03.05.2013 Views

SKRIPSI BAB 1,2,3 - Digital Library IAIN Sunan Ampel

SKRIPSI BAB 1,2,3 - Digital Library IAIN Sunan Ampel

SKRIPSI BAB 1,2,3 - Digital Library IAIN Sunan Ampel

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

A. LATAR BELAKANG MASALAH<br />

<strong>BAB</strong> I<br />

PENDAHULUAN<br />

“Aku adalah perempuan. Perempuan dalam jiwa. Ragaku laki-laki.<br />

Dan aku tetap merasa perempuan. Tidak ada yang salah. Yang<br />

salah adalah orang tidak melihaku lebih dalam. Kata orang aku<br />

cacat. Kata orang aku tak normal. Entah apanya. Aku pikir aku<br />

normal saja. Sama seperti mereka. Orang berpikir aku tidak<br />

seperti mereka. Lalu aku juga berpikir. Siapa normal dan siapa<br />

tidak. Aku merasa normal. Dan aku melihat mereka tidak<br />

sepertiku. Mereka yang tidak normal. Karena mereka tidak<br />

sepertiku 1 .”<br />

Pada persoalan gender, banyak kalangan menengarai ketimpangan dalam<br />

hubungannya antara laki-laki dan wanita yang terkonstruksi dalam tatanan sosial,<br />

nilai-nilai, adat istiadat, dan sebagainya. Manusia lahir ke dunia sebagai makhluk<br />

individu, namun karena jumblahnya yang banyak dan saling berhubungan serta<br />

tergantung satu dengan lainnya, maka manusia juga disebut sebagai makhluk<br />

sosial.<br />

Tuhan menciptakan makhluk hidupnya sebagai pria maupun wanita. Dan<br />

Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna diantara<br />

49-50.<br />

1 Merlin Sopjan, Permpuan Tanpa Vagina, (Yogyakarta, Cet.III Galangpress, 2007), hal:


ciptaan lainnya, yang mana Allah menciptakannya dalam wujud pria dan wanita.<br />

Allah menciptakan pria dan wanita agar mereka hidup dan menjalankan tujuan<br />

hidup sesuai dengan kodratnya.<br />

Namun, seiring dengan berjalannya zaman dan berlalunya waktu di dunia<br />

ini, maka ada banyak sekali hal-hal baru yang muncul; zaman semakin<br />

berkembang dan berubah. Perubahan yang ada sekarang ini bahwa di dunia ini<br />

manusia bukan hanya berjenis kelamin pria dan wanita, akan tetapi ada golongan<br />

yang tidak bisa atau tidak mau disebut pria atau wanita namun mereka menyebut<br />

dirinya sebagai “waria” yakni perpaduan pria dan wanita; mereka terlahir sebagai<br />

pria namun mereka berkeinginan untuk menjadi seorang wanita.<br />

Hal yang paling mendasar yang mengakibatkan semua perbedaan dalam<br />

diri manusia adalah karena penciptaan manusia secara umum melalui proses<br />

keterlibatan orangtua dalam proses reproduksi mempunyai pengaruh terhadap<br />

bentuk psikis dan fisik seorang anak. Sedangkan pembentukan manusia sebagai<br />

makhluk seksual merupakan proses yang terus berlangsung seumur hidup. Pada<br />

awal, yakni pada prenatal period, perkembangan manusia sebagai makhluk<br />

seksual memang semata-mata ditentukan oleh faktor biologis, diantaranya<br />

kromosom seks (Sex Chromosomes), hormon seks (Sex Anatomy). Kombinasi<br />

genetik itulah yang akan menentukan jenis kelamin dan karakteristik dasar seksual<br />

manusia. Dalam proses karakterisasi seks ini, peran orangtua juga sangat<br />

berpengaruh besar pada perkembangan seksual.<br />

Meskipun dalam perkemba ngan selanjutnya dimensi psikologis, sosial,<br />

ekonomi, kultural atau pun dimensi spiritual juga banyak berpengaruh pada


perkembangan seksual manusia, namun hubungan seksual dianggap sebagai<br />

bentuk interaksi sosial yang sangat elementer dan mencerminkan nilai-nilai<br />

masyarakat serta menyangkut soal adat serta lembaga -lembaga masyarakat<br />

lainnya 2 .<br />

Atas dasar hal tersebut timbullah suatu keinginan serta pemikiran untuk<br />

mengetahui faktor-faktor serta penyebab-penyebab hingga hal tersebut terjadi<br />

seperti sekarang ini, karena saat ini mereka merasa perlu untuk menunjukkan diri<br />

mereka pada masyarakat luas untuk memberitahukan bahwa mereka adalah<br />

golongan yang berbeda yang pantas untuk diterima secara khalayak.<br />

Dalam pandangan Barat bahwa hal itu merupakan suatu hal yang normal<br />

dan itu merupakan hak asasi manusia itu sendiri untuk memilih jenis kelaminnya<br />

sendiri. Namun sebagai orang timur yang selalu menerapkan tradisi, norma serta<br />

kepercayaan atau agama memandang itu adalah suatu hal yang abnormal yang<br />

harus dibenahi dan tidak patut untuk diterima atau diakui, karena sebagai manusia<br />

kita mempunyai kodrat sebagai wanita atau sebagai seorang pria.<br />

Namun sebagai manusia yang mempunyai kemauan dan keinginan,<br />

terkadang antara apa yang diberikan oleh Tuhan dengan apa yang diinginkan<br />

manusia tidaklah selalu berjalan dengan semestinya. Terkadang manusia<br />

menginginkan hal yang lain, sehingga dalan diri manusia tersebut terjadilah suatu<br />

konflik dalam dirinya atau yang disebut konflik diri. Ketika seseorang mengalami<br />

konflik dalam dirinya, maka jiwa orang tersebut dalam keadaan bimbang antara<br />

memilih satu diantara sekian hal yang diinginkan.<br />

2 Zunly Nadia, Waria Laknat atau Kodrat!? (Yogyakarta : Pustaka Marwa, 2005) hal : 4.


Yang semakin parah, ”Syarat mendasar” untuk menjadi bintang layar kaca:<br />

manipulasi penampilan fisik hingga secantik mungkin atau sehancur mungkin.<br />

Itulah yang kian kentara menghiasi tayangan demi tayangan di televisi. bentuk-<br />

bentuk perilaku yang mencerminkan abnormalitas —bahkan patologi— kini juga<br />

seakan menjadi modal tersendiri untuk meraih popularitas. Tak terkecuali adalah<br />

patologi berwujud gangguan identitas jenis kelamin (gender identity disorder).<br />

Benar, psikologi analitis mengakui adanya dimensi keperempuanan pada diri laki-<br />

laki (anima) dan dimensi batin kelaki-lakian dalam tubuh perempuan (animus).<br />

Pada sejumlah kultur non-Amerika (semacam Thailand, Zapotec, China, Galli,<br />

Asia Selatan, Indian, hingga Iran) juga terdapat fenomena transgender. Tetapi ini<br />

tidak berarti bahwa manusia dapat mengklaim normal adanya apabila mereka<br />

mengalami kebingungan jenis kelamin, apalagi mempunyai dua jenis kelamin<br />

secara bersamaan.<br />

Banyaknya artis berjenis kelamin lelaki yang dalam aksinya berbusana dan<br />

berlenggak-lenggok ala perempuan, terlepas apakah mereka berpura-pura atau<br />

memang demikian aslinya, memunculkan sejumlah implikasi sosial psikologis.<br />

Pertama, hampir keseluruhan—untuk tidak mengatakan semua —seniman yang<br />

beraksi laksana transvestic (banci) tidak memainkan peran sebagai individu<br />

berkarakter positif yang mengundang pujian. Sebaliknya, tampilan lahiriah<br />

mereka yang “rusak” serta ketidaksinkronan antara busana dan tindak-tanduk<br />

hanya menjadikan mereka sebagai bahan olok-olok.<br />

Atas dasar itu, para waria yang berpandangan bahwa mereka adalah<br />

manusia normal seyogianya terpukul, karena pencitraan atas kaum mereka di


media sudah sedemikian negatifnya. Tampilnya para aktor transvestic niscaya<br />

tidak akan mengangkat “kelas sosial” para waria. Alih-alih, kian tegas penilaian<br />

bahwa waria memang sekumpulan individu bergangguan psikologis yang<br />

membutuhkan pertolongan 3 .<br />

Penerimaan masyarakat terhadap individu-individu yang mengalami—atau<br />

setidaknya tampil seperti pengidap—gangguan identitas jender, pada gilirannya<br />

dapat merusak tatanan kehidupan bermasyarakat yang bersangkut paut dengan<br />

jenis kelamin. Urusan pribadi yang relatif sepele seperti penentuan jenis WC,<br />

hingga ke yang sakral semacam lembaga perkawinan, menjadi area peka yang<br />

berpeluang besar terimbas olehnya.<br />

Jadi sekali lagi, sudah sepatutnya apabila para individu pengidap gangguan<br />

identitas jenis kelamin dikembalikan ke predikat sebagai manusia yang<br />

bermasalah. Ini tidak bermakna bahwa penulis melakukan stigmatisasi agar<br />

mereka diperlakukan secara semena -mena. Sebaliknya, kepada mereka perlu<br />

disodorkan empati, bukan dalam bentuk fasilitas untuk mengekspos —apalagi<br />

mengkampanyekan— kelainan mereka, melain kan dorongan bagi mereka untuk<br />

sembuh.<br />

Berbicara tentang waria, tentu tidak lepas dari fenomena sosial yang ada<br />

dalam masyarakat, yakni bagaimana waria berinteraksi dengan masyarakat luas<br />

serta implikasi yang ditimbulkan dalam sikap masyarakat yang terkesa n ambigu<br />

karena ambivalensi sikap masyarkat terhadap waria. Hal ini menjadi dilemma<br />

3 Reza Indragiri Amriel, Perlu Batasan Penampilan ”Transvestic”HARIAN UMUM<br />

SORE: SINAR HARAPAN.


tersendiri bagi waria yang mana di satu sisi masyarakat tidak membuka<br />

kesempatan pendidikan, kehidupan yang layak dan pekerjaan bagi waria,<br />

steriotipe masyarakat yang sering ditujukan pada waria adalah waria yang identik<br />

dengan porstitusi ironisnya, pada saat yang lain diam-diam masyarakat juga<br />

berminat pada jasa pelayaan waria 4 .<br />

Selama ini, waria seperti juga kelompok eksklusif lainnya seperti kaum<br />

gay, memiliki bentuk komunikasi sosial yang unik. Hal seperti ini sering terjadi<br />

karena prilaku sosial yang cenderung memandang kelompok minoritas sebagai<br />

kelompok sosial yang mendapat kecurigaan. Akibatnya, mereka senantiasa<br />

mengembangkan komunikasi sosial terbatas yang hanya dapat dimengerti dengan<br />

baik oleh kelompok tersebut. Komunikasi sosial tersebut ditandai dengan hadirnya<br />

beberapa indikasi, seperti penciptaan bahasa prokem, pergaulan yang ekslusif,<br />

perjuagan kelompok dan sebagainya.<br />

Dengan kejadian-kejadian seperti diatas maka terkadang terjadi dalam diri<br />

waria itu suatu konflik yakni konflik diri antra apa yang diinginkan norma -norma<br />

masyarakat dengan apa yang diinginkan diri mereka. Namun disamping itu<br />

mereka melihat dalam layar kaca mereka sering ditampilkan, dalam arti banyak<br />

aktor laki-laki yang memainkan dalam peran film mereka sebagai perempuan dan<br />

berpakaian perempuan, sehingga merekapun meneruskan identitas yang mereka<br />

inginkan. Akan tetapi bila mereka melihat dalam kenyataan hidup mereka sebagai<br />

waria, maka mereka tidak akan dihormati dan akan dikucilkan oleh masyarakat<br />

sehingga mereka sulit untuk bertahan hidup disamping untuk mencari makan,<br />

4 Zunly Nadia, Waria Laknat atau Kodrat!?………………. hal : 9


merekapun juga kesulitan untuk mencari tempat tinggal karena sebagian besar<br />

dari mereka adalah orang yang terusir dari keluarganya, jadi mereka mencari<br />

tempat tinggal dengan menumpang rekan mereka yang telah mapan atau dengan<br />

menyewa kos laki-laki yang mengharuskan mereka berpakaian seperti laki-laki.<br />

Karena banyaknya kesulitan yang mereka hadapi dan banyaknya pertentangan<br />

yang menyertai mereka, maka tidak menutup kemungkinan mereka sering<br />

mengalami konflik diri atas status yang disandangnya.<br />

Atas dasar itulah maka perlu diadakan penelitian tentang golongan waria<br />

yang sebagian dari mereka menganggap diri mereka adalah perpaduan antara pria<br />

dan wanita dan juga sebagian mereka merasa tidak puas atas peran yang ingin<br />

dilakukan karena steriotip yang ada di kalangan masyarakat ataukah ada yang<br />

lainnya. Penelitian ini berjudul “KONFLIK DIRI PADA WARIA”. Penelitian ini<br />

bertujuan diantaranya untuk melihat apakah dalam diri mereka itu ada suatu<br />

konflik yang tidak bisa menerima kelamin mereka, bagaimana kepuasaan mereka<br />

atas peran gender mereka, Seperi layaknya seorang waria benarkah mereka<br />

merasa nyaman dengan dirinya, dan dalam diri manusia secara psikologis ketika<br />

ia merasa diri mereka tidak diterima, mereka akan melakaukan suatu mekanisme<br />

pertahanan diri, seperti apa mekanisme pertahanan diri mereka, ataukah menjadi<br />

seorang waria merupakan mekaisme pertahanan diri mereka, dan lain sebagainya.


B. RUMUSAN MASALAH<br />

Berdasarkan masalah diatas maka masalah yang dapat dirumuskan adalah:<br />

1. Bagaimana konflik diri pada seorang waria?<br />

2. Bagaimana sikap hidup mereka sebagai seorang waria?<br />

C. TUJUAN PENELITIAN<br />

Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan dari penelitian ini<br />

adalah:<br />

1. Untuk mengetahui konflik diri atas problem -problem dalam diri waria<br />

2. Memahami dan mengetahui bagaimana sikap hidup mereka di kemudian<br />

hari.<br />

D. MANFAAT PENELITIAN<br />

Dan kemudian manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini terbagi<br />

menjadi 2 kategori yakni manfaat penelitian teoritis dan manfaat penelitian<br />

paktis. Manfaat penelitian teoritis diantaranya yakni:<br />

1. Menambah wawasan mahasiswa atas realita kehidupan dan keberadaan<br />

waria.<br />

2. Sebagai informasi pada masyarakat secara luas yang membutuhkannya.<br />

3. Memahami fenomena sosial melalui gambaran holistic dan memperbanyak<br />

pemahaman mendalam.<br />

4. Menambah keilmuan sosial yang bermanfaat untuk pengembangan jurusan<br />

psikologi.


5. Memberikan kontribusi bagi pribadi, jurusan atau program studi dalam<br />

bentuk pengembangan khasanah keilmuan, serta masyarakat luas termasuk<br />

obyek kajian yang diteliti<br />

Sedangkan manfaat penelitian paraktis diantaranya yaitu:<br />

1. Dapat membantu waria memahami konflik yang timbul dalam diri mereka.<br />

2. Mengetahui realita dari sudut pandangan mereka atau dari sudut<br />

pandangan para waria.<br />

3. Sebagai pengetahuan bahwa dalam diri seorang waria memiliki konflik<br />

yang tidak kita ketahui.<br />

4. Memberikan pemahaman apa yang terjadi pada waria sehingga mereka<br />

menjadi seperti ini.<br />

E. DEFINISI KONSEP<br />

Konsep pengertian merupakan unsur pokok dari penelitian bila<br />

masalahnya dan kerangka teoritik sudah jelas, biasanya sudah diketahui pula<br />

fakta mengenai gejala -gejala yang menjadi pokok perhatian dari suatu konsep<br />

sebenarnya adalah definisi secara singkat dari kelompok fakta atau gejala<br />

lainnya.<br />

Pemilihan konsep yang tepat memang mempunyai perspektif yang relatif<br />

baik dalam kesuksesan penelitian, namun untuk mencapai ke penelitian ke<br />

arah tersebut harus bisa menentukan batasan ruang lingkup permasalahan yang<br />

sesuai dengan konseptuali yang hendak di lanjutkan. Sehubungan dengan hal<br />

tersebut, agar diperoleh keseragaman mengenai judul skripsi, berikut akan


sedikit dijelaskan istilah-istilah dan sedikit ringkasan mengenai judul yang<br />

diambil.<br />

Konflik diri adalah keadaan batin dimana orang merasa ada pertentangan,<br />

gap atau ketidakharmonisan antara yang diinginkan dengan apa yang terjadi;<br />

antara harapan dan kenyataan; antara idealita dan realita.<br />

Sedangkan waria itu sendiri adalah seorang laki-laki yang berbusana dan<br />

bertingkah laku sebagaimana layaknya seorang wanita. Sedangkan banci<br />

dalam batasan peneliti adalah seseorang laki-laki yang agak genit atau<br />

kemayu, namun tetap memiliki orientasi seksual dan keinginan yang sama<br />

sebagai laki-laki yang normal.<br />

Transeksual adalah keinginan untuk mengubah kelaminnya, sering disertai<br />

dengan pernyataan yang dalam bahwa telah terjadi kesalahan dalam<br />

penerimaan jenis kelaminnya. Identifikasi gender feminim dipertahankan dan<br />

keinginan untuk mengubah bentuk luar tubuhnya menjadi lawan jenisnya.<br />

Biasanya seorang waria juga termasuk seorang transeksual.<br />

Transgender adalah orang yang cara berperilaku atau penampilannya tidak<br />

sesuai dengan peran jender tradisional. Transjender adalah orang yang dalam<br />

berbagai level “melanggar” norma kultural mengenai bagaimana seharusnya<br />

pria dan wanita itu.<br />

Trensvastik adalah orang yang mengenakan pakaian lawan jenisnya.<br />

Istilah lainnya untuk perilaku ini adalah cross dressing-silang pakaian. Orang<br />

yang berpakaian seperti lawan jenisnya dengan tidak ada kecenderungan


transeksual dan hanya mencari kepuasan psikososial (seperti mengekspresikan<br />

diri) biasanya disebut cross dresser.<br />

Sedangakan homoseksual adalah meraka yang mengakui diri mereka<br />

sebagai laki-laki namun mereka memiliki orientasi seksual yang abnormal,<br />

yakni mereka menyukai suatu hubungan seksual dengan sejenis, dan biasanya<br />

untuk perempuan disebut lesbianisme.<br />

F. SISTEMATIKA PEMBAHASAN<br />

<strong>BAB</strong> I : PENDAHULUAN<br />

Pendahuluan adalah bab pertama dalam skripsi untuk dapat menjawab<br />

pertanyaan apa yang diteliti, untuk apa dan mengapa penelitian ini dilakukan.<br />

Dalam pendahuluan ini memuat tentang latar belakang, rumusan masalah,<br />

tujuan penelitian, definisi konsep, sistematika pembahasan.<br />

<strong>BAB</strong> II : KERANGKA TEORITIK<br />

Dalam kajian teoritik ini memuat tentang kajian pustaka, kajian te oritik, serta<br />

penelitian terdahulu yang relavan..<br />

<strong>BAB</strong> III : METODE PENELITIAN<br />

Di dalam bab III ini, metode penelitian memuat paradigma penelitian, desain<br />

penelitian, fokus penelitian, karakteristik penelitian, metode pengumpulan<br />

data, metode analisis data, dan keabsahan data.<br />

<strong>BAB</strong> IV : TAHAP-TAHAP PENELITIAN<br />

Dalam bab IV ini tahap-tahap penelitian meliputi pelaksanaan penelitian,<br />

pengambilan data, hasil observasi informan, pengolahan dan analisis data.


<strong>BAB</strong> V : TEMUAN RISET<br />

Dalam bab V ini, temuan riset ini berisi tentang temuan riset umum dan<br />

temuan perkategori<br />

<strong>BAB</strong> VI : BAHASAN<br />

Dalam bab VI ini berisi bahasan yang akan membahas sesuai dengan judul<br />

penelitian yang dibahas sesuai dengan hasil yang didapat di lapangan.<br />

<strong>BAB</strong> VII : PENUTUP<br />

Bab VII ini adalah bab penutup yang di dalamnya meliputi simpulan dan<br />

saran 5 .<br />

2008. Hal : 31.<br />

5 “Pedoman Teknis Penilisan Skripsi” Fakultas Dakwah <strong>IAIN</strong> <strong>Sunan</strong> <strong>Ampel</strong> Surabaya,

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!