26.04.2013 Views

buku rencana dnpi adaptasi - Adaptation and... - Dewan Nasional ...

buku rencana dnpi adaptasi - Adaptation and... - Dewan Nasional ...

buku rencana dnpi adaptasi - Adaptation and... - Dewan Nasional ...

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

RENCANA AKSI NASIONAL<br />

ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM<br />

INDONESIA


I II<br />

Dokumen ini sebagai masukan dalam proses penyusunan RAN Adaptasi<br />

yang dikerjakan Bappenas – KLH – DNPI di tahun 2012<br />

RENCANA AKSI NASIONAL<br />

ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM<br />

INDONESIA


III<br />

Sambutan<br />

Ketua Harian DNPI<br />

IV<br />

Dampak dan ancaman Perubahan iklim telah diakui sebagai ancaman terhadap lingkungan, sosial dan<br />

ekonomi suatu masyarakat. Adanya pergeseran cara mem<strong>and</strong>ang yang melihat faktor penyebab dan<br />

akibat perubahan iklim tidak lagi semata persoalan lingkungan hidup, namun lebih terkait dengan pola<br />

strategi pembangunan yang dijalankan selama ini. Akibatnya berpengaruh pada stabilitas ekonomi makro<br />

negara, regional bahkan global. Untuk merespon ancaman tersebut, pendekatan strategi pembangunan<br />

harus melibatkan seluruh sektor strategis pembangunan, mulai dari sektor yang berpengaruh pada<br />

kesediaan pangan sampai pada infrastruktur fisik melalui strategi pembangunan yang mengadopsi<br />

pengarusutamaan (mainstreaming) perubahan iklim. Disisi lain persoalan koordinasi antar sektor masih<br />

menjadi kelemahan birokrasi dalam mewujudkan pembangunan yang menyeluruh, efektif dan efesien.<br />

Pasca konferensi perubahan iklim ke 13 di Bali, Desember 2007 (Conference of Parties /CoP13), Pemerintah<br />

Indonesia memiliki keinginan kuat untuk mengintegrasikan <strong>rencana</strong> , strategi dan implementasi kebijakan<br />

perubahan iklim.<br />

Melalui Peraturan Presiden No. 46 Tahun 2008 mengenai <strong>Dewan</strong> <strong>Nasional</strong> Perubahan Iklim diharapkan<br />

strategi pembangunan dilakukan melalui koordinasi dan melibatkan seluruh sektor strategis<br />

pembangunan, mulai dari sektor yang berpengaruh pada kesediaan pangan sampai pada infrastruktur fisik<br />

melalui strategi pembangunan yang mengadopsi pengarusutamaan perubahan iklim. Sasaran kebijakan<br />

adalah memperkuat peran sektor pembangunan untuk mencapai target dan tujuannya melalui koordinasi<br />

antar sektor. Upaya Mitigasi dan Adaptasi perubahan iklim membutuhkan kerjasama yang kuat diantara<br />

sektor-sektor pembangunan. Kedua upaya tersebut membutuhkan sumber dana yang tidak sedikit. Agar<br />

pendanaan pembangunan saat ini berjalan secara optimal dan pembangunan yang akan dilakukan<br />

berpengaruh terhadap sektor lain maka dibutuhkan suatu lembaga yang dapat mengkoordinasikannya.<br />

Dengan dibentuknya <strong>Dewan</strong> <strong>Nasional</strong> Perubahan Iklim yang diketuai langsung oleh Presiden Republik<br />

Indonesia Soesilo Bambang Yudhoyono men<strong>and</strong>akan bahwa persoalan perubahan iklim diakui sebagai<br />

persoalan ancaman utama pembangunan yang harus segera memperoleh perhatian prioritas dari pilihanpilihan<br />

strategi pembangunan. Pembangunan yang meletakkan etika lingkungan dalam politik<br />

pembangunan menjadi prasyarat berjalannya koordinasi pembangunan yang memiliki perspektif<br />

perubahan iklim.<br />

Adanya Rencana Aksi Adaptasi <strong>Nasional</strong> merupakan salah satu upaya untuk menjawab persoalan di atas.<br />

Rencana ini merupakan cermin kesiapan sektor untuk merespon dan mengantisipasi ancaman perubahan<br />

iklim melalui program yang didasari oleh proyeksi ancaman ke depan. Berharap pula bahwa <strong>rencana</strong> aksi ini<br />

dapat menjadi media informasi dan komuniaksi antar sektor sehingga integrasi dan koordinasi kegiatan<br />

dapat disiapkan sejak awal.<br />

Kepada semua pihak yang telah terlibat secara aktif guna tersusunnya Rencana Aksi Adaptasi <strong>Nasional</strong> ini<br />

diucapkan banyak terima kasih dan penghargaannya.<br />

Jakarta, Februari 2011.<br />

Ketua Harian<br />

Rachmat Witoelar


V VI<br />

Sambutan<br />

Ketua Kelompok Kerja<br />

Adaptasi DNPI<br />

Laporan ke 4 (fourth assessment report) yang dipublikasikan pertengahan April 2007 oleh kelompok kerja II<br />

IPCC - Intergovernmental Panel on Climate Change semakin memperkuat keyakinan akan dampak ancaman<br />

perubahan iklim terhadap umat manusia di bumi ini. Diantaranya adalah naiknya rata-rata temperatur suhu<br />

udara, naiknya permukaan air laut yang menyebabkan tenggelamnya pesisir dan pulau-pulau kecil.<br />

Tentang Indonesia sendiri, disebutkan bahwa akan mengalami penurunan curah hujan di kawasan Selatan,<br />

sebaliknya kawasan Utara akan mengalami peningkatan curah hujan. Artinya kawasan yang menurun curah<br />

hujannya sangat berpotensi merusak sistem tanam pertanian, khususnya tanaman yang tidak memiliki<br />

potensi resitan terhadap kekeringan, krisis air untuk menopang kehidupan (air bersih) dan infrastruktur<br />

pembangkit listrik turbin. Di sisi lain, peningkatan curah hujan menjadi potensial ancaman banjir yang<br />

merusakan sarana dan prasarana serta lahan-lahan basah.<br />

Dampak perubahan iklim yang menjadi ancaman besar lainnya apabila dikaitkan dengan kondisi geografis<br />

Indonesia adalah naiknya permukaan air laut (sea level rise). Ancaman terhadap naiknya permukaan air laut<br />

dan ancaman terhadap tenggelamnya pulau-pulau. Tenggelam atau hilangnya suatu pulau kecil<br />

merupakan salah satu fenomena yang akan pasti terjadi apabila dampak perubahan iklim tidak diindahkan.<br />

Hasil kajian yang dari Departemen Pekerjaan Umum serta Kementrian Lingkungan Hidup (Indonesia<br />

Report, 2007) memperkuat laporan IPCC diatas. Bahkan disebutkan dengan kenaikan sekitar 1 meter,<br />

diperkirakan sekitar 405,000 ha dari lahan pesisir termasuk kepulauan kecil akan banjir. Dampak yang<br />

(berpotensi) besar di beberapa area pesisir seperti wilayah pantai/pesisir utara Jawa, pesisir timur Sumatra<br />

dan pesisir selatan Sulawesi. Hilangnya beberapa pulau kecil di garis terluar wilayah Indonesia juga menjadi<br />

ancaman serius akibat naiknya permukaan air laut serta intrusi air laut (garam) ke daratan/pedalaman.<br />

Dikatakan pula bahwa pola panen saat ini kemungkinan (sudah) tidak dapat dilakukan kembali pada masa<br />

yang akan datang.<br />

Pengarusutamaan strategi <strong>adaptasi</strong> ke dalam kebijakan tiap sektor di tingkat nasional dan lokal merupakan<br />

prioritas yang tidak bisa ditawar-tawar. Perumusannya yang melibatkan sektor-sektor yang terkait dan<br />

stakeholder lainnya serta mengikuti metodologi yang telah ada saat ini dipastikan menghasilkan sebuah<br />

dokumen yang aplikatif. Pada saat yang bersamaan menyusun peraturan pelaksana tentang perubahan<br />

iklim dan Dokumen Strategi <strong>Nasional</strong>/Daerah Lainnya.<br />

Berharap keluarnya Rencana Aksi Adaptasi <strong>Nasional</strong> ini dapat menjadi langkah awal keluarnya strategi yang<br />

lebih utuh dan menyeluruh. Dibutuhkan kerja-sama dan keinginan kuat diantara sektor untuk<br />

mewujdukannya. Terakhir, kekurangan yang ada pada dokumen <strong>rencana</strong> ini menjadi tantangan untuk<br />

memperbaikinya ke arah yang lebih baik.<br />

Jakarta, Februari 2011<br />

Ketua Kelompok Kerja Adaptasi DNPI<br />

Imam Santoso Ernawi


VII VIII<br />

Pengarah, Kontributor<br />

dan Penyusun<br />

PENGARAH<br />

Rachmat Witoelar<br />

Ketua Harian <strong>Dewan</strong> <strong>Nasional</strong> Perubahan Iklim / Utusan Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim<br />

Agus Purnomo<br />

Kepala Sekretariat <strong>Dewan</strong> <strong>Nasional</strong> Perubahan Iklim / Staf Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim<br />

Imam Santoso Ernawi<br />

Ketua Kelompok Kerja Adaptasi DNPI / Dirjen Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum<br />

Emma Rachamawaty<br />

Wakil Ketua I Kelompok Kerja Adaptasi DNPI / Asisten Deputi Bidang Adaptasi Kementerian Lingkungan Hidup<br />

Armi Sus<strong>and</strong>i<br />

Wakil Ketua II Kelompok Kerja Adaptasi DNPI / Institut Teknologi B<strong>and</strong>ung<br />

KONTRIBUTOR<br />

Andi Arief, Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana; Yusni Emilia Harahap, Staf Ahli Menteri<br />

Bidang Lingkungan Hidup, Kementerian Pertanian; Irsal Las, Kepala Balai Besar lahan dan Sumber Daya Lahan<br />

Pertanian, Kementerian Pertanian; William M. Putuhena, Kepala Balai Hidrologi dan Tata Air Puslitbang Sumber<br />

Daya Air, Balitbang Kementerian Pekerjaan Umum; Pantja D. Oetojo, Kepala Balai Lalu Lintas dan Lingkungan<br />

Jalan, Puslitbang Jalan dan Jembatan, Kementerian Pekerjaan Umum; Iman Soedrajat, Direktur Penataan Ruang<br />

Wilayah <strong>Nasional</strong>, Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum; Togap Simangunsong,<br />

Asisten Deputi Urusan Bencana, Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat; D. Anwar Musadad, Kepala<br />

Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat , Balitbang Kesehatan, Kementerian Kesehatan; Hadi<br />

Sucahyono, Kasubdit Kebijakan dan Strategi, Dit. Bina Program, Ditjen Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan<br />

Umum; Heru Santoso, Geotek-LIPI; Elnora Runtunuwu, Balai Besar lahan dan Sumber Daya Lahan Pertanian,<br />

Kementerian Pertanian; Agus Supangat, Koordinator Divisi Pengembangan Kapasitas dan Riset, <strong>Dewan</strong> <strong>Nasional</strong><br />

Perubahan, iklim, Budi Haryanto, Ketua Departemen Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat,<br />

Universitas Indonesia; Hendra Yusran Siry, Kepala Pelayanan Teknis Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan<br />

Perikanan; Berny A Subky, Kementerian Kelautan Perikanan; Syofyan Hasan, Kementerian Kelautan Perikanan;<br />

Mustikorini Indri Jatiningrum, Kementerian Kesejahteraan Rakyat; Tutut Indra Wahyuni, Kementerian<br />

Kesehatan; Ann Natallia Umar, Kementerian Kesehatan; Kemal Taruc, UN Habitat; Pramita Harjati, Mercycorps;<br />

Budi Chairuddin, MercyCorps; Tri Prasetyo Sasimartoyo, WHO; Lilik Kurniawan, BNPB; Arifin Muhammad<br />

Hadi, Kepala Divisi Penanggulangan Bencana PMI Pusat; Avianto Muhtadi, Ketua Lembaga Penanggulangan<br />

Bencana dan Perubahan Iklim- Nahdlatul Ulama (LPBI-NU); Victor Remberth, UNJSPDRR; Chris<strong>and</strong>ini, WWF; Erna<br />

Witoelar, Kelompok Kerja Adaptasi DNPI<br />

PENYUSUN<br />

Ari Muhammad, Sekretaris Kelompok Kerja Adaptasi; Ardiyanto Aryoseno, Kelompok Kerja Adaptasi DNPI; Ade<br />

Rachmi Yuliantri, Kelompok Kerja Adaptasi DNPI


IX X<br />

Daftar Isi<br />

SAMBUTAN KETUA HARIAN DNPI.......................................................................................................................................... III<br />

SAMBUTAN KETUA KELOMPOK KERJA ADAPTASI......................................................................................................... V<br />

PENGARAH, KONTRIBUTOR DAN PENYUSUN.................................................................................................................. VII<br />

DAFTAR ISI......................................................................................................................................................................................... IX<br />

DAFTAR TABEL DAN MATRIKS................................................................................................................................................. XIII<br />

DAFTAR GAMBAR........................................................................................................................................................................... XIV<br />

I. PENDAHULUAN............................................................................................................................................................... 1<br />

I.1 LATAR BELAKANG........................................................................................................................................................... 1<br />

I.2 METODOLOGI................................................................................................................................................................... 3<br />

I.3 SEKTOR UTAMA RENCANA AKSI NASIONAL ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM.............................................. 3<br />

II. PEMETAAN TANTANGAN DAN PELUANG ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM TIAP<br />

SEKTOR............................................................................................................................................................................... 5<br />

II.1 SEKTOR PERTANIAN....................................................................................................................................................... 5<br />

II.1.1 Latar Belakang................................................................................................................................................................. 5<br />

II.1.2 Justifikasi............................................................................................................................................................................ 5<br />

II.1.3 Ancaman perubahan iklim pada sektor pertanian............................................................................................. 8<br />

II.1.4 Faktor-faktor yang turut mempengaruhi kerentanan akibat perubahan<br />

iklim di sektor pertanian.............................................................................................................................................. 9<br />

II.1.5 Matriks................................................................................................................................................................................ 11<br />

II.2 SEKTOR PESISIR, KELAUTAN, PERIKANAN DAN PULAU PULAU KECIL.......................................................... 13<br />

II.2.1 Latar Belakang................................................................................................................................................................. 13<br />

II.2.2 Justifikasi............................................................................................................................................................................ 13<br />

II.2.3 Kontribusi Ekonomi Sektor Kelautan dan Perikanan......................................................................................... 15<br />

II.2.4 Ancaman Dampak Perubahan Iklim pada Sektor Kelautan dan Perikanan............................................... 17<br />

II.2.5 Matriks Rencana Aksi Adaptasi Perubahan Iklim pada Sektor Kelautan dan<br />

Perikanan........................................................................................................................................................................... 18<br />

II.3 SEKTOR KESEHATAN....................................................................................................................................................... 22<br />

II.3.1 Pendahuluan.................................................................................................................................................................... 22<br />

II.3.2 Justifikasi............................................................................................................................................................................ 22<br />

II.3.3 Ancaman Perubahan Iklim pada Bidang Kesehatan.......................................................................................... 23<br />

II.3.4 Matriks................................................................................................................................................................................ 25<br />

II.4 SEKTOR PEKERJAAN UMUM........................................................................................................................................ 28<br />

II.4.1 Sub Bidang Sumber Daya Air..................................................................................................................................... 28<br />

II.4.1.1 Justifikasi............................................................................................................................................................................ 28<br />

II.4.1.2 Tingkat Kekritisan Sumber Daya Air:....................................................................................................................... 29<br />

II.4.1.3 Matriks................................................................................................................................................................................ 29<br />

II.4.2 Sub Bidang Cipta Karya................................................................................................................................................ 31<br />

II.4.2.1 Adapun tujuan Pembangunan Sub Bidang Cipta Karya adalah;................................................................... 31<br />

II.4.2.2 Isu strategis pembangunan Sub Bidang Cipta karya dipengaruhi oleh<br />

6 (enam) hal, yaitu:......................................................................................................................................................... 32<br />

II.4.2.3 Matriks................................................................................................................................................................................ 33<br />

II.4.3 Sub Bidang Jalan dan Jembatan............................................................................................................................... 35<br />

II.4.3.1 Prioritas pembangunan Infrastruktur <strong>Nasional</strong> adalah:.................................................................................... 35


XI XII<br />

II.4.3.2 Tantangan Bidang Jalan terkait Dampak Perubahan Iklim............................................................................. 36<br />

II.4.3.3 Matriks................................................................................................................................................................................ 37<br />

II.4.4.1 Sub Bidang Penataan Ruang...................................................................................................................................... 37<br />

II.4.4.2 Justifikasi............................................................................................................................................................................ 38<br />

II.4.4.3 Kebijakan dan Strategi Tata Ruang Terhadap Perubahan Iklim..................................................................... 39<br />

II.4.4.4 Matriks................................................................................................................................................................................ 41<br />

III. STRATEGI ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM NASIONAL......................................................................................... 43<br />

III.1 KEMAMPUAN ADAPTASI (ADAPTIVE CAPACITY)................................................................................................. 43<br />

III.2 KEBUTUHAN STRATEGI ADAPTASI DI INDONESIA............................................................................................... 48<br />

III.3 PENGARUSUTAMAAN ADAPTASI............................................................................................................................... 49<br />

III.4 ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DAN PENGELOLAAN RESIKO BENCANA...................................................... 50<br />

III.5 KELOMPOK KERJA ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM............................................................................................... 50


XIII XIV<br />

TABEL 1.<br />

PROSENTASE KONTRIBUSI SEKTOR TERHADAP PDB NASIONAL<br />

TAHUN 2005-2006.......................................................................................................................................................... 7<br />

TABEL 2.<br />

PERKEMBANGAN TENAGA KERJA SEKTOR PERTANIAN PADA TAHUN<br />

2001-2006.......................................................................................................................................................................... 8<br />

TABEL 3.<br />

TINGKAT PENDIDIKAN TENAGA KERJA SEKTOR PERTANIAN........................................................................... 10<br />

TABEL 4.<br />

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO SEKTOR PERIKANAN TAHUN 2006..............................................<br />

TABEL 5.<br />

DAERAH YANG EKONOMI PERIKANANNYA MEMPUNYAI LAJU PERTUMBUHAN<br />

TERBESAR PADA PERIODE 2002-2006.....................................................................................................................<br />

TABEL 6. TINGKATAN PENDIDIKAN TENAGA KERJA SEKTOR PERTANIAN................................................. 24<br />

TABEL 7.<br />

BAHAYA DAN DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP SEKTOR KESEHATAN..........................................<br />

TABEL 8.<br />

IDENTIFIKASI TINGKAT KERENTANAN DAN RISIKO PERUBAHAN IKLIM........................................................ 39<br />

TABEL 9.<br />

Daftar Tabel dan Matriks Daftar Gambar<br />

LUAS TANAMAN PADI TERKENA BENCANA BANJIR DAN KEKERINGAN DAN PUSO (ha) PADA<br />

TAHUN 1988-1997 (YUSMIN,2000)...........................................................................................................................<br />

MATRIKS I.1.1.................................................................................................................................................................. 11<br />

MATRIKS II.3.4................................................................................................................................................................. 25<br />

MATRIKS II.4.1.3............................................................................................................................................................. 29<br />

MATRIKS II.4.2.3............................................................................................................................................................. 33<br />

MATRIKS II.4.4.4............................................................................................................................................................. 41<br />

16<br />

16<br />

24<br />

45<br />

GAMBAR 1.<br />

KERANGKA KONSEP PELAKSANAAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM<br />

BIDANG KESEHATAN......................................................................................................................................... 7<br />

GAMBAR 2.<br />

PROGRAM STRATEGIS INFRASTRUKTUR JALAN 2014 (RENSTRA KEMENTERIAN PU)............... 35<br />

GAMBAR 3.<br />

JUMLAH TITIK PANAS PER-TAHUN DAN SOI (SOUTHERN OSCILLATION INDEX) DI<br />

INDONESIA TAHUN 2002-2007..................................................................................................................... 45<br />

GAMBAR 4.<br />

EFEK PERUBAHAN IKLIM PDA LEVEL YANG BERBEDA.......................................................................... 48


1 2<br />

Pendahuluan<br />

I.1 Latar Belakang<br />

Laporan kelompok kerja II dibawah IPCC (Inter-Governmental Panel on Climate Change/Panel antar<br />

Pemerintah) mengenai dampak dan <strong>adaptasi</strong> perubahan iklim yang di realese pada Bulan April 2007<br />

menyebutkan bahwa Indonesia akan mengalami penurunan curah hujan di kawasan Selatan, sebaliknya<br />

kawasan Utara akan mengalami peningkatan curah hujan. Artinya kawasan yang menurun curah hujannya<br />

sangat berpotensi merusak sistem tanam pertanian, khususnya tanaman yang tidak memiliki potensi<br />

resitan terhadap kekeringan, krisis air untuk menopang kehidupan (air bersih) dan infrastruktur pembangkit<br />

listrik turbin. Di sisi lain, peningkatan curah hujan menjadi potensial ancaman banjir yang merusakan<br />

sarana dan prasarana serta lahan-lahan basah. Selain itu kejadian perubahan pola intensitas curah hujan<br />

lokal yang ekstrim juga sering terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Perubahan pola curah hujan tersebut<br />

makin sulit untuk diprediksi guna mengantisipasi dampak perubahan cuaca dan iklim yang akan terjadi.<br />

Dampak perubahan iklim yang menjadi ancaman besar lainnya apabila dikaitkan dengan kondisi geografis<br />

Indonesia adalah naiknya permukaan air laut (sea level rise). Ancaman terhadap naiknya permukaan air laut<br />

dan ancaman terhadap tenggelamnya pulau-pulau. Tenggelam atau hilangnya suatu pulau kecil<br />

merupakan salah satu fenomena yang akan pasti terjadi apabila dampak perubahan iklim tidak diindahkan.<br />

Hasil kajian lain yang memperkuat laporan IPCC diatas menyebutkan bahwa dengan kenaikan sekitar 1<br />

(satu) meter, diperkirakan sekitar 405,000 ha dari lahan pesisir termasuk kepulauan kecil akan banjir.<br />

(Kementerian Pekerjaan Umum, Indonesia Report, 2007).<br />

Pendahuluan<br />

Dampak yang (berpotensi) besar di beberapa area pesisir seperti wilayah pantai/pesisir utara Jawa, pesisir<br />

timur Sumatra dan pesisir selatan Sulawesi. Hilangnya beberapa pulau kecil di garis terluar wilayah<br />

Indonesia juga menjadi ancaman serius akibat naiknya permukaan air laut serta intrusi air laut (garam) ke<br />

daratan/pedalaman. Dikatakan pula bahwa pola panen saat ini kemungkinan (sudah) tidak dapat dilakukan<br />

kembali pada masa yang akan datang.<br />

Oleh sebab itu dibutuhkan upaya g<strong>and</strong>a (double effort) dan kerja keras oleh negara-negara berkembang dan<br />

miskin. Mengingat hal tersebut, langkah antisipatif akan lebih efektif dan biaya yang dikeluarkan akan lebih<br />

rendah bila dib<strong>and</strong>ing dengan upaya <strong>adaptasi</strong> yang dilakukan nanti pada saat keadaan sudah semakin<br />

memburuk dimana dampak sudah semakin besar sehingga upaya <strong>adaptasi</strong> akan membutuhkan biaya lebih<br />

mahal. Oleh sebab itu, sangatlah mendesak untuk segera melakukan upaya-upaya <strong>adaptasi</strong>, guna<br />

menyesuaikan ataupun mengurangi dampak-dampak ekstrem perubahan iklim.<br />

Pengarusutamaan strategi <strong>adaptasi</strong> ke dalam kebijakan tiap sektor di tingkat nasional dan lokal merupakan<br />

prioritas yang tidak bisa ditawar-tawar. Terlepas apa yang terjadi pada negosiasi internasional perubahan<br />

iklim (yang alot dan tarik menarik antar pihak), pemerintah harus segera menyiapkan <strong>rencana</strong> aksi nasional.<br />

Perumusannya yang melibatkan sektor-sektor yang terkait dan pemangku kepentingan lainnya serta<br />

mengikuti metodologi yang telah ada saat ini dipastikan menghasilkan sebuah dokumen yang aplikatif.


3 4<br />

Rangkaian kegiatan penyusunan dokumen strategi <strong>adaptasi</strong> yang sistematis dan te<strong>rencana</strong> merupakan<br />

suatu kebutuhan yang mendesak. Adanya <strong>rencana</strong> aksi <strong>adaptasi</strong> merupakan keharusan dan prioritas<br />

utama <strong>rencana</strong> pembangunan strategi <strong>adaptasi</strong> itu sendiri di tingkat nasional. Langkah-langkah yang dapat<br />

dilakukan dalam tingkat nasional adalah adalah merumuskan dan menetapkan daftar kebutuhan masingmasing<br />

sektor, yang disertai perumusan program dan strategi implementasi <strong>adaptasi</strong> masing-masing<br />

sektor.<br />

I.2 Metodologi<br />

Rencana aksi nasional <strong>adaptasi</strong> perubahan iklim disusun melalui keterlibatan pemangku kepentingan<br />

(stakeholder) dari berbagai sektor. Adanya definisi berbagai terminologi perubahan iklim, khususnya yang<br />

terkait dengan <strong>adaptasi</strong>, yang disepakati secara nasional akan memudahkan dialog antar disiplin ilmu dan<br />

antar sektor.<br />

Rencana aksi nasional perubahan iklim merupakan hal yang dinamis, yang akan terus diperbarui dengan<br />

adanya perkembangan data, informasi dan metodologi. Adanya mekanisme monitoring data yang sudah<br />

sistematis akan menjamin perbaruan data secara berkala.<br />

Koordinasi Kelembagaan; sebagai tindak lanjut dari keterlibatan para pemangku kepentingan<br />

(stakeholder) dalam penyusunan <strong>rencana</strong> aksi nasional <strong>adaptasi</strong> perubahan iklim adalah dibutuhkannya<br />

integrasi dan keterkaitan koordinasi kelembagaan dari berbagai sektor dalam menyusun aksi <strong>adaptasi</strong><br />

perubahan iklim di Indonesia. Koordinasi diperlukan agar dapat teridentifikasi secara jelas dan dalam<br />

menyusun strategi <strong>adaptasi</strong> terhadap perubahan iklim.<br />

Sinergisitas Adaptasi dan Rencana Pembangunan <strong>Nasional</strong>/Daerah. Pendekatan yang mensinergikan<br />

antara persoalan <strong>adaptasi</strong> dan <strong>rencana</strong> pembangunan di tingkat nasional dan daerah menjadi peluang<br />

dalam mencapai tujuan dari pembangunan yang telah ditetapkan. Tantangan yang akan dihadapi adalah<br />

bagaimana pemahaman <strong>adaptasi</strong> perubahan iklim di tingkat pemerintahan maupun masyarakat hingga<br />

dapat disusun <strong>rencana</strong> aksi di tingkat yang lebih lokal.<br />

I.3 Sektor Utama Rencana Aksi <strong>Nasional</strong> Adaptasi Perubahan Iklim<br />

Rencana aksi nasional <strong>adaptasi</strong> perubahan iklim akan di prioritaskan pada lima (5) sektor utama, yaitu:<br />

1. Sektor Pertanian<br />

2. Sektor Pesisir, Kelautan, Perikanan dan Pulau Pulau Kecil<br />

3. Sektor Kesehatan<br />

4. Sektor Pekerjaan Umum :<br />

1) Sumber Daya Air<br />

2) Cipta Karya<br />

3) Jalan dan Jembatan<br />

4) Penataan Ruang


5<br />

Pemetaan Tantangan Dan<br />

Peluang Adaptasi Perubahan Iklim<br />

Tiap Sektor<br />

II.1 Sektor Pertanian<br />

II.1.1 Latar Belakang<br />

Perubahan iklim merupakan isu utama di dunia saat ini karena berdampak pada keberlanjutan dan<br />

eksistensi kehidupan manusia di bumi. Perubahan iklim dit<strong>and</strong>ai dengan peningkatan temperatur global<br />

dan peningkatan muka air laut. Perubahan temperatur global berimplikasi pada perubahan pola<br />

temperatur permukaan bumi, sehingga mempengaruhi perubahan pola-pola cuaca yang ada dipermukaan<br />

bumi. Selanjutnya dampak tersebut berbeda dari suatu wilayah (lokasi) ke wilayah lainnya dipermukaan<br />

bumi ini.<br />

Walaupun berkontribusi relatif kecil (sekitar 7%) terhadap emisi GRK nasional, namun sektor pertanian,<br />

terutama subsektor tanaman pangan, mengalami dampak perubahan iklim yang cukup besar. Di sisi lain,<br />

sektor pertanian berperan penting dalam kehidupan dan perekonomiannasional, terutama sebagai<br />

penghasil utama bahan pangan, bahan baku industri dan bioenergi.Sektor pertanian juga mengasilkan jasa<br />

lingkungan dan berbagai fungsi lainnya seperti penyedia lapangan kerja bagi sekitar 40% angkatan kerja<br />

Indonesia, penyumbang pertumbuhan ekonomi. menjaga ketahanan pangan<br />

II.1.2 Justifikasi<br />

Selain dari perubahan iklim masih memiliki banyak persoalan khususnya dalam meningkatkan pengelolaan<br />

usaha tani dan memperkuat kapasitas para petani dalam mendorong produktivitas petani terhadap tingkat<br />

1<br />

kesejahteraan mereka dan PDB <strong>Nasional</strong> , sektor pertanian terbukti mampu memberikan kontribusi positif<br />

terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia 2 (lihat tabel 1) . Saat Indonesia mengalami krisis ekonomi tahun<br />

1997/1998 3 dimana ekonomi kita mengalami penurunan pertumbuhan sebesar 13,68 persen (BPS, 2000),<br />

sektor pertanian sebaliknya mengalami pertumbuhan 0,26 persen 4 dan mampu menyerap tenaga kerja<br />

sebesar 60 persen dari angkatan kerja nasional 5.<br />

Sektor ini pun mampu memberikan nilai tambah produksi<br />

sebesar 18,04 persen. Dengan kondisi ini tak heran jika sumbangan sektor ini bagi PDB mencapai angka 17<br />

persen dan penyediaan lapangan pekerjaan. Berdasarkan data BPS pada tahun 2004 tercatat 43,3 persen<br />

dan tahun 2005 mengalami peningkatan menjadi 44,0 persen. Pada tahun 2006 penyerapan tenaga kerja<br />

mencapai 44,5 persen 6.<br />

Besarnya angka penyediaan lapangan pekerjaan sangat terkait dengan sifat padat<br />

karya di sektor tersebut (lihat tabel 2).<br />

1 Sektor pertanian merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja tertinggi, yaitu sebesar 44,5 persen pada tahun 2006 (BPS). Namun demikian, kontribusi sektor pertanian dalam<br />

Produk Domestik Bruto (PDB) hanya sebesar 13,3 persen.<br />

2 Berdasarkan data BPS (Agustus 2006) disebutkan bahwa kontribusi sektor pertanian terhadap PDB <strong>Nasional</strong> menempati urutan ketiga setelah sektor industri dan perdagangan-hotel-<br />

restoran, yaitu berkisar 13,3 persen. PDB sektor pertanian tersebut sebagian besar masih didominasi oleh sub sektor Tanaman Bahan Makanan (TBM), meskipun cenderung fluktuatif.<br />

Tempat selanjutnya diduduki oleh sub sektor perkebunan diikuti perikanan dan peternakan.<br />

3 Akibat krisis ekonomi ini, terjadi penurunan jumlah tenaga kerja sebanyak 6,4 juta orang.<br />

4 Karena kondisi krisis tahun 1997-1998, sector ini memperoleh penurunan anggaran belanja. Pada tahun 1998, kontribusi sektor pertanian terhadap pendapatan PDB secara absolut<br />

masih menurun, walaupun sektor pertanian merupakan satu-satunya sektor ekonomi yang mengalami pertumbuhan positif (0,26 persen), di antara perpaduan retrogesi seluruh<br />

sektor ekonomi yang mencapai minus 14 persen per tahun”.<br />

5 Dalam periode dan kondisi perekonomian yang sama terbentuk 21.30 juta unit usaha kecil berupa rumah tangga petani (…..).<br />

6 Bila seluruh anggota keluarga diperhitungkan maka hamper 80 persen dari total penduduk Indonesia mengembangkan hidupnya pada sector agribisnis masih merupakan basis<br />

ekonomi sebagian besar rakyat Indonesia (Simatupang, 1997).<br />

6


7 8<br />

Sulawesi Utara merupakan contoh wilayah yang dimana sektor pertanian menunjukkan pertumbuhan<br />

positif yang menguatkan ekonomi mikro mereka sehingga pertanian memerankan sangat penting dan<br />

strategis dalam pembangunan perekonomian masyarakat Sulawesi Utara. Walaupun pada tahun 2007<br />

mengalami penurunan apabila dib<strong>and</strong>ingkan dengan tahun 2006 dimana sektor ini memberikan<br />

kontribusi sebesar 19,7 persen, namun kembali pada tahun 2008 sektor pertanian mengalami peningkatan<br />

1,1 persen menjadi 7,5 persen (dari tahun 2007 yang tumbuh sebesar 6,1 persen). Pertumbuhan ini<br />

melampaui target yang ditetapkan untuk tahun 2005-2010. Pertumbuhan ini tentunya memberikan<br />

kontribusi positif terhadap penyediaan bahan pangan, bahan baku industri, pengentasan kemiskinan,<br />

penyediaan lapangan kerja dan sumber pendapatan masyarakat.<br />

Bagi Indonesia, pertanian merupakan sektor utama perekonomian. Bagi Negara berkembang lainnya,<br />

keberhasilan sektor ini menjadi prasyarat keberhasilan sektor industri dan jasa (El-said M, 2001), oleh sebab<br />

itu kebijakan sektor pertanian sangat dipengaruhi dengan keberhasilan pembangunan di sektor-sektor<br />

lainnya (Sadaulet dan de Janvry, 1995).<br />

Tabel 1. Prosentase Kontribusi Sektor terhadap PDB <strong>Nasional</strong> Tahun 2005-2006<br />

Lapangan Usaha<br />

Pertanian, ternak, hutan dan ikan<br />

Pertambangan dan Penggalian<br />

Industri Pengolahan<br />

Listrik, Gas dan Air Bersih<br />

Konstruksi<br />

Perdagangan, Hotel dan restoran<br />

Pengangkutan dan Komunikasi<br />

Keuangan, Real Estate dan Jasa Perusahaan<br />

Jasa-jasa<br />

PDB<br />

PDB Tanpa Migas<br />

2005<br />

Triwulan I Triwulan II<br />

14,5<br />

9,2<br />

27,8<br />

0,9<br />

6,3<br />

16,2<br />

6,4<br />

8,5<br />

10,2<br />

100<br />

90,5<br />

13,9<br />

10,1<br />

27,9<br />

0,9<br />

6,3<br />

16,1<br />

6,5<br />

8,4<br />

10,0<br />

100<br />

89,4<br />

* Laju Pertumbuhan Semester I 2006 terhadap Semester I 2005<br />

Sumber: BPS<br />

2006<br />

Triwulan I Triwulan II<br />

13,5<br />

10,2<br />

28,8<br />

0,9<br />

6,4<br />

15<br />

7,0<br />

8,3<br />

9,8<br />

100<br />

88,6<br />

13,3<br />

10,5<br />

28,9<br />

0,9<br />

6,5<br />

14,9<br />

7,0<br />

8,2<br />

9,8<br />

100<br />

87,7<br />

Laju<br />

Tumbuh<br />

4,5<br />

4,5<br />

3,1<br />

5,7<br />

7,7<br />

4,7<br />

12,2<br />

5.2<br />

5,7<br />

4,9<br />

5,5<br />

Tabel 2. Perkembangan Tenaga Kerja Sektor pertanian pada Tahun 2001-2006<br />

Tahun Angkatan Kerja <strong>Nasional</strong> (Juta<br />

Orang)<br />

2001<br />

2002<br />

2003<br />

2004<br />

2005<br />

2006<br />

Rata-rata<br />

* Sampai Februari 2006<br />

Sumber: BPS 2006 diolah<br />

II.1.3 Ancaman perubahan iklim pada sektor pertanian<br />

Tenaga Kerja Pertanian (Juta<br />

Orang)<br />

Prosentasi (Nas/<br />

Pertanian, %)<br />

89,7 39,7 44,3<br />

91,7 40,6 44,3<br />

92,8 43,0 46,4<br />

93,7 40,6 43,3<br />

94,9 41,8 44,0<br />

95.2 42,3 44,5<br />

93,0 41,4 44,5<br />

Hasil lokakarya internasional mengenai "Perubahan Iklim dan Masa Depan Pertanian Asia", yang<br />

dilaksanakan pada bulan Oktober 2009 di Nepal, Kathm<strong>and</strong>u, menyampaikan keprihatinan dan perhatian<br />

terhadap Negara-negara di kawasan Asia dan Negara-negara yang memiliki tingkat kerentanan cukup<br />

tinggi karena Negara-negara tersebut tersebut memiliki kemampuan yang tak memadai untuk<br />

menyesuaikan diri dengan lingkungan hidup yang berubah 7.<br />

Pertemuan ini menyerukan kepada para<br />

pemimpin sektor pertanian di wilayah Asia agar menyesuaikan diri dengan lingkungan hidup yang berubah.<br />

Indonesia, melalui Kementrian Pertanian telah menempatkan ancaman variabilitas dan perubahan iklim<br />

8<br />

(pemanasan global) sebagai ancaman terhadap sumber daya lahan dan lingkungan pertanian . Di sisi lain<br />

sektor ini ditempatkan sebagai sektor yang juga memberikan kontribusi terhadap pemanasan gas rumah<br />

kaca melalui Lahan dan budidaya pertanian. Intervensi kebijakan yang pada persoalan pendanaan,<br />

teknologi, kelembagaan dan sosial ekonomi menjadi sangat penting. Oleh sebab itu, kementrian ini telah<br />

menyusun strategi untuk mengantisipasi persoalan dan ancaman perubahan iklim, baik mitigasi maupun<br />

<strong>adaptasi</strong>. Diharapkan kebijakan yang dilahirkan terintagrasi dan menyeluruh dari sisi aspek yang<br />

mempengaruhinya.<br />

Dampak perubahan iklim yang telah dipetakan oleh Kementrian Pertanian diantaranya adalah degradasi<br />

sumberdaya lahan dan air, infrastrukur (irigasi), banjir dan kekeringan dan penciutan serta degradasi lahan<br />

yang berpotensi mengancam penurunan produktivitas, produksi, mutu hasil, efesiensi dan lainnya yang<br />

berujung kepada Ketahanan Pangan dan pada akhirnya terhadap kehidupan social dan ekonomi serta<br />

kesejahteraan petani dan masyarakat produsen.<br />

7 Lokakarya regional ini diselenggarakan oleh Federasi Internasional mengenai Prosedur Pertanian dan Federasi Kerja Sama <strong>Nasional</strong> Nepal (NCFN). Lokakarya tersebut diikuti oleh 30<br />

peserta dari 12 negara, yaitu India, Pakistan, Bangladesh, Sri Lanka, Jepang, Israel, Filipina, Indonesia, Armenia, Kamboja, Vietnam dan Thail<strong>and</strong>.<br />

8 Ancaman lainnya diluar persoalan perubahan dan variabilitas iklim adalah konversi/alih fungsi lahan pertanian, terutama Lahan Sawah Irigasi, degradasi lahan, air dan lingkungan<br />

pertanian (pencemaran, dll.) dan perluasan lahan terlantar serta Keterbatasan potensi dan ketersediaan sumber daya lahan untuk ekstensifikasi pertanian, khususnya dalam<br />

mendorong ketahanan pangan dan bioenergi.


9 10<br />

Karena perubahan pola curah hujan dan kejadian iklim ekstrim mengakibatkan areal padi sawah di<br />

beberapa wilayah/daerah mengalami kekeringan. Luas areal yang mengalami kekeringan meningkat dari<br />

0,3-1,3 persen menjadi 3,1-7,8 persen. Sementara itu, luas real padi yang mengalami puso, meningkat dari<br />

0,004-0,41 persen menjadi 0,04-1,87 persen. Di sisi lain, akibat banjir, luas areal yang mengalami kerusakan<br />

meningkat dari 0,75-2,68 persen menjadi 0,97-2,99 persen dan mengakibatkan puso dari 0,24-0,73 persen<br />

menjadi 8,7-13,8 persen. Akibat itu semua, potensi peningkatan penurunan produksi dari 2,4-5 persen<br />

menjadi lebih dari 10 persen9.<br />

Akibat lainnya yang ditimbulkan oleh perubahan iklim terhadap sector pertanian adalah peningkatan suhu<br />

udara yang mengakibatkan penurunan produksi pangan seperti padi, jagung dan kedelai sekitar 10,0-19,5<br />

persen selama 40 tahun yang akan datang. Penciutan lahan dan degradasi sawah produktif sekitar 292-400<br />

ribu hektar atau 3,7% di Jawa akibat peningkatan muka air laut diproyeksikan sampai dengan tahun 2050.<br />

Kondisi ini berdampak serius terhadap pertanian di daerah pesisir. Contoh kasus terjadi di Kabupaten<br />

Karawang dan Subang dimana produksi beras berkurang sekitar 300,000 ton, produksi jagung berkurang<br />

5,000 ton karena genangan. Naiknya permukaan air laut juga menimbulkan salintas dan instrusi air laut yang<br />

mengancam sumber air bersih.<br />

II.1.4 Faktor-faktor yang turut mempengaruhi kerentanan akibat perubahan iklim di sektor<br />

pertanian.<br />

Pengelolaan sumberdaya air berhadapan dengan 4 (empat) jenis kerentanan yang sangat mempengaruhi<br />

11<br />

keberlanjutan sumberdaya air yaitu kerentanan fisik, social, ekonomi dan lingkungan .<br />

Konsumsi dan kebutuhan air di sektor pertanian sebesar 80% dari kebutuhan total air, jauh dib<strong>and</strong>ingkan<br />

dengan industri dan rumah tangga yang hanya 20%. Kondisi lingkungan yang semakin memprihatinkan<br />

turut memperparah terhadap krisis air. Misalnya beberapa daerah aliran sungai (DAS) mengalami degradasi<br />

akibat sedimentasi yang sangat memprihatinkan, hal ini khususnya banyak terjadi di pulau Jawa ditambah<br />

dengan perubahan penggunaan dan peruntukkan pada kawasanya hulu-nya.<br />

Menurut pendapat beberapa perwakilan petani yang disampaikan dalam kegiatan focus group discussion<br />

12<br />

yang diselenggarakan oleh Kelompok Kerja Adaptasi <strong>Dewan</strong> <strong>Nasional</strong> Perubahan Iklim/DNPI ketersediaan<br />

air merupakan faktor utama bagi mereka. Hampir 60 persen sawah di Indonesia merupakan sawah tadah<br />

hujan. Kondisi ini menjadikan sektor pertanian kita berada pada posisi yang rentan akibat kekeringan<br />

karena perubahan iklim.<br />

Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat cenderung berpotensi terhadap tingginya kerentanan (lihat<br />

tabel 3). Hal ini pula yang terjadi pada para tenaga kerja di sektor pertanian. Oleh sebab itu adanya<br />

peningkatan kapasitas, baik mengenai cara meningkatkan produktifitas, memahami iklim (contoh yang<br />

9 Litbang, Kementrian Pertanian.<br />

10 Kerentanan adalah suatu keadaan penurunan ketahanan akibat pengaruh eksternal yang mengancam kehidupan, mata pencaharian, sumberdaya alam, property, infrastruktur,<br />

produktivitas ekonomi dan kesejahteraan. Kerentanan sosial, misalnya, adalah sebagian dari produk kesenjangan sosial, yaitu faktor sosial yang mempengaruhi atau membentuk<br />

kerentanan berbagai kelompok dan yang juga mengakibatkan penurunan kemampuan untuk menghadapi bencana, bencana kekeringan, bencana banjir, degradasi kualitas air<br />

dlsbnya. Dalam konteks perubahan iklim, kerentanan merupakan hasil dari potensi dampak dikurangi dengan upaya <strong>adaptasi</strong> (Kerentanan = Potensi dampak – Adaptasi).<br />

Kerentanan terhadap perubahan iklim berkurang apabila langkah <strong>adaptasi</strong> dilakukan. Potensi dampak bergantung Eksposure dan Sensitivitas.<br />

11 Budi Wignyosukarto, Pengelolaan Sumberdaya Air ditengah Kerentanan Sosial dan Lingkungan.<br />

12 Diselenggarakan pada 26 November 2010<br />

telah dikembangkan oleh Kementrian Pertanian adalah sekolah iklim) dan wirausaha agribisnis melalui<br />

pelatihan dan penguatan para petani menjadi salah solusi.<br />

Tabel 3 . Tingkat Pendidikan Tenaga Kerja Sektor Pertanian<br />

Sumber: BPS<br />

Tahun Tingkat Pendidikan<br />

2000<br />

2001<br />

2002<br />

2003<br />

2004<br />

2005 (Feb)<br />

2005 (Nop)<br />

2006 (Feb)<br />

% 2006 (Feb)<br />

SLTA<br />

4.767,9<br />

5.200,3<br />

5.348,2<br />

7.557,7<br />

6.567,1<br />

6.913,8<br />

7.367,5<br />

7.188,0<br />

17,0<br />

Total<br />

40.676,7<br />

39.751,0<br />

40.636,2<br />

43.047,5<br />

38.930,9<br />

41.869,1<br />

41.309,8<br />

42.323,2<br />

100


11 12<br />

II.1.5 Matriks<br />

Kebijakan Program Aksi<br />

1. UU No: 16 Tahun 2006, Tentang<br />

Sistem Penyuluhan Pertanian,<br />

Perikanan dan Kehutanan<br />

2. UU No: 41 Tahun 2009, Tentang<br />

Perlindungan Lahan Pertanian<br />

Pangan Berkelanjutan.<br />

3. Peraturan Menteri Petanian No:<br />

39/Permentan/OT.140/6/2010<br />

Tentang Pedoman Perizinan Usaha<br />

Budidaya Tanaman Pangan.<br />

1. UU No: 18 Tahun 2004, Tentang<br />

Perkebunan.<br />

2. UU No: 16 Tahun 2006, Tentang<br />

Sistem Penyuluhan Pertanian,<br />

Perikanan dan Kehutanan<br />

3. Peraturan Menteri Pertanian No:<br />

14/Permentan/PL.110/2/ 2009<br />

Tentang Pedoman Pemanfaatan<br />

Lahan Gambut Untuk Budidaya<br />

Kelapa Sawit.<br />

1. UU No: 6 Tahun 1967 Tentang<br />

Ketentuan-ketentuan Pokok<br />

Peternakan dan Kesehatan Hewan<br />

(Lembaran Negara tahun 1967<br />

Nomor 10, Tambahan Lembaran<br />

Negara Nomor: 2824)<br />

2. UU No: 16 Tahun 2006, Tentang<br />

Sistem Penyuluhan Pertanian,<br />

Perikanan dan Kehutanan<br />

Tanaman pangan dan hortikultura<br />

1. Perbaikan manajemen pengelolaan air, termasuk sistem<br />

dan jaringan irigasi.<br />

2. Pengembangan teknologi panen air (embung, dam parit) dan<br />

efisiensi penggunaan air seperti irigasi tetes dan mulsa.<br />

3. Pengembangan jenis dan varietas tanaman yang toleran<br />

terhadap stres lingkungan seperti kenaikan suhu udara,<br />

kekeringan, genangan (banjir), dan salinitas.<br />

4. Pengembangan teknologi pengelolaan tanah dan tanaman<br />

untuk meningkatkan daya <strong>adaptasi</strong> tanaman<br />

5. Pengembangan sistem perlindungan usahatani dari<br />

kegagalan akibat perubahan iklim atau crop weather<br />

insurance.<br />

Tanaman perkebunan<br />

1. Pengembangan komoditas yang mampu bertahan dalam<br />

cekaman kekeringan dan kelebihan air.<br />

2. Penerapan teknologi pengelolaan tanah dan tanaman<br />

untuk meningkatkan daya <strong>adaptasi</strong> tanaman.<br />

3. Pengembangan teknologi hemat air.<br />

4. Penerapan teknologi pengelolaan air, terutama pada<br />

lahan yang rentan terhadap kekeringan.<br />

Pengelolaan peternakan<br />

1. Pengembangan ternak yang adaptif terhadap<br />

lingkungan yang lebih ekstrim (kekeringan, suhu tinggi,<br />

genangan).<br />

2. Pengembangan teknologi silase untuk mengatasi<br />

kelangkaan pangan musiman.<br />

3. Pengembangan sistem integrasi tanaman-ternak (crop<br />

livestock system, CLS) untuk mengurangi risiko dan<br />

optimalisasi penggunaan sumberdaya lahan.<br />

Dalam mewujudkan implementasi kebijakan, terdapat beberapa tantangan yang menyebabkan belum<br />

teroptimalkannya kebijakan di dalam implementasinya namun di sisi lain terdapat peluang yang dapat<br />

dimanfaatkan dalam mendorong diimplementasikannya kebijakan yang telah dimiliki oleh Kementrian<br />

Pertanian.<br />

TANTANGAN<br />

1. Sektor pertanian berperan penting dalam perekonmian nasional terutama pengahsil pangan, bahan<br />

baku industry, bioenergi.<br />

2. Masih rendahnya komitmen dan dukungan para pemangku kepentingan terhadap keseimbangan<br />

program aksi disektor pertanian.<br />

3. Sektor pertanian juga sebagai penyedia lapangan kerja sekitar 40% angka kerja Indonesia<br />

PELUANG<br />

Kekayaan sumber daya alam (negara agraris dan maritim) yang perlu dikelola dengan baik didukung oleh<br />

keberadaan sumber daya manusia.


13 14<br />

II.2 Sektor Pesisir, Kelautan, Perikanan dan Pulau Pulau Kecil<br />

II.2.1 Latar Belakang<br />

Sebagian besar sumber pendapatan ekonomi bangsa Indonesia sangat bergantung kepada kondisi iklim<br />

dan perubahannya. Sektor kelautan dan perikanan yang merupakan sektor dengan potensi sumber<br />

pendapatan ekonomi yang tinggi sangat bergantung dan rentan terhadap perubahan iklim. Kondisi cuaca<br />

ekstrim misalnya, yang dipicu dan dipacu oleh fenomena perubahan iklim mempengaruhi pola<br />

penangkapan dan budidaya perikanan, yang pada akhirnya mempengaruhi pendapatan ekonomi bangsa.<br />

Fenomena perubahan iklim akibat pemanasan global saat ini telah menjadi ancaman, terhadap kondisi<br />

lingkungan hidup dan memberikan dampak pada aspek sosial, ekonomi bahkan aspek keamanan dan<br />

pertahanan suatu bangsa. Dalam lingkup lokal, ancaman fenomena perubahan iklim berpotensi<br />

menimbulkan gangguan ekonomi secara mikro. Bila ancaman tersebut terlambat untuk diantisipasi secara<br />

nasional maka dapat dipastikan terjadi gangguan ekonomi secara makro.<br />

Fenomena perubahan iklim semakin memperparah persoalan pengelolaan dan tata kelola lingkungan laut,<br />

pesisir dan perairan umum, seperti tekanan pertambahan penduduk, eksploitasi dan degradasi lingkungan,<br />

peningkatan pencemaran akibat aktifitas industri dan perumahan. Situasi tersebut menjadikan Indonesia<br />

semakin rentan (more vulnerable) dalam menghadapi ancaman dan dampak perubahan iklim. Hal ini<br />

berimplikasi pada semakin besarnya tantangan yang harus dibenahi yang membutuhkan upaya luar biasa,<br />

mulai dari <strong>rencana</strong> pembangunan, dukungan pendanaan dan teknologi.<br />

Untuk menekan tingkat kerentanan tersebut bisa dilakukan melalui pembangunan yang memperhatikan<br />

manajemen lingkungan hidup dan memperdulikan dampak kerugian yang ditimbulkan oleh suatu<br />

pembangunan terhadap ekologi serta ekosistem pesisir, laut dan perairan umum. Peningkatan ketahanan<br />

ekonomi masyarakat (community economic resiliences) juga merupakan langkah menekan tingkat<br />

kerentanan melalui upaya memperkuat kesiapan perekonomian dan penduduk agar lebih tahan terhadap<br />

dampak negatif perubahan iklim.<br />

II.2.2 Justifikasi<br />

Untuk mengantisipasi ancaman dan dampak perubahan iklim sekaligus mengurangi tingkat kerentanan<br />

sangat diperlukan kebijakan mengantisipasi potensi ancaman dan meng<strong>adaptasi</strong> dampak yang<br />

ditimbulkan oleh fenomena perubahan iklim. Kebijakan antisipasi tersebut bisa direfleksikan dalam bentuk<br />

<strong>rencana</strong> aksi <strong>adaptasi</strong> perubahan iklim. Dokumen ini merupakan Rencana Aksi <strong>Nasional</strong> Adaptasi<br />

Perubahan Iklim yang disusun sebagai upaya menginventarisasi dan mendokumentasikan upaya aksi<br />

<strong>adaptasi</strong> perubahan iklim.<br />

Dokumen ini diharapkan bisa menjadi rujukan untuk aksi <strong>adaptasi</strong> dan antisipasi terhadap ancaman<br />

pertumbuhan ekonomi dan capaian pembangunan sektor kelautan dan perikanan yang telah ditetapkan<br />

dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang<br />

(RPJP). Sistematika penulisan dokumen diawali dengan gambaran dan analisa atas kontribusi ekonomi<br />

sektor kelautan dan perikanan, dilanjutkan dengan tinjauan atas atas ancaman perubahan iklim di sektor<br />

kelautan dan perikanan.<br />

13 Iklim adalah keadaan cuaca rata-rata dalam periode waktu yang panjang pada suatu wilayah tertentu. Pengenalan cuaca dan iklim menyangkut semua peristiwa yang terjadi di<br />

atmosfir yang diantaranya radiasi surya, suhu udara, tekanan udara, angin, hujan dan awan, kelembaban udara, penguapan, keseluruhannya disebut juga unsur-unsur cuaca.<br />

Peristiwa-peristiwa yang terjadi untuk daerah yang sempit atau disekitar lokasi usaha tertentu disebut iklim mikro (micro climate) (Darsiman, 2007).<br />

13


15 16<br />

Pada bagian akhir ditampilkan matriks Rencana Aksi <strong>Nasional</strong> Adaptasi Perubahan Iklim Bidang Kelautan<br />

dan Perikanan yang merangkum kebijakan program aksi, kebutuhan teknologi, kebutuhan pendanaan,<br />

proses keterlibatan stakeholder serta periode waktu yang diperlukan untuk menjalankan <strong>rencana</strong> aksi.<br />

II.2.3 Kontribusi Ekonomi Sektor Kelautan dan Perikanan<br />

14<br />

Kontribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami peningkatan<br />

dari tahun ke tahun 15.<br />

Pada tahun 2007 kontribusi PDB dari kegiatan usaha perikanan terhadap PDB<br />

nasional sebesar 2.74 persen yang terdiri dari 2,45 persen industri primer (penangkapan dan pembudidaya)<br />

dan 0,29 persen dari industri sekunder (pengolahan hasil perikanan) 16.<br />

Kontribusi sektor ini pada tahun<br />

2009 naik menjadi 3,12 persen dari tahun sebelumnya yang hanya 2,75 persen 17.<br />

Hal ini menujukkan ratarata<br />

pertumbuhan sektor perikanan naik mencapai lima (5) persen per tahun<br />

Krisis global tahun 2009 berimbas pada kontribusi sektor kelautan dan perikanan. Produksi perikanan<br />

Indonesia tahun 2009 yang mencapai 10,06 juta ton hanya menghasilkan nilai ekspor perikanan Rp. 2,3<br />

miliar yang merupakan penurunan nilai ekspor sebesar 15 persen dib<strong>and</strong>ing tahun 2008.<br />

Pada 2010, produksi ditargetkan mencapai 10,76 juta ton dan 22,39 juta ton pada tahun 2014. Guna<br />

mendukung pertambahan produktifitas, Pemerintah menyiapkan insentif peningkatan produksi perikanan<br />

lewat dana alokasi khusus (DAK) sebesar Rp 1,7 triliun 18.<br />

14 Lingkup bidang kelautan menjadi tujuh sektor, yaitu perikanan, pertambangan, industri kelautan, jasa kelautan, bangunan kelautan, pariwisata bahari, dan perhubungan laut. Dari tujuh sektor itu,<br />

yang memiliki sumbangsih paling besar adalah sektor pertambangan yaitu sebanyak 9,1 persen sementara sektor perikanan sebesar 2,7 persen.<br />

15 Kontribusi sub sektor perikanan terhadap PDB total meningkat 4,35 persent dan 2,18 persent pertahun sejak 2002. Pada tahun 2007 kontribusi sub sektor periknan terhadap PDB kelompok<br />

pertanian mencapai 17,69 persent atau senilai Rp. 96,822 milyar. Sub sektor perikanan memiliki pertumbuhan tahunan PDB tertinggi sejak tahun 2002 dib<strong>and</strong>ing sub sector lainnya dalam<br />

kelompok pertanian, yaitu 19,36 persen per tahun. Sementara itu pertumbuhan PDB <strong>Nasional</strong> hanya mencapai 16,85 persen pertahun sejak tahun 2002.<br />

16 Sumbangan PDB pengolahan hasil perikanan terhadap PDB nasional sangat kecil sehingga tidak banyak pengaruh terhadap kenaikan kontribusi PDB perikanan secara menyeluruh<br />

17 Pusat Data Statistik dan Informasi.<br />

18 Dr. Fadel Muhammad, Menteri Kelautan dan Perikanan pada Rakornas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyatakan bahwa KKP bakal merestrukturisasi armada perikanan nasional. KKP<br />

akan memberlakukan zero growth (pertumbuhan nol) armada perahu tanpa motor. Untuk perahu tempel, pertumbuhan armada dibatasi 2% per tahun dan kapal dengan tonase di bawah 5 gros<br />

ton (GT) sekitar 3%. Untuk kapal berukuran 5-10 GT dan 10-30 GT akan ditingkatkan menjadi 8% dan 12% untuk mengejar target pertumbuhan 55% dalam lima tahun ke depan. Restrukturisasi ini<br />

dimaksudkan agar kapal ikan Indonesia mampu beroperasi di zona ekonomi eksklusif (ZEE).<br />

Tabel 4. Produk Domestik Regional Bruto Sektor Perikanan Tahun 2006<br />

No Provinsi Kontribusi (%)<br />

1.<br />

2.<br />

3.<br />

4.<br />

5.<br />

6.<br />

16,58<br />

Sulawesi Tenggara 12,55<br />

Papua Barat 10,74<br />

Sulawesi Selatan 8,62<br />

Lampung 8,4<br />

Sulawesi Tengah 7,5<br />

Tabel 5. Daerah yang ekonomi perikanannya mempunyai laju pertumbuhan terbesar pada periode<br />

2002-2006<br />

1.<br />

2.<br />

3.<br />

4.<br />

5.<br />

6.<br />

7.<br />

Maluku<br />

No Provinsi Kontribusi (%)<br />

Lampung 11.37<br />

D.I Yogyakarta 9.67<br />

Sulawesi Barat 9.64<br />

Jawa Timur 8.70<br />

Papua 8.53<br />

Bali<br />

Sulawesi Tengah<br />

8.15<br />

8.02


17 18<br />

II.2.4 Ancaman Dampak Perubahan Iklim pada Sektor Kelautan dan Perikanan<br />

Ancaman dampak perubahan iklim pada sektor kelautan dan perikanan berdasarkan identifikasi Working<br />

Group I of the Intergovernmental Panel on Climate Change (WG1-IPCC) dan laporan keempat (Fourth<br />

Assesment Report) dari Intergovernmental Panel on Climate Change tahun 2007 dapat dijabarkan sebagai<br />

berikut :<br />

1. Kenaikan temperatur air laut<br />

2. Peningkatan frekuensi dan intensitas kejadian cuaca ekstrim (badai, siklon)<br />

3. Perubahan pola variabilitas iklim alamiah (El-Nino, La-Nina, IPO) yang menimbulkan<br />

bahaya lanjutan berupa perubahan pola curah hujan dan aliran sungai dan perubahan<br />

pola sirkulasi angin dan arus laut<br />

4. Kenaikan muka air laut<br />

Ancaman tersebut di atas dapat saling mempengaruhi satu dengan lainnya dan berpotensi mengalami<br />

berbagai gaya-gaya iklim atau bahaya-bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim sekaligus.<br />

Dampak perubahan iklim yang menjadi ancaman besar lainnya apabila dikaitkan dengan kondisi geografis<br />

Indonesia adalah naiknya permukaan air laut (sea level rise). Ancaman terhadap naiknya permukaan air laut<br />

dan ancaman terhadap tenggelamnya pulau-pulau kecil. Tenggelam atau hilangnya suatu pulau kecil<br />

merupakan salah satu fenomena yang akan pasti terjadi apabila dampak perubahan iklim tidak diindahkan.<br />

Data Departemen Kelautan dan Perikanan menunjukkan bahwa dalam kurun waktu hanya dua tahun, yaitu<br />

2005–2007, Indonesia telah kehilangan 24 pulau kecil di Nusantara. Lokasi ke-24 pulau yang tenggelam<br />

tersebut adalah sebagai berikut: tiga pulau di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), tiga pulau di Sumatera<br />

Utara, tiga di Papua, lima di Kepulauan Riau, dua di Sumatera Barat, satu di Sulawesi Selatan, dan tujuh di<br />

kawasan Kepulauan Stereribu, Jakarta.<br />

Mayoritas pulau kecil yang tenggelam tersebut diakibatkan oleh erosi air laut yang diperburuk oleh<br />

kegiatan penambangan untuk kepentingan komersial. Selain itu, bencana tsunami Aceh 2004 juga<br />

berdampak pada tenggelamnya tiga pulau kecil setempat. Kehilangan pulau-pulau kecil ini terutama yang<br />

berada di daerah perbatasan dengan negara lain akan berdampak hukum yang merugikan Indonesia.<br />

Karena dengan kehilangan pulau-pulau tersebut (yang semula jadi penentu tapal batas Indonesia dengan<br />

negara tetangga) wilayah perairan Indonesia akan berkurang. Hal ini perlu diantisipasi mengingat<br />

kemungkinan di wilayah tersebut terdapat sumber mineral.<br />

Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) memprediksi, permukaan bakal naik setinggi 40<br />

sentimeter pada akhir abad ini. Kondisi ini membahayakan penduduk yang tinggal di pesisir pantai.<br />

Lembaga internasional ini menilai Indonesia dan Thail<strong>and</strong> belum menunjukkan upaya konkret dalam<br />

mengatasi ancaman ini. Padahal bencana iklim mengakibatkan kerugian ekonomi 6-7 persen dari total<br />

produk domestik bruto pada 2100. Saat ini kerugian ekonomi dari bencana iklim masih 2,6 persen dari<br />

produk domestik bruto.<br />

Makna yang disampaikan diatas adalah bahwa dampak perubahan iklim pada bidang kelauatan dan<br />

perikanan akan dirasakan secara luas oleh komunitas yang tinggal didaerah pesisir, seperti terjadinya banjir<br />

dan erosi akibat kenaikan permukaan air laut, terjadinya perpindahan penduduk, pengeluaran untuk<br />

menjaga dan mengelola pantai menjadi meningkat dan juga berpotensi meningkatnya intensitas badai<br />

tropis. Akibat dampak dari hal-hal diatas akan menurunkan aktivitas perekonomian dan dampak yang<br />

terlokalisasi (pada daerah tertentu saja) juga dapat merusak perekonomian lokal.<br />

II.2.5 Matriks Rencana Aksi Adaptasi Perubahan Iklim pada Sektor Kelautan dan Perikanan<br />

Penyusunan Rencana Aksi Adaptasi Perubahan Iklim pada Sektor Kelautan dan Perikanan perlu merujuk<br />

Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri sebagai modal dasar untuk dapat mengatur<br />

pelaksanaan <strong>adaptasi</strong> perubahan iklim. Peraturan perundangan yang terkait dengan pada sektor kelautan<br />

dan perikanan, antara lain:<br />

1. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.<br />

2. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.<br />

3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.<br />

4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-<br />

2025.<br />

5. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan<br />

Kehutanan.<br />

6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.<br />

7. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yang kemudian direvisi menjadi<br />

Undang-Undang No. 45 Tahun 2009.<br />

8. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Pe<strong>rencana</strong>an Pembangunan <strong>Nasional</strong>.<br />

Matriks Rencana Aksi Adaptasi Perubahan Iklim pada Sektor Kelautan dan Perikanan mendefinisikan amanat<br />

dari peraturan perundangan yang terkait dengan program <strong>adaptasi</strong> dampak perubahan iklim dengan<br />

menyelaraskan dengan kebutuan teknologi dan jangka waktu <strong>rencana</strong> aksi.


19 20<br />

II.2.6 Matriks<br />

Kebijakan Program Aksi Kebijakan Program Aksi<br />

1. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007<br />

tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan<br />

Pulau-Pulau Kecil.<br />

2. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun<br />

2007 tentang Konservasi Sumberdaya<br />

Ikan.<br />

3. Peraturan Menteri Kelautan dan<br />

Perikanan Nomor Per.16/MEN/2008<br />

tentang Pe<strong>rencana</strong>an Pengelolaan<br />

Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.<br />

4. Peraturan Menteri Kelautan dan<br />

Perikanan Nomor Per.17/MEN/2008<br />

tentang Kawasan Konservasi di Wilayah<br />

Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.<br />

5. Peraturan Menteri Kelautan dan<br />

Perikanan Nomor Per.18/MEN/2008<br />

tentang Akreditasi terhadap Program<br />

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulaupulau<br />

Kecil.<br />

6. Peraturan Menteri Kelautan dan<br />

Perikanan Nomor Per.20/MEN/2008<br />

tentang Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil<br />

dan Perairan di Sekitarnya.<br />

7. Peraturan Menteri Kelautan dan<br />

Perikanan Nomor Per.08/MEN/2009<br />

tentang Peran Serta dan Pemberdayaan<br />

Masyarakat dalam Pengelolaan Wilayah<br />

Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.<br />

8. Peraturan Menteri Kelautan dan<br />

Perikanan Nomor Per.14/MEN/2009<br />

tentang Mitra Bahari.<br />

1. Undang-Undang No: Nomor 31 Tahun<br />

2004 tentang Perikanan<br />

2. Undang-Undang No: 27 Tahun 2007,<br />

Tentang Sistem Penyuluhan<br />

Pertanian, Perikanan dan Kehutanan.<br />

3. Peraturan Pemerintah Nomor 54<br />

Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan.<br />

4. Peraturan Pemerintah Nomor 60<br />

Tahun 2007 tentang Konservasi<br />

Sumberdaya Ikan<br />

5. Peraturan Pemerintah Nomor 30<br />

Tahun 2007 tentang<br />

Kerentanan wilayah pesisir dan pulau-pulau<br />

kecil<br />

1. Identifikasi dan pemetaan kawasan kerentanan<br />

wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.<br />

2. Penyusunan Rencana Zonasi Rinci atau Zone<br />

Development Plan.<br />

3. Relokasi atau penataan ulang tata ruang wilayah<br />

pesisir dan pulau-pulau kecil<br />

4. Penerapan dan perbaikan pengelolaan terpadu<br />

ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil.<br />

5. Rehabilitasi dan Restorasi Ekosistem Pesisir dan Laut<br />

6. Pengembangan teknologi sistem peringatan dini<br />

untuk pengurangan resiko kerentanan.<br />

7. Penerapan sempadan pantai dan teknologi<br />

perlindungan pantai secara alami (mangrove, bukit<br />

pasir, terumbu karang dan hutan pantai) dan<br />

buatan (breakwater, tembok laut, reklamasi, beach<br />

nourishment, rumah panggung)<br />

8. Pengembangan sistem perlindungan aset wilayah<br />

pesisir dan pulau-pulau kecil dari resiko dampak<br />

perubahan iklim.<br />

9. Pengembangan Desa Pesisir yang Tahan terhadap<br />

Bencana (Coastal Resilience Village).<br />

10. Pengembangan dan Pengelolaan Kawasan<br />

Konservasi.<br />

11. Pengembangan Daerah Perlindungan Laut.<br />

12. Pengembangan Desa Pesisir/Kawasan Minapolitan<br />

Bersih dan Lestari.<br />

Perikanan Budidaya Pantai, Laut Dan Perairan<br />

Umum<br />

1. Perbaikan manajemen lahan budidaya.<br />

2. Pengembangan teknologi pakan rendah berbasis<br />

sumberdaya lokal dan efisiensi penggunaannya.<br />

3. Pengembangan jenis dan varietas benih ikan yang<br />

toleran dan adaptif terhadap stres lingkungan<br />

(kenaikan temperature perairan, kekeringan,<br />

genangan dan salinitas).<br />

4. Pengembangan sistem terpadu budidaya ikan<br />

dengan pertanian (mina padi), kehutanan (wana<br />

mina) dan peternakan untuk meningkatkan daya<br />

<strong>adaptasi</strong> ikan.<br />

Penyelenggaraan Penelitian dan<br />

Pengembangan Perikanan.<br />

1. Undang-Undang No: Nomor 31 Tahun<br />

2004 tentang Perikanan.<br />

2. Peraturan Menteri Kelautan dan<br />

Perikanan Nomor PER.15/MEN/2005<br />

tentang Penangkapan Ikan<br />

3. Peraturan Menteri Kelautan dan<br />

Perikanan Nomor PER.16/MEN/2006<br />

tentang Pelabuhan Perikanan<br />

4. Peraturan Menteri Kelautan dan<br />

Perikanan Nomor Nomor<br />

PER.18/MEN/2006 tentang Skala Usaha<br />

Pengolahan Hasil Perikanan.<br />

5. Peraturan Menteri Kelautan dan<br />

Perikanan Nomor PER.01/MEN/2007<br />

tentang Pengendalian Sistem Jaminan<br />

Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan.<br />

6. Peraturan Menteri Kelautan dan<br />

Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008<br />

tentang Usaha Perikanan Tangkap.<br />

7. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun<br />

2007 tentang Penyelenggaraan<br />

Penelitian dan Pengembangan<br />

Perikanan.<br />

5. Pengembangan teknologi pengelolaan lahan<br />

budidaya untuk meningkatkan daya <strong>adaptasi</strong> ikan.<br />

6. Pengembangan teknologi budidaya di lahan kritis,<br />

rusak, dan gambut.<br />

7. Pengembangan sistem perlindungan usaha<br />

perikanan dari kegagalan akibat dampak<br />

perubahan iklim.<br />

Perikanan Tangkap<br />

1. Pengembangan teknologi dan sistem informasi<br />

peta prakiraan penangkapan ikan.<br />

2. Penerapan teknologi alat tangkap dan kapal<br />

tangkap yang ramah lingkungan dan adaptif<br />

terhadap perubahan iklim ekstrem.<br />

3. Pengembangan teknologi pasca penangkapan<br />

dan pengolahan hasil tangkapan.<br />

4. Pengembangan teknologi perlindungan<br />

pelabuhan perikanan.<br />

5. Pengembangan sistem perlindungan usaha<br />

penangkapan ikan dari tidak melaut/menangkap<br />

akibat dampak perubahan iklim.<br />

Dalam mewujudkan implementasi kebijakan, terdapat beberapa tantangan yang menyebabkan<br />

belum teroptimalkannya kebijakan di dalam implementasinya namun di sisi lain terdapat peluang<br />

yang dapat dimanfaatkan dalam mendorong diimplementasikannya kebijakan yang telah dimiliki<br />

oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan.<br />

TANTANGAN<br />

1. Besarnya biaya yang diperlukan untuk melakukan beberapa program aksi <strong>adaptasi</strong> di sektor<br />

kelautan dan perikanan.<br />

2. Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan bagain yang paling rentan terhadap dampak perubahan<br />

iklim.<br />

3. Masih kurangnya data dan informasi kelautan dan perikanan, dan sebagian besar masih bersifat<br />

sporadis.<br />

4. Belum adanya peraturan perundangan atau payung hukum yang jelas mengenai <strong>adaptasi</strong> perubahan<br />

iklim.<br />

5. Belum adanya Rencana dokumen Hirarki pe<strong>rencana</strong>an pengelolaan wilayah pesisir dn pulaupulau<br />

kecil Kabupaten/Kota.


21 22<br />

TANTANGAN<br />

6. Meningkatkan dan perluasan skala program aksi <strong>adaptasi</strong> sektor kelautan dan<br />

perikanan.<br />

7. Memonitor dan memverifikasi program <strong>adaptasi</strong> sektor kelautan dan perikanan.<br />

PELUANG<br />

1. Pemanfaatan dan pengintegrasian pengetahuan, kearifan dan nilai-nilai lokal dan<br />

tradisional yang bisa saling bersinergi dengan program aksi <strong>adaptasi</strong>.<br />

2. Potensi praktek-praktek <strong>adaptasi</strong> yang telah ada dan bisa dijadikan ajang<br />

pembelajaran untuk peningkatan dan perluasan upaya <strong>adaptasi</strong> sektor kelautan<br />

dan perikanan.<br />

II.3 Sektor Kesehatan<br />

II.3.1 Pendahuluan<br />

Dalam menghadapi isu perubahan iklim di bidang kesehatan, Kementrian Kesehatan menyusun Strategi<br />

Adaptasi Dampak Perubahan Iklim yang dapat dilaksanakan baik di tingkat pusat maupun di daerah dan<br />

diharapkan dapat dilaksanakan dengan langkah-langkah <strong>adaptasi</strong> yang ditunjang oleh tingginya<br />

kesadaran, sikap mental dan prilaku masyarakat, sehingga dapat memberikan kontribusi yang bermakna<br />

terhadap peningkatan kemampuan selaras dengan visi Kementrian Kesehatan yakni mewujudkan<br />

masyarakat dalam mewujudkan kesehatan yang optimal menuju masyarakat yang produktif dan m<strong>and</strong>iri<br />

dengan pembudayaan hidup bersih dan sehat.<br />

Disamping itu, perubahan iklim juga memicu semakin berkurangnya keanekaragaman hayati sehingga<br />

dapat menyebabkan langkanya bahan baku obat dari tumbuhan.<br />

Sementara itu, degradasi lahan dan perubahan fungsi ekosistem dapat menyebabkan perubahan<br />

penyebaran vektor penyakit dan penurunan sumber daya air. Hal itu bisa berujung pada keterbatasan akses<br />

air bersih dan sanitasi yang sehat.Peningkatan temperatur udara sebesar 2-3 derajat celsius akan<br />

meningkatkan jumlah penderita penyakit tular vektor sebesar 3-5 persen 19 .<br />

Untuk mengantisipasi ancaman perubahan iklim ini, pada bulan Mei 2011, Kementrian Kesehatan telah<br />

menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1080 Tahun 2011 tentang Strategi Adaptasi Sektor<br />

Kesehatan Terhadap Dampak Perubahan Iklim.<br />

II.3.2 Justifikasi<br />

Dalam pelaksanaan <strong>adaptasi</strong> perubahan iklim di Bidang Kesehatan, telah disusun Tim Koordinasi Adaptasi<br />

Sektor Kesehatan. Disamping itu, Kementrian Kesehatan juga telah menyusun startegi <strong>adaptasi</strong> sektor<br />

kesehatan terhadap perubahan iklim, pedoman faktor resiko perubahan iklim dan modul perubahan iklim.<br />

Dalam upaya menanggulangi perubahan iklim, sektor kesehatan mengupayakan <strong>adaptasi</strong>. Kerangka<br />

konsep pelaksanaan <strong>adaptasi</strong> sektor kesehatan tergambarkan sebagaimana dibawah ini (gambar 1):<br />

ROADMAP<br />

STRATEGI<br />

ADAPTASI<br />

TIM KOORDINASI<br />

ADAPTASI PERUBAHAN<br />

IKLIM<br />

NSPK:<br />

Pedoman Modul<br />

Gambar 1. Kerangka Konsep Pelaksanaan Adaptasi Perubahan Iklim Bidang Kesehatan<br />

19 Disampaikan oleh Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Tj<strong>and</strong>ra Yoga Aditama.<br />

IMPLEMENTASI<br />

(PROGRAM DAN<br />

KEGIATAN)


23 24<br />

Faktor-faktor yang menyebabkan Indonesia rentan dari sisi kesehatan akibat perubahan iklim diantaranya<br />

adalah masih adanya penduduk Indonesia yang belum menerapkan budaya hidup bersih dan sehat, masih<br />

ada wilayah di Indonesia yang mendapatkan pelayanan kesehatan terbatas, termasuk adanya penduduk<br />

yang memiliki akses terbatas terhadap pelayanan kesehatan karena kendala jarak, belum memadainya<br />

sarana dan prasarana kesehatan khususnya dalam merespon dampak perubahan iklim serta terbatasnya<br />

informasi dan data terkait resiko di sektor kesehatan akibat perubahan iklim.<br />

Guna mengantisipasi dan menyiasati ancaman dan kondisi kerentanan tersebut, dikembangkan alternatif<br />

strategi <strong>adaptasi</strong>, yang mencakup:<br />

1. Memperkuat sistem kewaspadaan dini dan tanggap darurat terhadap bencana di masyarakat.<br />

2. Memperkuat kajian kerentanan dan penilaian resiko sektor kesehatan akibat perubahan iklim.<br />

3. Mengembangkan kerangka kerja kebijakan yang didukung dengan peraturan<br />

perundangan dan pengaturannya.<br />

4. Mengembangkan pe<strong>rencana</strong>an dan pengambilan keputusan berdasarkan bukti<br />

(evidence) berbasis wilayah.<br />

5. Meningkatkan kerjasama lintas sektor.<br />

6. Meningkatkan partisipasi masyarakat dan swasta serta perguruan tinggi/akademisi.<br />

7. Memperkuat kemampuan pemerintah daerah.<br />

8. Mengembangkan jaringan kerja (networking) dan berbagi (sharing) informasi.<br />

II.3.3 Ancaman Perubahan Iklim pada Bidang Kesehatan<br />

Pengaruh kenaikan temperatur, perubahan pola curah hujan, kenaikan muka laut dan meningkatnya<br />

frekuensi dan intensitas iklim ekstrim terhadap jalur kontaminasi mikroba, transmisi dinamis, agro<br />

ekosistem dan hidrologi serta sosio ekonomi dan demografi yaitu dapat menimbulkan dampak terhadap<br />

kesehatan baik secara langsung maupun tidak langsung.<br />

Dampak kesehatan akibat perubahan iklim diantaranya polusi udara yang berpengaruh terhadap<br />

kesehatan, penyakit yang berhubungan dengan air dan makanan (water <strong>and</strong> food borne diseases), penyakit<br />

yang berhubungan dengan vektor (vector borne diseases), malnutrisi, mental disorders, heat stress (lihat<br />

pada tabel 1) .<br />

Perubahan iklim dapat berpengaruh terhadap kondisi lingkungan, sosial dan sistem kesehatan. Ketiga<br />

kondisi tersebut akan berdampak terhadap kesehatan. Dampak perubahan iklim terhadap kesehatan dapat<br />

terjadi secara langsung maupun tidak langsung:<br />

Mempengaruhi kesehatan manusia secara langsung berupa paparan langsung dari perubahan pola cuaca<br />

(temperatur, curah hujan, kenaikan muka air laut, dan peningkatan frekuensi cuaca ekstrim). Kejadian cuaca<br />

ekstrim dapat mengancam kesehatan manusia bahkan kematian (tabel 2). Misalnya, perubahan curah<br />

hujan, salinitas dapat meningkatkan atau mnegurangi kepadatan populasi vektor penyakit. Selain itu,<br />

secara langsung berpengaruh terhadap kejadian bencana seperti banjir, longosr dan angin puting beliung.<br />

Berdasarkan data dari PPK Kementrian Kesehatan, selama tahun 2009 telah terjadi 287n kejadian bencana<br />

yangterdiri dari 14 jenis kejadian bencana, antara lain banjir, longsor, angin puting beliung dan kebakaran<br />

hutan.<br />

Mempengaruhi kesehatan manusia secara tidak langsung. Mekanisme yang terjadi adalah perubahan iklim<br />

mempengaruhi faktor lingkungan seperti perubahan kualitas lingkungan (kualitas air, udara, dan makanan),<br />

penipisan lapisan ozon, penurunan sumber daya air, kehilangan fungsi ekosistem, dan degradasi lahan yang<br />

pada akhirnya faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi kesehatan manusia.<br />

Tabel 6. Tingkat Pendidikan Tenaga Kerja Sektor Pertanian<br />

Climate<br />

Change<br />

Tabel 7. Bahaya dan Dampak Perubahan Iklim terhadap Sektor Kesehatan<br />

Bahaya Perubahan<br />

Iklim<br />

Bahaya Perubahan<br />

Iklim<br />

Regional<br />

weather<br />

changes<br />

• Heatwaves<br />

• Extreme weather<br />

• Temperature<br />

• Precipation<br />

Bahaya lebih lanjut terhadap<br />

sektor kesehatan<br />

Kenalan aliran permukaan<br />

dan kelembaban tanah,<br />

menyebabkan:<br />

º Banjir.<br />

º Gangguan<br />

keseimbangan air.<br />

º Tanah longsor<br />

Bersama kenaikan<br />

temperatur akan<br />

menurunkan aliran permukaan,<br />

menyebabkan:?<br />

º Penurunan ketersediaan<br />

air.<br />

º Kekeringan.<br />

Modulating<br />

influences<br />

Microbial<br />

contamination<br />

pathways<br />

Transmission<br />

dynamics<br />

Agro-ecosystems,<br />

hydrology<br />

Socioeconomic,<br />

demographics<br />

Health Effects<br />

Temperature-related<br />

illness <strong>and</strong> death<br />

Extreme weatherrelated<br />

health effects Air<br />

pollution-related health<br />

effects<br />

Water <strong>and</strong> fod-borne<br />

diseases<br />

Vector-borne <strong>and</strong><br />

rodent-borne diseases<br />

Effect of food <strong>and</strong> water<br />

shortages Mental,<br />

nutritional, infectious<br />

<strong>and</strong> other health effects<br />

Dampak perubahan Iklim<br />

º? Banjir dan gangguan keseimbangan air<br />

dapat berpengaruh terhadap kondisi<br />

sanitasi dan penyebaran penyakit bawaan<br />

air seperti diare.<br />

º Banjir dan gangguan keseimbangan air<br />

dapat berpengaruh terhadap gagal panen<br />

sehingga dapat menyebabkan malnutrisi.<br />

º Curah hujan berpengaruh terhadap tipe dan<br />

jumlah habitat perkembangbiakan vektor<br />

penyakit.<br />

º Perubahan curah hujan bersama dengan<br />

perubahan temperatur dan kelembabab<br />

dapat meningkatkan atau mengurangi<br />

kepadatan populasi vektor penyakit serta<br />

kontak manusia dengan vektor penyakit.


25 26<br />

Bahaya Perubahan<br />

Iklim<br />

Kenaikan Paras Muka<br />

Air Laut (SLR)<br />

Peningkatan<br />

Frekuensi dan<br />

Intensitas Iklim<br />

Ekstrim.<br />

II.3.4 Matriks<br />

Bahaya lebih lanjut terhadap<br />

sektor kesehatan<br />

º Dengan tingkat pengambilan<br />

air tanah tertentu air tanah<br />

bergeser ke atas,<br />

menyebabkan instrusi air laut<br />

sehingga mempengaruhi<br />

ketersediaan air.<br />

º Pengaliran air di pesisir dapat<br />

terganggu sehingga dapat<br />

memperburuk sanitasi<br />

º Curah hujan di atas normal<br />

menyebabkan kenaikan<br />

aliran permukaan dan<br />

kelembaban tanah, sehingga<br />

menyebabkan banjir longsor.<br />

º Badai.<br />

Kebijakan Program Aksi<br />

1. Peraturan Menteri<br />

Kesehatan Nomor<br />

1018/MENKES/PER/V/2011<br />

tentang Strategi Adaptasi<br />

Sektor Kesehatan Terhadap<br />

Dampak Perubahan Iklim<br />

Dampak perubahan Iklim<br />

º Gangguan fungsi sanitasi<br />

berpengaruh pada peningkatan<br />

penyebaran penyakit bawaan air<br />

seperti diare.<br />

º Ekosistem rawa dan mangrove<br />

dapat berubah.<br />

º Pola penyebaran vektor penyakit di<br />

pantai dan pesisir dapat berubah.<br />

º Bencana banjir, badai, dan longsor<br />

dapat menyebabkan kematian.<br />

º Bencana banjir, badai dan longsor<br />

dapat menimbulkan kerusakan<br />

rumah tinggal sehingga terjadi<br />

pengungsian yang dapat<br />

menimbulkan banyak gangguan<br />

kesehatan.<br />

º Berpengaruh terhadap daya tahan<br />

tubuh manusia<br />

Sosialisasi dan advokasi <strong>adaptasi</strong> sektor kesehatan<br />

terhadap dampak perubahan iklim<br />

1. Melaksanakan sosialisasi <strong>adaptasi</strong> perubahan iklim sektor<br />

kesehatan terhadap dampak perubahan iklim.<br />

2. Melaksanakan advokasi <strong>adaptasi</strong> perubahan ikloim sektor<br />

kesehatan terhadap dampak perubahan iklim.<br />

Pemetaan populasi dan daerah rentan perubahan iklim<br />

1. Pengumpulan data penyebaran penyakit,<br />

perubahan/variabel iklim, faktor resiko lingkungan, faktor<br />

resiko sosial, ekonomi dan geografi.<br />

2. Analisis penyebaran penyakit.<br />

3. Analisis perubahan/variabel iklim.<br />

4. Analisis faktor resiko lingkungan.<br />

5. Analisis faktor resiko sosial, ekonomi dan demografi.<br />

6. Analisis korelasi variabel di atas.<br />

Kebijakan Program Aksi<br />

1. Peraturan Menteri<br />

Kesehatan Nomor<br />

1018/MENKES/PER/V/2<br />

011 tentang Strategi<br />

Adaptasi Sektor<br />

Kesehatan Terhadap<br />

Dampak Perubahan<br />

Iklim<br />

Peningkatan sistem tanggap perubahan iklim<br />

sektor kesehatan.<br />

1. Kajian dan penelitian dampak perubahan iklim sektor kesehatan.<br />

2. Penguatan sistem kewaspadaan dini dampak perubahan iklim.<br />

3. Pengembangan strategi <strong>adaptasi</strong> spesifik lokal sesuai dengan dampak<br />

yang muncul.<br />

4. Pengembangan teknologi tepat guna.<br />

Peraturan Perundang-undangan.<br />

Menyusun peraturan perundang-undangan.<br />

Peningkatan keterjangkauan pelayanan kesehatan, khususnya daerah<br />

rentan perubahan iklim<br />

1. Pengembangan sarana pelayanan kesehatan yang disesuaikan dengan<br />

populasi dan daerah rentan perubahan iklim.<br />

2. Meningkatkan akses pelayanan kesehatan.<br />

Peningkatan kapasitas sumber daya manusia bidang kesehatan<br />

1. Pelaksanaan pelatihan.<br />

2. Penyusunan pedoman.<br />

3. Pelaksanaan kegiatan diseminasi informasi.<br />

4. Pembinaan dan pengawasan.<br />

Peningkatan pengendalian dan pencegahan penyakit akibat dampak<br />

perubahan iklim<br />

1. Penguatan kesehatan lingkungan.<br />

2. Pengendalian faktor risiko penyakit.<br />

3. Penemuan penderita dan pengobatan.<br />

4. Pengendalian vektor secara terpadu.<br />

5. Penanggulangan bencana.<br />

Peningkatan kemitraan<br />

Pembentukan kelompok kerja dampak perubahan iklim di lingkungan<br />

Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan provinsi, Dinas Kesehatan<br />

Kabupaten/Kota.<br />

Peningkatan pemberdayaan masyarakat dalam <strong>adaptasi</strong> perubahan<br />

iklim sesuai kondisi setempat<br />

1. Pemberdayaan individu<br />

2. Pemberdayaan keluarga.<br />

3. Pemberdayaan kelompok/masyarakat umum.<br />

Peningkatan surveilans dan sistem informasi.<br />

1. Pengumpulan dan analisis data penyakit, faktor resiko lingkungan,<br />

perilaku, dan iklim.<br />

2. Diseminasi informasi.<br />

3. Rencana Tindak Lanjut


27 28<br />

Dalam pelaksanaan program dan kegiatan <strong>adaptasi</strong> perubahan iklim, sektor kesehatan masih<br />

ditemui tantangan antara lain sebagai berikut:<br />

TANTANGAN<br />

1.Kolaborasi Lintas sektor.<br />

a. Jejaring informasi terkait dengan perubahan iklim sektor kesehatan perlu<br />

ditingkatkan.<br />

b. Integrasi implementasi berdasarkan <strong>rencana</strong> aksi nasional perubahan iklim bidang<br />

kesehatan belum terlaksana dengan baik.<br />

2.Peningkatan Kapasitas<br />

Perlu adaya pelatihan<br />

3.Komunikasi<br />

a. Kampanye sosial mengenai perubahan iklim.<br />

b. Advokasi pada pemangku kebijakan<br />

4.Partisipasi masyarakat<br />

a. Program terkait perubahan iklim bidang kesehatan belum merupakan prioritas.<br />

b. Membangun kerjasama pemerintah, swasta dan LSM.<br />

5.Sumber dana.<br />

Dukungan politik dalam penetapan anggaran perlu ditingkatkan.<br />

6.Data dan fakta.<br />

Adaptasi perubahan iklim sektor kesehatan harus menjadi indikator dalam renstra<br />

Kementerian Kesehatan.<br />

II.4 Sektor Pekerjaan Umum<br />

Untuk sektor Pekerjaan Umum, strategi dan kegiatan <strong>adaptasi</strong> dibagi ke dalam 4 (empat) sub bidang, yaitu;<br />

1) Sumber Daya Air, 2) Cipta Karya, 3) Jalan dan Jembatan dan 4) Penataan Ruang.<br />

II.4.1 Sub Bidang Sumber Daya Air<br />

Sumber Daya Air sangat berkaitan erat dengan perubahan iklim, karena siklus hidrologi Sumber Daya Air<br />

(SDA) sangat dipengaruhi oleh iklim. Definisi SDA menurut Undang-undang (UU) No.7 Tahun 2004 tentang<br />

Pengelolaan Sumber Daya Air adalah air, sumber air dan daya air yang terk<strong>and</strong>ung didalamnya. Jadi SDA<br />

adalah merupakan sumber daya mengalir (flowing resources), sumber daya terbatas (limited resources),<br />

sumber daya langka (scarce resources) yang memiliki nilai-nilai social, ekonomi dan lingkungan.<br />

Perkiraan SDA Indonesia ditahun 2025 adalah 9.200 M3/kapita. Ketersediaan air di Pulau Jawa adalah yang<br />

terkecil dengan 1.600 M3/kapita/th, sementara Papua/Maluku adalah yang terbesar dengan 25.500<br />

M3/kapita/th. Luas Pulau Jawa 7% dari luas daratan Indonesia yang merupakan 4,5% dari seluruh potensi air<br />

tawar Indonesia, tetapi menopang 65% dari seluruh jumlah penduduk Indonesia.<br />

Pentingnya upaya <strong>adaptasi</strong> bidang SDA karena perubahan iklim tidak dapat dihindari serta upaya dan<br />

<strong>rencana</strong> <strong>adaptasi</strong> harus dilakukan dan mendapat perhatian. Fokus upaya <strong>adaptasi</strong> sektor SDA adalah:<br />

keseimbangan air (kebutuhan dan ketersediaan), infrastruktur SDA yang memadai, penyediaan sumbersumber<br />

air alternatif, kelengkapan data dan riset, serta konservasi air.<br />

II.4.1.1 Justifikasi<br />

Kondisi infrastruktur SDA khususnya dalam mendukung pencapaian kinerja pembangunan bidang<br />

pekerjaan umum secara keseluruhan masih perlu ditingkatkan, hal ini disebabkan oleh karena menurunnya<br />

fungsi dan kerusakan prasarana SDA akibat dari bencana alam, rendahnya biaya operasional dan rendahnya<br />

keterlibatab masyarakat serta fluktuasi debit musiman, semua itu sangat mempengaruhi ketahanan<br />

pangan. Berkembangnya daerah permukiman dan industri telah menurunkan area resapan air dan<br />

mengancam kapasitas lingkungan dalam penyediaan air, hal ini menyebabkan debit sumber air turun dan<br />

intrusi air laut.<br />

World Competitiveness Yearbook 2008 menempatkan Indonesia pada peringkat 55 dari 143 negara, dimana<br />

ketersediaan infrastruktur yang tidak memadai (16,4%) merupakan penyumbang kedua sebagai<br />

problematik dalam melakukan usaha setelah birokrasi pemerintah yang tidak efisien (19,3%). Tantangan<br />

pembangunan infrastruktur ke depan adalah bagaimana untuk terus meningkatkan ketersediaan<br />

infrastruktur yang berkualitas dan kinerjanya semakin dapat di<strong>and</strong>alkan agar daya tarik dan daya saing<br />

Indonesia dalam konteks global dapat membaik.<br />

Dalam mengantisipasi dampak akibat perubahan iklim, dilakukan upaya <strong>adaptasi</strong> dan mitigasi sektor ke-<br />

PU-an terutama terkait dukungan infrastruktur sumber daya air untuk menyokong produksi pangan<br />

nasional dan respon terhadap pengelolaan infrastruktur dalam mengantisipasi bencana terkait dengan<br />

perubahan iklim.


29 30<br />

II.4.1.2 Tingkat Kekritisan Sumber Daya Air:<br />

1. Meningkatnya kekritisan DAS, dimana pada tahun 13,1 juta ha (22 DAS) sedangkan pada tahun<br />

2005 meningkat menjadi 18,5 juta ha (62 DAS), hal tersebut membutuhkan pengelolaan hutan,<br />

karena mengakibatkan resapan air menurun, fluktuasi debit sungai semakin tinggi, dan<br />

meningkatnya laju erosi serta sedimentasi;<br />

2. Penurunan kualitas air pada sumber air karena pencemaran yang mengakibatkan: meningkatnya<br />

biaya pengolahan air, dampak negative kesehatan masyarakat dan membahayakan keberadaan<br />

biota air;<br />

3. Degradasi dasar sungai sebagai akibat dari aktivitas penambangan golongan C dapat<br />

mempercepat kerusakan infrastruktur sepanjang sungai;<br />

4. Meningkatnya laju sedimentasi, sampah dan pemanfaatan lahan dapat mengakibatkan:<br />

perubahan morfologi sungai, kerusakan ekosistem (penurunan kapasitas aliran sungai) dan<br />

ancaman bencana banjir;<br />

5. Exploitasi air tanah yang dapat mengakibatkan penurunan muka tanah (l<strong>and</strong> subsidence) dan<br />

intrusi air laut;<br />

6. Konversi daerah irigasi teknis lebih dari 35.000 ha/tahun.<br />

7. Kenaikan elevasi muka air laut akibat pemanasan global yang berdampak pada produktifitas<br />

450.000 Ha lahan tambak existing dan 1,45 juta ha dan areal reklamasi pasang surut<br />

II.4.1.3 Matriks<br />

Kebijakan Program Aksi<br />

1. UU No. 7/2004 tentang<br />

Pengelolaan Sumber Daya<br />

Air;<br />

2. Peraturan Pemerintah No.<br />

42/2008 tentang Pengelolaan<br />

Sumber Daya Air;<br />

3. Peraturan Pemerintah No.<br />

20/2004 tentang Irigasi;<br />

4. Peraturan Pemerintah No.<br />

37/2010 tentang Bendungan;<br />

5. Peraturan Menteri No.<br />

11A/2006 tentang Kriteria<br />

dan Penetapan Wilayah<br />

Sungai;<br />

6. Peraturan Menteri Pekerjaan<br />

Umum No. 22/2009 tentang<br />

Pedoman Teknis dan Tata<br />

Cara Penyusunan Pola<br />

Pengelolaan Sumber Daya<br />

Air;<br />

7. Peraturan Menteri Pekerjaan<br />

Umum No. 04/ 2008 tentang<br />

Pedoman Pembentuk Wadah<br />

Koordinasi Pengelolaan<br />

Sumber Daya Air pada<br />

Tingkat Propinsi,<br />

Kabupaten/Kota dan Wilayah<br />

Sungai.<br />

Meningkatkan manajemen prasarana sda dalam rangka<br />

mendukung penyediaan air dan ketahanan pangan<br />

1. Pembangunan pengelolaan dan rehabilitasi endung,<br />

embung dan bendungan serta meningkatnya kualitas<br />

pengelolaannya.<br />

2. Pengendalian penggunaan air pada sumber air.<br />

3. Pemantauan pengelolaan kualitas air pada sumber air.<br />

4. Pembangunan, pemeliharaan dan rehabilitasi prasarana<br />

penyediaan air baku, untuk pemenuhan kebutuhan pokok<br />

sehari-hari, perkotaan dan industry.<br />

5. Pembangunan, pengelolaan dan rehabilitasi sistem<br />

jaringan irigasi (termasuk subak) untuk menjaga ketahanan<br />

pangan nasional.<br />

6. Pengembangan dan penerapan teknologi irigasi hemat air<br />

dalam rangka intensifikasi pertanian.<br />

7. Penyusunan dan pemutakhiran NSPK untuk pengelolaan<br />

sumber daya air.<br />

Mengembangkan disaster risk management untuk<br />

banjir (sungai, rob, lahar dingin), longsor & kekeringan.<br />

1. Pembangunan dan/atau pemeliharaan bangunan pantai<br />

untuk mengatasi banjir/rob pada kota-kota besar di daerah<br />

pesisir dan strategis lainnya.<br />

2. Pelaksanaan penataan, penertiban sempadan sungai untuk<br />

lokasi-lokasi yang mengalami banjir/penyebab banjir.<br />

3. Pembangunan, operasi dan pemeliharaan prasarana dan<br />

Kebijakan Program Aksi<br />

8. UU No. 7/2004 tentang<br />

Pengelolaan Sumber<br />

Daya Air;<br />

9. Peraturan Pemerintah<br />

No. 42/2008 tentang<br />

Pengelolaan Sumber<br />

Daya Air;<br />

10. Peraturan Pemerintah<br />

No. 20/2004 tentang<br />

Irigasi;<br />

11. Peraturan Pemerintah<br />

No. 37/2010 tentang<br />

Bendungan;<br />

12. Peraturan Menteri No.<br />

11A/2006 tentang<br />

Kriteria dan Penetapan<br />

Wilayah Sungai;<br />

13. Peraturan Menteri<br />

Pekerjaan Umum No.<br />

22/2009 tentang<br />

Pedoman Teknis dan<br />

Tata Cara Penyusunan<br />

Pola Pengelolaan<br />

Sumber Daya Air;<br />

14. Peraturan Menteri Pekerjaan<br />

Umum No. 04/<br />

2008 tentang Pedoman<br />

Pembentuk Wadah<br />

Koordinasi Pengelolaan<br />

Sumber Daya Air pada<br />

Tingkat Propinsi,<br />

Kabupaten/Kota dan<br />

Wilayah Sungai.<br />

sarana pengendalian banjir dan kekeringan utnuk kota dan<br />

kabupaten yang rentan terhadap bencana.<br />

4. Peningkatan kapasitas (capacity building) dalam disaster<br />

risk management.<br />

5. Pembangunan prasarana early warning system untuk antisipasi<br />

bencana (bencana dan kekeringan).<br />

6. Penyusunan dan pemutakhiran NSPK untuk disaster risk<br />

management sumber daya air.<br />

7. Penyusunan <strong>rencana</strong> tata tanam yang reliable dan pelaksanaan<br />

sosialisasinya dalam rangka antisipasi kekeringan.<br />

8. Penyeleggaraan perbaikan sistem pengelolaan irigasi dengan<br />

mengintegrasikan pengelolaan resiko perubahan iklim.<br />

9. Pelaksanaan reevaluasi pengaturan operasi dan pemeliharaan<br />

irigasi untuk mengakomodasi dampak perubahan iklim dalam hal<br />

bertambahnya atau berkurangnya intensitas curah hujan.<br />

Meningkatkan manajemen dan mengembangkan prasarana<br />

sumber daya air untuk pengendalian daya rusak air.<br />

1. Pengembangan teknologi, pembangunan dan pemeliharaan<br />

prasarana dan sarana untuk pengendalian pencemaran air pada<br />

sumber air (sungai,danau dan waduk).<br />

2. Pengembangan teknologi, pembangunan dan pemeliharaan<br />

prasarana dan sarana untuk pengendalian sedimentasi<br />

sungai,danau dan waduk.<br />

3. Pengembangan teknologi, pembangunan dan pemeliharaan<br />

prasarana dan sarana untuk pengendalian erosi dan sedimentasi<br />

pada pantai.<br />

Meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat tentang<br />

penyelamatan air.<br />

1. Pelaksanaan kampanye hemat air/Gerakan <strong>Nasional</strong><br />

Penyelamatan Air (GNPA).<br />

2. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam gerakan hemat air<br />

dan penyelamatan air.<br />

Meningkatkan penyediaan dan akses terhadap data dan<br />

informasi terkait dampak perubahan iklim.<br />

1. Penyusunan dan pemutakhiran database mengenai neraca air<br />

(potensi dan kebutuhannya) wilayah sungai untuk ketersediaan<br />

air di masa depan dengan memperhitungkan perubahan iklim.<br />

2. Penyusunan kajian dan database kerawanan kawasan/daerah<br />

yang rentan terhadap bencana dampak perubahan iklim.<br />

3. Pelaksanaan rasionalisasi jaringan pos hidrologi dan penerapan<br />

teknologi telemetri dalam forecasting untuk memantau damapak<br />

perubahan iklim.


31 32<br />

II.4.2 Sub Bidang Cipta Karya<br />

PELUANG<br />

1. Meningkatnya luasan lahan kritis;<br />

2. Menurunnya daya dukung beberapa daerah tangkapan air;<br />

3. Menurunnya kuantitas dan kualitas sumber daya air;<br />

4. Disparitas potensi sumber daya air antara wilayah barat dan timur Indonesia yang<br />

menyebabkan kerentanan wilayah meningkat;<br />

5. Terbatasnya sarana dan prasarana sumber daya air dalam menghadapi dampak<br />

negative perubahan iklim;<br />

6. Penyediaan pembiayaan yang diperlukan untuk melakukan program aksi <strong>adaptasi</strong> di<br />

bidang sumber daya air;<br />

7. Kurangnya pemahaman dan kapasitas SDM/kelembagaan pengelola sumber daya air<br />

(termasuk masyarakat) untuk menetapkan dampak risiko perubahan iklim dan<br />

menyusun <strong>rencana</strong> & program <strong>adaptasi</strong> pada skala yang tepat;<br />

8. Minimnya informasi dan belum terbangunnya database yang baik terkait dampak<br />

perubahan iklim bidang SDA;<br />

9. Belum tersedianya informasi baseline upaya <strong>adaptasi</strong> bidang sumber daya air;<br />

10. Belum tersedianya metodologi yang mapan mendukung MRV <strong>adaptasi</strong>.<br />

TANTANGAN<br />

1. Sumber daya air merupakan bagian kekayaan alam yang bersifat terbarukan;<br />

2. Potensi sumber daya air Indonesia berlimpah, walaupun sangat variatif sesuai waktu,<br />

ruang, kuantitas dan kualitasnya;<br />

3. Pemanfaatan dan pengintegrasian pengetahuan dan kearifan lokal/tradisional untuk<br />

menunjang program <strong>adaptasi</strong> perubahan iklim.<br />

Dengan visi untuk mewujudkan permukiman perkotaan dan perdesaan yang layak, produktif, berdaya<br />

saing dan berkelanjutan melalui peningkatan pembangunan infrastruktur permukiman di perkotaan dan<br />

perdesaan, dan kem<strong>and</strong>irian daerah melalui peningkatan kapasitas pemerintah daerah, masyarakat dan<br />

dunia usaha dalam penyelenggaraan pembangunan infrastruktur pemukiman.<br />

Melalui visi ini, bidang ini menerjemahkannya dalam suatu misi menyediakan infrastruktur permukiman<br />

bagi kawasan kumuh/nelayan, daerah perbatasan, kawasan terpencil, pulau-pulau kecil terluar dan daerah<br />

tertinggal serta mewujudkan organisasi yang efisien, tata laksana yang efektif dan SDM yang profesional<br />

dengan menerapkan prinsip good governance.<br />

II.4.2.1 Adapun tujuan Pembangunan Sub Bidang Cipta Karya adalah<br />

1. Meningkatkan kualitas pe<strong>rencana</strong>an pembangunan infrastruktur PU dan permukiman dan<br />

pengendalian pemanfaatan ruang bagi terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan (termasuk<br />

<strong>adaptasi</strong> dan mitigasi perubahan iklim) dengan cara:<br />

penyusunan NSPK (UU, PP, Perpres, Permen, SNPI), pendampingan penyusunan NSPK Daerah/Perda,<br />

Pembinaan SDM, Sosialisasi, Pendidikan/pelatihan.<br />

2. Meningkatkan kualitas lingkungan permukiman dan cakupan pelayanan (dasar) bidang pekerjaan<br />

umum untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan pengembangan prasarana dan<br />

sarana bidang cipta karya.<br />

3. Meningkatkan pembangunan kawasan strategis, wilayah tertinggal dan penanganan kawasan<br />

rawan bencana untuk mengurangi kesenjangan antar wilayah.<br />

Terdapat 3 (tiga) Strategic Goals yang ingin dicapai, yaitu;<br />

1. Kontribusi pelayanan infrastruktur bagi pertumbuhan ekonomi;<br />

2. Kontribusi pelayanan infrastruktur bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat; dan<br />

3. Kontribusi pelayanan infrastruktur bagi peningkatan kualitas lingkungan.<br />

II.4.2.2 Isu strategis pembangunan Sub Bidang Cipta Karya dipengaruhi oleh 6 (enam) hal, yaitu:<br />

1. Proporsi penduduk perkotaan yang bertambah, dimana arus urbanisasi perkotaan mengalami<br />

peningkatan yang amat tajam, yaitu penduduk yang bermukim di perkotaan mencapai 112 juta<br />

jiwa. Diperkirakan pada tahun 2025 nanti 68,3% penduduk Indonesia akan mendiami kawasan<br />

perkotaan. Setiap tahun lahir sekitar 4,5 juta jiwa bayi yang setara dengan jumlah penduduk<br />

Singapura atau lebih dari empat kali jumlah penduduk Timor Leste. Saat ini jumlah penduduk telah<br />

mencapai 237,6 juta jiwa (Kompas Tanggal 10 januari 2011). Terjadi ledakan penduduk sebanyak 3,5<br />

juta jiwa, hal ini berimplikasi kewajiban pemerintah untuk menyediakan pangan, permukiman,<br />

kesehatan dan fasilitas dasar lainnya. Berdasarkan data Program Pembangunan PBB (UNDP), indeks<br />

pembangunan manusia Indonesia pada tahun 2010 menduduki peringkat ke-108 dari 169 negara<br />

dan posisi ke-6 diantara amper-negara Asia Tenggara.<br />

2. Angka kemiskinan perkotaan yang masih tinggi yaitu 9,87% dan amper seperempatnya masih<br />

bertempat tinggal di kawasan pemukiman kumuh.<br />

3. Kota sebagai engine of growth dimana tahun 2010 kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto<br />

(PDB) masih didominasi oleh Pulau Jawa dan Sumatera (P. Jawa 57,8%, P. Sumatera 23,6%, P.<br />

Kalimantan 9,5%, P.Sulawesi 4,4%, Bali – Nusa Tenggara 2,8%, Maluku dan Papua 1,9%).<br />

4. Desentralisasi, di satu sisi, desentralisasi berhasil membawa pemerintah daerah dalam nuansa<br />

kompetisi yang kondusif untuk mendorong pembangunan perkotaan di masing-masing daerah. Di<br />

sisi lain, pembangunan yang ekspansif dan tidak te<strong>rencana</strong> justru membahayakan daya dukung<br />

kota, terutama di kota besar dan metropolitan.<br />

5. Kerusakan lingkungan hidup sebagai akibat dari meningkatnya penggunaan ruang dan sumber<br />

daya alam di kawasan perkotaan yang tidak terkendali.<br />

6. Perubahan iklim dan bencana alam yang mengakibatkan meningkatnya temperature rata-rata<br />

bumi dan meningkatnya permukaan air laut, serta posisi Indonesia yang berada di kawasan ring of<br />

fire memerlukan pe<strong>rencana</strong>an permukiman yang terarah dan berkelanjutan.<br />

Dengan demikian, terkait ancaman perubahan iklim, kondisi di atas akan berdampak pada krisis air besih<br />

perkotaan, kerawanan pangan, perubahan pola curah hujan, meningkatnya permukaan air laut, rusaknya<br />

infrastruktur daerah tepi pantai. Untuk mengantisipasi perubahan iklim ini, maka diperlukan antisipasi


33 34<br />

penyediaan sarana dan prasarana perkotaan, seperti; drainase yang baik untuk mengantisipasi curah<br />

hujan yang meningkat dan persediaan air minum untuk mengantisipasi kemarau panjang serta<br />

ruang terbuka hijau dan penataan bangunan untuk mengantisipasi peningkatan suhu.<br />

II.4.2.3 Matriks<br />

Kebijakan Program Aksi<br />

Pembinaan dan Pengembangan Infrastruktur<br />

Pemukiman<br />

1. Pengaturan, Pembinaan, Pengawasan dan<br />

penyelenggaraan dalam Pengembangan Pemukiman.<br />

2. Pengaturan, pembinaan dan Pengawasan dalam<br />

Penataan Bangunan dan Lingkungan, termasuk<br />

Pengelolaan Gedung dan Rumah Negara.<br />

3. Pengaturan, Pembinaan, Pengawasan, Pengembangan<br />

Sumber Pembiayaan dan Pola Investasi, serta Pengelolaan<br />

Pengembangan Infrastruktur Sanitasi dan Persampahan.<br />

4. Pengaturan, Pembinaan, Pengawasan, Pengembangan<br />

Sumber Pembiayaan dan Pola Investasi, serta<br />

pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum.<br />

5. Dukungan Manajemen Bidang Permukiman.<br />

6. Penyusunan Kebijakan, Program dan Anggaran,<br />

Kerjasama Luar Negeri, data Informasi serta Evaluasi<br />

Kinerja Infrastruktur Bidang Permukiman.<br />

7. Badan pendukung Pengembangan SPAM.<br />

TANTANGAN<br />

1. Penataan bangunan dan lingkungan terkendala oleh ketersediaan lahan dan keterbatasan<br />

peraturan daerah yang dikeluarkan pemerintah Daerah.<br />

2. Pengembangan Permukiman terkendala dalam ketersediaan lahan dan keterbatasan DDUB.<br />

3. Pengembangan PLP terkendala dengan luasnya cakupan kegiatan yang perlu ditangani,<br />

ketersediaan lahan dan keterbatasan OM. Pengembangan Air Minum terkendala luasnya cakupan<br />

kegiatan yang perlu ditangani, keterbatasan OM, keterbatasan sumber air baku dan pencemaran<br />

sumber air baku


35 36<br />

II.4.3 Sub Bidang Jalan dan Jembatan<br />

Sasaran pembangunan jangka panjang bidang Infrastruktur di tahun 2005 – 2025 adalah: 1) Terwujudnya<br />

bangsa yang berdaya saing untuk mencapai masyarakat yang lebih makmur dan sejahtera ditunjukkan oleh<br />

hal-hal berikut: tersusunnya jaringan infrastruktur perhubungan yang <strong>and</strong>al dan terintegrasi satu sama<br />

lain. 2)Terwujudnya pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan dit<strong>and</strong>ai oleh hal-hal berikut: tingkat<br />

pembangunan yang makin merata ke seluruh wilayah yang diwujudkan dengan peningkatan kualitas<br />

hidup dan kesejahteraan masyarakat, termasuk berkurangnya kesenjangan antar wilayah dalam kerangka<br />

Negara Kesatuan Republik Indonesia dan 3) Terwujudnya Indonesia sebagai Negara kepulauan yang<br />

m<strong>and</strong>iri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional: terbangunnya jaringan sarana dan prasarana<br />

sebagai perekat semua pualu dan kepulauan Indonesia.<br />

II.4.3.1 Prioritas pembangunan Infrastruktur <strong>Nasional</strong> adalah:<br />

Meningkatkan daya saing perekonomian yang didukung oleh pengembangan jaringan infrastruktur<br />

transportasi melalui percepatan pembangunan infrastruktur melalui kerja sama antara pemerintah dan<br />

dunia usaha. Prioritas tersebut menjadi target di tahun 2010 – 2014.<br />

Terpenuhinya ketersediaan jaringan infrastruktur transportasi yang sesuai dengan <strong>rencana</strong> tata ruang<br />

dalam meningkatkan daya saing perekonomian Indonesia melalui kerja sama pemerintah dan dunia usaha.<br />

Prioritas ini menjadi target di tahun 2015 – 2019.<br />

Mewujudkan masyarakat maju dan sejahtera melalui terselenggaranya jaringan transportasi pos dan<br />

telematika yang <strong>and</strong>al bagi seluruh masyarakat yang menjangkau seluruh wilayah NKRI. Prioritas ini<br />

menjadi target di tahun 2020 – 2024.<br />

Sementara itu, kebijakan dan strategi RTRWN Sistem Jaringan Prasarana <strong>Nasional</strong> (Jaringan Transportasi)<br />

2008-2028 adalah, peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan prasarana transportasi dan<br />

adanya keterpaduan pelayanan transportasi darat, laut dan udara.<br />

Gambar 2. Program Strategis Infrastruktur Jalan 2014 (Renstra Kementerian PU)<br />

II.4.3.2 Tantangan Bidang Jalan terkait Dampak Perubahan Iklim.<br />

A. Meningkatnya Temperatur Udara<br />

Temperatur rata-rata tahunan di Indonesia mengalami kenaikan 0,3oC (pengamatan sejak 1990).<br />

Dampak terhadap infrastruktur: Mempercepat aging permukaan jalan, baik pada perkerasan lentur<br />

maupun beton; Meningkatnya sebaran titik api (hot spot) yang akan berpengaruh terhadap struktur<br />

jalan maupun jembatan; Menurunkan kekuatan (daya dukung) lapisan aspal deformasi makin besar.<br />

Pengendalian temperatur udara dapat dilakukan dengan penanaman pohon di pinggir jalan atau<br />

penggunaan low heat reflective pavement.<br />

B. Meningkatnya Curah Hujan<br />

Diperkirakan akibat perubahan iklim, Indonesia akan mengalami kenaikan curah hujan 2-3% per<br />

tahun. Serta musim hijan yang lebih pendek. Dampak terhadap infrastruktur: Terendamnya jalan<br />

akibat banjir dapat menyebabkan air masuk kedalam perkerasan jalan, sehingga mengakibatkan<br />

terjadinya pumping saat kendaraan melewatinya; Pengikisan tiang pancang jembatan akibat<br />

terbentur material sampah keras yang hanyut bersama air; Curah hujan yang tinggi pada rentang<br />

waktu pendek dapat memicu terjadinya gerusan permukaan dan longsor; Melemahnya ikatan aspal<br />

terhadap aggregate.<br />

Pengendalian dapat dilakukan dengan: Membuat drainase jalan yang memadai dan memenuhi<br />

persyaratan teknis untuk menangani run off karena meningkatnya curah hujan pada kondisi curah<br />

hujan tinggi; Meningkatnya intensitas pemeliharaan drainase untuk dapat diyakininya pelayanan<br />

drainase jalan; Memperbaiki system drainase dengan memperpanjang waktu run off<br />

(pembangunan retusion pond untuk kondisi topografi curam).<br />

C. Kenaikan Permukaan Air Laut<br />

Sekitar 40 juta masyarakat Indonesia yang bermukim dalam jarak 10m dari permukaan air laut ratarata,<br />

sangat rentan terhadap perubahan permukaan air laut. Dampak terhadap infrastruktur:<br />

Jaringan jalan di pesisir akan terendam dan mengakibatkan peningkatan laju korosi pada jalan<br />

beton dan peningkatan proses penuaan dan oksidasi pada jalan beraspal; Lebih lanjut akan<br />

mengakibatkan kota yang berada di pesisir rentan “kehilangan” aset jalan, sehingga keh<strong>and</strong>alan<br />

keberlanjutan pemanfaatanjalan berkurang dan menghambat pertumbuhan ekonomi, terutama<br />

apabila jalan tersebut merupakan akses ke pusat distribusi (seperti pelabuhan).<br />

Pengendalian kenaikan air laut dapat dilakukan dengan cara: Memindahkan jalan ke kawasan yang<br />

lebih aman dari pengaruh kenaikan permukaan air laut; Pembangunan tanggul-tanggul di daerah<br />

pantai; Perlindungan terhadap pelabuhan, bangunan atau infrastruktur lainnya yang rentan<br />

terhadap kenaikan air laut.<br />

D. Meningkatnya Intensitas Kejadian Ekstrim<br />

Dampak terhadap infrastruktur: bertambah panjangnya periode musim kering mengakibatkan<br />

lapisan aspal banyak mengelupas; Badai dan angin kencang dapat merusak struktur hingga<br />

mengakibatkan terputusnya jalur jalan dan jembatan.


37 38<br />

Pengendalian dapat dilakukan dengan cara: Teknologi aspal poro (penggunaan material aditif yang dapat<br />

menurunkan suhu percampuran dan waktu pemadatan lebih cepat); Sistem peringatan dini untuk badai;<br />

pembangunan jalan dan jembatan dengan struktur tahan badai; Perbaikan kapasitas system drainase untuk<br />

menampung kondisi curah hujan ekstrim.<br />

II.4.3.3 Matriks<br />

Meningkatkan kualitas pelayanan<br />

prasarana dan sarana jalan yang<br />

mampu memenuhi kebutuhan<br />

social-ekonomi masyarakat dalam<br />

hal mobilitas dan aksesibilitas yang<br />

lebih efisien.<br />

II.4.4.1 Sub Bidang Penataan Ruang<br />

Kebijakan Program Aksi<br />

Kegiatan Prioritas, Sasaran dan Target 2014<br />

Pembangunan Infrastruktur Jalan (Mengurangi resiko<br />

terganggunya fungsi jalan yang bersumber pada<br />

dampak banjir, kenaikan muka air laut, longsor dan<br />

abrasi).<br />

1. Pelaksanaan Preservasi dan Peningkatan Kapasitas Jalan<br />

dan Jembatan <strong>Nasional</strong>.<br />

2. Pembinaan Pelaksanaan Preservasi dan Kapasitas Jalan<br />

dan Fasilitasi Jalan Bebas Hambatan dan Perkotaan.<br />

Upaya <strong>adaptasi</strong> perubahan iklim dalam penataan ruang perlu dilakukan dalam tataran pengarusutamaan<br />

perubahan iklim dalam sistem penataan ruang nasional. Prinsip dari pengarusutamaan perubahan iklim<br />

dalam sistem penataan ruang nasional dalam hal ini adalah penjaminan bahwa penataan ruang yang<br />

dilakukan telah mempertimbangkan proyeksi perubahan iklim di masa datang serta menjamin bahwa<br />

penataan ruang yang dilakuan tidak meningkatkan kerentanan wilayah terhadap dampak perubahan iklim<br />

sekaligus meningkatkan ketahanan wilayah terhadap dampak perubahan iklim di masa depan.<br />

Pengarus-utamaan (mainstreaming) perubahan iklim dalam sistem penataan ruang dengan demikian<br />

memiliki 3 (tiga) tujuan utama, yaitu:<br />

a. Untuk memastikan penyelenggaraan penataan ruang telah mempertimbangkan potensi risiko<br />

perubahan iklim dan untuk menghindari dampak dari terjadinya perubahan iklim<br />

b. Untuk memastikan bahwa penyelenggaraan penataan ruang tidak mengakibatkan peningkatan<br />

kerentanan wilayah terhadap berbagai jenis bahaya akibat dampak peubahan iklim di seluruh<br />

sektor<br />

c. Untuk memastikan bahwa penyelenggaraan penataan ruang berkontribusi terhadap tujuan<br />

pembangunan dan upaya <strong>adaptasi</strong> terhadap perubahan iklim di masa datang.<br />

Pendekatan yang digunakan dalam kebijakan dan strategi penataan ruang dalam rangka <strong>adaptasi</strong><br />

perubahan iklim adalah:<br />

a. Pendekatan sektoral, dengan melihat sektor-sektor yang terkena dampak perubahan iklim dan<br />

mengkaji risiko yang dihadapi setiap wilayah terkait bahaya yang ditimbulkan sebagai dampak dari<br />

perubahan iklim di masa datang<br />

b. Pendekatan kewilayahan, dengan melihat kerentanan dan risiko dampak perubahan iklim yang<br />

dihadapi berdasarkan tipologi wilayah kepulauan di Indonesia dengan memperhatikan<br />

karakteristik dari masing-masing wilayah.<br />

II.4.4.1 Justifikasi<br />

Tujuan penataan ruang yang diharapkan mengarah pada upaya untuk menciptakan penataan ruang yang<br />

aman terhadap berbagai jenis risiko perubahan iklim, nyaman sebagai tempat tinggal dengan segala<br />

fasilitas pendukungnya, serta berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan penataan ruang yang diharapkan,<br />

ditetapkan kebijakan dan strategi penataan ruang dalam rangka <strong>adaptasi</strong> perubahan iklim.<br />

Secara lebih detail, kebijakan dan strategi penataan ruang juga menggunakan metoda untuk<br />

mengidentifikasi isyu pengembangan wilayah terkait perubahan iklim dan penataan ruang nasional.<br />

Secara umum kerangka penyusunan rekomendasi kebijakan dan strategi penataan ruang dalam rangka<br />

<strong>adaptasi</strong> perubahan iklim mengikuti Gambar di bawah ini.<br />

KAJIAN LITERATUR<br />

KONSEP TATA RUANG<br />

KONSEP ADAPTASI P.I.<br />

KONDISI WILAYAH<br />

KERENTANAN<br />

WILAYAH<br />

RISIKO PERUBAHAN IKLIM<br />

ISYU WILAYAH<br />

TUJUAN<br />

PENATAAN RUANG<br />

KEBIJAKAN<br />

PENATAAN RUANG<br />

Adaptasi Perubahan Iklim<br />

PEMANASAN GLOBAL<br />

PERUBAHAN IKLIM<br />

BAHAYA IKLIM<br />

STRATEGI<br />

PENATAAN RUANG<br />

KEBIJAKAN NASIONAL &<br />

PERATURAN PERUNDANG2AN<br />

RTRW NASIONAL


39 40<br />

Terkait dengan penetapan kebijakan dan strategi penataan ruang, peta risiko perubahan iklim dikaitkan,<br />

dilakukan identifikasi terhadap tingkat kerentanan dan risiko perubahan iklim di wilayah Indonesia serta<br />

kaitannya dengan RTRW <strong>Nasional</strong> yang telah ditetapkan. Tabel berikut juga digunakan dalam rangka<br />

mengkaitkan hasil kajian risiko perubahan iklim dengan sistem penataan ruang nasional, khususnya terkait<br />

sistem perkotaan nasional dan penetapan kawasan strategis nasional.<br />

TABEL. 8 IDENTIFIKASI TINGKAT KERENTANAN DAN RISIKO PERUBAHAN IKLIM<br />

TINGKAT<br />

SANGAT<br />

TINGGI<br />

TINGGI<br />

KERENTANAN RISIKO<br />

PKN PKW KSN PKN PKW KSN<br />

II.4.4.3 Kebijakan dan Strategi Penataan Ruang Terhadap Perubahan Iklim<br />

Terkait dengan penataan ruang, kebijakan dan strategi penataan ruang dalam rangka <strong>adaptasi</strong> terhadap<br />

perubahan iklim secara umum bertujuan untuk:<br />

Meningkatkan penyelenggaraan penataan ruang nasional dan daerah yang aman, nyaman dan<br />

berkelanjutan di masa sekarang dan yang akan datang dalam rangka mengurangi risiko<br />

wilayah terhadap dampak perubahan iklim terutama melalui upaya pengurangan risiko<br />

perubahan iklim.<br />

Menyiapkan ruang bagi pemenuhan kebutuhan aktivitas masyarakat di masa datang dengan<br />

mempertimbangkan daya dukung wilayah serta upaya pengurangan risiko perubahan iklim<br />

terutama melalui upaya mengurangi kerentanan wilayah terhadap bahaya perubahan iklim<br />

Meningkatkan kualitas penyediaan prasarana dan sarana wilayah yang berkelanjutan dengan<br />

mempertimbangkan tingkat risiko perubahan iklim dalam rangka menjamin kualitas hidup<br />

masyarakat<br />

Kebijakan dan strategi penataan ruang dalam rangka <strong>adaptasi</strong> perubahan iklim dikembangkan berdasarkan<br />

kondisi kerentanan dan risiko dampak perubahan iklim di masa datang serta isu pembangunan yang terkait<br />

dengan dampak perubahan iklim. Salah satu pertimbangan utama dalam perumusan kebijakan dan<br />

strategi penataan ruang dalam rangka <strong>adaptasi</strong> perubahan iklim ini adalah kajian terhadap <strong>rencana</strong> tata<br />

ruang nasional. Maksudnya adalah untuk memberikan pertimbangan bagi pengembangan tata ruang<br />

nasional yang lebih berkelanjutan.<br />

Kebijakan<br />

KET.<br />

Kebijakan Penataan Ruang yang terpenting dalam perubahan iklim adalah pengarusutamaan perubahan<br />

iklim dalam pe<strong>rencana</strong>an tata ruang yang dilakukan agar dapat menjamin dan tidak mengakibatkan<br />

penurunan kerentanan wilayah serta meningkatkan ketahanan (resilience) wilayah terhadap potensi<br />

dampak perubahan iklim.<br />

Strategi<br />

Terkait dengan upaya pengarusutamaan perubahan iklim dalam penataan ruang nasional, salah satu<br />

strategi yang penting adalah memastikan bahwa penataan ruang melalui <strong>rencana</strong> tata ruang yang<br />

ditetapkan telah mempertimbangkan perubahan iklim dan sensitif terhadap perubahan iklim.<br />

Dengan demikian diharapkan <strong>rencana</strong> tata ruang wilayah yang ditetapkan dapat mendorong upaya<br />

pengurangan risiko wilayah terhadap perubahan iklim, baik melalui upaya pengurangan kerentanan<br />

maupun peningkatan kapasitas wilayah dalam menghadapi/ber<strong>adaptasi</strong> dengan perubahan iklim.<br />

Dalam dokumen RAN MAPI Kementerian Pekerjaan Umum 2012-2010, bidang penataan ruang secara<br />

umum memfokuskan upaya <strong>adaptasi</strong> Perubahan Iklim lebih lebih diarahkan pada identifikasi wilayah<br />

(kabupaten/kota) rentan terkena dampak Perubahan Iklim, dimana pada kawasan tersebut akan diberikan<br />

pendampingan dalam penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), adapun strategi bidang penataan<br />

ruang menghadapi perubahan iklim adalah sebagai berikut :<br />

1. Identifikasi wilayah (kabupaten/kota) yang mengalami dampak perubahan iklim<br />

2. Pengarusutamaan konsep kota dan peran masyarakat yang memiliki dayatahan terhadap dampak<br />

perubahan iklim (Climate Change resilience)<br />

3. Pengembangan kapasitas kelembagaan dan jaringan mitigasi dan <strong>adaptasi</strong> perubahan iklim<br />

4. Penyediaan akses dan pengolahan terhadap data dan informasi terkait perubahan iklim terhadap<br />

tata ruang<br />

Sejalan dengan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan PerMen PU Nomor 11<br />

Tahun 2009 tentang Pedoman persetujuan substansi dalam penetapan rancangan peraturan daerah<br />

tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota, semua<br />

<strong>rencana</strong> tata ruang wilayah perlu disesuaikan dengan peraturan perundangan yang baru. Saat ini<br />

merupakan momen dan waktu yang tepat sebagai inisiasi bagi upaya pengarusutamaan perubahan iklim<br />

dalam sistem penataan ruang.


41 42<br />

II.4.4.4 Matriks<br />

Kebijakan Strategi/Program Aksi<br />

Undang-Undang Nomor. 26 tahun 2007<br />

tentang Penataan Ruang<br />

1. Penyediaan akses dan pengolahan terhadap data<br />

dan informasi terkait perubahan iklim terhadap<br />

tata ruang<br />

1.1 Pemutakhiran data mengenai perubahan<br />

penggunaan lahan akibat perubahan iklim<br />

1.2 Pengolahan data geospasial<br />

2. Pe<strong>rencana</strong>an ruang<br />

2.1 Identifikasi kawasan (kabupaten/kota) yang<br />

mengalami dampak perubahan iklim<br />

2.2 Percepatan proses revisi RTRW Provinsi<br />

dan/atau Kabupaten/Kota yang terkena<br />

dampak perubahan iklim (poin 2.1)<br />

2.3 Penyiapan <strong>rencana</strong> detil tata ruang kawasan<br />

yang responsif secara fisik, secara teknologi,<br />

dan secara sosial<br />

3. Pemanfaatan ruang<br />

3.1 Penyediaan ruang terbuka hijau perkotaan<br />

minimal dengan luas 30% dari luas wilayah<br />

dalam rangka penurunan temperatur<br />

3.2 Urban restoration<br />

4. Pengendalian ruang<br />

4.1 Arahan peraturan zonasi pada kawasan yang<br />

terkena dampak perubahan iklim<br />

4.2 Arahan perijinan<br />

4.3 Perangkat insentif disinsentif<br />

4.4 Arahan sanksi berupa sanksi administratif<br />

5. Peningkatan kapasitas kelembagaan<br />

3.1 Pengembangan kegiatan <strong>adaptasi</strong> (capacity<br />

building) aparat<br />

3.2 Penyusunan model pemetaan ruang yang<br />

responsif terhadap perubahan iklim di k wilayah<br />

dan awasanperkotaan<br />

6. Pembinaan penataan ruang<br />

6.1 Penyiapan NSPK<br />

6.2 Sosialisasi <strong>rencana</strong> tata ruang dan NSPK<br />

7. Pengawasan<br />

7.1 Pemantauan dan evaluasi<br />

7.2 Pelaporan


43 44<br />

Strategi Adaptasi Perubahan<br />

20<br />

Iklim <strong>Nasional</strong><br />

III.1 Kemampuan Adaptasi<br />

Melalui skenario optimis IPCC, dimana dunia mengambil tindakan substansial untuk memotong emisi gas<br />

rumah kaca saat ini, gas rumah kaca atmosfer diperkirakan mencapai 450 ppm, menaikkan suhu global<br />

sebesar 2?C. Laporan ke-empat dari Intergovernmental Panel on Climate Change atau IPCC akhir tahun<br />

2007 menyebutkan perubahan suhu akhir-akhir ini telah berdampak kepada banyak sistem fisik dan<br />

biologis alam. Tingkat kemungkinan ancaman perubahan iklim disebutkan high confidence, memiliki<br />

angka prosentase kebenaran sekitar 80%. Laporan kelompok kerja yang bertanggung jawab atas<br />

pengetahuan dan teknologi (Scientific & Technology) bahkan memperkirakan akhir abad 21, suhu bumi<br />

akan naik sebesar 1,8–4 C, sedangkan permukaan air laut akan naik setinggi 28 – 43 cm, jika tidak ada upaya<br />

serius menurunkan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK). Laporan ini menunjukkan bahwa pemanasan global<br />

hingga tahun 2030 akan sedikit dipengaruhi oleh emisi gas rumah kaca dalam 20 tahun mendatang karena<br />

kelambanan dalam system iklim.<br />

Perkiraan Bank Dunia (2006) yang menyebutkan biaya atau bantuan pendanaan dari negara-negara maju<br />

untuk kegiatan <strong>adaptasi</strong> di negara berkembang dan miskin hanya akan terkumpul sebesar US$ 500 milyar.<br />

Padahal kerugian global akibat perubahan iklim mencapai US$ 4,4 triliun. Perdana Menteri Inggris, Gordon<br />

Brown mengajak negara-negara maju untuk menginvestasikan US$100 juta per tahun di negara-negara<br />

berkembang untuk mendukung low carbon growth. Most Vulnerable Countries Civil Society menyebut paling<br />

kecil dibutuhkan UD$50 juta –dari sedikitnya US$150 juta untuk kebutuhan negara-negara berkembang<br />

pada persoalan perubahan iklim. The Global Environment Facility (GEF), pengelola pendanaan <strong>adaptasi</strong><br />

20 Ditulis oleh Ari Muhammad<br />

dibawah konvensi telah menyepakati alokasi untuk inisiatif prioritas strategi <strong>adaptasi</strong> (Strategic Priority on<br />

<strong>Adaptation</strong> /SPA) sebesar $50 juta.<br />

Berdasarkan tinjauan Nicholas Stern (Ekonomi Perubahan iklim), Perubahan iklim merupakan sebuah<br />

21<br />

rintangan besar untuk pengurangan kemiskinan berkelanjutan di seluruh dimensi-dimensinya . Ancaman<br />

perubahan iklim terhadap pembangunan berkelanjutan (sustainable development) akan memperlambat<br />

pencapaian pembangunan berkelanjutan, baik langsung maupun tidak langsung. Untuk mendorong<br />

berkelanjutan, maka pembangunan harus secara tegas memasukkan persoalan <strong>adaptasi</strong> perubahan iklim<br />

serta mendorong kemampuan <strong>adaptasi</strong>nya.<br />

Khusus mengenai Indonesia, laporan IPCC tersebut menyebutkan bahwa kawasan Selatan akan mengalami<br />

penurunan curah hujan dan sebaliknya kawasan Utara akan mengalami peningkatan curah hujan. Ancaman<br />

kekeringan akibat gejala El-Nino tentunya pula (kembali) menjadi faktor pendorong kebakaran hutan yang<br />

selama ini telah menghilangkan jutaan hektar lahan hutan. Dampak perubahan iklim yang menjadi<br />

ancaman besar lainnya apabila dikaitkan dengan kondisi geografis Indonesia adalah naiknya permukaan air<br />

laut (sea level rise). Ancaman terhadap naiknya permukaan air laut dan ancaman terhadap tenggelamnya<br />

pulau-pulau. Tenggelam atau hilangnya suatu pulau kecil merupakan salah satu fenomena yang akan pasti<br />

terjadi apabila dampak perubahan iklim tidak diindahkan.<br />

21 Negara berkembang berada pada keadaan geografis yang merugikan yang umumnya sudah berada pada kondisi lebih panas dan mereka juga menderita dari variasi curah hujan<br />

yang tinggi. Sebagai hasilnya, pemanasan lebih lanjut akan membawa biaya tinggi dan keuntungan yang sedikit bagi negara miskin. Mereka umumnya sangat bergantung pada<br />

pertanian, sektor yang paling sensitive terhadap iklim dib<strong>and</strong>ingkan semua sektor ekonomi, dan menderita karena kurangan fasilitas kesehatan dan pelayanan masyarakat yang<br />

berkualitas rendah. Pendapatan rendah dan kerentanan mereka membuat <strong>adaptasi</strong> terhadap perubahan iklim menjadi sulit. Karena kerentanan-kerentanan ini, perubahan iklim<br />

sangat mungkin mengurangi pendapatan yang sudah rendah dan meningkatkan tingkat penyakit dan kematian di negara berkembang.


45 46<br />

nilai SOI positif = La Nina<br />

Nilai SOI negatif = El Nino<br />

Sumber: Australian Bureau of Meteorology<br />

Gambar 3. Jumlah titik panas per-tahun dan SOI (Southern Oscillation Index) di Indonesia<br />

tahun 2002-2007<br />

Data yang dimuat dalam OFDA/CRED International Disaster Database (2007), menyebut bahwa setelah tahun 1990-an<br />

merupakan periode dimana terdapat sepuluh bencana terbesar di Indonesia sepanjang periode tahun 1907 dan 2007.<br />

Sebagian besar bencana tersebut sangat terkait dengan iklim, seperti banjir, kekeringan, kebakaran hutan dan ledakan<br />

penyakit. Total kerugian ekonomi mencapai kurang lebih 26 milyar dimana 70% dikontribusikan oleh iklim.<br />

Tabel 9. Luas tanaman padi terkena bencana banjir dan kekeringan dan puso (ha)<br />

pada tahun 1988-1997 (Yusmin, 2000)<br />

Tahun<br />

2000<br />

2001<br />

2002<br />

2003<br />

2004<br />

2005 (Feb)<br />

2005 (Nop)<br />

2006 (Feb)<br />

% 2006 (Feb)<br />

2005 (Nop)<br />

2006 (Feb)<br />

% 2006 (Feb)<br />

Sumber: http://iklim.dirgantara-lapan.or.id<br />

Total<br />

14.618,5<br />

14.194,1<br />

14.260,2<br />

12.158,9<br />

11.815,7<br />

12.473,8<br />

11.080,7<br />

11.783,0<br />

27,8<br />

11.080,7<br />

11.783,0<br />

27,8<br />

Total Total<br />

18.873,9<br />

18.104,3<br />

18.705,4<br />

20.635,2<br />

18.253,8<br />

19.616,6<br />

20.217,5<br />

20.812,5<br />

49,2<br />

20.217,5<br />

20.812,5<br />

49,2<br />

4.767,9<br />

5.200,3<br />

5.348,2<br />

7.557,7<br />

6.567,1<br />

6.913,8<br />

7.367,5<br />

7.188,0<br />

17,0<br />

7.367,5<br />

7.188,0<br />

17,0<br />

Total<br />

40.676,7<br />

39.751,0<br />

40.636,2<br />

43.047,5<br />

38.930,9<br />

41.869,1<br />

41.309,8<br />

42.323,2<br />

100<br />

41.309,8<br />

42.323,2<br />

100<br />

Laporan lain yang dibuat oleh Departemen Pekerjaan Umum bekerjasama dengan Kementri-an Negara<br />

Lingkungan Hidup (Country Report, 2007) menyebutkan bahwa dampak ancaman perubahan iklim yaitu<br />

naiknya permukaan air laut akan menjadi ancaman terhadap beberapa industri seperti; anjungan minyak<br />

dan gas di laut, transportasi, perikanan, pertanian dan ekowisata serta perkampungan masyarakat pesisir.<br />

Dengan kenaikan sekitar 1 meter, diperkirakan sekitar 405,000 ha dari lahan pesisir termasuk kepulauan<br />

kecil akan banjir.<br />

Berbagai studi/kajian yang dikumpulkan oleh Panel ilmiah untuk perubahan iklim atau IPCC/<br />

Intergovernmental Panel on Climate Change dan lembaga-lembaga riset lainnya yang berasal dari luar negeri<br />

dan dalam negeri menunjukkan tingkat kerentanan (vulnerability) negara ekonomi berkembang dan<br />

terbelakang yang relatif tinggi, plus kapasitas <strong>adaptasi</strong>nya yang relatif rendah.<br />

Kotak 1: Bencana yang terkait iklim di Indonesia<br />

º Berdasarkan hasil pemantauan kekeringan pada tanaman padi selama 10 tahun terakhir (1993-2002) yang<br />

dilakukan Departemen Pertanian, diperoleh angka rata-rata lahan pertanian yang terkena kekeringan<br />

mencapai 220.380 ha dengan lahan puso mencapai 43.434 ha atau setara dengan kehilangan 190.000 ton<br />

gabah kering giling (GKG). Sedangkan, yang terl<strong>and</strong>a banjir seluas 158.787 ha dengan puso 39.912 ha<br />

(setara dengan 174.000 ton GKG) (Boer, 2003). Menurut Departemen Pertanian, dalam periode Januari-Juli<br />

2007, tercatat bahwa luas lahan pertanian yang mengalami kekeringan adalah 268.518 ha; 17.187 ha<br />

diantaranya mengalami puso (gagal panen). Hal tersebut berimplikasi pada penurunan produksi padi<br />

hingga 91.091 ton GKG.<br />

º Penurunan curah hujan akibat variabilitas iklim maupun perubahan musiman disertai dengan<br />

peningkatan temperatur telah menimbulkan dampak signifikan pada cadangan air. Pada tahun-tahun<br />

kejadian El Niño Southern Oscillation (ENSO), volume air di tempat penampungan air menurun cukup<br />

berarti (jauh di bawah normal), khususnya selama musim kering (Juni-September). Banyak pembangkit<br />

listrik memproduksi listrik jauh di bawah produksi normal pada tahun-tahun tersebut. Data dari 8 waduk (4<br />

waduk kecil dan 4 waduk besar di Pulau Jawa) menunjukkan bahwa selama tahun-tahun kejadian ENSO<br />

pada tahun 1994, 1997, 2002, 2003, 2004, dan 2006, sebagian besar pembangkit listrik yang dioperasikan<br />

di 8 waduk tersebut memproduksi listrik di bawah kapasitas normal (Indonesia Country Report, 2007).<br />

º Peningkatan temperatur air laut khususnya saat El Niño 1997 telah menyebabkan masalah serius pada<br />

ekosistem terumbu karang. Wetl<strong>and</strong>s International (Burke et al., 2002) melaporkan bahwa El Niño pada<br />

tahun tersebut telah menghancurkan sekitar 18% ekosistem terumbu karang di Asia Tenggara. Pemutihan<br />

terumbu karang (coral bleaching) telah terjadi di banyak tempat seperti bagian Timur Pulau Sumatera,<br />

Jawa, Bali dan Lombok. Di Kepulauan Seribu sekitar 90-95% terumbu karang yang berada di kedalaman 25<br />

m sebagian telah mengalami pemutihan.<br />

º Variasi cuaca seperti ENSO, telah memberikan kontribusi terhadap penyebaran penyakit seperti malaria,<br />

demam berdarah, diare, kolera, dan penyakit akibat vektor lainnya. World Health Organization (WHO) juga<br />

menyatakan bahwa penyebaran penyakit malaria dipicu oleh terjadinya curah hujan di atas normal dan<br />

dipengaruhi juga oleh pergantian cuaca yang kurang stabil, seperti setelah hujan lebat cuaca berganti


47 48<br />

menjadi panas terik matahari yang menyengat. Hal tersebut mendorong perkembangbiakan nyamuk<br />

dengan cepat<br />

º Di Indonesia, peningkatan curah hujan di atas normal terjadi khususnya pada tahun-tahun La Niña. Kasus<br />

demam berdarah dengue (DBD) juga ditemukan meningkat signifikan pada tahun-tahun terakhir ini.<br />

Berdasarkan data kejadian DBD di berbagai kota besar di Indonesia, laju kejadian DBD di Pulau Jawa dalam<br />

kurun waktu 1992 hingga 2005 meningkat secara konsisten (Indonesia Country Report, 2007)<br />

º Data Departemen Kelautan dan Perikanan menunjukkan bahwa dalam kurun waktu hanya dua tahun,<br />

yaitu 2005–2007, Indonesia telah kehilangan 24 pulau kecil di Nusantara. Lokasi ke-24 pulau yang<br />

tenggelam tersebut adalah sebagai berikut: tiga pulau di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), tiga pulau di<br />

Sumatera Utara, tiga di Papua, lima di Kepulauan Riau, dua di Sumatera Barat, satu di Sulawesi Selatan, dan<br />

tujuh di kawasan Kepulauan Seribu, Jakarta. Mayoritas pulau kecil yang tenggelam tersebut diakibatkan<br />

oleh erosi air laut yang diperburuk oleh kegiatan penambangan untuk kepentingan komersial. Selain itu,<br />

bencana tsunami Aceh 2004 juga berdampak pada tenggelamnya tiga pulau kecil setempat. Kehilangan<br />

pulau-pulau kecil ini terutama yang berada di daerah perbatasan dengan negara lain akan berdampak<br />

hukum yang merugikan Indonesia. Karena dengan kehilangan pulau-pulau tersebut (yang semula jadi<br />

penentu tapal batas Indonesia dengan negara tetangga) wilayah perairan Indonesia akan berkurang. Hal<br />

ini perlu diantisipasi mengingat kemungkinan di wilayah tersebut terdapat sumber mineral.<br />

º Dari segi ekonomi, menurut World Disaster Report (2001), kerugian akibat bencana iklim di tingkat global<br />

yang terjadi sekarang dib<strong>and</strong>ing dengan yang terjadi di tahun 1950-an sudah meningkat 14 kali, yaitu<br />

mencapai US$ 50-100 milyar per tahun. Demikian juga jumlah kematian akibat bencana iklim meningkat<br />

50% per dekadenya. Pada tahun 2050, apabila pemanasan global terus terjadi dan tidak ada upaya-upaya<br />

<strong>adaptasi</strong> yang te<strong>rencana</strong> dilakukan dari sekarang, maka diperkirakan kerugian ekonomi akibat bencana<br />

iklim akan meningkat mencapai US$ 300 milyar per tahun dan jumlah kematian bisa mencapai 100 ribu<br />

orang per tahun (SEI, IUCN, dan IISD, 2001). Upaya <strong>adaptasi</strong> yang dilakukan sejak dini akan dapat<br />

mengurangi kerugian akibat bencana secara signifikan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa setiap<br />

1 USD yang dikeluarkan untuk melakukan upaya <strong>adaptasi</strong> dapat menyelamatkan sekitar 7 USD biaya yang<br />

harus dikeluarkan untuk pemulihan akibat dampak dari bencana iklim (Biemans et al., 2006).<br />

Sumber:<br />

http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=1696&Itemid=195<br />

III.2 Kebutuhan Strategi Adaptasi di Indonesia<br />

Walau indikator negara atau wilayah yang dikategorikan rentan masih menjadi perdebatan di<br />

sidang Subsidiary Body for Scientific <strong>and</strong> Technological Advice (badan pembantu UNFCCC yang<br />

menangani masalah-masalah teknis dan ilmiah), namun Indonesia sebagai negara yang masih<br />

banyak memiliki persoalan pembangunan sosial dan ekonomi serta lingkungan hidup akan<br />

semakin terdorong ke dalam wilayah yang sangat rentan dengan kemampuan daya tahan<br />

(resilience) yang rendah. Bencana salah urus tersebut menyebabkan kerugian ekonomi yang besar.<br />

tentunya faktor perubahan iklim akan mempercepat dan memperparah kondisi rentan dan<br />

lemahnya daya tahan tadi.<br />

Dari sisi geografis, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan panjang garis<br />

pantai lebih dari 81.000 km serta lebih dari 17.508 pulau dan luas laut sekitar 3,1 juta km2 sehingga<br />

wilayah pesisir dan lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan<br />

keanekaragaman hayati (biodiversity) laut terbesar di dunia dengan memiliki ekosistem pesisir<br />

seperti mangrove, terumbu karang (coral reefs) 22 dan padang lamun (sea grass beds) (Dahuri et al.<br />

1996).<br />

Oleh sebab itu penguatan kapasitas <strong>adaptasi</strong> menjadi hal yang krusial dan urgent. Kuat atau<br />

lemahnya kapasitas <strong>adaptasi</strong> dapat dilihat dari sisi eksternal seperti daya dukung ekosistem dan<br />

lingkungan saat ini, juga sisi internal yang dilihat dari kesiapan perangkat regulasi dan<br />

kelembagaan, anggaran serta sumberdaya manusia.<br />

climate change:<br />

Global warming<br />

Ÿ productivity increase<br />

Ÿ Latitudinal migraion of<br />

ecosystems<br />

first order effects:<br />

Rainfall changes, extreme<br />

events <strong>and</strong> disasters<br />

Ÿ structural changes of<br />

ecosystems<br />

Ÿ changes in bio-geo chemical<br />

cycles<br />

Gambar 4. Efek Perubahan Iklim pada Level yang Berbeda<br />

second order effects:<br />

Droughts, floods,<br />

fires, plagues<br />

Ÿ forest fires<br />

Ÿ changes in structure<br />

<strong>and</strong> function of the<br />

ecosystem<br />

forest ecosystems <strong>and</strong> forest sector: Autonomous adaptation capacity<br />

other natural <strong>and</strong> human systems<br />

22 World Resource Institute (WRI) (2002) mengestimasi bahwa luas terumbu karang di Indonesia adalah sekitar 51.000 km.


49 50<br />

Aktifitas yang saat ini telah dilakukan untuk memperkuat kapasitas <strong>adaptasi</strong> oleh beberapa sektor dan<br />

departemen harus juga menyentuh persoalan regulasi, sebaliknya tidak semata menjawab persoalan<br />

teknis. Kebijakan besar yang dituangkan ke dalam Rencana Aksi <strong>Nasional</strong> Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-<br />

API) harus dipertajam melalui instrumen-instrumen lainnya untuk mendukung implementasinya.<br />

Berbagai dokumen <strong>rencana</strong> aksi, baik yang telah dikeluarkan oleh KLH dengan Rencana Aksi Mitigasi dan<br />

Adaptasi Perubahan Iklim (RAN MAPI) pada tahun 2007, kemudian disusul dengan dokumen Pe<strong>rencana</strong>an<br />

Pembangunan <strong>Nasional</strong>: Indonesia Menjawab Perubahan Iklim (dikenal dengan istilah yellow book), yang<br />

dikeluarkan oleh Bappenas. Dokumen ini mencakup Policy Matrix tiga tahunan yang dibagi menjadi tiga<br />

bagian: mitigasi, <strong>adaptasi</strong>, dan isu lintas-sektoral. Untuk kegiatan <strong>adaptasi</strong> difokuskan kepada sektor pesisir<br />

dan kelautan, pertanian dan sumber daya air.<br />

Pada tahun 2009, Pemerintah melalui Badan Pe<strong>rencana</strong>an Pembangunan <strong>Nasional</strong>/Bappenas meluncurkan<br />

peta jalan bagi sektor-sektordalam mengimplementasikan kebijakan perubahan iklim di Indonesia<br />

(Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap/ICCSR) pada tahun 2009 yang diharapkan menjadi pedoman<br />

bagi semua pihak dalam mencegah dan mengurangi dapak perubahan iklim. Pada tahun itu juga,<br />

diperkenalkan Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF), sebuah lembaga di ‘bawah naungan’ Bappenas<br />

untuk menutupi kebutuhan kegiatan yang telah dipetakan tadi. Dana yang dipakai bersumber hibah negara<br />

maju.Terdapat strategi sembilan (9) sektor yang ada pada dokumen ICCSR, yaitu; 1) Kehutanan, 2) energi, 3)<br />

industri, 4) transportasi, 5) limbah, 6) pertanian, 7) kelautan dan perikanan, 8) sumber daya air dan 9)<br />

kesehatan<br />

III.3 Pengarus-utamaan Adaptasi<br />

Tingkat intervensi kebijakan harus dilihat dengan perkembangan informasi yang ada serta kebutuhan nyata<br />

wilayah atau pulau tersebut. Oleh sebab itu analisa dan respon dampak perubahan ekosistem, sosial/<br />

ekonomi serta budaya (termasuk menggali dan menggunakan kearifan lokal) merupakan prioritas yang<br />

harus dilakukan oleh pemerintah.<br />

Dengan mendorong pengarusutamaan <strong>adaptasi</strong> perubahan iklim kedalam agenda pembangunan nasional<br />

atau daerah, pertimbangan-pertimbangan risiko dan dampak perubahan iklim diterjemahkan tidak saja<br />

dalam <strong>rencana</strong> strategis jangka menengah, namun juga ke dalam kebijakan dan struktur kelembagaan.<br />

Pengarusutamaan strategi <strong>adaptasi</strong> ke dalam kebijakan tiap sektor di tingkat nasional dan lokal merupakan<br />

prioritas yang tidak bisa ditawar-tawar. Perumusannya yang melibatkan sektor-sektor yang terkait dan<br />

stakeholder lainnya serta mengikuti metodologi yang telah ada saat ini dipastikan menghasilkan sebuah<br />

dokumen yang aplikatif.<br />

Bentuk <strong>adaptasi</strong> yang menjadi sasaran dari kolektivitas komponen-komponen adalah terwujudnya sistem<br />

dan kebijakan ke arah yang mendukung <strong>adaptasi</strong> yang di<strong>rencana</strong>kan, yang merupakan hasil keputusan<br />

kebijakan berdasarkan kesadaran dan komitmen serta <strong>adaptasi</strong> publik, yaitu yang diinisiasi dan<br />

dilaksanakan oleh pemerintah di setiap level (adanya kebutuhan bersama).’Kedua pendekatan’ ini muncul<br />

sebagai respon dampak perubahan iklim terhadap sektor-sektor strategis yang berpengaruh pada nilai<br />

budaya, sosial dan ekonomi masyarakat.<br />

III.4 Adaptasi Perubahan Iklim dan Pengelolaan<br />

Resiko Bencana<br />

Dalam perspektif bencana, dengan dikeluarkannya Undang-undang tentang Penanggulangan<br />

Bencana (UU Nomor 24 tahun 2007) maka pengelolaan resiko bencana harus menjadi satu potret<br />

utuh dimana pencegahan bencana terkait dengan upaya <strong>adaptasi</strong>. Oleh sebab itu adanya strategi<br />

dan harmonisasi agenda nasional atau daerah mengenai <strong>adaptasi</strong> terhadap perubahan iklim ke<br />

dalam strategi penanggulangan bencana di masing-masing wilayah menjadi langkah yang<br />

mendesak dan tepat.<br />

Sampai saat ini, informasi dan pemahaman yang terintegrasi dan menyeluruh terkait bencana dan<br />

<strong>adaptasi</strong> akibat perubahan iklim di Indonesia masih merupakan sesuatu yang langka dalam<br />

pengelolaan bencana atau kebijakan perubahan iklim. Informasi dan pemahamn banyak yang<br />

masih terkotak-kotak dan partial sehingga derajat kapasitas penanggulangan bencana dan<br />

<strong>adaptasi</strong> ditempatkan dalam kotak yang berbeda. Kondisi ini berpengaruh pada strategi<br />

penanggulangan bencana dan <strong>adaptasi</strong> yang diberlakukan atau akan menjadi <strong>rencana</strong> kebijakan<br />

pembangunan nasional atau daerah.<br />

Oleh sebab itu dalam kerangka pengintegrasian persoalan penanggulangan bencana dalam<br />

bingkai <strong>adaptasi</strong> perubahan iklim, dibutuhkan adanya pemahaman yang utuh antara <strong>adaptasi</strong><br />

perubahan iklim dan prosedur serta sistem penanggulangan bencana melalui kemampuan untuk<br />

mengidentifikasi praktek pengurangan resiko dan dampak bencana dalam bingkai <strong>adaptasi</strong><br />

perubahan iklim. Dengan demikian proyek <strong>adaptasi</strong> sepatutnya turut dalam memberikan<br />

pemikiran dan konsepnya mengenai penanggulangan bencana dalam bingkai <strong>adaptasi</strong><br />

perubahan iklim dan menyusun strategi kampanye dan pendidikan mengenai perubahan iklim<br />

dan penanggulangan bencana di daerah masing-masing.<br />

III.5 Kelompok Kerja Adaptasi Perubahan Iklim<br />

Kehadiran kebijakan pada level <strong>Nasional</strong> dan Daerah dalam mengantisipasi ancaman dan dampak<br />

perubahan iklim sangat diperlukan untuk menilai kesiapan dan ‘kesungguhan’ melalui<br />

perangkat/instrument yang dimilikinya. Tinggi atau rendahnya antisipasi ini sangat menentukan<br />

terhadap peluang ancaman yang ditimbulkan terhadap target pertumbuhan ekonomi dan<br />

capaian pembangunan lainnya yang telah ditetapkan dalam <strong>rencana</strong> pembangunan jangka<br />

menengah dan panjang. Sebagian besar sumber pendapatan ekonomi bangsa Indonesia sangat<br />

bergantung kepada kondisi iklim.<br />

Pertanian, perkebunan dan perikanan adalah contoh dari sektor utama pembangkit ekonomi<br />

sekaligus pilar penyangga ketahanan pangan. Oleh sebab itu adanya faktor luar terhadap kondisi<br />

iklim yang dapat mengganggu sudah pasti berpengaruh buruk pada sumber-sumber ekonomi<br />

tadi. Dalam lingkup lokal ancaman dan dampak perubahan iklim berpotensi menimbulkan<br />

gangguan ekonomi secara mikro. Bila saja ancaman perubahan iklim ini terlambat untuk<br />

diantisipasi secara nasional maka dapat dipastikan terjadi gangguan ekonomi secara makro.<br />

Artinya begitu besar tantangan yang harus dibenahi yang membutuhkan upaya luar biasa, mulai<br />

dari <strong>rencana</strong> pembangunan, dukungan pendanaan dan tentunya teknologi.


51 52<br />

Namun tentunya, belum terpenuhinya langkah-langkah atau upaya tadi bukan berarti tak ada upaya serius<br />

yang harus dilakukan karena ancaman dan dampak perubahan iklim serta iklim ekstrem telah dirasakan<br />

pengaruhnya. Kembali, yang paling rentan tentunya adalah masyarakat yang sumber kehidupannya<br />

bergantung pada iklim dan masyarakat yang tak memiliki pilihan disaat tempat tinggalnya mengalami<br />

dampak yang ditimbulkannya seperti banjir dan longsor disaat hujan turun dengan intensitas yang tinggi<br />

dan ancaman kebakaran hutan, kekeringan, krisis air bersih di saat kemarau panjang.<br />

Sebagai salah satu kelompok kerja (pokja) di <strong>Dewan</strong> <strong>Nasional</strong> Perubahan Iklim, pokja <strong>adaptasi</strong> berjalan pada<br />

koridor tugas yang dim<strong>and</strong>atkan oleh Peraturan Presiden (Perpres) nomor 46 tahun 2008, yaitu (turut<br />

memfasilitasi) perumusan kebijakan, strategi, program nasional <strong>adaptasi</strong> dan mengkoordinasikannya serta<br />

(membantu fungsi) pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kegiatan. Dalam konferensi dan pertemuanpertemuan<br />

internasional mengenai perubahan iklim, pokja <strong>adaptasi</strong> memiliki tugas untuk memperkuat<br />

posisi Indonesia. Arah strategis penanganan perubahan iklim DNPI adalah mewujudkan pembangunan<br />

rendah emisi karbon dan pembangunan berkelanjutan yang mampu ber<strong>adaptasi</strong> terhadap perubahan<br />

iklim. Oleh karenanya, program dari Pokja ini diarahkan pula untuk mendukung kebijakan strategis DNPI,<br />

yaitu diprioritaskan pada upaya penguatan kapasitas <strong>adaptasi</strong> pada tingkat nasional dan daerah. Pada<br />

tingkat daerah, fokus perhatian terhadap pengembangan kegiatan <strong>adaptasi</strong> dalam pe<strong>rencana</strong>an<br />

pembangunan daerah.<br />

Peran yang dijalankan dimaknai sebagai katalisator untuk mengintegrasikan <strong>rencana</strong> dan pelaksanaan<br />

kegiatan yang dilakukan oleh sektor-sektor yang bertanggungjawab langsung dengan lingkup program,<br />

kegiatan/aktifitasnya. Dengan demikian isu strategis yang muncul adalah menempatkan peran, tugas dan<br />

fungsi pokja yang mampu mengkoordinasikan dan mengharmonisasikan kebijakan sektor terkait strategi<br />

menghadapi ancaman dan dampak perubahan iklim.<br />

Oleh sebab itu langkah yang harus dilakukan pokja adalah mempersiapkan kerangka kerja yang menjadi<br />

prioritas dengan capaian kerja yang terukur. Peran memfasilitasi inisiatif daerah untuk memasukkan<br />

perubahan iklim ke dalam kebijakan lokal menjadi peran yang juga dilakukan oleh pokja ini. Adanya urgensi<br />

kebutuhan, akan menjadi salah satu keinginan kuat daerah. Kharakteristik geografi, demografi dan<br />

topografi masing-masing wilayah menjadi alasan adanya pendekatan yang berbeda. Peluang lebih dekat<br />

untuk mengetahui iklim mikro lebih mudah untuk dilakukan dan validitas kebijakan yang dirumuskan lebih<br />

dapat dipertanggungjawabkan karena didasari oleh data proyeksi iklim mikro di wilayah atau daerah<br />

tersebut. Sehingga upaya <strong>adaptasi</strong> lebih merupakan tindakan proaktif dari kecenderungan yang akan<br />

terjadi.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!