12.04.2013 Views

Download Fulltext Document - Pustaka

Download Fulltext Document - Pustaka

Download Fulltext Document - Pustaka

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Perakitan Pengembangan kelapa Inovasi unggul Pertanian melalui teknik 1(4), molekuler 2008: 259-273 ... 259<br />

PERAKITAN KELAPA UNGGUL MELALUI TEKNIK<br />

MOLEKULER DAN IMPLIKASINYA TERHADAP<br />

PEREMAJAAN KELAPA DI INDONESIA 1)<br />

Hengky Novarianto<br />

Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain<br />

Jalan Bethesda II, Mapanget, Kotak Pos 1004, Manado 95001<br />

PENDAHULUAN<br />

Bagi masyarakat Indonesia, kelapa merupakan<br />

bagian dari kehidupan karena semua<br />

bagian tanaman dapat dimanfaatkan<br />

untuk memenuhi kebutuhan ekonomi,<br />

sosial, dan budaya. Arti penting kelapa<br />

bagi masyarakat juga tercermin dari luas<br />

areal perkebunan kelapa rakyat yang<br />

mencapai 98% dari total areal kelapa nasional<br />

sekitar 3,86 juta ha, dengan produksi<br />

3,04 juta ton ekuivalen kopra pada tahun<br />

2007 (Direktorat Jenderal Perkebunan<br />

2007), dan melibatkan lebih dari 7 juta<br />

keluarga petani. Pengusahaan kelapa juga<br />

membuka tambahan kesempatan kerja dari<br />

kegiatan pengolahan produk turunan dan<br />

hasil samping yang sangat beragam.<br />

Salah satu permasalahan kelapa pada<br />

tingkat petani adalah rendahnya produktivitas,<br />

yaitu hanya rata-rata 1 ton kopra/<br />

ha/tahun, padahal potensi produksinya<br />

dapat mencapai 3-5 ton kopra/ha/tahun<br />

(Novarianto et al. 2004). Rendahnya produktivitas<br />

disebabkan petani belum menggunakan<br />

benih kelapa unggul. Petani pernah<br />

melakukan peremajaan dengan kelapa<br />

hibrida, tetapi kurang berhasil.<br />

1) Naskah disarikan dari bahan Seminar Praorasi<br />

Profesor Riset yang disampaikan pada tanggal<br />

12 Juni 2008 di Bogor.<br />

Belajar dari pengalaman petani dengan<br />

kelapa hibrida maka penyediaan benih<br />

unggul kelapa bagi petani hendaknya<br />

diseleksi dari jenis kelapa Dalam. Kebutuhan<br />

benih kelapa untuk program peremajaan<br />

mencapai 15% dari total luas kelapa,<br />

yakni sekitar 583.500 ha. Pada saat ini,<br />

kebun induk kelapa Dalam unggul belum<br />

tersedia secara cukup. Penyediaan benih<br />

kelapa Dalam unggul harus disiapkan sejak<br />

awal, mengingat umur produktif tanaman<br />

kelapa cukup panjang. Dalam rangka<br />

menunjang program peremajaan kelapa,<br />

diperlukan strategi penyediaan benih kelapa<br />

Dalam unggul untuk jangka pendek<br />

dan jangka panjang<br />

Program penyediaan benih jangka<br />

pendek dapat dilakukan melalui pemanfaatan<br />

kelapa Dalam unggul lokal, sedangkan<br />

program pembangunan kebun induk<br />

kelapa untuk jangka panjang dilaksanakan<br />

dengan membangun Kebun Induk Kelapa<br />

Dalam Komposit (KIKD Komposit). Untuk<br />

mempercepat seleksi varietas kelapa unggul<br />

di setiap daerah dan sebagai tetua dalam<br />

perakitan kelapa Dalam komposit, dapat<br />

dilakukan dengan memanfaatkan teknik<br />

molekuler. Sudah saatnya setiap daerah<br />

(provinsi/kabupaten) mempunyai pusatpusat<br />

sumber benih kelapa unggul, yang<br />

selain sebagai sumber benih kelapa lokal,<br />

juga secara tidak langsung akan melesta-


260 Hengky Novarianto<br />

rikan keragaman genetik kelapa secara in<br />

situ atau on-farm conservation. Makalah<br />

ini mengulas perakitan kelapa unggul melalui<br />

teknik molekuler serta implikasinya<br />

terhadap prgoram peremajaan kelapa di<br />

Indonesia.<br />

PERKEMBANGAN PEMULIAAN<br />

KELAPA DI INDONESIA<br />

Produktivitas kelapa menurun pada awal<br />

tahun 1970, padahal permintaan minyak<br />

goreng meningkat. Untuk mengatasi masalah<br />

tersebut, pemerintah melaksanakan<br />

berbagai program untuk meningkatkan<br />

produksi kopra, antara lain peremajaan<br />

kelapa tua dan perluasan areal dengan<br />

kelapa hibrida. Untuk memenuhi kebutuhan<br />

benih kelapa hibrida dalam jumlah<br />

banyak dan cepat, pemerintah mengintroduksi<br />

kelapa hibrida PB121 dari Pantai<br />

Gading serta membangun kebun induk<br />

kelapa hibrida di 11 provinsi dengan luas<br />

1.856 ha (Novarianto et al. 1998). Kelapa<br />

hibrida yang dihasilkan adalah silangan<br />

kelapa Genjah Kuning Nias x Dalam Afrika<br />

Barat atau disebut MAWA. Di samping<br />

mendatangkan kelapa hibrida dari luar<br />

negeri, pemerintah melalui Badan Litbang<br />

Pertanian juga merakit kelapa hibrida lokal.<br />

Pemuliaan tanaman merupakan suatu<br />

metode pemanfaatan keragaman genetik<br />

plasma nutfah secara sistematis untuk<br />

menghasilkan varietas baru yang lebih baik<br />

dari sebelumnya. Dalam upaya menghasilkan<br />

kelapa unggul untuk mempercepat<br />

peremajaan kelapa maka tujuan<br />

program pemuliaan pada masa lalu (1970-<br />

1990) adalah menghasilkan bahan tanaman<br />

dalam skala luas dan memiliki karakteristik<br />

hasil kopra tinggi dan cepat berbuah<br />

(Liyanage 1974). Metode pemuliaan yang<br />

dipilih adalah seleksi dan hibridisasi untuk<br />

merakit berbagai jenis kelapa hibrida,<br />

terutama kelapa hibrida silangan antara<br />

kelapa Genjah x kelapa Dalam.<br />

Kelapa Hibrida<br />

Perakitan kelapa hibrida dilakukan untuk<br />

menghasilkan varietas kelapa yang cepat<br />

berbuah dan produktivitasnya tinggi. Pola<br />

persilangan kelapa hibrida dapat dipilih<br />

antara tipe Dalam x Dalam, Genjah x Genjah,<br />

Genjah x Dalam atau Dalam x Genjah.<br />

Tanaman kelapa digolongkan atas dua<br />

tipe, yaitu tipe Genjah dan tipe Dalam.<br />

Kelapa Genjah umumnya menyerbuk<br />

sendiri, sedangkan kelapa Dalam biasanya<br />

menyerbuk silang. Akibatnya, secara fenotipe<br />

kelapa Genjah lebih homogen dan<br />

genotipenya lebih homozigous dibanding<br />

kelapa Dalam yang lebih heterogen dan<br />

heterozigous. Kelapa Genjah mulai berbuah<br />

pada umur 3-4 tahun, sedangkan<br />

kelapa Dalam pada umur 6-7 tahun.<br />

Berdasarkan pola penyerbukan, umur<br />

pertama berbuah, potensi produksi buah,<br />

hasil kopra, serta kualitas kopra dan<br />

minyak, untuk menghasilkan kelapa hibrida<br />

yang cepat berbuah dan hasil kopra tinggi,<br />

dipilih pola persilangan kelapa Genjah x<br />

Dalam. Perakitan kelapa hibrida Genjah x<br />

Dalam dilakukan sejak tahun 1975. Berdasarkan<br />

hasil evaluasi dan seleksi bahan<br />

tanaman kelapa Genjah dan kelapa Dalam<br />

dari plasma nutfah kelapa, ditetapkan<br />

kelapa Genjah Kuning Nias asal Pulau<br />

Nias, Sumatera Utara sebagai tetua betina,<br />

sedangkan sebagai tetua jantan atau<br />

sumber polen dipilih tiga varietas kelapa<br />

Dalam, yaitu Dalam Tenga asal Sulawesi<br />

Utara, Dalam Bali asal Bali, dan Dalam Palu<br />

asal Sulawesi Tengah. Tiga varietas kelapa<br />

hibrida yang dihasilkan adalah KHINA 1<br />

(Genjah Kuning Nias x Dalam Tenga),


Perakitan kelapa unggul melalui teknik molekuler ... 261<br />

KHINA 2 (Genjah Kuning Nias x Dalam<br />

Bali), dan KHINA 3 (Genjah Kuning Nias x<br />

Dalam Palu). Dengan pemeliharaan yang<br />

intensif, kelapa hibrida tersebut mampu<br />

berproduksi 4-5 ton kopra/ha/tahun (Novarianto<br />

et al. 1992a). Ketiga kelapa hibrida<br />

tersebut telah dilepas oleh Menteri<br />

Pertanian pada tahun 1984.<br />

KHINA-1 mulai berbuah pada umur 3-<br />

4 tahun, hasil kopra rata-rata 4 ton/ha/<br />

tahun dengan hasil tertinggi 5 ton/ha/<br />

tahun, dan kadar minyak kopra 64%.<br />

KHINA-2 mulai berbuah umur 3,5 tahun,<br />

kadar kopra cukup tinggi yaitu 296 g/butir,<br />

atau membutuhkan 3-4 butir kelapa untuk<br />

menghasilkan 1 kg kopra, hasil kopra 4 ton/<br />

ha/tahun dengan kadar minyak kopra 64%.<br />

KHINA-3 menghasilkan kopra rata-rata 4<br />

ton/ha/tahun, lebih tahan kekeringan<br />

dibanding KHINA-1 dan KHINA-2, serta<br />

kadar minyak kopra cukup tinggi yaitu 65%.<br />

Petani kelapa umumnya tidak melakukan<br />

pemupukan pada tanaman kelapa,<br />

sehingga saat membudidayakan kelapa<br />

hibrida, sebagian besar petani tidak dapat<br />

memenuhi syarat pemeliharaan yang baik,<br />

terutama pemupukan secara intensif.<br />

Akibatnya, tanaman tidak mampu berproduksi<br />

sesuai dengan potensinya serta<br />

buah berukuran kecil. Selain produksi<br />

rendah, kelapa hibrida introduksi PB121<br />

dan MAWA sangat peka terhadap penyakit<br />

busuk pucuk dan gugur buah yang<br />

disebabkan oleh Phythopthora palmivora<br />

(Bennett et al. 1985; Warokka dan Mangindaan<br />

1992), serta kurang tahan<br />

terhadap kekeringan (Tampake et al. 1982).<br />

Hal tersebut membuat petani menjadi<br />

kecewa. Kelapa hibrida KHINA-1, KHINA-<br />

2 dan KHINA-3 lebih baik dibanding PB121<br />

dan MAWA, tetapi sebagian besar petani<br />

terlanjur tidak menyukai meremajakan<br />

tanaman kelapa dengan kelapa hibrida.<br />

Hasil survei pengusahaan kelapa di<br />

Sulawesi Utara menunjukkan bahwa 98%<br />

petani memilih kelapa Dalam untuk digunakan<br />

dalam perluasan areal, peremajaan,<br />

dan rehabilitasi (Akuba et al. 1992).<br />

Rethinam et al. (2002) melaporkan 94,44%<br />

petani kelapa di Indonesia lebih menyukai<br />

kelapa Dalam unggul lokal dan kelapa<br />

hibrida lokal dalam program pengembangan<br />

dibanding kelapa hibrida. Preferensi<br />

petani terhadap kelapa Dalam<br />

tercermin dari areal kelapa Dalam yang<br />

mencapai 93% dari total areal kelapa.<br />

Petani umumnya memilih kelapa Dalam<br />

dengan beberapa pertimbangan, yaitu: (1)<br />

walaupun potensi produksi kelapa hibrida<br />

lebih tinggi dibanding kelapa Dalam,<br />

kelapa hibrida membutuhkan pemeliharaan<br />

intensif, terutama pemupukan dan pengendalian<br />

penyakit untuk mencapai hasil yang<br />

maksimal dan stabil; (2) kelapa Dalam<br />

berdasarkan pengalaman tidak memerlukan<br />

pemeliharaan intensif untuk mencapai<br />

tingkat produksi yang menguntungkan,<br />

serta lebih tahan terhadap cekaman lingkungan<br />

terutama kekeringan (Akuba 1998)<br />

dan serangan penyakit busuk pucuk<br />

(Hosang dan Lolong 1998), sehingga<br />

produksinya lebih stabil dan berkesinambungan<br />

dibanding kelapa hibrida; (3)<br />

benih kelapa Dalam lebih murah dibanding<br />

benih kelapa hibrida, karena petani dapat<br />

menggunakan buah hasil panen dari<br />

kebunnya sebagai benih atau membeli<br />

benih kelapa Dalam unggul yang relatif<br />

murah dari instansi terkait; dan (4) petani<br />

memiliki pengalaman traumatis dengan<br />

menanam kelapa hibrida PB-121 dan<br />

MAWA, yaitu Setelah kurang lebih 10<br />

tahun mengusahakan kelapa hibrida PB-<br />

121, 5-83% tanaman kelapa dalam suatu<br />

areal terserang penyakit busuk pucuk dan<br />

gugur buah (Akuba 1991).


262 Hengky Novarianto<br />

Kelapa Dalam<br />

Dengan mempertimbangkan keinginan petani<br />

kelapa, pemuliaan kelapa pada tahun<br />

1990-2000 ditujukan untuk menghasilkan<br />

varietas kelapa Dalam yang mampu menghasilkan<br />

kopra tinggi tanpa pemeliharaan<br />

yang intensif, terutama pemupukan. Artinya,<br />

tanpa pemupukan intensif, pertumbuhan<br />

dan hasil kelapa Dalam lebih baik<br />

dibanding kelapa hibrida (Tampake et al.<br />

1983).<br />

Peningkatan produktivitas kelapa Dalam<br />

dapat dilakukan melalui seleksi massa.<br />

Seleksi massa berdasarkan bobot buah<br />

tanpa sabut dapat meningkatkan hasil pada<br />

turunannya. Seleksi 5% pohon induk terbaik<br />

akan meningkatkan hasil 14,4%, selanjutnya<br />

seleksi 10% dan 15% memberikan<br />

kenaikan hasil berturut-turut 10,1%<br />

dan 7,9% (Liyanage 1972; Liyanage 1973).<br />

Jumlah buah dan hasil kopra kelapa Dalam<br />

Mapanget yang diseleksi dari induk dengan<br />

potensi hasil kopra 45-50 kg/pohon/<br />

tahun lebih baik daripada kelapa Dalam<br />

Tenga, Bali, dan Palu (Rompas et al. 1990).<br />

Evaluasi komponen buah pada 17 kultivar<br />

kelapa Dalam asal Sulawesi Utara memperoleh<br />

enam kelompok dengan keragaman<br />

genetik terbesar 52,27% (Miftahorrachman<br />

et al. 1996).<br />

Pada tahun 2000-2008, disiapkan proposal<br />

pelepasan 10 varietas kelapa Dalam<br />

unggul. Hasil penelitian menunjukkan,<br />

beberapa varietas kelapa Dalam memiliki<br />

potensi hasil tinggi dan dapat diusulkan<br />

untuk dilepas (Novarianto 2001; Novarianto<br />

dan Tenda 2002). Varietas kelapa<br />

Dalam yang direkomendasikan sebagai<br />

benih unggul adalah Dalam Mapanget,<br />

Dalam Tenga, Dalam Bali, Dalam Palu, dan<br />

Dalam Sawarna asal Jawa Barat. Hasil<br />

kopra kelima varietas tersebut selama 2-5<br />

tahun observasi di kebun Balai Penelitian<br />

Tanaman Kelapa dan Palma Lain (Balitka)<br />

dan petani berkisar antara 2,2-3,5 ton<br />

kopra/ha/tahun, lebih tinggi daripada hasil<br />

kelapa Dalam rakyat yang hanya 1,0-1,5 ton<br />

kopra/ha/tahun (Tenda et al. 2004; Tenda<br />

et al. 2006). Kelapa Dalam Mapanget,<br />

Tenga, Bali, dan Palu telah dilepas sebagai<br />

varietas unggul pada tahun 2004, dan<br />

kelapa Dalam Sawarna dilepas pada tahun<br />

2006. Lima varietas lainnya akan dilepas<br />

pada tahun 2008. Varietas kelapa Dalam<br />

unggul tersebut telah dimanfaatkan untuk<br />

peremajaan kelapa rakyat.<br />

Untuk meningkatkan produktivitas<br />

kelapa unggul, kelima kelapa Dalam unggul<br />

tersebut telah dimanfaatkan dalam perakitan<br />

varietas kelapa Dalam komposit.<br />

Pengujian kelapa Dalam komposit sedang<br />

berlangsung di Sulawesi Utara, Gorontalo,<br />

dan Jawa Timur.<br />

PENGGUNAAN CIRI KARAKTER<br />

ISOZIM UNTUK SELEKSI KELAPA<br />

Pemuliaan kelapa sangat bergantung pada<br />

sumber keanekaragaman genetik. Keragaman<br />

genetik bukan hanya mengenai koleksi<br />

plasma nutfah secara fisik, tetapi juga<br />

penilaian sejauh mana keragaman genetik<br />

tersebut diperlukan dalam kegiatan manipulasi<br />

genetik ke arah perakitan varietas<br />

yang diinginkan dan jarak genetik dari sifatsifat<br />

yang digunakan dalam program<br />

persilangan (Makmur 1988). Plasma nutfah<br />

perlu dievaluasi keragaman genetiknya<br />

sebagai dasar seleksi dalam persilangan<br />

atau perakitan varietas yang diinginkan<br />

konsumen.<br />

Evaluasi plasma nutfah merupakan<br />

kegiatan yang berhubungan dengan pengumpulan<br />

informasi tentang potensi<br />

genetik individu populasi suatu kultivar/<br />

jenis/aksesi dengan menggunakan metode


Perakitan kelapa unggul melalui teknik molekuler ... 263<br />

konvensional maupun nonkonvensional.<br />

Secara konvensional, evaluasi dilakukan<br />

dengan mempelajari dan mengamati karakter<br />

morfologi di lapangan. Evaluasi secara<br />

nonkonvensional dilakukan di laboratorium<br />

untuk karakter yang tidak dapat<br />

diamati di lapangan. Karakter morfologi<br />

menjadi prioritas utama dalam evaluasi<br />

plasma nutfah, karena secara fenotipe,<br />

perbedaan karakter baik kualitatif maupun<br />

kuantitatif dapat langsung terlihat. Namun,<br />

kadang-kadang karakter morfologi saja<br />

tidak cukup sehingga harus didukung<br />

dengan data molekuler.<br />

Plasma nutfah kelapa merupakan<br />

sumber sifat keturunan untuk merakit dan<br />

mengembangkan varietas kelapa unggul.<br />

Di Indonesia, koleksi plasma nutfah kelapa<br />

pertama kali dilakukan oleh ahli pemuliaan<br />

dari Belanda, yaitu Dr. Tammes, dengan<br />

mengevaluasi dan mengoleksi kelapa Dalam<br />

Mapanget asal Kecamatan Mapanget,<br />

Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara<br />

pada tahun 1927. Selanjutnya pada tahun<br />

1973 dilakukan survei plasma nutfah kelapa<br />

di 11 provinsi penghasil kelapa utama.<br />

Hingga tahun 2007, Balitka telah berhasil<br />

mengoleksi 115 aksesi kelapa dari berbagai<br />

daerah di Indonesia dan sebagian kecil<br />

hasil introduksi. Koleksi kelapa ditanam di<br />

Kebun Mapanget, Paniki, Kima Atas dan<br />

Pandu (Sulawesi Utara), serta Pakuwon<br />

(Jawa Barat).<br />

Plasma nutfah kelapa dapat dimanfaatkan<br />

secara maksimal apabila potensi<br />

genetik setiap individu atau populasi<br />

diketahui. Evaluasi plasma nutfah kelapa,<br />

selain berdasarkan sifat morfologi, agronomi,<br />

dan fisiko-kimia, untuk mempercepat<br />

perakitan kelapa unggul juga perlu<br />

dilakukan secara molekuler, seperti ciri<br />

karakter isozim.<br />

Produk langsung gen berupa protein<br />

dan enzim dapat dilacak dan dipelajari<br />

keragamannya dengan menggunakan gel<br />

dan elektroforesis. Isozim adalah enzimenzim<br />

yang terdiri atas berbagai molekul<br />

aktif yang berbeda komposisi asam aminonya<br />

dan mengkatalisis reaksi yang sama.<br />

Keragaman isozim dapat dilacak dengan<br />

menggunakan elektroforesis pada gel yang<br />

dihasilkan berupa pola pita setelah diberi<br />

warna.<br />

Isozim dapat digunakan sebagai penciri<br />

genetik untuk mempelajari keragaman<br />

individu dalam suatu populasi, mengidentifikasi<br />

kultivar dan hibridanya (Peirce dan<br />

Brewbaker 1973; Kut dan Evans 1984;<br />

Vences et al. 1987), menentukan keberhasilan<br />

persilangan buatan (Parfitt dan<br />

Arulsekar 1985; Mc Granahan et al. 1986),<br />

membantu menyeleksi sifat-sifat yang<br />

bernilai ekonomi penting (Adams 1983;<br />

Hayward dan Mc Adam 1988; Yupsanis<br />

dan Moustakas 1988), dan mempelajari<br />

penyebaran keragaman genetik suatu<br />

tanaman dari lingkungan yang berbeda<br />

(Second 1982; Nevo et al. 1987). Ciri<br />

genetik pola pita isozim sangat bermanfaat<br />

dalam seleksi tanaman kelapa, karena seleksi<br />

dapat dilakukan lebih cepat, mudah,<br />

dan murah. Untuk jangka panjang, penggunaan<br />

isozim dalam seleksi kelapa lebih<br />

dapat dipercaya, karena tidak atau sedikit<br />

sekali dipengaruhi lingkungan dibandingkan<br />

dengan seleksi berdasarkan morfologi.<br />

Elektroforesis enzim dengan gel sering<br />

menghadapi masalah teknis yang berkaitan<br />

dengan ekstraksi enzim aktif dari jaringan<br />

tanaman. Hal ini berkaitan dengan adanya<br />

kandungan senyawa fenol dalam jaringan<br />

tanaman tahunan, termasuk kelapa. Namun,<br />

ternyata berbagai organ tanaman<br />

kelapa dapat digunakan sebagai materi<br />

dalam analisis isozim melalui elektroforesis<br />

enzim pada gel pati. Daun kelapa termasuk<br />

jaringan tanaman yang baik, karena secara<br />

cepat seleksi pada tingkat bibit dapat


264 Hengky Novarianto<br />

dilakukan melalui daun (Novarianto dan<br />

Hartana 1994).<br />

Sebelum ditanam di lapangan, tanaman<br />

kelapa perlu dibibitkan selama 6 bulan.<br />

Setiap bulan akan terbentuk rata-rata satu<br />

helai daun, sehingga bibit umur 6 bulan<br />

sejak berkecambah memiliki enam helai<br />

daun. Hasil pemeriksaan pada berbagai<br />

tingkat umur daun bibit kelapa menunjukkan<br />

bahwa pola pita isozim peroksidase<br />

(PER), glutamat oksaloasetat transaminase<br />

(GOT), dan esterase (EST) tidak memperlihatkan<br />

perbedaan pada individu bibit<br />

yang sama (Novarianto 1988; Novarianto<br />

dan Hartana 1994). Dengan demikian,<br />

penggunaan daun kelapa sebagai materi<br />

dalam analisis isozim sangat menguntungkan<br />

karena selain tanaman kelapa<br />

produktif, sejak tingkat bibit sudah dapat<br />

dilakukan seleksi awal.<br />

Kelapa hibrida KHINA-1, KHINA-2,<br />

dan KHINA-3 merupakan hasil perakitan<br />

dengan menggunakan varietas kelapa lokal<br />

Indonesia (Novarianto et al. 1984). Seleksi<br />

tetua ketiga kelapa hibrida tersebut didasarkan<br />

pada karakter morfologi. Potensi<br />

hasil kopra ketiga varietas kelapa hibrida<br />

tersebut tinggi dan tidak berbeda nyata.<br />

Efek heterosis terlihat pada hasil kopra<br />

ketiganya, dan nisbah kopra terhadap<br />

bobot buah utuh, buah tanpa sabut, dan<br />

buah tanpa air adalah sama (Novarianto et<br />

al. 1988c). Kemiripan ini sejalan dengan<br />

hasil analisis keragaman pola pita isozim<br />

dari daun. Ternyata ketiga varietas kelapa<br />

hibrida tersebut memiliki pola pita yang<br />

sama pada lima sistem enzim, dan perbedaan<br />

hanya terdapat pada isozim PER<br />

(Novarianto et al. 1988b). Pola pita lima<br />

sistem enzim yang tidak beragam adalah<br />

katalase (CAT), leusin amino peptidase<br />

(LAP), alkohol dehidrogenase (ADH),<br />

endopeptidase (ENP) dan asam fosfatase<br />

(ACP), serta yang beragam yaitu peroksi-<br />

dase (PER). Isozim PER pada tanaman<br />

kelapa memiliki empat macam pola pita PER<br />

(Novarianto et.al. 1988a). Sebaliknya,<br />

delapan jenis kelapa hibrida Genjah x Dalam<br />

lainnya tidak memperlihatkan perbedaan<br />

nyata pada karakter morfologi lingkar<br />

batang semu, tinggi bibit, dan umur pecah<br />

daun pertama. Namun, melalui keragaman<br />

pola pita isozim PER, GOT dan EST,<br />

silangan Genjah Kuning Bali x Dalam<br />

Banyuwangi sangat tidak mirip dengan<br />

tujuh silangan lainnya (Randriany et al.<br />

1993). Ini menunjukkan bahwa ciri genetik<br />

berdasarkan pola pita isozim dapat membantu<br />

dan memperkuat perbedaan berdasarkan<br />

morfologi dalam seleksi kelapa.<br />

Keragaman pola pita isozim telah<br />

digunakan untuk mengukur kemiripan<br />

genetik antaraksesi kelapa pada koleksi<br />

plasma nutfah. Pengelompokan berbagai<br />

aksesi kelapa sangat bermanfaat dalam<br />

pemilihan tetua untuk perakitan kelapa<br />

unggul. Untuk mempelajari kemiripan<br />

genetik kelapa, metode terbaik adalah<br />

dengan analisis gugus berdasarkan jarak<br />

Euclid (Novarianto 1994a).<br />

Keragaman pola pita isozim PER, GOT,<br />

dan EST telah digunakan untuk mengelompokkan<br />

30 aksesi kelapa koleksi plasma<br />

nutfah di KP Bone-bone, Sulawesi Selatan,<br />

berdasarkan kemiripan genetiknya. Berdasarkan<br />

jarak Euclid pada kemiripan genetik<br />

75%, koleksi plasma nutfah kelapa<br />

terbagi menjadi lima kelompok. Aksesi yang<br />

paling tidak mirip adalah kelapa asal Nusa<br />

Tenggara Timur, yaitu kelapa Dalam Boa,<br />

Mogdale, dan Oebafok (Novarianto dan<br />

Hartana 1993). Analisis yang sama telah<br />

dilakukan pula pada 23 aksesi kelapa<br />

koleksi plasma nutfah di KP Pakuwon,<br />

Jawa Barat. Secara umum, kelapa Dalam<br />

mengelompok sendiri, terpisah dari kelapa<br />

Genjah, kecuali Genjah Sri Tanjung dan<br />

Genjah Trenggalek yang berasal dari Jawa


Perakitan kelapa unggul melalui teknik molekuler ... 265<br />

Timur (Novarianto et al. 1988a). Tiga<br />

kelapa Genjah yang memiliki warna kulit<br />

buah kuning, yaitu Genjah Kuning Nias,<br />

Genjah Kuning Malaysia, dan Genjah<br />

Kuning Bali, paling jauh hubungan kekerabatannya<br />

dengan berbagai aksesi kelapa<br />

Dalam. Di antara kelapa Dalam, Dalam<br />

Banyuwangi dan Dalam Riau paling jauh<br />

hubungan kekerabatannya dengan aksesi<br />

kelapa Dalam lainnya (Novarianto et al.<br />

1993a).<br />

Keragaman pola pita isozim juga telah<br />

digunakan untuk menganalisis gabungan<br />

koleksi plasma nutfah kelapa di tiga lokasi,<br />

yaitu 35 kultivar kelapa dari kebun koleksi<br />

plasma nutfah Mapanget-Sulawesi Utara,<br />

23 kultivar dari kebun Pakuwon-Jawa<br />

Barat, dan 27 kultivar dari kebun Bonebone-Sulawesi<br />

Selatan. Hasil analisis kemiripan<br />

genetik antarkultivar kelapa menunjukkan<br />

bahwa antarkultivar kelapa tipe<br />

Genjah memiliki keragaman genetik isozim<br />

dan morfologi yang lebih besar dibanding<br />

antarkultivar kelapa Dalam. Dari 85 kultivar<br />

yang dianalisis kemiripan genetiknya, sebagian<br />

besar kultivar kelapa Genjah memiliki<br />

kemiripan genetik yang cukup jauh,<br />

namun untuk kelapa Dalam hanya beberapa<br />

kultivar saja (Novarianto et al. 1993b).<br />

Hasil ini menunjukkan bahwa antarkultivar<br />

kelapa Genjah memiliki perbedaan<br />

genetik yang lebih besar dibandingkan<br />

antarkultivar kelapa Dalam. Perbedaan keragaman<br />

genetik berdasarkan pola pita<br />

isozim dapat digunakan bersamaan dengan<br />

keragaman berdasarkan morfologi dalam<br />

seleksi tetua kelapa untuk pemuliaan lebih<br />

lanjut.<br />

Isozim dapat pula digunakan untuk<br />

memperoleh kode gen tunggal pada tanaman<br />

tahunan (Torres et al. 1978). Pada<br />

tanaman kelapa, dari tiga sistem enzim<br />

hanya satu sistem enzim, yaitu GOT yang<br />

mengikuti nisbah Mendel monohibrida.<br />

Sistem enzim GOT memiliki satu gen dua<br />

alel yang mengontrol ekspresi pola pita<br />

GOT-1 dan GOT-2 (Novarianto 1994b). Ciri<br />

pola pita GOT dapat digunakan dalam<br />

seleksi tanaman kelapa yang terkait dengan<br />

sifat unggul, seperti cepat berbuah,<br />

resisten terhadap penyakit, atau toleran<br />

kekeringan.<br />

PERAKITAN KELAPA UNGGUL<br />

MELALUI TEKNIK DNA<br />

Dengan berkembangnya teknologi penanda<br />

DNA, keanekaragaman karakter<br />

genetik dalam plasma nutfah kelapa pada<br />

tingkat DNA dapat diketahui. Penanda<br />

DNA dianggap dapat memberikan informasi<br />

keanekaragaman karakter genetik<br />

yang lebih baik, terutama untuk penanda<br />

suatu populasi atau aksesi tanaman, karena<br />

mampu memberikan pita DNA polimorfis<br />

dalam jumlah banyak, konsisten,<br />

dan tidak dipengaruhi oleh lingkungan.<br />

Informasi genetik berdasarkan penanda<br />

DNA dapat dilakukan dengan Restriction<br />

Fragment Length Polymorphism (RFLP),<br />

Random Amplified Polymorphic DNA<br />

(RAPD), Amplified Fragment Length<br />

Polymorphism (AFLP), dan Simple Sequence<br />

Repeat (SSR) atau mikrosatelit<br />

(Powel et al. 1996; Karp dan Edwards 1997).<br />

Dengan menggunakan penanda<br />

RAPD, keragaman genetik kelapa Genjah<br />

Orange Sagerat mencapai 22%, Genjah<br />

Kuning Bali 17%, dan Genjah Kuning Nias<br />

14% (Mawikere 1998). Artinya Genjah Kuning<br />

Nias paling seragam, diikuti Genjah<br />

Kuning Nias dan Genjah Orange Sagerat.<br />

Kelapa Genjah Kuning Nias lebih dekat<br />

dengan Genjah Kuning Bali dibandingkan<br />

dengan Genjah Orange Sagerat. Kemiripan<br />

Genjah Kuning Nias dengan Genjah Kuning<br />

Bali ditemukan pula pada analisis


266 Hengky Novarianto<br />

berdasarkan pola pita isozim (Novarianto<br />

et al. 1993a). Dengan demikian, sebagai<br />

bahan tanaman untuk pemuliaan, Genjah<br />

Kuning Nias lebih baik dibanding Genjah<br />

Kuning Bali dan Genjah Orange Sagerat<br />

karena lebih homogen.<br />

Studi dengan menggunakan analisis<br />

RAPD pada populasi asli dan populasi<br />

koleksi memberikan hasil yang cukup berbeda<br />

pada kultivar yang sama. Dengan<br />

teknik analisis DNA, diketahui bahwa<br />

kelapa Genjah Jombang hasil koleksi ex situ<br />

lebih beragam dibanding kultivar yang<br />

sama di tempat aslinya in situ, yaitu di<br />

Jombang (Hayati et al. 2000). Hasil analisis<br />

ini menunjukkan bahwa pemanfaatan<br />

kelapa Genjah Jombang pada koleksi<br />

plasma nutfah untuk pemuliaan membutuhkan<br />

tindakan seleksi dan hibridisasi<br />

agar lebih seragam.<br />

Hasil lain yang memperkuat bahwa<br />

teknik DNA dapat mempercepat seleksi<br />

bahan tanaman kelapa dapat dilihat pada<br />

hasil penelitian jenis-jenis kelapa asal<br />

Papua. Kelapa asal Biak mempunyai<br />

hubungan kekerabatan yang jauh dengan<br />

kelapa asal Sorong, Manokwari, Jayapura,<br />

dan Merauke. Selanjutnya kelapa asal<br />

Papua mempunyai hubungan kekerabatan<br />

yang lebih dekat dengan kelapa asal Nusa<br />

Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur,<br />

Jawa, Sumatera Utara, Kalimantan Barat,<br />

dan Sulawesi Utara, tetapi sebaliknya<br />

mempunyai hubungan yang lebih jauh<br />

dengan kelapa asal Maluku Utara (Tidore<br />

dan Ternate), Bali (Dalam Bali), dan<br />

Sulawesi Tengah (Dalam Palu) (Mawikere<br />

2005).<br />

Kelapa Dalam Mapanget (DMT) adalah<br />

aksesi kelapa yang pertama kali dikoleksi<br />

di kebun Mapanget. Nomor-nomor terpilih<br />

kelapa ini yang mencapai 100 nomor,<br />

diseleksi berdasarkan potensi hasil buah<br />

dan kopra. Pada beberapa nomor unggulan<br />

seperti DMT no. 10 dan 32 dilakukan<br />

penyerbukan sendiri untuk pemurnian<br />

genotipe. Sampai saat ini telah dilakukan<br />

penyerbukan sendiri sampai generasi<br />

keempat atau selfing DMT S4. Dengan<br />

penanda RAPD diketahui bahwa hasil<br />

penyerbukan sendiri kelapa Dalam Mapanget<br />

sampai generasi ketiga (DMT S3)<br />

sudah lebih homozigot daripada tetuanya,<br />

yaitu DMT S2 dan DMT S0 (Novarianto et<br />

al. 2001). Dengan demikian, kelapa Dalam<br />

Mapanget S3 dapat digunakan sebagai<br />

materi untuk perakitan kelapa unggul.<br />

STRATEGI PEREMAJAAN KELAPA<br />

Penerapan kebijakan peningkatan produktivitas<br />

kelapa ditempuh antara lain<br />

melalui rehabilitasi dan peremajaan dengan<br />

menggunakan bibit unggul, khususnya<br />

pada tanaman kelapa rakyat yang<br />

tua dan rusak. Dalam rencana kegiatan<br />

penanganan agribisnis perkelapaan nasional,<br />

peremajaan dan pengembangan<br />

tanaman kelapa tahun 2006-2010 masingmasing<br />

meliputi 100.000 dan 10.000 ha, atau<br />

total selama 5 tahun seluas 550.000 ha<br />

(Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan<br />

2004). Jika setiap hektar areal peremajaan<br />

dan pengembangan membutuhkan<br />

220 benih kelapa unggul maka dalam<br />

satu tahun harus tersedia benih unggul<br />

24,2 juta butir yang berasal dari sekitar<br />

3.000 ha kebun induk. Padahal pada saat<br />

ini belum ada kebun induk yang dapat<br />

menyuplai benih kelapa unggul.<br />

Program pengembangan kelapa bertujuan<br />

untuk meningkatkan produktivitas<br />

kelapa. Pada saat ini, secara nasional proporsi<br />

tanaman tua yang berumur lebih dari<br />

50 tahun mencapai 15% atau 583.500 ha


Perakitan kelapa unggul melalui teknik molekuler ... 267<br />

dari total areal kelapa seluas 3,89 juta ha.<br />

Agar produksi kelapa tidak menurun,<br />

peremajaan dan rehabilitasi harus dilakukan<br />

terus-menerus, karena tanaman muda<br />

akan menjadi tua atau rusak akibat serangan<br />

hama dan penyakit serta bencana<br />

alam. Untuk meningkatkan produktivitas<br />

tanaman yang saat ini tergolong rendah,<br />

peremajaan dan rehabilitasi memerlukan<br />

bibit unggul yang berasal dari kelapa<br />

unggul lokal dan kebun induk.<br />

Program Pemanfaatan Kelapa<br />

Unggul Lokal<br />

Orientasi pengadaan benih kelapa sebagai<br />

bahan tanaman belum sepenuhnya<br />

memenuhi kualitas yang baik tetapi tepat<br />

jumlah harus tercukupi. Pengadaan benih<br />

dengan cara ini mengakibatkan tidak seragamnya<br />

pertanaman dan produktivitas,<br />

baik di dalam maupun di antara populasi.<br />

Apabila pohon induk kelapa sumber<br />

benih berasal dari hasil penyerbukan silang<br />

alami, maka benih yang dihasilkan<br />

stabil secara genetik mengikuti hukum<br />

keseimbangan Hardy Weinberg (Carpena<br />

et al. 1993). Hal ini berarti frekuensi genotipe<br />

populasi tanaman tidak akan berubah<br />

dari generasi ke generasi, sehingga petani<br />

dapat menggunakan buah kelapa tersebut<br />

sebagai benih tanpa terjadi penurunan<br />

kekekaran. Suatu petunjuk bahwa seleksi<br />

massa dapat memperbaiki produktivitas<br />

kelapa.<br />

Penetapan blok penghasil tinggi (BPT)<br />

dan seleksi pohon induk kelapa (PIK)<br />

merupakan metode yang dapat dipilih<br />

untuk mempercepat penyediaan bibit<br />

kelapa unggul lokal bagi setiap daerah.<br />

Setelah BPT ditetapkan, dilanjutkan<br />

dengan seleksi individu sehingga diper-<br />

oleh pohon-pohon induk sumber benih<br />

untuk bahan tanaman. Tingkat seleksi PIK<br />

untuk setiap BPT dianjurkan maksimum<br />

15% tanaman terbaik. Untuk merealisasikan<br />

kegiatan ini, diharapkan Direktorat<br />

Jenderal Perkebunan dan Dinas Perkebunan<br />

Provinsi/Kabupaten terkait dapat<br />

memprogramkan dan menyediakan dana<br />

untuk penetapan BPT dan PIK. Percepatan<br />

seleksi BPT dan PIK dapat dilakukan<br />

berdasarkan data morfologi dan molekuler.<br />

Sejak tahun 2005-2007 beberapa Dinas<br />

Perkebunan Provinsi bekerja sama dengan<br />

Balitka telah melakukan penetapan BPT<br />

dan seleksi PIK, yakni Jawa Timur, Gorontalo,<br />

Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah,<br />

Sulawesi Utara, Bali, Sulawesi Selatan,<br />

Sulawesi Barat, Daerah Istimewa<br />

Yogyakarta, Jawa Tengah, Banten, Sumatera<br />

Utara, dan Jambi. Dari 13 provinsi tersebut<br />

telah ditetapkan lebih dari 1.000 ha<br />

BPT dan terseleksi PIK sekitar 15.000<br />

pohon dengan produksi benih 1,16 juta<br />

butir/tahun. Jumlah ini masih kurang<br />

dibandingkan kebutuhan benih jika peremajaan<br />

dan rehabilitasi berjalan sesuai<br />

dengan target Direktorat Jenderal Perkebunan,<br />

yaitu 100.000 ha/tahun. Dengan<br />

demikian, transfer teknologi benih unggul<br />

Balitka dalam kaitannya dengan penetapan<br />

BPT dan seleksi PIK kepada petugas<br />

lapangan Dinas Perkebunan di 13 provinsi<br />

tersebut perlu diperluas dan diikuti oleh<br />

Dinas terkait lainnya yang telah memprogramkan<br />

pengembangan kelapa di<br />

daerah masing-masing.<br />

Program Pembangunan Kebun<br />

Induk Kelapa Dalam Komposit<br />

Varietas komposit dihasilkan dari persilangan<br />

alami secara acak dari beberapa varietas


268 Hengky Novarianto<br />

unggul yang menyerbuk silang (Hallauer<br />

dan Miranda 1982). Hibridisasi kelapa<br />

Dalam yang menghasilkan kelapa hibrida<br />

Dalam x Dalam telah dilakukan di beberapa<br />

negara penghasil kelapa. Santos et al.<br />

(2000) melaporkan bahwa kelapa hibrida<br />

Dalam x Dalam memperlihatkan penampilan<br />

lebih baik dari kedua tetuanya (efek<br />

heterosis) untuk karakter waktu berbunga,<br />

jumlah buah, dan hasil kopra. Komponen<br />

buah dari kultivar kelapa hibrida ini juga<br />

menunjukkan efek heterosis (Akuba 2002).<br />

Efek heterosis berat kopra pada kelapa<br />

hibrida Dalam Tenga x Dalam Bali dan<br />

resiproknya Dalam Bali x Dalam Tenga umur<br />

7 tahun mencapai 8,6-37,1% (Rompas et<br />

al. 1990). Akuba (2002) melaporkan, heterosis<br />

kelapa hibrida Dalam x Dalam yang<br />

merupakan populasi dasar varietas kelapa<br />

Dalam komposit yang dikembangkan oleh<br />

Philippine Coconut Authority-Zamboanga<br />

Research Center (PCA-ZRC) berkisar 4,5-<br />

29,6% pada bobot buah dan 1,74-17,3%<br />

pada bobot kopra pada umur 10 tahun.<br />

Bobot kopra per buah dari kelapa Dalam<br />

komposit lebih tinggi 8,5% dari tetuanya<br />

kelapa Dalam.<br />

Penyediaan varietas kelapa unggul<br />

untuk memenuhi kebutuhan peremajaan<br />

kelapa tua dilakukan melalui perakitan<br />

kelapa hibrida Dalam x Dalam tanpa persilangan<br />

buatan, yaitu hibrida alami. Kelapa<br />

Dalam komposit memiliki beberapa kelebihan<br />

dibanding kelapa hibrida Genjah x<br />

Dalam. Selain berproduksi tinggi (minimal<br />

2,25 ton kopra/ha/tahun), keragaman genetiknya<br />

besar sehingga lebih tahan terhadap<br />

variasi iklim. Untuk mendapatkan<br />

populasi kelapa Dalam komposit dengan<br />

efek heterosis tertinggi, diperlukan seleksi<br />

kelapa Dalam tetua yang antarvarietas<br />

memiliki ketidakmiripan genetik jauh, tetapi<br />

masing-masing varietas tersebut me-<br />

miliki potensi produksi tinggi. Seleksi<br />

kelapa Dalam sebagai calon tetua dalam<br />

perakitan kelapa Dalam komposit dapat<br />

dipercepat melalui analisis data molekuler.<br />

Balitka telah bekerja sama dengan instansi<br />

terkait untuk membangun KIKD<br />

Komposit di beberapa daerah. Tetua kelapa<br />

Dalam yang digunakan dipilih berdasarkan<br />

karakter morfologi, potensi hasil,<br />

dan jarak genetik dengan menggunakan<br />

data molekuler. Pola kelapa Dalam komposit<br />

yang dibangun adalah perakitan kelapa<br />

Dalam komposit serbuk bebas dan hibrida<br />

intervarietas (Akuba 2008). Pada tahun<br />

2003-2007 telah dibangun KIKD Komposit<br />

114 ha lebih di beberapa provinsi, yaitu<br />

Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Barat,<br />

Sulawesi Selatan, Kalimantan Tengah,<br />

Kalimantan Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah,<br />

Jawa Barat, dan Sumatera Utara, dengan<br />

estimasi produksi benih 1 juta butir/<br />

tahun.<br />

Kelapa Dalam komposit serbuk bebas<br />

terdiri atas 10 varietas kelapa Dalam unggul,<br />

yakni Dalam Mapanget, Tenga, Bali,<br />

Palu, Sawarna, Lubuk Pakam, Jepara, Banyuwangi,<br />

Kima Atas, dan Rennel. Lalu<br />

pola serbuk bebas yang lain terdiri atas<br />

empat varietas unggul di atas, yaitu Dalam<br />

Mapanget, Tenga, Bali dan Palu, yang dikombinasikan<br />

dengan tiga kultivar kelapa<br />

Dalam unggul lokal setempat. Tetua kelapa<br />

Dalam komposit ditanam mengikuti model<br />

sarang lebah sehingga persilangan antarvarietas<br />

berpeluang sangat besar untuk<br />

membentuk genotipe heterozigot. Kelapa<br />

Dalam komposit hibrida intervarietas terdiri<br />

atas enam varietas unggul, yaitu Dalam<br />

Mapanget, Tenga, Bali, Palu, Sawarna, dan<br />

Rennel yang disilangkan secara buatan<br />

untuk mendapatkan 15 kombinasi hibrida.<br />

Hasil persilangan ini ditanam campuran<br />

sebagai induk kelapa Dalam komposit


Perakitan kelapa unggul melalui teknik molekuler ... 269<br />

hibrida intervarietas (Akuba 2008; Kumaunang<br />

2008). Diharapkan setiap provinsi/kabupaten<br />

dapat membangun KKID<br />

Komposit secara bertahap minimal 100 ha<br />

untuk memenuhi kebutuhan benih dalam<br />

peremajaan kelapa.<br />

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI<br />

KEBIJAKAN<br />

Introduksi kelapa hibrida dari luar negeri<br />

ke Indonesia dilaksanakan untuk meningkatkan<br />

produktivitas kelapa dalam rangka<br />

memenuhi kebutuhan kopra dan minyak<br />

goreng. Petani kelapa kurang menyukai<br />

kelapa hibrida untuk peremajaan karena<br />

produktivitas rendah, ukuran buah kecil,<br />

dan peka terhadap penyakit.<br />

Petani kelapa umumnya lebih memilih<br />

kelapa Dalam dengan pertimbangan: (1)<br />

tidak membutuhkan pemeliharaan intensif;<br />

(2) lebih tahan terhadap serangan penyakit<br />

dan cekaman lingkungan kering; (3) benih<br />

lebih mudah diperoleh dan murah; dan (4)<br />

produksi lebih stabil dan ukuran buah<br />

besar. Untuk memenuhi kebutuhan petani<br />

akan benih kelapa Dalam, telah dilepas lima<br />

varietas kelapa Dalam unggul pada tahun<br />

2004 dan 2006.<br />

Metode seleksi secara molekuler seperti<br />

teknik isozim dan DNA dapat digunakan<br />

untuk mempercepat seleksi varietas<br />

dan pohon tetua dalam pemuliaan<br />

kelapa. Teknik molekuler bermanfaat untuk<br />

mengetahui kemiripan genetik antarpopulasi,<br />

aksesi, kultivar, dan varietas<br />

kelapa.<br />

Kebutuhan benih kelapa Dalam untuk<br />

program peremajaan sangat besar dan<br />

belum tersedia sumber benih kelapa unggul<br />

yang cukup. Strategi jangka pendek<br />

untuk penyediaan benih kelapa unggul<br />

adalah dengan memanfaatkan sumber<br />

benih kelapa Dalam unggul lokal. Selanjutnya<br />

penyediaan benih untuk jangka<br />

panjang dilakukan melalui pembangunan<br />

Kebun Induk Kelapa Dalam (KIKD) Komposit<br />

di setiap daerah. Teknik molekuler<br />

dapat digunakan untuk mempercepat<br />

seleksi kelapa sebagai tetua dalam perakitan<br />

kelapa Dalam komposit.<br />

Pembangunan KIKD Komposit dapat<br />

dilakukan dalam bentuk waralaba benih,<br />

yaitu petani, pengusaha, pemerintah daerah,<br />

dan pengguna lainnya sebagai penerima<br />

waralaba dan Balai Penelitian Tanaman<br />

Kelapa dan Palma Lain sebagai pemberi<br />

waralaba. Pembangunan KIKD Komposit<br />

dengan mengikutsertakan petani/asosiasi<br />

petani dan pemerintah daerah akan meningkatkan<br />

partisipasi masyarakat dalam<br />

pembangunan, meningkatkan pendapatan,<br />

mendorong komersialisasi perbenihan,<br />

meningkatkan pendapatan asli daerah,<br />

serta mendukung percepatan pelaksanaan<br />

otonomi daerah.<br />

PENUTUP<br />

Orasi ini mengangkat peran aspek evaluasi<br />

keragaman plasma nutfah kelapa sebagai<br />

pangkalan data dalam pemuliaan kelapa.<br />

Dengan berdasarkan pada sumber genetik<br />

kelapa, seleksi dan hibridisasi kelapa dapat<br />

dilakukan lebih terarah dan tepat sehingga<br />

varietas kelapa unggul yang dirakit<br />

lebih sesuai dengan kebutuhan konsumen.<br />

Tanaman kelapa adalah perkebunan<br />

rakyat, sehingga program peremajaan<br />

dan pengembangan kelapa harus<br />

melibatkan petani kelapa secara langsung,<br />

termasuk dalam penyediaan bahan tanaman<br />

unggul sebagai salah satu komponen<br />

produksi yang sangat penting.


270 Hengky Novarianto<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Adams, W.T. 1983. Application of isozymes<br />

in tree breeding. p.381-400. In<br />

S.D. Tanksley and T.J. Orton (Eds.).<br />

Isozymes in Plant Genetics and Breeding.<br />

Part A. Elsevier, New York.<br />

Akuba, R.H. 1991. Pemetaan daerah rawan<br />

serangan penyakit busuk pucuk kelapa<br />

di Sulawesi Utara. Jurnal Penelitian<br />

Kelapa 5(1): 5-11.<br />

Akuba, R.H., H. Hasni, N. Mokodongan,<br />

R. Rahman, dan M.M.M. Rumokoi.<br />

1992. Survei pengusahaan kelapa di<br />

Sulawesi Utara. Laporan Penelitian.<br />

Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan<br />

Palma Lain, Manado.<br />

Akuba, R.H. 1998. Dampak kekeringan dan<br />

kebakaran terhadap kelapa. Prosiding<br />

Konferensi Nasional Kelapa IV. Lampung.<br />

Pusat Penelitian dan PengembanganTanaman<br />

Industri, Bogor.<br />

Akuba, R.H. 2002. Breeding and population<br />

genetic studies on coconut (Cocos<br />

nucifera L.) composite variety using<br />

morphological and microsatellite markers.<br />

PhD Thesis. UPLB, Philippines.<br />

230 pp.<br />

Akuba, R.H. 2008. Merakit Tree of Life.<br />

Badan Lingkungan Hidup, Riset dan<br />

Teknologi Informasi Provinsi Gorontalo.<br />

313 hlm.<br />

Bennett, C.P.A., O. Roboth, and G. Sitepu.<br />

1985. Aspect of the control of premature<br />

nutfall disease of coconut, Cocos<br />

nucifera L. caused by Phythopthora<br />

palmivora Butler. Seminar Proteksi<br />

Tanaman Kelapa, Bogor. p.157-175.<br />

Carpena, A. L., R. R. C. Espino, T. L. Rosario<br />

and R.P. Laude. 1993. Genetics at<br />

population level. SEAMEO Regional<br />

Center for Graduate Study and<br />

Research in Agriculture (SEAMEO-<br />

SEARCA)-UPLB, Los Banos, Philippines.<br />

Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan.<br />

2004. Rencana Makro Pengembangan<br />

Agribisnis Komoditas Kelapa.<br />

Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan,<br />

Jakarta. 50 hlm.<br />

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2007.<br />

Statistik Perkebunan Indonesia. Kelapa.<br />

Direktorat Jenderal Perkebunan,<br />

Jakarta. 81 hlm.<br />

Hallauer, A. R. and J. B. Miranda, FO. 1982.<br />

Quantitative Genetics in Maize Breeding.<br />

The Iowa State University Press.<br />

468 pp.<br />

Hayati, P.K.D., A. Hartana, Suharsono, dan<br />

H. Aswidinnoor. 2000. Keanekaragaman<br />

genetik kelapa Genjah Jombang<br />

berdasarkan RAPD. Hayati 7(2): 35-40.<br />

Hayward, M.D. and N.J. McAdam. 1988.<br />

The effect of isozyme selection on yield<br />

and flowering time in Lolium perenne.<br />

Plant Breeding 101(1): 24-29.<br />

Hosang, M.L.A. and A.A. Lolong. 1998.<br />

Pengendalian hama dan penyakit kelapa<br />

terpadu. hlm. 202-222. Prosiding<br />

Konferensi Nasional Kelapa IV, Lampung.<br />

Pusat Penelitian dan Pengembangan<br />

Tanaman Industri, Bogor.<br />

Karp, A.S. and K.J. Edwards. 1997. Techniques<br />

for analysis, characterization<br />

and conservation of plant genetic resources.<br />

p. 11-22. In Karp et al. (Eds.).<br />

Molecular Tools in Plant Genetic Resources<br />

Conservation. A Guide to the<br />

Technologies. IPGRI.<br />

Kumaunang, J. 2008. Kemajuan pembangunan<br />

kebun induk kelapa Dalam<br />

Komposit dan strategi perluasannya.<br />

Warta Penelitian dan Pengembangan<br />

Tanaman Industri 14(1): 10-11.<br />

Kut, S.A. and D.A. Evans. 1984. ADH<br />

isozymes in seed of Nicotiana species


Perakitan kelapa unggul melalui teknik molekuler ... 271<br />

and somatic hybrids. J. Hered. 75: 215-<br />

219.<br />

Liyanage, D.V. 1972. Production of improved<br />

coconut seed by hybridization.<br />

Oleagineux 12: 597-599.<br />

Liyanage, D.V. 1973. Pemuliaan galur-galur<br />

kelapa berproduksi tinggi. Pemberitaan<br />

LPTI 15-16: 23-27.<br />

Liyanage, D.V. 1974. Survey of coconut<br />

germplasm in Indonesia. UNDP/FAO.<br />

Coconut Industry Development Project,<br />

<strong>Document</strong> No.1. LPTI, Bogor. 30<br />

pp.<br />

Makmur, A. 1988. Masalah pemuliaan<br />

tanaman pada lada, cengkeh, kelapa<br />

dan kapas. Prosiding Lokakarya Pemuliaan<br />

Tanaman Cengkeh, Lada,<br />

Kapas dan Kelapa. Pusat Penelitian<br />

dan Pengembangan Tanaman Industri,<br />

Bogor. hlm. 57-58.<br />

Mawikere, N.D. 1998. Identifikasi dan<br />

kloning DNA ruas berulang tanaman<br />

kelapa kultivar Genjah Kuning Nias.<br />

Makalah Seminar Hasil Program Pascasarjana<br />

Institut Pertanian Bogor.<br />

Mawikere, N.D. 2005. Plasma nutfah kelapa<br />

Papua dan hubungan kekerabatannya<br />

dengan populasi kelapa Indonesia dan<br />

Papua New Guinea berdasarkan penanda<br />

RAPD. Draf Disertasi Sekolah<br />

Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.<br />

Mc Granahan, G.H., W. Tulecke, S. Arulsekar,<br />

and J.J. Hansen. 1986. Intergeneric<br />

hybridization in the Juglandaceae:<br />

Terocarya sp. x Juglans regia.<br />

J. Amer. Soc. Hort. Sci. 111(4): 627-630.<br />

Miftahorrachman, H.F. Mangindaan, dan<br />

H. Novarianto. 1996. Diversitas genetik<br />

komponen buah kultivar kelapa Dalam<br />

Sulawesi Utara. Jurnal Zuriat 7(1): 7-<br />

15.<br />

Nevo, E., A. Beiles, and D. Kaplan. 1987.<br />

Genetic diversity and environmental<br />

associations of wild emmer wheat in<br />

Turkey. Heredity 61(1): 31-45.<br />

Novarianto, H., Miftahorrachman, H.<br />

Tampake, E.T. Tenda, dan T. Rompas.<br />

1984. Pengujian F1 kelapa Genjah x<br />

Dalam. Pemberitaan Puslitbangtri 8(49):<br />

21-27.<br />

Novarianto, H. 1988. Analisis isozim peroksidase<br />

pada bibit kelapa KHINA-1.<br />

Jurnal Penelitian Kelapa 2(2): 74-80.<br />

Novarianto, H., A. Hartana, and L.U. Gadrinab.<br />

1988a. Keanekaragaman pola<br />

pita isozim peroksidase pada koleksi<br />

kelapa di kebun percobaan Pakuwon,<br />

Sukabumi. Floribunda 1(7): 25-28.<br />

Novarianto, H., A. Hartana, A. Makmur, dan<br />

L.U. Gadrinab. 1988b. Analisis isozim<br />

daun kelapa hibrida dan tetuanya. Pemberitaan<br />

Puslitbangtri XIII(3-4): 53-56.<br />

Novarianto, H., H. Tampake, T. Rompas,<br />

dan H.T. Luntungan. 1988c. Komponen<br />

buah kelapa hibrida Indonesia. Pemberitaan<br />

Puslitbangtri XIII(3-4): 61-64.<br />

Novarianto, H., A. Hartana, dan A. Mattjik.<br />

1992a. Analisis kuantitatif karakter<br />

agronomi kelapa hibrida dan tetuanya.<br />

Forum Pascasarjana IPB 15(1): 11-16.<br />

Novarianto, H. dan A. Hartana. 1993. Keragaan<br />

pola pita isozim tanaman kelapa<br />

di kebun Bone-bone, Sulawesi Selatan.<br />

Pemberitaan Puslitbangtri XVIII (3-4):<br />

81-86.<br />

Novarianto, H., A. Hartana, dan A.H. Nasoetion.<br />

1993a. Hubungan kekerabatan<br />

antarpopulasi kelapa di kebun plasma<br />

nutfah Pakuwon, Sukabumi. Jurnal<br />

Biologi Indonesia 1(1): 55-65.<br />

Novarianto, H., A. Hartana, F. Rumawas,<br />

M.A. Rifai, E. Guharja, dan A.H. Nasoetion.<br />

1993b. Kemiripan genetik<br />

antarpopulasi kelapa di Indonesia berdasarkan<br />

pola pita isozim. Jurnal Penelitian<br />

Kelapa 6(2): 1-8.


272 Hengky Novarianto<br />

Novarianto, H. 1994a. Beberapa metode<br />

analisis kemiripan genetika kelapa.<br />

Buletin Balitka 21: 15-24.<br />

Novarianto, H. 1994b. Pola pewarisan<br />

isozim pada tanaman kelapa. Jurnal<br />

Penelitian Kelapa 7(1): 30-35.<br />

Novarianto, H. dan A. Hartana. 1994. Perkembangan<br />

dan diferensiasi isozim<br />

pada tanaman kelapa. Jurnal Biologi<br />

Indonesia 1(2): 35-39.<br />

Novarianto, H., T. Rompas, and S.N. Darwis.<br />

1998. Coconut breeding programme<br />

in Indonesia. p. 28-41. In P.A.<br />

Batugal and V. R. Rao (Eds.). Coconut<br />

Breeding. Proc. Workshop on Standardization<br />

of Coconut Breeding Research<br />

Techniques, Port Bouet, Cote<br />

de Ivoire, 20-25 June 1994. IPGRI-APO,<br />

Serdang Malaysia.<br />

Novarianto, H. 2001. Harapan unggul dari<br />

Balitka. Trubus 384: 101.<br />

Novarianto, H., J. Kumaunang, M.A.<br />

Tulalo, A. Masniawati, dan A. Hartana.<br />

2001. Keragaman genetik kelapa Dalam<br />

Mapanget nomor 32 hasil penyerbukan<br />

sendiri berdasarkan penanda RAPD.<br />

Pemberitaan Puslitbangtri 7(2): 43-48.<br />

Novarianto, H. dan E.T. Tenda. 2002. Persiapan<br />

pelepasan lima varietas kelapa<br />

Dalam. Warta Penelitian dan Pengembangan<br />

Tanaman Industri 8(1): 9-11.<br />

Novarianto, H., R.H. Akuba, dan M.<br />

Hosang. 2004. Memodernisasi perkelapaan<br />

Indonesia dengan inovasi<br />

teknologi. Prosiding Simposium IV<br />

Hasil Penelitian Tanaman Perkebunan,<br />

28-30 September 2004. Pusat Penelitian<br />

dan Pengembangan Perkebunan,<br />

Bogor.<br />

Parfitt, D.E. and S. Arulsekar. 1985. Identification<br />

of plum peach hybrids by<br />

isozymes analysis. Hort. Sci. 20(2): 246-<br />

248.<br />

Peirce, L.C. and Brewbaker. 1973. Application<br />

of isozyme analysis in horticultural<br />

science. Hort. Sci. 8(1): 17-22.<br />

Powel, W., M. Morgante, C. Andre, M.<br />

Hanavey, J. Vogel, S. Tingey, and A.<br />

Rafalski. 1996. The comparison of<br />

RFLP, RAPD, AFLP, and SSR (microsatellite)<br />

markers for germplasm analysis.<br />

Molecular Breeding 2: 225-238.<br />

Randriany, E., H. Tampake, dan H. Novarianto.<br />

1993. Jarak genetik beberapa<br />

jenis kelapa hibrida Genjah x Dalam<br />

berdasarkan sifat-sifat dan pola pita<br />

isozim. Jurnal Penelitian Kelapa 6(1):67-<br />

72.<br />

Rethinam, P., F. Rognon, dan P. Batugal.<br />

2002. Farmer’s perception of high yielding<br />

coconut varieties. p. 170-188. Proc.<br />

the XXXIX Cocotech Meeting, 1-5<br />

July 2002, Pattaya, Thailand.<br />

Rompas,T., H. Novarianto, dan H. Tampake.<br />

1990. Pengujian nomor-nomor terpilih<br />

kelapa Dalam Mapanget di Kebun<br />

Percobaan Kima Atas. Jurnal Penelitian<br />

Kelapa 4(2): 32-34.<br />

Santos, G. A., R. L. Rivera, and G. B. Baylon.<br />

2000. Coconut synthetic variety: A<br />

sustainable option for the farmers. p.<br />

47-92, In S.S. Magat and D.B. Masa<br />

(Eds.). Selected Topics on Current<br />

Trends and Prospects in Enhancing the<br />

Coconut Industry. Proc. the Coconut<br />

Week Symposium, 29 August 2000.<br />

PCA, Philippines.<br />

Second, G. 1982. Origin of the genic diversity<br />

of cultivated rice (Oriza spp.):<br />

Study of the polymorphism scored at<br />

40 isozyme loci. Jpn. J. Genet. 57: 25-<br />

57.<br />

Tampake, H., T. Kuswara, and T.A. Davis.<br />

1982. Coconut germplasm survey of<br />

Nusa Tenggara Timur Province: The<br />

initial step towards resistance in co-


Perakitan kelapa unggul melalui teknik molekuler ... 273<br />

conut strains. Indon. Agric. Res. Dev.<br />

J. 4(2): 52-61.<br />

Tampake, H., H. Novarianto, E.T. Tenda,<br />

dan T. Rompas. 1983. Pengaruh pemeliharaan<br />

intensif terhadap pertumbuhan<br />

kelapa hibrida. Pemberitaan<br />

Puslitbangtri 3(47-48): 6-11.<br />

Tenda, E.T., H. Novarianto, H. Tampake,<br />

Miftahorrachman, R.H. Akuba, H.T.<br />

Luntungan, T. Rompas, Z. Mahmud,<br />

dan J. Kumaunang. 2004. Empat varietas<br />

kelapa Dalam unggul untuk<br />

pengembangan kelapa di Indonesia.<br />

Proposal Pelepasan Varietas. Balai<br />

Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma<br />

Lain, Manado. 19 hlm.<br />

Tenda, E.T., H. Novarianto, H. Tampake,<br />

Miftahorrachman, R.H. Akuba, H.T.<br />

Luntungan, T. Rompas, Z. Mahmud,<br />

dan J. Kumaunang. 2006. Usulan<br />

pemutihan kelapa Dalam Sawarna dan<br />

Takome. Proposal Pelepasan Varietas.<br />

Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan<br />

Palma Lain, Manado. 11 hlm.<br />

Torres, A.M, R.K. Soost, and U. Diedenhofen.<br />

1978. Leaf isozymes as genetic<br />

markers in citrus. Amer. J. Bot. 65(8):<br />

869-881.<br />

Vences, F.J., F. Vaquero, and M. P. de Vega.<br />

1987. Phylogenetic relationships in<br />

Secale (Poaceae), an isozymatic study.<br />

Plant. Syst. Evol. 157(1-2): 33-47.<br />

Warokka. J.S. and H.F. Mangindaan. 1992.<br />

Penyakit busuk pucuk dan kerugian<br />

yang diakibatkannya. Buletin Balitka<br />

16: 48-51.<br />

Yupsanis, T. and M. Moustakas. 1988.<br />

Relationship between quality colour of<br />

glume and gliadin electrophoregrans in<br />

Durum wheat. Plant Breeding 101(1):<br />

30-35.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!