10.08.2013 Views

penelitian dan pengembangan teknologi pengelolaan lahan untuk ...

penelitian dan pengembangan teknologi pengelolaan lahan untuk ...

penelitian dan pengembangan teknologi pengelolaan lahan untuk ...

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

LAPORAN AKHIR<br />

MAK: 1571 00459 B<br />

PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN<br />

TEKNOLOGI PENGELOLAAN LAHAN UNTUK MENINGKATKAN<br />

PRODUKTIVITAS HORTIKULTURA > 20% MENDUKUNG<br />

PENGEMBANGAN KAWASAN HORTIKULTURA<br />

Tahun Anggaran 2011<br />

BALAI PENELITIAN TANAH<br />

BALAI BESAR LITBANG SUMBERDAYA LAHAN PERTANIAN<br />

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN<br />

KEMENTERIAN PERTANIAN<br />

2011


LAPORAN AKHIR<br />

PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN<br />

TEKNOLOGI PENGELOLAAN LAHAN UNTUK MENINGKATKAN<br />

PRODUKTIVITAS HORTIKULTURA > 20% MENDUKUNG<br />

PENGEMBANGAN KAWASAN HORTIKULTURA<br />

Tahun Anggaran 2011<br />

Oleh:<br />

Dr. Ir. Umi Haryati<br />

Ir. Deddy Erfandi<br />

Satker 648680<br />

BALAI PENELITIAN TANAH<br />

BALAI BESAR LITBANG SUMBERDAYA LAHAN PERTANIAN<br />

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN<br />

KEMENTERIAN PERTANIAN<br />

2011


LEMBAR PENGESAHAN<br />

1 Judul RPTP : Penelitian <strong>dan</strong> Pengembangan Teknologi Pengelolaan<br />

Lahan <strong>untuk</strong> Meningkatkan Produktivitas Hortikultura<br />

> 20% Mendukung Pengembang-an Kawasan<br />

Hortikultura<br />

2 Penanggungjawab Kegiatan<br />

RPTP/RDHP<br />

a. Nama : Dr. Ir. Umi Haryati<br />

b. Pangkat/Golongan<br />

c. Jabatan Fungsional<br />

: Pembina /IVa<br />

c.1. Fungsional : Peneliti Madya<br />

c.2. Struktural : -<br />

3 Lokasi Kegiatan : Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi<br />

4 Biaya Penelitian/Pengkajian : Rp. 242.250.000.- (Dua ratus empat puluh dua juta<br />

dua ratus lima puluh ribu rupiah)<br />

5 Sumber Dana : DIPA/RKAKL, Satker Balai Penelitian Tanah, Tahun<br />

Anggaran 2011<br />

Mengetahui<br />

Kepala Balai Penelitian Tanah Penanggung jawab RPTP<br />

Dr. Ir. Sri Rochayati MSc Dr. Ir. Umi Haryati<br />

NIP. 19570616 198603 2 001 NIP. 19601017 198903 2 001


KATA PENGANTAR<br />

Laporan akhir <strong>penelitian</strong> ini menyampaikan hasil yang dicapai dalam<br />

pelaksanaan Penelitian <strong>dan</strong> Pengembangan Pengelolaan Lahan <strong>dan</strong> Pemupukan<br />

<strong>untuk</strong> Meningkatkan Produktivitas Hortikultura > 20% Mendukung<br />

Pengembangan Kawasan Hortikultura. Penelitian ini merupakan <strong>penelitian</strong> tahun<br />

kedua yang dimulai tahun 2010 <strong>dan</strong> dilaksanakan secara berkelanjutan selama 5 tahun.<br />

Penelitian <strong>dan</strong> Pengembangan Pengelolaan Lahan <strong>dan</strong> Pemupukan <strong>untuk</strong><br />

meningkatkan produktivitas hortikultura > 20 % mendukung <strong>pengembangan</strong> kawasan<br />

hortikultura pada tahun ini meliputi dua kegiatan <strong>penelitian</strong>, yaitu: (1) On Farm Reseach<br />

Sistem Usahatani Konservasi (SUT-KTA) di Lahan Sayuran (2) Alternatif Teknologi<br />

Konservasi Tanah <strong>untuk</strong> Pengendalian Erosi <strong>dan</strong> Kehilangan Hara Pada Budidaya Sayuran<br />

Dataran Tinggi (SIT-KTA) . Penelitian ini dilaksanakan di <strong>lahan</strong> petani di Desa Talun<br />

Berasap (<strong>pengembangan</strong> Desa Pelompek), Kecamatan Gunung Tujuh, Kabupaten Kerinci,<br />

Provinsi Jambi.<br />

Pada kesempatan ini, ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak<br />

atas bantuan <strong>dan</strong> kerjasamanya sehingga <strong>penelitian</strong> <strong>dan</strong> laporan ini dapat terlaksana<br />

dengan baik, <strong>dan</strong> mohon maaf atas segala kekurangan, semoga laporan ini dapat<br />

bermanfaat.<br />

Bogor, Desember 2011<br />

Kepala Balai,<br />

Dr. Sri Rochayati<br />

NIP. 19570616 198603 2 001


DAFTAR ISI<br />

Halaman<br />

KATA PENGANTAR i<br />

DAFTAR ISI ii<br />

DAFTAR TABEL iii<br />

DAFTAR GAMBAR iv<br />

ABSTRAK vi<br />

ABSTRACT vii<br />

I PENDAHULUAN 1<br />

1.1. Latar Belakang 1<br />

1.2. Dasar Pertimbangan (justifikasi) 2<br />

1.3. Tujuan 3<br />

1.4. Luaran yang diharapkan 4<br />

1.5 Prakiraan manfaat <strong>dan</strong> dampak kegiatan 4<br />

II TINJAUAN PUSTAKA 5<br />

2.1. Kerangkan Teoritis 5<br />

2.2. Hasil-Hasil Penelitian yang sudah dicapai 9<br />

III METODOLOGI 12<br />

3.1. Pendekatan 12<br />

3.2. Ruang Lingkup Kegiatan 13<br />

3.3. Bahan <strong>dan</strong> Metode Penelitian 13<br />

3.4. Analisis Resiko 16<br />

IV HASIL DAN PEMBAHASAN 17<br />

4.1. HASIL 17<br />

4.2. PEMBAHASAN 35<br />

V KESIMPULAN DAN SARAN 42<br />

VI PRAKIRAAN DAMPAK HASIL KEGIATAN 44<br />

VII DAFTAR PUSTAKA 45


DAFTAR TABEL<br />

Nomor Teks<br />

1 Sifat fisik tanah awal lokasi <strong>penelitian</strong> pada blok P-1 di Desa<br />

Talun Berasap, Kec.Gunung Tujuh, Kab. Kerinci, Provinsi<br />

Jambi , 2011<br />

2<br />

Sifat fisik tanah awal lokasi <strong>penelitian</strong> pada blok P-2 di Desa<br />

Talun Berasap, Kec.Gunung Tujuh, Kab. Kerinci, Provinsi<br />

Jambi , 2011<br />

3 Sifat fisik tanah awal lokasi <strong>penelitian</strong> pada blok P-3 di Desa<br />

Talun Berasap, Kec.Gunung Tujuh, Kab. Kerinci, Provinsi<br />

Jambi , 2011<br />

4 Sifat kimia tanah awal lokasi <strong>penelitian</strong> pada blok P-1 di Desa<br />

Talun Berasap, Kec.Gunung Tujuh, Kab. Kerinci, Provinsi<br />

Jambi , 2011<br />

5 Sifat kimia tanah awal lokasi <strong>penelitian</strong> pada blok P-2 di Desa<br />

Talun Berasap, Kec.Gunung Tujuh, Kab. Kerinci, Provinsi<br />

Jambi , 2011<br />

6 Sifat kimia tanah awal lokasi <strong>penelitian</strong> pada blok P-3 di Desa<br />

Talun Berasap, Kec.Gunung Tujuh, Kab. Kerinci, Provinsi<br />

Jambi , 2011<br />

7 Jenis perlakuan, kemiringan <strong>dan</strong> luas masing-masing<br />

perlakuan pada kegiatan on-farm research di Desa Talun<br />

Berasap, Kec.Gunung Tujuh, Kab. Kerinci, Provinsi Jambi ,<br />

2011<br />

8 Berat segar crop kubis pada saat panen <strong>untuk</strong> setiap model<br />

sistem usahatani konservasi pada kegiatan on-farm<br />

research di Desa Talun Berasap, Kec. Gunung Tujuh, Kab<br />

Kerinci, Jambi<br />

9 Penggunaan bibit Kubis <strong>dan</strong> pupuk pada <strong>penelitian</strong> on-farm<br />

research di Desa Talun Berasap, Kec. Gunung Tujuh, Kab<br />

Kerinci, Jambi<br />

10 Analisis finansial usahatani Kubis pada <strong>penelitian</strong> on-farm<br />

research di Desa Talun Berasap, Kec. Gunung Tujuh, Kab<br />

Kerinci, Jambi<br />

11 Distribusi curah hujan selama pertanaman Kubis di Desa<br />

Talun Berasap, Kecamatan Gunung Tujuh, Jambi, 2011<br />

12 Pengaruh teknik konservasi terhadap populasi tanaman saat<br />

panen <strong>dan</strong> berat segar crop kubis di Desa Talun Berasap, Kec.<br />

Gunung Tujuh, Kab Kerinci, Jambi<br />

Halaman<br />

17<br />

18<br />

19<br />

20<br />

21<br />

22<br />

23<br />

26<br />

26<br />

27<br />

33<br />

35


DAFTAR GAMBAR<br />

Nomor Teks<br />

1 Keragaan on-farm research setelah implementasi perlakuan,<br />

sebelum diitanami pada Blok P-1 (cara petani, barisan<br />

tanaman sejajar lereng) di Desa Talun Berasap, Kec. Gumung<br />

Tujuh, Kab Kerinci, Jambi<br />

2 Keragaan on-farm research setelah implementasi perlakuan,<br />

sebelum diitanami pada Blok P-2 (barisan tanaman sejajar<br />

lereng, dipotong gulud setiap panjang lereng 5 m), di Desa<br />

Talun Berasap, Kec. Gumung Tujuh, Kab Kerinci, Jambi<br />

3 Keragaan on-farm research setelah implementasi perlakuan,<br />

sebelum diitanami pada Blok P-3 (barisan tanaman sejajar<br />

kontur), di Desa Talun Berasap, Kec. Gumung Tujuh, Kab<br />

Kerinci, Jambi<br />

4 Pengaruh teknik konservasi tanah terhadap tinggi tanaman<br />

kubis pada On-Faram Research SUT-KTA di Desa Talun<br />

Berasap, Kec. Gunung Tujuh, Kab Kerinci, Jambi<br />

5 Pengaruh teknik konservasi tanah terhadap diameter kanopi<br />

kubis pada On-Faram Research SUT-KTA di Desa Talun<br />

Berasap, Kec. Gunung Tujuh, Kab Kerinci, Jambi<br />

6 Kegiatan FGD pada <strong>penelitian</strong> On Farm Research (SUT_KTA)<br />

di Desa Talun Berasap, Kec. Gunung Tujuh, Kab Kerinci,<br />

Jambi<br />

7 Pemasangan soil-colector <strong>untuk</strong> 4 perlakuan, sebelum<br />

diitanami pada Blok P-2 di Desa Talun Berasap, Kec. Gumung<br />

Tujuh, Kab Kerinci, Jambi<br />

8 Pemasangan soil - colector <strong>untuk</strong> 4 perlakuan, sebelum<br />

diitanami pada Blok P-3 di Desa Talun Berasap, Kec. Gunung<br />

Tujuh, Kab Kerinci, Jambi<br />

9 Implentasi 4 perlakuan teknik konservasi tanah, sebelum<br />

diitanami pada Blok P-1 di Desa Talun Berasap, Kec. Gumung<br />

Tujuh, Kab Kerinci, Jambi<br />

10 Keragaan pesemaian kubis pada kegiatan <strong>penelitian</strong> SUT- KTA<br />

<strong>dan</strong> SIT - KTA di Desa Talun Berasap, Kec. Gumung Tujuh,<br />

Kab Kerinci, Jambi<br />

11 Pengaruh teknik konservasi tanah terhadap tinggi tanaman<br />

kubis di Desa Talun Berasap, Kec. Gunung Tujuh, Kab Kerinci,<br />

Jambi<br />

12 Pengaruh teknik konservasi tanah terhadap diameter kanopi<br />

kubis di Desa Talun Berasap, Kec. Gunung Tujuh, Kab Kerinci,<br />

Jambi<br />

Halaman<br />

23<br />

24<br />

24<br />

25<br />

25<br />

30<br />

31<br />

31<br />

32<br />

33<br />

34<br />

34


ABSTRAK<br />

Hortikultura merupakan komoditas pertanian yang penting bagi pertumbuhan<br />

ekonomi, <strong>dan</strong> sebagai salah satu sumber pendapatan petani <strong>untuk</strong> mendukung<br />

ketahanan pangan. Usahatani Kubis <strong>dan</strong> Kentang mempunyai keuntungan kompetitif<br />

karena efisien secara finansial terhadap penggunaan sumberdaya domestik. Tetapi<br />

pengo<strong>lahan</strong> tanah di <strong>lahan</strong> berlereng di dataran tinggi di daerah aliran sungai bahgian<br />

hulu tanpa menerapkan teknik konservasi tanah yang tepat menyebabkan berbagai<br />

risiko yang membahayakan agroekosistem baik on-site maupun off-site. Sebagian<br />

besar petani sayuran dataran tinggi umumnya belum mempraktekkan <strong>pengelolaan</strong><br />

<strong>lahan</strong> <strong>dan</strong> pemupukan yang tepat <strong>dan</strong> benar. Penelitian bertujuan (jangka panjang)<br />

<strong>untuk</strong> memperoleh rekomendasi <strong>pengelolaan</strong> tanah yang handal dalam sistem<br />

usahatani konservasi tanah berbasis tanaman sayuran di dataran tinggi. Penelitian ini<br />

dilaksanakan di <strong>lahan</strong> petani di Desa Talun Berasap (<strong>pengembangan</strong> Desa Pelompek),<br />

Kecamatan Gunung Tujuh, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi dengan menggunakan<br />

tanaman indikator kubis dirotasi dengan kentang. Penelitian terdiri dari 2 kegiatan<br />

yaitu : (1) On Farm Reseach Sistem Usahatani Konservasi (SUT-KTA) di Lahan<br />

Sayuran, yang terdiri dari 3 model usahatani konservasi (P-1= praktek petani, P-2 =<br />

tanaman searah lereng, dipotong gulud setiap 5 m panjang lereng, P-3 = tanaman<br />

searah kontur); (2) Alternatif Teknologi Konservasi Tanah <strong>untuk</strong> Pengendalian Erosi<br />

<strong>dan</strong> Kehilangan Hara Pada Budidaya Sayuran Dataran Tinggi. Kegiatan ini terdiri dari<br />

4 perlakuan teknik konservasi tanah, yaitu KTA-1 (tanaman searah lereng), KTA-2<br />

(tanaman searah lereng, dipotong gulud setiap 5 m panjang lereng, KTA-3 (tanaman<br />

searah lereng, dipotong gulud setiap 5 m panjang lereng <strong>dan</strong> ditambah rorak, KTA-4<br />

(tanaman searah kontur). Hasil <strong>penelitian</strong> menunjukkan hasil tanaman kubis secara<br />

umum tergolong rendah (3 – 7 t/ha berat segar) karena tanaman mengalami<br />

kekeringan pada masa pertumbuhannya. Perlakuan sistem usahatani konservasi P-2<br />

memberikan hasil tanaman (7,7 t/ha) <strong>dan</strong> keuntungan (Rp 2.588.000,-) yang tertinggi<br />

dengan nilai B/C ratio (1,51). Sebaliknya perlakuan P-1 memberikan hasil tanaman<br />

terendah (3,0 t/ha) <strong>dan</strong> mengalami kerugian sebesar Rp 1.901.000,-. Teknik<br />

konservasi TKA-3 (pada kegiatan super imposed trial/SIT-KTA) memberikan hasil<br />

tanaman tertinggi (32 t/ha) diikuti oleh TKA-1 (31 t/ha), TKA-2 (29 t/ha) da TKA-4<br />

memberikan hasil yang paling rendah (26 t/ha). Petani pada umumnya cukup<br />

antusias terhadap teknik konservasi tanah <strong>dan</strong> air. Petani cenderung menyukai teknik<br />

konservasi TKA-2 (tanaman searah lereng, dipotong gulud setiap 5 meter), karena<br />

lebih praktis, dengan alternatif TKA-4 (tanaman sejajar kontur).<br />

Kata kunci : usahatani konservasi, teknik konservasi tanah, preferensi petani,<br />

pendapatan, kawasan hortikultura


ABSTRACT<br />

Horticulture is an important agricultural commodity for economic growth, and as a<br />

source of farmer’s income to support food security. Cabbage and potato farming have<br />

competitive advantages due to financially efficient to utilize domestic resource. But its<br />

cultivation in the sloping/highland areas in the upper watershed without applying a proper<br />

soil conservation techniques have caused a variety of risk that was en<strong>dan</strong>gering in on site<br />

and off-site agro ecosystems. Most of vegetable farmers in the highland did not practice<br />

land management fertilization correctly. The research was carried out in farmers' land in<br />

Talun Berasap village (splitting of Pelompek village), Gunung Tujuh District, Kerinci, Jambi<br />

Province using indicator plants of Cabbage and Potato. The aims of study (long term) are<br />

to find out a reliable soil management on vegetable farming in highland areas. The study<br />

has two activities, that are: Activity 1 is On Farm Research Conservation Farming System<br />

consisted three models of conservation farming system namely P-1 (farmers practice), P-2<br />

(planting in bedding direction to the land slopes, but at every 5 m long slopes was cut by<br />

ridge directed to land contour), P-3 (planting in bedding parallel to land contour). Activity<br />

2 is Alternative Technologies for Soil Conservation to Control Erosion and Nutrient Loss In<br />

High Land Vegetable Farming. This activity consists of 4 treatments of soil conservation<br />

techniques, namely KTA-1 (planting in bedding direction to the land slopes), KTA-2<br />

(planting in bedding direction to the land slopes, but at every 5 m long slopes was cut by<br />

ridge directed to land contour), KTA-3(planting in bedding direction to the land slopes,<br />

but at every 5 m long slopes was cut by ridge directed to land contour and added with<br />

rorak, KTA-4 (planting in bedding parallel to land contour). The results showed that the<br />

cabbage yield in on farm research is generally low (3-7 t / ha fresh weight) due to<br />

drought during plant growth. The P-2 treatment gave the highest yields (7,7 t/ha) and<br />

profit (2.588 million IDR) with B/C was 1.51. In contrast, P-1 treatment gave the lowest<br />

yields and suffered a loss of 1.901 million IDR. Conservation techniques TKA-3 (on the<br />

activities of super imphosed trial) gave the highest crop yield (32 t / ha) followed by TKA-<br />

1 (31 t / ha ), TKA-2 (29 t / ha) and TKA-4 gave the lowest yield (26 t / ha). Farmers are<br />

generally quite enthusiastic to the soil and water conservation techniques. Farmers tend<br />

to favor conservation techniques TKA-2 (plants direction of slope, cut by ridge every 5<br />

meters), because it is more practical, and TKA-4 (contouring plants) as an alternative soil<br />

conservation technique.<br />

Key words : conservation farming, soil and water conservation, farmer preferation,<br />

income, hortuculture area


RINGKASAN<br />

PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN<br />

TEKNOLOGI PENGELOLAAN LAHAN UNTUK MENINGKATKAN<br />

PRODUKTIVITAS HORTIKULTURA >20% MENDUKUNG<br />

PENGEMBANGAN KAWASAN HORTIKULTURA<br />

Hortikultura merupakan komoditas pertanian yang penting bagi pertumbuhan<br />

ekonomi <strong>dan</strong> ketahanan pangan nasional. Dalam lima tahun terakhir nilai ekspor<br />

hortikultura buah-buahan meningkat dari US$ 54,2 juta (2003) menjadi US$ 73,6 (2005)<br />

<strong>dan</strong> US$ 113,2 juta (2007) atau rata-rata peningkatannya mencapai 20,4% tahun -1 .<br />

Peningkatan nilai ekspor tersebut antara lain karena meningkatnya produksi hortikultura<br />

buah-buahan dimana volume ekspor meningkat dengan laju 17,3% tahun -1 (BPS, 2008).<br />

Produksi hortikultura sayuran, seperti kentang pada tahun 2006-2007 meningkat sekitar<br />

2,3% tahun -1 . Dalam konteks demikian, kelompok komoditas hortikultura sangat strategis<br />

sehingga perlu mendapatkan prioritas <strong>pengembangan</strong>. Dari sisi permintaan, baik berupa<br />

konsumsi segar maupun produk o<strong>lahan</strong> meningkat dari waktu ke waktu. Sementara itu,<br />

dari sisi produksi masih berpotensi <strong>untuk</strong> ditingkatkan, baik melalui perluasan areal<br />

(ekstensifikasi), maupun peningkatan intensitas tanam <strong>dan</strong> peningkatan produktivitas<br />

melalui intensifikasi usahatani.<br />

Kawasan hortikultura di dataran tinggi umumnya terletak di bagian hulu daerah<br />

aliran sungai (DAS). Sekitar 46% wilayahnya berbukit hingga bergunung dengan lereng<br />

lebih dari 15 % yang sangat rentan terhadap bahaya erosi (Lampiran 1). Lahan dengan<br />

lereng demikian umumnya tersebar di dataran tinggi dengan ketinggian ≥700 m di atas<br />

permukaan laut (dpl). Lahan di kawasan ini sangat penting sebagai penghasil berbagai<br />

komoditas pertanian terutama sayur-sayuran, buah-buahan, kopi, teh, kayu manis, kina,<br />

<strong>dan</strong> lain-lain, selain berfungsi juga sebagai kawasan lindung.<br />

Teknologi konservasi tanah, selain mampu mencegah tanah yang tererosi <strong>dan</strong><br />

hara yang hilang, diharapkan dapat meningkatkan efisiensi pemupukan. Dari <strong>penelitian</strong><br />

ini, selain efisien, budidaya sayuran dataran tinggi diharapkan dapat menguntungkan<br />

petani, <strong>dan</strong> tidak mendatangkan bencana pada daerah-daerah di bagian hilirnya.<br />

Rekomendasi pemupukan yang ada perlu diperbaiki dengan memperhatikan sifat<br />

tanahnya, tanaman yang diusahakan <strong>dan</strong> kelestarian lingkungan, dengan<br />

mengkombinasikan antara pupuk anorganik <strong>dan</strong> organik.


Penelitian ini bertujuan <strong>untuk</strong> mengevaluasi beberapa sistem usahatani konservasi<br />

pada budidaya sayuran dataran tinggi, <strong>untuk</strong> mengevaluasi pengaruh <strong>teknologi</strong><br />

konservasi tanah dalam pengendalian erosi <strong>dan</strong> hara yang hilang dalam sedimen, <strong>dan</strong><br />

pencucian pada budidaya sayuran dataran tinggi <strong>dan</strong> <strong>untuk</strong> memperbaiki rekomendasi<br />

pemupukan yang mengkombinasikan penggunaan pupuk anorganik <strong>dan</strong> bahan organik<br />

dalam budidaya sayuran dataran tinggi. Keluaran yang diharapkan adalah sistem<br />

usahatani konservasi yang sesuai pada budidaya sayuran dataran tinggi, <strong>teknologi</strong><br />

konservasi tanah yang efektif dalam pengendalian erosi <strong>dan</strong> hara yang hilang dalam<br />

sedimen, <strong>dan</strong> pencucian pada budidaya sayuran dataran tinggi <strong>dan</strong> rekomendasi<br />

pemupukan berimbang yang mampu mengefisienkan penggunaan pupuk anorganik <strong>dan</strong><br />

organik dalam budidaya sayuran dataran tinggi.<br />

Penelitian melanjutkan kegiatan tahun 2010, dengan melakukan perbaikan<br />

terhadap perlakuan-perlakuan yang telah diaplikasikan pada tahun tersebut, khususnya<br />

yang berhubungan dengan penerapan <strong>teknologi</strong> konservasi tanah mekanik pada <strong>lahan</strong><br />

sayuran dataran tinggi di Propinsi Jambi. Selain <strong>teknologi</strong> bedengan, pada <strong>lahan</strong> budi<br />

daya akan diaplikasikan <strong>teknologi</strong> konservasi tanah berupa rorak <strong>dan</strong> saluran peresapan<br />

dengan maksud <strong>untuk</strong> menahan laju aliran permukaan <strong>dan</strong> meresapkan air yang mengalir<br />

di atas permukaan tanah ke dalam tanah. Selain itu, dengan asumsi <strong>teknologi</strong> konservasi<br />

tanah tersebut mampu mencegah kehilangan tanah <strong>dan</strong> hara, akan dirumuskan alternatif<br />

<strong>teknologi</strong> <strong>pengelolaan</strong> <strong>lahan</strong> berupa penggunaan pupuk (anorganik maupun organik)<br />

sesuai dengan kebutuhan tanaman <strong>dan</strong> status hara tanah.<br />

Pada TA. 2011, <strong>penelitian</strong> on farm dilaksanakan pada agro-ekosistem dataran<br />

tinggi pada skala mikro DAS yang menjadi kawasan sentra sayuran kentang di Kabupaten<br />

Kerinci (Jambi). Pada kegiatan ini dicoba 3 model sistem usahatani konservasi (SUT–<br />

KTA). Model sistem usahatani konservasi yang diteliti terdiri dari: 1) Praktek<br />

petani/farmer practices (P1), 2) Praktek petani yang diperbaiki/partially improved farmer<br />

practices (P2), 3) Teknologi <strong>pengelolaan</strong> <strong>lahan</strong> introduksii/fully improved technology (P3).<br />

Praktek petani didefinisikan sebagai kebiasan petani setempat dalam berusaha<br />

tani kentang. Praktek petani yang diperbaiki diartikan sebagai kebiasan petani yang<br />

dikombinasikan dengan perbaikan teknik konservasi tanah, se<strong>dan</strong>gkan <strong>teknologi</strong><br />

<strong>pengelolaan</strong> <strong>lahan</strong> yang diintroduksi/perbaikan <strong>teknologi</strong> didefinisikan sebagai cara


erusaha tani kentang dengan memperhatikan kaidah konservasi tanah <strong>dan</strong> pemupukan<br />

berimbang.<br />

Penelitian superimposed dilakukan <strong>untuk</strong> meneliti lebih lanjut mengenai teknik<br />

konservasi tanah <strong>dan</strong> <strong>pengelolaan</strong> hara terpadu sehingga diperoleh informasi lebih detil<br />

<strong>dan</strong> akurat <strong>untuk</strong> menyempurnakan <strong>teknologi</strong> <strong>pengelolaan</strong> <strong>lahan</strong> pada kegiatan on-farm<br />

research. Penelitian dilaksanakan pada <strong>lahan</strong> petani kentang di Desa Talun Berasap,<br />

Kecamatan Gunung Tujuh, Kabupaten Kerinci, Jambi dengan sub ordo tanah Hapludult.<br />

Luasan <strong>lahan</strong> yang digunakan adalah 1 ha. Lokasi <strong>penelitian</strong> terletak di kaki Gunung<br />

Kerinci pada posisi 01 o 41”58,3” LS <strong>dan</strong> 101 o 20’50,3” BT, berbahan induk volkan pada<br />

fisiografi kaki gunung dengan kemiringan berombak sampai bergunung.<br />

Hasil yang diperoleh pada kegiatan On-Farm, karakteristik sifat fisik tanah awal<br />

pada lokasi P-1 memperlihatkan bahwa tanah mempunyai BD rendah, partikel density<br />

(PD) 1,87 – 1,96 g/cm 3 , ruang pori total (RPT) tinggi , pori drainase cepat (PDC), <strong>dan</strong> pori<br />

air tersedia (AT) yang tinggi baik pada lapisan 0-20 cm maupun pada 20-40 cm dari<br />

permukaan tanah. Selain itu, mempunyai pori drainase lambat (PDL) rendah, air<br />

tersedia (AT) yang tinggi, permeabilitas agak cepat, iindeks stabilitas sangat baik pada<br />

lapisan atas (0-20 cm) maupun pada lapisan bawah (20-40 cm). Tanah mempunyai laju<br />

perkolasi yang cepat pada lapisan atas <strong>dan</strong> sangat cepat pada lapisan bawah. Tanah<br />

bertekstur lempung baik pada lapisan atas maupun pada lapisan bawah.<br />

Blok perlakuan on-farm P-2, mempunyai BD 0,62 – 0,66 g/cm3, PD 2,10 – 2,22<br />

g/cm3, RPT, PDC,<strong>dan</strong> AT yang tinggi baik pada lapisan atas maupun lapisan bawah.<br />

Tanah mempunyai PDL yang rendah , permeabilitas se<strong>dan</strong>g <strong>dan</strong> perkolasi sangat cepat<br />

<strong>dan</strong> tekstur lempung baik pada lapisan atas maupun lapisan bawah.<br />

Blok <strong>penelitian</strong> on-farm P-3 mempunyai BD rata-rata 0,67 g/cm3, PD 2,14 g/cm3,<br />

RPT, PDL, <strong>dan</strong> AT yang tinggi baik pada lapisan atas maupun lapisan bawah. Selain itu<br />

tanah pada Blok P-3 mempunyai PDL rendah, permeabilitas se<strong>dan</strong>g pada lapisan atas <strong>dan</strong><br />

agak cepat pada lapisan bawah, serta indeks agregat stabilitas agregat sangat baik pada<br />

lapisan atas maupun bawah <strong>dan</strong> perkolasi sangat cepat baik pada lapisan atas maupun<br />

bawah.<br />

Selain dilakukan analisis sifat fisik tanah dilakukan juga analisis sifat kimia tanah.<br />

Analisis dilakukan terhadap pH, C- organik, N-organik, C/N ratio, KTK, Basa-basa dapat<br />

ditukar, KB, Aldd <strong>dan</strong> Hdd. Tanah pada blok P-1 mempunyai pH masam, kandungan


ahan organik yang sangat tinggi, C/N ratio rendah, kandungan P2O5 <strong>dan</strong> K2O (ekstrak<br />

HCl) sangat rendah, P tersedia tinggi pada lapisan atas <strong>dan</strong> se<strong>dan</strong>g pada lapisan bawah,<br />

KTK <strong>dan</strong> KB tergolong se<strong>dan</strong>g baik pada lapisan atas maupun pada lapisan bawah, serta<br />

Al-dd yang sangat rendah. Sifat kimia tanah pada blok P-1, mempunyai karakteristik yang<br />

tidak terlalu berbeda dengan blok P-2, kecuali KTK yang tinggi pada lapisan atas <strong>dan</strong><br />

rendah pada lapisan bawah serta KB yang rendah baik pada lapisan atas maupun lapisan<br />

bawah. Demikian juga halnya dengan sifat kimia tanah pada blok P-3, mempunyai<br />

karakteristik yang tidak berbeda dengan sifat kimia tanah pada blok P-1.<br />

Ada 3 perlakuan yang diimplementasikan pada kegiatan on-farm research ini yaitu<br />

perlakuan P-1, P-2 <strong>dan</strong> P-3. Jenis perlakuan, kemiringan <strong>dan</strong> luas masing-masing<br />

perlakuan disajikan pada Tabel 1.<br />

Tabel 1. Jenis perlakuan, kemiringan <strong>dan</strong> luas masing-masing perlakuan pada kegiatan<br />

on-farm research di Desa Talun Berasap, Kec.Gunung Tujuh, Kab. Kerinci,<br />

Provinsi Jambi , 2011<br />

Simbol Perlakuan Jenis Perlakuan Kemiringan (%) Luas (ha)<br />

P-1 Cara petani, barisan tanaman<br />

sejajar lereng<br />

15 0,30<br />

P-2 Barisan tanaman sejajar lereng,<br />

dipotong gulud setiap panjang<br />

lereng 5 m<br />

18 0,30<br />

P-3 Barisan tanaman sejajar kontur 27 0,40<br />

Keragaan pertumbuhan tanaman baik tinggi tanaman maupun diameter kanopi<br />

tanaman kubis terlihat berbeda antar perlakuan. Perlakuan P-1 selalu mempunyai tinggi<br />

tanaman yang lebih tinggi dari perlakuan P-2 <strong>dan</strong> P-3 (Gambar 1). Demikian juga halnya<br />

dengan diameter kanopi, perlakuan P-1 selalu mempunyai diameter kanopi tanaman<br />

kubis yang lebih tinggi dari perlakuan P-2 <strong>dan</strong> P-3 (Gambar 2).


Tinggi tanaman (cm)<br />

30.0<br />

25.0<br />

20.0<br />

15.0<br />

10.0<br />

5.0<br />

0.0<br />

2 4<br />

mur tanaman (MST)<br />

6<br />

P-1<br />

P-2<br />

P-3<br />

Gambar 1. Pengaruh teknik konservasi tanah<br />

terhadap tinggi tanaman kubis pada<br />

On-Farm Research<br />

Diam eter kanopi (cm )<br />

20.0<br />

15.0<br />

10.0<br />

5.0<br />

0.0<br />

8 10 12<br />

Umur tanaman (MST)<br />

Gambar 2. Pengaruh teknik konservasi<br />

tanah terhadap diameter kanopi<br />

kubis pada On-Farm Research<br />

Hasil tanaman kubis dalam hal berat segar tanaman /crop tanaman kubis pada<br />

saat panen memberikan respon yang berbeda terhadap perlakuan sistem usahatani<br />

konservasi yang berbeda pada kegiatan on-farm research. Perlakuan P-2 (tanaman<br />

sejajar lereng, dipotong gulud setiap panjang lereng 5 m) memberikan hasil tanaman<br />

yang tertinggi <strong>dan</strong> berbeda dengan perlakuan lainnya, diikuti oleh perlakuan P-3<br />

(tanaman sejajar kontur) <strong>dan</strong> perlakuan P-1 memberikan hasil yang paling rendah (Tabel<br />

2).<br />

Tabel 2 Berat segar crop kubis pada saat panen <strong>untuk</strong> setiap model sistem usahatani<br />

konservasi pada kegiatan on-farm research di Desa Talun Berasap, Kec.<br />

Gunung Tujuh, Kab Kerinci, Jambi<br />

Ulangan<br />

Rata-rata<br />

Sistem usahatani konservasi<br />

(t/ha)<br />

I II III<br />

P1 = tanaman searah lereng 2.7 3.1 3.2 3.0 c<br />

P2 = tanaman searah lereng,<br />

Setiap 5 m dipotong gulud 9.0 7.6 6.5 7.7 a<br />

P3 = tanaman searah kontur 6.2 5.1 7.7 6.3 b<br />

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda <strong>untuk</strong><br />

taraf 5 % DMRT<br />

Harga pasar kubis pada bulan September 2011 adalah Rp 1000 kg -1 , hasil<br />

perhitungan input <strong>dan</strong> output memberikan B/C rasio 0,7; 1,8 <strong>dan</strong> 1,2 masing-masing<br />

P-1<br />

P-2<br />

P-3


pada P1, P2 <strong>dan</strong> P3 . Hal ini karena pada produksi <strong>dan</strong> input tenaga kerja yang berbeda.<br />

Perlakuan P2 <strong>dan</strong> P3 memberikan produksi yang lebih tinggi dari P1, sehingga B/C<br />

rationya lebih tinggi.<br />

Hasil wawancara selama kegiatan focus group discussion (FGD) ada beberapa<br />

usul/saran/pendapat petani sebagaimana uraian di bawah ini : Perlu ada perlakuan<br />

<strong>penelitian</strong> yang dapat menyimpulkan pentingnya peranan bahan organik atau pupuk<br />

kan<strong>dan</strong>g (saran petani tersebut sudah terjawab dari kegiatan riset TA 2010 tetapi<br />

hasilnya belum dapat dijelaskan, dalam TA 2011 tidak ada perlakuan tanpa pupuk<br />

kan<strong>dan</strong>g, mungkin pada TA 2012 perlu dipertimbangkan lagi mengenai perlakuan<br />

tersebut). Perlu penjelasan (akademik) yang dapat dimengerti oleh petani tentang<br />

pentingnya bahan organik dalam <strong>pengelolaan</strong> <strong>lahan</strong> <strong>untuk</strong> sayuran.<br />

Keragaan pertumbuhan tanaman dalam hal tinggi tanaman terlihat tidak berbeda<br />

antar perlakuan teknik konservasi (Gambar 3). Perlakuan teknik konservasi memberikan<br />

pengaruh yang berbeda terhadap pertumbuhan diameter kanopi tanaman (Gambar 4).<br />

Perlakuan KTA-4 (barisan/bedengan tanaman searah kontur) memberikan pengaruh yang<br />

terbaik terhadap perkembangan diameter tanaman pada umur 10 <strong>dan</strong> 12 minggu setelah<br />

tanam. Pengaruh ini tidak berbeda dengan perlakuan KTA-3 (barisan tanaman searah<br />

llereng, setiap 5 m panjang lereng dibuat gulud + rotrak), tetapi berbeda dengan<br />

perlakuan KTA-2 (barisan/bedengan tanaman searah lereng, dipotong gulud setiap 5 m<br />

panjang lereng) <strong>dan</strong> KTA-1 (cara petani, barisan tanaman searah lereng) (Gambar 4).<br />

Tinggi tanaman (cm)<br />

20.0<br />

18.0<br />

16.0<br />

14.0<br />

12.0<br />

10.0<br />

8.0<br />

6.0<br />

4.0<br />

2.0<br />

0.0<br />

2 4<br />

Umur tanaman (MST)<br />

6<br />

Gambar 3 Pengaruh teknik konservasi tanah<br />

terhadap tinggi tanaman kubis.<br />

TKA-1<br />

TKA-2<br />

TKA-3<br />

TKA-4<br />

Diameter kanopi (cm)<br />

17.0<br />

16.5<br />

16.0<br />

15.5<br />

15.0<br />

14.5<br />

14.0<br />

13.5<br />

8 10<br />

Umur tanaman (MST)<br />

12<br />

TKA-1<br />

TKA-2<br />

TKA-3<br />

TKA-4<br />

Gambar 4. Pengaruh teknik konservasi<br />

tanah terhadap diameter kanopi<br />

kubis.


Teknik konservasi tanah secara statistik tidak berpengaruh nyata terhadap<br />

populasi tanaman saat panen, namun memberikan pengaruh yang berbeda terhadap hasil<br />

tanaman (berat segar crop). Perlakuan KTA-3 memberikan hasil yang tertinggi, diikuti<br />

oleh KTA-1, kemudian KTA-2 , <strong>dan</strong> KTA-4 memberikan hasil tanaman yang paling rendah<br />

(Tabel 3).<br />

Tabel 3 Pengaruh teknik konservasi terhadap populasi tanaman saat panen <strong>dan</strong> berat<br />

segar crop kubis di Desa Talun Berasap, Kec. Gunung Tujuh, Kab Kerinci, Jambi<br />

Perlakuan<br />

Jumlah tanaman saat panen<br />

Berat crop<br />

Berat crop<br />

(tan/plot) (tan/ha) (kg/plot) (t/ha)<br />

KTA-1 88 14611 a 186.2 31.028 b<br />

KTA-2 88 14722 a 174.8 29.139 c<br />

KTA-3 87 14556 a 196.8 32.806 a<br />

KTA-4 89 14778 a 156.3 26.056 d<br />

Perlakuan sistem usahatani konservasi P-2 (pada kegiatan on-farm research)<br />

memberikan hasil tanaman yang tertinggi <strong>dan</strong> berbeda dengan P-3 <strong>dan</strong> P-1. Perlakuan P-<br />

1 memberikan hasil tanaman terrendah. Teknik konservasi TKA-3 (pada kegiatan super<br />

imphosed trial/SIT-KTA) memberikan hasil tanaman tertinggi (32 t/ha) diikuti oleh TKA-1<br />

(31 t/ha), TKA-2 (29 t/ha) da TKA-4 memberikan hasil yang paling rendah (26 t/ha).


1.1. Latar Belakang<br />

I. PENDAHULUAN<br />

Hortikultura merupakan komoditas pertanian yang penting bagi pertumbuhan<br />

ekonomi <strong>dan</strong> ketahanan pangan nasional. Dalam lima tahun terakhir nilai ekspor<br />

hortikultura buah-buahan meningkat dari US$ 54,2 juta (2003) menjadi US$ 73,6 (2005)<br />

<strong>dan</strong> US$ 113,2 juta (2007) atau rata-rata peningkatannya mencapai 20,4% tahun -1 .<br />

Peningkatan nilai ekspor tersebut antara lain karena meningkatnya produksi hortikultura<br />

buah-buahan dimana volume ekspor meningkat dengan laju 17,3% tahun -1 (BPS, 2008).<br />

Produksi hortikultura sayuran, seperti kentang pada tahun 2006-2007 meningkat sekitar<br />

2,3% tahun -1 . Dalam konteks demikian, kelompok komoditas hortikultura sangat strategis<br />

sehingga perlu mendapatkan prioritas <strong>pengembangan</strong>. Dari sisi permintaan, baik berupa<br />

konsumsi segar maupun produk o<strong>lahan</strong> meningkat dari waktu ke waktu. Sementara itu,<br />

dari sisi produksi masih berpotensi <strong>untuk</strong> ditingkatkan, baik melalui perluasan areal<br />

(ekstensifikasi), maupun peningkatan intensitas tanam <strong>dan</strong> peningkatan produktivitas<br />

melalui intensifikasi usahatani.<br />

Kawasan hortikultura di dataran tinggi umumnya terletak di bagian hulu daerah<br />

aliran sungai (DAS). Sekitar 46% wilayahnya berbukit hingga bergunung dengan lereng<br />

lebih dari 15 % yang sangat rentan terhadap bahaya erosi (Lampiran 1). Lahan dengan<br />

lereng demikian umumnya tersebar di dataran tinggi dengan ketinggian ≥700 m di atas<br />

permukaan laut (dpl). Lahan di kawasan ini sangat penting sebagai penghasil berbagai<br />

komoditas pertanian terutama sayur-sayuran, buah-buahan, kopi, teh, kayu manis, kina,<br />

<strong>dan</strong> lain-lain, selain berfungsi juga sebagai kawasan lindung.<br />

Kawasan hortikultura di dataran tinggi umumnya didominasi oleh tanah Andisols<br />

yang peka terhadap erosi. Meskipun demikian, sebagian besar petani sayuran belum<br />

menerapkan <strong>teknologi</strong> konservasi tanah. Rendahnya adopsi <strong>teknologi</strong> konservasi tanah<br />

pada usahatani sayuran dataran tinggi disebabkan oleh berbagai alasan, seperti<br />

kekhawatiran akan terganggunya drainase tanah, karena tanah selalu lembab yang akan<br />

mengganggu pertumbuhan tanaman (Sumarna <strong>dan</strong> Kusbandriani, 1992; Suganda et al.,<br />

1999), pengerjaannya sangat berat <strong>dan</strong> memerlukan waktu lama (Un<strong>dan</strong>g Kurnia, 2000),<br />

serta mengurangi populasi tanaman (Haryati et al., 2000). Salah satu bukti, bahwa petani<br />

sayuran di dataran tinggi belum menerapkan teknik konservasi tanah dengan baik <strong>dan</strong><br />

menyebabkan kerusakan <strong>lahan</strong> adalah tingginya kandungan lumpur pada beberapa anak


sungai di DAS Serayu hulu (Pusat Penelitian <strong>dan</strong> Pengembangan Pengairan, 1995).<br />

Penerapan <strong>teknologi</strong> budidaya hortikultura sangat intensif <strong>dan</strong> bervariasi. Pupuk<br />

<strong>dan</strong> pestisida diberikan dalam dosis tinggi, tanpa disertai penerapan <strong>teknologi</strong> konservasi<br />

tanah yang memadai. Praktek pemupukan di tingkat petani sayuran sangat bervariasi,<br />

mulai dari input rendah sampai input sangat tinggi. Untuk sistem dengan input tinggi,<br />

pupuk N diberikan sampai lebih dari 500 kg urea.ha -1 . Pupuk kan<strong>dan</strong>g adalah sumber lain<br />

dari unsur N <strong>dan</strong> unsur lainnya yang diberikan dalam jumlah tinggi, bisa lebih dari 50 t<br />

ha -1 . Seringkali suatu jenis unsur hara diberikan secara berlebihan, namun unsur lainnya<br />

diberikan kurang dari yang semestinya, sehingga efisiensi penggunaanya menjadi rendah.<br />

Praktek budidaya seperti ini dapat menurunkan produktivitas tanah, karena banyak unsur<br />

hara <strong>dan</strong> bahan organik tanah hilang melalui sedimen yang terangkut aliran permukaan,<br />

pencemaran tanah, air, <strong>dan</strong> lingkungan, <strong>dan</strong> banjir akibat meningkatnya volume aliran<br />

permukaan di dalam ba<strong>dan</strong> air/sungai di bagian hilir.<br />

Pemberian satu atau dua unsur hara yang berlebihan, seringkali disebabkan oleh<br />

pemberian pupuk yang hanya berdasarkan kebiasaan petani, atau rekomendasi produsen<br />

pupuk. Pemberian pupuk dengan memperhatikan keseimbangan suatu unsur hara dengan<br />

hara lainnya sesuai kebutuhan tanaman <strong>untuk</strong> mendukung tingkat produksi tertentu,<br />

disebut pemupukan berimbang. Pendekatan yang akan dikembangkan dalam <strong>penelitian</strong><br />

ini adalah memadukan sistem usahatani konservasi <strong>dan</strong> <strong>pengelolaan</strong> hara yang efisien<br />

dalam suatu sistem budidaya sayuran dataran tinggi. Dari <strong>penelitian</strong> ini diharapkan, hara<br />

tanaman dapat diberikan secara seimbang, kehilangan hara <strong>dan</strong> pencucian dapat<br />

diminimalkan, serta dicapai produktivitas <strong>lahan</strong> sayuran yang lestari.<br />

Selanjutnya <strong>penelitian</strong> neraca hara sangat diperlukan <strong>untuk</strong> memperbaiki<br />

rekomendasi pemupukan yang ada, sehingga usaha tani yang dijalankan dapat<br />

meningkatkan kesuburan tanahnya, lebih menguntungkan <strong>dan</strong> akrab lingkungan.<br />

1.2 . Dasar Pertimbangan<br />

Pada saat ini budidaya sayuran dataran tinggi dihadapkan pada masalah besarnya<br />

penggunaan pupuk <strong>dan</strong> pestisida, serta tingginya kehilangan hara yang terangkut dalam<br />

aliran permukaan, <strong>dan</strong> melalui pencucian. Sebagian besar petani sayuran dataran tinggi<br />

umumnya belum mempraktekkan <strong>pengelolaan</strong> <strong>lahan</strong> yang mengindahkan kaidah-kaidah<br />

konservasi tanah <strong>dan</strong> pemupukan yang tepat <strong>dan</strong> benar. Pemupukan dilakukan secara<br />

2


erlebihan <strong>dan</strong> tidak berimbang, sehingga menjadi tidak efisien <strong>dan</strong> dapat menyebabkan<br />

pencemaran lingkungan. Selain itu, kadar C-organik tanah pada sebagian besar kawasan<br />

hortikultura tergolong rendah, sehingga dengan terjadinya erosi, kadar C-organik tanah<br />

menjadi semakin rendah menyebabkan kualitas tanah <strong>dan</strong> efisiensi pemupukan menurun.<br />

Hal ini disebabkan karena belum cukup tersedianya sistem <strong>pengelolaan</strong> <strong>lahan</strong> yang dapat<br />

mengendalikan kehilangan tanah <strong>dan</strong> hara, serta belum tersedianya sistem penentuan<br />

kebutuhan pupuk yang berimbang <strong>dan</strong> praktis. Dengan demikian, <strong>penelitian</strong> yang meng-<br />

hasilkan <strong>teknologi</strong> terpadu <strong>untuk</strong> <strong>pengelolaan</strong> hara <strong>dan</strong> pengendalian erosi dalam sistem<br />

usahatani konservasi berbasis sayuran di dataran tinggi sangat diperlukan. Teknologi<br />

konservasi tanah, selain mampu mencegah tanah yang tererosi <strong>dan</strong> hara yang hilang,<br />

diharapkan dapat meningkatkan efisiensi pemupukan. Dari <strong>penelitian</strong> ini, selain efisien,<br />

budidaya sayuran dataran tinggi diharapkan dapat menguntungkan petani, <strong>dan</strong> tidak<br />

mendatangkan bencana pada daerah-daerah di bagian hilirnya. Rekomendasi pemupukan<br />

yang ada perlu diperbaiki dengan memperhatikan sifat tanahnya, tanaman yang<br />

diusahakan <strong>dan</strong> kelestarian lingkungan, dengan mengkombinasikan antara pupuk<br />

anorganik <strong>dan</strong> organik.<br />

1.3. Tujuan<br />

a. Jangka pendek:<br />

1. Untuk mengevaluasi beberapa sistem usahatani konservasi pada budidaya sayuran<br />

dataran tinggi.<br />

2. Untuk mengevaluasi pengaruh <strong>teknologi</strong> konservasi tanah dalam pengendalian erosi<br />

<strong>dan</strong> hara yang hilang dalam sedimen, <strong>dan</strong> pencucian pada budidaya sayuran dataran<br />

tinggi.<br />

3. Untuk memperbaiki rekomendasi pemupukan yang mengkombinasikan penggunaan<br />

pupuk anorganik <strong>dan</strong> bahan organik dalam budidaya sayuran dataran tinggi.<br />

b. Jangka panjang:<br />

Untuk memperoleh rekomendasi <strong>pengelolaan</strong> tanah yang handal dalam sistem<br />

usahatani konservasi tanah berbasis tanaman sayuran di dataran tinggi.<br />

3


1.4. Luaran yang diharapkan<br />

a. Jangka Pendek:<br />

1. Sistem usahatani konservasi yang sesuai pada budidaya sayuran dataran tinggi<br />

2. Teknologi konservasi tanah yang efektif dalam pengendalian erosi <strong>dan</strong> hara yang<br />

hilang dalam sedimen, <strong>dan</strong> pencucian pada budidaya sayuran dataran tinggi<br />

3. Rekomendasi pemupukan berimbang yang mampu mengefisienkan penggunaan<br />

pupuk anorganik <strong>dan</strong> organik dalam budidaya sayuran dataran tinggi<br />

b. Jangka Panjang:<br />

Rekomendasi <strong>pengelolaan</strong> tanah yang handal dalam sistem usahatani konservasi tanah<br />

berbasis tanaman sayuran di dataran tinggi.<br />

1.5. Prakiraan manfaat <strong>dan</strong> dampak kegiatan<br />

Pengelolaan <strong>lahan</strong> melalui penerapan <strong>teknologi</strong> konservasi tanah <strong>dan</strong> <strong>pengelolaan</strong><br />

hara secara terpadu yang dapat meningkatkan kualitas tanah <strong>dan</strong> produktivitas horti-<br />

kultura, khususnya kentang pada agroekosistem dataran tinggi, diharapkan dapat<br />

mengurangi kerusakan <strong>lahan</strong> <strong>dan</strong> pencemaran lingkungan, memelihara fungsi kawasan<br />

tersebut sebagai penyangga wilayah bagian hilir, <strong>dan</strong> meningkatkan pendapatan petani.<br />

Keberadaan kegiatan <strong>penelitian</strong> di <strong>lahan</strong> petani memungkinkan komunikasi yang intensif<br />

dengan petani, <strong>dan</strong> petani dapat melihat serta memahami <strong>teknologi</strong> <strong>pengelolaan</strong> <strong>lahan</strong><br />

yang tepat, sehingga adopsi <strong>teknologi</strong> meningkat.<br />

4


2.1. Kerangka Teoritis<br />

II. TINJAUAN PUSTAKA<br />

Tanah yang umum dijumpai di kawasan hortikultura dataran tinggi adalah ordo<br />

Andisols, Entisols, <strong>dan</strong> Inceptisols. Andisols <strong>dan</strong> Entisols biasanya berada di ketinggian ><br />

1.000 m dpl., se<strong>dan</strong>gkan Inceptisols dijumpai di ketinggian 700-1.000 m dpl (Suganda et<br />

al., 1997; Suganda et al., 1999). Luas Andisols diperkirakan 5.395.000 ha atau 3% dari<br />

tanah-tanah di Indonesia (Subagyo et al., 2000). Meskipun tidak dominan, tanah ini<br />

merupakan jenis tanah utama di <strong>lahan</strong> pertanian sayuran dataran tinggi atau<br />

pegunungan. Ciri-ciri sifat fisik Andisols adalah berat isi rendah, yaitu sekitar 0,6 sampai<br />

0,9 g cm -3 , total porositas tanah tinggi (>60%), kapasitas infiltrasi tanah tinggi, horizon A<br />

tebal (bervariasi dari 40 cm - > 100 cm). Sifat-sifat tanah cukup baik <strong>untuk</strong> pertumbuhan<br />

tanaman, namun karena berada di wilayah dengan lereng curam <strong>dan</strong> curah hujan tinggi<br />

(>2000 mm tahun -1 ) serta pengusahaan yang intensif, kepekaan tanahnya terhadap erosi<br />

sangat tinggi (Un<strong>dan</strong>g Kurnia <strong>dan</strong> Suganda, 1999).<br />

Tanah yang mempunyai kepekaan erosi (erodibilitas) tinggi, seperti Andisols<br />

sangat mudah tererosi, akibatnya tanah akan mudah hanyut atau terangkut oleh aliran<br />

permukaan pada saat hujan. Selain itu, curah hujan yang tinggi di dataran tinggi akan<br />

semakin memperbesar peluang terjadinya erosi (Arsyad, 2000). Pada umumnya petani<br />

sayuran di dataran tinggi belum menerapkan teknik konservasi, <strong>dan</strong> hanya sebagian kecil<br />

saja yang sudah menerapkannya, meskipun belum sepenuhnya benar. Un<strong>dan</strong>g Kurnia<br />

<strong>dan</strong> Suganda (1999) melaporkan bahwa pada umumnya petani sayuran melakukan<br />

usahataninya pada bedengan atau gulu<strong>dan</strong> searah lereng, atau bedengan/gulu<strong>dan</strong><br />

tersebut dibuat pada bi<strong>dan</strong>g-bi<strong>dan</strong>g teras bangku yang telah lama ada dengan arah<br />

searah lereng, pengo<strong>lahan</strong> tanahnya pun dilakukan searah lereng. Penerapan <strong>teknologi</strong><br />

bedengan/gulu<strong>dan</strong> searah lereng mengakibatkan erosi yang terjadi masih cukup tinggi,<br />

seperti pada Andisol Cipanas mencapai 61,3-65,1 t ha -1 (Suganda et al., 1999), <strong>dan</strong> pada<br />

Inceptisol Campaka sebesar 32,9-43,4 t ha -1 (Erfandi et al., 2002).<br />

Penelitian konservasi tanah pada usahatani sayuran di dataran tinggi masih sangat<br />

terbatas. Hasil <strong>penelitian</strong> tersebut menunjukkan, bahwa teknik konservasi tanah <strong>untuk</strong><br />

menanggulangi erosi cukup positif. Suganda et al. (1997) <strong>dan</strong> Suganda et al. (1999)<br />

membuktikan bahwa jumlah erosi pada bedengan searah kontur paling rendah, yaitu<br />

5


10,7-40,5 t.ha -1 .tahun -1 pada Andisols, <strong>dan</strong> 91,1 t.ha -1 .tahun -1 pada Inceptisols. Pada<br />

Inceptisol Campaka, besarnya erosi pada bedengan searah kontur sebesar 2,3-2,4 t.ha -1 ,<br />

jauh lebih kecil dibandingkan dengan erosi pada bedengan searah lereng sepanjang 5<br />

meter dipotong teras gulud mencapai 10,6-15,0 t.ha -1 (Erfandi et al., 2002). Sutapraja<br />

<strong>dan</strong> Asandhi (1998) mendapatkan bahwa jumlah tanah tererosi pada gulu<strong>dan</strong> searah<br />

kontur adalah 32,06 t.ha -1 .tahun -1 , dua kali lebih kecil dibandingkan dengan gulu<strong>dan</strong> arah<br />

diagonal terhadap kontur yaitu 68,63 t.ha -1 .tahun -1 . Teknik bedengan searah kontur yang<br />

diperkuat dengan Vetiveria zizanoides, Paspalum notatum <strong>dan</strong> Flemingia congesta pada<br />

Andisol Dieng dapat menekan laju erosi dibandingkan dengan bedengan searah lereng<br />

atau bedengan 45 o terhadap kontur (Haryati et al., 2000), Selain itu, bedengan searah<br />

lereng yang panjangnya tidak lebih dari 4,5 m, <strong>dan</strong> dilengkapi dengan teras gulud pada<br />

ujung bagian bawah bedengan mampu menghambat aliran permukaan <strong>dan</strong> erosi.<br />

Penerapan <strong>teknologi</strong> konservasi tanah telah terbukti mampu mengurangi jumlah<br />

erosi, sehingga mampu menekan jumlah hara yang hilang (Suwardjo, 1981; Sinukaban,<br />

1990; Un<strong>dan</strong>g Kurnia, 1996). Hal yang sama terjadi pula pada usahatani sayuran dataran<br />

tinggi, bahwa penerapan <strong>teknologi</strong> konservasi tanah mampu mengurangi sedimen yang<br />

terangkut erosi, sehingga mampu menekan kehilangan hara. Kehilangan hara dari<br />

usahatani sayuran pada Andisol Cipanas dengan <strong>teknologi</strong> bedengan searah kontur<br />

mencapai 146 kg N ha -1 ( 322 kg Urea ha -1 ), 58 kg P2O5 ha -1 ( 161 kg SP 36 ha -1 ) <strong>dan</strong> 13<br />

kg K2O ha -1 (22 kg KCl ha -1 ) lebih kecil dibandingkan dengan kehilangan hara dari<br />

bedengan searah lereng, yaitu 241 kg N ha -1 ( 535,6 kg Urea ha -1 ), 80 kg P2O5 ha -1 ( 222<br />

kg SP 36 ha -1 ) <strong>dan</strong> 1,18 kg K2O ha -1 (1,97 kg KCl ha -1 ) (Suganda et al., 1994). Banuwa<br />

(1994) mendapatkan jumlah hara C <strong>dan</strong> N yang hilang dari Andisol Pangalengan 3.120 kg<br />

C ha -1 tahun -1 (5304 kg bahan organik ha -1 tahun -1 ) <strong>dan</strong> 333 kg N ha -1 tahun -1 (740 kg<br />

Urea ha -1 tahun -1 ). Semakin intensif budidaya sayuran tanpa disertai penerapan teknik<br />

konservasi tanah, dikhawatirkan jumlah hara yang hilang akan semakin besar. Pada<br />

akhinya pemiskinan tanah (nutrient mining) akan berlangsung secara per<strong>lahan</strong>, <strong>dan</strong><br />

konsekuensinya kebutuhan input produksi semakin meningkat.<br />

Alasan umum yang dikemukan petani sayuran kenapa enggan menerapkan teknik<br />

konservasi tanah adalah khawatir produksi tanaman sayuran akan menurun akibat<br />

terjadinya peningkatan kelembaban tanah <strong>dan</strong> berkurangnya populasi tanaman.<br />

Kekhawatiran tersebut tidak sepenuhnya benar, Sutapraja <strong>dan</strong> Asandhi (1998)<br />

6


melaporkan bahwa penerapan bedengan diagonal terhadap kontur pada usahatani<br />

tanaman kentang di Batur, Banjarnegara lebih baik daripada bedengan searah kontur<br />

dengan perbandingan hasil kentang 15,55 ton <strong>dan</strong> 14,88 ton. Hasil sayuran khususnya<br />

kentang <strong>dan</strong> cabai keriting pada bedengan searah kontur <strong>dan</strong> bedengan 4,5 m searah<br />

lereng yang dipotong teras gulud, tidak berbeda nyata dengan hasil tanaman dari<br />

bedengan searah lereng (Suganda et al., 1999). Hasil kubis dari bedengan searah kontur<br />

<strong>dan</strong> bedengan 45 0 terhadap kontur yang diperkuat Vetivera zizanoides, Paspalum<br />

notatum atau Flemingia congesta sebagai tanaman penguat teras tidak berbeda dengan<br />

hasil kubis dari bedengan searah lereng (Haryati et al., 2000). Hasil kentang dengan<br />

penerapan teras bangku dengan bedengan sejajar kontur atau 45 o terhadap kontur (cara<br />

perbaikan) tidak berbeda nyata dengan cara petani, yakni 16,13 ton berbanding 16,29<br />

ton (Haryati <strong>dan</strong> Un<strong>dan</strong>g Kurnia, 2001). Demikian juga penerapan bedengan searah<br />

kontur atau bedengan searah lereng yang dilengkapi dengan gulu<strong>dan</strong> setiap 5 m tidak<br />

menurunkan hasil sayuran kacang tanah, buncis, <strong>dan</strong> kubis dibandingkan dengan praktek<br />

petani berupa bedengan searah lereng tanpa gulu<strong>dan</strong> di Cempaka, Cianjur (Erfandi et al.,<br />

2002). Bahkan, hasil <strong>penelitian</strong> Soleh <strong>dan</strong> Arifin (2003) di Sundoro, Lumajang<br />

menunjukkan penerapan teknik konservasi tanah berupa gulu<strong>dan</strong> searah kontur dengan<br />

strip cropping memberikan hasil kentang lebih tinggi dibanding cara petani (gulu<strong>dan</strong><br />

searah lereng tanpa strip rumput), yakni 12,64 ton berbanding 10,63 ton.<br />

Penerapan teknik konservasi tanah pada <strong>lahan</strong> sayuran di dataran tingi seperti<br />

bedengan atau gulu<strong>dan</strong> searah kontur <strong>dan</strong> bedengan 45 0 terhadap kontur tidak hanya<br />

mampu mempertahankan <strong>dan</strong> meningkatkan hasil, melainkan juga penurunan kesuburan<br />

tanah dapat dihindari. Hal ini disebabkan karena jumlah hara yang hilang <strong>dan</strong> tanah<br />

yang tererosi dapat dikurangi, sehingga kelestarian lingkungan dalam jangka panjang<br />

dapat dicapai tanpa merugikan petani sayuran. Dengan demikian analisis neraca hara<br />

diperlukan <strong>untuk</strong> perbaikan rekomendasi agar efisiensi pemupukan dapat dicapai.<br />

Sifat-sifat kimia utama tanah Andisols yang menjadi pembatas produksi adalah<br />

kuatnya pengikatan unsur P oleh mineral amorf, sehingga ketersediaan P tanah menjadi<br />

rendah. Sifat-sifat kimia tanah lain seperti pH, ketersediaan kation basa <strong>dan</strong> nitrogen (N)<br />

umumnya baik <strong>untuk</strong> pertumbuhan tanaman. Akan tetapi, bila tanah ini digunakan secara<br />

intensif, maka diperlukan pemupukan secara reguler, sesuai dengan kebutuhan tanaman<br />

<strong>dan</strong> ca<strong>dan</strong>gan hara di dalam tanah.<br />

7


Secara teoritis neraca hara dapat didefinisikan sebagai perbedaan antara unsur<br />

yang masuk ke <strong>lahan</strong> <strong>dan</strong> yang terangkut keluar. Hara yang masuk ke dalam <strong>lahan</strong> dapat<br />

berasal dari pupuk anorganik, pupuk organik, air irigasi <strong>dan</strong> air hujan (Lefroy and<br />

Konboon, 1999; Miller and Smith, 1976; Smaling et al., 1993; Stoorvogel et al. 1993;<br />

Sukristiyonubowo, 2007; Van den Bosch at al., 2001; Wijnhoud et al. 2003). Sementara<br />

menurut Uexkull (1989) <strong>dan</strong> Sukristiyonubowo (2007a <strong>dan</strong> 2007b), unsur hara yang<br />

terangkut keluar dari <strong>lahan</strong> mencakup hara yang diangkut oleh hasil panen, pencucian<br />

atau leaching, penguapan (terutama <strong>untuk</strong> nitrogen <strong>dan</strong> sulfur) <strong>dan</strong> fiksasi (terutama<br />

<strong>untuk</strong> fosfat). Selanjutnya, menurut Akonde et al. (1999), Bationo et al. (1998), Lefroy<br />

and Konboon (1999), Santoso et al. (1995), Smaling et al. (1993), Sukristiyonubowo.<br />

(2007a <strong>dan</strong> 2007 b) Van den Bosch et al. (2001, 1998a <strong>dan</strong> 1998b), neraca hara dapat<br />

dikembangkan pada skala (1) plot, (2) usaha tani atau skala DAS, (3) skala kabupaten<br />

atau propinsi <strong>dan</strong> (4) skala negara <strong>untuk</strong> berbagai tujuan.<br />

Sistem pertanian sayuran dataran tinggi masih menjanjikan keuntungan bagi<br />

petani. Berkenaan dengan hal itu, petani berusaha semaksimal mungkin mengintensifkan<br />

sistem usahataninya. Salah satu hasil yang paling menonjol dalam <strong>pengelolaan</strong> tanaman<br />

sayuran adalah aplikasi N yang sangat tinggi melebihi kebutuhan tanaman. Tindakan ini<br />

diambil sebagai garansi oleh petani agar dapat memperoleh produksi yang tinggi. Akan<br />

tetapi tindakan ini mengakibatkan inefisiensi pemupukan <strong>dan</strong> pencemaran lingkungan<br />

pertanian. Hasil <strong>penelitian</strong> N-balance di Jawa Tengah menunjukkan bahwa: (1) N-balance<br />

dari seluruh lokasi, baik perlakuan IP (improved practice) maupun FP (farmer practice)<br />

bernilai positif, artinya masih terdapat suplai yang sangat tinggi dibanding kebutuhan<br />

tanaman. Semakin tinggi nilai positif, semakin menurun N efisiensinya, (2) perlakuan IP<br />

memberikan nilai efisiensi N 91% lebih tinggi dari pada perlakuan FP. Kisaran nilai<br />

efisiensi <strong>untuk</strong> IP antara 8-67%, se<strong>dan</strong>gkan FP antara 4-39%, (3) dari 18 musim tanam,<br />

di lokasi Buntu Kejajar – Wonosobo 50% total N (NH4-N + NO3-N) meningkat, 17%<br />

menurun <strong>dan</strong> 33% tetap. Sementara itu di Kopeng, 37.5% total N meningkat, 37.5%<br />

menurun, <strong>dan</strong> 25% tetap.<br />

Selain itu, terdapat beberapa capaian <strong>penelitian</strong> <strong>teknologi</strong> <strong>pengelolaan</strong> hara pada<br />

sistem pertanian organik, antara lain: (a) informasi jenis bahan organik, yaitu Tithonia<br />

diversifolia, kirinyuh, azolla, sesbania sesban, crotalaria, batang pisang, pupuk kan<strong>dan</strong>g<br />

ayam, kambing, sapi, kuda, briket sampah kota yang dapat dijadikan sumber hara<br />

8


tanaman dalam sistem pertanian organik, (b) formula pupuk organik, yaitu dengan bahan<br />

baku dari pupuk kan<strong>dan</strong>g ayam/kambing yang diperkaya dengan Tithonia diversifolia,<br />

fosfat alam 0,25% <strong>dan</strong> dolomit 0,25% cukup efektif memenuhi kebutuhan hara sayuran,<br />

(c) informasi penggunaan pupuk organik <strong>dan</strong> pupuk hayati dalam meningkatkan efisiensi<br />

pupuk, mengurangi biaya produksi serta meningkatkan keanekaragaman organisme<br />

tanah, (d) <strong>teknologi</strong> <strong>pengelolaan</strong> hara pada sayuran dalam sistem pertanian organik yaitu<br />

dengan rotasi tanaman leguminosa <strong>dan</strong> pemberian pupuk organik dari kombinasi pupuk<br />

kan<strong>dan</strong>g <strong>dan</strong> pupuk hijau yang diperkaya dengan fosfat alam, dolomit, arang sekam <strong>dan</strong><br />

pupuk hayati, (e) informasi <strong>teknologi</strong> <strong>pengelolaan</strong> hara dapat meningkatkan produktivitas<br />

tanah melalui indikator kesuburan fisik, kimia <strong>dan</strong> biologi tanah pada sayuran <strong>dan</strong> padi<br />

dalam sistem pertanian organik, <strong>dan</strong> (f) informasi neraca hara pada beberapa<br />

pertanaman tumpangsari sayuran pada sistem pertanian organik.<br />

2.2. Hasil-hasil <strong>penelitian</strong> yang sudah dicapai (pada TA 2010)<br />

Desa Talun Berasap, Kecamatan Gunung Tujuh terletak pada ketinggian 1.400-<br />

1.500 m dpl., kondisi <strong>lahan</strong> berbukit sampai bergunung, curah hujan tinggi (> 2.500<br />

mm/tahun) <strong>dan</strong> lereng curam (> 25%) sehingga sangat peka terhadap bahaya erosi.<br />

Berdasarkan data hujan selama 11 tahun (1999-2009) menunjukkan bahwa rata-rata<br />

curah hujan di Kabupaten Kerinci sebesar 157,22 mm bulan -1 dengan 13,16 hari hujan<br />

<strong>dan</strong> rata-rata kelembaban udara sebesar 82,57. Hasil analisis data curah hujan selama<br />

11 tahun terakhir ini menunjukkan bahwa distribusi curah hujan di di dataran tinggi<br />

Kabupaten Kerinci memiliki 2 puncak curah hujan (Bimodal), yaitu pada bulan April<br />

(181,550 mm) <strong>dan</strong> bulan Desember (318,100 mm) dengan hari hujan antara 9-17<br />

hari/bulan.<br />

Tanaman kentang, kubis <strong>dan</strong> cabai merupakan komoditas sayuran utama<br />

se<strong>dan</strong>gkan jenis sayuran lainnya yang banyak ditanam petani adalah kubis, bawang daun,<br />

bawang merah, buncis, tomat <strong>dan</strong> wortel yang ditanam petani secara sporadis. Pola<br />

tanam sayuran yang ada (existing) adalah kentang-kubis-cabai <strong>untuk</strong> <strong>lahan</strong> datar-<br />

bergelombang (< 15%) <strong>dan</strong> pola kentang-cabai/tomat-ubi jalar <strong>untuk</strong> <strong>lahan</strong> berbukit <strong>dan</strong><br />

bergunung (> 15%).<br />

Petani belum menyadari bahwa penanaman kentang searah lereng pada <strong>lahan</strong><br />

dengan kemiringan > 15 % menyebabkan erosi tanah yang tinggi. Keadaan ini<br />

9


menyebabkan dosis pemupukan yang digunakan oleh petani kentang tinggi karena<br />

sebagian besar unsur hara yang diberikan hilang dari daerah perakaran tanaman.<br />

Berdasarkan hasil PRA, diperlukan <strong>penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>pengembangan</strong> perbaikan<br />

<strong>teknologi</strong> <strong>pengelolaan</strong> <strong>lahan</strong> pada usahatani kentang di kawasan dataran tinggi, antara<br />

lain :1).Penelitian pengendalian erosi tanah <strong>dan</strong> aliran air permukaan pada sistem<br />

usahatani kentang yang dapat mengendalikan erosi tanah <strong>dan</strong> aliran air permukaan serta<br />

memberikan hasil optimum, 2).Peningkatan efisiensi penggunaan pupuk yang<br />

memberikan hasil optimum <strong>dan</strong> 3). Sosialisasi <strong>dan</strong> diseminasi <strong>teknologi</strong> <strong>pengelolaan</strong> <strong>lahan</strong><br />

yang dapat mengendalikan erosi tanah <strong>dan</strong> aliran air permukaan serta memberikan hasil<br />

yang optimum.<br />

Perlakuan <strong>teknologi</strong> <strong>pengelolaan</strong> <strong>lahan</strong> praktek petani yang diperbaiki dengan<br />

pembuatan gulu<strong>dan</strong> memotong lereng setiap 5 m panjang lereng (P2) <strong>dan</strong> penanaman<br />

menurut kontur disertai dengan perbaikan pemupukan (P3) meningkatkan pH, C-organik,<br />

P-tersedia, ruang pori total (RPT), air tersedia <strong>dan</strong> permeabilitas tanah. Perlakuan P2 <strong>dan</strong><br />

P3 menghasilkan umbi kentang masing-masing sebesar 29,7 t/ha <strong>dan</strong> 36,5 t/ha terjadi<br />

peningkatan masing-masing sebesar 125% <strong>dan</strong> 176% dibandingkan praktek petani serta<br />

memberikan keuntungan bersih Rp. 7.800.000,- bulan -1 <strong>dan</strong> Rp. 12.500.000,- bulan -1 .<br />

Untuk melihat fluktuasi hasil kentang <strong>dan</strong> keperluan analisis finansial, diperlukan waktu<br />

minimal 3 – 5 musim tanam, sehingga <strong>penelitian</strong> ini sangat perlu <strong>untuk</strong> dilanjutkan.<br />

Berdasarkan hasil pengamatan selama kurang lebih 60 hari dengan curah hujan<br />

834 mm, teknik konservasi bedengan searah lereng ditambah gulu<strong>dan</strong> searah kontur<br />

pada setiap 5 m mampu menurunkan erosi tanah <strong>dan</strong> aliran permukaan hingga 56 % <strong>dan</strong><br />

33 %. Kehilangan hara tanah akibat aliran permukaan pada perlakuan bedengan searah<br />

lereng lebih besar dibandingkan perlakuan bedengan searah kontur. Perlakuan bedengan<br />

searah kontur mampu mengurangi hara kation NH4 yang hilang akibat aliran permukaan<br />

sebanyak 77 %. Data tersebut belum sepenuhnya diperoleh, karena tanaman harus<br />

segera dipanen <strong>dan</strong> curah hujan belum maksimal, rata-rata curah hujan <strong>dan</strong> hari hujan di<br />

lokasi <strong>penelitian</strong> sebanyak 1920 mm tahun -1 <strong>dan</strong> 160 - 170 hari tahun -1 , sehingga<br />

<strong>penelitian</strong> ini masih harus dilanjutkan. Selain itu teknik konservasi yang dicoba belum<br />

100 % establish, sehingga masih perlu waktu sampai teknik tersebut mantap secara fisik<br />

<strong>dan</strong> berpengaruh terhadap erosi, aliran permukaan <strong>dan</strong> kehilangan hara secara nyata.<br />

10


Penggunaan pupuk kan<strong>dan</strong>g sampai 60 t/ha belum menunjukkan perbedaan yang<br />

nyata terhadap tinggi tanaman kentang sampai umur 8 MST dibandingkan dengan tanpa<br />

pupuk kan<strong>dan</strong>g, walaupun terdapat kecenderungan peningkatan dosis pupuk kan<strong>dan</strong>g<br />

meningkatkan tinggi tanaman kentang. Pemberian pupuk kan<strong>dan</strong>g 40 t/ha memberikan<br />

hasil umbi yang tertinggi sebesar 121,3 kg/petak ( 20,22 t/ha), peningkatan takaran<br />

pupuk kan<strong>dan</strong>g 60 t/ha justru menurunkan hasil umbi kentang. Takaran optimum dicapai<br />

pada takaran 25,46 t/ha. Namun peningkatan takaran pupuk kan<strong>dan</strong>g 60 t/ha<br />

memberikan perbaikan dalam kualitas umbi kentang.<br />

Hasil <strong>penelitian</strong> laboratorium menunjukkan bahwa berdasarkan uji kemampuan<br />

menghasilkan hormon terhadap 8 isolat, produksi IAA dari kedelapan isolat berkisar 12,04<br />

ppm sampai 187,83 ppm <strong>dan</strong> yang tertinggi dicapai isolat bakteri endofitik BSB-3 sebesar<br />

187,83 ppm. Dari 2 isolat yang paling unggul dalam menghasilkan produksi IAA akan<br />

diformulasi menjadi pupuk hayati. Penggunaan pupuk hayati formula A <strong>dan</strong> B<br />

memberikan pengaruh yang nyata terhadap populasi Azotobacter sp, total bakteri tanah<br />

<strong>dan</strong> aktivitas dehidrogenase. Pupuk hayati formula A yang dikombinasikan dengan pupuk<br />

kan<strong>dan</strong>g 10 t/ha <strong>dan</strong> ¾ dosis rekomendasi NPK (200 kg N/ha, 250 kg P2O5/ha <strong>dan</strong> 200<br />

kg K2O/ha) memberikan bobot umbi kentang yang tinggi sebesar 446 g/pot.<br />

Keberlanjutan sistem usahatani konservasi selain ditentukan oleh faktor teknis <strong>dan</strong><br />

ekonomis, juga sangat ditentukan oleh faktor perilaku user, dalam hal ini petani, dalam<br />

menyikapi <strong>teknologi</strong> yang diintroduksikan. Persepsi <strong>dan</strong> preferensi petani terhadap suatu<br />

<strong>teknologi</strong> selain berpengaruh terhadap keberlanjutan, juga sangat dipengaruhi oleh<br />

waktu. Persepsi <strong>dan</strong> preferensi petani tersebut tidak bisa dilihat dalam jangka waktu<br />

yang singkat (misalnya hanya satu musim), sehingga masih diperlukan waktu <strong>untuk</strong><br />

melanjutkan <strong>penelitian</strong> ini.<br />

11


3.1. Pendekatan<br />

III. METODOLOGI PENELITIAN<br />

Penelitian TA 2011 merupakan kelanjutan kegiatan tahun 2010, dengan<br />

melakukan perbaikan terhadap perlakuan-perlakuan yang telah diaplikasikan pada tahun<br />

tersebut, khususnya yang berhubungan dengan penerapan <strong>teknologi</strong> konservasi tanah<br />

mekanik pada <strong>lahan</strong> sayuran dataran tinggi di Propinsi Jambi. Selain <strong>teknologi</strong> bedengan,<br />

pada <strong>lahan</strong> budi daya diaplikasikan <strong>teknologi</strong> konservasi tanah berupa rorak <strong>dan</strong> saluran<br />

peresapan dengan maksud <strong>untuk</strong> menahan laju aliran permukaan <strong>dan</strong> meresapkan air<br />

yang mengalir di atas permukaan tanah ke dalam tanah. Selain itu, dengan asumsi<br />

<strong>teknologi</strong> konservasi tanah tersebut mampu mencegah kehilangan tanah <strong>dan</strong> hara,<br />

dirumuskan alternatif <strong>teknologi</strong> <strong>pengelolaan</strong> <strong>lahan</strong> berupa penggunaan pupuk (anorganik<br />

maupun organik) sesuai dengan kebutuhan tanaman <strong>dan</strong> status hara tanah.<br />

Pada TA. 2011, <strong>penelitian</strong> on farm dilaksanakan pada agro-ekosistem dataran<br />

tinggi pada skala mikro DAS yang menjadi kawasan sentra sayuran kentang di Kabupaten<br />

Kerinci (Jambi). Pada kegiatan ini dicoba 3 model sistem usahatani konservasi (SUT–<br />

KTA). Model sistem usahatani konservasi yang diteliti terdiri dari: 1) Praktek<br />

petani/farmer practices (P1), 2) Praktek petani yang diperbaiki/partially improved farmer<br />

practices (P2), 3) Teknologi <strong>pengelolaan</strong> <strong>lahan</strong> introduksii/fully improved technology (P3).<br />

Praktek petani didefinisikan sebagai kebiasan petani setempat dalam berusaha<br />

tani kentang. Praktek petani yang diperbaiki diartikan sebagai kebiasan petani yang<br />

dikombinasikan dengan perbaikan teknik konservasi tanah, se<strong>dan</strong>gkan <strong>teknologi</strong><br />

<strong>pengelolaan</strong> <strong>lahan</strong> yang diintroduksi/perbaikan <strong>teknologi</strong> didefinisikan sebagai cara<br />

berusaha tani kentang dengan memperhatikan kaidah konservasi tanah <strong>dan</strong> pemupukan<br />

berimbang.<br />

Penelitian superimposed dilakukan <strong>untuk</strong> meneliti lebih lanjut mengenai teknik<br />

konservasi tanah <strong>dan</strong> <strong>pengelolaan</strong> hara terpadu sehingga diperoleh informasi lebih detil<br />

<strong>dan</strong> akurat <strong>untuk</strong> menyempurnakan <strong>teknologi</strong> <strong>pengelolaan</strong> <strong>lahan</strong> pada kegiatan on-farm<br />

research.<br />

12


3.2. Ruang Lingkup Kegiatan<br />

Pada awal kegiatan dilakukan evaluasi <strong>penelitian</strong> tahun sebelumnya (tahun 2010).<br />

Selanjutnya dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap perlakuan <strong>penelitian</strong> yang telah<br />

diaplikasikan pada tahun 2010. Penelitian terdiri dari 2 (dua) kegiatan, yaitu: (1) On-<br />

farm Research (SUT – KTA), 2) Super-imphosed-trial (SIT - KTA) tentang : Alternatif<br />

<strong>teknologi</strong> konservasi tanah <strong>untuk</strong> pengendalian erosi <strong>dan</strong> kehilangan hara pada budidaya<br />

sayuran dataran tinggi.<br />

3.3. Bahan <strong>dan</strong> Metode Penelitian<br />

3.3.1. Bahan <strong>penelitian</strong><br />

Bahan yang digunakan dalam <strong>penelitian</strong> ini terdiri dari bahan khemikali, <strong>dan</strong><br />

bahan penunjang <strong>penelitian</strong> seperti pupuk, benih, pestisida, rumput penguat, kayu, seng,<br />

cat, paku, tali rafia, karung karuna, ember plastik, kantong plastik, dll. Selain itu, <strong>untuk</strong><br />

mendukung kegiatan <strong>penelitian</strong> diperlukan alat tulis <strong>dan</strong> kertas (ATK), <strong>dan</strong> peralatan<br />

operasional lainnya.<br />

3.3.2. Metode <strong>penelitian</strong><br />

(1) On-Farm Research Sistem Usahatani Konservasi (SUT-KTA) di Lahan<br />

Sayuran<br />

Penelitian dilaksanakan pada <strong>lahan</strong> petani kentang di Desa Talun Berasap,<br />

Kecamatan Gunung Tujuh, Kabupaten Kerinci, Jambi dengan sub ordo tanah Hapludult.<br />

Lahan yang digunakan seluas 1 ha. Model sistem usahatani konservasi yang diteliti terdiri<br />

dari:<br />

1. Teknologi <strong>pengelolaan</strong> <strong>lahan</strong> praktek petani/Farmer practices (P1)<br />

2. Teknologi <strong>pengelolaan</strong> <strong>lahan</strong> praktek petani yang diperbaiki/ Partially improved farmer<br />

practices (P2= Praktek petani + teknik konservasi/KTA)<br />

3. Teknologi <strong>pengelolaan</strong> <strong>lahan</strong> yang diintroduksi/Fully improved technology (P3= Teknik<br />

konservasi + pupuk organik <strong>dan</strong> anorganik).<br />

Teknologi konservasi tanah <strong>dan</strong> pemupukan (<strong>untuk</strong> tanaman kentang) yang<br />

diterapkan pada perlakuan P1 adalah bedengan searah lereng, pada P2 adalah bedengan<br />

searah lereng + setiap 5 m dibuat gulu<strong>dan</strong> searah kontur, se<strong>dan</strong>gkan pada perlakuan P3<br />

13


adalah bedengan searah kontur. Pada ketiga perlakuan diberikan pupuk sesuai dosis<br />

pemupukan berdasarkan status hara tanah <strong>dan</strong> kebutuhan hara tanaman kubis, yaitu 180<br />

kg N ha -1 , 105 kg P2O5 ha -1 <strong>dan</strong> 60 kg K2O ha -1 <strong>dan</strong> kentang 200 kg N ha -1 , 250 kg P2O5<br />

ha -1 <strong>dan</strong> 200 kg K2O ha -1 disertai dengan 10 t ha -1 pupuk kan<strong>dan</strong>g <strong>untuk</strong> kedua tanaman<br />

tersebut.<br />

(2) Super-Imphosed Trial : Alternatif <strong>teknologi</strong> konservasi tanah <strong>untuk</strong><br />

pengendalian erosi <strong>dan</strong> kehilangan hara pada budidaya sayuran dataran<br />

tinggi<br />

Penelitian mengunakan rancangan acak kelompok (RAK), 3 ulangan dengan<br />

perlakuan sebagai berikut: (1) kontrol, yaitu praktek budidaya yang umum dilakukan<br />

petani yaitu bedengan atau barisan tanaman searah lereng (KTA-1), (2) bedengan searah<br />

lereng, setiap 5 meter dipotong teras gulud (KTA-2), (3) bedengan searah lereng, setiap<br />

5 meter dipotong teras gulud + rorak yang dibuat pada saluran pembuang air (SPA) di<br />

samping teras gulud, (KTA-3) <strong>dan</strong> (4) bedengan searah kontur (KTA-4). Petak perlakuan<br />

akan dilengkapi dengan bak penampung aliran permukaan <strong>dan</strong> erosi. Penelitian akan<br />

dilengkapi dengan sebuah alat penakar curah hujan yang dipasang di bagian bawah areal<br />

percobaan.<br />

Plot percobaan berukuran lebar 3 m <strong>dan</strong> panjang 20 m dengan tanaman<br />

indikator kubis – kentang. Dari setiap perlakuan teknik konservasi yang dicoba akan<br />

dihitung neraca haranya.<br />

Neraca hara secara matematis dihitung berdasarkan formula yang dikemukakan<br />

Sukristiyonubowo (2007) sebagai berikut:<br />

Neraca Hara (NH) = Hara yang masuk – hara yang terangkut keluar ……….. (1)<br />

Hara yang masuk mencakup hara yang berasal dari pupuk mineral (IN-1), hara dari<br />

pupuk organik/kompos (IN-2), hara yang terbawa dari air irigasi (IN-3) <strong>dan</strong> yang berasal<br />

dari air hujan (IN-4). Sementara, hara yang hilang mencakup hara yang terangkut oleh<br />

hasil panen (OUT-1), sisa tanaman (OUT-2), <strong>dan</strong> erosi (OUT 3). Kehilangan hara melalui<br />

penguapan terutama <strong>untuk</strong> nitrogen (Ammonia Volatilization) <strong>untuk</strong> sementara belum<br />

diperhitungkan karena tidak dilakukan pengukuran. Hasil <strong>penelitian</strong> menunjukkan bahwa<br />

kehilangan nitrogen melalui penguapan (ammonia volatilization) tergolong besar, antara<br />

13 – 44.6 kg N ha -1 (Chao et al., 2006; Chodary et al., 2006; Fan et al., 2006; Ghost and<br />

14


Bhat. 1998; Hayashi et al., 2006; Monolov et al., 2003; Xing and Zhu. 2000). Dengan<br />

demikian neraca hara dapat dihitung berdasarkan formula, sebagai berikut:<br />

NH= (IN-1+ IN-2+IN-3+IN-4) – (OUT-1 + OUT-2 + OUT-3) …………………….. (2)<br />

3.4. Parameter yang diamati <strong>dan</strong> Analisis data<br />

(1) On-Farm Research Sistem Usahatani Konservasi (SUT-KTA) di Lahan<br />

Sayuran<br />

Variabel yang diamati pada kegiatan ini adalah :<br />

1. Sifat fisika tanah sebelum tanam <strong>dan</strong> sesudah panen.<br />

2. Sifat kimia tanah sebelum tanam <strong>dan</strong> sesudah panen.<br />

3. Pertumbuhan <strong>dan</strong> hasil tanaman.<br />

4. Hama <strong>dan</strong> penyakit tanaman<br />

5. Input <strong>dan</strong> out-put usahatani.<br />

6. Respon, persepsi <strong>dan</strong> preferensi petani.<br />

Data sifat-sifat tanah, <strong>dan</strong> respons petani yang telah dikumpulkan dianalisis secara<br />

statistik-deskriptif, se<strong>dan</strong>gkan data pertumbuhan <strong>dan</strong> hasil tanaman dianalisis secara<br />

statistik menggunakan program SAS. Analisis finansial menggunakan B/C rasio <strong>dan</strong><br />

Marginal Rate of Return (MRR) sesuai dengan perlakuan yang diuji sehingga setiap<br />

perlakuan dapat dibandingkan. Hasil analisis statistik <strong>dan</strong> analisis finansial (peningkatan<br />

produksi > 20%) akan digunakan <strong>untuk</strong> menentukan rekomendasi inovasi <strong>teknologi</strong><br />

<strong>pengelolaan</strong> <strong>lahan</strong> pada pertanaman kentang di dataran tinggi.<br />

(2) Super-Imphosed Trial : Alternatif teknik konservasi tanah <strong>untuk</strong><br />

pengendalian erosi <strong>dan</strong> kehilangan hara pada budidaya sayuran dataran<br />

tinggi.<br />

Parameter utama yang diamati adalah sifat fisik tanah sebelum tanam <strong>dan</strong><br />

sesudah panen; jumlah tanah yang tererosi; volume aliran permukaan; kandungan hara<br />

dalam : air hujan, tanah, sedimen, <strong>dan</strong> tanaman; konsentrasi sedimen dalam aliran<br />

permukaan; serta pertumbuhan <strong>dan</strong> hasil tanaman. Pengamatan dilakukan secara<br />

kumulatif <strong>untuk</strong> setiap musim tanam. Selain itu dihitung pengkayaan hara (enrichment<br />

ratio), yaitu perbandingan unsur hara dalam sedimen terangkut aliran permukaan <strong>dan</strong><br />

kandungan hara dalam tanah <strong>untuk</strong> setiap musim tanam.<br />

15


Data hasil pengamatan dianalisis ANOVA sesuai dengan rancangan percobaan<br />

yang digunakan <strong>untuk</strong> masing-masing kegiatan dengan taraf kepercayaan 95 % <strong>dan</strong> 99<br />

% atau taraf nyata 1 % <strong>dan</strong> 5 %. Selain itu dilakukan uji lanjut dengan Duncan Multiple<br />

Range Test ( DMRT) pada taraf 1 % <strong>dan</strong> 5 %.<br />

Analisis Resiko<br />

Salah satu tujuan <strong>penelitian</strong> ini adalah <strong>untuk</strong> mengetahui efektifitas teknik<br />

konservasi dalam menanggulangi erosi, aliran permukaan <strong>dan</strong> kehilangan hara pada<br />

pertanaman kentang. Oleh karena itu, pertanaman kentang harus dilaksanakan pada<br />

musim hujan. Puncak hujan terjadi pada bulan Desember, sehingga <strong>untuk</strong><br />

mengantisipasi kegagalan panen akibat kemungkinan serangan penyakit, karena<br />

tingginya curah hujan, maka faktor-faktor yang harus diperhatikan adalah :<br />

- faktor biofisik (tanah, curah hujan <strong>dan</strong> kemiringan tanah) harus dikondisikan<br />

sedemikian rupa sehingga tercipta drainase tanah yang kondusif bagi<br />

pertumbuhan tanaman.<br />

- bibit tanaman, terutama varietas yang unggul <strong>dan</strong> dilakukan seed treatment<br />

agar tanaman kebal terhadap serangan penyakit.<br />

- pengaturan pola tanam. Agar pertanaman kentang terjadi pada musim hujan,<br />

maka harus ada tanaman pada musim sebelumnya, sehingga tidak terjadi<br />

kekosongan (bera) <strong>dan</strong> petani tidak dirugikan.<br />

- keterlambatan tanam yang diakibatkan oleh terlambat turunnya <strong>dan</strong>a, maka<br />

harus diusahakan a<strong>dan</strong>ya <strong>dan</strong>a talangan dengan cara meminjam sementara<br />

agar dapat tanam tepat pada waktunya.<br />

16


4.1. Hasil<br />

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

4.1.1. On-Farm Research Sistem Usahatani Konservasi (SUT-KTA) di Lahan<br />

Sayuran<br />

Karakteristik sifat fisik tanah awal<br />

Lokasi <strong>penelitian</strong> terletak di kaki Gunung Kerinci pada posisi 01 o 41”58,3” LS <strong>dan</strong><br />

101 o 20’50,3” BT, berbahan induk volkan pada fisiografi kaki gunung dengan kemiringan<br />

berombak sampai bergunung.<br />

Hasil analisis sifat fisik tanah awal pada masing-masing blok on farm yaitu blok P-<br />

1, perlakuan usahatani sayuran yang biasa dilakukan petani (menanam tanaman searah<br />

lereng), blok P-2, usahatani dengan perbaikan teknik konservasi (searah lereng, setiap 5<br />

m dipotong gulud), <strong>dan</strong> P-3, usahatani sayuran dengan teknik konservasi<br />

penanaman/barisan tanaman searah kontur disajikan pada Tabel 1 s/d Tabel 3.<br />

Tabel 1. Sifat fisik tanah awal lokasi <strong>penelitian</strong> pada blok P-1 di Desa Talun Berasap,<br />

Kec.Gunung Tujuh, Kab. Kerinci, Provinsi Jambi , 2011<br />

Sifat Fisik Tanah<br />

(0-20)cm Kategori (20-40)cm Kategori<br />

Kadar Air (% vol) 54,30 56,20<br />

BD (g/cm3) 0,55 0,53<br />

PD (g/cm3) 1,87 1,96<br />

Ruang Pori Total (RPT) (% vol)<br />

Pori drainase (% volume)<br />

70,57 tinggi 73,00 tinggi<br />

Cepat (PDC) 20,27 tinggi 20,87 tinggi<br />

Lambat (PCL) 5,73 rendah 5,97 rendah<br />

Air Tersedia (% vol) 24,97 tinggi 28,73 tinggi<br />

Permeabilitas (cm/jam)<br />

Tekstur<br />

6,57 agak cepat 6,90 agak cepat<br />

Pasir (%) 46,33<br />

48,67<br />

Debu (%) 44,33 Lempung 43,67 Lempung<br />

Liat %)<br />

Kestabilan Agregat<br />

9,33 7,67<br />

% Agregat 43,33 49,10<br />

Indeks (IKA) 98,17 sangat baik 83,03 sangat baik<br />

Perkolasi (cm/jam) 64,44 sangat cepat 88,86 sangat cepat<br />

Hasil analisis sifat fisik pada blok P-1 memperlihatkan bahwa tanah mempunyai<br />

BD rendah, partikel density (PD) 1,87 – 1,96 g/cm 3 , ruang pori total (RPT) tinggi , pori<br />

P-1<br />

17


drainase cepat (PDC), <strong>dan</strong> pori air tersedia (AT) yang tinggi baik pada lapisan 0-20 cm<br />

maupun pada 20-40 cm dari permukaan tanah (Tabel 1). Selain itu, mempunyai pori<br />

drainase lambat (PDL) rendah, air tersedia (AT) yang tinggi, permeabilitas agak cepat,<br />

iindeks stabilitas sangat baik pada lapisan atas (0-20 cm) maupun pada lapisan bawah<br />

(20-40 cm). Tanah mempunyai laju perkolasi yang cepat pada lapisan atas <strong>dan</strong> sangat<br />

cepat pada lapisan bawah. Tanah bertekstur lempung baik pada lapisan atas maupun<br />

pada lapisan bawah (Tabel 1)<br />

Blok perlakuan on-farm P-2, mempunyai BD 0,62 – 0,66 g/cm3, PD 2,10 – 2,22<br />

g/cm3, RPT, PDC,<strong>dan</strong> AT yang tinggi baik pada lapisan atas maupun lapisan bawah.<br />

Tanah mempunyai PDL yang rendah , permeabilitas se<strong>dan</strong>g <strong>dan</strong> perkolasi sangat cepat<br />

<strong>dan</strong> tekstur lempung baik pada lapisan atas maupun lapisan bawah (Tabel 2).<br />

Tabel 2. Sifat fisik tanah awal lokasi <strong>penelitian</strong> pada blok P-2 di Desa Talun Berasap,<br />

Kec.Gunung Tujuh, Kab. Kerinci, Provinsi Jambi , 2011<br />

Sifat Fisik Tanah<br />

(0-20)cm Kategori (20-40)cm Kategori<br />

Kadar Air (% vol) 47,23 51,83<br />

BD (g/cm3) 0,69 0,62<br />

PD (g/cm3) 2,10 2,22<br />

Ruang Pori Total (% vol) 66,43 tinggi 71,73 tinggi<br />

Pori drainase (% vol)<br />

cepat 19,90 tinggi 21,90 tinggi<br />

lambat 5,93 rendah 5,13 rendah<br />

Air tersedia (% vol) 23,57 tinggi 24,63 tinggi<br />

Permeabilitas (cm/jam) 3,62 se<strong>dan</strong>g 5,18 se<strong>dan</strong>g<br />

Tekstur<br />

Pasir (%) 51,33 54,33<br />

Debu (%) 40,00 Lempung 39,00 Lempung<br />

Liat (%) 8,67 6,67<br />

Kestabilan Agregat<br />

% Agregat 52,83 50,43<br />

Indeks (IKA) 77,13 baik 82,03 sangat baik<br />

Perkolasi (cm/jam) 60,06 sangat cepat 68,08 sangat cepat<br />

Blok <strong>penelitian</strong> on-farm P-3 mempunyai BD rata-rata 0,67 g/cm3, PD 2,14 g/cm3,<br />

RPT, PDL, <strong>dan</strong> AT yang tinggi baik pada lapisan atas maupun lapisan bawah. Selain itu<br />

tanah pada Blok P-3 mempunyai PDL rendah, permeabilitas se<strong>dan</strong>g pada lapisan atas <strong>dan</strong><br />

agak cepat pada lapisan bawah, serta indeks agregat stabilitas agregat sangat baik pada<br />

P-2<br />

18


lapisan atas maupun bawah <strong>dan</strong> perkolasi sangat cepat baik pada lapisan atas maupun<br />

bawah (Tabel 3).<br />

Tabel 3. Sifat fisik tanah awal lokasi <strong>penelitian</strong> pada blok P-3 di Desa Talun Berasap,<br />

Kec.Gunung Tujuh, Kab. Kerinci, Provinsi Jambi , 2011<br />

Sifat Fisik Tanah P-3<br />

(0-20)cm Kategori (20-40)cm Kategori<br />

Kadar Air (% vol) 46,67 49,50<br />

BD (g/cm3) 0,68 0,66<br />

PD (g/cm3) 2,15 2,13<br />

Ruang Pori Total (% vol) 68,10 tinggi 68,70 tinggi<br />

Pori drainase (% vol)<br />

cepat 19,47 tinggi 19,97 tinggi<br />

lambat 5,63 rendah 5,77 rendah<br />

Air tersedia (% vol) 23,90 tinggi 20,90 tinggi<br />

Permeabilitas (cm/jam) 5,47 se<strong>dan</strong>g 7,23 agak cepat<br />

Tekstur<br />

Pasir (%) 43,67 45,00<br />

Debu (%) 48,67 Lempung 48,00 Lempung<br />

Liat (%) 7,67 7,00<br />

Kestabilan Agregat<br />

% Agregat 43,27 43,63<br />

Indeks (IKA) 114,50 sangat baik 90,20 sangat baik<br />

Perkolasi (cm/jam) 66,91 sangat cepat 68,78 sangat cepat<br />

Karakteristik sifat kimia tanah awal<br />

Selain dilakukan analisis sifat fisik tanah dilakukan juga analisis sifat kimia tanah.<br />

Analisis dilakukan terhadap pH, C- organik, N-organik, C/N ratio, KTK, Basa-basa dapat<br />

ditukar, KB, Aldd <strong>dan</strong> Hdd. Hasil analisis kimia tanah <strong>untuk</strong> masing-masing blok on-farm<br />

research P-1, P-2 <strong>dan</strong> P-3 disajikan masing-masing pada Tabel 4, 5 <strong>dan</strong> 6.<br />

Tanah pada blok P-1 mempunyai pH masam, kandungan bahan organik yang<br />

sangat tinggi, C/N ratio rendah, kandungan P2O5 <strong>dan</strong> K2O (ekstrak 25 % HCl) sangat<br />

rendah, P tersedia tinggi pada lapisan atas <strong>dan</strong> se<strong>dan</strong>g pada lapisan bawah, KTK <strong>dan</strong> KB<br />

tergolong se<strong>dan</strong>g baik pada lapisan atas maupun pada lapisan bawah, serta Al-dd yang<br />

sangat rendah (Tabel 4).<br />

19


Tabel 4 Sifat kimia tanah awal lokasi <strong>penelitian</strong> pada blok P-1 di Desa Talun Berasap,<br />

Kec.Gunung Tujuh, Kab. Kerinci, Provinsi Jambi , 2011<br />

Sifat Kimia (0-20) cm Kriteria (20-40) cm Kriteria<br />

pH<br />

H2O 5.42 masam 5.61 agak masam<br />

KCl<br />

Bahan Organik<br />

4.91 5.04<br />

C (%) 5.42 sangat tinggi 4.89 tinggi<br />

N (%) 0.79 sangat tinggi 0.70 tinggi<br />

C/N<br />

Ekst. HCl 25 %<br />

7.06 rendah 7.29 rendah<br />

P2O5 (mg/kg) 1413.36 sangat rendah 920.27 sangat rendah<br />

K2O (mg/kg)<br />

Bray 1<br />

128.01 sangat rendah 112.13 sangat rendah<br />

P2O5 (mg/kg)<br />

Basa2-dd<br />

10.96 tinggi 8.17 se<strong>dan</strong>g<br />

Ca-dd (cmol+/kg) 0.24 sangat rendah 0.20 sangat rendah<br />

Mg-dd cmol+/kg) 9.34 sangat tinggi 9.18 sangat tinggi<br />

K-dd (cmol+/kg) 0.81 tinggi 0.82 tinggi<br />

Na-dd (cmol+/kg) 0.10 rendah 0.08 sangat rendah<br />

Jumlah 10.49 10.28<br />

KTK (cmol+/kg) 22.86 se<strong>dan</strong>g 20.31 se<strong>dan</strong>g<br />

KB (%)<br />

Ekst. HCl 1 M<br />

45.54 se<strong>dan</strong>g 50.67 se<strong>dan</strong>g<br />

Ad-dd (cmol+/kg) 0.11 sangat rendah 0.04 sangat rendah<br />

H-dd(cmol+/kg) 0.12 0.14<br />

Sifat kimia tanah pada blok P-1, mempunyai karakteristik yang tidak terlalu<br />

berbeda dengan blok P-1, kecuali KTK yang tinggi pada lapisan atas <strong>dan</strong> rendah pada<br />

lapisan bawah serta KB yang rendah baik pada lapisan atas maupun lapisan bawah (Tabel<br />

5).<br />

Demikian juga halnya dengan sifat kimia tanah pada blok P-3, mempunyai<br />

karakteristik yang tidak berbeda dengan sifat kimia tanah pada blok P-1 (Tabel 6)<br />

20


Tabel 5 Sifat kimia tanah awal lokasi <strong>penelitian</strong> pada blok P-2 di Desa Talun Berasap,<br />

Kec.Gunung Tujuh, Kab. Kerinci, Provinsi Jambi , 2011<br />

Sifat Kimia (0-20) cm Kriteria (20-40) cm Kriteria<br />

pH<br />

H2O 4.90 masam 5.44 masam<br />

KCl<br />

Bahan Organik<br />

4.60 5.11<br />

C (%) 5.44 sangat tinggi 2.87 se<strong>dan</strong>g<br />

N (%) 0.77 sangat tinggi 0.37 se<strong>dan</strong>g<br />

C/N<br />

Ekst. HCl 25 %<br />

7.06 rendah 7.83 rendah<br />

P2O5 (mg/kg) 1869.72 sangat rendah 258.13 sangat rendah<br />

K2O (mg/kg)<br />

Bray 1<br />

113.73 sangat rendah 62.82 sangat rendah<br />

P2O5 (mg/kg)<br />

Basa2-dd<br />

14.04 tinggi 0.98 sangat rendah<br />

Ca-dd (cmol+/kg) 0.18 sangat rendah 0.08 sangat rendah<br />

Mg-dd (cmol+/kg) 5.65 tinggi 3.25 tinggi<br />

K-dd (cmol+/kg) 0.42 se<strong>dan</strong>g 0.23 rendah<br />

Na-dd (cmol+/kg) 0.01 sangat rendah 0.32 rendah<br />

Jumlah 6.26 3.89<br />

KTK (cmol+/kg) 24.76 tinggi 15.31 rendah<br />

KB (%)<br />

Ekst. HCl 1 M<br />

25.30 rendah 25.18 rendah<br />

Ad-dd (cmol+/kg) 0.36 sangat rendah 0.05 sangat rendah<br />

H-dd(cmol+/kg) 0.07 0.05<br />

21


Tabel 6 Sifat kimia tanah awal lokasi <strong>penelitian</strong> pada blok P-3 di Desa Talun Berasap,<br />

Kec.Gunung Tujuh, Kab. Kerinci, Provinsi Jambi , 2011<br />

Sifat Kimia (0-20) cm Kriteria (20-40) cm Kriteria<br />

pH<br />

H2O 5.12 masam 5.44 masam<br />

KCl<br />

Bahan Organik<br />

4.98 5.27<br />

C (%) 4.52 tinggi 2.76 se<strong>dan</strong>g<br />

N (%) 0.53 tinggi 0.34 se<strong>dan</strong>g<br />

C/N<br />

Ekst. HCl 25 %<br />

8.52 rendah 8.13 rendah<br />

P2O5 (mg/kg) 1222.25 sangat rendah 306.58 sangat rendah<br />

K2O (mg/kg)<br />

Bray 1<br />

73.23 sangat rendah 80.72 sangat rendah<br />

P2O5 (mg/kg)<br />

Basa2-dd<br />

3.49 sangat rendah 0.42 sangat rendah<br />

Ca-dd (cmol+/kg) 0.08 sangat rendah 0.11 sangat rendah<br />

Mg-dd (cmol+/kg) 4.73 tinggi 2.76 tinggi<br />

K-dd (cmol+/kg) 0.38 rendah 0.27 rendah<br />

Na-dd (cmol+/kg) 0.06 sangat rendah 0.01 sangat rendah<br />

Jumlah 5.25 3.15<br />

KTK (cmol+/kg) 18.08 se<strong>dan</strong>g 22.31 se<strong>dan</strong>g<br />

KB (%)<br />

Ekst. HCl 1 M<br />

28.63 rendah 13.80 sangat rendah<br />

Ad-dd (cmol+/kg) 0.03 sangat rendah 0.00 sangat rendah<br />

H-dd(cmol+/kg) 0.16 0.10<br />

Implementasi perlakuan<br />

Ada 3 perlakuan yang diimplementasikan pada kegiatan on-farm research ini yaitu<br />

perlakuan P-1, P-2 <strong>dan</strong> P-3. Jenis perlakuan, kemiringan <strong>dan</strong> luas masing-masing<br />

perlakuan disajikan pada Tabel 7.<br />

22


Tabel 7. Jenis perlakuan, kemiringan <strong>dan</strong> luas masing-masing perlakuan pada kegiatan<br />

on-farm research di Desa Talun Berasap, Kec.Gunung Tujuh, Kab. Kerinci,<br />

Provinsi Jambi , 2011<br />

Simbol Perlakuan Jenis Perlakuan Kemiringan (%) Luas (ha)<br />

P-1 Cara petani, barisan tanaman<br />

sejajar lereng<br />

15 0,30<br />

P-2 Barisan tanaman sejajar lereng,<br />

dipotong gulud setiap panjang<br />

lereng 5 m<br />

18 0,30<br />

P-3 Barisan tanaman sejajar kontur 27 0,40<br />

Keragaan on-farm research sesudah implementasi perlakuan sebelum ditanami<br />

pada Blok P-1, P-2 <strong>dan</strong> P-3 masing-masing dapat dilihat pada Gambar 1, 2 <strong>dan</strong> 3.<br />

Gambar 1. Keragaan on-farm research setelah implementasi perlakuan, sebelum<br />

diitanami pada Blok P-1 (cara petani, barisan tanaman sejajar lereng)<br />

di Desa Talun Berasap, Kec. Gumung Tujuh, Kab Kerinci, Jambi<br />

23


Gambar 2. Keragaan on-farm research setelah implementasi perlakuan, sebelum<br />

diitanami pada Blok P-2 (barisan tanaman sejajar lereng, dipotong<br />

gulud setiap panjang lereng 5 m), di Desa Talun Berasap, Kec.<br />

Gumung Tujuh, Kab Kerinci, Jambi<br />

Gambar 3. Keragaan on-farm research setelah implementasi perlakuan, sebelum<br />

diitanami pada Blok P-3 (barisan tanaman sejajar kontur), di Desa<br />

Talun Berasap, Kec. Gumung Tujuh, Kab Kerinci, Jambi<br />

24


Pertumbuhan tanaman<br />

Keragaan pertumbuhan tanaman baik tinggi tanaman maupun diameter kanopi<br />

tanaman kubis terlihat berbeda antar perlakuan. Perlakuan P-1 selalu mempunyai tinggi<br />

tanaman yang lebih tinggi dari perlakuan P-2 <strong>dan</strong> P-3 (Gambar 4). Demikian juga halnya<br />

dengan diameter kanopi, perlakuan P-1 selalu mempunyai diameter kanopi tanaman<br />

kubis yang lebih tinggi dari perlakuan P-2 <strong>dan</strong> P-3 (Gambar 5).<br />

Tinggi tanaman (cm)<br />

30,0<br />

25,0<br />

20,0<br />

15,0<br />

10,0<br />

5,0<br />

0,0<br />

2 4<br />

Umur tanaman (MST)<br />

6<br />

Keterangan : MST = minggu setelah tanam<br />

P-1<br />

P-2<br />

P-3<br />

Gambar 4. Pengaruh teknik konservasi tanah<br />

terhadap tinggi tanaman kubis pada<br />

On-Faram Research SUT-KTA di<br />

Desa Talun Berasap, Kec. Gunung<br />

Tujuh, Kab Kerinci, Jambi<br />

Hasil tanaman<br />

Diam eter kanopi (cm )<br />

20.0<br />

15.0<br />

10.0<br />

5.0<br />

0.0<br />

8 10 12<br />

Umur tanaman (MST)<br />

Keterangan : MST = minggu setelah tanam<br />

P-1<br />

P-2<br />

P-3<br />

Gambar 5. Pengaruh teknik konservasi<br />

tanah terhadap diameter kanopi<br />

kubis pada On-Faram Research<br />

SUT-KTA di Desa Talun<br />

Berasap, Kec. Gunung Tujuh,<br />

Kab Kerinci, Jambi<br />

Hasil tanaman kubis dalam hal berat segar tanaman /crop tanaman kubis pada<br />

saat panen memberikan respon yang berbeda terhadap perlakuan sistem usahatani<br />

konservasi yang berbeda pada kegiatan on-farm research. Perlakuan P-2 (tanaman<br />

sejajar lereng, dipotong gulud setiap panjang lereng 5 m) memberikan hasil tanaman<br />

yang tertinggi <strong>dan</strong> berbeda dengan perlakuan lainnya, diikuti oleh perlakuan P-3<br />

(tanaman sejajar kontur) <strong>dan</strong> perlakuan P-1 memberikan hasil yang paling rendah (Tabel<br />

8).<br />

25


Tabel 8 Berat segar crop kubis pada saat panen <strong>untuk</strong> setiap model sistem usahatani<br />

konservasi pada kegiatan on-farm research di Desa Talun Berasap, Kec.<br />

Gunung Tujuh, Kab Kerinci, Jambi<br />

Ulangan<br />

Rata-rata<br />

Sistem usahatani konservasi<br />

(t/ha)<br />

I II III<br />

P1 = tanaman searah lereng 2.7 3.1 3.2 3.0<br />

P2 = tanaman searah lereng,<br />

Setiap 5 m dipotong gulud 9.0 7.6 6.5 7.7<br />

P3 = tanaman searah kontur 6.2 5.1 7.7 6.3<br />

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda <strong>untuk</strong><br />

taraf 5 % DMRT<br />

Analisis Input-Output Usahatani Konservasi pada Pertanaman Kubis<br />

Tabel 8 merupakan dasar dalam analisis finansial usahatani dengan harga pasar<br />

kubis pada bulan September 2011 adalah Rp 1000 kg -1 . Penggunaan bibit Kubis <strong>dan</strong><br />

pupuk (organik <strong>dan</strong> anorganik) pada setiap perlakuan on-farm disajikan pada Tabel 9.<br />

dengan harga pasar sarana produksi tersebut adalah bibit kubis Rp 11.000/bungkus,<br />

pupuk urea Rp 1.600 kg -1 , pupuk SP36 Rp 2.600 kg -1 , pupuk KCl Rp 10.000 kg -1 , <strong>dan</strong><br />

pupuk kan<strong>dan</strong>g Rp 300 kg -1 .<br />

Tabel 9. Penggunaan bibit Kubis <strong>dan</strong> pupuk pada <strong>penelitian</strong> on-farm research di Desa<br />

Talun Berasap, Kec. Gunung Tujuh, Kab Kerinci, Jambi<br />

Tabel 10.<br />

Bibit <strong>dan</strong> pupuk<br />

Perlakuan<br />

P1 P2 P3<br />

Kubis (bungkus) 12 12 12<br />

Urea (kg ha -1 ) 200 200 200<br />

SP36 (kg ha -1 ) 150 150 150<br />

KCl (kg ha -1 ) 100 100 100<br />

Pupuk Kan<strong>dan</strong>g (kg ha -1 ) 10.000 10.000 10.000<br />

Hasil analisis finansial usahatani kubis pada <strong>penelitian</strong> on-farm disajikan pada<br />

26


Tabel 10. Analisis finansial usahatani Kubis pada <strong>penelitian</strong> on-farm research di Desa<br />

Talun Berasap, Kec. Gunung Tujuh, Kab Kerinci, Jambi<br />

Deskripsi<br />

Perlakuan<br />

P1 P2 P3<br />

A Biaya Upah<br />

-Persemaian<br />

1 Persemaian 110.000 110.000 110.000<br />

2 Pemeliharaan<br />

-Tanam s/d panen<br />

170.000 170.000 170.000<br />

1 Pengo<strong>lahan</strong> tanah 450.000 600.000 540.000<br />

2 Tanam 250.000 280.000 260.000<br />

3 Pemupukan 210.000 240.000 220.000<br />

4 Pemeliharaan 750.000 750.000 750.000<br />

5 Panen 200.000 200.000 200.000<br />

Sub-total (A) 2.140.000 2.350.000 2.250.000<br />

B Biaya Bahan<br />

1 Bibit 132.000 132.000 132.000<br />

2 Urea 440.000 440.000 440.000<br />

3 SP36 570.000 570.000 570.000<br />

4 KCl 620.000 620.000 620.000<br />

5 Pupuk Kan<strong>dan</strong>g 1.000.000 1.000.000 1.000.000<br />

Sub-total (B) 2.762.000 2.762.000 2.762.000<br />

Total (A+B) (Input) 4.902.000 5.112.000 5.012.000<br />

C Nilai Produksi (Out-put) 3.000.000 7.700.000 6.300.000<br />

D Keuntungan (Rp) -1.902.000 2.588.000 1.288.000<br />

F B/C rasio 0,61 1,51 1,26<br />

Persepsi <strong>dan</strong> Preferensi Petani<br />

Selama kegiatan focus group discussion (FGD) dilakukan diskusi atau tanya<br />

jawab. Usul/saran/pendapat petani pada kegiatan FGD tersebut diantaranya adalah :<br />

1. Perlu ada perlakuan <strong>penelitian</strong> yang dapat menyimpulkan pentingnya peranan<br />

bahan organik atau pupuk kan<strong>dan</strong>g (saran petani tersebut sudah terjawab dari<br />

kegiatan riset TA 2010, sehingga pada TA 2011 tidak ada perlakuan tanpa pupuk<br />

kan<strong>dan</strong>g), <strong>dan</strong> pada TA 2012 perlu dipertimbangkan lagi mengenai perlakuan<br />

tersebut.<br />

27


2. Perlu penjelasan (akademik) yang dapat dimengerti oleh petani tentang<br />

pentingnya bahan organik dalam <strong>pengelolaan</strong> <strong>lahan</strong> <strong>untuk</strong> sayuran (mungkin perlu<br />

melibatkan penyuluh pertanian <strong>untuk</strong> menjelaskan hal tersebut karena bahasa<br />

peneliti agak sulit dimengerti oleh petani)<br />

3. Perlu ada muatan aspek pengendalian OPT karena tanaman kentang (pada saat<br />

FGD, tanaman di lapang adalah kentang) sangat rentan terhadap hama <strong>dan</strong><br />

penyakit terutama jika ditanam menjelang musim hujan (hasil analisis mikrobiologi<br />

tanah oleh Pak Edi Santosa perlu disampaikan kepada petani, juga perlu<br />

mengun<strong>dan</strong>g pakar penyakit kentang <strong>untuk</strong> menjelaskan cara pengendalian OPT<br />

pada kentang)<br />

4. Perlu ada pembanding <strong>teknologi</strong> tingkat petani, misalnya dalam hal benih kentang<br />

yang digunakan (benih generasi lama vs generasi baru yang diperlakukan dengan<br />

aspek KTA <strong>dan</strong> pemupukan sesuai dosis rekomendasi). Penelitian TA 2011 tidak<br />

bisa menjawab langsung hal tersebut karena design perlakuan sudah ditetapkan,<br />

tetapi jalan keluarnya adalah dengan melakukan observasi <strong>dan</strong> pengamatan<br />

terhadap tanaman kentang petani di sekitar lokasi <strong>penelitian</strong>. Observasi ini terkait<br />

juga dengan aspek OPT seperti dinyatakan pada Butir 3.<br />

5. Analisis perlu dilakukan sampai pada suatu kesimpulan bahwa perlakuan tertentu<br />

itu baik secara teknis <strong>dan</strong> menguntungkan secara ekonomi<br />

Pada saat observasi lapangan ada beberapa hal terkait dengan persepsi petani<br />

mengenai perlakuan <strong>penelitian</strong> diantaranya :<br />

1. Petani mengira bahwa dalam praktek budidaya kentang mesti menggunakan<br />

plastik pembatas <strong>lahan</strong>, <strong>dan</strong> membuat alat penampung erosi tanah <strong>dan</strong> air aliran<br />

permukaan. Dengan demikian pelaksanaan FGD <strong>dan</strong> observasi lapangan saat<br />

tanaman belum tumbuh sangat tepat <strong>untuk</strong> meluruskan persepsi petani yang tidak<br />

tepat tersebut. Apa yang mereka lihat itu adalah perlakuan <strong>penelitian</strong> yang tidak<br />

harus seluruhnya ditiru atau diterapkan pada bi<strong>dan</strong>g <strong>lahan</strong> usahatani mereka.<br />

2. Menurut petani kebutuhan tenaga kerja dari cara perlakuan konservasi tanah<br />

yang diteliti adalah sebagai berikut:<br />

28


Kode Perlakuan Kebutuhan TK pembuatan bedengan (skala)<br />

KTA1 (cara petani) 10<br />

KTA2 (searah lereng dipotong gulu<strong>dan</strong>) 12<br />

KTA3 (searah lereng dipotong gulu<strong>dan</strong> <strong>dan</strong> rorak) 13<br />

KTA4 (searah kontur) 11<br />

Perlakuan KTA4 (bedengan searah kontur) akan memerlukan tenaga kerja yang<br />

lebih banyak pada saat membuat bumbunan, sekitar 150% dari cara petani (KTA1).<br />

3. Para petani sepakat bahwa perlakuan KTA3 efektif dalam mengurangi erosi tanah<br />

tetapi memelukan tenaga kerja tambahan <strong>untuk</strong> mengangkat tanah yang<br />

tertimbun di dalam rorak (parit-parit). Informasi efektivitas teknik KTA dalam<br />

mencegah erosi <strong>dan</strong> kehilangan unsur hara sangat penting bagi petani <strong>untuk</strong><br />

merubah persepsinya selama ini terkait dengan cara pembuatan bedengan<br />

tanaman sayuran.<br />

4. Setelah panen kentang (ada data hasil tanaman kentang), petani akan lebih bisa<br />

membandingkan perbedaan antar perlakuan terhadap hasil tanaman.<br />

5. Sebagian petani menyatakan sesekali akan melihat lokasi <strong>penelitian</strong> tersebut<br />

<strong>untuk</strong> memperhatikan perkembangan tanaman kentangnya<br />

6. Perlu ada FGD saat panen sekaligus membahas aspek keuntungan masing-masing<br />

perlakuan tersebut.<br />

29


Gambar 6. Kegiatan FGD pada <strong>penelitian</strong> On Farm Research (SUT_KTA) di Desa Talun<br />

Berasap, Kec. Gunung Tujuh, Kab Kerinci, Jambi<br />

4.1.2. Super-Imphosed Trial : Alternatif Teknik konservasi tanah (SIT-KTA)<br />

<strong>untuk</strong> pengendalian erosi <strong>dan</strong> kehilangan hara pada budidaya sayuran<br />

dataran tinggi<br />

Karakteristik sifat fisik <strong>dan</strong> kimia tanah awal<br />

Kegiatan ini dilaksanakan di setiap perlakuan on-farm yaitu pada Blok P-1, P-2 <strong>dan</strong><br />

P-3. Dengan demikian sifat fisik <strong>dan</strong> kimia tanah awal kegiatan <strong>penelitian</strong> ini sama<br />

dengan pada kegiatan <strong>penelitian</strong> on-farm yang telah disajikan sebelumnya.<br />

Pemasangan soil-colector<br />

Pemasangan soil – colector pada kegiatan <strong>penelitian</strong> ini telah dilaksanakan pada<br />

bulan April <strong>dan</strong> Mei 2011. Keragaan plot percobaan setelah pemasangan soil colector<br />

dapat dilihat pada Gambar 7 <strong>dan</strong> 8.<br />

30


Gambar 7. Pemasangan soil-colector <strong>untuk</strong> 4 perlakuan, sebelum diitanami pada Blok<br />

P-2 di Desa Talun Berasap, Kec. Gumung Tujuh, Kab Kerinci, Jambi<br />

Gambar 8. Pemasangan soil - colector <strong>untuk</strong> 4 perlakuan, sebelum diitanami pada Blok<br />

P-3 di Desa Talun Berasap, Kec. Gunung Tujuh, Kab Kerinci, Jambi<br />

31


Implementasi perlakuan<br />

Setelah kegiatan pemasangan soil – colector selesai dilakukan pada ke-3 Blok on-<br />

farm (4 x 3 = 12 plot), maka ke-4 perlakuan teknik konservasi dilaksanakan. Adapun le-4<br />

perlakuan tersebut adalah : (1) kontrol, yaitu praktek budidaya yang umum dilakukan<br />

petani yaitu bedengan atau barisan tanaman searah lereng (KTA-1), (2) bedengan searah<br />

lereng, setiap 5 meter dipotong teras gulud (KTA-2), (3) bedengan searah lereng, setiap<br />

5 meter dipotong teras gulud + rorak yang dibuat pada saluran pembuang air (SPA) di<br />

samping teras gulud, (KTA-3) <strong>dan</strong> (4) bedengan searah kontur (KTA-4). Keragaan ke-4<br />

perlakuan pada Blok P-1 dapat dilihat pada Gambar 9.<br />

Gambar 9. Implentasi 4 perlakuan teknik konservasi tanah, sebelum diitanami<br />

pada Blok P-1 di Desa Talun Berasap, Kec. Gumung Tujuh, Kab<br />

Kerinci, Jambi<br />

Pesemaian, penanaman <strong>dan</strong> keragaan tanaman pada kegiatan <strong>penelitian</strong> SUT –<br />

KTA <strong>dan</strong> SIT - KTA<br />

Pesemaian tanaman kubis dilaksanakan pada bulan Mei 2011. Setelah 3 sampai 4<br />

minggu, ternyata pertumbuhan tanaman kubis di pesemaian tidak terlalu bagus, sehingga<br />

diputuskan <strong>untuk</strong> menggantinya dengan bibit kubis yang siap tanam yang bersumber dari<br />

32


petani penangkar bibit yang berada di sekitar lokasi percobaan. Keragaan pesemaian<br />

kubis di lokasi <strong>penelitian</strong> dapat dilihat pada Gambar 10.<br />

Pada tanggal 28 Juni 2011 dilaksanakan penanaman kubis dengan memakai bibit<br />

tersebut diatas. Namun setelah 2 – 3 minggu ternyata hampir 50 % tanaman kubis di<br />

lapang mengalami kematian karena kekurangan air/kekeringan. Curah hujan selama<br />

bulan Juni s/d September (4 bulan) hanya mencapai 388,5 mm dengan jumlah hari hujan<br />

23 hari (Tabel 11)<br />

Gambar 10. Keragaan pesemaian kubis pada kegiatan <strong>penelitian</strong> SUT- KTA <strong>dan</strong><br />

SIT - KTA di Desa Talun Berasap, Kec. Gumung Tujuh, Kab Kerinci, Jambi<br />

Tabel 11. Distribusi curah hujan selama pertanaman Kubis di Desa Talun Berasap,<br />

Kecamatan Gunung Tujuh, Jambi, 2011<br />

Bulan Hari hujan (hari) Curah hujan (mm)<br />

Juni 4 31,0<br />

Juli 8 170,5<br />

Agustus 3 41,5<br />

September 8 145,5<br />

Jumlah 23 388,5<br />

33


Pertumbuhan Tanaman<br />

Keragaan pertumbuhan tanaman dalam hal tinggi tanaman terlihat tidak berbeda<br />

antar perlakuan teknik konservasi (Gambar 11). Perlakuan teknik konservasi memberikan<br />

pengaruh yang berbeda terhadap pertumbuhan diameter kanopi tanaman (Gambar 12).<br />

Perlakuan KTA-4 (barisan/bedengan tanaman searah kontur) memberikan pengaruh yang<br />

terbaik terhadap perkembangan diameter tanaman pada umur 10 <strong>dan</strong> 12 minggu setelah<br />

tanam. Pengaruh ini tidak berbeda dengan perlakuan KTA-3 (barisan tanaman searah<br />

llereng, setiap 5 m panjang lereng dibuat gulud + rotrak), tetapi berbeda dengan<br />

perlakuan KTA-2 (barisan/bedengan tanaman searah lereng, dipotong gulud setiap 5 m<br />

panjang lereng) <strong>dan</strong> KTA-1 (cara petani, barisan tanaman searah lereng) (Gambar 12).<br />

Tinggi tanaman (cm)<br />

20.0<br />

18.0<br />

16.0<br />

14.0<br />

12.0<br />

10.0<br />

8.0<br />

6.0<br />

4.0<br />

2.0<br />

0.0<br />

2 4<br />

Umur tanaman (MST)<br />

6<br />

TKA-1<br />

TKA-2<br />

TKA-3<br />

TKA-4<br />

Keterangan : MST = minggu setetelah tanam<br />

Gambar 11 Pengaruh teknik konservasi tanah<br />

terhadap tinggi tanaman kubis di<br />

Desa Talun Berasap, Kec. Gunung<br />

Tujuh, Kab Kerinci, Jambi<br />

Hasil tanaman<br />

Diameter kanopi (cm)<br />

17.0<br />

16.5<br />

16.0<br />

15.5<br />

15.0<br />

14.5<br />

14.0<br />

13.5<br />

8 10<br />

Umur tanaman (MST)<br />

12<br />

TKA-1<br />

TKA-2<br />

TKA-3<br />

TKA-4<br />

Keterangan : MST = minggu setetelah tanam<br />

Gambar 12. Pengaruh teknik konservasi<br />

tanah terhadap diameter kanopi<br />

kubis di Desa Talun Berasap, Kec.<br />

Gunung Tujuh, Kab Kerinci, Jambi<br />

Teknik konservasi tanah secara statistik tidak berpengaruh nyata terhadap<br />

populasi tanaman saat panen, namun memberikan pengaruh yang berbeda terhadap hasil<br />

tanaman (berat segar crop). Perlakuan KTA-3 memberikan hasil yang tertinggi, diikuti<br />

oleh KTA-1, kemudian KTA-2 , <strong>dan</strong> KTA-4 memberikan hasil tanaman yang paling rendah<br />

(Tabel 12).<br />

34


Tabel 12 Pengaruh teknik konservasi terhadap populasi tanaman saat panen <strong>dan</strong> berat<br />

segar crop kubis di Desa Talun Berasap, Kec. Gunung Tujuh, Kab Kerinci, Jambi<br />

Perlakuan<br />

Jumlah tanaman saat panen<br />

Berat crop<br />

Berat crop<br />

(tan/plot) (tan/ha) (kg/plot) (t/ha)<br />

KTA-1 88 14611 a 186.2 31.028 b<br />

KTA-2 88 14722 a 174.8 29.139 c<br />

KTA-3 87 14556 a 196.8 32.806 a<br />

KTA-4 89 14778 a 156.3 26.056 d<br />

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda <strong>untuk</strong><br />

taraf 5 % DMRT, KTA-1 = teknik konservasi petani, penanaman searah lereng,<br />

KTA-2 = teknik petani, dipotong gulu<strong>dan</strong> setiap 5 m, KTA-3 = teknik petani, setiap<br />

5 m dipotong gulud <strong>dan</strong> rorak, KTA-4 = penanaman searah kontur<br />

4.2. Pembahasan<br />

4.2.1. On-Farm Research Sistem Usahatani Konservasi (SUT-KTA) di Lahan<br />

Sayuran<br />

Karakteristik sifat fisik tanah awal<br />

Secara umum, tanah di lokasi <strong>penelitian</strong> mempunyai sifat fisik tanah yang cukup<br />

bagus dalam menunjang pertumbuhan tanaman. Apabila membandingkan sifat fisik<br />

tanah awal pada ketiga Blok perlakuan on-farm (P-1. P-2 <strong>dan</strong> P-3), tidak terdapat<br />

perbedaan yang menyolok diantara ketiganya. Semua mempunyai sifat fisik yang hampir<br />

sama yaitu mempunyai BD < 0,80 g/cm 3 yang berkisar dari 0,50 s/d 0,70 g/cm 3 . Ini<br />

mengindikasikan bahwa tanah di lokasi <strong>penelitian</strong> mempunyai sifat andik, sehingga tanah<br />

kemungkinan besar termasuk Ordo Andisol. Hal ini juga dibuktikan dengan nilai partikel<br />

density yang < 2,6 g/cm3, nilai yang biasa dipunyai oleh tanah mineral. Ini<br />

mengindikasikan bahwa tanah ini juga mempunyai kerapatan jenis jarah/partikel yang<br />

lebih rendah dibandingkan dengan tanah mineral pada umumnya.<br />

BD yang rendah mengakibatkan RPT yang tinggi (67 s/d 73 % volume) dengan<br />

PDC yang tinggi ( 17 – 25 % volume) <strong>dan</strong> PDL yang rendah (4 – 8 % volume). Selain<br />

mempunyai RPT yang tinggi, tanah ini juga mempunyai pori air tersedia yang tinggi yang<br />

berkisar dari 18 – 34 % volume. Dengan demikian pori air tersedia (AT) menempati<br />

kurang lebih 25 – 50 % dari RPT. Hal ini bagus <strong>untuk</strong> mendukung pertumbuhan tanaman<br />

35


sehingga tanaman tidak kerurangan air <strong>dan</strong> atau oksigen, karena distribusi ruang pori<br />

lebih banyak didominasi oleh ukuran pori yang menguntungkan bagi tanaman (pori air<br />

tersedia).<br />

Stabilitas agregat tanah berkontribusi terhadap distribusi ruang pori yang<br />

seimbang dalam tanah. Tingginya RPT, PDC <strong>dan</strong> AT mengindikasikan a<strong>dan</strong>ya agregasi<br />

yang baik dalam tanah. Dan hal ini dibuktikan dengan a<strong>dan</strong>ya agregasi yang sangat baik<br />

yang dicerminkan oleh a<strong>dan</strong>ya persentase agregat dabn nilai indeks stabititas agregat<br />

yang tergolong sangat stabil.<br />

Tanah di lokasi <strong>penelitian</strong> mempunyai tekstur tanah lempung. Ini berarti terdapat<br />

susunan yang relatif seimbang diantara partikel-partikel tanah primer. Ini juga<br />

menguntungkan tanaman, sehingga akar tanaman dapat lebih petretrasi ke lapisan tanah<br />

yang lebih dalam yang selanjutnya akar tanaman lebih mudah mengekstrak air <strong>dan</strong> atau<br />

unsur hara dari dalam tanah <strong>untuk</strong> mendukung pertumbunhannya.<br />

Yang harus diwaspadai dari sifat fisik tanah ini adalah a<strong>dan</strong>ya sifat perkolasi atau<br />

kemampuan melalukan air yang cepat <strong>dan</strong> tinggi, sehingga akan terjadi pencucian hara<br />

apabila air di dalam tanah melebihi kapasitas lapang.<br />

Implementasi perlakuan<br />

Salah satu faktor penting yang harus diperhatikan dalam implementasi usahatani<br />

konservasi adalah kemiringan tanah yang dicerminkan oleh nilai persen lereng. Semakin<br />

tinggi kemiringan, semakin terbatas pilihan atau alternatif teknik konservasi yang bisa<br />

diaplikasikan pada usahataninya dalam hal ini usahatani sayuran di dataran tinggi.<br />

Selain hal tersebut diatas, faktor lain yang mempengaruhi adalah jenis komoditas<br />

yang diusahakan. Komoditas sayuran adalah komoditas yang peka terhadap kondisi<br />

drainase tanah, sehingga teknik konservasi yang diimplementasikan haruslah teknik<br />

konservasi yang cepat mengatuskan air.<br />

Faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah kebiasaan petani, sehingga dalam<br />

mengintroduksikan <strong>teknologi</strong> tidak terlalu jauh dengan apa yang biasa dilakukan petani.<br />

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka perlakuan teknik konservasi yang<br />

diimplementasikan pada kegiatan on-farm research adalah seperti yang tercantum pada<br />

Tabel 7.<br />

36


Pertumbuhan tanaman<br />

Perlakuan P-1 berpengaruh paling baik terhadap tinggi tanaman kubis, diikuti oleh<br />

P-3 <strong>dan</strong> kemudian P-2 memeberikan nilai tinggi tanaman paling rendah (Gambar 4)..<br />

Demikian juga halnya terhadap perkembangan diameter kanopi tanaman kubis, perlakuan<br />

P-1 berpengaruh lebih baik, diikuti oleh perlakuan P-3 <strong>dan</strong> akhirnya perlakuan P-2<br />

Gambar 5). Hal ini mungkin disebabkan oleh a<strong>dan</strong>ya kondisi tanah yang lebih kondusif<br />

bagi pertumbuhan tanaman kubis pada perlakuan P-1, dimana tanaman ditanam sejajar<br />

lereng, sehingga tercipta drainase yang lebih baik <strong>dan</strong> kondusif dibandingkan P-2 <strong>dan</strong> P-<br />

3. Pada perlakuan P-2, sistem drainase agak terhambat dengan a<strong>dan</strong>ya gulu<strong>dan</strong>.<br />

Se<strong>dan</strong>gkan pada perlakuan P-3, dimana tanaman atau barisan tanaman mengikuti kontur,<br />

sehingga drainase lebih terhambat dibandingkan P-2 yang mengakibatkan tanaman<br />

tumbuh kurang baik (Gambar 4 <strong>dan</strong> Gambar 5).<br />

Hasil tanaman<br />

Berbeda dengan respon pertumbuhan tanaman terhadap perlakuan P-1, P-2 <strong>dan</strong><br />

P-3, hasil tanaman kubis memberikan respon yang paling baik terhadap perlakuan P-2,<br />

diikuti oleh perlakuan P-3 <strong>dan</strong> P-1 memberikan hasil tanaman kubis yang paling rendah.<br />

Hal ini disebabkan oleh a<strong>dan</strong>ya tanah <strong>dan</strong> input (pupuk, obat-obatan) yang lebih<br />

terkonservasi, apabila turun hujan, pada perlakuan P-2 <strong>dan</strong> P- 3 dalam jangka panjang,<br />

sehingga hasil tanaman lebih tinggi dibandingkan pada perlakuan P-1 (Tabel 8).<br />

Secara umum, hasil tanaman kubis pada kegiatan on-farm research kurang baik.<br />

Hasil tanaman kubis hanya berkisar dari 3 sampai dengan 8 ton/ha berat segar. Hal ini<br />

karena dalam masa pertumbuhan <strong>dan</strong> pembentukan crop, tanaman kubis mengalami<br />

cekaman air, sehingga tanaman tumbuh tidak normal (crop kecil) <strong>dan</strong> hampir 60 persen<br />

tananan kubis mati kekeringan, kemudian disulam, sehingga masa panen tidak serempak.<br />

Input-Output Usahatani Konservasi pada Pertanaman Kubis<br />

Hasil analisis finansial (input – output) usahatani konservasi pada pertanaman<br />

kubis memperlihatkan bahwa nilai hasil (out-put) dari perlakuan P-2 <strong>dan</strong> P-3 jauh lebih<br />

tinggi dibandingkan dengan perlakuan P-1. Hal ini karena P-2 <strong>dan</strong> P-3 memberikan<br />

produksi yang jauh lebih tinggi dibandingkan P-1. Oleh karena itu perlakuan P-2 <strong>dan</strong> P-3<br />

37


memberikan nilai B/C ratio > 1 yang lebih tinggi dibandingkan P-1, se<strong>dan</strong>gkan perlakuan<br />

P-1 memberikan nilai B/C ratio < 1. Ini berarti bahwa pada perlakuan P-1 usahatani<br />

kubis merugi, se<strong>dan</strong>gkan pada P-2 <strong>dan</strong> P-3, usahatani konservasi kubis menguntungkan<br />

(Tabel 10). Lebih lanjut tabel tersebut juga memperlihatkan bahwa perlakuan P-2 lebih<br />

menguntungkan dibandingkan P-3 <strong>dan</strong> mempunyai keuntungan yang hampir dua kali lipat<br />

P-3. Hal ini karena perlakuan P-3 disamping memberikan produksi yang lebih rendah,<br />

juga memerlukan biaya, dalam hal ini upah tenaga kerja, yang lebih tinggi. Upah tenaga<br />

kerja tersebut dipakai <strong>untuk</strong> pembuatan bedengan <strong>dan</strong> atau pembuatan serta penanaman<br />

tanaman yang searah kontur.<br />

Persepsi <strong>dan</strong> Preferensi Petani<br />

Hasil wawancara <strong>dan</strong> kunjungan lapang selama kegiatan FGD mengindikasikan<br />

bahwa petani cukup antusias dengan <strong>teknologi</strong> konservasi yang diintroduksikan. Petani<br />

sepakat bahwa <strong>teknologi</strong> konservasi yang diintroduksikan akan sangat mengurangi erosi,<br />

akan tetapi lebih banyak memerlukan waktu <strong>dan</strong> tenaga kerja. Namun demikian para<br />

petani ingin lebih membuktikan teknik konservasi yang mana yang dapat mengurangi<br />

erosi tetapi masih menguntungkan secara ekonomi.<br />

Sampai dengan saat ini petani cenderung menyukai teknik konservasi KTA-2<br />

(tanaman searah lereng, dipotong gulud setiap 5 m), karena lebih praktis dibandingkan<br />

dengan yang lain, tetapi dapat mengurangi erosi.<br />

Lebih lanjut FGD tersebut juga memberikan input bahwa diperlukan sosialisasi<br />

yang lebih intensif dengan lebih banyak melibatkan penyuluh <strong>untuk</strong> transfer <strong>teknologi</strong> ke<br />

dalam bahasa yang lebih dapat dimengerti oleh petani, terutama dalam hal pentingnya<br />

penggunaan pupuk organik/kan<strong>dan</strong>g dalam usahatani konservasi. Untuk itu petani juga<br />

bermaksud <strong>untuk</strong> mengadakan kegiatan yang sama pada saat panen tanaman kentang<br />

nanti. Selain itu mereka juga bermaksud <strong>untuk</strong> lebih sering berkunjung <strong>dan</strong> berdiskusi<br />

dengan petugas lapang yang ada di lokasi <strong>penelitian</strong> bekerja sama dengan penyuluh.<br />

38


4.2.2. Super-Imphosed Trial : Alternatif Teknik konservasi tanah (SIT-KTA)<br />

<strong>untuk</strong> pengendalian erosi <strong>dan</strong> kehilangan hara pada budidaya sayuran<br />

dataran tinggi<br />

Karakteristik sifat fisik tanah awal<br />

Lokasi kegiatan <strong>penelitian</strong> super-imposed trial ini terletak pada Blok on-farm P-1,<br />

P-2 <strong>dan</strong> P-3 masing-masing <strong>untuk</strong> ulangan 1, 2, <strong>dan</strong> 3, sehingga karakteristik sifat fisik<br />

tanah awalnya sama dengan sifat fisik tanah awal pada Blok P-1, P-2 <strong>dan</strong> P-3 seperti<br />

yang tercantum pada Tabel 1 s/d Tabel 3.<br />

Implementasi perlakuan<br />

Pada kegiatan ini, selain meneliti teknik konservasi yang diimplementasikan pada<br />

kegiatan on-farm, juga mengintroduksikan teknik konservasi air rorak yang dipadukan<br />

dengan gulu<strong>dan</strong> <strong>untuk</strong> mengoptimalkan resapan air agar air aliran permukaan tidak lari<br />

ke tempat lain <strong>dan</strong> konservasi kelembaban tanah. Dengan demikian aliran permukaan<br />

dapat lebih ditekan <strong>dan</strong> erosipun dikurangi.<br />

Kelemahan sistem ini salah satunya adalah mengurangi luas <strong>lahan</strong> yang bisa<br />

ditanami. Namun hal ini diharapkan dengan a<strong>dan</strong>ya teknik konservasi air, kehilangan<br />

hasil akibat berkurangnya luas <strong>lahan</strong> yang dapat ditanami dapat dikompensasi dengan<br />

bertambahnya hasil tanaman akibat terkonservasinya unsur hara yang hilang terbawa<br />

erosi <strong>dan</strong> aliran permukaan.<br />

Pesemaian, penanaman <strong>dan</strong> keragaan tanaman pada kegiatan <strong>penelitian</strong> SUT –<br />

KTA <strong>dan</strong> SIT - KTA<br />

Kegiatan pesemaian pada <strong>penelitian</strong> ini, hampir 50 % gagal atau hampir 50 %<br />

tanaman tidak dapat ditransplanting ke lapangan karena pertumbuhan tanaman kubis<br />

yang kerdil <strong>dan</strong> tidak normal, sehingga tidak memenuhi syarat sebagai bibit yang bagus.<br />

Hal ini karena tanaman kubis di pesemaian sebagian besar kekeringan karena tidak ada<br />

hujan serta sumber air yang tidak mencukupi <strong>untuk</strong> menyiram. Selain itu kelangkaan<br />

tenaga kerja pada saat dibutuhkan merupakan salah satu sebab gagalnya pesemaian ini,<br />

selain faktor iklim.<br />

Selanjutnya kegiatan penanaman dilakukan dengan memakai bibit yang berasal<br />

dari petani penangkar yang berada di sekitar lokasi <strong>penelitian</strong>. Namun setelah berumur<br />

39


2-3 minggu, tanaman mengalami kematian yang hampir 50 %. Hal ini juga disebabkan<br />

oleh karena kekeringan ysng diskibatkan oleh tidak a<strong>dan</strong>ya hujan dalam waktu yang lama<br />

<strong>dan</strong> air yang diberikan sebagai irigasi tidak mencukupi <strong>dan</strong> tidak terdistribusi secara<br />

merata. Dengan demikian perlu diadakan penanaman ulang atau penyulaman <strong>untuk</strong><br />

tanaman yang mati. Degan demikian diperkirakan, lokasi <strong>penelitian</strong> ini akan terlambat<br />

panen.<br />

Pertumbuhan tanaman<br />

Teknik konservasi (TKA-1 s/d TKA-4) memberikan pengaruh yang berbeda<br />

terhadap pertumbuhan kubis dalam hal tinggi tanaman <strong>dan</strong> diameter kanopi. TKA-1 s/d<br />

TKA-4 memberikan pengaruh yang tidak berbeda secara statistik terhadap tinggi tanaman<br />

(Gambar 10), Perlakuan teknik konservasi memberikan pengaruh yang berbeda terhadap<br />

pertumbuhan diameter kanopi tanaman (Gambar 11). TKA-4 memberikan pengaruh<br />

yang terbaik terhadap diameter kanopi tanaman, namun tidak berbeda dengan TKA-3,<br />

<strong>dan</strong> berbeda terhadap TKA-2 <strong>dan</strong> TKA-1. Hal ini karena pada TKA-4, dimana kubis<br />

ditanam searah kontur, tanah, <strong>dan</strong> kelembaban tanah, serta input pertanian berupa<br />

pupuk lebih terkonservasi <strong>dan</strong> lebih dapat dimanfaatkan oleh tanaman dibandingkan pada<br />

perlakuan P-1, dimana kubis ditanam searah lereng, sehingga tanah <strong>dan</strong> pupuk akan<br />

mudah terbawa erosi <strong>dan</strong> aliran permukaan apabila terjadi hujan. Hal ini menyebabkan<br />

tanaman kurang mendapat kesempatan <strong>untuk</strong> mengambil air <strong>dan</strong> nutrisi yang<br />

diperlukannya. Ini mengakibatkan pertumbuhan tanaman yang paling rendah<br />

dibandingkan perlakuan yang lain (Gambar 11).<br />

Hasil tanaman<br />

Teknik konservasi secara statistik tidak memberikan pengaruh yang berbeda<br />

terhadap populasi tanaman saat panen. Teknik konservasi memberikan pengaruh yang<br />

berbeda nyata terhadap hasil tanaman kubis (Tabel 9). KTA-3 memberikan hasil<br />

tanaman yang paling tinggi dibandingkan perlakuan lainnya, diikuti oleh perlakuan TKA-1,<br />

kemudian TKA-2 <strong>dan</strong> akhirnya TKA-4 memberikan hasil tanaman yang paling rendah. Hal<br />

ini terutama disebabkan oleh a<strong>dan</strong>ya penurunan populasi akibat perlakuan TKA-4 apabila<br />

diperhitungkan ke dalam satu ha. Secara normal, populasi tanaman kubis pada<br />

perlakuan TKA-1 s/d TKA-4 berturut-turut adalah 33333, 25000, 24000 <strong>dan</strong> 24000<br />

40


tanaman/ha. Populasi tanaman pada perlakuan KTA-3 dalam keadaan normal lebih<br />

rendah dari KTA-1, namun KTA-3 memberikan hasil tanaman yang paling tinggi. Ini<br />

berarti kualitas hasil tanaman pada perlakuan KTA-3 paling bagus diantara perlakuan<br />

lainnya.<br />

Pertanaman kentang<br />

Penelitian ini dilaksanakan selama 2 musim tanam (2 MT) yaitu kubis dilanjutkan<br />

dengan pertanaman kentang. Kentang baru ditanam pada pertengahan bulan November<br />

2011 sehingga belum ada data yang bisa dilaporkan <strong>untuk</strong> periode tanaman kentang.<br />

Dengan demikian data erosi <strong>dan</strong> aliran permukaanpun belum dapat disajikan.<br />

41


5.1. Kesimpulan<br />

V. KESIMPULAN DAN SARAN<br />

1. Tanah di lokasi <strong>penelitian</strong> mempunyai tekstur lempung dengan pori air tersedia<br />

yang tinggi (18 – 34 % volume) <strong>dan</strong> agregasi yang sangat baik. Yang harus<br />

diwaspadai dari sifat fisik tanah ini adalah a<strong>dan</strong>ya sifat perkolasi atau kemampuan<br />

melalukan air yang cepat <strong>dan</strong> tinggi, sehingga akan terjadi pencucian hara apabila<br />

air di dalam tanah melebihi kapasitas lapang.<br />

2. Perlakuan sistem usahatani konservasi P-2 (pada kegiatan on-farm research)<br />

memberikan hasil tanaman yang tertinggi <strong>dan</strong> berbeda dengan P-3 <strong>dan</strong> P-1.<br />

Perlakuan P-1 memberikan hasil tanaman terrendah.<br />

3. Perlakuan P-2 (bedengan tanaman searah lereng dipotong gulud setiap 5 m)<br />

memberikan keuntungan (Rp 2.588.000,-) <strong>dan</strong> nilai B/C ratio (1,51) yang paling<br />

tinggi dibandingkan P-1 <strong>dan</strong> P-3. Perlakuan P-1 mengalami kerugian sebesar Rp<br />

1.901.000,-<br />

4. Teknik konservasi TKA-3 (pada kegiatan super imphosed trial/SIT-KTA)<br />

memberikan hasil tanaman kubis tertinggi (32 t/ha) diikuti oleh TKA-1 (31 t/ha),<br />

TKA-2 (29 t/ha) <strong>dan</strong> TKA-4 memberikan hasil yang paling rendah (26 t/ha).<br />

5. Petani pada umumnya cukup antusias terhadap teknik konservasi tanah <strong>dan</strong> air.<br />

Petani cenderung menyukai teknik konservasi TKA-2 (tanaman searah lereng,<br />

dipotong gulud setiap 5 meter), karena lebih praktis, dengan alternatif TKA-4.<br />

42


5.2. Saran<br />

o Diperlukan penyuluhan <strong>dan</strong> sosialisasi yang lebih intensif kepada petani pengguna<br />

<strong>lahan</strong> kering di kawasan budidaya sayuran dataran tinggi, baik sebagai pemilik<br />

maupun sebagai penggarap, agar terjadi percepatan adopsi <strong>teknologi</strong> sistem<br />

usahatani konservasi di <strong>lahan</strong> sayuran dataran tinggi.<br />

o Diperlukan koordinasi <strong>dan</strong> komunikasi yang lebih intensif dengan instansi terkait<br />

agar terjadi pemindahan tongkat estafet kepada instansi terkait di wilayah<br />

setempat.<br />

o Untuk mengantisipasi masalah kekurangan modal bagi petani kecil, menggalang<br />

modal bersama atau koperasi dapat dijadikan salah satu alternatif pemecahan<br />

masalah.<br />

43


VI. PRAKIRAAN DAMPAK HASIL KEGIATAN<br />

1. Terjadinya peningkatan produktivitas tanah <strong>dan</strong> hasil tanaman, serta<br />

diterapkannya sistem <strong>pengelolaan</strong> <strong>lahan</strong> yang lebih efisien pada <strong>lahan</strong> sayuran<br />

dataran tinggi.<br />

2. Terjadinya peningkatan keuntungan <strong>dan</strong> pendapatan petani, serta diterapkannya<br />

sistem budi daya sayuran yang berkelanjutan di dataran tinggi.<br />

44


VII. DAFTAR PUSTAKA<br />

Akonde, T.P., Leihner A.E., and Kuhne, R. 1999. Nutrient balance in agroforestry systems.<br />

Plant Research and Development. Institute for Scientific Co-operation, Tubingen,<br />

Federal Republic of Germany. 50: 7-17<br />

Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah <strong>dan</strong> Air. Institut Pertanian Bogor Press. Bogor.<br />

Banuwa, I. S. 1994. Dinamika Aliran Permukaan <strong>dan</strong> Erosi Akibat Tindakan Konservasi<br />

Tanah pada Andisol Pangalengan, Jawa Barat. Tesis Program Pasca Sarjana IPB,<br />

Bogor.<br />

Bationo, A., Lompo, F., and Koala, S. 1998. Research on nutrient flows and balances in<br />

West Africa: State-of-the-art. Agricultural Water Management. 71: 19-35<br />

BPS. 2008. Statistik Indonesia 2007. Ba<strong>dan</strong> Pusat Statistik.<br />

Chowdary, V.M., Rao, N.H., and Sarma, P.B.S. 2004. A coupled soil water and nitrogen<br />

balance model for flooded rice fields in India. Agriculture Ecosystems and<br />

Environment. 103: 425-441<br />

Cho, J.Y., Han K.W., and Choi, J.K. 2000. Balance of nitrogen and phosphorus in a paddy<br />

field of central Korea. Soil Science and Plant Nutrition. 46: 343-354<br />

Erfandi, D., Un<strong>dan</strong>g Kurnia, <strong>dan</strong> O. Sopandi. 2002. Pengendalian erosi <strong>dan</strong> perubahan<br />

sifat fisik tanah pada <strong>lahan</strong> sayuran berlereng. Hal. 277-286 dalam Prosiding<br />

Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Lahan <strong>dan</strong> Pupuk. Buku II. Pusat<br />

Penelitian <strong>dan</strong> Pengembangan Tanah <strong>dan</strong> Agroklimat. Bogor, 2002.<br />

Fan, X.H., Song, Y.S., Lin, D.X., Yang, L.Z., and Lou, J.F. 2006. Ammonia volatilisation<br />

losses and N-15 balance from urea applied to rice on a paddy soil. Journal of<br />

Environmental Science China. 18 (2): 299-303<br />

Ghosh, B.C. and Bhat, R. 1998. Environmental hazards of nitrogen loading in wetland rice<br />

fields. Environmental pollution. 102: 123-126<br />

Hayashi, K., Nishimura, S., and Yagi, K. 2006. Ammonia volatilisation from the surface of<br />

a Japanese paddy field during rice cultivation. Soil Science and Plant Nutrition. 52:<br />

545-555<br />

Manolov, I.G., Ikeda M., and Yamakawa, T. 2003. Effect of methods of nitrogen<br />

application on nitrogen recovery from N-15-labeled urea applied to paddy rice<br />

(Oryza sativa L.). Journal of the Faculty of Agriculture Kyushu University. 48: 1-11<br />

Miller, R.J., and Smith, R.B. 1976. Nitrogen balance in the Southern San Joaquin Valley.<br />

Journal of Environmental Quality. 5 (3): 274-278<br />

Haryati, U., N. L. Nurida, H. Suganda, <strong>dan</strong> Un<strong>dan</strong>g Kurnia. 2000. Pengaruh arah<br />

bedengan <strong>dan</strong> tanaman penguat teras terhadap erosi <strong>dan</strong> hasil kubis (Brassica<br />

oleracea) di dataran tinggi. Hal. 411-424 dalam Prosiding Seminar Nasional<br />

Sumberdaya Tanah, Iklim <strong>dan</strong> Pupuk. Pusat Penelitian Tanah <strong>dan</strong> Agroklimat.<br />

Bogor.<br />

45


Haryati, U <strong>dan</strong> Un<strong>dan</strong>g Kurnia. 2001. Pengaruh teknik konservasi tanah terhadap erosi<br />

<strong>dan</strong> hasil kentang (solanum tuberosum) pada <strong>lahan</strong> budidaya sayuran di dataran tinggi<br />

Dieng. Hlm. 439-460 dalam Prosiding Seminar Nasional Reorientasi Pendayagunaan<br />

Sumberdaya Tanah, Iklim <strong>dan</strong> pupuk. Cipayung- Bogor, 31 Oktober – 2 November<br />

2000. Pusat <strong>penelitian</strong> <strong>dan</strong> Pengembangan tanah <strong>dan</strong> Agroklimat, Bogor. Buku II.<br />

Hidayat, A <strong>dan</strong> A. Mulyani. 2005. Lahan Kering <strong>untuk</strong> Pertanian dalam Adimihardja <strong>dan</strong><br />

Mappaona (Eds). Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Menuju Pertanian Produktif<br />

<strong>dan</strong> Ramah Lingkungan. Edisi Kedua. Pusat Penelitian <strong>dan</strong> Pengembangan Tanah<br />

<strong>dan</strong> Agroklimat. Ba<strong>dan</strong> Litbang Pertanian.<br />

Lefroy, R.D.B., and Konboon, J. 1999. Studying nutrient flows to assess sustainability and<br />

identify areas of nutrient depletion and imbalance: an example for rainfed rice<br />

systems in Northeast Thailand. In: Ladha (Eds.), Rainfed Lowland Rice: Advances in<br />

Nutrient Management Research. IRRI, pp. 77-93<br />

Pusat Penelitian <strong>dan</strong> Pengembangan Pengairan. 1995. Data Tahunan Debit Sungai<br />

Wilayah Tengah (Jawa, Bali, Kalimantan). Buku II/Hi-1/1995. Departemen<br />

Pekerjaan Umum, Jakarta.<br />

Santoso, D., Wigena, I.G.P., Eusof, Z., and Chen, X.H. 1995. The ASIALAND management<br />

of sloping lands network: Nutrient balance study on sloping lands. In: International<br />

Workshop on Conservation Farming for Sloping Uplands in Southeast Asia:<br />

Challenges, Opportunities, and Prospects. IBSRAM-Thailand Proceedings. 14: 93-<br />

108<br />

Smaaling, E.M.A., Stoorvogel, J.J., and Wiindmeijer, P.N. 1993. Calculating soil nutrient<br />

balances in Africa at different scales II. District scale. Fertiliser Research. 35 (3):<br />

237-250<br />

Sinukaban, N. 1990. Pengaruh pengo<strong>lahan</strong> tanah konservasi <strong>dan</strong> pemberian mulsa<br />

jerami terhadap produksi tanaman pangan <strong>dan</strong> erosi hara. Pemberitaan Penelitian<br />

Tanah <strong>dan</strong> Pupuk, (9): 32-38.<br />

Stoorvogel, J.J., Smaaling, E.M.A., and Janssen, B.H. 1993. Calculating soil nutrient<br />

balances in Africa at different scales. I. Supra-national scale. Fertiliser Research. 35<br />

(3): 227-236<br />

Soleh <strong>dan</strong> Arifin. 2003. Optimalisasi Multifungsi Pertanian pada Usahatani Tanaman<br />

Kentang di Sundoro, Lumajang. Balittanah.litbang.deptan.id. 3 Januari 2011.<br />

Subagyo, H., N. Suharta, <strong>dan</strong> A. B. Siswanto. 2000. Lahan Pertanian Indonesia. Hal 21-66<br />

dalam Sumberdaya Lahan Indonesia <strong>dan</strong> Pengelolaannya. Pusat Penelitian <strong>dan</strong><br />

Pengembangan Tanah <strong>dan</strong> Agroklimat. Bogor.<br />

Suganda, H., S. Abujamin, A. Dariah, <strong>dan</strong> S. Sukmana. 1994. Pengkajian teknik<br />

konservasi tanah dalam usahatani tanaman sayuran di Batulawang, Pacet.<br />

Pemberitaan Penelitian Tanah <strong>dan</strong> Pupuk, 12:47-57.<br />

Suganda, H., M. S. Djunaedi, D. Santoso, <strong>dan</strong> S. Sukmana. 1997. Pengaruh cara<br />

pengendalian erosi terhadap aliran permukaan, tanah tererosi <strong>dan</strong> produksi sayuran<br />

pada Andisols. Jurnal Tanah <strong>dan</strong> Iklim. (15):38-50.<br />

46


Suganda, H., H. Kusnadi <strong>dan</strong> Un<strong>dan</strong>g Kurnia. 1999. Pengaruh arah barisan tanaman <strong>dan</strong><br />

bedengan dalam pengendalian erosi pada budidaya sayuran dataran tinggi. Jurnal<br />

Tanah <strong>dan</strong> Iklim, (17):55-64.<br />

Sutapraja, H., <strong>dan</strong> Asandhi. 1996. Pengaruh arah gulu<strong>dan</strong>, mulsa, <strong>dan</strong> tumpangsari<br />

terhadap pertumbuhan <strong>dan</strong> hasil kentang serta erosi di dataran tinggi Batur, Jurnal<br />

Hortikultura, 8 (1):1.006-1.013<br />

Sukristiyonubowo. 2007a. Nutrient balances in terraced paddy fields under traditional<br />

irrigation in Indonesia.PhD tesis. Faculty of Bioscience Engineering , Ghent<br />

University, Ghent-Belgium. 184 p<br />

Sukristiyonubowo. 2007b. Nutrient balances for wetland rice farming. Indonesian Journal<br />

of Land Resources 1 (4): 1-14<br />

Sumarna, A., <strong>dan</strong> Y. Kusandriani. 1992. Pengaruh jumlah pengairan air tehadap<br />

pertumbuhan <strong>dan</strong> hasil cabe paprika (Capsicum annum L. var groosum) kultivar<br />

orion <strong>dan</strong> Yolo Wonder A. Buletin Penelitian Hortikultura XXIV (1):51-58.<br />

Suwardjo. 1981. Peranan Sisa-sisa Tanaman dalam Konservasi Tanah <strong>dan</strong> Air pada<br />

Usahatani Tanaman Semusim. Disertasi Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian<br />

Bogor.<br />

Uexkull, H.R. von. 1989. Nutrient cycling. In Soil Management and Smallholder<br />

Development in the Pacific Islands. IBSRAM-Thailand Proceedings. 8: 121-132<br />

Un<strong>dan</strong>g Kurnia. 1996. Kajian Metode Rehabilitasi Lahan <strong>untuk</strong> Meningkatkan <strong>dan</strong><br />

Melestarikan Produktivitas Tanah. Disertasi Doktor Program Pascasarjana, Institut<br />

Pertanian Bogor.<br />

Un<strong>dan</strong>g Kurnia, <strong>dan</strong> H. Suganda. 1999. Konservasi tanah <strong>dan</strong> air pada budidaya sayuran<br />

dataran tinggi. Jurnal Penelitian <strong>dan</strong> Pengembangan Pertanian, 18 (2): 68-74.<br />

Un<strong>dan</strong>g Kurnia. 2000. Penerapan teknik konservasi tanah pada <strong>lahan</strong> usahatani dataran<br />

tinggi. Hal 47-57 dalam A. Abdurachman et al. (eds.). Prosiding Lokakarya<br />

Nasional Pembahasan Hasil Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Bogor, 2-3<br />

September 1999. Pusat Penelitian Tanah <strong>dan</strong> Agroklimat, Bogor.<br />

Van den Bosch, H., Joger, A. de, and Vlaming, J. 1998a. Monitoring nutrient flows and<br />

economic performance in African farming systems (NUTMON) II. Tool Development.<br />

Agriculture, Ecosystems and Environment. 71: 49-62<br />

Van den Bosch, H., Gitari, J.N., Ogoro, V.N., Maobe, S., and Vlaming, J. 1998b.<br />

Monitoring nutrient flows and economic performance in African farming systems<br />

(NUTMON) III. Monitoring nutrient flows and balances in three districts in Kenya.<br />

Agriculture, Ecosystems and Environment. 71: 63-80<br />

Wijnhoud, J.D., Konboon, Y., and Lefroy, R.D.B. 2003. Nutrient budgets: Sustainability<br />

assessment of rainfed lowland rice-based systems in northeast Thailand.<br />

Agriculture, Ecosystems and Environment. 100: 119-127<br />

Xing, G.X. and Zhu, Z.L. 2000. An assessment of N loss from agricultural fields to the<br />

environment in China. Nutrient Cycling in Agroecosystems. 57: 67-73<br />

47

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!