25.12.2013 Views

Download - Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah UNS

Download - Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah UNS

Download - Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah UNS

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

STUDI KERAGAMAN GANYONG (Canna edulis Ker.) DI WILAYAH EKS-<br />

KARESIDENAN SURAKARTA BERDASARKAN CIRI MORFOLOGI<br />

DAN POLA PITA ISOZIM<br />

Skripsi<br />

Untuk memenuhi sebagian persyaratan<br />

guna memperoleh gelar Sarjana Sains<br />

Oleh:<br />

Santi Silfiana Ashary<br />

NIM. M 0406015<br />

JURUSAN BIOLOGI<br />

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM<br />

UNIVERSITAS SEBELAS MARET<br />

SURAKARTA<br />

2010


29<br />

STUDI KERAGAMAN GANYONG (Canna edulis Ker.) DI WILAYAH EKS-<br />

KARESIDENAN SURAKARTA BERDASARKAN CIRI MORFOLOGI<br />

DAN POLA PITA ISOZIM<br />

Skripsi<br />

Untuk memenuhi sebagian persyaratan<br />

guna memperoleh gelar Sarjana Sains<br />

Oleh:<br />

Santi Silfiana Ashary<br />

NIM. M 0406015<br />

JURUSAN BIOLOGI<br />

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM<br />

UNIVERSITAS SEBELAS MARET<br />

SURAKARTA<br />

2010<br />

i


01978032001<br />

31


32<br />

PERNYATAAN<br />

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil penelitian saya sendiri<br />

<strong>dan</strong> tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar<br />

kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, serta tidak terdapat karya atau pendapat<br />

yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu<br />

dalam naskah ini <strong>dan</strong> disebutkan dalam daftar pustaka.<br />

Apabila di kemudian hari dapat ditemukan a<strong>dan</strong>ya unsur penjiplakan maka gelar<br />

kesarjanaan yang telah diperoleh dapat ditinjau <strong>dan</strong>/atau dicabut.<br />

Surakarta, 2 Agustus 2010<br />

Santi Silfiana Ashary<br />

NIM. M 0406015<br />

iv


33<br />

STUDI KERAGAMAN GANYONG (Canna edulis Ker.) DI WILAYAH EKS-<br />

KARESIDENAN SURAKARTA BERDASARKAN CIRI MORFOLOGI<br />

DAN POLA PITA ISOZIM<br />

Santi Silfiana Ashary<br />

Jurusan Biologi, Fakultas Matematika <strong>dan</strong> Ilmu Pengetahuan Alam,<br />

Universitas Sebelas Maret, Surakarta<br />

ABSTRAK<br />

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman <strong>dan</strong> hubungan<br />

kekerabatan ganyong di wilayah eks-karesidenan Surakarta berdasarkan ciri<br />

morfologi <strong>dan</strong> pola pita isozim.<br />

Penelitian yang dilakukan meliputi pengamatan ciri morfologi <strong>dan</strong><br />

elektroforesis tunas rimpang ganyong untuk memperoleh pita isozim. Tunas<br />

rimpang segar diekstrak dengan cara digerus <strong>dan</strong> ditambahkan buffer ekstraksi<br />

kemudian disentrifuse pada kecepatan 13000 rpm selama 20 menit. Supernatan<br />

ditambahkan dengan loading dye kemudian dielektroforesis pada gel<br />

poliakrilamid. Ciri morfologi <strong>dan</strong> pola pita isozim yang diperoleh kemudian<br />

dianalisis menggunakan Indeks Similaritas (IS) <strong>dan</strong> dikomputasi dengan program<br />

Numerical Taxonomy and Multivariate Analysis System (NTSYS) versi 2.0<br />

sehingga diperoleh dendogram hubungan kekerabatan ganyong.<br />

Hasil penelitian menunjukkan a<strong>dan</strong>ya keragaman ciri morfologi ganyong<br />

di wilayah eks-karesidenan Surakarta yang meliputi warna <strong>dan</strong> ukuran organ<br />

tanaman. Pola pita isozim yang didapat juga menunjukkan keragaman yang<br />

meliputi kemunculan <strong>dan</strong> tebal tipis pita. Berdasarkan ciri morfologi <strong>dan</strong> pola pita<br />

isozim, ganyong Wonogiri <strong>dan</strong> ganyong Sukoharjo memiliki hubungan<br />

kekerabatan terdekat dengan koefisien kemiripan 48%, se<strong>dan</strong>gkan hubungan<br />

kekerabatan terjauh yaitu antara C. hybrida dengan sampel yang lain pada<br />

koefisien kemiripan 11,57%.<br />

Kata kunci: ganyong, ciri morfologi, pita isozim, hubungan kekerabatan.<br />

v


34<br />

DIVERSITY STUDY OF EDIBLE CANNA (Canna edulis Ker.) IN<br />

SURAKARTA REGION BASED ON THE MORPHOLOGICAL<br />

CHARACTERS AND ISOZYM BAND PATTERN<br />

Santi Silfiana Ashary<br />

Department of Biology, Faculty of Mathematic and Natural Science<br />

Sebelas Maret University, Surakarta<br />

ABSTRACT<br />

The aim of the research is to study the diversity and relationship of Edible<br />

Canna in Surakarta region based on the morphological characters and isozym<br />

band pattern.<br />

This research included morphological observation of Edible Canna and<br />

electrophoresis of the rhizomes to get isozym band pattern. Edible Canna’s fresh<br />

rhizomes were extracted with extract buffer and then centrifuged at 13000 rpm<br />

during 20 minutes. Supernatan and loading dye were mixed and then<br />

electrophored with poliacrilamide gel. The morphological characters and isozym<br />

band pattern were analysed using Similarity Index (SI) and computed with<br />

Numerical Taxonomy and Multivariate Analysis System (NTSYS) program 2.0<br />

version until get the dendogram.<br />

From the research, it can be concluded that there were diversity of Edible<br />

Canna based on the morphological characters and isozym band pattern. The<br />

diversity of morphological ganyong included the colour and size of Edible<br />

Canna’s organs. The diversity of isozym band pattern included emergence and<br />

thickness of band. Based on the morphological characters and isozym band<br />

pattern, Edible Canna from Wonogiri and ganyong from Sukoharjo have the<br />

closest relationship with similarity coefficient 48%, whereas the farthest was the<br />

relationship of C. hybrida with the others at similarity coefficient of 11,57%.<br />

Keyword: Edible Canna, morphological characters, isozym band, the relationship.<br />

vi


35<br />

MOTTO<br />

“Be yourself, do the best.”<br />

“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan<br />

(Q.S. Al-Insyirah: 6).”<br />

“Belajar adalah sama dengan mendayung melawan arus: Ketika anda berhenti<br />

mendayung, anda mulai bergerak mundur”<br />

(Anonymous).<br />

“If you fail to prepare, you prepare to fail”<br />

(Benjamin Franklin).<br />

vii


36<br />

PERSEMBAHAN<br />

Skripsi ini kupersembahkan untuk:<br />

Mama, Papa, <strong>dan</strong> adikku tercinta, kalian alasan aku<br />

bertahan.<br />

Samsul Ma’arif, kekasih yang selalu memberikan<br />

semangat <strong>dan</strong> memaklumiku dengan sabar.<br />

Sahabat-sahabatku, yang dengan tulus memberikan<br />

dukungan <strong>dan</strong> bantuan.<br />

Almamater-ku tercinta,<br />

Universitas Sebelas Maret, Surakarta.<br />

viii


37<br />

KATA PENGANTAR<br />

Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat<br />

serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian <strong>dan</strong><br />

penyusunan skripsi dengan judul Studi Keragaman Ganyong (Canna edulis Ker.)<br />

di Wilayah Eks-Karesidenan Surakarta Berdasarkan Ciri Morfologi <strong>dan</strong> Pola Pita<br />

Isozim. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh<br />

gelar kesarjanaan Strata 1 (S1) di Jurusan Biologi, Fakultas Matematika <strong>dan</strong> Ilmu<br />

Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.<br />

Dalam melakukan penelitian <strong>dan</strong> penyusunan skripsi, penulis<br />

mendapatkan masukan <strong>dan</strong> dukungan dari berbagai pihak yang sangat membantu<br />

<strong>dan</strong> bermanfaat dalam penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu, penulis<br />

mengucapkan terima kasih kepada :<br />

Warsih Ashary, Satin Ahmad Rizal Ashary, Ikhsani May Rosita Ashary.<br />

Mama, Papa, <strong>dan</strong> Adik tercinta yang selalu memberikan kasih sayang, dukungan,<br />

<strong>dan</strong> doa demi kelancaran studi penulis.<br />

Dra. En<strong>dan</strong>g Anggarwulan, M.Si., selaku Pembimbing Akademik penulis<br />

sekaligus Ketua Jurusan Biologi, Fakultas Matematika <strong>dan</strong> Ilmu Pengetahuan<br />

Alam, Universitas Sebelas Maret, Surakarta yang telah memberikan izin <strong>dan</strong><br />

dukungannya selama penelitian.<br />

Nita Etikawati, M. Si., selaku Dosen Pembimbing I yang telah<br />

memberikan proyek penelitian, saran, bimbingan, serta kesabaran dari awal<br />

penelitian hingga terselesaikannya penyusunan skripsi ini.<br />

Suratman, M.Si., selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan<br />

bimbingan serta dukungan baik secara moril maupun materiil. Terima kasih juga<br />

atas pengetahuan yang berharga bagi penulis.<br />

Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D, selaku Dosen Penelaah I atas segala<br />

masukan <strong>dan</strong> dukungannya selama ini.<br />

Elisa Herawati, M. Eng., selaku Dosen Penelaah II yang telah memberikan<br />

saran <strong>dan</strong> dukungan hingga terselesaikannya penyusunan skripsi ini.<br />

ix


38<br />

Dosen-dosen di Jurusan Biologi, Fakultas Matematika <strong>dan</strong> Ilmu<br />

Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret, Surakarta yang telah mendidik <strong>dan</strong><br />

memberikan dorongan baik moral maupun spiritual sehingga penulis dapat<br />

menyelesaikan skripsi ini.<br />

Staf administrasi Jurusan Biologi serta laboran yang telah membantu<br />

kelancaran penelitian ini.<br />

Kepala <strong>dan</strong> staf Laboratorium <strong>Pusat</strong>, Sub Laboratorium Biologi<br />

Universitas Sebelas Maret, Surakarta yang telah memberikan izin penelitian<br />

beserta sarana, prasarana <strong>dan</strong> bantuan selama penelitian.<br />

Solichatun, M.Si, Esty Elifah, S.Si., Muslihah Nur Hidayati, S.Si., Ida<br />

Liana, S.Si., Wintang Nugraheni, S.Si, Ulfa Qurniawati, Rhosid Fajar Ismail,<br />

Setya Budi, <strong>dan</strong> Fina Ernawati yang telah membantu dalam pengambilan sampel.<br />

Shaffi Fauzi Rahman, S.Si., Sri War<strong>dan</strong>i, S.Si., Awan Atas Prahara,<br />

A.Md., Rahmad Yulianto, Ibnu Solikhin, Joko Aribowo, Satyarani Devi, Hardian<br />

Muladi Samodro, Muhammad Amri Yahya, Samsul Ma’arif, Ika Nugraha<br />

Fitriana, Fatri Nikendari, Niyar Candra Agustin, Rianita, <strong>dan</strong> Fitri Afifah yang<br />

telah memberikan bantuan <strong>dan</strong> dukungan yang sangat berarti bagi penulis.<br />

Luthviasari Astudiro, Nanik Rustangingrum, sahabat terbaik penulis yang<br />

selalu mendukung <strong>dan</strong> memberikan semangat.<br />

Teman-teman Biologi semua angkatan khususnya angkatan 2006 yang<br />

selalu memberikan motivasi <strong>dan</strong> dukungan kepada penulis.<br />

Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang<br />

tidak dapat disebutkan satu persatu.<br />

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam melakukan penelitian hingga<br />

penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu masukan yang<br />

bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat<br />

bermanfaat.<br />

Surakarta, Juli 2010<br />

Penulis<br />

x


39<br />

DAFTAR ISI<br />

Halaman<br />

HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i<br />

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. ii<br />

HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iii<br />

HALAMAN PERNYATAAN ......................................................................... iv<br />

ABSTRAK ....................................................................................................... v<br />

ABSTRACT ..................................................................................................... vi<br />

HALAMAN MOTTO ...................................................................................... vii<br />

HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... viii<br />

KATA PENGANTAR ..................................................................................... ix<br />

DAFTAR ISI .................................................................................................... xi<br />

DAFTAR TABEL ............................................................................................ xiii<br />

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiv<br />

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xv<br />

DAFTAR SINGKATAN ................................................................................. xvi<br />

BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................. 1<br />

A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1<br />

B. Perumusan Masalah .................................................................... 4<br />

C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 4<br />

D. Manfaat Penelitian ...................................................................... 5<br />

BAB II. LANDASAN TEORI ........................................................................ 6<br />

A. Tinjauan Pustaka ........................................................................ 6<br />

1. Ganyong (Canna edulis Ker.) .............................................. 6<br />

2. Ciri Morfologi ...................................................................... 12<br />

3. Isozim ................................................................................... 13<br />

4. Elektroforesis ....................................................................... 14<br />

5. Gel Poliakrilamid ................................................................. 15<br />

6. Hubungan kekerabatan ......................................................... 16<br />

B. Kerangka Pemikiran ................................................................... 17<br />

C. Hipotesis ..................................................................................... 19<br />

xi


40<br />

BAB III. METODE PENELITIAN.................................................................. 20<br />

A. Waktu <strong>dan</strong> Tempat penelitian ..................................................... 20<br />

B. Alat <strong>dan</strong> Bahan ............................................................................ 20<br />

C. Cara Kerja ................................................................................... 21<br />

D. Analisis Data ............................................................................... 26<br />

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ 28<br />

A. Morfologi Ganyong ..................................................................... 28<br />

1. Rimpang ............................................................................... 32<br />

2. Batang .................................................................................. 33<br />

3. Daun ..................................................................................... 34<br />

4. Bunga ................................................................................... 35<br />

5. Buah <strong>dan</strong> Biji ....................................................................... 37<br />

B. Pola Pita Isozim .......................................................................... 38<br />

C. Hubungan Kekerabatan ............................................................... 44<br />

1. Hubungan Kekerabatan Ganyong Berdasarkan Ciri<br />

Morfologi ............................................................................. 44<br />

2. Hubungan Kekerabatan Ganyong Berdasarkan Pola Pita<br />

Isozim .................................................................................. 48<br />

3. Hubungan Kekerabatan Ganyong Berdasarkan Ciri<br />

Morfologi <strong>dan</strong> Pola Pita Isozim .......................................... 56<br />

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 60<br />

A. Kesimpulan ................................................................................. 60<br />

B. Saran ............................................................................................ 61<br />

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 62<br />

LAMPIRAN ..................................................................................................... 66<br />

RIWAYAT HIDUP PENULIS ........................................................................ 80<br />

xii


41<br />

DAFTAR TABEL<br />

Halaman<br />

Tabel 1. Ciri morfologi ganyong di wilayah eks-karesidenan Surakarta. ..... 31<br />

Tabel 2. Hasil analisis ketebalan pita isozim esterase ganyong .................... 40<br />

Tabel 3. Hasil analisis ketebalan pita isozim peroksidase ganyong .............. 43<br />

Tabel 4. Perbandingan ciri morfologi ganyong di wilayah ekskaresidenan<br />

Surakarta ...................................................................... 45<br />

Tabel 5. Perbandingan kemunculan pita isozim esterase ganyong di<br />

wilayah eks-karesidenan Surakarta ................................................. 48<br />

Tabel 6. Perbandingan kemunculan pita isozim peroksidase ganyong di<br />

wilayah eks-karesidenan Surakarta ................................................. 51<br />

Tabel 7. Kemunculan pita isozim esterase <strong>dan</strong> peroksidase ganyong di<br />

wilayah eks-karesidenan Surakarta ................................................. 53<br />

Tabel 8. Perbandingan ciri morfologi <strong>dan</strong> pola pita isozim ganyong di<br />

wilayah eks-karesidenan Surakarta ................................................. 56<br />

xiii


42<br />

DAFTAR GAMBAR<br />

Halaman<br />

Gambar 1. Morfologi ganyong .................................................................. 9<br />

Gambar 2. Bagan alir kerangka pemikiran ................................................ 18<br />

Gambar 3. Morfologi ganyong hasil pengamatan ..................................... 30<br />

Gambar 4.<br />

Gambar 5.<br />

Gambar 6.<br />

Gambar 7.<br />

Gambar 8.<br />

Gambar 9.<br />

Zimogram hasil elektroforesis isozim esterase ganyong di<br />

wilayah eks-karesidenan Surakarta ......................................... 39<br />

Zimogram hasil elektroforesis isozim peroksidase ganyong di<br />

wilayah eks-karesidenan Surakarta .......................................... 42<br />

Dendogram hubungan kekerabatan ganyong di wilayah ekskaresidenan<br />

Surakarta berdasarkan ciri morfologi ................... 46<br />

Dendogram hubungan kekerabatan ganyong di wilayah ekskaresidenan<br />

Surakarta berdasarkan pola pita isozim esterase .. 49<br />

Dendogram hubungan kekerabatan ganyong di wilayah ekskaresidenan<br />

Surakarta berdasarkan pola pita isozim<br />

peroksidase ............................................................................... 52<br />

Dendogram hubungan kekerabatan ganyong di wilayah ekskaresidenan<br />

Surakarta berdasarkan pola pita isozim esterase<br />

<strong>dan</strong> peroksidase ........................................................................ 54<br />

Gambar 10. Dendogram hubungan kekerabatan ganyong di wilayah ekskaresidenan<br />

Surakarta berdasarkan ciri morfologi <strong>dan</strong> pola<br />

pita isozim................................................................................ 58<br />

xiv


43<br />

DAFTAR LAMPIRAN<br />

Halaman<br />

Lampiran 1.<br />

Lampiran 2.<br />

Indeks Similaritas (IS) ciri morfologi, pola pita isozim, <strong>dan</strong><br />

penggabungan ciri morfologi dengan pola pita isozim<br />

ganyong ................................................................................ 66<br />

Matriks Indeks Similaritas (IS) ciri morfologi ganyong,<br />

pola pita Isozim, <strong>dan</strong> penggabungan ciri morfologi dengan<br />

pola pita Isozim ganyong ...................................................... 72<br />

Lampiran 3. Hasil elektroforesis isozim ganyong ..................................... 74<br />

Lampiran 4. Morfologi ganyong di wilayah eks-karesidenan Surakarta ... 75<br />

xv


44<br />

DAFTAR SINGKATAN<br />

Singkatan<br />

APS<br />

DNA<br />

EST<br />

H 2 O<br />

HCl<br />

NTSYS<br />

PER<br />

Rf<br />

SDS<br />

TEMED<br />

UPGMA<br />

USA<br />

Kepanjangan<br />

ammonium persulphate<br />

deoxyribose nucleic acid<br />

esterase<br />

air<br />

asam klorida<br />

Numerical Taxonomy and Multivariate Analysis System<br />

peroksidase<br />

Retardation factor<br />

sodium dodecyl sulphate<br />

N,N,N’,N’ tetramethyl-ethilenediamine<br />

Unweighted Pair Group Method With Arithmatic Averages<br />

United Stated of America<br />

xvi


45<br />

BAB I<br />

PENDAHULUAN<br />

A. Latar Belakang Masalah<br />

Kebutuhan terigu di Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya.<br />

Sebagian besar gandum yang menjadi bahan baku terigu adalah hasil impor,<br />

bahkan kini impor tepung terigu pun banyak dilakukan untuk memenuhi<br />

kebutuhan terigu di Indonesia yang diperkirakan mencapai 4,5 juta ton/tahun.<br />

Biaya impor yang mahal mengakibatkan harga gandum meningkat setiap<br />

tahunnya sehingga perlu dikembangkan alternatif pengganti terigu misalnya<br />

ganyong (Plantus, 2007).<br />

Ganyong (Canna edulis Ker.) merupakan tanaman herba yang berasal dari<br />

Amerika Selatan. Rimpang ganyong bila sudah dewasa dapat dimakan dengan<br />

mengolahnya terlebih dahulu, atau untuk diambil patinya sebagai bahan baku<br />

tepung sebagai alternatif pengganti terigu (Flach <strong>dan</strong> Rumawas, 1996).<br />

Ganyong cukup berpotensi sebagai sumber hidrat arang. Persatuan Ahli<br />

Gizi Indonesia (2009) menyebutkan bahwa kandungan gizi ganyong tiap 100<br />

gram secara lengkap terdiri dari air 79,9 g; energi 77 kkal; protein 0,6 g; lemak<br />

0,2 g; karbohidrat 18,4 g; serat 0,8 g; abu 0,9 g; kalsium 15 mg; fosfor 67 mg; besi<br />

1,0 mg; vitamin C 9 mg; <strong>dan</strong> tiamin 0,10 mg.<br />

Rimpang ganyong selain sebagai bahan makanan selingan atau bahan baku<br />

tepung pengganti tepung terigu, juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar<br />

alternatif pengganti minyak tanah <strong>dan</strong> bensin. Kandungan pati <strong>dan</strong> gula yang<br />

1


2<br />

46<br />

cukup tinggi pada rimpang ganyong memiliki potensi sebagai bahan bioetanol.<br />

Selain itu, tanaman ini mudah tumbuh, toleran pada naungan, <strong>dan</strong> punya potensi<br />

yang cukup tinggi untuk dibudidayakan (Putri <strong>dan</strong> Sukandar, 2008).<br />

Mengingat potensinya sebagai bahan pangan <strong>dan</strong> bahan baku bioetanol,<br />

perlu dilakukan upaya pemuliaan tanaman ganyong agar diperoleh bibit dengan<br />

kualitas unggul sehingga dapat menghasilkan produktivitas maksimal. Salah satu<br />

sumber dasar pemuliaan adalah ketersediaan variasi yang tinggi di dalam tanaman<br />

tersebut sehingga memungkinkan untuk dilakukan seleksi terhadap bibit yang<br />

diinginkan.<br />

Untuk mengidentifikasi variasi genetik dapat dilakukan melalui<br />

pendekatan morfologi <strong>dan</strong> molekuler. Ciri-ciri morfologi dapat digunakan untuk<br />

mengkarakterisasi pola diversitas genetik namun sifat yang dapat digambarkan<br />

hanya dalam proporsi kecil dari karakter genetik <strong>dan</strong> cenderung dipengaruhi oleh<br />

faktor lingkungan, oleh karena itu diperlukan identifikasi genetik secara<br />

molekuler untuk melengkapi keterbatasan tersebut (Hadiati <strong>dan</strong> Sukmadjaja,<br />

2002).<br />

Penggunaan isozim sebagai penanda molekuler memiliki kelebihan karena<br />

isozim diatur oleh gen tunggal <strong>dan</strong> bersifat kodominan dalam pewarisan,<br />

merupakan produk langsung dari gen, bersifat stabil karena tidak dipengaruhi oleh<br />

faktor lingkungan, cepat <strong>dan</strong> akurat karena tidak menunggu tanaman sampai<br />

berproduksi (Cahyarini dkk., 2004).<br />

Isozim merupakan enzim yang dapat bereaksi dengan substrat yang sama<br />

<strong>dan</strong> mengubahnya menjadi produk yang sama. Suatu organisme dapat memiliki


47 3<br />

isozim yang berbeda yang mampu mengkatalisis reaksi yang sama (Salisbury <strong>dan</strong><br />

Ross, 1995). Isozim yang banyak digunakan untuk mengidentifikasi tanaman<br />

yaitu esterase <strong>dan</strong> peroksidase. Esterase (EST) merupakan enzim hidrolitik yang<br />

berfungsi melakukan pemotongan ester sederhana pada asam organik, asam<br />

anorganik alkohol <strong>dan</strong> fenol serta mempunyai berat molekul yang rendah <strong>dan</strong><br />

mudah larut. Peroksidase (PER) merupakan anggota enzim oksidoreduktase.<br />

A<strong>dan</strong>ya enzim peroksidase mudah dideteksi karena aktivitasnya yang tinggi <strong>dan</strong><br />

dapat menggunakan sejumlah substrat sebagai donor hidrogen (Cahyarini dkk.,<br />

2004).<br />

Enzim esterase <strong>dan</strong> peroksidase mempunyai pola pita yang jelas <strong>dan</strong><br />

polimorfis, serta telah banyak digunakan untuk mengidentifikasi tanaman seperti<br />

kedelai (Cahyarini dkk., 2004), gadung liar (Maideliza <strong>dan</strong> Mansyurdin, 2007),<br />

jarak pagar (Yunus, 2007), <strong>dan</strong> mentimun (Julisaniah dkk., 2008). Selain itu pola<br />

isozim juga digunakan untuk identifikasi pada hewan seperti u<strong>dan</strong>g putih<br />

(Sulistiyono dkk., 2005), u<strong>dan</strong>g windu (Bhagawati dkk., 2008), ikan betutu<br />

(Abulias <strong>dan</strong> Bhagawati, 2008), <strong>dan</strong> lundi putih (War<strong>dan</strong>i, 2008).<br />

Wilayah eks-karesidenan Surakarta yang meliputi Kotamadya Surakarta,<br />

Kabupaten Wonogiri, Klaten, Boyolali, Sukoharjo, Sragen, <strong>dan</strong> Karanganyar<br />

memiliki potensi yang cukup besar di bi<strong>dan</strong>g pertanian, peternakan <strong>dan</strong><br />

holtikultura (Arial, 2009). Wilayah ini memiliki tanah bersifat pasiran dengan<br />

komposisi mineral muda yang tinggi sebagai akibat aktivitas vulkanik Gunung<br />

Merapi di barat <strong>dan</strong> Gunung Lawu di timur. Komposisi ini, ditambah dengan<br />

ketersediaan air yang cukup melimpah karena a<strong>dan</strong>ya aliran sungai Bengawan


48 4<br />

Solo sehingga wilayah ini sangat baik untuk budidaya tanaman pangan, sayuran,<br />

<strong>dan</strong> industri, seperti tembakau <strong>dan</strong> tebu (Haryo, 2009). Studi analisis keragaman<br />

ganyong belum banyak dilakukan terutama di wilayah eks-karesidenan Surakarta<br />

sehingga penelitian ini perlu untuk dilakukan.<br />

B. Perumusan Masalah<br />

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan:<br />

1. Bagaimanakah keragaman ganyong di wilayah eks-karesidenan Surakarta<br />

berdasarkan ciri morfologi?<br />

2. Bagaimanakah keragaman ganyong di wilayah eks-karesidenan Surakarta<br />

berdasarkan pola pita isozim?<br />

3. Bagaimanakah hubungan kekerabatan ganyong di wilayah eks-karesidenan<br />

Surakarta berdasarkan ciri morfologi <strong>dan</strong> pola pita isozim?<br />

C. Tujuan Penelitian<br />

Tujuan penelitian ini adalah:<br />

1. Mengetahui keragaman ganyong di wilayah eks-karesidenan Surakarta<br />

berdasarkan ciri morfologi.<br />

2. Mengetahui keragaman ganyong di wilayah eks-karesidenan Surakarta<br />

berdasarkan pola pita isozim.<br />

3. Mengetahui hubungan kekerabatan ganyong di wilayah eks-karesidenan<br />

Surakarta berdasarkan ciri morfologi <strong>dan</strong> pola pita isozim.


49 5<br />

D. Manfaat Penelitian<br />

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah memberikan informasi<br />

mengenai keragaman <strong>dan</strong> hubungan kekerabatan ganyong di wilayah ekskaresidenan<br />

Surakarta berdasarkan ciri morfologi <strong>dan</strong> pola pita isozim sehingga<br />

dapat dijadikan sebagai dasar untuk pemuliaan tanaman. Hal ini diharapkan dapat<br />

digunakan dalam upaya pemenuhan kebutuhan manusia terutama dalam hal bahan<br />

baku pangan <strong>dan</strong> bahan bakar alternatif.


50<br />

BAB II<br />

LANDASAN TEORI<br />

1. Ganyong (Canna edulis Ker.)<br />

a. Klasifikasi :<br />

A. Tinjauan Pustaka<br />

Divisi<br />

Subdivisi<br />

Kelas<br />

Ordo<br />

Famili<br />

Genus<br />

Spesies<br />

: Spermatophyta<br />

: Angiospermae<br />

: Monocotyledoneae<br />

: Zingiberales<br />

: Cannaceae<br />

: Canna<br />

: Canna edulis Ker.<br />

(Steenis, 2008).<br />

b. Nama Daerah<br />

C. edulis umum dikenal dengan nama ganyong. Selain disebut<br />

ganyong, tanaman ini memiliki beberapa nama daerah yaitu ubi pikul<br />

(Sumatra Utara), ganyong (Sunda), senitra (Jawa), banyur (Madura) (Balai<br />

Kliring Keanekaragaman Hayati, 2009).<br />

c. Habitat Ganyong<br />

Ganyong dapat tumbuh baik di berbagai iklim, dengan penyebaran<br />

curah hujan tahunan 1000-1200 mm, akan menghasilkan pertumbuhan yang<br />

memuaskan. Jenis tersebut cenderung tumbuh pada daerah yang kering,<br />

6


751<br />

tetapi bertoleransi pada tempat-tempat basah (bukan tempat yang tergenang<br />

air), juga sangat toleransi terhadap naungan. Pertumbuhan normal terjadi<br />

pada suhu di atas 10°C, tetapi juga dapat hidup pada suhu tinggi (30-32°C)<br />

<strong>dan</strong> bertoleransi pada kondisi sedikit beku. Ganyong tumbuh mulai dari<br />

pantai sampai pada ketinggian 1000-2900 m dpl. <strong>dan</strong> tumbuh dengan subur<br />

pada banyak tipe tanah, termasuk daerah-daerah marginal (misalnya tanah<br />

latosol asam); tetapi lebih menyukai tanah liat berpasir dalam, kaya akan<br />

humus serta bertoleransi pada kisaran pH 4.5-8.0 (Flach <strong>dan</strong> Rumawas,<br />

1996).<br />

d. Daerah Asal <strong>dan</strong> Persebaran<br />

Ganyong merupakan tanaman asli yang berasal dari Amerika tropis<br />

tepatnya berasal dari Amerika Selatan. Fungsinya sebagai sumber pati<br />

komersial, tanaman ini juga telah dibudidayakan tidak hanya di Amerika,<br />

tapi juga di beberapa daerah tropis termasuk Asia Tenggara (Flach <strong>dan</strong><br />

Rumawas, 1996). Tanaman ini dibudidayakan di berbagai daerah di<br />

Indonesia yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, D.I. Yogyakarta, Jambi,<br />

Lampung <strong>dan</strong> Jawa Barat. Se<strong>dan</strong>gkan di Sumatera Barat, Riau, Kalimantan<br />

Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah <strong>dan</strong><br />

Maluku, tanaman ini belum dibudidayakan <strong>dan</strong> masih merupakan tumbuhan<br />

liar di pekarangan <strong>dan</strong> di pinggir-pinggir hutan. Pada umumnya para petani<br />

yang telah membudidayakan tanaman ganyong tersebut melakukan<br />

penyiangan tetapi belum melaksanakan pemberantasan hama/penyakit<br />

(Nuryadin, 2008).


52 8<br />

Ganyong merupakan tanaman yang efisien dalam penggunaan<br />

medium fotosintesis <strong>dan</strong> toleran terhadap penaungan. Tanaman ini dapat<br />

tumbuh liar di tepi semak belukar, atau dapat juga ditanam pada tanah yang<br />

lembab. Pertumbuhan normal terjadi pada suhu di atas 9ºC meskipun<br />

tanaman ini juga toleran terhadap penurunan suhu sampai 0ºC. Cahaya<br />

menyebabkan daun layu <strong>dan</strong> memadatkan pati pada rimpang (Imai dkk.,<br />

1994).<br />

d. Morfologi Ganyong<br />

Ganyong merupakan terna berimpang, tegak. Rimpang bercabang<br />

horizontal, dengan buku-buku yang berdaging, tertutup dengan sisik daun,<br />

<strong>dan</strong> serabut akar yang tebal. Batang berdaging, muncul dari rimpang,<br />

seringkali berwarna ungu. Daun tersusun secara spiral dengan pelepah besar<br />

terbuka, ka<strong>dan</strong>g-ka<strong>dan</strong>g bertangkai daun pendek, helaian daun bulat telur<br />

sempit sampai jorong sempit. Perbungaan di ujung ranting, tan<strong>dan</strong>, biasanya<br />

sederhana tetapi ka<strong>dan</strong>g-ka<strong>dan</strong>g bercabang, muncul tunggal atau<br />

berpasangan, tidak teratur, bunga biseksual. Kelopak membundar telur,<br />

mahkota berbentuk pita, berwarna merah pucat sampai kuning, bibir bunga<br />

melonjong-membundar telur sempit, berbintik kuning dengan merah. Buah<br />

kapsul, membulat telur, merekah, bagian luar dengan duri-duri lunak. Biji<br />

banyak, bulat, halus <strong>dan</strong> keras, kehitaman sampai merah tua (Flach <strong>dan</strong><br />

Rumawas, 1996). Morfologi ganyong tampak pada Gambar 1.


53 9<br />

(b)<br />

(a)<br />

(c)<br />

Gambar 1. Morfologi ganyong: (a) habitus; (b) buah; (c) rimpang (Gepts, 2010;<br />

Gonzales, 2007; Amstrong, 2000).<br />

1). Rimpang<br />

Rimpang bercabang horizontal, panjangnya dapat mencapai 60 cm,<br />

dengan buku-buku yang berdaging menyerupai umbi, tertutup dengan<br />

sisik daun, <strong>dan</strong> serabut akar yang tebal (Flach <strong>dan</strong> Rumawas, 1996).<br />

2). Daun<br />

Tanaman ganyong berdaun lebar dengan bentuk elips memanjang<br />

<strong>dan</strong> bagian pangkal <strong>dan</strong> ujung runcing. Panjang daun 40 - 70 cm,<br />

se<strong>dan</strong>gkan lebarnya 20 - 40 cm. Warna daun beragam dari hijau muda


54 10<br />

sampai hijau tua. Ka<strong>dan</strong>g-ka<strong>dan</strong>g bergaris ungu atau keseluruhannya<br />

ungu. Demikian juga dengan pelepahnya ada yang berwarna ungu <strong>dan</strong><br />

hijau (Backer <strong>dan</strong> Bakhuizen, 1968).<br />

3). Bunga<br />

Perbungaan di ujung ranting, tan<strong>dan</strong>, biasanya sederhana tetapi<br />

ka<strong>dan</strong>g-ka<strong>dan</strong>g bercabang, muncul tunggal atau berpasangan, tidak<br />

teratur, bunga biseksual. Kelopak bulat telur, mahkota berbentuk pita,<br />

berwarna merah pucat sampai kuning, bibir bunga lonjong - bulat telur<br />

sempit, berbintik kuning dengan merah (Flach <strong>dan</strong> Rumawas, 1996).<br />

4). Buah <strong>dan</strong> Biji<br />

Buah kotak kerapkali tidak tumbuh sempurna, bulat memanjang<br />

lebar, panjang kurang lebih 3 cm, tertutup papila. Biji 5 atau kurang per<br />

ruangnya (Steenis, 2008).<br />

e. Kultivar Ganyong<br />

Di Indonesia dikenal dua macam ganyong, yaitu ganyong merah <strong>dan</strong><br />

ganyong putih. Ganyong merah ditandai dengan warna batang, daun <strong>dan</strong><br />

pelepah yang berwarna merah atau ungu. Se<strong>dan</strong>g yang warna batang, daun<br />

<strong>dan</strong> pelepahnya hijau <strong>dan</strong> sisik umbinya kecoklatan adalah ganyong putih.<br />

Ganyong merah memiliki batang lebih besar, agak tahan terkena sinar<br />

matahari <strong>dan</strong> tahan kekeringan. Biji yang dihasilkan biasanya sulit<br />

berkecambah, hasil umbi basah lebih besar tapi kadar patinya rendah.<br />

Rimpang biasanya dimakan segar atau direbus. Ganyong putih lebih kecil<br />

<strong>dan</strong> pendek, kurang tahan kena sinar tetapi tahan kekeringan. Menghasilkan


11 55<br />

biji yang bisa diperbanyak menjadi anakan tanaman. Hasil rimpang basah<br />

lebih kecil, tapi kadar patinya tinggi, umum diambil patinya (Direktorat<br />

Budidaya Kacang-kacangan <strong>dan</strong> Umbi-umbian, 2009).<br />

Daerah yang telah membudidayakan ganyong secara intensif adalah<br />

daerah pegunungan Andes (Amerika Selatan). Di daerah ini dikenal dua<br />

kultivar ganyong yaitu verdes <strong>dan</strong> morados. Verdes mempunyai rimpang<br />

berwarna putih dengan daun hijau terang, se<strong>dan</strong>gkan rimpang morados<br />

tertutup sisik yang berwarna ungu (Direktorat Budidaya Kacang-kacangan<br />

<strong>dan</strong> Umbi-umbian, 2009).<br />

f. Kandungan Kimia/Nutrisi<br />

Persatuan Ahli Gizi Indonesia (2009) menyebutkan bahwa kandungan<br />

gizi rimpang ganyong tiap 100 gram secara lengkap terdiri dari air 79,9 g;<br />

energi 77 kkal; protein 0,6 g; lemak 0,2 g; karbohidrat 18,4 g; serat 0,8 g;<br />

abu 0,9 g; kalsium 15 mg; fosfor 67 mg; besi 1,0 mg; vitamin C 9 mg; <strong>dan</strong><br />

tiamin 0,10 mg.<br />

Putri <strong>dan</strong> Sukandar (2008) menyatakan bahwa pati ganyong memiliki<br />

kadar karbohidrat 80% <strong>dan</strong> kadar air 18%. Kadar pati yang tinggi<br />

menunjukkan bahwa pati ganyong dapat dijadikan bahan baku untuk<br />

pembuatan sirup glukosa.<br />

g. Kegunaan<br />

Rimpang ganyong bila sudah dewasa dapat dimakan dengan<br />

mengolahnya terlebih dahulu, atau untuk diambil patinya sebagai bahan<br />

baku tepung sebagai alternatif pengganti terigu (Flach <strong>dan</strong> Rumawas, 1996).


56 12<br />

Pati ganyong di Vietnam banyak digunakan sebagai bahan baku mie,<br />

di Afrika biji ganyong digunakan sebagai instrumen perkusi, di Kamboja<br />

bubur dari rimpang ganyong digunakan untuk menyembuhkan penyakit<br />

kulit. Se<strong>dan</strong>gkan di Jawa serbuk dari biji ganyong bisa digunakan untuk<br />

meringankan sakit kepala <strong>dan</strong> ekstrak dari hasil tumbukan rimpang<br />

digunakan sebagai obat disentri. Air rebusan dari rimpang segar ganyong<br />

digunakan untuk pengobatan penyakit hepatitis akut di Hongkong (Flach<br />

<strong>dan</strong> Rumawas, 1996).<br />

Pati ganyong mengandung 80% karbohidrat, tingginya kadar<br />

karbohidrat ini dapat dijadikan bahan untuk pembuatan sirup glukosa<br />

melalui proses hidrolisis asam. Selain bisa digunakan sebagai alternatif<br />

bahan pangan pati ganyong juga dapat diolah menjadi bioetanol melalui<br />

hidrolisis asam <strong>dan</strong> fermentasi (Putri <strong>dan</strong> Sukandar, 2008). Kandungan pati<br />

ganyong bisa digunakan untuk pembuatan ”soon” mie putih. Ganyong<br />

sangat potensial sebagai bahan makanan alternatif (Susanto <strong>dan</strong><br />

Suhardiyanto, 2004).<br />

2. Ciri Morfologi<br />

Keanekaragaman tanaman dapat dilihat berdasarkan ciri morfologi atau<br />

menggunakan penanda molekuler (Yunus, 2007). Perbedaan <strong>dan</strong> persamaan<br />

kemunculan morfologi luar spesies suatu tanaman dapat digunakan untuk<br />

mengetahui jauh dekatnya hubungan kekerabatan (Suskendriyati dkk., 2000).<br />

Menurut Wigati (2003), identifikasi untuk membedakan suatu makhluk<br />

hidup seringkali didasarkan pada ciri morfologi yang biasa dilihat dengan


13 57<br />

mudah secara visual, se<strong>dan</strong>gkan secara genetik belum banyak dilakukan. Ciriciri<br />

morfologi suatu makhluk hidup dipengaruhi oleh lingkungan <strong>dan</strong> tidak<br />

diturunkan, se<strong>dan</strong>gkan secara genetik (genotip) adalah suatu ciri yang sifatnya<br />

tetap (tidak berubah) <strong>dan</strong> diturunkan.<br />

3. Isozim<br />

Isozim merupakan enzim yang dapat bereaksi dengan substrat yang sama<br />

<strong>dan</strong> mengubahnya menjadi produk yang sama (Salisbury <strong>dan</strong> Ross, 1995).<br />

Abdullah (2001) menyatakan bahwa isozim merupakan berbagai bentuk<br />

molekuler suatu jenis enzim dari jaringan suatu organisme yang mempunyai<br />

daya katalisis sama.<br />

Menurut Cahyarini dkk. (2004), penggunaan isozim dalam analisis<br />

keragaman genetik memiliki kelebihan karena isozim diatur oleh gen tunggal<br />

<strong>dan</strong> bersifat kodominan dalam pewarisan, kolonier dengan gen <strong>dan</strong> merupakan<br />

produk langsung gen, penanda ini bersifat stabil karena tidak dipengaruhi oleh<br />

faktor lingkungan, lebih cepat <strong>dan</strong> akurat karena tidak menunggu tanaman<br />

mulai berproduksi.<br />

Produksi isozim dikontrol oleh gen yang berbeda yang mengontrol suatu<br />

aktivitas metabolisme. Isozim dapat dideteksi <strong>dan</strong> diisolasi, sehingga dapat<br />

digunakan sebagai penanda biokimia untuk membedakan makhluk hidup<br />

(Abdullah, 2001).<br />

Isozim telah banyak digunakan untuk mengidentifikasi tanaman seperti<br />

padi (Abdullah, 2001), jeruk besar (Purwanto dkk., 2002), salak (Harsono <strong>dan</strong><br />

Hartana, 2003), kedelai (Cahyarini, 2004), gadung liar (Maideliza <strong>dan</strong>


14<br />

58<br />

Mansyurdin, 2007), jarak pagar (Yunus, 2007), mentimun (Julisaniah dkk.,<br />

2008), <strong>dan</strong> genus Laurus (Aboel-Atta, 2009), serta genus Melilotus (Aboel-<br />

Atta, 2009). Selain itu pola isozim juga digunakan untuk identifikasi pada<br />

hewan seperti u<strong>dan</strong>g putih (Sulistiyono dkk., 2005), u<strong>dan</strong>g windu (Bhagawati<br />

dkk., 2008), ikan betutu (Abulias <strong>dan</strong> Bhagawati 2008), lundi putih (War<strong>dan</strong>i,<br />

2008) <strong>dan</strong> ikan lele (Begum dkk, 2009).<br />

Esterase (EST) merupakan enzim hidrolitik yang berfungsi melakukan<br />

pemotongan ester sederhana pada asam organik, asam anorganik alkohol <strong>dan</strong><br />

fenol serta mempunyai berat molekul yang rendah <strong>dan</strong> mudah larut (Cahyarini,<br />

2004). Peroksidase (PER) merupakan anggota enzim oksidoreduktase. A<strong>dan</strong>ya<br />

enzim peroksidase mudah dideteksi karena memiliki aktivitas <strong>dan</strong> stabilitas<br />

yang tinggi serta dapat menggunakan sejumlah substrat sebagai donor hidrogen<br />

(Cahyarini, 2004).<br />

Pewarnaan dengan isozim esterase <strong>dan</strong> eperoksidase secara teknis<br />

mampu menghasilkan pola pita isozim yang jelas <strong>dan</strong> polimorfis serta telah<br />

banyak digunakan unutk mengidentifikasi tanaman seperti nanas (Hadiati <strong>dan</strong><br />

Sukmadjaja, 2002), jeruk besar (Purwanto, dkk., 2002), <strong>dan</strong> kedelai (Cahyarini,<br />

2004) maupun hewan seperti wereng hijau (Mariani, 2002), <strong>dan</strong> lundi putih<br />

(War<strong>dan</strong>i, 2008).<br />

4. Elektroforesis<br />

Salah satu metode analisis molekuler secara modern adalah pemaparan<br />

bahan genetik menggunakan alat yang dikenal sebagai elektroforesis. Metode<br />

ini membutuhkan kemampuan listrik <strong>dan</strong> pendingin yang memadai. Selain itu


59 15<br />

faktor bahan kimia yang dibutuhkan <strong>dan</strong> alat-alat yang dipakai juga beragam<br />

(Sudarmono, 2006).<br />

Prinsip dasar elektroforesis yaitu bahwa setiap genom tumbuhan (enzim/<br />

protein <strong>dan</strong> DNA) mempunyai berat molekul yang berbeda sehingga kecepatan<br />

bergerak pada media gel juga berbeda. Hal tersebut dapat dilihat melalui<br />

pewarnaan (Sudarmono, 2006).<br />

Isozim dapat dipisahkan dengan metode elektroforesis pada gel pati<br />

maupun gel poliakrilamid, hasilnya berupa zimogram pola pita yang diperoleh<br />

setelah dilakukan pewarnaan. Zimogram hasil elektroforesis bercorak khas<br />

sehingga dapat digunakan sebagai ciri untuk mencerminkan perbedaan genetik<br />

(Indriani dkk., 2008).<br />

Pelaksanaan penelitian isozim meliputi pengambilan contoh sampel,<br />

pembuatan larutan buffer (buffer pengekstrak <strong>dan</strong> buffer elektrolit), pembuatan<br />

gel poliakrilamid, ekstraksi enzim, elektroforesis, pembuatan larutan pewarna,<br />

pewarnaan, pengamatan <strong>dan</strong> pembuatan zimogram, pembuatan foto pola pita<br />

gel serta analisis pola pita isozim (Indriani dkk., 2008).<br />

5. Gel Poliakrilamid<br />

Gel poliakrilamid merupakan larutan dari akrilamid <strong>dan</strong> bisakrilamid.<br />

Elektroforesis dengan menggunakan gel poliakrilamid lebih banyak digunakan<br />

pada eksperimen analisis protein maupun campuran protein. Gel poliakrilamid<br />

merupakan medium yang dipilih untuk elektroforesis sebagian besar protein.<br />

Gel poliakrilamid memiliki keuntungan antara lain stabil pada kisaran pH,


60 16<br />

suhu, <strong>dan</strong> arus listrik tertentu serta jernih sehingga memudahkan dalam<br />

pengamatan (Hames <strong>dan</strong> Rickwood, 1990 dalam Laely, 2008).<br />

Menurut Fatchiyah (2006), gel poliakrilamid memiliki beberapa<br />

karakteristik di antaranya: efektif untuk pemisahan fragmen protein/ DNA<br />

antara 5-500 bp; ukuran perbedaan protein/DNA yang terpisah sampai 1 bp;<br />

pembuatannya lebih sulit dibanding gel agarose karena biasanya digunakan<br />

poliakrilamid dengan resolusi yang tinggi; me<strong>dan</strong> gerak secara vertikal <strong>dan</strong><br />

listriknya konstan.<br />

6. Hubungan Kekerabatan<br />

Secara genetik tidak ada dua individu dalam satu spesies yang sama.<br />

Faktor lingkungan juga ikut berpengaruh dalam timbulnya ciri-ciri yang<br />

muncul sebagai fenotip. Perbedaan yang tampak pada tiap anggota spesies<br />

menyebabkan a<strong>dan</strong>ya keragaman dalam spesies. Keragaman dalam spesies<br />

menyebabkan tiap anggota spesies dapat dilihat a<strong>dan</strong>ya kekerabatannya satu<br />

sama lain. Semakin banyak persamaan ciri-ciri yang dimiliki semakin dekat<br />

kekerabatannya. Sebaliknya, semakin sedikit persamaan dalam ciri-ciri yang<br />

dimiliki semakin jauh kekerabatannya (Sofro, 1994 dalam Wigati, 2003).<br />

Analisis hubungan kekerabatan secara molekuler dapat memberikan<br />

informasi genetik tetua yang akan dipilih dalam persilangan, sehingga<br />

bermanfaat<br />

untuk budidaya tanaman, antara lain untuk perakitan varietas<br />

unggul.<br />

Jarak genetik atau hubungan kekerabatan di antara varietas dapat<br />

menggambarkan perbedaan genetik antar varietas. Cluster dari sampel


61 17<br />

didasarkan pada matrik jarak genetik yang dapat ditampilkan dalam bentuk<br />

dendogram dengan menggunakan metode Unweighted Pair Group Method<br />

With Arithmatic Averages (UPGMA) (Suranto, 2002).<br />

B. Kerangka Pemikiran<br />

Ganyong (C. edulis) merupakan salah satu tanaman yang potensial sebagai<br />

bahan pangan alternatif <strong>dan</strong> dapat digunakan untuk pengganti terigu mengingat<br />

tingginya kebutuhan terigu Indonesia saat ini. Selain itu, rimpang ganyong dengan<br />

kandungan pati <strong>dan</strong> karbohidrat yang tinggi dapat dimanfaatkan sebagai bahan<br />

baku bioetanol. Hal ini menyebabkan perlunya studi mengenai tanaman ganyong<br />

terutama variasi morfologi, pola pita isozim, serta hubungan kekerabatan dalam<br />

suatu wilayah sehingga dapat menjadi dasar pemuliaan tanaman ganyong untuk<br />

mendapatkan sifat-sifat unggul dalam pemenuhan kebutuhan <strong>dan</strong> peningkatan<br />

kesejahteraan manusia.


18 62<br />

Potensi ganyong sebagai bahan pangan alternatif <strong>dan</strong> bahan bakar<br />

(bioetanol)<br />

Eksplorasi <strong>dan</strong> penelitian terhadap ganyong<br />

Koleksi sampel di wilayah eks-karesidenan Surakarta<br />

Studi variasi morfologi<br />

Analisis pola pita isozim<br />

dengan elektroforesis<br />

Isozim Esterase<br />

Isozim Peroksidase<br />

Variasi pola pita isozim<br />

Pengukuran jarak genetik (hubungan<br />

kekerabatan)<br />

Dasar pemuliaan tanaman<br />

Pemenuhan kebutuhan manusia<br />

Gambar 2. Bagan alir kerangka pemikiran.


19 63<br />

C. Hipotesis<br />

1. Terdapat keragaman ciri morfologi <strong>dan</strong> pola pita isozim ganyong di wilayah<br />

eks-karesidenan Surakarta.<br />

2. Hubungan kekerabatan ganyong di wilayah eks-karesidenan Surakarta dapat<br />

ditentukan berdasarkan ciri morfologi <strong>dan</strong> pola pita isozim.


64<br />

BAB III<br />

METODE PENELITIAN<br />

A. Waktu <strong>dan</strong> Tempat penelitian<br />

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai dengan<br />

Desember 2009. Penelitian dilakukan di Sub Lab Biologi Laboratorium <strong>Pusat</strong><br />

MIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta.<br />

B. Alat <strong>dan</strong> Bahan<br />

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: wadah untuk tempat<br />

sampel, sasak, cetok, pisau, kertas label, <strong>dan</strong> alat tulis. Se<strong>dan</strong>gkan untuk analisis<br />

pola pita isozim, alat yang dibutuhkan adalah satu set alat elektroforesis BIO-<br />

RAD Mini PROTEAN 3 tipe vertikal made in USA (casting stand, casting frame,<br />

clamping frame, electrode assembly, kaca pencetak gel, sisir atau comb), sumber<br />

tenaga DC BIO-RAD PowerPac 300, pH meter elektrik, timbangan elektrik,<br />

pembuat kristal es, gelas ukur, erlenmeyer, mortar, mikropipet ukuran 2-20 l <strong>dan</strong><br />

100-1000 l, refrigerator, plastik/mika, gunting, penggaris, silet, pipet tip, spatula,<br />

sentrifuge, tissue, serta nampan/cawan untuk pewarnaan <strong>dan</strong> pencucian gel. Alat<br />

dokumentasi yaitu kamera digital.<br />

Bahan yang digunakan adalah tunas rimpang ganyong (C. edulis Ker.)<br />

segar. Ganyong yang digunakan yaitu ganyong kultivar merah <strong>dan</strong> juga digunakan<br />

outgroup sebagai pembanding yaitu C. hybrida Hort. atau bunga kana hias. Selain<br />

itu, digunakan bahan-bahan untuk analisis pola pita isozim, meliputi: asam boraks,<br />

20


65 21<br />

boraks, akuades, akuabides, sistein, asam askorbat, sukrosa, Tris atau TRI<br />

(Hydroximethyl) Methylene (PURISS), asam sitrat, akrilamid, bisakrilamid,<br />

gliserol, bromphenol blue, N,N,N’,N’ tetramethyl-ethilenediamine (TEMED),<br />

ammonium persulphate (APS), asam klorida (HCl), sodium dodecyl sulphate<br />

(SDS), isobutanol jenuh, O-dianisidin, buffer asetat, hidrogen peroksida, -naftil<br />

asetat ( -naphthyl acetate), aseton, buffer phospat, <strong>dan</strong> fast Blue BB salt.<br />

C. Cara Kerja<br />

1. Penelitian di Lapangan<br />

a. Pengambilan Sampel<br />

Sampel berupa tanaman ganyong segar diambil dari wilayah ekskaresidenan<br />

Surakarta yang meliputi Kotamadya Surakarta, Kabupaten<br />

Wonogiri, Klaten, Boyolali, Sukoharjo, Sragen, <strong>dan</strong> Karanganyar.<br />

b. Pengamatan Ciri Morfologi<br />

Tanaman ganyong tersebut diamati <strong>dan</strong> dicatat ciri morfologinya<br />

meliputi tinggi tanaman; warna sisik rimpang; diameter rimpang; warna<br />

batang; diameter batang; bentuk daun; warna daun; panjang <strong>dan</strong> lebar daun;<br />

warna mahkota bunga; warna kelopak bunga; jumlah bagian-bagian bunga;<br />

ukuran bunga; bentuk buah, ukuran buah <strong>dan</strong> jumlah biji dalam buah.<br />

2. Analisis Pola Pita Isozim<br />

a. Pembuatan Buffer<br />

Buffer yang digunakan dalam elektroforesis ini dibuat berdasarkan<br />

Suranto (2000, 2002). Adapun cara pembuatannya adalah sebagai berikut:


22 66<br />

1) Tank Buffer (buffer boraks), dibuat dengan melarutkan asam boraks 14,4<br />

gram <strong>dan</strong> boraks 31,5 gram dalam akuades hingga mencapai volume 2<br />

liter.<br />

2) Buffer ekstraksi, dibuat dengan melarutkan 0,018 gram sistein, 0,021<br />

gram asam askorbat, <strong>dan</strong> 5 gram sukrosa dalam 20 ml tank buffer pH 8,4.<br />

b. Pembuatan Larutan Stok<br />

Untuk menyiapkan gel akrilamid, terlebih dahulu dibuat larutan stok<br />

yaitu:<br />

1) Larutan “L’: 27,2 gram Tris <strong>dan</strong> 0,6 gram SDS dilarutkan dalam 120 ml<br />

akuades, diatur sampai pH 8,8 dengan ditambahkan HCl <strong>dan</strong> ditambahkan<br />

akuades hingga volumenya 150 ml.<br />

2) Larutan “M”: 9,08 gram Tris <strong>dan</strong> 0,6 gram SDS dilarutkan dalam 140 ml<br />

akuades, diatur sampai pH 6,8-7,0 dengan ditambahkan HCl <strong>dan</strong><br />

ditambah akuades hingga volumenya 150 ml.<br />

3) Larutan “N”: 175,2 gram aakrilamid <strong>dan</strong> 4,8 gram bisakrilamid dilarutkan<br />

dalam 400 ml akuades <strong>dan</strong> dibuat volumenya hingga 600 ml.<br />

4) Loading dye: Untuk membuat loading dye, 50 µl bromphenol blue<br />

dilarutkan ke dalam 200 µl akuades, kemudian ditambah dengan 250 µl<br />

gliserol.<br />

c. Penyiapan Gel<br />

Penyiapan gel dimulai dengan merangkai cetakan gel, yaitu cetakan<br />

kaca yang dilengkapi spacer (pemisah) yang ditempatkan di belakang


67 23<br />

cetakan kaca yang berukuran lebih kecil. Cetakan kaca tersebut dipasang<br />

pada casting frame, selanjutnya dipasang pada casting stand.<br />

Untuk membuat discontinuous gel 12,5 %, bahan yang dicampur<br />

berupa 3, 15 ml larutan “L”; 5,25 ml larutan “N”; 4,15 ml akuades; 10 µl<br />

ammonium persulphate (APS) dengan konsentrasi 10 %, <strong>dan</strong> 10 µl TEMED.<br />

Gel pemisah dituang pada cetakan, lalu ditambahkan isobutanol<br />

jenuh. Setelah terbentuk gel yaitu kurang lebih 45 menit, isobutanol jenuh<br />

tersebut dibuang dengan jalan diserap dengan kertas hisap, lalu dibilas<br />

dengan air, <strong>dan</strong> diserap kembali air yang tersisa dengan kertas hisap. Setelah<br />

itu dipersiapkan bahan-bahan untuk pembuatan stacking gel yaitu 1,9 ml<br />

larutan “M”; 1,15 ml larutan “N”; 4,5 ml akuades; 10 µl APS dengan<br />

konsentrasi 10 %, <strong>dan</strong> 5 µl TEMED.<br />

Setelah stacking gel dituang di atas gel pemisah, sisir dipasang.<br />

Setelah terbentuk gel, sisir dilepas dari cetakan. Gel yang terbentuk<br />

dipindahkan ke clamping frame <strong>dan</strong> dimasukkan ke dalam buffer tank alu<br />

diisi dengan running buffer sampai terendam.<br />

d. Ekstraksi <strong>dan</strong> Penyiapan Sampel<br />

Sampel yang digunakan adalah rimpang ganyong yang ditunaskan<br />

selama 7 hari dengan 3 ulangan. Masing-masing mata tunas tersebut<br />

ditimbang sebanyak 100 mg lalu ditumbuk hingga hancur menggunakan<br />

mortar lalu ditambahkan dengan buffer ekstraksi dengan perbandingan 1:5<br />

untuk pewarnaan peroksidase <strong>dan</strong> 3:1 untuk pewarnaan esterase kemudian<br />

dimasukkan ke dalam tabung effendorf <strong>dan</strong> disentrifuse dengan kecepatan


24 68<br />

13000 rpm selama 20 menit. Larutan supernatan digunakan untuk proses<br />

elektroforesis.<br />

e. Elektroforesis<br />

Elektroforesis dalam penelitian ini mengacu pada metode yang<br />

dilakukan oleh Suranto (2000, 2002). Dalam penelitian ini alat yang<br />

digunakan untuk elektroforesis adalah satu set alat elektroforesis BIO-RAD<br />

Mini PROTEAN 3 tipe vertikal made in USA.<br />

Supernatan diambil dengan menggunakan mikropipet sebanyak 7 l<br />

untuk pewarnaan peroksidase dengan ditambahkan 3<br />

l loading dye,<br />

se<strong>dan</strong>gkan untuk pewarnaan esterase, 15 µl supernatan diambil dengan<br />

ditambahkan 3 µl loading dye. Sampel kemudian dielektroforesis dengan<br />

tegangan listrik konstan 85 volt selama kurang lebih 60 menit. Elektroforesis<br />

diakhiri apabila penanda warna bromphenol blue mencapai sekitar 56 mm<br />

dari slot ke arah anoda. Gel yang telah selesai running dipindahkan ke<br />

cawan pewarnaan untuk diwarnai dengan enzim pewarna.<br />

f. Pewarnaan<br />

Pewarnaan pada penelitian ini menggunakan dua sistem enzim,<br />

yaitu esterase <strong>dan</strong> peroksidase. Untuk membuat larutan pewarna, komposisi<br />

larutan yang digunakan disiapkan menurut Suranto (2000, 2002), yaitu<br />

sebagai berikut:<br />

1) Pewarnaan Esterase<br />

Sebanyak 0,0125 gram<br />

-naftil asetat dimasukkan dalam cawan<br />

pewarnaan <strong>dan</strong> dilarutkan dengan 2,5 ml aseton, kemudian ditambahkan


25 69<br />

50 ml dari 0,2 M buffer phosphat pH 6,5 <strong>dan</strong> 0,0125 gram fast Blue BB<br />

salt. Gel yang telah dielektroforesis dikeluarkan <strong>dan</strong> dimasukkan dalam<br />

larutan pewarna tersebut. Gel diinkubasi pada suhu kamar selama<br />

minimal 120 menit sambil digoyang secara perlahan-lahan setiap 10<br />

menit. Setelah muncul pita-pita, pewarna dibuang <strong>dan</strong> dibilas dengan<br />

akuades, kemudian gel diambil gambarnya dengan kamera digital.<br />

2) Pewarnaan Peroksidase<br />

Dalam cawan pewarnaan, sebanyak 0,0125 gram O-dianisidin dilarutkan<br />

dalam 2,5 ml aseton lalu ditambahkan 50 ml buffer asetat pH 4,5 <strong>dan</strong> 2<br />

tetes hidrogen peroksida. Gel yang telah dielektroforesis dimasukkan<br />

dalam larutan pewarna <strong>dan</strong> diinkubasi selama 10 menit sambil digoyang<br />

secara perlahan-lahan setiap 2 menit. Setelah muncul pita-pita, pewarna<br />

dibuang <strong>dan</strong> dibilas dengan akuades, kemudian gel diambil gambarnya<br />

dengan kamera digital.<br />

g. Proses Fiksasi Gel<br />

Fiksasi dilakukan segera setelah proses pewarnaan gel selesai.<br />

Larutan pewarna dibuang <strong>dan</strong> diganti dengan larutan fiksasi sebanyak 50<br />

ml, dengan tujuan untuk menghentikan aktivitas isozim. Larutan fiksasi<br />

yang dipakai tergantung sistem isozim yang digunakan.<br />

Untuk isozim esterase <strong>dan</strong> peroksidase larutan fiksasi yang<br />

digunakan adalah larutan fiksasi B yang dibuat dengan cara mencampurkan<br />

250 ml alkohol; 25 ml aseton; <strong>dan</strong> 225 ml H 2 O. Selanjutnya gel disimpan


26<br />

70<br />

dalam suhu dingin 4 o C selama 24 jam <strong>dan</strong> ditutup dengan plastik agar<br />

larutan fiksasi tidak menguap.<br />

h. Pengeringan <strong>dan</strong> Penyimpanan Gel<br />

Gel yang telah difiksasi perlu dikeringkan supaya tetap awet, mudah<br />

disimpan <strong>dan</strong> didokumentasikan. Pengeringan ini dilakukan dengan<br />

menggunakan cellophane. Penyimpanan gel kering diperlukan untuk tujuan<br />

penelitian lebih lanjut atau untuk pengamatan kembali pada masa<br />

mendatang. Gel yang telah kering diambil. Berbagai keterangan mengenai<br />

isozim, tanggal pengamatan, <strong>dan</strong> nomor sampel yang digunakan dicatat.<br />

i. Pengamatan<br />

Pola pita isozim hasil elektroforesis kemudian diamati <strong>dan</strong> digambar<br />

sebagai zimogram. Keragaman kemunculan pita ada apabila pita isozim<br />

khusus dengan posisi tertentu, muncul pada zimogram suatu wilayah tetapi<br />

tidak muncul pada wilayah yang lain. Keragaman tebal tipisnya pita ada<br />

apabila pita dengan letak sama muncul pada zimogram dari dua wilayah<br />

berbeda, tetapi berbeda dalam ketebalan pitanya.<br />

D. Analisis Data<br />

1. Ciri Morfologi<br />

Ciri morfologi ganyong dianalisis secara deskriptif <strong>dan</strong> dilakukan<br />

pengelompokkan berdasarkan kesamaan ciri untuk mengetahui keragaman<br />

ganyong. Data yang diperoleh kemudian disajikan dalam bentuk data biner<br />

dengan memberikan angka 1 jika sampel yang diamati memiliki ciri morfologi


27 71<br />

yang ditentukan <strong>dan</strong> angka 0 jika tidak terdapat ciri morfologi pada sampel<br />

tersebut.<br />

2. Variasi Pola Pita Isozim<br />

Pola pita isozim hasil elektroforesis dianalisis secara deskriptif. Pola<br />

pita isozim pada zimogram diamati keragamannya berdasarkan kemunculan<br />

<strong>dan</strong> tebal tipis pita pada Rf tertentu. Kemudian disajikan dalam bentuk data<br />

biner seperti halnya pada data ciri morfologi.<br />

3. Hubungan Kekerabatan<br />

Hubungan kekerabatan dihitung dengan menentukan jarak genetik.<br />

Jarak genetik menggambarkan perbedaan genetik antar populasi. Data biner<br />

yang telah diperoleh dihitung besarnya indeks similaritas <strong>dan</strong> kemudian<br />

dikomputasikan dalam program Numerical Taxonomy and Multivariate<br />

Analysis System versi 2.0 (NTSYS) hingga diperoleh dendogram hubungan<br />

kekerabatan (Rohlf, 1993 dalam Yuniastuti dkk., 2005).


72<br />

BAB IV<br />

HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

A. Morfologi Ganyong<br />

Tanaman ganyong yang digunakan dalam penelitian ini adalah ganyong<br />

kultivar merah yang diperoleh dari wilayah eks-karesidenan Surakarta <strong>dan</strong> sebagai<br />

pembanding digunakan outgroup yaitu C. hybrida yang diambil dari wilayah<br />

Klaten. Penggunaan ganyong kultivar merah dalam penelitian ini dikarenakan<br />

kultivar tersebut lebih banyak dibudidayakan masyarakat <strong>dan</strong> lebih disukai karena<br />

memiliki rimpang dengan ukuran lebih besar <strong>dan</strong> rasa yang lebih manis daripada<br />

ganyong kultivar putih.<br />

Menurut Nuryadin (2008), terdapat dua kultivar ganyong di Indonesia,<br />

yaitu ganyong merah <strong>dan</strong> ganyong putih. Ganyong merah ditandai dengan warna<br />

batang, daun <strong>dan</strong> pelepahnya yang berwarna merah atau ungu, se<strong>dan</strong>gkan<br />

ganyong putih ditandai dengan warna batang, daun <strong>dan</strong> pelepahnya hijau <strong>dan</strong> sisik<br />

rimpangnya kecoklatan.<br />

Ganyong merah memiliki batang lebih besar, agak tahan sinar <strong>dan</strong> tahan<br />

kekeringan, serta sulit menghasilkan biji. Hasil rimpang basah lebih besar tapi<br />

kadar patinya rendah. Rimpang lazim dimakan segar atau direbus (Nuryadin,<br />

2008). Ganyong putih lebih kecil <strong>dan</strong> pendek, kurang tahan sinar tetapi tahan<br />

kekeringan, selalu menghasilkan biji <strong>dan</strong> dapat diperbanyak menjadi anakan<br />

tanaman. Hasil rimpang basah lebih kecil, tapi kadar patinya tinggi <strong>dan</strong> hanya<br />

lazim diambil patinya (Nuryadin, 2008).<br />

28


73<br />

29<br />

Secara umum, ganyong dari ketujuh tempat di wilayah eks-karesidenan<br />

Surakarta (Surakarta, Wonogiri, Klaten, Boyolali, Sukoharjo, Sragen, <strong>dan</strong><br />

Karanganyar) menunjukkan ciri morfologi yang hampir sama dengan a<strong>dan</strong>ya<br />

beberapa variasi terutama warna <strong>dan</strong> ukuran.<br />

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di wilayah eks-karesidenan<br />

Surakarta, dapat diketahui bahwa tanaman ganyong berupa herba tegak dengan<br />

tinggi 69,58 - 121,2 cm. Batang sejati terdapat dalam tanah berupa rimpang yang<br />

juga merupakan ca<strong>dan</strong>gan makanan, rimpang memiliki diameter 3,2 – 6,1 cm.<br />

Pada rimpang terdapat sisik yang sebenarnya merupakan daun, berwarna hijau<br />

keunguan dalam keadaan segar. Akar serabut <strong>dan</strong> keluar dari permukaan rimpang.<br />

Daun berwarna hijau keunguan hingga ungu kehijauan dengan panjang 37,43 -<br />

44,26 cm <strong>dan</strong> lebar 17,1 - 19,41 cm; rasio panjang : lebar 2,12 - 2,56 cm;<br />

permukaan daun licin; tulang daun menyirip; pelepah daun bertumpuk<br />

membentuk batang semu berwarna hijau keunguan dengan diameter 1,52 - 1,97<br />

cm. Bunga kecil dengan 3 petala berwarna merah hingga merah gelap; panjang<br />

petala 5,9 - 6,8 cm <strong>dan</strong> lebar 0,6 - 1,2 cm. Sepala berjumlah 3; berwarna hijau<br />

kemerahan dengan panjang 4,3 - 4,9 cm <strong>dan</strong> lebar 0,6 - 1,1 cm. Panjang<br />

staminodia 5 - 5,9 cm; lebar staminodia 0,5 - 0,8 cm. Putik berbentuk pipih seperti<br />

pe<strong>dan</strong>g dengan panjang 4,7 - 5,8 cm <strong>dan</strong> lebar 0,3 - 0,6 cm. Panjang anter 0,7 - 1,3<br />

cm, se<strong>dan</strong>gkan lebar anter 0,1 - 0,2 cm. Buah beruang 3 dengan permukaan buah<br />

berbenjol-benjol; diameter buah 0,64 - 1,46 cm; jumlah biji dalam buah 14 - 24.<br />

Morfologi ganyong kultivar merah yang diambil dari wilayah eks-karesidenan<br />

Surakarta tampak pada gambar 3.


30 74<br />

(b)<br />

(a)<br />

(c)<br />

Gambar 3. Morfologi ganyong hasil pengamatan: (a) habitus; (b) bunga; (c) buah.<br />

Ganyong yang diamati di tujuh tempat di wilayah eks-karesidenan<br />

Surakarta yaitu Surakarta, Wonogiri, Klaten, Boyolali, Sukoharjo, Sragen, <strong>dan</strong><br />

Karanganyar memiliki ciri morfologi yang hampir sama tetapi terdapat perbedaan<br />

dalam warna <strong>dan</strong> ukuran seperti tampak dalam Tabel 1.


31<br />

75<br />

Tabel 1. Ciri morfologi ganyong di wilayah eks-karesidenan Surakarta.<br />

Ciri<br />

morfologi<br />

Warna daun<br />

Warna petala<br />

bunga<br />

Warna sepala<br />

bunga<br />

Warna batang<br />

Warna sisik<br />

rimpang<br />

I (C.<br />

hybrida)<br />

hijau<br />

Jingga<br />

bercorak<br />

kuning<br />

Hijau<br />

keputihan<br />

Hijau<br />

Hijau<br />

kecoklatan<br />

II (Ska) III (Wng) IV (Klt) V (Byl) VI (Skh) VII (Srg)<br />

Ungu<br />

kehijauan<br />

merah<br />

Hijau<br />

kemeraha<br />

n<br />

Hijau<br />

keunguan<br />

Hijau<br />

keunguan<br />

Hijau<br />

keunguan<br />

merah<br />

Hijau<br />

kemeraha<br />

n<br />

Hijau<br />

keunguan<br />

Hijau<br />

keunguan<br />

Ungu<br />

kehijauan<br />

Merah<br />

gelap<br />

Hijau<br />

kemeraha<br />

n<br />

Hijau<br />

keunguan<br />

Hijau<br />

keunguan<br />

Hijau<br />

keunguan<br />

Ungu<br />

kehijauan<br />

Hijau<br />

keunguan<br />

VIII<br />

(Kra)<br />

Ungu<br />

kehijauan<br />

merah merah merah merah<br />

Hijau<br />

kemeraha<br />

n<br />

Hijau<br />

keunguan<br />

Hijau<br />

keunguan<br />

Hijau<br />

kemeraha<br />

n<br />

Hijau<br />

keunguan<br />

Hijau<br />

keunguan<br />

Hijau<br />

kemeraha<br />

n<br />

Hijau<br />

keunguan<br />

Hijau<br />

keunguan<br />

Hijau<br />

kemeraha<br />

n<br />

Hijau<br />

keunguan<br />

Hijau<br />

keunguan<br />

Panjang Daun 50,5 43,84 42,53 44,06 37,43 44,26 43,86 37,67<br />

Lebar Daun 13,2 17,1 18,14 19,41 17,69 19,21 19,27 17,34<br />

Rasio<br />

panjang:<br />

lebar daun<br />

Tinggi<br />

Tanaman<br />

Diameter<br />

Batang<br />

Diameter<br />

Rimpang<br />

Diameter<br />

buah<br />

Jumlah biji<br />

dalam buah<br />

Panjang<br />

sepala<br />

3,83 2,56 2,34 2,27 2,12 2,30 2,28 2,17<br />

170 91,57 77,51 121,2 85,44 91,7 69,58 78,66<br />

1,66 1,52 1,97 1,86 1,78 1,84 1,76 1,75<br />

1,1 3,6 3,2 4,5 3,4 3,2 6,1 3,7<br />

1,34 1,27 1,02 1,31 1,23 0,64 1,46 1,30<br />

22 20 21 24 21 14 20 20<br />

8,5 4,7 4,5 4,5 4,4 4,5 4,9 4,3<br />

Lebar sepala 1,7 0,6 0,7 1,1 0,8 0,7 1,0 0,7<br />

Panjang<br />

petala<br />

13,5 6 6,2 6,6 6 5,9 6,8 6<br />

Lebar petala 5,6 0,6 0,8 1 0,7 1 1,2 0,6<br />

Panjang<br />

staminodia<br />

Lebar<br />

staminodia<br />

11 5,5 5,5 5,7 5,6 5 5,9 5,5<br />

3,8 0,7 0,5 0,6 0,5 0,5 0,8 0,7<br />

Panjang putik 8 5,7 5,4 5,5 5 4,7 5,8 4,9<br />

Lebar putik 0,9 0,4 0,3 0,4 0,3 0,3 0,6 0,3<br />

Panjang anter 0,7 1 0,8 0,9 0,8 0,8 1,3 0,7<br />

Lebar anter 0,2 0,1 0,1 0,1 0,15 0,1 0,2 0,1<br />

Panjang<br />

bunga<br />

Diameter<br />

pangkal<br />

bunga<br />

Sepala<br />

menekuk/tida<br />

k<br />

13,5 6 6 6,5 6,2 5,9 7,1 5,8<br />

0,92 0,3 0,3 0,5 0,3 0,2 0,6 0,25<br />

menekuk<br />

Keterangan:<br />

I : C. hybrida,<br />

II : Surakarta,<br />

III : Wonogiri,<br />

IV : Klaten,<br />

Tidak<br />

menekuk<br />

Tidak<br />

menekuk<br />

Tidak<br />

menekuk<br />

V<br />

VI<br />

VII<br />

VIII<br />

Tidak<br />

menekuk<br />

Tidak<br />

menekuk<br />

: Boyolali,<br />

: Sukoharjo,<br />

: Sragen,<br />

: Karanganyar.<br />

Tidak<br />

menekuk<br />

Tidak<br />

menekuk


28<br />

32<br />

Berdasarkan data ciri morfologi tersebut selanjutnya akan dibahas satupersatu<br />

mengenai bagian-bagian atau organ tanaman ganyong tersebut yang<br />

meliputi rimpang, batang, daun, serta bunga, buah, <strong>dan</strong> biji sehingga akan<br />

diketahui keragaman ganyong berdasarkan ciri morfologi yang telah diamati.<br />

1. Rimpang<br />

Rimpang merupakan batang yang tumbuh di dalam tanah. Rimpang<br />

ganyong juga berfungsi sebagai penyimpanan ca<strong>dan</strong>gan makanan. Rimpang<br />

ganyong di wilayah eks-karesidenan Surakarta seluruhnya memiliki sisik<br />

rimpang berwarna hijau keunguan. Ganyong Sragen memiliki diameter yang<br />

terbesar (6,1 cm) dengan perbedaan yang mencolok daripada ganyong dari<br />

wilayah lain. Ganyong dari wilayah Klaten memiliki diameter terbesar kedua<br />

yaitu 4,5 cm. Se<strong>dan</strong>gkan ganyong dari wilayah lainnya (Surakarta, Boyolali,<br />

Sukoharjo, Karanganyar) memiliki diameter yang tidak jauh berbeda satu sama<br />

lain yaitu antara 3,2 – 3,7 cm.<br />

Perbedaan ukuran rimpang yang cukup mencolok ini diduga karena<br />

perbedaan lingkungan tempat tumbuh seperti yang dikemukakan Nuryadin<br />

(2008) bahwa bentuk rimpang beraneka ragam begitu juga komposisi kimia<br />

<strong>dan</strong> kandungan gizinya. Perbedaan ini dipengaruhi oleh umur, varietas <strong>dan</strong><br />

tempat tumbuh tanaman.<br />

Ukuran rimpang ganyong ini bila dikaitkan dengan tinggi tanaman,<br />

ditemukan suatu keunikan dari ganyong di wilayah Sragen dibandingkan<br />

ganyong dari wilayah lain. Ganyong di wilayah Sragen memiliki tinggi<br />

tanaman yang terpendek (69,58 cm) jika dibandingkan dengan ganyong dari


33 29<br />

wilayah lain yaitu Wonogiri (77,51 cm), Karanganyar (78,66 cm), Boyolali<br />

(85,44 cm), Surakarta (91,57 cm), Sukoharjo (91,7 cm), <strong>dan</strong> yang paling tinggi<br />

yaitu dari wilayah Klaten (121,2 cm). Meskipun memiliki tinggi tanaman yang<br />

terpendek (69,58 cm), ganyong dari wilayah Sragen memiliki diameter<br />

rimpang yang terbesar (6,1 cm) jika dibandingkan dengan ganyong dari<br />

wilayah Klaten (4,5 cm), Karanganyar (3,7 cm), Surakarta (3,6 cm), Boyolali<br />

(3,4 cm), Wonogiri (3,2 cm) <strong>dan</strong> Sukoharjo (3,2 cm) yang merupakan diameter<br />

rimpang terkecil. Keunikan morfologi ganyong dari wilayah Sragen yang<br />

memiliki tinggi tanaman terpendek (69, 58 cm) tetapi diameter rimpang<br />

terbesar (6,1 cm) tersebut kemungkinan menguntungkan karena pemanfaatan<br />

ganyong yang umum dilakukan adalah diambil rimpangnya untuk diolah<br />

menjadi bahan pangan <strong>dan</strong> bahan bakar untuk memenuhi kebutuhan manusia.<br />

2. Batang<br />

Batang yang dimaksud adalah batang semu atau yang lebih umum<br />

disebut dengan batang. Batang semu ini merupakan gabungan dari pelepah<br />

daun yang bertumpuk membentuk bangunan menyerupai batang. Tidak<br />

terdapat perbedaan warna batang ganyong di wilayah eks-karesidenan<br />

Surakarta. Warna batang ganyong dari semua wilayah adalah hijau keunguan.<br />

Akan tetapi diameter batang ganyong di wilayah eks-karesidenan Surakarta<br />

beragam. Ganyong Wonogiri memiliki diameter batang paling besar yaitu (1,97<br />

cm), bila dibandingkan dengan ganyong dari wilayah lain yaitu Klaten (1,86<br />

cm), Sukoharjo (1,84 cm), Boyolali (1,78 cm), Sragen (1,76 cm), Karanganyar<br />

(1,75 cm), se<strong>dan</strong>gkan diameter batang yang terkecil yaitu ganyong Surakarta


34 30<br />

(1,52 cm). Tinggi tanaman ganyong di wilayah eks-karesidenan Surakarta<br />

bervariasi, yang tertinggi yaitu ganyong dari wilayah Klaten (121,2 cm), jika<br />

dibandingkan dengan ganyong dari wilayah lain yaitu Sukoharjo (91,7 cm)<br />

Surakarta (91,57 cm), Boyolali (85,44 cm), Karanganyar (78,66 cm), Wonogiri<br />

(77,51 cm), se<strong>dan</strong>gkan yang terendah yaitu ganyong dari wilayah Sragen<br />

(69,58 cm). Tinggi tanaman diukur mulai dari ujung daun tertinggi tanaman<br />

sampai pangkal batang yang berada pada permukaan tanah (Hendriyani dkk.,<br />

2009).<br />

Perbedaan tinggi tanaman ganyong di wilayah eks-karesidenan<br />

Surakarta dipengaruhi oleh faktor lingkungan tempat tumbuhnya. Sitompul <strong>dan</strong><br />

Guritno (1995) menyatakan bahwa tinggi tanaman merupakan ukuran tanaman<br />

yang paling sering diamati baik sebagai indikator pertumbuhan maupun<br />

parameter yang digunakan untuk mengukur pengaruh lingkungan atau<br />

perlakuan yang diterapkan. Hal ini dilakukan karena tinggi tanaman merupakan<br />

ukuran pertumbuhan yang paling mudah dilihat. Sebagai parameter pengukur<br />

pengaruh lingkungan, tinggi tanaman sensitif terhadap pengaruh lingkungan.<br />

3. Daun<br />

Ganyong berdaun lebar dengan bentuk elips memanjang <strong>dan</strong> bagian<br />

pangkal serta ujung runcing. Daun ganyong di wilayah eks-karesidenan<br />

Surakarta memiliki panjang 37,43 - 44,26 cm <strong>dan</strong> lebar 17,1 - 19,41; tulang<br />

daun menyirip <strong>dan</strong> di bagian tengah terdapat ibu tulang daun yang tebal. Warna<br />

daun hijau keunguan hingga ungu kehijauan. Merupakan daun lengkap karena<br />

memiliki helaian daun, tangkai daun, <strong>dan</strong> pelepah daun.


35 31<br />

Ganyong dari wilayah Boyolali <strong>dan</strong> Karanganyar memiliki daun yang<br />

lebih pendek <strong>dan</strong> sempit dibandingkan dengan ganyong dari wilayah yang lain.<br />

Ganyong Boyolali memiliki panjang 37,43 cm <strong>dan</strong> lebar 17,69 cm se<strong>dan</strong>gkan<br />

ganyong Karanganyar memiliki panjang 37,67 cm <strong>dan</strong> panjang 17,34 cm. Akan<br />

tetapi, ganyong Surakarta memiliki daun yang paling sempit yaitu panjang<br />

43,84 cm <strong>dan</strong> lebar 17,1 cm. Se<strong>dan</strong>gkan untuk warna daun, ada dua macam<br />

warna yaitu hijau keunguan (Wonogiri, Boyolali, Sragen) <strong>dan</strong> ungu kehijauan<br />

(Surakarta, Klaten, Sukoharjo, Karanganyar).<br />

Perbedaan warna serta ukuran daun pada tanaman ganyong di wilayah<br />

eks-karesidenan Surakarta tersebut diduga karena a<strong>dan</strong>ya pengaruh faktor<br />

lingkungan yang berbeda pada masing-masing wilayah sehingga menimbulkan<br />

pengaruh yang berbeda pula pada pemunculan fenotip ganyong meskipun<br />

perbedaan fenotip yang ditunjukkan tidak mencolok.<br />

Faktor lingkungan juga ikut berpengaruh dalam timbulnya ciri-ciri yang<br />

muncul sebagai fenotip. Perbedaan yang tampak pada tiap anggota spesies<br />

menyebabkan a<strong>dan</strong>ya keragaman dalam spesies. Keragaman dalam spesies<br />

menyebabkan tiap anggota spesies dapat dilihat a<strong>dan</strong>ya kekerabatannya satu<br />

sama lain. Semakin banyak persamaan ciri-ciri yang dimiliki semakin dekat<br />

kekerabatannya. Sebaliknya, semakin sedikit persamaan dalam ciri-ciri yang<br />

dimiliki semakin jauh kekerabatannya (Sofro, 1994 dalam Wigati, 2003).<br />

4. Bunga<br />

Warna bunga ganyong kultivar merah di wilayah eks-karesidenan<br />

Surakarta yaitu merah (red) <strong>dan</strong> merah gelap (darkred). Sepala berjumlah tiga


32 36<br />

buah, petala juga 3 buah yang salah satunya melengkung ke bawah. Benang<br />

sari belum sempurna, anter melekat pada staminodia.<br />

Bunga ganyong dari wilayah Klaten memiliki petala berwarna merah<br />

gelap (darkred) se<strong>dan</strong>gkan untuk wilayah lain (Surakarta, Wonogiri, Boyolali,<br />

Sukoharjo, Sragen, Karanganyar) memiliki petala berwarna merah (red).<br />

Se<strong>dan</strong>gkan untuk sepala bunga semuanya berwarna hijau kemerahan <strong>dan</strong> lurus<br />

(tidak menekuk). Hal ini berbeda dengan sepala C. hybrida yang menekuk pada<br />

bagian dekat pangkal. Bunga ganyong yang memiliki ukuran paling panjang<br />

adalah bunga dari wilayah Sragen (7,1 cm), disusul oleh bunga dari wilayah<br />

Klaten (6,5 cm), se<strong>dan</strong>gkan untuk bunga dari wilayah lain memiliki ukuran<br />

yang tidak jauh berbeda yaitu antara 5,8 – 6,2 cm.<br />

Bunga ganyong memiliki satu buah anther yang melekat pada<br />

staminodia, putik berjumlah satu buah <strong>dan</strong> berbentuk pipih memanjang seperti<br />

pe<strong>dan</strong>g. Anther terbesar <strong>dan</strong> terpanjang pada bunga ganyong dari Sragen<br />

(panjang 1,3 cm <strong>dan</strong> lebar 0,2 cm). Hal ini sesuai dengan ukuran bunga<br />

ganyong Sragen yang terbesar di antara yang lain.<br />

Keragaman bunga ganyong meliputi warna <strong>dan</strong> ukuran tersebut diduga<br />

karena a<strong>dan</strong>ya faktor genetik <strong>dan</strong> lingkungan yang mempengaruhi kenampakan<br />

atau fenotip dari tanaman ganyong. Fenotip adalah hasil gabungan antara<br />

genetik <strong>dan</strong> lingkungan.<br />

Menurut Sitompul <strong>dan</strong> Guritno (1995), penampilan bentuk tanaman<br />

dikendalikan oleh sifat genetik tanaman di bawah pengaruh faktor-faktor<br />

lingkungan. Faktor lingkungan yang diyakini dapat mempengaruh terjadinya


37 33<br />

perubahan morfologi tanaman antara lain iklim, suhu, jenis tanah, kondisi<br />

tanah, ketinggian tempat, kelembaban.<br />

5. Buah <strong>dan</strong> Biji<br />

Buah ganyong berwarna hijau, beruang tiga, berbentuk agak bulat<br />

dengan tonjolan-tonjolan seperti duri pada permukaannya. Buah dengan<br />

diameter terbesar yaitu buang ganyong dari wilayah Sragen yaitu 1, 46 cm,<br />

se<strong>dan</strong>gkan buah ganyong yang memiliki diameter paling kecil yaitu buah<br />

ganyong dari wilayah Sukoharjo (0,64). Di dalam buah terdapat biji ganyong<br />

berbentuk bulat <strong>dan</strong> berwarna hitam. Apabila buah masih muda, biji ganyong<br />

berwarna hijau. Jumlah biji dalam buah bervariasi. Buah ganyong dari wilayah<br />

Sukoharjo dengan jumlah biji paling sedikit (14 biji) <strong>dan</strong> memiliki perbedaan<br />

jumlah yang mencolok dengan ganyong dari wilayah lain yang pada umumnya<br />

memiliki jumlah biji dalam buah hampir sama (20-24 biji).<br />

Jumlah biji yang banyak pada tanaman ganyong ini dapat<br />

dipertimbangkan apabila tanaman ganyong akan dibudidayakan secara<br />

generatif melalui biji, mengingat perkembangbiakan ganyong yang dilakukan<br />

selama ini lebih diutamakan secara vegetatif atau secara alami menggunakan<br />

rimpang. Perbanyakan dengan rimpang ini menyebabkan hasil anakan memiliki<br />

sifat yang sama dengan induknya sehingga dalam suatu populasi ganyong tidak<br />

ditemukan a<strong>dan</strong>ya keragaman sifat dalam jumlah yang besar.<br />

Menurut Indriani dkk. (2008), keragaman suatu populasi yang berasal<br />

dari daerah dengan kisaran geografi yang rendah kemungkinan disebabkan oleh<br />

proses adaptasi yang terus-menerus sehingga akan terjadi perubahan-perubahan


38 34<br />

baik secara biokimia maupun fisiologisnya, terjadinya interaksi antara genotip<br />

dengan lingkungan yang terus-menerus menyebabkan fenotip yang hampir<br />

sama.<br />

Berdasarkan pengamatan ciri morfologi yang telah dilakukan, dapat<br />

diketahui bahwa ganyong dari wilayah Sragen memiliki keunikan<br />

dibandingkan ganyong dari wilayah lain. Keunikan tersebut yaitu ganyong dari<br />

wilayah Sragen memiliki tinggi tanaman terendah (69,58 cm) tetapi memiliki<br />

diameter rimpang tertinggi (6,1 cm), <strong>dan</strong> bagian-bagian bunga dengan ukuran<br />

yang terbesar, serta diameter buah yang terbesar (1,46 cm).<br />

B. Pola Pita Isozim<br />

Pola pita isozim banyak digunakan untuk identifikasi variasi genetik baik<br />

secara kualitatif maupun secara kuantitatif. Variasi ini akibat dari peran gen yang<br />

mengarahkan pembentukan isozim yang bersangkutan. Sistem enzim yang<br />

digunakan dalam penelitian ini adalah esterase <strong>dan</strong> peroksidase karena secara<br />

teknis mampu menghasilkan pola pita isozim yang jelas <strong>dan</strong> polimorfis serta telah<br />

banyak digunakan untuk mengidentifikasi tanaman.<br />

Penanda isozim digunakan dalam analisis keragaman genetik karena<br />

dikendalikan oleh gen tunggal <strong>dan</strong> bersifat kodominan dalam pewarisannya.<br />

Metode isozim telah banyak dimanfaatkan oleh pemulia tanaman untuk<br />

mengidentifikasi tanaman hingga tingkat varietas karena memiliki kelebihan di<br />

antaranya mudah dilakukan <strong>dan</strong> membutuhkan bahan dalam jumlah sedikit<br />

(Julisaniah dkk., 2008).


39 35<br />

Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif berdasarkan muncul<br />

tidaknya pita <strong>dan</strong> tebal tipisnya pita pada gel hasil elektroforesis. Keragaman pola<br />

pita dilihat berdasarkan nilai Rf yang terbentuk. Nilai Rf merupakan nilai<br />

mobilitas relatif yang diperoleh dari perbandingan jarak migrasi isozim terhadap<br />

jarak migrasi loading dye.<br />

Keragaman kemunculan pita ada apabila pita isozim muncul pada<br />

zimogram suatu wilayah/individu tetapi tidak muncul pada wilayah yang lain.<br />

Keragaman tebal tipisnya pita ada apabila pita dengan letak sama muncul pada<br />

zimogram dari dua wilayah/individu berbeda, tetapi berbeda dalam ketebalan<br />

pitanya. Hasil analisis elektroforesis dengan menggunakan gel poliakrilamid pada<br />

isozim esterase dapat diketahui pada Gambar 4.<br />

Gambar 4. Zimogram hasil elektroforesis isozim esterase ganyong di wilayah ekskaresidenan<br />

Surakarta.<br />

Keterangan:<br />

I : C. hybrida,<br />

V : Boyolali,<br />

II : Surakarta,<br />

VI : Sukoharjo,<br />

III : Wonogiri,<br />

VII : Sragen,<br />

IV : Klaten,<br />

VIII : Karanganyar.<br />

Dari zimogram di atas dapat diketahui a<strong>dan</strong>ya variasi dari molekul pita<br />

yang terdeteksi. Pola pita isozim esterase muncul pada lima Rf yaitu 0,22; 0,28;


40 2<br />

0,34; 0,38; <strong>dan</strong> 0,41. Pita isozim esterase yang pertama (Rf 0,22) muncul pada<br />

semua sampel dengan ketebalan yang sama. Pita isozim esterase yang kedua (Rf<br />

0,28) muncul pada semua wilayah kecuali ganyong dari wilayah Boyolali (V),<br />

dengan pita yang paling tebal muncul pada wilayah Klaten (IV). Hal ini berarti<br />

berat molekul pita isozim pada wilayah Klaten merupakan yang paling besar di<br />

antara yang lain.<br />

Pita isozim yang ketiga (Rf 0,34) hanya muncul pada wilayah Klaten (IV),<br />

Boyolali (V) <strong>dan</strong> Sragen (VII) dengan ketebalan yang sama. Se<strong>dan</strong>gkan pita<br />

isozim yang keempat (Rf 0,38) muncul pada wilayah Wonogiri (III), Sukoharjo<br />

(VI), Sragen (VII), <strong>dan</strong> Karanganyar (VIII) dengan ketebalan yang sama. Pita<br />

isozim yang kelima (Rf 0,41) muncul pada semua wilayah kecuali Karanganyar<br />

(VIII) <strong>dan</strong> C. hybrida (I). Wilayah Sragen memiliki pita isozim terbanyak (Rf<br />

0,22; 0,28; 0,34; 0,38; 0,41) bila dibandigkan dengan wilayah lain. Adapun<br />

ketebalan pita yang dihasilkan terangkum dalam Tabel 2.<br />

Tabel 2. Hasil analisis ketebalan pita isozim esterase ganyong.<br />

Rf I II III IV V VI VII VIII<br />

0,22 ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++<br />

0,28 + + + +++ - ++ ++ +<br />

0,34 - - - + + - + -<br />

0,38 - - + - - + + +<br />

0,41 - + + + + + + -<br />

Keterangan:<br />

+ = tipis<br />

++ = tebal<br />

+++ = sangat tebal<br />

- = tidak ada


41 3<br />

Dalam Cahyarini (2004), disebutkan bahwa tebal tipisnya pita yang<br />

terbentuk disebabkan karena perbedaan jumlah molekul yang termigrasi, pita yang<br />

tebal berarti memiliki berat molekul yang lebih besar dibandingkan dengan pita<br />

yang tipis. Pita yang memiliki kekuatan ionik lebih besar akan termigrasi lebih<br />

jauh daripada pita yang berkekuatan ionik kecil.<br />

Berdasarkan zimogram hasil elektroforesis pola pita esterase ganyong dari<br />

delapan macam sampel dapat diketahui ada tujuh macam pola pita jika dianalisis<br />

berdasarkan kemunculan pita yaitu pola pita A yang terdapat pada C. hybrida (I),<br />

pola pita B yang terdapat pada ganyong dari wilayah Surakarta (II), pola pita C<br />

yang terdapat pada ganyong dari wilayah Wonogiri <strong>dan</strong> Sukoharjo (III, VI), pola<br />

pita D yang terdapat pada ganyong dari wilayah Klaten (IV), pola pita E yang<br />

terdapat pada ganyong dari wilayah Boyolali (V), pola pita F yang terdapat pada<br />

ganyong dari wilayah Sragen (VII), serta pola pita G yang terdapat pada ganyong<br />

dari wilayah Karanganyar (VIII).<br />

Berdasarkan kesamaan pola tersebut, hanya ganyong dari wilayah<br />

Wonogiri <strong>dan</strong> Sukoharjo yang memiliki pola yang sama se<strong>dan</strong>gkan ganyong dari<br />

wilayah lain memiliki pola pita yang berbeda-beda. Perbedaan pola pita tersebut<br />

dapat dilihat sebagai a<strong>dan</strong>ya keragaman pola pita isozim esterase ganyong di<br />

wilayah eks-karesidenan Surakarta. Menurut Purwanto dkk. (2002), isozim<br />

merupakan produk langsung dari gen <strong>dan</strong> dapat digunakan untuk mempelajari<br />

keragaman genetik individu dalam suatu populasi. Keragaman pola pita isozim<br />

yang dihasilkan melalui elektroforesis <strong>dan</strong> pewarnaan menggambarkan keragaman<br />

genetik tanaman tersebut.


42<br />

4<br />

Adapun hasil analisis elektroforesis dengan menggunakan gel<br />

poliakrilamid pada isozim peroksidase dapat diketahui pada gambar berikut ini.<br />

Gambar 5. Zimogram hasil elektroforesis isozim peroksidase ganyong di wilayah<br />

eks-karesidenan Surakarta.<br />

I: C. hybrida, II: Surakarta, III: Wonogiri, IV: Klaten, V: Boyolali,<br />

VI: Sukoharjo, VII: Sragen, VIII: Karanganyar.<br />

Berdasarkan zimogram tersebut pita isozim peroksidase muncul pada<br />

enam Rf yaitu 0,09; 0,16; 0,22; 0,38; 0,41; <strong>dan</strong> 0,44. Pita isozim peroksidase yang<br />

pertama (Rf 0,09) muncul pada semua wilayah kecuali Sukoharjo (VI), <strong>dan</strong> pita<br />

yang paling tebal yaitu pada wilayah Sragen (VII). Pita isozim yang kedua (Rf<br />

0,16) hanya muncul pada wilayah Sukoharjo (VI). Pita isozim peroksidase yang<br />

ketiga (Rf 0,22) muncul pada semua sampel dengan ketebalan yang sama <strong>dan</strong><br />

merupakan pita yang paling tebal dibandingkan pita pertama (Rf 0,09), pita kedua<br />

(Rf 0,16), pita keempat (Rf 0,38), pita kelima (Rf 0,41) <strong>dan</strong> pita keenam (Rf 0,44).<br />

Pita isozim peroksidase yang keempat (Rf 0,38) muncul pada semua<br />

wilayah kecuali Surakarta (II) <strong>dan</strong> C. hybrida (I). Pita isozim yang kelima (Rf<br />

0,41) hanya dimiliki oleh C. hybrida (I) <strong>dan</strong> ganyong dari wilayah Surakarta (II).<br />

Se<strong>dan</strong>gkan pita isozim peroksidase yang keenam muncul pada semua wilayah<br />

kecuali C. hybrida (I). Adapun ketebalan pita isozim peroksidase yang diperoleh<br />

dapat dilihat pada Tabel 3.


43 5<br />

Tabel 3. Hasil analisis ketebalan pita isozim peroksidase ganyong.<br />

Rf I II III IV V VI VII VIII<br />

0,09 + + + + + - ++ +<br />

0,16 - - - - - + - -<br />

0,22 +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++<br />

0,38 - - + + + + + +<br />

0,41 + + - - - - - -<br />

0,44 - + + + - + + +<br />

Keterangan:<br />

+ = tipis<br />

++ = tebal<br />

+++ = sangat tebal<br />

- = tidak ada<br />

Berdasarkan zimogram hasil elektroforesis isozim peroksidase ganyong di<br />

wilayah eks-karesidenan Surakarta, dari delapan macam sampel dapat diketahui<br />

ada empat macam pola pita jika dianalisis berdasarkan kemunculan pita yaitu pola<br />

pita A yang terdapat pada C. hybrida (I), pola pita B yang terdapat pada ganyong<br />

dari wilayah Surakarta (II), pola pita C yang terdapat pada ganyong dari wilayah<br />

Wonogiri (III), Klaten (IV), Boyolali (V), Sragen (VII), Karanganyar (VIII), serta<br />

pola pita D yang terdapat pda ganyong dari wilayah Sukoharjo (VI).<br />

Keragaman pola pita isozim esterase lebih beragam daripada isozim<br />

peroksidase yaitu dengan a<strong>dan</strong>ya tujuh pola pita se<strong>dan</strong>gkan pada isozim<br />

peroksidase diperoleh empat pola pita. Keragaman pola pita pada tiap sampel<br />

tersebut secara tidak langsung juga menunjukkan susunan genetik yang berbeda<br />

pula pada tiap individu tanaman, karena enzim merupakan produk langsung dari<br />

gen dengan asam amino sebagai penyusunnya (Purwanto, 2002).


44<br />

6<br />

C. Hubungan Kekerabatan<br />

Hubungan kekerabatan ganyong di wilayah eks-karesidenan Surakarta<br />

ditentukan berdasarkan ciri morfologi, pola pita isozim, serta penggabungan ciri<br />

morfologi dengan pola pita isozim. Semakin sedikit persamaan yang dimiliki<br />

maka semakin jauh hubungan kekerabatannya, <strong>dan</strong> semakin banyak persamaan<br />

yang dimiliki maka semakin dekat hubungan kekerabatannya.<br />

Hubungan kekerabatan antara dua individu dapat diukur berdasarkan<br />

kesamaan sejumlah ciri dengan asumsi bahwa ciri yang berbeda disebabkan oleh<br />

a<strong>dan</strong>ya perbedaan susunan genetik. Ciri pada makhluk hidup dikendalikan oleh<br />

gen. Gen merupakan potongan DNA yang hasil aktivitasnya (ekspresinya) dapat<br />

diamati melalui perubahan ciri morfologi yang dapat diakibatkan oleh pengaruh<br />

lingkungan (Souza <strong>dan</strong> Sorells dalam Hadiati <strong>dan</strong> Sukmadjaja, 2002).<br />

Kedekatan kekerabatan antara kultivar maupun varietas berguna sebagai<br />

informasi di bi<strong>dan</strong>g pemuliaan tanaman karena jika tanaman yang berkerabat<br />

dekat disilangkan, maka variasi<br />

sifat keturunannya tidak jauh berbeda dari<br />

induknya. Semakin jauh jarak genetik antar kultivar, maka akan menghasilkan<br />

variasi yang lebih tinggi jika disilangkan. Walaupun demikian, dalam seleksi<br />

materi untuk persilangan tidak hanya faktor jarak genetik yang diperhitungkan,<br />

tetapi ciri lain yang menarik <strong>dan</strong> menonjol perlu dipertimbangkan untuk<br />

menghasilkan rekombinan yang baik.<br />

1. Hubungan Kekerabatan Ganyong Berdasarkan Ciri Morfologi<br />

Hubungan kekerabatan ganyong di wilayah eks-karesidenan Surakarta<br />

dapat ditentukan berdasarkan keragaman <strong>dan</strong> persamaan-persamaan ciri


45 7<br />

morfologi dari tanaman ganyong di masing-masing wilayah di eks-karesidenan<br />

Surakarta. Perbandingan ciri morfologi ganyong dapat dilihat pada Tabel 4.<br />

Tabel 4. Perbandingan ciri morfologi ganyong di wilayah eks-karesidenan<br />

Surakarta.<br />

Ciri Morfologi I II III IV V VI VII VIII<br />

Daun hijau 1 0 0 0 0 0 0 0<br />

Daun hijau keunguan 0 0 1 0 1 0 1 0<br />

Daun ungu kehijauan 0 1 0 1 0 1 0 1<br />

Petala bunga warna jingga bercorak<br />

kuning<br />

1 0 0 0 0 0 0 0<br />

Petala bunga warna merah (red) 0 1 1 0 1 1 1 1<br />

Petala bunga warna merah gelap<br />

(darkred)<br />

0 0 0 1 0 0 0 0<br />

Sepala bunga warna hijau keputihan 1 0 0 0 0 0 0 0<br />

Sepala bunga warna hijau kemerahan 0 1 1 1 1 1 1 1<br />

Batang warna hijau 1 0 0 0 0 0 0 0<br />

Batang warna hijau keunguan 0 1 1 1 1 1 1 1<br />

Warna sisik rimpang hijau kecoklatan 1 0 0 0 0 0 0 0<br />

Diameter batang ≥ 1,70 cm 0 0 1 1 1 1 1 1<br />

Diameter rimpang < 3,5 cm 1 0 1 0 1 1 0 0<br />

Diameter rimpang ≥ 3,5 cm 0 1 0 1 0 0 1 1<br />

Diameter buah < 1,25 cm 1 1 0 1 0 0 1 1<br />

Diameter buah ≥ 1,25 cm 0 0 1 0 1 1 0 0<br />

Jumlah biji dalam buah < 22 0 1 1 0 1 1 1 1<br />

Jumlah biji dalam buah ≥ 22 1 0 0 1 0 0 0 0<br />

Panjang sepala < 5 cm 0 1 1 1 1 1 1 1<br />

Panjang sepala ≥ 5 cm 1 0 0 0 0 0 0 0<br />

Lebar sepala < 1 cm 0 1 1 0 1 1 0 1<br />

Lebar sepala ≥ 1 cm 1 0 0 1 0 0 1 0<br />

Panjang petala < 7 cm 0 1 1 1 1 1 1 1<br />

Panjang petala ≥ 7 cm 1 0 0 0 0 0 0 0<br />

Lebar petala < 1 cm 0 1 1 0 1 0 0 1<br />

Lebar petala ≥ 1 cm 1 0 0 1 0 1 1 0<br />

Panjang staminodia < 6 cm 0 1 1 1 1 1 1 1<br />

Panjang staminodia ≥ 6 cm 1 0 0 0 0 0 0 0<br />

Lebar staminodia < 1 cm 0 1 1 1 1 1 1 1<br />

Lebar staminodia ≥ 1 cm 1 0 0 0 0 0 0 0<br />

Panjang putik < 6 cm 0 1 1 1 1 1 1 1<br />

Panjang putik ≥ 6 cm 1 0 0 0 0 0 0 0<br />

Lebar putik < 0,5 cm 0 1 1 1 1 1 0 1


846<br />

Tabel 4. Perbandingan ciri morfologi ganyong di wilayah eks-karesidenan<br />

Surakarta (lanjutan).<br />

Ciri Morfologi I II III IV V VI VII VIII<br />

Lebar putik ≥ 0,5 cm 1 0 0 0 0 0 1 0<br />

Panjang anter < 1 cm 1 0 1 1 1 1 0 1<br />

Panjang anter ≥ 1 cm 0 1 0 0 0 0 1 0<br />

Lebar anter < 0,15 cm 0 1 1 1 0 1 0 1<br />

Lebar anter ≥ 0,15 cm 1 0 0 0 1 0 1 0<br />

Panjang bunga < 7 cm 0 1 1 1 1 1 0 1<br />

Panjang bunga ≥ 7 cm 1 0 0 0 0 0 1 0<br />

Diameter pangkal bunga < 0,5 cm 0 1 1 0 1 1 0 1<br />

Diameter pangkal bunga ≥ 0,5 cm 1 0 0 1 0 0 1 0<br />

Sepala menekuk 1 0 0 0 0 0 0 0<br />

Keterangan: I=C. hybrida, II=Surakarta, III=Wonogiri, IV=Klaten, V=Boyolali,<br />

VI=Sukoharjo, VII=Sragen, VIII=Karanganyar, 1=ada, 0=tidak ada.<br />

Dari data tersebut setelah dianalisis dengan menggunakan indeks<br />

similaritas (IS) diperoleh dendogram seperti tampak pada Gambar 6.<br />

42,8<br />

7,14<br />

39,6<br />

32<br />

44<br />

42,8<br />

33,2<br />

Gambar 6. Dendogram hubungan kekerabatan ganyong di wilayah ekskaresidenan<br />

Surakarta berdasarkan ciri morfologi.<br />

I = Canna hybrida, II= Surakarta, III= Wonogiri, IV= Klaten, V=<br />

Boyolali, VI= Sukoharjo, VII= Sragen, VIII= Karanganyar.


247<br />

Berdasarkan dendogram yang diperoleh, dapat diketahui bahwa C.<br />

hybrida (I) terpisah dari tujuh sampel lain. Hal ini disebabkan karena C.<br />

hybrida merupakan spesies yang berbeda dari tujuh sampel lain yaitu ganyong<br />

(C. edulis). Adapun koefisien kemiripan C. hybrida (I) dengan ganyong<br />

sebesar 7,14%. Ganyong Wonogiri <strong>dan</strong> ganyong Sukoharjo mengelompok<br />

dengan koefisien kemiripan 44% yang merupakan koefisien kemiripan<br />

tertinggi, artinya ganyong Wonogiri memiliki hubungan kekerabatan paling<br />

dekat dengan ganyong Sukoharjo jika dilihat dari persamaan ciri morfologi<br />

yang dimiliki oleh keduanya. Ganyong Wonogiri (III) <strong>dan</strong> Sukoharjo (VI)<br />

bergabung dengan ganyong Boyolali (V) pada koefisien kemiripan 42,8%.<br />

Pada nilai koefisien kemiripan yang sama, ganyong Surakarta (II)<br />

mengelompok dengan ganyong Karanganyar (VIII). Kedua kelompok tersebut<br />

kemudian bergabung dengan koefisien kemiripan sebesar 39,6%. Pada<br />

kelompok yang berbeda, terdapat ganyong Klaten (IV) <strong>dan</strong> Sragen (VII)<br />

dengan koefisien kemiripan sebesar 33,2%. Kelompok ini bergabung dengan<br />

kelompok sebelumnya pada koefisien kemiripan 32%.<br />

Hubungan kekerabatan terdekat dimiliki oleh ganyong Wonogiri (III)<br />

<strong>dan</strong> Sukoharjo (VI) pada koefisien kemiripan 44%. Hal ini berarti dikarenakan<br />

keduanya lebih banyak memiliki kesamaan ciri morfologi yaitu petala bunga<br />

berwarna merah, sepala berwarna hijau kemerahan, batang warna hijau<br />

keunguan, warna sisik rimpang hijau keunguan, panjang daun < 50 cm, lebar<br />

daun ≥ 15 cm, rasio panjang:lebar daun < 3, tinggi tanaman < 100 cm,<br />

diameter batang ≥ 1,70 cm, diameter rimpang < 3,5 cm, diameter buah ≥ 1,25


348<br />

cm, <strong>dan</strong> seterusnya (lihat Tabel 1.). Se<strong>dan</strong>gkan hubungan kekerabatan terjauh<br />

yaitu antara C. hybrida (I) dengan tujuh sampel lainnya pada koefisien<br />

kemiripan sebesar 7, 14%. Hal ini disebabkan karena C. hybrida memiliki ciri<br />

morfologi yang berbeda dengan tujuh sampel lain yang merupakan ganyong<br />

(C. edulis). C. hybrida <strong>dan</strong> ganyong terdapat dalam taksa yang sama yaitu<br />

genus Canna yang termasuk famili Cannaceae, dimana famili tersebut hanya<br />

memiliki satu genus yaitu Canna (Steenis, 2008).<br />

2. Hubungan Kekerabatan Ganyong Berdasarkan Pola Pita Isozim<br />

Hubungan kekerabatan ganyong di wilayah eks-karesidenan Surakarta<br />

dapat ditentukan berdasarkan kemunculan pita isozim esterase, peroksidase,<br />

serta penggabungan keduanya.<br />

a. Hubungan Kekerabatan Ganyong Berdasarkan Pola Pita Isozim Esterase<br />

Kemunculan pita isozim esterase ganyong dapat dilihat pada Tabel<br />

5. di bawah ini.<br />

Tabel 5. Perbandingan kemunculan pita isozim esterase ganyong di wilayah ekskaresidenan<br />

Surakarta.<br />

Rf I II III IV V VI VII VIII<br />

0,22 1 1 1 1 1 1 1 1<br />

0,28 1 1 1 1 0 1 1 1<br />

0,34 0 0 0 1 1 0 1 0<br />

0,38 0 0 1 0 0 1 1 1<br />

0,41 0 1 1 1 1 1 1 0<br />

Keterangan:<br />

I = C. hybrida,<br />

II = Surakarta,<br />

III = Wonogiri,<br />

IV = Klaten,<br />

V = Boyolali,<br />

VI = Sukoharjo,<br />

VII = Sragen,<br />

VIII = Karanganyar,<br />

1 = ada<br />

0 = tidak ada


149<br />

Dari data tersebut setelah dianalisis dengan menggunakan indeks similaritas<br />

(IS) diperoleh dendogram seperti tampak pada Gambar 7.<br />

37,14<br />

60<br />

80<br />

52,2<br />

70<br />

43,2<br />

Gambar 7. Dendogram hubungan kekerabatan ganyong di wilayah ekskaresidenan<br />

Surakarta berdasarkan pola pita isozim esterase.<br />

Keterangan:<br />

I = Canna hybrida,<br />

II = Surakarta,<br />

III = Wonogiri,<br />

IV = Klaten,<br />

V = Boyolali,<br />

VI = Sukoharjo,<br />

VII = Sragen,<br />

VIII = Karanganyar.<br />

Berdasarkan dendogram di atas dapat diketahui bahwa ganyong dari<br />

wilayah Wonogiri (III) <strong>dan</strong> Sukoharjo (VI) mengelompok dengan koefisien<br />

kemiripan 80%. Pada koefisien kemiripan yang sama ganyong dari wilayah<br />

Klaten (IV) <strong>dan</strong> Sragen (VII) mengelompok pada kelompok yang berbeda<br />

dari kelompok yang sebelumnya. Kedua kelompok tersebut bergabung


50 2<br />

dengan koefisien kemiripan sebesar 70%. Kelompok tersebut kemudian<br />

bergabung dengan ganyong dari wilayah Surakarta (II) pada koefisien<br />

kemiripan 60% <strong>dan</strong> selanjutnya bergabung dengan ganyong dari wilayah<br />

Karanganyar (VIII) pada koefisien kemiripan 52,2%, <strong>dan</strong> kemudian<br />

ganyong dari wilayah Boyolali (V) bergabung pada kelompok tersebut<br />

dengan koefisien kemiripan sebesar 43,2% serta diikuti oleh C. hybrida (I)<br />

yang bergabung pada ketujuh sampel yang lain dengan koefisien kemiripan<br />

37,14%.<br />

Hubungan kekerabatan terdekat adalah antara ganyong dari wilayah<br />

Wonogiri (III) <strong>dan</strong> Sukoharjo (VI) yang mengelompok dengan koefisien<br />

kemiripan 80%. Keduanya memiliki lebih banyak kesamaan pola pita<br />

isozim esterase yang muncul setelah dilakukan elektroforesis <strong>dan</strong><br />

pewarnaan. Selain ganyong dari Wonogiri <strong>dan</strong> Sukoharjo, ganyong dari<br />

wilayah Klaten (IV) <strong>dan</strong> Sragen (VII) juga memiliki hubungan kekerabatan<br />

terdekat dengan koefisien kemiripan sebesar 80%. Se<strong>dan</strong>gkan hubungan<br />

kekerabatan terjauh yaitu antara C. hybrida dengan ketujuh sampel lain<br />

seperti halnya pada dendogram berdasarkan ciri morfologi. Hal ini<br />

dikarenakan C. hybrida merupakan spesies yang berbeda dari ketujuh<br />

sampel yang lain yang merupakan ganyong.<br />

Dendogram berdasarkan pola pita isozim esterase memiliki<br />

perbedaan dengan dendogram berdasarkan ciri morfologi sehingga<br />

hubungan kekerabatan ganyong di wilayah eks-karesidenan Surakarta yang<br />

ditentukan berdasarkan ciri morfologi akan berbeda apabila dibandingkan


3<br />

51<br />

dengan hubungan kekerabatan ganyong yang ditentukan berdasarkan pola<br />

pita isozim esterase. Hal tersebut dikarenakan ciri morfologi tidak hanya<br />

dipengaruhi oleh faktor genetik tetapi juga dipengaruhi oleh lingkungan.<br />

Sitompul <strong>dan</strong> Guritno (1995) mengatakan bahwa penampilan bentuk<br />

tanaman dikendalikan oleh sifat genetik tanaman di bawah pengaruh faktorfaktor<br />

lingkungan. Faktor lingkungan yang diyakini dapat mempengaruhi<br />

terjadinya perubahan morfologi tanaman antara lain iklim, suhu, jenis<br />

tanah, kondisi tanah, ketinggian tempat, kelembaban.<br />

b. Hubungan Kekerabatan Ganyong Berdasarkan Pola Pita Isozim Peroksidase<br />

Kemunculan pita isozim peroksidase ganyong dapat dilihat pada<br />

Tabel 6. di bawah ini.<br />

Tabel 6. Perbandingan kemunculan pita isozim peroksidase ganyong di wilayah<br />

eks-karesidenan Surakarta.<br />

Rf<br />

I II III IV V VI VII VIII<br />

0,09 1 1 1 1 1 0 1 1<br />

0,16 0 0 0 0 0 1 0 0<br />

0,22 1 1 1 1 1 1 1 1<br />

0,38 0 0 1 1 1 1 1 1<br />

0,41 1 1 0 0 0 0 0 0<br />

0,44 0 1 1 1 0 1 1 1<br />

Keterangan:<br />

I = C. hybrida,<br />

II = Surakarta,<br />

III = Wonogiri,<br />

IV = Klaten,<br />

V = Boyolali,<br />

VI = Sukoharjo,<br />

VII = Sragen,<br />

VIII = Karanganyar,<br />

1 = ada<br />

0 = tidak ada


452<br />

Dari data tersebut setelah dianalisis dengan menggunakan indeks<br />

similaritas (IS) diperoleh dendogram seperti tampak pada Gambar 8.<br />

50<br />

37,33<br />

67<br />

50<br />

46,6<br />

Gambar 8. Dendogram hubungan kekerabatan ganyong di wilayah ekskaresidenan<br />

Surakarta berdasarkan pola pita isozim peroksidase.<br />

Keterangan:<br />

I = Canna hybrida,<br />

II = Surakarta,<br />

III = Wonogiri,<br />

IV = Klaten,<br />

V = Boyolali,<br />

VI = Sukoharjo,<br />

VII = Sragen,<br />

VIII = Karanganyar.<br />

Berdasarkan dendogram tersebut dapat diketahui bahwa ganyong<br />

dari wilayah Wonogiri (III), Klaten (IV), Sragen (VII), <strong>dan</strong> Karanganyar<br />

(VIII) mengelompok pada koefisien kemiripan 67%. Ketiganya bergabung<br />

dengan ganyong Boyolali (V) pada koefisien kemiripan 50% <strong>dan</strong> kemudian<br />

bergabung dengan ganyong Sukoharjo (VI) pada koefisien kemiripan


53 5<br />

46,6%. Sementara itu C. hybrida (I) mengelompok dengan ganyong<br />

Surakarta (II) pada koefisien kemiripan 50%. Keduanya bergabung dengan<br />

enam sampel yang lain pada koefisien kemiripan sebesar 37,33%.<br />

Hubungan kekerabatan terdekat dimiliki oleh ganyong dari wilayah<br />

Wonogiri (III), Klaten (IV), Sragen (VII), <strong>dan</strong> Karanganyar (VIII) yang<br />

mengelompok pada koefisien kemiripan sebesar 67%. Se<strong>dan</strong>gkan hubungan<br />

kekerabatan terjauh dengan koefisien kemiripan 37,33% yaitu antara C.<br />

hybrida <strong>dan</strong> ganyong Surakarta dengan ganyong dari enam wilayah yang<br />

lain.<br />

c. Hubungan Kekerabatan Ganyong Berdasarkan Pola Pita Isozim Esterase<br />

<strong>dan</strong> Peroksidase<br />

Kemunculan pita isozim esterase <strong>dan</strong> peroksidase ganyong dapat<br />

dilihat pada Tabel 7 di bawah ini.<br />

Tabel 7. Kemunculan pita isozim esterase <strong>dan</strong> peroksidase ganyong di wilayah<br />

eks-karesidenan Surakarta.<br />

Rf I II III IV V VI VII VIII<br />

0,22 1 1 1 1 1 1 1 1<br />

0,28 1 1 1 1 0 1 1 1<br />

0,34 0 0 0 1 1 0 1 0<br />

0,38 0 0 1 0 0 1 1 1<br />

0,41 0 1 1 1 1 1 1 0<br />

0,09 1 1 1 1 1 1 1 1<br />

0,16 0 0 0 0 0 1 0 0<br />

0,22 1 1 1 1 1 1 1 1<br />

0,38 0 0 1 1 1 1 1 1<br />

0,41 1 1 0 0 0 0 0 0<br />

0,44 0 1 1 1 0 1 1 1<br />

Keterangan:<br />

I = C. hybrida,<br />

VI = Sukoharjo,<br />

II = Surakarta,<br />

VII = Sragen,<br />

III<br />

IV<br />

V<br />

= Wonogiri,<br />

= Klaten,<br />

= Boyolali,<br />

VIII<br />

1 = ada<br />

0 = tidak ada<br />

= Karanganyar,


54<br />

0<br />

Dari data tersebut setelah dianalisis dengan menggunakan indeks<br />

similaritas (IS) diperoleh dendogram seperti tampak pada Gambar 9.<br />

37,41<br />

51<br />

68,4<br />

73<br />

61<br />

43,6<br />

64<br />

Gambar 9. Dendogram hubungan kekerabatan ganyong di wilayah ekskaresidenan<br />

Surakarta berdasarkan pola pita isozim esterase <strong>dan</strong><br />

peroksidase.<br />

Keterangan:<br />

I = C. hybrida,<br />

II = Surakarta,<br />

III = Wonogiri,<br />

IV = Klaten,<br />

V = Boyolali,<br />

VI = Sukoharjo,<br />

VII = Sragen,<br />

VIII = Karanganyar.<br />

Berdasarkan dendogram tersebut dapat diketahui bahwa hubungan<br />

kekerabatan terdekat yaitu ganyong dari Wonogiri <strong>dan</strong> Sragen yang<br />

mengelompok pada koefisien kemiripan sebesar 73%. Keduanya bergabung<br />

dengan ganyong Klaten pada koefisien kemiripan 68,4%. Ganyong<br />

Sukoharjo mengelompok dengan ganyong Karanganyar pada koefisien


551<br />

kemiripan 64%. Ganyong Wonogiri, Sukoharjo, Klaten kemudian<br />

bergabung dengan ganyong Sukoharjo <strong>dan</strong> Karanganyar pada koefisien<br />

kemiripan 61%. Kelimanya kemudian bergabung dengan ganyong<br />

Surakarta pada koefisien kemiripan 51% <strong>dan</strong> kemudian bergabung dengan<br />

ganyong Boyolali pada koefisien kemiripan 43,6. Se<strong>dan</strong>gkan pada<br />

hubungan kekerabatan terjauh yaitu C. hybrida dengan ketujuh sampel lain<br />

pada koefisien kemiripan 34,71%.<br />

Hubungan kekerabatan terdekat dimiliki oleh ganyong Wonogiri<br />

<strong>dan</strong> Sragen dengan koefisien kemiripan 73%. Hal ini dikarenakan keduanya<br />

paling banyak memiliki kesamaan dalam kemunculan pola pita isozim.<br />

Se<strong>dan</strong>gkan hubungan kekerabatan yang terjauh yaitu antara C. hybrida<br />

dengan sampel yang lain pada koefisien kemiripan 34,71% karena C.<br />

hybrida merupakan spesies yang berbeda dari sampel lain sehingga secara<br />

genetik pun menunjukkan a<strong>dan</strong>ya perbedaan yang tampak dari perbedaan<br />

pola pita isozim yang dihasilkan.<br />

Dendogram berdasarkan pola pita isozim esterase, peroksidase, <strong>dan</strong><br />

gabungan esterase <strong>dan</strong> peroksidase menunjukkan hasil yang berbeda. Hal<br />

ini dikarenakan sifat yang digunakan sebagai dasar penentu hubungan<br />

kekerabatan masih terbatas sehingga perlu dilakukan penambahan enzim<br />

lainnya. Menurut Purnomo (1994) dalam Hadiati <strong>dan</strong> Sukmadjaja (2002),<br />

untuk menelaah perbedaan individu dalam populasi disarankan paling<br />

sedikit menggunakan delapan macam enzim.


562<br />

3. Hubungan Kekerabatan Ganyong Berdasarkan Ciri Morfologi <strong>dan</strong> Pola Pita<br />

Isozim<br />

Perbandingan ciri morfologi <strong>dan</strong> pola pita isozim ganyong dapat<br />

dilihat pada Tabel 8.<br />

Tabel 8. Perbandingan ciri morfologi <strong>dan</strong> pola pita isozim ganyong di wilayah<br />

eks-karesidenan Surakarta.<br />

Parameter I II III IV V VI VII VIII<br />

Daun hijau 1 0 0 0 0 0 0 0<br />

Daun hijau keunguan 0 0 1 0 1 0 1 0<br />

Daun ungu kehijauan 0 1 0 1 0 1 0 1<br />

Petala bunga warna jingga bercorak kuning 1 0 0 0 0 0 0 0<br />

Petala bunga warna merah (red) 0 1 1 0 1 1 1 1<br />

Petala bunga warna merah gelap (darkred) 0 0 0 1 0 0 0 0<br />

Sepala bunga warna hijau keputihan 1 0 0 0 0 0 0 0<br />

Sepala bunga warna hijau kemerahan 0 1 1 1 1 1 1 1<br />

Batang warna hijau 1 0 0 0 0 0 0 0<br />

Batang warna hijau keunguan 0 1 1 1 1 1 1 1<br />

Warna sisik rimpang hijau kecoklatan 1 0 0 0 0 0 0 0<br />

Warna sisik rimpang hijau keunguan 0 1 1 1 1 1 1 1<br />

Panjang daun < 50 cm 0 1 1 1 1 1 1 1<br />

Panjang daun ≥ 50 cm 1 0 0 0 0 0 0 0<br />

Lebar daun < 15 cm 1 0 0 0 0 0 0 0<br />

Lebar daun ≥ 15 cm 0 1 1 1 1 1 1 1<br />

Rasio panjang:lebar daun < 3 0 1 1 1 1 1 1 1<br />

Rasio panjang:lebar daun ≥ 3 1 0 0 0 0 0 0 0<br />

Tinggi tanaman < 100 cm 0 1 1 0 1 1 1 1<br />

Tinggi tanaman ≥ 100 cm 1 0 0 1 0 0 0 0<br />

Diameter batang < 1,70 cm 1 1 0 0 0 0 0 0<br />

Diameter batang ≥ 1,70 cm 0 0 1 1 1 1 1 1<br />

Diameter rimpang < 3,5 cm 1 0 1 0 1 1 0 0<br />

Diameter rimpang ≥ 3,5 cm 0 1 0 1 0 0 1 1<br />

Diameter buah < 1,25 cm 1 1 0 1 0 0 1 1<br />

Diameter buah ≥ 1,25 cm 0 0 1 0 1 1 0 0<br />

Jumlah biji dalam buah < 22 0 1 1 0 1 1 1 1<br />

Jumlah biji dalam buah ≥ 22 1 0 0 1 0 0 0 0<br />

Panjang sepala < 5 cm<br />

0 1 1 1 1 1 1 1


573<br />

Tabel 8. Perbandingan ciri morfologi <strong>dan</strong> pola pita isozim ganyong di wilayah<br />

eks-karesidenan Surakarta (lanjutan).<br />

Parameter I II III IV V VI VII VIII<br />

Panjang sepala ≥ 5 cm 1 0 0 0 0 0 0 0<br />

Lebar sepala < 1 cm 0 1 1 0 1 1 0 1<br />

Lebar sepala ≥ 1 cm 1 0 0 1 0 0 1 0<br />

Panjang petala < 7 cm 0 1 1 1 1 1 1 1<br />

Panjang petala ≥ 7 cm 1 0 0 0 0 0 0 0<br />

Lebar petala < 1 cm 0 1 1 0 1 0 0 1<br />

Lebar petala ≥ 1 cm 1 0 0 1 0 1 1 0<br />

Panjang staminodia < 6 cm 0 1 1 1 1 1 1 1<br />

Panjang staminodia ≥ 6 cm 1 0 0 0 0 0 0 0<br />

Lebar staminodia < 1 cm 0 1 1 1 1 1 1 1<br />

Lebar staminodia ≥ 1 cm 1 0 0 0 0 0 0 0<br />

Panjang putik < 6 cm 0 1 1 1 1 1 1 1<br />

Panjang putik ≥ 6 cm 1 0 0 0 0 0 0 0<br />

Lebar putik < 0,5 cm 0 1 1 1 1 1 0 1<br />

Lebar putik ≥ 0,5 cm 1 0 0 0 0 0 1 0<br />

Panjang anter < 1 cm 1 0 1 1 1 1 0 1<br />

Panjang anter ≥ 1 cm 0 1 0 0 0 0 1 0<br />

Lebar anter < 0,15 cm 0 1 1 1 0 1 0 1<br />

Lebar anter ≥ 0,15 cm 1 0 0 0 1 0 1 0<br />

Panjang bunga < 7 cm 0 1 1 1 1 1 0 1<br />

Panjang bunga ≥ 7 cm 1 0 0 0 0 0 1 0<br />

Diameter pangkal bunga < 0,5 cm 0 1 1 0 1 1 0 1<br />

Diameter pangkal bunga ≥ 0,5 cm 1 0 0 1 0 0 1 0<br />

Sepala menekuk 1 0 0 0 0 0 0 0<br />

Sepala tidak menekuk 0 1 1 1 1 1 1<br />

Rf 0,22 1 1 1 1 1 1 1 1<br />

Rf 0,28 1 1 1 1 0 1 1 1<br />

Rf 0,34 0 0 0 1 1 0 1 0<br />

Rf 0,38 0 0 1 0 0 1 1 1<br />

Keterangan:<br />

Rf 0,41 0 1 1 1 1 1 1 0<br />

Rf 0,09 1 1 1 1 1 1 1 1<br />

Rf 0,16 0 0 0 0 0 1 0 0<br />

Rf 0,22 1 1 1 1 1 1 1 1<br />

Rf 0,38 0 0 1 1 1 1 1 1<br />

Rf 0,41 1 1 0 0 0 0 0 0<br />

Rf 0,44 0 1 1 1 1 1 1 1<br />

I= C. hybrida, II= Surakarta, III= Wonogiri, IV=Klaten,<br />

V= Boyolali, VI= Sukoharjo, VII= Sragen, VIII= Karanganyar.


58 4<br />

Dari data tersebut setelah dianalisis dengan menggunakan indeks<br />

similaritas (IS) diperoleh dendogram seperti tampak pada Gambar 10.<br />

11,57<br />

36,6<br />

41,4<br />

40,4<br />

45<br />

48<br />

40<br />

Gambar 10. Dendogram hubungan kekerabatan ganyong di wilayah ekskaresidenan<br />

Surakarta berdasarkan ciri morfologi <strong>dan</strong> pola pita<br />

isozim.<br />

Keterangan:<br />

I = C. hybrida,<br />

II = Surakarta,<br />

III = Wonogiri,<br />

IV = Klaten,<br />

V = Boyolali,<br />

VI = Sukoharjo,<br />

VII = Sragen,<br />

VIII = Karanganyar.<br />

Dari dendogram yang diperoleh dapat diketahui bahwa bahwa berdasarkan<br />

ciri morfologi <strong>dan</strong> pola pita isozim, hubungan kekerabatan terdekat yaitu ganyong<br />

dari wilayah Wonogiri yang mengelompok dengan ganyong dari wilayah<br />

Sukoharjo pada koefisien kemiripan 48%. Ganyong Wonogiri <strong>dan</strong> ganyong


595<br />

Sukoharjo bergabung dengan ganyong Karanganyar pada koefisien kemiripan<br />

45%. Ganyong Wonogiri, Sukoharjo, <strong>dan</strong> Karanganyar bergabung dengan<br />

ganyong Surakarta pada koefisien kemiripan 41,4%. Ganyong Wonogiri,<br />

Sukoharjo, Karanganyar, <strong>dan</strong> Surakarta bergabung dengan ganyong Boyolali pada<br />

koefisien kemiripan 40,4%. Se<strong>dan</strong>gkan ganyong Klaten <strong>dan</strong> ganyong Sragen<br />

mengelompok pada koefisien kemiripan 40%. Keduanya bergabung dengan enam<br />

sampel sebelumnya pada koefisien kemiripan 36,6%. Se<strong>dan</strong>gkan C. hybrida<br />

memiliki hubungan kekerabatan terjauh dari sampel yang lain yaitu dengan<br />

koefisien kemiripan 11,57%.<br />

Ciri morfologi <strong>dan</strong> pola pita isozim yang digabung <strong>dan</strong> digunakan menjadi<br />

penentu hubungan kekerabatan memberikan hasil yang berbeda apabila keduanya<br />

digunakan tanpa penggabungan. Semakin banyak ciri yang digunakan untuk<br />

menentukan hubungan kekerabatan, semakin besar pula peluang mendapatkan<br />

hasil dengan akurasi tinggi.


6<br />

BAB V<br />

KESIMPULAN DAN SARAN<br />

A. Kesimpulan<br />

1. Berdasarkan ciri morfologi, ganyong di wilayah eks-karesidenan Surakarta<br />

memiliki keragaman terutama pada warna <strong>dan</strong> ukuran tubuh serta organ<br />

tanaman meliputi tinggi tanaman, warna daun, diameter rimpang, diameter<br />

buah, lebar sepala, lebar petala, lebar anther.<br />

2. Berdasarkan pola pita isozim, ganyong di wilayah eks-karesidenan Surakarta<br />

memiliki keragaman yang dilihat dari kemunculan serta tebal tipis pita pada Rf<br />

0,28; 0,34; 0,38; 0,41 untuk isozim esterase <strong>dan</strong> Rf 0,09; 0,16; 0,38; 0,41; 0,44<br />

untuk isozim peroksidase.<br />

3. Berdasarkan ciri morfologi, ganyong Wonogiri <strong>dan</strong> ganyong Sukoharjo<br />

memiliki hubungan kekerabatan terdekat dengan koefisien kemiripan 44%,<br />

se<strong>dan</strong>gkan hubungan kekerabatan terjauh yaitu antara C. hybrida dengan<br />

sampel yang lain pada koefisien kemiripan 7,14%. Berdasarkan pola pita<br />

isozim, ganyong Wonogiri <strong>dan</strong> Sragen memiliki hubungan kekerabatan<br />

terdekat dengan koefisien kemiripan 73%, <strong>dan</strong> hubungan kekerabatan yang<br />

terjauh yaitu antara C. hybrida dengan sampel yang lain pada koefisien<br />

kemiripan 34,71%. Adapun berdasarkan ciri morfologi <strong>dan</strong> pola pita isozim,<br />

ganyong Wonogiri <strong>dan</strong> ganyong Sukoharjo memiliki hubungan kekerabatan<br />

terdekat dengan koefisien kemiripan 48%, se<strong>dan</strong>gkan hubungan kekerabatan<br />

60


761<br />

terjauh yaitu antara C. hybrida dengan sampel yang lain pada koefisien<br />

kemiripan 11,57%.<br />

B. Saran<br />

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai variasi genetik ganyong<br />

dengan penambahan jenis isozim <strong>dan</strong> penambahan sampel serta jenis kultivar<br />

yang digunakan untuk menguatkan a<strong>dan</strong>ya variasi genetik pada spesies ganyong.<br />

Selain itu juga perlu dilakukan penelitian lanjut dengan menggunakan penanda<br />

molekuler DNA yang merupakan material genetik yang tidak dipengaruhi oleh<br />

kondisi lingkungan <strong>dan</strong> umur tanaman sehingga dapat secara representatif<br />

mewakili keragaman genetik secara lebih akurat baik antar kultivar maupun<br />

kerabat jauhnya.


628<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Abdullah, B. 2001. The Use of Isozymes as Biochemical Markers in Rice<br />

Research. Buletin AgroBio 4 (2): 39-44.<br />

Aboel-Atta, A. I. 2009. Isozymes, RAPD and ISSR Variation in Melilotus indica<br />

(L.) All. and M. siculus (Turra) B.G. Jacks. (Leguminosae). Academic<br />

Journal of Plant Sciences 2 (2): 113-118.<br />

Aboel-Atta. 2009. On the Taxonomy of Laurus L. (Lauraceae, Evidence from<br />

Isozymes, RAPD and ISSR. Academic Journal of Plant Sciences 2 (2): 82-<br />

91.<br />

Abulias, M. N. <strong>dan</strong> D. Bhagawati. 2008. Studi Awal Keragaman Genetik Ikan<br />

Betutu (Oxyeleotris sp.) di Waduk Penjalin Menggunakan Lima Macam<br />

Isozim. Prosiding Seminar Nasional Sains <strong>dan</strong> Teknologi-II. Universitas<br />

Lampung, Lampung.<br />

Arial. 2009. BATAN Selenggarakan Kuliah Umum Iptek Nuklir di <strong>UNS</strong>.<br />

http://batan.go.id// [26 Juli 2010].<br />

Armstrong, W. P. 2000. Canna edulis Ker. http://www.plantsciences.ucdavis.edu/<br />

[25 April 2009].<br />

Balai Kliring Keanekaragaman Hayati. 2009. Ganyong. http://bplhjabar.go.id/. [2<br />

Juli. 2010].<br />

Begum, M., S. Yesmine, N. Khan, A. T. M. Abdullah, and T. A. Khan. 2009.<br />

Brief Study on the Genetic Variations at Isozyme Loci in Native Catfish<br />

(Clarias batrachus), African Catfish (Clarias gariepinus) and their Hybrid<br />

(Clarias gariepinus x Clarias batrachus). Bangladesh J. Sci. Ind. Res. 44<br />

(4): 381-386.<br />

Bhagawati, D., M. N. Abulias, <strong>dan</strong> A. H. Susanto. 2008. Analisis Kekerabatan<br />

Filogenetik U<strong>dan</strong>g Windu Berdasarkan Pola Pita Isozim. Prosiding<br />

Seminar Nasional Sains <strong>dan</strong> Teknologi-II. Universitas Lampung,<br />

Lampung.<br />

Cahyarini, R. D., A. Yunus, E. Purwanto. 2004. Identifikasi Keragaman Genetik<br />

Beberapa Varietas Lokal Kedelai di Jawa Berdasarkan Analisis Isozim.<br />

Agrosains 6 (2): 79-83.<br />

Direktorat Budidaya Kacang-kacangan <strong>dan</strong> Umbi-umbian. 2009. Ganyong.<br />

http://bukabi wordpress.com/ [29 April 2009].


639<br />

Eko. 2008. Budidaya Ganyong. http://ditjentan.deptan.go.id/ [23 September<br />

2008].<br />

Fatchiyah. 2006. Gel Elektroforesis. Lab. Sentral Biologi Molekuler <strong>dan</strong> Seluler<br />

Departemen Biologi. Universitas Brawijaya, Malang.<br />

Flach, M. and F. Rumawas. 1996. Plant Resources of South East Asia No. 9.<br />

Plants Yielding Non Seed Carbohydrates. Prosea Foundation, Bogor.<br />

Gepts, Paul. 2009. Who's Who in the History of Crop Evolution Studies.<br />

www.plantsciences.ucdavis.edu. [31 Mei 2010].<br />

Gonzalez, M. 2007. Canna edulis Ker. http://farm2.static.flickr.com/ [25 April<br />

2009].<br />

Hadiati, S. <strong>dan</strong> D. Sukmadjaja. 2002. Keragaman Pola Pita Beberapa Varietas<br />

Nenas Berdasarkan Analisis Isozim. Jurnal Bioteknologi Pertanian 7 (20):<br />

62-70.<br />

Harsono, T. <strong>dan</strong> A. Hartana. 2003. Biosistematika Kultivar Salak di Bangkalan<br />

Madura. Floribunda 2 (4): 95-101.<br />

Haryo. 2009. Info Geografis Surakarta. http://surakarta.go.id/ [26 Juli 2010].<br />

Hendriyani, I.S. <strong>dan</strong> N. Setiari. 2009. Kandungan Klorofil <strong>dan</strong> Pertumbuhan<br />

Kacang Panjang (Vigna sinensis) pada Tingkat Penyediaan Air yang<br />

Berbeda. Jurnal Sains <strong>dan</strong> Matematika 17 (3): 145 - 150.<br />

Imai, K., T. Kanawa and K. Shimabe. 1993. Studies on Matter Production of<br />

Edible Canna (Canna edulis Ker.). Japanese Journal of Crop Science 62:<br />

601-602.<br />

Indriani, F. C., Sudjindro, A. N. Sugiharto, <strong>dan</strong> L. Soetopo. 2008. Keragaman<br />

Genetik Plasma Nutfah Kenaf (Hibiscus cannabinus L.) <strong>dan</strong> Beberapa<br />

Spesies yang Sekerabat Berdasarkan Analisis Isozim. Agritek. 6 (9): 1793-<br />

1802.<br />

Julisaniah, N. I., L. Sulistyowati, <strong>dan</strong> A. N. Sugiharto. 2008. Analisis Kekerabatan<br />

Mentimun (Cucumis sativus L.) Menggunakan Metode RAPD-PCR <strong>dan</strong><br />

Isozim. Biodiversitas 9 (2): 99-102.<br />

Laely, N. 2008. Variasi Genetik Ubi Jalar (Ipomoea batatas Linn.) Magelang<br />

Berdasarkan Pola Pita Isozim. Skripsi. Fakultas Matematika <strong>dan</strong> Ilmu<br />

Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret, Surakarta.


10 64<br />

Maideliza, T. <strong>dan</strong> Mansyurdin. 2007. Keragaman Alel Gadung Liar (Dioscorea<br />

bulbifera L.) di Sumatera Barat. Makara Sains 11 (1): 23-27.<br />

Mariani, Y. 2002. Studi Tentang Variasi Isozim dari Beberapa Koloni Wereng<br />

Hijau (Neophotettix virescenc) Sebagai Vektor Pembawa Penyakit Tungro<br />

Pada Padi. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret,<br />

Surakarta.<br />

Nuryadin, A. 2008. Budidaya Ganyong. http://www.featikabsinjai.blogspot.com/<br />

[10 Mei 2009].<br />

Persatuan Ahli Gizi Indonesia. 2009. Tabel Komposisi Pangan Indonesia. Elex<br />

Media Komputindo, Jakarta.<br />

Plantus. 2007. Tanaman Ganyong Bisa Jadi Substitusi Tepung Terigu.<br />

http://anekaplanta.wordpress.com/2007/12/21/tanaman-ganyong-bisa-jadisubstitusi-tepung-terigu/<br />

[16 April 2009].<br />

Pramono, S. 2009. Ganyong untuk Bioetanol. http://www.beritajogja.com/ [26<br />

April 2009].<br />

Purwanto, E., Sukaya, A. Setianto, <strong>dan</strong> H. Santoso. 2002. Identifikasi Berdasarkan<br />

Penanda Isozim Terhadap Plasma Nutfah Jeruk Besar (Citrus maxima<br />

Merr.) di Blora, Jawa Tengah. BioSMART 4 (2): 44-47.<br />

Putri, L. S. E, <strong>dan</strong> D. Sukandar. 2008. Konversi Pati Ganyong (Canna edulis Ker.)<br />

Menjadi Bioetanol melalui Hidrolisis Asam <strong>dan</strong> Fermentasi. Biodiversitas<br />

9 (2): 112-116.<br />

Salisbury, F. B. and C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid II<br />

(diterjemahkan oleh Diah R. Lukman <strong>dan</strong> Sumaryono). Penerbit ITB,<br />

Bandung.<br />

Sitompul, S. M. <strong>dan</strong> B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah<br />

Mada University Press, Yogyakarta.<br />

Sudarmono. 2006. Pendekatan Konservasi Tumbuhan dengan Teknik Molekuler<br />

Elektroforesis. Jurnal Inovasi 7 (18).<br />

Sulistiyono, E., Sutarno, <strong>dan</strong> S. B. Moria. 2005. Variasi Genetik U<strong>dan</strong>g Putih<br />

(Penaeus merguiensis de Man) di Juwana <strong>dan</strong> Banyuwangi Berdasarkan<br />

Data Elektroforesis Enzim. Bioteknologi 2 (1): 1-8.<br />

Suranto. 2002. Cluster Analysis of Ranunculus Species. Biodiversitas 3(1): 201-<br />

206.


11 65<br />

Suranto. 2000. Electrophoresis Studies of Ranunculus triplodontus populations.<br />

Biodiversitas 1 (1): 1-7.<br />

Susanto, A. <strong>dan</strong> A. Suhardianto. 2004. Studi Tanaman Ganyong (Canna edulis<br />

Ker.) sebagai Alternatif Sumber Karbohidrat dalam Rangka Meningkatkan<br />

Ketahanan Pangan (Studi Kasus di Desa Jlegiwinangun, Kecamatan<br />

Kutowinangun, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah). Jurnal Matematika,<br />

Sains <strong>dan</strong> Teknologi. 5 (1).<br />

Suskendriyati, H., A. Wijayati, N. Hidayah, D. Cahyuningdari. 2000. Studi<br />

Morfologi <strong>dan</strong> Hubungan Kekerabatan Varietas Salak Pondoh (Salacca<br />

zalacca (Gaert.) Voss.) Di Dataran Tinggi Sleman. Biodiversitas 1 (2):<br />

59-64.<br />

Steenis, C. G. G. J. van. 2008. Flora Untuk Sekolah di Indonesia. Cetakan Kedua<br />

Belas. (diterjemahkan oleh Moeso Surjowinoto, dkk.). Pradnya Paramita,<br />

Jakarta.<br />

War<strong>dan</strong>i, S. 2008. Karakterisasi Lundi Putih (Melolonthidae: Coleoptera) Pada<br />

Agroekosistem Salak Pondoh Di Lereng Gunung Merapi Berdasarkan Pola<br />

Pita Isozim. Skripsi. Fakultas Matematika <strong>dan</strong> Ilmu Pengetahuan Alam<br />

Universitas Sebelas Maret, Surakarta.<br />

Wigati, E. 2003. Variasi Genetik Ikan Anggoli (Pristipomoides multidens)<br />

Berdasarkan Pola Pita Allozyme. Skripsi. Fakultas Matematika <strong>dan</strong> Ilmu<br />

Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret, Surakarta.<br />

Yuniastuti, E., R. Setiamihardja, M. H. Karmana, N. Toruan-Mathius. 2005.<br />

Analisis AFLP pada Abnormalitas Klon-klon Kelapa Sawit (Elaeis<br />

Guineensis Jacq.) Hasil Kultur Jaringan yang Berbuah Normal <strong>dan</strong><br />

Abnormal. Agrosains 7(1): 7-12.<br />

Yunus, A. 2007. Identifikasi Keragaman Genetik Jarak Pagar (Jatropha curcas<br />

L.) di Jawa Tengah Berdasarkan Penanda Isoenzim. Biodiversitas 8 (3):<br />

249-252.


LAMPIRAN<br />

12


66 13<br />

Lampiran 1. Indeks Similaritas (IS) ciri morfologi, pola pita isozim, <strong>dan</strong><br />

penggabungan ciri morfologi dengan pola pita isozim ganyong.<br />

a. Ciri morfologi<br />

IS I & II = 2/54 x 100 % = 3,70 %<br />

IS I & III = 2/54 x 100 % = 3,70 %<br />

IS I & IV = 7/54 x 100 % = 12,96 %<br />

IS I & V = 3/54 x 100 % = 5,56 %<br />

IS I & VI = 3/54 x 100 % = 5,56 %<br />

IS I & VII = 7/54 x 100 % = 12,96 %<br />

IS I & VIII = 2/54 x 100 % = 3,70 %<br />

IS II & III = 21/54 x 100 % = 38,89 %<br />

IS II & IV = 17/54 x 100 % = 31,48 %<br />

IS II & V = 20/54 x 100 % = 37,04 %<br />

IS II & VI = 21/54 x 100 % = 38,89 %<br />

IS II & VII = 18/54 x 100 % = 33,33 %<br />

IS II & VIII = 23/54 x 100 % = 42,59 %<br />

IS III & IV = 17/54 x 100 % = 31,48 %<br />

IS III & V = 23/54 x 100 % = 42,59 %<br />

IS III & VI = 24/54 x 100 % = 44,44 %<br />

IS III & VII = 17/54 x 100 % = 31,48 %<br />

IS III & VIII = 22/54 x 100 % = 40,74 %<br />

IS IV & V = 16/54 x 100 % = 29,63 %<br />

IS IV & VI = 19/54 x 100 % = 35,19 %<br />

IS IV & VII = 18/54 x 100 % = 33,33 %<br />

IS IV & VIII = 18/54 x 100 % = 33,33 %<br />

IS V & VI = 23/54 x 100 % = 42,59 %<br />

IS V & VI = 18/54 x 100 % = 33,33 %<br />

IS V & VIII = 21/54 x 100 % = 38,89 %<br />

IS VI & VII = 17/54x 100 % = 31,48 %<br />

IS VI & VIII = 22/54 x 100 % = 40,74 %<br />

IS VII & VIII = 17/54 x 100 % = 31,48


67 14<br />

b. Pola pita isozim<br />

Esterase<br />

IS I & II = 2/5 x 100 % = 40 %<br />

IS I & III = 2/5 x 100 % = 40 %<br />

IS I & IV = 2/5 x 100 % = 40 %<br />

IS I & V = 1/5 x 100 % = 20 %<br />

IS I & VI = 2/5 x 100 % = 40 %<br />

IS I & VII = 2/5 x 100 % = 40 %<br />

IS I & VIII = 2/5 x 100 % = 40 %<br />

IS II & III = 3/5 x 100 % = 60 %<br />

IS II & IV = 3/5 x 100 % = 60 %<br />

IS II & V = 2/5 x 100 % = 40 %<br />

IS II & VI = 3/5 x 100 % = 60 %<br />

IS II & VII = 3/5 x 100 % = 60 %<br />

IS II & VIII = 3/5 x 100 % = 60 %<br />

IS III & IV = 3/5 x 100 % = 60 %<br />

IS III & V = 2/5 x 100 % = 40 %<br />

IS III & VI = 4/5 x 100 % = 80 %<br />

IS III & VII = 4/5 x 100 % = 80 %<br />

IS III & VIII = 4/5 x 100 % = 80 %<br />

IS IV & V = 3/5 x 100 % = 60 %<br />

IS IV & VI = 3/5 x 100 % = 60 %<br />

IS IV & VII = 4/5 x 100 % = 80 %<br />

IS IV & VIII = 3/5 x 100 % = 60 %<br />

IS V & VI = 2/5 x 100 % = 40 %<br />

IS V & VII = 3/5 x 100 % = 60 %<br />

IS V & VIII = 2/5 x 100 % = 40 %<br />

IS VI & VII = 4/5 x 100 % = 80 %<br />

IS VI & VIII = 4/5 x 100 % = 80 %<br />

IS VII & VIII = 4/5 x 100 % = 80 %


15 68<br />

Peroksidase<br />

IS I & II = 3/6 x 100 % = = 50 %<br />

IS I & III = 2/6 x 100 % = = 33,33 %<br />

IS I & IV = 2/6 x 100 % = = 33,33 %<br />

IS I & V = 2/6 x 100 % = = 33,33 %<br />

IS I & VI = 1/6 x 100 % = = 16,67 %<br />

IS I & VII = 2/6 x 100 % = = 33,33 %<br />

IS I & VIII = 3/6 x 100 % = = 50 %<br />

IS II & III = 3/6 x 100 % = = 50 %<br />

IS II & IV = 3/6 x 100 % = = 50 %<br />

IS II & V = 2/6 x 100 % = = 33,33 %<br />

IS II & VI = 2/6 x 100 % = = 33,33 %<br />

IS II & VII = 3/6 x 100 % = = 50 %<br />

IS II & VIII = 2/6 x 100 % = = 33,33 %<br />

IS III & IV = 4/6 x 100 % = = 66,67 %<br />

IS III & V = 3/6 x 100 % = = 50 %<br />

IS III & VI = 3/6 x 100 % = = 50 %<br />

IS III & VII = 4/6 x 100 % = = 66,67 %<br />

IS III & VIII = 4/6 x 100 % = = 66,67 %<br />

IS IV & V = 3/6 x 100 % = = 50 %<br />

IS IV & VI = 3/6 x 100 % = = 50 %<br />

IS IV & VII = 4/6 x 100 % = = 66,67 %<br />

IS IV & VIII = 4/6 x 100 % = = 66,67 %<br />

IS V & VI = 2/6 x 100 % = = 33,33 %<br />

IS V & VII = 3/6 x 100 % = = 50 %<br />

IS V & VIII = 3/6 x 100 % = = 50 %<br />

IS VI & VII = 3/6 x 100 % = = 50 %<br />

IS VI & VIII = 3/6 x 100 % = = 50 %<br />

IS VII & VIII = 4/6 x 100 % = = 66,67 %


6916<br />

Esterase <strong>dan</strong> Peroksidase<br />

IS I & II = 5/11 x 100 % = 45,45 %<br />

IS I & III = 4/11 x 100 % = 36,36 %<br />

IS I & IV = 4/11 x 100 % = 36,36 %<br />

IS I & V = 3/11 x 100 % = 27,27 %<br />

IS I & VI = 3/11 x 100 % = 27,27 %<br />

IS I & VII = 4/11 x 100 % = 36,36 %<br />

IS I & VIII = 4/11 x 100 % = 36,36 %<br />

IS II & III = 6/11 x 100 % = 54,54 %<br />

IS II & IV = 6/11 x 100 % = 54,54 %<br />

IS II & V = 4/11 x 100 % = 36,36 %<br />

IS II & VI = 5/11 x 100 % = 45,45 %<br />

IS II & VII = 6/11 x 100 % = 54,54 %<br />

IS II & VIII = 6/11 x 100 % = 54,54 %<br />

IS III & IV = 7/11 x 100 % = 63,63 %<br />

IS III & V = 5/11 x 100 % = 45,45 %<br />

IS III & VI = 7/11 x 100 % = 63,63 %<br />

IS III & VII = 8/11 x 100 % = 72,72 %<br />

IS III & VIII = 8/11 x 100 % = 72,72 %<br />

IS IV & V = 6/11 x 100 % = 54,54 %<br />

IS IV & VI = 6/11 x 100 % = 54,54 %<br />

IS IV & VII = 8/11 x 100 % = 72,72 %<br />

IS IV & VIII = 7/11 x 100 % = 63,63 %<br />

IS V & VI = 4/11 x 100 % = 36,36 %<br />

IS V & VII = 6/11 x 100 % = 54,54 %<br />

IS V & VIII = 5/11 x 100 % = 45,45 %<br />

IS VI & VII = 7/11 x 100 % = 63,63 %<br />

IS VI & VIII = 7/11 x 100 % = 63,63 %<br />

IS VII & VIII = 8/11 x 100 % = 72,72 %


7017<br />

c. Penggabungan ciri morfologi <strong>dan</strong> pola pita isozim<br />

IS I & II = 7/65 x 100 % = 10,77 %<br />

IS I & III = 6/65 x 100 % = 9,23 %<br />

IS I & IV = 11/65 x 100 % = 16,92 %<br />

IS I & V = 6/65 x 100 % = 9,23 %<br />

IS I & VI = 6/65 x 100 % = 9,23 %<br />

IS I & VII = 11/65 x 100 % = 16,92 %<br />

IS I & VIII = 6/65 x 100 % = 9,23 %<br />

IS II & III = 27/65 x 100 % = 41,54 %<br />

IS II & IV = 23/65 x 100 % = 35,38 %<br />

IS II & V = 24/65 x 100 % = 36,92 %<br />

IS II & VI = 26/65 x 100 % = 40 %<br />

IS II & VII = 24/65 x 100 % = 36,92 %<br />

IS II & VIII = 29/65 x 100 % = 44,62 %<br />

IS III & IV = 24/65 x 100 % = 36,92 %<br />

IS III & V = 28/65 x 100 % = 43,08 %<br />

IS III & VI = 31/65 x 100 % = 47,69 %<br />

IS III & VII = 25/65 x 100 % = 38,46 %<br />

IS III & VIII = 30/65 x 100 % = 46,15 %<br />

IS IV & V = 22/65 x 100 % = 33,85 %<br />

IS IV & VI = 25/65 x 100 % = 38,46 %<br />

IS IV & VII = 26/65 x 100 % = 40 %<br />

IS IV & VIII = 25/65 x 100 % = 38,85 %<br />

IS V & VI = 27/65 x 100 % = 41,54 %<br />

IS V & VII = 24/65 x 100 % = 36,92 %<br />

IS V & VIII = 26/65 x 100 % = 40 %<br />

IS VI & VII = 24/65 x 100 % = 36,92 %<br />

IS VI & VIII = 29/65 x 100 % = 44,62 %<br />

IS VII & VIII = 25/65 x 100 % = 38,85 %


71 18<br />

Keterangan:<br />

I = C. hybrida,<br />

II = Surakarta,<br />

III = Wonogiri,<br />

IV = Klaten,<br />

V = Boyolali,<br />

VI = Sukoharjo,<br />

VII = Sragen,<br />

VIII = Karanganyar.<br />

IS = Indeks Similaritas<br />

IS = (m/n) x 100%<br />

m = jumlah ciri yang sama<br />

n = jumlah ciri keseluruhan


19 72<br />

Lampiran 2. Matriks Indeks Similaritas (IS) ciri morfologi ganyong, pola pita<br />

Isozim, <strong>dan</strong> penggabungan ciri morfologi dengan pola pita Isozim<br />

ganyong.<br />

a. Ciri Morfologi<br />

I II III IV V VI VII VIII<br />

I x<br />

II 3,70 x<br />

III 3,70 38,89 x<br />

IV 12,96 31,48 31,48 x<br />

V 5,56 37,04 42,59 29,63 x<br />

VI 5,56 38,89 44,44 35,19 42,59 x<br />

VII 12,96 33,33 31,48 33,33 33,33 31,48 x<br />

VIII 3,70 42,59 40,74 33,33 38,89 40,74 31,48 x<br />

b. Pola Pita Isozim<br />

Esterase<br />

I II III IV V VI VII VIII<br />

I X<br />

II 40 X<br />

III 40 60 X<br />

IV 40 60 60 X<br />

V 20 40 40 60 X<br />

VI 40 60 80 60 40 X<br />

VII 40 60 80 80 60 80 X<br />

VIII 40 60 80 60 40 80 80 X<br />

Peroksidase<br />

I II III IV V VI VII VIII<br />

I X<br />

II 50 X<br />

III 33,33 50 X<br />

IV 33,33 50 66,67 X<br />

V 33,33 33,33 50 50 X<br />

VI 16,67 33,33 50 50 33,33 X<br />

VII 33,33 50 66,67 66,67 50 50 X<br />

VIII 50 33,33 66,67 66,67 50 50 66,67 X


7320<br />

Esterase <strong>dan</strong> peroksidase<br />

I II III IV V VI VII VIII<br />

I X<br />

II 45,45 X<br />

III 36,36 54,54 X<br />

IV 36,36 54,54 63,63 X<br />

V 27,27 36,36 45,45 54,54 X<br />

VI 27,27 45,45 63,63 54,54 36,36 X<br />

VII 36,36 54,54 72,72 72,72 54,54 63,63 X<br />

VIII 36,36 54,54 72,72 63,63 45,45 63,63 72,72 X<br />

c. Penggabungan ciri morfologi <strong>dan</strong> pola pita isozim<br />

I II III IV V VI VII VIII<br />

I X<br />

II 10,77 X<br />

III 9,23 41,54 X<br />

IV 16,92 35,38 36,92 X<br />

V 9,23 36,92 43,08 33,85 X<br />

VI 9,23 40 47,69 38,46 41,54 X<br />

VII 16,92 36,92 38,46 40 36,92 36,92 X<br />

VIII 9,23 44,62 46,15 38,85 40 44,62 38,85 X<br />

Keterangan:<br />

I = C. hybrida,<br />

II = Surakarta,<br />

III = Wonogiri,<br />

IV = Klaten,<br />

V = Boyolali,<br />

VI = Sukoharjo,<br />

VII = Sragen,<br />

VIII = Karanganyar.


21 74<br />

Lampiran 3. Hasil elektroforesis isozim ganyong.<br />

a. esterase<br />

I II III IV<br />

V VI VII VIII<br />

b. peroksidase<br />

I II III IV V VI VII VIII<br />

Keterangan:<br />

I = C. hybrida,<br />

II = Surakarta,<br />

III = Wonogiri,<br />

IV = Klaten,<br />

V = Boyolali,<br />

VI = Sukoharjo,<br />

VII = Sragen,<br />

VIII = Karanganyar.


75 22<br />

Lampiran 4. Morfologi ganyong di wilayah eks-karesidenan Surakarta.<br />

a. C. hybrida<br />

b. Surakarta


76 23<br />

c. Wonogiri<br />

d. Klaten


77 24<br />

e. Boyolali


78 25<br />

f. Sukoharjo<br />

g. Sragen


2679<br />

h. Karanganyar


80 27<br />

RIWAYAT HIDUP PENULIS<br />

Nama lengkap : Santi Silfiana Ashary<br />

Tempat <strong>dan</strong> tanggal lahir : Cilacap, 28 maret 1989<br />

Jenis kelamin : Perempuan<br />

Agama : Islam<br />

Status Pernikahan : Belum menikah<br />

Alamat asal : Jl. Tirtomulyo 116 RT 02/IX Mertasinga Cilacap<br />

Utara Cilacap Jawa Tengah 53232<br />

Alamat di Solo : Jl. Kabut RT 03/23 Panggungrejo Jebres Surakarta<br />

No HP : 085642022664<br />

Alamat E-mail : silfiana_santi@yahoo.co.id<br />

Pendidikan Formal<br />

Tingkat Pendidikan Nama Tahun mulai Tahun selesai<br />

SD<br />

SLTP<br />

SLTA<br />

Perguruan Tinggi<br />

SD Negeri Mertasinga 01<br />

SMP Negeri 5 Cilacap<br />

SMA Negeri 1 Cilacap<br />

Universitas Sebelas Maret<br />

1994<br />

2000<br />

2003<br />

2006<br />

2000<br />

2003<br />

2006<br />

2010<br />

Pendidikan Non Formal<br />

Nama Pelatihan/Kursus Instansi Penyelenggara Tahun<br />

1. Pelatihan Dokter Kecil Tingkat SD<br />

2. Kursus Tari<br />

3. Beladiri tangan kosong (BETAKO)<br />

4. Ekstrakurikuler Komputer<br />

5. Sosialisasi Karantina Pertanian Tingkat<br />

SMU<br />

6. Workshop and TOEFL Training<br />

7. Training Budidaya Anggrek dengan<br />

Kultur Jaringan<br />

8. Training Pembuatan Nata de Coco<br />

9. Pelatihan Training Asisten Biologi<br />

Molekuler<br />

Dinas Pendidikan<br />

Sanggar Tari Cipto<br />

Arum<br />

PPS BETAKO Merpati<br />

Putih<br />

SMA Negeri 1 Cilacap<br />

Departemen Pertanian<br />

BEM <strong>UNS</strong><br />

KS Bioteknologi<br />

KS Bioteknologi<br />

UPT Lab. <strong>Pusat</strong> MIPA<br />

<strong>UNS</strong><br />

1999<br />

1998-<br />

1999<br />

1999-<br />

2002<br />

2006<br />

2006<br />

2009<br />

2009<br />

2009<br />

2009


28 81<br />

Prestasi<br />

Prestasi<br />

1. Juara Harapan II Siswa Tela<strong>dan</strong> Tingkat SD Se-Kabupaten Cilacap<br />

2. Lulusan terbaik <strong>dan</strong> peraih nilai tertinggi SMP Negeri 5 Cilacap<br />

3. Juara II First Aid Invitation Tingkat Wira Se-Jawa Tengah<br />

4. Juara II Proposal PKM Lomba Keilmiahan HIMABIO FMIPA <strong>UNS</strong><br />

Tahun<br />

1999<br />

2003<br />

2004<br />

2008<br />

Beasiswa yang Pernah Diperoleh<br />

Nama beasiswa Instansi Pemberi Tahun<br />

1. Beasiswa Pendidikan<br />

2. Beasiswa Pengembangan Prestasi<br />

Akademik (PPA)<br />

SMA Negeri 1 Cilacap<br />

<strong>UNS</strong><br />

2002-2003<br />

2008-2010<br />

Pengalaman Organisasi<br />

Organisasi Jabatan Tahun<br />

1. PMR Madya Puma Palmera<br />

2. PMR Wira SMA Negeri 1 Cilacap<br />

3. GAPPALMERA CILACAP<br />

4. UKM BKKT (Ba<strong>dan</strong> Koordinasi<br />

Kesenian Tradisional) <strong>UNS</strong><br />

5. Keluarga Cilacap (KECAP <strong>UNS</strong>)<br />

6. HIMABIO FMIPA <strong>UNS</strong><br />

7. HIMABIO FMIPA <strong>UNS</strong><br />

8. Kelompok Studi enviRo<br />

9. Kelompok Studi Bioteknologi<br />

10. Kelompok Studi Mutasi<br />

Anggota<br />

Sekretaris<br />

Bendahara<br />

Staff Bi<strong>dan</strong>g II<br />

Anggota<br />

Staff HUMAS Internal<br />

Koord. Dept. HUMAS<br />

Staff Divisi Riset<br />

Anggota<br />

Anggota<br />

2001-2002<br />

2004-2005<br />

2004<br />

2006-2007<br />

2006-sekarang<br />

2007<br />

2008<br />

2008<br />

2009-sekarang<br />

2009-sekarang<br />

Pengalaman Bekerja<br />

Pekerjaan<br />

1. Tentor Les Privat<br />

2. Asisten Praktikum Biokimia di Jurusan Biologi FMIPA <strong>UNS</strong><br />

3. Kegiatan Magang Mahasiswa (KMM) di Balai Besar Kesehatan<br />

Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta<br />

4. Asisten Praktikum Taksonomi Tumbuhan <strong>dan</strong> Fisiologi Hewan di<br />

Jurusan Biologi FMIPA <strong>UNS</strong><br />

5. Asisten Praktikum Taksonomi Modern <strong>dan</strong> Genetika Lanjut<br />

Program Studi Biosains Pascasarjana <strong>UNS</strong><br />

6. Asisten Praktikum Struktur <strong>dan</strong> Perkembangan Hewan I, Struktur<br />

<strong>dan</strong> Perkembangan Tumbuhan I, <strong>dan</strong> Struktur <strong>dan</strong> perkembangan<br />

Tumbuhan II di Jurusan Biologi FMIPA <strong>UNS</strong><br />

Tahun<br />

2008<br />

2008<br />

2009<br />

2009<br />

2009<br />

2010<br />

Surakarta, 15 Juli 2010<br />

Santi Silfiana Ashary

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!