14.08.2013 Views

pdf - Scientific Journal UMM

pdf - Scientific Journal UMM

pdf - Scientific Journal UMM

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI<br />

© 2013 Magister Psikologi <strong>UMM</strong>, ISSN: 2303-2936<br />

Volume I (2), 129 - 138<br />

Rational emotive behaviour therapy untuk menangani<br />

gangguan depresi<br />

Hesti Setyodyah Lestari Kopwan SU Setia Budi Wanita JATIM 1<br />

Abstraksi Pada kasus kekerasan dalam rumah tangga ditemukan bahwa 9 dari 10 perempuan mengalami<br />

depresi. Tujuan dari terapi ini dengan menggunakan metode Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT)<br />

adalah menurunkan tingkat depresi dengan melakukan restrukturisasi kognitif, afeksi dan perilaku.<br />

Berdasarkan assessment, diketahui bahwa ukur subyek mengalami depresi. Pada metode REBT<br />

dilakukan restruskturisasi kognitif dengan mengubah keyakinan irasional menjadi rasional sehingga<br />

berpengaruh pada perubahan afeksi dan perilaku baru. Berdasarkan instrumen penelitian dengan<br />

tes BDI diketahui skor hasil pre-test =38 (depresi berat), post test=15(depresi ringan) dan follow<br />

up =13 (depresi ringan) sehingga dinyatakan subyek mengalami penurunan tingkat depresi dengan<br />

terapi sebanyak 14 sesi. Pengukuran perubahan gejala depresi pada beberapa sesi terapi menggunakan<br />

selfreport.<br />

Kata kunci REBT, depresi<br />

Pendahuluan<br />

Ketegangan dan konflik dengan pasangan (suami-istri)<br />

merupakan hal yang wajar dalam suatu<br />

rumah tangga. Namun apabila perselisihan antara<br />

mereka tidak terselesaikan secara sehat<br />

maka konflik dimungkinkan semakin sering<br />

terjadi dan semakin membahayakan bagi keluarga.<br />

Reaksi yang biasanya dilakukan adalah<br />

dengan kemarahan yang berlebihan, hentakan<br />

dan tindakan fisik satu pihak ke lainnya dan<br />

tindak kekerasan lainnya. Tindak kekerasan<br />

kepada istri sering terjadi dalam kondisi seperti<br />

tersebut. Kekerasan dalam rumah tangga<br />

(KDRT) sebenarnya bisa menimpa siapa saja<br />

dikarenakan kejahatan KDRT sesungguhnya<br />

berhubungan dengan ibu rumah tangga atau<br />

istri sebagai korban.<br />

Menurut Purnianti (Kompas, 2011) korban<br />

kekerasan fisik, besar kemungkinan mengalami<br />

gangguan psikis. Dalam penelitiannya,<br />

ditemukan bahwa 9 dari 10 perempuan yang<br />

mengalami kekerasan fisik mengalami gangguan<br />

mental. Sebagai gambaran, dari 279<br />

kasus kekerasan tercatat 82,02% adalah kekerasan<br />

dalam rumah tangga dan 76,98%<br />

adalah kekerasan yang dilakukan oleh suami<br />

serta 6,12% yang dilakukan oleh mantan suami.<br />

Konflik berkepanjangan diantara pasangan<br />

suami istri dengan disertai adanya KDRT<br />

pada pihak istri seringkali berakibat masalah<br />

psikologis seperti kecemasan, gangguan mood,<br />

mudah marah, suasana hati yang berubahubah,<br />

merasa tidak aman, terancam dan cara<br />

berpikir yang irasional serta cenderung untuk<br />

menyalahkan diri sendiri karena merasa tidak<br />

berdaya dan putus harapan. Penelitian dilakukan<br />

Weliangan (2009) dengan subyek yang<br />

mengalami depresi diakibatkan oleh KDRT<br />

menjelaskan bahwa depresi muncul dikarenakan<br />

adanya pemikiran yang negatif atau keyakinan<br />

yang irasional atas kondisi yang dialaminya<br />

sehingga perlu dilakukan pendekatan<br />

Rational Emotive Behaviour Therapy ( R E B T )<br />

untuk menunjukkan dengan cepat kepada<br />

subyek tentang segala hal pernyataan negatif<br />

yang masuk dalam pikirannya adalah tidak<br />

tepat.<br />

Pada beberapa penelitian dengan indikasi<br />

tindak kekerasan yang mempengaruhi kondisi<br />

emosi dan psikologis seseorang dapat ditanga-<br />

1 Korespondensi ditujukan kepada Hesti Setyodyah Lestari, hesti_setyo76@yahoo.com, telepon: 08175407936<br />

129


130<br />

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (2), 129 - 138<br />

ni dengan pendekatan REBT (Rosner, 2011).<br />

Beberapa bukti menunjukkan bahwa depresi<br />

yang membuat seseorang memiliki pernyataan<br />

buruk tentang dirinya akan turut mempengaruhi<br />

perkembangan psikologi dan relasi dengan<br />

lingkungan menjadi terganggu (Sava, 2009).<br />

Untuk itu pendekatan REBT menjadi salah<br />

satu alternatif treatmen atau terapi yang efektif<br />

dalam menangani depresi (Matud, 2005).<br />

Hal pertama yang harus direduksi adalah dari<br />

merubah pola pikir atau pernyataan diri yang<br />

negatif menjadi positif (Payne, 2005). Pada kasus<br />

wanita yang menga-lami KDRT, perilaku<br />

KDRT itu dapat menjadi sumber depresi, ditambah<br />

penilaian negatif akan memperparah<br />

kondisi depresi korban (Weliangan, 2009).<br />

Penelitian ini mengangkat masalah depresi<br />

ditinjau dari penilaian yang negatif yang tidak<br />

rasional pada wanita yang mengalami KDRT<br />

(Rahardjo, 2011).<br />

Metode kognitif dalam proses terapi adalah<br />

aktif-direktif (Corey, 2010), menunjukkan dengan<br />

cepat kepada subyek tentang apa yang<br />

secara terus-menerus mereka masukkan<br />

dalam diri mereka yaitu pernyataan diri yang<br />

merusak diri. Kemudian mengajari subyek<br />

bagaimana menantang atau mengubah pernyataan<br />

diri yang merusak diri (Sava, 2009),<br />

kemudian mendorong pada pemikiran yang rasional.<br />

Pada pendekatan REBT, subyek diajak<br />

untuk menyelesaikan emosi negatifnya yang<br />

prinsip dasar terapi ini adalah menekankan<br />

pada proses belajar dalam melatih ketrampilan<br />

untuk melakukan perubahan pola pikir yang<br />

tidak rasional dan mengembalikannya kepada<br />

pola pikir yang rasional, serta mempelajari cara<br />

yang lebih efektif dalam mengatasi masalah<br />

atau gangguan emosinya.<br />

REBT menjelaskan bahwa pemikiran tidak<br />

rasional dapat didebat, dijelaskan dan diajari<br />

melalui proses argumentasi, pekerjaan rumah,<br />

perubahan bahasa/pernyataan diri yang positif<br />

(Froggatt, 2005). Secara umum pendekatan<br />

REBT adalah untuk membantu subyek dalam<br />

memodifikasi pernyataan diri, keyakinan dasar<br />

dan filsafat hidup (Safford, 2007).<br />

Dengan menempatkan kondisi emosi ke<br />

dalam kerangka berpikir rasional (Ellis, 1990),<br />

subyek diharapkan untuk dapat menampilkan<br />

perilaku yang rasional juga (Iacoviello, 2009).<br />

Kemudian masalah yang dihadapi diharapkan<br />

dapat menjadi lebih ringan atau bahkan menjadi<br />

sehat seutuhnya (De Boni, 2005).<br />

Berdasarkan dari penjelasan tersebut<br />

dapat diketahui bahwa REBT dapat menjadi<br />

salah satu alternatif yang dapat digunakan un-<br />

tuk mengatasi permasalahan depresi subyek<br />

akibat KDRT sehingga dapat meningkatkan<br />

pola pikir rasional serta efektif dalam mengatasi<br />

gangguan emosi agar menjadi lebih baik<br />

sehingga dapat menampilkan perilaku rasional<br />

yang dapat menuntun kepada kehidupan yang<br />

lebih baik.<br />

Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui<br />

efek menggunakan REBT terhadap pengurangan<br />

tingkat depresi wanita yang mengalami<br />

KDRT.<br />

Kajian Pustaka<br />

Depresi adalah suatu pengalaman yang menyakitkan<br />

yaitu suatu perasaan tidak ada<br />

harapan lagi. Dijelaskan dalam sebuah penelitian<br />

bahwa individu yang mengalami depresi<br />

pada umumnya menunjukkan gejala psikis<br />

(Richard, 2009), gejala fisik (Matud, 2005) dan<br />

sosial yang khas adanya (Murakumi, 2002),<br />

seperti murung, sedih berkepanjangan, sensitif,<br />

mudah marah dan tersinggung, hilang<br />

semangat, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya<br />

konsentrasi, mengalami kesulitan tidur,<br />

dan menurunnya daya tahan. Pada orang normal,<br />

depresi merupakan keadaan kemurungan<br />

(kesedihan, patah semangat) yang ditandai<br />

dengan perasaan tidak puas, menurunnya kegiatan,<br />

dan pesimis dalam menghadapi masa<br />

yang akan datang.<br />

Pada kasus patologis, depresi merupakan<br />

ketidakmampuan ekstrem untuk bereaksi terhadap<br />

perangsang disertai menurunnya nilai<br />

diri, delusi ketidakpastian, tidak mampu dan<br />

putus asa. Perbedaan depresi normal dengan<br />

depresi klinis terletak pada tingkatannya (Matud,<br />

2005) namun keduanya memiliki jenis<br />

simptom yang sama tetapi depresi unipolar<br />

atau mayor depresi mempunyai simptom yang<br />

lebih banyak, lebih berat, lebih sering, dan terjadi<br />

dalam waktu yang lebih lama.<br />

Depresi merupakan gangguan mental yang<br />

sering terjadi di tengah masyarakat, berawal<br />

dari stres (Iacoviello, 2009) yang tidak bisa<br />

diatasi sehingga menyebabkan seseorang mengalami<br />

fase depresi. Orang yang mengalami<br />

depresi umumnya mengalami gangguan mood<br />

yang bercirikan kondisi emosional berkepanjangan<br />

yang mewarnai seluruh proses mental<br />

(berpikir, berperasaan dan berperilaku) seseorang.<br />

Pada umumnya mood yang secara<br />

dominan muncul adalah perasaan ketidakberdayaan<br />

yang berlebihan, kehilangan harapan,<br />

tidak mampu mengambil keputusan memulai<br />

suatu kegiatan, tidak mampu berkonsentrasi,


JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (2), 129 - 138<br />

tidak memiliki semangat hidup, selalu tegang<br />

dan mencoba bunuh diri.<br />

Skala yang terbentuk dari 21 symtom kategori<br />

dan setiap kategori gejala pada skala terdiri<br />

dari empat “self-penilaian” item. Substansi<br />

dinilai antara 0-3 poin. Skor tertinggi yang<br />

dapat diterima dari skala adalah 63. Distribusi<br />

skor yang diberikan pada diagnosis depresi<br />

adalah sebagai berikut: 1 - Depresi pada<br />

tingkat rendah (11-17 poin) 2 - depresi pada<br />

tingkat sedang (18-29 poin) 3 - depresi pada<br />

tingkat penting atau berat (30-63 poin).<br />

American Psychiatric Association (2000)<br />

mengemukakan kriteria depresi mayor yang<br />

ditetapkan apabila sedikitnya lima dari gejala<br />

telah ditemukan dalam jangka waktu dua minggu<br />

yang sama dan merupakan satu perubahan<br />

pola fungsi dari sebelumnya. Paling tidak satu<br />

gejalanya ialah salah satu dari mood tertekan<br />

atau hilangnya minat atau kesenangan (tidak<br />

termasuk gejala-gejala yang jelas yang disebabkan<br />

kondisi medis umum atau mood delusi<br />

atau halusinasi yang tidak kongruen).<br />

Ellis (2003) menjelaskan bahwa depresi<br />

yang dialami subyek di tempat kerja yang menyebabkan<br />

terganggunya aktivitas kerja. Subyek<br />

yang depresi perlu diarahkan untuk mengenali<br />

sumber masalah kemudian dilakukan<br />

metode disputing sehingga menantang pola<br />

berpikirnya merubah keyakinan baru yang<br />

positif.<br />

Penelitian eksperimen pernah dilakukan<br />

terhadap 24 pejabat di Nigeria yang mengalami<br />

depresi power syndrome karena telah<br />

purna tugas atau pensiun. Penelitian tersebut<br />

menunjukkan bahwa melalui intervensi REBT<br />

dapat menurunkan tingkat depresi yang dialaminya<br />

karena reduksi keyakinan diri mampu<br />

menghantarkan mereka untuk dapat menikmati<br />

peran dan aktivitas di usia lanjut (Osere,<br />

2008).<br />

Flett (2003) juga melakukan penelitian terhadap<br />

94 pelajar yang mengalami penerimaan<br />

diri yang rendah identik dengan depresi. Ada<br />

beberapa bentuk kajian terkait dengan depresi<br />

pada komunitas pelajar, antara lain faktor lingkungan<br />

sosial, harga diri dan ketidakpercayaan<br />

diri. Intervensi REBT dilakukan dengan meninjau<br />

dan mengangkat aspek penerimaan diri sebagai<br />

faktor utama dalam mengubah persepsi<br />

keyakinan diri menjadi positif sehingga pada<br />

akhirnya mampu mereduksi depresi menjadi<br />

semakin menurun (Ellis, 2003).<br />

Penelitian yang dilakukan oleh Campbell<br />

(2000) di Kanada terhadap korban kekerasan<br />

fisik yang dialami ibu rumah tangga, menun-<br />

jukkan gejala depresi berat (Murakami, 2002)<br />

dan berakibat menurunnya kondisi kesehatannya.<br />

Segera dilakukan terapi terhadap korban<br />

secara berkala dan beruntun (beberapa<br />

tindakan terapi), membangun strategi perencanaan<br />

dengan mengamankan lingkungan untuk<br />

menghentikan situasi kekerasan sehingga<br />

dapat menurunkan tingkat depresi.<br />

Beberapa penelitian menyatakan bahwa<br />

REBT merupakan terapi yang sangat komprehensif<br />

(Ellis,1990) yang menangani masalahmasalah<br />

yang berhubungan dengan emosi,<br />

kognisi, dan perilaku termasuk depresi (De<br />

Boni, 2005; Sava, 2009).<br />

REBT adalah therapy yang menekankan<br />

suatu perubahan yang mendalam terhadap<br />

cara berpikir dapat menghasilkan perubahan<br />

yang berarti dalam cara berperasaan dan<br />

berperilaku. Berdasarkan klasifikasi dan jenis<br />

depresi yang dapat ditangani dengan REBT<br />

bahwa subyek yang mengalami depresi masih<br />

mampu menggunakan logikanya (Iacoviello et<br />

al., 2007) dan masih dapat menerima instruksi<br />

(Welingan, 2009) meskipun pada saat itu irasional<br />

belief masih sangat kuat (Flett, 2003).<br />

Asumsi dasar perilaku bermasalah<br />

Pada penelitian REBT dijelaskan bahwa berpikir<br />

irasional ini diawali dengan pola kebiasaan<br />

yang secara tidak sengaja biasanya diperoleh<br />

dari orang tua dan budaya tempat dibesarkan.<br />

Berpikir secara irasional akan tercermin dari<br />

kata-kata yang digunakan. Kata-kata yang tidak<br />

logis menunjukkan cara berpikir yang<br />

salah dan kata-kata yang tepat menunjukkan<br />

cara berpikir yang tepat. Perasaan dan pikiran<br />

negatif serta penolakan diri harus dilawan dengan<br />

cara berpikir yang rasional (Ellis,2003)<br />

dan logis yang dapat diterima menurut akal sehat<br />

(Flett, 2003) serta menggunakan cara verbalisasi<br />

yang rasional (Stephen, 2004). Untuk<br />

itu tahap pertama dalam melakukan perubahan<br />

irasional belief dimulai dari peristiwa sebagai<br />

pemicu pola pikir yang harus direduksi<br />

terlebih dahulu baru dilakukan tahap berikutnya<br />

secara lebih intensif dan komprehensif<br />

(Sava, 2009; Yoosefi, 2011).<br />

Salah satu dasar yang menjadi patokan<br />

bahwa REBT dapat melakukan rasionalisasi<br />

pemikiran dan mereduksi emosi menjadi positif<br />

dengan adanya hasil penelitian yang dilakukan<br />

di Iran terhadap 22 subyek wanita yang mengalami<br />

KDRT dan akhirnya telah bercerai. Pada<br />

awalnya mereka mengalami keyakinan yang<br />

buruk terhadap dirinya karena status baru se-<br />

131


132<br />

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (2), 129 - 138<br />

bagai orang tua tunggal karena hal tersebut tidak<br />

mudah dipahami oleh komunitas tertentu.<br />

Tantangan bagi mereka adalah mengubah pola<br />

berpikir dan menantang irasional belief menjadi<br />

positif dengan cara mengolah dan menguji<br />

pemikiran dengan pendekatan REBT (Yoosefi,<br />

2011).<br />

Penelitian yang dilakukan oleh Raharjo<br />

(2007) menunjukkan bahwa korban yang<br />

mengalami KDRT dapat menurunkan potensi<br />

kekerasan yang dialaminya karena individu<br />

mampu mengubah keyakinan dirinya menjadi<br />

positif. Pengurangan kecemasan yang dialaminya<br />

membawa pengaruh positif terhadap perubahan<br />

emosi menjadi percaya diri dan dapat<br />

mengarahkan perilaku menjadi lebih baik.<br />

Metode Penelitian<br />

Rancangan penelitian<br />

Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus<br />

dengan kasus tunggal (Creswell, 1998;<br />

Stake, 2005) atau biasa disebut a single instrumental<br />

case study.<br />

Subyek penelitian<br />

Subyek penelitian adalah seorang yaitu istri<br />

berusia 34 tahun yang mengalami kekerasan<br />

dalam rumah tangga (KDRT). Subyek mengalami<br />

depresi yang menyebabkan terganggu<br />

kognitif, emosi dan fisiknya berdasarkan hasil<br />

tes awal BDI-II, individu mengalami depresi berat<br />

(38 point), dan diidentifikasikan mengalami<br />

gangguan depresi sesuai dengan kriteria DSM-<br />

IV.<br />

Variabel dan instrumen pengumpulan data<br />

Instrumen yang digunakan untuk menilai<br />

tingkat keparahan depresi adalah Beck Depression<br />

Inventory (BDI-II) (Flett, 1994; L. Segal,<br />

2008).<br />

Teknik wawancara yang dipakai dalam<br />

penelitian ini adalah wawancara semi terstruktur<br />

atau bebas terpimpin karena dalam hal ini<br />

kerangka pertanyaan yang dibuat peneliti mempunyai<br />

kebebasan untuk menggali alasan-alasan<br />

dan dorongan-dorongan dengan “probing”<br />

yang tidak kaku. Wawancara dilakukan pada<br />

saat asesmen awal, proses terapi dan setelah<br />

terapi dilakukan (Latipun, 2006) sedangkan<br />

observasi adalah pengamatan yang dilakukan<br />

selama wawancara dan proses terapi kepada<br />

subyek yang bertujuan untuk mendapatkan<br />

data tentang suatu masalah sehingga diperoleh<br />

pemahaman atau sebagai alat receking atau<br />

pembuktian terhadap informasi yang telah diperoleh<br />

sebelumnya (Robert, 2011; Silverman,<br />

2001)<br />

Prosedur penelitian<br />

Penelitian dimulai dengan menentukan subyek<br />

yang sesuai dengan karakteristik penelitian<br />

(gangguan depresi akibat KDRT) kemudian<br />

meminta kesediaan subyek dalam mengikuti<br />

proses intervensi yang akan dilaksanakan selama<br />

7 minggu dengan 2 kali sesi pertemuan<br />

pada setiap minggunya atau selama 14 sesi<br />

untuk menangani subyek. Adapun tahapan<br />

terapi yang dilakukan sebagai berikut:<br />

Pra terapi. Yaitu membuat kesepakatan dalam<br />

terapi yang meliputi kesepakatan berkaitan<br />

dengan keterikatan antara terapis dan subyek,<br />

penetapan tujuan (goals) dan tugas yang harus<br />

dilakukan terapis dan subyek.<br />

Proses terapi. Pertamakali mengajarkan subyek<br />

mengenai teori ABC dengan metode didaktik.<br />

Pada langkah kedua ini, subyek diarahkan<br />

pada tiga insight utama (three main insight)<br />

meliputi; bahwa gangguan pada individu bukan<br />

disebabkan oleh peristiwa tetapi pikiran<br />

tentang peristiwa tersebut, individu terus bermasalah<br />

karena terus memelihara pikiran irrasional<br />

tersebut.<br />

Menurunkan tingkat depresi dengan cara<br />

menghapus tingkah laku yang diperkuat secara<br />

negatif, dan menyertakan pemunculan<br />

tingkah laku atau respon yang berlawanan<br />

dengan tingkah laku yang hendak dihapuskan<br />

itu, mengarahkan subyek untuk menampilkan<br />

suatu respon yang tidak konsisten dengan<br />

depresinya. Adapun implementasi dari<br />

prosedur-prosedur tersebut dapat digambarkan<br />

dalam beberapa tahap, yaitu: (a) subyek<br />

disuruh untuk membayangkan atau memikirkan<br />

tentang bermacam-macam permasalahan<br />

yang membuatnya depresi dan disusun secara<br />

bertahap mulai dari peristiwa yang paling ditakutinya<br />

sampai pada tingkat ketakutan<br />

yang terendah yang membuatnya tidak takut<br />

atau depresi; (b) subyek diminta untuk mengacungkan<br />

jari telunjuknya bila ia mulai ketakutan<br />

pada saat membayangkan suatu situasi<br />

stimulus dan kemudian subyek diminta untuk<br />

membayangkan situasi stimulus yang kurang<br />

menakutkan pada hal yang ditakuti tersebut;<br />

(c) Bila subyek tidak memperlihatkan ketakutannya<br />

maka disajikan permasalahan berikutnya<br />

dalam hierarki permasalahan tersebut.


JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (2), 129 - 138<br />

Secara bertahap, subyek dan peneliti menelusuri<br />

hierarki permasalahan tersebut dengan<br />

cara seperti ini. Jika subyek menunjukkan<br />

depresi terhadap suatu stimulus maka peneliti<br />

menyuruh klien untuk berhenti dulu. Setelah<br />

subyek tenang, suatu masalah yang lebih rendah<br />

dalam hierarki itu kemudian disajikan dan<br />

peneliti serta subyek secara bertahap menelusuri<br />

lagi hierarki tersebut (Sofyan S, 2010; Corey,<br />

2010).<br />

Melaksanakan pekerjaan rumah, dimaksudkan<br />

untuk membantu subyek dalam upayanya<br />

mempraktekkan perlawanan atas ketakutan-ketakutan<br />

yang irasional. Metodologi pekerjaan<br />

rumahnya berlandaskan proses sebelumnya<br />

dan sering dijalankan mengikuti suatu<br />

hierarki tugas-tugas yang bertingkat yang kesulitannya<br />

secara perlahan meningkat. Pelaksanaan<br />

pekerjaan rumah mendorong mereka<br />

untuk mempraktekkan pengkondisian balik<br />

dengan seperangkat keyakinan yang rasional<br />

(Corey, 2010)<br />

Tahap penutup. Tahap terakhir dalam proses<br />

terapeutik ini selanjutnya adalah mengajak<br />

subyek untuk mengembangkan filsafat-filsafat<br />

hidup yang rasional sehingga dia bisa menghindari<br />

kemungkinan menjadi korban keyakinan<br />

yang irasional. Harapannya subyek mampu<br />

menangani masalah-masalah yang dihadapinya<br />

dengan pemikiran logis serta rasional.<br />

Tahap pasca terapi. Tahap ini merupakan tahap<br />

evaluasi dari keseluruhan proses terapi yang<br />

sudah dijalani subyek bersama dengan peneliti.<br />

Tujuan pada tahap ini adalah untuk mengetahui<br />

perkembangan subyek dalam melakukan<br />

pengendalian diri sehingga tidak mudah mengalami<br />

depresi dalam menghadapi berbagai<br />

stimulus atau kondisi yang dialaminya. Untuk<br />

dapat meninjau potensi tersebut dibutuhkan<br />

waktu antara 2 minggu sampai dengan 2 bulan.<br />

Analisa Data<br />

Analisa data pada penelitian ini dilakukan dengan<br />

deskripsi yang membandingkan keadaan<br />

pikiran subjek pada pra terapi, terapi dan pasca<br />

terapi. Selanjutnya gambaran perubahan<br />

pada tiap sesinya akan dijelaskan pula secara<br />

kualitatif (Yin, 2003; Creswell, 2007).<br />

Hasil dan Pembahasan<br />

Berdasarkan hasil analisis data yang membandingkan<br />

pre dan post-test menunjukkan<br />

adanya penurunan tingkat depresi pada subjek.<br />

Metode REBT yang dilakukan selama 14<br />

sesi dapat meningkatkan pemikiran logis dan<br />

rasional.<br />

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi<br />

munculnya pemikiran logis dan rasional pada<br />

diri subyek yaitu: 1) adanya keinginan dalam<br />

diri subyek untuk keluar dari masalah sehingga<br />

memunculkan motivasi dan semangat<br />

untuk berubah menjadi lebih baik dengan mengawali<br />

melakukan perubahan pola pikir dan<br />

2) mulai berkonsentrasi secara positif dalam<br />

setiap aktivitas yang dilakukan dan diaplikasikan<br />

pada tugas-tugas pekerjaan rumah (Ellis,<br />

2003; Ziegler, 2003; Robb, 2002).<br />

Selanjutnya dalam proses tersebut subyek<br />

mulai menemukan kenyamanan dalam melakukan<br />

aktivitas sehari-hari dan dapat bersikap<br />

tenang sehingga secara otomatis subyek dapat<br />

beristirahat dengan cukup dan karena memiliki<br />

intensitas istirahat yang cukup serta pola<br />

makan yang seimbang maka subyek memiliki<br />

energi yang baik pula dalam mengelola aktivitas<br />

bekerja dan aktivitas bersama keluarganya.<br />

Dari aktivitas rutin yang mulai membaik maka<br />

hal ini memiliki manfaat positif pada kehidupan<br />

afeksi subyek menjadi seimbang, antara<br />

lain munculnya rasa optimis dan penerimaan<br />

diri karena hilangnya perasaan bersalah, benci<br />

diri sendiri, mudah tersinggung, merasa gagal<br />

dan ragu-ragu. Subyek pada akhirnya memiliki<br />

sebuah keyakinan dan rasa percaya diri<br />

bahwa dirinya akan siap dan mampu menghadapi<br />

situasi yang ada dan menerima kenyataan<br />

dengan optimis. Dasar keyakinan dan motivasi<br />

inilah yang menghantarkan dan membantu<br />

subyek dalam melakukan sosialisasi kepada<br />

lingkungan sehingga dapat berjalan dengan<br />

baik (Palmer, 2000; Ziegler, 2003).<br />

Subyek mulai dapat menikmati situasi<br />

kerja dengan lebih nyaman dan melakukan<br />

aktivitas yang lebih komunikatif dan akrab<br />

dengan teman-teman kerjanya seperti meluangkan<br />

waktu bersama sepulang kerja dengan<br />

menonton film atau latihan yoga bersama. Selanjutnya<br />

subyek juga semakin sering meluangkan<br />

waktu bersama keluarga setiap kali<br />

pulang kerja. Secara umum hal ini dapat ditunjukkan<br />

dengan menurunnya semua gejala<br />

depresi yang ada pada item BDI dan semuanya<br />

terekam di dalam data yang berisikan rekap<br />

perilaku subyek selama sesi berjalan (Campbell,<br />

2000; Corey, 2010; Addis & Bernard,<br />

2002).<br />

Penelitian ini sejalan dengan penelitian<br />

sebelumnya yang dilakukan oleh Weliangan<br />

(2009) terhadap klien yang mengalami depresi<br />

133


134<br />

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (2), 129 - 138<br />

Gambar 1. Kondisi penurunan tingkat depresi subyek,pre- test:38, post-test:15 dan follow up:13<br />

dan Payne (2005) serta Ellis (2003) dalam studi<br />

kasus penanganan terapinya. Berbagai penelitian<br />

tersebut menyatakan bahwa metode REBT<br />

cukup membantu dalam menurunkan tingkat<br />

depresi individu sehingga dapat memunculkan<br />

dan meningkatkan kemampuan diri secara<br />

rasional melalui rekonstruksi kognitif, afeksi<br />

dan perilaku yang positif (Ellis, 2003; Yoosefi,<br />

2011). Hal ini seperti yang disampaikan oleh<br />

subyek bahwa setelah mengikuti sesi terapi<br />

dirinya dapat menerima kondisi yang ada<br />

dalam rumah tangganya sekaligus mengupayakan<br />

untuk tidak mudah mengalami depresi<br />

dengan senantiasa membiasakan diri untuk<br />

selalu melakukan pemikiran rasional dan afeksi<br />

positif terhadap berbagai stimulus negatif<br />

sehingga terbentuk perilaku yang positif pula.<br />

Dengan demikian hasil penelitian dengan<br />

REBT dapat menurunkan tingkat depresi seseorang<br />

serta meningkatkan kemampuan individu<br />

dalam mengubah keyakinan dan pemikiran<br />

dirinya menjadi positif (Johnson, 2000).<br />

REBT membawa pengaruh positif terhadap<br />

perubahan emosi menjadi percaya diri dan<br />

dapat mengarahkan perilaku menjadi lebih<br />

baik karena subyek dapat menemukan formula<br />

untuk dapat melakukan sosialisasi diri dengan<br />

baik (Campbel, 2000; Murakami, 2002; Yoosefi,<br />

2011, Reinhard, 2000).<br />

Pada saat sebelum dilakukan terapi,<br />

tingkat depresi subyek berada pada level 38<br />

poin, hal ini menunjukkan adanya depresi berat.<br />

Selanjutnya setelah dilakukan sesi terapi,<br />

secara bertahap, subyek mengalami penurunan<br />

depresi sehingga posisi post-test berada<br />

pada level 15 point. Kemudian setelah sesi<br />

14 berakhir dilakukan tinjauan pengukuran<br />

penurunan depresi pasca terapi atau follow up<br />

selama lebih dari 2 minggu atau 20 hari. Hal<br />

ini bertujuan untuk mengetahui hasil evaluasi<br />

dari keseluruhan proses terapi yang su-<br />

dah dijalani oleh subyek sekaligus mengetahui<br />

perkembangan subyek dalam melakukan pengendalian<br />

diri sehingga tidak mudah mengalami<br />

depresi dalam menghadapi berbagai stimulus<br />

atau kondisi yang dialaminya.<br />

Selanjutnya dari follow up diketahui bahwa<br />

subyek mencapai 13 poin. Ini menunjukkan<br />

kategori gangguan mood atau perasaan<br />

murung yang ringan (depresi ringan). Hal ini<br />

menggambarkan kondisi subyek bahwa melalui<br />

tahapan sesi tindak lanjut subyek berupaya<br />

untuk dapat berpikir rasional sehingga<br />

memiliki kemampuan dalam melakukan pengendalian<br />

diri terhadap berbagai situasi yang<br />

dapat memicu terjadinya depresi.<br />

Selanjutnya di dalam setiap proses terapi<br />

dilakukan pencatatan terhadap perubahan<br />

perilaku subyek dan tertuang di dalam<br />

ceklist depresi. Item yang tercantum dalam<br />

ceklist depresi adalah berdasarkan acuan tes<br />

BDI yang dirangkum dengan tetap menunjukkan<br />

kondisi dan perkembangan depresi subyek<br />

secara detail di beberapa sesi. Dari grafik<br />

rekap perubahan perilaku subyek selama sesi<br />

berlangsung dapat diketahui bahwa subyek<br />

mengalami penurunan tingkat depresi sebagaimana<br />

Gambar 2.<br />

Secara umum diketahui bahwa subyek<br />

mengalami penurunan tingkat depresi. Hal ini<br />

dapat ditinjau melalui beberapa indikasi seperti:<br />

pesimistik dari 40 turun menjadi 10, kegagalan<br />

masa lalu dari 50 menjadi 10, benci<br />

diri sendiri dari 40 turun menjadi 10, tidak<br />

bisa beristirahat dari 30 turun menjadi 10,<br />

kehilangan minat dari 35 turun menjadi 10,<br />

kehilangan energi dari 20 turun menjadi 10,<br />

perubahan pola pikir dari 20 turun menjadi<br />

10, mudah tersinggung dari 20 turun menjadi<br />

10, dan perubahan selera makan dari 25 turun<br />

menjadi 10. Namun pada indikasi depresi<br />

lainnya ada beberapa unsur depresi yang me-


JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (2), 129 - 138<br />

Gambar 2. Rekap perubahan perilaku subyek selama sesi terapi<br />

ngalami fluktuatif, antara lain: kesedihan dari<br />

35 turun 10 dan naik menjadi 15, perasaan<br />

bersalah dari 60 turun 10 naik 15 dan turun<br />

lagi 10, pikiran/keinginan bunuh diri dari 35<br />

turun 0 dan naik menjadi 10, keragu-raguan<br />

dari 25 turun 0 dan naik menjadi 10, kesulitan<br />

konsentrasi dari 25 turun 10 naik 15 dan<br />

turun lagi 10, dan kehilangan minat seks dari<br />

75 turun 50 dan naik lagi 60.<br />

Dari penjelasan tersebut dapat diketahui<br />

bahwa ada beberapa gejala depresi yang dialami<br />

subyek masih fluktuatif meskipun jika dibandingkan<br />

dengan sesi pertama dan sesi akhir<br />

yang menunjukkan adanya penurunan tingkat<br />

depresi. Individu yang mengalami gangguan<br />

depresi, hal ini merupakan situasi yang wajar<br />

sehingga untuk dapat menurunkan gejala<br />

depresi sampai pada tingkat terendah, subyek<br />

perlu sering melatih diri berhadapan dengan<br />

situasi-situasi penyebab depresi sehingga semakin<br />

memacu kemampuan dirinya dalam<br />

melakukan rasionalisasi pemikiran, afeksi dan<br />

Gambar 3. Perbandingan perilaku subyek pada sesi awal dan sesi akhir dengan terapi REBT<br />

135


136<br />

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (2), 129 - 138<br />

membawa perubahan positif dalam melakukan<br />

sosialisasi diri dengan lingkungan (Lumongga,<br />

2009; Richard, 2009).<br />

Dari penjelasan tersebut, berikut hasil<br />

rangkuman tentang pelaksanaan terapi<br />

REBT yang dilakukan selama 7 minggu<br />

dalam 14 sesi dan menunjukkan kondisi subyek<br />

berdasarkan pencatatan yang dilakukan<br />

oleh peneliti. Hal ini bertujuan untuk mengetahui<br />

pola perubahan perilaku rasional subyek<br />

sebagai bentuk menurunnya tingkat depresi<br />

dengan meninjau kondisi subyek di awal sesi<br />

dengan hasil akhir saat sesi terapi selesai dilaksanakan<br />

sebagaimana Gambar 3.<br />

Dari penjelasan tersebut maka dapat diketahui<br />

bahwa kondisi subyek mengalami penurunan<br />

tingkat depresi dari semua item depresi<br />

yang tercantum dalam BDI dengan pantauan<br />

terapi selama 14 kali sesi. Dari 15 item self<br />

report, diketahui bahwa item ke-15 yaitu tentang<br />

kehilangan minat seks berada pada skor<br />

tertinggi mulai dari sesi awal berada pada 75<br />

point dan sesi akhir berada pada 60 point, hal<br />

ini berbeda dengan item lainnya yang angka<br />

capaian tidak terlalu tinggi dibandingkan<br />

item 15, namun pada dasarnya, semua gejala<br />

perilaku mengalami penurunan.<br />

Perubahan perilaku antara kondisi awal<br />

sesi dan akhir sesi menjelaskan bahwa kondisi<br />

subyek yang cenderung mengalami depresi<br />

yang cukup fluktuatif dan bergejolak selanjutnya<br />

mengalami penurunan sampai proses terapi<br />

berakhir. Hal ini menunjukkan bahwa dibalik<br />

depresi yang dialaminya, subyek berupaya<br />

untuk tidak terlalu hanyut dalam kesedihan.<br />

Hal ini sesuai dengan pendapat yang disampaikan<br />

pada saat di pertengahan sesi terapi<br />

bahwa dirinya akan selalu mengupayakan tindakan<br />

yang rasional sehingga bermanfaat bagi<br />

dirinya dan lingkungan sekitarnya.<br />

Keterbatasan Penelitian dan Rekomendasi<br />

Hambatan yang dialami dalam penelitian ini<br />

adalah kesediaan waktu yang cenderung terbatas<br />

karena subyek adalah wanita bekerja<br />

sekaligus perannya sebagai orang tua tunggal<br />

sehingga ada salah satu sesi yang mengalami<br />

keterlambatan kunjungan dan waktu yang<br />

berbatasan dengan pekerjaan di rumah serta<br />

merawat kedua anaknya. Hal lainnya yang<br />

menjadi perhatian pada kasus depresi adalah<br />

sering ditemui sikap dan ekspresi subyek yang<br />

mudah murung atau sedih, utamanya saat<br />

subyek berhadapan dengan stimulus negatif<br />

yang menjadi penyebab sumber depresi seperti<br />

perasaan galau saat bertemu suami sehingga<br />

perlu dilakukan diskusi yang menarik minat<br />

subyek seperti membicarakan hobi atau kegiatan<br />

bermain bersama-sama anak-anak agar<br />

kondisi subyek kembali stabil ketika dilakukan<br />

terapi. Hambatan-hambatan seperti disebutkan<br />

diatas selayaknya menjadi pertimbangan<br />

bagi penelitian yang akan datang sehingga<br />

dapat dihindari kesalahan serta dapat mengurangi<br />

bias yang terjadi dalam penelitian yang<br />

dilakukan.<br />

Simpulan<br />

Berdasarkan hasil analisa data yang telah dilakukan<br />

dapat diketahui bahwa REBT dapat<br />

membantu subyek untuk menurunkan tingkat<br />

depresinya. Sementara itu melalui uji pre-post<br />

test dan follow up terdapat perbedaan antara<br />

sebelum dan sesudah diberikan REBT. Pada<br />

saat sebelum dilakukan terapi, tingkat depresi<br />

subyek berada pada level 38 poin (depresi<br />

parah). Selanjutnya setelah dilakukan sesi terapi,<br />

secara bertahap dan subyek mengalami<br />

penurunan depresi sehingga posisi post-test<br />

berada pada level 15 poin.<br />

Kemudian setelah sesi 14 berakhir dilakukan<br />

tinjauan pengukuran penurunan depresi<br />

pasca terapi atau follow up selama lebih dari 2<br />

minggu atau 20 hari, subyek mencapai 13 poin<br />

dimana hal ini menunjukkan kategori gangguan<br />

mood atau perasaan murung yang ringan<br />

(depresi ringan). Dengan demikian dapat disimpulkan<br />

bahwa REBT merupakan salah satu<br />

metode yang dapat digunakan untuk menurunkan<br />

tingkat depresi seseorang.<br />

Daftar Pustaka<br />

Addis, E., & Bernard, M. (2002). Marital adjustment and<br />

irrational beliefs. <strong>Journal</strong> of Rational Emotive and<br />

Cognitif Behaviour Therapy, 20 (1), 3-13.<br />

American Psychiatric Association. (2000). Diagnostic and<br />

statistical manual of mental disorders text revision<br />

(4 th ed.). Washington, DC: American Psychiatric As-<br />

sociation.<br />

Bishop, F. M. (2000). Helping clients manage additions<br />

with REBT. <strong>Journal</strong> of Rational Emotive and Cognitif<br />

Beha-viour Therapy, 18 (3), 127-151.<br />

Byrne, J. (2002). Some innovations in the teaching of un-<br />

conditional self-acceptance and unconditional other-<br />

acceptance. <strong>Journal</strong> of Rational Emotive and Cognitif<br />

Behaviour Therapy, 10 (1), 22-36.<br />

Campbell. S., Joan. E., & Rose, L. (2000). Depression in<br />

battered women. Psychologycal <strong>Journal</strong>, 51 (3),106-<br />

110.


JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (2), 129 - 138<br />

Creswell, J. W. (2007). Qualitative research designers se-<br />

lective and implementations. The Counseling Psycho-<br />

logist <strong>Journal</strong>, 35 (2), 236-264.<br />

Corey, G. (2010). Theory and practice of counseling and<br />

psychotherapy (6 th ed.). Bandung: PT Refika Aditama.<br />

De Boni, M. (2005). A rational emotive behaviour therapy<br />

based automated dialoge system for exercise beha-<br />

viour change. ADIS International Conference Jour-<br />

nal,1 (10), 134-138.<br />

Digiuseppe, R., & Froh, J. J. (2002). What cognititions<br />

predict state anger?. <strong>Journal</strong> of Rational emotive and<br />

Cognitif-Behaviour Therapy, 20 (2), 133-150.<br />

Ellis, A. (2011). Rational-emotive behavior therapy. Adoles-<br />

cent Psychiatry <strong>Journal</strong>, 4 (1), 82-87.<br />

Ellis, A. (1990). Rational and irrational beliefs in counsel-<br />

ling psychology. <strong>Journal</strong> of Rational Emotive & Cogni-<br />

tive Behaviour Therapy, 8 (4), 221-233.<br />

Ellis, A. (2003). Early theories and practise of rational<br />

emotive behaviour therapy and how they have been<br />

augmentes and revised during the last three decades.<br />

<strong>Journal</strong> of Rational Emotive & Cognitive Behaviour<br />

Therapy, 21 (3), 219-243.<br />

Ellis, A. (1980). Rational-emotive therapy and cognitive<br />

behavior therapy: similarities and differences. Cogni-<br />

tive Therapy And Research, 4 (4), 325-340.<br />

Flett, G. L. (2003). Dimensions of perfectinism unconditio-<br />

nal self acceptance and depression. <strong>Journal</strong> of REBT,<br />

21 (2), 119-138.<br />

Flett, G. L. (1994). Dimensions of perfectinism and cont-<br />

structive thingking as a coping respons. <strong>Journal</strong> of<br />

REBT, 12 (3), 6-8.<br />

Froggatt, W. (2005). Rational emotive behaviour therapy<br />

(6 th ed.). Auckland–New Zealand: Harpercollins.<br />

Flett, G. L., Madosky, D., Heritt, P. L., & Heisel, M. J.<br />

(2002). Perfectionism cognitif, ruminations and psy-<br />

chological distress. <strong>Journal</strong> of Rational Emotive and<br />

Cognitif Behaviour Therapy, 20 (1), 33-48.<br />

Harian Kompas. (2011, April 20). Data statistik tentang<br />

korban tindak kekerasan terhadap perempuan.<br />

Howarth, A. T., & Velten, E. (2000). Smart recovery: Addic-<br />

tion recovery from a cognitive-behavioral perspective.<br />

<strong>Journal</strong> of Rational Emotive and Cognitif-Behaviour<br />

Therapy, 18 (3), 181-191.<br />

Iacoviello, B. M., Alloy, L .B., Abramson, L. Y., & White-<br />

house, W. G., Hogan, M. E. (2007). The role of cluster<br />

B and C personality disturbance in the course of de-<br />

pression: A prospective study. <strong>Journal</strong> of Personality,<br />

21 (4), 371-383.<br />

Iacoviello, B. M., Grant, D. A., Alloy, L. B., & Abramson,<br />

L. Y. (2009). Cognitive personality characteristic im-<br />

pact the course of depression: A prospective test of<br />

sociotropy, autonomy and domain spesific life events.<br />

<strong>Journal</strong> of Cognitif, 4 (33), 187-198.<br />

Jone, J., & Tower, P. (2004). Irrational and evaluation be-<br />

liefs in individuals with anger problem. <strong>Journal</strong> of Ra-<br />

tional Emotive & Cognitif Behaviour Therapy, 22 (3),<br />

153-170.<br />

Johnson, B. W., Huwe, J. M., & Lucas, J. L. (2000). Ra-<br />

tional mentoring. <strong>Journal</strong> of Rational Emotive and<br />

Cognitive-Behaviour Therapy, 18 (1), 39-54.<br />

Latipun. (2010). Psikologi konseling (edisi ketiga). Malang:<br />

<strong>UMM</strong> Press.<br />

Lumongga L. N. (2009). Depresi: Tinjauan psikologis (edisi<br />

pertama). Jakarta: Prenada Media Group.<br />

Murakami, J. (2002). Gender and depression: Explaining<br />

the different rates of depression between men and<br />

women. Perspective in Psychology, 1 (7), 27-34.<br />

Matud, M. P. (2005). The psychological impact of domestic<br />

violence on spanish women. <strong>Journal</strong> of Applied Social<br />

Psychology, 35 (11), 2310-2322.<br />

Nelson-Jones, R. (2011). Theory and practice of counseling<br />

and therapy (4 th ed.). California-USA: Sage Publica-<br />

tion, Inc.<br />

Osere, M. (2008). Rational emotive behaviour therapy in<br />

improving retires attitude towards political partici-<br />

pant. African <strong>Journal</strong> Political Science and Interna-<br />

tional Relation, 2 (2), 26-30.<br />

Payne, D. (2005). Domestic violence and the female victim:<br />

The real reason women stay. <strong>Journal</strong> of Multicultural,<br />

Gender and Minority Studies, 3 (1), 1-6.<br />

Palmer, S. (2000). Coping emagery for flying stress. Jour-<br />

nal of rational Emotive Behaviour Therapy, 8 (1), 24-<br />

29.<br />

Putro W. E. (2012). Teknik Penyusunan Instrumen Peneli-<br />

tian. Jakarta: Pustaka Pelajar.<br />

Quek, K. F. (2011). Beck Depression Inventory (BDI): A<br />

realibility and validity in the Malaysian urological<br />

population. <strong>Journal</strong> of Psychiatry, 56 (3), 285-292.<br />

Rahardjo, W. (2007). Penganiayaan emosinal dan ke-<br />

kerasan dalam rumah tangga: Sebuah potret buram<br />

kehidupan berkeluarga. Jurnal Penelitian Psikologi,1<br />

(12), 1-11.<br />

Reinhard, J. (2000). Limitations of menthal case manaje-<br />

ment a rational emotive and cognitive therapy per-<br />

spective. <strong>Journal</strong> of Rational Emotive And Cognitif Be-<br />

haviour Therapy, 18 (2), 103-118.<br />

Richard, T. L., Alloy, L. B., Abramson, L. Y., Iacoviello, B.<br />

M., & Whitehouse, W. G. (2009). Emotional maltreat-<br />

ment and depression: Prospective prediction of de-<br />

pressive episodes. <strong>Journal</strong> of Cognitif, 2 (26), 174-181.<br />

Rosner, R. (2011). Albert Ellis ‘Rational emotive behaviour<br />

therapy. Adolescent Psychiatry <strong>Journal</strong>, 3 (1), 82-87.<br />

Ritchie. J, Lewis. J, (2003). A guide for social service stu-<br />

dents and researchers: Qualitative Research Practise.<br />

California-USA: Sage Publication.<br />

Robert, K. (2011). Qualitative research from start to finish.<br />

California-USA: Sage Publication.<br />

Robb, H. B. (2000). Practising rational emotive behavior<br />

therapy and religious clients. <strong>Journal</strong> of Rational<br />

Emotive Behaviour Therapy, 20 (3), 169-200.<br />

137


138<br />

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (2), 129 - 138<br />

Safford, S. M., Alloy, L. B, Abramson, L. Y., & Crossfield,<br />

A. G. (2007). Negative cognitif style as a predictor of<br />

negative life evens in depression-prone individual: A<br />

test of stress generation hypothesis. <strong>Journal</strong> of Affec-<br />

tive Disorder, 9 (9), 147-154.<br />

Sava, F. A., & Yates, B. T. (2009). Cost effectiveness and<br />

cost utility of cognitive therapy rational emotive be-<br />

havioral therapy, and fluoxcetine (Prozac) in treating<br />

depression: A randomized clinical trial. <strong>Journal</strong> of Cli-<br />

nical Psychology, 4 (65), 36-52.<br />

Segal, L. D. (2008). Psychometric properties of the beck<br />

depression inventory-II (BDI-II): Among community<br />

overlling older adults. Behaviour Modification Jour-<br />

nal, 32 (1), 3-20.<br />

Silverman. (2001). Doing qualitative research: A compre-<br />

hensive guide. California-USA: Sage Publication.<br />

Siswanto, A. V. (2012). Strategi dan langkah-langkah pene-<br />

litian. Jakarta: Graha Ilmu.<br />

Welliangan, H. (2009). Efektivitas perilaku emosi rasional<br />

dalam mengurangi keyakinan tidak rasional dan<br />

tekanan. Jurnal Psikologi, 2 (2), 149-158.<br />

Stake, R. E. (2005). Qualitative case study (3 rd ed., pp.<br />

443-466). California-USA: Sage Publication.<br />

Stephen, P. (2004). A rational emotive behavioural ap-<br />

proach to face to face, telephone, and internet therapy<br />

and couching. <strong>Journal</strong> of The Association for Rational<br />

Emotive Behaviour Therapy, 11 (1), 12-22.<br />

Yoosefi, N. (2011). Comparison of yhe effectiveness of fa-<br />

mily therapy based on rational emotive behavioural<br />

therapy (REBT) and person centered therapy (PCT)<br />

on self differentiation among divorce applicant cli-<br />

ents. International <strong>Journal</strong> of Psychology and Coun-<br />

seling, 3 (9), 176-185.<br />

Yin, R. K .(2003). Case study research: Design and metods<br />

(3 rd ed.). California-USA-Sage Publication.<br />

Ziegler, P. J. (2003). The concept of psychological health in<br />

rational emotive behavior therapy. <strong>Journal</strong> of Rational<br />

Emotive & Cognitif Behaviour Therapy, 21 (1), 21-36.<br />

Ziegler, P. J. (2003). Basic assumptions concerning human<br />

nature underlying rational emotive behavior therapy.<br />

<strong>Journal</strong> of Rational Emotive & Cognitif Behaviour<br />

Therapy, 28 (2), 67-85.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!