24.06.2013 Views

Jurnal Agustus 2012 - Komisi Yudisial

Jurnal Agustus 2012 - Komisi Yudisial

Jurnal Agustus 2012 - Komisi Yudisial

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Jl. Kramat Raya 57 Jakarta Pusat<br />

Telp. 021 390 5876, Fax. 021 390 6215 PO BOX 2685<br />

email : jurnal@komisiyudisial.go.id<br />

J U R N A L Y U D I S I A L<br />

Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong> Hal. 117-240<br />

KUASA PARA PENGUASA<br />

PROBLEMATIKA NALAR DAN KEKUASAAN<br />

Kajian Putusan MA Nomor 36P/Hum/2011<br />

Anthon F. Susanto, Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung<br />

KETEPATAN HAKIM DALAM PENERAPAN PRECAUTIONARY PRINCIPLE<br />

SEBAGAI "IUS COGEN" DALAM KASUS GUNUNG MANDALAWANGI<br />

Kajian Putusan Nomor 1794K/Pdt/2004<br />

Loura Hardjaloka, Fakultas Hukum Universitas Indonesia<br />

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI TERHADAP KORBAN<br />

DALAM KASUS TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP<br />

Kajian Putusan MA Nomor. 862 K/Pid.Sus/2010<br />

Yeni Widowaty, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta<br />

PENYELESAIAN SENGKETA TANAH PERSAWAHAN DALAM<br />

KASUS GADAI YANG TERINDIKASI "SANRA PUTTA"<br />

Kajian Putusan Nomor 34/Pdt.G/2007/PN. WTP<br />

A. Nuzul, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Watampone<br />

WANPRESTASI SEBAGAI KUALIFIKASI TIDAK DIPENUHINYA KEWAJIBAN<br />

HUKUM YANG MENIMBULKAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA<br />

Kajian Putusan No. 1247/Pid/B/2009/PN. Bdg<br />

Widiada Gunakaya, Sekolah Tinggi Hukum Bandung<br />

PENERAPAN KEADILAN RESTORATIF DALAM PUTUSAN HAKIM:<br />

UPAYA PENYELESAIAN KONFLIK MELALUI SISTEM PERADILAN PIDANA<br />

Kajian Putusan MA Nomor. 653/K/Pid/2011<br />

Rena Yulia, Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten<br />

<strong>Jurnal</strong><br />

<strong>Yudisial</strong><br />

Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong><br />

Vol. 5 No. 2 Hal.<br />

117-240<br />

Jakarta<br />

<strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong><br />

ISSN 1978-6506<br />

ISSN<br />

1978-6506


<strong>Jurnal</strong><br />

<strong>Yudisial</strong><br />

Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong><br />

KUASA PARA<br />

PENGUASA<br />

Vol. 5 No. 2 Hal.<br />

117-240<br />

I<br />

Jakarta<br />

<strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong><br />

ISSN<br />

1978-6506<br />

ISSN 1978-6506<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 1 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:20 PM


DISCLAIMER<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan<br />

oleh <strong>Komisi</strong> <strong>Yudisial</strong> Republik Indonesia. <strong>Jurnal</strong> ini beredar pada setiap<br />

awal April, <strong>Agustus</strong>, dan Desember, memuat hasil kajian/riset atas putusanputusan<br />

pengadilan oleh jejaring peneliti dan pihak-pihak lain yang berkompeten.<br />

Penerbitan jurnal ini bertujuan untuk memberi ruang kontribusi bagi komunitas<br />

hukum Indonesia dalam mendukung eksistensi peradilan yang akuntabel, jujur,<br />

dan adil, yang pada gilirannya ikut membantu tugas dan wewenang <strong>Komisi</strong><br />

<strong>Yudisial</strong> Republik Indonesia dalam menjaga dan menegakkan kode etik dan<br />

pedoman perilaku hakim.<br />

Isi tulisan dalam jurnal sepenuhnya merupakan pandangan independen masingmasing<br />

penulis dan tidak merepresentasikan pendapat <strong>Komisi</strong> <strong>Yudisial</strong> Republik<br />

Indonesia. Sebagai ajang diskursus ilmiah, setiap hasil kajian/riset putusan yang<br />

dipublikasikan dalam jurnal ini tidak pula dimaksudkan sebagai intervensi atas<br />

kemandirian lembaga peradilan, sebagaimana telah dijamin oleh konstitusi dan<br />

peraturan perundang-undangan lainnya.<br />

Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan<br />

Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat pada halaman akhir jurnal.<br />

Alamat Redaksi:<br />

Gedung <strong>Komisi</strong> <strong>Yudisial</strong> Lantai 3<br />

Jalan Kramat Raya Nomor 57 Jakarta Pusat<br />

Telp. 021-3905876, Fax. 021-3906215<br />

Email: jurnal@komisiyudisial.go.id<br />

II<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 2 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:20 PM


MITRA BESTARI<br />

Segenap pengelola <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya atas<br />

sumbangsih Mitra Bestari yang telah melakukan review terhadap naskah <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong><br />

Edisi April <strong>2012</strong>. Semoga bantuan mereka mendapatkan balasan dari Allah SWT.<br />

1. Dr. Shidarta, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum Filsafat dan Pidana)<br />

2. Dr. Anton F. Susanto,S.H., M.Hum. (Pakar Metodologi Hukum dan Etika)<br />

3. Dr. Yeni Widowati, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum Hukum Pidana)<br />

4. Prof. Dr. Marwan Mas, S.H., M.H. (Pakar Hukum Pidana)<br />

III<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 3 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:20 PM


TIM PENYUSUN<br />

Penanggung Jawab : Drs. Muzayyin Mahbub, M.Si.<br />

Pemimpin Redaksi : Drs. Patmoko (Bidang Studi Ekonomi dan Pembangunan)<br />

Penyunting : 1. Hermansyah, S.H., M.Hum. (Bidang Hukum Ekonomi/Bisnis)<br />

2. Onni Rosleini, S.H., M.Hum., M.Si. (Bidang Hukum Pidana)<br />

3. Heru Purnomo, S.H. (Bidang Ilmu Hukum)<br />

4. Imran, S.H., M.H. (Bidang Ilmu Hukum Pidana)<br />

5. Asep Rahmat Fajar, S.H., M.A. (Bidang Sosiologi Hukum)<br />

6. Suwantoro, S.E., M.M. (Bidang Ekonomi dan Komputer)<br />

7. Duke Arie W, S.H., M.H. (Bidang Hukum Tata Negara)<br />

Redaktur Pelaksana : Dinal Fedrian, S.IP.<br />

Arnis Duwita Purnama, S.Kom.<br />

Sekretariat : 1. Sri Djuwati<br />

2. Yuni Yulianita, S.S.<br />

3. Romlah Pelupessy, S.E.<br />

4. Ahmad Baihaki, S. Kom.<br />

5. Arif Budiman. S.Sos.<br />

6. Drs. Adi Sukandar<br />

7. Aran Panji Jaya, S.T.<br />

8. Nur Agus Susanto, S.H., M.M.<br />

Desain Grafis & Fotografer : Widya Eka Putra, A.Md.<br />

IV<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 4 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:20 PM


PENGANTAR<br />

KUASA PARA PENGUASA<br />

Penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), tidak milik pejabat pemerintah,<br />

pemangku jabatan kekuasaan kehakiman, wakil rakyat, tapi dapat dilakukan oleh<br />

pemangku kebijakan korporasi hingga para individu. Potensi abuse of power<br />

dapat dilakukan oleh siapa saja, kapan saja, dan dimana saja tanpa pernah mengenal<br />

kasta.<br />

Kekuasaan bagi sebagian besar pemangku kuasa laksana anggur merah yang<br />

memabukkan. Kekuasaan seringkali melalaikan para pengampu sehingga cenderung<br />

melupakan esensi dari amanah dan pertanggungjawaban.<br />

Jangan heran apabila realitas menunjukkan pemangku kuasa seringkali terlena dan<br />

berlomba-lomba mencecap “kenikmatan semu” singgasana kekuasaan. Mereka tanpa<br />

sadar sudah terbawa pusaran kekuasaan sehingga terjerumus ke dalam bilik-bilik<br />

penjara. Tidak berlebihan apabila banyak penguasa dan pengusaha harus tersangkut<br />

dengan persoalan hukum seperti saat ini.<br />

Tidak berlebihan apabila Lord Acton mengatakan kalimat tersohor bahwa power tend to<br />

corrupt, kekuasaan cenderung disalahgunakan oleh para pemiliknya, penguasa. Begitu<br />

pula dengan sabda Nabi SAW, qullukum ro’in, waqullukum ro’iyaatihii, setiap hamba<br />

adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban. Mengurai<br />

sabda itu, kekuasaan dimaknai tidak hanya milik para pejabat lembaga pemerintahan,<br />

tapi juga para legislator dan pengampu kekuasaan kehakiman yang kelak akan dimintai<br />

pertanggungjawaban.<br />

Merujuk pada pandangan dan realitas di atas, <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> kali ini mengangkat tema<br />

“Kuasa Para Penguasa”. Argumentasi tema berdasarkan kajian-kajian yang sudah<br />

dituliskan oleh penulis Anton F. Susanto, Loura Hardjaloka, Yeny Widowaty, A. Nuzul,<br />

Widiada Gunakaya, dan Rena Yulia menyimpulkan bahwa hakim, pengusaha, pejabat<br />

pemerintahan hingga individu, dapat dengan mudah mengendalikan kekuasaan yang<br />

dimiliki agar sesuai dengan keinginannya. Mereka tanpa sadar “bermain mata” dengan<br />

hukum sehingga merugikan hak orang lain dan menciderai rasa keadilan. Apabila<br />

keadilan sudah tercemari kepentingan dan kekuasaan, maka makna dan harga keadilan<br />

itu sendiri telah sirna.<br />

Untuk itulah, kajian-kajian dalam jurnal ini diharapkan mampu mendorong<br />

terwujudnya keadilan sebagai esensi keagungan lembaga peradilan. Sebagai penutup,<br />

kami mengucapkan terima kasih kepada Ketua, Wakil dan para Ketua Bidang <strong>Komisi</strong><br />

<strong>Yudisial</strong>, Sekretaris Jenderal <strong>Komisi</strong> <strong>Yudisial</strong>, Mitra Bestari dan semua pihak yang telah<br />

membantu dalam penerbitan <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong>.<br />

Tertanda<br />

Pemimpin Redaksi <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong><br />

V<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 5 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:20 PM


JURNAL YUDISIAL<br />

ISSN 1978-6506 Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong><br />

Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya.<br />

UDC: 342.228<br />

Susanto AF (Fakultas Hukum, Universitas<br />

Pasundan, Bandung)<br />

Problematika Nalar dan Kekuasaan<br />

Kajian Putusan MA Nomor 36P/Hum/2011<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> <strong>2012</strong> 5(2), 117-133<br />

Kualitas dan kredibilitas seorang hakim<br />

ditentukan oleh putusan yang dibuatnya,<br />

sebagaimana ungkapan bahwa mahkota atau<br />

wibawa hakim terletak pada putusannya.<br />

Kewibawaan hakim akan luntur dengan<br />

sendirinya kalau putusan-putusannya tidak<br />

berpihak lagi kepada nilai-nilai kebenaran dan<br />

keadilan. Tulisan ini ingin membedah putusan<br />

yang dianggap kontroversial dan berkonotasi<br />

negatif, yaitu putusan MARI No. 36P/<br />

Hum/2011, yang dipandang tidak memenuhi<br />

aspek prosedural dan material, jauh dari nilainilai<br />

kepastian dan keadilan, bahkan terdapat<br />

sinyalemen adanya konflik kepentingan.<br />

Putusan memperlihatkan kekuasaan lebih<br />

dominan daripada hakikat kebenaran itu sendiri,<br />

yang memperlihatkan masih kentalnya arogansi<br />

birokrasi MARI dalam penegakan hukum dan<br />

membuktikan bahwa nalar, nurani dan moralitas<br />

hakim perlu mendapat perhatian utama dalam<br />

peningkatan kapasitas hakim, khususnya yang<br />

diselenggarakan oleh <strong>Komisi</strong> <strong>Yudisial</strong>.<br />

(Anthon F. Susanto)<br />

Kata kunci: kode etik, profesionalisme,<br />

kebenaran, keadilan.<br />

VI<br />

UDC: 343.85<br />

Hardjaloka L (Fakultas Hukum, Universitas<br />

Indonesia, Depok)<br />

Ketepatan Hakim dalam Penerapan<br />

Precautionary Principle sebagai “Ius Cogen”<br />

dalam Kasus Gunung Mandalawangi<br />

Kajian Putusan Nomor 1794K/Pdt/2004<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> <strong>2012</strong> 5(2), 134-153<br />

Pelanggaran terhadap prinsip kehati-hatian<br />

melahirkan suatu tanggung jawab mutlak<br />

kepada aparat tergugat tanpa bergantung pada<br />

ada tidaknya pembuktian dari para tergugat.<br />

Kasus sebagaimana dianalisis dalam artikel ini<br />

bukanlah bencana alam karena kejadiannya dapat<br />

diprediksi namun para tergugat tidak menjalankan<br />

prinsip kehati-hatian untuk mencegahnya.<br />

Para tergugat berdalih bahwa prinsip ini belum<br />

menjadi hukum positif di Indonesia, akan tetapi<br />

prinsip ini telah dipandang sebagai ius cogen<br />

yaitu sebagai suatu norma yang diterima dan<br />

diakui oleh masyarakat Internasional secara<br />

keseluruhan serta sebagai norma yang tidak<br />

dapat dilanggar dan hanya dapat diubah oleh<br />

suatu norma hukum dasar Internasional umum<br />

yang baru yang mempunyai sifat yang sama.<br />

(Loura Hardjaloka)<br />

Kata kunci: prinsip kehati-hatian, ius cogen,<br />

tanggung jawab mutlak.<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 6 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:20 PM


UDC: 343.221<br />

Widowaty Y (Fakultas Hukum, Universitas<br />

Islam Indonesia, Yogyakarta)<br />

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi<br />

Terhadap Korban dalam Kasus Tindak Pidana<br />

Lingkungan Hidup<br />

Kajian<br />

Sus/2010<br />

Putusan MA Nomor 862K/Pid.<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> <strong>2012</strong> 5(2), 154-169<br />

Pihak yang paling menderita akibat pencemaran<br />

dan/atau perusakan lingkungan adalah para<br />

korban. Oleh karena itu setiap pihak yang<br />

melakukan kegiatan yang merugikan korban<br />

harus bertanggung jawab terhadap akibat dari<br />

perbuatan yang dilakukannya. Dari kasus yang<br />

dianalisis, dapat ditunjukkan bahwa sanksi<br />

pidana yang dijatuhkan pada pelaku baik pada<br />

tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi,<br />

maupun Mahkamah Agung masih berfokus<br />

pada pelaku kejahatan (offender) sebagai<br />

fokus utama dari sanksi pidana. Dengan hanya<br />

menjatuhkan pidana pada diri pelaku, dalam hal<br />

ini direktur PT DEI, sisi perlindungan terhadap<br />

korban belum diberikan. Pertanggungjawaban<br />

pidana korporasi terhadap korban tindak<br />

pidana lingkungan hidup dikatakan ideal<br />

apabila korban tindak pidana lingkungan<br />

hidup juga mendapatkan perlindungan hukum<br />

berbentuk pemberian ganti kerugian maupun<br />

pemulihan lingkungan. Salah satu cara agar<br />

korban mendapat perlindungan hukum yang<br />

merupakan bentuk pertanggungjawaban pelaku<br />

terhadap korban, adalah dengan penerapan asas<br />

tanggung jawab mutlak (strict liability) dalam<br />

tindak pidana lingkungan hidup dengan syaratsyarat<br />

tertentu.<br />

(Yeni Widowaty)<br />

Kata kunci: pertanggungjawaban pidana<br />

VII<br />

korporasi, tanggung jawab mutlak, tindak<br />

pidana lingkungan hidup.<br />

UDC: 347.243<br />

Nuzul A (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri,<br />

Watampone)<br />

Penyelesaian Sengketa Tanah Persawahan Dalam<br />

Kasus Gadai yang Terindikasi “Sanra Putta”<br />

Kajian Putusan Nomor 34/Pdt.G/2007/PN.<br />

WTP<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> <strong>2012</strong> 5(2), 170-188<br />

Pelaksanaan perjanjian gadai tanah (Bugis:<br />

sanra tanah) di masyarakat Kab. Bone pada<br />

kenyataannya tidak mengikuti ketentuan Pasal<br />

7 Perpu No. 56 Tahun 1960 tentang Penetapan<br />

Luas Tanah Pertanian, di mana pemilik barang<br />

gadai tetap berkewajiban mengembalikan uang<br />

tebusan. Begitu pula perjanjian gadai atas tanah<br />

dilaksanakan hanya secara lisan (tidak ada bukti<br />

tertulis) dan tidak adanya saksi. Lazim pula<br />

pelaksanaan gadai atas tanah kemudian berubah<br />

(diteruskan) menjadi jual beli, yang dalam istilah<br />

adat kebiasaan masyarakat setempat disebut<br />

dengan sanra putta (jual putta). Jika terjadi<br />

permasalahan hukum di kemudian hari, misalnya<br />

salah satu pihak wanprestasi (ingkar janji) atau<br />

mengingkari kesepakatan yang pernah mereka<br />

lakukan, maka penyelesaian secara kekeluargaan<br />

biasanya ditempuh walau tidak mudah diatasi,<br />

sehingga harus juga dibawa ke pengadilan. Hakim<br />

yang menangani kasus demikian seyogianya<br />

mencermati adanya latar belakang perjanjian<br />

demikian. Dalam putusan No. 34/Pdt.G/2007/<br />

PN.WTP ini, penulis mengindikasikan adanya<br />

jual beli tanah yang disebut sanra putta.<br />

(A. Nuzul)<br />

Kata kunci: perjanjian gadai tanah, sanra tanah,<br />

sanra putta.<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 7 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:20 PM


UDC: 347.42<br />

Gunakaya<br />

Bandung)<br />

W (Sekolah Tinggi Hukum<br />

Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak<br />

Dipenuhinya Kewajiban Hukum yang<br />

Menimbulkan Kerugian Keuangan Negara<br />

Kajian Putusan Nomor 1247/Pid/B/2009/PN.<br />

Bdg.<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> <strong>2012</strong> 5(2), 189-223<br />

Tindak pidana korupsi di Indonesia pada dewasa<br />

ini perkembangannya sudah sangat sistemik<br />

dengan tidak hanya merugikan keuangan<br />

negara atau perekonomian negara tetapi juga<br />

telah merampas hak-hak sosial ekonomi<br />

masyarakat secara luas. Salah satu upaya<br />

pemberantasannya adalah dengan menetapkan<br />

ajaran “sifat melawan hukum material” dalam<br />

fungsinya yang positif ke dalam UU No. 31<br />

Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang<br />

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.<br />

Sayangnya, kaidah hukum tersebut oleh putusan<br />

Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006<br />

telah dinyatakan tidak mengikat secara hukum,<br />

karena dinilai bertentangan dengan Pasal 28D<br />

ayat (1) UUD 1945 tentang “kepastian hukum<br />

yang adil” sebagai salah satu prinsip negara<br />

hukum. Padahal dalam rangka pemberantasan<br />

korupsi, penerapan kaidah hukum dimaksud<br />

dapat dibenarkan sekaligus juga efektif. Hakim<br />

di Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung dalam<br />

putusan No. 1247/Pid/B/2009/PN.Bdg yang<br />

dibahas dalam artikel ini seharusnya juga<br />

menerapkan kaidah hukum tersebut, karena<br />

terdakwa tidak memenuhi kewajiban hukum<br />

yang harus dilakukan sehingga secara nyata<br />

telah menimbulkan kerugian keuangan negara.<br />

Hakim mempertimbangkan perbuatan terdakwa<br />

itu sebagai ingkar janji (wanprestasi) sehingga<br />

VIII<br />

tidak dapat dituntut menurut hukum pidana.<br />

(Widiada Gunakaya)<br />

Kata kunci: korupsi, sifat melawan hukum<br />

pidana, wanprestasi, kerugian keuangan negara.<br />

UDC: 343.22<br />

Yulia R (Fakultas Hukum, Universitas Sultan<br />

Ageng Tirtayasa Banten)<br />

Penerapan Keadilan Restoratif dalam Putusan<br />

Hakim: Upaya Penyelesaian Konflik Melalui<br />

Sistem Peradilan Pidana<br />

Kajian Putusan MA Nomor 653/K/Pid/2011<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> <strong>2012</strong> 5(2), 224-240<br />

Banyak kasus-kasus sederhana yang berakhir di<br />

pengadilan dan diselesaikan dengan melanggar<br />

rasa keadilan masyarakat kecil. Sepertinya<br />

keadilan tidak pernah berpihak kepada mereka.<br />

Keadilan lebih banyak didekati dari perspektif<br />

prosedural bukan keadilan substansial.<br />

Sebagaimana ditunjukkan dalam putusan yang<br />

dianalisis di dalam artikel ini, penjatuhan<br />

putusan untuk kasus yang terbilang “sederhana”<br />

ini akan lebih tepat jika didasarkan pada filosofi<br />

pemidanaan keadilan restoratif. Penulis yakin<br />

bahwa pilihan keadilan restoratif ini sudah<br />

saatnya dipertimbangkan, dimulai dari kasuskasus<br />

sederhana seperti ini.<br />

(Rena Yulia)<br />

Kata kunci: masyarakat kelas bawah, keadilan<br />

restoratif, kasus pidana sederhana.<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 8 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:21 PM


JURNAL YUDISIAL<br />

ISSN 1978-6506 Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong><br />

The descriptors given are free terms. This abstract sheet may be reproduced without permission<br />

or charge.<br />

UDC: 342.228<br />

Susanto AF (Fakultas Hukum, Universitas<br />

Pasundan, Bandung)<br />

The Problems of Reason and Power<br />

An Analysis on the Supreme Court Decision<br />

Number 36P/Hum/2011 (Org. Ind)<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> <strong>2012</strong> 5(2), 117-133<br />

Court decisions are the crown of judges’<br />

performance and regarded as one of the most<br />

obvious indicators of their quality and credibility.<br />

The prestige of this respected profession will<br />

dwindle gradually whenever majority of their<br />

decisions are considered controversial signalling<br />

negative connotation by not seriously taking<br />

truth and justice into account. One of such<br />

controversial decisions is the supreme court<br />

ruling No. 36P/Hum/2011. Not only does it fail<br />

to conform the procedural and material aspects,<br />

but also it shows the conflict of interest within<br />

the judicial power itself. The decision denotes<br />

that power is more dominant rather than truth<br />

in term of law enforcement. In addition, the<br />

decision reveals that strong arrogant atmosphere<br />

in the supreme court’s beaurocratic culture still<br />

exist. The author of this article recommends that<br />

legal reasoning, morality, and conscience are<br />

those of materials that should be added in the<br />

materials of judges’ capacity upgradings held by<br />

the Judicial Commission.<br />

(Anthon F. Susanto)<br />

Keywords: code of ethics, profesionalism, truth,<br />

justice.<br />

IX<br />

UDC: 343.85<br />

Hardjaloka L (Fakultas Hukum, Universitas<br />

Indonesia, Depok)<br />

The Accuracy of Implementing Precautionary<br />

Principle as “Ius Cogen” in the Case of Mt.<br />

Mandalawangi<br />

An Analysis on Decision Number 1794K/<br />

Pdt/2004 (Org. Ind)<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> <strong>2012</strong> 5(2), 134-153<br />

The absence of implementing the precautionary<br />

principle has to put forth the strict liability in the<br />

case of Mt. Mandalawangi. Such a liability will<br />

not depend on the existence of any legal proofs<br />

conveyed by the defendants. The incident of<br />

Mt. Mandalangi was not a natural disaster but<br />

could be predicted before. It happened because<br />

of the precautionalry principle disobedience.<br />

Despite admitting the violation, the defendants<br />

claim that this principle has not yet become a<br />

part of Indonesian positive law. Otherwise, the<br />

principle can be regarded as ” ius cogen” that has<br />

been accepted and recognized by international<br />

communities. Ius cogen can be modified only<br />

by a new general and basic norm of international<br />

law with the same characteristic.<br />

(Loura Hardjaloka)<br />

Keywords: precautionary principle, ius cogen,<br />

strict liabilitity.<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 9 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:21 PM


UDC: 343.221<br />

Widowaty Y (Fakultas Hukum, Universitas<br />

Islam Indonesia, Yogyakarta)<br />

Criminal Corporate Liability In Favor of The<br />

Victims In The Case of Environmental Crime<br />

An Analysis on the Supreme Court Decision<br />

Number 862K/Pid.Sus/2010 (Org. Ind)<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> <strong>2012</strong> 5(2), 154-169<br />

The people living in any poluted environments<br />

are those who are prone to be victimized. Any<br />

parties causing the troubles should be responsible<br />

for the damages. In the analysis of a case on<br />

environmental problem, the author of this article<br />

describes that criminal sanction imposed by the<br />

disctrict court, high court, and supreme court,<br />

are only targeted to the offender as happened to<br />

a director of PT DEI. In fact, the victims need<br />

some other kinds of sanction like compensation<br />

and/or environmental restoration rather than<br />

just imprisonment of the criminals. In order to<br />

protect the implicated people, it is recommended<br />

in certain conditions to apply the strict liability<br />

principle in addressing environmental crimes.<br />

(Yeni Widowaty)<br />

Keywords: criminal corporate liability, strict<br />

liability, environmental crimes.<br />

X<br />

UDC: 347.243<br />

Nuzul A (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri,<br />

Watampone)<br />

Land Dispute Settlement In The Case of Rice<br />

Field Mortgage Indicated as “Sanra Putta”<br />

An Analysis on Decision Number 34/Pdt.G/2007/<br />

PN.WTP (Org. Ind)<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> <strong>2012</strong> 5(2), 170-188<br />

Implementation of the land mortgage agreement<br />

called sanra tanah in the Bone Regency, in<br />

fact, fails to comply with Article 7 of Law in<br />

lieu No. 56 Year 1960 on the Establishment of<br />

Agricultural Land. According to this regulation,<br />

the owner remains obligated to return the<br />

pawned goods ransom. There is also common<br />

that land mortgage agreements are verbally<br />

concluded without any written evidence as well<br />

as witnesses. In practice, these initial agreements<br />

can be continued to sale and purchase agreements<br />

based on the local traditions. If there is a dispute<br />

related to the so called sanra putta agreement,<br />

the amicable settlement will be chosen as the<br />

first resort, but the choice usually does not<br />

succeed to resolve the conflict. Due to the lack of<br />

evidence, such a dispute finally will be brought<br />

to the court. As mentioned by the author of this<br />

article, any panel of judges should be aware of<br />

such a customary background. Decision No. 34/<br />

Pdt.G/2007/PN.WTP, the author indicates that<br />

the case belongs to a sanra putta agreement.<br />

(A. Nuzul)<br />

Keywords: land mortgage agreement, sanra<br />

tanah, sanra putta.<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 10 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:21 PM


UDC: 347.42<br />

Gunakaya<br />

Bandung)<br />

W (Sekolah Tinggi Hukum<br />

Breach of Contract as The Qualification of Non-<br />

Compliance To Legal Obligation That Causes<br />

State Financial Loss<br />

An Analysis on Decision Number 1247/Pid/B/2009/<br />

PN. Bdg. (Org. Ind)<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> <strong>2012</strong> 5(2), 189-223<br />

There has been a tendency in the increase of<br />

systemic corruption in Indonesia resulting a<br />

great loss of state budget and national economy.<br />

Corruption has also caused the massive<br />

deterioration of people’s socio-economic basic<br />

rights. One of attempted efforts to get rid of<br />

corruption is to install the doctrine of “The<br />

nature of criminal offence” in material sense<br />

with positive function in Law No. 31 Year 1999<br />

juncto Law No. 20 Year 2001 on Corruption<br />

Eradication, but this legal formulation has<br />

been dismantled by the Constitutional Court by<br />

saying (stating) it is contradictory with Article<br />

28D paragraph (1) of the 1945 Constitution<br />

regarding “the just legal certainty” as one of the<br />

principles of the rule of law. The doctrine can be<br />

regarded as a legalized and effective instrument<br />

in combating corruption. In the court decision<br />

No. 1247/Pid/B/2009/PN.Bdg analyzed in<br />

this article, it was worth if judges used such a<br />

doctrine because the accused had been proved<br />

to result state financial loss. However, judges<br />

considered that the accused’s failure to fulfill<br />

his legal obligation as merely the breach of<br />

contract that could not meet the elements of any<br />

criminal action.<br />

(Widiada Gunakaya)<br />

Keywords: corruption, nature of criminal<br />

offence, breach of contract, state financial loss.<br />

XI<br />

UDC: 343.22<br />

Yulia R (Fakultas Hukum, Universitas Sultan<br />

Ageng Tirtayasa, Banten)<br />

The Implementation of Restorative Justice in<br />

the Verdict: an Effort to Resolve the Conflict<br />

Through the Criminal Justice System<br />

An Analysis on the Supreme Court Decision<br />

Number 653/K/Pid/2011 (Org. Ind)<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> <strong>2012</strong> 5(1), 224-240<br />

Many trivial cases have been sent to the courts<br />

so far with some of them ended with nonpopulist<br />

verdicts. Such court rulings have<br />

been disturbing the common sense showing<br />

that justice never takes the side of the poor.<br />

Justice is approached only from the procedural<br />

perspective. As shown in this article, one of the<br />

trivial cases was not handled in appropriate way<br />

since the restorative philosophy of punishment<br />

had never been considered to apply. The author<br />

of this article believes that it is time to start<br />

implementing such a philosophy of punishment<br />

beginning from trivial cases as in the case under<br />

discussion.<br />

(Rena Yulia)<br />

Keywords: lower class society, restorative<br />

justice, trivial criminal case.<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 11 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:21 PM


DAFTAR ISI<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong><br />

PROBLEMATIKA NALAR DAN KEKUASAAN .................................... 117<br />

Kajian Putusan MA Nomor 36P/Hum/2011<br />

Anthon F. Susanto, Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung<br />

KETETAPAN HAKIM DALAM PENERAPAN<br />

Precautionary PrinciPle SEBAGAI “ius cogen”<br />

DALAM KASUS GUNUNG MANDALAwANGI ...................................... 134<br />

Kajian Putusan Nomor 1794K/Pdt/2004<br />

Loura Hardjaloka, Fakultas Hukum Universitas Indonesia<br />

PERTANGGUNGJAwABAN PIDANA KORPORASI<br />

TERHADAP KORBAN DALAM KASUS<br />

TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP ............................................... 154<br />

Kajian Putusan MA Nomor 862K/Pid.Sus/2010<br />

Yeni Widowaty, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta<br />

PENYELESAIAN SENGKETA TANAH PERSAwAHAN DALAM<br />

KASUS GADAI YANG TERINDIKASI “SANRA PUTTA” ..................... 170<br />

Kajian Putusan Nomor 34/Pdt.G/2007/PN. WTP<br />

A. Nuzul, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Watampone<br />

wANPRESTASI SEBAGAI KUALIFIKASI<br />

TIDAK DIPENUHINYA KEwAJIBAN HUKUM<br />

YANG MENIMBULKAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA .......... 189<br />

Kajian Putusan Nomor 1247/Pid/B/2009/PN. Bdg<br />

Widiada Gunakaya, Sekolah Tinggi Hukum Bandung<br />

PENERAPAN KEADILAN RESTORATIF DALAM PUTUSAN HAKIM:<br />

UPAYA PENYELESAIAN KONFLIK MELALUI<br />

SISTEM PERADILAN PIDANA ................................................................ 224<br />

Kajian Putusan MA Nomor 653/K/Pid/2011<br />

Rena Yulia, Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten<br />

XII<br />

ISSN 1978-6505<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 12 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:21 PM


ABSTRAK<br />

PROBLEMATIKA NALAR DAN KEKUASAAN<br />

Kualitas dan kredibilitas seorang hakim ditentukan<br />

oleh putusan yang dibuatnya, sebagaimana<br />

ungkapan bahwa mahkota atau wibawa hakim<br />

terletak pada putusannya. Kewibawaan hakim akan<br />

luntur dengan sendirinya kalau putusan-putusannya<br />

tidak berpihak lagi kepada nilai-nilai kebenaran dan<br />

keadilan. Tulisan ini ingin membedah putusan yang<br />

dianggap kontroversial dan berkonotasi negatif,<br />

yaitu putusan MARI No. 36 P/Hum/2011, yang<br />

dipandang tidak memenuhi aspek prosedural dan<br />

material, jauh dari nilai-nilai kepastian dan keadilan,<br />

bahkan terdapat sinyalemen adanya konflik<br />

kepentingan. Putusan memperlihatkan kekuasaan<br />

lebih dominan daripada hakikat kebenaran itu<br />

sendiri, yang memperlihatkan masih kentalnya<br />

arogansi birokrasi MARI dalam penegakan<br />

hukum dan membuktikan bahwa nalar, nurani dan<br />

moralitas hakim perlu mendapat perhatian utama<br />

dalam peningkatan kapasitas hakim, khususnya<br />

yang diselenggarakan oleh <strong>Komisi</strong> <strong>Yudisial</strong>.<br />

Kata kunci: kode etik, profesionalisme, kebenaran,<br />

keadilan.<br />

Kajian Putusan MA Nomor 36P/Hum/2011<br />

THE PROBLEMS OF REASON AND POWER<br />

An Analysis on the Supreme Court Decision Number 36P/Hum/2011<br />

Anthon F. Susanto<br />

Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung, Jl. Lengkong Besar No. 68 Bandung<br />

Email: anthon.aiki@gmail.com<br />

Diterima tgl 6 Juli <strong>2012</strong>/Disetujui tgl 18 Juli <strong>2012</strong><br />

abstract<br />

Court decisions are the crown of judges’ performance<br />

and regarded as one of the most obvious indicators<br />

of their quality and credibility. The prestige of<br />

this respected profession will dwindle gradually<br />

whenever majority of their decisions are considered<br />

controversial signalling negative connotation by<br />

not seriously taking truth and justice into account.<br />

One of such controversial decisions is the supreme<br />

court ruling No. 36 P/Hum/2011. Not only does it<br />

fail to conform the procedural and material aspects,<br />

but also it shows the conflict of interest within the<br />

judicial power itself. The decision denotes that<br />

power is more dominant rather than truth in term of<br />

law enforcement. In addition, the decision reveals<br />

that strong arrogant atmosphere in the supreme<br />

court’s beaurocratic culture still exist. The author<br />

of this article recommends that legal reasoning,<br />

morality, and conscience are those of materials that<br />

should be added in the materials of judges’ capacity<br />

upgradings held by the Judicial Commission.<br />

Keywords: code of ethics, profesionalism, truth,<br />

justice.<br />

Problematika Nalar dan Kekuasaan (Anthon F. Susanto) | 117<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 117 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:21 PM


I.<br />

PENDAHULUAN<br />

Eksistensi penegak hukum khususnya<br />

hakim sering mendapat sorotan publik, terutama<br />

berkait dengan putusan-putusannya yang bersifat<br />

kontroversial. Dikatakan kontroversial karena<br />

pertimbangan hukum putusannya cenderung tidak<br />

dapat “diterima” oleh kalangan masyarakat luas dan<br />

tidak sejalan dengan prinsip-prinsip hukum yang<br />

telah disepakati selama ini. Sekalipun demikian,<br />

arti kontroversial dalam pengertian di atas tidak<br />

selalu bermakna negatif, misalnya beberapa<br />

putusan bisa jadi tidak sesuai dengan dogmaaturan<br />

atau pendapat kebanyakan ahli hukum.<br />

Hakim terkadang dengan (sangat)<br />

berani melakukan lompatan pemikiran untuk<br />

melampaui pakem-pakem (doktrin) yang sudah<br />

mapan, meski pada situasi yang lain ditemukan<br />

banyak hakim yang gagasannya berorientasi ke<br />

masa lalu, mempertahankan status quo dan tidak<br />

memiliki semangat pembaruan. Tidak mudah bagi<br />

hakim untuk membuat putusan, apalagi secara<br />

ideal putusan harus memuat ‘idee des Recht’,<br />

yang mencakup unsur keadilan (gerechtigkeit),<br />

kepastian hukum (rechtssicherheit) dan<br />

kemanfaatan (zwechtmassigkeit), sehingga<br />

kalaupun sebuah putusan kontroversial, hendaknya<br />

ketiga unsur tersebut dipertimbangkan, putusan<br />

dapat memenuhi harapan pencari keadilan.<br />

Kualitas dan kredibilitas seorang hakim<br />

ditentukan oleh putusan yang dibuatnya,<br />

sebagaimana ungkapan bahwa mahkota atau<br />

wibawa hakim terletak pada putusannya.<br />

Kewibawaan hakim akan luntur dengan<br />

sendirinya kalau putusan-putusannya tidak<br />

berpihak lagi kepada nilai-nilai kebenaran dan<br />

keadilan. Menurut pembukaan Surat Keputusan<br />

Bersama tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku<br />

Hakim (KEPPPH) secara tegas mencantumkan<br />

“Kehormatan hakim itu terutama terlihat pada<br />

putusan yang dibuatnya dan pertimbangan yang<br />

melandasi atau keseluruhan proses pengambilan<br />

keputusan yang bukan saja berdasarkan peraturan<br />

perundang-undangan, tetapi juga rasa keadilan<br />

dan kearifan dalam masyarakat.”<br />

Tulisan ini ingin membedah putusan yang<br />

dianggap kontroversial. Kontroversial dalam<br />

putusan itu berkonotasi negatif, karena Putusan<br />

MARI No. 36P/Hum/2011 itu dipandang (sangat)<br />

tidak memenuhi aspek prosedural dan material,<br />

dipandang jauh dari nilai-nilai kepastian dan<br />

keadilan, bahkan terdapat sinyalemen adanya<br />

konflik kepentingan, di mana kekuasaan lebih<br />

dominan dari hakekat kebenaran itu sendiri.<br />

Beberapa kalangan menyebut bahwa putusan<br />

itu memperlihatkan masih kentalnya arogansi<br />

birokrasi MARI dalam penegakan hukum dan<br />

membuktikan bahwa nalar, nurani dan moralitas<br />

hakim perlu mendapat perhatian utama, dalam<br />

peningkatan kapasitas hakim.<br />

Pada tanggal 9 Februari <strong>2012</strong> yang lalu<br />

MA-majelis hakim diketuai oleh Paulus Effendie<br />

Lotulung dan hakim anggota Ahmad Sukardja,<br />

Rehngena Purba, Takdir Rahmadi dan H.<br />

Supandi, telah mengeluarkan putusan MA Nomor<br />

36P/HUM/2011 Tahun <strong>2012</strong> terkait uji materiil<br />

SKB Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim<br />

yang diajukan oleh mantan hakim Agung Henry<br />

Panggabean dkk. (Mantan Hakim Agung Minta Uji<br />

Materi Kode Etik). Amar putusan majelis hakim<br />

MA tersebut sebagai berikut: Pertama, Menerima<br />

dan mengabulkan permohonan Uji Materiil Para<br />

Pemohon: (1). Dr. Henry P. Panggabean, S.H.,<br />

M.S.; (2). Humala Simanjuntak, S.H.; (3). Dr.<br />

Lintong O. Siahaan, S.H., M.H.; (4). Sarmanto<br />

Tambunan, S.H. Kedua, Menyatakan butir 8.1,<br />

8.2, 8.3, 8.4 serta butir-butir 10.1, 10.2, 10.3, dan<br />

10.4 Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah<br />

118 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 117 -133<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 118 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:21 PM


Agung Republik Indonesia dan Ketua <strong>Komisi</strong><br />

<strong>Yudisial</strong> Republik Indonesia tanggal 8 April<br />

2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku<br />

Hakim bertentangan dengan Undang-Undang<br />

atau peraturan perundang-undangan tingkat<br />

lebih tinggi, yaitu Pasal 40 ayat (2) dan Pasal 41<br />

ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009<br />

tentang Kekuasaan Kehakiman jo Pasal 34A<br />

ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009<br />

tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang<br />

Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah<br />

Agung. Ketiga, Menyatakan butir 8.1, 8.2, 8.3,<br />

8.4 serta butir-butir 10.1, 10.2, 10.3, dan 10.4<br />

Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung<br />

Republik Indonesia dan Ketua <strong>Komisi</strong> <strong>Yudisial</strong><br />

Republik Indonesia tanggal 8 April 2009 Tentang<br />

Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim tidak<br />

sah dan tidak berlaku untuk umum. Keempat,<br />

Memerintahkan kepada Ketua Mahkamah Agung<br />

Republik Indonesia dan Ketua <strong>Komisi</strong> <strong>Yudisial</strong><br />

Republik Indonesia untuk mencabut butir 8.1,<br />

8.2, 8.3, 8.4 serta butir-butir 10.1, 10.2, 10.3, dan<br />

10.4 Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah<br />

Agung Republik Indonesia dan Ketua <strong>Komisi</strong><br />

<strong>Yudisial</strong> Republik Indonesia tanggal 8 April 2009<br />

tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.<br />

Kelima, Memerintahkan Panitera Mahkamah<br />

Agung Republik Indonesia mencantumkan<br />

petikan putusan ini dalam Berita Negara dan<br />

dipublikasikan atas biaya negara. Dan keenam,<br />

Menetapkan biaya perkara dibebankan kepada<br />

Termohon yang besarnya Rp.1.000.000,- (Satu<br />

juta rupiah).<br />

II.<br />

RUMUSAN MASALAH<br />

Tulisan ini mengulas tentang esensi filosofis<br />

dikeluarkannya putusan MARI Nomor 36P/Hum/<br />

2011 yang menurut penulis terdapat problematik<br />

nalar dan kekuasaan. Problematik nalar dimaksud<br />

yaitu adanya benturan dan tarik menarik antara<br />

konstruksi logis kasus dengan kepentingan<br />

birokrasi Mahkamah Agung. Adanya premispremis<br />

nalar yang saling bertolak belakang dan<br />

argumen filosofis yang saling berbenturan. Putusan<br />

memperlihatkan bahwa memahami pola berpikir<br />

hakim sangat kompleks. Penulis sendiri melihat<br />

bahwa problematik nalar dan kekuasaan yang<br />

dimaksud tidak lain adalah problem kecerdasan<br />

hakim dan arogansi birokrasi.<br />

STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS<br />

Problematika Nalar dan Kekuasaan (Anthon F. Susanto) | 119<br />

III.<br />

Mencermati putusan hakim, paling tidak<br />

terkait dengan dua hal, yaitu moralitas dan<br />

metodologis. Pertanyaan paling fundamental<br />

terkait dengan persoalan moral itu adalah kita<br />

tidak berharap bahwa hakim dalam pengambilan<br />

keputusannya membuat semacam konspirasi<br />

untuk mengorupsi moral publik dan perbuatan<br />

itu menjadi sebuah kejahatan tingkat tinggi,<br />

yang secara prinsip mencederai nilai dalam<br />

masyarakat, karena hakim memutus tidak<br />

hanya membaca undang-undang, melainkan<br />

melakukannya didasarkan kepada pilihan nilai<br />

sebagai landasannya (Rahardjo, 2003: 227).<br />

Satjitpto menjelaskan tentang sesuatu yang<br />

sangat merusak, sesuatu yang disebut dengan<br />

musuh terselubung, yaitu perbuatan korupsi<br />

kekuasaan, yaitu pelaksanaan kekuasaan publik<br />

yang berkualitas jahat, tidak jujur, lemah empati,<br />

tidak bermutu dan merusak kepercayaan publik. Ia<br />

adalah penggunaan kekuasaan secara sewenangwenang,<br />

ceroboh, melakukan pekerjaan asalasalan,<br />

atau di bawah standar, tidak peduli<br />

perasaan rakyat dan sebagainya (Rahardjo, 2010:<br />

150 – dst).<br />

Hal itu dapat menimbulkan problemproblem<br />

kompleks, dan dalam rentang waktu<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 119 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:21 PM


yang panjang serta berdampak pada kepercayaan<br />

publik. Seharusnya pengadilan/hakim (paling<br />

tidak) berfungsi sebagai ‘costus morum’ (Hart,<br />

2009: 16), yaitu semacam sensor umum dan<br />

pemandu perilaku publik, dan ini pada hakekatnya<br />

adalah mengorbankan prinsip-prinsip legalitas<br />

yang selama ini justru menjadi anutan dari para<br />

hakim. Dalam posisinya sebagai sensor umum<br />

itu, maka kualitas putusan hakim menjadi sangat<br />

menentukan, memiliki pertimbangan tajam yang<br />

memihak kepentingan lebih luas, dan situasi<br />

demikian itu menempatkan dan mengharuskan<br />

hakim untuk ada di garda terdepan dalam menjamin<br />

aspek moralitas dan etika. Apabila tidak, maka<br />

sebagaimana dijelaskan JA Barnes (2005: 90-93),<br />

akan tercipta ruang persaingan kebohongan, yang<br />

samakin tertutup, sehingga semakin tinggi tingkat<br />

kebohongan dan ketidakjujurannya, “semakin<br />

luas dampak yang ditimbulkannya.”<br />

Ruang peradilan tidak steril bahkan begitu<br />

terbuka bagi kegiatan konspirasi, ketidakjujuran,<br />

korupsi dan perilaku menyimpang lain yang<br />

terkait dengan kebohongan dan kenakalan,<br />

sebagaimana dikatakan Satjipto Rahardjo, (2010:<br />

90), pengadilan berubah menjadi pasar yang<br />

memperdagangkan putusan, pengadilan yang<br />

sudah sering mencoreng martabatnya sendiri, dan<br />

bersama para koruptor menjadi benalu.<br />

Pembahasan lebih mendalam tentang<br />

relasi moral dan hukum serta realitas lain yang<br />

melingkupinya. Apakah penegakan moralitas bisa<br />

dibenarkan secara moral? Moralitas sepenuhnya<br />

(dalam masyarakat kita atau masyarakat lainnya)<br />

sepenuhnya dianggap benar dan patut untuk<br />

ditegakkan dengan sanksi hukum, sesuai dengan<br />

moralitas yang diterima masyarakat. Namun saat<br />

ini kita menemukan banyak penjelasan tentang<br />

relasi ini (penegakan moralitas secara hukum)<br />

kadang-kadang membingungkan dan tidak jelas.<br />

bahkan pengetahuan yang terbatas tentang hal ini<br />

pada dasarnya dapat menimbulkan kemandekan,<br />

rasa sungkan dan pelencengan etika melalui<br />

berbagai alasan, misalnya. Itu merupakan bagian<br />

dari hukum? Itu merupakan prosedur hukum<br />

acara? Itu merupakan, ini merupakan?<br />

Perlu dipikirkan bahwa penegakan<br />

etika harus memiliki kekuatan, amoralitas<br />

bagaimanapun dapat menjadi sesuatu yang<br />

membahayakan bagi masyarakat, sekalipun kita<br />

semua akan meragukan konsep yang umum<br />

seperti ini, namun perlu disadari bahwa hal<br />

ini dapat digunakan sebagai (dalam) evaluasi<br />

atau kritik institusi sosial secara luas, yang<br />

menyiratkan bahwa masyarakat mempunyai hak<br />

untuk menegakkan moralitas secara hukum, dan<br />

tidak dapat begitu saja direduksi oleh lembaga<br />

manapun sekalipun hal itu <strong>Komisi</strong> <strong>Yudisial</strong> atau<br />

Mahkamah Agung, dan ini artinya kita harus<br />

siap menerima prinsip-prinsip moralitas kritis<br />

(Hughes, 1962: 672). Masyarakat dapat menuntut<br />

banyak hal, apabila lembaga-lembaga yang<br />

memiliki peran ini tidak berfungsi dengan baik.<br />

Hal itu sebagaimana dikatakan HLA<br />

Hart (2009: 27), berarti merupakan titik pijak<br />

yang memperbolehkan kritik terhadap institusi<br />

manapun, mengingat prinsip-prinsip umum<br />

dan pengetahuan pada fakta. Sebagai pengingat<br />

bahwa yang dimaksud moralitas positif, adalah<br />

moralitas yang diterima secara aktual dan dibagi<br />

oleh kelompok-kelompok sosial yang disepakati<br />

dari prinsip-rinsip moral umum yang digunakan<br />

dalam kritik terhadap institusi sosial aktual. Kita<br />

dapat menyebut prinsip-prinsip umum tersebut<br />

“moralitas kritis” dan pernyataan kita adalah<br />

salah satu dari moralitas kritis tentang penegakan<br />

hukum terhadap moralitas.<br />

120 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 117 -133<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 120 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:21 PM


Masih terdapat kebimbangan tentang<br />

perilaku melanggar etika atau moral yang<br />

dilakukan secara terbuka atau dilakukan secara<br />

sembunyi-sembunyi; kebanyakan apabila<br />

dikatakan persoalan itu terkait dengan kasus<br />

sederhana kita dapat mengatakan bahwa “apabila<br />

suami istri melakukan hubungan seksual”<br />

itu bukan perbuatan amoral, namun apabila<br />

melakukannya di depan publik hal itu tentu dapat<br />

melanggar kesusilaan sosial (publik), namun<br />

bagaimana apabila perbuatan yang melibatkan<br />

pejabat hukum, misalnya hakim menerima uang<br />

sebagai tanda terima kasih? Atau lebih ekstrim<br />

hakim terima suap, jaksa dan pengacara meminta<br />

uang pelicin, yang kesemuanya dilakukan di<br />

belakang penglihatan publik? Atau bagaimana<br />

apabila hakim tidak cermat dan kurang hati hati<br />

dalam memutus? Hakim memihak dalam setiap<br />

pemeriksaan, atau mengabaikan fakta dan bukti<br />

yang diajukan kepadanya? Atau bagaimana<br />

ketika hakim lebih mementingkan kekuasaanya<br />

dari moralitas dan nuraninya? Etika umumnya<br />

menjelaskan dan mengatur hal itu, atau secara<br />

konkrit misalnya dalam kode etik yang umumnya<br />

memuat hal demikian itu.<br />

Beberapa aturan hukum bahkan telah<br />

mengatur beberapa perbuatan dengan ancaman<br />

sanksi cukup berat dan diantaranya masuk<br />

ke dalam lingkup korupsi. Namun demikian<br />

sayangnya, pemahaman terhadap hal itu masih<br />

bersifat travestis (kelamin ganda/banci), sebelah<br />

menyebelah. Dalam beberapa kasus misalnya<br />

(seolah-olah) kejahatan atau melanggar undangundang<br />

dipisahkan dengan melanggar kode etik,<br />

penegak hukum selalu mengatakan bahwa hal<br />

ini terkait dengan undang-undang dan kejahatan<br />

biarlah prosedur hukum yang melakukan<br />

penegakan, untuk sementara etika dipinggirkan.<br />

Bahwa, aturan hukum/undang-undang dan etika/<br />

kode etik berbeda setiap orang memahami, namun<br />

bahwa penegakan hukum senantiasa melibatkan<br />

etika dan penegakan etika senantiasa melibatkan<br />

hukum, hal itu juga tidak dapat dinafikan<br />

mengingat keduanya bisa saling mengisi.<br />

Pengaruh barat terhadap pemahaman<br />

masih terasa tentang pemisahan hukum dan<br />

moral begitu kuat, sebagaimana positivism<br />

tengah dengan serampangan melakukannya.<br />

Pandangan itu sangat jelas didukung oleh<br />

pemikiran hukum modern yang cenderung<br />

bersifat teknologis, dan menjauhkan dirinya<br />

dari wacana moral, sebagaimana pemikiran<br />

minimalis, yang menyatakan bahwa “hukum<br />

sudah dijalankan apabila peraturan sudah<br />

diterapkan sesuai dengan apa yang tercantum di<br />

situ. Oleh karena itu, terlihat adanya pengebirian<br />

hukum dari kandungan moralnya. Dalam konteks<br />

Indonesia, hendaknya dilihat lebih bijaksana,<br />

bahwa pemikiran kontemporer melihat hubungan<br />

hukum dan moral saling berkelindan. Sebagai<br />

argumentasi pendukung, dapatlah disampaikan<br />

padangan Wener Menski, tentang hal ini dalam<br />

bukunya “Comparative Law in a Global Context;<br />

The Legal system of Asia and Africa (2006: 185-<br />

188). Menski menjelaskan tentang relasi-relasi<br />

yang sangat kuat antara hukum negara, moralitas/<br />

etika/agama dan masyarakat sebagaimana tiga<br />

ragaan sebagai berikut:<br />

Problematika Nalar dan Kekuasaan (Anthon F. Susanto) | 121<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 121 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:22 PM


Dari tiga ragaan di atas, terlihat bahwa<br />

dalam pluralisme hukum, cara kerja hukum<br />

dengan etika/moral dan agama tidak bersifat<br />

parsial, terpilah dan terkotak, tetapi bekerja<br />

bersama, bahkan dari ragaan ke-2 dan ke-3,<br />

terlihat relasi diantara bagian-bagian tersebut<br />

semakin melebar bukan semakin mengecil, dan<br />

menyentuh berbagai aspek dari hukum moral dan<br />

agama, serta masyarakat. Makna segitiga yang<br />

berubah menjadi lingkaran (pada bagian tengah)<br />

memperlihatkan batas-batas yang memudar<br />

dari relasi ketiganya, bahkan lingkaran dalam<br />

perkembangannya khususnya ragaan terakhir<br />

semakin meluas memasuki wilayah-wilayah yang<br />

telah disebutkan tadi.<br />

Dalam kearifan Timur pemisahan antar<br />

hukum dan moral/etika adalah tidak mungkin,<br />

sebagaimana dikatakan Tamanaha, tentang<br />

hukum sebagai mirror thesis, bahwa kekuatan<br />

kekuatan masyarakat masih memperlihatkan<br />

peran penting dalam setiap penegakan hukum,<br />

(Tamanaha, 2001: 2006), hukum itu berhubungan<br />

dengan manusia dan oleh karena itu bagaimana<br />

suatu komunitas itu melihat tempat individu<br />

dalam masyarakat sangat menentukan cara<br />

bangsa-bangsa berhukum. Menurut Tamanaha<br />

(Rahardjo, 2010: 121) berhukum dengan hanya<br />

menggunakan satu standart (dalam hal ini Barat)<br />

adalah tidak benar, seharusnya mengarah kepada<br />

“plurality conscious” dan “plurality sensitive.”<br />

Cara berhukum suatu bangsa adalah unik<br />

dan bervariasi, sesuai dengan kehidupan sosialnya.<br />

Ini adalah cara lain untuk mengatakan bahwa<br />

“cara berhukum suatu bangsa adalah berhukum<br />

secara substansial, dan memahami masyarakat<br />

tertentu tidak dapat hanya dari sekedar melihat<br />

teks undang-undangnya, namun juga perilaku<br />

substansial dan nilai-nilai tradisinya.<br />

Saya hanya ingin mengatakan lebih<br />

sederhana bahwa, menegakkan etika tanpa<br />

hukum sangat tidak mungkin demikian pula<br />

sebaliknya. Dengan kata lain, keduanya menjadi<br />

sesuatu yang berharga untuk ditegakkan. Etika<br />

dapat menjangkau bagian dalam dari perilaku<br />

manusia, dan hukum positif dapat menjangkau<br />

bagian luarnya? Namun demikian terdapat juga<br />

bagian yang dapat dilakukan secara bersamasama.<br />

Hukum sebagai sesuatu yang paksaan dari<br />

luar, sedangkan etika merupakan kesadaran moral<br />

pada bagian dalam. Untuk memperjelas hal di<br />

atas, disajikan beberapa ragaan sebagai berikut:<br />

122 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 117 -133<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 122 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:22 PM


Hukum dan etika/moral terkait dalam<br />

banyak hal, sebagaimana dua ragaan di atas tentang<br />

pembagian yang bisa terjadi dalam penegakan<br />

hukum dan etika. Sedangkan ragaan kedua<br />

disarikan dari pemikiran Wener Menski (2006),<br />

relasi di antara sangat jelas, serta pengaruh yang<br />

ditimbulkan oleh masing-masing bagian tersebut.<br />

Pada ragaan terakhir, terlihat bahwa<br />

penegakan undang-undang berkorelasi dengan<br />

penegakan kode etik. Relasi antara perundangundangan<br />

dengan kode etik ada pada nilai-nilai<br />

yang mendasarinya, dan relevansi teks yang<br />

diatur oleh keduanya. Nilai-nilai yang mendasari<br />

umumnya bersifat abstrak, ideal, cita filosofis<br />

tertentu dan relevansi tekstual biasanya bersifat<br />

konkrit. Kebanyakan dari kita tidak dapat melihat<br />

peluang ini, bahkan seringkali memisahkan<br />

wilayah-wilayah yang sesungguhnya terkait,<br />

tujuannya tidak lain agar lebih tegas, lebih formal<br />

dan tentu saja lebih pasti.<br />

Kehidupan hukum dan moral bahkan<br />

undang-undang dan kode etik biasanya saling<br />

mengintervensi. Nilai-nilai keagamaan akan<br />

masuk begitu kepentingan umat terganggu, atau<br />

nilai-nilai susila akan berbicara dan berteriak<br />

ketika penegak hukum sudah tidak mengindahkan<br />

hukum yang berlaku. Bahkan dalam sosiologi<br />

hukum, dikenal prinsip bahwa “apabila norma<br />

sosial sangat kuat berlaku dalam masyarakat,<br />

maka hukum/negara/undang-undang pastilah<br />

tidak diperlukan keberadaannya, namun apabila<br />

norma sosial/agama melemah di masyarakat<br />

maka norma hukum/negara/undang-undang tidak<br />

akan efektif dalam berlakunya.”<br />

Penegakan hukum tanpa mengikut-sertakan<br />

penegakan moral/ethics adalah kepalsuan dan<br />

penegakan undang-undang tanpa menyentuh<br />

aspek kode etik adalah kepura-puraan. Edgar<br />

Bodenheimer, pernah menjelaskan tentang<br />

apa yang disebut olehnya dengan ”autonomic<br />

legislation.” Bahwa “sekalipun kode etik tidak<br />

dianggap sebagai bagian dari hukum positif,<br />

namun disadari atau tidak kode etik dapat saja,<br />

secara diam-diam diadopsi menjadi salah satu<br />

jenis sumber hukum formal” (Kriekhoff, 1997lihat<br />

pula dalam Sidharta, 2006: 109). Upaya<br />

apapun apabila itu bertujuan untuk memperlebar<br />

perbedaan atau memperjauh titik persinggungan<br />

hanya akan memunculkan problem penegakan<br />

secara kumulatif, di masa mendatang.<br />

Kode etik umumnya berisi tentang beragam<br />

nilai, dalam kehidupan masyarakat atau profesi<br />

tertentu, namun lebih banyak lagi kode etik diisi<br />

dan didominasi oleh persoalan prosedur. Sekalipun<br />

kode etik bersifat khusus bagi kelompok/profesi<br />

atau masyarakat tertentu), namun hendaknya kode<br />

etik cukup luas dan terbuka, terhadap intervensi<br />

hukum/undang-undang ke wilayah ini, demikian<br />

pula sebaliknya. Sehingga tidak ada lagi kode etik<br />

menjadi perisai bagi profesi tertentu, atau sebagai<br />

tempat bersembunyi perilaku yang tidak patut.<br />

Sebaliknya, kode etik menjadi sarana kontrol<br />

yang kuat bagi lingkungan profesi tersebut,<br />

sekaligus sarana penopang penegakan hukum.<br />

Penegakan kode etik harus memiliki keterbukaan<br />

sosial, sehingga memiliki cukup kekuatan untuk<br />

memasuki wilayah-wilayah yang tertutup atau<br />

Problematika Nalar dan Kekuasaan (Anthon F. Susanto) | 123<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 123 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:23 PM


wilayah yang sengaja ditutup untuk melindungi<br />

otoritas tertentu. Itu artinya bahasa langit (das<br />

sollen) dapat diwujudkan dalam realitasnya.<br />

Perlu kiranya memperhatikan beberapa<br />

hal penting menyangkut penegakan etik dewasa<br />

ini, mengingat sebagaimana dikatakan Simon<br />

Blackburn, bahwa paling tidak terdapat 7 (tujuh)<br />

ancaman krusial saat ini yang dapat merusak<br />

moralitas dan etika yaitu: (1) Kematian Tuhan;<br />

kita meyakini bahwa etika tidak hanya terkait<br />

dengan agama, tetapi sepenuhnya dilahirkan<br />

oleh agama. Namun harus diakui bahwa saat ini<br />

kepercayaan religius telah kehilangan kekuatan<br />

dan cengkramannya digusur oleh idiologiidiologi<br />

buatan, seperti liberalisme, kapitalisme,<br />

pragmatisme dan lainnya (di Barat maupun di<br />

Timur). Nampaknya etika turut memudar bersama<br />

pudarnya kekuatan agama tersebut, sebagaimana<br />

dikatakan Detroyevsky, “Jika Tuhan memang<br />

telah mati, benarkah segalanya diperbolehkan?”<br />

Lantas, bagaimana bisa ada hukum jika tidak ada<br />

pembuat hukum?<br />

(2) Relativisme; dengan memudarnya<br />

kekuatan spiritualitas, maka biasanya manusia<br />

mencari pengganti otoritas supranatural, sehingga<br />

lahirlah gagasan bahwa peraturan dibuat dengan<br />

beragam cara oleh beragam orang pada beragam<br />

waktu, dengan demikian tidak ada kebenaran<br />

tunggal, yang ada hanya beragam kebenaran dari<br />

beragam komunitas. Dengan demikian kemudian<br />

muncul spectrum penilaian mengenai apa yang<br />

diharapkan dan apa yang dianggap menyimpang,<br />

namun demikian relativisme ini bergeser menjadi<br />

subjektivisme. Bukan hanya setiap kebudayaan atau<br />

masyarakat memiliki kebenarannya sendiri, setiap<br />

individupun mempunyai kebenarannya sendiri.<br />

(3) Egoisme; manusia jelas adalah hewan<br />

egois, kebutuhan pribadi dalam banyak hal dapat<br />

merenggut kepentingan umum dan kepentingan<br />

lainnya, sekalipun manusia dapat berdalih bahwa<br />

tidak mungkin meninggalkan kepentingan<br />

pribadi; namun demikian dalam situasi seperti<br />

ini, kita mengetahui bahwa konsumsi dan<br />

kemewahan tetap mendominasi, kekuasaan dan<br />

hasrat menjadi ungkapan riil tentang manusia<br />

adalah hewan yang jenius, serba bisa namun<br />

sekaligus serakah dan egois.<br />

(4) Teori Evolusi; teori evolusi dalam<br />

biologi dan psikologi saat ini telah menyeret kita<br />

memahami akan pentingnya survival for the fitest,<br />

yang alih-alih memperlihatkan egoisnya manusia,<br />

namun pada kenyataannya hal itu memperlihatkan<br />

tentang hubungan untung rugi bagi manusia;<br />

tolonglah aku maka kau akan ku tolong, garuklah<br />

punggungku, nanti kalo punggungmu gatal akan<br />

ku bantu untuk menggaruk. Ungkapan demikian<br />

memperlihatkan seolah-olah manusia saling<br />

menghargai, namun pada kenyataannya tidak.<br />

Manusia sebagaimana dikatakan dalam bukunya<br />

Dawkins “The Selfish Gene,” pada dasarnya<br />

(secara genetis) sangat egois itu pada akhirnya<br />

menikmati persaingan yang kejam dengan<br />

mengalahkan gen-gen lainnya? Kekonyolan<br />

yang aneh, karena sesungguhnya gen tidak egois,<br />

namun lingkunganlah yang membentuk mereka<br />

seperti itu.<br />

(5) Determinisme dan kesia-siaan.<br />

Pandangan ini menyatakan bahwa “semua<br />

telah tersedia dalam gen”, etika menjadi tidak<br />

berguna. Persoalan ini membuat susunan genetik<br />

yang kita miliki menyiratkan kesia-siaan etika,<br />

terutama kesia-siaan petuah moral, pendidikan<br />

atau pengalaman. Ancamannya adalah efek<br />

pelumpuh setelah menyadari bahwa kita adalah<br />

“siapa diri kita” mamalia besar yang diciptakan<br />

sesuai perintah-perintah genetik sehingga<br />

kita tidak dapat melakukan apapun. Menurut<br />

124 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 117 -133<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 124 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:23 PM


pandangan ini moral mungkin tidak bermanfaat<br />

sebab berupaya mengubah alam yang sudah<br />

tetap. Oleh karena itu tidaklah mengherankan<br />

apabila kebohongan, ketidakjujuran, perilaku<br />

manipulatif, kekerasan, koruptif merupakan<br />

kegiatan yang lazim kita dapati, dan seolah-olah<br />

memperlihatkan bahwa kita menjalani kehidupan<br />

dengan ketidakberdayaan dan kesia-siaan.<br />

(6) Tuntutan-tuntutan yang tidak masuk<br />

akal; tentang hal ini kita dapat membahasnya<br />

paling tidak dari dua hal. Pertama, misalnya<br />

mari kita lihat moralitas yang berpusat pada<br />

sekumpulan aturan yang sederhana namun abstrak<br />

“janganlah berdusta”, renungkanlah, maka kita<br />

cenderung untuk menyetujuinya. Namun kedua,<br />

bagaimana dengan “dusta putih” yaitu dosa yang<br />

diterima dan diampuni secara sosial, semacam<br />

dusta keputusasaan yang diucapkan karena jika<br />

kebenaran disampaikan akan mengakibatkan<br />

bencana; semisal berbohong kepada seorang<br />

pembunuh gila bahwa anak kita sedang tidak<br />

ada di rumah. Atau misalnya ketika pramugari<br />

dan pilot mengatakan kepada penumpang (untuk<br />

membuatnya tenang dan tidak panik), bahwa<br />

pesawat hanya mengalami guncangan kecil,<br />

sekalipun kondisinya pesawat itu sebentar lagi<br />

jatuh. Atau seorang suster dan dokter atau seorang<br />

istri yang berkata kepada suaminya bahwa<br />

kankernya bukan kanker yang ganas padahal<br />

dapat membunuhnya; Oleh karena itu penting<br />

bagi moralitas bahwa hendaknya etika memuat<br />

apa saja yang kita tuntut harus masuk akal satu<br />

sama lain. Artinya kita ingin merespon tuntunantuntunan<br />

yang masuk akal, karena kita tidak<br />

dapat menyelesaikan seluruh persoalan dunia,<br />

tetapi penting bagi kita untuk melakukan langkah<br />

terbaik guna mengatasi persoalan-persoalan<br />

yang sanggup kita selesaikan. Sepertinya optimis<br />

namun itu sangat mengganggu.<br />

(7) Kesadaran palsu. Pada tataran ini<br />

kita menemukan banyak argumen tentang etika<br />

yang berfunngsi lain, misalnya bagi seorang<br />

feminis, etika dalam banyak hal adalah instrumen<br />

penindasan, terutama melihat perspektif lakilaki<br />

yang memperlakukan wanita sebagai<br />

makhluk lemah yang harus dilindungi adalah<br />

upaya pelemahan wanita itu sendiri; atau dalam<br />

perspektif Marxis, dikatakan bahwa etika sebagai<br />

sebuah alat perlindungan kelas, khususnya kelas<br />

yang berkuasa, bahkan dalam banyak kasus etika<br />

merupakan sarana yang ampuh untuk menahan<br />

intervensi hukum terhadap profesi tertentu.<br />

Sekalipun terdapat kebenaran di dalamnya namun<br />

kita menyadari bahwa hal itu adalah aspek minor<br />

atau lokal dari persoalan yang tengah kita bahas<br />

sesungguhnya.<br />

Analisis<br />

Putusan No. 36P/Hum/2011 memperlihatkan<br />

sesuatu yang menarik untuk dikaji karena secara<br />

substantif, putusan itu tidak saja memperlihatkan<br />

cara bernalar yang keliru, namun lebih dari itu<br />

memperlihatkan suasana batin dua kelembagaan<br />

tinggi negara yang ada di wilayah yudikatif,<br />

dengan kewenangan yang berbeda berselisih<br />

paham yaitu <strong>Komisi</strong> <strong>Yudisial</strong> dan MARI.<br />

Sekalipun di permukaan persoalan itu tidak<br />

mencuat, namun hampir dapat dipastikan kedua<br />

lembaga masih belum berjalan harmonis dalam<br />

upaya pengembangan hakim di Indonesia.<br />

<strong>Komisi</strong> <strong>Yudisial</strong>, paling tidak memiliki tujuan<br />

Pertama; melakukan monitoring secara intensif<br />

terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman<br />

dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat;<br />

Kedua; meningkatkan efisiensi dan efektifitas<br />

kekuasaan kehakiman baik yang menyangkut<br />

rekrutmen hakim agung maupun monitoring<br />

Problematika Nalar dan Kekuasaan (Anthon F. Susanto) | 125<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 125 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:23 PM


perilaku hakim. Ketiga; menjaga kualitas dan<br />

konsistensi putusan lembaga peradilan, karena<br />

senantiasa diawasi secara intensif oleh lembaga<br />

yang benar-benar independen. Keempat; menjadi<br />

penghubung antara kekuasaan pemerintah<br />

dan kekuasaan kehakiman untuk menjamin<br />

kemandirian kekuasaan kehakiman.<br />

Di samping tujuan sebagaimana <strong>Komisi</strong><br />

<strong>Yudisial</strong> dibentuk, terdapat beberapa tugas<br />

utama mulai sebagai berikut: (1) mengusulkan<br />

pengangkatan Hakim Agung, yang mencakup<br />

(a) melakukan pendaftaran calon Hakim Agung;<br />

(b) melakukan seleksi terhadap calon Hakim<br />

Agung; (c) menetapkan calon Hakim Agung;<br />

dan; (d) mengajukan calon Hakim Agung ke<br />

DPR. (2) menjaga dan menegakkan kehormatan,<br />

keluhuran martabat serta perilaku Hakim,<br />

dengan cakupan tugas: (a) menerima laporan<br />

pengaduan masyarakat tentang perilaku hakim,<br />

(b) melakukan pemeriksaan terhadap dugaan<br />

pelanggaran perilaku hakim, dan (c) membuat<br />

laporan hasil pemeriksaan berupa rekomendasi<br />

yang disampaikan kepada Mahkamah Agung dan<br />

tindakannya disampaikan kepada Presiden dan<br />

DPR.<br />

<strong>Komisi</strong> <strong>Yudisial</strong> tidak sendiri dalam<br />

melaksanakan tugasnya, ada dua lembaga formal<br />

lain yang terkait, yaitu Mahkamah Agung (sudah<br />

lebih dulu menjalankan fungsi pengawasan<br />

perilaku hakim) dan Dewan Perwakilan Rakyat,<br />

lembaga legislatif yang berperan sebagai sarana<br />

kontrol untuk merekrut para hakim. Di samping<br />

kelembagaan formal sebagaimana dijelaskan<br />

di atas, terdapat unsur lain yang sangat penting<br />

yaitu masyarakat dan media yang tidak hanya<br />

berfungsi sebagai pengontrol, namun juga<br />

sekaligus penekan yang dapat mempengaruhi<br />

relasi keseluruhan tugas-tugas <strong>Komisi</strong> <strong>Yudisial</strong>,<br />

Mahkamah Agung dan DPR.<br />

Ada kemungkinan (sangat terbuka), muncul<br />

persoalan dalam ruang lingkup tugas antara<br />

<strong>Komisi</strong> <strong>Yudisial</strong> dengan Mahkamah Agung,<br />

karena keduanya menjalankan fungsi yang<br />

sama dalam penegakan etika, sebagaimana yang<br />

terjadi di dalam substansi putusan Nomor 36P/<br />

Hum/2011. Permohonan yang dilakukan mantan<br />

Hakim Agung (menjadi pengacara) terhadap<br />

substansi/materi kode etik yang disepakati oleh<br />

<strong>Komisi</strong> <strong>Yudisial</strong> dengan Mahkamah Agung barubaru<br />

ini tidak dapat dilihat hanya merupakan<br />

perselisihan substansi kode etik.<br />

Majelis hakim dalam memutus perkara<br />

itu berpendapat bahwa SKB (yang dibuat<br />

antara MARI dan KY) dianggap/dipandang<br />

bertentangan dengan Pasal 41 ayat (2) dan<br />

ayat (3) UU Nomor 48 Tahun 2009 jo Undang-<br />

Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan<br />

Kedua atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang<br />

Mahkamah Agung. Alasan yang dikemukakan<br />

oleh majelis hakim (dalam logika majelis hakim)<br />

bahwa SKB, tidak memuat norma etik, namun<br />

norma hukum, yang dalam prakteknya (diduga)<br />

dapat mengintervensi kebebasan hakim dalam<br />

memutus perkara (penjelasan dapat dilihat hal.<br />

48-dst Putusan MA Nomor 36P/HUM/2011).<br />

Majelis hakim menyatakan bahwa wilayah<br />

SKB khususnya pasal yang diuji ternyata sudah<br />

masuk soal pengetahuan dan pemahaman yang<br />

masuk ke wilayah kognitif bukan masalah<br />

perilaku (lihat secara panjang lebar dalam hal.<br />

49-dst putusan tersebut).<br />

Majelis hakim juga berpendapat bahwa<br />

frasa-frasa yang ada dalam SKB dapat<br />

menimbulkan persoalan yang mengarah kepada<br />

persoalan teknis hukum yang bukan kewenangan<br />

<strong>Komisi</strong> <strong>Yudisial</strong> (lihat hal. 51-dst).<br />

126 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 117 -133<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 126 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:23 PM


Benarkah norma etik bertentangan dengan<br />

norma hukum? Terdapat relasi kuat di antara<br />

nilai dengan norma hukum dan norma etika yang<br />

tidak bersifat saling berlawanan (meskipun dapat<br />

muncul konflik norma) mengingat sumber kedua<br />

norma itu tidak lain adalah nilai-nilai. Kode etik<br />

dapat bersumber dari norma-norma hukum, di<br />

samping berasal dari norma-norma yang lainnya.<br />

Demikian pula sebaliknya, penetapan apakah<br />

sebuah norma termasuk ke dalam norma hukum<br />

atau norma etika, tidaklah didasarkan kepada<br />

“redaksi norma itu” namun mencakup berbagai<br />

aspek seperti, dilihat dari bentuknya, daya<br />

berlakunya, penetapannya dan lain lain.<br />

Terhadap hal demikian dapat dijelaskan<br />

sebagai berikut: Norm berasal dari bahasa latin<br />

“norma” dimaknai secara eksklusif “suatu<br />

ketertiban, preskripsi atau perintah di samping<br />

juga memberikan kewenangan, mengizinkan dan<br />

penderogasian dan lain-lain.” Norm tidak harus<br />

selalu tertulis, dan hakekatnya adalah kristalisasi/<br />

konkretisasi dari nilai-nilai; Tidak hanya<br />

mengandung satu nilai, namun dipastikan bahwa<br />

tidak ada norma yang tidak mengandung nilai.<br />

Norma -preskripsi- perintah- ekspresi verbalnya<br />

adalah sebuah pernyataan keharusan (oughtstatement);<br />

Makna dari suatu tindakan kemauan,<br />

yakni sebuah tindakan yang ditujukan pada<br />

tingkah laku yang maknanya adalah seharusnya<br />

bertingkah laku dengan cara tertentu.<br />

Norma etika atau norma hukum, memiliki<br />

sumber yang sama yaitu nilai-nilai (khususprofesi<br />

atau umum). Kode etik tidak lain adalah<br />

norma -moralitas positif; sedangkan aturan adalah<br />

norma- hukum positif yang keduanya dalam<br />

banyak hal saling meneguhkan dan menguatkan<br />

karena dasar-dasarnya. Dalam realitasnya hukum<br />

(sebagai sistem sosial), bersama dengan budaya,<br />

teknologi, politik, dll, dapat menjadi fondasi atau<br />

dasar pembentukan kode etik.<br />

Kode etik menurut E. Bodenheimer dapat<br />

dikelompokkan sebagai jenis aturan yang disebut<br />

dengan autonomic legislation artinya bukan<br />

merupakan bagian dari hukum positif, namun<br />

disadari atau tidak secara diam-diam diadopsi<br />

menjadi salah satu sumber hukum formal sebagai<br />

contoh dalam Pasal 17 UU No. 8 Tahun 1999tentang<br />

perlindungan konsumen “melarang<br />

pelaku usaha periklanan memproduksi iklan yang<br />

melanggar etika dan/atau UU”.<br />

Mencermati putusan MARI Nomor 36P/<br />

Hum/2011, terdapat kekeliruan pertimbangan<br />

majelis hakim dalam menilai norma etik dan<br />

norma hukum yang dikatakan bertentangan?<br />

a. Dalam pertimbangannya hakim memandang<br />

bahwa ada pertentangan antara Norma<br />

Hukum yang diatur dalam UU dengan<br />

SKB, tentang Kode Etik; Bertentangan<br />

artinya adanya kontradiksi norma atau<br />

konflik norma yang mungkin terjadi.<br />

b. Secara filosofis konflik antara dua norma<br />

terjadi jika dalam mematuhi atau menerapkan<br />

norma yang satu niscaya norma yang<br />

lainnya mungkin terlanggar. Artinya konflik<br />

dapat bersifat bilateral atau unilateral. Ia<br />

adalah bilateral jika dalam mematuhi atau<br />

menerapkan masing-masing dari kedua<br />

norma itu, konflik itu adalah unilateral jika<br />

kepatuhan atau aplikasi dari hanya satu dari<br />

kedua norma itu melanggar yang lainnya.<br />

c. Konflik adalah total jika suatu norma<br />

memerintahkan tingkah laku tertentu yang<br />

dilarang oleh orang yang lainnya. Konflik<br />

itu adalah parsial jika isi dari salah satu<br />

norma hanya secara parsial berbeda dari isi<br />

norma yang lainnya.<br />

Problematika Nalar dan Kekuasaan (Anthon F. Susanto) | 127<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 127 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:23 PM


d. Melihat argumen hakim dalam putusan<br />

Nomor 36P/Hum/2011 tidak jelas<br />

maksudnya dengan pertentangan antara<br />

norma etika dan norma hukum (SKB dan<br />

UU). Secara tekstual (rumusan pasal)<br />

tidak ada frasa yang dimaksudkan sebagai<br />

pertentangan norma/konflik norma; yang<br />

nampak adalah Norma SKB menguatkan<br />

norma yang ada dalam undang-undang,<br />

demikian sebaliknya.<br />

e. Namun yang dimaksud oleh Majelis Hakim<br />

sebuah pertentangan adalah sesuatu “yang<br />

dikhawatirkan bertentangan”, ini jelas<br />

berbeda. Alasan yang dikemukakan bahwa<br />

teks norma etik (SKB) bersifat multitafsir,<br />

sehingga dikhawatirkan bertentangan;<br />

Argumentasi ini keliru, karena semua<br />

aturan dan norma manapun selalu bersifat<br />

multitafsir. Majelis hakim tengah membuat<br />

(imajinasi) “kemungkinan pertentangan”<br />

yang diterapkan kepada kenyataannya<br />

(yang sesungguhnya harmonis). Misalnya<br />

beberapa kalimat dalam putusan menjelaskan<br />

hal itu…”mengandung frasa atau rumusan<br />

yang longgar” ….pada peristiwa inconcrito<br />

dapat membahayakan kemerdekaan<br />

hakim…” (hal. 48 putusan ) “…kalimatkalimat<br />

yang dapat mengarah kepada<br />

hukum acara yang dapat menimbulkan<br />

konotasi…..” (hal. 36 putusan).<br />

f. Hakim seyogianya membuktikan adanya<br />

pertentangan norma yaitu menguji<br />

berdasarkan salah satu model konflik<br />

norma sebagaimana telah disebutkan<br />

dan bukan mempersoalkan bentuk<br />

SKB tersebut. Artinya, hakim dalam<br />

penalarannya “hanya memperhatikan baju<br />

tanpa memperhatikan substansi”, namun<br />

menarik kesimpulan dengan mengatakan<br />

“bahwa substansi bertentangan karena<br />

bajunya”? Sebagaimana dalam kalimat “…<br />

dengan demikian butir-butir dalam SKB a<br />

quo pada hakekatnya bertentangan dengan<br />

UU…” (hal. 52 putusan).<br />

g. Terlihat bahwa pertimbangan hukum ini<br />

jelas mengada-ada, semacam pengelabuan<br />

pikiran atau logika, bersifat mengawangawang<br />

dan tanpa dasar (Grundlos).<br />

h. Karena pertimbangan hakim mengukur<br />

konflik norma bukan dengan normanorma<br />

lain (sederajat atau lebih tinggi)<br />

tetapi mengujinya dengan “kemungkinankemungkinan<br />

yang tidak bisa diprediksi”<br />

atau kekhawatiran-kehawatiran yang masih<br />

belum tentu terjadi”. Hakim mengalami<br />

sebuah sindrome paranoid, ketakutan yang<br />

berlebihan di dalam mengukur relasi antara<br />

norma hukum dan etik.<br />

Putusan MARI Nomor 36P/Hum/2011 juga<br />

telah keliru menafsirkan makna perilaku dengan<br />

makna kognitif dengan hakekat kemandirian:<br />

a. Perilaku dalam konsep keilmuan mencakup<br />

aspek-aspek yang sangat luas dalam<br />

pengertian manusia yang utuh, yaitu<br />

biologis, psikologis, kultural, sosial dan<br />

lain-lain. Perilaku mencakup aspek fisik<br />

dan juga psikis termasuk di dalamnya<br />

kecerdasan dan pemahaman, kesadaran dan<br />

pengetahuan, keyakinan dan lain-lain.<br />

b. Dalam kegiatan riset-riset ilmiah mengenai<br />

perilaku, maka kecerdasan, pemahaman,<br />

kesadaran dan juga pengetahuan merupakan<br />

pintu masuk dalam upaya memahami<br />

perilaku tersebut.<br />

128 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 117 -133<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 128 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:23 PM


c. Memahamkan perilaku manusia tanpa<br />

melibatkan aspek kesadaran, pemahaman,<br />

pengetahuan atau aspek-aspek kognitif<br />

lainnya, jelas adalah penggambaran<br />

perilaku manusia otomat atau manusia yang<br />

dianggap robot/sempit dan mengkerdilkan<br />

hakekat manusia itu sendiri (yang sama<br />

sekali tidak ada dalam kehidupan nyata).<br />

d. Dengan demikian jelas bahwa aspek<br />

kognitif dengan perilaku itu merupakan satu<br />

kesatuan bukan sesuatu yang terpisah pisah.<br />

e. Pendapat majelis hakim dalam perkara ini<br />

membedakan antara perilaku dengan aspek<br />

kognitif sebagaimana dijelaskan dalam<br />

pertimbangan hukum “Rumusan ini tidak<br />

memuat sebuah cakupan perilaku tetapi<br />

soal pengetahuan atau pemahaman yang<br />

masuk ke wilayah kognitif….” (hal. 50).<br />

f. Majelis hakim juga berpendapat bahwa<br />

rumusan sebagaimana di atas dianggap<br />

tidak jelas dan merasa (merasa khawatir)<br />

“kemungkinan dapat membahayakan<br />

kemandirian hakim”. Hal ini menurut<br />

penulis “terlalu berlebihan”, karena<br />

sesungguhnya penggunaan frasa yang<br />

dijelaskan di atas, adalah frasa yang umum<br />

dimuat dalam kode etik (seharusnya hakim<br />

memperhatikan rumusan ragam kode etik<br />

sebagai pembanding) sebagai wujud dari<br />

nilai-nilai profesi yang diemban: Misalnya<br />

dalam kode etik hakim kita menemukan<br />

ungkapan “..hakim memutus berdasarkan<br />

keyakinan dan hati nurani…….”, atau<br />

“hakim harus bertindak menurut garis-garis<br />

yang ditetapkan dalam hukum acara…”<br />

dalam kode etik Notaris, “melakukan<br />

perbuatan-perbuatan secara umum disebut<br />

sebagai kewajiban untuk ditaati yang tidak<br />

terbatas pada ketentuan yang tercantum<br />

dalam UU Nomor 30 Tahun 2004…dst”.<br />

g. Apabila memperhatikan nilai-nilai<br />

kode etik dalam sebuah profesi hukum,<br />

khususnya hakim, bahwa pasal-pasal yang<br />

dimuat dalam SKB, khususnya pasal yang<br />

diuji materiil-kan memuat nilai-nilai dasar<br />

dari profesi, misalnya saja dalam Pasal 8.1.<br />

termuat nilai-nilai profesi yang mencakup<br />

“bersikap adil”, “bertanggungjawab”<br />

dan nilai “metodologis” atau Pasal 10.4.<br />

mengandung nilai “tanggung jawab”,<br />

“amanah”, “cakap” dan “cermat”.<br />

Lantas mungkinkah nilai-nilai dasar profesi<br />

yang dimuat dalam SKB itu bertentangan dengan<br />

‘kemandirian hakim”? Penulis berpendapat<br />

bahwa pertimbangan hakim dalam bagian ini<br />

lebih banyak bertujuan melindungi kepentingan<br />

hakim MA sebagai lembaga yudisial yang akan<br />

terkena secara langsung oleh SKB tersebut. Hal di<br />

atas atau argumentasi di atas sangat nyata ketika<br />

di dalam beberapa uraian pertimbangan majelis<br />

hakim dalam putusan 36P/Hum/2011, terlihat<br />

dituangkan beberapa kalimat yang menjadi dasar<br />

keberatan seperti “..memanggil dan memeriksa<br />

hakim, mempersoalkan proses persidangan,<br />

memeriksa putusan, terkait dengan teknis<br />

peradilan adalah tidak tepat”.. dan seterusnya..<br />

(hal. 51 putusan ), seolah-olah posisi hakim atau<br />

kekuasaan hakim menjadi rusak oleh rumusan<br />

rumusan kode etik yang dipersoalkan tersebut.<br />

Pertimbangan putusan ini juga<br />

memperlihatkan keberatan dari institusi<br />

MA tentang kinerja para hakimnya karena<br />

kekhawatiran bahwa SKB dapat mengintervensi<br />

cara bernalar hakim dan juga perilaku hakim.<br />

“Perilaku menyimpang” dari hakim bukan<br />

sebuah peristiwa kasat mata, namun sebuah<br />

Problematika Nalar dan Kekuasaan (Anthon F. Susanto) | 129<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 129 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:23 PM


fungsi laten dari hukum kebanyakan hakim -hasil<br />

penelitian- menggunakan putusan sebagai tempat<br />

untuk bersembunyi dari perilaku-perilaku tidak<br />

etis dan perilaku lainnya. Pertimbangan hukum<br />

majelis hakim yang menghendaki ada unsur<br />

“kesengajaan” (hal. 51) terhadap ketentuan yang<br />

diuji materiilkan, sangat tidak tepat, karena unsur<br />

etik tidak berbicara semata-mata aspek tersebut.<br />

Putusan hakim sesungguhnya hanya sebagai<br />

medium untuk melihat sebagian nilai-nilai dasar<br />

profesi hakim, misalnya, apakah dirinya cermat,<br />

cerdas, teliti, adil, amanah dan lain-lain. Putusan<br />

hakim adalah cerminan perilaku hakim. Tugas<br />

hakim menurut Hakim Agung Amerika Serikat,<br />

Oliver Wendell Holmes Jr., bahwa memutus<br />

bukan semata-mata proses silogisme matematis<br />

dan mekanis, namun sebuah makna yang sangat<br />

luas “…the life of the law has not been logic; it<br />

is has been experience. The felt necessities of the<br />

time, the prevalent moral and political theories,<br />

institution of public policy avowed or unconscious,<br />

even the prejudices which judges share with their<br />

fellow…” Holmes juga mengatakan, “The law<br />

embodies the story of a nation’s development<br />

through many centuries, and it can not be dealt<br />

with as if it contained only the axioms and<br />

corollaries of a book of mathematics”.<br />

Dengan demikian putusan hakim merupakan<br />

cermin dari sikap, moralitas, penalaran dan banyak<br />

hal lainnya yang digambarkan oleh Holmes<br />

sebagai pengalaman. Hal itu mengisyaratkan<br />

bahwa putusan hakim akan sangat berwatak<br />

relativisme cultural, atau dengan mengambil<br />

pandangan Brianz Tamanaha tentang “mirror<br />

thesis” maka putusan merefleksikan seperti cermin<br />

dari si pemutusnya” (Holmes, The Common Law<br />

(Boston; Little Brown, 1963). Beberapa cacatan<br />

yang hampir sama dapat ditemukan pula dalam<br />

buku: Julius J. Marke, The Holmes Reader (New<br />

York: Oceana’s Docket Books, 1955), hal. 65-70),<br />

Brian Z. Tamanaha, A general Jurisprudence of<br />

Law and Society, Oxford University Press, 2006),<br />

hal. 1-3, dan Werner Menski dalam, Comparative<br />

Law In Global Context: The Legal system of Asia<br />

and Africa, Cambridge University Press, 2006,<br />

hal. 3-dst.<br />

Sekalipun tugas hakim sangat berat, hakim<br />

tetaplah seorang manusia biasa yaitu makhluk<br />

biologis, yang memiliki juga hak psikologis yaitu<br />

untuk menjadi takut, berani, jujur, khilaf, salah,<br />

dan lainnya. Hakim juga sesungguhnya terkait<br />

dengan orang-orang terdekatnya, keluarganya<br />

lingkungan dan pendidikannya dengan demikian<br />

perlu disadari bahwa tidak ada model yang<br />

sama dari hakim. Apabila secara yuridis dapat<br />

mengatakan bahwa seluruh Indonesia hanya<br />

ada satu model hakim saja, sebagaimana tertera<br />

dalam peraturan hukum, namun secara sosiologi<br />

hukum, ada lebih dari satu hakim atau ada lebih<br />

dari satu macam hakim di Indonesia.<br />

Pada titik ini kita dapat melihat hakim tidak<br />

hanya sebagai seorang birokrat hukum semata,<br />

(Lihat dalam Abraham S. Blumberg, Criminal<br />

justice (Burns and MacEachem Ltd., 1970), hal.<br />

1-5). Namun juga sebagai manusia, yang terdiri<br />

dari berbagai variabel yang dapat melekat pada<br />

seorang hakim, seperti usia, latar belakang sosial,<br />

rasa atau etnis, agama, pendidikan, pengalaman,<br />

dan lain-lain yang keseluruhannya memiliki<br />

peluang untuk turut menentukan bagaimana<br />

kecenderungan seorang hakim untuk memutus<br />

dan dengan demikian melahirkan berbagai tipe<br />

hakim, dan dengan menyitir pendapat Satjipto<br />

Rahardjo, maka kita dapat mengatakan paling<br />

tidak ada dua tipe hakim. Pertama, hakim yang<br />

apabila memeriksa, terlebih dahulu menanyakan<br />

hati-nuraninya atau mendengarkan putusan hati<br />

nuraninya dan kemudian mencari pasal-pasal<br />

130 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 117 -133<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 130 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:24 PM


dalam peraturan untuk mendukung putusan<br />

tersebut. Kedua, hakim yang apabila memutus<br />

terlebih dahulu berkonsultasi dengan kepentingan<br />

perutnya dan kemudian mencari pasal-pasal<br />

untuk memberikan legitimasi terhadap putusan<br />

perutnya (Rahardjo, Kompas, 2003: 225).<br />

Hakim seyogianya bertugas untuk<br />

kepentingan rakyat dan bukan sebaliknya, dalam<br />

hubungan ini pekerjaan hakim menjadi semakin<br />

kompleks. Hakim tidak hanya mendengarkan<br />

dengan telinga subjektif, tetapi juga dengan<br />

”telinga sosial”. Seorang hakim bukan hanya<br />

teknisi undang-undang, tetapi juga makhluk<br />

sosial, karena itu, pekerjaan hakim sungguh mulia<br />

karena itu bukan hanya memeras otak, tetapi<br />

juga nuraninya. Hakim demikian itu, menjadikan<br />

dirinya bagian dari masyarakat dan akan selalu<br />

menanyakan ”apakah peran yang bisa saya<br />

berikan bagi masyarakat? Pendek kata hakim<br />

model ini akan senantiasa meletakkan telinganya<br />

ke degup jantung rakyatnya.<br />

Berdasarkan uraian sebagaimana dijelaskan<br />

di atas, dapat dijelaskan argumen akhir sebagai<br />

berikut:<br />

a. Putusan ini apabila dikaji secara filosofis/<br />

filsafat hukum sama sekali tidak memiliki<br />

dasar (Grundlos), Majelis Hakim tidak<br />

mampu menguji pertentangan Norma<br />

(Hukum dengan Kode Etik) dan tidak<br />

mampu membuktikan adanya konflik<br />

norma di dalamnya, baik secara hirarkhis<br />

(relasi horizontal maupun vertikal dalam<br />

relasi norma), juga secara faktual dalam<br />

realitas atau kenyataannya:<br />

b. Putusan Mahkamah Agung Nomor 36P/<br />

Hum Tahun 2011 juga memperlihatkan<br />

relasi kuasa dan arogansi kelembagaan<br />

daripada sebuah upaya perbaikan bagi<br />

kehidupan hakim dan peradilan sehingga<br />

memperlihatkan atau merupakan gambaran<br />

realitas bahwa putusan hakim seringkali<br />

menjadi tempat bersembunyi bagi<br />

perilaku-perilaku tidak etis. Putusan ini<br />

mendekonstruksi dirinya melalui petitum<br />

dan pertimbangannya.<br />

c. Semangat untuk melakukan perbaikan<br />

terhadap kualitas hakim dan sistem<br />

peradilan juga tidak tercermin dalam<br />

putusan itu, tetapi malah sebaliknya,<br />

menciptakan situasi ketidakmenentuan,<br />

kecemasan dan juga suasana yang semakin<br />

semerawut (upaya pembiaran terjadinya<br />

kevakuman kode etik). Sementara di satu<br />

sisi hakim terus mengalami kemerosotan<br />

moral sangat tajam.<br />

SIMPULAN<br />

Problematika Nalar dan Kekuasaan (Anthon F. Susanto) | 131<br />

IV.<br />

Sebagai uraian akhir dapat disampaikan<br />

beberapa hal sebagai berikut: Peradaban modern<br />

sebagaimana dikatakan Ali Harb (2003: 210),<br />

bertumpu pada kekuasaan nalar, namun ia<br />

melahirkan kegilaan dan kesia-siaan. Peradaban<br />

modern berusaha keras untuk membebaskan<br />

pemikiran dari otoritas spiritual dan metafisik,<br />

dan peradaban ini menciptakan Tuhan baru.<br />

Peradaban ini bertumpu pada manusia, akan tetapi<br />

ia membiarkannya menjadi mangsa hawa nafsu<br />

dan permainannya. Peradaban modern juga ingin<br />

membebaskan kehendak, tetapi mengakibatkan<br />

bertambah terbelenggu, dan mengantarkan kita<br />

pada era kekerasan dan keseimbangan rasa<br />

takut, dengan menyitir Roger Garaudy, saya<br />

dapat mengatakan bahwa hakim hidup di tengah<br />

peradaban yang bertambah namun semakin<br />

tak terkendali sehingga dapat dikatakan bahwa<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 131 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:24 PM


penegakan hukum dan etika adalah semacam<br />

merentangkan benang basah, yang tidak mungkin<br />

terentang dengan sendirinya, dan tidak mungkin<br />

dapat dilakukan oleh satu lembaga saja.<br />

Benang basah hanya dapat ditarik dengan<br />

kuat oleh (minimal) dua lembaga, sehingga<br />

benang basah akan terentang. Ini tidaklah<br />

berkait dengan kompromi kelembagaan, namun<br />

menyangkut komitmen yang kuat dari lembaga<br />

yudisial untuk merentangkannya. Artinya masingmasing<br />

memegang ujung talinya dengan sangat<br />

kuat, bahwa masing-masing saling percaya dan<br />

memiliki visi untuk memperbaiki, sehingga<br />

egoisme kekuasaan dapat dikekang. Apabila itu<br />

dapat dilakukan maka diharapkan penegakan<br />

hukum dan etika menjadi lebih mudah, dan efekefek<br />

yang muncul dapat diminimalisir.<br />

Penegak hukum yaitu para hakim harus<br />

mampu menjalankan fungsi yang lebih baik<br />

ketika harus memilih kepentingan pribadi atau<br />

orang lain, memilih kejujuran atau kekuasaan,<br />

etika dan moralitas atau gemerincing emas?<br />

Hakim jenis ini apabila memutus, terlebih<br />

dahulu akan berkonsultasi dengan nuraninya<br />

dan kemudian mencari hukum untuk menopang<br />

nuraninya tersebut, hakim tipe ini merupakan<br />

hakim progresif. Situasi saat ini memperlihatkan<br />

bahwa masyarakat, pengadilan atau hakim kita<br />

mengalami problem filosofis? Atau lebih khusus<br />

dikatakan problem moralitas? Problem etika di<br />

lingkungan penegak hukum? Kita menyadari<br />

sepenuhnya bahwa hidup dalam situasi saat itu<br />

dapat menyeret pemahaman dan pengetahuan<br />

kita kepada kondisi ketidak menentuan -kondisi<br />

ketidakstabilan, dan dalam situasi itu penting<br />

diperhatikan berbagai ancaman yang saat ini<br />

berlangsung yang dapat menghancurkan, merusak<br />

moralitas dan etika kehidupan kita.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Rich On lies, Adrienne Cecile. 1980. secrets, and<br />

silence; selected prose 1966-1978. London:<br />

Virago.<br />

Marxisme, Alan Hunt. 1987. Analisa Hukum;<br />

dalam Adam Podgorecki dan Christopher<br />

J. Whelan, Pendekatan Sosiologis terhadap<br />

Hukum. Jakarta: Bina Aksara.<br />

Ali Harb. 2003. Hermeneutika Kebenaran.<br />

Jogyakarta: LKiS.<br />

Kurnianingsih, Ambarwati. 2008. Simulacra<br />

Bali; Ambiguitas Tradisionalisasi orang<br />

Bali. Insist.<br />

Tamanaha, Brian Z. 2001. General Jurisprudence<br />

of Law and Society. Oxford: UK Oxford<br />

University Press<br />

Hughes. Graham. 1962. Morals and the Criminal<br />

Law. 71 Yale Journal.<br />

Hart, HLA Law. 2009. Liberty and Morality;<br />

Hukum, Kebebasan, dan Moralitas.<br />

Jogyakarta: Genta Publishing.<br />

A Pack of Lies, JA Barnes. 2005. Sosiologi<br />

Kebohongan dan Psikologi Akal Bulus.<br />

Jogyakarta: Qalam.<br />

Baudrillard, Jean. 1983. Simulation, Semiotextce,<br />

New York (terj) Paul Foss, Paul Patton, dan<br />

Philip Beichman.<br />

Ekman, Paul. 2009. Mendeteksi kebohongan<br />

dalam hubungan bisnis, politik dan<br />

pernikahan. Jogyakarta: Penerbit BACA.<br />

Tallis, Raymond. 1988. Not Saussure; a Critique<br />

of Post-Saussurean literary theory.<br />

Basingstoke: Macmillan.<br />

132 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 117 -133<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 132 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:24 PM


Gultom, Samuel. 2003. Mengadili Korban;<br />

Praktek pembenaran terhadap kekerasan<br />

Negara. Jakarta: Elsam.<br />

Rahardjo, Satjipto. 2010. Penegakan Hukum<br />

Progresif. Jakarta: Kompas.<br />

_______________. 2009. Hukum Progresif,<br />

Sebuah Sintesa Hukum Indonesia.<br />

Yogyakarta: Genta Publishing.<br />

_______________. 2003. Sosiologi Hukum,<br />

dalam Sisi sisi lain hukum di Indonesia.<br />

Jakarta: Kompas.<br />

Siegel. 1986. Solo in the New Order;<br />

Languange and Hierarchy in an Indonesian City.<br />

Princenton University Press.<br />

Sidharta. 2006. Moralitas Profesi Hukum,<br />

Suatu Tawaran Kerangka Berfikir. Bandung:<br />

Refika Aditama,<br />

Kriekhoff, Valerine. JL. 1997. Autonomic<br />

Legislation sebagai Sumber Hukum Formal<br />

dalam Penelitian Hukum, pidato pengukuhan<br />

guru besar di Fakultas Hukum Universitas<br />

Indonesia, Jakarta.<br />

Menski, Wener. 2006. “Comparative Law<br />

in a Global Context; The Legal system of Asia<br />

and Africa. Cambridge University Press.<br />

Bankowski, Z. dan Munghams, G. 1976.<br />

Images of Law. Routledge and Kegan Paul,<br />

London.<br />

Problematika Nalar dan Kekuasaan (Anthon F. Susanto) | 133<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 133 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:24 PM


ABSTRAK<br />

KETEPATAN HAKIM DALAM PENERAPAN<br />

Precautionary PrinciPle SEBAgAI “ius cogen”<br />

DALAM KASUS gUNUNg MANDALAWANgI<br />

Kajian Putusan Nomor 1794K/Pdt/2004<br />

THE AccURAcy OF IMPLEMENTINg PREcAUTIONARy<br />

PRINcIPLE AS “IUS cOgEN” IN THE cASE OF<br />

MT. MANDALAWANgI<br />

An Analysis on Decision Number 1794K/Pdt/2004<br />

Loura Hardjaloka<br />

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Kampus Baru UI Depok<br />

Email: loura.hardjaloka@ui.ac.id; la_niell@yahoo.com<br />

Diterima tgl 28 Mei <strong>2012</strong>/Disetujui tgl 18 Juli <strong>2012</strong><br />

Pelanggaran terhadap prinsip kehati-hatian<br />

melahirkan suatu tanggung jawab mutlak kepada<br />

parat tergugat tanpa bergantung pada ada tidaknya<br />

pembuktian dari para tergugat. Kasus sebagaimana<br />

dianalisis dalam artikel ini bukanlah bencana<br />

alam karena kejadiannya dapat diprediksi namun<br />

para tergugat tidak menjalankan prinsip kehatihatian<br />

untuk mencegahnya. Para tergugat berdalih<br />

bahwa prinsip ini belum menjadi hukum positif di<br />

Indonesia, akan tetapi prinsip ini telah dipandang<br />

sebagai ius cogen yaitu sebagai suatu norma yang<br />

diterima dan diakui oleh masyarakat Internasional<br />

secara keseluruhan serta sebagai norma yang tidak<br />

dapat dilanggar dan hanya dapat diubah oleh suatu<br />

norma hukum dasar Internasional umum yang baru<br />

yang mempunyai sifat yang sama.<br />

Kata kunci: prinsip kehati-hatian, ius cogen,<br />

tanggung jawab mutlak.<br />

abstract<br />

The absence of implementing the precautionary<br />

principle has to put forth the strict liability in the<br />

case of Mt. Mandalawangi. Such a liability will not<br />

depend on the existence of any legal proofs conveyed<br />

by the defendants. The incident of Mt. Mandalangi<br />

was not a natural disaster but could be predicted<br />

before. It happened because of the precautionalry<br />

principle disobedience. Despite admitting the<br />

violation, the defendants claim that this principle<br />

has not yet become a part of Indonesian positive<br />

law. Otherwise, the principle can be regarded as<br />

”ius cogen” that has been accepted and recognized<br />

by international communities. Ius cogen can be<br />

modified only by a new general and basic norm of<br />

international law with the same characteristic.<br />

Keywords: precautionary principle, ius cogen,<br />

strict liabilitity.<br />

134 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 134 -153<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 134 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:24 PM


I.<br />

PENDAHULUAN<br />

Menurut Pasal 1 angka 1 UU Nomor<br />

32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan<br />

Pengelolaan Lingkungan Hidup, lingkungan<br />

hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda,<br />

daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk<br />

manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi<br />

alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan,<br />

dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup<br />

lain. Meskipun demikian, melihat pada kondisi<br />

lingkungan hidup sekarang sungguhlah sangat<br />

memprihatinkan.<br />

Berdasarkan faktor penyebabnya, bentuk<br />

kerusakan lingkungan hidup dapat dibedakan<br />

menjadi dua macam, yaitu: kerusakan lingkungan<br />

hidup akibat peristiwa alam dan kerusakan<br />

lingkungan hidup akibat faktor manusia. Salah<br />

satu contoh kejadian yang dianggap merupakan<br />

kerusakan lingkungan hidup adalah kasus<br />

Mandalawangi. Kasus yang terjadi pada tahun<br />

2003 ini, dianggap terjadi karena adanya faktor<br />

kelalaian manusia.<br />

Dalam kasus ini, dalih Para Tergugat<br />

bahwasanya longsor terjadi karena faktor bencana<br />

alam akan tetapi hal ini terasa janggal mengingat<br />

tidak terpenuhinya persyaratan untuk suatu<br />

kejadian lingkungan merupakan bencana alam.<br />

Tidak terpenuhinya dalih bencana alam salah<br />

satunya dikarenakan tidak diterapkannya prinsip<br />

kehati-hatian (Precautionary Principle) oleh<br />

Para Tergugat. Melihat hal tersebut maka perlu<br />

diketahui pula apa yang akan diterapkan untuk<br />

menghukum Para Tergugat, apakah Perbuatan<br />

Melawan Hukum (PMH) atau Strict Liability.<br />

Hal-hal inilah yang melatarbelakangi penulis<br />

untuk mengkaji kasus berdasarkan putusan ini<br />

secara mendalam.<br />

Kasus Posisi<br />

Dalam perkara Gunung Mandalawangi,<br />

Para Penggugat (warga Kecamatan Kadungora,<br />

Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat)<br />

mengajukan gugatan yang berdasarkan pada<br />

Strict Liability (kemudian menjadi Termohon<br />

Kasasi) terhadap Direksi Perum Perhutani Cq.<br />

Kepala Unit Perum Perhutani Unit III Jawa Barat<br />

(Tergugat I/Pemohon Kasasi I), Pemerintah<br />

Republik Indonesia Cq Presiden RI (Tergugat<br />

II/Pemohon Kasasi II), Pemerintah Daerah Tk.<br />

I Provinsi Jawa Barat Cq Gubernur Provinsi<br />

Jawa Barat (Tergugat III/Pemohon Kasasi III),<br />

Pemerintah Republik Indonesia Cq Presiden RI<br />

Cq Menteri Kehutanan RI (Tergugat IV/Pemohon<br />

Kasasi IV), dan Pemerintah Daerah Tk. II<br />

Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat Cq Bupati<br />

Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat (Tergugat<br />

V/Pemohon Kasasi V). Alasan pengajuan gugatan<br />

adalah sebagai berikut:<br />

Tergugat I diberikan hak untuk mengelola<br />

kawasan hutan produksi dan hutan lindung<br />

di Jawa Barat, in casu kawasan Gunung<br />

Mandalawangi, Garut berdasarkan<br />

PP Nomor 2 Tahun 1978 jo Kepmen<br />

Pertanian Nomor 43/KPTS/HUM/1978<br />

dan PP Nomor 53 Tahun 1999. Tergugat<br />

I sebagai pengelola hutan berkewajiban<br />

menyelenggarakan kegiatan perencanaan,<br />

penanaman, pemeliharaan, pemungutan<br />

hasil, pengolahan, dan pemasaran serta<br />

perlindungan dan pengamanan hutan<br />

dengan mengacu pada maksud dan tujuan<br />

perusahaan, yaitu melestarikan dan<br />

meningkatkan mutu sumber daya hutan<br />

dan mutu lingkungan hidup. Akan tetapi<br />

Tergugat I malah mengabaikan peraturan<br />

dan/atau menyimpang dari maksud<br />

dan tujuan perusahaan, yang diduga<br />

Ketepatan Hakim dalam Penerapan Precautionary Principle sebagai “Ius Cogen” (Loura Hardjaloka) | 135<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 135 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:24 PM<br />


•<br />

•<br />

•<br />

menyebabkan berkurangnya luas hutan di<br />

Jawa Barat tinggal 8%, termasuk hutan<br />

Mandalawangi, Garut.<br />

Tergugat III mengeluarkan SK Menhut<br />

Nomor 419/KPTS.II/1999 yang<br />

amarnya mengubah status hutan lindung<br />

Mandalawangi kepada Tergugat I,<br />

dianggap memberikan ‘peluang’ terhadap<br />

pelanggaran yang disebabkan Tergugat<br />

I dengan tidak memberikan pembinaan<br />

maupun tidak melakukan reboisasi setelah<br />

penebangan dan/atau mengubah hutan<br />

primair menjadi hutan sekunder.<br />

Tergugat I juga menciptakan lahan kosong<br />

dan lahan garapan pertanian yang kemudian<br />

dimanfaatkan penduduk di sekitar area<br />

hutan Mandalawangi yang mana Tergugat<br />

telah mengubah fisik dan/atau fungsi<br />

hutan yang dapat dikualifikasikan sebagai<br />

perusakan hutan (vide Pasal 50 ayat (2) UU<br />

Nomor 41 Tahun 1999).<br />

Akibat perbuatan Tergugat I tersebut, terjadi<br />

longsor di area hutan Mandalawangi dan<br />

menghancurkan area pemukiman penduduk.<br />

Berdasarkan hasil penyelidikan Direktorat<br />

Vulkanologi, faktor-faktor penyebab<br />

longsornya Gunung Mandalawangi adalah:<br />

a. ketebalan pelapukan tanah (3 meter);<br />

b. sarang (mudah meloloskan air);<br />

c. batuan vulkanik yang belum padu;<br />

d. kecuraman lereng 20-50 derajat dan<br />

bagian bawah relatif landai;<br />

e. adanya perubahan tata guna lahan<br />

bagian alas bukit dari tanaman keras/<br />

hutan ke tanaman musiman.<br />

Ternyata sebelum terjadi longsor, Tergugat<br />

I sudah mengakui sejak 6 bulan silam<br />

terdapat tiga titik rawan longsor di petak V<br />

dan empat titik di petak VI, tetapi Tergugat<br />

I tidak menanganinya secara khusus dan<br />

tidak mengumumkan kepada masyarakat<br />

dan pihak-pihak terkait, termasuk Pemda<br />

Kabupaten Garut.<br />

Tindakan Tergugat I juga dianggap sebagai<br />

kelalaian dari Tergugat II, IV, dan V dalam<br />

melaksanakan kewajibannya melakukan<br />

pengurusan hutan.<br />

136 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 134 -153<br />

•<br />

•<br />

Peristiwa longsor ini telah mengakibatkan<br />

kerugian berupa terputusnya lalu lintas<br />

Bandung-Garut lewat Japati serta adanya<br />

korban jiwa dan harta benda; sehingga para<br />

Tergugat seharusnya bertanggungjawab<br />

secara mutlak (strict liability) dengan<br />

melakukan relokasi dan membayar<br />

kompensasi yang sesuai.<br />

Adapun putusan hakim ialah sebagai<br />

berikut:<br />

Pendapat Mahkamah Agung<br />

Mengenai alasan dalam pokok perkara butir<br />

e yang menyatakan bahwa, Judex Facti tidak salah<br />

menerapkan hukum sehingga Pemohon Kasasi<br />

berkewajiban untuk memberikan ganti rugi<br />

kepada masyarakat termasuk yang mengalami<br />

kerugian sehingga Pemohon Kasasi tidak dapat<br />

bersandar pada kebijaksanaan dikarenakan<br />

akibat dari kebijakan hukum yang merugikan<br />

masyarakat tidak dapat ditolerir.<br />

II.<br />

RUMUSAN MASALAH<br />

Berdasarkan kasus di atas, pokok-pokok<br />

permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan<br />

ini adalah sebagai berikut:<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 136 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:24 PM


1. Bagaimana penerapan Perbuatan Melawan<br />

Hukum (PMH) vs strict liability dalam<br />

kasus perdata yang kemudian dikaitkan<br />

dengan Putusan Nomor 1794K/Pdt/2004?<br />

2. Bagaimana penerapan dalih bencana alam<br />

(act of God) dalam kasus perdata yang<br />

kemudian dikaitkan dengan Putusan Nomor<br />

1794K/Pdt/2004?<br />

3. Bagaimana penerapan Precautionary<br />

Principle (Prinsip Kehati-hatian) dalam<br />

kasus perdata yang kemudian dikaitkan<br />

dengan Putusan Nomor 1794K/Pdt/2004?<br />

III.<br />

STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS<br />

1. PMH vs. strict liability<br />

Perbuatan Melawan Hukum (PMH)<br />

Penggugat harus dapat membuktikan unsur<br />

untuk membenarkan dalil terjadinya perbuatan<br />

melawan hukum oleh Tergugat, antara lain:<br />

a. perbuatan<br />

Kesalahan;<br />

Melawan Hukum/<br />

b. kerugian; dan<br />

c. kausalitas antara Perbuatan Melawan<br />

Hukum/Kesalahan dan Kerugian.<br />

Dalam hukum positif di Indonesia, ketentuan<br />

mengenai perbuatan melawan hukum (PMH)<br />

diatur di dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Pasal<br />

tersebut berbunyi, “Tiap perbuatan melanggar<br />

hukum, yang membawa kerugian kepada<br />

seorang lain, mewajibkan orang yang karena<br />

salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti<br />

kerugian tersebut.” Ketentuan ini mensyaratkan<br />

bahwa “Tiap perbuatan melanggar hukum,<br />

yang membawa kerugian kepada seorang<br />

lain, mewajibkan orang yang karena salahnya<br />

menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian<br />

tersebut.” Dengan demikian, untuk memperoleh<br />

ganti rugi melalui gugatan yang berdasar pada<br />

PMH, syarat yang harus dipenuhi adalah sesuai<br />

dengan doktrin yang telah dijelaskan di atas, yakni<br />

adanya perbuatan melawan hukum/ kesalahan,<br />

kerugian, dan ‘karena’, yaitu kausalitas antara<br />

kesalahan dan kerugian (Subekti, 1979: 56).<br />

Ketika membicarakan Perbuatan Melawan<br />

Hukum (PMH) dalam konteks hukum lingkungan<br />

secara lebih luas, maka terdapat istilah Fault<br />

Based Liability. Fault-Based Liability bisa<br />

diartikan juga sebagai Perbuatan Melawan Hukum<br />

karena mendasarkan pertanggungjawabannya<br />

berdasarkan terpenuhinya salah satu unsurnya<br />

yang merupakan unsur kesalahan. Dalam hukum<br />

modern, pertanggungjawaban terhadap aktivitas<br />

yang disinyalir termasuk akitivitas berbahaya<br />

ditentukan sesuai dengan kerangka umum dari<br />

sistem pertanggungjawaban yang berdasarkan<br />

adanya delik. Hal ini berarti terdapat suatu<br />

keharusan untuk menunjukkan benar-benar<br />

terdapatnya unsur kesalahan dalam aktivitas<br />

tersebut (Reid, 1999: 748).<br />

Sedangkan, apabila membahas persoalan<br />

PMH menurut hukum lingkungan nasional,<br />

maka kita harus merujuk pada dua instrumen<br />

hukum utama di bidang hukum lingkungan,<br />

yakni UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang<br />

Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) dan<br />

UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan<br />

dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH),<br />

sekaligus dapat membandingkan perbedaan di<br />

antara keduanya. Dalam UU Nomor 23 Tahun<br />

1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,<br />

PMH disebutkan dalam Pasal 34. Ketentuan pasal<br />

tersebut mewajibkan penanggung jawab usaha<br />

dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan<br />

melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau<br />

Ketepatan Hakim dalam Penerapan Precautionary Principle sebagai “Ius Cogen” (Loura Hardjaloka) | 137<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 137 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:24 PM


perusakan lingkungan hidup dan menimbulkan<br />

kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup<br />

untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan<br />

tindakan tertentu. Hakim juga dapat menetapkan<br />

pembayaran uang paksa (dwangsom) atas setiap<br />

hari keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu<br />

tersebut (Pasal 34 ayat (2) UUPLH). Ketentuan<br />

yang serupa tercantum dalam UUPPLH tepatnya<br />

pada Pasal 87.<br />

Sedikit berbeda dari itu, dikenal asas<br />

yang disebut res ipsa loquitur. Asas ini disebut<br />

juga the presumption of fault. Dalam res ipsa<br />

loquitur, dianut prinsip bahwa fakta sudah<br />

membuktikan dengan sendirinya sehingga tidak<br />

perlu lagi dibuktikan. Dengan demikian res ipsa<br />

loquitur mengasumsikan kesalahan sudah pasti<br />

ada; sementara PMH mewajibkan Penggugat<br />

membuktikan adanya kesalahan. Asumsi atas<br />

Kesalahan atau The Presumption of Fault tidak<br />

menguntungkan Penggugat lebih jauh dari<br />

The Presumption of Liability yang dianut di<br />

Perancis (Ibid, 749). Asumsi atas Tanggung<br />

jawab di Perancis diatur dalam ketentuan Article<br />

1384.1 dari Code Civil yang berbunyi, “One<br />

is responsible not only for the harm which one<br />

causes by one’s own action, but also for that<br />

which is caused by the action of persons for<br />

whom one is answerable, or by things which one<br />

has in one’s keeping.” Maka, terdapat perluasan<br />

makna pertanggungjawaban seseorang, yang<br />

tidak lagi terbatas pada perbuatannya sendiri saja,<br />

melainkan juga bertanggungjawab atas kerugian<br />

yang timbul akibat perbuatan orang lain yang<br />

disebabkan oleh seseorang (pertama) tadi, serta<br />

atas kerugian yang timbul akibat kebendaan yang<br />

dikuasai seseorang (pertama) tersebut.<br />

Sementara pada The Presumption of<br />

Fault, ketidaktahuan akan sebab munculnya<br />

suatu kerugian tidak serta-merta menimbulkan<br />

tanggung jawab pada seseorang; melainkan hanya<br />

mengasumsikan kesalahan semata pada seseorang<br />

tersebut. Sehingga masih harus dibuktikan dua<br />

unsur lainnya, yaitu kerugian dan kausalitasnya.<br />

Hal ini bisa dilihat pada yurisprudensi kasus<br />

antara McQueen v. The Glasgow Garden Festival<br />

(1988), di mana Penggugat cidera akibat letusan<br />

petasan yang meletus tiba-tiba. Negligence tidak<br />

terbukti dan gugatan McQueen ditolak (Ibid,<br />

750).<br />

strict liability<br />

Strict Liability mengacu pada kegiatan tidak<br />

adanya persyaratan tentang perlu adanya kesalahan<br />

(Lummert, 1980: 239-240) dan pembuktian<br />

oleh pihak yang mempunyai kemampuan untuk<br />

memberikan bukti bahwa ia tidak bersalah atas<br />

perbuatan tersebut tetapi ia tetap bertanggung<br />

jawab atas perbuatan tersebut. Perlu dibedakan<br />

antara Strict Liability dan pembuktian terbalik<br />

karena sering sekali kedua hal ini dipersamakan.<br />

Pada pembuktian terbalik, pihak yang lebih<br />

kuat kedudukannya dibebani kewajiban untuk<br />

membuktikan bahwa akibat hukum dari suatu<br />

perbuatan bukanlah kesalahannya tetapi pada<br />

Strict Liability, ada atau tidak adanya pembuktian<br />

dari pihak tergugat, ia tetap bertanggung jawab<br />

atas akibat hukum dari suatu peristiwa yang<br />

terjadi dengan berdasarkan kriteria-kriteria yang<br />

telah dipenuhi (Kasim, 2007: 40) .<br />

Munir Fuady mendefinisikan Strict Liability<br />

sebagai suatu tanggung jawab hukum yang<br />

dibebankan kepada pelaku perbuatan melawan<br />

hukum tanpa melihat apakah yang bersangkutan<br />

dalam melakukan perbuatannya itu mempunyai<br />

unsur kesalahan atau tidak, dalam hal ini pelakunya<br />

dapat dimintakan tanggung jawab secara hukum,<br />

meskipun dalam melakukan perbuatannya itu dia<br />

138 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 134 -153<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 138 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:24 PM


tidak melakukannya dengan sengaja dan tidak<br />

pula mengandung unsur kelalaian, kekuranghatihatian,<br />

atau ketidakpatutan. Jadi, menurut Munir<br />

Fuady, Strict Liability adalah tanggung jawab<br />

secara hukum pada pelaku perbuatan melawan<br />

hukum tanpa mempedulikan unsur kesalahan,<br />

bahkan tanpa unsur kesengajaan, kelalaian,<br />

kekuranghati-hatian atau ketidakpatutan<br />

sekalipun.<br />

Sedikit berbeda dari pendapat tersebut, Strict<br />

Liability juga didefinisikan dalam Restatement<br />

(Second) of Torts Article 519 (1) yang berbunyi,<br />

“One who carries on an abnormally dangerous<br />

activity is subject to liability for harm to the<br />

person, land or chattels of another resulting from<br />

the activity, although he has excercised the utmost<br />

care to prevent the harm.” Jadi, pelaku kegiatan<br />

yang berbahaya secara abnormal (abnormally<br />

dangerous activity) bertanggung jawab atas<br />

kerugian yang timbul dari kegiatan tersebut,<br />

meskipun ia telah melakukan usaha paling<br />

maksimal untuk mencegah timbulnya kerugian<br />

(excercised the utmost care to prevent the harm).<br />

Kesimpulan dari definisi tersebut adalah<br />

bahwa ada tiga hal yang harus dibuktikan oleh<br />

Penggugat untuk memperoleh kebenaran atas<br />

gugatannya yang berdasar pada Strict Liability,<br />

yakni (Siahaan, 2009: 67):<br />

1. Membuktikan terjadinya Abnormally<br />

Dangerous Activity yang disebabkan<br />

oleh Tergugat Article 520 Restatement<br />

(Second) of Torts menentukan enam<br />

parameter kegiatan yang tergolong sebagai<br />

Abnormally Dangerous Activity, yaitu:<br />

1. Existence of a high degree of risk;<br />

2. Likelihood that the harm that results<br />

from it will be great;<br />

3. Inability to eliminate the risk;<br />

4. Extent to which the activity is not a<br />

matter of common usage;<br />

5. Inappropriateness of the activity to<br />

the place where it is carried on; and<br />

6. Extent to which its value to the<br />

community is outweighed by its<br />

dangerous attributes.<br />

2. Membuktikan adanya Kerugian.<br />

3. Membuktikan adanya Kausalitas antara<br />

kegiatan seseorang dengan kerugian yang<br />

ditimbulkannya.<br />

Dalam UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang<br />

Pengelolaan Lingkungan Hidup ketentuan<br />

mengenai Strict Liability termuat dalam Pasal<br />

35. Sebelum memasuki substansi ketentuan<br />

pasal tersebut, ada baiknya terlebih dahulu<br />

mengomentari judul paragraf dari pasal tersebut<br />

yaitu Tanggung Jawab Mutlak. Terjemahan<br />

Strict Liability menjadi Tanggung Jawab Mutlak<br />

agak riskan, sebab terdapat satu istilah lagi<br />

yang berbeda maknanya dengan Strict Liability,<br />

yaitu Absolute Liability. Pada Absolut Liability,<br />

bahkan kerugian pun tidak perlu dibuktikan. Jadi,<br />

hanya dengan melakukan suatu perbuatan yang<br />

tergolong dalam ketentuan Absolute Liability<br />

tersebut, maka pelaku sudah harus bertanggung<br />

jawab, sehingga hal yang harus dibuktikan<br />

oleh Penggugat terhadap perbuatan Tergugat<br />

hanya satu, yaitu membuktikan bahwa Tergugat<br />

memang melakukan sesuatu hal yang dilarang<br />

tersebut. Tentu pengertian Absolute Liability<br />

berbeda dengan Strict Liability, sehingga perlu<br />

diperhatikan bahwa Tanggung Jawab Mutlak<br />

yang diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 1997<br />

maupun UU Nomor 32 Tahun 2009 adalah Strict<br />

Liability, bukan Absolute Liability. Pasal 35 ayat<br />

(1) UU Nomor 23 Tahun 1997 menentukan bahwa<br />

penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan<br />

Ketepatan Hakim dalam Penerapan Precautionary Principle sebagai “Ius Cogen” (Loura Hardjaloka) | 139<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 139 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:24 PM


dapat dibebankan tanggung jawab secara mutlak<br />

atas kerugian yang ditimbulkan, bila usaha dan<br />

kegiatannya menimbulkan dampak besar dan<br />

penting terhadap lingkungan hidup, yaitu yang: a.<br />

Menggunakan bahan berbahaya dan beracun; dan/<br />

atau; b. Menghasilkan limbah bahan berbahaya<br />

dan beracun.<br />

Kewajiban membayar ganti rugi timbul<br />

bagi penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan<br />

yang ditentukan di atas yakni secara langsung<br />

dan seketika pada saat terjadinya pencemaran<br />

dan/atau perusakan lingkungan hidup. Namun,<br />

Pasal 35 ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 1997<br />

memuat ketentuan bagi penanggung jawab usaha<br />

dan/atau kegiatan untuk dapat dibebaskan dari<br />

kewajiban ganti rugi tersebut yakni bila dapat<br />

membuktikan bahwa pencemaran dan/atau<br />

perusakan lingkungan hidup disebabkan oleh:<br />

a. Bencana alam atau peperangan; atau<br />

b. Keadaan terpaksa di luar kemampuan<br />

manusia; atau<br />

c. Tindakan pihak ketiga yang<br />

menyebabkan terjadinya pencemaran<br />

dan/atau<br />

hidup.<br />

perusakan lingkungan<br />

UU Nomor 32 Tahun 2009 juga memuat<br />

ketentuan mengenai Strict Liability dalam<br />

Pasal 88 yang menentukan bahwa, “Setiap<br />

orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau<br />

kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan<br />

dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau<br />

yang menimbulkan ancaman serius terhadap<br />

lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas<br />

kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian<br />

unsur kesalahan.” Jadi, ada empat hal yang dapat<br />

menerbitkan Strict Liability, yaitu dalam hal<br />

seseorang yang tindakannya, usahanya, dan/atau<br />

kegiatannya:<br />

a. Menggunakan B3;<br />

b. Menghasilkan limbah B3;<br />

c. Mengelola limbah B3;<br />

d. Menimbulkan ancaman serius<br />

terhadap lingkungan hidup.<br />

Kedua instrumen hukum tersebut<br />

menunjukkan bahwa Strict Liability dianut dalam<br />

hukum lingkungan nasional, yakni dalam hal<br />

tertentu yang spesifik seperti telah ternyata di atas.<br />

Dalam perkara Gunung Mandalawangi, gugatan<br />

antara lain dikarenakan Tergugat I melakukan<br />

perbuatan yang mengabaikan peraturan dan/atau<br />

menyimpang dari maksud dan tujuan perusahaan<br />

karena mengakibatkan luas hutan di Jawa Barat<br />

tinggal 8% serta menimbulkan longsor yang terjadi<br />

pada tanggal 28 Januari 2003 dan menimbulkan<br />

kerugian besar. Pada posita angka 26 Penggugat<br />

mendalilkan bahwa Tergugat bertanggung jawab<br />

mutlak (Strict Liability) sehingga Penggugat<br />

tidak perlu membuktikan unsur kesalahan. Dasar<br />

hukum dari dalil ini adalah Pasal 35 UU Nomor<br />

23 Tahun 1997 yang sedang berlaku ketika itu.<br />

Akan tetapi, dalam poin 2 petitumnya Penggugat<br />

meminta “Menyatakan menurut hukum bahwa<br />

PARA TERGUGAT telah melakukan perbuatan<br />

melawan hukum dan oleh karenanya patutlah<br />

dihukum untuk membayar ganti kerugian.”<br />

Pada dalil poin 16 eksepsi oleh Tergugat<br />

I dikatakan bahwa dalil Penggugat yang<br />

menyatakan Tergugat I melakukan kesalahan<br />

dalam pengelolaan kawasan hutan adalah tidak<br />

benar (karena Tergugat I telah melaksanakan<br />

pengelolaan hutan) sehingga secara hukum<br />

Tergugat I tidak harus bertanggung jawab.<br />

Mengenai hal ini, menurut Penulis tidak esensial<br />

sebab dasar gugatan adalah Strict Liability yang<br />

tidak mensyaratkan pembuktian unsur kesalahan.<br />

Dengan demikian, sekalipun benar dalil Tergugat<br />

I bahwa ia telah melaksanakan pengelolaan<br />

140 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 134 -153<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 140 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:25 PM


hutan sehingga kesalahan tidak terbukti, tidak<br />

membebaskan Tergugat I dari tanggung jawab<br />

atas dasar Strict Liability.<br />

Pada dalil poin 19 dan 20 eksepsi oleh<br />

Tergugat I, kerugian yang diderita oleh korban<br />

bencana tersebut adalah akibat bencana alam. Jika<br />

benar dalil ini maka berdasarkan hukum positif<br />

mengenai Strict Liability di Indonesia, Tergugat I<br />

dapat dibebaskan dari tanggung jawab membayar<br />

ganti kerugian, sesuai ketentuan Pasal 35 ayat (2)<br />

UU Nomor 23 Tahun 1997. Akan tetapi, ternyata<br />

peristiwa longsor di Desa Mandalawangi ini<br />

bukanlah suatu bencana alam, sehingga Tergugat<br />

I tidak dapat dibebaskan dari tanggung jawab<br />

membayar ganti kerugian (penjelasan mengenai<br />

bahwa peristiwa longsor di Desa Mandalawangi<br />

bukanlah suatu bencana alam diuraikan dalam<br />

bagian analisis terkait bencana alam/act of God<br />

yang ada di sub selanjutnya). Dalam dalil poin<br />

II 2 Eksepsi oleh Tergugat IV, posita Penggugat<br />

adalah obscuur libel karena kasus longsor yang<br />

terjadi bukanlah akibat dari kegiatan atau usaha<br />

yang menggunakan B3 maupun menghasilkan<br />

limbah B3 sebagaimana disyaratkan dalam Pasal<br />

35 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 1997. Seluruh<br />

eksepsi tersebut ditolak oleh Pengadilan Negeri<br />

Bandung, sebab majelis hakim berpendapat<br />

bahwa Tergugat I, III, IV dan V bertanggung jawab<br />

secara Strict Liability atas kerugian yang timbul.<br />

Begitu pula dengan Pengadilan Tinggi Jawa<br />

Barat dan Mahkamah Agung. Pendapat hakim<br />

adalah bahwa kejadian longsor disebabkan antara<br />

lain kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan<br />

karena pemanfaatan tanah tidak sesuai fungsi dan<br />

peruntukannya sebagai kawasan hutan lindung.<br />

Fakta ini berhubungan seara kausalitas dengan<br />

kerugian (yang timbul akibat longsor), sehingga<br />

terpenuhi unsur Strict Liability dan para Tergugat<br />

tidak dapat membuktikan sebaliknya.<br />

Secara umum pendapat tersebut muncul<br />

karena adanya asas Precautionary Principle dalam<br />

hukum lingkungan positif di Indonesia, sehingga<br />

penyimpangan peruntukan kawasan hutan<br />

dianggap sebagai sebab (causa) yang menyalahi<br />

aturan Precautionary Principle sehingga para<br />

Tergugat adalah bertanggung jawab dalam kasus<br />

ini.<br />

Keputusan hakim untuk menerapkan<br />

Precautionary Principle sebagai bentuk adopsi<br />

dari ketentuan hukum internasional dalam kasus<br />

ini dinilai tepat. Hal ini dikarenakan penegakkan<br />

hukum lingkungan hidup disebabkan dengan<br />

standar hukum Internasional. Hal ini berarti suatu<br />

ketentuan hukum internasional dapat digunakan<br />

oleh hakim nasional apabila memang ketentuan<br />

tersebut telah dipandang sebagai “ius cogen”<br />

(O’Riordan dan J. Cameron, 1996: 347).<br />

Apabila kemudian merujuk pada sumbersumber<br />

hukum internasional yang termuat dalam<br />

Statute of The International Court of Justice<br />

Article 38 (1), adalah (Jones, 1992: 1705):<br />

a. international conventions, whether<br />

general or particular, establishing<br />

rules expressly recognized by the<br />

contesting states;<br />

b. international custom, as evidence of<br />

a general practice accepted as law;<br />

c. The general principles of law<br />

recognized by civilized nations;<br />

d. Judicial decisions and<br />

e. The teachings of the most highly<br />

qualified publicists of the various<br />

nations, as subsidiary means for the<br />

determination of rules of law.<br />

Prinsip Ius Cogen sendiri bisa dikategorikan<br />

sebagai suatu international customary law, yang<br />

berarti merupakan suatu bagian dari sumber<br />

Ketepatan Hakim dalam Penerapan Precautionary Principle sebagai “Ius Cogen” (Loura Hardjaloka) | 141<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 141 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:25 PM


hukum internasional yang tergolong kepada<br />

international custom, as evidence of a general<br />

practice accepted as law (Raffensperger dan J.<br />

Tickner, 1999: 567).<br />

Hal yang menarik untuk dikaji adalah<br />

seputar Abnormally Dangerous Activity sebagai<br />

salah satu unsur Strict Liability yang harus<br />

dibuktikan oleh Penggugat. Dalam kasus ini,<br />

Abnormally Dangerous Activity yang terjadi dan<br />

disebabkan oleh para Tergugat adalah:<br />

a. Existence of a high degree of risk<br />

Dalam perkara ini, pada perbuatan Tergugat<br />

I terdapat resiko yang berskala besar, yaitu<br />

dapat terjadi longsor. Perbuatan Tergugat I yang<br />

dimaksud adalah mengelola hutan sampai dengan<br />

terjadi pengurangan areal hutan secara masif<br />

sehingga hutan sekunder di Gunung Mandalawangi<br />

tersebut tidak mampu lagi menahan curah hujan.<br />

Ketidakmampuan hutan menahan curah hujan<br />

dapat mengakibatkan banjir. Namun, disertai<br />

dengan struktur kemiringan lereng 40 derajat,<br />

maka bahaya longsor pun mungkin terjadi.<br />

Apabila terjadi longsor, maka secara logika teori<br />

gravitasi pemukiman penduduk akan tertimbun<br />

tanah. Dengan demikian jelas bahwa terdapat<br />

resiko skala besar dari perbuatan Tergugat I.<br />

b. Likelihood that the harm that results from it<br />

will be great<br />

Kegiatan berbahaya yang abnormal dari<br />

Tergugat I juga memenuhi unsur ini, bahwa<br />

kerugian yang akan muncul dari kegiatan tersebut<br />

akan sangat besar. Hal ini terbukti dengan<br />

munculnya korban jiwa 21 orang meninggal<br />

(dalam posita 20 orang meninggal dan 1 tidak<br />

ditemukan), 15 orang korban luka-luka dan dirawat<br />

inap, 165 unit rumah hancur, 67 unit rumah rusak<br />

berat, 44 unit rumah rusak ringan dan 104 rumah<br />

terancam, 70 Ha sawah padi dan 35 Ha ladang<br />

jagung hancur (dalam petitum ditambah 35 Ha<br />

ladang kacang merah), 150 ekor domba dan 5.000<br />

ekor ayam dan itik musnah, rusak/ robohnya jalan<br />

setapak 4,5 km, jembatan 3 m, drainase 6 km,<br />

pipa air bersih 7 km, madrasah 2 unit dan masjid<br />

3 unit, serta hancurnya perlengkapan sekolah<br />

mengakibatkan kerugian dalam bersekolah serta<br />

hilangnya kesempatan mencari nafkah bagi 376<br />

KK yang mengungsi. Posita dalam gugatan<br />

menunjukkan kerugian materiil sejumlah<br />

Rp.30.417.200.000,00 dan kerugian immateriil<br />

sebesar Rp.20.000.000.000,00.<br />

c. Inability to eliminate the risk<br />

Dalam positanya Penggugat mendalilkan<br />

bahwa Tergugat I telah mengetahui 7 titik rawan<br />

longsor namun tidak menanganinya secara khusus<br />

dan tidak mengumumkan penemuan tersebut<br />

kepada masyarakat dan Pemda Kabupaten Garut,<br />

sehingga kemudian muncul kerugian yang sangat<br />

besar. Dengan demikian unsur ini pun terpenuhi.<br />

d. Extent to which the activity is not a matter<br />

of common usage<br />

Kegiatan Tergugat I dalam pemanfaatan<br />

hutan tidak sesuai fungsi dan peruntukannya<br />

sebagai hutan lindung, sehingga unsur bahwa<br />

kegiatan tidak sesuai penggunaan/pemakaian/<br />

pemanfaatan secara umum juga terpenuhi.<br />

Hal ini dikarenakan pemanfaatan hutan secara<br />

umum seharusnya sesuai dengan fungsi dan<br />

peruntukannya, namun yang terjadi adalah<br />

eksploitasi hutan sehingga tidak mampu<br />

menampung curah hujan.<br />

Dengan terpenuhinya unsur-unsur tersebut<br />

maka terbukti pula unsur Abnormally Dangerous<br />

Activity, di samping Kerugian dan Kausalitas di<br />

antara keduanya, sehingga Tergugat sepantasnya<br />

142 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 134 -153<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 142 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:25 PM


ertanggung jawab secara Strict Liability. Apabila<br />

dicermati lebih jauh lagi, sebenarnya hakim juga<br />

bisa mendasari pertimbangan hukumnya dalam<br />

menjatuhkan putusan soal Strict Liability kepada<br />

tergugat, berdasarkan ketentuan Pasal 35 ayat<br />

(1) UU Nomor 23 Tahun 1997 jo Pasal 15 ayat<br />

(1) UU Nomor 23 Tahun 1997 jo Pasal 3 ayat<br />

(1) PP Nomor 27 Tahun 1999. Pasal 35 ayat<br />

(1) UU Nomor 23 Tahun 1997 menyebutkan:<br />

“Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan<br />

yang usaha dan kegiatannya menimbulkan<br />

dampak besar dan penting terhadap lingkungan<br />

hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan<br />

beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan<br />

berbahaya dan beracun, bertanggung jawab<br />

secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan,<br />

dengan kewajiban membayar ganti rugi secara<br />

langsung dan seketika pada saat terjadinya<br />

pencemaran dan/atau perusakan lingkungan<br />

hidup”.<br />

Kegiatan yang disebabkan oleh Tergugat<br />

dalam hal ini memang menimbulkan dampak yang<br />

cukup besar dan penting terhadap lingkungan<br />

hidup. Sehingga, penanggung jawab kegiatan<br />

dalam hal ini adalah tergugat bisa dikenakan suatu<br />

bentuk pertanggungjawaban mutlak, kepadanya<br />

dikenakan juga kewajiban pembayaran ganti rugi<br />

kepada korban-korban atau pihak-pihak yang<br />

dirugikan akibat dari tindakannya tersebut.<br />

Masih terkait dengan ketentuan di atas,<br />

apabila kemudian suatu kegiatan dikategorikan<br />

sebagai suatu kegiatan yang memiliki dampak<br />

besar dan penting terhadap lingkungan, maka<br />

kegiatan tersebut wajib memiliki AMDAL. Hal<br />

ini termuat jelas pada ketentuan Pasal 15 ayat<br />

(1) UU No. 23 Tahun 1997: “setiap rencana<br />

usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan<br />

dapat menimbulkan dampak besar dan penting<br />

terhadap lingkungan hidup, wajib memiliki<br />

analisis mengenai dampak lingkungan hidup.”<br />

Masih berkorelasi dengan apa yang<br />

diungkapkan di atas, ketentuan menyangkut soal<br />

AMDAL ini kembali ditegaskan dalam PP Nomor<br />

27 Tahun 1999. Hal ini merujuk pada ketentuan<br />

yang terdapat dalam Pasal 3 ayat (1) PP Nomor<br />

27 Tahun 1999: Usaha dan/atau kegiatan yang<br />

memungkinkan dapat menimbulkan dampak<br />

besar dan penting terhadap lingkungan hidup<br />

adalah poin a. Pengubahan bentuk lahan dan<br />

bentang alam, poin c, Proses dan kegiatan yang<br />

secara potensial dapat menimbulkan pemborosan,<br />

pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup,<br />

serta kemerosotan sumber daya alam, dalam<br />

pemanfaatannya dan, poin e, Proses dan kegiatan<br />

yang hasilnya akan dapat mempengaruhi<br />

pelestarian kawasan konservasi sumber daya dan/<br />

atau perlindungan cagar budaya<br />

Merujuk pada beberapa dalil-dalil gugatan<br />

yang dikemukakan penggugat, sebenarnya sudah<br />

bisa memenuhi ketentuan huruf a, c, dan e dari<br />

pasal di atas. Beberapa di antaranya adalah dalil<br />

penggugat yang menyatakan bahwa:<br />

a. Tergugat I dalam mengelola hutan<br />

telah mengabaikan peraturan dan/<br />

atau telah menyimpang dari maksud<br />

dan tujuan perusahaan, di mana hal<br />

ini telah mengakibatkan luas hutan<br />

di Jawa Barat tinggal 8% (termasuk<br />

hutan Mandalawangi Garut) dari<br />

keadaan 53 juta Ha (20%) sebelum<br />

dikelola oleh Tergugat I.<br />

b. Tergugat III dengan mengeluarkan<br />

SK Menhut No. 419/KPTS II/1999<br />

yang amarnya merubah status hutan<br />

lindung Mandalawangi menjadi<br />

hutan produksi terbatas.<br />

Ketepatan Hakim dalam Penerapan Precautionary Principle sebagai “Ius Cogen” (Loura Hardjaloka) | 143<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 143 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:25 PM


Apabila memang kemudian bisa dibantah<br />

oleh Para Tergugat dalam jawaban dalam<br />

pokok perkaranya, sehingga kegiatan tersebut<br />

sebenarnya menurut pendapat tergugat tidak<br />

memenuhi unsur-unsur kegiatan yang wajib<br />

AMDAL, maka kembali pada ketentuan di<br />

mana kegiatan yang wajib AMDAL pasti bisa<br />

dikenakan ketentuan strict liability, tapi di sisi<br />

lain tidak berarti juga bahwa kegiatan yang<br />

tidak wajib AMDAL pasti tidak akan terkena<br />

strict liability. Dari uraian beberapa ketentuan<br />

di atas, bisa disimpulkan bahwa memang benar<br />

ketentuan soal Strict Liability bisa dikenakan<br />

kepada Para Tergugat dalam kasus ini dengan<br />

menggunakan beberapa dasar hukum.<br />

2. Bencana Alam (act of god)<br />

Gambaran Umum act of god<br />

Istilah ‘force majeur’ seringkali<br />

dikemukakan untuk mengurangi atau<br />

menghilangkan tanggung jawab seseorang ketika<br />

ia tidak dapat melakukan kewajibannya karena<br />

sebab-sebab di luar kendalinya, seperti kuasa<br />

Tuhan (act of God).<br />

Act of God didefinisikan oleh Congress<br />

(badan legislatif di Amerika Serikat) sebagai<br />

suatu hal yang yang disebabkan oleh bencana<br />

alam yang serius (grave natural disaster). Akan<br />

tidak semua bencana alam dapat dikategorikan<br />

sebagai act of God. Yang dapat dikategorikan<br />

adalah bencana yang tidak biasa (unusual) dan<br />

luar biasa (extraordinary) secara alamiah, serta<br />

tidak dapat diantisipasi atau diprediksi dalam<br />

keadaan normal. Jadi apabila suatu bencana<br />

alam merupakan sesuatu yang lumrah terjadi di<br />

di daerah tersebut, peristiwa tersebut bukanlah<br />

grave natural disaster dan bukanlah akibat dari<br />

act of God. Act of God juga didefinisikan sebagai<br />

tindakan yang diakibatkan oleh alam tanpa adanya<br />

campur tangan dari manusia (Fraley, 2010: 669-<br />

678). Bila ada intervensi dari manusia sekecil<br />

apapun yang menyebabkan timbulnya bencana,<br />

maka biasanya pengadilan akan menolak defense<br />

act of God yang dikemukakan oleh pihak tersebut<br />

(Ibid, 690).<br />

Syarat lain suatu kejadian dikatakan sebagai<br />

tindakan Tuhan yaitu kejadian tersebut terjadi<br />

secara langsung (direct), cepat (immediate),<br />

disebabkan oleh alam itu sendiri, tidak terkontrol<br />

dan tidak dipengaruhi oleh tindakan manusia,<br />

serta tidak ada campur tangan manusia. Kejadian<br />

itu harus tidak dapat dihindari, diprediksi, maupun<br />

ditangani dengan amat hati-hati (Fasoyiro, 2009:<br />

20).<br />

Pihak yang secara potensial harus<br />

bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan<br />

(Potentially Responsible Parties/PRPs) biasanya<br />

menggunakan act of God sebagai alasan untuk<br />

mengurangi tanggung jawab. Akan tetapi tidak<br />

cukup hanya dengan mengemukakan alasan<br />

tersebut lantas ia dapat lepas dari tanggung<br />

jawab; ia juga harus menyertakan bukti-bukti<br />

yang cukup dan mendukung bahwa peristiwa<br />

tersebut tidak mungkin diprediksi atau dihindari<br />

dan act of God adalah satu-satunya penyebabnya<br />

(sole cause).<br />

Kesimpulannya, supaya para pihak dapat<br />

menggunakan dalih act of God sebagai penyebab<br />

suatu peristiwa, ia harus membuktikan 4 unsur<br />

berikut di hadapan pengadilan : (1) act of God itu<br />

tidak dapat diantisipasi; (2) act of God haruslah<br />

bencana alam yang serius (grave) atau fenomena<br />

alam lainnya yang luar biasa (exceptional), tidak<br />

terhindarkan (inevitable), dan tidak tertahankan<br />

(irresistible); (3) act of God haruslah merupakan<br />

satu-satunya penyebab (sole cause); (4) kerusakan<br />

144 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 134 -153<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 144 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:25 PM


yang disebabkan act of God tersebut tidak<br />

dapat dihindari meskipun sudah ada tindakan<br />

pencegahan (due care) atau prediksi masa depan<br />

(Kristl, 2006: 325-362).<br />

Implementasi Elemen-Elemen Dari Defense<br />

act of god dalam Statuta Terkait Lingkungan<br />

Hidup Tingkat Federal Amerika Serikat dan<br />

Texas Terhadap Kasus Mandalawangi<br />

a. Suatu act of God harus tidak dapat<br />

diantisipasi<br />

Dalam kasus ini, seharusnya peristiwa<br />

longsor ini dapat diantisipasi. Tergugat sendiri<br />

mengakui bahwa ia telah mengetahui keadaan<br />

tanah di Gunung Mandalawangi, yang mana<br />

bagian atas Gunung Mandalawangi terdiri atas<br />

tanah regosol, sehingga ketika terkena air dalam<br />

debit atau curah yang besar tanah regosol yang<br />

bertekstur kasar dan parous dengan kemampuan<br />

menahan air yang rendah menyebabkan longsor.<br />

Hal ini seharusnya dapat diantisipasi dengan<br />

mencegah atau menjaga agar pepohonan yang<br />

besar-besar (tanaman keras) tetap ada di sana<br />

guna menahan aliran air dan menyerap air dalam<br />

tanah. Terlebih lagi banjir bandang tersebut<br />

merupakan siklus lima puluh tahun sekali yang<br />

sudah diketahui oleh masyarakat luas, sehingga<br />

seharusnya bisa diantisipasi dengan baik yang<br />

oleh karena itu seharusnya dalih act of God<br />

gugur.<br />

b. Suatu act of God haruslah bencana alam<br />

yang serius (grave natural disaster)<br />

Tiga elemen yang harus dibuktikan bahwa<br />

suatu kejadian adalah fenomena alam yang luar<br />

biasa, yaitu: kejadian tersebut harus luar biasa<br />

(exceptional), tak terelakkan (inevitable), dan<br />

tak tertahankan (irresistible). Memang dari segi<br />

kuantitas curah hujan sangat luar biasa (sampai<br />

14 kali dari curah hujan normal) dan tidak ada<br />

yang bisa mengatur kapan terjadi hujan karena<br />

itu merupakan fenomena alamiah sehingga<br />

seakan-akan terlihat seperti bencana alam, tetapi<br />

untuk dapat diklasifikasikan sebagai grave<br />

natural disaster harus memenuhi syarat ‘tidak<br />

dapat diantisipasi bentuknya, lokasinya, ataupun<br />

peralatan yang menunjang terjadinya bencana<br />

alam tersebut, baik karena alasan historis,<br />

geografis, maupun iklim’. Secara historis, iklim,<br />

dan geografis, peristiwa hujan besar banjir<br />

bandang di kawasan Gunung Mandalawangi sudah<br />

pernah terjadi, bahkan jangka waktu siklusnya<br />

sudah diketahui dengan baik oleh khalayak<br />

luas; sehingga sudah bisa disebabkan tindakan<br />

antisipasi. Jadi tidak termasuk act of God. Hal<br />

ini dikuatkan dalam kasus Stringfellow, ARCO,<br />

serta yurisprudensi pengadilan Amerika Serikat,<br />

memang biasanya hujan tidak dikategorikan<br />

sebagai act of God.<br />

c. Suatu act of God harus menjadi satu-satunya<br />

penyebab (sole cause) dari bencana<br />

Suatu act of God harus menjadi satusatunya<br />

penyebab (sole cause) dari bencana<br />

untuk dapat dinyatakan sebagai bencana alam<br />

si penanggung jawab usaha atau kegiatan harus<br />

menyatakan act of God sebagai satu-satunya<br />

penyebab (sole cause), sehingga tidak boleh ada<br />

sedikitpun campur tangan dari pihak manusia; bila<br />

ada maka dalih act of God akan gugur seketika.<br />

Dalam kasus ini Tergugat I dalam eksepsinya di<br />

pengadilan tingkat pertama mengatakan bahwa<br />

peristiwa longsor tersebut murni bencana alam.<br />

Akan tetapi, di pengadilan tingkat kasasi terbukti<br />

lewat hasil penelitian bahwa pencemaran<br />

lingkungan tersebut tidak hanya karena hujan<br />

(banjir bandang), tetapi ada pula faktor-faktor lain<br />

Ketepatan Hakim dalam Penerapan Precautionary Principle sebagai “Ius Cogen” (Loura Hardjaloka) | 145<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 145 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:25 PM


yang turut mempengaruhi seperti pemanfaatan<br />

tanah yang tidak sesuai dengan fungsi dan<br />

peruntukannya sebagai kawasan hutan lindung.<br />

Hal ini mempunyai hubungan kausalitas dengan<br />

longsornya tanah yang mengakibatkan jatuhnya<br />

korban jiwa dan harta benda, sehingga dalam<br />

hal ini Tergugat I gagal membuktikan poin ini<br />

sehingga seharusnya dalih act of God-nya tidak<br />

dapat diterima.<br />

d. Lack of negligence (ketiadaan kelalaian)<br />

tidak cukup membuktikan dalil act of God<br />

Meskipun salah satu pihak membuktikan<br />

bahwa tidak ada unsur kelalaian pada tindakannya<br />

(seperti sudah melakukan tindakan pencegahan),<br />

akan tetapi tidak secara otomotis dalil act of<br />

God terpenuhi dan ia dapat membebaskan diri<br />

dari tanggung jawab. Dalam jawaban Tergugat I<br />

pada pengadilan tingkat pertama, ia menyatakan<br />

telah berhati-hati dalam menyusun perencanaan<br />

pengelolaan hutan (selalu dengan persetujuan<br />

dari Menteri Kehutanan), melakukan reboisasi<br />

dan tidak mengubah hutan primer menjadi<br />

hutan sekunder, tidak ada pengubahan status<br />

hutan lindung menjadi hutan produksi terbatas,<br />

mengetahui adanya titik-titik rawan longsor<br />

sebelum peristiwa tersebut terjadi, maupun<br />

perubahan tata guna lahan bagian atas bukit dari<br />

tanaman keras ke tanaman musiman. Singkatnya,<br />

Tergugat I merasa tidak melakukan sedikitpun<br />

kelalaian yang menyebabkan terjadinya bencana<br />

longsor. Terlepas dari benar atau tidaknya,<br />

ketika Tergugat I telah memaparkan fakta-fakta<br />

ketiadaan kelalaian pada dirinya tersebut tidak<br />

lantas membuat dalil act of God terbukti dan ia<br />

otomatis bebas dari pertanggungjawaban. Hal<br />

ini disebabkan dalam UU Nomor 23 Tahun 1997<br />

dan tiga statuta terkait lingkungan hidup yang<br />

kita rujuk di sini tidak menganut prinsip fault-<br />

based, sehingga soal unsur ‘kesalahan’ (dalam<br />

hal ini culpa atau kelalaian) yang tidak ditemukan<br />

pada Tergugat I tidak dipertimbangkan. Menurut<br />

penulis, hal ini adalah tindakan dari Tergugat yang<br />

sudah sepatutnya mengetahui kondisi Gunung<br />

Mandalawangi dan hujan besar yang terjadi<br />

secara berulang-ulang, tetapi kurang melakukan<br />

sosialisasi bahaya dan menerapkan prinsip kehatihatian<br />

dalam membuat keputusan administratif<br />

yang berpengaruh terhadap keseimbangan<br />

ekologi di daerah tersebut.<br />

e. Bencana tidak dapat dicegah meskipun<br />

sudah ada tindakan pencegahan atau<br />

prediksi sebelumnya<br />

Dalam menangani kasus-kasus lingkungan<br />

terkait act of God, pengadilan federal menghasilkan<br />

satu prinsip penting, yaitu apabila Tergugat telah<br />

mendapat peringatan yang cukup dan alat yang<br />

memadai untuk melakukan usaha perlindungan,<br />

pencegahan, maupun mitigasi dampak atas act<br />

of God tetapi gagal melakukannya, maka ia tetap<br />

bertanggung jawab. Sebaliknya bila Tergugat<br />

tidak mendapat peringatan yang cukup serta tidak<br />

ada alat yang memadai, maka ia tidak bertanggung<br />

jawab. Contohnya ada pada kasus Apex di mana<br />

kapten kapalnya tidak menghiraukan peringatan<br />

dalam usaha menghindarkan kapalnya dari<br />

tabrakan, sehingga ia dianggap tetap bertanggung<br />

jawab.<br />

Dalam kasus Mandalawangi ini, Tergugat<br />

V telah melakukan beberapa hal seperti<br />

mengeluarkan surat Nomor 322.377/Kec./tahun<br />

2000 yang isinya berupa usulan keberatan pada<br />

KPH yang pada pokoknya isi surat tersebut<br />

menyarankan ada penyuluhan di lapangan<br />

sehubungan kawasan Gunung Mandalawangi<br />

telah dibuka dan akan ditanami tanaman tumpang<br />

sari oleh masyarakat; surat nomor 520/44/IV/<br />

146 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 134 -153<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 146 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:25 PM


Kec./2001 tentang permohonan pengelolaan<br />

lahan Gunung Mandalawangi kiranya dapat lebih<br />

diarahkan sehingga tidak selalu mengakibatkan<br />

bencana apabila turun hujan. Sudah ada peringatan<br />

yang cukup dari Tergugat V untuk melakukan<br />

kehati-hatian secara tertulis, namun ternyata<br />

usaha perlindungan, pencegahan, maupun<br />

mitigasi dampak atas act of God tersebut tidak<br />

berhasil mencegah longsor yang mungkin timbul.<br />

Melihat akibat yang ditimbulkan ini seharusnya<br />

Tergugat tetap bertanggungjawab.<br />

f. Liability is strict (Tanggung Jawab Ketat)<br />

Statuta-statuta lingkungan pemerintah<br />

federal menerapkan prinsip tanggung jawab<br />

ketat (strict liability), sehingga seseorang tetap<br />

bertanggungjawab atas kerusakan lingkungan yang<br />

ditimbulkannya, kecuali ia dapat membuktikan<br />

bahwa kerusakan itu terjadi karena salah satu<br />

pengecualian dari tanggung jawabnya itu, yang<br />

salah satunya termasuk act of God. Akan tetapi<br />

meskipun ia sudah berhasil membuktikan kelima<br />

poin yang disebutkan di atas, pada dasarnya<br />

seseorang harus tetap bertanggung jawab karena<br />

tanggung jawab act of God adalah berdasarkan<br />

atas akibat (causation-based), bukan berdasarkan<br />

kesalahan (fault-based). Ketika sudah ada akibat<br />

yang ditimbulkan dari act of God, dalam kasus<br />

ini berarti peristiwa longsor, para Tergugat prima<br />

facie memang pada dasarnya bertanggung jawab<br />

atas kerusakan lingkungan akibat keluarnya SK<br />

yang amarnya berisi perubahan fungsi hutan<br />

lindung serta tindakan-tindakan yang mengarah<br />

pada perubahan fungsi dan kerusakan hutan.<br />

Dalam jurnal Invoking the Act of God Defense<br />

karya Laurencia Fasoyiro, dalam hal ini diberikan<br />

suatu contoh bahwa tidak semua hujan dapat<br />

dikategorikan sebagai act of God. Suatu hujan<br />

yang sifatnya normal, biasa bagi daerah tersebut,<br />

dan pernah terjadi selama masih terekam dalam<br />

memori manusia yang hidup (within the memory<br />

of men then living), tidak dapat dikategorikan<br />

sebagai act of God karena sifatnya seperti siklus<br />

yang berulang-ulang.<br />

Menganalisis keterangan ahli Dr. Chay<br />

Asdak yang mengatakan hujan ini merupakan<br />

”peristiwa alam siklus 50 tahunan (hal<br />

tersebut juga diketahui oleh masyarakat yang<br />

bersangkutan) yang pada waktu kejadian terjadi<br />

intensitas curah hujan sangat tinggi yaitu 12<br />

mm/hari atau 14 kali rata-rata normal di mana<br />

ada atau tidak ada hutan tidak berpengaruh<br />

secara signifikan menahan banjir dan tanah<br />

longsor” (Faure & Niessen, 2006: 191). Ketika<br />

suatu masyarakat telah mengetahui dengan<br />

jelas suatu fenomena yang sifatnya berulang,<br />

maka peristiwa atau bencana alam tersebut tidak<br />

dapat dikategorikan sebagai act of God karena<br />

sudah bisa diperkirakan terjadinya. Ahli dari<br />

Pemohon Kasasi III sendiri yang mengatakan<br />

demikian, jadi dengan demikian pernyataan yang<br />

bersangkutan menjadi bumerang bagi Pemohon<br />

Kasasi III dan menggugurkan dalih act of God<br />

yang ia kemukakan!<br />

Hampir mirip dengan peraturan pemerintah<br />

federal, untuk menyatakan dalil bahwa suatu<br />

peristiwa kerusakan lingkungan terjadi karena<br />

adanya act of God di negara bagian Texas<br />

seseorang harus membuktikan bahwa:<br />

a. Kejadian tidak dapat diantisipasi;<br />

b. Kejadian belum pernah terjadi<br />

c.<br />

sebelumnya (unprecedented);<br />

Act of God adalah satu-satunya<br />

penyebab (sole cause) dari fenomena<br />

alam tersebut; dan<br />

d. Telah melakukan tindakan<br />

pencegahan (due care) ataupun<br />

prediksi sebelumnya (foresight).<br />

Ketepatan Hakim dalam Penerapan Precautionary Principle sebagai “Ius Cogen” (Loura Hardjaloka) | 147<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 147 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:25 PM


Dari hasil analisis dalih yang dikemukakan<br />

oleh para Tergugat dan ahli serta pertimbangan<br />

hakim pada tingkat kasasi, dapat disimpulkan<br />

sebenarnya peristiwa ini bukan merupakan<br />

bencana alam (sebab-sebab act of God) karena<br />

ketujuh poin di atas tidak dapat dibuktikan oleh<br />

para Tergugat, oleh karena itu Tergugat seharusnya<br />

tetap bertanggung jawab secara mutlak (strict<br />

liability). Dapat ditarik suatu kesimpulan memang<br />

untuk membuktikan dalil act of God di hadapan<br />

pengadilan sangat sulit mengingat banyaknya<br />

poin-poin persyaratannya. Jadi, apakah ada<br />

gunanya kita mendalilkan act of God sebagai<br />

alasan untuk kita mengelak diri dari tanggung<br />

jawab? Sepertinya tidak ada manfaatnya, kecuali<br />

ada perubahan terhadap undang-undangnya yang<br />

bisa memberikan ‘celah’ bagi si penanggung<br />

jawab usaha atau kegiatan.<br />

3. Precautionary Principle (Prinsip Kehati-<br />

hatian)<br />

Prinsip kehati-hatian yang dikembangkan<br />

dalam hukum lingkungan internasional<br />

adalah konsep yang prospektif. Hal ini dapat<br />

digunakan untuk memutuskan apa yang<br />

seharusnya diperbolehkan untuk terjadi di<br />

masa depan. Pertanyaan yang dibahas<br />

dalam uraian ini adalah apakah dalam<br />

hukum domestik prinsip kehatihatian<br />

harus diterapkan secara retrospektif (Hey,<br />

1992: 303-318). Haruskah sikap kehati-hatian<br />

digunakan sebagai standar untuk diterapkan<br />

dalam tindakan masa lalu pihak swasta, sehingga<br />

dapat menilai apakah pihak swasta tersebut telah<br />

bertindak secara legal? Dalam ranah perdata,<br />

jawabannya adalah ya. Menerapkan prinsip<br />

kehati-hatian dalam kasus perdata menghilangkan<br />

persyaratan ‘kemampuan melihat apa yang akan<br />

terjadi di masa depan’ dan mengubah tanggung<br />

jawab berdasarkan kesalahan menjadi tanggung<br />

jawab mutlak. Di ranah pidana, penerapan<br />

retrospektif dari prinsip kehati-hatian tidak<br />

sesuai. Dengan mengharuskan tindakan kehatihatian<br />

pada seorang pelaku dalam penuntutan<br />

lingkungan akan mengubah tanggung jawab<br />

mutlak (strict liability) menjadi tanggung jawab<br />

mutlak (absolute liability) dan menciptakan<br />

potensi hukuman pidana tanpa adanya kesalahan<br />

(M’Gonigle, 1994: 99-169). Bruce Pardy<br />

berpendapat bahwa di ranah perdata prinsip<br />

kehati-hatian seharusnya digunakan untuk<br />

mengevaluasi tindakan-tindakan masa lalu dari<br />

pelaku dalam kasus perdata. Hal tersebut saat ini<br />

tidak diterapkan oleh pengadilan. Di ranah pidana,<br />

justru kebalikannya. Bruce Pardy berpendapat<br />

bahwa prinsip kehati-hatian tidak seharusnya<br />

diterapkan dalam penuntutan atas pelanggaran<br />

lingkungan. Namun begitu, setidaknya satu<br />

pengadilan telah mengambil langkah yang setara<br />

dan jika ada kecenderungan, itu akan mengarah<br />

ke hal yang di atas (Pardy, 2002: 70-75).<br />

Dalil Gugatan Penggugat<br />

Para Penggugat yang menyatakan<br />

bahwa menurut hasil penyelidikan Direktorat<br />

Vulkanologi, faktor-faktor penyebab longsornya<br />

Gunung Mandalawangi, yaitu:<br />

a. ketebalan pelapukan tanah (3 meter);<br />

b. sarang (mudah meloloskan air);<br />

c. batuan vulkanik yang belum padu;<br />

d. kecuraman lereng 20-50 derajat dan bagian<br />

bawah relative landai; dan<br />

e. adanya perubahan tata guna lahan<br />

bagian alas bukit dari tanaman keras/<br />

hutan ke tanaman musiman. Hal tersebut<br />

menegaskan manejemen pengelolaan<br />

hutan yang disebabkan oleh Tergugat I<br />

148 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 134 -153<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 148 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:25 PM


hanya mengejar keuntungan semata tanpa<br />

menghiraukan kelestarian lingkungan<br />

dan ekosistem serta tata guna lahan<br />

sebagaimana yang tertuang dalam Pasal<br />

7 PP No. 53 Tahun 1999. Kemudian di<br />

paragraf berikutnya, dinyatakan bahwa<br />

Tergugat I telah mengetahui dan mengakui<br />

adanya 3 titik rawan longsor di Petak V<br />

dan 4 titik rawan longsor di Petak VI,<br />

namun Tergugat I tidak menanganinya<br />

secara khusus dan tidak mengumumkan<br />

penemuan itu kepada masyarakat dan<br />

pihak terkait, sehingga Tergugat I telah<br />

melakukan kelalaian yang mengakibatkan<br />

jatuhnya korban jiwa dan harta benda.<br />

Berdasarkan dalil gugatan tersebut, kami<br />

menyimpulkan bahwa pengetahuan-pengetahuan<br />

yang disebutkan di atas dapat dikatakan sebagai<br />

suatu bukti ilmiah. Seperti diketahui bersama,<br />

dalam Precautionary Principle, ketiadaan bukti<br />

ilmiah tidak dapat menjadi alasan untuk menundanunda<br />

upaya pencegahan selama ada ancaman<br />

kerugian yang tidak dapat dipulihkan, sedangkan<br />

dalam kasus ini sudah jelas terdapat 3 titik rawan<br />

longsor di Petak V dan 4 titik rawan longsor di<br />

Petak VI, tetapi Tergugat I tidak menanganinya<br />

secara khusus dan tidak mengumumkan penemuan<br />

itu kepada masyarakat dan pihak terkait.<br />

Hal tersebut tentu menyimpang dari<br />

penerapan Precautionary Principle. Dengan<br />

adanya pengetahuan akan titik-titik rawan<br />

longsor, sudah seharusnya Tergugat I sebagai<br />

pihak yang diberi kewenangan untuk mengelola<br />

melakukan upaya-upaya pencegahan agar tidak<br />

terjadi longsor. Ketiadaan bukti ilmiah saja tidak<br />

dapat menjadi alasan untuk menunda-nunda<br />

upaya pencegahan, apalagi ini yang sudah jelasjelas<br />

ditemukan adanya titik-titik rawan longsor.<br />

Putusan PN Bandung (Putusan Nomor 49/<br />

Pdt.G/2003/PN.BDG)<br />

Amar putusan dalam pokok perkara (dalam<br />

konpensi) menyatakan bahwa Tergugat I, Tergugat<br />

III, Tergugat IV, dan Tergugat V bertanggung<br />

jawab secara mutlak (strict liability) atas<br />

dampak yang ditimbulkan oleh adanya longsor<br />

kawasan hutan Gunung Mandalawangi serta<br />

menghukum Tergugat I, Tergugat III, Tergugat<br />

IV, dan Tergugat V untuk melakukan pemulihan<br />

keadaan lingkungan di areal hutan Gunung<br />

Mandalawangi<br />

Amar putusan tersebut menggambarkan<br />

bahwa karena tidak disebabkannya upaya<br />

pencegahan, maka timbullah peristiwa tanah<br />

longsor, yang kemudian didalilkan oleh para<br />

Tergugat dalam eksepsi bahwa tanah longsor ini<br />

merupakan bencana alam berupa banjir bandang<br />

disertai tanah longsor di areal hutan Gunung<br />

Mandalawangi. Jadi, di sini menurut hakim, para<br />

Tergugat harus bertanggung jawab secara mutlak<br />

(strict liability) untuk menanggulangi dampak<br />

yang terjadi. Dengan digunakannya strict liability<br />

sebagai sistem hukum, maka hambatan yang dialami<br />

para korban dapat diterobos, beban pembuktian<br />

tidak hanya dibebankan pada Penggugat lagi<br />

(korban yang dirugikan) sebagaimana yang<br />

selama ini lazim dianut karena dalam ketentuan<br />

Strict Liability kesalahan tidak perlu dibuktikan,<br />

namun kerugian dan kausalitas antara tindakan<br />

Tergugat dengan kerugian yang diderita para<br />

korban tetap harus dibuktikan oleh para korban.<br />

Putusan tersebut sesuai dengan penganutan<br />

Precautionary Principle. Karena sebagaimana<br />

dijelaskan oleh Bruce Pardy dalam jurnalnya yang<br />

berjudul Applying the Precautionary Principle<br />

to Private Persons: Should it Affect Civil and<br />

Criminal Liability? Penerapan precautionary<br />

Ketepatan Hakim dalam Penerapan Precautionary Principle sebagai “Ius Cogen” (Loura Hardjaloka) | 149<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 149 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:26 PM


principle yang prospektif dalam ranah perdata<br />

akan konsisten dengan aturan dari tort liability<br />

sebagaimana yang ada sekarang. Tort liability<br />

tidak mengutamakan untuk menghukum pelaku,<br />

tetapi pada kompensasi atas kerugian yang dialami<br />

korban. Dengan demikian, konsekuensi dari<br />

penerapan Precautionary Principle dalam kasus<br />

ini berkonsekuensi pada diterapkannya strict<br />

liability di mana faktor yang menentukan adalah<br />

unsur kausalitas antara tindakan tergugat dengan<br />

kerugian yang ditimbulkan, bukan kesalahan.<br />

(Penjelasan selengkapnya dapat dilihat pada<br />

bagian analisis terkait strict liability).<br />

Memori Kasasi dan Pendapat MA (Termohon<br />

Kasasi Tidak Mengirimkan Kontra Memori<br />

Kasasi)<br />

Dalam memori kasasi yang diajukan oleh<br />

Pemohon Kasasi I, Pemohon Kasasi mendalilkan<br />

bahwa karena Precautionary Principle belum<br />

menjadi hukum positif Indonesia, maka Judex<br />

Facti dinilai telah salah dalam menerapkan<br />

hukum dan melakukan kelalaian yang dapat<br />

mengakibatkan dibatalkannya putusan yang<br />

telah dikeluarkan.<br />

Berdasarkan alasan tersebut MA berpendapat<br />

bahwa suatu ketentuan hukum Internasional<br />

dapat digunakan oleh hakim nasional apabila<br />

telah dipandang sebagai ”ius cogen” sehingga<br />

hakim tidak salah dalam menerapkan hukum<br />

apabila hakim mengadopsi ketentuan hukum<br />

Internasional. Pada butir selanjutnya, Pemohon<br />

kasasi mendalilkan bahwa prinsip tanggung<br />

jawab mutlak (strict liability) yang dilandasi oleh<br />

prinsip kehati-hatian (precautionary principle)<br />

yang diterapkan oleh Judex Facti tidak tepat.<br />

Tidak ada kekosongan hukum dalam praktek.<br />

Jika tidak dapat diterapkan prinsip tanggung<br />

jawab mutlak (strict liability) berdasarkan<br />

Pasal 35 UUPLH, terhadap tiap tuntutan ganti<br />

kerugian dapat diterapkan ketentuan Pasal<br />

1365 KUHPerdata, berdasarkan pendapat ahli<br />

hukum lingkungan Profesor Doktor Koesnadi<br />

Hardjasoemantri dalam buku “Hukum Tata<br />

Lingkungan”.<br />

Akan tetapi, hakim dalam pertimbangannya<br />

memberikan alasan bahwa alasan para Pemohon<br />

Kasasi yang berpendapat bahwa Pasal 1365<br />

KUHPerdata dapat diterapkan dalam kasus ini<br />

tidak dapat dibenarkan. Namun, alasan lebih lanjut<br />

tidak dapat dibenarkannya itu tidak dijelaskan<br />

oleh hakim. Hakim hanya menyampaikan<br />

bahwa perbuatan Hakim pada pengadilan tingkat<br />

Pertama dalam mengadopsi hukum Internasional<br />

tidak salah dalam menerapkan hukum.<br />

Berdasarkan alasan yang sama pula<br />

yakni penerapan Precautionary Principle<br />

dalam pertimbangan Majelis Hakim tingkat<br />

pertama yang berpedoman pada prinsip ke 15<br />

yang terkandung dalam asas Pembangunan<br />

Berkelanjutan pada Konverensi Rio tanggal<br />

12 Juni 1992, dinilai tidak memiliki dasar<br />

hukum karena belum menjadi hukum positif di<br />

Indonesia, dan bukanlah suatu alasan untuk<br />

mengisi kekosongan hukum dalam praktek<br />

karena sudah ada hukum positif yang mengatur<br />

masalah lingkungan hidup dan kehutanan, yaitu<br />

UUPLH pada Pasal 3, 6, 14, 15, 34 dan 35 dan<br />

UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pada<br />

Pasal 43, 45, 48, 60 dan 68. Akan tetapi, hakim<br />

dalam pertimbangannya memberikan alasan<br />

bahwa suatu ketentuan hukum Internasional<br />

dapat digunakan oleh hakim nasional apabila<br />

telah dipandang sebagai ”ius cogen” sehingga<br />

hakim tidak salah dalam menerapkan hukum<br />

apabila hakim mengadopsi ketentuan hukum<br />

Internasional.<br />

150 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 134 -153<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 150 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:26 PM


Menurut penulis, pertimbangan hakim<br />

sudahlah benar, di mana memang Precautionary<br />

Principle dapat diterapkan dalam kasus ini.<br />

Memang pada UU Nomor 23 Tahun 1997 belum<br />

dianut Precautionary Principle sebagaimana<br />

telah dianut UU Nomor 32 Tahun 2009. Namun,<br />

hukum lingkungan pada umumnya memang<br />

banyak mendasarkan pada ketentuan-ketentuan<br />

hukum internasional. Lagipula sebagaimana<br />

dikatakan oleh hakim Precautionary Principle<br />

ini telah dipandang sebagai ”ius cogen”, yaitu<br />

sebagai suatu norma yang diterima dan diakui<br />

oleh masyarakat internasional secara keseluruhan<br />

serta sebagai norma yang tidak dapat dilanggar dan<br />

hanya dapat diubah oleh suatu norma dasar hukum<br />

internasional umum yang baru yang mempunyai<br />

sifat yang sama (Deville, 1997: 567). Dengan<br />

demikian, hakim tepat dalam menerapkan hukum<br />

apabila hakim mengadopsi ketentuan hukum<br />

Internasional, yaitu Precautionary Principle.<br />

IV.<br />

SIMPULAN<br />

1. Pembedaan Perbuatan Melawan Hukum<br />

dengan Strict Liability terkait kasus<br />

Mandalawangi, putusan hakim untuk<br />

menjatuhkan vonis dikenakannya tanggung<br />

jawab mutlak kepada tergugat adalah tepat.<br />

Hal ini berdasarkan kepada:<br />

a. Konsekuensi dari penerapan<br />

Precautionary Principle,<br />

mendasarkan pada suatu keadaan<br />

di mana suatu akibat dari suatu<br />

perbuatan telah diperkirakan<br />

sebelumnya walaupun tidak ada<br />

bukti ilmiah. Perum Perhutani telah<br />

mengetahui keadaan dari hutan yang<br />

berpotensi terjadi longsor, tetapi<br />

tetap menggunakannya sebagai hutan<br />

produksi. Prinsip kehati-hatian telah<br />

dilanggar, pelanggaran terhadap<br />

prinsip tersebut akan melahirkan<br />

suatu tanggung jawab mutlak<br />

kepada Para Tergugat karena mereka<br />

telah mengetahui risiko yang akan<br />

terjadi sehingga ada atau tidaknya<br />

pembuktian dari Para Tergugat, maka<br />

mereka tetap harus bertanggung<br />

jawab.<br />

b. Penafsiran gramatikal dari Pasal 35<br />

ayat (1) UU No. 23 Tahun 1997, yang<br />

mana seharusnya unsur-unsur dalam<br />

pasal tersebut berdiri sendiri. Pada<br />

faktanya ketentuan yang terdapat<br />

dalam pasal ini mengenai kegiatankegiatan<br />

yang bisa dikenakan<br />

kewajiban tanggung jawab mutlak<br />

adalah bersifat tanggung jawab mutlak,<br />

di mana unsur satu dan lainnya saling<br />

berkaitan dan harus terpenuhi semua.<br />

Pendapat penulis, seharusnya unsurunsur<br />

yang terdapat dalam pasal ini<br />

bersifat alternatif, bukan kumulatif,<br />

sehingga dengan terpenuhinya salah<br />

satu jenis kegiatan dalam pasal ini<br />

saja sudah bisa dikenakan sebagai<br />

suatu tanggung jawab mutlak.<br />

2. Dalih bencana alam yang dapat digunakan<br />

dalam hal The Act of God Defence (force<br />

majeur) adalah bencana alam berat dalam<br />

arti bencana tersebut harus tidak dapat<br />

dihindari, tidak dapat diprediksi dan luar<br />

biasa. Jika di suatu tempat, suatu bencana<br />

alam terjadi namun bencana alam tersebut<br />

merupakan hal yang biasa terjadi di sana,<br />

dalam hal bukan yang terjadi untuk pertama<br />

kali dan dapat diprediksi terjadinya, maka<br />

hal tersebut tidaklah termasuk kualifikasi<br />

Ketepatan Hakim dalam Penerapan Precautionary Principle sebagai “Ius Cogen” (Loura Hardjaloka) | 151<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 151 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:26 PM


encana alam Act of God. Dalam kasus ini,<br />

banjir bandang dan longsor yang terjadi<br />

bukanlah bencana alam karena telah dapat<br />

diprediksi, berdasarkan keterangan ahli<br />

Dr. Chay Asdak, narasumber tim 11 yang<br />

merupakan peristiwa alam siklus tahunan<br />

dan adanya faktor campur tangan dari<br />

manusia sehingga menjadi faktor pendorong<br />

terjadinya bencana tersebut.<br />

3. Terkait Precautionary Principle, Tergugat<br />

I tidak menerapkan prinsip tersebut karena<br />

walaupun telah ada bukti yang pasti dari<br />

hasil temuan yang menunjukkan bahwa<br />

terdapat beberapa titik rawan longsor,<br />

namun Tergugat I tidak menanganinya<br />

secara khusus sehingga terlihat tidak<br />

ada upaya pencegahan yang disebabkan<br />

oleh Tergugat I. Prinsip ini walaupun<br />

dalam eksepsi dan memori kasasi yang<br />

diajukan oleh Pemohon Kasasi I dahulu<br />

Tergugat I didalilkan bahwa belum berlaku<br />

sebagai hukum positif di Indonesia tetapi<br />

Precautionary Principle ini telah dipandang<br />

sebagai ius cogen yaitu sebagai suatu norma<br />

yang diterima dan diakui oleh masyarakat<br />

Internasional secara keseluruhan serta<br />

sebagai norma yang tidak dapat dilanggar<br />

dan hanya dapat diubah oleh suatu norma<br />

hukum dasar Internasional umum yang<br />

baru yang mempunyai sifat yang sama.<br />

SARAN<br />

1. Terkait strict liability, sebaiknya Pasal 35<br />

UU Nomor 23 Tahun 1997 maupun Pasal<br />

88 UU Nomor 32 Tahun 2009, diberi judul<br />

Strict Liability bukan tanggung jawab<br />

mutlak karena berarti tanggung jawab<br />

mutlak dapat diartikan Absolute Liability,<br />

sedangkan maksud dari ketentuan dalam<br />

pasal di atas adalah strict liability yang<br />

bersifat tidak absolute karena adanya<br />

pengecualian untuk bertanggung jawab dan<br />

adanya batasan besaran ganti rugi.<br />

2. Dalam hal ini, dalil bencana alam itu<br />

sangat penting untuk dibuktikan karena<br />

itu merupakan defense yang dapat<br />

menyebabkan tergugat tidak dibebani<br />

tanggung jawab. Sehingga hakim<br />

seharusnya dalam putusannya menyatakan<br />

dengan jelas pertimbangan serta keputusan<br />

apakah menolak atau menerima dalih<br />

tersebut.<br />

3. Terkait Precautionary Principle, maka<br />

sebaiknya harus dipahami bahwa prinsip<br />

tersebut berbeda dengan prinsip pencegahan<br />

karena berdasarkan UU Nomor 32 Tahun<br />

2009, Precautionary Principle telah dianut<br />

sebagai asas perlindungan dan pengelolaan<br />

lingkungan hidup, bukan prinsip pencegahan<br />

karena untuk lingkungan hidup, tidak dapat<br />

disebabkan penundaan untuk mencegah<br />

terjadinya kerusakan dan pencemaran<br />

lingkungan hidup hanya dikarenakan tidak<br />

adanya bukti atau bukti yang ada kurang<br />

lengkap.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Deville, A and R. Harding. 1997. Applying the<br />

Precautionary Principle. Annandale: The<br />

Federation Press.<br />

Fasoyiro, Laurencia. 2009. ”Invoking the Act of<br />

God Defense”. Environmental and Energy<br />

Law and Policy Journal. Vol.3(2), hal.<br />

1-33.<br />

152 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 134 -153<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 152 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:26 PM


Faure, Michael dan Nicole Niessen. 2006.<br />

Environment Law in Development: Lessons<br />

from the Indonesian Experience. UK:<br />

Edward Elgar Publishing Limited.<br />

Fraley, Jill M. 2010. Re-examining Acts of God.<br />

Pace Environmental Law Review, Vol. 27.<br />

Hey, E. 1992. The precautionary principle<br />

in environmental law and policy:<br />

Institutionalizing Precaution. Georgetown<br />

International Law Review, Vol. 4.<br />

Jones, William K. 1992.” Strict Liabililty for<br />

Hazardous Enterprise”. Columbia Law<br />

Review. Vol. 92.<br />

Kasim, Adil. 2007. ”Perbandingan Perbuatan<br />

Melanggar Hukum, Onrechtmatige Daad”.<br />

Dalam Sistem Eropa Kontinental dan<br />

Law of Torts dalam Sistem Anglo Saxon”.<br />

Majalah Varia Peradilan, Tahun ke XXII,<br />

Nomor 259.<br />

Kristl, Kenneth T. 2006. Diminishing The Divine:<br />

Climate Change and The Act of God<br />

Defense. Widener Law Review, Vol. 15.<br />

M’Gonigle, R.M., et. al. 1994. Taking Uncertainty<br />

Seriously: From Permissive Regulation<br />

to Preventive Design in Environmental<br />

Decision making. Osgoode Hall Law<br />

Journal Vol. 32.<br />

O’Riordan, T. and J. Cameron. 1996. Interpreting<br />

the Precautionary Principle. London:<br />

Earthscan Publishers.<br />

Pardy, Bruce. 2002. ”Applying the Precautionary<br />

Principle to Private Persons: Should it<br />

Affect Civil and Criminal Liability?”. Les<br />

Cahiers de Droit. Vol.43.<br />

Raffensperger, C. and J. Tickner, eds.<br />

1999. Protecting Public Health and<br />

the Environment: Implementing the<br />

Precautionary Principle. Washington, DC:<br />

Island Press.<br />

Reid, Elspeth. 1999. “Liability for Dangerous<br />

Activities: A Comparative Analysis”.<br />

The International and Comparative Law<br />

Quarterly. Vol. 48 (4).<br />

Siahaan, N.H.T. 2009. Hukum Lingkungan.<br />

Jakarta: Pancuran Alam Jakarta.<br />

Subekti. 1979. Pokok-pokok Hukum Perdata.<br />

Jakarta: Intermasa.<br />

Undang-undang<br />

Indonesia. Undang-undang Nomor 23 Tahun<br />

1997. Undang-undang tentang Pengelolaan<br />

Lingkungan Hidup. LN Nomor 68 Tahun<br />

1997. TLN Nomor 3699.<br />

Indonesia. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009.<br />

Undang-undang tentang Perlindungan dan<br />

Pengelolaan Lingkungan Hidup. LN Nomor<br />

140 Tahun 2009. TLN Nomor 5059.<br />

Ketepatan Hakim dalam Penerapan Precautionary Principle sebagai “Ius Cogen” (Loura Hardjaloka) | 153<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 153 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:26 PM


ABSTRAK<br />

PERTANggUNgJAWABAN PIDANA KORPORASI<br />

TERHADAP KORBAN DALAM<br />

KASUS TINDAK PIDANA LINgKUNgAN HIDUP<br />

Pihak yang paling menderita akibat pencemaran dan/<br />

atau perusakan lingkungan adalah para korban. Oleh<br />

karena itu setiap pihak yang melakukan kegiatan<br />

yang merugikan korban harus bertanggung jawab<br />

terhadap akibat dari perbuatan yang dilakukannya.<br />

Dari kasus yang dianalisis, dapat ditunjukkan bahwa<br />

sanksi pidana yang dijatuhkan pada pelaku baik<br />

pada tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi,<br />

maupun Mahkamah Agung masih berfokus pada<br />

pelaku kejahatan (offender) sebagai fokus utama<br />

dari sanksi pidana. Dengan hanya menjatuhkan<br />

pidana pada diri pelaku, dalam hal ini direktur<br />

PT DEI, sisi perlindungan terhadap korban belum<br />

diberikan. Pertanggungjawaban pidana korporasi<br />

terhadap korban tindak pidana lingkungan hidup<br />

dikatakan ideal apabila korban tindak pidana<br />

lingkungan hidup juga mendapatkan perlindungan<br />

hukum berbentuk pemberian ganti kerugian maupun<br />

pemulihan lingkungan. Salah satu cara agar korban<br />

mendapat perlindungan hukum yang merupakan<br />

bentuk pertanggungjawaban pelaku terhadap<br />

korban, adalah dengan penerapan asas tanggung<br />

jawab mutlak (strict liability) dalam tindak pidana<br />

Kajian Putusan MA Nomor 862K/Pid.Sus/2010<br />

cRIMINAL cORPORATE LIABILITy IN FAVOR OF THE VIcTIMS<br />

IN THE cASE OF ENVIRONMENTAL cRIME<br />

An Analysis on the Supreme Court Decision Number 862K/Pid.Sus/2010<br />

Yeni widowaty<br />

Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta<br />

Jl. Lingkar Barat Tamantirto Kasihan Bantul, DIY<br />

Email: yenni_widowatie@yahoo.com<br />

Diterima tgl 6 Juli <strong>2012</strong>/Disetujui tgl 18 Juli <strong>2012</strong><br />

lingkungan hidup dengan syarat-syarat tertentu.<br />

Kata kunci: pertanggungjawaban pidana korporasi,<br />

tanggung jawab mutlak, tindak pidana lingkungan<br />

hidup.<br />

abstract<br />

The people living in any poluted environments are<br />

those who are prone to be victimized. Any parties<br />

causing the troubles should be responsible for the<br />

damages. In the analysis of a case on environmental<br />

problem, the author of this article describes that<br />

criminal sanction imposed by the disctrict court,<br />

high court, and supreme court, are only targeted<br />

to the offender as happened to a director of PT<br />

DEI. In fact, the victims need some other kinds of<br />

sanction like compensation and/or environmental<br />

restoration rather than just imprisonment of the<br />

criminals. In order to protect the implicated people,<br />

it is recommended in certain conditions to apply the<br />

strict liability principle in addressing environmental<br />

crimes.<br />

Keywords: criminal corporate liability, strict<br />

liability, environmental crimes.<br />

154 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 154 -169<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 154 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:26 PM


I.<br />

PENDAHULUAN<br />

Tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan<br />

industri yang dilakukan oleh perusahaanperusahaan<br />

atau badan hukum di samping<br />

membawa pengaruh positif, juga dapat membawa<br />

pengaruh negatif. Sebagaimana dikemukakan<br />

oleh Wisnu Arya Wardana (2004: 24-25) bahwa<br />

kegiatan industri dan teknologi dapat memberikan<br />

dampak langsung dan tidak langsung. Dikatakan<br />

dampak langsung apabila kegiatan industri<br />

tersebut dapat langsung dirasakan oleh manusia.<br />

Dampak langsung yang bersifat positif memang<br />

diharapkan, akan tetapi dampak langsung yang<br />

bersifat negatif, yang mengurangi kualitas hidup<br />

manusia harus dihindari atau dikurangi. Adapun<br />

dampak langsung yang bersifat negatif dapat<br />

dilihat dari terjadinya masalah-masalah: (1).<br />

pencemaran udara, (2). pencemaran air dan (3).<br />

pencemaran daratan. Ketiga macam pencemaran<br />

tersebut di atas akan mengurangi daya dukung<br />

alam. Pencemaran udara, air dan daratan<br />

perlu dihindari sebagai bagian usaha menjaga<br />

kelestarian lingkungan, seperti pencemaran atau<br />

perusakan lingkungan hidup.<br />

Pendapat senada dikemukakan oleh Sonny<br />

Keraf bahwa berbagai kasus lingkungan hidup<br />

yang terjadi sekarang, baik lingkungan hidup<br />

global maupun lingkungan nasional, sebagian<br />

besar bersumber dari manusia. Kasus-kasus<br />

pencemaran dan kerusakan seperti di laut, hutan,<br />

air, tanah dan seterusnya bersumber dari perilaku<br />

manusia yang tidak bertanggung jawab (Keraf,<br />

2006: viii).<br />

Akibat pencemaran dan/atau perusakan<br />

lingkungan tersebut yang paling merasakan<br />

adalah korban. Korban juga yang paling menderita<br />

kerugian, baik kerugian materiil maupun<br />

immateriil bahkan juga berakibat korban cacat<br />

seumur hidup. Penderitaan juga akan dialami<br />

oleh keluarga korban, oleh karena itu wajar jika<br />

korban harus mendapat perlindungan. Kerugian<br />

yang diderita korban sebagai akibat pencemaran<br />

lingkungan yang dilakukan oleh korporasi, telah<br />

menimbulkan korban yang secara langsung<br />

diderita oleh masyarakat, baik kerugian harta<br />

benda, kesehatan baik fisik maupun psikis bahkan<br />

nyawa (Amrullah, 2008: 8).<br />

Bertolak dari alasan tersebut, penulis<br />

menganggap setiap pihak yang melakukan kegiatan<br />

yang merugikan korban harus bertanggung jawab<br />

terhadap akibat dari perbuatan yang dilakukannya,<br />

dalam hal ini termasuk lingkungan yang rusak.<br />

Salah satu putusan Pengadilan Negeri<br />

yang belum berpihak pada korban adalah<br />

Putusan Pengadilan Negeri Bekasi Nomor 460/<br />

Pid.B/2008/PN Bks. tentang kasus PT DEI . Kasus<br />

ini bermula pada bulan Oktober 2005 sampai<br />

dengan hari Minggu tanggal 11 Juni 2006 sekitar<br />

jam 13 warga masyarakat yang tinggal di sekitar<br />

Kampung Sempu Desa Pasirgombong Kecamatan<br />

Cikarang Utara mencium bau asam yang pahit<br />

dan menyengat akibat dari pembuangan limbah<br />

PT DEI.<br />

Bahwa akibat dari bau asam pembuangan<br />

limbah tersebut masyarakat di sekitar Kampung<br />

Sempu Desa Pasirgombong Kecamatan Cikarang<br />

Utara mengalami kepala pusing, tenggorokan<br />

kering, dada sesak, perut mual dan muntah-muntah<br />

dan sebagian masyarakat mengalami pingsan atau<br />

tidak sadarkan diri. Selanjutnya masyarakat yang<br />

mengalami sakit dibawa ke RS Medika Cikarang<br />

di mana hasil pemeriksaan menyimpulkan bahwa<br />

penyebab sakitnya warga Kampung Sempu Desa<br />

Pasirgombong Kecamatan Cikarang Utara adalah<br />

karena mencium bahan gas Ammonia (NH3),<br />

Hydrogen Sulphide (H2SO) dan Methane.<br />

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Korban Dalam Kasus Tindak Pidana (Yeni Widowaty) | 155<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 155 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:26 PM


Putusan Pengadilan Negeri: (1).<br />

Menyatakan terdakwa PT DEI (DEI) yang<br />

dalam hal ini diwakili oleh KYW telah terbukti<br />

secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan<br />

tindak pidana: Dengan sengaja dan melawan<br />

hukum menyuruh orang melakukan pencemaran<br />

lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam<br />

Pasal 41 (1) UU No. 23 Tahun 1997 tentang<br />

Pengelolaan Lingkungan Hidup jo Pasal 55 (1)<br />

ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat 1 KUHP sebagaimana<br />

dakwaan primair. (2). Menjatuhkan pidana<br />

kepada Terdakwa dengan pidana denda sebesar<br />

Rp.325.000.000,- (tiga ratus dua puluh lima<br />

juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan.<br />

(3). Perampasan keuntungan dari tindak pidana<br />

sebesar lebih kurang 410,2 ton sludge yang<br />

dijual kepada saksi AW dan Penutupan PT DEI.<br />

Putusan Pengadilan Negeri ini dikuatkan oleh<br />

Pengadilan Tinggi Bandung No. 465/Pid/2009/<br />

PT.Bdg tanggal 3 Desember 2009. Oleh karena<br />

Terdakwa belum puas atas putusan Pengadilan<br />

Tinggi maka kemudian mengajukan kasasi.<br />

Dalam putusan kasasi Mahkamah Agung No.<br />

862K/Pid.Sus/2010 mengabulkan permohonan<br />

kasasi dari pemohon kasasi/terdakwa KYW<br />

dan membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi<br />

Bandung yang menguatkan putusan Pengadilan<br />

Negeri Bekasi, sehingga putusan Mahkamah<br />

Agung adalah sebagai berikut:<br />

1. Menyatakan Terdakwa PT DEI yang dalam<br />

hal ini diwakili oleh KYW telah terbukti<br />

secara sah dan meyakinkan bersalah<br />

melakukan tindak pidana “pencemaran<br />

lingkungan hidup secara berlanjut<br />

sebagaimana dalam dakwaan primair”.<br />

2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu<br />

kepada terdakwa denngan pidana<br />

denda Rp.650.000,- dan apabila denda<br />

tidak dibayar maka diganti dengan<br />

pidana kurungan selama enam bulan.<br />

3. Perampasan yang diperolah dari tindak<br />

pidana sebesar lebih kurang 410,2 ton<br />

sludge yang dijual kepada saksi AW cs dan<br />

Penutupan PT DEI.<br />

Walaupun Mahkamah Agung membatalkan<br />

putusan Pengadilan Tinggi dan mengadili sendiri<br />

namun ternyata dalam putusan tidak jauh berbeda<br />

bahkan denda lebih tinggi.<br />

RUMUSAN MASALAH<br />

156 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 154 -169<br />

II.<br />

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas<br />

maka rumusan masalah yang diajukan adalah:<br />

1. Apakah pertanggungjawaban pidana<br />

korporasi terhadap korban tindak pidana<br />

lingkungan hidup sudah terwujud dalam<br />

putusan Mahkamah Agung No. 862K/Pid.<br />

Sus/2010?<br />

2. Bagaimanakah idealnya bentuk<br />

pertanggungjawaban pidana korporasi<br />

terhadap korban tindak pidana lingkungan<br />

hidup?<br />

III.<br />

STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS<br />

A. Studi Pustaka<br />

Pertanggungjawaban pidana merupakan<br />

salah satu dari persoalan dasar dalam hukum<br />

pidana, sehingga pertanggungjawaban pidana<br />

merupakan unsur penting dalam penjatuhan<br />

pidana. Dengan kata lain, pertanggungjawaban<br />

pidana merupakan bagian dari asas hukum pidana<br />

yang keberadaannya sangat diperlukan.<br />

Keberadaan korporasi sebagai subjek tindak<br />

pidana dalam kebijakan pembaruan hukum pidana<br />

membawa konsekuensi pada asas hukum pidana,<br />

yakni korporasi dapat dipertanggungjawabkan<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 156 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:26 PM


sama dengan orang pribadi (natural person).<br />

Tidak mudah untuk menentukan kapan<br />

pertanggungjawaban pidana dapat dimintakan<br />

kepada pengurus badan hukum atau kepada<br />

pengurus beserta badan hukum, sehingga hal ini<br />

menjadi permasalahan sendiri dalam praktek.<br />

(Smith dan Hogan, 1982). Hal ini dikarenakan<br />

dalam kasus lingkungan hidup ada kesulitan<br />

untuk membuktikan hubungan kausal antara<br />

kesalahan di dalam struktur usaha dan perilaku/<br />

perbuatan yang secara konkrit dilakukan.<br />

Terhadap sistem pertanggungjawaban<br />

korporasi sebagai pembuat dan dapat<br />

dipertanggungjawabkan, Muladi memberikan<br />

komentar bahwa korporasi dapat<br />

dipertanggungjawabkan sebagai pembuat, di<br />

samping manusia alamiah (natuurlijk persoon).<br />

Jadi penolakan pemidanaan korporasi berdasarkan<br />

universitas delinquere non potest sudah<br />

mengalami perubahan dengan menerima konsep<br />

pelaku fungsional (functioneel daderschap)<br />

(Muladi, 1989: 5).<br />

Menurut Oemar Seno Adji, yang mendukung<br />

korporasi sebagai subjek hukum pidana<br />

mengatakan bahwa”.......kemungkinan adanya<br />

pemidanaan terhadap persekutuan-persekutuan<br />

didasarkan tidak saja atas pertimbanganpertimbangan<br />

utilities, melainkan pula atas dasardasar<br />

teoritis dibenarkan (Adji, 1984: 160).<br />

Berdasarkan teori dalam hukum pidana<br />

terdapat dua kriteria untuk menentukan korporasi<br />

sebagai pelaku tindak pidana, yaitu Kriteria<br />

Rolling dan Kriteria Kawat Duri (Iron Wire)<br />

(Husin, 2009: 46). Berdasarkan kriteria Rolling<br />

korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban<br />

pidana apabila perbuatan yang dilarang dilakukan<br />

dalam rangka pelaksanaan tugas korporasi atau<br />

untuk mencapai tujuan korporasi. Berdasarkan<br />

kriteria kawat duri, korporasi dapat dijatuhkan<br />

hukuman pidana apabila dipenuhi dua syarat:<br />

1. Korporasi memiliki kekuasaan<br />

(power) baik secara de yure<br />

2.<br />

maupun de facto untuk mencegah<br />

atau menghentikan pelaku untuk<br />

melakukan kegiatan yang dilarang<br />

oleh undang-undang.<br />

Korporasi menerima tindakan pelaku<br />

(acceptance) sebagai bagian dari<br />

kebijakan korporasi.<br />

Menurut Sutan Remy Sjahdeni, suatu<br />

korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban<br />

pidana apabila sekalipun perbuatan korporasi<br />

dilakukan oleh orang-orang yang menjalankan<br />

kepengurusan atau kegiatan korporasi, namun<br />

perbuatan itu dilakukan dengan maksud<br />

memberikan manfaat, terutama berupa<br />

keuntungan finansial atau pun menghindarkan/<br />

mengurangi kerugian finansial bagi korporasi<br />

yang bersangkutan. Untuk menentukan seseorang<br />

dapat dipertanggungjawabkan atau tidak, maka<br />

tidak cukup jika orang yang bersangkutan<br />

melakukan tindak pidana, tetapi harus ada<br />

kesalahan (schuld) (Sjahdeni, 2006: 57).<br />

Pada prinsipnya orang tidak mungkin<br />

dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) jika tidak<br />

melakukan tindak pidana, akan tetapi meskipun<br />

melakukan tindak pidana tidak selalu dapat<br />

dipidana. Dapat juga dikatakan bahwa dipidananya<br />

si pembuat tidaklah cukup apabila orang itu<br />

telah melakukan perbuatan yang bertentangan<br />

dengan hukum. Untuk dapat dipidananya si<br />

pembuat maka harus ada kesalahan. Asas yang<br />

dikenal dengan asas tiada pidana tanpa kesalahan<br />

(Geen straf zonder schuld atau No punishment<br />

without guilt) ini merupakan asas pokok dalam<br />

pertanggungajawaban pembuat terhadap tindak<br />

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Korban Dalam Kasus Tindak Pidana (Yeni Widowaty) | 157<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 157 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:26 PM


pidana yang dilakukan. Asas hukum tidak tertulis<br />

ini dianut hukum pidana Indonesia saat ini. Asas<br />

tiada pidana tanpa kesalahan ini disimpangi<br />

oleh Strict liability dan vicarious liability.<br />

Dalam Strict liability pembuat tindak<br />

pidana sudah dapat dipidana hanya karena sudah<br />

dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tanpa<br />

melihat apakah pembuat bersalah atau tidak.<br />

Tidak semua tindak pidana dapat diterapkan<br />

asas pertanggungjawaban mutlak ini, namun<br />

hanya tindak pidana tertentu yaitu: apabila tindak<br />

pidana tersebut dilakukan oleh seseorang dalam<br />

menjalankan profesinya, yang mengandung<br />

elemen keahlian yang memadai (expertise),<br />

tanggung jawab sosial (social responsibility)<br />

dan kesejawatan (corporateness) yang didukung<br />

oleh suatu kode etik. Sedangkan pada vicariuos<br />

liability, tanggung jawab pidana seseorang<br />

diperluas sampai kepada tindakan bawahannya<br />

yang melakukan pekerjaan atau perbuatan<br />

untuknya atau dalam batas-batas perintahnya.<br />

Doctrine of strict liability<br />

Prinsip tanggung jawab mutlak (no-<br />

fault liability or liability without fault) dalam<br />

kepustakaan sering disebut dengan “absolute<br />

liability” atau “strict liability”. Menurut doktrin<br />

atau ajaran strict liability, pertanggungjawaban<br />

pidana dapat dibebankan kepada pelaku tindak<br />

pidana yang bersangkutan dengan tidak perlu<br />

dibuktikan adanya kesalahan (kesengajaan<br />

atau kealpaan) pada pelakunya. Menurut<br />

doktrin strict liability, seseorang sudah dapat<br />

dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana<br />

tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada<br />

kesalahan (mens rea). Secara singkat strict<br />

liability diartikan sebagai “liability without fault’<br />

(pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan)<br />

(Muladi dan Priyatna, 1991: 88).<br />

Dengan demikian, jika dalam hukum<br />

pidana berlaku asas “tiada pidana tanpa<br />

kesalahan” atau “geen straft zonder schuld”,<br />

maka dalam perkembangannya dapat pula dalam<br />

suatu tindak pidana kepada pelaku dibebankan<br />

pertanggungjawaban meskipun tidak ada<br />

kesalahan. Hal itu cukup dibuktikan bahwa<br />

pelaku telah melakukan suatu perbuatan pidana.<br />

Menurut L.B Curson, (Muladi dan Priyatna,<br />

1991: 88) doktrin strict liability didasarkan pada<br />

alasan-alasan sebagai berikut:<br />

1. adalah sangat esensial untuk menjamin<br />

dipatuhinya peraturan-peraturan penting<br />

tertentu yang diperlukan untuk kesejahteraan<br />

sosial;<br />

2. pembuktian adanya mens rea akan menjadi<br />

sangat sulit untuk pelanggaran-pelanggaran<br />

yang berhubungan dengan kesejahteraan<br />

sosial itu;<br />

3. tingginya tingkat bahaya sosial yang<br />

ditimbulkan oleh perbuatan yang<br />

bersangkutan.<br />

Argumentasi yang hampir sama<br />

dikemukakan pula dalam bukunya Ted Honderich,<br />

yang mengemukakan alasan untuk strict liability<br />

adalah:<br />

a. sulitnya untuk membuktikan<br />

pertanggungjawaban untuk tindak pidana<br />

tertentu;<br />

b. sangat perlunya mencegah jenis-jenis<br />

tindak pidana tertentu untuk menghindari<br />

adanya bahaya-bahaya yang sangat luas;<br />

c. pidana yang dijatuhkan sebagai akibat strict<br />

liability adalah ringan.<br />

Negara Inggris (Kementerian Negara<br />

158 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 154 -169<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 158 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:26 PM


Lingkungan Hidup dan ICEL, 1995/1996)<br />

penggunaan asas tanggung jawab mutlak mulai<br />

berkembang dalam kasus Rylands vs Fletcher,<br />

pada tahun 1868. House of Lord, Pengadilan<br />

Tingkat Kasasi di Inggris melahirkan suatu<br />

kriteria yang menentukan bahwa suatu kegiatan<br />

atau penggunaan sumber daya dapat dikenai strict<br />

liability jika penggunaan tersebut bersifat nonnatural<br />

atau di luar kelaziman atau tidak seperti<br />

biasanya. Sebelumnya, Pengadilan Tingkat<br />

Pertama (The Court of Exhequer) memenangkan<br />

pihak tergugat atau pemilik waduk. Pertimbangan<br />

yang diberikan adalah, bahwa pada diri penggugat<br />

tidak terdapat unsur kelalaian.<br />

Hal ini tidak memuaskan penggugat yang<br />

kemudian mengajukan banding ke Court of<br />

Court of Exchequer Chamber. Di pengadilan<br />

tingkat banding, gugatan penggugat diterima<br />

dan tergugat dinyatakan bersalah. Pengadilan<br />

berpendapat bahwa setiap orang demi<br />

kepentingannya membawa, mengumpulkan dan<br />

menyimpan segala sesuatu di atas tanahnya yang<br />

dapat merugikan pihak lain, wajib memelihara<br />

benda itu.<br />

Jika ia tidak mampu melakukannya, maka<br />

ia dapat bertanggung jawab atas akibat-akibat<br />

yang ditimbulkannya. Ia dapat bebas, terkecuali<br />

jika ia dapat membuktikan bahwa kerugian yang<br />

timbul adalah akibat dari kesalahan penggugat<br />

sendiri atau akibat bencana alam. Menyusul<br />

keputusan inilah, kemudian tergugat mengajukan<br />

kasasi ke House of Lord, namun justru House of<br />

Lord mengukuhkan putusan yang telah dibuat<br />

oleh pengadilan di tingkat banding.<br />

Doktrin Vicarious liability<br />

Menurut doktrin vicarious liability,<br />

seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas<br />

perbuatan dan kesalahan orang lain (Arief, 2002:<br />

151). Dengan demikian dalam vicarious liability<br />

ada pembebanan pertanggungjawaban seseorang<br />

dari tindak pidana yang dilakukan orang lain.<br />

Kedua orang tersebut harus mempunyai hubungan<br />

yaitu atasan dan bawahan atau majikan dan buruh<br />

atau ada hubungan pekerjaan. Disebut juga dengan<br />

pertanggungjawaban pengganti (Ali, 2008:<br />

63). Jadi walaupun seseorang tidak melakukan<br />

sendiri suatu tindak pidana dan tidak mempunyai<br />

kesalahan, tetapi dapat dipertanggungjawabkan.<br />

Tidak semua delik dapat dilakukan secara<br />

vicarious. Pengadilan telah mengembangkan<br />

prinsip-prinsip mengenai hal ini salah satunya<br />

adalah ”employment principle”. Menurut doktrin<br />

ini, majikan (employer) penanggung jawab utama<br />

dari perbuatan-perbuatan para buruh/karyawan<br />

yang melakukan perbuatan itu dalam ruang<br />

lingkup tugas/pekerjaannya (Arief, 2002: 152).<br />

Di Inggris Vicarious liability ini hanya<br />

berlaku terhadap: (1). Delik-delik yang<br />

mensyaratkan kualitas. (2). Delik-delik yang<br />

mensyaratkan adanya hubungan antara buruh dan<br />

majikan (Muladi dan Priyatna, 2010: 110).<br />

Doktrin yang memperkuat adanya<br />

pertanggungjawaban perusahaan dapat<br />

dibebankan pada direktur adalah doktrin<br />

Fiduciary Duty. Menurut prinsip Fiduciary Duty<br />

tugas utama dari direksi suatu perseroan adalah<br />

(Fuady, 2002: 32):<br />

1. Fungsi manajemen, dalam arti direksi<br />

melakukan tugas memimpin perusahaan.<br />

2. Fungsi representasi, dalam arti direksi<br />

mewakili perusahaan di dalam dan di luar<br />

pengadilan.<br />

Dengan demikian doktrin fiduciary duty ini<br />

berlaku bagi direksi dalam menjalankan tugasnya<br />

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Korban Dalam Kasus Tindak Pidana (Yeni Widowaty) | 159<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 159 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:27 PM


aik sebagai manajemen maupun sebagai<br />

representasi dari perseroan.<br />

Bagian penting dalam sistem pemidanaan<br />

adalah menetapkan suatu sanksi. Keberadaannya<br />

akan memberikan arah dan pertimbangan mengenai<br />

apa yang seharusnya dijadikan sanksi dalam suatu<br />

tindak pidana untuk menegakkan berlakunya<br />

norma. Pemidanaan dapat diartikan sebagai<br />

tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian<br />

sanksi dalam hukum pidana. Apa yang menjadi<br />

tujuan pemidanaan tidak lepas dari tujuan hukum<br />

pada umumnya yaitu tercapainya kesejahteraan<br />

masyarakat materiil dan spirituil, dan perbuatan<br />

yang tidak dikehendaki yaitu perbuatan yang<br />

mendatangkan kerugian masyarakat (Dewantara,<br />

1988: 11).<br />

Roeslan Saleh juga mengemukakan bahwa<br />

pidana mengandung hal-hal lain, yaitu bahwa<br />

pidana diharapkan sebagai sesuatu yang akan<br />

membawa kerukunan dan pidana adalah suatu<br />

proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat<br />

diterima kembali dalam masyarakat (Muladi dan<br />

Arief, 1992: 22).<br />

Dalam penulisan ini yang dimaksud tindak<br />

pidana lingkungan hidup adalah suatu perbuatan<br />

pidana yang dilarang dan diancam pidana menurut<br />

ketentuan undang-undang lingkungan hidup yaitu<br />

Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 dan Undang-<br />

Undang No. 32 Tahun 2009. Dikemukakannya<br />

dua undang-undang tersebut karena pemeriksaan<br />

terhadap kasus PT DEI menggunakan UULH<br />

yang lama yaitu UU No. 23 Tahun 1997, padahal<br />

undang-undang tersebut sudah dicabut dan<br />

diganti UU No. 32 Tahun 2009 sehingga dalam<br />

mengkaji dan menganalisis kasus kedua undangundang<br />

tersebut akan disandingkan.<br />

Adapun yang dimaksud dengan korban<br />

dalam penulisan ini adalah mereka yang secara<br />

fakta (factual victim) menderita kerugian secara<br />

materiil akibat suatu tindak pidana lingkungan<br />

yang dilakukan oleh korporasi dalam melakukan<br />

kegiatan usahanya. Mereka dalam kajian ini<br />

adalah orang perorangan, masyarakat dan/atau<br />

lingkungan.<br />

B. Analisis<br />

1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi<br />

Terhadap Korban Tindak Pidana<br />

Lingkungan Hidup dalam Putusan<br />

Mahkamah Agung No. 862K/Pid.<br />

Sus/2010 tentang Kasus PT DEI<br />

Pertanggungjawaban pidana hanya dapat<br />

terjadi jika sebelumnya seseorang ataupun<br />

korporasi telah dinyatakan melakukan tindak<br />

pidana. Dalam arti luas pertanggungjawaban<br />

meliputi 3 (tiga) persoalan pokok dalam hukum<br />

pidana. Hal yang sangat mendasar sebagai 3<br />

(tiga) persoalan pokok dalam hukum pidana<br />

menurut Sauer, yaitu sifat melawan hukum<br />

(unrecht), kesalahan (schuld), dan pidana (straf)<br />

(Sauer, 1921: 8). Herbert L. Packer menyebut<br />

ketiga masalah tersebut berkenaan dengan crime,<br />

responsibility, dan punishment (Packer, 1968: 54).<br />

Dalam perkembangan hukum pidana<br />

Indonesia, pengaturan korporasi sebagai pelaku<br />

tindak pidana dilangsungkan melalui tiga sistem<br />

pertanggungjawaban korporasi, yaitu (1) pengurus<br />

korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah<br />

yang bertanggung jawab; (2) korporasi sebagai<br />

pembuat, maka pengurus yang bertanggung<br />

jawab, dan (3) korporasi sebagai pembuat dan<br />

yang bertanggung jawab (Setiyono, 2005: 2).<br />

Mengkaji kasus PT DEI , ditinjau dari<br />

subjek yang dipertanggungjawabkan sudah<br />

sesuai aturan yang berlaku yaitu korporasi<br />

160 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 154 -169<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 160 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:27 PM


dalam hal ini diwakili oleh Presiden Direktur<br />

Kim Young Woo. Doktrin yang memperkuat<br />

adanya pertanggungjawaban perusahaan dapat<br />

dibebankan pada direktur adalah doktrin Fiduciary<br />

Duty. Menurut prinsip Fiduciary Duty tugas<br />

utama dari direksi suatu perseroan adalah fungsi<br />

manajemen, dalam arti direksi melakukan tugas<br />

memimpin perusahaan dan fungsi representasi,<br />

dalam arti direksi mewakili perusahaan di dalam<br />

dan di luar pengadilan (Fuady, 2002: 32).<br />

Menurut ketentuan Pasal 98 ayat (1)<br />

Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang<br />

Perseroan Terbatas: “Direksi mewakili Perseroan<br />

baik di dalam maupun di luar Pengadilan”.<br />

Dengan demikian maka jika korporasi<br />

dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang<br />

dilakukannya akan diwakili oleh Direktur.<br />

Mengenai pertanggungjawaban korporasi<br />

dalam UULH juga sudah mengaturnya. Menurut<br />

UULH yang lama yaitu pada saat kasus ini<br />

berlangsung dan diperiksa ketentuan mengenai<br />

hal ini diatur Pasal 46 UU No. 23 Tahun 1997<br />

tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.<br />

Pasal 46<br />

1. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud<br />

dalam bab ini dilakukan oleh atau atas nama<br />

badan hukum, perseroan, perserikatan,<br />

yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana<br />

dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan<br />

tata tertib sebagaimana dimaksud dalam<br />

Pasal 47 dijatuhkan baik terhadap badan<br />

hukum, perseroan, perserikatan, yayasan<br />

atau organisasi lain tersebut maupun<br />

terhadap mereka yang memberi perintah<br />

untuk melakukan tindak pidana tersebut atau<br />

yang bertindak sebagai pemimpin dalam<br />

perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.<br />

2. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud<br />

dalam bab ini, dilakukan oleh atau<br />

atas nama badan hukum, perseroan,<br />

perserikatan, yayasan atau organisasi<br />

lain, dan dilakukan oleh orang-orang,<br />

baik berdasarkan hubungan kerja maupun<br />

berdasar hubungan lain, yang bertindak<br />

dalam lingkungan badan hukum, perseroan,<br />

perserikatan, yayasan atau organisasi lain,<br />

tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana<br />

dijatuhkan terhadap mereka yang memberi<br />

perintah atau yang bertindak sebagai<br />

pemimpin tanpa mengingat apakah orangorang<br />

tersebut, baik berdasar hubungan<br />

kerja maupun berdasar hubungan lain,<br />

melakukan tindak pidana secara sendiri<br />

atau bersama-sama.<br />

3. Jika tuntutan dilakukan terhadap badan<br />

hukum, perseroan, perserikatan, yayasan<br />

atau organisasi lain, panggilan untuk<br />

menghadap dan penyerahan surat-surat<br />

panggilan itu ditujukan kepada pengurus<br />

di tempat tinggal mereka, atau di tempat<br />

pengurus melakukan pekerjaan yang tetap.<br />

4. Jika tuntutan dilakukan terhadap<br />

badan hukum, perseroan, perserikatan,<br />

yayasan atau organisasi lain, yang pada<br />

saat penuntutan diwakili oleh bukan<br />

pengurus, hakim dapat memerintahkan<br />

supaya pengurus menghadap sendiri di<br />

pengadilan.<br />

Mengenai siapa yang dapat<br />

dipertanggungjawabkan jika tindak pidana<br />

dilakukan oleh korporasi juga diatur dalam<br />

undang-undang lingkungan hidup yang baru<br />

Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang<br />

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan<br />

Hidup dalam Pasal 116 menyatakan:<br />

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Korban Dalam Kasus Tindak Pidana (Yeni Widowaty) | 161<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 161 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:27 PM


1. Apabila tindak pidana lingkungan hidup<br />

dilakukan oleh, untuk, atau atas nama<br />

badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi<br />

pidana dijatuhkan kepada:<br />

a. badan usaha; dan/atau<br />

b. orang yang memberi perintah untuk<br />

melakukan tindak pidana tersebut<br />

atau orang yang bertindak sebagai<br />

pemimpin kegiatan dalam tindak<br />

pidana tersebut.<br />

2. Apabila tindak pidana lingkungan hidup<br />

sebagaimana dimaksud pada ayat (1)<br />

dilakukan oleh orang, yang berdasarkan<br />

hubungan kerja atau berdasarkan hubungan<br />

lain yang bertindak dalam lingkup kerja<br />

badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan<br />

terhadap pemberi perintah atau pemimpin<br />

dalam tindak pidana tersebut tanpa<br />

memperhatikan tindak pidana tersebut<br />

dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.<br />

Baik putusan Pengadilan Negeri, Pengadilan<br />

Tinggi dan Mahkamah Agung pada kasus PT DEI<br />

ini putusan pidana dijatuhkan terhadap korporasi<br />

yang diwakili oleh direkturnya yaitu KYW.<br />

Dijatuhkannya putusan pidana karena<br />

berdasarkan pemeriksaan pengadilan dan<br />

didukung bukti-bukti yang kuat terdakwa memang<br />

bersalah. Bukti-bukti tersebut di antaranya<br />

berupa Visum et Repertum yang ditandatangani<br />

dr. Ridwan Juansyah menyimpulkan sebagai<br />

berikut:<br />

1. YT dengan nomor Rekam Medis (RM)<br />

053859 dengan hasil diagnosis gangguan<br />

atas pernapasan dan nyeri ulu hati.<br />

2. WN nomor RM. 053852 dengan hasil<br />

diagnosis gangguan pencernaan dan<br />

gangguan ringan pernafasan atas.<br />

3. AG nomor RM 053841 menderita nyeri ulu<br />

hati.<br />

4. KS nomor RM 053837 dengan hasil<br />

dianosis gangguan pernafasan atas dan<br />

nyeri ulu hati.<br />

5. HR nomor RM 053845 dengan hasil<br />

menderita nyeri ulu hati.<br />

6. YA nomor RM 053842 menderita nyeri ulu<br />

hati.<br />

7. AT nomor RM 053836 dengan hasil<br />

diagnosis nyeri ulu hati.<br />

8. GN nomor RM 053839 dengan hasil<br />

menderita nyeri ulu hati.<br />

9. ST nomor RM 053851 dengan hasil nyeri<br />

ulu hati.<br />

10. JM nomor RM 053904 dengan hasil<br />

diagnosis nyeri ulu hati.<br />

11. BS nomor RM 053905 dengan hasil<br />

menderita nyeri ulu hati.<br />

12. KM nomor RM 053900 dengan hasil<br />

gangguan pernapasan dan nyeri ulu hati.<br />

Di samping itu berdasarkan pemeriksaan<br />

laboratoris kriminalistik TKP No. Lab: 3267/<br />

KTF/2006 pada hari Senin 26 Juni 2006<br />

disimpulkan:<br />

Limbah yang terdapat di TKP Kabupaten<br />

Bekasi serta limbah dari TKP PT DEI<br />

merupakan limbah B3.<br />

162 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 154 -169<br />

•<br />

•<br />

•<br />

Limbah yang terdapat di TKP merupakan<br />

penyebab gejala keracunan yang dialami<br />

oleh penduduk yang terpapar oleh bau (gas)<br />

yang keluar dari limbah tersebut.<br />

Penampakan fisik dan komponen kimiawi<br />

limbah yang terdapat di TKP sama dengan<br />

limbah yang terdapat di PT DEI yang<br />

merupakan limbah B3.<br />

PT DEI seharusnya membuang limbah cair<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 162 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:27 PM


B3 dikirim ke PPLI di Bogor untuk diproses lebih<br />

lanjut, maka PT DEI mendapatkan keuntungan<br />

karena jumlah sludge (filter press cake) sejak<br />

berdiri hingga bulan Mei 2006 sebanyak 468,4<br />

ton dan baru dikirim ke PPLI 58,2 ton sehingga<br />

terdapat selisih sebanyak 410,2 ton. Dengan<br />

demikian PT DEI mendapat keuntungan sekitar<br />

$31175,2. Perbuatan terdakwa diatur dan diancam<br />

Pasal 41 ayat (1) jo Pasal 45 jo Pasal 47 UU No.<br />

23 Tahun 1997 jo Pasal 64 KUHP.<br />

Bukti lainnya adalah: bahwa berdasarkan<br />

keterangan masyarakat diketahui bahwa PT DEI<br />

telah membuang limbah ke tanah lapang yang<br />

terletak di Cikarang pada hari Sabtu 10 Juni 2006<br />

dan Minggu tanggal 11 Juni 2006 mulai pukul<br />

9.00 Wib sampai dengan 15.30 Wib sebanyak<br />

3 rit untuk tanggal 10 Juni 2006 dan 4 rit untuk<br />

tanggal 11 Juni 2006 yang masing-masing terdiri<br />

dari 3 plastik container (PC) ukuran 1000 liter.<br />

Dalam kenyataannya walaupun Terdakwa<br />

dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana,<br />

namun tidak ada putusan yang mewujudkan<br />

pertanggungjawaban pelaku kepada korban.<br />

Adapun jenis putusan yang dijatuhkan<br />

adalah sebagai berikut:<br />

Putusan Pengadilan Negeri:<br />

1. Menyatakan terdakwa PT DEI yang dalam<br />

hal ini diwakili oleh KYW telah terbukti<br />

secara sah dan meyakinkan bersalah<br />

melakukan tindak pidana: Dengan sengaja<br />

dan melawan hukum menyuruh orang<br />

melakukan pencemaran lingkungan hidup<br />

sebagaimana diatur dalam Pasal 41 (1) UU<br />

No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan<br />

Lingkungan Hidup jo Pasal 55 (1) ke-1<br />

KUHP jo Pasal 64 (1) KUHP sebagaimana<br />

dakwaan primair.<br />

2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa<br />

dengan pidana denda sebesar<br />

Rp.325.000.000,- (tiga ratus dua puluh<br />

lima juta rupiah) subsidair enam bulan<br />

kurungan.<br />

3. Perampasan keuntungan dari tindak pidana<br />

sebesar lebih kurang 410,2 ton sludge yang<br />

dijual kepada saksi AW dan Penutupan PT<br />

DEI.<br />

4. Menetapkan barang bukti satu unit<br />

mobil mitshubisi FE 334 DSL No. Pol<br />

B 9148 SY dikembalikan kepada PT IF,<br />

sedangkan limbah serta beberapa peralatan<br />

dimusnahkan.<br />

5. Menghukum terdakwa membayar biaya<br />

perkara sebesar seribu rupiah.<br />

Tidak terima atas putusan Pengadilan<br />

Negeri Terdakwa kemudian mengajukan<br />

banding ke Pengadilan Tinggi Bandung. Dalam<br />

putusannya ternyata Pengadilan Tinggi Bandung<br />

No. 465/Pid/2009/PT.Bdg tanggal 3 Desember<br />

2009 menguatkan Putusan Pengadilan Negeri<br />

yaitu:<br />

1. Menerima permohonan banding dari kuasa<br />

hukum terdakwa.<br />

2. Menguatkan putusan Pengadilan Negeri<br />

Bekasi tanggal 22 Juni 2009 No. 458/<br />

Pid.B/2008/PN.Bks.<br />

3. Membebankan biaya perkara kepada<br />

Terdakwa dalam dua tingkat peradilan,<br />

sedangkan dalam tingkat Banding sebesar<br />

Rp.5.000,-<br />

Terhadap putusan Pengadilan Tinggi tersebut<br />

Terdakwa belum puas sehingga mengajukan<br />

kasasi. Selanjutnya dalam tingkat kasasi putusan<br />

Mahkamah Agung No. 862K/Pid.Sus/2010<br />

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Korban Dalam Kasus Tindak Pidana (Yeni Widowaty) | 163<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 163 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:27 PM


mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon<br />

kasasi/terdakwa KYW dan membatalkan Putusan<br />

Pengadilan Tinggi Bandung yang menguatkan<br />

putusan Pengadilan Negeri Bekasi, sehingga<br />

putusan Mahkamah Agung adalah sebagai<br />

berikut:<br />

1. Menyatakan Terdakwa PT DEI yang dalam<br />

hal ini diwakili oleh KYW telah terbukti<br />

secara sah dan meyakinkan bersalah<br />

melakukan tindak pidana “pencemaran<br />

lingkungan hidup secara berlanjut<br />

sebagaimana dalam dakwaan primair”.<br />

2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu<br />

kepada Terdakwa dengan pidana denda<br />

Rp.650.000.000,- (enam ratus lima puluh<br />

juta rupiah) dan apabila denda tidak dibayar<br />

maka diganti dengan pidana kurungan<br />

selama enam bulan.<br />

3. Perampasan yang diperolah dari tindak<br />

pidana sebesar lebih kurang 410,2 ton<br />

sludge yang dijual kepada saksi AW cs dan<br />

Penutupan PT DEI.<br />

4. Menetapkan barang bukti satu unit<br />

mobil mitshubisi FE 334 DSL No. Pol<br />

B 9148 SY dikembalikan kepada PT IF.<br />

Sedangkan limbah serta beberapa peralatan<br />

dimusnahkan.<br />

5. Membayar biaya perkara sebesar Rp.2.500,-<br />

Mengkaji putusan-putusan tersebut di atas,<br />

baik putusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi<br />

maupun Mahkamah Agung, Terdakwa terbukti<br />

bersalah melakukan tindak pidana pada dakwaan<br />

primair. Sebetulnya dakwaan primair nya adalah<br />

perbuatan yang diatur dan diancam Pasal 41 ayat<br />

(1) jo Pasal 45 jo Pasal 47 UU No. 23 Tahun<br />

1997 jo Pasal 64 KUHP, namun ternyata Pasal<br />

47 yang terkait dengan korban tidak digunakan.<br />

Padahal hanya di dalam Pasal 47 itulah terdapat<br />

unsur di mana ada tindakan tata tertib yang<br />

dijatuhkan kepada pelaku terkait dengan korban.<br />

Selengkapnya Pasal 47 UU No. 23 Tahun<br />

1997 adalah:<br />

“Selain ketentuan pidana sebagaimana<br />

dimaksud dalam Kitab Undang-undang<br />

Hukum Pidana dan undang-undang ini,<br />

terhadap pelaku tindak pidana lingkungan<br />

hidup dapat pula dikenakan tindakan tata<br />

tertib berupa:<br />

a. Perampasan keuntungan yang<br />

b.<br />

diperoleh dari tindak pidana; dan atau<br />

Penutupan seluruhnya atau sebagian<br />

perusahaan; dan/atau<br />

c. Perbaikan akibat tindak pidana; dan/<br />

atau<br />

d. Mewajibkan mengerjakan apa yang<br />

dilalaikan tanpa hak; dan/atau<br />

e. Meniadakan apa yang dilalaikan<br />

tanpa hak; dan/atau<br />

f. Menempatkan perusahaan di bawah<br />

pengampunan paling lama 3 (tiga)<br />

tahun.<br />

Ketentuan serupa juga diatur dalam<br />

undang-undang lingkungan hidup yang baru<br />

yaitu Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Pasal<br />

119. Selanjutnya Pasal 119 menentukan bahwa:<br />

“Selain pidana sebagaimana dimaksud<br />

dalam undang-undang ini, terhadap badan<br />

usaha dapat dikenakan pidana tambahan<br />

atau tindakan tata tertib berupa:<br />

a. perampasan keuntungan yang<br />

b.<br />

diperoleh dari tindak pidana;<br />

penutupan seluruh atau sebagian<br />

164 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 154 -169<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 164 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:27 PM


tempat usaha dan/atau kegiatan;<br />

c. perbaikan akibat tindak pidana;<br />

d. kewajiban mengerjakan apa yang<br />

dilalaikan tanpa hak; dan/atau<br />

e. penempatan perusahaan di bawah<br />

pengampuan paling lama 3 (tiga)<br />

tahun.<br />

Tidak ada penjelasan resmi mengenai apa<br />

yang dimaksud dengan perbaikan akibat tindak<br />

pidana, karena dalam penjelasan undang-undang<br />

hanya dinyatakan “cukup jelas”.<br />

Menurut Penulis sanksi pidana yang<br />

dijatuhkan pada pelaku baik pada tingkat PN, PT<br />

maupun MA masih berfokus pada offender. Jika<br />

selama ini orientasi hukum pidana Indonesia lebih<br />

bersifat offender oriented, yaitu pelaku kejahatan<br />

merupakan fokus utama dari hukum pidana, maka<br />

benarlah adanya. Padahal penjatuhan sanksi<br />

kepada pelaku belumlah cukup tanpa memikirkan<br />

kondisi korban.<br />

Apabila mengacu pada konsep hukum<br />

sebagai “pengayom” bahwa hukum harus<br />

mengayomi semua orang baik sebagai tersangka,<br />

terdakwa atau terpidana (pelanggar) maupun<br />

korbannya, maka pelanggar hukum pidana,<br />

dalam statusnya sebagai tersangka, terdakwa<br />

atau terpidana sudah memperoleh perlindungan<br />

dalam KUHAP, sedangkan korban kejahatan<br />

baik statusnya sebagai pelapor, saksi dan pihak<br />

yang dirugikan belum memperoleh perlindungan<br />

hukum (Mudzakir, 2001: 295).<br />

Jika demikian maka yang dapat dimintakan<br />

pertanggungjawaban untuk memberikan<br />

perlindungan hukum terhadap korban adalah<br />

subjek pelaku tindak pidana itu sendiri. Pelaku<br />

tindak pidana itu sendiri bisa orang-perorangan<br />

maupun korporasi.<br />

2. Bentuk Pertanggungjawaban Pidana<br />

Korporasi Terhadap Korban Tindak<br />

Pidana Lingkungan Hidup yang Ideal<br />

Penulis membuat batasan bahwa<br />

pertanggungjawaban pidana terhadap korban<br />

dikatakan ideal apabila korban tindak pidana<br />

lingkungan hidup mendapatkan perlindungan<br />

hukum. Perlindungan itu dapat diberikan dalam<br />

bentuk pemberian ganti kerugian maupun<br />

pemulihan lingkungan. Dengan demikian dalam<br />

putusan pemidanaan tidaklah cukup hanya<br />

dengan dipidananya pelaku.<br />

Salah satu cara agar korban mendapat<br />

perlindungan hukum yang merupakan bentuk<br />

pertanggungjawaban pelaku terhadap korban<br />

maka dapat diterapkan doktrin strict liability<br />

(tanggung jawab mutlak) dalam tindak pidana<br />

lingkungan hidup.<br />

James E. Krier mengemukakan bahwa<br />

doktrin tanggung jawab mutlak dapat merupakan<br />

bantuan yang sangat besar dalam peradilan<br />

mengenai kasus-kasus lingkungan, karena<br />

banyak kegiatan-kegiatan yang menurut<br />

pengalaman menimbulkan kerugian terhadap<br />

lingkungan merupakan tindakan-tindakan yang<br />

berbahaya, untuk mana dapat diberlakukan<br />

ketentuan tanggung jawab tanpa kesalahan<br />

(Hardjasoemantri, 2000: 387).<br />

Asas tanggung jawab mutlak telah berlaku<br />

di Indonesia sejak adanya kasus pencemaran<br />

laut oleh tumpahan minyak dari kapal yang<br />

diatur dalam “International Convention on Civil<br />

Liability for oil Pollution Damage 1969 (CLC<br />

1969). Ratifikasi ini dilaksanakan oleh Indonesia<br />

dengan keputusan Presiden No. 18 Tahun 1978<br />

(Hardjasoemantri, 2000: 388).<br />

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Korban Dalam Kasus Tindak Pidana (Yeni Widowaty) | 165<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 165 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:27 PM


Menurut Daud Silalahi jenis-jenis kegiatan<br />

yang dapat diberlakukan asas tanggung jawab<br />

mutlak yaitu, kegiatan yang dapat menimbulkan<br />

bahaya besar yang akibatnya tidak dapat diatasi<br />

dengan upaya yang lazim dilakukan (abnormally<br />

dangerous activities). Adapun ukuran<br />

untuk menentukan kegiatan-kegiatan yang<br />

dikategorikan sebagai dapat menimbulkan bahaya<br />

atau akibat besar (the standard of abnormality)<br />

didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut<br />

(Hardjasoemantri, 2000: 394-395):<br />

a. tingkat risiko (the degree of risk), dalam<br />

hal ini resiko dianggap tinggi apabila tidak<br />

dapat dijangkau oleh upaya yang lazim,<br />

menurut kemampuan teknologi yang telah<br />

ada.<br />

b. Tingkat bahaya (the gravity of harm), dalam<br />

hal ini bahaya dianggap sangat sulit untuk<br />

dicegah pada saat mulai terjadinya;<br />

c. Tingkat kelayakan upaya pencegahan,<br />

dalam hal ini si penanggung jawab<br />

harus menunjukkan upaya maksimal<br />

untuk mencegah terjadinya akibat yang<br />

menimbulkan kerugian pada pihak lain<br />

Pertimbangan terhadap keseluruhan<br />

nilai kegiatan (value of activity), dalam hal<br />

ini pertimbangan risiko dan manfaat kegiatan<br />

telah dilakukan secara memadai sehingga dapat<br />

diperkirakan bahwa keuntungan yang diperoleh<br />

akan lebih besar jika dibandingkan dengan<br />

ongkos-ongkos yang harus dikeluarkan untuk<br />

mencegah timbulnya bahaya.<br />

Jika mengacu pada asas fundamental<br />

UUDNRI 1945 pengaturan mengenai lingkungan<br />

hidup diatur Pasal 28H ayat (1) menentukan<br />

bahwa: Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir<br />

dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan<br />

lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak<br />

memperoleh pelayanan kesehatan. Penjabaran<br />

lebih lanjut terdapat dalam konsideran UUPPLH<br />

2009 yang menyatakan: bahwa lingkungan<br />

hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi<br />

setiap warga negara Indonesia sebagaimana<br />

diamanatkan dalam Pasal 28H Undang-Undang<br />

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.<br />

dengan demikian sangatlah tepat jika prinsip<br />

tanggung jawab mutlak tersebut diterapkan dalam<br />

tindak pidana lingkungan hidup.<br />

Dalam konsep KUHP asas ini sudah diatur<br />

secara eksplisit dalam Buku I Bagian 2 Paragraph<br />

2 mengenai Kesalahan. Asas kesalahan ini<br />

merupakan asas fundamental yang sangat penting<br />

maka dalam konsep KUHP ditegaskan secara<br />

eksplisist Pasal 37 ayat (1) konsep 2008. Pasal 37<br />

ayat (1) menentukan bahwa: ”tidak seorangpun<br />

yang melakukan tindak pidana dipidana tanpa<br />

kesalahan”. Jadi walaupun prinsipnya bertolak<br />

dari pertanggungjawaban pidana berdasarkan<br />

kesalahan (liability based on fault), namun<br />

dalam hal-hal tertentu konsep juga memberikan<br />

kemungkinan adanya “pertanggungjawaban yang<br />

ketat” (Strict liability) dan pertanggungjawaban<br />

pengganti (vicarious liability) yang diatur Pasal<br />

38 (Konsep 2008).<br />

Pasal 38<br />

1. Bagi tindak pidana tertentu, undangundang<br />

dapat menentukan bahwa seseorang<br />

dapat dipidana semata-mata karena telah<br />

dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana<br />

tersebut tanpa memperhatikan adanya<br />

kesalahan.<br />

2. Dalam hal ditentukan oleh undang-undang,<br />

setiap orang dapat dipertanggungjawabkan<br />

atas tindak pidana yang dilakukan oleh<br />

orang lain.<br />

166 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 154 -169<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 166 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:27 PM


Di samping itu berdasarkan pasal ini, dapat<br />

dikatakan bahwa RKUHP menganut ajaran strict<br />

liability dan vicarious liability yang erat kaitannya<br />

dengan pertanggungjawaban pidana korporasi,<br />

terutama Pasal 49 dan 51 RKUHP. Pasal 38 ayat<br />

(1) sebenarnya menjawab banyak perdebatan<br />

mengenai pertanggungjawaban pidana.<br />

Perdebatan tersebut terkait dengan asas actus<br />

non facit reum, nisi mens sit rea atau tiada pidana<br />

tanpa kesalahan. Berkaitan dengan itu, korporasi<br />

tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana<br />

karena tidak ada unsur kesalahan di dalamnya,<br />

karena korporasi itu tidak bisa berbuat apa-apa.<br />

Yang dapat dikenai pertanggungjawaban pidana<br />

adalah manusia, yang punya kemampuan untuk<br />

berbuat dan melakukan kesalahan.<br />

Selama ini undang-undang lingkungan yang<br />

berlaku baik undang-undang lama UU No. 23<br />

Tahun 1997 maupun undang-undang lingkungan<br />

hidup yang sekarang berlaku UU No. 32 Tahun<br />

2009 asas pertanggungjawaban mutlak hanya<br />

berlaku dalam hukum perdata. Walaupun tidak<br />

secara eksplisit menyebutnya demikian namun<br />

letak Pasal 88 yang ada di luar bab tentang<br />

ketentuan pidana bisa dimaknakan seperti itu.<br />

Selengkapnya Pasal 88 UU Nomor 32 Tahun<br />

2009 adalah: “Setiap orang yang tindakannya,<br />

usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan<br />

B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah<br />

B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman<br />

serius terhadap lingkungan hidup bertanggung<br />

jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa<br />

perlu pembuktian unsur kesalahan.” Jadi<br />

pertanggungjawaban mutlak hanya berlaku<br />

terhadap kegiatan yang terkait dengan limbah<br />

B3.<br />

Dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1997<br />

mengenai asas pertanggungjawaban mutlak ini<br />

terdapat dalam Pasal 35 yang menentukan:<br />

Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan<br />

yang usaha dan kegiatannya menimbulkan<br />

dampak besar dan penting terhadap lingkungan<br />

hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan<br />

beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan<br />

berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara<br />

mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan<br />

kewajiban membayar ganti rugi secara langsung<br />

dan seketika pada saat terjadinya pencemaran<br />

dan/atau perusakan lingkungan hidup.<br />

Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan<br />

dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti<br />

rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika<br />

yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa<br />

pencemaran dan/atau perusakan lingkungan<br />

hidup disebabkan salah satu alasan di bawah ini:<br />

1. Adanya bencana alam atau peperangan;<br />

atau<br />

2. Adanya keadaan terpaksa di luar<br />

kemampuan manusia; atau<br />

3. Adanya tindakan pihak ketiga yang<br />

menyebabkan terjadinya pencemaran dan/<br />

atau perusakan lingkungan hidup.<br />

4. Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan<br />

oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud<br />

pada ayat (2) huruf c, pihak ketiga<br />

bertanggung jawab membayar ganti rugi.<br />

Bertolak dari beberapa hal-hal tersebut di<br />

atas maka pertanggungjawaban korporasi dalam<br />

tindak pidana lingkungan hidup sebetulnya<br />

diperlukan prinsip strict liability secara pidana<br />

agar korban selaku pihak yang dirugikan oleh<br />

pelaku mendapat perlindungan. Tidak semua<br />

tindak pidana lingkungan hidup diberlakukan<br />

asas ini, namun di peruntukkan pada TPLH<br />

dengan syarat-syarat:<br />

1. Tindak pidana lingkungan hidup yang<br />

menimbulkan banyak korban manusia<br />

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Korban Dalam Kasus Tindak Pidana (Yeni Widowaty) | 167<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 167 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:27 PM


aik secara fisik (luka berat dan meninggal<br />

dunia) maupun psikis.<br />

2. TPLH menimbulkan korban lingkungan<br />

sehingga kelestarian alam terganggu dan<br />

generasi yang akan datang akan mewarisi<br />

lingkungan yang rusak.<br />

3. Tindak pidana lingkungan hidup<br />

menimbulkan kerugian secara materiil<br />

bagi masyarakat maupun negara.<br />

Jika TPLH yang dilakukan oleh PT DEI<br />

korban yang secara fisik yang dialami berdasarkan<br />

Visum et repertum ada 12 orang maka idealnya<br />

putusan pengadilan juga harus memikirkan<br />

kerugian yang diderita korban.<br />

IV.<br />

SIMPULAN<br />

Dari analisis kasus PT DEI terkait dengan<br />

pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap<br />

korban tersebut di atas dapat disimpulkan sebagai<br />

berikut:<br />

1. Pertanggungjawaban pelaku terhadap<br />

korban belum terwujud karena putusan<br />

masih bersifat offender oriented. Hal<br />

tersebut dikarenakan baik putusan<br />

Pengadilan Negeri Nomor 460/Pid.B/2008/<br />

PN Bks., Pengadilan Tinggi Bandung No<br />

465/Pid/2009/PT dan Mahkamah Agung<br />

No. 862K/Pid.Sus/2010 walaupun semua<br />

menetapkan Terdakwa bersalah namun<br />

dalam menjatuhkan sanksi pidana kepada<br />

pelaku, tidak termasuk pertanggungjawaban<br />

pelaku terhadap korban.<br />

2. Bentuk pertanggungjawaban pidana<br />

korporasi yang ideal adalah apabila<br />

korban tindak pidana lingkungan hidup<br />

mendapatkan perlindungan hukum.<br />

Perlindungan itu dapat diberikan dalam<br />

bentuk pemberian ganti kerugian maupun<br />

pemulihan lingkungan. Untuk mewujudkan<br />

itu maka jika terjadi tindak pidana<br />

lingkungan hidup idealnya diterapkan asas<br />

tanggung jawab mutlak (strict liability)<br />

dengan syarat-syarat tertentu.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Ali, Mahrus. 2008. Kejahatan Korporasi.<br />

Jogjakarta: Arti Bumi Intaran.<br />

Atmasasmita, Romli. 1989. Asas-Asas<br />

Perbandingan Hukum Pidana. Bandung:<br />

Mandar Maju.<br />

Arief, Barda Nawawi. 2002. Perbandingan Hukum<br />

Pidana. Jakarta: RajaGrafindo Persada.<br />

Fuady, Munir. 2002. Doktrin-Doktrin Modern<br />

Dalam Corporate Law dan Eksistensinya<br />

Dalam Hukum Indonesia. Bandung: Citra<br />

Aditya Bakti.<br />

Hardjasoemantri, Koesnadi. 2000. Hukum Tata<br />

Lingkungan. Yogyakarta: Gajahmada<br />

University Press.<br />

Husin, Sukanda. 2009. Penegakan Hukum<br />

Lingkungan<br />

Grafika.<br />

Indonesia. Jakarta: Sinar<br />

Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup<br />

bekerjasama dengan Lembaga<br />

Pengembangan Hukum Lingkungan<br />

Indonesia (Indonesian Center for<br />

Environmental Law/ICEL), Asas Tanggung<br />

jawab Mutlak Dalam Peraturan Perundangundangan<br />

di Bidang Lingkungan<br />

Hidup, Proyek Pengembangan Penataan<br />

Lingkungan<br />

1995/1996<br />

Hidup Tahun Anggaran<br />

168 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 154 -169<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 168 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:28 PM


Mudzakir. 2001. Posisi Hukum Korban Kejahatan<br />

Dalam Sistem Peradilan Pidana, Disertasi<br />

pada Program Pascasarjana Universitas<br />

Indonesia. Jakarta.<br />

Muladi dan Priyatno, Dwidja. 1991.<br />

Pertanggungjawaban Korporasi dalam<br />

Hukum Pidana. Bandung: Sekolah Tinggi<br />

Hukum Bandung.<br />

-----------------------. 2010. Pertanggungjawaban<br />

Pidana Korporasi. Jakarta: Kencana.<br />

Packer, Herbert L. 1968. The Limit of the Criminal<br />

Sanction. California: Stanford University<br />

Press.<br />

Priyatno, Dwidja. 2009. Kebijakan Legislasi<br />

tentang Sistem Pertanggungjawaban<br />

Pidana Korporasi di Indonesia. Bandung:<br />

Cv Utomo.<br />

Sauer, Wilhem. 1921. Grundlangen des Strafrecht,<br />

Leipzig.<br />

Setiyono, H. 2005. Kejahatan Korporasi Analisis<br />

Viktimologis Dan Pertanggungjawaban<br />

Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia.<br />

Malang: Bayumedia.<br />

Syahrin, Alvi. 2008. Hukum Lingkungan<br />

Kepidanaan Korporasi, disampaikn pada<br />

“Diklat Penegakan Hukum Lingkungan”<br />

pada tanggal 24 s/d 28 Nopember 2008,<br />

Kantor Pusdiklat Kementerian Lingkungan<br />

Hidup, Kawasan Pusptek Serpong-<br />

Tangerang.<br />

Smith dan Hogan. 1982. Criminal Law. London:<br />

Butterworths.<br />

Sjahdeini, Sutan Remy. 2006. Pertanggungjawaban<br />

Pidana Korporasi. Jakarta: Grafiti pers.<br />

Widowaty, Yeni. 2011. Kebijakan Hukum<br />

Pidana Dalam Memberikan Perlindungan<br />

Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana<br />

Lingkungan Hidup Oleh Korporasi,<br />

Disertasi Pada Program Doktor Ilmu<br />

Hukum, Program Pasca Sarjana Universitas<br />

Diponegoro, Semarang.<br />

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Korban Dalam Kasus Tindak Pidana (Yeni Widowaty) | 169<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 169 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:28 PM


PENyELESAIAN SENgKETA TANAH PERSAWAHAN DALAM<br />

KASUS gADAI yANg TERINDIKASI “SANRA PUTTA”<br />

ABSTRAK<br />

Kajian Putusan Nomor 34/Pdt.G/2007/PN. WTP<br />

LAND DISPUTE SETTLEMENT IN THE cASE OF RIcE FIELD<br />

MORTgAgE INDIcATED AS “SANRA PUTTA”<br />

An Analysis on Decision Number 34/Pdt.G/2007/PN.WTP<br />

A. Nuzul<br />

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Watampone<br />

Jl. Hos. Cokroaminoto Kab. Bone, Sul-Sel<br />

Email: nuzul.andi@yahoo.com<br />

Diterima tgl 28 April <strong>2012</strong>/Disetujui tgl 18 Juli <strong>2012</strong><br />

Pelaksanaan perjanjian gadai tanah (Bugis: sanra<br />

tanah) di masyarakat Kab. Bone pada kenyataannya<br />

tidak mengikuti ketentuan Pasal 7 Perpu No.<br />

56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah<br />

Pertanian, di mana pemilik barang gadai tetap<br />

berkewajiban mengembalikan uang tebusan. Begitu<br />

pula perjanjian gadai atas tanah dilaksanakan hanya<br />

secara lisan (tidak ada bukti tertulis) dan tidak<br />

adanya saksi. Lazim pula pelaksanaan gadai atas<br />

tanah kemudian berubah (diteruskan) menjadi jual<br />

beli, yang dalam istilah adat kebiasaan masyarakat<br />

setempat disebut dengan sanra putta (jual putta).<br />

Jika terjadi permasalahan hukum di kemudian hari,<br />

misalnya salah satu pihak wanprestasi (ingkar janji)<br />

atau mengingkari kesepakatan yang pernah mereka<br />

lakukan, maka penyelesaian secara kekeluargaan<br />

biasanya ditempuh walau tidak mudah diatasi,<br />

sehingga harus juga dibawa ke pengadilan. Hakim<br />

yang menangani kasus demikian seyogianya<br />

mencermati adanya latar belakang perjanjian<br />

demikian. Dalam putusan No. 34/Pdt.G/2007/<br />

PN.WTP ini, penulis mengindikasikan adanya jual<br />

beli tanah yang disebut sanra putta.<br />

Kata kunci: perjanjian gadai tanah, sanra tanah,<br />

sanra putta.<br />

abstract<br />

Implementation of the land mortgage agreement<br />

called sanra tanah in the Bone Regency, in fact,<br />

fails to comply with Article 7 of Law in lieu No.<br />

56 Year 1960 on the Establishment of Agricultural<br />

Land. According to this regulation, the owner<br />

remains obligated to return the pawned goods<br />

ransom. There is also common that land mortgage<br />

agreements are verbally concluded without any<br />

written evidence as well as witnesses. In practice,<br />

these initial agreements can be continued to sale and<br />

purchase agreements based on the local traditions.<br />

If there is a dispute related to the so called sanra<br />

putta agreement, the amicable settlement will be<br />

chosen as the first resort, but the choice usually<br />

does not succeed to resolve the conflict. Due to<br />

the lack of evidence, such a dispute finally will be<br />

brought to the court. As mentioned by the author of<br />

this article, any panel of judges should be aware<br />

of such a customary background. Decision No. 34/<br />

Pdt.G/2007/PN.WTP, the author indicates that the<br />

case belongs to a sanra putta agreement.<br />

Keywords: land mortgage agreement, sanra tanah,<br />

sanra putta.<br />

170 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 170 -188<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 170 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:28 PM


I.<br />

PENDAHULUAN<br />

Menurut hukum adat bugis gadai disebut<br />

dengan sanra, jadi jika disebut sanra galung<br />

berarti, tanah persawahan yang digadaikan<br />

(gadai tanah persawahan). Lazimnya perjanjian<br />

gadai tanah oleh masyarakat dilaksanakan<br />

hanya secara lisan, tanpa bukti tertulis, tidak<br />

mengharuskan adanya saksi baik dari pemilik<br />

gadai maupun pemegang gadai. Kalau pun ada<br />

pihak yang mendengar atau melihat peristiwa<br />

gadai tersebut, bukan karena sengaja dipanggil<br />

menjadi saksi, melainkan hanya kebetulan,<br />

akibatnya seringkali ada pihak tertentu atau salah<br />

satu pihak memanfaatkan kekurangan tersebut<br />

secara melawan hukum, misalnya ingkar janji<br />

(wanprestasi), dan penyelesaian hukumnya baik<br />

secara kekeluargaan maupun melalui pengadilan<br />

menjadi tidak mudah.<br />

Gadai tanah atau sanra tanah, pemilik<br />

gadai tetap berkewajiban membayar kembali<br />

(mengembalikan) uang tebusan gadai (harga gadai)<br />

meskipun pelaksanaan gadai sudah melewati<br />

7 tahun, dan tidak mengikuti ketentuan Pasal 7<br />

Perpu No. 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas<br />

Tanah Pertanian. Sangat lazim dalam praktik,<br />

jika pemilik tanah tidak mampu menebus atau<br />

mengembalikan pembayaran uang tebusan gadai,<br />

ataukah ketika pemegang gadai berkeinginan<br />

mengembalikan tanah gadai ke pemiliknya, akan<br />

tetapi pemilik gadai belum mampu menebusnya,<br />

ataukah pemilik tanah sendiri memerlukan uang<br />

tunai untuk suatu keperluan, maka pemilik gadai<br />

dengan pemegang gadai biasanya melanjutkan<br />

menjadi transaksi jual-beli dengan istilah jual<br />

putta atau sanra Putta. Istilah jual putta atau<br />

sanra putta hanya terjadi pada barang atau tanah<br />

yang didahului dengan perbuatan hukum berupa<br />

perjanjian gadai.<br />

Penyelesaian perjanjian gadai (sanra)<br />

atau pun jual putta diharapkan ditempuh secara<br />

kekeluargaan tanpa harus ke pengadilan. Dalam<br />

masyarakat Sulawesi Selatan (Emirzon, 2001:<br />

14) cara penyelesaian sengketa/perselisihan<br />

hukum tanah di masyarakat, cukup lazim<br />

melalui jalur di luar pengadilan dengan dipandu<br />

oleh Kepala Desa atau Pemuka Adat atas dasar<br />

musyawarah untuk mufakat. Akan tetapi pada<br />

faktanya juga, dewasa ini, penyelesaian sengketa<br />

gadai tanah di masyarakat, juga mulai ditempuh<br />

penyelesaian melalui pengadilan dengan berbagai<br />

pertimbangan, terutama jika penyelesaian secara<br />

kekeluargaan tidak berhasil.<br />

Jika penyelesaian sengketa gadai tanah<br />

mengharuskan sampai ke pengadilan (PN),<br />

maka masyarakat pencari keadilan (justiabelen)<br />

berharap agar hakim atau pengadilan bertindak<br />

adil, sebagaimana ditegaskan dalam Undang-<br />

Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan<br />

Kehakiman ditegaskan bahwa, peradilan<br />

diselenggarakan guna menegakkan hukum dan<br />

keadilan demi terselenggaranya negara hukum<br />

Republik Indonesia.<br />

Dalam tema kajian ini, akan dianalisis<br />

putusan Pengadilan Negeri Watampone Nomor 34/<br />

Pdt.G/PN.Wtp mengenai penyelesaian sengketa<br />

gadai atas tanah persawahan yang terindikasi jual<br />

putta, yang dalam putusan majelis hakim menolak<br />

eksepsi Tergugat dan memenangkan Penggugat.<br />

Kasus bermula dari perempuan MBA,<br />

pekerjaan URT, bertempat tinggal di Kabupaten<br />

Bone, melalui kuasa hukumnya menggugat<br />

perempuan CBN, pekerjaan URT, bertempat<br />

tinggal Kabupaten Bone (Tergugat I), dan LL,<br />

di Kabupaten Bone (Tergugat II).<br />

Melalui kuasanya, Penggugat mengakui<br />

Penyelesaian Sengketa Tanah Persawahan dalam Kasus Gadai yang TerindikasI “Sanra Putta” (A. Nuzul) | 171<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 171 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:28 PM


ahwa, lokasi tanah persawahan yang menjadi<br />

objek sengketa, bergelar Lompo Kalamesu,<br />

luas kurang lebih 43 (empat pulih tiga) are,<br />

Kohir nomor 427 C1 yang terletak di Kabupaten<br />

Bone dengan batas-batas yang tertera dalam<br />

gugatan Penggugat adalah milik Penggugat yang<br />

diperoleh sebagai bagian warisan dari almarhum<br />

ayahnya. Pengakuan Penggugat atas kepemilikan<br />

tanah yang menjadi objek sengketa ini, didukung<br />

dengan keterangan saksi (MA dan MP) serta alat<br />

bukti surat.<br />

Menurut Penggugat, klaim para Tergugat<br />

atas kepemilikan tanah persawahan yang menjadi<br />

objek sengketa adalah tidak benar dan melawan<br />

hukum. Menurut Penggugat pengakuan para<br />

Tergugat atas kepemilikan tanah yang menjadi<br />

objek sengketa ini, bermula ketika Penggugat<br />

merantau ke Sumatera sekitar tahun 1980-an,<br />

dan tanah persawahan tersebut dititipkan kepada<br />

keluarga SN. Beberapa tahun kemudian atas<br />

persetujuan Penggugat, SN yang memiliki nama<br />

lain AL alias DEN alias MND menggadaikan<br />

tanah tersebut kepada Tergugat I (Perempuan<br />

CBN). Kemudian setelah dari perantauan pada<br />

Bulan Maret 2007, Penggugat bermaksud ingin<br />

menebus tanahnya yang telah digadaikan oleh SN<br />

kepada para Tergugat atas persetujuan Penggugat,<br />

namun para Tergugat tidak bersedia dan menolak<br />

untuk mengembalikan tanah tersebut serta terus<br />

menguasainya secara melawan hukum.<br />

Atas gugatan Penggugat, maka kemudian<br />

para Tergugat membantah dengan mengajukan<br />

eksepsi bahwa, tanah persawahan tersebut benar<br />

adalah miliknya yang dibeli dari SN dengan<br />

persetujuan isterinya yang bernama SA. Menurut<br />

para Tergugat, tanah persawahan tersebut semula<br />

adalah milik SN kemudian selanjutnya menjadi<br />

mahar (bugis: Sompa) bagi isterinya. Pengakuan<br />

para Tergugat atas kepemilikan tanah yang<br />

menjadi objek sengketa ini, didukung dengan<br />

keterangan saksi (MP dan SB) serta alat bukti<br />

surat. Kecuali itu, terdapat pula keterangan saksi<br />

I (TH) dari para Tergugat bahwa, penguasaan<br />

para Tergugat atas tanah persawahan yang<br />

menjadi objek sengketa adalah, hasil pembelian<br />

jual putta atau sanra putta para Tergugat dari<br />

SN, dan keterangan mana dari saksi ini tidak<br />

pernah dibantah di dalam persidangan baik oleh<br />

Penggugat maupun para saksi-saksinya.<br />

Di samping itu, pengakuan yang sama baik<br />

dari Penggugat, para Tergugat, dan keterangan<br />

para saksi bahwa, penguasaan tanah persawahan<br />

yang menjadi objek sengketa oleh para Tergugat<br />

adalah melalui SN yang baik keterangan atau<br />

pengakuan yang menyebut hanya sebagai gadai,<br />

maupun yang mengatakan sebagai jual beli atau<br />

sanra putta. Dengan demikian dapat disimpulkan<br />

bahwa, SN adalah saksi kunci, paling mengetahui<br />

status hukum tanah persawahan tersebut. Akan<br />

tetapi sampai kasus ini diputus oleh majelis hakim,<br />

SN tidak pernah dimintai keterangan, hakim tidak<br />

pernah memerintah kepada Penggugat maupun<br />

kepada para Tergugat untuk membawa SN atau<br />

keluarga (isteri) SN menjadi saksi dalam kasus ini.<br />

RUMUSAN MASALAH<br />

172 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 170 -188<br />

II.<br />

1. Bagaimanakah kekuatan pembuktian alatalat<br />

bukti yang diajukan Penggugat dan<br />

para Tergugat atas penyelesaian sengketa<br />

gadai atas tanah persawahan sesuai putusan<br />

pengadilan di atas?<br />

2. Bagaimanakah kekuatan yuridis keterangan<br />

Saksi I (TH) dari para Tergugat yang<br />

mengatakan, penguasaan para Tergugat<br />

atas tanah persawahan yang menjadi objek<br />

sengketa adalah hasil jual-beli dengan<br />

istilah jual putta atau sanra putta dari SN,<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 172 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:28 PM


dan keterangan mana tersebut tidak dibantah<br />

oleh Penggugat serta saksi-saksinya, tetapi<br />

diabaikan dalam pertimbangan majelis<br />

hakim?<br />

3. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan<br />

majelis hakim yang tidak memerintahkan<br />

kepada Penggugat atau kepada para<br />

Tergugat memanggil SN menjadi saksi<br />

pada hal bersangkutan mengetahui dan<br />

mengalami peristiwanya?<br />

III.<br />

STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS<br />

A. Hukum Gadai<br />

Hukum gadai di Indonesia terus mengalami<br />

perkembangan, selain diatur dalam hukum adat<br />

sebagai hukum asli bangsa Indonesia, juga diatur<br />

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata<br />

(Pasal 1150 KUHPdt). Bahkan dewasa ini,<br />

seiring perkembangan dunia usaha muncul satu<br />

jenis perjanjian gadai baru yang diatur dalam<br />

PP Nomor 103 Tahun 2000 tentang Perusahaan<br />

Umum (Perum) Pegadaian. Dalam PP tersebut<br />

disebutkan, Perum Pegadaian sebagai BUMN<br />

mempunyai usaha antara lain, menyalurkan uang<br />

pinjaman atas dasar hukum gadai dan berdasarkan<br />

jaminan fidusia (Meliala, 2008: 45).<br />

Sejatinya barang atau benda yang<br />

digadaikan berada di tangan pemberi pinjaman<br />

(kreditur) atau pemegang gadai, bahkan dalam<br />

Pasal 1152 ayat (2) KUHPdt ditegaskan bahwa,<br />

perjanjian gadai tidak sah jika benda gadai<br />

tetap berada di bawah kekuasaan pemilik gadai<br />

(debitur) sendiri, melainkan harus di tangan si<br />

penerima gadai atau di tangan pihak ke-3 yang<br />

disetujui oleh kedua belah pihak. Akan tetapi<br />

ketentuan seperti di atas, tampaknya berbeda<br />

dengan praktik yang dilakukan oleh sebagian<br />

masyarakat, di mana benda gadai tetap dikuasai<br />

oleh pemiliknya, sehingga timbul praktik baru<br />

yang disebut jaminan fidusia (Meliala, 2008:<br />

44). Pada jaminan fidusia, benda jaminan yang<br />

berupa benda atau barang tetap dalam penguasaan<br />

penerima jaminan atau debitur.<br />

Perjanjian gadai dalam hukum adat<br />

merupakan perjanjian yang berdiri sendiri,<br />

berbeda dengan perjanjian gadai yang diatur<br />

dalam hukum Eropa sebagai perjanjian asesoir,<br />

artinya hanya perjanjian tambahan terhadap<br />

perjanjian pokok, yaitu dari perjanjian pinjam<br />

meminjam (Subekti, 1980: 79). Sebagai<br />

perjanjian tambahan dari perjanjian pokok,<br />

bertujuan untuk menjaga kalau-kalau peminjam<br />

(debitur) lalai memenuhi kewajibannya berupa<br />

pembayaran kembali uang pinjaman atau<br />

bunganya (Meliana, 2008: 44). Pemegang<br />

gadai atau si berpiutang menurut KUHPdt,<br />

memiliki hak prevelege (hak istimewa) dan<br />

harus didahulukan dalam memperoleh pelunasan<br />

utang dari si berhutang (Pasal 1150 KUHPdt).<br />

Objek gadai dalam hukum adat, meliputi<br />

benda bergerak maupun benda tidak bergerak,<br />

berbeda dalam KUHPdt, benda gadai hanya pada<br />

barang bergerak baik yang berwujud maupun<br />

yang tidak berwujud atau dari benda yang dapat<br />

dipindahtangankan (benda bergerak), sebab<br />

eksekusi gadai menurut KUHPdt merupakan<br />

pemindahtanganan benda jaminan dari pemilik<br />

kepada pemegang gadai.<br />

Dalam hukum adat Indonesia, istilah gadai<br />

berbeda-beda di beberapa tempat, misalnya<br />

selain disebut sanra yang umum digunakan oleh<br />

masyarakat bugis pada perjanjian gadai tanah,<br />

maka ada juga yang menggunakan gadai dengan<br />

sebutan “Batu Ta’gala” sebagai pengertian gadai<br />

secara umum di Sulawesi Selatan. Di Jawa<br />

Penyelesaian Sengketa Tanah Persawahan dalam Kasus Gadai yang TerindikasI “Sanra Putta” (A. Nuzul) | 173<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 173 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:28 PM


Barat dikenal dengan istilah “Adol Sende”, di<br />

Minangkabau disebut “Menggadai”, di Gorontalo<br />

disebut “Monohuloo” (Ray Pratama : http://<br />

raypratama.blogspot.com).<br />

Dalam hukum adat, gadai tanah adalah<br />

lembaga yang telah lama hidup dalam masyarakat<br />

Indonesia, seperti yang dikemukakan Ter Haar<br />

BZN (Ibid) bahwa, gadai tanah sawah adalah<br />

perjanjian yang menyebabkan tanah bersangkutan<br />

diserahkan untuk menerima tunai sejumlah uang<br />

dengan permufakatan bahwa si penyerah akan<br />

berhak mengembalikan tanah itu ke dirinya<br />

sendiri dengan jalan membayarkan sejumlah<br />

uang yang sama.<br />

Demikian pula pendapat Soerjono<br />

Soekanto, Hilman Hadikusuma, dan S. A. Hakim,<br />

(http://www.pn-banjarbaru.go.id) bahwa, gadai<br />

mengandung arti penyerahan tanah untuk dikuasai<br />

oleh orang lain dengan menerima pembayaran<br />

tunai, di mana si pemberi gadai, atau pemilik<br />

tanah tetap berhak menebus kembali tanah<br />

tersebut dari pemegang gadai (penerima gadai,<br />

atau penguasa tanah gadai. Dengan demikian<br />

berarti uang gadai kembali setelah perjanjian<br />

gadai diakhiri, seperti pada masyarakat adat<br />

Minangkabau dengan pepatah adatnya, “Gadai<br />

batabuih – Suarang babagi” artinya gadai itu<br />

selalu dapat ditebus dan Harta suarang dibagi<br />

(http://asaad36.blogspot.com/2010/10). Begitu<br />

pula di daerah Sulawesi Selatan (Yuliana, Andi 5<br />

Juli, PustakaNet.Wordpress.Com), bahwa setiap<br />

gadai tanah atau sanra tanah uang gadai selalu<br />

dikembalikan karena dasar pelaksanaannya<br />

adalah saling menolong, maka oleh karena itu<br />

tidak diperlukan alat bukti berupa keterangan<br />

tertulis atau saksi.<br />

Perjanjian gadai tanah dalam hukum adat<br />

juga tidak mengenal daluwarsa, sehingga bisa<br />

berlangsung sampai kapan pun. Oleh pembuat<br />

undang menilai bahwa bentuk gadai tanah yang<br />

dipraktikkan masyarakat seperti demikian itu,<br />

mengandung unsur pemerasan, maka salah<br />

satu pertimbangan untuk mengatasinya, maka<br />

ditetapkanlah UU No. 56 Prp Tahun 1960 guna<br />

untuk menghapus unsur pemerasan yang dimaksud<br />

dengan cara membatasi waktu berlangsungnya<br />

gadai tanah serta cara penebusannya (Pasal 7 UU<br />

No. 56 Prp Tahun 1960).<br />

Seperti yang diuraikan sebelumnya bahwa,<br />

sangat lazim dalam praktik, ketika pemilik tanah<br />

gadai tidak mampu menebus atau mengembalikan<br />

uang tebusan gadai, ataukah ketika pemegang<br />

gadai berkeinginan mengembalikan tanah gadai<br />

ke pemiliknya namun pemilik tanah gadai<br />

belum mampu menebusnya, ataukah pemilik<br />

tanah sendiri memerlukan uang tunai untuk<br />

suatu keperluan, maka pemilik tanah gadai<br />

biasanya menawarkan kepada pemegang gadai<br />

untuk membelinya yang dalam adat kebiasaan<br />

masyarakat bugis disebut dengan jual putta atau<br />

sanra Putta yaitu, praktik transaksi jual beli, yang<br />

diawali dengan perjanjian gadai sebelumnya. Jadi<br />

awalnya perjanjian gadai, namun karena sesuatu<br />

hal oleh pemilik tanah menawarkan tanah gadai<br />

tersebut kepada pemegang gadai untuk dibelinya.<br />

Jika pemegang gadai setuju maka kedua belah<br />

pihak melanjutkan transaksinya (jual beli) atas<br />

tanah yang tadinya berstatus gadai.<br />

Perjanjian gadai (Meliala, 2008: 44)<br />

menurut hukum adat mempunyai ciri-ciri antara<br />

lain, (1) Hak menebus tidak mungkin daluwarsa;<br />

(2) Benda gadai ada di tangan pemegang gadai;<br />

(3) Penerima gadai dapat mengulanggadaikan<br />

benda gadai; (4) Benda gadai tidak dapat secara<br />

otomatis menjadi milik si pemegang gadai; dan<br />

(5) Sama dengan gadai dalam KUHPdt, apabila<br />

gadai tidak ditebus maka untuk dapat memilikinya<br />

174 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 170 -188<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 174 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:28 PM


diperlukan suatu transaksi yang baru, seperti yang<br />

ditunjuk dalam Pasal 1154 KUHPdt.<br />

Perjanjian gadai tanah berdasarkan Undang-<br />

Undang No. 56 Prp Tahun 1960 sedikit berbeda<br />

dengan perjanjian gadai menurut hukum adat.<br />

Menurut hukum adat, gadai tanah tidak pernah<br />

daluwarsa (lewat waktu) untuk menebus dan uang<br />

gadai selalu kembali. Ketentuan seperti demikian<br />

ini tidak berlaku dalam Undang-Undang No. 56<br />

Prp Tahun 1960 sebab, setiap hak gadai yang<br />

telah berlangsung tujuh tahun dinyatakan hapus<br />

dan pemberi gadai atau pemilik dapat mengambil<br />

tanahnya kembali tanpa mengembalikan uang<br />

gadai (Pasal 7 ayat (1 dan 2) Undang-Undang<br />

Nomor 56 Prp Tahun 1960). Di samping terdapat<br />

perbedaan, juga keduanya memiliki persamaannya<br />

yaitu, baik UU No. 56 Prp Tahun 1960 maupun<br />

hukum adat, tidak diperkenankan pemilik barang<br />

gadai untuk memiliki kembali barang/benda atau<br />

tanahnya selama belum memenuhi kewajibankewajibannya.<br />

B. Penyelesaian Sengketa Gadai Tanah<br />

Praktik perjanjian gadai tanah atau sanra<br />

tanah oleh masyarakat lazimnya dilaksanakan<br />

secara lisan, tanpa bukti tertulis, serta tidak<br />

ada saksi baik dari pemilik gadai maupun<br />

pemegang gadai, akibatnya seringkali salah<br />

satu pihak memanfaatkan kekurangan tersebut<br />

secara melawan hukum, misalnya ingkar<br />

janji (wanprestasi) yang mengakibatkan<br />

penyelesaiannya secara kekeluargaan maupun<br />

melalui pengadilan tidak mudah.<br />

Setiap penyelesaian sengketa gadai tanah<br />

harus mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan<br />

dan keadilan sebagaimana bunyi Pasal 54 ayat<br />

(3) UU No. 48 Tahun 2009. Pengejawantahan<br />

nilai-nilai dimaksud ini, bisa melalui pengadilan<br />

dengan cara, hakim wajib menggali, mengikuti<br />

dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan<br />

yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 ayat (1)<br />

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang<br />

Kekuasaan Kehakiman). Begitu pula bisa melalui<br />

jalur di luar pengadilan dengan cara arbitrase dan<br />

alternatif penyelesaian sengketa (Pasal 58 UU<br />

No. 48 Tahun 2009). Dengan demikian, sengketa<br />

gadai tanah sebagai sengketa keperdataan dapat<br />

diselesaikan dengan cara melalui proses hukum<br />

pengadilan dan atau di luar pengadilan.<br />

Jika penyelesaiannya melalui jalur<br />

pengadilan maka seluruh proses hukumnya<br />

tunduk pada ketentuan hukum formal yakni<br />

hukum acara perdata, seperti menerapkan asas<br />

hukum audie et alteram partem (Mertokusumo,<br />

1988: 80), artinya para pihak antara Penggugat<br />

dan Tergugat harus didengarkan keterangannya<br />

oleh hakim. Begitu pula penerapan asas<br />

kedudukan prosesuil yang sama bagi para pihak<br />

(Mertokusumo, 1988: 113), artinya memberi<br />

beban pembuktian yang sama berdasarkan<br />

kesamaan kedudukan para pihak. Kedua asas<br />

hukum ini sangat fundamental dan menentukan<br />

penyelesaian kasus yang ditanganinya secara<br />

adil, dan dengan berpegang pada asas-asas hukum<br />

ini akan membawa akibat pada kemungkinan<br />

untuk menang bagi para pihak harus sama.<br />

Penyelesaian kasus perdata melalui<br />

pengadilan, ditentukan berdasarkan penentuan<br />

kebenaran formil, dan hakim bersifat<br />

preponderence of evidence (Mertokusumo, 1988:<br />

107), artinya hakim dalam memutuskan kasusnya<br />

tidak boleh melampaui batas-batas yang diajukan<br />

oleh yang berperkara, atau melarang hakim untuk<br />

menjatuhkan putusan atas hal/perkara yang tidak<br />

dituntut atau meluluskan lebih dari yang diminta<br />

oleh yang berperkara. Jadi hakim bersifat pasif,<br />

namun bukan berarti dalam hukum acara perdata<br />

Penyelesaian Sengketa Tanah Persawahan dalam Kasus Gadai yang TerindikasI “Sanra Putta” (A. Nuzul) | 175<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 175 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:28 PM


hakim mencari kebenaran yang setengah-tengah<br />

atau palsu.<br />

Jika penyelesaiannya di luar pengadilan<br />

negara, yakni melalui arbitrase dan alternatif<br />

penyelesaian sengketa dengan cara negosiasi,<br />

mediasi dan arbitrase itu sendiri yang didasarkan<br />

pada itikad baik (Pasal 59 s/d Pasal 60 UU No.<br />

48 Tahun 2009 jo Pasal 6 UU No. 30 Tahun 1999<br />

tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian<br />

Sengketa).<br />

Semua cara penyelesaian dimaksud di atas<br />

(jalur pengadilan dan jalur di luar pengadilan)<br />

adalah untuk kepentingan penyelesaian<br />

substansial setiap kasus hingga sampai pada akar<br />

masalahnya. Jadi cara menyelesaikan kasusnya<br />

sampai akar masalahnya atau sistem problem<br />

denken atau problem orientik (Mertokusumo,<br />

1999: 44), yang tidak sama antara satu kasus<br />

hukum dengan kasus hukum yang lain. Selain itu,<br />

juga memperhatikan keadaan hukum yang hidup<br />

dan tumbuh di masyarakat yakni, hukum adat,<br />

oleh karena menurut Carl von Savigny (Nuzul,<br />

2009: 218) hukum itu tidak dibuat, melainkan<br />

tumbuh dan berkembang bersama masyarakat<br />

(Das Recht wird nicht gemacht, est und wird mit<br />

dem volke). Teori Savigny ini dianut Soepomo<br />

dengan menjadikan hukum adat sebagai living<br />

law, hukum yang di dalamnya terkandung jiwa<br />

bangsa atau Volksgeist.<br />

Inti dari cara-cara penyelesaian pada setiap<br />

kasus gadai tanah seperti dikemukakan di atas,<br />

sejatinya untuk mewujudkan tujuan hukum untuk<br />

kepentingan masyarakat yang menurut Gustav<br />

Radbruch meliputi keadilan (gerechtigkeit),<br />

kemanfaatan (zweckmassigkeit), serta kepastian<br />

hukum atau rechtssicherkeit (Ali, 1996: 95).<br />

Ketiga tujuan hukum idealnya terlaksana secara<br />

seimbang, namun sekiranya tidak bisa maka<br />

menurut Gustav Radbruch perlu ditempuh secara<br />

prioritas dengan memulai dari prioritas keadilan,<br />

baru kemudian kemanfaatan, dan selanjutnya<br />

kepastian hukum.<br />

C. Kekuatan Pembuktian Terhadap Alat<br />

Bukti Penggugat<br />

Paton mengatakan bahwa, secara umum alat<br />

bukti menurut hukum dikelompokkan ke dalam 3<br />

jenis , yaitu (a). alat bukti bersifat oral (keterangan<br />

saksi, keterangan terdakwa, keterangan ahli,<br />

pengakuan (penggugat dan tergugat), sumpah);<br />

(b), alat bukti bersifat dokumentary (surat, bukti<br />

petunjuk, bukti tulisan); serta; (c). alat bukti<br />

material (barang bukti selain dokumentary).<br />

(Sudikno, 1988: 115).<br />

Dalam hukum acara perdata, jenis-jenis<br />

alat bukti disebutkan pada Pasal 1866 KUHPdt<br />

jo Pasal 164 HIR, dan Pasal 284 Rbg, yaitu alat<br />

bukti tertulis, pembuktian saksi; persangkaanpersangkaan;<br />

pengakuan dan sumpah. Pada<br />

kajian sengketa gadai tanah ini, hanya akan<br />

dikemukakan alat bukti yang digunakan oleh<br />

Penggugat dan para Tergugat, yang terdiri<br />

atas bukti surat (tertulis) dan keterangan saksi,<br />

kemudian dianalisis guna mendapatkan jawaban<br />

atas rumusan permasalahan yang diajukan.<br />

1. Bukti Tertulis/Surat<br />

Alat bukti tertulis atau bukti surat ialah<br />

segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan<br />

yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi<br />

hati atau untuk menyampaikan buah pikiran<br />

seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian<br />

(Mertokusumo, 1988: 116). Alat bukti tertulis<br />

atau bukti surat terbagi menjadi bukti surat yang<br />

merupakan akta dan surat-surat lainnya yang<br />

bukan akta, sedangkan akta sendiri terbagi ke<br />

176 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 170 -188<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 176 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:28 PM


dalam akta otentik dan akta di bawah tangan.<br />

Kekuatan pembuktian akta otentik<br />

bersifat sempurna, dan berlaku sebagai bukti<br />

sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya,<br />

dan bahkan yang terdapat dalam akta sebagai<br />

penuturan belaka, sepanjang yang dituturkan itu<br />

ada hubungannya yang langsung dengan pokok<br />

akta (Mertokusumo, 1988: 123). Sebagai alat<br />

bukti yang sempurna, akta otentik mengandung<br />

kekuatan pembuktian lahir, pembuktian formil,<br />

dan pembuktian materiil. Berbeda dengan akta di<br />

bawa tangan maupun surat-surat lain yang bukan<br />

akta, seperti buku daftar (register), surat-surat<br />

rumah tangga dan catatan-catatan yang dibubuhkan<br />

oleh seorang kreditur pada suatu alas hak yang<br />

selamanya dipegangnya. Menurut Sudikno<br />

Mertokusumo (1988: 127), kekuatan pembuktian<br />

dari surat-surat yang bukan akta diserahkan<br />

penilaiannya kepada pertimbangan hakim.<br />

Dalam akta otentik mengandung asas acta<br />

publica probant sese ipsa (Mertokusumo, 1988:<br />

127), yaitu akta atau surat yang tampaknya<br />

lahir sebagai akta otentik serta memenuhi syarat<br />

yang ditentukan, dan kekuatan pembuktiannya<br />

sempurna sebagai akat otentik sampai terbukti<br />

sebaliknya. Beban pembuktian pada akta otentik<br />

dibebankan kepada siapa yang mempersoalkan<br />

otentik tidaknya alat bukti itu (Pasal 138 HIR dan<br />

Pasal 164 Rbg). Berbeda dengan akat di bawah<br />

tangan atau bukti surat-surat lain yang bukan<br />

akta, pembuktiannya dibebankan kepada siapa<br />

yang mengakui atau yang bertanda tangan di atas<br />

akta di bawah tangan tersebut.<br />

Bukti surat yang diajukan Penggugat<br />

untuk membuktikan kepemilikannya atas tanah<br />

persawahan yang menjadi objek sengketa, berupa<br />

fotocopy Surat Keterangan Tanah bertanggal 12<br />

Januari 1987 No. Tap/WPJ.09/KI.1113/1987<br />

yang telah dicocokkan dan sesuai aslinya. Di<br />

dalam bukti surat ini (P-1) diterangkan Klasiran/<br />

Pencatatan tahun 1939 s/d 1940 tanah tersebut<br />

telah menjadi objek IPEDA sampai Hari Senin,<br />

tanggal 12 Januari 1987 atas nama Wajib Pajak<br />

AC (Orang tua Penggugat), Kohir no. 427 C.1,<br />

tercatat dalam buku C Kampung Desa Pattiro,<br />

Desa Pattiro, Kec. Mare, Kab. Bone, bergelar<br />

Lompo Kalimaesu, luas: 043 Ha. Pada Tanggal<br />

10 Maret 1986 dimutasi ke CBN (Tergugat I)<br />

dengan keterangan Gadai.<br />

Menurut hukum acara perdata, alat butki<br />

surat seperti di atas disamakan dengan catatancatatan<br />

mengenai tanah dalam buku letter C atau<br />

semisal kekitir atau semisal tanda wajib pajak.<br />

Alat bukti demikian menurut hukum acara tidak<br />

menjamin bahwa orang yang namanya tercantum<br />

di dalamnya adalah pemiliknya (Mertokusumo,<br />

1988: 127). Alat bukti surat seperti di atas tidak<br />

menunjuk pada kepemilikan Penggugat atas<br />

tanah yang menjadi objek sengketa. Dengan<br />

demikian, kekuatan hukumnya atau kekuatan<br />

pembuktiannya tidak sempurna sehingga untuk<br />

menguatkan bukti surat ini masih diperlukan<br />

alat bukti lain berupa keterangan saksi dari<br />

Penggugat.<br />

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa<br />

bukti surat (P-1) yang diajukan oleh Penggugat<br />

di atas tidak memiliki kekuatan pembuktian yang<br />

sempurna serta belum menunjuk kepemilikan<br />

Penggugat menurut hukum, maka dari itu majelis<br />

hakim yang memeriksa sengketa gadai tanah<br />

persawahan pada kasus ini harus mencocokkan<br />

keterkaitan (hubungan) dengan keteranganketerangan<br />

saksi yang diajukan Penggugat. Dalam<br />

menilai bukti surat yang diajukan Penggugat pada<br />

kasus ini, maka berdasarkan ketentuan Pasal 1881<br />

ayat (2e) KUHPdt jo Pasal ayat (2) 294 Rbg,<br />

diserahkan kepada pertimbangan hakim.<br />

Penyelesaian Sengketa Tanah Persawahan dalam Kasus Gadai yang TerindikasI “Sanra Putta” (A. Nuzul) | 177<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 177 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:28 PM


2. Keterangan Saksi<br />

Dalam hukum acara perdata, alat bukti yang<br />

berupa saksi di atur dalam Pasal 1895 dan 1902,<br />

1904-1912 BW jo Pasal 139-152, Pasal 168-172<br />

HIR (Pasal 165-179 Rbg. Tiap-tiap kesaksian<br />

yang diberikan harus mengenai perbuatan yang<br />

didengar, dilihat atau dialami oleh saksi itu<br />

sendiri, serta dengan tegas diberitahukan sebabsebabnya<br />

hal itu diketahui (Pasal 301 RGB).<br />

Menurut Sudikno Mertokusumo (1988: 128)<br />

saksi atau kesaksian adalah kepastian yang<br />

diberikan kepada hakim di persidangan tentang<br />

peristiwa yang dipersengketakan dengan jalan<br />

memberitahukan secara lisan dan pribadi oleh<br />

orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara<br />

yang dipanggil di persidangan.<br />

Hakim dalam menilai kebenaran secara<br />

hukum atas pengakuan kepemilikan Penggugat<br />

atas tanah yang menjadi objek sengketa, maka<br />

keterangan saksi-saksi di bawah ini sangat<br />

penting sekaligus untuk memberi keyakinan<br />

kepada hakim bahwa dialah pemiliknya.<br />

a). Saksi I Made Ali.<br />

- Saksi mengetahui yang menjadi<br />

pokok persengketaan kedua pihak<br />

adalah tanah persawahan yang<br />

terletak di Pattiro Sumali, Desa<br />

Pattiro, Kecamatan Mare, Kabupaten<br />

Bone, terdiri atas 6 (Enam) petak<br />

dengan berbatasan antara:<br />

•<br />

Sebelah Utara : Sawah BU<br />

Sebelah Timur : Sawah YA<br />

Sebelah Selatan : Sawah YA<br />

Sebelah Barat : Sawah MU<br />

Bahwa tanah tersebut sekarang<br />

dikuasai oleh Lakarang (Tergugat II),<br />

Suami dari Tergugat I (CBN),<br />

Penguasaan tersebut sudah<br />

berlangsung lebih kurang 10 tahun.<br />

178 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 170 -188<br />

•<br />

•<br />

•<br />

•<br />

•<br />

•<br />

•<br />

Sebelum dikuasai oleh Tergugat,<br />

tanah persawahan yang menjadi<br />

objek sengketa dikuasai oleh A yaitu<br />

ayah Penggugat (MBA).<br />

Penguasaan tanah persawahan<br />

yang menjadi objek sengketa oleh<br />

Tergugat diperoleh dari paman<br />

Penggugat yang bernama SN, yaitu<br />

pada waktu Penggugat akan merantau<br />

ke Sumatera, ia menitipkan tanah<br />

persawahan yang menjadi objek<br />

sengketa kepada SN. Kemudian SN<br />

menggadaikan tanah persawahan<br />

tersebut kepada Tergugat dengan<br />

uang gadai sebesar Rp.600.000,-<br />

(Enam ratus ribu rupiah).<br />

Tanah tersebut milik ayahnya<br />

Penggugat yang bernama AC.<br />

Tanah tersebut ada surat-suratnya<br />

berupa rincik atas nama AC, kemudian<br />

karena gadai maka sekarang dirubah<br />

menjadi CBN (Tergugat I), dan tidak<br />

pernah ada perubahan rincik atas<br />

nama orang lain.<br />

Sewaktu SN menggadaikan sawah<br />

tersebut kepada Lakarang (Tergugat<br />

2) hanya dilakukan secara lisan, tidak<br />

ada surat-suratnya.<br />

Penggugat pernah ingin menebus<br />

tanah persawahan tersebut yang<br />

menjadi sengketa kepada Tergugat,<br />

tapi Tergugat tidak mau.<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 178 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:29 PM


•<br />

b). Saksi II MA<br />

Saksi kenal dengan BA yaitu nenek<br />

sepupu dari CA (Tergugat 1) dan MN<br />

(Penggugat).<br />

- Bahwa Saksi II mengetahui yang<br />

menjadi pokok persengketaan kedua<br />

pihak adalah tanah persawahan yang<br />

terletak di Desa Pattiro, Kecamatan<br />

Mare, Kabupaten Bone, terdiri atas<br />

6 (enam) petak dengan berbatasan<br />

antara:<br />

•<br />

•<br />

•<br />

Sebelah Utara : Sawah BU<br />

Sebelah Timur : Sawah YA<br />

Sebelah Selatan : Sawah YU<br />

Sebelah Barat : Sawah MU<br />

Bahwa saksi tidak tahu bahwa tanah<br />

persawahan yang menjadi sengketa<br />

ada surat-suratnya atau tidak.<br />

Tanah persawahan yang menjadi<br />

sengketa adalah milik AC, namun<br />

sekarang dikuasai oleh para Tergugat.<br />

Penguasaan Tergugat atas tanah<br />

persawahan yang menjadi sengketa<br />

bermula ketika AC merantau<br />

ke Sumatera. Kemudian tanah<br />

persawahan yang menjadi sengketa<br />

itu dikerjakan oleh BO, atau suami<br />

Penggugat. Kemudian Penggugat<br />

merantau ke Sumatera dan tanah<br />

persawahan tersebut dititipkan<br />

kepada SN, yaitu adik AC atau paman<br />

dari Penggugat. Tetapi setelah saksi<br />

pindah alamat, entah bagaimana tanah<br />

persawahan yang menjadi sengketa<br />

tersebut (saksi tidak tahu) dikerjakan<br />

oleh Tergugat II (Suami Tergugat I).<br />

Berdasarkan keterangan dari kedua<br />

saksi yang diajukan Penggugat<br />

di atas dapat disimpulkan bahwa,<br />

tanah persawahan yang menjadi<br />

objek sengketa merupakan bagian<br />

harta warisan dari orang tuanya.<br />

Keterangan kedua saksi di atas<br />

meskipun saling menguatkan dan<br />

mendukung pengakuan Penggugat<br />

akan tetapi keterangan kedua saksi<br />

yang diajukan Penggugat tetap tidak<br />

menunjukkan hubungan yang kuat<br />

secara hukum dengan bukti surat<br />

yang diajukan Penggugat yang hanya<br />

menunjuk pada kepemilikan orang tua<br />

Penggugat atas tanah yang menjadi<br />

objek sengketa, atau bukti surat itu<br />

tidak menunjuk pada kepemilikan<br />

Penggugat.<br />

Penyelesaian Sengketa Tanah Persawahan dalam Kasus Gadai yang TerindikasI “Sanra Putta” (A. Nuzul) | 179<br />

•<br />

•<br />

Lemahnya alat bukti (bukti surat<br />

dan keterangan saksi) yang diajukan<br />

Penggugat, maka untuk menentukan<br />

kebenaran secara hukum atas<br />

kepemilikannya pada tanah<br />

persawahan yang berstatus sengketa<br />

gadai ini, maka majelis hakim bisa<br />

menggunakan teori hukum publik<br />

(Mertokusumo, 1988: 113), yang<br />

memberi wewenang yang lebih<br />

bebas pada hakim di dalam mencari<br />

kebenaran hukumnya, namun<br />

dengan tetap berpegang teguh pada<br />

asas hukum perdata formil yakni,<br />

preponderen of evidence, sebab kasus<br />

gadai tanah ini merupakan kasus<br />

perdata dengan kebenaran formil<br />

sebagai sandaran utamanya.<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 179 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:29 PM


D. Kekuatan Pembuktian terhadap Alat<br />

Bukti Para Tergugat<br />

1). Bukti Tertulis/ Surat<br />

Para Tergugat telah mengajukan alat bukti<br />

surat ( T-1), berupa fotocopy surat nikah (tidak<br />

ada aslinya namun bermaterai cukup) atas nama<br />

suami isteri AL atau SN dan SA. Dalam T-1<br />

tersebut tercantum mas kawin berupa sawah enam<br />

petak, terletak di Lompo Diawang Labullu.<br />

Dalam hukum acara perdata dijelaskan<br />

bahwa, jika alat bukti surat harus berupa surat<br />

yang asli. Dalam Pasal 1888 KUHPdt jo Pasal<br />

301 Rgb dijelaskan bahwa, kekuatan pembuktian<br />

dari surat atau alat bukti tertulis terletak pada<br />

aslinya. Jadi jika ada alat bukti surat atau alat<br />

bukti tertulis yang berupa fotocopy saja tanpa<br />

ada aslinya, maka tidak bisa dijadikan alat<br />

bukti yang sempurna, oleh karenanya hakim<br />

selalu meminta kepada berperkara untuk<br />

menunjukkan aslinya. Hakim selalu berwenang<br />

untuk memerintahkan kepada pihak yang<br />

bersangkutan untuk mengajukan akta aslinya di<br />

muka sidang (Mertokusumo, 1988: 128). Jika<br />

akta aslinya sudah tidak ada lagi, maka kekuatan<br />

pembuktiannya diserahkan penilaiannya kepada<br />

hakim, dengan memperhatikan persyaratan yang<br />

diatur dalam Pasal 1889 KUPdt jo Pasal 302 RGB.<br />

Alat bukti berupa fotocopy, dapat diterima<br />

sebagai alat bukti apabila fotocopy disertai dengan<br />

keterangan atau dengan jalan apapun secara sah<br />

dari mana ternyata bahwa fotocopy tersebut<br />

sama dengan aslinya (Mertokusumo, 1988: 128;<br />

Putusan MA, 1 April 1976 No. 701 K/Sip). Alat<br />

bukti surat yang diajukan para Tergugat berupa<br />

fotocopy surat nikah antara suami isteri SN dengan<br />

SA (T-1) di persidangan, kekuatan pembuktiannya<br />

sangat lemah, dan kurang relevan dengan kasus<br />

dengan keberadaan tanah persawahan yang<br />

menjadi sengketa antara Penggugat dengan para<br />

Tergugat. Meskipun demikian majelis hakim<br />

sebagai pihak yang memiliki kewajiban dan<br />

kewenangan menyelesaikan sengketa gadai ini,<br />

maka penilaian dan pertimbangan atas alat bukti<br />

tertulis yang diajukan para Tergugat di atas,<br />

diserahkan kepada majelis hakim.<br />

Sekurang-kurangnya bukti-bukti tertulis<br />

yang diajukan para Tergugat di atas, dapat dinilai<br />

sebagai permulaan pembuktian, dan selanjutnya<br />

diperlukan bukti-bukti lain yang mendukung dan<br />

menguatkan. Dalam Pasal 1902 ayat (2) KUHPdt<br />

dikatakan bahwa, permulaan pembuktian dengan<br />

tulisan ialah segala akta tertulis, yang berasal<br />

dari orang terhadap siapa tuntutan diajukan, atau<br />

dari orang yang diwakili olehnya, serta untuk<br />

memberikan persangkaan tentang benarnya<br />

peristiwa-peristiwa yang dimajukan seseorang.<br />

Untuk kasus hukum ini, bukti-bukti lain yang<br />

diajukan para Tergugat selain bukti surat di atas<br />

hanyalah keterangan para saksi.<br />

2). Keterangan Saksi<br />

a). Saksi I TA<br />

• Saksi tahu yang menjadi pokok<br />

persengketaan kedua pihak adalah<br />

tanah persawahan yang terletak di<br />

Kabupaten Bone, terdiri atas 6 (enam)<br />

petak dengan berbatasan antara:<br />

Sebelah Utara : Sawah BU<br />

Sebelah Timur : Sawah YA<br />

Sebelah Selatan : Sawah YA<br />

Sebelah Barat : Sawah MU<br />

Bahwa sebelum dikuasai LA<br />

(Tergugat 2) tanah sengketa dikuasai<br />

PR.<br />

180 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 170 -188<br />

•<br />

•<br />

Bahwa dulunya tanah tersebut<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 180 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:29 PM


•<br />

•<br />

•<br />

•<br />

•<br />

•<br />

•<br />

pemiliknya adalah SN yang diperoleh<br />

dari neneknya, kemudian oleh SN,<br />

tanah tersebut dijual kepada LA yaitu<br />

menantu dari SN sendiri.<br />

Bahwa pembelian tanah tersebut<br />

oleh para Tergugat terjadi pada<br />

tahun 1983, waktu itu saksi melihat<br />

sendiri sewaktu terjadi jual beli, juga<br />

disaksikan oleh MS, BA dan isteri<br />

SN yang bernama SA.<br />

Bahwa pembelian tanah tersebut<br />

terjadi di rumah SN.<br />

Bahwa benar tanah tersebut semula<br />

digadaikan oleh SN kepada LA<br />

(Tergugat), tetapi selanjutnya dijual<br />

putta (istilah adat Sulawesi Selatan<br />

yang artinya putus atau terus) dengan<br />

harga Rp.2.500.000,- dari SN dengan<br />

terlebih dahulu dipegang gadai.<br />

Tanah tersebut dipegang gadai oleh<br />

Tergugat selama kurang lebih tiga<br />

tahun.<br />

Pengetahuan Saksi (TA) tentang gadai<br />

atas tanah yang menjadi sengketa,<br />

diberitahu oleh SN oleh karena<br />

saksi dan SN masih ada hubungan<br />

keluarga.<br />

Saksi pernah melihat rincik tanah<br />

gadai tersebut di Kantor Desa atas<br />

nama Sabe yaitu nenek sepupu dari<br />

Tergugat I (CBN) dan Penggugat<br />

(MBA).<br />

Bahwa saksi juga pernah mendengar<br />

sawah tersebut pernah dijadikan<br />

mahar (sompa) oleh SN.<br />

Bahwa saksi tidak pernah melihat AC<br />

(ayah Penggugat) mengerjakan tanah<br />

sawah tersebut.<br />

Penyelesaian Sengketa Tanah Persawahan dalam Kasus Gadai yang TerindikasI “Sanra Putta” (A. Nuzul) | 181<br />

•<br />

2). Saksi II MP<br />

• Saksi tahu yang menjadi pokok<br />

persengketaan kedua pihak adalah<br />

tanah persawahan yang terletak,<br />

Kabupaten Bone, terdiri atas enam<br />

petak dengan berbatasan antara:<br />

•<br />

•<br />

•<br />

•<br />

•<br />

•<br />

Sebelah Utara : Sawah BU<br />

Sebelah Timur : Sawah YA<br />

Sebelah Selatan : Sawah LA<br />

Sebelah Barat : Dulu sawah YA,<br />

sekarang tidak tahu.<br />

Tanah persawahan yang menjadi<br />

objek sengketa, sekarang dikerjakan<br />

Tergugat, diperoleh melalui pembelian<br />

dari SN.<br />

Tanah persawahan yang menjadi<br />

sengketa pernah diolah/dikerjakan<br />

saksi sejak tahun 1975 sampai dengan<br />

tahun 1983.<br />

Saksi mengerjakan/menggarap sawah<br />

karena orang tua Saksi yang bernama<br />

PA disuruh oleh SN untuk mengerjakan<br />

sawah tersebut.<br />

Setelah saksi, maka kemudian sawah<br />

diambil alih oleh Sanusi bin Supu.<br />

Orang tua saksi, PA, bersahabat dekat<br />

dengan SN.<br />

Bahwa sewaktu tanah tersebut digarap<br />

oleh saksi, pajak tanah tersebut<br />

dibayar oleh ayahnya yang bernama<br />

PA.<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 181 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:29 PM


3). Saksi III SA<br />

•<br />

•<br />

•<br />

•<br />

•<br />

•<br />

•<br />

•<br />

Mengetahui yang menjadi pokok<br />

persengketaan kedua pihak adalah<br />

tanah persawahan yang terletak<br />

Kabupaten Bone, terdiri atas enam<br />

petak yang terletak di Kabupaten<br />

Bone dengan berbatasan antara:<br />

Sebelah Utara : Sawah BU.<br />

Sebelah Timur : Sawah YA<br />

Sebelah Selatan : Sawah PU<br />

Sebelah Barat : Dulu sawah YA,<br />

sekarang tidak tahu.<br />

Bahwa tanah sawah tersebut sekarang<br />

dikuasai oleh CA dan suaminya<br />

(Tergugat I dan Tergugat II) sejak<br />

tahun 1987.<br />

Bahwa Sebelum dikuasai Tergugat<br />

CA, sawah tersebut dikerjakan oleh<br />

PA.<br />

Bahwa CA memperoleh tanah<br />

tersebut karena membeli dari SN<br />

dengan seharga Rp.2.600.000,- (dua<br />

juta enam ratus ribu rupiah).<br />

Saksi mengetahui karena saksi ada<br />

pada saat terjadi jual beli, tetapi<br />

saksi tidak tidak melihat pada saat<br />

terjadinya pembayaran.<br />

Bahwa tanah tersebut ada rinciknya,<br />

tetapi saksi tidak tahu atas nama<br />

siap.<br />

Saksi tidak kenal dengan AC (ayah<br />

Penggugat).<br />

Bahwa saksi tidak pernah melihat PA<br />

mengerjakan tanah tersebut.<br />

Mencermati keterangan para saksi yang<br />

diajukan para Tergugat, terdapat perbedaan antara<br />

keterangan saksi 1 dengan saksi 2 dan saksi 3<br />

mengenai status tanah persawahan yang menjadi<br />

objek sengketa. Saksi 2 dan saksi 3 mengatakan<br />

bahwa, tanah persawahan tersebut adalah hasil<br />

pembelian para Tergugat kepada pemiliknya<br />

yang bernama SN dan disetujui oleh isterinya<br />

yang bernama SA, sedangkan saksi 1 mengatakan<br />

bahwa, tanah persawahan tersebut awalnya<br />

sebagai perjanjian gadai, namun beberapa tahun<br />

kemudian beralih menjadi jual-beli dengan istilah<br />

jual putta atau sanra putta.<br />

Keterangan saksi 2 dan saksi 3 saling<br />

berhubungan sehingga memiliki kekuatan<br />

pembuktian yang sempurna, berbeda dengan<br />

keterangan saksi 1 yang berdiri sendiri, dengan<br />

keterangan kedua saksi sebelumnya. Meskipun<br />

berbeda, namun rasa-rasanya kedua keterangan<br />

saksi para Tergugat ini tidak berlawanan, sebab<br />

pada intinya keterangan para saksi dari Tergugat<br />

semua menunjuk pada kesamaan maksud yaitu<br />

kepemilikan para Tergugat atas tanah persawahan<br />

yang menjadi objek sengketa.<br />

Keterangan saksi 1 tidak bisa dengan<br />

serta merta diabaikan oleh majelis hakim, sebab<br />

kebiasaan di dalam masyarakat bugis, praktik<br />

jual puttaii adalah sesuatu yang lazim dilakukan,<br />

secara turun temurun sudah menjadi kebiasaan<br />

yang tumbuh dan dipraktikkan di masyarakat<br />

sebagai living law. Di sisi lain, keterangan saksi<br />

1 tersebut tidak pernah ada yang membantahnya<br />

baik oleh penggugat maupun para saksi yang<br />

diajukan oleh para pihak. Atas dasar itu, majelis<br />

hakim patut tetap mempertimbangkannya dan<br />

menilainya guna mencari kebenaran formil<br />

pada penyelesaian kasus tanah persawahan yang<br />

menjadi objek sengketa.<br />

182 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 170 -188<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 182 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:29 PM


Keterangan saksi 1 dari para Tergugat<br />

yang mengatakan bahwa tanah persawahan yang<br />

menjadi objek sengketa adalah hasil jual putta atau<br />

sanra puta melalui SN dengan terlebih dahulu<br />

dipegang gadai, tidak ada yang membatahnya.<br />

Atas fakta hukum ini, diajukan pertanyaan,<br />

mengapa keterangan saksi 1 diabaikan oleh<br />

majelis hakim dalam putusannya?<br />

Menjawab pertanyaan di atas adalah,<br />

kemungkinannya majelis hakim mengacu<br />

pada ketentuan Pasal 1905 KUHPdt Jo Pasal<br />

169 HIR dan Pasal 306 Rbg yang pada intinya<br />

bahwa, keterangan seorang saksi saja, tanpa<br />

suatu alat bukti lain yang mendukungnya<br />

dapat saja diabaikan, akan tetapi pada faktanya<br />

majelis hakim sepanjang uraiannya tidak pernah<br />

menggunakan Pasal 1905 KUHPdt jo Pasal 169<br />

HIR, dan Pasal 306 RGB untuk melumpuhkan<br />

keterangan saksi 1 dari para Tergugat.<br />

E. Posisi SN yang Terabaikan<br />

Dijelaskan dalam hukum acara perdata<br />

formil bahwa, keterangan saksi diperlukan jika<br />

perkara yang sedang diproses di pengadilan<br />

sudah memiliki bukti surat atau alat bukti tertulis.<br />

Dalam Pasal 1902 KUHPdt disebutkan:<br />

Dalam segala hal di mana oleh undangundang<br />

diperintahkan suatu pembuktian dengan<br />

tulisan-tulisan itu. Jika ada suatu permulaan<br />

pembuktian dengan tulisan diperkenankanlah<br />

pembuktian-pembuktian dengan saksi-saksi,<br />

kecuali apabila tiap pembuktian lain dikecualikan,<br />

selain dengan tulisan.<br />

Keterangan seorang saksi di muka<br />

persidangan bertujuan untuk memberikan<br />

tambahan keterangan, untuk menjelaskan<br />

hubungannya dengan peristiwa hukum yang ada.<br />

Berbeda dengan keterangan antara saksi dengan<br />

ahli yang dipanggil untuk memberikan keterangan<br />

di persidangan. Saksi ahli dipanggil untuk<br />

membantu hakim dalam menilai peristiwanya,<br />

dan pendapat atau dugaan yang diperoleh secara<br />

berpikir (melalui keterangan dari ahli) tidak<br />

merupakan kesaksian (Mertokusumo, 1988: 129).<br />

Kalau keterangan saksi harus tentang peristiwa<br />

atau kejadian yang dialaminya sendiri.<br />

Seorang menjadi saksi, tidak cukup kalau<br />

hanya menerangkan bahwa ia mengetahui<br />

peristiwanya, tetapi saksi harus pula menerangkan<br />

bagaimana sampai mengetahui peristiwanya, jadi<br />

saksi dapat menerangkan sebab musababnya<br />

sampai ia mengetahui peristiwanya. Dalam<br />

Pasal 1907 KUHPdt disebutkan bahwa, tiaptiap<br />

kesaksian harus disertai dengan alasanalasan<br />

bagaimana diketahuinya hal-hal yang<br />

diterangkan. Penegasan yang sama juga dalam<br />

Pasal 171 ayat (1) HIR dan Pasal 308 ayat (1)<br />

Rbg, sehingga menurut Sudikno Mertokusumo,<br />

(1988, 130):<br />

Dapat tidaknya seorang saksi dipercaya,<br />

maka hakim harus memperhatikan kesesuaian<br />

antara keterangan para saksi, kesesuaian kesaksian<br />

dengan apa yang diketahui dari segi lain tentang<br />

perkara yang dipersengketakan; pertimbangan<br />

yang mungkin ada pada saksi untuk menuturkan<br />

kesaksiannya, cara hidup, adat istiadat serta<br />

martabat para saksi dan segala sesuatu yang<br />

sekiranya mempengaruhi tentang dapat tidaknya<br />

dipercaya seorang saksi.<br />

Untuk berpegang secara kuat pada penjelasan<br />

di atas, tentu sangatlah sulit bagi seorang hakim<br />

yang sedang menangani kasus yang alat buktinya<br />

kurang, bahkan tidak relevan untuk saling<br />

menguatkan antara alat bukti yang satu dengan<br />

alat bukti lainnya, akan tetapi pertimbangan<br />

Penyelesaian Sengketa Tanah Persawahan dalam Kasus Gadai yang TerindikasI “Sanra Putta” (A. Nuzul) | 183<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 183 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:29 PM


hakim mutlak harus ada, karena hakimlah yang<br />

memiliki kewenangan dalam menilai keterangan<br />

(kesaksian) dari seorang saksi.<br />

Menurut Sudikno Mertokusumo (1988:<br />

129), yang dapat didengar sebagai saksi adalah<br />

pihak ketiga, dan bukan salah satu pihak<br />

yang berperkara. Merujuk atas ketentuan dan<br />

pernyataan Sudikno di atas, maka SN sangat<br />

patut untuk didudukkan sebagai saksi oleh<br />

yang berperkara. Sangat kuat fakta hukum di<br />

persidangan yang menunjuk bahwa, perbuatan<br />

SN yang mengalihkan (menggadaikan) tanah<br />

persawahan yang kini menjadi sengketa kepada<br />

para Tergugat sekitar tahun 1980-an. Dengan<br />

demikian, posisi SN pada kasus gadai tanah yang<br />

terindikasi jual putta ini sangat penting dalam<br />

rangka penilaian kebenaran secara formil posisi<br />

kasus ini sekaligus untuk menentukan siapa yang<br />

paling berhak atas tanah persawahan yang menjadi<br />

sengketa antara Penggugat dengan para Tergugat.<br />

Semua pengakuan dari Penggugat dan<br />

para Tergugat serta keterangan para saksi yang<br />

berkembang dalam persidangan selalu mengaitkan<br />

peristiwa peralihan hak atas tanah persawahan<br />

yang menjadi objek sengketa ini dengan SN.<br />

Fakta hukum tersebut bisa disimpulkan bahwa,<br />

SN adalah pihak yang sangat mengetahui status<br />

hukum tanah sengketa tersebut, akan tetapi<br />

selama proses hukum berlangsung, SN tidak<br />

pernah diminta memberi keterangan atas kasus<br />

gadai atas tanah persawahan yang menjadi objek<br />

sengketa.<br />

Sekiranya SN dijadikan saksi dalam kasus<br />

ini, maka keterangan saksi maupun pengakuan<br />

Penggugat dan para Tergugat yang saling<br />

berbantahan, bisa ditentukan mana yang sah dan<br />

mana yang tidak sah menurut hukum dengan<br />

jalan mendengar keterangan SN.<br />

Untuk menentukan status tanah persawahan<br />

yang dipersengketakan oleh Penggugat dan<br />

para Tergugat, sepatutnya keterangan SN patut<br />

didengar untuk selanjutnya dikonfrontir dengan<br />

pengakuan para pihak serta keterangan para saksi.<br />

Upaya untuk melakukan konfrontir keterangan<br />

antar saksi dimungkinkan dalam hukum acara<br />

perdata (lihat: alinia terakhir Penjelasan Pasal 82<br />

ayat (1) RIB/HIR).<br />

Sepatutnya SN dijadikan saksi kunci,<br />

karena SN saksi maka akan sangat membantu<br />

kekuatan analisis serta pertimbangan majelis<br />

hakim untuk selanjutnya mengkonstitusi atau<br />

memberi putusan atas sengketa ini dalam hal,<br />

apakah peralihan hak tersebut kepada Tergugat<br />

hanya sebagai gadai ataukah merupakan jual<br />

putta atau sanra putta yang didahului dengan<br />

perjanjian gadai.<br />

Keterangan yang diberikan saksi harus<br />

menyangkut tentang peristiwa atau kejadian<br />

yang dialaminya sendiri, dan ketentuan demikian<br />

sesuai dengan posisi SN yang mengetahui dan<br />

mengalami sendiri peristiwanya. Jadi sekiranya<br />

SN sebagai saksi oleh Penggugat ataukah oleh<br />

para Tergugat, maka hakim akan lebih leluasa bisa<br />

menggali kebenaran keterangan para saksi lainnya<br />

dan kemudian menemukan hukumnya atas status<br />

yang sebenarnya pada tanah persawahan yang<br />

menjadi objek sengketa. Sebaliknya dengan tidak<br />

melibatkan SN dalam penyelesaian sengketa ini<br />

sebagai saksi, terkesan bahwa hakim kurang cermat<br />

atau lalai tidak mempertimbangkan seluruh faktafakta<br />

hukum yang muncul dalam persidangan<br />

yang relevan dengan sengketa persawahan ini<br />

yakni, perbuatan SN yang mengalihkan tanah<br />

persawahan tersebut kepada para Tergugat.<br />

Apalagi jika dicermati bahwa seluruh<br />

pengakuan dan keterangan yang berkembang<br />

184 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 170 -188<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 184 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:29 PM


dalam persidangan cukup beragam, begitu pula<br />

alat bukti tertulis (bukti surat) yang diajukan para<br />

pihak (Penggugat dan Tergugat) tidak memiliki<br />

kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga<br />

dengan demikian keterangan SN akan sangat<br />

berguna bagi majelis hakim untuk menentukan<br />

penilaiannya antara kebenaran pengakuan<br />

Penggugat dengan kebenaran pengakuan para<br />

Tergugat serta kebenaran dari keteranganketerangan<br />

masing-masing para saksi yang<br />

diajukan di persidangan.<br />

Berdasarkan berbagai pengakuan dan<br />

keterangan sebagaimana yang diuraikan di atas,<br />

maka setidaknya ada 3 (tiga) fakta hukum yang<br />

saling berbeda terhadap status tanah persawahan<br />

yang menjadi objek sengketa, yaitu:<br />

1. Pengakuan Penggugat bahwa tanah<br />

persawahan yang menjadi objek sengketa<br />

antara Penggugat dengan para Tergugat<br />

statusnya sebagai gadai melalui SN (lihat<br />

keterangan Penggugat pada poin tiga<br />

tentang duduk perkaranya) atas persetujuan<br />

Penggugat (tahun 1980-an). Pengakuan<br />

Penggugat tersebut kurang lebih sama<br />

dengan keterangan para saksi yang diajukan<br />

Penggugat (lihat keterangan saksi I pada<br />

garis-[garis datar] ke-5, dan keterangan<br />

saksi II pada garis-[garis datar] keenam.<br />

2. Pengakuan para Tergugat bahwa tanah<br />

persawahan yang menjadi objek sengketa<br />

statusnya hak milik (milik para Tergugat)<br />

yang pada mulanya dibeli dari pemiliknya<br />

bernama SN atas persetujuan isterinya<br />

bernama SA karena tanah persawahan yang<br />

menjadi sengketa tersebut pernah dijadikan<br />

mahar (bugis: Sompa) kepada isterinya yang<br />

bernama SA (keterangan para Tergugat<br />

poin 3 dalam pokok perkara). Pengakuan<br />

para Tergugat kurang lebih sama dengan<br />

keterangan Saksi II (MP) -- pada garis<br />

datar 2--, dan keterangan saksi III -pada<br />

garis datar 4-.<br />

3. Keterangan saksi I, TA, yang diajukan para<br />

Tergugat (lihat pada garis – [garis datar]<br />

ke-7, bahwa status tanah persawahan yang<br />

menjadi objek sengketa adalah jual putta<br />

(istilah adat Sulawesi Selatan atas jual beli<br />

barang/tanah yang awalnya perjanjian gadai).<br />

Adanya pengakuan serta keterangan yang<br />

berbeda-beda tersebut di atas, maka agaknya sulit<br />

bagi hakim menemukan kebenaran fakta hukum<br />

yang sesungguhnya, sehingga yang diperlukan<br />

selanjutnya dari hakim adalah kemampuan<br />

analisisnya untuk menilai kebenaran dalil atau<br />

bukti yang diajukan masing-masing pihak.<br />

Sudikno Mertokusumo (1996: 74)<br />

mengatakan, setiap kasus (konflik) yang diproses<br />

di persidangan pengadilan, majelis hakim harus<br />

melakukan langkah-langkah penemuan hukum<br />

agar tidak salah dalam menerapkan hukumnya.<br />

Terkait dengan penyelesaian sengketa gadai tanah<br />

persawahan yang terindikasi jual putta, maka ada<br />

tiga langkah yang patut bagi hakim yaitu:<br />

1. Mengkostatasi sengketa gadai atas tanah<br />

persawahan ini sebagai peristiwa konkrit<br />

yang berarti merumuskan sengketa gadai<br />

yang terjadi antara Penggugat dengan<br />

para Tergugat sebagai peristiwa hukum.<br />

Jadi masuk pada kegiatan legal problem<br />

identifications;<br />

2. Mengkualifikasi sengketa gadai atas tanah<br />

persawahan ini sebagai peristiwa konkrit<br />

berarti, untuk kemudian dicarikanlah<br />

penyelesaian hukumnya (legal problem<br />

solving) dengan menerapkan dalil-dalil<br />

Penyelesaian Sengketa Tanah Persawahan dalam Kasus Gadai yang TerindikasI “Sanra Putta” (A. Nuzul) | 185<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 185 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:29 PM


atau ketentuan hukumnya yang relevan;<br />

3. Kemudian pada tahapan ketiga adalah,<br />

mengkonstitusi atau memberi putusan atau<br />

memutuskan hukumnya atas sengketa gadai<br />

tanah persawahan yang terindikasi jual putta,<br />

jadi masuk pada tahapan decision making.<br />

Atas sengketa gadai atas tanah persawahan<br />

ini, majelis hakim memenangkan Penggugat<br />

dengan nomor putusan 34/Pdt.G/2007/PN.Wtp<br />

dengan putusan sengketa gadai bukan sengketa<br />

jual putta atau sanra putta.<br />

Beberapa catatan penting atas praktik jual<br />

Putta atau Sanra Putta yang didahului dengan<br />

perjanjian gadai dan penyelesaian hukumnya<br />

yaitu:<br />

1. Praktik jual putta sangat lazim di masyarakat<br />

bugis dan merupakan transaksi yang lumrah,<br />

tidak selamanya diikuti dengan alat bukti<br />

berupa dokumen tertulis serta saksi-saksi,<br />

akibatnya sering menimbulkan persoalan<br />

hukum yang sebenarnya bisa diselesaikan<br />

melalui jalur pengadilan maupun di luar<br />

pengadilan.<br />

2. Kewajiban memeriksa dan penyelesaikan<br />

perkara, hakim perlu kemandirian dan<br />

tidak cukup jika hanya berpegang pada<br />

yurisprudensi belaka. Begitu pula hakim<br />

tidak cukup berpegang pada apa yang<br />

disebut normgerechtigkeit (keadilan<br />

menurut undang-undang) melainkan<br />

berupaya melakukan apa yang disebut<br />

einzelfallgerechtigkeit atau menemukan<br />

keadilan menurut keyakinan hakim yang<br />

tertuang dalam putusannya.<br />

3. Sama artinya penjelasan di atas, hakim tidak<br />

semata hanya berpikir menurut sistemnya<br />

(sistem oriented atau sistem denken),<br />

melainkan patut berpikir dengan mengacu<br />

kepada masalahnya atau problemnya atau<br />

disebut dengan problem oriented atau<br />

system oriented (Mertokusumo, 1996: 44).<br />

Penjelasan ini mengandung makna bahwa<br />

kemandirian seorang hakim sangat utama,<br />

sejalan dengan sistem peradilan Indonesia<br />

bersifat the persuasive force of precedent,<br />

bukan the binding force of precedent atau<br />

stare decisis et quita non movere seperti<br />

dalam protype sistem peradilan Anglo<br />

Saxon.<br />

4. Selaras dengan kemandirian dimaksud<br />

di atas, hakim yang menangani sengketa<br />

yang alat buktinya amat terbatas atau<br />

kurang seperti pada kasus sengketa gadai<br />

tanah persawahan ini, maka pegangan lain<br />

yang diperlukan bagi hakim adalah, kode<br />

etik atau pedoman perilaku hakim. Untuk<br />

kepentingan dimaksud, telah dikeluarkan<br />

Surat Keputusan Bersama (SKB) antara<br />

<strong>Komisi</strong> <strong>Yudisial</strong> dengan Mahkamah Agung<br />

Republik Indonesia, Nomor 047/KMA/<br />

SKB/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009<br />

tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku<br />

Hakim. Kandungan atau isi dari SKB ini<br />

antara lain bahwa, seorang hakim harus<br />

berperilaku adil; berperilaku jujur, bersikap<br />

mandiri; berintegritas tinggi; berdisiplin<br />

tinggi; dan bersikap profesional dalam<br />

menangani setiap perkara.<br />

SIMPULAN<br />

186 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 170 -188<br />

IV.<br />

1. Alat bukti surat dari Penggugat maupun<br />

alat bukti surat dari para Tergugat memiliki<br />

kekuatan pembuktian yang tidak sempurna,<br />

sehingga penilaian atas alat bukti tersebut<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 186 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:29 PM


sangat bergantung dari pertimbangan<br />

majelis hakim. Adapun keterangan para<br />

saksi dari Penggugat cukup berkesesuaian<br />

antara satu saksi dengan saksi lainnya<br />

dan kekuatan pembuktiannya bersifat<br />

sempurna. Sebaliknya keterangan para<br />

saksi dari Tergugat, ada yang sama serta<br />

ada pula yang berbeda. Keterangan yang<br />

sama diperoleh dari keterangan saksi 2 dan<br />

saksi 3, sedangkan yang berbeda berasal<br />

dari keterangan saksi 1, sehingga dengan<br />

demikian kekuatan pembuktian keterangan<br />

saksi dari para Tergugat tidak sempurna,<br />

untuk itu penilaiannya diserahkan pada<br />

pertimbangan hukum majelis hakim.<br />

2. Keterangan saksi 1 yang diajukan para<br />

Tergugat yang mengatakan bahwa, tanah<br />

persawahan yang menjadi objek sengketa<br />

adalah awalnya gadai melalui SN dengan<br />

persetujuan Penggugat, kemudian beralih<br />

menjadi jual-beli dengan istilah jual putta<br />

atau sanra putta. Kekuatan pembuktiannya<br />

lemah karena tidak didukung dengan alat<br />

bukti lain, meskipun demikian, majelis<br />

hakim sepatutnya tetap mempertimbangkan<br />

sebab keterangan mana dari saksi I tersebut<br />

sama sekali tidak pernah dibantah oleh<br />

Penggugat maupun semua saksi dalam<br />

persidangan. Juga praktik jual putta atau<br />

sanra putta lazim terjadi di masyarakat<br />

bugis sejak dulu, dan menjadi hukum yang<br />

hidup.<br />

3. Majelis hakim dinilai kurang cermat<br />

dalam pertimbangan hukumnya karena<br />

tidak memerintahkan Penggugat atau para<br />

Tergugat untuk memanggil SN menjadi<br />

saksi dalam persidangan. Pada hal baik<br />

dari Penggugat maupun para Tergugat<br />

serta semua saksi mengakui bahwa, SN<br />

yang mengalihkan penguasaan tanah<br />

persawahan yang menjadi objek sengketa<br />

kepada para Tergugat. Dengan demikian,<br />

SN patut menjadi saksi kunci yang<br />

keterangannya sangat diperlukan, termasuk<br />

diperlukan untuk mengkonfrontasi<br />

pengakuan Penggugat dan para Tergugat<br />

serta keterangan semua saksi. Kedudukan<br />

SN pada kasus ini berbeda dengan saksisaksi<br />

yang diajukan Penggugat maupun<br />

para Tergugat yang hanya mengetahui<br />

saja, tetapi tidak mengalami peristiwanya<br />

sebagaimana yang dialami dan diketahui<br />

oleh SN.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Ali, Achmad. 1996. Menguak Tabir Hukum<br />

(Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologisi).<br />

Cet. I. Jakarta: Pen: Chandra Pratama.<br />

Emirzon, Joni. 2001. Alternatif Penyelesaian<br />

Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi,<br />

Mediasi, Konsiliasi & Arbitrase). Cet. I.<br />

Jakarta: Pen: Gramedia Pustaka Utama.<br />

Mertokudumo, Sudikno. 1988. Hukum Acara<br />

Perdata Indonesia, Cet. I. Yogyakarta: Pen:<br />

Liberty.<br />

_________________. 1996. Penemuan Hukum,<br />

Sebuah Pengantar. Cet. I. Yogyakarta: Pen:<br />

Liberty.<br />

Meliala, S. Djaja. 2008. Perkembangan Hukum<br />

Perdata Tentang Benda dan Hukum<br />

Perikatan. Cet. II. Bandung: Pen: Nuansa<br />

Aulia.<br />

Nuzul, A. 2009. Pembentukan Hukum Kewarisan<br />

Penyelesaian Sengketa Tanah Persawahan dalam Kasus Gadai yang TerindikasI “Sanra Putta” (A. Nuzul) | 187<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 187 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:29 PM


Nasional Berdasarkan Sistem Bilateral<br />

(Relevansi Beberapa Asas Hukum<br />

Kewarisan Menurut KUHpdt, Menurut<br />

Hukum Islam, dan Menurut Hukum Adat),<br />

Disestasi, FH. UGM, Yogyakarta.<br />

Subekti, R. 1980. Pokok-Pokok Hukum Perdata.<br />

Cet. XV. Jakarta: Pen: Intermasa.<br />

Subekti, R. dan R. Tjitrosudibio. 1996. Kitab<br />

Undang-Undang Hukum Perdata<br />

(KUHPerdata). Cet. XXVIII. Jakarta: Pen:<br />

PT. Pradnya Paramita.<br />

Soesilo, R. 1980. RIB/HIR, Dengan Penjelasannya,<br />

Bandung: Pen: Karya Nusantara.<br />

Undang-Undang/Putusan<br />

Keputusan Bersama (SKB) antara Mahkamah<br />

Agung RI dan <strong>Komisi</strong> <strong>Yudisial</strong> RI Nomor<br />

047/KMA/SKB/2009 Dan 02/SKB/P.KY/<br />

IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman<br />

Perilaku Hakim.<br />

Putusan Nomor 34/Pdt.G/2007/PN. WTP pada<br />

Pengadilan Kelas 1 B Watampone.<br />

Undang-Undang No. 56 Prp. Tahun 1960 tentang<br />

Penetapan Luas Tanah Pertanian, beserta<br />

Penjelasannya.<br />

Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang<br />

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian<br />

Sengketa.<br />

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang<br />

Kekuasaan Kehakiman.<br />

Pustaka Online:<br />

Gadai Tanah Adat Selalu Dapat Ditebus: Kasus<br />

Harta Pusaka Tinggi Minangkabau -Onta<br />

Berkokok- http://asaad36.blogspot.<br />

com/2010/10/gadai-tanah-adat-selalu-<br />

dapat-ditebus.html (Diakses, 29 Juni <strong>2012</strong>).<br />

Jaminan Kepastian Dan Perlindungan Hukum<br />

Terhadap Perjanjian Gadai Tanah Menurut<br />

Hukum Adat (Dimuat oleh Admin<br />

PN.Bjb/ 21-07-2009: ttp://www.pnbanjarbaru.go.id/index.php?content=mod_<br />

artikel&id=13 (Diakses 2 9 Juni <strong>2012</strong>).<br />

Pengertian Gadai Tanah Menurut Hukum Adat<br />

dan Menurut Undang-Undang Pokok<br />

Agraria.<br />

Diposkan oleh Ray Pratama Siadari (owner Sekolah<br />

TInggi Ilmu Hukum Pratama) di 02:55:<br />

http://raypratama.blogspot.com/<strong>2012</strong>/02/<br />

pengertian-gadai-tanah-menurut-hukum.<br />

html. (Diakses, Ahad, 12 Februari <strong>2012</strong>).<br />

Yuliana, Andi 5 Juli 2008 “Konflik dan<br />

Penyelesaian Dalam Perjanjian Gadai Tanah<br />

pada Masyarakat Adat Bugis di Kecamatan<br />

Liliriaja Kabupaten Soppeng”,PustakaNet.<br />

Wordpress.Com, (Diakses, Ahad, 29 April<br />

<strong>2012</strong>).<br />

188 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 170 -188<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 188 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:29 PM


WANPRESTASI SEBAgAI KUALIFIKASI TIDAK DIPENUHINyA<br />

KEWAJIBAN HUKUM yANg MENIMBULKAN<br />

KERUgIAN KEUANgAN NEgARA<br />

ABSTRAK<br />

Kajian Putusan Nomor 1247/Pid/B/2009/PN.Bdg<br />

BREAcH OF cONTRAcT AS THE QUALIFIcATION OF NONcOMPLIANcE<br />

TO LEgAL OBLIgATION THAT cAUSES STATE<br />

FINANcIAL LOSS<br />

An Analysis on Decision Number 1247/Pid/B/2009/PN. Bdg<br />

widiada Gunakaya<br />

Sekolah Tinggi Hukum Bandung, Jl. Cihampelas No. 8 Bandung 40116<br />

Email: bonarsius@yahoo.com<br />

Tindak pidana korupsi di Indonesia pada dewasa ini<br />

perkembangannya sudah sangat sistemik dengan<br />

tidak hanya merugikan keuangan negara atau<br />

perekonomian negara tetapi juga telah merampas<br />

hak-hak sosial ekonomi masyarakat secara luas.<br />

Salah satu upaya pemberantasannya adalah<br />

dengan menetapkan ajaran “sifat melawan hukum<br />

material” dalam fungsinya yang positif ke dalam<br />

UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001<br />

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.<br />

Sayangnya, kaidah hukum tersebut oleh putusan<br />

Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006 telah<br />

dinyatakan tidak mengikat secara hukum, karena<br />

dinilai bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1)<br />

UUD 1945 tentang “kepastian hukum yang adil”<br />

sebagai salah satu prinsip negara hukum. Padahal<br />

dalam rangka pemberantasan korupsi, penerapan<br />

kaidah hukum dimaksud dapat dibenarkan sekaligus<br />

juga efektif. Hakim di Pengadilan Negeri Kelas IA<br />

Bandung dalam putusan No. 1247/Pid/ B/2009/<br />

PN.Bdg yang dibahas dalam artikel ini seharusnya<br />

juga menerapkan kaidah hukum tersebut, karena<br />

terdakwa tidak memenuhi kewajiban hukum<br />

yang harus dilakukan sehingga secara nyata telah<br />

Diterima tgl 4 Juli <strong>2012</strong>/Disetujui tgl 18 Juli <strong>2012</strong><br />

menimbulkan kerugian keuangan negara. Hakim<br />

mempertimbangkan perbuatan terdakwa itu sebagai<br />

ingkar janji (wanprestasi) sehingga tidak dapat<br />

dituntut menurut hukum pidana.<br />

Kata kunci: korupsi, sifat melawan hukum pidana,<br />

wanprestasi, kerugian keuangan negara.<br />

abstract<br />

There has been a tendency in the increase of systemic<br />

corruption in Indonesia resulting a great loss of<br />

state budget and national economy. Corruption has<br />

also caused the massive deterioration of people’s<br />

socio-economic basic rights. One of attempted<br />

efforts to get rid of corruption is to install the<br />

doctrine of “the nature of criminal offence” in<br />

material sense with positive function in Law No.<br />

31 Year 1999 juncto Law No. 20 Year 2001 on<br />

Corruption Eradication, but this legal formulation<br />

has been dismantled by the Constitutional Court by<br />

saying (stating) it is contradictory with Article 28D<br />

paragraph (1) of the 1945 Constitution regarding<br />

“the just legal certainty” as one of the principles<br />

of the rule of law. The doctrine can be regarded as<br />

a legalized and effective instrument in combating<br />

corruption. In the court decision No. 1247/Pid/<br />

Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 189<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 189 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:30 PM


B/2009/PN.Bdg analyzed in this article, it was<br />

worth if judges used such a doctrine because the<br />

accused had been proved to result state financial<br />

loss. However, judges considered that the accused’s<br />

failure to fulfill his legal obligation as merely the<br />

breach of contract that could not meet the elements<br />

of any criminal action.<br />

Keywords: corruption, nature of criminal offence,<br />

breach of contract, state financial loss.<br />

I.<br />

PENDAHULUAN<br />

A. Latar Belakang Masalah<br />

Korupsi di Indonesia, dapat dinobatkan<br />

sebagai “biang kemudaratan”, yang dapat<br />

meluluhlantakkan hampir semua bidang<br />

kehidupan, seperti ekonomi, politik, hukum<br />

(mafia hukum/peradilan), sosial, budaya,<br />

kesehatan, pertanian, dan hankam, bahkan<br />

kehidupan beragama yang selama ini dianggap<br />

sebuah zona sakral dan sarat dengan nuansa moral<br />

dan agamis, ternyata bersarang pula perilaku<br />

“amoral”. Dampaknya, sangat besar dan meluas,<br />

mulai dari kerugian yang diderita oleh negara<br />

sampai pada fenomena meluasnya kemiskinan<br />

secara struktural di dalam masyarakat. Akibatnya,<br />

korupsi melahirkan berbagai tragedi alami,<br />

kemasyarakatan dan juga kemanusiaan.<br />

Berbagai upaya pemberantasan yang<br />

diharapkan mampu memberantas tuntas akar<br />

korupsi, baik yang dilakukan melalui penciptaan<br />

piranti hukum maupun dengan aplikasi hukum in<br />

concreto, ternyata hasilnya terjadi aplikasi hukum<br />

“tebang-pilih” (discriminative justice). De facto,<br />

terjadi penegakan hukum diskriminatif dan kontra<br />

produktivitas. Tidak heran jika banyak kasus<br />

tidak di “mejahijaukan”, dengan dalih belum<br />

terkumpulnya atau tidak terpenuhinya cukup<br />

bukti. Padahal jika dicermati, di balik semua itu<br />

terdapat kekuatan politik yang maha dahsyat yang<br />

dapat melibas semua kekuatan hukum. Jika toch<br />

ada yang dimejahijaukan, itu pun sekadar rekayasa<br />

agar partai berkuasa terkesan bersih. Namun<br />

dampaknya sama sekali tidak diperhitungkan,<br />

karena orang yang dikorbankan untuk menjadi<br />

terdakwa justru semakin keras dan lantang<br />

“bernyanyi” mengumandangkan “lagu korupsi”<br />

yang banyak dilakukan oleh kader-kader partainya<br />

atau oleh rekan sekerjanya di pemerintah maupun<br />

di lembaga legislatif. Bila terdakwa sampai<br />

dipidana, diberikan berbagai legalisasi alasan<br />

oleh penguasa supaya yang bersangkutan tidak<br />

sampai menjalankan pidananya atau diberikan<br />

grasi. Belakangan ini dengan banyak terjadinya<br />

kasus suap yang melanda aparat penegak hukum,<br />

menandakan sistem yudisial pidana kita telah pula<br />

terindikasi koruptif. Satu-satunya harapan yang<br />

masih tersisa di negeri ini adalah KPK, namun<br />

dengan telah terjadinya intervensi terhadap<br />

lembaga super body ini, masih bisa dan kuatkah<br />

KPK menghadapi kekuatan-kekuatan politik dan<br />

ekonomi dalam pemberantasan tindak pidana<br />

korupsi?<br />

Meluasnya fenomena korupsi di Indonesia,<br />

bila dicermati, sesungguhnya lebih banyak<br />

berbentuk penyalahgunaan kekuasaan atau<br />

kewenangan politik maupun ekonomi oleh<br />

upper power class dan upper economic class.<br />

Dengan mempelajari “kelemahan” hukum,<br />

mereka melakukan konspirasi untuk tujuan<br />

kepentingan ekonomi tertentu yang pada akhirnya<br />

menimbulkan korupsi. Kasus BLBI dan Bank<br />

Century misalnya, dengan profesionalitas yang<br />

dimiliki oleh pelakunya, perbuatan koruptif yang<br />

terjadi sangat sulit dideteksi oleh aparat hukum,<br />

190 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 189 - 223<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 190 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:30 PM


sehingga kejahatan tersebut sering dikatakan<br />

offences beyond the reach of the law.<br />

Penguasaan sumber daya politik yang<br />

melekat pada posisi jabatan strategis tertentu<br />

dalam ruang lingkup kekuasaan kelembagaan<br />

negara, merupakan potensi besar untuk<br />

mengalokasikan sumber dan fasilitas ekonomi,<br />

sesuai dengan kepentingan bisnis pihak<br />

penjalin hubungan patronase dengan pemegang<br />

kekuasaan. Bentuk penyalahgunaan kekuasaan<br />

dan kewenangan seperti ini semakin menjadi,<br />

karena terjadi ketidakefektivitasan pengawasan<br />

oleh lembaga-lembaga pengawasan resmi,<br />

maupun oleh pranata-pranata demokrasi yang<br />

bergerak terbatas karena dikendalikan negara.<br />

Akibatnya, ruang gerak korupsi menjadi semakin<br />

meluas dan “menggila”. Hal ini diperparah lagi<br />

dengan adanya gejala kolusi dan nepotisme<br />

yang semakin ‘sistemik’ antara pebisnis dengan<br />

pemegang kebijakan dan penentu operasional di<br />

bidang pengelolaan keuangan negara.<br />

Pada tataran praksis dalam peradilan pidana,<br />

mengenai masalah “keuangan negara” kerap kali<br />

menimbulkan kebingungan bagi aparat pidana.<br />

Hal ini disebabkan karena terdapat banyak hukum<br />

positif yang mengatur “keuangan negara”, dan<br />

secara horizontal menimbulkan disharmonisasi<br />

hukum, karena masing-masing hukum positif<br />

tersebut bertentangan satu dengan yang lain. Di<br />

dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo UU<br />

No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak<br />

Pidana Korupsi (PTPK) tidak satupun kaidah<br />

hukumnya mengatur masalah “keuangan negara”.<br />

Padahal salah satu kepentingan hukum yang<br />

harus dilindungi sehingga dijadikan bestandelen<br />

delict dalam UU ini adalah “merugikan keuangan<br />

negara”. Maknawi dari “keuangan negara” hanya<br />

ditempatkan dalam Penjelasan Umum dari UU<br />

dimaksud. Pertanyaannya, “apakah Penjelasan<br />

Umum dari UU Anti Korupsi tersebut merupakan<br />

kaidah hukum, sehingga dapat dijadikan dasar<br />

untuk menetapkan perbuatan terdakwa sebagai<br />

perbuatan yang merugikan “keuangan negara”?<br />

UU yang secara khusus mengatur “keuangan<br />

negara” adalah UU No. 17 Tahun 2003 tentang<br />

Keuangan Negara. UU lainnya yang juga<br />

dalam kaidah hukumnya ikut mengatur tentang<br />

“keuangan negara” adalah UU No. 19 Tahun<br />

2003 tentang BUMN, UU No. 1 Tahun 2004<br />

tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No. 15<br />

Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelola dan<br />

Tanggungjawab Keuangan Negara.<br />

Korupsi juga terjadi di berbagai pemerintah<br />

daerah di Indonesia, baik yang dilakukan oleh<br />

pejabat legislatif, eksekutif, yudikatif, dan<br />

konglomerasi. Melalui konspirasi politik antara<br />

Kepala Daerah dan DPRD yang di”balut” dengan<br />

kebijakan legislasi daerah, para pejabat ini sepakat<br />

untuk menetapkan suatu anggaran dengan alasan<br />

pembangunan daerah atau kesejahteraan rakyat<br />

atau kesehatan anggota DPRD atau dengan<br />

alasan yang dibuat serasional mungkin, padahal<br />

tujuannya adalah untuk memperkaya diri atau<br />

orang lain atau suatu korporasi. Dana yang sengaja<br />

anggarannya ditetapkan di dalam APBD itu<br />

bahkan digelembungkan sehingga menimbulkan<br />

kerugian negara (daerah) yang sangat besar,<br />

karena harus dibayarkan setiap bulan. Anggaran<br />

yang sengaja digelembungkan itu pada akhirnya<br />

dibagi-bagi dan masuk ke kantong masing-masing<br />

pejabat. Dengan demikian, legalitas APBD hanya<br />

dijadikan sarana di dalam upaya memperkaya atau<br />

menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara<br />

melawan hukum atau dengan menyalahgunakan<br />

kewenangan, kesempatan atau sarana karena<br />

jabatan atau kedudukannya yang dapat merugikan<br />

keuangan atau perekonomian negara. Tegasnya,<br />

korupsi dilakukan dengan cara berlindung di<br />

Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 191<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 191 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:30 PM


alik legalitas produk legislasi daerah.<br />

Pada akhirnya, prognosis korupsi sudah<br />

semakin meluas bahkan hampir menjurus pada<br />

“pembusukan” bangsa, sehingga ada yang<br />

memeberi predikat sebagai extra ordinary crime.<br />

Memang, situasi korupsi di Indonesia pada saat ini,<br />

sudah tidak bisa lagi dikategorikan sebagai situasi<br />

normal, melainkan sudah melebihi ambang batas<br />

toleransi (“abnormal”). Itulah sebabnya, dalam<br />

rangka pelaksanaan kebijakan (politik) kriminal<br />

dengan menggunakan sarana penal, pembentuk<br />

UU telah melakukan perubahan kebijakan (politik)<br />

hukum pidana, dari yang “normal” (biasa) menuju<br />

kepada yang luar biasa atau secara extra ordinary<br />

measures untuk memberantas korupsi. Perubahan<br />

kebijakan legislasi dimaksud ditempuh dengan<br />

menetapkan ajaran sifat melawan hukum (SMH)<br />

materiil, bahkan dalam fungsinya yang positif<br />

dalam menetapkan suatu perbuatan sebagai<br />

tindak pidana korupsi, yaitu:<br />

“… meskipun perbuatan tersebut tidak<br />

diatur dalam peraturan perundangundangan,<br />

namun apabila perbuatan<br />

tersebut dianggap tercela karena tidak<br />

sesuai dengan rasa keadilan atau norma<br />

kehidupan sosial dalam masyarakat, maka<br />

perbuatan tersebut dapat dipidana”.<br />

Premis mayor di atas sama sekali tidak<br />

dideduksikan dalam Putusan Pengadilan Negeri<br />

Kelas IA Bandung No. 1247/Pid/B/2009/<br />

PN.Bdg. yang menyatakan, bahwa dengan<br />

tidak dipenuhinya kewajiban hukum dalam isi<br />

perjanjian oleh terdakwa, maka prosedur yang<br />

harus ditempuh adalah melalui penagihan kepada<br />

terdakwa agar sesuai dengan perjanjian yang<br />

telah disepakati, dan perbuatan terdakwa tersebut<br />

dapat dikategorikan telah melakukan perbuatan<br />

wanprestasi. Dengan demikian, kerugian yang<br />

timbul sebagai akibat adanya wanprestasi adalah<br />

bukan perbuatan melawan hukum menurut<br />

hukum pidana. Berdasarkan pertimbanganpertimbangan<br />

majelis hakim berpendapat, bahwa<br />

perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa IS,<br />

sebagaimana didakwakan dalam dakwaan primair,<br />

telah terbukti akan tetapi perbuatan tersebut<br />

bukan merupakan tindak pidana melainkan<br />

termasuk ruang lingkup hukum perdata.<br />

Apakah yang menjadi rasionalisasi<br />

pertimbangan dan putusan hakim seperti demikian,<br />

di bawah ini terlebih dahulu dideskripsikan secara<br />

singkat kronologis perkara tindak pidana korupsi<br />

yang diperiksa dan diadili kemudian diputuskan<br />

dalam Putusan Pengadilan Negeri Bandung Kelas<br />

IA No. 1247/Pid/B/ 2009/ PN.Bdg. sebagaimana<br />

dipaparkan dalam kasus posisi berikut ini.<br />

B. Kasus Posisi<br />

Pada tanggal 3 Desember 2004, Terdakwa IS<br />

selaku Direktur CV. UM dan PW yang menjabat<br />

Kepala Bagian di salah satu dinas Kota Bandung<br />

diangkat berdasarkan Surat Keputusan Wali Kota<br />

Bandung No. 821/Kep.849-Peg/2004 tanggal 24<br />

Nopember 2004 (dilakukan penuntutan terhadap<br />

masing-masing secara terpisah), beserta ED<br />

yang menjabat Kasubag di salah satu Pemerintah<br />

Kota bandung telah ditetapkan selaku Pimpinan<br />

Pelaksanaan Kegiatan berdasarkan Surat<br />

Keputusan Wali Kota Bandung No. 821.2/Kep-<br />

272-Peg/2004 tanggal 7 April 2004.<br />

Sekitar bulan Desember 2004 sampai<br />

dengan bulan Mei 2005, di Kantor Pemerintah<br />

Kota Bandung atau di suatu tempat lain dalam<br />

daerah hukum Pengadilan Negeri Kls. IA Bandung<br />

terdakwa ”melakukan, menyuruh melakukan dan<br />

turut serta melakukan perbuatan memperkaya<br />

diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,<br />

192 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 189 - 223<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 192 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:30 PM


yang dapat merugikan keuangan negara atau<br />

perekonomian negara.<br />

Modus operandi terdakwa melakukan<br />

perbuatannya, pada intinya dikemukakan di<br />

bawah ini.<br />

Pada tanggal 10 Desember 2004, Terdakwa<br />

oleh ED selaku Pimpinan Pelaksana Kegiatan<br />

Koordinasi Penyelenggara Perekonomian,<br />

berdasarkan SK. No.002/Keg/KPP/XII/2004<br />

telah menetapkan terdakwa berdasarkan<br />

penunjukan langsung sebagai pelaksana relokasi<br />

dan pengelolaan pedagang kaki lima di tujuh<br />

titik di gedung eks Toko Ria di Bandung.<br />

Terdakwa ditunjuk sebagai pelaksana relokasi<br />

dan pengelolaan pedagang kaki lima di tujuh<br />

titik di kota Bandung adalah berdasarkan<br />

rekomendasi dari Tim Penilai yang diketuai<br />

oleh PW berdasarkan surat No. 003/TIM/PKL/<br />

XII/2004 tanggal 3 Desember 2004 dalam rangka<br />

pelaksanaan Konferensi Asia Afrika di Bandung<br />

dapat berjalan dengan nyaman dan lancar.<br />

Pada tanggal 14 Desember 2004 dibuat<br />

surat perjanjian No. 511.23/500-Ek tertanggal<br />

14 Desember 2004 untuk pelaksanaan relokasi<br />

dan pengelolaan pedagang kaki lima tujuh titik<br />

tersebut, yang ditandatangani bersama oleh ED<br />

selaku Ketua Pimpinan Pelaksana Kegiatan<br />

Koordinasi Penyelenggara Perekonomian sebagai<br />

pihak I mewakili Pemerintah Kota Bandung dan<br />

CV. UM sebagai pihak kedua yang diwakili oleh<br />

terdakwa IS selaku direktur, serta pihak ketiga<br />

FS selaku pemilik gedung eks Toko Ria. Dalam<br />

perjanjian tersebut telah diatur hak dan kewajiban<br />

masing-masing pihak.<br />

Setelah ditandatanganinya surat perjanjian<br />

dimaksud, terdakwa menerima pembayaran<br />

sejumlah Rp.2.500.000.000,- (dua miliar lima<br />

ratus juta rupiah) untuk pembayaran sewa gedung<br />

eks Toko Ria yang diterima FS selaku pemilik<br />

gedung eks Toko Ria. Perjanjian sebagaimana<br />

dimaksud di antaranya menyebutkan bahwa<br />

terdakwa berkewajiban mengembalikan dana<br />

talangan sebesar Rp.2.500.000.000,- (dua miliar<br />

lima ratus juta rupiah) dalam 2 (dua) tahap, yaitu<br />

pada bulan April sebesar Rp.1.250.000.000,- (satu<br />

milyar dua ratus lima puluh juta rupiah) dan pada<br />

bulan September sebesar Rp.1.250.000.000,-<br />

(satu milyar dua ratus lima puluh juta rupiah).<br />

Sedangkan jangka waktu perjanjian sewa<br />

menyewanya adalah selama 5 (lima) bulan<br />

terhitung mulai 23 Januari 2005 sampai dengan<br />

23 Mei 2005.<br />

Dalam rencana pelaksanaan relokasi<br />

dan pengelolaan pedagang kaki lima, semula<br />

menargetkan sebanyak 1930 (seribu sembilan<br />

ratus tiga puluh) pedagang kali lima (PKL),<br />

namun pada kenyataannya terdakwa sebagai<br />

pelaksana relokasi dan pengelolaan PKL di tujuh<br />

titik itu, hanya mampu merealisasikan sebanyak<br />

635 (enam ratus tiga puluh lima) PKL saja. Itupun<br />

sebagian besar hanya mau mengisi tempat di eks<br />

Toko Ria di Jalan OI saja, sedangkan gedung eks<br />

Toko Ria di Jalan BS Bandung tidak berjalan<br />

sebagaimana mestinya.<br />

Penyediaan lapak atau kios bagi para<br />

PKL ternyata dilakukan oleh terdakwa dengan<br />

cara meminjam uang sebesar Rp.300.000.000,-<br />

(tiga ratus juta rupiah) kepada FS selaku<br />

pemilik gedung eks Toko Ria. Untuk kegiatan<br />

operasional pengelolaan PKL antara lain untuk<br />

gaji, pemeliharaan dan biaya partisi, terdakwa<br />

mengajukan permohonan bantuan keuangan<br />

kepada Pemerintah Kota Bandung sejumlah<br />

Rp.750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta<br />

rupiah) namun disetujui oleh Pemerintah Kota<br />

Bandung hanya sejumlah Rp.100.000.000,-<br />

(seratus juta rupiah).<br />

Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 193<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 193 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:30 PM


Pelaksanaan relokasi dan pengelolaan PKL<br />

di tujuh titik di gedung eks Toko Ria, terdakwa<br />

dalam pengelolaan gedung beserta fasilitasnya<br />

melakukan penarikan uang sewa lapak atau<br />

kios yang disewakan kepada para PKL seharga<br />

Rp.250.000,- sampai Rp.300.000,- setiap<br />

bulannya. Dari hasil sewa lapak tersebut, uang<br />

yang berhasil dikumpulkan adalah:<br />

1. Bulan Januari sekitar Rp.120.000.000,-<br />

(seratus dua puluh juta rupiah).<br />

2. Bulan Februari sekitar Rp.60.000.000,-<br />

(enam puluh juta rupiah).<br />

3. Bulan Maret sekitar Rp.30.000.000,- (tiga<br />

puluh juta rupiah).<br />

4. Bulan selanjutnya sampai dengan relokasi<br />

dan pengelolaan PKL tidak berjalan sekitar<br />

akhir tahun 2005, dan tidak pernah tercatat<br />

serta sama sekali hasilnya tidak pernah<br />

dilaporkan ke Pemerintah Kota Bandung.<br />

Sedangkan hasil berupa uang yang<br />

diperoleh terdakwa juga tidak pernah dilaporkan<br />

kemajuannya, dan tidak pernah disetorkan kepada<br />

Pemerintah Kota Bandung, karena digunakan<br />

untuk kepentingan pribadi terdakwa sendiri, di<br />

antaranya terdakwa memberikan modal usaha<br />

catering sebesar Rp.40.000.000,- kepada IC yang<br />

dituangkan dalam surat perjanjian kerja sama<br />

pada tanggal 1 Februari 2004.<br />

Selain itu, terdapat pula penyalahgunaan<br />

pemanfaatan ruang sisa bangunan yang<br />

dimanfaatkan terdakwa untuk usaha bilyard<br />

sekitar bulan Februari 2005 melalui perjanjian<br />

kerjasama antara terdakwa dengan KMW tanggal<br />

28 Februari 2004. Dalam perjanjian tersebut<br />

terdakwa berhak atas 45% (empat puluh lima<br />

persen) dari laba bersih.<br />

Berdasarkan audit BPK telah terjadi<br />

penyimpangan dana dalam pelaksanaan kegiatan<br />

relokasi dan pengelolaan PKL di tujuh titik di<br />

gedung eks Toko Ria di Jalan OI dan Jalan BS<br />

Bandung. BPK menyatakan, bahwa Pemerintah<br />

Kota Bandung menderita kerugian sebesar<br />

Rp.2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus juta<br />

rupiah), sebagaimana dimaksud dalam Laporan<br />

Hasil Perbantuan Perhitungan Kerugian Keuangan<br />

Negara atau Daerah dalam kasus dugaan Tindak<br />

Pidana Korupsi dalam Penyalahgunaan Dana<br />

Stimulan Untuk Relokasi 1930 PKL di Kota<br />

Bandung tahun anggaran 2004 No. S-1888/<br />

PW10/5/2009 tanggal 18 Maret 2009 yang<br />

dibuat dan ditandatangani oleh Tim Penghitung<br />

Kerugian Negara.<br />

C. Dasar Hukum Putusan Hakim<br />

Dasar hukum yang digunakan oleh hakim<br />

adalah Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) UU<br />

No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001<br />

tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999<br />

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi<br />

jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang masingmasing<br />

berbunyi sebagai berikut:<br />

1. Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999:<br />

“Setiap orang yang secara melawan hukum<br />

melakukan perbuatan memperkaya diri<br />

sendiri atau orang lain atau suatu korporasi<br />

yang dapat merugikan keuangan negara<br />

atau perekonomian negara, dipenjara<br />

seumur hidup atau pidana penjara paling<br />

singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20<br />

(dua puluh tahun) dan denda paling sedikit<br />

Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)<br />

dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00<br />

(satu milyar rupiah)”.<br />

194 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 189 - 223<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 194 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:30 PM


2. Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999:<br />

”Setiap orang yang dengan tujuan<br />

mementingkan diri sendiri atau orang lain<br />

atau suatu korporasi, menyalahgunakan<br />

kewenangan, kesempatan atau sarana yang<br />

ada padanya karena jabatan atau kedudukan<br />

yang dapat merugikan keuangan negara<br />

atau perekonomian negara, dipidana dengan<br />

pidana penjara seumur hidup atau pidana<br />

penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan<br />

paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau<br />

denda paling sedikit Rp.50.000.000,00.<br />

(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak<br />

Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.<br />

3. Pasal 18 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999:<br />

Selain pidana tambahan sebagaimana<br />

dimaksud dalam Kitab Undang-undang<br />

Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan<br />

adalah:<br />

a. Perampasan barang bergerak yang<br />

berwujud atau yang tidak berwujud<br />

atau atau barang yang tidak bergerak<br />

yang digunakan untuk atau yang<br />

diperoleh dari tindak pidana korupsi,<br />

termasuk perusahaan milik terpidana<br />

di mana tindak pidana korupsi<br />

dilakukan, begitu pula harga dari<br />

barang yang menggantikan barangbarang<br />

tersebut.<br />

b. Pembayaran uang pengganti yang<br />

jumlahnya sebanyak-banyaknya sama<br />

dengan harta benda yang diperoleh<br />

dari tindak pidana korupsi.<br />

c. Penutupan seluruh atau sebagian<br />

perusahaan untuk waktu paling lama<br />

1 (satu) tahun.<br />

d. Pencabutan seluruh atau sebagian hakhak<br />

tertentu atau penghapusan seluruh<br />

atau sebagian keuntungan tertentu,<br />

yang telah atau dapat diberikan<br />

oleh Pemerintah kepada terpidana.<br />

(Dalam putusan hakim tidak<br />

ditegaskan, ketentuan yang mana<br />

yang dimaksud dalam pasal ini,<br />

apakah ketentuan yang ada dalam<br />

huruf a, b, c, atau d atau keseluruhan<br />

dari Pasal 1 ayat (1) ini).<br />

4. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP:<br />

”Dipidana sebagai pembuat (dader) sesuatu<br />

perbuatan pidana:<br />

Ke-1 mereka yang melakukan, yang<br />

menyuruh melakukan dan yang turut serta<br />

melakukan perbuatan sengaja memberi<br />

bantuan pada waktu kejahatan dilakukan.<br />

Dalam perkara ini dakwaan JPU disusun<br />

dalam bentuk Surat Dakwaan subsidiaritas yang<br />

pada intinya sebagai berikut:<br />

Primer<br />

Bahwa perbuatan terdakwa mengakibatkan<br />

negara/daerah mengalami kerugian sebesar<br />

Rp.2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus juta<br />

rupiah), sebagaimana dimaksud dalam Laporan<br />

Hasil Perbantuan Perhitungan Kerugian Keuangan<br />

Negara Atau Daerah dalam kasus dugaan Tindak<br />

Pidana Korupsi dalam Penyalahgunaan Dana<br />

Stimulan Untuk Relokasi 1930 PKL di Kota<br />

Bandung tahun anggaran 2004 No. S-1888/<br />

PW10/5/2009 tanggal 18 Maret 2009 yang<br />

dibuat dan ditandatangani oleh Tim Penghitung<br />

Kerugian Negara.<br />

Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur<br />

dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) jo<br />

Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 195<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 195 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:30 PM


Pasal 18 ayat (1) UU RI No. 31 Tahun 1999<br />

sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU<br />

RI No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan<br />

Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1<br />

KUHP.<br />

Subsider<br />

Bahwa perbuatan terdakwa mengakibatkan<br />

negara/Daerah mengalami kerugian sebesar<br />

Rp.2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus juta<br />

rupiah), sebagaimana dimaksud dalam Laporan<br />

Hasil Perbantuan Perhitungan Kerugian Keuangan<br />

Negara Atau Daerah dalam kasus dugaan Tindak<br />

Pidana Korupsi dalam Penyalahgunaan Dana<br />

Stimulan Untuk Relokasi 1930 PKL di Kota<br />

Bandung tahun anggaran 2004 No. S-1888/<br />

PW10/5/2009 tanggal 18 Maret 2009 yang<br />

dibuat dan ditandatangani oleh Tim Penghitung<br />

Kerugian Negara.<br />

Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan<br />

diancam pidana dalam Pasal 3 jo Pasal 18 ayat (1)<br />

UU RI No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah<br />

dan ditambah dengan UU RI No. 20 Tahun 2001<br />

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo<br />

Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.<br />

Berdasarkan surat dakwaan tersebut di atas,<br />

Tim Penasihat Hukum terdakwa telah mengajukan<br />

nota keberatan atau eksepsi tertanggal 5 Oktober<br />

2009. Atas keberatan atau eksepsi tersebut di atas,<br />

Penuntut Umum telah mengajukan tanggapannya<br />

tertanggal 19 Oktober 2009.<br />

Majelis Hakim atas eksepsi Tim Penasihat<br />

Hukum terdakwa telah menjatuhkan putusan sela<br />

terhadap perkara No. 1247/Pid/B/2009/PN.Bdg.<br />

tertanggal 19 Oktober 2009 yang amarnya<br />

berbunyi sebagai berikut:<br />

1. Menolak keberatan/eksepsi Tim Penasihat<br />

Hukum terdakwa IS untuk seluruhnya;<br />

2. Menyatakan Surat Dakwaan JPU No. Reg.<br />

PDS: 02/Bdg/07/2009 tanggal 9 September<br />

2009 sah menurut hukum;<br />

3. Memerintahkan pemeriksaan perkara<br />

pidana No. 1247/Pid/B/2009/PN.Bdg. atas<br />

nama trdakwa IS untuk dilanjutkan;<br />

4. Menangguhkan<br />

putusan akhir.<br />

biaya perkara hingga<br />

Sedangkan Nota Pembelaan yang diajukan<br />

oleh Terdakwa dan Tim Penasihat Hukum<br />

Terdakwa adalah:<br />

1. Nota Pembelaan Terdakwa tertanggal 22<br />

Januari 2010:<br />

”Menyampaikan permohonan maaf kepada<br />

keluarga, istri dan anak-anaknya serta<br />

organisasi Masyarakat APPKL serta HP2B<br />

karena terdakwa tidak bisa menjalankan<br />

kewajibannya karena ditahan di Rutan<br />

Kebon Waru Bandung.<br />

2. Nota Pembelaan Tim Penasehat Hukum<br />

Terdakwa tertanggal 22 Januari 2010 pada<br />

pokoknya memohon kepada majelis hakim<br />

menjatuhkan putusan sebagai berikut:<br />

a. Menyatakan terdakwa IS tidak<br />

terbukti secara sah dan meyakinkan<br />

melakukan perbuatan pidana<br />

sebagaimana dimaksud di dalam<br />

dakwaan primer dan subsidair.<br />

b. Membebaskan terdakwa IS dari<br />

segala dakwaan sesuai Pasal 191 ayat<br />

(1) KUHAP atau setidak-tidaknya<br />

melepaskan dari segala tuntutan<br />

hukum sesuai dengan Pasal 191 ayat<br />

(2) KUHAP.<br />

196 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 189 - 223<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 196 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:30 PM


c. Memulihkan segala hak terdakwa IS<br />

dalam kemampuan dan kedudukan,<br />

nama baik serta harkat dan martabat.<br />

d. Membebaskan biaya perkara pada<br />

negara.<br />

D. Pertimbangan Hukum dan Amar<br />

Putusan<br />

Garis-garis besar pertimbangan hukum<br />

yang digunakan oleh hakim untuk mendukung<br />

amar putusannya adalah sebagai berikut:<br />

1. Pertimbangan Hukum<br />

Menimbang, bahwa oleh karena dakwaan<br />

yang diajukan oleh Penuntut Umum<br />

bersifat subsidiaritas, maka terlebih dahulu<br />

majelis akan mempertimbangkan Dakwaan<br />

Primair sebagaimana yang diatur dalam<br />

Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) UU RI<br />

No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah<br />

dan ditambah dengan UU RI No. 20 Tahun<br />

2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana<br />

Korupsi yang mengandung unsur-unsur<br />

sebagai berikut:<br />

Unsur setiap orang;<br />

a. Unsur melawan hukum, melakukan<br />

perbuatan memperkaya diri sendiri<br />

atau orang lain atau korporasi,<br />

merugikan keuangan negara atau<br />

perekonomian negara;<br />

b. Unsur dengan turut serta/bersamasama.<br />

Dalam putusan hakim telah<br />

dipertimbangkan pembuktian unsurunsur<br />

tindak pidana di atas, dan<br />

pada akhirnya berkesimpulan pada<br />

pertimbangan berikut ini:<br />

a. Menimbang, bahwa berdasarkan<br />

p e r t i m b a n g a n - p e r t i m b a n g a n<br />

tersebut di atas majelis berpendapat<br />

bahwa perbuatan yang dilakukan<br />

oleh Terdakwa IS, sebagaimana<br />

didakwakan dalam dakwaan primair,<br />

telah terbukti akan tetapi perbuatan<br />

tersebut bukan merupakan tindak<br />

pidana melainkan termasuk ruang<br />

lingkup hukum perdata;<br />

b. Menimbang, bahwa oleh karena<br />

dakwaan primer tersebut bukan<br />

merupakan tindak pidana maka<br />

terdakwa harus dilepaskan dari segala<br />

tuntutan hukum. Dengan demikian,<br />

dakwaan subsider tidak relevan lagi<br />

untuk dipertimbangkan.<br />

c. Menimbang, bahwa oleh karena<br />

Terdakwa dilepaskan dari segala<br />

tuntutan hukum, maka nama baik<br />

terdakwa harus diberikan rehabilitasi<br />

dengan memulihkan hak Terdakwa<br />

dalam kemampuan, kedudukan dan<br />

harkat serta martabatnya;<br />

d. Menimbang, bahwa dalam<br />

musyawarah Majelis Hakim terjadi<br />

perbedaaan pendapat (dissenting<br />

opinion) yang diajukan oleh salah satu<br />

hakim yakni Hj. Nur Aslam Bustaman,<br />

S.H, M.H., yang pada pokoknya<br />

menyatakan bahwa terdakwa terbukti<br />

secara sah dan meyakinkan menurut<br />

hukum atas perbuatannya yang<br />

dikualifikasikan memenuhi unsurunsur<br />

tindak pidana korupsi serta<br />

patut dijatuhi pidana yang setimpal<br />

Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 197<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 197 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:30 PM


demi mempertanggungjawabkan<br />

perbuatannya.<br />

e. Menimbang, bahwa walaupun terjadi<br />

perbedaaan pendapat (dissenting<br />

opinion) dalam musyawarah majelis<br />

hakim, pada akhirnya melalui<br />

musyawarah dan mufakat majelis<br />

hakim menyetujui amar putusan<br />

sebagaimana tersebut di bawah ini.<br />

2. Amar Putusan:<br />

II.<br />

a. Menyatakan terdakwa IS terbukti<br />

secara sah dan meyakinkan<br />

melakukan perbuatan sebagaimana<br />

dimaksud di dalam dakwaan primer<br />

dan subsider akan tetapi bukan<br />

merupakan perbuatan pidana.<br />

b. Menyatakan terdakwa IS dilepaskan<br />

dari segala tuntutan hukum.<br />

c. Menyatakan memulihkan terdakwa<br />

dalam kemampuan dan kedudukan,<br />

nama baik serta harkat dan martabat.<br />

d. Memerintahkan agar terdakwa segera<br />

dikeluarkan dari Rumah Tahanan<br />

Negara.<br />

e. Menetapkan barang bukti berupa<br />

“barang-barang bukti yang tercantum<br />

dalam tuntutan pidana dari Penuntut<br />

Umum” (barang bukti 1 s/d 85<br />

terlampir dalam putusan hakim)<br />

dipergunakan dalam perkara lain.<br />

f. Membebankan biaya perkara kepada<br />

negara.<br />

RUMUSAN MASALAH<br />

Berdasarkan amar putusan hakim di<br />

atas, yang pada pokoknya menyatakan, bahwa<br />

terdakwa IS terbukti secara sah dan meyakinkan<br />

melakukan perbuatan pidana sebagaimana<br />

dimaksud di dalam dakwaan primer dan subsidair<br />

akan tetapi bukan merupakan perbuatan pidana,<br />

sehingga terdakwa IS dilepaskan dari segala<br />

tuntutan hukum, maka pokok permasalannya<br />

dapat dirumuskan sebagai berikut:<br />

Apakah terdakwa dalam melakukan<br />

perbuatannya terdapat unsur ”melawan<br />

hukum” dalam memperkaya diri sendiri<br />

atau orang lain atau suatu korporasi,<br />

sehingga merugikan keuangan negara atau<br />

perekonomian negara?<br />

STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS<br />

198 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 189 - 223<br />

III.<br />

A. Studi Pustaka<br />

Bersesuaian dengan pokok permasalahan<br />

yang diteliti dalam tulisan ini, maka studi pustaka<br />

yang dielaborasi adalah hukum pidana materiil.<br />

Hukum inilah yang diaplikasikan sebagai<br />

landasan normatif oleh Majelis Hakim untuk<br />

mengadili perkara tindak pidana korupsi yang<br />

dilakukan oleh terdakwa. Hukum pidana materiil<br />

oleh Sudarto dimaknawikan sebagai berikut:<br />

“Hukum pidana memuat dua hal, ialah<br />

syarat-syarat untuk memungkinkan penjatuhan<br />

pidana dan pidana. Apabila hal yang pertama<br />

itu diperinci lebih lanjut, maka dapat dikatakan<br />

bahwa dalam hukum pidana ada tiga pokok<br />

persoalan:<br />

1. tentang perbuatan yang dilarang,<br />

2. tentang orang yang melanggar<br />

3.<br />

larangan itu,<br />

tentang pidana yang diancamkan<br />

kepada si pelanggar itu”.<br />

(Sudarto, 1981: 158).<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 198 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:30 PM


Ekstensi hukum pidana materiil yang<br />

dikemukakan Sudarto tersebut yang dikaji hanya<br />

menyangkut ketiga hal yang telah disebutkan di<br />

atas tadi. Ekstensi dari hukum pidana demikian<br />

itu, sesuai dengan pendapat Barda Nawawi Arief,<br />

sebagai berikut:<br />

“Dilihat dari sudut dogmatis-normatif,<br />

memang materi/substansi atau masalah pokok<br />

dari hukum pidana (maksudnya hukum pidana<br />

materiil) terletak pada masalah mengenai:<br />

1. Perbuatan<br />

dipidana;<br />

apa yang sepatutnya<br />

2. Syarat apa yang seharusnya dipenuhi<br />

untuk mempersalahkan atau<br />

3.<br />

mempertanggungjawabkan seseorang<br />

yang melakukan perbuatan itu;<br />

Sanksi (pidana) apa yang sepatutnya<br />

dikenakan kepada orang itu.<br />

Ketiga materi/masalah pokok<br />

itu biasa disebut dengan istilah:<br />

1. masalah ”tindak pidana”; 2.<br />

masalah ”kesalahan”; dan 3. masalah<br />

”pidana”.<br />

(Barda Nawawi Arief, 1998: 16).<br />

Sehubungan dengan masalah-masalah<br />

(unsur-unsur) pokok yang bersifat substansial<br />

dari hukum pidana materiil (ius poenale)<br />

sebagaimana dikemukakan di atas, khususnya<br />

yang perlu diferifikasi adalah: ’apakah di dalam<br />

Putusan Pengadilan Negeri Bandung Kelas<br />

IA No. 1247/Pid/B/2009/PN.Bdg. unsur yang<br />

menyangkut tentang: perbuatan yang dilarang<br />

(tindak pidana) yang berkaitan erat dengan sifat<br />

melawan hukum (SMH), sudah diaplikasikan<br />

dengan benar menurut sistem hukum pidana<br />

Indonesia, mengingat di dalam putusan tersebut<br />

perbuatan terdakwa dinyatakan terbukti, tetapi<br />

bukan merupakan perbuatan pidana, sehingga<br />

terdakwa diputus lepas.<br />

Secara teoritikal, ketiga permasalahan<br />

pokok dari Hukum Pidana Materiil dimaksud<br />

dapat dibuatkan rumusnya sebagai berikut: Pidana<br />

(P) = tindak pidana (TP) + pertanggungjawaban<br />

pidana. Terkait dengan TP, ”suatu perbuatan baru<br />

dapat dikatakan sebagai TP jika perbuatan tersebut<br />

berrsifat melawan hukum, dan suatu perbuatan<br />

tidak lagi merupakan TP jika terdapat alasan<br />

pembenar”. Terkait dengan PJP, ”seseorang baru<br />

dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas<br />

perbuatannya jika dalam diri orang itu terdapat<br />

kesalahan, dan seseorang tidak lagi dapat dimintai<br />

pertanggungjawaban pidana jika terdapat alasan<br />

pemaaf”. Dengan demikian, TP terkait dengan<br />

SMH dan alasan pembenar. Sedangkan PJP<br />

terkait dengan kesalahan dan alasan pemaaf (fait<br />

d’ excuse).<br />

Kedua alasan tersebut dapat dijadikan<br />

dasar atau alasan untuk menghapuskan atau<br />

meniadakan pidana, yang dikenal dengan<br />

istilah strafuitslutingsgronden. Oleh karena itu<br />

dikatakan, bahwa:<br />

“… alasan pembenar dan alasan pemaaf<br />

cocok dengan pemisahan antara sifat<br />

melawan hukum dan kesalahan sebagai<br />

unsur yang dianggap harus ada dalam tiaptiap<br />

perbuatan pidana. Apabila dalam suatu<br />

keadaan tertentu satu unsurnya hilang,<br />

maka sifat dapat dipidananya perbuatan<br />

itu juga hilang. Penghapusan pidana<br />

adalah akibat penghapusan sifat melawan<br />

hukum dan/atau penghapusan kesalahan”.<br />

(Schaffmeister et.al., 2007: 143).<br />

Alasan pembenar yang merupakan alasan<br />

penghapus perbuatan yang ber-SMH, dan<br />

alasan pemaaf sebagai penghapus K. Di dalam<br />

Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 199<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 199 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:31 PM


aplikasinya, meminjam istilah Roeslan Saleh,<br />

dalam bukunya Dua Pengertian Dasar Dalam<br />

Hukum Pidana, pembuktiannya harus dilakukan<br />

sendiri-sendiri. Istilah Moeljatno dalam bukunya<br />

”Azas-azas Hukum Pidana” tidak boleh<br />

”dicampuradukan”.<br />

Moeljatno mengatakan:<br />

“... yang penting dalam hukum pidana bukan<br />

saja hal memidana si terdakwa, akan tetapi<br />

sebelum sampai kepada itu terlebih dahulu<br />

harus ditetapkan, apakah terdakwa benar<br />

melakukan perbuatan pidana atau tidak.<br />

Dan aspek atau segi dari hukum pidana<br />

itu, yaitu menentukan apakah perbuatan<br />

seseorang merupakan perbuatan pidana atau<br />

bukan, dan kemudian menentukan apakah<br />

orang yang melakukan perbuatan itu dapat<br />

dipertanggungjawabkan (dipersalahkan)<br />

karena perbuatan tersebut atau tidak, hal ini<br />

jangan dicampuradukkan; sebab masingmasing<br />

ini sifatnya berlainan. Adanya<br />

perbuatan pidana didasarkan atas asas:<br />

Tidak ada perbuatan pidana jika sebelumnya<br />

tidak dinyatakan sebagai demikian oleh<br />

suatu ketentuan UU; dalam bahasa Latin:<br />

Nullum delictum, nula poena sine praevia<br />

lege. Sedangkan pertanggungjawaban<br />

dalam hukum pidana berdasarkan atas asas:<br />

Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.<br />

Yang pertama untuk sebagian besar adanya<br />

dalam alam lahir (alam Sein) sedangkan<br />

yang kedua sesudah ada perbuatan pidana,<br />

adanya dalam batin, alam Sollen” (Kursif,<br />

Pen.).<br />

(Moeljatno, 1983: 9-10)<br />

Pada bagian lain lebih ditegaskan:<br />

“... untuk pertanggungjawaban pidana tidak<br />

cukup dengan dilakukannya perbuatan<br />

pidana saja, akan tetapi di samping itu<br />

harus ada kesalahan, atau sikap batin yang<br />

dapat dicela, ternyata pula dalam asas<br />

hukum yang tidak tertulis: “Tidak dipidana<br />

jika tidak ada kesalahan” (Geen straf<br />

zonder schuld, ohne schuld keine strafe)”.<br />

(Moeljatno, 1983: 57).<br />

Sudarto juga, mengatakan:<br />

“Dipidananya seseorang tidaklah cukup<br />

apabila orang itu telah melakukan perbuatan<br />

yang bertentangan dengan hukum atau<br />

bersifat melawan hukum. Jadi meskipun<br />

perbuatan tersebut memenuhi rumusan<br />

delik dalam UU dan tidak dibenarkan (an<br />

objective breach of a penal provision),<br />

namun hal tersebut belum memenuhi syarat<br />

untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan<br />

masih perlu adanya syarat, bahwa orang<br />

yang melakukan perbuatan itu mempunyai<br />

kesalahan atau bersalah (subjective guilt).<br />

Dengan perkataan lain, orang tersebut<br />

harus dapat dipertanggungjawabkan<br />

atas perbuatannya, atau jika dilihat dari<br />

sudut perbuatannya, perbuatannya baru<br />

dapat dipertanggungjawabkan kepada<br />

orang tersebut”. (Kursif, Pen.). (Sudarto,<br />

1987/1988: 85).<br />

Hal selanjutnya yang perlu dideskripsikan<br />

secara teoritikal terkait dengan pokok<br />

permasalahan yang pertama dari penelitian ini<br />

adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum<br />

(SMH).<br />

Di dalam kepustakaan hukum pidana,<br />

SMH merupakan salah satu pengertian dasar<br />

yang harus dicermati baik oleh para akademisi<br />

maupun oleh para praktisi hukum, terutama dan<br />

yang utama oleh pembentuk UU. Pembentuk UU<br />

harus benar-benar mengerti makna dan hakikat<br />

dari melawan hukum, mengingat perbuatan<br />

200 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 189 - 223<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 200 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:31 PM


yang nantinya diformulasikan sebagai perbuatan<br />

melawan hukum (PMH) akan ditetapkan sebagai<br />

suatu TP, karena, wujud dari TP sesungguhnya<br />

adalah PMH.<br />

Oleh karena itu, sangat perlu dipahami dan<br />

disadari, ‘bagaimana mewujudkan suatu perbuatan<br />

yang dikualifikasikan sebagai PMH’? Apakah<br />

perbuatan dimaksud harus bersifat anti sosial<br />

karena dianggap bertentangan dengan normanorma<br />

sosial, dan akan dipandang merugikan<br />

masyarakat (negara), atau karena perbuatan itu<br />

dirasakan dan dinilai tidak adil, bersifat amoral,<br />

dan adharma karena bertentangan dengan ajaranajaran<br />

agama, sehingga siapapun melakukan<br />

perbuatan-perbuatan demikian akan mendapat<br />

celaan dari masyarakat. Jadi intinya, suatu<br />

perbuatan adalah SMH jika perbuatan tersebut<br />

haruslah tercela.<br />

Pembicaraan di atas, sesungguhnya sudah<br />

memasuki ranah disiplin ilmu di luar hukum<br />

pidana, yakni kriminologi. Ilmu inilah yang<br />

sangat “concern” mengkaji masalah perbuatanperbuatan<br />

yang mempunyai sifat “negatif” seperti<br />

dikatakan di atas, yang pada hakikatnya tidak<br />

pantas dilakukan, karena secara kriminologis<br />

perbuatan-perbuatan seperti itu sesungguhnya<br />

merupakan suatu kejahatan. Sedangkan hukum<br />

pidana, secara yuridikal tugasnya hanyalah<br />

sekadar memberi “bingkai” hukum terhadap<br />

perbuatan-perbuatan demikian, sehingga disebut<br />

TP dan mengancamnya dengan sanksi berupa<br />

pidana tertentu bagi “barangsiapa” atau “setiap<br />

orang” yang melakukan perbuatan tersebut.<br />

Apakah sesungguhnya dimaksud dengan<br />

“melawan hukum” “wederrechtelijk”? Di dalam<br />

kepustakaan hukum pidana, istilah ini oleh para<br />

ahli hukum pidana telah diberi arti berbeda-beda,<br />

sehingga van Hamel telah membuat dua macam<br />

kelompok pendapat. Kelompok pertama adalah<br />

paham positif, seperti pendapat Simon yang<br />

mengartikan “wederrechtelijk” sebagai ”in strijd<br />

met het recht” (bertentangan dengan hukum).<br />

Noyon mengatakan sebagai “met krenking van<br />

eens anders recht” (dengan melanggar hak orang<br />

lain). Kelompok kedua adalah paham negatif,<br />

seperti pendapat Hoge Raad yang mengartikan<br />

“wederrechtelijk” itu sebagai “niet steunend<br />

op het recht” (tidak berdasarkan hukum), atau<br />

sebagai “zonder bevoegheid” (tanpa hak).<br />

Menurut van Hamel:<br />

“Sebenarnya terdapat cukup alasan hanya<br />

memberikan satu pengertian pada perkataan<br />

“wederrechtelijk” yang dapat berlaku<br />

umum dalam KUHP, kecuali pengertian<br />

yang ada di dalam Pasal 522 KUHP, oleh<br />

karena perkataan “wederrechtelijk” dalam<br />

pasal tersebut hanya mempunyai arti<br />

sebagai “zonder geldige reden” (tanpa<br />

alasan yang sah). Jadi, penggunaan kata<br />

“wederrechtelijk” itu sudah tepat dan<br />

mempunyai arti positif, bahkan lebih baik<br />

daripada penggunaan kata “onrechtmatig”,<br />

karena perkataan tersebut hanya cocok<br />

digunakan sebagai “epiTahuneton” atau kata<br />

keterangan bagi tindakan-tindakan yang<br />

dilarang dan diancam dengan hukuman,<br />

di samping ditujukan untuk mengancam<br />

atau menyerang kepentingan-kepentingan<br />

hukum, baik yang bersifat umum maupun<br />

yang bersifat khusus. Oleh karena itu,<br />

penggunaan istilah “wederrechtelijk”<br />

telah mempunyai dasar yang kuat, baik<br />

menurut tata bahasa maupun secara logis.<br />

Selanjutnya, memang benar terhadap<br />

beberapa kejahatan tertentu, tindakan<br />

seseorang itu bersifat ”in strijd met het<br />

recht” (bertentangan dengan hukum)<br />

Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 201<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 201 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:31 PM


yang mempunyai arti yang sama dengan<br />

“met krenking van eens anders recht”<br />

(dengan melanggar hak orang lain), akan<br />

tetapi tidak ada alasan untuk mengartikan<br />

“wederrechtelijk” sedemikian sempit”.<br />

Simon menolak pendapat van Hamel yang<br />

mengatakan “wederrechtelijk” itu mempunyai<br />

arti positif. Sebagai alasan, dikemukakan istilah<br />

“wederrechtelijk” dalam Pasal 378 KUHP yang<br />

bermakna berbeda-beda, dan akan memberikan<br />

hasil yang berbeda-beda pula. Oleh karena itu,<br />

istilah “wederrechtelijk” tidak hanya berarti<br />

“bertentangan dengan hukum’ saja, tetapi juga<br />

“bertentangan dengan hak seseorang”.<br />

Sedangkan Pompe mengatakan:<br />

“Adalah sulit untuk memberikan jawaban atas<br />

pertanyaan apa yang sebenarnya dimaksud<br />

dengan perkataan “wederrechtelijk”, karena<br />

masih terdapat beberapa pertanyaan yang<br />

harus dijawab terlebih dahulu. Misalnya,<br />

kapan “wederrechtelijk” itu diartikan<br />

sebagai “bertentangan dengan peraturanperaturan<br />

hukum”, dan apakah perkataan<br />

“recht” itu sendiri harus diartikan sebagai<br />

“gesgreven recht” (hukum tertulis) saja,<br />

ataukah termasuk juga dalam “ongesgreven<br />

recht”. “Wederrechtelijk” itu berarti<br />

“bertentangan dengan hukum” yang<br />

mempunyai pengertian lebih luas dari<br />

pada sekedar “bertentangan dengan UU”.<br />

Termasuk juga ke dalam pengertiannya,<br />

bukan hanya peraturan-peraturan menurut<br />

UU melainkan juga peraturan-peraturan<br />

yang tidak tertulis”.<br />

Demikian pula menurut van Hattum:<br />

“Ditinjau dari sejarah pembentukan UU<br />

tidak diperoleh petunjuk lain, bahwa<br />

pengetian “wederrechtelijk” itu harus<br />

dibatasi hanya sebagai “in strijd met het<br />

gesgreven recht” atau “bertentangan<br />

dengan hukum yang tertulis” saja. Misalnya<br />

arrest Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919<br />

dalam perkara perdata antara Lindenbaum<br />

dan Cohen, telah merumuskan pengertian<br />

“onrechtmatig” yang diatur dalam Pasal<br />

1365 BW dengan rumusan yang baru sama<br />

sekali, yaitu bahwa “onrecht” itu tidak lagi<br />

hanya berarti “wat in breuik maakt op eens<br />

anders recht of in strijd is met des daders<br />

rechsplicht” (apa yang bertentangan dengan<br />

hak orang lain atau yang bertentangan dengan<br />

kewajiban hukum si pelaku), melainkan<br />

juga “wat indruist betzij tegen de goede<br />

zeden, betzij tegen de zorgvuldigheid, welke<br />

in het maatschappelijk verkeer betaamt<br />

t.a.v. eens anders persoon of goed” (apa<br />

yang bertentangan baik dengan tata susila<br />

maupun dengan kepatutan dalam pergaulan<br />

masyarakat, yakni yang berkenaan dengan<br />

perhatian yang harus diberikan kepada<br />

orang lain ataupun kepada harta benda<br />

orang lain)”.<br />

(Disarikan dari Lamintang, 1984: 333-337)<br />

Sehubungan hal di atas, menurut Munir<br />

Fuady (2002: 6), sejak tahun 1912 di negeri<br />

Belanda, demikian juga di Indonesia, perbuatan<br />

melawan hukum (maksudnya dalam pengertian<br />

hukum perdata, pen.) telah diartikan secara<br />

luas, yakni mencakup salah satu dari perbuatanperbuatan<br />

sebagai berikut:<br />

1. Perbuatan yang bertentangan dengan<br />

hak orang lain.<br />

2. Perbuatan yang bertentangan dengan<br />

kewajiban hukumnya sendiri.<br />

3. Perbuatan yang bertentangan dengan<br />

kesusilaan.<br />

202 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 189 - 223<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 202 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:31 PM


4. Perbuatan yang bertentangan dengan<br />

kehati-hatian atau keharusan dalam<br />

pergaulan masyarakat yang baik.<br />

Jadi secara singkat dapat dikatakan,<br />

pengertian “onrechmatig” itu bukan hanya<br />

meliputi apa saja yang bertentangan dengan<br />

UU, melainkan juga bertentangan dengan<br />

‘kesusilaan’ atau ‘kepatutan yang baik’ (de goede<br />

zeden of betamelijkheid). Ini berarti pengertian<br />

“wederrechtelijk”, menurut Pompe dan van<br />

Hattum harus pula meliputi pengertian terakhir<br />

ini. Ini berarti pula, dalam perkembangan<br />

pengertian “melawan hukum” sudah menyatu<br />

antara pengertian “melawan hukum” dalam arti<br />

“wederrechtelijk” dalam hukum pidana, maupun<br />

dalam arti “onrechmatig” dalam hukum perdata.<br />

Namun hal ini tidak menjadi persoalan, karena<br />

sesungguhnya kedua istilah tersebut walaupun<br />

memiliki nama berbeda, akan tetapi memiliki<br />

satu makna. Heijder mengatakan kedua istilah itu<br />

tidak menyebabkan perbedaan arti, baik menurut<br />

sejarah perundang-undangan maupun secara<br />

sistematis (Sapardjaja, 2002: 90).<br />

Menurut van Bemmelen, (disitasi dari<br />

Lamintang, 1984: 337), mengatakan:<br />

“rumusan Hoge Raad mengenai<br />

“onrechmatigheid” bukan hanya penting<br />

untuk hukum perdata saja, melainkan<br />

juga untuk hukum pidana, yakni untuk<br />

menentukan pengertian perkataan<br />

“wederrechtelik”. Dikatakan juga<br />

(Sapardjaja, 2002: 33) “Tidak ada bedanya<br />

arti melawan hukum perdata, seperti<br />

termuat dalam Pasal 1401 BW (1365 KUH<br />

Perdata). Perkembangan dalam bidang<br />

hukum perdata sangat besar pengaruhnya<br />

bagi hukum pidana”.<br />

Ditinjau dari sejarah pembentukan BW.<br />

Pada tahun 1824 pada mulanya memang<br />

digunakan istilah “wederrechtelijk” dalam redaksi<br />

Pasal 1401, namun karena di negeri Belanda<br />

terus terjadi perdebatan yang berkepanjangan<br />

mengenai pengertian “wederrechtelijk” dan pada<br />

saat dibahasnya perumusan pasal tadi perbedaan<br />

pendapat belum juga berakhir, maka akhirnya<br />

digunakanlah istilah “onrechmatig”.<br />

Berdasarkan beberapa pendapat di atas,<br />

dapat kiranya diidentifikasi, bahwa pengertian<br />

perbuatan melawan hukum (wederrechtelijk)<br />

berkisar pada pengertian:<br />

1. Bertentangan dengan UU (instrijd<br />

met de wet).<br />

2. Tidak berdasarkan hak (niet steunend<br />

op het recht).<br />

3. Tanpa hak (zonder bevoegheid).<br />

4. Tanpa alasan yang sah (zonder<br />

geldige reden).<br />

5. Melanggar hak orang lain (met<br />

krenking van eens anders recht).<br />

6. Bertentangan dengan hukum (instrijd<br />

met het recht).<br />

7. Bertentangan dengan hukum/<br />

peraturan-peraturan tidak tertulis<br />

(ongesgreven recht) dalam hal ini<br />

bertentangan dengan:<br />

1. kesusilaan atau<br />

2. kepatutan yang baik (de goede<br />

zeden of betamelijkheid).<br />

Di dalam Konsep KUHP “Baru” (R-KUHP<br />

2005) secara eksplisit tidak memberikan<br />

pengertian terhadap istilah “melawan hukum”.<br />

Namun demikian, untuk menyatakan suatu<br />

Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 203<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 203 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:31 PM


perbuatan TP, selain dikatakan perbuatan tersebut<br />

dilarang dan diancam oleh peraturan perundangundangan,<br />

harus juga bersifat melawan hukum<br />

atau bertentangan dengan kesadaran hukum<br />

masyarakat (vide Pasal 11 ayat (2) R-KUHP<br />

2007). Jadi, untuk menyatakan suatu perbuatan<br />

adalah TP digunakan istilah “melawan hukum”<br />

atau istilah “bertentangan dengan kesadaran<br />

hukum masyarakat”. Sedangkan yang dimaksud<br />

dengan perbuatan yang “bertentangan dengan<br />

hukum” adalah “perbuatan yang dinilai oleh<br />

masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut<br />

dilakukan”. Perlu diketahui, digunakannya<br />

istilah “bertentangan dengan hukum” oleh<br />

Tim penyusun rancangan KUHP, adalah selain<br />

mengikuti pendapat dari Moeljatno, dan Sudarto,<br />

juga dari Roeslan Saleh yang menyatakan: “saya<br />

lebih condong pada pendapat bahwa bersifat<br />

melawan hukum harus diartikan bertentangan<br />

dengan hukum”.<br />

Secara etimologikal SMH di samping<br />

maknanya “bertentangan dengan hukum”, juga<br />

merupakan unsur mutlak (esensial) dari TP<br />

yang berarti “tanpa adanya SMH dari sesuatu<br />

perbuatan, maka tidak ada pula TP (perbuatan<br />

pidana).<br />

Roeslan Saleh mengatakan:<br />

“Perbuatan pidana itu tidak boleh dilakukan,<br />

karena bertentangan dengan atau akan<br />

menghambat tercapainya tata pergaulan<br />

di dalam masyarakat yang dicita-citakan.<br />

Penafsiran seperti ini lebih luas daripada<br />

“bertentangan dengan hak subyektif<br />

orang lain” ataupun “tanpa hak sendiri”.<br />

Penafsiran “bersifat melawan hukum”<br />

adalah “bertentangan dengan hukum”,<br />

batas lingkungannya atau wilayahnya<br />

adalah lebih luas daripada penafsiranpenafsiran<br />

yang lain, karena tidak hanya<br />

berpusat pada individu-individu (hak<br />

subyektif orang lain dan hak sendiri<br />

menunjuk kepada individu) melainkan<br />

pada masyarakat yang di dalamnya sudah<br />

tercakup individu-individu. Di samping itu,<br />

pendapat “bersifat melawan hukum” adalah<br />

“bertentangan dengan hukum” ini lebih<br />

sesuai dengan sifat dari hukum kita, yaitu<br />

tidak individualistis-liberalistis, melainkan<br />

lebih bersifat collectivistis”. (Saleh, 1983:<br />

66-67).<br />

Bertitik tolak pada pengertian tersebut,<br />

dapat dikatakan bahwa TP pada hakikatnya adalah<br />

suatu perbuatan yang selalu ber-SMH, sehingga<br />

disebut ‘PMH’. Oleh karena itu, membicarakan<br />

‘PMH’ pada hakikinya membicarakan masalah<br />

TP. Jadi, dicantumkannya unsur melawan hukum<br />

dalam suatu rumusan delik, pada hakikatnya<br />

untuk menyatakan, bahwa perbuatan itu secara<br />

yuridis adalah perbuatan yang dapat dipidana.<br />

Persoalannya: ‘apakah suatu perbuatan<br />

karena hanya telah mencocoki rumusan delik<br />

yang ada di dalam UU, lalu perbuatan itu sudah<br />

dapat dinyatakan sebagai TP’? Sesungguhnya,<br />

suatu perbuatan baru dapat dikatakan sebagai<br />

TP, apabila perbuatan tersebut di samping telah<br />

memenuhi unsur formal juga telah memenuhi<br />

unsur materiil. Dengan perkataan lain perbuatan<br />

dimaksud, pertama: harus telah mecocoki<br />

rumusan delik yang ditetapkan dalam UU, dan<br />

kedua: perbuatan itu oleh masyarakat dinyatakan<br />

sebagai perbuatan tercela.<br />

Jadi, perlu dilakukan kajian lebih lanjut<br />

mengenai: “apakah perbuatan tersebut oleh<br />

masyarakat benar-benar dirasakan sebagai suatu<br />

perbuatan tercela, sehingga tidak patut dan tidak<br />

boleh dilakukan. Jika jawabannya “perbuatan<br />

tersebut adalah tidak tercela”, maka sekalipun<br />

204 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 189 - 223<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 204 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:31 PM


perbuatan itu telah memenuhi rumusan delik yang<br />

ditetapkan dalam UU, perbuatan itu bukanlah<br />

merupakan TP.<br />

Itulah sebabnya Moeljatno mengatakan:<br />

“Syarat mutlak untuk adanya perbuatan<br />

pidana, di samping mencocoki syarat-syarat<br />

formil yaitu perumusan UU, juga harus<br />

mencocoki syarat-syarat materiil yaitu sifat<br />

melawan hukum, bahwa perbuatan tersebut<br />

harus betul-betul dirasakan oleh masyarakat<br />

sebagai perbuatan yang tidak boleh atau<br />

tidak patut dilakukan”. (Moeljatno, 1955:<br />

16).<br />

Ini artinya, suatu perbuatan adalah<br />

perbuatan pidana, apabila perbuatan itu bersifat<br />

melawan hukum atau bertentangan dengan<br />

hukum. Roeslan Saleh (1983: 49) mengatakan:<br />

“Sifat melawan hukum ini adalah unsur<br />

mutlak dari perbuatan pidana, yang berarti<br />

bahwa tanpa adanya sifat melawan hukum<br />

dari suatu perbuatan, maka tidak pula ada<br />

perbuatan pidana”.<br />

Demikian pula Curzon (1979: 10),<br />

mengemukakan:<br />

“No actus reus, no crime. Proof of actus<br />

reus is essential; if Tahunis is imposible,<br />

Tahunen no crime has been commited by<br />

Tahune accused person”.<br />

Berdasarkan penjelasan Moeljatno di atas,<br />

dikatakan lebih lanjut:<br />

“Unsur-unsur “perbuatan pidana”<br />

tidak termasuk di dalamnya unsur<br />

pertanggungjawaban pidana yang terkait<br />

dengan kesalahan, tetapi terdiri dari unsurunsur<br />

lahir yaitu suatu kejadian dalam alam<br />

lahir. Unsur-unsur perbuatan pidana adalah:<br />

1. Kelakuan dan akibat (= perbuatan).<br />

2. Hal ikhwal atau keadaan yang<br />

menyertai perbuatan.<br />

3. Keadaaan tambahan yang<br />

memberatkan pidana.<br />

4. Unsur<br />

obyektif.<br />

melawan hukum yang<br />

5. Unsur melawan hukum yang<br />

subyektif”.<br />

Khusus mengenai unsur melawan hukum,<br />

pada intinya Moeljatno mengatakan:<br />

“Biasanya dengan adanya perbuatan<br />

tertentu sifat pantang dilakukannya<br />

perbuatan itu sudah tampak dengan<br />

wajar. Sifat yang demikian ini, ialah sifat<br />

melawan hukumnya perbuatan, tidak<br />

perlu dirumuskan lagi sebagai elemen<br />

atau unsur tersendiri. Contohnya dalam<br />

merumuskan pemberontakan yang menurut<br />

Pasal 108 antara lain adalah melawan<br />

pemerintah dengan senjata, tidak perlu<br />

diadakan unsur tersendiri yaitu kata-kata<br />

yang menunjukkan bahwa perbuatan<br />

adalah bertentangan dengan hukum. Tanpa<br />

ditambah kata-kata lagi perbuatan tersebut<br />

sudah pantang dilakukan. Pasal 277 ayat (1)<br />

KUHP menentukan, bahwa dengan salah<br />

satu perbuatan sengaja membikin gelap<br />

asal-usul orang diancam dengan pidana<br />

penjara paling lama enam tahun. Sifat<br />

melawan hukumnya perbuatan tersebut<br />

sudah jelas, tidak perlu ditambah apa-apa<br />

lagi. Dalam Pasal 285 tentang perkosaan,<br />

ditentukan bahwa memaksa seseorang<br />

wanita dengan kekerasan untuk bersetubuh<br />

di luar perkawinan, diancam dengan pidana<br />

penjara paling lama dua belas tahun. Dari<br />

rumusan tersebut telah ternyata sifat<br />

Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 205<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 205 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:31 PM


melawan hukumnya perbuatan. Akan tetapi,<br />

ada kalanya kepantangan perbuatan belum<br />

cukup jelas dinyatakan dengan adanya<br />

unsur-unsur di atas. Perlu ditambah dengan<br />

kata-kata tersendiri untuk menyatakan<br />

sifat melawan hukumnya perbuatan. Pasal<br />

167 KUHP melarang untuk memaksa<br />

masuk ke dalam rumah, ruangan atau<br />

pekarangan tertutup yang dipakai orang<br />

lain dengan melawan hukum. Rumusan<br />

memaksa masuk ke dalam rumah yang<br />

dipakai orang lain itu saja dipandang belum<br />

cukup untuk menyatakan kepantangannya<br />

perbuatan. Harus ditambah dengan unsur:<br />

secara melawan hukum. Begitu pula<br />

dalam Pasal 335 KUHP di mana rumusan:<br />

memaksa orang lain supaya melakukan,<br />

tidak melakukan atau membiarkan sesuatu<br />

dengan cara-cara yang tertentu dianggap<br />

belum cukup untuk menyatakan bahwa<br />

perbuatan tersebut tidak boleh dilakukan,<br />

sehingga perlu diadakan elemen melawan<br />

hukum tersendiri yaitu dengan kata-kata<br />

secara melawan hukum, memaksa dan<br />

seterusnya. Demikian juga halnya dalam<br />

Pasal 406 KUHP”.<br />

Lebih lanjut dikatakan:<br />

”Unsur melawan hukum dalam rumusan<br />

delik yang ternyata pada contoh-contoh<br />

di atas, menunjuk kepada keadaan lahir<br />

atau obyektif yang menyertai perbuatan.<br />

Misalnya dalam Pasal 167, bahwa terdakwa<br />

tidak mempunyai wewenang untuk<br />

memaksa masuk, karena bukan pejabat<br />

kepolisian atau kejaksaan. Dalam Pasal 335,<br />

bahwa terdakwa tidak ada wewenang untuk<br />

berbuat begitu, sebab terdakwa tidak utang<br />

kepadanya serta tidak melakukan perbuatan<br />

apa-apa yang mengakibatkan pemaksaan<br />

dilakukan. Dalam Pasal 406, mengenai<br />

menghancurkan atau merusak barang, sifat<br />

melawan hukumnya perbuatan ternyata dari<br />

hal bahwa barang bukan miliknya dan tak<br />

dapat izin dari pemiliknya untuk berbuat<br />

demikian. Di samping itu, ada kalanya<br />

sifat melawan hukumnya perbuatan tidak<br />

terletak pada keadaan obyektif, tetapi pada<br />

keadaan subyektif, yaitu terletak dalam<br />

hati sanubari terdakwa. Misalnya Pasal<br />

362 KUHP dirumuskan sebagai pencurian,<br />

pengambilan barang orang lain, dengan<br />

maksud untuk memiliki barang tersebut<br />

secara melawan hukum. Sifat melawan<br />

hukumnya perbuatan tidak dinyatakan dari<br />

hal-hal lahir, tapi digantungkan pada niat<br />

orang yang mengambil barang tadi. Kalau<br />

niat hatinya baik, misalnya barang diambil<br />

untuk diberikan kepada pemiliknya, maka<br />

perbuatan itu tidak dilarang karena bukan<br />

pencurian. Sebaliknya kalau niat hatinya<br />

itu jelek, yaitu barang akan dimiliki sendiri<br />

dengan tak mengacuhkan pemiliknya<br />

menurut hukum, maka hal itu dilarang dan<br />

masuk rumusan pencurian. Sifat melawan<br />

hukumnya perbuatan tergantung dari<br />

bagaimana sikap batinnya terdakwa. Jadi<br />

merupakan unsur yang subyektif. Dalam<br />

teori unsur melawan hukum demikian<br />

dinamakan “subjektief Onrechtselemen”<br />

yaitu unsur melawan hukum yang<br />

subyektif”.<br />

Sebelum menutup uraiannya tentang unsurunsur<br />

atau elemen-elemen perbuatan pidana,<br />

Moeljatno kembali menekankan lagi dengan<br />

mengatakan sebagai berikut:<br />

“Perlu ditekankan lagi bahwa sekalipun<br />

dalam rumusan delik tidak terdapat unsur<br />

melawan hukum, namun jangan dikira<br />

206 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 189 - 223<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 206 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:31 PM


ahwa perbuatan tersebut lalu tidak bersifat<br />

melawan hukum. Sebagaimana ternyata di<br />

atas, perbuatan itu sudah demikian wajar<br />

sifat melawan hukumnya, sehingga tak<br />

perlu untuk dinyatakan tersendiri”.<br />

Lebih lanjut ditekankan lagi:<br />

“Meskipun perbuatan pidana pada<br />

umumnya adalah keadaan lahir dan terdiri<br />

atas elemen-elemen lahir, namun ada<br />

kalanya dalam perumusan juga diperlukan<br />

elemen batin, yaitu sifat melawan hukum<br />

yang subyektif”. Moeljatno (1983: 62-63)<br />

Mengkaji masalah SMH, perlu pula<br />

dikemukakan, bahan di dalam pustaka hukum<br />

pidana berkembang dua ajaran SMH, yakni ajaran<br />

SMH formal dan ajaran SMH materiil. Kedua<br />

ajaran dimaksud berturut-turut dideskripsikan di<br />

bawah ini.<br />

Ajaran SMH formal pada intinya<br />

mengajarkan, bahwa suatu perbuatan adalah TP<br />

apabila perbuatan tersebut telah memenuhi semua<br />

unsur yang ditetapkan dalam rumusan delik yang<br />

disebutkan dalam UU. Singkatnya, melawan<br />

hukum berarti bertentangan dengan UU. Bila<br />

demikian, maka tidak perlu lagi meyelidiki apakah<br />

perbuatan itu melawan hukum atau tidak. Jika<br />

ada alasan pembenar (rechtsvaardigingsgrond),<br />

maka alasan tersebut harus juga ditetapkan dan<br />

disebutkan secara tegas dalam UU.<br />

Simons, sebagai penganut fanatik ajaran<br />

SMH formal mengatakan:<br />

“Untuk dapat dipidana, suatu perbuatan<br />

harus mencocoki rumusan delik yang<br />

tersebut dalam UU. Jika sudah demikian,<br />

tidak perlu lagi untuk menyelidiki, apakah<br />

itu melawan hukum atau tidak”.<br />

(Disitasi dari Roeslan Saleh, 1983: 54).<br />

Namun permasalahannya adalah, belum<br />

tentu semua perbuatan yang memenuhi semua<br />

rumusan delik yang ada di dalam perumusan<br />

UU itu ber-SMH. Mengenai masalah ini Simons<br />

mengatakan:<br />

“Meskipun betul harus diakui bahwa tidak<br />

selalu perbuatan yang mencocoki rumusan<br />

delik dalam wet adalah bersifat melawan<br />

hukum, akan tetapi perkecualian yang<br />

demikian itu hanya boleh diterima apabila<br />

mempunyai dasar dalam hukum positif<br />

sendiri”.<br />

(Disitasi dari Adji, 1984: 47).<br />

Sehubungan dengan pendapatnya tersebut,<br />

Simons (disitasi dari Lamintang, 1984: 347)<br />

menolak paham materiil dari SMH dikatakan<br />

bahwa:<br />

“Dunia peradilan kita lebih baik<br />

menganut paham “formiele<br />

wederrechtelijkheid” daripada paham<br />

“materiele wederrechtelijkheid” yang<br />

dapat menggoyahkan asas dasar dari<br />

hukum positif kita. Menerima paham<br />

“materiele wederrechtelijkheid” itu akan<br />

menempatkan putusan dari pembentuk<br />

UU yang telah dituangkan di dalam<br />

hukum positif menjadi berada di bawah<br />

“persoonlijke rechtsovertuiging” atau<br />

menjadi berada di bawah keyakinan hukum<br />

yang bersifat pribadi dari hakim, oleh karena<br />

permasalahan mengenai: tujuan bagaimana<br />

yang harus dipandang sebagaimana tujuan<br />

yang semestinya, sarana mana yang harus<br />

digunakan sebagai sarana yang seharusnya<br />

untuk mencapai tujuan tersebut, norma<br />

kebudayaan mana yang harus diperhatikan<br />

dan sampai di mana kebudayaan itu<br />

tersangkut, apakah hal-hal tersebut memang<br />

benar telah dianuti oleh pembentuk UU.<br />

Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 207<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 207 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:31 PM


Semua permasalahan tersebut jawabannya<br />

akan menjadi tergantung pada pandanganpandangan<br />

yang bersifat pribadi dari<br />

hakim, karena pemberian jawaban yang<br />

didasarkan pada peraturan-peraturan yang<br />

tidak tertulis itu akan menggoyahkan sama<br />

sekali asas-asas dasar dari hukum positif”.<br />

Mengenai ajaran SMH formal ini L.C.<br />

Hofman mengatakan:<br />

“Melawan hukum menurut pandangan ini<br />

adalah bertentangan dengan UU. Suatu<br />

perbuatan yang tidak bertentangan dengan<br />

UU, walaupun juga dapat bertentangan<br />

dengan moral atau bertentangan dengan<br />

sesuatu yang menurut pergaulan masyarakat<br />

adalah tidak patut, tidak merupakan<br />

perbuatan melawan hukum”. ( D i s i t a s i<br />

dari Sapardjaja, 2002: 36).<br />

Sehubungan dengan ajaran ini, perlu kiranya<br />

dikemukakan pendapat dari beberapa penulis<br />

Belanda, yakni Schaffmeister, Nico Keizer dan<br />

E. PH. Sutorius, (1995: 40) dikatakan:<br />

“Sifat melawan hukum formal berarti:<br />

telah dipenuhi semua bagian yang tertulis<br />

dari rumusan delik (semua syarat tertulis<br />

untuk dapat dipidana). Namun demikian,<br />

dipenuhinya sifat melawan hukum formal<br />

(dipenuhinya rumusan delik) tidak begitu<br />

saja dapat disimpulkan dari dipenuhinya<br />

bunyi rumusan delik. Kerapkali diperlukan<br />

penafsiran terhadap bagian-bagian dari<br />

rumusan delik itu dengan mengingat norma<br />

sosial atau kepentingan hukum yang hendak<br />

dilindungi oleh pembuat UU dengan rumusan<br />

delik itu. Dengan demikian, penafsiran<br />

sifat melawan hukum formal mendekati<br />

sifat melawan hukum materiil. Pada delik<br />

materiil, pengertian sifat melawan hukum<br />

formal dan materiil menyatu”.<br />

Menurut Barda Nawawi Arief (2005: 27),<br />

jika yang dilihat/dinilai adalah sumber hukumnya,<br />

SMH Formal adalah:<br />

“Identik dengan melawan/bertentangan<br />

dengan UU atau kepentingan hukum<br />

(perbuatan maupun akibat) yang disebut<br />

dalam UU (hukum tertulis atau sumber<br />

hukum formal). Jadi “hukum” diartikan<br />

sama dengan UU (“wet”). Oleh karena itu,<br />

SMH Formal identik dengan “onwetmatige<br />

daad”.<br />

Sumber hukum atau dasar hukum yang<br />

digunakan untuk menetapkan dasar patut<br />

dipidananya suatu perbuatan, adalah UU (sumber<br />

hukum tertulis). Ini berarti, ajaran SMH formal<br />

sangat terikat dan berorientasi pada asas legalitas<br />

(Pasal 1 ayat (1) KUHP) yang bertolak dari paham<br />

“legisme” dan nilai dasar “kepastian hukum”.<br />

Dengan demikian, secara formal suatu perbuatan<br />

adalah melawan hukum, bila perbuatan si pelaku<br />

telah memenuhi atau mencocoki rumusan delik<br />

seperti yang ditetapkan di dalam UU. Oleh karena<br />

itu hilangnya SMH dari suatu perbuatan baru ada,<br />

jika ditentukan demikian di dalam UU.<br />

Sedangkan ajaran SMH materiil pada intinya<br />

mengajarkan, bahwa perbuatan ber-SMH bukan<br />

saja bertentangan dengan UU, tetapi juga harus<br />

bertentangan dengan asas-asas hukum umum<br />

dari hukum yang tidak tertulis. Jadi, ukurannya<br />

bukan didasarkan atas ada atau tidak adanya<br />

ketentuan dalam suatu perundang-undangan,<br />

akan tetapi ditinjau dari nilai yang hidup di dalam<br />

masyarakat. Apabila masyarakat menganggap<br />

perbuatan tersebut sebagai perbuatan tercela,<br />

maka perbuatan tersebut dianggap sebagai PMH.<br />

Moeljatno (1955: 18) dengan mensitasi pendapat<br />

Vost, sebagai penganut pandangan materiil,<br />

memformulasi: “perbuatan yang bersifat melawan<br />

hukum adalah perbuatan yang oleh masyarakat<br />

208 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 189 - 223<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 208 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:31 PM


tidak boleh dilakukan”. Lebih lanjut dikatakan:<br />

“… ajaran yang materiil berpendapat,<br />

bahwa belum tentu suatu perbuatan yang<br />

telah mencocoki rumusan delik itu adalah<br />

bersifat melawan hukum, sebab perbuatan<br />

itu selain mencocoki perumusan delik juga<br />

perbuatan harus betul-betul dirasakan oleh<br />

masyarakat sebagai perbuatan yang tak<br />

boleh atau tak patut dilakukan”.<br />

Sedangkan, Komariah Emong Sapardjaja,<br />

(2002: 25) berpendapat:<br />

“Di samping memenuhi syarat-syarat<br />

formal, yaitu mencocoki semua unsur yang<br />

tercantum dalam rumusan delik, perbuatan<br />

itu harus benar-benar dirasakan oleh<br />

masyarakat sebagai perbuatan yang tidak<br />

patut atau tercela. Karena itu pula ajaran<br />

ini mengakui alasan-alasan pembenar di<br />

luar UU. Dengan perkataan lain, alasan<br />

pembenar dapat berada pada hukum yang<br />

tidak tertulis”.<br />

Sehubungan dengan hal di atas, ternyata<br />

dalam kepustakaan hukum pidana terdapat<br />

pula perbedaan pendapat dalam memahami<br />

konsepsi SMH materiil. Barangkali hal ini tidak<br />

dapat dilepaskan dari pengertian atau pendapat<br />

atau pemahaman atau pemikiran seseorang,<br />

mengenai apa yang dimaksud dengan SMH<br />

materiil itu. Menurut Barda Nawawi Arief<br />

di dalam kepustakaan hukum pidana dapat<br />

diidentifikasikan atau dikategorisasikan 2 (dua)<br />

pandangan mengenai makna materiel dari ajaran<br />

sifat melawan hukum (SMH) Materiel, yaitu:<br />

1. Pandangan pertama mengaitkan atau<br />

melihat makna “materiel” dari sifat/hakikat<br />

perbuatan terlarang dalam UU (perumusan<br />

delik tertentu). Jadi yang dilihat/dinilai<br />

secara materiel adalah “perbuatan”-nya.<br />

2. Pandangan kedua, mengaitkan atau melihat<br />

makna “materiel” dari sudut sumber<br />

hukum. Jadi yang dilihat atau yang dinilai<br />

secara materiel adalah sumber hukumnya.<br />

Menurut pandangan kedua ini, makna atau<br />

pengertian SMH Materiel identik dengan<br />

melawan atau bertentangan dengan hukum<br />

tidak tertulis atau hukum yang hidup<br />

(unwritten law/living law), bertentangan<br />

dengan asas-asas kepatutan atau nilainilai<br />

(dan norma) kehidupan sosial dalam<br />

masyarakat (termasuk tata susila dan<br />

hukum kebiasaan/adat). Jadi singkatnya,<br />

“hukum” tidak dimaknai secara formal<br />

sebagai “wet”, tetapi dimaknai secara<br />

materiel sebagai “recht”. Oleh karena itu<br />

sifat melawan hokum materiel identik<br />

dengan “onrechtmatige daad”.<br />

Selanjutnya<br />

menjelaskan:<br />

Barda Nawawi Arief<br />

1. “Kriteria materiel dalam pandangan pertama<br />

identik atau bersinggungan erat dengan<br />

pandangan kedua, hanya saja menurut:<br />

a. Pandangan pertama, kriteria materiel<br />

itu digunakan:<br />

1. untuk menilai atau memberikan<br />

penafsiran materiel terhadap<br />

“perbuatan” atau “kepentingan<br />

hukum” yang hendak dilindungi<br />

oleh UU dalam perumusan<br />

delik tertentu; dan<br />

2. untuk menghapuskan/<br />

meniadakan sifat melawan<br />

hukum formal yang telah<br />

ditetapkan dalam UU; Jadi<br />

SMH Materiil hanya digunakan<br />

dalam fungsinya yang “negatif”,<br />

sebagai alasan pembenar.<br />

Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 209<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 209 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:32 PM


. Pandangan kedua:<br />

1) kriteria materiel tidak hanya<br />

dapat digunakan untuk menilai<br />

perbuatan yang telah ditetapkan/<br />

dirumuskan sebagai delik<br />

dalam UU, tetapi juga terhadap<br />

perbuatan tercela lainnya di<br />

luar UU (hukum tertulis); dan<br />

2) dimungkinkan SMH Materiel<br />

dalam fungsinya yang negatif<br />

maupun positif.<br />

Pandangan pertama seperti diidentifikasikan<br />

di atas, nampaknya masih dilatarbelakangi oleh<br />

keterkaitan atau orientasi pada asas legalitas<br />

formal dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang<br />

bertolak dari paham”legisme” dan nilai/ide dasar<br />

“kepastian hukum”.<br />

Sedangkan pandangan kedua, nampaknya<br />

sudah dipengaruhi oleh pandangan asas legalitas<br />

materiel atau asas keseimbangan monodualistik<br />

(antara kriteria/patokan formal dan materiel,<br />

atau antara nilai kepastian hukum dan keadilan/<br />

kelenturan), walaupun masih terbagi dalam<br />

beberapa pendapat, yaitu:<br />

a. Hanya menganut SMH Materiel<br />

terbatas, (yaitu hanya dalam fungsinya<br />

yang negatif), karena masih terikat<br />

pada asas legalitas dalam Pasal 1 ayat<br />

(1) KUHP.<br />

b. Menganut SMH Materiel yang luas,<br />

baik dalam fungsinya yang negatif<br />

maupun yang positif.<br />

c. Menganut SMH Materiel yang luas<br />

tetapi terbatas, yaitu dalam fungsinya<br />

yang negatif dan positif, tetapi yang<br />

positif dibatasi untuk perbuatan-<br />

perbuatan (kasus/kondisi) tertentu.<br />

(Barda Nawawi Arief (2004: 27-<br />

28)).<br />

Mengenai ajaran SMH materiil dalam<br />

fungsinya yang negatif Moeljatno mengatakan:<br />

“Kiranya perlu ditegaskan, peraturanperaturan<br />

hukum pidana kita sebagian<br />

besar telah dimuat dalam KUHP dan lainlain<br />

perundang-undangan, maka pandangan<br />

tentang hukum dan sifat melawan hukum<br />

materiil di atas, hanya mempunyai arti<br />

dalam memperkecualikan perbuatan yang<br />

meskipun masuk dalam perumusan UU,<br />

toh tidak merupakan perbuatan pidana.<br />

Biasanya ini dinamakan fungsi yang negatif<br />

dari sifat melawan hukum yang materiil”.<br />

(Kursif, pen).<br />

Sedangkan mengenai ajaran sifat melawan<br />

hukum materiil dalam fungsinya yang positif,<br />

Moeljatno mengatakan sebagai berikut:<br />

“Adapun fungsinya yang positif, yaitu<br />

perbuatan tidak dilarang oleh UU, tetapi<br />

oleh masyarakat perbuatan itu dianggap<br />

keliru, berhubungan dengan adanya asas<br />

legalitas (Pasal 1 ayat (1) KUHP) dalam<br />

hukum pidana lalu tidak mungkin. Lain<br />

halnya di dalam hukum perdata, dengan<br />

adanya Pasal 1365 BW (barang siapa dengan<br />

perbuatan melawan hukum menimbulkan<br />

kerugian pada orang lain harus mengganti<br />

kerugian tersebut apabila diminta oleh yang<br />

menderita kerugian tadi) fungsi positif<br />

itu penting juga. Di sini bagaimanapun<br />

macamnya perbuatan tidak ditentukan,<br />

sehingga tiap-tiap perbuatan melawan<br />

hukum termasuk di situ”. Moeljatno (1983:<br />

133). (Kursif, pen.).<br />

210 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 189 - 223<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 210 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:32 PM


B. Analisis<br />

Pada sub B ini yang dianalisis adalah<br />

pokok permasalahan: ‘apakah terdakwa dalam<br />

melakukan perbuatannya terdapat unsur<br />

”melawan hukum” dalam memperkaya diri sendiri<br />

atau orang lain atau suatu korporasi, sehingga<br />

merugikan keuangan negara atau perekonomian<br />

negara’? Analisis terhadap pokok permasalahan<br />

ini sekaligus pula ingin diketahui, apakah putusan<br />

hakim telah dapat membuktikan unsur TP secara<br />

lengkap? Substansi pembahasannya dipaparkan<br />

berikut ini.<br />

Di dalam putusan hakim, pembuktian<br />

terhadap unsur-unsur tindak pidana semua telah<br />

dinyatakan terpenuhi (terbukti). Namun demikian,<br />

perlu dilakukan analisis lebih lanjut tentang<br />

kebenarannya secara hukum seperti dianotasikan<br />

di bawah ini, khususnya mengenai unsur ”setiap<br />

orang” dan ”unsur melawan hukum”<br />

1. Unsur setiap orang.<br />

Pertimbangan hakim dalam membuktikan<br />

unsur ini adalah sebagai berikut:<br />

a. Menimbang, bahwa yang dimaksud<br />

setiap orang menurut Pasal 1 angka<br />

1 UU No. 31 Tahun 1999 yang telah<br />

diubah dan ditambah dengan UU No.<br />

20 Tahun 2001 adalah perorangan<br />

atau termasuk korporasi, dengan kata<br />

lain bahwa yang dimaksud dengan<br />

unsur setiap orang adalah subyek<br />

hukum pendukung hak dan kewajiban<br />

yang dapat dipertanggungjawabkan<br />

atas segala perbuatan yang telah<br />

dilakukannya”.<br />

Anotasi:<br />

Ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No.<br />

31 Tahun 1999 yang telah diubah<br />

dan ditambah dengan UU No.<br />

20 Tahun 2001 sama sekali tidak<br />

memformulasikan tentang pengertian<br />

”SETIAP ORANG”. Akan tetapi,<br />

memformulasikan tentang pengertian<br />

Korporasi. Sedangkan mengenai<br />

pengertian ”SETIAP ORANG”,<br />

rumusannya ditetapkan dalam Pasal 1<br />

angka 3 UU No. 31 Tahun 1999 yang<br />

telah diubah dan ditambah dengan<br />

UU No. 20 Tahun 2001.<br />

b. Menimbang, bahwa berdasarkan hal<br />

yang secara umum sudah diketahui<br />

dan tidak perlu dibuktikan lagi<br />

sebagaimana datur dalam Pasal 184<br />

ayat (2) KUHAP, bahwa terdakwa<br />

telah dinyatakan identitasnya pada<br />

awal persidangan ia mengaku<br />

bernama IS dengan demikian<br />

terdakwa terpenuhi sebagai orang<br />

perorang (natuurlijke persoon) dan<br />

selama proses pemeriksaan atas diri<br />

terdakwa ternyata pada dirinya telah<br />

ditemukan suatu bukti ketidakcakapan<br />

untuk melakukan suatu perbuatan<br />

hukum, sehingga terdakwa dianggap<br />

sebagai orang yang cakap dan dapat<br />

dipertanggungjawabkan atas segala<br />

perbuatan hukum. Maka unsur<br />

setiap orang telah terpenuhi atas diri<br />

terdakwa; Namun demikian, apakah<br />

perbuatan terdakwa dapat dinyatakan<br />

bersalah melakukan suatu tindak<br />

pidana sebagaimana yang didakwakan<br />

oleh Penuntut Umum, maka hal ini<br />

perlu dibuktikan dengan unsur-unsur<br />

yang lainnya dari dakwaan primair<br />

ini. (Kursif pen).<br />

Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 211<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 211 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:32 PM


Anotasi:<br />

Pertimbangan hakim di atas, teramat<br />

sangat tidak dapat dimengerti. Di<br />

satu sisi dikatakan, “...ternyata<br />

pada dirinya telah ditemukan<br />

suatu bukti ketidakcakapan untuk<br />

melakukan suatu perbuatan<br />

hukum,...”. Pertimbangan demikian<br />

ini menandaskan, bahwa dalam<br />

diri terdakwa telah ditemukan<br />

suatu fakta (data) yang benarbenar<br />

mengindikasikan adanya<br />

ketidakmampuan” terdakwa secara<br />

hukum untuk melakukan suatu<br />

“perbuatan hukum”. Di dalam hukum<br />

pidana, jika hal demikian ini secara<br />

sah dan meyakinkan memang benarbenar<br />

terbukti, maka terdakwa sudah<br />

dapat dimasukkan dalam kualifikasi<br />

“tidak bisa dipertanggungjawabkan<br />

menurut hukum pidana” atas<br />

perbuatan yang dilakukannya. Ini<br />

berarti pula terdakwa tidak dapat<br />

dipidana, karena dalam diri terdakwa<br />

terdapat alasan penghapus kesalahan<br />

(schuld uitslutinggronden) berupa<br />

alasan pemaaf. Akan tetapi di satu<br />

sisi yang lainnya, dengan dikatakan<br />

“..., sehingga terdakwa dianggap<br />

sebagai orang yang cakap dan<br />

dapat dipertanggungjawabkan atas<br />

segala perbuatan hukum”, berarti<br />

terdakwa memang benar-benar<br />

mampu dan “cakap hukum” dalam<br />

melakukan “perbuatan hukum”.<br />

Apabila terdakwa dalam melakukan<br />

perbuatan hukum itu, karena sesuatu<br />

hal menimbulkan “akibat-akibat<br />

hukum”, maka ia dengan sendirinya<br />

juga dapat dipertanggungjawabkan<br />

secara hukum. Hanya dalam ranah<br />

hukum pidana, pertanggungjawaban<br />

pidananya itu harus dibuktikan<br />

kemudian setelah terlebih dahulu<br />

membuktikan unsur SMH perbuatan.<br />

Pertanggungjawaban pidana<br />

dibuktikan adalah dalam rangka<br />

menemukan unsur kesalahan<br />

dalam diri terdakwa. Jika terdapat<br />

unsur kesalahan, maka dengan<br />

sendirinya terdakwa dapat dipidana.<br />

Apabila unsur kesalahan ini tidak<br />

ditemukan, berarti menurut hukum<br />

pidana terdakwa tidak dapat<br />

dipertanggungjawabkan dan tidak<br />

dapat dipidana.<br />

Kembali pada pokok permasalahan,<br />

substansi pertimbangan hakim yang<br />

redaksionalnya diformulasikan seperti disitasi<br />

di atas, tentu melanggar asas kepastian hukum,<br />

karena prinsip “LEX CERTA” tidak dipenuhi.<br />

Dengan demikian, tentu pula akan dapat<br />

menimbulkan konsekuensi yuridis, berupa “tidak<br />

terpenuhinya unsur ‘setiap orang’ jika putusan<br />

ini diperiksa dan diadili pada tingkat banding.<br />

Seharusnya di dalam putusan hakim, dalam<br />

menyusun pertimbangan hukumnya harus tetap<br />

menerapkan prinsip kehati-hatian.<br />

2. Unsur melawan hukum, melakukan<br />

perbuatan memperkaya diri sendiri<br />

atau orang lain atau korporasi yang<br />

dapat merugikan keuangan negara atau<br />

perekonomian negara.<br />

Pertama-tama yang dipertimbangkan oleh<br />

hakim adalah:<br />

’ Apakah perbuatan terdakwa tersebut<br />

terdapat unsur ”melawan hukum” dalam<br />

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau<br />

212 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 189 - 223<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 212 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:32 PM


korporasi, sehingga merugikan keuangan<br />

negara atau perekonomian negara’ ?<br />

Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1)<br />

UU No. 31 Tahun 1999 unsur ini memiliki<br />

pengertiannya dalam arti formal dan<br />

materiil. Mengingat putusan MK No. 003/<br />

PUU-IV/2006 tertanggal 25 Juli 2006<br />

yang pada pokoknya menyatakan, bahwa<br />

”penjelasan pasal ini sepanjang yang<br />

terkait dengan pengertian sifat melawan<br />

hukum secara materiil dinyatakan ”tidak<br />

mengikat secara hukum”, karena dianggap<br />

bertentangan dengan UUD 1945”. Dengan<br />

demikian, yang diakui oleh hakim hanyalah<br />

”SMH dalam pengertiannya yang formal”.<br />

Berdasarkan pertimbangannya yang<br />

demikian, hakim menyatakan bahwa<br />

perbuatan terdakwa telah memenuhi<br />

unsur sifat melawan hukum dalam<br />

pengertiannya formal. Namun demikian,<br />

perbuatan terdakwa bukan termasuk dalam<br />

pengertian melawan hukum menurut<br />

hukum pidana, tetapi hukum perdata.<br />

Mengapa pertimbangan hakim demikian,<br />

karena hakim berpendapat bahwa sejak<br />

semula landasan hukumnya adalah suatu<br />

perjanjian yang telah disepakati oleh para<br />

pihak. Surat perjanjian yang dimaksud<br />

adalah No. 511.23/500-Ek tertanggal 14<br />

Desember 2004 antara Pemerintah Kota<br />

Bandung dengan CV UM dan FS selaku<br />

Pemilik Gedung eks Toko Ria sebagai pihak<br />

ketiga. Di dalam surat perjanjian dimaksud<br />

telah disepakati hak dan kewajiban masingmasing<br />

pihak.<br />

Menurut hakim, jika terjadi adanya kerugian<br />

bagi Pemerintah Kota Bandung karena tidak<br />

dipenuhinya isi perjanjian tersebut oleh<br />

salah satu pihak, maka prosedur yang harus<br />

ditempuh adalah melalui penagihan kepada<br />

pengelola, yaitu terdakwa agar memenuhi<br />

kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang<br />

mereka telah sepakati, dan bilamana tidak<br />

memenuhi janjinya, dapat dikategorikan<br />

telah melakukan perbuatan wanprestasi.<br />

Maka dengan demikian, kerugian yang<br />

timbul sebagai akibat adanya wanprestasi<br />

adalah bukan perbuatan melawan hukum<br />

(pidana).<br />

Anotasi:<br />

Mengingat dalam hukum pidana yang<br />

dicari adalah kebenaran materiil, perlu<br />

dipersoalkan ’apakah sudah benar<br />

pertimbangan hakim yang menyatakan<br />

perbuatan melawan hukum (PMH) yang<br />

dilakukan oleh terdakwa termasuk dalam<br />

ranah hukum perdata’, karena alasan tidak<br />

dipenuhinya suatu ”kewajiban hukum”<br />

yang telah disepakati dalam surat perjanjian<br />

tersebut oleh pihak kedua, dalam hal ini<br />

terdakwa IS? Apakah di dalam hukum<br />

pidana tidak dikenal “kewajiban hukum”<br />

seperti itu?<br />

Di dalam hukum pidana, secara dogmatis<br />

terdapat aturan hukum pidana yang menyatakan<br />

keharusan untuk menjalankan “kewajiban<br />

hukum” tertentu. Apabila “kewajiban hukum”<br />

yang diharuskan itu tidak dilaksanakan oleh si<br />

pengemban kewajiban, maka yang bersangkutan<br />

dikatakan telah melakukan suatu perbuatan<br />

melawan hukum (delik). Di dalam doktrin<br />

hukum pidana, perbuatan demikian disebut<br />

dengan omimssie delict (delicta ommissionis),<br />

sebagai lawan dari commissie delict (delicta<br />

commisionis) yakni delik berupa pelanggaran<br />

terhadap perbuatan yang dilarang oleh undangundang.<br />

Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 213<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 213 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:32 PM


Di dalam putusan hakim, omimssie delict<br />

ini sebenarnya dapat saja diaplikasikan jika<br />

hakim masih mau menerapkan ajaran SMH<br />

materiil. Namun karena hakim sudah merasa<br />

terikat dengan putusan MK di atas, pada akhirnya<br />

menutup diri terhadap ajaran SMH materiil yang<br />

diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun<br />

1999. Akan tetapi harus diingat, bahwa yang<br />

dinyatakan tidak mengikat secara hukum oleh MK<br />

adalah sepanjang penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU<br />

No. 31 Tahun 1999, tidak termasuk keberadaan<br />

dan substansi dari Pasal 2 ayat (1). Ini artinya<br />

SMH Materiil yang substansinya dirumuskan<br />

dalam ketentuan pasal dimaksud masih berlaku.<br />

Sebenarnya MK sendiri tidak berwenang secara<br />

hukum mencabut suatu pasal atau beberapa pasal<br />

yang terdapat dalam suatu kebijakan legislatif,<br />

DPR sebagai lembaga legislatif menurut Hukum<br />

Tata Negara mempunyai wewenang untuk itu.<br />

Sehubungan dengan hal di atas, di dalam<br />

praktik kerapkali dijumpai permasalahan hukum<br />

pidana terkait dengan SMH Formal ini. Bagaimana<br />

jika suatu perbuatan sudah dinilai koruptif, tetapi<br />

perbuatan tersebut tidak diatur dalam UU dan<br />

atau perbuatan itu tidak mencocoki rumusan<br />

delik dalam UU?<br />

Berkait dengan kewajiban hukum di atas,<br />

dikemukakan pedoman berikut ini:<br />

“Suatu perbuatan melawan hukum secara<br />

materiil telah terjadi, jika perbuatan<br />

terdakwa yang tidak ber-SMH secara formal<br />

yang telah menimbulkan kerugian bagi<br />

masyarakat atau negara itu, dilakukan tidak<br />

dalam kerangka memenuhi “kewajiban<br />

hukum”, dan tidak dipenuhinya “kewajiban<br />

hukum” bukan karena keadaan memaksa,<br />

tetapi semata-mata untuk kepentingan<br />

pelaku sendiri atau orang lain atau suatu<br />

korporasi”.<br />

Pedoman ini ditetapkan agar hakim dalam<br />

memutus perkara korupsi yang dihadapi, terutama<br />

dalam hal terjadinya penyalahgunaan wewenang,<br />

untuk tidak ragu-ragu menerapkan fungsi positif<br />

dari SMH materiil, bila perbuatan terdakwa dapat<br />

menimbulkan kerugian yang jauh tidak seimbang<br />

bagi masyarakat atau negara. Kendatipun<br />

perbuatan terdakwa tidak melakukan pelanggaran<br />

terhadap ketentuan pidana, atau perbuatannya<br />

secara formal tidak melawan hukum, tetapi<br />

asalkan perbuatan terdakwa dilakukan tidak<br />

dalam kerangka memenuhi “kewajiban hukum”,<br />

dan tidak dipenuhinya “kewajiban hukum” bukan<br />

karena “keadaan memaksa”, tetapi semata-mata<br />

untuk kepentingan pelaku sendiri atau orang lain<br />

atau suatu korporasi”.<br />

Mengenai pedoman ini, pertamatama<br />

yang perlu dipahami adalah mengenai<br />

“kewajiban hukum”, kedua mengenai “tidak<br />

dipenuhinya “kewajiban hukum” bukan karena<br />

“keadaan memaksa”, tetapi semata-mata untuk<br />

kepentingan pelaku sendiri atau orang lain atau<br />

suatu korporasi”.<br />

Mengenai hal yang pertama, yang harus<br />

dipahami terlebih dahulu adalah ‘apakah yang<br />

dimaksud dengan kewajiban hukum’?<br />

Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta<br />

(2000: 91) mengatakan:<br />

“Kewajiban pada dasarnya adalah keharusan<br />

(yang diperintahkan atau ditetapkan<br />

oleh hukum untuk melakukan atau tidak<br />

melakukan perbuatan tertentu, yang jika<br />

tidak dipenuhi akan menimbulkan akibat<br />

hukum tertentu bagi pengemban kewajiban<br />

tersebut”.<br />

Mengacu pada pengertian demikian,<br />

sudah sangat jelas, bahwa suatu perbuatan yang<br />

tidak memenuhi kewajiban-kewajiban hukum,<br />

214 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 189 - 223<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 214 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:32 PM


erarti perbuatan tersebut secara sadar dilakukan<br />

untuk memungkiri atau menafikan sesuatu<br />

‘keharusan’ atau sesuatu yang diharuskan. Ini<br />

berarti pula, melanggar sesuatu perintah atau<br />

yang diperintahkan oleh hukum. Perbuatan<br />

demikian sudah sangat jelas melawan dan<br />

bertentangan dengan hukum. Oleh karena itu,<br />

sudah sepatutnya perbuatan demikian ditetapkan<br />

akibat hukumnya.<br />

Perbuatan koruptif di atas itu, seringkali<br />

tidak ditetapkan sebagai suatu PMH secara<br />

formal, sehingga tidak dapat dituntut menurut<br />

hukum pidana. Akan tetapi, perbuatan demikian<br />

itu sesungguhnya secara materiil adalah<br />

perbuatan yang dinilai tercela oleh masyarakat<br />

(strafwaardig), sehingga perlu pula dilakukan<br />

penuntutan secara pidana sebagai akibat<br />

hukumnya.<br />

Selanjutnya mengenai hal yang kedua,<br />

“tidak dipenuhinya ‘kewajiban hukum’ bukan<br />

karena keadaan memaksa, tetapi semata-mata<br />

untuk kepentingan pelaku (terdakwa) sendiri<br />

atau orang lain atau suatu korporasi”.<br />

Klausula ini adalah untuk lebih meyakinkan<br />

hakim dalam menerapkan fungsi positif dari<br />

ajaran SMH materiil. Sejak semula sudah<br />

harus dipahami, jika terdakwa tidak memenuhi<br />

“kewajiban hukum” itu karena adanya sesuatu<br />

keadaan yang memaksa (overmacht), maka sejak<br />

semula pula terdakwa sudah harus “dilepaskan<br />

dari segala tuntutan hukum”, karena perbuatannya<br />

itu tidak ber-SMH secara materiil. Namun<br />

demikian, kerapkali hakim masih kesulitan juga<br />

untuk menetapkan suatu perbuatan ber-SMH.<br />

Kesulitan ini disadari juga oleh Roeslan Saleh<br />

(1983: 72) yang mengatakan:<br />

“Memang sukar menentukan apakah<br />

sesuatu perbuatan yang ditinjau dari segi<br />

formil adalah terlarang, jika ditinjau<br />

dari segi materiil dirasakan betul-betul<br />

oleh masyarakat sebagai perbuatan yang<br />

tidak patut atau sebaliknya pula adalah<br />

patut. Sungguh-sungguh diperlukan suatu<br />

pedoman”.<br />

Apakah perbuatan itu tidak patut atau<br />

sebaliknya, Roeslan Saleh juga menggunakan<br />

pedoman yang digunakan oleh Moeljatno yang<br />

mengatakan: bahwa hal tersebut adalah dalam<br />

konteks “daya paksa” (overmacht). Namun,<br />

menurut Roeslan Saleh, pendapat Moeljatno<br />

ini dapat digunakan sebagai pedoman untuk<br />

meninjau ‘apakah perbuatan ber-SMH dari segi<br />

materiil’. Roeslan Saleh (1983: 72) lebih lanjut<br />

mengatakan:<br />

“Selalu harus diselidiki terlebih dahulu<br />

apakah terdakwa tidak perlu dipidana,<br />

disebabkan karena dalam kejadian tersebut<br />

sifat melawan hukum dari suatu perbuatan<br />

itu tidak ada, dan karenanya peraturan<br />

UU yang rumusan deliknya cocok dengan<br />

perbuatan itu lalu tidak diberlakukan.<br />

Kalau ternyata, bahwa sifat melawan<br />

hukumnya tidak ada, maka kita tidak perlu<br />

lagi menyelidiki, apakah terdakwa itu telah<br />

berbuat karena terdorong oleh “daya paksa”<br />

atau “tidak”.<br />

Masih tetap mensitasi pendapat Moeljatno,<br />

oleh Roeslan Saleh (1983: 72) dikatakan<br />

selanjutnya:<br />

“Sebagai pedoman untuk menentukan<br />

apakah perbuatan itu adalah tidak bersifat<br />

melawan hukum, harus diperhatikan:<br />

1. Kapan ada dua kewajiban hukum yang<br />

bertentangan, sedangkan salah satu<br />

daripadanya telah dipenuhi;<br />

Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 215<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 215 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:32 PM


2. Jika kewajiban hukum tidak dapat dipenuhi<br />

karena terpaksa oleh keadaan.<br />

Dua pedoman ini pun dapat dijadikan<br />

pedoman dalam tinjauan dari segi materiil, yang<br />

saya maksudkan di atas”.<br />

Hal berikutnya yang perlu dianalisis<br />

(diberikan anotasi), adalah sikap hakim dalam<br />

putusan ini sehubungan dengan dijadikannya<br />

Putusan MK sebagai landasan hukum untuk<br />

memeriksa dan mengadili perkara korupsi yang<br />

dilakukan oleh terdakwa IS. Putusan MK yang<br />

menyatakan “tidak mengikat secara hukum”<br />

terhadap penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No.<br />

31 Tahun 1999 sepanjang mengenai penjelasan<br />

SMH Materiil, selengkapnya amar putusan MK<br />

menyangkut hal tersebut dikemukakan berikut<br />

ini.<br />

Amar putusan MK No. 003/PUU-IV/2006<br />

itu sendiri berbunyi sebagai berikut:<br />

“Kata “dapat” dalam frasa “yang dapat<br />

merugikan keuangan negara atau<br />

perekonomian negara”, pada Pasal 2 ayat<br />

(1) dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999<br />

tentang Pemberantasan Tindak Pidana<br />

Korupsi, sebagaimana diubah dengan<br />

UU Nomor 20 Tahun 2001, beserta<br />

penjelasan-penjelasannya dan kalimat,<br />

“…maupun dalam arti materiil, yakni<br />

meskipun perbuatan tersebut tidak diatur<br />

dalam perundang-undangan namun apabila<br />

perbuatan tersebut dianggap tercela karena<br />

tidak sesuai dengan rasa keadilan atau<br />

norma-norma kehidupan dalam masyarakat,<br />

maka perbuatan tersebut dapat dipidana”<br />

dinyatakan tidak mengikat secara hukum<br />

karena bertentangan dengan Pasal 28D<br />

ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara<br />

Republik Indonesia Tahun 1945”.<br />

Jadi, oleh MK Penjelasan Pasal 2 ayat<br />

(1) ini yang menetapkan SMH Materiil dalam<br />

menentukan suatu perbuatan sebagai tindak<br />

pidana korupsi (TPK) dinilai telah melanggar<br />

HAM karena dianggap tidak menjamin “kepastian<br />

hukum yang berkeadilan” sebagaimana ditetapkan<br />

dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945:<br />

“Setiap orang berhak atas pengakuan,<br />

jaminan, perlindungan, dan kepastian<br />

hukum yang adil serta perlakuan yang<br />

sama di hadapan hukum”. (Kursif, pen.).<br />

Sehubungan dengan pertimbangan hakim<br />

yang menggunakan putusan MK sebagai landasan<br />

hukum untuk tidak menetapkan perbuatan<br />

terdakwa bertentangan dengan SMH Materiil,<br />

perlu dikaji hal-hal sebagai berikut:<br />

a. “Apakah penjelasan umum dari UU No.<br />

31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001<br />

tentang PTPK juga ikut dinyatakan tidak<br />

mengikat secara hukum? Bukankah putusan<br />

MK itu hanya ditujukan terhadap Pasal 2<br />

ayat (1) dan Pasal 3 beserta penjelasanpenjelasannya<br />

saja?<br />

Di dalam UU No. 31 Tahun 1999<br />

ditetapkannya ajaran SMH materiil, adalah<br />

sebagaimana dirumuskan di dalam perihal<br />

“Menimbang” pada huruf a dan Penjelasan<br />

Umum dari UU dimaksud, yaitu:<br />

“Bahwa tindak pidana korupsi yang selama<br />

ini terjadi secara meluas, tidak hanya<br />

merugikan keuangan negara, tetapi juga<br />

telah merupakan pelanggaran terhadap<br />

hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat<br />

secara luas, sehingga tindak pidana korupsi<br />

perlu digolongkan sebagai kejahatan yang<br />

pemberantasannya harus dilakukan secara<br />

luar biasa”.<br />

216 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 189 - 223<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 216 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:32 PM


Di dalam Penjelasan Umum ditetapkan<br />

sebagai berikut:<br />

“Agar dapat menjangkau berbagai modus<br />

operandi penyimpangan keuangan negara<br />

atau perekonomian negara yang semakin<br />

canggih dan rumit, maka tindak pidana<br />

yang diatur dalam undang-undang ini<br />

dirumuskan sedemikian rupa sehingga<br />

meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya<br />

diri sendiri atau orang lain atau suatu<br />

korporasi “secara melawan hukum” dalam<br />

pengertian formil atau materiil. Dengan<br />

perumusan tersebut, pengertian melawan<br />

hukum dalam tindak pidana korupsi dapat<br />

pula mencakup perbuatan-perbuatan yang<br />

tercela yang menurut perasaan keadilan<br />

masyarakat harus dituntut dan dipidana”.<br />

b. Sehubungan dengan hal di atas, sejauhmana<br />

hakim memperhatikan dasar rasionalitas<br />

ditetapkannya ajaran SMH materiil dalam<br />

UU No. 31 Tahun 1999 yakni:<br />

1. Tindak pidana korupsi merupakan<br />

tindak pidana yang luar biasa, karena<br />

tidak hanya merugikan keuangan<br />

negara, tetapi juga telah merupakan<br />

pelanggaran terhadap hak-hak sosial<br />

dan ekonomi masyarakat secara luas.<br />

2. Tindak pidana korupsi merupakan<br />

kejahatan yang pemberantasannya<br />

harus dilakukan secara luar biasa.<br />

3. Untuk dapat menjangkau berbagai<br />

modus operandi penyimpangan<br />

keuangan negara atau perekonomian<br />

negara yang semakin canggih dan<br />

rumit.<br />

4. Dalam pandangan masyarakat, TPK<br />

dipandang sebagai perbuatan tercela<br />

dan bertentangan dengan keadilan<br />

sosial.<br />

c. Bagaimanakah dengan keberadaan SMH<br />

materiil dalam fungsinya yang negatif<br />

(negative functie der wederrechtelijkheid)?<br />

Bukankah putusan MK itu hanya menyatakan<br />

SMH materiil dalam fungsinya yang positif<br />

(positive functie der wederrechtelijkheid)<br />

saja yang dinyatakan tidak mengikat secara<br />

hukum, karena dinilai bertentangan dengan<br />

Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Perhatikan<br />

kalimat:<br />

“…maupun dalam arti materiil, yakni<br />

meskipun perbuatan tersebut tidak diatur<br />

dalam perundang-undangan namun apabila<br />

perbuatan tersebut dianggap tercela karena<br />

tidak sesuai dengan rasa keadilan atau<br />

norma-norma kehidupan dalam masyarakat,<br />

maka perbuatan tersebut dapat dipidana”<br />

dinyatakan tidak mengikat secara hukum<br />

karena bertentangan dengan Pasal 28D ayat<br />

(1) UUD 1945”.<br />

d. Apakah putusan MK itu mengikat<br />

pula terhadap yurisprudensi? Karena<br />

yurisprudensi MA No. 42/K/Kr/1965<br />

tertanggal 8 Januari 1966 yang telah<br />

menjadi yurisprudensi tetap (land mark<br />

decision) juga mengakui dan menganut<br />

SMH materiil, dan telah diikuti oleh<br />

putusan-putusan hakim di bawahnya?<br />

e. Apakah hakim tidak lagi menggunakan<br />

Sistem Hukum Pidana Indonesia yang<br />

tidak hanya mengakui dan menganut SMH<br />

formal juga mengakui dan menganut ajaran<br />

SMH materiil?<br />

f. SMH materiil tidak hanya dianut dalam<br />

Sistem Hukum Pidana Indonesia, tetapi juga<br />

Belanda, Jerman sebagai wakil dari Civil<br />

Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 217<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 217 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:32 PM


Law System, apalagi Inggris dan Amerika<br />

sebagai wakil Anglo Saxon, juga Jepang,<br />

dan Korea Selatan sebagai wakil dari sistem<br />

hukum Timur jauh. Bahkan Pasal 15 ayat<br />

(2) ICCPR juga tidak mengharamkan suatu<br />

Negara mengantu SMH materiil.<br />

g. Yurisprudensi MA menganut pula SMH<br />

metriil dalam fungsinya yang negatif (di<br />

antaranya adalah putusan MA tanggal 8<br />

Januari 1966 No. 42/K/Kr/1965 dalam<br />

perkara Marchoes Efendi, putusan MA<br />

tanggal 30 Maret 1977 No. 81/Kr/1973<br />

dalam perkara Ir. Otjo Danaatmadja, putusan<br />

MA tanggal 15 Desember 1983 No. 275/K/<br />

Pid/1982. MA tanggal 29 Desember 1983<br />

dalam putusan No. 275/K/Pid/1983 dalam<br />

perkara R.S Natalegawa), maupun dalam<br />

fungsinya yang positif (di antaranya adalah:<br />

putusan MA No. 81/K/Kr/1973 tanggal<br />

30 Maret 1977, putusan MA No. 25/K/<br />

Pid/1983, putusan MA No. 24/K/Pid/1984<br />

tanggal 6 Juni 1985, putusan MA No. 241/K/<br />

Pid/1987 tanggal 21 Januari 1989, putusan<br />

MA No. 572//K/Pid/2003 dalam perkara Ir.<br />

Akbar Tanjung. Berikutnya adalah putusan<br />

MA No. 593 K/PID/2005 tanggal 2 <strong>Agustus</strong><br />

2005, yang cukup banyak mendapatkan<br />

perhatian dari khalayak, karena para<br />

terdakwanya hampir seluruh dari anggota<br />

DPRD Provinsi Sumatera telah terbukti<br />

melakukan TPK). Apakah yurisprudensi<br />

MA termasuk lingkup yurisdiksi MK?<br />

Sehubungan dengan premis huruf ”e)”<br />

di atas, perlu diinsyafi, bahwa sistem hukum<br />

pidana yang berlaku di Indonesia tidak hanya<br />

memastikan ‘apakah suatu perbuatan itu secara<br />

formal telah memenuhi semua unsur delik yang<br />

ditetapkan oleh UU’, tetapi juga ‘apakah perbuatan<br />

dimaksud tercela secara materiil, karena dinilai<br />

bertentangan dengan norma-norma sosial yang<br />

hidup di dalam masyarakat’. Itulah sebabnya,<br />

mengapa doktrin-doktrin hukum pidana yang<br />

berkembang di Indonesia mengisyaratkan untuk<br />

menganut ajaran materiil dari SMH ini. Moeljatno<br />

(1983: 133) secara tegas mengatakan:<br />

“Bagaimanakah pendirian kita terhadap<br />

soal ini? Kiranya tidak mungkin selain<br />

mengikuti ajaran yang materiil. Bagi orang<br />

Indonesia belum pernah hukum dan UU<br />

dipandang sama. Pikiran bahwa hukum<br />

adalah UU belum pernah kita alami. Bahkan<br />

sebaliknya, hampir semua hukum Indonesia<br />

asli adalah hukum tidak tertulis”.<br />

Di dalam tulisannya yang lain juga<br />

ditegaskan:<br />

“…apabila sampai saat ini untuk menetapkan<br />

adanya suatu tindak pidana adalah: tinjauan<br />

dari segi formal, ini perlu berhubung dengan<br />

adanya asas legalitas, dan tinjauan dari segi<br />

materiil sebaliknya juga diperlukan, oleh<br />

karena baru dengan adanya ini, aturanaturan<br />

hukum mempunyai isi, dan bukan<br />

suatu pengertian dalam lisan atau tulisan<br />

belaka. Yang kami maksudkan dengan ini,<br />

adalah segi pergaulan masyarakat dengan<br />

mana, atau untuk siapa aturan-aturan<br />

hukum itu berlaku”. Moeljatno (1955: 18).<br />

Roeslan Saleh (1987: 20) juga mengatakan:<br />

“…terlebih-lebih lagi karena hukum<br />

pidana kita menganut ajaran sifat melawan<br />

hukum materiel, dan kiranya dapat menjadi<br />

pendapat hukum Indonesia pula. Menurut<br />

pikiran bangsa Indonesia hukum dan UU<br />

tidak sama. Bahkan sebagian besar dari<br />

hukum kita terdiri dari aturan-aturan tidak<br />

tertulis”.<br />

218 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 189 - 223<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 218 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:32 PM


Di dalam tulisannya yang lain Roeslan<br />

Saleh (1983: 56) juga mengatakan:<br />

“bahwa untuk mengetahui adanya perbuatan<br />

pidana, pertama-tama harus diperhatikan<br />

apakah ada larangan atas dilakukannya<br />

perbuatan itu, (maksudnya: apakah secara<br />

formal UU melarang perbuatan itu, pen.),<br />

dan kedua apakah perbuatan tersebut betulbetul<br />

dirasakan oleh masyarakat sebagai<br />

perbuatan yang tidak patut atau keliru, maka<br />

kiranya jelas … mengenai sifat melawan<br />

hukum ini, saya mengikuti pandangan yang<br />

materiil”.<br />

Demikian pula Bambang Poernomo (1981:<br />

113) juga mengemukakan:<br />

“Kiranya tidak ada alasan untuk menolak<br />

diterimanya pandangan materieele<br />

wederrechtelijkheid dalam pengertian,<br />

bahwa perbuatan melawan hukum adalah<br />

yang bertentangan dengan UU, asas-asas<br />

umum, dan norma-norma hukum tidak<br />

tertulis”.<br />

Seharusnya yang terpenting dipahami<br />

adalah, ”apakah SMH materiil itu bertentangan<br />

dengan UUD 1945”?<br />

SMH materii juga mendapat jaminan secara<br />

konstitusional, terutama dalam Pasal 18B ayat (2)<br />

UUD 1945 Perubahan Kedua ditetapkan sebagai<br />

berikut:<br />

”Negara mengakui dan menghormati<br />

kesatuan-kesatuan masyarakat hukum<br />

adat beserta hak-hak tradisionalnya<br />

sepanjang masih hidup dan sesuai dengan<br />

perkembangan masyarakat dan prinsip<br />

Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang<br />

diatur dalam undang-undang”.<br />

Anotasi berikutnya yang sangat penting<br />

disadari oleh hakim (juga para hakim lainnya),<br />

adalah ketentuan mengenai UU Kehakiman<br />

itu sendiri. Dikatakan demikian, karena<br />

kendatipun telah dikemukakan doktrin dan dasar<br />

konstitusionalitasnya seperti dikatakan di atas,<br />

namun dalam ranah hukum pidana seringkali<br />

mengalami resistensi sehubungan dengan<br />

keterikatannya pada asas legalitas formal. Dengan<br />

keterikatannya pada asas legalitas formal tersebut,<br />

akibatnya jaksa atau hakim wajiib menuntut atau<br />

mengadili suatu perkara pidana berdasarkan<br />

ketentuan-ketentuan (pasal-pasal) yang mengatur<br />

perbuatan terdakwa tersebut. Padahal UU No. 4<br />

Tahun 2004 jo UU No. 48 Tahun 2009 tentang<br />

Kekuasaan Kehakiman telah menetapkan, bahwa:<br />

“Segala putusan pengadilan selain harus<br />

memuat alasan dan dasar putusan tersebut,<br />

memuat pula pasal tertentu dari peraturan<br />

perundang-undangan yang bersangkutan<br />

atau sumber hukum tidak tertulis yang<br />

dijadikan dasar untuk mengadili” (vide Pasal<br />

25 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 jo Pasal<br />

50 UU No. 48 Tahun 2009) (Kursif. Pen.).<br />

Hakim wajib memeriksa dan mengadili<br />

perkara pidana demikian itu, dengan menggunakan<br />

sumber hukum tidak tertulis. Itulah sebabnya,<br />

dalam Pasal 28 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 jo<br />

Pasal 5 UU No. 48 Tahun. ini, mengimperasikan,<br />

bahwa: ”Hakim wajib menggali, mengikuti, dan<br />

memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan<br />

yang hidup dalam masyarakat”.<br />

Sinergi dengan ketentuan di atas, itu pula<br />

sebabnya mengapa Mardjono Reksodiputro<br />

(1995: 108) mengatakan:<br />

“Sumber hukum pidana Indonesia, dapat<br />

dicari dalam hukum adat. Hakim harus<br />

menjaga bahwa seseorang yang bersalah<br />

Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 219<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 219 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:33 PM


melakukan perbuatan yang dicela oleh<br />

masyarakat dan patut dipidana memang<br />

haruslah mendapatkan pidananya. Ukuran<br />

perbuatan apa yang “tercela” dan “patut<br />

dipidana” dapat ditentukan oleh pembuat<br />

UU, tetapi dapat pula didasarkan pada hukum<br />

(adat) yang hidup dalam masyarakat…”.<br />

Muladi (1990) menambahkan:<br />

“Di samping dapat menjadi sumber<br />

hukum yang bersifat positif, nilai-nilai<br />

yang bersumber pada hukum adat dan<br />

hukum yang hidup di dalam masyarakat<br />

dapat berfungsi sebagai sumber hukum<br />

yang bersifat negatif, dalam arti bahwa,<br />

nilai-nilai tersebut dapat dijadikan alasan<br />

pembenar (rechtsvaardigingsgrond) yang<br />

menghapuskan sifat melawan hukumnya<br />

perbuatan, atau dapat berfungsi sebagai<br />

alasan-alasan yang memperingan<br />

pemidanaan (minimasing circumtance),<br />

dan sebaliknya justru dapat dijadikan<br />

alasan yang memperberat pemidanaan<br />

(aggravating circumtance)”.<br />

Berdasarkan pertimbangan hakim terhadap<br />

pembuktian unsur tindak pidana korupsi, oleh<br />

hakim telah dinyatakan semua unsur terbukti<br />

sebagaimana didakwakan dalam dakwaan<br />

primair, akan tetapi perbuatan tersebut bukan<br />

merupakan tindak pidana, melainkan termasuk<br />

dalam ruang lingkup hukum perdata. Namun<br />

demikian, menurut analisis peneliti justru hakim<br />

belum dapat membuktikan unsur tindak pidana<br />

secara lengkap, karena masih terdapat hal-hal<br />

kontroversial terhadap pembuktian unsur ”setiap<br />

orang” dan unsur ”melawan hukum” yang secara<br />

hukum masih harus dielaborasi lebih lanjut.<br />

SIMPULAN<br />

220 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 189 - 223<br />

IV.<br />

Hal-hal yang dapat disimpulkan dari<br />

analisis terhadap pokok permasalahan penelitian<br />

adalah sebagai berikut:<br />

1. Pertimbangan hakim dalam membentuk<br />

argumentasi hukumnya telah didasarkan<br />

atas logika silogisme sebagai berikut:<br />

Sebagai premis mayor: hakim berlandaskan<br />

pada surat perjanjian No. 511.23/500-<br />

Ek tertanggal 14 Desember 2004 antara<br />

Pemerintah Kota Bandung dengan CV. UM<br />

dan FS selaku Pemilik Gedung eks Toko<br />

Ria sebagai pihak ketiga, dan di dalam surat<br />

perjanjian tersebut telah disepakati hak-dan<br />

kewajiban masing-masing pihak.<br />

Sebagai premis minor: jika terjadi kerugian<br />

bagi Pemerintah Kota Bandung karena<br />

tidak dipenuhinya isi perjanjian tersebut<br />

oleh salah satu pihak, maka prosedur yang<br />

harus ditempuh adalah melalui penagihan<br />

kepada pengelola, yaitu terdakwa agar<br />

memenuhi kewajibannya sesuai dengan<br />

perjanjian yang mereka telah sepakati, dan<br />

bilamana tidak memenuhi janjinya, dapat<br />

dikategorikan telah melakukan perbuatan<br />

wanprestasi. Sebagai simpulan maka<br />

dengan demikian, kerugian yang timbul<br />

sebagai akibat adanya wanprestasi adalah<br />

bukan perbuatan melawan hukum (pidana).<br />

2. Namun hakim dalam membangun<br />

argumentasi hukumnya telah terjadi<br />

falsifikasi logika berpikir dalam memahami<br />

lingkup cakupan substansi yang terdapat<br />

dalam proposisi premis mayor. Hakim hanya<br />

mendasarkan pemahaman dan lingkup<br />

cakupan substansi dari premis mayor<br />

tersebut dari hukum perdata. Pemahaman<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 220 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:33 PM


terhadap “kewajiban hukum” harus pula<br />

dimaknai dari optik hukum pidana, karena<br />

secara dogmatis terdapat aturan hukum<br />

pidana yang menyatakan keharusan<br />

untuk menjalankan “kewajiban hukum”<br />

tertentu. Apabila “kewajiban hukum”<br />

yang diharuskan itu tidak dilaksanakan<br />

oleh si pengemban kewajiban, maka yang<br />

bersangkutan dikatakan telah melakukan<br />

suatu PMH (TP/delik). Di dalam doktrin<br />

hukum pidana, perbuatan demikian<br />

disebut dengan omimssie delict (delicta<br />

ommissionis).<br />

3. Hakim dalam pertimbangannya yang<br />

menyatakan, bahwa “perbuatan terdakwa<br />

secara formal tidak mencocoki rumusan<br />

delik menurut Pasal 2 ayat (1) UU No. 31<br />

Tahun 1999, sehingga perbuatan terdakwa<br />

tidak dapat dikualifikasikan sebagai tindak<br />

pidana”, sama sekali tidak dikaitkan dengan<br />

fakta hukum yang terdapat dalam salah<br />

satu diktum dari surat perjanjian tersebut<br />

yang menyatakan, bahwa “pihak kedua<br />

(dalam hal ini terdakwa) berkewajiban<br />

mengembalikan dana talangan yang<br />

diterimanya sebesar Rp.2.500.000.000,dalam<br />

2 tahap, yaitu pada bulan April<br />

sebesar Rp.1.250.000.000,- dan pada bulan<br />

September Rp.1.250.000.000,- kepada<br />

Pemerintah Kota Bandung”. Ternyata surat<br />

perjanjian yang dibuat pada tanggal 14<br />

Desember 2004 sampai dengan diadilinya<br />

perkara ini, terdakwa belum memenuhi<br />

kewajibannya tersebut. Akibat hukum apa<br />

yang dapat dikenakan terhadap terdakwa<br />

ternyata tidak diatur pula dalam surat<br />

perjanjian tersebut, sementara kerugian<br />

keuangan negara sebesar disebutkan di<br />

atas itu telah nyata-nyata terjadi. Dalam<br />

situasi dan kondisi seperti ini hakim<br />

harus menerapkan ajaran SMH Materiil<br />

sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 ayat<br />

(1) UU No. 31 Tahun 1999.<br />

Mengingat yang dinyatakan tidak mengikat<br />

secara hukum adalah penjelasan Pasal 2 ayat<br />

(1) UU No. 31 Tahun 1999, tidak termasuk<br />

keberadaan dan substansi dari Pasal 2 ayat<br />

(1), maka SMH Materiil yang substansinya<br />

dirumuskan dalam ketentuan pasal dimaksud<br />

masih tetap berlaku. Ini berarti, PMH yang telah<br />

benar-benar terjadi sebagaimana dibuktikan oleh<br />

hakim dalam putusannya bukanlah PMH dalam<br />

lingkup cakupan Hukum Perdata, sebenarnya<br />

termasuk dalam lingkup cakupan hukum pidana.<br />

Sehubungan dengan hal di atas, maka oleh<br />

hakim proposisi yang dibentuk dalam bangunan<br />

premis minor substansinya secara imperatif<br />

seharusnya menyatakan: “menimbang, bahwa oleh<br />

karena terdakwa sebagai pihak kedua telah tidak<br />

memenuhi kewajiban hukumnya sebagaimana<br />

yang diharuskan dalam surat perjanjian tersebut,<br />

maka perbuatan terdakwa merupakan perbuatan<br />

melawan hukum yang dapat dituntut secara<br />

pidana”.<br />

Premis minor dimaksud dibentuk adalah<br />

atas dasar alasan yuridis yang dapat dibenarkan<br />

menurut norma-norma hukum pidana, yakni<br />

suatu perbuatan melawan hukum secara materiil<br />

telah terjadi, jika perbuatan terdakwa yang tidak<br />

bersifat melawan hukum secara formal yang<br />

telah menimbulkan kerugian bagi masyarakat<br />

atau negara itu, dilakukan tidak dalam kerangka<br />

memenuhi “kewajiban hukum”, dan tidak<br />

dipenuhinya “kewajiban hukum” bukan karena<br />

keadaan memaksa, tetapi semata-mata untuk<br />

kepentingan pelaku sendiri atau orang lain atau<br />

suatu korporasi”.<br />

Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 221<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 221 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:33 PM


Berdasarkan premis minor demikian<br />

itu, maka simpulan yang seharusnya diambil<br />

oleh hakim adalah: “Perbuatan terdakwa yang<br />

menimbulkan kerugian negara, dalam hal ini<br />

Pemerintah Kota Bandung, merupakan perbuatan<br />

melawan hukum yang dapat dituntut secara<br />

pidana”.<br />

Mengingat putusan pengadilan merupakan<br />

babak akhir dari suatu penegakan dan penerapan<br />

hukum, maka secara normatif di samping<br />

harus mengimperasikan kebenaran materiil,<br />

merefleksikan nilai-nilai keadilan, kepastian<br />

hukum, dan kemanfaatan hukum, sudah sepatutnya<br />

tidak boleh melupakan prinsip kecermatan serta<br />

kehati-hatian, terutama dalam memformulasikan<br />

proposisi hukum dalam amar putusan hakim.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Adji, Indriyanto Seno. 2004. Tindak Pidana<br />

Ekonomi, Bisnis dan Korupsi Perbankan.<br />

Bandung: Program Pascasarjana Magister<br />

Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran<br />

Bandung.<br />

Arief, Barda Nawawi. 1998. Bunga Rampai<br />

Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Citra<br />

Aditya.<br />

--------. 2004. “Konsepsi Ajaran Sifat Melawan<br />

Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana”<br />

Makalah pada Seminar Nasional Aspek<br />

Pertanggungjawaban Pidana Dalam<br />

Kebijakan Publik Dari Tindak Pidana<br />

Korupsi, Kerjasama Kejaksaan Agung RI<br />

dengan FH. UNDIP, Semarang.<br />

---------. 2005. Pembaharuan Hukum Pidana<br />

Dalam Perspektif Kajian Perbandingan.<br />

Bandung: Citra Aditya Bakti.<br />

Emong Sapardjaja, Komariah. 2002. Ajaran Sifat<br />

Melawan Hukum Materiil Dalam Hukum<br />

Pidana Indonesia, Studi Kasus Tentang<br />

Penerapan dan Perkembangannya dalam<br />

Yurisprudensi. Bandung: Alumni.<br />

Fuady, Munir. 2002. Perbuatan Melawan Hukum.<br />

Pendekatan Kontemporer. Bandung: Citra<br />

Aditya Bakti.<br />

Kusumaatmadjam, Mochtar, dan Sidharta, B.<br />

Arief. 2000. Pengantar Ilmu Hukum. Suatu<br />

Pengenalan Pertama Ruang Lingkup<br />

Berlakunya<br />

Alumni.<br />

Ilmu Hukum. Bandung:<br />

Lamintang, P.A.F. 1984. Dasar-dasar Hukum<br />

Pidana Indonesia. Bandung: Sinar Baru.<br />

L.B., Curzon. 1979. Jurisprudence, Estover,<br />

PlymouTahun: Macdonald & Evans.<br />

Moeljatno. Perbuatan Pidana dan Pertanggunganjawab<br />

Pidana dalam Hukum Pidana, Pidato<br />

Dies Natalis VI Universitas Gajah Mada<br />

tgl. 19 Desember 1955.<br />

_________. 1983. Asas-Asas Hukum Pidana.<br />

Jakarta: Bina aksara.<br />

Muladi. Proyeksi Hukum Pidana Materiil<br />

Indonesia di Masa Datang. Pidato<br />

Pengukuhan Guru Besar, dalam Ilmu<br />

Hukum Pidana, pada Fakultas Hukum<br />

Universitas Diponegoro, Semarang, 24<br />

Februari 1990.<br />

Poernomo, Bambang. 1981. Asas-asas Hukum<br />

Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia.<br />

Reksodiputro, Mardjono. 1995. Pembaharuan<br />

Hukum Pidana. Buku Keempat. Jakarta:<br />

Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian<br />

Hukum (d/h Lembaga Kriminologi)<br />

222 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 189 - 223<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 222 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:33 PM


Universitas Indonesia.<br />

Sahetapy, JE. (Editor). 1995. Hukum Pidana,<br />

Kumpulan Bahan Penataran Hukum<br />

Pidana , Prof. Dr. D. Schaffmeister, Prof.<br />

Dr. Nico Keiijzer dan Mr. E. PH. Sutorius.<br />

Yogyakarta: Liberty.<br />

Saleh, Roeslan. 1983. Perbuatan Pidana Dan<br />

Pertanggungjawaban Pidana. Dua<br />

Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana.<br />

Jakarta: Aksara Baru.<br />

_________. 1987. Sifat Melawan Hukum<br />

Dari Perbuatan Pidana. Jakarta: Sinar<br />

Grafika.<br />

Sudarto. 1981. Hukum dan Hukum Pidana.<br />

Bandung: Alumni.<br />

_________. 1998. Hukum Pidana 1. Semarang:<br />

Fakultas Hukum UNDIP.<br />

Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 223<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 223 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:33 PM


PENERAPAN KEADILAN RESTORATIF DALAM PUTUSAN<br />

HAKIM:UPAyA PENyELESAIAN KONFLIK MELALUI<br />

SISTEM PERADILAN PIDANA<br />

ABSTRAK<br />

Banyak kasus-kasus sederhana yang berakhir di<br />

pengadilan dan diselesaikan dengan melanggar rasa<br />

keadilan masyarakat kecil. Sepertinya keadilan tidak<br />

pernah berpihak kepada mereka. Keadilan lebih<br />

banyak didekati dari perspektif prosedural bukan<br />

keadilan substansial. Sebagaimana ditunjukkan<br />

dalam putusan yang dianalisis di dalam artikel ini,<br />

penjatuhan putusan untuk kasus yang terbilang<br />

“sederhana” ini akan lebih tepat jika didasarkan<br />

pada filosofi pemidanaan keadilan restoratif. Penulis<br />

yakin bahwa pilihan keadilan restoratif ini sudah<br />

saatnya dipertimbangkan, dimulai dari kasus-kasus<br />

sederhana seperti ini.<br />

Kata kunci: masyarakat kelas bawah, keadilan<br />

restoratif, kasus pidana sederhana.<br />

Kajian Putusan MA Nomor 653/K/Pid/2011<br />

THE IMPLEMENTATION OF RESTORATIVE JUSTIcE IN THE<br />

VERDIcT: AN EFFORT TO RESOLVE THE cONFLIcT THROUgH<br />

THE cRIMINAL JUSTIcE SySTEM<br />

An Analysis on the Supreme Court Decision Number 653/K/Pid/2011<br />

Rena Yulia<br />

Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa,<br />

Jl. Raya Jakarta KM 4 Pakupatan Serang Banten<br />

Email: rena_yulia@yahoo.co.id<br />

Diterima tgl 7 Mei <strong>2012</strong>/Disetujui tgl 18 Juli <strong>2012</strong><br />

abstract<br />

Many trivial cases have been sent to the courts<br />

so far with some of them ended with non-populist<br />

verdicts. Such court rulings have been disturbing<br />

the common sense showing that justice never takes<br />

the side of the poor. Justice is approached only<br />

from the procedural perspective. As shown in this<br />

article, one of the trivial cases was not handled in<br />

appropriate way since the restorative philosophy<br />

of punishment had never been considered to apply.<br />

The author of this article believes that it is time to<br />

start implementing such a philosophy of punishment<br />

beginning from trivial cases as in the case under<br />

discussion.<br />

Keywords: lower class society, restorative justice,<br />

trivial criminal case.<br />

224 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 224 -240<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 224 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:33 PM


I.<br />

PENDAHULUAN<br />

Masyarakat telah disajikan dengan<br />

berbagai peristiwa hukum dalam penegakannya<br />

dianggap mencederai rasa keadilan masyarakat.<br />

Misalnya saja, peristiwa pencurian tiga buah<br />

kakao, pencurian buah semangka, pencurian<br />

setandan pisang, pencurian sendal jepit dan yang<br />

paling baru adalah pencurian piring dan buntut<br />

sapi yang dilakukan oleh “R“ yang telah diputus<br />

bersalah oleh Mahkamah Agung. Putusan<br />

hakim pada peristiwa-peristiwa hukum di atas,<br />

dianggap tidak memberikan rasa keadilan bagi<br />

masyarakat. Putusan tersebut dianggap terlalu<br />

mudah dijatuhkan pada rakyat miskin di tengah<br />

putusan kasus korupsi yang seolah-olah lamban<br />

dan tersendat-sendat penegakannya.<br />

Kasus R, seorang pembantu rumah tangga<br />

yang sudah bekerja selama sepuluh tahun di<br />

rumah majikannya SA di Tangerang, Banten.<br />

Kasus R berawal dari kejadian pada sekitar tahun<br />

2007, di rumah majikannya yang beralamat di<br />

Perumahan GP Sawah Lama kecamatan Ciputat<br />

Tangerang Selatan telah terjadi banjir, dan pada<br />

saat itulah R dituduh telah mengambil barangbarang<br />

milik majikannya berupa satu kantong<br />

plastik daging buntut sapi, satu buah gelas, satu<br />

botol Hair Tonic Hadi Suwarno dan shampo,<br />

satu lembar baju muslim, sapu tangan, satu botol<br />

Listerin, satu kaleng racun nyamuk Force Magic,<br />

satu buah tempat tisu, satu buah piring keramik<br />

merek Anchor Hocking, 1 (satu) buah piring<br />

Geshen Kartikel, dua buah piring merek Royal<br />

Province dan satu buah piring merek Taichi.<br />

Majikan tersebut melaporkan R ke<br />

kepolisian, dan selanjutnya jaksa penuntut umum<br />

menuntut R telah melakukan tindak pidana<br />

pencurian. Putusan Pengadilan Negeri Tangerang<br />

No. 775/Pid.B/2010/PN.TNG. Tanggal 22<br />

Desember 2010 memutuskan nasib R sebagai<br />

berikut:<br />

Menyatakan Terdakwa R binti RA tidak<br />

terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah<br />

melakukan tindak pidana yang didakwakan<br />

kepada Terdakwa;<br />

Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Putusan Hakim (Rena Yulia) | 225<br />

•<br />

•<br />

•<br />

•<br />

•<br />

Membebaskan oleh karena itu terhadap<br />

Terdakwa R binti RA tersebut di atas dari<br />

dakwaan tersebut;<br />

Memulihkan hak Terdakwa dalam<br />

kemampuan,<br />

martabatnya;<br />

kedudukan, harkat serta<br />

Memerintahkan terhadap barang bukti<br />

berupa:<br />

Satu kantong plastik daging buntut sapi,<br />

satu buah gelas, satu botol Hair Tonic Hadi<br />

Suwarno dan shampo, satu lembar baju<br />

muslim, sapu tangan, satu botol Listerin,<br />

satu kaleng racun nyamuk Force Magic,<br />

satu buah tempat tisu, satu buah piring<br />

keramik merek Anchor Hocking, 1 (satu)<br />

buah piring Geshen Kartikel, dua buah<br />

piring merek Royal Province dan satu buah<br />

piring merek Taichi, dikembalikan kepada<br />

Terdakwa R binti RA serta satu buah<br />

mangkok dan tiga buah piring kecil/cawan<br />

dikembalikan kepada saksi SM melalui<br />

Terdakwa;<br />

Membebankan<br />

negara.<br />

biaya perkara kepada<br />

Terhadap putusan tersebut, Jaksa Penuntut<br />

Umum tidak puas sehingga mengajukan kasasi ke<br />

Mahkamah Agung. Putusan Mahkamah Agung<br />

inilah yang kemudian menyita perhatian publik.<br />

Bagaimana tidak, amar putusan tersebut berbalik<br />

arah bagi terdakwa R.<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 225 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:33 PM


Mahkamah Agung terdakwa diputus<br />

melalui Putusan No. 653/K/Pid/2011 yang<br />

amarnya pokoknya sebagai berikut:<br />

1. Menyatakan Terdakwa R binti RA, telah<br />

terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah<br />

melakukan tindak pidana “pencurian“;<br />

2. Menghukum Terdakwa oleh karena itu<br />

dengan pidana penjara selama 4 (empat)<br />

bulan 10 (sepuluh) hari;<br />

3. Menetapkan bahwa masa penahanan<br />

yang telah dijalani oleh Terdakwa akan<br />

dikurangkan seluruhnya dari pidana yang<br />

dijatuhkan;<br />

4. Memerintahkan agar barang bukti<br />

dikembalikan kepada saksi SA;<br />

5. Membebankan<br />

terdakwa.<br />

biaya perkara kepada<br />

Putusan Mahkamah Agung tersebut tentu<br />

saja mengundang kontroversial masyarakat.<br />

Secara yuridis formal, R sudah diputus tidak<br />

bersalah oleh Pengadilan Negeri Tangerang.<br />

Dia bebas dari segala tuduhan jaksa. Hakim<br />

menimbang kasus yang diduga dilakukan oleh<br />

R juga merupakan kasus yang nilai kerugiannya<br />

kecil dan sifat perbuatannya masih bisa diperbaiki<br />

jika melihat dari tujuan pemidanaan itu sendiri,<br />

yaitu perbaikan bukan saja penghukuman.<br />

Perkara seperti yang terjadi pada kasus<br />

R justru menghabiskan dana yang lebih besar<br />

dibandingkan kerugian saksi. Apalagi dengan<br />

putusan Pengadilan Negeri Tangerang yang<br />

memvonis tidak bersalah dan terdakwa diharuskan<br />

mengembalikan sejumlah barang yang telah<br />

diambil, toh kerugian korban sudah dipulihkan.<br />

Tentu hal itu sudah memberikan rasa keadilan<br />

bagi korban, pelaku dan juga masyarakat.<br />

Dalam putusannya hakim sudah<br />

menerapkan keadilan restoratif. Dengan<br />

berbagai pertimbangan, terdakwa divonis tidak<br />

bersalah melakukan pencurian. Semua barang<br />

yang menjadi milik terdakwa dikembalikan,<br />

hal itu sudah merupakan pemulihan kerugian<br />

bagi korban. Dengan kata lain, perbaikan atas<br />

kerusakan yang diakibatkan oleh kejahatan yang<br />

terjadi sudah dilakukan.<br />

Pelaku tidak diberikan pembalasan<br />

dengan berupa hukuman, tetapi kerugian korban<br />

dipulihkan dengan mengembalikan semua<br />

barang milik korban. Hal ini sesuai dengan teori<br />

pemidanaan yaitu teori tujuan. Inilah keadilan yang<br />

diagung-agungkan orang pada zaman sekarang,<br />

ya, keadilan restoratif yang “digadangkan” bisa<br />

memberikan keadilan kepada semua pihak.<br />

Baik itu keadilan bagi pelaku, korban, maupun<br />

masyarakat.<br />

Putusan kasus R, Mahkamah Agung<br />

memutuskan keadilan yang berbeda yaitu<br />

menggunakan pendekaran keadilan prosedural<br />

bagi pelanggar tanpa memperhatikan rasa keadilan<br />

masyarakat. Putusan Mahkamah Agung masih<br />

menggunakan keadilan retributif dengan teori<br />

pemidanaan berupa teori pembalasan sehingga<br />

lebih mengedepankan pembalasan bagi pelaku<br />

walaupun kerugian korban sudah dipulihkan.<br />

Menerapkan keadilan restoratif dalam<br />

putusan hakim diharapkan dapat memberikan<br />

keadilan yang membahagiakan bagi para pihak<br />

yang berkonflik, yaitu pelaku dan korban, bahkan<br />

keadilan tersebut bisa dirasakan oleh masyarakat.<br />

Tulisan ini ingin mengkaji penerapan keadilan<br />

restoratif dalam tataran putusan hakim. Mengingat<br />

walau bagaimanapun putusan hakim merupakan<br />

jawaban untuk menyelesaikan konflik pidana<br />

yang terjadi antara pelanggar dengan korban.<br />

226 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 224 -240<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 226 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:33 PM


II.<br />

RUMUSAN MASALAH<br />

Bagaimana penerapan keadilan restoratif<br />

pada putusan hakim dalam menyelesaikan konflik<br />

pidana melalui sistem peradilan pidana.<br />

III.<br />

STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS<br />

A. Tujuan Pemidanaan bagi Pelanggar<br />

Hukum<br />

Berbicara mengenai sanksi yang diberikan<br />

bagi pelanggar hukum atau pelaku tindak pidana,<br />

maka tidak akan lepas berbicara mengenai tujuan<br />

daripada pemberian sanksi tersebut atau disebut<br />

tujuan pemidanaan.<br />

Sebelum sampai pada tujuan pemidanaan,<br />

maka perlu disampaikan terlebih dahulu tujuan<br />

hukum pidana itu sendiri, yaitu untuk melindungi<br />

kepentingan orang perorangan (individu)<br />

atau hak-hak asasi manusia dan melindungi<br />

kepentingan-kepentingan masyarakat dan negara<br />

dengan perimbangan yang serasi dari kejahatan/<br />

tindakan tercela di satu pihak dan dari tindakan<br />

penguasa yang sewenang-wenang di lain pihak.<br />

Akan tetapi mengenai persoalan dan perwujudan<br />

tujuan hukum pidana tersebut dalam sejarahnya<br />

telah mengalami proses yang lama dan lamban<br />

(Sianturi, 1996: 54).<br />

Pada zaman sebelum Revolusi Perancis<br />

misalnya, ketika hukum pidana pada umumnya<br />

belum tertulis, dalam banyak hal, baik/buruknya<br />

atau dapat tidaknya di pidana suatu tindakan,<br />

tergantung kepada kebijaksanaan hakim sebagai<br />

alat dari raja. Dalam banyak peristiwa, terjadi<br />

kesewenang-wenangan dari penguasa mengenai<br />

penentuan sesuatu tindakan yang dapat dipidana,<br />

maupun mengenai jenis dan beratnya pidana,<br />

demikian juga mengenai pengayunannya. Bahkan<br />

kesewenang-wenangan itu sering menjelma<br />

menjadi kekejaman atau kebuasan (Sianturi,<br />

1996: 54).<br />

Di daerah-daerah di Indonesia sebelum<br />

kedatangan penjajah Belanda, pada umumnya<br />

hukum adat tidak tertulis. Hukum adat tidak<br />

mengenal sistem “praeextintente”. Seluruh<br />

lapangan hidup menjadi batu ujian perihal apa<br />

yang dilarang dan apa yang dibolehkan. Tiap-tiap<br />

perbuatan atau tiap-tiap situasi yang tidak selaras<br />

dengan atau yang memperkosa keselamatan<br />

masyarakat, keselamatan golongan, keluarga, dan<br />

sebagainya dapat merupakan pelanggaran hukum.<br />

Sedang reaksi atau koreksi terhadap pelanggaran<br />

hukum adat di berbagai lingkungan hukum<br />

antara lain adalah: mengganti kerugian imaterial,<br />

pembayaran uang adat, selamatan, permintaan<br />

maaf, pelbagai rupa hukuman badan hingga<br />

hukuman mati, pengasingan dari masyarakat.<br />

Sekalipun tidak dikenal pembedaan hukum<br />

perdata dan hukum pidana dalam hukum adat,<br />

namun dapat tergambarkan bahwa tujuan hukum<br />

(pidana) adalah untuk menjamin keselamatan<br />

orang dan masyarakat (Sianturi, 1996: 54).<br />

Penjatuhan pidana bukan semata-mata<br />

sebagai pembalasan dendam. Yang paling penting<br />

adalah pemberian bimbingan dan pengayoman.<br />

Pengayoman sekaligus kepada masyarakat dan<br />

kepada terpidana sendiri agar menjadi insaf dan<br />

dapat menjadi anggota masyarakat yang baik.<br />

Demikianlah konsepsi baru fungsi pemidanaan<br />

yang bukan lagi sebagai penjeraan belaka, namun<br />

juga sebagai upaya rehabilitasi dan reintegrasi<br />

sosial. Konsepsi itu di Indonesia disebut<br />

pemasyarakatan (Waluyo, 2004: 3).<br />

Pada dasarnya kepada seseorang pelaku<br />

suatu tindak pidana harus dikenakan suatu akibat<br />

hukum. Akibat hukum itu pada umumnya berupa<br />

hukuman pidana. Ditinjau dari sudut kerugian<br />

Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Putusan Hakim (Rena Yulia) | 227<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 227 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:33 PM


terpidana, (hukuman) pidana dapat mengenai<br />

(Sianturi, 1996: 54):<br />

a. jiwa pelaku: pidana mati.<br />

b. badan pelaku: pencambukan dengan<br />

rotan sekian kali, pemotongan bagian<br />

badan (misalnya jari tangan), dicap-bara<br />

(brandmerk) dan lain sebagainya.<br />

c. Kemerdekaan pelaku: pidana penjara,<br />

pidana tutupan, pidana kurungan,<br />

pembuangan (verbanning), pengasingan<br />

(deportatie), pengusiran, penginterniran,<br />

penawanan dan sebagainya.<br />

d. Kehormatan pelaku: pencabutan hakhak<br />

(tertentu), pencabutan surat izin<br />

mengemudi, pengumuman putusan hakim,<br />

tegoran dan lain sebagainya.<br />

e. Harta benda/kekayaan: pidana denda,<br />

perampasan barang (tertentu), membayar<br />

harga suatu barang yang tidak/belum<br />

dirampas sesuai taksiran dan lain sebagainya.<br />

Akan tetapi adakalanya dikenakan suatu<br />

hukuman yang sebenarnya tidak merupakan<br />

pidana, melainkan suatu tindakan tertentu atau<br />

suatu kewajiban yang mirip dengan hukuman<br />

perdata. Suatu tindakan tertentu atau yang mirip<br />

dengan hukuman perdata antara lain ialah:<br />

a. Mewajibkan ganti rugi.<br />

b. Tindakan tata-tertib seperti menempatkan<br />

perusahaan pelaku di bawah pengampunan,<br />

mewajibkan pembayaran uang jaminan,<br />

mewajibkan membayar sejumlah uang<br />

sebagai pencabutan keuntungan, melakukan<br />

jasa-jasa, pembubaran suatu organisasi dan<br />

lain sebagainya.<br />

c. Perintah hakim untuk memasukkan<br />

seseorang yang sakit atau cacat jiwanya ke<br />

rumah sakit jiwa.<br />

d. Perintah hakim untuk pengobatan paksa<br />

(narkotik, psychopath).<br />

e. Perintah hakim untuk pendidikan paksa<br />

(anak di bawah umur).<br />

Bahkan dalam hal tertentu, tidak dikenakan<br />

suatu hukuman.<br />

Definisi pidana itu sendiri adalah suatu<br />

penderitaan yang sengaja dijatuhkan negara<br />

kepada seseorang yang telah melakukan suatu<br />

tindakan pidana (Sastrawidjaja, 1995: 25).<br />

Rumusan lain menyebutkan pidana adalah reaksi<br />

atas delik yang banyak berwujud suatu nestapa<br />

yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada<br />

pembuat delik (Waluyo, 2004: 9).<br />

Melihat itu, maka seringkali wujud sanksi<br />

pidana itu memang memberikan penderitaan bagi<br />

orang tersebut. Betapa tidak, narapidana atau<br />

warga binaan dirampas hak-hak kemerdekaannya<br />

sehingga harus terpenjara di balik jeruji besi. Itu<br />

belum dihitung dengan efek stigmatisasi setelah<br />

keluar dari penjara.<br />

Dalam sistem hukum Indonesia yang<br />

menganut asas praduga tak bersalah (presumption<br />

of ennocence), pidana sebagai reaksi atas delik<br />

yang dijatuhkan harus berdasarkan pada vonis<br />

hakim melalui sidang peradilan atas terbuktinya<br />

perbuatan pidana yang dilakukan. Apabila<br />

tidak terbukti bersalah maka tersangka harus<br />

dibebaskan (Waluyo, 2004: 9).<br />

Sebagaimana dijelaskan di awal tulisan ini,<br />

tujuan hukum pidana pada umumnya adalah untuk<br />

melindungi kepentingan orang perseorangan<br />

(individu) atau hak-hak asasi manusia dan<br />

melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat<br />

228 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 224 -240<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 228 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:33 PM


dan negara dengan perimbangan yang serasi dari<br />

kejahatan/tindakan tercela di satu pihak dan dari<br />

tindakan penguasa yang sewenang-wenang di<br />

lain pihak (Sianturi, 1996: 54).<br />

Tujuan penjatuhan pidana adalah<br />

pembalasan, penghapusan dosa, menjerakan,<br />

perlindungan terhadap umum dan memperbaiki si<br />

penjahat (Wahid dan Irfan, 2001: 98-99). Tujuan<br />

hukum pidana, menurut aliran klasik melindungi<br />

individu dari kekuasaan penguasa atau negara.<br />

Sedangkan menurut aliran modern mengajarkan<br />

tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi<br />

masyarakat terhadap kejahatan (Poernomo,<br />

1994: 23-34). Oleh karena itu, ketika dalam<br />

memutuskan vonis kepada terdakwa, tentu hakim<br />

harus mempertimbangkan tujuan pemidanaan<br />

yang mana yang akan dicapai melalui vonis<br />

tersebut.<br />

Secara teori, ada tiga teori pemidanaan<br />

yaitu golongan teori pembalasan, golongan teori<br />

tujuan dan golongan teori gabungan (Sianturi,<br />

1996: 58).<br />

a. Teori Pembalasan<br />

Teori pembalasan membenarkan<br />

pemidanaan karena seseorang telah<br />

melakukan suatu tindak pidana. Terhadap<br />

pelaku tindak pidana mutlak harus<br />

diadakan pembalasan berupa pidana. Tidak<br />

dipersoalkan akibat dari pemidanaan bagi<br />

terpidana. Bahan pertimbangan untuk<br />

pemidanaan hanyalah masa lampau,<br />

maksudnya masa terjadinya tindak<br />

pidana itu, masa yang akan datang yang<br />

bermaksud untuk memperbaiki pelaku<br />

tidak dipersoalkan.<br />

b. Teori Tujuan<br />

Teori tujuan membenarkan pemidanaan<br />

berdasarkan tujuan pemidanaan yaitu<br />

perlindungan masyarakat atau pencegahan<br />

terjadinya kejahatan. Ancaman pidana dan<br />

dijatuhkannya suatu pidana dimaksudkan<br />

untuk menakut-nakuti calon penjahat<br />

atau penjahat yang bersangkutan,<br />

untuk memperbaiki penjahat, untuk<br />

menyingkirkan penjahat, menjamin<br />

ketertiban hukum atau prevensi umum.<br />

Teori tujuan mempersoalkan akibatakibat<br />

dari pemidanaan kepada penjahat<br />

atau kepada kepentingan masyarakat dan<br />

untuk masa mendatang. Teori tujuan lebih<br />

humanis. Selain memikirkan efek jera<br />

kepada penjahat atau pun calon penjahat.<br />

Juga mempertimbangkan akibat dari<br />

pemidanaan ini untuk pelaku tindak pidana<br />

atau pun kepentingan masyarakat di masa<br />

yang akan datang. Dalam kenyataannya<br />

sedikit sekali putusan yang menyiratkan<br />

hal yang demikian.<br />

c. Teori Gabungan<br />

Teori gabungan mendasarkan pemidanaan<br />

kepada perpaduan teori pembalasan<br />

dengan teori tujuan yang tidak saja hanya<br />

mempertimbangkan masa lalu (seperti yang<br />

terdapat dalam teori pembalasan), tetapi juga<br />

harus bersamaan mempertimbangkan masa<br />

datang (seperti yang dimaksudkan pada teori<br />

tujuan). Dengan demikian penjatuhan suatu<br />

pidana harus memberikan rasa kepuasan<br />

baik bagi hakim maupun kepada penjahat<br />

itu sendiri di samping kepada masyarakat.<br />

Jadi harus ada keseimbangan antara pidana<br />

yang dijatuhkan dengan kejahatan yang<br />

telah dilakukan.<br />

Seyogianya teori inilah yang dipakai oleh<br />

para hakim dalam menentukan pemidanaan bagi<br />

pelaku kejahatan. Dalam putusannya, haruslah<br />

mencerminkan penjeraan bagi pelaku atau pun<br />

Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Putusan Hakim (Rena Yulia) | 229<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 229 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:33 PM


calon pelaku tetapi juga mempertimbangkan<br />

akibat yang akan terjadi baik itu pada pelaku,<br />

korban maupun masyarakat.<br />

Kini, pergeseran paradigma pemidanaan<br />

itu sudah beralih pada rasa keadilan yang harus<br />

diperoleh semua pihak. Konsep ini hakim tidak<br />

hanya terpuaskan untuk memidana pelaku, atau<br />

korban yang merasa puas terhadap vonis hakim,<br />

melainkan juga pelaku memperoleh kesempatan<br />

untuk memperbaiki diri dan masyarakat<br />

terpuaskan dengan putusan hakim. Artinya seluruh<br />

pihak yang terlibat dalam konflik pidana merasa<br />

memperoleh keadilan yang (mungkin) setara.<br />

Apabila dikaitkan dengan sistem<br />

pemasyarakatan seyogianya setiap masyarakat<br />

yang melakukan kejahatan atau tindak pidana,<br />

tentunya setiap pemberian sanksi pidana harus<br />

memperhatikan unsur-unsur yang bersifat:<br />

1. Kemanusiaan, dalam arti bahwa<br />

pemidanaan tersebut menjunjung<br />

tinggi harkat martabat seseorang;<br />

2. Edukatif, dalam arti bahwa<br />

pemidanaan itu mampu membuat<br />

orang sadar sepenuhnya atas<br />

perbuatan yang dilakukan dan<br />

menyebabkan ia mempunyai sikap<br />

jiwa yang positif dan konstruktif bagi<br />

usaha penanggulangan kejahatan;<br />

3. Keadilan, dalam arti bahwa<br />

pemidanaan tersebut dirasakan adil,<br />

baik oleh terhukum oleh korban<br />

ataupun masyarakat (Ravena, 2009: 2).<br />

Begitu pula setiap penjatuhan sanksi<br />

pidana kepada pelaku kejahatan haruslah berhatihati,<br />

karena masalah pemberian pidana apapun<br />

bentuknya berkaitan erat dengan karakter dan<br />

sifat orang yang dijatuhi sanksi pidana. Sanksi<br />

pidana bukan semata-mata sebagai pembalasan<br />

tetapi bahwa pidana harus bersifat prospektif<br />

dan berorintasi ke depan. Oleh karena itu, antara<br />

pemberian sanksi pidana dengan pelaku tindak<br />

pidana harus terdapat kesesuaian, sehingga (antara)<br />

tujuan diberikannya sanksi pidana tersebut dapat<br />

tercapai, maka hakim dalam menjatuhkan sanksi<br />

pidana harus mempertahankan sifat-sifat atau<br />

karakter dari si pelaku tindak pidana (Ravena,<br />

2009: 2-3).<br />

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan<br />

oleh hakim sebelum menjatuhkan pidana<br />

sebagaimana telah diutarakan di atas, yaitu:<br />

(RUU KUHP, 2008: Pasal 55)<br />

1. Kesalahan pembuat tindak pidana;<br />

2. Motif dan tujuan melakukan tindak<br />

pidana;<br />

3. Sikap batin pembuat tindak pidana;<br />

4. Apakah tindak pidana dilakukan<br />

dengan berencana;<br />

5. Cara melakukan tindak pidana;<br />

6. Sikap dan tindakan pembuat sesudah<br />

melakukan tindak pidana;<br />

7. Riwayat hidup dan keadaan sosial<br />

ekonomi pembuat tindak pidana;<br />

8. Pengaruh pidana terhadap korban<br />

dan/atau keluarganya dan/atau<br />

9. Pandangan masyarakat terhadap<br />

tindak pidana yang dilakukan.<br />

Selain hal-hal di atas, dalam ayat (2)-nya<br />

disebutkan bahwa ringannya perbuatan, keadaan<br />

pribadi pembuat, atau yang terjadi kemudian,<br />

dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak<br />

230 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 224 -240<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 230 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:34 PM


menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan<br />

dengan mempertimbangkan segi keadilan dan<br />

kemanusiaan.<br />

Walaupun RUU KUHP ini belum disahkan,<br />

tetapi tidak ada salahnya hakim berpedoman pada<br />

hal-hal yang telah disebutkan di atas sebagai<br />

acuan dalam menjatuhkan vonis terhadap pelaku<br />

tindak pidana.<br />

Begitu pula sistem peradilan pidana<br />

berfungsi sebagai sarana penyelesaian konflik<br />

yang ditimbulkan oleh kejahatan. Hal ini sesuai<br />

dengan pandangan bahwa tujuan pemidanaan<br />

yang bersifat integratif, yang mempunyai sarana<br />

perlindungan masyarakat, resosialisasi, serta<br />

penyelesaian konflik yang ditimbulkan oleh<br />

perbuatan pidana serta aspek psikologis untuk<br />

menghilangkan rasa bersalah bagi terpidana<br />

(Ravena, 2009: 3).<br />

Tujuan pemidanaan dalam Rancangan<br />

KUHP tahun 2008 disebutkan sebagai berikut:<br />

a. Mencegah dilakukannya tindak pidana<br />

dengan menegakkan norma hukum<br />

demi pengayoman masyarakat;<br />

b. Memasyarakatkan terpidana dengan<br />

mengadakan pembinaan sehingga<br />

menjadi orang yang baik dan berguna;<br />

c. Menyelesaikan konflik yang<br />

ditimbulkan oleh tindak pidana,<br />

memulihkan keseimbangan, dan<br />

mendatangkan rasa damai dalam<br />

masyarakat; dan<br />

d. Membebaskan rasa bersalah pada<br />

terpidana.<br />

Selain itu dalam ayat 2 disebutkan<br />

bahwa pemidanaan tidak dimaksudkan untuk<br />

menderitakan dan merendahkan martabat<br />

manusia. Jika hakim dalam memutuskan vonis<br />

mempertimbangkan tujuan daripada pemidanaan,<br />

maka kasus-kasus seperti kasus R ini tentu<br />

mendapatkan porsi layak sehingga keadilan yang<br />

diberikan tidak hanya berupa keadilan prosedural<br />

melainkan juga keadilan substansial yang dapat<br />

mewujudkan tujuan pemidanaan itu sendiri.<br />

Berbeda dengan pertimbangan hakim<br />

majelis di tingkat Mahkamah Agung yang lebih<br />

banyak mempertimbangkan aspek formil atau<br />

pun yurisdis dari pada mengedepankan tujuan<br />

dari pemidanaan itu sendiri. Alasan kasasi yang<br />

diajukan oleh jaksa penuntut umum lebih menonjol<br />

dibanding dengan alasan pemidanaan bagi R.<br />

Jika alasan kasasi dikabulkan oleh Mahkamah<br />

Agung, maka itu tentu tidak akan berpengaruh<br />

langsung terhadap vonis bagi terdakwa. Hal itu<br />

dikarenakan vonis terdakwa terkait dengan tujuan<br />

pemidanaan, yaitu, yang paling penting adalah<br />

menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh<br />

tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan<br />

mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.<br />

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, banyak<br />

hal yang harus diperhatikan dalam menjatuhkan<br />

putusan, di antaranya pandangan masyarakat<br />

terhadap tindak pidana yang dilakukan. Perhatian<br />

dalam hal ini bukan berarti tidak independen dan<br />

harus mengikuti opini publik, melainkan putusan<br />

tersebut harus peduli dan tidak mencederai rasa<br />

keadilan masyarakat.<br />

B. Penerapan Keadilan Restoratif dalam<br />

Menyelesaikan Konflik Pidana Oleh<br />

Hakim<br />

Keadilan restoratif diterima sebagai salah<br />

satu konsep penyelesaian kasus pidana oleh PBB<br />

pada tahun 2000. Setelah pengakuan itu, semakin<br />

Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Putusan Hakim (Rena Yulia) | 231<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 231 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:34 PM


anyak negara yang menerapkannya dalam<br />

menangani perkara pidana. Keadilan restoratif<br />

adalah model penyelesaian perkara pidana yang<br />

mengedepankan pemulihan korban, pelaku dan<br />

masyarakat. Prinsip utama keadilan restoratif<br />

adalah adanya partisipasi korban dan pelaku,<br />

partisipasi warga sebagai sukarelawan mediator<br />

atau fasilitator penyelesaian kasus (Buletin<br />

<strong>Komisi</strong> <strong>Yudisial</strong>, <strong>2012</strong>: 18).<br />

Untuk memaknai keadilan restoratif, berikut<br />

ini diberikan beberapa pendapat ahli tentang<br />

keadilan restoratif. Agustinus Pohan, misalnya,<br />

mengemukakan keadilan restoratif adalah konsep<br />

keadilan yang sangat berbeda dengan apa yang<br />

kita kenal saat ini dalam Sistem Hukum Pidana<br />

Indone sia yang bersifat retributif, keadilan<br />

restoratif (restorative justice) adalah sebuah<br />

pendekatan untuk membuat pemindahan dan<br />

pelembagaan menjadi sesuai dengan keadilan.<br />

Keadilan restoratif dibangun atas dasar<br />

nilai-nilai tradisional komunitas yang po sitif dan<br />

sanksi-sanksi yang dilaksanakan menghargai hak<br />

asasi manusia. Prinsip-prinsip keadilan restoratif<br />

adalah, mem buat pelaku bertanggung jawab<br />

untuk memperbaiki kerusakan yang disebabkan<br />

karena kejahatannya, memberikan ke sempatan<br />

pada pelaku untuk membuktikan kapasitas dan<br />

kualitasnya sebaik dia mengatasi rasa bersalahnya<br />

dengan cara yang konstruktif, melibatkan<br />

korban, o rang tua, keluarga, sekolah atau teman<br />

bermainnya, membuat forum kerjasama, juga<br />

dalam masalah yang berhubungan dengan<br />

kejahatan untuk mengatasinya (Melani, 2005:<br />

225).<br />

Selanjutnya W. Van Ness menyatakan bahwa<br />

keadilan restoratif hendak mencapai beberapa<br />

nilai melalui penyelenggaraan peradilan pidana,<br />

yaitu; pertama, penyelesaian konflik (conflict<br />

resolution) yang mengandung muatan pemberian<br />

ganti kerugian (recompense) dan pemulihan<br />

nama baik (vindication); dan, kedua, rasa aman<br />

(safety) yang mengandung muatan perdamaian<br />

(peace) dan ketertiban (order) (Mudzakkir, 2005:<br />

26).<br />

Charles K.B. Barton (2003: 4) membagi<br />

restorative justice ke dalam restorative justice<br />

meeting dan restorative justice conference. A<br />

restorative justice meeting is a face-to-face<br />

encounter between the principal stakeholders.<br />

A restorative justice conference, for example,<br />

brings together the victim, the offender, and<br />

their respective communities of support (family<br />

member, friends, coleagues, neighbours, teachers,<br />

coach, etc) to discuss the wrongful, or offending<br />

behaviour in question. The focus is to address<br />

the causes and consequences and to find a<br />

satisfactory resolution to the incident in question<br />

through consensus decision making.<br />

Keadilan restoratif yang dikemukakan di<br />

atas merupakan sebuah proses mempertemukan<br />

para pihak. Para pihak tersebut duduk bersama<br />

untuk membicarakan kesalahan ataupun perilaku<br />

yang telah ditimbulkan. Namun fokus daripada<br />

pertemuan itu adalah untuk menemukan solusi<br />

yang nantinya akan diambil menjadi keputusan.<br />

Selanjutnya Charles (2003: 4) juga<br />

menyebutkan bahwa “in contexs unrelated to<br />

criminal justice, restorative justice processes can<br />

be used as an effective conflict resolution and<br />

problem solving tool. The principles, facilitation<br />

techniques and the democratic nature of these<br />

processes can be easily transferred to other areas<br />

with appropriate modification.<br />

Kelompok kerja Perserikatan Bangsa<br />

Bangsa (PBB) memberikan pengertian keadilan<br />

restoratif sebagai suatu proses yang melibatkan<br />

232 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 224 -240<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 232 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:34 PM


semua pihak yang berhubungan dengan tindak<br />

pidana tertentu bersama-sama memecahkan<br />

masalah, dan memikirkan bagaimana menangani<br />

akibat di masa yang akan datang (Melani, 2005:<br />

223).<br />

Sebagai rasa tanggung jawab dari pelaku<br />

terhadap korban, pelaku didorong untuk<br />

memiliki rasa pertanggungjawaban dengan<br />

menunjukkan empati dan menolong untuk<br />

memperbaiki kerugian. Sebagai akibat dari<br />

perilaku menyakitkan pelaku bukan pada masa<br />

lalu pelaku. Sehingga stigma dapat dihilangkan<br />

melalui tindakan yang tepat yang didukung oleh<br />

penyesalan pelaku dan pemaafan dari korban.<br />

Proses penyelesaian bergantung pada keterlibatan<br />

langsung orang-orang yang terpengaruh oleh<br />

kejadian sehingga dimungkinkan prosesnya<br />

menjadi emosional (Yulia, 2009: 247).<br />

Keadilan restoratif berbeda dengan keadilan<br />

retributif yang dianut sistem peradilan pidana<br />

sekarang. Perbedaan itu antara lain terdapat<br />

dalam beberapa hal, yaitu: pertama, melihat<br />

tindakan kriminal secara komprehensif. Tidak saja<br />

mendefinisikan kejahatan sebagai pelanggaran<br />

hukum semata, namun juga memahami bahwa<br />

pelaku merugikan korban, masyarakat dan bahkan<br />

dirinya sendiri. Kedua, melibatkan banyak pihak<br />

dalam merespon kejahatan, tidak hanya sebatas<br />

urusan pemerintah dan pelaku kejahatan, namun<br />

juga korban dan masyarakat. Ketiga, mengukur<br />

kesuksesan dengan cara yang berbeda, tidak<br />

hanya dari seberapa besar hukuman dijatuhkan,<br />

namun juga mengukur seberapa kerugian dapat<br />

dipulihkan atau dicegah (Hidayat, 2005: 26).<br />

Keadilan restoratif lebih menekankan<br />

kepada keterlibatan langsung pihak-pihak dan<br />

menuntut usaha kerja sama dengan masyarakat<br />

serta pemerintah untuk menciptakan suatu<br />

lingkungan yang harmonis sehingga korban dan<br />

pelaku dapat merekonsiliasi konflik mereka dan<br />

menyelesaikan kerugian mereka dan dalam waktu<br />

yang bersamaan menimbulkan rasa aman dalam<br />

masyarakat (Mudzakkir, 2005: 26).<br />

Melalui pendekatan keadilan restoratif<br />

diharapkan pemulihan bagi korban dapat<br />

terealisasi, tujuan pemidanaan bagi pelaku akan<br />

berhasil dan ketertiban masyarakat pun dapat<br />

tercapai. Keadilan restoratif merupakan salah<br />

satu alternatif untuk mewujudkan keadilan<br />

sesuai dengan tujuan hukum. Keadilan yang<br />

akan diperoleh semua pihak, baik pelaku, korban<br />

maupun masyarakat (Yulia, 2009: 248).<br />

Beberapa teori tentang tujuan hukum:<br />

Pertama, Teori Etis: tujuan hukum adalah<br />

keadilan. Kedua, Teori Utilitas: tujuan hukum<br />

adalah kebahagiaan. Ketiga, Teori Campuran:<br />

tujuan hukum adalah ketertiban. Pendapat lain,<br />

misalnya Mochtar Kusumaatmadja: tujuan<br />

hukum adalah keadilan secara berbeda-beda (baik<br />

isi maupun ukurannya) menurut masyarakat pada<br />

zamannya. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono<br />

Soekanto: tujuan hukum adalah demi kedamaian<br />

hidup antar pribadi yang meliputi ketertiban<br />

ekstern antar pribadi dan ketenangan intern<br />

pribadi (Warassih, 2005: 24-25).<br />

Konsep kejahatan menurut konsep<br />

restorative justice diberi pengertian yang lebih<br />

nyata, bahwa kejahatan adalah konflik antar<br />

orang perseorangan. Kejahatan dipahami sebagai<br />

pelanggaran, pertama dan terutama melanggar<br />

hak perseorangan dan juga melanggar hak<br />

masyarakat (kepentingan publik), kepentingan<br />

negara, dan juga sesungguhnya secara tidak<br />

langsung melanggar kepentingan pelanggar itu<br />

sendiri (Mudzakkir, 2001: 210).<br />

Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Putusan Hakim (Rena Yulia) | 233<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 233 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:34 PM


Bila disimak karakteristik keadilan<br />

restoratif di atas dapat ditegaskan kembali<br />

bahwa pandangannya lebih dipengaruhi<br />

paham Abolisionis yang menganggap sistem<br />

peradilan pidana mengandung masalah atau<br />

cacat struktural sehingga secara realistis<br />

harus diubah dasar-dasar struktur dari sistem<br />

tersebut (Sholehuddin, 2004: 66).<br />

Oleh karena itu, dalam perkara pidana,<br />

keadilan restoratif akan lebih efektif sebagai alat<br />

untuk penyelesaian konflik. Dalam penegakan<br />

hukum pidana, keadilan itu harus diperoleh<br />

melalui tahapan sistem peradilan pidana<br />

sehingga itu tidak menutup kemungkinan untuk<br />

menerapkan keadilan restoratif dalam semua<br />

tahapan sistem peradilan pidana.<br />

Pelaku direstorasi melalui sistem peradilan<br />

pidana sehingga mendorong terjadinya perdamaian<br />

antara korban dan pelaku. Perdamaian itu<br />

dilakukan melalui mediasi, pertemuan, program<br />

perbaikan ekonomi dan pendidikan kejujuran<br />

(Braithwaite, 2002: 54).<br />

Dengan demikian, sistem peradilan<br />

pidana diharapkan dapat mewujudkan keinginan<br />

masyarakat untuk memperoleh keadilan. Akan<br />

tetapi pada kenyataannya banyak masyarakat<br />

yang kecewa dengan hasil bekerjanya sistem<br />

peradilan pidana. Hal itu berkaitan dengan<br />

terlalu bergantungnya sistem peradilan terhadap<br />

kekuasaan dan penguasa, sehingga seolaholah<br />

hukum hanya milik penguasa bukan milik<br />

masyarakat. Dengan kondisi demikian, semakin<br />

menjustifikasi kelemahan rakyat kecil di hadapan<br />

penguasa sehingga sistem peradilan pidana<br />

berpihak pada penguasa.<br />

C. de Rover mengatakan bahwa para<br />

penegak hukum tidak boleh hanya mengetahui<br />

kekuasaan dan kewenangan yang diberikan<br />

kepada mereka oleh hukum, tetapi mereka juga<br />

harus memahami potensi akibat berbahaya<br />

(akibat merusak) dari kekuasaan dan kewenangan<br />

tersebut (Susanto, 2002: 27). Para penegak<br />

hukum harus mengembangkan sikap dan perilaku<br />

personal pada tingkat yang akan memungkinkan<br />

mereka untuk melaksanakan tugas dengan cara<br />

yang benar. Para petugas penegak hukum tidak<br />

hanya harus memiliki karakteristik tersebut<br />

secara perorangan, tetapi juga mereka harus<br />

bekerja secara kolektif untuk memperkuat dan<br />

memelihara citra organisasi penegak hukum<br />

sehingga menanamkan kepercayaan dan<br />

keyakinan ke dalam masyarakat yang mereka<br />

layani dan lindungi (Susanto, 2002: 27).<br />

Keadilan restoratif adalah respon yang<br />

sistematis atas tindak penyimpangan yang<br />

ditekankan pada pemulihan atas kerugian yang<br />

dialami korban dan atau masyarakat sebagai akibat<br />

dari perbuatan kriminal. Keadilan restoratif lebih<br />

menekankan pada upaya pemulihan dan bukan<br />

untuk menghukum. Dalam pelaksanaannya,<br />

keadilan restoratif akan merespon tindak pidana<br />

dengan ciri-ciri sebagai berikut (Mansyur, 2010:<br />

121):<br />

a. Melakukan identifikasi dan mengambil<br />

langkah untuk memperbaiki kerugian yang<br />

diciptakan;<br />

b. Melibatkan seluruh pihak yang terkait<br />

(stake holder);<br />

c. Adanya upaya untuk melakukan<br />

transformasi hubungan yang ada selama<br />

ini antara masyarakat dengan pemerintah<br />

dalam merespon tindak pidana.<br />

Tujuan utama dari keadilan restoratif itu<br />

sendiri adalah pencapaian keadilan yang seadiladilnya<br />

terutama bagi semua pihak yang terlibat<br />

234 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 224 -240<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 234 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:34 PM


di dalamnya, dan tidak sekedar mengedepankan<br />

penghukuman. Keadilan yang saat ini dianut,<br />

yang oleh kaum abolisionis disebut keadilan<br />

retributif, sangat berbeda dengan keadilan<br />

restoratif. menurut keadilan restributif, kejahatan<br />

dirumuskan sebagai pelanggaran terhadap negara,<br />

sedangkan menurut keadilan restoratif kejahatan<br />

dirumuskan sebagai pelanggaran seseorang<br />

terhadap orang lain. Selain itu, keadilan retributif<br />

berpandangan bahwa pertanggungjawaban si<br />

pelaku tindak pidana dirumuskan dalam rangka<br />

pemidanaan, sedangkan keadilan restoratif<br />

berpandangan bahwa pertanggungjawaban si<br />

pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman<br />

terhadap perbuatan dan untuk membantu<br />

memutuskan mana yang paling baik. Dilihat<br />

dari sisi penerapannya, keadilan retributif lebih<br />

cenderung menerapkan penderitaan penjeraan<br />

dan pencegahan, sedangkan keadilan restoratif<br />

menerapkan restitusi sebagai sarana perbaikan<br />

para pihak, rekonsiliasi dan restorasi sebagai<br />

tujuan utama (Mansyur, 2010 : 124).<br />

Jika hal tersebut diterapkan dalam<br />

putusan hakim, maka hakim akan memberikan<br />

putusannya dengan mempertimbangkan halhal<br />

tersebut. Tidak hanya mengendepankan<br />

keadilan prosedural, melainkan efek dari putusan<br />

itu terhadap perbaikan diri terdakwa atau pun<br />

terhadap masyarakat.<br />

Pelaksanaan keadilan restoratif memiliki<br />

prinsip-prinsip dasar sebagai berikut (Mansyur,<br />

2010: 125):<br />

a. Keadilan yang dituntut adalah adanya upaya<br />

pemulihan bagi pihak yang dirugikan.<br />

b. Siapapun yang terlibat dan terkena<br />

dampak dari tindak pidana harus mendapat<br />

kesempatan untuk berpartisipasi penuh<br />

menindaklanjutinya.<br />

c. Pemerintah berperan dalam menciptakan<br />

ketertiban umum, sementara masyarakat<br />

membangun dan memelihara perdamaian.<br />

Mengacu pada prinsip-prinsip tersebut di<br />

atas, terdapat empat nilai utama, yaitu (Mansyur,<br />

2010: 125):<br />

a. Encounter (bertemu satu sama lain), yaitu<br />

menciptakan kesempatan kepada pihakpihak<br />

yang terlibat dan memliki niat dalam<br />

melakukan pertemuan untuk membahas<br />

masalah yang telah terjadi dan pasca<br />

kejadian.<br />

b. Amends (perbaikan), di mana sangat<br />

diperlukan pelaku mengambil langkah<br />

dalam memperbaiki kerugian yang terjadi<br />

akibat perbuatannya.<br />

c. Reintegration (bergabung kembali dalam<br />

masyarakat), yaitu mencari langkah<br />

pemulihan para pihak secara keseluruhan<br />

untuk memberikan kontribusi kepada<br />

masyarakat.<br />

d. Inclusion (terbuka), di mana memberikan<br />

kesempatan kepada semua pihak yang<br />

terkait untuk berpartisipasi dalam<br />

penanganannya.<br />

Proses keadilan restoratif dapat dilakukan<br />

dalam beberapa mekanisme tergantung situasi<br />

dan kondisi yang ada dan bahkan ada yang<br />

mengkombinasikan satu mekanisme dengan yang<br />

lain. Adapun beberapa mekanisme yang umum<br />

diterapkan dalam keadilan restoratif adalah<br />

sebagai berikut (Mansyur, 2010: 126):<br />

a. Victim offender mediation (mediasi antara<br />

korban dan pelaku);<br />

b. Conferencing (pertemuan atau diskusi);<br />

Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Putusan Hakim (Rena Yulia) | 235<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 235 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:34 PM


c. Circles (bernegosiasi);<br />

d. Victim assistance (pendampingan korban);<br />

f. Ex-offender assistance (pendampingan<br />

mantan pelaku);<br />

g. Restitution (ganti rugi);<br />

h. Community service (layanan masyarakat).<br />

Menurut Adrianus Meliala, model hukuman<br />

restoratif diperkenalkan karena sistem peradilan<br />

pidana dan pemidanaan yang sekarang berlaku<br />

menimbulkan masalah. Dalam sistem kepenjaraan<br />

sekaang tujuan pemberian hukuman adalah<br />

penjeraan, pembalasan dendam, dan pemberian<br />

derita sebagai konsekuensi perbuatannya.<br />

Indikator penghukuman diukur dari sejauh<br />

mana narapidana (napi) tunduk pada peraturan<br />

penjara. Jadi, pendekatannya lebih ke keamanan<br />

(security approach). Selain pemenjaraan yang<br />

membawa akibat bagi keluarga napi, sistem<br />

yang berlaku sekarang dinilai tidak melegakan<br />

atau menyembuhkan korban. Apalagi, proses<br />

hukumnya memakan waktu lama. Sebaliknya,<br />

pada model keadilan restoratif yang ditekankan<br />

adalah resolusi konflik. Pemidanaan restoratif<br />

melibatkan korban, keluarga dan pihak-pihak lain<br />

dalam menyelesaikan masalah. Di samping itu,<br />

menjadikan pelaku tindak pidana bertanggung<br />

jawab untuk memperbaiki kerugian yang<br />

ditimbulkan perbuatannya (Mansyur, 2010: 126).<br />

Konsep keadilan restoratif yang didasarkan<br />

pada tujuan hukum sebagai upaya menyelesaikan<br />

konflik dan mendamaikan antara pelaku dan<br />

korban kejahatan. Pidana penjara bukanlah satusatunya<br />

pidana yang dapat diberikan pada pelaku,<br />

melainkan pemulihan kerugian, penderitaan<br />

yang dialami korban lah yang utama. Kewajiban<br />

merestorasi kejahatan dalam bentuk restitusi dan<br />

kompensasi serta rekonsiliasi dan penyatuan<br />

sosial merupakan bentuk pidana dalam konsep<br />

keadilan restoratif (Yulia, 2010: 167).<br />

Prinsip-prinsip keadilan restoratif<br />

sebagaimana telah dijelaskan di atas, tentu dapat<br />

diterapkan oleh hakim dalam menjatuhkan<br />

putusan. Terutama dalam kasus yang dianggap<br />

ringan ataupun kerugiannya dapat dipulihkan<br />

secara segera tanpa harus melibatkan pihak lain.<br />

Dalam Putusan MA No. 653K/Pid/2011<br />

hakim mempertimbangkan sedikitnya 3 hal<br />

dalam menjatuhkan amarnya. Pertama, alasan<br />

Jaksa untuk mengajukan kasasi. Jaksa dianggap<br />

dapat membuktikan bahwa putusan bebas yang<br />

dijatuhkan Pengadilan Negeri Tangerang adalah<br />

bukan bebas murni sehingga dapat diajukan<br />

kasasi. Pengajuan kasasi tersebut sudah sesuai<br />

dengan cara dan tenggat waktu sesuai dengan<br />

perundang-undangan yang berlaku.<br />

Menurut pertimbangan Mahkamah<br />

Agung, jaksa penuntut umum dalam kasasinya<br />

dapat membuktikan bahwa putusan bebas yang<br />

dijatuhkan pengadilan negeri adalah bebas tidak<br />

murni, sehingga masih bisa diajukan upaya<br />

hukum kasasi.<br />

Dalam Putusan Pengadilan Negeri Tangerang<br />

amar putusannya menyatakan bahwa terdakwa<br />

bebas dari segala dakwaan. Hal ini lah yang dijadikan<br />

alasan bahwa terdakwa diputus bebas tidak murni<br />

secara sempit. Alasan lain adalah penafsiran pasalpasal<br />

yang terkait dengan pasal pembuktian (harus<br />

ada saksi ketika terdakwa mengambil barang) dan<br />

unsur mengambil barang milik orang lain tidak<br />

terbukti secara melawan hukum. Alasan pengajuan<br />

kasasi adalah kesalahan hakim dalam menafsirkan<br />

pasal-pasal tersebut di atas. Sehingga Mahkamah<br />

Agung berpendapat bahwa permohonan kasasi<br />

236 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 224 -240<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 236 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:34 PM


jaksa penuntut umum harus dikabulkan.<br />

Alasan pengajuan kasasi dengan<br />

menyatakan bahwa putusan kasus terdakwa R<br />

adalah putusan bebas tidak murni merupakan<br />

alasan dapat diterimanya kasasi. Akan tetapi<br />

dalam menjatuhkan putusan Mahkamah Agung<br />

tidak serta merta harus juga mengabulkan<br />

permohonan kasasinya. Ada hal-hal yang harus<br />

masuk dalam pertimbangan juga.<br />

Kedua, alasan pertimbangan hakim<br />

terhadap unsur “mengambil barang” sesuai<br />

dengan Pasal 362 KUHP. Dalam putusan<br />

pengadilan negeri unsur mengambil barang tidak<br />

terbukti karena tidak ada saksi yang melihat pada<br />

saat pengambilan barang tersebut. Barang yang<br />

ada di tempat terdakwa tidak semuanya diambil<br />

tanpa izin melainkan ada beberapa barang yang<br />

diberikan oleh korban. Tidak ada saksi yang<br />

melihat pada saat mengambil barang sehingga<br />

perbuatan melawan hukum tidak terbukti.<br />

Ketiga, adanya kesalahan penafsiran dari<br />

hakim. Kesalahan dalam melakukan penafsiran<br />

tentang pasal pembuktian dan pencurian menurut<br />

jaksa penuntut umum harus ditinjau kembali oleh<br />

Mahkamah Agung. Untuk menemukan kebenaran<br />

materiil yang memberikan keadilan bagi semua<br />

pihak tentu selain melakukan penafsiran secara<br />

tekstual bunyi undang-undang, juga harus<br />

melakukan penafsiran kontekstual pada saat<br />

itu dilakukan dan pada saat sekarang terjadi<br />

perbuatannya.<br />

Dalam menjatuhkan putusan tidak hanya<br />

unsur yuridis yang dipertimbangkan tetapi unsur<br />

sosiologis juga menjadi bagian penting dalam<br />

sebuah putusan. Mengingat hakim wajib menggali<br />

nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.<br />

Keadilan restoratif menawarkan sebuah<br />

mekanisme kerja yang diharapkan dapat<br />

memberikan keadilan bagi semua pihak yang<br />

berkonflik. Dengan menggunakan prinsipprinsip<br />

dalam restorative justice, hakim dalam<br />

putusannya dapat mengedepankan kepentingan<br />

para pihak. Hakim memberikan sebuah solusi<br />

yang semua pihak bisa menerima. Dalam kasus R<br />

misalnya, korban sudah dipulihkan kerugiannya<br />

dengan dikembalikannya barang-barang yang<br />

dianggap dicuri (dalam putusan pengadilan negeri<br />

tidak terbukti unsur mengambil barang).<br />

Melihat jumlah kerugian yang diderita dan<br />

kerugian sudah dipulihkan, maka pembalasan<br />

bagi pelaku juga sudah tidak diperlukan lagi.<br />

Apalagi pembalasan dengan berupa hukuman ini<br />

akan mengakibatkan terganggunya rasa keadilan<br />

masyarakat.<br />

Dalam proses mengadili terdakwa, tentu<br />

hakim dapat mempertimbangkan segala aspek dan<br />

setiap hal yang berkaitan dengan terdakwa. Baik<br />

itu yang meringankan maupun yang memberatkan<br />

terdakwa. Selain itu hakim juga harus<br />

memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan<br />

dan secara sosilogis harus melihat rasa keadilan<br />

yang dicari oleh masyarakat. Walaupun ini tidak<br />

berarti hakim harus terpengaruh oleh opini<br />

publik yang sudah terbangun dalam suatu kasus<br />

tertentu.<br />

Ketika menjatuhkan putusan, tidak sematamata<br />

keadilan prosedural yang sudah terpenuhi.<br />

Tidak hanya melulu mengedepankan formalitas<br />

hukum atau pun kepastian hukum berdasarkan<br />

teks undang-undang, tetapi juga harus<br />

memaknakan keadilan bagi seluruh masyarakat.<br />

Keadilan restoratif lebih mengusung keadilan<br />

substansial yang harus diperoleh semua pihak,<br />

baik itu korban, pelaku atau pun masyarakat. Jika<br />

hakim menggunakan keadilan restoratif dalam<br />

Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Putusan Hakim (Rena Yulia) | 237<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 237 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:34 PM


memutuskan suatu perkara pidana, maka rasa<br />

ketidakpuasan terhadap putusan yang dijatuhkan<br />

akan dapat diminimalisasi. Hal itu terkait dengan<br />

cara bekerjanya keadilan restoratif dalam<br />

menyelesaikan konflik pidana. Sebagaimana<br />

yang telah dijelaskan di atas, bahwa konsep<br />

keadilan restoratif ini menghadirkan semua pihak<br />

dalam mencari solusi terbaik dengan difasilitasi<br />

oleh masyarakat (dalam konteks ini hakim dapat<br />

berfungsi sebagai mediator).<br />

Berbagai hal yang terkait dengan tujuan<br />

pemidanaan, kepentingan pelaku kejahatan,<br />

kepentingan korban dan kepentingan masyarakat<br />

harus menjadi bagian yang tak terpisahkan dari<br />

pertimbangan putusan hakim. Hakim harus<br />

mampu mencerna dampak yang ditimbulkan<br />

kepada pelaku kejahatan atas pidana yang<br />

dijatuhkan. Melalui putusannya itu pula hakim<br />

harus dapat memulihkan kerugian ataupun<br />

penderitaan korban, dan tidak kalah penting<br />

adalah, rasa keadilan masyarakat harus juga<br />

terakomodasi karena itu merupakan kontrol sosial<br />

dari penegakan hukum.<br />

Keadilan restoratif diharapkan dapat<br />

memberikan rasa tanggung jawab sosial pada<br />

pelaku dan mencegah stigmatisasi pelaku di<br />

masa yang akan datang. Dengan demikian<br />

konsep keadilan restoratif ini diharapkan paling<br />

tidak, bisa membatasi perkara yang menumpuk<br />

di pengadilan (walaupun belum bisa diselesaikan<br />

melalui out of court settlement) dan bisa dijadikan<br />

solusi dalam pencegahan kejahatan (Yulia, 2010:<br />

167).<br />

Terkait dengan Putusan Mahkamah<br />

Agung Nomor 653K/Pid/2011, seyogianya spirit<br />

keadilan restoratif dapat dijadikan pertimbangan<br />

hakim untuk memutus terdakwa sesuai dengan<br />

rasa keadilan masyarakat.<br />

Seperti dapat dilihat dalam pertimbangan<br />

putusan hakim Pengadilan Negeri Tangerang<br />

yang memutus R tidak bersalah tetapi harus<br />

mengembalikan semua barang bukti kepada<br />

saksi pelapor. Mengingat situasi dan kondisi<br />

yang menyertai perbuatan itu sehingga dengan<br />

pengembalian sejumlah barang yang dilaporkan<br />

dicuri dianggap dapat memulihkan kerugian yang<br />

diderita oleh korban.<br />

Dalam hal ini, majelis hakim telah<br />

menerapkan keadilan restoratif. Konflik pidana<br />

yang terjadi diselesaikan dengan cara pemulihan<br />

kerugian yang diderita oleh korban. Yaitu<br />

pengembalian sejumlah barang yang dianggap<br />

telah dicuri oleh pelanggar dan pelanggar tidak<br />

dihukum pidana dengan berbagai pertimbangan.<br />

Berbeda jika melihat Putusan Mahkamah<br />

Agung Nomor 653K/Pid/2011. Dalam Amar<br />

putusan tersebut menyatakan terdakwa R telah<br />

terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah<br />

melakukan tindak pidana pencurian dan<br />

dijatuhkan vonis empat bulan sepuluh hari. Tentu<br />

saja putusan tersebut menimbulkan kegelisahan<br />

di mata hukum dan masyarakat.<br />

Secara yuridis formal, R sudah diputus<br />

tidak bersalah oleh Pengadilan Negeri Tangerang.<br />

Dia bebas dari segala tuduhan jaksa. Kasus<br />

yang diduga dilakukan olehnya juga merupakan<br />

kasus yang nilai kerugiannya kecil dan sifat<br />

perbuatannya masih bisa diperbaiki. Jika<br />

melihat dari tujuan pemidanaan itu sendiri maka<br />

yang harus dilakukan adalah perbaikan bukan<br />

penghukuman.<br />

Pada sisi yang berbeda, pihak banyak<br />

perkara-perkara yang dianggap besar misalnya<br />

korupsi malahan penegakannnya lamban dan<br />

putusannya tidak memuaskan masyarakat.<br />

238 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 224 -240<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 238 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:34 PM


Beberapa terdakwa kasus korupsi bisa melenggang<br />

kangkung begitu saja selepas divonis bebas oleh<br />

hakim.<br />

Perkara yang terjadi pada kasus R ini,<br />

mungkin proses penyelesaiannya menghabiskan<br />

berkali-kali lipat biaya daripada kerugian saksi.<br />

Terlebih, putusan Pengadilan Negeri Tangerang<br />

yang memvonis tidak bersalah dan terdakwa<br />

diharuskan mengembalikan sejumlah barang yang<br />

telah diambil, kerugian korban sudah dipulihkan.<br />

Dalam hal itu sudah memberikan rasa keadilan<br />

bagi korban, pelaku dan juga masyarakat. Sekali<br />

lagi, dengan kata lain, perbaikan atas kerusakan<br />

yang diakibatkan oleh kejahatan yang terjadi<br />

sudah dilakukan.<br />

IV.<br />

SIMPULAN<br />

Penerapan keadilan restoratif oleh<br />

hakim dalam menjatuhkan putusan dapat<br />

mulai dilaksanakan pada perkara-perkara yang<br />

dianggap dengan sifat kerugian kecil. Seperti<br />

kasus-kasus yang dicontohkan dalam tulisan ini<br />

oleh Pengadilan Negeri Tangerang. Sebaliknya,<br />

Mahkamah Agung justru menggunakan prinsip<br />

hukum pemidanaan sehingga dua putusan itu<br />

berbeda.<br />

Hal ini merupakan terobosan hukum yang<br />

dianggap dapat lebih memberikan keadilan bagi<br />

para pihak, baik itu pelanggar, korban, maupun<br />

masyarakat. Hakim sebagai pemutus akhir suatu<br />

perkara, tentu dapat menggunakan konsep-konsep<br />

keadilan restoratif dalam mempertimbangkan<br />

berbagai hal di balik vonis yang dijatuhkan. Hal itu<br />

semata-mata untuk mewujudkan tujuan hukum,<br />

yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.<br />

Buku-buku:<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Barton, Charles K..B. 2003. Restorative Justice<br />

(The Empowerment Model). Australia:<br />

Hawkins Press.<br />

Mansyur, Ridwan. 2010. Mediasi Penal Terhadap<br />

perkara KDRT (Kekerasan Dalam Rumah<br />

Tangga). Jakarta: Yayasan Gema Yustisia<br />

Indonesia.<br />

Nawawi Arief, Barda. 2008. Mediasi Penal<br />

Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan.<br />

Semarang: Pustaka Magister.<br />

Poernomo, Bambang. 1994. Asas-asas Hukum<br />

Pidana. Yogyakarta: Ghalia Indonesia.<br />

Sastrawidjaja, Sofjan. 1995. Hukum Pidana (Asas<br />

Hukum Pidana sampai dengan Alasan<br />

Peniadaan Pidana). Bandung: Armico.<br />

Sianturi, S.R. 1996. Asas-asas Hukum Pidana<br />

di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta:<br />

Alumni Ahaem.<br />

Sholehuddin, M. 2004. Sistem Sanksi dalam<br />

Hukum Pidana (Ide Double Track System<br />

dan Implementasinya). Jakarta: Rajawali<br />

Pers.<br />

Yulia, Rena. 2010. Viktimologi (Perlindungan<br />

Hukum Terhadap Korban Kejahatan).<br />

Yogyakarta: Graha Ilmu.<br />

Wahid, Abdul dan Irfan, Muhammad. 2001.<br />

Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan<br />

Seksual (Advokasi atas Hak Asasi<br />

Perempuan). Bandung: Refika Aditama.<br />

Waluyo, Bambang. 2004. Pidana dan<br />

Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika.<br />

Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Putusan Hakim (Rena Yulia) | 239<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 239 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:34 PM


Warassih, Esmi. 2005. Pranata Hukum<br />

Sebuah Telaah Sosiologis. Semarang: PT<br />

Suryandaru Utama.<br />

Makalah/jurnal:<br />

Buletin <strong>Komisi</strong> <strong>Yudisial</strong>, Hakim dan Penerapan<br />

Keadilan Restoratif, Vol. VI No 4, Januari-<br />

Pebruari <strong>2012</strong>.<br />

Susanto, Anthon F. Membangun Sistem Peradilan<br />

Pidana Indonesia, <strong>Jurnal</strong> Ilmu Hukum<br />

Litigasi, Volume 3 Nomor 1 Januari-Juni<br />

2002.<br />

Melani, “Membangun Sistem Hukum Pidana dari<br />

Retributif ke Restoratif”, Litigasi, Volume<br />

6 Nomor 3 Oktober 2005.<br />

Mudzakir, Viktimologi Studi Kasus Di Indonesia,<br />

Penataran Nasional Hukum Pidana Dan<br />

Kriminologi XI, Surabaya 14-16 Maret<br />

2005.<br />

Taufik Hidayat, “Restoratif Justice Sebuah<br />

Alternatif”, Restorasi, Edisi IV/Vol 1<br />

2005.<br />

Ravena, Dey, Implementasi Kebijakan<br />

Berwawasan Restorative Justice Pembinaan<br />

Narapidana dalam Sistem Peradilan Pidana<br />

di Indonesia, <strong>Jurnal</strong> Ilmu Hukum Litigasi,<br />

Volume 10 Nomor 1 Februari 2009.<br />

240 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 224 -240<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 240 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:34 PM


BIODATA PENULIS<br />

Anthon F. Susanto, lahir di Bandung pada 17 Mei 1969. Sarjana Hukum dari Universitas<br />

Pasundan (1994), S2 Program Pascasarjana Ilmu Hukum UNDIP Semarang (2001), S3 Program<br />

Doktor Ilmu Hukum UNDIP. Beliau adalah dosen Program S1 dan Program Pascasarjana FH<br />

UNPAS Bandung. Aktif sebagai peneliti dan penulis, baik artikel untuk jurnal maupun buku, di<br />

antaranya Wajah Hukum di Era Reformasi dalam rangka menyambut 70 tahun Prof. Dr. Satjipto<br />

Rahardjo, dan Menyikapi dan Memaknai Syari’at Islam Secara Global dan Nasional (Refika<br />

Aditama, 2004).<br />

Laoura Hardjaloka, lahir di Jakarta, 21 Februari 1992, tercatat sebagai mahasiswa tingkat akhir<br />

Fakultas Hukum Universitas Indonesia jurusan Hukum Perdata khususnya Hukum Ekonomi dan<br />

Perburuhan. Pernah menjadi staf peneliti Kajian Keilmuan Fakultas Hukum Universitas Indonesia<br />

dan melakukan penelitian tentang Hambatan dan Kelemahan Sistem Peradilan Tata Usaha Negara<br />

di Indonesia, dan menulis di E-Voting: Kebutuhan Vs. Kesiapan (Menyongsong) E-Demokrasi<br />

yang diterbitkan di <strong>Jurnal</strong> Konstitusi Volume 8, No. 3 Tahun 2011. HP: 021 90325013.<br />

]Yeni widowati, lahir di Gunung Kidul, 17 Juni 1961. Menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas<br />

Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta, S2 di Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang,<br />

dan memperoleh gelar doktor di Universitas Diponegoro pada tahun 2011. Tercatat sebagai dosen<br />

di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dengan pangkat Pembina/IVa sejak<br />

1 April 2006. HP: 081328119161.<br />

widiada Gunakaya, lahir di Singaraja, Bali 30 <strong>Agustus</strong> 1958. Dosen Sekolah Tinggi Hukum<br />

Bandung (STHB) dengan Jabatan Akademik Lektor Kepala. Sarjana Hukum (S1) STHB (1977)<br />

lulus 1982, Magister Ilmu Hukum (S2) KPK UI-UNDIP (1991) lulus 1993, Doktor Ilmu Hukum<br />

Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) 2005 lulus tahun 2008.<br />

Andi Nuzul, lahir di Panyula, Kabupaten Bone Tahun 1963. Menyelesaikan pendidikan tingkat<br />

Sekolah Dasar pada Madrasah Ibtidaiyah (MI) di Panyula (1975), Pendidikan Guru Agama Negeri<br />

4 tahun (PGAN 4 Th) tahun 1979, serta PGAN Watampone (1981). Pada jenjang pendidikan tinggi,<br />

menyelesaikan Sarjana Muda (BA) tahun 1985 di IAIN (Fak. Syariah) Alauddin di Watampone;<br />

Sarjana lengkap (S1) (1987) di perguruan tinggi yang sama Jurusan Pidana dan Perdata Islam, serta<br />

memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) pada FH. Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar<br />

pada program studi keperdataan (1995). Kemudian pada tahun 1999 melanjutkan pendidikan di<br />

pascasarjana (S2) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan selesai tahun 2002 dalam bidang<br />

hukum keperdataan. September tahun 2006, kembali melanjutkan pendidikan doktornya (S3) di<br />

almamaternya (FH UGM) dalam program studi yang sama, dan selesai pada Desember tahun<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 241 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:35 PM


2009. Sejak tahun 1991 sampai tahun 1997, menjadi dosen tetap dalam bidang Ilmu Hukum di<br />

Fakultas Syariah IAIN Walauddin Watampone yang kini beralih status menjadi Sekolah Tinggi<br />

Agama Islam Negeri (STAIN) Watampone. Pada tahun 1997 sampai sekarang menjadi dosen tetap<br />

dalam mata kuliah yang sama pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Watampone.<br />

Saat ini penulis pada jabatan Lektor Kepala (IV/b) dalam Mata Kuliah Pengantar Ilmu Hukum<br />

di STAIN Watampone. Pernah menjadi Ketua Prodi Muamalah pada Jurusan Syariah STAIN<br />

Watampone (1997-1999), serta Pembantu Ketua III Bidang Kemahasiswaan STAIN Watampone<br />

periode tahun 2002-2006.<br />

Selain sebagai dosen tetap dalam mata kuliah Ilmu Hukum di STAIN Watampone, juga memberi<br />

kuliah dalam bidang hukum, kewarganegaraan, dan Pancasila pada beberapa perguruan tinggi<br />

swasta yang ada di Kabupaten Bone, antara lain Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Pengayoman<br />

Watampone, Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Puangrimaggalatung (STIA PRIMA) Bone, serta<br />

Sekolah Tinggi Agama Islam al-Gazali (STIA al-Gazali) Bone.<br />

Rena Yulia, adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Menyelesaikan<br />

S1 Ilmu Hukum di Universitas Islam Bandung dan Magister Ilmu Hukum di almamater yang<br />

sama. Saat ini sedang menempuh Program S3 Ilmu Hukum di Universitas Padjadjaran Bandung.<br />

Penulis buku Viktimologi dan Hukum Pidana Ekonomi. Aktif menulis di jurnal ilmiah dan<br />

beberapa artikel hukumnya dimuat di surat kabar di Jawa Barat. HP: 0817226339.<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 242 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:35 PM


PEDOMAN PENULISAN<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> menerima naskah hasil penelitian atas putusan pengadilan (court decision) suatu<br />

kasus konkret yang memiliki kompleksitas permasalahan hukum, baik dari pengadilan di Indonesia<br />

maupun luar negeri.<br />

FORMAT NASKAH<br />

Naskah dituangkan dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris baku. Apabila ada kutipan<br />

langsung yang dipandang perlu untuk tetap ditulis dalam bahasa lain di luar bahasa Indonesia atau<br />

Inggris, maka kutipan tersebut dapat tetap dipertahankan dalam bahasa aslinya dengan dilengkapi<br />

terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.<br />

Naskah diketik di atas kertas ukuran kwarto (A-4) sepanjang 20 s.d. 25 halaman (sekitar 6.000<br />

kata), dengan jarak antar-spasi 1,5. Ketikan menggunakan huruf (font) Times New Roman berukuran<br />

12 poin.<br />

Semua halaman naskah diberi nomor urut pada margin kanan bawah.<br />

SISTEMATIKA NASKAH<br />

I. JUDUL NASKAH<br />

Judul utama ditulis di awal naskah dengan menggunakan huruf Times New Roman 14 poin,<br />

diketik dengan huruf kapital seluruhnya, ditebalkan (bold), dan diletakkan di tengah margin (center<br />

text). Tiap huruf awal anak judul ditulis dengan huruf kapital, ditebalkan, dengan menggunakan<br />

huruf Times New Roman 12 poin. Contoh:<br />

PERSELISIHAN HUKUM MODERN DAN HUKUM ADAT<br />

DALAM KASUS PENCURIAN SISA PANEN RANDU<br />

Kajian Putusan Nomor 247/Pid.B/2009/PN.BTG<br />

A. Nama dan identitas penulis<br />

Nama penulis ditulis tanpa gelar akademik. Jumlah penulis dibolehkan maksimal dua orang.<br />

Setelah nama penulis, lengkapi dengan keterangan identitas penulis, yakni nama dan alamat lembaga<br />

tempat penulis bekerja, serta akun email yang bisa dihubungi! Nama penulis dicetak tebal (bold),<br />

tetapi identitas tidak perlu dicetak tebal. Semua keterangan ini diketik dengan huruf Times New<br />

Roman 12 poin, diletakkan di tengah margin. Contoh:<br />

Mohammad Tarigan<br />

Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Jalan S. Parman No. 1 Jakarta 11440,<br />

email mohtarigan@yahoo.co.id.<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 243 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:35 PM


B. Abstrak<br />

Abstrak ditulis dalam dua bahasa sekaligus, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Panjang<br />

abstrak dari masing-masing bahasa sekitar 200 kata, disertai dengan kata kunci (keywords) sebanyak<br />

3 s.d. 5 terma (legal terms). Jarak antar-spasi 1,0 dan dituangkan dalam satu paragraf.<br />

II. PENDAHULUAN<br />

Subbab ini berisi latar belakang dari rumusan masalah dan ringkasan jalannya peristiwa hukum<br />

(posisi kasus) yang menjadi inti permasalahan dalam putusan tersebut.<br />

III. RUMUSAN MASALAH<br />

Subbab ini memuat formulasi permasalahan yang menjadi fokus utama yang akan dijawab<br />

nanti melalui studi pustaka dan analisis. Rumusan masalah sebaiknya diformulasikan dalam bentuk<br />

pertanyaan. Setiap rumusan masalah harus diberi latar belakang yang memadai dalam subbab<br />

sebelumnya.<br />

IV. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS<br />

Subbab ini diawali dengan studi pustaka, yakni tinjauan data/informasi yang diperoleh melalui<br />

bahan-bahan hukum seperti perundang-undangan dan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, juga<br />

hasil-hasil penelitian, buku, dan artikel yang relevan dan mutakhir. Paparan dalam studi pustaka<br />

tersebut harus menjadi kerangka analisis terhadap rumusan masalah yang ingin dijawab. Bagian<br />

berikutnya adalah analisis permasalahan. Analisis harus dikemas secara runtut, logis, dan terfokus,<br />

yang di dalamnya terkandung pandangan orisinal dari penulisnya. Bagian analisis ini harus menyita<br />

porsi terbesar dari keseluruhan substansi naskah.<br />

V. SIMPULAN<br />

Subbab terakhir ini memuat jawaban secara lengkap dan singkat atas semua rumusan masalah.<br />

PENGUTIPAN DAN DAFTAR PUSTAKA<br />

Sumber kutipan ditulis dengan menggunakan sistem catatan perut (body note atau side note)<br />

dengan urutan nama penulis/lembaga, tahun terbit, dan halaman yang dikutip. Tata cara pengutipannya<br />

adalah sebagai berikut:<br />

Satu penulis: (Grassian, 2009: 45); Menurut Grassian (2009: 45), ...<br />

Dua penulis: (Abelson dan Friquegnon, 2010: 50-52);<br />

Lebih dari dua penulis: (Hotstede. Et.al., 1990: 23);<br />

Terbitan lembaga tertentu: (Cornell University Library, 2009: 10).<br />

Kutipan tersebut harus ditunjukkan dalam daftar pustaka (bibliografi) pada akhir naskah. Tata<br />

cara penulisan daftar pustaka dilakukan secara alfabetis, dengan contoh sebagai berikut:<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 244 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:35 PM


Abelson, Raziel & Marie-Louise Friquegnon. Eds. 2010. Ethics for Modern Life. New York:<br />

St. Martin’s Press.<br />

Grassian, Victor. 2009. Moral Reasoning: Ethical Theory and Some Contemporary Moral<br />

Problems. New Jersey: Prentice-Hall.<br />

Cornell University Library. 2009. “Introduction to Research.” Akses 20 Januari 2010. .<br />

PENILAIAN<br />

Semua naskah yang masuk akan dinilai dari segi format penulisannya oleh tim penyunting.<br />

Naskah yang memenuhi format selanjutnya diserahkan kepada mitra bestari untuk diberikan catatan<br />

terkait kualitas substansinya. Setiap penulis yang naskahnya diterbitkan dalam <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> berhak<br />

mendapat honorarium dan beberapa eksemplar bukti cetak edisi jurnal tersebut.<br />

CARA PENGIRIMAN NASKAH<br />

Naskah dikirim dalam bentuk digital (softcopy) ke alamat e-mail:<br />

jurnal@komisiyudisial.go.id<br />

dengan tembusan ke:<br />

a_nicedp@yahoo.com dan nuraguss@yahoo.com.<br />

Personalia yang dapat dihubungi (contact persons):<br />

Nur Agus Susanto (085286793322);<br />

Dinal Fedrian (085220562292); atau<br />

Arnis (08121368480).<br />

Alamat redaksi:<br />

Pusat Data dan Layanan Informasi, Gd. <strong>Komisi</strong> <strong>Yudisial</strong> Lt. 3, Jl. Kramat Raya No. 57 Jakarta<br />

Pusat 10450, Fax. (021) 3906215.<br />

jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 245 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:35 PM


jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 246 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:35 PM

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!