Daemeter_Berau_Kutim_HCV_Peer Review.pdf - HCV Resource ...
Daemeter_Berau_Kutim_HCV_Peer Review.pdf - HCV Resource ...
Daemeter_Berau_Kutim_HCV_Peer Review.pdf - HCV Resource ...
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
REVIEW REPORT ASSESSMENT <strong>HCV</strong>F LEVEL LANDSCAPE BERAU KUTAI<br />
By: Lilik Budi Prasetyo<br />
Forestry Faculty- Bogor Agricultural University<br />
Sesuai dengan TOR <strong>Review</strong> report assessment <strong>HCV</strong>F level landscape <strong>Berau</strong> Kutai, review<br />
ditulis berdasarkan urutan berikut :<br />
1. <strong>Review</strong> of report assessment of <strong>HCV</strong>F level landscape <strong>Berau</strong> Kutai;<br />
<strong>Review</strong> dilakukan dengan merunut metoda yang digunakan dalam analisis, terkait<br />
dengan hasil identiikasi <strong>HCV</strong>F.<br />
2. <strong>Review</strong>ing the quality and scientific content of this report, particularly as it<br />
relates to landscape ecology, biodiversity and spatial analysis;<br />
3. Identify the strengths and weaknesses of the report, including its potential<br />
advantages to be used in any kind of spatial planning;<br />
4. Propose recommendations and analysis of data from this report that can be used<br />
beyond <strong>HCV</strong> activities;<br />
1. Metoda yang digunakan pada Laporan assessment of <strong>HCV</strong>F level landscape <strong>Berau</strong><br />
Kutai<br />
(a) Identifikasi penutupan hutan<br />
Menurut laporan, identifikasi penutupan hutan di masa lalu (past forest cover) dan saat ini<br />
(current forest cover) dilakukan dengan menggunakan data satelit Landsat Multi Spectral<br />
Scanner/ MSS, Thematic Mapper/TM dan Enhanced Thematic Mapper/ ETM, menggunakan<br />
teknik klasifikasi secara visual dengan on creen digitizing.<br />
Metoda klasifikasi tidak diuraikan secara jelas dan detail sehingga reliabilitas data yang<br />
dihasilkan diragukan. Bahkan bila diikuti sesuai dengan yang diuraikan dalam laporan<br />
dijumpai inkonsistensi dari penerapan metoda tersebut. Selain itu dari pengecekan secara<br />
acak didapatkan banyak ommission dan commission error. Beberapa kasus yang ditemukan<br />
disajikan pada bagian yang berkaitan dengan analisis spasial.<br />
Pada saat klasifikasi penutupan lahan diusahakan mencapai kondisi cloud free image, namun<br />
karena selalu tertutup awan, walaupun telah menggunakan banyak image kondisi tersebut<br />
tidak tercapai. Namun laporan tidak menjelaskan bagaimana kondisi ini diatasi.
Pada saat klasifikasi penutupan hutan, tidak disebutkan sumber data sekunder yang digunakan<br />
sebagai referensi. Sangat disayangkan bila tidak mengacu/menggunakan informasi resmi yang<br />
telah dipublikasikan oleh Departemen Kehutanan (Badan Planologi). Data ini juga dapat<br />
digunakan untuk menutupi kekurangan data karena gangguan awan.<br />
(b) Pemetaan <strong>HCV</strong>F<br />
Laporan telah dapat memetakan <strong>HCV</strong>F 2 dan <strong>HCV</strong>F 3 di Kalimantan Timur berdasarkan Toolkit<br />
for Identification of High Conservation Values in Indonesia, dengan sedikit modifikasi pada<br />
salah satu threshold proporsi luasan hutan untuk ekosistem langka. Sedangkan pemetaan tipe<br />
ekosistem didekati dengan menggunakan data RePPProt dipadukan dengan DEM SRTM.<br />
Pemetaan <strong>HCV</strong>F 3:<br />
Pemetaan Endanger ecosystem mengacu pada kriteria Toolkit for Identification of High<br />
Conservation Values in Indonesia. Data yang digunakan adalah data tutupan hutan yang lalu<br />
(1975s), dan present (2009s), yang didapatkan dari citra satelit. Sedangkan ancaman<br />
digunakan pendekatan peta RTRWP untuk menentukan tutupan hutan yang akan hilang.<br />
Asumsi yang digunakan adalah bahwa hutan yang tidak dilindungi/boleh dikonversi (bukan CA,<br />
TN,THR,HL,HPP dan KBK) akan hilang. Perlu diberi catatan bahwa walaupun berstatus hutan<br />
lindung/konservasi masih mempunyai peluang untuk berubah.<br />
Ancaman yang juga disebut dalam Laporan adalah kebakaran. Data yang digunakan adalah<br />
world fire atlas (http://wfaa-dat.esrin.esa.int/) dan dispasialkan seperti disajikan pada<br />
Gambar 1.3.1. (halaman 19). Data yang dihasilkan adalah dugaan kebakaran hutan (hotspot)<br />
bukan kebakaran hutan seperti disebutkan dalam text. Dibandingkan dengan kebakaran hutan<br />
yang sebenarnya, dugaan (hotspot) tersebut bisa under estimate maupun over estimate<br />
(Siegert, 1999).<br />
Modifikasi criteria dilakukan pada saat menentukan rare ecosystem dengan merubah threshold<br />
dari 5% ke 1 %. Perubahan ini dimaklumi karena banyaknya tipe ekosistem di areal studi,<br />
sehingga sebagian besar ekosistem mempunyai luasan
2. Kualitas dan substansi ilmiah dari laporan, terkait dengan analisis spasial, ekologi<br />
lanskap dan keanekaragaman hayati.<br />
2.1. Database spasial citra Satelit dan Vector<br />
a. Format data dan penulisan nama file<br />
Data citra Landsat yang diterima dari TNC sudah berupa data dengan format *.img untuk data<br />
TM dan ETM, sebagian MSSR, serta Geotiff untuk sebagian besar data Landsat MSSR (dalam<br />
bentuk file zip/rar). Data dengan format *.img dapat langsung dibuka dengan Software Erdas<br />
Imagine, sedangkan Geotiff perlu diimport sebelumnya sebelum dibaca di Erdas. Jumlah band<br />
untuk TM dan ETM, hanya 3 (band 5, band 4 dan band 3). Sedangkan untuk MSS sebanyak 4<br />
band.<br />
Untuk Landsat TM dan ETM, penulisan file adalah sbb L71116059_05920070924_b543. Karena<br />
tidak ada metadata atau protokol penulisan nama file maka sulit memaknainya. Pihak lain<br />
yang akan memakai hanya bisa menebak bahwa file tersebut adalah data Landsat 7, Path 116<br />
dan Row 59, yang diakuisisi pada tanggal 24 September 2009 yang tersusun dengan urutan<br />
band 5, 4 dan 3. Ketika file tersebut dibuka ternyata penulisan file ini tidak konsisten. Data<br />
citra terkadang tersusun dengan urutan RGB=345 (TM/ETM tahun 1991, 2001, 2007, and 2008)<br />
dan kadang kala dengan urutan RGB = 543 (TM/ETM tahun 2000, 2006, dan 2009).<br />
Ketidakjelasan dan ketidakkonsistenan dalam menyusun data yang digunakan penelitian<br />
merugikan pengguna, karena akan menimbulkan kesulitan bila akan digunakan kembali.<br />
Selain itu pengguna akan kesulitan mengecek reliabilitas data hasil penelitian. Disarankan<br />
data dilengkapi dengan metadata yang berisi informasi mengenai data tersebut, dari<br />
penamaan, sumberdata, skala sumberdata, tahun data, software yang dipakai dll.<br />
2.2. Pembangunan data penutupan hutan (Forest Cover) dan analisis spasial<br />
2.2.1. Pre Processing data Landsat.<br />
Sebelum diklasifikasi secara visual, seyogyanya setiap scene di geo reference/geo koreksi<br />
sehingga dapat di overlay satu scene dengan scene yang lain. Dari data Landsat yang terpilih<br />
ada satu scene yang belum dikoreksi dengan baik, yaitu data Landsat MSSR yang diakuisisi<br />
tahun 1972 (lm1240590007234010.img).<br />
2.2.2. Penutupan hutan<br />
Menurut uraian metoda di dalam laporan, untuk membuat data forest cover telah digunakan<br />
88 scenes Landsat Imagery (22 scenes TM/ETM Landsat & 44 scenes of Landsat MSSR) dari
erbagai tahun dengan menggunakan interpretasi visual. Klasifikasi yg digunakan adalah<br />
dengan menggunakan digitasi on screen setelah semua citra dikoreksi geometri.<br />
Untuk menyusun forest cover tahun 1975 (past forest cover) digunakan data citra tahun 1972<br />
– 1982. Algoritme yang digunakan adalah dengan menggunakan teknik overlay, dimana<br />
informasi luasan hutan yang dipakai adalah informasi dari scene yang terlama. Sedangkan<br />
untuk menyusun forest cover tahun 2009 (current forest cover) digunakan data citra satelit<br />
dari tahun 2006 – 2009. Algoritme yang digunakan adalah dengan menggunakan teknik<br />
overlay, dimana informasi luasan hutan yang dipakai adalah informasi dari data citra yang<br />
terbaru.<br />
Beberapa kritik mengenai proses pembentukan forest cover adalah sbb :<br />
a. Jumlah scenes yang digunakan setelah menghitung Tabel 1.2.1. (hal. 7) da Tabel 1.2.2<br />
(hal. 8) adalah sebanyak 77 citra, yang terdiri dari 44 citra Landsat MSS 1,2, dan 3,<br />
serta 33 landsat ETM 7, ditambah dengan 27 scenes Landsat TM 5 sebagai reference)<br />
b. Laporan tidak menyebutkan secara detail bagaimana teknik klasifikasi secara visual<br />
dilakukan dilakukan, misalnya :<br />
Pada skala berapa secara konsisten on screen digitasi dilakukan ?<br />
Tidak dijelaskan urutan kerja klasifikasi yang dilakukan, sehingga sulit<br />
mengecek reliability hasil klasifikasi. Pertanyaan yang timbul terkait dengan<br />
metoda overlay adalah :<br />
i. apakah klasifikasi dilakukan pada setiap scene dan baru kemudian<br />
dilakukan overlay, atau apakah klasifikasi dilakukan secara interaktif<br />
simultan dengan menggunakan semua data citra.<br />
ii. Bila dilakukan pada setiap scene, bagaimana mengambil keputusan<br />
seandainya tidak dapat dicapai “cloud free” walaupun multi temporal<br />
data citra sudah digunakan ?<br />
iii. Terkait dengan butir (ii), apabila penentuan land cover dilakukan<br />
dengan judgement interpreter (dengan mengacu pada suatu sumber)<br />
maka hal tersebut harus disebutkan dalam metoda, sehingga dapat<br />
diketahui tingkat reliabilitas data yang dihasilkan. Salah satu peta<br />
rujukan yang dapat dipakai untuk menutupi kekurangan tersebut adalah<br />
peta Penutupan Lahan dari RePPProt dan peta penutupan lahan yang<br />
dipublikasikan oleh Baplan. Metoda yang dipakai kedua peta tersebut<br />
juga klasifikasi visual. Pada peta Baplan klasifikasi hutan lebih detail,
karena sudah memasukkan tipe ekosistem dan juga gangguan manusia.<br />
Selain itu data GeoCover (https://zulu.ssc.nasa.gov/mrsid/mrsid.pl)<br />
juga dapat digunakan untuk membantu klasifikasi.<br />
c. Untuk mengecek ketepatan klasifikasi visual, TNC memberikan sampel data citra dan<br />
hasil akhir klasifikasi dalam format ESRI shape file (.shp). Dengan menggunakan data<br />
tersebut sebagai acuan, secara acak ditemukan beberapa hal :<br />
Omission error<br />
Omission error adalah error yang terjadi karena obyek (dalam hal ini hutan)<br />
diklasifikasikan menjadi non hutan. Kesalahan ini disebabkan oleh kesalahan<br />
interpreter atau karena kondisi data yang tidak baik (misal tertutup<br />
awan/haze/shadow). Kesalahan karena interpreter bisa terjadi karena pemahaman<br />
lapangan dari interpreter yang kurang, kapabilitas interpreter, karena faktor<br />
kelelahan, ketidaktelitian atau factor non teknis yang lain. Dari data citra yang<br />
terpilih secara acak, omission yang terjadi diilustrasikan pada Gambar 1.<br />
Non<br />
Hutan<br />
Hutan<br />
Gambar 1. Overlay Landsat tahun 2009 (P/R : 116/61) dengan data vector<br />
deliniasi hutan dan non hutan tahun 2009s (current)<br />
hasil
Pada Gambar 1 tersebut, data citra yang ditampilkan adalah data citra path/row<br />
116/61 tahun terkini (2009) yang dioverlay dengan hasil akhir peta hutan dan non<br />
hutan yang berupa ESRI shp file. Menurut hasil klasifikasi, daerah di dalam polygon<br />
dengan warna hijau adalah hutan (Hutan Lindung S.Wain). Sedangkan daerah yang<br />
diberi lingkaran merah (Hutan Bukit Bangkirai, ± 100 ha), (warna hijau tua) sesuai<br />
dengan kunci interpretasi dari Baplan (berdasarkan elemen tone dan color) mestinya<br />
adalah hutan, namun terklasifikasi menjadi non hutan. Kesalahan yang sama dapat<br />
dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3. Omission Error karena ada lokasi berhutan yang<br />
juga tidak terdeliniasi. Kasus serupa terjadi juga di tempat yang lain .<br />
Non Hutan<br />
Hutan<br />
Gambar 2. Overlay landsat tahun 2009 dengan hasil deliniasi hutan dan non hutan<br />
Ommission error terjadi terutama pada remnant patch hutan yang berukuran kecil.<br />
Misalnya remnant patch hutan di Bukit Bangkirai.<br />
Commission Error<br />
Commission error adalah kesalahan karena memasukan kelas non hutan ke dalam kelas<br />
hutan. Ilustrasi kesalahan ini disajikan pada Gambar 4. Pada gambar tersebut,<br />
lingkaran merah menunjukkan bagian yang semestinya tidak dikelaskan sebagai hutan.
Gambar 3. Overlay Landsat 2009 (P/R:116059) dengan data vector deliniasi hutan dan<br />
non hutan tahun 2009s (current)<br />
Gambar 4. Overlay Landsat 2009 (P/R:116059) dengan data vector deliniasi hutan dan<br />
non hutan tahun 2009s (current)
d. Di dalam laporan disebutkan bahwa untuk membuat penutupan hutan tahun 1975s,<br />
dilakukan query sbb “ The large number of images over a ten year period was<br />
required to achieve a ‘cloud free’ view of this part of Kalimantan. Where possible the<br />
earliest image was used, such that where an earlier image showed a location to be<br />
forested and a later image non-forest, the location was classified as forest. The<br />
nominal date of the forest cover is given as c.1975”<br />
Secara acak dapat ditemukan bahwa metoda tersebut tidak dilakukan.<br />
disajikan pada Gambar 5, 6, 7 dan 8.<br />
Ilustrasi<br />
Gambar 5 dan 7 adalah overlay antara data citra tahun 1982 dengan hasil deliniasi<br />
forest dan non forest. Kalau menurut metoda yang diterangkan di atas semestinya non<br />
forest (di dalam polygon biru) pada tahun 1982 tersebut akan menjadi forest karena<br />
pada tahun 1973 daerah tersebut adalah masih berupa hutan, seperti diilustrasikan<br />
pada Gambar 6 dan 8.
Non<br />
Forest<br />
Gambar 5. Citra tahun 1982 dioverlay dgn data vector deliniasi hutan dan non<br />
hutan tahun 1975s<br />
Forest<br />
Gambar 6 .Citra Landsat MSS tahun 1973 dioverlay dgn data vector<br />
deliniasi hutan dan non hutan tahun 1975s
Non<br />
Forest<br />
Forest<br />
Gambar 7. Citra Landsat tahun 1982 (P/R: 125/059) dioverlay dengan data<br />
vector hasil deliniasi hutan dan non hutan tahun 1975s<br />
Forest<br />
Non<br />
Forest<br />
Gambar 8. Citra Landsat tahun 1973 (P/R: 125/059) dioverlay dengan data<br />
vector hasil deliniasi hutan dan non hutan tahun 2975s
Contoh commission error yang lain adalah pada Gambar 9 dan Gambar 10.<br />
Gambar 9. Citra tahun 1973 (P/R:124059) overlay dengan data vector hasil<br />
deliniasi hutan dan non tahun 1975s<br />
Gambar 10. Citra tahun 1982 (P/R:124059) overlay dengan vector hasil<br />
deliniasi hutan dan non hutan tahun 1975s
Pada Gambar tersebut menunjukkan lokasi yang pada tahun 1973 dan 1982 merupakan<br />
daerah bukan hutan, namun diklasifikasikan menjadi hutan.<br />
e. Di dalam laporan disebutkan bahwa untuk membuat penutupan hutan saat ini (current<br />
forest), tahun 2010, dilakukan denan ketentuan sbb : Current (2009) forest cover<br />
was mapped using onscreen digitization of 44 Landsat 7 scenes (44 scenes of Landsat<br />
7) from between 2006 and August 2009, Table 1.2.1, and Figure 1.2.3. The number of<br />
scenes was required to obtain a relatively cloud free image of this part of<br />
Kalimantan. W(h)ere possible the most recent scene was used<br />
Metoda seperti yang diuraikan di atas tidak dilakukan dengan konsisten. Ilustrasi<br />
disajikan pada Gambar 11.<br />
a<br />
b<br />
c<br />
d<br />
Gambar 11. (a) Landsat tahun 2006, (b) Landsat tahun 2008, (c) Landsat tahun<br />
2009 dan (d) Landsat tahun 2010.
Gambar 11 adalah kondisi citra Landsat tahun 2006, 2008, 2009 dan 2010 yang<br />
dioverlay dengan klasifikasi hutan dan hutan tahun 2009s. Apabila metoda dilakukan<br />
dengan konsisten maka lahan terbuka yang digambarkan dengan daerah berwarna<br />
merah/pink (± 200 ha) (Gambar 11d) tidak dimasukkan sebagai penutupan hutan<br />
(deliniasi kuning).<br />
Kesalahan serupa diilustrasikan pada Gambar 12.Kedua ilustrasi ini menunjukkan<br />
bahwa metoda yang tertulis tidak dilakukan dengan benar.<br />
a<br />
b<br />
c<br />
d<br />
Gambar 12. (a) Landsat tahun 2006, (b) Landsat tahun 2008, (c) Landsat tahun<br />
2009 dan (d) Landsat tahun 2010.<br />
2.2. Landscape Ecology dan Biodiversity<br />
Ekologi Lanskap (landscape ecology) mempelajari struktur, fungsi dan perubahan lanskap.<br />
Struktur terkait dengan elemen penyusun dari lanskap yang dapat dibedakan menjadi Patch,<br />
Matrix dan Corridor (Koridor) (Forman & Godron, 1986). Patch adalah areal homogen yang
dapat dibedakan dari daerah sekelilingnya. Corridor adalah patch yang memanjang dan<br />
Matrix adalah patch yang paling dominan. Sedangkan edge adalah batas antara patch dan<br />
patch atau matrix dengan patch yang berbeda. Lanskap disebut homogen apabila tersusun<br />
dari unit lanskap yang seragam, sedangkan lanskap heterogen bila tersusun dari patch-patch<br />
yang beragam. Semakin beragam lanskap maka akan semakin besar edge, yang<br />
mengindikasikan lanskap yang semakin terfragmentasi.<br />
Species merespon fragmentasi lanskap secara berbeda. Bagi habitat specialist species pada<br />
hutan misalnya, fragmentasi hutan akan menyebabkan penururunan kelimpahan. Sedangkan<br />
pada habitat generalist species, fragmentasi tidak berakibat banyak, justru cenderung<br />
menguntungkan. Terlebih lagi untuk edge species yang bersifat generalist, semakin<br />
fragmented dan beragam maka akan semakin menguntungkan bagi kelangsungan hidupnya.<br />
Untuk mengelola keanekaragaman species pada level lanskap, maka sangat diperlukan<br />
pemahaman mengenai struktur lanskap dan karakter species yang menjadi target kunci<br />
pengelolaan.<br />
Terkait dengan teori tersebut, gambaran lanskap secara keseluruhan dari wilayah studi tidak<br />
didapatkan karena hanya tutupan hutan saja yang dipetakan. Padahal dalam konteks ekologi<br />
lanskap dan pengelolaan lanskap informasi unit-unit penyusun lanskap/habitat (patches)<br />
sangat dibutuhkan. Misalnya menentukan wilayah yang dimungkinkan untuk dikembangkan<br />
koridor satwa, baik koridor kontinyu ataupun stepping stone koridor. Untuk stepping stone<br />
corridor, remnant patch yang berukuran kecilpun dapat memerankan posisi yang penting.<br />
3. Kekuatan dan Kelemahan dari laporan<br />
3.1. Kekuatan<br />
Laporan telah berhasil memetakan <strong>HCV</strong>F 2 dan <strong>HCV</strong>F 3 dengan mengacu pada Toolkit for<br />
Identification of High Conservation Values in Indonesia. Pemetaan dilakukan dengan<br />
menggunakan analisis overlay dan buffer dengan menggunakan beberapa peta<br />
tematik. Beberapa pertimbangan teknik telah disesuaikan dengan kondisi wilayah<br />
studi, yaitu :<br />
Penentuan threshold 1 % untuk menentukan batas ekosistem alam yang langka (rare<br />
ecosystem) sebagai <strong>HCV</strong> 3.<br />
Menentukan 3 wilayah transisi ekosistem, berdasarkan ketinggian (elevational), lahan<br />
basah dan bukan lahan basah (wetlands and non-wetland),dan kerangas dan non<br />
kerangas (heath and non-heath forest).
Menentukan lebar ecotone sebesar 3 km untuk menjamin kelestarian species.<br />
Hal yang penting juga dikemukakan adalah bahwa studi telah dapat mengumpulkan data<br />
multiwaktu satelit landsat yang sangat berguna.<br />
Studi juga telah dapat menyusun beberapa peta tematik, misalnya tipe ekosistem (dengan<br />
pendekatan Sistem lahan/Land system), Digital Elevation Model (slope & Elevasi), dan<br />
Penutupan hutan. Peta tematik ini telah diperbaiki dengan menggunakan garis pantai dari<br />
DEM SRTM.<br />
3.2. Kelemahan<br />
Beberapa kelemahan dari laporan adalah :<br />
(a) Metodologi penyusunan past & current forest cover tidak diuraikan dengan jelas dan<br />
tidak konsisten.<br />
(b) Akurasi hasil klasifikasi tidak diketahui. Akuntabilitas penutupan hutan juga diragukan<br />
karena dijumpai banyak kesalahan pada proses klasifikasi hutan dan non hutan, baik<br />
omission dan commission error.<br />
(c) Ada kecenderungan deliniasi hutan hanya dilakukan pada Patch hutan yang luas,sehingga<br />
patch hutan yang sempit tidak terpetakan, misalnya remnant patch hutan di Bukit<br />
Bangkirai.<br />
(d) Pada saat memberikan uraian tentang peta distribusi <strong>HCV</strong>F dan arahan pengelolaan,<br />
dimensi spasial (baik pada peta/uraian) terkait dengan batas administrasi dan fungsi<br />
hutan tidak terlihat. Hal ini akan menimbulkan kesulitan bila arahan pengelolaan<br />
tersebut akan dilakukan oleh para pemegang kepentingan (stake holder). Misalnya<br />
digunakan untuk seleksi lokasi implementasi REDD hingga pada tingkat desa/kecamatan.<br />
(e) Hasil dari sebuah riset bukan hanya berupa hard print dokumen, tetapi juga data berupa<br />
softcopy laporan dan softcopy data. Baik data sebelum dan sesudah analisis. Terkait<br />
dengan hal ini maka softcopy data harus dilengkapi dengan metadata. Hal ini akan<br />
memudahkan user atau peneliti berikutnya dapat memanfaatkan dengan baik.
4. Propose recommendations and analysis of data from this report that can be used<br />
beyond <strong>HCV</strong> activities<br />
4.1. Saran tindak lanjut untuk memperbaiki data<br />
Data penutupan hutan merupakan informasi dasar yang penting, sehingga sebelum data yang<br />
dihasilkan digunakan untuk keperluan analisis yang lain maka data harus diperbaiki.<br />
a. Untuk bagian yang tidak bisa mencapai cloud free maka diperlukan sumber data lain<br />
untuk menutupi bagian yang tertutup awan. Untuk data current forest bisa<br />
digunakan data ALOS PALSAR data atau data penutupan lahan dari Baplan<br />
(Departemen Kehutanan RI). Sedangkan untuk past forest cover dapat digunakan peta<br />
RePPProt atau sumberdata lain. Dokumentasi NASA dalam bentuk mosaic Landsat<br />
hingga tahun 1990 (https://zulu.ssc.nasa.gov/mrsid/) dapat juga digunakan sebagai<br />
data substitusi.<br />
b. Perlu penyempurnaan deliniasi karena omission dan commission error.<br />
c. Perlu penyempurnaan peta-peta yang dihasilkan dengan menambahkan informasi<br />
mengenai desa dan kecamatan, sehingga mempermudah user untuk memahami dan<br />
menindaklanjuti laporan tsb.<br />
4.2. Permodelan perubahan lahan dan faktor penyebab perubahan lahan.<br />
Asumsi yang digunakan pada studi ini dalam menentukan future forest cover/potential loss<br />
adalah RTRWP, yaitu bila bukan hutan konservasi/dilindungi diasumsikan hutan tersebut akan<br />
hilang. Sedangkan bila diprotesi/konservasi akan tetap. Pada kenyataan di lapangan<br />
konversi hutan/encroachment bisa terjadi dimana saja baik di kawasan konsersi/dilindungi<br />
atau tidak. Sehingga perlu dibangun sebuah spasial model perubahan hutan. Permodelan ini<br />
dimungkinkan karena telah tersedia data time series dan pengetahuan dasar mengenai<br />
hubungan faktor social/ekonomi yang telah mencukupi di Kalimantan timur.<br />
Hasil dari permodelan tersebut dapat juga digunakan untuk menentukan area yang perlu<br />
prioritas untuk dilindungi.<br />
Pada saat melakukan permodelan, dapat diketahui juga faktor-faktor penyebab perubahan<br />
lahan/deforetasi sehingga dapat diambil kebijakan yang tepat untuk mengatasi<br />
permasalahan tersebut.