengan konsekuensi tindakan kebaikan kepada sesama<br />

manusia, untuk itu Nabi telah memberikan keteladanan dalam mewujudkan ciri-<br />

ciri <strong>masyarakat</strong> madani seperti di singgung di atas. Masyarakat madani<br />

membutuhkan pribadi-pribadi yang tulus yang mengikatkan jiwa pada kebaikan<br />

bersama. Tetapi, meskipun demikian, komitmen saja sebenarnya tidak cukup,<br />

mengingat “I’tikad baik” bukan perkara yang muda diawasi dari luar diri. Maka,<br />

harus diiringi dengan tindakan nyata yang terwujud dalam amal saleh, tindakan<br />

yang demikian harus diterapkan dalam kehidupan ke<strong>masyarakat</strong>an, dalam tatanan<br />

kehidupan yang kolektif yang memberi peluang adanya pengawasan. Pengawasan<br />

sosial adalah konsekuensi langsung I’tikad baik yang diwujudkan dalam tindakan<br />

kebaikan. 17 Dalam mewujudkan pengawasan itulah, menurut Madjid, dibutuhkan<br />

keterbukaan dalam <strong>masyarakat</strong>. Mengingat setiap manusia sebgai makhluk yang<br />

lemah mungkin mengalami kekeliruan dan kekhilafan. Maka dengan keterbukaan<br />

itu, setiap orang mempunyai potensi untuk mengatakan pendapat dan untuk<br />

didengar sementara dari pihak yang mendengar ada kesediaan untuk mendengar<br />

dengan rendah hati untuk merasa tidak selalu benar, bersedia mendengar pendapat<br />

orang lain untuk diikuti mana yang terbaik. Demikianlah, kata Madjid,<br />

<strong>masyarakat</strong> madani antara lain dilihat merupakan <strong>masyarakat</strong> demokrasi yang<br />

terbangun dengan menegakkan musyawarah.<br />

Dalam proses musyawarah itu muncul hubungan sosial yang luhur<br />

dilandasi toleransi dan pluralisme ini tidak lain adalah wujud civility, yaitu sikap<br />

kejiwaan pribadi dan sosial yang tersedia melihat diri sendiri tidak selalu benar.<br />

i<br />

17 Ibid., hlm. 194<br />

46


Pluralisme dan toleransi ini tak lain pula merupakan wujud dari “ikatan keadaban”<br />

(bond of civility), dalam arti masing-masing pribadi dan kelompok dalam<br />

lingkungan yang lebih luas, memandang yang lain dengan penghargaan,<br />

betapapun perbedaan ada, tanpa saling memaksakan kehendak, pendapat, atau<br />

pandangan sendiri. 18<br />

Peningkatan mutu, efisiensi, atau pemerataan tidak harus dimulai dari titik<br />

nol (perubahan sistem). Karena proses pendidikan sudah berjalan sejak lama<br />

memiki variabel yang begitu kompleks sehingga perubahan-perubahan<br />

revolusioner diperkirakan akan menumbuhkan masalah-masalah baru yang tidak<br />

kurang gawatnya dari pada masalah-masalah yang diperbaiki atau diubah. Oleh<br />

karena itu, perbaikan dan pengembangan yang sering melibatkan perubahan, pada<br />

hakikatnya, merupakan proses <strong>pembaruan</strong> yang berkesinambungan atau<br />

penyesuian yang terjadi terus menerus. 19 Dalam proses perubahan pendidikan<br />

paling tidak pendidikan memiliki dua peran, yang harus diperhatikan: “(1)<br />

pendidikan akan berpengaruh terhadap perubahan <strong>masyarakat</strong>, dan (2) pendidikan<br />

harus memberikan sumbangan optimal terhadap proses transformasi <strong>menuju</strong><br />

terwujud <strong>masyarakat</strong> madani”. Proses perubahan sistem pendidikan harus<br />

dilakukan secara terencana dengan langkah yang strategis, yaitu:<br />

“Mengidentifikasi berbagai problem yang menghambat terlaksananya pendidikan<br />

dan merumuskan langkah-langkah <strong>pembaruan</strong> yang lebih bersifat strategis dan<br />

praktis sehingga dapat diimplementasikan di lapangan”<br />

Atau lebih bersifat operasional. Langkah-langkah tersebut harus dilakukan<br />

secara terencana, sistematis, dan menyeluruh semua aspek, mengantisipasi<br />

18<br />

Ibid hlm. 195<br />

19<br />

Yusuf Amir Feisal, Reorientasi <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> (Jakarta: Gema Insania Press, 1995),<br />

hlm. 55<br />

i<br />

47


perubahan yang terjadi, mampu merekayasa terbentuknya sumber daya manusia<br />

cerdas, yang memiliki kemampuan inovatif dan mampu meningkatkan kualitas<br />

manusia. 20 Masyarakat yang madani hanya akan terwujud apabila tatanan hidup<br />

dalam sistem <strong>masyarakat</strong> madani mampu dinyatakan dengan tindakan sehari-hari.<br />

Hal ini dimulai dengan pemberdayaan manusia sebagai elemen pokok dari suatu<br />

<strong>masyarakat</strong>. Dan membangun individu tidak dapat terjadi secara spontan,<br />

melainkan melalui proses sosialisasi panjang dengan pendidikan. 21 Karena tatanan<br />

<strong>masyarakat</strong> madani memiliki beberapa muatan karakteristik individu manusia,<br />

misalnya sikap, moral, kebiasaan, nilai, dan kepribadian, maka membangun<br />

<strong>masyarakat</strong> madani dan perspektif pendidikan melibatkan mekanisme<br />

membangun sikap, sampai dengan terbentuknya kepribadian manusia itu. 22<br />

Oleh karena itu, mewujudkan <strong>masyarakat</strong> madani, yang menuntut<br />

pergeseran paradigma <strong>masyarakat</strong> Indonesia dewasa ini, tentunya meminta<br />

reposisi dan reinvensi pendidikan nasional. Menurut Tilaar pendidikan kita<br />

dewasa ini belum menunjang jiwa reformasi yaitu yang menginginkan <strong>masyarakat</strong><br />

yang demokratis, <strong>masyarakat</strong> terbuka, pemerintahan yang bersih (Clean<br />

Government), <strong>masyarakat</strong> transparan, <strong>masyarakat</strong> berdasarkan menit dan bukan<br />

karena kolusi ataupun untuk kepentingan kelompok sendiri. <strong>Pendidikan</strong> kita telah<br />

terpisah dari kebudayaan, baik kebudayaan daerah maupun kebudayaan<br />

nasional. 23<br />

20<br />

Hujair AH Sanaky, Op. Cit., hlm.126<br />

21<br />

Djohar, <strong>Pendidikan</strong> Yang Membebaskan Untuk Kontruksi Masyarakat Madani, Dalam<br />

Membongkar Mitos Masyarakat Madani (Pustaka Pelajar Offset Cet I, 2000), hlm 300<br />

22<br />

Ibid, hlm 301<br />

23<br />

H. A.R Tilaar, Op. cit, hlm176<br />

i<br />

48


B. Konsep Dan Latar Belakang Pembaruan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> dalam<br />

Mewujudkan Masyarakat Madani.<br />

Secara etimologi <strong>pembaruan</strong> mempunyai kata dasar “baru” yang kemudian<br />

mendapat awalan “pe” dan akhiran “an” yang artinya cita-cita baru dan cara-cara<br />

baru. Bila dikaitkan dengan istilah sistem pendidikan dan pengajaran <strong>Islam</strong>, maka<br />

<strong>pembaruan</strong> dapat diartikan dengan lahirnya cita-cita baru dan cara-cara baru<br />

dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran <strong>Islam</strong> di Indonesia. 24<br />

Sedangkan secara terminologi (istilah), menurut Santoso S. Hadi Wijaya<br />

menjabarkan istilah “baru” dalam <strong>pembaruan</strong> pendidikan adalah:<br />

“Apa saja yang belum dipahami, diterima atau dilaksanakan oleh si penerima<br />

<strong>pembaruan</strong>, meskipun bukan baru lagi bagi orang lain. Akan tetapi yang lebih<br />

penting dari sifatnya yang baru ialah sifat kualitatif berbeda dari sebelumnya”. 25<br />

Kualitatif yang dimaksud berarti bahwa <strong>pembaruan</strong> ini memungkinkan<br />

adanya pengaturan kembali unsur-unsur pendidikan, maupun komponen–<br />

komponen pendidikan. Jadi adanya tuntutan diadakannya <strong>pembaruan</strong> pendidikan<br />

karena kurangnya relevansi antara pendidikan dan kebutuhan <strong>masyarakat</strong>. Apabila<br />

mencermati keadaan pendidikan di Indonesia, sebenarnya telah banyak dilakukan<br />

<strong>pembaruan</strong>, dan tujuan <strong>pembaruan</strong> itu pada akhirnya adalah:<br />

“Untuk menjaga agar produk pendidikan kita tetap relevan dengan kebutuhan<br />

dunia kerja atau persyaratan bagi pendidikan lanjut pada jenjang berikutnya.” 26<br />

24<br />

Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaruan <strong>Pendidikan</strong> Dan Pengajaran <strong>Islam</strong> (Jember:<br />

Muria Offset, 1985), hlm.1<br />

25<br />

Cece wijaya, et al, Upaya Pembaharuan Dalam <strong>Pendidikan</strong> Dan Pengajaran (Bandung:<br />

Remaja Rosda karya, 1978), hlm.7-8<br />

26<br />

Hujair AH Sanaky, Op. Cit, hlm. 7<br />

i<br />

49


Sebelum penulis membicarakan pengertian pendidikan <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong><br />

(PAI) perlulah penulis awali dengan menguraikan pendidikan secara umum yang<br />

dikemukakan oleh para ahli sebagai berikut :<br />

1. Zuhairini, mengemukakan pendidikan adalah suatu aktifitas untuk<br />

mengembangkan seluruh aspek kepribadian manusia yang berjalan<br />

seumur hidup. 27<br />

2. Akhmad D. Marimba, mengemukakan secara umum pendidikan dapat<br />

diartikan sebagai bimbingan secara sadar oleh guru terhadap<br />

perkembangan jasmani dan rohani siswa <strong>menuju</strong> terbentuknya<br />

kepribadian yang utama. 28<br />

3. Ahmad Tafsir, berpendapat bahwa pendidikan adalah bimbingan yang<br />

diberikan kepada seseorang agar dapat berkembang secara maksimal. 29<br />

Dari pendapat tersebut diatas, maka pendidikan dapatlah diartikan/diambil<br />

kesimpulan bahwa pendidikan adalah merupakan tuntunan dan bimbingan secara<br />

sadar dari orang yang telah dewasa, agar bertanggung jawab didalam hidupnya,<br />

untuk <strong>menuju</strong> kehidupan bahagia sejahtera lahir maupun batin.<br />

Adapun pengertian <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> (PAI) sendiri mempunyai<br />

banyak definisi menurut para ahli diantaranya :<br />

1. Menurut Zuhairini, <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> adalah usaha untuk<br />

membimbing kearah pembentukan kepribadian peserta didik secara<br />

sistematis dan pragmatis supaya mereka hidup sesuai dengan ajaran<br />

<strong>Islam</strong>, sehingga terjalin kebahagiaan dunia akhirat. 30<br />

2. Menurut GBPP PAI sebagaimana yang dikutip Muhaimin bahwa<br />

pendidikan agama <strong>Islam</strong> (PAI) adalah usaha sadar untuk menyiapkan<br />

siswa dan meyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran<br />

agama <strong>Islam</strong> melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan latihan dengan<br />

memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam<br />

27 Zuhairini, Filsafat <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 149<br />

28 Akhmad D. Marimba, Pengantar Filsafat <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>. (Bandung: Al-ma’arif,<br />

1989), hlm. 19<br />

29 Ahmad Tafsir, Ilmu <strong>Pendidikan</strong> Dalam Perspektif <strong>Islam</strong> (Bandung : PT Remaja<br />

Rosdakarya, 2000), hlm. 27<br />

30 Zuhairini, Metodologi Penelitian <strong>Agama</strong> (Solo : Ramadhani, 1993), hlm : 11<br />

i<br />

50


hubungan kerukunan antar umat beragama dalam <strong>masyarakat</strong> untuk<br />

mewujudkan persatuan nasional. 31<br />

3. Sedangkan menurut Muhaimin bersama Tim Dosen IAIN Sunan Ampel<br />

Malang, yang menjelaskan PAI sebagai proses dan upaya serta cara<br />

mendidikkan ajaran-ajaran agama <strong>Islam</strong>, agar menjadi anutan dan<br />

pandangan hidup (way of life) bagi seseorang. 32<br />

Sebagaimana yang di sampaikan oleh Muhaimin, bahwa:<br />

"<strong>Pendidikan</strong> agama <strong>Islam</strong> dapat menjadi factor integrasi dan disintagrasi karena<br />

<strong>masyarakat</strong> yang majemuk"<br />

Jadi dengan demikian, maka jelaslah bahwa yang dimaksud dengan<br />

<strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> itu ialah usaha sadar generasi tua (pendidik) untuk<br />

mengarahkan pengalaman, pengetahuan, kecakapan dan ketrampilan kepada<br />

generasi muda (anak didik) agar kelak menjadi manusia muslim, bertaqwa kepada<br />

Allah SWT, berbudi luhur, berkepribadian yang utuh, yang secara langsung<br />

memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama <strong>Islam</strong> dalam kehidupan<br />

sehari-hari, sehingga pendidikan <strong>Islam</strong> mampu menjadi pemersatu dalam<br />

kehidupan ber<strong>masyarakat</strong>.<br />

Sedangkan Dasar dan tujuan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> adalah merupakan<br />

masalah fundamental dalam pelaksanaan pendidikan, sebab dari dasar pendidikan<br />

itu akan menentukan corak dan isi pendidikan dan arti tujuan pendidikan akan<br />

menentukan kearah mana peserta didik itu akan diarahkan/ dibawa. Untuk<br />

mempermudah pemahaman tentang dasar dan tujuan pendidikan agama <strong>Islam</strong>,<br />

berikut ini akan dibahas secara terpisah.<br />

31<br />

Muhaimin, Paradigma <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> Upaya Mengefektifkan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong><br />

Di Sekolah (Bandung : PT Remaja Rosdakarya Offset, 2001), hlm: 75-76<br />

32<br />

Tim Dosen IAIN Sunan Ampel Malang, Dasar- Dasar Kependidikan <strong>Islam</strong>. (Surabaya :<br />

Karya Abditama, 1996), hlm: 2<br />

i<br />

51


Dasar pendidikan agama <strong>Islam</strong> adalah sesuatu yang menjadi pangkal tolak<br />

atau landasan utama dilaksanakannya pendidikan agama <strong>Islam</strong>. Adapun dasar<br />

tersebut adalah :<br />

1. Dasar Keagamaan (Religius);<br />

Dasar keagamaan (religius) dalam uraian ini adalah dasar-dasar yang<br />

bersumber dari ajaran <strong>Islam</strong> yang termaktub dan dijelaskan dalam Al-Qur’an<br />

dan sunah Rasul yang menerangkan tentang pentingnya pendidikan, antara<br />

lain: 33<br />

1. Surat Al-Mujadilah ayat 11<br />

Ëx|¡øtƒ (#θßs|¡øù$$sù ħÎ=≈yfyϑø9$# †Îû (#θßs¡¡xs? öΝä3s9 Ÿ≅ŠÏ% #sŒÎ) (#þθãΖtΒ#u t⎦⎪Ï%©!$# $pκš‰r'¯≈tƒ<br />

(#θè?ρé& t⎦⎪Ï%©!$#uρ öΝä3ΖÏΒ (#θãΖtΒ#u t⎦⎪Ï%©!$# ª!$# Æìsùötƒ (#ρâ“à±Σ$$sù (#ρâ“à±Σ$# Ÿ≅ŠÏ% #sŒÎ)uρ ( öΝä3s9 ª!$#<br />

52<br />

∩⊇⊇∪ ×Î7yz tβθè=yϑ÷ès? $yϑÎ/ ª!$#uρ 4 ;M≈y_u‘yŠ zΟù=Ïèø9$#<br />

Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan<br />

kepadamu,‘berlapang-lapanglah dalam majelis’, maka lapangkanlah,<br />

niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila<br />

dikatakan: ‘berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan<br />

meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orangorang<br />

yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat’. Dan Allah<br />

Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. 34<br />

2. Sedangkan Hadits Nabi adalah:<br />

33<br />

Akhmad D. Marimba, Pengantar Filasafat <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> (Bandung. Al-Ma’arif,<br />

1974), hlm. 20<br />

34<br />

DEPAG, Al-Qur’an dan Terjemahannya. (Surabaya : Mahkota, 1990), hlm. 910-911<br />

i


ُﻪْﻨَﻋ ُﷲا َﻲِﺿَر ِﻩ ٌِﺪَﺟ ْﻦَﻋ ِﻪْﻴِﺑَا ْﻦَﻋ ٍﺐْﻴﻌُﺷ ِﻦْﺑ ِﺮْﻤَﻋ ْﻦَﻋ<br />

ﺎَﻟ ْوَا ﺁْو ُﺮُﻣ َﻢٌَﻠَﺳَو ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﷲا ﻰٌَﻠَﺻ ِﷲا ُل ْﻮُﺳ َر َلﺎَﻗ : َلﺎَﻗ<br />

ﺎَﻬْﻴَﻠَﻋ ْﻢُهاْﻮُﺑ ِﺮْﺿاَو َﻦْﻴِﻨِﺳ ِﻊْﺒَﺳ ُءﺎَﻨْﺑَا ْﻢُهَو ِة ﺎَﻠٌﺼﻟِﺎﺑ ْﻢُآ ُد<br />

أ ﻩاور)<br />

ِﻊِﺟ ﺎَﻀﻤَﻟْا ﻲِﻓ ْﻢُﻬَﻨْﻴَﺑ اْﻮُﻗ ٌِﺮَﻓ َو , ٍﺮْﺸَﻋ<br />

ُءﺎَﻨْﺑَا ْﻢُهَو<br />

53<br />

. ( ﺢﻴﺤﺻ دﺎﻨﺳﺈﺑ دو ا د ﻮﺑ<br />

Artinya:“Dari Amr bin Syua’ib dari bapaknya dari kakeknya dia<br />

berkata: Rasulullah SAW bersabda: suruhlah anak-anakmu<br />

mengerjakan sholat, ketika mereka berumur tujuh tahun, dan<br />

pukulah mereka karena meninggalkan sholat, jika berumur sepuluh<br />

tahun dan pisahkanlah anak laki-laki dan perempuan, tempat tidur<br />

mereka”.(HR. Abu Daud dengan sanad shahih).” 35<br />

2. Dasar yuridis<br />

Dasar yuridis adalah dasar pelaksanaan pendidikan agama <strong>Islam</strong> yang berasal<br />

dari peraturan perundang-undangan baik secara langsung maupun tidak<br />

langsung yang dapat dijadikan pegangan dalam melaksanakan pendidikan<br />

agama <strong>Islam</strong> di sekolah-sekolah maupun lembaga pendidikan formal di<br />

Indonesia, meliputi :<br />

1. Dasar Ideal<br />

Yakni falsafah Negara RI yaitu Pancasila. Pancasila sebagai ideologi<br />

negara berarti setiap warga negara Indonesia harus berjiwa Pancasila,<br />

dimana sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa adalah menjiwai dan<br />

menjadi sumber pelaksanaan sila-sila yang lain. Dalam hal ini dapat dilihat<br />

35<br />

Abi Zakaria, Yahya bin Sarifin Nawawi. 1986. Tt. Riyadus Shalihin. PT. Al-Ma’arif.<br />

Bandung. Hlm: 316<br />

i


dalam undang-undang pendidikan dan pengajaran Nomor 4 tahun 1950<br />

Bab III pasal 4 berbunyi: “<strong>Pendidikan</strong> dan Pengajaran berdasar atas<br />

asas-asas yang termaktub dalam pancasila." 36<br />

Disamping itu juga disebutkan dalam ketetapan MPR No<br />

II/MPR/1988 dalam garis-garis besar haluan negara (GBHN),<br />

menyebutkan bahwa: “<strong>Pendidikan</strong> Nasional berdasarkan pancasila”. 37<br />

Dari uraian diatas dapat diambil suatu pengertian bahwa PAI sebagai<br />

sub sistem pendidikan nasional berdasarkan pancasila.<br />

2. Dasar struktural<br />

Yakni dasar yang termaktub dalam UUD 1945 bab XI pasal 29 ayat 1 dan<br />

2, antara lain disebutkan :<br />

1. Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa<br />

2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk<br />

agamanya dan kepercayaannya itu. 38<br />

Dari UUD 1945 diatas mengandung makna bahwa negara Indonesia<br />

memberi kebebasan kepada semua warga negaranya untuk beragama<br />

dengan mengamalkan semua agama yang dianut.<br />

3. Dasar Operasional<br />

Dasar operasional merupakan dasar yang secara langsung melandasi<br />

pelaksanaan pendidikan agama pada sekolah-sekolah di Indonesia,<br />

disebutkan dalam ketetapan MPR No II/MPR. RI/1988 tentang GBHN,<br />

36<br />

Zuhairini, Pengantar Ilmu <strong>Pendidikan</strong> Perbandingan (Malang: Biro Ilmiah Fakultas<br />

Tarbiyah. IAIN Sunan Ampel Malang, 1985), hlm :17<br />

37<br />

MPR RI. Ketetapan MPR RI NO.II MPR/1988 Tentang GBHN 1988-1993. (Surabaya :<br />

CV. Amin) hlm. 92<br />

38<br />

Zuhairini dan Abdul Ghofir, Metodologi Pembelajaran <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong>,<br />

(Malang: Fakultas Tarbiyah UIN Malang dan UM Press, 2004), hlm. 9<br />

i<br />

54


mengenai arah dan kebijaksanaan pembangunan dalam bidang agama dan<br />

kepercayaan terhadap Tuhan YME, yaitu:<br />

“Diusahakan supaya terus bertambah sarana-sarana yang diperlukan<br />

bagi pengembangan kehidupan keagamaan dan kepercayaan<br />

terhadap Tuhan Yang Maha Esa, termasuk pendidikan agama yang<br />

dimasukkan kedalam kurikulum disekolah-sekolah, mulai dari<br />

sekolah-sekolah<br />

negeri.”<br />

dasar sampai dengan universitas-universitas<br />

39<br />

Bertitik tolak dari dasar yuridis diatas, maka dalam penyelenggaraan<br />

pendidikan agama, perlu dipahami mengenai kedudukan pendidikan<br />

agama di Indonesia dan sejarah adanya pendidikan agama itu, baik dari<br />

segi dasar hukumnya maupun dari segi kedudukan dibidang sendi<br />

pendidikan agama, didalam kurikulum sekolah umum.<br />

Tujuan dalam proses pendidikan <strong>Islam</strong> adalah identitas (cita-cita) yang<br />

mengandung nilai-nilai <strong>Islam</strong>i, yang hendak dicapai dalam proses pendidikan<br />

yang berdasarkan pada ajaran agama <strong>Islam</strong>. Dengan demikian tujuan <strong>Pendidikan</strong><br />

<strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> adalah:<br />

”Mewujudkan nilai-nilai <strong>Islam</strong>i dalam setiap pribadi manusia didik yang<br />

diikhtiyarkan oleh pendidik muslim, melalui proses yang terminal pada hasil<br />

(produk) yang berkepribadian <strong>Islam</strong>, yang beriman, bertaqwa dan berilmu<br />

pengetahuan yang sanggup mengembangkan dirinya menjadi hamba Allah yang<br />

taat”. 40<br />

Tujuan pendidikan itu ditentukan oleh zaman dan kebudayaan tempat<br />

kita hidup. Juga telah dijelaskan bahwa tujuan pendidikan itu ditentukan oleh<br />

”pandangan hidup”. karena pandangan hidup manusia itu berlain-lainan, berbeda-<br />

i<br />

39 MPR RI.Op. Cit., hlm : 9<br />

40 HM. Arifin, Ilmu <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), hlm.224<br />

55


eda pula apa yang hendak dicapai dengan pendidikan itu. 41 Dengan demikian<br />

tujuan pendidikan <strong>Islam</strong> berjangkauan sama luasnya dengan kebutuhan hidup<br />

manusia modern, masa kini dan masa yang akan datang, dimana manusia tidak<br />

saja memerlukan iman dan agama, melainkan juga ilmu pengetahuan dan<br />

teknologi (IPTEK) sebagai alat untuk memperoleh kesejahteraan hidup didunia<br />

dan sebagai sarana untuk mencapai hidup spiritual yang bahagia di Akhirat kelak.<br />

Adapun tujuan akhir dari pendidikan <strong>Islam</strong> itu terletak dalam realisasi hidup<br />

penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah. sebagai hamba-Nya yang berilmu<br />

pengetahuan dan beriman secara bulat, sesuai kehendak Sang pencipta untuk<br />

merealisasikan cita-cita yang terkandung dalam kalimat ajaran-Nya. Sebagaimana<br />

firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-An’am ayat 162:<br />

∩⊇∉⊄∪ t⎦⎫ÏΗs>≈yèø9$# Éb>u‘<br />

¬! †ÎA$yϑtΒuρ y“$u‹øtxΧuρ ’Å5Ý¡èΣuρ ’ÎAŸξ|¹ ¨βÎ) ö≅è%<br />

Artinya: “Katakanlah sesungguhnya sembahyangku ibadahku, hidupku dan<br />

matiku (aku persembahkan) untuk Allah, Tuhan seluruh Alam”. (QS Al-An’am :<br />

162). 42<br />

Dari berbagai tujuan tersebut dapat ditarik beberapa hal yang hendak<br />

ditingkatkan dan dituju oleh kegiatan PAI, yaitu:<br />

1) Dimensi keimanan siswa terhadap ajaran <strong>Islam</strong>;<br />

2) Dimensi pemahaman atau penalaran (intelektual) serta keilmuan siswa<br />

terhadap ajaran agama <strong>Islam</strong>;<br />

3) Dimensi penghayatan atau pengalaman batin yang dirasakan siswa dalam<br />

menjalankan ajaran <strong>Islam</strong>;<br />

4) Dimensi pengalamannya, dalam arti bagaimana ajaran <strong>Islam</strong> yang telah<br />

diimani, dipahami dan dihayati dan mampu diamalkan dalam kehidupan<br />

pribadi, sebagai manusia yang beriman dan bertaqwa dan bertakwa kepada<br />

41<br />

Ngalim Purwanto, Ilmu <strong>Pendidikan</strong> Teoritis Dan Praktis, (Bandung: PT Remaja<br />

Rosdakarya, 2003), hlm.23<br />

42<br />

M Said, Tarjamah Alquran Alkarim ,(Bandung: PT al-Ma'arif Bandung, 1987), hlm. 136<br />

i<br />

56


Allah SWT dan berakhlak mulia, serta diaktualisasikan dalam kehidupan<br />

berbangsa dan bernegara. 43<br />

Itulah <strong>konsep</strong> <strong>pembaruan</strong> pendidikan <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong>, selanjutnya akan<br />

dibahas mengenai latar belakang perlunya <strong>pembaruan</strong> pendidikan agama <strong>Islam</strong>.<br />

Yakni selama ini banyak muncul pemikiran dan kebijakan yang diambil dalam<br />

yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> dan mampu<br />

memberikan nuansa baru bagi pengembangan sistem <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> di<br />

Indonesia, sekaligus hendak memberikan kontribusi dalam menjabarkan makna<br />

pengembangan kualitas manusia Indonesia, sesuai dengan Tujuan <strong>Pendidikan</strong><br />

Nasional dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 3 yang berbunyi:<br />

”<strong>Pendidikan</strong> nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk<br />

watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan<br />

kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar<br />

menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,<br />

berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga<br />

negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. 44<br />

Dari Undang-Undang Sisdiknas ini dapat penulis simpulkan bahwa point<br />

pertama adalah meningkatkan keimanan dan ketakwaan atau dalam istilah lain<br />

adalah memiliki kekuatan spiritual keagamaan, kemudian baru pengenalan diri<br />

kepada kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan<br />

dirinya, <strong>masyarakat</strong>, bangsa dan Negara. Dari batasan inilah bahwa pentingnya<br />

spiritual keagamaan sebagai asas yang pertama didalam mengembangkan peserta<br />

didik. Untuk mencapai fungsi dan tujuan pendidikan nasional tersebut maka<br />

43<br />

Muhaimin. Paradigma <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> Upaya Mengefektifkan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> Di<br />

Sekolah. Op.cit, hlm.78<br />

44<br />

Tim Redaksi Fokus Media, Standar Nasional <strong>Pendidikan</strong> (SNP), (Bandung: Fokus<br />

Media, 2005), hlm.98<br />

i<br />

57


<strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> merupakan bagian penting dalam kegiatan pendidikan di<br />

setiap jenjang dan jenis pendidikan karena merupakan pondasi untuk membangun<br />

tujuan pendidikan dan watak bangsa utamanya beriman dan bertakwa kepada<br />

Tuhan Yang Maha Esa. Keberhasilan dan kegagalan pendidikan agama sangat<br />

menentukan terhadap keberhasilan maupun kegagalan penyelenggaraan serta<br />

pelaksanaan pendidikan di Indonesia yang pada akhirnya juga menentukan nasib<br />

bangsa Indonesia. 45<br />

Sehingga munculnya berbagai pemikiran dan kebijakan perlu dipotret,<br />

ditata, dan didudukkan dalam suatu paradigma sehingga model-model, orientasi<br />

dan langkah-langkah yang hendak dituju menjadi semakin jelas. 46 Namun<br />

demikian dalam beberapa hal pemikiran <strong>konsep</strong>tual pengembangan pendidikan<br />

<strong>Islam</strong> dan beberapa kebijakan yang diambil kadang terkesan mengebu-gebu,<br />

idealis, atau bahkan kurang realistis sehingga para pelaksana di lapangan<br />

mengalami hambatan dan kesulitan untuk merealisasikannya atau bahkan<br />

intensitas pelaksanaan dan efektivitasnya masih dipertanyakan. Menurut<br />

Muhaimin, hal ini disebabkan oleh kurangnya kejelasan dan lemahnya<br />

pemahaman paradigma (jendela pandang) pengembangan pendidikan <strong>Islam</strong> itu<br />

sendiri, yang berimplikasi pada kesalahan orientasi dan langkah, atau<br />

ketidakjelasan wilayah dan arah pengembangannya. Menurut Asumsi Penulis<br />

diperlukan suatu pemikiran yang jelas dan terarah, maka kajian ini diperlukan<br />

45 Asma'un Sahlan. Model Pengembangan Pembelajaran PAI Melalui Pembudayaan<br />

Suasana Religius Di Sekolah Umum: Studi Kasus di SMUN Malang I. El-Hikmah Jurnal<br />

Kependidikan Dan Keagaman,, Fakultas Tarbiyah Universitas <strong>Islam</strong> Negeri Malang. Volume IV.<br />

Nomor 1, Juli 2006.. hlm. 40<br />

46 Muhaimin, Potret Paradigma Pengembangan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> di Indonesia, Jurnal Ulul<br />

Albab Vol.3. No.1 tahun 2001, hlm 99-100<br />

i<br />

58


pula seorang ahli atau pakar dalam upaya memberikan sebuah konsistensi,<br />

persepsi, asumsi, teori, kerangka acuan dan juga khas mekanisme berpikirnya<br />

seorang ahli.<br />

PTAI merupakan bagian integral dari sistem pendidikan nasional. Karena<br />

itu, PTAI secara keseluruhan juga tidak bisa mengisolasikan diri dari perubahan-<br />

perubahan paradigma, <strong>konsep</strong>, visi dan orientasi baru pengembangan <strong>Pendidikan</strong><br />

Tinggi/Perguruan Tinggi Nasional, dan bahkan internasional, seperti dirumuskan<br />

dalam deklarasi UNESCO tentang Perguruan Tinggi pada tahun 1998. Dalam<br />

konteks Indonesia, kajian ulang tentang Perguruan Tinggi semakin menemukan<br />

momentumnya dengan terjadinya krisis moneter, yang disusul krisis ekonomi,<br />

politik dan social. Semua krisis ini tidak hanya menimbulkan keprihatinan<br />

mendalam tentang meningkatnya drop-out rate di kalangan mahasiswa, tetapi<br />

juga tentang semakin merosotnya efektifitas dan efisiensi Perguruan Tinggi dalam<br />

menghasilkan mahasiswa dan lulusan yang memiliki competitive advantage,<br />

memiliki daya saing yang andal dan tangguh dalam zaman globalisasi yang penuh<br />

tantangan. 47<br />

Dari sinilah Penulis memilih Muhaimin sebagai seorang tokoh pendidikan<br />

yang ahli dalam bidang ilmu pengetahuan dan juga pakar dalam pengembangan<br />

kurikulum <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong>. Diharapkan dari pembahasan ini akan<br />

memperjelas <strong>konsep</strong> <strong>pembaruan</strong> <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> melalui analisis<br />

paradigma pengembangan kurikulum sehingga dapat meningkatkan kualitas<br />

<strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>. Sebelum beralih pada ulasan yang lebih mendalam mengenai<br />

47 Azyumardi Azra, "IAIN di Tengah Paradigma Baru Perguruan Tinggi", Dalam ed.<br />

Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo, Problem Dan Prospek IAIN Antologi <strong>Pendidikan</strong><br />

Tinggi <strong>Islam</strong> (Jakarta: Dirjen Binbaga <strong>Islam</strong> Depag RI., 2000), hlm. 3<br />

i<br />

59


hakikat kurikulum, maka perlu kiranya kita menyimak fenomena perkembangan<br />

dan perubahan kurikulum di Perguruan Tinggi <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> (PTAI) di Indonesia.<br />

Tinjauan terhadap fenomena kurikulum di PTAI ini sangat relevan mengingat<br />

keadaannya yang sering berubah-ubah, sehingga konsekuensi logisnya<br />

pelaksanaan pendidikan menjadi tidak jelas, bahkan kehilangan identitas diri.<br />

Masykuri Abdillah memposisikan problematika kurikulum di PTAI ini sebagai<br />

berada dalam stadium kronis. 48 Gambaran umum tentang kesiapan <strong>masyarakat</strong><br />

dalam merespon perkembangan kontemporer dapat kita saksikan dalam dunia<br />

pendidikan. Dalam konteks ini, yang menjadi perhatian adalah <strong>Pendidikan</strong> Tinggi<br />

<strong>Islam</strong>, sebab di kawasan tersebut tidak kalah rumitnya. Misalnya, besarnya arus<br />

pemikiran keislaman yang mengalir dari Timur dan Barat telah membawa<br />

perubahan paradigmatik (shifting paradigm) dalam penyelenggaraan <strong>Pendidikan</strong><br />

<strong>Islam</strong> di Perguruan Tinggi <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> (PTAI). Perubahan paradigmatik tersebut<br />

secara nyata ditunjukkan dengan adanya good will Departemen <strong>Agama</strong> R.I. dalam<br />

meloloskan konversi status kelembagaan dari IAIN dan STAIN menjadi<br />

Universitas <strong>Islam</strong> Negeri (UIN). Ini jelas bukan sekadar perubahan kelembagaan<br />

saja, namun lebih dari itu sangat bersentuhan dengan cara pandang kita terhadap<br />

apa yang selama ini disebut dengan ilmu-ilmu keislaman. Apakah tidak mungkin<br />

bahwa konversi kelembagaan Perguruan Tinggi <strong>Islam</strong> di atas diartikan sebagai<br />

suatu bentuk koreksi tersamar terhadap pemahaman mengenai ilmu-ilmu<br />

keislaman yang selama ini dimaknai secara sempit dan dikotomis. Paradigma baru<br />

Perguruan Tinggi yang bertumpu pada tiga tungku utama, yaitu otonomi,<br />

48<br />

Masykuri Abdillah, "Menimbang Kurikulum IAIN: Kasus Kurikulum 1995 dan 1997,"<br />

Ibid, hlm 73<br />

i<br />

60


akuntabilitas, dan jaminan kualitas, merupakan tantangan dan sekaligus peluang<br />

bagi IAIN, termasuk dalam upaya mengatasi dikotomi keilmuan agama dan<br />

umum dan sekaligus melakukan reintegrasi kedua disiplin ilmu tersebut. 49<br />

Sedangkan dalam upaya meretas dikotomi keilmuan dinyatakan:<br />

"<strong>Agama</strong> tanpa bantuan ilmu pengetahuan akan lumpuh dan gagal mencapai<br />

tujuannya yang mulia, dan sebaliknya, ilmu pengetahuan tanpa bantuan agama<br />

akan buta dan gagal pula melihat tujuannya yang sejati".<br />

Demikianlah kata-kata Albert Einstein sebagaimana di kutip Soetandyo<br />

dalam tulisannya. Problem akut yang dihadapi dalam dunia keilmuan modern<br />

adalah adanya dikotomi keilmuan: umum dan agama. Dikotomi inilah yang<br />

banyak disinyalir telah menimbulkan kesenjangan dan memicu munculnya<br />

berbagai permasalahan dalam konteks manusia madani. Nasr misalnya,<br />

menjelaskan bahwa terjadinya kehampaan spiritual didalam <strong>masyarakat</strong> madani<br />

tidak dapat dilepaskan dari adanya pandangan yang dikotomis. Masyarakat<br />

madani yang cenderung memisahkan secara diametral antara agama yang bersifat<br />

transenden dan hal-hal keduniaan yang imanen telah menimbulkan kesenjangan<br />

atau split personality dalam diri manusia. Jadi gagasan <strong>pembaruan</strong> <strong>konsep</strong><br />

<strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> ini memang tidak dapat dilepaskan dari realitas ini.<br />

Menurut Suprayogo, dalam pengembangan kurikulum, kata kunci yang<br />

perlu dipegang adalah:<br />

"Membangun kualitas sumber daya manusia yang dibina berdasarkan nilai-nilai<br />

akhlakul karimah, keluasan ilmu dan kematanagn profesional. Ketiganya harus<br />

dikembangkan secara utuh dan terpadu, tidak cukup hanya mengedepankan<br />

kekuatan ilmu dan ketrampilan". 50<br />

49<br />

Azyumardi Azra, Paradigma Baru <strong>Pendidikan</strong> Nasional Rekonstruksi Dan<br />

Demokratisasi, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), Hlm.104-105<br />

50<br />

Imam Suprayogo, Reformulasi Visi <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> (Malang: STAIN Press, 1998), hlm<br />

16<br />

i<br />

61


Seperti halnya di Universitas <strong>Islam</strong> Negeri (UIN) Malang yang dalam<br />

pengembangan pendidikannya bertolak pada suatu paradigma bahwa <strong>Pendidikan</strong><br />

<strong>Islam</strong> yang perlu dikembangkan PTAI ke depan adalah pendidikan ulul albab.<br />

Paradigma ini berimplikasi pada <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> yang berorientasi pada<br />

peningkatan kualitas iman dan takwa, atau bahkan Imam bagi orang-orang yang<br />

bertakwa. 51 Dengan status UIN tersebut muncul citra baru di <strong>masyarakat</strong> bahwa<br />

PTAI ternyata juga familiar dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Setidaknya<br />

gambaran ini di UIN Malang terlihat munculnya Jurusan Teknik Informatika.<br />

Kesan tadi bahkan disertai dengan sebuah harapan yang besar dari <strong>masyarakat</strong><br />

terhadap munculnya babak baru dalam sejarah ilmu pengetahuan di Perguruan<br />

Tinggi <strong>Islam</strong>, yaitu dialektikanya kembali ilmu pengetahuan dan agama setelah<br />

sekian lama terpisah. Tetapi persoalannya tidak sesederhana yang dibayangkan,<br />

khususnya jika dilihat dari sudut kebijakan kurikulum, misalnya bagaimana<br />

<strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> mengupayakan ilmu pengetahuan berdialektika dengan agama,<br />

atau sebaliknya, sementara keduanya dalam beberapa hal menunjukkan<br />

kecenderungan yang berbeda dalam suatu persoalan. Kemudian, bagaimana<br />

dialektika itu diwujudkan dalam praktek pembelajaran: benarkah keduanya dapat<br />

berjalan bersama dan saling memberi masukan; kalau benar, bagaimana perangkat<br />

epistemologis dan instrumen apa yang diperlukan merupakan sederet persoalan<br />

yang harus dijawab dengan segera dan hati-hati oleh Perguruan Tinggi <strong>Agama</strong><br />

<strong>Islam</strong> PTAI setelah perubahan status kelembagaannya.<br />

51 Muhaimin, Paradigma <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>, Upaya Mengefektifkan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong><br />

<strong>Islam</strong> Di Sekolah, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset, 2004), hlm.63<br />

i<br />

62


Masalah pokok ini meniscayakan komitmen dan kerja cerdas, karena hal<br />

tersebut berkaitan dengan aspek yang sangat essensial bagi suatu Perguruan<br />

Tinggi, yaitu sistem keilmuan yang menjadi pondasi bagi bangunan<br />

kurikulumnya. Dalam setiap lembaga pendidikan, kurikulum merupakan dasar<br />

bagi seluruh aktivitas pendidikan. Namun kualitas kebijakan yang selama ini<br />

dibuat belum cukup mampu "mengubah" keadaan pendidikan kita menjadi lebih<br />

maju. Dengan posisinya yang sangat strategis dalam penyelenggaraan pendidikan<br />

tersebut, semestinya kurikulum menempati prioritas yang tinggi dalam kebijakan<br />

pendidikan. Sebab kurikulum merupakan salah satu elemen pendidikan terkait<br />

langsung dengan dasar pengembangan diri peserta didik agar bisa menjadi<br />

manusia yang bermutu dan memiliki kompetensi sebagaimana diharapkan. Itulah<br />

sebabnya, apabila Perguruan Tinggi <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> bertujuan melahirkan sarjana<br />

yang memiliki karakter intelektual yang ulama dan profesional, maka tidak bisa<br />

tidak disyaratkan adanya reformasi dan rekonstruksi kurikulumnya. Jadi<br />

<strong>pembaruan</strong> kurikulum merupakan salah satu jalan yang dapat diprioritaskan oleh<br />

pengambil kebijakan dalam mewujudkan <strong>masyarakat</strong> madani di Indonesia.<br />

Dan <strong>konsep</strong>si ideal pendidikan <strong>Islam</strong> adalah sebuah proses transformasi<br />

dan internalisasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai <strong>Islam</strong>i pada diri anak didik<br />

melalui penumbuhan dan pengembangan potensi fitrahnya, guna mencapai<br />

keselarasan dan kesempurnaan hidup dalam segala aspeknya, untuk masa kini dan<br />

masa akan datang, agar tercipta kepribadian muslim sejati yang disebut insan<br />

i<br />

63


kamil. 52 Dari sini penulis mengambil kesimpulan bahwa latar belakang <strong>konsep</strong><br />

<strong>pembaruan</strong> <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> ini harus didudukkan ke dalam paradigma yang jelas<br />

dan terarah yakni sesuai dengan pemikiran Muhaimin yang menyatakan bahwa<br />

PTAI yang harus beda dengan Perguruan Tinggi yang lain dan memiliki ciri khas.<br />

Maka kajian ini dimaksudkan untuk memberikan deskripsi tentang pengembangan<br />

pendidikan <strong>Islam</strong> melalui potret atau pemetaan paradigma yang ada dan<br />

memperjelas orientasi dan wilayah dan masing-masing paradigma tersebut<br />

sehingga pemikiran dan kebijakan yang terkesan menggebu-gebu, idealis dan<br />

kurang realistis, dapat ditelaah ulang dan dikoreksi kembali. Selanjutnya dapat<br />

direkonstruksi paradigma mana yang sekiranya relevan untuk dikembangkan<br />

dalam menatap masa depan bangsa Indonesia <strong>menuju</strong> <strong>masyarakat</strong> madani. 53<br />

Dalam ajaran <strong>Islam</strong> <strong>masyarakat</strong> madani juga telah dicontohkan oleh<br />

Rasulullah Muhammad SAW pada periodisasi Madinah. Yakni gambaran tatanan<br />

kehidupan sosial manusia yang harmonis, ditandai dengan semangat menjunjung<br />

tinggi nilai-nilai <strong>Islam</strong> tentang keadilan, perlindungan hak, toleransi, musyawarah<br />

dan pola-pola hidup <strong>Islam</strong>i lainnya yang tercatat dalam tinta sejarah periodisasi<br />

madinah yang kita kenal dengan istilah <strong>masyarakat</strong> madani (civil society) yaitu<br />

tatanan <strong>masyarakat</strong> yang dicita-citakan oleh setiap umat manusia di manapun<br />

berada. 54<br />

Jadi PTAI dituntut melahirkan manusia-manusia yang menguasai iptek<br />

dan hidup dalam nilai-nilai agama (<strong>Islam</strong>) yang merupakan pilar-pilar <strong>masyarakat</strong><br />

52 Jamali Sahrodi, dkk, Membedah Nalar <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>, Pengantar Ke Arah Ilmu<br />

<strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>, (Yogyakarta: Pustaka Rihlah Group, 2005), Hlm. 13-15<br />

53 Muhaimin, op. cit. hlm.36<br />

54 Triyo Supriyatno, Paradigma Berbasis Teo-Antropo-Sosiosentris, (Malang: P3M<br />

(Penerbit Pusat Pengembangan <strong>Pendidikan</strong> Dan Masyarakat) dan PTAI Malang, 2004), hlm.63<br />

i<br />

64


madani. Lembaga Perguruan Tinggi yang bertugas untuk mengembangkan<br />

kemampuan intelektual mahasiswa sangat diperlukan didalam pembentukan<br />

<strong>masyarakat</strong> Indonesia yang madani yaitu <strong>masyarakat</strong> terbuka (open society).<br />

Sesuatu yang mengimplikasikan adanya warga <strong>masyarakat</strong> yang mempunyai<br />

kemampuan untuk berpikir bebas sehingga dapat membuka cakrawala pemikiran<br />

<strong>masyarakat</strong> untuk membangun kehidupan yang lebih baik dan bermoral. Jadi<br />

tugas pendidikan akan makin berat. Sebagai bagian dari reformasi total, reformasi<br />

pendidikan harus ditujukan tidak semata-mata meningkatkan intelektualnya atau<br />

bertujuan untuk mendapat keuntungan melainkan harus diimbangi dengan<br />

pembangunan moral, sikap dan perilaku. 55 <strong>Pendidikan</strong> memang merupakan kunci<br />

kemajuan, semakin baik kualitas pendidikan yang diselenggarakan oleh suatu<br />

<strong>masyarakat</strong> /bangsa, maka akan diikuti dengan semakin baiknya kualitas<br />

<strong>masyarakat</strong>/bangsa. Tidak salah jika Fazlurrahman menyatakan bahwa:<br />

“Setiap reformasi dan <strong>pembaruan</strong> dalam <strong>Islam</strong> harus dimulai dengan<br />

pendidikan”. Karena itu, para pemerhati dan pengembang pendidikan <strong>Islam</strong><br />

tiada henti-hentinya untuk memperbincangkan masalah tersebut". 56<br />

Dalam hubungannya dengan ini pendidikan tidak lepas dari gejolak<br />

reformasi ini. Reformasi total memerlukan perubahan sikap, perilaku, nilai-nilai<br />

hidup sebagai way of life bersama, sebuah pemerintahan yang bersih dari korupsi,<br />

kolusi dan nepotisme. Ini adalah tugas pendidikan nasional yang mungkin harus<br />

lebih mempertimbangkan aspek moral dari para pendidik sehingga nantinya<br />

menghasilkan output yang tidak hanya pandai di bidangnya masing-masing<br />

55<br />

Farid Samsu Hananto dan Ahmad Abtokhi, "UIN: Menyelaraskan Perkembangan Iptek<br />

dengan Imtaq", dalam Zainuddin (Eds.) Memadu Sains Dan <strong>Agama</strong> Menuju Universitas Masa<br />

depan, (Malang, Bayumedia Publishing bekerja sama dengan PTAI Malang, 2004), Hlm.90<br />

56<br />

Muhaimin, Perbincangan Tentang <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> Di Indonesia, Jurnal Ulul Albab.<br />

Vol.3 nomor 2 thn 2001, hlm 6<br />

i<br />

65


melainkan juga tinggi akhlak dan budi pekerti yang luhur. Jauh dari sikap perilaku<br />

korupsi, kolusi dan nepotisme.<br />

Dengan semua itu penulis mengharapkan akan adanya <strong>konsep</strong> <strong>pembaruan</strong><br />

<strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> yang mampu mengatasi dekadensi moral. Penulis dapat<br />

menganalisis hal-hal yang berkenaan dengan realitas diskursus tentang Perguruan<br />

Tinggi <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong>, bahwa hal yang bisa dijalankan bagi <strong>masyarakat</strong> yang<br />

memang peduli pada bangsa adalah menguatkan kembali dunia pendidikan.<br />

Institusi-institusi pendidikan yang di bangun secara mandiri sebagai bentuk dari<br />

”civil society” atau <strong>masyarakat</strong> madani, sudah waktunya bergegas kembali manata<br />

dan mengembangkan sayap edukatifnya yang lebih menitikberatkan pada<br />

pembangunan peradaban. Perubahan (change) harus selalu digalakkan dengan<br />

tetap harus diiringi semangat dan gerak untuk maju (progress). Maka dengan<br />

begitu, input dan output yang nantinya bisa dihasilkan tidak hanya bertambah<br />

banyaknya lembaga-lembaga pendidikan serta bervariasinya gelar-gelar akademis<br />

melainkan pendidikan yang peduli pada pembentukan sikap-sikap mental yang<br />

tahan banting, berorientasi pada kepribadian, kecerdasan, berakhlak mulia, kreatif<br />

dan tingginya moralitas.<br />

Kehadiran pendidikan <strong>Islam</strong> patut disambut gembira, karena darinya<br />

diharapkan bangkitnya gerakan-gerakan pemikiran baru di bidang pendidikan<br />

<strong>Islam</strong>, sebagai upaya menggali pemikian-pemikiran alternatif serta memberikan<br />

kontribusi dalam mengantisipasi persolan pendidikan nasional, terutama dalam<br />

konteks pembangunan bangsa Indonesia yang sedang dilanda krisis<br />

multidimensional. Oleh karena itu perlu adanya paradigma pengembangan<br />

i<br />

66


kurikulum dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan <strong>Islam</strong> dewasa ini dan<br />

juga mengatasi masalah krisis yang melanda. Dewasa ini, termasuk Indonesia<br />

masih dilanda krisis global atau krisis multidimensional yang berkepanjangan<br />

terutama dalam ekonomi dan finansial. Jadi dalam hal ini kita membutuhkan<br />

tenaga-tenaga terampil dan profesional yang berkualitas tinggi dan jumlah yang<br />

memadai. Apalagi kemajuan teknologi dan informasi komunikasi, telah<br />

mendorong terciptanya suatu <strong>masyarakat</strong> terbuka di dalam berbagai kehidupan<br />

manusia, tidak hanya bidang ekonomi dan bisnis tapi juga bidang-bidang lainnya.<br />

Di masa krisis ini baru kita sadar akan pentingnya sumber daya manusia yang<br />

berkualitas. Kualitas disini bukan semata-mata ahli dalam bidang-bidang tertentu<br />

melainkan juga disertai dengan sikap dan perilaku yang profesional antara lain<br />

keahlian itu bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan juga bertanggungjawab<br />

untuk mengentaskan negara dari krisis. Yang lebih penting dari itu semua adalah<br />

moral dan perilaku dari sumber daya manusia itu sendiri. 57<br />

Dalam usaha perubahan dan <strong>pembaruan</strong> global, maka perlu diperhatikan<br />

dalam konteks global adalah masalah multikulturalisme dalam berbagai aspek<br />

yang menempel kepadanya. Mengelola pendidikan mensyaratkan pemahaman<br />

multikulturalisme dalam berbagai aspek yang menempel kepadanya. Mengelola<br />

pendidikan dengan meluaskan pergaulan ke berbagai kawasan negara, ideologi,<br />

organisasi, atau bahkan keyakinan (agama). Melalui hal ini peradaban global<br />

<strong>Islam</strong> akan terbentuk secara damai dan menyejukkan. 58 Konsep pendidikan<br />

multikulturalisme harus dihadapi dengan obyektif dan percaya diri, selain itu juga<br />

57<br />

Farid Samsu Hananto Dan Ahmad Abtokhi, Op. Cit. hlm.87-88<br />

58<br />

A. Malik Fajar, Holistika Pemikiran <strong>Pendidikan</strong> , Editor Ahmad Barizi, (Jakarta, PT Raja<br />

Grafindo Persada, 2005. Hlm.41<br />

i<br />

67


memperkokoh tauhid/dasar-dasar keyakinan <strong>Islam</strong>. Semangat multikultur harus<br />

tercermin dari isi / konten kurikulum. Perbedaan latar belakang kultur (agama dan<br />

budaya) harus tercipta saling menghargai dan menghormati dengan saling<br />

mengenal, diskusi dan bertukar pendapat. Karena keterbukaan maka sebenarnya<br />

akan memperkokoh keyakinan yang dimiliki oleh masing-masing.<br />

Sedangkan reaksi terhadap tuntutan menghadapi <strong>masyarakat</strong> global adalah<br />

pluralisme. Pluralitas agama dalam konteks <strong>masyarakat</strong> Indonesia adalah realitas.<br />

<strong>Agama</strong> adalah hakikat manusia Indonesia. Karenanya pluralisme agama harus<br />

menjadi kekuatan konstruktif-transformatif dan bukan kekuatan destruktif. 59<br />

Potensi konstruktif-transformatif akan berkembang bila masing-masing komunitas<br />

agama menjunjung tinggi nilai toleransi dan kerukunan. Sebaliknya potensi<br />

destruktif akan dominan jika masing-masing komunitas agama tidak memiliki<br />

sikap toleran, bahkan menganggap agamanya paling benar (truth claim), paling<br />

memonopoli keselamatan (claim of salvation), superior dan memandang inferior<br />

agama lain (alwi Shihab, 1997). Kondisi ini akan menjadi pemicu<br />

ketidakharmonisan, konflik dan ketegangan antarumat beragama dan antar<br />

madzhab. 60 Keharmonisan hidup dalam konteks pluralisme, dapat dibangun<br />

dengan dasar kearifan menghadapi perbedaan keyakinan. Karena itu,<br />

pembelajaran pendidikan agama <strong>Islam</strong> diharapkan mampu mewujudkan ukhuwah<br />

<strong>Islam</strong>iyah dalam arti luas tersebut. Sungguhpun <strong>masyarakat</strong> berbeda-beda agama,<br />

suku, ras, etnis, tradisi, budaya, tetapi bagaimana melalui keragaman ini dapat<br />

59 Muhaimin, Dkk. Strategi Belajar Mengajar. (Surabaya: CV Citra Media, 1996), hlm 1-2<br />

60 Umi sumbulah, Merekonstruksi Pluralisme <strong>Agama</strong> Dengan Perspektif Al-qur’an. El-<br />

Harakah, Wacana Kepemimpinan, Keagamaan Dan Kebudayaan. Edisi 59 tahun XIII Maret-Juni<br />

2003. Hlm.77-78<br />

i<br />

68


dibangun suatu tatanan hidup yang rukun, damai dan tercipta kebersamaan hidup<br />

serta toleransi yang dinamis dalam membangun bangsa Indonesia. Masyarakat<br />

yang plural membutuhkan ikatan keadaban (the bound of civility), yakni pergaulan<br />

antara satu sama lain yang diikat dengan suatu “civility” (keadaban).<br />

Ikatan ini pada dasarnya dapat dibangun dari nilai-nilai universal ajaran<br />

agama. Karena itu, bagaimana guru agama atau dosen mampu membelajarkan<br />

pendidikan agama yang difungsikan sebagai panduan moral dalam kehidupan<br />

<strong>masyarakat</strong> yang serba plural tersebut, serta mampu mengangkat dimensi-dimensi<br />

<strong>konsep</strong>tual dan substansial dari ajaran agama, seperti kejujuran, keadilan,<br />

kebersamaan, kesadaran akan hak dan kewajiban, ketulusan dalam beramal,<br />

musyawarah dan sebagainya, untuk diaktualisasikan dan direalisasikan dalam<br />

hidup dan kehidupan <strong>masyarakat</strong> yang plural tersebut. 61<br />

Dari berbagai uraian pembahasan diatas maka penulis sependapat dengan<br />

Muhaimin yang menegaskan bahwa kesadaran pluralisme. Dan toleransi agama<br />

akan dimiliki oleh seseorang diharapkan semakin tinggi toleransinya. Sebaliknya<br />

semakin rendah pengetahuan dan wawasan keislaman seseorang, maka akan<br />

semakin besar kemungkinan timbulnya hal-hal yang negatif. Di Indonesia juga<br />

memiliki berbagai macam kebudayaan yang saling mempengaruhi. Jadi terdapat<br />

pluralisme budaya yang lebih beragam dalam suatu <strong>masyarakat</strong> dan sama-sama<br />

61<br />

Muhaimin, Paradigma <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>, Upaya Mengefektifkan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong><br />

<strong>Islam</strong> Di Sekolah, Op.Cit, hlm.76-77<br />

i<br />

69


diberlakukan. Pluralisme budaya dapat muncul karena adanya berbagai macam<br />

suku bangsa dan juga karena adanya proses perubahan <strong>masyarakat</strong>. 62<br />

Dari uraian diatas dapat dipaparkan kesimpulan dari latar belakang<br />

munculnya gagasan perubahan PTAIN adalah:<br />

a) Karena pentingnya perubahan ini karena banyak kalangan pemerhati <strong>Islam</strong><br />

ada keprihatinan bahwa kajian <strong>Islam</strong> di Perguruan Tinggi <strong>Islam</strong> tampak<br />

berhenti pada dasar-dasar rasionalisme dan komparatifisme yang sudah<br />

diletakkan oleh tokoh-tokoh pembaharu <strong>Islam</strong> awal seperti Harun Nasution<br />

dan Mukti Ali. Hal inilah yang dalam pandangan para ahli kurang cukup<br />

kuat untuk merespon kebutuhan dan tuntutan baru yang lebih kompleks, jadi<br />

diperlukan paradigma seorang tokoh yang jelas dan terarah;<br />

b) Adanya proses globalisasi yang demikian cepat serta perkembangan industri<br />

yang sedemikian luar biasa. Jadi PTAI sebagai Institusi yang berperan dalam<br />

melahirkan Sumber daya manusia yang bersifat responsif terhadap tuntutan<br />

tersebut <strong>menuju</strong> <strong>masyarakat</strong> madani;<br />

c) Adanya krisis multidimensional yang saat ini sedang melanda bangsa<br />

Indonesia, jadi dengan adanya perubahan diharapkan akan memainkan<br />

perannya sebagai lembaga yang memiliki amanah untuk menghasilkan<br />

sumber daya manusia yang berkualitas unggul akan dapat diemban secara<br />

lebih leluasa;<br />

d) Upaya merentas dikhotomi ilmu pengetahuan.<br />

e) Menumbuhkan kesadaran pluralisme dan multikulturalisme yang ada di<br />

dalam pendidikan di negeri ini.<br />

f) Perlunya dibangun pada dataran operasional yakni dengan pengembangan<br />

kurikulum agar lulusannya mampu berkiprah di seluruh kehidupan dan<br />

bidang keahlian sehingga menciptakan peluang bagi kita untuk merespon<br />

barbagai tuntutan dan tantangan dengan mengembangkan PTAI lebih berciri<br />

khas.<br />

Terkait dengan <strong>konsep</strong> <strong>pembaruan</strong> <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> melalui<br />

pengembangan kurikulum ini kiranya akan membawa angin segar dalam<br />

pengembangan pendidikan. Jadi dengan adanya kurikulum terbaru akan<br />

membawa kesan:<br />

1. Umat <strong>Islam</strong> sebagai komunitas terbesar di Indonesia terasa semakin<br />

dinafikan, dimana ciri khas kepribadian: “<strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>” itu sendiri<br />

62 Musleh Harry, Pluralisme Budaya Dalam Reformasi Hukum Di Indonesia,(Jurnal el-<br />

Harakah, Wacana Kepemimpinan, Keagamaan Dan Kebudayaan Edisi 59 Tahun XXIII Maret-<br />

Juni 2003. Malang. hlm.60-61.<br />

i<br />

70


menjadi tidak terlihat. Dan yang tampak hanya “<strong>Pendidikan</strong> Umum” berciri<br />

khas agama <strong>Islam</strong>,<br />

2. Kurikulum ini terkesan terlalu banyak percabangan ilmu (poliferasi)<br />

sehingga beban yang dipikul peserta didik terlalu berat. Sebenarnya<br />

“modifikasi“ pendidikan umum bisa saja dilakukan tanpa harus mengurang<br />

atau bahkan memangkas “materi pelajaran agama” sebagai ciri khas<br />

kepribadian “ <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>”.<br />

3. Kurikulum ini terkesan cenderung menghantarkan out putnya untuk lebih<br />

memprioritaskan “Perguruan Tinggi Umum” sebagai alternatif melanjutkan<br />

studi, dan sebenarnya cukup membawa dampak positif sekaligus<br />

membanggakan; hanya saja kemudian “input”bagi lembaga tinggi agama<br />

termasuk IAIN/STAIN menjadi sangat minim kalau tidak boleh dikatakan<br />

“habis” kalaupun ada barangkali harus puas dengan kualitas norma buncit<br />

yang tidak terjaring dalam UMPTN/SPMB; sementara dengan modal<br />

“<strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong>” yang diperolehnya sejak MI, MTS, dan MA masih<br />

belum mampu menghantarkan memiliki kepribadian yang tangguh dalam<br />

keimanan dan ketakwaan (IMTAQ).<br />

Suatu hal yang membawa angin segar dalam proses pengembangan<br />

kualitas pendidikan tinggi adanya keputusan menteri agama nomor: 383 tahun<br />

1997 tentang kurikulum nasional program sarjana S-1 sebagai upaya peningkatan<br />

sumber daya manusia, antisipasi terhadap proses globalisasi serta diharapkan agar<br />

mampu memberikan jawaban terhadap tuntutan perubahan yang terjadi, tanpa<br />

harus meninggalkan ciri kepribadiannya sebagai “Lembaga <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>.”<br />

Adapun kendala yang melilit sebagian besar lulusan PTAI itu sudah lama<br />

diketahui orang, antara lain:<br />

1. Penguasaan ilmu agama <strong>Islam</strong> yang kurang mendalam akibat<br />

ketidakmampuan membaca kitab klasik yang merupakan khazanah ilmu<br />

<strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>,<br />

2. Penguasaan ilmu pengetahuan umum untuk berkomunikasi secara lancar<br />

dengan anggota <strong>masyarakat</strong> yang menguasai bidang itu kurang,<br />

3. Penguasaan yang kurang luas atas metodologi dan teknik penyampaian<br />

ajaran <strong>Islam</strong> agar mudah diterima oleh warga <strong>masyarakat</strong> yang berbedabeda;<br />

4. Keteladanan yang kurang dapat ditiru akibat kurangnya penghayatan ajaran<br />

agama oleh sarjana agama itu sendiri. Jadi menurut penulis PTAI harus<br />

memiliki ciri khas dan berbeda dengan perguruan tinggi umum yang lain.<br />

i<br />

71


Masalah kemanusiaan merupakan tantangan terbesar dunia pendidikan<br />

bagi “Indonesia Baru”. Namun, apakah banyak diantara warga bangsa, khususnya<br />

kaum elite negeri ini yang memandang hal itu sebagai persoalan besar yang harus<br />

diprioritaskan. Jika kita sepakat atas persoalan besar kemanusiaan ini, perumusan<br />

kembali “ Paradigma baru” merupakan agenda paling penting. Paradigma baru<br />

itu harus bisa dihadapkan kesadaran kebangsaan, kearifan natural dan<br />

kemanusiaan. Untuk itu pendidikan harus bebas kepentingan dan kekuasan sesaat,<br />

tetapi lebih pada <strong>masyarakat</strong>, karena generasi dimasa depan harus memperhatikan<br />

pendidikan. Karena sebuah peradaban adalah produk pendidikan, kegagalan suatu<br />

bangsa dan hancurnya peradaban berarti kegagalan dunia pendidikan. 63<br />

Dari beberapa uraian diatas maka dapat dianalisis bahwasanya dewasa ini,<br />

pemerintah telah mengusahakan agar <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> di Perguruan<br />

Tinggi dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien dan menarik berbagai<br />

perbaikan atau pengembangan kurikulum. Upaya tersebut dilakukan untuk<br />

menghasilkan lulusan yang berkepribadian <strong>Islam</strong>i. Merumuskan <strong>konsep</strong><br />

<strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> memang bukan pekerjaan yang mudah dan ringan, sebab<br />

rumusan tersebut harus mengkaitkan <strong>Islam</strong> sebagai disiplin ilmu. Dalam upaya<br />

merekonstruksi <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>, perlu diperhatikan prinsip-prinsip <strong>Pendidikan</strong><br />

<strong>Islam</strong> yakni:<br />

1. <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> merupakan bagian sistem kehidupan <strong>Islam</strong>, yaitu suatu<br />

proses internalisasi dan sosialisasi nilai-nilai moral <strong>Islam</strong> melalui sejumlah<br />

informasi, pengetahuan, sikap, perilaku, dan budaya,<br />

2. <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> merupakan life long process sejak dini kehidupan<br />

manusia,<br />

63 Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spiritual <strong>Pendidikan</strong> Solusi Problem Filosofis <strong>Pendidikan</strong><br />

<strong>Islam</strong>, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2003), hlm. 159<br />

i<br />

72


3. <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> berlangsung melalui suatu proses yang dinamis, yakni<br />

harus mampu menciptakan iklim dialogis dan interaktif antara dosen dan<br />

mahasiswa;<br />

4. <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> dilakukan dengan memberi lebih banyak mengenai pesanpesan<br />

moral kepada mahasiswa.<br />

Jadi penulis dapat menganalisis bahwa <strong>pembaruan</strong> <strong>Pendidikan</strong> <strong>Pendidikan</strong><br />

<strong>Islam</strong> melalui paradigma pengembangan kurikulum di PTAI adalah dalam rangka<br />

merentas adanya dikotomi keilmuan, serta upaya dalam meningkatkan kualitas<br />

<strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> sehingga menghasilkan lulusan Perguruan Tinggi yang mampu<br />

menjawab tantangan zaman global serta dalam upaya mengatasi dekadensi moral,<br />

krisis multidimensional, dan reaksi terhadap tuntutan pluralitas agama serta<br />

multikulturalisme sehingga tercipta <strong>masyarakat</strong> madani yang beradab sehingga<br />

kualitas hidup dan kehidupan manusia menjadi lebih baik.<br />

C. Pandangan dasar dan kritik Muhaimin Terhadap Pembaruan<br />

Pengembangan Kurikulum <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> <strong>menuju</strong><br />

Masyarakat Madani Di PTAI.<br />

Menurut Muhaimin dalam rangka <strong>pembaruan</strong> pengembangan kurikulum<br />

<strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> maka kurikulum yang dikembangkan di PTAI<br />

dipertimbangkan didasarkan pada beberapa pandangan dasar dari Muhaimin.<br />

Pandangan dasar tersebut antara lain sebagai berikut:<br />

1. PTAI sebagai Perguruan Tinggi <strong>Islam</strong> mengemban misi sebagai lembaga<br />

pengembangan keilmuan atau kajian ilmu-ilmu keislaman yang bersifat<br />

rasional, dinamis, analitis kritis, empiris dan antisipatif, dan berusaha<br />

membangun sikap dan perilaku beragama yang loyal, memiliki komitmen<br />

(pemihakan) terhadap <strong>Islam</strong>, serta penuh dedikasi terhadap agama yang<br />

i<br />

73


diyakini kebenarannya, atas dasar wawasan keilmuan keislaman yang dimiliki,<br />

dengan tetap menjaga kerukunan hidup beragama yang dinamis;<br />

2. PTAI sebagai Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan program pendidikan<br />

akademik, vokasional dan/atau professional, mengemban misi untuk<br />

menyiapkan calon-calon lulusan yang mampu mengintegrasikan “kepribadian<br />

ulama” dengan “intelektualitas akademik” sesuai dengan bidang keahlian atau<br />

konsentrasi studi yang ditekuni, yang diwujudkan dalam kehidupan<br />

ber<strong>masyarakat</strong>, berbangsa dan bernegara ditengah-tengah kehidupan dunia<br />

yang semakin global;<br />

3. PTAI sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional berupaya<br />

menyiapkan calon lulusan yang memiliki keunggulan kompetitif dan<br />

komparatif sesuai standard mutu nasional dan internasional; dan<br />

4. PTAI juga merupakan lembaga dakwah yang mengemban misi pembinaan dan<br />

pengembangan <strong>masyarakat</strong> <strong>Islam</strong> dalam berbagai sector kehidupannya.<br />

Keempat pandangan dasar tersebut diatas akan berimplikasi pada orientasi<br />

pengembangan kurikulum yang menekankan pada:<br />

1. Upaya peningkatan kualitas keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT<br />

yang dilandasi oleh keilmuan yang kokoh;<br />

2. Upaya pemberian basic competencies ilmu-ilmu keislaman sebagai ciri khas<br />

dari Perguruan Tinggi <strong>Islam</strong>, sekaligus sebagai landasan dan pendasaran<br />

bagi pengembangan bidang-bidang studi yang dikembangkan pada<br />

jurusan/program-program studi yang ada;<br />

3. Upaya penyaluran bakat, minat dan kemampuan dalam pengembangan<br />

bidang-bidang atau konsentrasi studi yang bermanfaat bagi pembangunan<br />

<strong>masyarakat</strong>;<br />

4. Upaya pencegahan timbulnya pengaruh negatif dari perkembangan iptek dan<br />

seni serta pengaruh negatif dari globalisasi baik di bidang budaya, etika<br />

maupun moral;<br />

5. Upaya pengembangan sumber daya manusia dan sumber daya bangsa yang<br />

memiliki kemampuan dan keunggulan kompetitif dan komparatif dalam<br />

kehidupan berbangsa dan bernegara di tengah-tengah kehidupan dunia yang<br />

semakin global; dan<br />

6. Upaya mewujudkan pendidikan sepanjang hayat (life long education). 64<br />

Sejak ditetapkan Keputusan Menteri <strong>Pendidikan</strong> Nasional Nomor 232/ U/<br />

2000 tentang pedoman penyusunan kurikulum dan penilaian hasil belajar<br />

mahasiswa, yang kemudian disusul dengan Keputusan Menteri <strong>Pendidikan</strong><br />

64 Muhaimin, Arah Baru Pengembangan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>, Pemberdayaan, Pengembangan<br />

Kurikulum, Hingga Redefinisi <strong>Islam</strong>isasi Pengetahuan (Bandung: nuansa, 2003), hlm.207-208<br />

i<br />

74


Nasional Nomor 145/U/2000 tentang kurikulum inti <strong>Pendidikan</strong> Tinggi,<br />

dikalangan PTAI timbul perbincangan tentang model pegembangan kurikulum<br />

untuk merespon keputusan tersebut. Pertemuan para pembantu Rektor/pembantu<br />

ketua I (bidang akademis) PTAI yang diselenggarakan pada tanggal 16-17 April<br />

2001 dapat merespons keputusan tersebut untuk selanjutnya akan dilakukan<br />

sharing ideas. Rapat kerja para Rektor UIN/IAIN serta para ketua STAIN se-<br />

Indonesia pada awal bulan November 2002 yang lalu juga merespons SK tersebut<br />

dia atas.<br />

Perbincangan tersebut dilanjutkan dengan pertemuan para pembantu<br />

Rektor I UIN dan IAIN serta pembantu ketua I STAIN se Indonesia pada tanggal<br />

22-24 Desember 2002. Perbincangan tersebut ditindaklanjuti dalam pertemuan<br />

tim kecil dari beberapa pembantu Rektor I IAIN dan Puket I STAIN yang<br />

berlangsung selama beberapa kali pertemuan. Pada tanggal 8-10 Januari 2003<br />

ditindaklanjuti dengan pertemuan orientasi peningkatan mutu akademis yang<br />

dihadiri oleh seluruh Rektor UIN/IAIN dan ketua STAIN serta pembantu Rektor I<br />

UIN/IAIN dan pembantu ketua I STAIN se-Indonesia. Bahkan ditindaklanjuti<br />

dengan pertemuan semua ketua program studi.<br />

Perbincangan tentang kurikulum oleh para pengambil kebijakan tidak bisa<br />

dilepaskan dari komitmen mereka untuk lebih meningkatkan mutu PTAI, yang<br />

menurut Direktur Pertais, mutu lulusannya dianggap kurang signifikan. Hal<br />

tersebut antara lain disebabkan karena kelemahan kurikulum PTAI , yaitu:<br />

1. Kurang relevan dengan kebutuhan <strong>masyarakat</strong>: banyak program studi yang<br />

tidak diminati <strong>masyarakat</strong> tetap dipertahankan;<br />

2. Kurang efektif, yakni tidak menjamin dihasilkannya lulusan yang sesuai<br />

dengan harapan;<br />

i<br />

75


3. Kurang efisien, yakni banyaknya mata kuliah dan SKS tidak menjamin<br />

dihasilkannya lulusan yang sesuai harapan;<br />

4. Kurang fleksibel, yakni PTAI kurang berani secara kreatif dan bertanggung<br />

jawab mengubah kurikulum guna menyesuaikan dengan kebutuhan<br />

<strong>masyarakat</strong> (setempat, nasional, global);<br />

5. Readibility rendah, tidak komunikatif (bisa menimbulkan banyak tafsir);<br />

6. Hanya berupa deretan mata kuliah;<br />

7. Berbasis (berfokus) pada mata kuliah/ penyampaian materi, bukan pada<br />

tujuan kurikuler/hasil belajar/mutu lulusan; dan<br />

8. Hubungan fungsional antar mata kuliah yang mengacu pada tujuan kurikuler<br />

kurang jelas.<br />

Untuk mengantisipasi berbagai kelemahan tersebut, maka Direktur Pertais<br />

mengambil kebijakan tentang pengembangan kurikulum, yaitu:<br />

1. Kurikulum berbasis hasil belajar;<br />

2. Kurikulum terdiri atas kurikulum inti dan kurikulum institusional;<br />

3. Kurikulum inti (40%) ditetapkan oleh pemerintah dan berlaku secara<br />

nasional, sedangkan kurikulum institusional (60%) ditetapkan oleh PTAI<br />

dan berlaku hanya di PTAI tersebut;<br />

4. Kurikulum secara keseluruhan (inti dan institusional) ditetapkan oleh PTAI ;<br />

dan<br />

5. Kualitas kurikulum menjadi tanggung jawab PTAI 65<br />

Kebijakan tersebut mengandung makna bahwa:<br />

1. Kurikulum perlu dikembangkan dengan lebih menitikberatkan pada<br />

pencapaian target kompetensi daripada penguasaan materi;<br />

2. Lebih mengakomodasikan keragaman kebutuhan dan sumber daya<br />

pendidikan yang tersedia;<br />

3. Memberikan kebebasan yang lebih luas kepada pelaksana pendidikan di<br />

PTAI untuk mengembangkan dan melaksanakan program pendidikan sesuai<br />

kebutuhan;<br />

4. Menggunakan prinsip kesatuan dalam kebijakan dan keragaman dalam<br />

pelaksanaan; dan<br />

5. Pengembangan kurikulum memuat sekelompok mata kuliah pengembangan<br />

kepribadian (MPB) pada semua program studi, serta the four of education:<br />

learning to know (how and why/MKK), learning to do (MKB), lerning to be<br />

or capable to be (mpb), learning to live together (MBB). 66 jadi dari berbagai<br />

perbincangan tersebut keputusan yang diambil adalah memakai<br />

pengembangan kurikulum berbasis kompetensi di lingkungan perguruan<br />

tinggi.<br />

i<br />

65 Ibid, hlm 208-209<br />

66 Ibid, hlm.207-210<br />

76


Adapun kritik yang dikeluarkan Muhaimin adalah bahwa Bangsa<br />

Indonesia sedang mengalami krisis multidimensional. Dari hasil kajian pelbagai<br />

disiplin dan pendekatan, tampaknya ada kesamaan pandangan bahwa segala<br />

macam krisis itu berpangkal dari krisis akhlak atau moral. Krisis ini oleh<br />

sementara pihak disebabkan faktor kegagalan pendidikan agama. Sedangkan<br />

indikator kegagalan pendidikan agama adalah:<br />

1. Hasil survey menunjukkan bahwa negeri kita masih bertengger dalam<br />

jajaran negara yang paling korup di dunia, dari pejabat tinggi hingga pejabat<br />

paling rendah;<br />

2. Disiplin makin longgar;<br />

3. Tingkat penindasan yang kuat terhadap yang lemah, seperti tampak dalam<br />

tingkah laku semerawut dan saling menindas para pelaku lalu lintas, juga tak<br />

berkurang;<br />

4. Semakin meningkatnya tindak kriminal, tindak kekerasan, anarchisme,<br />

premanisme, tindakan brutal, perkelahian antar pelajar, konsumsi minuman<br />

keras, narkoba, yang sudah melanda di kalangan pelajar dan mahasiswa,<br />

white colar crimes (kejahatan kerah putih), KKN (korupsi, kolusi,<br />

nepotisme) melanda di berbagai institusi dan lain-lain;<br />

5. Masyarakat kita cenderung mengarah pada <strong>masyarakat</strong><br />

kepentingan/patembayan (gesellschaft), nilai-nilai <strong>masyarakat</strong> paguyuban<br />

(gemeinschaft) ditinggalkan, yang tampak di permukaan adalah timbulnya<br />

konflik kepentingan-kepentingan, baik kepentingan individu, kelompok,<br />

agama, etnis, politik maupun kepentingan lainnya.<br />

Sungguhpun demikian, merajalelanya korupsi tersebut bukan semata-mata<br />

disebabkan karena kegagalan pendidikan agama. Hal ini bisa dibuktikan dengan<br />

hasil survei dari International Country Risk Guide Index (ICRGI), bahwa sejak<br />

tahun 1992 hingga 2000 yang menyatakan bahwa indeks korupsi di Indonesia<br />

yang mayoritas beragama <strong>Islam</strong> terus meningkat dari sekitar 7 menjadi hampir 9<br />

(tahun 2000). Dengan demikian, tinggi rendahnya tindak kriminal (seperti<br />

korupsi) tidak banyak terkait dengan agama, tetapi lebih terkait dengan tatanan<br />

hukum yang jelas dan tegas diiringi penegakan hukum berat terhadap tindak<br />

i<br />

77


kriminal (korupsi). Karena itu, tidaklah adil bila orang secara simplistik<br />

mengkambinghitamkan agama. Faktor-faktor yang mengakibatkan mewabahnya<br />

korupsi dan penyakit-penyakit sosial lainnya justru lebih banyak disebabkan<br />

karena:<br />

a) Lemahnya penegakan hukum, atau soft state (negara lembek) daalm<br />

penegakan hukum. Semuanya bisa diatur dengan sogok menyogok, money<br />

politics, dan KUHP (kasih uang habis perkara);<br />

b) Mewabahnya gaya hidup hedonistik;<br />

c) Tidak adanya political will dan keteladanan dari pajabat-pejabat publik<br />

untuk memberantas korupsi atau penyakit sosial lainnya.<br />

Walaupun demikian harus diakui bahwa pendidikan agama masih<br />

mengalami kekurangan setidak-tidaknya dalam dua aspek mendasar:<br />

a) <strong>Pendidikan</strong> agama masih berpusat pada hal-hal yang bersifat simbolik,<br />

ritualistic, serta bersifat legal formalistic (halal-haram) dan kehilangan ruh<br />

moralnya;<br />

b) Kegiatan pendidikan agama cenderung bertumpu pada penggarapan ranah<br />

kognitif dan paling banter hingga ranah emosional, (kadang-kadang terbalik<br />

hanya menyentuh ranah intelektual), tetapi tidak mewujudkannya dalam<br />

tindakan nyata akibat tak tergarapnya ranah psikomotorik.<br />

Kritik semacam ini juga berkembang di <strong>masyarakat</strong>, yaitu bahwa<br />

kurikulum PAI kurang berhasil dalam membentuk sikap, perilaku, dan<br />

pembiasaan peserta didik/mahasiswa. Sebagai indikatornya antara lain:<br />

a) Rendahnya minat dan kemampuan mahasiswa untuk malaksanakan ibadah;<br />

b) Tidak mampu baca tulis al-Qur’an;<br />

c) Berperilaku kurang terpuji, bahkan melakukan tindak kriminal dan aksi<br />

kekerasan, anarchisme, premanisme, tindakan brutal, perkelahian, konsumsi<br />

minuman keras, narkoba dan lain-lain. Munculnya fenomena white collar<br />

crimes (kejahatan kerah putih atau kejahatan yang dilakukan oleh kaum<br />

berdasi, seperti para eksekutif, birokrat, guru, politisi atau setingkat dengan<br />

mereka), serta isu KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) yang dilakukan oleh<br />

para elit, juga merupakan bagian dari kegagalan pendidikan agama <strong>Islam</strong>.<br />

Muhaimin tidak sepenuhnya setuju terhadap pendapat yang menyatakan<br />

bahwa timbulnya krisis akhlak atau moral hanya disebabkan kegagalan<br />

i<br />

78


pendidikan agama. Dengan bertolak dari suatu pandangan bahwa kegiatan<br />

pendidikan merupakan suatu proses pengembangan dan penanaman seperangkat<br />

nilai dan norma implicit dalam setiap mata kuliah dan sekaligus dosennya, maka<br />

tugas mendidikkan akhlak yang mulai sebenarnya bukan hanya menjadi<br />

tanggungjawab dosen PAI ansich. Apalagi Iman dan Taqwa terhadap Tuhan Yang<br />

Maha Esa merupakan persyaratan utama bagi setiap dosen, yang secara praktis<br />

akan berimplikasi pada keharusan setiap dosen untuk mengimplisitkan nilai-nilai<br />

akhlak yang mulia dalam setiap mata kuliah yang dipelajari oleh dan diajarkan<br />

kepada mahasiswa (peserta didik). 67 Karena itu jika ada beberapa mahasiswa /<br />

peserta didik yang terlibat narkoba, misalnya maka hal itu bukan berarti kegagalan<br />

dosen PAI saja, tetapi hal itu juga kegagalan dari dosen mata kuliah yang lain. Hal<br />

itu bukan berarti para dosen PAI mengelak dari tanggungjawabnya sebagai<br />

pembimbing dan pengarah ajaran dan moral agama, tetapi lebih membangun<br />

kekompakan dan harmonisasi dalam proses pendidikan. Keteladanan akhlak<br />

bukan hanya ditunjukkan oleh dosen PAI, tetapi juga oleh para tenaga<br />

kependidikan yang lainnya. Apalagi saat ini kita sudah memasuki era globalisasi<br />

sebagai akibat dari kemajuan teknologi di bidang komunikasi dan informasi. Atas<br />

dasar teori dan prinsip-prinsip pengembangan kurikulum yang dipraktekkan di<br />

berbagai negara seperti Singapura, Australia, Inggris, dan Amerika; juga didorong<br />

oleh visi, misi, dan paradigma baru <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong>, maka penyusunan<br />

kurikulum perlu dilakukan berbasis kompetensi dasar (basic competency).<br />

i<br />

67 Ibid, hlm.181-183<br />

79


Dalam implementasinya juga lebih didominasi pencapaian kemampuan<br />

kognitif, kurang mengakomodasikan keragaman kebutuhan daerah meskipun<br />

secara nasional kebutuhan keberagaman mahasiswa pada dasarnya tidak berbeda.<br />

Dengan pertimbangan itu, maka kompetensi dasar (basic competency) yang<br />

mencerminkan kebutuhan keberagaman mahasiswa secara nasional. Standar ini<br />

diharapkan dapat dipergunakan sebagai acuan dalam mengembangkan kurikulum<br />

PAI pada setiap jenjang pendidikan sesuai kebutuhan daerah/ Perguruan Tinggi.<br />

Berbagai kritik tersebut mendasari pengembangan kurikulum yaitu:<br />

a) Lebih menitikberatkan pencapaian target kompetensi (attainment target)<br />

dari pada penguasaan materi;<br />

b) Lebih mengakomodasikan keragaman kebutuhan dan sumber daya<br />

pendidikan yang tersedia;<br />

c) Memberikan kebebasan yang lebih luas kepada pelaksana pendidikan di<br />

lapangan untuk mengembangkan dan melaksanakan program pendidikan<br />

sesuai dengan kebutuhan.<br />

Adapun pesan-pesan besar <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> (PAI) yang ingin<br />

dikembangkan dalam kurikulum adalah sebagai berikut:<br />

a. Berusaha menjadikan PAI sebagai jurusan yang dapat menjaga dan<br />

memperkokoh akidah siswa ketika terjun menjadi Guru <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong><br />

<strong>Islam</strong> (GPAI);<br />

b. Menjadikan PAI sebagai jurusan yang mengajarkan agama dengan baik,<br />

dalam pengertian bahwa konteks bangsa Indonesia yang ber-Bhineka<br />

Tunggal Ika, pengembangan pendidikan agama diharapkan agar tidak<br />

sampai menumbuhkan semangat fanatisme buta, menumbuhkan sikap<br />

intoleran di kalangan peserta didik dan <strong>masyarakat</strong> Indonesia dan<br />

memperlemah kerukunan hidup beragama serta persatuan dan kesatuan<br />

nasional;<br />

c. Menjadikan PAI sebagai jurusan yang dapat memacu siswa untuk menjadi<br />

rajin dan pintar, serta kreatif, kritis, dan inovatif;<br />

d. Menjadikan PAI sebagai jurusan yang bisa membina etika sosial mahasiswa,<br />

yakni keterpaduan antara personal religiousity dengan social religiousty,<br />

keterpaduan antara sikap keberagamaan di masjid/rumah ibadah dengan<br />

tingkah laku di kantor, jalan raya, dan sebagainya, atau seseorang tetap<br />

beragama dimana dan kapan saja;<br />

i<br />

80


e. Menjadikan PAI sebagai jurusan yang bisa mencetak mahasiswa yang<br />

bertanggungjawab dalam hidup dan kehidupannya.<br />

Dari berbagai uraian diatas dapat ditegaskan bahwa upaya memotret<br />

paradigma pengembangan kurikulum di Indonesia memang amat diperlukan untuk<br />

mempertajam pemahaman kita akan keunikan realitas <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> yang<br />

sedang tumbuh dan berkembang di Indonesia, kendatipun hal itu bukan pekerjaan<br />

yang sederhana dan bahkan akan menimbulkan kontroversi. Jika menurut<br />

Muhaimin seperti itu, maka tidak menutup kemungkinan terdapat berbagai macam<br />

alternatif lainnya guna memperkaya wawasan dan visi kita terhadap model-model<br />

paradigma pengembangan kurikulum <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong>. Jadi<br />

pengembangan kurikulum PAI perlu dilakukan secara terus menerus guna<br />

merespon dan mengantisipasi perkembangan dan tuntutan yang ada tanpa harus<br />

menunggu pergantian menteri pendidikan nasional atau menteri agama. Apalagi<br />

saat ini <strong>masyarakat</strong> sudah memasuki era globalisasi, baik di bidang ipteks maupun<br />

social, politik, budaya dan etika. Hal ini akan berimplikasi pada banyaknya<br />

masalah pendidikan yang harus segera diatasi, tanpa harus menunggu-nunggu<br />

keputusan dari atas. 68 Pembaruan dan modernisasi <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> bisa dilihat<br />

dari empat level:<br />

1. Level kelembagaan, yaitu <strong>pembaruan</strong> atau perubahan kelembagaan, yaitu<br />

pembaharuan dan perubahan kelembagaan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong><br />

2. Substansi isi (content) kurikulumnya, yaitu dari pengajaran ilmu-ilmu agama<br />

bergeser dengan memperkenalkan ilmu-ilmu umum ke dalam lembaga<br />

<strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>.<br />

3. Aspek metodologi, yaitu perubahan metodologi pengajaran yang selama ini<br />

di terapkan di lingkungan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> yang kurang relevan.<br />

68<br />

Muhaimin, Pengembangan Kurikulum <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong>, (Jakarta: Raja Grafindo<br />

Persada, 2004), hlm. 14 .<br />

i<br />

81


4. Segi fungsi. Secara tradisional fungsi <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> meliputi transfer<br />

ilmu-ilmu keislaman, memelihara tradisi <strong>Islam</strong>, dan melahirkan ulama.<br />

Dengan <strong>pembaruan</strong> yang terjadi di tubuh <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>, fungsi ini juga<br />

mengalami perubahan. 69<br />

Jadi menurut penulis pandangan dasar dan kritik Muhaimin tersebut akan<br />

membantu penulis dalam menganalisis <strong>konsep</strong> <strong>pembaruan</strong> <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong><br />

<strong>Islam</strong> melalui analisis paradigma pengembangan kurikulum sehingga tercipta<br />

suatu tatanan <strong>masyarakat</strong> ideal yakni <strong>masyarakat</strong> madani di Perguruan Tinggi<br />

<strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> (PTAI) dan dengan bertolak dari visi mata kuliah <strong>Pendidikan</strong><br />

<strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong>, yaitu menjadi sumber nilai dan pedoman bagi penyelenggaraan<br />

program studi dalam mengantarkan mahasiswa mengembangkan kepribadiannya<br />

melalui penjabaran standar kelulusan yang ada di Perguruan Tinggi. Karena itu<br />

Junaidi menyatakan bahwa perlunya <strong>pembaruan</strong> pendidikan di lingkungan PTAIN<br />

seperti IAIN, STAIN, dan UIN untuk segera melakukan <strong>pembaruan</strong>, khususnya<br />

dalam bidang kurikulum studi <strong>Islam</strong>, karena salah satu misi didirikannya PTAI<br />

pada awalnya adalah untuk melahirkan ahli agama <strong>Islam</strong>, dengan tidak<br />

mengesampingkan konteks keindonesiaan serta perkembangan ilmu pengetahuan<br />

dan kecakapan hidup.<br />

Lebih jauh dari itu, dalam wacana Nurcholis madjid mengenai<br />

modernisasi, <strong>pembaruan</strong> kurikulum PTAIN dimaknai sebagai proses rasionalisasi<br />

aspek-aspek pendidikan dalam ajaran <strong>Islam</strong>, yang bagi setiap muslim<br />

sesungguhnya merupakan suatu keharusan. Artinya, menjadi pembaharu dengan<br />

69 Mastudi Dan Marzuki Wahid, Perguruan Tinggi <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> Di Indonesia Sejarah<br />

Pertumbuhan Dan Perkembangan, (Jakarta: DEPAG RI Direktorat Jenderal Kelembagaan <strong>Agama</strong><br />

<strong>Islam</strong>, 2003) Hlm. 3<br />

i<br />

82


mengembangkan kemampuan berpikir secara ilmiah dan bersikap dinamis serta<br />

progresif merupakan peran sarjana Perguruan Tinggi yang tak terelakkan. 70<br />

Sebagaimana yang di sampaikan oleh Muhaimin, bahwa:<br />

"Kurikulum yang dikembangkan harus mampu membangun kepribadian sehingga<br />

meningkatkan etos belajar, yakni dengan melalui pemberian tugas,<br />

keteladanan/pembiasaan dan aktif selama proses belajar mengajar, sehingga<br />

output (lulusan) yang dihasilkan mampu mengantisipasi tantangan dunia<br />

global" 71<br />

Menurut penulis pandangan dasar dan kritik Muhaimin adalah untuk<br />

memacu laju <strong>pembaruan</strong> pendidikan agama <strong>Islam</strong> agar mampu merespon secara<br />

cepat dan tepat sasaran dalam menghadapi tantangan global perkembangan zaman<br />

dan laju arus ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih dengan<br />

melalui tataran operasional, yakni melalui kurikulum karena realitanya<br />

dampaknya langsung bersentuhan dengan peserta didik.<br />

D. Filsafat pendidikan <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> dan Implikasinya terhadap Paradigma<br />

Pengembangan Kurikulum di PTAI.<br />

Kehidupan kontemporer merupakan suatu perkembangan terkini dalam<br />

kehidupan manusia yang ditandai oleh cepatnya proses perubahan sosial. Sejak<br />

dimulainya gerakan renaissance di Eropa pada abad ke-15 M, dan dilanjutkan<br />

dengan aufklarung pada abad ke-18 M. Yang lalu, perkembangan <strong>masyarakat</strong>,<br />

setidaknya di Barat, telah memasuki era baru yang lebih maju atau modern.<br />

Perkembangan ini oleh sarjana baik di Barat maupun di kawasan dunia yang lain<br />

70<br />

Djunaidi Ghony, Paradigma Pengembangan Kurikulum Dalam Peningkatan Mutu<br />

<strong>Pendidikan</strong> Tinggi <strong>Islam</strong>. Dalam Pidato Pengukuhan Yang Disampaikan Pada Pengukuhan<br />

Jabatan Guru Besar Dalam Bidang Ilmu <strong>Pendidikan</strong> Fakultas Tarbiyah Universitas <strong>Islam</strong> Negeri<br />

(UIN) Malang, Depag dan UIN Malang, 2007, hlm. 8-9<br />

71<br />

Wawancara dengan Muhaimin, Dosen Tetap/ Guru Besar UIN Malang, tanggal 26<br />

Februari 2007<br />

i<br />

83


di sebut dengan era modern karena filsafat dan ilmu pengetahuan kembali<br />

memainkan peran yang baru dalam kehidupan manusia, setelah sebelumnya<br />

mengalami pasang surut, baik ketika di Yunani maupun di "Dunia <strong>Islam</strong>". 72<br />

Dalam buku Muhaimin yang berjudul “Arah Baru Pengembangan<br />

<strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>”, diberikan sebuah wacana dalam upaya memahami arah<br />

pengembangan Filsafat <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>. Sehingga diperlukan telaah terhadap<br />

pemikiran dilihat dari sudut pandang. Dalam pembahasan filsafat pendidikan,<br />

persoalan tersebut dapat disederhanakan ke dalam tiga persoalan pokok, yaitu<br />

pandangan mengenai realita yang dipelajari oleh metafisika atau ontologi,<br />

pandangan mengenai pengetahuan yang dipelajari oleh epistemologi, dan<br />

pandangan mengenai nilai yang dipelajari oleh aksiologi, termasuk di dalamnya<br />

etika dan estetika. Jadi hakikat filsafat pendidikan <strong>Islam</strong> sebagaimana yang<br />

dikemukakan para ahli dapat ditilik dari ketiga persoalan tersebut.<br />

Menurut Mulkhan (1993), jika filsafat menempatkan segala yang ada<br />

sebagai obyek, filsafat pendidikan mengkhususkan pada pendidikan, dan filsafat<br />

pendidikan <strong>Islam</strong>, lebih khusus lagi kepada pendidikan <strong>Islam</strong>. Pemahaman<br />

tersebut diatas diperkuat oleh pendapat-pendapat para ahli filsafat pendidikan<br />

pada umumnya dan pendidikan <strong>Islam</strong> pada khususnya. Barnadib (1987) misalnya<br />

menyatakan bahwa:<br />

"Filsafat pendidikan adalah ilmu yang pada hakikatnya merupakan jawaban dari<br />

pertanyaan-pertanyaan dalam lapangan pendidikan. Karena bersifat filosofis,<br />

dengan sendirinya filsafat pendidikan ini pada hakikatnya adalah penerapan<br />

suatu analisis filosofis terhadap lapangan pendidikan".<br />

72 Koento Wibisono, Beberapa Hal Tentang Filsafat Ilmu: Sebuah Sketsa Umum Sebagai<br />

Pengantar Untuk Memahami Hakikat Ilmu Dan Kemungkinan Pembangunannya. (Yogyakarta:<br />

IKIP, 1988), hlm 7-8<br />

i<br />

84


Walaupun pendapat-pendapat tersebut diatas memiliki gaya bahasa yang<br />

berbeda, tapi saling menjelaskan antara satu dengan lainnya dan berada dalam<br />

satu pengertian yang sama, yaitu bahwa filsafat pendidikan pada dasarnya<br />

merupakan sistem berpikir filsafat yang diaplikasikan dalam memecahkan<br />

masalah pendidikan. Sebagai produk dari pemikiran (filsafat) pendidikan ini akan<br />

dapat memberikan kerangka orientasi atas pandangan dunia pendidikan. 73<br />

Dari beberapa pendapat tersebut dapat ditegaskan bahwa filsafat<br />

<strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> merupakan sistem berpikir filsafat yang diterapkan dalam<br />

memecahkan persoalan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>. Dan sekaligus sebagai normatif atau<br />

perspektif, dalam arti filsafat <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> memberikan arah, pedoman dan<br />

resep bagi pelaksanaan pendidikan <strong>Islam</strong> yang tepat. Karena itu, walaupun<br />

pengembangannya bersifat terbuka, realistis, dinamis dan fleksibel, tetapi<br />

sejumlah prinsip, kepercayaan dan premis-premisnya harus sesuai dengan<br />

semangat atau ruh ajaran <strong>Islam</strong>. Para ahli telah menyoroti dunia pendidikan yang<br />

berkembang saat ini, baik dalam <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> pada khususnya maupun<br />

pendidikan pada umumnya, bahwa pelaksanaan pendidikan tersebut kurang<br />

bertolak dari atau belum dibangun oleh landasan filosofis yang kokoh, sehingga<br />

berimplikasi pada kekaburan dan ketidakjelasan arah dan jalannya pelaksanaan<br />

pendidikan itu sendiri.<br />

Ma'arif (1993) setelah menyajikan dialog antara Iqbal dan Rumi dalam<br />

konteks pendidikan <strong>Islam</strong>, berkesimpulan bahwa fondasi filosofis yang mendasari<br />

sistem pendidikan <strong>Islam</strong> selama ini masih rapuh, terutama tampak pada adanya<br />

i<br />

73 Muhaimin, Pengembangan Kurikulum <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong>, Op. Cit. hlm 88-89<br />

85


entuk dualisme dikotomis antara apa yang dikategorikan ilmu-ilmu agama yang<br />

menduduki posisi fardu'ain, dan ilmu-ilmu sekuler yang paling tinggi berada pada<br />

posisi fardu kifayah, yang sering kali terabaikan dan bahkan tercampakkan.<br />

Disamping itu, kegiatan pendidikan <strong>Islam</strong> yang seharusnya berorientasi ke langit<br />

(orientasi transendental), tampaknya belum tercermin secara tajam dan jelas<br />

dalam rumusan filsafat pendidikan <strong>Islam</strong>, bahkan belum dimilikinya. Karena itu,<br />

penyusunan suatu filsafat pendidikan <strong>Islam</strong> merupakan tugas strategis dalam<br />

usaha <strong>pembaruan</strong> pendidikan <strong>Islam</strong>.<br />

Berbagai keprihatianan para pakar tersebut merupakan indikasi mengenai<br />

pentingnya konstruksi filsafat pendidikan <strong>Islam</strong>, karena bagaimanapun filsafat<br />

bukanlah penyelidikan yang terpisah dan eksklusif, tetapi justru merupakan<br />

bagian dari kehidupan manusia dan pendidikan. Hubungan antara filsafat dan<br />

pendidikan sangat erat, terutama dalam menjawab persoalan-persoalan pokok dan<br />

mendasar yang dihadapi oleh pendidikan, Brubacher (1995) sebagaimana dikuti<br />

oleh Ozmon & Craver (1995) menyarankan agar persoalan-persoalan yang<br />

mendasar dalam pendidikan perlu dipecahkan dan dibahas menurut teori filsafat.<br />

Sebagai implikasinya diperlukan bangunan filsafat. Sebagai implikasinya<br />

diperlukan bangunan filsafat pendidikan yang kokoh dalam pelaksanaan sistem<br />

pendidikan ibarat sebuah bangunan rumah, maka bangunan filsafat pendidikan<br />

<strong>Islam</strong> itu mencakup berbagai dimensi, yaitu:<br />

1) Dimensi bahan-bahan dasar yang menentukan kuat atau tidaknya suatu<br />

fondasi bangunan. Dalam konteks filsafat pendidikan <strong>Islam</strong> berarti sumbersumber<br />

atau semangat pemikiran dari para pemikir pendidikan <strong>Islam</strong> itu<br />

sendiri.<br />

2) Dimensi fondasi filsafat itu sendiri, yang berupa prinsip atau dasar atau asas<br />

(kebenaran yang menjadi pokok dasar) berpikir dalam menjawab persoalan-<br />

i<br />

86


persoalan pokok pendidikan yang termuat dalam sistem (komponenkomponen<br />

pokok aktivitas) pendidikan <strong>Islam</strong>.<br />

3) Dimensi tiang penyangga yang berupa struktur ide-ide dasar serta<br />

pemikiran-pemikiran yang fundamental yang telah dirumuskan oleh pemikir<br />

pendidikan <strong>Islam</strong> itu sendiri dalam mengembangkan, mengarahkan dan<br />

mengkokohkan bangunan sistem pendidikan <strong>Islam</strong>.<br />

Di dalam bukunya Muhaimin, pengembangan kurikulum adalah termasuk<br />

dalam tataran epistemologis. Dalam lapangan epistemologi, antara lain diperlukan<br />

dalam penyusunan dasar-dasar kurikulum. Kurikulum yang biasa diartikan<br />

sebagai serangkaian kegiatan atau sarana untuk mencapai tujuan pendidikan,<br />

diibaratkan sebagai jalan raya yang perlu dilewati oleh peserta didik dalam usaha<br />

memahami dan mengenal ilmu pengetahuan. Agar para peserta didik berhasil<br />

dalam mencapai tujuan itu, maka secara bertahap mereka perlu mengenal hakikat<br />

pengetahuan.<br />

Hasil kajian menunjukkan bahwa pemikiran (filsafat) pendidikan <strong>Islam</strong><br />

yang berkembang pada dasarnya mengarah pada lima (5) tipologi yang masing-<br />

masing memiliki parameter dan ciri-ciri pemikiran, yang berimplikasi pada fungsi<br />

pendidikan <strong>Islam</strong> itu sendiri dan juga pada pengembangan kurikulumnya.<br />

Pertama, Perennial-esensialis salafi. Ciri-ciri pemikirannya adalah ia<br />

menjawab persoalan pendidikan dalam konteks wacana salafi, memahami nash<br />

secara tekstual-lughawi, penafsiran ayat dengan ayat lain, ayat dengan hadits,<br />

hadits dengan hadits, sehingga memungkinkan kurang adanya pengembangan dan<br />

elaborasi. Jadi pengembangan kurikulum PAI ditekankan pada doktrin-doktrin<br />

agama, kitab-kitab besar, kembali pada hal-hal yang utama (dasar) dan esensial,<br />

serta matakuliah-matakuliah kognitif. Dalam kurikulum PAI bidang-bidang<br />

ibadah khusus (sholat, zakat, puasa, haji dan lain-lain). Hal ini dimaksudkan untuk<br />

i<br />

87


melestarikan, mempertahankan, dan menyebarkan akidah dan amaliah ubudiyah<br />

yang benar sesuai dengan amaliah para salaf as-shalih/ adanya penyelewengan di<br />

bidang-bidang tersebut, akan segera diketahui dengan tolok ukur mereka. Inilah<br />

antar lain yang dimaksud dengan tajdid (<strong>pembaruan</strong>) agama, yakni<br />

mengembalikan ajaran agama kepada keadaannya semula sebagaimana yang<br />

terjadi pada masa salaf al-shalih (zaman Nabi Muhammad, sahabat, dan tabi'in).<br />

Kedua, Perennial-esensialis mazhabi. Ciri-ciri pemikirannya menekankan<br />

pada pemberian Syarh dan Hasyiyah terhadap pemikiran pendahulunya, dan<br />

kurang ada keberanian mengkritisi atau mengubah substansi materi pemikiran<br />

pendahulunya. Pengembangan kurikulum PAI ditekankan pada doktrin-doktrin<br />

dan nilai-nilai agama sebagaimana tertuang dan terkandung dalam kitab-kitab<br />

karya ulama terdahulu, yang berisi hal-hal yang utama (dasar) dan esensial, serta<br />

mata kuliah-mata kuliah kognitif sebagaimana yang ada pada masa pasca salaf.<br />

Dalam kurikulum PAI bidang akidah dan ibadah khusus, misalnya dimaksudkan<br />

untuk melestarikan, mempertahankan, menyebarkan pemikiran kaidah dan<br />

ubudiyah hasil karya-karya imam-imam madzhab terdahulu serta<br />

mengamalkannya sejalan dengan pandangan mereka, tanpa ada keberanian untuk<br />

mengkritisi dan mengubah substansi pemikiran para pendahulunya.<br />

Ketiga, Tipologi modernis. Ciri-ciri pemikirannya adalah ia tidak<br />

berkepentingan untuk mempertahankan dan melestarikan pemikiran dan sistem<br />

pendidikan para pendahulunya, lapang dada dalam menerima dan mendengarkan<br />

pemikiran pendidikan dari manapun dan siapapun untuk kemajuan pendidikan<br />

<strong>Islam</strong>, serta selalu menyesuaikan dan melakukan penyesuaian kembali pendidikan<br />

i<br />

88


<strong>Islam</strong> dengan tuntutan perubahan social dan perkembangan Iptek. Pengembangan<br />

kurikulum PAI ditekankan pada penggalian problem-problem yang tumbuh dan<br />

berkembang di lingkungannya atau dialami oleh peserta didik, untuk selanjutnya<br />

dilatih atau diberi pengalaman untuk memecahkannya dalam perspektif ajaran dan<br />

nilai-nilai agama <strong>Islam</strong>. Dalam pengembangan kurikulum PAI misalnya, peserta<br />

didik diajarkan untuk menggali, menemukan, mengindentifikasi masalah-masalah<br />

kerusakan lingkungan, dekadensi moral, kenakalan remaja, narkoba dan lain-lain.<br />

Keempat, Perennial-essensialis kontekstual- falsifikatif menekankan<br />

perlunya: (1) sikap regresif dan konservatif terutama dalam konteks pendidikan<br />

agama, yang menghormati dan menerima <strong>konsep</strong> pendidikan tradisional yang<br />

sudah mengakar dalam kehidupan umat <strong>Islam</strong> dengan melakukan kontekstualisasi<br />

dan falsifikasi; (2) sikap rekonstruktif yang kurang radikal; (3) wawasan<br />

kependidikan <strong>Islam</strong> yang concern terhadap kesinambungan pemikiran pendidikan<br />

<strong>Islam</strong> dalam merespon tuntutan perkembangan iptek dan perubahan sosial.<br />

Pengembangan kurikulum PAI disamping ditekankan pada pelestarian doktrin-<br />

doktrin dan nilai-nilai agama yang dipandang mapan sebagaimana tertuang dan<br />

terkandung dalam kitab-kitab terdahulu, yang berisi hal-hal yang utama (dasar)<br />

dan essensial, serta matakuliah-matakuliah kognitif pada masa salaf.<br />

Kelima, Rekonstruksi social, bahwa pendidikan agama <strong>Islam</strong> bertujuan<br />

untuk meningkatkan kepedulian dan kesadaran peserta didik akan masalah-<br />

masalah yang dihadapi umat manusia, yang merupakan bagian dari kewajiban dan<br />

tanggung jawab pemeluk agama <strong>Islam</strong> untuk memecahkannya melalui dakwah bi<br />

al-hal, baik yang terkait dengan masalah sosial, ekonomi, politik dan budaya<br />

i<br />

89


ataupun lainnya, dan mengajarkan ketrampilan-ketrampilan yang diperlukan<br />

untuk memecahkan semua problem tersebut agar dapat berpartisipasi dalam<br />

melakukan islah (perbaikan) dan amar ma'ruf nahi munkar, sehingga dapat<br />

terwujud suatu tatanan <strong>masyarakat</strong> baru yang lebih baik. Kurikulumnya<br />

memusatkan perhatian pada masalah-masalah sosial dan budaya yang dihadapi<br />

<strong>masyarakat</strong> dan mengharapkan peserta didik dapat memecahkan masalah tersebut<br />

melalui pengetahuan dan <strong>konsep</strong>-<strong>konsep</strong> yang telah diketahui. Dengan dilandasi<br />

pandangan aliran interaksional kurikulum rekonstruksi sosial mengharapkan<br />

mahasiswa dapat berinteraksi, bekerjasama dengan dosen dan mahasiswa lainnya,<br />

maupun sumber-sumber belajar yang tersedia, untuk memecahkan masalah yang<br />

dihadapi dalam <strong>masyarakat</strong> <strong>menuju</strong> <strong>masyarakat</strong> yang lebih baik.<br />

Kelima tipologi tersebut di<strong>konsep</strong>tualisasikan Muhaimin dari hasil kajian<br />

terhadap aliran-aliran filsafat pendidikan pada umumnya, serta mencermati pola-<br />

pola pemikiran <strong>Islam</strong> yang berkembang dalam menjawab tantangan dan<br />

perubahan zaman. Dan menurut Muhaimin tipologi-tipologi diatas agaknya masih<br />

lebih mengembangkan wawasan kependidikan <strong>Islam</strong> masa lalu dan masa<br />

sekarang, dan kurang menyentuh wawasan antisipasi masa depan. 74<br />

Dilain pihak, selain pemikiran Muhaimin terdapat filsafat pendidikan yang<br />

juga mengembangkan wawasan antisipasi masa depan, yang dikembangkan oleh<br />

Muhadjir (2000) sebagai rekonstruksi sosial. Filsafat pendidikan tersebut<br />

berangkat dari bottom up yang dibangun dari grass root, dalam pluralisme, dan<br />

dalam konteks mengejar keunggulan. Berbeda halnya dengan rekonstruksi sosial<br />

i<br />

74 Ibid, hlm.105<br />

90


tahun 1970-an yang top down dan lebih berorientasi ke teknis planning. Menurut<br />

Muhadjir (2000) bahwa kompleksitas kehidupan pluralistik menuntut seseorang<br />

untuk tidak menampilkan konstruk tertentu yang closed ended, tetapi<br />

menampilkan konstruk yang terus dikembangkan bolak balik antara empiris dan<br />

<strong>konsep</strong> teori. Karena percepatan perubahan sosial dan lain-lainnya semakin tak<br />

terduga, maka rekonstruksi sosial tersebut perlu dikembangkan postparadigmatik,<br />

yakni paradigmanya terus dikembangkan. Operasional kurikulum misalnya, perlu<br />

dikembangkan untuk selalu menyesuaikan dengan perkembangan zaman atau<br />

updating kurikulum secara berkelanjutan. Kurikulum pendidikan yang meliputi<br />

program pengajaran dan perangkatnya merupakan pedoman dalam pelaksanaan<br />

pendidikan dan pengajaran. Oleh karena itu kurikulum dianggap sebagai bagian<br />

yang tidak dapat dipisahkan dalam proses belajar mengajar, sehingga dalam<br />

pelaksanaan inovasi pendidikan, kurikulum memegang peranan yang sama<br />

dengan unsur-unsur lain dalam pendidikan. Tanpa adanya kurikulum dan tanpa<br />

mengikuti program-program yang ada di dalamnya, maka inovasi pendidikan<br />

tidak akan berjalan sesuai dengan tujuan itu sendiri. Oleh karena itu, dalam<br />

<strong>pembaruan</strong> pendidikan, perubahan itu hendaknya sesuai dengan perubahan<br />

kurikulum atau perubahan kurikulum diikuti dengan <strong>pembaruan</strong> pendidikan dan<br />

tidak mustahil perubahan dari kedua-duanya akan berjalan searah.<br />

Jadi hasil kajian menunjukkan bahwa pemikiran (filsafat) pendidikan<br />

pemikiran yang relevan dengan tuntutan <strong>masyarakat</strong> madani adalah pemikiran<br />

berwawasan Rekonstruksi social, disamping menekankan perlunya sikap progresif<br />

dan dinamis, juga sikap proaktif dan antisipatif dalam menghadapi perkembangan<br />

i<br />

91


iptek, tuntutan perubahan, dan berorientasi ke masa depan. Ia sangat concern<br />

terhadap pengembangan sistem pendidikan <strong>Islam</strong> yang opened-ended, cepat<br />

merespon tuntutan-tuntutan yang ada pada masa sekarang dan yang akan terjadi di<br />

masa mendatang, dan komitmen terhadap pengembangan kreativitas yang<br />

berkelanjutan. Tugas pandidikan <strong>Islam</strong> terutama membantu agar manusia menjadi<br />

cakap dan selanjutnya mampu ikut bertanggungjawab terhadap pengembangan<br />

<strong>masyarakat</strong>nya dilandasi oleh tingginya kualitas Iman dan takwa terhadap Allah<br />

SWT. Fungsi pendidikan <strong>Islam</strong> adalah sebagai upaya:<br />

a) Upaya menumbuhkembangkan kreativitas peserta didik secara<br />

berkelanjutan;<br />

b) Upaya memperkaya khazanah budaya manusia, memperkaya isi nilai-nilai<br />

insani dan ilahi; dan<br />

c) Upaya menyiapkan tenaga kerja yang produktif yang mampu mengantisipasi<br />

masa depan, dan/atau mampu memberi corak struktur kerja masa depan<br />

yang dijiwai oleh spirit <strong>Islam</strong>.<br />

Dalam hal ini penulis setuju dengan pandangan Muhaimin, yakni bahwa<br />

tipologi yang perlu dikembangkan di Indonesia adalah rekonstruksi social yang<br />

teosentris, dengan landasan pemikiran bahwa:<br />

a) Bangsa Indonesia mengakui Pancasila, sebagai dasar negara, sila pertama<br />

adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, yang menunjukkan keharusan bangsa<br />

Indonesia untuk bersikap teosentris;<br />

b) Bangsa Indonesia hidup dalam pluralisme yang sangat rentan terhadap<br />

timbulnya konflik-konflik, namun demikian mereka bertekad untuk<br />

Berbhinaka Tunggal Ika. Pengembangan pendidikan <strong>Islam</strong> berusaha<br />

menciptakan ukhuwah <strong>Islam</strong>iyah dalam arti luas, yang mampu membentuk<br />

manusia yang memiliki kesalehan pribadi sekaligus kesalehan sosial, yakni<br />

melalui daya kreativitasnya memiliki keunggulan partisipatoris yang<br />

dilandasi oleh tingginya kualitas iman dan takwa terhadap Allah SWT;<br />

c) Terdapat kekuatan global yang hendak membentuk dunia masa depan yang<br />

mengarisbawahi perlunya pendidikan <strong>Islam</strong> untuk menyiapkan peserta didik<br />

yang unggul dalam iptek, produktif dan kompetitif, dengan tetap memiliki<br />

kesadaran akan hak dan kewajibannya dalam hidup bersama dan kesadaran<br />

bersama dalam demokratis.<br />

i<br />

92


adalah:<br />

Konstruksi filosofis dari tipologi rekonstruksi social yang teosentris<br />

a) Secara epistemologik, akal-budi manusia perlu dikembangkan secara<br />

berkelanjutan dalam proses pendidikan <strong>Islam</strong>, baik melalui ta’allum maupun<br />

taqarrub, agar semakin bersikap rasional-kritis, kreatif, mandiri, bebas dan<br />

terbuka, bersikap rasional-empirik, obyaktif-empirik, obyektif-matematis,<br />

dengan tetap memiliki komitmen terhadap nilai-nilai amanah dan<br />

tanggungjawab individu dan sosial, sikap solidaritas terhadap sesama serta<br />

terhadap makhluk lainnya, dan mampu mempertanggungjawabkan segala<br />

amal perbuatannya dihadapan Tuhannya;<br />

b) Secara ontologik, realitas bangsa Indonesia adalah pluralistik, yang sangat<br />

rentan terhadap timbulnya konflik-konflik, bahkan di dalam tubuh<br />

<strong>masyarakat</strong> <strong>Islam</strong> sendiri terdapat keragaman internal. Dengan bertekad<br />

untuk ber-Bhineka Tunggal Ika, maka moral hidup ditampilkan dalam<br />

bentuk sikap keterbukaan, toleransi dan demokratis, mampu membuat<br />

overlapping concensus antar etnik, ras dan antar agama, serta percepatan<br />

arus perubahan social. Suasana tersebut menuntut terwujudnya sumber daya<br />

manusia yang unggul baik dalam aspek intelektual, profesionalitas, maupun<br />

moral dan spiritual;<br />

c) Secara aksiologik, perlu diakui adanya keragaman tata nilai antar agama dan<br />

mungkin juga antar etnik. Dalam konteks kehidupan nasional dan juga<br />

global, tumpang tindihnya kesepakatan tata nilai mesti terjadi, tetapi perlu<br />

dididikkan untuk mengaktualisasikan hak dan kewajiban asasi manusia,<br />

dengan bertolak dari satu keyakinan universal dan adil. bahwa yang tidak<br />

baik akan memperoleh siksa Tuhan. 75<br />

Perspektif rekonstruksi social teosentris adalah bertolak dari kajian hakikat<br />

manusia sebagai hamba Allah dan Khalifah-Nya di Bumi. Sebagai hamba-Nya, ia<br />

mempunyai potensi ruhaniah yang memancar dari dimensi al-ruh dan al-fitrah,<br />

sehingga ia siap mengadakan hubungan vertical dengan-Nya (Habl min Allah)<br />

sebagai manifestasi dari sikap teosentris manusia yang mengakui Ketuhanan Yang<br />

Maha Esa. Sebagai khalifah-Nya, ia al-‘aql dan al-qalb (temuan Baharuddin,<br />

2001), sehingga ia siap mengaktualisasikan potensinya dalam konteks hubungan<br />

horizontal (Habl min al-nas), yaitu hubungan antara sesama ciptaan-Nya (alam<br />

i<br />

75 Ibid, hlm 102<br />

93


dan sesama manusia), yang diwujudkan dalam bentuk rekonstruksi social secara<br />

berkelanjutan untuk mencapai ridha-Nya. Jadi dalam hal ini penulis setuju dengan<br />

pendapat Muhaimin dalam pemikiran filsafat pendidikan <strong>Islam</strong> dalam<br />

mengembangkan PTAI ke masa depan dengan melihat fenomena yang terjadi di<br />

dalam <strong>masyarakat</strong>.<br />

Filsafat ilmu mempunyai makna yang sangat penting bagi pengembangan<br />

ilmu pengetahuan. Arti penting ini dapat dilihat dari kadar keterlibatannya dalam<br />

berbagai bidang ilmu lainnya, tidak terkecuali agama <strong>Islam</strong>. Sebagaimana<br />

penuturan Abdullah, ilmu apapun yang disusun, diajarkan, disebarluaskan secara<br />

lisan maupun tulisan meniscayakan paradigma kefilsafatan. Asumsi dasar seorang<br />

ilmuan berikut metode (proses dan prosedur) yang diikuti, kerangka teori, peran<br />

akal, tolok ukur validitas keilmuan, prinsip-prinsip dasar, hubungan subyek dan<br />

obyek merupakan beberapa hal pokok yang terkait dengan struktur fundamental<br />

sebuah bangunan keilmuan. Dengan demikian, tidak ada sebuah ilmupun-terutama<br />

yang telah tersistematiskan sedemikian rupa dapat mengarahkan dan<br />

menggerakkan kerangka kerja teoritik maupun praktisi keilmuan serta<br />

membimbing arah penelitian dan pengembangan lebih lanjut.<br />

Disinilah filsafat ilmu merupakan struktur fundamental yang mendasari,<br />

melatar belakangi dan mendorong kegiatan keilmuan. Namun, pada kenyataan<br />

dilapangan menunjukkan tidak semua dosen keislaman di PTAI memahami secara<br />

baik persoalan yang amat fundamental ini. Bisa jadi mereka yang mengajarkan<br />

cabang-cabang ilmu keislaman, yang mungkin saja sangat mendetail, terlepas<br />

begitu saja dan kurang begitu memahami kerangka teori yang digunakan oleh<br />

i<br />

94


angunan keilmuan tersebut serta implikasi dan konsekuensinya pada praksis-<br />

sosial-keagamaan.<br />

Apabila kita melihat fungsi dan peran PTAI bagi pembangunan bangsa<br />

dan Negara di masa mendatang, maka akan tampak kaitan yang erat antara ide<br />

dasar pendirian Perguruan Tinggi dengan filsafat ilmu. Memang menurut Dorst<br />

dalam tulisannya "untuk apa Perguruan Tinggi di dirikan" (1990:3-4) bahwa ide<br />

dasar didirikannya Perguruan Tinggi adalah untuk menciptakan manusia yang<br />

intelektual yang humanis, sanggup berfikir dan bekerja untuk <strong>masyarakat</strong> dan<br />

Negara.<br />

Dalam upaya pengembangan kurikulum PAI memerlukan landasan yang<br />

jelas dan kokoh, sehingga tidak mudah terombang ambing oleh arus transformasi<br />

dan inovasi pendidikan dan pembelajaran yang begitu dahsyat sebagaimana yang<br />

terjadi akhir-akhir ini. Apalagi inovasi itu pada umumnya cenderung bersifat top<br />

down innovation melalui strategi power coersive atau pemaksaan dari atasan yang<br />

berkuasa. Inovasi ini sengaja diciptakan oleh atasan sebagai usaha untuk<br />

meningkatkan efisiensi dan sebagainya. Inovasi seperti ini dilakukan dan<br />

diterapkan kepada bawahan dengan cara mengajak, mengajarkan dan bahkan<br />

memaksakan apa yang menurut pencipta itu baik untuk kepentingan bawahannya.<br />

Dan bawahan tidak punya otoritas untuk menolak pelaksanaannya.<br />

Dengan merujuk pada tulisan Djunaidi, salah satu guru besar di UIN<br />

Malang maka penulis dapat menganalisis bahwa Apabila dihubungkan dengan<br />

agenda pengembangan kurikulum gencarnya inovasi pendidikan yang pada<br />

gilirannya ditransfer begitu saja ke dalam matakuliah-matakuliah pendidikan<br />

i<br />

95


agama <strong>Islam</strong>, maka perlu didudukkan secara proporsional dalam kerangka<br />

landasan filsafat pendidikan <strong>Islam</strong> yang kokoh. Makna perubahan kurikulum di<br />

setiap Perguruan Tinggi tentu berbeda-beda antara satu dengan yang lain,<br />

tergantung pada nilai-nilai dasar yang dijadikan filosofi pendidikan di dalamnya,<br />

kondisi institusional, situasi sosial dan <strong>masyarakat</strong> tempat Perguruan Tinggi<br />

tersebut didirikan.<br />

Pengembangan kurikulum di lembaga pendidikan maupun selalu<br />

mengandaikan adanya pertimbangan-pertimbangan rasional dan landasan berfikir<br />

filosofis yang mendalam. Pertimbangan dan landasan berfikir seperti ini dalam<br />

usaha reformasi pendidikan akan membantu dalam memahami setiap akar<br />

persoalan. Meskipun cara ini mungkin memiliki banyak nuansa yang kompleks,<br />

namun dalam pengembangan kurikulum tersebut tidak dapat dihindarkan. Oleh<br />

karena itu Sirotnik menegaskan soal pentingnya memperbaiki cara pengembangan<br />

kurikulum secara professional dalam dunia pendidikan.<br />

Menurutnya, proses pengembangan kurikulum harus dimulai dengan<br />

perbedaan antara tanggung jawab dan akuntabilitas. Tanggung jawab sebenarnya<br />

meliputi akuntabilitas, tetapi juga mencakup kualitas yang berlapis, seperti<br />

mampu membuat keputusan moral dan rasional; dapat dipercaya atau reliable; dan<br />

menghasilkan keputusan yang tepat. Itulah sebabnya, para pendidik yang<br />

bertanggungjawab adalah mereka yang mampu menjawab tantangan dalam<br />

pengembangan kurikulum secara tepat dan dapat dipertahankan akuntabilitasnya<br />

secara public.<br />

i<br />

96


Dalam ajaran <strong>Islam</strong>, segala tugas yang dibebankan kepada kita adalah<br />

amanat. Usaha perbaikan kualitas pendidikan merupakan pekerjaan mendasar<br />

dalam kehidupan <strong>masyarakat</strong> yang senantiasa berubah, sebab, sebagaimana<br />

dinyatakan Hangstrom, pendidikan tidak lain adalah investasi masa depan. Karena<br />

itu, para pengambil kebijakan seyogyanya memiliki kisi-kisi pemahaman yang<br />

luas dan dalam menentukan pilihan. 76 Jadi penulis sependapat bahwa filsafat<br />

pendidikan <strong>Islam</strong> sangatlah penting dan dapat dijadikan patokan dasar dalam<br />

mengembangkan pendidikan <strong>Islam</strong> melalui kurikulum.<br />

76 Djunaidi Ghony, Paradigma Pengembangan Kurikulum Dalam Peningkatan Mutu<br />

<strong>Pendidikan</strong> Tinggi <strong>Islam</strong>. Dalam Pidato Pengukuhan Yang Disampaikan Pada Pengukuhan<br />

Jabatan Guru Besar Dalam Bidang Ilmu <strong>Pendidikan</strong> Fakultas Tarbiyah Universitas <strong>Islam</strong> Negeri<br />

(UIN) Malang, Depag dan UIN Malang, 2007, hlm16-18<br />

i<br />

97


BAB IV<br />

UPAYA MUHAIMIN DALAM PEMBARUAN PARADIGMA<br />

PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA<br />

ISLAM DI PTAI<br />

A. Konsep Paradigma Pengembangan Kurikulum <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong><br />

di PTAI<br />

Thomas Kuhn, dalam bukunya The stucture of scientific revolutions, yang<br />

pertama kali mempopulerkan makna paradigma di dalam pengembangan ilmu<br />

pengetahuan dan praktik atau tingkah laku manusia didalam kehidupan sehari-<br />

hari. Konsep paradigma bermula dari kajian sejarah dan filsafat sains dan<br />

kemudian <strong>konsep</strong> serta pengertian paradigma juga telah digunakan oleh ahli-ahli<br />

ilmu tingkah laku (behavioral sciences). Pengertian paradigma secara etimologi,<br />

berasal dari bahasa Inggris paradigm yang berarti type of something, model,<br />

pattern (bentuk sesuatu, model, pola). Secara sederhana paradigma diartikan<br />

sebagai cara pandang dan cara berpikir. Paradigma sebagai dasar sistem<br />

pendidikan adalah cara berpikir atau sketsa pandang menyeluruh yang mendasari<br />

rancang bangunan suatu sistem pendidikan. 1<br />

Tuntutan pertama berpikir ilmiah adalah memiliki sudut pandang tertentu,<br />

sehingga disiplin ilmu dapat dinyatakan berhak berdiri sendiri sebagai suatu<br />

disiplin ilmu yang berbeda atau terpisah dari ilmu yang lain, dimana sudut<br />

pandang tersebut akan menghasilkan apa yang disebut sebagai objek formal ilmu<br />

yang objek materialnya bisa sama dengan ilmu lainnya. Objek material ilmu-ilmu<br />

i<br />

1 Hujair AH Sanaky, Op.Cit., hlm 94-95<br />

98


sosial, dimana ilmu pendidikan termasuk dalam kategori ilmu ini, misalnya adalah<br />

manusia, sedangkan objek formalnya berbeda-beda. Tugas ilmu adalah<br />

menjelaskan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini agar dapat dipahami,<br />

manfaat, dan terpelihara. Bagi ilmuwan muslim, semuanya itu dalam rangka<br />

meningkatkan kualitas Iman dan Takwa kepada Allah SWT. Serta mengagungkan<br />

Asma–Nya semata. Untuk menjelaskan sesuatu agar dapat dipahami seterusnya<br />

itu diperlukan suatu paradigma, yakni cara memandang sesuatu, atau dalam sains,<br />

sebuah model, pola atau teori ideal, yang dari sudut pandang itu sebuah fenomena<br />

dijelaskan (Tim Penulis Rosda, 1995). Yang diparadigmakan itu menentang dari<br />

filosofis sampai ke operasional. Dengan paradigma ini, maka seseorang akan<br />

dapat menjaga konsistensi alur berpikirnya dalam menganalisis, berargumentasi,<br />

serta dalam sintesis, evaluasi, kesimpulan dan keputusan.<br />

Paradigma berasal dari bahasa Yunani, paradeigma, yang aslinya adalah<br />

istilah ilmiah, tetapi secara umum kini digunakan untuk membuat persepsi,<br />

asumsi, teori, kerangka acuan, atau kacamata yang digunkan untuk memandang<br />

dunia. Paradigma itu seperti peta kawasan atau kota. Bila tidak tepat, tak akan ada<br />

bedanya betapa kerasnya seseorang bekerja untuk menemukan tujuannya atau<br />

betapa positifnya cara berpikir seseorang, maka ia tetap saja akan tersesat.<br />

Sebaliknya, bila petanya tepat, maka ketelitian dan sikap baru akan berguna.<br />

Dalam konteks pengembangan ilmu, paradigma merupakan khas<br />

mekanisme berpikirnya seorang ahli. Validitas suatu paradigma akan menjadi<br />

lebih tinggi jika banyak ahli yang mengadopsinya. Paradigma ini lebih<br />

mendeskripsikan mekanisme atau dinamika, serta lebih menonjolkan interaksi dan<br />

i<br />

99


100<br />

interpedensi antarkomponen atau faktor (Muhajir,1990). Misalnya, hubungan<br />

interaktif lima faktor pendidikan, yaitu tujuan, pendidik, anak didik, alat<br />

pendidikan, dan lingkungan adalah suatu contoh paradigma. 2 Walaupun untuk<br />

pertama kali terma paradigma dipergunakan sebagai penjelas ilmu-ilmu sosial,<br />

namun demikian teoritisasi perkembangan ilmu tersebut dalam kerangka struktur<br />

paradigmatik dapat digunakan untuk menjelaskan kesejarahan pemikiran manusia<br />

khususnya pemikiran <strong>Islam</strong> ini sendiri. Istilah ini pertama kali diperkenalkan<br />

Thomas Kuhn untuk menjelaskan teorinya mengenai perkembangan ilmu<br />

pengetahuan yang terjadi secara revolusioner.<br />

Teori pekembangan diatas berbeda dengan kecenderungan umum pada<br />

waktu itu yang menganggap bahwa perkembangan ilmu pengetahuan bersifat<br />

kumulatif. Kuhn menganggap pandangan demikian sebagai mitos yang tidak lagi<br />

dapat menjelaskan dinamika ilmu pengetahuan. Bagi Kuhn, setiap teori selalu<br />

akan berhadapan dengan masa ketidakberlakuan yang dimulai oleh terjadinya<br />

anomali yaitu ketika berbagai perubahan realita menjadi tidak terjelaskan.<br />

Keadaan ini kemudian berkembang menjadi gugatan realitas sosial atas<br />

keberlakuan suatu teori sehingga teori sehingga teori tersebut mengalami masa<br />

krisis. Jawaban dari suatu krisis teori inilah kemudian melahirkan paradigma baru.<br />

Pandangan Thomas khun dalam bidang yang lebih substansial dapat dicari<br />

sumbernya dalam dialektika Hegel walaupun agak berbeda dalam mengartikan<br />

suatu perubahan. Hegel justru memandang bahwa nilai-nilai sintesa pertama akan<br />

terbawa dalam bentuk baru dalam sintesa, sementara revolusi Kuhn lebih<br />

2 Muhaimin, Nuansa Baru <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> Menurai Benang Kusut Dunia <strong>Pendidikan</strong>,<br />

(Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm.1-3<br />

i


101<br />

mencerminkan perubahan radikal. 3 Apa yang dimaksud dengan paradigma Kuhn<br />

adalah pandangan mendasar mengenai suatu pokok persoalan ilmu tertentu.<br />

Secara lebih sederhana Robert Friendrichs merumuskan makna paradigma itu<br />

sebagai pandangan mendasar suatu disiplin ilmu mengenai apa yang menjadi<br />

pokok persoalan.<br />

Dalam suatu paradigma dapat berkembang berbagai pandangan teoritis<br />

yang berbeda-beda. Namun demikian perbedaan itu terintegrasi melalui kesamaan<br />

pokok persoalan yang menjadi pusat perhatian berbagai teori tersebut. Dalam<br />

pengertian dan fungsi demikian perbedaan itu terintegrasi melalui kesamaan<br />

pokok persoalan yang menjadi pusat perhatian berbagai teori tersebut. Dalam<br />

pengertian dan fungsi demikian inilah paradigma dapat dipergunakan untuk<br />

menjelaskan fenomena pluralitas pandangan mengenai suatu masalah tersebut.<br />

Dalam fungsi demikian hendak dijelaskan berbagai perbedaan teoritis pemikiran<br />

<strong>Islam</strong> khususnya di bidang pendidikan <strong>Islam</strong> Kesadaran komunitas ilmuwan<br />

dalam pemikiran <strong>Islam</strong> mengenai perbedaan dan keterbatasan masa keberlakuan<br />

suatu pandangan toritis diharapkan dapat dipandang sebagai unsur dinamis dari<br />

pemikiran <strong>Islam</strong>. Kesadaran ini perlu, sehingga perbedaan pemikiran <strong>Islam</strong> tidak<br />

terjebak pada paradigma konflik apalagi jika disadari bahwa dalam jangka waktu<br />

tertentu akan mengalami anomali dan krisis yang mendorong lahirnya suatu<br />

paradigma baru. 4<br />

Secara etimologi kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir yang<br />

artinya pelari dan curere yang berarti jarak yang harus di tempuh oleh pelari.<br />

3 Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim (Yogyakarta: Sipress, 1993),<br />

hlm.16 4 Ibid, hlm. 17<br />

i


102<br />

Istilah ini pada mulanya digunakan dalam dunia olahraga yang berarti ”a title<br />

rececourse” (suatu jarak yang harus ditempuh dalam pertandingan olah raga).<br />

Berdasarkan pengertian ini, dalam konteksnya dalam dunia pendidikan,<br />

memberinya pengertian sebagai “ circle of instruction” yaitu suatu lingkaran<br />

pengajaran dimana guru dan murid terlibat didalamnya. 5 Sementara pendapat<br />

yang lain dikemukakan bahwa kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang<br />

harus ditempuh untuk mencapai suatu ijazah atau gelar. 6<br />

Pengertian ini sejalan dengan pendapat Crow & Crow sebagaimana yang<br />

dikutip Abuddin Nata yang mengatakan bahwa kurikulum adalah rancangan<br />

pengajaran yang isinya sejumlah mata pelajaran yang disusun secara sistematis<br />

yang diperlukan sebagai syarat untuk menyelesaikan suatu program pendidikan<br />

tertentu. 7 Sementara itu, pengertian kurikulum sendiri berkembang sejalan dengan<br />

perkembangan teori dan praktek pendidikan, definisi kurikulum sebagaimana<br />

yang telah disebut diatas dipandang sudah ketinggalan zaman. Dalam pandangan<br />

yang muncul kemudian para pakar pendidikan memberikan pengertian<br />

pendidikan, yang sangat luas tidak hanya di kelas tetapi juga diluar kelas. Saylor<br />

dan Alexander sebagaimana dikutip S. Nasution misalnya, mengatakan bahwa<br />

kurikulum tidak hanya sekedar meliputi mata pelajaran akan tetapi segala usaha<br />

sekolah untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Selain itu, kurikulum tidak hanya<br />

mengenai situasi didalam sekolah akan tetapi juga diluar sekolah. 8 S. Nasution<br />

sendiri mengatakan bahwa kurikulum bukanlah sekedar dokumen yang dicetak<br />

5<br />

Muzayyin Arifin, Filsafat <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>, (Jakarta : Bumi Aksara, 2004), Hlm. 78<br />

6<br />

Hamdani dan Fuad, Filasafat <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>,,( Bandung : Pustaka Setia, 2001),<br />

hlm.131<br />

7<br />

Abuddin Nata, Filasafat <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm.123<br />

8<br />

S. Nasution, Pengembangan Kurikulum, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1991), hlm. 9<br />

i


103<br />

atau distensil. Untuk mengetahui kurikulum sekolah tidak cukup mempelajari<br />

buku kurikulumnya melainkan juga apa yang terjadi didalam sekolah, didalam<br />

kelas, diluar kelas, kegiatan-kegiatan di lapangan olah raga atau diaula, dan<br />

sebagainya. 9<br />

Sedangkan kurikulum yang dipaparkan menurut Muhaimin dalam<br />

pengertian ynag sempit, kurikulum merupakan seperangkat rencana dan<br />

pengaturan tentang isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai<br />

pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar disekolahan. Pengertian ini<br />

menggarisbawahi adanya 4 komponen kurikulum, yaitu, isi/bahan, organisasi,<br />

strategi. Sedangkan pengertian kurikulum dalam arti yang luas, kurikulum<br />

merupakan segala kegiatan yang dirancang oleh lembaga pendidikan untuk<br />

disajikan kepada peserta didik guna mencapai tujuan pendidikan (institusional,<br />

kurikuler, dan instruksional). Pengertian ini menggambarkan segala bentuk<br />

aktifitas sekolah yang sekiranya mempunyai efek bagi pengembangan peserta<br />

didik, adalah termasuk kurikulum, dan bukan terbatas pada kegiatan belajar<br />

mengajar saja. 10<br />

Menurut pendapat muhaimin adalah sebagai berikut:<br />

"Bahwa kurikulum operasional adalah berupa kajian keislaman jadi ilmu-ilmu<br />

keislaman sebagai landasan dan ilmu-ilmu umum adalah bagian dari disiplin<br />

ilmu yang komprehensif" 11<br />

Dari pendapat-pendapat yang telah dikemukakan diatas, terlihat dengan<br />

jelas bahwa sebelumnya hanya terbatas pada kegiatan-kegiatan didalam kelas,<br />

9<br />

Ibid. hlm.10<br />

10<br />

Muhaimin, Wacana Pengembangan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>, (Surabaya : Pusat Studi <strong>Agama</strong>,<br />

Politik Dan Masyarakat (PSAPM) Bekerja Sama Dengan Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 182-183<br />

11<br />

Wawancara dengan Muhaimin, Dosen Tetap/ Guru Besar UIN Malang, tanggal 20 Maret<br />

2007<br />

i


104<br />

kemudian dalam perkembangannya kurikulum juga dilakukan di luar kelas seperti<br />

aula, halaman kelas, dan sebagainya. Adapun tentang pengertian “kurikulum”<br />

dalam pendidikan <strong>Islam</strong>, apabila kita kembali pada kamus-kamus bahasa arab,<br />

maka istilah kurikulum dikenal dengan kata “manhaj”(kurikulum) bermakna jalan<br />

yang terjang, atau jalan yang terang yang dilalui oleh manusia pada berbagai<br />

bidang kehidupan. Apabila dikaitkan dengan bidang pendidikan, kurikulum”<br />

manhaj dimaksudkan sebagai jalan terang yang dilalui oleh pendidik atau guru<br />

latih dengan orang-orang yang dididik atau dilatihnya untuk mengembangkan<br />

pengetahuan, ketrampilan, dan sikap mereka. 12<br />

Berdasarkan pengertian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kurikulum<br />

adalah rancangan pengajaran yang isinya sejumlah mata pelajaran, yang disusun<br />

secara sistematis sebagai dasar yang harus diikuti oleh guru-guru atau pendidik,<br />

institusi pendidikan dalam membimbing peserta didik ke arah tujuan yang<br />

didinginkan melalui akumulasi pengetahuan demi terbentuknya manusia<br />

paripurna. Dari beberapa definisi tentang kurikulum tersebut, maka dapat<br />

difahami bahwa pengembangan kurikulum dapat diartikan sebagai kegiatan<br />

menghasilkan kurikulum; atau (1) proses mengaitkan suatu komponen dengan<br />

yang lainnya untuk menghasilkan kurikulum yang lebih baik dan /atau (2)<br />

kegiatan penyusunan (desain), pelaksanaan, penilaian dan penyempurnaan<br />

kurikulum.<br />

Dalam realitas sejarahnya, pengembangan kurikulum tersebut. Ternyata<br />

mengalami perubahan-perubahan paradigma, walaupun dalam beberapa hal<br />

12 Omar Muhammad Al-thoumy Al-Syabany. Falsafah <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>. Alih bahasa<br />

Hasan Langgulung (Jakarta : Bulan Bintang, 1979), hlm.478<br />

i


105<br />

tertentu paradigma sebelumnya masih tetap dipertahankan sampai sekarang. Hal<br />

ini dapat dicermati dari fenomena sebagai berikut:<br />

1) Perubahan dari tekanan pada hafalan dan daya ingat tentang teks-teks dari<br />

ajaran-ajaran agama <strong>Islam</strong>, serta disiplin mental agama spiritual<br />

sebagaimana pengaruh dari Timur Tengah, kepada pemahaman tujuan,<br />

makna dan motivasi beragama <strong>Islam</strong> untuk mencapai tujuan pembelajaran;<br />

2) Perubahan dari cara berfikir tekstual dalam memahami dan menjelaskan<br />

ajaran-ajaran dan nilai-nilai agama <strong>Islam</strong>;<br />

3) Perubahan dari tekanan pada produk atau hasil pemikiran keagamaan <strong>Islam</strong><br />

dari para pendahulunya kepada proses atau metodologinya sehingga<br />

menghasilkan produk tersebut; dan<br />

4) Perubahan dari pola pengembangan kurikulum yang hanya mengandalkan<br />

pada para pakar dalam memilih dan menyusun isi kurikulum kearah<br />

keterlibatan yang luas dari pakar, guru, peserta didik, <strong>masyarakat</strong> untuk<br />

mengidentifikasi tujuan dan cara-cara mencapainya.<br />

Kurikulum merupakan <strong>konsep</strong> studi yang luas. Banyak teori tentang<br />

kurikulum. Beberapa teori yang menekankan pada rencana, yang lain pada<br />

inovasi, pada dasar-dasar filosofis dan pada <strong>konsep</strong>-<strong>konsep</strong> yang diambil dari<br />

perilaku manusia. Secara sederhana teori kurikulum dapat diklasifikasikan atas<br />

teori-teori yang lebih menekankan pada isi kurikulum, pada situasi pendidikan<br />

serta pada organisasi kurikulum. 13<br />

Penekanan pada isi kurikulum. Strategi pengembangan yang menekankan<br />

pada isi, merupakan yang paling lama dan banyak dipakai, tetapi juga terus<br />

mendapat penyempurnaan atau <strong>pembaruan</strong>. Sebab-sebab yang mendorong<br />

<strong>pembaruan</strong> ini adalah:<br />

a) Pertama, karena didorong oleh tuntutan untuk menguatkan kembali nilainilai<br />

moral dan budaya dari <strong>masyarakat</strong>.<br />

b) Kedua, karena perubahan dasar filosofis tentang struktur pengetahuan.<br />

c) Ketiga, karena adanya tuntutan bahwa kurikulum harus berorientasi pada<br />

pekerjaan.<br />

13<br />

Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum (Bandung : Remaja Rosda Karya,<br />

2005), hlm.174<br />

i


106<br />

Faktor tersebut tidak timbul dari atau tidak hubungannya dengan<br />

perkuliahan, tetapi sangat mempengaruhi perkembangan kurikulum. Pengaruh<br />

terhadap pengembangan kurikulum umpamanya, penguatan kembali nilai-nilai<br />

moral dan budaya akan meminta perhatian yang lebih besar kepada kumpulan<br />

ilmu pengetahuan masa lalu, orientasi kepada pekerjaan akan lebih banyak<br />

melihat masa depan, sedangkan titik tolak pada pandangan filosofis akan lebih<br />

menekankan pada disiplin-disiplin keilmuan. Pengembangan kurikulum yang<br />

menekankan pada isi bersifat material contered. Kurikulum ini memandang murid<br />

sebagai penerima resep yang pasif. Anak dianggap sebagai bahan kasar yang tidak<br />

berdaya. Salah satu atribut organisasi kurikulum yang didasarkan pada<br />

pengetahuan, memungkinkan pengembangan dalam jumlah besar.<br />

Penekanan pada situasi pendidikan. Tipe kurikulum ini lebih menekankan<br />

pada masalah dimana, bersifat khusus, sangat memperhatikan dan disesuaikan<br />

dengan lingkungannya. Tipe ini akan menghasilkan kurikulum berdasarkan<br />

situasi-situasi lingkungannya. Tipe ini akan menghasilkan kurikulum yang benar-<br />

benar merefleksikan dunia kehidupan dari lingkungan anak. Kurikulum yang<br />

menekankan pada situasi pendidikan akan sangat beraneka, dibandingkan dengan<br />

kurikulum menekankan isi. Kurikulum ini bertujuan mencari kesesuaian antara<br />

kurikulum dengan situasi dimana pendidikan berlangsung. Kurikulum ini ruang<br />

lingkupnya sempit, masa pengembangannya juga relatif lebih singkat dari pada<br />

desiminasinya.<br />

Penekanan pada organisasi. Tipe kurikulum ini sangat menekankan pada<br />

proses belajar-mengajar. Meskipun dengan berbagai perbedaan dan pertentangan,<br />

i


107<br />

umpamanya antara <strong>konsep</strong> sistem instruksional (pengajaran program, pengajaran<br />

modul, pengajaran dengan bantuan komputer) dengan <strong>konsep</strong> pengajaran<br />

(perkembangan) dari Bruner dan Jean Piaget, keduanya sangat mempengaruhi<br />

perkembangan kurikulum tipe ini. Perbedaan yang sangat jelas antara kurikulum<br />

yang menekankan pada organisasi dengan yang menekankan pada isi dan situasi,<br />

adalah memberikan perhatian yang sangat besar kepada si pelajar atau siswa.<br />

Dalam teori kurikulum setidak-tidaknya terdapat 4 karakteritik dalam<br />

pengembangan kurikulum diantaranya, yaitu: pendekatan subyek akademik;<br />

pendekatan humanistik; pendekatan teknologi; dan pendekatan rekonstruksi<br />

sosial. 14<br />

1. Karakteristik Pengembangan Kurikulum Melalui Pendekatan Subyak<br />

Akademis.<br />

Pendekatan ini adalah pendekatan yang tertua, sejak sekolah yang pertama berdiri<br />

kurikulumnya mirip dengan tipe ini. 15 Pendekatan subyak akademis dalam<br />

menyusun kurikulum atau program pendidikan didasarkan pada sistematisasi<br />

disiplin ilmu masing-masing. Setiap ilmu pengetahuan memiliki sistematisasi<br />

tertentu yang berbeda dengan sistematisasi ilmu lainnya. Pengembangan<br />

kurikulum subyek akademik dilakukan dengan cara menetapkan lebih dahulu<br />

mata kuliah apa yang harus dipelajari mahasiswa, yang diperlukan untuk<br />

(persiapan) pengembangan disiplin ilmu. Tujuan kurikulum ini adalah yang solid<br />

serta melatih para siswa menggunakan ide-ide dan proses penelitian.<br />

14 Muhaimin, Pengembangan Kurikulum <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> Di Sekolah, Madrasah,<br />

Perguruan Tinggi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm.139<br />

15 Nana Syaodih Sukmadinata, op.cit,. hlm. 81<br />

i


2. Karakteristik Pengembangan kurikulum melalui pendekatan humanistik.<br />

108<br />

Pendekatan humanistik dalam pengembangan kurikulum bertolak dari ide<br />

memanusiakan manusia. Penciptaan konteks yang memberi peluang manusia<br />

untuk menjadi lebih human, untuk mempertinggi harkat manusia merupakan<br />

dasar filosofi, dasar teori, dasar evaluasi dan dasar pengembangan program<br />

pendidikan. Kurikulum pada pendekatan ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:<br />

a) Partisipasi, kurikulum ini menekankan partisipasi mahasiswa dalam belajar.<br />

kegiatan belajar adalah belajar bersama, melalui berbagai bentuk aktivitas<br />

kelompok. melalui partisipasi kegiatan bersama. Mahasiswa dapat<br />

mengadakan perundingan, persetujuan, pertukaran kemampuan,<br />

bertanggungjawab bersama, dan lain-lain. ini menunjukkan ciri yang otoriter;<br />

b) Integrasi, melalui partisipasi dalam berbagai kegiatan kelompok terjadi<br />

interaksi, interpenetrasi, dan integrasi dari pemikiran, dan juga tindakan;<br />

c) Relevansi, isi pendidikan relevansi dengan kebutuhan, minat dan kebutuhan<br />

mahasiswa karena diambil dari dunia mahasiswa oleh mahasiswa sendiri;<br />

d) Pribadi anak, pendidikan ini memberikan tempat utama pada kepribadian<br />

anak;<br />

e) Tujuan, pendidikan ini bertujuan pengembangan pribadi yang utuh, yang<br />

serasi baik didalam dirinya maupun dengan lingkungan secara menyeluruh.<br />

3. Karakteristik pengembangan kurikulum melalui pendekatan teknologi<br />

Pendekatan teknologis dalam menyusun kurikulum atau program pendidikan<br />

bertolak dari analisis kompetensi yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-<br />

tugas tertentu. Pembelajaran PAI dikatakan menggunakan pendekatan teknologis,<br />

bilamana yang menggunakan pendekatan sistem dalam menganalisis masalah<br />

belajar, merencanakan, mengelola, melaksanakan, dan menilainya.<br />

Pendekatan teknologis ini sudah tentu mempunyai keterbatasan-keterbatasan,<br />

antara lain: ia terbatas pada hal-hal yang bisa dirancang sebelumnya. Karena dari<br />

itu pendekatan teknologis tidak selamanya dapat digunakan dalam pembelajaran<br />

PAI. Kalau kegiatan pembelajaran pendidikan agama <strong>Islam</strong> hanya sampai kepada<br />

i


109<br />

penguasaan materi dan ketrampilan menjalankan ajaran agama, mungkin bisa<br />

menggunakan pendekatan teknologis, sebab proses dan produknya bisa dirancang<br />

sebelumnya. Pesan-pesan pendidikan agama <strong>Islam</strong> tidak semua dapat didekati<br />

secara teknologis. Sebagai contoh: bagaimana membentuk kesadaran keimanan<br />

mahasiswa terhadap Allah SWT, malaikat-Nya, kitab-kitabNya dan lainnya.<br />

Masalah kesadaran keimanan banyak mengandung masalah yang abstrak, yang<br />

tidak hanya dilihat dari prilaku riil atau konkritnya. Prinsip efisiensi dan<br />

efektifitas (sebagai ciri khas pendekatan teknologis) kadang kala juga sulit untuk<br />

dicapai dan dipantau oleh dosen, karena pembentukan keimanan, kesadaran<br />

pengamalan ajaran <strong>Islam</strong> dan berakhlak <strong>Islam</strong>, sebagaimana tercantum dalam<br />

tujuan pendidikan agama <strong>Islam</strong>, memerlukan proses yang relatif lama, yang sulit<br />

dipantau hasil belajarnya dengan hanya mengandalkan pada kegiatan belajar<br />

mengajar di kelas dengan pendekatan teknologis, karena itu perlu menggunakan<br />

pendekatan lain yang bersifat non teknologis.<br />

4. Karakteristik pengembangan kurikulum melalui pendekatan rekonstruksi<br />

sosial. 16<br />

Pendekatan rekonstruksi sosial dalam menyusun kurikulum atau program<br />

pendidikan keahlian bertolak dari problem yang dihadapi dalam <strong>masyarakat</strong>,<br />

untuk selanjutnya dengan memerankan ilmu-ilmu dan teknologi, serta bekerja<br />

secra kooperatif, akan dicarikan upaya pemecahannya <strong>menuju</strong> pembentukkan<br />

<strong>masyarakat</strong> yang lebih baik. Kurikulum rekonstruksi sosial disamping<br />

menekankan isi pembelajaran atau pendidikan juga sekaligus menekankan proses<br />

16<br />

Muhaimin, Pengembangan Kurikulum <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> Di Sekolah, Madrasah,<br />

Perguruan Tinggi, Op.Cit., hlm.173<br />

i


110<br />

pendidikan dan pengalaman belajar. Pendekatan rekonstruksi sosial berasumsi<br />

bahwa manusia adalah sebagai makhluk sosial yang dalam kehidupannya selalu<br />

membutuhkan manusia lain, selain hidup bersama, berinteraksi dan bekerjasama.<br />

Isi pendidikan terdiri atas problem-problem aktual yang dihadapi dalam<br />

kehidupan nyata di <strong>masyarakat</strong>. Proses pendidikan atau pengalaman belajar<br />

mahasiswa berbentuk kegiatan-kegiatan belajar kelompok yang mengutamakan<br />

kerjasama, baik antar peserta didik, peserta didik dengan guru/ dosen dengan<br />

sumber-sumber belajar yang lain. Karena itu, dalam menyusun kurikulum atau<br />

program pendidikan PAI bertolak dari problem yang dihadapi dalam <strong>masyarakat</strong><br />

sebagai isi PAI, sedang proses atau pengalaman belajar mahasiswa adalah dengan<br />

cara memerankan ilmu-ilmu dan teknologi, serta bekerja secara kooperatif dan<br />

kolaboratif, berupaya mencari pemecahan terhadap problem tersebut <strong>menuju</strong><br />

pembentukan <strong>masyarakat</strong> yang lebih baik.<br />

Bertolak dari asumsi bahwa life is education and education is life (lodge,<br />

1947), dalam arti pendidikan merupakan persoalan hidup dan kehidupan, dan<br />

seluruh proses hidup dan kehidupan manusia adalah proses pendidikan, maka<br />

pendidikan <strong>Islam</strong> pada dasarnya hendak mengembangkan pandangan hidup<br />

<strong>Islam</strong>i, yang diharapkan tercermin dalam sikap hidup dan ketrampilan hidup<br />

orang <strong>Islam</strong>. 17<br />

Pandangan dan sikap hidup dipahami melalui makna hidup itu sendiri.<br />

Karena itu, pandangan hidup yang dimanifestasikan dalam sikap hidup seseorang<br />

harus bisa mendatangkan berkah, yakni nilai tambah, kenikmatan, dan<br />

17 Muhaimin, Paradigma <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>, Upaya Mengefektifkan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong><br />

<strong>Islam</strong> Di Sekolah, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset, 2004), hlm.39<br />

i


111<br />

kebahagiaan dalam hidup. Konteks inilah para pemikir dan pengembangan<br />

pendidikan <strong>Islam</strong> mempunyai visi yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut tidak<br />

bisa dilepaskan dari sistem politik dan latar belakang sosio-kultural yang<br />

mengitarinya. Secara histories-sosiologis, setidak-tidaknya telah muncul beberapa<br />

paradigma pengembangan pendidikan <strong>Islam</strong> sebagai berikut :<br />

1. Paradigma formisme;<br />

Didalam Paradigma ini, aspek kehidupan dipandang sebagai dikotomi atau<br />

diskrit. Segala sesuatu hanya dilihat dari dua sisi yang berlawanan. Sehingga<br />

pendidikan <strong>Islam</strong> hanya diletakkan pada aspek kehidupan akhirat saja atau<br />

kehidupan rohani saja. Karena itu, pengembangan pendidikan <strong>Islam</strong> hanya<br />

berkisar pada aspek kehidupan ukhrawi yang terpisah dengan kehidupan duniawi,<br />

atau aspek kehidupan jasmani. Istilah pendidikan agama dan pendidikan umum<br />

sebenarnya muncul dari paradigma formisme tersebut. Paradigma formisme<br />

mempunyai implikasi terhadap pengembangan pendidikan <strong>Islam</strong> yang lebih<br />

berorientasi pada keakhiratan sedangkan masalah dunia dianggap tidak penting,<br />

serta menekankan pada pendalaman al-‘ulum al-diniyah (ilmu-ilmu keagamaan)<br />

yang merupakan jalan pintas untuk <strong>menuju</strong> kebahagiaan akhirat, sementara sains<br />

(ilmu pengetahuan) dianggap terpisah dari agama. Demikian pula pendekatan<br />

yang dipergunakan lebih bersifat keagamaan yang normative, doktiner dan<br />

absolutis. Peserta didik diarahkan untuk menjadi pelaku (aktor) yang loyal (setia),<br />

memiliki sikap keberpihakan (commitment), dedikasi (pengabdian) yang tinggi<br />

terhadap agama yang dipelihara. Sementara itu, kajian-kajian keilmuan yang<br />

bersifat empiris, rasional, analitis-kritis, dianggap dapat menggoyahkan iman<br />

i


112<br />

sehingga perlu ditindih oleh pendekatan keagamaan yang normative dan doktiner<br />

tersebut. Lembaga pendidikan <strong>Islam</strong> (terutama madrasah sebagai <strong>Pendidikan</strong><br />

Tinggi atau al-jami’ah) tidak pernah menjadi Universitas yang difungsikan<br />

semata-semata untuk mengembangkan tradisi penyelidikan bebas berdasarkan<br />

nalar. Ia banyak diabdikan kepada al-‘ilm al-diniyah (ilmu-ilmu agama) dengan<br />

penekanan pada fiqh, tafsir dan hadits. Sementara ilmu-ilmu nonagama<br />

(keduniaan), terutama ilmu-ilmu alam dan eksakta sebagai akar pengembangan<br />

sains dan teknologi, sejak awal perkembangan madrasah dan al-jami’ah sudah<br />

berada dalam posisi marginal. <strong>Islam</strong> memang tidak pernah membedakan antara<br />

ilmu-ilmu agama dan ilmu umum (keduniaan), dan/atau tidak berpandangan<br />

dikhotomis mengenai ilmu pengetahuan. Namun demikian, dalam realitas<br />

sejarahnya justru supremasi lebih diberikan pada ilmu-ilmu agama (al’ulum al-<br />

diniyah) sebagai jalan tol untuk <strong>menuju</strong> Tuhan. Bertolak dari kenyataan sejarah<br />

tersebut, maka kemunduran peradaban <strong>Islam</strong> serta keterbelakangan sains dan<br />

teknologi di dunia <strong>Islam</strong> di samping karena faktor dari luar juga banyak<br />

dipengaruhi oleh faktor dari dalam diri umat <strong>Islam</strong> sendiri, yang kurang peduli<br />

terhadap kebebasan penalaran intelektual dan kurang menghargai kajian rasional-<br />

empiris atau semangat pengembangan ilmiah dan filosofis. Dengan kata lain,<br />

paradigma formisme dijadikan sebagai titik tolak dalam pengembangan<br />

pendidikan <strong>Islam</strong>.<br />

2. Paradigma mekanisme;<br />

Paradigma mechanism memandang kehidupan terdiri atas berbagai aspek,<br />

dan pendidikan dipandang sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat<br />

i


113<br />

nilai kehidupan, yang masing-masing bergerak dan berjalan menurut fungsinya<br />

sendiri-sendiri, dan antara satu dengan lainnya bisa saling berkonsultasi atau<br />

tidak. Aspek-aspek atau nilai-nilai kehidupan itu sendiri, terdiri atas nilai agama,<br />

nilai individu, nilai sosial, nilai politik, nilai ekonomi, dan lain-lain. Hubungan<br />

antar nilai agama dengan nilai-nilai lainnya dapat bersifat horizontal-lateral<br />

(independent), lateral-sekuensial, atau bahkan vertical linier (Muhaimin, 1995).<br />

Paradigma tersebut nampak dikembangkan pada sekolah atau perguruan tinggi<br />

umum yang bukan berciri khas agama <strong>Islam</strong>. Di dalamnya diberikan seperangkat<br />

mata pelajaran atau ilmu pengetahuan (mata kuliah), salah satunya adalah mata<br />

pelajaran atau mata kuliah pendidikan agama yang hanya diberikan 2 jam<br />

pelajaran perminggu atau 2 sks, dan didudukkan sebagai mata kuliah dasar umum,<br />

yakni sebagai upaya pembentukan kepribadian yang religius. Sebagai<br />

implikasinya, pengembangan pendidikan <strong>Islam</strong> dalam arti pendidikan agama<br />

tersebut bergantung pada kemauan, dan Political-will dari para pembinanya dan<br />

sekaligus pimpinan dari lembaga pendidikan tersebut, terutama dalam<br />

membangun hubungan kerjasama dengan mata pelajaran (kuliah) lainnya.<br />

Hubungan (relasi) antara pendidikan agama dengan beberapa mata pelajaran atau<br />

mata kuliah lainnya dapat bersifat horizontal-lateral (independent), lateral<br />

sekuensial, atau bahkan vertical linier. Kebijakan ini akan sulit<br />

diimplementasikan pada sekolah atau perguruan tinggi umum yang cukup puas<br />

hanya dengan pola relasi horizontal lateral (independent). Barangkali kebijakan<br />

tersebut relatif mudah diimplementasikan pada lembaga pendidikan yang<br />

mengembangkan pola lateral-sekuensial. Hanya saja implikasi dari kebijakan<br />

i


114<br />

tersebut adalah para guru agama harus memahami ilmu umum dan menguasai<br />

ilmu agama, sebaliknya guru umum (bidang keahliannya). Bahkan guru agama<br />

dituntut untuk menyusun buku-buku teks keagamaan yang dapat menjelaskan<br />

hubungan antara keduanya. Namun demikian adanya kesulitan ketika berhadapan<br />

dengan dasar pemikiran yang berbeda, sehingga terjadi konflik antara keduanya.<br />

Contoh sederhana adalah menyangkut asal-usul manusia. Sains yang diajarkan di<br />

sekolah bertolak dari dasar pemikiran bahwa manusia, sementara pendidikan<br />

agama dari hasil penelitian terhadap sejumlah hewan untuk diterapkan kepada<br />

manusia, sementara pendidikan agama dari hasil pemahaman terhadap wahyu<br />

(kitab suci). Suasana tersebut menimbulkan ketegangan pada diri peserta didik,<br />

terutama jika kedua-duanya (baik pendidikan agama maupun pendidikan umum)<br />

saling memaksakan kebenaran pandangannya. <strong>Agama</strong> memang bertolak dari<br />

keimanan, sedangkan ilmu pengetahuan bertolak dari keimanan, sedangkan ilmu<br />

pengetahuan bertolak dari keraguan. Dari sini peserta didik nampaknya diuji<br />

pandangannya. Bila pandangan agama mendominasi pemikirannya, mungkin ada<br />

kecenderungan untuk bersikap pasif dan statis, sedangkan bila ilmu pengetahuan<br />

mendominasi pemikirannya maka ada kecenderungan untuk bersikap split of<br />

personality. Jangan-jangan budaya NKK (Nepotisme, Korupsi, Kolusi) adalah<br />

sebagai akibat dari pengembangan pendidikan <strong>Islam</strong> yang menggunakan<br />

paradigma mechanism tersebut, terutama yang menerapkan pola relasi horizontal-<br />

lateral (independent) dan lateral-sekuensial.<br />

i


3. Paradigma organisme;<br />

115<br />

Paradigma organism bertolak dari pandangan bahwa pendidikan <strong>Islam</strong><br />

adalah kesatuan atau sebagai sistem (yang terdiri atas komponen-komponen yang<br />

rumit) yang berusaha mengembangkan pandangan/ semangat hidup<br />

(weltanschauung) <strong>Islam</strong>, yang dimanifestasikan dalam sikap hidup dan<br />

keterampilan hidup yang <strong>Islam</strong>i. Dalam konteks pandangan semacam itu, Al-<br />

Tarbiyah Al <strong>Islam</strong>iyah (pendidikan <strong>Islam</strong>i) berarti al-tarbiyah fi al-<strong>Islam</strong>i<br />

(pendidikan dalam <strong>Islam</strong>) dan al-tarbiyah ‘inda al-muslimin (pendidikan di<br />

kalangan orang-orang <strong>Islam</strong>). Pengertian ini menggarisbawahi pentingnya<br />

kerangka pemikiran yang dibangun dari fundamental doctrines dan fundamental<br />

values yang tertuang dan terkandung dalam al-Qur’an dan al-sunnah al-shahihah<br />

sebagai sumber pokok, kemudian mau menerima kontribusi pemikiran dari para<br />

ahli serta mempertimbangkan konteks historisnya. Karena itu, nilai ilahi/ agama/<br />

wahyu didudukkan sebagai sumber konsultasi yang bijak, sementara aspek-aspek<br />

kehidupan lainnya didudukkan sebagai nilai-nilai insani yang mempunyai relasi<br />

horizontal-lateral atau lateral sekuensial, tetapi harus berhubungan vertical linier<br />

dengan nilai Ilahi/ agama. Melalui upaya semacam itu, maka sistem pendidikan<br />

<strong>Islam</strong> diharapkan dapat mengintegrasi nilai-nilai ilmu pengetahuan, nilai-nilai<br />

agama dan etik, serta mampu melahirkan manusia-manusia yang menguasai ilmu<br />

pengetahuan dan teknologi, memiliki kematangan professional, dan sekaligus<br />

hidup didalam nilai-nilai agama. Paradigm organism perlu segera direalisir,<br />

karena betapa kita telah melihat bahaya yang dialami oleh dunia barat yang<br />

memisahkan antara ilmu pengetahuan dan agama (paradigma formism), demikian<br />

i


116<br />

pula produk pendidikan <strong>Islam</strong> yang menerapkan paradigm mechanism yang<br />

belum mampu menjadikan pendidikan agama sebagai factor integrative dalam<br />

pengembangan keilmuan, bahkan masing-masing berbicara dengan bahasanya<br />

sendiri (relasi horizontal-lateral) dan di antara mereka tidak terjadi komunikasi<br />

dan interaksi yang produktif dan dinamis.<br />

Menurut H.A.R. Tilaar (1998), bahwa penelitian, pemikiran, dan gagasan-<br />

gagasan dari para ahli yang terpisah-pisah tersebut (horizontal-<br />

lateral/independent) dapat berbahaya dalam eksistensi kehidupan manusia.<br />

Misalnya bahaya dari praktek bioteknologi dengan adanya praktek cloning<br />

terhadap manusia. Meskipun perintah Amerika Serikat misalnya telah melarang<br />

teknologi cloning terhadap manusia, tetapi hal ini telah merupakan indikasi<br />

perlunya kita berhati-hati di dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang<br />

terlepas dari nilai-nilai agama. Karena itu Universitas <strong>Islam</strong> haruslah merupakan<br />

suatu model lembaga pendidikan tinggi masa depan karena lembaga tersebut akan<br />

mengintegrasikan nilai-nilai agama dan etik yang pada akhirnya merupakan<br />

karakteristik dari <strong>masyarakat</strong> madani era global abad 21. Dari berbagai uraian<br />

diatas dapat ditegaskan bahwa upaya memotret paradigma pengembangan<br />

pendidikan <strong>Islam</strong> di Indonesia memang amat diperlukan untuk mempertajam<br />

pemahaman kita akan keunikan realitas pendidikan <strong>Islam</strong> yang sedang tumbuh<br />

dan berkembang di Indonesia, kendatipun hal itu bukan pekerjaan yang sederhana<br />

dan bahkan akan menimbulkan kontroversi. 18<br />

i<br />

18 Ibid, hlm. 40-47


B. Strategi Pembaruan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> melalui Pengembangan kurikulum<br />

Menuju Masyarakat Madani.<br />

117<br />

Strategi <strong>pembaruan</strong> pengembangan kurikulum dalam rangka <strong>pembaruan</strong><br />

pendidikan agama <strong>Islam</strong> dilaksanakan dengan melalui beberapa cara, yang dapat<br />

ditempuh dengan melalui hidden kurikulum, karena terkait dengan upaya<br />

penciptaan <strong>masyarakat</strong> madani yang notabene <strong>masyarakat</strong> yang beradab,<br />

berbudaya, mencintai perbedaan, demokratis, menghargai hak asasi manusia dan<br />

lain-lain, jadi diharapkan dengan melalui kurikulum tersembunyi ini akan tercapai<br />

harapan <strong>menuju</strong> <strong>masyarakat</strong> madani.<br />

Jadi menurut penulis suatu budaya akademik yang baik memang belum<br />

disadari kegunaannya oleh Perguruan Tinggi. Karena itu perlu perhatian<br />

pemerintah dan tokoh pendidikan untuk mengembangkan kesadaran ini dan<br />

memberi bantuan untuk mewujudkannya. Dengan kata lain, Perguruan Tinggi<br />

tidak cukup hanya berorientasi pada kurikulum resmi yang ditentukan dari pusat,<br />

tetapi juga harus bisa menghasilkan hidden curiculum berupa tradisi hubungan<br />

antar mahasiswa, dosen, karyawan, dan lainnya sehingga dapat menghasilkan<br />

sikap serta pola perilaku modern dan berbudaya. Dan dalam hal ini penulis<br />

cenderung pada pendapat dengan tokoh pendidikan, yakni Muhaimin.<br />

Dalam buku Muhaimin yang berjudul "Nuansa Baru <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>,<br />

Mengurai Benang Kusut Dunia <strong>Pendidikan</strong>" yang merujuk pada pendapat Fajar<br />

(2003) ada beberapa persoalan dasar yang perlu dipertimbangkan tatkala<br />

mengagendakan rencana pengembangan pendidikan <strong>Islam</strong>, yaitu:<br />

1) Stigma keterpurukan bangsa, yang berakibat kurangnya rasa percaya diri;<br />

i


118<br />

2) Eskalasi konflik, yang di satu sisi lain mengancam harmoni bahkan<br />

integrasi sosial baik lokal, nasional, regional maupun internasional;<br />

3) Krisis moral dan etika, yang melanda kehidupan bangsa kita dalam berbagai<br />

tataran administratif pemerintahan pusat atau daerah dan dalam berbagai<br />

sektor negara maupun swasta;<br />

4) Pudarnya identitas bangsa, terutama berhadapan dengan hegemoni kekuatan<br />

dunia yang unggul baik dari aspek politik, sosial maupun kultural.<br />

Bertolak dari persoalan-persoalan dasar tersebut, <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong><br />

di Perguruan Tinggi maupun <strong>masyarakat</strong> perlu diorientasikan pada:<br />

a. Pengembangan SDM, karena keterpurukan bangsa bisa diobati dan<br />

disembuhkan dengan tersedianya SDM yang tangguh: cerdas secar<br />

intelektual, sosial dan spiritual, memiliki dedikasi dan disiplin, jujur, tekun,<br />

ulet dan inovatif;<br />

b. Arah pendidikan agama <strong>Islam</strong> perlu dikemas dalam watak multikultur,<br />

ramah menyapa perbedaan budaya, sosial dan agama;<br />

c. Mempertegas misi liutammima makarimal akhlaq (untuk menyempurnakan<br />

kemuliaan akhlak) sebagai misi utama rasulullah;<br />

d. Melakukan spiritualisasi watak kebangsaan, termasuk spiritualisasi berbagai<br />

aturan hidup untuk membangun bangsa yang beradab (Fadjar, 2003). pada<br />

yang terakhir ini sekaligus mengandung makna perlunya pengembangan<br />

pendidikan agama sebagai budaya.<br />

Sedangkan menurut Muhaimin Paling tidak ada beberapa landasan<br />

mengenai perlunya pendidikan agama <strong>Islam</strong> dikembangkan sebagai budaya, yakni<br />

pancasila sebagai falsafah hidup bangsa, Undang-Undang Sisdiknas No. 20 Tahun<br />

2003, orang tua yang memiliki hak prerogratif untuk memilih Perguruan Tinggi<br />

bagi anak-anaknya, penyelengaraan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> di Perguraun Tinggi tidak<br />

lepas dari nilai-nilai, norma, perilaku, keyakinan maupun budaya, dan selama ini<br />

banyak persepsi orang tentang prestasi perguruan tinggi dilihat dari dimensi<br />

tampak, bisa diukur dan dikuantifikasikan, padahal yang penting adalah nilai-<br />

nilai, keyakinan, budaya, norma yang berlaku, dan terakhir adalah budaya<br />

Perguruan Tinggi mempunyai dampak kuat terhadap prestasi kerja. Budaya<br />

akademik merupakan faktor yang lebih penting dalam menentukan sukses dan<br />

i


119<br />

gagalnya pendidikan <strong>Islam</strong>. Di Perguruan Tinggi. Jadi pembahasan ini mengarah<br />

pada tinjauan konteks pembudayaan akademik yakni dengan melalui kegiatan<br />

yang terencana secara sistematis berkaitan dengan peningkatan kualitas akademik<br />

atau sesuatu yang sudah terbiasa dilakukan oleh civitas akademika berkaitan<br />

dengan nilai-nilai akademik.<br />

seperti:<br />

Upaya pengembangan budaya akademik setidaknya diarahkan pada hal-hal<br />

1) Menanamkan motivasi dan dorongan moral, yaitu menyadari dimensi dan<br />

makna kegiatan akademis dari dan dalam sebagai institusi <strong>Pendidikan</strong><br />

Tinggi <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> untuk berprestasi dan mencapai keunggulan ilmiahnya;<br />

2) Membantu ilmuan dan peneliti yang cerdas dan berkepribadian dengan<br />

semangat hidup, etos kerja serta dedikasi yang tinggi dalam menguasai iptek<br />

serta mengembangkan teori ilmiah, meningkatkan mutu dan kemampuan<br />

metodologi menurut disiplin ilmu serta menerapkan pengetahuan secara<br />

bertanggungjawab sesuai dengan kebenaran hati nurani yang jernih;<br />

3) Menciptakan iklim dan suasana kehidupan kampus yang mendorong<br />

terbentuknya komunitas ilmiah yang dinamis dan kreatif dalam kerja sama<br />

yang sehat dan dialogis;<br />

4) Menumbuhkan kepekaan sosial baik secara pribadi maupun institusioanl<br />

terhadap berbagai masalah lokal, regional dan nasional yang menimpa<br />

<strong>masyarakat</strong>, dengan memberikan analisis serta jalan keluar secara ilmiah dan<br />

bertanggungjawab. 19<br />

Arah kebijakan dalam pengembangan budaya akademik mencakup tiga<br />

kompetensi, yaitu kompetensi kelembagaan, kompetensi dosen dan kompetensi<br />

lulusan. Namun yang relevan dengan kurikulum adalah kompetensi lulusan.<br />

Karena kebijakan ini diarahkan pada:<br />

1) Melakukan <strong>pembaruan</strong> sistem pendidikan termasuk <strong>pembaruan</strong> kurikulum,<br />

berupa diversivikasi kurikulum untuk melayani kebaragaman peserta didik,<br />

penyusunan kurikulum yang berlaku nasional dan lokal sesuai dengan<br />

kepentingan setempat,<br />

19 Muhammad In'am Esha (eds) Pengantar Imam Suprayogo, 2 Tahun Universitas <strong>Islam</strong><br />

Negeri (UIN) Malang, (Malang: UIN Malang Press, juni 2006).hlm. 21<br />

i


120<br />

2) Meningkatkan penguasaan, pengembangan dan pemanfaatan ilmu<br />

pengetahuan dan teknologi guna meningkatkan daya saing produk diantara<br />

produk-produk perguruan tinggi umum. 20<br />

Sebagaimana dikemukakan oleh Agus Maimun adalah:<br />

"Strategi pengembangan di suatu lembaga perguruan tinggi adalah melalui<br />

budaya akademik yang dijadikan dari manifestasi pengembangan kurikulum" 21<br />

Pengembangan PAI sebagai budaya Perguruan Tinggi tidak bisa<br />

dilepaskan dari peran para penggerak kehidupan keagamaan di Perguruan Tinggi<br />

tersebut yang berusaha melakukan aksi pembudayaan agama di perguruan tinggi.<br />

meminjam Teori Philip Kotler (1978) bahwa terdapat 5 (lima) unsur dalam<br />

melakukan gerakan perubahan di <strong>masyarakat</strong>, termasuk <strong>masyarakat</strong> perguruan<br />

tinggi, yang disingkat 5 C, yaitu:<br />

a) Causes, atau sebab-sebab yang bisa menimbulkan perubahan, yang natara<br />

lain berupa ideas (gagasan atau cita-cita ) atau pandangan dunia dan nilainilai,<br />

yang biasanya dirumuskan dalam visi, misi, motif atau tujuan yang<br />

dipandang mampu memberikan jawaban terhadap problem yang dihadapi.<br />

b) Change agency, yakni pelaku perubahan atau tokoh-tokoh yang berada<br />

dibalik aksi perubahan dan pengembangan<br />

c) Change target (sasaran perubahan), seperti individu, kelompok, atau<br />

lembaga yang ditunjuk sebagai sasaran upaya pengembangan dan perubahan<br />

d) Channel (saluran), yakni media untuk menyampaikan pengaruh dan respons<br />

dari setiap pelaku pengembangan dan perubahan<br />

e) Change strategy, yakni teknik utama mempengaruhi yang diterapkan oleh<br />

pelaku pengembangan dan perubahan untuk menimbulkan dampak pada<br />

sasaran-sasaran yang dituju.<br />

Strategi pengembangan PAI sebagai budaya perguruan tinggi, meminjam<br />

teori Koentjaraningrat (1974) tentang wujud kebudayaan, meniscayakan adanya<br />

upaya pengembangan dalam tiga tataran, yaitu tataran nilai yang dianut, tataran<br />

praktik keseharian, dan tataran simbol-simbol budaya. Pada tataran nilai yang<br />

i<br />

20 Ibid, hlm 25<br />

21 Wawancara dengan Agus Maimun, Dosen Tetap UIN Malang, tanggal 6 Maret 2007


121<br />

dianut, perlu dirumuskan, disepakati, dikembangkan dan dibangun komitmen dan<br />

loyalitas bersama diantara semua warga perguruan tinggi terhadap nilai-nilai yang<br />

disepakati. Nilai-nilai tersebut ada yang bersifat vertikal dan horisontal (habl-min<br />

allah dan habl min an-nas, dan dengan lingkungan alam sekitarnya.). Dalam<br />

tataran praktik keseharian, yakni dengan sosialisasi, penetapan action plan, dan<br />

penghargaan terhadap nilai yang telah dijalankan tersebut. sedangkan dalam<br />

tataran simbol-simbol budaya, pengembangan yang perlu dilakukan dengan<br />

mengganti simbol-simbol budaya yang kurang sejalan dengan ajaran dan nilai-<br />

nilai agama dengan yang lebih agamis, misalkan motto, foto-foto, model pakaian<br />

dan lain-lain.<br />

Didalam ajaran agama yang bersifat vertikal dapat diwujudkan dalam<br />

bentuk hubungan manusia atau warga kampus dengan Allah (hbl min Allah),<br />

misalnya kegiatan sholat berjamaah, puasa senin kamis dan lain-lain. dan dalam<br />

nilai-nilai yang berhubungan dengan manusia dengan sesamanya adalah dengan<br />

dibagi 3 (tiga) kelompok hubungan, yaitu: (1) hubungan atasan bawahan; (2)<br />

hubungan profesional; (3) hubungan sederajat atau sukarela. Hubungan atasan<br />

bawahan: menggarisbawahi perlunya kepatuhan dan loyalitas para guru, dosen,<br />

dan tenaga kependidikannya terhadap atasannya, misalkan dosen dan rektor.<br />

Hubungan profesional: mengandaikan perlunya penciptaan hubungan yang<br />

rasional, kritis, dinamis antara sesama dosen, mahasiswa untuk saling berdiskusi,<br />

dan lain-lain Hubungan sederajat/sukarela: merupakan hubungan manusiawi<br />

antarteman sejawat, untuk saling membantu, mengingatkan, mendo’akan dan lain-<br />

lain.<br />

i


122<br />

Untuk menghindari tumpang tindih dalam penerapannya perlu disikapi<br />

secara cermat dan proporsional dengan dilandasi oleh kode etik tertentu yang<br />

dibangun dari ajaran dan nilai-nilai agama <strong>Islam</strong>. Menurut penulis hal ini<br />

diperlukan karena pendidikan pada dasarnya merupakan upaya normatif untuk<br />

membantu orang/pihak lain berkembang ke norma yang lebih baik. Jika hubungan<br />

atasan bawahan bisa membawa kepada sifat kemapanan, doktriner dan otoriter,<br />

demikian pula jika hubungan sederajat bisa membawa kepada hubungan yang<br />

serba bebas dan permisif, maka tujuan ideal pendidikan agama <strong>Islam</strong> justru gagal.<br />

Pada lingkup internal, Perguruan Tinggi dituntut untuk terus menata diri<br />

dengan menyatukan langkah seluruh anggota sivitas akademikanya dalam<br />

mengantisipasi perubahan dan tantangan ke depan. Dalam konteks PTAI, untuk<br />

menyatukan gerak seluruh anggota sivitas akademika, maka diskursus ilmiah<br />

tentang karakteristik Universitas <strong>Islam</strong>, epistemology pengembangan ilmu<br />

berdasarkan <strong>konsep</strong> <strong>Islam</strong> dan sosok lulusan yang dihasilkan harus menjadi tema<br />

sentral di kalangan anggota sivitas akademika universitas. Konseptualisasi<br />

pengembangan ilmu yang berlandaskan nilai-nilai keislaman atau disebut dengan<br />

istilah “<strong>Islam</strong>ic paradigm” harus menjadi prioritas utama gerakan akademik PTAI<br />

ini, sebab <strong>konsep</strong> ini akan menjadi dasar kebijakan pengembangan kurikulum<br />

lebih lanjut. Singkatnya paradigma keilmuan universitas ini, yakni <strong>Islam</strong>ic<br />

paradigm, akan menjadi pilar penggerak dan penyangga pengembangan<br />

universitas secara menyeluruh sekaligus sebagi tolok ukur keberhasilannya. 22<br />

22 Mudjia Rahardjo, Universitas <strong>Islam</strong> Negeri (PTAI) Malang Ditengah Perubahan Global.<br />

(Eds) M. Zainuddin, Muhammad In’am Esha dalam Horison Baru, Pengembangan <strong>Pendidikan</strong><br />

<strong>Islam</strong>, Upaya Merespon Dinamika Masyarakat Global (Malang: PTAI Press: Juni 2004) Hlm.<br />

135-136<br />

i


123<br />

Perguruan tinggi yakni tempat civitas akademikanya (dosen dan<br />

mahasiswa) merupakan bagian dari kekuatan sosial dan <strong>masyarakat</strong> madani yang<br />

bergerak pada jalur untuk menyalurkan aspirasi <strong>masyarakat</strong> dan mengkritisi<br />

berbagai kebijakan-kebijakan pemerintah, dengan catatan gerakan yang<br />

dilancarkan oleh mahasiswa tersebut masih pada jalur yang benar dan<br />

memposisikan diri pada rel dan realitas yang betul-betul obyektif dan<br />

menyuarakan kepentingan <strong>masyarakat</strong>. 23<br />

Selain itu merujuk pendapat tokoh orientalis barat Ernest Gelner yang<br />

dengan penuh sikap empatik, mengatakan bahwa umat <strong>Islam</strong> mempunyai potensi<br />

untuk membentuk <strong>masyarakat</strong> madani. Potensi tersebut berasal dari karakter-<br />

karakter pribadi umat <strong>Islam</strong>. Yakni karakter yang terbentuk atas dasar keyakinan<br />

kebenaran agamanya. Baik yang menyangkut kebenaran akan nilai-nilai<br />

kemanusiaan, nilai-nilai kebersamaan, nilai-nilai persamaan, maupun nilai-nilai<br />

kebebasan. Nilai-nilai tersebut tampak termanifestasikan dalam sebuah karakter<br />

pribadi yang kemudian tercermin dalam pola kehidupan sehari-hari.<br />

Nilai ialah suatu keyakinan atau kepercayaan yang menjadi dasar bagi<br />

seseorang atau sekelompok orang untuk memilih tindakannya, atau menilai suatu<br />

yang bermakna bagi kehidupannya. 24 Nilai utama PAI ialah keberagaman peserta<br />

didik itu sendiri, bukan terutama pada pemahaman dan agama. Dengan perkataan<br />

lain, yang diutamakan PAI bukan hanya knowing (mengetahui tentang ajaran dan<br />

nilai-nilai agama) ataupun doing (bisa mempraktekkan apa yang diketahui setelah<br />

23 Dede Rosyada, dkk. <strong>Pendidikan</strong> kewarganegaraan (Civic Education), Demokrasi, Hak<br />

Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta<br />

Bekerjasama Dengan The Asia Foundation Dan Prenada Media), hlm.251<br />

24 Muhaimin, Nuansa Baru <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>, Mengurai Benang Kusut Dunia <strong>Pendidikan</strong>,<br />

(Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2006), hlm 147-148<br />

i


124<br />

diajarkannya di kampus). Tetapi justru lebih mengutamakan beingnya (beragama<br />

atau menjalani atas dasar ajaran dan nilai-nilai agama). Karena itu PAI harus lebih<br />

diorientasikan pada tataran moral action, yakni agar mahasiswa tidak hanya<br />

berhenti pada tataran kompeten, tetapi sampai memiliki kemauan (will), dan<br />

kekuasaan (habit) dalam mewujudan ajaran dan nilai-nilai agama tersebut dalam<br />

kehidupan sehari-hari.<br />

Adapun strategi untuk membudayakan nilai-nilai agama di perguruan<br />

tinggi dapat dilakukan melalui:<br />

a. Power Strategy, yakni strategi pembudayaan dengan cara menggunakan<br />

kekuasaan atau melalui people’s power;<br />

b. Persuasive Strategy, yang dijalankan lewat pembentukan opini dan<br />

pandangan <strong>masyarakat</strong> atau warga kampus;<br />

c. Normative Re-Educative. Norma adalah aturan yang berlaku dalam<br />

<strong>masyarakat</strong>.<br />

Demikianlah pentingnya strategi pendidikan <strong>Islam</strong> dalam menghadapi<br />

tantangan hidup ber<strong>masyarakat</strong>. Para pendidik dengan memperoleh masukan dari<br />

para cendekiawan muslim diharapkan mampu berperan dalam era globalisasi<br />

untuk ikut mengurangi kegoncangan hidup ber<strong>masyarakat</strong>. Dalam suasana seperti<br />

inilah nilai-nilai <strong>Islam</strong>i tetap menjadi kerangka dasar pembinaan kehudupan yang<br />

aman dan tentram dengan berperannya pendidik dalam mengatur strategi<br />

<strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>.<br />

Aspek strategis lainnya yang harus dikembangkan adalah membangun<br />

budaya <strong>Islam</strong> yang lebih sejati dan nyata. Budaya ini adalah budaya yang<br />

menyangkut hal kecil, namun penting dan strategis dalam rangka membangkitkan<br />

gairah juang lembaga pendidikan seperti misalnya budaya kebersihan, kerapian,<br />

disiplin, tanggungjawab, konsistensi, jujur, terbuka, yang semuanya itu dapat<br />

i


125<br />

dijadikan sebagai kebiasaan sehari-hari. Semua itu karena pendidikan <strong>Islam</strong> juga<br />

membangun kedalaman spiritual dan akhlak, maka kegiatan-kegiatan sholat<br />

berjamaah, membaca al-Qur’an, sholat malam, puasa wajib maupun sunah, dan<br />

lain-lain yang dicontohkan oleh Rasulullah. Senantiasa dikembangkan.<br />

<strong>Pendidikan</strong> adalah proses pembiasaan dan keteladanan. Perilaku luhur yang ingin<br />

dicapai pendidikan <strong>Islam</strong> tidak akan lahir dengan tiba-tiba, melainkan lewat<br />

proses yang panjang dan terus menerus. Lembaga pendidikan <strong>Islam</strong>, selain<br />

sebagai pengembangan ilmu pengetahuan sekaligus harus dimaknai sebagai<br />

tempat pembiasaan kehidupan <strong>Islam</strong>i secara maksimal dalam kaitannya<br />

membangun budaya ini guru/ dosen memiliki peran sangat strategis, mereka<br />

menjadi uswah hasanah dalam pengertian seluas-luasnya.<br />

<strong>Pendidikan</strong> yang ada di Perguruan Tinggi merupakan wahana yang sangat<br />

tepat mewujudkan tujuan pendidikan nasional yaitu membentuk manusia<br />

Indonesia seutuhnya (insan kamil). Untuk mewujudkan tujuan pendidikan<br />

nasional tersebut, kedudukan mata kuliah dalam jurusan PAI dalam kurikulum<br />

perguruan tinggi sangat kuat baik dilihat dari sudut landasan historis dan<br />

perundang-undangan. Dengan pendidikan agama tersebut, mahasiswa diharapkan<br />

untuk meningkatkan kemampuan dalam membangun, menumbuhkan sikap dan<br />

berperilaku sesuai dengan nilai-nilai religius yang diyakininya, baik di lingkungan<br />

sekolah, keluarga, <strong>masyarakat</strong> maupun dalam segala aspek kehidupan berbangsa<br />

dan bernegara. Jadi membudidayakan suasana religius di perguruan tinggi sangat<br />

penting karena akan menjadikan ajaran agama sebagai ruh, nafas, gerak seluruh<br />

i


126<br />

aspek kegiatan di perguruan tinggi. Keluarga, <strong>masyarakat</strong> maupun dalam segala<br />

aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.<br />

Penciptaan suasana religius di perguruan tinggi memiliki landasan yang<br />

kuat setidak-tidaknya dapat dipahami dari landasan filosofis bangsa Indonesia,<br />

yaitu pancasila. Ide-ide atau nilai-nilai dasar itu seharusnya diturunkan kebawah,<br />

yaitu kedalam UUD 1945, undang-undang dan yang secara operasional sampai<br />

kepada peraturan pemerintah ke bawah. Hanya saja menurut Tafsir (2004), pada<br />

tataran yang lebih operasional tersebut ide-ide atau nilai-nilai itu mulai tidak jelas<br />

atau bahkan menghilang, terutama ketika turun ke peraturan yang menyangkut<br />

kurikulum perguruan tinggi, dimana keimanan kepada Tuhan YME tidak menjadi<br />

inti atau core kurikulum. Yang berakibat pada lulusan yang tidak memiliki<br />

keimanan yang kuat, yang pada gilirannya dapat memunculkan krisis<br />

multidimensional. Sebagaimana keadaan bangsa saat ini, yang intinya terletak<br />

pada krisis moral dan akhlak. Timbulnya tindakan-tindakan dekadensi moral<br />

antara lain disebabkan karena rendahnya kualitas keimanan dan ketakwaan<br />

terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 25<br />

Sedangkan penciptaan suasana religius yang menyangkut hubungan<br />

mereka dengan lingkungan atau alam sekitarnya dapat diwujudkan dalam bentuk<br />

membangun suasana atau iklim yang komitmen dalam menjaga dan memelihara<br />

berbagai fasilitas atau sarana dan prasarana yang dimiliki oleh kampus atau<br />

perguruan tinggi, serta menjaga dan memelihara kelestarian, kebersihan dan<br />

keindahan lingkungan hidup sekolah, sehingga tanggungjawab dalam masalah<br />

i<br />

25 Muhaimin, Pengembangan Kurikulum, op.cit. Hlm. 37-58


127<br />

tersebut bukan hanya terbatas atau diserahkan kepada para petugas cleaning<br />

servis, tetapi juga menjadi tanggung jawab seluruh warga sekolah. Adapun untuk<br />

mewujudkan suasana religius di Perguruan Tinggi Pada strategi pertama tersebut<br />

dikembangkan melalui pendekatan perintah dan larangan atau reward and<br />

punisment. sedangkan pada strategi kedua dan ketiga dengan melalui pembiasaan,<br />

keteladanan, dan pendekatan persuasif atau mengajak kepada warganya dengan<br />

cara yang halus, dengan memberikan alasan dan prospek baik yang bisa<br />

meyakinkan mereka. 26 Sikap kegiatannya bisa berupa aksi positif dan reaksi<br />

positif. Bisa juga berupa proaksi, yakni membuat aksi atas inisiatif sendiri, jenis<br />

dan arah ditentukan sendiri, tetapi membaca munculnya aksi-aksi agar dapat ikut<br />

memberi warna dan arah pada perkembangan. Bisa pula berupa antisipasi, yakni<br />

tindakan aktif menciptakan situasi dan kondisi ideal agar tercapai tujuan idealnya.<br />

Membudidayakan suasana religius di Perguruan Tinggi sangat penting karena<br />

akan menjadikan ajaran agama sebagai ruh, nafas, gerak seluruh aspek kegiatan di<br />

perguruan tinggi. Keluarga, <strong>masyarakat</strong> maupun dalam segala aspek kehidupan<br />

berbangsa dan bernegara.<br />

Sebagaimana dikemukakan oleh Muhaimin, bahwa:<br />

"UIN harus berbeda dalam <strong>konsep</strong> dengan PTAI yang lain, sebagai <strong>konsep</strong> ulul<br />

albab, yang semua pengembangan kurikulumnya harus berdasarkan pada non<br />

madzhabi dan non sekterianisme" 27<br />

Strategi lain dalam upaya pengembangan kurikulum adalah dengan cara<br />

mengembalikan khittah ulul albab. Hal ini penulis analisis dari tulisan Muhaimin<br />

26<br />

Muhaimin, Nuansa Baru <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>, Mengurai Benang Kusut Dunia <strong>Pendidikan</strong>,<br />

Op. Cit, Hlm.154-161<br />

27<br />

Wawancara dengan Muhaimin, Dosen Tetap/ Guru Besar UIN Malang, tanggal 26<br />

Februari 2007<br />

i


128<br />

di Tabloid GEMA yang berjudul “Membumikan Ulul Albab Sebagai Upaya<br />

Mengembalikan Khittah PTAIN”. Penulis menganalisis statement-statement yang<br />

ditulis dan dikritik Muhaimin dalam upaya mengembalikan khittah ulul albab Hal<br />

ini juga sesuai dengan hasil wawancara penulis kepada Muhaimin. Muhaimin<br />

memberikan statement bahwa Departemen <strong>Agama</strong> merasa prihatin terhadap<br />

PTAIN menyangkut rendahnya budaya akademik. Munculnya pengumuman hasil<br />

survey dunia internasional bahwa PTAIN tidak masuk dalam Perguruan Tinggi<br />

terbaik di dunia cukup menyentak dan membuat Muhaimin sebagai orang PTAIN<br />

merasa risih karena mungkin berimplikasi pada PTAIN secara menyeluruh yang<br />

akan kehilangan wibawa akademik. Masalahnya adalah budaya akademik di<br />

PTAIN termasuk rendah. Karena itu PTAI yang memiliki jargon ulul albab akan<br />

berjuang mengantisipasi masalah tersebut terutama dalam konteks studi <strong>Islam</strong><br />

Untuk menjawab persoalan ini diperlukan pengamatan dan analisis secara cermat,<br />

menyeluruh dan utuh terhadap kondisi riil PTAI. Dalam realitas sejarahnya,<br />

aspirasi umat <strong>Islam</strong> pada umumnya dalam mendirikan Perguruan Tinggi <strong>Agama</strong><br />

<strong>Islam</strong> Negeri sejak semula didorong oleh beberapa tujuan yang saling terkait<br />

antara satu dengan yang lainnya, yaitu:<br />

1) Untuk melaksanakan pengkajian dan pengembangan ilmu-ilmu agama <strong>Islam</strong><br />

pada tingkat yang lebih tinggi secara lebih sistematis dan terarah. Kajiankajiannya<br />

diharapkan lebih mengarah pada pendekatan non madzhabi dan<br />

berusaha memudarkan warna-warna dan sikap truth claim serta bentukbentuk<br />

yang bernuansa sektarianisme yang justru sangat rentan terhadap<br />

timbulnya perpecahan konflik-konflik sosial keagamaan. Lebih-lebih pada<br />

saat bangsa sedang menghadapi ekskalasi konflik yang relativ tinggi, yang<br />

biasanya dipicu oleh dan mengatasnamakan “<strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong>”yang sangat<br />

dibutuhkan oleh <strong>masyarakat</strong> Indonesia yang pluralistis, baik dalam agama,<br />

ras, etnis, tradisi, budaya dan sebagainya. Sebaliknya, pendekatan yang<br />

menonjolkan sektarianisme;<br />

2) Untuk melaksanakan pengembangan dan peningkatan dakwah <strong>Islam</strong>; dan<br />

i


3) Untuk melakukan reproduksi dan kaderisasi ulama.<br />

129<br />

Bangsa Indonesia sejak dini sudah menyatakan tekadnya untuk ber-unity<br />

in diversity atau berbhineka tunggal ika, walaupun pada masa orde baru baru<br />

pernah terjadi bahwa yang Unity (Tunggal Ika) justeru dikembangkan, sebaliknya<br />

yang Bhinneka (Diversity) justeru di-SARA-kan, sehingga tampilannya menjadi<br />

monoloyalitas (kesetiaan tunggal). Tekad itu tidaklah semudah apa yang<br />

dibayangkan, apalagi kalau dalam lingkungan intern umat beragama maupun antar<br />

agama sendiri masih disibukkan dengan persoalan klaim kebenaran, yakni<br />

masing-masing mengklaim sebagai dirinya atau kelompoknyalah yang paling<br />

benar dan/atau merasa benar sendiri. 28 Dalam beragama, bahwa meyakini hanya<br />

agamanya yang paling benar (truth claim) adalah keniscayaan akan tetapi tidak<br />

harus merendahkan keyakinan yang lain, jika pendidikan agama multikultur<br />

diterapkan di perguruan tinggi, maka konsekuensinya semua komponen sistem<br />

pendidikan agama harus berubah, mulai dari kurikulum, strategi pendekatan,<br />

metodologi, hingga pembinaan SDM, serta pembinaan manajemen sekolah. 29<br />

Dilihat dari dimensi tersebut, agaknya ”sebagian besar” PTAIN lupa atau<br />

bahkan sengaja meninggalkan khittahnya dan masih berkutat pada penyakit-<br />

penyakit klasik yang hingga kini tak kunjung sembuh, apalagi ketika terjadi<br />

suksesi. Memang pengembangan PTAIN tidak bisa terlepas dari siapa yang<br />

dominan dan banyak mempengaruhi serta menghegemoni sisi-sisi kebijakan.<br />

Sungguhpun demikian, bukan berarti unsur-unsur interes kelompok (sebagai<br />

28 Ibid, hlm. 137<br />

29 Imam Suprayogo, (ed.) Samsul Hadi Dan Rasmianto, <strong>Pendidikan</strong> Berparadigma Al-<br />

Qur’an, Pergulatan Membangun Tradisi Dan Aksi <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>, (Malang: Aditya Media<br />

Dengan PTAI Malang Press, 2004), hlm 59-63<br />

i


130<br />

penyakit klasik) lebih ditonjolkan dari pada profesionalisme atau kompetensi yang<br />

ditunjukkan dengan prestasi kerja, integritas pribadi dan visinya ke depan, yang<br />

pada gilirannya dapat melumpuhkan budaya akademik di PTAIN itu sendiri.<br />

Agaknya PTAIN berbeda dengan PTAIS dalam banyak hal. Antara lain<br />

menyangkut atribut yang melekat padanya. Adalah wajar PTAIS yang berada<br />

dibawah organisasi tertentu (NU, Muhammadiyah, PERSIS dan lain-lain)<br />

berusaha mewariskan, menanamkan dan mengembangkan ideologinya melalui<br />

muatan dan kegiatan pendidikan atau akademik. Karena itu, jika pada PTAIS<br />

yang berada di bawah naungan NU mengembangkan Aswaja, maka pada PTAIS<br />

yang berada di bawah naungan Muhammadiyah mengembangkan ke-<br />

Muhammadiyahan. Jika tidak demikian, apa bedanya UNISMA, UNMUH dengan<br />

UNIBRAW, UM, UNAIR dan lain-lainya. Namun demikian, bagi PTAIN<br />

mestinya mampu mengendalikan diri untuk bersikap netral dan menjadi<br />

”ummatan wasathan”, yakni berada pada posisi pertengahan yang tidak memihak<br />

ke kiri dan ke kanan, yang hal ini akan mengantarnya berlaku adil. Untuk itu<br />

selayaknya PTAIN mengusung budaya-budaya dan tradisi-tradisi dari kelompok<br />

tertentu untuk ”dilembagakan” dan dikembangkan di dalamnya atas nama ”<br />

Perjuangan ideologi”, sehingga corak kehidupan keagamaan di kampus PTAIN<br />

di warnai oleh ideologi tertentu.<br />

Tradisi dalam gerakan <strong>Islam</strong> di Indonesia sebetulnya lebih mengacu<br />

kepada suatu pembentukan <strong>masyarakat</strong>. <strong>Islam</strong> mengacu kepada integrasi umat<br />

atau <strong>masyarakat</strong>. Acuan kearah integrasi umat ini dipegang terutama oleh<br />

Nahdlatul Ulama (NU). Muhammadiyah lebih mengacu kepada penciptaan<br />

i


131<br />

<strong>masyarakat</strong> etis yang progresif <strong>menuju</strong> kearah keunggulan. Tapi dalam pandangan<br />

NU maupun Muhammadiyah peranan agama diperlukan. Dalam perspektif <strong>Islam</strong>,<br />

civil society lebih mengacu kepada penciptaan peradaban. 30<br />

Sejalan dengan khittah PTAIN dan pengertian ulul albab tersebut, maka<br />

PTAIN harus mampu bersikap obyektif dan menerima secara terbuka terhadap<br />

berbagai pandangan yang sangat plural. Lembaga-lembaga kajian keislamannya<br />

harus mampu melahirkan ide-ide dan <strong>konsep</strong> yang segar serta dapat memayungi<br />

semua pihak. Untuk mendukung semuanya itu, maka tidak heran jika di PTAIN<br />

dikembangkan kajian-kajian <strong>Islam</strong> inter atau multidisipliner, serta pengembangan<br />

matakuliah-matakuliah seperti Perbandingan Madzhab, Masail Al-Fiqh, pemikiran<br />

modern dalam <strong>Islam</strong> dan lain-lain.<br />

Melalui kajian–kajian semacam itu, maka diharapkan lahirnya pemikiran<br />

yang jernih dalam memecahkan isu-isu atau problem actual yang dikupas dari<br />

berbagai perspektif. Selain itu, pengembangan wawasan terhadap khazanah<br />

pemikiran ulama-ulama terdahulu untuk ditelaah ulang secara kritis dan dikaitkan<br />

dengan problem, tuntutan dan tantangan perkembangan zaman. Melalui upaya ini<br />

diharapkan mampu melahirkan pemikiran yang jernih tanpa diselubungi oleh<br />

kabut-kabut ide yang bisa menghambat terhadap upaya pemudaran sektarianisme<br />

tersebut.<br />

Sebagai implikasinya, maka untuk melaksanakan pengembangan dan<br />

peningkatan dakwah <strong>Islam</strong>, berjalan di tempat dan tereduksi menjadi dakwah<br />

dalama arti memberikan pengajian-pengajian keagamaan di <strong>masyarakat</strong> yang<br />

30 M. Dawam Rahardjo, Sejarah <strong>Agama</strong> Dan Masyarakat Madani, dalam Wododo Utsman<br />

Dkk. (Editor) Membongkar ‘Mitos’ Masyarakat Madani’, (Pustaka Pelajar Offset Cet I, 2000),<br />

Hlm.29-30<br />

i


132<br />

kering isi, makna, dan tidak kontekstual, karena hanya mengulang-ulang dan<br />

mewariskan model penafsiran dan pemikiran, dan <strong>konsep</strong> operasionalnya yang<br />

mandiri dan independen melalui pendekatan inter, multi ataupun lintas disiplin<br />

untuk membangun kembali suatu tatanan <strong>masyarakat</strong> yang lebih ideal dan<br />

berkeadaban, agaknya belum banyak muncul dari PTAIN.<br />

Karena itu, <strong>masyarakat</strong> sering mempertanyakan tentang kontribusi PTAIN<br />

terhadap pembangunan <strong>masyarakat</strong>, institusi keagamaan, pendidikan, ekonomi<br />

dan lain-lainnya yang ada di daerahnya. Sebenarnya proyek-proyek untuk itu<br />

relatif banyak di PTAIN, seperti proyek desa binaan, madrasah binaan dan lain-<br />

lain, tetapi hasilnyapun belum signifikan karena belum dibarengi dengan ide-ide<br />

segar serta <strong>konsep</strong> operasional yang matang dan berkesinambungan. Ironisnya,<br />

kegiatan dakwah semacam itu biasanya hanya dilakukan demi memenuhi<br />

panggilan proyek.<br />

Bermuara pada pengertian Albab (sebagai bentuk jamak dari lubb), yang<br />

berarti saripati sesuatu. Kacang misalnya, memiliki kulit yang menutupi isinya. Isi<br />

kacang dinamai lubb. Dengan demikian ulul albab adalah orang-orang yang<br />

memiliki akal (pemikiran) yang jernih dan murni, yang tidak diselubungi oleh<br />

kulit, yakni kabut ide, interes-interes pribadi atau kelompok yang dapat<br />

melahirkan kerancuan dalam berfikir. Intisari pengertian ini agaknya memiliki<br />

konsekuensi tertentu dalam bidang studi keislaman dan membangun kehidupan<br />

keagamaan di PTAIN. Karena itu, sekali lagi kita perlu merenung dan mengkaji<br />

ulang makna ulul albab tersebut diatas serta kembali ke khittah PTAIN itu sendiri.<br />

i


133<br />

Jadi saat ini kita harus mulai merancang PTAIN sebagai Perguruan Tinggi<br />

yang selalu ikut berpartisipasi dalam percaturan akademik secara internasional,<br />

dan mengedepankan Quality Assurance sehingga kualitasnya diakui secara<br />

eksternal bahkan internasional. Melalui upaya ini, Insya Allah ketiga aspirasi dan<br />

tujuan diselenggarakan PTAIN, sekaligus akan melahirkan ide-ide, <strong>konsep</strong><br />

pemikiran dan operasionalnya yang bermakna bagi pembangunan <strong>masyarakat</strong> baik<br />

secara local, regional, maupun internasional, serta menjadi Ummatan Wasathan<br />

yang mampu menjadi wasit dan mediator dalam menghadapi dan memecahkan<br />

problem sosial-kultural keagamaan di <strong>masyarakat</strong>. 31<br />

Sebagaimana yang di sampaikan oleh Muhaimin, bahwa:<br />

"Pemikiran seperti di UIN malang harus beda dengan PTAI yang lain, dikatakan<br />

Universitas Muhammadiyah dan Universitas <strong>Islam</strong> Malang (UNISMA) adalah<br />

contoh Universitas yang mengusung simbol ideologi pendidikan, karena<br />

mengusung nama aliran atau madzhab tertentu" 32<br />

Jadi dalam hal ini penulis dapat menganalisis bahwa strategi yang perlu<br />

diupayakan dalam pengembangan kurikulum di perguruan tinggi lebih<br />

diorientasikan kepada hidden kurikulum dan juga manifestasi dari penjabaran<br />

kurikulum yang ada dan aplikasi daripada kegiatan-kegiatan yang menciptakan<br />

suasana religius, membudayakan budaya akademik yang memiliki ciri khas yang<br />

mengedepankan nilai-nilai agamis, serta mengembalikan khittah PTAI yang ulul<br />

albab. Yakni memiliki kesamaan visi dan misi mengembangkan agama <strong>Islam</strong><br />

dengan tanpa mempersoalkan perbedaan aliran, suku, ras dan agama tertentu<br />

dalam rangka mewujudkan <strong>masyarakat</strong> madani dan memberantas korupsi, kolusi,<br />

31<br />

Muhaimin, Tabloid Gema, Media Informasi dan kebijakan Kampus Edisi 25 November-<br />

Desember 2006), hlm 11<br />

32<br />

Wawancara dengan Muhaimin, Dosen Tetap/ Guru Besar UIN Malang, tanggal 20 Maret<br />

2007<br />

i


134<br />

nepotisme dan budaya-hedonisme, serta memiliki kemampuan yang tinggi dalam<br />

mengatasi krisis multidimensional dan juga menciptakan <strong>masyarakat</strong> yang<br />

beradab dan cinta perbedaan. Dan yang lebih penting mengedepankan paham non<br />

madzhabi atau tidak cenderung pada aliran atau madzhab tertentu, atau non<br />

sekterianisme.<br />

Paling tidak strategi dalam pengembangan kurikulum yang tepat adalah<br />

kurikulum mampu mengantarkan para siswanya memiliki kepribadian dan<br />

sekaligus pengetahuan dan ketrampilan yang dibutuhkan oleh lingkungan<br />

<strong>masyarakat</strong>nya. Dengan itu penulis merujuk pada <strong>konsep</strong> Imam Suprayogo<br />

merumuskan bahwa kurikulum Perguruan Tinggi pendidikan <strong>Islam</strong> harus mampu<br />

mengantarkan para lulusannya memiliki 4 kekuatan: yaitu "kedalaman spiritual,<br />

keagungan akhlak, keluasan ilmu, kematangan profesional".<br />

Dan seyogyanya kurikulum yang dikembangkan oleh lembaga <strong>Pendidikan</strong><br />

<strong>Islam</strong> mampu menghilangkan kesan terhadap adanya dikotomi ilmu pengetahuan,<br />

yaitu yang dikenal dengan ilmu agama dan ilmu umum. Yang membedakan antara<br />

jenis keilmuan, bukan terletak pada jenis, melainkan pada sumber ilmu itu sendiri<br />

diperoleh. 33<br />

C. Aktualisasi <strong>pembaruan</strong> pendidikan <strong>Islam</strong> melalui paradigma<br />

pengembangan kurikulum di Perguruan Tinggi <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong>.<br />

Aktualisasi adalah sebagai proses menjadikan <strong>konsep</strong>-<strong>konsep</strong> ideal<br />

terrealisasi menjadi tindakan nyata akan lebih jelas sosoknya bila terpolakan<br />

33 Imam Suprayogo, <strong>Pendidikan</strong> Berparadigma Alqur’an, Pergulatan Membangun Tradisi<br />

Dan Aksi <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>, Op. Cit, hlm. 43-45<br />

i


135<br />

sesuai <strong>konsep</strong> dasar yang menjadi pijakan. Dalam hal ini <strong>konsep</strong> paradigma<br />

pendidikan <strong>Islam</strong> yang relevan dengan perubahan sosial budaya dan dampak dari<br />

ilmu pengetahuan dan teknologi adalah <strong>konsep</strong> pendidikan humanisme, <strong>konsep</strong><br />

pendidikan demokratisasi, dan multikultural pendidikan, yang diharapkan <strong>konsep</strong><br />

tersebut mampu menciptakan suatu tatanan <strong>masyarakat</strong> madani yang dicita-<br />

citakan.<br />

Aktualisasi filsafat ilmu untuk memegang peranan yang berarti bagi upaya<br />

pengembangan ilmu tak terkecuali ilmu-ilmu agama ('ulumuddin) di perguruan<br />

tinggi lainnya, yaitu untuk mengajak para dosen dan mahasiswanya memahami<br />

proses berpikir ilmiah yang mencakup pengertian tentang hakikat ilmu dengan<br />

pengetahuan-pengetahuan lainnya, hal yang dipelajari ilmu, bagaimana ilmu<br />

membentuk (tubuh) pengetahuannya dan untuk apa ilmu pengetahuan itu<br />

dipergunakan. Demikian pula mengenai alat atau sarana berfikir yang harus<br />

dikuasai agar mampu melakukan kegiatan ilmiah dengan baik.<br />

Hal ini bisa dicapai melalui mata kuliah filsafat ilmu. Dengan filsafat ilmu<br />

kita akan mampu mensublimasikan disiplin ilmu yang menjadi tanggungjawab<br />

kita masing-masing dan mengangkatnya ke dataran filsafat, sehingga kita dapat<br />

memahami perspektif beserta berbagai kemungkinan agar kemudian kita sanggup<br />

melakukan spekulasi-spekulasi yang terdalam guna menemukan teori-teori<br />

ataupun paradigma-paradigma baru yang tepat guna bagi kepentingan bangsa<br />

Indonesia (Koento Wibisono, 1988:13). 34<br />

34 Farid Samsu Hananto dan Ahmad Abtokhi, "UIN: Menyelaraskan Perkembangan Iptek<br />

dengan Imtaq", dalam Zainuddin (Eds.) Memadu Sains Dan <strong>Agama</strong> Menuju Universitas Masa<br />

depan, (Malang, Bayumedia Publishing bekerja sama dengan PTAI Malang, 2004), hlm.51-67<br />

i


136<br />

Di Indonesia, pemicu konflik seringkali bersumber dari perbedaan<br />

keagamaan, baik perbedaan suku, budaya dan antar golongan, atas dasar ini maka<br />

pendidikan agama berwawasan multikultur menjadi sangat penting. Ada beberapa<br />

prinsip yang perlu dikemukakan sebelum memperbincangkan tentang pendidikan<br />

agama multikultur adalah:<br />

1. <strong>Islam</strong> adalah agama yang bersifat universal. <strong>Islam</strong> bukan diperuntukkan bagi<br />

salah satu suku bangsa, etnis tertentu, golongan tertentu, melainkan sebagai<br />

Rahmatan lil'alamin;<br />

2. <strong>Islam</strong> menghargai agama-agama dan kepercayaan agama lain. <strong>Islam</strong> juga<br />

mengajarkan tidak ada pemaksaan dalam beragama;<br />

3. <strong>Islam</strong> juga merupakan agama yang terbuka untuk diuji kebenarannya;<br />

4. <strong>Islam</strong> juga menegaskan bahwa keanekaragaman dalam kehidupan umat<br />

manusia adalah alamiah, perbedaan itu mulai dari jenis kelamin, suku, dan<br />

bangsa yang beraneka ragam. Perbedaan itu gara terjadi saling mengenal;<br />

5. <strong>Islam</strong> memiliki sejarah yang cukup jelas terkait dengan kehidupan majemuk<br />

sebagaimana yang ditunjukkan oleh Rasulullah sendiri ketika membangun<br />

<strong>masyarakat</strong> madani di Madinah. Sebagai sebuah negara (waktu itu masih<br />

berbentuk negara kota-city state-dan belum menjadi negara bangsa-nation<br />

state), Madinah sudah mengakui, menghargai, mengakomodasi berbagai<br />

etnik dan berbagai golongan. Semua warga negara menikmati hak hidup dan<br />

dilindungi undang-undang, sebagaimana diatur dalam Piagam Madinah.<br />

Prinsip-prinsip dasar seperti ini perlu dijadikan rujukan dalam<br />

memperbincangkan pendidikan multikultur.<br />

<strong>Pendidikan</strong> multikultur, selain memperkokoh tauhid atau dasar-dasar<br />

keyakinan <strong>Islam</strong>, pendidikan bercorak demikian juga perlu mengembangkan<br />

prinsip-prinsip dasar pergaulan antar sesama manusia menurut ajaran <strong>Islam</strong> secara<br />

lebih mendalam. Semangat multikultur ini harus tercermin dari isi atau konten<br />

kurikulum. 35<br />

Bagian penting pendidikan multikultur adalah bagaimana menumbuhkan<br />

sensitivitas mahasiswa akan kekayaan budaya <strong>masyarakat</strong> yang bersifat plural.<br />

35 Imam Suprayogo, <strong>Pendidikan</strong> Berparadigma Al-Qur'an Pergulatan Membangun Tradisi<br />

Dan Aksi <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>, Op. Cit, hlm. 59-61<br />

i


137<br />

Hal itu sejalan dengan pendapat Bennet (1986) yang menyatakan bahwa asumsi<br />

dasar pendidikan multikultural adalah bagaimana kelompok-kelompok etnik yang<br />

beragam dapat menentukan sendiri budaya asli yang mereka miliki, serta pada<br />

saat yang bersamaan dapat menjadi multikultural. Dengan kata lain orang-orang<br />

dapat belajar tentang berbagai macam alternatif untuk mempersepsi, berperilaku,<br />

dan mengevaluasi kelompok lainnya sehingga mereka dapat menyesuaikan<br />

kepada aspek-aspek makrokultur yang diperlukan untuk kesejahteraan bersama,<br />

tanpa melakukan pengurangan penerimaan akan etnisitasnya sendiri yang orosinil.<br />

Jadi pendidikan multikultur sangat penting bagi upaya pembangunan watak<br />

bangsa. (nation and character building).<br />

Oleh sebab itu fokus pendidikan multikultur adalah memberikan wawasan<br />

budaya kepada anggota <strong>masyarakat</strong> agar mereka dapat hidup berdampingan secara<br />

damai dengan kelompok sosial lainnya. Hal ini sejalan dengan rekomendasi<br />

APNIEVE UNESCO yang menandaskan bahwa hasil pendidikan tidak hanya<br />

berkaitan dengan pengetahuan dan ketrampilan anak didiknya, namun juga dalam<br />

hal penanaman dan pengembangan nilai-nilai dan afeksi mereka yakni dalam<br />

bentuk belajar hidup bersama, berpartisipasi dan bekerja sama dengan<br />

individu/<strong>masyarakat</strong> dari kelompok budaya yang berlainan dalam segala aktivitas<br />

(Mutohir,1997). Secara lebih operasional Katz (dalam Mogdil, 1986) menyatakan<br />

bahwa terdapat 4 tujuan pendidikan multikultur:<br />

1. Memberikan pengalaman belajar kepada mahasiswa yang mengenalkan<br />

secara kritis dan kemampuan evaluasi untuk melawan isu-isu seperti<br />

realisme, demokrasi, dan sebagainya.<br />

2. Mengembangkan ketrampilan untuk klarifikasi nilai, termasuk kajian untuk<br />

mentransmisikan nilai-nilai laten dan manifest.<br />

i


138<br />

3. Untuk menguji dinamika keberagaman budaya dan implikasinya kepada<br />

strategi pembelajaran dosen.<br />

4. Mengkaji variasi kebahasaan dan kebergamaan gaya belajar sebagai dasar<br />

bagi pengembangan strategi pembelajaran yang sesuai.<br />

Perguruan tinggi sebagai salah satu representasi lembaga pendidikan <strong>Islam</strong><br />

yang mempunyai akar yang sangat kuat di Indonesia mempunyai peran dan<br />

tanggung jawab yang sama dalam mengantarkan anak didiknya mencapai<br />

kecerdasan, kedewasaan, baik secara intelektual, emosional maupun sosial,<br />

dengan harapan agar anak didik tersebut ke depan mempunyai visi kebangsaan<br />

yang pluralistik. <strong>Pendidikan</strong> multikultur merupakan bagian dari <strong>konsep</strong> universal<br />

<strong>Islam</strong> yang disebut "<strong>Islam</strong> Rahmatan Lil 'Alamin" yaitu, ajaran <strong>Islam</strong> yang<br />

merupakan ajaran yang universal, mencakup segala aspek kehidupan manusia,<br />

rahmatnya tidak terbatas pada umat <strong>Islam</strong> saja, tetapi juga pada semua manusia<br />

lintas agama, budaya, ras, etnis. Kenyataan bahwa kehidupan manusia merupakan<br />

<strong>masyarakat</strong> yang plural dan multikultural, terdiri dari berbagai suku, etnis, budaya<br />

dan agama yang berbeda adalah sesuatu yang taken for granted. Maksudnya<br />

adalah pendidikan multikultur untuk menjembatani kesenjangan persepsi<br />

mengenai pluralitas, baik pluralitas etnis, budaya, maupun agama. Demikianlah<br />

Tuhan menjadikan sesuatu yang plural dan multikulturalisme sebagaimana<br />

dijelaskan dalam Al-Qur'an, yang artinya:<br />

"Sesungguhnya telah kami jadikan menusia itu berbangsa-bangsa dan bersukusuku<br />

agar mereka saling mengenal" (Q.S Al-Hujurat: 13).<br />

Dalam upaya pembentukan afeksi mahasiswa agar dapat saling menerima<br />

keberadaan pluralisme etnis, budaya, dan agama maka pendidikan multikultur<br />

perlu diintegrasikan dalam kurikulum Perguruan Tinggi. Meskipun demikian,<br />

i


139<br />

memberikan pendidikan multikultur di Perguruan Tinggi merupakan tantangan<br />

tersendiri, sebab dalam pemahaman sebagian kelompok <strong>Islam</strong>, ada yang belum<br />

bisa menerima sepenuh hati adanya pengintegrasian atau akulturasi budaya atau<br />

pengintegrasian agama. Seperti adalam akulturasi budaya jawa dengan <strong>Islam</strong> juga<br />

masih ada sebagian kelompok <strong>Islam</strong> yang belum bisa menerima. Ini memang<br />

suatu tantangan tersendiri. Menurut Steenbrink (1986), dalam <strong>Islam</strong> di Jawa,<br />

secara umum diterima adanya variant santri dan abangan, baik oleh orang jawa<br />

sendiri maupun orang luar. 36 Jadi diharapkan melalui pendidikan multikultur<br />

pada mahasiswa di perguruan tinggi, ke depan diharapkan akan terbentuk<br />

<strong>masyarakat</strong> yang memiliki nilai-nilai dan pespektif tentang bagaimana<br />

menghargai keunikan budaya dan gaya hidup dari masing-masing kelompok<br />

budaya serta pada saat bersamaan membangun komitmen tentang perlunya hidup<br />

sebagai satu bangsa. Adapun implementasi program pendidikan multikultur pada<br />

perguruan tinggi dengan menggunakan model pendekatan inklusif ditempuh<br />

dengan cara mengintegrasikan pendidikan multikultur ke dalam mata kuliah yang<br />

mempunyai keterkaitan yang tinggi dengan pendidikan multikultur, yaitu: mata<br />

kuliah pengembangan kepribadian. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang<br />

majemuk, yang ditandai dengan keanekaragaman etnis, agama dan budaya.<br />

Realita tersebut setidaknya telah disadari oleh para pendiri negara yang kemudian<br />

dituliskan dalam lambang negara yang bertuliskan Bhineka Tunggal Ika yang<br />

artinya berbeda-beda tetapi tetap satu. Menurut Gonggong (kompas, 16/12/2000)<br />

kebhinekaan dalam <strong>masyarakat</strong> Indonesia adalah kenyataan yang terjadi sejak<br />

36 Warsono, dkk. Dosen UNESA (Universitas Negeri Surabaya), Ulul Albab, Jurnal Studi<br />

<strong>Islam</strong>, Sains Dan Teknologi. Vol. 7, No 1 Tahun 2006, hlm.90-97<br />

i


140<br />

awal berdirinya negara bangsa (nation state). Hal ini antara lain dapat dilihat dari<br />

keberagaman dalam etnisitas, bangsa, kultur dan religi. Kebhinekaan bangsa<br />

Indonesia tersebut selanjutnya dapat dimatangkan melalui proses dialog diantara<br />

para elit bangsa telah bersepakat untuk bersatu, hidup bersama di dalam satu<br />

negara kesatuan. Bagi bangsa Indonesia kemajemukan etnis, budaya, dan agama<br />

telah disadari oleh para pendiri negara. Sejarah telah mencatat bahwa sejak awal<br />

para pendiri negara telah bertekad membangun tatanan <strong>masyarakat</strong> demokratis.<br />

Tatanan <strong>masyarakat</strong> demokratis yang dicita-citakan oleh para pendiri negara<br />

ternyata merupakan pilihan yang strategis untuk mengatasi perbedaan paham dan<br />

golongan dari segenap unsur yang ada dalam <strong>masyarakat</strong> Di tengah <strong>masyarakat</strong><br />

yang sedang berubah ke arah tatanan demokratis, kurikulum dapat diartiakan<br />

sebagai pembuatan keputusan dalam pendidikan yang sejalan dengan visi dan<br />

berorientasi pada kebutuhan peserta didik. Oleh karena itu, para pendidik secara<br />

inklusif harus mengembangkan nilai-nilai yang positif dalam perilakunya. 37<br />

Selain itu <strong>konsep</strong> <strong>pembaruan</strong> pendidikan jika diaktualisasikan dalam<br />

pendidikan demokratis. Pandangan reformasi sistem politik demokrasi, yakni<br />

pandangan yang menekankan bahwa untuk membangun demokrasi tidak usah<br />

terlalu bergantung pada pembangunan ekonomi. Dalam tataran ini, pembangunan<br />

institusi-institusi politik yang demokratis lebih diutamakan oleh negara dibanding<br />

pembangunan ekonomi. Model pengembangan demokrasi ini pun pada<br />

kenyataannya tidaklah menjamin demokrasi berjalan sebagaimana layaknya.<br />

Kegagalan demokrasi sejumlah negara dalam banyak hal berhubungan dengan<br />

37<br />

Djunaidi Ghony, Paradigma Pengembangan Kurikulum Dalam Peningkatan Mutu<br />

<strong>Pendidikan</strong> Tinggi <strong>Islam</strong>. Op. cit. hlm 6-7<br />

i


141<br />

tingkat kemiskinan warga negaranya. Paradigma membangun <strong>masyarakat</strong> madani<br />

sebagai basis utama pembangunan demokrasi. Pandangan ini merupakan<br />

paradigma alternatif diantara dua pandangan yang pertama yang dianggap gagal<br />

dalam pengembangan demokrasi. 38<br />

Upaya untuk mengaktualisasikan demokrasi dan civil society melalui<br />

pendidikan kelihatannya masih menempuh jalan yang panjang. <strong>Pendidikan</strong> harus<br />

berusaha menerapkan paradigma baru yang tujuan akhirnya adalah pembentukan<br />

<strong>masyarakat</strong> Indonesia yang demokratis dan berpegang pada nilai-nilai civility<br />

(keadaban). Jika sekolah/Universitas akan memainkan peranan penting dalam<br />

pembentukan demokrasi yang otentik, sebaiknya dilakukan akselerasi dalam<br />

penerapan paradigma baru tersebut. Dan dalam rangka menumbuhkan<br />

pengembangan pemahaman itu, maka perguruan tinggi menerapkan<br />

pengembangan kurikulum yang terdapat dalaam MKDU pancasila dan kewiraan<br />

atau mata kuliah kewargaan. 39<br />

Secara ringkas dapat dikatakan, bahwa ciri utama <strong>masyarakat</strong> madani<br />

adalah <strong>masyarakat</strong> yang "demokrasi yang akan menjunjung tinggi nilai-nilai<br />

kemanusiaan (humanisasi), <strong>masyarakat</strong> yang mempunyai paham keagamaan yang<br />

berbeda-beda, <strong>masyarakat</strong> yang penuh toleransi, menegakkan hukum, dan<br />

peraturan yang berlaku secara konsisten dan berbudaya tinggi, <strong>masyarakat</strong> yang<br />

memiliki spiritualisme ilahiyah yang tinggi, memiliki ilmu pengetahuan dan<br />

teknologi, memiliki komitmen kepada demokrasi, menjunjung tinggi nilai-nilai<br />

38 Komaruddin Hidayat dan Azyumardi Azra, Demokrasi hak asasi manusia dan<br />

Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarif hidayatullah Jakarta Bekerjasama Dengan The<br />

Asia Foundation. 2006), hlm. 318<br />

39 Azyumardi Azra, Paradigma Baru <strong>Pendidikan</strong> Nasional, Op.Cit, hlm.159-160<br />

i


142<br />

kemanusiaan (insaniyah) dan hak manusia, memiliki nilai-nilai moral dan akhlak<br />

yang anggun, <strong>masyarakat</strong> yang penuh toleransi, mengakui perbedaan pandangan<br />

dan keagamaan, <strong>masyarakat</strong> yang memiliki komitmen hukum dan peraturan yang<br />

berlaku serta <strong>masyarakat</strong> yang berbudaya tinggi. Dengan demikian, salah satu cara<br />

untuk mewujudkan <strong>masyarakat</strong> madani adalah melakukan demokratisasi<br />

pendidikan, sebab demokratisasi pendidikan merupakan tuntutan dari<br />

terbentuknya <strong>masyarakat</strong> madani yang demokratis. Adapun kondisi proses belajar<br />

mengajar yang demokratis tentu akan terjdi kesetaraan atau sederajat dalam<br />

kebersamaan (egalitarian) antar pendidik dengan peserta didik. Pengajaran tidak<br />

harus selalu top down namun selalu diimbangi dengan bottom up sehingga tidak<br />

ada lagi pemaksaan kehendak pendidik, tetapi yang akan terjadi adalah tawar<br />

menawar kedua belah pihak dalam menentukan tujuan, materi, media, proses<br />

belajar mengajar dan evaluasi hasil belajarnya. Perubahan dari periode ke periode<br />

merupakan penyempurnaan, penyesuaian atau hanya sebuah kebijakan<br />

pemerintah. Ternyata setelah dilakukan evaluasi terhadap kurikulum yang berlaku<br />

dan ditemukan banyak kekurangan yang perlu disempurnakan, maka perubahan<br />

yang terjadi adalah sebagai perwujudan upaya penyempurnaan dari sederhana<br />

<strong>menuju</strong> kesempurnaanya, dari materi yang sedikit menjadi lebih memadai, dan<br />

dari ketidakteraturan pemasaran <strong>menuju</strong> keteraturan atau keterarahan. Dalam<br />

pengertian ini perubahan kurikulum disusun berdasarkan <strong>konsep</strong>si humanistik dan<br />

mementingkan pengalaman pribadi meemuaskan dan mengarahkan ke proses<br />

aktualisasi diri. 40<br />

i<br />

40 Djunaidi Ghony, Paradigma Pengembangan Kurikulum Dalam Peningkatan Mutu


143<br />

Proses "humanisasi" merupakan proses terbuka, dimana manusia<br />

diberdayakan dan dioptimalkan potensi (fitrah) bawaannya sehingga manusia<br />

dapat menguasai ilmu pengetahuan, ketrampilan, teknologi serta penerapannya<br />

dan penghayatan dan seni serta budaya, dan sebagainya. Ini berarti, peran, dan<br />

fungsi pendidikan sangat sentral dalam upaya proses humanisasi tersebut.<br />

<strong>Pendidikan</strong> dalam hal ini pendidikan <strong>Islam</strong> harus dapat meletakkan kedudukan<br />

manusia sebagi subyek dalam proses pembinaan dan pengembangan potensi<br />

(fitrah) bawaannya. Dalam proses humanisasi, sangat dibutuhkan <strong>konsep</strong><br />

pendidikan yang betul-betul tepat memberi gambaran yang komprehensif sebagai<br />

solusi dalam memanusiakan manusia (humanisasi) dengan menekankan<br />

keharmonisan hubungan baik sesama manusia, <strong>masyarakat</strong>, maupun dengan<br />

lingkungan yang didasarkan pada nilai-nilai normatif ilahiyah. 41<br />

Dari hasil penelitian dari lembaga penelitian di PTAI diantara kelemahan<br />

budaya akademik adalah: orientasi pengembangan akademik belum terumuskan<br />

secara eksplisit, tetapi mengacu pada visi dan misi masing-masing. Memang<br />

dalam realitasnya Kompetensi dosen PTAI masih relatif belum memadai,<br />

sehingga kegiatan-kegiatan pengembangan budaya akademik belum berjalan<br />

secara optimal. Namun pengembangan budaya akademik secara perlahan sudah<br />

menunjukkan peningkatan, meskipun ada beberapa dosen yang belum<br />

menampakkan kesadaran penuh tentang pentingnya pengembangan budaya<br />

akademik di lingkungan kampusnya Posisi pendidikan agama di Perguruan<br />

<strong>Pendidikan</strong> Tinggi <strong>Islam</strong>, Op. Cit, Hlm. 28<br />

41 Hujair, AH. Sanaky, Paradigma <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> : Membangun Maaasyarkat Madani<br />

Indonesia, (Yogyakarta : Safiria Insania Press, Magister Studi <strong>Islam</strong> Universitas <strong>Islam</strong> Indonesia,<br />

2003), hlm 231<br />

i


144<br />

Tinggi cenderung berupa transformasi informasi, pengetahuan dan bukan<br />

transformasi pengalaman, pembiasaan dan pembentukan sikap dan perilaku. Oleh<br />

karena itu yang menjadi ukurannya adalah angka/ indeks (IP). Bukan sikap dan<br />

tingkah laku para siswa yang mendapat nilai baik dalam bidang agama belum<br />

tentu berperilaku jujur. Malah di perguruan tinggi sendiri kadang menjadi tempat<br />

bersemainya nilai-nilai ketidakjujuran. Nyontek, pendongkrakan IP serta KKN<br />

sering terjadi. Perguruan tinggi mungkin dengan waktu yang terbatas sulit<br />

mengubah siswa dari tidak baik menjadi baik. Persoalan pendidikan<br />

watak/kepribadian memang pertama-tama harus menjadi tanggungjawab orangtua<br />

dan keluarga sejak masa pembentukan.<br />

Didalam pendidikan tinggi, hal itu lebih parah lagi, tidak adanya ebtanas<br />

di perguruan tinggi mengakibatkan nilai (indeks prestasi) yang diperoleh<br />

mahasiswa dari perguruan tinggi yang berbeda tidak dapat dibandingkan. IP 3.8 di<br />

suatu perguruan tinggi mungkin sama kualitasnya dengan nilai 2,4 di perguruan<br />

tinggi yang lain, karena standar yang dipakai oleh keduanya mungkin berbeda.<br />

Bahkan didalam perguruan tinggi itu sendiri pun IP itu sulit dibandingkan<br />

mengingat tidak adanya standar baku yang digunakan oleh para dosen dalam<br />

menilai prestasi mahasiswanya. Ketidakadaan ukuran penilaian standar inilah<br />

yang menyebabkan keluhan <strong>masyarakat</strong> akan rendahnya mutu Perguruan tinggi di<br />

Indonesia. Belum lagi keluhan tentang ketidaksesuaian antara materi pelajaran<br />

yang diberikan di perguruan tinggi dengan kebutuhan <strong>masyarakat</strong>. Banyaknya<br />

lulusan perguruan tinggi yang menganggur (tidak dapat dimanfaatkan oleh<br />

<strong>masyarakat</strong>) menunjukkan bahwa banyak Perguruan Tinggi yang telah<br />

i


145<br />

meluluskan (menyatakan tidak memiliki kemampuan tertentu) peserta didik yang<br />

sebenarnya belum memenuhi standar yang diinginkan oleh <strong>masyarakat</strong>. 42<br />

Dengan demikian inti pembentukan <strong>masyarakat</strong> madani sebenarnya sangat<br />

tergantung atau berasal dari akhlak dan moral pribadi manusia yang bersangkutan<br />

tentunya sejauh mungkin akan berusaha agar ia dapat menghindari perbuatan-<br />

perbuatan tidak bermoral, termasuk menghindari praktik KKN. Tapi sebaliknya<br />

seandainya moralnya tidak bisa dipertanggungjawabkan, niscaya praktik-praktik<br />

KKN akan senantiasa mewarnai manusia yang bersangkutan. Walaupun<br />

sebenarnya secara intelektual, ia tidak tahu persis bahwa yang melakukan KKN<br />

tentunya dilarang agama, tapi karena agama dipahami hanya cukup melakukan<br />

ibadah ritual semata, KKN dianggapnya sebagai hal yang biasa. Semua ibadah<br />

ritualnya, termasuk sholat misalnya belum kemudian mewarnai semua perilaku<br />

sosialnya, ibadah ritual dan realitas sosial seakan–akan merupakan dua ”ruang”<br />

yang berbeda dan tidak bersentuhan satu sama lain. 43<br />

D. Model pengembangan kurikulum pendidikan <strong>Islam</strong> di PTAI sebagai<br />

alternatif dalam mewujudkan <strong>masyarakat</strong> madani<br />

Munculnya berbagai kritik tentang kelemahan PAI dan sekaligus<br />

merupakan kegagalan pelaksanaan PAI bisa jadi disebabkan karena adanya<br />

42 Arief Furchan, Transformasi <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> Di Indonesia, Anatomi Keberadaan<br />

Madrasah dan PTAI, (Yogyakarta : Gama Media), hlm. 136<br />

43 Sudarsono Shobron Dan Mutohharun Jinan (eds), oleh Wawan Darmawan Masyarakat<br />

Madani: Peran Startegis Umat <strong>Islam</strong> Dalam <strong>Islam</strong>, Masyarakat Madani, Dan Demokrasi,<br />

Muhammadiyah University Press Universitas Muhammadiyah Surakarta, 1999, hlm 20-24.<br />

i


146<br />

kekeliruan dalam mentransfer sistem pengembangan kurikulum atau pembelajaran<br />

yang berkembang selama ini, yang sebenarnya eksperimennya bukan berasal dari<br />

pendidikan agama tetapi dari bidang studi lain, kemudian diadopsi begitu saja<br />

tanpa daya kritisisme yang memadai. Untuk mengantisipasi masalah tersebut,<br />

maka perlu dicarikan model-model pengembangan kurikulum PAI (<strong>Pendidikan</strong><br />

<strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong>) dengan mendudukkan kembali kepada landasan filosofisnya. 44<br />

Dengan begitu, pengembangan kurikulum tersebut akan memberi peserta didik<br />

kemampuan untuk:<br />

1) Menguasai dan mengembangkan iptek;<br />

2) Menciptakan kelembagaan yang efisien; dan<br />

3) Kekokohan Iman dan Taqwa yang meneguhkan moral. Penguasaan iptek bagi<br />

mahasiswa jika dikaitkan dengan pengembangan kurikulum merupakan upaya<br />

penguatan basis pendidikan pada lembaganya. Terutama dalam menghadapi<br />

kompleksnya masalah eksternal, berupa ketidakpastian hidup sebagai akibat<br />

dari perkembangan teknologi dan perubahan nilai-nilai sosio-kultural di<br />

<strong>masyarakat</strong>.<br />

Dalam konteks ini, pengembangan kurikulum harus memperhatikan:<br />

1) Tahap perkembangan peserta didik;<br />

2) kesesuaian dengan lingkungan;<br />

3) Kebutuhan pembangunan nasional;<br />

4) Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian;<br />

5) Kesesuaiannya dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan.<br />

Kurikulum harus dibenahi karena di dalam pengembangan dan perubahan<br />

kurikulum secara otomatis akan berpengaruh pada perkembangan bahkan<br />

perubahan sistem. Alasan lainnya adalah karena kurikulum lebih luas cakupannya<br />

dan lebih fleksibel dibanding dengan komponen pendidikan lainnya. Jadi sebagai<br />

konklusinya, mengingat nilai penting kurikulum yang dianggap sebagai alternatif<br />

solusi untuk meningkatkan pendidikan dan menyelesaikan "kemandulan"<br />

i<br />

44 Muhaimin, Pengembangan Kurikulum, Op. Cit. Hlm28


147<br />

pendidikan kita, maka perlu sangat diperhatikan, dikembangkan dan dirombak<br />

sebagian atau bahkan keseluruhan. Hal tersebut perlu dilakukan mengingat bahwa<br />

kurikulum merupakan salah satu alat yang dapat secara maksimal mewujudkan<br />

dan merealisasikan tujuan pendidikan, karena dalam kurikulum mencakup<br />

kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan penilaian. Yang berorientasi pada tujuan<br />

pendidikan, mencakup metode, materi, maupun sistem penilaian. Jadi sekali lagi<br />

yang perlu dan sangat harus diperhatikan adalah bagaimana kurikulum itu dikelola<br />

sebaik mungkin sehingga terwujud apa yang menjadi tujuan, serta terasa manfaat<br />

dan nilai pentingnya yang akhirnya akan benar-benar mewujudkan tujuan<br />

pendidikan. 45<br />

Salah satu peran kurikulum dalam pendidikan adalah menetapkan tujuan<br />

yang ingin dicapai secara pasti agar dapat menjembatani proses perubahan dalam<br />

<strong>masyarakat</strong>. Atas dasar semuanya itu, pengembangan kurikulum diharapkan juga<br />

menggunakan pendekatan pola fikir sistematik yang mencakup berfikir secara<br />

holistik dengan pendekatan sistem. Terutama dalam upaya meningkatkan<br />

pengalaman belajar peserta didik, demi terciptanya life skill pada lulusan sehingga<br />

menghasilkan lulusan yang berkualitas.<br />

Kurikulum itu adalah ibarat resep masakan atau desain pakaian. Oleh<br />

karena itu hasilnya akan banyak ditentukan oleh para dosennya yang mengajar<br />

dan mendidik mahasiswa yang belajar. Akan tetapi jika selama ini<br />

penyelesaiannya hanya terfokus pada kurikulum, maka tidak akan pernah<br />

45 Aziz Syah, Mahasiswa PAI Semester I Plus. Artikel, Kurikulum Sebagai Alat Vital<br />

<strong>Pendidikan</strong> Analisis Pengembangan Kurikulum Di Indonesia,. GEMSI Gabungan Elemen<br />

Mahasiswa Cerdas Inovatif Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Tarbiyah. Edisi<br />

Keempat/November 2005, hlm. 02-04<br />

i


148<br />

memuaskan <strong>masyarakat</strong>, sebab apapun yang dikeluhkan tentang pendidikan akan<br />

dituduhkan kepada kurikulum sebagai penyebabnya. Tentu amat banyak pilihan<br />

kebijakan dalam rangka menjawab dan memecahkan masalah rendahnya mutu<br />

pendidikan, selain mengutak-atik kurikulum. Jika fokus perhatian diarahkan pada<br />

kualitas lulusan dan bukan hanya pada kurikulum belaka, maka akan terjadi<br />

perubahan yang mendasar pada kualitas SDM sebagai produk dari sistem<br />

pendidikan. Karena itu, jika saat ini sudah diterapkan KBK, maka janganlah kita<br />

menyikapi KBK hanya untuk KBK, tetapi KBK adalah untuk peningkatan mutu<br />

lulusan. Artinya: kurikulum itu sendiri sebenarnya adalah instrument untuk<br />

menghasilkan lulusan yang berkualitas, yakni lulusan yang memiliki pengetahuan,<br />

ketrampilan, sikap dan karakter pribadi/watak yang dapat diandalkan, yang sesuai<br />

dengan standar yang diakui di tingkat Nasional, Regional, dan tingkat<br />

Internasional. Hal ini sangat penting diperhatikan, karena kita sudah memasuki<br />

era globalisasi atau era persaingan bebas. Sebagai alternatif dalam pengembangan<br />

kurikulum adalah Melalui model pengembangan kurikulum berbasis kompetensi.<br />

Adapun dengan adanya model ini diharapkan agar:<br />

1) Mutu pendidikan lebih terjamin;<br />

2) Lebih dapat memenuhi kebutuhan lapangan kerja; dan<br />

3) Peran PTAI sebagai agen perubahan <strong>masyarakat</strong> dapat lebih terpenuhi.<br />

Gambaran umum tentang KBK di PTAI adalah bahwa pengembangan<br />

kurikulum berbasis kompetensi merupakan perwujudan dari pendekatan<br />

teknologis, sehingga dalam menyusun kurikulum atau program pendidikan<br />

bertolak dari analisis kompetensi yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-<br />

tugas tertentu. Kompetensi adalah seperangkat tindakan intelegen dan penuh<br />

i


149<br />

tanggungjawab yang harus dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap<br />

mampu melaksanakan tugas-tugas dalam bidang pekerjaan tertentu. Sifat inteligen<br />

harus ditunjukkan sebagai kemahiran, ketepatan dan keberhasilan bertindak. Sifat<br />

penuh tanggung jawab harus ditunjukkan sebagai kebenaran tindakan, baik<br />

dipandang dari sudut ilmu pengetahuan, teknologi maupun etika. Dalam arti,<br />

tindakan itu benar ditinjau dari sudut ilmu pengetahuan; efisien; efektif dan<br />

memiliki daya tarik dilihat dari sudut teknologi; dan baik ditinjau dari sudut etika.<br />

Hasil penelitian menunjukkan bahwa seseorang yang dianggap memiliki<br />

kompetensi dalam melakukan tugas atau pekerjaan tertentu memerlukan: (1) basic<br />

skills: reading, writing, arithmetic & mathematics, speaking and listening; (2)<br />

thinking skills; thinking creatively, making decisions, solving problems,<br />

visualizing things in the mind’s eye. Knowing how to learn & reasoning; (3)<br />

Personal quality: individual responbility, elf-esteem, sociability, self management<br />

& integrity (Muhaimin, 2002). Karena itu, ketiga kemampuan atau kecakapan<br />

tersebut harus termuat dalam pengembangan kurikulum.<br />

Adapun landasan pengembangan kurikulum PTAI berbasis kompetensi<br />

setidak-tidaknya bertolak dari landasan filosofis sebagai berikut, yakni:<br />

1) Secara ontologis, manusia memiliki potensi jismiyah, nafsiyah yang<br />

mengandung dimensi al-nafsu, al-'Aql dan al-Qalb, dan potensi ruhiyah<br />

yang memancar dari dimensi al-ruh dan al-fitrah, sehingga ia siap<br />

mengadakan hubungan vertikal dengan-Nya (habl min Allah) sebagai<br />

manifestasi dari sikap teosentris manusia mengakui Tuhan Yang Maha Esa.<br />

Manusia yang dicitakan adalah manusia yang mampu mengembang tugastugasnya<br />

di muka bumi, baik sebagai hamba Allah maupun khalifah-Nya;<br />

2) Secara epistemologis, pengembangan kurikulum berbasis kompetensi<br />

memiliki dasar rasional tertentu, yaitu: (a) siapa yang akan dijadikan peserta<br />

didik?; (b) apa kompetensi hasil didik, sebagai apa?; (c) siapa yang<br />

membutuhkan hasil didik, berapa jumlahnya, dan bagaimana jenjang karir<br />

i


150<br />

yang tersedia di <strong>masyarakat</strong>?; dan (d) bagaimana proses pendidikannya agar<br />

tujuan yang diinginkan terwujud?;<br />

3) Secara aksiologis, pengembangan KBK diarahkan pada pengembangan<br />

kemampuan menjalankan tugas-tugas atau pekerjaan tertentu.<br />

Dilihat dari dasar historisnya, aspirasi umat <strong>Islam</strong> pada umumnya dalam<br />

pengembangan PTAI, pada mulanya didorong oleh beberapa tujuan, yaitu:<br />

1) Untuk melaksanakan pengkajian dan pengembangan ilmu-ilmu agama <strong>Islam</strong><br />

pada tingkat yang lebih tinggi secara lebih sistematis dan terarah;<br />

2) Untuk melaksanakan pengembangan dan peningkatan dakwah <strong>Islam</strong>;<br />

3) Untuk melakukan reproduksi dan kaderisasi ulama dan fungsionaris<br />

keagamaan, baik pada kalangan birokrasi negara maupun sektor swasta,<br />

serta lembaga-lembaga sosial, dakwah, pendidikan, dan sebagainya.<br />

Dilihat dari segi dasar sosiologis bahwa <strong>masyarakat</strong> Indonesia bersifat<br />

plural, serba ganda dan beragam, sehingga tidak adil bila segala-galanya harus<br />

disamakan. Karena itu pengembangan kurikulum harus mampu memberi peluang<br />

kepada masing-masing PTAI untuk berimprovisasi dan berkreasi untuk<br />

mengembangkan pendidikan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya.<br />

Disamping itu <strong>masyarakat</strong> bersifat dinamis dan berkembang, sehingga<br />

memerlukan kemampuan untuk beradaptasi dan/atau kesiapan untuk berhadapan<br />

dengan dinamika perubahan dan perkembangan yang ada.<br />

Dilihat dari segi psikologis, bahwa setiap peserta didik memiliki potensi-<br />

potensi dasar yang perlu diaktualisasikan dan ditumbuhkembangkan secara<br />

berkelanjutan untuk dapat melaksanakan fungsinya sebagai hamba Allah dan<br />

khalifah-Nya di bumi. Dari segi landasan hukumnya, sebagaimana tertuang di<br />

dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem<br />

<strong>Pendidikan</strong> Nasional, bahwa salah satu strategi pembangunan pendidikan nasional<br />

adalah mengembangkan dan melaksanakan kurikulum berbasis kompetensi.<br />

i


151<br />

Adapun jika dilihat dari prinsip-prinsip dasar kurikulum berbasis<br />

kompetensi (KBK) adalah:<br />

1) Menekankan pada hasil (outcomes); Outcomes merupakan kompetensi yang<br />

dapat diukur;<br />

2) Evaluasi keberhasilan merupakan pengukuran penguasaan kompetensi yang<br />

telah dicapai (competency mastery) oleh peserta didik;<br />

3) Relevansi lebih besar pada pekerjaan dan tugas-tugas nyata dan dunia kerja;<br />

4) Menekankan pada kemampuan berpikir lebih tinggi.<br />

Menurut keputusan menteri agama nomor 353 tahun 2004 tentang<br />

Pedoman Penyusunan Kurikulum <strong>Pendidikan</strong> Tinggi <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> pasal 9, bahwa<br />

Kompetensi Lulusan dikelompokkan menjadi empat kompetensi:<br />

a) Kompetensi dasar adalah kompetensi yang dimiliki oleh setiap mahasiswa<br />

sebagai dasar bagi kompetensi utama pendukung dan kompetensi lainnya;<br />

b) ompetensi utama adalah kompetensi yang dimiliki oleh setiap mahasiswa<br />

sesudah menyelesaikan pendidikannya di suatu program studi tertentu;<br />

c) Kompetensi pendukung adalah kompetensi yang diharapkan dapat<br />

mendukung kompetensi utama;<br />

d) Kompetensi lain adalah kompetensi yang dianggap perlu dimiliki oleh<br />

mahasiswa sebagai bekal mengabdi di <strong>masyarakat</strong>, baik yang terkait<br />

langsung maupun yang tidak terkait.<br />

Kompetensi-kompetensi tersebut diperlukan untuk:<br />

a) Memberikan basic competencies ilmu-ilmu keislaman sebagai ciri khas dari<br />

PTAI, serta ilmu-ilmu dasar lainnya yang menjadi landasan dalam<br />

pengembangan kepribadian dan pendasaran bagi keahlian dari prodi-prodi<br />

yang ada;<br />

b) Memberikan kemampuan adaptasi terhadap ketidakpastian lapangan kerja,<br />

sifat pekerjaan, dan perkembangan <strong>masyarakat</strong> yang semakin tidak menentu;<br />

c) Mengantisipasi pekerjaan dengan persyaratan kompetensi yang sifatnya<br />

kompetitif dan tidak mengenal batas-batas fisik wilayah, negara dan<br />

pemerintahan;<br />

d) Memfasilitasi proses pendidikan sepanjang hayat, dalam bentuk proses<br />

belajar menemukan dan method of inquiry seseorang. 46<br />

Dalam memahami penjabaran standar kompetensi lulusan maka perlu<br />

dipaparkan Kerangka Pikir Pengembangan SKL dan Macam-Macam Kompetensi<br />

i<br />

46 Ibid, Hlm.307


152<br />

Lulusan PTAI. Standar kompetensi lulusan (SKL) adalah seperangkat kompetensi<br />

lulusan yang dibakukan dan diwujudkan dengan hasil belajar peserta didik.<br />

Standar ini harus dapat diukur dan diamati untuk memudahkan pengambilan<br />

keputusan bagi dosen, tenaga kependidikan lain, peserta didik, orang tua, dan<br />

penentu kebijaksanaan. Standar bermanfaat sebagai dasar penilaian dan<br />

pemantauan proses kemajuan dan hasil belajar peserta didik. Dan dalam<br />

merumuskan fungsi dan tugas-tugas tersebut harus didasarkan pada analisis<br />

landasan <strong>konsep</strong>tual dan landasan empiris. 47<br />

Adapun tujuan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) adalah:<br />

1) Mewujudkan standar nasional dan standar institusional kompetensi lulusan;<br />

2) Memberikan acuan dalam merumuskan kriteria, kerangka dasar<br />

pengendalian, dan quality assurance (jaminan mutu) lulusan;<br />

3) Memperkuat profesionalisme lulusan melalui standarisasi lulusan secara<br />

nasional dengan tetap memperhatikan tuntutan institusional, yaitu<br />

mewujudkan visi dan misi PTAI. Namun, makna perubahan kurikulum di<br />

setiap Perguruan tinggi tentu berbeda-beda antara satu dengan yang lain,<br />

tergantung pada nilai-nilai dasar yang dijadikan filosofi pendidikan di<br />

dalamnya, kondisi institusional, situasi sosial dan <strong>masyarakat</strong> tempat<br />

Perguruan Tinggi.<br />

Dibawah ini akan dipaparkan Standar Kompetensi Lulusan sebagai contoh<br />

model pengembangan Program Studi <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> di Fakultas<br />

Tarbiyah. Adapun dalam mendeskripsikan PAI mempunyai visi: menjadi Jurusan<br />

/ Program Studi <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> terdepan di lingkungan Perguruan<br />

Tinggi <strong>Islam</strong> dalam menyiapkan tenaga pendidik agama <strong>Islam</strong> dan pengelola<br />

satuan pendidikan keagamaan <strong>Islam</strong> yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan<br />

<strong>masyarakat</strong> lokal, nasional, regional, dan internasional, dengan memiliki<br />

i<br />

47 Muhaimin, Pengembangan Kurikulum, Op. Cit, Hlm 230-231


153<br />

kekokohan akidah dan kedalaman spiritual, keluhuran akhlak, keluasan ilmu dan<br />

kematangan profesional. Sedangkan misi Jurusan PAI adalah:<br />

a) Menyelenggarakan pendidikan unggul yang dirancang untuk menghasilkan<br />

lulusan yang siap menjadi pendidik agama <strong>Islam</strong> di sekolah/ madrasah dan<br />

jenis pendidikan keagamaan <strong>Islam</strong>, serta menjadi pengelola satuan<br />

pendidikan keagamaan <strong>Islam</strong>,<br />

b) Mempersiapkan lulusan yang berkualitas yang memiliki kekokohan akidah<br />

dan kedalaman spiritual, keluhuran akhlak, keluasan ilmu, dan kematangan<br />

profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai tenaga kependidikan<br />

<strong>Islam</strong>,<br />

c) Mengembangkan paradigma baru manajemen pendidikan dan menciptakan<br />

iklim akademik religius dalam pengelolaan pendidikan dan pengembangan<br />

kompetensi sebagai pendidik agama <strong>Islam</strong>,<br />

d) Mengembangkan penelitian yang melahirkan dan mengembangkan teoriteori<br />

pendidikan formal, informal dan non formal,<br />

e) Mengembangkan pengabdian kepada <strong>masyarakat</strong> yang lebih bersifat proaktif<br />

dan antisipatif dalam menghadapi dan memecahkan permasalahan<br />

<strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> yang tumbuh dan berkembang di <strong>masyarakat</strong>,<br />

f) Mengembangkan jaringan kerjasama/kemitraan dengan Perguruan Tinggi di<br />

dalam dan luar negeri, <strong>masyarakat</strong> pengguna lulusan, dan stakeholders<br />

lainnya,<br />

g) Mengembangkan dan menjaga nilai, etika profesional, dan moral akademis<br />

untuk pengendalian mutu program studi.<br />

Standar kompetensi lulusan merupakan seperangkat kompetensi yang<br />

dibakukan dan harus dicapai peserta didik sebagai hasil belajarnya pada Program<br />

Studi <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong>. Untuk mewujudkan fungsi dan tugasnya, adapun<br />

fungsi pertama adalah tenaga pendidik agama <strong>Islam</strong> pada jalur pendidikan formal<br />

dan non formal, bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran<br />

PAI, menilai hasil pembelajaran PAI, melakukan pembimbingan dan pelatihan<br />

pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dan jenis pendidikan keagamaan<br />

<strong>Islam</strong> dan membimbing dan menggerakkan kegiatan keagamaan. Dan fungsi<br />

kedua adalah menjadi tenaga kependidikan <strong>Islam</strong>, yang bertugas membentuk,<br />

mengelola, dan mengembangkan program pendidikan keagamaan <strong>Islam</strong>. Lulusan<br />

i


154<br />

Program Studi <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> Fakultas Tarbiyah harus memiliki<br />

kompetensi lulusan yang di kelompokkan ke dalam beberapa rumpun, sebagai<br />

berikut. 48 (lihat lampiran I ). Adapun profil Lulusan Fakultas/Jurusan Tarbiyah<br />

Program Studi PAI. Orientasi Fakultas/ Jurusan Tarbiyah program studi<br />

pendidikan agama <strong>Islam</strong> perlu dikembangkan kearah penyiapan profil dan<br />

kompetensi lulusan sebagaimana tertuang dalam lampiran III.<br />

Untuk menentukan mata kuliah dapat dilakukan dengan cara<br />

mengorganisasikan indicator-indikator kompetensi lulusan yang relevan satu sama<br />

lain menjadi satu kesatuan yang utuh, untuk selanjutnya dapat ditetapkan nama<br />

kuliah apa yang representatif atau mewakili kesatuan indicator yang utuh tersebut,<br />

dengan tetap memperhatikan sudut pandang rumpun keilmuannya. Dibawah ini<br />

adalah standar kompetensi bahan kajian yang dicapai melalui sejumlah bahan<br />

kajian atau mata kuliah dari masing-masing rumpun kompetensi lulusan yang<br />

terlampir di lampiran II, adapun implikasinya adalah sebagai berikut: 49<br />

1. Standar kompetensi lulusan berimplikasi terhadap pemilihan materi<br />

perkuliahan. <strong>konsep</strong> atau bahan kajian yang esensial dan strategis perlu dipilih<br />

sesuai dengan waktu dan ruang kurikulum untuk mendukung pencapaian<br />

kompetensi lulusan dan indikatornya. Dengan perkataan lain, jumlah mata<br />

kuliah dan bahan kajian yang dipilih sedemikian rupa sehingga dapat dikelola<br />

dalam pembelajaran untuk mengembangkan kompetensi lulusan yang<br />

direncanakan. keluasan dan kedalaman materi juga perlu diperhatikan agar<br />

lulusan memiliki keyakinan diri dan kemantapan dalam melaksanakan tugastugasnya<br />

dikemudian hari.<br />

2. Standar kompetensi lulusan merupakan acuan utama kendali mutu lulusan<br />

program studi PAI Fakultas Tarbiyah pada umumnya, yang diusahakan agar<br />

semua lulusannya yang akan menjadi calon guru agama <strong>Islam</strong> di<br />

sekolah/madrasah, pembimbing dan penggerak kegiatan keagamaan <strong>Islam</strong> di<br />

i<br />

48 Ibid, hlm 282-283<br />

49 Ibid, Hlm. 293-295


155<br />

sekolah/madrasah, pengelola satuan pendidikan keagamaan <strong>Islam</strong>, memiliki<br />

kemampuan yang sama atau setara dalam menjalankan tugas-tugasnya. 50<br />

Penjaminan mutu perlu dilakukan dalam rangka pemenuhan standar mutu<br />

keseluruhan dimensi pengelolaan pendidikan pada program studi PAI Fakultas<br />

Tarbiyah secara konsisten dan berkelanjutan. Dengan demikian, stakeholders<br />

memiliki kepuasan. Penjaminan mutu perlu dilakukan mulai dari peningkatan<br />

mutu masukan, pembelajaran yang variatif sampai dengan asessmen proses dan<br />

hasil belajar. Pembentukan kompetensi lulusan program studi Fakultas Tarbiyah<br />

ini merupakan dari berbagai pihak terkait atau stakeholders diluar Fakultas<br />

Tarbiyah. Untuk itu diperlukan jaringan kerjasama/kemitraan antara program<br />

studi PAI Fakultas Tarbiyah dengan semua pihak yang terkait. Jaringan kerja<br />

sama/kemitraan ini diperlukan dalam keseluruhan upaya pengembangan<br />

kurikulum, dan akan sangat membantu, baik dalam rangka evaluasi dan<br />

pemutakhiran kurikulum mapun dalam rangka analisis kebutuhan yang perlu<br />

dilakukan pada awal upaya pengembangan kurikulum.<br />

Evaluasi terhadap kurikulum yang telah dikembangkan perlu dilakukan<br />

secara berkelanjutan. Evaluasi tersebut dalam rangka pemutakhiran kurikulum<br />

erat kaitannya dengan dinamika kebutuhan <strong>masyarakat</strong> maupun globalisasi Ipteks.<br />

Kegiatan ini dilakukan melalui kajian tentang kesenjangan kurikulum yang ada<br />

dengan perkembangan yang terjadi di lapangan. Terbuka pula kemungkinan<br />

terjadinya perkembangan dalam ipteks yang mengimplikasikan juga perlunya<br />

perbaikan dan penyesuaian kurikulum program studi yang dikembangkan pada<br />

program studi PAI di Fakultas Tarbiyah. Kelompok pemrakarsa atau pihak yang<br />

i<br />

50 Ibid,Hlm.303


156<br />

berperan serta dalam pengembangan kurikulum ini terdiri dari perwakilan dari<br />

Jurusan/Program Studi PAI, seluruh pimpinan Fakultas Tarbiyah, direktorat<br />

Perguruan Tinggi <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong>, para pakar, unit-unit yang ada di PTAI, dan para<br />

dosen program studi serta pihak-pihak yang berkepentingan (stake holders). 51<br />

Dari pemaparan diatas maka penulis dapat menganalisis dan menjabarkan<br />

standar kompetensi lulusan. Dalam hal ini penulis dibantu oleh salah satu dari<br />

dosen PTAI yang telah banyak ikut serta dan tanggap dengan pemikiran<br />

Muhaimin. Menurut Malik Karim (2007) Pada saat Muhaimin menjadi Pembantu<br />

Rektor I pada tahun 2004-2005. Muhaimin dalam hal ini menjadi pakar dalam<br />

bidang pengembangan kurikulum. Dan Muhaimin memiliki suatu paradigma yang<br />

dikembangkan. Yakni paradigma non madzhabi dan menghindari sektarianisme.<br />

Yang hal tersebut tidak hanya diwujudkan dalam hidden kurikulum. Akan tetapi<br />

diwujudkan melalui Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang kemudian<br />

dimanifestasikan kedalam jajaran mata kuliah.<br />

Jadi didalam Jurusan/ Fakultas Tarbiyah terdapat mata kuliah wajib dan<br />

mata kuliah dasar yang wajib diajarkan oleh dosen dan dimanifestasikan ke dalam<br />

proses pembelajaran dan hal mata kuliah ini wajib diikuti setiap mahasiswa<br />

disegala Jurusan / Fakultas di PTAI ini.<br />

Keputusan dirjen dikti depdiknas RI Nomor: 38 /DIKTI/Kep/2002 tentang<br />

rambu-rambu pelaksanaan mata kuliah pengembangan kepribadian di Perguruan<br />

Tinggi menyatakan bahwa <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> (PAI) merupakan salah satu<br />

mata kuliah kelompok pengembangan kepribadian (MPK). Visi mata kuliah ini<br />

i<br />

51 Ibid, Hlm.307


157<br />

menjadi sumber nilai dan pedoman bagi penyelenggaraan program studi dalam<br />

mengantarkan mahasiswa mengembangkan kepribadiannya. Sedangkan misinya<br />

adalah membantu mahasiswa agar mampu mewujudkan nilai dasar agama dalam<br />

menerapkan ilmu pengetahuan teknologi dan seni yang dikuasainya dengan rasa<br />

tanggungjawab kemanusiaan. (Pasal I dan 2).<br />

Menurut pendapat penulis, jika dilihat dari visi dan misi PAI tersebut,<br />

maka idealnya PAI diorientasikan dan dikembangkan kearah paradigma<br />

organisme, yang menjadikan PAI sebagai sumber nilai dan pedoman bagi<br />

penyelenggaraan program studi serta membantu mahasiswa (calon sarjana) agar<br />

mampu mewujudkan nilai dasar agama dalam menerapkan Ilmu pengetahuan,<br />

teknologi, dan seni. Kurikulum yang dikembangkan dalam rangka membentuk<br />

karakter seperti dalam <strong>masyarakat</strong> madani adalah dengan adanya mata kuliah<br />

pengembangan kepribadian dan sikap. Adapun mata kuliah yang termasuk dalam<br />

pengembangan kepribadian ini terbagi menjadi tiga rumpun yang akan sedikit<br />

dijabarkan yakni adalah sebagai berikut:<br />

1. Pengembangan Kepribadian dan sikap Sebagai Warga Negara Indonesia dan<br />

warga global; Masyarakat madani juga telah banyak di singgung dalam mata<br />

kuliah civic education atau pancasila dan kewarganegaraan yang didalamnya<br />

banyak memaparkan kajian civil society, yang mana <strong>masyarakat</strong> madani<br />

adalah <strong>masyarakat</strong> yang sangat menghargai perbedaan, baik suku bangsa,<br />

aliran, madzhab, adat istiadat dan lain-lain. Sama seperti yang telah<br />

dipaparkan dalam pandangan Muhaimin. Mata kuliah ini merupakan<br />

matakuliah Yang sebarkan kepada semua Fakultas/Jurusan di PTAI dalam<br />

rangka membentuk kepribadian dan sikap. Adapun indikator yang perlu<br />

dikembangkan adalah memiliki rasa kebangsaan, memiliki semangat<br />

kebhinekaan, demokratis, memiliki solidaritas sosial, memiliki kepekaan<br />

informasi lokal dan global, mampu berpikir global dan bertindak lokal.<br />

Rumpun mata kuliah ini juga tersebar ke Fakultas-Fakultas lain non<br />

Tarbiyah, dari sini bisa digambarkan bahwa mata kuliah tersebut berupaya<br />

mewujudkan sebagai karakter yang mendukung <strong>menuju</strong> terciptanya<br />

i


158<br />

<strong>masyarakat</strong> madani. Dalam hal ini dapat dilihat dari rumpun mata kuliah<br />

tersebut yang dikembangkan di PTAI ini.<br />

2. Pengembangan Kepribadian dan sikap sebagai orang <strong>Islam</strong> (warga muslim);<br />

Dalam mengembangkan kepribadian sebagai warga muslim yang beriman<br />

dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, maka diperlukan mata kuliah<br />

yang terkait dalam mewujudkan <strong>masyarakat</strong> madani, yakni mata kuliah<br />

Pengantar Studi <strong>Islam</strong>, yang mana mata kuliah tersebut turut andil dalam<br />

mengembangkan kepribadian diri sebagai muslim dan sesuai dengan<br />

karakteristik <strong>menuju</strong> <strong>masyarakat</strong> madani. Adapun indikator yang diusahakan<br />

dalam menghasilkan lulusan yang kompeten adalah: memiliki komitmen,<br />

loyalitas dan dedikasi terhadap ajaran <strong>Islam</strong>, mampu berpikir, berbicara, dan<br />

bertindak sesuai dengan nilai-nilai ajaran <strong>Islam</strong>, memiliki tanggung jawab,<br />

harga diri, integritas, mampu bersosialisasi, mampu saling menghormati<br />

antar umat beragama.<br />

3. Pengembangan Kepribadian dan sikap sebagai mahasiswa muslim; Dalam<br />

hal ini mahasiswa diharapkan memiliki watak dan kepribadian yang unggul,<br />

pemikiran yang ilmiah, logis dan terarah. Dalam hal ini dalam matakuliah<br />

diajarkan melalui pengantar filsafat ilmu. Adapun indikatornya adalah<br />

pengembangan kepribadian dan sikap sebagai mahasiswa muslim yang<br />

bersikap ilmiah, yakni cinta ilmu pengetahuan, cinta kebenaran, rasional,<br />

kritis, objektif, menghargai pendapat orang lain dan mandiri. Dengan<br />

demikian pemberian mata kuliah filsafat ilmu di perguruan tinggi<br />

diharapkan akan bisa mengatasi sempitnya wawasan serta masalah-masalah<br />

lain. Masyarakat perguruan tinggi (terutama dosen dan mahasiswa) akan<br />

lebih siap untuk tidak memandang ilmu sebagai kumpulan bahan bacaan<br />

(hafalan) melainkan akan berusaha mencermatkan kegiatan ilmiah.<br />

Selanjutnya penalaran akan berkembang dan semangat ilmiah berkobar.<br />

Dalam hal ini mata kuliah filsafat ilmu akan memberikan peranannya. 52<br />

Dari pemaparan diatas dapat dipahami bahwa dalam pengembangan<br />

kepribadian dimanifestasikan ke dalam jajaran mata kuliah tidak hanya melalui<br />

hidden kurikulum, artinya kepribadian yang dikembangkan diluar kegiatan<br />

pembelajaran seperti pembiasaan sholat berjama’ah di PTAI, bagi setiap warga<br />

kampus mulai dari dosen, mahasiswa dan karyawan. Karena manifestasi juga<br />

penting dalam usaha mengembangkan PTAI ke Depan perlu dikembangkan<br />

budaya-budaya akademik dosen dan mahasiswa. Budaya akademik adalah<br />

52 Wawancara dengan Bapak Malik Karim Dosen Fakultas Tarbiyah pada tanggal 6 Maret<br />

2007 pada pukul 09.00 WIB. Di Kantor Jaminan Mutu di Gedung Pasca Sarjana lantai 1<br />

i


159<br />

kegiatan yang terencana secara sistematis berkaitan dengan peningkatan kualitas<br />

akademik atau sesuatu yang sudah terbiasa dilakukan oleh civitas akademik<br />

berkaitan dengan nilai-nilai akademik.<br />

Adapun Budaya akademik antara lain: motivasi belajar-mengajar,<br />

kegemaran melakukan riset, kegemaran menulis, kemampuan berfikir rasional,<br />

analitis, kritis, kemampuan berkomunikasi secara ilmiah-akademis, kemampuan<br />

berkreasi, menemukan yang baru, kemampuan menyesuaikan diri dengan<br />

perubahan, disiplin dalam tugas dan pekerjaan, komitmen kepada kemajuan,<br />

berwawasan ke depan (prospektif), mengadopsi kemajuan teknologi informasi,<br />

kemampuan dan kegemaran bekerjasama dalam pengembangan keilmuan.<br />

Sedangkan Kompetensi Sosial yang perlu di kembangkan adalah<br />

Kemampuan berinteraksi, berkomunikasi, dan bekerjasama dengan jajaran<br />

pimpinan, dengan sesama dosen, dengan para karyawan, serta dengan para<br />

mahasiswa. Orientasi akademik yang perlu dikembangkan di PTAI adalah:<br />

Pengembangan ilmu yang relevan, Pengembangan SDM (dosen, karyawan,<br />

mahasiswa), Antisipatif terhadap perkembangan dan tuntutan zaman, Pembenahan<br />

sistem & perilaku manajerial akademik.<br />

Sebenarnya agama <strong>Islam</strong> mengajarkan bahwa setiap umat <strong>Islam</strong> wajib<br />

mendakwahkan dan mendidikkan ajaran agama <strong>Islam</strong> kepada yang lain. Namun<br />

demikian, pendidikan agama ternyata tidak hanya menyangkut masalah<br />

transformasi ajaran dan nilainya kepada pihak lain, tetapi sampai pada<br />

transinternalisasi nilai ajaran <strong>Islam</strong>. Karena itu, lebih merupakan masalah yang<br />

kompleks, dalam pengertian setiap kegiatan pembelajaran pendidikan agama akan<br />

i


160<br />

berhadapan dengan permasalahan yang kompleks, misalnya masalah keyakinan,<br />

keilmuan, penghayatan dan pengamalan ajaran agama dari guru/dosen itu sendiri<br />

untuk ditransformasikan dan ditransinternalisasikan kepada peserta didik dengan<br />

berbagai karakteristiknya, dengan berbagai kondisi dan situasi, berbagai kendala<br />

yang perlu diperhitungkan, sarana yang diperlukan untuk mencapai keberhasilan<br />

pendidikan agama, cara atau pendekatan apa yang digunakan dalam<br />

pembelajarannya, bagaimana mengorganisasikan dan mengelola isi pembelajaran<br />

agama itu, hasil yang diharapkan dari kegiatan pendidikan agama itu, dan<br />

seberapa jauh tingkat efektivitas, efisiensinya, serta usaha-usaha apa yang<br />

dilakukan untuk menimbulkan daya tarik bagi peserta didik, demikian seterusnya.<br />

Karena itulah, setiap calon guru termasuk guru agama, perlu dipersiapkan<br />

dengan berbagai kemampuan tersebut. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa<br />

pendidikan agama mempunyai kedudukan penting dan strategis dalam<br />

pembangunan negara dan <strong>masyarakat</strong> Indonesia. Demikian strategisnya posisi<br />

pendidikan agama tersebut, sehingga fakultas Tarbiyah masih sangat diperlukan<br />

eksistensinya untuk menyiapkan calon guru agama yang profesional.<br />

Berbicara tentang lulusan yang siap pakai tidak bisa dilepaskan dari<br />

pembicaraan tentang strategi link and match (keterkaitan dan kesepadanan), yang<br />

saat ini merupakan salah satu prioritas pembangunan pendidikan nasional.<br />

Keterkaitan (link) dalam pengertian keterkaitan program pendidikan dengan<br />

kebutuhan pembangunan sehingga terjadi (match), dalam pengertian lulusannya<br />

siap pakai untuk memenuhi kebutuhan pembangunan.<br />

i


161<br />

Diskursus tentang lulusan yang siap pakai ternyata mengundang polemik<br />

dan controversial. Sementara pihak menyatakan bahwa tidak mungkin (nonsense)<br />

lulusan yang siap pakai bisa dihasilkan oleh sekolah atau perguruan tinggi,<br />

termasuk Fakultas / Jurusan Tarbiyah. Diantara alasannya adalah karena<br />

kenyataan menunjukkan bahwa kebutuhan yang ada di <strong>masyarakat</strong> senantiasa<br />

berkembang dan mengalami dinamika. Disamping itu, lembaga pendidikan bukan<br />

untuk mencetak lulusan yang siap pakai, tetapi ingin mendidik dan menyiapkan<br />

lulusan yang memahami dirinya, perannya di masa depan. Sementara, pihak lain<br />

justru menghendaki agar Perguruan Tinggi bisa diprogramkan untuk<br />

menghasilkan lulusannya mampu dan siap menjalankan tugas untuk memenuhi<br />

kebutuhan pembangunan di lingkungan atau <strong>masyarakat</strong>nya.<br />

Kesiappakaian lulusan harus diartikan bahwa mereka siap dengan berbagai<br />

kemampuan, alat atau kelengkapan untuk dimanfaatkan di bidang keahliannya.<br />

Lulusan Fakultas Tarbiyah dikatakan siap pakai bilamana dia disiapkan dengan<br />

kurikulum atau seperangkat pengalaman belajar yang relatif sempurna di<br />

Fakultas/ Jurusan Tarbiyah yang kemudian setelah lulus dia siap bekerja dalam<br />

bidang kesarjanaannya, yakni sarjana pendidikan agama. Kalau dia sudah<br />

disiapkan dengan seperangkat kurikulum dan pengalaman belajar, tetapi toh dia<br />

tidak bisa bekerja (menjalankan tugas sebagai guru agama/ pendidik), maka dia<br />

tidak siap pakai.<br />

Menurut UU Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005 dalam pasal 6<br />

tentang guru dan dosen yang menyatakan bahwa kedudukan guru dan dosen<br />

sebagai tenaga professional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan<br />

i


162<br />

nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya<br />

potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada<br />

Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,<br />

serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. 53<br />

Mempersiapkan para dosen menjadi pendamping dan pembimbing<br />

mahasiswa supaya mereka dapat berfungsi dengan baik dan mampu melahirkan<br />

figure mahasiswa ideal yang unggul dalam kegiatan akademis dengan tetap<br />

berpijak pada lingkungan sosialnya adalah bukan hal mudah. Kita harus<br />

menyadari untuk menata secara rasional ke arah pembimbingan mahasiswa yang<br />

lebih mapan. Asumsi yang mendasari barangkali adalah bahwa mahasiswa<br />

merupakan calon pemimpin di masa depan sesuai dengan bidang yang<br />

ditekuninya dengan berbagai persaingan yang semakin menajam.<br />

Adanya problem yang terjadi di madrasah menuntut perlunya penyiapan<br />

guru-guru madrasah yang berwawasan akademis sekaligus memiliki komitmen<br />

keislaman yang tinggi, agar mereka mampu menangkap makna substansial dari<br />

eksistensi madrasah. Sebagai konsekuensinya rekruitmen tenaga kependidikan di<br />

madrasah perlu dibedakan dengan sekolah non madrasah, demikian pula<br />

penyiapan calon guru madrasah perlu dibedakan dengan calon guru non<br />

madrasah. Disinilah salah satu tantangan PTAI/IAIN/STAIN di masa mendatang,<br />

dalam arti ia memiliki tanggungjawab besar untuk menyiapkan calon-calon guru<br />

53 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005 Tentang Guru Dan Dosen,<br />

serta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS. 2006.<br />

Bandung: Citra Umbara<br />

i


163<br />

tersebut yang memiliki komitmen akademis-religius atau personal dan<br />

professional religius. 54<br />

Perguruan Tinggi, sebagai suatu tahapan akhir yang akan menghasilkan<br />

para cendekiawan, ilmuwan, praktisi, dan akademisi, diharapkan mampu<br />

menghasilkan pimpinan bangsa ini. Untuk itu dibutuhkan suatu pola belajar yang<br />

berprestasi menghasilkan tuntutan tersebut. Upaya ini bukanlah suatu hal yang<br />

mudah karena disamping dibutuhkan suatu kesadaran, tekad, dan kesabaran, tapi<br />

juga dibutuhkan kemampuan dan pengetahuan yang tinggi dari para dosen<br />

pendamping/pembimbing kemahasiswaan. Harapan ideal dari terbentuknya upaya<br />

dan model bimbingan kepada mahasiswa yang dipercaya mampu melahirkan<br />

SDM berkualitas di masa depan. Usaha ke arah pemberdayaan dan<br />

mempersiapkan masa depan mahasiswa harus menjadi mainstream utama pada<br />

diskusi kali ini. Hal ini sejalan dengan mengubah model pembelajaran, “Dari<br />

berorientasi kepada guru/dosen (teacher oriented) ke pembelajaran yang<br />

berorientasi kepada siswa/mahasiswa (student oriented).”Mencintai mahasiswa<br />

dan dicintai mahasiswa adalah modal dasar bagi para dosen ke arah bimbingan<br />

yang signifikan bagi pembangunan kualitas SDM mahasiswa di masa depan.<br />

Menghadapi persaingan global pada tahun 2020, mahasiswa adalah menempati<br />

pada posisi umur produktif yang kepadanyalah segenap harapan ditumpukan. 55<br />

Menurut pengamatan para ahli, bahwa dalam bidang social capital bangsa<br />

Indonesia ini hampir mencapai tittik “zero trust society”, atau <strong>masyarakat</strong> yang<br />

54<br />

Muhaimin, Arah Baru Pengembangan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>, Pemberdayaan, Pengembangan<br />

Kurikulum, Hingga Redefinisi <strong>Islam</strong>isasi Pengetahuan (Bandung: nuansa, 2003), hlm.203<br />

55<br />

A. Malik Fajar, Holistika Pemikiran <strong>Pendidikan</strong>, Editor Ahmad Barizi, (Jakarta, PT Raja<br />

Grafindo Persada, 2005. hlm.283-284)<br />

i


164<br />

sulit percaya dan dipercaya, akibatnya kita kalah bersaing dengan orang-orang<br />

luar, basis-basis ekonomi justru dikuasai oleh orang-orang asing, karena mereka<br />

lebih dapat dipercaya dari pada <strong>masyarakat</strong> kita sendiri, sementara kita harus<br />

mengabdi kepada mereka. Dalam konteks pendidikan, munculnya pemalsuan<br />

ijazah, tradisi nyontek dikalangan siswa/mahasiswa, plagiasi skripsi, tesis atau<br />

disertasi, adalah merupakan indicator dari rendahnya sikap amanah (trust).<br />

Fenomena semacam itu merupakan tantangan yang perlu segera dijawab<br />

oleh Fakultas/Jurusan Tarbiyah, dalam arti apa kontribusinya dalam membangun<br />

<strong>masyarakat</strong> yang memilki sikap amanah (trust) yang tinggi tersebut. Apakah yang<br />

dapat diperbuat terhadap para mahasiswanya, generasi penerus, lingkungan, dalam<br />

rangka terwujudnya <strong>masyarakat</strong> madani, yakni <strong>masyarakat</strong> yang memiliki pribadi-<br />

pribadi yang cerdas dan berakhlak mulia, yang dapat berdiri sendiri dan<br />

bekerjasama dengan orang lain untuk menciptakan <strong>masyarakat</strong> yang sejahtera dan<br />

penuh sikap amanah.<br />

Disamping itu kita juga sedang menghadapi globalisasi di bidang budaya,<br />

etika dan moral sebagai akibat dari kemajuan teknologi, terutama di bidang<br />

informasi. Melalui media massa yang canggih menyebabkan peran guru pada<br />

umumnya dan termasuk guru agama <strong>Islam</strong>, dalam belajar sudah mulai bergeser.<br />

Para siswa saat ini telah mengenal berbagai sumber pesan pembelajaran, yaitu:<br />

1) Guru yang bersifat pedagogis;<br />

2) Buku-buku pelajaran yang bersifat pedagogis dan terkontrol oleh guru;<br />

3) Buku-buku bacaan ada yang terkontrol oleh guru dan ada yang tidak<br />

terkontrol;<br />

4) Surat kabar adalah sumber pesan pesan pembelajaran yang tidak terkontrol;<br />

majalah, radio, film, televisi, wisatawan asing yang tidak terkontrol.<br />

Sumber-sumber pesan pembelajaran yang tidak terkontrol oleh pendidik<br />

i


165<br />

tersebut dapat mengakibatkan perubahan budaya, etika dan moral siswa atau<br />

<strong>masyarakat</strong>. 56<br />

Dari penjabaran standar kompetensi kelulusan ini adalah merupakan<br />

kerangka pemikiran Muhaimin yang dideskripsikan dalam bentuk jajaran<br />

matakuliah yang harus ditempuh dan kemudian dicapai kompetensi yang dicapai.<br />

Jadi standar kompetensi lulusan hanya dijadikan landasan berpikirnya Muhaimin<br />

dalam rangka mempersiapkan output atau lulusan yang mampu merespon<br />

tantangan dan menjawab persoalan dalam upaya menghasilkan lulusan yang<br />

mampu bersaing di dalam segala bidang keilmuan. Dan dapat dijadikan acuan<br />

dalam menjamin mutu lulusan sesuai dengan visi dan misi di PTAI atau di<br />

Perguruan Tinggi yang merujuk pada standar kompetensi lulusan tersebut.<br />

Langkah pertama guna membentuk pola pikir, sikap, dan tingkah laku<br />

yang <strong>Islam</strong>i, adalah meluruskan kembali pemahaman nilai-nilai keagamaan, serta<br />

menyebarluaskannya, sehingga dapat dipahami dan dihayati oleh umat. Cukup<br />

banyak masalah yang perlu diluruskan, sebagaimana tidak sedikit yang perlu<br />

mendapatkan interpretasi baru seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan<br />

ilmu pengetahuan dan teknologi. 57<br />

Melihat kenyataan yang terjadi di tingkat Perguruan Tinggi, tingkat yang<br />

mestinya kualitas menjadi ciri khas. Di Perguruan Tinggi bahkan ada yang<br />

sepertinya hanya menjual ijazah, tidak menyiapkan peserta didiknya untuk dapat<br />

bersaing secara nasional, apalagi secara global. Banyak PTAI yang tidak<br />

berorientasi pada kebutuhan <strong>masyarakat</strong> sehingga banyak lulusannya tidak dapat<br />

i<br />

56 Muhaimin, Arah Baru Op. Cit, hlm.299<br />

57 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1994) hlm, 251


166<br />

dimanfaatkan oleh <strong>masyarakat</strong> sesuai ijazahnya. Banyak diantara mereka<br />

menganggur.<br />

Jadi PTAI perlu melakukan introspeksi dengan merumuskan kembali.<br />

Maka PTAI perlu kembali kepada khittah atau mencari kembali khittahnya yang<br />

hilang. PTI perlu merumuskan misi, visi dan tujuannya di masa depan dengan<br />

melakukan pembenahan terhadap komponen-komponen pendidikan seperti<br />

kurikulum, dosen dan proses belajar mengajar, dan lain-lain. Kurikulum PTAI<br />

perlu diusahakan agar relevan, efektif dan efisien, serta luwes dengan fokus<br />

sasaran yang jelas dan dapat diukur relevan artinya sesuai dengan kebutuhan<br />

<strong>masyarakat</strong>; efektif artinya ada bekasnya (dampaknya) bagi pengetahuan dan<br />

ketrampilan mahasiswa; efisien artinya tujuan itu dicapai dengan penggunaan<br />

waktu, dana, dan tenaga yang sehemat mungkin; luwes dalam arti mudah<br />

disesuaikan dengan kebutuhan mahasiswa dan <strong>masyarakat</strong>. Kurikulum yang luwes<br />

akan memungkinkan mahasiswa, dengan latar belakang yang berbeda-beda untuk<br />

mencapai tujuan kurikuler yang ditetapkan. Kualitas dosen juga perlu<br />

ditingkatkan, baik dibidang penguasaan ilmu, ketrampilan mengajar, maupun cara<br />

mengevaluasi hasil kuliah. Kualitas dosen ini penting karena merekalah ujung<br />

tombak di ruang balajar dan the man behind the gun yang menentukan layanan<br />

pendidikan di PTAI.<br />

Menurut penulis usaha meningkatkan mutu pendidikan agama silam juga<br />

dipengaruhi oleh kualitas input mahasiswa. Ini adalah faktor yang amat penting<br />

karena kualitas mahasiswalah yang menjadi suatu ukuran bagi suatu lembaga<br />

pendidikan. Lulusan yang baik menunjukkan bahwa proses pendidikan dilembaga<br />

i


167<br />

itu baik, begitu pula sebaliknya. Ini dapat dilakukan dengan melakukan serangan<br />

masuk yang standar dan ketat. Namun, yang dihadapi PTAIN adalah lulusan<br />

SLTA yang bukan bibit unggul (yang bibit unggul lebih memilih perguruan tinggi<br />

lain yang lebih menjanjikan masa depan yang lebih cerah). Dengan kenyataan<br />

seperti ini, yang bisa dilakukan hanya berusaha melakukan pembinaan yang<br />

mendekati standar yang telah kita tetapkan dalam tujuan kurikuler (misalnya<br />

melalui program artikulasi/remedial). Peningkatan kualitas proses belajar<br />

mengajar di PTAI juga penting. Ini menyangkut cara perkuliahan yang diberikan<br />

dosen dan pemanfaatan bahan pustaka. <strong>Pendidikan</strong> diarahkan bukan pada<br />

pemberian ikan tetapi pemberian kail. Mahasiswa harus dididik bukan untuk<br />

menerima informasi guna memecahkan masalah yang mereka hadapi nanti. Jadi,<br />

penekanan harus pada penguasaan metodologi (kaidah-kaidah) pengembangan<br />

ilmu (penelitian) bukan hasil-hasil penelitian.<br />

Pengembangan pendidikan agama <strong>Islam</strong> memerlukan upaya rekonstruksi<br />

pemikiran kependidikan dalam rangka mengantisipasi setiap perubahan yang<br />

terjadi: pertama; subject matter pendidikan <strong>Islam</strong> harus berorientasi ke masa<br />

depan: kedua; perlu dikembangkan sikap terbuka bagi transfer of knowledge dan<br />

kritis terhadap setiap perubahan, ketiga; menjauhkan paradigma dikotomis<br />

terhadap ilmu (ilmu agama dan ilmu umum), tidak terjebak pada kategori-kategori<br />

yang saling bertolak belakang. Kategori-kategori atau dikotomi-dikotomi itu harus<br />

disikapi secara terbuka dan dipikirkan secara dialektis. Karena “agama” dan<br />

“ilmu” merupakan entitas yang menyatu (integral) tak dapat dipisahkan satu sama<br />

lain.<br />

i


168<br />

Setiap diskursus tentang metodologi memerlukan sentuhan-sentuhan<br />

filsafat. Tanpa sense of Philosophy maka sebuah metodologi akan kehilangan<br />

substansinya. Metodologi Studi <strong>Islam</strong> (MSI) perlu visi epistemologis yang dapat<br />

menjabarkan secara integral dan terpadu terhadap tiga arus utama dalam ajaran<br />

<strong>Islam</strong>: aqidah, syari’ah dan akhlak. Mata kuliah tersebut diberikan kepada semua<br />

fakultas yang merupakan mata kuliah dasar (wajib) bagi pengantar semua mata<br />

kuliah yang ada, yang mencakup ontologis, epistemologis dan aksiologis.<br />

Diharapkan dengan matakuliah ini, mata kuliah lainnya akan terarah pada<br />

wawasan dan ruh ke-<strong>Islam</strong>an yang kontekstual-transformatif, bukan dogmatik,<br />

sebab kecenderungan untuk memaksakan nilai-nilai moral secara dogmatik ke<br />

dalam argumentasi ilmiah hanya akan mendorong ilmu surut ke belakang (set<br />

back) ke zaman pra-copernicus dan mengundang kemungkinan tersebut pada<br />

zaman ini. Begitu pula kecenderungan mengabaikan nilai-nilai moral dalam<br />

pengembangan ilmu dan teknologi juga akan menjadikan dishumanisme. Disinilah<br />

perlunya paradigma integralisme dan desekularisasi terhadap ilmu. Lebih dari itu<br />

dalam era modern dan globalisasi ini, kita perlu mengembangkan ilmu agama<br />

<strong>Islam</strong> pada wilayah praksis, bagaimana ilmu-ilmu agama <strong>Islam</strong> mampu<br />

memberikan kontribusi yang paling berharga bagi kepentingan kemanusiaan<br />

sebagaimana yang pernah dilakukan oleh ilmuan-ilmuan Muslim sebelumnya. 58<br />

Adanya integrasi keilmuan karena adanya dikotomi keilmuan, selama ini<br />

kita dihadapkan pada kenyataan adanya dikotomi keilmuan. Keilmuan agama dan<br />

keilmuan non-agama atau dalam tulisan ini diistilahkan dengan "sains dan<br />

58 Zainuddin, ( Eds) Memadu Sains Dan <strong>Agama</strong> Menuju Universitas <strong>Islam</strong> Masa Depan,<br />

(Malang: PTAI Malang dan Bayu Media Publishing, 2004), hlm. 18-19<br />

i


169<br />

agama". Sebenarnya persoalan ini bukanlah hal yang baru dalam tradisi <strong>Islam</strong>.<br />

Dalam dunia <strong>Islam</strong> dikotomi ini sebenarnya bukan hal yang baru, karena <strong>Islam</strong><br />

telah mempunyai tradisi dikotomi ini lebih dari seribu tahun yang lalu.<br />

Persoalan dikhotomi dalam sistem pendidikan itu bukan hanya<br />

menyangkut perbedaan dalam struktur luarnya saja tetapi juga perbedaan yang<br />

lahir dari pendekatan terhadap tujuan pendidikan. Oleh karena itu para<br />

cendekiawan muslim dari berbagai dunia berkumpul untuk memecahkan<br />

persoalan ini sehingga muncul gagasan baru untuk memecahkan permasalahan<br />

tersebut diatas antara lain dengan mengintegrasikan antara ilmu-ilmu pengetahuan<br />

agama dan ilmu pengetahuan umum. Rendahnya kualitas anak didik tidak bisa<br />

dilepaskan dengan masalah dikhotomi sistem pendidikan, yang mana telah<br />

memunculkan pribadi-pribadi yang terpecah dan tidak menghasilkan anak didik<br />

yang mempunyai komitmen spiritual dan intelektual yang mendalam. Oleh karena<br />

itu, ada 4 usaha yang menurut Fazlur rahman harus dilakukan:<br />

a) Memberikan pelajaran Al-Qur’an dan metode tafsir secara sistematis;<br />

b) Memberikan materi disiplin ilmu agama secara historis, kritis dan<br />

menyeluruh;<br />

c) Mengintensifkan penguasaan bahasa asing;<br />

d) Menumbuhkan sikap toleran perbedaan pendapat. 59<br />

Terlepas dari masalah terakhir ini, di lingkungan PTAI atas persetujuan<br />

Departemen <strong>Agama</strong> sejak 1970-an telah melakukan berbagai upaya untuk<br />

memperkecil jika tidak menghilangkan dikotomi tersebut. Setidaknya ada langkah<br />

yang signifikan yang dilakukan, yakni dengan memperkenalkan dan<br />

59 Jalaluddin Anshori Kalatin, Pembaruan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> Dalam Wacana Pemikiran<br />

Fazlur Rahman, Dalam Buku Kontroversi Pemikiran Fazlur Rahman Studi Kritis Pembaruan<br />

<strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>, (Shabran, Jurnal Studi Dan Dakwah <strong>Islam</strong>, Edisi 01, Vol. XIV, 2000), Lembaga<br />

Studi <strong>Islam</strong> Universitas Muhammadiyah Surakarta. Hlm, 93-95<br />

i


170<br />

memperbanyak mata kuliah umum seperti filsafat umum, sosiologi, perbandingan<br />

agama, statistik dan lain-lain dalam kurikulum nasional IAIN/PTAI. Dan adapun<br />

contoh silabi perbandingan agama sebagai upaya merentas dikotomi ilmu<br />

pengetahuan adalah termaktub dalam (lampiran IV). Tujuan upaya ini selain<br />

untuk mendekatkan "ilmu-ilmu agama" dengan "ilmu-ilmu umum", juga agar<br />

mehasiswa IAIN tidak terbelenggu dalam kerangka normatif dalam memahami<br />

agama, sebagaimana lazim dalam"ilmu-ilmu agama". Dengan begitu, diharapkan<br />

mahasiswa IAIN juga mampu berpikir dan menggunakan pendekatan sosiologis<br />

historis dalam memahami agama. 60<br />

Dari hasil penelitian di UIN dapat diketahui bahwa model integrasi<br />

keilmuan yang mungkin bisa dikembangkan di UIN adalah model integrasi yang<br />

bersifat dialektis. Model integrasi dialektis dipahami sebagai model integrasi yang<br />

mencoba mendialeketikkan antara keilmuan dan agama. Integrasi dialektis<br />

tersebut dapat memanifestasikan dalam bentuk:<br />

a) Integrasi dalam desain besar pembelajaran dan/atau program studi integrasi<br />

dalam konteks yang pertama ini sebagaimana dijelaskan Machasin dapat<br />

dilakukan dengan membuat desain pembelajaran yang berparadigma<br />

integratif. Perangkat pembelajaran seperti kurikulum menjadi hal yang harus<br />

jadi perhatian;<br />

b) Integrasi dalam sikap ilmuwan. Integrasi dalam konteks yang kedua lebih<br />

menjadikan subjek sebagai objek dari integrasi. Dengan demikian, hal ini<br />

yang terpenting adalah bagaimana mode berfikir (mode of thought) ilmuan<br />

itu yang dipengaruhi. Ini juga berarti bahwa integrasi keilmuwan lebih<br />

diperlakukan dalam ranah etis.<br />

Upaya yang harus diusahakan semaksimal mungkin berkenaan dengan dua<br />

model integrasi diatas adalah:<br />

60<br />

Azyumardi Azra, Paradigma Baru <strong>Pendidikan</strong> Nasional Restrukturisasi Dan<br />

Demokratisasi, Op. Cit, hlm. 102-103<br />

i


171<br />

1. Mahasiswa mesti diberi pengetahuan berkenaan dengan asumsi-asumsi ilmu<br />

yang dipelajarinya. Mereka harus memahami landasan filosofis dari<br />

keilmuan yang dipelajari di masing-masing program studi. Pada titik ini kita<br />

menyadari arti penting dari filsafat ilmu dalam memperkuat program<br />

integrasi keilmuan. Abdullah dengan tandas menegaskan bahwa filsafat ilmu<br />

mempunyai makna sangat penting bagi pengembangan ilmu pengetahuan.<br />

Ilmu apapun yang disusun, diajarkan dan disebarluaskan secara lisan<br />

maupun tulisan meniscayakan paradigma kefilsafatan. Dengan memberikan<br />

pemahaman dasar kepada mahasiswa diharapkan hambatan-hambatan yang<br />

muncul seperti sikap skeptis dikalangan mahasiswa dapat diatasi;<br />

2. Hal selanjutnya adalah bagaimana landasan epistemologi ilmu dipelajari<br />

oleh mahasiswa, itu adalah suatu keharusan. Oleh karena itu, kurikulum,<br />

silabi harus benar-benar menunjang terhadap proses pembelajaran yang<br />

mengarah pada integrasi ilmu dan agama;<br />

3. Membangun academic sphare yaitu suasana akademik atau atmosfir<br />

akademik yang kondusif bagi tumbuhnya wacana integrasi ilmu dan agama,<br />

sehingga suasana diskusi ini benar benar dihidupkan;<br />

4. Komitmen dosen, pimpinan juga harus benar-benar nayata dalam<br />

menggulirkan wacana integrasi ilmu dan agama. Semua civitas akademik<br />

dari rektor hingga pimpinan yang lain harus konsisten dalam mengkontruksi<br />

wacana ini. Jangan berharap membangun di luar kalau di dalam masih<br />

berbeda-beda, oleh sebab itu harus ada komitmen tinggi dari segenap civitas<br />

akademika;<br />

5. Peningkatan kualitas sumber daya manusia (dosen). Berkenaan dengan hal<br />

ini terdapat beberapa langkah yang mungkin bisa dilakukan yakni<br />

penyaiapan mental ruhiyah setiap pribadi, penguasaan informasi terutama<br />

berkenaan dengan masalah agama yang mencukupi, dan penguasaan ilmu<br />

yang dibidangi secara tuntas dan mendalam. 61<br />

Terdapat asumsi-asumsi dari Muhaimin, terdapat hal-hal yang dijadikan<br />

fokus perhatian, maka perlu dicarikan alternatif model pengembangan interaksi<br />

guru (dosen) dan peserta didik dalam penyiapan ulul albab pada Perguruan Tinggi<br />

<strong>Islam</strong> (PTI). Model tersebut dapat diformulasikan sebagai berikut:<br />

1) Perlu memposisikan mahasiswa sebagai santri di PTI, guna membina<br />

seperangkat kepribadian yang terkait dengan model atau sentral identifikasi<br />

diri, atau menjadi penutan atau teladan serta konsultan bagi peserta<br />

didiknya;<br />

2) Perlu memposisikan mahasiswa sebagi Thalib Al’ilm di PTI. Kata “ thalib”<br />

berasal dari kata “thalab” yang berarti berusaha, mendapatkan, mencari,<br />

61 Abdul Wahab Rosyidi dan M. In'am Esha. Ulul albab. Jurnal Studi <strong>Islam</strong>, Sains dan<br />

Teknologi. Vol 7. No.1 Tahun 2006. hlm. 62-80.<br />

i


172<br />

meminta, menginginkan sesuatu, mengajukan permohonan, atau melamar.<br />

Kehadiran mahasiswa di PTI adalah untuk mengajukan permohonan atau<br />

melamar keilmuan para dosennya atau seperangkat keilmuan yang<br />

dikembangkan PTI tersebut;<br />

3) Perlu menciptakan suasana interaksi mendidik di PTI terutama antara<br />

pendidik (tapi bukan dosen) dengan mahasiswa, atau antara para karyawan<br />

(pegawai) dengan mahasiswa. <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> adalah upaya<br />

pengembangan pandangan hidup <strong>Islam</strong>i yang dikembangkan dalam sikap<br />

hidup dan diwujudkan dalam ketrampilan hidup. Bertolak dari pandangan<br />

ini, maka para tenaga pustakawan, laboran, karyawan, administrasi, pesuruh<br />

dan lainnya yang bekerja di PTI tersebut, perlu diberi berbagai pembekalan<br />

yang memungkinkan uatuk dapat mambantu konteks atau suasana yang<br />

menunjang ke pengembangan pandangan hidup <strong>Islam</strong>i yang dikembangkan<br />

dalam sikap hidup dan diwujudkan dalam ketrampilan hidup sehari-hari;<br />

4) PTI sebagai institusi social, jika dilihat dari struktur hubungan antar<br />

manusianya, dapat diklasifikasikan kedalam tiga hubungan, yaitu: (1)<br />

hubungan atasan-bawahan; (2) hubungan professional; (3) hubungan<br />

sederajat atau sukarela. Ketiga hubungan tersebut perlu didudukkan secara<br />

proporsional dengan dilandasi oleh kode etik tertentu, untuk menghindari<br />

tumpang tindih. 62<br />

Karena itu, Ulul albab adalah sosok manusia yang diharapkan mampu<br />

mampu berkiprah diberbagai sector kehidupan dan berbagai bidang keahlian, serta<br />

berada pada seluruh strata kehidupan dan keahlian. Dalam arti, agar lulusan PTAI<br />

Malang mampu berkiprah dalam forum manapun, maka perlu dikembangkan<br />

bidang-bidang tugas yang lebih luas, yang meliputi penyiapan calon-calon<br />

pendidik agama <strong>Islam</strong>, psikolog, budayawan atau sastrawan, ekonom, sosiolog,<br />

saintis dan lain-lainnya yang berkepribadian ulama (berperspektif <strong>Islam</strong>). 63<br />

Pada prinsipnya, posisi dan peranan Fakultas Tarbiyah sangat ditentukan<br />

kemauan dan kemampuan Fakultas tersebut dalam mengolah tantangan tersebut.<br />

Hal demikian antar lain dapat dilakukan dengan cara menyesuaikan berbagai<br />

62 Muhaimin, Penyiapan Ulul Albab Alternatif <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> Masa Depan, el-Hikmah,<br />

Jurnal <strong>Pendidikan</strong> Fakultas Tarbiyah, Vol 1. No. I, 2003. hlm 14-20<br />

63 Muhaimin, Arah Baru, Op. Cit, hlm .297<br />

i


173<br />

unsur yang terdapat dalam pendidikan tersebut. Untuk itu, dapat dikemukakan<br />

hal-hal sebagai berikut:<br />

1) Fakultas Tarbiyah harus melahirkan tenaga guru yang profesional, yaitu<br />

guru yang selain memiliki wawasan pengetahuan di bidang materi yang<br />

akan diajarkannya juga memiliki keahlian dan ketrampilan<br />

menyampaikannya sehingga kegiatan belajar mengajar dapat berjalan efektif<br />

dan efisien, guru masa depan juga harus berjiwa agama yang kuat, bermoral<br />

dan berakhlak mulia, sehingga tidak terpengaruh oleh paham kehidupan<br />

sekularistik.<br />

2) Segi kurikulum, Fakultas Tarbiyah harus memiliki kurikulum yang<br />

mendukung tercapainya tujuan pendidikan. Cara pengajaran pengetahuan<br />

agama saat ini dilakukan satu per bidang studi, perlu diimbangi dengan<br />

upaya pemberian pengetahuan agama bersifat integrated atau perenialis.<br />

3) Segi dosen, Fakultas Tarbiyah harus memiliki dosen yang selain memahami<br />

visi tentang fakulatas Tarbiyah, juga menguasai barbagai ilmu pengetahuan<br />

yang diajarkannya secara profesional, penyampaiannya secara didaktis dan<br />

metodologis.<br />

4) Segi sarana dan prasarana harus memiliki peralatan yang cangih misalkan<br />

peralatan laboratorium “micro teaching”.<br />

5) Jenis sasaran yang harus dipenuhi oleh Fakulas Tarbiyah adalah berbagai<br />

corak dan bentuk pendidikan yang variatif sesuai dengan jenjangnya yang<br />

dibutuhkan <strong>masyarakat</strong> dengan membuka jurusan baru.<br />

6) Sejalan dengan pentingnya menyeimbangkan antara penguasaan iptek dan<br />

imtak, maka fakulatas tarbiyah seyogyanya juga harus mempelopori<br />

pelaksanaan <strong>konsep</strong> pendidikan terpadu. 64<br />

Model integrated ini memiliki landasan yang kuat yaitu falsafah negara<br />

atau bangsa Indonesia, yakni pancasila, yang jika dianalisis dengan menggunakan<br />

pendekatan filsafat, maka pencasila bukan yang mengandung lima ide dasar<br />

melainkan empat yaitu:<br />

1) Kemanusiaan yang berdasarkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa;<br />

2) Persatuan yang berdasarkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa;<br />

3) Kerakyatan yang berdasarkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa;<br />

4) Keadilan yang berdasarkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa.<br />

Pengertian ini tersurat dalam simbol yang ada di dada garuda yang<br />

dijadikan lambang pancasila. Di situ bintang atau simbol keimanan<br />

64 Abuddin Nata, Paradigma <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> Kapita Selekta <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>, (Jakarta:<br />

PT Gramedia Widiasarana Indonesia bekerja sama dengan IAIN Syarif Hidayatullah, 2001)<br />

hlm.164-170<br />

i


174<br />

mengambil daerah empat sila lainnya. Hal ini mengandung makna bahwa<br />

inti pancasila adalah keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa.<br />

Model kurikulum integrated, yakni model pembelajaran yang<br />

menggunakan pendekatan antar bidang studi. Dalam konteks pengembangan ilmu<br />

atau teori disebut dengan menggunakan cara kerja multidisiplin. Kerja<br />

multidisiplin adalah cara bekerjanya seorang ahli di suatu disiplin dan berupaya<br />

membangun disiplin ilmunya dengan berkonsultasi dengan ahli disiplin lain.<br />

Didalam kurikulum PAI tentunya terdapat tema-tema atau ide-ide<br />

<strong>konsep</strong>tual yang bisa dipadukan atau dikoordinasikan dengan bidang studi atau<br />

mata pelajaran yang lainnya. Misalnya dosen mata kuliah civic education yang<br />

mengajarkan materi dengan tema hak asasi manusia. Dosen pendidikan agama<br />

<strong>Islam</strong> meninjaunya dari perspektif ajaran dan nilai-nilai <strong>Islam</strong>, yang menjadi<br />

sumber atau pusat konsultasi dari mata kuliah yang lainnya. <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> memuat<br />

nilai-nilai Ilahi (nilai-nilai hidup etik religius) yang memiliki kedudukan vertikal<br />

lebih tinggi daripada nilai-nilai hidup lainnya. Disamping itu, nilai Ilahi<br />

mempunyai konsekuensi pada nilai-nilai lainnya, dan sebaliknya nilai-nilai<br />

lainnya memerlukan konsultasi pada nilai Ilahi, sehingga hubungannya termasuk<br />

vertikal linier. Sedangkan nilai-nilai hidup insani (seperangkat mata kuliah non<br />

agama <strong>Islam</strong>) mempunyai relasi sederajat. Dosen PAI meninjaunya dari perspektif<br />

sosiologi, geografis, ekonomi, ilmu kealaman. Namun demikian semuanya<br />

program studi atau matakuliah tersebut berada pada payung pendidikan agama<br />

i


175<br />

<strong>Islam</strong> yang mengembangkan dan meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan<br />

kepada Allah SWT. 65<br />

Keberhasilan dalam internalisasi paradigma integrasi keilmuan tidak bisa<br />

dilepaskan dari peran dosen sebagai "soko guru"nya. Maka, peningkatan kualitas<br />

sumber daya manusia adalah sebuah keniscayaan. Dalam konteks ini pengiriman<br />

dosen dalam short course, seminar, simposium, program sandwich, dsb adalah hal<br />

yang mesti dilakukan secara berkesinambungan dan merata. Dengan<br />

memperhatikan standar isi kurikulum dan standar kelulusan di Perguruan Tinggi<br />

maka model kurikulum juga dapat menggunakan pendekatan eklektik, yakni dapat<br />

memilih yang terbaik dari keempat pendekatan dalam pengembangan kurikulum<br />

(pendekatan subyek akademis, humanistis, rekonstruksi sosial, dan teknologis)<br />

sesuai dengan karakteristik bahan-bahan kajian tersebut.<br />

Namun dalam hal ini penulis menganalisis bahwa model pengembangan<br />

kurikulum PAI yang sesuai dengan tuntutan <strong>masyarakat</strong> adalah model pendekatan<br />

kurikulum rekonstruksi sosial yang diharapkan mampu mewujudkan cita-cita<br />

terbentuknya suatu <strong>masyarakat</strong> madani yang mampu merespon tantangan global,<br />

baik dalam menghadapi persoalan di bidang ekonomi, sosial, budaya, politik dan<br />

lain sebagainya. Dan dengan model pengembangan kurikulum rekonstruksi sosial<br />

maka output yang diharapkan memiliki kepekaan terhadap penderitaan orang lain,<br />

sanggup menganalisis dan memecahkan kepincangan-kepincangan sosial dan<br />

masalah-masalah lainnya di <strong>masyarakat</strong>, terpanggil untuk membantu kelompok<br />

yang lemah, memiliki komitmen untuk senantiasa memihak kepada si lemah, dan<br />

i<br />

65 Muhaimin, Nuansa Baru. Op.Cit, hlm.181-183


176<br />

berupaya selalu untuk menjembatani perbedaan paham dan memelihara ukhuwah<br />

<strong>Islam</strong>iyah.<br />

Sebagaimana yang di sampaikan oleh Muhaimin, bahwa:<br />

"Mata kuliah dasar sebagai landasan untuk keahlian dan diintegrasi dalam<br />

internalisasi nilai-nilai agama dalam proses pembelajaran di dalam perkuliahan.<br />

Kurikulum integrative adalah kurikulum yang dikembangkan antar bidang studi<br />

dan lintas disiplin dengan karakteristik dari masing-masing bidang studi 60 %<br />

dan 40% memadukan tema tertentu". 66<br />

Jadi penulis dalam hal ini menawarkan alternatif model yang mampu<br />

menjadi acuan dalam pengembangan kurikulum melalui <strong>konsep</strong> <strong>pembaruan</strong><br />

pendidikan <strong>Islam</strong> yang jelas dalam wilayah dan arah pengembangannya dengan<br />

merujuk pada pemikiran Muhaimin dan tokoh-tokoh yang ahli dan kompeten di<br />

bidangnya. Karena tuntutan lebih besar lagi terhadap sistem pendidikan tinggi<br />

nasional muncul melalui paradigma baru Perguruan Tinggi (1999) berikut dengan<br />

terjadinya krisis ekonomi dan politik sejak akhir 1997.<br />

Kondisi kurikulum silabus Perguruan Tinggi <strong>Islam</strong> yang digambarkan<br />

diatas tampaknya tidak compatible untuk berhadapan dengan ide-ide yang<br />

dilemparkan oleh para orientalis yang memiliki landasan filsafat, teologi,<br />

metafisik, dan pandangan hidup barat yang kukuh. Oleh karena itu, lembaga-<br />

lembaga tersebut memerlukan tajdid, <strong>pembaruan</strong> atau <strong>Islam</strong>isasi dalam bidang-<br />

bidang yang terkait. Sementara itu, mahasiswa dan sarjana Perguruan Tinggi<br />

<strong>Islam</strong> yang selama ini lebih cenderung hanya mengkaji pertentangan antar mazhab<br />

di bidang teologi dan filsafat dan belum sampai pada tahap <strong>konsep</strong>tualisasi<br />

metafisika dan epistemology <strong>Islam</strong> akan merasa menemukan kecanggihan<br />

2007<br />

i<br />

66 Wawancara dengan Muhaimin, Dosen Tetap/ Guru Besar UIN Malang, tanggal 20 Maret


177<br />

pemikiran barat dan dengan sangat antusias siap mengadosinya ke dalam<br />

pemikiran keagamaan <strong>Islam</strong>. Sikap mereka itu tampak begitu canggung dan<br />

seakan-akan menggapai-gapai suatu objek yang besar dengan tangan yang kecil<br />

lagi lemah. Inilah sebenarnya yang diidentifikasikan al-Attas sebagai problem<br />

ilmu pengetahuan yang terjadi di tengah-tengah umat <strong>Islam</strong>. 67<br />

Menurut Thomas (1997), yang menyatakan bahwa kegiatan pendidikan di<br />

sekolah, baik melalui pembelajaran di dalam kelas atau di luar kelas, tidak pernah<br />

bebas nilai. Isi dan materi kurikulum yang diberikan kepada peserta didik pun<br />

secara implisit mengandung transmisi nilai, yang terwujud sebagai bagian<br />

kurikulum formal maupun kurikulum tersembunyi. Karena itu, pendidikan<br />

sekolah pada dasarnya harus selalu mengajarkan nilai-nilai baik direncanakan atau<br />

tidak karena nilai-nilai yang dikembangkan sebagai budaya kampus tersebut<br />

seyogyanya bersumber dari nilai-nilai agama.<br />

Penelitian tentang pengembangan kurikulum juga dilakukan oleh Zakaria.<br />

Pengembangan disini dilakukan dengan memodifikasi antara kurikulum Diknas<br />

dan kurikulum khas dengan menerapkan metode pengajaran yang mengacu pada<br />

tiga ranah, kognitif, afekif dan psikomotor secara berimbang pengembangan<br />

kurikulum mencakup aspek tujuan, materi, metode dan evaluasi. Hasil<br />

pengembangan kurikulum tersebut diaplikasikan dalam sistem fullday school,<br />

yang tetap mengacu pada integrated curriculum dan integrated activity. 68<br />

67 Al-Attas, Syed M. Naquib, Filsafat Dan Praktik <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> Syed M. Naquib al-<br />

Attas Diterjemahkan Dari The Educational Philosophy And Practice Of Syed Muhammad Naquib<br />

Al-Attas Terbitan ISTAC (International Institute Of <strong>Islam</strong>ic Thought And Civilization) Wan Mohd<br />

Noor wa Daud, 1998. Penerbit Mizan. Bandung. Hlm : 31-33<br />

68 Miftahul Huda, Dosen Fakultas Tarbiyah. Menggagas Epistemology <strong>Pendidikan</strong> Anak<br />

Qur'ani, Jurnal Ulul Albab Vol. 7 No.2 Tahun 2006, hlm.474-475<br />

i


178<br />

Keberadaan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> di Perguruan Tinggi telah<br />

memperoleh landasan yang kokoh sejak dikeluarkannya ketetapan MPRS Nomor<br />

II Tahun 1960 dan Undang-Undang Perguruan Tinggi nomor 22 tahun 1961, yang<br />

mewajibkan pengajaran mata kuliah agama di Perguruan Tinggi Negeri. Dengan<br />

ketetapan ini, posisi PAI semakin kokoh sebagai sarana pembentukan kepribadian<br />

mahasiswa. Untuk itu, diperlukan pemikiran strategis yang terus menerus<br />

bagaimana reorientasi pengembangan kurikulum PAI di Perguruan Tinggi.<br />

Namun saat ini, masih banyak kalangan menganggap bahwa <strong>Pendidikan</strong><br />

<strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> termasuk di Perguruan Tinggi, belum memadai dan kurang relevan<br />

dengan tuntutan zamannya. <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> telah jatuh hanya sekedar<br />

pengajaran agama, singgah sebentar di kepala mahasiswa, dan keluar pada waktu<br />

ujian semester, sehingga tidak mampu untuk membentuk kepribadian mahasiswa<br />

menjadi pribadi luhur (akhlakul karimah).<br />

i


A. Kesimpulan<br />

BAB V<br />

PENUTUP<br />

179<br />

Untuk membangun Perguruan Tinggi, diperlukan berbagai terobosan<br />

dalam penyusunan <strong>konsep</strong>, tindakan dan paradigma baru dalam menghadapi<br />

berbagai tantangan yang menghadang. Sektor pendidikan <strong>Islam</strong> memiliki peran<br />

yang strategis dan fungsional dalam upaya membangun <strong>masyarakat</strong> madani. Dari<br />

uraian dan pembahasan di bab-bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa<br />

<strong>pembaruan</strong> pendidikan <strong>Islam</strong> <strong>menuju</strong> <strong>masyarakat</strong> madani melalui analisis<br />

pengembangan kurikulum menurut Muhaimin adalah sebagai berikut :<br />

1. Konsep dan latar belakang Pembaruan PAI berdasarkan Pandangan dasar<br />

i<br />

dan kritik Muhaimin Terhadap <strong>menuju</strong> <strong>masyarakat</strong> madani menurut<br />

Muhaimin di PTAI adalah dengan menciptakan dan mengembangkan<br />

paradigma pengembangan kurikulum. Sehingga pemikiran Muhaimin<br />

diharapkan mampu menjadi salah satu <strong>konsep</strong> yang tepat dalam upaya<br />

memperbarui pendidikan <strong>Islam</strong> yang menjadi landasan keimanan dan<br />

ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta berimplikasi pada<br />

pengembangan kepribadian, penciptaan budaya akademik yang <strong>Islam</strong>i, dan<br />

etos belajar yang tinggi serta membentuk suasana religius dalam lingkungan<br />

PTAI yang sesuai dengan tuntutan <strong>masyarakat</strong> madani, yakni <strong>masyarakat</strong><br />

yang beradab mencintai perbedaan. Sedangkan filsafat pendidikan agama<br />

<strong>Islam</strong> dan implikasinya terhadap paradigma pengembangan kurikulum<br />

merupakan landasan akan pentingnya <strong>konsep</strong> baru dalam pendidikan <strong>Islam</strong>,


180<br />

karena dalam setiap <strong>pembaruan</strong> diperlukan <strong>konsep</strong> yang tepat sesuai dengan<br />

perkembangan yang ada. Jadi alasan pemilihan Muhaimin dalam mencari<br />

<strong>konsep</strong> <strong>pembaruan</strong> pendidikan <strong>Islam</strong>, adalah karena Muhaimin merupakan<br />

salah satu dari seorang tokoh dalam <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> di PTAI yang<br />

memiliki kapakaran di bidangnya. Dan juga merupakan salah satu Guru<br />

Besar dalam bidang ilmu pendidikan <strong>Islam</strong>. Dari pemikiran Muhaimin<br />

diharapkan mampu membawa PTAI <strong>menuju</strong> ke gerbang percaturan dunia<br />

yang menjadi cita-cita <strong>masyarakat</strong> madani yang memiliki karakteristik ideal<br />

dalam rangka menghadapi dunia yang syarat dengan perbedaan, pluralisme,<br />

multikulturalisme, dan krisis multidimensional, serta dekadensi moral.<br />

Sehingga paradigma yang dikembangkan menjadi jelas arah dan wilayah<br />

pengembangannya dan output PTAI yang dihasilkan berciri khas <strong>Islam</strong>i dan<br />

memiliki daya saing di bidangnya. Jadi <strong>konsep</strong> <strong>pembaruan</strong> PAI <strong>menuju</strong><br />

<strong>masyarakat</strong> madani di PTAI adalah dengan menciptakan dan<br />

mengembangkan paradigma yang jelas dan terarah.<br />

2. Upaya Muhaimin dalam mengaplikasikan paradigma pengembangan<br />

i<br />

kurikulum di PTAI adalah dengan melalui berbagai macam strategi. Hal ini<br />

dilakukan dalam mengantisipasi perkembangan <strong>masyarakat</strong> yang semakin<br />

kompleks, sehingga mampu menciptakan lingkungan perguruan tinggi yang<br />

berbudaya, beradab, sesuai dengan karakteristik <strong>masyarakat</strong> madani. Hasil<br />

analisis penulis, menyatakan bahwa Muhaimin menghasilkan temuan-<br />

temuan dan fakta-fakta bahwa UIN atau PTAI harus berbeda dengan<br />

Perguruan Tinggi yang lain, harus memiliki ciri khas <strong>Islam</strong>i tanpa cenderung


i<br />

181<br />

pada madzhab tertentu dan bersifat non sekterianisme dan kemudian<br />

dijabarkan pada rumpun-rumpun mata-kuliah yang diajarkan dan<br />

pengembangan kurikulumnya yang dimanifestasikan dalam kehidupan<br />

sehari-hari melalui hidden kurikulum. Dalam pembahasan ini, ada hal-hal<br />

yang perlu dikaji ulang dan perlu dicari solusinya sehingga dapat<br />

dilaksanakan sebagai suatu program nyata pada masa yang akan datang,<br />

yakni persoalan kurikulum yang dikembangkan dan disesuaikan dengan<br />

kebutuhan <strong>masyarakat</strong> yang notabene sebagai <strong>masyarakat</strong> yang<br />

multikultural, humanistik, pluralistik dalam rangka mewujudkan <strong>masyarakat</strong><br />

madani karena Pandidikan <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> dapat menjadi faktor integrasi dan<br />

disintegrasi. Dan model pengembangan kurikulum yang harus<br />

dikembangkan adalah model pendekatan rekonstruksi social yang relevan<br />

dengan kebutuhan <strong>masyarakat</strong> madani. Dan menciptakan arah baru lulusan<br />

PTAI yang siap pakai (link and match) sesuai dengan kebutuhan <strong>masyarakat</strong><br />

madani. Sehingga dengan pengembangan kurikulum ini dapat mencapai<br />

standar kompetensi lulusan di PTAI yang sesuai dengan harapan, yakni<br />

terciptanya generasi ulul albab dan lulusan yang mampu bersaing di dunia<br />

kerja dan memiliki kepribadian <strong>Islam</strong>i, etos kerja/ belajar yang tinggi dan<br />

memiliki kepribadian yang tercermin dari ciri dan karakteristik <strong>masyarakat</strong><br />

madani di PTAI. Masyarakat madani adalah <strong>masyarakat</strong> yang egaliter,<br />

menghargai orang berdasarkan prestasi, keterbukaan, partisipasi seluruh<br />

<strong>masyarakat</strong> anggota aktif, penegakan hukum, keadilan, toleransi, pluralisme,<br />

musyawarah dan demokrasi.


B. Saran<br />

182<br />

Memperhatikan fenomena pengembangan kurikulum di PTAI, melalui<br />

perspektif analisis pengembangan kurikulum diatas, maka sekedar memberikan<br />

sedikit pemikiran bagi usaha peningkatan Perguruan Tinggi <strong>Islam</strong> ke depan, ada<br />

beberapa saran yang dapat penulis sampaikan terkait dengan hal ini :<br />

1. Pembahasan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dan makna bagi<br />

<strong>konsep</strong> <strong>pembaruan</strong> pendidikan <strong>Islam</strong> terutama dalam upaya pengembangan<br />

kurikulum <strong>menuju</strong> <strong>masyarakat</strong> madani di PTAI. Konsep ini hanya<br />

merupakan pemikiran awal yang disana sini masih terdapat kekurangan, dan<br />

harus senantiasa terus dikembangkan, dikaji ulang dan perlu dicari solusinya<br />

dengan baik agar hal-hal yang perlu diperbarui dapat segera ditinjau ulang<br />

dan dilaksanakan sebagai suatu program nyata pada masa yang akan datang.<br />

Terkait dengan persoalan-persoalan yang dihadapi umat manusia, maka<br />

pengembangan kurikulum harus disesuaikan dengan irama perkembangan<br />

dan kemajuan peradaban kebutuhan <strong>masyarakat</strong> Indonesia yang notabene<br />

sebagai <strong>masyarakat</strong> madani yang multikultural, pluralistik dan demokratis.<br />

Mudah-mudahan skripsi ini menjadi salah satu khazanah bagi<br />

perkembangan PTAI pada umumnya dan di UIN (Universitas <strong>Islam</strong> Negeri)<br />

Malang pada khususnya. Bagi Muhaimin diharapkan terus mengabdi pada<br />

dunia pendidikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan Bangsa dan<br />

menjadikan anak didik yang kreatif, cerdas, beretika baik dan berbudaya.<br />

2. Adapun dari Standar Kompetensi Lulusan di PTAI diharapkan dapat<br />

i<br />

bermanfaat bagi lembaga-lembaga pendidikan, antara lain:


183<br />

a) DITPERTAIS DIRJEN BAGAIS Departemen <strong>Agama</strong> RI dan Dirjen<br />

Dikti Depdiknas, sebagai sarana pengendalian dan penjaminan mutu<br />

lulusan dan perumusan berbagai kebijakan yang terkait dengan bersikap<br />

lebih mandiri dalam penyusunan kurikulum, sesuai dengan keilmuan<br />

Perguruan Tinggi dan disesuaikan dengan tuntutan <strong>masyarakat</strong> madani;<br />

b) Program-program studi yang dikembangkan di Fakultas-Fakultas di<br />

lingkungan PTAI sebagai rambu-rambu dalam: (1) Perencanaan,<br />

pengembangan kurikulum, pengalaman belajar, seta evaluasi proses dan<br />

hasil pembelajaran; (2) Perencanaan dan penyediaan atau penyiapan<br />

fasilitas pendukung pembelajaran yang terstandarisasi; (3) Melakukan<br />

rekrutmen penempatan dan pembinaan dosen, agar pemberdayaan SDM<br />

yang ada dapat dicapai secara opimal;<br />

c) Mahasiswa PTAI, sebagai acuan dalam upaya melakukan evaluasi diri<br />

terhadap pencapaian kualifikasi berkenaan dengan penguasaan<br />

kompetensi lulusan yang secara minimal harus dipenuhi sebagai<br />

persyaratan lulusan; Masyarakat pengguna lulusan (users), sebagai<br />

acuan dalam merencanakan dan melaksanakan rekrutmen, penempatan,<br />

dan pengembangan tenaga kerja yang diperlukan<br />

Demikian sekedar pemikiran sebagai saran sekaligus memberikan<br />

sumbangan baik dalam tataran <strong>konsep</strong>tual, maupun dalam tataran praktis.<br />

i


DAFTAR PUSTAKA<br />

184<br />

Abdillah, Masykuri. 2000. "Menimbang Kurikulum IAIN: Kasus Kurikulum 1995<br />

dan 1997. Dalam Eds. Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo,<br />

Problem Dan Prospek IAIN Antologi <strong>Pendidikan</strong> Tinggi <strong>Islam</strong>. Jakarta:<br />

Dirjen Binbaga <strong>Islam</strong> Depag RI<br />

Al-Attas, Syed M Naquib.1998. Filsafat Dan Praktik <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> Syed M.<br />

Naquib Al-Attas Diterjemahkan Dari The Educational Philosophy And<br />

Practice Of Syed Muhammad Naquib Al-Attas Terbitan ISTAC<br />

(International Institute Of <strong>Islam</strong>ic Thought And Civilization) Wan Mohd<br />

Nor Wa Daud, Bandung: Penerbit Mizan.<br />

Al-Thoumy Al-Syaibany, Omar Muhammad. 1979. Falsafah <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>.<br />

Alih bahasa Hasan Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang.<br />

Anwar, Chairil. 2000. <strong>Islam</strong> Dan Tantangan Kemanusiaan Abad XXI,<br />

Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.<br />

Arifin, HM. 1993. Ilmu <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>. Jakarta: Bumi Aksara.<br />

Arifin, Muzayyin. 2004. Filsafat <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>. Jakarta: Bumi Aksara.<br />

Azra, Azyumardi. 2000. "IAIN di Tengah Paradigma Baru Perguruan Tinggi".<br />

Dalam eds. Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo, Problem Dan<br />

Prospek IAIN Antologi <strong>Pendidikan</strong> Tinggi <strong>Islam</strong>. Jakarta: Dirjen Binbaga<br />

<strong>Islam</strong> Depag RI.<br />

_____________. 2002. Paradigma Baru <strong>Pendidikan</strong> Nasional Rekonstruksi Dan<br />

Demokratisasi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.<br />

Biro Admisnistrasi Akademik, Perencanaan, dan Sistem Informasi bekerjasama<br />

dengan Penerbit Universitas Negeri Malang. Cetakan Ketiga, 2003.<br />

Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Edisi Keempat. Malang: Penerbit<br />

Universitas Negeri Malang.<br />

Culla, Adi Suryani. 2002. Masyarakat Madani Pemikiran Teori Dan Relevansinya<br />

Dengan Cita-Cita Reformasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.<br />

Darmawan, Wawan. Shobron, Sudarsono dan Jinan Mutohharun (Eds.). 1999.<br />

Masyarakat Madani: Peran Startegis Umat <strong>Islam</strong> Dalam <strong>Islam</strong>, Masyarakat<br />

Madani, Dan Demokrasi. Universitas Muhammadiyah Surakarta:<br />

Muhammadiyah University Press.<br />

Daulay, Haidar Putra. 2003. <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> Dalam Sistem <strong>Pendidikan</strong><br />

Nasional di Indonesia. Jakarta: Prenada Media<br />

i


DEPAG. 1990. Al-Qur’ an dan Terjemahannya. Surabaya: Mahkota.<br />

185<br />

Djohar. 2003. <strong>Pendidikan</strong> Strategi Alternatif Untuk <strong>Pendidikan</strong> Masa Depan.<br />

Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta.<br />

______. 2000. <strong>Pendidikan</strong> Yang Membebaskan Untuk Kontruksi Masyarakat<br />

Madani, Dalam Membongkar Mitos Masyarakat Madani. Yogyakarta:<br />

Pustaka Pelajar Offset.<br />

Djumransjah. 2004. Kata Pengantar Imam Suprayogo. Pengantar Filsafat<br />

<strong>Pendidikan</strong>. Malang: Bayumedia.<br />

Esha, Muhammad In'am (eds.) 2006. Pengantar Imam Suprayogo, 2 Tahun<br />

Universitas <strong>Islam</strong> Negeri (UIN) Malang. Malang: UIN Malang Press.<br />

Fajar, Malik 2005. Holistika Pemikiran <strong>Pendidikan</strong>. Editor: Ahmad Barizi.<br />

Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.<br />

Feisal, Yusuf Amir. 1995. Reorientasi <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>. Jakarta: Gema Insania<br />

Press.<br />

Furchan, Arief. 2004. Transformasi <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> Di Indonesia, Anatomi<br />

Keberadaan Madrasah dan PTAI. Yogyakarta: Gama Media.<br />

____________. 1982. Pengantar Penelitian Dalam <strong>Pendidikan</strong>. Surabaya: Usaha<br />

Nasional.<br />

____________. dan Maimun, Agus. 2005. Studi Tokoh, Metode Penelitian<br />

Mengenai Tokoh. Jakarta: Pustaka Pelajar.<br />

Ghony, Djunaidi. 2007. Paradigma Pengembangan Kurikulum Dalam<br />

Peningkatan Mutu <strong>Pendidikan</strong> Tinggi <strong>Islam</strong>. Dalam Pidato Pengukuhan<br />

Yang Disampaikan Pada Pengukuhan Jabatan Guru Besar Dalam Bidang<br />

Ilmu <strong>Pendidikan</strong> Fakultas Tarbiyah Universitas <strong>Islam</strong> Negeri (UIN).<br />

Malang: Depag dan UIN Malang<br />

Hamdani dan Ihsan Fuad. 2001. Filsafat <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>. Bandung: CV Pustaka<br />

Setia<br />

Hananto, Farid Samsu dan Abtokhi, Ahmad. 2004. "UIN: Menyelaraskan<br />

Perkembangan Iptek dengan Imtaq", dalam Zainuddin (Eds.) Memadu<br />

Sains Dan <strong>Agama</strong> Menuju Universitas Masa depan, (Malang, Bayumedia<br />

Publishing bekerja sama dengan PTAI Malang.<br />

i


186<br />

Harry, Musleh Pluralisme Budaya Dalam Reformasi Hukum Di Indonesia,(Jurnal<br />

el-Harakah, Wacana Kepemimpinan, Keagamaan Dan Kebudayaan Edisi<br />

59 Tahun XXIII Maret-Juni 2003. Malang<br />

Hidayat, Komaruddin dan Azra, Azyumardi. 2006. Demokrasi, Hak Asasi<br />

Manusia Dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN Syarif hidayatullah<br />

Jakarta bekerjasama dengan The Asia Foundation.<br />

Huda, Miftahul. Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Malang. Menggagas Epistemologi<br />

<strong>Pendidikan</strong> Anak Qur'ani. Jurnal Ulul Albab Vol.7 No.2 Tahun 2006.<br />

hlm.474-475<br />

Kalatin, Jalaluddin Anshori. Pembaruan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> Dalam Wacana<br />

Pemikiran Fazlur Rahman, Dalam Buku Kontroversi Pemikiran Fazlur<br />

Rahman Studi Kritis Pembaruan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>, (Shabran, Jurnal Studi<br />

dan Dakwah <strong>Islam</strong>, Lembaga Studi <strong>Islam</strong> edisi 01, Vol. XIV, 2000.<br />

Universitas Muhammadiyah Surakarta.<br />

Marimba, D Akhmad. 1974. Pengantar Filsafat <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>. Bandung: Al-<br />

Ma’arif.<br />

_________________. 1989. Pengantar Filsafat <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>. Bandung: Al-<br />

Ma’arif.<br />

Mastudi Dan Wahid Marzuki. 2003. Perguruan Tinggi <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> Di Indonesia<br />

Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan. Jakarta: DEPAG RI Direktorat<br />

Jenderal Kelembagaan <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong>.<br />

Moeleong, Lexy. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja<br />

Rosdakarya<br />

MPR RI. Ketetapan MPR RI NO.II MPR/1988 Tentang GBHN 1988-1993.<br />

Surabaya: CV. Amin.<br />

Muhaimin. 2004. <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> Berwawasan Rekonstruksi Sosial.<br />

"Dalam pidato ilmiah disampaikan dihadapan sidang terbuka (senat UIN<br />

Malang dalam rangka pengukuhan guru besar di UIN Malang".<br />

_________. 2005. Pengembangan Kurikulum <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> Di<br />

Sekolah, Madrasah Dan Perguruan Tinggi. Jakarta: PT Raja Grafindo<br />

Persada.<br />

_________. 2004. Paradigma <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> Upaya mengefektifkan<br />

<strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> Di Sekolah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.<br />

i


187<br />

_________. 2006. Nuansa Baru <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>, Mengurai Benang Kusut<br />

Dunia <strong>Pendidikan</strong>. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.<br />

_________. 2003. Arah Baru Pengembangan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>, Mengurai,<br />

pemberdayaan, pengembangan kurikulum, hingga redefinisi <strong>Islam</strong>isasi<br />

pengetahuan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.<br />

_________. 2003. Wacana Pengembangan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>, Surabaya: Pusat<br />

Studi <strong>Agama</strong>, Politik Dan Masyarakat (PSAPM) Bekerja Sama Dengan<br />

Pustaka Pelajar .<br />

_________. Perbincangan Tentang <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> Di Indonesia, Jurnal Ulul<br />

Albab. Vol.3 nomor 2 thn 2001.<br />

_________. Penyiapan Ulul Albab Alternatif <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> Masa Depan, el-<br />

Hikmah, Jurnal <strong>Pendidikan</strong> Fakultas Tarbiyah, Vol 1. No. I, 2003.<br />

_________. Potret Paradigma Pengembangan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> di Indonesia,<br />

Jurnal Ulul Albab Vol.3. No.1 Tahun 2001.<br />

_________. Tabloid Gema, Media Informasi dan kebijakan Kampus Edisi 25<br />

November-Desember 2006.<br />

_________, dkk. 1996. Strategi Belajar Mengajar. Surabaya: CV Citra Media.<br />

_________, dan Mujib, Abdul. 1993. Pemikiran <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>, Kajian<br />

Filosofis Dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya. Bandung: Penerbit<br />

Trigenda Karya.<br />

Muhajir, Neong. 1996. Metode Penelitian Kualitatif, Edisi III. Yogyakarta: Rake<br />

Sarasin.<br />

Mulkhan, Abdul Munir. 2003. Nalar Spiritual <strong>Pendidikan</strong> Solusi Problem<br />

Filosofis <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya.<br />

___________________. 1993. Paradigma Intelektual Muslim. Yogyakarta:<br />

Sipress<br />

Nasution, S. 1991. Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti<br />

Nata, Abuddin. 2001. Manajemen <strong>Pendidikan</strong> Mengatasi Kelemahan <strong>Pendidikan</strong><br />

<strong>Islam</strong> Di Indonesia. Jakarta: Prenada Media.<br />

____________. 1997. Filsafat <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.<br />

i


188<br />

____________. 2001. Paradigma <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong> Kapita Selekta <strong>Pendidikan</strong><br />

<strong>Islam</strong>, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia bekerja sama<br />

dengan IAIN Syarif Hidayatullah<br />

Purwanto, Ngalim. 2003. Ilmu <strong>Pendidikan</strong> Teoritis Dan Praktis. Bandung: PT<br />

Remaja Rosdakarya<br />

Rahardjo, M. Dawam. 2000. Sejarah <strong>Agama</strong> Dan Masyarakat Madani, dalam<br />

Widodo Utsman Dkk. (Editor) Membongkar "Mitos" Masyarakat Madani.<br />

Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.<br />

__________________. 1999. Masyarakat Madani di Indonesia: Sebuah<br />

Penjajakan Awal. Jurnal Pemikiran <strong>Islam</strong>, Paramadina. Vol.1. No.02<br />

Rahardjo, Mudjia. 2004. Editor M. Zainuddin, Muhammad In’am Esha.<br />

"Universitas <strong>Islam</strong> Negeri (PTAI) Malang Ditengah Perubahan global".<br />

Dalam Horison Baru, Pengembangan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>, Upaya Merespon<br />

Dinamika Masyarakat Global. Malang: PTAI Press.<br />

Rosyada, Dede Dkk, 2003, <strong>Pendidikan</strong> Kewarganegaraan (Civil Education)<br />

Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Dan Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE<br />

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Bekerja Sama Dengan The Asian<br />

Foundation Dan Frenada Media.<br />

Rosyidi, Abdul Wahab dan M. In'am Esha. Ulul Albab. Jurnal Studi <strong>Islam</strong>, Sains<br />

dan Teknologi. Vol 7. No.1 Tahun 2006.<br />

Sahlan. Asma'un. Model Pengembangan Pembelajaran PAI Melalui<br />

Pembudayaan Suasana Religius Di Sekolah Umum: Studi Kasus di SMUN<br />

Malang I. El-Hikmah Jurnal Kependidikan Dan Keagamaan, Fakultas<br />

Tarbiyah Universitas <strong>Islam</strong> Negeri Malang. Volume IV. Nomor 1, Juli<br />

2006.<br />

Sahrodi, Jamali dkk. 2005. Membedah Nalar <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>, Pengantar Ke<br />

Arah Ilmu <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>. Yogyakarta: Pustaka Rihlah Group<br />

Said, M. 1987. Tarjamah Alquran Alkarim. Bandung: PT al-Ma'arif.<br />

Sanaky, Hujair, AH. 2003. Paradigma <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>: Membangun Masyarakat<br />

Madani Indonesia, Yogyakarta: Safiria Insania Press, Magister Studi<br />

<strong>Islam</strong> Universitas <strong>Islam</strong> Indonesia.<br />

Shihab, Quraish. 1994. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan<br />

i


189<br />

Sufyanto. 2001. Masyarakat Tamaddun Kritik hermeunitas Masyarakat Madani<br />

Nurcholis Madjid, Yogyakarta: LP2IP Bekerja Sama Dengan Pustaka<br />

Pelajar.<br />

Sukmadinata, Nana Syodih. 2005. Metode Penelitian <strong>Pendidikan</strong>. Bandung:<br />

Program Pasca Sarjana Universitas <strong>Pendidikan</strong> Indonesia dan PT.<br />

Remaja Rosdakarya.<br />

_______________________. 2005. Pengembangan Kurikulum. Bandung: Remaja<br />

Rosda Karya..<br />

Suprayogo, Imam. 1998. Reformulasi Visi <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>. Malang: STAIN<br />

Press<br />

_______________. 2004. (eds.) Samsul Hadi dan Rasmianto. <strong>Pendidikan</strong><br />

Berparadigma Al-Qur’an, Pergulatan Membangun Tradisi Dan Aksi<br />

<strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>. Malang:Aditya Media Dengan PTAI Malang Press.<br />

Supriyatno, Triyo. 2004. Paradigma Berbasis Teo-Antropo-Sosiosentris, (Malang:<br />

P3M: Pusat Pengembangan <strong>Pendidikan</strong> Dan Masyarakat) dan PTAI<br />

Malang.<br />

Sumbulah, Umi. Merekonstruksi Pluralisme <strong>Agama</strong> Dengan Perspektif Al-qur’an.<br />

El-Harakah, Wacana Kepemimpinan, Keagamaan Dan Kebudayaan. Edisi<br />

59 tahun XIII Maret-Juni 2003.<br />

Strauss, Anselm and Corbin, Juliet. 1997. Basics Of Qualitative Research<br />

grounded theory procedures and techniques (Dasar -Dasar Penelitian<br />

Kualitatif Prosedur, Teknik, Dan Teori Grounded), Penyadur Djunaidi<br />

Ghony. Surabaya : PT Bina Ilmu Offset.<br />

Syah, Aziz. Mahasiswa PAI Semester I Plus. Artikel Edisi keempat/November<br />

2005.Kurikulum Sebagai Alat Vital <strong>Pendidikan</strong> Analisis Pengembangan<br />

Kurikulum Di Indonesia. GEMSI (Gabungan Elemen Mahasiswa Cerdas<br />

Inovatif Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Tarbiyah).<br />

Tafsir, Ahmad. 2000. Ilmu <strong>Pendidikan</strong> Dalam Perspektif <strong>Islam</strong>. Bandung: PT<br />

Remaja Rosdakarya<br />

Thontowi, Jawahir. 2003. Siasat Gerakan Kota, Jalan Menuju Masyarakat Baru.<br />

Yogyakarta: Penerbit Shalahuddin.<br />

Tim Dosen FKIP IKIP Malang. 1988. Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan.<br />

Surabaya: Usaha Nasional.<br />

i


190<br />

Tim Dosen IAIN Sunan Ampel Malang. 1996. Dasar-Dasar Kependidikan <strong>Islam</strong>.<br />

Surabaya: Karya Abditama.<br />

Tim Redaksi Fokus Media. 2005. Standar Nasional <strong>Pendidikan</strong> (SNP). Bandung:<br />

Fokus Media<br />

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005 Tentang Guru Dan<br />

Dosen, serta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003<br />

tentang SISDIKNAS. 2006. Bandung: Citra Umbara<br />

Warsono, dkk. Dosen UNESA (Universitas Negeri Surabaya), Ulul Albab, Jurnal<br />

Studi <strong>Islam</strong>, Sains Dan Teknologi. Vol. 7, No 1 Tahun 2006.<br />

Wawancara dengan Muhaimin, Dosen Tetap/ Guru Besar UIN Malang, Tanggal 26<br />

Februari 2007<br />

_________________ Abdul Malik Karim Amrullah, Dosen Jurusan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong><br />

<strong>Islam</strong> di Fakultas Tarbiyah UIN Malang, Tanggal 6 Maret 2007<br />

_________________ Agus Maimun, Dosen Jurusan <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong> <strong>Islam</strong> di Fakultas<br />

Tarbiyah UIN Malang, Tanggal 20 Maret 2007<br />

Wibisono, Koento. 1988. Beberapa Hal Tentang Filsafat Ilmu: Sebuah Sketsa<br />

Umum Sebagai Pengantar Untuk Memahami Hakikat Ilmu Dan<br />

Kemungkinan Pembangunannya. Yogyakarta: IKIP.<br />

Wirjosukarto, Amir Hamzah. 1985. Pembaruan <strong>Pendidikan</strong> Dan Pengajaran <strong>Islam</strong>.<br />

Jember: Muria Offset<br />

Wijaya, Cece et al. 1978. Upaya Pembaharuan Dalam <strong>Pendidikan</strong> Dan<br />

Pengajaran. Bandung: Remaja Rosda karya.<br />

Yahya bin Sarifin Nawawi, Abi Zakaria. 1986. Tt. Riyadus Shalihin. PT. Al-<br />

Ma’arif. Bandung.<br />

Zuhairini, 1995. Filsafat <strong>Pendidikan</strong> <strong>Islam</strong>. Jakarta: Bumi Aksara.<br />

________. 1993. Metodologi Penelitian <strong>Agama</strong>. Solo: Ramadhani<br />

________. 1985. Pengantar Ilmu <strong>Pendidikan</strong> Perbandingan. Malang: Biro Ilmiah<br />

Fakultas Tarbiyah. IAIN Sunan Ampel Malang.<br />

________. dan Ghofir, Abdul. 2004. Metodologi Pembelajaran <strong>Pendidikan</strong> <strong>Agama</strong><br />

<strong>Islam</strong>. Malang: Fakultas Tarbiyah UIN Malang dan UM Press.<br />

i

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!