Download - Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah UNS
Download - Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah UNS
Download - Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah UNS
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
STUDI KERAGAMAN GANYONG (Canna edulis Ker.) DI WILAYAH EKS-<br />
KARESIDENAN SURAKARTA BERDASARKAN CIRI MORFOLOGI<br />
DAN POLA PITA ISOZIM<br />
Skripsi<br />
Untuk memenuhi sebagian persyaratan<br />
guna memperoleh gelar Sarjana Sains<br />
Oleh:<br />
Santi Silfiana Ashary<br />
NIM. M 0406015<br />
JURUSAN BIOLOGI<br />
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM<br />
UNIVERSITAS SEBELAS MARET<br />
SURAKARTA<br />
2010
29<br />
STUDI KERAGAMAN GANYONG (Canna edulis Ker.) DI WILAYAH EKS-<br />
KARESIDENAN SURAKARTA BERDASARKAN CIRI MORFOLOGI<br />
DAN POLA PITA ISOZIM<br />
Skripsi<br />
Untuk memenuhi sebagian persyaratan<br />
guna memperoleh gelar Sarjana Sains<br />
Oleh:<br />
Santi Silfiana Ashary<br />
NIM. M 0406015<br />
JURUSAN BIOLOGI<br />
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM<br />
UNIVERSITAS SEBELAS MARET<br />
SURAKARTA<br />
2010<br />
i
01978032001<br />
31
32<br />
PERNYATAAN<br />
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil penelitian saya sendiri<br />
<strong>dan</strong> tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar<br />
kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, serta tidak terdapat karya atau pendapat<br />
yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu<br />
dalam naskah ini <strong>dan</strong> disebutkan dalam daftar pustaka.<br />
Apabila di kemudian hari dapat ditemukan a<strong>dan</strong>ya unsur penjiplakan maka gelar<br />
kesarjanaan yang telah diperoleh dapat ditinjau <strong>dan</strong>/atau dicabut.<br />
Surakarta, 2 Agustus 2010<br />
Santi Silfiana Ashary<br />
NIM. M 0406015<br />
iv
33<br />
STUDI KERAGAMAN GANYONG (Canna edulis Ker.) DI WILAYAH EKS-<br />
KARESIDENAN SURAKARTA BERDASARKAN CIRI MORFOLOGI<br />
DAN POLA PITA ISOZIM<br />
Santi Silfiana Ashary<br />
Jurusan Biologi, Fakultas Matematika <strong>dan</strong> Ilmu Pengetahuan Alam,<br />
Universitas Sebelas Maret, Surakarta<br />
ABSTRAK<br />
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman <strong>dan</strong> hubungan<br />
kekerabatan ganyong di wilayah eks-karesidenan Surakarta berdasarkan ciri<br />
morfologi <strong>dan</strong> pola pita isozim.<br />
Penelitian yang dilakukan meliputi pengamatan ciri morfologi <strong>dan</strong><br />
elektroforesis tunas rimpang ganyong untuk memperoleh pita isozim. Tunas<br />
rimpang segar diekstrak dengan cara digerus <strong>dan</strong> ditambahkan buffer ekstraksi<br />
kemudian disentrifuse pada kecepatan 13000 rpm selama 20 menit. Supernatan<br />
ditambahkan dengan loading dye kemudian dielektroforesis pada gel<br />
poliakrilamid. Ciri morfologi <strong>dan</strong> pola pita isozim yang diperoleh kemudian<br />
dianalisis menggunakan Indeks Similaritas (IS) <strong>dan</strong> dikomputasi dengan program<br />
Numerical Taxonomy and Multivariate Analysis System (NTSYS) versi 2.0<br />
sehingga diperoleh dendogram hubungan kekerabatan ganyong.<br />
Hasil penelitian menunjukkan a<strong>dan</strong>ya keragaman ciri morfologi ganyong<br />
di wilayah eks-karesidenan Surakarta yang meliputi warna <strong>dan</strong> ukuran organ<br />
tanaman. Pola pita isozim yang didapat juga menunjukkan keragaman yang<br />
meliputi kemunculan <strong>dan</strong> tebal tipis pita. Berdasarkan ciri morfologi <strong>dan</strong> pola pita<br />
isozim, ganyong Wonogiri <strong>dan</strong> ganyong Sukoharjo memiliki hubungan<br />
kekerabatan terdekat dengan koefisien kemiripan 48%, se<strong>dan</strong>gkan hubungan<br />
kekerabatan terjauh yaitu antara C. hybrida dengan sampel yang lain pada<br />
koefisien kemiripan 11,57%.<br />
Kata kunci: ganyong, ciri morfologi, pita isozim, hubungan kekerabatan.<br />
v
34<br />
DIVERSITY STUDY OF EDIBLE CANNA (Canna edulis Ker.) IN<br />
SURAKARTA REGION BASED ON THE MORPHOLOGICAL<br />
CHARACTERS AND ISOZYM BAND PATTERN<br />
Santi Silfiana Ashary<br />
Department of Biology, Faculty of Mathematic and Natural Science<br />
Sebelas Maret University, Surakarta<br />
ABSTRACT<br />
The aim of the research is to study the diversity and relationship of Edible<br />
Canna in Surakarta region based on the morphological characters and isozym<br />
band pattern.<br />
This research included morphological observation of Edible Canna and<br />
electrophoresis of the rhizomes to get isozym band pattern. Edible Canna’s fresh<br />
rhizomes were extracted with extract buffer and then centrifuged at 13000 rpm<br />
during 20 minutes. Supernatan and loading dye were mixed and then<br />
electrophored with poliacrilamide gel. The morphological characters and isozym<br />
band pattern were analysed using Similarity Index (SI) and computed with<br />
Numerical Taxonomy and Multivariate Analysis System (NTSYS) program 2.0<br />
version until get the dendogram.<br />
From the research, it can be concluded that there were diversity of Edible<br />
Canna based on the morphological characters and isozym band pattern. The<br />
diversity of morphological ganyong included the colour and size of Edible<br />
Canna’s organs. The diversity of isozym band pattern included emergence and<br />
thickness of band. Based on the morphological characters and isozym band<br />
pattern, Edible Canna from Wonogiri and ganyong from Sukoharjo have the<br />
closest relationship with similarity coefficient 48%, whereas the farthest was the<br />
relationship of C. hybrida with the others at similarity coefficient of 11,57%.<br />
Keyword: Edible Canna, morphological characters, isozym band, the relationship.<br />
vi
35<br />
MOTTO<br />
“Be yourself, do the best.”<br />
“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan<br />
(Q.S. Al-Insyirah: 6).”<br />
“Belajar adalah sama dengan mendayung melawan arus: Ketika anda berhenti<br />
mendayung, anda mulai bergerak mundur”<br />
(Anonymous).<br />
“If you fail to prepare, you prepare to fail”<br />
(Benjamin Franklin).<br />
vii
36<br />
PERSEMBAHAN<br />
Skripsi ini kupersembahkan untuk:<br />
Mama, Papa, <strong>dan</strong> adikku tercinta, kalian alasan aku<br />
bertahan.<br />
Samsul Ma’arif, kekasih yang selalu memberikan<br />
semangat <strong>dan</strong> memaklumiku dengan sabar.<br />
Sahabat-sahabatku, yang dengan tulus memberikan<br />
dukungan <strong>dan</strong> bantuan.<br />
Almamater-ku tercinta,<br />
Universitas Sebelas Maret, Surakarta.<br />
viii
37<br />
KATA PENGANTAR<br />
Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat<br />
serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian <strong>dan</strong><br />
penyusunan skripsi dengan judul Studi Keragaman Ganyong (Canna edulis Ker.)<br />
di Wilayah Eks-Karesidenan Surakarta Berdasarkan Ciri Morfologi <strong>dan</strong> Pola Pita<br />
Isozim. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh<br />
gelar kesarjanaan Strata 1 (S1) di Jurusan Biologi, Fakultas Matematika <strong>dan</strong> Ilmu<br />
Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.<br />
Dalam melakukan penelitian <strong>dan</strong> penyusunan skripsi, penulis<br />
mendapatkan masukan <strong>dan</strong> dukungan dari berbagai pihak yang sangat membantu<br />
<strong>dan</strong> bermanfaat dalam penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu, penulis<br />
mengucapkan terima kasih kepada :<br />
Warsih Ashary, Satin Ahmad Rizal Ashary, Ikhsani May Rosita Ashary.<br />
Mama, Papa, <strong>dan</strong> Adik tercinta yang selalu memberikan kasih sayang, dukungan,<br />
<strong>dan</strong> doa demi kelancaran studi penulis.<br />
Dra. En<strong>dan</strong>g Anggarwulan, M.Si., selaku Pembimbing Akademik penulis<br />
sekaligus Ketua Jurusan Biologi, Fakultas Matematika <strong>dan</strong> Ilmu Pengetahuan<br />
Alam, Universitas Sebelas Maret, Surakarta yang telah memberikan izin <strong>dan</strong><br />
dukungannya selama penelitian.<br />
Nita Etikawati, M. Si., selaku Dosen Pembimbing I yang telah<br />
memberikan proyek penelitian, saran, bimbingan, serta kesabaran dari awal<br />
penelitian hingga terselesaikannya penyusunan skripsi ini.<br />
Suratman, M.Si., selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan<br />
bimbingan serta dukungan baik secara moril maupun materiil. Terima kasih juga<br />
atas pengetahuan yang berharga bagi penulis.<br />
Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D, selaku Dosen Penelaah I atas segala<br />
masukan <strong>dan</strong> dukungannya selama ini.<br />
Elisa Herawati, M. Eng., selaku Dosen Penelaah II yang telah memberikan<br />
saran <strong>dan</strong> dukungan hingga terselesaikannya penyusunan skripsi ini.<br />
ix
38<br />
Dosen-dosen di Jurusan Biologi, Fakultas Matematika <strong>dan</strong> Ilmu<br />
Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret, Surakarta yang telah mendidik <strong>dan</strong><br />
memberikan dorongan baik moral maupun spiritual sehingga penulis dapat<br />
menyelesaikan skripsi ini.<br />
Staf administrasi Jurusan Biologi serta laboran yang telah membantu<br />
kelancaran penelitian ini.<br />
Kepala <strong>dan</strong> staf Laboratorium <strong>Pusat</strong>, Sub Laboratorium Biologi<br />
Universitas Sebelas Maret, Surakarta yang telah memberikan izin penelitian<br />
beserta sarana, prasarana <strong>dan</strong> bantuan selama penelitian.<br />
Solichatun, M.Si, Esty Elifah, S.Si., Muslihah Nur Hidayati, S.Si., Ida<br />
Liana, S.Si., Wintang Nugraheni, S.Si, Ulfa Qurniawati, Rhosid Fajar Ismail,<br />
Setya Budi, <strong>dan</strong> Fina Ernawati yang telah membantu dalam pengambilan sampel.<br />
Shaffi Fauzi Rahman, S.Si., Sri War<strong>dan</strong>i, S.Si., Awan Atas Prahara,<br />
A.Md., Rahmad Yulianto, Ibnu Solikhin, Joko Aribowo, Satyarani Devi, Hardian<br />
Muladi Samodro, Muhammad Amri Yahya, Samsul Ma’arif, Ika Nugraha<br />
Fitriana, Fatri Nikendari, Niyar Candra Agustin, Rianita, <strong>dan</strong> Fitri Afifah yang<br />
telah memberikan bantuan <strong>dan</strong> dukungan yang sangat berarti bagi penulis.<br />
Luthviasari Astudiro, Nanik Rustangingrum, sahabat terbaik penulis yang<br />
selalu mendukung <strong>dan</strong> memberikan semangat.<br />
Teman-teman Biologi semua angkatan khususnya angkatan 2006 yang<br />
selalu memberikan motivasi <strong>dan</strong> dukungan kepada penulis.<br />
Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang<br />
tidak dapat disebutkan satu persatu.<br />
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam melakukan penelitian hingga<br />
penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu masukan yang<br />
bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat<br />
bermanfaat.<br />
Surakarta, Juli 2010<br />
Penulis<br />
x
39<br />
DAFTAR ISI<br />
Halaman<br />
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i<br />
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. ii<br />
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iii<br />
HALAMAN PERNYATAAN ......................................................................... iv<br />
ABSTRAK ....................................................................................................... v<br />
ABSTRACT ..................................................................................................... vi<br />
HALAMAN MOTTO ...................................................................................... vii<br />
HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... viii<br />
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ix<br />
DAFTAR ISI .................................................................................................... xi<br />
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xiii<br />
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiv<br />
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xv<br />
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................. xvi<br />
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................. 1<br />
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1<br />
B. Perumusan Masalah .................................................................... 4<br />
C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 4<br />
D. Manfaat Penelitian ...................................................................... 5<br />
BAB II. LANDASAN TEORI ........................................................................ 6<br />
A. Tinjauan Pustaka ........................................................................ 6<br />
1. Ganyong (Canna edulis Ker.) .............................................. 6<br />
2. Ciri Morfologi ...................................................................... 12<br />
3. Isozim ................................................................................... 13<br />
4. Elektroforesis ....................................................................... 14<br />
5. Gel Poliakrilamid ................................................................. 15<br />
6. Hubungan kekerabatan ......................................................... 16<br />
B. Kerangka Pemikiran ................................................................... 17<br />
C. Hipotesis ..................................................................................... 19<br />
xi
40<br />
BAB III. METODE PENELITIAN.................................................................. 20<br />
A. Waktu <strong>dan</strong> Tempat penelitian ..................................................... 20<br />
B. Alat <strong>dan</strong> Bahan ............................................................................ 20<br />
C. Cara Kerja ................................................................................... 21<br />
D. Analisis Data ............................................................................... 26<br />
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ 28<br />
A. Morfologi Ganyong ..................................................................... 28<br />
1. Rimpang ............................................................................... 32<br />
2. Batang .................................................................................. 33<br />
3. Daun ..................................................................................... 34<br />
4. Bunga ................................................................................... 35<br />
5. Buah <strong>dan</strong> Biji ....................................................................... 37<br />
B. Pola Pita Isozim .......................................................................... 38<br />
C. Hubungan Kekerabatan ............................................................... 44<br />
1. Hubungan Kekerabatan Ganyong Berdasarkan Ciri<br />
Morfologi ............................................................................. 44<br />
2. Hubungan Kekerabatan Ganyong Berdasarkan Pola Pita<br />
Isozim .................................................................................. 48<br />
3. Hubungan Kekerabatan Ganyong Berdasarkan Ciri<br />
Morfologi <strong>dan</strong> Pola Pita Isozim .......................................... 56<br />
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 60<br />
A. Kesimpulan ................................................................................. 60<br />
B. Saran ............................................................................................ 61<br />
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 62<br />
LAMPIRAN ..................................................................................................... 66<br />
RIWAYAT HIDUP PENULIS ........................................................................ 80<br />
xii
41<br />
DAFTAR TABEL<br />
Halaman<br />
Tabel 1. Ciri morfologi ganyong di wilayah eks-karesidenan Surakarta. ..... 31<br />
Tabel 2. Hasil analisis ketebalan pita isozim esterase ganyong .................... 40<br />
Tabel 3. Hasil analisis ketebalan pita isozim peroksidase ganyong .............. 43<br />
Tabel 4. Perbandingan ciri morfologi ganyong di wilayah ekskaresidenan<br />
Surakarta ...................................................................... 45<br />
Tabel 5. Perbandingan kemunculan pita isozim esterase ganyong di<br />
wilayah eks-karesidenan Surakarta ................................................. 48<br />
Tabel 6. Perbandingan kemunculan pita isozim peroksidase ganyong di<br />
wilayah eks-karesidenan Surakarta ................................................. 51<br />
Tabel 7. Kemunculan pita isozim esterase <strong>dan</strong> peroksidase ganyong di<br />
wilayah eks-karesidenan Surakarta ................................................. 53<br />
Tabel 8. Perbandingan ciri morfologi <strong>dan</strong> pola pita isozim ganyong di<br />
wilayah eks-karesidenan Surakarta ................................................. 56<br />
xiii
42<br />
DAFTAR GAMBAR<br />
Halaman<br />
Gambar 1. Morfologi ganyong .................................................................. 9<br />
Gambar 2. Bagan alir kerangka pemikiran ................................................ 18<br />
Gambar 3. Morfologi ganyong hasil pengamatan ..................................... 30<br />
Gambar 4.<br />
Gambar 5.<br />
Gambar 6.<br />
Gambar 7.<br />
Gambar 8.<br />
Gambar 9.<br />
Zimogram hasil elektroforesis isozim esterase ganyong di<br />
wilayah eks-karesidenan Surakarta ......................................... 39<br />
Zimogram hasil elektroforesis isozim peroksidase ganyong di<br />
wilayah eks-karesidenan Surakarta .......................................... 42<br />
Dendogram hubungan kekerabatan ganyong di wilayah ekskaresidenan<br />
Surakarta berdasarkan ciri morfologi ................... 46<br />
Dendogram hubungan kekerabatan ganyong di wilayah ekskaresidenan<br />
Surakarta berdasarkan pola pita isozim esterase .. 49<br />
Dendogram hubungan kekerabatan ganyong di wilayah ekskaresidenan<br />
Surakarta berdasarkan pola pita isozim<br />
peroksidase ............................................................................... 52<br />
Dendogram hubungan kekerabatan ganyong di wilayah ekskaresidenan<br />
Surakarta berdasarkan pola pita isozim esterase<br />
<strong>dan</strong> peroksidase ........................................................................ 54<br />
Gambar 10. Dendogram hubungan kekerabatan ganyong di wilayah ekskaresidenan<br />
Surakarta berdasarkan ciri morfologi <strong>dan</strong> pola<br />
pita isozim................................................................................ 58<br />
xiv
43<br />
DAFTAR LAMPIRAN<br />
Halaman<br />
Lampiran 1.<br />
Lampiran 2.<br />
Indeks Similaritas (IS) ciri morfologi, pola pita isozim, <strong>dan</strong><br />
penggabungan ciri morfologi dengan pola pita isozim<br />
ganyong ................................................................................ 66<br />
Matriks Indeks Similaritas (IS) ciri morfologi ganyong,<br />
pola pita Isozim, <strong>dan</strong> penggabungan ciri morfologi dengan<br />
pola pita Isozim ganyong ...................................................... 72<br />
Lampiran 3. Hasil elektroforesis isozim ganyong ..................................... 74<br />
Lampiran 4. Morfologi ganyong di wilayah eks-karesidenan Surakarta ... 75<br />
xv
44<br />
DAFTAR SINGKATAN<br />
Singkatan<br />
APS<br />
DNA<br />
EST<br />
H 2 O<br />
HCl<br />
NTSYS<br />
PER<br />
Rf<br />
SDS<br />
TEMED<br />
UPGMA<br />
USA<br />
Kepanjangan<br />
ammonium persulphate<br />
deoxyribose nucleic acid<br />
esterase<br />
air<br />
asam klorida<br />
Numerical Taxonomy and Multivariate Analysis System<br />
peroksidase<br />
Retardation factor<br />
sodium dodecyl sulphate<br />
N,N,N’,N’ tetramethyl-ethilenediamine<br />
Unweighted Pair Group Method With Arithmatic Averages<br />
United Stated of America<br />
xvi
45<br />
BAB I<br />
PENDAHULUAN<br />
A. Latar Belakang Masalah<br />
Kebutuhan terigu di Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya.<br />
Sebagian besar gandum yang menjadi bahan baku terigu adalah hasil impor,<br />
bahkan kini impor tepung terigu pun banyak dilakukan untuk memenuhi<br />
kebutuhan terigu di Indonesia yang diperkirakan mencapai 4,5 juta ton/tahun.<br />
Biaya impor yang mahal mengakibatkan harga gandum meningkat setiap<br />
tahunnya sehingga perlu dikembangkan alternatif pengganti terigu misalnya<br />
ganyong (Plantus, 2007).<br />
Ganyong (Canna edulis Ker.) merupakan tanaman herba yang berasal dari<br />
Amerika Selatan. Rimpang ganyong bila sudah dewasa dapat dimakan dengan<br />
mengolahnya terlebih dahulu, atau untuk diambil patinya sebagai bahan baku<br />
tepung sebagai alternatif pengganti terigu (Flach <strong>dan</strong> Rumawas, 1996).<br />
Ganyong cukup berpotensi sebagai sumber hidrat arang. Persatuan Ahli<br />
Gizi Indonesia (2009) menyebutkan bahwa kandungan gizi ganyong tiap 100<br />
gram secara lengkap terdiri dari air 79,9 g; energi 77 kkal; protein 0,6 g; lemak<br />
0,2 g; karbohidrat 18,4 g; serat 0,8 g; abu 0,9 g; kalsium 15 mg; fosfor 67 mg; besi<br />
1,0 mg; vitamin C 9 mg; <strong>dan</strong> tiamin 0,10 mg.<br />
Rimpang ganyong selain sebagai bahan makanan selingan atau bahan baku<br />
tepung pengganti tepung terigu, juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar<br />
alternatif pengganti minyak tanah <strong>dan</strong> bensin. Kandungan pati <strong>dan</strong> gula yang<br />
1
2<br />
46<br />
cukup tinggi pada rimpang ganyong memiliki potensi sebagai bahan bioetanol.<br />
Selain itu, tanaman ini mudah tumbuh, toleran pada naungan, <strong>dan</strong> punya potensi<br />
yang cukup tinggi untuk dibudidayakan (Putri <strong>dan</strong> Sukandar, 2008).<br />
Mengingat potensinya sebagai bahan pangan <strong>dan</strong> bahan baku bioetanol,<br />
perlu dilakukan upaya pemuliaan tanaman ganyong agar diperoleh bibit dengan<br />
kualitas unggul sehingga dapat menghasilkan produktivitas maksimal. Salah satu<br />
sumber dasar pemuliaan adalah ketersediaan variasi yang tinggi di dalam tanaman<br />
tersebut sehingga memungkinkan untuk dilakukan seleksi terhadap bibit yang<br />
diinginkan.<br />
Untuk mengidentifikasi variasi genetik dapat dilakukan melalui<br />
pendekatan morfologi <strong>dan</strong> molekuler. Ciri-ciri morfologi dapat digunakan untuk<br />
mengkarakterisasi pola diversitas genetik namun sifat yang dapat digambarkan<br />
hanya dalam proporsi kecil dari karakter genetik <strong>dan</strong> cenderung dipengaruhi oleh<br />
faktor lingkungan, oleh karena itu diperlukan identifikasi genetik secara<br />
molekuler untuk melengkapi keterbatasan tersebut (Hadiati <strong>dan</strong> Sukmadjaja,<br />
2002).<br />
Penggunaan isozim sebagai penanda molekuler memiliki kelebihan karena<br />
isozim diatur oleh gen tunggal <strong>dan</strong> bersifat kodominan dalam pewarisan,<br />
merupakan produk langsung dari gen, bersifat stabil karena tidak dipengaruhi oleh<br />
faktor lingkungan, cepat <strong>dan</strong> akurat karena tidak menunggu tanaman sampai<br />
berproduksi (Cahyarini dkk., 2004).<br />
Isozim merupakan enzim yang dapat bereaksi dengan substrat yang sama<br />
<strong>dan</strong> mengubahnya menjadi produk yang sama. Suatu organisme dapat memiliki
47 3<br />
isozim yang berbeda yang mampu mengkatalisis reaksi yang sama (Salisbury <strong>dan</strong><br />
Ross, 1995). Isozim yang banyak digunakan untuk mengidentifikasi tanaman<br />
yaitu esterase <strong>dan</strong> peroksidase. Esterase (EST) merupakan enzim hidrolitik yang<br />
berfungsi melakukan pemotongan ester sederhana pada asam organik, asam<br />
anorganik alkohol <strong>dan</strong> fenol serta mempunyai berat molekul yang rendah <strong>dan</strong><br />
mudah larut. Peroksidase (PER) merupakan anggota enzim oksidoreduktase.<br />
A<strong>dan</strong>ya enzim peroksidase mudah dideteksi karena aktivitasnya yang tinggi <strong>dan</strong><br />
dapat menggunakan sejumlah substrat sebagai donor hidrogen (Cahyarini dkk.,<br />
2004).<br />
Enzim esterase <strong>dan</strong> peroksidase mempunyai pola pita yang jelas <strong>dan</strong><br />
polimorfis, serta telah banyak digunakan untuk mengidentifikasi tanaman seperti<br />
kedelai (Cahyarini dkk., 2004), gadung liar (Maideliza <strong>dan</strong> Mansyurdin, 2007),<br />
jarak pagar (Yunus, 2007), <strong>dan</strong> mentimun (Julisaniah dkk., 2008). Selain itu pola<br />
isozim juga digunakan untuk identifikasi pada hewan seperti u<strong>dan</strong>g putih<br />
(Sulistiyono dkk., 2005), u<strong>dan</strong>g windu (Bhagawati dkk., 2008), ikan betutu<br />
(Abulias <strong>dan</strong> Bhagawati, 2008), <strong>dan</strong> lundi putih (War<strong>dan</strong>i, 2008).<br />
Wilayah eks-karesidenan Surakarta yang meliputi Kotamadya Surakarta,<br />
Kabupaten Wonogiri, Klaten, Boyolali, Sukoharjo, Sragen, <strong>dan</strong> Karanganyar<br />
memiliki potensi yang cukup besar di bi<strong>dan</strong>g pertanian, peternakan <strong>dan</strong><br />
holtikultura (Arial, 2009). Wilayah ini memiliki tanah bersifat pasiran dengan<br />
komposisi mineral muda yang tinggi sebagai akibat aktivitas vulkanik Gunung<br />
Merapi di barat <strong>dan</strong> Gunung Lawu di timur. Komposisi ini, ditambah dengan<br />
ketersediaan air yang cukup melimpah karena a<strong>dan</strong>ya aliran sungai Bengawan
48 4<br />
Solo sehingga wilayah ini sangat baik untuk budidaya tanaman pangan, sayuran,<br />
<strong>dan</strong> industri, seperti tembakau <strong>dan</strong> tebu (Haryo, 2009). Studi analisis keragaman<br />
ganyong belum banyak dilakukan terutama di wilayah eks-karesidenan Surakarta<br />
sehingga penelitian ini perlu untuk dilakukan.<br />
B. Perumusan Masalah<br />
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan:<br />
1. Bagaimanakah keragaman ganyong di wilayah eks-karesidenan Surakarta<br />
berdasarkan ciri morfologi?<br />
2. Bagaimanakah keragaman ganyong di wilayah eks-karesidenan Surakarta<br />
berdasarkan pola pita isozim?<br />
3. Bagaimanakah hubungan kekerabatan ganyong di wilayah eks-karesidenan<br />
Surakarta berdasarkan ciri morfologi <strong>dan</strong> pola pita isozim?<br />
C. Tujuan Penelitian<br />
Tujuan penelitian ini adalah:<br />
1. Mengetahui keragaman ganyong di wilayah eks-karesidenan Surakarta<br />
berdasarkan ciri morfologi.<br />
2. Mengetahui keragaman ganyong di wilayah eks-karesidenan Surakarta<br />
berdasarkan pola pita isozim.<br />
3. Mengetahui hubungan kekerabatan ganyong di wilayah eks-karesidenan<br />
Surakarta berdasarkan ciri morfologi <strong>dan</strong> pola pita isozim.
49 5<br />
D. Manfaat Penelitian<br />
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah memberikan informasi<br />
mengenai keragaman <strong>dan</strong> hubungan kekerabatan ganyong di wilayah ekskaresidenan<br />
Surakarta berdasarkan ciri morfologi <strong>dan</strong> pola pita isozim sehingga<br />
dapat dijadikan sebagai dasar untuk pemuliaan tanaman. Hal ini diharapkan dapat<br />
digunakan dalam upaya pemenuhan kebutuhan manusia terutama dalam hal bahan<br />
baku pangan <strong>dan</strong> bahan bakar alternatif.
50<br />
BAB II<br />
LANDASAN TEORI<br />
1. Ganyong (Canna edulis Ker.)<br />
a. Klasifikasi :<br />
A. Tinjauan Pustaka<br />
Divisi<br />
Subdivisi<br />
Kelas<br />
Ordo<br />
Famili<br />
Genus<br />
Spesies<br />
: Spermatophyta<br />
: Angiospermae<br />
: Monocotyledoneae<br />
: Zingiberales<br />
: Cannaceae<br />
: Canna<br />
: Canna edulis Ker.<br />
(Steenis, 2008).<br />
b. Nama Daerah<br />
C. edulis umum dikenal dengan nama ganyong. Selain disebut<br />
ganyong, tanaman ini memiliki beberapa nama daerah yaitu ubi pikul<br />
(Sumatra Utara), ganyong (Sunda), senitra (Jawa), banyur (Madura) (Balai<br />
Kliring Keanekaragaman Hayati, 2009).<br />
c. Habitat Ganyong<br />
Ganyong dapat tumbuh baik di berbagai iklim, dengan penyebaran<br />
curah hujan tahunan 1000-1200 mm, akan menghasilkan pertumbuhan yang<br />
memuaskan. Jenis tersebut cenderung tumbuh pada daerah yang kering,<br />
6
751<br />
tetapi bertoleransi pada tempat-tempat basah (bukan tempat yang tergenang<br />
air), juga sangat toleransi terhadap naungan. Pertumbuhan normal terjadi<br />
pada suhu di atas 10°C, tetapi juga dapat hidup pada suhu tinggi (30-32°C)<br />
<strong>dan</strong> bertoleransi pada kondisi sedikit beku. Ganyong tumbuh mulai dari<br />
pantai sampai pada ketinggian 1000-2900 m dpl. <strong>dan</strong> tumbuh dengan subur<br />
pada banyak tipe tanah, termasuk daerah-daerah marginal (misalnya tanah<br />
latosol asam); tetapi lebih menyukai tanah liat berpasir dalam, kaya akan<br />
humus serta bertoleransi pada kisaran pH 4.5-8.0 (Flach <strong>dan</strong> Rumawas,<br />
1996).<br />
d. Daerah Asal <strong>dan</strong> Persebaran<br />
Ganyong merupakan tanaman asli yang berasal dari Amerika tropis<br />
tepatnya berasal dari Amerika Selatan. Fungsinya sebagai sumber pati<br />
komersial, tanaman ini juga telah dibudidayakan tidak hanya di Amerika,<br />
tapi juga di beberapa daerah tropis termasuk Asia Tenggara (Flach <strong>dan</strong><br />
Rumawas, 1996). Tanaman ini dibudidayakan di berbagai daerah di<br />
Indonesia yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, D.I. Yogyakarta, Jambi,<br />
Lampung <strong>dan</strong> Jawa Barat. Se<strong>dan</strong>gkan di Sumatera Barat, Riau, Kalimantan<br />
Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah <strong>dan</strong><br />
Maluku, tanaman ini belum dibudidayakan <strong>dan</strong> masih merupakan tumbuhan<br />
liar di pekarangan <strong>dan</strong> di pinggir-pinggir hutan. Pada umumnya para petani<br />
yang telah membudidayakan tanaman ganyong tersebut melakukan<br />
penyiangan tetapi belum melaksanakan pemberantasan hama/penyakit<br />
(Nuryadin, 2008).
52 8<br />
Ganyong merupakan tanaman yang efisien dalam penggunaan<br />
medium fotosintesis <strong>dan</strong> toleran terhadap penaungan. Tanaman ini dapat<br />
tumbuh liar di tepi semak belukar, atau dapat juga ditanam pada tanah yang<br />
lembab. Pertumbuhan normal terjadi pada suhu di atas 9ºC meskipun<br />
tanaman ini juga toleran terhadap penurunan suhu sampai 0ºC. Cahaya<br />
menyebabkan daun layu <strong>dan</strong> memadatkan pati pada rimpang (Imai dkk.,<br />
1994).<br />
d. Morfologi Ganyong<br />
Ganyong merupakan terna berimpang, tegak. Rimpang bercabang<br />
horizontal, dengan buku-buku yang berdaging, tertutup dengan sisik daun,<br />
<strong>dan</strong> serabut akar yang tebal. Batang berdaging, muncul dari rimpang,<br />
seringkali berwarna ungu. Daun tersusun secara spiral dengan pelepah besar<br />
terbuka, ka<strong>dan</strong>g-ka<strong>dan</strong>g bertangkai daun pendek, helaian daun bulat telur<br />
sempit sampai jorong sempit. Perbungaan di ujung ranting, tan<strong>dan</strong>, biasanya<br />
sederhana tetapi ka<strong>dan</strong>g-ka<strong>dan</strong>g bercabang, muncul tunggal atau<br />
berpasangan, tidak teratur, bunga biseksual. Kelopak membundar telur,<br />
mahkota berbentuk pita, berwarna merah pucat sampai kuning, bibir bunga<br />
melonjong-membundar telur sempit, berbintik kuning dengan merah. Buah<br />
kapsul, membulat telur, merekah, bagian luar dengan duri-duri lunak. Biji<br />
banyak, bulat, halus <strong>dan</strong> keras, kehitaman sampai merah tua (Flach <strong>dan</strong><br />
Rumawas, 1996). Morfologi ganyong tampak pada Gambar 1.
53 9<br />
(b)<br />
(a)<br />
(c)<br />
Gambar 1. Morfologi ganyong: (a) habitus; (b) buah; (c) rimpang (Gepts, 2010;<br />
Gonzales, 2007; Amstrong, 2000).<br />
1). Rimpang<br />
Rimpang bercabang horizontal, panjangnya dapat mencapai 60 cm,<br />
dengan buku-buku yang berdaging menyerupai umbi, tertutup dengan<br />
sisik daun, <strong>dan</strong> serabut akar yang tebal (Flach <strong>dan</strong> Rumawas, 1996).<br />
2). Daun<br />
Tanaman ganyong berdaun lebar dengan bentuk elips memanjang<br />
<strong>dan</strong> bagian pangkal <strong>dan</strong> ujung runcing. Panjang daun 40 - 70 cm,<br />
se<strong>dan</strong>gkan lebarnya 20 - 40 cm. Warna daun beragam dari hijau muda
54 10<br />
sampai hijau tua. Ka<strong>dan</strong>g-ka<strong>dan</strong>g bergaris ungu atau keseluruhannya<br />
ungu. Demikian juga dengan pelepahnya ada yang berwarna ungu <strong>dan</strong><br />
hijau (Backer <strong>dan</strong> Bakhuizen, 1968).<br />
3). Bunga<br />
Perbungaan di ujung ranting, tan<strong>dan</strong>, biasanya sederhana tetapi<br />
ka<strong>dan</strong>g-ka<strong>dan</strong>g bercabang, muncul tunggal atau berpasangan, tidak<br />
teratur, bunga biseksual. Kelopak bulat telur, mahkota berbentuk pita,<br />
berwarna merah pucat sampai kuning, bibir bunga lonjong - bulat telur<br />
sempit, berbintik kuning dengan merah (Flach <strong>dan</strong> Rumawas, 1996).<br />
4). Buah <strong>dan</strong> Biji<br />
Buah kotak kerapkali tidak tumbuh sempurna, bulat memanjang<br />
lebar, panjang kurang lebih 3 cm, tertutup papila. Biji 5 atau kurang per<br />
ruangnya (Steenis, 2008).<br />
e. Kultivar Ganyong<br />
Di Indonesia dikenal dua macam ganyong, yaitu ganyong merah <strong>dan</strong><br />
ganyong putih. Ganyong merah ditandai dengan warna batang, daun <strong>dan</strong><br />
pelepah yang berwarna merah atau ungu. Se<strong>dan</strong>g yang warna batang, daun<br />
<strong>dan</strong> pelepahnya hijau <strong>dan</strong> sisik umbinya kecoklatan adalah ganyong putih.<br />
Ganyong merah memiliki batang lebih besar, agak tahan terkena sinar<br />
matahari <strong>dan</strong> tahan kekeringan. Biji yang dihasilkan biasanya sulit<br />
berkecambah, hasil umbi basah lebih besar tapi kadar patinya rendah.<br />
Rimpang biasanya dimakan segar atau direbus. Ganyong putih lebih kecil<br />
<strong>dan</strong> pendek, kurang tahan kena sinar tetapi tahan kekeringan. Menghasilkan
11 55<br />
biji yang bisa diperbanyak menjadi anakan tanaman. Hasil rimpang basah<br />
lebih kecil, tapi kadar patinya tinggi, umum diambil patinya (Direktorat<br />
Budidaya Kacang-kacangan <strong>dan</strong> Umbi-umbian, 2009).<br />
Daerah yang telah membudidayakan ganyong secara intensif adalah<br />
daerah pegunungan Andes (Amerika Selatan). Di daerah ini dikenal dua<br />
kultivar ganyong yaitu verdes <strong>dan</strong> morados. Verdes mempunyai rimpang<br />
berwarna putih dengan daun hijau terang, se<strong>dan</strong>gkan rimpang morados<br />
tertutup sisik yang berwarna ungu (Direktorat Budidaya Kacang-kacangan<br />
<strong>dan</strong> Umbi-umbian, 2009).<br />
f. Kandungan Kimia/Nutrisi<br />
Persatuan Ahli Gizi Indonesia (2009) menyebutkan bahwa kandungan<br />
gizi rimpang ganyong tiap 100 gram secara lengkap terdiri dari air 79,9 g;<br />
energi 77 kkal; protein 0,6 g; lemak 0,2 g; karbohidrat 18,4 g; serat 0,8 g;<br />
abu 0,9 g; kalsium 15 mg; fosfor 67 mg; besi 1,0 mg; vitamin C 9 mg; <strong>dan</strong><br />
tiamin 0,10 mg.<br />
Putri <strong>dan</strong> Sukandar (2008) menyatakan bahwa pati ganyong memiliki<br />
kadar karbohidrat 80% <strong>dan</strong> kadar air 18%. Kadar pati yang tinggi<br />
menunjukkan bahwa pati ganyong dapat dijadikan bahan baku untuk<br />
pembuatan sirup glukosa.<br />
g. Kegunaan<br />
Rimpang ganyong bila sudah dewasa dapat dimakan dengan<br />
mengolahnya terlebih dahulu, atau untuk diambil patinya sebagai bahan<br />
baku tepung sebagai alternatif pengganti terigu (Flach <strong>dan</strong> Rumawas, 1996).
56 12<br />
Pati ganyong di Vietnam banyak digunakan sebagai bahan baku mie,<br />
di Afrika biji ganyong digunakan sebagai instrumen perkusi, di Kamboja<br />
bubur dari rimpang ganyong digunakan untuk menyembuhkan penyakit<br />
kulit. Se<strong>dan</strong>gkan di Jawa serbuk dari biji ganyong bisa digunakan untuk<br />
meringankan sakit kepala <strong>dan</strong> ekstrak dari hasil tumbukan rimpang<br />
digunakan sebagai obat disentri. Air rebusan dari rimpang segar ganyong<br />
digunakan untuk pengobatan penyakit hepatitis akut di Hongkong (Flach<br />
<strong>dan</strong> Rumawas, 1996).<br />
Pati ganyong mengandung 80% karbohidrat, tingginya kadar<br />
karbohidrat ini dapat dijadikan bahan untuk pembuatan sirup glukosa<br />
melalui proses hidrolisis asam. Selain bisa digunakan sebagai alternatif<br />
bahan pangan pati ganyong juga dapat diolah menjadi bioetanol melalui<br />
hidrolisis asam <strong>dan</strong> fermentasi (Putri <strong>dan</strong> Sukandar, 2008). Kandungan pati<br />
ganyong bisa digunakan untuk pembuatan ”soon” mie putih. Ganyong<br />
sangat potensial sebagai bahan makanan alternatif (Susanto <strong>dan</strong><br />
Suhardiyanto, 2004).<br />
2. Ciri Morfologi<br />
Keanekaragaman tanaman dapat dilihat berdasarkan ciri morfologi atau<br />
menggunakan penanda molekuler (Yunus, 2007). Perbedaan <strong>dan</strong> persamaan<br />
kemunculan morfologi luar spesies suatu tanaman dapat digunakan untuk<br />
mengetahui jauh dekatnya hubungan kekerabatan (Suskendriyati dkk., 2000).<br />
Menurut Wigati (2003), identifikasi untuk membedakan suatu makhluk<br />
hidup seringkali didasarkan pada ciri morfologi yang biasa dilihat dengan
13 57<br />
mudah secara visual, se<strong>dan</strong>gkan secara genetik belum banyak dilakukan. Ciriciri<br />
morfologi suatu makhluk hidup dipengaruhi oleh lingkungan <strong>dan</strong> tidak<br />
diturunkan, se<strong>dan</strong>gkan secara genetik (genotip) adalah suatu ciri yang sifatnya<br />
tetap (tidak berubah) <strong>dan</strong> diturunkan.<br />
3. Isozim<br />
Isozim merupakan enzim yang dapat bereaksi dengan substrat yang sama<br />
<strong>dan</strong> mengubahnya menjadi produk yang sama (Salisbury <strong>dan</strong> Ross, 1995).<br />
Abdullah (2001) menyatakan bahwa isozim merupakan berbagai bentuk<br />
molekuler suatu jenis enzim dari jaringan suatu organisme yang mempunyai<br />
daya katalisis sama.<br />
Menurut Cahyarini dkk. (2004), penggunaan isozim dalam analisis<br />
keragaman genetik memiliki kelebihan karena isozim diatur oleh gen tunggal<br />
<strong>dan</strong> bersifat kodominan dalam pewarisan, kolonier dengan gen <strong>dan</strong> merupakan<br />
produk langsung gen, penanda ini bersifat stabil karena tidak dipengaruhi oleh<br />
faktor lingkungan, lebih cepat <strong>dan</strong> akurat karena tidak menunggu tanaman<br />
mulai berproduksi.<br />
Produksi isozim dikontrol oleh gen yang berbeda yang mengontrol suatu<br />
aktivitas metabolisme. Isozim dapat dideteksi <strong>dan</strong> diisolasi, sehingga dapat<br />
digunakan sebagai penanda biokimia untuk membedakan makhluk hidup<br />
(Abdullah, 2001).<br />
Isozim telah banyak digunakan untuk mengidentifikasi tanaman seperti<br />
padi (Abdullah, 2001), jeruk besar (Purwanto dkk., 2002), salak (Harsono <strong>dan</strong><br />
Hartana, 2003), kedelai (Cahyarini, 2004), gadung liar (Maideliza <strong>dan</strong>
14<br />
58<br />
Mansyurdin, 2007), jarak pagar (Yunus, 2007), mentimun (Julisaniah dkk.,<br />
2008), <strong>dan</strong> genus Laurus (Aboel-Atta, 2009), serta genus Melilotus (Aboel-<br />
Atta, 2009). Selain itu pola isozim juga digunakan untuk identifikasi pada<br />
hewan seperti u<strong>dan</strong>g putih (Sulistiyono dkk., 2005), u<strong>dan</strong>g windu (Bhagawati<br />
dkk., 2008), ikan betutu (Abulias <strong>dan</strong> Bhagawati 2008), lundi putih (War<strong>dan</strong>i,<br />
2008) <strong>dan</strong> ikan lele (Begum dkk, 2009).<br />
Esterase (EST) merupakan enzim hidrolitik yang berfungsi melakukan<br />
pemotongan ester sederhana pada asam organik, asam anorganik alkohol <strong>dan</strong><br />
fenol serta mempunyai berat molekul yang rendah <strong>dan</strong> mudah larut (Cahyarini,<br />
2004). Peroksidase (PER) merupakan anggota enzim oksidoreduktase. A<strong>dan</strong>ya<br />
enzim peroksidase mudah dideteksi karena memiliki aktivitas <strong>dan</strong> stabilitas<br />
yang tinggi serta dapat menggunakan sejumlah substrat sebagai donor hidrogen<br />
(Cahyarini, 2004).<br />
Pewarnaan dengan isozim esterase <strong>dan</strong> eperoksidase secara teknis<br />
mampu menghasilkan pola pita isozim yang jelas <strong>dan</strong> polimorfis serta telah<br />
banyak digunakan unutk mengidentifikasi tanaman seperti nanas (Hadiati <strong>dan</strong><br />
Sukmadjaja, 2002), jeruk besar (Purwanto, dkk., 2002), <strong>dan</strong> kedelai (Cahyarini,<br />
2004) maupun hewan seperti wereng hijau (Mariani, 2002), <strong>dan</strong> lundi putih<br />
(War<strong>dan</strong>i, 2008).<br />
4. Elektroforesis<br />
Salah satu metode analisis molekuler secara modern adalah pemaparan<br />
bahan genetik menggunakan alat yang dikenal sebagai elektroforesis. Metode<br />
ini membutuhkan kemampuan listrik <strong>dan</strong> pendingin yang memadai. Selain itu
59 15<br />
faktor bahan kimia yang dibutuhkan <strong>dan</strong> alat-alat yang dipakai juga beragam<br />
(Sudarmono, 2006).<br />
Prinsip dasar elektroforesis yaitu bahwa setiap genom tumbuhan (enzim/<br />
protein <strong>dan</strong> DNA) mempunyai berat molekul yang berbeda sehingga kecepatan<br />
bergerak pada media gel juga berbeda. Hal tersebut dapat dilihat melalui<br />
pewarnaan (Sudarmono, 2006).<br />
Isozim dapat dipisahkan dengan metode elektroforesis pada gel pati<br />
maupun gel poliakrilamid, hasilnya berupa zimogram pola pita yang diperoleh<br />
setelah dilakukan pewarnaan. Zimogram hasil elektroforesis bercorak khas<br />
sehingga dapat digunakan sebagai ciri untuk mencerminkan perbedaan genetik<br />
(Indriani dkk., 2008).<br />
Pelaksanaan penelitian isozim meliputi pengambilan contoh sampel,<br />
pembuatan larutan buffer (buffer pengekstrak <strong>dan</strong> buffer elektrolit), pembuatan<br />
gel poliakrilamid, ekstraksi enzim, elektroforesis, pembuatan larutan pewarna,<br />
pewarnaan, pengamatan <strong>dan</strong> pembuatan zimogram, pembuatan foto pola pita<br />
gel serta analisis pola pita isozim (Indriani dkk., 2008).<br />
5. Gel Poliakrilamid<br />
Gel poliakrilamid merupakan larutan dari akrilamid <strong>dan</strong> bisakrilamid.<br />
Elektroforesis dengan menggunakan gel poliakrilamid lebih banyak digunakan<br />
pada eksperimen analisis protein maupun campuran protein. Gel poliakrilamid<br />
merupakan medium yang dipilih untuk elektroforesis sebagian besar protein.<br />
Gel poliakrilamid memiliki keuntungan antara lain stabil pada kisaran pH,
60 16<br />
suhu, <strong>dan</strong> arus listrik tertentu serta jernih sehingga memudahkan dalam<br />
pengamatan (Hames <strong>dan</strong> Rickwood, 1990 dalam Laely, 2008).<br />
Menurut Fatchiyah (2006), gel poliakrilamid memiliki beberapa<br />
karakteristik di antaranya: efektif untuk pemisahan fragmen protein/ DNA<br />
antara 5-500 bp; ukuran perbedaan protein/DNA yang terpisah sampai 1 bp;<br />
pembuatannya lebih sulit dibanding gel agarose karena biasanya digunakan<br />
poliakrilamid dengan resolusi yang tinggi; me<strong>dan</strong> gerak secara vertikal <strong>dan</strong><br />
listriknya konstan.<br />
6. Hubungan Kekerabatan<br />
Secara genetik tidak ada dua individu dalam satu spesies yang sama.<br />
Faktor lingkungan juga ikut berpengaruh dalam timbulnya ciri-ciri yang<br />
muncul sebagai fenotip. Perbedaan yang tampak pada tiap anggota spesies<br />
menyebabkan a<strong>dan</strong>ya keragaman dalam spesies. Keragaman dalam spesies<br />
menyebabkan tiap anggota spesies dapat dilihat a<strong>dan</strong>ya kekerabatannya satu<br />
sama lain. Semakin banyak persamaan ciri-ciri yang dimiliki semakin dekat<br />
kekerabatannya. Sebaliknya, semakin sedikit persamaan dalam ciri-ciri yang<br />
dimiliki semakin jauh kekerabatannya (Sofro, 1994 dalam Wigati, 2003).<br />
Analisis hubungan kekerabatan secara molekuler dapat memberikan<br />
informasi genetik tetua yang akan dipilih dalam persilangan, sehingga<br />
bermanfaat<br />
untuk budidaya tanaman, antara lain untuk perakitan varietas<br />
unggul.<br />
Jarak genetik atau hubungan kekerabatan di antara varietas dapat<br />
menggambarkan perbedaan genetik antar varietas. Cluster dari sampel
61 17<br />
didasarkan pada matrik jarak genetik yang dapat ditampilkan dalam bentuk<br />
dendogram dengan menggunakan metode Unweighted Pair Group Method<br />
With Arithmatic Averages (UPGMA) (Suranto, 2002).<br />
B. Kerangka Pemikiran<br />
Ganyong (C. edulis) merupakan salah satu tanaman yang potensial sebagai<br />
bahan pangan alternatif <strong>dan</strong> dapat digunakan untuk pengganti terigu mengingat<br />
tingginya kebutuhan terigu Indonesia saat ini. Selain itu, rimpang ganyong dengan<br />
kandungan pati <strong>dan</strong> karbohidrat yang tinggi dapat dimanfaatkan sebagai bahan<br />
baku bioetanol. Hal ini menyebabkan perlunya studi mengenai tanaman ganyong<br />
terutama variasi morfologi, pola pita isozim, serta hubungan kekerabatan dalam<br />
suatu wilayah sehingga dapat menjadi dasar pemuliaan tanaman ganyong untuk<br />
mendapatkan sifat-sifat unggul dalam pemenuhan kebutuhan <strong>dan</strong> peningkatan<br />
kesejahteraan manusia.
18 62<br />
Potensi ganyong sebagai bahan pangan alternatif <strong>dan</strong> bahan bakar<br />
(bioetanol)<br />
Eksplorasi <strong>dan</strong> penelitian terhadap ganyong<br />
Koleksi sampel di wilayah eks-karesidenan Surakarta<br />
Studi variasi morfologi<br />
Analisis pola pita isozim<br />
dengan elektroforesis<br />
Isozim Esterase<br />
Isozim Peroksidase<br />
Variasi pola pita isozim<br />
Pengukuran jarak genetik (hubungan<br />
kekerabatan)<br />
Dasar pemuliaan tanaman<br />
Pemenuhan kebutuhan manusia<br />
Gambar 2. Bagan alir kerangka pemikiran.
19 63<br />
C. Hipotesis<br />
1. Terdapat keragaman ciri morfologi <strong>dan</strong> pola pita isozim ganyong di wilayah<br />
eks-karesidenan Surakarta.<br />
2. Hubungan kekerabatan ganyong di wilayah eks-karesidenan Surakarta dapat<br />
ditentukan berdasarkan ciri morfologi <strong>dan</strong> pola pita isozim.
64<br />
BAB III<br />
METODE PENELITIAN<br />
A. Waktu <strong>dan</strong> Tempat penelitian<br />
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai dengan<br />
Desember 2009. Penelitian dilakukan di Sub Lab Biologi Laboratorium <strong>Pusat</strong><br />
MIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta.<br />
B. Alat <strong>dan</strong> Bahan<br />
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: wadah untuk tempat<br />
sampel, sasak, cetok, pisau, kertas label, <strong>dan</strong> alat tulis. Se<strong>dan</strong>gkan untuk analisis<br />
pola pita isozim, alat yang dibutuhkan adalah satu set alat elektroforesis BIO-<br />
RAD Mini PROTEAN 3 tipe vertikal made in USA (casting stand, casting frame,<br />
clamping frame, electrode assembly, kaca pencetak gel, sisir atau comb), sumber<br />
tenaga DC BIO-RAD PowerPac 300, pH meter elektrik, timbangan elektrik,<br />
pembuat kristal es, gelas ukur, erlenmeyer, mortar, mikropipet ukuran 2-20 l <strong>dan</strong><br />
100-1000 l, refrigerator, plastik/mika, gunting, penggaris, silet, pipet tip, spatula,<br />
sentrifuge, tissue, serta nampan/cawan untuk pewarnaan <strong>dan</strong> pencucian gel. Alat<br />
dokumentasi yaitu kamera digital.<br />
Bahan yang digunakan adalah tunas rimpang ganyong (C. edulis Ker.)<br />
segar. Ganyong yang digunakan yaitu ganyong kultivar merah <strong>dan</strong> juga digunakan<br />
outgroup sebagai pembanding yaitu C. hybrida Hort. atau bunga kana hias. Selain<br />
itu, digunakan bahan-bahan untuk analisis pola pita isozim, meliputi: asam boraks,<br />
20
65 21<br />
boraks, akuades, akuabides, sistein, asam askorbat, sukrosa, Tris atau TRI<br />
(Hydroximethyl) Methylene (PURISS), asam sitrat, akrilamid, bisakrilamid,<br />
gliserol, bromphenol blue, N,N,N’,N’ tetramethyl-ethilenediamine (TEMED),<br />
ammonium persulphate (APS), asam klorida (HCl), sodium dodecyl sulphate<br />
(SDS), isobutanol jenuh, O-dianisidin, buffer asetat, hidrogen peroksida, -naftil<br />
asetat ( -naphthyl acetate), aseton, buffer phospat, <strong>dan</strong> fast Blue BB salt.<br />
C. Cara Kerja<br />
1. Penelitian di Lapangan<br />
a. Pengambilan Sampel<br />
Sampel berupa tanaman ganyong segar diambil dari wilayah ekskaresidenan<br />
Surakarta yang meliputi Kotamadya Surakarta, Kabupaten<br />
Wonogiri, Klaten, Boyolali, Sukoharjo, Sragen, <strong>dan</strong> Karanganyar.<br />
b. Pengamatan Ciri Morfologi<br />
Tanaman ganyong tersebut diamati <strong>dan</strong> dicatat ciri morfologinya<br />
meliputi tinggi tanaman; warna sisik rimpang; diameter rimpang; warna<br />
batang; diameter batang; bentuk daun; warna daun; panjang <strong>dan</strong> lebar daun;<br />
warna mahkota bunga; warna kelopak bunga; jumlah bagian-bagian bunga;<br />
ukuran bunga; bentuk buah, ukuran buah <strong>dan</strong> jumlah biji dalam buah.<br />
2. Analisis Pola Pita Isozim<br />
a. Pembuatan Buffer<br />
Buffer yang digunakan dalam elektroforesis ini dibuat berdasarkan<br />
Suranto (2000, 2002). Adapun cara pembuatannya adalah sebagai berikut:
22 66<br />
1) Tank Buffer (buffer boraks), dibuat dengan melarutkan asam boraks 14,4<br />
gram <strong>dan</strong> boraks 31,5 gram dalam akuades hingga mencapai volume 2<br />
liter.<br />
2) Buffer ekstraksi, dibuat dengan melarutkan 0,018 gram sistein, 0,021<br />
gram asam askorbat, <strong>dan</strong> 5 gram sukrosa dalam 20 ml tank buffer pH 8,4.<br />
b. Pembuatan Larutan Stok<br />
Untuk menyiapkan gel akrilamid, terlebih dahulu dibuat larutan stok<br />
yaitu:<br />
1) Larutan “L’: 27,2 gram Tris <strong>dan</strong> 0,6 gram SDS dilarutkan dalam 120 ml<br />
akuades, diatur sampai pH 8,8 dengan ditambahkan HCl <strong>dan</strong> ditambahkan<br />
akuades hingga volumenya 150 ml.<br />
2) Larutan “M”: 9,08 gram Tris <strong>dan</strong> 0,6 gram SDS dilarutkan dalam 140 ml<br />
akuades, diatur sampai pH 6,8-7,0 dengan ditambahkan HCl <strong>dan</strong><br />
ditambah akuades hingga volumenya 150 ml.<br />
3) Larutan “N”: 175,2 gram aakrilamid <strong>dan</strong> 4,8 gram bisakrilamid dilarutkan<br />
dalam 400 ml akuades <strong>dan</strong> dibuat volumenya hingga 600 ml.<br />
4) Loading dye: Untuk membuat loading dye, 50 µl bromphenol blue<br />
dilarutkan ke dalam 200 µl akuades, kemudian ditambah dengan 250 µl<br />
gliserol.<br />
c. Penyiapan Gel<br />
Penyiapan gel dimulai dengan merangkai cetakan gel, yaitu cetakan<br />
kaca yang dilengkapi spacer (pemisah) yang ditempatkan di belakang
67 23<br />
cetakan kaca yang berukuran lebih kecil. Cetakan kaca tersebut dipasang<br />
pada casting frame, selanjutnya dipasang pada casting stand.<br />
Untuk membuat discontinuous gel 12,5 %, bahan yang dicampur<br />
berupa 3, 15 ml larutan “L”; 5,25 ml larutan “N”; 4,15 ml akuades; 10 µl<br />
ammonium persulphate (APS) dengan konsentrasi 10 %, <strong>dan</strong> 10 µl TEMED.<br />
Gel pemisah dituang pada cetakan, lalu ditambahkan isobutanol<br />
jenuh. Setelah terbentuk gel yaitu kurang lebih 45 menit, isobutanol jenuh<br />
tersebut dibuang dengan jalan diserap dengan kertas hisap, lalu dibilas<br />
dengan air, <strong>dan</strong> diserap kembali air yang tersisa dengan kertas hisap. Setelah<br />
itu dipersiapkan bahan-bahan untuk pembuatan stacking gel yaitu 1,9 ml<br />
larutan “M”; 1,15 ml larutan “N”; 4,5 ml akuades; 10 µl APS dengan<br />
konsentrasi 10 %, <strong>dan</strong> 5 µl TEMED.<br />
Setelah stacking gel dituang di atas gel pemisah, sisir dipasang.<br />
Setelah terbentuk gel, sisir dilepas dari cetakan. Gel yang terbentuk<br />
dipindahkan ke clamping frame <strong>dan</strong> dimasukkan ke dalam buffer tank alu<br />
diisi dengan running buffer sampai terendam.<br />
d. Ekstraksi <strong>dan</strong> Penyiapan Sampel<br />
Sampel yang digunakan adalah rimpang ganyong yang ditunaskan<br />
selama 7 hari dengan 3 ulangan. Masing-masing mata tunas tersebut<br />
ditimbang sebanyak 100 mg lalu ditumbuk hingga hancur menggunakan<br />
mortar lalu ditambahkan dengan buffer ekstraksi dengan perbandingan 1:5<br />
untuk pewarnaan peroksidase <strong>dan</strong> 3:1 untuk pewarnaan esterase kemudian<br />
dimasukkan ke dalam tabung effendorf <strong>dan</strong> disentrifuse dengan kecepatan
24 68<br />
13000 rpm selama 20 menit. Larutan supernatan digunakan untuk proses<br />
elektroforesis.<br />
e. Elektroforesis<br />
Elektroforesis dalam penelitian ini mengacu pada metode yang<br />
dilakukan oleh Suranto (2000, 2002). Dalam penelitian ini alat yang<br />
digunakan untuk elektroforesis adalah satu set alat elektroforesis BIO-RAD<br />
Mini PROTEAN 3 tipe vertikal made in USA.<br />
Supernatan diambil dengan menggunakan mikropipet sebanyak 7 l<br />
untuk pewarnaan peroksidase dengan ditambahkan 3<br />
l loading dye,<br />
se<strong>dan</strong>gkan untuk pewarnaan esterase, 15 µl supernatan diambil dengan<br />
ditambahkan 3 µl loading dye. Sampel kemudian dielektroforesis dengan<br />
tegangan listrik konstan 85 volt selama kurang lebih 60 menit. Elektroforesis<br />
diakhiri apabila penanda warna bromphenol blue mencapai sekitar 56 mm<br />
dari slot ke arah anoda. Gel yang telah selesai running dipindahkan ke<br />
cawan pewarnaan untuk diwarnai dengan enzim pewarna.<br />
f. Pewarnaan<br />
Pewarnaan pada penelitian ini menggunakan dua sistem enzim,<br />
yaitu esterase <strong>dan</strong> peroksidase. Untuk membuat larutan pewarna, komposisi<br />
larutan yang digunakan disiapkan menurut Suranto (2000, 2002), yaitu<br />
sebagai berikut:<br />
1) Pewarnaan Esterase<br />
Sebanyak 0,0125 gram<br />
-naftil asetat dimasukkan dalam cawan<br />
pewarnaan <strong>dan</strong> dilarutkan dengan 2,5 ml aseton, kemudian ditambahkan
25 69<br />
50 ml dari 0,2 M buffer phosphat pH 6,5 <strong>dan</strong> 0,0125 gram fast Blue BB<br />
salt. Gel yang telah dielektroforesis dikeluarkan <strong>dan</strong> dimasukkan dalam<br />
larutan pewarna tersebut. Gel diinkubasi pada suhu kamar selama<br />
minimal 120 menit sambil digoyang secara perlahan-lahan setiap 10<br />
menit. Setelah muncul pita-pita, pewarna dibuang <strong>dan</strong> dibilas dengan<br />
akuades, kemudian gel diambil gambarnya dengan kamera digital.<br />
2) Pewarnaan Peroksidase<br />
Dalam cawan pewarnaan, sebanyak 0,0125 gram O-dianisidin dilarutkan<br />
dalam 2,5 ml aseton lalu ditambahkan 50 ml buffer asetat pH 4,5 <strong>dan</strong> 2<br />
tetes hidrogen peroksida. Gel yang telah dielektroforesis dimasukkan<br />
dalam larutan pewarna <strong>dan</strong> diinkubasi selama 10 menit sambil digoyang<br />
secara perlahan-lahan setiap 2 menit. Setelah muncul pita-pita, pewarna<br />
dibuang <strong>dan</strong> dibilas dengan akuades, kemudian gel diambil gambarnya<br />
dengan kamera digital.<br />
g. Proses Fiksasi Gel<br />
Fiksasi dilakukan segera setelah proses pewarnaan gel selesai.<br />
Larutan pewarna dibuang <strong>dan</strong> diganti dengan larutan fiksasi sebanyak 50<br />
ml, dengan tujuan untuk menghentikan aktivitas isozim. Larutan fiksasi<br />
yang dipakai tergantung sistem isozim yang digunakan.<br />
Untuk isozim esterase <strong>dan</strong> peroksidase larutan fiksasi yang<br />
digunakan adalah larutan fiksasi B yang dibuat dengan cara mencampurkan<br />
250 ml alkohol; 25 ml aseton; <strong>dan</strong> 225 ml H 2 O. Selanjutnya gel disimpan
26<br />
70<br />
dalam suhu dingin 4 o C selama 24 jam <strong>dan</strong> ditutup dengan plastik agar<br />
larutan fiksasi tidak menguap.<br />
h. Pengeringan <strong>dan</strong> Penyimpanan Gel<br />
Gel yang telah difiksasi perlu dikeringkan supaya tetap awet, mudah<br />
disimpan <strong>dan</strong> didokumentasikan. Pengeringan ini dilakukan dengan<br />
menggunakan cellophane. Penyimpanan gel kering diperlukan untuk tujuan<br />
penelitian lebih lanjut atau untuk pengamatan kembali pada masa<br />
mendatang. Gel yang telah kering diambil. Berbagai keterangan mengenai<br />
isozim, tanggal pengamatan, <strong>dan</strong> nomor sampel yang digunakan dicatat.<br />
i. Pengamatan<br />
Pola pita isozim hasil elektroforesis kemudian diamati <strong>dan</strong> digambar<br />
sebagai zimogram. Keragaman kemunculan pita ada apabila pita isozim<br />
khusus dengan posisi tertentu, muncul pada zimogram suatu wilayah tetapi<br />
tidak muncul pada wilayah yang lain. Keragaman tebal tipisnya pita ada<br />
apabila pita dengan letak sama muncul pada zimogram dari dua wilayah<br />
berbeda, tetapi berbeda dalam ketebalan pitanya.<br />
D. Analisis Data<br />
1. Ciri Morfologi<br />
Ciri morfologi ganyong dianalisis secara deskriptif <strong>dan</strong> dilakukan<br />
pengelompokkan berdasarkan kesamaan ciri untuk mengetahui keragaman<br />
ganyong. Data yang diperoleh kemudian disajikan dalam bentuk data biner<br />
dengan memberikan angka 1 jika sampel yang diamati memiliki ciri morfologi
27 71<br />
yang ditentukan <strong>dan</strong> angka 0 jika tidak terdapat ciri morfologi pada sampel<br />
tersebut.<br />
2. Variasi Pola Pita Isozim<br />
Pola pita isozim hasil elektroforesis dianalisis secara deskriptif. Pola<br />
pita isozim pada zimogram diamati keragamannya berdasarkan kemunculan<br />
<strong>dan</strong> tebal tipis pita pada Rf tertentu. Kemudian disajikan dalam bentuk data<br />
biner seperti halnya pada data ciri morfologi.<br />
3. Hubungan Kekerabatan<br />
Hubungan kekerabatan dihitung dengan menentukan jarak genetik.<br />
Jarak genetik menggambarkan perbedaan genetik antar populasi. Data biner<br />
yang telah diperoleh dihitung besarnya indeks similaritas <strong>dan</strong> kemudian<br />
dikomputasikan dalam program Numerical Taxonomy and Multivariate<br />
Analysis System versi 2.0 (NTSYS) hingga diperoleh dendogram hubungan<br />
kekerabatan (Rohlf, 1993 dalam Yuniastuti dkk., 2005).
72<br />
BAB IV<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
A. Morfologi Ganyong<br />
Tanaman ganyong yang digunakan dalam penelitian ini adalah ganyong<br />
kultivar merah yang diperoleh dari wilayah eks-karesidenan Surakarta <strong>dan</strong> sebagai<br />
pembanding digunakan outgroup yaitu C. hybrida yang diambil dari wilayah<br />
Klaten. Penggunaan ganyong kultivar merah dalam penelitian ini dikarenakan<br />
kultivar tersebut lebih banyak dibudidayakan masyarakat <strong>dan</strong> lebih disukai karena<br />
memiliki rimpang dengan ukuran lebih besar <strong>dan</strong> rasa yang lebih manis daripada<br />
ganyong kultivar putih.<br />
Menurut Nuryadin (2008), terdapat dua kultivar ganyong di Indonesia,<br />
yaitu ganyong merah <strong>dan</strong> ganyong putih. Ganyong merah ditandai dengan warna<br />
batang, daun <strong>dan</strong> pelepahnya yang berwarna merah atau ungu, se<strong>dan</strong>gkan<br />
ganyong putih ditandai dengan warna batang, daun <strong>dan</strong> pelepahnya hijau <strong>dan</strong> sisik<br />
rimpangnya kecoklatan.<br />
Ganyong merah memiliki batang lebih besar, agak tahan sinar <strong>dan</strong> tahan<br />
kekeringan, serta sulit menghasilkan biji. Hasil rimpang basah lebih besar tapi<br />
kadar patinya rendah. Rimpang lazim dimakan segar atau direbus (Nuryadin,<br />
2008). Ganyong putih lebih kecil <strong>dan</strong> pendek, kurang tahan sinar tetapi tahan<br />
kekeringan, selalu menghasilkan biji <strong>dan</strong> dapat diperbanyak menjadi anakan<br />
tanaman. Hasil rimpang basah lebih kecil, tapi kadar patinya tinggi <strong>dan</strong> hanya<br />
lazim diambil patinya (Nuryadin, 2008).<br />
28
73<br />
29<br />
Secara umum, ganyong dari ketujuh tempat di wilayah eks-karesidenan<br />
Surakarta (Surakarta, Wonogiri, Klaten, Boyolali, Sukoharjo, Sragen, <strong>dan</strong><br />
Karanganyar) menunjukkan ciri morfologi yang hampir sama dengan a<strong>dan</strong>ya<br />
beberapa variasi terutama warna <strong>dan</strong> ukuran.<br />
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di wilayah eks-karesidenan<br />
Surakarta, dapat diketahui bahwa tanaman ganyong berupa herba tegak dengan<br />
tinggi 69,58 - 121,2 cm. Batang sejati terdapat dalam tanah berupa rimpang yang<br />
juga merupakan ca<strong>dan</strong>gan makanan, rimpang memiliki diameter 3,2 – 6,1 cm.<br />
Pada rimpang terdapat sisik yang sebenarnya merupakan daun, berwarna hijau<br />
keunguan dalam keadaan segar. Akar serabut <strong>dan</strong> keluar dari permukaan rimpang.<br />
Daun berwarna hijau keunguan hingga ungu kehijauan dengan panjang 37,43 -<br />
44,26 cm <strong>dan</strong> lebar 17,1 - 19,41 cm; rasio panjang : lebar 2,12 - 2,56 cm;<br />
permukaan daun licin; tulang daun menyirip; pelepah daun bertumpuk<br />
membentuk batang semu berwarna hijau keunguan dengan diameter 1,52 - 1,97<br />
cm. Bunga kecil dengan 3 petala berwarna merah hingga merah gelap; panjang<br />
petala 5,9 - 6,8 cm <strong>dan</strong> lebar 0,6 - 1,2 cm. Sepala berjumlah 3; berwarna hijau<br />
kemerahan dengan panjang 4,3 - 4,9 cm <strong>dan</strong> lebar 0,6 - 1,1 cm. Panjang<br />
staminodia 5 - 5,9 cm; lebar staminodia 0,5 - 0,8 cm. Putik berbentuk pipih seperti<br />
pe<strong>dan</strong>g dengan panjang 4,7 - 5,8 cm <strong>dan</strong> lebar 0,3 - 0,6 cm. Panjang anter 0,7 - 1,3<br />
cm, se<strong>dan</strong>gkan lebar anter 0,1 - 0,2 cm. Buah beruang 3 dengan permukaan buah<br />
berbenjol-benjol; diameter buah 0,64 - 1,46 cm; jumlah biji dalam buah 14 - 24.<br />
Morfologi ganyong kultivar merah yang diambil dari wilayah eks-karesidenan<br />
Surakarta tampak pada gambar 3.
30 74<br />
(b)<br />
(a)<br />
(c)<br />
Gambar 3. Morfologi ganyong hasil pengamatan: (a) habitus; (b) bunga; (c) buah.<br />
Ganyong yang diamati di tujuh tempat di wilayah eks-karesidenan<br />
Surakarta yaitu Surakarta, Wonogiri, Klaten, Boyolali, Sukoharjo, Sragen, <strong>dan</strong><br />
Karanganyar memiliki ciri morfologi yang hampir sama tetapi terdapat perbedaan<br />
dalam warna <strong>dan</strong> ukuran seperti tampak dalam Tabel 1.
31<br />
75<br />
Tabel 1. Ciri morfologi ganyong di wilayah eks-karesidenan Surakarta.<br />
Ciri<br />
morfologi<br />
Warna daun<br />
Warna petala<br />
bunga<br />
Warna sepala<br />
bunga<br />
Warna batang<br />
Warna sisik<br />
rimpang<br />
I (C.<br />
hybrida)<br />
hijau<br />
Jingga<br />
bercorak<br />
kuning<br />
Hijau<br />
keputihan<br />
Hijau<br />
Hijau<br />
kecoklatan<br />
II (Ska) III (Wng) IV (Klt) V (Byl) VI (Skh) VII (Srg)<br />
Ungu<br />
kehijauan<br />
merah<br />
Hijau<br />
kemeraha<br />
n<br />
Hijau<br />
keunguan<br />
Hijau<br />
keunguan<br />
Hijau<br />
keunguan<br />
merah<br />
Hijau<br />
kemeraha<br />
n<br />
Hijau<br />
keunguan<br />
Hijau<br />
keunguan<br />
Ungu<br />
kehijauan<br />
Merah<br />
gelap<br />
Hijau<br />
kemeraha<br />
n<br />
Hijau<br />
keunguan<br />
Hijau<br />
keunguan<br />
Hijau<br />
keunguan<br />
Ungu<br />
kehijauan<br />
Hijau<br />
keunguan<br />
VIII<br />
(Kra)<br />
Ungu<br />
kehijauan<br />
merah merah merah merah<br />
Hijau<br />
kemeraha<br />
n<br />
Hijau<br />
keunguan<br />
Hijau<br />
keunguan<br />
Hijau<br />
kemeraha<br />
n<br />
Hijau<br />
keunguan<br />
Hijau<br />
keunguan<br />
Hijau<br />
kemeraha<br />
n<br />
Hijau<br />
keunguan<br />
Hijau<br />
keunguan<br />
Hijau<br />
kemeraha<br />
n<br />
Hijau<br />
keunguan<br />
Hijau<br />
keunguan<br />
Panjang Daun 50,5 43,84 42,53 44,06 37,43 44,26 43,86 37,67<br />
Lebar Daun 13,2 17,1 18,14 19,41 17,69 19,21 19,27 17,34<br />
Rasio<br />
panjang:<br />
lebar daun<br />
Tinggi<br />
Tanaman<br />
Diameter<br />
Batang<br />
Diameter<br />
Rimpang<br />
Diameter<br />
buah<br />
Jumlah biji<br />
dalam buah<br />
Panjang<br />
sepala<br />
3,83 2,56 2,34 2,27 2,12 2,30 2,28 2,17<br />
170 91,57 77,51 121,2 85,44 91,7 69,58 78,66<br />
1,66 1,52 1,97 1,86 1,78 1,84 1,76 1,75<br />
1,1 3,6 3,2 4,5 3,4 3,2 6,1 3,7<br />
1,34 1,27 1,02 1,31 1,23 0,64 1,46 1,30<br />
22 20 21 24 21 14 20 20<br />
8,5 4,7 4,5 4,5 4,4 4,5 4,9 4,3<br />
Lebar sepala 1,7 0,6 0,7 1,1 0,8 0,7 1,0 0,7<br />
Panjang<br />
petala<br />
13,5 6 6,2 6,6 6 5,9 6,8 6<br />
Lebar petala 5,6 0,6 0,8 1 0,7 1 1,2 0,6<br />
Panjang<br />
staminodia<br />
Lebar<br />
staminodia<br />
11 5,5 5,5 5,7 5,6 5 5,9 5,5<br />
3,8 0,7 0,5 0,6 0,5 0,5 0,8 0,7<br />
Panjang putik 8 5,7 5,4 5,5 5 4,7 5,8 4,9<br />
Lebar putik 0,9 0,4 0,3 0,4 0,3 0,3 0,6 0,3<br />
Panjang anter 0,7 1 0,8 0,9 0,8 0,8 1,3 0,7<br />
Lebar anter 0,2 0,1 0,1 0,1 0,15 0,1 0,2 0,1<br />
Panjang<br />
bunga<br />
Diameter<br />
pangkal<br />
bunga<br />
Sepala<br />
menekuk/tida<br />
k<br />
13,5 6 6 6,5 6,2 5,9 7,1 5,8<br />
0,92 0,3 0,3 0,5 0,3 0,2 0,6 0,25<br />
menekuk<br />
Keterangan:<br />
I : C. hybrida,<br />
II : Surakarta,<br />
III : Wonogiri,<br />
IV : Klaten,<br />
Tidak<br />
menekuk<br />
Tidak<br />
menekuk<br />
Tidak<br />
menekuk<br />
V<br />
VI<br />
VII<br />
VIII<br />
Tidak<br />
menekuk<br />
Tidak<br />
menekuk<br />
: Boyolali,<br />
: Sukoharjo,<br />
: Sragen,<br />
: Karanganyar.<br />
Tidak<br />
menekuk<br />
Tidak<br />
menekuk
28<br />
32<br />
Berdasarkan data ciri morfologi tersebut selanjutnya akan dibahas satupersatu<br />
mengenai bagian-bagian atau organ tanaman ganyong tersebut yang<br />
meliputi rimpang, batang, daun, serta bunga, buah, <strong>dan</strong> biji sehingga akan<br />
diketahui keragaman ganyong berdasarkan ciri morfologi yang telah diamati.<br />
1. Rimpang<br />
Rimpang merupakan batang yang tumbuh di dalam tanah. Rimpang<br />
ganyong juga berfungsi sebagai penyimpanan ca<strong>dan</strong>gan makanan. Rimpang<br />
ganyong di wilayah eks-karesidenan Surakarta seluruhnya memiliki sisik<br />
rimpang berwarna hijau keunguan. Ganyong Sragen memiliki diameter yang<br />
terbesar (6,1 cm) dengan perbedaan yang mencolok daripada ganyong dari<br />
wilayah lain. Ganyong dari wilayah Klaten memiliki diameter terbesar kedua<br />
yaitu 4,5 cm. Se<strong>dan</strong>gkan ganyong dari wilayah lainnya (Surakarta, Boyolali,<br />
Sukoharjo, Karanganyar) memiliki diameter yang tidak jauh berbeda satu sama<br />
lain yaitu antara 3,2 – 3,7 cm.<br />
Perbedaan ukuran rimpang yang cukup mencolok ini diduga karena<br />
perbedaan lingkungan tempat tumbuh seperti yang dikemukakan Nuryadin<br />
(2008) bahwa bentuk rimpang beraneka ragam begitu juga komposisi kimia<br />
<strong>dan</strong> kandungan gizinya. Perbedaan ini dipengaruhi oleh umur, varietas <strong>dan</strong><br />
tempat tumbuh tanaman.<br />
Ukuran rimpang ganyong ini bila dikaitkan dengan tinggi tanaman,<br />
ditemukan suatu keunikan dari ganyong di wilayah Sragen dibandingkan<br />
ganyong dari wilayah lain. Ganyong di wilayah Sragen memiliki tinggi<br />
tanaman yang terpendek (69,58 cm) jika dibandingkan dengan ganyong dari
33 29<br />
wilayah lain yaitu Wonogiri (77,51 cm), Karanganyar (78,66 cm), Boyolali<br />
(85,44 cm), Surakarta (91,57 cm), Sukoharjo (91,7 cm), <strong>dan</strong> yang paling tinggi<br />
yaitu dari wilayah Klaten (121,2 cm). Meskipun memiliki tinggi tanaman yang<br />
terpendek (69,58 cm), ganyong dari wilayah Sragen memiliki diameter<br />
rimpang yang terbesar (6,1 cm) jika dibandingkan dengan ganyong dari<br />
wilayah Klaten (4,5 cm), Karanganyar (3,7 cm), Surakarta (3,6 cm), Boyolali<br />
(3,4 cm), Wonogiri (3,2 cm) <strong>dan</strong> Sukoharjo (3,2 cm) yang merupakan diameter<br />
rimpang terkecil. Keunikan morfologi ganyong dari wilayah Sragen yang<br />
memiliki tinggi tanaman terpendek (69, 58 cm) tetapi diameter rimpang<br />
terbesar (6,1 cm) tersebut kemungkinan menguntungkan karena pemanfaatan<br />
ganyong yang umum dilakukan adalah diambil rimpangnya untuk diolah<br />
menjadi bahan pangan <strong>dan</strong> bahan bakar untuk memenuhi kebutuhan manusia.<br />
2. Batang<br />
Batang yang dimaksud adalah batang semu atau yang lebih umum<br />
disebut dengan batang. Batang semu ini merupakan gabungan dari pelepah<br />
daun yang bertumpuk membentuk bangunan menyerupai batang. Tidak<br />
terdapat perbedaan warna batang ganyong di wilayah eks-karesidenan<br />
Surakarta. Warna batang ganyong dari semua wilayah adalah hijau keunguan.<br />
Akan tetapi diameter batang ganyong di wilayah eks-karesidenan Surakarta<br />
beragam. Ganyong Wonogiri memiliki diameter batang paling besar yaitu (1,97<br />
cm), bila dibandingkan dengan ganyong dari wilayah lain yaitu Klaten (1,86<br />
cm), Sukoharjo (1,84 cm), Boyolali (1,78 cm), Sragen (1,76 cm), Karanganyar<br />
(1,75 cm), se<strong>dan</strong>gkan diameter batang yang terkecil yaitu ganyong Surakarta
34 30<br />
(1,52 cm). Tinggi tanaman ganyong di wilayah eks-karesidenan Surakarta<br />
bervariasi, yang tertinggi yaitu ganyong dari wilayah Klaten (121,2 cm), jika<br />
dibandingkan dengan ganyong dari wilayah lain yaitu Sukoharjo (91,7 cm)<br />
Surakarta (91,57 cm), Boyolali (85,44 cm), Karanganyar (78,66 cm), Wonogiri<br />
(77,51 cm), se<strong>dan</strong>gkan yang terendah yaitu ganyong dari wilayah Sragen<br />
(69,58 cm). Tinggi tanaman diukur mulai dari ujung daun tertinggi tanaman<br />
sampai pangkal batang yang berada pada permukaan tanah (Hendriyani dkk.,<br />
2009).<br />
Perbedaan tinggi tanaman ganyong di wilayah eks-karesidenan<br />
Surakarta dipengaruhi oleh faktor lingkungan tempat tumbuhnya. Sitompul <strong>dan</strong><br />
Guritno (1995) menyatakan bahwa tinggi tanaman merupakan ukuran tanaman<br />
yang paling sering diamati baik sebagai indikator pertumbuhan maupun<br />
parameter yang digunakan untuk mengukur pengaruh lingkungan atau<br />
perlakuan yang diterapkan. Hal ini dilakukan karena tinggi tanaman merupakan<br />
ukuran pertumbuhan yang paling mudah dilihat. Sebagai parameter pengukur<br />
pengaruh lingkungan, tinggi tanaman sensitif terhadap pengaruh lingkungan.<br />
3. Daun<br />
Ganyong berdaun lebar dengan bentuk elips memanjang <strong>dan</strong> bagian<br />
pangkal serta ujung runcing. Daun ganyong di wilayah eks-karesidenan<br />
Surakarta memiliki panjang 37,43 - 44,26 cm <strong>dan</strong> lebar 17,1 - 19,41; tulang<br />
daun menyirip <strong>dan</strong> di bagian tengah terdapat ibu tulang daun yang tebal. Warna<br />
daun hijau keunguan hingga ungu kehijauan. Merupakan daun lengkap karena<br />
memiliki helaian daun, tangkai daun, <strong>dan</strong> pelepah daun.
35 31<br />
Ganyong dari wilayah Boyolali <strong>dan</strong> Karanganyar memiliki daun yang<br />
lebih pendek <strong>dan</strong> sempit dibandingkan dengan ganyong dari wilayah yang lain.<br />
Ganyong Boyolali memiliki panjang 37,43 cm <strong>dan</strong> lebar 17,69 cm se<strong>dan</strong>gkan<br />
ganyong Karanganyar memiliki panjang 37,67 cm <strong>dan</strong> panjang 17,34 cm. Akan<br />
tetapi, ganyong Surakarta memiliki daun yang paling sempit yaitu panjang<br />
43,84 cm <strong>dan</strong> lebar 17,1 cm. Se<strong>dan</strong>gkan untuk warna daun, ada dua macam<br />
warna yaitu hijau keunguan (Wonogiri, Boyolali, Sragen) <strong>dan</strong> ungu kehijauan<br />
(Surakarta, Klaten, Sukoharjo, Karanganyar).<br />
Perbedaan warna serta ukuran daun pada tanaman ganyong di wilayah<br />
eks-karesidenan Surakarta tersebut diduga karena a<strong>dan</strong>ya pengaruh faktor<br />
lingkungan yang berbeda pada masing-masing wilayah sehingga menimbulkan<br />
pengaruh yang berbeda pula pada pemunculan fenotip ganyong meskipun<br />
perbedaan fenotip yang ditunjukkan tidak mencolok.<br />
Faktor lingkungan juga ikut berpengaruh dalam timbulnya ciri-ciri yang<br />
muncul sebagai fenotip. Perbedaan yang tampak pada tiap anggota spesies<br />
menyebabkan a<strong>dan</strong>ya keragaman dalam spesies. Keragaman dalam spesies<br />
menyebabkan tiap anggota spesies dapat dilihat a<strong>dan</strong>ya kekerabatannya satu<br />
sama lain. Semakin banyak persamaan ciri-ciri yang dimiliki semakin dekat<br />
kekerabatannya. Sebaliknya, semakin sedikit persamaan dalam ciri-ciri yang<br />
dimiliki semakin jauh kekerabatannya (Sofro, 1994 dalam Wigati, 2003).<br />
4. Bunga<br />
Warna bunga ganyong kultivar merah di wilayah eks-karesidenan<br />
Surakarta yaitu merah (red) <strong>dan</strong> merah gelap (darkred). Sepala berjumlah tiga
32 36<br />
buah, petala juga 3 buah yang salah satunya melengkung ke bawah. Benang<br />
sari belum sempurna, anter melekat pada staminodia.<br />
Bunga ganyong dari wilayah Klaten memiliki petala berwarna merah<br />
gelap (darkred) se<strong>dan</strong>gkan untuk wilayah lain (Surakarta, Wonogiri, Boyolali,<br />
Sukoharjo, Sragen, Karanganyar) memiliki petala berwarna merah (red).<br />
Se<strong>dan</strong>gkan untuk sepala bunga semuanya berwarna hijau kemerahan <strong>dan</strong> lurus<br />
(tidak menekuk). Hal ini berbeda dengan sepala C. hybrida yang menekuk pada<br />
bagian dekat pangkal. Bunga ganyong yang memiliki ukuran paling panjang<br />
adalah bunga dari wilayah Sragen (7,1 cm), disusul oleh bunga dari wilayah<br />
Klaten (6,5 cm), se<strong>dan</strong>gkan untuk bunga dari wilayah lain memiliki ukuran<br />
yang tidak jauh berbeda yaitu antara 5,8 – 6,2 cm.<br />
Bunga ganyong memiliki satu buah anther yang melekat pada<br />
staminodia, putik berjumlah satu buah <strong>dan</strong> berbentuk pipih memanjang seperti<br />
pe<strong>dan</strong>g. Anther terbesar <strong>dan</strong> terpanjang pada bunga ganyong dari Sragen<br />
(panjang 1,3 cm <strong>dan</strong> lebar 0,2 cm). Hal ini sesuai dengan ukuran bunga<br />
ganyong Sragen yang terbesar di antara yang lain.<br />
Keragaman bunga ganyong meliputi warna <strong>dan</strong> ukuran tersebut diduga<br />
karena a<strong>dan</strong>ya faktor genetik <strong>dan</strong> lingkungan yang mempengaruhi kenampakan<br />
atau fenotip dari tanaman ganyong. Fenotip adalah hasil gabungan antara<br />
genetik <strong>dan</strong> lingkungan.<br />
Menurut Sitompul <strong>dan</strong> Guritno (1995), penampilan bentuk tanaman<br />
dikendalikan oleh sifat genetik tanaman di bawah pengaruh faktor-faktor<br />
lingkungan. Faktor lingkungan yang diyakini dapat mempengaruh terjadinya
37 33<br />
perubahan morfologi tanaman antara lain iklim, suhu, jenis tanah, kondisi<br />
tanah, ketinggian tempat, kelembaban.<br />
5. Buah <strong>dan</strong> Biji<br />
Buah ganyong berwarna hijau, beruang tiga, berbentuk agak bulat<br />
dengan tonjolan-tonjolan seperti duri pada permukaannya. Buah dengan<br />
diameter terbesar yaitu buang ganyong dari wilayah Sragen yaitu 1, 46 cm,<br />
se<strong>dan</strong>gkan buah ganyong yang memiliki diameter paling kecil yaitu buah<br />
ganyong dari wilayah Sukoharjo (0,64). Di dalam buah terdapat biji ganyong<br />
berbentuk bulat <strong>dan</strong> berwarna hitam. Apabila buah masih muda, biji ganyong<br />
berwarna hijau. Jumlah biji dalam buah bervariasi. Buah ganyong dari wilayah<br />
Sukoharjo dengan jumlah biji paling sedikit (14 biji) <strong>dan</strong> memiliki perbedaan<br />
jumlah yang mencolok dengan ganyong dari wilayah lain yang pada umumnya<br />
memiliki jumlah biji dalam buah hampir sama (20-24 biji).<br />
Jumlah biji yang banyak pada tanaman ganyong ini dapat<br />
dipertimbangkan apabila tanaman ganyong akan dibudidayakan secara<br />
generatif melalui biji, mengingat perkembangbiakan ganyong yang dilakukan<br />
selama ini lebih diutamakan secara vegetatif atau secara alami menggunakan<br />
rimpang. Perbanyakan dengan rimpang ini menyebabkan hasil anakan memiliki<br />
sifat yang sama dengan induknya sehingga dalam suatu populasi ganyong tidak<br />
ditemukan a<strong>dan</strong>ya keragaman sifat dalam jumlah yang besar.<br />
Menurut Indriani dkk. (2008), keragaman suatu populasi yang berasal<br />
dari daerah dengan kisaran geografi yang rendah kemungkinan disebabkan oleh<br />
proses adaptasi yang terus-menerus sehingga akan terjadi perubahan-perubahan
38 34<br />
baik secara biokimia maupun fisiologisnya, terjadinya interaksi antara genotip<br />
dengan lingkungan yang terus-menerus menyebabkan fenotip yang hampir<br />
sama.<br />
Berdasarkan pengamatan ciri morfologi yang telah dilakukan, dapat<br />
diketahui bahwa ganyong dari wilayah Sragen memiliki keunikan<br />
dibandingkan ganyong dari wilayah lain. Keunikan tersebut yaitu ganyong dari<br />
wilayah Sragen memiliki tinggi tanaman terendah (69,58 cm) tetapi memiliki<br />
diameter rimpang tertinggi (6,1 cm), <strong>dan</strong> bagian-bagian bunga dengan ukuran<br />
yang terbesar, serta diameter buah yang terbesar (1,46 cm).<br />
B. Pola Pita Isozim<br />
Pola pita isozim banyak digunakan untuk identifikasi variasi genetik baik<br />
secara kualitatif maupun secara kuantitatif. Variasi ini akibat dari peran gen yang<br />
mengarahkan pembentukan isozim yang bersangkutan. Sistem enzim yang<br />
digunakan dalam penelitian ini adalah esterase <strong>dan</strong> peroksidase karena secara<br />
teknis mampu menghasilkan pola pita isozim yang jelas <strong>dan</strong> polimorfis serta telah<br />
banyak digunakan untuk mengidentifikasi tanaman.<br />
Penanda isozim digunakan dalam analisis keragaman genetik karena<br />
dikendalikan oleh gen tunggal <strong>dan</strong> bersifat kodominan dalam pewarisannya.<br />
Metode isozim telah banyak dimanfaatkan oleh pemulia tanaman untuk<br />
mengidentifikasi tanaman hingga tingkat varietas karena memiliki kelebihan di<br />
antaranya mudah dilakukan <strong>dan</strong> membutuhkan bahan dalam jumlah sedikit<br />
(Julisaniah dkk., 2008).
39 35<br />
Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif berdasarkan muncul<br />
tidaknya pita <strong>dan</strong> tebal tipisnya pita pada gel hasil elektroforesis. Keragaman pola<br />
pita dilihat berdasarkan nilai Rf yang terbentuk. Nilai Rf merupakan nilai<br />
mobilitas relatif yang diperoleh dari perbandingan jarak migrasi isozim terhadap<br />
jarak migrasi loading dye.<br />
Keragaman kemunculan pita ada apabila pita isozim muncul pada<br />
zimogram suatu wilayah/individu tetapi tidak muncul pada wilayah yang lain.<br />
Keragaman tebal tipisnya pita ada apabila pita dengan letak sama muncul pada<br />
zimogram dari dua wilayah/individu berbeda, tetapi berbeda dalam ketebalan<br />
pitanya. Hasil analisis elektroforesis dengan menggunakan gel poliakrilamid pada<br />
isozim esterase dapat diketahui pada Gambar 4.<br />
Gambar 4. Zimogram hasil elektroforesis isozim esterase ganyong di wilayah ekskaresidenan<br />
Surakarta.<br />
Keterangan:<br />
I : C. hybrida,<br />
V : Boyolali,<br />
II : Surakarta,<br />
VI : Sukoharjo,<br />
III : Wonogiri,<br />
VII : Sragen,<br />
IV : Klaten,<br />
VIII : Karanganyar.<br />
Dari zimogram di atas dapat diketahui a<strong>dan</strong>ya variasi dari molekul pita<br />
yang terdeteksi. Pola pita isozim esterase muncul pada lima Rf yaitu 0,22; 0,28;
40 2<br />
0,34; 0,38; <strong>dan</strong> 0,41. Pita isozim esterase yang pertama (Rf 0,22) muncul pada<br />
semua sampel dengan ketebalan yang sama. Pita isozim esterase yang kedua (Rf<br />
0,28) muncul pada semua wilayah kecuali ganyong dari wilayah Boyolali (V),<br />
dengan pita yang paling tebal muncul pada wilayah Klaten (IV). Hal ini berarti<br />
berat molekul pita isozim pada wilayah Klaten merupakan yang paling besar di<br />
antara yang lain.<br />
Pita isozim yang ketiga (Rf 0,34) hanya muncul pada wilayah Klaten (IV),<br />
Boyolali (V) <strong>dan</strong> Sragen (VII) dengan ketebalan yang sama. Se<strong>dan</strong>gkan pita<br />
isozim yang keempat (Rf 0,38) muncul pada wilayah Wonogiri (III), Sukoharjo<br />
(VI), Sragen (VII), <strong>dan</strong> Karanganyar (VIII) dengan ketebalan yang sama. Pita<br />
isozim yang kelima (Rf 0,41) muncul pada semua wilayah kecuali Karanganyar<br />
(VIII) <strong>dan</strong> C. hybrida (I). Wilayah Sragen memiliki pita isozim terbanyak (Rf<br />
0,22; 0,28; 0,34; 0,38; 0,41) bila dibandigkan dengan wilayah lain. Adapun<br />
ketebalan pita yang dihasilkan terangkum dalam Tabel 2.<br />
Tabel 2. Hasil analisis ketebalan pita isozim esterase ganyong.<br />
Rf I II III IV V VI VII VIII<br />
0,22 ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++<br />
0,28 + + + +++ - ++ ++ +<br />
0,34 - - - + + - + -<br />
0,38 - - + - - + + +<br />
0,41 - + + + + + + -<br />
Keterangan:<br />
+ = tipis<br />
++ = tebal<br />
+++ = sangat tebal<br />
- = tidak ada
41 3<br />
Dalam Cahyarini (2004), disebutkan bahwa tebal tipisnya pita yang<br />
terbentuk disebabkan karena perbedaan jumlah molekul yang termigrasi, pita yang<br />
tebal berarti memiliki berat molekul yang lebih besar dibandingkan dengan pita<br />
yang tipis. Pita yang memiliki kekuatan ionik lebih besar akan termigrasi lebih<br />
jauh daripada pita yang berkekuatan ionik kecil.<br />
Berdasarkan zimogram hasil elektroforesis pola pita esterase ganyong dari<br />
delapan macam sampel dapat diketahui ada tujuh macam pola pita jika dianalisis<br />
berdasarkan kemunculan pita yaitu pola pita A yang terdapat pada C. hybrida (I),<br />
pola pita B yang terdapat pada ganyong dari wilayah Surakarta (II), pola pita C<br />
yang terdapat pada ganyong dari wilayah Wonogiri <strong>dan</strong> Sukoharjo (III, VI), pola<br />
pita D yang terdapat pada ganyong dari wilayah Klaten (IV), pola pita E yang<br />
terdapat pada ganyong dari wilayah Boyolali (V), pola pita F yang terdapat pada<br />
ganyong dari wilayah Sragen (VII), serta pola pita G yang terdapat pada ganyong<br />
dari wilayah Karanganyar (VIII).<br />
Berdasarkan kesamaan pola tersebut, hanya ganyong dari wilayah<br />
Wonogiri <strong>dan</strong> Sukoharjo yang memiliki pola yang sama se<strong>dan</strong>gkan ganyong dari<br />
wilayah lain memiliki pola pita yang berbeda-beda. Perbedaan pola pita tersebut<br />
dapat dilihat sebagai a<strong>dan</strong>ya keragaman pola pita isozim esterase ganyong di<br />
wilayah eks-karesidenan Surakarta. Menurut Purwanto dkk. (2002), isozim<br />
merupakan produk langsung dari gen <strong>dan</strong> dapat digunakan untuk mempelajari<br />
keragaman genetik individu dalam suatu populasi. Keragaman pola pita isozim<br />
yang dihasilkan melalui elektroforesis <strong>dan</strong> pewarnaan menggambarkan keragaman<br />
genetik tanaman tersebut.
42<br />
4<br />
Adapun hasil analisis elektroforesis dengan menggunakan gel<br />
poliakrilamid pada isozim peroksidase dapat diketahui pada gambar berikut ini.<br />
Gambar 5. Zimogram hasil elektroforesis isozim peroksidase ganyong di wilayah<br />
eks-karesidenan Surakarta.<br />
I: C. hybrida, II: Surakarta, III: Wonogiri, IV: Klaten, V: Boyolali,<br />
VI: Sukoharjo, VII: Sragen, VIII: Karanganyar.<br />
Berdasarkan zimogram tersebut pita isozim peroksidase muncul pada<br />
enam Rf yaitu 0,09; 0,16; 0,22; 0,38; 0,41; <strong>dan</strong> 0,44. Pita isozim peroksidase yang<br />
pertama (Rf 0,09) muncul pada semua wilayah kecuali Sukoharjo (VI), <strong>dan</strong> pita<br />
yang paling tebal yaitu pada wilayah Sragen (VII). Pita isozim yang kedua (Rf<br />
0,16) hanya muncul pada wilayah Sukoharjo (VI). Pita isozim peroksidase yang<br />
ketiga (Rf 0,22) muncul pada semua sampel dengan ketebalan yang sama <strong>dan</strong><br />
merupakan pita yang paling tebal dibandingkan pita pertama (Rf 0,09), pita kedua<br />
(Rf 0,16), pita keempat (Rf 0,38), pita kelima (Rf 0,41) <strong>dan</strong> pita keenam (Rf 0,44).<br />
Pita isozim peroksidase yang keempat (Rf 0,38) muncul pada semua<br />
wilayah kecuali Surakarta (II) <strong>dan</strong> C. hybrida (I). Pita isozim yang kelima (Rf<br />
0,41) hanya dimiliki oleh C. hybrida (I) <strong>dan</strong> ganyong dari wilayah Surakarta (II).<br />
Se<strong>dan</strong>gkan pita isozim peroksidase yang keenam muncul pada semua wilayah<br />
kecuali C. hybrida (I). Adapun ketebalan pita isozim peroksidase yang diperoleh<br />
dapat dilihat pada Tabel 3.
43 5<br />
Tabel 3. Hasil analisis ketebalan pita isozim peroksidase ganyong.<br />
Rf I II III IV V VI VII VIII<br />
0,09 + + + + + - ++ +<br />
0,16 - - - - - + - -<br />
0,22 +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++<br />
0,38 - - + + + + + +<br />
0,41 + + - - - - - -<br />
0,44 - + + + - + + +<br />
Keterangan:<br />
+ = tipis<br />
++ = tebal<br />
+++ = sangat tebal<br />
- = tidak ada<br />
Berdasarkan zimogram hasil elektroforesis isozim peroksidase ganyong di<br />
wilayah eks-karesidenan Surakarta, dari delapan macam sampel dapat diketahui<br />
ada empat macam pola pita jika dianalisis berdasarkan kemunculan pita yaitu pola<br />
pita A yang terdapat pada C. hybrida (I), pola pita B yang terdapat pada ganyong<br />
dari wilayah Surakarta (II), pola pita C yang terdapat pada ganyong dari wilayah<br />
Wonogiri (III), Klaten (IV), Boyolali (V), Sragen (VII), Karanganyar (VIII), serta<br />
pola pita D yang terdapat pda ganyong dari wilayah Sukoharjo (VI).<br />
Keragaman pola pita isozim esterase lebih beragam daripada isozim<br />
peroksidase yaitu dengan a<strong>dan</strong>ya tujuh pola pita se<strong>dan</strong>gkan pada isozim<br />
peroksidase diperoleh empat pola pita. Keragaman pola pita pada tiap sampel<br />
tersebut secara tidak langsung juga menunjukkan susunan genetik yang berbeda<br />
pula pada tiap individu tanaman, karena enzim merupakan produk langsung dari<br />
gen dengan asam amino sebagai penyusunnya (Purwanto, 2002).
44<br />
6<br />
C. Hubungan Kekerabatan<br />
Hubungan kekerabatan ganyong di wilayah eks-karesidenan Surakarta<br />
ditentukan berdasarkan ciri morfologi, pola pita isozim, serta penggabungan ciri<br />
morfologi dengan pola pita isozim. Semakin sedikit persamaan yang dimiliki<br />
maka semakin jauh hubungan kekerabatannya, <strong>dan</strong> semakin banyak persamaan<br />
yang dimiliki maka semakin dekat hubungan kekerabatannya.<br />
Hubungan kekerabatan antara dua individu dapat diukur berdasarkan<br />
kesamaan sejumlah ciri dengan asumsi bahwa ciri yang berbeda disebabkan oleh<br />
a<strong>dan</strong>ya perbedaan susunan genetik. Ciri pada makhluk hidup dikendalikan oleh<br />
gen. Gen merupakan potongan DNA yang hasil aktivitasnya (ekspresinya) dapat<br />
diamati melalui perubahan ciri morfologi yang dapat diakibatkan oleh pengaruh<br />
lingkungan (Souza <strong>dan</strong> Sorells dalam Hadiati <strong>dan</strong> Sukmadjaja, 2002).<br />
Kedekatan kekerabatan antara kultivar maupun varietas berguna sebagai<br />
informasi di bi<strong>dan</strong>g pemuliaan tanaman karena jika tanaman yang berkerabat<br />
dekat disilangkan, maka variasi<br />
sifat keturunannya tidak jauh berbeda dari<br />
induknya. Semakin jauh jarak genetik antar kultivar, maka akan menghasilkan<br />
variasi yang lebih tinggi jika disilangkan. Walaupun demikian, dalam seleksi<br />
materi untuk persilangan tidak hanya faktor jarak genetik yang diperhitungkan,<br />
tetapi ciri lain yang menarik <strong>dan</strong> menonjol perlu dipertimbangkan untuk<br />
menghasilkan rekombinan yang baik.<br />
1. Hubungan Kekerabatan Ganyong Berdasarkan Ciri Morfologi<br />
Hubungan kekerabatan ganyong di wilayah eks-karesidenan Surakarta<br />
dapat ditentukan berdasarkan keragaman <strong>dan</strong> persamaan-persamaan ciri
45 7<br />
morfologi dari tanaman ganyong di masing-masing wilayah di eks-karesidenan<br />
Surakarta. Perbandingan ciri morfologi ganyong dapat dilihat pada Tabel 4.<br />
Tabel 4. Perbandingan ciri morfologi ganyong di wilayah eks-karesidenan<br />
Surakarta.<br />
Ciri Morfologi I II III IV V VI VII VIII<br />
Daun hijau 1 0 0 0 0 0 0 0<br />
Daun hijau keunguan 0 0 1 0 1 0 1 0<br />
Daun ungu kehijauan 0 1 0 1 0 1 0 1<br />
Petala bunga warna jingga bercorak<br />
kuning<br />
1 0 0 0 0 0 0 0<br />
Petala bunga warna merah (red) 0 1 1 0 1 1 1 1<br />
Petala bunga warna merah gelap<br />
(darkred)<br />
0 0 0 1 0 0 0 0<br />
Sepala bunga warna hijau keputihan 1 0 0 0 0 0 0 0<br />
Sepala bunga warna hijau kemerahan 0 1 1 1 1 1 1 1<br />
Batang warna hijau 1 0 0 0 0 0 0 0<br />
Batang warna hijau keunguan 0 1 1 1 1 1 1 1<br />
Warna sisik rimpang hijau kecoklatan 1 0 0 0 0 0 0 0<br />
Diameter batang ≥ 1,70 cm 0 0 1 1 1 1 1 1<br />
Diameter rimpang < 3,5 cm 1 0 1 0 1 1 0 0<br />
Diameter rimpang ≥ 3,5 cm 0 1 0 1 0 0 1 1<br />
Diameter buah < 1,25 cm 1 1 0 1 0 0 1 1<br />
Diameter buah ≥ 1,25 cm 0 0 1 0 1 1 0 0<br />
Jumlah biji dalam buah < 22 0 1 1 0 1 1 1 1<br />
Jumlah biji dalam buah ≥ 22 1 0 0 1 0 0 0 0<br />
Panjang sepala < 5 cm 0 1 1 1 1 1 1 1<br />
Panjang sepala ≥ 5 cm 1 0 0 0 0 0 0 0<br />
Lebar sepala < 1 cm 0 1 1 0 1 1 0 1<br />
Lebar sepala ≥ 1 cm 1 0 0 1 0 0 1 0<br />
Panjang petala < 7 cm 0 1 1 1 1 1 1 1<br />
Panjang petala ≥ 7 cm 1 0 0 0 0 0 0 0<br />
Lebar petala < 1 cm 0 1 1 0 1 0 0 1<br />
Lebar petala ≥ 1 cm 1 0 0 1 0 1 1 0<br />
Panjang staminodia < 6 cm 0 1 1 1 1 1 1 1<br />
Panjang staminodia ≥ 6 cm 1 0 0 0 0 0 0 0<br />
Lebar staminodia < 1 cm 0 1 1 1 1 1 1 1<br />
Lebar staminodia ≥ 1 cm 1 0 0 0 0 0 0 0<br />
Panjang putik < 6 cm 0 1 1 1 1 1 1 1<br />
Panjang putik ≥ 6 cm 1 0 0 0 0 0 0 0<br />
Lebar putik < 0,5 cm 0 1 1 1 1 1 0 1
846<br />
Tabel 4. Perbandingan ciri morfologi ganyong di wilayah eks-karesidenan<br />
Surakarta (lanjutan).<br />
Ciri Morfologi I II III IV V VI VII VIII<br />
Lebar putik ≥ 0,5 cm 1 0 0 0 0 0 1 0<br />
Panjang anter < 1 cm 1 0 1 1 1 1 0 1<br />
Panjang anter ≥ 1 cm 0 1 0 0 0 0 1 0<br />
Lebar anter < 0,15 cm 0 1 1 1 0 1 0 1<br />
Lebar anter ≥ 0,15 cm 1 0 0 0 1 0 1 0<br />
Panjang bunga < 7 cm 0 1 1 1 1 1 0 1<br />
Panjang bunga ≥ 7 cm 1 0 0 0 0 0 1 0<br />
Diameter pangkal bunga < 0,5 cm 0 1 1 0 1 1 0 1<br />
Diameter pangkal bunga ≥ 0,5 cm 1 0 0 1 0 0 1 0<br />
Sepala menekuk 1 0 0 0 0 0 0 0<br />
Keterangan: I=C. hybrida, II=Surakarta, III=Wonogiri, IV=Klaten, V=Boyolali,<br />
VI=Sukoharjo, VII=Sragen, VIII=Karanganyar, 1=ada, 0=tidak ada.<br />
Dari data tersebut setelah dianalisis dengan menggunakan indeks<br />
similaritas (IS) diperoleh dendogram seperti tampak pada Gambar 6.<br />
42,8<br />
7,14<br />
39,6<br />
32<br />
44<br />
42,8<br />
33,2<br />
Gambar 6. Dendogram hubungan kekerabatan ganyong di wilayah ekskaresidenan<br />
Surakarta berdasarkan ciri morfologi.<br />
I = Canna hybrida, II= Surakarta, III= Wonogiri, IV= Klaten, V=<br />
Boyolali, VI= Sukoharjo, VII= Sragen, VIII= Karanganyar.
247<br />
Berdasarkan dendogram yang diperoleh, dapat diketahui bahwa C.<br />
hybrida (I) terpisah dari tujuh sampel lain. Hal ini disebabkan karena C.<br />
hybrida merupakan spesies yang berbeda dari tujuh sampel lain yaitu ganyong<br />
(C. edulis). Adapun koefisien kemiripan C. hybrida (I) dengan ganyong<br />
sebesar 7,14%. Ganyong Wonogiri <strong>dan</strong> ganyong Sukoharjo mengelompok<br />
dengan koefisien kemiripan 44% yang merupakan koefisien kemiripan<br />
tertinggi, artinya ganyong Wonogiri memiliki hubungan kekerabatan paling<br />
dekat dengan ganyong Sukoharjo jika dilihat dari persamaan ciri morfologi<br />
yang dimiliki oleh keduanya. Ganyong Wonogiri (III) <strong>dan</strong> Sukoharjo (VI)<br />
bergabung dengan ganyong Boyolali (V) pada koefisien kemiripan 42,8%.<br />
Pada nilai koefisien kemiripan yang sama, ganyong Surakarta (II)<br />
mengelompok dengan ganyong Karanganyar (VIII). Kedua kelompok tersebut<br />
kemudian bergabung dengan koefisien kemiripan sebesar 39,6%. Pada<br />
kelompok yang berbeda, terdapat ganyong Klaten (IV) <strong>dan</strong> Sragen (VII)<br />
dengan koefisien kemiripan sebesar 33,2%. Kelompok ini bergabung dengan<br />
kelompok sebelumnya pada koefisien kemiripan 32%.<br />
Hubungan kekerabatan terdekat dimiliki oleh ganyong Wonogiri (III)<br />
<strong>dan</strong> Sukoharjo (VI) pada koefisien kemiripan 44%. Hal ini berarti dikarenakan<br />
keduanya lebih banyak memiliki kesamaan ciri morfologi yaitu petala bunga<br />
berwarna merah, sepala berwarna hijau kemerahan, batang warna hijau<br />
keunguan, warna sisik rimpang hijau keunguan, panjang daun < 50 cm, lebar<br />
daun ≥ 15 cm, rasio panjang:lebar daun < 3, tinggi tanaman < 100 cm,<br />
diameter batang ≥ 1,70 cm, diameter rimpang < 3,5 cm, diameter buah ≥ 1,25
348<br />
cm, <strong>dan</strong> seterusnya (lihat Tabel 1.). Se<strong>dan</strong>gkan hubungan kekerabatan terjauh<br />
yaitu antara C. hybrida (I) dengan tujuh sampel lainnya pada koefisien<br />
kemiripan sebesar 7, 14%. Hal ini disebabkan karena C. hybrida memiliki ciri<br />
morfologi yang berbeda dengan tujuh sampel lain yang merupakan ganyong<br />
(C. edulis). C. hybrida <strong>dan</strong> ganyong terdapat dalam taksa yang sama yaitu<br />
genus Canna yang termasuk famili Cannaceae, dimana famili tersebut hanya<br />
memiliki satu genus yaitu Canna (Steenis, 2008).<br />
2. Hubungan Kekerabatan Ganyong Berdasarkan Pola Pita Isozim<br />
Hubungan kekerabatan ganyong di wilayah eks-karesidenan Surakarta<br />
dapat ditentukan berdasarkan kemunculan pita isozim esterase, peroksidase,<br />
serta penggabungan keduanya.<br />
a. Hubungan Kekerabatan Ganyong Berdasarkan Pola Pita Isozim Esterase<br />
Kemunculan pita isozim esterase ganyong dapat dilihat pada Tabel<br />
5. di bawah ini.<br />
Tabel 5. Perbandingan kemunculan pita isozim esterase ganyong di wilayah ekskaresidenan<br />
Surakarta.<br />
Rf I II III IV V VI VII VIII<br />
0,22 1 1 1 1 1 1 1 1<br />
0,28 1 1 1 1 0 1 1 1<br />
0,34 0 0 0 1 1 0 1 0<br />
0,38 0 0 1 0 0 1 1 1<br />
0,41 0 1 1 1 1 1 1 0<br />
Keterangan:<br />
I = C. hybrida,<br />
II = Surakarta,<br />
III = Wonogiri,<br />
IV = Klaten,<br />
V = Boyolali,<br />
VI = Sukoharjo,<br />
VII = Sragen,<br />
VIII = Karanganyar,<br />
1 = ada<br />
0 = tidak ada
149<br />
Dari data tersebut setelah dianalisis dengan menggunakan indeks similaritas<br />
(IS) diperoleh dendogram seperti tampak pada Gambar 7.<br />
37,14<br />
60<br />
80<br />
52,2<br />
70<br />
43,2<br />
Gambar 7. Dendogram hubungan kekerabatan ganyong di wilayah ekskaresidenan<br />
Surakarta berdasarkan pola pita isozim esterase.<br />
Keterangan:<br />
I = Canna hybrida,<br />
II = Surakarta,<br />
III = Wonogiri,<br />
IV = Klaten,<br />
V = Boyolali,<br />
VI = Sukoharjo,<br />
VII = Sragen,<br />
VIII = Karanganyar.<br />
Berdasarkan dendogram di atas dapat diketahui bahwa ganyong dari<br />
wilayah Wonogiri (III) <strong>dan</strong> Sukoharjo (VI) mengelompok dengan koefisien<br />
kemiripan 80%. Pada koefisien kemiripan yang sama ganyong dari wilayah<br />
Klaten (IV) <strong>dan</strong> Sragen (VII) mengelompok pada kelompok yang berbeda<br />
dari kelompok yang sebelumnya. Kedua kelompok tersebut bergabung
50 2<br />
dengan koefisien kemiripan sebesar 70%. Kelompok tersebut kemudian<br />
bergabung dengan ganyong dari wilayah Surakarta (II) pada koefisien<br />
kemiripan 60% <strong>dan</strong> selanjutnya bergabung dengan ganyong dari wilayah<br />
Karanganyar (VIII) pada koefisien kemiripan 52,2%, <strong>dan</strong> kemudian<br />
ganyong dari wilayah Boyolali (V) bergabung pada kelompok tersebut<br />
dengan koefisien kemiripan sebesar 43,2% serta diikuti oleh C. hybrida (I)<br />
yang bergabung pada ketujuh sampel yang lain dengan koefisien kemiripan<br />
37,14%.<br />
Hubungan kekerabatan terdekat adalah antara ganyong dari wilayah<br />
Wonogiri (III) <strong>dan</strong> Sukoharjo (VI) yang mengelompok dengan koefisien<br />
kemiripan 80%. Keduanya memiliki lebih banyak kesamaan pola pita<br />
isozim esterase yang muncul setelah dilakukan elektroforesis <strong>dan</strong><br />
pewarnaan. Selain ganyong dari Wonogiri <strong>dan</strong> Sukoharjo, ganyong dari<br />
wilayah Klaten (IV) <strong>dan</strong> Sragen (VII) juga memiliki hubungan kekerabatan<br />
terdekat dengan koefisien kemiripan sebesar 80%. Se<strong>dan</strong>gkan hubungan<br />
kekerabatan terjauh yaitu antara C. hybrida dengan ketujuh sampel lain<br />
seperti halnya pada dendogram berdasarkan ciri morfologi. Hal ini<br />
dikarenakan C. hybrida merupakan spesies yang berbeda dari ketujuh<br />
sampel yang lain yang merupakan ganyong.<br />
Dendogram berdasarkan pola pita isozim esterase memiliki<br />
perbedaan dengan dendogram berdasarkan ciri morfologi sehingga<br />
hubungan kekerabatan ganyong di wilayah eks-karesidenan Surakarta yang<br />
ditentukan berdasarkan ciri morfologi akan berbeda apabila dibandingkan
3<br />
51<br />
dengan hubungan kekerabatan ganyong yang ditentukan berdasarkan pola<br />
pita isozim esterase. Hal tersebut dikarenakan ciri morfologi tidak hanya<br />
dipengaruhi oleh faktor genetik tetapi juga dipengaruhi oleh lingkungan.<br />
Sitompul <strong>dan</strong> Guritno (1995) mengatakan bahwa penampilan bentuk<br />
tanaman dikendalikan oleh sifat genetik tanaman di bawah pengaruh faktorfaktor<br />
lingkungan. Faktor lingkungan yang diyakini dapat mempengaruhi<br />
terjadinya perubahan morfologi tanaman antara lain iklim, suhu, jenis<br />
tanah, kondisi tanah, ketinggian tempat, kelembaban.<br />
b. Hubungan Kekerabatan Ganyong Berdasarkan Pola Pita Isozim Peroksidase<br />
Kemunculan pita isozim peroksidase ganyong dapat dilihat pada<br />
Tabel 6. di bawah ini.<br />
Tabel 6. Perbandingan kemunculan pita isozim peroksidase ganyong di wilayah<br />
eks-karesidenan Surakarta.<br />
Rf<br />
I II III IV V VI VII VIII<br />
0,09 1 1 1 1 1 0 1 1<br />
0,16 0 0 0 0 0 1 0 0<br />
0,22 1 1 1 1 1 1 1 1<br />
0,38 0 0 1 1 1 1 1 1<br />
0,41 1 1 0 0 0 0 0 0<br />
0,44 0 1 1 1 0 1 1 1<br />
Keterangan:<br />
I = C. hybrida,<br />
II = Surakarta,<br />
III = Wonogiri,<br />
IV = Klaten,<br />
V = Boyolali,<br />
VI = Sukoharjo,<br />
VII = Sragen,<br />
VIII = Karanganyar,<br />
1 = ada<br />
0 = tidak ada
452<br />
Dari data tersebut setelah dianalisis dengan menggunakan indeks<br />
similaritas (IS) diperoleh dendogram seperti tampak pada Gambar 8.<br />
50<br />
37,33<br />
67<br />
50<br />
46,6<br />
Gambar 8. Dendogram hubungan kekerabatan ganyong di wilayah ekskaresidenan<br />
Surakarta berdasarkan pola pita isozim peroksidase.<br />
Keterangan:<br />
I = Canna hybrida,<br />
II = Surakarta,<br />
III = Wonogiri,<br />
IV = Klaten,<br />
V = Boyolali,<br />
VI = Sukoharjo,<br />
VII = Sragen,<br />
VIII = Karanganyar.<br />
Berdasarkan dendogram tersebut dapat diketahui bahwa ganyong<br />
dari wilayah Wonogiri (III), Klaten (IV), Sragen (VII), <strong>dan</strong> Karanganyar<br />
(VIII) mengelompok pada koefisien kemiripan 67%. Ketiganya bergabung<br />
dengan ganyong Boyolali (V) pada koefisien kemiripan 50% <strong>dan</strong> kemudian<br />
bergabung dengan ganyong Sukoharjo (VI) pada koefisien kemiripan
53 5<br />
46,6%. Sementara itu C. hybrida (I) mengelompok dengan ganyong<br />
Surakarta (II) pada koefisien kemiripan 50%. Keduanya bergabung dengan<br />
enam sampel yang lain pada koefisien kemiripan sebesar 37,33%.<br />
Hubungan kekerabatan terdekat dimiliki oleh ganyong dari wilayah<br />
Wonogiri (III), Klaten (IV), Sragen (VII), <strong>dan</strong> Karanganyar (VIII) yang<br />
mengelompok pada koefisien kemiripan sebesar 67%. Se<strong>dan</strong>gkan hubungan<br />
kekerabatan terjauh dengan koefisien kemiripan 37,33% yaitu antara C.<br />
hybrida <strong>dan</strong> ganyong Surakarta dengan ganyong dari enam wilayah yang<br />
lain.<br />
c. Hubungan Kekerabatan Ganyong Berdasarkan Pola Pita Isozim Esterase<br />
<strong>dan</strong> Peroksidase<br />
Kemunculan pita isozim esterase <strong>dan</strong> peroksidase ganyong dapat<br />
dilihat pada Tabel 7 di bawah ini.<br />
Tabel 7. Kemunculan pita isozim esterase <strong>dan</strong> peroksidase ganyong di wilayah<br />
eks-karesidenan Surakarta.<br />
Rf I II III IV V VI VII VIII<br />
0,22 1 1 1 1 1 1 1 1<br />
0,28 1 1 1 1 0 1 1 1<br />
0,34 0 0 0 1 1 0 1 0<br />
0,38 0 0 1 0 0 1 1 1<br />
0,41 0 1 1 1 1 1 1 0<br />
0,09 1 1 1 1 1 1 1 1<br />
0,16 0 0 0 0 0 1 0 0<br />
0,22 1 1 1 1 1 1 1 1<br />
0,38 0 0 1 1 1 1 1 1<br />
0,41 1 1 0 0 0 0 0 0<br />
0,44 0 1 1 1 0 1 1 1<br />
Keterangan:<br />
I = C. hybrida,<br />
VI = Sukoharjo,<br />
II = Surakarta,<br />
VII = Sragen,<br />
III<br />
IV<br />
V<br />
= Wonogiri,<br />
= Klaten,<br />
= Boyolali,<br />
VIII<br />
1 = ada<br />
0 = tidak ada<br />
= Karanganyar,
54<br />
0<br />
Dari data tersebut setelah dianalisis dengan menggunakan indeks<br />
similaritas (IS) diperoleh dendogram seperti tampak pada Gambar 9.<br />
37,41<br />
51<br />
68,4<br />
73<br />
61<br />
43,6<br />
64<br />
Gambar 9. Dendogram hubungan kekerabatan ganyong di wilayah ekskaresidenan<br />
Surakarta berdasarkan pola pita isozim esterase <strong>dan</strong><br />
peroksidase.<br />
Keterangan:<br />
I = C. hybrida,<br />
II = Surakarta,<br />
III = Wonogiri,<br />
IV = Klaten,<br />
V = Boyolali,<br />
VI = Sukoharjo,<br />
VII = Sragen,<br />
VIII = Karanganyar.<br />
Berdasarkan dendogram tersebut dapat diketahui bahwa hubungan<br />
kekerabatan terdekat yaitu ganyong dari Wonogiri <strong>dan</strong> Sragen yang<br />
mengelompok pada koefisien kemiripan sebesar 73%. Keduanya bergabung<br />
dengan ganyong Klaten pada koefisien kemiripan 68,4%. Ganyong<br />
Sukoharjo mengelompok dengan ganyong Karanganyar pada koefisien
551<br />
kemiripan 64%. Ganyong Wonogiri, Sukoharjo, Klaten kemudian<br />
bergabung dengan ganyong Sukoharjo <strong>dan</strong> Karanganyar pada koefisien<br />
kemiripan 61%. Kelimanya kemudian bergabung dengan ganyong<br />
Surakarta pada koefisien kemiripan 51% <strong>dan</strong> kemudian bergabung dengan<br />
ganyong Boyolali pada koefisien kemiripan 43,6. Se<strong>dan</strong>gkan pada<br />
hubungan kekerabatan terjauh yaitu C. hybrida dengan ketujuh sampel lain<br />
pada koefisien kemiripan 34,71%.<br />
Hubungan kekerabatan terdekat dimiliki oleh ganyong Wonogiri<br />
<strong>dan</strong> Sragen dengan koefisien kemiripan 73%. Hal ini dikarenakan keduanya<br />
paling banyak memiliki kesamaan dalam kemunculan pola pita isozim.<br />
Se<strong>dan</strong>gkan hubungan kekerabatan yang terjauh yaitu antara C. hybrida<br />
dengan sampel yang lain pada koefisien kemiripan 34,71% karena C.<br />
hybrida merupakan spesies yang berbeda dari sampel lain sehingga secara<br />
genetik pun menunjukkan a<strong>dan</strong>ya perbedaan yang tampak dari perbedaan<br />
pola pita isozim yang dihasilkan.<br />
Dendogram berdasarkan pola pita isozim esterase, peroksidase, <strong>dan</strong><br />
gabungan esterase <strong>dan</strong> peroksidase menunjukkan hasil yang berbeda. Hal<br />
ini dikarenakan sifat yang digunakan sebagai dasar penentu hubungan<br />
kekerabatan masih terbatas sehingga perlu dilakukan penambahan enzim<br />
lainnya. Menurut Purnomo (1994) dalam Hadiati <strong>dan</strong> Sukmadjaja (2002),<br />
untuk menelaah perbedaan individu dalam populasi disarankan paling<br />
sedikit menggunakan delapan macam enzim.
562<br />
3. Hubungan Kekerabatan Ganyong Berdasarkan Ciri Morfologi <strong>dan</strong> Pola Pita<br />
Isozim<br />
Perbandingan ciri morfologi <strong>dan</strong> pola pita isozim ganyong dapat<br />
dilihat pada Tabel 8.<br />
Tabel 8. Perbandingan ciri morfologi <strong>dan</strong> pola pita isozim ganyong di wilayah<br />
eks-karesidenan Surakarta.<br />
Parameter I II III IV V VI VII VIII<br />
Daun hijau 1 0 0 0 0 0 0 0<br />
Daun hijau keunguan 0 0 1 0 1 0 1 0<br />
Daun ungu kehijauan 0 1 0 1 0 1 0 1<br />
Petala bunga warna jingga bercorak kuning 1 0 0 0 0 0 0 0<br />
Petala bunga warna merah (red) 0 1 1 0 1 1 1 1<br />
Petala bunga warna merah gelap (darkred) 0 0 0 1 0 0 0 0<br />
Sepala bunga warna hijau keputihan 1 0 0 0 0 0 0 0<br />
Sepala bunga warna hijau kemerahan 0 1 1 1 1 1 1 1<br />
Batang warna hijau 1 0 0 0 0 0 0 0<br />
Batang warna hijau keunguan 0 1 1 1 1 1 1 1<br />
Warna sisik rimpang hijau kecoklatan 1 0 0 0 0 0 0 0<br />
Warna sisik rimpang hijau keunguan 0 1 1 1 1 1 1 1<br />
Panjang daun < 50 cm 0 1 1 1 1 1 1 1<br />
Panjang daun ≥ 50 cm 1 0 0 0 0 0 0 0<br />
Lebar daun < 15 cm 1 0 0 0 0 0 0 0<br />
Lebar daun ≥ 15 cm 0 1 1 1 1 1 1 1<br />
Rasio panjang:lebar daun < 3 0 1 1 1 1 1 1 1<br />
Rasio panjang:lebar daun ≥ 3 1 0 0 0 0 0 0 0<br />
Tinggi tanaman < 100 cm 0 1 1 0 1 1 1 1<br />
Tinggi tanaman ≥ 100 cm 1 0 0 1 0 0 0 0<br />
Diameter batang < 1,70 cm 1 1 0 0 0 0 0 0<br />
Diameter batang ≥ 1,70 cm 0 0 1 1 1 1 1 1<br />
Diameter rimpang < 3,5 cm 1 0 1 0 1 1 0 0<br />
Diameter rimpang ≥ 3,5 cm 0 1 0 1 0 0 1 1<br />
Diameter buah < 1,25 cm 1 1 0 1 0 0 1 1<br />
Diameter buah ≥ 1,25 cm 0 0 1 0 1 1 0 0<br />
Jumlah biji dalam buah < 22 0 1 1 0 1 1 1 1<br />
Jumlah biji dalam buah ≥ 22 1 0 0 1 0 0 0 0<br />
Panjang sepala < 5 cm<br />
0 1 1 1 1 1 1 1
573<br />
Tabel 8. Perbandingan ciri morfologi <strong>dan</strong> pola pita isozim ganyong di wilayah<br />
eks-karesidenan Surakarta (lanjutan).<br />
Parameter I II III IV V VI VII VIII<br />
Panjang sepala ≥ 5 cm 1 0 0 0 0 0 0 0<br />
Lebar sepala < 1 cm 0 1 1 0 1 1 0 1<br />
Lebar sepala ≥ 1 cm 1 0 0 1 0 0 1 0<br />
Panjang petala < 7 cm 0 1 1 1 1 1 1 1<br />
Panjang petala ≥ 7 cm 1 0 0 0 0 0 0 0<br />
Lebar petala < 1 cm 0 1 1 0 1 0 0 1<br />
Lebar petala ≥ 1 cm 1 0 0 1 0 1 1 0<br />
Panjang staminodia < 6 cm 0 1 1 1 1 1 1 1<br />
Panjang staminodia ≥ 6 cm 1 0 0 0 0 0 0 0<br />
Lebar staminodia < 1 cm 0 1 1 1 1 1 1 1<br />
Lebar staminodia ≥ 1 cm 1 0 0 0 0 0 0 0<br />
Panjang putik < 6 cm 0 1 1 1 1 1 1 1<br />
Panjang putik ≥ 6 cm 1 0 0 0 0 0 0 0<br />
Lebar putik < 0,5 cm 0 1 1 1 1 1 0 1<br />
Lebar putik ≥ 0,5 cm 1 0 0 0 0 0 1 0<br />
Panjang anter < 1 cm 1 0 1 1 1 1 0 1<br />
Panjang anter ≥ 1 cm 0 1 0 0 0 0 1 0<br />
Lebar anter < 0,15 cm 0 1 1 1 0 1 0 1<br />
Lebar anter ≥ 0,15 cm 1 0 0 0 1 0 1 0<br />
Panjang bunga < 7 cm 0 1 1 1 1 1 0 1<br />
Panjang bunga ≥ 7 cm 1 0 0 0 0 0 1 0<br />
Diameter pangkal bunga < 0,5 cm 0 1 1 0 1 1 0 1<br />
Diameter pangkal bunga ≥ 0,5 cm 1 0 0 1 0 0 1 0<br />
Sepala menekuk 1 0 0 0 0 0 0 0<br />
Sepala tidak menekuk 0 1 1 1 1 1 1<br />
Rf 0,22 1 1 1 1 1 1 1 1<br />
Rf 0,28 1 1 1 1 0 1 1 1<br />
Rf 0,34 0 0 0 1 1 0 1 0<br />
Rf 0,38 0 0 1 0 0 1 1 1<br />
Keterangan:<br />
Rf 0,41 0 1 1 1 1 1 1 0<br />
Rf 0,09 1 1 1 1 1 1 1 1<br />
Rf 0,16 0 0 0 0 0 1 0 0<br />
Rf 0,22 1 1 1 1 1 1 1 1<br />
Rf 0,38 0 0 1 1 1 1 1 1<br />
Rf 0,41 1 1 0 0 0 0 0 0<br />
Rf 0,44 0 1 1 1 1 1 1 1<br />
I= C. hybrida, II= Surakarta, III= Wonogiri, IV=Klaten,<br />
V= Boyolali, VI= Sukoharjo, VII= Sragen, VIII= Karanganyar.
58 4<br />
Dari data tersebut setelah dianalisis dengan menggunakan indeks<br />
similaritas (IS) diperoleh dendogram seperti tampak pada Gambar 10.<br />
11,57<br />
36,6<br />
41,4<br />
40,4<br />
45<br />
48<br />
40<br />
Gambar 10. Dendogram hubungan kekerabatan ganyong di wilayah ekskaresidenan<br />
Surakarta berdasarkan ciri morfologi <strong>dan</strong> pola pita<br />
isozim.<br />
Keterangan:<br />
I = C. hybrida,<br />
II = Surakarta,<br />
III = Wonogiri,<br />
IV = Klaten,<br />
V = Boyolali,<br />
VI = Sukoharjo,<br />
VII = Sragen,<br />
VIII = Karanganyar.<br />
Dari dendogram yang diperoleh dapat diketahui bahwa bahwa berdasarkan<br />
ciri morfologi <strong>dan</strong> pola pita isozim, hubungan kekerabatan terdekat yaitu ganyong<br />
dari wilayah Wonogiri yang mengelompok dengan ganyong dari wilayah<br />
Sukoharjo pada koefisien kemiripan 48%. Ganyong Wonogiri <strong>dan</strong> ganyong
595<br />
Sukoharjo bergabung dengan ganyong Karanganyar pada koefisien kemiripan<br />
45%. Ganyong Wonogiri, Sukoharjo, <strong>dan</strong> Karanganyar bergabung dengan<br />
ganyong Surakarta pada koefisien kemiripan 41,4%. Ganyong Wonogiri,<br />
Sukoharjo, Karanganyar, <strong>dan</strong> Surakarta bergabung dengan ganyong Boyolali pada<br />
koefisien kemiripan 40,4%. Se<strong>dan</strong>gkan ganyong Klaten <strong>dan</strong> ganyong Sragen<br />
mengelompok pada koefisien kemiripan 40%. Keduanya bergabung dengan enam<br />
sampel sebelumnya pada koefisien kemiripan 36,6%. Se<strong>dan</strong>gkan C. hybrida<br />
memiliki hubungan kekerabatan terjauh dari sampel yang lain yaitu dengan<br />
koefisien kemiripan 11,57%.<br />
Ciri morfologi <strong>dan</strong> pola pita isozim yang digabung <strong>dan</strong> digunakan menjadi<br />
penentu hubungan kekerabatan memberikan hasil yang berbeda apabila keduanya<br />
digunakan tanpa penggabungan. Semakin banyak ciri yang digunakan untuk<br />
menentukan hubungan kekerabatan, semakin besar pula peluang mendapatkan<br />
hasil dengan akurasi tinggi.
6<br />
BAB V<br />
KESIMPULAN DAN SARAN<br />
A. Kesimpulan<br />
1. Berdasarkan ciri morfologi, ganyong di wilayah eks-karesidenan Surakarta<br />
memiliki keragaman terutama pada warna <strong>dan</strong> ukuran tubuh serta organ<br />
tanaman meliputi tinggi tanaman, warna daun, diameter rimpang, diameter<br />
buah, lebar sepala, lebar petala, lebar anther.<br />
2. Berdasarkan pola pita isozim, ganyong di wilayah eks-karesidenan Surakarta<br />
memiliki keragaman yang dilihat dari kemunculan serta tebal tipis pita pada Rf<br />
0,28; 0,34; 0,38; 0,41 untuk isozim esterase <strong>dan</strong> Rf 0,09; 0,16; 0,38; 0,41; 0,44<br />
untuk isozim peroksidase.<br />
3. Berdasarkan ciri morfologi, ganyong Wonogiri <strong>dan</strong> ganyong Sukoharjo<br />
memiliki hubungan kekerabatan terdekat dengan koefisien kemiripan 44%,<br />
se<strong>dan</strong>gkan hubungan kekerabatan terjauh yaitu antara C. hybrida dengan<br />
sampel yang lain pada koefisien kemiripan 7,14%. Berdasarkan pola pita<br />
isozim, ganyong Wonogiri <strong>dan</strong> Sragen memiliki hubungan kekerabatan<br />
terdekat dengan koefisien kemiripan 73%, <strong>dan</strong> hubungan kekerabatan yang<br />
terjauh yaitu antara C. hybrida dengan sampel yang lain pada koefisien<br />
kemiripan 34,71%. Adapun berdasarkan ciri morfologi <strong>dan</strong> pola pita isozim,<br />
ganyong Wonogiri <strong>dan</strong> ganyong Sukoharjo memiliki hubungan kekerabatan<br />
terdekat dengan koefisien kemiripan 48%, se<strong>dan</strong>gkan hubungan kekerabatan<br />
60
761<br />
terjauh yaitu antara C. hybrida dengan sampel yang lain pada koefisien<br />
kemiripan 11,57%.<br />
B. Saran<br />
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai variasi genetik ganyong<br />
dengan penambahan jenis isozim <strong>dan</strong> penambahan sampel serta jenis kultivar<br />
yang digunakan untuk menguatkan a<strong>dan</strong>ya variasi genetik pada spesies ganyong.<br />
Selain itu juga perlu dilakukan penelitian lanjut dengan menggunakan penanda<br />
molekuler DNA yang merupakan material genetik yang tidak dipengaruhi oleh<br />
kondisi lingkungan <strong>dan</strong> umur tanaman sehingga dapat secara representatif<br />
mewakili keragaman genetik secara lebih akurat baik antar kultivar maupun<br />
kerabat jauhnya.
628<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Abdullah, B. 2001. The Use of Isozymes as Biochemical Markers in Rice<br />
Research. Buletin AgroBio 4 (2): 39-44.<br />
Aboel-Atta, A. I. 2009. Isozymes, RAPD and ISSR Variation in Melilotus indica<br />
(L.) All. and M. siculus (Turra) B.G. Jacks. (Leguminosae). Academic<br />
Journal of Plant Sciences 2 (2): 113-118.<br />
Aboel-Atta. 2009. On the Taxonomy of Laurus L. (Lauraceae, Evidence from<br />
Isozymes, RAPD and ISSR. Academic Journal of Plant Sciences 2 (2): 82-<br />
91.<br />
Abulias, M. N. <strong>dan</strong> D. Bhagawati. 2008. Studi Awal Keragaman Genetik Ikan<br />
Betutu (Oxyeleotris sp.) di Waduk Penjalin Menggunakan Lima Macam<br />
Isozim. Prosiding Seminar Nasional Sains <strong>dan</strong> Teknologi-II. Universitas<br />
Lampung, Lampung.<br />
Arial. 2009. BATAN Selenggarakan Kuliah Umum Iptek Nuklir di <strong>UNS</strong>.<br />
http://batan.go.id// [26 Juli 2010].<br />
Armstrong, W. P. 2000. Canna edulis Ker. http://www.plantsciences.ucdavis.edu/<br />
[25 April 2009].<br />
Balai Kliring Keanekaragaman Hayati. 2009. Ganyong. http://bplhjabar.go.id/. [2<br />
Juli. 2010].<br />
Begum, M., S. Yesmine, N. Khan, A. T. M. Abdullah, and T. A. Khan. 2009.<br />
Brief Study on the Genetic Variations at Isozyme Loci in Native Catfish<br />
(Clarias batrachus), African Catfish (Clarias gariepinus) and their Hybrid<br />
(Clarias gariepinus x Clarias batrachus). Bangladesh J. Sci. Ind. Res. 44<br />
(4): 381-386.<br />
Bhagawati, D., M. N. Abulias, <strong>dan</strong> A. H. Susanto. 2008. Analisis Kekerabatan<br />
Filogenetik U<strong>dan</strong>g Windu Berdasarkan Pola Pita Isozim. Prosiding<br />
Seminar Nasional Sains <strong>dan</strong> Teknologi-II. Universitas Lampung,<br />
Lampung.<br />
Cahyarini, R. D., A. Yunus, E. Purwanto. 2004. Identifikasi Keragaman Genetik<br />
Beberapa Varietas Lokal Kedelai di Jawa Berdasarkan Analisis Isozim.<br />
Agrosains 6 (2): 79-83.<br />
Direktorat Budidaya Kacang-kacangan <strong>dan</strong> Umbi-umbian. 2009. Ganyong.<br />
http://bukabi wordpress.com/ [29 April 2009].
639<br />
Eko. 2008. Budidaya Ganyong. http://ditjentan.deptan.go.id/ [23 September<br />
2008].<br />
Fatchiyah. 2006. Gel Elektroforesis. Lab. Sentral Biologi Molekuler <strong>dan</strong> Seluler<br />
Departemen Biologi. Universitas Brawijaya, Malang.<br />
Flach, M. and F. Rumawas. 1996. Plant Resources of South East Asia No. 9.<br />
Plants Yielding Non Seed Carbohydrates. Prosea Foundation, Bogor.<br />
Gepts, Paul. 2009. Who's Who in the History of Crop Evolution Studies.<br />
www.plantsciences.ucdavis.edu. [31 Mei 2010].<br />
Gonzalez, M. 2007. Canna edulis Ker. http://farm2.static.flickr.com/ [25 April<br />
2009].<br />
Hadiati, S. <strong>dan</strong> D. Sukmadjaja. 2002. Keragaman Pola Pita Beberapa Varietas<br />
Nenas Berdasarkan Analisis Isozim. Jurnal Bioteknologi Pertanian 7 (20):<br />
62-70.<br />
Harsono, T. <strong>dan</strong> A. Hartana. 2003. Biosistematika Kultivar Salak di Bangkalan<br />
Madura. Floribunda 2 (4): 95-101.<br />
Haryo. 2009. Info Geografis Surakarta. http://surakarta.go.id/ [26 Juli 2010].<br />
Hendriyani, I.S. <strong>dan</strong> N. Setiari. 2009. Kandungan Klorofil <strong>dan</strong> Pertumbuhan<br />
Kacang Panjang (Vigna sinensis) pada Tingkat Penyediaan Air yang<br />
Berbeda. Jurnal Sains <strong>dan</strong> Matematika 17 (3): 145 - 150.<br />
Imai, K., T. Kanawa and K. Shimabe. 1993. Studies on Matter Production of<br />
Edible Canna (Canna edulis Ker.). Japanese Journal of Crop Science 62:<br />
601-602.<br />
Indriani, F. C., Sudjindro, A. N. Sugiharto, <strong>dan</strong> L. Soetopo. 2008. Keragaman<br />
Genetik Plasma Nutfah Kenaf (Hibiscus cannabinus L.) <strong>dan</strong> Beberapa<br />
Spesies yang Sekerabat Berdasarkan Analisis Isozim. Agritek. 6 (9): 1793-<br />
1802.<br />
Julisaniah, N. I., L. Sulistyowati, <strong>dan</strong> A. N. Sugiharto. 2008. Analisis Kekerabatan<br />
Mentimun (Cucumis sativus L.) Menggunakan Metode RAPD-PCR <strong>dan</strong><br />
Isozim. Biodiversitas 9 (2): 99-102.<br />
Laely, N. 2008. Variasi Genetik Ubi Jalar (Ipomoea batatas Linn.) Magelang<br />
Berdasarkan Pola Pita Isozim. Skripsi. Fakultas Matematika <strong>dan</strong> Ilmu<br />
Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
10 64<br />
Maideliza, T. <strong>dan</strong> Mansyurdin. 2007. Keragaman Alel Gadung Liar (Dioscorea<br />
bulbifera L.) di Sumatera Barat. Makara Sains 11 (1): 23-27.<br />
Mariani, Y. 2002. Studi Tentang Variasi Isozim dari Beberapa Koloni Wereng<br />
Hijau (Neophotettix virescenc) Sebagai Vektor Pembawa Penyakit Tungro<br />
Pada Padi. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret,<br />
Surakarta.<br />
Nuryadin, A. 2008. Budidaya Ganyong. http://www.featikabsinjai.blogspot.com/<br />
[10 Mei 2009].<br />
Persatuan Ahli Gizi Indonesia. 2009. Tabel Komposisi Pangan Indonesia. Elex<br />
Media Komputindo, Jakarta.<br />
Plantus. 2007. Tanaman Ganyong Bisa Jadi Substitusi Tepung Terigu.<br />
http://anekaplanta.wordpress.com/2007/12/21/tanaman-ganyong-bisa-jadisubstitusi-tepung-terigu/<br />
[16 April 2009].<br />
Pramono, S. 2009. Ganyong untuk Bioetanol. http://www.beritajogja.com/ [26<br />
April 2009].<br />
Purwanto, E., Sukaya, A. Setianto, <strong>dan</strong> H. Santoso. 2002. Identifikasi Berdasarkan<br />
Penanda Isozim Terhadap Plasma Nutfah Jeruk Besar (Citrus maxima<br />
Merr.) di Blora, Jawa Tengah. BioSMART 4 (2): 44-47.<br />
Putri, L. S. E, <strong>dan</strong> D. Sukandar. 2008. Konversi Pati Ganyong (Canna edulis Ker.)<br />
Menjadi Bioetanol melalui Hidrolisis Asam <strong>dan</strong> Fermentasi. Biodiversitas<br />
9 (2): 112-116.<br />
Salisbury, F. B. and C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid II<br />
(diterjemahkan oleh Diah R. Lukman <strong>dan</strong> Sumaryono). Penerbit ITB,<br />
Bandung.<br />
Sitompul, S. M. <strong>dan</strong> B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah<br />
Mada University Press, Yogyakarta.<br />
Sudarmono. 2006. Pendekatan Konservasi Tumbuhan dengan Teknik Molekuler<br />
Elektroforesis. Jurnal Inovasi 7 (18).<br />
Sulistiyono, E., Sutarno, <strong>dan</strong> S. B. Moria. 2005. Variasi Genetik U<strong>dan</strong>g Putih<br />
(Penaeus merguiensis de Man) di Juwana <strong>dan</strong> Banyuwangi Berdasarkan<br />
Data Elektroforesis Enzim. Bioteknologi 2 (1): 1-8.<br />
Suranto. 2002. Cluster Analysis of Ranunculus Species. Biodiversitas 3(1): 201-<br />
206.
11 65<br />
Suranto. 2000. Electrophoresis Studies of Ranunculus triplodontus populations.<br />
Biodiversitas 1 (1): 1-7.<br />
Susanto, A. <strong>dan</strong> A. Suhardianto. 2004. Studi Tanaman Ganyong (Canna edulis<br />
Ker.) sebagai Alternatif Sumber Karbohidrat dalam Rangka Meningkatkan<br />
Ketahanan Pangan (Studi Kasus di Desa Jlegiwinangun, Kecamatan<br />
Kutowinangun, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah). Jurnal Matematika,<br />
Sains <strong>dan</strong> Teknologi. 5 (1).<br />
Suskendriyati, H., A. Wijayati, N. Hidayah, D. Cahyuningdari. 2000. Studi<br />
Morfologi <strong>dan</strong> Hubungan Kekerabatan Varietas Salak Pondoh (Salacca<br />
zalacca (Gaert.) Voss.) Di Dataran Tinggi Sleman. Biodiversitas 1 (2):<br />
59-64.<br />
Steenis, C. G. G. J. van. 2008. Flora Untuk Sekolah di Indonesia. Cetakan Kedua<br />
Belas. (diterjemahkan oleh Moeso Surjowinoto, dkk.). Pradnya Paramita,<br />
Jakarta.<br />
War<strong>dan</strong>i, S. 2008. Karakterisasi Lundi Putih (Melolonthidae: Coleoptera) Pada<br />
Agroekosistem Salak Pondoh Di Lereng Gunung Merapi Berdasarkan Pola<br />
Pita Isozim. Skripsi. Fakultas Matematika <strong>dan</strong> Ilmu Pengetahuan Alam<br />
Universitas Sebelas Maret, Surakarta.<br />
Wigati, E. 2003. Variasi Genetik Ikan Anggoli (Pristipomoides multidens)<br />
Berdasarkan Pola Pita Allozyme. Skripsi. Fakultas Matematika <strong>dan</strong> Ilmu<br />
Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret, Surakarta.<br />
Yuniastuti, E., R. Setiamihardja, M. H. Karmana, N. Toruan-Mathius. 2005.<br />
Analisis AFLP pada Abnormalitas Klon-klon Kelapa Sawit (Elaeis<br />
Guineensis Jacq.) Hasil Kultur Jaringan yang Berbuah Normal <strong>dan</strong><br />
Abnormal. Agrosains 7(1): 7-12.<br />
Yunus, A. 2007. Identifikasi Keragaman Genetik Jarak Pagar (Jatropha curcas<br />
L.) di Jawa Tengah Berdasarkan Penanda Isoenzim. Biodiversitas 8 (3):<br />
249-252.
LAMPIRAN<br />
12
66 13<br />
Lampiran 1. Indeks Similaritas (IS) ciri morfologi, pola pita isozim, <strong>dan</strong><br />
penggabungan ciri morfologi dengan pola pita isozim ganyong.<br />
a. Ciri morfologi<br />
IS I & II = 2/54 x 100 % = 3,70 %<br />
IS I & III = 2/54 x 100 % = 3,70 %<br />
IS I & IV = 7/54 x 100 % = 12,96 %<br />
IS I & V = 3/54 x 100 % = 5,56 %<br />
IS I & VI = 3/54 x 100 % = 5,56 %<br />
IS I & VII = 7/54 x 100 % = 12,96 %<br />
IS I & VIII = 2/54 x 100 % = 3,70 %<br />
IS II & III = 21/54 x 100 % = 38,89 %<br />
IS II & IV = 17/54 x 100 % = 31,48 %<br />
IS II & V = 20/54 x 100 % = 37,04 %<br />
IS II & VI = 21/54 x 100 % = 38,89 %<br />
IS II & VII = 18/54 x 100 % = 33,33 %<br />
IS II & VIII = 23/54 x 100 % = 42,59 %<br />
IS III & IV = 17/54 x 100 % = 31,48 %<br />
IS III & V = 23/54 x 100 % = 42,59 %<br />
IS III & VI = 24/54 x 100 % = 44,44 %<br />
IS III & VII = 17/54 x 100 % = 31,48 %<br />
IS III & VIII = 22/54 x 100 % = 40,74 %<br />
IS IV & V = 16/54 x 100 % = 29,63 %<br />
IS IV & VI = 19/54 x 100 % = 35,19 %<br />
IS IV & VII = 18/54 x 100 % = 33,33 %<br />
IS IV & VIII = 18/54 x 100 % = 33,33 %<br />
IS V & VI = 23/54 x 100 % = 42,59 %<br />
IS V & VI = 18/54 x 100 % = 33,33 %<br />
IS V & VIII = 21/54 x 100 % = 38,89 %<br />
IS VI & VII = 17/54x 100 % = 31,48 %<br />
IS VI & VIII = 22/54 x 100 % = 40,74 %<br />
IS VII & VIII = 17/54 x 100 % = 31,48
67 14<br />
b. Pola pita isozim<br />
Esterase<br />
IS I & II = 2/5 x 100 % = 40 %<br />
IS I & III = 2/5 x 100 % = 40 %<br />
IS I & IV = 2/5 x 100 % = 40 %<br />
IS I & V = 1/5 x 100 % = 20 %<br />
IS I & VI = 2/5 x 100 % = 40 %<br />
IS I & VII = 2/5 x 100 % = 40 %<br />
IS I & VIII = 2/5 x 100 % = 40 %<br />
IS II & III = 3/5 x 100 % = 60 %<br />
IS II & IV = 3/5 x 100 % = 60 %<br />
IS II & V = 2/5 x 100 % = 40 %<br />
IS II & VI = 3/5 x 100 % = 60 %<br />
IS II & VII = 3/5 x 100 % = 60 %<br />
IS II & VIII = 3/5 x 100 % = 60 %<br />
IS III & IV = 3/5 x 100 % = 60 %<br />
IS III & V = 2/5 x 100 % = 40 %<br />
IS III & VI = 4/5 x 100 % = 80 %<br />
IS III & VII = 4/5 x 100 % = 80 %<br />
IS III & VIII = 4/5 x 100 % = 80 %<br />
IS IV & V = 3/5 x 100 % = 60 %<br />
IS IV & VI = 3/5 x 100 % = 60 %<br />
IS IV & VII = 4/5 x 100 % = 80 %<br />
IS IV & VIII = 3/5 x 100 % = 60 %<br />
IS V & VI = 2/5 x 100 % = 40 %<br />
IS V & VII = 3/5 x 100 % = 60 %<br />
IS V & VIII = 2/5 x 100 % = 40 %<br />
IS VI & VII = 4/5 x 100 % = 80 %<br />
IS VI & VIII = 4/5 x 100 % = 80 %<br />
IS VII & VIII = 4/5 x 100 % = 80 %
15 68<br />
Peroksidase<br />
IS I & II = 3/6 x 100 % = = 50 %<br />
IS I & III = 2/6 x 100 % = = 33,33 %<br />
IS I & IV = 2/6 x 100 % = = 33,33 %<br />
IS I & V = 2/6 x 100 % = = 33,33 %<br />
IS I & VI = 1/6 x 100 % = = 16,67 %<br />
IS I & VII = 2/6 x 100 % = = 33,33 %<br />
IS I & VIII = 3/6 x 100 % = = 50 %<br />
IS II & III = 3/6 x 100 % = = 50 %<br />
IS II & IV = 3/6 x 100 % = = 50 %<br />
IS II & V = 2/6 x 100 % = = 33,33 %<br />
IS II & VI = 2/6 x 100 % = = 33,33 %<br />
IS II & VII = 3/6 x 100 % = = 50 %<br />
IS II & VIII = 2/6 x 100 % = = 33,33 %<br />
IS III & IV = 4/6 x 100 % = = 66,67 %<br />
IS III & V = 3/6 x 100 % = = 50 %<br />
IS III & VI = 3/6 x 100 % = = 50 %<br />
IS III & VII = 4/6 x 100 % = = 66,67 %<br />
IS III & VIII = 4/6 x 100 % = = 66,67 %<br />
IS IV & V = 3/6 x 100 % = = 50 %<br />
IS IV & VI = 3/6 x 100 % = = 50 %<br />
IS IV & VII = 4/6 x 100 % = = 66,67 %<br />
IS IV & VIII = 4/6 x 100 % = = 66,67 %<br />
IS V & VI = 2/6 x 100 % = = 33,33 %<br />
IS V & VII = 3/6 x 100 % = = 50 %<br />
IS V & VIII = 3/6 x 100 % = = 50 %<br />
IS VI & VII = 3/6 x 100 % = = 50 %<br />
IS VI & VIII = 3/6 x 100 % = = 50 %<br />
IS VII & VIII = 4/6 x 100 % = = 66,67 %
6916<br />
Esterase <strong>dan</strong> Peroksidase<br />
IS I & II = 5/11 x 100 % = 45,45 %<br />
IS I & III = 4/11 x 100 % = 36,36 %<br />
IS I & IV = 4/11 x 100 % = 36,36 %<br />
IS I & V = 3/11 x 100 % = 27,27 %<br />
IS I & VI = 3/11 x 100 % = 27,27 %<br />
IS I & VII = 4/11 x 100 % = 36,36 %<br />
IS I & VIII = 4/11 x 100 % = 36,36 %<br />
IS II & III = 6/11 x 100 % = 54,54 %<br />
IS II & IV = 6/11 x 100 % = 54,54 %<br />
IS II & V = 4/11 x 100 % = 36,36 %<br />
IS II & VI = 5/11 x 100 % = 45,45 %<br />
IS II & VII = 6/11 x 100 % = 54,54 %<br />
IS II & VIII = 6/11 x 100 % = 54,54 %<br />
IS III & IV = 7/11 x 100 % = 63,63 %<br />
IS III & V = 5/11 x 100 % = 45,45 %<br />
IS III & VI = 7/11 x 100 % = 63,63 %<br />
IS III & VII = 8/11 x 100 % = 72,72 %<br />
IS III & VIII = 8/11 x 100 % = 72,72 %<br />
IS IV & V = 6/11 x 100 % = 54,54 %<br />
IS IV & VI = 6/11 x 100 % = 54,54 %<br />
IS IV & VII = 8/11 x 100 % = 72,72 %<br />
IS IV & VIII = 7/11 x 100 % = 63,63 %<br />
IS V & VI = 4/11 x 100 % = 36,36 %<br />
IS V & VII = 6/11 x 100 % = 54,54 %<br />
IS V & VIII = 5/11 x 100 % = 45,45 %<br />
IS VI & VII = 7/11 x 100 % = 63,63 %<br />
IS VI & VIII = 7/11 x 100 % = 63,63 %<br />
IS VII & VIII = 8/11 x 100 % = 72,72 %
7017<br />
c. Penggabungan ciri morfologi <strong>dan</strong> pola pita isozim<br />
IS I & II = 7/65 x 100 % = 10,77 %<br />
IS I & III = 6/65 x 100 % = 9,23 %<br />
IS I & IV = 11/65 x 100 % = 16,92 %<br />
IS I & V = 6/65 x 100 % = 9,23 %<br />
IS I & VI = 6/65 x 100 % = 9,23 %<br />
IS I & VII = 11/65 x 100 % = 16,92 %<br />
IS I & VIII = 6/65 x 100 % = 9,23 %<br />
IS II & III = 27/65 x 100 % = 41,54 %<br />
IS II & IV = 23/65 x 100 % = 35,38 %<br />
IS II & V = 24/65 x 100 % = 36,92 %<br />
IS II & VI = 26/65 x 100 % = 40 %<br />
IS II & VII = 24/65 x 100 % = 36,92 %<br />
IS II & VIII = 29/65 x 100 % = 44,62 %<br />
IS III & IV = 24/65 x 100 % = 36,92 %<br />
IS III & V = 28/65 x 100 % = 43,08 %<br />
IS III & VI = 31/65 x 100 % = 47,69 %<br />
IS III & VII = 25/65 x 100 % = 38,46 %<br />
IS III & VIII = 30/65 x 100 % = 46,15 %<br />
IS IV & V = 22/65 x 100 % = 33,85 %<br />
IS IV & VI = 25/65 x 100 % = 38,46 %<br />
IS IV & VII = 26/65 x 100 % = 40 %<br />
IS IV & VIII = 25/65 x 100 % = 38,85 %<br />
IS V & VI = 27/65 x 100 % = 41,54 %<br />
IS V & VII = 24/65 x 100 % = 36,92 %<br />
IS V & VIII = 26/65 x 100 % = 40 %<br />
IS VI & VII = 24/65 x 100 % = 36,92 %<br />
IS VI & VIII = 29/65 x 100 % = 44,62 %<br />
IS VII & VIII = 25/65 x 100 % = 38,85 %
71 18<br />
Keterangan:<br />
I = C. hybrida,<br />
II = Surakarta,<br />
III = Wonogiri,<br />
IV = Klaten,<br />
V = Boyolali,<br />
VI = Sukoharjo,<br />
VII = Sragen,<br />
VIII = Karanganyar.<br />
IS = Indeks Similaritas<br />
IS = (m/n) x 100%<br />
m = jumlah ciri yang sama<br />
n = jumlah ciri keseluruhan
19 72<br />
Lampiran 2. Matriks Indeks Similaritas (IS) ciri morfologi ganyong, pola pita<br />
Isozim, <strong>dan</strong> penggabungan ciri morfologi dengan pola pita Isozim<br />
ganyong.<br />
a. Ciri Morfologi<br />
I II III IV V VI VII VIII<br />
I x<br />
II 3,70 x<br />
III 3,70 38,89 x<br />
IV 12,96 31,48 31,48 x<br />
V 5,56 37,04 42,59 29,63 x<br />
VI 5,56 38,89 44,44 35,19 42,59 x<br />
VII 12,96 33,33 31,48 33,33 33,33 31,48 x<br />
VIII 3,70 42,59 40,74 33,33 38,89 40,74 31,48 x<br />
b. Pola Pita Isozim<br />
Esterase<br />
I II III IV V VI VII VIII<br />
I X<br />
II 40 X<br />
III 40 60 X<br />
IV 40 60 60 X<br />
V 20 40 40 60 X<br />
VI 40 60 80 60 40 X<br />
VII 40 60 80 80 60 80 X<br />
VIII 40 60 80 60 40 80 80 X<br />
Peroksidase<br />
I II III IV V VI VII VIII<br />
I X<br />
II 50 X<br />
III 33,33 50 X<br />
IV 33,33 50 66,67 X<br />
V 33,33 33,33 50 50 X<br />
VI 16,67 33,33 50 50 33,33 X<br />
VII 33,33 50 66,67 66,67 50 50 X<br />
VIII 50 33,33 66,67 66,67 50 50 66,67 X
7320<br />
Esterase <strong>dan</strong> peroksidase<br />
I II III IV V VI VII VIII<br />
I X<br />
II 45,45 X<br />
III 36,36 54,54 X<br />
IV 36,36 54,54 63,63 X<br />
V 27,27 36,36 45,45 54,54 X<br />
VI 27,27 45,45 63,63 54,54 36,36 X<br />
VII 36,36 54,54 72,72 72,72 54,54 63,63 X<br />
VIII 36,36 54,54 72,72 63,63 45,45 63,63 72,72 X<br />
c. Penggabungan ciri morfologi <strong>dan</strong> pola pita isozim<br />
I II III IV V VI VII VIII<br />
I X<br />
II 10,77 X<br />
III 9,23 41,54 X<br />
IV 16,92 35,38 36,92 X<br />
V 9,23 36,92 43,08 33,85 X<br />
VI 9,23 40 47,69 38,46 41,54 X<br />
VII 16,92 36,92 38,46 40 36,92 36,92 X<br />
VIII 9,23 44,62 46,15 38,85 40 44,62 38,85 X<br />
Keterangan:<br />
I = C. hybrida,<br />
II = Surakarta,<br />
III = Wonogiri,<br />
IV = Klaten,<br />
V = Boyolali,<br />
VI = Sukoharjo,<br />
VII = Sragen,<br />
VIII = Karanganyar.
21 74<br />
Lampiran 3. Hasil elektroforesis isozim ganyong.<br />
a. esterase<br />
I II III IV<br />
V VI VII VIII<br />
b. peroksidase<br />
I II III IV V VI VII VIII<br />
Keterangan:<br />
I = C. hybrida,<br />
II = Surakarta,<br />
III = Wonogiri,<br />
IV = Klaten,<br />
V = Boyolali,<br />
VI = Sukoharjo,<br />
VII = Sragen,<br />
VIII = Karanganyar.
75 22<br />
Lampiran 4. Morfologi ganyong di wilayah eks-karesidenan Surakarta.<br />
a. C. hybrida<br />
b. Surakarta
76 23<br />
c. Wonogiri<br />
d. Klaten
77 24<br />
e. Boyolali
78 25<br />
f. Sukoharjo<br />
g. Sragen
2679<br />
h. Karanganyar
80 27<br />
RIWAYAT HIDUP PENULIS<br />
Nama lengkap : Santi Silfiana Ashary<br />
Tempat <strong>dan</strong> tanggal lahir : Cilacap, 28 maret 1989<br />
Jenis kelamin : Perempuan<br />
Agama : Islam<br />
Status Pernikahan : Belum menikah<br />
Alamat asal : Jl. Tirtomulyo 116 RT 02/IX Mertasinga Cilacap<br />
Utara Cilacap Jawa Tengah 53232<br />
Alamat di Solo : Jl. Kabut RT 03/23 Panggungrejo Jebres Surakarta<br />
No HP : 085642022664<br />
Alamat E-mail : silfiana_santi@yahoo.co.id<br />
Pendidikan Formal<br />
Tingkat Pendidikan Nama Tahun mulai Tahun selesai<br />
SD<br />
SLTP<br />
SLTA<br />
Perguruan Tinggi<br />
SD Negeri Mertasinga 01<br />
SMP Negeri 5 Cilacap<br />
SMA Negeri 1 Cilacap<br />
Universitas Sebelas Maret<br />
1994<br />
2000<br />
2003<br />
2006<br />
2000<br />
2003<br />
2006<br />
2010<br />
Pendidikan Non Formal<br />
Nama Pelatihan/Kursus Instansi Penyelenggara Tahun<br />
1. Pelatihan Dokter Kecil Tingkat SD<br />
2. Kursus Tari<br />
3. Beladiri tangan kosong (BETAKO)<br />
4. Ekstrakurikuler Komputer<br />
5. Sosialisasi Karantina Pertanian Tingkat<br />
SMU<br />
6. Workshop and TOEFL Training<br />
7. Training Budidaya Anggrek dengan<br />
Kultur Jaringan<br />
8. Training Pembuatan Nata de Coco<br />
9. Pelatihan Training Asisten Biologi<br />
Molekuler<br />
Dinas Pendidikan<br />
Sanggar Tari Cipto<br />
Arum<br />
PPS BETAKO Merpati<br />
Putih<br />
SMA Negeri 1 Cilacap<br />
Departemen Pertanian<br />
BEM <strong>UNS</strong><br />
KS Bioteknologi<br />
KS Bioteknologi<br />
UPT Lab. <strong>Pusat</strong> MIPA<br />
<strong>UNS</strong><br />
1999<br />
1998-<br />
1999<br />
1999-<br />
2002<br />
2006<br />
2006<br />
2009<br />
2009<br />
2009<br />
2009
28 81<br />
Prestasi<br />
Prestasi<br />
1. Juara Harapan II Siswa Tela<strong>dan</strong> Tingkat SD Se-Kabupaten Cilacap<br />
2. Lulusan terbaik <strong>dan</strong> peraih nilai tertinggi SMP Negeri 5 Cilacap<br />
3. Juara II First Aid Invitation Tingkat Wira Se-Jawa Tengah<br />
4. Juara II Proposal PKM Lomba Keilmiahan HIMABIO FMIPA <strong>UNS</strong><br />
Tahun<br />
1999<br />
2003<br />
2004<br />
2008<br />
Beasiswa yang Pernah Diperoleh<br />
Nama beasiswa Instansi Pemberi Tahun<br />
1. Beasiswa Pendidikan<br />
2. Beasiswa Pengembangan Prestasi<br />
Akademik (PPA)<br />
SMA Negeri 1 Cilacap<br />
<strong>UNS</strong><br />
2002-2003<br />
2008-2010<br />
Pengalaman Organisasi<br />
Organisasi Jabatan Tahun<br />
1. PMR Madya Puma Palmera<br />
2. PMR Wira SMA Negeri 1 Cilacap<br />
3. GAPPALMERA CILACAP<br />
4. UKM BKKT (Ba<strong>dan</strong> Koordinasi<br />
Kesenian Tradisional) <strong>UNS</strong><br />
5. Keluarga Cilacap (KECAP <strong>UNS</strong>)<br />
6. HIMABIO FMIPA <strong>UNS</strong><br />
7. HIMABIO FMIPA <strong>UNS</strong><br />
8. Kelompok Studi enviRo<br />
9. Kelompok Studi Bioteknologi<br />
10. Kelompok Studi Mutasi<br />
Anggota<br />
Sekretaris<br />
Bendahara<br />
Staff Bi<strong>dan</strong>g II<br />
Anggota<br />
Staff HUMAS Internal<br />
Koord. Dept. HUMAS<br />
Staff Divisi Riset<br />
Anggota<br />
Anggota<br />
2001-2002<br />
2004-2005<br />
2004<br />
2006-2007<br />
2006-sekarang<br />
2007<br />
2008<br />
2008<br />
2009-sekarang<br />
2009-sekarang<br />
Pengalaman Bekerja<br />
Pekerjaan<br />
1. Tentor Les Privat<br />
2. Asisten Praktikum Biokimia di Jurusan Biologi FMIPA <strong>UNS</strong><br />
3. Kegiatan Magang Mahasiswa (KMM) di Balai Besar Kesehatan<br />
Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta<br />
4. Asisten Praktikum Taksonomi Tumbuhan <strong>dan</strong> Fisiologi Hewan di<br />
Jurusan Biologi FMIPA <strong>UNS</strong><br />
5. Asisten Praktikum Taksonomi Modern <strong>dan</strong> Genetika Lanjut<br />
Program Studi Biosains Pascasarjana <strong>UNS</strong><br />
6. Asisten Praktikum Struktur <strong>dan</strong> Perkembangan Hewan I, Struktur<br />
<strong>dan</strong> Perkembangan Tumbuhan I, <strong>dan</strong> Struktur <strong>dan</strong> perkembangan<br />
Tumbuhan II di Jurusan Biologi FMIPA <strong>UNS</strong><br />
Tahun<br />
2008<br />
2008<br />
2009<br />
2009<br />
2009<br />
2010<br />
Surakarta, 15 Juli 2010<br />
Santi Silfiana Ashary