Jurnal Agustus 2012 - Komisi Yudisial
Jurnal Agustus 2012 - Komisi Yudisial
Jurnal Agustus 2012 - Komisi Yudisial
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Jl. Kramat Raya 57 Jakarta Pusat<br />
Telp. 021 390 5876, Fax. 021 390 6215 PO BOX 2685<br />
email : jurnal@komisiyudisial.go.id<br />
J U R N A L Y U D I S I A L<br />
Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong> Hal. 117-240<br />
KUASA PARA PENGUASA<br />
PROBLEMATIKA NALAR DAN KEKUASAAN<br />
Kajian Putusan MA Nomor 36P/Hum/2011<br />
Anthon F. Susanto, Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung<br />
KETEPATAN HAKIM DALAM PENERAPAN PRECAUTIONARY PRINCIPLE<br />
SEBAGAI "IUS COGEN" DALAM KASUS GUNUNG MANDALAWANGI<br />
Kajian Putusan Nomor 1794K/Pdt/2004<br />
Loura Hardjaloka, Fakultas Hukum Universitas Indonesia<br />
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI TERHADAP KORBAN<br />
DALAM KASUS TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP<br />
Kajian Putusan MA Nomor. 862 K/Pid.Sus/2010<br />
Yeni Widowaty, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta<br />
PENYELESAIAN SENGKETA TANAH PERSAWAHAN DALAM<br />
KASUS GADAI YANG TERINDIKASI "SANRA PUTTA"<br />
Kajian Putusan Nomor 34/Pdt.G/2007/PN. WTP<br />
A. Nuzul, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Watampone<br />
WANPRESTASI SEBAGAI KUALIFIKASI TIDAK DIPENUHINYA KEWAJIBAN<br />
HUKUM YANG MENIMBULKAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA<br />
Kajian Putusan No. 1247/Pid/B/2009/PN. Bdg<br />
Widiada Gunakaya, Sekolah Tinggi Hukum Bandung<br />
PENERAPAN KEADILAN RESTORATIF DALAM PUTUSAN HAKIM:<br />
UPAYA PENYELESAIAN KONFLIK MELALUI SISTEM PERADILAN PIDANA<br />
Kajian Putusan MA Nomor. 653/K/Pid/2011<br />
Rena Yulia, Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten<br />
<strong>Jurnal</strong><br />
<strong>Yudisial</strong><br />
Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong><br />
Vol. 5 No. 2 Hal.<br />
117-240<br />
Jakarta<br />
<strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong><br />
ISSN 1978-6506<br />
ISSN<br />
1978-6506
<strong>Jurnal</strong><br />
<strong>Yudisial</strong><br />
Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong><br />
KUASA PARA<br />
PENGUASA<br />
Vol. 5 No. 2 Hal.<br />
117-240<br />
I<br />
Jakarta<br />
<strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong><br />
ISSN<br />
1978-6506<br />
ISSN 1978-6506<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 1 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:20 PM
DISCLAIMER<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan<br />
oleh <strong>Komisi</strong> <strong>Yudisial</strong> Republik Indonesia. <strong>Jurnal</strong> ini beredar pada setiap<br />
awal April, <strong>Agustus</strong>, dan Desember, memuat hasil kajian/riset atas putusanputusan<br />
pengadilan oleh jejaring peneliti dan pihak-pihak lain yang berkompeten.<br />
Penerbitan jurnal ini bertujuan untuk memberi ruang kontribusi bagi komunitas<br />
hukum Indonesia dalam mendukung eksistensi peradilan yang akuntabel, jujur,<br />
dan adil, yang pada gilirannya ikut membantu tugas dan wewenang <strong>Komisi</strong><br />
<strong>Yudisial</strong> Republik Indonesia dalam menjaga dan menegakkan kode etik dan<br />
pedoman perilaku hakim.<br />
Isi tulisan dalam jurnal sepenuhnya merupakan pandangan independen masingmasing<br />
penulis dan tidak merepresentasikan pendapat <strong>Komisi</strong> <strong>Yudisial</strong> Republik<br />
Indonesia. Sebagai ajang diskursus ilmiah, setiap hasil kajian/riset putusan yang<br />
dipublikasikan dalam jurnal ini tidak pula dimaksudkan sebagai intervensi atas<br />
kemandirian lembaga peradilan, sebagaimana telah dijamin oleh konstitusi dan<br />
peraturan perundang-undangan lainnya.<br />
Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan<br />
Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat pada halaman akhir jurnal.<br />
Alamat Redaksi:<br />
Gedung <strong>Komisi</strong> <strong>Yudisial</strong> Lantai 3<br />
Jalan Kramat Raya Nomor 57 Jakarta Pusat<br />
Telp. 021-3905876, Fax. 021-3906215<br />
Email: jurnal@komisiyudisial.go.id<br />
II<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 2 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:20 PM
MITRA BESTARI<br />
Segenap pengelola <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya atas<br />
sumbangsih Mitra Bestari yang telah melakukan review terhadap naskah <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong><br />
Edisi April <strong>2012</strong>. Semoga bantuan mereka mendapatkan balasan dari Allah SWT.<br />
1. Dr. Shidarta, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum Filsafat dan Pidana)<br />
2. Dr. Anton F. Susanto,S.H., M.Hum. (Pakar Metodologi Hukum dan Etika)<br />
3. Dr. Yeni Widowati, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum Hukum Pidana)<br />
4. Prof. Dr. Marwan Mas, S.H., M.H. (Pakar Hukum Pidana)<br />
III<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 3 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:20 PM
TIM PENYUSUN<br />
Penanggung Jawab : Drs. Muzayyin Mahbub, M.Si.<br />
Pemimpin Redaksi : Drs. Patmoko (Bidang Studi Ekonomi dan Pembangunan)<br />
Penyunting : 1. Hermansyah, S.H., M.Hum. (Bidang Hukum Ekonomi/Bisnis)<br />
2. Onni Rosleini, S.H., M.Hum., M.Si. (Bidang Hukum Pidana)<br />
3. Heru Purnomo, S.H. (Bidang Ilmu Hukum)<br />
4. Imran, S.H., M.H. (Bidang Ilmu Hukum Pidana)<br />
5. Asep Rahmat Fajar, S.H., M.A. (Bidang Sosiologi Hukum)<br />
6. Suwantoro, S.E., M.M. (Bidang Ekonomi dan Komputer)<br />
7. Duke Arie W, S.H., M.H. (Bidang Hukum Tata Negara)<br />
Redaktur Pelaksana : Dinal Fedrian, S.IP.<br />
Arnis Duwita Purnama, S.Kom.<br />
Sekretariat : 1. Sri Djuwati<br />
2. Yuni Yulianita, S.S.<br />
3. Romlah Pelupessy, S.E.<br />
4. Ahmad Baihaki, S. Kom.<br />
5. Arif Budiman. S.Sos.<br />
6. Drs. Adi Sukandar<br />
7. Aran Panji Jaya, S.T.<br />
8. Nur Agus Susanto, S.H., M.M.<br />
Desain Grafis & Fotografer : Widya Eka Putra, A.Md.<br />
IV<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 4 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:20 PM
PENGANTAR<br />
KUASA PARA PENGUASA<br />
Penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), tidak milik pejabat pemerintah,<br />
pemangku jabatan kekuasaan kehakiman, wakil rakyat, tapi dapat dilakukan oleh<br />
pemangku kebijakan korporasi hingga para individu. Potensi abuse of power<br />
dapat dilakukan oleh siapa saja, kapan saja, dan dimana saja tanpa pernah mengenal<br />
kasta.<br />
Kekuasaan bagi sebagian besar pemangku kuasa laksana anggur merah yang<br />
memabukkan. Kekuasaan seringkali melalaikan para pengampu sehingga cenderung<br />
melupakan esensi dari amanah dan pertanggungjawaban.<br />
Jangan heran apabila realitas menunjukkan pemangku kuasa seringkali terlena dan<br />
berlomba-lomba mencecap “kenikmatan semu” singgasana kekuasaan. Mereka tanpa<br />
sadar sudah terbawa pusaran kekuasaan sehingga terjerumus ke dalam bilik-bilik<br />
penjara. Tidak berlebihan apabila banyak penguasa dan pengusaha harus tersangkut<br />
dengan persoalan hukum seperti saat ini.<br />
Tidak berlebihan apabila Lord Acton mengatakan kalimat tersohor bahwa power tend to<br />
corrupt, kekuasaan cenderung disalahgunakan oleh para pemiliknya, penguasa. Begitu<br />
pula dengan sabda Nabi SAW, qullukum ro’in, waqullukum ro’iyaatihii, setiap hamba<br />
adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban. Mengurai<br />
sabda itu, kekuasaan dimaknai tidak hanya milik para pejabat lembaga pemerintahan,<br />
tapi juga para legislator dan pengampu kekuasaan kehakiman yang kelak akan dimintai<br />
pertanggungjawaban.<br />
Merujuk pada pandangan dan realitas di atas, <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> kali ini mengangkat tema<br />
“Kuasa Para Penguasa”. Argumentasi tema berdasarkan kajian-kajian yang sudah<br />
dituliskan oleh penulis Anton F. Susanto, Loura Hardjaloka, Yeny Widowaty, A. Nuzul,<br />
Widiada Gunakaya, dan Rena Yulia menyimpulkan bahwa hakim, pengusaha, pejabat<br />
pemerintahan hingga individu, dapat dengan mudah mengendalikan kekuasaan yang<br />
dimiliki agar sesuai dengan keinginannya. Mereka tanpa sadar “bermain mata” dengan<br />
hukum sehingga merugikan hak orang lain dan menciderai rasa keadilan. Apabila<br />
keadilan sudah tercemari kepentingan dan kekuasaan, maka makna dan harga keadilan<br />
itu sendiri telah sirna.<br />
Untuk itulah, kajian-kajian dalam jurnal ini diharapkan mampu mendorong<br />
terwujudnya keadilan sebagai esensi keagungan lembaga peradilan. Sebagai penutup,<br />
kami mengucapkan terima kasih kepada Ketua, Wakil dan para Ketua Bidang <strong>Komisi</strong><br />
<strong>Yudisial</strong>, Sekretaris Jenderal <strong>Komisi</strong> <strong>Yudisial</strong>, Mitra Bestari dan semua pihak yang telah<br />
membantu dalam penerbitan <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong>.<br />
Tertanda<br />
Pemimpin Redaksi <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong><br />
V<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 5 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:20 PM
JURNAL YUDISIAL<br />
ISSN 1978-6506 Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong><br />
Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya.<br />
UDC: 342.228<br />
Susanto AF (Fakultas Hukum, Universitas<br />
Pasundan, Bandung)<br />
Problematika Nalar dan Kekuasaan<br />
Kajian Putusan MA Nomor 36P/Hum/2011<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> <strong>2012</strong> 5(2), 117-133<br />
Kualitas dan kredibilitas seorang hakim<br />
ditentukan oleh putusan yang dibuatnya,<br />
sebagaimana ungkapan bahwa mahkota atau<br />
wibawa hakim terletak pada putusannya.<br />
Kewibawaan hakim akan luntur dengan<br />
sendirinya kalau putusan-putusannya tidak<br />
berpihak lagi kepada nilai-nilai kebenaran dan<br />
keadilan. Tulisan ini ingin membedah putusan<br />
yang dianggap kontroversial dan berkonotasi<br />
negatif, yaitu putusan MARI No. 36P/<br />
Hum/2011, yang dipandang tidak memenuhi<br />
aspek prosedural dan material, jauh dari nilainilai<br />
kepastian dan keadilan, bahkan terdapat<br />
sinyalemen adanya konflik kepentingan.<br />
Putusan memperlihatkan kekuasaan lebih<br />
dominan daripada hakikat kebenaran itu sendiri,<br />
yang memperlihatkan masih kentalnya arogansi<br />
birokrasi MARI dalam penegakan hukum dan<br />
membuktikan bahwa nalar, nurani dan moralitas<br />
hakim perlu mendapat perhatian utama dalam<br />
peningkatan kapasitas hakim, khususnya yang<br />
diselenggarakan oleh <strong>Komisi</strong> <strong>Yudisial</strong>.<br />
(Anthon F. Susanto)<br />
Kata kunci: kode etik, profesionalisme,<br />
kebenaran, keadilan.<br />
VI<br />
UDC: 343.85<br />
Hardjaloka L (Fakultas Hukum, Universitas<br />
Indonesia, Depok)<br />
Ketepatan Hakim dalam Penerapan<br />
Precautionary Principle sebagai “Ius Cogen”<br />
dalam Kasus Gunung Mandalawangi<br />
Kajian Putusan Nomor 1794K/Pdt/2004<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> <strong>2012</strong> 5(2), 134-153<br />
Pelanggaran terhadap prinsip kehati-hatian<br />
melahirkan suatu tanggung jawab mutlak<br />
kepada aparat tergugat tanpa bergantung pada<br />
ada tidaknya pembuktian dari para tergugat.<br />
Kasus sebagaimana dianalisis dalam artikel ini<br />
bukanlah bencana alam karena kejadiannya dapat<br />
diprediksi namun para tergugat tidak menjalankan<br />
prinsip kehati-hatian untuk mencegahnya.<br />
Para tergugat berdalih bahwa prinsip ini belum<br />
menjadi hukum positif di Indonesia, akan tetapi<br />
prinsip ini telah dipandang sebagai ius cogen<br />
yaitu sebagai suatu norma yang diterima dan<br />
diakui oleh masyarakat Internasional secara<br />
keseluruhan serta sebagai norma yang tidak<br />
dapat dilanggar dan hanya dapat diubah oleh<br />
suatu norma hukum dasar Internasional umum<br />
yang baru yang mempunyai sifat yang sama.<br />
(Loura Hardjaloka)<br />
Kata kunci: prinsip kehati-hatian, ius cogen,<br />
tanggung jawab mutlak.<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 6 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:20 PM
UDC: 343.221<br />
Widowaty Y (Fakultas Hukum, Universitas<br />
Islam Indonesia, Yogyakarta)<br />
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi<br />
Terhadap Korban dalam Kasus Tindak Pidana<br />
Lingkungan Hidup<br />
Kajian<br />
Sus/2010<br />
Putusan MA Nomor 862K/Pid.<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> <strong>2012</strong> 5(2), 154-169<br />
Pihak yang paling menderita akibat pencemaran<br />
dan/atau perusakan lingkungan adalah para<br />
korban. Oleh karena itu setiap pihak yang<br />
melakukan kegiatan yang merugikan korban<br />
harus bertanggung jawab terhadap akibat dari<br />
perbuatan yang dilakukannya. Dari kasus yang<br />
dianalisis, dapat ditunjukkan bahwa sanksi<br />
pidana yang dijatuhkan pada pelaku baik pada<br />
tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi,<br />
maupun Mahkamah Agung masih berfokus<br />
pada pelaku kejahatan (offender) sebagai<br />
fokus utama dari sanksi pidana. Dengan hanya<br />
menjatuhkan pidana pada diri pelaku, dalam hal<br />
ini direktur PT DEI, sisi perlindungan terhadap<br />
korban belum diberikan. Pertanggungjawaban<br />
pidana korporasi terhadap korban tindak<br />
pidana lingkungan hidup dikatakan ideal<br />
apabila korban tindak pidana lingkungan<br />
hidup juga mendapatkan perlindungan hukum<br />
berbentuk pemberian ganti kerugian maupun<br />
pemulihan lingkungan. Salah satu cara agar<br />
korban mendapat perlindungan hukum yang<br />
merupakan bentuk pertanggungjawaban pelaku<br />
terhadap korban, adalah dengan penerapan asas<br />
tanggung jawab mutlak (strict liability) dalam<br />
tindak pidana lingkungan hidup dengan syaratsyarat<br />
tertentu.<br />
(Yeni Widowaty)<br />
Kata kunci: pertanggungjawaban pidana<br />
VII<br />
korporasi, tanggung jawab mutlak, tindak<br />
pidana lingkungan hidup.<br />
UDC: 347.243<br />
Nuzul A (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri,<br />
Watampone)<br />
Penyelesaian Sengketa Tanah Persawahan Dalam<br />
Kasus Gadai yang Terindikasi “Sanra Putta”<br />
Kajian Putusan Nomor 34/Pdt.G/2007/PN.<br />
WTP<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> <strong>2012</strong> 5(2), 170-188<br />
Pelaksanaan perjanjian gadai tanah (Bugis:<br />
sanra tanah) di masyarakat Kab. Bone pada<br />
kenyataannya tidak mengikuti ketentuan Pasal<br />
7 Perpu No. 56 Tahun 1960 tentang Penetapan<br />
Luas Tanah Pertanian, di mana pemilik barang<br />
gadai tetap berkewajiban mengembalikan uang<br />
tebusan. Begitu pula perjanjian gadai atas tanah<br />
dilaksanakan hanya secara lisan (tidak ada bukti<br />
tertulis) dan tidak adanya saksi. Lazim pula<br />
pelaksanaan gadai atas tanah kemudian berubah<br />
(diteruskan) menjadi jual beli, yang dalam istilah<br />
adat kebiasaan masyarakat setempat disebut<br />
dengan sanra putta (jual putta). Jika terjadi<br />
permasalahan hukum di kemudian hari, misalnya<br />
salah satu pihak wanprestasi (ingkar janji) atau<br />
mengingkari kesepakatan yang pernah mereka<br />
lakukan, maka penyelesaian secara kekeluargaan<br />
biasanya ditempuh walau tidak mudah diatasi,<br />
sehingga harus juga dibawa ke pengadilan. Hakim<br />
yang menangani kasus demikian seyogianya<br />
mencermati adanya latar belakang perjanjian<br />
demikian. Dalam putusan No. 34/Pdt.G/2007/<br />
PN.WTP ini, penulis mengindikasikan adanya<br />
jual beli tanah yang disebut sanra putta.<br />
(A. Nuzul)<br />
Kata kunci: perjanjian gadai tanah, sanra tanah,<br />
sanra putta.<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 7 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:20 PM
UDC: 347.42<br />
Gunakaya<br />
Bandung)<br />
W (Sekolah Tinggi Hukum<br />
Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak<br />
Dipenuhinya Kewajiban Hukum yang<br />
Menimbulkan Kerugian Keuangan Negara<br />
Kajian Putusan Nomor 1247/Pid/B/2009/PN.<br />
Bdg.<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> <strong>2012</strong> 5(2), 189-223<br />
Tindak pidana korupsi di Indonesia pada dewasa<br />
ini perkembangannya sudah sangat sistemik<br />
dengan tidak hanya merugikan keuangan<br />
negara atau perekonomian negara tetapi juga<br />
telah merampas hak-hak sosial ekonomi<br />
masyarakat secara luas. Salah satu upaya<br />
pemberantasannya adalah dengan menetapkan<br />
ajaran “sifat melawan hukum material” dalam<br />
fungsinya yang positif ke dalam UU No. 31<br />
Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang<br />
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.<br />
Sayangnya, kaidah hukum tersebut oleh putusan<br />
Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006<br />
telah dinyatakan tidak mengikat secara hukum,<br />
karena dinilai bertentangan dengan Pasal 28D<br />
ayat (1) UUD 1945 tentang “kepastian hukum<br />
yang adil” sebagai salah satu prinsip negara<br />
hukum. Padahal dalam rangka pemberantasan<br />
korupsi, penerapan kaidah hukum dimaksud<br />
dapat dibenarkan sekaligus juga efektif. Hakim<br />
di Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung dalam<br />
putusan No. 1247/Pid/B/2009/PN.Bdg yang<br />
dibahas dalam artikel ini seharusnya juga<br />
menerapkan kaidah hukum tersebut, karena<br />
terdakwa tidak memenuhi kewajiban hukum<br />
yang harus dilakukan sehingga secara nyata<br />
telah menimbulkan kerugian keuangan negara.<br />
Hakim mempertimbangkan perbuatan terdakwa<br />
itu sebagai ingkar janji (wanprestasi) sehingga<br />
VIII<br />
tidak dapat dituntut menurut hukum pidana.<br />
(Widiada Gunakaya)<br />
Kata kunci: korupsi, sifat melawan hukum<br />
pidana, wanprestasi, kerugian keuangan negara.<br />
UDC: 343.22<br />
Yulia R (Fakultas Hukum, Universitas Sultan<br />
Ageng Tirtayasa Banten)<br />
Penerapan Keadilan Restoratif dalam Putusan<br />
Hakim: Upaya Penyelesaian Konflik Melalui<br />
Sistem Peradilan Pidana<br />
Kajian Putusan MA Nomor 653/K/Pid/2011<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> <strong>2012</strong> 5(2), 224-240<br />
Banyak kasus-kasus sederhana yang berakhir di<br />
pengadilan dan diselesaikan dengan melanggar<br />
rasa keadilan masyarakat kecil. Sepertinya<br />
keadilan tidak pernah berpihak kepada mereka.<br />
Keadilan lebih banyak didekati dari perspektif<br />
prosedural bukan keadilan substansial.<br />
Sebagaimana ditunjukkan dalam putusan yang<br />
dianalisis di dalam artikel ini, penjatuhan<br />
putusan untuk kasus yang terbilang “sederhana”<br />
ini akan lebih tepat jika didasarkan pada filosofi<br />
pemidanaan keadilan restoratif. Penulis yakin<br />
bahwa pilihan keadilan restoratif ini sudah<br />
saatnya dipertimbangkan, dimulai dari kasuskasus<br />
sederhana seperti ini.<br />
(Rena Yulia)<br />
Kata kunci: masyarakat kelas bawah, keadilan<br />
restoratif, kasus pidana sederhana.<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 8 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:21 PM
JURNAL YUDISIAL<br />
ISSN 1978-6506 Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong><br />
The descriptors given are free terms. This abstract sheet may be reproduced without permission<br />
or charge.<br />
UDC: 342.228<br />
Susanto AF (Fakultas Hukum, Universitas<br />
Pasundan, Bandung)<br />
The Problems of Reason and Power<br />
An Analysis on the Supreme Court Decision<br />
Number 36P/Hum/2011 (Org. Ind)<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> <strong>2012</strong> 5(2), 117-133<br />
Court decisions are the crown of judges’<br />
performance and regarded as one of the most<br />
obvious indicators of their quality and credibility.<br />
The prestige of this respected profession will<br />
dwindle gradually whenever majority of their<br />
decisions are considered controversial signalling<br />
negative connotation by not seriously taking<br />
truth and justice into account. One of such<br />
controversial decisions is the supreme court<br />
ruling No. 36P/Hum/2011. Not only does it fail<br />
to conform the procedural and material aspects,<br />
but also it shows the conflict of interest within<br />
the judicial power itself. The decision denotes<br />
that power is more dominant rather than truth<br />
in term of law enforcement. In addition, the<br />
decision reveals that strong arrogant atmosphere<br />
in the supreme court’s beaurocratic culture still<br />
exist. The author of this article recommends that<br />
legal reasoning, morality, and conscience are<br />
those of materials that should be added in the<br />
materials of judges’ capacity upgradings held by<br />
the Judicial Commission.<br />
(Anthon F. Susanto)<br />
Keywords: code of ethics, profesionalism, truth,<br />
justice.<br />
IX<br />
UDC: 343.85<br />
Hardjaloka L (Fakultas Hukum, Universitas<br />
Indonesia, Depok)<br />
The Accuracy of Implementing Precautionary<br />
Principle as “Ius Cogen” in the Case of Mt.<br />
Mandalawangi<br />
An Analysis on Decision Number 1794K/<br />
Pdt/2004 (Org. Ind)<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> <strong>2012</strong> 5(2), 134-153<br />
The absence of implementing the precautionary<br />
principle has to put forth the strict liability in the<br />
case of Mt. Mandalawangi. Such a liability will<br />
not depend on the existence of any legal proofs<br />
conveyed by the defendants. The incident of<br />
Mt. Mandalangi was not a natural disaster but<br />
could be predicted before. It happened because<br />
of the precautionalry principle disobedience.<br />
Despite admitting the violation, the defendants<br />
claim that this principle has not yet become a<br />
part of Indonesian positive law. Otherwise, the<br />
principle can be regarded as ” ius cogen” that has<br />
been accepted and recognized by international<br />
communities. Ius cogen can be modified only<br />
by a new general and basic norm of international<br />
law with the same characteristic.<br />
(Loura Hardjaloka)<br />
Keywords: precautionary principle, ius cogen,<br />
strict liabilitity.<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 9 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:21 PM
UDC: 343.221<br />
Widowaty Y (Fakultas Hukum, Universitas<br />
Islam Indonesia, Yogyakarta)<br />
Criminal Corporate Liability In Favor of The<br />
Victims In The Case of Environmental Crime<br />
An Analysis on the Supreme Court Decision<br />
Number 862K/Pid.Sus/2010 (Org. Ind)<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> <strong>2012</strong> 5(2), 154-169<br />
The people living in any poluted environments<br />
are those who are prone to be victimized. Any<br />
parties causing the troubles should be responsible<br />
for the damages. In the analysis of a case on<br />
environmental problem, the author of this article<br />
describes that criminal sanction imposed by the<br />
disctrict court, high court, and supreme court,<br />
are only targeted to the offender as happened to<br />
a director of PT DEI. In fact, the victims need<br />
some other kinds of sanction like compensation<br />
and/or environmental restoration rather than<br />
just imprisonment of the criminals. In order to<br />
protect the implicated people, it is recommended<br />
in certain conditions to apply the strict liability<br />
principle in addressing environmental crimes.<br />
(Yeni Widowaty)<br />
Keywords: criminal corporate liability, strict<br />
liability, environmental crimes.<br />
X<br />
UDC: 347.243<br />
Nuzul A (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri,<br />
Watampone)<br />
Land Dispute Settlement In The Case of Rice<br />
Field Mortgage Indicated as “Sanra Putta”<br />
An Analysis on Decision Number 34/Pdt.G/2007/<br />
PN.WTP (Org. Ind)<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> <strong>2012</strong> 5(2), 170-188<br />
Implementation of the land mortgage agreement<br />
called sanra tanah in the Bone Regency, in<br />
fact, fails to comply with Article 7 of Law in<br />
lieu No. 56 Year 1960 on the Establishment of<br />
Agricultural Land. According to this regulation,<br />
the owner remains obligated to return the<br />
pawned goods ransom. There is also common<br />
that land mortgage agreements are verbally<br />
concluded without any written evidence as well<br />
as witnesses. In practice, these initial agreements<br />
can be continued to sale and purchase agreements<br />
based on the local traditions. If there is a dispute<br />
related to the so called sanra putta agreement,<br />
the amicable settlement will be chosen as the<br />
first resort, but the choice usually does not<br />
succeed to resolve the conflict. Due to the lack of<br />
evidence, such a dispute finally will be brought<br />
to the court. As mentioned by the author of this<br />
article, any panel of judges should be aware of<br />
such a customary background. Decision No. 34/<br />
Pdt.G/2007/PN.WTP, the author indicates that<br />
the case belongs to a sanra putta agreement.<br />
(A. Nuzul)<br />
Keywords: land mortgage agreement, sanra<br />
tanah, sanra putta.<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 10 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:21 PM
UDC: 347.42<br />
Gunakaya<br />
Bandung)<br />
W (Sekolah Tinggi Hukum<br />
Breach of Contract as The Qualification of Non-<br />
Compliance To Legal Obligation That Causes<br />
State Financial Loss<br />
An Analysis on Decision Number 1247/Pid/B/2009/<br />
PN. Bdg. (Org. Ind)<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> <strong>2012</strong> 5(2), 189-223<br />
There has been a tendency in the increase of<br />
systemic corruption in Indonesia resulting a<br />
great loss of state budget and national economy.<br />
Corruption has also caused the massive<br />
deterioration of people’s socio-economic basic<br />
rights. One of attempted efforts to get rid of<br />
corruption is to install the doctrine of “The<br />
nature of criminal offence” in material sense<br />
with positive function in Law No. 31 Year 1999<br />
juncto Law No. 20 Year 2001 on Corruption<br />
Eradication, but this legal formulation has<br />
been dismantled by the Constitutional Court by<br />
saying (stating) it is contradictory with Article<br />
28D paragraph (1) of the 1945 Constitution<br />
regarding “the just legal certainty” as one of the<br />
principles of the rule of law. The doctrine can be<br />
regarded as a legalized and effective instrument<br />
in combating corruption. In the court decision<br />
No. 1247/Pid/B/2009/PN.Bdg analyzed in<br />
this article, it was worth if judges used such a<br />
doctrine because the accused had been proved<br />
to result state financial loss. However, judges<br />
considered that the accused’s failure to fulfill<br />
his legal obligation as merely the breach of<br />
contract that could not meet the elements of any<br />
criminal action.<br />
(Widiada Gunakaya)<br />
Keywords: corruption, nature of criminal<br />
offence, breach of contract, state financial loss.<br />
XI<br />
UDC: 343.22<br />
Yulia R (Fakultas Hukum, Universitas Sultan<br />
Ageng Tirtayasa, Banten)<br />
The Implementation of Restorative Justice in<br />
the Verdict: an Effort to Resolve the Conflict<br />
Through the Criminal Justice System<br />
An Analysis on the Supreme Court Decision<br />
Number 653/K/Pid/2011 (Org. Ind)<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> <strong>2012</strong> 5(1), 224-240<br />
Many trivial cases have been sent to the courts<br />
so far with some of them ended with nonpopulist<br />
verdicts. Such court rulings have<br />
been disturbing the common sense showing<br />
that justice never takes the side of the poor.<br />
Justice is approached only from the procedural<br />
perspective. As shown in this article, one of the<br />
trivial cases was not handled in appropriate way<br />
since the restorative philosophy of punishment<br />
had never been considered to apply. The author<br />
of this article believes that it is time to start<br />
implementing such a philosophy of punishment<br />
beginning from trivial cases as in the case under<br />
discussion.<br />
(Rena Yulia)<br />
Keywords: lower class society, restorative<br />
justice, trivial criminal case.<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 11 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:21 PM
DAFTAR ISI<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong><br />
PROBLEMATIKA NALAR DAN KEKUASAAN .................................... 117<br />
Kajian Putusan MA Nomor 36P/Hum/2011<br />
Anthon F. Susanto, Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung<br />
KETETAPAN HAKIM DALAM PENERAPAN<br />
Precautionary PrinciPle SEBAGAI “ius cogen”<br />
DALAM KASUS GUNUNG MANDALAwANGI ...................................... 134<br />
Kajian Putusan Nomor 1794K/Pdt/2004<br />
Loura Hardjaloka, Fakultas Hukum Universitas Indonesia<br />
PERTANGGUNGJAwABAN PIDANA KORPORASI<br />
TERHADAP KORBAN DALAM KASUS<br />
TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP ............................................... 154<br />
Kajian Putusan MA Nomor 862K/Pid.Sus/2010<br />
Yeni Widowaty, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta<br />
PENYELESAIAN SENGKETA TANAH PERSAwAHAN DALAM<br />
KASUS GADAI YANG TERINDIKASI “SANRA PUTTA” ..................... 170<br />
Kajian Putusan Nomor 34/Pdt.G/2007/PN. WTP<br />
A. Nuzul, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Watampone<br />
wANPRESTASI SEBAGAI KUALIFIKASI<br />
TIDAK DIPENUHINYA KEwAJIBAN HUKUM<br />
YANG MENIMBULKAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA .......... 189<br />
Kajian Putusan Nomor 1247/Pid/B/2009/PN. Bdg<br />
Widiada Gunakaya, Sekolah Tinggi Hukum Bandung<br />
PENERAPAN KEADILAN RESTORATIF DALAM PUTUSAN HAKIM:<br />
UPAYA PENYELESAIAN KONFLIK MELALUI<br />
SISTEM PERADILAN PIDANA ................................................................ 224<br />
Kajian Putusan MA Nomor 653/K/Pid/2011<br />
Rena Yulia, Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten<br />
XII<br />
ISSN 1978-6505<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 12 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:21 PM
ABSTRAK<br />
PROBLEMATIKA NALAR DAN KEKUASAAN<br />
Kualitas dan kredibilitas seorang hakim ditentukan<br />
oleh putusan yang dibuatnya, sebagaimana<br />
ungkapan bahwa mahkota atau wibawa hakim<br />
terletak pada putusannya. Kewibawaan hakim akan<br />
luntur dengan sendirinya kalau putusan-putusannya<br />
tidak berpihak lagi kepada nilai-nilai kebenaran dan<br />
keadilan. Tulisan ini ingin membedah putusan yang<br />
dianggap kontroversial dan berkonotasi negatif,<br />
yaitu putusan MARI No. 36 P/Hum/2011, yang<br />
dipandang tidak memenuhi aspek prosedural dan<br />
material, jauh dari nilai-nilai kepastian dan keadilan,<br />
bahkan terdapat sinyalemen adanya konflik<br />
kepentingan. Putusan memperlihatkan kekuasaan<br />
lebih dominan daripada hakikat kebenaran itu<br />
sendiri, yang memperlihatkan masih kentalnya<br />
arogansi birokrasi MARI dalam penegakan<br />
hukum dan membuktikan bahwa nalar, nurani dan<br />
moralitas hakim perlu mendapat perhatian utama<br />
dalam peningkatan kapasitas hakim, khususnya<br />
yang diselenggarakan oleh <strong>Komisi</strong> <strong>Yudisial</strong>.<br />
Kata kunci: kode etik, profesionalisme, kebenaran,<br />
keadilan.<br />
Kajian Putusan MA Nomor 36P/Hum/2011<br />
THE PROBLEMS OF REASON AND POWER<br />
An Analysis on the Supreme Court Decision Number 36P/Hum/2011<br />
Anthon F. Susanto<br />
Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung, Jl. Lengkong Besar No. 68 Bandung<br />
Email: anthon.aiki@gmail.com<br />
Diterima tgl 6 Juli <strong>2012</strong>/Disetujui tgl 18 Juli <strong>2012</strong><br />
abstract<br />
Court decisions are the crown of judges’ performance<br />
and regarded as one of the most obvious indicators<br />
of their quality and credibility. The prestige of<br />
this respected profession will dwindle gradually<br />
whenever majority of their decisions are considered<br />
controversial signalling negative connotation by<br />
not seriously taking truth and justice into account.<br />
One of such controversial decisions is the supreme<br />
court ruling No. 36 P/Hum/2011. Not only does it<br />
fail to conform the procedural and material aspects,<br />
but also it shows the conflict of interest within the<br />
judicial power itself. The decision denotes that<br />
power is more dominant rather than truth in term of<br />
law enforcement. In addition, the decision reveals<br />
that strong arrogant atmosphere in the supreme<br />
court’s beaurocratic culture still exist. The author<br />
of this article recommends that legal reasoning,<br />
morality, and conscience are those of materials that<br />
should be added in the materials of judges’ capacity<br />
upgradings held by the Judicial Commission.<br />
Keywords: code of ethics, profesionalism, truth,<br />
justice.<br />
Problematika Nalar dan Kekuasaan (Anthon F. Susanto) | 117<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 117 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:21 PM
I.<br />
PENDAHULUAN<br />
Eksistensi penegak hukum khususnya<br />
hakim sering mendapat sorotan publik, terutama<br />
berkait dengan putusan-putusannya yang bersifat<br />
kontroversial. Dikatakan kontroversial karena<br />
pertimbangan hukum putusannya cenderung tidak<br />
dapat “diterima” oleh kalangan masyarakat luas dan<br />
tidak sejalan dengan prinsip-prinsip hukum yang<br />
telah disepakati selama ini. Sekalipun demikian,<br />
arti kontroversial dalam pengertian di atas tidak<br />
selalu bermakna negatif, misalnya beberapa<br />
putusan bisa jadi tidak sesuai dengan dogmaaturan<br />
atau pendapat kebanyakan ahli hukum.<br />
Hakim terkadang dengan (sangat)<br />
berani melakukan lompatan pemikiran untuk<br />
melampaui pakem-pakem (doktrin) yang sudah<br />
mapan, meski pada situasi yang lain ditemukan<br />
banyak hakim yang gagasannya berorientasi ke<br />
masa lalu, mempertahankan status quo dan tidak<br />
memiliki semangat pembaruan. Tidak mudah bagi<br />
hakim untuk membuat putusan, apalagi secara<br />
ideal putusan harus memuat ‘idee des Recht’,<br />
yang mencakup unsur keadilan (gerechtigkeit),<br />
kepastian hukum (rechtssicherheit) dan<br />
kemanfaatan (zwechtmassigkeit), sehingga<br />
kalaupun sebuah putusan kontroversial, hendaknya<br />
ketiga unsur tersebut dipertimbangkan, putusan<br />
dapat memenuhi harapan pencari keadilan.<br />
Kualitas dan kredibilitas seorang hakim<br />
ditentukan oleh putusan yang dibuatnya,<br />
sebagaimana ungkapan bahwa mahkota atau<br />
wibawa hakim terletak pada putusannya.<br />
Kewibawaan hakim akan luntur dengan<br />
sendirinya kalau putusan-putusannya tidak<br />
berpihak lagi kepada nilai-nilai kebenaran dan<br />
keadilan. Menurut pembukaan Surat Keputusan<br />
Bersama tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku<br />
Hakim (KEPPPH) secara tegas mencantumkan<br />
“Kehormatan hakim itu terutama terlihat pada<br />
putusan yang dibuatnya dan pertimbangan yang<br />
melandasi atau keseluruhan proses pengambilan<br />
keputusan yang bukan saja berdasarkan peraturan<br />
perundang-undangan, tetapi juga rasa keadilan<br />
dan kearifan dalam masyarakat.”<br />
Tulisan ini ingin membedah putusan yang<br />
dianggap kontroversial. Kontroversial dalam<br />
putusan itu berkonotasi negatif, karena Putusan<br />
MARI No. 36P/Hum/2011 itu dipandang (sangat)<br />
tidak memenuhi aspek prosedural dan material,<br />
dipandang jauh dari nilai-nilai kepastian dan<br />
keadilan, bahkan terdapat sinyalemen adanya<br />
konflik kepentingan, di mana kekuasaan lebih<br />
dominan dari hakekat kebenaran itu sendiri.<br />
Beberapa kalangan menyebut bahwa putusan<br />
itu memperlihatkan masih kentalnya arogansi<br />
birokrasi MARI dalam penegakan hukum dan<br />
membuktikan bahwa nalar, nurani dan moralitas<br />
hakim perlu mendapat perhatian utama, dalam<br />
peningkatan kapasitas hakim.<br />
Pada tanggal 9 Februari <strong>2012</strong> yang lalu<br />
MA-majelis hakim diketuai oleh Paulus Effendie<br />
Lotulung dan hakim anggota Ahmad Sukardja,<br />
Rehngena Purba, Takdir Rahmadi dan H.<br />
Supandi, telah mengeluarkan putusan MA Nomor<br />
36P/HUM/2011 Tahun <strong>2012</strong> terkait uji materiil<br />
SKB Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim<br />
yang diajukan oleh mantan hakim Agung Henry<br />
Panggabean dkk. (Mantan Hakim Agung Minta Uji<br />
Materi Kode Etik). Amar putusan majelis hakim<br />
MA tersebut sebagai berikut: Pertama, Menerima<br />
dan mengabulkan permohonan Uji Materiil Para<br />
Pemohon: (1). Dr. Henry P. Panggabean, S.H.,<br />
M.S.; (2). Humala Simanjuntak, S.H.; (3). Dr.<br />
Lintong O. Siahaan, S.H., M.H.; (4). Sarmanto<br />
Tambunan, S.H. Kedua, Menyatakan butir 8.1,<br />
8.2, 8.3, 8.4 serta butir-butir 10.1, 10.2, 10.3, dan<br />
10.4 Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah<br />
118 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 117 -133<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 118 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:21 PM
Agung Republik Indonesia dan Ketua <strong>Komisi</strong><br />
<strong>Yudisial</strong> Republik Indonesia tanggal 8 April<br />
2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku<br />
Hakim bertentangan dengan Undang-Undang<br />
atau peraturan perundang-undangan tingkat<br />
lebih tinggi, yaitu Pasal 40 ayat (2) dan Pasal 41<br />
ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009<br />
tentang Kekuasaan Kehakiman jo Pasal 34A<br />
ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009<br />
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang<br />
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah<br />
Agung. Ketiga, Menyatakan butir 8.1, 8.2, 8.3,<br />
8.4 serta butir-butir 10.1, 10.2, 10.3, dan 10.4<br />
Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung<br />
Republik Indonesia dan Ketua <strong>Komisi</strong> <strong>Yudisial</strong><br />
Republik Indonesia tanggal 8 April 2009 Tentang<br />
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim tidak<br />
sah dan tidak berlaku untuk umum. Keempat,<br />
Memerintahkan kepada Ketua Mahkamah Agung<br />
Republik Indonesia dan Ketua <strong>Komisi</strong> <strong>Yudisial</strong><br />
Republik Indonesia untuk mencabut butir 8.1,<br />
8.2, 8.3, 8.4 serta butir-butir 10.1, 10.2, 10.3, dan<br />
10.4 Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah<br />
Agung Republik Indonesia dan Ketua <strong>Komisi</strong><br />
<strong>Yudisial</strong> Republik Indonesia tanggal 8 April 2009<br />
tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.<br />
Kelima, Memerintahkan Panitera Mahkamah<br />
Agung Republik Indonesia mencantumkan<br />
petikan putusan ini dalam Berita Negara dan<br />
dipublikasikan atas biaya negara. Dan keenam,<br />
Menetapkan biaya perkara dibebankan kepada<br />
Termohon yang besarnya Rp.1.000.000,- (Satu<br />
juta rupiah).<br />
II.<br />
RUMUSAN MASALAH<br />
Tulisan ini mengulas tentang esensi filosofis<br />
dikeluarkannya putusan MARI Nomor 36P/Hum/<br />
2011 yang menurut penulis terdapat problematik<br />
nalar dan kekuasaan. Problematik nalar dimaksud<br />
yaitu adanya benturan dan tarik menarik antara<br />
konstruksi logis kasus dengan kepentingan<br />
birokrasi Mahkamah Agung. Adanya premispremis<br />
nalar yang saling bertolak belakang dan<br />
argumen filosofis yang saling berbenturan. Putusan<br />
memperlihatkan bahwa memahami pola berpikir<br />
hakim sangat kompleks. Penulis sendiri melihat<br />
bahwa problematik nalar dan kekuasaan yang<br />
dimaksud tidak lain adalah problem kecerdasan<br />
hakim dan arogansi birokrasi.<br />
STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS<br />
Problematika Nalar dan Kekuasaan (Anthon F. Susanto) | 119<br />
III.<br />
Mencermati putusan hakim, paling tidak<br />
terkait dengan dua hal, yaitu moralitas dan<br />
metodologis. Pertanyaan paling fundamental<br />
terkait dengan persoalan moral itu adalah kita<br />
tidak berharap bahwa hakim dalam pengambilan<br />
keputusannya membuat semacam konspirasi<br />
untuk mengorupsi moral publik dan perbuatan<br />
itu menjadi sebuah kejahatan tingkat tinggi,<br />
yang secara prinsip mencederai nilai dalam<br />
masyarakat, karena hakim memutus tidak<br />
hanya membaca undang-undang, melainkan<br />
melakukannya didasarkan kepada pilihan nilai<br />
sebagai landasannya (Rahardjo, 2003: 227).<br />
Satjitpto menjelaskan tentang sesuatu yang<br />
sangat merusak, sesuatu yang disebut dengan<br />
musuh terselubung, yaitu perbuatan korupsi<br />
kekuasaan, yaitu pelaksanaan kekuasaan publik<br />
yang berkualitas jahat, tidak jujur, lemah empati,<br />
tidak bermutu dan merusak kepercayaan publik. Ia<br />
adalah penggunaan kekuasaan secara sewenangwenang,<br />
ceroboh, melakukan pekerjaan asalasalan,<br />
atau di bawah standar, tidak peduli<br />
perasaan rakyat dan sebagainya (Rahardjo, 2010:<br />
150 – dst).<br />
Hal itu dapat menimbulkan problemproblem<br />
kompleks, dan dalam rentang waktu<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 119 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:21 PM
yang panjang serta berdampak pada kepercayaan<br />
publik. Seharusnya pengadilan/hakim (paling<br />
tidak) berfungsi sebagai ‘costus morum’ (Hart,<br />
2009: 16), yaitu semacam sensor umum dan<br />
pemandu perilaku publik, dan ini pada hakekatnya<br />
adalah mengorbankan prinsip-prinsip legalitas<br />
yang selama ini justru menjadi anutan dari para<br />
hakim. Dalam posisinya sebagai sensor umum<br />
itu, maka kualitas putusan hakim menjadi sangat<br />
menentukan, memiliki pertimbangan tajam yang<br />
memihak kepentingan lebih luas, dan situasi<br />
demikian itu menempatkan dan mengharuskan<br />
hakim untuk ada di garda terdepan dalam menjamin<br />
aspek moralitas dan etika. Apabila tidak, maka<br />
sebagaimana dijelaskan JA Barnes (2005: 90-93),<br />
akan tercipta ruang persaingan kebohongan, yang<br />
samakin tertutup, sehingga semakin tinggi tingkat<br />
kebohongan dan ketidakjujurannya, “semakin<br />
luas dampak yang ditimbulkannya.”<br />
Ruang peradilan tidak steril bahkan begitu<br />
terbuka bagi kegiatan konspirasi, ketidakjujuran,<br />
korupsi dan perilaku menyimpang lain yang<br />
terkait dengan kebohongan dan kenakalan,<br />
sebagaimana dikatakan Satjipto Rahardjo, (2010:<br />
90), pengadilan berubah menjadi pasar yang<br />
memperdagangkan putusan, pengadilan yang<br />
sudah sering mencoreng martabatnya sendiri, dan<br />
bersama para koruptor menjadi benalu.<br />
Pembahasan lebih mendalam tentang<br />
relasi moral dan hukum serta realitas lain yang<br />
melingkupinya. Apakah penegakan moralitas bisa<br />
dibenarkan secara moral? Moralitas sepenuhnya<br />
(dalam masyarakat kita atau masyarakat lainnya)<br />
sepenuhnya dianggap benar dan patut untuk<br />
ditegakkan dengan sanksi hukum, sesuai dengan<br />
moralitas yang diterima masyarakat. Namun saat<br />
ini kita menemukan banyak penjelasan tentang<br />
relasi ini (penegakan moralitas secara hukum)<br />
kadang-kadang membingungkan dan tidak jelas.<br />
bahkan pengetahuan yang terbatas tentang hal ini<br />
pada dasarnya dapat menimbulkan kemandekan,<br />
rasa sungkan dan pelencengan etika melalui<br />
berbagai alasan, misalnya. Itu merupakan bagian<br />
dari hukum? Itu merupakan prosedur hukum<br />
acara? Itu merupakan, ini merupakan?<br />
Perlu dipikirkan bahwa penegakan<br />
etika harus memiliki kekuatan, amoralitas<br />
bagaimanapun dapat menjadi sesuatu yang<br />
membahayakan bagi masyarakat, sekalipun kita<br />
semua akan meragukan konsep yang umum<br />
seperti ini, namun perlu disadari bahwa hal<br />
ini dapat digunakan sebagai (dalam) evaluasi<br />
atau kritik institusi sosial secara luas, yang<br />
menyiratkan bahwa masyarakat mempunyai hak<br />
untuk menegakkan moralitas secara hukum, dan<br />
tidak dapat begitu saja direduksi oleh lembaga<br />
manapun sekalipun hal itu <strong>Komisi</strong> <strong>Yudisial</strong> atau<br />
Mahkamah Agung, dan ini artinya kita harus<br />
siap menerima prinsip-prinsip moralitas kritis<br />
(Hughes, 1962: 672). Masyarakat dapat menuntut<br />
banyak hal, apabila lembaga-lembaga yang<br />
memiliki peran ini tidak berfungsi dengan baik.<br />
Hal itu sebagaimana dikatakan HLA<br />
Hart (2009: 27), berarti merupakan titik pijak<br />
yang memperbolehkan kritik terhadap institusi<br />
manapun, mengingat prinsip-prinsip umum<br />
dan pengetahuan pada fakta. Sebagai pengingat<br />
bahwa yang dimaksud moralitas positif, adalah<br />
moralitas yang diterima secara aktual dan dibagi<br />
oleh kelompok-kelompok sosial yang disepakati<br />
dari prinsip-rinsip moral umum yang digunakan<br />
dalam kritik terhadap institusi sosial aktual. Kita<br />
dapat menyebut prinsip-prinsip umum tersebut<br />
“moralitas kritis” dan pernyataan kita adalah<br />
salah satu dari moralitas kritis tentang penegakan<br />
hukum terhadap moralitas.<br />
120 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 117 -133<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 120 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:21 PM
Masih terdapat kebimbangan tentang<br />
perilaku melanggar etika atau moral yang<br />
dilakukan secara terbuka atau dilakukan secara<br />
sembunyi-sembunyi; kebanyakan apabila<br />
dikatakan persoalan itu terkait dengan kasus<br />
sederhana kita dapat mengatakan bahwa “apabila<br />
suami istri melakukan hubungan seksual”<br />
itu bukan perbuatan amoral, namun apabila<br />
melakukannya di depan publik hal itu tentu dapat<br />
melanggar kesusilaan sosial (publik), namun<br />
bagaimana apabila perbuatan yang melibatkan<br />
pejabat hukum, misalnya hakim menerima uang<br />
sebagai tanda terima kasih? Atau lebih ekstrim<br />
hakim terima suap, jaksa dan pengacara meminta<br />
uang pelicin, yang kesemuanya dilakukan di<br />
belakang penglihatan publik? Atau bagaimana<br />
apabila hakim tidak cermat dan kurang hati hati<br />
dalam memutus? Hakim memihak dalam setiap<br />
pemeriksaan, atau mengabaikan fakta dan bukti<br />
yang diajukan kepadanya? Atau bagaimana<br />
ketika hakim lebih mementingkan kekuasaanya<br />
dari moralitas dan nuraninya? Etika umumnya<br />
menjelaskan dan mengatur hal itu, atau secara<br />
konkrit misalnya dalam kode etik yang umumnya<br />
memuat hal demikian itu.<br />
Beberapa aturan hukum bahkan telah<br />
mengatur beberapa perbuatan dengan ancaman<br />
sanksi cukup berat dan diantaranya masuk<br />
ke dalam lingkup korupsi. Namun demikian<br />
sayangnya, pemahaman terhadap hal itu masih<br />
bersifat travestis (kelamin ganda/banci), sebelah<br />
menyebelah. Dalam beberapa kasus misalnya<br />
(seolah-olah) kejahatan atau melanggar undangundang<br />
dipisahkan dengan melanggar kode etik,<br />
penegak hukum selalu mengatakan bahwa hal<br />
ini terkait dengan undang-undang dan kejahatan<br />
biarlah prosedur hukum yang melakukan<br />
penegakan, untuk sementara etika dipinggirkan.<br />
Bahwa, aturan hukum/undang-undang dan etika/<br />
kode etik berbeda setiap orang memahami, namun<br />
bahwa penegakan hukum senantiasa melibatkan<br />
etika dan penegakan etika senantiasa melibatkan<br />
hukum, hal itu juga tidak dapat dinafikan<br />
mengingat keduanya bisa saling mengisi.<br />
Pengaruh barat terhadap pemahaman<br />
masih terasa tentang pemisahan hukum dan<br />
moral begitu kuat, sebagaimana positivism<br />
tengah dengan serampangan melakukannya.<br />
Pandangan itu sangat jelas didukung oleh<br />
pemikiran hukum modern yang cenderung<br />
bersifat teknologis, dan menjauhkan dirinya<br />
dari wacana moral, sebagaimana pemikiran<br />
minimalis, yang menyatakan bahwa “hukum<br />
sudah dijalankan apabila peraturan sudah<br />
diterapkan sesuai dengan apa yang tercantum di<br />
situ. Oleh karena itu, terlihat adanya pengebirian<br />
hukum dari kandungan moralnya. Dalam konteks<br />
Indonesia, hendaknya dilihat lebih bijaksana,<br />
bahwa pemikiran kontemporer melihat hubungan<br />
hukum dan moral saling berkelindan. Sebagai<br />
argumentasi pendukung, dapatlah disampaikan<br />
padangan Wener Menski, tentang hal ini dalam<br />
bukunya “Comparative Law in a Global Context;<br />
The Legal system of Asia and Africa (2006: 185-<br />
188). Menski menjelaskan tentang relasi-relasi<br />
yang sangat kuat antara hukum negara, moralitas/<br />
etika/agama dan masyarakat sebagaimana tiga<br />
ragaan sebagai berikut:<br />
Problematika Nalar dan Kekuasaan (Anthon F. Susanto) | 121<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 121 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:22 PM
Dari tiga ragaan di atas, terlihat bahwa<br />
dalam pluralisme hukum, cara kerja hukum<br />
dengan etika/moral dan agama tidak bersifat<br />
parsial, terpilah dan terkotak, tetapi bekerja<br />
bersama, bahkan dari ragaan ke-2 dan ke-3,<br />
terlihat relasi diantara bagian-bagian tersebut<br />
semakin melebar bukan semakin mengecil, dan<br />
menyentuh berbagai aspek dari hukum moral dan<br />
agama, serta masyarakat. Makna segitiga yang<br />
berubah menjadi lingkaran (pada bagian tengah)<br />
memperlihatkan batas-batas yang memudar<br />
dari relasi ketiganya, bahkan lingkaran dalam<br />
perkembangannya khususnya ragaan terakhir<br />
semakin meluas memasuki wilayah-wilayah yang<br />
telah disebutkan tadi.<br />
Dalam kearifan Timur pemisahan antar<br />
hukum dan moral/etika adalah tidak mungkin,<br />
sebagaimana dikatakan Tamanaha, tentang<br />
hukum sebagai mirror thesis, bahwa kekuatan<br />
kekuatan masyarakat masih memperlihatkan<br />
peran penting dalam setiap penegakan hukum,<br />
(Tamanaha, 2001: 2006), hukum itu berhubungan<br />
dengan manusia dan oleh karena itu bagaimana<br />
suatu komunitas itu melihat tempat individu<br />
dalam masyarakat sangat menentukan cara<br />
bangsa-bangsa berhukum. Menurut Tamanaha<br />
(Rahardjo, 2010: 121) berhukum dengan hanya<br />
menggunakan satu standart (dalam hal ini Barat)<br />
adalah tidak benar, seharusnya mengarah kepada<br />
“plurality conscious” dan “plurality sensitive.”<br />
Cara berhukum suatu bangsa adalah unik<br />
dan bervariasi, sesuai dengan kehidupan sosialnya.<br />
Ini adalah cara lain untuk mengatakan bahwa<br />
“cara berhukum suatu bangsa adalah berhukum<br />
secara substansial, dan memahami masyarakat<br />
tertentu tidak dapat hanya dari sekedar melihat<br />
teks undang-undangnya, namun juga perilaku<br />
substansial dan nilai-nilai tradisinya.<br />
Saya hanya ingin mengatakan lebih<br />
sederhana bahwa, menegakkan etika tanpa<br />
hukum sangat tidak mungkin demikian pula<br />
sebaliknya. Dengan kata lain, keduanya menjadi<br />
sesuatu yang berharga untuk ditegakkan. Etika<br />
dapat menjangkau bagian dalam dari perilaku<br />
manusia, dan hukum positif dapat menjangkau<br />
bagian luarnya? Namun demikian terdapat juga<br />
bagian yang dapat dilakukan secara bersamasama.<br />
Hukum sebagai sesuatu yang paksaan dari<br />
luar, sedangkan etika merupakan kesadaran moral<br />
pada bagian dalam. Untuk memperjelas hal di<br />
atas, disajikan beberapa ragaan sebagai berikut:<br />
122 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 117 -133<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 122 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:22 PM
Hukum dan etika/moral terkait dalam<br />
banyak hal, sebagaimana dua ragaan di atas tentang<br />
pembagian yang bisa terjadi dalam penegakan<br />
hukum dan etika. Sedangkan ragaan kedua<br />
disarikan dari pemikiran Wener Menski (2006),<br />
relasi di antara sangat jelas, serta pengaruh yang<br />
ditimbulkan oleh masing-masing bagian tersebut.<br />
Pada ragaan terakhir, terlihat bahwa<br />
penegakan undang-undang berkorelasi dengan<br />
penegakan kode etik. Relasi antara perundangundangan<br />
dengan kode etik ada pada nilai-nilai<br />
yang mendasarinya, dan relevansi teks yang<br />
diatur oleh keduanya. Nilai-nilai yang mendasari<br />
umumnya bersifat abstrak, ideal, cita filosofis<br />
tertentu dan relevansi tekstual biasanya bersifat<br />
konkrit. Kebanyakan dari kita tidak dapat melihat<br />
peluang ini, bahkan seringkali memisahkan<br />
wilayah-wilayah yang sesungguhnya terkait,<br />
tujuannya tidak lain agar lebih tegas, lebih formal<br />
dan tentu saja lebih pasti.<br />
Kehidupan hukum dan moral bahkan<br />
undang-undang dan kode etik biasanya saling<br />
mengintervensi. Nilai-nilai keagamaan akan<br />
masuk begitu kepentingan umat terganggu, atau<br />
nilai-nilai susila akan berbicara dan berteriak<br />
ketika penegak hukum sudah tidak mengindahkan<br />
hukum yang berlaku. Bahkan dalam sosiologi<br />
hukum, dikenal prinsip bahwa “apabila norma<br />
sosial sangat kuat berlaku dalam masyarakat,<br />
maka hukum/negara/undang-undang pastilah<br />
tidak diperlukan keberadaannya, namun apabila<br />
norma sosial/agama melemah di masyarakat<br />
maka norma hukum/negara/undang-undang tidak<br />
akan efektif dalam berlakunya.”<br />
Penegakan hukum tanpa mengikut-sertakan<br />
penegakan moral/ethics adalah kepalsuan dan<br />
penegakan undang-undang tanpa menyentuh<br />
aspek kode etik adalah kepura-puraan. Edgar<br />
Bodenheimer, pernah menjelaskan tentang<br />
apa yang disebut olehnya dengan ”autonomic<br />
legislation.” Bahwa “sekalipun kode etik tidak<br />
dianggap sebagai bagian dari hukum positif,<br />
namun disadari atau tidak kode etik dapat saja,<br />
secara diam-diam diadopsi menjadi salah satu<br />
jenis sumber hukum formal” (Kriekhoff, 1997lihat<br />
pula dalam Sidharta, 2006: 109). Upaya<br />
apapun apabila itu bertujuan untuk memperlebar<br />
perbedaan atau memperjauh titik persinggungan<br />
hanya akan memunculkan problem penegakan<br />
secara kumulatif, di masa mendatang.<br />
Kode etik umumnya berisi tentang beragam<br />
nilai, dalam kehidupan masyarakat atau profesi<br />
tertentu, namun lebih banyak lagi kode etik diisi<br />
dan didominasi oleh persoalan prosedur. Sekalipun<br />
kode etik bersifat khusus bagi kelompok/profesi<br />
atau masyarakat tertentu), namun hendaknya kode<br />
etik cukup luas dan terbuka, terhadap intervensi<br />
hukum/undang-undang ke wilayah ini, demikian<br />
pula sebaliknya. Sehingga tidak ada lagi kode etik<br />
menjadi perisai bagi profesi tertentu, atau sebagai<br />
tempat bersembunyi perilaku yang tidak patut.<br />
Sebaliknya, kode etik menjadi sarana kontrol<br />
yang kuat bagi lingkungan profesi tersebut,<br />
sekaligus sarana penopang penegakan hukum.<br />
Penegakan kode etik harus memiliki keterbukaan<br />
sosial, sehingga memiliki cukup kekuatan untuk<br />
memasuki wilayah-wilayah yang tertutup atau<br />
Problematika Nalar dan Kekuasaan (Anthon F. Susanto) | 123<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 123 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:23 PM
wilayah yang sengaja ditutup untuk melindungi<br />
otoritas tertentu. Itu artinya bahasa langit (das<br />
sollen) dapat diwujudkan dalam realitasnya.<br />
Perlu kiranya memperhatikan beberapa<br />
hal penting menyangkut penegakan etik dewasa<br />
ini, mengingat sebagaimana dikatakan Simon<br />
Blackburn, bahwa paling tidak terdapat 7 (tujuh)<br />
ancaman krusial saat ini yang dapat merusak<br />
moralitas dan etika yaitu: (1) Kematian Tuhan;<br />
kita meyakini bahwa etika tidak hanya terkait<br />
dengan agama, tetapi sepenuhnya dilahirkan<br />
oleh agama. Namun harus diakui bahwa saat ini<br />
kepercayaan religius telah kehilangan kekuatan<br />
dan cengkramannya digusur oleh idiologiidiologi<br />
buatan, seperti liberalisme, kapitalisme,<br />
pragmatisme dan lainnya (di Barat maupun di<br />
Timur). Nampaknya etika turut memudar bersama<br />
pudarnya kekuatan agama tersebut, sebagaimana<br />
dikatakan Detroyevsky, “Jika Tuhan memang<br />
telah mati, benarkah segalanya diperbolehkan?”<br />
Lantas, bagaimana bisa ada hukum jika tidak ada<br />
pembuat hukum?<br />
(2) Relativisme; dengan memudarnya<br />
kekuatan spiritualitas, maka biasanya manusia<br />
mencari pengganti otoritas supranatural, sehingga<br />
lahirlah gagasan bahwa peraturan dibuat dengan<br />
beragam cara oleh beragam orang pada beragam<br />
waktu, dengan demikian tidak ada kebenaran<br />
tunggal, yang ada hanya beragam kebenaran dari<br />
beragam komunitas. Dengan demikian kemudian<br />
muncul spectrum penilaian mengenai apa yang<br />
diharapkan dan apa yang dianggap menyimpang,<br />
namun demikian relativisme ini bergeser menjadi<br />
subjektivisme. Bukan hanya setiap kebudayaan atau<br />
masyarakat memiliki kebenarannya sendiri, setiap<br />
individupun mempunyai kebenarannya sendiri.<br />
(3) Egoisme; manusia jelas adalah hewan<br />
egois, kebutuhan pribadi dalam banyak hal dapat<br />
merenggut kepentingan umum dan kepentingan<br />
lainnya, sekalipun manusia dapat berdalih bahwa<br />
tidak mungkin meninggalkan kepentingan<br />
pribadi; namun demikian dalam situasi seperti<br />
ini, kita mengetahui bahwa konsumsi dan<br />
kemewahan tetap mendominasi, kekuasaan dan<br />
hasrat menjadi ungkapan riil tentang manusia<br />
adalah hewan yang jenius, serba bisa namun<br />
sekaligus serakah dan egois.<br />
(4) Teori Evolusi; teori evolusi dalam<br />
biologi dan psikologi saat ini telah menyeret kita<br />
memahami akan pentingnya survival for the fitest,<br />
yang alih-alih memperlihatkan egoisnya manusia,<br />
namun pada kenyataannya hal itu memperlihatkan<br />
tentang hubungan untung rugi bagi manusia;<br />
tolonglah aku maka kau akan ku tolong, garuklah<br />
punggungku, nanti kalo punggungmu gatal akan<br />
ku bantu untuk menggaruk. Ungkapan demikian<br />
memperlihatkan seolah-olah manusia saling<br />
menghargai, namun pada kenyataannya tidak.<br />
Manusia sebagaimana dikatakan dalam bukunya<br />
Dawkins “The Selfish Gene,” pada dasarnya<br />
(secara genetis) sangat egois itu pada akhirnya<br />
menikmati persaingan yang kejam dengan<br />
mengalahkan gen-gen lainnya? Kekonyolan<br />
yang aneh, karena sesungguhnya gen tidak egois,<br />
namun lingkunganlah yang membentuk mereka<br />
seperti itu.<br />
(5) Determinisme dan kesia-siaan.<br />
Pandangan ini menyatakan bahwa “semua<br />
telah tersedia dalam gen”, etika menjadi tidak<br />
berguna. Persoalan ini membuat susunan genetik<br />
yang kita miliki menyiratkan kesia-siaan etika,<br />
terutama kesia-siaan petuah moral, pendidikan<br />
atau pengalaman. Ancamannya adalah efek<br />
pelumpuh setelah menyadari bahwa kita adalah<br />
“siapa diri kita” mamalia besar yang diciptakan<br />
sesuai perintah-perintah genetik sehingga<br />
kita tidak dapat melakukan apapun. Menurut<br />
124 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 117 -133<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 124 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:23 PM
pandangan ini moral mungkin tidak bermanfaat<br />
sebab berupaya mengubah alam yang sudah<br />
tetap. Oleh karena itu tidaklah mengherankan<br />
apabila kebohongan, ketidakjujuran, perilaku<br />
manipulatif, kekerasan, koruptif merupakan<br />
kegiatan yang lazim kita dapati, dan seolah-olah<br />
memperlihatkan bahwa kita menjalani kehidupan<br />
dengan ketidakberdayaan dan kesia-siaan.<br />
(6) Tuntutan-tuntutan yang tidak masuk<br />
akal; tentang hal ini kita dapat membahasnya<br />
paling tidak dari dua hal. Pertama, misalnya<br />
mari kita lihat moralitas yang berpusat pada<br />
sekumpulan aturan yang sederhana namun abstrak<br />
“janganlah berdusta”, renungkanlah, maka kita<br />
cenderung untuk menyetujuinya. Namun kedua,<br />
bagaimana dengan “dusta putih” yaitu dosa yang<br />
diterima dan diampuni secara sosial, semacam<br />
dusta keputusasaan yang diucapkan karena jika<br />
kebenaran disampaikan akan mengakibatkan<br />
bencana; semisal berbohong kepada seorang<br />
pembunuh gila bahwa anak kita sedang tidak<br />
ada di rumah. Atau misalnya ketika pramugari<br />
dan pilot mengatakan kepada penumpang (untuk<br />
membuatnya tenang dan tidak panik), bahwa<br />
pesawat hanya mengalami guncangan kecil,<br />
sekalipun kondisinya pesawat itu sebentar lagi<br />
jatuh. Atau seorang suster dan dokter atau seorang<br />
istri yang berkata kepada suaminya bahwa<br />
kankernya bukan kanker yang ganas padahal<br />
dapat membunuhnya; Oleh karena itu penting<br />
bagi moralitas bahwa hendaknya etika memuat<br />
apa saja yang kita tuntut harus masuk akal satu<br />
sama lain. Artinya kita ingin merespon tuntunantuntunan<br />
yang masuk akal, karena kita tidak<br />
dapat menyelesaikan seluruh persoalan dunia,<br />
tetapi penting bagi kita untuk melakukan langkah<br />
terbaik guna mengatasi persoalan-persoalan<br />
yang sanggup kita selesaikan. Sepertinya optimis<br />
namun itu sangat mengganggu.<br />
(7) Kesadaran palsu. Pada tataran ini<br />
kita menemukan banyak argumen tentang etika<br />
yang berfunngsi lain, misalnya bagi seorang<br />
feminis, etika dalam banyak hal adalah instrumen<br />
penindasan, terutama melihat perspektif lakilaki<br />
yang memperlakukan wanita sebagai<br />
makhluk lemah yang harus dilindungi adalah<br />
upaya pelemahan wanita itu sendiri; atau dalam<br />
perspektif Marxis, dikatakan bahwa etika sebagai<br />
sebuah alat perlindungan kelas, khususnya kelas<br />
yang berkuasa, bahkan dalam banyak kasus etika<br />
merupakan sarana yang ampuh untuk menahan<br />
intervensi hukum terhadap profesi tertentu.<br />
Sekalipun terdapat kebenaran di dalamnya namun<br />
kita menyadari bahwa hal itu adalah aspek minor<br />
atau lokal dari persoalan yang tengah kita bahas<br />
sesungguhnya.<br />
Analisis<br />
Putusan No. 36P/Hum/2011 memperlihatkan<br />
sesuatu yang menarik untuk dikaji karena secara<br />
substantif, putusan itu tidak saja memperlihatkan<br />
cara bernalar yang keliru, namun lebih dari itu<br />
memperlihatkan suasana batin dua kelembagaan<br />
tinggi negara yang ada di wilayah yudikatif,<br />
dengan kewenangan yang berbeda berselisih<br />
paham yaitu <strong>Komisi</strong> <strong>Yudisial</strong> dan MARI.<br />
Sekalipun di permukaan persoalan itu tidak<br />
mencuat, namun hampir dapat dipastikan kedua<br />
lembaga masih belum berjalan harmonis dalam<br />
upaya pengembangan hakim di Indonesia.<br />
<strong>Komisi</strong> <strong>Yudisial</strong>, paling tidak memiliki tujuan<br />
Pertama; melakukan monitoring secara intensif<br />
terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman<br />
dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat;<br />
Kedua; meningkatkan efisiensi dan efektifitas<br />
kekuasaan kehakiman baik yang menyangkut<br />
rekrutmen hakim agung maupun monitoring<br />
Problematika Nalar dan Kekuasaan (Anthon F. Susanto) | 125<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 125 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:23 PM
perilaku hakim. Ketiga; menjaga kualitas dan<br />
konsistensi putusan lembaga peradilan, karena<br />
senantiasa diawasi secara intensif oleh lembaga<br />
yang benar-benar independen. Keempat; menjadi<br />
penghubung antara kekuasaan pemerintah<br />
dan kekuasaan kehakiman untuk menjamin<br />
kemandirian kekuasaan kehakiman.<br />
Di samping tujuan sebagaimana <strong>Komisi</strong><br />
<strong>Yudisial</strong> dibentuk, terdapat beberapa tugas<br />
utama mulai sebagai berikut: (1) mengusulkan<br />
pengangkatan Hakim Agung, yang mencakup<br />
(a) melakukan pendaftaran calon Hakim Agung;<br />
(b) melakukan seleksi terhadap calon Hakim<br />
Agung; (c) menetapkan calon Hakim Agung;<br />
dan; (d) mengajukan calon Hakim Agung ke<br />
DPR. (2) menjaga dan menegakkan kehormatan,<br />
keluhuran martabat serta perilaku Hakim,<br />
dengan cakupan tugas: (a) menerima laporan<br />
pengaduan masyarakat tentang perilaku hakim,<br />
(b) melakukan pemeriksaan terhadap dugaan<br />
pelanggaran perilaku hakim, dan (c) membuat<br />
laporan hasil pemeriksaan berupa rekomendasi<br />
yang disampaikan kepada Mahkamah Agung dan<br />
tindakannya disampaikan kepada Presiden dan<br />
DPR.<br />
<strong>Komisi</strong> <strong>Yudisial</strong> tidak sendiri dalam<br />
melaksanakan tugasnya, ada dua lembaga formal<br />
lain yang terkait, yaitu Mahkamah Agung (sudah<br />
lebih dulu menjalankan fungsi pengawasan<br />
perilaku hakim) dan Dewan Perwakilan Rakyat,<br />
lembaga legislatif yang berperan sebagai sarana<br />
kontrol untuk merekrut para hakim. Di samping<br />
kelembagaan formal sebagaimana dijelaskan<br />
di atas, terdapat unsur lain yang sangat penting<br />
yaitu masyarakat dan media yang tidak hanya<br />
berfungsi sebagai pengontrol, namun juga<br />
sekaligus penekan yang dapat mempengaruhi<br />
relasi keseluruhan tugas-tugas <strong>Komisi</strong> <strong>Yudisial</strong>,<br />
Mahkamah Agung dan DPR.<br />
Ada kemungkinan (sangat terbuka), muncul<br />
persoalan dalam ruang lingkup tugas antara<br />
<strong>Komisi</strong> <strong>Yudisial</strong> dengan Mahkamah Agung,<br />
karena keduanya menjalankan fungsi yang<br />
sama dalam penegakan etika, sebagaimana yang<br />
terjadi di dalam substansi putusan Nomor 36P/<br />
Hum/2011. Permohonan yang dilakukan mantan<br />
Hakim Agung (menjadi pengacara) terhadap<br />
substansi/materi kode etik yang disepakati oleh<br />
<strong>Komisi</strong> <strong>Yudisial</strong> dengan Mahkamah Agung barubaru<br />
ini tidak dapat dilihat hanya merupakan<br />
perselisihan substansi kode etik.<br />
Majelis hakim dalam memutus perkara<br />
itu berpendapat bahwa SKB (yang dibuat<br />
antara MARI dan KY) dianggap/dipandang<br />
bertentangan dengan Pasal 41 ayat (2) dan<br />
ayat (3) UU Nomor 48 Tahun 2009 jo Undang-<br />
Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan<br />
Kedua atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang<br />
Mahkamah Agung. Alasan yang dikemukakan<br />
oleh majelis hakim (dalam logika majelis hakim)<br />
bahwa SKB, tidak memuat norma etik, namun<br />
norma hukum, yang dalam prakteknya (diduga)<br />
dapat mengintervensi kebebasan hakim dalam<br />
memutus perkara (penjelasan dapat dilihat hal.<br />
48-dst Putusan MA Nomor 36P/HUM/2011).<br />
Majelis hakim menyatakan bahwa wilayah<br />
SKB khususnya pasal yang diuji ternyata sudah<br />
masuk soal pengetahuan dan pemahaman yang<br />
masuk ke wilayah kognitif bukan masalah<br />
perilaku (lihat secara panjang lebar dalam hal.<br />
49-dst putusan tersebut).<br />
Majelis hakim juga berpendapat bahwa<br />
frasa-frasa yang ada dalam SKB dapat<br />
menimbulkan persoalan yang mengarah kepada<br />
persoalan teknis hukum yang bukan kewenangan<br />
<strong>Komisi</strong> <strong>Yudisial</strong> (lihat hal. 51-dst).<br />
126 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 117 -133<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 126 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:23 PM
Benarkah norma etik bertentangan dengan<br />
norma hukum? Terdapat relasi kuat di antara<br />
nilai dengan norma hukum dan norma etika yang<br />
tidak bersifat saling berlawanan (meskipun dapat<br />
muncul konflik norma) mengingat sumber kedua<br />
norma itu tidak lain adalah nilai-nilai. Kode etik<br />
dapat bersumber dari norma-norma hukum, di<br />
samping berasal dari norma-norma yang lainnya.<br />
Demikian pula sebaliknya, penetapan apakah<br />
sebuah norma termasuk ke dalam norma hukum<br />
atau norma etika, tidaklah didasarkan kepada<br />
“redaksi norma itu” namun mencakup berbagai<br />
aspek seperti, dilihat dari bentuknya, daya<br />
berlakunya, penetapannya dan lain lain.<br />
Terhadap hal demikian dapat dijelaskan<br />
sebagai berikut: Norm berasal dari bahasa latin<br />
“norma” dimaknai secara eksklusif “suatu<br />
ketertiban, preskripsi atau perintah di samping<br />
juga memberikan kewenangan, mengizinkan dan<br />
penderogasian dan lain-lain.” Norm tidak harus<br />
selalu tertulis, dan hakekatnya adalah kristalisasi/<br />
konkretisasi dari nilai-nilai; Tidak hanya<br />
mengandung satu nilai, namun dipastikan bahwa<br />
tidak ada norma yang tidak mengandung nilai.<br />
Norma -preskripsi- perintah- ekspresi verbalnya<br />
adalah sebuah pernyataan keharusan (oughtstatement);<br />
Makna dari suatu tindakan kemauan,<br />
yakni sebuah tindakan yang ditujukan pada<br />
tingkah laku yang maknanya adalah seharusnya<br />
bertingkah laku dengan cara tertentu.<br />
Norma etika atau norma hukum, memiliki<br />
sumber yang sama yaitu nilai-nilai (khususprofesi<br />
atau umum). Kode etik tidak lain adalah<br />
norma -moralitas positif; sedangkan aturan adalah<br />
norma- hukum positif yang keduanya dalam<br />
banyak hal saling meneguhkan dan menguatkan<br />
karena dasar-dasarnya. Dalam realitasnya hukum<br />
(sebagai sistem sosial), bersama dengan budaya,<br />
teknologi, politik, dll, dapat menjadi fondasi atau<br />
dasar pembentukan kode etik.<br />
Kode etik menurut E. Bodenheimer dapat<br />
dikelompokkan sebagai jenis aturan yang disebut<br />
dengan autonomic legislation artinya bukan<br />
merupakan bagian dari hukum positif, namun<br />
disadari atau tidak secara diam-diam diadopsi<br />
menjadi salah satu sumber hukum formal sebagai<br />
contoh dalam Pasal 17 UU No. 8 Tahun 1999tentang<br />
perlindungan konsumen “melarang<br />
pelaku usaha periklanan memproduksi iklan yang<br />
melanggar etika dan/atau UU”.<br />
Mencermati putusan MARI Nomor 36P/<br />
Hum/2011, terdapat kekeliruan pertimbangan<br />
majelis hakim dalam menilai norma etik dan<br />
norma hukum yang dikatakan bertentangan?<br />
a. Dalam pertimbangannya hakim memandang<br />
bahwa ada pertentangan antara Norma<br />
Hukum yang diatur dalam UU dengan<br />
SKB, tentang Kode Etik; Bertentangan<br />
artinya adanya kontradiksi norma atau<br />
konflik norma yang mungkin terjadi.<br />
b. Secara filosofis konflik antara dua norma<br />
terjadi jika dalam mematuhi atau menerapkan<br />
norma yang satu niscaya norma yang<br />
lainnya mungkin terlanggar. Artinya konflik<br />
dapat bersifat bilateral atau unilateral. Ia<br />
adalah bilateral jika dalam mematuhi atau<br />
menerapkan masing-masing dari kedua<br />
norma itu, konflik itu adalah unilateral jika<br />
kepatuhan atau aplikasi dari hanya satu dari<br />
kedua norma itu melanggar yang lainnya.<br />
c. Konflik adalah total jika suatu norma<br />
memerintahkan tingkah laku tertentu yang<br />
dilarang oleh orang yang lainnya. Konflik<br />
itu adalah parsial jika isi dari salah satu<br />
norma hanya secara parsial berbeda dari isi<br />
norma yang lainnya.<br />
Problematika Nalar dan Kekuasaan (Anthon F. Susanto) | 127<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 127 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:23 PM
d. Melihat argumen hakim dalam putusan<br />
Nomor 36P/Hum/2011 tidak jelas<br />
maksudnya dengan pertentangan antara<br />
norma etika dan norma hukum (SKB dan<br />
UU). Secara tekstual (rumusan pasal)<br />
tidak ada frasa yang dimaksudkan sebagai<br />
pertentangan norma/konflik norma; yang<br />
nampak adalah Norma SKB menguatkan<br />
norma yang ada dalam undang-undang,<br />
demikian sebaliknya.<br />
e. Namun yang dimaksud oleh Majelis Hakim<br />
sebuah pertentangan adalah sesuatu “yang<br />
dikhawatirkan bertentangan”, ini jelas<br />
berbeda. Alasan yang dikemukakan bahwa<br />
teks norma etik (SKB) bersifat multitafsir,<br />
sehingga dikhawatirkan bertentangan;<br />
Argumentasi ini keliru, karena semua<br />
aturan dan norma manapun selalu bersifat<br />
multitafsir. Majelis hakim tengah membuat<br />
(imajinasi) “kemungkinan pertentangan”<br />
yang diterapkan kepada kenyataannya<br />
(yang sesungguhnya harmonis). Misalnya<br />
beberapa kalimat dalam putusan menjelaskan<br />
hal itu…”mengandung frasa atau rumusan<br />
yang longgar” ….pada peristiwa inconcrito<br />
dapat membahayakan kemerdekaan<br />
hakim…” (hal. 48 putusan ) “…kalimatkalimat<br />
yang dapat mengarah kepada<br />
hukum acara yang dapat menimbulkan<br />
konotasi…..” (hal. 36 putusan).<br />
f. Hakim seyogianya membuktikan adanya<br />
pertentangan norma yaitu menguji<br />
berdasarkan salah satu model konflik<br />
norma sebagaimana telah disebutkan<br />
dan bukan mempersoalkan bentuk<br />
SKB tersebut. Artinya, hakim dalam<br />
penalarannya “hanya memperhatikan baju<br />
tanpa memperhatikan substansi”, namun<br />
menarik kesimpulan dengan mengatakan<br />
“bahwa substansi bertentangan karena<br />
bajunya”? Sebagaimana dalam kalimat “…<br />
dengan demikian butir-butir dalam SKB a<br />
quo pada hakekatnya bertentangan dengan<br />
UU…” (hal. 52 putusan).<br />
g. Terlihat bahwa pertimbangan hukum ini<br />
jelas mengada-ada, semacam pengelabuan<br />
pikiran atau logika, bersifat mengawangawang<br />
dan tanpa dasar (Grundlos).<br />
h. Karena pertimbangan hakim mengukur<br />
konflik norma bukan dengan normanorma<br />
lain (sederajat atau lebih tinggi)<br />
tetapi mengujinya dengan “kemungkinankemungkinan<br />
yang tidak bisa diprediksi”<br />
atau kekhawatiran-kehawatiran yang masih<br />
belum tentu terjadi”. Hakim mengalami<br />
sebuah sindrome paranoid, ketakutan yang<br />
berlebihan di dalam mengukur relasi antara<br />
norma hukum dan etik.<br />
Putusan MARI Nomor 36P/Hum/2011 juga<br />
telah keliru menafsirkan makna perilaku dengan<br />
makna kognitif dengan hakekat kemandirian:<br />
a. Perilaku dalam konsep keilmuan mencakup<br />
aspek-aspek yang sangat luas dalam<br />
pengertian manusia yang utuh, yaitu<br />
biologis, psikologis, kultural, sosial dan<br />
lain-lain. Perilaku mencakup aspek fisik<br />
dan juga psikis termasuk di dalamnya<br />
kecerdasan dan pemahaman, kesadaran dan<br />
pengetahuan, keyakinan dan lain-lain.<br />
b. Dalam kegiatan riset-riset ilmiah mengenai<br />
perilaku, maka kecerdasan, pemahaman,<br />
kesadaran dan juga pengetahuan merupakan<br />
pintu masuk dalam upaya memahami<br />
perilaku tersebut.<br />
128 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 117 -133<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 128 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:23 PM
c. Memahamkan perilaku manusia tanpa<br />
melibatkan aspek kesadaran, pemahaman,<br />
pengetahuan atau aspek-aspek kognitif<br />
lainnya, jelas adalah penggambaran<br />
perilaku manusia otomat atau manusia yang<br />
dianggap robot/sempit dan mengkerdilkan<br />
hakekat manusia itu sendiri (yang sama<br />
sekali tidak ada dalam kehidupan nyata).<br />
d. Dengan demikian jelas bahwa aspek<br />
kognitif dengan perilaku itu merupakan satu<br />
kesatuan bukan sesuatu yang terpisah pisah.<br />
e. Pendapat majelis hakim dalam perkara ini<br />
membedakan antara perilaku dengan aspek<br />
kognitif sebagaimana dijelaskan dalam<br />
pertimbangan hukum “Rumusan ini tidak<br />
memuat sebuah cakupan perilaku tetapi<br />
soal pengetahuan atau pemahaman yang<br />
masuk ke wilayah kognitif….” (hal. 50).<br />
f. Majelis hakim juga berpendapat bahwa<br />
rumusan sebagaimana di atas dianggap<br />
tidak jelas dan merasa (merasa khawatir)<br />
“kemungkinan dapat membahayakan<br />
kemandirian hakim”. Hal ini menurut<br />
penulis “terlalu berlebihan”, karena<br />
sesungguhnya penggunaan frasa yang<br />
dijelaskan di atas, adalah frasa yang umum<br />
dimuat dalam kode etik (seharusnya hakim<br />
memperhatikan rumusan ragam kode etik<br />
sebagai pembanding) sebagai wujud dari<br />
nilai-nilai profesi yang diemban: Misalnya<br />
dalam kode etik hakim kita menemukan<br />
ungkapan “..hakim memutus berdasarkan<br />
keyakinan dan hati nurani…….”, atau<br />
“hakim harus bertindak menurut garis-garis<br />
yang ditetapkan dalam hukum acara…”<br />
dalam kode etik Notaris, “melakukan<br />
perbuatan-perbuatan secara umum disebut<br />
sebagai kewajiban untuk ditaati yang tidak<br />
terbatas pada ketentuan yang tercantum<br />
dalam UU Nomor 30 Tahun 2004…dst”.<br />
g. Apabila memperhatikan nilai-nilai<br />
kode etik dalam sebuah profesi hukum,<br />
khususnya hakim, bahwa pasal-pasal yang<br />
dimuat dalam SKB, khususnya pasal yang<br />
diuji materiil-kan memuat nilai-nilai dasar<br />
dari profesi, misalnya saja dalam Pasal 8.1.<br />
termuat nilai-nilai profesi yang mencakup<br />
“bersikap adil”, “bertanggungjawab”<br />
dan nilai “metodologis” atau Pasal 10.4.<br />
mengandung nilai “tanggung jawab”,<br />
“amanah”, “cakap” dan “cermat”.<br />
Lantas mungkinkah nilai-nilai dasar profesi<br />
yang dimuat dalam SKB itu bertentangan dengan<br />
‘kemandirian hakim”? Penulis berpendapat<br />
bahwa pertimbangan hakim dalam bagian ini<br />
lebih banyak bertujuan melindungi kepentingan<br />
hakim MA sebagai lembaga yudisial yang akan<br />
terkena secara langsung oleh SKB tersebut. Hal di<br />
atas atau argumentasi di atas sangat nyata ketika<br />
di dalam beberapa uraian pertimbangan majelis<br />
hakim dalam putusan 36P/Hum/2011, terlihat<br />
dituangkan beberapa kalimat yang menjadi dasar<br />
keberatan seperti “..memanggil dan memeriksa<br />
hakim, mempersoalkan proses persidangan,<br />
memeriksa putusan, terkait dengan teknis<br />
peradilan adalah tidak tepat”.. dan seterusnya..<br />
(hal. 51 putusan ), seolah-olah posisi hakim atau<br />
kekuasaan hakim menjadi rusak oleh rumusan<br />
rumusan kode etik yang dipersoalkan tersebut.<br />
Pertimbangan putusan ini juga<br />
memperlihatkan keberatan dari institusi<br />
MA tentang kinerja para hakimnya karena<br />
kekhawatiran bahwa SKB dapat mengintervensi<br />
cara bernalar hakim dan juga perilaku hakim.<br />
“Perilaku menyimpang” dari hakim bukan<br />
sebuah peristiwa kasat mata, namun sebuah<br />
Problematika Nalar dan Kekuasaan (Anthon F. Susanto) | 129<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 129 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:23 PM
fungsi laten dari hukum kebanyakan hakim -hasil<br />
penelitian- menggunakan putusan sebagai tempat<br />
untuk bersembunyi dari perilaku-perilaku tidak<br />
etis dan perilaku lainnya. Pertimbangan hukum<br />
majelis hakim yang menghendaki ada unsur<br />
“kesengajaan” (hal. 51) terhadap ketentuan yang<br />
diuji materiilkan, sangat tidak tepat, karena unsur<br />
etik tidak berbicara semata-mata aspek tersebut.<br />
Putusan hakim sesungguhnya hanya sebagai<br />
medium untuk melihat sebagian nilai-nilai dasar<br />
profesi hakim, misalnya, apakah dirinya cermat,<br />
cerdas, teliti, adil, amanah dan lain-lain. Putusan<br />
hakim adalah cerminan perilaku hakim. Tugas<br />
hakim menurut Hakim Agung Amerika Serikat,<br />
Oliver Wendell Holmes Jr., bahwa memutus<br />
bukan semata-mata proses silogisme matematis<br />
dan mekanis, namun sebuah makna yang sangat<br />
luas “…the life of the law has not been logic; it<br />
is has been experience. The felt necessities of the<br />
time, the prevalent moral and political theories,<br />
institution of public policy avowed or unconscious,<br />
even the prejudices which judges share with their<br />
fellow…” Holmes juga mengatakan, “The law<br />
embodies the story of a nation’s development<br />
through many centuries, and it can not be dealt<br />
with as if it contained only the axioms and<br />
corollaries of a book of mathematics”.<br />
Dengan demikian putusan hakim merupakan<br />
cermin dari sikap, moralitas, penalaran dan banyak<br />
hal lainnya yang digambarkan oleh Holmes<br />
sebagai pengalaman. Hal itu mengisyaratkan<br />
bahwa putusan hakim akan sangat berwatak<br />
relativisme cultural, atau dengan mengambil<br />
pandangan Brianz Tamanaha tentang “mirror<br />
thesis” maka putusan merefleksikan seperti cermin<br />
dari si pemutusnya” (Holmes, The Common Law<br />
(Boston; Little Brown, 1963). Beberapa cacatan<br />
yang hampir sama dapat ditemukan pula dalam<br />
buku: Julius J. Marke, The Holmes Reader (New<br />
York: Oceana’s Docket Books, 1955), hal. 65-70),<br />
Brian Z. Tamanaha, A general Jurisprudence of<br />
Law and Society, Oxford University Press, 2006),<br />
hal. 1-3, dan Werner Menski dalam, Comparative<br />
Law In Global Context: The Legal system of Asia<br />
and Africa, Cambridge University Press, 2006,<br />
hal. 3-dst.<br />
Sekalipun tugas hakim sangat berat, hakim<br />
tetaplah seorang manusia biasa yaitu makhluk<br />
biologis, yang memiliki juga hak psikologis yaitu<br />
untuk menjadi takut, berani, jujur, khilaf, salah,<br />
dan lainnya. Hakim juga sesungguhnya terkait<br />
dengan orang-orang terdekatnya, keluarganya<br />
lingkungan dan pendidikannya dengan demikian<br />
perlu disadari bahwa tidak ada model yang<br />
sama dari hakim. Apabila secara yuridis dapat<br />
mengatakan bahwa seluruh Indonesia hanya<br />
ada satu model hakim saja, sebagaimana tertera<br />
dalam peraturan hukum, namun secara sosiologi<br />
hukum, ada lebih dari satu hakim atau ada lebih<br />
dari satu macam hakim di Indonesia.<br />
Pada titik ini kita dapat melihat hakim tidak<br />
hanya sebagai seorang birokrat hukum semata,<br />
(Lihat dalam Abraham S. Blumberg, Criminal<br />
justice (Burns and MacEachem Ltd., 1970), hal.<br />
1-5). Namun juga sebagai manusia, yang terdiri<br />
dari berbagai variabel yang dapat melekat pada<br />
seorang hakim, seperti usia, latar belakang sosial,<br />
rasa atau etnis, agama, pendidikan, pengalaman,<br />
dan lain-lain yang keseluruhannya memiliki<br />
peluang untuk turut menentukan bagaimana<br />
kecenderungan seorang hakim untuk memutus<br />
dan dengan demikian melahirkan berbagai tipe<br />
hakim, dan dengan menyitir pendapat Satjipto<br />
Rahardjo, maka kita dapat mengatakan paling<br />
tidak ada dua tipe hakim. Pertama, hakim yang<br />
apabila memeriksa, terlebih dahulu menanyakan<br />
hati-nuraninya atau mendengarkan putusan hati<br />
nuraninya dan kemudian mencari pasal-pasal<br />
130 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 117 -133<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 130 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:24 PM
dalam peraturan untuk mendukung putusan<br />
tersebut. Kedua, hakim yang apabila memutus<br />
terlebih dahulu berkonsultasi dengan kepentingan<br />
perutnya dan kemudian mencari pasal-pasal<br />
untuk memberikan legitimasi terhadap putusan<br />
perutnya (Rahardjo, Kompas, 2003: 225).<br />
Hakim seyogianya bertugas untuk<br />
kepentingan rakyat dan bukan sebaliknya, dalam<br />
hubungan ini pekerjaan hakim menjadi semakin<br />
kompleks. Hakim tidak hanya mendengarkan<br />
dengan telinga subjektif, tetapi juga dengan<br />
”telinga sosial”. Seorang hakim bukan hanya<br />
teknisi undang-undang, tetapi juga makhluk<br />
sosial, karena itu, pekerjaan hakim sungguh mulia<br />
karena itu bukan hanya memeras otak, tetapi<br />
juga nuraninya. Hakim demikian itu, menjadikan<br />
dirinya bagian dari masyarakat dan akan selalu<br />
menanyakan ”apakah peran yang bisa saya<br />
berikan bagi masyarakat? Pendek kata hakim<br />
model ini akan senantiasa meletakkan telinganya<br />
ke degup jantung rakyatnya.<br />
Berdasarkan uraian sebagaimana dijelaskan<br />
di atas, dapat dijelaskan argumen akhir sebagai<br />
berikut:<br />
a. Putusan ini apabila dikaji secara filosofis/<br />
filsafat hukum sama sekali tidak memiliki<br />
dasar (Grundlos), Majelis Hakim tidak<br />
mampu menguji pertentangan Norma<br />
(Hukum dengan Kode Etik) dan tidak<br />
mampu membuktikan adanya konflik<br />
norma di dalamnya, baik secara hirarkhis<br />
(relasi horizontal maupun vertikal dalam<br />
relasi norma), juga secara faktual dalam<br />
realitas atau kenyataannya:<br />
b. Putusan Mahkamah Agung Nomor 36P/<br />
Hum Tahun 2011 juga memperlihatkan<br />
relasi kuasa dan arogansi kelembagaan<br />
daripada sebuah upaya perbaikan bagi<br />
kehidupan hakim dan peradilan sehingga<br />
memperlihatkan atau merupakan gambaran<br />
realitas bahwa putusan hakim seringkali<br />
menjadi tempat bersembunyi bagi<br />
perilaku-perilaku tidak etis. Putusan ini<br />
mendekonstruksi dirinya melalui petitum<br />
dan pertimbangannya.<br />
c. Semangat untuk melakukan perbaikan<br />
terhadap kualitas hakim dan sistem<br />
peradilan juga tidak tercermin dalam<br />
putusan itu, tetapi malah sebaliknya,<br />
menciptakan situasi ketidakmenentuan,<br />
kecemasan dan juga suasana yang semakin<br />
semerawut (upaya pembiaran terjadinya<br />
kevakuman kode etik). Sementara di satu<br />
sisi hakim terus mengalami kemerosotan<br />
moral sangat tajam.<br />
SIMPULAN<br />
Problematika Nalar dan Kekuasaan (Anthon F. Susanto) | 131<br />
IV.<br />
Sebagai uraian akhir dapat disampaikan<br />
beberapa hal sebagai berikut: Peradaban modern<br />
sebagaimana dikatakan Ali Harb (2003: 210),<br />
bertumpu pada kekuasaan nalar, namun ia<br />
melahirkan kegilaan dan kesia-siaan. Peradaban<br />
modern berusaha keras untuk membebaskan<br />
pemikiran dari otoritas spiritual dan metafisik,<br />
dan peradaban ini menciptakan Tuhan baru.<br />
Peradaban ini bertumpu pada manusia, akan tetapi<br />
ia membiarkannya menjadi mangsa hawa nafsu<br />
dan permainannya. Peradaban modern juga ingin<br />
membebaskan kehendak, tetapi mengakibatkan<br />
bertambah terbelenggu, dan mengantarkan kita<br />
pada era kekerasan dan keseimbangan rasa<br />
takut, dengan menyitir Roger Garaudy, saya<br />
dapat mengatakan bahwa hakim hidup di tengah<br />
peradaban yang bertambah namun semakin<br />
tak terkendali sehingga dapat dikatakan bahwa<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 131 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:24 PM
penegakan hukum dan etika adalah semacam<br />
merentangkan benang basah, yang tidak mungkin<br />
terentang dengan sendirinya, dan tidak mungkin<br />
dapat dilakukan oleh satu lembaga saja.<br />
Benang basah hanya dapat ditarik dengan<br />
kuat oleh (minimal) dua lembaga, sehingga<br />
benang basah akan terentang. Ini tidaklah<br />
berkait dengan kompromi kelembagaan, namun<br />
menyangkut komitmen yang kuat dari lembaga<br />
yudisial untuk merentangkannya. Artinya masingmasing<br />
memegang ujung talinya dengan sangat<br />
kuat, bahwa masing-masing saling percaya dan<br />
memiliki visi untuk memperbaiki, sehingga<br />
egoisme kekuasaan dapat dikekang. Apabila itu<br />
dapat dilakukan maka diharapkan penegakan<br />
hukum dan etika menjadi lebih mudah, dan efekefek<br />
yang muncul dapat diminimalisir.<br />
Penegak hukum yaitu para hakim harus<br />
mampu menjalankan fungsi yang lebih baik<br />
ketika harus memilih kepentingan pribadi atau<br />
orang lain, memilih kejujuran atau kekuasaan,<br />
etika dan moralitas atau gemerincing emas?<br />
Hakim jenis ini apabila memutus, terlebih<br />
dahulu akan berkonsultasi dengan nuraninya<br />
dan kemudian mencari hukum untuk menopang<br />
nuraninya tersebut, hakim tipe ini merupakan<br />
hakim progresif. Situasi saat ini memperlihatkan<br />
bahwa masyarakat, pengadilan atau hakim kita<br />
mengalami problem filosofis? Atau lebih khusus<br />
dikatakan problem moralitas? Problem etika di<br />
lingkungan penegak hukum? Kita menyadari<br />
sepenuhnya bahwa hidup dalam situasi saat itu<br />
dapat menyeret pemahaman dan pengetahuan<br />
kita kepada kondisi ketidak menentuan -kondisi<br />
ketidakstabilan, dan dalam situasi itu penting<br />
diperhatikan berbagai ancaman yang saat ini<br />
berlangsung yang dapat menghancurkan, merusak<br />
moralitas dan etika kehidupan kita.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Rich On lies, Adrienne Cecile. 1980. secrets, and<br />
silence; selected prose 1966-1978. London:<br />
Virago.<br />
Marxisme, Alan Hunt. 1987. Analisa Hukum;<br />
dalam Adam Podgorecki dan Christopher<br />
J. Whelan, Pendekatan Sosiologis terhadap<br />
Hukum. Jakarta: Bina Aksara.<br />
Ali Harb. 2003. Hermeneutika Kebenaran.<br />
Jogyakarta: LKiS.<br />
Kurnianingsih, Ambarwati. 2008. Simulacra<br />
Bali; Ambiguitas Tradisionalisasi orang<br />
Bali. Insist.<br />
Tamanaha, Brian Z. 2001. General Jurisprudence<br />
of Law and Society. Oxford: UK Oxford<br />
University Press<br />
Hughes. Graham. 1962. Morals and the Criminal<br />
Law. 71 Yale Journal.<br />
Hart, HLA Law. 2009. Liberty and Morality;<br />
Hukum, Kebebasan, dan Moralitas.<br />
Jogyakarta: Genta Publishing.<br />
A Pack of Lies, JA Barnes. 2005. Sosiologi<br />
Kebohongan dan Psikologi Akal Bulus.<br />
Jogyakarta: Qalam.<br />
Baudrillard, Jean. 1983. Simulation, Semiotextce,<br />
New York (terj) Paul Foss, Paul Patton, dan<br />
Philip Beichman.<br />
Ekman, Paul. 2009. Mendeteksi kebohongan<br />
dalam hubungan bisnis, politik dan<br />
pernikahan. Jogyakarta: Penerbit BACA.<br />
Tallis, Raymond. 1988. Not Saussure; a Critique<br />
of Post-Saussurean literary theory.<br />
Basingstoke: Macmillan.<br />
132 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 117 -133<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 132 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:24 PM
Gultom, Samuel. 2003. Mengadili Korban;<br />
Praktek pembenaran terhadap kekerasan<br />
Negara. Jakarta: Elsam.<br />
Rahardjo, Satjipto. 2010. Penegakan Hukum<br />
Progresif. Jakarta: Kompas.<br />
_______________. 2009. Hukum Progresif,<br />
Sebuah Sintesa Hukum Indonesia.<br />
Yogyakarta: Genta Publishing.<br />
_______________. 2003. Sosiologi Hukum,<br />
dalam Sisi sisi lain hukum di Indonesia.<br />
Jakarta: Kompas.<br />
Siegel. 1986. Solo in the New Order;<br />
Languange and Hierarchy in an Indonesian City.<br />
Princenton University Press.<br />
Sidharta. 2006. Moralitas Profesi Hukum,<br />
Suatu Tawaran Kerangka Berfikir. Bandung:<br />
Refika Aditama,<br />
Kriekhoff, Valerine. JL. 1997. Autonomic<br />
Legislation sebagai Sumber Hukum Formal<br />
dalam Penelitian Hukum, pidato pengukuhan<br />
guru besar di Fakultas Hukum Universitas<br />
Indonesia, Jakarta.<br />
Menski, Wener. 2006. “Comparative Law<br />
in a Global Context; The Legal system of Asia<br />
and Africa. Cambridge University Press.<br />
Bankowski, Z. dan Munghams, G. 1976.<br />
Images of Law. Routledge and Kegan Paul,<br />
London.<br />
Problematika Nalar dan Kekuasaan (Anthon F. Susanto) | 133<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 133 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:24 PM
ABSTRAK<br />
KETEPATAN HAKIM DALAM PENERAPAN<br />
Precautionary PrinciPle SEBAgAI “ius cogen”<br />
DALAM KASUS gUNUNg MANDALAWANgI<br />
Kajian Putusan Nomor 1794K/Pdt/2004<br />
THE AccURAcy OF IMPLEMENTINg PREcAUTIONARy<br />
PRINcIPLE AS “IUS cOgEN” IN THE cASE OF<br />
MT. MANDALAWANgI<br />
An Analysis on Decision Number 1794K/Pdt/2004<br />
Loura Hardjaloka<br />
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Kampus Baru UI Depok<br />
Email: loura.hardjaloka@ui.ac.id; la_niell@yahoo.com<br />
Diterima tgl 28 Mei <strong>2012</strong>/Disetujui tgl 18 Juli <strong>2012</strong><br />
Pelanggaran terhadap prinsip kehati-hatian<br />
melahirkan suatu tanggung jawab mutlak kepada<br />
parat tergugat tanpa bergantung pada ada tidaknya<br />
pembuktian dari para tergugat. Kasus sebagaimana<br />
dianalisis dalam artikel ini bukanlah bencana<br />
alam karena kejadiannya dapat diprediksi namun<br />
para tergugat tidak menjalankan prinsip kehatihatian<br />
untuk mencegahnya. Para tergugat berdalih<br />
bahwa prinsip ini belum menjadi hukum positif di<br />
Indonesia, akan tetapi prinsip ini telah dipandang<br />
sebagai ius cogen yaitu sebagai suatu norma yang<br />
diterima dan diakui oleh masyarakat Internasional<br />
secara keseluruhan serta sebagai norma yang tidak<br />
dapat dilanggar dan hanya dapat diubah oleh suatu<br />
norma hukum dasar Internasional umum yang baru<br />
yang mempunyai sifat yang sama.<br />
Kata kunci: prinsip kehati-hatian, ius cogen,<br />
tanggung jawab mutlak.<br />
abstract<br />
The absence of implementing the precautionary<br />
principle has to put forth the strict liability in the<br />
case of Mt. Mandalawangi. Such a liability will not<br />
depend on the existence of any legal proofs conveyed<br />
by the defendants. The incident of Mt. Mandalangi<br />
was not a natural disaster but could be predicted<br />
before. It happened because of the precautionalry<br />
principle disobedience. Despite admitting the<br />
violation, the defendants claim that this principle<br />
has not yet become a part of Indonesian positive<br />
law. Otherwise, the principle can be regarded as<br />
”ius cogen” that has been accepted and recognized<br />
by international communities. Ius cogen can be<br />
modified only by a new general and basic norm of<br />
international law with the same characteristic.<br />
Keywords: precautionary principle, ius cogen,<br />
strict liabilitity.<br />
134 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 134 -153<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 134 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:24 PM
I.<br />
PENDAHULUAN<br />
Menurut Pasal 1 angka 1 UU Nomor<br />
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan<br />
Pengelolaan Lingkungan Hidup, lingkungan<br />
hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda,<br />
daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk<br />
manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi<br />
alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan,<br />
dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup<br />
lain. Meskipun demikian, melihat pada kondisi<br />
lingkungan hidup sekarang sungguhlah sangat<br />
memprihatinkan.<br />
Berdasarkan faktor penyebabnya, bentuk<br />
kerusakan lingkungan hidup dapat dibedakan<br />
menjadi dua macam, yaitu: kerusakan lingkungan<br />
hidup akibat peristiwa alam dan kerusakan<br />
lingkungan hidup akibat faktor manusia. Salah<br />
satu contoh kejadian yang dianggap merupakan<br />
kerusakan lingkungan hidup adalah kasus<br />
Mandalawangi. Kasus yang terjadi pada tahun<br />
2003 ini, dianggap terjadi karena adanya faktor<br />
kelalaian manusia.<br />
Dalam kasus ini, dalih Para Tergugat<br />
bahwasanya longsor terjadi karena faktor bencana<br />
alam akan tetapi hal ini terasa janggal mengingat<br />
tidak terpenuhinya persyaratan untuk suatu<br />
kejadian lingkungan merupakan bencana alam.<br />
Tidak terpenuhinya dalih bencana alam salah<br />
satunya dikarenakan tidak diterapkannya prinsip<br />
kehati-hatian (Precautionary Principle) oleh<br />
Para Tergugat. Melihat hal tersebut maka perlu<br />
diketahui pula apa yang akan diterapkan untuk<br />
menghukum Para Tergugat, apakah Perbuatan<br />
Melawan Hukum (PMH) atau Strict Liability.<br />
Hal-hal inilah yang melatarbelakangi penulis<br />
untuk mengkaji kasus berdasarkan putusan ini<br />
secara mendalam.<br />
Kasus Posisi<br />
Dalam perkara Gunung Mandalawangi,<br />
Para Penggugat (warga Kecamatan Kadungora,<br />
Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat)<br />
mengajukan gugatan yang berdasarkan pada<br />
Strict Liability (kemudian menjadi Termohon<br />
Kasasi) terhadap Direksi Perum Perhutani Cq.<br />
Kepala Unit Perum Perhutani Unit III Jawa Barat<br />
(Tergugat I/Pemohon Kasasi I), Pemerintah<br />
Republik Indonesia Cq Presiden RI (Tergugat<br />
II/Pemohon Kasasi II), Pemerintah Daerah Tk.<br />
I Provinsi Jawa Barat Cq Gubernur Provinsi<br />
Jawa Barat (Tergugat III/Pemohon Kasasi III),<br />
Pemerintah Republik Indonesia Cq Presiden RI<br />
Cq Menteri Kehutanan RI (Tergugat IV/Pemohon<br />
Kasasi IV), dan Pemerintah Daerah Tk. II<br />
Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat Cq Bupati<br />
Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat (Tergugat<br />
V/Pemohon Kasasi V). Alasan pengajuan gugatan<br />
adalah sebagai berikut:<br />
Tergugat I diberikan hak untuk mengelola<br />
kawasan hutan produksi dan hutan lindung<br />
di Jawa Barat, in casu kawasan Gunung<br />
Mandalawangi, Garut berdasarkan<br />
PP Nomor 2 Tahun 1978 jo Kepmen<br />
Pertanian Nomor 43/KPTS/HUM/1978<br />
dan PP Nomor 53 Tahun 1999. Tergugat<br />
I sebagai pengelola hutan berkewajiban<br />
menyelenggarakan kegiatan perencanaan,<br />
penanaman, pemeliharaan, pemungutan<br />
hasil, pengolahan, dan pemasaran serta<br />
perlindungan dan pengamanan hutan<br />
dengan mengacu pada maksud dan tujuan<br />
perusahaan, yaitu melestarikan dan<br />
meningkatkan mutu sumber daya hutan<br />
dan mutu lingkungan hidup. Akan tetapi<br />
Tergugat I malah mengabaikan peraturan<br />
dan/atau menyimpang dari maksud<br />
dan tujuan perusahaan, yang diduga<br />
Ketepatan Hakim dalam Penerapan Precautionary Principle sebagai “Ius Cogen” (Loura Hardjaloka) | 135<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 135 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:24 PM<br />
•
•<br />
•<br />
•<br />
menyebabkan berkurangnya luas hutan di<br />
Jawa Barat tinggal 8%, termasuk hutan<br />
Mandalawangi, Garut.<br />
Tergugat III mengeluarkan SK Menhut<br />
Nomor 419/KPTS.II/1999 yang<br />
amarnya mengubah status hutan lindung<br />
Mandalawangi kepada Tergugat I,<br />
dianggap memberikan ‘peluang’ terhadap<br />
pelanggaran yang disebabkan Tergugat<br />
I dengan tidak memberikan pembinaan<br />
maupun tidak melakukan reboisasi setelah<br />
penebangan dan/atau mengubah hutan<br />
primair menjadi hutan sekunder.<br />
Tergugat I juga menciptakan lahan kosong<br />
dan lahan garapan pertanian yang kemudian<br />
dimanfaatkan penduduk di sekitar area<br />
hutan Mandalawangi yang mana Tergugat<br />
telah mengubah fisik dan/atau fungsi<br />
hutan yang dapat dikualifikasikan sebagai<br />
perusakan hutan (vide Pasal 50 ayat (2) UU<br />
Nomor 41 Tahun 1999).<br />
Akibat perbuatan Tergugat I tersebut, terjadi<br />
longsor di area hutan Mandalawangi dan<br />
menghancurkan area pemukiman penduduk.<br />
Berdasarkan hasil penyelidikan Direktorat<br />
Vulkanologi, faktor-faktor penyebab<br />
longsornya Gunung Mandalawangi adalah:<br />
a. ketebalan pelapukan tanah (3 meter);<br />
b. sarang (mudah meloloskan air);<br />
c. batuan vulkanik yang belum padu;<br />
d. kecuraman lereng 20-50 derajat dan<br />
bagian bawah relatif landai;<br />
e. adanya perubahan tata guna lahan<br />
bagian alas bukit dari tanaman keras/<br />
hutan ke tanaman musiman.<br />
Ternyata sebelum terjadi longsor, Tergugat<br />
I sudah mengakui sejak 6 bulan silam<br />
terdapat tiga titik rawan longsor di petak V<br />
dan empat titik di petak VI, tetapi Tergugat<br />
I tidak menanganinya secara khusus dan<br />
tidak mengumumkan kepada masyarakat<br />
dan pihak-pihak terkait, termasuk Pemda<br />
Kabupaten Garut.<br />
Tindakan Tergugat I juga dianggap sebagai<br />
kelalaian dari Tergugat II, IV, dan V dalam<br />
melaksanakan kewajibannya melakukan<br />
pengurusan hutan.<br />
136 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 134 -153<br />
•<br />
•<br />
Peristiwa longsor ini telah mengakibatkan<br />
kerugian berupa terputusnya lalu lintas<br />
Bandung-Garut lewat Japati serta adanya<br />
korban jiwa dan harta benda; sehingga para<br />
Tergugat seharusnya bertanggungjawab<br />
secara mutlak (strict liability) dengan<br />
melakukan relokasi dan membayar<br />
kompensasi yang sesuai.<br />
Adapun putusan hakim ialah sebagai<br />
berikut:<br />
Pendapat Mahkamah Agung<br />
Mengenai alasan dalam pokok perkara butir<br />
e yang menyatakan bahwa, Judex Facti tidak salah<br />
menerapkan hukum sehingga Pemohon Kasasi<br />
berkewajiban untuk memberikan ganti rugi<br />
kepada masyarakat termasuk yang mengalami<br />
kerugian sehingga Pemohon Kasasi tidak dapat<br />
bersandar pada kebijaksanaan dikarenakan<br />
akibat dari kebijakan hukum yang merugikan<br />
masyarakat tidak dapat ditolerir.<br />
II.<br />
RUMUSAN MASALAH<br />
Berdasarkan kasus di atas, pokok-pokok<br />
permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan<br />
ini adalah sebagai berikut:<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 136 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:24 PM
1. Bagaimana penerapan Perbuatan Melawan<br />
Hukum (PMH) vs strict liability dalam<br />
kasus perdata yang kemudian dikaitkan<br />
dengan Putusan Nomor 1794K/Pdt/2004?<br />
2. Bagaimana penerapan dalih bencana alam<br />
(act of God) dalam kasus perdata yang<br />
kemudian dikaitkan dengan Putusan Nomor<br />
1794K/Pdt/2004?<br />
3. Bagaimana penerapan Precautionary<br />
Principle (Prinsip Kehati-hatian) dalam<br />
kasus perdata yang kemudian dikaitkan<br />
dengan Putusan Nomor 1794K/Pdt/2004?<br />
III.<br />
STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS<br />
1. PMH vs. strict liability<br />
Perbuatan Melawan Hukum (PMH)<br />
Penggugat harus dapat membuktikan unsur<br />
untuk membenarkan dalil terjadinya perbuatan<br />
melawan hukum oleh Tergugat, antara lain:<br />
a. perbuatan<br />
Kesalahan;<br />
Melawan Hukum/<br />
b. kerugian; dan<br />
c. kausalitas antara Perbuatan Melawan<br />
Hukum/Kesalahan dan Kerugian.<br />
Dalam hukum positif di Indonesia, ketentuan<br />
mengenai perbuatan melawan hukum (PMH)<br />
diatur di dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Pasal<br />
tersebut berbunyi, “Tiap perbuatan melanggar<br />
hukum, yang membawa kerugian kepada<br />
seorang lain, mewajibkan orang yang karena<br />
salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti<br />
kerugian tersebut.” Ketentuan ini mensyaratkan<br />
bahwa “Tiap perbuatan melanggar hukum,<br />
yang membawa kerugian kepada seorang<br />
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya<br />
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian<br />
tersebut.” Dengan demikian, untuk memperoleh<br />
ganti rugi melalui gugatan yang berdasar pada<br />
PMH, syarat yang harus dipenuhi adalah sesuai<br />
dengan doktrin yang telah dijelaskan di atas, yakni<br />
adanya perbuatan melawan hukum/ kesalahan,<br />
kerugian, dan ‘karena’, yaitu kausalitas antara<br />
kesalahan dan kerugian (Subekti, 1979: 56).<br />
Ketika membicarakan Perbuatan Melawan<br />
Hukum (PMH) dalam konteks hukum lingkungan<br />
secara lebih luas, maka terdapat istilah Fault<br />
Based Liability. Fault-Based Liability bisa<br />
diartikan juga sebagai Perbuatan Melawan Hukum<br />
karena mendasarkan pertanggungjawabannya<br />
berdasarkan terpenuhinya salah satu unsurnya<br />
yang merupakan unsur kesalahan. Dalam hukum<br />
modern, pertanggungjawaban terhadap aktivitas<br />
yang disinyalir termasuk akitivitas berbahaya<br />
ditentukan sesuai dengan kerangka umum dari<br />
sistem pertanggungjawaban yang berdasarkan<br />
adanya delik. Hal ini berarti terdapat suatu<br />
keharusan untuk menunjukkan benar-benar<br />
terdapatnya unsur kesalahan dalam aktivitas<br />
tersebut (Reid, 1999: 748).<br />
Sedangkan, apabila membahas persoalan<br />
PMH menurut hukum lingkungan nasional,<br />
maka kita harus merujuk pada dua instrumen<br />
hukum utama di bidang hukum lingkungan,<br />
yakni UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang<br />
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) dan<br />
UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan<br />
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH),<br />
sekaligus dapat membandingkan perbedaan di<br />
antara keduanya. Dalam UU Nomor 23 Tahun<br />
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,<br />
PMH disebutkan dalam Pasal 34. Ketentuan pasal<br />
tersebut mewajibkan penanggung jawab usaha<br />
dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan<br />
melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau<br />
Ketepatan Hakim dalam Penerapan Precautionary Principle sebagai “Ius Cogen” (Loura Hardjaloka) | 137<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 137 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:24 PM
perusakan lingkungan hidup dan menimbulkan<br />
kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup<br />
untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan<br />
tindakan tertentu. Hakim juga dapat menetapkan<br />
pembayaran uang paksa (dwangsom) atas setiap<br />
hari keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu<br />
tersebut (Pasal 34 ayat (2) UUPLH). Ketentuan<br />
yang serupa tercantum dalam UUPPLH tepatnya<br />
pada Pasal 87.<br />
Sedikit berbeda dari itu, dikenal asas<br />
yang disebut res ipsa loquitur. Asas ini disebut<br />
juga the presumption of fault. Dalam res ipsa<br />
loquitur, dianut prinsip bahwa fakta sudah<br />
membuktikan dengan sendirinya sehingga tidak<br />
perlu lagi dibuktikan. Dengan demikian res ipsa<br />
loquitur mengasumsikan kesalahan sudah pasti<br />
ada; sementara PMH mewajibkan Penggugat<br />
membuktikan adanya kesalahan. Asumsi atas<br />
Kesalahan atau The Presumption of Fault tidak<br />
menguntungkan Penggugat lebih jauh dari<br />
The Presumption of Liability yang dianut di<br />
Perancis (Ibid, 749). Asumsi atas Tanggung<br />
jawab di Perancis diatur dalam ketentuan Article<br />
1384.1 dari Code Civil yang berbunyi, “One<br />
is responsible not only for the harm which one<br />
causes by one’s own action, but also for that<br />
which is caused by the action of persons for<br />
whom one is answerable, or by things which one<br />
has in one’s keeping.” Maka, terdapat perluasan<br />
makna pertanggungjawaban seseorang, yang<br />
tidak lagi terbatas pada perbuatannya sendiri saja,<br />
melainkan juga bertanggungjawab atas kerugian<br />
yang timbul akibat perbuatan orang lain yang<br />
disebabkan oleh seseorang (pertama) tadi, serta<br />
atas kerugian yang timbul akibat kebendaan yang<br />
dikuasai seseorang (pertama) tersebut.<br />
Sementara pada The Presumption of<br />
Fault, ketidaktahuan akan sebab munculnya<br />
suatu kerugian tidak serta-merta menimbulkan<br />
tanggung jawab pada seseorang; melainkan hanya<br />
mengasumsikan kesalahan semata pada seseorang<br />
tersebut. Sehingga masih harus dibuktikan dua<br />
unsur lainnya, yaitu kerugian dan kausalitasnya.<br />
Hal ini bisa dilihat pada yurisprudensi kasus<br />
antara McQueen v. The Glasgow Garden Festival<br />
(1988), di mana Penggugat cidera akibat letusan<br />
petasan yang meletus tiba-tiba. Negligence tidak<br />
terbukti dan gugatan McQueen ditolak (Ibid,<br />
750).<br />
strict liability<br />
Strict Liability mengacu pada kegiatan tidak<br />
adanya persyaratan tentang perlu adanya kesalahan<br />
(Lummert, 1980: 239-240) dan pembuktian<br />
oleh pihak yang mempunyai kemampuan untuk<br />
memberikan bukti bahwa ia tidak bersalah atas<br />
perbuatan tersebut tetapi ia tetap bertanggung<br />
jawab atas perbuatan tersebut. Perlu dibedakan<br />
antara Strict Liability dan pembuktian terbalik<br />
karena sering sekali kedua hal ini dipersamakan.<br />
Pada pembuktian terbalik, pihak yang lebih<br />
kuat kedudukannya dibebani kewajiban untuk<br />
membuktikan bahwa akibat hukum dari suatu<br />
perbuatan bukanlah kesalahannya tetapi pada<br />
Strict Liability, ada atau tidak adanya pembuktian<br />
dari pihak tergugat, ia tetap bertanggung jawab<br />
atas akibat hukum dari suatu peristiwa yang<br />
terjadi dengan berdasarkan kriteria-kriteria yang<br />
telah dipenuhi (Kasim, 2007: 40) .<br />
Munir Fuady mendefinisikan Strict Liability<br />
sebagai suatu tanggung jawab hukum yang<br />
dibebankan kepada pelaku perbuatan melawan<br />
hukum tanpa melihat apakah yang bersangkutan<br />
dalam melakukan perbuatannya itu mempunyai<br />
unsur kesalahan atau tidak, dalam hal ini pelakunya<br />
dapat dimintakan tanggung jawab secara hukum,<br />
meskipun dalam melakukan perbuatannya itu dia<br />
138 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 134 -153<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 138 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:24 PM
tidak melakukannya dengan sengaja dan tidak<br />
pula mengandung unsur kelalaian, kekuranghatihatian,<br />
atau ketidakpatutan. Jadi, menurut Munir<br />
Fuady, Strict Liability adalah tanggung jawab<br />
secara hukum pada pelaku perbuatan melawan<br />
hukum tanpa mempedulikan unsur kesalahan,<br />
bahkan tanpa unsur kesengajaan, kelalaian,<br />
kekuranghati-hatian atau ketidakpatutan<br />
sekalipun.<br />
Sedikit berbeda dari pendapat tersebut, Strict<br />
Liability juga didefinisikan dalam Restatement<br />
(Second) of Torts Article 519 (1) yang berbunyi,<br />
“One who carries on an abnormally dangerous<br />
activity is subject to liability for harm to the<br />
person, land or chattels of another resulting from<br />
the activity, although he has excercised the utmost<br />
care to prevent the harm.” Jadi, pelaku kegiatan<br />
yang berbahaya secara abnormal (abnormally<br />
dangerous activity) bertanggung jawab atas<br />
kerugian yang timbul dari kegiatan tersebut,<br />
meskipun ia telah melakukan usaha paling<br />
maksimal untuk mencegah timbulnya kerugian<br />
(excercised the utmost care to prevent the harm).<br />
Kesimpulan dari definisi tersebut adalah<br />
bahwa ada tiga hal yang harus dibuktikan oleh<br />
Penggugat untuk memperoleh kebenaran atas<br />
gugatannya yang berdasar pada Strict Liability,<br />
yakni (Siahaan, 2009: 67):<br />
1. Membuktikan terjadinya Abnormally<br />
Dangerous Activity yang disebabkan<br />
oleh Tergugat Article 520 Restatement<br />
(Second) of Torts menentukan enam<br />
parameter kegiatan yang tergolong sebagai<br />
Abnormally Dangerous Activity, yaitu:<br />
1. Existence of a high degree of risk;<br />
2. Likelihood that the harm that results<br />
from it will be great;<br />
3. Inability to eliminate the risk;<br />
4. Extent to which the activity is not a<br />
matter of common usage;<br />
5. Inappropriateness of the activity to<br />
the place where it is carried on; and<br />
6. Extent to which its value to the<br />
community is outweighed by its<br />
dangerous attributes.<br />
2. Membuktikan adanya Kerugian.<br />
3. Membuktikan adanya Kausalitas antara<br />
kegiatan seseorang dengan kerugian yang<br />
ditimbulkannya.<br />
Dalam UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang<br />
Pengelolaan Lingkungan Hidup ketentuan<br />
mengenai Strict Liability termuat dalam Pasal<br />
35. Sebelum memasuki substansi ketentuan<br />
pasal tersebut, ada baiknya terlebih dahulu<br />
mengomentari judul paragraf dari pasal tersebut<br />
yaitu Tanggung Jawab Mutlak. Terjemahan<br />
Strict Liability menjadi Tanggung Jawab Mutlak<br />
agak riskan, sebab terdapat satu istilah lagi<br />
yang berbeda maknanya dengan Strict Liability,<br />
yaitu Absolute Liability. Pada Absolut Liability,<br />
bahkan kerugian pun tidak perlu dibuktikan. Jadi,<br />
hanya dengan melakukan suatu perbuatan yang<br />
tergolong dalam ketentuan Absolute Liability<br />
tersebut, maka pelaku sudah harus bertanggung<br />
jawab, sehingga hal yang harus dibuktikan<br />
oleh Penggugat terhadap perbuatan Tergugat<br />
hanya satu, yaitu membuktikan bahwa Tergugat<br />
memang melakukan sesuatu hal yang dilarang<br />
tersebut. Tentu pengertian Absolute Liability<br />
berbeda dengan Strict Liability, sehingga perlu<br />
diperhatikan bahwa Tanggung Jawab Mutlak<br />
yang diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 1997<br />
maupun UU Nomor 32 Tahun 2009 adalah Strict<br />
Liability, bukan Absolute Liability. Pasal 35 ayat<br />
(1) UU Nomor 23 Tahun 1997 menentukan bahwa<br />
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan<br />
Ketepatan Hakim dalam Penerapan Precautionary Principle sebagai “Ius Cogen” (Loura Hardjaloka) | 139<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 139 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:24 PM
dapat dibebankan tanggung jawab secara mutlak<br />
atas kerugian yang ditimbulkan, bila usaha dan<br />
kegiatannya menimbulkan dampak besar dan<br />
penting terhadap lingkungan hidup, yaitu yang: a.<br />
Menggunakan bahan berbahaya dan beracun; dan/<br />
atau; b. Menghasilkan limbah bahan berbahaya<br />
dan beracun.<br />
Kewajiban membayar ganti rugi timbul<br />
bagi penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan<br />
yang ditentukan di atas yakni secara langsung<br />
dan seketika pada saat terjadinya pencemaran<br />
dan/atau perusakan lingkungan hidup. Namun,<br />
Pasal 35 ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 1997<br />
memuat ketentuan bagi penanggung jawab usaha<br />
dan/atau kegiatan untuk dapat dibebaskan dari<br />
kewajiban ganti rugi tersebut yakni bila dapat<br />
membuktikan bahwa pencemaran dan/atau<br />
perusakan lingkungan hidup disebabkan oleh:<br />
a. Bencana alam atau peperangan; atau<br />
b. Keadaan terpaksa di luar kemampuan<br />
manusia; atau<br />
c. Tindakan pihak ketiga yang<br />
menyebabkan terjadinya pencemaran<br />
dan/atau<br />
hidup.<br />
perusakan lingkungan<br />
UU Nomor 32 Tahun 2009 juga memuat<br />
ketentuan mengenai Strict Liability dalam<br />
Pasal 88 yang menentukan bahwa, “Setiap<br />
orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau<br />
kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan<br />
dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau<br />
yang menimbulkan ancaman serius terhadap<br />
lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas<br />
kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian<br />
unsur kesalahan.” Jadi, ada empat hal yang dapat<br />
menerbitkan Strict Liability, yaitu dalam hal<br />
seseorang yang tindakannya, usahanya, dan/atau<br />
kegiatannya:<br />
a. Menggunakan B3;<br />
b. Menghasilkan limbah B3;<br />
c. Mengelola limbah B3;<br />
d. Menimbulkan ancaman serius<br />
terhadap lingkungan hidup.<br />
Kedua instrumen hukum tersebut<br />
menunjukkan bahwa Strict Liability dianut dalam<br />
hukum lingkungan nasional, yakni dalam hal<br />
tertentu yang spesifik seperti telah ternyata di atas.<br />
Dalam perkara Gunung Mandalawangi, gugatan<br />
antara lain dikarenakan Tergugat I melakukan<br />
perbuatan yang mengabaikan peraturan dan/atau<br />
menyimpang dari maksud dan tujuan perusahaan<br />
karena mengakibatkan luas hutan di Jawa Barat<br />
tinggal 8% serta menimbulkan longsor yang terjadi<br />
pada tanggal 28 Januari 2003 dan menimbulkan<br />
kerugian besar. Pada posita angka 26 Penggugat<br />
mendalilkan bahwa Tergugat bertanggung jawab<br />
mutlak (Strict Liability) sehingga Penggugat<br />
tidak perlu membuktikan unsur kesalahan. Dasar<br />
hukum dari dalil ini adalah Pasal 35 UU Nomor<br />
23 Tahun 1997 yang sedang berlaku ketika itu.<br />
Akan tetapi, dalam poin 2 petitumnya Penggugat<br />
meminta “Menyatakan menurut hukum bahwa<br />
PARA TERGUGAT telah melakukan perbuatan<br />
melawan hukum dan oleh karenanya patutlah<br />
dihukum untuk membayar ganti kerugian.”<br />
Pada dalil poin 16 eksepsi oleh Tergugat<br />
I dikatakan bahwa dalil Penggugat yang<br />
menyatakan Tergugat I melakukan kesalahan<br />
dalam pengelolaan kawasan hutan adalah tidak<br />
benar (karena Tergugat I telah melaksanakan<br />
pengelolaan hutan) sehingga secara hukum<br />
Tergugat I tidak harus bertanggung jawab.<br />
Mengenai hal ini, menurut Penulis tidak esensial<br />
sebab dasar gugatan adalah Strict Liability yang<br />
tidak mensyaratkan pembuktian unsur kesalahan.<br />
Dengan demikian, sekalipun benar dalil Tergugat<br />
I bahwa ia telah melaksanakan pengelolaan<br />
140 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 134 -153<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 140 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:25 PM
hutan sehingga kesalahan tidak terbukti, tidak<br />
membebaskan Tergugat I dari tanggung jawab<br />
atas dasar Strict Liability.<br />
Pada dalil poin 19 dan 20 eksepsi oleh<br />
Tergugat I, kerugian yang diderita oleh korban<br />
bencana tersebut adalah akibat bencana alam. Jika<br />
benar dalil ini maka berdasarkan hukum positif<br />
mengenai Strict Liability di Indonesia, Tergugat I<br />
dapat dibebaskan dari tanggung jawab membayar<br />
ganti kerugian, sesuai ketentuan Pasal 35 ayat (2)<br />
UU Nomor 23 Tahun 1997. Akan tetapi, ternyata<br />
peristiwa longsor di Desa Mandalawangi ini<br />
bukanlah suatu bencana alam, sehingga Tergugat<br />
I tidak dapat dibebaskan dari tanggung jawab<br />
membayar ganti kerugian (penjelasan mengenai<br />
bahwa peristiwa longsor di Desa Mandalawangi<br />
bukanlah suatu bencana alam diuraikan dalam<br />
bagian analisis terkait bencana alam/act of God<br />
yang ada di sub selanjutnya). Dalam dalil poin<br />
II 2 Eksepsi oleh Tergugat IV, posita Penggugat<br />
adalah obscuur libel karena kasus longsor yang<br />
terjadi bukanlah akibat dari kegiatan atau usaha<br />
yang menggunakan B3 maupun menghasilkan<br />
limbah B3 sebagaimana disyaratkan dalam Pasal<br />
35 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 1997. Seluruh<br />
eksepsi tersebut ditolak oleh Pengadilan Negeri<br />
Bandung, sebab majelis hakim berpendapat<br />
bahwa Tergugat I, III, IV dan V bertanggung jawab<br />
secara Strict Liability atas kerugian yang timbul.<br />
Begitu pula dengan Pengadilan Tinggi Jawa<br />
Barat dan Mahkamah Agung. Pendapat hakim<br />
adalah bahwa kejadian longsor disebabkan antara<br />
lain kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan<br />
karena pemanfaatan tanah tidak sesuai fungsi dan<br />
peruntukannya sebagai kawasan hutan lindung.<br />
Fakta ini berhubungan seara kausalitas dengan<br />
kerugian (yang timbul akibat longsor), sehingga<br />
terpenuhi unsur Strict Liability dan para Tergugat<br />
tidak dapat membuktikan sebaliknya.<br />
Secara umum pendapat tersebut muncul<br />
karena adanya asas Precautionary Principle dalam<br />
hukum lingkungan positif di Indonesia, sehingga<br />
penyimpangan peruntukan kawasan hutan<br />
dianggap sebagai sebab (causa) yang menyalahi<br />
aturan Precautionary Principle sehingga para<br />
Tergugat adalah bertanggung jawab dalam kasus<br />
ini.<br />
Keputusan hakim untuk menerapkan<br />
Precautionary Principle sebagai bentuk adopsi<br />
dari ketentuan hukum internasional dalam kasus<br />
ini dinilai tepat. Hal ini dikarenakan penegakkan<br />
hukum lingkungan hidup disebabkan dengan<br />
standar hukum Internasional. Hal ini berarti suatu<br />
ketentuan hukum internasional dapat digunakan<br />
oleh hakim nasional apabila memang ketentuan<br />
tersebut telah dipandang sebagai “ius cogen”<br />
(O’Riordan dan J. Cameron, 1996: 347).<br />
Apabila kemudian merujuk pada sumbersumber<br />
hukum internasional yang termuat dalam<br />
Statute of The International Court of Justice<br />
Article 38 (1), adalah (Jones, 1992: 1705):<br />
a. international conventions, whether<br />
general or particular, establishing<br />
rules expressly recognized by the<br />
contesting states;<br />
b. international custom, as evidence of<br />
a general practice accepted as law;<br />
c. The general principles of law<br />
recognized by civilized nations;<br />
d. Judicial decisions and<br />
e. The teachings of the most highly<br />
qualified publicists of the various<br />
nations, as subsidiary means for the<br />
determination of rules of law.<br />
Prinsip Ius Cogen sendiri bisa dikategorikan<br />
sebagai suatu international customary law, yang<br />
berarti merupakan suatu bagian dari sumber<br />
Ketepatan Hakim dalam Penerapan Precautionary Principle sebagai “Ius Cogen” (Loura Hardjaloka) | 141<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 141 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:25 PM
hukum internasional yang tergolong kepada<br />
international custom, as evidence of a general<br />
practice accepted as law (Raffensperger dan J.<br />
Tickner, 1999: 567).<br />
Hal yang menarik untuk dikaji adalah<br />
seputar Abnormally Dangerous Activity sebagai<br />
salah satu unsur Strict Liability yang harus<br />
dibuktikan oleh Penggugat. Dalam kasus ini,<br />
Abnormally Dangerous Activity yang terjadi dan<br />
disebabkan oleh para Tergugat adalah:<br />
a. Existence of a high degree of risk<br />
Dalam perkara ini, pada perbuatan Tergugat<br />
I terdapat resiko yang berskala besar, yaitu<br />
dapat terjadi longsor. Perbuatan Tergugat I yang<br />
dimaksud adalah mengelola hutan sampai dengan<br />
terjadi pengurangan areal hutan secara masif<br />
sehingga hutan sekunder di Gunung Mandalawangi<br />
tersebut tidak mampu lagi menahan curah hujan.<br />
Ketidakmampuan hutan menahan curah hujan<br />
dapat mengakibatkan banjir. Namun, disertai<br />
dengan struktur kemiringan lereng 40 derajat,<br />
maka bahaya longsor pun mungkin terjadi.<br />
Apabila terjadi longsor, maka secara logika teori<br />
gravitasi pemukiman penduduk akan tertimbun<br />
tanah. Dengan demikian jelas bahwa terdapat<br />
resiko skala besar dari perbuatan Tergugat I.<br />
b. Likelihood that the harm that results from it<br />
will be great<br />
Kegiatan berbahaya yang abnormal dari<br />
Tergugat I juga memenuhi unsur ini, bahwa<br />
kerugian yang akan muncul dari kegiatan tersebut<br />
akan sangat besar. Hal ini terbukti dengan<br />
munculnya korban jiwa 21 orang meninggal<br />
(dalam posita 20 orang meninggal dan 1 tidak<br />
ditemukan), 15 orang korban luka-luka dan dirawat<br />
inap, 165 unit rumah hancur, 67 unit rumah rusak<br />
berat, 44 unit rumah rusak ringan dan 104 rumah<br />
terancam, 70 Ha sawah padi dan 35 Ha ladang<br />
jagung hancur (dalam petitum ditambah 35 Ha<br />
ladang kacang merah), 150 ekor domba dan 5.000<br />
ekor ayam dan itik musnah, rusak/ robohnya jalan<br />
setapak 4,5 km, jembatan 3 m, drainase 6 km,<br />
pipa air bersih 7 km, madrasah 2 unit dan masjid<br />
3 unit, serta hancurnya perlengkapan sekolah<br />
mengakibatkan kerugian dalam bersekolah serta<br />
hilangnya kesempatan mencari nafkah bagi 376<br />
KK yang mengungsi. Posita dalam gugatan<br />
menunjukkan kerugian materiil sejumlah<br />
Rp.30.417.200.000,00 dan kerugian immateriil<br />
sebesar Rp.20.000.000.000,00.<br />
c. Inability to eliminate the risk<br />
Dalam positanya Penggugat mendalilkan<br />
bahwa Tergugat I telah mengetahui 7 titik rawan<br />
longsor namun tidak menanganinya secara khusus<br />
dan tidak mengumumkan penemuan tersebut<br />
kepada masyarakat dan Pemda Kabupaten Garut,<br />
sehingga kemudian muncul kerugian yang sangat<br />
besar. Dengan demikian unsur ini pun terpenuhi.<br />
d. Extent to which the activity is not a matter<br />
of common usage<br />
Kegiatan Tergugat I dalam pemanfaatan<br />
hutan tidak sesuai fungsi dan peruntukannya<br />
sebagai hutan lindung, sehingga unsur bahwa<br />
kegiatan tidak sesuai penggunaan/pemakaian/<br />
pemanfaatan secara umum juga terpenuhi.<br />
Hal ini dikarenakan pemanfaatan hutan secara<br />
umum seharusnya sesuai dengan fungsi dan<br />
peruntukannya, namun yang terjadi adalah<br />
eksploitasi hutan sehingga tidak mampu<br />
menampung curah hujan.<br />
Dengan terpenuhinya unsur-unsur tersebut<br />
maka terbukti pula unsur Abnormally Dangerous<br />
Activity, di samping Kerugian dan Kausalitas di<br />
antara keduanya, sehingga Tergugat sepantasnya<br />
142 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 134 -153<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 142 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:25 PM
ertanggung jawab secara Strict Liability. Apabila<br />
dicermati lebih jauh lagi, sebenarnya hakim juga<br />
bisa mendasari pertimbangan hukumnya dalam<br />
menjatuhkan putusan soal Strict Liability kepada<br />
tergugat, berdasarkan ketentuan Pasal 35 ayat<br />
(1) UU Nomor 23 Tahun 1997 jo Pasal 15 ayat<br />
(1) UU Nomor 23 Tahun 1997 jo Pasal 3 ayat<br />
(1) PP Nomor 27 Tahun 1999. Pasal 35 ayat<br />
(1) UU Nomor 23 Tahun 1997 menyebutkan:<br />
“Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan<br />
yang usaha dan kegiatannya menimbulkan<br />
dampak besar dan penting terhadap lingkungan<br />
hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan<br />
beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan<br />
berbahaya dan beracun, bertanggung jawab<br />
secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan,<br />
dengan kewajiban membayar ganti rugi secara<br />
langsung dan seketika pada saat terjadinya<br />
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan<br />
hidup”.<br />
Kegiatan yang disebabkan oleh Tergugat<br />
dalam hal ini memang menimbulkan dampak yang<br />
cukup besar dan penting terhadap lingkungan<br />
hidup. Sehingga, penanggung jawab kegiatan<br />
dalam hal ini adalah tergugat bisa dikenakan suatu<br />
bentuk pertanggungjawaban mutlak, kepadanya<br />
dikenakan juga kewajiban pembayaran ganti rugi<br />
kepada korban-korban atau pihak-pihak yang<br />
dirugikan akibat dari tindakannya tersebut.<br />
Masih terkait dengan ketentuan di atas,<br />
apabila kemudian suatu kegiatan dikategorikan<br />
sebagai suatu kegiatan yang memiliki dampak<br />
besar dan penting terhadap lingkungan, maka<br />
kegiatan tersebut wajib memiliki AMDAL. Hal<br />
ini termuat jelas pada ketentuan Pasal 15 ayat<br />
(1) UU No. 23 Tahun 1997: “setiap rencana<br />
usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan<br />
dapat menimbulkan dampak besar dan penting<br />
terhadap lingkungan hidup, wajib memiliki<br />
analisis mengenai dampak lingkungan hidup.”<br />
Masih berkorelasi dengan apa yang<br />
diungkapkan di atas, ketentuan menyangkut soal<br />
AMDAL ini kembali ditegaskan dalam PP Nomor<br />
27 Tahun 1999. Hal ini merujuk pada ketentuan<br />
yang terdapat dalam Pasal 3 ayat (1) PP Nomor<br />
27 Tahun 1999: Usaha dan/atau kegiatan yang<br />
memungkinkan dapat menimbulkan dampak<br />
besar dan penting terhadap lingkungan hidup<br />
adalah poin a. Pengubahan bentuk lahan dan<br />
bentang alam, poin c, Proses dan kegiatan yang<br />
secara potensial dapat menimbulkan pemborosan,<br />
pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup,<br />
serta kemerosotan sumber daya alam, dalam<br />
pemanfaatannya dan, poin e, Proses dan kegiatan<br />
yang hasilnya akan dapat mempengaruhi<br />
pelestarian kawasan konservasi sumber daya dan/<br />
atau perlindungan cagar budaya<br />
Merujuk pada beberapa dalil-dalil gugatan<br />
yang dikemukakan penggugat, sebenarnya sudah<br />
bisa memenuhi ketentuan huruf a, c, dan e dari<br />
pasal di atas. Beberapa di antaranya adalah dalil<br />
penggugat yang menyatakan bahwa:<br />
a. Tergugat I dalam mengelola hutan<br />
telah mengabaikan peraturan dan/<br />
atau telah menyimpang dari maksud<br />
dan tujuan perusahaan, di mana hal<br />
ini telah mengakibatkan luas hutan<br />
di Jawa Barat tinggal 8% (termasuk<br />
hutan Mandalawangi Garut) dari<br />
keadaan 53 juta Ha (20%) sebelum<br />
dikelola oleh Tergugat I.<br />
b. Tergugat III dengan mengeluarkan<br />
SK Menhut No. 419/KPTS II/1999<br />
yang amarnya merubah status hutan<br />
lindung Mandalawangi menjadi<br />
hutan produksi terbatas.<br />
Ketepatan Hakim dalam Penerapan Precautionary Principle sebagai “Ius Cogen” (Loura Hardjaloka) | 143<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 143 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:25 PM
Apabila memang kemudian bisa dibantah<br />
oleh Para Tergugat dalam jawaban dalam<br />
pokok perkaranya, sehingga kegiatan tersebut<br />
sebenarnya menurut pendapat tergugat tidak<br />
memenuhi unsur-unsur kegiatan yang wajib<br />
AMDAL, maka kembali pada ketentuan di<br />
mana kegiatan yang wajib AMDAL pasti bisa<br />
dikenakan ketentuan strict liability, tapi di sisi<br />
lain tidak berarti juga bahwa kegiatan yang<br />
tidak wajib AMDAL pasti tidak akan terkena<br />
strict liability. Dari uraian beberapa ketentuan<br />
di atas, bisa disimpulkan bahwa memang benar<br />
ketentuan soal Strict Liability bisa dikenakan<br />
kepada Para Tergugat dalam kasus ini dengan<br />
menggunakan beberapa dasar hukum.<br />
2. Bencana Alam (act of god)<br />
Gambaran Umum act of god<br />
Istilah ‘force majeur’ seringkali<br />
dikemukakan untuk mengurangi atau<br />
menghilangkan tanggung jawab seseorang ketika<br />
ia tidak dapat melakukan kewajibannya karena<br />
sebab-sebab di luar kendalinya, seperti kuasa<br />
Tuhan (act of God).<br />
Act of God didefinisikan oleh Congress<br />
(badan legislatif di Amerika Serikat) sebagai<br />
suatu hal yang yang disebabkan oleh bencana<br />
alam yang serius (grave natural disaster). Akan<br />
tidak semua bencana alam dapat dikategorikan<br />
sebagai act of God. Yang dapat dikategorikan<br />
adalah bencana yang tidak biasa (unusual) dan<br />
luar biasa (extraordinary) secara alamiah, serta<br />
tidak dapat diantisipasi atau diprediksi dalam<br />
keadaan normal. Jadi apabila suatu bencana<br />
alam merupakan sesuatu yang lumrah terjadi di<br />
di daerah tersebut, peristiwa tersebut bukanlah<br />
grave natural disaster dan bukanlah akibat dari<br />
act of God. Act of God juga didefinisikan sebagai<br />
tindakan yang diakibatkan oleh alam tanpa adanya<br />
campur tangan dari manusia (Fraley, 2010: 669-<br />
678). Bila ada intervensi dari manusia sekecil<br />
apapun yang menyebabkan timbulnya bencana,<br />
maka biasanya pengadilan akan menolak defense<br />
act of God yang dikemukakan oleh pihak tersebut<br />
(Ibid, 690).<br />
Syarat lain suatu kejadian dikatakan sebagai<br />
tindakan Tuhan yaitu kejadian tersebut terjadi<br />
secara langsung (direct), cepat (immediate),<br />
disebabkan oleh alam itu sendiri, tidak terkontrol<br />
dan tidak dipengaruhi oleh tindakan manusia,<br />
serta tidak ada campur tangan manusia. Kejadian<br />
itu harus tidak dapat dihindari, diprediksi, maupun<br />
ditangani dengan amat hati-hati (Fasoyiro, 2009:<br />
20).<br />
Pihak yang secara potensial harus<br />
bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan<br />
(Potentially Responsible Parties/PRPs) biasanya<br />
menggunakan act of God sebagai alasan untuk<br />
mengurangi tanggung jawab. Akan tetapi tidak<br />
cukup hanya dengan mengemukakan alasan<br />
tersebut lantas ia dapat lepas dari tanggung<br />
jawab; ia juga harus menyertakan bukti-bukti<br />
yang cukup dan mendukung bahwa peristiwa<br />
tersebut tidak mungkin diprediksi atau dihindari<br />
dan act of God adalah satu-satunya penyebabnya<br />
(sole cause).<br />
Kesimpulannya, supaya para pihak dapat<br />
menggunakan dalih act of God sebagai penyebab<br />
suatu peristiwa, ia harus membuktikan 4 unsur<br />
berikut di hadapan pengadilan : (1) act of God itu<br />
tidak dapat diantisipasi; (2) act of God haruslah<br />
bencana alam yang serius (grave) atau fenomena<br />
alam lainnya yang luar biasa (exceptional), tidak<br />
terhindarkan (inevitable), dan tidak tertahankan<br />
(irresistible); (3) act of God haruslah merupakan<br />
satu-satunya penyebab (sole cause); (4) kerusakan<br />
144 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 134 -153<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 144 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:25 PM
yang disebabkan act of God tersebut tidak<br />
dapat dihindari meskipun sudah ada tindakan<br />
pencegahan (due care) atau prediksi masa depan<br />
(Kristl, 2006: 325-362).<br />
Implementasi Elemen-Elemen Dari Defense<br />
act of god dalam Statuta Terkait Lingkungan<br />
Hidup Tingkat Federal Amerika Serikat dan<br />
Texas Terhadap Kasus Mandalawangi<br />
a. Suatu act of God harus tidak dapat<br />
diantisipasi<br />
Dalam kasus ini, seharusnya peristiwa<br />
longsor ini dapat diantisipasi. Tergugat sendiri<br />
mengakui bahwa ia telah mengetahui keadaan<br />
tanah di Gunung Mandalawangi, yang mana<br />
bagian atas Gunung Mandalawangi terdiri atas<br />
tanah regosol, sehingga ketika terkena air dalam<br />
debit atau curah yang besar tanah regosol yang<br />
bertekstur kasar dan parous dengan kemampuan<br />
menahan air yang rendah menyebabkan longsor.<br />
Hal ini seharusnya dapat diantisipasi dengan<br />
mencegah atau menjaga agar pepohonan yang<br />
besar-besar (tanaman keras) tetap ada di sana<br />
guna menahan aliran air dan menyerap air dalam<br />
tanah. Terlebih lagi banjir bandang tersebut<br />
merupakan siklus lima puluh tahun sekali yang<br />
sudah diketahui oleh masyarakat luas, sehingga<br />
seharusnya bisa diantisipasi dengan baik yang<br />
oleh karena itu seharusnya dalih act of God<br />
gugur.<br />
b. Suatu act of God haruslah bencana alam<br />
yang serius (grave natural disaster)<br />
Tiga elemen yang harus dibuktikan bahwa<br />
suatu kejadian adalah fenomena alam yang luar<br />
biasa, yaitu: kejadian tersebut harus luar biasa<br />
(exceptional), tak terelakkan (inevitable), dan<br />
tak tertahankan (irresistible). Memang dari segi<br />
kuantitas curah hujan sangat luar biasa (sampai<br />
14 kali dari curah hujan normal) dan tidak ada<br />
yang bisa mengatur kapan terjadi hujan karena<br />
itu merupakan fenomena alamiah sehingga<br />
seakan-akan terlihat seperti bencana alam, tetapi<br />
untuk dapat diklasifikasikan sebagai grave<br />
natural disaster harus memenuhi syarat ‘tidak<br />
dapat diantisipasi bentuknya, lokasinya, ataupun<br />
peralatan yang menunjang terjadinya bencana<br />
alam tersebut, baik karena alasan historis,<br />
geografis, maupun iklim’. Secara historis, iklim,<br />
dan geografis, peristiwa hujan besar banjir<br />
bandang di kawasan Gunung Mandalawangi sudah<br />
pernah terjadi, bahkan jangka waktu siklusnya<br />
sudah diketahui dengan baik oleh khalayak<br />
luas; sehingga sudah bisa disebabkan tindakan<br />
antisipasi. Jadi tidak termasuk act of God. Hal<br />
ini dikuatkan dalam kasus Stringfellow, ARCO,<br />
serta yurisprudensi pengadilan Amerika Serikat,<br />
memang biasanya hujan tidak dikategorikan<br />
sebagai act of God.<br />
c. Suatu act of God harus menjadi satu-satunya<br />
penyebab (sole cause) dari bencana<br />
Suatu act of God harus menjadi satusatunya<br />
penyebab (sole cause) dari bencana<br />
untuk dapat dinyatakan sebagai bencana alam<br />
si penanggung jawab usaha atau kegiatan harus<br />
menyatakan act of God sebagai satu-satunya<br />
penyebab (sole cause), sehingga tidak boleh ada<br />
sedikitpun campur tangan dari pihak manusia; bila<br />
ada maka dalih act of God akan gugur seketika.<br />
Dalam kasus ini Tergugat I dalam eksepsinya di<br />
pengadilan tingkat pertama mengatakan bahwa<br />
peristiwa longsor tersebut murni bencana alam.<br />
Akan tetapi, di pengadilan tingkat kasasi terbukti<br />
lewat hasil penelitian bahwa pencemaran<br />
lingkungan tersebut tidak hanya karena hujan<br />
(banjir bandang), tetapi ada pula faktor-faktor lain<br />
Ketepatan Hakim dalam Penerapan Precautionary Principle sebagai “Ius Cogen” (Loura Hardjaloka) | 145<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 145 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:25 PM
yang turut mempengaruhi seperti pemanfaatan<br />
tanah yang tidak sesuai dengan fungsi dan<br />
peruntukannya sebagai kawasan hutan lindung.<br />
Hal ini mempunyai hubungan kausalitas dengan<br />
longsornya tanah yang mengakibatkan jatuhnya<br />
korban jiwa dan harta benda, sehingga dalam<br />
hal ini Tergugat I gagal membuktikan poin ini<br />
sehingga seharusnya dalih act of God-nya tidak<br />
dapat diterima.<br />
d. Lack of negligence (ketiadaan kelalaian)<br />
tidak cukup membuktikan dalil act of God<br />
Meskipun salah satu pihak membuktikan<br />
bahwa tidak ada unsur kelalaian pada tindakannya<br />
(seperti sudah melakukan tindakan pencegahan),<br />
akan tetapi tidak secara otomotis dalil act of<br />
God terpenuhi dan ia dapat membebaskan diri<br />
dari tanggung jawab. Dalam jawaban Tergugat I<br />
pada pengadilan tingkat pertama, ia menyatakan<br />
telah berhati-hati dalam menyusun perencanaan<br />
pengelolaan hutan (selalu dengan persetujuan<br />
dari Menteri Kehutanan), melakukan reboisasi<br />
dan tidak mengubah hutan primer menjadi<br />
hutan sekunder, tidak ada pengubahan status<br />
hutan lindung menjadi hutan produksi terbatas,<br />
mengetahui adanya titik-titik rawan longsor<br />
sebelum peristiwa tersebut terjadi, maupun<br />
perubahan tata guna lahan bagian atas bukit dari<br />
tanaman keras ke tanaman musiman. Singkatnya,<br />
Tergugat I merasa tidak melakukan sedikitpun<br />
kelalaian yang menyebabkan terjadinya bencana<br />
longsor. Terlepas dari benar atau tidaknya,<br />
ketika Tergugat I telah memaparkan fakta-fakta<br />
ketiadaan kelalaian pada dirinya tersebut tidak<br />
lantas membuat dalil act of God terbukti dan ia<br />
otomatis bebas dari pertanggungjawaban. Hal<br />
ini disebabkan dalam UU Nomor 23 Tahun 1997<br />
dan tiga statuta terkait lingkungan hidup yang<br />
kita rujuk di sini tidak menganut prinsip fault-<br />
based, sehingga soal unsur ‘kesalahan’ (dalam<br />
hal ini culpa atau kelalaian) yang tidak ditemukan<br />
pada Tergugat I tidak dipertimbangkan. Menurut<br />
penulis, hal ini adalah tindakan dari Tergugat yang<br />
sudah sepatutnya mengetahui kondisi Gunung<br />
Mandalawangi dan hujan besar yang terjadi<br />
secara berulang-ulang, tetapi kurang melakukan<br />
sosialisasi bahaya dan menerapkan prinsip kehatihatian<br />
dalam membuat keputusan administratif<br />
yang berpengaruh terhadap keseimbangan<br />
ekologi di daerah tersebut.<br />
e. Bencana tidak dapat dicegah meskipun<br />
sudah ada tindakan pencegahan atau<br />
prediksi sebelumnya<br />
Dalam menangani kasus-kasus lingkungan<br />
terkait act of God, pengadilan federal menghasilkan<br />
satu prinsip penting, yaitu apabila Tergugat telah<br />
mendapat peringatan yang cukup dan alat yang<br />
memadai untuk melakukan usaha perlindungan,<br />
pencegahan, maupun mitigasi dampak atas act<br />
of God tetapi gagal melakukannya, maka ia tetap<br />
bertanggung jawab. Sebaliknya bila Tergugat<br />
tidak mendapat peringatan yang cukup serta tidak<br />
ada alat yang memadai, maka ia tidak bertanggung<br />
jawab. Contohnya ada pada kasus Apex di mana<br />
kapten kapalnya tidak menghiraukan peringatan<br />
dalam usaha menghindarkan kapalnya dari<br />
tabrakan, sehingga ia dianggap tetap bertanggung<br />
jawab.<br />
Dalam kasus Mandalawangi ini, Tergugat<br />
V telah melakukan beberapa hal seperti<br />
mengeluarkan surat Nomor 322.377/Kec./tahun<br />
2000 yang isinya berupa usulan keberatan pada<br />
KPH yang pada pokoknya isi surat tersebut<br />
menyarankan ada penyuluhan di lapangan<br />
sehubungan kawasan Gunung Mandalawangi<br />
telah dibuka dan akan ditanami tanaman tumpang<br />
sari oleh masyarakat; surat nomor 520/44/IV/<br />
146 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 134 -153<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 146 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:25 PM
Kec./2001 tentang permohonan pengelolaan<br />
lahan Gunung Mandalawangi kiranya dapat lebih<br />
diarahkan sehingga tidak selalu mengakibatkan<br />
bencana apabila turun hujan. Sudah ada peringatan<br />
yang cukup dari Tergugat V untuk melakukan<br />
kehati-hatian secara tertulis, namun ternyata<br />
usaha perlindungan, pencegahan, maupun<br />
mitigasi dampak atas act of God tersebut tidak<br />
berhasil mencegah longsor yang mungkin timbul.<br />
Melihat akibat yang ditimbulkan ini seharusnya<br />
Tergugat tetap bertanggungjawab.<br />
f. Liability is strict (Tanggung Jawab Ketat)<br />
Statuta-statuta lingkungan pemerintah<br />
federal menerapkan prinsip tanggung jawab<br />
ketat (strict liability), sehingga seseorang tetap<br />
bertanggungjawab atas kerusakan lingkungan yang<br />
ditimbulkannya, kecuali ia dapat membuktikan<br />
bahwa kerusakan itu terjadi karena salah satu<br />
pengecualian dari tanggung jawabnya itu, yang<br />
salah satunya termasuk act of God. Akan tetapi<br />
meskipun ia sudah berhasil membuktikan kelima<br />
poin yang disebutkan di atas, pada dasarnya<br />
seseorang harus tetap bertanggung jawab karena<br />
tanggung jawab act of God adalah berdasarkan<br />
atas akibat (causation-based), bukan berdasarkan<br />
kesalahan (fault-based). Ketika sudah ada akibat<br />
yang ditimbulkan dari act of God, dalam kasus<br />
ini berarti peristiwa longsor, para Tergugat prima<br />
facie memang pada dasarnya bertanggung jawab<br />
atas kerusakan lingkungan akibat keluarnya SK<br />
yang amarnya berisi perubahan fungsi hutan<br />
lindung serta tindakan-tindakan yang mengarah<br />
pada perubahan fungsi dan kerusakan hutan.<br />
Dalam jurnal Invoking the Act of God Defense<br />
karya Laurencia Fasoyiro, dalam hal ini diberikan<br />
suatu contoh bahwa tidak semua hujan dapat<br />
dikategorikan sebagai act of God. Suatu hujan<br />
yang sifatnya normal, biasa bagi daerah tersebut,<br />
dan pernah terjadi selama masih terekam dalam<br />
memori manusia yang hidup (within the memory<br />
of men then living), tidak dapat dikategorikan<br />
sebagai act of God karena sifatnya seperti siklus<br />
yang berulang-ulang.<br />
Menganalisis keterangan ahli Dr. Chay<br />
Asdak yang mengatakan hujan ini merupakan<br />
”peristiwa alam siklus 50 tahunan (hal<br />
tersebut juga diketahui oleh masyarakat yang<br />
bersangkutan) yang pada waktu kejadian terjadi<br />
intensitas curah hujan sangat tinggi yaitu 12<br />
mm/hari atau 14 kali rata-rata normal di mana<br />
ada atau tidak ada hutan tidak berpengaruh<br />
secara signifikan menahan banjir dan tanah<br />
longsor” (Faure & Niessen, 2006: 191). Ketika<br />
suatu masyarakat telah mengetahui dengan<br />
jelas suatu fenomena yang sifatnya berulang,<br />
maka peristiwa atau bencana alam tersebut tidak<br />
dapat dikategorikan sebagai act of God karena<br />
sudah bisa diperkirakan terjadinya. Ahli dari<br />
Pemohon Kasasi III sendiri yang mengatakan<br />
demikian, jadi dengan demikian pernyataan yang<br />
bersangkutan menjadi bumerang bagi Pemohon<br />
Kasasi III dan menggugurkan dalih act of God<br />
yang ia kemukakan!<br />
Hampir mirip dengan peraturan pemerintah<br />
federal, untuk menyatakan dalil bahwa suatu<br />
peristiwa kerusakan lingkungan terjadi karena<br />
adanya act of God di negara bagian Texas<br />
seseorang harus membuktikan bahwa:<br />
a. Kejadian tidak dapat diantisipasi;<br />
b. Kejadian belum pernah terjadi<br />
c.<br />
sebelumnya (unprecedented);<br />
Act of God adalah satu-satunya<br />
penyebab (sole cause) dari fenomena<br />
alam tersebut; dan<br />
d. Telah melakukan tindakan<br />
pencegahan (due care) ataupun<br />
prediksi sebelumnya (foresight).<br />
Ketepatan Hakim dalam Penerapan Precautionary Principle sebagai “Ius Cogen” (Loura Hardjaloka) | 147<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 147 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:25 PM
Dari hasil analisis dalih yang dikemukakan<br />
oleh para Tergugat dan ahli serta pertimbangan<br />
hakim pada tingkat kasasi, dapat disimpulkan<br />
sebenarnya peristiwa ini bukan merupakan<br />
bencana alam (sebab-sebab act of God) karena<br />
ketujuh poin di atas tidak dapat dibuktikan oleh<br />
para Tergugat, oleh karena itu Tergugat seharusnya<br />
tetap bertanggung jawab secara mutlak (strict<br />
liability). Dapat ditarik suatu kesimpulan memang<br />
untuk membuktikan dalil act of God di hadapan<br />
pengadilan sangat sulit mengingat banyaknya<br />
poin-poin persyaratannya. Jadi, apakah ada<br />
gunanya kita mendalilkan act of God sebagai<br />
alasan untuk kita mengelak diri dari tanggung<br />
jawab? Sepertinya tidak ada manfaatnya, kecuali<br />
ada perubahan terhadap undang-undangnya yang<br />
bisa memberikan ‘celah’ bagi si penanggung<br />
jawab usaha atau kegiatan.<br />
3. Precautionary Principle (Prinsip Kehati-<br />
hatian)<br />
Prinsip kehati-hatian yang dikembangkan<br />
dalam hukum lingkungan internasional<br />
adalah konsep yang prospektif. Hal ini dapat<br />
digunakan untuk memutuskan apa yang<br />
seharusnya diperbolehkan untuk terjadi di<br />
masa depan. Pertanyaan yang dibahas<br />
dalam uraian ini adalah apakah dalam<br />
hukum domestik prinsip kehatihatian<br />
harus diterapkan secara retrospektif (Hey,<br />
1992: 303-318). Haruskah sikap kehati-hatian<br />
digunakan sebagai standar untuk diterapkan<br />
dalam tindakan masa lalu pihak swasta, sehingga<br />
dapat menilai apakah pihak swasta tersebut telah<br />
bertindak secara legal? Dalam ranah perdata,<br />
jawabannya adalah ya. Menerapkan prinsip<br />
kehati-hatian dalam kasus perdata menghilangkan<br />
persyaratan ‘kemampuan melihat apa yang akan<br />
terjadi di masa depan’ dan mengubah tanggung<br />
jawab berdasarkan kesalahan menjadi tanggung<br />
jawab mutlak. Di ranah pidana, penerapan<br />
retrospektif dari prinsip kehati-hatian tidak<br />
sesuai. Dengan mengharuskan tindakan kehatihatian<br />
pada seorang pelaku dalam penuntutan<br />
lingkungan akan mengubah tanggung jawab<br />
mutlak (strict liability) menjadi tanggung jawab<br />
mutlak (absolute liability) dan menciptakan<br />
potensi hukuman pidana tanpa adanya kesalahan<br />
(M’Gonigle, 1994: 99-169). Bruce Pardy<br />
berpendapat bahwa di ranah perdata prinsip<br />
kehati-hatian seharusnya digunakan untuk<br />
mengevaluasi tindakan-tindakan masa lalu dari<br />
pelaku dalam kasus perdata. Hal tersebut saat ini<br />
tidak diterapkan oleh pengadilan. Di ranah pidana,<br />
justru kebalikannya. Bruce Pardy berpendapat<br />
bahwa prinsip kehati-hatian tidak seharusnya<br />
diterapkan dalam penuntutan atas pelanggaran<br />
lingkungan. Namun begitu, setidaknya satu<br />
pengadilan telah mengambil langkah yang setara<br />
dan jika ada kecenderungan, itu akan mengarah<br />
ke hal yang di atas (Pardy, 2002: 70-75).<br />
Dalil Gugatan Penggugat<br />
Para Penggugat yang menyatakan<br />
bahwa menurut hasil penyelidikan Direktorat<br />
Vulkanologi, faktor-faktor penyebab longsornya<br />
Gunung Mandalawangi, yaitu:<br />
a. ketebalan pelapukan tanah (3 meter);<br />
b. sarang (mudah meloloskan air);<br />
c. batuan vulkanik yang belum padu;<br />
d. kecuraman lereng 20-50 derajat dan bagian<br />
bawah relative landai; dan<br />
e. adanya perubahan tata guna lahan<br />
bagian alas bukit dari tanaman keras/<br />
hutan ke tanaman musiman. Hal tersebut<br />
menegaskan manejemen pengelolaan<br />
hutan yang disebabkan oleh Tergugat I<br />
148 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 134 -153<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 148 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:25 PM
hanya mengejar keuntungan semata tanpa<br />
menghiraukan kelestarian lingkungan<br />
dan ekosistem serta tata guna lahan<br />
sebagaimana yang tertuang dalam Pasal<br />
7 PP No. 53 Tahun 1999. Kemudian di<br />
paragraf berikutnya, dinyatakan bahwa<br />
Tergugat I telah mengetahui dan mengakui<br />
adanya 3 titik rawan longsor di Petak V<br />
dan 4 titik rawan longsor di Petak VI,<br />
namun Tergugat I tidak menanganinya<br />
secara khusus dan tidak mengumumkan<br />
penemuan itu kepada masyarakat dan<br />
pihak terkait, sehingga Tergugat I telah<br />
melakukan kelalaian yang mengakibatkan<br />
jatuhnya korban jiwa dan harta benda.<br />
Berdasarkan dalil gugatan tersebut, kami<br />
menyimpulkan bahwa pengetahuan-pengetahuan<br />
yang disebutkan di atas dapat dikatakan sebagai<br />
suatu bukti ilmiah. Seperti diketahui bersama,<br />
dalam Precautionary Principle, ketiadaan bukti<br />
ilmiah tidak dapat menjadi alasan untuk menundanunda<br />
upaya pencegahan selama ada ancaman<br />
kerugian yang tidak dapat dipulihkan, sedangkan<br />
dalam kasus ini sudah jelas terdapat 3 titik rawan<br />
longsor di Petak V dan 4 titik rawan longsor di<br />
Petak VI, tetapi Tergugat I tidak menanganinya<br />
secara khusus dan tidak mengumumkan penemuan<br />
itu kepada masyarakat dan pihak terkait.<br />
Hal tersebut tentu menyimpang dari<br />
penerapan Precautionary Principle. Dengan<br />
adanya pengetahuan akan titik-titik rawan<br />
longsor, sudah seharusnya Tergugat I sebagai<br />
pihak yang diberi kewenangan untuk mengelola<br />
melakukan upaya-upaya pencegahan agar tidak<br />
terjadi longsor. Ketiadaan bukti ilmiah saja tidak<br />
dapat menjadi alasan untuk menunda-nunda<br />
upaya pencegahan, apalagi ini yang sudah jelasjelas<br />
ditemukan adanya titik-titik rawan longsor.<br />
Putusan PN Bandung (Putusan Nomor 49/<br />
Pdt.G/2003/PN.BDG)<br />
Amar putusan dalam pokok perkara (dalam<br />
konpensi) menyatakan bahwa Tergugat I, Tergugat<br />
III, Tergugat IV, dan Tergugat V bertanggung<br />
jawab secara mutlak (strict liability) atas<br />
dampak yang ditimbulkan oleh adanya longsor<br />
kawasan hutan Gunung Mandalawangi serta<br />
menghukum Tergugat I, Tergugat III, Tergugat<br />
IV, dan Tergugat V untuk melakukan pemulihan<br />
keadaan lingkungan di areal hutan Gunung<br />
Mandalawangi<br />
Amar putusan tersebut menggambarkan<br />
bahwa karena tidak disebabkannya upaya<br />
pencegahan, maka timbullah peristiwa tanah<br />
longsor, yang kemudian didalilkan oleh para<br />
Tergugat dalam eksepsi bahwa tanah longsor ini<br />
merupakan bencana alam berupa banjir bandang<br />
disertai tanah longsor di areal hutan Gunung<br />
Mandalawangi. Jadi, di sini menurut hakim, para<br />
Tergugat harus bertanggung jawab secara mutlak<br />
(strict liability) untuk menanggulangi dampak<br />
yang terjadi. Dengan digunakannya strict liability<br />
sebagai sistem hukum, maka hambatan yang dialami<br />
para korban dapat diterobos, beban pembuktian<br />
tidak hanya dibebankan pada Penggugat lagi<br />
(korban yang dirugikan) sebagaimana yang<br />
selama ini lazim dianut karena dalam ketentuan<br />
Strict Liability kesalahan tidak perlu dibuktikan,<br />
namun kerugian dan kausalitas antara tindakan<br />
Tergugat dengan kerugian yang diderita para<br />
korban tetap harus dibuktikan oleh para korban.<br />
Putusan tersebut sesuai dengan penganutan<br />
Precautionary Principle. Karena sebagaimana<br />
dijelaskan oleh Bruce Pardy dalam jurnalnya yang<br />
berjudul Applying the Precautionary Principle<br />
to Private Persons: Should it Affect Civil and<br />
Criminal Liability? Penerapan precautionary<br />
Ketepatan Hakim dalam Penerapan Precautionary Principle sebagai “Ius Cogen” (Loura Hardjaloka) | 149<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 149 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:26 PM
principle yang prospektif dalam ranah perdata<br />
akan konsisten dengan aturan dari tort liability<br />
sebagaimana yang ada sekarang. Tort liability<br />
tidak mengutamakan untuk menghukum pelaku,<br />
tetapi pada kompensasi atas kerugian yang dialami<br />
korban. Dengan demikian, konsekuensi dari<br />
penerapan Precautionary Principle dalam kasus<br />
ini berkonsekuensi pada diterapkannya strict<br />
liability di mana faktor yang menentukan adalah<br />
unsur kausalitas antara tindakan tergugat dengan<br />
kerugian yang ditimbulkan, bukan kesalahan.<br />
(Penjelasan selengkapnya dapat dilihat pada<br />
bagian analisis terkait strict liability).<br />
Memori Kasasi dan Pendapat MA (Termohon<br />
Kasasi Tidak Mengirimkan Kontra Memori<br />
Kasasi)<br />
Dalam memori kasasi yang diajukan oleh<br />
Pemohon Kasasi I, Pemohon Kasasi mendalilkan<br />
bahwa karena Precautionary Principle belum<br />
menjadi hukum positif Indonesia, maka Judex<br />
Facti dinilai telah salah dalam menerapkan<br />
hukum dan melakukan kelalaian yang dapat<br />
mengakibatkan dibatalkannya putusan yang<br />
telah dikeluarkan.<br />
Berdasarkan alasan tersebut MA berpendapat<br />
bahwa suatu ketentuan hukum Internasional<br />
dapat digunakan oleh hakim nasional apabila<br />
telah dipandang sebagai ”ius cogen” sehingga<br />
hakim tidak salah dalam menerapkan hukum<br />
apabila hakim mengadopsi ketentuan hukum<br />
Internasional. Pada butir selanjutnya, Pemohon<br />
kasasi mendalilkan bahwa prinsip tanggung<br />
jawab mutlak (strict liability) yang dilandasi oleh<br />
prinsip kehati-hatian (precautionary principle)<br />
yang diterapkan oleh Judex Facti tidak tepat.<br />
Tidak ada kekosongan hukum dalam praktek.<br />
Jika tidak dapat diterapkan prinsip tanggung<br />
jawab mutlak (strict liability) berdasarkan<br />
Pasal 35 UUPLH, terhadap tiap tuntutan ganti<br />
kerugian dapat diterapkan ketentuan Pasal<br />
1365 KUHPerdata, berdasarkan pendapat ahli<br />
hukum lingkungan Profesor Doktor Koesnadi<br />
Hardjasoemantri dalam buku “Hukum Tata<br />
Lingkungan”.<br />
Akan tetapi, hakim dalam pertimbangannya<br />
memberikan alasan bahwa alasan para Pemohon<br />
Kasasi yang berpendapat bahwa Pasal 1365<br />
KUHPerdata dapat diterapkan dalam kasus ini<br />
tidak dapat dibenarkan. Namun, alasan lebih lanjut<br />
tidak dapat dibenarkannya itu tidak dijelaskan<br />
oleh hakim. Hakim hanya menyampaikan<br />
bahwa perbuatan Hakim pada pengadilan tingkat<br />
Pertama dalam mengadopsi hukum Internasional<br />
tidak salah dalam menerapkan hukum.<br />
Berdasarkan alasan yang sama pula<br />
yakni penerapan Precautionary Principle<br />
dalam pertimbangan Majelis Hakim tingkat<br />
pertama yang berpedoman pada prinsip ke 15<br />
yang terkandung dalam asas Pembangunan<br />
Berkelanjutan pada Konverensi Rio tanggal<br />
12 Juni 1992, dinilai tidak memiliki dasar<br />
hukum karena belum menjadi hukum positif di<br />
Indonesia, dan bukanlah suatu alasan untuk<br />
mengisi kekosongan hukum dalam praktek<br />
karena sudah ada hukum positif yang mengatur<br />
masalah lingkungan hidup dan kehutanan, yaitu<br />
UUPLH pada Pasal 3, 6, 14, 15, 34 dan 35 dan<br />
UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pada<br />
Pasal 43, 45, 48, 60 dan 68. Akan tetapi, hakim<br />
dalam pertimbangannya memberikan alasan<br />
bahwa suatu ketentuan hukum Internasional<br />
dapat digunakan oleh hakim nasional apabila<br />
telah dipandang sebagai ”ius cogen” sehingga<br />
hakim tidak salah dalam menerapkan hukum<br />
apabila hakim mengadopsi ketentuan hukum<br />
Internasional.<br />
150 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 134 -153<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 150 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:26 PM
Menurut penulis, pertimbangan hakim<br />
sudahlah benar, di mana memang Precautionary<br />
Principle dapat diterapkan dalam kasus ini.<br />
Memang pada UU Nomor 23 Tahun 1997 belum<br />
dianut Precautionary Principle sebagaimana<br />
telah dianut UU Nomor 32 Tahun 2009. Namun,<br />
hukum lingkungan pada umumnya memang<br />
banyak mendasarkan pada ketentuan-ketentuan<br />
hukum internasional. Lagipula sebagaimana<br />
dikatakan oleh hakim Precautionary Principle<br />
ini telah dipandang sebagai ”ius cogen”, yaitu<br />
sebagai suatu norma yang diterima dan diakui<br />
oleh masyarakat internasional secara keseluruhan<br />
serta sebagai norma yang tidak dapat dilanggar dan<br />
hanya dapat diubah oleh suatu norma dasar hukum<br />
internasional umum yang baru yang mempunyai<br />
sifat yang sama (Deville, 1997: 567). Dengan<br />
demikian, hakim tepat dalam menerapkan hukum<br />
apabila hakim mengadopsi ketentuan hukum<br />
Internasional, yaitu Precautionary Principle.<br />
IV.<br />
SIMPULAN<br />
1. Pembedaan Perbuatan Melawan Hukum<br />
dengan Strict Liability terkait kasus<br />
Mandalawangi, putusan hakim untuk<br />
menjatuhkan vonis dikenakannya tanggung<br />
jawab mutlak kepada tergugat adalah tepat.<br />
Hal ini berdasarkan kepada:<br />
a. Konsekuensi dari penerapan<br />
Precautionary Principle,<br />
mendasarkan pada suatu keadaan<br />
di mana suatu akibat dari suatu<br />
perbuatan telah diperkirakan<br />
sebelumnya walaupun tidak ada<br />
bukti ilmiah. Perum Perhutani telah<br />
mengetahui keadaan dari hutan yang<br />
berpotensi terjadi longsor, tetapi<br />
tetap menggunakannya sebagai hutan<br />
produksi. Prinsip kehati-hatian telah<br />
dilanggar, pelanggaran terhadap<br />
prinsip tersebut akan melahirkan<br />
suatu tanggung jawab mutlak<br />
kepada Para Tergugat karena mereka<br />
telah mengetahui risiko yang akan<br />
terjadi sehingga ada atau tidaknya<br />
pembuktian dari Para Tergugat, maka<br />
mereka tetap harus bertanggung<br />
jawab.<br />
b. Penafsiran gramatikal dari Pasal 35<br />
ayat (1) UU No. 23 Tahun 1997, yang<br />
mana seharusnya unsur-unsur dalam<br />
pasal tersebut berdiri sendiri. Pada<br />
faktanya ketentuan yang terdapat<br />
dalam pasal ini mengenai kegiatankegiatan<br />
yang bisa dikenakan<br />
kewajiban tanggung jawab mutlak<br />
adalah bersifat tanggung jawab mutlak,<br />
di mana unsur satu dan lainnya saling<br />
berkaitan dan harus terpenuhi semua.<br />
Pendapat penulis, seharusnya unsurunsur<br />
yang terdapat dalam pasal ini<br />
bersifat alternatif, bukan kumulatif,<br />
sehingga dengan terpenuhinya salah<br />
satu jenis kegiatan dalam pasal ini<br />
saja sudah bisa dikenakan sebagai<br />
suatu tanggung jawab mutlak.<br />
2. Dalih bencana alam yang dapat digunakan<br />
dalam hal The Act of God Defence (force<br />
majeur) adalah bencana alam berat dalam<br />
arti bencana tersebut harus tidak dapat<br />
dihindari, tidak dapat diprediksi dan luar<br />
biasa. Jika di suatu tempat, suatu bencana<br />
alam terjadi namun bencana alam tersebut<br />
merupakan hal yang biasa terjadi di sana,<br />
dalam hal bukan yang terjadi untuk pertama<br />
kali dan dapat diprediksi terjadinya, maka<br />
hal tersebut tidaklah termasuk kualifikasi<br />
Ketepatan Hakim dalam Penerapan Precautionary Principle sebagai “Ius Cogen” (Loura Hardjaloka) | 151<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 151 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:26 PM
encana alam Act of God. Dalam kasus ini,<br />
banjir bandang dan longsor yang terjadi<br />
bukanlah bencana alam karena telah dapat<br />
diprediksi, berdasarkan keterangan ahli<br />
Dr. Chay Asdak, narasumber tim 11 yang<br />
merupakan peristiwa alam siklus tahunan<br />
dan adanya faktor campur tangan dari<br />
manusia sehingga menjadi faktor pendorong<br />
terjadinya bencana tersebut.<br />
3. Terkait Precautionary Principle, Tergugat<br />
I tidak menerapkan prinsip tersebut karena<br />
walaupun telah ada bukti yang pasti dari<br />
hasil temuan yang menunjukkan bahwa<br />
terdapat beberapa titik rawan longsor,<br />
namun Tergugat I tidak menanganinya<br />
secara khusus sehingga terlihat tidak<br />
ada upaya pencegahan yang disebabkan<br />
oleh Tergugat I. Prinsip ini walaupun<br />
dalam eksepsi dan memori kasasi yang<br />
diajukan oleh Pemohon Kasasi I dahulu<br />
Tergugat I didalilkan bahwa belum berlaku<br />
sebagai hukum positif di Indonesia tetapi<br />
Precautionary Principle ini telah dipandang<br />
sebagai ius cogen yaitu sebagai suatu norma<br />
yang diterima dan diakui oleh masyarakat<br />
Internasional secara keseluruhan serta<br />
sebagai norma yang tidak dapat dilanggar<br />
dan hanya dapat diubah oleh suatu norma<br />
hukum dasar Internasional umum yang<br />
baru yang mempunyai sifat yang sama.<br />
SARAN<br />
1. Terkait strict liability, sebaiknya Pasal 35<br />
UU Nomor 23 Tahun 1997 maupun Pasal<br />
88 UU Nomor 32 Tahun 2009, diberi judul<br />
Strict Liability bukan tanggung jawab<br />
mutlak karena berarti tanggung jawab<br />
mutlak dapat diartikan Absolute Liability,<br />
sedangkan maksud dari ketentuan dalam<br />
pasal di atas adalah strict liability yang<br />
bersifat tidak absolute karena adanya<br />
pengecualian untuk bertanggung jawab dan<br />
adanya batasan besaran ganti rugi.<br />
2. Dalam hal ini, dalil bencana alam itu<br />
sangat penting untuk dibuktikan karena<br />
itu merupakan defense yang dapat<br />
menyebabkan tergugat tidak dibebani<br />
tanggung jawab. Sehingga hakim<br />
seharusnya dalam putusannya menyatakan<br />
dengan jelas pertimbangan serta keputusan<br />
apakah menolak atau menerima dalih<br />
tersebut.<br />
3. Terkait Precautionary Principle, maka<br />
sebaiknya harus dipahami bahwa prinsip<br />
tersebut berbeda dengan prinsip pencegahan<br />
karena berdasarkan UU Nomor 32 Tahun<br />
2009, Precautionary Principle telah dianut<br />
sebagai asas perlindungan dan pengelolaan<br />
lingkungan hidup, bukan prinsip pencegahan<br />
karena untuk lingkungan hidup, tidak dapat<br />
disebabkan penundaan untuk mencegah<br />
terjadinya kerusakan dan pencemaran<br />
lingkungan hidup hanya dikarenakan tidak<br />
adanya bukti atau bukti yang ada kurang<br />
lengkap.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Deville, A and R. Harding. 1997. Applying the<br />
Precautionary Principle. Annandale: The<br />
Federation Press.<br />
Fasoyiro, Laurencia. 2009. ”Invoking the Act of<br />
God Defense”. Environmental and Energy<br />
Law and Policy Journal. Vol.3(2), hal.<br />
1-33.<br />
152 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 134 -153<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 152 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:26 PM
Faure, Michael dan Nicole Niessen. 2006.<br />
Environment Law in Development: Lessons<br />
from the Indonesian Experience. UK:<br />
Edward Elgar Publishing Limited.<br />
Fraley, Jill M. 2010. Re-examining Acts of God.<br />
Pace Environmental Law Review, Vol. 27.<br />
Hey, E. 1992. The precautionary principle<br />
in environmental law and policy:<br />
Institutionalizing Precaution. Georgetown<br />
International Law Review, Vol. 4.<br />
Jones, William K. 1992.” Strict Liabililty for<br />
Hazardous Enterprise”. Columbia Law<br />
Review. Vol. 92.<br />
Kasim, Adil. 2007. ”Perbandingan Perbuatan<br />
Melanggar Hukum, Onrechtmatige Daad”.<br />
Dalam Sistem Eropa Kontinental dan<br />
Law of Torts dalam Sistem Anglo Saxon”.<br />
Majalah Varia Peradilan, Tahun ke XXII,<br />
Nomor 259.<br />
Kristl, Kenneth T. 2006. Diminishing The Divine:<br />
Climate Change and The Act of God<br />
Defense. Widener Law Review, Vol. 15.<br />
M’Gonigle, R.M., et. al. 1994. Taking Uncertainty<br />
Seriously: From Permissive Regulation<br />
to Preventive Design in Environmental<br />
Decision making. Osgoode Hall Law<br />
Journal Vol. 32.<br />
O’Riordan, T. and J. Cameron. 1996. Interpreting<br />
the Precautionary Principle. London:<br />
Earthscan Publishers.<br />
Pardy, Bruce. 2002. ”Applying the Precautionary<br />
Principle to Private Persons: Should it<br />
Affect Civil and Criminal Liability?”. Les<br />
Cahiers de Droit. Vol.43.<br />
Raffensperger, C. and J. Tickner, eds.<br />
1999. Protecting Public Health and<br />
the Environment: Implementing the<br />
Precautionary Principle. Washington, DC:<br />
Island Press.<br />
Reid, Elspeth. 1999. “Liability for Dangerous<br />
Activities: A Comparative Analysis”.<br />
The International and Comparative Law<br />
Quarterly. Vol. 48 (4).<br />
Siahaan, N.H.T. 2009. Hukum Lingkungan.<br />
Jakarta: Pancuran Alam Jakarta.<br />
Subekti. 1979. Pokok-pokok Hukum Perdata.<br />
Jakarta: Intermasa.<br />
Undang-undang<br />
Indonesia. Undang-undang Nomor 23 Tahun<br />
1997. Undang-undang tentang Pengelolaan<br />
Lingkungan Hidup. LN Nomor 68 Tahun<br />
1997. TLN Nomor 3699.<br />
Indonesia. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009.<br />
Undang-undang tentang Perlindungan dan<br />
Pengelolaan Lingkungan Hidup. LN Nomor<br />
140 Tahun 2009. TLN Nomor 5059.<br />
Ketepatan Hakim dalam Penerapan Precautionary Principle sebagai “Ius Cogen” (Loura Hardjaloka) | 153<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 153 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:26 PM
ABSTRAK<br />
PERTANggUNgJAWABAN PIDANA KORPORASI<br />
TERHADAP KORBAN DALAM<br />
KASUS TINDAK PIDANA LINgKUNgAN HIDUP<br />
Pihak yang paling menderita akibat pencemaran dan/<br />
atau perusakan lingkungan adalah para korban. Oleh<br />
karena itu setiap pihak yang melakukan kegiatan<br />
yang merugikan korban harus bertanggung jawab<br />
terhadap akibat dari perbuatan yang dilakukannya.<br />
Dari kasus yang dianalisis, dapat ditunjukkan bahwa<br />
sanksi pidana yang dijatuhkan pada pelaku baik<br />
pada tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi,<br />
maupun Mahkamah Agung masih berfokus pada<br />
pelaku kejahatan (offender) sebagai fokus utama<br />
dari sanksi pidana. Dengan hanya menjatuhkan<br />
pidana pada diri pelaku, dalam hal ini direktur<br />
PT DEI, sisi perlindungan terhadap korban belum<br />
diberikan. Pertanggungjawaban pidana korporasi<br />
terhadap korban tindak pidana lingkungan hidup<br />
dikatakan ideal apabila korban tindak pidana<br />
lingkungan hidup juga mendapatkan perlindungan<br />
hukum berbentuk pemberian ganti kerugian maupun<br />
pemulihan lingkungan. Salah satu cara agar korban<br />
mendapat perlindungan hukum yang merupakan<br />
bentuk pertanggungjawaban pelaku terhadap<br />
korban, adalah dengan penerapan asas tanggung<br />
jawab mutlak (strict liability) dalam tindak pidana<br />
Kajian Putusan MA Nomor 862K/Pid.Sus/2010<br />
cRIMINAL cORPORATE LIABILITy IN FAVOR OF THE VIcTIMS<br />
IN THE cASE OF ENVIRONMENTAL cRIME<br />
An Analysis on the Supreme Court Decision Number 862K/Pid.Sus/2010<br />
Yeni widowaty<br />
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta<br />
Jl. Lingkar Barat Tamantirto Kasihan Bantul, DIY<br />
Email: yenni_widowatie@yahoo.com<br />
Diterima tgl 6 Juli <strong>2012</strong>/Disetujui tgl 18 Juli <strong>2012</strong><br />
lingkungan hidup dengan syarat-syarat tertentu.<br />
Kata kunci: pertanggungjawaban pidana korporasi,<br />
tanggung jawab mutlak, tindak pidana lingkungan<br />
hidup.<br />
abstract<br />
The people living in any poluted environments are<br />
those who are prone to be victimized. Any parties<br />
causing the troubles should be responsible for the<br />
damages. In the analysis of a case on environmental<br />
problem, the author of this article describes that<br />
criminal sanction imposed by the disctrict court,<br />
high court, and supreme court, are only targeted<br />
to the offender as happened to a director of PT<br />
DEI. In fact, the victims need some other kinds of<br />
sanction like compensation and/or environmental<br />
restoration rather than just imprisonment of the<br />
criminals. In order to protect the implicated people,<br />
it is recommended in certain conditions to apply the<br />
strict liability principle in addressing environmental<br />
crimes.<br />
Keywords: criminal corporate liability, strict<br />
liability, environmental crimes.<br />
154 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 154 -169<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 154 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:26 PM
I.<br />
PENDAHULUAN<br />
Tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan<br />
industri yang dilakukan oleh perusahaanperusahaan<br />
atau badan hukum di samping<br />
membawa pengaruh positif, juga dapat membawa<br />
pengaruh negatif. Sebagaimana dikemukakan<br />
oleh Wisnu Arya Wardana (2004: 24-25) bahwa<br />
kegiatan industri dan teknologi dapat memberikan<br />
dampak langsung dan tidak langsung. Dikatakan<br />
dampak langsung apabila kegiatan industri<br />
tersebut dapat langsung dirasakan oleh manusia.<br />
Dampak langsung yang bersifat positif memang<br />
diharapkan, akan tetapi dampak langsung yang<br />
bersifat negatif, yang mengurangi kualitas hidup<br />
manusia harus dihindari atau dikurangi. Adapun<br />
dampak langsung yang bersifat negatif dapat<br />
dilihat dari terjadinya masalah-masalah: (1).<br />
pencemaran udara, (2). pencemaran air dan (3).<br />
pencemaran daratan. Ketiga macam pencemaran<br />
tersebut di atas akan mengurangi daya dukung<br />
alam. Pencemaran udara, air dan daratan<br />
perlu dihindari sebagai bagian usaha menjaga<br />
kelestarian lingkungan, seperti pencemaran atau<br />
perusakan lingkungan hidup.<br />
Pendapat senada dikemukakan oleh Sonny<br />
Keraf bahwa berbagai kasus lingkungan hidup<br />
yang terjadi sekarang, baik lingkungan hidup<br />
global maupun lingkungan nasional, sebagian<br />
besar bersumber dari manusia. Kasus-kasus<br />
pencemaran dan kerusakan seperti di laut, hutan,<br />
air, tanah dan seterusnya bersumber dari perilaku<br />
manusia yang tidak bertanggung jawab (Keraf,<br />
2006: viii).<br />
Akibat pencemaran dan/atau perusakan<br />
lingkungan tersebut yang paling merasakan<br />
adalah korban. Korban juga yang paling menderita<br />
kerugian, baik kerugian materiil maupun<br />
immateriil bahkan juga berakibat korban cacat<br />
seumur hidup. Penderitaan juga akan dialami<br />
oleh keluarga korban, oleh karena itu wajar jika<br />
korban harus mendapat perlindungan. Kerugian<br />
yang diderita korban sebagai akibat pencemaran<br />
lingkungan yang dilakukan oleh korporasi, telah<br />
menimbulkan korban yang secara langsung<br />
diderita oleh masyarakat, baik kerugian harta<br />
benda, kesehatan baik fisik maupun psikis bahkan<br />
nyawa (Amrullah, 2008: 8).<br />
Bertolak dari alasan tersebut, penulis<br />
menganggap setiap pihak yang melakukan kegiatan<br />
yang merugikan korban harus bertanggung jawab<br />
terhadap akibat dari perbuatan yang dilakukannya,<br />
dalam hal ini termasuk lingkungan yang rusak.<br />
Salah satu putusan Pengadilan Negeri<br />
yang belum berpihak pada korban adalah<br />
Putusan Pengadilan Negeri Bekasi Nomor 460/<br />
Pid.B/2008/PN Bks. tentang kasus PT DEI . Kasus<br />
ini bermula pada bulan Oktober 2005 sampai<br />
dengan hari Minggu tanggal 11 Juni 2006 sekitar<br />
jam 13 warga masyarakat yang tinggal di sekitar<br />
Kampung Sempu Desa Pasirgombong Kecamatan<br />
Cikarang Utara mencium bau asam yang pahit<br />
dan menyengat akibat dari pembuangan limbah<br />
PT DEI.<br />
Bahwa akibat dari bau asam pembuangan<br />
limbah tersebut masyarakat di sekitar Kampung<br />
Sempu Desa Pasirgombong Kecamatan Cikarang<br />
Utara mengalami kepala pusing, tenggorokan<br />
kering, dada sesak, perut mual dan muntah-muntah<br />
dan sebagian masyarakat mengalami pingsan atau<br />
tidak sadarkan diri. Selanjutnya masyarakat yang<br />
mengalami sakit dibawa ke RS Medika Cikarang<br />
di mana hasil pemeriksaan menyimpulkan bahwa<br />
penyebab sakitnya warga Kampung Sempu Desa<br />
Pasirgombong Kecamatan Cikarang Utara adalah<br />
karena mencium bahan gas Ammonia (NH3),<br />
Hydrogen Sulphide (H2SO) dan Methane.<br />
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Korban Dalam Kasus Tindak Pidana (Yeni Widowaty) | 155<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 155 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:26 PM
Putusan Pengadilan Negeri: (1).<br />
Menyatakan terdakwa PT DEI (DEI) yang<br />
dalam hal ini diwakili oleh KYW telah terbukti<br />
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan<br />
tindak pidana: Dengan sengaja dan melawan<br />
hukum menyuruh orang melakukan pencemaran<br />
lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam<br />
Pasal 41 (1) UU No. 23 Tahun 1997 tentang<br />
Pengelolaan Lingkungan Hidup jo Pasal 55 (1)<br />
ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat 1 KUHP sebagaimana<br />
dakwaan primair. (2). Menjatuhkan pidana<br />
kepada Terdakwa dengan pidana denda sebesar<br />
Rp.325.000.000,- (tiga ratus dua puluh lima<br />
juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan.<br />
(3). Perampasan keuntungan dari tindak pidana<br />
sebesar lebih kurang 410,2 ton sludge yang<br />
dijual kepada saksi AW dan Penutupan PT DEI.<br />
Putusan Pengadilan Negeri ini dikuatkan oleh<br />
Pengadilan Tinggi Bandung No. 465/Pid/2009/<br />
PT.Bdg tanggal 3 Desember 2009. Oleh karena<br />
Terdakwa belum puas atas putusan Pengadilan<br />
Tinggi maka kemudian mengajukan kasasi.<br />
Dalam putusan kasasi Mahkamah Agung No.<br />
862K/Pid.Sus/2010 mengabulkan permohonan<br />
kasasi dari pemohon kasasi/terdakwa KYW<br />
dan membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi<br />
Bandung yang menguatkan putusan Pengadilan<br />
Negeri Bekasi, sehingga putusan Mahkamah<br />
Agung adalah sebagai berikut:<br />
1. Menyatakan Terdakwa PT DEI yang dalam<br />
hal ini diwakili oleh KYW telah terbukti<br />
secara sah dan meyakinkan bersalah<br />
melakukan tindak pidana “pencemaran<br />
lingkungan hidup secara berlanjut<br />
sebagaimana dalam dakwaan primair”.<br />
2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu<br />
kepada terdakwa denngan pidana<br />
denda Rp.650.000,- dan apabila denda<br />
tidak dibayar maka diganti dengan<br />
pidana kurungan selama enam bulan.<br />
3. Perampasan yang diperolah dari tindak<br />
pidana sebesar lebih kurang 410,2 ton<br />
sludge yang dijual kepada saksi AW cs dan<br />
Penutupan PT DEI.<br />
Walaupun Mahkamah Agung membatalkan<br />
putusan Pengadilan Tinggi dan mengadili sendiri<br />
namun ternyata dalam putusan tidak jauh berbeda<br />
bahkan denda lebih tinggi.<br />
RUMUSAN MASALAH<br />
156 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 154 -169<br />
II.<br />
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas<br />
maka rumusan masalah yang diajukan adalah:<br />
1. Apakah pertanggungjawaban pidana<br />
korporasi terhadap korban tindak pidana<br />
lingkungan hidup sudah terwujud dalam<br />
putusan Mahkamah Agung No. 862K/Pid.<br />
Sus/2010?<br />
2. Bagaimanakah idealnya bentuk<br />
pertanggungjawaban pidana korporasi<br />
terhadap korban tindak pidana lingkungan<br />
hidup?<br />
III.<br />
STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS<br />
A. Studi Pustaka<br />
Pertanggungjawaban pidana merupakan<br />
salah satu dari persoalan dasar dalam hukum<br />
pidana, sehingga pertanggungjawaban pidana<br />
merupakan unsur penting dalam penjatuhan<br />
pidana. Dengan kata lain, pertanggungjawaban<br />
pidana merupakan bagian dari asas hukum pidana<br />
yang keberadaannya sangat diperlukan.<br />
Keberadaan korporasi sebagai subjek tindak<br />
pidana dalam kebijakan pembaruan hukum pidana<br />
membawa konsekuensi pada asas hukum pidana,<br />
yakni korporasi dapat dipertanggungjawabkan<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 156 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:26 PM
sama dengan orang pribadi (natural person).<br />
Tidak mudah untuk menentukan kapan<br />
pertanggungjawaban pidana dapat dimintakan<br />
kepada pengurus badan hukum atau kepada<br />
pengurus beserta badan hukum, sehingga hal ini<br />
menjadi permasalahan sendiri dalam praktek.<br />
(Smith dan Hogan, 1982). Hal ini dikarenakan<br />
dalam kasus lingkungan hidup ada kesulitan<br />
untuk membuktikan hubungan kausal antara<br />
kesalahan di dalam struktur usaha dan perilaku/<br />
perbuatan yang secara konkrit dilakukan.<br />
Terhadap sistem pertanggungjawaban<br />
korporasi sebagai pembuat dan dapat<br />
dipertanggungjawabkan, Muladi memberikan<br />
komentar bahwa korporasi dapat<br />
dipertanggungjawabkan sebagai pembuat, di<br />
samping manusia alamiah (natuurlijk persoon).<br />
Jadi penolakan pemidanaan korporasi berdasarkan<br />
universitas delinquere non potest sudah<br />
mengalami perubahan dengan menerima konsep<br />
pelaku fungsional (functioneel daderschap)<br />
(Muladi, 1989: 5).<br />
Menurut Oemar Seno Adji, yang mendukung<br />
korporasi sebagai subjek hukum pidana<br />
mengatakan bahwa”.......kemungkinan adanya<br />
pemidanaan terhadap persekutuan-persekutuan<br />
didasarkan tidak saja atas pertimbanganpertimbangan<br />
utilities, melainkan pula atas dasardasar<br />
teoritis dibenarkan (Adji, 1984: 160).<br />
Berdasarkan teori dalam hukum pidana<br />
terdapat dua kriteria untuk menentukan korporasi<br />
sebagai pelaku tindak pidana, yaitu Kriteria<br />
Rolling dan Kriteria Kawat Duri (Iron Wire)<br />
(Husin, 2009: 46). Berdasarkan kriteria Rolling<br />
korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban<br />
pidana apabila perbuatan yang dilarang dilakukan<br />
dalam rangka pelaksanaan tugas korporasi atau<br />
untuk mencapai tujuan korporasi. Berdasarkan<br />
kriteria kawat duri, korporasi dapat dijatuhkan<br />
hukuman pidana apabila dipenuhi dua syarat:<br />
1. Korporasi memiliki kekuasaan<br />
(power) baik secara de yure<br />
2.<br />
maupun de facto untuk mencegah<br />
atau menghentikan pelaku untuk<br />
melakukan kegiatan yang dilarang<br />
oleh undang-undang.<br />
Korporasi menerima tindakan pelaku<br />
(acceptance) sebagai bagian dari<br />
kebijakan korporasi.<br />
Menurut Sutan Remy Sjahdeni, suatu<br />
korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban<br />
pidana apabila sekalipun perbuatan korporasi<br />
dilakukan oleh orang-orang yang menjalankan<br />
kepengurusan atau kegiatan korporasi, namun<br />
perbuatan itu dilakukan dengan maksud<br />
memberikan manfaat, terutama berupa<br />
keuntungan finansial atau pun menghindarkan/<br />
mengurangi kerugian finansial bagi korporasi<br />
yang bersangkutan. Untuk menentukan seseorang<br />
dapat dipertanggungjawabkan atau tidak, maka<br />
tidak cukup jika orang yang bersangkutan<br />
melakukan tindak pidana, tetapi harus ada<br />
kesalahan (schuld) (Sjahdeni, 2006: 57).<br />
Pada prinsipnya orang tidak mungkin<br />
dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) jika tidak<br />
melakukan tindak pidana, akan tetapi meskipun<br />
melakukan tindak pidana tidak selalu dapat<br />
dipidana. Dapat juga dikatakan bahwa dipidananya<br />
si pembuat tidaklah cukup apabila orang itu<br />
telah melakukan perbuatan yang bertentangan<br />
dengan hukum. Untuk dapat dipidananya si<br />
pembuat maka harus ada kesalahan. Asas yang<br />
dikenal dengan asas tiada pidana tanpa kesalahan<br />
(Geen straf zonder schuld atau No punishment<br />
without guilt) ini merupakan asas pokok dalam<br />
pertanggungajawaban pembuat terhadap tindak<br />
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Korban Dalam Kasus Tindak Pidana (Yeni Widowaty) | 157<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 157 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:26 PM
pidana yang dilakukan. Asas hukum tidak tertulis<br />
ini dianut hukum pidana Indonesia saat ini. Asas<br />
tiada pidana tanpa kesalahan ini disimpangi<br />
oleh Strict liability dan vicarious liability.<br />
Dalam Strict liability pembuat tindak<br />
pidana sudah dapat dipidana hanya karena sudah<br />
dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tanpa<br />
melihat apakah pembuat bersalah atau tidak.<br />
Tidak semua tindak pidana dapat diterapkan<br />
asas pertanggungjawaban mutlak ini, namun<br />
hanya tindak pidana tertentu yaitu: apabila tindak<br />
pidana tersebut dilakukan oleh seseorang dalam<br />
menjalankan profesinya, yang mengandung<br />
elemen keahlian yang memadai (expertise),<br />
tanggung jawab sosial (social responsibility)<br />
dan kesejawatan (corporateness) yang didukung<br />
oleh suatu kode etik. Sedangkan pada vicariuos<br />
liability, tanggung jawab pidana seseorang<br />
diperluas sampai kepada tindakan bawahannya<br />
yang melakukan pekerjaan atau perbuatan<br />
untuknya atau dalam batas-batas perintahnya.<br />
Doctrine of strict liability<br />
Prinsip tanggung jawab mutlak (no-<br />
fault liability or liability without fault) dalam<br />
kepustakaan sering disebut dengan “absolute<br />
liability” atau “strict liability”. Menurut doktrin<br />
atau ajaran strict liability, pertanggungjawaban<br />
pidana dapat dibebankan kepada pelaku tindak<br />
pidana yang bersangkutan dengan tidak perlu<br />
dibuktikan adanya kesalahan (kesengajaan<br />
atau kealpaan) pada pelakunya. Menurut<br />
doktrin strict liability, seseorang sudah dapat<br />
dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana<br />
tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada<br />
kesalahan (mens rea). Secara singkat strict<br />
liability diartikan sebagai “liability without fault’<br />
(pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan)<br />
(Muladi dan Priyatna, 1991: 88).<br />
Dengan demikian, jika dalam hukum<br />
pidana berlaku asas “tiada pidana tanpa<br />
kesalahan” atau “geen straft zonder schuld”,<br />
maka dalam perkembangannya dapat pula dalam<br />
suatu tindak pidana kepada pelaku dibebankan<br />
pertanggungjawaban meskipun tidak ada<br />
kesalahan. Hal itu cukup dibuktikan bahwa<br />
pelaku telah melakukan suatu perbuatan pidana.<br />
Menurut L.B Curson, (Muladi dan Priyatna,<br />
1991: 88) doktrin strict liability didasarkan pada<br />
alasan-alasan sebagai berikut:<br />
1. adalah sangat esensial untuk menjamin<br />
dipatuhinya peraturan-peraturan penting<br />
tertentu yang diperlukan untuk kesejahteraan<br />
sosial;<br />
2. pembuktian adanya mens rea akan menjadi<br />
sangat sulit untuk pelanggaran-pelanggaran<br />
yang berhubungan dengan kesejahteraan<br />
sosial itu;<br />
3. tingginya tingkat bahaya sosial yang<br />
ditimbulkan oleh perbuatan yang<br />
bersangkutan.<br />
Argumentasi yang hampir sama<br />
dikemukakan pula dalam bukunya Ted Honderich,<br />
yang mengemukakan alasan untuk strict liability<br />
adalah:<br />
a. sulitnya untuk membuktikan<br />
pertanggungjawaban untuk tindak pidana<br />
tertentu;<br />
b. sangat perlunya mencegah jenis-jenis<br />
tindak pidana tertentu untuk menghindari<br />
adanya bahaya-bahaya yang sangat luas;<br />
c. pidana yang dijatuhkan sebagai akibat strict<br />
liability adalah ringan.<br />
Negara Inggris (Kementerian Negara<br />
158 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 154 -169<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 158 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:26 PM
Lingkungan Hidup dan ICEL, 1995/1996)<br />
penggunaan asas tanggung jawab mutlak mulai<br />
berkembang dalam kasus Rylands vs Fletcher,<br />
pada tahun 1868. House of Lord, Pengadilan<br />
Tingkat Kasasi di Inggris melahirkan suatu<br />
kriteria yang menentukan bahwa suatu kegiatan<br />
atau penggunaan sumber daya dapat dikenai strict<br />
liability jika penggunaan tersebut bersifat nonnatural<br />
atau di luar kelaziman atau tidak seperti<br />
biasanya. Sebelumnya, Pengadilan Tingkat<br />
Pertama (The Court of Exhequer) memenangkan<br />
pihak tergugat atau pemilik waduk. Pertimbangan<br />
yang diberikan adalah, bahwa pada diri penggugat<br />
tidak terdapat unsur kelalaian.<br />
Hal ini tidak memuaskan penggugat yang<br />
kemudian mengajukan banding ke Court of<br />
Court of Exchequer Chamber. Di pengadilan<br />
tingkat banding, gugatan penggugat diterima<br />
dan tergugat dinyatakan bersalah. Pengadilan<br />
berpendapat bahwa setiap orang demi<br />
kepentingannya membawa, mengumpulkan dan<br />
menyimpan segala sesuatu di atas tanahnya yang<br />
dapat merugikan pihak lain, wajib memelihara<br />
benda itu.<br />
Jika ia tidak mampu melakukannya, maka<br />
ia dapat bertanggung jawab atas akibat-akibat<br />
yang ditimbulkannya. Ia dapat bebas, terkecuali<br />
jika ia dapat membuktikan bahwa kerugian yang<br />
timbul adalah akibat dari kesalahan penggugat<br />
sendiri atau akibat bencana alam. Menyusul<br />
keputusan inilah, kemudian tergugat mengajukan<br />
kasasi ke House of Lord, namun justru House of<br />
Lord mengukuhkan putusan yang telah dibuat<br />
oleh pengadilan di tingkat banding.<br />
Doktrin Vicarious liability<br />
Menurut doktrin vicarious liability,<br />
seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas<br />
perbuatan dan kesalahan orang lain (Arief, 2002:<br />
151). Dengan demikian dalam vicarious liability<br />
ada pembebanan pertanggungjawaban seseorang<br />
dari tindak pidana yang dilakukan orang lain.<br />
Kedua orang tersebut harus mempunyai hubungan<br />
yaitu atasan dan bawahan atau majikan dan buruh<br />
atau ada hubungan pekerjaan. Disebut juga dengan<br />
pertanggungjawaban pengganti (Ali, 2008:<br />
63). Jadi walaupun seseorang tidak melakukan<br />
sendiri suatu tindak pidana dan tidak mempunyai<br />
kesalahan, tetapi dapat dipertanggungjawabkan.<br />
Tidak semua delik dapat dilakukan secara<br />
vicarious. Pengadilan telah mengembangkan<br />
prinsip-prinsip mengenai hal ini salah satunya<br />
adalah ”employment principle”. Menurut doktrin<br />
ini, majikan (employer) penanggung jawab utama<br />
dari perbuatan-perbuatan para buruh/karyawan<br />
yang melakukan perbuatan itu dalam ruang<br />
lingkup tugas/pekerjaannya (Arief, 2002: 152).<br />
Di Inggris Vicarious liability ini hanya<br />
berlaku terhadap: (1). Delik-delik yang<br />
mensyaratkan kualitas. (2). Delik-delik yang<br />
mensyaratkan adanya hubungan antara buruh dan<br />
majikan (Muladi dan Priyatna, 2010: 110).<br />
Doktrin yang memperkuat adanya<br />
pertanggungjawaban perusahaan dapat<br />
dibebankan pada direktur adalah doktrin<br />
Fiduciary Duty. Menurut prinsip Fiduciary Duty<br />
tugas utama dari direksi suatu perseroan adalah<br />
(Fuady, 2002: 32):<br />
1. Fungsi manajemen, dalam arti direksi<br />
melakukan tugas memimpin perusahaan.<br />
2. Fungsi representasi, dalam arti direksi<br />
mewakili perusahaan di dalam dan di luar<br />
pengadilan.<br />
Dengan demikian doktrin fiduciary duty ini<br />
berlaku bagi direksi dalam menjalankan tugasnya<br />
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Korban Dalam Kasus Tindak Pidana (Yeni Widowaty) | 159<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 159 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:27 PM
aik sebagai manajemen maupun sebagai<br />
representasi dari perseroan.<br />
Bagian penting dalam sistem pemidanaan<br />
adalah menetapkan suatu sanksi. Keberadaannya<br />
akan memberikan arah dan pertimbangan mengenai<br />
apa yang seharusnya dijadikan sanksi dalam suatu<br />
tindak pidana untuk menegakkan berlakunya<br />
norma. Pemidanaan dapat diartikan sebagai<br />
tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian<br />
sanksi dalam hukum pidana. Apa yang menjadi<br />
tujuan pemidanaan tidak lepas dari tujuan hukum<br />
pada umumnya yaitu tercapainya kesejahteraan<br />
masyarakat materiil dan spirituil, dan perbuatan<br />
yang tidak dikehendaki yaitu perbuatan yang<br />
mendatangkan kerugian masyarakat (Dewantara,<br />
1988: 11).<br />
Roeslan Saleh juga mengemukakan bahwa<br />
pidana mengandung hal-hal lain, yaitu bahwa<br />
pidana diharapkan sebagai sesuatu yang akan<br />
membawa kerukunan dan pidana adalah suatu<br />
proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat<br />
diterima kembali dalam masyarakat (Muladi dan<br />
Arief, 1992: 22).<br />
Dalam penulisan ini yang dimaksud tindak<br />
pidana lingkungan hidup adalah suatu perbuatan<br />
pidana yang dilarang dan diancam pidana menurut<br />
ketentuan undang-undang lingkungan hidup yaitu<br />
Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 dan Undang-<br />
Undang No. 32 Tahun 2009. Dikemukakannya<br />
dua undang-undang tersebut karena pemeriksaan<br />
terhadap kasus PT DEI menggunakan UULH<br />
yang lama yaitu UU No. 23 Tahun 1997, padahal<br />
undang-undang tersebut sudah dicabut dan<br />
diganti UU No. 32 Tahun 2009 sehingga dalam<br />
mengkaji dan menganalisis kasus kedua undangundang<br />
tersebut akan disandingkan.<br />
Adapun yang dimaksud dengan korban<br />
dalam penulisan ini adalah mereka yang secara<br />
fakta (factual victim) menderita kerugian secara<br />
materiil akibat suatu tindak pidana lingkungan<br />
yang dilakukan oleh korporasi dalam melakukan<br />
kegiatan usahanya. Mereka dalam kajian ini<br />
adalah orang perorangan, masyarakat dan/atau<br />
lingkungan.<br />
B. Analisis<br />
1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi<br />
Terhadap Korban Tindak Pidana<br />
Lingkungan Hidup dalam Putusan<br />
Mahkamah Agung No. 862K/Pid.<br />
Sus/2010 tentang Kasus PT DEI<br />
Pertanggungjawaban pidana hanya dapat<br />
terjadi jika sebelumnya seseorang ataupun<br />
korporasi telah dinyatakan melakukan tindak<br />
pidana. Dalam arti luas pertanggungjawaban<br />
meliputi 3 (tiga) persoalan pokok dalam hukum<br />
pidana. Hal yang sangat mendasar sebagai 3<br />
(tiga) persoalan pokok dalam hukum pidana<br />
menurut Sauer, yaitu sifat melawan hukum<br />
(unrecht), kesalahan (schuld), dan pidana (straf)<br />
(Sauer, 1921: 8). Herbert L. Packer menyebut<br />
ketiga masalah tersebut berkenaan dengan crime,<br />
responsibility, dan punishment (Packer, 1968: 54).<br />
Dalam perkembangan hukum pidana<br />
Indonesia, pengaturan korporasi sebagai pelaku<br />
tindak pidana dilangsungkan melalui tiga sistem<br />
pertanggungjawaban korporasi, yaitu (1) pengurus<br />
korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah<br />
yang bertanggung jawab; (2) korporasi sebagai<br />
pembuat, maka pengurus yang bertanggung<br />
jawab, dan (3) korporasi sebagai pembuat dan<br />
yang bertanggung jawab (Setiyono, 2005: 2).<br />
Mengkaji kasus PT DEI , ditinjau dari<br />
subjek yang dipertanggungjawabkan sudah<br />
sesuai aturan yang berlaku yaitu korporasi<br />
160 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 154 -169<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 160 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:27 PM
dalam hal ini diwakili oleh Presiden Direktur<br />
Kim Young Woo. Doktrin yang memperkuat<br />
adanya pertanggungjawaban perusahaan dapat<br />
dibebankan pada direktur adalah doktrin Fiduciary<br />
Duty. Menurut prinsip Fiduciary Duty tugas<br />
utama dari direksi suatu perseroan adalah fungsi<br />
manajemen, dalam arti direksi melakukan tugas<br />
memimpin perusahaan dan fungsi representasi,<br />
dalam arti direksi mewakili perusahaan di dalam<br />
dan di luar pengadilan (Fuady, 2002: 32).<br />
Menurut ketentuan Pasal 98 ayat (1)<br />
Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang<br />
Perseroan Terbatas: “Direksi mewakili Perseroan<br />
baik di dalam maupun di luar Pengadilan”.<br />
Dengan demikian maka jika korporasi<br />
dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang<br />
dilakukannya akan diwakili oleh Direktur.<br />
Mengenai pertanggungjawaban korporasi<br />
dalam UULH juga sudah mengaturnya. Menurut<br />
UULH yang lama yaitu pada saat kasus ini<br />
berlangsung dan diperiksa ketentuan mengenai<br />
hal ini diatur Pasal 46 UU No. 23 Tahun 1997<br />
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.<br />
Pasal 46<br />
1. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud<br />
dalam bab ini dilakukan oleh atau atas nama<br />
badan hukum, perseroan, perserikatan,<br />
yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana<br />
dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan<br />
tata tertib sebagaimana dimaksud dalam<br />
Pasal 47 dijatuhkan baik terhadap badan<br />
hukum, perseroan, perserikatan, yayasan<br />
atau organisasi lain tersebut maupun<br />
terhadap mereka yang memberi perintah<br />
untuk melakukan tindak pidana tersebut atau<br />
yang bertindak sebagai pemimpin dalam<br />
perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.<br />
2. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud<br />
dalam bab ini, dilakukan oleh atau<br />
atas nama badan hukum, perseroan,<br />
perserikatan, yayasan atau organisasi<br />
lain, dan dilakukan oleh orang-orang,<br />
baik berdasarkan hubungan kerja maupun<br />
berdasar hubungan lain, yang bertindak<br />
dalam lingkungan badan hukum, perseroan,<br />
perserikatan, yayasan atau organisasi lain,<br />
tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana<br />
dijatuhkan terhadap mereka yang memberi<br />
perintah atau yang bertindak sebagai<br />
pemimpin tanpa mengingat apakah orangorang<br />
tersebut, baik berdasar hubungan<br />
kerja maupun berdasar hubungan lain,<br />
melakukan tindak pidana secara sendiri<br />
atau bersama-sama.<br />
3. Jika tuntutan dilakukan terhadap badan<br />
hukum, perseroan, perserikatan, yayasan<br />
atau organisasi lain, panggilan untuk<br />
menghadap dan penyerahan surat-surat<br />
panggilan itu ditujukan kepada pengurus<br />
di tempat tinggal mereka, atau di tempat<br />
pengurus melakukan pekerjaan yang tetap.<br />
4. Jika tuntutan dilakukan terhadap<br />
badan hukum, perseroan, perserikatan,<br />
yayasan atau organisasi lain, yang pada<br />
saat penuntutan diwakili oleh bukan<br />
pengurus, hakim dapat memerintahkan<br />
supaya pengurus menghadap sendiri di<br />
pengadilan.<br />
Mengenai siapa yang dapat<br />
dipertanggungjawabkan jika tindak pidana<br />
dilakukan oleh korporasi juga diatur dalam<br />
undang-undang lingkungan hidup yang baru<br />
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang<br />
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan<br />
Hidup dalam Pasal 116 menyatakan:<br />
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Korban Dalam Kasus Tindak Pidana (Yeni Widowaty) | 161<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 161 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:27 PM
1. Apabila tindak pidana lingkungan hidup<br />
dilakukan oleh, untuk, atau atas nama<br />
badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi<br />
pidana dijatuhkan kepada:<br />
a. badan usaha; dan/atau<br />
b. orang yang memberi perintah untuk<br />
melakukan tindak pidana tersebut<br />
atau orang yang bertindak sebagai<br />
pemimpin kegiatan dalam tindak<br />
pidana tersebut.<br />
2. Apabila tindak pidana lingkungan hidup<br />
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)<br />
dilakukan oleh orang, yang berdasarkan<br />
hubungan kerja atau berdasarkan hubungan<br />
lain yang bertindak dalam lingkup kerja<br />
badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan<br />
terhadap pemberi perintah atau pemimpin<br />
dalam tindak pidana tersebut tanpa<br />
memperhatikan tindak pidana tersebut<br />
dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.<br />
Baik putusan Pengadilan Negeri, Pengadilan<br />
Tinggi dan Mahkamah Agung pada kasus PT DEI<br />
ini putusan pidana dijatuhkan terhadap korporasi<br />
yang diwakili oleh direkturnya yaitu KYW.<br />
Dijatuhkannya putusan pidana karena<br />
berdasarkan pemeriksaan pengadilan dan<br />
didukung bukti-bukti yang kuat terdakwa memang<br />
bersalah. Bukti-bukti tersebut di antaranya<br />
berupa Visum et Repertum yang ditandatangani<br />
dr. Ridwan Juansyah menyimpulkan sebagai<br />
berikut:<br />
1. YT dengan nomor Rekam Medis (RM)<br />
053859 dengan hasil diagnosis gangguan<br />
atas pernapasan dan nyeri ulu hati.<br />
2. WN nomor RM. 053852 dengan hasil<br />
diagnosis gangguan pencernaan dan<br />
gangguan ringan pernafasan atas.<br />
3. AG nomor RM 053841 menderita nyeri ulu<br />
hati.<br />
4. KS nomor RM 053837 dengan hasil<br />
dianosis gangguan pernafasan atas dan<br />
nyeri ulu hati.<br />
5. HR nomor RM 053845 dengan hasil<br />
menderita nyeri ulu hati.<br />
6. YA nomor RM 053842 menderita nyeri ulu<br />
hati.<br />
7. AT nomor RM 053836 dengan hasil<br />
diagnosis nyeri ulu hati.<br />
8. GN nomor RM 053839 dengan hasil<br />
menderita nyeri ulu hati.<br />
9. ST nomor RM 053851 dengan hasil nyeri<br />
ulu hati.<br />
10. JM nomor RM 053904 dengan hasil<br />
diagnosis nyeri ulu hati.<br />
11. BS nomor RM 053905 dengan hasil<br />
menderita nyeri ulu hati.<br />
12. KM nomor RM 053900 dengan hasil<br />
gangguan pernapasan dan nyeri ulu hati.<br />
Di samping itu berdasarkan pemeriksaan<br />
laboratoris kriminalistik TKP No. Lab: 3267/<br />
KTF/2006 pada hari Senin 26 Juni 2006<br />
disimpulkan:<br />
Limbah yang terdapat di TKP Kabupaten<br />
Bekasi serta limbah dari TKP PT DEI<br />
merupakan limbah B3.<br />
162 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 154 -169<br />
•<br />
•<br />
•<br />
Limbah yang terdapat di TKP merupakan<br />
penyebab gejala keracunan yang dialami<br />
oleh penduduk yang terpapar oleh bau (gas)<br />
yang keluar dari limbah tersebut.<br />
Penampakan fisik dan komponen kimiawi<br />
limbah yang terdapat di TKP sama dengan<br />
limbah yang terdapat di PT DEI yang<br />
merupakan limbah B3.<br />
PT DEI seharusnya membuang limbah cair<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 162 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:27 PM
B3 dikirim ke PPLI di Bogor untuk diproses lebih<br />
lanjut, maka PT DEI mendapatkan keuntungan<br />
karena jumlah sludge (filter press cake) sejak<br />
berdiri hingga bulan Mei 2006 sebanyak 468,4<br />
ton dan baru dikirim ke PPLI 58,2 ton sehingga<br />
terdapat selisih sebanyak 410,2 ton. Dengan<br />
demikian PT DEI mendapat keuntungan sekitar<br />
$31175,2. Perbuatan terdakwa diatur dan diancam<br />
Pasal 41 ayat (1) jo Pasal 45 jo Pasal 47 UU No.<br />
23 Tahun 1997 jo Pasal 64 KUHP.<br />
Bukti lainnya adalah: bahwa berdasarkan<br />
keterangan masyarakat diketahui bahwa PT DEI<br />
telah membuang limbah ke tanah lapang yang<br />
terletak di Cikarang pada hari Sabtu 10 Juni 2006<br />
dan Minggu tanggal 11 Juni 2006 mulai pukul<br />
9.00 Wib sampai dengan 15.30 Wib sebanyak<br />
3 rit untuk tanggal 10 Juni 2006 dan 4 rit untuk<br />
tanggal 11 Juni 2006 yang masing-masing terdiri<br />
dari 3 plastik container (PC) ukuran 1000 liter.<br />
Dalam kenyataannya walaupun Terdakwa<br />
dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana,<br />
namun tidak ada putusan yang mewujudkan<br />
pertanggungjawaban pelaku kepada korban.<br />
Adapun jenis putusan yang dijatuhkan<br />
adalah sebagai berikut:<br />
Putusan Pengadilan Negeri:<br />
1. Menyatakan terdakwa PT DEI yang dalam<br />
hal ini diwakili oleh KYW telah terbukti<br />
secara sah dan meyakinkan bersalah<br />
melakukan tindak pidana: Dengan sengaja<br />
dan melawan hukum menyuruh orang<br />
melakukan pencemaran lingkungan hidup<br />
sebagaimana diatur dalam Pasal 41 (1) UU<br />
No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan<br />
Lingkungan Hidup jo Pasal 55 (1) ke-1<br />
KUHP jo Pasal 64 (1) KUHP sebagaimana<br />
dakwaan primair.<br />
2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa<br />
dengan pidana denda sebesar<br />
Rp.325.000.000,- (tiga ratus dua puluh<br />
lima juta rupiah) subsidair enam bulan<br />
kurungan.<br />
3. Perampasan keuntungan dari tindak pidana<br />
sebesar lebih kurang 410,2 ton sludge yang<br />
dijual kepada saksi AW dan Penutupan PT<br />
DEI.<br />
4. Menetapkan barang bukti satu unit<br />
mobil mitshubisi FE 334 DSL No. Pol<br />
B 9148 SY dikembalikan kepada PT IF,<br />
sedangkan limbah serta beberapa peralatan<br />
dimusnahkan.<br />
5. Menghukum terdakwa membayar biaya<br />
perkara sebesar seribu rupiah.<br />
Tidak terima atas putusan Pengadilan<br />
Negeri Terdakwa kemudian mengajukan<br />
banding ke Pengadilan Tinggi Bandung. Dalam<br />
putusannya ternyata Pengadilan Tinggi Bandung<br />
No. 465/Pid/2009/PT.Bdg tanggal 3 Desember<br />
2009 menguatkan Putusan Pengadilan Negeri<br />
yaitu:<br />
1. Menerima permohonan banding dari kuasa<br />
hukum terdakwa.<br />
2. Menguatkan putusan Pengadilan Negeri<br />
Bekasi tanggal 22 Juni 2009 No. 458/<br />
Pid.B/2008/PN.Bks.<br />
3. Membebankan biaya perkara kepada<br />
Terdakwa dalam dua tingkat peradilan,<br />
sedangkan dalam tingkat Banding sebesar<br />
Rp.5.000,-<br />
Terhadap putusan Pengadilan Tinggi tersebut<br />
Terdakwa belum puas sehingga mengajukan<br />
kasasi. Selanjutnya dalam tingkat kasasi putusan<br />
Mahkamah Agung No. 862K/Pid.Sus/2010<br />
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Korban Dalam Kasus Tindak Pidana (Yeni Widowaty) | 163<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 163 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:27 PM
mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon<br />
kasasi/terdakwa KYW dan membatalkan Putusan<br />
Pengadilan Tinggi Bandung yang menguatkan<br />
putusan Pengadilan Negeri Bekasi, sehingga<br />
putusan Mahkamah Agung adalah sebagai<br />
berikut:<br />
1. Menyatakan Terdakwa PT DEI yang dalam<br />
hal ini diwakili oleh KYW telah terbukti<br />
secara sah dan meyakinkan bersalah<br />
melakukan tindak pidana “pencemaran<br />
lingkungan hidup secara berlanjut<br />
sebagaimana dalam dakwaan primair”.<br />
2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu<br />
kepada Terdakwa dengan pidana denda<br />
Rp.650.000.000,- (enam ratus lima puluh<br />
juta rupiah) dan apabila denda tidak dibayar<br />
maka diganti dengan pidana kurungan<br />
selama enam bulan.<br />
3. Perampasan yang diperolah dari tindak<br />
pidana sebesar lebih kurang 410,2 ton<br />
sludge yang dijual kepada saksi AW cs dan<br />
Penutupan PT DEI.<br />
4. Menetapkan barang bukti satu unit<br />
mobil mitshubisi FE 334 DSL No. Pol<br />
B 9148 SY dikembalikan kepada PT IF.<br />
Sedangkan limbah serta beberapa peralatan<br />
dimusnahkan.<br />
5. Membayar biaya perkara sebesar Rp.2.500,-<br />
Mengkaji putusan-putusan tersebut di atas,<br />
baik putusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi<br />
maupun Mahkamah Agung, Terdakwa terbukti<br />
bersalah melakukan tindak pidana pada dakwaan<br />
primair. Sebetulnya dakwaan primair nya adalah<br />
perbuatan yang diatur dan diancam Pasal 41 ayat<br />
(1) jo Pasal 45 jo Pasal 47 UU No. 23 Tahun<br />
1997 jo Pasal 64 KUHP, namun ternyata Pasal<br />
47 yang terkait dengan korban tidak digunakan.<br />
Padahal hanya di dalam Pasal 47 itulah terdapat<br />
unsur di mana ada tindakan tata tertib yang<br />
dijatuhkan kepada pelaku terkait dengan korban.<br />
Selengkapnya Pasal 47 UU No. 23 Tahun<br />
1997 adalah:<br />
“Selain ketentuan pidana sebagaimana<br />
dimaksud dalam Kitab Undang-undang<br />
Hukum Pidana dan undang-undang ini,<br />
terhadap pelaku tindak pidana lingkungan<br />
hidup dapat pula dikenakan tindakan tata<br />
tertib berupa:<br />
a. Perampasan keuntungan yang<br />
b.<br />
diperoleh dari tindak pidana; dan atau<br />
Penutupan seluruhnya atau sebagian<br />
perusahaan; dan/atau<br />
c. Perbaikan akibat tindak pidana; dan/<br />
atau<br />
d. Mewajibkan mengerjakan apa yang<br />
dilalaikan tanpa hak; dan/atau<br />
e. Meniadakan apa yang dilalaikan<br />
tanpa hak; dan/atau<br />
f. Menempatkan perusahaan di bawah<br />
pengampunan paling lama 3 (tiga)<br />
tahun.<br />
Ketentuan serupa juga diatur dalam<br />
undang-undang lingkungan hidup yang baru<br />
yaitu Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Pasal<br />
119. Selanjutnya Pasal 119 menentukan bahwa:<br />
“Selain pidana sebagaimana dimaksud<br />
dalam undang-undang ini, terhadap badan<br />
usaha dapat dikenakan pidana tambahan<br />
atau tindakan tata tertib berupa:<br />
a. perampasan keuntungan yang<br />
b.<br />
diperoleh dari tindak pidana;<br />
penutupan seluruh atau sebagian<br />
164 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 154 -169<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 164 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:27 PM
tempat usaha dan/atau kegiatan;<br />
c. perbaikan akibat tindak pidana;<br />
d. kewajiban mengerjakan apa yang<br />
dilalaikan tanpa hak; dan/atau<br />
e. penempatan perusahaan di bawah<br />
pengampuan paling lama 3 (tiga)<br />
tahun.<br />
Tidak ada penjelasan resmi mengenai apa<br />
yang dimaksud dengan perbaikan akibat tindak<br />
pidana, karena dalam penjelasan undang-undang<br />
hanya dinyatakan “cukup jelas”.<br />
Menurut Penulis sanksi pidana yang<br />
dijatuhkan pada pelaku baik pada tingkat PN, PT<br />
maupun MA masih berfokus pada offender. Jika<br />
selama ini orientasi hukum pidana Indonesia lebih<br />
bersifat offender oriented, yaitu pelaku kejahatan<br />
merupakan fokus utama dari hukum pidana, maka<br />
benarlah adanya. Padahal penjatuhan sanksi<br />
kepada pelaku belumlah cukup tanpa memikirkan<br />
kondisi korban.<br />
Apabila mengacu pada konsep hukum<br />
sebagai “pengayom” bahwa hukum harus<br />
mengayomi semua orang baik sebagai tersangka,<br />
terdakwa atau terpidana (pelanggar) maupun<br />
korbannya, maka pelanggar hukum pidana,<br />
dalam statusnya sebagai tersangka, terdakwa<br />
atau terpidana sudah memperoleh perlindungan<br />
dalam KUHAP, sedangkan korban kejahatan<br />
baik statusnya sebagai pelapor, saksi dan pihak<br />
yang dirugikan belum memperoleh perlindungan<br />
hukum (Mudzakir, 2001: 295).<br />
Jika demikian maka yang dapat dimintakan<br />
pertanggungjawaban untuk memberikan<br />
perlindungan hukum terhadap korban adalah<br />
subjek pelaku tindak pidana itu sendiri. Pelaku<br />
tindak pidana itu sendiri bisa orang-perorangan<br />
maupun korporasi.<br />
2. Bentuk Pertanggungjawaban Pidana<br />
Korporasi Terhadap Korban Tindak<br />
Pidana Lingkungan Hidup yang Ideal<br />
Penulis membuat batasan bahwa<br />
pertanggungjawaban pidana terhadap korban<br />
dikatakan ideal apabila korban tindak pidana<br />
lingkungan hidup mendapatkan perlindungan<br />
hukum. Perlindungan itu dapat diberikan dalam<br />
bentuk pemberian ganti kerugian maupun<br />
pemulihan lingkungan. Dengan demikian dalam<br />
putusan pemidanaan tidaklah cukup hanya<br />
dengan dipidananya pelaku.<br />
Salah satu cara agar korban mendapat<br />
perlindungan hukum yang merupakan bentuk<br />
pertanggungjawaban pelaku terhadap korban<br />
maka dapat diterapkan doktrin strict liability<br />
(tanggung jawab mutlak) dalam tindak pidana<br />
lingkungan hidup.<br />
James E. Krier mengemukakan bahwa<br />
doktrin tanggung jawab mutlak dapat merupakan<br />
bantuan yang sangat besar dalam peradilan<br />
mengenai kasus-kasus lingkungan, karena<br />
banyak kegiatan-kegiatan yang menurut<br />
pengalaman menimbulkan kerugian terhadap<br />
lingkungan merupakan tindakan-tindakan yang<br />
berbahaya, untuk mana dapat diberlakukan<br />
ketentuan tanggung jawab tanpa kesalahan<br />
(Hardjasoemantri, 2000: 387).<br />
Asas tanggung jawab mutlak telah berlaku<br />
di Indonesia sejak adanya kasus pencemaran<br />
laut oleh tumpahan minyak dari kapal yang<br />
diatur dalam “International Convention on Civil<br />
Liability for oil Pollution Damage 1969 (CLC<br />
1969). Ratifikasi ini dilaksanakan oleh Indonesia<br />
dengan keputusan Presiden No. 18 Tahun 1978<br />
(Hardjasoemantri, 2000: 388).<br />
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Korban Dalam Kasus Tindak Pidana (Yeni Widowaty) | 165<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 165 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:27 PM
Menurut Daud Silalahi jenis-jenis kegiatan<br />
yang dapat diberlakukan asas tanggung jawab<br />
mutlak yaitu, kegiatan yang dapat menimbulkan<br />
bahaya besar yang akibatnya tidak dapat diatasi<br />
dengan upaya yang lazim dilakukan (abnormally<br />
dangerous activities). Adapun ukuran<br />
untuk menentukan kegiatan-kegiatan yang<br />
dikategorikan sebagai dapat menimbulkan bahaya<br />
atau akibat besar (the standard of abnormality)<br />
didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut<br />
(Hardjasoemantri, 2000: 394-395):<br />
a. tingkat risiko (the degree of risk), dalam<br />
hal ini resiko dianggap tinggi apabila tidak<br />
dapat dijangkau oleh upaya yang lazim,<br />
menurut kemampuan teknologi yang telah<br />
ada.<br />
b. Tingkat bahaya (the gravity of harm), dalam<br />
hal ini bahaya dianggap sangat sulit untuk<br />
dicegah pada saat mulai terjadinya;<br />
c. Tingkat kelayakan upaya pencegahan,<br />
dalam hal ini si penanggung jawab<br />
harus menunjukkan upaya maksimal<br />
untuk mencegah terjadinya akibat yang<br />
menimbulkan kerugian pada pihak lain<br />
Pertimbangan terhadap keseluruhan<br />
nilai kegiatan (value of activity), dalam hal<br />
ini pertimbangan risiko dan manfaat kegiatan<br />
telah dilakukan secara memadai sehingga dapat<br />
diperkirakan bahwa keuntungan yang diperoleh<br />
akan lebih besar jika dibandingkan dengan<br />
ongkos-ongkos yang harus dikeluarkan untuk<br />
mencegah timbulnya bahaya.<br />
Jika mengacu pada asas fundamental<br />
UUDNRI 1945 pengaturan mengenai lingkungan<br />
hidup diatur Pasal 28H ayat (1) menentukan<br />
bahwa: Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir<br />
dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan<br />
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak<br />
memperoleh pelayanan kesehatan. Penjabaran<br />
lebih lanjut terdapat dalam konsideran UUPPLH<br />
2009 yang menyatakan: bahwa lingkungan<br />
hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi<br />
setiap warga negara Indonesia sebagaimana<br />
diamanatkan dalam Pasal 28H Undang-Undang<br />
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.<br />
dengan demikian sangatlah tepat jika prinsip<br />
tanggung jawab mutlak tersebut diterapkan dalam<br />
tindak pidana lingkungan hidup.<br />
Dalam konsep KUHP asas ini sudah diatur<br />
secara eksplisit dalam Buku I Bagian 2 Paragraph<br />
2 mengenai Kesalahan. Asas kesalahan ini<br />
merupakan asas fundamental yang sangat penting<br />
maka dalam konsep KUHP ditegaskan secara<br />
eksplisist Pasal 37 ayat (1) konsep 2008. Pasal 37<br />
ayat (1) menentukan bahwa: ”tidak seorangpun<br />
yang melakukan tindak pidana dipidana tanpa<br />
kesalahan”. Jadi walaupun prinsipnya bertolak<br />
dari pertanggungjawaban pidana berdasarkan<br />
kesalahan (liability based on fault), namun<br />
dalam hal-hal tertentu konsep juga memberikan<br />
kemungkinan adanya “pertanggungjawaban yang<br />
ketat” (Strict liability) dan pertanggungjawaban<br />
pengganti (vicarious liability) yang diatur Pasal<br />
38 (Konsep 2008).<br />
Pasal 38<br />
1. Bagi tindak pidana tertentu, undangundang<br />
dapat menentukan bahwa seseorang<br />
dapat dipidana semata-mata karena telah<br />
dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana<br />
tersebut tanpa memperhatikan adanya<br />
kesalahan.<br />
2. Dalam hal ditentukan oleh undang-undang,<br />
setiap orang dapat dipertanggungjawabkan<br />
atas tindak pidana yang dilakukan oleh<br />
orang lain.<br />
166 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 154 -169<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 166 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:27 PM
Di samping itu berdasarkan pasal ini, dapat<br />
dikatakan bahwa RKUHP menganut ajaran strict<br />
liability dan vicarious liability yang erat kaitannya<br />
dengan pertanggungjawaban pidana korporasi,<br />
terutama Pasal 49 dan 51 RKUHP. Pasal 38 ayat<br />
(1) sebenarnya menjawab banyak perdebatan<br />
mengenai pertanggungjawaban pidana.<br />
Perdebatan tersebut terkait dengan asas actus<br />
non facit reum, nisi mens sit rea atau tiada pidana<br />
tanpa kesalahan. Berkaitan dengan itu, korporasi<br />
tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana<br />
karena tidak ada unsur kesalahan di dalamnya,<br />
karena korporasi itu tidak bisa berbuat apa-apa.<br />
Yang dapat dikenai pertanggungjawaban pidana<br />
adalah manusia, yang punya kemampuan untuk<br />
berbuat dan melakukan kesalahan.<br />
Selama ini undang-undang lingkungan yang<br />
berlaku baik undang-undang lama UU No. 23<br />
Tahun 1997 maupun undang-undang lingkungan<br />
hidup yang sekarang berlaku UU No. 32 Tahun<br />
2009 asas pertanggungjawaban mutlak hanya<br />
berlaku dalam hukum perdata. Walaupun tidak<br />
secara eksplisit menyebutnya demikian namun<br />
letak Pasal 88 yang ada di luar bab tentang<br />
ketentuan pidana bisa dimaknakan seperti itu.<br />
Selengkapnya Pasal 88 UU Nomor 32 Tahun<br />
2009 adalah: “Setiap orang yang tindakannya,<br />
usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan<br />
B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah<br />
B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman<br />
serius terhadap lingkungan hidup bertanggung<br />
jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa<br />
perlu pembuktian unsur kesalahan.” Jadi<br />
pertanggungjawaban mutlak hanya berlaku<br />
terhadap kegiatan yang terkait dengan limbah<br />
B3.<br />
Dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1997<br />
mengenai asas pertanggungjawaban mutlak ini<br />
terdapat dalam Pasal 35 yang menentukan:<br />
Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan<br />
yang usaha dan kegiatannya menimbulkan<br />
dampak besar dan penting terhadap lingkungan<br />
hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan<br />
beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan<br />
berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara<br />
mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan<br />
kewajiban membayar ganti rugi secara langsung<br />
dan seketika pada saat terjadinya pencemaran<br />
dan/atau perusakan lingkungan hidup.<br />
Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan<br />
dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti<br />
rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika<br />
yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa<br />
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan<br />
hidup disebabkan salah satu alasan di bawah ini:<br />
1. Adanya bencana alam atau peperangan;<br />
atau<br />
2. Adanya keadaan terpaksa di luar<br />
kemampuan manusia; atau<br />
3. Adanya tindakan pihak ketiga yang<br />
menyebabkan terjadinya pencemaran dan/<br />
atau perusakan lingkungan hidup.<br />
4. Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan<br />
oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud<br />
pada ayat (2) huruf c, pihak ketiga<br />
bertanggung jawab membayar ganti rugi.<br />
Bertolak dari beberapa hal-hal tersebut di<br />
atas maka pertanggungjawaban korporasi dalam<br />
tindak pidana lingkungan hidup sebetulnya<br />
diperlukan prinsip strict liability secara pidana<br />
agar korban selaku pihak yang dirugikan oleh<br />
pelaku mendapat perlindungan. Tidak semua<br />
tindak pidana lingkungan hidup diberlakukan<br />
asas ini, namun di peruntukkan pada TPLH<br />
dengan syarat-syarat:<br />
1. Tindak pidana lingkungan hidup yang<br />
menimbulkan banyak korban manusia<br />
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Korban Dalam Kasus Tindak Pidana (Yeni Widowaty) | 167<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 167 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:27 PM
aik secara fisik (luka berat dan meninggal<br />
dunia) maupun psikis.<br />
2. TPLH menimbulkan korban lingkungan<br />
sehingga kelestarian alam terganggu dan<br />
generasi yang akan datang akan mewarisi<br />
lingkungan yang rusak.<br />
3. Tindak pidana lingkungan hidup<br />
menimbulkan kerugian secara materiil<br />
bagi masyarakat maupun negara.<br />
Jika TPLH yang dilakukan oleh PT DEI<br />
korban yang secara fisik yang dialami berdasarkan<br />
Visum et repertum ada 12 orang maka idealnya<br />
putusan pengadilan juga harus memikirkan<br />
kerugian yang diderita korban.<br />
IV.<br />
SIMPULAN<br />
Dari analisis kasus PT DEI terkait dengan<br />
pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap<br />
korban tersebut di atas dapat disimpulkan sebagai<br />
berikut:<br />
1. Pertanggungjawaban pelaku terhadap<br />
korban belum terwujud karena putusan<br />
masih bersifat offender oriented. Hal<br />
tersebut dikarenakan baik putusan<br />
Pengadilan Negeri Nomor 460/Pid.B/2008/<br />
PN Bks., Pengadilan Tinggi Bandung No<br />
465/Pid/2009/PT dan Mahkamah Agung<br />
No. 862K/Pid.Sus/2010 walaupun semua<br />
menetapkan Terdakwa bersalah namun<br />
dalam menjatuhkan sanksi pidana kepada<br />
pelaku, tidak termasuk pertanggungjawaban<br />
pelaku terhadap korban.<br />
2. Bentuk pertanggungjawaban pidana<br />
korporasi yang ideal adalah apabila<br />
korban tindak pidana lingkungan hidup<br />
mendapatkan perlindungan hukum.<br />
Perlindungan itu dapat diberikan dalam<br />
bentuk pemberian ganti kerugian maupun<br />
pemulihan lingkungan. Untuk mewujudkan<br />
itu maka jika terjadi tindak pidana<br />
lingkungan hidup idealnya diterapkan asas<br />
tanggung jawab mutlak (strict liability)<br />
dengan syarat-syarat tertentu.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Ali, Mahrus. 2008. Kejahatan Korporasi.<br />
Jogjakarta: Arti Bumi Intaran.<br />
Atmasasmita, Romli. 1989. Asas-Asas<br />
Perbandingan Hukum Pidana. Bandung:<br />
Mandar Maju.<br />
Arief, Barda Nawawi. 2002. Perbandingan Hukum<br />
Pidana. Jakarta: RajaGrafindo Persada.<br />
Fuady, Munir. 2002. Doktrin-Doktrin Modern<br />
Dalam Corporate Law dan Eksistensinya<br />
Dalam Hukum Indonesia. Bandung: Citra<br />
Aditya Bakti.<br />
Hardjasoemantri, Koesnadi. 2000. Hukum Tata<br />
Lingkungan. Yogyakarta: Gajahmada<br />
University Press.<br />
Husin, Sukanda. 2009. Penegakan Hukum<br />
Lingkungan<br />
Grafika.<br />
Indonesia. Jakarta: Sinar<br />
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup<br />
bekerjasama dengan Lembaga<br />
Pengembangan Hukum Lingkungan<br />
Indonesia (Indonesian Center for<br />
Environmental Law/ICEL), Asas Tanggung<br />
jawab Mutlak Dalam Peraturan Perundangundangan<br />
di Bidang Lingkungan<br />
Hidup, Proyek Pengembangan Penataan<br />
Lingkungan<br />
1995/1996<br />
Hidup Tahun Anggaran<br />
168 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 154 -169<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 168 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:28 PM
Mudzakir. 2001. Posisi Hukum Korban Kejahatan<br />
Dalam Sistem Peradilan Pidana, Disertasi<br />
pada Program Pascasarjana Universitas<br />
Indonesia. Jakarta.<br />
Muladi dan Priyatno, Dwidja. 1991.<br />
Pertanggungjawaban Korporasi dalam<br />
Hukum Pidana. Bandung: Sekolah Tinggi<br />
Hukum Bandung.<br />
-----------------------. 2010. Pertanggungjawaban<br />
Pidana Korporasi. Jakarta: Kencana.<br />
Packer, Herbert L. 1968. The Limit of the Criminal<br />
Sanction. California: Stanford University<br />
Press.<br />
Priyatno, Dwidja. 2009. Kebijakan Legislasi<br />
tentang Sistem Pertanggungjawaban<br />
Pidana Korporasi di Indonesia. Bandung:<br />
Cv Utomo.<br />
Sauer, Wilhem. 1921. Grundlangen des Strafrecht,<br />
Leipzig.<br />
Setiyono, H. 2005. Kejahatan Korporasi Analisis<br />
Viktimologis Dan Pertanggungjawaban<br />
Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia.<br />
Malang: Bayumedia.<br />
Syahrin, Alvi. 2008. Hukum Lingkungan<br />
Kepidanaan Korporasi, disampaikn pada<br />
“Diklat Penegakan Hukum Lingkungan”<br />
pada tanggal 24 s/d 28 Nopember 2008,<br />
Kantor Pusdiklat Kementerian Lingkungan<br />
Hidup, Kawasan Pusptek Serpong-<br />
Tangerang.<br />
Smith dan Hogan. 1982. Criminal Law. London:<br />
Butterworths.<br />
Sjahdeini, Sutan Remy. 2006. Pertanggungjawaban<br />
Pidana Korporasi. Jakarta: Grafiti pers.<br />
Widowaty, Yeni. 2011. Kebijakan Hukum<br />
Pidana Dalam Memberikan Perlindungan<br />
Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana<br />
Lingkungan Hidup Oleh Korporasi,<br />
Disertasi Pada Program Doktor Ilmu<br />
Hukum, Program Pasca Sarjana Universitas<br />
Diponegoro, Semarang.<br />
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Korban Dalam Kasus Tindak Pidana (Yeni Widowaty) | 169<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 169 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:28 PM
PENyELESAIAN SENgKETA TANAH PERSAWAHAN DALAM<br />
KASUS gADAI yANg TERINDIKASI “SANRA PUTTA”<br />
ABSTRAK<br />
Kajian Putusan Nomor 34/Pdt.G/2007/PN. WTP<br />
LAND DISPUTE SETTLEMENT IN THE cASE OF RIcE FIELD<br />
MORTgAgE INDIcATED AS “SANRA PUTTA”<br />
An Analysis on Decision Number 34/Pdt.G/2007/PN.WTP<br />
A. Nuzul<br />
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Watampone<br />
Jl. Hos. Cokroaminoto Kab. Bone, Sul-Sel<br />
Email: nuzul.andi@yahoo.com<br />
Diterima tgl 28 April <strong>2012</strong>/Disetujui tgl 18 Juli <strong>2012</strong><br />
Pelaksanaan perjanjian gadai tanah (Bugis: sanra<br />
tanah) di masyarakat Kab. Bone pada kenyataannya<br />
tidak mengikuti ketentuan Pasal 7 Perpu No.<br />
56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah<br />
Pertanian, di mana pemilik barang gadai tetap<br />
berkewajiban mengembalikan uang tebusan. Begitu<br />
pula perjanjian gadai atas tanah dilaksanakan hanya<br />
secara lisan (tidak ada bukti tertulis) dan tidak<br />
adanya saksi. Lazim pula pelaksanaan gadai atas<br />
tanah kemudian berubah (diteruskan) menjadi jual<br />
beli, yang dalam istilah adat kebiasaan masyarakat<br />
setempat disebut dengan sanra putta (jual putta).<br />
Jika terjadi permasalahan hukum di kemudian hari,<br />
misalnya salah satu pihak wanprestasi (ingkar janji)<br />
atau mengingkari kesepakatan yang pernah mereka<br />
lakukan, maka penyelesaian secara kekeluargaan<br />
biasanya ditempuh walau tidak mudah diatasi,<br />
sehingga harus juga dibawa ke pengadilan. Hakim<br />
yang menangani kasus demikian seyogianya<br />
mencermati adanya latar belakang perjanjian<br />
demikian. Dalam putusan No. 34/Pdt.G/2007/<br />
PN.WTP ini, penulis mengindikasikan adanya jual<br />
beli tanah yang disebut sanra putta.<br />
Kata kunci: perjanjian gadai tanah, sanra tanah,<br />
sanra putta.<br />
abstract<br />
Implementation of the land mortgage agreement<br />
called sanra tanah in the Bone Regency, in fact,<br />
fails to comply with Article 7 of Law in lieu No.<br />
56 Year 1960 on the Establishment of Agricultural<br />
Land. According to this regulation, the owner<br />
remains obligated to return the pawned goods<br />
ransom. There is also common that land mortgage<br />
agreements are verbally concluded without any<br />
written evidence as well as witnesses. In practice,<br />
these initial agreements can be continued to sale and<br />
purchase agreements based on the local traditions.<br />
If there is a dispute related to the so called sanra<br />
putta agreement, the amicable settlement will be<br />
chosen as the first resort, but the choice usually<br />
does not succeed to resolve the conflict. Due to<br />
the lack of evidence, such a dispute finally will be<br />
brought to the court. As mentioned by the author of<br />
this article, any panel of judges should be aware<br />
of such a customary background. Decision No. 34/<br />
Pdt.G/2007/PN.WTP, the author indicates that the<br />
case belongs to a sanra putta agreement.<br />
Keywords: land mortgage agreement, sanra tanah,<br />
sanra putta.<br />
170 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 170 -188<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 170 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:28 PM
I.<br />
PENDAHULUAN<br />
Menurut hukum adat bugis gadai disebut<br />
dengan sanra, jadi jika disebut sanra galung<br />
berarti, tanah persawahan yang digadaikan<br />
(gadai tanah persawahan). Lazimnya perjanjian<br />
gadai tanah oleh masyarakat dilaksanakan<br />
hanya secara lisan, tanpa bukti tertulis, tidak<br />
mengharuskan adanya saksi baik dari pemilik<br />
gadai maupun pemegang gadai. Kalau pun ada<br />
pihak yang mendengar atau melihat peristiwa<br />
gadai tersebut, bukan karena sengaja dipanggil<br />
menjadi saksi, melainkan hanya kebetulan,<br />
akibatnya seringkali ada pihak tertentu atau salah<br />
satu pihak memanfaatkan kekurangan tersebut<br />
secara melawan hukum, misalnya ingkar janji<br />
(wanprestasi), dan penyelesaian hukumnya baik<br />
secara kekeluargaan maupun melalui pengadilan<br />
menjadi tidak mudah.<br />
Gadai tanah atau sanra tanah, pemilik<br />
gadai tetap berkewajiban membayar kembali<br />
(mengembalikan) uang tebusan gadai (harga gadai)<br />
meskipun pelaksanaan gadai sudah melewati<br />
7 tahun, dan tidak mengikuti ketentuan Pasal 7<br />
Perpu No. 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas<br />
Tanah Pertanian. Sangat lazim dalam praktik,<br />
jika pemilik tanah tidak mampu menebus atau<br />
mengembalikan pembayaran uang tebusan gadai,<br />
ataukah ketika pemegang gadai berkeinginan<br />
mengembalikan tanah gadai ke pemiliknya, akan<br />
tetapi pemilik gadai belum mampu menebusnya,<br />
ataukah pemilik tanah sendiri memerlukan uang<br />
tunai untuk suatu keperluan, maka pemilik gadai<br />
dengan pemegang gadai biasanya melanjutkan<br />
menjadi transaksi jual-beli dengan istilah jual<br />
putta atau sanra Putta. Istilah jual putta atau<br />
sanra putta hanya terjadi pada barang atau tanah<br />
yang didahului dengan perbuatan hukum berupa<br />
perjanjian gadai.<br />
Penyelesaian perjanjian gadai (sanra)<br />
atau pun jual putta diharapkan ditempuh secara<br />
kekeluargaan tanpa harus ke pengadilan. Dalam<br />
masyarakat Sulawesi Selatan (Emirzon, 2001:<br />
14) cara penyelesaian sengketa/perselisihan<br />
hukum tanah di masyarakat, cukup lazim<br />
melalui jalur di luar pengadilan dengan dipandu<br />
oleh Kepala Desa atau Pemuka Adat atas dasar<br />
musyawarah untuk mufakat. Akan tetapi pada<br />
faktanya juga, dewasa ini, penyelesaian sengketa<br />
gadai tanah di masyarakat, juga mulai ditempuh<br />
penyelesaian melalui pengadilan dengan berbagai<br />
pertimbangan, terutama jika penyelesaian secara<br />
kekeluargaan tidak berhasil.<br />
Jika penyelesaian sengketa gadai tanah<br />
mengharuskan sampai ke pengadilan (PN),<br />
maka masyarakat pencari keadilan (justiabelen)<br />
berharap agar hakim atau pengadilan bertindak<br />
adil, sebagaimana ditegaskan dalam Undang-<br />
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan<br />
Kehakiman ditegaskan bahwa, peradilan<br />
diselenggarakan guna menegakkan hukum dan<br />
keadilan demi terselenggaranya negara hukum<br />
Republik Indonesia.<br />
Dalam tema kajian ini, akan dianalisis<br />
putusan Pengadilan Negeri Watampone Nomor 34/<br />
Pdt.G/PN.Wtp mengenai penyelesaian sengketa<br />
gadai atas tanah persawahan yang terindikasi jual<br />
putta, yang dalam putusan majelis hakim menolak<br />
eksepsi Tergugat dan memenangkan Penggugat.<br />
Kasus bermula dari perempuan MBA,<br />
pekerjaan URT, bertempat tinggal di Kabupaten<br />
Bone, melalui kuasa hukumnya menggugat<br />
perempuan CBN, pekerjaan URT, bertempat<br />
tinggal Kabupaten Bone (Tergugat I), dan LL,<br />
di Kabupaten Bone (Tergugat II).<br />
Melalui kuasanya, Penggugat mengakui<br />
Penyelesaian Sengketa Tanah Persawahan dalam Kasus Gadai yang TerindikasI “Sanra Putta” (A. Nuzul) | 171<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 171 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:28 PM
ahwa, lokasi tanah persawahan yang menjadi<br />
objek sengketa, bergelar Lompo Kalamesu,<br />
luas kurang lebih 43 (empat pulih tiga) are,<br />
Kohir nomor 427 C1 yang terletak di Kabupaten<br />
Bone dengan batas-batas yang tertera dalam<br />
gugatan Penggugat adalah milik Penggugat yang<br />
diperoleh sebagai bagian warisan dari almarhum<br />
ayahnya. Pengakuan Penggugat atas kepemilikan<br />
tanah yang menjadi objek sengketa ini, didukung<br />
dengan keterangan saksi (MA dan MP) serta alat<br />
bukti surat.<br />
Menurut Penggugat, klaim para Tergugat<br />
atas kepemilikan tanah persawahan yang menjadi<br />
objek sengketa adalah tidak benar dan melawan<br />
hukum. Menurut Penggugat pengakuan para<br />
Tergugat atas kepemilikan tanah yang menjadi<br />
objek sengketa ini, bermula ketika Penggugat<br />
merantau ke Sumatera sekitar tahun 1980-an,<br />
dan tanah persawahan tersebut dititipkan kepada<br />
keluarga SN. Beberapa tahun kemudian atas<br />
persetujuan Penggugat, SN yang memiliki nama<br />
lain AL alias DEN alias MND menggadaikan<br />
tanah tersebut kepada Tergugat I (Perempuan<br />
CBN). Kemudian setelah dari perantauan pada<br />
Bulan Maret 2007, Penggugat bermaksud ingin<br />
menebus tanahnya yang telah digadaikan oleh SN<br />
kepada para Tergugat atas persetujuan Penggugat,<br />
namun para Tergugat tidak bersedia dan menolak<br />
untuk mengembalikan tanah tersebut serta terus<br />
menguasainya secara melawan hukum.<br />
Atas gugatan Penggugat, maka kemudian<br />
para Tergugat membantah dengan mengajukan<br />
eksepsi bahwa, tanah persawahan tersebut benar<br />
adalah miliknya yang dibeli dari SN dengan<br />
persetujuan isterinya yang bernama SA. Menurut<br />
para Tergugat, tanah persawahan tersebut semula<br />
adalah milik SN kemudian selanjutnya menjadi<br />
mahar (bugis: Sompa) bagi isterinya. Pengakuan<br />
para Tergugat atas kepemilikan tanah yang<br />
menjadi objek sengketa ini, didukung dengan<br />
keterangan saksi (MP dan SB) serta alat bukti<br />
surat. Kecuali itu, terdapat pula keterangan saksi<br />
I (TH) dari para Tergugat bahwa, penguasaan<br />
para Tergugat atas tanah persawahan yang<br />
menjadi objek sengketa adalah, hasil pembelian<br />
jual putta atau sanra putta para Tergugat dari<br />
SN, dan keterangan mana dari saksi ini tidak<br />
pernah dibantah di dalam persidangan baik oleh<br />
Penggugat maupun para saksi-saksinya.<br />
Di samping itu, pengakuan yang sama baik<br />
dari Penggugat, para Tergugat, dan keterangan<br />
para saksi bahwa, penguasaan tanah persawahan<br />
yang menjadi objek sengketa oleh para Tergugat<br />
adalah melalui SN yang baik keterangan atau<br />
pengakuan yang menyebut hanya sebagai gadai,<br />
maupun yang mengatakan sebagai jual beli atau<br />
sanra putta. Dengan demikian dapat disimpulkan<br />
bahwa, SN adalah saksi kunci, paling mengetahui<br />
status hukum tanah persawahan tersebut. Akan<br />
tetapi sampai kasus ini diputus oleh majelis hakim,<br />
SN tidak pernah dimintai keterangan, hakim tidak<br />
pernah memerintah kepada Penggugat maupun<br />
kepada para Tergugat untuk membawa SN atau<br />
keluarga (isteri) SN menjadi saksi dalam kasus ini.<br />
RUMUSAN MASALAH<br />
172 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 170 -188<br />
II.<br />
1. Bagaimanakah kekuatan pembuktian alatalat<br />
bukti yang diajukan Penggugat dan<br />
para Tergugat atas penyelesaian sengketa<br />
gadai atas tanah persawahan sesuai putusan<br />
pengadilan di atas?<br />
2. Bagaimanakah kekuatan yuridis keterangan<br />
Saksi I (TH) dari para Tergugat yang<br />
mengatakan, penguasaan para Tergugat<br />
atas tanah persawahan yang menjadi objek<br />
sengketa adalah hasil jual-beli dengan<br />
istilah jual putta atau sanra putta dari SN,<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 172 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:28 PM
dan keterangan mana tersebut tidak dibantah<br />
oleh Penggugat serta saksi-saksinya, tetapi<br />
diabaikan dalam pertimbangan majelis<br />
hakim?<br />
3. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan<br />
majelis hakim yang tidak memerintahkan<br />
kepada Penggugat atau kepada para<br />
Tergugat memanggil SN menjadi saksi<br />
pada hal bersangkutan mengetahui dan<br />
mengalami peristiwanya?<br />
III.<br />
STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS<br />
A. Hukum Gadai<br />
Hukum gadai di Indonesia terus mengalami<br />
perkembangan, selain diatur dalam hukum adat<br />
sebagai hukum asli bangsa Indonesia, juga diatur<br />
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata<br />
(Pasal 1150 KUHPdt). Bahkan dewasa ini,<br />
seiring perkembangan dunia usaha muncul satu<br />
jenis perjanjian gadai baru yang diatur dalam<br />
PP Nomor 103 Tahun 2000 tentang Perusahaan<br />
Umum (Perum) Pegadaian. Dalam PP tersebut<br />
disebutkan, Perum Pegadaian sebagai BUMN<br />
mempunyai usaha antara lain, menyalurkan uang<br />
pinjaman atas dasar hukum gadai dan berdasarkan<br />
jaminan fidusia (Meliala, 2008: 45).<br />
Sejatinya barang atau benda yang<br />
digadaikan berada di tangan pemberi pinjaman<br />
(kreditur) atau pemegang gadai, bahkan dalam<br />
Pasal 1152 ayat (2) KUHPdt ditegaskan bahwa,<br />
perjanjian gadai tidak sah jika benda gadai<br />
tetap berada di bawah kekuasaan pemilik gadai<br />
(debitur) sendiri, melainkan harus di tangan si<br />
penerima gadai atau di tangan pihak ke-3 yang<br />
disetujui oleh kedua belah pihak. Akan tetapi<br />
ketentuan seperti di atas, tampaknya berbeda<br />
dengan praktik yang dilakukan oleh sebagian<br />
masyarakat, di mana benda gadai tetap dikuasai<br />
oleh pemiliknya, sehingga timbul praktik baru<br />
yang disebut jaminan fidusia (Meliala, 2008:<br />
44). Pada jaminan fidusia, benda jaminan yang<br />
berupa benda atau barang tetap dalam penguasaan<br />
penerima jaminan atau debitur.<br />
Perjanjian gadai dalam hukum adat<br />
merupakan perjanjian yang berdiri sendiri,<br />
berbeda dengan perjanjian gadai yang diatur<br />
dalam hukum Eropa sebagai perjanjian asesoir,<br />
artinya hanya perjanjian tambahan terhadap<br />
perjanjian pokok, yaitu dari perjanjian pinjam<br />
meminjam (Subekti, 1980: 79). Sebagai<br />
perjanjian tambahan dari perjanjian pokok,<br />
bertujuan untuk menjaga kalau-kalau peminjam<br />
(debitur) lalai memenuhi kewajibannya berupa<br />
pembayaran kembali uang pinjaman atau<br />
bunganya (Meliana, 2008: 44). Pemegang<br />
gadai atau si berpiutang menurut KUHPdt,<br />
memiliki hak prevelege (hak istimewa) dan<br />
harus didahulukan dalam memperoleh pelunasan<br />
utang dari si berhutang (Pasal 1150 KUHPdt).<br />
Objek gadai dalam hukum adat, meliputi<br />
benda bergerak maupun benda tidak bergerak,<br />
berbeda dalam KUHPdt, benda gadai hanya pada<br />
barang bergerak baik yang berwujud maupun<br />
yang tidak berwujud atau dari benda yang dapat<br />
dipindahtangankan (benda bergerak), sebab<br />
eksekusi gadai menurut KUHPdt merupakan<br />
pemindahtanganan benda jaminan dari pemilik<br />
kepada pemegang gadai.<br />
Dalam hukum adat Indonesia, istilah gadai<br />
berbeda-beda di beberapa tempat, misalnya<br />
selain disebut sanra yang umum digunakan oleh<br />
masyarakat bugis pada perjanjian gadai tanah,<br />
maka ada juga yang menggunakan gadai dengan<br />
sebutan “Batu Ta’gala” sebagai pengertian gadai<br />
secara umum di Sulawesi Selatan. Di Jawa<br />
Penyelesaian Sengketa Tanah Persawahan dalam Kasus Gadai yang TerindikasI “Sanra Putta” (A. Nuzul) | 173<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 173 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:28 PM
Barat dikenal dengan istilah “Adol Sende”, di<br />
Minangkabau disebut “Menggadai”, di Gorontalo<br />
disebut “Monohuloo” (Ray Pratama : http://<br />
raypratama.blogspot.com).<br />
Dalam hukum adat, gadai tanah adalah<br />
lembaga yang telah lama hidup dalam masyarakat<br />
Indonesia, seperti yang dikemukakan Ter Haar<br />
BZN (Ibid) bahwa, gadai tanah sawah adalah<br />
perjanjian yang menyebabkan tanah bersangkutan<br />
diserahkan untuk menerima tunai sejumlah uang<br />
dengan permufakatan bahwa si penyerah akan<br />
berhak mengembalikan tanah itu ke dirinya<br />
sendiri dengan jalan membayarkan sejumlah<br />
uang yang sama.<br />
Demikian pula pendapat Soerjono<br />
Soekanto, Hilman Hadikusuma, dan S. A. Hakim,<br />
(http://www.pn-banjarbaru.go.id) bahwa, gadai<br />
mengandung arti penyerahan tanah untuk dikuasai<br />
oleh orang lain dengan menerima pembayaran<br />
tunai, di mana si pemberi gadai, atau pemilik<br />
tanah tetap berhak menebus kembali tanah<br />
tersebut dari pemegang gadai (penerima gadai,<br />
atau penguasa tanah gadai. Dengan demikian<br />
berarti uang gadai kembali setelah perjanjian<br />
gadai diakhiri, seperti pada masyarakat adat<br />
Minangkabau dengan pepatah adatnya, “Gadai<br />
batabuih – Suarang babagi” artinya gadai itu<br />
selalu dapat ditebus dan Harta suarang dibagi<br />
(http://asaad36.blogspot.com/2010/10). Begitu<br />
pula di daerah Sulawesi Selatan (Yuliana, Andi 5<br />
Juli, PustakaNet.Wordpress.Com), bahwa setiap<br />
gadai tanah atau sanra tanah uang gadai selalu<br />
dikembalikan karena dasar pelaksanaannya<br />
adalah saling menolong, maka oleh karena itu<br />
tidak diperlukan alat bukti berupa keterangan<br />
tertulis atau saksi.<br />
Perjanjian gadai tanah dalam hukum adat<br />
juga tidak mengenal daluwarsa, sehingga bisa<br />
berlangsung sampai kapan pun. Oleh pembuat<br />
undang menilai bahwa bentuk gadai tanah yang<br />
dipraktikkan masyarakat seperti demikian itu,<br />
mengandung unsur pemerasan, maka salah<br />
satu pertimbangan untuk mengatasinya, maka<br />
ditetapkanlah UU No. 56 Prp Tahun 1960 guna<br />
untuk menghapus unsur pemerasan yang dimaksud<br />
dengan cara membatasi waktu berlangsungnya<br />
gadai tanah serta cara penebusannya (Pasal 7 UU<br />
No. 56 Prp Tahun 1960).<br />
Seperti yang diuraikan sebelumnya bahwa,<br />
sangat lazim dalam praktik, ketika pemilik tanah<br />
gadai tidak mampu menebus atau mengembalikan<br />
uang tebusan gadai, ataukah ketika pemegang<br />
gadai berkeinginan mengembalikan tanah gadai<br />
ke pemiliknya namun pemilik tanah gadai<br />
belum mampu menebusnya, ataukah pemilik<br />
tanah sendiri memerlukan uang tunai untuk<br />
suatu keperluan, maka pemilik tanah gadai<br />
biasanya menawarkan kepada pemegang gadai<br />
untuk membelinya yang dalam adat kebiasaan<br />
masyarakat bugis disebut dengan jual putta atau<br />
sanra Putta yaitu, praktik transaksi jual beli, yang<br />
diawali dengan perjanjian gadai sebelumnya. Jadi<br />
awalnya perjanjian gadai, namun karena sesuatu<br />
hal oleh pemilik tanah menawarkan tanah gadai<br />
tersebut kepada pemegang gadai untuk dibelinya.<br />
Jika pemegang gadai setuju maka kedua belah<br />
pihak melanjutkan transaksinya (jual beli) atas<br />
tanah yang tadinya berstatus gadai.<br />
Perjanjian gadai (Meliala, 2008: 44)<br />
menurut hukum adat mempunyai ciri-ciri antara<br />
lain, (1) Hak menebus tidak mungkin daluwarsa;<br />
(2) Benda gadai ada di tangan pemegang gadai;<br />
(3) Penerima gadai dapat mengulanggadaikan<br />
benda gadai; (4) Benda gadai tidak dapat secara<br />
otomatis menjadi milik si pemegang gadai; dan<br />
(5) Sama dengan gadai dalam KUHPdt, apabila<br />
gadai tidak ditebus maka untuk dapat memilikinya<br />
174 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 170 -188<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 174 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:28 PM
diperlukan suatu transaksi yang baru, seperti yang<br />
ditunjuk dalam Pasal 1154 KUHPdt.<br />
Perjanjian gadai tanah berdasarkan Undang-<br />
Undang No. 56 Prp Tahun 1960 sedikit berbeda<br />
dengan perjanjian gadai menurut hukum adat.<br />
Menurut hukum adat, gadai tanah tidak pernah<br />
daluwarsa (lewat waktu) untuk menebus dan uang<br />
gadai selalu kembali. Ketentuan seperti demikian<br />
ini tidak berlaku dalam Undang-Undang No. 56<br />
Prp Tahun 1960 sebab, setiap hak gadai yang<br />
telah berlangsung tujuh tahun dinyatakan hapus<br />
dan pemberi gadai atau pemilik dapat mengambil<br />
tanahnya kembali tanpa mengembalikan uang<br />
gadai (Pasal 7 ayat (1 dan 2) Undang-Undang<br />
Nomor 56 Prp Tahun 1960). Di samping terdapat<br />
perbedaan, juga keduanya memiliki persamaannya<br />
yaitu, baik UU No. 56 Prp Tahun 1960 maupun<br />
hukum adat, tidak diperkenankan pemilik barang<br />
gadai untuk memiliki kembali barang/benda atau<br />
tanahnya selama belum memenuhi kewajibankewajibannya.<br />
B. Penyelesaian Sengketa Gadai Tanah<br />
Praktik perjanjian gadai tanah atau sanra<br />
tanah oleh masyarakat lazimnya dilaksanakan<br />
secara lisan, tanpa bukti tertulis, serta tidak<br />
ada saksi baik dari pemilik gadai maupun<br />
pemegang gadai, akibatnya seringkali salah<br />
satu pihak memanfaatkan kekurangan tersebut<br />
secara melawan hukum, misalnya ingkar<br />
janji (wanprestasi) yang mengakibatkan<br />
penyelesaiannya secara kekeluargaan maupun<br />
melalui pengadilan tidak mudah.<br />
Setiap penyelesaian sengketa gadai tanah<br />
harus mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan<br />
dan keadilan sebagaimana bunyi Pasal 54 ayat<br />
(3) UU No. 48 Tahun 2009. Pengejawantahan<br />
nilai-nilai dimaksud ini, bisa melalui pengadilan<br />
dengan cara, hakim wajib menggali, mengikuti<br />
dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan<br />
yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 ayat (1)<br />
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang<br />
Kekuasaan Kehakiman). Begitu pula bisa melalui<br />
jalur di luar pengadilan dengan cara arbitrase dan<br />
alternatif penyelesaian sengketa (Pasal 58 UU<br />
No. 48 Tahun 2009). Dengan demikian, sengketa<br />
gadai tanah sebagai sengketa keperdataan dapat<br />
diselesaikan dengan cara melalui proses hukum<br />
pengadilan dan atau di luar pengadilan.<br />
Jika penyelesaiannya melalui jalur<br />
pengadilan maka seluruh proses hukumnya<br />
tunduk pada ketentuan hukum formal yakni<br />
hukum acara perdata, seperti menerapkan asas<br />
hukum audie et alteram partem (Mertokusumo,<br />
1988: 80), artinya para pihak antara Penggugat<br />
dan Tergugat harus didengarkan keterangannya<br />
oleh hakim. Begitu pula penerapan asas<br />
kedudukan prosesuil yang sama bagi para pihak<br />
(Mertokusumo, 1988: 113), artinya memberi<br />
beban pembuktian yang sama berdasarkan<br />
kesamaan kedudukan para pihak. Kedua asas<br />
hukum ini sangat fundamental dan menentukan<br />
penyelesaian kasus yang ditanganinya secara<br />
adil, dan dengan berpegang pada asas-asas hukum<br />
ini akan membawa akibat pada kemungkinan<br />
untuk menang bagi para pihak harus sama.<br />
Penyelesaian kasus perdata melalui<br />
pengadilan, ditentukan berdasarkan penentuan<br />
kebenaran formil, dan hakim bersifat<br />
preponderence of evidence (Mertokusumo, 1988:<br />
107), artinya hakim dalam memutuskan kasusnya<br />
tidak boleh melampaui batas-batas yang diajukan<br />
oleh yang berperkara, atau melarang hakim untuk<br />
menjatuhkan putusan atas hal/perkara yang tidak<br />
dituntut atau meluluskan lebih dari yang diminta<br />
oleh yang berperkara. Jadi hakim bersifat pasif,<br />
namun bukan berarti dalam hukum acara perdata<br />
Penyelesaian Sengketa Tanah Persawahan dalam Kasus Gadai yang TerindikasI “Sanra Putta” (A. Nuzul) | 175<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 175 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:28 PM
hakim mencari kebenaran yang setengah-tengah<br />
atau palsu.<br />
Jika penyelesaiannya di luar pengadilan<br />
negara, yakni melalui arbitrase dan alternatif<br />
penyelesaian sengketa dengan cara negosiasi,<br />
mediasi dan arbitrase itu sendiri yang didasarkan<br />
pada itikad baik (Pasal 59 s/d Pasal 60 UU No.<br />
48 Tahun 2009 jo Pasal 6 UU No. 30 Tahun 1999<br />
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian<br />
Sengketa).<br />
Semua cara penyelesaian dimaksud di atas<br />
(jalur pengadilan dan jalur di luar pengadilan)<br />
adalah untuk kepentingan penyelesaian<br />
substansial setiap kasus hingga sampai pada akar<br />
masalahnya. Jadi cara menyelesaikan kasusnya<br />
sampai akar masalahnya atau sistem problem<br />
denken atau problem orientik (Mertokusumo,<br />
1999: 44), yang tidak sama antara satu kasus<br />
hukum dengan kasus hukum yang lain. Selain itu,<br />
juga memperhatikan keadaan hukum yang hidup<br />
dan tumbuh di masyarakat yakni, hukum adat,<br />
oleh karena menurut Carl von Savigny (Nuzul,<br />
2009: 218) hukum itu tidak dibuat, melainkan<br />
tumbuh dan berkembang bersama masyarakat<br />
(Das Recht wird nicht gemacht, est und wird mit<br />
dem volke). Teori Savigny ini dianut Soepomo<br />
dengan menjadikan hukum adat sebagai living<br />
law, hukum yang di dalamnya terkandung jiwa<br />
bangsa atau Volksgeist.<br />
Inti dari cara-cara penyelesaian pada setiap<br />
kasus gadai tanah seperti dikemukakan di atas,<br />
sejatinya untuk mewujudkan tujuan hukum untuk<br />
kepentingan masyarakat yang menurut Gustav<br />
Radbruch meliputi keadilan (gerechtigkeit),<br />
kemanfaatan (zweckmassigkeit), serta kepastian<br />
hukum atau rechtssicherkeit (Ali, 1996: 95).<br />
Ketiga tujuan hukum idealnya terlaksana secara<br />
seimbang, namun sekiranya tidak bisa maka<br />
menurut Gustav Radbruch perlu ditempuh secara<br />
prioritas dengan memulai dari prioritas keadilan,<br />
baru kemudian kemanfaatan, dan selanjutnya<br />
kepastian hukum.<br />
C. Kekuatan Pembuktian Terhadap Alat<br />
Bukti Penggugat<br />
Paton mengatakan bahwa, secara umum alat<br />
bukti menurut hukum dikelompokkan ke dalam 3<br />
jenis , yaitu (a). alat bukti bersifat oral (keterangan<br />
saksi, keterangan terdakwa, keterangan ahli,<br />
pengakuan (penggugat dan tergugat), sumpah);<br />
(b), alat bukti bersifat dokumentary (surat, bukti<br />
petunjuk, bukti tulisan); serta; (c). alat bukti<br />
material (barang bukti selain dokumentary).<br />
(Sudikno, 1988: 115).<br />
Dalam hukum acara perdata, jenis-jenis<br />
alat bukti disebutkan pada Pasal 1866 KUHPdt<br />
jo Pasal 164 HIR, dan Pasal 284 Rbg, yaitu alat<br />
bukti tertulis, pembuktian saksi; persangkaanpersangkaan;<br />
pengakuan dan sumpah. Pada<br />
kajian sengketa gadai tanah ini, hanya akan<br />
dikemukakan alat bukti yang digunakan oleh<br />
Penggugat dan para Tergugat, yang terdiri<br />
atas bukti surat (tertulis) dan keterangan saksi,<br />
kemudian dianalisis guna mendapatkan jawaban<br />
atas rumusan permasalahan yang diajukan.<br />
1. Bukti Tertulis/Surat<br />
Alat bukti tertulis atau bukti surat ialah<br />
segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan<br />
yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi<br />
hati atau untuk menyampaikan buah pikiran<br />
seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian<br />
(Mertokusumo, 1988: 116). Alat bukti tertulis<br />
atau bukti surat terbagi menjadi bukti surat yang<br />
merupakan akta dan surat-surat lainnya yang<br />
bukan akta, sedangkan akta sendiri terbagi ke<br />
176 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 170 -188<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 176 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:28 PM
dalam akta otentik dan akta di bawah tangan.<br />
Kekuatan pembuktian akta otentik<br />
bersifat sempurna, dan berlaku sebagai bukti<br />
sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya,<br />
dan bahkan yang terdapat dalam akta sebagai<br />
penuturan belaka, sepanjang yang dituturkan itu<br />
ada hubungannya yang langsung dengan pokok<br />
akta (Mertokusumo, 1988: 123). Sebagai alat<br />
bukti yang sempurna, akta otentik mengandung<br />
kekuatan pembuktian lahir, pembuktian formil,<br />
dan pembuktian materiil. Berbeda dengan akta di<br />
bawa tangan maupun surat-surat lain yang bukan<br />
akta, seperti buku daftar (register), surat-surat<br />
rumah tangga dan catatan-catatan yang dibubuhkan<br />
oleh seorang kreditur pada suatu alas hak yang<br />
selamanya dipegangnya. Menurut Sudikno<br />
Mertokusumo (1988: 127), kekuatan pembuktian<br />
dari surat-surat yang bukan akta diserahkan<br />
penilaiannya kepada pertimbangan hakim.<br />
Dalam akta otentik mengandung asas acta<br />
publica probant sese ipsa (Mertokusumo, 1988:<br />
127), yaitu akta atau surat yang tampaknya<br />
lahir sebagai akta otentik serta memenuhi syarat<br />
yang ditentukan, dan kekuatan pembuktiannya<br />
sempurna sebagai akat otentik sampai terbukti<br />
sebaliknya. Beban pembuktian pada akta otentik<br />
dibebankan kepada siapa yang mempersoalkan<br />
otentik tidaknya alat bukti itu (Pasal 138 HIR dan<br />
Pasal 164 Rbg). Berbeda dengan akat di bawah<br />
tangan atau bukti surat-surat lain yang bukan<br />
akta, pembuktiannya dibebankan kepada siapa<br />
yang mengakui atau yang bertanda tangan di atas<br />
akta di bawah tangan tersebut.<br />
Bukti surat yang diajukan Penggugat<br />
untuk membuktikan kepemilikannya atas tanah<br />
persawahan yang menjadi objek sengketa, berupa<br />
fotocopy Surat Keterangan Tanah bertanggal 12<br />
Januari 1987 No. Tap/WPJ.09/KI.1113/1987<br />
yang telah dicocokkan dan sesuai aslinya. Di<br />
dalam bukti surat ini (P-1) diterangkan Klasiran/<br />
Pencatatan tahun 1939 s/d 1940 tanah tersebut<br />
telah menjadi objek IPEDA sampai Hari Senin,<br />
tanggal 12 Januari 1987 atas nama Wajib Pajak<br />
AC (Orang tua Penggugat), Kohir no. 427 C.1,<br />
tercatat dalam buku C Kampung Desa Pattiro,<br />
Desa Pattiro, Kec. Mare, Kab. Bone, bergelar<br />
Lompo Kalimaesu, luas: 043 Ha. Pada Tanggal<br />
10 Maret 1986 dimutasi ke CBN (Tergugat I)<br />
dengan keterangan Gadai.<br />
Menurut hukum acara perdata, alat butki<br />
surat seperti di atas disamakan dengan catatancatatan<br />
mengenai tanah dalam buku letter C atau<br />
semisal kekitir atau semisal tanda wajib pajak.<br />
Alat bukti demikian menurut hukum acara tidak<br />
menjamin bahwa orang yang namanya tercantum<br />
di dalamnya adalah pemiliknya (Mertokusumo,<br />
1988: 127). Alat bukti surat seperti di atas tidak<br />
menunjuk pada kepemilikan Penggugat atas<br />
tanah yang menjadi objek sengketa. Dengan<br />
demikian, kekuatan hukumnya atau kekuatan<br />
pembuktiannya tidak sempurna sehingga untuk<br />
menguatkan bukti surat ini masih diperlukan<br />
alat bukti lain berupa keterangan saksi dari<br />
Penggugat.<br />
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa<br />
bukti surat (P-1) yang diajukan oleh Penggugat<br />
di atas tidak memiliki kekuatan pembuktian yang<br />
sempurna serta belum menunjuk kepemilikan<br />
Penggugat menurut hukum, maka dari itu majelis<br />
hakim yang memeriksa sengketa gadai tanah<br />
persawahan pada kasus ini harus mencocokkan<br />
keterkaitan (hubungan) dengan keteranganketerangan<br />
saksi yang diajukan Penggugat. Dalam<br />
menilai bukti surat yang diajukan Penggugat pada<br />
kasus ini, maka berdasarkan ketentuan Pasal 1881<br />
ayat (2e) KUHPdt jo Pasal ayat (2) 294 Rbg,<br />
diserahkan kepada pertimbangan hakim.<br />
Penyelesaian Sengketa Tanah Persawahan dalam Kasus Gadai yang TerindikasI “Sanra Putta” (A. Nuzul) | 177<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 177 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:28 PM
2. Keterangan Saksi<br />
Dalam hukum acara perdata, alat bukti yang<br />
berupa saksi di atur dalam Pasal 1895 dan 1902,<br />
1904-1912 BW jo Pasal 139-152, Pasal 168-172<br />
HIR (Pasal 165-179 Rbg. Tiap-tiap kesaksian<br />
yang diberikan harus mengenai perbuatan yang<br />
didengar, dilihat atau dialami oleh saksi itu<br />
sendiri, serta dengan tegas diberitahukan sebabsebabnya<br />
hal itu diketahui (Pasal 301 RGB).<br />
Menurut Sudikno Mertokusumo (1988: 128)<br />
saksi atau kesaksian adalah kepastian yang<br />
diberikan kepada hakim di persidangan tentang<br />
peristiwa yang dipersengketakan dengan jalan<br />
memberitahukan secara lisan dan pribadi oleh<br />
orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara<br />
yang dipanggil di persidangan.<br />
Hakim dalam menilai kebenaran secara<br />
hukum atas pengakuan kepemilikan Penggugat<br />
atas tanah yang menjadi objek sengketa, maka<br />
keterangan saksi-saksi di bawah ini sangat<br />
penting sekaligus untuk memberi keyakinan<br />
kepada hakim bahwa dialah pemiliknya.<br />
a). Saksi I Made Ali.<br />
- Saksi mengetahui yang menjadi<br />
pokok persengketaan kedua pihak<br />
adalah tanah persawahan yang<br />
terletak di Pattiro Sumali, Desa<br />
Pattiro, Kecamatan Mare, Kabupaten<br />
Bone, terdiri atas 6 (Enam) petak<br />
dengan berbatasan antara:<br />
•<br />
Sebelah Utara : Sawah BU<br />
Sebelah Timur : Sawah YA<br />
Sebelah Selatan : Sawah YA<br />
Sebelah Barat : Sawah MU<br />
Bahwa tanah tersebut sekarang<br />
dikuasai oleh Lakarang (Tergugat II),<br />
Suami dari Tergugat I (CBN),<br />
Penguasaan tersebut sudah<br />
berlangsung lebih kurang 10 tahun.<br />
178 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 170 -188<br />
•<br />
•<br />
•<br />
•<br />
•<br />
•<br />
•<br />
Sebelum dikuasai oleh Tergugat,<br />
tanah persawahan yang menjadi<br />
objek sengketa dikuasai oleh A yaitu<br />
ayah Penggugat (MBA).<br />
Penguasaan tanah persawahan<br />
yang menjadi objek sengketa oleh<br />
Tergugat diperoleh dari paman<br />
Penggugat yang bernama SN, yaitu<br />
pada waktu Penggugat akan merantau<br />
ke Sumatera, ia menitipkan tanah<br />
persawahan yang menjadi objek<br />
sengketa kepada SN. Kemudian SN<br />
menggadaikan tanah persawahan<br />
tersebut kepada Tergugat dengan<br />
uang gadai sebesar Rp.600.000,-<br />
(Enam ratus ribu rupiah).<br />
Tanah tersebut milik ayahnya<br />
Penggugat yang bernama AC.<br />
Tanah tersebut ada surat-suratnya<br />
berupa rincik atas nama AC, kemudian<br />
karena gadai maka sekarang dirubah<br />
menjadi CBN (Tergugat I), dan tidak<br />
pernah ada perubahan rincik atas<br />
nama orang lain.<br />
Sewaktu SN menggadaikan sawah<br />
tersebut kepada Lakarang (Tergugat<br />
2) hanya dilakukan secara lisan, tidak<br />
ada surat-suratnya.<br />
Penggugat pernah ingin menebus<br />
tanah persawahan tersebut yang<br />
menjadi sengketa kepada Tergugat,<br />
tapi Tergugat tidak mau.<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 178 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:29 PM
•<br />
b). Saksi II MA<br />
Saksi kenal dengan BA yaitu nenek<br />
sepupu dari CA (Tergugat 1) dan MN<br />
(Penggugat).<br />
- Bahwa Saksi II mengetahui yang<br />
menjadi pokok persengketaan kedua<br />
pihak adalah tanah persawahan yang<br />
terletak di Desa Pattiro, Kecamatan<br />
Mare, Kabupaten Bone, terdiri atas<br />
6 (enam) petak dengan berbatasan<br />
antara:<br />
•<br />
•<br />
•<br />
Sebelah Utara : Sawah BU<br />
Sebelah Timur : Sawah YA<br />
Sebelah Selatan : Sawah YU<br />
Sebelah Barat : Sawah MU<br />
Bahwa saksi tidak tahu bahwa tanah<br />
persawahan yang menjadi sengketa<br />
ada surat-suratnya atau tidak.<br />
Tanah persawahan yang menjadi<br />
sengketa adalah milik AC, namun<br />
sekarang dikuasai oleh para Tergugat.<br />
Penguasaan Tergugat atas tanah<br />
persawahan yang menjadi sengketa<br />
bermula ketika AC merantau<br />
ke Sumatera. Kemudian tanah<br />
persawahan yang menjadi sengketa<br />
itu dikerjakan oleh BO, atau suami<br />
Penggugat. Kemudian Penggugat<br />
merantau ke Sumatera dan tanah<br />
persawahan tersebut dititipkan<br />
kepada SN, yaitu adik AC atau paman<br />
dari Penggugat. Tetapi setelah saksi<br />
pindah alamat, entah bagaimana tanah<br />
persawahan yang menjadi sengketa<br />
tersebut (saksi tidak tahu) dikerjakan<br />
oleh Tergugat II (Suami Tergugat I).<br />
Berdasarkan keterangan dari kedua<br />
saksi yang diajukan Penggugat<br />
di atas dapat disimpulkan bahwa,<br />
tanah persawahan yang menjadi<br />
objek sengketa merupakan bagian<br />
harta warisan dari orang tuanya.<br />
Keterangan kedua saksi di atas<br />
meskipun saling menguatkan dan<br />
mendukung pengakuan Penggugat<br />
akan tetapi keterangan kedua saksi<br />
yang diajukan Penggugat tetap tidak<br />
menunjukkan hubungan yang kuat<br />
secara hukum dengan bukti surat<br />
yang diajukan Penggugat yang hanya<br />
menunjuk pada kepemilikan orang tua<br />
Penggugat atas tanah yang menjadi<br />
objek sengketa, atau bukti surat itu<br />
tidak menunjuk pada kepemilikan<br />
Penggugat.<br />
Penyelesaian Sengketa Tanah Persawahan dalam Kasus Gadai yang TerindikasI “Sanra Putta” (A. Nuzul) | 179<br />
•<br />
•<br />
Lemahnya alat bukti (bukti surat<br />
dan keterangan saksi) yang diajukan<br />
Penggugat, maka untuk menentukan<br />
kebenaran secara hukum atas<br />
kepemilikannya pada tanah<br />
persawahan yang berstatus sengketa<br />
gadai ini, maka majelis hakim bisa<br />
menggunakan teori hukum publik<br />
(Mertokusumo, 1988: 113), yang<br />
memberi wewenang yang lebih<br />
bebas pada hakim di dalam mencari<br />
kebenaran hukumnya, namun<br />
dengan tetap berpegang teguh pada<br />
asas hukum perdata formil yakni,<br />
preponderen of evidence, sebab kasus<br />
gadai tanah ini merupakan kasus<br />
perdata dengan kebenaran formil<br />
sebagai sandaran utamanya.<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 179 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:29 PM
D. Kekuatan Pembuktian terhadap Alat<br />
Bukti Para Tergugat<br />
1). Bukti Tertulis/ Surat<br />
Para Tergugat telah mengajukan alat bukti<br />
surat ( T-1), berupa fotocopy surat nikah (tidak<br />
ada aslinya namun bermaterai cukup) atas nama<br />
suami isteri AL atau SN dan SA. Dalam T-1<br />
tersebut tercantum mas kawin berupa sawah enam<br />
petak, terletak di Lompo Diawang Labullu.<br />
Dalam hukum acara perdata dijelaskan<br />
bahwa, jika alat bukti surat harus berupa surat<br />
yang asli. Dalam Pasal 1888 KUHPdt jo Pasal<br />
301 Rgb dijelaskan bahwa, kekuatan pembuktian<br />
dari surat atau alat bukti tertulis terletak pada<br />
aslinya. Jadi jika ada alat bukti surat atau alat<br />
bukti tertulis yang berupa fotocopy saja tanpa<br />
ada aslinya, maka tidak bisa dijadikan alat<br />
bukti yang sempurna, oleh karenanya hakim<br />
selalu meminta kepada berperkara untuk<br />
menunjukkan aslinya. Hakim selalu berwenang<br />
untuk memerintahkan kepada pihak yang<br />
bersangkutan untuk mengajukan akta aslinya di<br />
muka sidang (Mertokusumo, 1988: 128). Jika<br />
akta aslinya sudah tidak ada lagi, maka kekuatan<br />
pembuktiannya diserahkan penilaiannya kepada<br />
hakim, dengan memperhatikan persyaratan yang<br />
diatur dalam Pasal 1889 KUPdt jo Pasal 302 RGB.<br />
Alat bukti berupa fotocopy, dapat diterima<br />
sebagai alat bukti apabila fotocopy disertai dengan<br />
keterangan atau dengan jalan apapun secara sah<br />
dari mana ternyata bahwa fotocopy tersebut<br />
sama dengan aslinya (Mertokusumo, 1988: 128;<br />
Putusan MA, 1 April 1976 No. 701 K/Sip). Alat<br />
bukti surat yang diajukan para Tergugat berupa<br />
fotocopy surat nikah antara suami isteri SN dengan<br />
SA (T-1) di persidangan, kekuatan pembuktiannya<br />
sangat lemah, dan kurang relevan dengan kasus<br />
dengan keberadaan tanah persawahan yang<br />
menjadi sengketa antara Penggugat dengan para<br />
Tergugat. Meskipun demikian majelis hakim<br />
sebagai pihak yang memiliki kewajiban dan<br />
kewenangan menyelesaikan sengketa gadai ini,<br />
maka penilaian dan pertimbangan atas alat bukti<br />
tertulis yang diajukan para Tergugat di atas,<br />
diserahkan kepada majelis hakim.<br />
Sekurang-kurangnya bukti-bukti tertulis<br />
yang diajukan para Tergugat di atas, dapat dinilai<br />
sebagai permulaan pembuktian, dan selanjutnya<br />
diperlukan bukti-bukti lain yang mendukung dan<br />
menguatkan. Dalam Pasal 1902 ayat (2) KUHPdt<br />
dikatakan bahwa, permulaan pembuktian dengan<br />
tulisan ialah segala akta tertulis, yang berasal<br />
dari orang terhadap siapa tuntutan diajukan, atau<br />
dari orang yang diwakili olehnya, serta untuk<br />
memberikan persangkaan tentang benarnya<br />
peristiwa-peristiwa yang dimajukan seseorang.<br />
Untuk kasus hukum ini, bukti-bukti lain yang<br />
diajukan para Tergugat selain bukti surat di atas<br />
hanyalah keterangan para saksi.<br />
2). Keterangan Saksi<br />
a). Saksi I TA<br />
• Saksi tahu yang menjadi pokok<br />
persengketaan kedua pihak adalah<br />
tanah persawahan yang terletak di<br />
Kabupaten Bone, terdiri atas 6 (enam)<br />
petak dengan berbatasan antara:<br />
Sebelah Utara : Sawah BU<br />
Sebelah Timur : Sawah YA<br />
Sebelah Selatan : Sawah YA<br />
Sebelah Barat : Sawah MU<br />
Bahwa sebelum dikuasai LA<br />
(Tergugat 2) tanah sengketa dikuasai<br />
PR.<br />
180 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 170 -188<br />
•<br />
•<br />
Bahwa dulunya tanah tersebut<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 180 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:29 PM
•<br />
•<br />
•<br />
•<br />
•<br />
•<br />
•<br />
pemiliknya adalah SN yang diperoleh<br />
dari neneknya, kemudian oleh SN,<br />
tanah tersebut dijual kepada LA yaitu<br />
menantu dari SN sendiri.<br />
Bahwa pembelian tanah tersebut<br />
oleh para Tergugat terjadi pada<br />
tahun 1983, waktu itu saksi melihat<br />
sendiri sewaktu terjadi jual beli, juga<br />
disaksikan oleh MS, BA dan isteri<br />
SN yang bernama SA.<br />
Bahwa pembelian tanah tersebut<br />
terjadi di rumah SN.<br />
Bahwa benar tanah tersebut semula<br />
digadaikan oleh SN kepada LA<br />
(Tergugat), tetapi selanjutnya dijual<br />
putta (istilah adat Sulawesi Selatan<br />
yang artinya putus atau terus) dengan<br />
harga Rp.2.500.000,- dari SN dengan<br />
terlebih dahulu dipegang gadai.<br />
Tanah tersebut dipegang gadai oleh<br />
Tergugat selama kurang lebih tiga<br />
tahun.<br />
Pengetahuan Saksi (TA) tentang gadai<br />
atas tanah yang menjadi sengketa,<br />
diberitahu oleh SN oleh karena<br />
saksi dan SN masih ada hubungan<br />
keluarga.<br />
Saksi pernah melihat rincik tanah<br />
gadai tersebut di Kantor Desa atas<br />
nama Sabe yaitu nenek sepupu dari<br />
Tergugat I (CBN) dan Penggugat<br />
(MBA).<br />
Bahwa saksi juga pernah mendengar<br />
sawah tersebut pernah dijadikan<br />
mahar (sompa) oleh SN.<br />
Bahwa saksi tidak pernah melihat AC<br />
(ayah Penggugat) mengerjakan tanah<br />
sawah tersebut.<br />
Penyelesaian Sengketa Tanah Persawahan dalam Kasus Gadai yang TerindikasI “Sanra Putta” (A. Nuzul) | 181<br />
•<br />
2). Saksi II MP<br />
• Saksi tahu yang menjadi pokok<br />
persengketaan kedua pihak adalah<br />
tanah persawahan yang terletak,<br />
Kabupaten Bone, terdiri atas enam<br />
petak dengan berbatasan antara:<br />
•<br />
•<br />
•<br />
•<br />
•<br />
•<br />
Sebelah Utara : Sawah BU<br />
Sebelah Timur : Sawah YA<br />
Sebelah Selatan : Sawah LA<br />
Sebelah Barat : Dulu sawah YA,<br />
sekarang tidak tahu.<br />
Tanah persawahan yang menjadi<br />
objek sengketa, sekarang dikerjakan<br />
Tergugat, diperoleh melalui pembelian<br />
dari SN.<br />
Tanah persawahan yang menjadi<br />
sengketa pernah diolah/dikerjakan<br />
saksi sejak tahun 1975 sampai dengan<br />
tahun 1983.<br />
Saksi mengerjakan/menggarap sawah<br />
karena orang tua Saksi yang bernama<br />
PA disuruh oleh SN untuk mengerjakan<br />
sawah tersebut.<br />
Setelah saksi, maka kemudian sawah<br />
diambil alih oleh Sanusi bin Supu.<br />
Orang tua saksi, PA, bersahabat dekat<br />
dengan SN.<br />
Bahwa sewaktu tanah tersebut digarap<br />
oleh saksi, pajak tanah tersebut<br />
dibayar oleh ayahnya yang bernama<br />
PA.<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 181 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:29 PM
3). Saksi III SA<br />
•<br />
•<br />
•<br />
•<br />
•<br />
•<br />
•<br />
•<br />
Mengetahui yang menjadi pokok<br />
persengketaan kedua pihak adalah<br />
tanah persawahan yang terletak<br />
Kabupaten Bone, terdiri atas enam<br />
petak yang terletak di Kabupaten<br />
Bone dengan berbatasan antara:<br />
Sebelah Utara : Sawah BU.<br />
Sebelah Timur : Sawah YA<br />
Sebelah Selatan : Sawah PU<br />
Sebelah Barat : Dulu sawah YA,<br />
sekarang tidak tahu.<br />
Bahwa tanah sawah tersebut sekarang<br />
dikuasai oleh CA dan suaminya<br />
(Tergugat I dan Tergugat II) sejak<br />
tahun 1987.<br />
Bahwa Sebelum dikuasai Tergugat<br />
CA, sawah tersebut dikerjakan oleh<br />
PA.<br />
Bahwa CA memperoleh tanah<br />
tersebut karena membeli dari SN<br />
dengan seharga Rp.2.600.000,- (dua<br />
juta enam ratus ribu rupiah).<br />
Saksi mengetahui karena saksi ada<br />
pada saat terjadi jual beli, tetapi<br />
saksi tidak tidak melihat pada saat<br />
terjadinya pembayaran.<br />
Bahwa tanah tersebut ada rinciknya,<br />
tetapi saksi tidak tahu atas nama<br />
siap.<br />
Saksi tidak kenal dengan AC (ayah<br />
Penggugat).<br />
Bahwa saksi tidak pernah melihat PA<br />
mengerjakan tanah tersebut.<br />
Mencermati keterangan para saksi yang<br />
diajukan para Tergugat, terdapat perbedaan antara<br />
keterangan saksi 1 dengan saksi 2 dan saksi 3<br />
mengenai status tanah persawahan yang menjadi<br />
objek sengketa. Saksi 2 dan saksi 3 mengatakan<br />
bahwa, tanah persawahan tersebut adalah hasil<br />
pembelian para Tergugat kepada pemiliknya<br />
yang bernama SN dan disetujui oleh isterinya<br />
yang bernama SA, sedangkan saksi 1 mengatakan<br />
bahwa, tanah persawahan tersebut awalnya<br />
sebagai perjanjian gadai, namun beberapa tahun<br />
kemudian beralih menjadi jual-beli dengan istilah<br />
jual putta atau sanra putta.<br />
Keterangan saksi 2 dan saksi 3 saling<br />
berhubungan sehingga memiliki kekuatan<br />
pembuktian yang sempurna, berbeda dengan<br />
keterangan saksi 1 yang berdiri sendiri, dengan<br />
keterangan kedua saksi sebelumnya. Meskipun<br />
berbeda, namun rasa-rasanya kedua keterangan<br />
saksi para Tergugat ini tidak berlawanan, sebab<br />
pada intinya keterangan para saksi dari Tergugat<br />
semua menunjuk pada kesamaan maksud yaitu<br />
kepemilikan para Tergugat atas tanah persawahan<br />
yang menjadi objek sengketa.<br />
Keterangan saksi 1 tidak bisa dengan<br />
serta merta diabaikan oleh majelis hakim, sebab<br />
kebiasaan di dalam masyarakat bugis, praktik<br />
jual puttaii adalah sesuatu yang lazim dilakukan,<br />
secara turun temurun sudah menjadi kebiasaan<br />
yang tumbuh dan dipraktikkan di masyarakat<br />
sebagai living law. Di sisi lain, keterangan saksi<br />
1 tersebut tidak pernah ada yang membantahnya<br />
baik oleh penggugat maupun para saksi yang<br />
diajukan oleh para pihak. Atas dasar itu, majelis<br />
hakim patut tetap mempertimbangkannya dan<br />
menilainya guna mencari kebenaran formil<br />
pada penyelesaian kasus tanah persawahan yang<br />
menjadi objek sengketa.<br />
182 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 170 -188<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 182 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:29 PM
Keterangan saksi 1 dari para Tergugat<br />
yang mengatakan bahwa tanah persawahan yang<br />
menjadi objek sengketa adalah hasil jual putta atau<br />
sanra puta melalui SN dengan terlebih dahulu<br />
dipegang gadai, tidak ada yang membatahnya.<br />
Atas fakta hukum ini, diajukan pertanyaan,<br />
mengapa keterangan saksi 1 diabaikan oleh<br />
majelis hakim dalam putusannya?<br />
Menjawab pertanyaan di atas adalah,<br />
kemungkinannya majelis hakim mengacu<br />
pada ketentuan Pasal 1905 KUHPdt Jo Pasal<br />
169 HIR dan Pasal 306 Rbg yang pada intinya<br />
bahwa, keterangan seorang saksi saja, tanpa<br />
suatu alat bukti lain yang mendukungnya<br />
dapat saja diabaikan, akan tetapi pada faktanya<br />
majelis hakim sepanjang uraiannya tidak pernah<br />
menggunakan Pasal 1905 KUHPdt jo Pasal 169<br />
HIR, dan Pasal 306 RGB untuk melumpuhkan<br />
keterangan saksi 1 dari para Tergugat.<br />
E. Posisi SN yang Terabaikan<br />
Dijelaskan dalam hukum acara perdata<br />
formil bahwa, keterangan saksi diperlukan jika<br />
perkara yang sedang diproses di pengadilan<br />
sudah memiliki bukti surat atau alat bukti tertulis.<br />
Dalam Pasal 1902 KUHPdt disebutkan:<br />
Dalam segala hal di mana oleh undangundang<br />
diperintahkan suatu pembuktian dengan<br />
tulisan-tulisan itu. Jika ada suatu permulaan<br />
pembuktian dengan tulisan diperkenankanlah<br />
pembuktian-pembuktian dengan saksi-saksi,<br />
kecuali apabila tiap pembuktian lain dikecualikan,<br />
selain dengan tulisan.<br />
Keterangan seorang saksi di muka<br />
persidangan bertujuan untuk memberikan<br />
tambahan keterangan, untuk menjelaskan<br />
hubungannya dengan peristiwa hukum yang ada.<br />
Berbeda dengan keterangan antara saksi dengan<br />
ahli yang dipanggil untuk memberikan keterangan<br />
di persidangan. Saksi ahli dipanggil untuk<br />
membantu hakim dalam menilai peristiwanya,<br />
dan pendapat atau dugaan yang diperoleh secara<br />
berpikir (melalui keterangan dari ahli) tidak<br />
merupakan kesaksian (Mertokusumo, 1988: 129).<br />
Kalau keterangan saksi harus tentang peristiwa<br />
atau kejadian yang dialaminya sendiri.<br />
Seorang menjadi saksi, tidak cukup kalau<br />
hanya menerangkan bahwa ia mengetahui<br />
peristiwanya, tetapi saksi harus pula menerangkan<br />
bagaimana sampai mengetahui peristiwanya, jadi<br />
saksi dapat menerangkan sebab musababnya<br />
sampai ia mengetahui peristiwanya. Dalam<br />
Pasal 1907 KUHPdt disebutkan bahwa, tiaptiap<br />
kesaksian harus disertai dengan alasanalasan<br />
bagaimana diketahuinya hal-hal yang<br />
diterangkan. Penegasan yang sama juga dalam<br />
Pasal 171 ayat (1) HIR dan Pasal 308 ayat (1)<br />
Rbg, sehingga menurut Sudikno Mertokusumo,<br />
(1988, 130):<br />
Dapat tidaknya seorang saksi dipercaya,<br />
maka hakim harus memperhatikan kesesuaian<br />
antara keterangan para saksi, kesesuaian kesaksian<br />
dengan apa yang diketahui dari segi lain tentang<br />
perkara yang dipersengketakan; pertimbangan<br />
yang mungkin ada pada saksi untuk menuturkan<br />
kesaksiannya, cara hidup, adat istiadat serta<br />
martabat para saksi dan segala sesuatu yang<br />
sekiranya mempengaruhi tentang dapat tidaknya<br />
dipercaya seorang saksi.<br />
Untuk berpegang secara kuat pada penjelasan<br />
di atas, tentu sangatlah sulit bagi seorang hakim<br />
yang sedang menangani kasus yang alat buktinya<br />
kurang, bahkan tidak relevan untuk saling<br />
menguatkan antara alat bukti yang satu dengan<br />
alat bukti lainnya, akan tetapi pertimbangan<br />
Penyelesaian Sengketa Tanah Persawahan dalam Kasus Gadai yang TerindikasI “Sanra Putta” (A. Nuzul) | 183<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 183 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:29 PM
hakim mutlak harus ada, karena hakimlah yang<br />
memiliki kewenangan dalam menilai keterangan<br />
(kesaksian) dari seorang saksi.<br />
Menurut Sudikno Mertokusumo (1988:<br />
129), yang dapat didengar sebagai saksi adalah<br />
pihak ketiga, dan bukan salah satu pihak<br />
yang berperkara. Merujuk atas ketentuan dan<br />
pernyataan Sudikno di atas, maka SN sangat<br />
patut untuk didudukkan sebagai saksi oleh<br />
yang berperkara. Sangat kuat fakta hukum di<br />
persidangan yang menunjuk bahwa, perbuatan<br />
SN yang mengalihkan (menggadaikan) tanah<br />
persawahan yang kini menjadi sengketa kepada<br />
para Tergugat sekitar tahun 1980-an. Dengan<br />
demikian, posisi SN pada kasus gadai tanah yang<br />
terindikasi jual putta ini sangat penting dalam<br />
rangka penilaian kebenaran secara formil posisi<br />
kasus ini sekaligus untuk menentukan siapa yang<br />
paling berhak atas tanah persawahan yang menjadi<br />
sengketa antara Penggugat dengan para Tergugat.<br />
Semua pengakuan dari Penggugat dan<br />
para Tergugat serta keterangan para saksi yang<br />
berkembang dalam persidangan selalu mengaitkan<br />
peristiwa peralihan hak atas tanah persawahan<br />
yang menjadi objek sengketa ini dengan SN.<br />
Fakta hukum tersebut bisa disimpulkan bahwa,<br />
SN adalah pihak yang sangat mengetahui status<br />
hukum tanah sengketa tersebut, akan tetapi<br />
selama proses hukum berlangsung, SN tidak<br />
pernah diminta memberi keterangan atas kasus<br />
gadai atas tanah persawahan yang menjadi objek<br />
sengketa.<br />
Sekiranya SN dijadikan saksi dalam kasus<br />
ini, maka keterangan saksi maupun pengakuan<br />
Penggugat dan para Tergugat yang saling<br />
berbantahan, bisa ditentukan mana yang sah dan<br />
mana yang tidak sah menurut hukum dengan<br />
jalan mendengar keterangan SN.<br />
Untuk menentukan status tanah persawahan<br />
yang dipersengketakan oleh Penggugat dan<br />
para Tergugat, sepatutnya keterangan SN patut<br />
didengar untuk selanjutnya dikonfrontir dengan<br />
pengakuan para pihak serta keterangan para saksi.<br />
Upaya untuk melakukan konfrontir keterangan<br />
antar saksi dimungkinkan dalam hukum acara<br />
perdata (lihat: alinia terakhir Penjelasan Pasal 82<br />
ayat (1) RIB/HIR).<br />
Sepatutnya SN dijadikan saksi kunci,<br />
karena SN saksi maka akan sangat membantu<br />
kekuatan analisis serta pertimbangan majelis<br />
hakim untuk selanjutnya mengkonstitusi atau<br />
memberi putusan atas sengketa ini dalam hal,<br />
apakah peralihan hak tersebut kepada Tergugat<br />
hanya sebagai gadai ataukah merupakan jual<br />
putta atau sanra putta yang didahului dengan<br />
perjanjian gadai.<br />
Keterangan yang diberikan saksi harus<br />
menyangkut tentang peristiwa atau kejadian<br />
yang dialaminya sendiri, dan ketentuan demikian<br />
sesuai dengan posisi SN yang mengetahui dan<br />
mengalami sendiri peristiwanya. Jadi sekiranya<br />
SN sebagai saksi oleh Penggugat ataukah oleh<br />
para Tergugat, maka hakim akan lebih leluasa bisa<br />
menggali kebenaran keterangan para saksi lainnya<br />
dan kemudian menemukan hukumnya atas status<br />
yang sebenarnya pada tanah persawahan yang<br />
menjadi objek sengketa. Sebaliknya dengan tidak<br />
melibatkan SN dalam penyelesaian sengketa ini<br />
sebagai saksi, terkesan bahwa hakim kurang cermat<br />
atau lalai tidak mempertimbangkan seluruh faktafakta<br />
hukum yang muncul dalam persidangan<br />
yang relevan dengan sengketa persawahan ini<br />
yakni, perbuatan SN yang mengalihkan tanah<br />
persawahan tersebut kepada para Tergugat.<br />
Apalagi jika dicermati bahwa seluruh<br />
pengakuan dan keterangan yang berkembang<br />
184 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 170 -188<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 184 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:29 PM
dalam persidangan cukup beragam, begitu pula<br />
alat bukti tertulis (bukti surat) yang diajukan para<br />
pihak (Penggugat dan Tergugat) tidak memiliki<br />
kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga<br />
dengan demikian keterangan SN akan sangat<br />
berguna bagi majelis hakim untuk menentukan<br />
penilaiannya antara kebenaran pengakuan<br />
Penggugat dengan kebenaran pengakuan para<br />
Tergugat serta kebenaran dari keteranganketerangan<br />
masing-masing para saksi yang<br />
diajukan di persidangan.<br />
Berdasarkan berbagai pengakuan dan<br />
keterangan sebagaimana yang diuraikan di atas,<br />
maka setidaknya ada 3 (tiga) fakta hukum yang<br />
saling berbeda terhadap status tanah persawahan<br />
yang menjadi objek sengketa, yaitu:<br />
1. Pengakuan Penggugat bahwa tanah<br />
persawahan yang menjadi objek sengketa<br />
antara Penggugat dengan para Tergugat<br />
statusnya sebagai gadai melalui SN (lihat<br />
keterangan Penggugat pada poin tiga<br />
tentang duduk perkaranya) atas persetujuan<br />
Penggugat (tahun 1980-an). Pengakuan<br />
Penggugat tersebut kurang lebih sama<br />
dengan keterangan para saksi yang diajukan<br />
Penggugat (lihat keterangan saksi I pada<br />
garis-[garis datar] ke-5, dan keterangan<br />
saksi II pada garis-[garis datar] keenam.<br />
2. Pengakuan para Tergugat bahwa tanah<br />
persawahan yang menjadi objek sengketa<br />
statusnya hak milik (milik para Tergugat)<br />
yang pada mulanya dibeli dari pemiliknya<br />
bernama SN atas persetujuan isterinya<br />
bernama SA karena tanah persawahan yang<br />
menjadi sengketa tersebut pernah dijadikan<br />
mahar (bugis: Sompa) kepada isterinya yang<br />
bernama SA (keterangan para Tergugat<br />
poin 3 dalam pokok perkara). Pengakuan<br />
para Tergugat kurang lebih sama dengan<br />
keterangan Saksi II (MP) -- pada garis<br />
datar 2--, dan keterangan saksi III -pada<br />
garis datar 4-.<br />
3. Keterangan saksi I, TA, yang diajukan para<br />
Tergugat (lihat pada garis – [garis datar]<br />
ke-7, bahwa status tanah persawahan yang<br />
menjadi objek sengketa adalah jual putta<br />
(istilah adat Sulawesi Selatan atas jual beli<br />
barang/tanah yang awalnya perjanjian gadai).<br />
Adanya pengakuan serta keterangan yang<br />
berbeda-beda tersebut di atas, maka agaknya sulit<br />
bagi hakim menemukan kebenaran fakta hukum<br />
yang sesungguhnya, sehingga yang diperlukan<br />
selanjutnya dari hakim adalah kemampuan<br />
analisisnya untuk menilai kebenaran dalil atau<br />
bukti yang diajukan masing-masing pihak.<br />
Sudikno Mertokusumo (1996: 74)<br />
mengatakan, setiap kasus (konflik) yang diproses<br />
di persidangan pengadilan, majelis hakim harus<br />
melakukan langkah-langkah penemuan hukum<br />
agar tidak salah dalam menerapkan hukumnya.<br />
Terkait dengan penyelesaian sengketa gadai tanah<br />
persawahan yang terindikasi jual putta, maka ada<br />
tiga langkah yang patut bagi hakim yaitu:<br />
1. Mengkostatasi sengketa gadai atas tanah<br />
persawahan ini sebagai peristiwa konkrit<br />
yang berarti merumuskan sengketa gadai<br />
yang terjadi antara Penggugat dengan<br />
para Tergugat sebagai peristiwa hukum.<br />
Jadi masuk pada kegiatan legal problem<br />
identifications;<br />
2. Mengkualifikasi sengketa gadai atas tanah<br />
persawahan ini sebagai peristiwa konkrit<br />
berarti, untuk kemudian dicarikanlah<br />
penyelesaian hukumnya (legal problem<br />
solving) dengan menerapkan dalil-dalil<br />
Penyelesaian Sengketa Tanah Persawahan dalam Kasus Gadai yang TerindikasI “Sanra Putta” (A. Nuzul) | 185<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 185 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:29 PM
atau ketentuan hukumnya yang relevan;<br />
3. Kemudian pada tahapan ketiga adalah,<br />
mengkonstitusi atau memberi putusan atau<br />
memutuskan hukumnya atas sengketa gadai<br />
tanah persawahan yang terindikasi jual putta,<br />
jadi masuk pada tahapan decision making.<br />
Atas sengketa gadai atas tanah persawahan<br />
ini, majelis hakim memenangkan Penggugat<br />
dengan nomor putusan 34/Pdt.G/2007/PN.Wtp<br />
dengan putusan sengketa gadai bukan sengketa<br />
jual putta atau sanra putta.<br />
Beberapa catatan penting atas praktik jual<br />
Putta atau Sanra Putta yang didahului dengan<br />
perjanjian gadai dan penyelesaian hukumnya<br />
yaitu:<br />
1. Praktik jual putta sangat lazim di masyarakat<br />
bugis dan merupakan transaksi yang lumrah,<br />
tidak selamanya diikuti dengan alat bukti<br />
berupa dokumen tertulis serta saksi-saksi,<br />
akibatnya sering menimbulkan persoalan<br />
hukum yang sebenarnya bisa diselesaikan<br />
melalui jalur pengadilan maupun di luar<br />
pengadilan.<br />
2. Kewajiban memeriksa dan penyelesaikan<br />
perkara, hakim perlu kemandirian dan<br />
tidak cukup jika hanya berpegang pada<br />
yurisprudensi belaka. Begitu pula hakim<br />
tidak cukup berpegang pada apa yang<br />
disebut normgerechtigkeit (keadilan<br />
menurut undang-undang) melainkan<br />
berupaya melakukan apa yang disebut<br />
einzelfallgerechtigkeit atau menemukan<br />
keadilan menurut keyakinan hakim yang<br />
tertuang dalam putusannya.<br />
3. Sama artinya penjelasan di atas, hakim tidak<br />
semata hanya berpikir menurut sistemnya<br />
(sistem oriented atau sistem denken),<br />
melainkan patut berpikir dengan mengacu<br />
kepada masalahnya atau problemnya atau<br />
disebut dengan problem oriented atau<br />
system oriented (Mertokusumo, 1996: 44).<br />
Penjelasan ini mengandung makna bahwa<br />
kemandirian seorang hakim sangat utama,<br />
sejalan dengan sistem peradilan Indonesia<br />
bersifat the persuasive force of precedent,<br />
bukan the binding force of precedent atau<br />
stare decisis et quita non movere seperti<br />
dalam protype sistem peradilan Anglo<br />
Saxon.<br />
4. Selaras dengan kemandirian dimaksud<br />
di atas, hakim yang menangani sengketa<br />
yang alat buktinya amat terbatas atau<br />
kurang seperti pada kasus sengketa gadai<br />
tanah persawahan ini, maka pegangan lain<br />
yang diperlukan bagi hakim adalah, kode<br />
etik atau pedoman perilaku hakim. Untuk<br />
kepentingan dimaksud, telah dikeluarkan<br />
Surat Keputusan Bersama (SKB) antara<br />
<strong>Komisi</strong> <strong>Yudisial</strong> dengan Mahkamah Agung<br />
Republik Indonesia, Nomor 047/KMA/<br />
SKB/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009<br />
tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku<br />
Hakim. Kandungan atau isi dari SKB ini<br />
antara lain bahwa, seorang hakim harus<br />
berperilaku adil; berperilaku jujur, bersikap<br />
mandiri; berintegritas tinggi; berdisiplin<br />
tinggi; dan bersikap profesional dalam<br />
menangani setiap perkara.<br />
SIMPULAN<br />
186 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 170 -188<br />
IV.<br />
1. Alat bukti surat dari Penggugat maupun<br />
alat bukti surat dari para Tergugat memiliki<br />
kekuatan pembuktian yang tidak sempurna,<br />
sehingga penilaian atas alat bukti tersebut<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 186 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:29 PM
sangat bergantung dari pertimbangan<br />
majelis hakim. Adapun keterangan para<br />
saksi dari Penggugat cukup berkesesuaian<br />
antara satu saksi dengan saksi lainnya<br />
dan kekuatan pembuktiannya bersifat<br />
sempurna. Sebaliknya keterangan para<br />
saksi dari Tergugat, ada yang sama serta<br />
ada pula yang berbeda. Keterangan yang<br />
sama diperoleh dari keterangan saksi 2 dan<br />
saksi 3, sedangkan yang berbeda berasal<br />
dari keterangan saksi 1, sehingga dengan<br />
demikian kekuatan pembuktian keterangan<br />
saksi dari para Tergugat tidak sempurna,<br />
untuk itu penilaiannya diserahkan pada<br />
pertimbangan hukum majelis hakim.<br />
2. Keterangan saksi 1 yang diajukan para<br />
Tergugat yang mengatakan bahwa, tanah<br />
persawahan yang menjadi objek sengketa<br />
adalah awalnya gadai melalui SN dengan<br />
persetujuan Penggugat, kemudian beralih<br />
menjadi jual-beli dengan istilah jual putta<br />
atau sanra putta. Kekuatan pembuktiannya<br />
lemah karena tidak didukung dengan alat<br />
bukti lain, meskipun demikian, majelis<br />
hakim sepatutnya tetap mempertimbangkan<br />
sebab keterangan mana dari saksi I tersebut<br />
sama sekali tidak pernah dibantah oleh<br />
Penggugat maupun semua saksi dalam<br />
persidangan. Juga praktik jual putta atau<br />
sanra putta lazim terjadi di masyarakat<br />
bugis sejak dulu, dan menjadi hukum yang<br />
hidup.<br />
3. Majelis hakim dinilai kurang cermat<br />
dalam pertimbangan hukumnya karena<br />
tidak memerintahkan Penggugat atau para<br />
Tergugat untuk memanggil SN menjadi<br />
saksi dalam persidangan. Pada hal baik<br />
dari Penggugat maupun para Tergugat<br />
serta semua saksi mengakui bahwa, SN<br />
yang mengalihkan penguasaan tanah<br />
persawahan yang menjadi objek sengketa<br />
kepada para Tergugat. Dengan demikian,<br />
SN patut menjadi saksi kunci yang<br />
keterangannya sangat diperlukan, termasuk<br />
diperlukan untuk mengkonfrontasi<br />
pengakuan Penggugat dan para Tergugat<br />
serta keterangan semua saksi. Kedudukan<br />
SN pada kasus ini berbeda dengan saksisaksi<br />
yang diajukan Penggugat maupun<br />
para Tergugat yang hanya mengetahui<br />
saja, tetapi tidak mengalami peristiwanya<br />
sebagaimana yang dialami dan diketahui<br />
oleh SN.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Ali, Achmad. 1996. Menguak Tabir Hukum<br />
(Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologisi).<br />
Cet. I. Jakarta: Pen: Chandra Pratama.<br />
Emirzon, Joni. 2001. Alternatif Penyelesaian<br />
Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi,<br />
Mediasi, Konsiliasi & Arbitrase). Cet. I.<br />
Jakarta: Pen: Gramedia Pustaka Utama.<br />
Mertokudumo, Sudikno. 1988. Hukum Acara<br />
Perdata Indonesia, Cet. I. Yogyakarta: Pen:<br />
Liberty.<br />
_________________. 1996. Penemuan Hukum,<br />
Sebuah Pengantar. Cet. I. Yogyakarta: Pen:<br />
Liberty.<br />
Meliala, S. Djaja. 2008. Perkembangan Hukum<br />
Perdata Tentang Benda dan Hukum<br />
Perikatan. Cet. II. Bandung: Pen: Nuansa<br />
Aulia.<br />
Nuzul, A. 2009. Pembentukan Hukum Kewarisan<br />
Penyelesaian Sengketa Tanah Persawahan dalam Kasus Gadai yang TerindikasI “Sanra Putta” (A. Nuzul) | 187<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 187 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:29 PM
Nasional Berdasarkan Sistem Bilateral<br />
(Relevansi Beberapa Asas Hukum<br />
Kewarisan Menurut KUHpdt, Menurut<br />
Hukum Islam, dan Menurut Hukum Adat),<br />
Disestasi, FH. UGM, Yogyakarta.<br />
Subekti, R. 1980. Pokok-Pokok Hukum Perdata.<br />
Cet. XV. Jakarta: Pen: Intermasa.<br />
Subekti, R. dan R. Tjitrosudibio. 1996. Kitab<br />
Undang-Undang Hukum Perdata<br />
(KUHPerdata). Cet. XXVIII. Jakarta: Pen:<br />
PT. Pradnya Paramita.<br />
Soesilo, R. 1980. RIB/HIR, Dengan Penjelasannya,<br />
Bandung: Pen: Karya Nusantara.<br />
Undang-Undang/Putusan<br />
Keputusan Bersama (SKB) antara Mahkamah<br />
Agung RI dan <strong>Komisi</strong> <strong>Yudisial</strong> RI Nomor<br />
047/KMA/SKB/2009 Dan 02/SKB/P.KY/<br />
IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman<br />
Perilaku Hakim.<br />
Putusan Nomor 34/Pdt.G/2007/PN. WTP pada<br />
Pengadilan Kelas 1 B Watampone.<br />
Undang-Undang No. 56 Prp. Tahun 1960 tentang<br />
Penetapan Luas Tanah Pertanian, beserta<br />
Penjelasannya.<br />
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang<br />
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian<br />
Sengketa.<br />
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang<br />
Kekuasaan Kehakiman.<br />
Pustaka Online:<br />
Gadai Tanah Adat Selalu Dapat Ditebus: Kasus<br />
Harta Pusaka Tinggi Minangkabau -Onta<br />
Berkokok- http://asaad36.blogspot.<br />
com/2010/10/gadai-tanah-adat-selalu-<br />
dapat-ditebus.html (Diakses, 29 Juni <strong>2012</strong>).<br />
Jaminan Kepastian Dan Perlindungan Hukum<br />
Terhadap Perjanjian Gadai Tanah Menurut<br />
Hukum Adat (Dimuat oleh Admin<br />
PN.Bjb/ 21-07-2009: ttp://www.pnbanjarbaru.go.id/index.php?content=mod_<br />
artikel&id=13 (Diakses 2 9 Juni <strong>2012</strong>).<br />
Pengertian Gadai Tanah Menurut Hukum Adat<br />
dan Menurut Undang-Undang Pokok<br />
Agraria.<br />
Diposkan oleh Ray Pratama Siadari (owner Sekolah<br />
TInggi Ilmu Hukum Pratama) di 02:55:<br />
http://raypratama.blogspot.com/<strong>2012</strong>/02/<br />
pengertian-gadai-tanah-menurut-hukum.<br />
html. (Diakses, Ahad, 12 Februari <strong>2012</strong>).<br />
Yuliana, Andi 5 Juli 2008 “Konflik dan<br />
Penyelesaian Dalam Perjanjian Gadai Tanah<br />
pada Masyarakat Adat Bugis di Kecamatan<br />
Liliriaja Kabupaten Soppeng”,PustakaNet.<br />
Wordpress.Com, (Diakses, Ahad, 29 April<br />
<strong>2012</strong>).<br />
188 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 170 -188<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 188 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:29 PM
WANPRESTASI SEBAgAI KUALIFIKASI TIDAK DIPENUHINyA<br />
KEWAJIBAN HUKUM yANg MENIMBULKAN<br />
KERUgIAN KEUANgAN NEgARA<br />
ABSTRAK<br />
Kajian Putusan Nomor 1247/Pid/B/2009/PN.Bdg<br />
BREAcH OF cONTRAcT AS THE QUALIFIcATION OF NONcOMPLIANcE<br />
TO LEgAL OBLIgATION THAT cAUSES STATE<br />
FINANcIAL LOSS<br />
An Analysis on Decision Number 1247/Pid/B/2009/PN. Bdg<br />
widiada Gunakaya<br />
Sekolah Tinggi Hukum Bandung, Jl. Cihampelas No. 8 Bandung 40116<br />
Email: bonarsius@yahoo.com<br />
Tindak pidana korupsi di Indonesia pada dewasa ini<br />
perkembangannya sudah sangat sistemik dengan<br />
tidak hanya merugikan keuangan negara atau<br />
perekonomian negara tetapi juga telah merampas<br />
hak-hak sosial ekonomi masyarakat secara luas.<br />
Salah satu upaya pemberantasannya adalah<br />
dengan menetapkan ajaran “sifat melawan hukum<br />
material” dalam fungsinya yang positif ke dalam<br />
UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001<br />
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.<br />
Sayangnya, kaidah hukum tersebut oleh putusan<br />
Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006 telah<br />
dinyatakan tidak mengikat secara hukum, karena<br />
dinilai bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1)<br />
UUD 1945 tentang “kepastian hukum yang adil”<br />
sebagai salah satu prinsip negara hukum. Padahal<br />
dalam rangka pemberantasan korupsi, penerapan<br />
kaidah hukum dimaksud dapat dibenarkan sekaligus<br />
juga efektif. Hakim di Pengadilan Negeri Kelas IA<br />
Bandung dalam putusan No. 1247/Pid/ B/2009/<br />
PN.Bdg yang dibahas dalam artikel ini seharusnya<br />
juga menerapkan kaidah hukum tersebut, karena<br />
terdakwa tidak memenuhi kewajiban hukum<br />
yang harus dilakukan sehingga secara nyata telah<br />
Diterima tgl 4 Juli <strong>2012</strong>/Disetujui tgl 18 Juli <strong>2012</strong><br />
menimbulkan kerugian keuangan negara. Hakim<br />
mempertimbangkan perbuatan terdakwa itu sebagai<br />
ingkar janji (wanprestasi) sehingga tidak dapat<br />
dituntut menurut hukum pidana.<br />
Kata kunci: korupsi, sifat melawan hukum pidana,<br />
wanprestasi, kerugian keuangan negara.<br />
abstract<br />
There has been a tendency in the increase of systemic<br />
corruption in Indonesia resulting a great loss of<br />
state budget and national economy. Corruption has<br />
also caused the massive deterioration of people’s<br />
socio-economic basic rights. One of attempted<br />
efforts to get rid of corruption is to install the<br />
doctrine of “the nature of criminal offence” in<br />
material sense with positive function in Law No.<br />
31 Year 1999 juncto Law No. 20 Year 2001 on<br />
Corruption Eradication, but this legal formulation<br />
has been dismantled by the Constitutional Court by<br />
saying (stating) it is contradictory with Article 28D<br />
paragraph (1) of the 1945 Constitution regarding<br />
“the just legal certainty” as one of the principles<br />
of the rule of law. The doctrine can be regarded as<br />
a legalized and effective instrument in combating<br />
corruption. In the court decision No. 1247/Pid/<br />
Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 189<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 189 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:30 PM
B/2009/PN.Bdg analyzed in this article, it was<br />
worth if judges used such a doctrine because the<br />
accused had been proved to result state financial<br />
loss. However, judges considered that the accused’s<br />
failure to fulfill his legal obligation as merely the<br />
breach of contract that could not meet the elements<br />
of any criminal action.<br />
Keywords: corruption, nature of criminal offence,<br />
breach of contract, state financial loss.<br />
I.<br />
PENDAHULUAN<br />
A. Latar Belakang Masalah<br />
Korupsi di Indonesia, dapat dinobatkan<br />
sebagai “biang kemudaratan”, yang dapat<br />
meluluhlantakkan hampir semua bidang<br />
kehidupan, seperti ekonomi, politik, hukum<br />
(mafia hukum/peradilan), sosial, budaya,<br />
kesehatan, pertanian, dan hankam, bahkan<br />
kehidupan beragama yang selama ini dianggap<br />
sebuah zona sakral dan sarat dengan nuansa moral<br />
dan agamis, ternyata bersarang pula perilaku<br />
“amoral”. Dampaknya, sangat besar dan meluas,<br />
mulai dari kerugian yang diderita oleh negara<br />
sampai pada fenomena meluasnya kemiskinan<br />
secara struktural di dalam masyarakat. Akibatnya,<br />
korupsi melahirkan berbagai tragedi alami,<br />
kemasyarakatan dan juga kemanusiaan.<br />
Berbagai upaya pemberantasan yang<br />
diharapkan mampu memberantas tuntas akar<br />
korupsi, baik yang dilakukan melalui penciptaan<br />
piranti hukum maupun dengan aplikasi hukum in<br />
concreto, ternyata hasilnya terjadi aplikasi hukum<br />
“tebang-pilih” (discriminative justice). De facto,<br />
terjadi penegakan hukum diskriminatif dan kontra<br />
produktivitas. Tidak heran jika banyak kasus<br />
tidak di “mejahijaukan”, dengan dalih belum<br />
terkumpulnya atau tidak terpenuhinya cukup<br />
bukti. Padahal jika dicermati, di balik semua itu<br />
terdapat kekuatan politik yang maha dahsyat yang<br />
dapat melibas semua kekuatan hukum. Jika toch<br />
ada yang dimejahijaukan, itu pun sekadar rekayasa<br />
agar partai berkuasa terkesan bersih. Namun<br />
dampaknya sama sekali tidak diperhitungkan,<br />
karena orang yang dikorbankan untuk menjadi<br />
terdakwa justru semakin keras dan lantang<br />
“bernyanyi” mengumandangkan “lagu korupsi”<br />
yang banyak dilakukan oleh kader-kader partainya<br />
atau oleh rekan sekerjanya di pemerintah maupun<br />
di lembaga legislatif. Bila terdakwa sampai<br />
dipidana, diberikan berbagai legalisasi alasan<br />
oleh penguasa supaya yang bersangkutan tidak<br />
sampai menjalankan pidananya atau diberikan<br />
grasi. Belakangan ini dengan banyak terjadinya<br />
kasus suap yang melanda aparat penegak hukum,<br />
menandakan sistem yudisial pidana kita telah pula<br />
terindikasi koruptif. Satu-satunya harapan yang<br />
masih tersisa di negeri ini adalah KPK, namun<br />
dengan telah terjadinya intervensi terhadap<br />
lembaga super body ini, masih bisa dan kuatkah<br />
KPK menghadapi kekuatan-kekuatan politik dan<br />
ekonomi dalam pemberantasan tindak pidana<br />
korupsi?<br />
Meluasnya fenomena korupsi di Indonesia,<br />
bila dicermati, sesungguhnya lebih banyak<br />
berbentuk penyalahgunaan kekuasaan atau<br />
kewenangan politik maupun ekonomi oleh<br />
upper power class dan upper economic class.<br />
Dengan mempelajari “kelemahan” hukum,<br />
mereka melakukan konspirasi untuk tujuan<br />
kepentingan ekonomi tertentu yang pada akhirnya<br />
menimbulkan korupsi. Kasus BLBI dan Bank<br />
Century misalnya, dengan profesionalitas yang<br />
dimiliki oleh pelakunya, perbuatan koruptif yang<br />
terjadi sangat sulit dideteksi oleh aparat hukum,<br />
190 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 189 - 223<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 190 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:30 PM
sehingga kejahatan tersebut sering dikatakan<br />
offences beyond the reach of the law.<br />
Penguasaan sumber daya politik yang<br />
melekat pada posisi jabatan strategis tertentu<br />
dalam ruang lingkup kekuasaan kelembagaan<br />
negara, merupakan potensi besar untuk<br />
mengalokasikan sumber dan fasilitas ekonomi,<br />
sesuai dengan kepentingan bisnis pihak<br />
penjalin hubungan patronase dengan pemegang<br />
kekuasaan. Bentuk penyalahgunaan kekuasaan<br />
dan kewenangan seperti ini semakin menjadi,<br />
karena terjadi ketidakefektivitasan pengawasan<br />
oleh lembaga-lembaga pengawasan resmi,<br />
maupun oleh pranata-pranata demokrasi yang<br />
bergerak terbatas karena dikendalikan negara.<br />
Akibatnya, ruang gerak korupsi menjadi semakin<br />
meluas dan “menggila”. Hal ini diperparah lagi<br />
dengan adanya gejala kolusi dan nepotisme<br />
yang semakin ‘sistemik’ antara pebisnis dengan<br />
pemegang kebijakan dan penentu operasional di<br />
bidang pengelolaan keuangan negara.<br />
Pada tataran praksis dalam peradilan pidana,<br />
mengenai masalah “keuangan negara” kerap kali<br />
menimbulkan kebingungan bagi aparat pidana.<br />
Hal ini disebabkan karena terdapat banyak hukum<br />
positif yang mengatur “keuangan negara”, dan<br />
secara horizontal menimbulkan disharmonisasi<br />
hukum, karena masing-masing hukum positif<br />
tersebut bertentangan satu dengan yang lain. Di<br />
dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo UU<br />
No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak<br />
Pidana Korupsi (PTPK) tidak satupun kaidah<br />
hukumnya mengatur masalah “keuangan negara”.<br />
Padahal salah satu kepentingan hukum yang<br />
harus dilindungi sehingga dijadikan bestandelen<br />
delict dalam UU ini adalah “merugikan keuangan<br />
negara”. Maknawi dari “keuangan negara” hanya<br />
ditempatkan dalam Penjelasan Umum dari UU<br />
dimaksud. Pertanyaannya, “apakah Penjelasan<br />
Umum dari UU Anti Korupsi tersebut merupakan<br />
kaidah hukum, sehingga dapat dijadikan dasar<br />
untuk menetapkan perbuatan terdakwa sebagai<br />
perbuatan yang merugikan “keuangan negara”?<br />
UU yang secara khusus mengatur “keuangan<br />
negara” adalah UU No. 17 Tahun 2003 tentang<br />
Keuangan Negara. UU lainnya yang juga<br />
dalam kaidah hukumnya ikut mengatur tentang<br />
“keuangan negara” adalah UU No. 19 Tahun<br />
2003 tentang BUMN, UU No. 1 Tahun 2004<br />
tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No. 15<br />
Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelola dan<br />
Tanggungjawab Keuangan Negara.<br />
Korupsi juga terjadi di berbagai pemerintah<br />
daerah di Indonesia, baik yang dilakukan oleh<br />
pejabat legislatif, eksekutif, yudikatif, dan<br />
konglomerasi. Melalui konspirasi politik antara<br />
Kepala Daerah dan DPRD yang di”balut” dengan<br />
kebijakan legislasi daerah, para pejabat ini sepakat<br />
untuk menetapkan suatu anggaran dengan alasan<br />
pembangunan daerah atau kesejahteraan rakyat<br />
atau kesehatan anggota DPRD atau dengan<br />
alasan yang dibuat serasional mungkin, padahal<br />
tujuannya adalah untuk memperkaya diri atau<br />
orang lain atau suatu korporasi. Dana yang sengaja<br />
anggarannya ditetapkan di dalam APBD itu<br />
bahkan digelembungkan sehingga menimbulkan<br />
kerugian negara (daerah) yang sangat besar,<br />
karena harus dibayarkan setiap bulan. Anggaran<br />
yang sengaja digelembungkan itu pada akhirnya<br />
dibagi-bagi dan masuk ke kantong masing-masing<br />
pejabat. Dengan demikian, legalitas APBD hanya<br />
dijadikan sarana di dalam upaya memperkaya atau<br />
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara<br />
melawan hukum atau dengan menyalahgunakan<br />
kewenangan, kesempatan atau sarana karena<br />
jabatan atau kedudukannya yang dapat merugikan<br />
keuangan atau perekonomian negara. Tegasnya,<br />
korupsi dilakukan dengan cara berlindung di<br />
Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 191<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 191 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:30 PM
alik legalitas produk legislasi daerah.<br />
Pada akhirnya, prognosis korupsi sudah<br />
semakin meluas bahkan hampir menjurus pada<br />
“pembusukan” bangsa, sehingga ada yang<br />
memeberi predikat sebagai extra ordinary crime.<br />
Memang, situasi korupsi di Indonesia pada saat ini,<br />
sudah tidak bisa lagi dikategorikan sebagai situasi<br />
normal, melainkan sudah melebihi ambang batas<br />
toleransi (“abnormal”). Itulah sebabnya, dalam<br />
rangka pelaksanaan kebijakan (politik) kriminal<br />
dengan menggunakan sarana penal, pembentuk<br />
UU telah melakukan perubahan kebijakan (politik)<br />
hukum pidana, dari yang “normal” (biasa) menuju<br />
kepada yang luar biasa atau secara extra ordinary<br />
measures untuk memberantas korupsi. Perubahan<br />
kebijakan legislasi dimaksud ditempuh dengan<br />
menetapkan ajaran sifat melawan hukum (SMH)<br />
materiil, bahkan dalam fungsinya yang positif<br />
dalam menetapkan suatu perbuatan sebagai<br />
tindak pidana korupsi, yaitu:<br />
“… meskipun perbuatan tersebut tidak<br />
diatur dalam peraturan perundangundangan,<br />
namun apabila perbuatan<br />
tersebut dianggap tercela karena tidak<br />
sesuai dengan rasa keadilan atau norma<br />
kehidupan sosial dalam masyarakat, maka<br />
perbuatan tersebut dapat dipidana”.<br />
Premis mayor di atas sama sekali tidak<br />
dideduksikan dalam Putusan Pengadilan Negeri<br />
Kelas IA Bandung No. 1247/Pid/B/2009/<br />
PN.Bdg. yang menyatakan, bahwa dengan<br />
tidak dipenuhinya kewajiban hukum dalam isi<br />
perjanjian oleh terdakwa, maka prosedur yang<br />
harus ditempuh adalah melalui penagihan kepada<br />
terdakwa agar sesuai dengan perjanjian yang<br />
telah disepakati, dan perbuatan terdakwa tersebut<br />
dapat dikategorikan telah melakukan perbuatan<br />
wanprestasi. Dengan demikian, kerugian yang<br />
timbul sebagai akibat adanya wanprestasi adalah<br />
bukan perbuatan melawan hukum menurut<br />
hukum pidana. Berdasarkan pertimbanganpertimbangan<br />
majelis hakim berpendapat, bahwa<br />
perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa IS,<br />
sebagaimana didakwakan dalam dakwaan primair,<br />
telah terbukti akan tetapi perbuatan tersebut<br />
bukan merupakan tindak pidana melainkan<br />
termasuk ruang lingkup hukum perdata.<br />
Apakah yang menjadi rasionalisasi<br />
pertimbangan dan putusan hakim seperti demikian,<br />
di bawah ini terlebih dahulu dideskripsikan secara<br />
singkat kronologis perkara tindak pidana korupsi<br />
yang diperiksa dan diadili kemudian diputuskan<br />
dalam Putusan Pengadilan Negeri Bandung Kelas<br />
IA No. 1247/Pid/B/ 2009/ PN.Bdg. sebagaimana<br />
dipaparkan dalam kasus posisi berikut ini.<br />
B. Kasus Posisi<br />
Pada tanggal 3 Desember 2004, Terdakwa IS<br />
selaku Direktur CV. UM dan PW yang menjabat<br />
Kepala Bagian di salah satu dinas Kota Bandung<br />
diangkat berdasarkan Surat Keputusan Wali Kota<br />
Bandung No. 821/Kep.849-Peg/2004 tanggal 24<br />
Nopember 2004 (dilakukan penuntutan terhadap<br />
masing-masing secara terpisah), beserta ED<br />
yang menjabat Kasubag di salah satu Pemerintah<br />
Kota bandung telah ditetapkan selaku Pimpinan<br />
Pelaksanaan Kegiatan berdasarkan Surat<br />
Keputusan Wali Kota Bandung No. 821.2/Kep-<br />
272-Peg/2004 tanggal 7 April 2004.<br />
Sekitar bulan Desember 2004 sampai<br />
dengan bulan Mei 2005, di Kantor Pemerintah<br />
Kota Bandung atau di suatu tempat lain dalam<br />
daerah hukum Pengadilan Negeri Kls. IA Bandung<br />
terdakwa ”melakukan, menyuruh melakukan dan<br />
turut serta melakukan perbuatan memperkaya<br />
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,<br />
192 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 189 - 223<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 192 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:30 PM
yang dapat merugikan keuangan negara atau<br />
perekonomian negara.<br />
Modus operandi terdakwa melakukan<br />
perbuatannya, pada intinya dikemukakan di<br />
bawah ini.<br />
Pada tanggal 10 Desember 2004, Terdakwa<br />
oleh ED selaku Pimpinan Pelaksana Kegiatan<br />
Koordinasi Penyelenggara Perekonomian,<br />
berdasarkan SK. No.002/Keg/KPP/XII/2004<br />
telah menetapkan terdakwa berdasarkan<br />
penunjukan langsung sebagai pelaksana relokasi<br />
dan pengelolaan pedagang kaki lima di tujuh<br />
titik di gedung eks Toko Ria di Bandung.<br />
Terdakwa ditunjuk sebagai pelaksana relokasi<br />
dan pengelolaan pedagang kaki lima di tujuh<br />
titik di kota Bandung adalah berdasarkan<br />
rekomendasi dari Tim Penilai yang diketuai<br />
oleh PW berdasarkan surat No. 003/TIM/PKL/<br />
XII/2004 tanggal 3 Desember 2004 dalam rangka<br />
pelaksanaan Konferensi Asia Afrika di Bandung<br />
dapat berjalan dengan nyaman dan lancar.<br />
Pada tanggal 14 Desember 2004 dibuat<br />
surat perjanjian No. 511.23/500-Ek tertanggal<br />
14 Desember 2004 untuk pelaksanaan relokasi<br />
dan pengelolaan pedagang kaki lima tujuh titik<br />
tersebut, yang ditandatangani bersama oleh ED<br />
selaku Ketua Pimpinan Pelaksana Kegiatan<br />
Koordinasi Penyelenggara Perekonomian sebagai<br />
pihak I mewakili Pemerintah Kota Bandung dan<br />
CV. UM sebagai pihak kedua yang diwakili oleh<br />
terdakwa IS selaku direktur, serta pihak ketiga<br />
FS selaku pemilik gedung eks Toko Ria. Dalam<br />
perjanjian tersebut telah diatur hak dan kewajiban<br />
masing-masing pihak.<br />
Setelah ditandatanganinya surat perjanjian<br />
dimaksud, terdakwa menerima pembayaran<br />
sejumlah Rp.2.500.000.000,- (dua miliar lima<br />
ratus juta rupiah) untuk pembayaran sewa gedung<br />
eks Toko Ria yang diterima FS selaku pemilik<br />
gedung eks Toko Ria. Perjanjian sebagaimana<br />
dimaksud di antaranya menyebutkan bahwa<br />
terdakwa berkewajiban mengembalikan dana<br />
talangan sebesar Rp.2.500.000.000,- (dua miliar<br />
lima ratus juta rupiah) dalam 2 (dua) tahap, yaitu<br />
pada bulan April sebesar Rp.1.250.000.000,- (satu<br />
milyar dua ratus lima puluh juta rupiah) dan pada<br />
bulan September sebesar Rp.1.250.000.000,-<br />
(satu milyar dua ratus lima puluh juta rupiah).<br />
Sedangkan jangka waktu perjanjian sewa<br />
menyewanya adalah selama 5 (lima) bulan<br />
terhitung mulai 23 Januari 2005 sampai dengan<br />
23 Mei 2005.<br />
Dalam rencana pelaksanaan relokasi<br />
dan pengelolaan pedagang kaki lima, semula<br />
menargetkan sebanyak 1930 (seribu sembilan<br />
ratus tiga puluh) pedagang kali lima (PKL),<br />
namun pada kenyataannya terdakwa sebagai<br />
pelaksana relokasi dan pengelolaan PKL di tujuh<br />
titik itu, hanya mampu merealisasikan sebanyak<br />
635 (enam ratus tiga puluh lima) PKL saja. Itupun<br />
sebagian besar hanya mau mengisi tempat di eks<br />
Toko Ria di Jalan OI saja, sedangkan gedung eks<br />
Toko Ria di Jalan BS Bandung tidak berjalan<br />
sebagaimana mestinya.<br />
Penyediaan lapak atau kios bagi para<br />
PKL ternyata dilakukan oleh terdakwa dengan<br />
cara meminjam uang sebesar Rp.300.000.000,-<br />
(tiga ratus juta rupiah) kepada FS selaku<br />
pemilik gedung eks Toko Ria. Untuk kegiatan<br />
operasional pengelolaan PKL antara lain untuk<br />
gaji, pemeliharaan dan biaya partisi, terdakwa<br />
mengajukan permohonan bantuan keuangan<br />
kepada Pemerintah Kota Bandung sejumlah<br />
Rp.750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta<br />
rupiah) namun disetujui oleh Pemerintah Kota<br />
Bandung hanya sejumlah Rp.100.000.000,-<br />
(seratus juta rupiah).<br />
Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 193<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 193 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:30 PM
Pelaksanaan relokasi dan pengelolaan PKL<br />
di tujuh titik di gedung eks Toko Ria, terdakwa<br />
dalam pengelolaan gedung beserta fasilitasnya<br />
melakukan penarikan uang sewa lapak atau<br />
kios yang disewakan kepada para PKL seharga<br />
Rp.250.000,- sampai Rp.300.000,- setiap<br />
bulannya. Dari hasil sewa lapak tersebut, uang<br />
yang berhasil dikumpulkan adalah:<br />
1. Bulan Januari sekitar Rp.120.000.000,-<br />
(seratus dua puluh juta rupiah).<br />
2. Bulan Februari sekitar Rp.60.000.000,-<br />
(enam puluh juta rupiah).<br />
3. Bulan Maret sekitar Rp.30.000.000,- (tiga<br />
puluh juta rupiah).<br />
4. Bulan selanjutnya sampai dengan relokasi<br />
dan pengelolaan PKL tidak berjalan sekitar<br />
akhir tahun 2005, dan tidak pernah tercatat<br />
serta sama sekali hasilnya tidak pernah<br />
dilaporkan ke Pemerintah Kota Bandung.<br />
Sedangkan hasil berupa uang yang<br />
diperoleh terdakwa juga tidak pernah dilaporkan<br />
kemajuannya, dan tidak pernah disetorkan kepada<br />
Pemerintah Kota Bandung, karena digunakan<br />
untuk kepentingan pribadi terdakwa sendiri, di<br />
antaranya terdakwa memberikan modal usaha<br />
catering sebesar Rp.40.000.000,- kepada IC yang<br />
dituangkan dalam surat perjanjian kerja sama<br />
pada tanggal 1 Februari 2004.<br />
Selain itu, terdapat pula penyalahgunaan<br />
pemanfaatan ruang sisa bangunan yang<br />
dimanfaatkan terdakwa untuk usaha bilyard<br />
sekitar bulan Februari 2005 melalui perjanjian<br />
kerjasama antara terdakwa dengan KMW tanggal<br />
28 Februari 2004. Dalam perjanjian tersebut<br />
terdakwa berhak atas 45% (empat puluh lima<br />
persen) dari laba bersih.<br />
Berdasarkan audit BPK telah terjadi<br />
penyimpangan dana dalam pelaksanaan kegiatan<br />
relokasi dan pengelolaan PKL di tujuh titik di<br />
gedung eks Toko Ria di Jalan OI dan Jalan BS<br />
Bandung. BPK menyatakan, bahwa Pemerintah<br />
Kota Bandung menderita kerugian sebesar<br />
Rp.2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus juta<br />
rupiah), sebagaimana dimaksud dalam Laporan<br />
Hasil Perbantuan Perhitungan Kerugian Keuangan<br />
Negara atau Daerah dalam kasus dugaan Tindak<br />
Pidana Korupsi dalam Penyalahgunaan Dana<br />
Stimulan Untuk Relokasi 1930 PKL di Kota<br />
Bandung tahun anggaran 2004 No. S-1888/<br />
PW10/5/2009 tanggal 18 Maret 2009 yang<br />
dibuat dan ditandatangani oleh Tim Penghitung<br />
Kerugian Negara.<br />
C. Dasar Hukum Putusan Hakim<br />
Dasar hukum yang digunakan oleh hakim<br />
adalah Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) UU<br />
No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001<br />
tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999<br />
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi<br />
jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang masingmasing<br />
berbunyi sebagai berikut:<br />
1. Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999:<br />
“Setiap orang yang secara melawan hukum<br />
melakukan perbuatan memperkaya diri<br />
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi<br />
yang dapat merugikan keuangan negara<br />
atau perekonomian negara, dipenjara<br />
seumur hidup atau pidana penjara paling<br />
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20<br />
(dua puluh tahun) dan denda paling sedikit<br />
Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)<br />
dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00<br />
(satu milyar rupiah)”.<br />
194 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 189 - 223<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 194 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:30 PM
2. Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999:<br />
”Setiap orang yang dengan tujuan<br />
mementingkan diri sendiri atau orang lain<br />
atau suatu korporasi, menyalahgunakan<br />
kewenangan, kesempatan atau sarana yang<br />
ada padanya karena jabatan atau kedudukan<br />
yang dapat merugikan keuangan negara<br />
atau perekonomian negara, dipidana dengan<br />
pidana penjara seumur hidup atau pidana<br />
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan<br />
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau<br />
denda paling sedikit Rp.50.000.000,00.<br />
(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak<br />
Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.<br />
3. Pasal 18 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999:<br />
Selain pidana tambahan sebagaimana<br />
dimaksud dalam Kitab Undang-undang<br />
Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan<br />
adalah:<br />
a. Perampasan barang bergerak yang<br />
berwujud atau yang tidak berwujud<br />
atau atau barang yang tidak bergerak<br />
yang digunakan untuk atau yang<br />
diperoleh dari tindak pidana korupsi,<br />
termasuk perusahaan milik terpidana<br />
di mana tindak pidana korupsi<br />
dilakukan, begitu pula harga dari<br />
barang yang menggantikan barangbarang<br />
tersebut.<br />
b. Pembayaran uang pengganti yang<br />
jumlahnya sebanyak-banyaknya sama<br />
dengan harta benda yang diperoleh<br />
dari tindak pidana korupsi.<br />
c. Penutupan seluruh atau sebagian<br />
perusahaan untuk waktu paling lama<br />
1 (satu) tahun.<br />
d. Pencabutan seluruh atau sebagian hakhak<br />
tertentu atau penghapusan seluruh<br />
atau sebagian keuntungan tertentu,<br />
yang telah atau dapat diberikan<br />
oleh Pemerintah kepada terpidana.<br />
(Dalam putusan hakim tidak<br />
ditegaskan, ketentuan yang mana<br />
yang dimaksud dalam pasal ini,<br />
apakah ketentuan yang ada dalam<br />
huruf a, b, c, atau d atau keseluruhan<br />
dari Pasal 1 ayat (1) ini).<br />
4. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP:<br />
”Dipidana sebagai pembuat (dader) sesuatu<br />
perbuatan pidana:<br />
Ke-1 mereka yang melakukan, yang<br />
menyuruh melakukan dan yang turut serta<br />
melakukan perbuatan sengaja memberi<br />
bantuan pada waktu kejahatan dilakukan.<br />
Dalam perkara ini dakwaan JPU disusun<br />
dalam bentuk Surat Dakwaan subsidiaritas yang<br />
pada intinya sebagai berikut:<br />
Primer<br />
Bahwa perbuatan terdakwa mengakibatkan<br />
negara/daerah mengalami kerugian sebesar<br />
Rp.2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus juta<br />
rupiah), sebagaimana dimaksud dalam Laporan<br />
Hasil Perbantuan Perhitungan Kerugian Keuangan<br />
Negara Atau Daerah dalam kasus dugaan Tindak<br />
Pidana Korupsi dalam Penyalahgunaan Dana<br />
Stimulan Untuk Relokasi 1930 PKL di Kota<br />
Bandung tahun anggaran 2004 No. S-1888/<br />
PW10/5/2009 tanggal 18 Maret 2009 yang<br />
dibuat dan ditandatangani oleh Tim Penghitung<br />
Kerugian Negara.<br />
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur<br />
dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) jo<br />
Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 195<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 195 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:30 PM
Pasal 18 ayat (1) UU RI No. 31 Tahun 1999<br />
sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU<br />
RI No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan<br />
Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1<br />
KUHP.<br />
Subsider<br />
Bahwa perbuatan terdakwa mengakibatkan<br />
negara/Daerah mengalami kerugian sebesar<br />
Rp.2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus juta<br />
rupiah), sebagaimana dimaksud dalam Laporan<br />
Hasil Perbantuan Perhitungan Kerugian Keuangan<br />
Negara Atau Daerah dalam kasus dugaan Tindak<br />
Pidana Korupsi dalam Penyalahgunaan Dana<br />
Stimulan Untuk Relokasi 1930 PKL di Kota<br />
Bandung tahun anggaran 2004 No. S-1888/<br />
PW10/5/2009 tanggal 18 Maret 2009 yang<br />
dibuat dan ditandatangani oleh Tim Penghitung<br />
Kerugian Negara.<br />
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan<br />
diancam pidana dalam Pasal 3 jo Pasal 18 ayat (1)<br />
UU RI No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah<br />
dan ditambah dengan UU RI No. 20 Tahun 2001<br />
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo<br />
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.<br />
Berdasarkan surat dakwaan tersebut di atas,<br />
Tim Penasihat Hukum terdakwa telah mengajukan<br />
nota keberatan atau eksepsi tertanggal 5 Oktober<br />
2009. Atas keberatan atau eksepsi tersebut di atas,<br />
Penuntut Umum telah mengajukan tanggapannya<br />
tertanggal 19 Oktober 2009.<br />
Majelis Hakim atas eksepsi Tim Penasihat<br />
Hukum terdakwa telah menjatuhkan putusan sela<br />
terhadap perkara No. 1247/Pid/B/2009/PN.Bdg.<br />
tertanggal 19 Oktober 2009 yang amarnya<br />
berbunyi sebagai berikut:<br />
1. Menolak keberatan/eksepsi Tim Penasihat<br />
Hukum terdakwa IS untuk seluruhnya;<br />
2. Menyatakan Surat Dakwaan JPU No. Reg.<br />
PDS: 02/Bdg/07/2009 tanggal 9 September<br />
2009 sah menurut hukum;<br />
3. Memerintahkan pemeriksaan perkara<br />
pidana No. 1247/Pid/B/2009/PN.Bdg. atas<br />
nama trdakwa IS untuk dilanjutkan;<br />
4. Menangguhkan<br />
putusan akhir.<br />
biaya perkara hingga<br />
Sedangkan Nota Pembelaan yang diajukan<br />
oleh Terdakwa dan Tim Penasihat Hukum<br />
Terdakwa adalah:<br />
1. Nota Pembelaan Terdakwa tertanggal 22<br />
Januari 2010:<br />
”Menyampaikan permohonan maaf kepada<br />
keluarga, istri dan anak-anaknya serta<br />
organisasi Masyarakat APPKL serta HP2B<br />
karena terdakwa tidak bisa menjalankan<br />
kewajibannya karena ditahan di Rutan<br />
Kebon Waru Bandung.<br />
2. Nota Pembelaan Tim Penasehat Hukum<br />
Terdakwa tertanggal 22 Januari 2010 pada<br />
pokoknya memohon kepada majelis hakim<br />
menjatuhkan putusan sebagai berikut:<br />
a. Menyatakan terdakwa IS tidak<br />
terbukti secara sah dan meyakinkan<br />
melakukan perbuatan pidana<br />
sebagaimana dimaksud di dalam<br />
dakwaan primer dan subsidair.<br />
b. Membebaskan terdakwa IS dari<br />
segala dakwaan sesuai Pasal 191 ayat<br />
(1) KUHAP atau setidak-tidaknya<br />
melepaskan dari segala tuntutan<br />
hukum sesuai dengan Pasal 191 ayat<br />
(2) KUHAP.<br />
196 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 189 - 223<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 196 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:30 PM
c. Memulihkan segala hak terdakwa IS<br />
dalam kemampuan dan kedudukan,<br />
nama baik serta harkat dan martabat.<br />
d. Membebaskan biaya perkara pada<br />
negara.<br />
D. Pertimbangan Hukum dan Amar<br />
Putusan<br />
Garis-garis besar pertimbangan hukum<br />
yang digunakan oleh hakim untuk mendukung<br />
amar putusannya adalah sebagai berikut:<br />
1. Pertimbangan Hukum<br />
Menimbang, bahwa oleh karena dakwaan<br />
yang diajukan oleh Penuntut Umum<br />
bersifat subsidiaritas, maka terlebih dahulu<br />
majelis akan mempertimbangkan Dakwaan<br />
Primair sebagaimana yang diatur dalam<br />
Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) UU RI<br />
No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah<br />
dan ditambah dengan UU RI No. 20 Tahun<br />
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana<br />
Korupsi yang mengandung unsur-unsur<br />
sebagai berikut:<br />
Unsur setiap orang;<br />
a. Unsur melawan hukum, melakukan<br />
perbuatan memperkaya diri sendiri<br />
atau orang lain atau korporasi,<br />
merugikan keuangan negara atau<br />
perekonomian negara;<br />
b. Unsur dengan turut serta/bersamasama.<br />
Dalam putusan hakim telah<br />
dipertimbangkan pembuktian unsurunsur<br />
tindak pidana di atas, dan<br />
pada akhirnya berkesimpulan pada<br />
pertimbangan berikut ini:<br />
a. Menimbang, bahwa berdasarkan<br />
p e r t i m b a n g a n - p e r t i m b a n g a n<br />
tersebut di atas majelis berpendapat<br />
bahwa perbuatan yang dilakukan<br />
oleh Terdakwa IS, sebagaimana<br />
didakwakan dalam dakwaan primair,<br />
telah terbukti akan tetapi perbuatan<br />
tersebut bukan merupakan tindak<br />
pidana melainkan termasuk ruang<br />
lingkup hukum perdata;<br />
b. Menimbang, bahwa oleh karena<br />
dakwaan primer tersebut bukan<br />
merupakan tindak pidana maka<br />
terdakwa harus dilepaskan dari segala<br />
tuntutan hukum. Dengan demikian,<br />
dakwaan subsider tidak relevan lagi<br />
untuk dipertimbangkan.<br />
c. Menimbang, bahwa oleh karena<br />
Terdakwa dilepaskan dari segala<br />
tuntutan hukum, maka nama baik<br />
terdakwa harus diberikan rehabilitasi<br />
dengan memulihkan hak Terdakwa<br />
dalam kemampuan, kedudukan dan<br />
harkat serta martabatnya;<br />
d. Menimbang, bahwa dalam<br />
musyawarah Majelis Hakim terjadi<br />
perbedaaan pendapat (dissenting<br />
opinion) yang diajukan oleh salah satu<br />
hakim yakni Hj. Nur Aslam Bustaman,<br />
S.H, M.H., yang pada pokoknya<br />
menyatakan bahwa terdakwa terbukti<br />
secara sah dan meyakinkan menurut<br />
hukum atas perbuatannya yang<br />
dikualifikasikan memenuhi unsurunsur<br />
tindak pidana korupsi serta<br />
patut dijatuhi pidana yang setimpal<br />
Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 197<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 197 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:30 PM
demi mempertanggungjawabkan<br />
perbuatannya.<br />
e. Menimbang, bahwa walaupun terjadi<br />
perbedaaan pendapat (dissenting<br />
opinion) dalam musyawarah majelis<br />
hakim, pada akhirnya melalui<br />
musyawarah dan mufakat majelis<br />
hakim menyetujui amar putusan<br />
sebagaimana tersebut di bawah ini.<br />
2. Amar Putusan:<br />
II.<br />
a. Menyatakan terdakwa IS terbukti<br />
secara sah dan meyakinkan<br />
melakukan perbuatan sebagaimana<br />
dimaksud di dalam dakwaan primer<br />
dan subsider akan tetapi bukan<br />
merupakan perbuatan pidana.<br />
b. Menyatakan terdakwa IS dilepaskan<br />
dari segala tuntutan hukum.<br />
c. Menyatakan memulihkan terdakwa<br />
dalam kemampuan dan kedudukan,<br />
nama baik serta harkat dan martabat.<br />
d. Memerintahkan agar terdakwa segera<br />
dikeluarkan dari Rumah Tahanan<br />
Negara.<br />
e. Menetapkan barang bukti berupa<br />
“barang-barang bukti yang tercantum<br />
dalam tuntutan pidana dari Penuntut<br />
Umum” (barang bukti 1 s/d 85<br />
terlampir dalam putusan hakim)<br />
dipergunakan dalam perkara lain.<br />
f. Membebankan biaya perkara kepada<br />
negara.<br />
RUMUSAN MASALAH<br />
Berdasarkan amar putusan hakim di<br />
atas, yang pada pokoknya menyatakan, bahwa<br />
terdakwa IS terbukti secara sah dan meyakinkan<br />
melakukan perbuatan pidana sebagaimana<br />
dimaksud di dalam dakwaan primer dan subsidair<br />
akan tetapi bukan merupakan perbuatan pidana,<br />
sehingga terdakwa IS dilepaskan dari segala<br />
tuntutan hukum, maka pokok permasalannya<br />
dapat dirumuskan sebagai berikut:<br />
Apakah terdakwa dalam melakukan<br />
perbuatannya terdapat unsur ”melawan<br />
hukum” dalam memperkaya diri sendiri<br />
atau orang lain atau suatu korporasi,<br />
sehingga merugikan keuangan negara atau<br />
perekonomian negara?<br />
STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS<br />
198 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 189 - 223<br />
III.<br />
A. Studi Pustaka<br />
Bersesuaian dengan pokok permasalahan<br />
yang diteliti dalam tulisan ini, maka studi pustaka<br />
yang dielaborasi adalah hukum pidana materiil.<br />
Hukum inilah yang diaplikasikan sebagai<br />
landasan normatif oleh Majelis Hakim untuk<br />
mengadili perkara tindak pidana korupsi yang<br />
dilakukan oleh terdakwa. Hukum pidana materiil<br />
oleh Sudarto dimaknawikan sebagai berikut:<br />
“Hukum pidana memuat dua hal, ialah<br />
syarat-syarat untuk memungkinkan penjatuhan<br />
pidana dan pidana. Apabila hal yang pertama<br />
itu diperinci lebih lanjut, maka dapat dikatakan<br />
bahwa dalam hukum pidana ada tiga pokok<br />
persoalan:<br />
1. tentang perbuatan yang dilarang,<br />
2. tentang orang yang melanggar<br />
3.<br />
larangan itu,<br />
tentang pidana yang diancamkan<br />
kepada si pelanggar itu”.<br />
(Sudarto, 1981: 158).<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 198 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:30 PM
Ekstensi hukum pidana materiil yang<br />
dikemukakan Sudarto tersebut yang dikaji hanya<br />
menyangkut ketiga hal yang telah disebutkan di<br />
atas tadi. Ekstensi dari hukum pidana demikian<br />
itu, sesuai dengan pendapat Barda Nawawi Arief,<br />
sebagai berikut:<br />
“Dilihat dari sudut dogmatis-normatif,<br />
memang materi/substansi atau masalah pokok<br />
dari hukum pidana (maksudnya hukum pidana<br />
materiil) terletak pada masalah mengenai:<br />
1. Perbuatan<br />
dipidana;<br />
apa yang sepatutnya<br />
2. Syarat apa yang seharusnya dipenuhi<br />
untuk mempersalahkan atau<br />
3.<br />
mempertanggungjawabkan seseorang<br />
yang melakukan perbuatan itu;<br />
Sanksi (pidana) apa yang sepatutnya<br />
dikenakan kepada orang itu.<br />
Ketiga materi/masalah pokok<br />
itu biasa disebut dengan istilah:<br />
1. masalah ”tindak pidana”; 2.<br />
masalah ”kesalahan”; dan 3. masalah<br />
”pidana”.<br />
(Barda Nawawi Arief, 1998: 16).<br />
Sehubungan dengan masalah-masalah<br />
(unsur-unsur) pokok yang bersifat substansial<br />
dari hukum pidana materiil (ius poenale)<br />
sebagaimana dikemukakan di atas, khususnya<br />
yang perlu diferifikasi adalah: ’apakah di dalam<br />
Putusan Pengadilan Negeri Bandung Kelas<br />
IA No. 1247/Pid/B/2009/PN.Bdg. unsur yang<br />
menyangkut tentang: perbuatan yang dilarang<br />
(tindak pidana) yang berkaitan erat dengan sifat<br />
melawan hukum (SMH), sudah diaplikasikan<br />
dengan benar menurut sistem hukum pidana<br />
Indonesia, mengingat di dalam putusan tersebut<br />
perbuatan terdakwa dinyatakan terbukti, tetapi<br />
bukan merupakan perbuatan pidana, sehingga<br />
terdakwa diputus lepas.<br />
Secara teoritikal, ketiga permasalahan<br />
pokok dari Hukum Pidana Materiil dimaksud<br />
dapat dibuatkan rumusnya sebagai berikut: Pidana<br />
(P) = tindak pidana (TP) + pertanggungjawaban<br />
pidana. Terkait dengan TP, ”suatu perbuatan baru<br />
dapat dikatakan sebagai TP jika perbuatan tersebut<br />
berrsifat melawan hukum, dan suatu perbuatan<br />
tidak lagi merupakan TP jika terdapat alasan<br />
pembenar”. Terkait dengan PJP, ”seseorang baru<br />
dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas<br />
perbuatannya jika dalam diri orang itu terdapat<br />
kesalahan, dan seseorang tidak lagi dapat dimintai<br />
pertanggungjawaban pidana jika terdapat alasan<br />
pemaaf”. Dengan demikian, TP terkait dengan<br />
SMH dan alasan pembenar. Sedangkan PJP<br />
terkait dengan kesalahan dan alasan pemaaf (fait<br />
d’ excuse).<br />
Kedua alasan tersebut dapat dijadikan<br />
dasar atau alasan untuk menghapuskan atau<br />
meniadakan pidana, yang dikenal dengan<br />
istilah strafuitslutingsgronden. Oleh karena itu<br />
dikatakan, bahwa:<br />
“… alasan pembenar dan alasan pemaaf<br />
cocok dengan pemisahan antara sifat<br />
melawan hukum dan kesalahan sebagai<br />
unsur yang dianggap harus ada dalam tiaptiap<br />
perbuatan pidana. Apabila dalam suatu<br />
keadaan tertentu satu unsurnya hilang,<br />
maka sifat dapat dipidananya perbuatan<br />
itu juga hilang. Penghapusan pidana<br />
adalah akibat penghapusan sifat melawan<br />
hukum dan/atau penghapusan kesalahan”.<br />
(Schaffmeister et.al., 2007: 143).<br />
Alasan pembenar yang merupakan alasan<br />
penghapus perbuatan yang ber-SMH, dan<br />
alasan pemaaf sebagai penghapus K. Di dalam<br />
Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 199<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 199 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:31 PM
aplikasinya, meminjam istilah Roeslan Saleh,<br />
dalam bukunya Dua Pengertian Dasar Dalam<br />
Hukum Pidana, pembuktiannya harus dilakukan<br />
sendiri-sendiri. Istilah Moeljatno dalam bukunya<br />
”Azas-azas Hukum Pidana” tidak boleh<br />
”dicampuradukan”.<br />
Moeljatno mengatakan:<br />
“... yang penting dalam hukum pidana bukan<br />
saja hal memidana si terdakwa, akan tetapi<br />
sebelum sampai kepada itu terlebih dahulu<br />
harus ditetapkan, apakah terdakwa benar<br />
melakukan perbuatan pidana atau tidak.<br />
Dan aspek atau segi dari hukum pidana<br />
itu, yaitu menentukan apakah perbuatan<br />
seseorang merupakan perbuatan pidana atau<br />
bukan, dan kemudian menentukan apakah<br />
orang yang melakukan perbuatan itu dapat<br />
dipertanggungjawabkan (dipersalahkan)<br />
karena perbuatan tersebut atau tidak, hal ini<br />
jangan dicampuradukkan; sebab masingmasing<br />
ini sifatnya berlainan. Adanya<br />
perbuatan pidana didasarkan atas asas:<br />
Tidak ada perbuatan pidana jika sebelumnya<br />
tidak dinyatakan sebagai demikian oleh<br />
suatu ketentuan UU; dalam bahasa Latin:<br />
Nullum delictum, nula poena sine praevia<br />
lege. Sedangkan pertanggungjawaban<br />
dalam hukum pidana berdasarkan atas asas:<br />
Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.<br />
Yang pertama untuk sebagian besar adanya<br />
dalam alam lahir (alam Sein) sedangkan<br />
yang kedua sesudah ada perbuatan pidana,<br />
adanya dalam batin, alam Sollen” (Kursif,<br />
Pen.).<br />
(Moeljatno, 1983: 9-10)<br />
Pada bagian lain lebih ditegaskan:<br />
“... untuk pertanggungjawaban pidana tidak<br />
cukup dengan dilakukannya perbuatan<br />
pidana saja, akan tetapi di samping itu<br />
harus ada kesalahan, atau sikap batin yang<br />
dapat dicela, ternyata pula dalam asas<br />
hukum yang tidak tertulis: “Tidak dipidana<br />
jika tidak ada kesalahan” (Geen straf<br />
zonder schuld, ohne schuld keine strafe)”.<br />
(Moeljatno, 1983: 57).<br />
Sudarto juga, mengatakan:<br />
“Dipidananya seseorang tidaklah cukup<br />
apabila orang itu telah melakukan perbuatan<br />
yang bertentangan dengan hukum atau<br />
bersifat melawan hukum. Jadi meskipun<br />
perbuatan tersebut memenuhi rumusan<br />
delik dalam UU dan tidak dibenarkan (an<br />
objective breach of a penal provision),<br />
namun hal tersebut belum memenuhi syarat<br />
untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan<br />
masih perlu adanya syarat, bahwa orang<br />
yang melakukan perbuatan itu mempunyai<br />
kesalahan atau bersalah (subjective guilt).<br />
Dengan perkataan lain, orang tersebut<br />
harus dapat dipertanggungjawabkan<br />
atas perbuatannya, atau jika dilihat dari<br />
sudut perbuatannya, perbuatannya baru<br />
dapat dipertanggungjawabkan kepada<br />
orang tersebut”. (Kursif, Pen.). (Sudarto,<br />
1987/1988: 85).<br />
Hal selanjutnya yang perlu dideskripsikan<br />
secara teoritikal terkait dengan pokok<br />
permasalahan yang pertama dari penelitian ini<br />
adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum<br />
(SMH).<br />
Di dalam kepustakaan hukum pidana,<br />
SMH merupakan salah satu pengertian dasar<br />
yang harus dicermati baik oleh para akademisi<br />
maupun oleh para praktisi hukum, terutama dan<br />
yang utama oleh pembentuk UU. Pembentuk UU<br />
harus benar-benar mengerti makna dan hakikat<br />
dari melawan hukum, mengingat perbuatan<br />
200 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 189 - 223<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 200 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:31 PM
yang nantinya diformulasikan sebagai perbuatan<br />
melawan hukum (PMH) akan ditetapkan sebagai<br />
suatu TP, karena, wujud dari TP sesungguhnya<br />
adalah PMH.<br />
Oleh karena itu, sangat perlu dipahami dan<br />
disadari, ‘bagaimana mewujudkan suatu perbuatan<br />
yang dikualifikasikan sebagai PMH’? Apakah<br />
perbuatan dimaksud harus bersifat anti sosial<br />
karena dianggap bertentangan dengan normanorma<br />
sosial, dan akan dipandang merugikan<br />
masyarakat (negara), atau karena perbuatan itu<br />
dirasakan dan dinilai tidak adil, bersifat amoral,<br />
dan adharma karena bertentangan dengan ajaranajaran<br />
agama, sehingga siapapun melakukan<br />
perbuatan-perbuatan demikian akan mendapat<br />
celaan dari masyarakat. Jadi intinya, suatu<br />
perbuatan adalah SMH jika perbuatan tersebut<br />
haruslah tercela.<br />
Pembicaraan di atas, sesungguhnya sudah<br />
memasuki ranah disiplin ilmu di luar hukum<br />
pidana, yakni kriminologi. Ilmu inilah yang<br />
sangat “concern” mengkaji masalah perbuatanperbuatan<br />
yang mempunyai sifat “negatif” seperti<br />
dikatakan di atas, yang pada hakikatnya tidak<br />
pantas dilakukan, karena secara kriminologis<br />
perbuatan-perbuatan seperti itu sesungguhnya<br />
merupakan suatu kejahatan. Sedangkan hukum<br />
pidana, secara yuridikal tugasnya hanyalah<br />
sekadar memberi “bingkai” hukum terhadap<br />
perbuatan-perbuatan demikian, sehingga disebut<br />
TP dan mengancamnya dengan sanksi berupa<br />
pidana tertentu bagi “barangsiapa” atau “setiap<br />
orang” yang melakukan perbuatan tersebut.<br />
Apakah sesungguhnya dimaksud dengan<br />
“melawan hukum” “wederrechtelijk”? Di dalam<br />
kepustakaan hukum pidana, istilah ini oleh para<br />
ahli hukum pidana telah diberi arti berbeda-beda,<br />
sehingga van Hamel telah membuat dua macam<br />
kelompok pendapat. Kelompok pertama adalah<br />
paham positif, seperti pendapat Simon yang<br />
mengartikan “wederrechtelijk” sebagai ”in strijd<br />
met het recht” (bertentangan dengan hukum).<br />
Noyon mengatakan sebagai “met krenking van<br />
eens anders recht” (dengan melanggar hak orang<br />
lain). Kelompok kedua adalah paham negatif,<br />
seperti pendapat Hoge Raad yang mengartikan<br />
“wederrechtelijk” itu sebagai “niet steunend<br />
op het recht” (tidak berdasarkan hukum), atau<br />
sebagai “zonder bevoegheid” (tanpa hak).<br />
Menurut van Hamel:<br />
“Sebenarnya terdapat cukup alasan hanya<br />
memberikan satu pengertian pada perkataan<br />
“wederrechtelijk” yang dapat berlaku<br />
umum dalam KUHP, kecuali pengertian<br />
yang ada di dalam Pasal 522 KUHP, oleh<br />
karena perkataan “wederrechtelijk” dalam<br />
pasal tersebut hanya mempunyai arti<br />
sebagai “zonder geldige reden” (tanpa<br />
alasan yang sah). Jadi, penggunaan kata<br />
“wederrechtelijk” itu sudah tepat dan<br />
mempunyai arti positif, bahkan lebih baik<br />
daripada penggunaan kata “onrechtmatig”,<br />
karena perkataan tersebut hanya cocok<br />
digunakan sebagai “epiTahuneton” atau kata<br />
keterangan bagi tindakan-tindakan yang<br />
dilarang dan diancam dengan hukuman,<br />
di samping ditujukan untuk mengancam<br />
atau menyerang kepentingan-kepentingan<br />
hukum, baik yang bersifat umum maupun<br />
yang bersifat khusus. Oleh karena itu,<br />
penggunaan istilah “wederrechtelijk”<br />
telah mempunyai dasar yang kuat, baik<br />
menurut tata bahasa maupun secara logis.<br />
Selanjutnya, memang benar terhadap<br />
beberapa kejahatan tertentu, tindakan<br />
seseorang itu bersifat ”in strijd met het<br />
recht” (bertentangan dengan hukum)<br />
Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 201<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 201 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:31 PM
yang mempunyai arti yang sama dengan<br />
“met krenking van eens anders recht”<br />
(dengan melanggar hak orang lain), akan<br />
tetapi tidak ada alasan untuk mengartikan<br />
“wederrechtelijk” sedemikian sempit”.<br />
Simon menolak pendapat van Hamel yang<br />
mengatakan “wederrechtelijk” itu mempunyai<br />
arti positif. Sebagai alasan, dikemukakan istilah<br />
“wederrechtelijk” dalam Pasal 378 KUHP yang<br />
bermakna berbeda-beda, dan akan memberikan<br />
hasil yang berbeda-beda pula. Oleh karena itu,<br />
istilah “wederrechtelijk” tidak hanya berarti<br />
“bertentangan dengan hukum’ saja, tetapi juga<br />
“bertentangan dengan hak seseorang”.<br />
Sedangkan Pompe mengatakan:<br />
“Adalah sulit untuk memberikan jawaban atas<br />
pertanyaan apa yang sebenarnya dimaksud<br />
dengan perkataan “wederrechtelijk”, karena<br />
masih terdapat beberapa pertanyaan yang<br />
harus dijawab terlebih dahulu. Misalnya,<br />
kapan “wederrechtelijk” itu diartikan<br />
sebagai “bertentangan dengan peraturanperaturan<br />
hukum”, dan apakah perkataan<br />
“recht” itu sendiri harus diartikan sebagai<br />
“gesgreven recht” (hukum tertulis) saja,<br />
ataukah termasuk juga dalam “ongesgreven<br />
recht”. “Wederrechtelijk” itu berarti<br />
“bertentangan dengan hukum” yang<br />
mempunyai pengertian lebih luas dari<br />
pada sekedar “bertentangan dengan UU”.<br />
Termasuk juga ke dalam pengertiannya,<br />
bukan hanya peraturan-peraturan menurut<br />
UU melainkan juga peraturan-peraturan<br />
yang tidak tertulis”.<br />
Demikian pula menurut van Hattum:<br />
“Ditinjau dari sejarah pembentukan UU<br />
tidak diperoleh petunjuk lain, bahwa<br />
pengetian “wederrechtelijk” itu harus<br />
dibatasi hanya sebagai “in strijd met het<br />
gesgreven recht” atau “bertentangan<br />
dengan hukum yang tertulis” saja. Misalnya<br />
arrest Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919<br />
dalam perkara perdata antara Lindenbaum<br />
dan Cohen, telah merumuskan pengertian<br />
“onrechtmatig” yang diatur dalam Pasal<br />
1365 BW dengan rumusan yang baru sama<br />
sekali, yaitu bahwa “onrecht” itu tidak lagi<br />
hanya berarti “wat in breuik maakt op eens<br />
anders recht of in strijd is met des daders<br />
rechsplicht” (apa yang bertentangan dengan<br />
hak orang lain atau yang bertentangan dengan<br />
kewajiban hukum si pelaku), melainkan<br />
juga “wat indruist betzij tegen de goede<br />
zeden, betzij tegen de zorgvuldigheid, welke<br />
in het maatschappelijk verkeer betaamt<br />
t.a.v. eens anders persoon of goed” (apa<br />
yang bertentangan baik dengan tata susila<br />
maupun dengan kepatutan dalam pergaulan<br />
masyarakat, yakni yang berkenaan dengan<br />
perhatian yang harus diberikan kepada<br />
orang lain ataupun kepada harta benda<br />
orang lain)”.<br />
(Disarikan dari Lamintang, 1984: 333-337)<br />
Sehubungan hal di atas, menurut Munir<br />
Fuady (2002: 6), sejak tahun 1912 di negeri<br />
Belanda, demikian juga di Indonesia, perbuatan<br />
melawan hukum (maksudnya dalam pengertian<br />
hukum perdata, pen.) telah diartikan secara<br />
luas, yakni mencakup salah satu dari perbuatanperbuatan<br />
sebagai berikut:<br />
1. Perbuatan yang bertentangan dengan<br />
hak orang lain.<br />
2. Perbuatan yang bertentangan dengan<br />
kewajiban hukumnya sendiri.<br />
3. Perbuatan yang bertentangan dengan<br />
kesusilaan.<br />
202 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 189 - 223<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 202 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:31 PM
4. Perbuatan yang bertentangan dengan<br />
kehati-hatian atau keharusan dalam<br />
pergaulan masyarakat yang baik.<br />
Jadi secara singkat dapat dikatakan,<br />
pengertian “onrechmatig” itu bukan hanya<br />
meliputi apa saja yang bertentangan dengan<br />
UU, melainkan juga bertentangan dengan<br />
‘kesusilaan’ atau ‘kepatutan yang baik’ (de goede<br />
zeden of betamelijkheid). Ini berarti pengertian<br />
“wederrechtelijk”, menurut Pompe dan van<br />
Hattum harus pula meliputi pengertian terakhir<br />
ini. Ini berarti pula, dalam perkembangan<br />
pengertian “melawan hukum” sudah menyatu<br />
antara pengertian “melawan hukum” dalam arti<br />
“wederrechtelijk” dalam hukum pidana, maupun<br />
dalam arti “onrechmatig” dalam hukum perdata.<br />
Namun hal ini tidak menjadi persoalan, karena<br />
sesungguhnya kedua istilah tersebut walaupun<br />
memiliki nama berbeda, akan tetapi memiliki<br />
satu makna. Heijder mengatakan kedua istilah itu<br />
tidak menyebabkan perbedaan arti, baik menurut<br />
sejarah perundang-undangan maupun secara<br />
sistematis (Sapardjaja, 2002: 90).<br />
Menurut van Bemmelen, (disitasi dari<br />
Lamintang, 1984: 337), mengatakan:<br />
“rumusan Hoge Raad mengenai<br />
“onrechmatigheid” bukan hanya penting<br />
untuk hukum perdata saja, melainkan<br />
juga untuk hukum pidana, yakni untuk<br />
menentukan pengertian perkataan<br />
“wederrechtelik”. Dikatakan juga<br />
(Sapardjaja, 2002: 33) “Tidak ada bedanya<br />
arti melawan hukum perdata, seperti<br />
termuat dalam Pasal 1401 BW (1365 KUH<br />
Perdata). Perkembangan dalam bidang<br />
hukum perdata sangat besar pengaruhnya<br />
bagi hukum pidana”.<br />
Ditinjau dari sejarah pembentukan BW.<br />
Pada tahun 1824 pada mulanya memang<br />
digunakan istilah “wederrechtelijk” dalam redaksi<br />
Pasal 1401, namun karena di negeri Belanda<br />
terus terjadi perdebatan yang berkepanjangan<br />
mengenai pengertian “wederrechtelijk” dan pada<br />
saat dibahasnya perumusan pasal tadi perbedaan<br />
pendapat belum juga berakhir, maka akhirnya<br />
digunakanlah istilah “onrechmatig”.<br />
Berdasarkan beberapa pendapat di atas,<br />
dapat kiranya diidentifikasi, bahwa pengertian<br />
perbuatan melawan hukum (wederrechtelijk)<br />
berkisar pada pengertian:<br />
1. Bertentangan dengan UU (instrijd<br />
met de wet).<br />
2. Tidak berdasarkan hak (niet steunend<br />
op het recht).<br />
3. Tanpa hak (zonder bevoegheid).<br />
4. Tanpa alasan yang sah (zonder<br />
geldige reden).<br />
5. Melanggar hak orang lain (met<br />
krenking van eens anders recht).<br />
6. Bertentangan dengan hukum (instrijd<br />
met het recht).<br />
7. Bertentangan dengan hukum/<br />
peraturan-peraturan tidak tertulis<br />
(ongesgreven recht) dalam hal ini<br />
bertentangan dengan:<br />
1. kesusilaan atau<br />
2. kepatutan yang baik (de goede<br />
zeden of betamelijkheid).<br />
Di dalam Konsep KUHP “Baru” (R-KUHP<br />
2005) secara eksplisit tidak memberikan<br />
pengertian terhadap istilah “melawan hukum”.<br />
Namun demikian, untuk menyatakan suatu<br />
Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 203<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 203 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:31 PM
perbuatan TP, selain dikatakan perbuatan tersebut<br />
dilarang dan diancam oleh peraturan perundangundangan,<br />
harus juga bersifat melawan hukum<br />
atau bertentangan dengan kesadaran hukum<br />
masyarakat (vide Pasal 11 ayat (2) R-KUHP<br />
2007). Jadi, untuk menyatakan suatu perbuatan<br />
adalah TP digunakan istilah “melawan hukum”<br />
atau istilah “bertentangan dengan kesadaran<br />
hukum masyarakat”. Sedangkan yang dimaksud<br />
dengan perbuatan yang “bertentangan dengan<br />
hukum” adalah “perbuatan yang dinilai oleh<br />
masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut<br />
dilakukan”. Perlu diketahui, digunakannya<br />
istilah “bertentangan dengan hukum” oleh<br />
Tim penyusun rancangan KUHP, adalah selain<br />
mengikuti pendapat dari Moeljatno, dan Sudarto,<br />
juga dari Roeslan Saleh yang menyatakan: “saya<br />
lebih condong pada pendapat bahwa bersifat<br />
melawan hukum harus diartikan bertentangan<br />
dengan hukum”.<br />
Secara etimologikal SMH di samping<br />
maknanya “bertentangan dengan hukum”, juga<br />
merupakan unsur mutlak (esensial) dari TP<br />
yang berarti “tanpa adanya SMH dari sesuatu<br />
perbuatan, maka tidak ada pula TP (perbuatan<br />
pidana).<br />
Roeslan Saleh mengatakan:<br />
“Perbuatan pidana itu tidak boleh dilakukan,<br />
karena bertentangan dengan atau akan<br />
menghambat tercapainya tata pergaulan<br />
di dalam masyarakat yang dicita-citakan.<br />
Penafsiran seperti ini lebih luas daripada<br />
“bertentangan dengan hak subyektif<br />
orang lain” ataupun “tanpa hak sendiri”.<br />
Penafsiran “bersifat melawan hukum”<br />
adalah “bertentangan dengan hukum”,<br />
batas lingkungannya atau wilayahnya<br />
adalah lebih luas daripada penafsiranpenafsiran<br />
yang lain, karena tidak hanya<br />
berpusat pada individu-individu (hak<br />
subyektif orang lain dan hak sendiri<br />
menunjuk kepada individu) melainkan<br />
pada masyarakat yang di dalamnya sudah<br />
tercakup individu-individu. Di samping itu,<br />
pendapat “bersifat melawan hukum” adalah<br />
“bertentangan dengan hukum” ini lebih<br />
sesuai dengan sifat dari hukum kita, yaitu<br />
tidak individualistis-liberalistis, melainkan<br />
lebih bersifat collectivistis”. (Saleh, 1983:<br />
66-67).<br />
Bertitik tolak pada pengertian tersebut,<br />
dapat dikatakan bahwa TP pada hakikatnya adalah<br />
suatu perbuatan yang selalu ber-SMH, sehingga<br />
disebut ‘PMH’. Oleh karena itu, membicarakan<br />
‘PMH’ pada hakikinya membicarakan masalah<br />
TP. Jadi, dicantumkannya unsur melawan hukum<br />
dalam suatu rumusan delik, pada hakikatnya<br />
untuk menyatakan, bahwa perbuatan itu secara<br />
yuridis adalah perbuatan yang dapat dipidana.<br />
Persoalannya: ‘apakah suatu perbuatan<br />
karena hanya telah mencocoki rumusan delik<br />
yang ada di dalam UU, lalu perbuatan itu sudah<br />
dapat dinyatakan sebagai TP’? Sesungguhnya,<br />
suatu perbuatan baru dapat dikatakan sebagai<br />
TP, apabila perbuatan tersebut di samping telah<br />
memenuhi unsur formal juga telah memenuhi<br />
unsur materiil. Dengan perkataan lain perbuatan<br />
dimaksud, pertama: harus telah mecocoki<br />
rumusan delik yang ditetapkan dalam UU, dan<br />
kedua: perbuatan itu oleh masyarakat dinyatakan<br />
sebagai perbuatan tercela.<br />
Jadi, perlu dilakukan kajian lebih lanjut<br />
mengenai: “apakah perbuatan tersebut oleh<br />
masyarakat benar-benar dirasakan sebagai suatu<br />
perbuatan tercela, sehingga tidak patut dan tidak<br />
boleh dilakukan. Jika jawabannya “perbuatan<br />
tersebut adalah tidak tercela”, maka sekalipun<br />
204 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 189 - 223<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 204 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:31 PM
perbuatan itu telah memenuhi rumusan delik yang<br />
ditetapkan dalam UU, perbuatan itu bukanlah<br />
merupakan TP.<br />
Itulah sebabnya Moeljatno mengatakan:<br />
“Syarat mutlak untuk adanya perbuatan<br />
pidana, di samping mencocoki syarat-syarat<br />
formil yaitu perumusan UU, juga harus<br />
mencocoki syarat-syarat materiil yaitu sifat<br />
melawan hukum, bahwa perbuatan tersebut<br />
harus betul-betul dirasakan oleh masyarakat<br />
sebagai perbuatan yang tidak boleh atau<br />
tidak patut dilakukan”. (Moeljatno, 1955:<br />
16).<br />
Ini artinya, suatu perbuatan adalah<br />
perbuatan pidana, apabila perbuatan itu bersifat<br />
melawan hukum atau bertentangan dengan<br />
hukum. Roeslan Saleh (1983: 49) mengatakan:<br />
“Sifat melawan hukum ini adalah unsur<br />
mutlak dari perbuatan pidana, yang berarti<br />
bahwa tanpa adanya sifat melawan hukum<br />
dari suatu perbuatan, maka tidak pula ada<br />
perbuatan pidana”.<br />
Demikian pula Curzon (1979: 10),<br />
mengemukakan:<br />
“No actus reus, no crime. Proof of actus<br />
reus is essential; if Tahunis is imposible,<br />
Tahunen no crime has been commited by<br />
Tahune accused person”.<br />
Berdasarkan penjelasan Moeljatno di atas,<br />
dikatakan lebih lanjut:<br />
“Unsur-unsur “perbuatan pidana”<br />
tidak termasuk di dalamnya unsur<br />
pertanggungjawaban pidana yang terkait<br />
dengan kesalahan, tetapi terdiri dari unsurunsur<br />
lahir yaitu suatu kejadian dalam alam<br />
lahir. Unsur-unsur perbuatan pidana adalah:<br />
1. Kelakuan dan akibat (= perbuatan).<br />
2. Hal ikhwal atau keadaan yang<br />
menyertai perbuatan.<br />
3. Keadaaan tambahan yang<br />
memberatkan pidana.<br />
4. Unsur<br />
obyektif.<br />
melawan hukum yang<br />
5. Unsur melawan hukum yang<br />
subyektif”.<br />
Khusus mengenai unsur melawan hukum,<br />
pada intinya Moeljatno mengatakan:<br />
“Biasanya dengan adanya perbuatan<br />
tertentu sifat pantang dilakukannya<br />
perbuatan itu sudah tampak dengan<br />
wajar. Sifat yang demikian ini, ialah sifat<br />
melawan hukumnya perbuatan, tidak<br />
perlu dirumuskan lagi sebagai elemen<br />
atau unsur tersendiri. Contohnya dalam<br />
merumuskan pemberontakan yang menurut<br />
Pasal 108 antara lain adalah melawan<br />
pemerintah dengan senjata, tidak perlu<br />
diadakan unsur tersendiri yaitu kata-kata<br />
yang menunjukkan bahwa perbuatan<br />
adalah bertentangan dengan hukum. Tanpa<br />
ditambah kata-kata lagi perbuatan tersebut<br />
sudah pantang dilakukan. Pasal 277 ayat (1)<br />
KUHP menentukan, bahwa dengan salah<br />
satu perbuatan sengaja membikin gelap<br />
asal-usul orang diancam dengan pidana<br />
penjara paling lama enam tahun. Sifat<br />
melawan hukumnya perbuatan tersebut<br />
sudah jelas, tidak perlu ditambah apa-apa<br />
lagi. Dalam Pasal 285 tentang perkosaan,<br />
ditentukan bahwa memaksa seseorang<br />
wanita dengan kekerasan untuk bersetubuh<br />
di luar perkawinan, diancam dengan pidana<br />
penjara paling lama dua belas tahun. Dari<br />
rumusan tersebut telah ternyata sifat<br />
Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 205<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 205 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:31 PM
melawan hukumnya perbuatan. Akan tetapi,<br />
ada kalanya kepantangan perbuatan belum<br />
cukup jelas dinyatakan dengan adanya<br />
unsur-unsur di atas. Perlu ditambah dengan<br />
kata-kata tersendiri untuk menyatakan<br />
sifat melawan hukumnya perbuatan. Pasal<br />
167 KUHP melarang untuk memaksa<br />
masuk ke dalam rumah, ruangan atau<br />
pekarangan tertutup yang dipakai orang<br />
lain dengan melawan hukum. Rumusan<br />
memaksa masuk ke dalam rumah yang<br />
dipakai orang lain itu saja dipandang belum<br />
cukup untuk menyatakan kepantangannya<br />
perbuatan. Harus ditambah dengan unsur:<br />
secara melawan hukum. Begitu pula<br />
dalam Pasal 335 KUHP di mana rumusan:<br />
memaksa orang lain supaya melakukan,<br />
tidak melakukan atau membiarkan sesuatu<br />
dengan cara-cara yang tertentu dianggap<br />
belum cukup untuk menyatakan bahwa<br />
perbuatan tersebut tidak boleh dilakukan,<br />
sehingga perlu diadakan elemen melawan<br />
hukum tersendiri yaitu dengan kata-kata<br />
secara melawan hukum, memaksa dan<br />
seterusnya. Demikian juga halnya dalam<br />
Pasal 406 KUHP”.<br />
Lebih lanjut dikatakan:<br />
”Unsur melawan hukum dalam rumusan<br />
delik yang ternyata pada contoh-contoh<br />
di atas, menunjuk kepada keadaan lahir<br />
atau obyektif yang menyertai perbuatan.<br />
Misalnya dalam Pasal 167, bahwa terdakwa<br />
tidak mempunyai wewenang untuk<br />
memaksa masuk, karena bukan pejabat<br />
kepolisian atau kejaksaan. Dalam Pasal 335,<br />
bahwa terdakwa tidak ada wewenang untuk<br />
berbuat begitu, sebab terdakwa tidak utang<br />
kepadanya serta tidak melakukan perbuatan<br />
apa-apa yang mengakibatkan pemaksaan<br />
dilakukan. Dalam Pasal 406, mengenai<br />
menghancurkan atau merusak barang, sifat<br />
melawan hukumnya perbuatan ternyata dari<br />
hal bahwa barang bukan miliknya dan tak<br />
dapat izin dari pemiliknya untuk berbuat<br />
demikian. Di samping itu, ada kalanya<br />
sifat melawan hukumnya perbuatan tidak<br />
terletak pada keadaan obyektif, tetapi pada<br />
keadaan subyektif, yaitu terletak dalam<br />
hati sanubari terdakwa. Misalnya Pasal<br />
362 KUHP dirumuskan sebagai pencurian,<br />
pengambilan barang orang lain, dengan<br />
maksud untuk memiliki barang tersebut<br />
secara melawan hukum. Sifat melawan<br />
hukumnya perbuatan tidak dinyatakan dari<br />
hal-hal lahir, tapi digantungkan pada niat<br />
orang yang mengambil barang tadi. Kalau<br />
niat hatinya baik, misalnya barang diambil<br />
untuk diberikan kepada pemiliknya, maka<br />
perbuatan itu tidak dilarang karena bukan<br />
pencurian. Sebaliknya kalau niat hatinya<br />
itu jelek, yaitu barang akan dimiliki sendiri<br />
dengan tak mengacuhkan pemiliknya<br />
menurut hukum, maka hal itu dilarang dan<br />
masuk rumusan pencurian. Sifat melawan<br />
hukumnya perbuatan tergantung dari<br />
bagaimana sikap batinnya terdakwa. Jadi<br />
merupakan unsur yang subyektif. Dalam<br />
teori unsur melawan hukum demikian<br />
dinamakan “subjektief Onrechtselemen”<br />
yaitu unsur melawan hukum yang<br />
subyektif”.<br />
Sebelum menutup uraiannya tentang unsurunsur<br />
atau elemen-elemen perbuatan pidana,<br />
Moeljatno kembali menekankan lagi dengan<br />
mengatakan sebagai berikut:<br />
“Perlu ditekankan lagi bahwa sekalipun<br />
dalam rumusan delik tidak terdapat unsur<br />
melawan hukum, namun jangan dikira<br />
206 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 189 - 223<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 206 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:31 PM
ahwa perbuatan tersebut lalu tidak bersifat<br />
melawan hukum. Sebagaimana ternyata di<br />
atas, perbuatan itu sudah demikian wajar<br />
sifat melawan hukumnya, sehingga tak<br />
perlu untuk dinyatakan tersendiri”.<br />
Lebih lanjut ditekankan lagi:<br />
“Meskipun perbuatan pidana pada<br />
umumnya adalah keadaan lahir dan terdiri<br />
atas elemen-elemen lahir, namun ada<br />
kalanya dalam perumusan juga diperlukan<br />
elemen batin, yaitu sifat melawan hukum<br />
yang subyektif”. Moeljatno (1983: 62-63)<br />
Mengkaji masalah SMH, perlu pula<br />
dikemukakan, bahan di dalam pustaka hukum<br />
pidana berkembang dua ajaran SMH, yakni ajaran<br />
SMH formal dan ajaran SMH materiil. Kedua<br />
ajaran dimaksud berturut-turut dideskripsikan di<br />
bawah ini.<br />
Ajaran SMH formal pada intinya<br />
mengajarkan, bahwa suatu perbuatan adalah TP<br />
apabila perbuatan tersebut telah memenuhi semua<br />
unsur yang ditetapkan dalam rumusan delik yang<br />
disebutkan dalam UU. Singkatnya, melawan<br />
hukum berarti bertentangan dengan UU. Bila<br />
demikian, maka tidak perlu lagi meyelidiki apakah<br />
perbuatan itu melawan hukum atau tidak. Jika<br />
ada alasan pembenar (rechtsvaardigingsgrond),<br />
maka alasan tersebut harus juga ditetapkan dan<br />
disebutkan secara tegas dalam UU.<br />
Simons, sebagai penganut fanatik ajaran<br />
SMH formal mengatakan:<br />
“Untuk dapat dipidana, suatu perbuatan<br />
harus mencocoki rumusan delik yang<br />
tersebut dalam UU. Jika sudah demikian,<br />
tidak perlu lagi untuk menyelidiki, apakah<br />
itu melawan hukum atau tidak”.<br />
(Disitasi dari Roeslan Saleh, 1983: 54).<br />
Namun permasalahannya adalah, belum<br />
tentu semua perbuatan yang memenuhi semua<br />
rumusan delik yang ada di dalam perumusan<br />
UU itu ber-SMH. Mengenai masalah ini Simons<br />
mengatakan:<br />
“Meskipun betul harus diakui bahwa tidak<br />
selalu perbuatan yang mencocoki rumusan<br />
delik dalam wet adalah bersifat melawan<br />
hukum, akan tetapi perkecualian yang<br />
demikian itu hanya boleh diterima apabila<br />
mempunyai dasar dalam hukum positif<br />
sendiri”.<br />
(Disitasi dari Adji, 1984: 47).<br />
Sehubungan dengan pendapatnya tersebut,<br />
Simons (disitasi dari Lamintang, 1984: 347)<br />
menolak paham materiil dari SMH dikatakan<br />
bahwa:<br />
“Dunia peradilan kita lebih baik<br />
menganut paham “formiele<br />
wederrechtelijkheid” daripada paham<br />
“materiele wederrechtelijkheid” yang<br />
dapat menggoyahkan asas dasar dari<br />
hukum positif kita. Menerima paham<br />
“materiele wederrechtelijkheid” itu akan<br />
menempatkan putusan dari pembentuk<br />
UU yang telah dituangkan di dalam<br />
hukum positif menjadi berada di bawah<br />
“persoonlijke rechtsovertuiging” atau<br />
menjadi berada di bawah keyakinan hukum<br />
yang bersifat pribadi dari hakim, oleh karena<br />
permasalahan mengenai: tujuan bagaimana<br />
yang harus dipandang sebagaimana tujuan<br />
yang semestinya, sarana mana yang harus<br />
digunakan sebagai sarana yang seharusnya<br />
untuk mencapai tujuan tersebut, norma<br />
kebudayaan mana yang harus diperhatikan<br />
dan sampai di mana kebudayaan itu<br />
tersangkut, apakah hal-hal tersebut memang<br />
benar telah dianuti oleh pembentuk UU.<br />
Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 207<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 207 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:31 PM
Semua permasalahan tersebut jawabannya<br />
akan menjadi tergantung pada pandanganpandangan<br />
yang bersifat pribadi dari<br />
hakim, karena pemberian jawaban yang<br />
didasarkan pada peraturan-peraturan yang<br />
tidak tertulis itu akan menggoyahkan sama<br />
sekali asas-asas dasar dari hukum positif”.<br />
Mengenai ajaran SMH formal ini L.C.<br />
Hofman mengatakan:<br />
“Melawan hukum menurut pandangan ini<br />
adalah bertentangan dengan UU. Suatu<br />
perbuatan yang tidak bertentangan dengan<br />
UU, walaupun juga dapat bertentangan<br />
dengan moral atau bertentangan dengan<br />
sesuatu yang menurut pergaulan masyarakat<br />
adalah tidak patut, tidak merupakan<br />
perbuatan melawan hukum”. ( D i s i t a s i<br />
dari Sapardjaja, 2002: 36).<br />
Sehubungan dengan ajaran ini, perlu kiranya<br />
dikemukakan pendapat dari beberapa penulis<br />
Belanda, yakni Schaffmeister, Nico Keizer dan<br />
E. PH. Sutorius, (1995: 40) dikatakan:<br />
“Sifat melawan hukum formal berarti:<br />
telah dipenuhi semua bagian yang tertulis<br />
dari rumusan delik (semua syarat tertulis<br />
untuk dapat dipidana). Namun demikian,<br />
dipenuhinya sifat melawan hukum formal<br />
(dipenuhinya rumusan delik) tidak begitu<br />
saja dapat disimpulkan dari dipenuhinya<br />
bunyi rumusan delik. Kerapkali diperlukan<br />
penafsiran terhadap bagian-bagian dari<br />
rumusan delik itu dengan mengingat norma<br />
sosial atau kepentingan hukum yang hendak<br />
dilindungi oleh pembuat UU dengan rumusan<br />
delik itu. Dengan demikian, penafsiran<br />
sifat melawan hukum formal mendekati<br />
sifat melawan hukum materiil. Pada delik<br />
materiil, pengertian sifat melawan hukum<br />
formal dan materiil menyatu”.<br />
Menurut Barda Nawawi Arief (2005: 27),<br />
jika yang dilihat/dinilai adalah sumber hukumnya,<br />
SMH Formal adalah:<br />
“Identik dengan melawan/bertentangan<br />
dengan UU atau kepentingan hukum<br />
(perbuatan maupun akibat) yang disebut<br />
dalam UU (hukum tertulis atau sumber<br />
hukum formal). Jadi “hukum” diartikan<br />
sama dengan UU (“wet”). Oleh karena itu,<br />
SMH Formal identik dengan “onwetmatige<br />
daad”.<br />
Sumber hukum atau dasar hukum yang<br />
digunakan untuk menetapkan dasar patut<br />
dipidananya suatu perbuatan, adalah UU (sumber<br />
hukum tertulis). Ini berarti, ajaran SMH formal<br />
sangat terikat dan berorientasi pada asas legalitas<br />
(Pasal 1 ayat (1) KUHP) yang bertolak dari paham<br />
“legisme” dan nilai dasar “kepastian hukum”.<br />
Dengan demikian, secara formal suatu perbuatan<br />
adalah melawan hukum, bila perbuatan si pelaku<br />
telah memenuhi atau mencocoki rumusan delik<br />
seperti yang ditetapkan di dalam UU. Oleh karena<br />
itu hilangnya SMH dari suatu perbuatan baru ada,<br />
jika ditentukan demikian di dalam UU.<br />
Sedangkan ajaran SMH materiil pada intinya<br />
mengajarkan, bahwa perbuatan ber-SMH bukan<br />
saja bertentangan dengan UU, tetapi juga harus<br />
bertentangan dengan asas-asas hukum umum<br />
dari hukum yang tidak tertulis. Jadi, ukurannya<br />
bukan didasarkan atas ada atau tidak adanya<br />
ketentuan dalam suatu perundang-undangan,<br />
akan tetapi ditinjau dari nilai yang hidup di dalam<br />
masyarakat. Apabila masyarakat menganggap<br />
perbuatan tersebut sebagai perbuatan tercela,<br />
maka perbuatan tersebut dianggap sebagai PMH.<br />
Moeljatno (1955: 18) dengan mensitasi pendapat<br />
Vost, sebagai penganut pandangan materiil,<br />
memformulasi: “perbuatan yang bersifat melawan<br />
hukum adalah perbuatan yang oleh masyarakat<br />
208 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 189 - 223<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 208 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:31 PM
tidak boleh dilakukan”. Lebih lanjut dikatakan:<br />
“… ajaran yang materiil berpendapat,<br />
bahwa belum tentu suatu perbuatan yang<br />
telah mencocoki rumusan delik itu adalah<br />
bersifat melawan hukum, sebab perbuatan<br />
itu selain mencocoki perumusan delik juga<br />
perbuatan harus betul-betul dirasakan oleh<br />
masyarakat sebagai perbuatan yang tak<br />
boleh atau tak patut dilakukan”.<br />
Sedangkan, Komariah Emong Sapardjaja,<br />
(2002: 25) berpendapat:<br />
“Di samping memenuhi syarat-syarat<br />
formal, yaitu mencocoki semua unsur yang<br />
tercantum dalam rumusan delik, perbuatan<br />
itu harus benar-benar dirasakan oleh<br />
masyarakat sebagai perbuatan yang tidak<br />
patut atau tercela. Karena itu pula ajaran<br />
ini mengakui alasan-alasan pembenar di<br />
luar UU. Dengan perkataan lain, alasan<br />
pembenar dapat berada pada hukum yang<br />
tidak tertulis”.<br />
Sehubungan dengan hal di atas, ternyata<br />
dalam kepustakaan hukum pidana terdapat<br />
pula perbedaan pendapat dalam memahami<br />
konsepsi SMH materiil. Barangkali hal ini tidak<br />
dapat dilepaskan dari pengertian atau pendapat<br />
atau pemahaman atau pemikiran seseorang,<br />
mengenai apa yang dimaksud dengan SMH<br />
materiil itu. Menurut Barda Nawawi Arief<br />
di dalam kepustakaan hukum pidana dapat<br />
diidentifikasikan atau dikategorisasikan 2 (dua)<br />
pandangan mengenai makna materiel dari ajaran<br />
sifat melawan hukum (SMH) Materiel, yaitu:<br />
1. Pandangan pertama mengaitkan atau<br />
melihat makna “materiel” dari sifat/hakikat<br />
perbuatan terlarang dalam UU (perumusan<br />
delik tertentu). Jadi yang dilihat/dinilai<br />
secara materiel adalah “perbuatan”-nya.<br />
2. Pandangan kedua, mengaitkan atau melihat<br />
makna “materiel” dari sudut sumber<br />
hukum. Jadi yang dilihat atau yang dinilai<br />
secara materiel adalah sumber hukumnya.<br />
Menurut pandangan kedua ini, makna atau<br />
pengertian SMH Materiel identik dengan<br />
melawan atau bertentangan dengan hukum<br />
tidak tertulis atau hukum yang hidup<br />
(unwritten law/living law), bertentangan<br />
dengan asas-asas kepatutan atau nilainilai<br />
(dan norma) kehidupan sosial dalam<br />
masyarakat (termasuk tata susila dan<br />
hukum kebiasaan/adat). Jadi singkatnya,<br />
“hukum” tidak dimaknai secara formal<br />
sebagai “wet”, tetapi dimaknai secara<br />
materiel sebagai “recht”. Oleh karena itu<br />
sifat melawan hokum materiel identik<br />
dengan “onrechtmatige daad”.<br />
Selanjutnya<br />
menjelaskan:<br />
Barda Nawawi Arief<br />
1. “Kriteria materiel dalam pandangan pertama<br />
identik atau bersinggungan erat dengan<br />
pandangan kedua, hanya saja menurut:<br />
a. Pandangan pertama, kriteria materiel<br />
itu digunakan:<br />
1. untuk menilai atau memberikan<br />
penafsiran materiel terhadap<br />
“perbuatan” atau “kepentingan<br />
hukum” yang hendak dilindungi<br />
oleh UU dalam perumusan<br />
delik tertentu; dan<br />
2. untuk menghapuskan/<br />
meniadakan sifat melawan<br />
hukum formal yang telah<br />
ditetapkan dalam UU; Jadi<br />
SMH Materiil hanya digunakan<br />
dalam fungsinya yang “negatif”,<br />
sebagai alasan pembenar.<br />
Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 209<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 209 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:32 PM
. Pandangan kedua:<br />
1) kriteria materiel tidak hanya<br />
dapat digunakan untuk menilai<br />
perbuatan yang telah ditetapkan/<br />
dirumuskan sebagai delik<br />
dalam UU, tetapi juga terhadap<br />
perbuatan tercela lainnya di<br />
luar UU (hukum tertulis); dan<br />
2) dimungkinkan SMH Materiel<br />
dalam fungsinya yang negatif<br />
maupun positif.<br />
Pandangan pertama seperti diidentifikasikan<br />
di atas, nampaknya masih dilatarbelakangi oleh<br />
keterkaitan atau orientasi pada asas legalitas<br />
formal dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang<br />
bertolak dari paham”legisme” dan nilai/ide dasar<br />
“kepastian hukum”.<br />
Sedangkan pandangan kedua, nampaknya<br />
sudah dipengaruhi oleh pandangan asas legalitas<br />
materiel atau asas keseimbangan monodualistik<br />
(antara kriteria/patokan formal dan materiel,<br />
atau antara nilai kepastian hukum dan keadilan/<br />
kelenturan), walaupun masih terbagi dalam<br />
beberapa pendapat, yaitu:<br />
a. Hanya menganut SMH Materiel<br />
terbatas, (yaitu hanya dalam fungsinya<br />
yang negatif), karena masih terikat<br />
pada asas legalitas dalam Pasal 1 ayat<br />
(1) KUHP.<br />
b. Menganut SMH Materiel yang luas,<br />
baik dalam fungsinya yang negatif<br />
maupun yang positif.<br />
c. Menganut SMH Materiel yang luas<br />
tetapi terbatas, yaitu dalam fungsinya<br />
yang negatif dan positif, tetapi yang<br />
positif dibatasi untuk perbuatan-<br />
perbuatan (kasus/kondisi) tertentu.<br />
(Barda Nawawi Arief (2004: 27-<br />
28)).<br />
Mengenai ajaran SMH materiil dalam<br />
fungsinya yang negatif Moeljatno mengatakan:<br />
“Kiranya perlu ditegaskan, peraturanperaturan<br />
hukum pidana kita sebagian<br />
besar telah dimuat dalam KUHP dan lainlain<br />
perundang-undangan, maka pandangan<br />
tentang hukum dan sifat melawan hukum<br />
materiil di atas, hanya mempunyai arti<br />
dalam memperkecualikan perbuatan yang<br />
meskipun masuk dalam perumusan UU,<br />
toh tidak merupakan perbuatan pidana.<br />
Biasanya ini dinamakan fungsi yang negatif<br />
dari sifat melawan hukum yang materiil”.<br />
(Kursif, pen).<br />
Sedangkan mengenai ajaran sifat melawan<br />
hukum materiil dalam fungsinya yang positif,<br />
Moeljatno mengatakan sebagai berikut:<br />
“Adapun fungsinya yang positif, yaitu<br />
perbuatan tidak dilarang oleh UU, tetapi<br />
oleh masyarakat perbuatan itu dianggap<br />
keliru, berhubungan dengan adanya asas<br />
legalitas (Pasal 1 ayat (1) KUHP) dalam<br />
hukum pidana lalu tidak mungkin. Lain<br />
halnya di dalam hukum perdata, dengan<br />
adanya Pasal 1365 BW (barang siapa dengan<br />
perbuatan melawan hukum menimbulkan<br />
kerugian pada orang lain harus mengganti<br />
kerugian tersebut apabila diminta oleh yang<br />
menderita kerugian tadi) fungsi positif<br />
itu penting juga. Di sini bagaimanapun<br />
macamnya perbuatan tidak ditentukan,<br />
sehingga tiap-tiap perbuatan melawan<br />
hukum termasuk di situ”. Moeljatno (1983:<br />
133). (Kursif, pen.).<br />
210 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 189 - 223<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 210 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:32 PM
B. Analisis<br />
Pada sub B ini yang dianalisis adalah<br />
pokok permasalahan: ‘apakah terdakwa dalam<br />
melakukan perbuatannya terdapat unsur<br />
”melawan hukum” dalam memperkaya diri sendiri<br />
atau orang lain atau suatu korporasi, sehingga<br />
merugikan keuangan negara atau perekonomian<br />
negara’? Analisis terhadap pokok permasalahan<br />
ini sekaligus pula ingin diketahui, apakah putusan<br />
hakim telah dapat membuktikan unsur TP secara<br />
lengkap? Substansi pembahasannya dipaparkan<br />
berikut ini.<br />
Di dalam putusan hakim, pembuktian<br />
terhadap unsur-unsur tindak pidana semua telah<br />
dinyatakan terpenuhi (terbukti). Namun demikian,<br />
perlu dilakukan analisis lebih lanjut tentang<br />
kebenarannya secara hukum seperti dianotasikan<br />
di bawah ini, khususnya mengenai unsur ”setiap<br />
orang” dan ”unsur melawan hukum”<br />
1. Unsur setiap orang.<br />
Pertimbangan hakim dalam membuktikan<br />
unsur ini adalah sebagai berikut:<br />
a. Menimbang, bahwa yang dimaksud<br />
setiap orang menurut Pasal 1 angka<br />
1 UU No. 31 Tahun 1999 yang telah<br />
diubah dan ditambah dengan UU No.<br />
20 Tahun 2001 adalah perorangan<br />
atau termasuk korporasi, dengan kata<br />
lain bahwa yang dimaksud dengan<br />
unsur setiap orang adalah subyek<br />
hukum pendukung hak dan kewajiban<br />
yang dapat dipertanggungjawabkan<br />
atas segala perbuatan yang telah<br />
dilakukannya”.<br />
Anotasi:<br />
Ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No.<br />
31 Tahun 1999 yang telah diubah<br />
dan ditambah dengan UU No.<br />
20 Tahun 2001 sama sekali tidak<br />
memformulasikan tentang pengertian<br />
”SETIAP ORANG”. Akan tetapi,<br />
memformulasikan tentang pengertian<br />
Korporasi. Sedangkan mengenai<br />
pengertian ”SETIAP ORANG”,<br />
rumusannya ditetapkan dalam Pasal 1<br />
angka 3 UU No. 31 Tahun 1999 yang<br />
telah diubah dan ditambah dengan<br />
UU No. 20 Tahun 2001.<br />
b. Menimbang, bahwa berdasarkan hal<br />
yang secara umum sudah diketahui<br />
dan tidak perlu dibuktikan lagi<br />
sebagaimana datur dalam Pasal 184<br />
ayat (2) KUHAP, bahwa terdakwa<br />
telah dinyatakan identitasnya pada<br />
awal persidangan ia mengaku<br />
bernama IS dengan demikian<br />
terdakwa terpenuhi sebagai orang<br />
perorang (natuurlijke persoon) dan<br />
selama proses pemeriksaan atas diri<br />
terdakwa ternyata pada dirinya telah<br />
ditemukan suatu bukti ketidakcakapan<br />
untuk melakukan suatu perbuatan<br />
hukum, sehingga terdakwa dianggap<br />
sebagai orang yang cakap dan dapat<br />
dipertanggungjawabkan atas segala<br />
perbuatan hukum. Maka unsur<br />
setiap orang telah terpenuhi atas diri<br />
terdakwa; Namun demikian, apakah<br />
perbuatan terdakwa dapat dinyatakan<br />
bersalah melakukan suatu tindak<br />
pidana sebagaimana yang didakwakan<br />
oleh Penuntut Umum, maka hal ini<br />
perlu dibuktikan dengan unsur-unsur<br />
yang lainnya dari dakwaan primair<br />
ini. (Kursif pen).<br />
Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 211<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 211 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:32 PM
Anotasi:<br />
Pertimbangan hakim di atas, teramat<br />
sangat tidak dapat dimengerti. Di<br />
satu sisi dikatakan, “...ternyata<br />
pada dirinya telah ditemukan<br />
suatu bukti ketidakcakapan untuk<br />
melakukan suatu perbuatan<br />
hukum,...”. Pertimbangan demikian<br />
ini menandaskan, bahwa dalam<br />
diri terdakwa telah ditemukan<br />
suatu fakta (data) yang benarbenar<br />
mengindikasikan adanya<br />
ketidakmampuan” terdakwa secara<br />
hukum untuk melakukan suatu<br />
“perbuatan hukum”. Di dalam hukum<br />
pidana, jika hal demikian ini secara<br />
sah dan meyakinkan memang benarbenar<br />
terbukti, maka terdakwa sudah<br />
dapat dimasukkan dalam kualifikasi<br />
“tidak bisa dipertanggungjawabkan<br />
menurut hukum pidana” atas<br />
perbuatan yang dilakukannya. Ini<br />
berarti pula terdakwa tidak dapat<br />
dipidana, karena dalam diri terdakwa<br />
terdapat alasan penghapus kesalahan<br />
(schuld uitslutinggronden) berupa<br />
alasan pemaaf. Akan tetapi di satu<br />
sisi yang lainnya, dengan dikatakan<br />
“..., sehingga terdakwa dianggap<br />
sebagai orang yang cakap dan<br />
dapat dipertanggungjawabkan atas<br />
segala perbuatan hukum”, berarti<br />
terdakwa memang benar-benar<br />
mampu dan “cakap hukum” dalam<br />
melakukan “perbuatan hukum”.<br />
Apabila terdakwa dalam melakukan<br />
perbuatan hukum itu, karena sesuatu<br />
hal menimbulkan “akibat-akibat<br />
hukum”, maka ia dengan sendirinya<br />
juga dapat dipertanggungjawabkan<br />
secara hukum. Hanya dalam ranah<br />
hukum pidana, pertanggungjawaban<br />
pidananya itu harus dibuktikan<br />
kemudian setelah terlebih dahulu<br />
membuktikan unsur SMH perbuatan.<br />
Pertanggungjawaban pidana<br />
dibuktikan adalah dalam rangka<br />
menemukan unsur kesalahan<br />
dalam diri terdakwa. Jika terdapat<br />
unsur kesalahan, maka dengan<br />
sendirinya terdakwa dapat dipidana.<br />
Apabila unsur kesalahan ini tidak<br />
ditemukan, berarti menurut hukum<br />
pidana terdakwa tidak dapat<br />
dipertanggungjawabkan dan tidak<br />
dapat dipidana.<br />
Kembali pada pokok permasalahan,<br />
substansi pertimbangan hakim yang<br />
redaksionalnya diformulasikan seperti disitasi<br />
di atas, tentu melanggar asas kepastian hukum,<br />
karena prinsip “LEX CERTA” tidak dipenuhi.<br />
Dengan demikian, tentu pula akan dapat<br />
menimbulkan konsekuensi yuridis, berupa “tidak<br />
terpenuhinya unsur ‘setiap orang’ jika putusan<br />
ini diperiksa dan diadili pada tingkat banding.<br />
Seharusnya di dalam putusan hakim, dalam<br />
menyusun pertimbangan hukumnya harus tetap<br />
menerapkan prinsip kehati-hatian.<br />
2. Unsur melawan hukum, melakukan<br />
perbuatan memperkaya diri sendiri<br />
atau orang lain atau korporasi yang<br />
dapat merugikan keuangan negara atau<br />
perekonomian negara.<br />
Pertama-tama yang dipertimbangkan oleh<br />
hakim adalah:<br />
’ Apakah perbuatan terdakwa tersebut<br />
terdapat unsur ”melawan hukum” dalam<br />
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau<br />
212 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 189 - 223<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 212 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:32 PM
korporasi, sehingga merugikan keuangan<br />
negara atau perekonomian negara’ ?<br />
Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1)<br />
UU No. 31 Tahun 1999 unsur ini memiliki<br />
pengertiannya dalam arti formal dan<br />
materiil. Mengingat putusan MK No. 003/<br />
PUU-IV/2006 tertanggal 25 Juli 2006<br />
yang pada pokoknya menyatakan, bahwa<br />
”penjelasan pasal ini sepanjang yang<br />
terkait dengan pengertian sifat melawan<br />
hukum secara materiil dinyatakan ”tidak<br />
mengikat secara hukum”, karena dianggap<br />
bertentangan dengan UUD 1945”. Dengan<br />
demikian, yang diakui oleh hakim hanyalah<br />
”SMH dalam pengertiannya yang formal”.<br />
Berdasarkan pertimbangannya yang<br />
demikian, hakim menyatakan bahwa<br />
perbuatan terdakwa telah memenuhi<br />
unsur sifat melawan hukum dalam<br />
pengertiannya formal. Namun demikian,<br />
perbuatan terdakwa bukan termasuk dalam<br />
pengertian melawan hukum menurut<br />
hukum pidana, tetapi hukum perdata.<br />
Mengapa pertimbangan hakim demikian,<br />
karena hakim berpendapat bahwa sejak<br />
semula landasan hukumnya adalah suatu<br />
perjanjian yang telah disepakati oleh para<br />
pihak. Surat perjanjian yang dimaksud<br />
adalah No. 511.23/500-Ek tertanggal 14<br />
Desember 2004 antara Pemerintah Kota<br />
Bandung dengan CV UM dan FS selaku<br />
Pemilik Gedung eks Toko Ria sebagai pihak<br />
ketiga. Di dalam surat perjanjian dimaksud<br />
telah disepakati hak dan kewajiban masingmasing<br />
pihak.<br />
Menurut hakim, jika terjadi adanya kerugian<br />
bagi Pemerintah Kota Bandung karena tidak<br />
dipenuhinya isi perjanjian tersebut oleh<br />
salah satu pihak, maka prosedur yang harus<br />
ditempuh adalah melalui penagihan kepada<br />
pengelola, yaitu terdakwa agar memenuhi<br />
kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang<br />
mereka telah sepakati, dan bilamana tidak<br />
memenuhi janjinya, dapat dikategorikan<br />
telah melakukan perbuatan wanprestasi.<br />
Maka dengan demikian, kerugian yang<br />
timbul sebagai akibat adanya wanprestasi<br />
adalah bukan perbuatan melawan hukum<br />
(pidana).<br />
Anotasi:<br />
Mengingat dalam hukum pidana yang<br />
dicari adalah kebenaran materiil, perlu<br />
dipersoalkan ’apakah sudah benar<br />
pertimbangan hakim yang menyatakan<br />
perbuatan melawan hukum (PMH) yang<br />
dilakukan oleh terdakwa termasuk dalam<br />
ranah hukum perdata’, karena alasan tidak<br />
dipenuhinya suatu ”kewajiban hukum”<br />
yang telah disepakati dalam surat perjanjian<br />
tersebut oleh pihak kedua, dalam hal ini<br />
terdakwa IS? Apakah di dalam hukum<br />
pidana tidak dikenal “kewajiban hukum”<br />
seperti itu?<br />
Di dalam hukum pidana, secara dogmatis<br />
terdapat aturan hukum pidana yang menyatakan<br />
keharusan untuk menjalankan “kewajiban<br />
hukum” tertentu. Apabila “kewajiban hukum”<br />
yang diharuskan itu tidak dilaksanakan oleh si<br />
pengemban kewajiban, maka yang bersangkutan<br />
dikatakan telah melakukan suatu perbuatan<br />
melawan hukum (delik). Di dalam doktrin<br />
hukum pidana, perbuatan demikian disebut<br />
dengan omimssie delict (delicta ommissionis),<br />
sebagai lawan dari commissie delict (delicta<br />
commisionis) yakni delik berupa pelanggaran<br />
terhadap perbuatan yang dilarang oleh undangundang.<br />
Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 213<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 213 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:32 PM
Di dalam putusan hakim, omimssie delict<br />
ini sebenarnya dapat saja diaplikasikan jika<br />
hakim masih mau menerapkan ajaran SMH<br />
materiil. Namun karena hakim sudah merasa<br />
terikat dengan putusan MK di atas, pada akhirnya<br />
menutup diri terhadap ajaran SMH materiil yang<br />
diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun<br />
1999. Akan tetapi harus diingat, bahwa yang<br />
dinyatakan tidak mengikat secara hukum oleh MK<br />
adalah sepanjang penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU<br />
No. 31 Tahun 1999, tidak termasuk keberadaan<br />
dan substansi dari Pasal 2 ayat (1). Ini artinya<br />
SMH Materiil yang substansinya dirumuskan<br />
dalam ketentuan pasal dimaksud masih berlaku.<br />
Sebenarnya MK sendiri tidak berwenang secara<br />
hukum mencabut suatu pasal atau beberapa pasal<br />
yang terdapat dalam suatu kebijakan legislatif,<br />
DPR sebagai lembaga legislatif menurut Hukum<br />
Tata Negara mempunyai wewenang untuk itu.<br />
Sehubungan dengan hal di atas, di dalam<br />
praktik kerapkali dijumpai permasalahan hukum<br />
pidana terkait dengan SMH Formal ini. Bagaimana<br />
jika suatu perbuatan sudah dinilai koruptif, tetapi<br />
perbuatan tersebut tidak diatur dalam UU dan<br />
atau perbuatan itu tidak mencocoki rumusan<br />
delik dalam UU?<br />
Berkait dengan kewajiban hukum di atas,<br />
dikemukakan pedoman berikut ini:<br />
“Suatu perbuatan melawan hukum secara<br />
materiil telah terjadi, jika perbuatan<br />
terdakwa yang tidak ber-SMH secara formal<br />
yang telah menimbulkan kerugian bagi<br />
masyarakat atau negara itu, dilakukan tidak<br />
dalam kerangka memenuhi “kewajiban<br />
hukum”, dan tidak dipenuhinya “kewajiban<br />
hukum” bukan karena keadaan memaksa,<br />
tetapi semata-mata untuk kepentingan<br />
pelaku sendiri atau orang lain atau suatu<br />
korporasi”.<br />
Pedoman ini ditetapkan agar hakim dalam<br />
memutus perkara korupsi yang dihadapi, terutama<br />
dalam hal terjadinya penyalahgunaan wewenang,<br />
untuk tidak ragu-ragu menerapkan fungsi positif<br />
dari SMH materiil, bila perbuatan terdakwa dapat<br />
menimbulkan kerugian yang jauh tidak seimbang<br />
bagi masyarakat atau negara. Kendatipun<br />
perbuatan terdakwa tidak melakukan pelanggaran<br />
terhadap ketentuan pidana, atau perbuatannya<br />
secara formal tidak melawan hukum, tetapi<br />
asalkan perbuatan terdakwa dilakukan tidak<br />
dalam kerangka memenuhi “kewajiban hukum”,<br />
dan tidak dipenuhinya “kewajiban hukum” bukan<br />
karena “keadaan memaksa”, tetapi semata-mata<br />
untuk kepentingan pelaku sendiri atau orang lain<br />
atau suatu korporasi”.<br />
Mengenai pedoman ini, pertamatama<br />
yang perlu dipahami adalah mengenai<br />
“kewajiban hukum”, kedua mengenai “tidak<br />
dipenuhinya “kewajiban hukum” bukan karena<br />
“keadaan memaksa”, tetapi semata-mata untuk<br />
kepentingan pelaku sendiri atau orang lain atau<br />
suatu korporasi”.<br />
Mengenai hal yang pertama, yang harus<br />
dipahami terlebih dahulu adalah ‘apakah yang<br />
dimaksud dengan kewajiban hukum’?<br />
Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta<br />
(2000: 91) mengatakan:<br />
“Kewajiban pada dasarnya adalah keharusan<br />
(yang diperintahkan atau ditetapkan<br />
oleh hukum untuk melakukan atau tidak<br />
melakukan perbuatan tertentu, yang jika<br />
tidak dipenuhi akan menimbulkan akibat<br />
hukum tertentu bagi pengemban kewajiban<br />
tersebut”.<br />
Mengacu pada pengertian demikian,<br />
sudah sangat jelas, bahwa suatu perbuatan yang<br />
tidak memenuhi kewajiban-kewajiban hukum,<br />
214 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 189 - 223<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 214 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:32 PM
erarti perbuatan tersebut secara sadar dilakukan<br />
untuk memungkiri atau menafikan sesuatu<br />
‘keharusan’ atau sesuatu yang diharuskan. Ini<br />
berarti pula, melanggar sesuatu perintah atau<br />
yang diperintahkan oleh hukum. Perbuatan<br />
demikian sudah sangat jelas melawan dan<br />
bertentangan dengan hukum. Oleh karena itu,<br />
sudah sepatutnya perbuatan demikian ditetapkan<br />
akibat hukumnya.<br />
Perbuatan koruptif di atas itu, seringkali<br />
tidak ditetapkan sebagai suatu PMH secara<br />
formal, sehingga tidak dapat dituntut menurut<br />
hukum pidana. Akan tetapi, perbuatan demikian<br />
itu sesungguhnya secara materiil adalah<br />
perbuatan yang dinilai tercela oleh masyarakat<br />
(strafwaardig), sehingga perlu pula dilakukan<br />
penuntutan secara pidana sebagai akibat<br />
hukumnya.<br />
Selanjutnya mengenai hal yang kedua,<br />
“tidak dipenuhinya ‘kewajiban hukum’ bukan<br />
karena keadaan memaksa, tetapi semata-mata<br />
untuk kepentingan pelaku (terdakwa) sendiri<br />
atau orang lain atau suatu korporasi”.<br />
Klausula ini adalah untuk lebih meyakinkan<br />
hakim dalam menerapkan fungsi positif dari<br />
ajaran SMH materiil. Sejak semula sudah<br />
harus dipahami, jika terdakwa tidak memenuhi<br />
“kewajiban hukum” itu karena adanya sesuatu<br />
keadaan yang memaksa (overmacht), maka sejak<br />
semula pula terdakwa sudah harus “dilepaskan<br />
dari segala tuntutan hukum”, karena perbuatannya<br />
itu tidak ber-SMH secara materiil. Namun<br />
demikian, kerapkali hakim masih kesulitan juga<br />
untuk menetapkan suatu perbuatan ber-SMH.<br />
Kesulitan ini disadari juga oleh Roeslan Saleh<br />
(1983: 72) yang mengatakan:<br />
“Memang sukar menentukan apakah<br />
sesuatu perbuatan yang ditinjau dari segi<br />
formil adalah terlarang, jika ditinjau<br />
dari segi materiil dirasakan betul-betul<br />
oleh masyarakat sebagai perbuatan yang<br />
tidak patut atau sebaliknya pula adalah<br />
patut. Sungguh-sungguh diperlukan suatu<br />
pedoman”.<br />
Apakah perbuatan itu tidak patut atau<br />
sebaliknya, Roeslan Saleh juga menggunakan<br />
pedoman yang digunakan oleh Moeljatno yang<br />
mengatakan: bahwa hal tersebut adalah dalam<br />
konteks “daya paksa” (overmacht). Namun,<br />
menurut Roeslan Saleh, pendapat Moeljatno<br />
ini dapat digunakan sebagai pedoman untuk<br />
meninjau ‘apakah perbuatan ber-SMH dari segi<br />
materiil’. Roeslan Saleh (1983: 72) lebih lanjut<br />
mengatakan:<br />
“Selalu harus diselidiki terlebih dahulu<br />
apakah terdakwa tidak perlu dipidana,<br />
disebabkan karena dalam kejadian tersebut<br />
sifat melawan hukum dari suatu perbuatan<br />
itu tidak ada, dan karenanya peraturan<br />
UU yang rumusan deliknya cocok dengan<br />
perbuatan itu lalu tidak diberlakukan.<br />
Kalau ternyata, bahwa sifat melawan<br />
hukumnya tidak ada, maka kita tidak perlu<br />
lagi menyelidiki, apakah terdakwa itu telah<br />
berbuat karena terdorong oleh “daya paksa”<br />
atau “tidak”.<br />
Masih tetap mensitasi pendapat Moeljatno,<br />
oleh Roeslan Saleh (1983: 72) dikatakan<br />
selanjutnya:<br />
“Sebagai pedoman untuk menentukan<br />
apakah perbuatan itu adalah tidak bersifat<br />
melawan hukum, harus diperhatikan:<br />
1. Kapan ada dua kewajiban hukum yang<br />
bertentangan, sedangkan salah satu<br />
daripadanya telah dipenuhi;<br />
Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 215<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 215 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:32 PM
2. Jika kewajiban hukum tidak dapat dipenuhi<br />
karena terpaksa oleh keadaan.<br />
Dua pedoman ini pun dapat dijadikan<br />
pedoman dalam tinjauan dari segi materiil, yang<br />
saya maksudkan di atas”.<br />
Hal berikutnya yang perlu dianalisis<br />
(diberikan anotasi), adalah sikap hakim dalam<br />
putusan ini sehubungan dengan dijadikannya<br />
Putusan MK sebagai landasan hukum untuk<br />
memeriksa dan mengadili perkara korupsi yang<br />
dilakukan oleh terdakwa IS. Putusan MK yang<br />
menyatakan “tidak mengikat secara hukum”<br />
terhadap penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No.<br />
31 Tahun 1999 sepanjang mengenai penjelasan<br />
SMH Materiil, selengkapnya amar putusan MK<br />
menyangkut hal tersebut dikemukakan berikut<br />
ini.<br />
Amar putusan MK No. 003/PUU-IV/2006<br />
itu sendiri berbunyi sebagai berikut:<br />
“Kata “dapat” dalam frasa “yang dapat<br />
merugikan keuangan negara atau<br />
perekonomian negara”, pada Pasal 2 ayat<br />
(1) dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999<br />
tentang Pemberantasan Tindak Pidana<br />
Korupsi, sebagaimana diubah dengan<br />
UU Nomor 20 Tahun 2001, beserta<br />
penjelasan-penjelasannya dan kalimat,<br />
“…maupun dalam arti materiil, yakni<br />
meskipun perbuatan tersebut tidak diatur<br />
dalam perundang-undangan namun apabila<br />
perbuatan tersebut dianggap tercela karena<br />
tidak sesuai dengan rasa keadilan atau<br />
norma-norma kehidupan dalam masyarakat,<br />
maka perbuatan tersebut dapat dipidana”<br />
dinyatakan tidak mengikat secara hukum<br />
karena bertentangan dengan Pasal 28D<br />
ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara<br />
Republik Indonesia Tahun 1945”.<br />
Jadi, oleh MK Penjelasan Pasal 2 ayat<br />
(1) ini yang menetapkan SMH Materiil dalam<br />
menentukan suatu perbuatan sebagai tindak<br />
pidana korupsi (TPK) dinilai telah melanggar<br />
HAM karena dianggap tidak menjamin “kepastian<br />
hukum yang berkeadilan” sebagaimana ditetapkan<br />
dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945:<br />
“Setiap orang berhak atas pengakuan,<br />
jaminan, perlindungan, dan kepastian<br />
hukum yang adil serta perlakuan yang<br />
sama di hadapan hukum”. (Kursif, pen.).<br />
Sehubungan dengan pertimbangan hakim<br />
yang menggunakan putusan MK sebagai landasan<br />
hukum untuk tidak menetapkan perbuatan<br />
terdakwa bertentangan dengan SMH Materiil,<br />
perlu dikaji hal-hal sebagai berikut:<br />
a. “Apakah penjelasan umum dari UU No.<br />
31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001<br />
tentang PTPK juga ikut dinyatakan tidak<br />
mengikat secara hukum? Bukankah putusan<br />
MK itu hanya ditujukan terhadap Pasal 2<br />
ayat (1) dan Pasal 3 beserta penjelasanpenjelasannya<br />
saja?<br />
Di dalam UU No. 31 Tahun 1999<br />
ditetapkannya ajaran SMH materiil, adalah<br />
sebagaimana dirumuskan di dalam perihal<br />
“Menimbang” pada huruf a dan Penjelasan<br />
Umum dari UU dimaksud, yaitu:<br />
“Bahwa tindak pidana korupsi yang selama<br />
ini terjadi secara meluas, tidak hanya<br />
merugikan keuangan negara, tetapi juga<br />
telah merupakan pelanggaran terhadap<br />
hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat<br />
secara luas, sehingga tindak pidana korupsi<br />
perlu digolongkan sebagai kejahatan yang<br />
pemberantasannya harus dilakukan secara<br />
luar biasa”.<br />
216 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 189 - 223<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 216 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:32 PM
Di dalam Penjelasan Umum ditetapkan<br />
sebagai berikut:<br />
“Agar dapat menjangkau berbagai modus<br />
operandi penyimpangan keuangan negara<br />
atau perekonomian negara yang semakin<br />
canggih dan rumit, maka tindak pidana<br />
yang diatur dalam undang-undang ini<br />
dirumuskan sedemikian rupa sehingga<br />
meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya<br />
diri sendiri atau orang lain atau suatu<br />
korporasi “secara melawan hukum” dalam<br />
pengertian formil atau materiil. Dengan<br />
perumusan tersebut, pengertian melawan<br />
hukum dalam tindak pidana korupsi dapat<br />
pula mencakup perbuatan-perbuatan yang<br />
tercela yang menurut perasaan keadilan<br />
masyarakat harus dituntut dan dipidana”.<br />
b. Sehubungan dengan hal di atas, sejauhmana<br />
hakim memperhatikan dasar rasionalitas<br />
ditetapkannya ajaran SMH materiil dalam<br />
UU No. 31 Tahun 1999 yakni:<br />
1. Tindak pidana korupsi merupakan<br />
tindak pidana yang luar biasa, karena<br />
tidak hanya merugikan keuangan<br />
negara, tetapi juga telah merupakan<br />
pelanggaran terhadap hak-hak sosial<br />
dan ekonomi masyarakat secara luas.<br />
2. Tindak pidana korupsi merupakan<br />
kejahatan yang pemberantasannya<br />
harus dilakukan secara luar biasa.<br />
3. Untuk dapat menjangkau berbagai<br />
modus operandi penyimpangan<br />
keuangan negara atau perekonomian<br />
negara yang semakin canggih dan<br />
rumit.<br />
4. Dalam pandangan masyarakat, TPK<br />
dipandang sebagai perbuatan tercela<br />
dan bertentangan dengan keadilan<br />
sosial.<br />
c. Bagaimanakah dengan keberadaan SMH<br />
materiil dalam fungsinya yang negatif<br />
(negative functie der wederrechtelijkheid)?<br />
Bukankah putusan MK itu hanya menyatakan<br />
SMH materiil dalam fungsinya yang positif<br />
(positive functie der wederrechtelijkheid)<br />
saja yang dinyatakan tidak mengikat secara<br />
hukum, karena dinilai bertentangan dengan<br />
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Perhatikan<br />
kalimat:<br />
“…maupun dalam arti materiil, yakni<br />
meskipun perbuatan tersebut tidak diatur<br />
dalam perundang-undangan namun apabila<br />
perbuatan tersebut dianggap tercela karena<br />
tidak sesuai dengan rasa keadilan atau<br />
norma-norma kehidupan dalam masyarakat,<br />
maka perbuatan tersebut dapat dipidana”<br />
dinyatakan tidak mengikat secara hukum<br />
karena bertentangan dengan Pasal 28D ayat<br />
(1) UUD 1945”.<br />
d. Apakah putusan MK itu mengikat<br />
pula terhadap yurisprudensi? Karena<br />
yurisprudensi MA No. 42/K/Kr/1965<br />
tertanggal 8 Januari 1966 yang telah<br />
menjadi yurisprudensi tetap (land mark<br />
decision) juga mengakui dan menganut<br />
SMH materiil, dan telah diikuti oleh<br />
putusan-putusan hakim di bawahnya?<br />
e. Apakah hakim tidak lagi menggunakan<br />
Sistem Hukum Pidana Indonesia yang<br />
tidak hanya mengakui dan menganut SMH<br />
formal juga mengakui dan menganut ajaran<br />
SMH materiil?<br />
f. SMH materiil tidak hanya dianut dalam<br />
Sistem Hukum Pidana Indonesia, tetapi juga<br />
Belanda, Jerman sebagai wakil dari Civil<br />
Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 217<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 217 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:32 PM
Law System, apalagi Inggris dan Amerika<br />
sebagai wakil Anglo Saxon, juga Jepang,<br />
dan Korea Selatan sebagai wakil dari sistem<br />
hukum Timur jauh. Bahkan Pasal 15 ayat<br />
(2) ICCPR juga tidak mengharamkan suatu<br />
Negara mengantu SMH materiil.<br />
g. Yurisprudensi MA menganut pula SMH<br />
metriil dalam fungsinya yang negatif (di<br />
antaranya adalah putusan MA tanggal 8<br />
Januari 1966 No. 42/K/Kr/1965 dalam<br />
perkara Marchoes Efendi, putusan MA<br />
tanggal 30 Maret 1977 No. 81/Kr/1973<br />
dalam perkara Ir. Otjo Danaatmadja, putusan<br />
MA tanggal 15 Desember 1983 No. 275/K/<br />
Pid/1982. MA tanggal 29 Desember 1983<br />
dalam putusan No. 275/K/Pid/1983 dalam<br />
perkara R.S Natalegawa), maupun dalam<br />
fungsinya yang positif (di antaranya adalah:<br />
putusan MA No. 81/K/Kr/1973 tanggal<br />
30 Maret 1977, putusan MA No. 25/K/<br />
Pid/1983, putusan MA No. 24/K/Pid/1984<br />
tanggal 6 Juni 1985, putusan MA No. 241/K/<br />
Pid/1987 tanggal 21 Januari 1989, putusan<br />
MA No. 572//K/Pid/2003 dalam perkara Ir.<br />
Akbar Tanjung. Berikutnya adalah putusan<br />
MA No. 593 K/PID/2005 tanggal 2 <strong>Agustus</strong><br />
2005, yang cukup banyak mendapatkan<br />
perhatian dari khalayak, karena para<br />
terdakwanya hampir seluruh dari anggota<br />
DPRD Provinsi Sumatera telah terbukti<br />
melakukan TPK). Apakah yurisprudensi<br />
MA termasuk lingkup yurisdiksi MK?<br />
Sehubungan dengan premis huruf ”e)”<br />
di atas, perlu diinsyafi, bahwa sistem hukum<br />
pidana yang berlaku di Indonesia tidak hanya<br />
memastikan ‘apakah suatu perbuatan itu secara<br />
formal telah memenuhi semua unsur delik yang<br />
ditetapkan oleh UU’, tetapi juga ‘apakah perbuatan<br />
dimaksud tercela secara materiil, karena dinilai<br />
bertentangan dengan norma-norma sosial yang<br />
hidup di dalam masyarakat’. Itulah sebabnya,<br />
mengapa doktrin-doktrin hukum pidana yang<br />
berkembang di Indonesia mengisyaratkan untuk<br />
menganut ajaran materiil dari SMH ini. Moeljatno<br />
(1983: 133) secara tegas mengatakan:<br />
“Bagaimanakah pendirian kita terhadap<br />
soal ini? Kiranya tidak mungkin selain<br />
mengikuti ajaran yang materiil. Bagi orang<br />
Indonesia belum pernah hukum dan UU<br />
dipandang sama. Pikiran bahwa hukum<br />
adalah UU belum pernah kita alami. Bahkan<br />
sebaliknya, hampir semua hukum Indonesia<br />
asli adalah hukum tidak tertulis”.<br />
Di dalam tulisannya yang lain juga<br />
ditegaskan:<br />
“…apabila sampai saat ini untuk menetapkan<br />
adanya suatu tindak pidana adalah: tinjauan<br />
dari segi formal, ini perlu berhubung dengan<br />
adanya asas legalitas, dan tinjauan dari segi<br />
materiil sebaliknya juga diperlukan, oleh<br />
karena baru dengan adanya ini, aturanaturan<br />
hukum mempunyai isi, dan bukan<br />
suatu pengertian dalam lisan atau tulisan<br />
belaka. Yang kami maksudkan dengan ini,<br />
adalah segi pergaulan masyarakat dengan<br />
mana, atau untuk siapa aturan-aturan<br />
hukum itu berlaku”. Moeljatno (1955: 18).<br />
Roeslan Saleh (1987: 20) juga mengatakan:<br />
“…terlebih-lebih lagi karena hukum<br />
pidana kita menganut ajaran sifat melawan<br />
hukum materiel, dan kiranya dapat menjadi<br />
pendapat hukum Indonesia pula. Menurut<br />
pikiran bangsa Indonesia hukum dan UU<br />
tidak sama. Bahkan sebagian besar dari<br />
hukum kita terdiri dari aturan-aturan tidak<br />
tertulis”.<br />
218 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 189 - 223<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 218 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:32 PM
Di dalam tulisannya yang lain Roeslan<br />
Saleh (1983: 56) juga mengatakan:<br />
“bahwa untuk mengetahui adanya perbuatan<br />
pidana, pertama-tama harus diperhatikan<br />
apakah ada larangan atas dilakukannya<br />
perbuatan itu, (maksudnya: apakah secara<br />
formal UU melarang perbuatan itu, pen.),<br />
dan kedua apakah perbuatan tersebut betulbetul<br />
dirasakan oleh masyarakat sebagai<br />
perbuatan yang tidak patut atau keliru, maka<br />
kiranya jelas … mengenai sifat melawan<br />
hukum ini, saya mengikuti pandangan yang<br />
materiil”.<br />
Demikian pula Bambang Poernomo (1981:<br />
113) juga mengemukakan:<br />
“Kiranya tidak ada alasan untuk menolak<br />
diterimanya pandangan materieele<br />
wederrechtelijkheid dalam pengertian,<br />
bahwa perbuatan melawan hukum adalah<br />
yang bertentangan dengan UU, asas-asas<br />
umum, dan norma-norma hukum tidak<br />
tertulis”.<br />
Seharusnya yang terpenting dipahami<br />
adalah, ”apakah SMH materiil itu bertentangan<br />
dengan UUD 1945”?<br />
SMH materii juga mendapat jaminan secara<br />
konstitusional, terutama dalam Pasal 18B ayat (2)<br />
UUD 1945 Perubahan Kedua ditetapkan sebagai<br />
berikut:<br />
”Negara mengakui dan menghormati<br />
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum<br />
adat beserta hak-hak tradisionalnya<br />
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan<br />
perkembangan masyarakat dan prinsip<br />
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang<br />
diatur dalam undang-undang”.<br />
Anotasi berikutnya yang sangat penting<br />
disadari oleh hakim (juga para hakim lainnya),<br />
adalah ketentuan mengenai UU Kehakiman<br />
itu sendiri. Dikatakan demikian, karena<br />
kendatipun telah dikemukakan doktrin dan dasar<br />
konstitusionalitasnya seperti dikatakan di atas,<br />
namun dalam ranah hukum pidana seringkali<br />
mengalami resistensi sehubungan dengan<br />
keterikatannya pada asas legalitas formal. Dengan<br />
keterikatannya pada asas legalitas formal tersebut,<br />
akibatnya jaksa atau hakim wajiib menuntut atau<br />
mengadili suatu perkara pidana berdasarkan<br />
ketentuan-ketentuan (pasal-pasal) yang mengatur<br />
perbuatan terdakwa tersebut. Padahal UU No. 4<br />
Tahun 2004 jo UU No. 48 Tahun 2009 tentang<br />
Kekuasaan Kehakiman telah menetapkan, bahwa:<br />
“Segala putusan pengadilan selain harus<br />
memuat alasan dan dasar putusan tersebut,<br />
memuat pula pasal tertentu dari peraturan<br />
perundang-undangan yang bersangkutan<br />
atau sumber hukum tidak tertulis yang<br />
dijadikan dasar untuk mengadili” (vide Pasal<br />
25 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 jo Pasal<br />
50 UU No. 48 Tahun 2009) (Kursif. Pen.).<br />
Hakim wajib memeriksa dan mengadili<br />
perkara pidana demikian itu, dengan menggunakan<br />
sumber hukum tidak tertulis. Itulah sebabnya,<br />
dalam Pasal 28 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 jo<br />
Pasal 5 UU No. 48 Tahun. ini, mengimperasikan,<br />
bahwa: ”Hakim wajib menggali, mengikuti, dan<br />
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan<br />
yang hidup dalam masyarakat”.<br />
Sinergi dengan ketentuan di atas, itu pula<br />
sebabnya mengapa Mardjono Reksodiputro<br />
(1995: 108) mengatakan:<br />
“Sumber hukum pidana Indonesia, dapat<br />
dicari dalam hukum adat. Hakim harus<br />
menjaga bahwa seseorang yang bersalah<br />
Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 219<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 219 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:33 PM
melakukan perbuatan yang dicela oleh<br />
masyarakat dan patut dipidana memang<br />
haruslah mendapatkan pidananya. Ukuran<br />
perbuatan apa yang “tercela” dan “patut<br />
dipidana” dapat ditentukan oleh pembuat<br />
UU, tetapi dapat pula didasarkan pada hukum<br />
(adat) yang hidup dalam masyarakat…”.<br />
Muladi (1990) menambahkan:<br />
“Di samping dapat menjadi sumber<br />
hukum yang bersifat positif, nilai-nilai<br />
yang bersumber pada hukum adat dan<br />
hukum yang hidup di dalam masyarakat<br />
dapat berfungsi sebagai sumber hukum<br />
yang bersifat negatif, dalam arti bahwa,<br />
nilai-nilai tersebut dapat dijadikan alasan<br />
pembenar (rechtsvaardigingsgrond) yang<br />
menghapuskan sifat melawan hukumnya<br />
perbuatan, atau dapat berfungsi sebagai<br />
alasan-alasan yang memperingan<br />
pemidanaan (minimasing circumtance),<br />
dan sebaliknya justru dapat dijadikan<br />
alasan yang memperberat pemidanaan<br />
(aggravating circumtance)”.<br />
Berdasarkan pertimbangan hakim terhadap<br />
pembuktian unsur tindak pidana korupsi, oleh<br />
hakim telah dinyatakan semua unsur terbukti<br />
sebagaimana didakwakan dalam dakwaan<br />
primair, akan tetapi perbuatan tersebut bukan<br />
merupakan tindak pidana, melainkan termasuk<br />
dalam ruang lingkup hukum perdata. Namun<br />
demikian, menurut analisis peneliti justru hakim<br />
belum dapat membuktikan unsur tindak pidana<br />
secara lengkap, karena masih terdapat hal-hal<br />
kontroversial terhadap pembuktian unsur ”setiap<br />
orang” dan unsur ”melawan hukum” yang secara<br />
hukum masih harus dielaborasi lebih lanjut.<br />
SIMPULAN<br />
220 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 189 - 223<br />
IV.<br />
Hal-hal yang dapat disimpulkan dari<br />
analisis terhadap pokok permasalahan penelitian<br />
adalah sebagai berikut:<br />
1. Pertimbangan hakim dalam membentuk<br />
argumentasi hukumnya telah didasarkan<br />
atas logika silogisme sebagai berikut:<br />
Sebagai premis mayor: hakim berlandaskan<br />
pada surat perjanjian No. 511.23/500-<br />
Ek tertanggal 14 Desember 2004 antara<br />
Pemerintah Kota Bandung dengan CV. UM<br />
dan FS selaku Pemilik Gedung eks Toko<br />
Ria sebagai pihak ketiga, dan di dalam surat<br />
perjanjian tersebut telah disepakati hak-dan<br />
kewajiban masing-masing pihak.<br />
Sebagai premis minor: jika terjadi kerugian<br />
bagi Pemerintah Kota Bandung karena<br />
tidak dipenuhinya isi perjanjian tersebut<br />
oleh salah satu pihak, maka prosedur yang<br />
harus ditempuh adalah melalui penagihan<br />
kepada pengelola, yaitu terdakwa agar<br />
memenuhi kewajibannya sesuai dengan<br />
perjanjian yang mereka telah sepakati, dan<br />
bilamana tidak memenuhi janjinya, dapat<br />
dikategorikan telah melakukan perbuatan<br />
wanprestasi. Sebagai simpulan maka<br />
dengan demikian, kerugian yang timbul<br />
sebagai akibat adanya wanprestasi adalah<br />
bukan perbuatan melawan hukum (pidana).<br />
2. Namun hakim dalam membangun<br />
argumentasi hukumnya telah terjadi<br />
falsifikasi logika berpikir dalam memahami<br />
lingkup cakupan substansi yang terdapat<br />
dalam proposisi premis mayor. Hakim hanya<br />
mendasarkan pemahaman dan lingkup<br />
cakupan substansi dari premis mayor<br />
tersebut dari hukum perdata. Pemahaman<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 220 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:33 PM
terhadap “kewajiban hukum” harus pula<br />
dimaknai dari optik hukum pidana, karena<br />
secara dogmatis terdapat aturan hukum<br />
pidana yang menyatakan keharusan<br />
untuk menjalankan “kewajiban hukum”<br />
tertentu. Apabila “kewajiban hukum”<br />
yang diharuskan itu tidak dilaksanakan<br />
oleh si pengemban kewajiban, maka yang<br />
bersangkutan dikatakan telah melakukan<br />
suatu PMH (TP/delik). Di dalam doktrin<br />
hukum pidana, perbuatan demikian<br />
disebut dengan omimssie delict (delicta<br />
ommissionis).<br />
3. Hakim dalam pertimbangannya yang<br />
menyatakan, bahwa “perbuatan terdakwa<br />
secara formal tidak mencocoki rumusan<br />
delik menurut Pasal 2 ayat (1) UU No. 31<br />
Tahun 1999, sehingga perbuatan terdakwa<br />
tidak dapat dikualifikasikan sebagai tindak<br />
pidana”, sama sekali tidak dikaitkan dengan<br />
fakta hukum yang terdapat dalam salah<br />
satu diktum dari surat perjanjian tersebut<br />
yang menyatakan, bahwa “pihak kedua<br />
(dalam hal ini terdakwa) berkewajiban<br />
mengembalikan dana talangan yang<br />
diterimanya sebesar Rp.2.500.000.000,dalam<br />
2 tahap, yaitu pada bulan April<br />
sebesar Rp.1.250.000.000,- dan pada bulan<br />
September Rp.1.250.000.000,- kepada<br />
Pemerintah Kota Bandung”. Ternyata surat<br />
perjanjian yang dibuat pada tanggal 14<br />
Desember 2004 sampai dengan diadilinya<br />
perkara ini, terdakwa belum memenuhi<br />
kewajibannya tersebut. Akibat hukum apa<br />
yang dapat dikenakan terhadap terdakwa<br />
ternyata tidak diatur pula dalam surat<br />
perjanjian tersebut, sementara kerugian<br />
keuangan negara sebesar disebutkan di<br />
atas itu telah nyata-nyata terjadi. Dalam<br />
situasi dan kondisi seperti ini hakim<br />
harus menerapkan ajaran SMH Materiil<br />
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 ayat<br />
(1) UU No. 31 Tahun 1999.<br />
Mengingat yang dinyatakan tidak mengikat<br />
secara hukum adalah penjelasan Pasal 2 ayat<br />
(1) UU No. 31 Tahun 1999, tidak termasuk<br />
keberadaan dan substansi dari Pasal 2 ayat<br />
(1), maka SMH Materiil yang substansinya<br />
dirumuskan dalam ketentuan pasal dimaksud<br />
masih tetap berlaku. Ini berarti, PMH yang telah<br />
benar-benar terjadi sebagaimana dibuktikan oleh<br />
hakim dalam putusannya bukanlah PMH dalam<br />
lingkup cakupan Hukum Perdata, sebenarnya<br />
termasuk dalam lingkup cakupan hukum pidana.<br />
Sehubungan dengan hal di atas, maka oleh<br />
hakim proposisi yang dibentuk dalam bangunan<br />
premis minor substansinya secara imperatif<br />
seharusnya menyatakan: “menimbang, bahwa oleh<br />
karena terdakwa sebagai pihak kedua telah tidak<br />
memenuhi kewajiban hukumnya sebagaimana<br />
yang diharuskan dalam surat perjanjian tersebut,<br />
maka perbuatan terdakwa merupakan perbuatan<br />
melawan hukum yang dapat dituntut secara<br />
pidana”.<br />
Premis minor dimaksud dibentuk adalah<br />
atas dasar alasan yuridis yang dapat dibenarkan<br />
menurut norma-norma hukum pidana, yakni<br />
suatu perbuatan melawan hukum secara materiil<br />
telah terjadi, jika perbuatan terdakwa yang tidak<br />
bersifat melawan hukum secara formal yang<br />
telah menimbulkan kerugian bagi masyarakat<br />
atau negara itu, dilakukan tidak dalam kerangka<br />
memenuhi “kewajiban hukum”, dan tidak<br />
dipenuhinya “kewajiban hukum” bukan karena<br />
keadaan memaksa, tetapi semata-mata untuk<br />
kepentingan pelaku sendiri atau orang lain atau<br />
suatu korporasi”.<br />
Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 221<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 221 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:33 PM
Berdasarkan premis minor demikian<br />
itu, maka simpulan yang seharusnya diambil<br />
oleh hakim adalah: “Perbuatan terdakwa yang<br />
menimbulkan kerugian negara, dalam hal ini<br />
Pemerintah Kota Bandung, merupakan perbuatan<br />
melawan hukum yang dapat dituntut secara<br />
pidana”.<br />
Mengingat putusan pengadilan merupakan<br />
babak akhir dari suatu penegakan dan penerapan<br />
hukum, maka secara normatif di samping<br />
harus mengimperasikan kebenaran materiil,<br />
merefleksikan nilai-nilai keadilan, kepastian<br />
hukum, dan kemanfaatan hukum, sudah sepatutnya<br />
tidak boleh melupakan prinsip kecermatan serta<br />
kehati-hatian, terutama dalam memformulasikan<br />
proposisi hukum dalam amar putusan hakim.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Adji, Indriyanto Seno. 2004. Tindak Pidana<br />
Ekonomi, Bisnis dan Korupsi Perbankan.<br />
Bandung: Program Pascasarjana Magister<br />
Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran<br />
Bandung.<br />
Arief, Barda Nawawi. 1998. Bunga Rampai<br />
Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Citra<br />
Aditya.<br />
--------. 2004. “Konsepsi Ajaran Sifat Melawan<br />
Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana”<br />
Makalah pada Seminar Nasional Aspek<br />
Pertanggungjawaban Pidana Dalam<br />
Kebijakan Publik Dari Tindak Pidana<br />
Korupsi, Kerjasama Kejaksaan Agung RI<br />
dengan FH. UNDIP, Semarang.<br />
---------. 2005. Pembaharuan Hukum Pidana<br />
Dalam Perspektif Kajian Perbandingan.<br />
Bandung: Citra Aditya Bakti.<br />
Emong Sapardjaja, Komariah. 2002. Ajaran Sifat<br />
Melawan Hukum Materiil Dalam Hukum<br />
Pidana Indonesia, Studi Kasus Tentang<br />
Penerapan dan Perkembangannya dalam<br />
Yurisprudensi. Bandung: Alumni.<br />
Fuady, Munir. 2002. Perbuatan Melawan Hukum.<br />
Pendekatan Kontemporer. Bandung: Citra<br />
Aditya Bakti.<br />
Kusumaatmadjam, Mochtar, dan Sidharta, B.<br />
Arief. 2000. Pengantar Ilmu Hukum. Suatu<br />
Pengenalan Pertama Ruang Lingkup<br />
Berlakunya<br />
Alumni.<br />
Ilmu Hukum. Bandung:<br />
Lamintang, P.A.F. 1984. Dasar-dasar Hukum<br />
Pidana Indonesia. Bandung: Sinar Baru.<br />
L.B., Curzon. 1979. Jurisprudence, Estover,<br />
PlymouTahun: Macdonald & Evans.<br />
Moeljatno. Perbuatan Pidana dan Pertanggunganjawab<br />
Pidana dalam Hukum Pidana, Pidato<br />
Dies Natalis VI Universitas Gajah Mada<br />
tgl. 19 Desember 1955.<br />
_________. 1983. Asas-Asas Hukum Pidana.<br />
Jakarta: Bina aksara.<br />
Muladi. Proyeksi Hukum Pidana Materiil<br />
Indonesia di Masa Datang. Pidato<br />
Pengukuhan Guru Besar, dalam Ilmu<br />
Hukum Pidana, pada Fakultas Hukum<br />
Universitas Diponegoro, Semarang, 24<br />
Februari 1990.<br />
Poernomo, Bambang. 1981. Asas-asas Hukum<br />
Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia.<br />
Reksodiputro, Mardjono. 1995. Pembaharuan<br />
Hukum Pidana. Buku Keempat. Jakarta:<br />
Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian<br />
Hukum (d/h Lembaga Kriminologi)<br />
222 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 189 - 223<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 222 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:33 PM
Universitas Indonesia.<br />
Sahetapy, JE. (Editor). 1995. Hukum Pidana,<br />
Kumpulan Bahan Penataran Hukum<br />
Pidana , Prof. Dr. D. Schaffmeister, Prof.<br />
Dr. Nico Keiijzer dan Mr. E. PH. Sutorius.<br />
Yogyakarta: Liberty.<br />
Saleh, Roeslan. 1983. Perbuatan Pidana Dan<br />
Pertanggungjawaban Pidana. Dua<br />
Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana.<br />
Jakarta: Aksara Baru.<br />
_________. 1987. Sifat Melawan Hukum<br />
Dari Perbuatan Pidana. Jakarta: Sinar<br />
Grafika.<br />
Sudarto. 1981. Hukum dan Hukum Pidana.<br />
Bandung: Alumni.<br />
_________. 1998. Hukum Pidana 1. Semarang:<br />
Fakultas Hukum UNDIP.<br />
Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 223<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 223 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:33 PM
PENERAPAN KEADILAN RESTORATIF DALAM PUTUSAN<br />
HAKIM:UPAyA PENyELESAIAN KONFLIK MELALUI<br />
SISTEM PERADILAN PIDANA<br />
ABSTRAK<br />
Banyak kasus-kasus sederhana yang berakhir di<br />
pengadilan dan diselesaikan dengan melanggar rasa<br />
keadilan masyarakat kecil. Sepertinya keadilan tidak<br />
pernah berpihak kepada mereka. Keadilan lebih<br />
banyak didekati dari perspektif prosedural bukan<br />
keadilan substansial. Sebagaimana ditunjukkan<br />
dalam putusan yang dianalisis di dalam artikel ini,<br />
penjatuhan putusan untuk kasus yang terbilang<br />
“sederhana” ini akan lebih tepat jika didasarkan<br />
pada filosofi pemidanaan keadilan restoratif. Penulis<br />
yakin bahwa pilihan keadilan restoratif ini sudah<br />
saatnya dipertimbangkan, dimulai dari kasus-kasus<br />
sederhana seperti ini.<br />
Kata kunci: masyarakat kelas bawah, keadilan<br />
restoratif, kasus pidana sederhana.<br />
Kajian Putusan MA Nomor 653/K/Pid/2011<br />
THE IMPLEMENTATION OF RESTORATIVE JUSTIcE IN THE<br />
VERDIcT: AN EFFORT TO RESOLVE THE cONFLIcT THROUgH<br />
THE cRIMINAL JUSTIcE SySTEM<br />
An Analysis on the Supreme Court Decision Number 653/K/Pid/2011<br />
Rena Yulia<br />
Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa,<br />
Jl. Raya Jakarta KM 4 Pakupatan Serang Banten<br />
Email: rena_yulia@yahoo.co.id<br />
Diterima tgl 7 Mei <strong>2012</strong>/Disetujui tgl 18 Juli <strong>2012</strong><br />
abstract<br />
Many trivial cases have been sent to the courts<br />
so far with some of them ended with non-populist<br />
verdicts. Such court rulings have been disturbing<br />
the common sense showing that justice never takes<br />
the side of the poor. Justice is approached only<br />
from the procedural perspective. As shown in this<br />
article, one of the trivial cases was not handled in<br />
appropriate way since the restorative philosophy<br />
of punishment had never been considered to apply.<br />
The author of this article believes that it is time to<br />
start implementing such a philosophy of punishment<br />
beginning from trivial cases as in the case under<br />
discussion.<br />
Keywords: lower class society, restorative justice,<br />
trivial criminal case.<br />
224 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 224 -240<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 224 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:33 PM
I.<br />
PENDAHULUAN<br />
Masyarakat telah disajikan dengan<br />
berbagai peristiwa hukum dalam penegakannya<br />
dianggap mencederai rasa keadilan masyarakat.<br />
Misalnya saja, peristiwa pencurian tiga buah<br />
kakao, pencurian buah semangka, pencurian<br />
setandan pisang, pencurian sendal jepit dan yang<br />
paling baru adalah pencurian piring dan buntut<br />
sapi yang dilakukan oleh “R“ yang telah diputus<br />
bersalah oleh Mahkamah Agung. Putusan<br />
hakim pada peristiwa-peristiwa hukum di atas,<br />
dianggap tidak memberikan rasa keadilan bagi<br />
masyarakat. Putusan tersebut dianggap terlalu<br />
mudah dijatuhkan pada rakyat miskin di tengah<br />
putusan kasus korupsi yang seolah-olah lamban<br />
dan tersendat-sendat penegakannya.<br />
Kasus R, seorang pembantu rumah tangga<br />
yang sudah bekerja selama sepuluh tahun di<br />
rumah majikannya SA di Tangerang, Banten.<br />
Kasus R berawal dari kejadian pada sekitar tahun<br />
2007, di rumah majikannya yang beralamat di<br />
Perumahan GP Sawah Lama kecamatan Ciputat<br />
Tangerang Selatan telah terjadi banjir, dan pada<br />
saat itulah R dituduh telah mengambil barangbarang<br />
milik majikannya berupa satu kantong<br />
plastik daging buntut sapi, satu buah gelas, satu<br />
botol Hair Tonic Hadi Suwarno dan shampo,<br />
satu lembar baju muslim, sapu tangan, satu botol<br />
Listerin, satu kaleng racun nyamuk Force Magic,<br />
satu buah tempat tisu, satu buah piring keramik<br />
merek Anchor Hocking, 1 (satu) buah piring<br />
Geshen Kartikel, dua buah piring merek Royal<br />
Province dan satu buah piring merek Taichi.<br />
Majikan tersebut melaporkan R ke<br />
kepolisian, dan selanjutnya jaksa penuntut umum<br />
menuntut R telah melakukan tindak pidana<br />
pencurian. Putusan Pengadilan Negeri Tangerang<br />
No. 775/Pid.B/2010/PN.TNG. Tanggal 22<br />
Desember 2010 memutuskan nasib R sebagai<br />
berikut:<br />
Menyatakan Terdakwa R binti RA tidak<br />
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah<br />
melakukan tindak pidana yang didakwakan<br />
kepada Terdakwa;<br />
Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Putusan Hakim (Rena Yulia) | 225<br />
•<br />
•<br />
•<br />
•<br />
•<br />
Membebaskan oleh karena itu terhadap<br />
Terdakwa R binti RA tersebut di atas dari<br />
dakwaan tersebut;<br />
Memulihkan hak Terdakwa dalam<br />
kemampuan,<br />
martabatnya;<br />
kedudukan, harkat serta<br />
Memerintahkan terhadap barang bukti<br />
berupa:<br />
Satu kantong plastik daging buntut sapi,<br />
satu buah gelas, satu botol Hair Tonic Hadi<br />
Suwarno dan shampo, satu lembar baju<br />
muslim, sapu tangan, satu botol Listerin,<br />
satu kaleng racun nyamuk Force Magic,<br />
satu buah tempat tisu, satu buah piring<br />
keramik merek Anchor Hocking, 1 (satu)<br />
buah piring Geshen Kartikel, dua buah<br />
piring merek Royal Province dan satu buah<br />
piring merek Taichi, dikembalikan kepada<br />
Terdakwa R binti RA serta satu buah<br />
mangkok dan tiga buah piring kecil/cawan<br />
dikembalikan kepada saksi SM melalui<br />
Terdakwa;<br />
Membebankan<br />
negara.<br />
biaya perkara kepada<br />
Terhadap putusan tersebut, Jaksa Penuntut<br />
Umum tidak puas sehingga mengajukan kasasi ke<br />
Mahkamah Agung. Putusan Mahkamah Agung<br />
inilah yang kemudian menyita perhatian publik.<br />
Bagaimana tidak, amar putusan tersebut berbalik<br />
arah bagi terdakwa R.<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 225 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:33 PM
Mahkamah Agung terdakwa diputus<br />
melalui Putusan No. 653/K/Pid/2011 yang<br />
amarnya pokoknya sebagai berikut:<br />
1. Menyatakan Terdakwa R binti RA, telah<br />
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah<br />
melakukan tindak pidana “pencurian“;<br />
2. Menghukum Terdakwa oleh karena itu<br />
dengan pidana penjara selama 4 (empat)<br />
bulan 10 (sepuluh) hari;<br />
3. Menetapkan bahwa masa penahanan<br />
yang telah dijalani oleh Terdakwa akan<br />
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang<br />
dijatuhkan;<br />
4. Memerintahkan agar barang bukti<br />
dikembalikan kepada saksi SA;<br />
5. Membebankan<br />
terdakwa.<br />
biaya perkara kepada<br />
Putusan Mahkamah Agung tersebut tentu<br />
saja mengundang kontroversial masyarakat.<br />
Secara yuridis formal, R sudah diputus tidak<br />
bersalah oleh Pengadilan Negeri Tangerang.<br />
Dia bebas dari segala tuduhan jaksa. Hakim<br />
menimbang kasus yang diduga dilakukan oleh<br />
R juga merupakan kasus yang nilai kerugiannya<br />
kecil dan sifat perbuatannya masih bisa diperbaiki<br />
jika melihat dari tujuan pemidanaan itu sendiri,<br />
yaitu perbaikan bukan saja penghukuman.<br />
Perkara seperti yang terjadi pada kasus<br />
R justru menghabiskan dana yang lebih besar<br />
dibandingkan kerugian saksi. Apalagi dengan<br />
putusan Pengadilan Negeri Tangerang yang<br />
memvonis tidak bersalah dan terdakwa diharuskan<br />
mengembalikan sejumlah barang yang telah<br />
diambil, toh kerugian korban sudah dipulihkan.<br />
Tentu hal itu sudah memberikan rasa keadilan<br />
bagi korban, pelaku dan juga masyarakat.<br />
Dalam putusannya hakim sudah<br />
menerapkan keadilan restoratif. Dengan<br />
berbagai pertimbangan, terdakwa divonis tidak<br />
bersalah melakukan pencurian. Semua barang<br />
yang menjadi milik terdakwa dikembalikan,<br />
hal itu sudah merupakan pemulihan kerugian<br />
bagi korban. Dengan kata lain, perbaikan atas<br />
kerusakan yang diakibatkan oleh kejahatan yang<br />
terjadi sudah dilakukan.<br />
Pelaku tidak diberikan pembalasan<br />
dengan berupa hukuman, tetapi kerugian korban<br />
dipulihkan dengan mengembalikan semua<br />
barang milik korban. Hal ini sesuai dengan teori<br />
pemidanaan yaitu teori tujuan. Inilah keadilan yang<br />
diagung-agungkan orang pada zaman sekarang,<br />
ya, keadilan restoratif yang “digadangkan” bisa<br />
memberikan keadilan kepada semua pihak.<br />
Baik itu keadilan bagi pelaku, korban, maupun<br />
masyarakat.<br />
Putusan kasus R, Mahkamah Agung<br />
memutuskan keadilan yang berbeda yaitu<br />
menggunakan pendekaran keadilan prosedural<br />
bagi pelanggar tanpa memperhatikan rasa keadilan<br />
masyarakat. Putusan Mahkamah Agung masih<br />
menggunakan keadilan retributif dengan teori<br />
pemidanaan berupa teori pembalasan sehingga<br />
lebih mengedepankan pembalasan bagi pelaku<br />
walaupun kerugian korban sudah dipulihkan.<br />
Menerapkan keadilan restoratif dalam<br />
putusan hakim diharapkan dapat memberikan<br />
keadilan yang membahagiakan bagi para pihak<br />
yang berkonflik, yaitu pelaku dan korban, bahkan<br />
keadilan tersebut bisa dirasakan oleh masyarakat.<br />
Tulisan ini ingin mengkaji penerapan keadilan<br />
restoratif dalam tataran putusan hakim. Mengingat<br />
walau bagaimanapun putusan hakim merupakan<br />
jawaban untuk menyelesaikan konflik pidana<br />
yang terjadi antara pelanggar dengan korban.<br />
226 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 224 -240<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 226 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:33 PM
II.<br />
RUMUSAN MASALAH<br />
Bagaimana penerapan keadilan restoratif<br />
pada putusan hakim dalam menyelesaikan konflik<br />
pidana melalui sistem peradilan pidana.<br />
III.<br />
STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS<br />
A. Tujuan Pemidanaan bagi Pelanggar<br />
Hukum<br />
Berbicara mengenai sanksi yang diberikan<br />
bagi pelanggar hukum atau pelaku tindak pidana,<br />
maka tidak akan lepas berbicara mengenai tujuan<br />
daripada pemberian sanksi tersebut atau disebut<br />
tujuan pemidanaan.<br />
Sebelum sampai pada tujuan pemidanaan,<br />
maka perlu disampaikan terlebih dahulu tujuan<br />
hukum pidana itu sendiri, yaitu untuk melindungi<br />
kepentingan orang perorangan (individu)<br />
atau hak-hak asasi manusia dan melindungi<br />
kepentingan-kepentingan masyarakat dan negara<br />
dengan perimbangan yang serasi dari kejahatan/<br />
tindakan tercela di satu pihak dan dari tindakan<br />
penguasa yang sewenang-wenang di lain pihak.<br />
Akan tetapi mengenai persoalan dan perwujudan<br />
tujuan hukum pidana tersebut dalam sejarahnya<br />
telah mengalami proses yang lama dan lamban<br />
(Sianturi, 1996: 54).<br />
Pada zaman sebelum Revolusi Perancis<br />
misalnya, ketika hukum pidana pada umumnya<br />
belum tertulis, dalam banyak hal, baik/buruknya<br />
atau dapat tidaknya di pidana suatu tindakan,<br />
tergantung kepada kebijaksanaan hakim sebagai<br />
alat dari raja. Dalam banyak peristiwa, terjadi<br />
kesewenang-wenangan dari penguasa mengenai<br />
penentuan sesuatu tindakan yang dapat dipidana,<br />
maupun mengenai jenis dan beratnya pidana,<br />
demikian juga mengenai pengayunannya. Bahkan<br />
kesewenang-wenangan itu sering menjelma<br />
menjadi kekejaman atau kebuasan (Sianturi,<br />
1996: 54).<br />
Di daerah-daerah di Indonesia sebelum<br />
kedatangan penjajah Belanda, pada umumnya<br />
hukum adat tidak tertulis. Hukum adat tidak<br />
mengenal sistem “praeextintente”. Seluruh<br />
lapangan hidup menjadi batu ujian perihal apa<br />
yang dilarang dan apa yang dibolehkan. Tiap-tiap<br />
perbuatan atau tiap-tiap situasi yang tidak selaras<br />
dengan atau yang memperkosa keselamatan<br />
masyarakat, keselamatan golongan, keluarga, dan<br />
sebagainya dapat merupakan pelanggaran hukum.<br />
Sedang reaksi atau koreksi terhadap pelanggaran<br />
hukum adat di berbagai lingkungan hukum<br />
antara lain adalah: mengganti kerugian imaterial,<br />
pembayaran uang adat, selamatan, permintaan<br />
maaf, pelbagai rupa hukuman badan hingga<br />
hukuman mati, pengasingan dari masyarakat.<br />
Sekalipun tidak dikenal pembedaan hukum<br />
perdata dan hukum pidana dalam hukum adat,<br />
namun dapat tergambarkan bahwa tujuan hukum<br />
(pidana) adalah untuk menjamin keselamatan<br />
orang dan masyarakat (Sianturi, 1996: 54).<br />
Penjatuhan pidana bukan semata-mata<br />
sebagai pembalasan dendam. Yang paling penting<br />
adalah pemberian bimbingan dan pengayoman.<br />
Pengayoman sekaligus kepada masyarakat dan<br />
kepada terpidana sendiri agar menjadi insaf dan<br />
dapat menjadi anggota masyarakat yang baik.<br />
Demikianlah konsepsi baru fungsi pemidanaan<br />
yang bukan lagi sebagai penjeraan belaka, namun<br />
juga sebagai upaya rehabilitasi dan reintegrasi<br />
sosial. Konsepsi itu di Indonesia disebut<br />
pemasyarakatan (Waluyo, 2004: 3).<br />
Pada dasarnya kepada seseorang pelaku<br />
suatu tindak pidana harus dikenakan suatu akibat<br />
hukum. Akibat hukum itu pada umumnya berupa<br />
hukuman pidana. Ditinjau dari sudut kerugian<br />
Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Putusan Hakim (Rena Yulia) | 227<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 227 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:33 PM
terpidana, (hukuman) pidana dapat mengenai<br />
(Sianturi, 1996: 54):<br />
a. jiwa pelaku: pidana mati.<br />
b. badan pelaku: pencambukan dengan<br />
rotan sekian kali, pemotongan bagian<br />
badan (misalnya jari tangan), dicap-bara<br />
(brandmerk) dan lain sebagainya.<br />
c. Kemerdekaan pelaku: pidana penjara,<br />
pidana tutupan, pidana kurungan,<br />
pembuangan (verbanning), pengasingan<br />
(deportatie), pengusiran, penginterniran,<br />
penawanan dan sebagainya.<br />
d. Kehormatan pelaku: pencabutan hakhak<br />
(tertentu), pencabutan surat izin<br />
mengemudi, pengumuman putusan hakim,<br />
tegoran dan lain sebagainya.<br />
e. Harta benda/kekayaan: pidana denda,<br />
perampasan barang (tertentu), membayar<br />
harga suatu barang yang tidak/belum<br />
dirampas sesuai taksiran dan lain sebagainya.<br />
Akan tetapi adakalanya dikenakan suatu<br />
hukuman yang sebenarnya tidak merupakan<br />
pidana, melainkan suatu tindakan tertentu atau<br />
suatu kewajiban yang mirip dengan hukuman<br />
perdata. Suatu tindakan tertentu atau yang mirip<br />
dengan hukuman perdata antara lain ialah:<br />
a. Mewajibkan ganti rugi.<br />
b. Tindakan tata-tertib seperti menempatkan<br />
perusahaan pelaku di bawah pengampunan,<br />
mewajibkan pembayaran uang jaminan,<br />
mewajibkan membayar sejumlah uang<br />
sebagai pencabutan keuntungan, melakukan<br />
jasa-jasa, pembubaran suatu organisasi dan<br />
lain sebagainya.<br />
c. Perintah hakim untuk memasukkan<br />
seseorang yang sakit atau cacat jiwanya ke<br />
rumah sakit jiwa.<br />
d. Perintah hakim untuk pengobatan paksa<br />
(narkotik, psychopath).<br />
e. Perintah hakim untuk pendidikan paksa<br />
(anak di bawah umur).<br />
Bahkan dalam hal tertentu, tidak dikenakan<br />
suatu hukuman.<br />
Definisi pidana itu sendiri adalah suatu<br />
penderitaan yang sengaja dijatuhkan negara<br />
kepada seseorang yang telah melakukan suatu<br />
tindakan pidana (Sastrawidjaja, 1995: 25).<br />
Rumusan lain menyebutkan pidana adalah reaksi<br />
atas delik yang banyak berwujud suatu nestapa<br />
yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada<br />
pembuat delik (Waluyo, 2004: 9).<br />
Melihat itu, maka seringkali wujud sanksi<br />
pidana itu memang memberikan penderitaan bagi<br />
orang tersebut. Betapa tidak, narapidana atau<br />
warga binaan dirampas hak-hak kemerdekaannya<br />
sehingga harus terpenjara di balik jeruji besi. Itu<br />
belum dihitung dengan efek stigmatisasi setelah<br />
keluar dari penjara.<br />
Dalam sistem hukum Indonesia yang<br />
menganut asas praduga tak bersalah (presumption<br />
of ennocence), pidana sebagai reaksi atas delik<br />
yang dijatuhkan harus berdasarkan pada vonis<br />
hakim melalui sidang peradilan atas terbuktinya<br />
perbuatan pidana yang dilakukan. Apabila<br />
tidak terbukti bersalah maka tersangka harus<br />
dibebaskan (Waluyo, 2004: 9).<br />
Sebagaimana dijelaskan di awal tulisan ini,<br />
tujuan hukum pidana pada umumnya adalah untuk<br />
melindungi kepentingan orang perseorangan<br />
(individu) atau hak-hak asasi manusia dan<br />
melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat<br />
228 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 224 -240<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 228 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:33 PM
dan negara dengan perimbangan yang serasi dari<br />
kejahatan/tindakan tercela di satu pihak dan dari<br />
tindakan penguasa yang sewenang-wenang di<br />
lain pihak (Sianturi, 1996: 54).<br />
Tujuan penjatuhan pidana adalah<br />
pembalasan, penghapusan dosa, menjerakan,<br />
perlindungan terhadap umum dan memperbaiki si<br />
penjahat (Wahid dan Irfan, 2001: 98-99). Tujuan<br />
hukum pidana, menurut aliran klasik melindungi<br />
individu dari kekuasaan penguasa atau negara.<br />
Sedangkan menurut aliran modern mengajarkan<br />
tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi<br />
masyarakat terhadap kejahatan (Poernomo,<br />
1994: 23-34). Oleh karena itu, ketika dalam<br />
memutuskan vonis kepada terdakwa, tentu hakim<br />
harus mempertimbangkan tujuan pemidanaan<br />
yang mana yang akan dicapai melalui vonis<br />
tersebut.<br />
Secara teori, ada tiga teori pemidanaan<br />
yaitu golongan teori pembalasan, golongan teori<br />
tujuan dan golongan teori gabungan (Sianturi,<br />
1996: 58).<br />
a. Teori Pembalasan<br />
Teori pembalasan membenarkan<br />
pemidanaan karena seseorang telah<br />
melakukan suatu tindak pidana. Terhadap<br />
pelaku tindak pidana mutlak harus<br />
diadakan pembalasan berupa pidana. Tidak<br />
dipersoalkan akibat dari pemidanaan bagi<br />
terpidana. Bahan pertimbangan untuk<br />
pemidanaan hanyalah masa lampau,<br />
maksudnya masa terjadinya tindak<br />
pidana itu, masa yang akan datang yang<br />
bermaksud untuk memperbaiki pelaku<br />
tidak dipersoalkan.<br />
b. Teori Tujuan<br />
Teori tujuan membenarkan pemidanaan<br />
berdasarkan tujuan pemidanaan yaitu<br />
perlindungan masyarakat atau pencegahan<br />
terjadinya kejahatan. Ancaman pidana dan<br />
dijatuhkannya suatu pidana dimaksudkan<br />
untuk menakut-nakuti calon penjahat<br />
atau penjahat yang bersangkutan,<br />
untuk memperbaiki penjahat, untuk<br />
menyingkirkan penjahat, menjamin<br />
ketertiban hukum atau prevensi umum.<br />
Teori tujuan mempersoalkan akibatakibat<br />
dari pemidanaan kepada penjahat<br />
atau kepada kepentingan masyarakat dan<br />
untuk masa mendatang. Teori tujuan lebih<br />
humanis. Selain memikirkan efek jera<br />
kepada penjahat atau pun calon penjahat.<br />
Juga mempertimbangkan akibat dari<br />
pemidanaan ini untuk pelaku tindak pidana<br />
atau pun kepentingan masyarakat di masa<br />
yang akan datang. Dalam kenyataannya<br />
sedikit sekali putusan yang menyiratkan<br />
hal yang demikian.<br />
c. Teori Gabungan<br />
Teori gabungan mendasarkan pemidanaan<br />
kepada perpaduan teori pembalasan<br />
dengan teori tujuan yang tidak saja hanya<br />
mempertimbangkan masa lalu (seperti yang<br />
terdapat dalam teori pembalasan), tetapi juga<br />
harus bersamaan mempertimbangkan masa<br />
datang (seperti yang dimaksudkan pada teori<br />
tujuan). Dengan demikian penjatuhan suatu<br />
pidana harus memberikan rasa kepuasan<br />
baik bagi hakim maupun kepada penjahat<br />
itu sendiri di samping kepada masyarakat.<br />
Jadi harus ada keseimbangan antara pidana<br />
yang dijatuhkan dengan kejahatan yang<br />
telah dilakukan.<br />
Seyogianya teori inilah yang dipakai oleh<br />
para hakim dalam menentukan pemidanaan bagi<br />
pelaku kejahatan. Dalam putusannya, haruslah<br />
mencerminkan penjeraan bagi pelaku atau pun<br />
Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Putusan Hakim (Rena Yulia) | 229<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 229 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:33 PM
calon pelaku tetapi juga mempertimbangkan<br />
akibat yang akan terjadi baik itu pada pelaku,<br />
korban maupun masyarakat.<br />
Kini, pergeseran paradigma pemidanaan<br />
itu sudah beralih pada rasa keadilan yang harus<br />
diperoleh semua pihak. Konsep ini hakim tidak<br />
hanya terpuaskan untuk memidana pelaku, atau<br />
korban yang merasa puas terhadap vonis hakim,<br />
melainkan juga pelaku memperoleh kesempatan<br />
untuk memperbaiki diri dan masyarakat<br />
terpuaskan dengan putusan hakim. Artinya seluruh<br />
pihak yang terlibat dalam konflik pidana merasa<br />
memperoleh keadilan yang (mungkin) setara.<br />
Apabila dikaitkan dengan sistem<br />
pemasyarakatan seyogianya setiap masyarakat<br />
yang melakukan kejahatan atau tindak pidana,<br />
tentunya setiap pemberian sanksi pidana harus<br />
memperhatikan unsur-unsur yang bersifat:<br />
1. Kemanusiaan, dalam arti bahwa<br />
pemidanaan tersebut menjunjung<br />
tinggi harkat martabat seseorang;<br />
2. Edukatif, dalam arti bahwa<br />
pemidanaan itu mampu membuat<br />
orang sadar sepenuhnya atas<br />
perbuatan yang dilakukan dan<br />
menyebabkan ia mempunyai sikap<br />
jiwa yang positif dan konstruktif bagi<br />
usaha penanggulangan kejahatan;<br />
3. Keadilan, dalam arti bahwa<br />
pemidanaan tersebut dirasakan adil,<br />
baik oleh terhukum oleh korban<br />
ataupun masyarakat (Ravena, 2009: 2).<br />
Begitu pula setiap penjatuhan sanksi<br />
pidana kepada pelaku kejahatan haruslah berhatihati,<br />
karena masalah pemberian pidana apapun<br />
bentuknya berkaitan erat dengan karakter dan<br />
sifat orang yang dijatuhi sanksi pidana. Sanksi<br />
pidana bukan semata-mata sebagai pembalasan<br />
tetapi bahwa pidana harus bersifat prospektif<br />
dan berorintasi ke depan. Oleh karena itu, antara<br />
pemberian sanksi pidana dengan pelaku tindak<br />
pidana harus terdapat kesesuaian, sehingga (antara)<br />
tujuan diberikannya sanksi pidana tersebut dapat<br />
tercapai, maka hakim dalam menjatuhkan sanksi<br />
pidana harus mempertahankan sifat-sifat atau<br />
karakter dari si pelaku tindak pidana (Ravena,<br />
2009: 2-3).<br />
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan<br />
oleh hakim sebelum menjatuhkan pidana<br />
sebagaimana telah diutarakan di atas, yaitu:<br />
(RUU KUHP, 2008: Pasal 55)<br />
1. Kesalahan pembuat tindak pidana;<br />
2. Motif dan tujuan melakukan tindak<br />
pidana;<br />
3. Sikap batin pembuat tindak pidana;<br />
4. Apakah tindak pidana dilakukan<br />
dengan berencana;<br />
5. Cara melakukan tindak pidana;<br />
6. Sikap dan tindakan pembuat sesudah<br />
melakukan tindak pidana;<br />
7. Riwayat hidup dan keadaan sosial<br />
ekonomi pembuat tindak pidana;<br />
8. Pengaruh pidana terhadap korban<br />
dan/atau keluarganya dan/atau<br />
9. Pandangan masyarakat terhadap<br />
tindak pidana yang dilakukan.<br />
Selain hal-hal di atas, dalam ayat (2)-nya<br />
disebutkan bahwa ringannya perbuatan, keadaan<br />
pribadi pembuat, atau yang terjadi kemudian,<br />
dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak<br />
230 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 224 -240<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 230 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:34 PM
menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan<br />
dengan mempertimbangkan segi keadilan dan<br />
kemanusiaan.<br />
Walaupun RUU KUHP ini belum disahkan,<br />
tetapi tidak ada salahnya hakim berpedoman pada<br />
hal-hal yang telah disebutkan di atas sebagai<br />
acuan dalam menjatuhkan vonis terhadap pelaku<br />
tindak pidana.<br />
Begitu pula sistem peradilan pidana<br />
berfungsi sebagai sarana penyelesaian konflik<br />
yang ditimbulkan oleh kejahatan. Hal ini sesuai<br />
dengan pandangan bahwa tujuan pemidanaan<br />
yang bersifat integratif, yang mempunyai sarana<br />
perlindungan masyarakat, resosialisasi, serta<br />
penyelesaian konflik yang ditimbulkan oleh<br />
perbuatan pidana serta aspek psikologis untuk<br />
menghilangkan rasa bersalah bagi terpidana<br />
(Ravena, 2009: 3).<br />
Tujuan pemidanaan dalam Rancangan<br />
KUHP tahun 2008 disebutkan sebagai berikut:<br />
a. Mencegah dilakukannya tindak pidana<br />
dengan menegakkan norma hukum<br />
demi pengayoman masyarakat;<br />
b. Memasyarakatkan terpidana dengan<br />
mengadakan pembinaan sehingga<br />
menjadi orang yang baik dan berguna;<br />
c. Menyelesaikan konflik yang<br />
ditimbulkan oleh tindak pidana,<br />
memulihkan keseimbangan, dan<br />
mendatangkan rasa damai dalam<br />
masyarakat; dan<br />
d. Membebaskan rasa bersalah pada<br />
terpidana.<br />
Selain itu dalam ayat 2 disebutkan<br />
bahwa pemidanaan tidak dimaksudkan untuk<br />
menderitakan dan merendahkan martabat<br />
manusia. Jika hakim dalam memutuskan vonis<br />
mempertimbangkan tujuan daripada pemidanaan,<br />
maka kasus-kasus seperti kasus R ini tentu<br />
mendapatkan porsi layak sehingga keadilan yang<br />
diberikan tidak hanya berupa keadilan prosedural<br />
melainkan juga keadilan substansial yang dapat<br />
mewujudkan tujuan pemidanaan itu sendiri.<br />
Berbeda dengan pertimbangan hakim<br />
majelis di tingkat Mahkamah Agung yang lebih<br />
banyak mempertimbangkan aspek formil atau<br />
pun yurisdis dari pada mengedepankan tujuan<br />
dari pemidanaan itu sendiri. Alasan kasasi yang<br />
diajukan oleh jaksa penuntut umum lebih menonjol<br />
dibanding dengan alasan pemidanaan bagi R.<br />
Jika alasan kasasi dikabulkan oleh Mahkamah<br />
Agung, maka itu tentu tidak akan berpengaruh<br />
langsung terhadap vonis bagi terdakwa. Hal itu<br />
dikarenakan vonis terdakwa terkait dengan tujuan<br />
pemidanaan, yaitu, yang paling penting adalah<br />
menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh<br />
tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan<br />
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.<br />
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, banyak<br />
hal yang harus diperhatikan dalam menjatuhkan<br />
putusan, di antaranya pandangan masyarakat<br />
terhadap tindak pidana yang dilakukan. Perhatian<br />
dalam hal ini bukan berarti tidak independen dan<br />
harus mengikuti opini publik, melainkan putusan<br />
tersebut harus peduli dan tidak mencederai rasa<br />
keadilan masyarakat.<br />
B. Penerapan Keadilan Restoratif dalam<br />
Menyelesaikan Konflik Pidana Oleh<br />
Hakim<br />
Keadilan restoratif diterima sebagai salah<br />
satu konsep penyelesaian kasus pidana oleh PBB<br />
pada tahun 2000. Setelah pengakuan itu, semakin<br />
Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Putusan Hakim (Rena Yulia) | 231<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 231 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:34 PM
anyak negara yang menerapkannya dalam<br />
menangani perkara pidana. Keadilan restoratif<br />
adalah model penyelesaian perkara pidana yang<br />
mengedepankan pemulihan korban, pelaku dan<br />
masyarakat. Prinsip utama keadilan restoratif<br />
adalah adanya partisipasi korban dan pelaku,<br />
partisipasi warga sebagai sukarelawan mediator<br />
atau fasilitator penyelesaian kasus (Buletin<br />
<strong>Komisi</strong> <strong>Yudisial</strong>, <strong>2012</strong>: 18).<br />
Untuk memaknai keadilan restoratif, berikut<br />
ini diberikan beberapa pendapat ahli tentang<br />
keadilan restoratif. Agustinus Pohan, misalnya,<br />
mengemukakan keadilan restoratif adalah konsep<br />
keadilan yang sangat berbeda dengan apa yang<br />
kita kenal saat ini dalam Sistem Hukum Pidana<br />
Indone sia yang bersifat retributif, keadilan<br />
restoratif (restorative justice) adalah sebuah<br />
pendekatan untuk membuat pemindahan dan<br />
pelembagaan menjadi sesuai dengan keadilan.<br />
Keadilan restoratif dibangun atas dasar<br />
nilai-nilai tradisional komunitas yang po sitif dan<br />
sanksi-sanksi yang dilaksanakan menghargai hak<br />
asasi manusia. Prinsip-prinsip keadilan restoratif<br />
adalah, mem buat pelaku bertanggung jawab<br />
untuk memperbaiki kerusakan yang disebabkan<br />
karena kejahatannya, memberikan ke sempatan<br />
pada pelaku untuk membuktikan kapasitas dan<br />
kualitasnya sebaik dia mengatasi rasa bersalahnya<br />
dengan cara yang konstruktif, melibatkan<br />
korban, o rang tua, keluarga, sekolah atau teman<br />
bermainnya, membuat forum kerjasama, juga<br />
dalam masalah yang berhubungan dengan<br />
kejahatan untuk mengatasinya (Melani, 2005:<br />
225).<br />
Selanjutnya W. Van Ness menyatakan bahwa<br />
keadilan restoratif hendak mencapai beberapa<br />
nilai melalui penyelenggaraan peradilan pidana,<br />
yaitu; pertama, penyelesaian konflik (conflict<br />
resolution) yang mengandung muatan pemberian<br />
ganti kerugian (recompense) dan pemulihan<br />
nama baik (vindication); dan, kedua, rasa aman<br />
(safety) yang mengandung muatan perdamaian<br />
(peace) dan ketertiban (order) (Mudzakkir, 2005:<br />
26).<br />
Charles K.B. Barton (2003: 4) membagi<br />
restorative justice ke dalam restorative justice<br />
meeting dan restorative justice conference. A<br />
restorative justice meeting is a face-to-face<br />
encounter between the principal stakeholders.<br />
A restorative justice conference, for example,<br />
brings together the victim, the offender, and<br />
their respective communities of support (family<br />
member, friends, coleagues, neighbours, teachers,<br />
coach, etc) to discuss the wrongful, or offending<br />
behaviour in question. The focus is to address<br />
the causes and consequences and to find a<br />
satisfactory resolution to the incident in question<br />
through consensus decision making.<br />
Keadilan restoratif yang dikemukakan di<br />
atas merupakan sebuah proses mempertemukan<br />
para pihak. Para pihak tersebut duduk bersama<br />
untuk membicarakan kesalahan ataupun perilaku<br />
yang telah ditimbulkan. Namun fokus daripada<br />
pertemuan itu adalah untuk menemukan solusi<br />
yang nantinya akan diambil menjadi keputusan.<br />
Selanjutnya Charles (2003: 4) juga<br />
menyebutkan bahwa “in contexs unrelated to<br />
criminal justice, restorative justice processes can<br />
be used as an effective conflict resolution and<br />
problem solving tool. The principles, facilitation<br />
techniques and the democratic nature of these<br />
processes can be easily transferred to other areas<br />
with appropriate modification.<br />
Kelompok kerja Perserikatan Bangsa<br />
Bangsa (PBB) memberikan pengertian keadilan<br />
restoratif sebagai suatu proses yang melibatkan<br />
232 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 224 -240<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 232 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:34 PM
semua pihak yang berhubungan dengan tindak<br />
pidana tertentu bersama-sama memecahkan<br />
masalah, dan memikirkan bagaimana menangani<br />
akibat di masa yang akan datang (Melani, 2005:<br />
223).<br />
Sebagai rasa tanggung jawab dari pelaku<br />
terhadap korban, pelaku didorong untuk<br />
memiliki rasa pertanggungjawaban dengan<br />
menunjukkan empati dan menolong untuk<br />
memperbaiki kerugian. Sebagai akibat dari<br />
perilaku menyakitkan pelaku bukan pada masa<br />
lalu pelaku. Sehingga stigma dapat dihilangkan<br />
melalui tindakan yang tepat yang didukung oleh<br />
penyesalan pelaku dan pemaafan dari korban.<br />
Proses penyelesaian bergantung pada keterlibatan<br />
langsung orang-orang yang terpengaruh oleh<br />
kejadian sehingga dimungkinkan prosesnya<br />
menjadi emosional (Yulia, 2009: 247).<br />
Keadilan restoratif berbeda dengan keadilan<br />
retributif yang dianut sistem peradilan pidana<br />
sekarang. Perbedaan itu antara lain terdapat<br />
dalam beberapa hal, yaitu: pertama, melihat<br />
tindakan kriminal secara komprehensif. Tidak saja<br />
mendefinisikan kejahatan sebagai pelanggaran<br />
hukum semata, namun juga memahami bahwa<br />
pelaku merugikan korban, masyarakat dan bahkan<br />
dirinya sendiri. Kedua, melibatkan banyak pihak<br />
dalam merespon kejahatan, tidak hanya sebatas<br />
urusan pemerintah dan pelaku kejahatan, namun<br />
juga korban dan masyarakat. Ketiga, mengukur<br />
kesuksesan dengan cara yang berbeda, tidak<br />
hanya dari seberapa besar hukuman dijatuhkan,<br />
namun juga mengukur seberapa kerugian dapat<br />
dipulihkan atau dicegah (Hidayat, 2005: 26).<br />
Keadilan restoratif lebih menekankan<br />
kepada keterlibatan langsung pihak-pihak dan<br />
menuntut usaha kerja sama dengan masyarakat<br />
serta pemerintah untuk menciptakan suatu<br />
lingkungan yang harmonis sehingga korban dan<br />
pelaku dapat merekonsiliasi konflik mereka dan<br />
menyelesaikan kerugian mereka dan dalam waktu<br />
yang bersamaan menimbulkan rasa aman dalam<br />
masyarakat (Mudzakkir, 2005: 26).<br />
Melalui pendekatan keadilan restoratif<br />
diharapkan pemulihan bagi korban dapat<br />
terealisasi, tujuan pemidanaan bagi pelaku akan<br />
berhasil dan ketertiban masyarakat pun dapat<br />
tercapai. Keadilan restoratif merupakan salah<br />
satu alternatif untuk mewujudkan keadilan<br />
sesuai dengan tujuan hukum. Keadilan yang<br />
akan diperoleh semua pihak, baik pelaku, korban<br />
maupun masyarakat (Yulia, 2009: 248).<br />
Beberapa teori tentang tujuan hukum:<br />
Pertama, Teori Etis: tujuan hukum adalah<br />
keadilan. Kedua, Teori Utilitas: tujuan hukum<br />
adalah kebahagiaan. Ketiga, Teori Campuran:<br />
tujuan hukum adalah ketertiban. Pendapat lain,<br />
misalnya Mochtar Kusumaatmadja: tujuan<br />
hukum adalah keadilan secara berbeda-beda (baik<br />
isi maupun ukurannya) menurut masyarakat pada<br />
zamannya. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono<br />
Soekanto: tujuan hukum adalah demi kedamaian<br />
hidup antar pribadi yang meliputi ketertiban<br />
ekstern antar pribadi dan ketenangan intern<br />
pribadi (Warassih, 2005: 24-25).<br />
Konsep kejahatan menurut konsep<br />
restorative justice diberi pengertian yang lebih<br />
nyata, bahwa kejahatan adalah konflik antar<br />
orang perseorangan. Kejahatan dipahami sebagai<br />
pelanggaran, pertama dan terutama melanggar<br />
hak perseorangan dan juga melanggar hak<br />
masyarakat (kepentingan publik), kepentingan<br />
negara, dan juga sesungguhnya secara tidak<br />
langsung melanggar kepentingan pelanggar itu<br />
sendiri (Mudzakkir, 2001: 210).<br />
Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Putusan Hakim (Rena Yulia) | 233<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 233 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:34 PM
Bila disimak karakteristik keadilan<br />
restoratif di atas dapat ditegaskan kembali<br />
bahwa pandangannya lebih dipengaruhi<br />
paham Abolisionis yang menganggap sistem<br />
peradilan pidana mengandung masalah atau<br />
cacat struktural sehingga secara realistis<br />
harus diubah dasar-dasar struktur dari sistem<br />
tersebut (Sholehuddin, 2004: 66).<br />
Oleh karena itu, dalam perkara pidana,<br />
keadilan restoratif akan lebih efektif sebagai alat<br />
untuk penyelesaian konflik. Dalam penegakan<br />
hukum pidana, keadilan itu harus diperoleh<br />
melalui tahapan sistem peradilan pidana<br />
sehingga itu tidak menutup kemungkinan untuk<br />
menerapkan keadilan restoratif dalam semua<br />
tahapan sistem peradilan pidana.<br />
Pelaku direstorasi melalui sistem peradilan<br />
pidana sehingga mendorong terjadinya perdamaian<br />
antara korban dan pelaku. Perdamaian itu<br />
dilakukan melalui mediasi, pertemuan, program<br />
perbaikan ekonomi dan pendidikan kejujuran<br />
(Braithwaite, 2002: 54).<br />
Dengan demikian, sistem peradilan<br />
pidana diharapkan dapat mewujudkan keinginan<br />
masyarakat untuk memperoleh keadilan. Akan<br />
tetapi pada kenyataannya banyak masyarakat<br />
yang kecewa dengan hasil bekerjanya sistem<br />
peradilan pidana. Hal itu berkaitan dengan<br />
terlalu bergantungnya sistem peradilan terhadap<br />
kekuasaan dan penguasa, sehingga seolaholah<br />
hukum hanya milik penguasa bukan milik<br />
masyarakat. Dengan kondisi demikian, semakin<br />
menjustifikasi kelemahan rakyat kecil di hadapan<br />
penguasa sehingga sistem peradilan pidana<br />
berpihak pada penguasa.<br />
C. de Rover mengatakan bahwa para<br />
penegak hukum tidak boleh hanya mengetahui<br />
kekuasaan dan kewenangan yang diberikan<br />
kepada mereka oleh hukum, tetapi mereka juga<br />
harus memahami potensi akibat berbahaya<br />
(akibat merusak) dari kekuasaan dan kewenangan<br />
tersebut (Susanto, 2002: 27). Para penegak<br />
hukum harus mengembangkan sikap dan perilaku<br />
personal pada tingkat yang akan memungkinkan<br />
mereka untuk melaksanakan tugas dengan cara<br />
yang benar. Para petugas penegak hukum tidak<br />
hanya harus memiliki karakteristik tersebut<br />
secara perorangan, tetapi juga mereka harus<br />
bekerja secara kolektif untuk memperkuat dan<br />
memelihara citra organisasi penegak hukum<br />
sehingga menanamkan kepercayaan dan<br />
keyakinan ke dalam masyarakat yang mereka<br />
layani dan lindungi (Susanto, 2002: 27).<br />
Keadilan restoratif adalah respon yang<br />
sistematis atas tindak penyimpangan yang<br />
ditekankan pada pemulihan atas kerugian yang<br />
dialami korban dan atau masyarakat sebagai akibat<br />
dari perbuatan kriminal. Keadilan restoratif lebih<br />
menekankan pada upaya pemulihan dan bukan<br />
untuk menghukum. Dalam pelaksanaannya,<br />
keadilan restoratif akan merespon tindak pidana<br />
dengan ciri-ciri sebagai berikut (Mansyur, 2010:<br />
121):<br />
a. Melakukan identifikasi dan mengambil<br />
langkah untuk memperbaiki kerugian yang<br />
diciptakan;<br />
b. Melibatkan seluruh pihak yang terkait<br />
(stake holder);<br />
c. Adanya upaya untuk melakukan<br />
transformasi hubungan yang ada selama<br />
ini antara masyarakat dengan pemerintah<br />
dalam merespon tindak pidana.<br />
Tujuan utama dari keadilan restoratif itu<br />
sendiri adalah pencapaian keadilan yang seadiladilnya<br />
terutama bagi semua pihak yang terlibat<br />
234 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 224 -240<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 234 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:34 PM
di dalamnya, dan tidak sekedar mengedepankan<br />
penghukuman. Keadilan yang saat ini dianut,<br />
yang oleh kaum abolisionis disebut keadilan<br />
retributif, sangat berbeda dengan keadilan<br />
restoratif. menurut keadilan restributif, kejahatan<br />
dirumuskan sebagai pelanggaran terhadap negara,<br />
sedangkan menurut keadilan restoratif kejahatan<br />
dirumuskan sebagai pelanggaran seseorang<br />
terhadap orang lain. Selain itu, keadilan retributif<br />
berpandangan bahwa pertanggungjawaban si<br />
pelaku tindak pidana dirumuskan dalam rangka<br />
pemidanaan, sedangkan keadilan restoratif<br />
berpandangan bahwa pertanggungjawaban si<br />
pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman<br />
terhadap perbuatan dan untuk membantu<br />
memutuskan mana yang paling baik. Dilihat<br />
dari sisi penerapannya, keadilan retributif lebih<br />
cenderung menerapkan penderitaan penjeraan<br />
dan pencegahan, sedangkan keadilan restoratif<br />
menerapkan restitusi sebagai sarana perbaikan<br />
para pihak, rekonsiliasi dan restorasi sebagai<br />
tujuan utama (Mansyur, 2010 : 124).<br />
Jika hal tersebut diterapkan dalam<br />
putusan hakim, maka hakim akan memberikan<br />
putusannya dengan mempertimbangkan halhal<br />
tersebut. Tidak hanya mengendepankan<br />
keadilan prosedural, melainkan efek dari putusan<br />
itu terhadap perbaikan diri terdakwa atau pun<br />
terhadap masyarakat.<br />
Pelaksanaan keadilan restoratif memiliki<br />
prinsip-prinsip dasar sebagai berikut (Mansyur,<br />
2010: 125):<br />
a. Keadilan yang dituntut adalah adanya upaya<br />
pemulihan bagi pihak yang dirugikan.<br />
b. Siapapun yang terlibat dan terkena<br />
dampak dari tindak pidana harus mendapat<br />
kesempatan untuk berpartisipasi penuh<br />
menindaklanjutinya.<br />
c. Pemerintah berperan dalam menciptakan<br />
ketertiban umum, sementara masyarakat<br />
membangun dan memelihara perdamaian.<br />
Mengacu pada prinsip-prinsip tersebut di<br />
atas, terdapat empat nilai utama, yaitu (Mansyur,<br />
2010: 125):<br />
a. Encounter (bertemu satu sama lain), yaitu<br />
menciptakan kesempatan kepada pihakpihak<br />
yang terlibat dan memliki niat dalam<br />
melakukan pertemuan untuk membahas<br />
masalah yang telah terjadi dan pasca<br />
kejadian.<br />
b. Amends (perbaikan), di mana sangat<br />
diperlukan pelaku mengambil langkah<br />
dalam memperbaiki kerugian yang terjadi<br />
akibat perbuatannya.<br />
c. Reintegration (bergabung kembali dalam<br />
masyarakat), yaitu mencari langkah<br />
pemulihan para pihak secara keseluruhan<br />
untuk memberikan kontribusi kepada<br />
masyarakat.<br />
d. Inclusion (terbuka), di mana memberikan<br />
kesempatan kepada semua pihak yang<br />
terkait untuk berpartisipasi dalam<br />
penanganannya.<br />
Proses keadilan restoratif dapat dilakukan<br />
dalam beberapa mekanisme tergantung situasi<br />
dan kondisi yang ada dan bahkan ada yang<br />
mengkombinasikan satu mekanisme dengan yang<br />
lain. Adapun beberapa mekanisme yang umum<br />
diterapkan dalam keadilan restoratif adalah<br />
sebagai berikut (Mansyur, 2010: 126):<br />
a. Victim offender mediation (mediasi antara<br />
korban dan pelaku);<br />
b. Conferencing (pertemuan atau diskusi);<br />
Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Putusan Hakim (Rena Yulia) | 235<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 235 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:34 PM
c. Circles (bernegosiasi);<br />
d. Victim assistance (pendampingan korban);<br />
f. Ex-offender assistance (pendampingan<br />
mantan pelaku);<br />
g. Restitution (ganti rugi);<br />
h. Community service (layanan masyarakat).<br />
Menurut Adrianus Meliala, model hukuman<br />
restoratif diperkenalkan karena sistem peradilan<br />
pidana dan pemidanaan yang sekarang berlaku<br />
menimbulkan masalah. Dalam sistem kepenjaraan<br />
sekaang tujuan pemberian hukuman adalah<br />
penjeraan, pembalasan dendam, dan pemberian<br />
derita sebagai konsekuensi perbuatannya.<br />
Indikator penghukuman diukur dari sejauh<br />
mana narapidana (napi) tunduk pada peraturan<br />
penjara. Jadi, pendekatannya lebih ke keamanan<br />
(security approach). Selain pemenjaraan yang<br />
membawa akibat bagi keluarga napi, sistem<br />
yang berlaku sekarang dinilai tidak melegakan<br />
atau menyembuhkan korban. Apalagi, proses<br />
hukumnya memakan waktu lama. Sebaliknya,<br />
pada model keadilan restoratif yang ditekankan<br />
adalah resolusi konflik. Pemidanaan restoratif<br />
melibatkan korban, keluarga dan pihak-pihak lain<br />
dalam menyelesaikan masalah. Di samping itu,<br />
menjadikan pelaku tindak pidana bertanggung<br />
jawab untuk memperbaiki kerugian yang<br />
ditimbulkan perbuatannya (Mansyur, 2010: 126).<br />
Konsep keadilan restoratif yang didasarkan<br />
pada tujuan hukum sebagai upaya menyelesaikan<br />
konflik dan mendamaikan antara pelaku dan<br />
korban kejahatan. Pidana penjara bukanlah satusatunya<br />
pidana yang dapat diberikan pada pelaku,<br />
melainkan pemulihan kerugian, penderitaan<br />
yang dialami korban lah yang utama. Kewajiban<br />
merestorasi kejahatan dalam bentuk restitusi dan<br />
kompensasi serta rekonsiliasi dan penyatuan<br />
sosial merupakan bentuk pidana dalam konsep<br />
keadilan restoratif (Yulia, 2010: 167).<br />
Prinsip-prinsip keadilan restoratif<br />
sebagaimana telah dijelaskan di atas, tentu dapat<br />
diterapkan oleh hakim dalam menjatuhkan<br />
putusan. Terutama dalam kasus yang dianggap<br />
ringan ataupun kerugiannya dapat dipulihkan<br />
secara segera tanpa harus melibatkan pihak lain.<br />
Dalam Putusan MA No. 653K/Pid/2011<br />
hakim mempertimbangkan sedikitnya 3 hal<br />
dalam menjatuhkan amarnya. Pertama, alasan<br />
Jaksa untuk mengajukan kasasi. Jaksa dianggap<br />
dapat membuktikan bahwa putusan bebas yang<br />
dijatuhkan Pengadilan Negeri Tangerang adalah<br />
bukan bebas murni sehingga dapat diajukan<br />
kasasi. Pengajuan kasasi tersebut sudah sesuai<br />
dengan cara dan tenggat waktu sesuai dengan<br />
perundang-undangan yang berlaku.<br />
Menurut pertimbangan Mahkamah<br />
Agung, jaksa penuntut umum dalam kasasinya<br />
dapat membuktikan bahwa putusan bebas yang<br />
dijatuhkan pengadilan negeri adalah bebas tidak<br />
murni, sehingga masih bisa diajukan upaya<br />
hukum kasasi.<br />
Dalam Putusan Pengadilan Negeri Tangerang<br />
amar putusannya menyatakan bahwa terdakwa<br />
bebas dari segala dakwaan. Hal ini lah yang dijadikan<br />
alasan bahwa terdakwa diputus bebas tidak murni<br />
secara sempit. Alasan lain adalah penafsiran pasalpasal<br />
yang terkait dengan pasal pembuktian (harus<br />
ada saksi ketika terdakwa mengambil barang) dan<br />
unsur mengambil barang milik orang lain tidak<br />
terbukti secara melawan hukum. Alasan pengajuan<br />
kasasi adalah kesalahan hakim dalam menafsirkan<br />
pasal-pasal tersebut di atas. Sehingga Mahkamah<br />
Agung berpendapat bahwa permohonan kasasi<br />
236 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 224 -240<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 236 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:34 PM
jaksa penuntut umum harus dikabulkan.<br />
Alasan pengajuan kasasi dengan<br />
menyatakan bahwa putusan kasus terdakwa R<br />
adalah putusan bebas tidak murni merupakan<br />
alasan dapat diterimanya kasasi. Akan tetapi<br />
dalam menjatuhkan putusan Mahkamah Agung<br />
tidak serta merta harus juga mengabulkan<br />
permohonan kasasinya. Ada hal-hal yang harus<br />
masuk dalam pertimbangan juga.<br />
Kedua, alasan pertimbangan hakim<br />
terhadap unsur “mengambil barang” sesuai<br />
dengan Pasal 362 KUHP. Dalam putusan<br />
pengadilan negeri unsur mengambil barang tidak<br />
terbukti karena tidak ada saksi yang melihat pada<br />
saat pengambilan barang tersebut. Barang yang<br />
ada di tempat terdakwa tidak semuanya diambil<br />
tanpa izin melainkan ada beberapa barang yang<br />
diberikan oleh korban. Tidak ada saksi yang<br />
melihat pada saat mengambil barang sehingga<br />
perbuatan melawan hukum tidak terbukti.<br />
Ketiga, adanya kesalahan penafsiran dari<br />
hakim. Kesalahan dalam melakukan penafsiran<br />
tentang pasal pembuktian dan pencurian menurut<br />
jaksa penuntut umum harus ditinjau kembali oleh<br />
Mahkamah Agung. Untuk menemukan kebenaran<br />
materiil yang memberikan keadilan bagi semua<br />
pihak tentu selain melakukan penafsiran secara<br />
tekstual bunyi undang-undang, juga harus<br />
melakukan penafsiran kontekstual pada saat<br />
itu dilakukan dan pada saat sekarang terjadi<br />
perbuatannya.<br />
Dalam menjatuhkan putusan tidak hanya<br />
unsur yuridis yang dipertimbangkan tetapi unsur<br />
sosiologis juga menjadi bagian penting dalam<br />
sebuah putusan. Mengingat hakim wajib menggali<br />
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.<br />
Keadilan restoratif menawarkan sebuah<br />
mekanisme kerja yang diharapkan dapat<br />
memberikan keadilan bagi semua pihak yang<br />
berkonflik. Dengan menggunakan prinsipprinsip<br />
dalam restorative justice, hakim dalam<br />
putusannya dapat mengedepankan kepentingan<br />
para pihak. Hakim memberikan sebuah solusi<br />
yang semua pihak bisa menerima. Dalam kasus R<br />
misalnya, korban sudah dipulihkan kerugiannya<br />
dengan dikembalikannya barang-barang yang<br />
dianggap dicuri (dalam putusan pengadilan negeri<br />
tidak terbukti unsur mengambil barang).<br />
Melihat jumlah kerugian yang diderita dan<br />
kerugian sudah dipulihkan, maka pembalasan<br />
bagi pelaku juga sudah tidak diperlukan lagi.<br />
Apalagi pembalasan dengan berupa hukuman ini<br />
akan mengakibatkan terganggunya rasa keadilan<br />
masyarakat.<br />
Dalam proses mengadili terdakwa, tentu<br />
hakim dapat mempertimbangkan segala aspek dan<br />
setiap hal yang berkaitan dengan terdakwa. Baik<br />
itu yang meringankan maupun yang memberatkan<br />
terdakwa. Selain itu hakim juga harus<br />
memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan<br />
dan secara sosilogis harus melihat rasa keadilan<br />
yang dicari oleh masyarakat. Walaupun ini tidak<br />
berarti hakim harus terpengaruh oleh opini<br />
publik yang sudah terbangun dalam suatu kasus<br />
tertentu.<br />
Ketika menjatuhkan putusan, tidak sematamata<br />
keadilan prosedural yang sudah terpenuhi.<br />
Tidak hanya melulu mengedepankan formalitas<br />
hukum atau pun kepastian hukum berdasarkan<br />
teks undang-undang, tetapi juga harus<br />
memaknakan keadilan bagi seluruh masyarakat.<br />
Keadilan restoratif lebih mengusung keadilan<br />
substansial yang harus diperoleh semua pihak,<br />
baik itu korban, pelaku atau pun masyarakat. Jika<br />
hakim menggunakan keadilan restoratif dalam<br />
Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Putusan Hakim (Rena Yulia) | 237<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 237 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:34 PM
memutuskan suatu perkara pidana, maka rasa<br />
ketidakpuasan terhadap putusan yang dijatuhkan<br />
akan dapat diminimalisasi. Hal itu terkait dengan<br />
cara bekerjanya keadilan restoratif dalam<br />
menyelesaikan konflik pidana. Sebagaimana<br />
yang telah dijelaskan di atas, bahwa konsep<br />
keadilan restoratif ini menghadirkan semua pihak<br />
dalam mencari solusi terbaik dengan difasilitasi<br />
oleh masyarakat (dalam konteks ini hakim dapat<br />
berfungsi sebagai mediator).<br />
Berbagai hal yang terkait dengan tujuan<br />
pemidanaan, kepentingan pelaku kejahatan,<br />
kepentingan korban dan kepentingan masyarakat<br />
harus menjadi bagian yang tak terpisahkan dari<br />
pertimbangan putusan hakim. Hakim harus<br />
mampu mencerna dampak yang ditimbulkan<br />
kepada pelaku kejahatan atas pidana yang<br />
dijatuhkan. Melalui putusannya itu pula hakim<br />
harus dapat memulihkan kerugian ataupun<br />
penderitaan korban, dan tidak kalah penting<br />
adalah, rasa keadilan masyarakat harus juga<br />
terakomodasi karena itu merupakan kontrol sosial<br />
dari penegakan hukum.<br />
Keadilan restoratif diharapkan dapat<br />
memberikan rasa tanggung jawab sosial pada<br />
pelaku dan mencegah stigmatisasi pelaku di<br />
masa yang akan datang. Dengan demikian<br />
konsep keadilan restoratif ini diharapkan paling<br />
tidak, bisa membatasi perkara yang menumpuk<br />
di pengadilan (walaupun belum bisa diselesaikan<br />
melalui out of court settlement) dan bisa dijadikan<br />
solusi dalam pencegahan kejahatan (Yulia, 2010:<br />
167).<br />
Terkait dengan Putusan Mahkamah<br />
Agung Nomor 653K/Pid/2011, seyogianya spirit<br />
keadilan restoratif dapat dijadikan pertimbangan<br />
hakim untuk memutus terdakwa sesuai dengan<br />
rasa keadilan masyarakat.<br />
Seperti dapat dilihat dalam pertimbangan<br />
putusan hakim Pengadilan Negeri Tangerang<br />
yang memutus R tidak bersalah tetapi harus<br />
mengembalikan semua barang bukti kepada<br />
saksi pelapor. Mengingat situasi dan kondisi<br />
yang menyertai perbuatan itu sehingga dengan<br />
pengembalian sejumlah barang yang dilaporkan<br />
dicuri dianggap dapat memulihkan kerugian yang<br />
diderita oleh korban.<br />
Dalam hal ini, majelis hakim telah<br />
menerapkan keadilan restoratif. Konflik pidana<br />
yang terjadi diselesaikan dengan cara pemulihan<br />
kerugian yang diderita oleh korban. Yaitu<br />
pengembalian sejumlah barang yang dianggap<br />
telah dicuri oleh pelanggar dan pelanggar tidak<br />
dihukum pidana dengan berbagai pertimbangan.<br />
Berbeda jika melihat Putusan Mahkamah<br />
Agung Nomor 653K/Pid/2011. Dalam Amar<br />
putusan tersebut menyatakan terdakwa R telah<br />
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah<br />
melakukan tindak pidana pencurian dan<br />
dijatuhkan vonis empat bulan sepuluh hari. Tentu<br />
saja putusan tersebut menimbulkan kegelisahan<br />
di mata hukum dan masyarakat.<br />
Secara yuridis formal, R sudah diputus<br />
tidak bersalah oleh Pengadilan Negeri Tangerang.<br />
Dia bebas dari segala tuduhan jaksa. Kasus<br />
yang diduga dilakukan olehnya juga merupakan<br />
kasus yang nilai kerugiannya kecil dan sifat<br />
perbuatannya masih bisa diperbaiki. Jika<br />
melihat dari tujuan pemidanaan itu sendiri maka<br />
yang harus dilakukan adalah perbaikan bukan<br />
penghukuman.<br />
Pada sisi yang berbeda, pihak banyak<br />
perkara-perkara yang dianggap besar misalnya<br />
korupsi malahan penegakannnya lamban dan<br />
putusannya tidak memuaskan masyarakat.<br />
238 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 224 -240<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 238 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:34 PM
Beberapa terdakwa kasus korupsi bisa melenggang<br />
kangkung begitu saja selepas divonis bebas oleh<br />
hakim.<br />
Perkara yang terjadi pada kasus R ini,<br />
mungkin proses penyelesaiannya menghabiskan<br />
berkali-kali lipat biaya daripada kerugian saksi.<br />
Terlebih, putusan Pengadilan Negeri Tangerang<br />
yang memvonis tidak bersalah dan terdakwa<br />
diharuskan mengembalikan sejumlah barang yang<br />
telah diambil, kerugian korban sudah dipulihkan.<br />
Dalam hal itu sudah memberikan rasa keadilan<br />
bagi korban, pelaku dan juga masyarakat. Sekali<br />
lagi, dengan kata lain, perbaikan atas kerusakan<br />
yang diakibatkan oleh kejahatan yang terjadi<br />
sudah dilakukan.<br />
IV.<br />
SIMPULAN<br />
Penerapan keadilan restoratif oleh<br />
hakim dalam menjatuhkan putusan dapat<br />
mulai dilaksanakan pada perkara-perkara yang<br />
dianggap dengan sifat kerugian kecil. Seperti<br />
kasus-kasus yang dicontohkan dalam tulisan ini<br />
oleh Pengadilan Negeri Tangerang. Sebaliknya,<br />
Mahkamah Agung justru menggunakan prinsip<br />
hukum pemidanaan sehingga dua putusan itu<br />
berbeda.<br />
Hal ini merupakan terobosan hukum yang<br />
dianggap dapat lebih memberikan keadilan bagi<br />
para pihak, baik itu pelanggar, korban, maupun<br />
masyarakat. Hakim sebagai pemutus akhir suatu<br />
perkara, tentu dapat menggunakan konsep-konsep<br />
keadilan restoratif dalam mempertimbangkan<br />
berbagai hal di balik vonis yang dijatuhkan. Hal itu<br />
semata-mata untuk mewujudkan tujuan hukum,<br />
yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.<br />
Buku-buku:<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Barton, Charles K..B. 2003. Restorative Justice<br />
(The Empowerment Model). Australia:<br />
Hawkins Press.<br />
Mansyur, Ridwan. 2010. Mediasi Penal Terhadap<br />
perkara KDRT (Kekerasan Dalam Rumah<br />
Tangga). Jakarta: Yayasan Gema Yustisia<br />
Indonesia.<br />
Nawawi Arief, Barda. 2008. Mediasi Penal<br />
Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan.<br />
Semarang: Pustaka Magister.<br />
Poernomo, Bambang. 1994. Asas-asas Hukum<br />
Pidana. Yogyakarta: Ghalia Indonesia.<br />
Sastrawidjaja, Sofjan. 1995. Hukum Pidana (Asas<br />
Hukum Pidana sampai dengan Alasan<br />
Peniadaan Pidana). Bandung: Armico.<br />
Sianturi, S.R. 1996. Asas-asas Hukum Pidana<br />
di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta:<br />
Alumni Ahaem.<br />
Sholehuddin, M. 2004. Sistem Sanksi dalam<br />
Hukum Pidana (Ide Double Track System<br />
dan Implementasinya). Jakarta: Rajawali<br />
Pers.<br />
Yulia, Rena. 2010. Viktimologi (Perlindungan<br />
Hukum Terhadap Korban Kejahatan).<br />
Yogyakarta: Graha Ilmu.<br />
Wahid, Abdul dan Irfan, Muhammad. 2001.<br />
Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan<br />
Seksual (Advokasi atas Hak Asasi<br />
Perempuan). Bandung: Refika Aditama.<br />
Waluyo, Bambang. 2004. Pidana dan<br />
Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika.<br />
Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Putusan Hakim (Rena Yulia) | 239<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 239 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:34 PM
Warassih, Esmi. 2005. Pranata Hukum<br />
Sebuah Telaah Sosiologis. Semarang: PT<br />
Suryandaru Utama.<br />
Makalah/jurnal:<br />
Buletin <strong>Komisi</strong> <strong>Yudisial</strong>, Hakim dan Penerapan<br />
Keadilan Restoratif, Vol. VI No 4, Januari-<br />
Pebruari <strong>2012</strong>.<br />
Susanto, Anthon F. Membangun Sistem Peradilan<br />
Pidana Indonesia, <strong>Jurnal</strong> Ilmu Hukum<br />
Litigasi, Volume 3 Nomor 1 Januari-Juni<br />
2002.<br />
Melani, “Membangun Sistem Hukum Pidana dari<br />
Retributif ke Restoratif”, Litigasi, Volume<br />
6 Nomor 3 Oktober 2005.<br />
Mudzakir, Viktimologi Studi Kasus Di Indonesia,<br />
Penataran Nasional Hukum Pidana Dan<br />
Kriminologi XI, Surabaya 14-16 Maret<br />
2005.<br />
Taufik Hidayat, “Restoratif Justice Sebuah<br />
Alternatif”, Restorasi, Edisi IV/Vol 1<br />
2005.<br />
Ravena, Dey, Implementasi Kebijakan<br />
Berwawasan Restorative Justice Pembinaan<br />
Narapidana dalam Sistem Peradilan Pidana<br />
di Indonesia, <strong>Jurnal</strong> Ilmu Hukum Litigasi,<br />
Volume 10 Nomor 1 Februari 2009.<br />
240 | <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> Vol. 5 No. 2 <strong>Agustus</strong> <strong>2012</strong>: 224 -240<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 240 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:34 PM
BIODATA PENULIS<br />
Anthon F. Susanto, lahir di Bandung pada 17 Mei 1969. Sarjana Hukum dari Universitas<br />
Pasundan (1994), S2 Program Pascasarjana Ilmu Hukum UNDIP Semarang (2001), S3 Program<br />
Doktor Ilmu Hukum UNDIP. Beliau adalah dosen Program S1 dan Program Pascasarjana FH<br />
UNPAS Bandung. Aktif sebagai peneliti dan penulis, baik artikel untuk jurnal maupun buku, di<br />
antaranya Wajah Hukum di Era Reformasi dalam rangka menyambut 70 tahun Prof. Dr. Satjipto<br />
Rahardjo, dan Menyikapi dan Memaknai Syari’at Islam Secara Global dan Nasional (Refika<br />
Aditama, 2004).<br />
Laoura Hardjaloka, lahir di Jakarta, 21 Februari 1992, tercatat sebagai mahasiswa tingkat akhir<br />
Fakultas Hukum Universitas Indonesia jurusan Hukum Perdata khususnya Hukum Ekonomi dan<br />
Perburuhan. Pernah menjadi staf peneliti Kajian Keilmuan Fakultas Hukum Universitas Indonesia<br />
dan melakukan penelitian tentang Hambatan dan Kelemahan Sistem Peradilan Tata Usaha Negara<br />
di Indonesia, dan menulis di E-Voting: Kebutuhan Vs. Kesiapan (Menyongsong) E-Demokrasi<br />
yang diterbitkan di <strong>Jurnal</strong> Konstitusi Volume 8, No. 3 Tahun 2011. HP: 021 90325013.<br />
]Yeni widowati, lahir di Gunung Kidul, 17 Juni 1961. Menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas<br />
Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta, S2 di Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang,<br />
dan memperoleh gelar doktor di Universitas Diponegoro pada tahun 2011. Tercatat sebagai dosen<br />
di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dengan pangkat Pembina/IVa sejak<br />
1 April 2006. HP: 081328119161.<br />
widiada Gunakaya, lahir di Singaraja, Bali 30 <strong>Agustus</strong> 1958. Dosen Sekolah Tinggi Hukum<br />
Bandung (STHB) dengan Jabatan Akademik Lektor Kepala. Sarjana Hukum (S1) STHB (1977)<br />
lulus 1982, Magister Ilmu Hukum (S2) KPK UI-UNDIP (1991) lulus 1993, Doktor Ilmu Hukum<br />
Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) 2005 lulus tahun 2008.<br />
Andi Nuzul, lahir di Panyula, Kabupaten Bone Tahun 1963. Menyelesaikan pendidikan tingkat<br />
Sekolah Dasar pada Madrasah Ibtidaiyah (MI) di Panyula (1975), Pendidikan Guru Agama Negeri<br />
4 tahun (PGAN 4 Th) tahun 1979, serta PGAN Watampone (1981). Pada jenjang pendidikan tinggi,<br />
menyelesaikan Sarjana Muda (BA) tahun 1985 di IAIN (Fak. Syariah) Alauddin di Watampone;<br />
Sarjana lengkap (S1) (1987) di perguruan tinggi yang sama Jurusan Pidana dan Perdata Islam, serta<br />
memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) pada FH. Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar<br />
pada program studi keperdataan (1995). Kemudian pada tahun 1999 melanjutkan pendidikan di<br />
pascasarjana (S2) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan selesai tahun 2002 dalam bidang<br />
hukum keperdataan. September tahun 2006, kembali melanjutkan pendidikan doktornya (S3) di<br />
almamaternya (FH UGM) dalam program studi yang sama, dan selesai pada Desember tahun<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 241 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:35 PM
2009. Sejak tahun 1991 sampai tahun 1997, menjadi dosen tetap dalam bidang Ilmu Hukum di<br />
Fakultas Syariah IAIN Walauddin Watampone yang kini beralih status menjadi Sekolah Tinggi<br />
Agama Islam Negeri (STAIN) Watampone. Pada tahun 1997 sampai sekarang menjadi dosen tetap<br />
dalam mata kuliah yang sama pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Watampone.<br />
Saat ini penulis pada jabatan Lektor Kepala (IV/b) dalam Mata Kuliah Pengantar Ilmu Hukum<br />
di STAIN Watampone. Pernah menjadi Ketua Prodi Muamalah pada Jurusan Syariah STAIN<br />
Watampone (1997-1999), serta Pembantu Ketua III Bidang Kemahasiswaan STAIN Watampone<br />
periode tahun 2002-2006.<br />
Selain sebagai dosen tetap dalam mata kuliah Ilmu Hukum di STAIN Watampone, juga memberi<br />
kuliah dalam bidang hukum, kewarganegaraan, dan Pancasila pada beberapa perguruan tinggi<br />
swasta yang ada di Kabupaten Bone, antara lain Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Pengayoman<br />
Watampone, Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Puangrimaggalatung (STIA PRIMA) Bone, serta<br />
Sekolah Tinggi Agama Islam al-Gazali (STIA al-Gazali) Bone.<br />
Rena Yulia, adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Menyelesaikan<br />
S1 Ilmu Hukum di Universitas Islam Bandung dan Magister Ilmu Hukum di almamater yang<br />
sama. Saat ini sedang menempuh Program S3 Ilmu Hukum di Universitas Padjadjaran Bandung.<br />
Penulis buku Viktimologi dan Hukum Pidana Ekonomi. Aktif menulis di jurnal ilmiah dan<br />
beberapa artikel hukumnya dimuat di surat kabar di Jawa Barat. HP: 0817226339.<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 242 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:35 PM
PEDOMAN PENULISAN<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> menerima naskah hasil penelitian atas putusan pengadilan (court decision) suatu<br />
kasus konkret yang memiliki kompleksitas permasalahan hukum, baik dari pengadilan di Indonesia<br />
maupun luar negeri.<br />
FORMAT NASKAH<br />
Naskah dituangkan dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris baku. Apabila ada kutipan<br />
langsung yang dipandang perlu untuk tetap ditulis dalam bahasa lain di luar bahasa Indonesia atau<br />
Inggris, maka kutipan tersebut dapat tetap dipertahankan dalam bahasa aslinya dengan dilengkapi<br />
terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.<br />
Naskah diketik di atas kertas ukuran kwarto (A-4) sepanjang 20 s.d. 25 halaman (sekitar 6.000<br />
kata), dengan jarak antar-spasi 1,5. Ketikan menggunakan huruf (font) Times New Roman berukuran<br />
12 poin.<br />
Semua halaman naskah diberi nomor urut pada margin kanan bawah.<br />
SISTEMATIKA NASKAH<br />
I. JUDUL NASKAH<br />
Judul utama ditulis di awal naskah dengan menggunakan huruf Times New Roman 14 poin,<br />
diketik dengan huruf kapital seluruhnya, ditebalkan (bold), dan diletakkan di tengah margin (center<br />
text). Tiap huruf awal anak judul ditulis dengan huruf kapital, ditebalkan, dengan menggunakan<br />
huruf Times New Roman 12 poin. Contoh:<br />
PERSELISIHAN HUKUM MODERN DAN HUKUM ADAT<br />
DALAM KASUS PENCURIAN SISA PANEN RANDU<br />
Kajian Putusan Nomor 247/Pid.B/2009/PN.BTG<br />
A. Nama dan identitas penulis<br />
Nama penulis ditulis tanpa gelar akademik. Jumlah penulis dibolehkan maksimal dua orang.<br />
Setelah nama penulis, lengkapi dengan keterangan identitas penulis, yakni nama dan alamat lembaga<br />
tempat penulis bekerja, serta akun email yang bisa dihubungi! Nama penulis dicetak tebal (bold),<br />
tetapi identitas tidak perlu dicetak tebal. Semua keterangan ini diketik dengan huruf Times New<br />
Roman 12 poin, diletakkan di tengah margin. Contoh:<br />
Mohammad Tarigan<br />
Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Jalan S. Parman No. 1 Jakarta 11440,<br />
email mohtarigan@yahoo.co.id.<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 243 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:35 PM
B. Abstrak<br />
Abstrak ditulis dalam dua bahasa sekaligus, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Panjang<br />
abstrak dari masing-masing bahasa sekitar 200 kata, disertai dengan kata kunci (keywords) sebanyak<br />
3 s.d. 5 terma (legal terms). Jarak antar-spasi 1,0 dan dituangkan dalam satu paragraf.<br />
II. PENDAHULUAN<br />
Subbab ini berisi latar belakang dari rumusan masalah dan ringkasan jalannya peristiwa hukum<br />
(posisi kasus) yang menjadi inti permasalahan dalam putusan tersebut.<br />
III. RUMUSAN MASALAH<br />
Subbab ini memuat formulasi permasalahan yang menjadi fokus utama yang akan dijawab<br />
nanti melalui studi pustaka dan analisis. Rumusan masalah sebaiknya diformulasikan dalam bentuk<br />
pertanyaan. Setiap rumusan masalah harus diberi latar belakang yang memadai dalam subbab<br />
sebelumnya.<br />
IV. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS<br />
Subbab ini diawali dengan studi pustaka, yakni tinjauan data/informasi yang diperoleh melalui<br />
bahan-bahan hukum seperti perundang-undangan dan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, juga<br />
hasil-hasil penelitian, buku, dan artikel yang relevan dan mutakhir. Paparan dalam studi pustaka<br />
tersebut harus menjadi kerangka analisis terhadap rumusan masalah yang ingin dijawab. Bagian<br />
berikutnya adalah analisis permasalahan. Analisis harus dikemas secara runtut, logis, dan terfokus,<br />
yang di dalamnya terkandung pandangan orisinal dari penulisnya. Bagian analisis ini harus menyita<br />
porsi terbesar dari keseluruhan substansi naskah.<br />
V. SIMPULAN<br />
Subbab terakhir ini memuat jawaban secara lengkap dan singkat atas semua rumusan masalah.<br />
PENGUTIPAN DAN DAFTAR PUSTAKA<br />
Sumber kutipan ditulis dengan menggunakan sistem catatan perut (body note atau side note)<br />
dengan urutan nama penulis/lembaga, tahun terbit, dan halaman yang dikutip. Tata cara pengutipannya<br />
adalah sebagai berikut:<br />
Satu penulis: (Grassian, 2009: 45); Menurut Grassian (2009: 45), ...<br />
Dua penulis: (Abelson dan Friquegnon, 2010: 50-52);<br />
Lebih dari dua penulis: (Hotstede. Et.al., 1990: 23);<br />
Terbitan lembaga tertentu: (Cornell University Library, 2009: 10).<br />
Kutipan tersebut harus ditunjukkan dalam daftar pustaka (bibliografi) pada akhir naskah. Tata<br />
cara penulisan daftar pustaka dilakukan secara alfabetis, dengan contoh sebagai berikut:<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 244 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:35 PM
Abelson, Raziel & Marie-Louise Friquegnon. Eds. 2010. Ethics for Modern Life. New York:<br />
St. Martin’s Press.<br />
Grassian, Victor. 2009. Moral Reasoning: Ethical Theory and Some Contemporary Moral<br />
Problems. New Jersey: Prentice-Hall.<br />
Cornell University Library. 2009. “Introduction to Research.” Akses 20 Januari 2010. .<br />
PENILAIAN<br />
Semua naskah yang masuk akan dinilai dari segi format penulisannya oleh tim penyunting.<br />
Naskah yang memenuhi format selanjutnya diserahkan kepada mitra bestari untuk diberikan catatan<br />
terkait kualitas substansinya. Setiap penulis yang naskahnya diterbitkan dalam <strong>Jurnal</strong> <strong>Yudisial</strong> berhak<br />
mendapat honorarium dan beberapa eksemplar bukti cetak edisi jurnal tersebut.<br />
CARA PENGIRIMAN NASKAH<br />
Naskah dikirim dalam bentuk digital (softcopy) ke alamat e-mail:<br />
jurnal@komisiyudisial.go.id<br />
dengan tembusan ke:<br />
a_nicedp@yahoo.com dan nuraguss@yahoo.com.<br />
Personalia yang dapat dihubungi (contact persons):<br />
Nur Agus Susanto (085286793322);<br />
Dinal Fedrian (085220562292); atau<br />
Arnis (08121368480).<br />
Alamat redaksi:<br />
Pusat Data dan Layanan Informasi, Gd. <strong>Komisi</strong> <strong>Yudisial</strong> Lt. 3, Jl. Kramat Raya No. 57 Jakarta<br />
Pusat 10450, Fax. (021) 3906215.<br />
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 245 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:35 PM
jurnal agustus <strong>2012</strong>-arnis.indd 246 7/27/<strong>2012</strong> 3:11:35 PM