14.08.2013 Views

pdf - Scientific Journal UMM - Universitas Muhammadiyah Malang

pdf - Scientific Journal UMM - Universitas Muhammadiyah Malang

pdf - Scientific Journal UMM - Universitas Muhammadiyah Malang

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI<br />

© 2013 Magister Psikologi <strong>UMM</strong>, ISSN: 2303-2936<br />

Volume I (2), 139 - 152<br />

Group positive psychotherapy untuk meningkatkan<br />

kesejahteraan psikologis remaja<br />

Malahatul Wardiyah <strong>Universitas</strong> <strong>Muhammadiyah</strong> <strong>Malang</strong> 1<br />

Abstraksi Anak-anak yang ditinggalkan orang tuanya bekerja di luar negeri sering mengalami permasalahan<br />

perilaku. Hal tersebut menjadi indikasi rendahnya kesejahteraan psikologis yang mereka miliki sebagai<br />

akibat kesenjangan hubungan mereka dengan orang tuanya. Tujuan penelitian ini adalah meningkatkan<br />

kesejahteraan psikologis remaja dengan orang tua TKI (Tenaga Kerja Indonesia) menggunakan group<br />

positive psychotherapy. Pendekatan penelitian ini adalah action research, selain menjadi upaya solusi<br />

praktis untuk permasalahan anak TKI, juga meningkatkan penalaran praktik sosial peneliti. Subyeknya<br />

adalah 8 remaja SMP dengan orangtua bekerja sebagai TKI, yang dibagi menjadi 2 kelompok, siklus<br />

pertama dan siklus kedua. Instrumennya adalah skala kesejahteraan psikologis dan wawancara.<br />

Hasil penelitian ini menunjukkkan bahwa model group positive psychotherapy dapat meningkatkan<br />

kesejahteraan psikologis pada remaja, yang diketahui dari nilai uji t-test dan hasil pencatatanpencatatan<br />

secara deskriptif.<br />

Kata kunci positif psikologi, Anak TKI, kesejahteraan psikologis, penelitian tindakan, group psikoterapi<br />

Pendahuluan<br />

Bekerja di luar negeri banyak dirasa berdampak<br />

positif terhadap ekonomi keluarga, namun<br />

juga berdampak negatif khususnya terhadap<br />

pendidikan dan kesehatan psikologis anakanak<br />

yang ditinggalkan (Antman, 2012; Amato<br />

& Cheadle, 2005; Hurre, Junkkari, & Aro,<br />

2006). Graham dan Jordan (2011), mengungkap<br />

adanya perbedaan kesejahteraan psikologis<br />

pada anak-anak keluarga migran dengan<br />

anak-anak yang memiliki orang tua bekerja di<br />

rumah. Anak-anak dari keluarga migran cenderung<br />

mengalami gejala depresif dan memiliki<br />

tingkat kesejahteraan psikologis yang lebih rendah,<br />

mereka juga berperilaku destrukftif (Lazzari,<br />

2000; Barnett & Gareis, 2006; Cripps &<br />

Zyromski, 2009), seperti melakukan kekerasan<br />

di sekolah, putus sekolah, perilaku membolos,<br />

kebut-kebutan, merokok, penyalahgunaan<br />

narkoba, mengkonsumsi minuman keras, seks<br />

bebas (Dacey & Kenny, 1997; Lazarry, 2000),<br />

hingga menarik diri dari lingkungan (Feldman,<br />

2009; Buist et al., 2004).<br />

kesejahteraan psikologis merupakan sebuah<br />

gagasan yang dianggap relatif kompleks<br />

(Ryff, 1989; Rathi & Rastogi, 2007), yaitu keadaan<br />

psikologis yang memang sangat dipengaruhi<br />

oleh kualitas hubungan remaja tersebut<br />

dalam keluarga, terutama dengan orang<br />

tua (Shek, 1997; Sastre & Ferriere, 2000; Van<br />

Wel, Linssen & Abma, 2000; Kef & Dekovic,<br />

2004). Anak-anak yang ditinggalkan orang tuanya<br />

karena menjadi buruh migran, cenderung<br />

kehilangan kedekatan, baik secara geografis<br />

maupun emosi dengan orangtuanya (Orrelana<br />

et al., 2001). Orang tua bekerja sebagai Migra<br />

telah mengubah hubungan orang tua-anak<br />

dan fungsi keluarga mereka (Graham & Jordan,<br />

2011).<br />

Sebenarnya masa remaja adalah sebagai<br />

waktu untuk evaluasi, pengambilan keputusan,<br />

komitmen, dan mencari tempat di dunia.<br />

Kontrol dan otoritas orang tua menjadi sangat<br />

1 Korespondensi ditujukan kepada Malahatul Wardiyah, malahatul.wardiyah@gmail.com, telepon: 081330016282<br />

139


140<br />

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (2), 139 - 152<br />

penting pada masa ini karena akan membantu<br />

mengembangkan otonomi mereka serta merestrukturisasi<br />

sikap dan perilaku mengingat<br />

banyaknya perubahan psikologis yang mereka<br />

alami (Bizarro, 2000).<br />

Sebuah studi yang dilakukan oleh Aizer<br />

(2004) terhadap anak berusia 5 hingga 14 tahun<br />

yang kurang mendapat pengawasan orang<br />

tua, memperlihatkan kenakalan, penggunaan<br />

obat dan alkohol, dan bermasalah di sekolah.<br />

Peran orangtua menjadi sangat penting ketika<br />

anak-anaknya berusia remaja, terutama ketika<br />

anak memasuki periode remaja awal; yang<br />

memberikan kesempatan mereka untuk tumbuh,<br />

tidak hanya dalam dimensi fisik, tetapi<br />

juga dalam kompetensi kognitif dan sosial, otonomi,<br />

harga diri, dan keintiman. Karena menghadapi<br />

berbagai perubahan yang terjadi secara<br />

bersamaan, mereka membutuhkan bantuan<br />

dalam menjalani masa ini (Feldman, 2009;<br />

Weiner, 1992; Rönkä, & Pulkkinen, 1995).<br />

Masa ini juga adalah masa perkembangan di<br />

mana remaja berjuang untuk menemukan<br />

identitas pribadi mereka dan berusaha mandiri<br />

(Lazarry, 2000; Demir et al., 2010). Orang tua<br />

diharapkan menjadi manajer terhadap peluang-peluang<br />

yang dimiliki remaja, mengawasi<br />

relasi sosial mereka, dan sebagai inisiator serta<br />

pengatur dalam kehidupan sosialnya (Parke &<br />

Buriel, 1998). Sementara yang bekerja sebagai<br />

imigran, disebutkan bahwa hubungan orang<br />

tua dan remaja mengalami kesenjangan yang<br />

dapat menjadi kontribusi timbulnya konflik, tidak<br />

hanya dengan orang tuanya sendiri tetapi<br />

juga akademik dan relasi sosial remaja (Fuligni,<br />

1998).<br />

Lazzari (2000) mengungkapkan bahwa<br />

perilaku remaja yang menyimpang sebenarnya<br />

juga merupakan implikasi dari rasa bosan<br />

mereka. Kebosanan tersebut disebabkan oleh<br />

hidup yang tidak memiliki makna dan tantangan.<br />

Adalah penting bagi remaja untuk dapat<br />

membangun kesejahteraan psikologis agar<br />

dapat memiliki makna dalam kehidupannya<br />

(Raja, McGee, & Stanton, 1992).<br />

Oleh karena itu pendekatan psikologi positif<br />

yang dapat meningkatkan kesejahteraan<br />

psikologis remaja untuk mencegah perilaku<br />

yang mengancam kesehatan mental remaja.<br />

Hal tersebut didasarkan oleh hipotesis bahwa<br />

depresi dan gejala klinis dapat ditangani<br />

secara efektif tidak hanya dengan langsung<br />

mengurangi gejala negatif, tetapi juga dengan<br />

membangun emosi positif, kekuatan karakter,<br />

dan kebermaknaan hidup (Seligman, Rashid,<br />

& Parks, 2006). Salah satu pendekatan yang<br />

diharapkan dapat meningkatkan kesejahte-<br />

raan psikologis adalah positif psikoterapi. Brief<br />

group positive psychotherapy pernah diteliti<br />

dapat meningkatkan kebahagiaan dan kesejahteraan<br />

pada remaja tingkat sekolah menengah<br />

(Magyar-Moe, 2009). Penelitian yang dilakukan<br />

Prabowo (2011) juga menunjukkan<br />

pengaruh positif model intervensi tersebut terhadap<br />

peningkatan kesejahteraan psikologis<br />

pada mahasiswa. Penelitian ini bertujuan untuk<br />

mengetahui efektivitas group positive psychotherapy<br />

dalam meningkatkan kesejahteraan<br />

psikologis pada remaja dengan orang tua<br />

TKI.<br />

Jacobs et al. (2002) mengungkapkan keuntungan<br />

tentang terapi yang menggunakan<br />

pendekatan kelompok, yaitu lebih efisien karena<br />

menawarkan lebih banyak sudut pandang<br />

(dari subyek lain), perasaan senasib, pengalaman<br />

terlibat dengan orang lain, kesempatan<br />

untuk belajar pengalaman-pengalaman<br />

oranglain berdasarkan hasil mendengar dan<br />

mengobservasi subyek yang lain, kesempatan<br />

mendapat umpan balik, sehingga akan memegang<br />

teguh komitmennya selama terapi.<br />

Tinjauan Pustaka<br />

Kesejahteraan psikologis pada individu tidak<br />

hanya dipandang sebagai tidak adanya gangguan<br />

mental, tetapi juga kesadaran individu<br />

tersebut tentang sumber daya psikologis yang<br />

positif yang dimilikinya (Christopher, 1999;<br />

Huppert, 2009; Moeenizadeh & Sala-game,<br />

2010). Sementara positif psikoterapi adalah<br />

terapi yang memungkinkan untuk mengembangkan<br />

sumber daya atau potensi-potensi<br />

positif pada individu karena bersifat strength<br />

focused, yang artinya berfokus pada upaya<br />

membentuk emosi positif, kekuatan karakter,<br />

dan kebermaknaan hidup (Seligman, Rashid, &<br />

Parks, 2006).<br />

Seligman telah menggagas tiga komponen<br />

yang dapat menjadi rumus kebahagiaan<br />

(2002), yaitu hidup yang menyenangkan (the<br />

pleasant life), hidup yang terikat pada aktifitas<br />

(the engaged life), hidup yang bermakna<br />

(the meaningful life), dimana positif psikoterapi<br />

didesain untuk membangun komponenkompenen<br />

tersebut dalam diri individu (Seligman,<br />

Rashid, & Parks, 2006). Hidup yang<br />

menyenangkan adalah penerimaan individu<br />

terhadap segala peristiwa yang terjadi dalam<br />

hidupnya baik yang menyenangkan maupun<br />

yang tidak menyenangkan. Individu yang memahami<br />

komponen ini akan cenderung merasa<br />

puas terhadap kehidupannya, cenderung lebih<br />

mudah memaafkan kegagalan dirinya sendiri


JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (2), 139 - 152<br />

maupun kesalahan yang dilakukan orang lain<br />

terhadap dirinya. Hidup yang terikat pada aktifitas,<br />

dapat diartikan sebagai hidup yang terikat<br />

pada berbagai aktifitas yang bertujuan untuk<br />

mengembangkan potensi-potensi positif yang<br />

dimilikinya. Seorang individu yang memiliki<br />

enggaged life tinggi cenderung menyibukkan<br />

dirinya dengan aktifitas-aktifitas yang positif<br />

dan Ia berusaha menjalin hubungan interpresonal<br />

dengan lingkungan sosial secara aktif.<br />

Sedangkan hidup yang bermakna didefinisikan<br />

sebagai kemampuan individu untuk memahami<br />

seluruh hal yang terjadi pada dirinya, mengatasi<br />

permasalahan yang dialaminya dengan<br />

memfokuskan diri pada potensi-potensi positif<br />

yang Ia miliki, merupakan kemampuan yang<br />

memungkinkannya mengatasi setiap masalah<br />

yang dihadapi secara mandiri tanpa ketergantungan<br />

terhadap oranglain.<br />

Pada pelaksanaan sebelumnya, positif<br />

psikoterapi telah disajikan oleh Rashid (2008<br />

dalam Magyar-Moe, 2009) dalam serangkaian<br />

14 pertemuan yang dianggap ideal bagi penderita<br />

depresi, terdiri dari tema-tema dan tugas<br />

rumah yang berbeda pada setiap pertemuan,<br />

dan dilakukan selama enam minggu. Rasyid<br />

menegaskan bahwa hal yang penting untuk<br />

diperhatikan adalah bahwa positif psikoterapi<br />

harus dilakukan sesuai dengan kebutuhan<br />

subyek. Dengan kata lain, panjangnya pertemuan<br />

terapi, latihan dan pekerjaan rumah<br />

yang diberikan, dan fokus setiap pertemuan<br />

harus disesuaikan dengan kebutuhan klien<br />

(Rashid & Anjum, 2008 dalam Magyar-Moe,<br />

2009). Pendekatan kelompok sangat penting<br />

untuk membantu individu. Pendekatan kelompok<br />

dianggap memiliki manfaat yang disebut<br />

sebagai therapiutic factors (Yalom and Leszcz,<br />

2005): subyek dapat mengetahui bahwa orang<br />

lain bersedia berbagi perasaan, pikiran dan masalah<br />

yang sama (universality), dapat mengembangkan<br />

konsep dirinya dengan membantu<br />

subyek lainnya (altruism), dapat mengembangkan<br />

optimisme untuk perbaikan diri mereka<br />

sendiri dengan belajar dari anggota sekelompok<br />

(instillation of hope), akan mendapat saran<br />

(imparting information), menghidupkan dinamika<br />

kekeluargaan antar subyek yang mungkin<br />

tidak didapatkan di dalam keluarga-keluarga<br />

krisis (corrective recapitulation of primary family<br />

experience), dapat belajar mengembangkan<br />

komunikasi yang adaptif dan efektif (development<br />

of socializing techniques), dapat mengembangkan<br />

kepribadiannya, memperluas pengetahuan<br />

dan memperoleh keterampilan melalui<br />

pengamatan ketika tiap subyek mengeksplorasi<br />

diri (imitative behavior), dapat belajar mem-<br />

bangun kepercayaan, perasaan memiliki dan<br />

kebersamaan yang dialami bersama subyek<br />

(cohesiveness), dapat belajar menerima tanggung<br />

jawab atas keputusan hidupnya (existential<br />

factors), dapat belajar mengungkapkan<br />

berbagai perasaan tentang pengalaman masa<br />

lalu maupun yang dialaminya sekarang (catharsis),<br />

mendapatkan insight melalui umpan<br />

balik yang diberikan dari anggota lain (interpersonal<br />

learning input), kelompok dapat menjadi<br />

lingkungan yang memungkinkan anggotanya<br />

berinteraksi dengan cara yang lebih adaptif<br />

(interpersonal learning output), dan self understanding.<br />

Kesimpulannya, group positive psycotherapy<br />

adalah suatu model terapi dengan pendekatan<br />

kelompok yang menfokuskan upaya membangun<br />

hidup yang menyenangkan, hidup<br />

yang terikat kegiatan-kegiatan, dan hidup<br />

yang bermakna.<br />

Hipotesis<br />

Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini<br />

adalah group positive psychotherapy dapat meningkatkan<br />

kesejahteraan psikologis remaja<br />

dengan orang tua TKI.<br />

Metode<br />

Desain penelitian<br />

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif<br />

jenis metode action research, (McKniff &<br />

Whitehead, 2002). Pelaksanaannya dilakukan<br />

dengan siklus yang dimulai dari perencanaan,<br />

melaksanakan tindakan, observasi, refleksi,<br />

rencana ulang, melaksanakan tindakan, dan<br />

seterusnya (Sanjaya, 2010). Dalam penelitian<br />

ini, terdiri dari dua siklus.<br />

Tahap perencanaan (planning) adalah perumusan<br />

tujuan yang akan dicapai dan perlakuan<br />

yang akan dilaksanakan. Peneliti<br />

mengidentifikasi permasalahan yang dialami<br />

subyek penelitian berdasarkan wawancara terhadap<br />

gurunya. Juga dilakukan pengukuran<br />

terhadap tingkat kesejahteraan psikologis para<br />

subyek dengan skala kesejahteraan psikologis<br />

sebagai langkah pre-test, melalui seorang guru<br />

di sekolah subyek.<br />

Tahap pelaksanaan tindakan (acting) yaitu<br />

perlakuan yang dilaksanakan sesuai dengan<br />

rancangan model intervensi yang telah disusun.<br />

Tahap mengamati (observing), yaitu kegiatan<br />

mengumpulkan informasi tentang proses<br />

intervensi yang dilakukan setiap pertemuan<br />

141


142<br />

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (2), 139 - 152<br />

pada siklus pertama. Hasil observasi digunakan<br />

sebagai refleksi terhadap berbagai kekurangan<br />

dalam intervensi yang sudah diberikan.<br />

Aspek yang menjadi fokus pengamatannya<br />

adalah (1) proses pelaksanaan intervensi, (2)<br />

pengaruhnya (yang disengaja maupun yang<br />

tidak), (3) kendala dalam proses pelaksanaannya,<br />

dan (4) bagaimana kendala selama proses<br />

pelaksanaan tersebut mempengaruhi pelaksanaan<br />

intervensi.<br />

Tahap keempat adalah refleksi (reflecting),<br />

yaitu mencari kekurangan yang terjadi saat<br />

pelaksanaan intervensi pada siklus pertama.<br />

Refleksi ini dilakukan dengan cara bertukar<br />

pikiran antara peneliti dan para subyek penelitian<br />

tentang segala hal yang berkaitan dengan<br />

proses dan hasil selama intervensi, setelah<br />

pelaksanaan post-test. Refleksi pada siklus<br />

pertama menjadi dasar perbaikan rancangan<br />

untuk diterapkan pada siklus kedua, begitu<br />

seterusnya.<br />

Subjek penelitian<br />

Untuk memperoleh data tentang subjek, peneliti<br />

mengidentifikasi permasalahan yang dialami<br />

subyek penelitian berdasarkan wawancara<br />

terhadap gurunya. Juga dilakukan pengukuran<br />

terhadap tingkat kesejahteraan psikologis para<br />

subyek dengan skala kesejahteraan psikologis<br />

sebagai langkah pre-test, melalui seorang guru<br />

di sekolah subyek.<br />

Subyek dalam penelitian ini remaja tingkat<br />

SMP dengan tingkat kesejahteraan psikologis<br />

yang rendah, berjumlah 8 orang yang dibagi<br />

dalam 2 kelompok, yaitu kelompok siklus pertama<br />

dan siklus kedua. Adapun karakteristik<br />

yang ditetapkan terhadap subyek antara lain:<br />

berusia remaja, dan memiliki orangtua yang<br />

bekerja sebagai buruh migran sehingga subyek<br />

hanya tinggal dengan Bapak, atau dititipkan<br />

pada kerabat, ataupun yang tinggal dengan nenek<br />

dan kakeknya.<br />

Instrumen<br />

Instrumen yang digunakan dalam penelitian<br />

ini adalah Riff’s Scales of Psychological Well-Being<br />

(SPWB). SPWB adalah skala yang mengukur<br />

6 dimensi kesejahteraan psikologis, yaitu<br />

self acceptance, positive relation with others,<br />

autonomy, environmental mastery, purpose in<br />

live, dan personal growth (Ryff, 1995; & Abbot<br />

et al., 2006). Skala ini berjenis skala Likert,<br />

yaitu kumpulan pernyataan yang merupakan<br />

gambaran nilai sikap yang terdiri dari 29 per-<br />

nyataan dengan beberapa pilihan respon, antara<br />

lain: (1) sangat tidak setuju, (2) tidak setuju,<br />

(3) ragu-ragu, (4) setuju, (5) sangat setuju,<br />

dan (6) sangat setuju sekali. Skor yang tinggi<br />

menunjukkan tingkat kesejahteraan psikologis<br />

yang tinggi. Pengujian skala ini di Indonesia<br />

oleh Prabowo (2011) memperoleh nilai alpha<br />

0,695 yang berarti reliabel sebagai instrumen<br />

pengumpul data. Salah satu contoh item dari<br />

skala ini adalah pada dimensi autonomy: “Saya<br />

tidak takut menyampaikan pendapat saya<br />

meskipun berbeda dengan pendapat orang<br />

lain”.<br />

Prosedur intervensi<br />

Pada pelaksanaannya, intervensi ini melalui<br />

tujuh tahap yang berlangsung selama tujuh<br />

pertemuan, berdurasi 90 menit setiap pertemuan,<br />

dengan pola kegiatan yang sama; 60<br />

menit pembukaan dan kegiatan kelompok, 10<br />

menit umpan balik, 10 menit mengevaluasi<br />

proses dan kendala-kendala yang terjadi, 5 menit<br />

penugasan untuk tahap selanjutnya, dan<br />

5 menit penutup. Adapun tahap-tahap yang<br />

ditetapkan peneliti dalam setiap pertemuan<br />

adalah sebagai berikut:<br />

Pertama, tahap membangun penerimaan<br />

diri: meliputi perkenalan dengan gambar tentang<br />

riwayat hidup masing-masing subyek,<br />

mengeksplorasi hal-hal yang kurang disukai<br />

atau disesalkan subyek dalam hidupnya, mengajarkan<br />

subyek berkompromi dengan halhal<br />

tersebut, serta membangun harapan dan<br />

komitmen terhadap terapi.<br />

Tahap kedua, mendorong subyek untuk<br />

mengoptimalkan fungsi diri mereka dan memiliki<br />

sikap positif terhadap dirinya: meliputi<br />

identifikasi potensi-potensi positif yang dimiliki<br />

subyek berdasarkan cerita perkenalan yang<br />

telah dibuat, dan mendiskusikan hal-hal positif<br />

yang dapat mereka lakukan dengan potensi<br />

tersebut.<br />

Ketiga adalah tahap membangun optimisme:<br />

meliputi kegiatan mengungkapkan pikiran-pikiran<br />

dan perasaan-perasaan subyek ketika<br />

mendaftar hambatan yang mungkin dihadapi<br />

ketika menerapkan potensi-potensi positif<br />

dalam tindakan sebenarnya, serta emosi positif<br />

yang mereka rasakan. Kemudian peneliti mengajarkan<br />

subyek tentang pengaruh optimisme<br />

dan cara membangun optimisme ketika dihadapkan<br />

dalam suatu masalah atau mengambil<br />

keputusan.<br />

Keempat adalah tahap menemukan tujuan<br />

hidup dan cara-cara mencapainya: meliputi


JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (2), 139 - 152<br />

kegiatan mengungkapkan cita-cita yang telah<br />

ditulis oleh subyek, kemudian mendiskusikan<br />

upaya-upaya positif dan rasional yang dapat<br />

dilakukannya untuk mencapai cita-cita tersebut.<br />

Kelima adalah tahap mengembangkan<br />

hubungan yang positif dengan orang lain: meliputi<br />

kegiatan menceritakan pengalaman menyurati<br />

orang dekat subyek dan respon yang<br />

diterimanya ketika memberikan surat tersebut.<br />

Pada tahap ini, subyek diberikan wawasan<br />

tentang pentingnya orang-orang yang<br />

selama ini hidup bersama mereka. Selain itu,<br />

diajak mendiskusikan tentang sikap yang aktif<br />

dan positif dalam berhubungan dengan orangorang<br />

yang mereka cintai tersebut.<br />

Keenam adalah tahap menemukan alternatif<br />

kegiatan-kegiatan yang bermanfaat: meliputi<br />

diskusi tentang pengalaman-pengalaman<br />

saat melakukan kegiatan bermanfaat yang<br />

ditugaskan pada tahap sebelumnya. Subyek<br />

juga diberikan wawasan tentang pleasant, enganged,<br />

dan meaningful life. Kemudian mereka<br />

didorong untuk mengembangkan rencana<br />

setelah proses intervensi, boleh melibatkan<br />

significant others dalam pelaksanaan rencana<br />

tersebut.<br />

Ketujuh adalah tahap evaluasi: meliputi<br />

penyelesaian masalah-masalah yang belum<br />

selesai, memberikan kesempatan pada subyek<br />

untuk menyampaikan tanggapan, komentar,<br />

serta kesan-kesan tentang proses intervensi<br />

dan perubahan yang mereka rasakan. Pada tahap<br />

ini disampaikan bahwa proses intervensi<br />

sudah selesai, subyek pun diberi motivasi untuk<br />

mempertahankan perubahan-perubahan<br />

mereka yang lebih baik, mengucapkan terima<br />

kasih, serta pelaksanaan post-test.<br />

Selalu ada umpan balik dari semua subyek<br />

untuk proses kelompok pada setiap pelaksanaan<br />

masing-masing tahap. Evaluasi dari tiap<br />

tahap dalam proses intervensi ini didasarkan<br />

pada efektifitas tugas-tugas yang diberikan<br />

terhadap subyek pada setiap pertemuan dan<br />

teknik-teknik yang diterapkan oleh peneliti.<br />

Efektifitas tugas subyek dapat dinilai dari kesulitan<br />

atau kendala-kendala yang dirasakan<br />

subyek pada tiap pertemuan selama intervensi,<br />

dan perubahan-perubahan yang dialami<br />

subyek. Sementara evaluasi terhadap teknikteknik<br />

peneliti dinilai dari feedback para subyek<br />

usai tiap pertemuan dan refleksi peneliti<br />

sendiri. Evaluasi ini bertujuan untuk mengetahui<br />

kekurangan-kekurangan selama pelaksanaan<br />

intervensi berlangsung sebagai revsisi<br />

ataupun modifikasi untuk siklus yang dilaksanakan<br />

berikutnya.<br />

Dalam pelaksanaan intervensi, subjek diberi<br />

lembar kerja untuk menfasilitasi agar mereka<br />

mengerjakan tugas-tugas yang diberikan.<br />

Lembar kerja tersebut diadaptasi dari lembar<br />

kerja yang digunakan oleh Rashid untuk klien<br />

depresi (Magyar-Moe, 2009), selain alat tulis<br />

dan lembar observasi.<br />

Analisa Data<br />

Teknik analisa data dalam penelitian ini menggunakan<br />

teknik analisa data dalam penelitian<br />

gabungan (mixed method) antara metode penelitian<br />

kuantitatif dan kualitatif. Dalam teknik<br />

ini, data yang terkumpul dari masing-masing<br />

instrumen yang telah digunakan dianalisa secara<br />

terpisah, yaitu data kuantitatif dan kualitatif<br />

(Teddlie & Tashakkori, 2009).<br />

Data kuantitatif diuji dengan paired sample<br />

test untuk mengetahui apakah ada perbedaan<br />

nilai skala kesejahteraan psikologis antara<br />

pre-test dan post-test pada masing siklus,<br />

untuk menentukan apakah rancangan model<br />

group positive psychotherapy efektif pada masing-masing<br />

siklus. Independent sample test<br />

untuk mengetahui apakah ada perbedaan nilai<br />

rata-rata skala kesejahteraan psikologis<br />

pre-test serta post-test kesejahteraan psikologis<br />

pre-test dan post-test pada masing-masing<br />

siklus. Sedangkan data kualitatif adalah data<br />

hasil pencatatan tentang proses pelaksanaan<br />

intervensi, pengaruhnya (yang disengaja maupun<br />

yang tidak), kendala yang ditemukan, dan<br />

bagaimana kendala selama proses pelaksanaan<br />

tersebut mempengaruhi pelaksanaan intervensi,<br />

yang dianalisis secara deskriptif.<br />

Hasil<br />

Siklus pertama: Pengujian kepraktisan model<br />

Pada siklus pertama pelaksanaan group positive<br />

psychotherapy menunjukkan beberapa<br />

catatan yang perlu memperoleh perhatian<br />

yaitu selama pelaksanaan tugas menggambar,<br />

para subyek saling mencontoh gambar subyek<br />

lainnya yang menyebabkan pola gambar sama,<br />

sehingga pola mereka menceritakan hidupnya<br />

pun sama; malu-malu dan isinya singkat. Jika<br />

sebelumnya dilakukan dengan posisi melingkar<br />

berhadap-hadapan dalam jarak yang cukup<br />

rapat, maka posisi tersebut perlu diubah.<br />

Pada siklus selanjutnya, posisi tiap subyek se-<br />

143


144<br />

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (2), 139 - 152<br />

lama proses menggambar adalah saling membelakangi<br />

namun tetap melingkar dengan jarak<br />

yang tidak terlalu rapat. Posisi ini bertujuan<br />

agar subyek dapat menggambarkan diri mereka<br />

sesuai dengan keadaannya masing-masing.<br />

Pada tahap kedua, subyek kesulitan mengungkapkan<br />

potensi-potensi yang dimilikinya<br />

dalam bentuk cerita perkenalan positif. Tiga<br />

dari empat orang subyek tidak mengerjakan<br />

tugasnya, sehingga penugasan pada pertemuan<br />

ini diulangi. Akibatnya, peneliti menambah<br />

ekstra waktu 30 menit untuk memberi<br />

kesempatan terhadap subyek yang belum menyelesaikannya.<br />

Maka dari itu, untuk tahap<br />

ini perlu menyiapkan contoh cerita perkenalan<br />

positif untuk memudahkan anggota kelompok<br />

mengerjakan tugas rumahnya sehingga berlangsung<br />

lebih efektif dan tidak perlu menambah<br />

durasi.<br />

Pada tahap ketiga, anggota kelompok<br />

membutuhkan waktu lebih dari yang ditentukan<br />

untuk membangun optimisme dengan<br />

lembar kerja membangun optimisme, dan<br />

mereka menganggap teknik ini membosankan<br />

karena banyak menulis. Maka dari itu, fungsi<br />

lembar kerja perlu digantikan dengan alat lain<br />

yang dapat mempermudah proses pengerjaannya.<br />

Penggunaan papan tulis diharapkan lebih<br />

praktis. Pada pelaksanaan siklus selanjutnya,<br />

konselor membimbing anggota untuk menemukan<br />

pemikiran-pemikiran pesimistik dan<br />

optimistik, kemudian memberi mereka kesempatan<br />

agar menuliskannya di papan tulis.<br />

Pada tahap keempat adalah anggota kelompok<br />

kurang mampu menentukan dan mengungkapkan<br />

cita-citanya. Ketika salah seorang<br />

subyek yang berjenis kelamin laki-laki<br />

mengungkapkan bahwa Ia ingin menjadi pemain<br />

sepak bola, subyek laki-laki lainnya (satunya)<br />

juga mengutarakan cita-cita yang sama.<br />

Begitu juga yang terjadi pada anggota kelompok<br />

yang perempuan; salah seorang dari keduanya<br />

mengungkapkan cita-cita ingin menjadi<br />

pramugari, seorang lainnya mengungkapkan<br />

cita-cita yang sama setelah mengaku bingung<br />

menentukan cita-cita. Maka, pemberian materi<br />

tentang cita-cita pada siklus berikutnya dianggap<br />

penting sebelum subyek ditugaskan untuk<br />

menyebutkan cita-citanya dan upaya untuk<br />

mencapai cita-cita tersebut.<br />

Pada tahap keenam, penugasan untuk<br />

terlibat dalam kegiatan yang bermanfaat dianggap<br />

sulit oleh subyek. Meski mereka dapat<br />

mengungkapkan kegiatan yang ingin mereka<br />

lakukan, subyek tidak tahu cara memulainya.<br />

Akibatnya, semua subyek tidak mengerjakan<br />

tugas yang diberikan, dan pertemuan pada tahap<br />

ini ditunda karena tujuan pertemuan tidak<br />

mungkin dicapai jika semua subyek tidak<br />

mengerjakan tugasnya. Maka dari itu, peneliti<br />

bersama dengan guru sekolah menentukan kegiatan<br />

yang lebih praktis. Kegiatannya adalah<br />

karnaval yang diadakan masyarakat Gondang<br />

Legi untuk merayakan HUT kecamatan ini.<br />

Semua subyek dilibatkan dalam acara tersebut<br />

dengan peran dan tugas-tugas tertentu<br />

selama 7 hari. Hasilnya adalah subyek cukup<br />

aktif dalam pelaksanaan kegiataan ini. Mereka<br />

mengakui menikmati kegiatan baru yang<br />

belum pernah dilakukan sebelumnya. Mereka<br />

mengikuti semua rapat koordinasinya sekaligus<br />

turut menjadi peserta karnaval.<br />

Selain lima refleksi tentang perbaikanperbaikan<br />

prosedur, hal-hal yang perlu ditingkatkan<br />

oleh peneliti dalam siklus selanjutnya<br />

adalah pemberian motivasi kepada subyek<br />

untuk menyelesaikan tugas dan memberikan<br />

umpan balik. Pada siklus pertama ini, subyek<br />

bersikap malu-malu, ribut saling menunjuk<br />

dan mencandai subyek lain yang memberikan<br />

umpan balik terhadap proses kelompok. Maka<br />

dari itu, peneliti dapat meningkatkan pemberian<br />

motivasi dan pemahaman terhadap subyek<br />

bahwa umpan balik mereka adalah hal yang<br />

penting dan dapat menjadi input yang positif<br />

bagi subyeknya.<br />

Persiapan cara berkomunikasi yang lebih<br />

baik juga penting selama pemberian instruksi,<br />

materi dan informasi-informasi lainnya. Misalnya<br />

pada tahap pertama, dua dari empat<br />

orang subyek banyak mengeluhkan sulitnya<br />

tugas menceritakan diri dengan gambar karena<br />

selama instruksi tidak mendapat informasi<br />

bahwa perkenalan diri mereka tidak harus berbentuk<br />

gambar yang rumit dan bagus. Hal ini<br />

menyebabkan durasi untuk menggambar jadi<br />

lebih lama dari yang ditentukan. Maka dari<br />

itu, dibutuhkan catatan khusus agar informasi<br />

tersebut tersampaikan saat penginstruksian<br />

tugas bercerita dengan gambar, yang bertujuan<br />

mengefektifkan waktu kegiatan. Perbaikan<br />

cara berkomunikasi juga perlu dilakukan<br />

pada saat menyampaikan materi. Jika cara<br />

presentasi materi peneliti dinilai terlalu cepat<br />

pada siklus pertama, maka pada siklus selanjutnya<br />

peneliti perlu mempersiapkan cara komunikasi<br />

yang lebih baik dan dipahami.<br />

Kemudian, hal non prosedural lain yang<br />

menjadi refleksi siklus ini adalah penegasan<br />

norma kelompok. Pada pertemuan pertama,<br />

subyek melakukan usaha-usaha untuk<br />

menunda mengerjakan tugas yang diberikan.


JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (2), 139 - 152<br />

Maka dari itu, untuk meminimalisir kejadian<br />

tersebut pada pertemuan selanjutnya, peneliti<br />

menambahkan beberapa ketetapan (selain<br />

yang ditetapkan sebelumnya) yang meminta<br />

persetujuan kelompok agar dipatuhi selama<br />

kegiatan berlangsung, antara lain: subyek<br />

disarankan agar tidak meninggalkan ruang<br />

kegiatan selama kegiatan berlangsung kecuali<br />

dengan urgensi tertentu (sebelum kegiatan<br />

dimulai peneliti menawarkan subyek agar menyelesaikan<br />

semua kepentingannya. Misalnya<br />

kepentingan untuk ke kamar mandi, makan,<br />

dan lain-lainnya), tidak mendiskusikan hal-hal<br />

yang tidak berkaitan dengan proses kelompok<br />

selama kegiatan kelompok sedang berlangsung,<br />

menghargai pendapat subyek yang lain,<br />

dan bersama peneliti saling membantu subyek<br />

yang tidak memahami tugasnya.<br />

Refleksi-refleksi prosedural dan non prosedural<br />

dalam pengujian kepraktisan model<br />

group positive psychotherapy pada siklus pertama<br />

menjadi dasar untuk meningkatkan kepraktisan<br />

model ini pada siklus berikutnya,<br />

yaitu siklus kedua.<br />

Hasil pengukuran skala kesejahteraan<br />

psikologis pada siklus ini menunjukkan bahwa<br />

terjadi peningkatan nilai rata-rata pre-test dan<br />

post-test, yaitu 95, 25 menjadi 115, 00 setelah<br />

mengalami proses tindakan. Tetapi, terdapat<br />

catatan dalam pelaksanaan post test siklus<br />

pertama ini, yaitu posisi subyek selama pelaksanaannya.<br />

Posisi subyek yang melingkar rapat<br />

mengakibatkan subyek banyak berdiskusi dan<br />

melihat jawaban respon skala subyek lainnya.<br />

Selain itu, subyek beberapa kali menanyakan<br />

pernyataan skala PWB terhadap peneliti. Halhal<br />

tersebut bisa jadi merupakan salah satu<br />

faktor yang mempengaruhi nilai kesejahteraan<br />

psikologis mereka pada post- test.<br />

Siklus kedua: Perbaikan kepraktisan model<br />

Pada siklus ini, peneliti mempersiapkan<br />

prosedur baru dalam tahap revisi tindakan<br />

(planning) berdasarkan refleksi siklus pertama,<br />

antara lain; mengubah posisi kegiatan tugas<br />

menggambar dalam tahap pertama, pertemuan<br />

pertama. Pada proses menggambar, diakui oleh<br />

para subyek bahwa mereka tidak mengalami<br />

kesulitan. Instruksi selama proses ini dinilai<br />

jelas. Akan tetapi, salah seorang subyek masih<br />

bersikap malu-malu saat harus menceritakan<br />

gambarnya, cenderung hanya menjawab jika<br />

ditanya. Maka, subyek didorong agar dapat<br />

bersikap kooperatif.<br />

Revisi kedua adalah pada tahap kedua,<br />

yaitu menyiapkan contoh cerita perkenalan<br />

positif. Tujuan pembuatan contoh adalah untuk<br />

membantu subyek lebih memahami intruksi<br />

sehingga tugas yang dikerjakan dapat<br />

direview secara efektif. Contoh ini diberikan<br />

pada penugasan pertemuan pertama, sehingga<br />

dapat direview pada pertemuan kedua. Hasilnya<br />

adalah subyek mampu mengidentifikasi<br />

potensi-potensi positif yang sebenarnya mereka<br />

miliki serta hal-hal yang telah dan dapat<br />

mereka lakukan dengan potensi-potensi tersebut.<br />

Revisi selanjutnya adalah pada tahap ketiga,<br />

yaitu mengganti fungsi lembar kerja dengan<br />

papan tulis untuk efektifitas teknik membedakan<br />

pemikiran pesimistik dan optimistik yang<br />

bertujuan membangun optimisme. Subyek<br />

dibantu untuk mengidentifikasi contoh-contoh<br />

pemikiran pesimistik dan optimistik, kemudian<br />

diminta untuk menuliskannya di papan tulis.<br />

Tujuan teknik ini adalah dengan mengidentifikasi<br />

perbedaan pemikiran pesimistik dan optimistik<br />

serta akibat masing-masing pemikiran<br />

tersebut, maka subyek dapat belajar membangun<br />

optimisme. Hasilnya adalah subyek lebih<br />

aktif memberikan contoh yang benar tentang<br />

masing-masing pemikiran tersebut daripada<br />

subyek pada siklus pertama, dan mengungkapkan<br />

bahwa pemikiran optimistik memiliki<br />

akibat yang lebih baik bagi hal-hal yang ingin<br />

mereka raih. Artinya, mereka telah memiliki insight<br />

tentang optimisme.<br />

Kemudian revisi keempat, yaitu perlunya<br />

pemberian materi tentang cita-cita sebelum<br />

penugasan, agar subyek memiliki insight tentang<br />

cita-citanya, mampu menentukan citacita<br />

mereka dan apa yang harus mereka upayakan<br />

untuk meraih cita-cita tersebut. Peneliti<br />

menyampaikan dengan bahasa yang mudah<br />

dipahami subyek. Hasilnya adalah subyek<br />

pada siklus kedua ini mampu menyelesaikan<br />

tugas rumah mereka untuk mengidentifikasi<br />

cita-cita mereka dan upaya-upaya yang harus<br />

mereka lakukan untuk meraihnya, lebih baik<br />

daripada kelompok sebelumnya.<br />

Revisi kelima dibutuhkan pada tahap<br />

keenam, yaitu tahap menemukan alternatif<br />

kegiatan-kegiatan yang bermanfaat. Revisinya<br />

adalah menyiapkan kegiatan sebagai alternatif<br />

bagi anggota kelompok untuk mengembangkan<br />

diri dan menjalani kehidupan yang terikat kegiatan.<br />

Karena terbatasnya alternatif kegiatan<br />

community service yang dapat dilakukan oleh<br />

remaja usia 13-14 tahun tanpa pendampingan<br />

145


146<br />

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (2), 139 - 152<br />

langsung, maka kegiatan yang menjadi alternatif<br />

tersebut adalah jenis kegiatan yang sama<br />

dengan siklus pertama. Selain itu, karena pelaksanaan<br />

karnaval berlangsung setiap minggu<br />

selama dua bulan sehingga memungkinkan<br />

melibatkan subyek untuk mengambil peran<br />

dalam membantu keterlaksanaannya selama<br />

tujuh hari. Kegiatan ini efektif membantu subyek<br />

aktif melakukan kegiatan-kegiatan yang<br />

bermanfaat dan berkontribusi secara positif<br />

pada perayaan HUT daerah tempat tinggalnya.<br />

Pada saat review, subyek mengungkapkan<br />

bahwa mereka senang melakukannya karena<br />

dengan demikian mereka tidak selalu berdiam<br />

diri di rumah atau bermain-main ke rumah temannya<br />

setelah kegiatan sekolah berakhir.<br />

Terdapat evaluasi khusus dalam pelaksanaan<br />

siklus kedua, yaitu perbedaan karakter<br />

subyek siklus ini dengan siklus pertama<br />

mungkin mempengaruhi instruksi lebih mudah<br />

dipahami dan tugas lebih cepat dikerjakan<br />

oleh subyek. Selama proses intervensi berlangsung,<br />

juga tidak terdapat penambahan durasi<br />

kegiatan.<br />

Hasil pengukuran skala kesejahteraan psikologis<br />

pada siklus ini menunjukkan bahwa<br />

terjadi peningkatan nilai rata-rata pre-test dan<br />

post-test, yaitu 94, 75 menjadi 115. 50 setelah<br />

mengalami proses tindakan.<br />

Efektifitas model<br />

Peningkatan nilai rata-rata kesejahteraan psikologis<br />

terjadi pada masing-masing siklus.<br />

Pada siklus pertama, nilai rata-rata sebelum<br />

me-ngalami proses intervensi adalah 95,25<br />

menjadi 115,00 setelah proses intervensi, yang<br />

berarti bahwa terjadi peningkatan sebesar<br />

20,73%. Sementara pada siklus kedua, nilai<br />

rata-rata sebelum mengalami proses intervensi<br />

adalah 94, 75 menjadi 115. 50 setelah proses<br />

intervensi, yang berarti tejadi peningkatan<br />

sebesar 21,89%.<br />

Dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis<br />

pada pre-test dan post-test subyek juga mengalami<br />

peningkatan nilai rata-rata. Pada siklus<br />

kedua, peningkatan nilai rata-rata tersebut<br />

diterangkan sebagai berikut: (a) dimensi<br />

autonomy memiliki nilai rata-rata pre-test sebesar<br />

26, 50 sedangkan pada post-test memiliki<br />

nilai rata-rata 29, 50. (b) Dimensi enviromental<br />

mastery memiliki nilai rata-rata pre test 9, 50<br />

sedangkan pada post-test memiliki nilai ratarata<br />

8, 75. (c) Dimensi personal growth memiliki<br />

nilai rata-rata pre test 16, 50 sedangkan<br />

pada post-test memiliki nilai rata-rata 19, 75.<br />

(d) Dimensi positive relations memiliki nilai rata-rata<br />

pre test 10, 00 sedangkan pada post-test<br />

memiliki nilai rata-rata 16, 25. (e) Dimensi purpose<br />

in life memiliki nilai rata-rata pre test 12,<br />

75 sedangkan pada post-test memiliki nilai rata-rata<br />

17, 00. (f) Dimensi self acceptance memiliki<br />

nilai rata-rata pre test 19, 50 sedangkan<br />

pada post-test memiliki nilai rata-rata 24, 25.<br />

Maka, dapat disimpulkan bahwa nilai rata-rata<br />

setiap dimensi kesejahteraan psikologis subyek<br />

pada siklus keduadin mengalami peningkatan<br />

setelah proses tindakan dengan model group<br />

positive psychotherapy, kecuali pada dimensi<br />

environmental mastery.<br />

Untuk mengetahui apakah ada perbedaan<br />

yang signifikan antara nilai rata-rata pre-test<br />

dan post-test pada masing-masing siklus, diuji<br />

dengan teknik paired sample test. Hasilnya<br />

adalah sebagai berikut: (1) Pada siklus pertama,<br />

nilai rata-rata pre-test yang diketahui adalah<br />

95,25, nilai rata-rata post-test 115,00 dengan<br />

nilai t = -7,029 dan p = 0,006 < 0,05 yang berarti<br />

bahwa terdapat perbedaan yang signifikan<br />

antara nilai rata-rata pre-test dan post-test<br />

kesejahteraan psikologis pada siklus pertama.<br />

Sehingga dapat dinyatakan bahwa terjadi peningkatan<br />

nilai rata-rata pre-test dan post-test<br />

pada siklus pertama. (2) Pada siklus kedua,<br />

nilai rata-rata pre-test yang di-ketahui 94,75,<br />

nilai rata-rata post-test 115,50, dengan nilai t =<br />

-9,378 dan p = 0,003 < 0,05 yang berarti bahwa<br />

terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai<br />

rata-rata pre-test dan post-test kesejahteraan<br />

psikologis pada siklus kedua. Sehingga dapat<br />

dinyatakan bahwa juga terjadi peningkatan nilai<br />

rata-rata pre-test dan post-test pada siklus<br />

kedua. Maka dari itu, rancangan group positive<br />

psychotherapy dianggap efektif pada siklus<br />

pertama dan siklus kedua.<br />

Sementara untuk mengetahui efektifitas<br />

pengembangan model group positive psychotherapy<br />

pada siklus pertama dan kedua, nilai<br />

rata-rata pre-test dan post-test pada kedua<br />

siklus tersebut dianalisa dengan independent<br />

sample test. (1) Pada nilai rata-rata pre-test,<br />

dengan dasar equal variance assumed, nilai t<br />

= 0,181 dan p = 0,862 > 0,05 yang berarti tidak<br />

ada perbedaan yang signifikan antara pretest<br />

pada siklus pertama dan siklus kedua.<br />

(2) Pada nilai rata-rata post-test, dengan dasar<br />

equal variances not assumed, nilai t = -0,131<br />

dan p = 0,901 > 0,05 yang berarti tidak ada<br />

perbedaan yang signifikan antara nilai ratarata<br />

post-test pada siklus pertama dan siklus


JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (2), 139 - 152<br />

kedua. Maka, dapat dinyatakan bahwa revisi<br />

rancangan yang dilakukan pada siklus kedua,<br />

tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap<br />

peningkatan nilai rata-rata kesejahteraan<br />

psikologis antara kelompok siklus pertama<br />

dan siklus kedua.<br />

Data observasi peneliti dan pencatatan tentang<br />

sudut pandang subyek penelitian tentang<br />

kegiatan intervensi, juga mendukung hasil<br />

peningkatan kesejahteraan psikologis subyek.<br />

Semua kegiatan dalam rancangan model group<br />

positive psychotherapy dapat menumbuhkan<br />

pemahaman bagi subyek sesuai dengan setiap<br />

tujuan pada masing-masing tahap.<br />

Pada tahap membangun penerimaan diri,<br />

subyek mengungkapkan bahwa kegiatan memperkenalkan<br />

diri dengan gambar dan berkompromi<br />

dengan masalah, dapat membantu mereka<br />

memahami perasaan teman-temannya<br />

dan tidak hanya mereka sendirian yang memiliki<br />

masalah. Subyek bersedia mengikuti<br />

kegiatan intervensi hingga selesai dan siap<br />

membangun harapan. Hal tersebut menjadi<br />

indikasi kesediaan subyek untuk membuka<br />

diri pada orang lain, dan memiliki pemahaman<br />

bahwa mereka tidak seorang diri yang memiliki<br />

masalah. Artinya, para subyek telah berusaha<br />

membangun penerimaan dirinya. Proses<br />

ini berkaitan dengan self acceptance dalam dimensi<br />

kesejahteraan psikologis.<br />

Pada tahap mendorong subyek mengoptimalkan<br />

fungsi diri dan memiliki sikap positif<br />

pada dirinya sendiri, dilalui dengan proses<br />

penugasan membuat cerita perkenalan positif,<br />

berisi tentang potensi-potensi positif yang<br />

dimiliki subyek, yang kemudian didiskusikan<br />

dalam kelompok tentang apa yang dapat mereka<br />

lakukan dengan potensi-potensi tersebut.<br />

Kemampuan subyek untuk mengidentifikasi<br />

potensi-potensi mereka, merupakan indikasi<br />

pemahaman subyek terhadap potensi-potensi<br />

positif yang mereka miliki. Selain itu, komentar-komentar<br />

positif yang disampaikan subyek<br />

lain selama proses tersebut dilaporkan subyek<br />

dapat membuat mereka merasa senang dan<br />

berterima kasih. Artinya, para subyek telah<br />

berusaha mengenali potensi-potensi yang mereka<br />

miliki, mengetahui apa yang dapat mereka<br />

lakukan dengan potensi tersebut, dan proses<br />

kelompok membantu mereka terdorong untuk<br />

mengoptimalkan fungsi diri dan memiliki sikap<br />

positif terhadap dirinya sendiri. Proses-proses<br />

dalam tahap ini berkaitan dengan self acceptance<br />

dan personal growth dalam dimensi kesejahteraan<br />

psikologis.<br />

Pada tahap membangun optimisme, ketika<br />

subyek diajarkan untuk mengidentifikasi<br />

pemikiran-pemikiran pesimistik dan optimistik<br />

serta akibat masing-masing pemikiran tersebut,<br />

semua subyek mengungkapkan bahwa<br />

mereka lebih baik berpikir optimistik. Artinya,<br />

subyek telah memiliki pemahaman tentang<br />

berpikir optimis. Tahap ini berkaitan dengan<br />

autonomy dan environmental mastery dalam dimensi<br />

kesejahteraan psikologis.<br />

Selanjutnya, pada tahap membantu subyek<br />

untuk menemukan cita-cita dan upayaupaya<br />

untuk mencapai cita-cita, dilalui dengan<br />

pemberian materi tentang cita-cita, menuliskan<br />

cita-cita mereka dan mencari tahu upayaupaya<br />

agar dapat mencapai cita-cita tersebut.<br />

Subyek diperbolehkan menanyakan upayaupaya<br />

yang dapat dilakukan untuk mencapai<br />

cita-citanya pada orang tua, teman-temannya<br />

sendiri, ataupun gurunya, yang kemudian<br />

didiskusikan dalam kelompok. Hasilnya, ketika<br />

subyek mampu menyebutkan cita-citanya<br />

dan mengetahui cara yang rasional dan positif<br />

untuk mencapai cita-cita tersebut, merupakan<br />

indikasi pemahaman subyek tentang cita-cita<br />

mereka. Proses dalam tahap ini berkaitan dengan<br />

purpose in life dalam dimensi kesejahteraan<br />

psikologis.<br />

Pada tahap mendukung subyek untuk<br />

mengembangkan hubungan yang positif dengan<br />

orang lain, dilalui dengan proses menuliskan<br />

surat positif untuk anggota keluarga di<br />

rumah dan menulis pengalaman positif selama<br />

berinteraksi dengan subyek lain yang juga<br />

menjadi anggota kelompok. Dengan kegiatan<br />

tersebut, subyek melaporkan bahwa mereka<br />

merasa senang, malu, namun juga diakui<br />

dapat menjadi jalan bagi mereka untuk meminta<br />

maaf dan berterima kasih kepada anggota<br />

keluarganya. Sedangkan surat tentang<br />

pengalaman-pengalaman positif dengan anggota<br />

kelompok, juga dilaporkan subyek bahwa<br />

mereka semakin memahami teman-temannya<br />

sendiri dan dapat menjadi dekat meskipun bukan<br />

dalam kegiatan kelompok. Artinya, subyek<br />

telah berupaya mengembangkan hubungan<br />

yang positif dengan orang lain. Proses dalam tahap<br />

ini berkaitan dengan positive relations with<br />

others dalam dimensi kesejahteraan psikologis.<br />

Pada tahap membantu subyek menemukan<br />

alternatif kegiatan-kegiatan yang bermanfaat,<br />

dilalui dengan proses melibatkan subyek<br />

dalam kegiatan yang dilakukan di kecamatan<br />

tempat tinggal mereka. Kegiatan ini dilaporkan<br />

oleh subyek dapat membantu mereka<br />

147


148<br />

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (2), 139 - 152<br />

mengatasi kebiasaan-kebiasaan mereka yang<br />

selama ini, yang cenderung hanya berdiam<br />

diri di rumah atau bermain di rumah teman<br />

selain bersekolah. Dan ketika diingatkan bahwa<br />

banyak kegiatan-kegiatan lain yang dapat<br />

membantu mereka mengembangkan diri dan<br />

membuat mereka bermanfaat, diajak merevisi<br />

kegiatan-kegiatan mereka selama ini, dan<br />

didorong untuk berkomitmen untuk terlibat<br />

dalam kegiatan yang lebih positif, para subyek<br />

mengiyakannya. Artinya, subyek memiliki<br />

pemahaman bahwa hidupnya harus dijalani<br />

dengan kegiatan-kegiatan yang lebih positif.<br />

Proses dalam tahap ini berkaitan dengan personal<br />

growth dan environmental mastery dalam<br />

dimensi kesejahteraan psikologis.<br />

Pada tahap evaluasi, subyek siklus kedua<br />

melaporkan bahwa mereka banyak mendapatkan<br />

wawasan, menyadari potensi-potensi yang<br />

dimiliki dan dapat mengetahui cita-cita mereka.<br />

Subyek mengungkapkan senang melakukan<br />

kegiatan-kegiatan yang belum pernah dilakukan<br />

sebelumnya karena mampu mengatasi<br />

kejenuhan terhadap kebiasaan-kebiasaan mereka<br />

selama ini. Subyek juga mampu mengembangkan<br />

rencana setelah kegiatan intervensi<br />

selesai, seperti akan membantu orang tua di<br />

rumah, mengaji, ingin selalu terlibat dalam<br />

kegiatan sekolah dan mengikuti kegiatan ekstrakurikuler.<br />

Faktor yang paling berpengaruh adalah<br />

peran kelompok, yang sangat membantu setiap<br />

individu berproses hingga memiliki pemahaman-pemahaman<br />

tersebut; umpan balik dari<br />

subyek mampu mendorong subyek yang lain<br />

untuk berkembang dan percaya diri. Perubahan<br />

perilaku nampak pada seorang subyek<br />

(NK) yang pada awalnya cenderung menutup<br />

diri, malu-malu dan hanya menjawab jika bertanya,<br />

menjadi lebih aktif dan berani menyampaikan<br />

pendapat-pendapatnya. Subyek lainnya<br />

juga demikian, berusaha menyelesaikan tugastugasnya,<br />

dan berkomitmen untuk mempertahankan<br />

apa yang mereka capai pada setiap<br />

tahap.<br />

Hasil pengamatan guru sekolah juga mendukung<br />

data peningkatan tersebut, bahwa<br />

salah satu subyek (JI) semakin aktif di kelas,<br />

tidak tampak lagi membuat keributan,<br />

bahkan kini lebih sering terlihat membantu<br />

guru-gurunya. Sedangkan subyek yang lain<br />

belum menunjukkan perubahan perilaku tertentu<br />

kecuali perilaku membolos mereka yang<br />

berkurang bahkan tidak pernah dilakukan<br />

lagi selama pelaksanaan intervensi hingga<br />

setelahnya (2 minggu). Selain itu, para subyek<br />

yang terlibat dalam kegiatan group positive psychotherapy<br />

sering terlihat aktif melakukan kegiatan<br />

bersama-sama.<br />

Pembahasan<br />

Berdasarkan hasil penelitian, pengujian model<br />

group positive psychotherapy diketahui dapat<br />

meningkatkan nilai rata-rata kesejahteraan<br />

psikologis pada post-test subyek.<br />

Rancangan model intervensi yang telah ditentukan<br />

pada tahap perencanaan (planning)<br />

diujikan pada siklus pertama untuk mengetahui<br />

kepraktisan rancangan tersebut dalam<br />

meningkatkan kesejahteraan psikologis pada<br />

remaja yang memiliki orangtua TKI, yang kemudian<br />

diketahui dari tahap pengamatan (observing)<br />

bahwa beberapa pokok dalam rancangan<br />

group positive psychotherapy tersebut<br />

membutuhkan perbaikan. Perbaikan-perbaikan<br />

tersebut kemudian diterapkan pada siklus<br />

kedua.<br />

Pada siklus kedua, peningkatan terlihat<br />

pada nilai rata-rata dimensi kesejahteraan<br />

psikologis; autonomy, personal growth, positive<br />

relations, purpose in life, self acceptance,<br />

kecuali pada dimensi environmental mastery.<br />

Dimensi environmental mastery adalah kemampuan<br />

individu untuk mengontrol lingkungan<br />

eksternalnya atau hal-hal di luar dirinya<br />

(Ryff 1989; Ryff, 1995; Rathi & Rastogi, 2007),<br />

dan mengambil peran dalam interaksi sosialnya<br />

(Conger et al., 2009). Dimensi ini penting<br />

untuk membangun kesejahteraan psikologis<br />

pada individu. Faktor yang mempengaruhinya<br />

adalah negosiasi dan pemecahan masalah<br />

dalam keluarga. Pemecahan masalah dalam<br />

keluarga sendiri dikaitkan dengan pendidikan<br />

orangtua karena menentukan bagaimana<br />

mereka mengajarkan anak-anaknya menyelesaikan<br />

masalah dengan efektif (Conger et<br />

al., 2009). Sementara pada remaja-remaja<br />

yang memiliki orang tua bekerja sebagai TKI<br />

atau buruh migran, kesempatan berinteraksi<br />

dengan orang tua mereka sangat minim (Fuligni,<br />

1998) dan pekerjaan sebagai buruh migran<br />

selalu berasosiasi dengan tingkat pendidikan<br />

yang rendah dan kemiskinan (Dinh et al.,<br />

1994; Wang, 2011; & Antman, 2012), mungkin<br />

menjadi penyebab dimensi enviromental mastery<br />

subyek cenderung rendah. Sementara dimensi<br />

ini butuh waktu bertahun-tahun untuk<br />

berkembang pada tiap remaja (Conger et al.,<br />

2009). Akan tetapi, dengan berbekal wawasan<br />

yang diterima dan proses-proses yang dilewati<br />

selama pelaksanaan group positive psychothe-


JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (2), 139 - 152<br />

rapy, subyek diharapkan dapat terus belajar<br />

mengatasi masalah dengan efektif.<br />

Berdasarkan hasil uji beda dengan teknik<br />

paired sample test, terungkap bahwa: (1) Pada<br />

siklus pertama, nilai rata-rata pre-test yang diketahui<br />

adalah 95,25, nilai rata-rata post-test<br />

115,00 dengan nilai t = -7,029 dan p = 0,006<br />

< 0,05 yang berarti bahwa terdapat perbedaan<br />

yang signifikan antara nilai rata-rata pre-test<br />

dan post-test kesejahteraan psikologis pada<br />

siklus pertama. Sehingga dapat dinyatakan<br />

bahwa terjadi peningkatan nilai rata-rata pretest<br />

dan post-test pada siklus pertama. (2) Pada<br />

siklus kedua, nilai rata-rata pre-test yang diketahui<br />

94,75, nilai rata-rata post-test 115,50,<br />

dengan nilai t = -9,378 dan p = 0,003 < 0,05<br />

yang berarti bahwa terdapat perbedaan yang<br />

signifikan antara nilai rata-rata pre-test dan<br />

post-test kesejahteraan psikologis pada siklus<br />

kedua. Sehingga dapat dinyatakan bahwa juga<br />

terjadi peningkatan nilai rata-rata pre-test dan<br />

post-test pada siklus kedua. Maka dari itu, rancangan<br />

group positive psychotherapy dianggap<br />

efektif pada siklus pertama dan siklus kedua.<br />

Sementara untuk mengetahui efektifitas<br />

pengembangan model group positive psychotherapy<br />

pada siklus pertama dan kedua, nilai<br />

rata-rata post-test pada kedua siklus tersebut<br />

dianalisa dengan independent sample test.<br />

(1) Pada nilai rata-rata pre-test, dengan dasar<br />

equal variance assumed, nilai t = 0,181 dan<br />

p = 0,862 > 0,05 yang berarti tidak ada perbedaan<br />

yang signifikan antara pre-test pada<br />

siklus pertama dan siklus kedua. (2) Pada nilai<br />

rata-rata post-test, dengan dasar equal variances<br />

not assumed, nilai t = -0,131 dan p = 0,901<br />

> 0,05 yang berarti tidak ada perbedaan yang<br />

signifikan antara nilai rata-rata post-test pada<br />

siklus pertama dan siklus kedua. Maka, dapat<br />

dinyatakan bahwa revisi rancangan yang dilakukan<br />

pada siklus kedua, tidak mempengaruhi<br />

secara signifikan terhadap peningkatan<br />

nilai rata-rata kesejahteraan psikologis antara<br />

kelompok pada siklus pertama dan siklus kedua.<br />

Selain berdasarkan nilai rata-rata secara<br />

statistik, efektifitas model rancangan dianalisis<br />

dari deskripsi data-data hasil pengamatan dan<br />

pencatatan selama proses intervensi berlangsung<br />

hingga selesai. Bahwa perbaikan model<br />

group positive psychotherapy dapat meningkatkan<br />

kesejahteraan psikologis pada remaja dengan<br />

orang tua yang bekerja sebagai TKI, didukung<br />

oleh refleksi peneliti, sudut pandang subyek<br />

penelitian yang telah menjalani kegiatan<br />

intervensi tersebut (meliputi: insight, perasaan,<br />

dan perubahan perilaku yang dirasakan), dan<br />

hasil pengamatan guru di sekolah, yang dapat<br />

dibuat kesimpulan bahwa intervensi tersebut<br />

mampu mengarahkan subyek penelitian pada<br />

kehidupan yang lebih positif.<br />

Efektifitas model ini juga sangat dipengaruhi<br />

oleh penugasan-penugasan yang diberikan<br />

pada akhir setiap pertemuan, yang kemudian<br />

didiskusikan dalam kelompok. Misalnya<br />

pada penugasan cerita perkenalan positif,<br />

yang didasarkan asumsi bahwa perilaku patologis<br />

disebabkan karena kurangnya kesadaran<br />

tentang potensi positif dalam diri individu<br />

(Magyar-Moe, 2009), maka membantu subyek<br />

untuk menyadari potensi-potensi positif<br />

yang mereka miliki dengan cara menuliskan<br />

sendiri pengalaman mereka tentang potensipotensi<br />

tersebut adalah kuncinya. Pada penugasan<br />

yang lain, mengidentifikasi hambatan<br />

yang mungkin akan ditemui subyek selama<br />

menerapkan potensi-potensi positifnya, bertujuan<br />

untuk mengajarkan subyek tentang cara<br />

membangun optimisme (tahap keempat) dalam<br />

mengatasi hambatan. Terdapat beberapa perbedaan<br />

antara individu yang berpikiran pesimistik<br />

dan yang berpikiran optimistik. Dengan<br />

cara membantu subyek membedakan kedua<br />

pemikiran tersebut dan akibat-akibatnya,<br />

akan membantu mereka untuk membangun<br />

optimisme (Magyar-Moe, 2009). Selanjutnya,<br />

penugasan membuat surat positif untuk keluarga<br />

dekat. Penugasan ini tidak terlalu formal.<br />

Dalam pelaksanaan positive psychotherapy<br />

sebelumnya, dilakukan terhadap penderita<br />

depresi untuk membantu memperbaiki hubungan<br />

penderita dengan pasangannya. Beberapa<br />

penelitian mendukung bahwa interaksi<br />

dengan orang terdekat yang dilakukan secara<br />

aktif dan konstrukstif dapat meningkatkan<br />

kebahagiaan, kepuasan, kepercayaan, keakraban<br />

dan mengurangi konflik (Magyar-Moe,<br />

2009). Pada anak TKI, konflik yang sering muncul<br />

adalah konflik dengan orang yang tinggal<br />

serumah dengan mereka, misalnya kakek dan<br />

nenek (www.unicef.org), ataupun ayahnya jika<br />

yang menjadi imigran adalah ibunya (www.<br />

crin.org; Graham & Jordan, 2011), maka surat<br />

positif untuk anggota keluarga, bertujuan<br />

untuk membantu mereka mengembangkan<br />

hubungan yang aktif dan positif dengan orangorang<br />

dekatnya. Sementara penugasan untuk<br />

menuliskan cita-cita dan kegiatan-kegiatan<br />

yang ingin dilakukan subyek bertujuan untuk<br />

membantunya mengetahui tujuan hidupnya,<br />

149


150<br />

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (2), 139 - 152<br />

yaitu kehidupan yang menyenangkan, terikat<br />

dengan kegiatan-kegiatan, dan bermakna<br />

(Seligman, 2002).<br />

Group positive psychotherapy dapat meningkatkan<br />

kesejahteraan psikologis, hasil<br />

penelitian yang sejalan dengan penelitian<br />

ini adalah penelitian Prabowo dan Yanuardi<br />

(2011), yang merupakan studi eksperimen terhadap<br />

remaja dengan teknik Pre-test post-test<br />

control group design. Hasil penelitian tersebut<br />

menyatakan bahwa group positive psychotherapy<br />

dapat menjadi suatu alternatif untuk<br />

meningkatkan kesejahteraan psikologis mahasiswa.<br />

Penelitian ini memberikan implikasi secara<br />

praktis dalam penerapan group positive psychotherapy<br />

kepada remaja yang memiliki orangtua<br />

sebagai TKI, khususnya remaja dengan tingkat<br />

kesejahteraan psikologis yang rendah, mengingat<br />

gagasan dasarnya adalah membangun hidup<br />

yang menyenangkan (pleasant life), hidup<br />

yang terikat pada kegiatan-kegiatan (engaged<br />

life) dan hidup yang bermakna (meaningful life).<br />

Selain itu, usia remaja adalah usia yang tepat<br />

untuk menyiapkan mereka membangun kehidupan<br />

yang lebih baik karena usia tersebut<br />

merupakan periode perkembangan yang penuh<br />

krisis (Cripps & Zyromski, 2009).<br />

Keterbatasan Penelitian dan Rekomendasi<br />

Kohesivitas kelompok dianggap sebagai faktor<br />

utama yang berperan dalam keberhasilan<br />

suatu kelompok terapi (American Group Psychotherapy<br />

Association, 2007). Maka dari itu,<br />

kohesivitas sejak awal pembentukan kelompok<br />

menjadi sangat penting. Semakin baik<br />

penyampaian informasi tentang tujuan dan<br />

proses kelompok yang akan dilakukan sejak<br />

awal, maka semakin besar kemungkinan subyek<br />

akan selalu hadir, memenuhi tugas-tugas<br />

kelompok, dan berkomitmen dengan kelompok<br />

hingga akhir (American Group Psychotherapy<br />

Association, 2007).<br />

Dalam penelitian ini, pertemuan pertama<br />

dilalui dengan kegiatan yang sudah bersifat<br />

terapiutik. Penjelasan tentang tujuan pertemuan<br />

dan meminta komitmen subyek menjalani<br />

intervensi dengan kontrak penelitian,<br />

justru dilakukan pada akhir pelaksanaan pertemuan<br />

pertama. Hal tersebut kurang sesuai<br />

dengan rekomendasi Yalom (1975) bahwa pada<br />

pertemuan pertama sebaiknya adalah perkenalan<br />

singkat, informasi tujuan kegiatan dan<br />

metode-metode yang dilakukan karena tugastugas<br />

yang ekstrim pada pertemuan pertama<br />

akan menyebabkan anggota kelompok me-<br />

nampilkan defense tertentu. Perilaku sebagian<br />

subyek sebagai anggota kelompok yang bersikap<br />

malu-malu, ribut saat temannya menyampaikan<br />

pendapat, hanya menjawab jika ditanya<br />

selama proses kelompok, ataupun menundanunda<br />

pengerjaan tugas, yang berakibat pada<br />

penambahan durasi, mungkin merupakan indikasi<br />

kurang terjalinnya kohesivitas dalam kelompok<br />

kegiatan ini. Pada penelitian selanjutnya,<br />

pertemuan pertama disarankan agar dilalui<br />

dengan memperdalam proses rapport dan<br />

memastikan para anggota kelompok merasa<br />

nyaman dan terjalin dalam kelompok sebelum<br />

beralih pada prosedur intervensi selanjutnya.<br />

Meski demikian, para subyek dalam kegiatan<br />

ini yang telah saling mengenal sebelumnya<br />

juga dinilai membantu kelancaran proses kelompok.<br />

Penelitian ini menggunakan anak-anak<br />

dengan orang tua yang bekerja sebagai TKI<br />

sebagai sampel, namun peran orangtua yang<br />

dominan (ayah atau ibu) terhadap mereka dan<br />

lamanya orang tua meninggalkankan mereka<br />

yang juga menjadi faktor penyebab rendahnya<br />

kesejahteraan psikologis pada anak TKI (Graham<br />

& Jordan, 2011), kurang mendapat perhatian<br />

peneliti. Jika faktor tersebut terungkap<br />

dengan baik, masalah-masalah anak TKI<br />

mungkin akan dapat ditangani secara khusus<br />

dan lebih efektif. Penelitian ini juga dilakukan<br />

dengan jumlah sampel yang kecil, sehingga<br />

hasil penelitian tidak dapat digeneralisasikan.<br />

Penelitian selanjutnya disarankan untuk dilakukan<br />

dengan sampel yang lebih luas, dengan<br />

tetap mempertimbangkan latar belakang<br />

mereka.<br />

Simpulan<br />

Model Group Positive Psychotherapy dapat<br />

meningkatkan kesejahteraan psikologis pada<br />

remaja yang memiliki orang tua bekerja sebagai<br />

TKI, berdasarkan hasil uji beda yang menunjukkan<br />

peningkatan nilai rata-rata pre-test dan<br />

post-test yang dilakukan terhadap subyek siklus<br />

pertama dan siklus kedua. Siklus pertama<br />

memiliki nilai sebesar t = -7,029 dan p = 0,06<br />

< 0,05 yang berarti bahwa terdapat perbedaan<br />

yang signifikan antara nilai rata-rata pre-test<br />

dan post-test pada siklus pertama. Siklus kedua<br />

memiliki nilai t = -9,378 dan p = 0,03 <<br />

0,05 yang berarti bahwa terdapat perbedaan<br />

yang signifikan antara nilai rata-rata pre-test<br />

dan post-test pada siklus kedua. Maka dari<br />

itu, rancangan group positive psychotherapy dianggap<br />

efektif pada siklus pertama dan siklus<br />

kedua.


JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (2), 139 - 152<br />

Sementara efektifitas pengembangan model<br />

group positive psychotherapy ini pada siklus<br />

pertama dan kedua, didasarkan nilai rata-rata<br />

post-test pada kedua siklus tersebut yang dianalisa<br />

dengan independent sample test. Pada<br />

nilai rata-rata pre-test nilai t = 0,181 dan p =<br />

0,862 > 0,05 berarti ada tidak perbedaan yang<br />

signifikan antara pre-test pada siklus pertama<br />

dan siklus kedua. Pada nilai rata-rata posttest,<br />

nilai t = -0,131 dan p = 0,901 > 0,05 yang<br />

berarti ada tidak perbedaan yang signifikan antara<br />

nilai rata-rata post-test pada siklus pertama<br />

dan siklus kedua. Maka, dapat dinyatakan<br />

bahwa revisi rancangan yang dilakukan pada<br />

siklus kedua, tidak mempengaruhi secara signifikan<br />

terhadap peningkatan nilai rata-rata<br />

kesejahteraan psikologis antara kelompok<br />

pada siklus pertama dan siklus kedua.<br />

Daftar Pustaka<br />

Abbott, R. A., Ploubdis, G. B., Huppert, F. A., Kuh, D.,<br />

Wadsworth, M. J., & Croudace, T. J. (2006). Psycho-<br />

metric evaluation and predictive validity of Ryff’s<br />

psychological well-being items in a UK birth cohort<br />

sample of women. Open Access Research Health and<br />

Quality of Life Outcomes, 4 (76), 1-16.<br />

American Group Psychotherapy Association. (2007).<br />

Practice guidelines for group psychotherapy. Diak-<br />

ses dari www.AGPA.org<br />

Aizer, A. (2004). Home alone: Supervision after school<br />

and child behavior. <strong>Journal</strong> of Public Economic, 88,<br />

1835–1848.<br />

Amato, P. R., & Cheadle, J. (2005). The long reach of<br />

divorce: Divorce and child well-being across three<br />

gene-rations. <strong>Journal</strong> of Marriage and Family, 67,<br />

191–206.<br />

Antman, F. M. (2012). The impact of migration on family<br />

left behind (Discussion Paper No. 6374). University<br />

of Colorado at Boulder and IZA.<br />

Arnett, J. J. (2009). Adolescence and emerging adulthood.<br />

Upper Saddle River, NJ: Pearson Education, Inc.<br />

Barnett, R. C., & Gareis, K. C. (2006). Parental after-<br />

school stress and psychological well-being. <strong>Journal</strong><br />

of Marriage and Family, 68, 101-108.<br />

Bizarro, L. (2000). Adolescence psychological well-being:<br />

Effects of problems with parents. Portugal: Univer-<br />

sité de Lisbonne.<br />

Bogdan, R., & Biklen, S.K. (2007). Qualitative research<br />

for education: An introduction to theory and methods<br />

(5 th ed.). Boston: Allyn and Bacon.<br />

Buist, K. L., Dekovic, M., Meeus, W., & Aken, M. A. G.<br />

(2004). The reciprocal relationship between early<br />

adolescent attachment and internalizing and exter-<br />

nalizing problem behavior. <strong>Journal</strong> of Adolescence<br />

27, 251–266.<br />

Christopher, J. C. (1999). Situating psychological well-<br />

being: Exploring the cultural roots of its theory and<br />

research. <strong>Journal</strong> of Counseling and Development,<br />

77, 141-152.<br />

Coley, R. L., Morris, J. E., & Hernadez, D. (2004). Out-<br />

of-school care and problem behavior trajectories<br />

among low-income adolescents: Individual, family,<br />

and neighborhood characteristics as added risks.<br />

<strong>Journal</strong> of Child Development, 75, 948-965.<br />

Conger, K. J., Williams, S. T., Little, W. M., Masyin, K. E.,<br />

& Shebloski, B. (2009). Development of mastery du-<br />

ring adolescence: The role of pamily Problem solving.<br />

<strong>Journal</strong> of Health Social Behaviour, 50 (1), 99-114.<br />

Cripps, K., & Breet, Z. (2009). Adolescents’ psychological<br />

well-being and perceived parental involvement: Im-<br />

plications for parental involvement in middle schools<br />

(No. 33). RMLE Online: Research in Middle Level<br />

Education.<br />

Dacey, J., & Kenny, M. (1997). Adolescent development<br />

(2 nd ed.). New York: McGraw-Hill, Inc.<br />

Demir, B., Kyanak-Demir, H., & Sönmez, E. I. (2010).<br />

Sense of identity and depression in adolescents. The<br />

Turkish <strong>Journal</strong> of Pediatrics, 52, 68-72.<br />

Dinh, K. T., Sarason, B. R., & Sarason, I. G. (1994). Pa-<br />

rent-child relationships in Vietnamese immigrant<br />

families. <strong>Journal</strong> of Family Psychology, 8 (4), 471-<br />

488.<br />

Feldman, O. P. (2009). Human development: Perkemba-<br />

ngan manusia jilid I. Jakarta: Penerbit Salamba Hu-<br />

manika.<br />

Forsyt, D. R., & Timothy, R. E. (1999). Group dynamics and<br />

psychological well-being: The impact of groups on ad-<br />

justment and dysfunction. Diakses dari https://fa-<br />

cultystaff.richmond.edu/~dforsyth/pubs/Forsyth-<br />

Elliott1999.<strong>pdf</strong><br />

Fuligni, A. (1998). Authority, autonomy, and parent-ado-<br />

lescent conflict and cohesion: A study of adolescents<br />

from Mexican, Chinese, Filipino, and European<br />

backgrounds. <strong>Journal</strong> of Developmental Psychology,<br />

34, 782-792.<br />

Graham, E., & Jordan, L. P. (2011). Migrant parents and<br />

the psychological well-being of left-behind children<br />

in southeast asia. <strong>Journal</strong> of Marriage and Family,<br />

73 (4), 763–787.<br />

Huppert, F. A. (2009). Psychological well-being: Evidence<br />

regarding its causes and consequences. <strong>Journal</strong><br />

Health and Well-being, 1, 137–164.<br />

Huurre, T., Junkkari, H., & Aro, H. (2006). Long-term<br />

psychosocial effects of parental divorce: A follow-up<br />

study from adolescence to adulthood. European Ar-<br />

chives of Psychiatry and Clinical Neuroscience, 256,<br />

256 - 263.<br />

Kef, S., & Dekovic, M. (2004). The role of parental and<br />

peer support in adolescents well-being: A compari-<br />

son of adolescents with and without a visual impair-<br />

ment. <strong>Journal</strong> of Adolescence, 27, 453-466.<br />

151


152<br />

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (2), 139 - 152<br />

Jacobs, E. E., Robert, L. M., & Riley, L. H. (2002). Group<br />

counseling: Strategies and skills. Canada: The Wad-<br />

sworth Group, a division of Thompson Learning, Inc.<br />

Koshy, V. (2005). Action research for improving practice: A<br />

practical guide. London: Paul Chapman Publishing.<br />

Lazzari, S. (2000). Emotional intelligence, meaning, and<br />

psychological well being: A comparison between<br />

early and late adolescence (Master Thesis). Trinity<br />

Western University.<br />

Save the Children in Sri Lanka. (2006). Left behind, left<br />

out: The impact on children and families of mothers<br />

migra-ting for work abroad. Diakses dari http://<br />

www.crin.org/docs/save_sl_left_out.<strong>pdf</strong><br />

Magyar-Moe, J. L. (2009). Therapist’s guide to positive<br />

psychological interventions. London: Elsevier Inc.<br />

Moeenizadeh, M., & Salagame, K. K. K. (2010). The im-<br />

pact of well-being therapy on symptoms of depres-<br />

sion. International <strong>Journal</strong> of Psychological Studies,<br />

2 (2), 223-230.<br />

Mechanic, D., & Hansell, S. (1987). Adolescent compe-<br />

tence, psychological well-being, and self assessed<br />

physical health. <strong>Journal</strong> of Health and Social Beha-<br />

vior, 28, 364-374.<br />

McKniff, J., & Jack, W. (2002). Action research: Principles<br />

and practices. London: Routledge Falmer.<br />

Mulders, L. T. E. (2011). Meaning in life and its relation-<br />

ship to psychological well-being in adolescent (Mas-<br />

ter Thesis). Utrecht University.<br />

Raja, S. N., McGee, R., & Stanton, W. R. (1992). Perceived<br />

attachments to parents and peers and psychological<br />

well-being in adolescence. <strong>Journal</strong> of Youth and Ado-<br />

lescence, 21, 471–485.<br />

Orellana, M. F., Thorne, B., Chee, A., Lam, W. S. E.<br />

(2001). Transnational childhoods: The participation<br />

of children in processes of family migration. <strong>Journal</strong><br />

of Social Problems, 48, 572–591.<br />

Parke, R. D., & Buriel, R. (1998). Socialization in the fa-<br />

mily: Ethnic and ecological perspectives. In W. Da-<br />

mon (Ed., in-chief) & N. Eisenberg (Ed.), Handbook<br />

of child psychology: Social, emotional, and personal-<br />

ity development (5 th ed.,Vol. 3, pp. 463–552). New<br />

York: Wiley.<br />

Prabowo, A. (2011). Pengaruh group positive psycho-<br />

therapy terhadap psychological well-being maha-<br />

siswa (Master Thesis). <strong>Universitas</strong> <strong>Muhammadiyah</strong><br />

<strong>Malang</strong>.<br />

Rathi, N., & Renu, R. (2007). Meaning in life and psy-<br />

chological well-being in pre-adolescents and ado-<br />

lescents. <strong>Journal</strong> of the Indian Academy of Applied<br />

Psychology, 33 (1), 31-38.<br />

Rönkä, A. & Pulkkinen, L. (1995). Accumulation of pro-<br />

blems in social functioning in young adulthood: A<br />

developmental approach. <strong>Journal</strong> of Personality and<br />

Social Psychology, 2, 381-391.<br />

Ryff, C. D. (1989). Happiness is everything or is it? Explo-<br />

rations on the meaning of psychological well-being.<br />

<strong>Journal</strong> of Personality and Social Psychology, 57,<br />

1069-1081.<br />

Ryff, C. D., & C. L. Keyes. (1995). The structure of psy-<br />

chological well-being revisited. <strong>Journal</strong> of Personal-<br />

ity and Social Psychology, 69, 719-727.<br />

Sanjaya, W. (2010). Penelitian tindakan kelas. Jakarta:<br />

Kencana Prenada Media Group.<br />

Santrock, J. W. (2007). Remaja, edisi kesebelas, jilid I.<br />

Jakarta: Penerbit Erlangga.<br />

Sastre, M., & Ferriere, G., (2000). Family decline and the<br />

subjective well-being of adolescents. Social Indica-<br />

tors Research, 49, 69-82.<br />

Seligman, M. E. P. (2002). Authentic happiness: Using the<br />

new positive psychology to realize your potential for<br />

lasting fulfillment. New York: Free Press.<br />

Seligman, M. E. P., Rashid, T., & Parks, A. C. (2006). Posi-<br />

tive psychotherapy. American Psychologist, 61, 774-<br />

788.<br />

Shek, D. (1997). The relation of family functioning to<br />

adolescent psychological well-being, school adjust-<br />

ment, and problem behavior. The <strong>Journal</strong> of Genetic<br />

Psycho-logy, 158, 467-479.<br />

Siddique, C., & D’Arcy, C. (1984). Adolescents, stress and<br />

psychological well-being. <strong>Journal</strong> of Youth and Ado-<br />

lescence, 13, 459-473.<br />

Sin, N. L., & Lyubomirsky, S. (2009). Enhancing well-be-<br />

ing and alleviating depressive symptoms with posi-<br />

tive psychology interventions: A practice-friendly<br />

meta-analysis. <strong>Journal</strong> of Clinical of Psychology, 65,<br />

467-487.<br />

Teddlie, C., & Tashakkori, A. (2009). Foundations of<br />

mixed-methods research: Integrating quantitative<br />

and qualitative approaches in the behavioral science.<br />

Los Angeles: Sage Publications, Inc.<br />

UNICEF. (2012). The impact of parental migration on the<br />

children left behind and their caretakers. Diakses<br />

dari www.unicef.org<br />

Townsend, M., McCracken, H., & Wilton, K. (1988). Popu-<br />

larity and intimacy as determinants of psychologi-<br />

cal well-being in adolescent friendships. <strong>Journal</strong> of<br />

Early Adolescence, 8, 421-436.<br />

VanWel, F., Linssen, H., & Abma, R. (2000). The parental<br />

bond and the well-being of adolescents and young<br />

adults. <strong>Journal</strong> of Youth and Adolescence, 29, 307-<br />

318.<br />

Wang, S. X. (2011). The effect of parental migration on the<br />

educational attainment of their left-behind children in<br />

rural china. Department of Economics Simon Fraser<br />

University. Diakses dari http://www.sfu.ca<br />

Weiner, I. B. (1992). Psychological disturbance in adoles-<br />

cence. New York: John Wiley & Sons, Inc.<br />

Yalom, I. (1975). The theory and practice of group psycho-<br />

therapy (2 nd ed.). New York: Basic Books, Inc.<br />

Yalom, I., & Leszcz, M. (2005). The theory and practice<br />

of group psychotherapy (5 th ed.). New York: Basic<br />

Books, Inc.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!