30.03.2014 Views

Download (3657Kb) - ePrints Sriwijaya University - Universitas ...

Download (3657Kb) - ePrints Sriwijaya University - Universitas ...

Download (3657Kb) - ePrints Sriwijaya University - Universitas ...

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

1<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


2<br />

KATA PENGANTAR<br />

Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahuwataalla, dengan<br />

rakhmat dan karunia-Nya penelitian dan penulisan disertasi ini akhirnya dapat<br />

diselesaikan. Akan tetapi, dalam penyelesaian disertasi ini banyak pihak yang<br />

terlibat. Pada kesempatan ini saya menyampaikan ucapan terima kasih kepada:<br />

Pertama-tama ucapan terima kasih ini saya sampaikan kepada Rektor <strong>Universitas</strong><br />

Indonesia, Bapak. Prof. Dr. Sos. Gumilar S. M.Si, yang telah memberi<br />

kesempatan kepada saya untuk menimba ilmu pada program doktor dalam ilmu<br />

sejarah di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Selanjutnya, terima kasih juga saya<br />

sampaikan kepada Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Bapak. Dr.<br />

Bambang Wibawarta, yang telah berkenan menerima saya sebagai bagian dari<br />

fakultas ini untuk belajar di program S3.<br />

Kepada ketua Departemen Ilmu Sejarah, sekaligus sebagai Ko-<br />

Promotor Bapak. Dr. Priyanto Wibowo, saya menghaturkan ucapan terima kasih<br />

yang setinggi-tingginya atas kesediaan beliau menerima saya sebagai mahasiswa<br />

bimbingannya. Beliau telah memberikan masukan, arahan dan dukungan yang<br />

sangat besar terhadap saya agar terus menapak dalam usaha menyelesaikan studi<br />

ini. Sungguh semua itu merupakan bantuan yang sangat berarti bagi saya.<br />

Disertasi ini tidak akan mampu saya jalani tanpa bimbingan, arahan dan dorongan<br />

dari promotor dan promotor. Untuk itu, pada kesempatan ini saya menghaturkan<br />

ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dr. Magdalia Alfian.<br />

Sebagai ketua PPKB dan dosen inti, beliau memiliki kesibukan yang luar biasa.<br />

Akan tetapi, di tengah kesibukan tersebut, beliau tetap meluangkan waktu untuk<br />

membimbing dan mengarahkan dalam penelitian dan penulisan disertasi ini.<br />

Dukungan besar yang beliau berikan, telah memberikan kekuatan kepada saya<br />

untuk terus berjuang demi mencapai tujuan mengakhiri studi di departemen Ilmu<br />

Sejarah.<br />

Kepada para penguji saya, Dr. Moh. Iskandar saya menyampaikan<br />

ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya atas kesediaan beliau untuk membaca<br />

naskah disertasi saya dengan teliti, sehingga memberikan masukan-masukan yang<br />

sangat berharga bagi perbaikan disertasi ini. Di samping itu, Bp. Iskandar juga<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


3<br />

berfungsi sebagai pembimbing akademik yang telah mengarahkan saya dalam<br />

mengikuti perkuliahan, sehingga dapat berjalan lancar.<br />

Kepada Bapak Prof. Dr. Maswadi Rauf, saya juga menghaturkan<br />

terima kasih yang tidak terhingga. Dengan tingkat ketelitian yang tinggi, beliau<br />

telah mengingatkan saya bahwa kehati-hatian itu sangat penting dalam penelitian<br />

dan penulisan ilmiah. Masukan-masukan dari beliau sangat berharga dalam<br />

perbaikan disertasi ini.<br />

Kepada Prof. Dr. susanto Zuhdi, saya juga menyampaikan ucapan<br />

terima kasih atas semua sapaan dan dorongan beliau agar saya terus semangat<br />

melanjutkan penyelesaian disertasi ini. Perhatian-perhatian kecil yang beliau<br />

berikan, sangat besar pengaruhnya pada saya dalam menapak jalan panjang dalam<br />

ilmu sejarah. Begitu pula, kepada almarhum Prof Dr. R.Z. Leirissa, saya haturkan<br />

terima kasih yang sedalam-dalamnya atas ilmu yang telah beliau ajarkan dan<br />

diskusi-diskusi dengan beliau, telah menginspirasi saya terus menimba ilmu. Saya<br />

juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Prof. Dr. I Ketut Suradjaja<br />

yang sempat menjadi dosen pembimbing akademik. Di tengah kesibukan beliau,<br />

masih menyempatkan diri untuk membimbing saya walau pun melalui e-mail.<br />

Semua itu memberi saya pelajaran berharga untuk diterapkan dalam membimbing<br />

mahasiswa-mahasiswi saya nantinya.<br />

Kepada Prof. Riris K. Toha-Sarumpaet, Ph.D, yang telah<br />

memberikan penguatan kepada saya dalam usaha untuk terus melanjutkan tahap<br />

akhir dari studi saya di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya ini. Semua itu sangat<br />

bermakna dan berharga bagi saya, hanya ucapan terima kasih yang sedalamdalamnya<br />

yang dapat saya haturkan kepada Ibu. Ucapan terima kasih juga saya<br />

tujukan kepada Prof. Dr. N. Jenny M.T. Hardjatno atas dukungan beliau kepada<br />

saya.<br />

Kepada Prof. Dr. Djoko Marihandono, saya menyampaikan ucapan<br />

terima kasih yang setinggi-tingginya atas semua bimbingan, bantuan, masukan<br />

dan kritikan yang telah beliau berikan kepada saya. Semua itu sangat bermanfaat<br />

bagi perbaikan disertasi ini.<br />

Kepada semua dosen yang telah memberikan kuliah selama saya menimba ilmu<br />

pada program S3 FIB <strong>Universitas</strong> Indonesia, saya menghaturkan ucapan terima<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


4<br />

kasih yang setinggi-tinggi. Kedalaman ilmu yang telah bapak, ibu sampaikan telah<br />

membuat saya ―membuka mata dan hati‖ untuk terus mengasah diri dalam<br />

pengembangan ilmu, khususnya ilmu sejarah.<br />

Kepada Rektor <strong>Universitas</strong> <strong>Sriwijaya</strong>, Ibu Prof. Dr. Badia Parizade,<br />

M.B.A, yang memberikan izin dan bantuan kepada saya, sehingga dapat menimba<br />

ilmu sejarah di <strong>Universitas</strong> Indonesia. Saya haturkan terima kasih yang sebesarbesarnya.<br />

Tanpa bantuan ibu, saya tidak mungkin dapat menjadi bagian dari<br />

keluarga besar universitas terbaik ini. Begitu pula, saya sampaikan ucapan terima<br />

kasih yang setinggi-tingginya atas dukungan beliau dalam penyelesaian studi saya<br />

kepada Pembantu Rektor I <strong>Universitas</strong> <strong>Sriwijaya</strong>, Bapak Prof. Dr. Zulkifli Dahlan,<br />

M.Si., DEA.<br />

Kepada Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan <strong>Universitas</strong><br />

<strong>Sriwijaya</strong>, Bapak Prof. Drs. Tatang Suhery, M.A.,Ph.D, saya haturkan terima<br />

kasih yang sebesar-besarnya atas izin yang telah diberikan, sehingga saya dapat<br />

dengan tenang mengikuti program S3 ilmu sejarah. Ucapan terima kasih juga saya<br />

sampaikan kepada Pembantu Dekan I Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan<br />

<strong>Universitas</strong> /<strong>Sriwijaya</strong>, atas semua dukungan dan dorongan beliau selama saya<br />

menimba ilmu di universitas ini.<br />

Kepada semua rekan sejawat sesama pengajar pada Program Studi<br />

Ilmu Sejarah, khususnya kepada Ibu Dr. Murni, selaku Ketua Jurusan Pendidikan<br />

IPS, Bapak Drs. Supriyanto, M.Hum, selaku Ketua Program Studi Pendidikan<br />

Sejarah, Ibu Dra. Hj. Yunani, M.Pd, Bapak Syafruddin Yusuf, M.Pd, Ibu Dra.<br />

Isputaminingsih, M.SiI, Ibu Dra. Yetty Rahelly, M.Pd, Ibu Dr. Retno Susanti, Ibu<br />

Dra. Sani Safitri, M.Hum, Bapak Drs. Dedi Irwanto, M.Hum, Ibu Dra. Sri<br />

Kartika, Ibu Hudaidah, S.Pd., M.Pd, dan Bapak Syarifuddin, S.Pd., M.Pd.<br />

Kepada rekan-rekan saya, Dr. Rosmaida Sinaga, Bapak Dr. Harto<br />

Jowono, Abdurakhman, Abdul Syukur, Dr. Muslimin AR. Effendi, Linda Sudarti,<br />

Setia Gumilar, Ari Harapani, Tuti Muas, Erliza, Ahzainul Milal, Dr. Bernarda<br />

Meterai, Said D (alm). Terima kasih yang tak terhingga saya sampaikan atas<br />

semua bantuan, kebersamaan dengan penuh persahabatan yang telah terjalin<br />

selama ini. Sungguh, semua itu adalah momen-momen yang tak terlupakan.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


5<br />

Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya, juga saya sampaikan<br />

kepada pimpinan dan seluruh staf Arsip Nasional yang telah meminjamkan<br />

khazanah sebagai data sumber bagi penelitian dan penulisan disertasi ini. Kepada<br />

seluruh staf ruang baca, khususnya kepada Ibu Senjakala Yahya dan stafnya.<br />

Kepada semua pimpinan dan staf Perpustakaan Nasional RI, saya haturkan terima<br />

kasih yang tak terhingga, khususnya kepada Bapak M. Rosyid, M.Si, Ibu Atikah,<br />

M.Hum. Begitu pula pada semua pimpinan dan staf yang membidangi surat kabar<br />

lama, saya sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya.<br />

Dalam usaha menelusuri kembali sebagian dari jejak sejarah<br />

Kesultanan Palembang di ibu kota Palembang ke dusun Bailangu, dan Sungsang,<br />

saya menghaturkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada Bapak Sultan<br />

Mahmud Badaruddin III Prabu Diradja, Bapak Adenin, dan para sesepuh di dusun<br />

Sunsang Sumatera Selatan.<br />

Kepada staf pegawai FIB, khususnya Ibu Wiwi, Mba Ari, Mas Budi,<br />

Mba Mumun, saya juga menyampaikan ucapan terima kasih atas semua bantuan<br />

yang telah diberikan selama penyelesaikan pendidikan.<br />

Kepada Bapak Suwoto sekeluarga dan Ibu Acih sekeluarga, selaku<br />

―keluarga asuh‖ tempat saya tinggal selama pendidikan, saya haturkan ucapan<br />

terima kasih yang sebesar-besarnya. Semoga amal kebaikan Bapak dan Ibu<br />

mendapat ganjaran yang berlipat ganda dari Allah aamiin.<br />

Kepada seluruh keluarga saya, kakak-kakak, Reni dan keponakankeponakan<br />

yang telah memberikan doa, dukungan, dan bantuan. Tiada kata yang<br />

terucap selain terima kasih yang tak terhingga, diiringi doa semoga Allah SWT<br />

senantiasa melindungi dan memberkahi kita semua aamiin. Kepada Bapak<br />

almarhum H. Muhammad Yusuf. RWD, dan almarhumah Bunda Hj. Kalsoem,<br />

semoga ananda dengan segala keterbatasan yang ada dapat terus mengemban<br />

amanah yang diberikan untuk terus tawadduk dan istiqomah, aamiin. Begitu pula<br />

hatur terima kasih yang mendalam kepada kedua mertua, almarhum Ayahanda<br />

H.M. Dinah Zainuri dan Ibu Hj. Darma atas semua doa, bimbingan, dukungan<br />

dan kasih sayang kedua beliau khususnya kepada putera-puteri kami salama saya<br />

meninggalkan keluarga. Tak lupa kepada adik-adik kami, terima kasih yang<br />

sebesar-besarnya atas semua doa, bantuan, dukungan khususnya selama saya<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


6<br />

meninggalkan keluarga. Kebersamaan adalah momen-momen yang tak terlupakan<br />

dalam kebersamaan kita selama ini. Mohon maaf atas semua kekurangan.<br />

Terakhir kepada suami tercinta, Aryanto Dina, tiada kata terucap<br />

selain betapa lelah dan butuh kesabaran yang tinggi hari-hari yang dilalui dalam<br />

menjaga anak-anak selama kepergian saya. Untuk itu, terimalah permohonan maaf<br />

saya atas semua kekhilafan dan kealfaan selama ini. Semoga Sang Khalik<br />

mengampuni dan memberikan keberkahan pada hari-hari kita mendatang. Kepada<br />

buah hati kami Annada Nasyaya, Rangga Azza Harby, dan Zhafir Naufal Afif.<br />

Kita semua mendapat pelajaran sangat berharga dari ―perpisahan‖ ini, kita<br />

menjadi semakin solid dan kalian makin mandiri. Betapa kebersamaan itu adalah<br />

anugerah terindah dari Allah yang Maha segalanya. Mohon maafkan ibu dan<br />

terimalah rasa syukur serta terima kasih tak terhingga atas doa, pengertian,<br />

dukungan tiada henti yang telah kalian berikan kepada ibumu. Allah pasti<br />

mengijabah doa dan upaya setiap makhluk-Nya, aamiin.<br />

Kober, April 2012<br />

Farida R.Wargadalem.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


7<br />

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI<br />

TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS<br />

Sebagai sivitas akademika <strong>Universitas</strong> Indonesia, saya yang bertanda tangan di<br />

bawah ini:<br />

Nama : Farida R. Wargadalem<br />

NPM : 0706222006<br />

Program Studi : Ilmu Sejarah<br />

Departemen : Ilmu Sejarah<br />

Fakultas : Ilmu Pengetahuan Budaya<br />

Jenis karya : Disertasi<br />

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-ekslusive Royalty-<br />

Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:<br />

Perebutan Kekuasaan di Kesultanan Palembang (1804—1825)<br />

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan hak Bebas Royalti<br />

Noneksklusif ini <strong>Universitas</strong> berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan,<br />

mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan<br />

memublikasikan tugas akhir saya selama tetap menyantumkan nama saya<br />

sebagai/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.<br />

Demimikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.<br />

Dibuat di : Depok<br />

Pada tanggal : 11 April 2012<br />

Yang menyatakan,<br />

Farida R. Wargadalem<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


8<br />

ABSTRAK<br />

Nama : Farida R. Wargadalem<br />

Program Studi : Ilmu Sejarah<br />

Judul : Perebutan kekuasaan di Kesultanan Palembang (1804—1825)<br />

Disertasi ini menguraikan tentang terjadinya perebutan kekuasaan di Kesultanan<br />

Palembang. Dalam perebutan kekuasaan tersebut melibatkan dua saudara kandung<br />

(Sultan Badaruddin II dan Sultan Najamuddin II), juga melibatkan dua negara<br />

asing yaitu Inggris dan Belanda. Penelitian ini menggunakan pendekatan<br />

Narativisme untuk menjelaskan terjadinya konflik (internal dan eksternal) di<br />

Kesultanan tersebut. Kajian ini menemukan bahwa kehadiran Inggris pada April<br />

1812 di Kesultanan Palembang, memunculkan permusuhan antara dua orang<br />

kakak beradik tersebut, sehingga Palembang jatuh ke tangan Inggris. Sejak itu<br />

permusuhan dua bersaudara terus berlangsung sampai keduanya wafat. Sesuai isi<br />

Traktat London (1814), dinyatakan Inggris harus keluar dari Palembang, sehingga<br />

Palembang kembali berada di bawah pengaruh pemerintah kolonial Belanda.<br />

Kehadiran Belanda di Kesultanan Palembang, menyebabkan Belanda membagi<br />

tiga kekuasaan yairu Belanda, Sultan Badaruddin II, dan adiknya Sultan<br />

Najamuddin II. Kembalinya pasukan Inggris dari Bengkulu, menyebabkan konflik<br />

di Palembang menjadi semakin rumit. Konflik yang terjadi tidak saja antara dua<br />

saudara kandung, tetapi juga antara Sultan Najamuddin II dan Belanda, serta<br />

Belanda dan Inggris. Perang, merupakan alternatif penting yang terjadi di<br />

Kesultanan Palembang. Dua kali peperangan (1819) dimenangkan oleh<br />

Palembang, namun pada peperangan ketiga (1821), Palembang harus mengakui<br />

keunggulan kekuatan militer Belanda. Sejak itu Kesultanan Palembang berada di<br />

bawah kendali pemerintah kolonial Belanda. Usaha Sultan Najamuddin III untuk<br />

melakukan perlawanan mengalami kegagalan, sehingga kesultanan itu dihapuskan<br />

(1825).<br />

Kata kunci: konflik, Kekuasaan, perang.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


9<br />

ABSTRACT<br />

Name : Farida R. Wargadalem<br />

Study Program : History<br />

Title : The Seizure of Power in Palembang Sultanate<br />

This dissertation describes about the occurrence of. The seizure involved two<br />

brothers (Sultan Badaruddin II dan Sultan Najamuddin II) and two foreign<br />

countries, those are England and Netherland. This research used Narrativism<br />

approach in order to explain the occurrence of conflict (external and internal) in<br />

that Sultanate. It was found that the attendance of British in<br />

April 1812 in Palembang Sultanate led to a hostility between the two brothers<br />

(Sultan<br />

Badaruddin II dan Sultan Najamuddin II). It made Palembang was under the<br />

power of British. The hostility between the two brothers continued until both of<br />

them passed away. Based on the London Treaty (1814), it was stated that British<br />

had to leave out Palembang so that Palembang was returned back to the power of<br />

Dutch colonial. The Dutch then divided Palembang Sultanate into three powers,<br />

the Dutch, Sultan Badaruddin II, and his brother Sultan Najamuddin II. However,<br />

the return of British from Bengkulu led to a more complicated conflict in<br />

Palembang. The conflict was not only between the two brothers, but also between<br />

Sultan Najamuddin II and the Dutch and between the Dutch and the British.<br />

Finally, the war was the only option for the conflict in Palembang Sultanate. The<br />

war happened three times, the first and second war (1819) were won by<br />

Palembang, however the Dutch military power conquered the power of<br />

Palembang Sultanate in the third war (1821). Since then, the Palembang Sultanate<br />

was under the control of the Dutch colonial government. It was Sultan<br />

Najamuddin III who continued fighting against the Dutch, however the struggle<br />

failed. Finally, Palembang Sultanate was completely removed (1825).<br />

Key words: conflict, power, war.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


10<br />

DAFTAR ISI<br />

HALAMAN JUDUL<br />

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS<br />

HALAMAN PENGESAHAN<br />

KATA PENGANTAR<br />

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI<br />

TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK<br />

ABSTRAK<br />

ABSTRACT<br />

DAFTAR ISI<br />

DAFTAR TABEL<br />

DAFTAR LAMPIRAN<br />

DAFTAR UKURAN<br />

DAFTAR ISTILAH<br />

i<br />

ii<br />

iii<br />

iv<br />

ix<br />

x<br />

xi<br />

xii<br />

xv<br />

xvi<br />

xvii<br />

xviii<br />

1. PENDAHULUAN<br />

1.1 Latar Belakang 1<br />

1.2 Permasalahan Penelitian 7<br />

1.3 Tujuan Penelitian 8<br />

1.4 Kontribusi Penelitian 8<br />

1.5 Batasan Penelitian 9<br />

1.6 Tinjauan Pustaka 10<br />

1.7 Kerangka Konseptual 15<br />

1.8 Metodologi 21<br />

1.9 Sistematika Penelitian 26<br />

2. KESULTANAN PALEMBANG PADA AKHIR ABAD XVIII<br />

DAN AWAL ABAD XIX<br />

2.1 Pemerintahan 28<br />

2.2 Perekonomian 36<br />

2.3 Hubungan Kesultanan Palembang dengan Belanda dan Inggris 39<br />

2.3.1 Awal Pemerintahan Sultan Badaruddin II 49<br />

2.3.2 Strategi Raffles untuk Menguasai Palembang 54<br />

2.3.3 Pendudukan Loji Belanda (1811) dan Menolak Dominasi Inggris 64<br />

2.3.4 Keterlibatan Raffles dalam Pendudukan Loji Belanda 74<br />

3. SUKSESI DI KESULTANAN PALEMBANG<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


11<br />

3.1 Ekspedisi Inggris (1812)dan Pemerintahan Sultan Badaruddin II<br />

di Uluan 80<br />

3.2 Pergantian Kekuasaan 106<br />

3.3 Pemerintahan Inggris (1812-1816) di Palembang 114<br />

4. PEMBAGIAN KEKUASAAN<br />

4.1 Pemeritahan Belanda yang Kedua di Kesultanan Palembang 125<br />

4.2 Pembagian Kekuasaan 137<br />

4.3 Konflik Inggris dan Belanda di Kesultanan Palembang 143<br />

4.4 Rancangan Muntinghe untuk Kesultanan Palembang 161<br />

4.5 Akhir Pemerintahan Sultan Ratu Ahmad Najamuddin II 168<br />

4.6 Konflik Baru di Muara Bliti 171<br />

5. PERANG PALEMBANG<br />

5.1 Menjelang Perang dan Perang Palembang Pertama 190<br />

5.2 Persiapan Ekspedisi Belanda 204<br />

5.3 Perlawanan Bangka 208<br />

5.4 Persiapan Kesultanan Palembang 219<br />

5.5 Perang Palembang Kedua dan Akibatnya 224<br />

5.6 Persiapan Menghadapi Perang Palembang 253<br />

5.7 Perang Palembang (1821) 260<br />

6. KERUNTUHAN KESULTANAN PALEMBANG<br />

6.1 Pemerintahan Sultan Ahmad Najamuddin III 274<br />

6.2 Perlawanan Sultan Ahmad Najamuddin III 290<br />

6.3 Keruntuhan Kesultanan Palembang 297<br />

7. KESIMPULAN<br />

301<br />

DAFTAR PUSTAKA 309<br />

LAMPIRAN 319<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


12<br />

DAFTAR TABEL<br />

Tabel<br />

1. Produksi Timah Bangka (1813-1815)<br />

115 2.Total Pengeluaran dan Keuntungan dari<br />

Produksi Timah (1812-1815) 116<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


13<br />

DAFTAR LAMPIRAN<br />

Lampiran 1. Keraton Kesultanan Palembang<br />

Lampiran 2, Cap Kerajaan Masa Sultan Mahmud Badaruddin II<br />

Lampiran 3. Ekspedisi Belanda Tahun 1821<br />

Lampiran 4. Lokasi Loji Sungai Aur<br />

Lampiran 5. Peta Wilayah Kesultanan Palembang (Palembang-Bangka)<br />

Lampiran 6. Peta wilayah Kesultanan Palembang (Palembang-Bngkulu)<br />

Lampiran 7. Peta wilayah Kesultanan Palembang (Palembang-Lampung)<br />

Lampiran 8. Peta wilayah Kesultanan Palembang (Palembang-Jambi)<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


14<br />

DAFTAR UKURAN<br />

A. Ukuran Berat<br />

1 pikul 61,76 kilogram<br />

1 gantang 3,125 kilogram<br />

1 koyang 2.400 kilogram=40 pikul<br />

1 pon 0, 5 kilogram<br />

B. Ukuran Panjang/Luas<br />

1 mil 1609 meter<br />

1 inci 2,54 sentimeter<br />

1 kaki 0,3048 meter<br />

1 vadem 1,88 meter<br />

C.Mata Uang<br />

1 duit = 5/6 sen<br />

4 duit = 1 stuiver<br />

1 Stuiver = 5 sen Real<br />

1 Gulden (atau florin,f) = 100 sen<br />

1 Ringgit = Rijksdaalder = 2,40 Gulden<br />

1 Rupee = 1,20 Gulden<br />

1 Dollar`Spanyol = 2,56 Gulden<br />

320 Picis buntu = 1 dollar Spanyol<br />

4000 Picis teboh = 1 dollar Spanyol<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


15<br />

DAFTAR ISTILAH<br />

Alingan : : Para pekerja yang bertugas membantu matagawe atau yang<br />

berada di bawah ―alingan‖ yaitu perlindungan matagawe<br />

Atur-atur (rubo-rubo): Hadiah yang diberikan oleh sultan kepada para penguasa<br />

Sindang yang milir sebo ke ibu kota Palembang<br />

Batanghari Sembilan : Sungai-sungai yang mengalir di Kesultanan Palembang<br />

Batin<br />

: Kepala daerah di Pulau Bangka<br />

Buluarti<br />

: Empat sudut pagar keraton Kuto Besak tempat meletakkan<br />

meriam<br />

Depati/Pasirah : Kepala marga<br />

Elanong (Lanun) : Bajak laut atau perompak laut<br />

Iliran<br />

: Daerah dataran rendah (Banyuasin dan Iliran)<br />

Jenang/Raban : Wakil pemerintah pusat yang bertugas memungut pajak dari<br />

rakyat<br />

Kapanjing : Orang-orang atau kelompok yang membangkang terhadap<br />

kebijakan sultan<br />

Kepungutan : Daerah yang langsung diperintah oleh sultan<br />

Kongsi<br />

: Petugas lapangan yang berhadapan langsung dengan para<br />

pekerja tambang timah<br />

Lila<br />

: Senapan letup<br />

Marga<br />

: Gabungan enam sampai dua belas dusun<br />

Matagawe : Para pekerja yang diwajibkan membayar pajak<br />

Miji<br />

: Penduduk yang menyerahkan tenaganya untuk kepentingan<br />

sultan<br />

Milir Seba/sebo : Para penguasa Sindang yang datang ke ibu kota untuk<br />

mempersembahkan upeti kepada sultan<br />

Orang Abdi : Sebutan untuk budak di Kesultanan Palembang, umumnya<br />

orang-orang asing yang diperjualbelikan<br />

Pangeran Adipati : Pejabat pertama kerajaan<br />

Pembarab/Kria : Kepala dusun<br />

Perwatin (Proatin) : Orang-orang yang bertugas membantu pekerjaan<br />

Depati/pasirah<br />

Picis<br />

: koin timah yang berfungsi sebagai alat tukar.<br />

Rumah Rakit : Rumah tradisional Palembang yang mengapung di kiri-kanan<br />

Sungai Musi, yang terbuat dari bambu, papan, dan lainnya.<br />

Sikap<br />

: Dusun-dusun yang sebagian penduduknya bertugas<br />

membantu keraton.<br />

Sindang : Daerah perbatasan yang diperintah secara tidak langsung oleh<br />

sultan<br />

Susuhunan<br />

Teko/Tiko<br />

: sultan yang telah menyerahkan kekuasaannya kepada putera<br />

mahkota.<br />

: Petugas yang mengurus pertambangan antas nama sultan<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


16<br />

Tibang/Tiban : Pertukaran wajib produk dari pedalaman dengan barangbarang<br />

impor.<br />

Tukong/Tukon : Penukaran wajib barang dari pedalaman dengan uang<br />

UangSemuhan (Saomahan): Sistem pajak yang diterapkan oleh pemerintah<br />

kolonial Belanda<br />

Uluan<br />

: Daerah dataran tinggi (bagian barat) yaitu diluar daerah iliran<br />

Undang-Undang simbur Cahaya : Peratuan-peraturan yang dikeluarkan oleh Ratu<br />

Sinuhun<br />

Undang-Undang Sindang Mardika : Peraturan-peraturan yang diberikan sultan<br />

Palembang untuk penduduk Sindang<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


17<br />

BAB 1<br />

PENDAHULUAN<br />

1.1 Latar Belakang<br />

Kesultanan Palembang didirikan oleh Ki Mas Hindi yang bergelar Sultan Abdul<br />

Rahman Khalifatul Mukminin Sayidul Imam (1659--1702). Kesultanan ini<br />

sebelumnya merupakan sebuah kerajaan yang sudah berdiri sejak abad XVI.<br />

Untuk memutus hubungan kevazalan dengan Mataram 1 , dan sekaligus<br />

menyesuaikan struktur kesultanan dengan ajaran Islam yang dijadikan sebagai<br />

agama kerajaan 2 , kerajaan Palembang diubah namanya menjadi kesultanan.<br />

Wilayah kesultanan Palembang pada awal abad XIX meliputi: Komering<br />

Ilir, Komering Ulu, Ogan Ilir, Ogan Ulu, Musi Ilir, Musi Ulu, Banyuasin,<br />

Lematang Ilir, Lematang Ulu, Buai Bawan, Blalau, Ranau, Buai Pemaca,<br />

Makakau, Bual Runjung, Kisam Saka I, Kisam Saka II, Semendo Ulu Luas,<br />

Semendo Darat, Enim, Mulak Ulu, Kikim, Ulu Manna, Pasumah Lebar, Pasumah<br />

Ulu Lintah, Pasumah Ulu Ayer Kroe, Ampat Lawang, Rejang Tengah atau Musi,<br />

1 Keterkaitan Palembang dengan Mataram sudah terjalin sejak Majapahit terus pada masa<br />

Demak/Pajang sampai Mataram (Abdullah, 1996:208).<br />

2 Kerajaan Palembang muncul pada abad XVI di bawah pimpinan Ki Gede Ing<br />

Suro. Dari sinilah Palembang berkembang menjadi sebuah kerajaan besar. Naik<br />

tahtanya Sultan Abdul Rahman setelah peristiwa perang antara Palembang melawan<br />

VOC (Verenigde Oost-indische Compgnie) (1659) mengakibatkan Pangeran Sideng Rajak<br />

mundur ke pedalaman (Inderalaya). Bukti terakhir hubungan antara Palembang dan<br />

Mataram yaitu Sultan Abdul Rahman mengirimkan sebanyak sepuluh kapal ke Mataram<br />

untuk membantu Mataram membasmi pemberontakan Trunojoyo (1677), setelah itu,<br />

hubungan terputus. Hal itu disebabkan makin kuatnya posisi Palembang secara politik<br />

dan ekonomi, juga karena makin eratnya hubungan antara Palembang dan VOC,<br />

sedangkan Mataram makin lemah. Sebelumnya, Palembang diperintah oleh raja-raja<br />

dengan gelar Ki Gede, Kemas/Ki Mas dan Pangeran. (Abdullah,1996: 202; Woelders,<br />

1975:74; Stibbe, 1932: 265; Faille, 1971:24).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


18<br />

Musi Ulu, Musi Ilir, Rawas, Lebong, dan Bangka-Belitung. 3 Dengan demikian,<br />

batas-batas Kesultanan Palembang adalah sebelah timur dan timur laut dengan<br />

laut, di sebelah utara dan barat laut dengan Kerajaan Jambi, di sebelah barat dan<br />

selatan dengan wilayah Bengkulu dan di sebelah tenggara dengan Lampung<br />

(ANRI, Bundel Palembang No. 62.2). Menurut Veth (1869: 651), Palembang<br />

berbatasan di sebelah utara dengan Jambi, di sebelah barat laut dan barat dengan<br />

Bengkulu, di selatan dengan Lampung dan di tenggara dengan selat Bangka, yang<br />

luasnya mencapai 1340 mil (2.156.060 meter) persegi. Dari kedua pendapat<br />

tersebut tidak satupun yang memasukkan Bangka-Belitung sebagai bagian dari<br />

wilayah Kesultanan Palembang. Hal itu disebabkan kedua pulau tersebut secara<br />

geografis terpisah dari daratan Sumatera bagian selatan, diperkuat pula dengan<br />

adanya potensi tambang timah dan hasil perkebunan lada yang dihasilkannya.<br />

Walaupun demikian, pihak kolonial mengakui keabsahan pemilikan kedua pulau<br />

itu berada di tangan Palembang. Dengan demikian, batas-batas wilayah dari<br />

Kesultanan Palembang terdiri sebelah utara dengan Jambi, di sebelah barat barat<br />

dengan Bengkulu, di selatan dengan Lampung dan di timur dengan Laut Cina<br />

Selatan. Dilihat dari luas wilayah tersebut, dapat ditegaskan bahwa wilayah<br />

Kesultanan Palembang saat itu meliputi Provinsi Sumatera Selatan, sebagian<br />

Provinsi Bengkulu dan Provinsi Bangka-Belitung sekarang ini (Lihat lampiran<br />

peta 1).<br />

Sejak awal berdirinya, Kerajaan Palembang berpusat di kota Palembang 4 .<br />

Sebagai pusat kerajaan, jarak Palembang dari pantai timur Sumatra (muara<br />

Comment [DKM1]: Jangan menggunakan kata<br />

kesimpulan di sini, gunakan kata ditegaskan!<br />

Kesimpulan berada di akhir bab.<br />

3 Wilayah inilah yang nantinya menjadi wilayah keresidenan Palembang pada seperempat<br />

pertama abad XIX , sedangkan Bangka sejak tahun 1615 sudah berada di bawah raja-raja<br />

Palembang. Posisi ini diperkokoh dengan terjadinya perkawinan politik antara Sultan Abdul<br />

Rahman dan janda penguasa Bangka (Kielstra, 1892: 129). Sementara itu, Clerq (1846: 130)<br />

memiliki pendapat berbeda, bahwa bukan janda penguasa Bangka yang dinikahi oleh Sultan Abdul<br />

Rahman melainkan puteri Bupati Nusantara (penguasa Bangka). Setelah Bupati Nusantara wafat,<br />

puterinya mewarisi tahta Bangka dan Bangka ditempatkan di bawah Palembang. Untuk Istilah Ilir<br />

(Iliran) dan Ulu (Uluan), istilah ini biasa digunakan oleh masyarakat Palembang untuk<br />

membedakan wilayah berdasarkan aliran sungai yang dikenal dengan nama Batanghari Sembilan,<br />

yang terdiri dari Sungai Musi, Sungai Klingi, Sungai Bliti, Sungai Lakitan, Sungai Rawas, Sungai<br />

Rupit, Sungai Batang Ari Leko, Sungai Ogan dan Sungai Komering. Di samping itu, istilah ini<br />

juga untuk membedakan kawasan dataran tinggi (bagian barat) dan daerah dataran rendah (bagian<br />

timur). Pembagian wilayah ini didasarkan pada aliran sungai sudah terjadi sejak masa Sultan<br />

Abdul Rahman (Falle,1971: 16; Veth,1869: 651-652; Zet,2003: 43; Stibbe,1932: 265-266).<br />

4 Nama ‗Palembang‘ atau aslinya ‘Palimbang‘ berasal dari bahasa Jawa yang berarti<br />

―tanah yang tergenangi air‖, karena tanah di sekitar ibu kota Palembang terdiri atas endapan<br />

lumpur. Pendapat lain mengartikan kata Palembang sebagai ―tempat tanah yang dihanyutkan ke<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


19<br />

Sungai Musi) mencapai 52 mil 5 (83.668 meter), dan berada pada posisi 2 o 58‘<br />

Lintang Selatan (ANRI, Bundel Palembang No.62.2), atau pada posisi 2 o 59‘27‘‘<br />

Lintang Selatan dan 104 o 43‘52‖ Bujur Timur. Kota ini dilewati oleh dua puluh<br />

sampai tiga puluh anak sungai terutama di aliran kiri yang bermuara ke Sungai<br />

Musi. Itulah sebabnya Palembang disebut juga ―Kota dua puluh Pulau‖ yang<br />

terletak di kedua sisi Sungai Musi yang luasnya mencapai lima mil (8045 meter).<br />

Sungai itu membelah ibu kota dengan lebar 1.012 kaki (3085 meter) dan<br />

kedalaman delapan sampai sembilan vadem (15,04- 16,92 meter). Sungai Musi<br />

pada waktu itu dimanfaatkan untuk perdagangan. Kapal-kapal dagang tidak<br />

hanya dapat berlayar sampai ibu kota tetapi terus masuk jauh ke uluan<br />

(pedalaman). Komunikasi umumnya menggunakan perahu. 6 Perahu-perahu lalu<br />

lalang di Sungai Musi tanpa henti dalam jumlah mencapai ratusan. Di sungai itu<br />

terdapat banyak rumah rakit yang diikatkan dengan tali rotan di tonggak-tonggak<br />

kayu bertumpu pada rakit bambu 7 . Di daratan, rumah-rumah umumnya dibangun<br />

tepi‖. Ada juga yang berpendapat bahwa pengertian lain dari nama Palembang berasal dari kata<br />

―lemba‖ yang berarti tanah tergenang. Secara umum kesemuanya menggambarkan Palembang<br />

sebagai tanah yang berair (lebak) (Sevenhoven,1971: 12; Veth, 1869: 654; Stibbe,1932: 270).<br />

Sumber lain menyebutkan bahwa nama ini diperoleh dari kata kerja Lembang (‗mengalir‘,<br />

‗mencuci‘, ‗tergenang‘) yang artinya mencuci emas, Limbang mas, yang biasanya disebut dengan<br />

istilah Limbang. Dahulu di Bukit Sibutang (Bukit Siguntang) di dekat ibu kota Palembang, di tepi<br />

sebuah sungai ditemukan tambang emas. Di sekitar ibu kota kadang-kadang masih ditemukan jenis<br />

logam ini. Tempat itu mendapatkan prefiks/awalan /pa-/, sehingga menjadi Palimbang (yang<br />

berarti ‗dicuci‘), yang kemudian menjadi Palembang (ANRI, Bundel Palembang No. 62.2). Luas<br />

kota Palembang mencapai sekitar 80 mil (128720 meter) di sepanjang tepian Sungai Musi (Java<br />

Gouvernement Gazette, 2 Mei 1812 No. 10).<br />

5 Menurut Sevenhoven (1971: 11) yang menjadi komisaris pemerintah Belanda tahun 1821-<br />

1823, jarak ibu kota Palembang dengan muara Sungai Musi (yang disebut sebagai Sungai Sunsang<br />

/Sungsang di pantai timur Palembang mencapai sekitar lima belas mil, sedangkan Wolters (1975:<br />

33) berpendapat jarak kedua tempat itu mencapai lima puluh mil. Data dari Java Gouvernement<br />

Gazette (2 Mei 1812 No. 10), jarak Palembang dari laut mencapai enam puluh mil, sedangkan ‗S<br />

Gravesande (1856: 449) menyatakan bahwa jaraknya mencapai 52 mil (83668 meter) dari<br />

Sunsang. Dari berbagai pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa jarak antara ibu kota<br />

Palembang dan muara Sungai Musi berkisar antara lima belas mil sampai enam puluh mil.<br />

6 Untuk ibu kota Palembang, sebagian besar tanahnya yang terletak ditepi Sungai<br />

Musi tergenang air (lebak), sehingga sulit untuk melakukan hubungan darat. Selain itu,<br />

untuk wilayah Kesultanan Palembang dihubungkan oleh sungai-sungai yang dikenal<br />

dengan nama Batanghari Sembilan. Lancarnya hubungan melalui jalur sungai,<br />

menyebabkan penduduk Palembang tidak mengembangkan jalur darat yang sebagian<br />

besar masih terdiri dari hutan-hutan yang lebat<br />

7 Rumah tradisional dibuat dengan menggunakan bahan bangunan yang terdiri atas bambu,<br />

papan dan atap. Lantainya terbuat dari papan, begitu pula dindingnya. Atapnya terbuat dari daun<br />

kelapa, membentang menutupi beranda yang dimanfaatkan dapat digunakan untuk berdagang atau<br />

menukang. Rakit umumnya terdiri atas beberapa bagian yaitu rumah, toko dan gudang (ANRI,<br />

Bundel Palembang No. 62.2; Java Guovernement Gazette, tanggal 2 Mei 1812 No.10; Paulus,<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


20<br />

di atas tonggak, yang terbuat dari papan kayu atau bambu yang tersusun rapi,<br />

dikelilingi pagar, dihuni oleh penduduk pribumi. 8 Semua bangunan terbuat dari<br />

kayu atau bambu kecuali keraton dan masjid yang terbuat dari batu (ANRI, Bundel<br />

Palembang No. 62.2; Java Gouvernement Gazette, tanggal 2 Mei 1812 No.10;<br />

Java Gouvernement Gazette, 4 Juli 1812; Paulus, 1918: 182).<br />

Penduduk Kesultanan Palembang secara umum adalah orang Melayu<br />

bercampur dengan orang-orang Jawa. Di daerah uluan mereka selalu<br />

menghubungkan asal usul mereka dengan Majapahit/Jawa. Di sekitar pusat<br />

pemerintahan Palembang banyak penduduk yang berasal dari keturunan Jawa<br />

(pada abad XVI Palembang berhasil dikuasai oleh Mataram). Mereka bercampur<br />

dengan orang-orang Melayu dari Malaka dan orang-orang yang berasal dari<br />

pulau-pulau di sekitarnya, termasuk dengan orang-orang Melayu dari pantai timur<br />

Sumatera. Orang Timur Asing yang tinggal di sekitar ibu kota terdiri dari orang<br />

Cina 9 , Arab 10 dan orang asing lainnya. Di daerah pedalaman terdapat suku<br />

terasing yaitu Kubu dan Gugu. Sebagian besar penduduk yang berada di daerah<br />

uluan umumnya hidup berkelompok di tepi-tepi sungai sehingga pola pemukiman<br />

penduduk di wilayah itu tidak sama. Sementara itu, di daerah iliran, yaitu wilayah<br />

1918: 182). Beberapa rakit diikat satu sama lain dengan tali rotan, yang dihubungkan dengan<br />

papan yang berfungsi seperti jembatan. Rumah rakit berfungsi sebagai tempat tinggal orang-orang<br />

Cina dan orang asing lainnya. Rumah-rumah mereka terbuat dari kayu tembesu yang mahal<br />

harganya dan menggunakan atap genting. Ditempatkannya orang-orang Cina dan orang asing<br />

lainnya di rumah-rumah rakit karena Sultan takut jumlah mereka akan semakin berkembang, yang<br />

dapat membahayakan Palembang. Sementara itu, banyak orang Eropa lebih memilih tinggal di<br />

rakit daripada di daratan, karena kenyamanannya (udaranya sejuk) (Veth, 1869 :656; ‗S<br />

Gravesande, 1856: 454; Paulus, 1918: 182).<br />

8 Tahun 1812 penduduk kota Palembang berjumlah dari 20 ribu sampai 30 ribu jiwa<br />

(Java Gouvernement Gazette, 4 Juli 1812).<br />

9 Orang-orang Cina di Palembang umumnya berprofesi sebagai pedagang<br />

perantara, yang berkedudukan tetap di ibu kota. Mereka tidak berani masuk ke daerah<br />

uluan karena takut dirampok. Pada 1812 jumlah mereka mencapai 700 jiwa (Java<br />

Gouvernement Gazette, 4 Juli 1812)<br />

10<br />

Orang-orang Arab yang terdapat di Palembang umumnya berasal dari<br />

Hadramaud, jumlah mereka di kesultanan ini merupakan terbesar kedua setelah Aceh di<br />

Sumatra. Pada masa pemerintahan Sultan Badaruddin II, Sultan memberi kemudahan<br />

bagi kelompok itu untuk menetap di Palembang. Mereka tinggal di rumah-rumah<br />

panggung besar terbuat dari papan di sepanjang Sungai Musi. Pada saat itu jumlah<br />

mereka mencapai 500 jiwa, umumnya berprofesi sebagai pedagang dan pengusaha<br />

(Berg, 2010: 108-109)<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


21<br />

timur yang terdiri dari dataran rendah dan pantai (rawa-rawa dan paya-paya<br />

sehingga tidak cocok untuk pertanian). Penduduknya sangat jarang. Mereka<br />

menghuni wilayah yang sangat luas, hampir separuh luas keseluruhan wilayah<br />

Kesultanan Palembang pada awal abad XIX. 11<br />

Setelah masa pemerintahan Sultan Abdul Rachman, terjadi pergantian<br />

kekuasaan beberapa kali. Sultan Abdul Rachman digantikan oleh puteranya yaitu<br />

Sultan Muhammad Mansur (1702--1714). Sultan Muhammad Mansur<br />

menyerahkan kekuasaan kepada Sultan Komaruddin (1714--1724). Pengganti<br />

Komaruddin adalah Sultan Mahmud Badaruddin I (1724--1757). Selanjutnya,<br />

Kesultanan Palembang dipimpin oleh Sultan Ahmad Najamuddin I (1757--1776),<br />

yang dilanjutkan oleh Sultan Muhammad Bahauddin (1776--1804).<br />

Di penghujung abad XVIII banyak terjadi perdagangan bebas. Maraknya<br />

perdagangan bebas ini disebabkan karena mundurnya VOC 12 . Dampak positif dari<br />

maraknya perdagangan bebas ini, Palembang semakin kaya sebagai akibat dari<br />

dilakukannya ekspor gelap oleh kerajaan (ekspor gelap kerajaan Palembang ke<br />

Makau Cina mencapai 20.000 pikul lada dan 27.655 pikul timah per tahun,<br />

sedangkan perdagangan dengan pemerintah Belanda pada 1800 hanya<br />

mengekspor sebanyak 5000 pikul untuk masing-masing komoditi lada dan timah.<br />

Kondisi itulah yang dialami oleh putera mahkota yaitu Raden Hasan Pangeran<br />

Ratu yang saat naik tahta bergelar Sultan Ratu Mahmud Badaruddin II (1804--<br />

1821) (Woelders, 1975: 75-85; Veth, 1869: 657).<br />

Pada awal masa pemerintahan Sultan Badaruddin II (1804), di Hindia<br />

Timur sedang terjadi perang antara Belanda dan Inggris. Hal itu tidak bisa<br />

11 Sampai pertengahan abad XIX yang dimaksud dengan daerah iliran adalah daerah<br />

dataran rendah di pantai, meliputi Banyuasin dan Iliran. Sementara itu, di luar wilayah itu<br />

dimasukkan ke dalam daerah uluan (ANRI, Bundel Palembang No. 62.2).<br />

12 Hubungan resmi pertama antara Palembang dan VOC terjadi pada 1641 yang<br />

menyatakan bahwa VOC diizinkan berdagang di Palembang. Kontrak itu diperbaharui pada 1642<br />

yang menetapkan VOC berhak atas monopoli perdagangan lada di Palembang. Timah ditemukan<br />

di Bangka 1709/1710 (tambang timah tertua terdapat di wilayah Belo). Belanda sangat<br />

berkeinginan menguasai perdagangan komoditi ini. Peluang itu terbuka dengan terjadinya perang<br />

saudara antara Pangeran Anom dengan Pangeran Jayawikrama yang terjadi pada 1719. Peperangan<br />

itu dimenangkan oleh Pangeran Jayawikrama setelah memperoleh bantuan dari VOC. Setelah naik<br />

tahta, Pangeran Jayawikrama bergelar Sultan Mahmud Badaruddin I. Sebagai imbalannya Belanda<br />

memperbaharui kontrak pada 1722 yang memiliki hak untuk memonopoli timah, hak mendirikan<br />

loji di muara Sungai Aur (Ricklefs, 2005: 154, 157; Kielstra, 1892:79; Faille,1971: 28; Bleeker,<br />

1848: 397).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


22<br />

dilepaskan dari situasi di Eropa yang sedang terjadi peperangan antara Prancis<br />

bersama sekutunya (Belanda dan Spanyol) dan negara-negara penganut monarki<br />

seperti Inggris, Austria dan Prusia sebagai akibat dari meletusnya Revolusi<br />

Prancis. Ketika Prancis berperang melawan Inggris, Prancis berhasil menduduki<br />

Belanda, kemudian mendirikan Republik Bataf di Belanda pada 1795--1806.<br />

Pendudukan tersebut menyebabkan penguasa Belanda saat itu melarikan diri ke<br />

Inggris, dan mengeluarkan ketentuan agar koloni-koloni Belanda di Hindia Timur<br />

diserahkan kepada Inggris agar tidak jatuh ke tangan Prancis. (Marihandono,<br />

2005: 9-13).<br />

Akibatnya, Inggris memblokade dan memutuskan untuk menguasai Pulau<br />

Jawa. Dalam rangka merealisasikan maksud tersebut Thomas Stamford Raffles 13 ,<br />

melakukan pendekatan terhadap raja-raja Melayu khususnya penguasa Palembang<br />

yaitu Sultan Ratu Mahmud Badarudddin II. Memanfaatkan situasi pada waktu itu<br />

dan dukungan aktif dari Raffles, Sultan Badaruddin II menyerang, membunuh<br />

sebagian besar penghuni loji Belanda dan menghancurkan bangunanbangunannya<br />

(ANRI¸Bundel Palembang No. 67; Baud, 1853: 10-12; Bastin, 1953:<br />

306-314; Kielstra, 1892:81).<br />

Konsekuensi dari tindakan tersebut, membawa Kesultanan Palembang<br />

pada kemelut berkepanjangan yang melibatkan dua negara besar yaitu Belanda<br />

dan Inggris. Di samping itu, melibatkan pula dua saudara kandung yaitu<br />

Badaruddin II dan Najamuddin II, serta usaha yang dilakukan oleh Sultan<br />

Najamuddin III untuk mempertahan kekuasaannnya. Akhirnya, berbagai konflik<br />

itu membawa Kesultanan Palembang pada kehancurannya. Perubahan-perubahan<br />

yang terjadi di Kesultanan Palembang selama 21 tahun (1804--1821) merupakan<br />

persoalan yang unik dan menarik untuk diteliti. Dengan penelitian ini, diharapkan<br />

akan mampu mengungkapkan faktor-faktor yang menyebabkan konflik di<br />

kerajaan itu ―bersegi banyak‖ dengan melibatkan dua orang bersaudara kandung<br />

13 Raffles, adalah perwira intelijen militer. Sejak 1805 ia sudah menjadi Ajun<br />

Sekretaris di Penang. Dari Juli 1810 Raffles mengusulkan dirinya kepada Lord Minto<br />

(Gubernur Jenderal EIC di Calcutta) agar ditempatkan di daerah Melayu. Ia berjanji akan<br />

melepaskan pengaruh Belanda di kerajaan-kerajaan Melayu, khususnya Palembang<br />

(Woelders, 1975: 5).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


23<br />

dan dua bangsa asing yaitu Inggris dan Belanda. Berbagai konflik itu<br />

menyebabkan Kesultanan Palembang mengakhiri eksistensinya.<br />

1.2 Permasalahan Penelitian.<br />

Perebutan kekuasaan yang terjadi di Kesultanan Palembang, disebabkan oleh<br />

berbagai faktor, baik internal maupun eksternal yang membawa kesultanan ini<br />

pada kehancuran yaitu dihapuskan pada 1825. Faktor internal terjadi karena<br />

keinginan adik Sultan Machmud Badaruddin II yaitu Pangeran Dipati untuk<br />

menjadi sultan dan mempertahankan kekuasaannya dengan cara melibatkan<br />

Inggris dan Belanda. Sementara itu, faktor eksternal adalah keinginan Belanda<br />

dan Inggris yang tetap ingin berkuasa bahkan terlibat dalam konflik internal,<br />

dalam usaha untuk menguasai Kesultanan Palembang.<br />

Berdasarkan latar belakang tersebut, sangatlah menarik untuk membahas<br />

keberadaan Kesultanan Palembang tersebut. Ada pun permasalahan penelitiannya<br />

adalah ―Bagaimana proses keruntuhan Kesultanan Palembang (1825)?‖. Untuk<br />

mengkaji lebih dalam tentang permasalahan di atas, permasalahan penelitian ini<br />

dijabarkan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan di bawah ini :<br />

1) Apa yang mendasari konflik antara Sultan Mahmud Badaruddin II dan<br />

Sultan Ahmad Najamuddin II, dikaitkan dengan situasi dan kondisi di Kesultanan<br />

Palembang pada akhir abad XVIII hingga awal abad XIX;<br />

2) Mengapa Inggris melakukan ekspedisi terhadap Kesultanan Palembang<br />

pada 1812, dan bagaimana pelaksanaan pelaksanaan pemerintahan mereka di sana<br />

(1812-1816)?;<br />

3) Apa dampak dari pembagian kekuasaan di Kesultanan Palembang, baik<br />

bagi Palembang, Belanda, dan Inggris?;<br />

4) Bagaimanakah pelaksanaan perang antara Kesultanan Palembang dan<br />

Belanda (1819 dan 1821)?;<br />

5) Apa yang menyebabkan penghapusan Kesultanan Palembang oleh<br />

pemerintah kolonial Belanda?<br />

1.3 Tujuan Penelitian<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


24<br />

Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan di atas maka penelitian ini bertujuan untuk<br />

menjelaskan situasi dan kondisi Kesultanan Palembang pada akhir abad XVIII<br />

dan awal abad XIX. Selanjutnya, diharapkan dapat menjelaskan penyebab Inggris<br />

melakukan ekspedisi terhadap Kesultanan Palembang pada 1812, sekaligus<br />

memaparkan pelaksanaan pemerintahan Inggris dari 1812 sampai 1816 di<br />

kesultanan itu. Kehadiran Inggris di Kesultanan Palembang, juga diharapkan<br />

dapat mengungkapkan penyebab munculnya konflik antara Sultan Mahmud<br />

Badaruddin II dan Sultan Ahmad Najamuddin II.<br />

Setelah berakhirnya pemerintahan Inggris, dilanjutkan oleh pemerintah<br />

kolonial Belanda di Kesultanan Palembang. Penelitian ini diharapkan dapat<br />

mengungkapkan pelaksanaan pemerintahan Belanda di Palembang, dan dampak<br />

dari pembagian kekuasaan yang terjadi di kesultanan itu terhadap Palembang,<br />

sekaligus untuk menjelaskan dampak lainnya yaitu terjadinya konflik antara<br />

Belanda dan Inggris di wilayah Kesultanan Palembang. Selama masa<br />

pemerintahan Belanda yang kedua di Kesultanan Palembang, terjadi tiga kali<br />

peperangan antara pihak Palembang di satu sisi, dan Belanda di sisi lain.<br />

Diharapkan, penelitian ini dapat menjelaskan apa penyebab dan pelaksanaan dari<br />

ketiga peperangan tersebut. Dengan pengungkapan ini, diharapkan pula untuk<br />

memperkaya khazanah penulisan sejarah lokal Palembang khususnya tentang<br />

Kesultanan Palembang, dan sejarah Palembang secara keseluruhan sampai<br />

sekarang dan yang akan datang.<br />

Pada 1825 pemerintah kolonial Belanda menghapuskan Kesultanan<br />

Palembang. Penelitian ini diharapkan mampu menjawab pertanyaan ―apa yang<br />

menyebabkan dihapuskannya Kesultanan Palembang.<br />

1.4 Kontribusi Penelitiaan<br />

Penelitian ini setidaknya memiliki dua manfaat yakni manfaat praktis dan<br />

akademis. Manfaat praktis penelitian ini adalah menggali peran Kesultanan<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


25<br />

Palembang dalam mempertahankan eksistensinya di hadapan bangsa-bangsa<br />

kolonial Inggris dan Belanda. Penelitian ini sekaligus juga mengungkap<br />

permasalahan yang terjadi pada lapisan elite Kesultanan. Hal ini akan<br />

bermanfaat untuk membantu memahami peran Kesultanan Palembang pada<br />

masa perempat pertama abad XIX, sebagai bagian dari perlawanan rakyat di<br />

Nusantara terhadap kolonial. Dengan pemahaman tersebut, bermanfaat bagi<br />

para pengambil keputusan di Provinsi Sumatera Selatan, untuk mengakomodir<br />

dan mendorong semua elemen masyarakat yang berperan dalam melestarikan,<br />

dan membina nilai-nilai sejarah, dan kebudayaan di Provinsi Sumatera Selatan.<br />

Manfaat akademis dari penelitian ini adalah untuk memberikan<br />

kontribusi pada historiografi Indonesia khususnya memperkaya khazanah<br />

penulisan sejarah lokal. Disertasi tentang peran Kesultanan Palembang di awal<br />

abad XIX sampai dihapuskannya pada 1825, dapat dijadikan sebagai titik tolak<br />

pengkajian dan penelitian sejarah Palembang baik sebelum abad XIX, mau pun<br />

setelah penghapusannya. Sebab era pascakeruntuhannya di wilayah bekas<br />

Kesultanan Palembang terjadi pergolakan panjang sampai sebagian besar<br />

wilayah uluan berhasil dikuasai pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1860-<br />

an. Begitu pula untuk era sebelum abad XIX. Berbagai penelitian yang telah<br />

dilakukan oleh para mahasiswa dan penelitian selama ini, umumnya belum<br />

menggunakan arsip sebagai sumber penting dalam mengkaji sejarah Palembang.<br />

1.5 Batasan Penelitian<br />

Penelitian ini mempunyai tiga batasan: tematis, spasial, dan temporal. Batasan<br />

tematis dalam penelitian ini adalah tentang perebutan kekuasaan di Kesultanan<br />

Palembang (1804--1825) yang melibatkan Belanda dan Inggris serta konflik<br />

internal di kesultanan itu. Perebutan tersebut dikarenakan Kesultanan Palembang<br />

memiliki sumber daya alam yang sangat dibutuhkan pada waktu itu yaitu timah,<br />

juga karena ketidaktaatan kongsi dagang Inggris (EIC) terhadap negara induknya.<br />

Mereka merasa dirugikan atas adanya perjanjian sepihak antara Inggris dan<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


26<br />

Belanda di Eropa tanpa melibatkan kongsi dagang tersebut, yang selama ini telah<br />

berjuang untuk menguasai sumber daya alam di Pulau Bangka.<br />

Batasan spasial penelitian ini adalah wilayah geografis tempat peristiwa<br />

itu berlangsung yaitu mencakup wilayah Kesultanan Palembang yang terbentang<br />

dari Ampat Lawang dan Rejang 14 di sebelah barat, Rawas di sebelah utara, Kisam<br />

dan Makakau di selatan dan pulau Bangka-Belitung di sebelah timur. (Veth, 1869:<br />

651). Penelitian ini diawali pada tahun 1804 yaitu tahun awal masa<br />

pemerintahan Sultan Badaruddin II. Pada masa pemerintahan Sultan Badaruddin<br />

II Kesultanan Palembang menjadi ajang perebutan antara dua kekuatan Eropa<br />

yaitu Inggris dan Belanda. Penghapusan Kesultanan Palembang pada tahun 1825<br />

dijadikan akhir penelitian ini. Masa pemerintahan Sultan Badaruddin II<br />

merupakan awal intervensi pihak asing terhadap Palembang, sehingga terjadi<br />

berbagai konflik sampai akhirnya Sultan Badaruddin II dibuang ke Ternate akibat<br />

kekalahan dalam pertempuran 1821. Selanjutnya penguasa Palembang<br />

memerintah di bawah kendali Belanda, ditandai penyerahan kekuasaan pada 1823.<br />

Usaha Sultan Najamuddin III Prabu Anom melakukan perlawanan tidak<br />

membawa hasil, sehingga Kesultanan Palembang dihapuskan pada 1825.<br />

1.6 Tinjauan Pustaka<br />

Comment [DKM2]: Kalimat ini ditata kembali<br />

Awal tahun penelitian merupakan awal intervensi<br />

sementara tahun 1825 adalah dihapuskannya<br />

kesultanan Palembang. Dipisah dan jangan dijadik<br />

satu.<br />

Penelitian ini didasarkan pada penelitian arsip sebagai sumber primer. Arsip yang<br />

digunakan diambil dari lembaga penyimpanan arsip resmi negara, yakni Arsip<br />

Nasional Republik Indonesia (ANRI). Pusat penyimpanan arsip ini menyimpan<br />

semua arsip keresidenan yang ada di wilayah Indonesia. Penelitian ini<br />

memanfaatkan Bundel Palembang, dan Bundel Bangka. Dalam katalog Bundel<br />

Palembang dan Bangka, arsip-arsip yang diperlukan untuk penulisan ini terdiri<br />

dari koleksi akhir abad XVIII, dari 1800 sampai 1825 bahkan sesudahnya.<br />

Sumber lain yang tidak kalah penting adalah naskah peninggalan<br />

Kesultanan Palembang, seperti Sejarah Nageri Palembang, Silsilah Kesultanan<br />

14 Batas alami antara Bengkulu dan Palembang terletak 4 derajat Lintang Selatan<br />

dengan ketinggian sekitar 2000 kaki. Daerah yang berbatasan langsung adalah Rejang<br />

(Rejang terbagi antara Rejang Bengkulu dan Rejang Palembang (Kemp, 1900: 435-436).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


27<br />

Palembang, Silsilah Keturunan Sultan Badaruddin II, Silsilah Raja-Raja<br />

Palembang, Undang-Undang Simbur Cahaya, dan Syair Perang Menteng. Sebagai<br />

Sultan, Sultan Badaruddin II memiliki sejumlah besar naskah. Badaruddin II juga<br />

dikenal sebagai pengarang sejumlah karya puisi seperti Hikayat Martalaya, Syair<br />

Nuri, Sinyor Kosta dan pantun. Sebagian naskah tersebut tersimpan di<br />

Perpustakaan Nasional Jakarta, sebagian lagi masih disimpan oleh ahli waris<br />

sultan maupun anggota masyarakat Palembang.<br />

Penelitian ini menggunakan pula beberapa sumber sekunder yang terdiri<br />

atas majalah sezaman dan beberapa ensiklopedi Belanda. Dalam majalahmajalah<br />

ini dimuat artikel baik sebagai laporan, kesaksian maupun tinjauan<br />

ilmiah yang antara lain ditulis oleh para peneliti, saksi peristiwa, birokrat,<br />

akademisi sampai dengan para perwira militer. Meskipun sudah diolah menjadi<br />

suatu tulisan ilmiah yang diterbitkan, karya-karya ini sangat bermanfaat dalam<br />

memahami permasalahan penelitian, karena melengkapi informasi yang<br />

diperoleh yang berasal dari sumber primer. Di antara majalah-majalah yang<br />

digunakan adalah Indische Gids, de Gids, Tijdschrift voor Nederlandsch Indie<br />

(TNI), Indisch Militair Tijdschrift (IMT), Bijdrage van Koloniaal Instituut (BKI), dan<br />

Koloniaal Weekblad. Majalah-majalah ini tersimpan di berbagai perpustakaan<br />

seperti Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan Fakultas Ilmu<br />

Pengetahuan Budya <strong>Universitas</strong> Indonesia, Perpustakaan Kolese Santo Ignasius<br />

Yogyakarta. Beberapa perpustakaan daerah juga menyimpan naskah-naskah baik<br />

Kerajaan Palembang maupun Kesultanan Palembang. Perpustakaan daerah yang<br />

menyimpan naskah Palembang antara lain Perpustakaan Daerah, Daerah<br />

Istimewa Yogyakarta, dan Perpustakaan Daerah Provinsi Sumatera Selatan di<br />

Palembang. Sementara itu, penggunaan ensiklopedi Belanda bertujuan untuk<br />

memahami peristilahan, konsep atau tokoh yang berkaitan dengan objek<br />

penelitian. Dalam hal ini yang diambil dari ensiklopedia adalah berbagai hal yang<br />

berkaitan dengan Kesultanan Palembang dan Belanda. Ensiklopedia yang<br />

digunakan adalah Encyclopaedie van Nederlandsch Indie (ENI), Aardrijskundige<br />

Woordenboek van Nederlansch Indie. Kedua ensiklopedi ini dapat dilihat di di<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


28<br />

Arsip Nasional Republik Indonesia atau di Perpustakaan Nasional Republik<br />

Indonesia. Digunakan pula Ensiklopedi Islam Indonesia untuk merujuk konsep<br />

sultan dalam melihat asal penggunaan gelar tersebut dalam dunia Islam.<br />

Koleksi lain dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia yang<br />

digunakan dalam penelitian ini adalah surat kabar sezaman. Di antaranya adalah<br />

Bataviasche Courant (1819,1821,1824) dan Java Gouvernement Gazette (1812).<br />

Meskipun diterbitkan di Batavia, kedua surat kabar ini, menyajikan berita dari<br />

seluruh wilayah di Hindia Timur.<br />

Buku dan artikel majalah yang membahas tentang Kesultanan Palembang<br />

pada akhir abad XVIII dan awal abad XIX sangat terbatas. Di antaranya adalah<br />

buku karangan J.L. Van Sevenhoven (komisaris pemerintah Belanda di<br />

Palembang 1821), yang berjudul Beschrijving van de Hooodplaats van<br />

Palembangsche. Buku ini diterjemahan oleh Sugarda Purwakawaca dengan<br />

jusul ―Lukisan Tentang Ibukota Palembang‖ (1971). Terjemahan ini diterbitkan<br />

oleh penerbit Bhratara di Jakarta tahun 1971.<br />

Dalam buku ini digambarkan usaha-usaha yang dilakukan oleh<br />

Sevenhoven dalam menerapkan sistem pajak pertama kali di Kesultanan<br />

Palembang. Digambarkan pula tentang kekuasaan sultan, strastifikasi sosial<br />

masyarakat Palembang, kondisi alam, iklim dan perekonomian. Sevenhoven juga<br />

menggambarkan konflik tahun 1819 dan 1821 antara Palembang dan Belanda. Hal<br />

lain yang perlu dicatat adalah bahwa orang Palembang yang mendiami ibu kota<br />

bukan sebagai petani. Mata pencaharian mereka bukan bertani. Mereka<br />

mengembangkan berbagai seni kerajinan tangan, antara lain seni lukis, seni ukir,<br />

tenun dan industri persenjataan. Pekerjaan utama mereka adalah berdagang.<br />

Penduduk Palembang berdagang dengan pedagang lain yang berasal dari Pulau<br />

Jawa, Bangka, Cina, Riau, Pulau Penang, Malaka, Singapura, Lingga dan Siam.<br />

Sebagai penulis dan seorang pelaku sejarah pada waktu itu, buku<br />

Sevenhoven ini sangat penting untuk mengetahui kondisi sosial politik<br />

Palembang. Namun, karena buku ini ditulis oleh petinggi pemerintahan Belanda<br />

di Palembang, penggambarannya hanya selintas. Sebagaimana dinyatakan oleh<br />

Taufik Abdullah dalam pengantarnya, Sevenhoven dengan menggunakan ukuranukurannya<br />

sendiri telah menguraikan apa yang dilihat dan dialaminya dalam<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


29<br />

kurun waktu singkat keberadaannya di ibu kota Palembang tanpa meneliti lebih<br />

lanjut, apa yang menyebabkan semua peristiwa itu terjadi.<br />

Buku lain adalah karya P. Roo de la Faille. Ia pernah menjadi anggota<br />

Dewan Hindia (Raad Van Indie). Penulis buku ini mencoba membandingkan<br />

kondisi Palembang dengan daerah lain, sehingga lebih informatif. Tulisan Faille<br />

penting paling tidak untuk memahami corak hubungan dan konflik antarkerajaan<br />

di Indonesia, pada saat munculnya kekuatan senjata dan ekonomi yang lebih kuat<br />

yaitu VOC. Contoh konflik Palembang dengan VOC pada 1659 yang<br />

menyebabkan penguasa Palembang Sido Ing Rajek lari ke pedalaman. Dalam<br />

buku ini juga terdapat kontrak-kontrak yang digambarkan secara umum antara<br />

raja kemudian sultan Palembang dengan VOC, pembangkangan Palembang<br />

terhadap VOC, Hindia Belanda maupun Inggris. Hal yang juga penting dalam hal<br />

buku ini adalah pemaparan tentang ciri kerajaan maritim yang berbeda dengan<br />

kerajaan agraris. Salah satunya yang terpenting adalah peranan para syahbandar<br />

dan saudagar serta pola hubungan antara sultan dan saudagar. Letak ibu kota<br />

Palembang sangat strategis sehingga mampu mengendalikan daerah uluan melalui<br />

sungai-sungai yang dikenal dengan nama Batanghari Sembilan. Daerah ini<br />

dikenal sebagai daerah penghasil perkebunan untuk komoditi ekspor. Buku ini<br />

penting pula untuk mengetahui sistem pemerintahan, perekonomian, sosial dan<br />

budaya, dan hubungan Palembang dengan daerah-daerah lain baik dalam bentuk<br />

sekutu (Mataram, Jambi, VOC/Hindia Belanda ) maupun seteru (Banten,<br />

Mataram, VOC/Hindia Belanda). Sebagai salah satu sumber, buku ini cukup<br />

penting untuk melihat kondisi Palembang sebelum abad XIX, namun buku ini<br />

kurang memunculkan kondisi Palembang pada awal abad XIX, dan<br />

penggambarannya dalam buku ini hanya selintas.<br />

Sumber ketiga adalah disertasi bidang sastra karya M.O. Woelders<br />

berjudul ―Het Sultanaat Palembang 1811-1825‖. Disertasi ini membahas naskahnaskah<br />

Melayu yang berasal dari tulisan tangan (manuskrip) yang berkaitan<br />

dengan sejarah Kesultanan Palembang kurun waktu 1811-1825. Sesuai kurun<br />

waktunya, maka disertasi ini membahas konflik yang terjadi di Kesultanan<br />

Palembang. Menurut Woelders Sejarah dinasti ini menunjukkan gambaran<br />

pergantian tahta berulang kali (enam kali) sebagai akibat tindakan para penguasa<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


30<br />

asing (Belanda dan Inggris) dan konflik internal yang terjadi di Kesultanan<br />

Palembang. Pelbagai hal di atas membawa Palembang pada kehancurannya pada<br />

1825. Disertasi ini tidak menggunakan arsip sebagai sumber primernya. Woelders<br />

juga hanya menganjurkan bahan bacaan yang terdapat dalam Daftar Pustakanya.<br />

Hal ini dapat dimaklumi karena disertasi ini adalah disertasi di bidang ilmu<br />

kesusastraan. Walaupun demikian, buku ini banyak membantu dalam usaha<br />

memperdalam pemahaman tentang Palembang pada perempat pertama abad XIX.<br />

Sesuai dengan kurun waktunya (1811-1825), otomatis tidak mampu<br />

menggambarkan kondisi sebelum itu yang merupakan salah satu bagian penting<br />

dalam sejarah Kesultanan Palembang. Berbagai konflik yang membawa<br />

kesultanan itu pada kehancuran tidak dapat dilepaskan pada berbagai faktor yang<br />

mendahuluinya yang terjadi pada awal abad XIX.<br />

Kekosongan inilah yang dijadikan titik tolak dari disertasi ini. Di samping<br />

itu, disertasi Woelders yang mengandalkan manuskrip sangat sedikit membahas<br />

masa pemerintahan Inggris di Palembang dan pergolakan di Pulau Bangka<br />

pascaperang Palembang pada 1819. Hal lain yang tidak kalah penting adalah<br />

berbagai peristiwa yang terjadi di Kesultanan Palembang pada masa pemerintahan<br />

Sultan Najamuddin III. Woelders hanya memaparkan kejadian-kejadian penting di<br />

Palembang yang menyebabkan kesultanan itu harus diakhiri keberadaaannya oleh<br />

pemerintah kolonial Belanda. Di dalam disertasinya Woelders tidak banyak<br />

menyentuh berbagai kebijakan yang ditempuh oleh pihak Belanda dalam rangka<br />

memperkokoh kekuasaan di Kesultanan Palembang. Kekurangan itu dilengkapi<br />

dengan berbagai data dan fakta seputar berbagai rancangan dan keputusan yang<br />

dikeluarkan oleh pemerintah kolonial. Dengan demikian, sejarah Kesultanan<br />

Palembang akan tergambar secara utuh.<br />

Buku-buku lain yang membahas seputar Palembang pada masa<br />

Kesultanan, antara lain buku Husni Rahim membahas tentang Sistem Otonomi<br />

dan Adminsitrasi Islam, Studi tentang Pajabat Agama Masa Kesultanan dan<br />

Kolonial di Palembang yang merupakan disertasinya yang telah diterbitkan oleh<br />

PT. Logis Wacan Ilmu tahun 1998. Buku ini lebih banyak memaparkan tentang<br />

peran penghulu sebagai pejabat dalam bidang agama Islam, sebagai konsekuensi<br />

logis dengan diterapkannya hukum Islam di Kesultanan Palembang, dan<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


31<br />

perubahannya setelah masa kolonial. Tesis S2 Masyhuri dari <strong>Universitas</strong><br />

Indonesia, berjudul Perdagangan Lada dan Perubahan Sosial Ekonomi di<br />

Palembang 1790-1825.Tesis yang ditulis tahun 1983 ini belum diterbitkan.<br />

Artikel yang membahas seputar Palembang awal abad XIX jumlahnya<br />

cukup banyak. Beberapa di antaranya adalah karya P.H. Van der Kemp<br />

―Geschiedenis van Een Engelschen Raid of Hollandsch Grondgebeid‖, dalam de<br />

Gids, jilid I terbitan tahun 1898, dan ―Palembang en Banka in 1816 – 1820‖,<br />

dalam BKI terbitan 1900. E.B. Kielstra dalam de Gids ―De Ondergang Van Het<br />

Palembangsche Rijk‘‘tahun 1892.<br />

Naskah peninggalan Kesultanan Palembang jumlahnya cukup banyak,<br />

seperti naskah yang terhimpun dalam Naskah Palembang BR 157 yang terdapat di<br />

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Dalam disertasi ini, naskah yang<br />

digunakan adalah ―Syair Perang Menteng‖, atau ―Syair Perang Palembang‖,<br />

‖Syair Nuri‖, dan ―Undang-Undang Simbur Cahaya‖. Naskah ―Undang-undang<br />

Simbur Cahaya‖ telah diterbitkan beberapa kali, baik masa pemerintahan Hindia<br />

Belanda. Naskah paling muda yang telah diterbitkan, dan digunakan pada<br />

penlitian ini terbitan 1984. Ketiga naskah tersebut berkaitan erat dengan<br />

penelitian ini. Naskah-naskah lokal ini digunakan sebagai data sekaligus<br />

dimaksudkan sebagai pembanding terhadap naskah-naskah kolonial yang banyak<br />

digunakan dalam disertasi ini.<br />

1.7 Kerangka Konseptual<br />

Penelitian ini membahas Kesultanan Palembang pada perempat pertama abad<br />

XIX. Untuk memperjelas penulisan ini, akan digunakan konsep-konsep berikut.<br />

Kesultanan Palembang, sebelum menjadi kesultanan, merupakan sebuah kerajaan.<br />

Kata ―kerajaan‖ dan ―raja‖ berasal dari bahasa Sansekerta yaitu raiya yang berarti<br />

‗kerajaan‘ atau ‗pemerintahan‘. Kata ―raja‖ berasal dari raj yang berarti ‗raja‘.<br />

Dengan demikian, kerajaan adalah suatu wilayah pemerintahan yang dipimpin<br />

oleh raja (Moedjanto, 2001: ix).<br />

Sebagai penguasa tertinggi di seluruh kerajaan, kekuasaan raja tidak<br />

terbatas. Dalam konsep politik Melayu, raja menduduki posisi yang sangat<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


32<br />

penting. Hal itu tercermin dalam Sejarah Melayu yang menempatkan raja<br />

setingkat nabi dan pengganti Tuhan di dunia, sebagaimana tergambar dari kutipan<br />

berikut:<br />

―Hendaklah tuluskan hatimu pada berbuat kebaktian kepada Allah<br />

subhanahu taala dan rasulnya, dan jangan kamu sekalian lupa pada<br />

berbuat kebaktian kepada raja kamu. Maka kata hukuma, ‗Adalah<br />

raja yang adil itu dengan nabi salla‘llah u‘alaihi wasallam umpama<br />

dua buah permata pada sebentuk cincin; lagipun raja itu umpama<br />

ganti Allah di dalam dunia, kerana ia zulli ‘llahu fi ‘l-‘alam. Apabila<br />

berbuat kebaktian kepada raja, seperti berbuat kebaktian kepada<br />

Allah subhanahu wataala.Yakni berbuat kebaktian kamu akan Allah<br />

dan rasulnya dan akan raja inilah wasiatku kepada kamu semua.<br />

Hendaklah jangan kamu lupai. Supaya kebesaran dunia akhirat kamu<br />

peroleh‖ (Shellabear, 1989: 141).<br />

Dari kutipan di atas, menempatkan raja ―sejajar‖ dengan nabi bermakna<br />

bahwa seorang raja di samping memegang kekuasaan duniawi, juga kekuasaan<br />

agama. Dua kekuasaan di tangan satu penguasa inilah yang harus dimaknai<br />

sebagai ―sejajar‖ dengan nabi. Hal itu dapat dilihat pula pada kata zulli ‘llahu fi ‘l-<br />

‘alam yang bermakna pengganti Allah atau bayangan Allah di dunia. Dengan<br />

posisi demikian, maka manusia wajib beribadah kepada Allah, taat kepada sunnah<br />

rasul dan mengabdi kepada raja. Begitu pula sebaliknya, yaitu raja harus berbuat<br />

adil kepada rakyatnya. Lebih lanjut dalam Sejarah Melayu disebutkan pula bahwa<br />

―rakyat itu umpama akar, yang seperti raja itu umpama pohon, jikalau tiada akar<br />

nescaya pohon tiada dapat berdiri demikian lagi raja itu dengan segala rakyatnya‖<br />

(Shellabear, 1989). Penggambaran tentang hubungan yang saling berkaitan antara<br />

raja dan rakyatnya. Betapa tidak, sebatang pohon tidak akan mampu berdiri tanpa<br />

akar, begitu pula sebaliknya akar tidak akan hidup tanpa pohon (Hashim, 1990:<br />

160).<br />

Dalam konsep Islam, raja adalah Khalifah 15 (pengganti) Tuhan di bumi,<br />

sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur‘an berikut:<br />

15 Kata khalifah berasal dari kata takhallafa yang berarti mengikuti (di belakang<br />

orang lain) dan menggantikan tempatnya. Dengan demikian, Khalifah Allah berarti<br />

“pengganti Allah di muka bumi. (Rahim,1998:19-22). Sebagai penggati Allah di muka<br />

bumi, maka pengertian Khalifah adalah raja yang menguasai urusan politik (dunia) dan<br />

urusan agama (akhirat). Konsep ini sudah berkembang di dunia Islam sejak zaman<br />

Kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


33<br />

(Allah berfirman), ―Wahai Dawud. Sesungguhnya engkau Kami<br />

jadikan khalifah (penguasa) di bumi, maka berikan keputusan<br />

(perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah Engkau<br />

mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari<br />

jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan<br />

Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan<br />

hari perhitungan.‖ (Qs. 38:26)<br />

Sebagai khalifah, raja harus bertindak adil terhadap rakyatnya.<br />

Konsep ―wakil Tuhan‖ di bumi ini, dalam pelaksanaannya telah<br />

menempatkan raja sebagai penguasa mutlak yang menjadi satu-satunya<br />

penghubung antara manusia dan Tuhan. Hal ini bertujuan agar manusia selamat di<br />

dunia dan di akhirat, melalui satu-satunya jalan, yaitu dengan tunduk kepada<br />

raja. Pemahaman demikian dapat dirujuk pada sejarah Islam klasik. Disebutkan<br />

bahwa para penguasa Abbasyiyah di Irak telah menempatkan dirinya sebagai<br />

―bayangan Tuhan di bumi.‖ Maknanya adalah para penguasa tersebut adalah<br />

wakil Tuhan yang mendapat perlindungan dari-Nya. Hal itu disebabkan<br />

Abbasyiyah mendapat pengaruh budaya Parsi sebelum Islam. (Rahim, 1998:23)<br />

Pada perkembangannya, raja juga disebut sultan. Kata sultan merupakan<br />

derivatif dari kata kerja salata yang berarti menguasai atau memimpin<br />

(Ensiklopedi Islam Indonesia,1992). Penggunaan gelar itu mulai dipakai oleh<br />

para penguasa muslim secara resmi sejak abad ke-5 Hijriyah (abad XI). Dengan<br />

demikian sultan adalah orang yang diamanahi untuk memimpin atau menguasai<br />

sebuah kerajaan Islam. Perubahan tersebut tidak menyebabkan kekuasaan seorang<br />

raja yang berkuasa sebagai sultan berubah. Sultan tetap sebagai khalifah di bumi,<br />

yang menguasai pemerintahan dan agama.<br />

Di Palembang, penggunaan gelar sultan pertama kali digunakan pada masa<br />

pemerintahan Abdul Rahman, yang bergelar Khalifatul Mukminin Sayidul Imam.<br />

Perubahan bentuk tersebut menandai lepasnya Palembang dari pengaruh<br />

Mataram. Dalam Babad Tanah Jawi disebutkan bahwa Raden Fatah (Raja<br />

Demak) juga menyebut dirinya dengan nama Senapati Jimbun Ngabdu-Rahman<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


34<br />

Panembahan Palembang Sayidin Panatagama 16 (Ras,1990:115-116). Ternyata<br />

gelar sayidin sudah digunakan sebelum lahirnya kesultanan Palembang.<br />

Di Kesultanan Palembang sultan juga menggunakan gelar susuhunan.<br />

Susuhunan artinya adalah yang dipuji (ditaruh di atas kepala) (Moedjanto dalam<br />

Antlov& Sven Cederrotl, 2001:x). Dalam kaitannya dengan Kesultanan<br />

Palembang, yang dimaksud dengan susuhunan adalah sultan yang telah<br />

menyerahkan kedudukannya kepada Pangeran Ratu yang telah mencapai usia<br />

dewasa. Susuhunan dapat disamakan fungsinya sebagai orang tua, namun,<br />

walaupun demikian, pengaruhnya masih sangat besar. Pada masalah penting<br />

posisi susuhunan masih kuat dan sultan hanya sebagai pelaksana dari perintahperintah<br />

susuhunan. 17 (ANRI, Bundel Palembang No. 47.6).<br />

Badaruddin II (1804-1821) merupakan sultan ketujuh dalam sejarah<br />

Kesultanan Palembang. Sebagai penerus, ia juga berfungsi sebagai pemimpin<br />

dunia dan agama. Titah sultan bersifat mutlak baik di daerah kepungutan 18<br />

maupun sindang. 19 Meskipun demikian, sultan juga melibatkan para tokoh<br />

masyarakat yang terdapat di kedua wilayahnya, apabila tengah dihadapkan pada<br />

masalah besar yang harus melibatkan semua penduduk. Contohnya, Sultan<br />

mengumpulkan semua penguasa/elite di pusat maupun di uluan, bersumpah setia<br />

kepada sultan di Bukit Siguntang dalam rangka mempersiapkan diri menghadapi<br />

Inggris maupun Belanda.<br />

16 Hubungan Palembang dengan Raden Fatah, disebutkan bahwa Raden Fatah adalah<br />

putera raja Majapahit Prabu Brawijaya dari ibu seorang perempuan Cina (Putri Cempa) yang<br />

diserahkan kepada penguasa Palembang Ario Damar. Raden Fatah lahir dan besar di Palembang<br />

(De Graaf dan TH. Pigeaud,1985:247).<br />

17 Hal itu dapat dibuktikan pada saat Sultan Badaruddin II mengangkat Pangeran<br />

Ratu sebagai sultan pascakemenangan melawan Belanda yang kedua (1819), namun,<br />

dalam kenyataannya semua ketentuan tetap di bawah kendali sultan. Sumber-sumber<br />

luar tidak satupun yang menyebutkan Sultan Badaruddin menyerahkan posisinya kepada<br />

Pangeran Ratu, kecuali Woelders dalam disertasinya “Het Sultanaat Palembang 1811-<br />

1825”. Sementara itu, penyerahan kekuasaan dari Sultan Najamuddin II kepada Prabu<br />

Anom yang berlangsung dalam kesepakatan antara keduanya dan Belanda di Bogor April<br />

1821, ternyata dalam pelaksanaannya semua keputusan setelah kesepakatan itu<br />

ditentukan oleh Najamuddin II, sampai ia dibuang tahun 1824.<br />

18 Kepungutan adalah daerah yang langsung berada di bawah pemerintahan<br />

sultan (ANRI, Bundel Palembang No. 47.6) .<br />

19 Sindang meliputi daerah perbatasan Palembang sepanjang Jambi, Bengkulu<br />

dan Lampung. (ANRI, Bundel Palembang No. 47.6)<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


35<br />

Sebagai penguasa, sultan didampingi oleh benda-benda pusaka (regalia)<br />

yang berfungsi mendukung kekuasaan raja. Pusaka juga berfungsi sebagai tanda<br />

pemberian mandat kepada pembawa atau penerimanya. Untuk memperkuat<br />

legitimasi kekuasaannya, biasanya seorang raja akan mengumpulkan pusaka di<br />

keraton. Benda-benda pusaka biasanya berupa tombak, keris, atau bendera ini<br />

biasanya dikeramatkan (Selosoemardjan,1962: 17-18; Moedjanto dalam Antlo,<br />

Sven Cederroth, 2001:xxi). Keberadaan benda-benda pusaka ini sangat penting,<br />

sehingga timbul kepercayaan bahwa hilang pusaka berarti hilang pula kekuasaan.<br />

Dalam kaitannya dengan Kesultanan Palembang, pada saat Palembang<br />

diserang Inggris tahun 1812, Sultan Mahmud Badaruddin II mengamankan semua<br />

pusaka kerajaannya ke pedalaman (Blida). Berpindahnya pusaka kerajaan berarti<br />

berpindah pula kekuasaan. Hal ini menunjukkan kesiapan Badaruddin II untuk<br />

melanjutkan perjuangan di daerah uluan. Pusaka Kesultanan Palembang itu<br />

berupa: Keris, Pedang Hulu Kencana, Tombak, Tunggul Tulis Perada, Tunggul<br />

Payung (payung kerajaan), Bedil Seri Padah, Cap Stempel Sultan Machmud<br />

Badaruddin II (Woelders, 1975: 91,130, 184; Syair Perang…).<br />

Dalam menjalankan pemerintahan, Sultan dibantu oleh para priyayi 20 yang<br />

membidangi masalah pemerintahan, agama, kehakiman dan syahbandar. Di<br />

daerah uluan terdapat pemerintahan marga 21 yang dipimpin oleh pasirah dengan<br />

gelar Depati. Penghubung antara sultan dan penguasa uluan adalah para Jenang<br />

atau Raban. Para Depati membawahi Proatin yang berkedudukan di dusun-dusun.<br />

Kelompok Proatin inilah yang berhubungan langsung dengan rakyat (matagawe).<br />

Golongan terkemuka dalam suatu kelompok disebut elite (Kartodirdjo,<br />

1983:vii). Kelompok ini menurut Pareto (1973: 26-27), terbagi dua yaitu elite<br />

yang memerintah (governing elite) dan elite yang tidak memerintah (nongoverning<br />

elite). Tetapi Pareto lebih memusatkan perhatiannya pada elite yang<br />

memerintah. Kelompok ini mencakup individu yang langsung atau tidak langsung<br />

20 Priyayi (golongan ningrat) adalah keturunan raja atau sultan. Golongan ini<br />

dapat disebabkan karena keturunan atau atas restu raja, yang terdiri dari pangeran,<br />

raden, dan masagus (Sevenhoven, 1971: 25).<br />

21 Marga adalah sekumpulan dusun yang agak luas, yang terdiri dari sekitar<br />

enam sampai sebelas dusun dipimpin oleh seorang depati/pasirah. Pada mulanya marga<br />

terbentuk karena faktor genealogis yang berkembang secara geografis (ANRI, Bundel<br />

Palembang No. 62.2).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


36<br />

memainkan peranan penting dalam pemerintahan. Kelompok ini mempunyai<br />

jabatan politik pada tingkat tertentu, umumnya bersifat turun temurun. Sedangkan<br />

Mosca (1973: 210-212) berpendapat bahwa elite adalah klas yang memegang<br />

kekuasaan yang umumnya berjumlah sedikit. Kelompok ini menjalankan semua<br />

fungsi politik dan memonopoli kekuasaan.<br />

Berdasarkan pendapat di atas, yang dimaksud dengan elite di Kesultanan<br />

Palembang adalah kelompok penguasa yang terdiri dari sultan dan golongan<br />

bangsawan yang memerintah baik yang ada di pusat pemerintahan maupun di<br />

uluan. Kelompok ini berhadapan dengan elite yang terdiri dari pemimpin pusat<br />

dan daerah/residen, tokoh militer Belanda dan Inggris. Di dalam kesultanan itu<br />

terjadi konflik, sehingga kaum elite kerajaan ini terbelah, yaitu antara pendukung<br />

Badaruddin II dan Najamuddin II. Akibat dari konflik-konflik tersebut terjadi<br />

pergantian (sirkulasi) elite. Pareto mengembangkan konsep pergantian elite yaitu<br />

selalu ada ―pergerakan‖ yang tidak dapat ditahan dari individu-individu dan elite<br />

kelas atas hingga kelas bawah, begitu pula sebaliknya, sehingga terjadi perubahan<br />

yang menurunkan posisi elite dan memunculkan elite baru. Pergantian ini dapat<br />

terjadi pada kelompok-kelompok elite yang sedang memerintah atau antarelite dan<br />

penduduk, sehingga terjadi ketidakseimbangan dalam masyarakat. Mosca juga<br />

mengembangkan teori pergantian elite. Lebih lanjut dikatakannya bahwa apabila<br />

elite sudah tidak mampu memberikan pelayanan kepada rakyatnya, misalnya<br />

muncul ―keyakinan/agama‖ baru, atau terjadi perubahan kekuatan-kekuatan sosial<br />

dalam masyarakat, maka telah terjadi pergantian elite penguasa (Varma,2003:<br />

200-203).<br />

Perebutan antarelite di Kesultanan Palembang yang melibatkan elite dalam<br />

(Badaruddin II dan Najamuddin II) dan elite luar (Inggris dan Belanda). Perebutan<br />

dan pergantian elite menjadi bahasan dalam penelitian tentang Kesultanan<br />

Palembang pada kurun waktu 1804--1825.<br />

1.8 Metodologi<br />

Dalam bagian ini akan dibahas tentang metode penelitian dan Narativisme.<br />

Metode penelitian sejarah digunakan untuk membedah sejarah Kesultanan<br />

Palembang mulai dari pengumpulan data sampai dengan rekonstruksi. Sementara<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


37<br />

itu, Narativisme dijadikan landasan dalam menafsirkan sejarah kesultanan ini<br />

dengan mengaitkan berbagai fakta dari masa lalu agar menjadi satu kesatuan yang<br />

utuh. Kedua bentuk tersebut diharapkan mampu memberikan gambaran yang utuh<br />

tentang gerak sejarah Kesultanan Palembang dalam kurun waktu 1804--1825.<br />

Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah yang mengacu<br />

pada empat tahap, yaitu pengumpulan sumber (heuristik), kritik sumber,<br />

interpretasi sumber dan rekonstruksi (Notosusanto, 1978: 11-12). Tahap<br />

heuristik adalah tahap penelusuran dan pengumpulan data. Data adalah sumber<br />

informasi utama dalam penelitian sejarah. Pada tahap ini dilakukan penelusuran<br />

arsip, naskah, kajian kepustakaan dan penelitian lapangan melalui observasi dan<br />

wawancara. Arsip tersimpan di lembaga penyimpanan arsip resmi Arsip Nasional<br />

Republik Indonesia (ANRI). Di pusat penyimpanan arsip, disimpan arsip<br />

keresidenan yaitu Bundel Palembang, dan Bundel Bangka. Dalam katalog Bundel<br />

Palembang, arsip-arsip yang diperlukan untuk penulisan ini terdiri dari koleksi<br />

akhir abad XVIII, tahun 1800 sampai tahun 1825 bahkan sesudahnya, untuk<br />

melihat kondisi Palembang pascapenghapusan kesultanan.<br />

Di antara arsip yang diperoleh terdapat kumpulan surat, seperti Surat-<br />

Surat Keputusan Gubernur Jenderal VOC dan Hindia Belanda yang berkaitan<br />

dengan Kesultanan Palembang, surat-surat Residen Palembang kepada Gubernur<br />

Jenderal, surat-surat Residen Palembang kepada Komisaris Jenderal, surat-surat<br />

Komandan Militer kepada Residen Palembang, surat-surat Asisten Residen<br />

kepada Komisaris Jenderal, surat-surat wakil Inggris di Malaka kepada Sultan<br />

Palembang, memori jabatan dari para pejabat Belanda baik dalam hubungan<br />

mereka dengan pemerintah pusat di Batavia atau antara pejabat Belanda di<br />

Palembang dan pejabat Inggris di Bengkulu.<br />

Di samping arsip sebagai sumber primer, penelitian ini menggunakan<br />

beberapa sumber sekunder yang terdiri atas majalah-majalah dari masa lalu.<br />

Dalam majalah-majalah ini dimuat artikel-artikel baik sebagai laporan, kesaksian<br />

maupun tinjauan ilmiah yang ditulis oleh para peneliti, saksi peristiwa, perwira<br />

militer atau mereka yang tidak mencantumkan nama (anonim). Meskipun sudah<br />

diolah menjadi suatu tulisan ilmiah yang diterbitkan, karya-karya ini sangat<br />

Comment [DKM3]: Natarivisme digunakan<br />

untuk menulis dan bukan menafsirkan sejarah!!<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


38<br />

bermanfaat karena memberikan informasi yang memadai, baik sebagai<br />

pelengkap maupun pembanding dari informasi yang diperoleh dari arsip.<br />

Majalah-majalah ini tersimpan di berbagai perpustakaan seperti koleksi<br />

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan Fakultas Ilmu<br />

Pengetahuan Budya <strong>Universitas</strong> Indonesia, Perpustakaan Kolese Santo Ignasius<br />

Yogyakarta, dan Perpustakaan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta, serta<br />

Perpustakaan Daerah Provinsi Sumatera Selatan<br />

Koleksi lain dari PNRI yang digunakan dalam penelitian ini adalah surat<br />

kabar yang diterbitkan sezaman dengan peristiwa ini. Di antaranya adalah<br />

Bataviaasch Courant (1819,1821,1824) dan Java Gouvernement Gazette (1812).<br />

Meskipun diterbitkan di Batavia, kedua surat kabar ini menyajikan berita dari<br />

seluruh wilayah Hindia Belanda.<br />

Arsip lainnya adalah Regeeringsalmanak, atau agenda pemerintah. Data<br />

ini terbit dalam dua jilid sejak 1816 sampai dengan 1941. Pada periode 1816<br />

sampai 1876 Regeeringsalmanak hanya terbit satu jilid. Di dalamnya terdapat<br />

informasi tentang rujukan berbagai peraturan dan nama semua orang yang<br />

menduduki jabatan dalam dinas dan instansi pemerintahan kolonial Belanda.<br />

Aturan-aturan ini kemudian dicari dalam berbagai sumber lainnya, sehingga<br />

nama-nama orang tersebut bisa diketahui termasuk tanggal pengangkatan dan<br />

penempatan mereka.<br />

Langkah berikutnya adalah melakukan kritik terhadap data-data yang<br />

ada. Kritik terdiri dari kritik ekstern dan intern. Kritik ekstern meliputi usaha<br />

untuk mengetahui tingkat orisinilitas, otentisitas, kredibilitas dan integritas data.<br />

Orisinilitas yaitu apakah data itu dibuat pada masa yang sama. Otentisitas adalah<br />

menyangkut keaslian data. Sedangkan Kredibilitas adalah apakah data itu layak<br />

dipercaya (tulis tangan/diketik, tinta yang digunakan, kertas dan lain-lain)?<br />

Integritas berkaitan dengan kualitas dan kelengkapan data. Berikutnya yang<br />

dilakukan adalah kritik Intern, tujuannya untuk mengetahui kebenaran data dan<br />

relevansinya dengan penelitian ini. Tahap penting berikutnya dalam penelitian<br />

dan penulisan sejarah adalah Interpretasi. Data-data yang telah dikritik dapat<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


39<br />

diinterpretasikan dalam rangka menguak “makna” yang terkandung dari<br />

tumpukan data. Makna inilah yang disebut dengan fakta sejarah (Bunzl, 1997:<br />

39). Fakta-fakta tersebut ditafsirkan dan dianalisis untuk dijadikan dasar bagi<br />

rekonstruksi. Terakhir yang harus dilakukan adalah rekonstruksi, yaitu<br />

penyusunan fakta-fakta dalam usaha menemukan satu kesatuan utuh dari faktafakta<br />

yang terpisah, untuk mengetahui keterkaitan antara peristiwa satu dengan<br />

lainnya. Sehingga menjadi suatu karya sejarah ilmiah.<br />

Untuk membedah sejarah Kesultanan Palembang pada kurun waktu 1804-<br />

-1825, penelitian ini menggunakan Narativisme. Narativisme adalah metodologi<br />

dalam filsafat sejarah yang digunakan untuk merekonstruksi masa silam.<br />

Menafsirkan masa lampau, yang dilakukan adalah mengaitkan berbagai fakta dari<br />

masa silam yang semula tidak koheren dan tanpa struktur, menjadi satu kesatuan<br />

yang menyeluruh. (Ankersmit, 1987: 222-226; Lemon, 2003: 300-301). Dalam<br />

menginterpretasikan masa lampau, naratif menggunakan kata-kata yang terpilih<br />

(bahasa yang mudah difahami), sehingga menarik perhatian pembacanya. Jadi,<br />

linguistik mempunyai peran penting dalam narativisme (Ankersmit, 1994: 81-83)<br />

Dalam konteks keterlibatan Inggris dan Belanda di dalam sistem<br />

pemerintahan dan perekonomian Kesultanan Palembang, melalui kajian terhadap<br />

peran Sultan Muhammad Badaruddin II pada dasawarsa kedua abad XIX,<br />

pengaturan konfigurasi merupakan cara yang representatif untuk memunculkan<br />

konsep ―keberkaitan‖ dalam menciptakan detail fakta pada suatu relasi sebagai<br />

gambaran yang komprehensif dari suatu naratif. Dalam mewujudkan pengaturan<br />

konfigurasi dimaksud, fakta-fakta yang digunakan harus memiliki kecocokan<br />

dengan keseluruhan narasi historis untuk menopang keberkaitan konfigurasional.<br />

Menurut Ankersmit, ada dua syarat yang harus dipenuhi dalam<br />

mewujudkan sejarah naratif yaitu: pertama, harus menggambarkan seluruh bidang<br />

kehidupan, yang disusun berdasarkan rangkaian peristiwa sehingga tampak<br />

perubahannya. Kedua, naratif menghubungkan minimal dua peristiwa (situasi)<br />

yang berbeda, sehingga menjadi koheren (saling berhubungan) dan mampu<br />

menjelaskan keseluruhan peristiwa (Ankersmit, 1987: 226; Lemon. 2003: 299-<br />

300).<br />

Comment [DKM4]: Untuk menulis, bukan<br />

membedah!! Anda tidak membedah tetapi menelit<br />

dan menulsikannya. Salah persepsi!<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


40<br />

Narativisme juga berusaha membuktikan adanya pola hubungan kausalitas<br />

antara peristiwa yang satu dan yang lain. Hal ini tidak terlepas dari sifat kedua<br />

dari metodologi ini yaitu bahwa peristiwa yang terjadi merupakan suatu<br />

rangkaian, tidak berdiri sendiri. Sebagai konsekuensi dari paradigma tersebut,<br />

metodologi narativisme tidak dapat dilepaskan dari unsur kronologis dalam<br />

peristiwa yang saling berkaitan. Sifat ini membedakan penulisan sejarah<br />

narativisme dengan penulisan suatu kronik yang tidak menunjukkan keterkaitan<br />

antara satu peristiwa dan peristiwa lainnya.<br />

Lebih lanjut Kuntowijoyo (2003: 149-150) menyebutkan tiga syarat yang<br />

harus dipenuhi dalam menulis sejarah naratif yaitu colligation, plot dan struktur<br />

sejarah. Pada syarat pertama, disebutkan bahwa dalam menulis sejarah harus<br />

menemukan inner conection (hubungan dalam) dari berbagai peristiwa sejarah.<br />

Syarat kedua, yaitu merangkai fakta hingga menjadi satu kesatuan yang utuh<br />

sekaligus melakukan interpretasi dan eksplanasi. Syarat ketiga, perlunya struktur<br />

sejarah sebagai ―rekonstruksi yang akurat‖. Lebih khusus akan dibahas tentang<br />

poin kedua yaitu interpretasi dan eksplanasi. Interpretasi yang dimaksudkan<br />

adalah menafsirkan jiwa dan pengalaman manusia yang tidak tampak, dengan cara<br />

menempatkan diri sendiri pada diri orang lain. Dengan demikian, akan mampu<br />

mengungkapkan apa makna dari simbol-simbol yang tampak. Eksplanasi adalah<br />

keteraturan yang saling berkait. Jadi, kausalitas yang terdapat di dalam teori<br />

Ankersmit merupakan bagian dari eksplanasi. Eksplanasi juga dimaksud untuk<br />

membuat suatu generalisasi. Meskipun pada kenyataannya sejarah itu<br />

mendeskripsikan gejala tunggal, namun sejarah juga mengenal konsep-konsep<br />

umum, contohnya ―peodalisme, pergerakan nasional‖ yang sudah diterima oleh<br />

masyarakat umum.<br />

Hal yang penting dalam narativisme adalah adanya istilah ―ini terjadi‖<br />

(this happened) dan ―kemudian itu terjadi‖ (then that happened) dan seterusnya.<br />

Kekuatan operasional dari istilah ―then‖ dalam narativisme hanya berarti<br />

sepenuhnya apabila hal tersebut berhubungan dengan kejadian-kejadian (actions<br />

or occurences). Narativisme dapat dilakukan, apabila terdapat kejadian-kejadian<br />

yang menjelaskan adanya suatu perubahan. Dalam pemahaman tersebut naratisme<br />

adalah kisah yang memiliki hakekat suatu perubahan sebagai hakekat dari sejarah.<br />

Comment [DKM5]: Naratif itu<br />

metodologi??????????????????<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


41<br />

Bentuk ini mampu memberikan eksplanasi yang kuat dan menyeluruh tentang<br />

sesuatu yang ―menyebabkan terjadi, kejadian itu sendiri dan apa yang akan<br />

terjadi‖. Dengan demikian, suatu peristiwa (kejadian, tindakan, peristiwa)<br />

dijelaskan dari peristiwa sebelumnya yang menunjukkan adanya suatu perubahan<br />

yang merupakan hakikat dari sejarah (Lemon, 2003: 299-301).<br />

Menurut Lemon, ada tiga hal pokok yang merupakan komponen<br />

narativisme, sebagai berikut:<br />

1. Narativisme tidak mengisahkan suatu peristiwa tunggal, melainkan<br />

menghubungkan dua atau lebih dari peristiwa-peristiwa dengan rumusan<br />

‗ini terjadi, kemudian itu terjadi‘, yang menyebabkan terjadinya<br />

perubahan.<br />

2. Adanya hubungan kausalitas antarperistiwa, bahwa suatu peristiwa<br />

disebabkan oleh peristiwa sebelumnya dan mengakibatkan peristiwa<br />

berikutnya.<br />

3. Narativisme berbeda dengan kronik yang hanya mendeskripsikan urutan<br />

kronologis sekelompok fenomena dari yang lebih awal ke yang lebih<br />

akhir. Sementara itu narativisme lebih menekankan kronologi dalam arti<br />

pembedaan waktu (periodisasi) yang sangat ketat.<br />

Naratif yang digunakan untuk merangkai berbagai peristiwa harus<br />

kronologis dalam menjelaskan rangkaian yang dipaparkan. Intinya adalah<br />

merangkai berbagai peristiwa untuk menjelaskan pada setiap tahap dengan<br />

mengacu pada fakta yang relevan dan signifikan dari data (Lemon, 2003: 301-<br />

302; 347-349). Cara ini digunakan untuk menjelaskan konflik yang terjadi di<br />

Kesultanan Palembang, baik yang disebabkan oleh faktor ekstenal maupun<br />

internal yang mengakhiri eksistensi Kesultanan Palembang. Dengan demikian,<br />

narativisme sebagai metodologi untuk eksplanasi terhadap permasalahan tersebut<br />

dapat dipandang sebagai suatu upaya rekonstruksi masa silam.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


42<br />

1.9 Sistematika Penulisan<br />

Disertasi ini terdiri atas tujuh bab. Bab pertama merupakan pendahuluan terdiri<br />

dari latar belakang, permasalahan penelitian, tujuan penelitian, kontribusi<br />

penelitian, batasan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka konseptual, metodologi,<br />

dan sistemetika penulisan.<br />

Bab kedua, akan mendiskripkan tentang kondisi Kesultanan Palembang<br />

akhir abad XVIII dan awal pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II. Di<br />

dalamnya tercakup pula tentang sistem pemerintahan, dan ekonomi. Awal<br />

pemerintahn Sultan Mahmud Badaruddin II Kesultanan Palembang berlangsung<br />

dengan baik, kondisi itu mulai mempunyai warna lain sejak kasak kusuk yang<br />

dilakukan oleh Raffles untuk mendapatkan dukungan dari sultan dalam rangka<br />

mengusir Belanda dari kepulauan Nusantara. Pendudukan Inggris atas Batavia<br />

dimanfaatkan oleh sultan untuk mengusir Belanda dari bumi Palembang. Inilah<br />

awal pemicu keterlibatan Inggris secara langsung di Kesultanan Palembang.<br />

Bab ketiga, akan membahas tentang perebutan suksesi di Kesultanan<br />

Palembang antara kedua bersaudara yang disutradarai oleh Inggris. Pada bab ini<br />

juga dibahas masa pendudukan Inggris di Kesultanan Palembang.<br />

Bab keempat, meliputi pembagian kekuasaan antara Sultan Badaruddin II,<br />

Sultan Najamuddin II dan pemerintah kolonial Belanda. Pembagian itu<br />

merupakan skenario Belanda untuk memperkokoh kekuasaan di wilayah ini.<br />

Keberadaan Belanda juga harus berhadapan dengan Inggris sebagai konsekuensi<br />

dari saling dukung antara Inggris yang mendukung Sultan Najamuddin II dan<br />

Belanda yang mendukung Sultan Badaruddin II.<br />

Bab kelima, menguraikan tentang perang Palembang yang terjadi sebanyak<br />

tiga kali antara pihak kesultanan dan Belanda. Dari ketiga peprangan tersebut,<br />

dua kali peperang dimenangkan oleh Kesultanan Palembang, sedangkan pada<br />

peperangan yang ketiga Palembang harus mengakui keunggulan armada dan<br />

pasukan Belanda yang telah disiapkan dengan sangat matang. Apa yang terjadi di<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


43<br />

Palembang berimbas secara langsung maupun tidak langsung terhadap Bangka,<br />

sehingga selama kurun waktu itu di Pulau Bangka juga terjadi pergolakan<br />

melawan Belanda.<br />

Bab keenam, menguraikan kondisi pascadibuangnya Sultan Badaruddin II,<br />

yaitu masa pemerintahan Sultan Ahmad Najamuddin III. Pada masa itu<br />

kedudukan Belanda makin kuat ditandai dengan penyerahan kekuasaan pada 1823<br />

kepada pemerintah Belanda. Perasaan tersingkir dan tidak puas menyebabkan<br />

Sultan Najamuddin III melancarkan perlawanan dan mundur ke uluan. Akan<br />

tetapi, perlawanan itu tidak banyak berarti karena minimnya sarana pendukung,<br />

sementara Belanda makin kokoh. Dengan dibuangnya Sultan ke Banda, jabatan<br />

sultan ditiadakan. Mewakili pemerintahan asli dijalankan oleh Pangeran Perdana<br />

Menteri.<br />

Bab tujuh adalah bab terakhir yang merupakan kesimpulan penelitian ini.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


44<br />

BAB 2<br />

KESULTANAN PALEMBANG<br />

AKHIR ABAD XVIII DAN AWAL ABAD XIX<br />

Kesultanan Palembang pada akhir abad XVIII dan awal abad XIX, mengalami<br />

kemajuan khususnya di bidang ekonomi. Hal itu tidak dapat dilepaskan dari<br />

mundur dan hancurnya organisasi dagang kolonial VOC. Di bidang politik<br />

pemerintahan juga mengalami kestabilan. Kondisi demikian diterima oleh<br />

Pangeran Ratu pada saat dirinya ditasbihkan sebagai sultan Palembang dengan<br />

gelar Sultan Ratu Mahmud Badaruddin II. Dalam kondidi demikian, kesultanan<br />

ini dihadapkan pada situasi perang Eropa yang berlanjut di kawasan ini yaitu<br />

keinginan Inggris menduduki Pulau Jawa. Untuk itu, Raffles mengadakan<br />

―pendekatan‖ kepada Sultan Badaruddin II. Keberhasilan Inggris menduduki<br />

Batavia, dimanfaatkan oleh Sultan untuk menduduki dan menghancur Loji Sungai<br />

Aur dan para penghuninya.<br />

Penolakan Sultan Badaruddin II atas keinginan Inggris menggantikan<br />

Belanda, membawa kawasan ini menjadi sasaran ekspedisi Inggris. Ekspedisi<br />

tersebut merupakan awal terjadinya konflik internal di kesultanan tersebut.<br />

Konflik tersebut terus berlangsung dan melibatkan berbagai pihak. Inggris dan<br />

Belanda menjadi bagian penting dalam berbagai konflik tersebut, sampai nantinya<br />

membawa kehancuran bagi Palembang. Dengan pembahasan pada bab ini, akan<br />

tergambar bagaimana kondisi awal Kesultanan Palembang, dan kehadiran Inggris<br />

di kawasan ini, serta akibat yang ditimbulkannya.<br />

2.1 Pemerintahan<br />

Penguasa tertinggi di pusat pemerintahan Kesultanan Palembang adalah sultan.<br />

Kekuasaan sultan tidak dibatasi oleh aturan-aturan hukum. Sultan dibantu oleh<br />

putera mahkota yaitu Pangeran Ratu. Pangeran Ratu berperan sebagai calon raja,<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


45<br />

wakil sultan yang berkuasa penuh apabila sultan berhalangan, dan penasehat<br />

sultan. Dalam menjalankan tugasnya, Pangeran Ratu berada di bawah perwalian<br />

Pangeran Adipati (nantinya menjadi Sultan Najamuddin II) (Java Gouvernement<br />

Gazette, 2 Mei 1812 No. 10; Sturler, 1855:71).<br />

Sultan Muhamad Bahauddin memiliki empat orang putera, yaitu Raden<br />

Hasan Pangeran Ratu (putera mahkota), Pangeran Adi Menggala, Pangeran Adi<br />

Kesumo, dan Pangeran Nata Kesumo. Setelah Sultan Muhamad Bahauddin wafat,<br />

digantikan oleh Pangeran Ratu dengan gelar Sultan Ratu Mahmud Badaruddin II.<br />

Selanjutnya, Sultan Badaruddin II mengangkat adik-adiknya sebagai<br />

pembantunya, yaitu adik pertamanya yang bernama Pangeran Adi Menggala<br />

diangkat sebagai Pangeran Adipati. Dua adiknya yang lain yaitu Pangeran Adi<br />

Kesuma diangkat dengan gelar Pangeran Aryo Kesuma, dan Pangeran Nata<br />

Kesuma diangkat dengan gelar Pangeran Suryo Kesuma. Keduanya menduduki<br />

posisi sebagai pejabat kerajaan, sedangkan Pangeran Adipati berkewajiban<br />

membimbing Pangeran Ratu dalam rangka mempersiapkan diri menjadi sultan.<br />

Ketiga adik sultan berkewajiban memberikan nasehat kepada sultan, dan<br />

membantu tugas-tugas sultan. Sebagai pejabat penting kesultanan, mereka<br />

sewaktu-waktu dapat mewakili sultan dalam berbagai pertemuan atau perjanjian.<br />

Sultan juga didampingi oleh para pejabat lain yang mengurusi masalah<br />

pemerintahan dan keamanan, agama, peradilan dan bidang perdagangan. Pertama,<br />

bidang pemerintahan dan keamanan dipegang oleh Pangeran Notodirojo. Ia<br />

bertugas mengurus masalah pemerintahan dan keamanan. Dalam menjalankan<br />

tugasnya Pangeran Notodirojo dibantu oleh Tumenggung Kerto, tugasnya<br />

menangani masalah pemerintahan dan keamanan. Dalam kondisi perang,<br />

Pangeran Notodirojo dan jajarannya bertanggungjawab untuk memobilisasi<br />

penduduk dari ibu kota hingga ke uluan. Tumenggung Kerto membawahi empat<br />

pegawai yang bertanggungjawab di bidangnya masing-masing, yaitu Tumenggung<br />

(urusan administrasi), Ronggo (urusan keluarga istana), Demang (mengangani<br />

masalah keamanan dan pengaduan masyarakat) dan Ngabehi/Ingabehi (bertugas<br />

sebagai mata-mata pemerintah). Kedua, urusan agama dipegang oleh Pangeran<br />

Penghulu Nato Agamo (umumnya berasal dari keluarga sultan). Tugas utamanya<br />

adalah melaksanakan upacara keagamaan di masjid Agung, penasehat sultan dan<br />

Comment [DKM6]: Apakah orang ini yang<br />

nantinya menjadi Sultan Najamuddin II??)<br />

Comment [DKM7]: Apakah istilah negara di s<br />

tepat? Ataukah perlu digantikan dengan kesultana<br />

Comment [DKM8]: Perdana Menteri sekarang<br />

Ingat istilah Perdana Menteri untuk negara<br />

Anglosakson dan Francofon sangat berbeda<br />

konsepnya.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


46<br />

mengawasi peradilan agama. Pejabat di bawah Pangeran Penghulu Nato agamo<br />

adalah Penghulu, Penghulu Kecil/Khatib Penghulu, Lebih/Lebai Penghulu dan<br />

Khatib. Tugas mereka menangani masalah warisan, perkawinan, perceraian dan<br />

peribadatan. Ketiga, Urusan peradilan dipegang oleh Pangeran Kerto Negoro.<br />

Peradilan di Kesultanan Palembang didasarkan pada hukum adat yang ditetapkan<br />

oleh sultan. Pangeran Kerto Negoro dalam menjalankan tugas-tugasnya dibantu<br />

oleh pejabat yang bergelar Tanda. Tanda dan aparatnya menangani para pelaku<br />

kejahatan sebelum diajukan ke pengadilan dan melaksanakan hukuman yang<br />

sudah diputuskan oleh pihak pengadilan. Masalah-masalah besar yang tidak dapat<br />

ditangani oleh aparat di uluan dan ibu kota diserahkan kepada sultan melalui<br />

Pangeran Kerto Negoro dan aparatnya. Keempat, bidang perdagangan<br />

dipercayakan kepada syahbandar yang menangani masalah perdagangan dan<br />

pelabuhan. Syahbandar menangani masalah penting di bidang perdagangan,<br />

menangani perselisihan yang terjadi antarawak kapal atau perahu. Dalam<br />

menjalankan tugasnya syahbandar dibantu oleh tiga sampai empat orang pegawai.<br />

Para pembantu Syahbandar membidangi perdagangan (sistem tiban dan tukon)<br />

dan bea cukai (cukai atas komoditi impor tetap seperti perak, kain, garam, sutra,<br />

benang emas). Selain para pegawai tersebut, masih ada lagi pegawai-pegawai lain<br />

di istana yang bertugas membantu dan memperlancar jalannya pemerintahan<br />

(Java Gouvernement Gazette, 2 Mei 1812 No. 10; Masyhuri, 1983: 42-44;<br />

Peeters, 1997: 11-12; Sevenhoven, 1971: 25-29; Woelders, 1975: 85).<br />

Wakil pemerintah pusat di uluan (pedalaman) antara lain jenang (jeneng)<br />

dan raban. Jenang berasal dari golongan rakyat biasa yang berkedudukan di<br />

uluan, sedangkan raban berkedudukan di ibu kota kerajaan. Kelompok ini<br />

berasal dari golongan bangsawan. Kedua pejabat itu bertugas untuk menarik<br />

pajak dari rakyat, dan menjalankan pemerintahan di pedalaman (membawahi para<br />

depati). Walaupun demikian, para jenang tidak berwenang dalam bidang<br />

peradilan di uluan. Bidang peradilan di uluan menjadi hak para depati dan proatin<br />

(ANRI, Bundel Palembang No. 15.7; No. 62.2).<br />

Pemerintahan di daerah pedalaman dijalankan oleh Pasirah dengan gelar<br />

Depati. Depati adalah kepala marga. Mereka bebas menjalankan pemerintahan<br />

sendiri di uluan.. Depati dibantu oleh beberapa proatin (anak buah), Beginda, dan<br />

Comment [DKM9]: Apa maksudnya masalah<br />

vital di sini???<br />

Comment [DKM10]: Jadi antara Jenag dan<br />

Raban berbeda. Dengan demikian tidak bisa<br />

digunakan kata ‗atau‘<br />

Comment [DKM11]: Bandingkan tugasnya<br />

dengan Depati. Semua menjalankan pemerintahan<br />

di pedalaman. Jadi bedanya apa?<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


47<br />

Kria. Tugas mereka adalah menjalankan pemerintahan, peradilan dan menjaga<br />

tradisi. Para Depati yang telah lama memegang jabatannya mendapat gelar<br />

Pangeran, contohnya gelar Pangeran dari daerah Komering. Pertimbangan<br />

pemberian gelar adalah karena orang-orang dari daerah itu dipersiapkan untuk<br />

ikut dalam peperangan (ANRI, Bundel Palembang No. 47.6; No. 15.7; Sturler,<br />

1855:76).<br />

Kepala dusun disebut Kria, dan Pembarab. Ia disebut pembarab jika<br />

dusun tersebut menjadi pusat pemerintahan Marga. Kria, Beginda, Lurah atau<br />

Ingabehi/Ngabehi secara bersama-sama disebut Proatin atau Anak Beras 22 dengan<br />

pakaian kebesaran berupa kopiah dari rotan (resam) yang dijahit dengan benang<br />

emas atau perak. Tugas utama mereka adalah menegakkan keamanan dan hukum<br />

serta mempertahankan adat kebiasaan lama. Beberapa masalah kecil (pencurian,<br />

penipuan, pelanggaran adat) diselesaikan oleh proatin dan para pembantunya di<br />

tingkat dusun. Hukuman itu dalam bentuk denda (uang ringgit, real Spanyol<br />

maksimal dua belas real atau benda/binatang). Denda-denda tersebut menjadi<br />

sumber pendapatan Depati dan proatin (Undang-Undang Simbur Cahaya, 1994).<br />

Untuk masalah yang lebih besar, seperti pemberontakan atau pembunuhan yang<br />

dilakukan terhadap seorang depati, penyelesaiannya dilakukan oleh para depati<br />

bersama-sama dengan proatin di bale-bale marga. Apabila kasus ini tidak dapat<br />

diselesaikan di tingkat marga, permasalahan itu dilimpahkan ke pusat<br />

pemerintahan di Palembang (ANRI, Bundel Palembang No.15.7; No. 62.7).<br />

Di tingkat Marga, kepala urusan agama dipegang oleh Lebai Penghulu,<br />

sedangkan di tingkat dusun dipegang oleh Khatib dan tingkat yang paling bawah<br />

yaitu kampung dipegang Kaum. Para pejabat tersebut mengurus masalah-masalah<br />

yang berkaitan dengan agama Islam, seperti perkawinan, perceraian, talak, rujuk,<br />

zakat, fitrah dan kematian. Mengajar mengaji ditangani oleh Lebai Penghulu.<br />

Kaum bertugas memelihara masjid, langgar, padasan, tempat-tempat keramat,<br />

22 Pada prinsipnya nama-nama tersebut mempunyai kedudukan yang sama yaitu<br />

sebagai kepala dusun. Perbedaan nama lebih disebabkan oleh lokasi atau kebiasaan<br />

masyarakat pendukungnya secara turun temurun. Contohnya, kepala dusun Sunsang<br />

disebut Ingabehi/Ngabehi, karena lokasinya berada di muara Sungai Musi (pintu masuk<br />

ke ibukota Palembang) yang berfungsi sebagai mata-mata dan menjadi dusun sikap<br />

(menjadi pendayung sultan dan penjaga muara sungai).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


48<br />

memandikan mayat, mengajar mengaji dan menulis. Para Kaum menjalankan<br />

tugasnya secara sukarela (Undang-undang Simbur Cahaya, Bab III, 1994).<br />

Di setiap kampung terdapat Panagawe, yaitu para pelaksana tugas harian.<br />

Panagawe, terbagi atas empat bidang yaitu: Natakasuma, Natakarti, Wangsaguna,<br />

dan Martonagoro. Natakasuma mengurusi masalah perkebunan, Natakarti<br />

bertugas menerima dan melayani tamu-tamu dari dusun lain, Wangsaguna<br />

menangani masalah keamanan dan ketertiban, dan Martonagoro membantu<br />

Depati (ANRI, Bundel Palembang No. 15.7). Kedudukan Panagawe sangat<br />

strategis, karena mereka berhubungan langsung dengan rakyat dan merupakan<br />

bagian dari rakyat itu sendiri (lihat diagram Struktur Pemerintahan Kesultanan<br />

Palembang).<br />

Struktur Pemerintahan Kesultanan Palembang<br />

Sultan<br />

P.Ratu<br />

Ratu<br />

P.N.A P.KN P.N D Syb<br />

NNNNa<br />

toAgam<br />

a Phl Tnd T Kr Sdg<br />

P Kc<br />

L.Ph<br />

Jng/Rbn<br />

Dpt/Psr<br />

Kht<br />

Proatin<br />

matagawe<br />

Keterangan<br />

Sultan : Penguasa tertinggi.<br />

P. Ratu : Pangeran Ratu (Putera Mahkota)<br />

P.N.A : Pangeran/ Penghulu Nato Agamo (Keagamaan)<br />

P.K.N : Pangeran Kerto Negoro (Kehakiman)<br />

Comment [DKM12]: Mungkin singkatannya<br />

PKN (tiga digit)<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


49<br />

P.Nd :Pangeran Notodirojo/ Pangeran Perdana Menteri (Pemerintahan dan<br />

Keamanan)<br />

Syb : Syahbandar (Perdagangan)<br />

Sdg/P : Saudagar/Pegawai<br />

Phl : Penghulu<br />

Tdn : Tanda<br />

T Kr : Tumenggung Kerto<br />

Sdg : Saudagar<br />

P Kc : Penghulu Kecil<br />

L.Ph : Lebih Penghulu/ Lebai Penghulu<br />

Jng/Rbn : Jenang/Raban<br />

Dpt/Psr : Depati<br />

Kh : Khatib<br />

Sumber : Masyhuri, 1983: 47; Undang-Undang Simbur Cahaya, 1994.<br />

Apabila seorang Kria atau Baginda wafat, para Panagawe bersama-sama<br />

Matagawe (rakyat) dusun bersidang, dan mereka memilih orang yang selanjutnya<br />

akan diangkat sebagai kepala dusun (umumnya yang diangkat adalah putera atau<br />

kerabat dekat/saudara kepala dusun yang meninggal). Pemilihan ini akan<br />

dilaporkan kepada Depati, yang kemudian diumumkan kepada seluruh penduduk<br />

(ANRI, Bundel Palembang No.15.7).<br />

Penduduk uluan dibagi dalam dua kelompok yaitu matagawe dan alingan.<br />

Pengelompokan ini sudah ada sejak zaman Sultan Abdul Rahman yang dikenal<br />

juga dengan nama Cinde Balang. Matagawe adalah penduduk yang terdapat di<br />

susun-dusun dan marga yang bekerja dan memiliki kewajiban membayar pajak.<br />

Jumlahnya tidak tetap, tetapi secara umum sekitar sepuluh persen dari jumlah<br />

penduduk. Apabila seorang matagawe meninggal dunia, posisinya digantikan oleh<br />

puteranya. Kecuali bila tidak memiliki keturunan anak laki-laki, akan diangkat<br />

seorang matagawe baru. Alingan adalah para pekerja yang bekerja di bawah<br />

perlindungan (aling). Mereka bertugas membantu menyelesaikan tugas-tugas<br />

matagawe. Jadi, alingan adalah bagian dari matagawe (ANRI, Bundel Palembang<br />

No. 15.7; No. 62.2; Bijdrage tot…, 1877:97; Faille, 1971: 44).<br />

Untuk wilayah Bangka-Belitung yang menjadi bagian dari Kesultanan<br />

Palembang, Sultan mengangkat wakilnya sebagai pemimpin di daerah tersebut<br />

yang bergelar depati atau batin. Mereka umumnya berasal dari penduduk<br />

setempat atau bangsawan dari ibu kota Palembang. Para depati atau batin bertugas<br />

menjalankan pemerintahan lokal atas nama sultan Palembang, sedangkan masalah<br />

Comment [DKM13]: Istilah Anon tidak ada<br />

dalam kamus, yang ada adalah Anonim.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


50<br />

penambangan timah diserahkan kepada para teko/tiko. Teko adalah petugas yang<br />

mengurusi masalah pertambangan timah yang berkedudukan di ibu kota<br />

Palembang. Dalam menjalankan tugasnya, teko memberikan wewenang kepada<br />

kongsi. Kongsi bertugas melakukan pembukuan, mengirimkan laporan dan<br />

menetap di Pulau Bangka. Kelompok inilah yang berhubungan langsung dengan<br />

para pekerja tambang timah di Pulau Bangka. Jadi, teko merupakan wakil sultan<br />

yang menangani semua urusan pertambangan timah di ibu kota Palembang.<br />

Hanya pada waktu-waktu tertentu saja teko melakukan kunjungan ke tambangtambang<br />

timah di Pulau Bangka (ANRI, Bundel Palembang No. 67; Clercq, 1845:<br />

125; Korten Schets…, 1846: 132-133).<br />

Wilayah kekuasaan sultan dibagi dua, yaitu Kepungutan dan Sindang.<br />

Kepungutan asal katanya pungut, adalah daerah utama yang diperintah langsung<br />

oleh sultan. Di wilayah tersebut, sultan menetapkan (memungut) pajak dan<br />

bantuan tenaga manusia. Sindang adalah daerah perbatasan yang penduduknya<br />

bertugas untuk menjaga perbatasan 23 . Karena terletak jauh dari ibu kota kerajaan,<br />

daerah sindang memiliki kebebasan yang luas. Mereka bebas dari semua beban<br />

dan pajak/setoran kepada pemerintah pusat. Meskipun demikian, mereka<br />

mengakui pertuanan kepada sultan yang diwujudkan dengan cara milir sebo (seba)<br />

yaitu ke ibu kota untuk mempersembahkan upeti berupa makanan kepada sultan.<br />

Sebaliknya, mereka akan memperoleh atur-atur atau rubo-rubo (hadiah) seekor<br />

ayam pupu (sejenis ayam aduan) sebagai bukti perkenan sultan. Milir Sebo adalah<br />

simbol keterikatan dan bukti tunduk serta patuh kepada sultan yang dibalas sultan<br />

dengan penghormatan yang sama kepada rakyatnya. Sultan menganugerahkan<br />

piagam kepada mereka yang dikenal dengan nama Undang-Undang Sindang<br />

Mardika (Peraturan Penjaga Perbatasan yang Bebas). Tugas yang diberikan oleh<br />

raja kepada penduduk tersebut adalah menjaga perbatasan dari serangan musuh,<br />

menangkap pelarian dan mengusir musuh (ANRI, Bundel Palembang No. 47.6;<br />

No. 62.6; Stibbe, 1932: 353; Brauw, 1855: 187). Sebagai penjaga perbatasan,<br />

Comment [DKM14]: Halaman sudah berubah<br />

23 Wilayah Sindang terdiri dari Kikim, Marga Gumai Ulu, Gumai Talang, Gumai<br />

Lembak d Mulak, Ampat Lawang, Rejang, Kisam, Makakau dan Rawas (Brauw, 1855:<br />

187). Hal ini berarti di luar Sindang , merupakan daerah kepungutan yang diperintah<br />

langsung oleh Sultan. Kedua wilayah itu secara geografis tidak tidak memiliki batasbatas<br />

yang jelas dan tidak ditemukan di dalam peta-peta peninggalan kolonial.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


51<br />

posisi kelompok Sindang sangat strategis. Mereka adalah kelompok terdepan yang<br />

harus mempertahankan kewibawaan sultan dari serangan penduduk dari daerah<br />

lain. Hal itu terbukti pada saat Kesultanan Palembang telah dihapuskan oleh<br />

Belanda, mereka berjuang mempertahankan eksistensinya hingga pertengahan<br />

abad XIX.<br />

Untuk berhubungan dengan rakyatnya di pedalaman, sultan mengangkat<br />

wakilnya yang disebut raban atau jenang (jeneng). Raban adalah pejabat yang<br />

berasal dari golongan bangsawan dan berkedudukan di ibu kota, sedangkan<br />

jenang adalah pejabat yang berasal dari rakyat biasa dan berkedudukan di uluan.<br />

Mereka bertugas mewakili sultan untuk menarik pajak pada rakyat dan<br />

menegakkan pemerintahan sultan di pedalaman. para jenang tidak memiliki<br />

wewenang di bidang peradilan di daerahnya masing-masing. Di uluan bidang<br />

peradilan menjadi wewenang para depati dan proatin (ANRI, Bundel Palembang<br />

No. 15.7; No. 62.2). Apabila ada beberapa kelompok atau suku menolak<br />

kebijakan pusat dan melakukan pemberontakan, para pemberontak dikenai<br />

hukuman Kapanjing, yaitu dengan cara diasingkan ke daerah lain. Daerah yang<br />

dijadikan tempat Kapanjing adalah Marga Pegagan Ilir (Ogan) dan Sunsang.<br />

Hukuman ini mengakibatkan rakyat tunduk kepada Jenang. Undang-undang yang<br />

mengatur tentang hukuman kepada penduduk yang bersalah, terdapat di dalam<br />

undang-undang yang dikenal dengan nama Undang-undang Ratu Sinuhun 24 atau<br />

Oendang-Oendang Simboer Tjahaja (Undang-Undang Susuhunan Cinde Balang)<br />

(ANRI, Bundel Palembang No. 62.2; No. 15.7).<br />

Di wilayah Kepungutan terdapat pula kesatuan wilayah yang disebut Sikap.<br />

Pembentukannya untuk memenuhi kebutuhan istana. Sikap adalah dusun yang<br />

sebagian penduduknya mendapat tugas dari keraton. Pada waktu-waktu tertentu<br />

mereka bekerja untuk kepentingan keraton, misalnya mengangkut hasil bumi,<br />

menyediakan tenaga pendayung perahu keraton, menggarap sawah dan<br />

membangun rumah untuk sultan. Sebagai imbalannya mereka bebas membayar<br />

pajak. Contohnya penduduk Blida (Musi Ilir), mereka bekerja di dalam keraton<br />

Comment [DKM15]: Maksud Anda???<br />

Comment [DKM16]: Kalimat ini bisa<br />

menimbulkan mis interpretation!<br />

24 Undang-Undang Simbur Cahaya dikeluarkan oleh Ratu Sinuhun (abad XVII)<br />

yang mengatur tentang kehidupan penduduk Palembang, terdiri dari “Aturan Bujang<br />

Gadis (39 pasal), Aturan Marga (33 pasal), Aturan Dusun (17 pasal), dan Aturan<br />

Berladang dan Ambil Ikan (13 pasal) (Gersen, 1876: 110-131).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


52<br />

untuk mengambil air. Pada kurun waktu 1818-1819 jumlah mereka berkisar 500-<br />

600 orang. Daerah lain yang juga termasuk ke dalam kelompok sikap adalah<br />

penduduk daerah Sunsang, Sukarami (Musi Ulu) dan daerah-daerah yang terdapat<br />

di aliran sungai-sungai besar. Tugas mereka adalah mendayung perahu sultan. Di<br />

samping itu, terdapat orang miji (orang yang disetorkan) yaitu penduduk yang<br />

menyerahkan tenaganya untuk kepentingan sultan (ANRI, Bundel Palembang No.<br />

62.2; No. 15.7; No. 47.6; Sturler, 1855:243).<br />

Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa terdapat beberapa kelompok<br />

masyarakat yang mempunyai kewajiban mengabdikan dirinya kepada sultan dan<br />

keluarganya. Pengabdian tersebut bukan merupakan beban bagi penduduk. Hal<br />

tersebut disebabkan beban yang diberikan hanya pada sebagian kecil penduduk<br />

pada waktu-waktu tertentu, juga pengabdian tersebut dikaitkan dengan bakti<br />

kepada sultan, karena sultan adalah seorang khalifah. Itulah sebabnya bekerja<br />

untuk sultan merupakan ―anugerah‖ bagi mereka karena akan mendapat berkah.<br />

2.2 Perekonomian<br />

Mata pencaharian penduduk Palembang adalah bertani, menangkap ikan,<br />

mengumpulkan hasil hutan, dan tambang serta berdagang. Pada saat itu sistem<br />

pertanian masih sederhana, hanya sekadar untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan<br />

sebagian dari hasil pertanian mereka dijual. Untuk mengolah lahan pertaniannya,<br />

mereka menggunakan pawang atau kapak, beliung atau kapak ringan Komoditi<br />

yang berupa hasil pertanian Palembang adalah lada. 25 Sementara itu, hasil alam<br />

25 Awal abad XV kebutuhan lada Eropa meningkat tiga kali lipat. Kebutuhan ini<br />

menyebabkan tanaman lada berkembang pesat di Nusantara. Di Pulau Sumatera lada<br />

banyak dihasilkan di wilayah Pidi, Pasai, Indragiri, Kampar, Pariaman, Indrapura, Silebar,<br />

Jambi, Palembang dan Lampung. Abad XVII lada merupakan produk paling laku di pasar<br />

Eropa. Harga lada pada tahun 1662 mencapai empat real per pikul. Tingginya harga lada<br />

di pasaran dan kewajiban menjualnya kepada VOC sesuai dengan kontrak, menyebabkan<br />

raja-raja Palembang mewajibkan rakyatnya menanam lada di daerah uluan, Bangka dan<br />

Belitung (terbesar di daerah Rawas) (lihat Laporan Muntinghe dalam Bundel Palembang<br />

No. 15.7). Akibatnya, Kesultanan Palembang merupakan salah satu penghasil lada<br />

terpenting di Nusantara. Konsekuensinya, Kesultanan Palembang makin menarik<br />

perhatian bangsa Eropa khususnya Belanda dan mengikat kontrak dengan sultan-sultan<br />

di sana. Perjanjian itu dituangkan dalam berbagai kontrak. Hal itu mendorong para<br />

penguasa Palembang melakukan perdagangan illegal dengan pihak asing seperti Inggris,<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


53<br />

dari Palembang adalah timah 26 . selain hasil pertanian lada, masih banyak produk<br />

pertanian lainnya yang dihasilkan oleh Palembang, seperti kapas (ditanam di<br />

lokasi bekas tanaman padi yang telah dipanen), gambir, nila, tembakau (tembakau<br />

Ranauw/Ranau sangat laku baik di Palembang maupun diluar Palembang karena<br />

disukai oleh konsumen sehingga memiliki nilai jual yang tinggi), sirih, buah<br />

pinang, gambir, rami, dan pisang. Buah-buahan yang terkenal adalah mangga,<br />

durian, cempedak, jeruk nipis, nanas, jambu bol, jambu biji, pepaya, srikaya, buah<br />

nona, langsat, prambeh, duku, rambutan, delima dan bidara. (ANRI, Bundel<br />

Palembang No. 62.2; No. 62.7; Java Gouvernement Gazette, 4 Juli 1812).<br />

Keberadaan komoditi lada dan timah yang sangat dibutuhkan dan laku di<br />

pasaran, telah meningkatkan peran Kesultanan Palembang dalam bidang<br />

perdagangan dan pelayaran. Jika pada zaman <strong>Sriwijaya</strong> wilayah Palembang<br />

dikenal hanya sebagai kawasan yang strategis dan salah satu pusat perdagangan,<br />

pada abad XVIII wilayah itu berkembang menjadi kawasan yang menghasilkan<br />

timah dan lada. Keduanya mempunyai nilai ekonomis yang sangat tinggi. Kondisi<br />

itu menyebabkan Palembang menjadi salah satu kesultanan yang masyhur.<br />

Keuntungan dari hasil perdagangan itu menyebabkan Kesultanan Palembang<br />

mampu membangun keraton yang besar dan kokoh, masjid yang terindah di<br />

Hindia Timur, benteng-benteng dan kuburan keluarga sultan (Kawah Tengkurep)<br />

(Faille, 1971: 52).<br />

Sebagai komoditi yang sangat penting pada waktu itu, timah dijadikan<br />

bahan dasar untuk berbagai barang kebutuhan hidup sehari-hari, antara lain kaca,<br />

cangkir teh,tempat lilin, bejana altar leluhur, kertas dupa (Cina memproduksi<br />

kertas timah terbesar dan mengekspornya ke kawasan Asia Tenggara), pematri<br />

kapal-kapal bocor, pelapis peti kayu (canisters) kemasan untuk dibawa ke Eropa.<br />

Comment [DKM17]: Oleh siapa. Siapa yang<br />

menyukai tembakau Ranau ini?<br />

Comment [DKM18]: Tiba-tiba nyelip di sini??<br />

Comment [DKM19]: Apakah istilah Hindia<br />

Belanda sudah ada pada abad XVIII?<br />

Amerika, Prancis, Cina dan pedagang pribumi lainnya. Di sisi lain, pihak Belanda terus<br />

berusaha melakukan berbagai macam cara agar lada dari Palembang tetap dimonopoli<br />

oleh Belanda (ANRI, Bundel Palembang No. 62.2; Leur, 1967:125).<br />

26 Timah ditemukan pada 1709/1710 di Pulau Bangka. Belanda yang sejak 1642<br />

secara resmi menjalin hubungan dengan Palembang, berusaha keras untuk menguasai<br />

penambangan dan perdagangan timah. Untuk mewujudkan maksud tersebut, Belanda<br />

memperbaharui kontrak pada 1722. Dengan dilaksanakannya pembaharuan kontrak<br />

tersebut, Belanda menjadi pemegang monopoli lada dan timah. Penambangan timah di<br />

Pulau Bangka mengalami perkembangan pesat sehingga Bangka menjadi salah satu<br />

penghasil timah terbesar di dunia (Stapel. 1940: 97).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


54<br />

Timah juga digunakan sebagai bahan campuran kuningan dan timbel (lead).<br />

Timah juga menjadi komoditi eksklusif karena menjadi bahan membuat senjata<br />

dan uang logam.. Di Kesultanan Palembang dan Banten, produk olahan dari timah<br />

dijadikan alat tukar (koin) yang disebut picis/pitis 27 (Erman, 2009: 75;<br />

Heidhues,2008:4-5). Begitu banyak yang dapat dibuat dengan menggunakan<br />

bahan dasar timah, sehingga sangat wajar apabila timah menjadi komoditi yang<br />

sangat dicari oleh bangsa-bangsa di dunia pada saat itu.<br />

Sebagai pemilik timah, ditopang oleh lada dan komoditi dagang lainnya,<br />

menjadikan posisi Kesultanan Palembang dilematis, Di satu sisi kekayaan<br />

Kesultanan Palembang telah membawanya pada kemasyhuran. Di sisi lain,<br />

kekayaan itu membawa bencana, karena bangsa-bangsa di dunia khususnya<br />

Belanda dan Inggris bersaing ketat untuk menguasainya. Persaingan itu<br />

menyebabkan konflik baik antara Kesultanan Palembang dan Belanda,<br />

Kesultanan Palembang dan Inggris maupun Belanda dan Inggris (Java<br />

Gouvernement Gazette, 4 Juli 1812; Ricklefs, 2005: 154, 157; Woelders, 1975:<br />

75-80; Kielstra, 1892:79; Faille,1971: 28).<br />

Wilayah Palembang terdiri atas kawasan dataran tinggi dan rendah.<br />

Daerah Kesultanan Palembang banyak dialiri oleh sungai-sungai besar dan kecil,<br />

rawa-rawa dan laut/selat. Sungai-sungai besar yang terdapat di wilayah<br />

Palembang dikenal dengan nama Batanghari Sembilan. Kondisi demikian<br />

menyebabkan Kesultanan Palembang sangat kaya akan hasil perikanannya 28 . Oleh<br />

Comment [DKM20]: Maksudnya apa???<br />

Comment [DKM21]: Tidak jelas maksud And<br />

27 Picis terdiri dari dua macam yaitu uang buntu (tanpa lobang) dan uang teboh<br />

(berlobang di tengah) dengan diameter berkisar 12mm-21mm. Bentuknya dua macam<br />

yaitu bulat dan segi delapan. Uang buntu sudah mulai beredar di kalangan penduduk<br />

sejak awal abad XVII. Nilai mata ini adalah 320 keping uang buntu sama dengan satu<br />

dollar Spanyol, sedangkan uang teboh nilainya lebih rendah dari uang buntu yaitu 4000<br />

keping uang teboh sama nilainya dengan satu dollar Spanyol (Oorspronkelijke…, 1856:<br />

278).<br />

28 Jenis-jenis ikan yang dihasilkan dari sungai-sungai Palembang antara lain tapa, lemak,<br />

lais, tembakang, patin, bandeng, kluyu, pareh, dalum, blidah, sagaret, arok, toman, tongkol, delak,<br />

buju, lele, juara, blutulang, tebangkang dan masih banyak lagi jenis lainnya. Ikan-ikan yang<br />

menjadi primadona adalah lemak, lais, patin, jangutan, delek, dan kali. (ANRI, Bundel Palembang<br />

No. 62.7; No. 62.2). Dari sumber di atas, jelas terlihat bahwa sebagian ikan-ikan yang disebutkan<br />

adalah ikan-ikan sungai. Hal ini disebabkan wilayah Kesultanan Palembang banyak dialiri oleh<br />

sungai-sungai besar yang dikenal dengan nama ―Batanghari Sembilan‖ yang mampu menghasilkan<br />

ikan berlimpah untuk dikonsumsi atau diperdagangkan. Sampai dengan sekarang, penduduk<br />

Sumatera Selatan tetap mengandalkan ikan sungai untuk konsumsi dan diperdagangkan.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


55<br />

karena itu, salah satu sumber mata pencaharian utama penduduk di wilayah itu<br />

adalah menangkap ikan. Sebagai contoh penduduk Sunsang menggantungkan<br />

hidup mereka dari menangkap ikan. Ikan dan udang kering, terasi dijual ke Pulau<br />

Jawa dan pulau-pulau lainnya (ANRI, Bundel Palembang No. 62.7; No. 62.2).<br />

Dari berbagai produk yang dihasilkan Palembang, sebagian dimanfaatkan<br />

untuk ekspor, antara lain rotan, getah, damar, damar wangi, kayu laka, lilin,<br />

gading gajah, tanduk kerbau, emas pasir, kopi, gula aren, gambir, pinang, lilin,<br />

kayu manis, nila, lada, tembakau, rami, tebu, getah naga, sarang burung, katun<br />

mentah, katun murni, kemenyan, tikar rotan, karet, lada, beras, emas, kain, baju,<br />

berbagai kerajinan tangan, tembaga olahan, kuningan dan tembikar. Produk<br />

tambang selain timah adalah emas (banyak terdapat di Rawas, Pasumah), sulfur,<br />

besi dan baja 29 . Komoditi di atas dibawa oleh penduduk dari uluan ke ibu kota<br />

dengan perahu atau rakit. Semua produk yang telah terkumpul di ibu kota<br />

Palembang, dijual kepada pedagang perantara yaitu para pedagang Cina dan Arab.<br />

Kedua kelompok etnis tersebut memperdagangkannya kembali kepada para<br />

pedagang asing dan daerah lainnya di Nusantara. Barang-barang tersebut<br />

diperjualbelikan atau ditukar dengan berbagai produk impor, antara lain garam,<br />

kain linen, wol, sutera, tembaga, gula, minyak kelapa, kacang, candu, kertas,<br />

genting, tembikar Cina, alat-alat rumah tangga yang terbuat dari besi, benang<br />

emas, obat-obatan, teh, bahan makanan dan minuman. Selanjutnya, berbagai<br />

produk Palembang diekspor ke berbagai wilayah seperti Tiongkok, Siam, Jawa,<br />

pantai timur Sumatera, Lingga dan pulau-pulau lain di Nusantara. Satu-satunya<br />

barang impor dari Eropa yang sangat diminati di Asia Tenggara selama berabadabad<br />

adalah senapan. (ANRI, Bundel Palembang No. 62.7; No. 15.7; Java<br />

Gouvernement Gazette, 4 Juli 1812; Reid, 2004: 327; Sevenhoven, 1971: 47;<br />

s‘Gravesande, 1856: 459-460).<br />

Banyaknya jenis produk komersial yang dihasilkan oleh Kesultanan<br />

Palembang membuat kesultanan itu menjadi rebutan antara bangsa-bangsa Eropa,<br />

Comment [DKM22]: Maksudnya kotak apa??<br />

Comment [DKM23]: Kain linen maksudnya??<br />

29 Baja dan besi terdapat di Pulau Belitung, keduanya dipakai untuk membuat<br />

senjata dan peralatan lainnya (Java Gouvernement Gazette, 4 Juli 1812; Baud, 1853: 42).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


56<br />

khususnya Belanda dan Inggris 30 . Berdasarkan kontrak-kontrak yang dibuat oleh<br />

Belanda sejak abad XVII dan Inggris abad XIX dengan Kesultanan Palembang<br />

membuktikan bahwa Kesultanan Palembang sangat penting di mata bangsabangsa<br />

Eropa. Kesultanan Palembang juga terkenal sebagai penghasil berbagai<br />

kerajinan, seperti: ukir gading, ukir kayu, pandai besi, tembaga, emas, tenun 31 ,<br />

sulam, , dan kaligrafi. Mereka mengolah emas menjadi sarung keris (pendok),<br />

batang keris (kara) yang indah. Mereka juga mencampur emas dengan tembaga<br />

sehingga menjadi logam yang indah yang disebut swasa. Dari campuran ini dibuat<br />

berbagai barang kebutuhan rumah tanggah (ANRI, Bundel Palembang No, 62.2;<br />

Paulus, 1918: 182).<br />

Hasil-hasil kerajinan ini diekspor ke Siam. Nilai jual ekspor itu mencapai<br />

500-1000 ringgit Spanyol atau setara dengan f 3500-f 7000 per tahun. Tembaga<br />

hitam adalah campuran tembaga murni dengan emas. Dari campuran ini<br />

dihasilkan perhiasan yang sangat berkualitas. Penduduk Kesultanan Palembang<br />

telah mengenal teknik perekatan yang baik, sehingga mampu mengolah tembaga<br />

dan timah menjadi kuningan, yang nantinya dioleh kembali untuk dijadikan bahan<br />

dasar pembuatan lila (meriam kecil), kotak sirih, nampan, ketel teh dan berbagai<br />

jenis peralatan rumah tangga. Mereka juga ahli mengolah perak, permata dan<br />

gading. Keahlian lainnya adalah melukis, bertukang, pengrajin sepatu, dan<br />

pembuat perahu. Berdasarkan laporan de Kock kepada Gubernur Jenderal pada<br />

1821 (seusai penaklukan Palembang) bahwa orang Palembang ahli membuat<br />

amunisi 32 , meriam, pengecor kuningan dan pembuat senapan. Pengecor kuningan<br />

dan pembuat senapan umumnya dilakukan oleh orang Cina (ANRI, Bundel<br />

Palembang No. 47.6; No. 62.2; Veth, 1869: 654).<br />

Comment [DKM24]: Mengapa muncul istilah<br />

Kolonialis??? Anda sedang membahas bangsabangsa<br />

dan bukan menganalisis apa yang mereka<br />

lakukan!!<br />

Comment [DKM25]: Apa itu loker?<br />

Comment [DKM26]: Maksud Anda apa?<br />

Comment [DKM27]: Apa itu bunga emas???<br />

Comment [DKM28]: Apa itu pertukang kayu?<br />

30 Kerajaan Jambi adalah contoh daerah yang ditinggalkan oleh Inggris tahun<br />

1679. Akibatnya, para pedagang maritim nusantara dari Jawa, Makasar, dan Eropa<br />

lainnya tidak lagi berlabuh di pelabuhan Jambi pada awal abad XIX. Sejak pertengahan<br />

Abad XVIII sampai Abad XIX Belanda mengabaikan posnya di Jambi (Ricklefs, 2008: 158;<br />

Locher-Scholten, 2008: 44, 48).<br />

31 Palembang sangat terkenal penghasil kain tenun, baik yang menggunakan<br />

benang katun, sutera maupun emas. Sampai sekarang Palembang dikenal sebagai<br />

penghasil kain songket yang potensial dan diminati baik oleh masyarakat yang berasal<br />

dari dalam maupun dari luar negeri.<br />

31 Bahan utama mesiu adalah campuran saltpeter dan belerang, bahan-bahan ini<br />

banyak ditemukan di daerah Rejang (ANRI, Bundel Palembang No. 62.2).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


57<br />

Para perempuan umumnya membuat bahan pakaiannya sendiri dengan<br />

membuat sarung, penutup kepala, dan pakaian dengan menggunakan katun yang<br />

berasal dari Eropa yang dihiasi dengan berbagai motif bunga. Produk mereka<br />

sangat menonjol karena berkualitas tinggi. Para pengrajin Palembang sangat<br />

terkenal dengan keahlian menenun baju dan kopiah Arab dengan benang emas,<br />

pelet (prada) dan bordir, seperti jenis trawangan dan katun putih sulam kait yang<br />

indah. Bahkan benang yang indah yang terdapat di Padang dan bagian Sumatra<br />

lainnya berasal dari Palembang. Di daerah uluan juga terdapat kerajinan katun<br />

tetapi bahan dan cara pembuatannya masih kasar (ANRI, Bundel Palembang No.<br />

62.2; Veth, 1869: 654).<br />

Sultan Palembang dalam menjalankan perdagangan dengan rakyat<br />

memberlakukan sistem tibang (tiban) 33 dan tukong (tukon). 34 Sistem itu sekaligus<br />

berfungsi sebagai pajak. Oleh karena itu, harga untuk barang-barang yang akan<br />

diserahkan kembali kepada penduduk yang menyerahkan komoditi dari uluan<br />

dinaikkan harganya sebesar seratus hingga dua ratus persen. Sebaliknya, produk<br />

dari uluan yang dijual kepada sultan harganya diturunkan. Dengan demikian,<br />

penduduk uluan membeli barang dari sultan dengan harga telah dinaikkan dan<br />

menerima uang dari hasil penjualan produk mereka dengan harga yang lebih<br />

rendah. Di luar produk tersebut, sultan tidak memungut tibang-tukong, antara lain<br />

untuk produk lada, kopi, lilin, gading gajah, kapas, tembakau, gambir dan beras.<br />

Kedua sistem perdagangan tersebut, menyebabkan sultan mampu menumpuk<br />

kekayaan. Keuntungan lain yang sangat potensial bagi Kesultanan Palembang<br />

adalah produk timah, yang merupakan komoditi yang paling diminati saat itu. Hal<br />

lain yang dapat dijelaskan bahwa dengan adanya sistem perdagangan tukong,<br />

berarti penggunaan uang sudah merata di Kesultanan Palembang. Uang yang<br />

beredar umumnya dollar Spanyol, dan mata uang lokal yang dikeluarkan oleh<br />

pihak kesultanan. Koin Palembang dikenal dengan nama pitis/picis dan dukaton<br />

(ANRI, Bundel Palembang No. 62.2; No. 15.7; Marsden, 2008: 333).<br />

Comment [DKM29]: Apa itu Katun Eropa??<br />

Apa bedanya dengan kain linen, atau katun biasa?<br />

Comment [DKM30]: Formulasi kalimat Anda<br />

tidak jelas!<br />

33 Tibang adalah hak sultan untuk mendapatkan komoditi dari pedalaman, yang<br />

ditukar dengan barang-barang impor. Barang-barang tersebut antara lain baju Jawa,<br />

kain Bengala putih, kapak/parang besi dan garam (ANRI, Bundel Palembang No. 15.7).<br />

34 Tukong adalah hak sultan untuk membeli komoditi dari pedalaman dengan<br />

harga yang telah ditentukan (ANRI, Bundel Palembang No. 15.7).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


58<br />

Pada masa pemerintahan Sultan Najamuddin II, pemungutan tibangtukong<br />

dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan. Sultan 35 , menetapkan agar tiap<br />

marga menyetorkan beberapa komoditi yang sebelumnya tidak termasuk ke<br />

dalam tibang dan tukong, antara lain: beras, lada, kopi gambir, lilin, rotan, dan<br />

kerbau. Di samping jumlah komoditinya bertambah, harga barang impor yang<br />

berfungsi sebagai tibang dinaikkan antara 50 dan 100 dollar Spanyol dari harga<br />

sebelumnya. Sebaliknya, dalam bentuk tukong harga komoditi dari pedalaman<br />

diturunkan. Hal lain yang memberatkan adalah frekuensi pelaksanaan tibangtukong<br />

menjadi dua sampai empat kali setahun dari sebelumnya yang hanya dua<br />

kali setahun. Berbagai ketentuan tersebut, menyebabkan beban rakyat semakin<br />

berat. Pelaksanaan kewajiban tersebut secara hirarki diserahkan oleh Jenang<br />

kepada Depati, selanjutnya Depati mendelegasikannya kepada para proatin, dan<br />

terakhir para proatin membebankannya kepada setiap matagawe dan alingan<br />

(ANRI, Bundel Palembang No. 15.7; No. 47.6). Dengan demikian, yang paling<br />

berat memikul beban tersebut adalah kelompok matagawe dan alingan. Dampak<br />

negatifnya masih mereka rasakan meskipun Sultan Najamuddin II tidak berkuasa<br />

lagi.<br />

2.3 Hubungan Kesultanan Palembang dengan Belanda dan Inggris<br />

Abad XVIII merupakan masa kemunduran VOC sampai akhirnya dilikuidasi pada<br />

31 Desember 1799. Adapun faktor-faktor yang menjadi penyebabnya antara lain<br />

mundurnya perdagangan, penyelundupan dan korupsi yang dilakukan oleh pejabat<br />

VOC. Begitu parahnya korupsi dan kolusi yang tumbuh di VOC, sehingga VOC<br />

dari Vereenigde Oost Indische Compagnie oleh beberapa orang diplesetkan<br />

singkatannya dari VOC menjadi Vergaan Onder Corruptie (Hancur karena<br />

korupsi). Padahal pada abad sebelumnya VOC mempunyai kontribusi besar pada<br />

Comment [DKM31]: Singkatannya apa VOC?<br />

35<br />

Najamuddin II sebagai sultan tidak memiliki kekayaan, sebab dengan<br />

mundurnya Sultan Badaruddin II ke uluan (1812), Sultan Badaruddin II membawa harta<br />

kekayaan ke pedalaman. Najamuddin II juga kehilangan sumber pendapatan utama (lada<br />

dan timah Bangka) dengan diserahkannya Pulau Bangka-Belitung kepada Inggris. Kondisi<br />

itu diperparah dengan adanya blokade dan gangguan keamanan yang dikerahkan oleh<br />

Sultan Badaruddin II dari daerah Rawas (Woelders, 1975: 8; Kielstra, 1892 : 82;<br />

Kemp,1898: 255).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


59<br />

negara induk dengan kekuatan dan kekayaan yang dimilikinya. Saat itu VOC<br />

mengkonsentasikan aktivitasnya hanya di daerah Jawa Barat, pantai utara Pulau<br />

Jawa dan Maluku. VOC hanya bersaing dengan orang-orang Inggris di<br />

Palembang. Pos-pos VOC di Palembang, Timor, Makassar, Padang, dan<br />

Kalimantan Selatan pada dasarnya hanya sekedar lambang, kekuasaannya sudah<br />

sangat lemah, sehingga VOC berusaha menutupinya dengan cara menambah<br />

hutang. Pada tahun 1783 hutang VOC sudah mencapai f 55 juta, dan menjelang<br />

akhir abad XVIII hutang itu membengkak mencapai 12 milyar gulden. Dengan<br />

demikian, akhir abad XVIII VOC sebagai kongsi dagang besar terbelit hutang<br />

yang besar, ketidakefisiensian dan krisis keuangan yang membawanya pada<br />

kebangkrutan. (Furnivall, 2009: 51-52; Ricklefs, 2008: 238; Hoek, 1862: 1; Hall,<br />

1988:294).<br />

Perdagangan dan pelayaran VOC di Kesultanan Palembang juga<br />

mengalami kemunduran pada 1780-an. Menurunnya peran VOC sebagai badan<br />

dagang milik Belanda, menyebabkan terjadi pula penurunan penyerahan timah<br />

oleh pihak Kesultanan Palembang kepada VOC. Hal ini disebabkan VOC tidak<br />

mampu lagi membeli timah, lada dan komoditi ekspor lainnya. Sebagaimana<br />

dilaporkan oleh Residen Palembang pada 5 April 1788, VOC hanya mampu<br />

membeli lada sebesar 2.000 pikul, sedangkan jumlah yang dijual oleh para<br />

pedagang Palembang ke Negeri Cina mencapai 20.000 pikul tiap tahun. Di<br />

samping itu, sejak 1787 produksi timah menurun, disebabkan terjadinya perang<br />

antara VOC dan gabungan kekuatan raja-raja Riau dan Lingga yang didukung<br />

dukungan oleh para bajak laut. Akibatnya, terjadi penjarahan, penghancuran, dan<br />

pembunuhan di Bangka. Pada 1796 VOC hanya mampu membeli timah sebanyak<br />

1.400 pikul setahun. (ANRI, Bundel Palembang No.49; Veth, 1869: 162-163;<br />

Erman, 2009: 77).<br />

Di tengah kemerosotan VOC di berbagai bidang, tambahan pula,<br />

peperangan yang dilakukannya melawan Inggris dalam Perang Inggris IV<br />

(1783—1787), yang tentunya membutuhkan dana yang tidak sedikit. Hal tersebut<br />

berimbas pula pada Pulau Bangka dalam menyediakan timah dan lada. Dalam<br />

hubungan ini, sejak dahulu ―hubungan‖ antara Riau-Lingga dan Bangka sangat<br />

erat. Bangka-Belitung merupakan kawasan yang tidak terpisahkan dari jaringan<br />

Comment [DKM32]: Maksudnya apa kata<br />

―mundur‖ di sini? Bisa menimbulkan interpretasi<br />

ganda!<br />

Comment [DKM33]: Ini perlu catatan kaki! A<br />

maksudnya Perang Inggris IV????<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


60<br />

perompakan dan penjarahan para bajak laut. Oleh karena itu, pertempuran yang<br />

berkecamuk di Riau-Lingga berdampak negatif bagi Bangka. Keadaan itu<br />

memperparah kondisi VOC dalam usaha mendapatkan timah dan lada. Kesultanan<br />

Palembang, juga menerima dampaknya dari peristiwa tersebut, karena<br />

keuntungan terbesar Kesultanan Palembang diperoleh dari perdagangan timah.<br />

Dalam kondisi demikian, Belanda harus menjalankan sistem hutang untuk<br />

mendapatkan timah dari Palembang, tetapi permintaan itu ditolak oleh Sultan<br />

Muhammad Bahauddin. Sultan juga menolak memberikan pinjaman kepada pihak<br />

Belanda. Sultan tetap mempertahankan penjualan secara tunai sesuai kontrakkontrak<br />

dagang antara Palembang dan Kompeni. Penurunan volume dagang VOC,<br />

dapat pula dilihat dari perbandingan antara kapal-kapal berbendera VOC dan<br />

kapal-kapal pribumi atau kapal-kapal asing yang merapat di pelabuhan<br />

Palembang. Tercatat hanya dua puluh kapal milik VOC yang merapat di<br />

Pelabuhan Palembang. Sebaliknya, kapal milik pribumi dan kapal asing lainnya<br />

mencapai 374 buah kapal dalam kurun waktu 1790--1792 (ANRI, Bundel<br />

Palembang No. 24; Masyhuri, 1983: 107).<br />

Dari uraian di atas tampak bahwa perdagangan dan pelayaran Palembang<br />

sangat berkembang dengan masuknya kapal-kapal dan perahu-perahu baik<br />

domestik maupun asing yang mencapai 200-an setiap tahun. Volume perdagangan<br />

yang besar, membawa keuntungan berlipat ganda bagi Palembang, sehingga<br />

Kesultanan Palembang terkenal kaya. Hal itu dapat dilihat dari usaha Raffles yang<br />

menjadikan Palembang sebagai kerajaan pertama yang didekatinya, dalam rangka<br />

mendapatkan dukungan dalam upaya melemahkan posisi Belanda sebelum<br />

penaklukan pulau Jawa. Kekayaan Palembang dapat dibuktikan dari kemampuan<br />

sultan membangun pertahanan dan membiayai pertempurannya selama di uluan<br />

(Bailangu dan Muara Bliti). Dengan kekayaannya pula Sultan Badaruddin II<br />

mampu mempersiapkan pertahanan yang kuat dan memperoleh kemenangan<br />

dalam dua kali pertempuran melawan Belanda (1819).<br />

Maraknya perdagangan gelap disinyalir oleh para pejabat di negeri<br />

Belanda menyebabkan VOC semakin terpuruk. Perdagangan gelap itu dilakukan<br />

Comment [DKM34]: Anda Gunakan Machmu<br />

atau Muhhamad Bahauddin??)<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


61<br />

oleh pegawai-pegawai VOC, para pedagang Palembang 36 (Pedagang-pedagang<br />

Palembang terdiri dari orang-orang Bangka dan para pemasok timah), pedagangpedagang<br />

dari Lingga Riau, orang-orang Bone 37 dan para pedagang kecil pribumi<br />

lainnya. VOC tidak mampu lagi memaksa daerah-daerah yang berada di bawah<br />

pengaruhnya, untuk mematuhi aturan-aturan monopoli sehingga penyelundupan<br />

semakin lama semakin marak. Penyelundupan makin hebat sejak Inggris<br />

menguasai Penang (1786). Inggris menjadi fakor eksternal lemahnya VOC 38 .<br />

Menurut Marsden (2008: 330), pada 1780-an hanya sepertiga dari seluruh hasil<br />

lada dan timah yang berhasil dibawa ke Batavia, selebihnya dijual ke Cina secara<br />

gelap. Lada dan timah dibawa dari Bangka ke Malaka dan tempat-tempat lain<br />

khususnya ke Cina. Dalam kondisi demikian, VOC juga lebih memperhatikan<br />

kekuatan darat, sehingga armada lautnya 39 terbengkalai. Lemahnya VOC<br />

36 Sebagai kerajaan yang mata pencaharian utamanya berdagang, hubungan<br />

antara raja dan pedagang merupakan salah satu aspek penting. Raja sering menjadi<br />

pemodal bagi pedagang bahkan tidak jarang raja hidup dari hutang-hutang yang<br />

diterimanya dari para saudagar. Syahbandar diistilahkan sebagai “kas sultan”.<br />

Perdagangan gelap ini juga dipicu oleh perbedaan harga yang cukup tinggi antara harga<br />

VOC dan Inggris di Palembang (Faille, 1971: 6; Woelders, 1975: 84).<br />

37 Yang dimaksudkan adalah orang-orang Bugis pada umumnya. Mereka tidak<br />

hanya berasal dari Bone, melainkan dari wilayah lain. Hal itu disebabkan sejak Arung<br />

Palakka (1634--1696) berhasil menjadi penguasa di Sulawesi Selatan, ia memerintah<br />

secara otoriter. Akibatnya, banyak orang Makassar dan Bugis meninggalkan daerah<br />

mereka, menyebar ke wilayah-wilayah di Nusantara. Di wilayah barat penyebaran<br />

mereka sampai Sumatera, Semenanjung Malaya dan Thailand. Para petualang itu<br />

dikenal sangat terkenal keberaniannya sehingga membuat takut daerah-daerah di<br />

Nusantara yang didatanginya. (Ricklefs, 2008: 145-146).<br />

38 Sebagai penguasa perdagangan di Asia, Inggris memiliki kekuatan armada<br />

yang kuat untuk menopang keinginannya meluaskan jangkauan ke wilayah timur dari<br />

India sampai Cina. Dalam jalur tersebut Selat Malaka menduduki posisi yang sangat<br />

strategis. Ambisi tersebut memperoleh pijakan kuat dengan ditandatanganinya<br />

perjanjian antara Inggris dan Belanda pada 1784., yang memuat jaminan bagi Inggris<br />

untuk berlayar dan berdagang ke Timur. Jaminan tersebut memberi keluasaan bagi<br />

Inggris, untuk ikut aktif dalam maraknya “perdagangan gelap” khususnya timah Bangka<br />

di kawasan itu (Tarling, 1994: 13-14).<br />

39 Dengan didudukinya Belanda oleh Prancis dan mendirikan Republik Bataf (1795),<br />

Raja Willem V yang melarikan diri ke Inggris mengeluarkan maklumat bahwa koloni-koloni<br />

Belanda di Timur diserahkan kepada Inggris agar tidak jatuh ke tangan Perancis. Oleh sebab itu,<br />

Inggris memblokade laut Jawa, dan menghancurkan armada dan galangan kapal milik Belanda.<br />

Pada awal 1807 Pulau Jawa sudah berhasil dikepung ole Inggris. Di Batavia tidak terdapat satu<br />

pun kapal Belanda berlabuh, sisa-sisa armada Belanda telah dihancurkan oleh armada Inggris.<br />

(Marihandono, 2005:73-77). Kelemahan angkatan laut Belanda sengaja dihancurkan angkatan laut<br />

Inggris sejak perang laut tujuh tahun, akibatnya hingga menyerah kepada kekuasaan Inggris (1811)<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


62<br />

menyebabkan Sultan Palembang secara bertahap mengabaikan setoran wajib<br />

kepada pemerintah Belanda. Tahun 1803 setoran dari Palembang terhadap<br />

pemerintah Belanda merosot tajam, sampai akhirnya hilang sama sekali (ANRI,<br />

Bundel Palembang No.19; No. 24; Faille, 1971: 50; Hoek, 1862: 108; Woelders,<br />

1975: 4).<br />

VOC kuat (sampai pertengahan abad XVIII), serikat dagang itu memiliki<br />

armada laut yang besar, sehingga mampu menghalau para bajak laut dan<br />

mengamankan jalur perdagangan laut antara Palembang-Bangka dan Batavia<br />

bahkan di perairan Nusantara pada umumnya. Dengan demikian, VOC mampu<br />

pula mengamankan monopoli perdagangan timah, lada dan komoditi lainnya di<br />

Palembang. Hal ini berarti Kesultanan Palembang terikat ketat dengan semua<br />

kontrak dengan Belanda, yang intinya sulit bagi Palembang untuk menjual<br />

komoditinya di pasar bebas dengan harga kompetitif. Selanjutnya, ketika<br />

Kompeni dalam keadaan lemah, Kompeni tidak mampu lagi mengontrol jalur<br />

perdagangan laut mereka, sehingga pihak Palembang dapat leluasa menjual<br />

komoditinya di pasar internasional. Dengan demikian ―lemahnya VOC memberi<br />

keuntungan besar bagi Palembang‖.<br />

Kurangnya kontrol yang dilakukan oleh Kompeni di Selat Bangka<br />

menyebabkan perairan itu seolah ―tak bertuan,‖ sehingga terjadi banyak<br />

perompakan yang dilakukan oleh para bajak laut (elanong). 40 Kompeni tidak<br />

Comment [DKM35]: Ini kapan??? Pemerintah<br />

kolonial bari ada sejak awal abad XIX, sementara<br />

zaman VOC disebut zaman kompeni.<br />

Comment [DKM36]: Kapan maksud Anda???<br />

kekuasaan Belanda tidak pernah sekuat sebelumnya. Kondisi itu mendesak Belanda untuk<br />

mengalihkan perhatiannya pada kekuatan angkatan darat<br />

40 Elanong (Lanun, Ilanun, Iranun) adalah Bajak laut atau perompak laut, berasal dari<br />

bahasa Mangindano ―I-lanao-en‖ yang berarti orang dari danau Lanao yang terletak di tengah<br />

pulau Mangindanao. Orang-orang ini meninggalkan tanah kelahirannya sejak abad XVIII. Daerah<br />

persebarannya adalah Kepulauan Sulu, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan pulau-pulau di<br />

Nusantara untuk mencari nafkah dengan cara merompak khususnya menangkap orang untuk<br />

dijadikan budak. Keberadaan kelompok ini di kawasan pantai timur Sumatra sudah berlangsung<br />

sejak abad XIV atau bahkan jauh sebelum itu. Dalam kaitannya dengan Palembang, dikatakan<br />

bahwa berdasarkan sumber Cina pada Abad XV Palembang terkenal sebagai ―pusat bajak laut‖<br />

(Lapian, 2009:127, 137-138). Tokoh bajak laut awal Abad XIX yang paling terkenal di Kesultanan<br />

Palembang adalah Raden Jafar (bangsawan Palembang). Kekuatan dan kebangsawanannya<br />

menyebabkan sebagian bangsawan segan untuk menangkapnya, bahkan pihak Belanda<br />

mensinyalir diam-diam sultan mempunyai ―hubungan‖ dengan Pangeran ini. Sumber arsip<br />

menyebutkan, dibutuhkan kekuatan besar untuk menaklukkannya (sampai ribuan serdadu).<br />

Kekuasaannya tidak saja di perairan Selat Bangka dan pantai timur Sumatra tetapi sampai pantai<br />

laut Jawa. Pos-posnya terdapat di Bangka dan Belitung. Komoditi yang dirampas tidak saja timah<br />

atau lada tetapi juga beras yang sangat diperlukan oleh para pekerja tambang di Bangka. Tindak<br />

kejahatan yang dilakukan oleh Raden Jafar dan komplotannya telah berulang kali diberantas baik<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


63<br />

dapat mengontrol wilayah itu lagi. Residen VOC di Palembang telah berulang kali<br />

mengajukan protes kepada Sultan Muhamad Bahauddin (1776--1804) mengenai<br />

hal tersebut. Sesungguhnya, pihak Sultan telah berulang kali menghalau elanong<br />

dari kawasan perairan Palembang. Agaknya, tindakan itu belum mampu<br />

mengatasi perompakan di laut. Akibatnya, Sultan Palembang hanya mampu<br />

menjual 4.280 pikul timah dan 500 pikul lada ke Cina. Hasil yang diperoleh dari<br />

penjualan timah yang disetorkan kepada Belanda hanya sebesar 16.000 ringgit.<br />

Terbatasnya timah yang diperoleh juga disebabkan oleh kurangnya tenaga kerja<br />

untuk bekerja di tambang-tambang timah (para elanong membawa wabah<br />

penyakit menular ke Pulau Bangka, sehingga banyak penduduk yang meninggal<br />

dunia akibat penyakit menular itu) (ANRI, Bundel Palembang No. 24; Een en<br />

Ander…, 1914: 397-398; Kaiser, 1857: 85).<br />

Kontrol VOC yang lemah, tidak cukup membuat Sultan Bahauddin ingin<br />

melepaskan diri dari Belanda. Dari data yang ada, tampak bahwa Sultan tidak<br />

memiliki cukup kemampuan atau keinginan untuk melepaskan diri. Hal ini tidak<br />

terlepas dari ―hubungan baik‖ yang selama ini terjalin antara Palembang dan<br />

wakil pemerintah Belanda di Palembang. Terbukti dari pengakuan residen<br />

Belanda tentang sultan Palembang yang ―baik hati, tiada yang mampu<br />

menyamainya‖. Bagi Sultan Bahauddin pada waktu itu, hubungan antara dirinya<br />

dan wakil pemerintah Belanda berjalan sebagai ―mitra‖ dalam bidang ekonomi<br />

perdagangan. sehingga seolah-olah terjadi ―perdagangan bebas‖ yang membawa<br />

keuntungan bagi Palembang, akibat lemahnya VOC. Di samping itu, Sultan juga<br />

―sibuk‖ dengan masalah perompakan dan penyakit yang memaksa Palembang<br />

untuk lebih fokus pada urusan di dalam kerajaan. Jadi, jelaslah bahwa sosok<br />

Sultan Bahauddin bukan tipe orang yang ambisius untuk merebut ―kemerdekaan‖<br />

dari Belanda. Faktor lain yang tidak kalah penting adalah bentuk hubungan<br />

Palembang dan Belanda pada waktu itu adalah hubungan dagang, tidak<br />

melibatkan diri dalam pemerintahan apalagi dominasi teritorial. Kedaulatan sultan<br />

oleh sultan maupun VOC. Kekuatan Raden Jafar mampu mengalahkan armada laut<br />

PanglimaRahman pemimpin bajak laut dari Lingga. Pada 1802 Panglima Rahman berlayar dengan<br />

membawa armada sebanyak 70 perahu menyerang Muntok (pusat kekuasaan Raden Jafar). Tokoh<br />

bajak laut lainnya adalah Panglima Raja yang berasal dari Belitung, wilayah jelajahannya Pulau<br />

Belitung, Pulau Bangka,dan pulau-pulau di sekitarnya, pantai timur Sumatra dan pantai utara<br />

Pulau Jawa (Cirebon dan pantai utara Pulau Jawa) (ANRI. Bundel Palembang No.19; No. 24).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


64<br />

pada waktu itu dapat dilihat dari ―bebasnya‖ hubungan datang antara pedagangpedangan<br />

Palembang dan para pedagang lainnya, yang membawa keuntungan<br />

(ANRI, Bundel Palembang No. 38.1; Tarling, 1994:13)<br />

Maraknya perdagangan gelap juga dipicu oleh rendahnya harga yang<br />

ditetapkan oleh pihak Belanda 41 . Akibatnya, sultan melakukan berbagai cara agar<br />

tidak dirugikan oleh berbagai kontrak 42 antara Kesultanan Palembang dan VOC.<br />

Salah satunya yang cukup efektif untuk menaikkan pemasukan Kesultanan<br />

Palembang adalah melalui perdagangan gelap. Di sisi lain, para petualang Inggris<br />

sejak lama terus berusaha mendekati para sultan untuk menyelundupkan timah.<br />

Kapal-kapal milik Inggris membeli timah dan lada dengan harga yang lebih baik<br />

atas dasar komersil. Di samping itu, Inggris juga memperdagangkan lilin dan kayu<br />

cendana di pelabuhan-pelabuhan Palembang (ANRI, Bundel Palembang No. 19;<br />

Tarling, 1994: 13Ricklefs, 2008: 147).<br />

Pada awal abad XIX Inggris terus gencar memblokade Batavia dan<br />

pelabuhan-pelabuhan milik Belanda di pantai utara Pulau Jawa. Inggris berusaha<br />

menghancurkan perdagangan dan wilayah kolonial Belanda, juga menghasut<br />

orang-orang pribumi agar bangkit melawan Belanda dan mempengaruhi mereka<br />

agar bersedia berada di bawah pengaruh Inggris. Blokade Inggris itu<br />

menyebabkan barang-barang dari Palembang sulit masuk ke Batavia, sehingga<br />

Belanda sulit mendapatkan timah dan lada untuk memenuhi kebutuhannya (ANRI,<br />

Bundel Palembang No. 19).<br />

Gambaran tentang kondisi perdagangan dan perairan kawasan barat<br />

Nusantara akhir abad XVIII membawa dampak positif bagi perekonomian<br />

Kesultanan Palembang. Hal itu disebabkan kurangnya pengawasan dari pihak<br />

VOC, sehingga Sultan Palembang memanfaatkan kondisi tersebut dengan<br />

Comment [DKM37]: Istilah pemerintah kolon<br />

Belanda digunakan setelah VOC dibubarkan! Pada<br />

masa VOC pemerintahannya disebut Kompeni.<br />

Harap Konsisten!<br />

Comment [DKM38]: VOC atau pemerintah<br />

kolonial???<br />

Comment [DKM39]: Kapan?? Blokade<br />

dilakukan pada awal abad XIX dan bukan<br />

sebelumnya!<br />

Comment [DKM40]: Kapan ini??<br />

41 Harga monopoli VOC untuk timah 6,5 sampai 7 dollar Spanyol perpikul,<br />

sedangkan harga di pasaran bebas mencapai 12 sampai 13 dolar Spanyol setiap pikul.<br />

Komoditi dari Palembang dijual ke Riau (berada di bawah kendali pedagang-pedagang<br />

Bugis), dari Riau dibawa ke Cina (Masyhuri, 1983:104). Woelders menyatakan bahwa<br />

harga yang ditetapkan oleh VOC 8 ringgit per pikul, sedangkan harga Inggris 16 ringgit<br />

per pikul (Woelders, 1975: 84).<br />

42 Kontrak-kontrak yang terjadi antara Palembang dan VOC terjadi pada Tahun<br />

1642, 1662, 1678, 1679, 1681, 1722, 1755, 1763, 1775 dan 1791 (Paulus, 1918: 162).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


65<br />

melakukan perdagangan gelap. Perdagangan gelap itu menyebabkan Kesultanan<br />

Palembang memperoleh keuntungan yang besar (Kielstra, 1892: 80).<br />

2.3.1 Awal Pemerintahan Sultan Ratu Mahmud Badaruddin II<br />

Sultan Badaruddin II mewarisi tahta dari ayahnya Sultan Muhamad Bahauddin<br />

pada 1804. Secara ekonomi dan politik, Kesultanan Palembang pada waktu itu<br />

berada dalam kondisi mapan dan stabil. Di bidang ekonomi, sejak akhir abad<br />

XVIII Palembang mengalami keuntungan besar melalui perdagangan gelap. Hal<br />

itu disebabkan lemah dan kemudian hancurnya armada laut VOC, sehingga tidak<br />

mampu melakukan pengawasan di perairan di Palembang khususnya di Selat<br />

Bangka. Kondisi itu dimanfaatkan secara maksimal oleh sultan untuk mengeruk<br />

keuntungan dengan mengabaikan setoran wajib ke Batavia sesuai kontrak. Situasi<br />

menguntungkan itu terus berlangsung, sehingga pada masa pemerintahan<br />

Daendels (1808-1811) semua peraturan tentang perdagangan yang diterapkan<br />

semasa VOC dihapuskan. Pada masa ini kondisi Palembang ditinjau dari segi<br />

politik dalam keadaan stabil (ANRI, Bundel Palembang No. 19).<br />

Pada masa mudanya, Sultan Badaruddin II yang bergeralr Pangeran Ratu<br />

belum menunjukkan sifat-sifat kedewasaannya. Ia memiliki sifat mudah<br />

tersinggung, kurang tertarik pada urusan pemerintahan, dan sering berlindung di<br />

belakang para bangsawan dan para pembantunya. Sewaktu Sultan Bahauddin<br />

wafat, Pangeran Ratu diangkat menjadi sultan dengan gelar Sultan Ratu Mahmud<br />

Badaruddin II dan adiknya Pangeran Adi Menggala diangkat menjadi Pangeran<br />

Adipati. 43 Pengangkatan itu sesuai dengan ketentuan bahwa yang berhak naik<br />

tahta adalah putera mahkota. Akan tetapi, tampaknya Pangeran Adipati kurang<br />

berkenan atas pengangkatan tersebut. Hal itu mendapat dukungan dari<br />

sekelompok orang, yang kemungkinan adalah golongan bangsawan (ANRI,<br />

Bundel Palembang No. 38.1).<br />

Comment [DKM41]: Daendels memerintah da<br />

1808—1811!!!<br />

Comment [DKM42]: Maksudnya apa bidang<br />

politik??<br />

Comment [DKM43]: Kena apa???? Jelaskan??<br />

43 Gelar ‗Pangeran Adipati‘ dalam beberapa naskah Melayu berarti ‗Menteri Pertama‘<br />

atau ‗Perdana Menteri‘. Di Kesultanan Palembang, Pangeran Adipati berarti pejabat pertama<br />

kerajaan (Bataviaasch Courant, Sabtu, 4 Agustus 1821).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


66<br />

Tidak dijelaskan lebih lanjut apa yang menyebabkan hal tersebut.<br />

Berdasarkan sumber kolonial disebutkan bahwa setelah Sultan Badaruddin II<br />

dilantik, Pangeran Adipati menunjukkan sikap menolak, dengan cara menutup diri<br />

dan mengumpulkan orang-orang Bugis di kediamannya, seolah menyusun<br />

kekuatan. Perilaku Pangeran Adipati itu mendapat dukungan dari sebagian<br />

bangsawan. Menurut residen Belanda di Palembang Aarquim Palm, sikap diam<br />

yang ditunjukkan oleh Pangeran Adipati merupakan indikasi adanya<br />

persekongkolan politik antara Pangeran Adipati, sebagian bangsawan, dan orangorang<br />

Bugis 44 . Lebih lanjut dikatakan bahwa kehadiran orang-orang Bugis akan<br />

mempengaruhi Pangeran Adipati untuk menentang Sultan. Dalam situasi<br />

demikian, Residen Aarquim Palm menasehati Sultan Badaruddin II untuk lebih<br />

berhati-hati terhadap Pangeran Adipati yang menunjukkan sikap mencurigakan.<br />

Walaupun demikian, ternyata apa yang dikhawatirkan oleh residen Belanda itu<br />

tidak terbukti karena kedatangan orang-orang Bugis hanya merupakan kunjungan<br />

persahabatan biasa. Sejauh tidak ada bukti-bukti yang mengarah kepada<br />

penentangan, Sultan Badaruddin II tidak melakukan tindakan apapun (ANRI,<br />

Bundel Palembang No. 22.1). Walaupun tidak terjadi hal-hal sebagaimana yang<br />

dikhawatirkan oleh pihak Belanda, namun dengan adanya sumber tersebut dapat<br />

diindikasikan bahwa sejak awal Pangeran Adipati telah menunjukkan sikap<br />

menentang Sultan.<br />

Sejak Sultan Badaruddin II naik tahta, pihak Belanda terus berusaha<br />

mendekati Sultan, agar kontrak-kontrak yang telah disetujui sebelumnya dengan<br />

para pendahulu Sultan dapat diamankan. Salah satu langkah yang mereka tempuh<br />

adalah dengan memberikan berbagai informasi kepada Sultan Badaruddin II,<br />

Comment [DKM44]: Residen di mana??<br />

Comment [DKM45]: Maksudnya????<br />

44 Orang-orang Bugis dalam jumlah yang cukup banyak, dengan menggunakan<br />

perahu dari Jawa tiba di ibu kota Palembang. Mereka ditempatkan oleh Pangeran<br />

Adipati di dekat kediamannya (ANRI, Bundel Palembang No. 22.1). Di pesisir utara Pulau<br />

Jawa, migrasi besar-besar orang-orang terjadi pada 1674 pascaperang Bone (1669).<br />

Mereka aktif terlibat dalam perang Trunajaya. Kehadiran orang-orang Bugis yang ahli<br />

dalam pelayaran akan berdampak terganggunya perdagangan VOC khususnya beras dan<br />

kayu di kawasan itu. Untuk itu, pada 1676 VOC memutuskan untuk mengusir<br />

pemukiman Bugis di sana. Jadi, Belanda sudah banyak belajar dari pengalaman bahwa<br />

kehadiran orang-orang Bugis di wilayah-wilayah yang menjadi “garapannya” akan<br />

menjadi batu sandungan bagi kelancaran usahanya (Nagtegaal, 1996: 21). Dengan<br />

demikian, dimana pun kehadiran orang-orang Bugis, merupakan ancaman di mata para<br />

penguasa Belanda.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


67<br />

misalnya tentang adiknya, Pangeran Adipati, yang membangkang dan masalah<br />

lain yang berkaitan dengan perdagangan. Mereka tetap ragu tentang masa depan<br />

hubungan kedua bangsa. Mereka mencurigai sultan sebagai orang yang tidak<br />

patuh terhadap pemerintah kolonial. Berdasarkan surat-surat Residen Belanda di<br />

Palembang kepada Gubernur Jenderal di Batavia, dinyatakan bahwa Sultan<br />

Badaruddin II berupaya untuk melepaskan diri dari pemerintah kolonial.<br />

Dibuktikan dengan hasil pengamatan terhadap dari sikap-sikap sultan, yang<br />

menunjukkan keengganan untuk menjalin hubungan harmonis dengan mereka.<br />

Terlihat pula dari pelanggaran terhadap kontrak yang telah disepakati sebelumnya<br />

antara sultan Palembang dan Kompeni. Kontrak terakhir antara Palembang dan<br />

Belanda terjadi pada 1791 45 dan faktanya Sultan Badaruddin II tetap melakukan<br />

pelanggaran. Tampaknya ada usaha pihak Belanda untuk membenahi berbagai<br />

pelanggaran terhadap isi kontrak yang ada, namun tidak mendapat respon dari<br />

Sultan. Dalam konteks ini, mereka malah membandingkan antara Sultan<br />

Badaruddin II dan ayahnya. Dapat diketahui dari pernyataan Residen Aartquim<br />

Palm yang membandingkan Sultan Badaruddin II dengan ayahnya. Menurutnya,<br />

Sultan Muhamad Bahauddin sangat baik, tidak ada yang mampu menyamainya<br />

(ANRI, Bundel Palembang No. 38.1).<br />

Kebaikan Sultan Bahauddin tentunya tidak terlepas dari hubungan baik<br />

yang terjalin antarkeduanya, namun sikap-sikap yang ditunjukkan oleh Sultan<br />

Badaruddin II membuat mereka meragukan tetap terbinanya hubungan yang ada.<br />

Sebagai contoh, semasa Sultan Badaruddin II masih sebagai Pangeran Ratu,<br />

terjadi peristiwa penjarahan terhadap kapal Belanda yang mengangkut kebutuhan<br />

bahan oleh penduduk Palembang. Residen melaporkan peristiwa tersebut<br />

kepadanya, akan tetapi laporan itu tidak dihiraukan, sehingga harus diserahkan<br />

kepada Sultan Bahauddin II.<br />

Setelah naik tahta, Sultan Badaruddin II dala usia 38 atau 39 tahun, usia<br />

yang cukup matang untuk memegang tampuk pemerintahan atas Kesultanan<br />

Palembang. Sultan cepat belajar mengenai segala sesuatu tentang pemerintahan di<br />

Comment [DKM46]: Surat yang mana??<br />

Comment [DKM47]: Kapan kontrak itu<br />

dibuat????<br />

Comment [DKM48]: Berikan catatan kaki<br />

tentang perjanjian itu??? Jangan hanya deskriptif<br />

semacam ini!<br />

45 Kontrak 1791 menyebutkan antara lain bahwa VOC adalah pemegang<br />

monopoli timah dan lada di Kesultanan Palembang, larangan keras bagi kapal-kapal<br />

asing untuk berlabuh di pelabuhan-pelabuhan Palembang, dan perdagangan gelap harus<br />

dicegah (Kaiser, 1857:85).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


68<br />

Kesultanan itu, dan Sultan mampu melaksanakan pemerintahan dengan baik. Dia<br />

dikenal sebagai sultan yang sangat teguh pada pendiriannya. Akan tetapi di sisi<br />

lain, putra mahkota sultan yang bergelar Pangeran Ratu 46 melemahkan citra<br />

pemerintahannya karena tingkah lakunya yang buruk seperti hidup bebas dan<br />

tinggi hati. Meskipun demikian, di sisi lain Pangeran Ratu juga mempunyai sikap<br />

positif yaitu mudah bergaul (ANRI, Bundel Palembang No. 38.1; Java<br />

Gouvernement Gazette, 4 Juli 1812).<br />

Disebutkan pula bahwa sejak awal pemerintahannya, Sultan Badaruddin II<br />

telah bercita-cita akan masa depan negerinya yang lepas dari cengkeraman<br />

pemerintah kolonial. Oleh karena itu Sultan mempersiapkan diri untuk<br />

melepaskan diri dari pengaruh kolonial Belanda, Daendels hadir sebagai<br />

pemimpin baru di wilayah Hindia Timur. Daendels melakukan berbagai<br />

perubahan yang tentunya berpengaruh terhadap Kesultanan Palembang. Dalam<br />

perdagangan timah, Daendels menetapkan sistem hutang atau dibayar dengan<br />

beras (pemerintah Belanda mengalami krisis keuangan akibat berbagai<br />

pertempuran dan blokade Inggris) dalam pembayarannya. Padahal sebelumnya<br />

pembayaran dilakukan secara tunai. Apabila Sultan menolak kebijakan tersebut,<br />

harga timah akan diturunkan dan diancam dengan ekspedisi militer. Di samping<br />

itu, berbagai tindakan Daendels kepada para penguasa pribumi 47 di Pulau Jawa<br />

mengakibatkan citra pemerintah Belanda di Palembang jelek. Akibatnya, ancaman<br />

Daendels tersebut mendorong Sultan Badaruddin II melakukan persiapan dengan<br />

cara mengumpulkan para menteri, depati, penggawa dan rakyat dari uluan<br />

(Batangari Sembilan) dan iliran untuk bergotong-royong membuat benteng<br />

Borang. Benteng Borang merupakan benteng utama di Kesultanan Palembang.<br />

Sementara itu, di mata pemerintah kolonial Belanda, Sultan Badaruddin II<br />

merupakan sosok raja yang diperhitungkan. Sultan dikenal sebagai penguasa<br />

Comment [DKM49]: Maksudnya apa???<br />

Comment [DKM50]: Lebih detil!!<br />

Comment [DKM51]: Apa maksud kalimat ini?<br />

Harap dielaborasi lagi.<br />

Comment [DKM52]: Maksudnya oleh siapa?<br />

Mengapa, dan bagaimana itu bisa terjadi? Jelaskan<br />

46 Sultan Badaruddin II memiliki tiga putera yang berasal dari permaisuri. Pada<br />

1812, ketiga pangeran itu adalah Pangeran Ratu (21 tahun), Pangeran Nadi (17 tahun),<br />

dan putera bungsu yaitu Pangeran Prabu/Rhabu (10 tahun) (Java Gouvernement<br />

Gazette, 4 Juli 1812; Thorn, 2004:161).<br />

47 Contohnya di Kesultanan Banten. Daendels memaksa sultan mengerahkan<br />

tenaga cuma-cuma sebanyak 1000 orang per hari untuk membangun pangkalan armada<br />

Belanda di Selat Sunda, mengancam akan memindahkan istana “Puri Intan” dan<br />

memaksa sultan Banten memindahkan keratonnya, sampai akhirnya pasukan Belanda<br />

menghancurkan keraton pada bulan November 1808 (Marihandono, 2005: 87-89)<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


69<br />

yang kuat, cekatan, cerdik, berani, berwibawa, bersahabat dan ahli perang 48 . Di<br />

sisi lain, Sultan memiliki sifat negatif yaitu emosional dan keras kepala (menolak<br />

orang lain menentang kemauannya) (ANRI, Bundel Palembang No.38.1; Kemp,<br />

1900: 332; Woelders, 1975:15, 85-86; Kaiser, 1857: 86).<br />

Delapan tahun pertama masa pemerintahan Sultan Badaruddin II,<br />

Kesultanan Palembang sangat maju. Palembang merupakan salah satu kerajaan<br />

yang paling kaya di antara raja-raja Melayu lainnya, terutama di Sumatra.<br />

Sebagian besar kekayaannya diperoleh dari timah 49 . Hal itu dapat diketahui dari<br />

laporan Raffles kepada Gubernur Jenderal Lord Minto yang menyatakan bahwa<br />

Kesultanan Palembang sangat makmur. Berkaitan dengan itu, Raffles<br />

menempatkan Sultan Badaruddin II sebagai raja yang paling awal didekatinya<br />

dalam upaya mendapat dukungan menaklukkan Pulau Jawa. Di samping itu, di<br />

mata Inggris Kesultanan Palembang juga sangat penting karena letaknya yang<br />

strategis antara Jawa dan semenanjung Malaya (ANRI, Bundel Palembang No.<br />

62.2; Kielstra, 1892: 81). Dengan demikian, sangat wajar apabila Raffles<br />

menempatkan Kesultanan Palembang pada urutan pertama kerajaan yang harus<br />

didekati.<br />

Comment [DKM53]: Dari mana Sultan<br />

Palembang bisa tahu kalau tindakan Daendels<br />

terhadap pribumi mengakibatkan citra Pemerintah<br />

Belanda menjadi terpuruk!!<br />

Comment [DKM54]: Sumber!<br />

Comment [DKM55]: Kalimat ini menggantun<br />

2.3.2 Strategi Raffles untuk Menguasai Palembang<br />

Ketika Gubernur Jenderal India Lord Gilbert Elliot Minto memutuskan untuk<br />

menaklukkan Pulau Jawa, ia mengirim Raffles 50 berangkat ke Malaka. Pada<br />

Comment [DKM56]: Terbalik namanya!<br />

48 Sultan Badaruddin II digelari oleh ahli-ahli sejarah Belanda dengan nama<br />

“macan” dan “srigala”, karena pasukan Palembang berhasil menghancurkan bentengbenteng<br />

dan armada Belanda dalam dua kali peperangan pada 1819 (ANRI, Bundel<br />

Palembang No.38.1; Kemp, 1900: 332; Sevenhoven, 1971:6).<br />

49 Kondisi itu sangat berbeda dengan kerajaan tetangganya yaitu Jambi yang<br />

pada waktu itu berada di bawah kekuasaan Raja Minangkabau dari Pagaruyung dan<br />

dihadapkan pada perang saudara antara Sultan Mohildin dan kerabatnya (Locher-<br />

Scholten, 2008: 45-46).<br />

50 Sejak Juli 1910 Raffles meminta kepada Lord Minto, agar ditempatkan di<br />

daerah Melayu yang saat itu berkedudukan sebagai Ajun Sekretaris di Penang.<br />

Tujuannya adalah untuk memuluskan ekspedisi Inggris ke Pulau Jawa. Menurutnya yang<br />

harus dilakukan adalah mendekati raja-raja Melayu, untuk melepaskan mereka dari<br />

pengaruh Belanda. Diantara kerajaan Melayu yang terdapat di Sumatra dan Kalimantan,<br />

yang terpenting adalah Kesultanan Palembang, karena Palembang adalah kerajaan yang<br />

sangat kaya. Jika berhasil mendekati Palembang dan membuat kontrak dengan kerajaan<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


70<br />

Oktober 1810 Raffles ditugaskan sebagai Agen Politik Gubernur Jenderal Inggris<br />

untuk kerajaan-kerajaan Melayu. Dalam rangka melaksanakan tugas itu, Raffles<br />

berangkat ke Malaka dan tiba di sana pada 3 Oktober 1810 51 . Dalam rangka<br />

mempersiapkan ekspedisi ke Pulau Jawa, pemerintah Inggris membangun markas<br />

besar di Malaka pada 10 Oktober 1810 (ANRI, Bundel Palembang No.67;<br />

Woelders, 1975: 5; Bastin, 1953: 305; Wurtzburg, 1949: 38). Pembangunan<br />

markas besar di Malaka, merupakan awal dijadikannya Malaka sebagai basis<br />

kekuatan militer dalam rangka rencana penyerangan ke Batavia.<br />

Strategi yang ditempuh oleh Raffles adalah menjalin hubungan dengan<br />

raja-raja dan bangsawan Melayu. Hal itu dimaksudkan agar kepercayaan raja-raja<br />

tersebut kepada Inggris meningkat, sehingga memudahkan Inggris menanamkan<br />

pengaruhnya kepada raja-raja tersebut. Raffles mengharapkan agar para raja itu<br />

melakukan perlawanan kepada Belanda, dan minimal bersikap netral pada saat<br />

Inggris menyerang Pulau Jawa. Untuk keperluan itu Raffles berusaha<br />

mengamankan jalur ekspedisi ke Pulau Jawa. Jalur yang harus aman tentunya di<br />

samping Selat Malaka, adalah Selat Bangka, yang merupakan jalur terpendek<br />

menuju Batavia. Untuk itu jalur tersebut harus diamankan dengan menjalin<br />

hubungan baik dengan Sultan Palembang. (ANRI, Bundel Palembang No.67;<br />

Woelders, 1975: 5; Wurtzburg, 1949:39).<br />

Langkah berikutnya yang dilakukan oleh Inggris adalah memasok<br />

kerajaan-kerajaan Melayu dengan ―barang-barang berharga‖ berupa senjata dan<br />

amunisi sebagai bekal mereka menghadapi Belanda. Inggris juga memanfaatkan<br />

permusuhan antara raja-raja Melayu khususnya Palembang dan Belanda, dengan<br />

mendorong Sultan Palembang untuk memutuskan hubungan dengan Belanda.<br />

Menurut Raffles, apabila Sultan Palembang sepakat bersekutu dengan Inggris,<br />

Palembang akan terbebas dari dampak-dampak negatif perang di Eropa. Di<br />

Comment [DKM57]: Terputus idenya!<br />

tersebut, maka seluruh produksi timahnya akan jatuh ke tangan Inggris. Untuk itu, yang<br />

harus dijalankan adalah mengirimkan utusan. Utusan tersebut harus melakukan<br />

pendekatan kepada Sultan Palembang. Dalam pendekatan tersebut, strategi yang harus<br />

ditempuh adalah, bahwa kehadiran mereka di sana dalam rangka menyelidiki penyebab<br />

hilangnya kapal Inggris di lepas pantai Muntok (Bastin, 1953: 302-303; Woelders, 1975:<br />

5).<br />

51 Menurut Bastin tanggal 4 Desember 1810, sedangkan Kaiser menyatakan<br />

Raffles tiba di Malaka pada 1809.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


71<br />

samping itu, Inggris juga melakukan pendekatan dengan Belanda, agar Belanda<br />

melepaskan diri dari Perancis yang pada waktu itu berada di bawah kekuasaan<br />

Prancis. Artinya, pendudukan Belanda di Hindia Timur juga merupakan<br />

perpanjangan tangan kekuasaan Prancis. Hal itu terbukti adanya maklumat Raja<br />

Willem agar wilayah Belanda di Hindia Timur ―diselamatkan‖ Inggris (The<br />

Asiatic Journal, 1824, vol 17; Marihandono, 2005:9-13;Baud,1854:9-10;<br />

Bastin,1953:305).<br />

Di Malaka, Raffles mendapat informasi bahwa sejak September 1810,<br />

Daendels telah mengirimkan kapal perang di bawah pimpinan Letnan Kolonel<br />

Voorman untuk menyerang Palembang atau Lingga. Belanda telah menempatkan<br />

armadanya di lepas pantai muara Sunsang (Bastin, 1953: 306; Kaiser, 1857:86).<br />

Informasi tersebut mendorong Raffles untuk segera menjalin hubungan dengan<br />

Sultan Palembang. Ia mencoba meyakinkan Gubernur Jenderal Lord Minto<br />

tentang rencananya tersebut. Menurutnya membina hubungan dengan Sultan<br />

Palembang merupakan tindakan penting, mengingat kesultanan itu sangat kaya.<br />

Pendekatan itu juga dimaksudkan untuk mendapatkan hak monopoli atas timah. 52<br />

Langkah yang ditempuh oleh Raffles terhadap Palembang adalah mengirim surat<br />

kepada Sultan Badaruddin II melalui utusannya yaitu Raden Muhamad (Tuanku<br />

Syarif Muhamad atau Raden Muhamad bin Hussein bin Shehal ed Din 53 ) dan Said<br />

Abubakar Rumi atau Sayed Abubakar bin Husein Roem (orang Arab) yang<br />

bermukim di Penang. Dalam menjalankan tugasnya mereka menyamar sebagai<br />

pedagang (Wolders, 1975: 5; Wurtzburg, 1949: 40-41, Baud, 1853: 10,28).<br />

Comment [DKM58]: Bagian ini juga tidak per<br />

ada di sini! Idenya loncat!<br />

52 Sejak abad XVIII Inggris sudah menjadi pesaing Belanda di Kesultanan<br />

Palembang. Inggris merupakan salah satu faktor dominan dalam berlangsungnya<br />

perdagangan gelap di kesultanan Palembang. Inggris pula yang menyebabkan<br />

terhalangnya pengiriman timah dari Palembang ke Batavia, akibat diblokadenya laut<br />

Jawa (Kielstra, 1892: 81; Baud, 1853: 17).<br />

53 Raden Muhamad adalah orang Palembang yang masih memiliki hubungan<br />

kerabat dengan Sultan Badaruddin II. Ayahnya orang Arab, sedangkan ibunya berasal<br />

dari kalangan ningrat Palembang. Ia menikah dengan perempuan Muntok dari<br />

keturunan Yang. Pernikahan itu tidak disetujui oleh Sultan Badaruddin II, karena yang<br />

berhak menikahi perempuan dari golongan itu hanya kerabat Sultan Palembang. Raden<br />

Muhamad merasa sakit hati karena perceraiannya dipaksakan. Raden Muhamad<br />

meninggalkan Palembang dan menetap di Kedah. Dari Kedah menuju Penang dan<br />

mengabdikan dirinya pada pemerintah Inggris di sana (Woelders, 1975: 90).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


72<br />

Raden Muhamad bersedia ditugaskan sebagai utusan Raffles, diduga<br />

karena merasa sakit hati kepada Sultan Badaruddin II. Raden Muhamad<br />

memanfaatkan kesempatan tersebut sebagai sarana untuk membalas dendam<br />

kepada Sultan. Raffles menyerahkan masalah tersebut kepada Raden Muhamad<br />

karena ia orang yang dipercaya oleh Raffles dan masih kerabat sultan Palembang,<br />

sehingga mengetahui tentang seluk beluk kesultanan tersebut. Semua itu akan<br />

memudahkan Raden Muhamad untuk mendekati keraton. Artinya, Raden<br />

Muhamad lebih mampu melakukan pendekatan dengan anggota keluarga<br />

Sultan/bangsawan dibandingkan Said Abubakar Rumi. Dalam perundinganperundingan<br />

dengan Sultan Badaruddin II, Said Abubakar Rumi hanya sebagai<br />

pendamping Raden Muhamad.<br />

Menurut Wurtzburg (1949: 41), surat pertama Raffles tidak diketahui<br />

kapan dikirimkan kepada Sultan Badaruddin II, sedangkan, surat kedua dibuat<br />

pada 17 Dzulkaidah 1224 Hijriyah (11 Desember 1809). Pendapat Wurtburg itu<br />

sejalan dengan Baud, tetapi berbeda dengan pendapat Kaiser. Menurut Kaiser<br />

(1857: 86), Raffles berhubungan dengan sultan Palembang setelah tiba di Malaka<br />

pada 1809. Bastin 54 (1953: 305-306) menyatakan bahwa surat pertama Raffles<br />

dibuat pada 10 Desember 1810 (isi surat itu sama dengan surat ke dua dari<br />

pendapat Wurtzburg dan Baud). Dalam suratnya Raffles menyatakan bahwa<br />

dirinya adalah utusan Gubernur Jenderal Lord Minto. Lebih lanjut ia menyatakan<br />

bahwa posisi Palembang dalam keadaan terancam, karena Belanda telah<br />

menempatkan armada bersenjatanya di muara Sungai Musi. Oleh sebab itu, sultan<br />

harus mencegah dan mengusir armada Belanda tersebut. Untuk itu Inggris<br />

menawarkan persahabatan dan bantuan militer, sekalipun jumlah pasukan Belanda<br />

mencapai sepuluh ribu orang. 55 Sebagai tindak lanjut, Raffles mengharapkan agar<br />

Comment [DKM59]: Hasilnya apa, belum<br />

dibahas lagi. Lanjutkan!!<br />

Comment [DKM60]: Pendapat yang mana???<br />

Comment [DKM61]: Pendapat yang mana???<br />

Comment [DKM62]: Maksudnya agen apa???<br />

54 Tulisan Bastin berdasarkan pada tiga surat Raffles yang tidak diterbitkan oleh<br />

Baud. Isinya antara lain menyebutkan bahwa Inggris menawarkan persahabatan dan perlindungan karena<br />

adanya ancaman kapal-kapal Belanda di perairan Sungai Musi dan pendirian pos militer Belanda di Tulang<br />

Bawang Lampung. Raffles juga menyesalkan Sultan Badaruddin II tidak mengirimkan wakilnya ke Malaka<br />

untuk berunding dengannya (1953: 301-313)<br />

55 Tampaknya jumlah 10.000 orang serdadu yang dimaksudkan oleh Rafless, adalah<br />

untuk menunjukkan keseriusan Inggris membantu Palembang dalam usaha mengusir Belanda dari<br />

wilayah itu (sesuai pernyataan Raffles dalam suratnya bahwa Inggris adalah sahabat yang paling<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


73<br />

sultan mengirimkan utusan resmi untuk berunding langsung dengan Raffles di<br />

Malaka. (Baud, 1853:10).<br />

Setelah Raffles mendapat kabar bahwa kapal-kapal Belanda sudah<br />

menyusuri Sungai Musi, kembali ia mengirimkan surat kepada Sultan Palembang<br />

pada 15 Desember 1810. Dalam suratnya Raffles menuliskan bahwa Belanda<br />

adalah bangsa yang jahat dan akan menyerang Palembang. Untuk itu Sultan perlu<br />

bersahabat dengan Inggris, Raffles juga meminta jawaban atas surat sebelumnya<br />

dan kembali menegaskan agar sultan mengirimkan utusan kepadanya. 56 Dalam<br />

waktu yang bersamaan, Raffles juga mengirim surat kepada Lord Minto. Dalam<br />

suratnya itu, ia menggambarkan sultan Palembang sebagai raja Melayu yang<br />

sangat kaya, kekayaan itu jangan sampai dijarah oleh Daendels. Dikatakan bahwa<br />

Daendels tidak main-main dengan ancamannya kepada Sultan Badaruddin II.<br />

Terbukti dengan pengiriman armada bersenjata di dekat perbatasan antara<br />

Lampung dan Palembang (Tulang Bawang). Kondisi itu memaksa Raffles<br />

mendesak Sultan Palembang untuk berlindung kepada Inggris (Bastin, 1953: 306-<br />

307).<br />

Januari 1811 Raffles mengirim Kapten James Bowen ke Palembang<br />

dengan membawa tiga kapal perang. Tujuannya mengusir armada Belanda dari<br />

daerah tersebut. Pada kesempatan itu Bowen juga menyerahkan surat Raffles<br />

dapat diandalkan). Terbukti jumlah penghuni Loji Belanda di Sungai Aur pada saat diduduki (14<br />

September 1814) penghuninya hanya sebanyak 110 orang. Jumlah tersebut sesuai dengan laporan<br />

Daendels kepada Kaisar Napoléon Bonaparte pada 20 april 1811, yang menyebutkan bahwa<br />

jumlah serdadu Belanda yang terkumpul pada bulan Mei 1811 sebanyak 17.774 orang serdadu.,<br />

Semua terkonsentrasi di Jawa, kecuali sebanyak 400 orang yang tersebar di Palembang, Makasar<br />

dan Timor (ANRI, Bundel Palembang No. 67; Marihandono, 2005:94; Bastin, 1953: 305-306;<br />

Baud, 1854:10; Stapel, 1940: 95; Kielstra, 1892: 81).<br />

56 Isi surat yang ditelaah oleh Bastin dan Kielstra hampir sama, tetapi waktunya<br />

berbeda satu tahun (Bastin menyatakan surat itu merupakan surat kedua tertanggal 15<br />

Desember 1810, sedangkan Baud, Kielstra, Stapel dan Wurtzburg berpendapat surat itu<br />

dibuat pada Desember 1809). Tahun surat menyurat antara Sultan Badaruddin II dan<br />

Raffles dapat dipastikan terjadi tahun 1810-1811, berdasarkan surat jawaban Sultan<br />

Badaruddin II tanggal 10 Januari 1811 dalam versi Bahasa Inggris dibuat pada 3 Maret<br />

1811 atau dalam versi Robison pada 4 Maret 1811 (Bastin, 1954: 81). Dalam hal ini agak<br />

mustahil kalau jarak antara surat pertama tahun 1809, surat-surat berikutnya tahun<br />

1811. Jarak Palembang ke Malaka cukup jauh padahal kondisi saat itu mendesak<br />

sehingga Raffles berkali-kali mengirim surat. Hal itu dikaitkan pula dengan peristiwa<br />

pendudukan Inggris atas Mauritius pada Oktober 1810 (milik Belanda-Prancis) (Furnivall,<br />

2009: 59).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


74<br />

kepada Sultan dan kepala kampung Sunsang pada 13 Januari 1811. Dalam<br />

suratnya kepada penguasa Sunsang, Raffles meminta agar penduduk Sunsang<br />

tidak berhubungan lagi dengan Belanda. Manuver kapal perang Inggris di<br />

Sunsang juga dimaksudkan agar penduduk Sunsang menuruti permintaannya.<br />

Dalam laporannya kepada Raffles, Bowen menginformasikan bahwa armada<br />

Belanda terdiri dari tiga kapal jelajah, empat kapal meriam dan sepuluh kapal<br />

dagang 57 telah meninggalkan Palembang pada 10 Januari 1811. Armada-armada<br />

itu tidak berhasil mendapatkan apa yang mereka inginkan, karena Sultan<br />

Palembang menolak menyerahkan timah tanpa uang kontan. Sultan Badaruddin II<br />

juga telah mengetahui bahwa Belanda telah menyelundupkan senjata-senjata ke<br />

Palembang untuk persiapan menduduki Palembang, akibatnya Sultan menolak<br />

armada mereka lebih jauh masuk ke Sungai Musi (uluan) (Bastin, 1953: 308-309;<br />

Wurtzburg, 1949: 41-42).<br />

Sampai awal Februari 1811 Raden Muhamad tetap berada di Palembang<br />

dalam rangka menunggu jawaban dari Sultan Badaruddin II, ia juga belum<br />

mengirimkan kabar lanjutan kepada Raffles. Atas dasar itu, Raffles mengirim<br />

Kapten Mac Donald ke Palembang untuk menemui Raden Muhamad sekaligus<br />

menyelidiki kekuatan pasukan Belanda di Lampung dan Palembang. Dari hasil<br />

pertemuan keduanya diperoleh informasi bahwa misi Raden Muhamad gagal,<br />

sebab Sultan Badaruddin II menolaknya sebagai wakil Raffles karena tidak<br />

mempunyai bukti resmi, ia hanya berbekal surat Raffles yang ditujukan kepada<br />

sultan. Sultan akan menerimanya sebagai wakil Raffles apabila telah memperoleh<br />

surat keterangan resmi tentang penunjukannya. Meskipun demikian, sultan tetap<br />

membalas surat Raffles. Dalam suratnya Sultan Badaruddin II menyatakan bahwa<br />

hendaknya Raffles tidak mengkhawatirkan keberadaan orang-orang Belanda di<br />

Palembang. Sultan akan segera menyelesaikannya apabila orang-orang Belanda<br />

melakukan kesalahan. Kesalahan itulah yang akan dijadikan alasan untuk<br />

mengenyahkan loji Belanda dari Palembang. Menanggapi surat sultan tersebut,<br />

pada 3 Maret 1811 Raffles membuat surat penunjukan resmi Raden Muhamad<br />

sebagai agen resmi dan rancangan perjanjian yang harus disodorkan Raden<br />

Comment [DKM63]: Surat Sultan yang mana?<br />

57 Menurut Wurtzburg (1949: 48), armada Belanda terdiri dari tiga kapal jelajah<br />

dengan masing-masing empat meriam, empat perahu meriam dan sepuluh kapal<br />

dagang.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


75<br />

Muhamad kepada Sultan Badaruddin II (Bastin, 1953: 309-310; Wutrzburg, 1949:<br />

50).<br />

Sebelumnya, pada 2 Maret 1811 (8 Sapar 1225), Raffles kembali<br />

mengirimkan surat kepada Sultan. Dalam pernyataannya, Raffles terus mendesak<br />

Sultan Badaruddin II untuk segera bertindak tegas kepada orang-orang Belanda di<br />

Palembang. Ia juga menekankan adanya ancaman ekspedisi yang tengah disiapkan<br />

oleh Belanda di daerah Tulang Bawang (perbatasan antara Palembang dan<br />

Lampung bagian utara). Oleh sebab itu, Sultan harus memutuskan kontrak dengan<br />

Belanda, dan meminta bantuan kepada Inggris. Tujuannya adalah untuk mengusir<br />

semua orang Belanda.. Dalam versi Bahasa Melayu, di dalam surat tersebut<br />

terdapat kata-kata ―buang dan habiskan sekali-kali‖, yang bermakna semua orang<br />

Belanda harus dienyahkan dari bumi Palembang. Dalam surat itu pula Raffles<br />

mengemukakan kekecewaannya karena sampai saat itu Sultan Badaruddin II<br />

belum mengirimkan utusan ke Malaka. 58 Selain itu, Raffles juga menekankan<br />

bahwa apabila perjanjian antara keduanya terwujud sebelum penaklukan Pulau<br />

Jawa, berarti semua kontrak yang selama ini berlaku antara Palembang dan<br />

Belanda dibatalkan. Sebaliknya, hal itu tidak berlaku apabila kesepakatan<br />

terwujud setelah Inggris menduduki Pulau Jawa. (Baud, 1853: 11-12; Kielstra,<br />

1892: 81; Stapel, 1940:95; Wurtzburg, 1949:42-43; Bastin, 1953: 311-312). Jadi,<br />

jelas bahwa semua tawaran Raffles hanya demi kepentingan memperlancar<br />

pendudukan atas Pulau Jawa. Untuk itu, Sultan Badaruddin II benar-benar dituntut<br />

untuk sesegera mungkin mengusir Belanda dari Palembang.<br />

Pada saat itu waktu semakin mendesak bagi Inggris untuk segera<br />

mewujudkan misinya menyerang Pulau Jawa. Oleh sebab itu, Raffles melalui<br />

utusannya Raden Muhamad menuntut sultan untuk membuat kontrak penting<br />

yang akan mengatur hubungan antara Palembang dan Inggris. Raffles<br />

mengusulkan agar perjanjian itu dibuat di Palembang dan diserahkan kepadanya<br />

untuk disahkan dengan cap kerajaan. Selanjutnya, surat perjanjian itu segera<br />

Comment [DKM64]: Ini sultan yang mana ???<br />

Comment [DKM65]: Berikan naskah aslinya!<br />

58 Bastin (1953: 310) menyatakan bahwa Inggris menuntut Sultan untuk<br />

mengalihkan kontrak penjualan timah, lada dari Belanda kepada pemerintah Inggris.<br />

Untuk mengurus segala sesuatunya, sultan sepakat akan mengirimkan seorang wakil ke<br />

Malaka (sebelumnya tidak pernah terwujud walaupun berulang kali Raffles<br />

memintanya).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


76<br />

dibawa kembali kepada Sultan (sebulan sejak tanggal dicap, diperkirakan pada<br />

akhir Maret 1811). Semua yang telah dilakukannya dalam usaha mempengaruhi<br />

sultan, dilaporkannya kepada Gubernur Jenderal Lord Minto di Calcutta. Dalam<br />

laporannya itu, ia meyakini bahwa perundingannya dengan Sultan Palembang<br />

akan menghasilkan hal positif yaitu sultan menyetujui usul-usul yang diajukannya<br />

(Bastin, 1953: 313).<br />

Isi perjanjian itu antara lain menyebutkan bahwa apabila sultan<br />

Badaruddin II mengalami kesulitan untuk mengusir Belanda dari Palembang,<br />

Raffles akan mengusir mereka, dan atas izin sultan, Raffles akan menguasai loji<br />

Belanda. Selanjutnya, ia akan mengamankan muara Sungai Musi. Raffles juga<br />

menawarkan harga baru yang lebih tinggi untuk pembelian timah, dan akan<br />

mengeluarkan peraturan perdagangan Inggris seperti yang berlaku di Riau, Siak,<br />

dan Trengganu. Harga ini fluktuatif sebagaimana terjadi dalam perdagangan<br />

internasional. Kenyataannya, apa yang diharapkan oleh Raffles tidak terwujud,<br />

Sultan Badaruddin II tidak mengesahkan kesepakatan tersebut. 59 Raden Muhamad<br />

mengirimkan penolakan tersebut kepada Raffles di Malaka (ANRI, Bundel<br />

Palembang No. 67; Baud, 1853: 12; Wurtzburg, 1949:43).<br />

Jawaban Sultan Badaruddin II pada 2 Maret 1811 antara lain menyatakan<br />

bahwa mengenai keberadaan orang-orang Belanda di Palembang, akan<br />

ditanganinya dengan baik, agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.<br />

Langkah nyata yang akan diambil adalah mendesak Gubernur Jenderal Belanda<br />

di Batavia agar segera menarik pulang orang-orang mereka dari Palembang.<br />

Sultan juga menjelaskan tentang sejarah panjang hubungan leluhurnya dengan<br />

59 Bastin (1953: 314; 1954: 68) berpendapat lain, ia menyatakan bahwa Sultan<br />

Badaruddin II menerima perjanjian tersebut dan membubuhkan capnya. Pernyataan itu terbukti<br />

pada saat komisi yang diutus oleh Raffles tiba di Palembang pada Nopember 1811. Komisi itu<br />

bertugas mengambil alih Bangka dan memperbaharui perjanjian dengan sultan, pada saat itu<br />

mereka menyerahkan Surat Perjanjian antara Sultan Badaruddin II dan Raffles yang telah dibubuhi<br />

cap, yang membuktikan surat perjanjian itu telah sah, padahal, Raffles belum menerima surat itu<br />

kembali dan isinya berbeda dari rancangan semula. Sehubungan dengan hal tersebut Bastin (1954:<br />

75-78) memberikan argumennya, bahwa telah terjadi konspirasi yang dilakukan oleh utusan<br />

Raffles (Raden Muhamad dan Said Abubakar Rumi), sehingga seolah-olah perjanjian itu telah<br />

diratifikasi oleh sultan. Hal itu dapat dilacak dari pendapat Robison yang menyatakan bahwa<br />

utusan Raffles bukanlah orang-orang yang jujur. Robison menekankan bahwa telah terjadi<br />

rekayasa yang dirancang oleh utusan Raffles demi kepentingan Inggris.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


77<br />

Belanda yang umumnya berlangsung baik. Pengusiran terhadap orang-orang<br />

Belanda dari Palembang tinggal menunggu waktu yang tepat. Apabila orang<br />

Belanda melakukan suatu kesalahan, hal tersebut akan dijadikan alasan untuk<br />

mengusir mereka dengan kekerasan. Dalam bidang perdagangan Sultan tetap<br />

membuka pintu kepada bangsa manapun, seperti halnya selama ini berlangsung<br />

dengan baik. Semua itu ditempuh agar tidak terjadi konflik baik dengan Belanda<br />

maupun Inggris (Bastin, 1953: 313-16; Woelders, 1975: 6).<br />

Langkah-langkah yang diambil segera dilaporkannya kepada Gubernur<br />

Jenderal Lord Minto di Calcutta. Raffles menyampaikan hasil positif dari<br />

perundingannya dengan Sultan pada 7 Maret 1811. Ia meyakini Sultan akan<br />

menyetujui kesepakatan yang mereka buat dan itu artinya akan menguntungkan<br />

Inggris. Sementara itu, selama berlangsungnya surat-menyurat antara Sultan<br />

Badaruddin II dan Raffles (waktu yang dibutuhkan untuk membawa surat dari<br />

Palembang ke Malaka sekitar tiga pekan), agen-agen Raffles yang tetap tinggal di<br />

ibu kota Palembang, sesuai dengan misinya mereka terus mendesak sultan agar<br />

segera mengambil tindakan tegas terhadap loji Belanda. Menghadapi tuntutan itu,<br />

Sultan Badaruddin II menjelaskan sikapnya bahwa ia akan mengusir orang-orang<br />

Belanda dari Palembang dengan cara yang benar agar tidak menimbulkan masalah<br />

dikemudian hari (Bastin, 1953: 313-315). Dari jawaban-jawaban yang diberikan<br />

oleh Sultan, dapat disimpulkan bahwa Sultan bertindak hati-hati dalam menangani<br />

berbagai permasahan yang ada, mengingat selama masa pemerintahannya tidak<br />

pernah terjadi konflik terbuka antara Palembang dan Belanda. Baginya segala<br />

sesuatu membutuhkan alasan yang kuat. Walaupun, Raffles telah memberikan<br />

jaminan akan memberikan apapun bantuan yang dibutuhkan dalam usaha<br />

mengenyahkan Belanda dari Palembang.<br />

Misi Raffles berikutnya adalah mengirim Kapten Teak pada April 1811,<br />

dengan tujuan membeli timah Bangka. Permintaan itu dipenuhi oleh Sultan dan<br />

membalas surat Raffles pada 19 April 1811. Mengingat penaklukkan Pulau Jawa<br />

sudah makin mendesak, sedangkan komitmen dari Sultan Badaruddin II belum<br />

diperoleh, akhirnya Raffles mengambil kebijakan mengirimkan Kapten Mac<br />

Donald ke Palembang untuk kembali menyerahkan surat darinya dan surat dari<br />

Gubernur Jenderal Lord Minto. Dalam suratnya, kembali Raffles memaksa Sultan<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


78<br />

Badaruddin II memberikan jawaban pasti. Menurutnya karena kondisinya<br />

mendesak untuk segera menyerang Pulau Jawa. utusannya hanya dapat merapat di<br />

pelabuhan Palembang maksimal 24 jam. Pada kesempatan itu Raffles juga<br />

menyampaikan bahwa ia tidak menerima jawaban dari Sultan dan menyertakan<br />

salinan surat-surat yang telah dikirimkannya selama ini kepada sultan. Ia tidak<br />

yakin surat-surat yang dikirimkannya diterima oleh Sultan. Kembali Raffles<br />

menekankan komitmen Inggris dengan menyatakan bahwa apabila Sultan berhasil<br />

mengusir Belanda sebelum Inggris menaklukkan Jawa, artinya, Sultan akan<br />

dianggap sebagai raja yang merdeka, namun, apabila Jawa telah ditaklukkan,<br />

otomatis seluruh pangkalan Belanda menjadi milik Inggris. Sebagai wujud nyata<br />

dari dukungannya kepada Sultan Badaruddin II, Raffles mengirimkan empat kotak<br />

masing-masing berisi 80 senapan dan 10 keranjang berisi peluru dan mesiu.<br />

Raffles akan mengirimkan apa pun yang dibutuhkan sultan baik berupa kapal,<br />

prajurit atau senjata demi terealisasinya pengusiran terhadap orang-orang Belanda<br />

di Palembang (Baud, 1853: 12-3; Bastin, 1853: 316-318; Wutrzburg, 1949: 43;<br />

Kaiser, 1857: 87; Stapel, 1940: 95; Woelders, 1975: 6).<br />

Surat tersebut dibalas Sultan Badaruddin II pada 23 Mei 1811 60 , Sultan<br />

menyampaikan penghargaan atas hadiah yang diterimanya, yang dianggapnya<br />

sebagai hutang budi. Sultan juga menegaskan bahwa masalah orang-orang<br />

Belanda di Palembang telah diselesaikan dengan baik melalui wakil sah dari<br />

pemerintah masing-masing, yaitu Belanda akan menarik anggota garnizunnya.<br />

Sultan juga menegaskan bahwa dirinya tidak ingin memperpanjang masalah<br />

tersebut (Bastin, 1953: 318).<br />

Dalam posisi dilematis itu, Sultan Badaruddin II terus berusaha mengulurulur<br />

waktu dengan perundingan yang panjang, dan tidak mengirimkan wakilnya<br />

kepada Raffles. Sultan tidak tertarik pada konspirasi politik Inggris dengan cara<br />

mengusir Belanda dari Palembang tanpa sebab yang jelas. Sultan Badaruddin II<br />

meyakini bahwa menuruti keinginan Raffles hanya akan menghambat<br />

60 Menurut Baud (1853;13-14), setelah surat Raffles yang terakhir (pengiriman<br />

senapan dan mesiu), tidak ada lagi komunikasi antara Sultan Badaruddin II dan Raffles.<br />

Raffles kecewa pada Sultan Badaruddin II, karena Sultan tidak merespon permintaan<br />

Raffles untuk meresmikan rancangan perjanjian yang disodorkannya. Langkah<br />

selanjutnya yang ditempuh oleh adalah Raffles memerintahkan utusannya untuk<br />

melakukan peneliti kekayaan alam, pemerintahan, dan penduduk.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


79<br />

keberhasilannya merebut kebebasan, lepas dari pengaruh Belanda maupun Inggris<br />

(Kaiser, 1857: 86). Usaha gigih Raffles untuk memanfaatkan Sultan Badaruddin II<br />

agar menuruti keinginannya, dengan mengusir Belanda dari Palembang tidak<br />

berhasil.<br />

Melihat respon dari Sultan Badaruddin II tidak seperti yang diharapkan,<br />

langkah yang diambil oleh Raffles adalah mengirimkan wakil-wakilnya (Raden<br />

Muhamad dan Said Abubakar) ke Bangka pada 22 Juli 1811 untuk menyelidiki<br />

pulau itu. Mereka bermaksud untuk menetap sementara di Muntok Bangka kalau<br />

diizinkan oleh sultan. Seandainya tidak mendapat izin mereka harus ikut ambil<br />

bagian dalam ekspedisi penaklukan Pulau Jawa. Pada kenyataannya justru Sultan<br />

Badaruddin II mengundang mereka ke ibu kota Palembang. Pada saat mereka<br />

masih berada di ibu kota Palembang, peristiwa pendudukan Loji Belanda di<br />

Sungai Aur 14 September 1811 (Wurtzburg, 1949: 44; Baud, 1853: 14). Dengan<br />

demikian, keduanya mengetahui peristiwa pembunuhan terhadap para penghuni<br />

dan penghancuran loji Belanda. Berdasarkan kesaksian mereka di depan Komite<br />

Pengadilan Malaka, dinyatakan bahwa setelah mereka mengetahui perahu-perahu<br />

yang membawa penghuni loji Belanda ke muara Sunsang, mereka menemui<br />

Sultan Badaruddin II dan memintanya agar para penghuni loji tidak dibunuh tetapi<br />

mengirimkannya ke Batavia. Mereka juga meminta agar tidak menghancurkan<br />

komplek loji Belanda karena hal itu dianggap sebagai tindakan pelanggaran,<br />

sebab setelah kejatuhan Batavia ke tangan Inggris, semua daerah bekas kedudukan<br />

loji Belanda akan dianggap sebagai milik Inggris (ANKL, House of Lord, vol. 19,<br />

1835).<br />

Comment [DKM66]: Apa yang dimaksudkan<br />

dengan agen2 di sini? Mereka dikirim kembali ole<br />

Raffles??<br />

Comment [DKM67]: Apa maksudnya??<br />

2.3.3 Pendudukan Loji Belanda (1811) dan Menolak Dominasi Inggris<br />

Kabar tentang pendudukan Inggris atas Batavia pertama kali diketahui oleh Sultan<br />

pada 3 September 1811. Akan tetapi, informasi itu tidak digubris oleh sultan<br />

karena ia tidak yakin akan kebenarannya. Informasi kedua diterima sultan pada 11<br />

September 1811, berasal dari Sayid Sin Bil Pake (Said Zain Bafakih, menantu dari<br />

Pangeran Syarif Umar, tokoh orang Arab di Palembang), yang baru kembali dari<br />

Semarang dan menyaksikan langsung peristiwa menyerahnya Gubernur Jenderal<br />

Comment [DKM68]: Ini siapa? Tiba-tiba mun<br />

silsilah seperti itu. Perlu keterangan yang relevan!<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


80<br />

Janssens dan pengiringnya di sana. Informasi itu diperolehnya langsung dari<br />

Gubernur Jenderal Janssens. Dengan terjadinya perubahan tersebut, Sultan<br />

Badaruddin II berusaha mewujudkan cita-citanya untuk melepaskan diri dari<br />

belenggu bangsa asing. Keinginan sultan mendapat dukungan penuh dari<br />

Pangeran Ratu dan Demang Usman (seorang Cina yang telah masuk Islam dan<br />

besar pengaruhnya terhadap Sultan Badaruddin II). Langkah berikutnya yang<br />

diambil sultan adalah mengumpulkan kerabat dan rakyat untuk mengusir para<br />

penghuni loji Belanda di pinggir Sungai Aur (ANRI, Bundel Palembang No. 67;<br />

Woelders, 1975: 6, 88; Baud, 1853; 28).<br />

Dalam pemikiran Sultan Badaruddin II saat itu, bahwa dengan kekalahan<br />

Belanda di Pulau Jawa, berarti pemerintahan Belanda di Palembang sudah<br />

kehilangan kekuasaannya. Jika demikian, mereka tidak akan mendapat bantuan<br />

dari Batavia apabila lojinya diduduki. Sultan juga memegang janji Raffles yang<br />

disampaikan melalui surat-suratnya yang mendukung usaha Palembang untuk<br />

bebas dari cengkeraman Belanda. Sudah lama sultan berada dalam tekanan<br />

Raffles untuk bertindak tegas kepada Belanda dan kesempatan itu pun tiba.<br />

Selanjutnya, sultan mengerahkan beberapa bangsawan 61 pada 14 September 1811<br />

(27 Sya‘ban), untuk menemui Residen Jacob Groenhof van Woortman. Tujuannya<br />

untuk memberitahukan tentang penyerahan Batavia kepada Inggris dan meminta<br />

mereka meninggalkan loji. Residen Belanda menolak permintaan tersebut dengan<br />

alasan tidak ada instruksi dari Batavia. Residen dan staffnya tengah menunggu<br />

kedatangan Inggris sebagai penguasa baru di Palembang. Untuk itu, mereka<br />

meminta agar diberi waktu selama tiga hari. Atas permohonan tersebut, para<br />

bangsawan mempersilahkan mereka memintanya langsung kepada Sultan.<br />

Langkah yang diambil Residen adalah mengirim Hangabehi Reksosadono<br />

(berdasarkan kesaksian Raden Muhamad, bahwa yang diutus residen pada waktu<br />

Comment [DKM69]: Tahun berapa??<br />

Comment [DKM70]: Untuk urusan apa?<br />

Bukankan Belanda dan Inggris bermusuhan. Kena<br />

apa mesti menunggu???<br />

61 Menurut kesaksian Louisa van de Wateringe Buys (istri Wakil Residen), yang<br />

datang ke loji pada jam 7.00 adalah Raden Ngabehi Carik, Tumenggung Lanang, Raden<br />

Muhamad. Sedangkan berasarkan kesaksian Najamuddin II, mereka adalah Pangeran<br />

Citradireja, Pangeran Natawikrama, Pangeran Suradilaga, Pangeran Syarif Usman, Kyai<br />

Mas Tumenggung Notonegoro dan Kyai Demang Usman. Willem van de Wateringe Buys<br />

bersaksi bahwa yang datang ke loji pada jam 9.00 adalah Tumenggung Suronindito,<br />

empat bangsawan rendahan, dan 160 orang bersenjata Mereka melucuti senjata para<br />

prajurit jaga dan menduduki loji (Baud, 1853: 29-32).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


81<br />

itu sebanyak dua orang tanpa menyebutkan nama) untuk menemui Sultan<br />

Badaruddin II. Sementara itu, para petinggi kerajaan juga mengirim utusan<br />

menghadap sultan untuk memberitahukan maksud kedatangan utusan residen<br />

tersebut. Permohonan itu disambut baik oleh sultan. Sultan segera mengutus dua<br />

orang bangsawan untuk mengawal residen, asisten residen, komandan pasukan<br />

dan sekretaris residen menghadap sultan. Dalam perjalanan menuju keraton,<br />

Residen Jacob Groenhof van Woortman dan rombongan disambut oleh para para<br />

bangsawan dan menanyakan maksud dari keinginan mereka menghadap Sultan 62 .<br />

Residen menjelaskan bahwa mereka meminta disiapkan perahu yang akan<br />

membawa mereka ke Batavia. Mendengar hal itu, para petinggi kerajaan itu<br />

menawarkan dua perahu dan memaksa para penghuni loji menaikinya.<br />

Selanjutnya semua penghuni loji diperintahkan untuk menaiki perahu pancalang<br />

hingga sore hari 63 , kecuali perempuan. 64 Malam harinya mereka dibawa ke muara<br />

Sunsang dan dibunuh (ANRI, Bundel Palembang No. 67; No. 62.2; No. 5.1;<br />

ANKL, House of Lord, vol.109, 1819; Woelders, 1975: 6, 88).<br />

Kejadian itu begitu cepat berlangsung, sehingga tidak ada kesempatan para<br />

penghuni loji mempersiapkan diri. Keinginan residen dan para pengawalnya untuk<br />

menemui sultan gagal, padahal sultan telah mengirimkan kurir untuk menjemput<br />

mereka. Tampaknya pada saat itu sultan hanya mengikuti keinginan para<br />

bangsawan untuk membawa mereka secepatnya keluar dari ibu kota Palembang.<br />

Sultan sendiri melihatnya sebagai saat yang tepat untuk mengenyahkan Belanda<br />

62 Versi lain dapat dilihat dari laporan Gillespie kepada Raffles, disebutkan bahwa Sultan<br />

mengirim pesan melalui Pangeran Ratu kepada residen, komandan dan para perwira garnizun agar<br />

mereka menghadapnya. Dengan alasan menyampaikan pesan inilah Pangeran Ratu bersama<br />

sejumlah besar pasukan memasuki loji, mereka terlebih dahulu meredam semua meriam yang<br />

terdapat di loji itu. Selanjutnya, mereka dibawa para penghuni loji ke Sunsang untuk dibunuh<br />

(Java Gouvernement Gazette, 18 Juni 1812 No.16).<br />

63 Berdasarkan laporan Komandan Malaka kepada Lord Minto, diketahui bahwa para<br />

penghuni loji ditempatkan di atas perahu selama dua hari, sedangkan, kesaksian Loisa van de<br />

Watering Buys dalam Baud (1853:36) menyebutkan bahwa para penghuni loji berada di atas<br />

perahu selama tiga hari.<br />

64 Kesaksian Louisa van de Wateringe Buys dalam lampiran 8 menyebutkan<br />

bahwa perempuan-perempuan yang berhasil meloloskan diri ke kampung Cina dan<br />

rumah orang Arab adalah istri juru tulis Folkers, istri Kopral Reinwits dan istri<br />

Katsenbeitzer. Dari sana mereka dibawa Pangeran Wiradinata menuju Pulau Seribu,<br />

Padang Rura dan Pancalang Lampon. Di sana mereka dibawa ke tempat lain yang tidak<br />

disebutkan namanya dalam pengawasan petugas secara bergantian (Baud, 1853: 36-37).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


82<br />

dari bumi Palembang. Terlalu lama keinginan untuk mengusir mereka, apalagi<br />

sultan selama sekitar Sembilan bulan dalam tekanan Raffles untuk mengusir<br />

Belanda.<br />

Dari Java Gouvernement Gazette, 18 Juni 1812 No.16 diperoleh data<br />

bahwa terdapat seorang perempuan Eropa yang diikutsertakan dalam salah satu<br />

perahu, ia dibunuh dan dibuang ke sungai bersama korban-korban lainnya. Dari<br />

sumber Thorn (2004: 145; 1816:147) diketahui bahwa ada seorang perempuan<br />

bersama bayinya mengikuti suaminya naik ke atas geladak kapal. Baud (1853:36)<br />

mendukung pendapat di atas dengan mengatakan bahwa perempuan itu adalah<br />

istri Sersan Scheffer. Dari sumber-sumber tersebut dapat disimpulkan bahwa<br />

terdapat korban perempuan dalam peristiwa pembunuhan di Sunsang.<br />

Dalam peristiwa itu disebutkan bahwa sebanyak 110 orang diperintahkan<br />

keluar loji dengan alasan akan dibawa ke Jawa. Di muara Sunsang mereka<br />

diserang dan dibunuh, dan yang selamat hanyalah Willem van de Wateringbuis 65 .<br />

Para bangsawan yang melakukan eksekusi adalah Pangeran Wirakusuma,<br />

Pangeran Wiradiwangsa, Wirasentika, Tumenggung Kertonegoro, Demang<br />

Usman, Tumenggung Suroyudo, Ngabehi Wiroyudo, Ngabehi Kepinding,<br />

Ngabehi Kreto dan Ngabehi Jalil (ANRI, Bundel Palembang No. 67; No. 62.2; No.<br />

5.1; Baud, 1853: 39).<br />

Sebelum peristiwa 14 September 1811, Willem van de Weteringuis<br />

(Willem van de Wateringe Buys) 66 telah memperingatkan residen Palembang agar<br />

waspada. Kondisi tenang pada waktu itu tidak akan berlangsung lama karena<br />

masyarakat Palembang tidak suka kepada Belanda. Akan tetapi, karena hubungan<br />

Comment [DKM71]: Bukankah pada paragraf<br />

sebelumnya mereka sudah dibunuh???<br />

Comment [DKM72]: Apa relevansinya???<br />

65 Selain Willem van de Wateringe Buys, terdapat Antonius dan ibunya (orang<br />

pribumi) yang selamat. Selama Sembilan bulan mereka bersembunyi di hutan dan atas<br />

usaha ibu Antonius mereka berhasil menemui pasukan Inggris yang tiba di Palembang<br />

pada April 1812 (Baud, 1853: 33,35).<br />

66 Sumber arsip ( ANRI, Bundel Palembang No.67) menyebutkan bahwa Willem<br />

van de Weteringuis adalah seorang bujangan. Posisinya pada waktu itu sebagai juru tulis<br />

di loji Belanda. Hubungannya dengan penduduk asli Palembang terdapat dua pendapat<br />

yaitu, menurut Waey (1875: 100), istrinya orang Palembang asli, sedangkan menurut<br />

Woelders (1975:6), ibunya orang Palembang asli. Pendapat ini sama dengan Kemp<br />

(1900:371), bahwa ibunya pribumi, itulah sebabnya wajahnya hitam dan dengan<br />

memakai busana pribumi berhasil menyelamatkan diri. Pada saat tertangkap, ia<br />

menyatakan akan memeluk agama Islam dan ia mengajar di salah satu dusun, sampai<br />

akhirnya berhasil diselamatkan oleh Gillespie.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


83<br />

baik Residen Jacob Groenhof van Woortman dengan Perdana Menteri (Pangeran<br />

Adipati), peringatan itu ditepisnya. Willem van de Weteringe Buys juga<br />

mengetahui akan ada penyerangan terhadap loji, dan ia berhasil meloloskan diri<br />

ke pedalaman. Selain Willem van de Weteringuis terdapat beberapa perempuan<br />

yang berhasil meloloskan diri, termasuk Louise (istri dari wakil residen<br />

Haarvlegter) (Waey, 1875: 100-101; Woelders, 1975: 6). Menurut Wurtzburg<br />

(1949: 44), yang selamat hanya Willem van de Weteringuis dan Louise. Jadi, dari<br />

sumber-sumber di atas dapat disimpulkan bahwa hanya satu orang laki-laki dan<br />

beberapa perempuan yang berhasil meloloskan diri.<br />

Dari berbagai sumber diketahui sebanyak 24 orang Eropa, 63 orang<br />

pribumi penghuni loji yang dibunuh di muara Sunsang. Orang-orang Eropa<br />

dibunuh di atas perahu, sedangkan, orang-orang Jawa dibunuh dengan cara perahu<br />

mereka dilobangi dasarnya dan dihanyutkan. Berdasarkan sumber arsip (ANRI,<br />

Bundel Palembang No. 67) disebutkan bahwa loji Belanda dihuni oleh 110 orang,<br />

sedangkan yang terbunuh 87 orang. Berarti sebanyak 27 orang yang berhasil<br />

meloloskan diri. Menurut sumber-sumber yang dapat dilacak, disebutkan bahwa<br />

hanya beberapa perempuan dan seorang laki-laki yang lolos (jumlah yang tidak<br />

mewakili untuk 27 orang yang lolos). Langkah selanjutnya yang diambil pihak<br />

Sultan pada 17 September 1811 (16 September 1811 menurut kesaksian Raden<br />

Muhamad dan Said Abubakar bin Husein Roem) adalah membongkar loji dan<br />

meratakannya dengan tanah, serta menanaminya dengan tumbuh-tumbuhan<br />

seolah-olah kondisi tersebut sudah lama terjadi (Baud, 1853: 14; Kielsra, 1892:<br />

81; Kaiser, 1857: 86; Woelders, 1975: 6; Wurtzburg, 1949: 44).<br />

Tindakan kejam oleh para bangsawan, kemungkinan disebabkan adanya<br />

kesempatan untuk melenyapkan orang-orang Belanda yang terlalu lama bercokol<br />

di Palembang. Faktor lain adalah adanya dukungan yang besar dari Raffles,<br />

melalui agen-agennya (ANRI, Bundel Palembang No. 5.1; Bataviaasch Courant,<br />

Sabtu, 4 Agustus 1821). Hasil penelitian Kolonel Gillespie yang dilaporkan oleh<br />

Lady Raffles (1835: 173), menyebutkan bahwa Pangeran Ratu berperan besar<br />

dalam aksi pembantaian tersebut. Hal senada dikemukakan oleh Baud (1853: 18),<br />

yang menyatakan bahwa pembunuhan itu terjadi karena kebencian Pangeran Ratu<br />

Comment [DKM73]: Maksudnya apa???<br />

Comment [DKM74]: Dari sini mundur sampa<br />

red mark sebelumnya, tidak ada relevansinya deng<br />

disertasi. Ada kesan hanya mau memanjangmanjangkan<br />

halaman di bab II.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


84<br />

terhadap orang-orang Belanda, tetapi tidak ada saksi-saksi yang membenarkan hal<br />

tersebut.<br />

Sejarah Palembang mencatat bahwa para elite Palembang telah mengambil<br />

keputusan membunuh para penghuni loji dan menghancurkan bangunannya,<br />

seolah-olah di lokasi tersebut tidak pernah ada bangunan sebelumnya. Semua itu<br />

dilakukan untuk mengelabuhi pihak Inggris, apabila mempertanyakan keberadaan<br />

Belanda di Palembang. Dari apa yang dilakukan, tampak bahwa semua dilakukan<br />

demi menutupi peristiwa tersebut dari Inggris. Hal ini karena peran Raffles yang<br />

berusaha dengan berbagai cara agar sultan mengusir Belanda dari Palembang.<br />

Setelah berhasil mengusir Belanda dan sadar akan adanya ancaman dari<br />

Inggris, langkah yang diambil oleh Sultan Badaruddin II adalah mempersiapkan<br />

diri dengan cara memperbaiki dan membangun benteng-benteng pertahanan di<br />

titik-titik strategis di Sungai Musi. Benteng-benteng itu terdapat di Sunsang,<br />

Muntok, Pulau Anyar, Palembang Lamo, Batu Ampar, dan Gunung Meru. Kubukubu<br />

pertahanan itu dipersenjatai meriam dan penjagaannya diserahkan kepada<br />

para pangeran, menteri, depati, hulubalang, penggawa, dan rakyat. Palembang<br />

juga menyiapkan meriam-meriam, perahu-perahu bersenjata dan rakit-rakit yang<br />

mudah terbakar. Keraton sebagai pusat pemerintahan dipertahankan dengan<br />

menempatkan sebanyak 242 meriam (Woelders, 1975: 7, 86-91).<br />

Awal Nopember 1811 Raffles mengirim komisi ke Palembang<br />

berdasarkan Surat Perintah No. 1, 3 Nopember 1811. Komisi itu dipimpin oleh<br />

Kapten Richard Phillips dengan anggota Alexander Hare dan Willem<br />

Wardenaar 67 . Mereka bergerak meninggalkan Batavia pada 6 Nopember 1811,<br />

memasuki muara Sungai Musi pada 14 Nopember 1811. Sebelumnya mereka<br />

singgah di Muntok. Di Muntok komisi yang dikirim oleh Raffles menerima dua<br />

67 Willem Wardenaar adalah orang Belanda, anggota Dewan Agung Batavia<br />

yang dimanfaatkan oleh Raffles untuk mempermudah pelaksanaan penerimaan berkasberkas<br />

loji dari Residen Jacob Groenhof van Woortman kepada pihak Inggris. Kehadiran<br />

Wadenaar di Palembang dipertanyakan oleh Tumenggung. Ia menolak kehadiran orang<br />

Belanda dalam komisi yang dikirimkan oleh Raffles. Pada saat utusan Raffles tiba di ibu<br />

kota Palembang, Tumenggung keberatan Wardenaar ikut naik ke darat. Menurut<br />

Tumenggung, Wardenaar tidak berhak sebagai wakil Inggris. Akan tetapi keberatan<br />

tersebut ditolak oleh Phillips dengan menegaskan bahwa kehadiran Wardenaar penting<br />

dalam pertemuan-pertemuan, dan Wardenaar adalah utusan resmi pemerintah Inggris<br />

(ANKL, House of Lord, vol. 109, 1835).<br />

Comment [DKM75]: Kalimatnya lucu!<br />

Comment [DKM76]: Di sini berarti di atas<br />

kapal??<br />

Comment [DKM77]: Mereka itu siapa???<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


85<br />

surat yang ditujukan kepada Raffles dari agen-agennya (Raden Muhamad dan<br />

Said Abubakar). Keduanya menyatakan bahwa Belanda telah meninggalkan<br />

Palembang sebelum Batavia jatuh ke tangan Inggris dan loji telah diratakan<br />

dengan tanah 68 .<br />

Ketika mereka memasuki muara Sungai Musi, kehadiran mereka sempat<br />

ditolak oleh wakil sultan yang menyambut mereka. Setelah dijelaskan maksud<br />

kedatangan mereka untuk menyerahkan surat Raffles kepada Sultan, mereka<br />

diperkenankan mengirimkan kurir ke keraton. Selama dalam pelayaran menelusuri<br />

Sungai Musi menuju ibu kota, mereka menemukan banyak orang yang sedang<br />

membangun kubu pertahanan. Pada hari keempat, masih dalam pelayaran (hari ke<br />

empat), mereka disambut tiga orang utusan Sultan dan pengawal mereka dengan<br />

membawa hadiah berupa makanan, buah-buahan dan sayuran serta menyampaikan<br />

salam dari Sultan Badaruddin II. Ketiganya adalah Tumenggung, Ronggo dan<br />

Demang. Ketiganya menanyakan maksud kedatangan mereka, yang dijawab<br />

bahwa tujuan mereka adalah untuk mengambil alih loji Belanda sesuai kapitulasi<br />

Gubernur Jenderal Janssens dan membujuk Sultan Badaruddn II mengubah<br />

kontrak. Pada kesempatan itu komisi menyerahkan surat dan hadiah dari Raffles<br />

sebagai lambang persahabatan. Raffles juga menawarkan bantuan kepada Sultan<br />

untuk melumpuhkan para perompak dan melawan musuh-musuh Palembang.<br />

Kepada Sultan Badaruddin II mereka juga menyampaikan tentang perubahan<br />

pemerintahan dari Belanda kepada Inggris, dan menuntut semua dokumen kontrak<br />

untuk diserahkan kepada pejabat residen yang baru yaitu Letnan Thomas C.<br />

Comment [DKM78]: Ini dimasukkan dalam<br />

kalimat!<br />

68 Dalam laporan Raffles kepada Gubernur Jenderal Lord Minto dinyatakan bahwa<br />

Pangeran Ratu mengatasnamakan Sultan Badaruddin II, yang pada 22 atau 23 September 1811<br />

memaksa Raden Muhamad dan Said Abubakar yang berada di Palembang saat peristiwa<br />

pendudukan loji Belanda, untuk membuat dan menandatangani laporan palsu di atas sumpah<br />

tentang para penghuni loji Belanda yang telah meninggalkan Palembang sebelum Inggris<br />

menduduki Jawa. Apabila mereka melanggar janji, maka mereka akan dibunuh, begitu pula<br />

seluruh keluarga mereka yang ada di Palembang. Setelah itu, mereka diperkenankan tinggal di<br />

Sunsang. Setelah tiga hari di sana, mereka didatangi oleh utusan Sultan (Kyai Mas Hahil dan<br />

Ngabehi Jilal) untuk membawa mereka kembali ke Palembang, namun mereka menolak. Akhirnya<br />

mereka memutuskan untuk berlayar menuju Malaka guna menghindari ancaman Sultan. Di<br />

Malaka mereka membuat kesaksian di depan anggota Pengadilan Tinggi Malaka di bawah<br />

pimpinan Mayor Farquhar. Kesaksian mereka ditandatangani oleh J.H. Stocken, A. Koeck dan C.<br />

Walbechim (anggota Pengadilan Tinggi). Diterjemahkan oleh van Beuchem (Java Gouvernement<br />

Gazette, 2 Mei 1812 No.10; Baud, 1853: 14, 30; Thorn, 2004: 147).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


86<br />

Jackson (ANKL, House of Lord, vol. 109, 1819; Java Gouvernement Gazette, 2<br />

Mei 1812 No.10; Woelders, 1975, 7; Lady Raffles, 1835: 156;).<br />

Di balik dari semua alasan yang telah dikemukakan, intinya adalah<br />

―menempatkan Pulau Bangka di bawah kekuasaan Inggris secara permanen.‖<br />

Dengan menguasai Bangka-Belitung yang kaya timah dan pangkalanpangkalannya,<br />

berarti Inggris akan mendapat keuntungan besar. Di samping itu,<br />

Inggris juga akan mengamankan perairan Bangka-Palembang yang selama ini<br />

rawan perompakan. Keamanan perairan itu mutlak dipertahankan demi lancarnya<br />

perdagangan dan perairan (ANKL, House of Lord, vol. 109, 1819).<br />

Setibanya di kota Palembang, mereka ditemui oleh Tumenggung (pejabat<br />

pemerintah yang bertanggungjawab dalam masalah tersebut). Pada kesempatan itu<br />

Tumenggung menjelaskan proses pengusiran orang-orang Belanda yang ada di<br />

Palembang pada 14 September 1811. Tumenggung juga menyatakan bahwa<br />

Sultan telah melaksanakan kesepakatannya dengan Raffles, yaitu mengusir<br />

orang-orang Belanda sebelum Inggris menduduki Pulau Jawa (18 September<br />

1811). Dengan demikian, sejak saat itu Kesultanan Palembang bebas, lepas dari<br />

ikatan Belanda. Sebagai kerajaan yang merdeka, pihak Palembang menyatakan<br />

sepakat hanya akan mengirimkan timah ke Malaka dan Penang sebagai wujud<br />

persahabatan dengan Inggris (ANKL, House of Lord, vol. 19, 1835; Bastin, 1854:<br />

67; Lady Raffles, 1835: 156-157).<br />

Komisi bertemu dengan Sultan Badaruddin II pada 23 Nopember 1811.<br />

Pada kesempatan itu kembali mereka mengemukakan tentang misinya untuk<br />

mengambilalih loji Belanda sebagai konsekuensi berakhirnya kekuasaan Belanda<br />

di Hindia Timur. Mereka juga menawarkan perubahan kontrak, dengan<br />

menawarkan harga timah 12 dollar Spanyol per pikul, dari harga sebelumnya<br />

senilai 10 dollar Spanyol per pikul. Apabila Sultan Badaruddin II menolak usulan<br />

pertama, hendaknya Sultan Badaruddin II menyerahkan pengelolaan tambang<br />

timah Bangka kepada mereka dengan ganti rugi sebesar 20 ribu dollar Spanyol<br />

tiap tahunnya. Menghadapi kondisi tersebut, sultan bertahan dengan pendapat<br />

bahwa kini negerinya telah bebas dan merdeka. Ia telah mengusir Belanda sesuai<br />

permintaan Raffles. Sultan juga mengemukakan mengapa ia tidak melaporkan<br />

perihal telah diusirnya orang-orang Belanda, karena Raffles tidak menuntut hal<br />

Comment [DKM79]: Tidk logis!<br />

Comment [DKM80]: Apakah sudah tepat dise<br />

negara??<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


87<br />

tersebut. Di samping itu, Sultan Badaruddin II tidak yakin Inggris akan berhasil<br />

menaklukkan Pulau Jawa. Jadi jelaslah bahwa Sultan Palembang menolak untuk<br />

berunding dengan komisi yang dikirimkan oleh Raffles dan mempertahankan<br />

kebebasannya. Bagi Sultan Badaruddin II, mengusir orang-orang Belanda bukan<br />

bertujuan untuk menjadikan Inggris sebagai penggantinya. Sultan juga melarang<br />

mereka berhubungan dengan penduduk dan mengusir mereka dari Palembang.<br />

Karena merasa terancam, ketiga orang anggota komisi Inggris itu secepatnya<br />

meninggalkan Palembang dan kembali ke Batavia (ANRI, Bundel Palembang No.<br />

67; ANKL, House of Lord, 109: 1819; Java Gouvernement Gazette, 2 Mei 1812<br />

No.10; 30 Mei 1812;, vol. 109, 1835; Lady Raffles, 1835:158; Bastin, 1954: 67-<br />

68; Kaiser, 1857: 92; Woelders, 1975:7; Baud, 1853:15).<br />

Ini menjadi awal konflik Palembang dengan Inggris, Sultan Badaruddin II<br />

bertahan dengan keputusannya bahwa Kesultanan Palembang adalah kerajaan<br />

yang bebas menolak intervensi dari mana pun. Hal itu ditopang pula pada<br />

keyakinan bahwa Raffles sebagai penguasa Inggris pada saat itu akan menepati<br />

janjinya untuk membebaskan Palembang dari segala ketentuan kontrak dengan<br />

Belanda. Dengan demikian, Sultan sudah menakar kemampuan kerajaan untuk<br />

menanggung berbagai resiko akibat menolak utusan Inggris dari Batavia, terbukti<br />

dari berbagai persiapan yang dilakukan sebelum kedatangan utusan Inggris.<br />

Setibanya komisi di Batavia pada 13 Desember 1811, mereka menjumpai<br />

beberapa orang Arab utusan Pangeran Adipati untuk menemui para pejabat<br />

Inggris di sana. Dari penjelasan mereka dapat diketahui langkah yang ditempuh<br />

oleh oleh penguasa Palembang untuk ―mengakhiri‖ keberadaan orang-orang<br />

Belanda di sana 69 . Versi lain menyebutkan bahwa rahasia itu terbongkar pada 12<br />

Desember 1811 dengan adanya laporan dari Raden Muhamad dan Said Abubakar<br />

dari Malaka. Dalam laporannya, agen-agen Raffles itu menyatakan bahwa mereka<br />

tengah berada di Palembang pada saat peristiwa pendudukan loji Belanda (Stapel,<br />

1940: 96; Lady Raffles, 1835: 157).<br />

Comment [DKM81]: Jangan menggunakan ka<br />

kesimpulan di sini!!!!<br />

69 Berdasarkan salinan surat dari komandan Malaka kepada Gubernur Jenderal Lord<br />

Minto di India tanggal 11 Desember 1811, diketahui bahwa informasi pertama tentang peristiwa<br />

pembunuhan di Palembang diterima beberapa hari sebelum salinan surat itu dibuat, pengakuan itu<br />

diterima dari Raden Muhamad. Selanjutnya, pada 12 Desember 1811 Raden Muhammad dan Said<br />

Abubakar membuat pengakuan tentang masalah tersebut di depan Komite Pengadilan (ANKL,<br />

House of Lord, vol. 109, th. 1819).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


88<br />

Dari sumber-sumber tersebut dapat disimpulkan bahwa, pemerintah<br />

Inggris di Batavia sudah mengetahui tentang pembantaian orang-orang Belanda<br />

sebelum komisi Raffles tiba di sana. Walaupun tidak diketahui kapan persisnya<br />

utusan Pangeran Adipati tiba di Batavia, namun, keberadaan utusannya telah ada<br />

di sana sebelum kedatangan komisi yang dikirim Raffles. Penjelasan utusan<br />

Pangeran Adipati dan surat dari agen-agen Raffles sudah cukup memberikan<br />

informasi tentang peristiwa yang terjadi di Palembang. Kehadiran utusan<br />

Pangeran Adipati menunjukkan bahwa pangeran itu terlibat dalam kemelut yang<br />

baru saja dimulai. Suatu bentuk konspirasi diduga muncul yang berakibat panjang<br />

terhadap hubungan kedua bersaudara dan antara Kesultanan Palembang dan<br />

Inggris.<br />

Tanpa mengetahui apa yang terjadi, Sultan Badaruddin II mengirim<br />

utusan 70 ke Batavia. Utusan itu dipimpin Tumenggung Lanang (Towagong<br />

Louong) 71 . Mereka tiba di sana pada Januari 1812. Dalam suratnya, Sultan<br />

Badaruddin II menyambut baik tawaran kerjasama dari Raffles melalui utusannya<br />

ke Palembang. Sultan juga menjelaskan tentang peristiwa pengusiran terhadap<br />

orang-orang Belanda yang terjadi sebelum ekspedisi penaklukan Jawa. Jadi,<br />

sultan kembali menegaskan tentang status Palembang yang telah mengusir<br />

Belanda sebelum Inggris menduduki Jawa. Hal itu untuk menekankan pada janji<br />

Raffles yang akan membebaskan Palembang apabila berhasil mengenyahkan<br />

Belanda sebelum Jawa diduduki Inggris. Saat itu terjadi upaya sultan untuk<br />

meyakinkan Raffles tentang posisi Kesultanan Palembang. Sementara itu, selagi<br />

utusan Palembang masih di Batavia, Raden Muhamad dan Said Abubakar tiba di<br />

Batavia pada 5 Januari 1812. Di depan utusan Palembang mereka<br />

mengungkapkan semua peristiwa yang terjadi, menyangkut loji dan para<br />

Comment [DKM82]: Ini di catatan kaki saja!<br />

70 Menurut Woelders (1975: 89), yang diutus sultan adalah Tumenggung<br />

Suranandita dan Tumenggung Suradiraja. Pendapat ini agak mirip dengan sumber dari<br />

Bastin (1954: 69) yang menyatakan bahwa yang diutus sultan terdiri dari Tumenggung<br />

Suranandita, Demang Suara Derpa dan Derya Nata. Dari berbagai sumber itu, dapat<br />

dipastikan bahwa jabatan tertinggi yang diutus ke Batavia adalah tumenggung.<br />

71 Tumenggung Lanang adalah penasehat sultan dengan jabatan sebagai<br />

penghulu. Menurut Gillespie, Tumenggung Lanang adalah salah seorang yang berperan<br />

dalam penghancuran loji Belanda (Java Gouvernement Gazette, 18 Juni 1812 No.16).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


89<br />

penghuninya yang telah dibunuh. Keterangan kedua agen Raffles tersebut<br />

memperjelas isi laporan mereka sebelumnya, Perbedaan versi cerita seputar<br />

pendudukan loji Belanda dan penolakan Sultan Badaruddin II terhadap beberapa<br />

opsi yang ditawarkan oleh Raffles, membuatnya memutuskan untuk menghukum<br />

Palembang. Menurut Raffles, penolakan Sultan Badaruddin II terhadap komisi<br />

yang dikirimkannya adalah suatu penghinaan. Pernyataan itu disampaikan Raffles<br />

dalam suratnya kepada Gubernur Jenderal Lord Minto pada 7 Maret 1812 (Java<br />

Gouvernement Gazette, 30 Mei 1812; Lady Raffles, 1835: 157).<br />

Penolakan Sultan Palembang dan berita tentang pendudukan loji Belanda<br />

mendorong Raffles melakukan ekspedisi untuk mencapai ambisinya. Dalih yang<br />

digunakan oleh Raffles adalah menerapkan ―pengadilan moral‖ terhadap<br />

Palembang. Sesungguhnya, Raffles tidak menganggap pembunuhan pada<br />

September 1811 sebagai suatu tindak pidana karena yang menjadi korban adalah<br />

orang-orang Belanda dan pribumi. Motivasi sesungguhnya dari ekspedisi tersebut<br />

adalah mendapatkan Pulau Bangka-Belitung yang kaya timah dan lada. Dalam<br />

pengakuannya kepada Lord Minto (7 Maret 1812), Raffles menyatakan bahwa<br />

dirinya berani mengambil resiko dengan tanpa meminta persetujuan terlebih<br />

dahulu kepada Lord Minto karena yakin tindakannya akan direstui, mengingat<br />

keuntungan yang akan diperoleh dari Pulau Bangka-Belitung. (ANRI, Bundel<br />

Palembang No. 5.1; Baud, 1853: 17; Lady Raffles, 1835,158-159).<br />

Comment [DKM83]: Edit kalimat ini!<br />

2.3.4 Keterlibatan Raffles dalam Pendudukan Loji Belanda<br />

Baik secara langsung atau tidak langsung Raffles terlibat dalam peristiwa yang<br />

memakan korban 87 jiwa, yang terdiri dari orang-orang Belanda maupun pribumi<br />

(beberapa sumber menyebutkan 63 orang Jawa tetapi sumber lain menuliskan<br />

kata-kata pribumi). Berdasarkan surat-surat Raffles kepada sultan yang ditemukan<br />

oleh Baud, surat-surat itu dikirimkan oleh Sultan Badaruddin II kepada bekas<br />

sahabatnya di Batavia. Selanjutnya, surat-surat itu diserahkan kepada Komisaris<br />

Jenderal, sedangkan tembusannya disimpan. Tembusan ini diteliti oleh Baud 72 dan<br />

72 J.C. Baud adalah sekretaris pemerintah Hindia Belanda (1818). Ia lahir tahun<br />

1789, dididik di Inggris, selanjutnya masuk Angkatan Laut (AL) dan bersama-sama<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


90<br />

beberapa dokumen penting lainnya. Baud (1853: 8,15-17) menyimpulkan bahwa<br />

Raffles adalah orang yang harus bertanggung jawab atas pengusiran dan<br />

pembantaian terhadap para penghuni loji Belanda. Berkaitan dengan hal itu,<br />

Bastin (1954: 65) berpendapat bahwa apa yang dilakukan oleh Sultan Badaruddin<br />

II sesuai dengan tuntutan Raffles dan terjadi empat hari sebelum Kapitulasi<br />

Tuntang. Sebaliknya, Wurtzburg (1949: 38, 50-51) menolak kedua pendapat<br />

sebelumnya. Menurutnya, Raffles tidak bisa dikatakan bersalah secara moral<br />

dalam pembantaian tersebut (pendapatnya itu mendapat dukungan dari Veth).<br />

Lebih lanjut, Wurtzburg menuding Baud dengan menyatakan bahwa berbagai<br />

tuduhan Baud dikarenakan perasaan bencinya kepada Raffles, sehingga, setiap<br />

bukti yang terdapat dalam surat-surat Raffles diinterpretasikan negatif oleh Baud.<br />

Hal itu bisa terjadi, mungkin karena adanya masalah pribadi antara Baud dan<br />

Raffles.<br />

Dalam surat-suratnya kata-kata yang digunakan oleh Raffles tidak jelas.<br />

Akibatnya, membingungkan pembacanya. Khususnya kalimat yang mengandung<br />

dorongan kepada Sultan Badaruddin II, tentang apa yang seharusnya<br />

dilakukannya terhadap orang-orang Belanda. Menurut penelitian Bastin (1954:<br />

65), ternyata surat-surat Raffles berbeda maknanya antara bahasa aslinya (Inggris)<br />

dan versi Melayunya. Kalau sebelumnya dalam Bahasa Inggris bermakna halus,<br />

berubah menjadi kasar dalam versi Melayu. Contohnya apa yang digunakan oleh<br />

Baud sebagai dasar menetapkan Raffles sebagai orang yang bertanggungjawab<br />

atas pembantaian orang-orang Belanda. Berdasarkan kalimat (versi Melayu)<br />

―misti sobat beta buang, abiskan sekali kali, segala orang Olanda‖ (ook moet mijn<br />

vriend (de Sultan) alle hollanders geheel en al uitwerpen, en maken dat zij er niet<br />

meer zijn). Intinya ―buang dan hancurkan‖. Menurut W. Ph. Coolhaas dan C.<br />

Hooykas, makna kalimat tersebut adalah ―akhiri semuanya, jangan ada yang<br />

tersisa‖. Sedangkan Richard Winstedt memaknainya dengan ―sultan harus<br />

mengusir semua orang Belanda dan Residen untuk menyelesaikan pekerjaannya‖.<br />

Menurut Bastin dalam versi Bahasa Inggrisnya, maknanya adalah ―saya akan<br />

mengusulkan kepada paduka untuk mengusir mereka (orang-orang Belanda) dari<br />

Comment [DKM84]: Tidak cocok artinya!!!<br />

Comment [DKM85]: Cantumkan bahasa<br />

Inggrisnya agar seimbang!!!<br />

dengan Janssens tiba di Batavia pada 1810. Setelah Pulau Jawa jatuh ke tangan Inggris,<br />

Baud menjadi asisten sekretaris. Puncak karirnya adalah sebagai Gubernur Jenderal<br />

(1833-1836) (Wurtzburg, 1949:38).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


91<br />

negeri anda sekaligus.‖ Kalimat tersebut setelah diterjemahkan ke dalam Bahasa<br />

Melayu oleh juru tulis Raffles pada waktu itu menjadi ―karena itu saya<br />

mengusulkan agar anda memukul mereka secara telak‖ (pukul buang sekali-kali).<br />

A.A. Cense, berpendapat bahwa makna kalimat tersebut adalah ―sultan harus<br />

mengusir orang-orang Belanda keluar dengan cara kekerasan‖ (pukul atau hantam<br />

dan buang) (Kaiser, 1857: 87). Surat yang diterima oleh sultan adalah versi<br />

Bahasa Melayu, yang bermakna ―usir Belanda dengan cara kekerasan.‖<br />

Apabila dikaitkan dengan surat pertama Raffles tentang keberadaan<br />

armada Belanda di muara sungai Musi, menurut Bastin (1854: 65) kata-kata<br />

―pukul‖ dan ―buang‖ mungkin dimaksudkan untuk mengusir armada dan para<br />

penghuni loji Belanda. Akan tetapi, kata-kata ―usir orang Belanda‖ sering pula<br />

disebutkan oleh Raffles dalam surat-suratnya yang lain (sampai surat yang<br />

dikirimkan pada Maret 1811), ditambah pula, pengiriman senjata dan amunisi. Ini<br />

berarti Raffles secara nyata terlibat dalam usaha Sultan Palembang mengusir<br />

Belanda dari Palembang. Akan tetapi tentunya tidak dimaksudkan untuk<br />

―membantai‖ para penghuni loji. Mereka seharusnya diperlakukan dengan baik<br />

dan terhormat. Dari berbagai pendapat tersebut, tampak bahwa isi surat Raffles<br />

yang disitir Bastin, W. Ph. Coolhaas-C.Hooykaas dan Richard Winstedt,<br />

menggunakan kata ―usir semua orang Belanda‖, sedangkan, Baud dan Cense<br />

menggunakan ―usir/buang dengan kekerasan.‖ Walaupun demikian, semuanya<br />

sepakat bahwa kedudukan Belanda di Palembang ―harus diakhiri‖. (Baud, 1853:<br />

8,15-17; Bastin, 1954: 65; Kaiser, 1857: 87).<br />

Setelah mengetahui kejatuhan Batavia, Sultan Badaruddin II melakukan<br />

tindakan mengusir orang Belanda sesuai permintaan Raffles dalam berbagai<br />

suratnya, tambahan pula, dengan adanya pengiriman senapan dan amunisi yang<br />

dapat ditafsirkan sebagai bantuan langsung yang dikirimkan Raffles agar Sulan<br />

Badaruddin II mengusir Belanda dari Palembang. Raffles juga menjanjikan akan<br />

mengakui Sultan Palembang sebagai penguasa merdeka, apabila berhasil<br />

mengusir Belanda sebelum Pulau Jawa jatuh (secara de jure jatuh pada tangal 18<br />

September 1811 dengan ditandatanganinya Kapitulasi Tuntang). Oleh sebab itu,<br />

Sultan menolak keinginan komisi yang dikirim oleh Raffles (Phillip, Wardenaar<br />

dan Hare) untuk menggantikan posisi Belanda di Palembang. Raffles juga tidak<br />

Comment [DKM86]: Paragraf ini menjadi tida<br />

jelas karena tidak disertakan bahasa Inggrisnya!!<br />

Comment [DKM87]: Tidak mungkin mengusi<br />

loji Belanda. Yang bisa diusir kapal atau orang,<br />

kalau loji kan benda mati, jadi tidak bisa diusir!!<br />

Comment [DKM88]: Selesaikan kalimat ini!!!<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


92<br />

menuntut agar sultan melaporkan atas apa yang dilakukannya terhadap loji<br />

Belanda.<br />

Perdebatan tentang terlibat tidaknya Raffles dalam pembunuhan penghuni<br />

loji, membawa Kaiser (1857: 87-79) menuliskan pendapatnya, bahwa kata-kata<br />

Raffles sangat luas pengertiannya, sehingga menimbulkan berbagai interpretasi,<br />

Oleh sebab itu, wajar apabila Sultan Badaruddin menafsirkannya dengan boleh<br />

melakukan apa saja, asal orang-orang Belanda berhasil dikeluarkan dari<br />

Palembang berupa pengusiran, penagkapan atau bahkan pembunuhan. Sultan<br />

Badaruddin II menerima dan memanfaatkan bujukan Raffles, terbukti dengan<br />

terjadinya peristiwa pembunuhan itu. Sturler sependapat dengan Kaiser yang<br />

mengatakan bahwa pembantaian itu merupakan bukti keberhasilan Raffles<br />

membujuk sultan. Sultan menerima bujukan Raffles dan memanfaatkan<br />

momentum yang ada secara tepat. Ternyata dengan cara ini Raffles yang cerdik<br />

telah terjebak oleh Sultan yang lebih cerdik lagi. Maksudnya Sultan menafsirkan<br />

semua bantuan Raffles untuk mengusir Belanda dari Palembang dengan cara<br />

apapun termasuk membunuh sebagian besar penghuni loji, yang mungkin tidak<br />

seperti itu yang diharapkan oleh Raffles.<br />

Dalam laporannya Gillespie menyampaikan bahwa Pangeran Ratu adalah<br />

orang yang sangat kejam dan berperan besar dalam pembunuhan terhadap orangorang<br />

Belanda. Pendapat itu dibantah oleh Baud (1853: 19) dan Bastin (1854: 65).<br />

Menurut keduanya, tudingan tersebut hanya merupakan konspirasi politik dari<br />

musuh-musuh Pangeran Ratu. Walaupun nama Pangeran Ratu disebut-sebut<br />

dalam berbagai laporan, tetapi perannya tidak penting. Dengan demikian, terlalu<br />

berlebihan apabila menerima pendapat Gillespie yang tidak didukung oleh data<br />

yang akurat.<br />

Untuk menentukan besar kecilnya pengaruh Raffles dalam perkara tersebut<br />

bukanlah perkara mudah, sebab tidak ada penjelasan lebih lanjut apa makna dari<br />

kata-katanya dan maksud pengiriman senapan dan amunisi dari Raffles. Sebagai<br />

wakil Lord Minto di bidang politik, Raffles wajib membangun persekongkolan<br />

dengan para penguasa pada waktu itu untuk melemahkan kedudukan Belanda,<br />

sehingga semua kesalahan ditimpakan kepada pemerintah Inggris. Menurut<br />

hukum Inggris penggunaan wakil-wakil dalam bidang politik dalam kondisi<br />

Comment [DKM89]: Tidak jelas maksud<br />

Anda!!!<br />

Comment [DKM90]: Kena apa muncul kata ag<br />

lagi???<br />

Comment [DKM91]: ????<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


93<br />

seperti itu dibenarkan, namun, tetap diperlukan batas-batas yang jelas sehingga<br />

tidak menimbulkan masalah (Kaiser, 1857: 88).<br />

Dari uraian di atas, dalam menganalisis keterlibatan Raffles dalam<br />

peristiwa 14 September 1811 seolah-seolah terdapat pendapat yang berbeda atau<br />

bertolak belakang. Untuk itu perlu dilihat hubungan antara Sultan Badaruddin II<br />

dan Raffles. Baik motif, langkah-langkah yang telah dilakukannya dalam<br />

mempengaruhi Sultan sampai terjadinya ekspedisi (1812) menduduki Kesultanan<br />

Palembang. Sejak awal hubungan kedua tokoh tersebut, terlihat usaha keras yang<br />

dilakukan oleh Raffles untuk mempengaruhi Sultan melalui surat-surat dan<br />

utusannya. Raffles mempengaruhi dengan janji-janjinya kepada sultan. Dalam<br />

salah satu suratnya, Raffles berjanji akan memenuhi apapun yang diminta oleh<br />

sultan apabila mengalami kesulitan dalam usaha mengusir Belanda. Raffles juga<br />

memberikan penawaran lebih menguntungkan dalam perdagangan khususnya<br />

timah, berjanji akan mengakui kemerdekaan Palembang apabila berhasil mengusir<br />

Belanda sebelum Inggris menguasai Jawa dan mengirimkan senjata serta amunisi<br />

ke Palembang. Raffles berani mengambil resiko dengan bertindak sendiri dalam<br />

memutuskan menyerang dan menduduki Kesultanan Palembang. Berdasarkan<br />

bukti-bukti tersebut, dapat disimpulkan bahwa Raffles telah melakukan segala<br />

cara agar sultan memenuhi permintaannya untuk mengenyahkan Belanda dari<br />

Palembang.<br />

Meskipun Palembang merupakan kerajaan yang berdaulat, akan tetapi<br />

kehadiran loji Belanda di daerah itu sejak abad XVII telah membuat para<br />

penguasa Palembang tidak bebas bergerak dalam mengelola hasil buminya. Hal<br />

itu disebabkan mereka terikat dengan berbagai kontrak yang mengikat dengan<br />

Kompeni, dilanjutkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Para raja dan sultan<br />

Palembang, dengan berbagai cara ―melanggar‖ ketentuan kontrak-kontrak<br />

tersebut. Bukan rahasia lagi kalau dikatakan bahwa Sultan terlibat aktif dalam<br />

berbagai penyelundupan komoditi perdagangan yang dihasilkan oleh Palembang,<br />

khususnya yang menjadi primadona dalam perdagangan internasional yaitu timah<br />

dan lada. Ancaman-ancaman Daendels juga ikut memicu ―buruknya‖ hubungan<br />

Palembang dengan Belanda. Jadi jelas bahwa mustahil Raffles tidak mempunyai<br />

andil besar dalam memicu didudukinya loji Belanda. Tanpa dorongan dan<br />

Comment [DKM92]: ???<br />

Comment [DKM93]: ????<br />

Comment [DKM94]: Kalimat ini tidak fokus!<br />

Jadikan dua kalimat!<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


94<br />

tindakan nyata dari Raffles, tidak akan ada tindakan ―radikal‖ yang dilakukan oleh<br />

para bangsawan atas perintah Sultan pada tragedi September 1811. Terbukti<br />

Sultan selalu bersifat menunggu dan mengulur-ngulur waktu dan menolak<br />

perjanjian yang disodorkan oleh Raden Muhamad (utusan Raffles). Hal itu<br />

disebabkan ketidakyakinan sultan akan keberhasilan Inggris mengalahkan<br />

Belanda yang sudah bercokol di Nusantara sejak awal abad XVII. Sultan juga<br />

telah melakukan langkah-langkah persuasif dengan meminta pemerintah di<br />

Batavia untuk menarik residen dan semua perangkatnya dari Palembang.<br />

Sehubungan dengan peristiwa pembantaian penghuni loji, hal itu disebabkan<br />

―kondisi‖ yang memaksa pada waktu itu. Dari berbagai sumber yang telah<br />

diuraikan, terbukti pembunuhan dan pemusnahan loji Belanda adalah untuk<br />

menghilangkan jejak (seolah-olah peristiwa itu telah lama terjadi). Dapat pula<br />

diasumsikan adanya keinginan dari pihak Kesultanan Palembang untuk<br />

melupakan dan ―menghapus semua ingatan akan keberadaan Belanda di<br />

Palembang‖.<br />

Comment [DKM95]: Siapa lagi ini???<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


95<br />

BAB 3<br />

SUKSESI DI KESULTANAN PALEMBANG (1811-1816)<br />

Comment [DKM96]: Kapan?<br />

Inggris merupakan aktor penting dalam berbagai konflik yang terjadi di<br />

Kesultanan Palembang. Mulai dari pengiriman ekspedisi pada 1812, yang<br />

menenpatkan Kesultanan Palembang di bawah pengaruh Inggris, khususnya Pulau<br />

Bangka yang telah menjadi miliknya. Inggris juga menurunkan Sultan Badaruddin<br />

II dan menggantikannya dengan Najamuddin II.<br />

Perubahan itu membawa konsekuensi yang sangat besar bagi Kesultanan<br />

Palembang yaitu permusuhan antara dua bersaudara (Badaruddin II dan<br />

Najamuddin II) yang melibatkan pendukung masing-masing. Rakyat Palembang<br />

terbelah dan saling bermusuhan. Kondisi itu diperparah dengan kebijakan Inggris<br />

menaik dan menurunkan sultan Palembang antara Najamuddin II dan Badaruddin<br />

II. Penguasa Palembang pada waktu itu tidak berdaya menghadapi berbagai<br />

ketentuan Inggris atas wilayah mereka. Sementara itu, sesuai dengan tujuan utama<br />

Inggris di Kesultanan Palembang, perhatian mereka lebih tertuju pada Pulau<br />

Bangka yang kaya timah dan lada. Akibatnya, wilayah Palembang daratan kurang<br />

mendapat perhatian. Fokus yang mereka berikan terhadap semua wilayah<br />

Palembang adalah keamanan, sehingga pada masa pemerintahan Inggris di<br />

Kesultanan Palembang kondisi keamanan lebih baik.<br />

Setelah selama sekitar empat tahun, Inggris terpaksa keluar dari<br />

Palembang, sebagai akibat dari Traktat London (1814). Berbagai cara mereka<br />

tempuh untuk menolak isi kesepakatan tersebut, namun Inggris tetap harus tunduk<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


96<br />

pada ketentuan tersebut. Akhirnya, pada Nopember 1816 Inggris melepaskan<br />

Kesultanan Palembang kepada Belanda.<br />

3.1 Ekspedisi Inggris (1812) dan Pemerintahan Sultan Badaruddin II di<br />

Uluan<br />

Pemerintah Inggris berketetapan hati untuk menghukum Sultan Badaruddin II atas<br />

pembunuhan yang terjadi pada 14 September 1811, alasan yang digunakan untuk<br />

―menghalalkan‖ tindakan tersebut, adalah karena penguasa Palembang<br />

memerintahkan untuk menduduki loji Sungai Aur dan menghancurkannya setelah<br />

Pulau Jawa dikuasai oleh pasukan Inggris 73 (ANRI, Bundel Palembang No. 5.1).<br />

Menurut Raffles, loji Belanda pada waktu itu sudah berada di bawah<br />

perlindungan pemerintah Inggris, berdasarkan pendudukan Inggris atas Batavia<br />

(Agustus 1811). Sesungguhnya Raffles tidak terlalu mempermasalahkan hal<br />

tersebut, seandainya Sultan Badaruddin II tidak menolak usul-usul Raffles yang<br />

intinya bermaksud mengambil alih Pulau Bangka melalui komisi yang<br />

dikirimkannya ke Palembang pada Nopember 1811. Bagi Raffles, penolakan<br />

tersebut merupakan penghinaan terhadap martabat dan wibawa Inggris.<br />

Sebagai penguasa tertinggi, Gubernur Jenderal Lord Minto merestui<br />

ditegakkannya hak dan kekuasaan Inggris di Palembang. Sesungguhnya Lord<br />

Minto tidak terlalu mempermasalahkan ―pembantaian‖ terhadap para penghuni<br />

loji (isi surat Lord Minto kepada Raffles pada 15 Mei 1812). Lord Minto juga<br />

belum menemukan bentuk hukuman yang paling tepat untuk Palembang. Untuk<br />

itu, Lord Minto menyerahkan sepenuhnya kepada Raffles atas kebijakan yang<br />

akan diambilnya. Atas dasar ini, Raffles memutuskan untuk mengirim ekspedisi<br />

ke Palembang (Bastin, 1954: 72)<br />

Menyadari bahaya akan datangnya serangan Inggris, Sultan Badaruddin II<br />

mengumpulkan para mantri, bangsawan dan depati dari uluan untuk membahas<br />

persiapan menghadapi serangan Inggris. Semuanya dilibatkan untuk menyiapkan<br />

Comment [DKM97]: Catatan kaki!<br />

73 Klaim Inggris ini mendapat banyak bantahan, karena kapitulasi Janssens<br />

terjadi empat hari (18 September 1811) setelah peristiwa pendudukan loji. Dengan<br />

tegas Baud dalam Kaiser (1857:93) menyatakan bahwa “anakronisme beberapa hari<br />

diperlukan untuk membenarkan tindakan itu”.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


97<br />

armada berupa kapal, perahu-perahu bersenjata, juga meriam-meriam yang dapat<br />

dipindahkan, rakit-rakit yang mudah dibakar, dan persenjataan, serta keraton<br />

dipersenjatai sebanyak 242 meriam. Di samping itu, Sultan juga memerintahkan<br />

untuk memperbaiki dan membangun benteng-benteng pertahanan seperti benteng<br />

di Muntok, Sunsang, dan lokasi-lokasi strategis (pulau-pulau) di sepanjang Sungai<br />

Musi sampai ibu kota Palembang. Para bangsawan dan penduduk iliran-uluan<br />

diperintahkan untuk mempersenjatai diri masing-masing guna menghadapi<br />

berbagai kemungkinan yang akan terjadi. Di antara benteng-benteng tersebut,<br />

benteng terpenting adalah yang terdapat di Borang 74 (sebelah hilir Pulau<br />

Kembara). Benteng Borang dikendalikan oleh saudara-saudara Sultan (Pangeran<br />

Adipati, Pangeran Arya Kesuma dan Pangeran Surya Kesuma) secara langsung.<br />

Dengan penempatan orang-orang terdekatnya, Sultan Badaruddin II berharap<br />

benteng Borang dapat membendung serangan pasukan Inggris (Woelders, 1975:<br />

7, 90-91; The Asiatic Journal, 1820: 548).<br />

Pada 19 Maret 1812, Raffles mengeluarkan instruksi 75 kepada Kolonel<br />

Gillespie yang memimpin ekspedisi, dinyatakan bahwa jika peristiwa<br />

pembunuhan terhadap penghuni loji Belanda tidak diberi sanksi, martabat Inggris<br />

akan jatuh di mata Belanda dan raja-raja di Hindia Timur. Semua itu akan menjadi<br />

preseden buruk bagi raja-raja lainnya di kawasan itu. Oleh karena itu, ekspedisi<br />

terhadap Palembang menjadi penting yang akan mengakibatkan penguasaan atas<br />

Bangka sebagai penghasil timah dan lada akan terwujud. Dalam instruksi ini<br />

terdapat pula lampiran No.4, yang berisi tentang perlunya disampaikan kepada<br />

penduduk Palembang bahwa ekspedisi Inggris bertujuan untuk memberikan<br />

perlindungan, meningkatkan kesejahteraan, dan membebaskan mereka dari<br />

kesewenang-wenangan Sultan Badaruddin II. Ditegaskan pula bahwa tindakan<br />

Inggris semata-mata untuk menghukum Sultan Palembang yang telah membunuh<br />

para penghuni loji dan menghancurkan bangunan-bangunannya. (ANRI, Bundel<br />

Comment [DKM98]: Mengapa begitu??<br />

Comment [DKM99]: Kalimat ini harap ditata<br />

kembali<br />

74 Benteng Borang sengaja dijadikan benteng terpenting karena berada pada<br />

posisi yang strategis dan lokasinya jauh dari keraton, tetapi telah melewati Sunsang yang<br />

merupakan pintu masuk Sungai Musi. Maksudnya, Borang adalah pertahanan terkuat<br />

setelah musuh berhasil meruntuhkan pertahanan Sunsang.<br />

75 Instruksi No. 3 dan lampirannya dibuat di Dewan Negara Batavia, pada tanggal 19<br />

Maret 1812. Diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu oleh G. Kool (Java Gouvernement Gazette,<br />

30 Mei 1812).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


98<br />

Palembang No. 62.2; Java Gouvernement Gazette, 2 Mei 1812 No.10; Kaiser,<br />

1857: 93; Bastin, 1954: 70). Pengumuman kepada penduduk Palembang dianggap<br />

penting, agar rakyat tidak melakukan perlawanan pada saat armada Inggris<br />

memasuki wilayah Palembang. Suatu strategi untuk meminimalisir resiko pada<br />

saat menyerang Palembang.<br />

Pada 20 Maret 1812 Gillespie berangkat menuju Palembang dengan tujuan<br />

untuk menyelesaikan masalah dengan Sultan Palembang dan aparatnya. Tugas<br />

tersebut untuk menggulingkan Sultan Badaruddin II dan mengangkat adiknya<br />

Pangeran Adipati sebagai sultan. Ia juga harus menyingkirkan Pangeran Ratu<br />

(putera mahkota Sultan Badaruddin II). Ternyata, dalam penerapannya mandat<br />

tersebut tidak kaku, Kolonel Gillespie diberi kelonggaran dengan cara melihat<br />

situasi dan kondisi yang ada di lapangan. Jika, kondisi di Palembang tidak<br />

memungkinkan Sultan diturunkan dari tahta,, sebagian kekayaannya harus<br />

diserahkan kepada pemerintah Inggris (Lady Raffles, 1835:157; Bastin, 1954: 72-<br />

73). Hal ini berarti bahwa sampai saat itu belum ada kesepakatan langkah apa<br />

yang terbaik yang akan dilakukan terhadap Kesultanan Palembang.<br />

Armada Inggris berangkat meninggalkan Batavia menuju Palembang,<br />

membawa pasukan, yang terdiri dari tiga kompi dari kesatuan Resimen ke-59 di<br />

bawah komando Kapten Cambell, lima kompi dari Resimen ke-89 dipimpin<br />

Mayor Treuch, kesatuan artileri berkuda dan kesatuan Madras, kesatuan artileri<br />

Bengala yaitu kesatuan Sepoy dari batalyon ke-5 dan ke-6 76 di bawah komando<br />

Kapten Limond. Sisanya adalah pasukan Ambon dan Bali. Beberapa tokoh lain<br />

yang terlibat dalam ekspedisi itu, antara lain Mayor Butler berfungsi sebagai<br />

wakil ajudan jenderal, Mayor Thorn menjadi wakil Markas Besar Umum, dan<br />

Kapten Meares bertugas sebagai ajudan Gillespie sekaligus penerjemah (Lady<br />

Raffles, 1835:160; Thorn, 2004: 128; Woelders, 1975: 157).<br />

Armada Inggris yang dilibatkan dalam ekspedisi itu antara lain, kapal<br />

perang Proeri 77 dipimpin oleh Kapten Freeman, kapal penjelajah Teignmouth di<br />

Comment [DKM100]: Koreksi kalimat ini!<br />

Comment [DKM101]: s.d.a<br />

Comment [DKM102]: ini apa???<br />

Comment [DKM103]: Terus bagaimana??<br />

Comment [DKM104]: Catatan kaki<br />

76 Thorn (2004:128) berpendapat sedikit berbeda, yaitu kesatuan artileri<br />

berkuda Madras dan pasukan kaveleri, kesatuan artileri Bengala, perlengkapan dan<br />

kesatuan hussar Sepoy batalyon ke-5 dan ke-6.<br />

77 Kapal perang Proeri mungkin sama dengan kapal Procris dalam sumber<br />

Raffles atau Sloop Procris dari sumber Thorn.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


99<br />

bawah Kapten Howitson, kapal Mercury dipimpin Kapten Conyers (Convers),<br />

kapal Phoenix dipimpin oleh Kapten Bouwen, kapal Cornelia dikendalikan oleh<br />

Kapten Owen, Bucephalus di pimpin Kapten Drury, Barracouta (Young<br />

Barrocouta) dipimpin Kapten Lynch, dan kapal Wellington di bawah Kapten<br />

Cromy, serta kapal-kapal pengangkut seperti Samdany, Minerva, Matilda dan<br />

Mary Ann. Keberangkatan pasukan itu sempat tertunda karena musim penghujan,<br />

yang tengah berlangsung pada waktu itu, sehingga menghambat pelayaran (Lady<br />

Raffles, 1835:160; Thorn, 2004: 128).<br />

Pasukan ekspedisi Inggris mulai bergerak kembali pada 10 April 1812 dan<br />

tiba di muara Sungai Musi (Sunsang) pada 15 April 1812. Setiba armada tersebut<br />

di sana, Sultan Badaruddin II mengirimkan utusan kepada Gillespie yang berisi<br />

pesan berupa ungkapan rasa hormat dan persahabatan. Tampaknya pada saat itu<br />

Sultan menempatkan armada Inggris tersebut sebagai tamu yang memasuki<br />

wilayah kedaulatannya. Sementara itu, upaya armada Inggris melanjutkan<br />

pelayaran menyusuri Sungai Musi menuju ibu kota mengalami kesulitan. Hal itu<br />

disebabkan arus sungai yang deras dan angin kencang. Dalam kondisi demikian,<br />

mereka memanfaatkan waktu dengan membenahi semua perbekalan yang terdapat<br />

di kapal-kapal Procris, Barracoutta, Wellington, Teignmouth dan Mercury.<br />

Setelah semuanya rampung, pada 18 April 1812 petang harinya armada Inggris<br />

melanjutkan perjalanan dengan gerak cepat menuju ibu kota Palembang. Pada 19<br />

April 1812, kondisi pelayaran tersebut kembali memburuk, sehingga mereka<br />

tidak bisa berbuat banyak, selain menyusuri sungai secara perlahan. Dalam<br />

pelayaran tersebut, pada 20 April 1812 pagi Gillespie kembali menerima utusan<br />

Sultan yaitu Pangeran Syarif 78 (Pemimpin para sayid di Palembang), untuk<br />

menanyakan maksud dan tujuan armada yang dipimpin Gillespie. Gillespie<br />

menyatakan bahwa dirinya berkeinginan untuk berkenalan langsung dengan<br />

Sultan Palembang dan membawa usulan yang diembankan kepadanya. Keesokan<br />

harinya untuk ketiga kalinya Sultan Badaruddin II mengirimkan utusan lagi yaitu<br />

Comment [DKM105]: Maksudnya??<br />

Comment [DKM106]: Lengkapi!<br />

Comment [DKM107]: Ditata kembali kalimat<br />

Anda!<br />

Comment [DKM108]: Ke mana lagi??<br />

Comment [DKM109]: Maksudnya apa?<br />

78 Woelders (1975: 158) menyatakan bahwa utusan sultan adalah Pangeran<br />

Marta, empat orang mentri, danmasing-masing satu orang tumenggung, rangga, dan<br />

demang serta ngabehi. Utusan itu ditolak oleh Gllespie dengan alasan irinya bermaksud<br />

bertemu langsung dengan Sultan, guna menyampaikan misi yang dibawanya sebagai<br />

utusan Raffles.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


100<br />

Pangeran Pranah. Dalam pesannya Sultan menyampaikan ucapan selamat atas<br />

kedatangan panglima ekspedisi dan menyatakan Palembang adalah sahabat<br />

Inggris. Dalam jawabannya, Gillespie menegaskan bahwa kehadiran armadanya<br />

hanya sebentar di Palembang yaitu dua hari, dan bermaksud membicarakan<br />

masalah penting dengan Sultan, serta menjamin keselamatan penduduk<br />

Palembang. Dalam waktu hampir bersamaan Sultan Badaruddin II untuk kesekian<br />

kalinya mengirimkan utusan, dengan meminta ketegasan maksud sesungguhnya<br />

dari kedatangan armada Inggris. (Java Gouvernement Gazette, 30 Mei 1812; Lady<br />

Raffles, 1835: 161-163). Jawaban-jawaban yang diberikan oleh Gillespie,<br />

tampaknya belum memuaskan Sultan. Melihat besarnya armada Inggris yang<br />

semakin mendekati ibu kota kesultanan, membuat Sultan mulai mengkhawatirkan<br />

keselamatan kerajaannya.<br />

Pada fajar 22 April 1812 armada Inggris secara perlahan dan tanpa<br />

perlawanan terus menelusuri Sungai Musi. Armada itu semakin mendekati<br />

benteng Borang yang memiliki pertahanan sangat kuat. Benteng itu dibangun<br />

dengan ketinggian 20-30 kaki dari tanah, dikelilingi pagar bambu yang kokoh.<br />

Benteng itu dipertahankan oleh pasukan yang sangat lengkap dan siap berperang<br />

dengan persenjataan sebanyak 102 meriam (meriam-meriam mengapung dan<br />

meriam-meriam dengan jangkauan jarak jauh). Dilengkapi pula dengan perahuperahu,<br />

rakit-rakit dan kapal bersenjata. Di sungai Musi dihanyutkan kayu-kayu<br />

yang menyulitkan kapal-kapal Inggris bergerak (Java Gouvernement Gazette, 30<br />

Mei 1812; Lady Raffles, 1835: 162-163; Thorn, 2004: 133).<br />

Pada sore harinya, Sultan Badaruddin II mengirim Pangeran Marto dan<br />

seorang ajudannya untuk menyerahkan surat kepada Gillespie. Dalam suratnya<br />

Sultan meminta agar armada Inggris tidak memasuki Palembang dengan pasukan<br />

yang besar. Hal itu untuk menghindari timbulnya rasa ketakutan penduduk dan<br />

menuntut agar pasukan Inggris tetap menjaga keamanan. Sementara itu, Panglima<br />

Gillespie mengajukan permintaan agar pelayaran mereka menuju keraton tidak<br />

diganggu, ajudan Pangeran Marto dijadikan sebagai jaminan. Pada kesempatan itu<br />

sudah ada kesepakatan antara Pangeran Adipati dan wakil Gillespie untuk<br />

menyerahkan kapal dan semua meriam pantai kepada Gillespie, namun usaha<br />

Kapten Owen bersama Mayor Thorn untuk menguasai sebuah kapal Arab<br />

Comment [DKM110]: Di hal 7 ada 120 meria<br />

Comment [DKM111]: Pilih satu saja!<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


101<br />

mengalami kegagalan, sebagaimana laporan Gillespie. Laporan Gillespie itu<br />

dibantah oleh Thorn 79 dengan kesaksian bahwa pelakunya bukan dirinya dengan<br />

Kapten Owen, melainkan Kapten Owen dengan Mayor Butler. Mereka dihadang<br />

perahu-perahu bersenjata pada saat akan mendekati kapal milik orang Arab 80 .<br />

Akibatnya terjadi pertempuran singkat dan perahu-perahu Palembang menarik diri<br />

(Java Gouvernement Gazette, 30 Mei 1812; Java Gouvernement Gazette, 4 Juli<br />

1812; Lady Raffles, 1835: 163-166).<br />

Malam harinya armada Inggris bergerak mendekati benteng Borang<br />

dengan mengikutsertakan ajudan Pangeran Marto yang disandera. Melalui Kapten<br />

R. Meares selaku penerjemah, Gillespie meminta ketegasan kepada pemimpin<br />

benteng Borang apakah mereka akan menyerahkan kubu-kubu meriam atau tidak.<br />

Sementara itu, kesatuan Resimen ke-59 dan ke-89 terus maju bersama dengan<br />

kapal-kapal pengangkut yang membawa pelempar api dan artileri lapangan serta<br />

perahu-perahu bersenjata. Pagi harinya, pada 24 April 1812, jarak antara benteng<br />

Borang dan armada Gillespie hanya setengah tembakan meriam. Dalam kondisi<br />

demikian, Pangeran Adipati didampingi Meares sebagai penerjemah menyerahkan<br />

benteng kepada pimpinan pasukan ekspedisi. Selanjutnya, pasukan Inggris segera<br />

melakukan pengambilalihan benteng Borang. Peristiwa itu sangat mengejutkan<br />

pasukan penjaga benteng, sehingga mereka meloloskan diri dengan menggunakan<br />

perahu-perahu dari sisi timur benteng dan bagian barat Pulau Binting. Dalam<br />

pelarian tersebut, mereka berhasil menyelamatkan 120 meriam 81 .<br />

Dilihat dari persiapan mempertahankan benteng Borang, dapat dipastikan<br />

bahwa benteng itu akan sangat sulit ditembus oleh pasukan yang dipimpin oleh<br />

Gillespie. Akan tetapi, kenyataannya benteng diterima Gillespie hampir tanpa<br />

perlawanan sama sekali. Hal itu disebabkan adanya perintah dari Pangeran<br />

Comment [DKM112]: Mengapa dibantah??<br />

Comment [DKM113]: Bedanya apa peperang<br />

pertempuran dan perang??<br />

Comment [DKM114]: Di halaman 6 ada 102<br />

meriam. Mana<br />

79 Mayor Thorn yang berkedudukan sebagai wakil Markas Besar dan pelaku<br />

dalam peristiwa tersebut, memiliki bobot kesaksian lebih besar dibandingkan Gillespie<br />

yang menjadi memimpin umum dalam ekspedisi tersebut (2004: 136).<br />

80 Kelompok etnis Arab berperan penting dalam penyediaan kapal-kapal dalam<br />

perang Palembang. Mereka umumnya pemilik modal besar di Palembang, bahkan<br />

lebih besar dari kelompok etnis Cina. Jumlah mereka pada waktu itu sekitar 500 jiwa<br />

(Berg, 2010: 108,123).<br />

81 Berdasarkan laporan Kolonel Gillespie kepada Raffles bahwa sebanyak 102<br />

meriam berhasil dibawa oleh pasukan Palembang dari benteng Borang (Java<br />

Gouvernement Gazette, 30 Mei 1812 No.10; Lady Raffles, 1835: 166 ).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


102<br />

Adipati agar tidak melakukan penyerangan, sebab akan berunding dengan<br />

pemimpin pasukan Inggris. Tindakan Pangeran Adipati tersebut bertentangan<br />

dengan instruksi Sultan Badaruddin II, untuk mempertahankan benteng dengan<br />

sekuat tenaga. Sultan sengaja menempatkan saudara-saudaranya (Pangeran<br />

Adipati, berfungsi sebagai panglima pasukan, Pangeran Aryo Kesumo dan<br />

Pangeran Suryo Kesumo yang berfungsi sebagai wakil Pangeran Adipati) untuk<br />

menjalankan instruksi tersebut. Berkaitan dengan hal itu, ternyata sebelumnya 82<br />

telah terjadi perundingan antara Pangeran Adipati dan Meares di benteng Borang.<br />

Hasil perundingan tersebut adalah Pangeran Adipati (Raffles tidak menyebutkan<br />

nama pangeran yang melakukan perundingan, tetapi yang berhak berunding<br />

tentunya Pangeran Adipati karena dialah yang menjadi pemimpin benteng<br />

Borang) menyerahkan benteng tersebut kepada Inggris (Java Gouvernement<br />

Gazette, 30 Mei 1812; Lady Raffles, 1835: 163-166; Woelders, 1975: 7, 91;<br />

Thorn, 2004:137).<br />

Kuatnya pertahanan benteng Borang membuat Gillespie kagum dan<br />

menyatakan bahwa apabila benteng itu dipertahankan oleh prajurit pilihan dengan<br />

sungguh-sungguh, maka kerugian yang akan dialami Inggris jauh lebih besar.<br />

Apalagi kondisi kapal-kapal Inggris pada saat itu sangat lemah. Tambahan pula,<br />

para serdadu khususnya Eropa tidak mampu menghadapi cuaca yang tidak<br />

bersahabat. Hujan deras siang dan malam hari atau cuaca yang sangat terik di<br />

siang hari yang menyebabkan banyak di antara mereka jatuh sakit. Tambahan lagi,<br />

pada periode April sampai Juni angin berhembus sangat kencang ke Timur dan<br />

Tenggara. Dalam kondisi demikian, Gillespie tidak yakin mampu bertahan dan<br />

bila keadaan memaksa, kemungkinan pasukan Inggris akan mundur. Selain itu,<br />

kapal-kapal Proeris, Teignmount dan Mercury yang dikirim dari Batavia untuk<br />

memperkuat pasukan Inggris belum juga tiba di Palembang. Dalam keadaan<br />

demikian, apabila pasukan Palembang melakukan penyerangan dengan kekuatan<br />

besar, dapat dipastikan pasukan Inggris akan kalah. Pada kenyataannnya armada<br />

Comment [DKM115]: Mereka berdua sebaga<br />

apa??<br />

Comment [DKM116]: Kapan??<br />

Comment [DKM117]: Sejarah tidak bisa<br />

berandai-andai seperti ini.<br />

82 Tidak diketahui kapan tepatnya perundingan tentang penyerahan benteng<br />

Borang, antara Pangeran Adipati dan Meares dilakukan. Perundingan antara keduanya<br />

mulai dilakukan pada 22 April 1812 malam, sedangkan penyerahan terjadi pada 24 April<br />

1812 pagi hari. Dengan demikian, perundingan tentang penyerahan terjadi pada kisaran<br />

waktu 22-23 April malam hari.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


103<br />

Inggris terus maju mendekati benteng terkuat tersebut (Java Gouvernement<br />

Gazette, 30 Mei 1812; Thorn, 2004:135-137; Sturler, 1843: 57).<br />

Menurut Waey 83 (1975:102-103), peristiwa itu terjadi disebabkan pada<br />

saat pasukan ekspedisi Inggris menelusuri Sungai Musi mendekati benteng<br />

Borang, Pihak Inggris mengirim seorang utusan untuk melakukan penawaran<br />

kepada Pangeran Adipati. Penawaran itu berupa jabatan sultan akan dialihkan<br />

kepadanya, jika tidak melakukan perlawanan terhadap pasukan Inggris. Tawaran<br />

itu menyebabkan pasukan Inggris berhasil menduduki benteng tanpa perlawanan<br />

atau kalau berdasarkan laporan Gillespie ―tanpa banyak perlawanan‖ untuk<br />

menggambarkan betapa mudah mereka merebut benteng terkuat itu.<br />

Setelah menyerahkan benteng Borang kepada Inggris, Pangeran Adipati<br />

segera pergi menghadap Sultan Badaruddin II di keraton. Dalam pertemuan<br />

tersebut. Pangeran Adipati menyatakan bahwa kekuatan armada dan pasukan<br />

Inggris sangat besar dan telah berhasil menduduki benteng Borang. Mengetahui<br />

hal itu, Sultan Badaruddin II menyatakan akan melakukan perlawanan bersamasama,<br />

namun, Pangeran Adipati menolaknya dengan alasan ibu kota telah kosong.<br />

Demi keselamatan, Adipati menyarankan Sultan dan pengiringnya segera<br />

meninggalkan ibu kota. Segala urusan dengan pihak Inggris akan diselesaikannya<br />

(Woelders, 1975: 91-92).<br />

Peristiwa itu terjadi karena Pangeran Adipati sama sekali tidak<br />

memanfaatkan kekuatan benteng Borang untuk melakukan perlawanan. Melalui<br />

perundingan-perundingan yang dilakukannya dengan Meares, benteng diserahkan<br />

kepada pasukan Gillespie. Menurut Sevenhoven (1971: 102-103), hal itu dipicu<br />

kurang harmonisnya hubungan antara Sultan Badaruddin II dan Pangeran<br />

Adipati. Ketidak harmonisan itu sudah terjadi sejak orangtua (Sultan Muhamad<br />

Bahauddin) mereka masih hidup. Pangeran Adipati mendapat limpahan kasih<br />

sayang dari ayahnya, sementara kekuasaan jatuh kepada Badaruddin II sebagai<br />

putra mahkota. Di Kesultanan Palembang berlaku suksesi kekuasaan jatuh kepada<br />

Putera Mahkota yang bergelar Pangeran Ratu. Hal itu menimbulkan perasaan<br />

sakit hati pada dirinya (Woelders, 1975: 91-92).<br />

Comment [DKM118]: Apanya yang tragis???<br />

Comment [DKM119]: Ini tidak hanya terjadi<br />

Palembang, tetapi di semua kesultanan!<br />

83 Salah seorang perwira Belanda yang terlibat dalam Perang Palembang kedua<br />

(Oktober 1819), dan memimpin pembangunan benteng Belanda di Toboali (1820).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


104<br />

Apa yang dilakukan oleh Pangeran Adipati tersebut, dapat pula dikaitkan<br />

dengan adanya utusan yang dikirimkannya sebelum 13 Desember 1811 (sebelum<br />

komisi yang dikirim Raffles tiba di Batavia) ke Batavia. Berarti, Pangeran Adipati<br />

cepat bertindak, dengan mengirimkan utusan ke Batavia setelah mengetahui<br />

keputusan Sultan Badaruddin II menolak permintaan Inggris. Hal ini dapat pula<br />

dihubungkan dengan ―sikap menolak‖ yang ditunjukkannya pada awal<br />

pemerintahan Sultan Badaruddin II. Jika tidak ada peluang ―gagalnya‖ misi yang<br />

diutus oleh Raffles (Nopember 1811), tentunya Pangeran Adipati tidak<br />

mengirimkan utusan. Terbukti tidak ada pengiriman utusan dari Pangeran Adipati<br />

sebelum Nopember 1811. Utusan itu membawa berita tentang peristiwa Loji<br />

Sungai Aur kepada para pejabat Inggris di sana. Artinya, walaupun keberangkatan<br />

Gillespie memimpin ekspedisi ke Palembang belum memegang mandat pasti<br />

apakah akan menurunkan Sultan Badaruddin atau mengangkat Pangeran Adipati,<br />

tergantung kondisinya. Meskipun demikian, mengangkat Pangeran Adipati sudah<br />

menjadi salah satu alternatif. Artinya, misi yang dikirimkan oleh Pangeran Adipati<br />

ke Batavia pada Desember 1811 berhasil dengan baik.<br />

Lebih lanjut Sevenhoven (1971: 51-52) menyatakan, bahwa ketidakakuran<br />

keduanya dikaitkan dengan adanya tahayul bahwa pada masa keturunan yang<br />

ketujuh, dari keturunan raja-raja yang memerintah di Kesultanan Palembang, yang<br />

akan menjadi sultan bukan putera mahkota tapi anak laki-laki yang lain atau<br />

bahkan putera bungsu. Seberapa jauh pengaruh tahayul tersebut, sulit<br />

diperkirakan, yang jelas dengan adanya sumber tersebut, berarti pada saat itu halhal<br />

yang berbau tahayul masih cukup berkembang di Palembang. Selama delapan<br />

tahun masa pemerintahan Sultan Badaruddin II, tidak terdapat celah bagi<br />

Pangeran Adipati untuk mewujudkan keinginannya menjadi sultan. Kesempatan<br />

itu terbuka dengan hadirnya ekspedisi Inggris, ketika posisinya pada waktu itu<br />

sebagai panglima perang yang berhak memutuskan perang atau damai.<br />

Keputusannya untuk melakukan perdamaian terlihat dilakukan secara tergesagesa.<br />

Pangeran Adipati tidak sempat memberitahukan kesepakatan tersebut<br />

kepada anggota pasukannya, atau hal tersebut sengaja dilakukan agar pasukan<br />

yang bertugas mempertahankan benteng tidak dalam kondisi ―siaga‖. Hal itu<br />

terbukti mereka terkejut atas kehadiran pasukan Inggris yang menyerang secara<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


105<br />

tiba-tiba, sehingga mereka hanya mampu mundur secara sporadis. Peristiwa<br />

tersebut juga bermakna bahwa kekuasaan Sultan Badaruddin II tidak terlalu kuat,<br />

dan tidak mampu mengantisipasi berbagai kemungkinan yang akan terjadi.<br />

Keyakinan yang terlalu besar kepada adik-adiknya, membuatnya tidak<br />

memikirkan kemungkinan-kemungkinan lain diluar kebijakan menempatkan<br />

ketiga orang adik kandungnya. Sesuatu yang menarik, mengapa kedua orang<br />

adiknya (Pangeran Aryo Kesuma dan Suryo Kesuma) ―mengikuti‖ keinginan<br />

Pangeran Adipati untuk menyerah. Apakah adanya berbagai ―konsesi‖ yang<br />

ditawarkan oleh Pangeran Adipati atau ada faktor lain?<br />

Malam harinya sekitar pukul 20.00, di saat armada Inggris terus melaju<br />

mendekati keraton, pasukan Palembang yang tersisa melancarkan tembakan dari<br />

segala arah. Mereka juga menghanyutkan rakit-rakit api yang dapat<br />

menghancurkan kapal-kapal Inggris. Akan tetapi, kondisi kritis ini dapat diatasi<br />

oleh serangan balik dari kapal Cornelia dan kapal yang dikendalikan oleh Kapten<br />

Owen, (Thorn, 2004: 137-138; Lady Raffles, 1835: 166-167).<br />

Peristiwa jatuhnya benteng Borang membawa dampak negatif yang sangat<br />

besar bagi Kesultanan Palembang. Artinya, pertahanan terkuat telah lenyap.<br />

Kondisi sulit itu menyadarkan Sultan Badaruddin II untuk berbuat sesuatu yaitu<br />

mundur ke uluan dengan membawa harta berupa uang, emas, permata, senjata<br />

dan pusaka 84 . Sebelumnya, Sultan telah mengirimkan para perempuan dan anakanak<br />

ke dusun Muara Blida. Pangeran Adipati menjauhkan keluarganya ke dusun<br />

Tanjung Saga, sedangkan Panggeran Arya dan Pangeran Surya mengirim<br />

keluarganya ke dusun Tempiri (ANRI, Bundel Palembang No.67; No. 62.2; No.<br />

5.1; Lady Raffles, 1835:166-167; Kaiser, 1857: 92-93; Kielstra, 1892: 80,82;<br />

Woelders, 1975: 91-92).<br />

Berita mundurnya Sultan Badaruddin II ke uluan diketahui Gillespie pada<br />

pagi hari 25 April 1812, sedangkan berdasarkan laporan Gillespie kepada Raffles<br />

dinyatakan bahwa berita itu diterimanya pada sore hari pada tanggal yang sama<br />

Comment [DKM120]: Bagaimana cara<br />

mengatasinya????<br />

84 Menurut Gillespie, Sultan Badaruddin II telah memerintahkan tenaga kuli<br />

sebanyak dua ratus orang untuk membawa sebagian besar harta bendanya ke dalam<br />

hutan, di bawah pimpinan Pangeran Ratu. Harta-harta tersebut ditimbun di dalam<br />

tanah, setelah penimbunan selesai, semua tenaga kuli dibunuh agar tidak diketahui oleh<br />

siapapun (Lampiran No.6 dalam Java Gouvernement Gazette, 30 Mei 1812).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


106<br />

dari Pangeran Sjarif. Dengan mundurnya Sultan Badaruddin II ke uluan, ibu kota<br />

Palembang mengalami kekacauan. Pasukan dari uluan dipersiapkan Sultan untuk<br />

menghadapi pasukan Inggris. Setelah menyadari Sultan dan keluarganya telah<br />

mundur ke uluan, pasukan dari uluan berubah menjadi anarkis. dan menimbulkan<br />

kekacauan khususnya di ibu kota Palembang. Sementara itu, Panglima Gillespie<br />

bersama-sama dengan Pangeran Sjarif, Meares, Villneruhy (orang Spanyol yang<br />

juga berfungsi sebagai penerjemah bahasa Melayu), Kapten Bowen (angkatan laut<br />

kerajaan), Mayor Butler (ajudan jenderal), Mayor Thorn, 10 orang serdadu<br />

pelempar granat, Letnan Monday, R.N dan Letnan Forrest dari kapal Phoenix<br />

serta anggota pasukan yang tersisa, di bawah komando Letnan Kolonel McLeod<br />

dari Kesatuan Grenadir ke-59 memasuki kota untuk mengamankan keadaan yang<br />

tengah kacau (Java Gouvernement Gazette, 2 Mei 1812 No.10; Thorn, 2004: 139-<br />

140; Lady Raffles, 1835: 168).<br />

Armada Inggris yang membawa Gillespie dan rombongan merapat di<br />

depan keraton pada sekitar pukul 20.00. Di gerbang besar dan pelataran keraton<br />

mereka menemukan kondisi yang kacau. Kekacauan itu disebabkan, para<br />

pendukung Sultan Badaruddin II yang dipersiapkan untuk menghadapi pasukan<br />

Inggris, melakukan penghancuran terhadap keraton dan tempat-tempat penting<br />

lainnya, setelah Sultan mundur ke uluan. Pada saat Gillespie akan mendekati<br />

keraton, terjadi insiden yang hampir membahayakan dirinya. Pada saat itu<br />

seseorang berhasil menyelinap dan melakukan penyerangan dengan menggunakan<br />

pisau yang telah dilumuri racun, namun disaat kritis itu Gillespie berhasil<br />

menyelamatkan dirinya, sedangkan penyerangnya berhasil meloloskan diri.<br />

Selanjutnya, dalam rangka menguasai keraton, terjadi pertempuran antara pasukan<br />

Gillespie dan para pendukung Sultan. Pertempuran itu terus berlangsung dengan<br />

sengit. Mendekati tengah malam posisi pasukan Belanda semakin kuat dengan<br />

tibanya tambahan pasukan sebanyak 60 orang serdadu dari Resimen ke-89 di<br />

bawah pimpinan Mayor Trench. Akibatnya, mereka berhasil mengendalikan<br />

keadaan di dalam dan luar keraton. Banyak korban jatuh dalam pertempuran itu,<br />

baik dari pihak Palembang maupun Belanda, namun tidak ditemukan data jumlah<br />

korban yang tewas atau luka-luka. Dari berbagai sumber yang ada, hanya<br />

disebutkan bahwa sejak kedatangan pasukan Gillespie mereka menemukan<br />

Comment [DKM121]: Pilih salah satu saja!<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


107<br />

kondisi yang kacau, tidak hanya di sekitar keraton juga diseluruh ibu kota<br />

Palembang. Orang-orang Cina umumnya menjadi korban, baik harta maupun<br />

nyawa dalam kondisi tersebut. (Thorn, 2004: 139-143; Lady Raffles, 1935: 169-<br />

170)<br />

Keesokan harinya tiba pula Letnan Kolonel McLeod dengan pasukannya,<br />

sehingga kekuatan militer Belanda semakin besar dan mampu menguasai keraton<br />

dan ibu kota Palembang. Dari hasil pengamatan mereka tampak bahwa keraton<br />

dipertahankan dengan 240 pucuk meriam, namun semua itu tidak ada artinya<br />

karena telah ditinggalkan oleh pimpinannya, sebagai akibat dari lepasnya benteng<br />

Borang. Setelah itu, Panglima Gillespie membebaskan sisa penghuni loji Belanda<br />

yang dikuasai pasukan Palembang pada September 1811. Mereka terdiri dari<br />

perempuan dan anak-anak. Mereka dijadikan budak atau keluar dari<br />

persembunyian mereka di hutan (Lady Raffles, 1835:171; Thorn, 2004: 142-143).<br />

Dengan demikian, langkah pertama yang diambil oleh Gillespie adalah<br />

menyelamatkan sisa penghuni Loji Belanda yang masih selamat setelah tujuh<br />

bulan berada dalam kondisi serba kekurangan.<br />

Menurut data arsip (Bundel Palembang No. 67) bahwa penghuni loji<br />

sebanyak seratus sepuluh orang, sedangkan yang dibunuh di muara Sunsang<br />

sebanyak 87 orang. Disebutkan pula bahwa yang selamat hanya satu orang yaitu<br />

Willem van de Wateringbuis. Jadi, dapat disimpulkan bahwa sebanyak 22 orang<br />

lainnya adalah perempuan dan anak-anak yang berhasil melarikan diri ke hutan<br />

atau dijadikan budak. Meskipun ibu kota telah berhasil dikuasai oleh pasukan<br />

Inggris, pada malam 26 April 1812 kembali pasukan Palembang yang tersisa<br />

melancarkan serangan. Pasukan Palembang berusaha menghancurkan armada<br />

Inggris, namun serangan itu berhasil dipatahkan oleh pasukan Inggris. Selanjutnya<br />

pasukan Inggris berhasil menguasai sepenuhnya ibu kota kesultanan. Pada siang<br />

hari, 28 April 1812 bendera Inggris berkibar di keraton Palembang, diiringi<br />

tembakan penghormatan.<br />

Pada hari itu juga Pangeran Adipati keluar dari pengungsiannya atas<br />

undangan Gillespie (Thorn, 2004: 147). Dengan demikian, setelah menghadap<br />

Sultan Badaruddin II di keraton, Pangeran Adipati dan pengikutnya bersembunyi<br />

sampai keadaan memungkinkan untuk kembali ke ibu kota. Dengan kata lain,<br />

Comment [DKM122]: Dengan<br />

Comment [DKM123]: Kalimat Anda!!!<br />

Comment [DKM124]: Loji yang mana lagi<br />

ini???<br />

Comment [DKM125]: Loji di mana? Sungai<br />

Sungsangkah??<br />

Comment [DKM126]: Siapa mereka itu???<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


108<br />

janjinya kepada Sultan Badaruddin II bahwa dirinya akan menangani persoalan<br />

dengan Inggris tidak terbukti. Ia justru ikut bersembunyi dan menampakkan diri<br />

kembali setelah adanya jaminan dari Gillespie.<br />

Kunjungan pertama Pangeran Adipati ke markas Gillespie terjadi pada 30<br />

April 1812 (29 April 1812, menurut kesaksian Thorn). Ia diterima oleh Meares<br />

dan beberapa perwira dari staf umum. Kunjungan ini disambut dengan tembakan<br />

penghormatan sebanyak 19 kali dari kapal Mercury. Pada siang atau sore harinya<br />

Gillespie melakukan kunjungan balasan kepada Pangeran Adipati. Dari<br />

pertemuan-pertemuan yang dilakukan, dicapai kesepakatan antara kedua belah<br />

pihak. Inti dari kesepakatan tersebut menyatakan bahwa Sultan Badaruddin II<br />

diturunkan dari tahta. Kedudukannya digantikan oleh adik kandungnya yaitu<br />

Pangeran Adipati dengan gelar Sultan Ratu Ahmad Najamuddin II 85 . Setelah<br />

menjadi sultan, Najamuddin II mengangkat adiknya Pangeran Aryo Kesumo<br />

sebagai Pangeran Adipati, dan Pangeran Suryo Kesumo menempati posisi<br />

kakaknya dengan gelar Pangeran Aryo Kesumo. Di samping itu, Sultan<br />

Najamuddin II juga mengukuhkan putera tertuanya dengan gelar Prabu Anom.<br />

Tiga orang putera lainnya masing-masing bergelar Pangeran Jayaningrat,<br />

Pangeran Jayakrama, dan Pangeran Citradiningrat (Java Gouvernement Gazette,<br />

4 Juli 1812; Thorn, 2004: 148; Woelders, 1975: 97). Dengan pengangkatan<br />

tersebut, jelas terlihat bahwa Sultan Najamuddin II menubuhkan pola baru dengan<br />

mengangkat putera tertuanya sebagai putera mahkota. Dengan sendirinya terjadi<br />

penyimpangan dari pola sebelumnya yaitu Sultan Badaruddin II telah mengangkat<br />

putera tertuanya dengan gelar Pangeran Ratu. Dalam tradisi Kesultanan<br />

Palembang Pangeran Ratu adalah orang yang berhak menggantikan sultan apabila<br />

waktunya telah tiba, baik karena sultan wafat atau sultan bermaksud turun tahta<br />

sebagai susuhunan. Pengangkatan Pangeran Aryo menjadi Pangeran Adipati, dan<br />

Pangeran Suryo Kesumo naik menjadi Pangeran Aryo (posisi kedua setelah<br />

Comment [DKM127]: Edit kembali kalimat<br />

Anda!<br />

85 Dalam lampiran No. 6 surat Panglima Gillespie yang ditujukan kepada<br />

Sekretaris Pemerintah, disebutkan bahwa ia telah mengangkat Pangeran Adipati<br />

sebagai sultan atas permintaan Pangeran Adipati sendiri. Pengangkatan itu didasarkan<br />

atas jasa-jasanya dan dukungan rakyat, kelompok etnis Arab dan Cina di Palembang.<br />

Terbukti pada saat pelantikan rakyat hadir dipimpin para depati, saat memberikan<br />

penghormatan mereka mencium tangan, lutut atau kaki Sultan. ( Java Gouvernement<br />

Gazette, 30 Mei 1812 ; Java Gouvernement Gazette, 4 Juli 1812).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


109<br />

Pangeran Adipati), menunjukkan bahwa pengangkatan tersebut merupakan<br />

―konsesi‖ yang dijanjikan oleh Sultan Najamuddin II pada saat ia bersama dengan<br />

adik-adiknya menyerahkan benteng Borang (April 1812).<br />

Upacara itu dihadiri beberapa orang Pangeran termasuk dua saudara<br />

Pangeran Adipati yang baru saja dilantik sebagai sultan dan sejumlah besar rakyat<br />

Palembang. Pangeran Adipati memasuki Balai Umum pada pukul 09.30, di sana<br />

sudah tersedia tahta yang di dekatnya terdapat payung sutera kuning (warna<br />

khusus untuk Sultan di keraton Palembang). Pangeran Adipati dan Gillespie<br />

duduk di tempat yang ditutupi seprei warna merah tua sebelah kiri tahta. Setelah<br />

itu, pada pukul 10.00 Gillespie membimbing dan mendudukkan Pangeran Adipati<br />

di atas tahta, diiringi tembakan penghormatan sebanyak 21 kali dan pengibaran<br />

panji-panji kesultanan Palembang di dinding keraton menggantikan bendera<br />

Inggris. Pangeran Adipati yang kini telah menjadi Sultan, menerima ucapan<br />

selamat dari para bangsawan, perwira Eropa dan rakyat Palembang (ANRI, Bundel<br />

Palembang No. 67; Java Gouvernement Gazette, 4 Juli 1812; Woelders, 1975: 93;<br />

Kielstra, 1892: 82; Thorn, 2004: 152-155).<br />

Berpindahnya kekuasaan di Kesultanan Palembang dari Sultan Badaruddin<br />

II kepada Sultan Najamuddin II, menandakan bahwa di kesultanan itu kekuasaan<br />

Sultan Badaruddin II cukup rapuh, sehingga dengan mudah berpindah tangan.<br />

Peristiwa itu sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Tarling (1994:131)<br />

bahwa kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara pada awal abad XIX, lembaga<br />

pemerintahannya umumnya bersifat informal, tidak permanen dan pribadi, serta<br />

mudah berubah. Kondisi demikian, mengakibatkan sering terjadi persaingan<br />

antara sesama golongan bangsawan atau elite lokal dalam memperebutkan tampuk<br />

kekuasaan. Dalam kaitannya dengan Kesultanan Palembang, jelas terlihat yaitu<br />

terjadinya persaingan antara dua bersaudara kandung yang berujung pada<br />

perpindahan kekuasaan dengan memanfaatkan bangsa asing yaitu Inggris.<br />

Pada 17 Mei 1812 (5 Jumadilawal 1227), Sultan Najamuddin II memasuki<br />

keraton Kuta Besak, dan pada hari itu juga Sultan Najamuddin II disodori sebuah<br />

kontrak oleh Inggris. Isinya menyatakan bahwa Sultan menyerahkan kepada<br />

pemerintah Inggris dan Kompeni India Timur Inggris, Pulau Bangka dan Belitung<br />

serta pulau-pulau yang tunduk padanya (cede to his Majesty the King of Great<br />

Comment [DKM128]: Dilantik sebagai apa?<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


110<br />

Britain and to the honorable East India Company in full and unlimited<br />

sovereignty, the islands of Banca and Billiton, and the islet thereon depending)<br />

(ANRI, Bundel Palembang No. 5,1; No. 67; ANKL, The Asiatic Journal, 1819, vol<br />

7).<br />

Dalam laporannya kepada Raffles, Gillespie menyatakan bahwa semua<br />

dokumen telah dibuat dan disahkan tentang penyerahan Pulau Bangka dan<br />

Belitung untuk kepentingan Inggris. Dalam kontrak disebutkan pula bahwa Sultan<br />

Najamuddin II akan mengambil alih harta kekayaan Sultan Badaruddin II.<br />

Sebagian hasilnya akan diserahkan kepada Inggris, sebagai ganti rugi ekspedisi<br />

penaklukan Palembang. Sultan juga harus mencari pelaku pembunuhan terhadap<br />

orang-orang Belanda pada 1811. Sesudah itu, Sultan Najamuddin II harus<br />

melakukan pembalasan terhadap para pelaku pembunuhan tersebut. Harta<br />

kekayaan mereka harus menjadi milik para janda dan anak-anak dari korban<br />

pembunuhan tersebut 86 . Najamuddin II juga wajib memasok kebutuhan makanan<br />

Inggris di Bangka dan agen-agennya di Palembang, juga harus mengirimkan<br />

utusan ke Batavia (Lady Raffles, 1835: 178-179; Kaiser, 1857: 94-95).<br />

Poin-poin yang termaktub di dalam kontrak tersebut, sangat merugikan<br />

Kesultanan Palembang, khususnya penyerahan Pulau Bangka Belitung, sedangkan<br />

pendapatan utama kerajaan itu adalah dari perdagangan timah. Dalam kondisi<br />

demikian, Najamuddin II juga dituntut untuk mengganti rugi biaya ekspedisi yang<br />

jumlahnya tidak sedikit, ditambah kewajibannya memasok kebutuhan makanan<br />

bagi Inggris di dua lokasi (Muntok dan Paembang). Tuntutan agar Sultan<br />

Najamuddin II mengambil harta Sultan Badaruddin II, jelas tidak dapat terlaksana,<br />

karena harta Sultan Badaruddin II telah diangkut ke uluan. Jadi, keinginan Sultan<br />

Najamuddin II untuk berkuasa dengan memanfaatkan Inggris harus dibayar mahal<br />

dengan berbagai ketentuan di atas. Hal tersebut sama dengan apa yang<br />

digambarkan oleh Nategaal dalam karyanya Riding the Dutch Tiger: The Dutch<br />

East Indies Company and The Northeast Coast of Java 1680-1743 (1996), bahwa<br />

keinginan para penguasa Jawa untuk memanfaatkan VOC demi kepentingan<br />

Comment [DKM129]: ?<br />

86 Berdasarkan laporan Gillespie kepada Raffles, disebutkan bahwa beberapa poin dari<br />

perjanjian 17 Mei 1812 yaitu tentang ―semua penasihat dan provokator dalam peristiwa<br />

pembantaian 1811 diperlakukan dengan kejam, kekayaan mereka disita dan sebagian akan<br />

digunakan untuk membiayai kebutuhan para janda dan anak-anak yatim korban pembunuhan‖,<br />

berasal dari Sultan Najamuddin II (Java Gouvernement Gazette, 18 Juni 1812 No.16).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


111<br />

mereka, justru yang terjadi adalah mereka dikendalikan oleh VOC dengan<br />

berbagai konsesi yang dituntutnya.<br />

Setelah tujuan ekspedisi tercapai, Kolonel Gillespie meninggalkan<br />

pasukan sebanyak 100 orang 87 terdiri dari perwira dan serdadu (orang Sepoy dan<br />

orang Ambon) dan satu buah kapal perang. Tugas pasukan itu adalah mengawasi<br />

pelaksanaan kontrak Palembang-Inggris dan melakukan perlindungan dalam<br />

rangka pemulihan dan kestabilan keamanan di Palembang. Untuk memasok<br />

barang-barang kebutuhan untuk Pulau Bangka, Gillespie mengangkat Villeroube 88<br />

sekaligus menjadikannya sebagai mata-mata dengan gaji 350 dolar Spanyol per<br />

bulan. Setelah segala sesuatunya selesai, Gillespie menuju Pulau Bangka dalam<br />

rangka mengambil alih pulau tersebut. Sebelumnya Gillespie telah<br />

memerintahkan Mayor Raban untuk menguasai Pulau Bangka 89 . Armada yang<br />

ditumpangi Gillespie merapat di Muntok pada 19 Mei 1812.<br />

Pulau Bangka diterima secara resmi oleh Inggris pada 20 Mei 1812.<br />

Penyerahan ini bersifat mutlak dan tidak terbatas. Dengan demikian, Pulau<br />

Bangka-Belitung sepenuhnya menjadi milik Inggris. Gillespie mengganti nama<br />

Pulau Bangka dengan ―Duke of York‖ sebagai bentuk penghormatan terhadap<br />

Duke of York, paman raja Inggris George III . Sementara itu, nama kota Muntok<br />

digantinya menjadi Minto sesuai dengan nama Gubernur Jenderal Lord Minto<br />

yang berkedudukan di Calcutta India (Lady Raffles, 1835: 179).<br />

Gillespie juga mengangkat Meares sebagai residen Bangka dan<br />

Palembang, dengan pangkat Mayor. Wewenang yang diberikan kepadanya bidang<br />

sipil dan militer. Dengan kekuasaan yang cukup besar itu, Gillespie<br />

mengharapkan R. Meares mampu mengendalikan kedua wilayah tersebut dengan<br />

baik. Untuk kelengkapan urusan pemerintahan, Gillespie mengangkat Perkin<br />

87 Sumber lain menyebutkan bahwa pasukan yang ditinggalkan oleh Gillespie di<br />

Palembang adalah 400 orang serdadu, dua kapal, dua kici, tujuh langbut dan sepuluh<br />

lanca (Woelders, 1975: 159).<br />

88 Seorang bangsawan Spanyol yang ikut dalam ekspedisi, ia berinisiatif agar<br />

dirinya tetap ditempat di Palembang (ANKL, House of Lord, vol.19, 1835).<br />

89 Untuk menguasai Pulau Bangka, langkah yang diambil oleh Mayor Raban adalah<br />

melakukan pendekatan kepada para kepala daerah di pulau itu agar mereka mendukung kekuasaan<br />

Inggris. Usaha itu cukup berhasil, terbukti mereka bersumpah setia kepada Inggris (ANKL, House<br />

of Lord, vol.19, 1835).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


112<br />

sebagai kepala pelabuhan di Port Minto, Range bertugas sebagai asisten<br />

penerjemah, Lavulle menjadi inspektur pertambangan, Oglivile sebagai penjaga<br />

gudang dan kepala pembayaran, serta Letnan Robertson sebagai peneliti kelautan<br />

khususnya menyelidiki pelabuhan Klabat. Di bidang militer, dipercayakan kepada<br />

Kapten McPherson (batalyon sukarelawan Bengala ke-6) menjadi komandan<br />

benteng Fort Nugent, Kapten Evans (batalyon Bengala) sebagai kepala juru bayar,<br />

Letnan Byene (batalyon Bengala) menjadi ajudan komandan benteng, Letnan<br />

Ralph (artileri Bengala) sebagai asisten kepala gudang, Sersan Tower (artileri<br />

Bengala) menjadi asisten pengawas, Letnan Seymor dari sukarelawan Bengala<br />

menjadi asisten departemen komisariat dan Schap menjadi ahli bedah di Fort<br />

Nugent. Sementara itu, untuk mengurusi masalah administrasi wilayah Palembang<br />

daratan, dipercayakan oleh Gillespie kepada Kapten McPherson. Setelah itu,<br />

bersama sisa pasukannya Gillespie kembali ke Batavia 90 Sekembalinya di Batavia<br />

menyerahkan hasil penelitiannya kepada Raffles, dalam laporan tersebut ia<br />

menyatakan bahwa yang harus bertanggungjawab atas pembunuhan 1811 adalah<br />

Pangeran Ratu. Gillespie menggambarkan Pangeran Ratu sebagai orang yang<br />

jahat dan licik, sehingga penduduk takut padanya (ANRI, Bundel Palembang No.<br />

67; Java Gouvernement Gazette, 18 Juni 1812 No. 16).<br />

Setelah berada di uluan, Sultan Badaruddin II menyadari situasi telah<br />

berubah dengan diangkatnya Pangeran Adipati sebagai sultan Palembang.<br />

Langkah yang diambil oleh Badaruddin II adalah melakukan konsolidasi dengan<br />

cara menghimpun kekuatan dan mendirikan benteng di Boya Lango atau Buaya<br />

Langu (hilir Sekayu). Untuk mencapai daerah itu dibutuhkan waktu beberapa hari<br />

dari ibu kota Palembang 91 . Sebagai sultan, Badaruddin II dengan cepat mendapat<br />

Comment [DKM130]: Di mana Fort Nugent i<br />

Di Palembang, Bangka atau Bilitung?<br />

Comment [DKM131]: Sampai sejauh mana<br />

relevansi orang-orang ini dalam subbab ini?<br />

Tujuannya apa??<br />

Comment [DKM132]: Siapa yang menyerahk<br />

hasil penelitian kepada Raffles??<br />

90 Letnan Gubernur Jenderal Raffles, di Semarang mengeluarkan Perintah<br />

Umum yang berisi ucapan terimakasih kepada Kolonel Gillespie atas jasa-jasa dan<br />

keberanian yang luar biasa dalam melakukan penaklukan terhadap Palembang (Java<br />

Gouvernement Gazette, 18 Juni 1812 No.16).<br />

91 Berdasarkan informasi lisan diketahui bahwa jarak dari Boya Langu (sekarang<br />

disebut Bailangu,yaitu sebutan sultan Palembang terhadap daerah tersebut karena<br />

disaat sultan tiba di sana, ia melihat ada perempuan yang tengah duduk termangu<br />

(bai=perempuan, langu=termangu) ke ibu kota Palembang selama lima hari lima malam<br />

dengan perahu. Sebaliknya, dari ibu kota ke Boya Lango membutuhkan waktu lebih<br />

lama, yaitu tujuh hari tujuh malam (wawancara dengan Bapak Adenin usia 83 tahun<br />

pada 28 Juni 2011 di desa Bailangu)<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


113<br />

dukungan dari penduduk uluan yang terdiri dari dari orang-orang Rawas, Melayu<br />

dan Minangkabau. Langkah selanjutnya yang dilakukan adalah memblokade<br />

daerah uluan khsususnya hulu Sungai Musi tempat pusat kekuasaan Sultan.<br />

Dengan blokade tersebut, ibu kota Palembang akan mengalami kesulitan<br />

mendapatkan bahan makanan. Hal tersebut disebabkan kebutuhan hidup (bahan<br />

baku dan komoditi ekspor) ibu kota sangat tergantung pada suplai dari uluan 92<br />

(ANRI, Bundel Palembang No. 67; Stapel,1940: 98; Kielstra, 1892: 82). Besarnya<br />

dukungan yang diberikan oleh penduduk uluan terhadap Sultan Badaruddin II,<br />

menunjukkan bahwa selama pemerintahannya rakyat merasakan kenyamanan dan<br />

ketenangan. Tudingan para tokoh Belanda (antara lain Sevenhoven, dan<br />

Muntinghe) bahwa bentuk pemerintahan tradisional membuat rakyat menderita<br />

tidak terbukti. Menurut Tarling (1994:134), ikatan kesetiaan rakyat terhadap<br />

rajanya tergantung pada kuat atau lemahnya kekuasaan raja. Raja yang kuat akan<br />

mampu mengontrol rakyatnya sedemikian rupa sehingga rakyat patuh padanya,<br />

demikian pula sebaliknya, rakyat akan berpaling jika kekuasaan raja lemah.<br />

Dukungan yang diberikan rakyat uluan kepada Sultan Badaruddin II<br />

menunjukkan besarnya pengaruh Sultan terhadap rakyat, baik melalui kekuasaan<br />

politik, keuangan, maupun kharisma. Imbalan yang diterima rakyat dari kesetiaan<br />

itu adalah keamanan, kemakmuran, dan status 93 . Hal seperti itu tidak dimiliki oleh<br />

Sultan Najamuddin II yang memperoleh kekuasaan politik melalui campur tangan<br />

asing.<br />

Menyadari apa yang dilakukan oleh Sultan Badaruddin II di pedalaman, dan<br />

adanya desas-desus tentang akan adanya penyerangan terhadap ibu kota dari<br />

daerah Boya Lango, Sultan Najamuddin II memberitahukan masalah tersebut<br />

kepada Kapten R. Meares di Muntok. Berdasarkan laporan tersebu,t Meares<br />

92 Sungai Musi merupakan induk dari sungai-sungai (Batanghari Sembilan) yang<br />

ada di Kesultanan Palembang. Terdapat dua sungai yang bermuara di ibu kota<br />

Palembang, yaitu Sungai Komering dan Sungai Ogan. Walaupun demkian, posisi Sultan<br />

Badaruddin II di hulu Sungai Musi mengakibatkan kebutuhan hidup penduduk di ibu<br />

kota menjadi terganggu. Hal itu tergambar jelas dari sumber-sumber sejarah seputar<br />

masa pendudukan Inggris di Kesultanan Palembang kurun waktu 1812-1813.<br />

93 Sultan Badaruddin II mengangkat orang-orang yang berjasa dengan gelar-gelar<br />

kehormatan, memberi hadiah-hadiah baik berupa uang maupun pesalin atau pakaian<br />

dengan segala atributnya yang merupakan simbol status seseorang atau kelompok.<br />

Periksa Woelders, 1975: 162.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


114<br />

mempersiapkan armada dan pasukan guna menghancurkan pusat pertahanan<br />

Sultan Badaruddin II di Boya Lango (Woelders, 1975, 93; Kielstra, 1892, 83).<br />

Pada 13 Juli 1812 Kapten R. Meares memimpin 150 orang pasukan dari<br />

Bangka berangkat menuju Palembang. Ia tiba di Palembang pada 26 Agustus<br />

1812. Pasukan ekspedisi ini terdiri dari kesatuan orang Ambon dipimpin Letnan<br />

Pearson, kesatuan artileri Bengala di bawah komando Letnan Ralie dan staf<br />

kesatuan dipimpin Letnan Byrne. Dua hari berikutnya, dengan kesatuan sebesar<br />

170 orang, ada tambahan pasukan dari Sultan Najamuddin II, mereka berangkat<br />

menuju Boya Lango. Pasukan mendekati kawasan itu pada 31 Agustus 1812. Pagi<br />

hari 1 September 1812 pasukan Meares bergerak maju menyusuri sungai Musi<br />

untuk mencapai pusat pertahanan Sultan Badaruddin II. Berdasarkan hasil<br />

penyelidikan Kapten M. Pherson, pasukan Meares, tanpa hambatan berarti,<br />

berhasil mendarat di kawasan yang tidak jauh dari pusat pertahanan Sultan<br />

Badaruddin II. Perjalanan diteruskan sampai mereka menemukan kubu pertahanan<br />

Sultan Badaruddin II, yang menyebabkan terjadinya pertempuran. Pasukan<br />

Badaruddin II gigih mempertahankan kubu pertahanannya, baik di sungai maupun<br />

di darat, sehingga Meares mengalami kesulitan untuk merebut benteng pertahanan<br />

Sultan Badaruddin II. Sampai akhirnya kubu pertahanan di Boya Lango berhasil<br />

dikuasai dan dibakar. Akan tetapi, dalam pertempuran tersebut Meares tertembak.<br />

Selain Meares, terdapat dua orang tentara Sepoy yang terluka. Hal itu<br />

mengakibatkan pasukan dari Palembang dan Bangka kembali ke Palembang untuk<br />

selanjutnya menuju Muntok.Mereka tiba di Fort Nugent pada 4 September 1812.<br />

Akibat luka parah yang dideritanya, Meares meninggal dunia pada 16 Oktober<br />

1812 setelah mengalami pendarahan hebat dalam usia 40 tahun 94 di Fort Nugent<br />

Tanjung Kelian Muntok. Dengan wafatnya Meares, Kapten M. Pherson diangkat<br />

sebagai residen, merangkap sebagai komandan pasukan sementara Inggris,<br />

sambil menunggu perintah lebih lanjut dari Batavia. Kelak posisi Kapten M.<br />

Pherson digantikan oleh Kolonel Eales (Resimen Eropa EIC). (ANRI, Bundel<br />

94 Pernyataan resmi atas wafatnya Kapten R. Meares dikeluarkan Raffles pada<br />

tanggal 22 Oktober 1812. Dalam laporannya kepada Raffles pada 15 April 1812, Kolonel<br />

Gillespie menggambarkan Kapten R. Meares sebagai orang yang berkualitas, baik<br />

sebagai ajudan maupun sebagai penerjemah (Java Gouvernement Gazette, 30 Mei<br />

1812).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


115<br />

Palembang No. 5.1; No. 67; Java Gouvernement Gazette,30 Mei 1812 Java<br />

Gouvernement Gazette; 4 Juli 1812; Java Gouvernement Gazette 24 Oktober<br />

1812 No. 35).<br />

Dalam pertempuran tersebut pasukan Badaruddin II berhasil merebut<br />

sembilan meriam milik pasukan Meares. Kerugian besar bagi Badaruddin II<br />

adalah tertangkapnya Pangeran Wirodinoto, salah seorang pembantu terdekatnya.<br />

Kepada pimpinan pasukan Inggris, Sultan Badaruddin II meminta agar Pangeran<br />

Wirodinoto tidak dibunuh tetapi diasingkan. Dalam perjalanan menuju Batavia<br />

Pangeran Wirodinoto wafat. Tidak disebutkan penyebab kematiannya. Permintaan<br />

khusus yang disampaikan oleh sultan Badaruddin II mengisyaratkan adanya<br />

kekhawatiran Sultan atas keselamatan Pangeran Wirodinoto (Java Gouvernement<br />

Gazette, 24 Oktober 1812 No. 35; Woelders, 1975: 94).<br />

Setelah kubu pertahanan di Boya Lango mengalami kehancuran, Sultan<br />

Badaruddin II mundur dan mendirikan benteng di Tanjung Rawas Mata daerah<br />

Muara Rawas. Di tempat baru itu, kembali Sultan mendirikan kubu pertahanan<br />

dan menyusun kekuatan. Sultan menghimpun orang-orang Musi, Bliti, Batu<br />

Kuning, Kikim, Melayu Kerinci, Pegagan dan Rawas. Bahkan, Sultan mendapat<br />

bantuan dari Sultan Jambi. Sultan mengangkat empat panglima perang, yaitu<br />

Panglima Perang Besar, Panglima Didalam Raja, Panglima Besar Raja dan<br />

Panglima Muda. Mereka masing-masing diberi lambang kebesaran berupa: kain,<br />

baju, sapu tangan, ikat pinggang, dan pedang. Mereka semuanya bersumpah setia<br />

untuk mendukung sultan dengan upacara penyembelihan kerbau (Woelders, 1975:<br />

162).<br />

Berkaitan dengan hal itu, Sultan Najamuddin II memerintahkan untuk<br />

segera mendirikan benteng di sebelah hilir Muara Rawas. Tujuannya adalah untuk<br />

menahan serangan dari pasukan Sultan Badaruddin II. Sultan Najamuddin II<br />

membuat kebijakan, yaitu tidak memperkenankan orang-orang dari ibu kota<br />

mudik ke Muara Rawas, namun menerima kehadiran orang-orang dari Muara<br />

Rawas ke ibu kota. Semua itu terjadi karena adanya kekhawatiran Sultan<br />

Najamuddin II terhadap orang-orang yang mudik ke Muara Rawas dan tidak<br />

kembali lagi ke ibu kota, yang berarti akan mengurangi jumlah penduduk atau<br />

bahkan pasukan di sana. Sebaliknya, pasukan Sultan Badaruddin II di Muara<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


116<br />

Rawas akan menambah kekuatannya. (ANRI, Bundel Palembang No. 67;<br />

Woelders, 1975: 94, 161-162, 171, 177).<br />

Kegagalan ekspedisi pertama menyebabkan direncanakan pelaksanaan<br />

ekspedisi kedua. Akan tetapi, ekspedisi dimaksud diperkirakan oleh para<br />

pendukung tidak akan mampu menangkap Badaruddin II. Apalagi, jalur menuju<br />

uluan sangat sulit dilalui, sehingga membuat pasukan yang ditinggalkan Meares<br />

mengalami trauma. Menurut mereka operasi militer sangat tidak menguntungkan.<br />

Sultan Badaruddin II mendapat dukungan yang sangat besar dari rakyat. Di mata<br />

rakyat Sultan Badaruddin II adalah sosok yang kuat dan dihormati oleh rakyat<br />

uluan dibandingkan dengan Sultan Najamuddin II yang diangkat oleh Inggris.<br />

Posisi Sultan Badaruddin II yang diturunkan oleh Inggris, justru memberi nilai<br />

tambah bagi Sultan. Akibatnya, usaha penangkapan terhadapnya sulit dilakukan<br />

oleh pasukan gabungan Inggris dan Sultan Najamuddin II. Ketidakmampuan<br />

pasukan gabungan menangkap Sultan Badaruddin II menyebabkan kedudukan<br />

Sultan Najamuddin II senantiasa berada tidak aman. Kondisi itu diperparah karena<br />

Sultan Najamuddin II tidak memiliki uang dan kekuatan militer (ANRI, Bundel<br />

Palembang No. 67).<br />

Keadaan seperti itu mendorong inisiatif Residen Mayor Wiliam Robison<br />

untuk berunding dengan Sultan Badaruddin II. Sebagai residen, ia ditugaskan<br />

untuk menaklukkan kekuatan Badaruddin II di Muara Rawas. Meskipun<br />

demikian, Mayor Robison yakin bahwa usaha itu akan sia-sia, mengingat Sultan<br />

Najamuddin II hanya mempunyai kekuasaan yang minim, dan tidak mendapat<br />

dukungan dari rakyat. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa rakyat Palembang<br />

lebih mencintai Sultan Badaruddin II. Strategi yang ditempuh oleh Mayor<br />

Robison adalah mengusulkan kepada Najamuddin II untuk melepaskan<br />

kedudukannya kepada Badaruddin II. Sebagai gantinya, Najamuddin II akan<br />

diangkat sebagai Sultan Bangka. Apabila Sultan Badaruddin II meninggal dunia,<br />

Najamuddin II dapat menggantikannya sebagai sultan di Kesultanan Palembang.<br />

Kebijakan Robison itu ditempuh agar suasana damai tercipta di Kesultanan<br />

Palembang. Akan tetapi, usulan itu ditolak oleh Najamuddin II, bahkan ia<br />

mengirimkan ekspedisi militer ke Muara Rawas. Ekspedisi itu mengalami<br />

kegagalan, karena pada saat operasi dimulai pasukan yang dikirim dari ibu kota<br />

Comment [DKM133]: Siapakah –nya di sini?<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


117<br />

tidak menjalankan tugasnya, tetapi malah melarikan diri (Kielstra, 1892: 83;<br />

Sturler, 1843:9).<br />

Disini tampak bahwa para bangsawan dan rakyat lebih mendukung Sultan<br />

Badaruddin II yang berada di uluan daripada Sultan Najamuddin II yang berusaha<br />

menguasai keraton. Peristiwa tersebut membuktikan besarnya dukungan<br />

bangsawan dan rakyat Palembang kepada Sultan Badaruddin II. Penjelasan ini<br />

mematahkan apa yang digambarkan oleh Gillespie tentang Najamuddin II yang<br />

dicintai oleh rakyatnya, Gillespie hanya melhat dari banyaknya penduduk yang<br />

menghadiri upacara pelantikan Najamuddin II. Hal itu pula yang menjadi salah<br />

satu pertimbangan Gillespie mengangkat Najamuddin II. Sebagai penguasa<br />

pendatang di daerah tersebut,<br />

Gillespie tidak memahami kondisi kerajaan<br />

Palembang dan rakyatnya serta kapasitas dan kapabilitas Sultan Najamuddin II.<br />

Oleh karena itu, Robison berketetapan hati untuk membuka perundingan dengan<br />

Sultan Badaruddin II.<br />

Pada 18 Juni 1813 Pangeran Adipati (adik kedua Sultan Badaruddin II)<br />

dan Pangeran Aryo Kesumo (adik bungsu Sultan Badaruddin II) menemui Mayor<br />

Robison. Pada kesempatan itu keduanya menjelaskan bahwa rakyat Kesultanan<br />

Palembang tidak mendukung Najamuddin II sebagai sultan. Mempertahankan<br />

Najamuddin II adalah sia-sia. Mengenai peristiwa loji Sungai Aur, kedua<br />

pangeran itu berpendapat bahwa kedua sultan (Badaruddin II dan Najamuddin II)<br />

sama-sama bersalah 95 . Semua informasi itu diterima dan ditelaah dengan baik<br />

oleh Mayor Robison. Berbekal informasi-informasi yang diterimanya, Mayor<br />

Robison memutuskan untuk melakukan perundingan dengan Badaruddin II. Pada<br />

19 Juni 1812 Mayor Robison dan rombongannya berangkat menuju Muara<br />

Rawas. Setiba mereka di sana disambut oleh Sultan Badaruddin II dengan penuh<br />

rasa persahabatan (Bastin, 1954: 74; Woelders, 1975: 9).<br />

Pertemuan pertama terjadi pada 27 Juni 1813. Mayor Robison meminta<br />

penjelasan kepada Sultan Badaruddin II tentang sikapnya terhadap Inggris pada<br />

ekspedisi 1812. Sultan Badaruddin II menjelaskan latar belakang keputusannya<br />

untuk mundur ke daerah uluan. Hal itu disebabkan utusan yang dikirimkannya<br />

95 Dalam arsip Bundel Palembang No 5.1, disebutkan bahwa di mata pemerintah<br />

Belanda, Najamuddin II tidak melakukan tindakan untuk menentang atau mencegah<br />

terjadinya peristiwa pembunuhan orang-orang Belanda 1811.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


118<br />

menghadap Gillespie ditawan. Pada kesempatan itu Gillespie juga menyatakan<br />

bahwa pasukan Inggris tidak akan memberikan ampunan apabila mereka berhasil<br />

menangkapnya, sedangkan benteng Borang telah diduduki oleh pasukan Inggris.<br />

Di depan Mayor Robison, Sultan Badaruddin II berjanji akan bersikap baik<br />

terhadap Inggris, sebagaimana yang selama ini dilakukannya terhadap Belanda.<br />

Kesaksian lain yang diberikan oleh Sultan, bahwa dirinya tidak pernah<br />

memberikan perintah membunuh orang-orang Belanda pada September 1811.<br />

Sultan baru mengatahui hal tersebut setelah pertistiwa itu lama terjadi. Sultan<br />

menegaskan bahwa ia hanya memerintahkan orang-orang Belanda itu dibawa<br />

pergi sesuai permintaan Raffles. Kesaksian itu diperkuat dengan ditunjukkannya<br />

bukti surat-surat, senapan dan amunisi dari Raffles kepada Sultan. Sultan berjanji<br />

akan melakukan investigasi secara tuntas atas peristiwa tersebut, dan akan<br />

menyerahkan orang-orang yang terlibat untuk dihukum. Karena Pangeran Ratu<br />

dicurigai pihak Inggris terlibat dalam peristiwa tersebut, Badaruddin II pun<br />

bersedia menyerahkannya bersama-sama dengan dua pejabat penting lainnya<br />

dengan catatan keselamatan mereka dijamin Robison (ANRI, Bundel Palembang<br />

No. 67).<br />

Menurut Badaruddin II, dirinya tidak pernah menyerahkan urusan umum<br />

kepada Pangeran Ratu. Sesuai ketentuan di Kesultanan Palembang, Pangeran Ratu<br />

berada di bawah perwalian Pangeran Adipati (Najamuddin II). Apabila Pangeran<br />

Ratu bersalah, berarti Najamuddin II juga ikut bersalah. Tindak lanjut dari<br />

pertemuan itu adalah disepakatinya perjanjian pada tanggal 29 Juni 1813 (Bastin,<br />

1954: 74-75).<br />

Pada perjanjian antara Sultan Badaruddin II dan Robison memuat<br />

beberapa poin antara lain:<br />

a) Sultan Badaruddin II wajib membayar biaya ekspedisi sebesar 400 ribu<br />

dolar Spanyol.<br />

b) Sultan harus menyetorkan 15000 pikul lada setiap tahun dengan harga 3<br />

dolar Spanyol per pikul, lada itu harus diserahkan di gudang Inggris di<br />

Muntok.<br />

c) Sultan Palembang harus membangun loji Belanda yang telah hancur atau<br />

menggantinya dengan uang sebesar 20000 dolar Spanyol kepada Inggris.<br />

d) Sultan akan mengesahkan penyerahan Pulau Bangka-Belitung dan pulaupulau<br />

disekitarnya kepada Inggris.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


119<br />

e) Sultan juga harus membuka dan menjamin kelancaran hubungan<br />

Palembang dengan Lampung dan Bengkulu (ANRI, Bundel Palembang No.<br />

67).<br />

Di samping itu, Sultan Badaruddin II harus membeli semua candu yang<br />

dibutuhkan dari pemerintah Inggris di Jawa dengan harga minimal 1.100 dolar<br />

Spanyol per pikul. Sebagai imbalannya, Mayor Robison akan memberikan<br />

pengampunan atas semua kesalahan Sultan Badaruddin II. Sultan Badaruddin II<br />

juga akan diangkat kembali sebagai penguasa Palembang dengan persetujuan<br />

Sultan Najamuddin II (ANRI, Bundel Palembang No. 67; Bastin, 1954: 74-75;<br />

Kielstra, 1892: 84).<br />

Dilihat dari pasal-pasal kesepakatan tersebut, dapat disimpulkan bahwa<br />

Sultan Badaruddin mengubah strateginya ketika berhadapan dengan Inggris yang<br />

pada waktu itu diwakili oleh Mayor Robison. Demi kembalinya kekuasaan ke<br />

tangannya, Sultan Badaruddin II merelakan lepasnya Pulau Bangka-Belitung dan<br />

pulau-pulau lain di sekitarnya kepada Inggris. Sebelumnya, justru pasal tersebut<br />

yang menjadi penyebab Inggris melakukan ekspedisi untuk menaklukkan<br />

Palembang. Apakah hanya semata-mata faktor kekuasaan yang menyebabkan<br />

Sultan berubah atau ada faktor lain? Hal itu dapat ditelusuri pada berbagai<br />

peristiwa yang terjadi di Kesultanan Palembang pascapenaklukan April 1812.<br />

Mulai dari pengkhianatan adiknya Pangeran Adipati yang tidak melakukan<br />

perlawanan terhadap eskpdisi Inggris yang dipimpin oleh Gillespie (1812), diikuti<br />

peristiwa dirinya diturunkan dari tahta secara sepihak oleh Inggris, dan Pangeran<br />

Adipati menggantikannya. Sejak itu Palembang bergolak. Peristiwa itu belum<br />

pernah terjadi dalam sejarah Kesultanan Palembang yang berdampak pada<br />

kerugian bagi Palembang. Berbagai peristiwa itu dapat menjadi alasan Badaruddin<br />

II mengubah strateginya dengan menerima semua persyaratan yang disodorkan<br />

oleh Mayor Robison. Faktor lain yang tidak boleh diabaikan adalah semakin lama<br />

di uluan kemampuan ekonomi Badaruddin II akan semakin melemah. Menurut<br />

Sturler (1855: 14), salah satu faktor rakyat mendukung Badaruddin II karena<br />

kekayaannya 96 . Apabila kekayaan itu habis, dukungan pun akan berkurang atau<br />

96 Fenomena tersebut dapat dikaitkan dengan kondisi bangsa Indonesia sekarang<br />

ini, dalam kaitannya dengan pemilihan secara langsung terhadap kepala-kepala daerah<br />

atau pusat, yang sangat rawan “Politik Uang”. Akibatnya, dana yang besar yang telah<br />

dikeluarkan menuntut pihak yang terpilih untuk “mengembalikan” dana yang sudah<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


120<br />

hilang sama sekali. Tambahan pula, kondisi yang terus bergolak antarkedua<br />

pendukung akan membuat rakyat semakin menderita.<br />

Berdasarkan temuannya di uluan tentang peristiwa September 1811,<br />

Residen Robison sampai pada kesimpulan bahwa telah terjadi ―pembunuhan<br />

karakter‖ atas Badaruddin II. Kenyataannya Badaruddin II seorang yang sangat<br />

taat, penuh kasih dan perhatian terhadap anak-anak dan saudaranya serta bersikap<br />

liberal terhadap para bangsawan. Setelah para bangsawan mengetahui adanya<br />

perjanjian antara Sultan Badaruddin II dan Mayor Robison, sebagian besar dari<br />

mereka berangkat ke Muara Rawas, meninggalkan Sultan Najamuddin II untuk<br />

menemui Sultan Badaruddin II dan menyatakan tunduk kepadanya. Setelah<br />

urusannya di Kesultanan Palembang dianggap selesai, Mayor Robison kembali ke<br />

Batavia pada akhir Juli 1813. Sesuai perjanjian, Mayor Robison membawa<br />

Pangeran Ratu, beberapa priyayi dan menteri. Sementara itu, Najamuddin II juga<br />

mengirim Pangeran Wiradiraja sebagai utusan ke Batavia dan uang empat puluh<br />

laksa ringgit untuk diserahkan kepada penguasa Inggris di Batavia. Dalam<br />

laporannya kepada Gillespie, Pangeran Wiradiraja menyampaikan proses<br />

penurunan tahta Najamuddin II. (Bastin, 1954:75-78; Woelders, 1975: 96).<br />

Di Batavia, Mayor Robison mendapat kesempatan untuk menjelaskan<br />

kondisi tentang pembantaian orang-orang Belanda kepada Raffles. Dia mengakui<br />

bahwa dirinya menghadapi situasi paling sulit ketika mendapatkan suatu kisah<br />

terpadu dari orang-orang Palembang tentang kekacauan yang terjadi di sana<br />

akibat diturunkannya Sultan Badaruddin II. Ia juga menjelaskan peristiwa<br />

Pangeran Ratu yang telah menyodorkan surat mengenai kepergian orang-orang<br />

Belanda yang telah ditandatangani oleh agen Raffles (Raden Muhamad). Padahal,<br />

sesuai dengan ketentuannya, putera mahkota tidak boleh terlibat dalam urusan<br />

umum dan segala sesuatu yang dilakukannya harus berada di bawah kendali<br />

walinya yaitu Najamuddin II. Di sini tampak bahwa Raden Muhamad telah jauh<br />

bertindak melebihi wewenangnya. Oleh karena itu, Robison mengatakan bahwa<br />

kedua agen Raffles (Raden Muhamad dan Said Abubakar Rumi) adalah petualang<br />

yang licik (Bastin, 1954:75-78).<br />

Comment [DKM134]: Untuk apa???<br />

Comment [DKM135]: Maksudnya apa???<br />

dikeluarkan. Keadaan ini membuat makin “suburnya” korupsi di segala lini. “Janji-janji”<br />

yang diumbar kepada rakyat pemilih “hanya tinggal janji”.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


121<br />

Penjelasan rinci yang disampaikan oleh Robison seputar kebijakan yang<br />

telah diambilnya dan alasan-alasan logis yang mendasari kepada Raffles, tidak<br />

mampu merubah keputusan Raffles untuk memecatnya. Raffles lebih memilih<br />

laporan yang disampaikan oleh utusan Sultan Najamuddin II yaitu Pangeran<br />

Wiradiraja. Di mata Raffles laporan Robison tidak berarti apa-apa, karena<br />

Robison telah melakukan kebijakan yang bertentangan dengan keputusannya.<br />

Sesuai kesepakatan antara Najamuddin II dan Inggris bahwa Inggris harus<br />

mempertahankan kedudukannya sebagai konpensasi atas diserahkannya Pulau<br />

Bangka-Belitung dan pulau-pulau di sekitarnya kepada Inggris<br />

3.2 Pergantian Kekuasaan<br />

Setelah menandatangani kontrak tersebut, pada 1 Juli 1813 Robison bersamasama<br />

dengan rombongan Sultan Badaruddin II dari daerah Muara Rawas kembali<br />

ke Palembang. Kedatangan Sultan Badaruddin II di Palembang untuk menduduki<br />

tahtanya kembali (ANRI, Bundel Palembang No. 5.1). Sultan Najamuddin II<br />

diturunkan pada 13 Juli 1813. Pada saat itu pula Sultan Badaruddin II dinaikkan<br />

kembali tahtanya sebagai sultan Palembang. Sultan Badaruddin II menempati<br />

kembali Keraton Kuto Besak, sedangkan Najamuddin II ditempatkan di keraton<br />

Kuto Lamo. Kepada Najamuddin II dianugerahi kedudukan sebagai Sultan<br />

Bangka atau Sultan Ogan 97 dan akan mendapat gaji tahunan. Apabila Sultan<br />

Badaruddin II wafat, kebijakan selanjutnya diserahkan kepada pemerintah pusat<br />

di Batavia, untuk menentukan siapa yang akan menjadi sultan di Palembang,<br />

Najamuddin II atau tidak (ANRI, Bundel Palembang No. 67). Apakah akan<br />

menjadi Sultan Bangka atau Ogan serta apakah ada kemungkinan menjadi<br />

pengganti Sultan Badaruddin II apabila Sultan Badaruddin II mangkat? Semua itu<br />

menunjukkan bahwa baik gelar maupun kemungkinan menjadi penganti Sultan<br />

Badaruddin II hanyalah ―pemanis‖ agar Najamuddin II tidak terlalu kecewa. Hal<br />

97 Menurut Stapel (1940: 85), Sultan Najamuddin II mendapat gelar Sultan Ogan<br />

sebagai pengganti gelar Sultan Bangka yang sebelumnya telah diberikan kepadanya.<br />

Setelah Sultan Badaruddin II wafat, kemungkinan dirinya diperbolehkan<br />

menggantikannya.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


122<br />

ini juga merupakan bukti bahwa Najamuddin II tidak memiliki pengaruh apapun<br />

di Kesultanan Palembang.<br />

Apa yang dilakukan oleh Mayor Robison terjadi tanpa sepengetahuan<br />

pemerintah Inggris di Batavia 98 , sehingga ditolak oleh pemerintah Inggris dan<br />

mengambil tindakan untuk memulihkan kedudukan Najamuddin II sebagai satusatunya<br />

sultan. Pemerintah Batavia mengirimkan dua ratus pasukan darat dan laut<br />

untuk menurunkan Badaruddin II. Colebrooke diangkat sebagai komandan<br />

ekspedisi, agen polisi dan residen untuk Bangka-Palembang. Tugasnya<br />

membentuk komisi untuk memulihkan jabatan Najamuddin II. Pasukan ekspedisi<br />

ini tiba di Palembang pada 13 Agustus 1813. Keesokan harinya (14 Agustus<br />

1813) digelar upacara penurunan Sultan Badaruddin II dan penobatan kembali<br />

Sultan Najamuddin II dengan pembacaan dekrit yang dikeluarkan di Batavia 4<br />

Agustus 1813 (7 Syaban 1228 Hijriah). Pemerintah Inggris mengembalikan semua<br />

uang yang telah diserahkan oleh Badaruddin II kepada Mayor Robison, beserta<br />

bunganya. Selama masa pemerintahan Sultan Badaruddin II yang singkat, ia telah<br />

menunjukkan kesetiaan kepada Inggris. Atas kesetiaan itu, Raffles memberikan<br />

ampunan dan perlindungan kepada Badaruddin II, dengan syarat Badaruddin II<br />

tidak melawan Sultan Najamuddin II, demi terciptanya perdamaian di Palembang<br />

(ANRI, Bundel Palembang No. 5.1; No.67; Bataviaasche Courant, 4 Agustus<br />

1821; Kaiser, 1857: 95; Stapel, 1940: 98-99; Kielstra, 1892: 85).<br />

Untuk itu, pemerintah Inggris mewajibkan Sultan Najamuddin II untuk<br />

memenuhi kebutuhan makanan Badaruddin II berupa dua koyang beras setiap<br />

bulan dan sewaktu-waktu menyediakan seratus orang pendayung dan dua ratus<br />

orang pekerja (Perjanjian 21 Agustus 1813 pasal 7), serta menyediakan sebidang<br />

tanah untuk berburu. Badaruddin II yang sudah dua kali diturunkan dari tahta,<br />

sangat marah dengan adanya dekrit tersebut. Akan tetapi ia pasrah dengan<br />

nasibnya dan memilih untuk tetap tinggal di ibu kota Palembang sebagai orang<br />

biasa yang menempati keraton Kuto lamo. Dengan tetap tinggalnya Sultan<br />

Badaruddin II di ibu kota Palembang, kondisi di uluan menjadi tenang. Hal ini<br />

tidak terlepas dari usaha pemerintah Inggris menjaga keamanan di Kesultanan<br />

Comment [DKM136]: Menyebut ANRI nya<br />

sekali saja.<br />

98<br />

Dengan peristiwa tersebut Robison dipecat, posisinya digantikan oleh<br />

Colebrooke (ANRI, Bundel Palembang No. 67; Kaiser, 1857: 95).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


123<br />

Palembang. Sementara itu, kedua orang puteranya tetap dibawa ke Batavia sesuai<br />

perjanjian antara Sultan Badaruddin II dan Mayor Robison (ANRI, Bundel<br />

Palembang No. 67; No. 5.1; Kemp, 1900: 336-337; Woelders, 1975: 96).<br />

Setelah penobatan kembali Najamuddin II sebagai sultan, dilakukan<br />

perjanjian antara Sultan Najamuddin II dan pemerintah Inggris yang disepakati<br />

pada 21 Agustus 1813 memuat beberapa pasal yang harus dipenuhi oleh Sultan<br />

Najamuddin II, antara lain :<br />

- Sultan Najamuddin II, para ahli waris dan penggantinya, atas nama semua<br />

pangeran, mantri dan para kepala adat Palembang akan menyerahkan hak<br />

kekuasaan mutlak atas pulau Bangka, pulau Belitung dan pulau-pulau kecil<br />

yang terletak di sekitarnya kepada Raja Inggris dan EIC (Maskapai<br />

Dagang Hindia Timur). Sultan wajib membebaskan setiap orang datang<br />

dan pergi dari dan ke Palemban-Bangka untuk melakukan berbagai<br />

aktivitas di kedua tempat tersebut. Sultan juga wajib melindungi dan<br />

menjamin kebebasan orang-orang Cina dan Arab yang menetap di<br />

Palembang (Pasal 1).<br />

- Sultan Najamuddin II wajib membuka hubungan dengan Bengkulu dan<br />

Lampung (Pasal 2).<br />

- Sultan Najamuddin II wajib untuk menyetorkan semua hasil bumi apabila<br />

diminta oleh Kompeni Inggris dengan ganti rugi yang layak (Pasal 3).<br />

- Kompeni Inggris bersedia melindungi Sultan Mahmud Badaruddin II dan<br />

Sultan Ahmad Najamuddin II wajib untuk membuat keputusan yang<br />

positif bagi Badaruddin II (Pasal 4).<br />

- Sultan Najamuddin II wajib menyerahkan sebidang tanah kepada Kompeni<br />

Inggris untuk mendirikan benteng dan beberapa kantor (Pasal 5).<br />

- Sultan wajib meminta persetujuan dari residen untuk membangun proyek<br />

pertahanan (Pasal 6).<br />

- Sultan wajib memenuhi penyediakan 2 koyang beras kepada Badaruddin<br />

II setiap bulan, seperti yang termaktub dalam pasal 4. Sultan Najamuddin<br />

II harus menyediakan 100 orang tenaga pendayung dan 200 orang tenaga<br />

kerja untuk Badaruddin II apabila sewaktu-waktu dibutuhkan. Sultan juga<br />

wajib menyerahkan sebidang tanah untuk berburu kerbau. Apabila terjadi<br />

Comment [DKM137]: s.d.a<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


124<br />

perbedaan pendapat antara Sultan Najamuddin II dan Badaruddin II maka<br />

Sultan Najamuddin II wajib tunduk pada keputusan Residen Inggris di<br />

Palembang (Pasal 7) (ANRI, Bundel Palembang No. 67).<br />

Setelah Badaruddin II diturunkan dari tahta, ia melakukan konsolidasi<br />

dengan melakukan pendekatan kepada para bangsawan dalam usaha<br />

memperlemah kekuasaan Sultan Najamuddin II. Akibatnya, residen melarang<br />

setiap orang yang akan mengunjungi mantan Sultan itu. Akan tetapi, Badarudin II<br />

tetap mendapat dukungan dari para depati dari uluan. Pada saat itu Badaruddin II<br />

diminta residen untuk menyerahkan pusaka kerajaan kepada Najamuddin II.<br />

Untuk masalah ini, ia menolaknya, karena dirinyalah yang berhak atas pusakapusaka<br />

tersebut sebagai sultan yang sah. Akibatnya, suatu kesatuan pasukan<br />

Inggris disiapkan untuk memaksa Badarudin II mengubah sikapnya. Dengan<br />

terpaksa Badaruddin II menyerahkan pusakanya. Dia dibawa ke tangsi Inggris dan<br />

ditahan di sana selama tiga hari (ANRI, Bundel Palembang No. 67; Sturler,<br />

1855:14).<br />

Setelah Mayor Robison tiba di Batavia, muncul desas-desus di Batavia<br />

bahwa Robison menerima suap dari Badaruddin II dalam upaya memulihkan<br />

kekuasaannya. Ia dituduh telah memalsukan laporan, khususnya mengenai uang<br />

yang disetorkan oleh Badaruddin II kepadanya. Akan tetapi, pendapat itu ditolak<br />

oleh pemerintah Inggris di Calcutta. Menurut pemimpin di sana, tidak terdapat<br />

bukti telah terjadi pelanggaran oleh Robison 99 . Bukti-bukti yang diajukan kacau<br />

dan saling bertentangan. Robison sangat yakin kalau Badaruddin II tidak tahu<br />

apalagi memerintahkan untuk melakukan pembantaian terhadap orang-orang di<br />

loji Sungai Aur (1811). Robison menuding Raffles sebagai orang yang harus<br />

bertanggung jawab atas peristiwa tersebut 100 . Menurut Kampen dalam Bastin<br />

99 Terjadi perbedaan pendapat antara Raffles dan Gubernur Jenderal Lord<br />

Minto tentang uang sogokan yang dipermasalahkan oleh Raffles. Ada dua kemungkinan<br />

hal itu terjadi, pertama, karena Robison tidak terbukti melakukan hal itu, kedua, eratnya<br />

hubungan antara Robison dan Lord Minto, sehingga Minto melindunginya. Akan tetapi,<br />

pembelaan Minto tidak membatalkan pemecatan Robison sebagai residen Inggris di<br />

Palembang. Itu semua membuktikan bahwa otonomi penguasa Inggris di daerah koloni<br />

besar.<br />

100 Pada saat pendudukan Pulau Jawa, Robison bertugas sebagai ajudan Gubernur<br />

Jenderal Lord Minto. Selanjutnya menjadi sekretaris pemerintah Inggris di Batavia. Sejak itulah<br />

telah terjadi pertentangan antara Raffles dan Robison. Dengan tuduhan Robison terlibat dalam<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


125<br />

(1954:73), dinyatakan bahwa Robison bersalah karena telah melakukan tindakan<br />

yang menyimpang dari ketentuan pemerintah pusat di Batavia. Pendapat ini<br />

didukung oleh De Haan, juga dalam Bastin, dengan mengatakan Robison orang<br />

yang tidak jujur. Tetapi Kemp, meragukan pendapat tersebut. Baginya Robison<br />

telah melaksanakan pekerjaannya sesuai dengan kondisi pada waktu itu (Bastin,<br />

1954: 73-76).<br />

Dari berbagai pendapat tersebut tentang bersalah atau tidaknya Robison,<br />

dapat dipastikan bahwa apabila dilihat dari ketidakpatuhan Robison mengemban<br />

misinya, ia dapat dinyatakan sebagai orang yang bersalah. Akan tetapi, kondisi<br />

pada waktu itu dalam keadaan darurat, sehingga dibutuhkan kebijakan lain yang<br />

mampu meredam kekacauan yang ada. Jadi, tergantung dari sudut mana<br />

memandangnya. Jarak yang jauh dan transportasi yang sulit antara Palembang dan<br />

Batavia, menyebabkan pertimbangan-pertimbangan aktual yang terjadi di<br />

lapangan lebih menentukan kebijakan apa yang harus dilakukan. Atas<br />

pertimbangan tersebut, kebijakan Robison dapat dibenarkan. Beberapa peristiwa<br />

dapat dijadikan rujukan tentang perubahan kebijakan sesuai dengan kondisi pada<br />

saat peristiwa tertentu terjadi. Contohnya, Raffles memutuskan untuk menyerang<br />

Palembang (1811) tanpa berkonsultasi terlebih dahulu kepada Lord Minto, karena<br />

ingin menguasai Pulau Bangka, dan keputusan itu diterima Lord Minto. Contoh<br />

lain, dapat dirujuk pada pendapat Day (1972:149), bahwa karena jarak yang<br />

sangat jauh dengan teknologi perkapalan yang masih sederhana, sehingga surat<br />

yang dikirimkan dari negeri Belanda pada Maret 1800, diterima lima bulan<br />

kemudian yaitu Agustus 1800. Akibatnya, gubernur jenderal di Batavia<br />

menggunakan ide-idenya sendiri dalam menjalankan tugas, ia kurang<br />

mengindahkan instruksi dari Negara induk.<br />

beberapa kekacauan, ia dipecat oleh Raffles (laporan kepada Lord Minto pada bulan Januari 1812).<br />

Raffles baru menerima Robison kembali dengan mengangkatnya sebagai Residen Bangka-<br />

Palembang. Peristiwa pengangkatan kembali Badaruddin II sebagai sultan oleh Robison<br />

menyebabkan Raffles berang dan melaporkan hal ini kepada Lord Minto di Calcutta. Akan tetapi<br />

laporan ini tidak mendapat tanggapan, sehingga Raffles membawanya ke London (Kemp, 1900:<br />

75; Kemp, 1898: 335). Sementara itu, Badaruddin II juga melakukan pembelaan diri. Surat-surat<br />

pembelaannya diserahkan oleh Robison pada pemerintah Inggris di Calcutta tahun 1814. Dalam<br />

pembelaannya Badaruddin II mengajukan permintaan agar kedudukannya dipulihkan (Kaiser,<br />

1857: 96; Bastin, 1954: 77).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


126<br />

Selama perintahan Sultan Najamuddin II, ia terkenal sebagai orang yang<br />

mudah terpengaruh oleh nasehat orang-orang di sekitarnya. Ia tidak mempunyai<br />

pendirian yang teguh, apalagi kondisi fisiknya lemah karena sering dilanda sakit.<br />

Pada awal pemerintahannya, Sultan sangat bergantung kepada Pangeran Adipati.<br />

Masa pemerintahan Sultan Najamuddin II tidak berjalan dengan baik. Sultan tidak<br />

memiliki kekayaan untuk menopang kekuasaannya, sedangkan sumber kekayaan<br />

utama yaitu timah dan lada dari Bangka-Belitung, telah diserahkan kepada<br />

Inggris. Sultan Najamuddin II juga tidak memiliki banyak pendukung, baik di<br />

kalangan bangsawan maupun rakyat. Apalagi pada masa pemerintahannya banyak<br />

melakukan pemerasan terhadap rakyat, misalnya memperbanyak komoditi yang<br />

sebelumnya tidak termasuk ke dalam tibang dan tukong (beras, lada, kopi gambir,<br />

lilin, rotan, dan kerbau) dengan harga yang lebih tinggi dan berlangsung minimal<br />

dua kali setahun. Pelanggaran hukum juga meningkat, sehingga tidak ada<br />

ketertiban. Di perbatasan Lampung dan Bengkulu banyak terjadi kekacauan, juga<br />

di daerah uluan dan perairan Palembang-Bangka. Sebaliknya, Badaruddin II<br />

mendapat dukungan besar dari para bangsawan dan ia menggalang kekuatan<br />

mengambil kembali tahtanya. (ANRI, Bundel Palembang No. 70.3; Bataviaache<br />

Courant, 4 Agustus 1821).<br />

Konsekuensi lain dari dilepaskannya Pulau Bangka kepada Inggris, para<br />

pemimpin lokal seperti depati, batin, dan teko 101 yang selama berada di bawah<br />

kekuasaan sultan-sultan Palembang mendapat keuntungan dari tambang timah,<br />

kehilangan ―kenikmatan‖ tersebut. Hal ini mengakibatkan mereka memendam<br />

rasa untuk melepaskan diri dari kendali pemerintah Inggris. Para penguasa lokal<br />

itu menggalang dukungan dari rakyat Bangka-Belitung untuk menciptakan<br />

kerusuhan, merompak, dan membunuh di Kepulauan itu dan pulau-pulau di<br />

sekitarnya (ANRI, Bundel Palembang No. 67; No. 5.1).<br />

101 Batin adalah gelar kepala wilayah di Johor (sekarang Lingga dan Singapura), posisinya<br />

berada di bawah Orang Kaya dan di atas Pengulu. Kemungkinan hal itu dapat dikaitkan dengan<br />

banyaknya orang Johor di Pulau Bangka. Batin diangkat sultan Palembang yang berfungsi sebagai<br />

pemimpin penduduk pada wilayah tertentu di Pulau Bangka. Penduduk Bangka sangat taat pada<br />

para depati/batin. Mereka menyerahkan persembahan berupa beberapa gantang padi setiap<br />

tahunnya kepada para depati/batin. Di Kesultanan Palembang, kata Batin berkembang menjadi<br />

Perwatin atau Proatin (orang yang memiliki kekayaan lebih dari masyarakat umumnya yang juga<br />

bisa diartikan sebagai ―anak buah‖ Depati) (Clercq, 1845: 125; Korten Schets.., 1846: 132-133).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


127<br />

Residen M.H. Court berhasil mempertahankan ketenangan di Palembang,<br />

namun karena kekuasaan Sultan Najamuddin II hanya disekitar ibu kota<br />

Palembang, ia tidak mampu memperluas pengaruh sampai keseluruh wilayah<br />

Kesultanan Palembang. Dengan berbagai cara Sultan Najamuddin II terus<br />

berusaha untuk memperlemah agar Badaruddin II menyerah. Yang terjadi justru<br />

sebaliknya, Badaruddin II mengobarkan perlawanan, sehingga terjadi saling<br />

serang dari masing-masing pendukung kedua bersaudara itu. Penguasa Inggris di<br />

Palembang harus selalu waspada terhadap kerusuhan dan perpecahan. Sultan<br />

Badaruddin II banyak memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh Sultan<br />

Najamuddin II, misalnya tegas dalam bersikap, keahlian dalam berunding dan<br />

ketajaman dalam berpikir. Di mata M.H. Court, Najamuddin II adalah seorang<br />

raja yang patuh tetapi lemah (Kielstra, 1892: 85-87). Pada dasarnya, ketenangan<br />

yang ada hanya semu, karena setiap saat dapat meletus kekacauan antara kedua<br />

kelompok yang bertikai.<br />

Kondisi tersebut semakin hebat sejak Inggris keluar dari Palembang<br />

(1016). Penduduk terbelah dan saling benci. Sehubungan dengan itu, rakyat<br />

Palembang yang paling menderita. Pemerintah Belanda di Batavia tidak tenang<br />

dengan kondisi yang ada, sehingga memandang perlu adanya intervensi dan<br />

memutuskan mengirim orang yang kuat dan mampu mengatasi berbagai<br />

permasalahan. Pilihannya jatuh pada Komisaris Muntinghe (ANRI, Bundel<br />

Palembang No. 70.3). Pilihan pemerintah Belanda yang jatuh ke tangan<br />

Muntinghe. Peristiwa tersebut menunjukkan bahwa pemerintah Belanda<br />

memandang kondisi di Kesultanan Palembang sudah kritis, sehingga<br />

membutuhkan penanganan segera untuk menghindarkan hal-hal yang lebih buruk<br />

di Palembang.<br />

Apa yang terjadi di Kesultanan Palembang setelah Belanda diusir dari<br />

Palembang, adalah sebagai akibat dari penolakan Sultan Badaruddin II atas usulusul<br />

yang dibawa oleh utusan Inggris (Nopember 1811). Akibatnya, Inggris<br />

melakukan ekspedisi dan menduduki Kesultanan Palembang. Inggris menjalankan<br />

politik devide et impera dengan cara menempatkan Pangeran Adipati yang<br />

merupakan adik Sultan Badaruddin II sebagai Sultan Palembang dengan gelar<br />

Sultan Ahmad Najamuddin II. Kondisi ini memaksa Sultan Badaruddin II yang<br />

Comment [DKM138]: Di mana<br />

menderitanya???<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


128<br />

telah mundur ke uluan melakukan perlawanan dan memblokade jalur pelayaran<br />

dan perdagangan dari daerah uluan.<br />

Masa pemerintahan Najamuddin II menempatkan Palembang semakin<br />

mundur di segala bidang. Sedangkan Inggris hanya memfokuskan<br />

pemerintahannya di Bangka demi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dari<br />

timah dan lada. Akibatnya Inggris kurang mempedulikan kondisi Palembang<br />

khususnya di uluan. Banyak terjadi pemerasan terhadap rakyat, makin<br />

merajalelanya perampokan dan perampasan manusia di perbatasan Lampung dan<br />

Bengkulu. Walaupun demikian, masa pemerintahan Inggris secara umum kondisi<br />

keamanan dapat dikendalikan, khususnya yang berkaitan dengan Pulau Bangka.<br />

Inggris juga berhasil meredam pertikaian terbuka antara dua bersaudara yaitu<br />

Najamuddin II dan Badaruddin II.<br />

3.3 Pemerintahan Inggris (1812-1816) di Palembang<br />

Sejak berada di bawah kendali pemerintah kolonial Inggris, Kesultanan<br />

Palembang kehilangan sumber pendapatan utamanya yaitu Pulau Bangka, pulau<br />

penghasil timah dan lada terbesar. Inggris menempatkan pusat kekuasaannya di<br />

Muntok, sebagai pusat pemerintahan Inggris untuk wilayah Palembang dan<br />

Bangka-Belitung. Muntok menjadi tempat kedudukan residen, yang juga<br />

berfungsi sebagai pos komandan pasukan, kepala pengadilan dan kepala<br />

pelabuhan. Di Muntok pula tempat bermukimnya demang, penghulu kepala, dan<br />

Kapten Cina Bangka lainnya. (Veth, 1869: 534).<br />

Di dekat kota Muntok, yang berjarak dua mil (3218 meter) di sebelah barat<br />

laut, pemerintah kolonial Inggris membangun Fort Nugent. Benteng itu diberi<br />

nama Fort Nugent untuk menghormati Jenderal George Nugent (Panglima<br />

Angkatan Darat yang bertugas di India) (Thorn, 2004: 173). Tempat ini dijadikan<br />

pangkalan militer oleh pemerintah Inggris dengan menempatkan 200 orang<br />

serdadu, dipimpin oleh Mayor Raban. yang dibantu oleh Letnan Clode. Letak<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


129<br />

benteng itu strategis 102 , perairannya dalam, dan tanah di sekitar benteng Nugent<br />

kering, sehingga memudahkan kapal-kapal Inggris merapat. Tambahan pula, dan<br />

perahu-perahu dapat merapat ke pantai. Di sisi timur Pulau Bangka juga akan<br />

dibangun Fort Wellington untuk menghormati Jenderal Lord Viscount<br />

Wellington, dari angkatan darat Inggris (ANKL, House of Lord vol.19, 1835; Java<br />

Gouvernement Gazette, 4 Juli 1812; Thorn, 2004: 173; Waey, 1875: 102; Veth,<br />

1959: 534).<br />

Sesuai dengan tujuan utama Inggris menduduki Kesultanan Palembang<br />

untuk menguasai Pulau Bangka, sejak diserahkan berdasarkan Perjanjian 17 Mei<br />

1912, Pulau Bangka dikelola dengan baik di bawah pimpinan residen militer<br />

Kapten R. Meares, Mayor W, Robison, Colebrooke dan Mayor M.H. Court.<br />

Inggris membuka lahan-lahan pertambangan timah baru, mendatangkan pekerja<br />

dari Kanton Cina, memberantas penyelundupan. Akibat kebijakan tersebut<br />

produksi timah meningkat empat kali lipat pada kurun waktu 1814-1816 (lihat<br />

tabel 1 dan 2) (Woelders, 1975: 10). Pemerintah Inggris juga menerapkan harga<br />

yang layak untuk timah yaitu delapan dollar Spanyol per pikul, sebagai usaha<br />

menghindari terjadinya perdagangan gelap sebagaimana selama ini terjadi pada<br />

masa pemerintahan Belanda (Inggris terlibat secara aktif di dalamnya). Strategi itu<br />

ternyata tidak menguntungkan pemerintah Inggris, sehingga dibentuk sebuah<br />

komisi yang dipimpin oleh Dr. Horsfield (orang Amerika) guna menyelidiki hal<br />

tersebut. Ia juga melakukan penelitian tentang kekayaan alam Pulau Bangka<br />

sekaligus mengeksploitasi lahannya (Bastin, 1954: 98; Korte Schets…,1846:126).<br />

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian itu adalah bahwa pola<br />

eksploitasi harus diubah yaitu dengan cara sistem pengupahan timah secara<br />

langsung dengan harga enam dollar Spanyol per pikul. Pengawasannya dilakukan<br />

secara langsung oleh para pengawas Eropa yang dipimpin oleh seorang inspektur<br />

pertambangan 103 . Petugas tersebut juga memberikan insentif kepada para<br />

102 Pelabuhan sebelumnya adalah Muntok yang kurang menguntungkan, karena<br />

pelabuhannya dangkal, dan tanahnya basah sehingga menyulitkan kapal-kapal dan<br />

perahu-perahu merapat. Kondisi itu diperparah dengan adanya celah karang yang<br />

membahayakan kapal-kapal yang mendekati pelabuhan tersebut. Contohnya pada 1820<br />

kapal perang Inggris Galathea tenggelam di perairan tersebut.<br />

103 Pada masa sebelumnya yang bertugas menangani masalah tersebut adalah<br />

teko (orang-orang keturunan Cina yang sudah memeluk Islam dan diangkat oleh Sultan<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


130<br />

penambang yang berhasil mengumpulkan timah lebih banyak. Cara-cara di atas<br />

menyebabkan terjadi lonjakan produksi dari tahun ke tahun, yang angkanya dapat<br />

dilihat pada tabel berikut :<br />

Tabel 1. Produksi Timah Bangka (1813-1815)<br />

Tahun Total Produksi (pikul) Persentase (%)<br />

1812 10.000 -<br />

1813 7.300 -27%<br />

1814 19.150 162%<br />

1815 25.200 32%<br />

Total 61.650 167%<br />

Sumber : Kaiser, 1857: 99; Hoek, 1862:117.<br />

Dari tabel 1 di atas, tampak bahwa terjadi penurunan produksi timah pada<br />

awal pemerintahan Inggris di sana. Hal itu disebabkan Inggris masih dalam tahap<br />

konsolidasi di semua bidang, dan belum tertibnya pengawasan terhadap<br />

pertambangan timah. Kondisi tersebut memberi peluang penyelundupan yang<br />

sebelumnya banyak terjadi yang terus-menerus berlangsung, apalagi pada awal<br />

pemerintahannya di Bangka, Inggris masih menggunakan sistem lama yaitu<br />

pengelolaan tambang-tambang timah dipegang oleh kongsi yang bertanggung<br />

jawab kepada teko. Setelah masa konsolidasi selesai, terjadi lonjakan produksi<br />

timah pada 1814-1815 rata-rata sebesar 97 persen (kenaikan tertinggi sebesar<br />

162% terjadi pada tahun 1814 yaitu dari 7.300 pikul pada tahun 1813 menjadi<br />

19.150 pikul). Meningkatnya produksi itu disebabkan dilakukannya berbagai<br />

kebijakan, antara lain, memperluas lahan penambangan, yang diikuti dengan<br />

penambahan jumlah kuli dan dilakukan pengawasan langsung oleh pengawaspengawas<br />

Eropa. Pada masa pemerintahan M.H. Court, kondisi di Kesultanan<br />

Palembang secara umum sudah terkendali. Hal itu menyebabkannya pemerintah<br />

dapat berkonsentrasi untuk mengembangkan pertambangan timah. Demi<br />

mempertahankan kondisi yang telah ada, Residen M.H. Court menindak tegas<br />

Palembang sebagai penguasa tambang timah). Kelompok itu membawahi para<br />

penambang Cina. Urusan pengelolaan ditangani oleh kongsi yang bertugas melakukan<br />

pembukuan, mengirimkan laporan dan timah kepada teko di Palembang (ANRI, Bundel<br />

Palembang No. 67).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


131<br />

setiap pelanggaran yang terjadi di Kesultanan Palembang (ANRI, Bundel<br />

Palembang No. 22.5).<br />

Dari banyaknya produksi timah, dapat diketahui besarnya pengeluaran dan<br />

keuntungan dari produksi tersebut. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 2<br />

berikut.<br />

Tabel 2. Total Pengeluaran dan Keuntungan dari Produksi Timah (1812-<br />

1815)<br />

Tahun<br />

Pendapatan<br />

(ruppe)<br />

Pengeluaran<br />

(ruppe)<br />

Keuntungan<br />

(ruppe)<br />

Persentase<br />

(%)/Th<br />

1812-1813 684.966,74 420.809,84 264.156,90 39%<br />

1813-1814 931.113,40 567.967,40 363.146 39%<br />

1814-1815 1.593.929,38 740.558,24 853.371,14 54%<br />

Total 3.209.009.60 1.729.335,48 1.480.674,04 132<br />

Sumber : Kaiser, 1857: 96.<br />

Pada 1812-1813 diperoleh keuntungan sebesar 264.156,90 ruppe (39%),<br />

yang merupakan selisih dari pendapatan sebesar 684.966,74 ruppe dan<br />

pengeluaran sebesar 420.809,84 ruppe. Jumlah keuntungan tersebut, merupakan<br />

jumlah terkecil sepanjang masa pendudukan Inggris di Kesultanan Palembang.<br />

Hal itu tidak bisa dilepaskan dari masa awal pendudukan di daerah tersebut. Pada<br />

masa itu pula, terjadi perang antara pasukan gabungan Bangka-Palembang dan<br />

pasukan Badaruddin II di Boya Lango yang membutuhkan dana yang tidak<br />

sedikit. Meskipun demikian, tampak terjadi surplus dari pendapatan timah. Hanya<br />

dari penjualan timah saja, sudah mampu menutupi seluruh pengeluaran Inggris di<br />

Kesultanan Palembang. Ini semua menunjukkan betapa besar keuntungan yang<br />

dapat mereka peroleh dengan menguasai Pulau Bangka. Tahun-tahun berikutnya,<br />

pendapatan mencapai 1.524.042,78 ruppe dan pengeluaran Inggris sebesar<br />

1.307.525,64 ruppe, serta keuntungan sebesar 1.216.517,14 ruppe. Cukup<br />

tingginya pengeluaran disebabkan terjadi berbagai perlawanan dan blokade dari<br />

uluan. Pemerintah Inggris di Batavia mengirimkan ekspedisi militer ke<br />

Palembang untuk menurunkan Sultan Badaruddin II. Berbagai pergolakan dan<br />

pengiriman ekspedisi membutuhkan biaya besar. Periode itu juga merupakan<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


132<br />

awal pemerintahan kolonial Inggris meletakkan kekuasaan di Kesultanan<br />

Palembang, otomatis membutuhkan biaya yang besar. Ditopang pula dengan<br />

usaha pihak Inggris menambah penambangan-penambangan timah baru dan<br />

penambahan tenaga kerja yang diawasi langsung oleh para petugas Eropa.<br />

Meskipun demikian, pemerintah Inggris di Bangka-Palembang masih mampu<br />

membukukan keuntungan yang besar. Bertambahnya keuntungan tidak dapat<br />

dilepaskan dari makin meningkatnya pendapatan dari timah. Jadi, meskipun<br />

pengeluaran bertambah, keuntungan tetap meningkat karena penghasilannya juga<br />

bertambah. Selanjutnya, keuntungan Inggris semakin besar karena kondisi<br />

keamanan yang baik di wilayah itu, sehingga segala bentuk gangguan dapat<br />

diatasi. Inilah era yang telah diperkirakan oleh Raffles sebelumnya, sehingga ia<br />

melakukan berbagai cara untuk mendapatkan pulau penghasil timah itu sejak<br />

akhir 1810.<br />

Produksi timah sebagian besar dijual ke Cina, sisanya ke Muntok dan<br />

Batavia. Hubungan dagang dengan Cina pada waktu itu sangat menguntungkan.<br />

Terdapat delapan sampai dua belas jung Cina keluar masuk pelabuhan Palembang<br />

dengan membawa berbagai komoditi dagang dari dan ke Palembang. Para penjual<br />

tidak diperkenankan untuk mengekspor timah ke Inggris, karena akan<br />

mengakibatkan produksi tambang timah di Cornwallis di Inggris akan mengalami<br />

kerugian (Kaiser, 1857: 99; Waey, 1875: 103).<br />

Pemerintah Inggris di bawah Residen M.H. Court di Kesultanan<br />

Palembang hanya memfokuskan diri pada produksi dan perdagangan timah.<br />

Pemerintahan dijalankan secara otokratis dalam rangka terjaminnya pasokan<br />

timah. Penguasa umumnya dipegang oleh militer sesuai dengan sistem perintahan<br />

yang dijalankan. Sementara itu, dalam urusan pemerintahan di Kesultanan<br />

Palembang yang berada di bawah kekuasaan Sultan Najamuddin II, Inggris tidak<br />

ikut campur tangan. Akan tetapi pemerintah kolonial Inggris sangat<br />

memperhatikan keamanan khususnya di jalur Bangka-Palembang dan di Pulau<br />

Bangka. Akibatnya, selama masa pemerintahan Inggris, Kesultanan Palembang<br />

berjalan damai. Inggris berhasil mengamankan perairan Palembang-Bangka dari<br />

para bajak laut yang sejak lama menjadi ―penyakit kronis‖ di kawasan itu. Karena<br />

kondisi tersebut, Pemerintah Inggris menarik sebagian besar pasukan<br />

Comment [DKM139]: Berapa besar hasil tima<br />

di Cornwallis?? Ini Cornwallis di mana? Ada<br />

beberapa tempat dan benteng yang bernama<br />

Cornwallis. Pastikan!<br />

Comment [DKM140]: Mengapa?? Adakah<br />

gangguan jalur itu, misalnya perampok???<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


133<br />

keamanannya, dari 200 orang serdadu pribumi menjadi 40 orang serdadu (Java<br />

Gouvernement Gazette, 4 Juli 1812; Kemp, 1900: 337; Waey, 1875: 103; Kaiser,<br />

1857: 99; Thorn, 2004: 163).<br />

Kondisi tersebut berubah dengan adanya perubahan konstelasi politik di<br />

Eropa, yang menempatkan Belanda kembali sebagai negara bebas lepas dari<br />

kekuasaan Prancis. Pada 2 Desember 1813 Pangeran Orange menerima kekuasaan<br />

tersebut dengan gelar Raja Willem I. Tindak lanjut dari terbebasnya Belanda dari<br />

pengaruh kekuasaan Prancis, adalah ditandatanganinya Traktat London pada 13<br />

Agustus 1814 (diumumkan di Java Government Gazette pada 13 Juli 1816) antara<br />

pemerintah Inggris dan Belanda. Traktat London pasal 1 menyatakan bahwa<br />

semua loji dan pangkalan yang menjadi milik Belanda sebelum 1 Januari 1803<br />

akan dikembalikan kepada Raja Belanda yang berdaulat, kecuali Tanjung Harapan<br />

dan koloni Demerary, Essequebo dan Berbice di Barat. Berarti Palembang juga<br />

kembali berada di bawah pengaruh Belanda. Dalam pasal 2 dari traktat yang sama<br />

disebutkan bahwa Pulau Bangka diserahkan sepenuhnya kepada Belanda, sebagai<br />

penggantinya Belanda memberikan Cochin dan sekitarnya di pantai Malabar<br />

kepada Inggris (ANRI, Bundel Palembang No. 67; Bataviaasch Courant, 26 Juni<br />

1819, nomor 26).<br />

Ketentuan tersebut tidak berkaitan dengan posisi Pulau Bangka yang<br />

menjadi milik Kesultanan Palembang, yang telah diserahkan oleh Sultan<br />

Najamuddin II kepada Inggris sejak Mei 1812. Menurut sumber Inggris, wilayah<br />

Belanda yang harus dikembalikan kepada Belanda tidak termasuk Pulau Bangka<br />

di dalamnya. Inggris berpatokan bahwa Pulau Bangka tidak pernah menjadi milik<br />

Belanda. Pasal 2 Traktat London ditolak pelaksanaannya oleh pemerintah Inggris<br />

di Hindia Timur. Langkah yang ditempuh oleh Inggris adalah ―memberikan<br />

perlindungan kepada Sultan Najamuddin II‖, sesuai isi kontrak Mei 1812 antara<br />

wakil pemerintah Inggris di Hindia Timur dan Sultan Najamuddin II. Atas dasar<br />

ketentuan tersebut, Gubernur Inggris mengajukan protes kepada pemerintah<br />

Belanda atas pelanggaran hak-hak Sultan Palembang yang dijamin oleh<br />

pemerintah Inggris. Lebih lanjut, Inggris menolak pula untuk menyerahkan Pulau<br />

Bangka dengan alasan bahwa pulau tersebut telah diserahkan kepada Inggris yang<br />

pada waktu itu berstatus merdeka. Menurut versi Inggris, dasar yang digunakan<br />

Comment [DKM141]: Anda cek, bunyi pasal<br />

dari Traktat London I!<br />

Comment [DKM142]: Berikan catatan kaki,<br />

sekalian pasal berapa yang menyatakan demikian!<br />

Comment [DKM143]: Rujukan Anda!<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


134<br />

untuk menuntut dihormatinya perjanjian dengan Kesultanan Palembang, karena<br />

perjanjian itu secara resmi diakui baik oleh raja Inggris maupun raja Belanda.<br />

Kesultanan Palembang dianggap tidak tergantung pada pemerintah Belanda di<br />

Batavia, sehingga penyerahan Bangka tidak akan dilakukan sesuai Traktat London<br />

(1814). Pihak Inggris meminta agar ketentuan tersebut disisipkan dalam traktat<br />

dan raja Belanda menerimanya. (ANKL, The Asiatic Journal, 1819 Vol. 7).<br />

Komisaris Belanda menolak klaim Inggris tersebut, karena mengacu pada<br />

Traktat London Pasal 1 dan Pasal 2. Dalam pasal 2 disebutkan bahwa Inggris<br />

harus menyerahkan Pulau Bangka tanpa syarat kepada Belanda. Komisaris<br />

Belanda mempertanyakan, atas dasar apa Sultan Palembang dianggap sebagai<br />

sultan merdeka, sedangkan pada waktu itu Palembang di bawah perlindungan<br />

pemerintah Inggris (ANRI, Bundel Palembang No. 5.1; No. 67; Bataviaasch<br />

Courant, 26 Juni 1819, nomor 26; Woelders, 1975: 11). Terjadi penafsiran yang<br />

berbeda antara pemerintah Belanda dan Inggris di Hindia Timur. Pemerintah<br />

Inggris sengaja mengangkat isi perjanjian antara pihaknya dan Sultan Najamuddin<br />

II semata-mata demi mempertahankan Pulau Bangka yang telah memberikan<br />

keuntungan luar biasa bagi mereka.<br />

Inggris juga menolak menyerahkan Pulau Belitung, karena tidak<br />

termaktub dalam pasal 2 Traktat London (yang tertulis hanya nama Pulau<br />

Bangka). Hal itu memperkuat klaim Inggris atas Pulau Belitung. Sebaliknya,<br />

pihak Belanda tetap menuntut wilayah tersebut, karena Bangka dan Belitung<br />

merupakan satu kesatuan. Sebagaimana selama itu terjadi, traktat-traktat antara<br />

Palembang dan kolonial Belanda, nama Pulau Bangka senantiasa digabungkan<br />

dengan nama Pulau Belitung. Akibatnya, permasalahan Pulau Belitung berlarutlarut,<br />

dan berakhir secara resmi dengan ditandatanganinya Traktat London<br />

1824 104 . Biarpun demikian, faktanya sejak tahun 1817 pulau Belitung sudah<br />

diduduki oleh Belanda. Pada 1822 pemerintah Belanda telah pula menempatkan<br />

seorang Assisten Residen, dengan kekuatan militer sebanyak delapan sampai<br />

Comment [DKM144]: Kesepakatan mana??<br />

Comment [DKM145]: s.d.a<br />

Comment [DKM146]: Pada pasal berapa??<br />

Comment [DKM147]: Dari mana Anda tahu?<br />

Sumber perlu!!<br />

104<br />

Inggris dan Belanda) menyadari bahwa kedua bangsa tersebut harus<br />

menghindari konflik di wilayah Nusantara, sebab hal tersebut akan mengudang hadirnya<br />

pihak ketiga yang mulai meluaskan kekuasaannya di Asia Tenggara yaitu Amerika. Untuk<br />

itu Traktad London 1824 merupakan jalan keluar bagi penyelesaian masalah antara<br />

keduanya. Dengan traktad tersebut, maka terdapat garis pemisah yang tegas dari<br />

kawasan sebelah utara Riau sampai Selat Malaka (Tarling, 1994: 17).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


135<br />

sepuluh orang serdadu, di bawah komando seorang yang berpangkat sersan atau<br />

kopral di Pulau Belitung (Paulus, 1917: 306; Veth, 1917: 506; Baud, 1853: 41-<br />

42).<br />

Tidak adanya nama Pulau Belitung dalam Traktat London (1814),<br />

disebabkan penyusunan traktat tersebut dilakukan secara tergesa-gesa, sehingga<br />

tidak memikirkan akibat yang ditimbulkannya. Khususnya aturan-aturan yang<br />

dimuat dalam pasal 3 dan pasal 5 tentang pelaksanaan traktat tersebut. Disebutkan<br />

pula bahwa koloni akan dikembalikan dalam waktu tiga minggu sampai enam<br />

bulan setelah ratifikasi traktat, tanpa memikirkan kondisi koloni pada waktu itu 105 .<br />

Protes-protes yang diajukan oleh agen-agen Inggris terhadap pemerintah Belanda,<br />

tidak berpengaruh terhadap Komisaris Belanda. Menurut pihak Belanda, protesprotes<br />

tersebut tidak berdampak luas. Komisaris Jenderal menegaskan bahwa<br />

mereka adalah wakil penguasa di negeri Belanda, fungsi mereka hanya sebagai<br />

pelaksana, dan tidak berhak memutuskan sesuatu yang berkaitan dengan koloni<br />

Belanda di Hindia Timur (ANRI, Bundel Palembang No. 5.1; No. 67; Bataviaasch<br />

Courant, 26 Juni 1819, nomor 26; Woelders, 1975: 11).<br />

Berbagai permasalahan di atas timbul karena Traktad London (1814) tidak<br />

memuat penyelesaian yang menyeluruh atas berbagai problema sebelum perang<br />

khususnya tentang Hindia Timur. Sesungguhnya, menjelang 1814 kebijakan EIC<br />

untuk Hindia Timur sudah berubah, mereka tidak tertarik lagi untuk<br />

memperdagangkan rempah-rempah. Yang mereka pertahanankan adalah<br />

memasarkan tekstil dan membeli produk kopi dari kawasan itu. Meskipun<br />

demikian, Inggris tetap memfokuskan perhatiannya pada timah yang dihasilkan<br />

oleh Kesultanan Palembang (Tarling, 1994: 15; Kaiser, 1857: 96,99)<br />

John Fendall (12 Maret 1816 - 19 Agustus 1816), sebagai petinggi Inggris<br />

yang terakhir di Batavia memutuskan untuk menunda pelaksanaan penyerahan<br />

kekuasaan kepada Komisaris Jenderal. Hal itu disebabkan ia menunggu instruksi<br />

dari pemerintah pusat di Calcutta. Setelah segala sesuatunya dianggap selesai,<br />

pengambilalihan kekuasaan dari Inggris kepada Belanda secara resmi dilakukan<br />

Comment [DKM148]: Apa dasar dari<br />

interpretasi Anda ini??<br />

Comment [DKM149]: s.d.a<br />

105 Kembali berkuasanya Napoleon pada awal tahun 1815, mengakibatkan<br />

keberangkatan Komisaris Jenderal yang terdiri dari Vn der Capellen, Elout dan Buyskes<br />

ke Batavia tertunda. Keberangkatan mereka baru terlaksana pada 29 Oktober 1815.<br />

Mereka berangkat dari Texel dan tiba di Batavia pada awal Mei 1816.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


136<br />

pada 19 Agustus 1816. Apabila sampai dengan penyerahan kekuasaan, masih<br />

terdapat perbedaan-perbedaan, hal tersebut akan diselesaikan oleh negara induk<br />

masing-masing di Eropa. Meskipun demikian, Inggris dengan sungguh-sungguh<br />

memperhatikan kawasan tersebut khususnya luar Jawa. Mereka tetap<br />

mempertahankan hubungan dan membuat perjanjian-perjanjian dengan kerajaankerajaan<br />

Melayu, bahkan melakukan pengawasan agar tidak menjadi objek<br />

monopoli Belanda. Jadi, yang dilakukan oleh Inggris adalah mempertahankan<br />

kepentingan mereka di Hindia Timur. Akan tetapi, gerak langkah Inggris melalui<br />

EIC ditolak oleh pemerintah induk di Eropa. Terbukti dengan adanya laporan<br />

Komite Rahasia Dewan Direktur 1815 yang menyatakan bahwa keterlibatan EIC<br />

dalam masalah-masalah internal kerajaan-kerajaan Melayu adalah suatu perbuatan<br />

yang tidak dapat dibenarkan.(ANRI, Bundel Palembang No. 67; Woelders, 1975:<br />

11-12; Kemp, 1900: 338: Tarling, 1994: 15-16). Pernyataan tersebut menjadi<br />

kendala pihak Inggris yang memiliki kepentingan besar di kawasan Hindia Timur.<br />

Menurut Hoek (1862: 110), dikembalikannya permasalahan Palembang<br />

kepada pemerintah masing-masing (Inggris dan Belanda), merupakan strategi<br />

yang ditempuh pihak Inggris untuk mengulur-ngulur waktu, karena selagi masalah<br />

tersebut belum selesai berarti kondisi di Palembang tetap berada di bawah<br />

kekuasasan Inggris. Walaupun demikian, di tengah suasana saling protes,<br />

perundingan demi perundingan terus berlangsung antara pemerintah Inggris dan<br />

pemerintah Belanda. Akhirnya, mereka sepakat untuk membentuk sebuah komisi,<br />

yang akan mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan proses pengalihan<br />

dari pemerintah kolonial Inggris kepada pemerintah kolonial Belanda. Tugas<br />

komisi adalah menghitung besarnya uang muka, yang telah dibayarkan oleh pihak<br />

Inggris kepada para pekerja tambang timah Bangka. Pembayaran uang muka<br />

diberikan melalui para pengawas di setiap distrik. Akibatnya, banyak timah yang<br />

telah diproduksi tetapi belum disetorkan kepada pemerintah Inggris. Menurut<br />

ketentuan yang telah mereka sepakati, disebutkan bahwa timah yang telah<br />

diproduksi akan diserahkan kepada Belanda dengan memperhitungkan uang ganti<br />

rugi senilai delapan real per pikul dari jumlah uang muka. Dalam kesepakatan<br />

disebutkan pula bahwa produksi timah Bangka, terhitung sejak 1 Agustus 1816<br />

sudah menjadi milik Belanda, namun ternyata Inggris tetap mempertahankan<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


137<br />

kedudukannya di Bangka, dan terus memproduksi timah dengan cara tetap<br />

memberikan uang muka kepada para penambang timah (Hoek, 1862: 110-16).<br />

Berdasarkan kesepakatan antara Inggris dan Belanda, dilakukan<br />

perhitungan nilai uang muka, antara lain:<br />

- Jumlah uang muka yang dibayarkan pihak Inggris kepada para<br />

pekerja tambang senilai IR 133.587,24 (IR=Indian Rupee yaitu mata uang<br />

untuk transaksi EIC).<br />

- Nilai neraca yang dialihkan kepada pihak Belanda sebesar IR<br />

85.382,3<br />

- Bahan makanan dan barang dagangan senilai IR 158.691,23<br />

- Barang-barang angkatan laut dan kapal senilai IR 10.603,25<br />

- Barang-barang bergerak senilai IR 3.822,5<br />

- Piutang senilai IR 9.181,2<br />

Lain-lain senilai kurang dari IR 3800 (nilainya rendah sehingga ditunda<br />

penyelesaiannnya) (Hoek, 1862: 110-116).<br />

Setelah segala permasalahan dibereskan, pada 22 Oktober 1816 Klaas<br />

Heynis diangkat sebagai Residen Bangka dan Palembang. Ia tiba di Muntok pada<br />

Nopember 1816. Walaupun demikian, Inggris pun tetap melancarkan protes atas<br />

pengembalian Pulau Bangka tersebut, dengan dalih pulau tesebut merupakan<br />

milik sah dari Sultan Najamuddin II sejak 1812. Dalam surat protesnya pada 2<br />

November 1816, Raffles menyatakan ―siap memberikan instruksi untuk bertindak<br />

terhadap Residen Belanda (K. Heynis)‖ yang baru saja diangkat dan akan segera<br />

tiba di Pulau Bangka (Hoek, 1862: 110-116).<br />

Pernyataan itu menunjukkan Raffles akan mengirimkan pasukan ekspedisi<br />

ke Bangka, namun karena keputusan tentang pengambilalihan Pulau Bangka telah<br />

berkekuatan hokum tetap, keinginan untuk menyerang Pulau Bangka tidak pernah<br />

terwujud. Selanjutnya, Inggris harus mengubur hasratnya untuk tetap berkuasa di<br />

Bangka dan menyelesaikan semua sengketa dengan cara damai.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


138<br />

BAB 4<br />

PEMBAGIAN KEKUASAAN<br />

Sesuai ketentuan Traktat London (1814), pemerintah Belanda kembali berkuasa di<br />

Kesultanan Palembang. Akan tetapi, selama sekitar satu setengah tahun<br />

keberadaan mereka di Palembang, kondisi di kesultanan itu tidak kondusif.<br />

Kekacauan terjadi di mana-mana. Para pemimpin yang dikirim oleh pemerintah<br />

pusat di Batavia tidak mampu meredakan berbagai ketegangan di Palembang.<br />

Pertentangan antara dua saudara di Palembang semakin tampak ke<br />

permukaan. Pertentangan itu melibatkan para pendukung masing-masing,<br />

sehingga di Kesultanan Palembang sering terjadi pergolakan. Menghadapi kondisi<br />

demikian, pemerintah pusat Belanda di Batavia, mengirimkan Komisaris<br />

Muntinghe. Setibanya di Palembang, Muntinghe menyodorkan konsep<br />

pembagian kekuasaan antara Sultan Najamuddin II dan Badaruddin II serta<br />

pemerintah Belanda. Keputusan tersebut menyebabkan Najamuddin II meminta<br />

bantuan kepada Inggris di Bengkulu. Memenuhi permintaan tersebut, Raffles<br />

sebagai wakil Ingris di Bengkulu mengirimkan pasukan di bawah pimpinan<br />

Kapten Salmond. Kehadiran pasukan Inggris membuat persoalan melebarkan.<br />

Sejak itu, konflik di Kesultanan Palembang tidak hanya antara dua bersaudara<br />

atau antara Sultan Najamuddin II dan Belanda. Akan tetapi, Belanda dan Inggris<br />

juga terlibat.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


139<br />

Keterlibatan Inggris di Kesultanan Palembang menyebabkan Sultan<br />

Najamuddin II dan para pengikutnya dibuang ke Pulau Jawa. Sementara itu,<br />

kehadiran pasukan Inggris di Palembang membawanya berhadapan dengan<br />

kekuatan Belanda yang merasa lebih berhak atas Palembang sesuai ketentuan<br />

Trkatat London (1814). Konsekuensi dari kehadiran pasukan Inggris, dua<br />

kekuatan Eropa berhadap-hadapan secara langsung baik di ibu kota Kesultanan<br />

Palembang maupun di uluan (Rawas).<br />

4.1 Pemerintahan Belanda yang Kedua di Kesultanan Palembang<br />

Tindak lanjut dari penyerahan kekuasaan pemerintah kolonial Inggris kepada<br />

pemerintah kolonial Belanda pada 19 Agustus 1816, menyebabkan kekuasaan<br />

Ingris di Kesultanan Palembang diserahkan oleh Residen M.H. Court kepada<br />

Klaas Heynis 106 di Muntok pada 10 Desember 1816 107 . Pemilihan Heynis sebagai<br />

Residen Bangka-Palembang dengan pertimbangan dia memiliki kemampuan dan<br />

nama yang baik. Dari Muntok Heynis bergerak menuju ibu kota Palembang.<br />

Rombongan itu mengalami kesulitan pada saat memasuki Sunsang karena dangkal<br />

dan sempit. Akibatnya, mereka terpaksa harus menggunakan perahu-perahu kecil<br />

untuk sampai di ibu kota Palembang pada 16 Desember 1816 (Bataviaasch<br />

Courant, 4 Agustus 1821; Kemp, 1900: 337,340).<br />

Di pusat pemerintahan Kesultanan Palembang, Heynis disambut oleh<br />

Sultan Najamuddin II dan putera mahkota (Prabu Anom) dengan penuh<br />

persahabatan, dan tembakan penghormatan. Pada pertemuan itu Heynis<br />

106 Berdasarkan surat Komisaris Jenderal Elout kepada Direktur Jenderal pada 18<br />

Januari 1817, dinyatakan bahwa penyerahan kepada K. Heynis terjadi pada 26<br />

Nopember 1816 (Hoek, 1862: 111).<br />

107 Pada 12 Maret 1816 Badaruddin II mengirimkan utusan ke Batavia untuk menyerahkan<br />

suratnya dengan melampirkan surat-surat yang pernah diterimanya dari Raffles pada 1810-1811.<br />

Dalam suratnya Badaruddin II menyatakan bahwa Raffles harus ikut ―bertanggungjawab‖ atas<br />

peristiwa Loji Sungai Aur (1811), karena membujuknya dengan berbagai upaya agar mengusir<br />

Belanda dari Palembang. Ia berharap agar diri dan keturunannya segera dibebaskan setelah<br />

Belanda berkuasa kembali di Palembang. Di samping itu, Sultan Najamuddin II juga melakukan<br />

hal yang sama dengan mengirimkan utusan yang tiba di Batavia pada Oktober 1816, namun<br />

utusan itu dicurigai leh pemerintah Belanda membawa misi dari pemerintah Inggris (Kemp, 1900:<br />

338-340; Woelders, 1975: 11; Baud, 1853: 8).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


140<br />

menyerahkan surat dan hadiah-hadiah dari Batavia. Mulai keesokan harinya<br />

selama dua hari berturut-turut dilakukan pertemuan antara Sultan Najamuddin II<br />

dan Heynis. Pada pertemuan hari kedua (18 Desember 1816), Heynis menanyakan<br />

tentang peristiwa tragis September 1811. Ketika ia menanyakan ―apakah<br />

Badaruddin II yang memerintahkan pembunuhan terhadap penghuni Loji<br />

Belanda?‖ Dijawab Sultan ―tidak‖ 108 . Selanjutnya, Heynis menyatakan bahwa<br />

pemerintah Belanda tidak bermaksud mengungkit kembali peristiwa tersebut.<br />

Kasus itu sudah ditutup, pihak Belanda tidak mempunyai alasan kuat untuk<br />

mengusut kembali masalah tersebut, karena Inggris telah menghukum Palembang<br />

dengan ekspedisi pada 1812. Meskipun demikian, Sultan harus mencegah agar<br />

peristiwa serupa tidak terulang lagi, dan Sultan wajib mematuhi semua ketentuan<br />

yang terdapat dalam kontrak antara Belanda dan Palembang. Heynis menegaskan<br />

bahwa misi yang dibawanya adalah meredakan ketegangan antara Sultan<br />

Najamuddin II dan Badaruddin II. Untuk itu, langkah yang akan ditempuh adalah<br />

mendudukkan Sultan Badaruddin II sebagai sultan Lampung, oleh karena itu<br />

Lampung harus diduduki oleh Belanda (ANRI, Bundel Palembang No. 5.1;<br />

Bataviaasche Courant, 4 Agustus 1821; Kemp, 1900: 341-342; Kielstra,<br />

1892:86).<br />

Munculnya ide untuk mendudukkan kembali Badaruddin II sebagai sultan<br />

Lampung karena perebutan kekuasaan antara kedua bersaudara tidak pernah reda.<br />

Sultan Badaruddin II terus berjuang untuk mendapatkan kembali haknya sebagai<br />

sultan Palembang. Menurut pemerintah Belanda pada waktu itu, cara yang efektif<br />

untuk meredakan masalah tersebut dengan cara menguasai Lampung dan<br />

menyerahkannya kepada Badaruddin II. Pendudukan tersebut juga dalam rangka<br />

menyatukan kekuasaan Belanda atas kedua wilayah tersebut, sekaligus untuk<br />

membendung campur tangan Inggris di wilayah itu.<br />

108 Sultan Najamuddin II membuat pernyataan berbeda, bahwa Badaruddin II<br />

adalah satu-satunya otak alam peristiwa tersebut. Pernyataan itu disampaikannya pada<br />

saat ditanya oleh pihak Belanda pada 18 April 1820 di Cianjur (Kemp, 1900: 342). Hal itu<br />

dapat dikarenakan posisinya pada saat itu sebagai tawanan yang membutuhkan<br />

perlindungan dan dukungan pihak Belanda. Dengan pernyataan tersebut, Najamuddin II<br />

berharap akan mendapat pengampunan dan Badaruddin II dihukum dengan<br />

menurunkannya dari tahta.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


141<br />

Dalam kapasitasnya sebagai residen, Heynis menetapkan beberapa syarat<br />

kepada Sultan Najamuddin II. Syarat-syarat itu terdiri dari: Sultan tidak<br />

diperkenankan menerima tamu (khususnya orang Eropa) di keratonnya tanpa<br />

seizin residen, dilarang menerima surat dari pihak mana pun tanpa<br />

sepengetahuannya. Pada kesempatan itu, Sultan Najamuddin II juga<br />

menyampaikan keluhannya seputar tindak tanduk Badaruddin II yang menurutnya<br />

telah menghasut rakyat Palembang agar menentang, dan merebut kekuasaannya<br />

(Kemp, 1900: 341-343). Dengan pernyataan tersebut, Sultan Najamuddin II ingin<br />

menegaskan bahwa keberadaan Badaruddin II di ibu kota Palembang merupakan<br />

ancaman bagi kekuasaannya. Padahal sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan<br />

oleh Inggris pada Agustus 1813, bahwa Badaruddin II berhak mendapat<br />

perlindungan dari Inggris dan ia memutuskan tinggal di ibu kota Palembang<br />

dalam rangka terciptanya kedamaian di daerah itu.<br />

Kondisi di Kesultanan Palembang pada waktu itu mengalami kekacauan,<br />

baik di pusat maupun di uluan. Dalam keadaan demikian, Sultan Najamuddin II<br />

tidak mampu berbuat banyak untuk mengatasinya. Di mata pemerintah Belanda<br />

pada waktu itu, Sultan tidak berusaha sungguh-sungguh untuk memenuhi semua<br />

ketentuan dalam kontrak, di antaranya untuk menjaga keamanan. Sultan<br />

Najamuddin II juga menolak menyediakan beras sebanyak dua koyang dan seratus<br />

orang pendayung bagi Badaruddin II (pada masa pemerintahan Inggris di<br />

Palembang, ketentuan tersebut dihapuskan pada Nopember 1816, namun<br />

ketentuan itu tetap diberlakukan setelah pemerintah Belanda menggantikan<br />

Inggris). Penolakan Sultan tersebut menyebabkan pertentangan antara kedua<br />

bersaudara itu semakin dalam, yang berdampak negatif bagi rakyat Palembang.<br />

Kondisi tersebut dilaporkan oleh Heynis ke Batavia pada 4 April 1817. Atas dasar<br />

laporan itu, pemerintah Belanda di Batavia mengeluarkan ketetapan pada 7 April<br />

1817. Dalam keputusan tersebut dinyatakan bahwa ketentuan Sultan Najamuddin<br />

II untuk menyediakan tenaga pendayung dan beras dihapuskan. (ANRI, Bundel<br />

Palembang No 5.1; Bataviaasch Courant, 26 Juni 1819, nomor 26; Kemp, 1900:<br />

342-343). Sesungguhnya, kemelut tersebut hanya pemicu dari akar permasalahan<br />

antara kedua bersaudara yaitu ―perebutan kekuasaan‖ yang didalangi oleh Inggris.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


142<br />

Permusuhan tersebut menyebabkan rakyat menderita. Hal itu tampak jelas di mata<br />

pemerintah kolonial Belanda ketika mereka tiba di Palembang<br />

Apa yang diharapkan oleh pihak Belanda agar permusuhan kedua<br />

bersaudara mereda, dengan ditiadakannya kewajiban Sultan Najamuddin II untuk<br />

menyediakan beras dan tenaga pendayung tidak tercapai. Pemerintah Belanda<br />

memiliki kepentingan dengan redanya permusuhan kedua bersaudara kandung,<br />

karena dengan berakhirnya permusuhan maka kondisi di Kesultanan Palembang<br />

akan damai dan roda pemerintahan dapat berjalan dengan baik. Akan tetapi,<br />

permusuhan itu sudah begitu dalam, sehingga upaya penghapusan kewajiban<br />

Sultan Najamuddin II justru makin memperlebar ―jurang‖ permusuhan antara<br />

kedua pihak yang bertikai. Rakyat terbelah dua masing-masing mendukung salah<br />

satu dari kedua sultan. Kedua kubu saling berhadapan baik secara langsung<br />

maupun tidak langsung. Akibatnya, kebutuhan hidup sehari-hari penduduk jadi<br />

terbengkalai. Kondisi itu diperparah dengan tindakan Sultan Najamuddin II yang<br />

membagi tanah-tanah di daerah uluan sebagai apanage (tanah yang diberikan oleh<br />

sultan kepada para bangsawan) kepada keluarganya. Tanah-tanah itu dieksploitasi<br />

oleh para bangsawan 109 , sehingga perampokan, pembunuhan, penculikan dan<br />

perdagangan budak makin berkembang. Di pihak lain, pelaksanaan pemerintahan<br />

Belanda di Palembang belum berlangsung dengan baik. Mereka dihadapkan pada<br />

keterbatasan dana, sehingga sarana dan prasarana sangat terbatas. Mereka juga<br />

kesulitan mendapatkan pegawai, sedangkan para pejabat yang mereka datangkan<br />

dari negara induk Belanda, tidak banyak berbuat untuk memperbaiki keadaan.<br />

Akibatnya, banyak terjadi pelanggaran hukum. Sebagai residen, Heynis<br />

seharusnya berusaha maksimal untuk mengendalikan keadaan. Akan tetapi, yang<br />

terjadi justru sebaliknya. Ia sibuk memperhatikan kepentingan pribadinya 110 .<br />

Heynis justru terlibat dalam berbagai kejahatan, sehingga di mata pemerintah<br />

pusat ia orang yang tidak layak dipercaya. Akhirnya, pada 13 Juni 1817<br />

109 Pada masa pemerintahan sultan-sultan sebelumnya, golongan bangsawan<br />

tidak diperkenankan terjun langsung ke uluan, karena untuk urusan tersebut sudah<br />

ditangani oleh Jenang yang berkedudukan di uluan (Kemp, 1900: 343).<br />

110<br />

Kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Belanda di Hindia Belanda<br />

pasca1816 adalah tetap menggunakan sistem VOC yaitu mengeksploitasi, namun yang<br />

terjadi saat itu justru penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh wakil mereka di<br />

Kesultanan Palembang (Day, 1972:128).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


143<br />

pemerintah Belanda di Batavia mengeluarkan keputusan memecat Klaas Heynis<br />

(ANRI, Bundel Palembang No. 67; Kemp, 1900: 345-346; Stapel, 1940:169).<br />

Pada 29 Juni 1817 posisi Heynis digantikan oleh R. Coop a Groen dan J.<br />

du Puy dari Dewan keuangan. Tugas khusus yang diembankan kepada mereka<br />

adalah menyelidiki kondisi di Palembang dan melaporkannya kepada pemerintah<br />

pusat. Semuanya ditujukan untuk membenahi keadaan di Kesultanan Palembang.<br />

Pada kenyataannya, kerja kedua utusan tersebut tidak maksimal, karena J. du Puy<br />

mendapat tugas menyelesaikan masalah di Sumatera Barat. Oleh sebab itu, sejak<br />

16 Desember 1817, usaha penyelidikan hanya dilakukan oleh R. Coop A. Groen.<br />

Salah satu masalah yang mendesak pada waktu itu adalah datangnya orang-orang<br />

yang mewakili para depati dari daerah Komering. Mereka meminta perlindungan<br />

kepada Sultan Najamuddin II di ibu kota, karena di daerah mereka terjadi<br />

penjarahan dan perampasan terhadap penduduk. Selama dua belas bulan mereka<br />

di ibu kota, masih belum mendapat tanggapan dari Sultan, sedangkan semakin<br />

lama mereka di ibu kota berarti pertanian dan perkebunan makin terlantar karena<br />

tidak digarap dengan baik. Untuk itu, mereka mengalihkan permintaan kepada<br />

pemerintah Belanda dengan janji mereka akan menyerahkan upeti setelah kondisi<br />

di daerah mereka aman (Woelders, 1975: 12; Kemp, 1900: 345; Stapel, 1940:<br />

169). Peristiwa itu menunjukkan bahwa hilangnya kepercayaan mereka kepada<br />

Sultan Najamuddin II dan aparatnya, sehingga mereka terpaksa berpaling kepada<br />

pemerintah Belanda untuk mengatasi masalah tersebut. Terjadinya kekacauan di<br />

daerah mereka membuktikan bahwa sistem pengamanan tidak berjalan dengan<br />

baik.<br />

Langkah yang diambil oleh R.Coop A. Groen untuk menangani masalah di<br />

Palembang adalah mengirim Kyai Demang Osman dari Muntok ke Palembang<br />

dari 1 Maret-7April 1818. Demi lancarnya misi tersebut, alasan yang<br />

dikemukakan adalah untuk mempersiapkan semua kebutuhan untuk membangun<br />

berbagai proyek sipil di sana, di bawah pimpinan Kapten Van der Wijck. Misi<br />

sesungguhnya adalah meneliti kondisi paling aktual di Palembang. Berdasarkan<br />

laporan dari hasil penelitian tersebut, R. Coop A. Groen menyampaikan kepada<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


144<br />

pemerintah pusat bahwa ―Palembang dalam kondisi kacau‖ 111 . Sementara itu,<br />

Sultan Najamuddin II telah mengirimkan surat untuk memohon bantuan militer ke<br />

Bengkulu dan Calcutta India. Suatu tindakan yang makin memperuncing keadaan.<br />

Tambahan lagi, beredar kabar bahwa pasukan Bengkulu siap memasuki wilayah<br />

Palembang, tepatnya di Rawas. Situasi itu memaksa R. Coop A. Groen<br />

mengirimkan beberapa kapal perang ke Sungai Musi untuk melakukan manuver,<br />

agar Sultan Najamuddin II mengendalikan kondisi di Kesultanan Palembang<br />

(Kemp, 1900: 357).<br />

Masalah lain yang mendesak adalah keluhan dari Siddon (Residen Inggris<br />

di Bengkulu). Sejak 24 Desember 1817 Siddon telah menyampaikan protes<br />

kepada Komisaris Jenderal Hindia Belanda tentang adanya gangguan keamanan<br />

dari orang-orang Palembang terhadap wilayah perbatasan Bengkulu 112 . Gangguan<br />

keamanan yang terjadi di wilayah perbatasan Bengkulu atau bahkan di wilayah<br />

Bengkulu telah terjadi sejak lama. Contohnya, gangguan keamanan yang<br />

111 Sebagian informasi tentang kondisi di Palembang diperoleh R. Coop A. Groen<br />

dari Badaruddin II (Kemp, 1900: 357-358). Tampaknya, Badaruddin II memanfaatkan<br />

situasi yang ada untuk memperkokoh posisinya, khususnya di mata Groen.<br />

112 Untuk menghadapi gangguan keamanan tersebut, pemerintah Inggris di Bengkulu<br />

telah beberapa kali melakukan penertiban dengan cara menguasai daerah Pasemah Ulu Manna.<br />

Pada 1808 pemerintah Inggris di Bengkulu mengirimkan Kolonel Clayton dengan tiga ratus orang<br />

serdadu Bengala untuk menghukum penduduk Pasumah Ulu Manna. Ketika mereka tiba di daerah<br />

tersebut, ternyata daerah itu telah mereka kosongkan, dengan terlebih dahulu membakar dusundusun<br />

dan bersembunyi di dalam hutan. Sejak itu keamanan dapat dipulihkan, tetapi tidak lama<br />

berselang kembali terjadi hal yang sama. Untuk memulihkan keamanan, kembali pemerintah<br />

Inggris di Bengkulu mengirim Raden Mohamad Zaid dan Daeng Indra (tempat peristirahatan<br />

mereka di Pasumah Ulu Manna dikenal penduduk dengan nama ―perhentian Daeng‖) dengan<br />

kekuatan dua ratusan orang serdadu pribumi untuk menaklukkan daerah tersebut dan membakar<br />

beberapa dusun. Pada 1813 kembali terjadi perampokan dari daerah Pasumah, bahkan mereka<br />

berusaha menyerang seorang pejabat Inggris di Padang Guci (Manna) yang pada waktu itu tengah<br />

melakukan transaksi pembelian lada. Usaha tersebut berhasil digagalkan oleh para pengawalnya<br />

dan beberapa perampok berhasil dibunuh. Pada 1815 Residen Manna (residen lokal yang<br />

berkedudukan di ibukota Fort Marlborough) Steele berangkat ke Pasemah Ulu Manna, untuk<br />

membujuk para kepala depati daerah tersebut agar tidak melakukan perampokan lagi di wilayah<br />

Inggris. Untuk itu, dibuat kesepakatan bersama dan pemberian hadiah kain kepada mereka.<br />

Perdamaian itu tidak berlangsung lama, kembali penduduk perbatasan Bengkulu mengeluh kepada<br />

Residen Siddon tentang gangguan keamanan dari orang-orang Pasumah. Kondisi tidak aman itu<br />

terus berlangsung sampai tibanya Raffles di sana (Maret 1818). Pada Mei 1818 Raffles melakukan<br />

perjalanan menuju Pasumah Ulu Manna, dan tiba di sana pada 21 Mei 1818. Pada 22 Mei 1818 di<br />

dusun Tanjung Alam Pasumah diadakan permupakatan dengan melibatkan para depati/kalipa dan<br />

proatin di daerah itu. Hasilnya yaitu penduduk Pasumah Ulu Manna bersedia tunduk kepada<br />

Inggris dengan imbalan 30 dollar Inggris per bulan, uang itu diberikan kepada wakil dari beberapa<br />

Marga (Sumbai Besar dan Ulu Lurah) di Pasemah. Penaklukan daerah itu dilakukan Raffles dalam<br />

rangka membendung kekuasaan Belanda (Visser, 1883: 315-323).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


145<br />

dilakukan oleh penduduk Pasumah Ulu Manna (Palembang) terhadap tetangganya<br />

penduduk di wilayah Bengkulu. Mereka melakukan pembunuhan, penjarahan dan<br />

pencurian hewan ternak sehingga menimbulkan trauma bagi penduduk setempat.<br />

Semua itu terjadi karena tidak adanya tindakan tegas dari pihak Sultan<br />

Najamuddin II untuk mengamankan daerah tersebut. Dalam laporannya, Residen<br />

Siddon menyampaikan bahwa penduduk Bengkulu sering kali menjadi korban<br />

penjarahan, dan dijadikan budak untuk diperjualbelikan 113 (ANRI, Bundel<br />

Palembang No. 67; Bataviaasch Courant, 4 Agusutus 1921).<br />

Melalui pemerintah Belanda, Residen Siddon berharap hal tersebut segera<br />

dihentikan. Tuntutan itu disampaikan oleh pemerintah Belanda kepada Sultan<br />

Najamuddin II, akan tetapi Sultan menolak permintaan tersebut. Sementara itu, di<br />

daerah perbatasan Palembang-Lampung juga terjadi kekacauan. Sebanyak tujuh<br />

ratus orang penduduk diserang dan dijadikan budak untuk diperdagangkan di<br />

bawah pimpinan nahkoda Mohamad. Keadaan itu membuat pemerintah kolonial<br />

Belanda menempatkan satu kapal perang beserta pasukannya di Sungai Mesuji di<br />

Tulang Bawang Lampung, untuk mengamankan daerah tersebut (ANRI, Bundel<br />

Palembang No. 5.1; No. 67; Bataviaasch Courant, 4 Agustus 1821; Visser, 1883:<br />

315; Kemp, 1900: 349; Stapel, 1940:169). Dengan demikian, di daerah-daerah<br />

perbatasan (sindang) kondisinya tidak aman yang mengganggu pihak-pihak lain<br />

di daerah tersebut. Semua itu terjadi karena tidak adanya jaminan keamanan dari<br />

pihak Sultan Najamuddin II.<br />

Berbagai peristiwa yang terjadi di Kesultanan Palembang, menggambarkan<br />

betapa masalah keamanan dan ketertiban menjadi problem mendesak yang harus<br />

segera ditangani. Sultan Najamuddin II sebagai orang yang berwenang untuk<br />

menyelesaikannya, tidak banyak berbuat. Dari berbagai sumber disebutkan bahwa<br />

Sultan Najamuddin II adalah sosok yang kurang bertanggungjawab. Ia dikenal<br />

kejam terhadap rakyat dengan berbagai kebijakannya dalam bidang ekonomi.<br />

Contohnya, memungut tibang-tukong lebih dari satu kali setahun, menambah<br />

komoditi yang dikenai tibang-tukong antara lain, beras, lada, kopi gambir, lilin,<br />

113 Dalam kontrak antara Sultan Najamuddin II dan Inggris pada 1812 dan 1813,<br />

menyebutkan bahwa masalah penghapusan budak dan membuka hubungan serta<br />

menjamin keamanan dengan Bengkulu dan Lampung menjadi poin penting yang harus<br />

dipatuhi oleh Sultan.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


146<br />

rotan, dan kerbau, dan menaikkan harganya. Apabila pada masa sultan-sultan<br />

sebelumnya, ketentuan tibang-tukong hanya berlaku pada kalangan tertentu<br />

(matagawe), tidak demikian halnya pada masa pemerintahan Sultan Najamuddin<br />

II. Disebutkan bahwa, tidak seorangpun bebas dari ketentuan tersebut. Di samping<br />

itu, Sultan juga sering melakukan hukuman fisik berupa pukulan terhadap<br />

penduduk yang dianggap tidak patuh, perompakan dan perdagangan budak di<br />

perairan Palembang juga makin marak.<br />

Melihat kondisi tersebut, Sultan tidak bertindak dan membiarkan masalah<br />

tersebut berlarut-larut, bahkan disinyalir Sultan ikut menikmati keuntungan dari<br />

berbagai ―kegiatan‖ tersebut. Sehubungan dengan itu, pemerintah kolonial<br />

Belanda di Palembang dan Batavia mempertimbangkan untuk segera bertindak<br />

agar ada kepastian hukum di daerah tersebut terjamin. Apabila tidak segera<br />

diambil tindakan, akan berpengaruh terhadap kredibilitas pemerintah Belanda<br />

khususnya di Kesultanan Palembang, baik terhadap penduduk Palembang,<br />

perbatasan Lampung dan Bengkulu (ANRI, Bundel Palembang No. 5.1; No. 15.7;<br />

No. 47.6; No. 67; No. 66.6; Bataviaasche Courant, 26 Juni 1819, nomor 26).<br />

Dalam kondisi yang tidak menentu tersebut, pemerintah Belanda di Batavia<br />

memutuskan untuk mengirimkan Komisaris Muntinghe 114 . Penunjukkan<br />

Muntinghe sebagai komisaris di Kesultanan Palembang dianggap tepat,<br />

mengingat karir panjang yang telah ditempuhnya baik pada masa pemerintahan<br />

kolonial Inggris (anggota Dewan Hindia) maupun pada masa pemerintah Belanda<br />

(sekretaris, dan ketua Mahkamah Agung). Untuk itu, pada 27 Oktober 1817<br />

Komisaris Jenderal memberhentikan Muntinghe dari jabatannya sebagai ketua<br />

Dewan Keuangan, dan mengangkatnya sebagai Komisaris Palembang-Bangka<br />

(ANRI, Bundel Palembang No.67; Kemp, 1900: 350-353; Woelders, 1975: 13).<br />

Berita tentang rencana kedatangannya di Muntok dibawa oleh Kapten<br />

Scott, seorang nahkoda Inggris pada 3 Januari 1818. Selanjutnya, tiba pula kapal<br />

perang di sana pada 23 Januari 1818 (berangkat dari Batavia sejak 2 Januari 1818)<br />

114 Muntinghe terkenal cerdas dan sangat berbakat, ahli di bidang hukum, pemerintahan<br />

dan keuangan. Ia juga terkenal sebagai orang yang netral, dan cinta pada keadilan, sehingga baik<br />

pemerintah Belanda maupun Inggris tetap memanfaatkan tenaga. Atas jasa-jasanya pemerintah<br />

Belanda menganugerahinya gelar Edelheer atau Edeleer (―Idelir Menteng‖ dalam literatur<br />

Melayu), yang artinya bangsawan tinggi (ANRI, Bundel Palembang No.67; Kemp, 1900: 350-53;<br />

Woelders, 1975: 13).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


147<br />

yang dipimpin Kapten-Letnan Taco Bakker dengan berita yang sama. Kehadiran<br />

armada itu diikuti pula oleh Kapten Zeni Van der Wijck yang akan bertugas<br />

sebagai direktur pembangunan proyek sipil di Muntok. Jadi, sebelum<br />

kedatangannya, kehadiran Muntinghe sudah membuat sebagian orang merasa<br />

khawatir, baik yang ada di Muntok maupun di Palembang (Kemp,1900: 356-357).<br />

Pada 13 April 1818 Muntinghe berangkat dari Batavia, tiba di Muntok<br />

pada 20 April 1818 dengan menggunakan kapal perang Eendracht. Kedatangan<br />

mereka disambut oleh A.P. Smissaert (Inspektur Jenderal pertambangan timah<br />

Bangka), Residen R. Coop A. Groen, para perwira, orang-orang pribumi dan<br />

Cina. Setelah itu, Komisaris Muntinghe mengambil alih kekuasaan atas Bangka.<br />

Di pulau itu Muntinghe menemukan kondisi kritis. Mereka umumnya kekurangan<br />

bahan makanan dan tertekan oleh ancaman dari para perompak (laporan Smissaert<br />

kepada gubernur jenderal pada 11 Juni 1819). Selanjutnya, Komisaris Muntinghe<br />

menyerahkan kekuasaan atas Muntok kepada A.P. Smissaert. Muntinghe<br />

bermaksud memfokuskan perhatiannya pada pelaksanaan pemerintahan di<br />

Palembang (Kemp, 1900: 358-361; Woelders, 1975: 13). Walaupun Pulau Bangka<br />

mengalami krisis, di mata Muntinghe kawasan daratan Kesultanan Palembang<br />

yang tengah bergolak jauh lebih penting untuk ditangani secepatnya. Apalagi<br />

wilayah uluan berbatasan dengan kekuasaan Inggris di Bengkulu.<br />

Muntinghe membawa misi untuk menegakkan pemerintahan Belanda di<br />

Kesultanan Palembang, menyatukan Palembang dengan Lampung dan mengakhiri<br />

pertikaian antara Najamuddin II dan Badaruddin II. Untuk itu, kedua bersaudara<br />

itu harus menyerahkan sebagian dari wilayah Kesultanan Palembang kepada<br />

Belanda, dengan alasan keamanan. Sisanya dibagi dua, masing-masing mendapat<br />

sebagian melalui kontrak. Penduduk Palembang juga harus dibebaskan dari<br />

berbagai tekanan dalam menjalankan perekonomiannya (ANRI, Bundel<br />

Palembang No. 70.3).<br />

Informasi yang diperoleh Muntinghe selama di Muntok, menyebutkan<br />

bahwa rakyat di wilayah Kesultanan Palembang akan melakukan pemberotakan,<br />

khususnya di daerah Blida, Komering dan Rawas. Pemberontakan itu akan<br />

dipimpin para depati masing-masing. Penduduk di sana resah dengan adanya<br />

berbagai pemerasan yang dilakukan Sultan Najamuddin II dan golongan<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


148<br />

bangsawan. Mereka siap melakukan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan<br />

tersebut. Untuk mencegah pemberontakan terjadi, Muntinghe memandang perlu<br />

untuk memberitahukan kedatangannya kepada para penguasa dan rakyat<br />

Palembang. Di samping itu, Muntinghe juga menyampaikan ucapan persahabatan<br />

kepada Sultan Najamuddin II dan Badaruddin II serta para depati di uluan melalui<br />

surat. Surat itu dibawa oleh Demang Usman pada 21 April 1818 dari Muntok.<br />

Selanjutnya, untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, baik bagi<br />

penduduk Pulau Bangka maupun Palembang, Muntinghe melarang orang-orang<br />

Bangka ke Palembang. Setelah menjalankan tugasnya, Demang Usman kembali<br />

ke Muntok pada 29 April 1818 dengan membawa surat jawaban dari Sultan<br />

Najamuddin II dan Badaruddin II. Keduanya menyambut hangat persahabatan<br />

yang disodorkan oleh Muntinghe. Najamuddin II berjanji akan segera<br />

mengirimkan utusan guna menghadap Muntinghe. Keraguan Muntinghe terhadap<br />

Sultan Najamuddin II hilang, karena sebelumnya berkembang berita bahwa Sultan<br />

Najamuddin II akan melarikan diri ke Bengkulu (Kemp, 1900: 336-366). Kondisi<br />

pada waktu itu penuh ketidakjelasan, sehingga desas-desus gampang berkembang,<br />

namun dengan adanya uluran tangan persahabatan dari kedua bersaudara<br />

Najamuddin II dan Badaruddin II, membuat Muntinghe yakin akan berhasil<br />

mengatasi berbagai permasalahan di Palembang.<br />

Untuk menyambut kehadiran Muntinghe, Badaruddin II mengirim misi<br />

khusus untuk menemui Muntinghe. Utusan itu terdiri dari Pangeran Prabu (putera<br />

bungsu Badaruddin II), dua orang menantunya (diantaranya Pangeran<br />

Kramadiraja) dan rombongan. Melihat sambutan yang diterimanya, Muntinghe<br />

membuang semua prasangka buruk yang selama ini berkembang tentang<br />

hubungan pemerintah kolonial Belanda dengan penguasa Palembang, baik<br />

penguasa resmi (Sultan Najamuddin II) maupun tidak resmi yaitu Badaruddin II.<br />

Walaupun Badaruddin II tidak berkuasa secara resmi sebagai sultan, pengaruhnya<br />

kepada rakyat sangat besar. Muntinghe mengkhawatirkan para pengikut kedua<br />

tokoh itu berbenturan dengan pihak Belanda, yang tentunya akan membahayakan<br />

posisi Belanda di Palembang (Kemp, 1900: 366-367; Woelders, 1975: 98).<br />

Dengan alasan untuk memperoleh informasi sebanyak-banyaknya tentang<br />

Palembang, Komisaris Muntinghe menunda keberangkatannya ke Palembang.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


149<br />

Tugas mendapatkan informasi lebih lanjut tentang Kesultanan Palembang<br />

dipercayakan oleh Muntinghe kepada Raja Akil 115 . Pada 22 Mei 1818 Muntinghe<br />

melaporkan hasil penyelidikan tersebut ke Batavia. Isinya tentang maraknya<br />

perompakan diperairan Palembang-Bangka. Untuk itu, ia mengirimkan kapal<br />

perang Eendracht ke ibu kota Palembang. Keberadaan kapal perang itu membuat<br />

Sultan Najamuddin II merasa ketakutan. Selanjutnya, Sultan menyampaikan<br />

kekhawatirannya kepada Raffles di Bengkulu. Dalam surat yang diterima Raffles<br />

pada 17 Juni 1818, Sultan meminta bantuan kepada Raffles, sekaligus untuk<br />

mencegah orang Belanda bekerjasama dengan orang-orang yang akan<br />

menghancurkan kekuasaannya. Sultan memercayakan semuanya secara penuh<br />

kepada Inggris. Dalam balasan suratnya, Raffles menyatakan agar dirinya<br />

bersabar menghadapi hal tersebut. Selanjutnya, Sultan Najamuddin II membalas<br />

surat tersebut yang isinya menggambarkan kondisi di Palembang berjalan dengan<br />

baik (The Asitic Journal, Pebruari 1819 Vol.7: 208; Kemp,1900: 369-370).<br />

Dengan demikian, sampai memasuki pertengahan Juni 1818 kondisi di Palembang<br />

cukup tenang, sehingga kegiatan pemerintahan berjalan normal. Apa yang<br />

dikhawatirkan oleh Sultan Najamuddin II tidak terbukti.<br />

Sesuai permintaan Sultan Najamuddin II, Raffles langsung bertindak<br />

dengan memerintahkan Kapten Salmond untuk berangkat ke Palembang sebagai<br />

wakil Inggris. Dalam instruksinya Raffles menugaskan Kapten Salmond untuk<br />

melindungi Sultan Najamuddin II dan menempatkannya di bawah perlindungan<br />

Inggris. Dinyatakan pula bahwa pemerintah Belanda tidak berhak ikut campur<br />

dalam usaha Inggris mendukung Sultan Palembang, yang saat itu merasa tertekan<br />

dan butuh pertolongan Inggris. Dari isi surat yang dikirimkan Sultan Najamuddin<br />

II kepadanya, Raffles yakin bahwa belum ada kesepakatan formal antara Sultan<br />

115 Raja Akil adalah Pangeran dari Siak, bersama pengikutnya meninggalkan Kerajaan Siak<br />

karena diusir oleh penguasa Siak Raja Ali (Abdulrahman). Bersama pengikutnya ia berlayar ke<br />

Lingga dan terus ke Bangka-Belitung. Melihat kemampuannya, Residen M.H. Court<br />

memanfaatkan jasanya untuk menangkap Raden Kling (penguasa Pulau Bangka, wakil Sultan<br />

Palembang) yang mundur ke Belitung akibat peristiwa pembunuhan terhadap Inspektur Brown.<br />

Usaha Raja Akil itu tidak berhasil tetapi ia mampu melindungi penarikan pasukan Inggris dalam<br />

ekspedisi tersebut, sehingga ia tetap dianggap berjasa bagi Inggris. Pada masa Residen Klaas<br />

Heynis, ia tetap memanfaatkan Raja Akil karena Raja Akil telah membuktikan kemampuan dan<br />

kesetiaannya kepada Belanda, dengan imbalan 125 pikul beras setiap bulan. Atas rekomendasi dari<br />

K. Heynis, Muntinghe tetap memakai jasa Raja Akil (ANRI, Bundel Palembang No. 67; Kemp,<br />

1900: 367-368; Kemp, 1898: 260)<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


150<br />

dan pemerintah Belanda. Sesampai di ibu kota Palembang, Salmond<br />

diperintahkan untuk membuat kontrak dengan Sultan Najamuddin II, sekaligus<br />

meyakinkannya bahwa Inggris tidak akan meninggalkannya. Salmond juga harus<br />

menuntut Belanda untuk mencabut semua tuntutan mereka terhadap Sultan (The<br />

Asitic Journal, Pebruari 1819 Vol.7).<br />

Muntinghe bergerak dari Muntok 116 pada 1 Juni 1818 menuju Palembang,<br />

dengan menggunakan kapal perang, diikuti satu kapal pengangkut, satu kapal<br />

meriam dan sekitar dua puluh perahu. Tiga hari kemudian tiba di ibu kota<br />

Palembang (4 Juni 1818 atau 20 Rajab 1223 H). Dalam rombongan itu Raja Akil,<br />

Pangeran Syarif Muhamad dan lainnya ikut serta. Kehadiran mereka disambut<br />

Sultan Najamuddin II secara terbuka. Setelah itu, Muntinghe menemui para<br />

pejabat sipil 117 Belanda yang bertugas di sana, yaitu Valckenaer, De Groot dan<br />

Willem van de Werteringe Buis. Selanjutnya, ia mengambil alih kekuasaan atas<br />

Palembang, Bangka dan Belitung. Keesokan harinya Sultan Najamuddin II<br />

menyambut kedatangan Muntinghe secara resmi di keraton. Pada 6 Juni 1818<br />

Muntinghe menyerahkan surat dari Komisaris Jenderal kepada Sultan, yang<br />

memuat tentang penunjukan dirinya sebagai wakil mereka, dalam rangka<br />

menyelidiki kondisi Palembang dan Bangka (The Asiatic Journal, Pebruari<br />

1819).<br />

Selanjutnya Kesultanan Palembang memasuki babak baru dalam<br />

hubungannya dengan Belanda, yaitu Kesultanan harus menerima kenyataan<br />

wilayahnya dibagi antara Sultan Najamuddin II, Sultan Badaruddin II dan<br />

Belanda. Pembagian itu mendorong masuknya pihak ketiga yaitu Inggris.<br />

116 Kekuasaan Belanda di Muntok dikendalikan oleh Residen Smissaert, dengan<br />

kekuatan militer yang sangat minim. Pulau Bangka- Belitung dan pulau-pulau lainnya di sekitar itu<br />

sejak dahulu terkenal sebagai tempat bersarangnya para bajak laut (abad XV menjadi pusat bajak<br />

laut atau elanong). Akibatnya, pantai-pantai di pesisir pulau itu menjadi daerah rawan dari<br />

serangan dan pendudukan bajak laut. Contohnya pada 28 Mei 1819 para bajak laut menyerang<br />

benteng Belanda di Toboali, sehingga empat puluh serdadu Belanda mundur ke Bayor dan Pangkal<br />

Pinang. Para bajak laut mengusai benteng dan gudang timah Belanda di sana. (ANRI, Bundel<br />

Palembang No. 67; Lapian, 2009:137-138).<br />

117 Para wakil pemerintah Belanda di ibu kota Palembang menangani perkara sipil dan<br />

memungut bea masuk sebesar 10 sampai 25 dollar Spanyol dari setiap perahu yang berlabuh.<br />

Biaya yang mereka butuhkan dalam menjalankan pemerintahan hanya beberapa ratus gulden per<br />

bulan, karena sedikitnya aparat dan bidang garapan yang mereka lakukan (Kielstra, 1892: 89).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


151<br />

4.2 Pembagian Kekuasaan<br />

Setelah tiga hari berada di Kesultanan Palembang, Komisaris Muntinghe<br />

menyiapkan sesuatu yang penting untuk Sultan Najamuddin II. Pada 7 Juni 1818<br />

Muntinghe menyodorkan konsep pembagian kekuasaan antara Sultan Najamuddin<br />

II dan Sultan Badaruddin II. Sultan Najamuddin II terkejut dengan konsep yang<br />

secara tiba-tiba disodorkan oleh Muntinghe. Dia yang sejaka 1813 berkuasa penuh<br />

atas kerajaan tersebut, dihadapkan pada kenyataan ―pembagian‖ kekuasaan.<br />

Sesuatu yang sulit untuk diterima. Apalagi dalam konsep itu, pembagiannya tidak<br />

adil karena tanah dan penduduk yang masuk ke wilayahnya 118 lebih sedikit<br />

dibandingkan untuk Sultan Badaruddin II. Jumlah penduduk menjadi poin penting<br />

bagi Sultan Najamuddin II karena menyangkut tenaga kerja (matagawe) yang<br />

dapat dikerahkan untuk membantu kelangsungan pemerintahannya. Penduduk<br />

juga merupakan masalah vital karena jumlah penduduk Palembang pada waktu<br />

masih sangat sedikit dibanding luas wilayah yang ada. Di sisi lain, wilayah yang<br />

menjadi ―jatah‖nya bukanlah kawasan yang produktif dibandingkan dengan<br />

wilayah yang menjadi milik Sultan Badaruddin II. Pembagian wilayah tersebut,<br />

bertujuan untuk mengurangi kekacauan yang telah dan tengah berlangsung di<br />

Kesultanan Palembang. Menurut pihak Belanda pembagian kekuasaan mutlak<br />

dilakukan, apalagi di mata pemerintah Belanda, Sultan Najamuddin II adalah<br />

―produk‖ Inggris yang harus ―dikendalikan‖ (ANRI, Bundel Palembang No, 5.1;<br />

Kemp, 1900: 381). Dengan usulan tersebut, kedua bersaudara dihadapkan pada<br />

posisi sulit. Kesultanan Palembang untuk pertama kalinya dalam sejarahnya<br />

dibagi-bagi, dan Belanda mendapatkan wilayah yang dapat dikuasainya secara<br />

langsung.<br />

Pertemuan antara Komisaris Muntinghe dan Sultan Najamuddin II<br />

berlangsung selama tiga jam, dihadiri pula oleh Pangeran Adipati, dua orang putra<br />

118 Wilayahnya terdiri dari: Sungai Bawang 5 dusun, Sungai Oling, Sungai Bunging 10<br />

dusun, Sungai Serma, Sungai Lampang 12 dusun, Sungai Lampoing, Sungai Siayu, dan Sungai<br />

Kurou 20 dusun. Di aliran kiri Sungai Plaju 7 dusun, dan di aliran kiri Sungai Kayu Agung 8<br />

dusun. Batas-batas wilayahnya di utara sungai Kombang, di timur sungai Kurou, di selatan sungai<br />

Babatan, dan di sebelah barat sungai Blitan dan perbatasan Lampung, serta sungai Plaju (ANRI,<br />

Bundel Palembang No. 12 D II). Daerah-daerah tersebut pada saat ini meliputi sebagian wilayah<br />

kabupaten Ogan Ilir, Ogan Komering Ilir, dan Banyuasin.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


152<br />

Sultan dan seorang bangsawan. Dalam pertemuan itu dibahas tentang penyerahan<br />

sebagian wilayah Palembang yaitu daerah hulu dan hilir termasuk wilayah yang<br />

berbatasan dengan Bengkulu dan Lampung kepada Belanda. Artinya, wilayah<br />

yang menjadi bagian Belanda di Kesultanan itu merupakan wilayah terluas<br />

dibandingkan wilayah untuk kedua sultan. Pendudukan langsung sebagian besar<br />

wilayah Palembang oleh Belanda, dimaksudkan untuk mencegah perampokan,<br />

penculikan dan perdagangan budak yang marak terjadi pada waktu itu.<br />

Selanjutnya, Sultan Najamuddin II akan memperoleh dana tunjangan sebesar<br />

seribu dollar Spanyol per bulan, sepuluh koyang garam dan seratus sampai dua<br />

ratus koyang beras per tahun 119 , serta bebas dari berbagai bentuk penyetoran<br />

kepada pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda juga akan menghapuskan<br />

perbudakan, dan hukuman mati. Dalam bekerja, penduduk dibebaskan tanpa<br />

paksaan atau tekanan, mereka bebas bekerja sesuai keinginan dan keterampilan<br />

masing-masing, sedangkan hak monopoli candu, garam dan bea masuk akan<br />

dipegang pemerintah Belanda 120 . Selanjutnya, Sultan Najamuddin II harus segera<br />

meninggalkan keraton, dan diserahkan kepada Sultan Badarudin II. Sultan<br />

Najamuddin II terpaksa menerima ketentuan-ketentuan yang disodorkan, dengan<br />

catatan kedudukannya sebagai sultan tetap terjamin (ANRI, Bundel Palembang<br />

No. 67; No. 5.1; Bataviaasche Courant, 4 Agustus 1821; The Asiatic Journal,<br />

Pebruari 1819; Kemp, 1900: 371-374; Kemp, 1898: 260).<br />

Dalam waktu yang sangat singkat, Sultan Najamuddin II dihadapkan pada<br />

berbagai ―ketentuan‖ yang memaksanya untuk menerimanya. Ia harus<br />

menyerahkan sebagian besar wilayah, yang otomatis menyerahkan kekuasaannya.<br />

Hal lain yang tidak kalah penting adalah bahwa ia harus keluar dari keraton Kuto<br />

Besak yang merupakan simbol kekuasaan sultan, untuk menyerahkannya kepada<br />

―musuh‖nya yaitu Sultan Badaruddin II. Suatu kondisi yang tidak pernah<br />

terbayangkan sebelumnya. Situasi yang sangat menyakitkan itu, membuat<br />

Najamuddin II meminta perlindungan kepada Raffles di Bengkulu. Najamuddin II<br />

119<br />

Dalam The Asiatic Journal (Pebruari 1819) menyatakan bahwa sultan<br />

mendapatkan seribu dollar per bulan, lima koyang beras, seratus gantang garam, dan 25<br />

ribu dollar untuk merenovasi keratonnya.<br />

120 Semua ketentuan itu juga berlaku pada Sultan Tuo.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


153<br />

berharap peristiwa 1813 terulang kembali, yaitu ia dinaikkan kembali setelah<br />

diturunkan oleh Robison.<br />

Berbeda dengan Sultan Najamuddin II yang terpaksa menerima usulanusulan<br />

Belanda, Badaruddin II menerimanya dengan terbuka. Pada 20 Juni 1818<br />

perjanjian antara Badaruddin II dan Muntinghe disahkan, Badaruddin II mendapat<br />

gelar ―Sultan Tuo‖, sedangkan Sultan Najamuddin II mendapat gelar ―Sultan<br />

Mudo‖. Wilayah yang menjadi bagian Sultan Badaruddin II yakni, sebelah utara<br />

berbatasan dengan Sungai Musi, sebelah timur dengan Sungai Ogan, Trusa Kilip,<br />

Bulu Cawang, dan Bankula. Di selatan berbatasan dengan sungai Kouang,<br />

Lamatang, dan bagian barat berbatasan dengan sungai Musi 121 (ANRI, Bundel<br />

Palembang No. 12 D II; Bataviaasch Courant, 26 Juni 1819, nomor 26). Daerahdaerah<br />

tersebut pada saat ini sebagian nama-nama dusun yang tertera dalam<br />

kontrak 20 Jni 1818 tidak dikenal lagi. Diperkirakan wilayah kekuasaan Sultan<br />

Tuo meliputi sebagian daerah Kabupatern Ogan Ilir, Ogan Komering Ilir dan<br />

Muara Enim.<br />

Dalam kontrak tersebut terdapat pula tambahan pasal (pasal 1) yaitu<br />

pengampunan yang diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda kepada Sultan Tuo<br />

atas kesalahannya dalam peristiwa pembunuhan 1811, dengan syarat Sultan<br />

Badaruddin II wajib membantu pemerintah Belanda membangun kembali benteng<br />

Belanda yang telah hancur sebesar f 100.000. Sultan Tuo juga diwajibkan<br />

membayar ganti rugi kepada Sultan Mudo sebesar f 500 ribu yang harus segera<br />

diserahkan setelah Najamuddin II keluar dari keraton Kuto Besak. Keraton Kuto<br />

Lamo yang dihuni Sultan Mudo setelah keluar dari keraton Kuto Besak harus<br />

segera diperbaiki oleh Sultan Badaruddin II. Campur tangan Belanda lebih lanjut<br />

dalam sistem pemerintahan di Kesultanan Palembang, terlihat dari adanya<br />

ketentuan bahwa apabila Sultan Badaruddin II akan mengangkat Pangeran<br />

121 Daerahnya terdiri dari Blida, Kramasan, Glakar, Maranjar, Trusa Kilip, Bankula, Batu<br />

Caway, Rambang, Kouang, Neru, Lamatang dan Lobi. Di samping itu, terdapat pula dusun-dusun<br />

yang terletak di pesisir sungai-sungai, yakni Sungai Ogan 12 dusun, Sungai Glakar 12 dusun,<br />

Sungai Maranjang 6 dusun, Sungai Pulau Cawang 6 dusun, Sungai Bengkula 5 dusun, Sungai<br />

Rambang 26 dusun, Sungai Lobi 8 dusun, Sungai Niru satu dusun dan satu distrik, Sungai<br />

Lamatan 6 dusun, Sungai Muda satu dusun, Sungai Blida 6 dusun, Sungai Kramesan satu dusun<br />

dan lahan penggembalaan kerbau. Total mencapai 84 dusun (ANRI, Bundel Palembang No. 12 D<br />

II).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


154<br />

Adipati, Sultan harus terlebih dahulu meminta persetujuan dari pemerintah<br />

Belanda (Stapel, 1940: 170; Kemp, 1900: 374-375). Kontrak-kontrak yang terjadi<br />

antara pemrintah Belanda dan Najamuddin II serta Badaruddin II, membuktikan<br />

bahwa pascamundurnya Inggris di Palembang, penguasa Belanda semakin dalam<br />

menanamkan pengaruhkan atas wilayah tersebut. Hal itu tidak dapat dilepaskan<br />

dari kekacauan di Palembang sebagai akibat perebutan kekuasaan antara dua<br />

bersaudara sejak 1812. Sultan Badaruddin II yang memanfaatkan kehadiran<br />

kembali Belanda di Palembang, memanfaatkannya untuk naik kembali ke tahta<br />

pemerintahan, walaupun harus berbagi dengan adiknya Najamuddin II. Sementara<br />

itu, Belanda sebagai pihak penguasa, juga memanfaatkan situasi yang ada untuk<br />

lebih dalam menanamkan pengaruhnya di sana. Dalam sejarah Kesultanan<br />

Palembang bahkan jauh sebelumnya, inilah kali pertama Belanda memperoleh<br />

wilayah yang boleh diperintah langsung bahkan wilayah yang dimilikinya jauh<br />

lebih luas dibandingkan dengan wilayah untuk dua orang bersaudara. Keuntungan<br />

Belanda juga diperoleh dari ketentuan Sultan Badaruddin II harus membangun<br />

benteng yang telah hancur, serta membayar ganti rugi kepada Najamuddin II.<br />

Gambaran tersebut, sama dengan tesis yang dikemukan oleh Nategaal (1996)<br />

tentang balasan yang lebih hebat yang harus diterima oleh penguasa pribumi<br />

apabila mereka berkeinginan untuk ―mengendarai‖ Belanda. Yang terjadi justru<br />

―mereka‖ ditunggangi oleh mereka.<br />

Sebagai tindak lanjut dari kesepakatan pembayaran yang telah disepakati,<br />

pada 21 Juni 1818 Muntinghe mengirim Valckenaer dan De Groot menemui<br />

Sultan Tuo. Berkaitan dengan hal itu, pada malam hari 21-22 Juni 1818 Pangeran<br />

Nadi (putra kedua Sultan Tuo), menantu sultan dan dua orang bangsawan<br />

menyerahkan uang sebanyak sepuluh peti kepada utusan Muntinghe. Untuk<br />

sementara peti-peti itu disimpan di kas daerah, selanjutnya diserahkan kepada<br />

Sultan Mudo. Akan tetapi isu yang berkembang adalah bahwa uang tersebut<br />

diminta oleh Muntinghe (uang sogokan). Muntinghe membantah isu adanya ―uang<br />

sogok‖ dari Sulan Tuo sebesar 500.000 dollar Spanyol 122 . Menurut Muntinghe,<br />

semua itu merupakan akal bulus Raffles untuk menjatuhkan kredibilitasnya (Java<br />

Gouvernement Gazette, 4 Juli 1812; Kemp, 1898:262; Kemp, 1900: 374, 415).<br />

122 The Asiatic Journal (IX, 1820: 548), jumlah uang 200.000 dollar Spanyol<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


155<br />

Terlepas benar tidak maslah ―uang sogokan‖ tersebut, uang tetap menjadi salah<br />

satu faktor penentukan dalam gerak sejarah Kesultanan Palembang awal abad<br />

XIX.<br />

Setelah bersepakat dengan Sultan Tuo, Muntinghe harus membereskan<br />

masalah yang belum rampung dengan Sultan Mudo. Untuk itu, pada 23 Juni 1818<br />

09.00, berkas-berkas yang harus ditandatangani Sultan Najamuddin II diserahkan<br />

kepada juru tulis Sultan yaitu Ingabehi Carik dan Mohamad. Sultan terkejut<br />

dengan rancangan yang harus ditandatanganinya dalam waktu maksimal 24 jam.<br />

Sultan meminta waktu lebih lama, tetapi usul itu ditolak. Muntinghe bahkan telah<br />

menempatkan kapal perang Eendracht dalam posisi siap menembak ke arah<br />

kraton 123 . Penempatan kapal perang tersebut menunjukkan telah terjadi tekanan<br />

hebat terhadap Sultan, untuk segera menandatangani kontrak yang disodorkan<br />

kepadanya. Dalam kondisi terdesak Sultan menyerahkan penanganan kontrak<br />

tersebut kepada Perdana Menteri, sehingga cap dan nama Sultan dalam lembar<br />

kontrak itu dibuat oleh Perdana Menteri (Pangeran Adipati) atas perintah Sultan<br />

pada sekitar pukul 2.00-3.00 124 (ANRI, Bundel Palembang No. 5.1; No. 67;<br />

123 Dalam The Asiuatic Journal (Pebruari, 1819) dipaparkan bahwa Sultan Najamuddin II<br />

menolak meninggalkan keraton meskipun ditekan dengan kekerasan. Sultan menyatakan ―semua<br />

disiapkan untuk mengancam dirinya‖.<br />

124 Proposal yang disodorkan Muntinghe pada 7 Juni 1818 membuat Sultan<br />

Najamuddin syok dan terdesak. Untuk itu, langkah yang diambilnya adalah meminta<br />

waktu untuk berpikir. Waktu yang ada dimanfaatkannya untuk meminta bantuan<br />

kepada Raffles di Bengkulu. Hal itu menyebabkan Muntinghe mengirimkan utusan pada<br />

23 Juni 1818, dengan ultimatum kontrak harus segera ditandatangani. Nantinya, hal itu<br />

menjadi masalah yang besar, karena dianggap tidak sah. Berdasarkan penelitian yang<br />

dilakukan oleh Muntinghe kepada para bangsawan, dapat disimpulkan bahwa raja-raja<br />

Palembang umumnya tidak membubuhkan cap dan tandatangannya sendiri. Biasanya<br />

sultan akan memerintahkan orang lain menuliskan nama dan cap. Sesuai kesaksian<br />

Sultan Badaruddin II, yang menyatakan bahwa kontrak dapat dianggap sah apabila telah<br />

dibubuhi cap kerajaan. Dalam kaitannya dengan kasus Sultan Najamuddin II, apakah<br />

kontrak itu ditandatangani dan dicap oleh Sultan Najamuddin II atas keinginan dan<br />

sepengetahuannya? Semua itu harus dilihat dari proses awal terjadinya kontrak<br />

tersebut. Menurut kesaksian para Pangeran, Tumenggung dan Mantri di atas sumpah,<br />

bahwa menurut ketentuan di Kesultanan Palembang, cap kerajaan harus disimpan oleh<br />

sultan. Tidak diperkenankan seorangpun menggunakannya tanpa persetujuan sultan<br />

(tidak terkecuali Pangeran atau Pangeran Adipati). Pada saat ditanyakan oleh sekretaris<br />

Muntinghe setelah kejatuhan Sultan Najamuddin II, Najamuddin II menyatakan bahwa<br />

dirinya tidak pernah mengingkari perjanjiannya dengan Muntinghe dan bersedia diambil<br />

sumpah untuk mengesahkannya (Kemp, 1900: 412). Untuk kesekian kalinya Najamuddin<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


156<br />

Bataviaasche Courant, 26 Juni 1819, nomor 26; Kemp, 1898: 260-263; Kemp,<br />

1900: 378-380). Dengan demikian, berakhirlah ―drama‖ penandatanganan kontrak<br />

antara Sultan Najamuddin II dan Muntinghe. Bagaimana sikap Sultan Najamuddin<br />

II selanjutnya akan terlihat pada pembahasan selanjutnya.<br />

Setelah pembagian kekuasaan antara kedua saudara itu selesai, mereka<br />

dihadapkan pada masalah pembagian jabatan pegawai rendahan, antara lain<br />

masalah tenaga kerja, pasukan pengawal, petugas pengawas, dan petugas<br />

pembawa payung. Masalah lain yang menjadi sumber sengketa adalah<br />

sembahyang Jumat. Sultan Tuo menganggap dirinya adalah satu-satunya wakil<br />

kesultanan. Oleh karena itu, ia menetapkan Penghulu harus mendoakannya.<br />

Sebaliknya, Sultan Mudo menolak hal tersebut dengan alasan, selama ini<br />

dirinyalah yang didoakan oleh Penghulu. (Kemp, 1900: 281-282). Berbagai<br />

masalah itu muncul karena keduanya merasa orang yang paling berhak atas posisi<br />

tertinggi di Kesultanan Palembang. Harga diri menjadi ukuran segalanya,<br />

sehingga membawa suasana di kesultanan itu semakin tidak menentu. Rakyat<br />

menjadi korban karena saling mencurigai dari masing-masing pendukung sultan.<br />

Pascapembagian kekuasaan, menunjukkan masih banyak masalah krusial<br />

di kesultanan itu. Hal itu tidak terlepas dari adanya dua kubu yang saling bertikai<br />

sejak 1812. Akibatnya, persoalan tersebut terus menggorogoti persatuan dan<br />

kesatuan di kesultanan itu. Inti dari berbagai permasalahan di Palembang adalah<br />

perebutan kekuasaan antara kedua kakak-adik Badaruddin II dan Najamuddin II,<br />

Inggris dan Sultan Badaruddin II, Belanda dan Sultan Najamuddin II serta antara<br />

Belanda dan Inggris. Berbagai persoalan tersebut selalu melibatkan Muntinghe<br />

dalam penyelesaiannya. Di sini tampak, bahwa sesungguhnya yang mempunyai<br />

kuasa di daerah ini adalah Belanda yang dikendalikan oleh Komisaris Muntinghe.<br />

4.3 Konflik Inggris dan Belanda di Kesultanan Palembang<br />

II mengingkari perbuatan atau pernyataannya. Semua itu menunjukkan bahwa<br />

Najamuddin II tipe orang yang “mencari selamat” demi dirinya sendiri dan keluarganya.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


157<br />

Raffles menggantikan Residen Siddon sebagai wakil Inggris di Bengkulu. Ia tiba<br />

di sana pada 22 Maret 1818. Sebagai pengganti Siddon, seharusnya Raffles juga<br />

menyandang jabatan sebagai residen, namun Raffles menolaknya dan<br />

menggunakan gelar Letnan Gubernur 125 . Sebagai wakil pemerintah Inggris di<br />

Bengkulu, Raffles mempunyai pandangan tersendiri mengenai keberadaan Inggris<br />

dan Belanda yang wilayahnya berbatasan langsung. Dalam suratnya yang<br />

dikirimkan dari Fort Marlborough Bengkulu pada 23 Maret 1818 kepada<br />

Gubernur Jenderal Baron van der Capellen di Batavia. Raffles menyampaikan<br />

kabar tentang kedatangannya di Bengkulu dan pengangkatannya sebagai Letnan<br />

Gubernur Inggris di Sumatra dan sekitarnya. Ia juga menyatakan akan tetap<br />

mempertahankan saling pengertian antara kedua bangsa, dan menawarkan<br />

kerjasama. Tawaran itu diterima Gunernur Jenderal van der Capellen, sebagai<br />

bentuk diplomasi politik antara wakil dua negara di tanah koloni (ANRI, Bundel<br />

Palembang No. 67; ANRI, Besluit van Gobernor General. 23 April 1818 No. 3<br />

Bundel Algemeen Secretarie).<br />

Pada awal pemerintahannya, Raffles melakukan pendekatan dan<br />

perundingan dengan raja-raja dan kepala-kepala suku di kawasan Sumatra. Ia juga<br />

mengadakan perundingan dengan Sultan Najamuddin II (ANRI, Bundel<br />

Palembang No. 67). Tindakan Raffles melakukan pendekatan kepada para<br />

penguasa di Pulau Sumatera, berarti menempatkan dirinya sebagai penguasa<br />

politik yang melebihi wewenangnya. Tindakan itu mengundang permusuhan<br />

dengan pihak Belanda, karena wilayah Inggris yang tersisa pada waktu itu hanya<br />

Bengkulu, yang berbatasan langsung dengan wilayah yang berada di bawah<br />

kekuasaan Belanda.<br />

125 Raffles mengajukan permohonan kepada gubernur jenderal di Calcutta agar<br />

diperkenankan menyandang gelar gubernu jenderal untuk Bengkulu. Alasan yang<br />

dikemukakannya adalah bahwa gelar residen tidak pantas disandang oleh wakil<br />

pemerintah Inggris di wilayah yang seharusnya diperintah oleh seorang gubernur.<br />

Permohonan itu dikabulkan oleh gubernur jenderal Calcutta dengan catatan<br />

kekuasaannya sama dengan seorang residen. Dengan demkian, Raffles tidak memiliki<br />

kekuasaan politik (ANRI, Bundel Palembang No. 67).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


158<br />

Sesuai misinya dan atas permintaan Sultan Najamuddin II, pada 20 Juni<br />

1818 126 Raffles mengirim ekspedisi melalui darat ke Palembang. Ekspedisi itu<br />

merupakan ekspedisi pertama orang Eropa dari Bengkulu sampai Palembang di<br />

bawah pimpinan Kapten Salmond. Pilihan Raffles jatuh kepada Kapten Salmond<br />

karena dia orang yang sangat dipercaya oleh Raffles. Pada kesempatan itu, Raffles<br />

mengeluarkan instruksi yang menyatakan bahwa sesuai dengan kontrak tahun<br />

1812 antara Inggris dan Palembang, Inggris wajib mempertahankan kedudukan<br />

Sultan Najamuddin II yang terancam atas kehadiran Belanda di Palembang.<br />

Selanjutnya, akan dibuat kontrak baru dengan Sultan Najamuddin II yang<br />

menyatakan, bahwa Kesultanan Palembang berada di bawah perlindungan Inggris.<br />

Dengan berbekal kontrak tersebut Raffles bermaksud untuk berkuasa kembali di<br />

Palembang. Lebih lanjut untuk memuluskan langkahnya, Raffles mengirimkan<br />

pengumuman kepada seluruh penduduk agar melepaskan diri dari cengkeraman<br />

kolonial Belanda. Setelah persiapan selesai, ekspedisi Inggris dipimpin Kapten<br />

Salmond didampingi oleh Letnan Haslam (Komandan pasukan Sepoy), Samuel<br />

Garling (penguasa pelabuhan Bengkulu) dan dua orang raja Bengkulu (Raja<br />

Bangsawan dan Raden Arif) serta Raden Karim, seorang bangsawan Madura yang<br />

memihak Inggris (ANRI, Bundel Palembang No. 5.1; The Asiatic Journal,<br />

Pebruari 1819; Kemp, 1898: 265-268; Woelders, 1975: 98; Kemp, 1898: 265).<br />

Setelah beberapa hari berjalan mereka tiba di Muara Bliti 127 . Kehadiran<br />

mereka di sambut oleh utusan Sultan Najamuddin II. Utusan itu telah menyiapkan<br />

segala kebutuhan untuk melanjutkan perjalanan ke ibu kota Palembang, disertai<br />

tambahan pasukan. Selanjutnya, Salmond memutuskan untuk meninggalkan<br />

sebanyak 150-200 128 orang anggota pasukan di Muara Bliti di bawah pimpinan<br />

Letnan Haslam. Keputusan itu diambil Salmond karena adanya surat dari Raffles<br />

tertanggal 24 Juni 1818, yang menyatakan bahwa pihak Belanda telah<br />

126<br />

The Asiatic Journal (Pebruari 1819) menyebutkan bahwa surat yang<br />

dikirimkan oleh Raffles kepada sultan, tertanggal 21 Juni 1818.<br />

127 Muara Bliti adalah tempat yang sangat strategis antara Bengkulu dan<br />

Palembang. Di daerah inilah nantinya pada Nopember 1818 pasukan Inggris dan Belanda<br />

berhadapan langsung. Pertempuran tidak berlanjut karena pasukan Belanda memilih<br />

mundur kembali ke ibu kota Palembang. Lokasi ini sekarang berada di Kabupaten Musi<br />

Rawas.<br />

128 Menurut Kemp (1898: 268), serdadu sepoy yang ditinggalkan di Muara Bliti<br />

sebanyak 70-100 orang serdadu.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


159<br />

menyiapkan pasukan guna menghadang pasukan Inggris. Untuk itu, Raffles<br />

menginstruksikan agar Salmond memutuskan sendiri tindakan apa yang akan<br />

dilakukan selanjutnya. Atas dasar itu, Salmond memutuskan untuk bergerak ke<br />

ibu kota tanpa pengawalan guna menghindari terjadinya pergolakan. Selanjutnya,<br />

Salmond meneruskan perjalanan menelusuri Sungai Musi dengan pancalang<br />

selama delapan belas hari, bersama tiga orang penguasa pribumi, tiga orang<br />

serdadu Bugis dan 25 orang serdadu Sepoy (The Asitic Journal, Pebruari 1819;<br />

Kemp, 1898: 267-268).<br />

Pasukan Inggris tiba di ibu kota Palembang pada 4 Juli 1818. Mereka<br />

disambut langsung oleh Sultan Najamuddin II, tiga orang pangeran, tumenggung,<br />

rangga dan demang di gerbang keraton Kuto Lamo. Pada pertemuan itu Kapten<br />

Salmond menyerahkan surat Raffles dan bendera The Union Jack. Diakhir<br />

suratnya Raffles menyatakan bahwa dirinya tidak memiliki apapun yang dapat<br />

diberikannya kepada Sultan kecuali bendera Inggris. Suatu simbol bahwa Raffles<br />

akan membela Sultan dari tekanan Belanda. Sesudah itu, bendera Inggris segera<br />

dikibarkan di keraton Sultan Mudo. Pengibaran bendera itu, menunjukkan Sultan<br />

Mudo mengakui persahabatan dan supremasi Inggris atas Palembang. Pada<br />

pertemuan itu, secara lisan Sultan Najamuddin II menyatakan bahwa dirinya tidak<br />

terikat perjanjian dengan pihak Belanda, dan ingin membuat kontrak baru dengan<br />

Inggris. Selanjutnya, disepakati untuk membuat suatu traktat kehormatan yang<br />

terdiri dari dua pasal. Pasal-pasal itu memuat tentang pernyataan bahwa Sultan<br />

Najamuddin II menerima perlindungan Inggris dan Inggris berjanji akan mengusir<br />

semua bangsa Eropa dari wilayah Palembang. Disebutkan pula bahwa Raffles dan<br />

Sultan Mudo sepakat untuk menerima pasukan Inggris dan Sultan Mudo akan<br />

menanggung seluruh biayanya. Pada kesempatan itu dibahas pula tentang kontrak<br />

dengan Belanda yang tidak diakui oleh Sultan Mudo. Sultan Mudo<br />

memperlihatkan kontrak tersebut kepada utusan Raffles. Berdasarkan pengamatan<br />

salah seorang anggota pasukan Salmond yaitu Samuel Garling, dinyatakan bahwa<br />

di dalam kontrak tersebut ditemukan kejanggalan yaitu tanda tangan Sultan Mudo<br />

berbeda dengan yang tertera di kontrak antara Sultan Mudo dan Inggris. Sultan<br />

Mudo menyatakan bahwa kontrak dengan Belanda adalah kontrak yang<br />

dipaksakan (ANRI, Bundel Palembang No. 67; No. 5.1; Bataviaasch Courante, 26<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


160<br />

Juni 1819, nomor 26; The Asitic Journal, Pebruari 1819; Woelders, 1975: 98;<br />

Kemp, 1898: 265-271).<br />

Ternyata hal itu merupakan ―cara‖ Sultan Mudo untuk mengingkari<br />

kontrak dengan Belanda. Sultan Mudo ingin menegaskan bahwa tanda tangan<br />

yang tertera di dalam kontrak dengan Belanda tidak sah. Hal itu karena tidak<br />

ditandatanganinya sendiri, berbeda dengan kontraknya dengan Inggris.<br />

Beberapa hari setelah keberangkatan pasukan pertama, sekitar 200 orang<br />

serdadu menyusul kesatuan Kapten Salmond 129 . Kesatuan itu tiba di daerah Muara<br />

Rawas bersamaan waktunya dengan merapatnya Kapten Salmond dan<br />

rombongannya di ibu kota Palembang pada 4 Juli 1818. Selanjutnya, kesatuan itu<br />

terus bergerak mencapai Bayo Lango. Di sana mereka berhenti sambil menunggu<br />

perkembangan selanjutnya dari Kapten Salmond (Stapel 1940: 170).<br />

Dengan adanya pasukan Inggris yang dipimpin oleh Kapten Salmond di<br />

ibu kota Palembang, Sultan Mudo mengirimkan utusan untuk memberitahukan hal<br />

tesebut kepada Muntinghe. Tidak lama berselang, Kapten Salmond juga mengutus<br />

Raden Karim dan Powell untuk menyerahkan surat Raffles kepada Muntinghe dan<br />

Komisaris Jenderal Belanda. Dalam suratnya yang ditulis pada 24 Juni 1818,<br />

Raffles menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Muntinghe terhadap<br />

Kesultanan Palembang tidak sah. Untuk itu, ia tidak akan menyerahkan Padang<br />

kepada Belanda, walaupun telah ditetapkan dalam Traktat London (1814), sampai<br />

masalah Palembang diselesaikan dengan baik 130 . Lebih lanjut Raffles menyatakan<br />

bahwa apa yang dilakukan oleh Muntinghe terhadap Palembang, menunjukkan<br />

bahwa ia telah mengabaikan isi perjanjian antara Belanda dan Inggris yang<br />

menyatakan bahwa raja Inggris menyerahkan Pulau Bangka kepada raja Belanda,<br />

dengan ketentuan pemerintah Belanda wajib melindungi status dan kedudukan<br />

Sultan Mudo yang berada di bawah perlindungan Inggris. Dengan demikian,<br />

pemerintah Belanda tidak memiliki hak untuk ikut campur dalam urusan<br />

129 Woelders menyatakan bahwa serdadu yang dikirimkan Raffles ke Palembang<br />

berjumlah 300 orang (1975: 98).<br />

130 Raffles menyerahkan Padang setelah dikeluarkannya surat Gubernur Jenderal Inggris<br />

pada 28 Agustus 1818 dan 6 November 1818 (ANRI, Bundel Palembang No. 67).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


161<br />

Palembang. (ANRI, Bundel Palembang No. 5.1; Asiatic Journal, Pebruari 1819:<br />

210; Kemp, 1898: 265-268). Berbekal hal di atas, Raffles berjuang untuk<br />

melepaskan Palembang dari kekuasaan Belanda.<br />

Menghadapi tekanan Raffles, Muntinghe membalas surat Salmond dengan<br />

tawaran agar Salmond menemuinya di atas kapal Eendrach untuk membahas<br />

berbagai permasalahan. Undangan itu ditolak oleh Salmond dan hanya bersedia<br />

berurusan dengan Sultan Mudo. Pada hari itu telah terjadi kesepakatan antara<br />

Sultan Mudo dan Salmond untuk menaikkan bendera Inggris di keraton Sultan<br />

Mudo. Pengibaran bendera tersebut merupakan masalah serius dan<br />

membahayakan bagi Belanda. Menurut Muntinghe, pengibaran bendera tersebut<br />

menandakan bahwa Inggris tidak mengakui eksistensi Belanda atas Palembang.<br />

Kondisi ini tidak dapat ditolelir. Untuk itu, Muntinghe mengutus Kapten Zeni van<br />

der Wijck menemui Kapten Salmond guna mendapatkan jawaban atas surat<br />

sebelumnya. Menghadapi hal itu Salmond bersikukuh menyatakan bahwa<br />

kehadirannya di Palembang, semata-mata untuk bertemu dengan Sultan Mudo, ia<br />

tidak mendapat mandat untuk melakukan perundingan dengan Belanda. Terdapat<br />

tiga alasan Salmond menolak tawaran tersebut, pertama, tuntutan Muntinghe agar<br />

Salmond dan pasukannya segera meninggalkan Palembang kembali ke Bengkulu.<br />

Kedua, dalam perjalanan kembali ke Bengkulu, mereka harus berada dalam<br />

pengawalan pasukan militer Belanda sampai perbatasan Palembang-Bengkulu,<br />

dan ketiga, bendera Inggris harus segera diturunkan (The Asiatic Journal, Pebruari<br />

1819; The Asiatic Journal, IX, 1820: 451).<br />

Ketiga ketentuan tersebut, membuat Salmond merasa terhina. Pengawalan<br />

pasukan Belanda sampai perbatasan Bengkulu akan membahayakan, karena akan<br />

terjadi ―pertemuan‖ dua kekuatan di uluan antara pasukan Belanda yang<br />

mengawal pasukan Salmond dan pasukan Inggris yang menunggu di sana.<br />

Apabila hal itu terjadi, pertempuran tidak dapat dielakkan yang akan berdampak<br />

negatif bagi kedua bangsa.<br />

Menghadapi sikap Salmond, melalui surat balasannya Muntinghe<br />

menjelaskan secara rinci tentang hak Belanda sesuai isi Traktat London (1814)<br />

atas Kesultanan Palembang. Untuk itu, Inggris tidak berhak ikut campur dalam<br />

urusan Belanda dengan Kesultanan Palembang. Alasan lain adalah bahwa<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


162<br />

berdasarkan kontrak antara Sultan Najamuddin II dan Komisaris Muntinghe pada<br />

23 Juni 1818 tentang hak Belanda atas Palembang. Menghadapi berbagai tuntutan<br />

Muntinghe, Salmond berdalih untuk menjawabnya pada keesokan harinya, namun<br />

permintaan itu ditolak oleh Kolonel Baker sebagai wakil Muntinghe. Dalam<br />

kondisi demikian, Salmond tetap bersikukuh pada pendiriannya. Menurutnya,<br />

Sultan Najamuddin II tidak perlu merasa terikat dengan Belanda, karena<br />

perjanjian antara Sultan Najamuddin II dan Komisaris Muntinghe terjadi atas<br />

dasar paksaan. Saat itu Sultan Mudo telah mengikat kontrak dengan Inggris dan<br />

berada di bawah perlindungan Inggris. Oleh karena itu, bendera Inggris tidak<br />

boleh diturunkan kecuali dengan kekerasan (ANRI, Bundel Palembang No. 5.1;<br />

Bataviaasche Courant, 4 Agustus 1821; Stapel, 1940: 171; Kemp, 1898: 272-<br />

273).<br />

Saat itu adalah masa kritis bagi kedua wakil dari bangsanya masingmasing<br />

(Komisaris Muntinghe dan Kapten Salmond), khususnya bagi Muntinghe.<br />

Sebagai orang yang mendapat kuasa penuh dari Batavia, Muntinghe takut terjadi<br />

krisis internasional karena melibatkan bangsa besar (Inggris). Akan tetapi, kondisi<br />

yang ada tidak dapat dibiarkan. Keberadaan pasukan Inggris di wilayah kekuasaan<br />

Belanda akan mengakibatkan kerusuhan dan konflik. Patokan yang dipegang oleh<br />

Muntinghe adalah kontrak yang telah ditandatangani pada 23 Juni 1818. Atas<br />

dasar itu Muntinghe bertindak untuk mengakhiri ketidakpastian dan ketegangan.<br />

Ia memerintahkan Kapten Zeni Van der Wijck untuk memblokade jalan keluar<br />

dari keraton. Seratus orang anggota pasukan Sultan Tuo dan Raja Akil 131<br />

menduduki pintu gerbang keraton. Langkah selanjutnya adalah menyiagakan<br />

kapal perang Eendracht di depan keraton. Kondisi itu memaksa Sultan Mudo<br />

menurunkan bendera Inggris pada saat matahari terbenam. Dalam kondisi<br />

terdesak, Salmond menuntut agar pasukan gabungan Belanda dan Sultan Tuo<br />

ditarik mundur, namun tuntutan itu ditolak Muntinghe. Sebaliknya, ia memaksa<br />

agar senjata dan amunisi yang dimiliki pasukan Salmond harus diserahkan.<br />

Selanjutnya, pasukan Inggris harus berada di bawah ―perlindungan pemerintah<br />

131 Sumber The Asiatic Journal (Pebruari 1819) menyebutkan bahwa keraton<br />

Sultan Najamuddin II dikepung oleh banyak serdadu, yang terdiri dari orang-orang<br />

Belanda, orang-orang Sultan Tuo dan orang-orang Siak. Jumlahnya mencapai sekitar<br />

tujuh ratusan orang.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


163<br />

Belanda‖ dengan jaminan akan diperlakukan secara terhormat (ANRI, Bundel<br />

Palembang No. 5.1; Bataviaasche Courant, 26 Juni 1819, nomor 26; Kemp, 1900:<br />

387-388; Kemp, 1898: 269-274; Stapel, 1940: 171).<br />

Pada saat itu Salmond tidak mempunyai pilihan lain, apabila ia menolak,<br />

pihak Belanda akan melakukan tindakan kekerasan. Malam itu itu terjadi saling<br />

protes antara Muntinghe dan Salmond. Di satu sisi, Salmond mempermasalahkan<br />

keabsahan perjanjian antara Muntinghe dan Sultan Mudo yang terjadi pada 23<br />

Juni 1818, sedangkan di sisi lain Muntinghe melancarkan ancaman untuk<br />

menyerang Salmond dan pasukan. Walaupun demikian, Muntinghe tetap<br />

memberikan peluang lain berupa penawaran agar Salmond menyerahkan diri<br />

untuk selanjutnya akan dikembalikan ke Bengkulu. Akan tetapi, tetap belum<br />

menemukan kesepakatan, karena Salmond bersikukuh untuk tidak meninggalkan<br />

Palembang. Akhirnya, Muntinghe memutuskan untuk mengirim Kapten Van der<br />

Wijck ke keraton. Pada pukul 03.00, 5 Juli 1818 kesatuan Belanda memasuki<br />

keraton di saat Salmond sedang tidur. Dalam versi Salmond disebutkan, bahwa<br />

pagi itu (03.30) dirinya kedatangan tiga orang perwira Belanda dan sekelompok<br />

pasukan bersenjata. Mereka menyodorkan surat dari Muntinghe, yang isinya<br />

memuat tentang tawaran darinya agar Salmond bersedia menyerahkan senjata.<br />

Jika, tawaran itu diterima oleh Salmond, Muntinghe akan menyambutnya dengan<br />

tangan terbuka. Semua kebutuhan mereka akan dipenuhi. Muntinghe<br />

menawarkan rumah kediamannya sebagai tempat tinggal Salmond sementara, dan<br />

menyiapkan perahu-perahu untuk mengangkut anggota pasukan Inggris. Akan<br />

tetapi, Salmond menolak tawaran tersebut dan menyatakan akan mengurangi<br />

pasukannya. Melihat kondisi tersebut, Kapten Van der Wijck memutuskan untuk<br />

merampas semua senjata pasukan Inggris. Tindakan tersebut mendapat protes<br />

keras dari Salmond dengan mengatakan bahwa mereka adalah utusan dari bangsa<br />

besar yang terhormat. Akibatnya, senjata-senjata itu segera dikembalikan kepada<br />

pasukan Salmond. Hal itu sesuai dengan laporan Kapten Salmond kepada Raffles<br />

pada 6 Juli 1818. Akhirnya, pasukan Inggris terpaksa meninggalkan keraton<br />

Sultan Mudo dengan pengawalan militer. Dengan demikian, ―fungsi politik‖<br />

Kapten Salmond di wilayah Palembang berakhir (The Asitic Journal, Pebruari<br />

1819; Kemp,1898: 274-276; Kemp, 1900: 390).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


164<br />

Kondisi kritis itu berakhir, karena Salmond tidak mempunyai pilihan lain.<br />

Pasukan yang dibawanya sangat sedikit dibandingkan dengan pasukan gabungan<br />

Belanda dan Sultan Tuo, sedangkan Sultan Mudo tidak memiliki kekuatan yang<br />

kuat. Bertahan berarti akan menerima kekerasan dari pasukan Belanda. Di pihak<br />

Belanda, sebagai pimpinan pada waktu itu Muntinghe harus berhati-hati karena<br />

Salmond dan pasukannya adalah wakil Raffles, yang berarti wakil bangsa Inggris.<br />

Apabila penanganannya dengan kekerasan, akan menimbulkan masalah bagi<br />

kelangsungan hubungan kedua negara induk (Belanda dan Inggris).<br />

Dengan berakhirnya ―drama‖ di keraton Kuto Lamo, para penghuni<br />

keraton lainnya segera meninggalkan keraton. Para tokoh yang terlibat dalam<br />

penyambutan terhadap Salmond dan pasukannya ditangkap. Meskipun demikian,<br />

pasukan Muntinghe tidak melakukan pengepungan terhadap keraton. Apabila itu<br />

dlakukan, akan memancing kemarahan ummat Islam yang keesokan harinya akan<br />

memulai ibadah Puasa Ramadhan. Untuk mengindarkan hal-hal yang tidak<br />

diinginkan, Sultan Mudo dan pengikutnya ditempatkan di ruangan yang terdapat<br />

di dalam keratonnya dengan pengawasan yang ketat. Sementara itu, Sultan Tuo<br />

memperoleh keuntungan karena tanah-tanah yang menjadi milik Sultan Mudo<br />

sesuai kontrak 23 Juni 1818, dialihkan kepadanya. Dengan demikian, kekuatan<br />

Sultan Tuo semakin besar (ANRI, Bundel Palembang No. 5.1; The Asitic Journal,<br />

Pebruari 1819; Kemp, 1898: 275; Kielstra, 1892: 92).<br />

Sejak itu, Sultan Badaruddin II berkuasa atas wilayah peninggalan Sultan<br />

Najamuddin II. Untuk membantu tugas-tugasnya sultan mengangkat adiknya<br />

Pangeran Arya Kusuma sebagai Adipati, sehingga di Kesultanan Palembang<br />

terdapat dua orang yang menjabat sebagai Adipati yaitu Adipati Tuo dan Adipati<br />

Mudo (Woelders, 1975: 100). Peristiwa tersebut menjadi sejarah bagi Kesultanan<br />

Palembang, karena belum pernah terjadi sebelumnya terdapat dua orang adipati di<br />

kesultanan itu. Hal itu terjadi karena kedua adik Sultan Tuo dan Sultan Mudo itu<br />

tidak memihak kepada Sultan Mudo, padahal Pangeran Adipati Tuo adalah<br />

Adipati Sultan Mudo.<br />

Setelah tiga hari menjadi ―tamu‖ Komisaris Muntinghe, Kapten Salmond<br />

dan pasukannya sepakat meninggalkan Palembang kembali ke Bengkulu melalui<br />

Batavia. Sebelumnya Komisaris Muntinghe menawarkan dua pilihan untuk<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


165<br />

kembali ke Bengkulu, jalur darat atau laut. Salmond memilih lewat laut, karena<br />

sulitnya jalur darat, sebagaimana yang mereka tempuh beberapa waktu<br />

sebelumnya dari Bengkulu ke Palembang. Pada Rabu sore, 8 Juli 1818 mereka<br />

menumpang kapal The Sea Horse 132 , yang disewa dari orang Arab seharga f 1000.<br />

Dalam pelayaran itu mereka berlabuh di Muntok pada 11 Juli 1818, untuk<br />

selanjutnya pada 17 Juli 1818 berlayar menuju Batavia. Tiba di sana pada Sabtu, 1<br />

Agustus 1818 (Kielstra, 1892: 91; Kemp, 1898: 276).<br />

Sesampainya rombongan Kapten Salmond di Batavia, segala kebutuhan<br />

mereka khusus diurus oleh J.C. Baud selaku Sekretaris pemerintah pada waktu itu.<br />

Di sana mereka diperlakukan istimewa dan ditempatkan di penginapan<br />

Weltevreden 133 . Semua itu dilakukan untuk memberikan kesan yang baik kepada<br />

pasukan Inggris. Baud membebaskan mereka untuk menentukan tanggal<br />

keberangkatan kembali ke Bengkulu, namun yang terjadi justru Slamond<br />

menuntut agar dikembalikan ke Palembang. Alasan yang dikemukakannya adalah<br />

untuk menuntaskan tugasnya di sana. Suatu permintaan yang tidak mungkin<br />

dikabulkan oleh pemerintah Belanda di Batavia. Pilihan yang diberikan adalah ke<br />

Bengkulu. Akhirnya, Kapten Salmond menyerah dan memutuskan untuk kembali<br />

ke Bengkulu melalui jawaban tertulis pada 7 Agustus 1818, setelah selama tiga<br />

pekan di Batavia. Beberapa hari kemudian, Salmond dan pasukannya berangkat<br />

ke Bengkulu 134 dengan kapal Junnon, di bawah pimpinan Kapten Nalbrow<br />

(Kemp, 1898: 277-278; The Asiatic Journal, IX, 1820: 451).<br />

132 Menurut Kemp (1900: 421), kapal yang digunakan adalah Zeepaard.<br />

133 Weltevreden adalah pusat pemerintahan Hindia Belanda yang dibangun oleh<br />

Daendels (1809). Konsep pembangunannya menyerupai kota-kota lama di Hindia<br />

Belanda. Ditandai dengan bangunan dan halaman luas. Bentuk bangunan umumnya<br />

merupakan perpaduan gaya Eropa dan nusantara (Gunawan, 2010: 42-43).<br />

134 Dalam surat terakhirnya yang ditulis di Weltevreden pada 18 Agustus 1818, Salmond<br />

menyampaikan protes keras dari Raffles atas perlakuan Muntinghe terhadap dirinya dan<br />

rombongan yang merupakan wakil resmi pemerintah Inggris di Palembang. Menurutnya, tindakan<br />

itu tidak bertanggungjawab dan tidak dapat dibenarkan karena pemerintah Belanda telah<br />

melanggar hak-hak dan kesepakatan yang dibuat antara pemerintah Inggris dan Sultan Najamuddin<br />

II. Lebih lanjut, dikatakan bahwa sistem politik Belanda hanya mengutamakan kepentingannya<br />

sendiri tidak menghormati kepentingan Inggris. Akan tetapi, Salmond juga mengakui perlakuan<br />

baik yang mereka terima dari pemerintah Belanda, sebagaimana pengakuannya dalam surat yang<br />

ditujukan kepada Raffles, yang dikirimkannya melalui jalur darat dari Palembang. (The Asiatic<br />

Journal, Pebruari 1819)<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


166<br />

Dengan demikian, perjalanan panjang pasukan Inggris di bawah komando<br />

Kapten Salmond berakhir dengan kembalinya mereka ke Bengkulu. Sementara<br />

itu, sesuai laporannya ke Batavia pada 10 Juli 1818, Muntinghe mendapat pujian<br />

dari Gubernur Jenderal van der Capellen, atas strategi yang telah diambilnya<br />

dalam menangani masalah ekspedisi Inggris. Capellen juga menyetujui keinginan<br />

Muntinghe untuk memperluas wilayah kekuasaan di Palembang. Yang menarik<br />

dari laporan itu, adalah pernyataan Muntinghe bahwa sesungguhnya dirinya sudah<br />

menyadari sifat ambisius Sultan Tuo. Dinyatakan pula bahwa Sultan Tuo adalah<br />

sultan yang selalu ingin membalas dendam kepada Belanda, dan keinginan itu<br />

mendapat dukungan dari menantunya yaitu Pangeran Kromodirejo. Akan tetapi,<br />

semuanya itu dapat diredam sehingga tidak membahayakan kedudukan Belanda di<br />

Palembang. (Bataviaasche Courant, 26 Juni 1819, nomor 26).<br />

Dengan ditangkap dan dibawanya pasukan Inggris ke Batavia, Raffles<br />

memprotes tindakan tersebut, dengan cara menyebarluaskan peristiwa tersebut<br />

melalui media-media Eropa pada 12 Agustus 1818. Raffles berharap gubernur<br />

jenderal Inggris di Calcutta dan London segera bertindak terhadap Muntinghe<br />

yang menduduki Bangka. Raffles bersikukuh bahwa masalah Bangka belum<br />

selesai, karena keputusan tentang pulau tersebut merugikan Inggris. Ini semua<br />

merupakan wujud nyata atas penolakan Raffles terhadap Traktat London (1814).<br />

Selanjutnya, Raffles juga mengajukan protes kepada Batavia. Menurutnya,<br />

pemerintah Belanda harus secepatnya keluar dari Palembang. Demi mewujudkan<br />

keinginannya, Raffles dukungan dari rakyat Inggris melalui media massa.<br />

Dukungan itu sangat diperlukan, dengan harapan rakyat Inggris akan marah dan<br />

menuntut pengembalian pulau yang sangat berharga itu. Begitu pentingnya<br />

masalah Palembang, sehingga permasalahan itu dibahas di Parlemen Inggris dan<br />

dimuat di surat kabar Inggris. Artikel itu dimuat kembali oleh Javasche Courant<br />

26 Juni 1819 nomor 26. Sengketa antara Inggris dan Belanda mengenai<br />

Palembang menyebabkan hubungan baik antara kedua negara Eropa jadi<br />

terganggu. Sesungguhnya, masalah itu tidak menyangkut prinsip yang mendasari<br />

Traktat London (1814). Akan tetapi pelaksanaannya melibatkan kehormatan<br />

politik dan kehormatan negara bagi kedua bangsa tersebut (ANRI, Bundel<br />

Palembang No. 66.6).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


167<br />

Menghadapi manuver Inggris, pemerintah Belanda sejak awal Agustus<br />

1818 telah berulang kali mengajukan keberatan terhadap Raffles. Dikatakan<br />

bahwa Raffles menyandang gelar yang tidak sesuai dengan jabatannya, karena<br />

faktanya Raffles tidak memiliki kekuasaan politik. Besarnya wewenang Raffles<br />

tidak berbeda dengan Siddon yang sebelumnya telah berkuasa sebagai residen<br />

Inggris di Bengkulu. Raffles juga dituding ikut campur dalam masalah Pulau<br />

Belitung yang bukan haknya, sehingga pihak Belanda tidak lagi menghormatinya.<br />

Menanggapi serangan-serangan gencar dari pihak Belanda, Raffles membalasnya<br />

melalui surat pada 15 Agustus 1818. Raffles berkilah bahwa dirinya mempunyai<br />

kewajiban mengamankan kepentingan Inggris di Hindia Timur. Oleh sebab itu,<br />

dia menuntut pemerintah Belanda bertanggungjawab atas tindakan mereka di<br />

Palembang dan usaha Belanda menduduki Pulau Belitung. Pulau itu tidak<br />

termasuk dalam pasal 2 Traktat London (1814) 135 , sehingga Raffles menganggap<br />

Pulau Belitung tetap menjadi milik Inggris (ANRI, Bundel Palembang No. 67;<br />

Javasche Courant 26 Juni 1819 nomor 26; Kemp, 1900: 400-404; Kemp, 1898:<br />

256; Stapel, 1940: 155-156).<br />

Tampaknya berbagai usaha yang ditempuh oleh Raffles tidak berhasil.<br />

Pengakuan jujur Kapten Salmond atas tindakan manusiawi yang mereka terima,<br />

selama berada di bawah perlindungan Belanda di Palembang dan Batavia (Juli-<br />

Agustus 1818), berhasil mematahkan semua tuduhan Raffles. Pengakuan itu<br />

melemahkan provokasi Raffles, sehingga setelah laporan tentang ekspedisi Inggris<br />

ke Palembang tiba di Calcutta, Gubernur Jenderal Lord Moira mencela tindakan<br />

Raffles yang dianggapnya timpang. Akibatnya, Lord Moira mengeluarkan<br />

instruksi pada 10 Oktober 1818 yang memerintahkan Salmond dan pasukannya<br />

segera kembali ke Bengkulu. Walaupun pada kenyataannya Kapten Salmond dan<br />

pasukannya telah kembali ke Bengkulu pada Agustus 1818 (Kemp, 1898: 277-<br />

279). Peristiwa itu menempatkan posisi Belanda makin kuat di Palembang.<br />

Sebaliknya, Raffles harus mengakui bahwa dirinya tidak mendapat dukungan dari<br />

atasannya di India.<br />

135 Nama Pulau Belitung tidak disebutkan dalam pasal 2 tersebut, sehingga<br />

Inggris menganggap pulau itu tidak termasuk dalam Traktat London (1814) (ANRI,<br />

Bundel Palembang No, 67).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


168<br />

Dikirimnya Salmond dan pasukannya menuju Batavia, bukan berarti<br />

masalahnya selesai. Muntinghe menyadari betul bahwa masih banyak pasukan<br />

Inggris yang ditinggalkan di daerah uluan. Membiarkan mereka berarti bagaikan<br />

duri dalam daging, ada kekuatan asing di ―wilayah‖ Belanda. Untuk itu, langkah<br />

yang diambil oleh Muntinghe adalah memperkuat pertahanan ibu kota dari<br />

serangan pasukan susulan pasukan Inggris yang masih berada di uluan.<br />

Kepemimpinan pertahanan diserahkan kepada Letnan laut Fabritius. Selanjutnya,<br />

Fabritius menyiapkan dua kapal meriam, dua perahu dengan sepuluh orang<br />

serdadu Eropa. Sultan Tuo juga menyediakan tiga perahu pancalang (salah<br />

satunya perahu bersenjata), beberapa mentri-mentri dan pangeran. Mereka siaga<br />

dalam jarak setengah mil dari muara Sungai Musi. Di saat yang sama Muntinghe<br />

mengirim Raja Akil dan dua orang mantri Sultan Tuo ke uluan. Tugas mereka<br />

adalah menyampaikan perintah tertulis dari Muntinghe dan Sultan Tuo agar<br />

penduduk di sana tidak memberikan bantuan dalam bentuk apapun kepada<br />

pasukan Inggris (Kemp, 1900: 420-421; Woelders, 1975: 182).<br />

Perintah itu penting dilakukan, karena tanpa bantuan dari penduduk<br />

setempat akan sulit bagi pasukan Inggris untuk bertahan di daerah tersebut.<br />

Pasukan Inggris akan dihadapkan pada masalah kekurangan bahan makanan,<br />

perahu dan kuli yang akan mengangkat dan mendayung barang-barang kebutuhan<br />

mereka. Dengan demikian, dukungan penduduk sangat menentukan kelangsungan<br />

suatu ekspedisi.<br />

Di mata Muntinghe, keberadaan pasukan Inggris di bawah pimpinan<br />

Letnan Haslam yang masih di Muara Bliti membahayakan posisi Belanda di<br />

Palembang. Bertolak dari hal itu, Muntinghe memutuskan untuk mengerahkan<br />

kekuatan senjata. Ekspedisi yang dikirim ke uluan terdiri dari enam puluh orang<br />

serdadu Eropa dari pasukan garnisun, dan awak kapal Eendracht. Sementara itu,<br />

Sultan Tuo juga menyiapkan dua ratus orang pasukan bersenjata, enam puluh<br />

sampai tujuh puluh orang serdadu pribumi di bawah kendali Raja Akil dan dua<br />

pucuk meriam. Selain itu, dari Pulau Bangka juga dikerahkan kapal-kapal 136 . Pada<br />

136 Dengan pengerahan kapal-kapal tersebut, mengakibatkan pulau itu tidak<br />

memiliki pertahanan laut. Kondisi itu diperparah karena janji-janji pemerintah pusat<br />

di Batavia untuk mengirimkan bala bantuan tidak kunjung tiba di sana (surat Residen<br />

Smissaert pada 30 Juli 1818 kepada Laksamana Wolterbeek, dalam Kemp, 1900: 424).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


169<br />

12 Juli 1818 pasukan bergerak menuju Muara Bliti, selama dua belas hari. Berarti,<br />

pasukan itu tiba di Muara Bliti pada 24 Juli 1818. Pada 23 Juli 1818 Muntinghe<br />

mengutus juru tulis de Groot, untuk menyerahkan suratnya kepada Letnan Haslam<br />

dan Raffles, sekaligus menyelidiki situasi dan kondisi di sana. Setiba de Groot di<br />

Muara Bliti, daerah telah ditinggalkan oleh pasukan Inggris. Agaknya, mereka<br />

tergesa-gesa meninggalkan daerah itu, terbukti dari sisa-sisa makanan yang<br />

mereka tinggalkan. Ditemukan juga empat dayung dan tiga meriam besar dari<br />

tembaga. Beberapa hari kemudian ditemukan pula dua peti amunisi dan peluru<br />

(ANRI, Bundel Palembang No. 66.1; Kemp, 1898: 280-281; Kielstra, 1892: 91-<br />

92).<br />

Di ujung Muara Bliti, pasukan Bengkulu juga meninggalkan empat puluh<br />

karung beras. Tindakan tersebut ditempuh guna menghindarkan diri dari pasukan<br />

Belanda. Kondisi itu diperparah karena mereka sulit mendapatkan kuli untuk<br />

mengangkut barang-barang kebutuhan ekspedisi. Akibatnya, mereka memaksa<br />

penduduk dengan cara kekerasan (todongan senjata atau kurungan). Akan tetapi,<br />

cara itu tidak banyak berhasil, sehingga serdadu-serdadu Sepoy terpaksa<br />

merangkap sebagai kuli. Kekerasan yang mereka lakukan terhadap penduduk<br />

menyebabkan munculnya perlawanan, terbukti dengan ditemukannya serdadu<br />

Sepoy di Rejang yang telah dipancung kepalanya (Kemp, 1900: 423).<br />

Sepeninggal Kapten Salmond, pasukan yang ditinggalkannya bergerak<br />

menuju ibu kota Palembang dan berlabuh di Boya Lango. Sebelumnya, pada 4<br />

Juli 1818 (11.00) Kapten Salmond telah mengirimkan surat kepada Letnan<br />

Haslam dan Raffles. Dalam suratnya Salmond meminta agar Haslam tidak<br />

melanjutkan perjalanan ke Palembang. Disarankannya agar mereka segera<br />

kembali ke Muara Bliti sambil menunggu perintah lebih lanjut dari Raffles.<br />

Dalam suratnya, ia menggambarkan kesiapan pasukan Palembang untuk<br />

menyambut kehadiran pasukan Inggris, dengan menempatkan kapal perang di<br />

depan keraton. Sebelum pasukan itu mundur ke Muara Bliti, mereka telah<br />

mendengar bahwa pasukan Kapten Salmond telah tertangkap. Pada 6 Juli 1818<br />

kembali Kapten Salmond mengirim surat kepada Letnan Haslam dan tetap<br />

menuntut mereka secepatnya mundur ke Muara Bliti. Melihat situasi pada waktu<br />

itu, Salmond meragukan surat yang dikirimkannya sampai ke tangan Letnan<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


170<br />

Haslam (Kemp, 1900: 420). Itu semua menunjukkan betapa genting situasi pada<br />

waktu itu. Tampaknya Kapten Salmond menyadari kesiapan pasukan Belanda<br />

untuk menghadang pasukan Inggris apabila mendekati ibu kota Palembang.<br />

Menyadari hal itu, Letnan Haslam segera membawa pasukannya mundur<br />

ke Muara Bliti. Pada saat itu mereka juga dihadapkan pada kondisi kekurangan<br />

dana dan bahan makanan. Dalam perjalanan di Sukarame (sebelum Muara Bliti),<br />

pasukan Inggris menghasut penduduk setempat untuk melakukan pemberontakan<br />

terhadap para depati setempat. Tujuannya agar penduduk mendukung keberadaan<br />

mereka. Akibatnya, terjadi pemberontakan yang didukung oleh pasukan Inggris.<br />

Dalam peristiwa itu seorang serdadu Inggris terbunuh dan tiga serdadu lainnya<br />

mengalami luka parah. Insiden tersebut menyebabkan beberapa Pangeran, Mantri<br />

Sultan Mudo dan para yang sudah bergabung dengan pasukan Inggris sejak<br />

pasukan Salmond tiba di Muara Bliti mengundurkan diri. Dengan demikian,<br />

pasukan Inggris mengalami banyak kesulitan, antara lain kekurangan anggota<br />

pasukan dan tenaga pendayung. Dalam kondisi serba kekurangan, Haslam<br />

berhasil membawa pasukan mencapai Muara Bliti (ANRI, Bundel Palembang No.<br />

66.1). Tampaknya pasukan Inggris tidak memperhitungkan adanya hubungan<br />

emosional antara pasukan Sultan Mudo dan para depati dengan penduduk uluan.<br />

Akibatnya, fatal bagi kekuatan pasukan Inggris di sana.<br />

Di Muara Bliti mereka menantikan berita lebih lanjut dari Salmond,<br />

namun apa yang mereka tunggu tidak pernah datang. Mereka tidak mengetahui<br />

bahwa Salmond dan pasukannya telah dikirim ke Batavia (8 Juli 1818). Hal itu<br />

dapat dilihat dari surat yang dikirimkan oleh salah seorang serdadu Inggris yaitu<br />

Robert Bogle pada 12 Juli 1818 137 . Dalam suratnya Bogle menyampaikan bahwa<br />

mereka telah berada di Bliti selama dua belas hari, dan terus menunggu berita dari<br />

Salmond. Mereka juga menyatakan keinginan untuk sampai di ibu kota<br />

Palembang. Kenginan itu tidak dapat diwujudkan tidak mereka tidak memiliki<br />

perahu atau rakit, bahan makanan dan uang. Dalam keadaan seperti itu memaksa<br />

mereka ―meminta‖ beras, kambing, ayam dan barang kebutuhan lainnya kepada<br />

penduduk setempat. Akibatnya kehadiran mereka membuat penduduk setempat<br />

137 Pasukan Letnan Haslam memaksa Jenang Bliti ke ibu kota Palembang untuk<br />

untuk menyerahkan surat Bogle dan Raffles (tertanggal 24 Juni 1818) kepada Salmond<br />

(Kemp, 1900: 421-422)<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


171<br />

merasa terganggu (Kemp, 1900: 421-422). Keberadaan pasukan Inggris di Muara<br />

Bliti, menyebabkan penduduk setempat merasa tidak nyaman. Hal itu akan<br />

merugikan pasukan Inggris, karena mereka tidak akan mendapat dukungan dari<br />

penduduk. Padahal dukungan penduduk setempat sangat mereka butuhkan,<br />

mengingat mereka tidak dapat mempertahankan hidup tanpa bahan makanan yang<br />

hanya dapat diperoleh dari penduduk.<br />

Mengetahui pasukan dari Palembang mendekati lokasi kediaman mereka,<br />

pasukan Inggris secepatnya meninggalkan lokasi tersebut menuju perbatasan<br />

Palembang-Bengkulu. Sementara itu, Muntinghe juga sudah menerima kabar<br />

tentang keberadaan pasukan Inggris yang telah meninggalkan Muara Bliti empat<br />

hari sebelumnya. Sesampainya di Muara Bliti, Muntinghe memutuskan untuk<br />

menghentikan pengejaran terhadap pasukan Inggris. Muntinghe justru mengambil<br />

kebijakan untuk mengirimkan dua peti amunisi milik pasukan Inggris yang<br />

tertinggal. Semua itu dilakukan untuk menunjukkan sikap tidak bermusuhan dari<br />

pasukan yang dipimpinnya (ANRI, Bundel Palembang No. 66.1).<br />

Muntinghe sangat menyadari dengan siapa ia berhadapan yaitu Inggris,<br />

kerajaan besar Eropa yang sebelumnya menguasai wilayah Palembang. Apabila<br />

Muntinghe terus mendesak pasukan Inggris, dikhawatirkan seluruh Bengkulu<br />

akan bergolak. Muntinghe juga dihadapkan pada lemahnya kekuatan militer dan<br />

kekuasaan Belanda yang baru ditegakkan di wilayah Palembang. Untuk itu,<br />

Muntinghe melakukan pendekatan terhadap penduduk uluan khususnya ulu Musi.<br />

Semua itu dilakukan agar mendapat dukungan dari penduduk. Muntinghe<br />

berharap daerah Musi tetap mendukung mereka sekalipun daerah ini telah<br />

ditinggalkan kembali ke ibu kota Palembang (Kemp,1900: 422).<br />

Langkah yang diambil oleh Muntinghe dalam menghadapi ancaman<br />

serupa dari Inggris, pada 24 Juli 1818 Muntinghe mengirimkan surat peringatan<br />

kepada Haslam dan Raffles. Surat itu juga sebagai balasan atas surat Raffles 138 . Di<br />

dalam suratnya kepada Raffles, Muntinghe menyatakan bahwa berita tentang<br />

rencana kunjungan Raffles ke Kesultanan Palembang telah menyebabkan<br />

138 Dalam suratnya, Raffles menyampaikan keinginannya untuk bertemu dengan<br />

Muntinghe. Menanggapi permintaan tersebut, Muntinghe memutuskan untuk bertemu Raffles di<br />

Kosambi (dekat perbatasan Palembang-Bengkulu), namun pertemuan itu tidak pernah terwujud<br />

(Kemp, 1900: 396,400).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


172<br />

penduduk merasa ketakutan, sehingga penduduk meninggalkan dusun-dusun<br />

mereka memasuki hutan. Surat kedua yang ditujukan kepada Haslam, Muntinghe<br />

menawarkan bantuan demi kelancaran pasukan Inggris kembali ke Bengkulu.<br />

Semakin cepat pasukan Inggris meninggalkan daerah perbatasan, berarti posisi<br />

Belanda di Palembang semakin terjamin. Akan tetapi, surat balasan dari Raffles<br />

dan Haslam tidak kunjung tiba, walaupun Muntinghe telah menunggu selama lima<br />

belas hari. Menurut Muntinghe, semua itu mengindikasikan bahwa pasukan<br />

Inggris belum keluar dari perbatasan Palembang. Oleh karena itu, Komisaris<br />

Muntinghe menyesali sikapnya yang terlalu lunak terhadap pasukan Inggris.<br />

Seharusnya ia lebih bersikap tegas terhadap pasukan Inggris, demi tercapainya<br />

keamanan di wilayah uluan. Di samping itu, selama di daerah Muara Bliti,<br />

pasukan Belanda dihadapkan pada kondisi berat yaitu cuaca yang panas dan<br />

udara yang sangat lembab. Kondisi itu menjadi masalah berat bagi pasukan<br />

Belanda khususnya serdadu Eropa (ANRI, Bundel Palembang No. 66.1).<br />

Akhirnya, Muntinghe memutuskan untuk meneruskan perjalanan hingga<br />

perbatasan Bengkulu guna memastikan keberadaan pasukan Inggris. Sebelum<br />

mereka berangkat pada 10 Agustus 1818, empat orang Depati Rejang<br />

menyerahkan dua surat dari Raffles, dan balasan surat dari Haslam kepada<br />

Muntinghe. Dalam jawabannya yang ditulis di Kosambi 139 , pada 5 Agustus 1818,<br />

Haslam menyampaikan ucapan terimakasih atas kiriman paket yang disertai surat<br />

dari Muntinghe. Pada kesempatan itu, Haslam juga menyampaikan tentang<br />

perlunya membina hubungan damai antara kedua pemerintahan. Akan tidak ada<br />

pernyataan tegas yang menyatakan bahwa mereka segera keluar dari wilayah<br />

Palembang. Hal itu penting bagi Muntinghe, karena pernyataan itu yang ditunggutunggu<br />

oleh Muntinghe selama berada di uluan. Kekecewaan Muntinghe sedikit<br />

terobati dengan adanya pernyataan empat Depati Rejang di depan ahli bedah<br />

klas-2 Bastijn dan juru tulis van de Weteringebuis bahwa Haslam, Raja Brahim<br />

dan semua serdadu Inggris siap melewati perbatasan Rejang untuk kembali ke<br />

Bengkulu. Pernyataan itu disambut antusias oleh Muntinghe. Ia merasa lega<br />

139 Kosambi adalah dusun terdekat dengan Pulo Geta, Pulo Geta terletak di<br />

lereng Bukit Barisan, sebagian penduduk menganggapnya masuk wilayah Bengkulu, akan<br />

tetapi sebagian lain menempatkannya berada di wilayah Kesultanan Palembang (ANRI,<br />

Bundel Palembang No. 66.1).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


173<br />

karena ancaman terhadap Belanda dan Palembang akan segera berakhir (ANRI,<br />

Bundel Palembang No. 66.1; Kemp, 1898: 281-282; Kielstra, 1892: 92).<br />

Muntinghe penasaran ingin membuktikan sendiri kebenaran berita<br />

tersebut. Ia bermaksud untuk menancapkan bendera Belanda di perbatasan<br />

Palembang-Bengkulu, sebagai bukti bahwa daerah tersebut telah berada di bawah<br />

perlindungan Belanda. Akan tetapi, keinginan itu terpaksa ditunda karena,<br />

pertama, Muntinghe belum meminta izin pada pemerintah pusat di Batavia.<br />

Kedua, jalan-jalan dari Muara Bliti sangat rusak, sehingga menyulitkan mereka<br />

untuk melaluinya dengan peralatan seadanya. Hal lain yang sangat mengganggu<br />

adalah kondisi kesehatan Muntinghe yang tidak memungkinkan mereka<br />

melanjutkan perjalanan. Ketiga, Muntinghe takut penduduk di Muara Klingi dan<br />

Muara Bliti melarikan diri kembali ke hutan, karena adanya ekspedisi yang<br />

mereka lancarkan. Muntinghe menginginkan hubungan baik yang telah terbina<br />

dengan penduduk setempat tetap dipertahankan. Sebelumnya, Muntinghe telah<br />

mengeluarkan kebijakan yang mengharuskan para serdadu dan semua yang<br />

terlibat dalam ekspedisi ke Muara Bliti bersikap bersahabat, tenang dan sabar<br />

terhadap penduduk. Diharapkan agar setelah daerah ini ditinggalkan, tidak terjadi<br />

permusuhan antara penduduk setempat dan serdadu Belanda yang akan<br />

ditinggalkan. Muntinghe menjaga dengan hati-hati hubungan baik yang telah<br />

terjalin. Apabila usaha tersebut gagal, kemungkinan besar penduduk setempat<br />

tidak akan menepati janji mereka untuk menanam tiga sampai empat ribu pohon<br />

lada di tiap dusun (ANRI, Bundel Palembang No. 66.1; Kemp, 1898: 284).<br />

Pemerintah Belanda di Batavia telah menyadari pentingnya memperkuat<br />

pertahanan militer di Palembang. Untuk itu, pada 4 Juli 1818 Gubernur Jenderal<br />

mengeluarkan instruksi kepada Wolterbeek untuk memperkuat pasukan di<br />

Palembang, dan memberantas para perompak di Selat Bangka. Sesuai dengan<br />

instruksi yang diterimanya, Wolterbeek bergerak memimpin armada menuju<br />

Palembang. Kesatuan itu tiba di sana pada akhir Juli 1818, namun bantuan yang<br />

ditawarkan oleh Woltebeek ditolak oleh Muntinghe. Selanjutnya, Wolterbeek<br />

segera meninggalkan Palembang. Pada 5 Agustus 1818, ia menerima surat dari<br />

komandan Bakker yang mengabarkan tentang kondisi di ibu kota Palembang yang<br />

aman. Dikatakan bahwa pengawasan keamanan dikendalikan oleh pasukan<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


174<br />

gabungan Belanda dan Sultan Tuo. Selanjutnya, setelah meyakini kondisi<br />

keamanan di uluan sudah bagus, Muntinghe memutuskan kembali ke ibu kota<br />

Palembang, dan tiba di sana pada 16 Agustus 1818. Muntinghe membatalkan<br />

rencananya untuk menduduki Muara Bliti secara permanen, yang berarti harus<br />

meninggalkan sebagian serdadunya di sana, sedangkan pada saat itu ibu kota<br />

Palembang membutuhkan bantuan militer mengamankannya. Hal itu tidak dapat<br />

dilepaskan dari berubahnya perimbangan kekuatan pascaturunnya Sultan Mudo.<br />

Sultan Mudo, beberapa pangeran dan bekas mantri yang memihak Sultan Mudo<br />

harus terus diawasi, sehingga perlu penambahan serdadu di garnisun Palembang<br />

(ANRI, Bundel Palembang No. 66.6)<br />

Keberhasilan ekspedisi yang dipimpin oleh Muntinghe menyebabkan<br />

posisi Belanda di Palembang semakin mantap. Pemerintah pusat menyampaikan<br />

penghargaan atas keberhasilan tersebut. Sementara itu, setibanya Wolterbeek di<br />

Batavia, ia menerima surat dari Muntinghe yang memintanya untuk mengirimkan<br />

bantuan militer sebanyak 25-30 orang serdadu. Tampaknya, setelah menolak<br />

tawaran bantuan dari Wolterbeek, Muntinghe menyadari perlunya menambah<br />

kekuatan militer baik di ibu kota Palembang maupun di uluan. Tentunya, hal itu<br />

tidak terlepas dari keinginannya untuk memperkokoh posisi Belanda di<br />

Palembang. Untuk itu, Muntinghe kembali meminta tambahan kekuatan militer<br />

sebanyak 1000-1200 orang. Muntinghe serdadu kepada pemerintah pusat di<br />

Batavia. Pasukan sebesar itu akan ditempatkan di empat lokasi, yaitu: pertama, di<br />

perbatasan Rawas akan ditempatkan sebanyak dua ratus orang serdadu, yang<br />

dipersiapkan untuk menghadapi orang-orang dari Jambi. Kedua, di Lintang atau<br />

Kikim disiagakan sebanyak dua ratus sampai 250 orang untuk menghadang orangorang<br />

Pasumah. Ketiga, di ibu kota Palembang ditempatkan 450 orang serdadu,<br />

dan keempat, di perbatasan Bengkulu, Rejang, Sungai Ogan dan Sungai Komering<br />

(Kurungan Nyawa), ditempatkan 350 orang serdadu (ANRI, Bundel Palembang<br />

No. 15.7; No. 66.1; Kemp, 1900: 386-87, 424-426).<br />

Dari berbagai persiapan yang dilakukan oleh Muntinghe, menunjukkan<br />

bahwa ia bermaksud memantapkan kekuasaan Belanda di sebagian besar wilayah<br />

Kesultanan Palembang. Muntinghe melihat besarnya potensi yang dimiliki oleh<br />

daerah pedalaman Palembang. Oleh sebab itu, daerah tersebut harus diamankan.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


175<br />

4.4 Rancangan Muntinghe untuk Kesultanan Palembang<br />

Setelah tiba di ibu kota Palembang, Muntinghe melakukan berbagai konsolidasi<br />

demi kelancaran pemerintahan Belanda di Palembang. Pada 28 Agustus 1818,<br />

Muntinghe mengeluarkan keputusan tentang cukai ekspor-impor dan jabatan<br />

kepala urusan sipil. Empat hari kemudian (1 September 1818), ia mengeluarkan<br />

undang-undang. Undang-undang itu merupakan usaha pertama pemerintah<br />

Belanda untuk mengorganisir seluruh daerah Palembang. Tujuannya adalah untuk<br />

memperkokoh kedudukan Belanda di Kesultanan Palembang. Sebelumnya, fokus<br />

perhatian mereka adalah Pulau Bangka. Akan tetapi, di bawah kepemimpinan<br />

Muntinghe kawasan Palembang lainnya juga diperhatikan sesuai tuntutan kondisi<br />

pada waktu itu. Di dalam undang-undang itu disebutkan bahwa penduduk sindang<br />

yang sebelumnya tidak terkena wajib pajak, kini wajib membayarnya. Ketentuan<br />

lain adalah dibukanya lembaga peradilan yang menerima tuntutan banding atas<br />

keputusan para depati dan proatin yang sebelumnya menjadi otoritas sultan.<br />

Menurut Muntinghe penetapan undang-undang tersebut merupakan peristiwa<br />

penting dan dimuat dalam lampiran laporannya kepada komisaris jenderal (Kemp,<br />

1900: 428).<br />

Semua ketentuan itu, didasarkan pada kesepakatan yang telah diputuskan<br />

pada Juni 1818 bahwa sebagian besar wilayah Palembang berada di bawah<br />

kekuasaan Belanda. Akan tetapi, penetapan itu merupakan pukulan berat bagi<br />

sultan, karena salah satu pilar kekuasaan sultan yaitu sebagai rujukan terakhir<br />

dalam bidang pengadilan, diambil alih oleh Belanda. Begitu pula penetapan pajak<br />

bagi penduduk sindang yang selama ini bebas dari pajak. Seandainya undangundang<br />

tersebut dilaksanakan akan mengundang reaksi keras dari sultan maupun<br />

penduduk sindang, namun undang-undang tidak sempat diberlakukan karena telah<br />

pecah perang di Palembang pada Juni dan Oktober 1819, sehingga Belanda harus<br />

keluar dari Palembang.<br />

Guna memenuhi permintaan pemerintah pusat di Batavia, Muntinghe juga<br />

melakukan penyelidikan tentang kondisi daerah, penduduk, rumah tangga, mata<br />

pencaharian, adat-istiadat daerah Muara Bliti khususnya atau uluan umumnya.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


176<br />

Pengumpulan data itu terhambat karena kurangnya pemahaman tentang daerah<br />

itu, baik mengenai kondisi alam, maupun adat istiadatnya. Berdasarkan<br />

penelitiannya, Muntinghe memandang perlu agar pemerintah pusat mengirimkan<br />

beberapa orang bangsawan Jawa, mantri atau kalangan priyayi Jawa ke<br />

Palembang. Tugas mereka adalah mengajarkan penduduk setempat tentang caracara<br />

bercocoktanam sebagaimana yang biasa mereka lakukan di Pulau Jawa,<br />

misalnya cara menggunakan cangkul dan bajak, membuka kebun-kebun kopi,<br />

lada, sawah dan lainnya. Jadi, pada waktu itu sudah berkembang ide untuk<br />

memindahkan sekelompok penduduk yang memiliki keahlian, khususnya bertani<br />

ke Palembang. Selain itu, potensi ekonomi Kesultanan Palembang juga sangat<br />

besar, diperkirakan pemerintah Belanda akan memperoleh keuntungan yang<br />

berlipatganda. Berbagai keuntungan yang akan diperoleh antara lain,<br />

- penjualan candu f 24.000<br />

- cukai ekspor-impor f 24.000<br />

- penjualan garam f 29.000<br />

- uang semuhan 140 f 250.000<br />

Diduga dalam kurun waktu enam sampai tujuh tahun kemudian, total pendapatan<br />

yang akan diperoleh dari Kesultanan Palembang mencapai f 958.000. Begitu pula<br />

penduduk di wilayah itu akan bertambah sehingga mencapai satu juta jiwa,<br />

tersebar di lima sampai enam ribu dusun (ANRI, Bundel Palembang. No. 15.7;<br />

Kemp, 1900: 428).<br />

Dari gambaran di atas terlihat bahwa dalam jangka pendek yang akan<br />

dikembangkan adalah keuntungan dari Semuhan, dan penjualan. Tentunya itu<br />

disebabkan potensi uluan belum dikembang. Oleh sebab itu, menurut persepsi<br />

Muntinghe, bahwa dengan dikembangkannya daerah uluan, maka dalam beberapa<br />

tahun ke depan akan dipetik hasil yang akan menguntungkan Belanda. Sebagai<br />

orang pertama yang meneliti potensi penduduk dan alam daerah uluan, Muntinghe<br />

sadar betul akan berbagai keuntungan yang akan mereka peroleh, jika seluruh<br />

140 Uang Semuhan (Saomahan) adalah pajak rumah tangga. Pajak itu dihitung setengah<br />

rupiah per orang untuk 500 ribu jiwa. Penduduk Sindang juga diwajibkan membayar uang<br />

Semuhan, begitu pula orang-orang Cina dan Arab sebesar f 50 per kepala. Total nilainya<br />

diperkitakan mencapai f 500.000. Ketentuan tersebut diusulkan oleh Komisaris Muntinghe melalui<br />

surat kepada Komisaris Jenderal pada 31 Oktober 1818. Rencananya akan dilaksanakan mulai<br />

Pebruari 1819 untuk lima ribu dusun di wilayah Palembang (ANRI, Bundel Palembang No. 15.7).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


177<br />

wilayah Palembang berada di tangan Belanda. Oleh sebab itu semua bentuk<br />

gangguan khususnya dari Inggris harus dihancurkan. Kebijakan yang<br />

dilaksanakan oleh Muntinghe tersebut, menurut Day (1972: 129), sejalan dengan<br />

kebijakan yang telah digariskan oleh negara induk terhadap semua koloni yaitu<br />

untuk kemakmuran Belanda.<br />

Strategi yang dijalankan oleh Muntinghe dan aparatnya dalam melakukan<br />

pendekatan kepada penduduk, menyebabkan penduduk dukungan usaha-usaha<br />

yang dijalankan oleh pemerintah belanda di Palembang. Semua itu tidak terlepas<br />

dari dukungan penuh dari bawahannya, khususnya Fabritius dan Kapten insinyur<br />

Van der Wijck. Keduanya banyak berjasa dalam pelaksanaan ekspedisi ke uluan.<br />

(ANRI, Bundel Palembang No. 66.1; Kemp, 1898: 284). Kepada kedua<br />

pembantunya tersebut, Muntinghe memberikan penghargaan yang besar, baik<br />

berupa pujian maupun dalam memberikan berbagai tugas penting di Palembang.<br />

Sesuai ketentuan undang-undang yang akan diterapkan, Muntinghe<br />

menyiapkan beberapa lokasi di ibu kota yang cocok dijadikan pasar. Pasar yang<br />

dimaksud adalah tempat bertemunya para pedagang dari pedalaman dengan<br />

pedagang di ibu kota serta para pembali. Dengan demikian, arus keluar-masuk<br />

barang akan semakin lancar, yang berarti akan meningkatkan perekonomian<br />

penduduk umumnya. Selain itu, ketentuan larangan perbudakan atas penduduk<br />

asli Palembang dan penduduk dari daerah-daerah lain di Sumatra diperketat.<br />

Walaupun faktanya sebagian besar budak yang ada di Palembang adalah orangorang<br />

asing yang dijual oleh orang-orang Siam. Budak di Palembang disebut<br />

orang abdi (ANRI, Bundel Palembang No. 47.6).<br />

Ini berarti budak disamakan dengan penduduk asli. Sesungguhnya,<br />

pelarangan terhadap perbudakan sudah dilakukan jauh sebelumnya, baik pada<br />

masa Inggris (Kontrak Mei 1812 dan Agustus 1813) maupun Belanda (Kontrak<br />

Juni 1818). Akan tetapi, masalah perbudakan belum berhasil dihilangkan, karena<br />

adanya kebutuhan tenaga budak dan banyaknya para pedagang yang<br />

mendatangkan budak ke Palembang. Budak-budak itu berasal dari berbagai<br />

daerah di Nusantara, antara lain orang Bali dan Ambon serta budak-budak hasil<br />

penjarahan di daerah perbatasan Palembang-Bengkulu maupun Palembang-<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


178<br />

Lampung. Budak menjadi salah satu komoditi di Kesultanan Palembang pada saat<br />

itu.<br />

Semua tindakan dan rencana yang akan dilaksanakannya di Kesultanan<br />

Palembang, dilaporkan oleh Muntinghe kepada pemerintah pusat pada 31 Oktober<br />

1818. Dalam laporannya ia menjelaskan tentang usahanya membina hubungan<br />

dengan Lampung melalui surat-menyurat secara intensif dengan Asisten Residen<br />

Banten J.A. Du Bois. Muntinghe merencanakan untuk menggabungkan<br />

Palembang dengan Lampung, sehingga J.A. Du Bois berada di bawah<br />

pengawasannya. Penggabungan itu didasari letak kedua daerah ini berdekatan,<br />

yaitu daerah Komering (Palembang) dan Bumi Agung (Lampung). Hanya<br />

dibutuhkan waktu satu hari dari Bumi Agung ke Kujungang Njawa (Sekarang<br />

disebut Kurungan Nyawa di Sungai Komering). Kurungan Nyawa adalah tempat<br />

pengapalan terakhir barang-barang dari ibu kota Palembang menuju daerah<br />

Komering Ulu dan Lampung dengan waktu tempuh lima sampai tujuh hari karena<br />

melawan arus. Sementara itu jarak dari Kurungan Nyawa ke Palembang adalah<br />

tiga sampai empat hari, tergantung arus air waktu itu. Akan tetapi, usahanya<br />

untuk menangani masalah empat puluhan orang laki-laki, perempuan dan anakanak<br />

di perbatasan Palembang-Lampung tidak mendapat respon yang<br />

menggembirakan dari Asisten Residen J.A. Du Bois. Orang-orang malang itu<br />

dirampok dan diperjualbelikan oleh para penjahat di sana. Penyelesaian yang<br />

ditempuh oleh Muntinghe pada waktu itu adalah menebus orang-orang tersebut<br />

dengan biaya dari Sultan Mudo dan mengembalikan mereka ke daerahnya<br />

masing-masing (ANRI, Bundel Palembang No. 66.1).<br />

Rencana Muntinghe menggabungkan Palembang-Lampung semata-mata<br />

karena letaknya yang berdekatan. Penggabungan tersebut akan memudahkan<br />

pengawasan, terutama karena adanya ancaman dari Inggris di Bengkulu, karena<br />

wilayah Lampung bagian barat berbatasan langsung dengan Bengkulu. Akan<br />

tetapi, berdasarkan laporan J.A. Du Bois disebutkan bahwa kekhawatiran<br />

Muntinghe tersebut tidak terbukti.<br />

Masalah lain yang dilaporkan Muntinghe kepada Komisaris Jenderal<br />

adalah mengenai Nahkoda Mohamad dan pengikutnya. Kelompok itu terkenal<br />

sebagai pengacau yang selalu mengganggu ketenteraman penduduk dengan cara<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


179<br />

merampok dan membunuh di wilayah Lampung dan Palembang. Mereka<br />

membelot dengan menyatakan diri sebagai pengikut Belanda. Sebelumnya,<br />

Nahkoda Mohamad adalah pengikut setia Sultan Mudo. Dalam pernyataannya,<br />

Nahkoda Mohamad menyampaikan bahwa berbagai kejahatan yang mereka<br />

lakukan adalah atas perintah Sultan Najamuddin II. Ia memohon ampunan kepada<br />

Muntinghe dan berjanji akan tunduk sepenuhnya kepada Belanda apabila<br />

diizinkan. Dalam menangani masalah tersebut, antara Muntinghe dan Asisten<br />

Residen Du Bois terjadi perbedaan pendapat. Du Bois memilih untuk menangkap<br />

Nahkoda Mohammad secara paksa agar keamanan di daerahnya cepat pulih.<br />

Sebaliknya, Muntinghe lebih suka memaafkan kelompok tersebut, dan<br />

merangkulnya sebagai bagian dari penduduk yang berada di bawah<br />

pengawasannya. Menurut Muntinghe, apabila rencana Du Bois dilaksanakan,<br />

akan terjadi hal-hal yang jauh lebih membahayakan. Hal itu disebabkan Nahkoda<br />

Mohamad adalah penjahat besar yang memiliki banyak pendukung. Mereka akan<br />

melakukan aksi balas dendam, dengan melakukan keonaran di wilayah Palembang<br />

dan Lampung. Pandangan tersebut didasarkan pengalamannya menangkap<br />

kelompok orang-orang Bugis. Penangkapan tersebut justru pemicu terjadinya<br />

pembunuhan dan perampokan meluas di seluruh wilayah Kesultanan Palembang.<br />

Oleh sebab itu, Muntinghe tidak ingin hal serupa terulang kembali. Dengan<br />

keputusannya tersebut diharapkan ketenangan di Palembang akan semakin<br />

membaik. Setelah itu, Muntinghe memerintahkan Nahkoda Mohamad dan<br />

pengikutnya menetap di ibu kota Palembang, Bangka atau Jawa. Agar Nahkoda<br />

Muhamad menepati janjinya, Muntinghe menahan beberapa kerabatnya sebagai<br />

jaminan (ANRI, Bundel Palembang No. 66.1).<br />

Kasus Nahkoda Mohamad merupakan salah satu bukti bahwa telah terjadi<br />

pembunuhan, dan penjarahan pada masa pemerintahan Sultan Mudo. Begitu pula<br />

masalah perbudakan, penangkapan dan hukuman fisik lainnya. Hal itu diperparah<br />

dengan adanya ekspedisi dari Bengkulu, sedangkan kondisi pertahanan Belanda di<br />

Kesultanan ini masih lemah baik dari segi jumlah maupun kesehatan para<br />

serdadunya. Kendala lain yang mereka hadapi adalah kesulitan keuangan,<br />

minimnya peralatan dan armada. Untuk itu, langkah yang ditempuh oleh<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


180<br />

Muntinghe adalah menyelesaikan masalah tanpa harus menggunakan kekuatan<br />

senjata yang membutuhkan biaya besar.<br />

Muntinghe juga merencanakan untuk memindahkan pusat pemerintahan<br />

dari Muntok Bangka ke ibu kota Palembang. Di mata Muntinghe, Palembang<br />

semakin penting, sedangkan tanah-tanah di Pulau Bangka telah kehilangan<br />

kesuburannya. Hal itu disebabkan oleh eksploitasi penambangan di sana selama<br />

lima puluh tahun terakhir. Muntinghe melihat fungsi tanah semakin penting tidak<br />

hanya sebagai objek penambangan, tetapi bidang-bidang lain sebagaimana yang<br />

terdapat di uluan Palembang. Meskipun demikian, Pulau Bangka tetap merupakan<br />

daerah pertambangan terbaik yang akan terus memberikan keuntungan bagi<br />

Belanda. Di Bangka juga akan dibuka tambang-tambang baru, sehingga<br />

keuntungan yang akan diperoleh dari pulau itu akan semakin meningkat dari<br />

tahun ketahun. Sehubungan dengan Pulau Belitung, Muntinghe menyatakan<br />

ketidakmampuannya untuk melakukan ekspedisi ke pulau itu. Pendapat itu<br />

didukung oleh Kolonel Bakker, mengingat minimnya kekuatan Belanda di<br />

Palembang. Kekuatan militer di sana hanya terdiri dari kapal korvet Eendracht<br />

sebagai kekuatan induk dan dua perahu Schildpad, serta perahu nomor 16 di ibu<br />

kota Palembang. Walaupun demikian, menurutnya Pulau Belitung sangat penting<br />

untuk diduduki, Apalagi Raffles masih menempatkan kapal perang atau kapal lain<br />

di sana, Untuk itu, Muntinghe bermaksud mengutus Raden Badar (saudara<br />

kandung Raden Kling) untuk mengibarkan bendera Belanda di sana. Dipilihnya<br />

Raden Badar didasarkan atas pertimbangan dendam pribadi 141 terhadap Inggris,<br />

sekaligus ia adalah kerabat dari Sultan Tuo, sehingga diharapkan akan mendapat<br />

dukungan penuh dari penduduk Belitung (ANRI, Bundel Palembang No. 66.1;<br />

Kemp, 1900: 431).<br />

Ekspedisi ke uluan dan pembebasan orang-orang di perbatasan<br />

Palembang-Lampung membutuhkan biaya besar. Biaya ini dibebankan kepada<br />

Sultan Mudo, karena dia yang menjadi penyebab dari berbagai peristiwa tersebut.<br />

Dalam status sebagai tahanan, Sutan Mudo terpaksa menyerahkan dana sebesar f<br />

141 Raden Badar membenci Inggris, karena permusuhan antara Raden Kling<br />

dan Inggris. Pada masa pemerintahan Inggris di Bangka, Raden Kling membunuh<br />

inspektur Brown sehingga melarikan diri ke Belitung. Sejak itu permusuhan terus<br />

berlangsung, walaupun Inggris telah meninggalkan Bangka (1816).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


181<br />

500.000 (dalam Kielstra 1892 hal 92, dikatakan bahwa Najamudin II bersedia<br />

membayar sebesar sekitar f 30.000 142 ). Uang itu dibagikan sebagai tambahan yang<br />

diperhitungkan sesuai dengan gaji bulanan kepada orang-orang yang berjasa<br />

dalam ekspedisi ke uluan. Tambahan itu diberikan berbarengan dengan<br />

peringatan Ulang Tahun Raja Willem I yang dihadiri oleh Sultan Tuo pada 24<br />

Agustus 1818. Diharapkan pemberian tunjangan dapat meningkatkan motivasi<br />

para serdadu untuk lebih berprestasi. Pemberian tunjangan tersebut dihentikan<br />

pada 10 Januari 1819, karena berdampak negatif kepada para serdadu yang hanya<br />

memikirkan hadiah, bukan prestasi (Kemp, 1898: 285).<br />

Masih dalam suasana merayakan keberhasilan, mereka dikejutkan oleh<br />

berita tentang orang-orang Bengkulu yang masih berkeliaran di perbatasan<br />

Palembang atau bahkan sedang menyiapkan serangan susulan dari Bengkulu.<br />

Untuk mengantisipasi hal tersebut, Sultan Tuo menginstruksikan Tumenggung<br />

untuk mengawasi daerah Rejang, suatu daerah yang berbatasan langsung dengan<br />

Bengkulu. Selama ini daerah tersebut menjadi titik pertemuan pasukan Bengkulu<br />

dan Palembang (ANRI, Bundel Palembang No. 66.1; Kemp, 1898: 284-285).<br />

4.5 Akhir Pemerintahan Sultan Ratu Ahmad Najamuddin II<br />

Dengan penangkapan Salmond dan pasukannya (Juli 1818), Sultan Mudo sebagai<br />

pihak yang mengundang pasukan Inggris harus menerima konsekuensinya. Sultan<br />

Mudo bersama beberapa Pangeran ditempatkan di keraton dalam pengawasan<br />

ketat. Satu-satunya jalan keluar yang ada, dijaga oleh sembilan sampai dua belas<br />

orang serdadu Eropa dan pasukan dari Sultan Tuo. Begitu pula para bangsawan<br />

yang dianggap memihak Sultan Mudo ikut diamankan. Usaha itu untuk mencegah<br />

terjadinya hubungan dengan pihak Inggris di Bengkulu. Sebelumnya, menyadari<br />

posisinya yang berbahaya pada saat keratonnya dikepung, sedangkan Salmod<br />

sudah ditangkap, Sultan Modo masih sempat mengirimkan kurir untuk menemui<br />

Salmond. Dalam pesannya, Sultan Mudo menyatakan keinginannya untuk<br />

bergabung dengan Salmond dan pasukannya. Ia mengkhawatirkan<br />

142 Florin (f) adalah uang lama Kerajaan Belanda, pada Abad XVII diganti dengan<br />

gulden dengan simbol yang sama yaitu f.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


182<br />

keselamatannya. Sultan Mudo merasa lebih terjamin keamanannya jika bersamasama<br />

dengan Salmond, namun hal itu tidak mungkin terwujud karena Salmond<br />

sendiri dalam posisi sebagai tawanan. (The Asiatic Journal, IX, 1820: 452; Kemp,<br />

1900: 391).<br />

Setelah usahanya bergabung dengan Salmond tidak berhasil, Sultan Mudo<br />

berusaha mengirimkan tiga orang wakil untuk menemui Raffles. Utusan itu tiba di<br />

Bengkulu pada 15 Agustus 1818 dan menyerahkan surat permohonan bantuan<br />

Sultan Mudo kepada Raffles. Berdasarkan surat itu dapat diketahui kondisi Sultan<br />

Mudo yang ditawan oleh Muntinghe. Disebutkan bahwa Sultan Mudo, bersama<br />

dengan tiga orang pangeran, seorang Tumenggung, seorang Ronggo dan seorang<br />

Demang 143 ditempatkan di dalam sebuah ruangan kecil di sisi timur Keraton Kuto<br />

Besak dalam penjagaan yang ketat. Ruangan yang mereka huni, hanya boleh<br />

dibuka tiga kali sehari, untuk mendapatkan jatah makanan. Untuk itu, Sultan<br />

Mudo sangat mengharapkan bantuan dari Raffles (Woelders, 1975: 100). Satusatunya<br />

yang dapat menyelamatkan diri dan pengikutnya adalah Raffles, sehingga<br />

Sultan Mudo melakukan berbagai cara agar utusannya sampai Bengkulu.<br />

Di dalam tahanan, pihak Belanda menanyakan kepada Sultan Mudo<br />

tentang kontrak yang dibuatnya dengan Kapten Salmond pada 4 Juli 1818. Isinya<br />

memuat pernyataan bahwa Kesultanan Palembang berada di bawah perlindungan<br />

Inggris. Menghadapi pertanyaan tersebut, Sultan Mudo mengingkari isi<br />

kontrak 144 tersebut. Menurutnya, pada saat itu (Juli 1818) dia dijebak oleh<br />

Salmond yang menyodorkan surat yang ditulis dalam Bahasa Inggris, yang tidak<br />

dipahami oleh sultan. Dinyatakan bahwa surat itu memuat ketentuan tentang<br />

kewajiban Sultan Mudo untuk memenuhi kebutuhan perbekalan pasukan Inggris.<br />

Sultan mempercayainya dan membubuhkan cap dan tandatangan pada berkas<br />

143 Berdasarkan laporan Komisaris Muntinghe kepada Komisaris Jenderal pada<br />

11 Juli 1818, bahwa pada awal penahanannya, Sultan Mudo bersama dengan Pangeran<br />

Adipati dan Ingebehi Carik (Kemp, 1900: 391). Tentunya pendapat itu kurang tepat<br />

karena kedua adik Sultan Tuo diangkat sebagai Pangeran Adipati (Adipati Tuo dan<br />

Adipati Mudo).<br />

144 Sultan Mudo juga mengingkari kontrak yang telah ditandatangani dengan Komisaris<br />

Muntinghe pada 23 Juni 1818, pada saat ia melakukan perundingan dengan Salmond pada 4 Juli<br />

1818.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


183<br />

tersebut. Selanjutnya, sultan memerintahkan Perdana Menteri untuk melakukan<br />

hal yang sama yaitu turut menandatanganinya. Pernyataan itu didukung oleh<br />

kesaksian Perdana Menteri, yang menyatakan bahwa ia juga tidak mengetahui apa<br />

isi berkas tersebut 145 . Kesaksian yang sama kembali dilontarkan Najamuddin II<br />

ketika dibawa ke Batavia bersama istri-istri, dua orang putra dan para pengikutnya<br />

pada 30 Oktober 1818. Di pengasingan (Sumedang) Najamuddin II meminta<br />

kepada Mayor Muller yang ditugaskan menjaganya, agar menyampaikan kepada<br />

pemerintah Belanda bahwa dirinya tidak pernah membuat kontrak dengan orangorang<br />

Inggris (Kemp,1900: 414-415). Sultan Najamuddin II dengan gigih<br />

membela dirinya bahwa dia tidak bersalah dalam kontrak yang dibuat dengan<br />

Salmond. Semua itu dilakukan agar dirinya dan para pengikutnya mendapat<br />

pengampunan dari pemerintah Belanda.<br />

Pada mulanya Komisaris Muntinghe berniat untuk tetap mempertahankan<br />

Sultan Mudo pada posisinya, sebagai imbangan terhadap Sultan Tuo. Akan tetapi,<br />

pada waktu itu berita-berita beredar tentang adanya ancaman serangan kedua dari<br />

Bengkulu. Kabar itu diperoleh dari penduduk dan mata-mata di daerah uluan.<br />

Akibatnya, Muntinghe membatalkan rencananya tersebut. Langkah yang terbaik<br />

adalah mengakhiri kemelut tersebut dengan menyingkirkan Sultan Mudo sesuai<br />

keinginan Komisaris Jenderal. Pada 15 November Muntinghe memerintahkan<br />

Kapten Letnan-laut Schrooijestein untuk membawa Sultan Mudo dan pengikutnya<br />

ke Batavia. Pada 30 Nopember 1818, Sultan Mudo dan pengikutnya berjumlah 63<br />

orang yang terdiri dari para bangsawan, perempuan dan anak-anak meninggalkan<br />

ibu kota Palembang dengan kapal perang dan kapal layar milik orang Arab<br />

bernama Jadul Karim. Selanjutnya, Sultan Mudo dan sebagian pengikutnya<br />

ditempatkan di Cianjur, dan sisanya ke Sumedang (ANRI, Bundel Palembang No.<br />

145 Alasan yang dikemukakan oleh Sultan Mudo sulit diterima, karena suatu<br />

kemustahilan seorang sultan mau manandatangi suatu kontrak tanpa memahami isinya.<br />

Dalam suatu perundingan dan penandatanganan suatu kontrak akan selalu didampingi<br />

oleh seorang penerjemah, apalagi ekspedisi Inggris ke Palembang telah direncanakan<br />

sebelumnya. Hal lain dapat ditelaah dari ikut sertanya beberapa orang raja dan tokoh<br />

masyarakat dari Bengkulu yang dapat dipastikan mampu berbahasa Inggris, mengingat<br />

lama dan eratnya hubungan antarmereka. Adanya penerjemah dalam ekspedisi Inggris<br />

dapat dirujuk pada ekspedisi Inggris ke Palembang pada 1812. Dalam ekspedisi itu<br />

terlibat dua orang penerjemah yaitu Meares dan Villneruhy.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


184<br />

5.1; Bataviaasche Courant, 4 Agustus 1821; Kemp, 1900: 432; Woelders,<br />

1975:100).<br />

Berdasarkan sumber The Asiatic Journal (Vol.10 Agustus 1820)<br />

disebutkan bahwa Sultan Mudo diberangkatkan ke Batavia tanpa persiapan. Adikadiknya<br />

dilarang ikut bersamanya. Setelah rombongan itu berangkat, Muntinghe<br />

menyita seluruh harta kekayaannya dan dijual. Pada kesempatan itu Muntinghe<br />

menyatakan ―tidak ada bekas yang tersisa dari keberadaannya‖. Dari pernyataan<br />

dan berbagai tindakannya harta kekayaan Sultan Mudo, tampak bahwa Muntinghe<br />

berniat menghapus jejak Sultan Najamuddin II di Kesultanan Palembang.<br />

4.6 Konflik Baru di Uluan<br />

Raffles sangat kecewa atas kembalinya pasukan Inggris di bawah komando<br />

Letnan Haslam. Selanjutnya, Raffles mengeluarkan instruksi agar pasukan itu<br />

kembali memasuki wilayah Palembang. Mengetahui adanya ancaman tersebut,<br />

Muntinghe mengutus juru tulis De Groot dan beberapa orang serdadu di bawah<br />

pimpinan Sersan Estema ke Muara Bliti. Dengan pendudukan tersebut diharapkan<br />

akan tumbuh kepercayaan di antara para jenang di sana terhadap Belanda. Di<br />

Muara Bliti De Groot menerima surat dari Raffles (tertanggal 5 Agustus 1818)<br />

yang dikirim dari Pulo Geta 146 pada 19 Agustus 1818. Dalam suratnya Raffles<br />

mengungkapkan kemarahannya terhadap Muntinghe, atas penangkapan Kapten<br />

Salmond dan pasukannya. Selain surat itu, terdapat pula tiga surat lainnya yang<br />

146 Batas alami antara Bengkulu dan Palembang terletak pada empat derajat Lintang Selatan<br />

dengan ketinggian sekitar dua ribu kaki. Daerah yang berbatasan langsung adalah Rejang (Rejang<br />

terbagi antara Rejang Bengkulu dan Rejang Palembang. Daerah Rejang Palembang terdiri dari<br />

Rejang lebong, Rejang Tengah dan Rejang Musi) yang menduduki posisi sebagai Sindang<br />

Mardika (Penjaga batas merdeka). Akan tetapi, orang-orang Rejang di daerah itu merasa lebih<br />

terikat pada Rejang Bengkulu, dibandingkan dengan Rejang Palembang. Hal itu disebabkan etnis<br />

dan jarak dengan Bengkulu lebih dekat dibandingkan dengan Palembang. Kedekatan ―emosional‖<br />

itu dimanfaatkan Raffles untuk mendapatkan pijakan yang kuat di Rejang Palembang. Atas dasar<br />

itu, Raffles memerintahkan Hayes dan pasukannya tinggal di dusun Pulo Geta (termasuk dalam<br />

wilayah Rejang Palembang, namun sebagian orang memasukkannya ke dalam wilayah Bengkulu).<br />

Daerah itu sangat strategis untuk menyerang Palembang. Untuk mencapai daerah tersebut, hanya<br />

membutuhkan waktu dua hari dari Bengkulu. Pasukan Hayes harus melakukan pendekatan yang<br />

baik kepada dusun-dusun di Rejang, agar mereka mengobarkan perlawanan terhadap Belanda.<br />

Akan tetapi, usaha Hayes tidak berhasil, karena para depati menyatakan diri netral dalam konflik<br />

antara Inggis dan Belanda di daerah mereka, walaupun mereka telah melakukan perundingan<br />

dengan Hayes (Kemp, 1900: 435-436)<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


185<br />

berbahasa Melayu dari Letnan Haslam, Hayes 147 dan jenang Zaenal Abidin.<br />

Semuanya berisi hasutan kepada para depati dan penduduk setempat agar bangkit<br />

melawan Belanda. Dinyatakan pula bahwa akan segera tiba di sana dua ratus<br />

serdadu Inggris dari Bengkulu. Menyadari kondisi yang ada, dan semua protes<br />

Muntinghe tidak ditanggapi oleh Raffles dan bawahannya. Hal itu memaksa<br />

Muntinghe mempersiapkan ekspedisi militer yang besar ke wilayah uluan,<br />

khususnya daerah yang berbatasan dengan Bengkulu (Kemp, 1900:423).<br />

Langkah pertama yang diambil oleh Muntinghe dimulai pada 14<br />

September 1818 yaitu Muntinghe memerintahkan Kolonel Bakker (Pimpinan<br />

Angkatan Laut dan Komandan kapal Eendracht), Kapten Nepping (Komandan<br />

pasukan Palembang-Bangka) dan Kapten M. Ege (Komandan pasukan<br />

Palembang) untuk menyiapkan pasukan militer guna menjaga keamanan ibu kota<br />

Palembang. Selanjutnya, mereka harus mengamankan Muara Bliti dari<br />

pendudukan pasukan Inggris. Akan tetapi, permintaan itu kurang mendapat<br />

dukungan dari pihak militer 148 . Terlihat dari tanggapan Kapten Nepping atas surat<br />

yang dikirimkan oleh Muntinghe pada 14 September 1818. Nepping tidak<br />

membalas surat tersebut, dan hanya mengirimkan 32 orang serdadu Ambon dari<br />

Muntok, di bawah pimpinan seorang serdadu berpangkat sersan pada 19<br />

September 1818. Menurut Nepping, pengiriman para serdadu Ambon merupakan<br />

jawaban atas surat yang dikirimkan oleh Muntinghe kepadanya. Akan tetapi, apa<br />

yang dilakukan oleh Nepping di mata Muntinghe belum memadai. Oleh sebab itu,<br />

pada 21 September 1818 Muntinghe kembali mengirimkan surat kepadanya.<br />

147 Dalam ekspedisi ke wilayah Palembang, Raffles mengangkat Hayes sebagai<br />

komisaris Inggris untuk daerah Musi, Klingi dan Muara Bliti (Kemp, 1900:423).<br />

148 Muntinghe sangat berkeinginan untuk menyatukan komando pasukan militer dengan<br />

kekuasaan sipil di bawah kendalinya, tetapi hal itu tidak terwujud. Ketiga petinggi militer (Kolonel<br />

Bakker, Kapten Nepping dan Kapten M. Ege) khususnya Kapten Nepping, ia secara terangterangan<br />

menolak perintah Komisaris Muntinghe, sehingga membawa Nepping pada sanksi<br />

dipecat dan dipenjarakan. Sementara itu Kolonel Bakker menolak dengan alasan yang jelas,<br />

sehingga tidak bernasib sama dengan Nepping. Pertentangan Muntinghe dengan pihak militer<br />

kembali terjadi pada perang kedua (Oktober 1819). Berdasarkan laporan Laksamana Wolterbeek<br />

kepada Gubernur Jenderal pada 11 Nopember 1819 disebutkan bahwa, dirinya tidak cocok dengan<br />

Muntinghe, karena Muntinghe adalah orang yang sulit bekerja sama dengan orang lain.<br />

Akibatnya, sering terjadi konflik dengan orang-orang disekitarnya khususnya dari kalangan<br />

militer. Sebagai panglima dalam ekspedisi militer di Palembang, Wolterbeek sering menjadi<br />

mediator antara Muntinghe dan pihak-pihak yang tidak sejalan dengannya. Misalnya konflik<br />

antara Muntinghe dan komandan garnisun Letnan Kolonel Keer dan sekretaris van der Kop<br />

(ANRI, Bundel Palembang No, 67; Kemp, 1900: 441-442).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


186<br />

Dalam suratnya Muntinghe menuntut agar Nepping segera mengirimkan tiga<br />

puluh orang serdadu di bawah pimpinan seorang perwira berpangkat kapten atau<br />

letnan, tetapi permintaan itu tidak dituruti oleh Nepping. Sementara itu,<br />

Muntinghe dihadapkan pada kondisi mendesak dengan tibanya surat dari De<br />

Groot pada 2 Oktober 1818. Dalam suratnya De Groot menyampaikan bahwa<br />

sebanyak tiga ratus orang serdadu Inggris telah menduduki daerah Ujan Panas<br />

(posisinya terletak antara Kosambi dan Muara Bliti) selama empat hari. Keadaan<br />

itu memaksa Muntinghe pada 4 Oktober 1818 kembali memerintahkan Nepping<br />

agar secepatnya mengirimkan pasukan yang dimintanya. Reaksi Nepping dalam<br />

surat balasannya pada 7 Oktober 1818 menunjukkan seolah-olah ia tidak<br />

menerima surat Muntinghe tertanggal 21 September 1818 dan tetap tidak<br />

memenuhi permintaan tersebut. Sikap membangkang Nepping ini memaksa<br />

Muntinghe mengirimkan dua surat peringatan keras (Surat resmi dan pribadi)<br />

kepada Nepping pada 31 Oktober 1818 yang isinya mengancam Nepping dengan<br />

sanksi berat 149 .<br />

Dalam surat resminya, Komisaris menyatakan bahwa apa yang dilakukan<br />

oleh Nepping adalah pelanggaran berat dan sanksinya akan ditentukan oleh<br />

Mahkamah Militer. Walaupun demikian, Muntinghe tetap menuntut Nepping<br />

mengirimkan tiga puluh orang serdadu terbaik di bawah pimpinan perwira<br />

minimal berpangkat Kapten. Muntinghe meminta pula bantuan Residen Smissaert<br />

untuk membujuk Nepping agar memenuhi tuntutannya. Dalam surat pribadinya,<br />

Muntinghe menumpahkan kekesalan dirinya dengan mengancam akan menembak<br />

Kapten Nepping (Kemp, 1900: 441-442).<br />

Menanggapi permintaan Muntinghe untuk menyiapkan pasukan, Kapten<br />

Ege menanggapinya dengan memberikan alasan bahwa garnisun di ibu kota<br />

Palembang pada saat itu hanya terdiri dari enam puluh orang serdadu. Empat<br />

belas orang diantaranya sakit, enam belas harus menjaga pos di ibu kota. Sisanya<br />

hanya sebanyak tiga puluh orang serdadu yang dapat diberangkatkan ke Muara<br />

149<br />

Penyelesaian kasus Kapten Nepping diambil alih oleh Smissaert selaku<br />

penguasa Pulau Bangka dengan cara menonaktifkannya dan posisinya ditempati oleh<br />

Kapten Snoek yang berkedudukan di Palembang. Selanjutnya, Nepping dikenai tahanan<br />

militer dan berdasarkan keputusan pemerintah pada 23 November 1818 ia dikirim ke<br />

Batavia (Kemp, 1900: 441-444).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


187<br />

Bliti. Sementara itu, Kolonel Bakker juga menolak dengan tegas perintah<br />

Muntinghe, dengan alasan ia harus melindungi wilayah yang berada di bawah<br />

tanggungjawabnya yaitu perairan Bangka-Palembang. Tambahan pula, pada<br />

waktu itu tengah berjangkit wabah penyakit, sedangkan sebagian dari awak<br />

kapalnya harus ditempatkan di keraton untuk menjaga keamanan. Beberapa bulan<br />

sebelumnya, Muntinghe juga kecewa dengan penolakan yang dilakukan oleh<br />

orang yang sangat diharapkannya yaitu Kapten Van der Wijck. Pada 27 Juli 1818<br />

Van der Wijck meninggalkan ibu kota Palembang untuk berkonsentrasi<br />

mengamankan Pulau Bangka. Penolakan-penolakan yang diterimanya membuat<br />

Muntinghe sangat kecewa. Kekecewaan Muntinghe sedikit terobati dengan<br />

tibanya bantuan pada 31 September 1818 sebanyak enam puluh sampai tujuh<br />

puluh orang serdadu di bawah pimpinan Kapten Hartman dengan kapal layar Sea<br />

Horse dari Batavia (ANRI, Bundel Palembang No. 66.1; Kemp, 1898: 285;<br />

Kemp, 1900: 438, 440-444).<br />

Berbagai kendala yang harus dihadapi oleh Muntinghe dalam usahanya<br />

mempertahankan daerah uluan Palembang dari serangan pasukan Inggris.<br />

Muntinghe mendapat penentangan dari pihak militer. Para petinggi militer pada<br />

waktu itu menganggap pengerahan militer yang besar sulit dilakukan, mengingat<br />

lemahnya kondisi pasukan dan peralatan yang dimiliki oleh Belanda waktu itu<br />

baik di Palembang maupun di Bangka.<br />

Di pihak lain, pasukan Inggris bergerak kembali memasuki wilayah<br />

Palembang. Pada 1 September 1818 Raffles mengeluarkan pengumuman tentang<br />

kehadiran pasukan Inggris di wilayah Palembang. Pada kesempatan itu untuk<br />

menarik simpati rakyat, diperlihatkan pula berkas-berkas rahasia berupa<br />

tembusan surat menyurat antara Komisaris Muntinghe dan Kapten Salmond (Juli<br />

1818), dokumen kontrak antara Sultan Mudo dan Kapten Salmond (4 Juli 1818)<br />

dan dokumen kontrak yang dianggap ―tidak sah‖ oleh Raffles antara Sultan Mudo<br />

dan Muntinghe (23 Juni 1818). Posisi pasukan Inggris pada waktu itu sudah<br />

berada di Pulo Geta. Dari sana pasukan Inggris bergerak menuju Kosambi, terus<br />

ke daerah Ujan Panas dan akhirnya sampai di Muara Bliti dengan kekuatan 120<br />

orang serdadu Sepoy, 160 orang Melayu, seratus orang kuli dan dua puluh orang<br />

Cina. Mereka juga membawa dua pucuk meriam. Di Muara Bliti mereka menjarah<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


188<br />

dua puluhan rumah orang-orang Cina yang terbuat dari bambu. Akibatnya, terjadi<br />

pertempuran dengan penduduk setempat yang menyebabkan tewasnya seorang<br />

penduduk dan tujuh orang serdadu Inggris. Pasukan Inggris bertahan di daerah itu,<br />

namun selama empat hari di sana, mereka tidak bertemu dengan pasukan Belanda<br />

(ANRI, Bundel Palembang No. 66.1; Kemp, 1900: 405-406, 438).<br />

Dengan kehadiran pasukan Inggris di Muara Bliti, berarti di lokasi yang<br />

sama terdapat dua kekuatan yaitu Belanda dan Inggris. Meskipun keduanya belum<br />

berhadapan secara langsung, namun tetap menandakan bahwa dalam waktu dekat<br />

akan terjadi ―pertemuan‖ dua kubu yang saling bermusuhan. Sebagaimana<br />

beberapa peristiwa sebelumnya yang terjadi di daerah uluan, apabila terjadi suatu<br />

ekspedisi baik dari Inggris maupun Belanda di sana, akan menyebabkan penduduk<br />

setempat melarikan diri ke hutan. Dengan demikian, dapat dipastikan dalam<br />

kondisi di atas rumah dan mata pencaharian mereka terbengkalai. Di samping itu,<br />

mereka juga harus terlibat dalam persiapan maupun pelaksanaan ekspedisi, antara<br />

lain sebagai kuli angkut, pendayung maupun sebagai serdadu serta menyiapkan<br />

bahan makanan bagi peserta ekspedisi. Jadi, kehadiran pasukan Belanda dan<br />

Inggris menyebabkan penduduk uluan sengsara.<br />

Setelah pasukan Inggris diberangkatkan menuju perbatasan Bengkulu-<br />

Palembang, pada 2 Oktober 1818 Raffles berangkat ke Calcutta. Tujuannya<br />

adalah untuk melaporkan semua permasalahan yang terjadi antara Inggris dan<br />

Belanda di Palembang kepada Gubernur Jenderal Lord Moira (Marquess of<br />

Hastings) 1813-1823. Raffles juga membujuk Lord Moira agar pemerintah Inggris<br />

mengusir Belanda dari Palembang. Akan tetapi, apa yang diharapkan oleh Raffles<br />

tidak terwujud. Hal itu disebabkan adanya protes yang diajukan oleh Komisaris<br />

Jenderal Elout pada 5 Oktober 1818 kepada Lord Moira dan Raffles. Komisaris<br />

Jenderal memaparkan tentang berbagai hal yang telah dilakukan oleh Raffles di<br />

wilayah Palembang. Akibatnya, Lord Moira memerintahkan agar Kapten<br />

Salmond segera kembali ke Bengkulu, walaupun pada kenyataannya Kapten<br />

Salmond sudah berada di Bengkulu dua bula sebelumnya. Faktor lain adalah<br />

pengakuan Kapten Salmond atas penghormatan yang diterimanya dari pihak<br />

Belanda, baik di Palembang maupun di Batavia. Semua itu mengakibatkan Raffles<br />

dianggap bersalah dan diperingatkan akan diturunkan dari jabatannya (Kemp,<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


189<br />

1900: 416; Kemp, 1898: 279). Dengan peringatan tersebut memaksa Raffles harus<br />

mengakhiri usahanya memasuki daerah Palembang.<br />

Realisasi dari rencana Muntinghe melakukan ekspedisi ke uluan, ia<br />

memerintah agar komandan militer untuk wilayah Palembang Kapten Ege<br />

menyiapkan segalanya. Selanjutnya, Ege memerintahkan Letnan Goossens<br />

memimpin tiga puluh orang serdadu menuju Muara Bliti. Tugasnya adalah<br />

mengamankan instruksi Muntinghe yang dikeluarkan pada 17 September 1818.<br />

Dalam instruksinya, Muntinghe memerintahkan agar Letnan Goossens meneliti<br />

kondisi di uluan. Selanjutnya, ia diperbolehkan melancarkan serangan apabila<br />

keadaannya memungkinkan. Akan tetapi, jika kekuatan musuh lebih besar, ia<br />

diperbolehkan mundur. Semua persiapan harus dilakukan secara cepat, sebelum<br />

pasukan dari Inggris meninggalkan Pulo Geta menuju Muara Bliti. Setibanya di<br />

Muara Bliti, Letnan Goossens dan pasukannya membangun kubu pertahanan.<br />

Akan tetapi, karena kondisi kesehatannya tidak memungkinkan, Gossens kembali<br />

ke ibu kota Palembang. Selanjutnya, kekuatan pasukan Palembang sepenuhnya<br />

berada di bawah De Groot dan Sersan Estema. Mereka menyiagakan dua meriam,<br />

160 orang Melayu, beberapa pangeran dan mantri dengan pengikutnya masingmasing.<br />

Kelompok tersebut disiapkan sebagai pasukan terdepan yang akan<br />

menghadapi pasukan musuh dari Bengkulu. Di luar pasukan itu, masih terdapat<br />

pasukan lain yang tengah disiagakan. Dengan semua kekuatan yang ada,<br />

diharapkan pasukan Belanda mampu mempertahankan sepanjang Klingi dan<br />

Rawas 150 . Posisi pasukan Belanda menjadi semakin kuat, karena adanya<br />

tambahan dukungan dari penduduk Klingi dan Rawas, kecuali orang-orang<br />

Melayu yang sebagian berasal dari Minangkabau. Dalam hitung-hitungan<br />

Muntinghe, pasukan Belanda akan mampu mengimbangi pasukan Inggris (ANRI,<br />

Bundel Palembang No. 66.1). Dukungan itu tidak dapat dilepaskan dari<br />

pendekatan yang dilakukan oleh Muntinghe selama berada di pedalaman.<br />

Setelah beberapa hari pasukan Inggris menyusuri daerah Muara Bliti. Pada<br />

26 Nopember 1818, Letnan Haslam, Raja Brahim (Raja Brain), dua perwira<br />

150 Dari Ujan Panas terdapat dua jalur menuju ibu kota Palembang yaitu melalui<br />

Klingi ke Muara Bliti, selanjutnya menuju Muara Lakitan, Rupit dan Rawas. Melalui<br />

kedua jalur itu pasukan Belanda dapat melakukan pengepungan terhadap pasukan<br />

Bengkulu (ANRI, Bundel Palembang No. 66.1).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


190<br />

Inggris, dan lima puluh orang serdadu di bawah pimpinan Komisaris Hayes<br />

bertemu pasukan Belanda. Dua kekuatan berhadapan langsung. Ketika hal itu<br />

terjadi, De Groot dihadapkan pada situasi sulit. Kondisi pasukannya lemah,<br />

pasukan yang tersisa hanya tinggal empat belas orang 151 . Kedua belah pihak<br />

sepakat untuk berhenti di posisi masing-masing, untuk selanjutnya melakukan<br />

perundingan. De Groot mewakili Belanda, sedangkan dari pihak Inggris diwakili<br />

Komisaris Hayes. Terjadi perdebatan antara keduanya. De Groot bertahan bahwa<br />

pasukan Inggris harus kembali ke Bengkulu, karena mereka sudah memasuki<br />

wilayah Belanda. Sebaliknya, Komisaris Hayes tetap ngotot akan membawa<br />

pasukannya ke ibu kota Palembang. Perdebatan itu berakhir dengan kesepakatan<br />

akan membicarakan hal itu dengan melibatkan pimpinan masing-masing. Usul itu<br />

diterima De Groot dengan catatan ia akan merundingkannya terlebih dahulu<br />

dengan komandan militer Estema. De Groot kembali ke markas, bukan untuk<br />

berunding tetapi memutuskan mundur kembali ke ibu kota. Mereka tergesa-gesa<br />

meninggalkan Muara Bliti pada saat hujan deras, sehingga bahan makanan berupa<br />

beras dan ikan kering tertinggal. Pasukan Inggris mengejar mereka dengan<br />

melepaskan tembakan-tembakan, tetapi tidak berhasil melumpuhkan pasukan<br />

Belanda. Pasukan Belanda terus menyusuri Sungai Musi dan berhasil mencapai<br />

ibu kota Palembang. Mundurnya pasukan Belanda merupakan kemenangan besar<br />

bagi pihak Inggris (Kemp, 1898: 286-87).<br />

Insiden 26 Nopember 1818 merupakan pukulan berat bagi pasukan<br />

Belanda. Untuk itu, Muntinghe mengajukan protes keras kepada pemerintah<br />

Inggris di Bengkulu. Tiga hari kemudian Muntinghe melaporkan peristiwa di<br />

Muara Bliti kepada pemerintah di Batavia. Berkaitan dengan hal itu, Komisaris<br />

Jenderal Elout kembali melayangkan protes kepada Lord Moira. Akhirnya, pada<br />

31 Desember 1818 terjadi kesepakatan antara dua kubu yang bertikai. Pasukan<br />

151 Menurut Kemp (1900: 437), pasukan Belanda yang tersisa 21 orang serdadu.<br />

Berkurangnya jumlah serdadu Belanda iitu disebabkan terserang penyakit dan kondisi alam yang<br />

ganas (Kielstra, 1892: 93; Kemp, 1898: 285-86). Dari fakta itu, jelaslah bahwa terjadi pengurangan<br />

anggota pasukan yang besar dari sebelumnya mendekati jumlah dua ratusan, hanya dalam kurun<br />

waktu sekitar dua bulan. Tidak ditemui keterangan jenis penyakit yang mewabah pada waktu itu.<br />

Wajarlah apabila dari beberapa sumber disebutkan bahwa wilayah Kesultanan Palembang sangat<br />

luas, sangat tidak seimbang dengan jumlah penduduknya yang sedikit. Kecilnya kekuatan pasukan<br />

Belanda menyebabkan kekuatan kedua kubu tidak seimbang, kekuatan pasukan Inggris lebih besar<br />

dan kuat daripada Belanda.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


191<br />

Inggris hanya diperbolehkan sampai Pulo Geta. Sehubungan dengan insiden di<br />

Muara Bliti, Muntinghe tidak menyalahkan De Groot yang mengambil sikap<br />

mundur, namun ia sangat kecewa pada sikap lemah Estema selaku komandan<br />

pasukan militer yang tidak melakukan perlawanan. Meskipun demikian, dalam<br />

laporannya kepada pemerintah pusat di Batavia, Muntinghe menganggap sikap<br />

mundur itu sebagai suatu strategi untuk mempersiapkan diri lebih baik. Dari<br />

insiden itu pula Muntinghe menyadari besarnya dukungan yang diberikan oleh<br />

penduduk Ampat Lawang 152 , dan Muara Bliti (ANRI, Bundel Palembang No.<br />

65.19; Kemp, 1900: 444).<br />

Pertikaian antara Belanda dan Inggris berlarut-larut, walaupun sudah ada<br />

ada protes dari Komisaris Jenderal Elout terhadap Gubernur Jenderal Lord Moira<br />

pada awal Oktober 1818. Moira pun telah menindaklanjutinya dengan instruksi<br />

agar pasukan Inggris keluar dari wilayah Palembang. Akan tetapi, instruksi itu<br />

mungkin belum sampai kepada para pemimpin pasukan Inggris, mengingat<br />

sulitnya medan yang harus dilalui dari Bengkulu ke daerah perbatasan Palembang.<br />

Kemungkinan lain mereka tidak mengindahkan instruksi Lord Moira.<br />

Belajar dari kegagalan sebelumnya dalam menghadapi ancaman pasukan<br />

Inggris, Muntinghe berusaha mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya.<br />

Sayangnya keinginan Muntinghe tidak mendapat dukungan dari para pemimpin<br />

militer. Penolakan pihak militer disebabkan lemahnya kekuatan Belanda pada saat<br />

itu. Mereka berpandangan bahwa Muntinghe tidak memahami situasi yang tengah<br />

terjadi. Mereka juga melihat gelagat Sultan Badaruddin II yang mencurigakan<br />

(Kielstra, 1892: 93; Kemp, 1898: 288). Kecurigaan itu muncul dengan besarnya<br />

dukungan yang diberikan oleh Sultan Badaruddin II terhadap usaha Muntinghe<br />

mengejar pasukan Inggris di uluan. Faktor lain adalah ―pengalaman‖ atas<br />

ketidaksetiaan yang selama ini dilakukan oleh Sultan tersebut. Sementara itu,<br />

Muntinghe yang sudah menyadari hal itu tetap mengedepankan ambisinya untuk<br />

mengejar pasukan Inggris sampai keluar dari daerah perbatasan Palembang-<br />

Bengkulu. Kekhawatiran Muntinghe atas kemungkinan masih bercokolnya<br />

152 Daerah Ampat Lawang adalah daerah yang berbatasan langsung dengan daerah<br />

Rejang selatan (Bengkulu) dan dihuni oleh penduduk dengan etnis yang sama dengan Rejang<br />

(Veth, 1869: 22).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


192<br />

kekuatan Inggris yang mendapat dukungan penuh dari Raffles (Raffles adalah<br />

sosok yang paling berambisi untuk tetap ―berkuasa‖ di Palembang), membuatnya<br />

menepis semua kekhawatiran akan ―pengkhianatan‖ Sultan Badaruddin II.<br />

Perbedaan pandangan itu tidak terlepas dari latar belakang yang berbeda.<br />

Muntinghe adalah seorang komisaris sipil yang tidak memiliki kemampuan<br />

militer, namun membawahi pihak militer. Muntinghe berkeinginan agar golongan<br />

militer mendukung ambisinya. Sebaliknya, golongan militer menolak permintaan<br />

tersebut atas dasar pertimbangan rasional atas lemahnya kekuatan militer Belanda<br />

pada waktu itu. Di samping itu, tampaknya golongan militer telah mencium<br />

adanya usaha Sultan Badaruddin II untuk menyusun kekuatan. Situasi itu tidak<br />

terbaca oleh Muntinghe atau ia tidak mau mendengar masukan dari pihak militer.<br />

Muntinghe hanya memfokuskan perhatiannya pada usaha mengeluarkan pasukan<br />

Inggris dari wilayah Palembang. Apa yang dikhawatirkan oleh golongan militer<br />

nantinya terbukti dan Muntinghe menjadi orang yang dipersalahkan.<br />

Dalam kondisi yang kurang kondusif dengan pihak militer, Muntinghe<br />

tetap mempersiapkan diri. Ekspedisi militer di bawah pimpinan Muntinghe<br />

bergerak ke daerah Musi pada Desember 1818, dan berada di sana selama empat<br />

bulan. Di pihak lain, setelah mendengar datangnya pasukan dari Palembang,<br />

pasukan Inggris mundur. Peristiwa itu juga disebabkan adanya perintah dari<br />

Gubernur Jenderal Lord Moira, agar pasukan Inggris tidak ikut campur dalam<br />

permasalahan di pedalaman Palembang. Raffles dipersalahkan dengan berbagai<br />

insiden tersebut, yang berarti Inggris mencampuri urusan pemerintah Belanda.<br />

Akan tetapi, berbagai kesalahan Raffles tersebut dihapuskan oleh pemerintah<br />

Inggris, bahkan dibenarkan oleh rakyat Inggris. Hal tersebut tidak dapat<br />

dilepaskan dari gencarnya usaha Raffles mengekspos berbagai sepak terjangnya di<br />

kawasan Hindia Timur melalui berbagai media massa di Inggris. Dalam surat<br />

yang dikirimkannya kepada Lord Moira pada 31 Desember 1818, Raffles<br />

mengemukakan bahwa apa yang dilakukannya demi menjunjung tinggi martabat<br />

Inggris di dunia (Inggris adalah bangsa yang sangat menjunjung tinggi martabat).<br />

Di samping itu, juga untuk mempertahankan kontrak antara Inggris dan Sultan<br />

Najamuddin II (1812, 1813 dan 1818). Raffles juga menyampaikan bahwa<br />

ketidaktahuan pasukannya atas batas-batas wilayah antara Bengkulu dan<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


193<br />

Palembang, menyebabkan terjadinya insiden di uluan. Pemerintah Inggris di<br />

Calcutta mencoba untuk memahami situasi dan kondisi pada waktu itu,<br />

sebagaimana yang dipaparkan oleh Raffles. Untuk menangani masalah tersebut,<br />

pada 15 Januari 1819 Menteri Falk (menteri yang menangani masalah konflik<br />

antara Belanda dan Inggris) mengusulkan kepada Duta Besar Belanda untuk<br />

Inggris Fagel, agar mengajukan protes kepada Kementerian Luar Negeri Inggris.<br />

Dengan terjadinya perundingan tingkat tinggi antarkedua Negara, masalah konflik<br />

antara Belanda dan Inggris di kawasan Muara Bliti berakhir (Kemp, 1900: 398-<br />

399; Kemp, 1898: 289).<br />

Guna memantapkan posisi Belanda di Palembang dan menghindari hal-hal<br />

yang tidak diinginkan dengan pihak Inggris di Bengkulu, Raja Belanda<br />

memerintahkan (diumumkan pada 31 Januari 1819 di Batavia) agar pemerintah<br />

Belanda dan Inggris membuat garis pemisah yang tegas antara wilayah<br />

Palembang dan Bengkulu. Dinyatakan pula perlunya tindakan tegas apabila<br />

insiden serupa terulang. Bagi pemerintah Belanda, Inggris menjadi penyebab<br />

terhambatnya usaha mereka memulihan kekuasaan di Palembang (Kemp, 1898:<br />

289; Kemp, 1900: 399).<br />

Demi memantapkan kedudukan Belanda di uluan, Muntinghe memutuskan<br />

untuk memfokuskan perhatian terhadap wilayah tersebut. Langkah yang diambil<br />

oleh Muntinghe dimulai pada 15 Pebruari 1819 ia memerintahkan sebanyak 191<br />

serdadunya untuk membuat jalan di Muara Bliti. Empat hari berikutnya mereka<br />

bergerak ke Ujan Panas dan Kosambi, serta mendirikan pos di Pulo Getah.<br />

Selanjutnya membuka jalur dari Pulo Geta ke daerah Minangkabau yang banyak<br />

menghasilkan emas, diteruskan dengan menduduki Rejang. Muntinghe membina<br />

hubungan baik dengan penduduk, ia mengajurkan penduduk menanam kopi dan<br />

lada. Mula-mula penanaman dilaksanakan di Rawas, selanjutnya di daerah<br />

Rejang, Komering dan Banyuasin. Muntinghe juga menghapuskan tiban-tukon,<br />

dan diganti dengan Uang Semuhan (Uang Saomahan). Uang Semuhan adalah<br />

pajak rumah tangga, yang dihitung setengah rupiah per orang untuk 500 ribu jiwa.<br />

Ketentuan itu akan diterapkan mulai Pebruari 1819 untuk lima ribu dusun di<br />

Kesultanan Palembang. Daerah Sindang yang sebelumnya terbebas dari ketentuan<br />

tiban-tukong, diwajibkan pula membayar Uang saomahan. Di samping itu,<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


194<br />

Muntinghe juga menghapuskan ketentuan anak semang. Ketentuan itu berlaku<br />

bagi orang atau keluarga/kelompok yang tidak mampu melunasi hutang.<br />

Konsekuensinya mereka dikenakan ketentuan ―wajib bekerja‖ pada tempat<br />

mereka berhutang sampai hutangnya lunas. Muntinghe juga mengidentifikasi<br />

berbagai hal yang dapat dijadikan sumber pendapatan bagi Belanda, antara lain,<br />

penjualan candu, cukai ekspor-impor, kayu manis, pala, cengkih, lilin. emas, besi,<br />

kain dan penjualan garam (ANRI, Bundel Palembang No. 15.7; Kielstra, 1892: 93;<br />

Kemp, 1900: 435).<br />

Muntinghe adalah pemimpin Belanda pertama yang terjun langsung di<br />

daerah uluan untuk meneliti berbagai potensi ekonomi yang dapat dikembangkan.<br />

Tampaknya, Muntinghe sadar betul akan kekayaan alam yang terpendam di<br />

pedalaman Palembang. Semua itu akan dimanfaatkan secara maksimal untuk<br />

kepentingan pemerintah Belanda.<br />

Semua yang telah dirancang Muntinghe gagal, karena terjadi perubahan<br />

situasi di daerah uluan. Di luar perhitungan Muntinghe, orang-orang Melayu 153<br />

yang sebelumnya membelanya berbalik arah menentangnya. Perubahan tersebut<br />

karena hasutan pasukan Inggris. Perlawanan juga dilancarkan oleh orang-orang<br />

yang mendukung Sultan Badaruddin II pada saat mundur ke uluan pada 1812-<br />

1813). Pecah pemberontakan oleh orang-orang Melayu di Tabak Pingin dan<br />

Tabak Jemeke, di bawah pimpinan Panglima Prang. Pemberontakan itu berakhir<br />

dengan disepakatinya perundingan dengan Muntinghe, dan sebagian pasukan<br />

Melayu ditarik mundur. Akan tetapi, sebagian lain menolak mundur dan bertahan<br />

di Muara Bliti sampai 20 Maret 1819. Kelompok yang menolak mundur,<br />

bergabung dengan sisa pasukan Inggris yang masih bertahan di Rejang. Sampai<br />

saat itu pasukan Inggris yang bertahan di sana masih menerima suplai uang dan<br />

153 Orang Melayu adalah orang-orang yang tinggal di sepanjang Musi, Batang Leko dan<br />

kawasan lainnya di uluan. Untuk menghindarkan penduduk dari serangan kelompok tersebut,<br />

Muntinghe memandang perlu untuk menempatkan pasukan militer sebesar 250 orang serdadu di<br />

perbatasan Rawas (ANRI, Bundel Palembang No. 15.7). Dari berbagai sumber, dapat disimpulkan<br />

bahwa ―Orang Melayu‖ adalah penyebutan warga setempat terhadap kelompok pendatang yang<br />

berasal dari Minangkabau dan Kerinci. Walaupun keberadaan mereka di daerah tersebut sudah<br />

berlangsung lama, namun tetap dibedakan berdasarkan bahasa yang mereka gunakan.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


195<br />

candu dari Bengkulu 154 . Candu-candu, mesiu dan timah dimasukkan ke dalam<br />

peti-peti kecil, untuk selanjutnya dikirim Rejang tempat pasukan Inggris bertahan.<br />

Di daerah Klingi juga terjalin hubungan antara orang-orang Melayu di bawah<br />

Panglima Prang dan pasukan Inggris. Ini berarti kekuatan mereka semakin kuat.<br />

Menghadapi situasi demikian, Muntinghe harus menarik sebagian pasukannya<br />

dari Muara Bliti ke Ujan Panas dan Ayerlan. Di sana Muntinghe memutuskan<br />

untuk membangun pos-pos pertahanan, yang berfungsi untuk memutuskan<br />

hubungan antara orang-orang Melayu dan pasukan Inggris, baik yang berada di<br />

Rejang maupun di Pulo Geta (Woelders, 1975: 101).<br />

Sebelum tiba di Ujan Panas, pasukan yang dipimpin Muntinghe bersamasama<br />

dengan Kapten Motte dan Letnan Donher harus menghadapi perlawanan<br />

pasukan Melayu. Dalam pertempuran itu, pasukan Melayu tidak mampu melawan<br />

pasukan Belanda, sehingga mundur dan pasukan Belanda melanjutkan perjalanan<br />

ke Ujan Panas. Di Ujan Panas, kembali pasukan Belanda mendapat serangan dari<br />

kelompok Panglima Prang yang sebelumnya telah membangun kubu pertahanan<br />

di daerah Sungai Pisang. Kedua kubu berhadapan langsung di dekat Tabak<br />

Jemeke. Dalam pertempuran itu dua lila (senapan letup) milik pasukan Belanda<br />

berhasil direbut oleh pasukan Melayu. Meskipun demikian, pertempuran terus<br />

berlangsung, dan berakhir setelah kedua belah pihak masing-masing kehabisan<br />

tenaga dan amunisi, sehingga memutuskan untuk mundur. Sampai saat itu<br />

pasukan Belanda kewalahan menghadapi perlawanan militan dari orang-orang<br />

Melayu yang bekerjasama dengan pasukan Inggris. Jadi, keberadaan pasukan<br />

Inggris pada waktu itu berlindung di balik perlawanan orang-orang Melayu.<br />

Dalam kondisi demikian, salah satu pimpinan pasukan yaitu Kapten Motte<br />

menyatakan ketidaksanggupannya berhadapan dengan pasukan Melayu. Kondisi<br />

pasukan Belanda semakin lemah. Untuk itu, strategi yang ditempuh oleh<br />

154 Dengan demikian, kesepakatan Januari 1819 hanya berlaku di atas kertas.<br />

Terbukti serdadu Inggris masih berkeliaran di daerah perbatasan bahkan sampai Muara<br />

Bliti. Adanya suplai uang dan candu dari Bengkulu, membuktikan keberadaan serdaduserdadu<br />

Inggris di wilayah Palembang atas dukungan pemerintah di sana. Hal ini<br />

memaksa Muntinghe untuk terus “memperhatikan” daerah uluan dan lengah di pusat<br />

yaitu ibu kota Palembang. Padahal Palembang dijadikan sebagai pusat pemerintahan,<br />

setelah Muntinghe memindahkannya dari Muntok. Berarti perangkat pemerintahan<br />

dengan segala daya dukungnya di ibu kota Palembang masih lemah.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


196<br />

Muntinghe adalah mengumpulkan para depati dari Klingi dan Bliti yaitu pasirah<br />

Muara Bliti, Lobo Mumpa, Benu Agung, dan Ujan Panas untuk meminta<br />

kesediaan mereka menyiapkan seratus orang dari daerah masing-masing dan 150<br />

orang dari daerah Rejang. Selanjutnya, terkumpul sebanyak 250 orang.<br />

Menghadapi kekuatan Belanda yang besar, membuat pasukan Melayu mundur<br />

melalui Sungai Lakitan. Akibatnya, hubungan dengan Muara Bliti pulih kembali.<br />

Usaha itu cukup berhasil, sehingga pada 2-3 April 1819 pasukan Belanda dapat<br />

melanjutkan perjalanan meninggalkan Ujan Panas menuju dusun Ulu Lebar<br />

(posisinya di tengah-tengah antara Ujan Panas dan Tabah Jemeke), tanpa<br />

gangguan apapun (ANRI, Bundel Palembang No. 66.7; Woelders, 1975: 101).<br />

Berbagai peristiwa tersebut, menunjukkan bahwa pemerintah Inggris di<br />

Bengkulu tetap berkeinginan untuk menduduki wilayah Palembang. Terbukti<br />

dengan adanya suplai mesiu, dana dan candu terhadap pasukannya yang<br />

bergabung dengan orang-orang Melayu. Bergabungnya pasukan Inggris dengan<br />

orang-orang Melayu, dimungkinkan agar keberadaan mereka tidak terlalu tampak<br />

di mata pemerintah Belanda, sekaligus untuk menambah kekuatan.<br />

Banyaknya perlawanan yang dihadapi oleh pasukan Muntinghe,<br />

membuatnya mengabarkan hal itu kepada Sultan Badaruddin II di ibu kota. Sultan<br />

Badaruddin II menanggapinya dengan mengirimkan Ngambai Balmi (utusan<br />

Sultan untuk mengetahui kondisi yang sesungguhnya di daerah tersebut).<br />

Setibanya di Rantau Menitang, utusan itu mendapat informasi bahwa di Muara<br />

Rawas, orang-orang Melayu telah berhasil membangun benteng dan persenjataan<br />

untuk melawan Belanda. Selanjutnya Ngambai Balmi meneruskan perjalanan<br />

menuju pusat pertahanan Muntinghe di Ujan Panas. Setibanya di sana, ia ditahan<br />

dengan alasan berbagai perlawanan yang terjadi di daerah itu berkaitan dengan<br />

Sultan Badaruddin II. Menurut Muntinghe telah terjadi persekongkolan antara<br />

para pemberontakan dan Sultan Badruddin II (Woelders, 1975: 123-124).<br />

Menyadari kemampuan militer pasukannya lemah, Muntinghe menempuh<br />

jalur damai dalam usaha meredam perlawanan orang-orang Melayu. Melalui<br />

depati Lobo Mumpa dan Pangeran Muara Kati, Muntinghe berhasil mengajak<br />

Panglima Prang untuk berunding. Dari perundingan-perundingan yang mereka<br />

lakukan, terungkap bahwa motif mereka mengobarkan perlawanan terhadap<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


197<br />

Belanda disebabkan adanya dorongan dari Sultan Badaruddin II, ditambah<br />

kerjasama yang ditawarkan oleh pihak pasukan Inggris dari Bengkulu. Pernyataan<br />

itu didukung pula oleh Pangeran Semangus 155 . Menurut Pangeran Semangus,<br />

Sultan Badaruddin II menjanjikan imbalan hadiah dan kedudukan kepada setiap<br />

orang yang mau bekerjasama dengan orang-orang Melayu. Pada kesempatan itu<br />

pula, Pangeran Semangus menyatakan bahwa beberapa orang dari distrik Blida<br />

telah bergabung dengannya untuk menyusun kekuatan melawan pasukan Belanda.<br />

Dengan pengakuan itu, posisi Pangeran itu berubah dari pendukung setia menjadi<br />

musuh Belanda. Selanjutnya, Pangeran itu menuntut agar meriam, dan beberapa<br />

senapan yang ditempatkan di perahu milik Belanda Ganda Pospita diserahkan<br />

kepadanya, dengan dalih untuk melindungi persenjataan tersebut. Menghadapi<br />

ulah Pangeran Semangus, Muntinghe menempuh cara ekstra hati-hati, dengan<br />

pertimbangan Pangeran itu memiliki banyak pengikut. Kondisi semakin tegang<br />

dengan beredarnya kabar, bahwa telah siap melakukan perlawanan sebanyak<br />

empat sampai lima ratus orang Melayu dan Blida di Muara Rawas dan Muara<br />

Klingi. Pusat perlawanan mereka adalah di dusun Semangus (ANRI, Bundel<br />

Palembang No. 66.7; Kielstra, 1892: 93-94). Suatu kondisi kritis terjadi pada<br />

waktu itu. Orang-orang Melayu yang sebelumnya mendukung pasukan Belanda<br />

berubah menjadi musuh. Muntinghe berkeyakinan bahwa semua itu terjadi, akibat<br />

campur tangan Sultan Badaruddin II.<br />

Dalam posisi terdesak, Muntinghe mencoba melakukan pendekatan<br />

dengan mengirimkan utusan depati Lobo Rombi, depati itu membawa undangan<br />

tertulis dari Muntinghe kepada semua depati di sana, khususnya Pangeran<br />

Semangus agar secepatnya menemuinya di Muara Bliti. Undangan itu bertujuan<br />

untuk membahas masalah berkumpulnya orang-orang Melayu dan Blida, dan<br />

mengaitkan masalah tersebut dengan keamanan di daerah mereka masing-masing.<br />

Muntinghe juga memerintahkan depati Lobo Rombi untuk melakukan tugas<br />

rahasia yaitu untuk memastikan posisi depati Muara Rawas, apakah sudah<br />

memihak lawan atau tidak. Hasil dari misi yang diemban oleh Depati Lobo<br />

Rombi, diketahui bahwa para depati di hilir Rawas, tidak bisa memenuhi<br />

155 Pangeran Semangus adalah depati dari dusun Semangus yang sebelumnya<br />

memihak Belanda, berubah arah menjadi mendukung Sultan Palembang (ANRI, Bundel<br />

Palembang No. 66.7)<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


198<br />

undangan Muntinghe karena mereka telah terisolir. Gerakan mereka diawasi<br />

secara`ketat oleh orang-orang Melayu. Apabila mereka nekat memenuhi undangan<br />

tersebut, dusun-dusun mereka akan dibakar habis oleh orang-orang Melayu.<br />

Walaupun demikian, para depati di hulu Muara Rawas, antara lain depati Muluk,<br />

Danguan Lakitan, Pangeran Mendanawauwer dan Pangeran Semangus<br />

menyatakan kesediaan mereka untuk hadir. Bagi Pangeran Semangus, kesediaan<br />

hadir pada undangan itu merupakan strateginya untuk menyerang pasukan<br />

Belanda dari belakang. Sebaliknya, pasukan gabungan Melayu dan Blida akan<br />

menyerang dari arah depan (ANRI, Bundel Palembang No. 66.7).<br />

Untuk memperkuat kedudukannya yang lemah, Muntinghe meminta<br />

bantuan ke ibu kota sebanyak empat puluh serdadu di bawah pimpinan Steffens,<br />

dan beberapa perahu milik Pangeran dan para mantri. Dalam rombongan itu,<br />

terdapat pula perahu milik Kimas Tumenggung (kepala para mantri di Kesultanan<br />

Palembang), bahkan Kimas Tumenggung ikut mengiringi pasukan itu sampai<br />

Muara Bliti. Bersama-sama dengan Muntinghe, Kimas Tumenggung membahas<br />

berbagai strategi untuk melumpuhkan perlawanan gabungan orang-orang Melayu,<br />

Blida dan Semangus (ANRI, Bundel Palembang No. 66.7). Sampai saat itu jelas<br />

terlihat bahwa pihak Sultan yang diwakili oleh Kimas Tumenggung tetap berpihak<br />

kepada pasukan Muntinghe.<br />

Pangeran Semangus, yang telah menyatakan kesediaannya hadir dalam<br />

pertemuan yang digagas oleh Muntinghe tiba di sana. Kehadirannya sangat<br />

ditunggu dalam rangka menjelaskan keterlibatannya dalam komplotan menentang<br />

kehadiran pasukan Belanda di uluan. Muntinghe juga bermaksud mendapatkan<br />

tambahan tenaga pendayung dari Pangeran Semangus sebagaimana yang<br />

dijanjikan oleh Pangeran Semangus. Sesuai dengan kesepakatan, Muntinghe<br />

bersedia menerima kehadiran Pangeran Semangus pada siang hari. Waktu siang<br />

hari sengaja dipilih agar pasukan Belanda siaga, seandainya Pangeran Semangus<br />

merencanakan suatu pemberontakan. Kedatangan Pangeran Semangus disambut<br />

oleh Letnan artileri de Sturler. Dalam peristiwa penyambutan itu, Pangeran<br />

Semangus bersikeras untuk tidak menyerahkan tenaga pendayung yang<br />

dibawanya kecuali kepada Muntinghe secara langsung, sedangkan Muntinghe<br />

menolak permintaan tersebut. Akibatnya, terjadi insiden penusukan oleh Pangeran<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


199<br />

Semangus terhadap Letnan de Sturler yang menyebabkannya terluka, Dengan<br />

penusukan itu, Pangeran Semangus dibunuh oleh salah seorang serdadu Belanda,<br />

sedangkan salah seorang pembantu Pangeran yang berusaha membantunya juga<br />

ditikam. Peristiwa itu menyulut kemarahan para serdadu Belanda, sehingga<br />

keesokan harinya pasukan Belanda menyusuri sungai yang menuju dusun<br />

Semangus, yang membuat penduduk setempat merasa ketakutan. Akhirnya,<br />

kesepakatan dicapai untuk menempatkan Pangeran Muara Kati (saudara kandung<br />

Pangeran Semangus yang menyandang gelar aria) untuk juga mengemban jabatan<br />

sebagai kepala dusun Semangus (ANRI, Bundel Palembang No. 66.7; Woelders,<br />

1975: 101).<br />

Pertemuan dengan para depati di Muara Bliti yang sudah dirancang<br />

sebelumnya, berjalan lancar. Kesepakatan yang dihasilkan adalah mengusir orangorang<br />

Melayu keluar wilayah Kesultanan Palembang melalui Lakitan dan Rupit.<br />

Usaha itu bukan hal mudah untuk dilaksanakan karena mendapat perlawanan yang<br />

gigih dari orang-orang Melayu. Akhirnya Muntinghe memutuskan untuk kembali<br />

ke ibu kota Palembang. Dalam perjalanan itu, mereka sering kali mendapat<br />

serangan, sehingga pada 17 Mei 1819 mereka terpaksa melewati Muara Rawas, di<br />

sana pun banyak mendapat gangguan. Dengan susah payah payah pasukan<br />

Belanda berhasil mencapai ibu kota Palembang (ANRI, Bundel Palembang No.<br />

66.7; Kemp, 1898: 288-389; Kielstra, 1892: 93).<br />

Dari uraian sebelumnya, dapat ditegaskan bahwa sejak pemindahan<br />

kekuasaan dari Inggris ke Belanda, kondisi di Palembang terus bergolak.<br />

Beberapa orang wakil pemerintah Belanda di Palembang belum berhasil<br />

mengendalikan situasi di Kesultanan Palembang. Sehubungan dengan itu,<br />

pemerintah pusat Belanda di Batavia mengirimkan Komisaris Muntinghe untuk<br />

menyelesaikan permasahan di sana. Langkah radikal yang ditempuh oleh<br />

Muntinghe adalah membagi kekuasaan antara Belanda, Sultan Najamuddin II dan<br />

Sultan Badaruddin II. Pembagian tersebut menyebabkan Sultan Najmauddin II<br />

merasa tersisih dan bereaksi dengan mengundang pasukan Inggris dari Bengkulu<br />

untuk menyelamatkan diri dan keluarganya sebagaimana pernah terjadi tahun<br />

1813.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


200<br />

Masuknya pasukan Inggris, menempatkan Palembang dan Belanda pada<br />

kondisi konflik dengan Inggris di ibu kota Palembang dan uluan (Muara Bliti).<br />

Mulai dari kehadiran pasukan Kapten Salmond sampai ekspedisi kedua pasukan<br />

Belanda di bawah pimpinan Muntinghe ke Muara Bliti dan Rejang. Konflik yang<br />

terjadi berulang kali disebabkan masuknya pasukan Inggris ke wilayah<br />

Kesultanan Palembang. Sebagai penguasa wakil pemerintah Belanda untuk<br />

Palembang, Muntinghe harus ekstra hati-hati menghadapi pasukan Inggris, agar<br />

tidak menyulut konflik internasional antara kedua negara. Muntinghe juga<br />

dihadapkan dengan penduduk Palembang yang terbelah antara pendukung Sultan<br />

Badaruddin II dan Sultan Najamuddin II. Semua itu membutuhkan kewaspadaan<br />

dan kesabaran serta ketegasan dalam menghadapinya. Dalam rangka mengambil<br />

hati rakyat di uluan,Muntinghe melakukan berbagai terobosan pembangunan dan<br />

rancangan ke depan yang akan memberikan keuntungan khususnya bagi Belanda.<br />

Komisaris Muntinghe sangat berkeinginan untuk mengusir pasukan<br />

Inggris di uluan, dan mengerahkan segala daya upaya untuk mewujudkannya.<br />

Komisaris Muntinghe mengabaikan peringatan dari pihak militer dan gelagat<br />

Sultan Badaruddin II yang mencurigakan. Sesungguhnya, sejak awal Muntinghe<br />

kurang percaya kepada Sultan Badaruddin II. Hal itu terlihat dari sebagian isi<br />

laporannya ke Batavia pada 10 Juli 1818 dan 31 Oktober 1818 serta suratnya<br />

kepada Wolterbeek. Dalam suratnya Muntinghe menyatakan bahwa dirinya akan<br />

berhati-hati dan lebih mencermati sikap Sultan Badaruddin II yang patut dicurigai.<br />

Untuk itu Muntinghe membutuhkan tambahan militer sebesar 1200 orang. Dengan<br />

kekuatan sebanyak itu akan mampu mematahkan setiap perlawanan terhadap<br />

pemerintah Belanda di Palembang (Bataviaasche Courant, 26 Juni 1819; Kemp,<br />

1900: 428). Kecurigaan itu tidak berlangsung lama, hanya dalam waktu enam<br />

bulan Muntinghe sudah mampu mempercayai Sultan Badaruddin II sepenuhnya<br />

dengan berangkat ke uluan. Ekspedisi itu mengerahkan seluruh pasukan Belanda<br />

di Palembang (Laporkan Gubernur Jenderal kepada menteri koloni pada 6<br />

Agustus 1819) (Kemp, 1900: 430). Muntinghe juga dihadapkan pada masalah<br />

sulit dengan munculnya berbagai perlawanan terhadap pasukannya di pedalaman,<br />

sehingga baru berhasil mencapai ibu kota Palembang pada Mei 1819.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


201<br />

BAB 5<br />

PERANG PALEMBANG (1819 dan 1821)<br />

Pada 1819 terjadi dua kali peperangan (Juni dan Oktober 1819) antara pasukan<br />

Palembang dan pasukan Belanda. Terjadinya peperangan pertama disebabkan<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


202<br />

Sultan Badaruddin II bermaksud untuk melepaskan diri dari dominasi pemerintah<br />

kolonial Belanda yang diwakili oleh Muntinghe dan aparatnya. Peperangan kedua,<br />

karena pemerintah Belanda ingin membalas atas kekalahan mereka pada<br />

peperangan pertama. Dua kali peperangan itu memberi pelajaran berharga bagi<br />

pasukan ekspedisi Belanda, karena dalam dua peperangan itu mereka dikalahkan.<br />

Sebaliknya, Bagi Kesultanan Palembang, peperangan ini memberikan rasa<br />

percaya diri bahwa mereka mampu melepaskan dari pengaruh Belanda.<br />

Kekalahan itu diperparah dengan kesulitan mengatasi perlawanan rakyat Pulau<br />

Bangka, baik setelah perang pertama maupun perang kedua. Kemenangan<br />

Palembang melawan Belanda memberikan semangat baru kepada mereka untuk<br />

terus melanjutkan peperangan di tengah blokade yang dilancarkan oleh Belanda<br />

terhadap Kesultanan Palembang.<br />

Berbagai cara ditempuh oleh penduduk Palembang untuk meminimalisir<br />

dampak negatif dari blokade yang dilakukan oleh armada dan pasukan Belanda.<br />

Masalah tersebut menjadi penting bagi Kesultanan Palembang, karena untuk<br />

memasuki Kesultanan Palembang selain Bangka-Belitung hanya bisa melalui<br />

muara Sungai Musi yang dikenal dengan nama Sunsang. Dengan demikian,<br />

menutup Sunsang berarti ―membunuh‖ Palembang. Oleh sebab itu, usaha-usaha<br />

yang ditempuh untuk tetap bertahan adalah suatu hal yang penting bagi<br />

Palembang. Selain itu, untuk membalas kekalahan di Palembang, Belanda juga<br />

menempuh berbagai strategi penting, karena kekalahan dalam dua kali peperangan<br />

itu merupakan pukulan berat yang harus ditanggung oleh pihak Belanda.<br />

Berbagai persiapan dilakukan oleh pihak kolonial Belanda untuk<br />

membalas kekalahan terhadap Palembang pada 1819. Kepemimpinan ekspedisi<br />

dipegang langsung oleh Jenderal Mayor H.M, yang sebelumnya hanya bertindak<br />

dibelakang layar. Persiapan militer pada waktu itu terdiri dari armada yang besar<br />

dan kekuatan tempur yang kuat. Sementara itu, pihak Palembang juga melakukan<br />

hal yang sama, sebab cepat atau lambat pasti pihak Belanda akan melancarkan<br />

serangan terhadap kawasan itu. Ternyata persiapan yang telah dilakukan, tidak<br />

mampu menghentikan serangan dahsyat yang dilancarkan oleh pasukan Belanda<br />

di bawah pimpinan H.M. de Kock. Pada peperangan itu (1821), pihak Palembang<br />

harus mengakui keunggulan pasukan tempur Belanda. Sultan Badaruddin II dan<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


203<br />

pengikutnya dibuang ke Ternate, dan tetap sebagai ―orang buangan‖ sampai akhir<br />

hayatnya.<br />

5.1 Menjelang Perang dan Perang Palembang Pertama<br />

Dengan dibuangnya Sultan Mudo, Sultan Tuo menjadi satu-satunya sultan yang<br />

berkuasa di Kesultanan Palembang. Akan tetapi, walaupun posisinya telah<br />

dikembalikan sebagai satu-satunya sultan Palembang, ia tidak memiliki banyak<br />

kekuasaan sebagaimana tahun-tahun sebelum 1812 (Bangka tetap di tangan<br />

Belanda). Kini Sultan hanya berkuasa di sebagian wilayah Palembang, selebihnya<br />

berada di bawah kendali pemerintah Hindia Belanda. Untuk itu, Sultan menyusun<br />

rencana untuk mendapatkan kembali kekuasaannya. Beberapa faktor yang<br />

mendukung usahanya itu adalah adanya intervensi Inggris dari Bengkulu. Hal itu<br />

menyebabkan Komisaris Muntinghe memfokuskan perhatiannya pada masalah<br />

itu, sehingga melakukan ekspedisi ke pedalaman dalam jangka waktu lima<br />

bulan 156 . Faktor lainnya adalah karena dibuangnya Sultan Mudo bersama<br />

pengikutnya ke Pulau Jawa (ANRI, Bundel Palembang No. 5.1).<br />

Selama Muntinghe tinggal di pedalaman, memberi peluang besar bagi<br />

Sultan Badaruddin II mempersiapkan diri guna merebut kembali kebebasannya.<br />

Orang-orang Belanda yang tinggal di ibu kota mengamati sikap Sultan<br />

Badaruddin II yang mulai mencurigakan, namun mereka tidak mampu berbuat<br />

apa-apa. Kondisi itu tidak mudah untuk disampaikan ke uluan, karena sulitnya<br />

hubungan ke pedalaman melalui jalur sungai yang membutuhkan waktu lama.<br />

Sementara itu, Muntinghe banyak mendapat perlawanan rakyat di pedalaman. Ia<br />

menuduh semua itu berkaitan erat dengan Sultan. Akibatnya, setibanya di<br />

Palembang pada 20 Mei 1819, Muntinghe langsung memanggil Sultan, dan<br />

meminta pertanggungjawaban Sultan atas apa yang menimpa pasukannya di<br />

uluan. Sebaliknya, Sultan Badaruddin II menyatakan bahwa dirinya tidak terlibat<br />

156 Selama di pedalaman Muntinghe dan pasukannya melakukan pendekatan<br />

kepada penduduk setempat yang sempat melarikan diri ke hutan, karena adanya<br />

ekspedisi pasukan Inggris. Muntinghe juga melakukan penelitian tentang keadaan<br />

penduduk dan potensi alam di sana, membuat jalan, menganjurkan penduduk untuk<br />

menanam kopi dan lada.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


204<br />

dalam masalah tersebut. Pada kesempatan itu Muntinghe menuntut agar Sultan<br />

menyerahkan beberapa orang pangeran dan bangsawan sebagai jaminan agar hal<br />

serupa tidak terulang. Sehubungan dengan permintaan tersebut, Sultan<br />

Badaruddin II menjawabnya dengan menyatakan bahwa dirinya berjanji akan<br />

menyerahkan para sandera yang dimaksud 157 (ANRI, Bundel Palembang No. 67;<br />

Bataviaasch Courant, 4 Agustus 1821).<br />

Sultan Badaruddin II memiliki pengaruh besar terhadap bangsawan dan<br />

penduduk, sehingga dengan mudah mendapat dukungan besar dari para<br />

bangsawan. Selanjutnya, langkah yang diambil oleh Sultan adalah membenahi<br />

sistem pemerintahan, setelah ditinggalkan oleh Sultan Najamuddin II. Di samping<br />

itu, Sultan juga mengawasi jalannya pemerintahan yang selama pemerintahan<br />

Sultan Najamuddin II cenderung disalahgunakan oleh golongan bangsawan.<br />

Sultan juga mengakhiri berbagai pungutan, penindasan dan menerapkan hukum<br />

yang jelas khususnya di daerah uluan. Sultan juga memperkokoh pertahanan<br />

keraton 158 , menyiagakan perahu-perahu perang di sebelah hulu dan hilir keraton,<br />

membangun kubu pertahanan di muara Sungai Ogan (ANRI, Bundel Palembang<br />

N0. 5.1; No. 67; Bataviaasch Courant, 4 Agustus 1821).<br />

Di pihak lain, Muntinghe juga memperkokoh kekuatan militernya dengan<br />

cara mengajukan permintaan ke Batavia. Sesuai permintaan tersebut, pada 4 Mei<br />

1819 tiba di ibu kota Palembang sebanyak 209 orang serdadu. Para serdadu itu<br />

diangkut dengan menggunakan kapal Elisabeth di bawah pimpinan Mayor<br />

Tierlam. Mereka ditempatkan di keraton Kuto lamo. Langkah lain yang ditempuh<br />

oleh Muntinghe adalah menuntut Residen Bangka 159 Smissaert terlibat aktif untuk<br />

157 Menurut Woelders, bahwa Sultan Badaruddin II menanggapi tuntutan<br />

tersebut dengan jawaban “melawan tiada, dikasihkan tidak” (Woelders, 1975: 125-126).<br />

Dari pernyataan itu tampak bahwa Sultan Badaruddin II sudah siap melawan, dengan<br />

tidak memenuhi permintaan Muntinghe tersebut.<br />

158 Di keraton Kuto Besok ditempatkan meriam di buluarti (empat sudut keraton), sebelah<br />

hulu dikomandoi oleh Pangeran Kramadiraja, sebelah hilir dipimpin Pangeran Kramajaya, sebelah<br />

darat bagian hilir dipimpin Pangeran Citra Saleh dan gerbang keraton dikendalikan oleh empat<br />

orang mentri (Woelders, 1975; 126).<br />

159 Sejak Komisaris Muntinghe mengendalikan kekuasaan Belanda di Kesultanan<br />

Palembang, pusat pemerintahan Belanda dipindahkan ke ibu kota Palembang. Kedudukan Belanda<br />

di Pulau Bangka-Belitung dikendalikan oleh Residen Smissaert. Pertahanan dan keamanan di<br />

kedua pulau itu sangat minim, sedangkan pulau-pulau di daerah itu sejak dahulu terkenal sebagai<br />

tempat bersarangnya para bajak laut (elanong). Kawasan tersebut pada abad XV menjadi pusat<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


205<br />

memperkuat Palembang. Untuk itu, hampir semua aparat militer yang terdiri dari<br />

lima puluh orang serdadu, tiga puluh mesiu (separuh dari seluruh mesiu), kapalkapal<br />

perang dan perahu-perahu di Muntok dikerahkan ke Palembang. Yang<br />

tersisa hanya kapal Zeehond dan beberapa perahu. Meskipun demikian,<br />

tampaknya Muntinghe belum puas, sehingga pada 5 Juni 1819 ia menuntut agar<br />

Smissaert secepatnya bergabung dengannya di Palembang. Akan tetapi, Smissaert<br />

tidak sependapat dengan rencana tersebut. Menurut Smissaert, tidak hanya ibu<br />

kota Palembang yang harus dipertahankan, tetapi juga pangkalan Muntok.<br />

Apalagi pada saat itu para perwira yang tersisa di Muntok adalah orang-orang<br />

yang tidak berguna karena pemabuk dan pemalas 160 . Akibatnya, pertahanan<br />

Belanda di Muntok jauh lebih lemah dibandingkan daerah lainnya. Keadaan itu<br />

memaksa Smissaert mendesak Gubernur Jenderal untuk segera mengirimkan<br />

tambahan pasukan, kapal, perahu, mesiu, peluru, amunisi, beras, dan minyak serta<br />

uang. Permintaan itu disampaikan melalui suratnya pada Juni 1819.<br />

Sesungguhnya, permintaan itu sudah diajukan Smissaert sejak satu tahun<br />

sebelumnya, namun belum mendapat respon na sehingga Smissaert frustasi. Atas<br />

berbagai pertimbangan tersebut, Smissaert berketetapan hati untuk tidak<br />

meninggalkan Bangka yang sangat rawan. Daerah itu menjadi sasaran empuk<br />

para bajak laut, dan penolakan itu berarti ia harus berhadapan dengan Muntinghe<br />

sebagai seorang pembangkang atasannya (ANRI, Bundel Palembang No.67;<br />

Missive van Smissaert 11 Juni 1819 No. Litt A Algemeneen Secretarie; Besluit<br />

van Gouverneur Generaal 5 Agustus 1819 No. 1, Bundel Algemeen Secretarie).<br />

Dengan tibanya berbagai bala bantuan tersebut, total serdadu Belanda di<br />

Palembang mencapai sekitar 500 orang. Selanjutnya, kepemimpinan pasukan<br />

elanong. Akibatnya, pantai-pantai di pesisir pulau itu menjadi daerah rawan dari serangan dan<br />

pendudukan elanong. Contohnya pada 28 Mei 1819 para elanong menyerang benteng Belanda di<br />

Toboali, sehingga empat puluh serdadu Belanda mundur ke Bayor dan Pangkal Pinang. Para<br />

elanong mengusai benteng dan gudang timah Belanda di sana. Usaha merebut kembali Toboali<br />

berhasil setelah Smissaert dan Kapten Snoeck mengerahkan empat puluh orang serdadu (ANRI,<br />

Bundel Palembang No. 67; ANRI, Besluit van Gouverneur Generaal 5 Agustus 1819 No. 1,<br />

Bundel Algemeen Secretarie; Lapian, 2009:137-138). Kemenangan itu memberi mereka semangat<br />

untuk terus bertahan, walaupun tidak memiliki persenjataan yang cukup.<br />

160 Para perwira tersebut antara lain: Donker, Kansjeboom, letnan Burry dan<br />

Letnan Kaseboom, sedangkan dua lainnya yaitu Letnan Alewijn dan Goozens sedang<br />

sakit (ANRI, Besluit van Gouverneur Generaal 5 Agustus 1819 No. 1, Bundel Algemeen<br />

Secretarie).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


206<br />

diserahkan oleh Muntinghe kepada Mayor Tierlam. Sementara itu, kondisi di ibu<br />

kota Palembang semakin genting, karena di keraton Kuto Besak terjadi kesibukan<br />

luar biasa yang mencurigakan. Kesibukan itu menimbulkan protes dari Muntinghe<br />

yang menuntut agar aktifitas itu dihentikan. Meskipun demikian, pihak Belanda<br />

juga mempersiapkan diri dengan menyiagakan kapal perang Ajax (berkekuatan<br />

enam belas meriam ukuran delapan pon), Eendracht (berkekuatan 32 meriam<br />

ukuran tiga puluh pon) di bawah komando Kapten Letnan Taki Bakker dan<br />

Letnan klas-1 J. van Ginkel (ANRI, Bundel Palembang No. 67; Kielstra, 1892:<br />

94).<br />

Masing-masing pihak dalam posisi siaga, persiapan Sultan Badaruddin II<br />

sudah matang, ditandai dengan telah siaganya berbagai persenjataan yaitu meriam,<br />

granat, lila, tombak, pedang dan senapan. Untuk memantapkan kesiapan mental,<br />

Sultan mmerintahkan agar dilakukan zikir 161 , yang pelaksanaannya dilakukan di<br />

luar keraton sehingga suaranya sampai ke keraton Lamo tempat para serdadu<br />

Belanda ditempatkan. Suara zikir itu menyebabkan sebelas serdadu Belanda<br />

memeriksa lokasi tersebut. Kehadiran serdadu-serdadu itu memicu terjadinya<br />

bentrokan senjata. Dalam ―insiden‖ itu Haji Zain memimpin penyerangan<br />

terhadap sebelas serdadu Belanda, dan pertempuran antara kedua belah pihak<br />

tidak terhindarkan. Dalam pertempuran itu Haji Zain, Kemas Said, dan Haji<br />

Lanang terbunuh (Woelders, 1975: 103, 124; Syair Perang Muntinghe).<br />

Dalam kondisi genting itu, para serdadu Palembang juga mengarahkan<br />

meriam-meriam ke kapal-kapal dan garnizun Belanda. Sultan juga mengumpulkan<br />

rakyat Palembang, lengkap dengan persenjataan mereka masing-masing.<br />

Menjelang magrib pada 11 Juni 1819, pihak Belanda menempatkan kapal perang<br />

Ajax di depan keraton Sultan. Dua kompi dari resimen infanteri ke-3 disiagakan di<br />

keraton Kuto Lamo. Pada malam harinya pukul 22.00, dua orang Pangeran<br />

Adipati menghadap Muntinghe untuk menyampaikan jawaban Sultan Badaruddin<br />

161 Dalam “Syair Perang Muntinghe/Perang Menteng atau Perang Palembang”<br />

disebutkan bahwa ajaran tasawuf menjadi aspek penting dalam kehidupan keraton<br />

maupun rakyat. Dengan demikian, peran para “haji” menjadi begitu sentral (bait 7, 8, 9,<br />

10, 11, 12), terbukti dari pembacaan zikir secara bersama-sama dalam rangka persiapan<br />

perang. Syair ini juga menggambarkan perang jihad rakyat Palembang melawan kolonial<br />

Belanda yang kafir (bait 1, 6, 21, 33, 55, 74, 118, 118-122, 144, 146, 162, 173, 191-192,<br />

204, 210, 247).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


207<br />

II. Pada intinya Sultan sepakat untuk menyerahkan Pangeran Ratu dan beberapa<br />

orang pangeran lainnya, sesuai tuntutan Muntinghe dan telah menghentikan<br />

semua aktivitas ―mencurigakan‖ pihak Belanda di dalam keraton (ANRI, Bundel<br />

Palembang No.67; Missive van Banca 14 Juni 1819 Bundel Algemeen Secretarie).<br />

Sampai saat itu kondisinya genting, menunggu terjadinyanya perang antara dua<br />

kubu yang berlawanan.<br />

Perang Palembang dimulai dengan serangan singkat terhadap pasukan<br />

Belanda pada pukul 03.30, 12 Juni 1819. Penyerangan itu merupakan aksi balasan<br />

atas<br />

insiden penembakan yang dilakukan oleh serdadu Belanda, yang<br />

menyebabkan seorang penduduk Palembang terbunuh. Melihat situasi yang ada,<br />

Muntinghe mengambil sikap dengan memerintahkan Mayor Tierlam agar segera<br />

membawa pasukannya meninggalkan keraton Kuto Lamo. Mereka diperintahkan<br />

untuk menghuni sebuah bangunan yang tengah dibangun untuk kebutuhan<br />

mereka. Pada saat pasukan Belanda tengah menuju bangunan tersebut, mereka<br />

diserang oleh laskar Palembang sehingga meletus pertempuran (ANRI, Bundel<br />

Palembang No. 67; ANRI, Missive van Smissaert 11 Juni 1819 No. Litt A<br />

Algemeneen Secretarie).<br />

Dalam pertempuran itu, laskar Palembang di bawah pimpinan putera-putera<br />

Sultan Badaruddin II, antara lain Pangeran Ratu, dan Pangeran Prabu. Terlibat<br />

pula secara langsung adik Sultan yaitu Pangeran Adipati Tuo dan dua orang<br />

menantu Sultan yaitu Pangeran Kramadiraja dan Pangeran Kramajaya. Dari<br />

keraton mereka mengarahkan serangannya kepada kapal-kapal Belanda yang<br />

tengah ditempatkan di depan keraton. Digambarkan dari naskah lokal yang<br />

dikutip oleh Woelder (Woelders, 1975: 126) sebagai berikut:<br />

―…bergeraklah bumi dan berguncanglah air laut. Maka gegak<br />

[gegap] gempitalah negeri Palembang, gemuruh seperti langit<br />

akan runtuh. Dan bunyi meriam seperti bunyi halontar<br />

[halilintar] membelah bumi bunyinya. Tiada nampak sesuatu lagi<br />

oleh asap bedil, hanyalah kilat meriam juga yang nampak<br />

muncar ke langit. Demikianlah halnya perang itu terlalu<br />

besarnya. Dan tiadalah kedengaran suatu lagi apa-apa, hanya<br />

bunyi meriam dan sorak seala ra‘yat laut dan darat. Dan waktu<br />

itu dahsatlah orang yang penakut dan lupalah kepada matinya<br />

orang yang berani‖.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


208<br />

Suatu gambaran yang mungkin berlebihan, akan tetapi penggambaran tersebut<br />

bisa jadi mewakili suasana pada waktu itu, mengingat naskah tersebut dibuat<br />

sezaman. Dengan pecahnya pertempuran tersebut, Kesultanan Palembang untuk<br />

pertama kalinya dihadapkan pada perang besar, yang menempatkan kedua kubu<br />

berhadap-hadapan secara langsung, suatu pengalaman yang luar biasa bagi<br />

penduduk Palembang pada waktu itu.<br />

Berita tentang meletusnya peperangan di perairan Sungai Musi, dan di<br />

depan keraton Sultan cepat menyebar. Mendengar kabar tersebut, Letnan de<br />

Vriesse segera meninggalkan posnya di muara Sungai Musi dan membawa perahu<br />

Kora-kora No. 10 menyusuri Sungai Upang (Opang). Selanjutnya, armada yang<br />

dipimpinnya memperkuat posisi Belanda dalam pertempuran yang tengah<br />

berkecamuk. Pasukan Belanda yang ditempatkan di rumah Demang Osman<br />

bergerak menuju loji Belanda untuk memperkuat kompi dari resimen ke-5, di<br />

tengah tembakan meriam dari pasukan Palembang. Usaha itu berhasil tanpa<br />

mengalami banyak kerugian. Pihak Belanda mengerahkan serangan dari kapal<br />

perang Ajax, Eendracht dan Ebbe, sedangkan laskar Palembang membalasnya<br />

dari keraton (ANRI, Bundel Palembang No. 67; ANRI, Missive van Smissaert 11<br />

Juni 1819 No. Litt A Algemenee Secretarie ; Waey, 1875: 104). Pada pertempuran<br />

itu, seluruh kekuatan Palembang dipusatkan di dalam keraton Kuto Besak yang<br />

merupakan kediaman Sultan Badaruddin II. Dalam pertempuran tersebut, Sultan<br />

secara langsung memberikan komando kepada para putera-putera, menantu dan<br />

adiknya Pangeran Adipati Tuo.<br />

Pertempuran pada hari itu berlangsung hingga senja, dan pada saat<br />

pertempuran mulai reda, pasukan Palembang melepas rakit-rakit yang dibakar 162 .<br />

Keberadaan rakit-rakit tersebut akan membakar kapal-kapal perang dan perahuperahu<br />

milik Belanda. Pasukan Palembang juga melepaskan batang-batang pohon<br />

besar yang dapat menghambat gerak laju armada Belanda. Melihat datangnya<br />

serangan tersebut, Letnan Vriesse melakukan manuver untuk melindungi perahu<br />

162 Rakit-rakit yang telah dibakar diluncurkan untuk menghantam kapal-kapal<br />

Belanda, sehingga kapal-kapal itu terbakar dan hancur (The Asiatic Journal, 1820). Rakitrakit<br />

itu terbuat dari bambu dan papan yang dibangun di atas rakit besar, yang dililitkan<br />

dengan tali rotan. Pembuatan rakit itu dipercayakan sultan kepada Raden Kijing (Waey,<br />

1975: 107; Woelders, 1975: 128).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


209<br />

Kora-kora no.10 dan melepaskan kapal-kapal Belanda dari kepungan rakit-rakit<br />

api tersebut. Para serdadu Belanda yang terluka dalam pertempuran itu segera<br />

dibawa ke atas kapal Elisabeth yang difungsikan sebagai rumah sakit. Pada petang<br />

hari itu juga di atas kapal Eendracht, terjadi kesepakatan antara Komisaris<br />

Muntinghe dan panglima armada laut Taki Bakker. Kesepakatan yang dicapai<br />

adalah bahwa pada keesokan harinya, mereka akan melancarkan serangan<br />

terhadap keraton. Untuk itu, kapal-kapal perang harus ditempatkan pada posisi<br />

sebelumnya yaitu di depan keraton. Selanjutnya, pasukan Palembang mundur dan<br />

mempersiapkan diri di dalam keraton guna mempersiapkan diri menghadapi<br />

berbagai kemungkinan yang akan terjadi selanjutnya (ANRI, Bundel Palembang<br />

No. 67; ANRI, Missive van Smissaert 11 Juni 1819 No. Litt A Algemeneen<br />

Secretarie; Woelders, 1975: 128).<br />

Pada 13 Juni 1819 laskar Palembang sudah siaga dengan segala persiapan<br />

untuk berjihad melawan pasukan Belanda. Di pihak lain sejak subuh pihak<br />

Belanda telah menempatkan kapal perang Eendracht, di bawah pimpinan Kapten<br />

Letnan Laut Taki Bakker di depan keraton. Di lokasi yang sama disiagakan pula<br />

kapal perang Ajax yang di pimpin Letnan Klas-1 J. van Ginkel. Selain itu, kapalkapal<br />

Belanda lainnya yang berbendera merah dan perahu Kora-kora no. 10<br />

ditempatkan di lokasi-lokasi strategis menghadap ke gerbang keraton.<br />

Pertempuran pada hari kedua, ditandai dengan diluncurkannya enam rakit dibakar<br />

oleh laskar Palembang. Selanjutnya, terjadi saling tembak dari kapal-kapal<br />

Belanda dengan laskar Palembang. Sambil membordir pasukan Palembang,<br />

pasukan Belanda mencoba mendekati gerbang keraton. Sesampainya mereka di<br />

sana, gerbang itu tidak berhasil mereka buka, meskipun telah mengerahkan<br />

berbagai cara. Akibatnya, posisi pasukan Belanda terjepit. Dari jendela di atas<br />

pintu gerbang keraton dan buluarti, laskar Palembang memberondong mereka<br />

dengan meriam dan lila, diantaranya salah seorang anggota laskar Palembang<br />

yaitu Rangga Satyagati berhasil membunuh salah seorang anggota pasukan<br />

Belanda. Pasukan Belanda terus melakukan perlawanan dengan menembaki<br />

dinding keraton yang tebal. Tampaknya, usaha pasukan Belanda untuk menembus<br />

tembok keraton sia-sia, karena tembakan-tembakan yang dilancarkan tidak banyak<br />

pengaruhnya terhadap tembok-tembok keraton yang tebalnya mencapai 7 kaki<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


210<br />

(2,13 meter) dengan tinggi 27-30 kaki (8,23-9,14 meter). Kejadian itu<br />

menimbulkan keheranan pada semua anggota pasukan Belanda. Setelah melihat<br />

ada peluang, langkah yang diambil oleh Mayor Tierlam dan Kapten van der Wijck<br />

adalah menyerbu gerbang keraton. Selanjutnya, kapal perang Ajax mengikutinya<br />

dengan menggunakan meriam-meriam panjang berukuran delapan pon, dan kapal<br />

Eendracht dengan meriam-meriam berukuran 24 pon. Semuanya dikerahkan<br />

untuk menguasai keraton. (ANRI, Bundel Palembang No. 67; ANRI, Bundel<br />

Palembang No. 5.1; ANRI, Missive van Smissaert 11 Juni 1819 No. Litt A<br />

Algemeneen Secretarie; Bataviaasch Courant, 4 Agustus 1821; ―Syair Perang<br />

Muntinghe‖; Woelders, 1975: 127-128).<br />

Melalui lubang yang mereka temukan pada tembok keraton, pasukan<br />

Belanda terus melepaskan tembakan ke arah pasukan Palembang. Sebaliknya, dari<br />

balik dinding keraton laskar Palembang gencar membalas pasukan Belanda<br />

dengan meriam-meriam, sehingga membuat pasukan Belanda sulit melindungi<br />

diri. Dalam posisi terdesak, pasukan Belanda terpaksa menarik diri dan tembakantembakan<br />

dari kapal-kapal Belanda mereda pada pukul 21.30. Hal itu disebabkan<br />

kapal-kapal dan perahu-perahu milik Belanda kehabisan amunisi. Perahu korakora<br />

nomor 10 ditarik dan ditempatkan di samping kapal Elizabeth. Pada 22.00<br />

seluruh kekuatan yang tersisa diangkut malam itu. Pada peperangan hari kedua<br />

itu, pihak Belanda mengalami kerugian dengan terbunuhnya delapan belas orang<br />

serdadu, dan 142 orang luka-luka (ANRI, Bundel Palembang No. 67; ANRI,<br />

Missive van Smissaert 11 Juni 1819 No. Litt A Algemeneen Secretarie).<br />

Besarnya kerugian yang diderita oleh pihak Belanda, menunjukkan bahwa<br />

pertempuran pada hari itu berlangsung sangat gigih dari kedua belah pihak, di<br />

pihak Palembang diperoleh data dari ―Syair Perang Muntinghe‖ bahwa yang<br />

gugur dalam pertempuran itu adalah Kemas Said, dan Sayyid Zain. Dapat<br />

disimpulkan bahwa mengingat pasukan Belanda ditopang oleh peralatan perang<br />

yang cukup canggih untuk ukuran pada waktu itu, dan habisnya amunisi yang<br />

mereka miliki, tentunya pertempuran itu sangat dahsyat dan menelan korban yang<br />

besar. Di samping itu, timbul pertanyaan mengapa pasukan Belanda kehabisan<br />

amunisi? Apakah disebabkan jumlah amunisi yang mereka siapkan terbatas, atau<br />

amunisi yang mereka muntahkan terlalu banyak dalam menghadapi perlawanan<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


211<br />

gigih laskar Palembang. Suatu kondisi diluar perkiraan mereka. Berbagai<br />

kemungkinan dapat terjadi, namun faktanya pasukan Belanda kehabisan amunisi<br />

sehingga memaksa mereka mundur.<br />

Setelah menarik pasukannya, pada tengah malam Muntinghe mengeluarkan<br />

instruksi untuk menyerang kubu-kubu pertahanan Palembang, namun sampai pagi<br />

dini hari pada 14 Juni 1819 tidak terjadi penyerangan terhadap kubu Palembang.<br />

Sebaliknya, yang terjadi adalah Muntinghe mengirim utusan Raja Akil dan<br />

Temenggung Sura 163 untuk menawarkan perdamaian kepada Pangeran Adipati<br />

Tuo. Apabila usulan itu ditolak, Muntinghe meminta waktu empat hari untuk<br />

mundur. Pada kenyataannya Sultan Badaruddin II menolak berdamai tetapi<br />

mengabulkan permintaan untuk mundur dalam jangka waktu empat hari<br />

(Woelders,1975: 128),. Setelah dua hari melakukan pertempuran dengan pasukan<br />

Palembang, pihak Belanda sangat menyadari bahwa sesungguhnya kemampuan<br />

pertahanan mereka semakin lemah. Untuk itu, Muntinghe memerintahkan agar<br />

semua serdadu maupun amunisi yang ada di Muntok dikerahkan ke Palembang.<br />

Akan tetapi, hal itu sulit diharapkan karena tidak ada lagi kekuatan militer yang<br />

dapat diandalkan di Muntok. Dalam keadaan terdesak, mereka memutuskan untuk<br />

mengerahkan semua kekuatan yang ada.<br />

Keesokan harinya pertempuran dilanjutkan. laskar Palembang terus<br />

melancarkan serangan terhadap kapal-kapal Belanda, baik menggunakan peluru,<br />

mesiu maupun dengan mengirimkan rakit-rakit dibakar. Akibatnya, kapal-kapal<br />

Belanda sulit bergerak dan mendaratkan pasukan. Pendaratan itu membutuhkan<br />

perahu-perahu, namun perahu yang mereka miliki semuanya sudah hancur dalam<br />

pertempuran sehari sebelumnya. Akibatnya, terpaksa menggunakan rakit-rakit<br />

yang menyebabkan gerak mereka menjadi lambat. Sementara itu, kapal-kapal<br />

yang ada tidak mampu melindungi rakit-rakit mereka. Dalam kondisi dikepung<br />

rakit-rakit yang dibakar dan berondongan serangan dari keraton, memaksa mereka<br />

mengevakuasi para serdadunya yang sakit dan terluka. Sementara itu, laskar<br />

Palembang semakin gencar menyerang kapal-kapal perang Belanda dan<br />

membakar barak pemukiman serdadu Belanda yang terbuat dari kayu dan bambu.<br />

163<br />

Dalam “Syair Perang Menteng” disebutkan bahwa yang diutus oleh<br />

Muntinghe adalah Pangeran Nataagama (bait 48), sedangkan waktu yang diminta untuk<br />

mundur adalah tiga hari (bait 60).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


212<br />

Akhirnya, pasukan Belanda meninggalkan arena pertempuran dan mundur. Dua<br />

pucuk meriam dan sebagian besar perlengkapan yang tertinggal jatuh ke tangan<br />

laskar Palembang. Dalam pertempuran itu tujuh orang serdadu Belanda terluka<br />

(ANRI, Bundel Palembang No. 67; ANRI, Missive van Smissaert 11 Juni 1819 No.<br />

Litt A Algemeneen Secretarie).<br />

Perang Pelembang berakhir dengan mundurnya armada Belanda menuju<br />

Sunsang. Bagi Palembang, kemenangan itu memberi mereka semangat untuk<br />

terus mempertahankan keberhasilan tersebut. Terdapat beberapa tokoh lain yang<br />

berperan dalam perang tersebut, termaktub di dalam ―Syair Perang Muntinghe‖<br />

antara lain Khatib Muhammad Saleh, Pangeran Puspawijaya, Pangeran<br />

Wirasentika, Pangeran Wiradiwangsa, Pangeran Puspadiraja, Haji Abdulrohim,<br />

Citrawijaya, Ranggadarpacita, Temenggung Citradinata, dan Haji Mas‘ud.<br />

Perang itu begitu membekas dalam sanubari masyarakat Palembang,<br />

tergambar dari bait-bait syair ―Perang Muntinghe‖ yang dicuplik di bawah ini.<br />

… Inilah konon mula pertama<br />

Holanda [Belanda] dan Ambon bersama-sama<br />

Indelir Menteng * Holanda nama<br />

Kornel Bakar jadi panglima<br />

… Pengeran membedil tiada terkira<br />

Bahananya sampai ke atas udara<br />

Rakyat kornel sangat sengsara<br />

Rupanya bagai lutung dan kera<br />

… Tersebutlah orang perang di darat<br />

Ada yang menikam ada yang mengerat<br />

Sosoknya bagai gelombang barat<br />

Rakyat baginda habislah larat<br />

… Orang membedil dari buluwarti<br />

Pelurunya datang tiada henti<br />

Pelurunya datang menuju hati<br />

Rakyat Holanda banyaklah mati<br />

… Menteng berkata terlalu gopoh<br />

Hendak disuruh minta tempoh<br />

Tiga hari lagi rakyat menempuh<br />

Serdadu banyak luka dan lumpuh<br />

… Kepada selikur hari selasa<br />

Pukul tujuh ketika masa<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


213<br />

Baginda membedil sangat perkasa<br />

Kapal Menteng rusak binasa<br />

… Berkatalah pula Kornel Bakar<br />

Perang kita terlalu sukar<br />

Sultan Ratu sangat pendekar<br />

Akhirnya kita jadi belukar<br />

Dijawab Menteng penghulu Belanda<br />

Perang kita sangatlah beda<br />

Orang Palembang seperti gerda<br />

Katanya di sini rupanya beda<br />

… Kornel menembak tiada henti<br />

Mana yang kena habislah mati<br />

Bangkit gembira Pangeran Bupati<br />

Melawan kornel bersungguh hati<br />

… Ramainya perang bukan kepalang<br />

Gemuruhlah sorak sekalian hulubalang<br />

Memasang meriam berulang-ulang<br />

Rakyat jendral banyaklah hilang<br />

… Undurlah musuh bersama-sama<br />

Kicinya dua kapalnya lima<br />

Diusir sekalian hulubalang panglima<br />

Larilah kapal di Salahnama (naskah ―Syair Perang Menteng‖, 1819).<br />

* Indelir Menteng = Muntinghe.<br />

Demikianlah penggambaran perang Palembang yang terekam dalam memori<br />

penulis syair perang itu. Suatu pertempuran yang berakhir dengan kemenangan di<br />

pihak Palembang. Syair ini tidak diketahui siapa pengarangnya, namun dapat<br />

dipastikan syair ini ditulis oleh golongan bangsawan yang kemungkinan besar ikut<br />

ambil bagian dalam peperangan tersebut. Sebagai sumber yang ditulis oleh orang<br />

Palembang sendiri, dan hidup sezaman dengan peristiwa tersebut, serta ditilik dari<br />

isinya semua menggambarkan perlawanan gigih dari orang-orang Palembang<br />

melawan pasukan kolonial Belanda.<br />

Para serdadu Belanda yang terbunuh (10 orang) dan terluka (70 orang)<br />

dibawa ke Muntok untuk dikubur dan diobati. Sementara itu, Muntinghe bersamasama<br />

dengan Kapten Insinyur van der Wijck (ahli strategi militer) dan Kapten<br />

Letnan Taki Bakker sepakat untuk bertahan di Plaju tidak meneruskan pelayaran<br />

ke Sunsang. Keputusan itu diambil karena masih berkeinginan melakukan<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


214<br />

serangan balik dari Plaju. Pada saat itu kekuatan militer yang tersisa adalah dua<br />

kapal perang yaitu Eendracht dan Ajax, dengan 350 orang serdadu. Para serdadu<br />

yang sakit dan terluka sebanyak 75 orang, dikirim ke Muntok menggunakan kapal<br />

Emma (ANRI, Besluit van Gouverneur Generaal 5 Agustus 1819 No. 1 Bundel<br />

Algemeen Secretarie).<br />

Pertahanan di Plaju tidak dapat dipertahankan, karena mereka mendapat<br />

serangan gencar dari pasukan Palembang. Akibatnya, pasukan Belanda tidak<br />

mampu bertahan dan Muntinghe memutuskan untuk seluruhnya mundur ke<br />

Bangka pada 19 Juni 1819, Tindakan itu menuai kritik dari banyak pihak. Para<br />

petinggi militer Belanda yakin bahwa seandainya pasukan mereka tetap bertahan<br />

di Plaju dan segera mendapat bantuan amunisi dari Batavia, dengan tambahan<br />

bantuan tersebut, mereka dapat segera kembali menyerang keraton Palembang.<br />

Artinya, apabila hal itu terjadi, kegagalan besar pada perang 1819 kemungkinan<br />

tidak terjadi. Kegagalan itu juga disesalkan oleh Waey, salah seorang yang terlibat<br />

dalam peperangan itu dalam memorinya. Ia menyatakan bahwa kegagalan itu<br />

disebabkan terkonsentrasinya semua kekuasaan militer baik darat maupun laut di<br />

tangan satu orang, yaitu Muntinghe yang bukan berasal dari militer, juga karena<br />

kekurangpahamannya tentang kekuatan militer yang dimiliki oleh Kesultanan<br />

Palembang. Akibatnya, sering terjadi kesalahan strategi. Kegagalan strategi<br />

militer Muntinghe dalam ―drama‖ di Kesultanan Palembang disebabkan<br />

ambisinya yang berlebihan dengan mengendalikan seluruh kekuatan militer di<br />

tangannya. Akibatnya, pihak Belanda mengalami kerugian yang besar (ANRI,<br />

Bundel Palembang No. 67; ANRI, No. 5.1; Bataviaasch Courant, 4 Agustus 1821;<br />

The Asiatic Juurnal 1820; Waey, 1875: 107).<br />

Terlepas dari kekecewaan yang dinyatakan oleh berbagai kalangan<br />

khususnya para petinggi di Batavia atas mundurnya pasukan Belanda ke Muntok,<br />

yang pasti, bahwa kondisi pada waktu itu tidak memungkinkan mereka untuk<br />

bertahan. Laskar Palembang tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk terus<br />

menggempur pasukan Belanda yang sudah berada pada posisi terdesak. Dari bait<br />

111—117 dari ―Syair Perang Muntinghe‖ jelas terlihat dukungan yang sangat<br />

besar dari para priyayi untuk menghancurkan kekuatan militer Belanda. Melihat<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


215<br />

dukungan tersebut, Sultan Badaruddin II memperlihatkan kebanggaan dan<br />

kebahagiaannya.<br />

Mundurnya pasukan Belanda ke Bangka hanya mampu membawa sisa-sisa<br />

peluru yang ada. Di antaranya, kapal perang Ajax membawa enam belas peluru<br />

berukuran delapan pon, dan Cunia membawa empat peluru berukuran dua belas<br />

pon. Peluru-peluru itu hanya layak digunakan untuk tembakan penghormatan,<br />

sedangkan peluru-peluru yang mereka butuhkan berukuran lebih besar yaitu 24<br />

pon. Selama di Muntok tidak banyak yang dapat mereka lakukan di sana. Kapalkapal<br />

yang mereka miliki umumnya dalam kondisi rusak 164 dan mereka tidak<br />

mampu memperbaikinya. Selanjutnya, kapal-kapal itu dikirim ke Jawa, dengan<br />

harapan para penguasa di sana segera menggantinya dengan yang baru. Kapalkapal<br />

yang sudah diperbaiki segera dikirim kembali ke Muntok, dengan<br />

membawa amunisi dan peluru yang mereka butuhkan (ANRI, Besluit van<br />

Gouverneur Generaal 5 Agustus 1819 No. 1 Bundel Algemeen Secretarie).<br />

Demikian kondisi militer pada saat itu, yang dapat mereka lakukan hanyalah<br />

menunggu tibanya bantuan dari Batavia.<br />

Empat hari kemudian (23 Juni 1819) Muntinghe memerintahkan Kapten<br />

Bakker untuk segera menutup muara Sungai Musi. Blokade itu dilakukan dengan<br />

cara menempatkan dua kapal perang yang tersisa yaitu Eendracht dan Ajax.<br />

Dengan demikian, Muntok tidak dipertahankan oleh satu kapal perang pun. Suatu<br />

keadaan yang sangat beresiko bagi keamanan Belanda di sana (ANRI, Bundel<br />

Palembang No. 66.10).<br />

Dengan memblokade muara Sunsang, pihak Belanda menutup jalur masuk<br />

ke ibu kota Palembang. Berarti impor Palembang terganggu, begitu pula<br />

sebaliknya semua komoditi dagang Palembang tidak dapat dipasarkan ke dunia<br />

luar. Blokade yang dijalankan adalah suatu cara untuk ―membunuh‖ Palembang,<br />

karena Sunsang adalah jalan terbaik dan paling ramai bagi keluar masuknya<br />

barang ke Palembang. Kekalahan dalam pertempuran dibalas dengan cara jitu<br />

yaitu menutup jalur keluar-masuk Palembang. Blokade itu pula diharapkan<br />

mampu mengendalikan jalur pelayaran Sunsang-Muntok, namun apa yang<br />

164 Residen Smissaert juga mengirimkan laporan tentang kondisi kapal-kapal di<br />

Muntok kepada Laksamana Wolterbeek (ANRI, Besluit van Gouverneur Generaal 5<br />

Agustus 1819 No. 1 Bundel Algemeen Secretarie).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


216<br />

diharapkan tidak seperti yang mereka bayangkan. Jalur itu tetap menjadi milik<br />

para bajak laut dan pedagang pribumi, yang sudah menjadi bagian tak terpisahkan<br />

dari jalur tersebut. Kelompok-kelompok inilah yang nantinya ―bermain‖ untuk<br />

menembus blokade Belanda demi memenuhi kebutuhan penduduk Palembang<br />

berupa garam, bahan pakaian dan lainnya.<br />

Setelah segala sesuatunya dianggap selesai, Muntinghe meninggalkan<br />

Muntok menuju ke Batavia. Setiba di sana, ia mendesak pemerintah pusat untuk<br />

segera mengirimkan bantuan ke Pulau Bangka, mengingat minimnya pertahanan<br />

militer di sana. Di samping itu, hal yang sangat penting adalah menebus<br />

kekalahan terhadap Palembang. Pengiriman ekspdisi militer yang besar<br />

merupakan suatu tindakan yang tepat untuk memberi pelajaran kepada Sultan<br />

Palembang. Pemerintah Belanda meyakini bahwa dengan kekalahan Belanda pada<br />

perang Juni 1819, Sultan Badaruddin II dan penduduk Palembang menganggap<br />

Belanda dalam kondisi lemah. Apalagi Belanda baru saja dihadapkan pada<br />

pemberontakan selama dua tahun (1817) Cirebon dan Maluku. Mereka takut<br />

penarikan pasukan mereka dari Palembang akan menimbulkan kesan mendalam<br />

pada penduduk Palembang bahwa kekuatan militer mereka lemah. Untuk itu,<br />

langkah yang harus diambil adalah secepat mungkin menghilangkan kesan negatif<br />

itu dengan mengirimkan ekspedisi militer (ANRI, Bundel Palembang No. 67; No.<br />

5.1). Keyakinan yang berkembang pada waktu itu adalah hanya dengan ekspedisi<br />

militer, kekuatan dan prestise Belanda dapat diperoleh kembali.<br />

5.2 Persiapan Ekspedisi Belanda<br />

Dalam rangka mewujudkan keinginan pemerintah Belanda untuk membalas<br />

dendam, atas kekalahan mereka dalam perang dengan Kesultanan Palembang<br />

(Juni 1819). Persiapan untuk melakukan ekspedisi ke Palembang ditandai dengan<br />

adanya permintaan logistik ke Batavia oleh panglima angkatan laut di Hindia<br />

Timur C. Wolterbeek pada 24 Juli 1819. Banyaknya permintaan itu disesuaikan<br />

untuk kebutuhan selama enam bulan bagi seratus orang prajurit. Untuk itu,<br />

Residen Batavia Lamberger menyiapkan tiga kapal yaitu Irene, Iris, dan Tromp,<br />

dengan segala kebutuhan perbekalannya. Tiap kapal mampu memuat tiga ratus<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


217<br />

orang serdadu, total keseluruhan serdadu mencapai jumlah 1200-1500 orang<br />

(ANRI, Bundel Palembang No. 66.10). Semua kemampuan dikerahkan demi<br />

keberhasilan ekspedisi ke Palembang.<br />

Pada 27 Juli 1819 Gubernur Jenderal Van der Caplellen mengeluarkan<br />

keputusan nomor 6 tentang peraturan ekspedisi ke Palembang. Pada saat yang<br />

sama, Wolterbeek memerintahkan Kolonel Schutte agar secepatnya mengirimkan<br />

dua perahu dari Surabaya untuk melengkapi armada yang sudah ada (ANRI,<br />

Bundel Palembang No. 66.10). Tampaknya pemerintah Belanda di Batavia serius<br />

mempersiapkan pasukan ke Palembang, sehingga melibatkan pasukan dari<br />

daerah-daerah lain di Pulau Jawa, antara lain dari Semarang, Surabaya dan<br />

Batavia. Daerah-daerah tersebut merupakan kantong-kantong kekuasaan Belanda<br />

yang memiliki armada cukup kuat.<br />

Untuk memimpin ekspedisi ke Palembang, diserahkan oleh Gubernur<br />

Jenderal kepada Laksamana C. Wolterbeek 165 pada Sabtu 31 Juli 1819. Pada hari<br />

yang sama Woterbeek menghadiri pertemuan dengan Gubernur Jenderal Van der<br />

Capellen, Mayor Jenderal H.M. De Kock dan Komisaris Muntinghe. Mereka<br />

membahas persiapan dan pelaksanaan ekspedisi ke Palembang. Usai pertemuan<br />

tersebut, Laksamana Woterbeek mengeluarkan perintah rahasia kepada Letnan<br />

laut Florentijn (nahkoda kapal de Emma), agar secepatnya berlayar membawa<br />

kapal meriam nomor 17. Mereka diperintahkan untuk segera berangkat ke Bangka<br />

dan menduduki Bangka Kotta. Keberangkatan mereka akan segera disusul oleh<br />

kapal perang Wilhelmina dan kapal nomor 18, di bawah komando Kolonel<br />

Dibbertz. Keberangkatan itu dipercepat karena Pulau Bangka tengah bergolak,<br />

menolak keberadaan Belanda di sana (ANRI, Bundel Palembang No. 66.10; ANRI,<br />

Besluit van Gouverneur Generaal 30 Juli 1819 No. 1 Bundel Algemeen<br />

Secretarie).<br />

Dalam rangka koordinasi, pada 9 Agustus 1819 Woterbeek mengirimkan<br />

surat kepada Gubernur Jenderal Van der Capellen. Wolterbeek mengusulkan agar<br />

Residen Bangka A.P. Smissaert terlibat aktif dalam penyelesaian persoalan<br />

dengan Kesultanan Palembang. Lebih lanjut, ia juga setuju atas rencana Gubernur<br />

165<br />

Penyandang bintang jasa militer Willems Order (ANRI, Besluit van Gouverneur<br />

Generaal 30 Jili 1819 No. 1 Bundel Algemeen Secretarie).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


218<br />

Jenderal untuk mendatangkan kesatuan orang-orang Lampung 166 . Kehadiran<br />

mereka akan bermanfaat untuk memperkuat kesatuan yang akan menyerang<br />

Palembang. Dipilihnya Lampung mengingat jaraknya dekat dengan Palembang.<br />

Menurut Wolterbeek, kekalahan Belanda dari Palembang dan kuatnya pertahanan<br />

Palembang, menyebabkan kekuatan militer Belanda harus ditangani dengan<br />

cermat. Menaklukkan Palembang adalah masalah penting bagi Belanda (ANRI,<br />

Bundel Palembang No. 66.10; Bastin, 1953: 309).<br />

Dalam kaitannya dengan usul Wolterbeek agar Smissaert lebih terlibat<br />

dalam ekspedisi ke Palembang, lagi-lagi Smissaert tidak sependapat, sebagaimana<br />

sebelumnya ia menolak permintaan Muntinghe. Menurutnya Pulau Bangka tidak<br />

memiliki kekuatan pertahanan, karena dua kapal perang sudah ditarik ke Batavia,<br />

sedangkan kapal Eendracht dan Ajax ditempatkan di Sunsang. Hanya perahuperahu<br />

dan peralatan perang serta para serdadu yang tersisa yang dapat dilibatkan<br />

dalam ekspedisi. Bagi Smissaert bukan hanya Palembang yang perlu direbut tetapi<br />

Bangka juga harus dipertahankan dengan kekuatan yang memadai. Apalagi di<br />

Bangka banyak muncul perlawanan dari rakyat dan perompakan yang kian marak<br />

di sana (ANRI, Bundel Palembang No. 67).<br />

Perbedaan sudut pandang antara keduanya disebabkan oleh perbedaan<br />

kebutuhan. Pendapat Smissaert disebabkan pemahamannya tentang kondisi<br />

pertahanan Belanda di Pulau Bangka yang lemah, dan perlawanan agresif dari<br />

rakyat Bangka yang menolak kehadiran Belanda di sana. Sebaliknya, Laksamana<br />

Wolterbeek berpandangan bahwa Bangka adalah bagian dari Kesultanan<br />

Palembang, tanpa ―mengamankan‖ Palembang yang begitu kuat berarti Bangka<br />

juga tidak dapat dikuasai. Perbedaaan dengan Wolterbeek, merupakan kali kedua<br />

bagi Smissaert setelah sebelumnya ia berseberangan pandangan dengan<br />

Muntinghe.<br />

Dalam rangka memperkuat pasukan ekspedisi ke Palembang, Jenderal<br />

Mayor H.M. De Kock, Kolonel Bischof dan Kolonel De Roone menyiapkan<br />

pasukan tambahan yang terdiri dari orang-orang Melayu. Di bidang kesehatan<br />

166 Informasi tentang kekayaan Lampung dan timah Palembang, diperoleh Laksamana<br />

Wolterbeek dari Francis seorang partikelir yang pernah bekerja di Lampung di bawah Dubois<br />

(ANRI, Budel Palembang No. 66.10).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


219<br />

telah disiapkan pula seorang ahli bedah dengan korps daruratnya, sedangkan<br />

Inspektur administrasi Emmet menyiagakan korps perawat. Demi lancarnya<br />

ekspedisi ke Palembang, De Kock dan Residen Batavia mengawasi langsung<br />

persiapan armada ke Palembang dan Lampung. Di Lampung kapal ekspedisi<br />

ditempatkan di muara Sungai Mesuji 167 , sedangkan tujuh perahu jelajah<br />

disiagakan di pantai Lampung. Semua kekuatan berada di bawah tanggung jawab<br />

Dubois. Melalui Sungai Mesuji yang terhubung dengan Sungai Komering, pihak<br />

Belanda merencanakan penyerangan.<br />

Berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal pada 30 Juli 1819, ekspedisi ke<br />

Palembang akan dilaksanakan pada 15 Agustus 1819 168 , Armada Belanda<br />

membawa lima ratus orang perwira dan personil Eropa dari resimen infanteri ke-<br />

5, ditambah seratus sampai 150 orang serdadu, meriam, amunisi, beberapa cunia<br />

dan bahan makanan serta barang kebutuhan lainnya (ANRI, Besluit van Governor<br />

Generaal 30 Juli 1819 No. 1 Bundel Algemeen Secretarie). Sumber arsip lain<br />

menyebutkan bahwa ekspedisi bergerak dari Batavia pada 22 Agustus 1819, tiba<br />

di Muntok Bangka pada 30 Agustus 1819. Armada yang terlibat dalam ekspedisi<br />

itu adalah kapal pengangkut Tromp, kapal layar Irene, kapal meriam nomor 17<br />

dan 18 serta kapal-kapal angkut swasta antara lain Arinus, Marinus, Admiraal<br />

Buyskes, de Emma, Waterbik, Blucher, Ajax dan Henriette Betthy. Ekspedisi itu<br />

melibatkan serdadu Eropa, yang terdiri dari delapan ratus orang serdadu infanteri<br />

dan seratus orang serdadu artileri 169 (ANRI, Bundel Palembang No. 67).<br />

Mengingat banyak hal yang harus dipersiapkan, maka keberangkatan<br />

armada ekspedisi jadi tertunda. Mengenai jumlah anggota pasukan yang<br />

diterjunkan berbeda dari berbagai sumber, harus dipahami bahwa jumlahnya<br />

mencapai ribuan orang. Hal itu berdasarkan pesiapan yang dilakukan oleh<br />

167 Sungai Mesuji adalah sungai yang mengalir dari barat ke timur melalui daerah<br />

Tulang Bawang Lampung. Sungai itu dapat dilayari oleh kapal-kapal besar. Sungai Mesuji<br />

terhubung dengan Sungai Komering Palembang melalui Sungai Babatan (Sturler,<br />

1843:44-45).<br />

168 Berdasarkan pengamatan De Kock terhadap persiapan untuk melakukan<br />

ekspedisi, ia tidak yakin ekspedisi dapat diberangkatkan dari Batavia pada 15 Agustus<br />

1819 (ANRI, Bundel Palembang No. 66.10).<br />

1600 orang.<br />

169 Menurut Stapel (1940: 193), pasukan infantri yang diterjunkan sebanyak<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


220<br />

Residen Batavia Lamberger berkisar 1200-1500 orang serdadu. Pemerintah pusat<br />

di Batavia juga memerintahkan pasukan di Semarang, Lampung dan Surabaya<br />

juga terlibat dalam mempersiapkan ekspedisi tersebut. (ANRI, Bundel Palembang<br />

No. 66.10)<br />

Pada 6 September 1819 Gubernur Jenderal Van der Capellen<br />

memerintahkan Lamberger untuk segera mengirimkan tambahan armada dan<br />

persenjataan untuk memperkuat pasukan ekspedisi yang sudah tiba di Bangka.<br />

Untuk itu Lamberger segera mengirimkan dua belas perahu (masing-masing<br />

perahu dikendalikan oleh enam orang) senilai 1100 gulden tiap perahu.<br />

Pengiriman Perahu-perahu itu mengalami kesulitan, karena pengangkutannya<br />

membutuhkan kapal-kapal besar yang dilengkapi persenjataan lengkap. Kapal de<br />

Tromp dan kapal sewa Arinus Marinus hanya mampu membawa dua perahu untuk<br />

satu kali pelayaran. Berarti, untuk mengangkut perahu-perahu itu dibutuhkan<br />

enam kapal dengan kapasitas yang sama dengan kedua kapal tersebut. Di samping<br />

itu, mereka juga dihadapkan pada angin musim yang sangat kencang pada waktu<br />

itu, sehingga semakin menyulitkan pelayaran menuju Palembang. Akan tetapi,<br />

segala kendala itu berhasil mereka atasi sehingga pengiriman tetap dapat<br />

dilaksanakan (ANRI, Besluit van Gouvernor Generaal 6 September 1819 No. 22<br />

Bundel Algemeen Secretarie; Bataviaasch Courant, 4 Agustus 1821; Stapel, 1940<br />

:193; Kielstra, 1892: 97).<br />

5.3 Perlawanan Bangka<br />

Melihat kondisi yang tidak kondusif di Pulau Bangka, pemerintah kolonial<br />

Belanda segera memperkuat pertahanan pulau itu. Dibutuhkan beberapa kompi<br />

pasukan perintis, meriam berbagai ukuran dan gergaji. Semua itu digunakan untuk<br />

memperkuat pos-pos terpenting di Bangka, misalnya Toboali dan Kwala. Sebagai<br />

residen Bangka, Smissaert merencanakan untuk membangun benteng pertahanan<br />

yang kuat di Toboali, karena sering mendapat serangan dari orang-orang Bangka.<br />

Pembangunannya membutuhkan banyak tenaga kerja, yang sulit diperoleh dari<br />

daerah setempat. Terbukti pada 1819 penambangan timah di Toboali dihentikan<br />

akibat kekurangan tenaga kerja, Sedikitnya jumlah penduduk di daerah itu<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


221<br />

disebabkan adanya gangguan keamanan baik dari para pejuang setempat maupun<br />

bajak laut, sehingga mereka meninggalkan Toboali. Penduduk etnis Cina yang<br />

tersisa sebanyak 153 orang di bawah pimpinan Kappo, mereka merasa tidak aman<br />

dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Untuk itu, yang bisa dilakukan adalah<br />

mendatangkan tenaga kerja dari daerah lain (ANRI, Besluit van Gouvernor<br />

Generaal 5 Agustus 1819 No. 1 Bundel Algemeen Secretarie).<br />

Sebagai salah satu daerah penting di Pulau Bangka, Toboali juga menjadi<br />

basis perlawanan rakyat setempat. Perlawanan penting yang terjadi di sana di<br />

bawah pimpinan Batin Pa Amin. Menghadapi perlawanan itu, pemerintah Belanda<br />

kembali mengirimkan kekuatan yang yang terdiri dari 35 orang pasukan infanteri<br />

di bawah pimpinan Sersan Smith, ditambah dua ratusan orang Cina yang<br />

didatangkan dari daerah lain di Bangka di bawah kendali Vernet dan Moritz.<br />

Dalam pertempuran itu Batin Pa Amin terkena tusukan, namun ia berhasil<br />

menyelamatkan diri. Selanjutnya, pasukan Batin Pa Amin mengundurkan diri<br />

memasuki hutan. Banyaknya orang-orang Cina yang memihak Belanda dalam<br />

pertempuran itu, menunjukkan bahwa pihak Belanda berhasil mempengaruhi<br />

orang-orang Cina untuk mendukung kekuasaan mereka di sana. Kegagalan<br />

perlawanan Batin Pa Amin karena adanya dukungan dari pemimpin setempat<br />

seperti Demang Minyak dan pengikutnya yang berpihak kepada pihak Belanda<br />

(ANRI, Bundel Palembang No. 67). Dengan demikian, jelas bahwa perlawanan<br />

penduduk Toboali terpecah antara melawan Belanda dan mendukungnya. Itu<br />

semua menguntungkan pihak Belanda karena mendapat bantuan dari orang-orang<br />

Cina dan sebagian penduduk setempat. Kekalahan perlawanan Batin Pa Amin<br />

juga karena Belanda mengerahkan jumlah pasukan yang lebih besar, dan sebagian<br />

anggota pasukannya mengetahui medan.<br />

Kekacauan juga terjadi di sepanjang pantai Pangkal Pinang, yang<br />

merupakan bentuk perlawanan rakyat Bangka terhadap Belanda. Untuk itu,<br />

pasukan Belanda mengalihkan penyerangan ke pos-pos di Kapo, Berikat, Muson<br />

dan Pangkal Pinang di bawah pimpinan Letnan-2 Infanteri Buzi. Setelah berhasil<br />

mengamankan daerah itu, mereka memperkuat pos-pos pertahanan di sana agar<br />

terhindar dari serangan penduduk Bangka. Walaupun demikian, secara umum<br />

pantai-pantai Bangka dikendalikan oleh penduduk setempat di bawah para<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


222<br />

pemimpin mereka yang bekerjasama dengan para bajak laut. Kekuatan para<br />

pejuang Bangka pada waktu itu terbagi dua kelompok besar. Masing-masing<br />

berkekuatan seratus perahu, dengan kekuatan tersebut mereka acap kali<br />

melakukan penyerangan terhadap pos-pos pertahanan Belanda, bahkan mampu<br />

mendekati pusat kekuasaan Belanda di Muntok. Perlawanan mereka juga<br />

mendapat dukungan besar dari Sultan Badaruddin II. Dukungan tersebut membuat<br />

mereka semakin percaya diri untuk terus berjuang. Sebaliknya, pasukan Belanda<br />

yang kalah perang di Palembang, mentalnya jatuh, banyak yang jatuh sakit, lukaluka<br />

dan meninggal dunia. Untuk menghadapi perlawanan rakyat Bangka yang<br />

menjalar ke seluruh pulau itu, Mayor Tierlam 170 sepakat dengan Smissaert untuk<br />

mengirimkan lima puluh orang serdadu dengan kapal perang Ajax, 37 orang<br />

serdadu dengan kapal perang Eendracht dan sembilan belas orang dengan perahu<br />

sekoci nomor 10. Masing-masing dipimpin oleh tiga orang perwira. Para serdadu<br />

itu ditugaskan untuk memperkuat pertahanan garnisun di Jebus Bangka yang<br />

merupakan daerah terdekat dengan Muntok (ANRI, Bundel Palembang No. 67).<br />

Berbagai perlawanan penduduk Bangka membuat pemerintah Belanda di<br />

sana kewalahan menghadapinya. Mereka harus mengerahkan tenaga dan<br />

persenjataan serta armada untuk mematahkan perlawanan-perlawanan tersebut.<br />

Dilain pihak, perlawanan rakyat Bangka semakin berkobar dengan kemenangan<br />

Palembang dalam peperangan Juni 1819.<br />

Perlawanan rakyat Bangka memiliki ciri yang unik, yaitu terjalinnya<br />

kerjasama yang erat antara para pejuang rakyat Bangka dan para bajak laut yang<br />

umumnya orang Bugis, Bangka dan Palembang. Dalam sumber-sumber Belanda<br />

dinyatakan bahwa hampir tidak bisa dibedakan antara pejuang lokal dan para<br />

bajak laut. Di mata Belanda semuanya adalah ―musuh dan pemberontak‖.<br />

Contohnya Raden Kling (kerabat Sultan Palembang) yang berdomisili di Toboali.<br />

Raden Kling mempunyai pengaruh besar terhadap penduduk. Ia juga berhubungan<br />

erat dengan Depati Belitung yaitu Kiagus Batam. Raden Kling sudah mulai<br />

melakukan pemberontakan sejak masa pemerintahan Inggris di sana. Ia juga<br />

membunuh inspektur Inggris Brown, dan mundur ke Belitung. Selanjutnya<br />

170 Mayor Tierlam menjadi pemimpin militer di Bangka sejak Juli 1819 (ANRI,<br />

Bundel Palembang No. 67).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


223<br />

meneruskan perlawanan terhadap Inggris bersama-sama Kiagus Batam.<br />

Perlawanannya berlanjut terus ketika Belanda menggantikan Inggris di sana<br />

(ANRI, Bundel Palembang No. 67; ANRI, Bundel Palembang No. 19).<br />

Kehadiran orang-orang Belanda yang mundur setelah kalah perang di<br />

Palembang, membuat rakyat Bangka tidak berkenan. Perlawanan penduduk<br />

Bangka Kotta 171 disambut oleh pemerintah Belanda dengan mengirim pasukan di<br />

bawah pimpinan Kapten Ege. Penyerangan itu terjadi pada 17 Agustus 1819<br />

dengan menggunakan kapal de Emma dan sejumlah perahu milik Raja Akil.<br />

Serdadu yang terlibat dalam penyerangan itu sebanyak seratus orang, dengan<br />

rincian delapan puluh orang Eropa dan dua puluh orang pribumi. Penyerangan<br />

umumnya dilakukan melalui jalur sungai. Sementara itu, pasukan Bangka Kotta<br />

juga telah memperkuat pertahanan mereka dengan kubu-kubu pertahanan dan<br />

memasang tonggak-tonggak kayu di Sungai Bangka Kotta. Keberadaan tonggaktonggak<br />

kayu itu cukup efektif untuk menghambat laju pasukan Belanda, namun<br />

akhirnya pasukan Belanda berhasil mencapai pusat pertahanan Bangka Kotta.<br />

Peperangan antara dua pihak berlangsung sengit. Pasukan Bangka mengerahkan<br />

meriam-meriam, sedangkan Kapten Ege dari arah sungai menyerang juga<br />

menggunakan meriam-meriam dan senapan. Terjadi pertempuran selama sekitar<br />

satu jam, dengan kemenangan di pihak Bangka. Selanjutnya, Kapten Ege harus<br />

meninggalkan lokasi dan membawa pasukannya kembali ke Muntok. Pasukan itu<br />

tiba di Muntok pada 30 Agustus 1819. Dalam peperangan itu, pasukan Belanda<br />

mengalami kerugian sebanyak empat orang terluka dan seorang terbunuh.<br />

Kehadiran mereka di Muntok bersamaan waktunya dengan kedatangan armada<br />

171 Bangka Kotta terletak di Bangka Tengah, sungainya bermuara ke pantai barat Pulau<br />

Bangka. Sejak abad XVII daerah itu telah menjadi pusat pemukiman penduduk. Bangka Kotta<br />

didirikan oleh Syarah, seorang pemimpin Arab yang berhasil mengusir suku Malukut dari Sumatra<br />

yang menduduki wilayah itu. Sejak itu, Syarah bersama-sama penduduk membangun pemukiman<br />

dan kubu-kubu pertahanan. Dengan demikian, Bangka Kotta telah berkembang sebelum<br />

pertambangan timah ditemukan di sana. Bangka Kotta juga berkaitan erat dengan Kesultanan<br />

Palembang, karena putera bungsu Sultan Abdul Rahman pada waktu itu, tidak lama setelah 1671<br />

mendirikan kubu pertahanan muara Sungai Bangka Kotta yang merupakan tempat strategis. Di<br />

samping itu, pihak Kesultanan Palembang juga mengembangkan Permisang dan Balar di Pulau<br />

Bangka, sebagai pusat-pusat pemukiman. Keberadaan kubu-kubu petahanan itu didukung oleh<br />

orang-orang Bugis yang terkenal sebagai elanong. Sejak itu keberadaan Bangka Kotta makin<br />

penting. Kelak perannya agak surut setelah pemerintah Belanda mengembangkan Muntok sebagai<br />

pelabuhan dan pusat pemerintahan (Heidhues. 2008: 3,90; Clercq, 1845: 124; Korten Schets..,<br />

1846: 137).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


224<br />

yang dipimpin oleh Laksamana Wolterbeek dari Batavia (ANRI, Bundel<br />

Palembang No. 67; Waey, 1875: 110).<br />

Setibanya pasukan Belanda di Muntok, tindakan pertama yang mereka<br />

lakukan adalah memperkuat pertahanan Muntok, baik darat maupun laut. Untuk<br />

mempertahankan daerah itu dikerahkan pula satu kompi prajurit perintis yang<br />

dikirim dari Semarang. Pertahanan darat dipimpin Kolonel Bischoff. Pasukan<br />

infanteri di bawah komando Letnan Kolonel Keer, pasukan artileri dipimpin<br />

Letnan Kolonel Riest dan zeni dipegang oleh Kapten van der Wijck. Bidang<br />

kesehatan dipegang oleh ahli bedah Mayor van Roelten. Selain itu, mereka<br />

membangun rumah sakit di Muntok. Pembangunannya dimulai pada 16<br />

September 1819. Sebelumnya, di Muntok sudah berdiri rumah sakit dengan daya<br />

tampung seratus orang penderita. Diperkirakan rumah sakit yang ada tidak akan<br />

mampu menampung korban perang yang akan segera terjadi di ibu kota<br />

Palembang. Oleh karena itu, rumah sakit yang ada harus diperluas. Kelak<br />

kepemimpinnannya akan diserahkan kepada Letnan-2 Bruin dari batalyon<br />

infanteri. Dalam menjalankan tugasnya, ia akan dibantu oleh petugas bagian<br />

penyediaan perbekalan dan pengawasan gudang. Selanjutnya, dipekerjakan pula<br />

dua orang ahli bedah, seorang asisten apoteker, dua orang perawat, empat orang<br />

opas perawat, seorang koki Eropa dan seorang koki pribumi. Jumlah tersebut<br />

sewaktu-waktu dapat ditambah, apabila jumlah pasien lebih dari delapan puluh<br />

orang. Di samping itu, dibangun pula barak-barak penampungan dan dapur umum<br />

dari bambu. Dapur umum itu nantinya akan memenuhi kebutuhan makanan untuk<br />

dua ratus orang. Pemerintah Belanda juga membuat landasan untuk meriammeriam<br />

howitzer di atas perahu-perahu cunia, membuat rakit dan jembatan yang<br />

dapat diangkat serta memperbaiki rumah-rumah tangsi yang rusak. Semua itu<br />

dilakukan untuk mendukung suksesnya ekspedisi ke Palembang (ANRI, Bundel<br />

Palembang No. 67; ANRI, Besluit van Gouvernor Generaal 20 Oktober 1819 No.<br />

14 Bundel Algemeneen Secretarie).<br />

Kehadiran mereka di Bangka langsung dihadapkan pada situasi yang<br />

bergolak di Bangka umumnya dan Bangka Kotta khususnya. Situasi itu membuat<br />

Wolterbeek memutuskan untuk melakukan serangan besar-besaran terhadap<br />

kantong-kantong perlawanan rakyat Bangka. Serangan dimulai dari Bangka Kotta,<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


225<br />

karena kemenangan daerah tersebut melawan pasukan Belanda sehingga Kapten<br />

Ege harus mundur membawa kekalahan. Di sisi lain, kemenangan pihak Bangka<br />

atas pasukan Belanda beberapa waktu sebelumnya memompa semangat juang<br />

rakyat Bangka. Dalam perlawanan terhadap Belanda tersebut, mereka bersatu<br />

dengan melibatkan semua komponen, seperti para pemimpin, rakyat Bangka dan<br />

para bajak laut yang selama ini berkeliaran di Pulau Bangka. Dengan mundurnya<br />

pasukan Belanda, perlawanan di Bangka Kotta untuk sementara reda. Kesempatan<br />

itu dimanfaatkan oleh penduduk Bangka di bawah pimpinan Batin Barin untuk<br />

membenahi daerah mereka. Mereka membangun kembali kubu-kubu pertahanan<br />

yang hancur, Di pihak lain, di berbagai lokasi di pantai timur Pulau Bangka masih<br />

terus terjadi perlawanan-perlawanan. Pihak Belanda mencurigai adanya hubungan<br />

antara serdadu Belanda yang berasal dari penduduk Bangka dengan perlawanan<br />

rakyat di sana. (ANRI, Bundel Palembang No. 67).<br />

Ekspedisi ke Bangka Kotta dimulai setelah dua hari armada dari Batavia<br />

tiba di Muntok, sebuah gerak cepat karena daruratnya keadaan di Bangka Kotta.<br />

Penyerangan dilancarkan di bawah pimpinan Kapten Laemlin 172<br />

dengan<br />

menggunakan kapal Admiraal Buyskes, dan membawa 230 orang serdadu Eropa<br />

dari Resimen Infanteri ke-18. Daerah pertama yang dituju adalah Pangkal Pinang<br />

(5 September 1819) yang merupakan pos Belanda di pantai timur Pulau Bangka.<br />

Ekspedisi pertama, segera diikuti oleh armada berikutnya yaitu kapal perang<br />

Eendracht, Wilhelmina, dan kapal pengangkut de Emma, Terlibat pula kapal<br />

meriam nomor 17 dan nomor 18 (berkekuatan meriam ukuran 18 pon) serta<br />

tongkang. Kelompok itu berada di bawah komando Kolonel Dibbetz (nahkoda<br />

kapal perang Wilhelmina) (ANRI, Bundel Palembang No. 67; No. 66.10)<br />

Keesokan harinya armada Kapten Laemlin melanjutkan pelayaran menuju<br />

Koba (terletak di sebelah timur gunung Termesang) bersama sepuluh orang<br />

perwira dan 186 orang serdadu. Pada 14 September 1819, penyerangan terhadap<br />

Koba mulai dilakukan melalui jalur darat. Dari sana mereka akan menyerang<br />

Bangka Kotta dari arah belakang.<br />

Sementara itu, serangan melalui Sungai<br />

Bangka Kotta dilanjutkan dengan menggunakan kapal meriam nomor 17 dan<br />

172 Dalam sumber lain disebutkan bahwa yang memimpin penyerangan terhadap<br />

Bangka Kotta dari sisi timur adalah Kapten Kaffijn atas perintah Kolonel Bischoff selaku<br />

komandan ekspedisi (ANRI, Bundel Palembang No. 66.10)<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


226<br />

perahu tongkang, di bawah pimpinan Kapten Rembardo dan Letnan Alewijn.<br />

Tugas mereka adalah menemukan kubu-kubu pertahanan rakyat Bangka dan<br />

menyerangnya. Penyerangan itu bertujuan untuk memecah perhatian perlawanan<br />

di sana, sehingga tidak memperhitungkan ada serangan lain dari Koba yang segera<br />

tiba. Strategi yang dijalankan oleh para pemimpin pasukan Belanda cukup efektif.<br />

Pada 16 September 1819 para pemimpin pasukan Bangka Kotta dan serdaduserdadunya<br />

dihadapkan pada serangan gencar dari pasukan Belanda dari dua arah<br />

sekaligus yaitu arah barat (sungai Bangka Kotta) dan arah timur (darat).<br />

Peperangan menjadi tidak seimbang, karena besarnya serangan yang dikerahkan<br />

oleh pasukan Belanda. Pasukan Bangka Kotta terpaksa mundur memasuki hutanhutan.<br />

Dengan mundurnya mereka, kubu-kubu pertahanan mereka diduduki dan<br />

dihancurkan oleh pasukan Belanda. Walaupun demikian, pasukan Belanda juga<br />

mengalami kerugian dengan terbunuhnya dua orang serdadu dan sepuluh orang<br />

terluka. Para serdadu Belanda yang sakit dan terluka sebagian dibawa ke Batavia<br />

dengan kapal Henriette Betthy (Betsy) dan Kora-Kora nomor 4, di bawah<br />

pimpinan Letnan Rembaldo, selebihnya dibawa ke Muntok dengan kapal<br />

Admiraal Buyskes (ANRI, Bundel Palembang No. 67; No. 66.10)<br />

Dalam pertempuran itu, pasukan Belanda juga berhasil menangkap<br />

beberapa anggota pasukan Bangka. Mereka ditawan di atas kapal Wilhelmina<br />

yang berada di muara Sungai Bangka Kotta. Dari para tawanan itu Wolterbeek<br />

berusaha mengumpulkan berbagai informasi tentang Palembang dan pertahanan di<br />

Bangka Kotta, tetapi usaha itu sia-sia karena para anggota pasukan Bangka<br />

menolak memberikan keterangan (ANRI, Bundel Palembang No. 66.10; No. 67).<br />

Setelah berhasil merebut benteng Bangka Kotta, pasukan Belanda<br />

melanjutkan serangan ke kawasan di sekitar kubu-kubu pertahanan Bangka yang<br />

telah dibakar. Ternyata daerah itu juga telah diperkuat pertahanannya. Peperangan<br />

kembali pecah antara penduduk daerah itu dengan pasukan Belanda, yang berhasil<br />

mengejar dan mengenyahkan semua bentuk pertahanan rakyat Bangka. Pada 17<br />

September 1819 sejak pagi hari pasukan Belanda terus mendesak pusat-pusat<br />

pertahanan Bangka. Serangan-serangan itu menyebabkan pasukan Bangka Kotta<br />

mundur menjauhi medan pertempuran. Kubu-kubu pertahanan Bangka yang<br />

ditemukan oleh pasukan Belanda direbut dan dibakar. Tidak terkecuali kubu<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


227<br />

pertahanan Bangka yang mereka temukan di tengah hutan rawa. Sebuah kubu<br />

yang dibangun kokoh dan kuat, dilengkapi senapan letup dan senapan kecil.<br />

Membutuhkan usaha ekstra bagi pasukan Belanda untuk berhasil menduduki kubu<br />

pertahanan itu, yang dipertahankan dengan gigih oleh pemiliknya. Akibatnya,<br />

anggota pasukan Belanda banyak yang terluka dalam pertempuran itu. Pasukan<br />

Bangka kembali menarik diri ke pusat pertahanan yang terletak tidak jauh dari<br />

lokasi pertempuran sebelumnya. Pusat pertahanan itu berupa benteng yang sangat<br />

kokoh, dikelilingi dinding yang terbuat dari balok-balok kayu dan dilengkapi<br />

meriam ukuran tiga pon. Pertempuran mempertahankan benteng itu sangat<br />

dahsyat. Pasukan Bangka terpaksa melepaskan benteng itu ke tangan pasukan<br />

Belanda, Pasukan Bangka mundur dengan menggunakan perahu-perahu. Pasukan<br />

yang tersisa mencoba terus bertahan, namun pasukan Belanda membakar<br />

bangunan-bangunan itu. Pihak Belanda berkeyakinan bahwa perlawanan rakyat<br />

Bangka akan berakhir jika semua kubu pertahanan dan pemukiman mereka<br />

dimusnahkan (ANRI, Bundel Palembang No. 67).<br />

Apa yang diharapkan oleh para pemimpin pasukan Belanda tidak terbukti.<br />

Perlawanan penduduk terus berkobar dengan cara gerilya diberbagai tempat di<br />

Pulau Bangka. Dari persembunyian mereka di hutan-hutan, secara tiba-tiba<br />

mereka<br />

menyerang dengan tembakan-tembakan meriam. Pada mulanya pemimpin<br />

pasukan Belanda Kapten Laemlin mengira itu adalah pasukan Belanda dari arah<br />

lain. Dugaannya meleset, karena yang terjadi adalah serangan dari kubu<br />

pertahanan Bangka yang tersembunyi di balik pepohonan. Ternyata pasukan<br />

Bangka membangun kubu pertahanan yang kokoh di dalam hutan. Kubu-kubu<br />

pertahanan itu terletak di lokasi yang strategis yang dikelilingi rawa-rawa.<br />

Serangan pertama yang dikerahkan oleh Kapten Laemlin mendapat perlawanan<br />

sengit, sehingga pasukan Belanda harus mundur. Dalam peperangan itu pihak<br />

Belanda mengalami kerugian empat orang terbunuh dan sembilan belas orang<br />

serdadu terluka. Kapten Laemlin mencoba melakukan serangan kedua, namun<br />

terpaksa diurungkan mengingat banyak anggota pasukan Belanda yang terluka<br />

dan sakit. Mereka juga kekurangan peluru dan perbekalan. Hujan yang lebat juga<br />

menjadi penghalang penyerangan mereka. Akibatnya, yang mampu mereka<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


228<br />

lakukan hanya menghancurkan apapun yang ada di dekat mereka, baik berupa<br />

bangunan-bangunan maupun perahu-perahu milik pasukan Bangka. Penghancuran<br />

semua bangunan menyebabkan mereka mengalami kesulitan untuk beristirahat,<br />

padahal banyak anggota pasukan yang sakit, terluka dan meninggal (ANRI,<br />

Bundel Palembang No. 67). Suatu tindakan gegabah di medan yang begitu berat<br />

berupa hutan dan rawa-rawa serta kurangnya perbekalan. Semangat ingin<br />

memusnahkan apa yang menjadi milik pasukan Bangka, menyebabkan mereka<br />

harus berhadapan dengan alam yang ganas tanpa tempat berlindung ditengah<br />

banyak anggota pasukan yang sakit dan terluka.<br />

Langkah Kapten Leamlin selanjutnya adalah mundur dengan segala<br />

resiko yaitu menghadapi medan yang berat, membawa para serdadu yang sakit<br />

dan terluka dengan sarana pengangkutan yang sangat terbatas. Dengan susah<br />

payah akhirnya mereka tiba di Koba pada 25 September 1819. Di sana mereka<br />

harus menunggu lebih dari sepekan lamanya, karena inspektur tambang timah<br />

Rotier dan Vernet menolak mengangkut mereka dengan sewa rendah. Menurut<br />

keduanya, mengangkut timah jauh lebih menguntungkan dan mendesak dari pada<br />

mengangkut korban pertempuran di Bangka Kotta. Akibatnya, jumlah korban<br />

bertambah menjadi 46 orang. Akhirnya, pelayaran mereka kembali ke Muntok<br />

baru terlaksana pada 2 Oktober 1819 menggunakan kapal Admiraal Buyskes, tiba<br />

di sana pada 8 Oktober 1819. Sesampainya di Muntok, jumlah serdadu yang sakit<br />

bertambah menjadi 65 orang. Semua itu menunjukkan bahwa kondisi pasukan<br />

Belanda sudah kritis 173 . Mundurnya pasukan Belanda membuat Bangka Kotta<br />

173 Pihak Belanda di Bangka telah mereka melakukan berbagai cara untuk memperkuat<br />

kemampuan militer mereka di Bangka. Akan tetapi, sampai September 1819, kondisi pertahanan<br />

mereka di pulau itu masih memprihatinkan khususnya kekurangan amunisi. Berdasarkan laporan<br />

Mayor komandan Phitsinger pada 27 September 1819 kepada Smissaert, disebutkan bahwa di<br />

Bangka mesiu yang tersisa hanya seberat dua ribu pon. Selain itu, terdapat pula dua ribu pon<br />

dengan kualitas rendah, yang hanya cocok untuk tembakan penghormatan. Selain itu, kapal-kapal<br />

milik mereka umumnya dalam kondisi rusak. Kapal Zeehond yang selama itu mangkal di Bangka,<br />

mengalami patah tiang layar, sehingga harus digantikan oleh kapal Zephijn. Begitu pula kapal<br />

Auspicious dan kapal De Generaal Stewart mengalami hal yang sama, Kapal-kapal itu hanya<br />

mampu mengangkut beban seberat tiga koyang tiap kapal. Kondisi itu membuat Smissaert<br />

semakin kecewa terhadap pemerintah pusat di Batavia. Beberapa kali ia sudah mengajukan<br />

permintaan tambahan pasukan, mesiu dan peralatan perang tetapi belum juga berhasil. Akhirnya,<br />

dalam suratnya kepada Gubernur Jenderal Va der Capellen pada 27 September 1819 No. 32,<br />

Smissaert mengemukakan bahwa pihak Batavia tidak mau melakukan sesuatu untuk Pulau<br />

Bangka. Dilain pihak, ternyata keterlambatan pengiriman bantuan dari Batavia, disebabkan para<br />

nahkoda umumnya menolak diberangkatkan ke Bangka dan Palembang. Mereka tidak ingin<br />

peristiwa pada 1812 terulang kembali. Pada waktu itu, Inggris tidak membayar upah para nahkoda<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


229<br />

terlepas dari gangguan dan penghancuran lebih lanjut. Keadaan itu, mereka<br />

manfaatkan untuk memperbaiki dan memperkuat pertahanan sekaligus menambah<br />

jumlah pasukan (ANRI, Bundel Palembang No. 67).<br />

Pasukan Belanda tidak mampu berbuat banyak menghadapi perlawanan<br />

penduduk Bangka yang berjumlah lebih banyak dan menguasai medan. Suatu hal<br />

yang jamak di sana, untuk menguasai lokasi tertentu harus dilakukan berulangulang,<br />

karena pendudukan Belanda biasanya tidak permanen. Hal itu tidak dapat<br />

dilepaskan karena terbatasnya personil, persenjataan dan bahan makanan yang<br />

mereka miliki. Mundurnya pasukan Belanda memberi peluang bagi pasukan<br />

Bangka untuk merebut daerah itu kembali, menyusun kekuatan untuk bertahan,<br />

atau bahkan melakukan serangan balik. Akibatnya, penaklukan atas Pulau Bangka<br />

menjadi lebih sulit dan lama.<br />

Berbagai usaha telah mereka lakukan untuk memperkuat pertahanan di<br />

Bangka. Akan tetapi, sampai September 1819, kondisi pertahanan Belanda di<br />

pulau itu masih memprihatinkan khususnya kekurangan amunisi. Berdasarkan<br />

laporan Mayor komandan Phitsinger pada 27 September 1819 kepada Smissaert,<br />

diketahui bahwa di Bangka mesiu yang tersisa hanya seberat dua ribu pon. Selain<br />

itu, terdapat pula dua ribu pon dengan kualitas rendah, yang hanya cocok untuk<br />

tembakan penghormatan, sedangkan kapal-kapal yang ada umumnya dalam<br />

kondisi rusak. Kapal Zeehond yang selama itu mangkal di Bangka, mengalami<br />

patah tiang layar, sehingga harus digantikan oleh kapal Zephijn. Begitu pula kapal<br />

Auspicious dan kapal De Generaal Stewart mengalami hal yang sama, Kapalkapal<br />

itu hanya mampu mengangkut beban seberat tiga koyang tiap kapal. Kondisi<br />

yang membawa kapal-kapal Inggris ke Palembang. Bahkan mereka tidak mendapat ganti rugi atas<br />

kerusakan atau kehilangan kapal-kapal milik mereka. Penolakan tersebut menempatkan<br />

pemerintah Belanda pada posisi sulit. Di satu sisi, mereka dituntut untuk secepatnya mengirimkan<br />

pasukan dari Batavia. Akan tetapi, di sisi lain residen Batavia mengalami kesulitan mendapatkan<br />

nahkoda yang bersedia membawa kapal-kapal ke Palembang. Akibatnya pengiriman perahuperahu<br />

itu tertunda (ANRI, Missive van Smissaert, 27 September 1819 No. 32 Bundel Algemeneen<br />

Secretarie). Kondisi tersebut tidak diketahui oleh Smissaert. Baginya, sekalipun armada dari<br />

Batavia telah tiba di Muntok, namun itu tidak berpengaruh bagi pertahanan keamanan Pulau<br />

Bangka, karena semua armada yang ada akan dilibatkan dalam eskpedisi ke ibu kota Palembang.<br />

Dengan demikian, kemampuan militer Bangka tetap dalam kondisi kritis, karena hanya<br />

dikendalikan oleh satu kompi flankeur (pasukan pengintai) dari resimen ke-18 yang ditempatkan<br />

di Muntok. Akan tetapi, mereka mampu bertahan, karena para pemimpin Bangka juga tengah<br />

memfokuskan diri menunggu hasil dari perang di Palembang, sehingga tidak banyak melakukan<br />

pemberontakan.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


230<br />

yang ada, membuat Smissaert semakin kecewa terhadap pemerintah pusat di<br />

Batavia. Beberapa kali ia sudah mengajukan permintaan tambahan pasukan,<br />

mesiu dan peralatan perang tetapi belum juga berhasil. Akhirnya, dalam suratnya<br />

kepada Gubernur Jenderal Va der Capellen pada 27 September 1819 No. 32,<br />

Smissaert mengemukakan bahwa pihak Batavia tidak mau melakukan sesuatu<br />

untuk Pulau Bangka. Dilain pihak, ternyata keterlambatan pengiriman bantuan<br />

dari Batavia, disebabkan para nahkoda umumnya menolak diberangkatkan ke<br />

Bangka dan Palembang. Mereka tidak ingin peristiwa pada 1812 terulang<br />

kembali. Pada waktu itu, Inggris tidak membayar upah para nahkoda yang<br />

membawa kapal-kapal Inggris ke Palembang. Bahkan mereka tidak mendapat<br />

ganti rugi atas kerusakan atau kehilangan kapal-kapal milik mereka. Penolakan<br />

tersebut menempatkan pemerintah Belanda pada posisi sulit. Di satu sisi, mereka<br />

dituntut untuk secepatnya mengirimkan pasukan dari Batavia. Akan tetapi, di sisi<br />

lain residen Batavia mengalami kesulitan mendapatkan nahkoda yang bersedia<br />

membawa kapal-kapal ke Palembang. Akibatnya pengiriman perahu-perahu itu<br />

tertunda (ANRI, Missive van Smissaert, 27 September 1819 No. 32 Bundel<br />

Algemeneen Secretarie).<br />

Kondisi tersebut tidak diketahui oleh Smissaert. Baginya, sekalipun<br />

armada dari Batavia telah tiba di Muntok, namun itu tidak berpengaruh pada<br />

pertahanan keamanan Pulau Bangka, karena semua armada yang ada akan<br />

dilibatkan dalam eskpedisi ke ibu kota Palembang. Dengan demikian, kemampuan<br />

militer Bangka tetap dalam kondisi kritis, karena hanya dikendalikan oleh satu<br />

kompi flankeur (pasukan pengintai) dari resimen ke-18 yang ditempatkan di<br />

Muntok. Akan tetapi, mereka mampu bertahan, karena para pemimpin Bangka<br />

juga tengah memfokuskan diri menunggu hasil dari perang di Palembang,<br />

sehingga tidak banyak melakukan pemberontakan. Selama peperangan<br />

berlangsung di Palembang, Mayor Phitsinger menerima kepemimpinan atas<br />

Bangka dari Mayor Tierlam. Selaku pemimpin di Muntok, ia berusaha tidak<br />

memancing reaksi keras dari rakyat Bangka. Hal itu dikarenakan tidak memiliki<br />

kekuatan militer, sekaligus agar tidak menambah masalah karena pasukan<br />

Belanda terkonsentrasi di Palembang. Para pemimpin Bangka dan pengikutnya<br />

melakukan hal yang sama. Mereka menunggu akhir dari perang Palembang.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


231<br />

Peperangan itu berakhir dengan kemenangan Kesultanan Palembang. Armada<br />

Wolterbeek harus mundur ke Sunsang dan Muntok. Setelah itu, pada 11<br />

November 1819 Wolterbeek memerintahkan Letnan Kolonel Keer mengambil alih<br />

komando atas Pulau Bangka dari Mayor Phitsinger (ANRI, Bundel Palembang No.<br />

67)<br />

5.4 Persiapan Kesultanan Palembang<br />

Pascakemenangan pada peperangan Juni 1819, Sultan Badaruddin segera<br />

mempersiapkan diri guna menghadapi berbagai kemungkinan dari pihak Belanda.<br />

Dalam benak Sultan, tentunya pemerintah Belanda di Batavia tidak akan tinggal<br />

diam menerima kekalahan dalam perang di Palembang. Langkah yang diambil<br />

oleh Sultan adalah mengumpulkan semua elemen yang ada di Kesultanan<br />

Palembang, dari pusat hingga uluan. Sultan mengirimkan utusan ke seluruh<br />

penduduk Kesultanan untuk mengumumkan bahwa telah datang bangsa kafir yang<br />

memaksanya untuk berperang. Sultan sama sekali tidak menginginkan perang,<br />

namun Sultan harus melakukan hal itu demi rakyat Palembang, agama Islam dan<br />

kehormatan para leluhurnya. Untuk itu, Sultan membutuhkan peran serta<br />

penduduk, baik tenaga maupun harta mereka. Rakyat Palembang mendukung<br />

penuh imbauan Sultan Badaruddin II untuk mempertahankan kedaulatan<br />

Kesultanan Palembang. Seluruh rakyat bersumpah setia yang diwakili oleh para<br />

pemimpin mereka kepada Sultan. Ritual sumpah dilaksanakan di Bukit Siguntang<br />

yang merupakan tanah paling sakral bagi seluruh penduduk Palembang. Sebagai<br />

bentuk dukungan mereka terhadap rencana sultan, mereka membawa sendiri<br />

seluruh perbekalan selama menjalankan pengabdian di ibu kota Palembang.<br />

Untuk membangkitkan semangat juang rakyat dan kelancaran pembangunan<br />

persiapan perang, Sultan terlibat langsung mengatur pengangkutan penduduk dan<br />

perlengkapannya dari uluan. Sultan juga memantau setiap hari pembangunan<br />

benteng pertahanan di Gombora, Plaju dan keraton agar cepat selesai. Padahal<br />

jarak lokasi-lokasi tersebut cukup jauh dari keraton (ANRI, Bundel Palembang<br />

No. 67; No. 5.1; Sevenhoven, 1971: 50; Woelders, 1975: 104, 130).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


232<br />

Belajar dari pengalaman di masa lalu (1811), Sultan Badaruddin II<br />

menerapkan strategi dengan tidak banyak membangun pos-pos penting. Sultan<br />

juga tidak memberikan kepercayaan besar kepada saudara-saudaranya atau<br />

golongan bangsawan lainnya, karena Sultan Badaruddin II kurang mempercayai<br />

mereka. Tampaknya, Sultan lebih percaya ada orang-orang yang telah teruji<br />

kesetiaannya, seperti Syech Balu (orang Arab yang paling setia kepada sultan),<br />

Said Hamid, Said Achmad, dan Abdullah Sekrang. Mereka adalah orang-orang<br />

yang siap mengabdikan diri mereka kapanpun Sultan membutuhkan. Sultan juga<br />

berpendapat, tidak banyak keuntungan yang akan diperoleh dengan memfokuskan<br />

pertahanan yang kuat di garis terdepan (Sunsang dan Borang), karena kalau<br />

benteng itu jatuh, akan sangat merugikan apabila pasukan ditarik ke ibu kota.<br />

Walaupun demikian, kubu-kubu pertahanan tetap dibangun di Sunsang dan pospos<br />

di sepanjang Sungai Musi mulai dari Sunsang. Gudang-gudang amunisi juga<br />

dibangun pada jarak tertentu di atas rawa-rawa di pesisir Sungai Musi (ANRI,<br />

Bundel Palembang No. 67; No. 5.1; Woelders, 1975: 104-105, 131; Waey, 1975:<br />

108-109).<br />

Sultan memutuskan untuk mengonsentrasikan pertahanan di Gombora<br />

(Kembara atau Kemaro) di bawah pimpinan Pangeran Suradilaga. Pertahanan di<br />

Gombora dilengkapi dua belas lubang untuk menembakkan meriam (tiap lubang<br />

dilengkapi dengan penutup yang tebal). Meriam-meriam ditempatkan di ujung<br />

tenggara pulau itu. Di depan Gombora disiagakan rakit-rakit yang siap dibakar.<br />

Kubu pertahanan lain yang penting adalah Tambakbayo. Posisinya terletak di<br />

sebelah kanan muara Sungai Plaju, dipimpin Pangeran Kramadiraja. Di hulu<br />

benteng Tambakbayo didirikan pula benteng Martapura di bawah pimpinan<br />

Pangeran Ratu, sedangkan dua Pangeran Adipati juga mempertahankan kubukubu<br />

pertahanan lainnya. Untuk menahan lajunya armada Belanda, Sultan<br />

mengambil langkah dengan memerintahkan menancapkan tonggak-tonggak<br />

(tiang-tiang pancang) kayu dengan garis tengah dua kaki di Sungai Musi.<br />

Tonggak-tonggak itu ditancapkan dari pinggir Pulau Gombora, menutup sungai<br />

hingga muara Sungai Plaju, yang kedalamannya mencapai delapan puluh kaki<br />

(2,44—3.1 meter) dan tinggi empat elo di atas air. Tonggak-tonggak itu<br />

disambungkan satu sama lain dan diikatkan pada kayu besar. Di tengah deretan<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


233<br />

tonggak-tonggak tersebut dibuat pulau buatan dari batu, di atasnya didirikan<br />

benteng yang dipersenjatai 26 meriam. Kubu pertahanan itu diberi nama<br />

Manguntama, yang dipimpin Pangeran Wirasentika dan Pangeran Ratu dari<br />

Kesultanan Jambi. Untuk lebih memperkuat pertahanannya, dibangun pula empat<br />

meriam yang mengapung dengan dua lubang tembak di tiap sudutnya. Di samping<br />

itu, disiagakan pula disepanjang jalur dari Gombora sampai Sunsang enam puluh<br />

lubang tembakan, sedangkan di aliran kanan Sunsang dibangun dua kubu<br />

pertahanan berupa bangunan seluas 50--75 kaki (15.24—22.86 meter). Pertahanan<br />

di semua kubu yang disiapkan sulit ditembus, baik dari sisi air (dipenuhi tonggaktonggak)<br />

maupun sisi darat (pagar yang sangat kokoh dan pohon-pohon yang<br />

besar). (ANRI, Bundel Palembang No. 67; No. 5.1; Woelders, 1975: 104-105,131;<br />

Waey, 1975: 108-109). Semua itu menunjukkan bahwa Palembang tengah<br />

sungguh-sungguh mempersiapkan diri guna menyongsong kehadiran armada<br />

Belanda.<br />

Tiap kubu pertahanan dipersenjatai lima puluh pucuk meriam, ukuran<br />

delapan pon sampai 24 pon. Pertahanan juga dilengkapi dengan sebuah kapal<br />

layar tiga tiang dan beberapa perahu bersenjata. Posisi pertahanan Palembang<br />

lebih diuntungkan dengan adanya rawa-rawa yang terdapat di sisi kiri-kanan<br />

Sungai Musi maupun anak-anak sungainya (ibu kota Palembang terkenal sebagai<br />

kota yang dialiri oleh dua puluh sungai). Di samping itu, keraton diperkuat dengan<br />

menempatkan banyak meriam berbagai ukuran. Dari dermaga keraton sampai<br />

daerah Tengkuruk (16 Ilir) disiapkan persenjataan lengkap di bawah komando<br />

mantri-mantri senior. Sampai saat itu, semua kebutuhan untuk perang sudah<br />

disiapkan dengan baik. Tambahan pula, penduduk Palembang terkenal mahir<br />

membuat amunisi dan meriam. Tokoh yang terkenal ahli membuat meriam,<br />

mengecor kuningan dan membuat senapan adalah Pangeran Puspodihargo dan<br />

beberapa orang mantri. Ahli pengecor kuningan dan pembuat senapan, umumnya<br />

orang Cina. Segala persiapan menyambut kedatangan armada Belanda yang ingin<br />

menuntut balas atas kekalahan mereka telah disiapkan (ANRI, Bundel Palembang<br />

No. 67; No. 47.6; Bataviaasche Courant, 4 Agustus 1821; The Asiatic Journal,<br />

vol. 10, Agustus 1820).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


234<br />

Menghadapi blokade Belanda atas muara Sungai Musi (Sunsang) 174 , pihak<br />

Palembang mengantisipasinya dengan mengefektifkan dua jalur lainnya yaitu<br />

Kwala Upang dan Banyuasin yang tidak diblokade. Kedua jalur tersebut<br />

dimanfaatkan pada malam hari. Pada kesempatan itu, perahu-perahu Palembang<br />

menyusuri sungai-sungai untuk berhubungan dengan dunia luar. Kesempatan<br />

terbuka pada saat kapal Ajax dan Eendracht menyeberang ke Muntok untuk<br />

mengambil perbekalan dan air setiap bulannya. Pada saat itu perahu-perahu<br />

Palembang mendekati jung-jung yang berada di perairan muara Sunsang untuk<br />

melakukan transaksi perdagangan. Dengan perginya kapal-kapal kedua kapal<br />

tersebut, menyebabkan kawasan itu terbuka bagi kapal-kapal asing menawarkan<br />

barang dagangan mereka. Dengan demikian, efek buruk dari blokade dapat<br />

diperkecil. Satu-satunya efek negatif yang paling dirasakan akibat blokade<br />

tersebut adalah penduduk Palembang menderita kekurangan garam. Sebagian<br />

kebutuhan garam mereka penuhi dengan cara membuat garam, dengan cara<br />

menuangkan air laut pada pohon dan daun-daun nipah yang banyak tumbuh di<br />

dekat laut. Akan tetapi, bagaimanapun penduduk Palembang merasakan dampak<br />

negatif dari blokade tersebut. Selain itu, mereka juga memanfaatkan jalur darat<br />

yaitu melalui Jambi. (ANRI, Bundel Palembang No. 66.10; Waey, 1875: 107-108).<br />

Beberapa hal yang dapat ditelaah dengan peristiwa blokade tersebut<br />

antara lain, dengan tertutupnya jalur Sunsang menyebabkan penduduk Palembang<br />

khususnya yang berada di pesisir pantai, mengembangkan pembuatan garam<br />

sendiri, yang selama ini harus didatangkan dari daerah lain khususnya Pulau Jawa.<br />

Blokade juga mendorong munculnya jalur lain sebagai alternatif baik sungai<br />

maupun darat. Meskipun demikian, jalur Sunsang tetap merupakan jalur terbaik.<br />

Karena paling ramai, aman dan perairannya cukup dalam untuk dilayari. Akan<br />

tetapi suatu hal yang agak sulit dipahami, mengapa peristiwa mengambil<br />

perbekalan dan air oleh kedua kapal perang ke Muntok dilakukan dalam waktu<br />

bersamaan? Mungkin hal itu harus dipahami bahwa peristiwa ke Muntok yang<br />

mereka lakukan setiap bulan, menyebabkan pengawasan menjadi lengah, sehingga<br />

memberi peluang bagi perahu-perahu Palembang untuk membeli barang<br />

174 Sunsang adalah jalur paling ramai yang digunakan sebagai pintu keluar masuk<br />

pelayaran dan perdagangan dari dan ke ibu kota Palembang.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


235<br />

kebutuhan mereka. Selain itu, blokade hanya dilakukan oleh dua kapal perang,<br />

Ternyata walaupun keluar sebagai pemenang dalam perang melawan Belanda,<br />

armada Palembang tetap tidak mampu menghadapinya. Itu semua<br />

mengindikasikan bahwa sebagai negeri yang dialiri oleh banyak sungai, juga<br />

menyeberangi laut, Palembang hanya mengembangkan armada yang sesuai<br />

dengan kebutuhan saat itu dengan teknologi sederhana. Sebaliknya, Belanda<br />

sudah memiliki armada laut yang besar dan kuat, sehingga mampu melakukan<br />

pelayaran dari Nusantara sampai Eropa. Untuk mengantisivasi masuknya pasukan<br />

Belanda melalui jalur darat, Sultan Badaruddin II memerintahkan pembangunan<br />

kubu pertahanan di daerah Sungai Komering yang disebut Kurungan Nyawa<br />

(perbatasan Palembang-Lampung). Kubu pertahanan itu dipimpin Pangeran<br />

Wiradiwangsa (Woelders, 1975: 105). Apa yang dikhawatirkan oleh Sultan<br />

terbukti, yaitu jalur tersebut sengaja disiapkan oleh pihak Belanda untuk<br />

menyerang Palembang dari Tulang Bawang Lampung. Kawasan itu sejak awal<br />

abad XIX sudah dimanfaatkan oleh Belanda sebagai jalur alternatif memasuki<br />

wilayah Palembang.<br />

Setelah persiapan perang selesai dikerjakan, Sultan mengangkat Pangeran<br />

Ratu sebagai panglima perang dan menempatkan beberapa orang kerabat atau<br />

saudaranya sebagai panglima. Di setiap posisi meriam, Sultan menunjuk seorang<br />

priyayi atau mantri untuk mengawasinya. Pada posisi-posisi strategis Sultan<br />

menempatkan putera-puteranya, untuk membangkitkan semangat juang para<br />

prajurit dan rakyat yang terlibat (ANRI, Bundel Palembang No. 67; Woelders,<br />

1975: 131). Dalam persiapan itu jelas sekali terlihat bahwa Sultan lebih<br />

mengefektifkan pengawasan dengan cara memberi peran lebih besar pada puteraputera<br />

dan orang-orang kepercayaannya.<br />

Pada saat Kesultanan Palembang tengah mempersiapkan diri menghadapi<br />

ekspedisi Belanda, berkembang kabar yang dihembuskan oleh orang-orang<br />

Belanda, bahwa Inggris akan terlibat dalam ekspedisi mereka dengan melakukan<br />

penyerangan dari arah barat (Bengkulu). Penyerangan akan dilaksanakan<br />

bersamaan waktunya dengan serangan Belanda dari timur. Bahkan disebutkan<br />

bahwa kapal-kapal Inggris menjadi bagian dalam blokade Sunsang. Berita itu<br />

menimbulkan kekhawatiran pada diri Sultan Badaruddin II. Untuk<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


236<br />

mengantisipasinya, Sultan mengirim dua orang saudaranya ke Bengkulu. Utusan<br />

itu meminta kepada pemerintah Inggris di Bengkulu agar tidak terlibat dalam<br />

usaha Belanda menyerang Palembang. Misi itu berhasil dengan baik, dengan<br />

adanya pernyataan dari pihak Inggris bahwa mereka akan netral dalam masalah<br />

antara Palembang dan Belanda (The Asiatic Journal, vol. 10 Agustus 1820).<br />

Jaminan tersebut membuat Sultan dan para bangsawan lega. Itu berarti<br />

perhatian terfokus pada usaha mempertahankan kedaulatan Kesultanan<br />

Palembang. Sikap netral Inggris, mungkin disebabkan mereka belum mampu<br />

menghapus kekecewaan dari kegagalan mereka mempertahankan kekuasaannya di<br />

Palembang khususnya Pulau Bangka.<br />

5.5 Perang Palembang Kedua dan Akibatnya<br />

Selama Belanda di Muntok Bangka pascamundur dari Palembang, banyak hal<br />

yang mereka dilakukan, antara lain membangun rumah sakit, mengirim ekspedisi<br />

ke Bangka Kotta, dan daerah lainnya di Pulau Bangka, menyiapkan persenjataan,<br />

armada, serdadu dan lainnya. Hal lain yang tidak kalah penting adalah<br />

menyiapkan perahu-perahu cunia. Berdasarkan pengalaman mereka pada perang<br />

pertama, gerak kapal-kapal besar sangat terbatas di perairan Sungai Musi. Untuk<br />

mengantisifasi hal itu, yang harus dilakukan adalah memperbanyak jumlah perahu<br />

cunia. Perahu jenis itu sangat bermanfaat untuk menopang kelancaran<br />

pertempuran di perairan Sungai Musi yang sebagian dangkal. Perahu-perahu itu<br />

berfungsi mengangkut meriam dan mengambil air minum untuk kebutuhan kapalkapal.<br />

Semua persiapan dilakukan sambil menunggu naiknya air pasang agar<br />

dapat berlayar sampai Sunsang. Selama di Pulau Bangka, pasukan Belanda juga<br />

dihadapkan pada berbagai perlawanan rakyat Bangka. Pergolakan itu tidak bisa<br />

dilepaskan dari kemenangan Palembang atas Belanda pada perang pertama (Juni<br />

1819) 175 . Kondisi itu diperparah dengan diblokadenya muara Sungai Musi,<br />

175 Perlawanan rakyat Bangka sudah terjadi sejak Inggris mengambil alih Pulau Bangka-<br />

Belitung dan pulau-pulau disekitarnya pada Mei 1812, yang berarti terputus pula hubungan antara<br />

Bangka-Belitung dengan Palembang. Inggris menerapkan kebijakan menempatkan aparatnya<br />

untuk mengawasi langsung tambang-tambang timah, yang sebelumnya berada di tangan penguasa<br />

lokal seperti depati dan batin. Kebijakan itu dilanjutkan oleh pemerintah Belanda karena dianggap<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


237<br />

sehingga hubungan antara Pulau Bangka dan Palembang terputus. Akibatnya,<br />

perlawanan meluas ke seluruh Pulau Bangka-Belitung dan pulau-pulau di<br />

sekitarnya. Berbagai bentuk perlawanan itu mengakibatkan pemerintah kolonial<br />

Belanda harus lebih kuat mempertahankan diri. Kebijakan itu diambil, karena<br />

ingin kehilangan keuntungan besar yang selama ini diperoleh dari pulau itu.<br />

(ANRI, Bundel Palembang No. 67)<br />

Pada 17-18 September 1819 kapal-kapal perang dan pengangkut Belanda<br />

bergerak dari Muntok menuju Sunsang. Pada 18 September 1819 kapal layar<br />

Irene dan Henriette Betshy dan beberapa perahu jelajah masih berada di seputar<br />

pantai Muntok, begitu pula kapal perang Ajax pada 19 September 1819 masih<br />

muncul di tepi pantai itu. Artinya, pelayaran ke Palembang dilakukan secara<br />

bertahap. Untuk menjaga keamanan pantai Muntok, pengamanannya diserahkan<br />

kepada awak kapal pengangkut Tromp. Selanjutnya, kapal Wilhelmina,<br />

Eendracht, Arimus dan Marinus terus melaju menuju Sunsang, disusul oleh kapal<br />

Admiraal Buyskes. Adapun pasukan yang terlibat dalam ekspedisi kedua adalah :<br />

- 12 orang perwira staf termasuk 4 orang perwira kesehatan<br />

- 43 orang perwira dan 1087 orang serdadu infanteri<br />

- 7 orang perwira dan 102 orang seradu artileri<br />

- 6 orang perwira perintis. 76 orang serdadu Eropa, dan 167 orang serdadu<br />

pribumi<br />

Jumlah seluruhnya sebanyak 68 orang perwira dan 1432 orang personil. Jumlah<br />

tersebut merupakan jumlah yang sudah dikurangi, sebab sebagian serdadu<br />

ditinggalkan di Muntok untuk mengamankan daerah itu. Persenjataan terdiri dari:<br />

dua buah mortar berukuran 16 pon batu (20‖), enam howitzer berukuran 24 pon<br />

besi (15‖), empat kanon berukuran 12 pon, dan dua kanon berukuran 3 pon yang<br />

berfungsi sebagai meriam lapangan. Total keseluruhan adalah 14 pucuk meriam<br />

(ANRI, Bundel Palembang No. 67). Besarnya jumlah personil, dengan peralatan<br />

(kapal perang, kapal pengangkut, perahu-perahu, meriam, mesiu, kanon dan<br />

howitzer) yang lengkap, merupakan bukti bahwa pihak Belanda mempersiapkan<br />

diri sejak kekalahan dalam perang pertama (Juni 1819),<br />

lebih menguntungkan. Akibatnya, para pemimpin Pulau Bangka (depati dan batin) mengobarkan<br />

perlawanan terhadap Belanda (ANRI, Bundel Palembang No. 67).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


238<br />

Pada 21 September 1819 saat armada Belanda berada di Sunsang, sore<br />

harinya terjadi peristiwa kebakaran di perkampungan penduduk. Penduduk<br />

Sunsang usaha bumi hangus dilakukan oleh penduduk Sunsang agar daerah itu<br />

tidak dimanfaatkan oleh pasukan Belanda. Selanjutnya, mereka bergabung dengan<br />

laskar di ibu kota Palembang. Melihat kondisi itu, armada Belanda bersiaga<br />

dengan membongkar dan memasang meriam di kapal-kapal dan perahu-perahu<br />

besar, mereka juga mengisi tong-tong air tawar yang kosong sebagai persiapan.<br />

Sambil menunggu air pasang (muara sungai Musi dangkal karena penimbunan<br />

lumpur), mereka memutuskan untuk tetap bertahan di muara Sungai Musi sampai<br />

10 Oktober 1819 176 (ANRI, Bundel Palembang No. 67; No. 5.1; No.4: 85;<br />

Bataviaasche Courant, 4 Agustus 1821; Woelders, 1975: 105).<br />

Armada perang Belanda pada waktu itu dibagi dalam beberapa divisi.<br />

Divisi pertama, terdiri dari kapal perang Tromp (memuat sebuah perahu dengan<br />

meriam dan kapal tongkang), kapal perang Eendracht, kapal meriam nomor 17<br />

dan 18, kapal Arinus dan Marinus, lima perahu dari Batavia, lima perahu jelajah<br />

dari Raja Akil. Divisi kedua, terdiri dari kapal layar Irene, empat perahu dengan<br />

howitzer (meriam gunung). Divisi ketiga, terdiri dari kapal perang Wilhelmina dan<br />

kapal Emma. Divisi keempat, terdiri dari kapal perang Ajax, kapal pengangkut<br />

Admiraal Buyskes, Waterbik, Henriette Betthy dan Blucher. Divisi terakhir, terdiri<br />

dari kapal perang Tromp dan perahu-perahu jelajah (ANRI, Bundel Palembang<br />

No. 67).<br />

Pada saat mereka meneruskan pelayaran dari Sunsang ke ibu kota<br />

Palembang, terdapat beberapa hambatan, antara lain ketidakmampuan mereka<br />

memahami peta jalur pelayaran Sungai Musi, ukuran kapal-kapal yang terlalu<br />

besar, sehingga mereka terpaksa harus membuat parit-parit agar kapal berhasil<br />

lewat. Sebaliknya, kondisi akan cepat berubah, jika air pasang, arus sungai<br />

menjadi sangat deras yang menyulitkan gerak laju kapal-kapal dan perahu-perahu<br />

Belanda. Di pihak lain, pasukan Palembang juga mengapungkan kayu-kayu besar,<br />

yang akan menyulitkan gerak maju armada Belanda. Kondisi itu diperparah<br />

176 Pada 9 Oktober 1819 kapal Admiraal Buyskes berlayar dari Muntok ke Sunsang untuk<br />

bergabung dengan armada Belanda (ANRI, Bundel Palembang No. 67).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


239<br />

dengan diluncurkannya rakit-rakit yang dibakar yang akan menghantam kapalkapal<br />

dan perahu-perahu Belanda. Semua yang dilakukan oleh pihak pasukan<br />

Palembang menjadi hambatan serius yang harus dihadapi oleh pasukan Belanda.<br />

Kondisi yang berat menyebabkan Belanda banyak kehilangan anggota<br />

pasukannya. Sampai 11 Oktober 1819 lima orang terbunuh dan 11 orang sakit<br />

(ANRI, Bundel Palembang No. 67).<br />

Jalur sepanjang hampir seratus kilometer dari Sunsang ke ibu kota<br />

Palembang, bukan jalur pendek yang harus dilalui oleh armada Belanda dengan<br />

berbagai hambatannya. Diantaranya, sering kali terjadi serangan mendadak yaitu<br />

berondongan meriam dari balik hutan-hutan disepanjang jalur dari Sunsang ke ibu<br />

kota Palembang. Semua itu menjadi penghambat laju gerak armada Belanda, dan<br />

menelan banyak korban dari pihak mereka. Jadi, mereka sudah mengalami banyak<br />

kerugian sebelum pertempuran yang sesungguhnya terjadi.<br />

Kedalaman muara sungai Musi (Sunsang) pada saat surut mencapai sebelas<br />

kaki (3,35 meter), sedangkan pada saat pasang naik mencapai dua puluh kaki<br />

(6,10 meter). Akan tetapi, kondisi sungai sulit diprediksi, karena secara tiba-tiba<br />

air mendadak surut sehingga menyulitkan pelayaran armada Belanda yang<br />

terjebak. Selama musim kemarau gelombang pasang sebanyak 24 kali, setiap kali<br />

air pasang berlangsung selama enam sampai sepuluh jam dengan arus deras mulai<br />

dari muara sungai. Di musim hujan sungai-sungai di Kesultanan Palembang<br />

meluap yang lamanya mencapai enam minggu. Di saat itu kapal-kapal besar dapat<br />

mempercepat lajunya, begitu pula dengan rakit-rakit dan perahu-perahu. Ekspedisi<br />

Belanda juga harus memperhitungkan waktu pasang air sungai Musi dengan tepat,<br />

agar mampu melayarinya dengan baik (ANRI, Bundel Palembang No. 67).<br />

Pada 15 Oktober 1819 armada Belanda tiba di benteng Borang yang sudah<br />

tidak difungsikan lagi. Padahal pada saat ekspedisi Inggris ke Palembang (1811),<br />

benteng itu merupakan benteng terpenting. Dari sana, armada Belanda<br />

melanjutkan ekspedisi menelusuri sungai mendekati pusat pemerintahan<br />

Kesultanan Palembang. Setiba mereka di dekat Pulau Keramat, perahu jelajah<br />

Belanda melakukan menyerangan terhadap pertahanan laskar Palembang,<br />

sehingga terjadi pertempuran. Dalam pertempuran itu, pasukan Belanda<br />

mengalami kerugian lima orang terbunuh dan tujuh orang terluka. Dua hari<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


240<br />

berikutnya di dekat Pulau Salanama, dalam jarak satu tembakan meriam kembali<br />

terjadi saling serang antara laskar Palembang dan kapal layar Jreno. Dalam<br />

pertempuran itu di pihak Belanda banyak jatuh korban luka. Meskipun demikian,<br />

armada Belanda tetap meneruskan ekspedisi mendekati pusat pertahanan pertama<br />

di Pulau Gombora. Untuk sampai di lokasi itu, membutuhkan waktu tiga pekan.<br />

Pada lokasi yang dianggap cocok, mereka berlabuh untuk menyiapkan<br />

penyerangan. Pada kesempatan itu, mereka manfaatkan waktu yang ada untuk<br />

mengetahui kekuatan pertahanan Palembang. Dari informasi yang mereka<br />

peroleh, dikatakan bahwa Pulau Gombora memiliki pertahanan yang sangat kuat.<br />

Keadaan itu membuat para peserta ekspedisi terkejut. Sesuatu di luar perhitungan<br />

mereka. Hanya dalam waktu empat bulan, Sultan Palembang dan rakyatnya telah<br />

berhasil membangun sistem pertahanan yang sangat kuat. sebagaimana<br />

dinyatakan oleh Kapten Meis dalam memorinya, bahwa ―Badarudin telah<br />

mempersiapkan suatu proyek pertahanan raksasa‖. Di samping itu, Sultan<br />

Badaruddin II juga membangun pertahanan di Plaju dan pulau buatan di tengah<br />

Sungai Musi sekaligus mendirikan benteng Manguntama (ANRI, Bundel<br />

Palembang No. 67; No. 5.1).<br />

Pada waktu itu, berkembang pula berita bahwa Inggris telah memasok<br />

sebanyak 400 pucuk senapan dan amunisi ke Palembang (The Asiatic Journal,<br />

Desember 1820). Berita itu otomatis membuat pasukan Belanda khawatir akan<br />

kemampuan tempur pasukan Palembang. Selain itu, di kalangan pasukan<br />

Palembang juga berkembang desas-desus yang bertolak belakang yaitu bahwa<br />

telah terjadi kesepakatan antara Belanda dan Inggris untuk menyerang Palembang.<br />

Yang menarik dari semua itu adalah tokohnya sama yaitu Inggris. Jelas, Inggris<br />

merupakan kekuatan yang diperhitungkan baik oleh Palembang maupun Belanda<br />

pada waktu itu. Kedua pihak berharap agar Inggris memihak mereka, namun isu<br />

yang berkembang tidak terbukti kebenarannya.<br />

Melihat kesiapan Kesultanan Palembang menyambut ekspedisi Belanda,<br />

makin berat pula tantangan yang harus mereka hadapi. Hambatan-hambatan itu<br />

hanya mampu diatasi dengan kebijakan panglima perang, dengan tetap menjaga<br />

semangat juang para serdadu dan para awak kapal Belanda. Akibatnya, armada<br />

Belanda baru berhasil mendekati pusat pertahanan Palembang (Plaju dan<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


241<br />

Gombora) dalam jarak tembakan meriam Palembang pada 18 Oktober 1819.<br />

Sejak itu armada yang dipimpin oleh Laksamana Wolterbeek berulang kali<br />

mencoba mendekati kubu-kubu pertahanan Palembang, tetapi selalu gagal karena<br />

derasnya arus sungai Musi. Di pihak lain, pasukan Palembang sejak awal telah<br />

melepaskan rakit-rakit dibakar yang sangat menyulitkan gerak maju armada<br />

Belanda (ANRI, Bundel Palembang No.67; No. 5.1; Bataviaasche Courant, 4<br />

Agustus 1821). Berbagai kesulitan yang harus dihadapi oleh armada Belanda,<br />

dalam usaha mendekati pusat pertahanan Kesultanan Palembang. Mereka juga<br />

mengakui bahwa untuk mendekati kubu-kubu pertahanan Palembang bukan<br />

perkara mudah, apalagi untuk terjun dalam kancah pertempuran.<br />

Strategi yang dijalankan oleh Laksamana Wolterbeek dalam melakukan<br />

penyerangan pada 20 Oktober 1819, dimulai dengan mengerahkan kapal<br />

Eendracht, Irene dan Emma. Kapal-kapal itu secara serentak menyerang benteng<br />

Gombora dan pertahanan Palembang lainnya di Sungai Musi. Pada pukul 10.00<br />

pasukan Belanda mencoba mendarat di Pulau Gombora, usaha itu terpaksa harus<br />

dibatalkan karena hembusan angin yang sangat kencang, sehingga kapal-kapal<br />

mereka sulit merapat. Siang harinya kembali kapal perang Wilhelmina<br />

melepaskan tembakan beruntun ke arah kubu pertahanan Palembang. Penyerangan<br />

itu mendapat balasan yang gencar, sehingga terjadi pertempuran yang dahsyat 177 .<br />

Untuk kedua kalinya kapal perang Wilhelmina mendekati kubu Palembang<br />

dengan gerakan zigzag, tanpa menyadari ternyata kapal telah dipenuhi air<br />

sehingga harus berlabuh untuk mengeluarkannya. Kondisi kritis itu dimanfaatkan<br />

oleh pasukan Palembang dengan melakukan serangan gencar terhadap kapal<br />

Wilhelmina dan armada Belanda lainnya. Hal itu menyebabkan formasi armada<br />

Belanda berubah. Kapal perang Eendracht berada di depan Wilhelmina, kapal<br />

Irene posisinya jadi lebih ke tengah sungai, sedangkan kapal Arinus Marinus di<br />

belakang Wilhelmina dan kapal Ajax di belakang kapal Arinus Marinus. Dua<br />

177 Di pihak Palembang, muncul tokoh-tokoh yang gagah berani melawan Belanda,<br />

antara lain Pangeran Kramadiraja, Pangeran Puspadiraja, Pangeran Puspakrama,<br />

Pangeran Puspadilaga, Pangeran Sutadiwangsa, Pangeran Sumawijaya, Rangga<br />

Satyagati, Pangeran Suradilaga, Pangeran Suta Kesuma, Pangeran Wirasentika, Pangeran<br />

Bupati, Pangeran Dipati, Demang Darpayuda, Pangeran Natadiwangsa, Sayyid<br />

Abdurahman, Sayyid Husin Panglima Dalam, Sayyid Akil bin Muhammad, dan Sayyid<br />

Ahmad bin Ali (“Syair Perang Menteng”).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


242<br />

kapal meriam ditempatkan di belakang Wilhelmina, kapal Emma di belakang<br />

Irene dan beberapa cunia di posisi agak jauh di belakang dari kapal-kapal itu<br />

(ANRI, Bundel Palembang No. 67; No.4, 1971: 86; The Asiatic Journal, vol.10,<br />

Agustus 1820).<br />

Pertempuran terus berlangsung hingga 16.00. Berhentinya peperangan<br />

disebabkan datangnya angin kencang dari arah barat laut yang sangat<br />

membahayakan kapal-kapal Belanda. Hembusan angin akan semakin kencang di<br />

malam hari pada saat musim penghujan seperti saat itu. Otomatis kondisi itu akan<br />

sangat membahayakan kapal-kapal dan perahu-perahu Belanda. Melihat kondisi<br />

yang ada, mereka memutuskan untuk mundur (kapal Eendracht dan Arinus<br />

Marinus tetap di posisinya), dalam kondisi terus dibombardir oleh pasukan<br />

Palembang. Pihak Palembang juga terus peluncuran rakit-rakit dibakar yang<br />

diluncurkan di antara kubu-kubu tonggak yang menutupi Sungai Musi. Pada<br />

pertempuran itu itu pihak Belanda mengalami banyak kerugian, tercatat 24 orang<br />

terbunuh dan 96 orang terluka. Sebaliknya, di pihak Palembang tidak mengalami<br />

kerugian yang berarti, bahkan mereka berhasil menekan armada Belanda dengan<br />

tembakan-tembakan. Kondisi ini sangat disesalkan oleh pihak Belanda. Dalam<br />

laporannya kepada panglima angkatan darat, Kolonel Bisschoff menyatakan<br />

bahwa kerugian yang diderita oleh pasukan Belanda tidak sebanding dengan<br />

kegagalan mereka. Untuk terakhir kalinya kapal perang Wilhelmina berhasil<br />

melepaskan 120 tembakan, tetapi tetap tidak mampu melemahkan kekuatan<br />

pasukan Palembang. Malam harinya lascar Palembang meluncurkan tiga puluh<br />

rakit dibakar untuk menghantam kapal-kapal, dan armada Belanda harus berjuang<br />

keras agar terlepas dari kepungan rakit-rakit api tersebut (ANRI, Bundel<br />

Palembang No. 67; No.4, 1971: 86; The Asiatic Journal, vol.10, Agustus 1820).<br />

Keesokan harinya, sejak fajar pihak Palembang kembali melancarkan<br />

tembakan-tembakan ke arah armada Belanda. Tembakan-tembakan itu dibalas<br />

mereka dari kapal Eendracht dan Arinus Marinus. Dalam pertempuran itu,<br />

kembali kapal Eendracht dan Arinus Marinus terdesak karena diberondong<br />

meriam laskar Palembang dari kedua sisi Sungai Musi. Akibatnya, mereka harus<br />

menanggung banyak kerugian dengan banyak jatuh korban. Menurut Wolterbeek,<br />

sesungguhnya pertahanan Palembang bisa ditembus asalkan pusat pertahanan<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


243<br />

mereka berhasil didekati. Untuk mendekati pusat pertahanan, dibutuhkan waktu<br />

dan sarana yang cukup. Armada Belanda kekurangan perahu-perahu kecil untuk<br />

melakukan pendaratan, walaupun sebelumnya mereka sudah mengantisivasinya<br />

dengan memperbanyak cunia. Kondisi itu diperparah karena tengah musim<br />

penghujan dengan curah yang sangat tinggi. Akan tetapi, dengan semangat tinggi<br />

pasukan Belanda mencoba memanjat dan mengepung benteng-benteng pertahanan<br />

Palembang. Kapten van der Wijck dan Kapten Laemlin menyiapkan pasukan<br />

khusus yang akan menaklukkan kubu-kubu pertahanan tersebut, namun keinginan<br />

itu tidak berhasil. Benteng-benteng itu dikelilingi tonggak-tonggak yang sangat<br />

kuat, hutan belukar yang lebat dan rawa-rawa, serta gelombang pasang yang deras<br />

dan tinggi di musim penghujan. Akhirnya, Wolterbeek mengirimkan ultimatum<br />

kepada Sultan Badaruddin II untuk berunding, tetapi tidak mendapat tanggapan<br />

dari Sultan Badaruddin II (ANRI, Bundel Palembang No. 67). Tawaran ini tidak<br />

menarik bagi Sultan dan para pejuang Palembang karena posisi Palembang pada<br />

waktu itu cukup kuat untuk membendung dan menghantam pasukan Belanda.<br />

Pada 21 Oktober 1819 kondisinya sedikit menguntungkan pihak Belanda,<br />

sehingga mereka bisa melakukan penyerangan terhadap kubu-kubu pertahanan<br />

Palembang. Akan tetapi penyerangan itu tidak mampu menggoyahkan kekuatan<br />

pertahanan Palembang. Sebaliknya, posisi pasukan Belanda semakin terdesak.<br />

Akhirnya, pada 27 Oktober 1819 Wolterbeek melakukan pertemuan dengan<br />

semua perwira komandan kapal dan komandan pasukan di atas kapal perang<br />

Wilhelmina. Dalam pertemuan itu mereka membahas kondisi terakhir pasukan,<br />

dan armada Belanda serta rencana melakukan serangan besar-besaran terhadap<br />

posisi pertahanan laskar Palembang. Dari pertemuan tersebut akhirnya terungkap<br />

bahwa apabila dilakukan penyerangan terhadap kubu Palembang dengan<br />

menggunakan kapal-kapal besar di saat air surut, keberhasilan sulit diperoleh.<br />

Apalagi kubu-kubu pertahanan Palembang dikelilingi oleh tonggak-tonggak yang<br />

sangat kokoh. Penyerangan akan lebih efektif jikaa menggunakan perahu-perahu<br />

kecil, bentuk penyerangan itu tidak dapat dilakukan pada saat itu, karena<br />

keterbatasan armada. Pertempuran yang telah berlangsung hampir setengah bulan,<br />

ditambah kondisi alam yang keras (angin kencang, panas terik di siang hari dan<br />

kedinginan di malam hari, di dalam kapal yang terbuka dan sering diguyur hujan<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


244<br />

lebat), sehingga awak kapal banyak yang terserang penyakit. Akhirnya, dicapai<br />

kata sepakat bahwa meneruskan peperangan adalah suatu kesia-siaan, bahkan<br />

akan makin melemahkan kekuatan Belanda. Laksamana Wolterbeek memutuskan<br />

untuk menarik diri mundur ke Sunsang dan memblokade daerah itu (ANRI,<br />

Bundel Palembang No. 67; No.4, 1971: 86; Bataviaasch Courant, 4 Agustus 182).<br />

Sebagian pasukan dikirim ke Pulau Jawa yaitu empat kompi pengawal dari<br />

resimen infanteri dikirimkan dengan kapal Arinus Marinus dan kapal Admiraal<br />

Buyskes. Para prajurit dan awak kapal yang terluka dan sakit diangkut dengan<br />

kapal Henrieta Elisabeth ke Batavia. Keputusan lain yang diambil oleh<br />

Laksamana Wolterbeek untuk pasukan darat, adalah sebanyak satu kompi pasukan<br />

infanteri diberangkatkan ke Malaka untuk memperkuat garnisun di sana. Serdadu<br />

yang tersisa dan ditempatkan di atas kapal-kapal yang ada adalah : 150 serdadu<br />

infanteri di kapal Tromp, 80 orang serdadu infanteri dan artileri di kapal<br />

Wilhelmina, 50 orang serdadu infanteri di kapal Eendracht, 50 orang serdadu<br />

infanteri di kapal Ajax, 5 orang serdadu artileri di kapal meriam nomor 17, dan 5<br />

orang serdadu artileri di kapal meriam nomor 18. Untuk memperkuat Pulau<br />

Bangka, Laksamana Wolterbeek memutuskan untuk menempatkan Letnan<br />

Kolonel Riestz bersama empat puluh orang serdadu artileri. Komandan militer<br />

Pulau Bangka dipegang Letnan Kolonel Keer, sedangkan pengawasan terhadap<br />

kapal-kapal dipercayakan kepada Mayor Tierlam. Disamping itu, masih tersisa<br />

dua kompi pasukan perintis di Muntok di bahwa pimpinan Kapten zeni van der<br />

Wijck. Sambil menunggu perintah lebih lanjut dari Gubernur Jenderal Van der<br />

Capellen, pada 30 Oktober 1819 pasukan armada Belanda mundur dari<br />

Palembang, tiba di Sunsang pada 3-4 November 1819 (ANRI, Bundel Palembang<br />

No. 67; No.4,1971: 86; Bataviaasche Courant, 4 Agustus 1821; The Asiatic<br />

Journal, vol 10, Agustus 1820).<br />

Pasukan Belanda mendapat pelajaran yang sangat berharga dari<br />

peperangan yang banyak menelan korban. Apa yang mereka ramalkan tentang<br />

ketidakmampuan mereka membobol kekokohan benteng Gombora, benar-benar<br />

terjadi. Pertahanan yang kuat, pasukan yang memiliki semangat juang yang tinggi,<br />

dan kondisi alam yang mendukung, membuat pasukan Belanda harus mengakui<br />

keunggulan Palembang dalam peperangan itu.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


245<br />

Dalam laporannya kepada Gubernur Jenderal Van der Capellen pada 8<br />

November 1819 dari atas kapal de Tromp, Wolterbeek menyatakan bahwa dirinya<br />

telah melaksanakan tugas berat yang dipercayakan padanya, namun hasilnya jauh<br />

dari harapan. Ekspedisi yang dipimpinnya harus menerima kekalahan dalam<br />

perang dengan Palembang. Kekalahan yang sangat menyakitkan karena terjadi<br />

dalam tahun yang sama (1819), dan dari peperangan tersebut Belanda mengalami<br />

kekalahan. Untuk itu, Wolterbeek memohon kepada Van der Capellen agar<br />

pertahanan Pulau Bangka ditingkatkan, karena hanya itu yang tersisa dari wilayah<br />

Palembang yang mereka duduki sebagian wilayahnya. Selanjutnya, Wolterbeek<br />

mengutus Kolonel Bischoff ke Batavia untuk memohon bantuan kapal dan<br />

perahu-perahu. Di Muntok sendiri masih tersisa tiga tongkang dan kapal Nassau<br />

yang baru tiba dari Batavia untuk memperkuat pertahanan di sana. Lebih lanjut,<br />

Wolterbeek menyatakan bahwa sesungguhnya tidak hanya Pulau Bangka yang<br />

harus diperkuat, tetapi juga Jambi, Kepulauan Riau dan Lingga. Ia mengusulkan<br />

agar pasukan ekspedisi yang dikirim ke Ambon, dialihkan ke Bangka. Wolterbeek<br />

berjanji akan mempertahankan Pulau Bangka sekuat-kuatnya, sampai kondisinya<br />

memungkinkan dirinya untuk kembali ke Pulau Jawa. Menurut perhitungannya,<br />

pada sekitar bulan Januari 1820 Pulau Bangka dapat ditinggalkannya, setelah<br />

melakukan konsolidasi di sana (ANRI, Bundel Palembang No. 66.10).<br />

Pulau Bangka dan sekitarnya sangat penting, mengingat hanya pulau itu<br />

yang tersisa, dan dijadikan pijakan untuk melakukan konsolidasi guna menyerang<br />

Palembang kembali. Bangka juga merupakan pulau yang sangat penting, karena<br />

memiliki tambang timah dan berada pada posisi strategis yang menghubungkan<br />

Jawa dan Semenanjung Malaya bahkan ke Cina. Untuk itu, apapun harus<br />

dipertaruhkan demi mempertahankan pulau itu. Dengan menguasai Bangka dan<br />

menutup jalur ke ibu kota Palembang, diharapkan akan melemahkan kekuatan<br />

Palembang, sehingga lebih mudah dikuasai.<br />

Dalam kaitannya dengan Palembang, sebagaimana pascaperang pertama,<br />

dilakukan memblokade di Sunsang. Pelaksanaannya diserahkan kepada Kapten<br />

Dibbetz. Dibbertz menempatkan kapal perang Wilhelmina 178 , Ajax, de Prins<br />

178 Kapal perang Wilhelmina, dan kapal Eendracht pada Nopember 1819 dikirim ke<br />

Batavia karena semakin rusak, sejak terlibat dalam perang Palembang (ANRI, Bundel Palembang<br />

No. 66.10).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


246<br />

Blucher, Leeuwrik, Galathe, kapal meriam nomor 17 dan empat perahu meriam<br />

serta sebuah perahu dengan kanon berkekuatan tiga pon. Di samping itu, kapal<br />

Prins Blucher juga bertugas untuk mengibarkan panji-panji sebagai tanda<br />

kehadiran kapal-kapal perang di sana. Selanjutnya, kekuatan blokade Belanda<br />

bertambah, dengan tibanya kapal layar de Hoop dari Malaka. Kapal itu membawa<br />

seratus orang serdadu di bawah pimpinan Kapten Sneijder. Semua kekuatan itu<br />

bersatu untuk menutup Sunsang, sampai adanya perintah dari Van der Capellen<br />

untuk kembali melaksanakan ekspedisi ke Palembang. Dalam usaha mereka<br />

menutup Sunsang, armada Belanda dihadapkan pada kendala yaitu terjadi<br />

pendangkalan di daerah itu 179 , sehingga sulit dilayari. Di pihak lain, untuk<br />

mengatisivasi dampak dari Blokade Belanda, pihak Palembang melakukan<br />

berbagai cara sebagaimana telah mereka lakukan pada blokade pertama. Mereka<br />

kembali mengefektifkan jalur Kwala Upang dan Banyuasin serta jalur darat<br />

melalui perbatasan Jambi-Palembang. Akan tetapi, blokade kali itu lebih<br />

menyulitkan mereka untuk menembusnya, karena pihak Belanda lebih<br />

memperketat pengamanannya dengan melibatkan lebih banyak kapal dan perahu<br />

(ANRI, Bundel Palembang No. 66.10; No. 67).<br />

Setelah melakukan pemetaan di sekitar Sunsang, pada 11 Nopember 1819<br />

Pietersen dan H. Jurgens berangkat ke Batavia membawa 250 orang serdadu<br />

dengan kapal Arimus Marinus. Sebelumnya, kapal pengangkut Henderiette Betsy<br />

dan perahu Kora-Kora nomor 4, di bawah pimpinan Letnan Rembaldo melakukan<br />

hal yang sama mengangkut orang-orang sakit dan luka ke Batavia (ANRI, Bundel<br />

Palembang No. 66.10).<br />

Dalam memorinya, Wolterbeek memaparkan berbagai persoalan yang<br />

dihadapinya dalam ekspedisi ke Palembang. Menurutnya, peperangan di<br />

Palembang adalah bencana besar dan sangat mahal bagi Belanda, dengan dampak<br />

yang tidak dapat diperhitungkan. Tidak satu pun di antara mereka yang<br />

mengetahui kondisi dan kekuatan yang sesungguh yang dimiliki oleh Kesultanan<br />

179 Berdasarkan penelitian Letnan-1 Pietersen dan H. Jurgens di daerah Sunsang,<br />

Sungai Sleino dan sekitarnya, diketahui bahwa kawasan itu terjadi pendangkalan<br />

sehingga menyulitkan kapal-kapal untuk menutup perairan itu (ANRI, Bundel Palembang<br />

No. 66.10). Hal itu akan berdampak pada lemahnya pengawasan atas daerah tersebut,<br />

dan itu memberi peluang bagi armada Palembang menembus blokade tersebut.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


247<br />

Palembang, begitu pula dengan kondisi pantai-pantai dan sungai-sungainya.<br />

Pendapat umum yang berkembang pada waktu itu, menyebutkan bahwa ekspedisi<br />

Belanda ke Palembang adalah suatu kesia-siaan dan membuang-buang biaya.<br />

Mengenai kepemimpinannya sendiri sebagai panglima perang, Wolterbeek<br />

menyerahkan penilaiannya kepada para ahli dan petinggi pemerintah Belanda.<br />

Harapannya semua dapat diselesaikan melalui perundingan damai. Akan tetapi,<br />

apabila peperangan menjadi pilihan, harus dilaksanakan secara besar-besaran<br />

dengan mengesampingkan tugas-tugas lainnya. Sementara itu, blokade tetap harus<br />

dilanjutkan dan dirinya tetap memegang komando ekspedisi. Menurut<br />

perhitungannya, Sultan Badaruddin II dalam jangka waktu panjang tidak akan<br />

mampu terus memperkuat posisi pertahanannya. Palembang juga akan dihadapkan<br />

pada kekurangan bahan makanan. (ANRI. Bundel Palembang No. 66.10). Keadaan<br />

yang diprediksikannya itu membuat Laksamana Wolterbeek melihat peluang<br />

untuk menaklukkan Kesultanan Palembang dan mendudukinya.<br />

Lebih lanjut, Wolterbeek mengemukakan konflik yang terjadi di tubuh<br />

pasukan Belanda khsususnya mengenai kepemimpinan Muntinghe. Dalam<br />

laporannya kepada Gubernur Jenderal pada 11 Nopember 1819, secara terangterangan<br />

Wolterbeek menyatakan bahwa dirinya merasa tidak cocok dengan<br />

Komisaris Muntinghe. Menurutnya, Muntinghe adalah orang yang sulit bekerja<br />

sama dengan orang lain, sehingga sering terjadi konflik dengan orang-orang<br />

disekitarnya khususnya dari kalangan militer. Sebagai panglima dalam ekspedisi<br />

militer di Palembang, Wolterbeek sering menjadi mediator antara Muntinghe dan<br />

pihak-pihak yang tidak sejalan dengannya. Misalnya konflik antara Muntinghe<br />

dan komandan garnisun Letnan Kolonel Keer dan sekretaris van der Kop.<br />

Meskipun sudah berusaha untuk memperbaiki hubungan kurang harmonis antara<br />

sipil dan militer, namun usaha Wolterbeek tidak berhasil. Di sisi lain, Muntinghe<br />

tidak berusaha untuk memperbaiki konflik yang ada. Mereka juga dihadapkan<br />

pada berbagai kesulitan berat di Palembang dan Bangka sehingga Wolterbeek<br />

memutuskan untuk lebih lama di Bagnka (ANRI, Bundel Palembang No. 67).<br />

Konflik Muntinghe dan orang-orang di sekelilingnya sudah berlangsung<br />

sejak dirinya mempersiapkan ekspedisi militer ke uluan (Juli 1818), untuk<br />

mengejar pasukan Inggris. Pihak militer tidak setuju dengan Muntinghe karena<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


248<br />

memikirkan kemampuan militer pada waktu itu yang sangat minim. Apa yang<br />

dikhawatirkan pihak militer benar-benar terbukti, dengan mundurnya pasukan<br />

militer Belanda dari uluan setelah berhadapan langsung dengan pasukan Inggris<br />

(Nopember 1818).<br />

Kemenangan Kesultanan Palembang atas Belanda sangat diharapkan<br />

rakyat Bangka, dengan kemenangan itu akan memudahkan perjuangan mereka<br />

untuk mengusir Belanda. Keyakinan rakyat Bangka tersebut berkaitan dengan<br />

upaya Sultan Badaruddin II untuk mengobarkan pemberontakan terhadap Belanda<br />

di seluruh wilayah Kesultanan Palembang, termasuk Pulau Bangka-Belitung. Bagi<br />

rakyat Bangka, kemenangan Palembang adalah kemenangan mereka, karena<br />

perlawanan mereka bagian dari Kesultanan Palembang dan dipimpin para<br />

bangsawan Palembang. Mereka juga mendapat pasokan senjata dari Palembang<br />

melalui pedagang-pedagang gelap Palembang. Dengan demikian, keberhasilan<br />

Palembang mengusir Palembang dari wilayahnya, membawa pengaruh besar pada<br />

semangat juang rakyat Pulau Bangka. Kekuatan terbesar mereka terkonsentrasi di<br />

Bangka Kotta. Sebanyak delapan ratus orang telah siaga di Nieri. Kekuatan itu<br />

terus bertambah, sehingga pasukannya mencapai 1200 orang. Menghadapi kondisi<br />

demikian, Residen Smissaert mengambil langkah untuk mencari jalan damai. Cara<br />

yang ditempuhnya adalah mengadakan perjalanan mendekati lokasi kekacauan.<br />

Pada 14 November 1819, Smissaert kembali dari perjalanan dinasnya. Di<br />

kampung Dauwet (satu hari perjalanan dari Pangkal Pinang), mereka diserang dan<br />

dibunuh oleh pasukan Bangka di bawah pimpinan Batin Barin. Barin<br />

mengerahkan pasukan berkekuatan sebanyak 150-200 orang, sedangkan Smissaert<br />

hanya dikawal oleh lima sampai enam orang serdadu. Berita kematian Smissaert<br />

sampai di Muntok pada 18 November 1819. Menyadari situasi yang ada,<br />

Muntinghe melanjutkan usaha untuk damai yang telah dirintis oleh Smissaert,<br />

namun hasilnya tidak seperti yang diharapkannya. Bangka terus bergolak (ANRI,<br />

Bundel Palembang No. 67).<br />

Para pemimpin Bangka menolak tawaran damai yang disodorkan oleh<br />

Muntnghe. Bagaimana mungkin mereka mau berdamai, sedangkan Palembang<br />

menang perang melawan Belanda. Kemenangan itu memberi mereka semangat<br />

juang yang lebih besar untuk mengusir Belanda. Apabila mereka berhasil<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


249<br />

mengenyahkan Belanda dari wilayah mereka, berarti seluruh Kesultanan<br />

Palembang bebas dari pengaruh bangsa itu.<br />

Pemerintah Belanda memutuskan untuk menjadikan Pulau Bangka<br />

(Muntok) sebagai basis kekuatan untuk menghadapi Palembang, terutama setelah<br />

gagal pada ekspedisi Oktober 1819. Untuk menghadapi perlawanan rakyat<br />

Bangka, Wolterbeek memerintahkan Letnan Kolonel Keer, Letnan Kolonel Rietz<br />

dan Kapten Van der Wijck untuk merancang serangan mendadak terhadap<br />

pertahanan Bangka. Di samping itu, mereka juga melakukan penelitian tentang<br />

kondisi pulau itu. Hasilnya akan dijadikan rujukan untuk menentukan tindakan<br />

terbaik untuk pulau itu. Berdasarkan penelitian yang mereka lakukan, ternyata<br />

serangan mendadak yang mereka rencanakan bukan tindakan yang tepat.<br />

Akibatnya, rencana tersebut dibatalkan. Di pihak lain, Residen Smissaert<br />

menempuh jalur damai untuk meredakan ketegangan di Bangka, namun usaha itu<br />

gagal dan Residen Smissaert menemui ajalnya dengan cara dipancung kepalanya<br />

oleh pasukan Bangka (14 November 1819) dan kepalanya dikirim kepada Sultan<br />

Badaruddin II. Situasi menjadi semakin tegang. Komisaris Muntinghe segera<br />

mengambil alih pemerintahan sipil yang kosong akibat wafatnya Residen<br />

Smissaert (Waey, 1875: 110).<br />

Menghadapi situasi yang ada, memaksa Komisaris Muntinghe memilih<br />

jalan damai. Keputusan itu ditempuh Muntinghe karena dia sadar serdadu dan<br />

persenjataan yang dimiliki Belanda sangat terbatas. Strategi itu ditempuh<br />

bertujuan untuk mengulur waktu, sambil mempersiapkan pasukan untuk<br />

melakukan serangan balik terhadap kubu-kubu pertahanan Bangka. Akan tetapi,<br />

usaha itu tidak berjalan sesuai yang mereka harapkan. Berulang kali Belanda<br />

menghadapi berbagai pergolakan, seperti pergolakan yang terjadi di Bangka<br />

Kotta, Marawang, Sungei Liat dan Blinyu. Dalam berbagai pergolakan itu<br />

dikabarkan 36 orang kuli tambang timah Belanda memihak perlawanan rakyat<br />

Bangka, sehingga Keer menambah pasukan keamanan sebanyak 250 orang<br />

serdadu. Penambahan itu membuat pasukan Belanda di Bangka lebih leluasa<br />

bergerak, dan berhasil mengatasi pergolakan di Bangka Kotta. Selanjutnya,<br />

mereka juga mengerahkan kapal de Emma dan kapal meriam serta menempatkan<br />

perahu-perahu jelajah di muara sungai Zoute Bangka (ANRI, Bundel Palembang<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


250<br />

No. 67: Korten Schets.., 1846:134-135). Membelotnya para kuli tambang<br />

Belanda, membuktikan bahwa tidak semua kuli tambang mereka mau<br />

dipersenjatai untuk melawan perlawanan rakyat Bangka.<br />

Banyak faktor yang mempersulit penaklukan Pulau Bangka, antara lain<br />

wilayah pulau itu sangat luas, sedangkan personil dan peralatan yang dimiliki oleh<br />

pasukan Belanda terbatas, Mereka harus berhadapan dengan para pejuang Bangka<br />

yang jumlahnya banyak dan sangat mengenal medan serta memiliki sarana<br />

transportasi yang memadai. Untuk mengantisipasi hal tersebut, para pemimpin<br />

Belanda melakukan berbagai terobosan yaitu menambah jumlah anggota pasukan<br />

dan armada. Penambahan pasukan mustahil dapat diperoleh dari luar daerah<br />

tersebut. Untuk itu, satu-satunya jalan adalah memerintahkan para inspektur<br />

tambang timah untuk menghentikan penambangan timah sementara 180 , para<br />

pekerja tambang (umumnya orang Cina) diperbantukan untuk menghadapi<br />

perlawanan rakyat Bangka, dengan catatan upah mereka tetap dibayar. Demikian<br />

pula halnya dengan para komandan Belanda yang berada Pangkal Pinang,<br />

Marawang, Blinyu, Jebus, dan Sungai Liat diperintahkan untuk mempertahankan<br />

wilayah mereka masing-masing. Selain itu, kubu pertahanan dibangun pula di<br />

Muntok, yang terletak di depan rumah residen. Pemilihan lokasi tersebut tentunya<br />

berkaitan dengan fungsinya yaitu untuk melindungi rumah residen, kapal-kapal<br />

Belanda yang berlabuh dan serangan dari orang-orang Bangka. Pagar yang kokoh<br />

terbuat dari kayu sepanjang 80 roed persegi dibangun dengan waktu sekitar dua<br />

setengah bulan. Keputusan lain adalah membangun kubu pertahanan serupa di<br />

Tanjung Kalian. Pembangunannya dimaksudkan agar pasukan Belanda mampu<br />

menghadapi serangan musuh baik dari laut maupun darat. Untuk mempercepat<br />

pembangunannya pada 29 November 1819 Wolterbeek mengerahkan para<br />

serdadu, pekerja pribumi, awak kapal dan seratus orang Cina. Pertahanannya<br />

diperkuat dengan membentuk korps militer yang terdiri dari delapan puluh orang<br />

Ambon (ANRI, Bundel Palembang No. 67).<br />

Semua dilakukan untuk memperkokoh pertahanan di pulau Bangka<br />

khususnya Muntok. Apabila daerah itu tidak mampu dipertahankan, keberadaan<br />

180 Penambahan itu berdasarkan hasil pertemuan yang diadakan pada 18<br />

Nopember 1819 antara Komisaris Muntinghe, Letnan Kolonel Keer dan sekretaris<br />

Bangka van der Kop (ANRI, Bundel Palembang No. 67).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


251<br />

Belanda di wilayah Kesultanan Palembang hanya tinggal nama. Atas dasar itu,<br />

Wolterbeek dan aparatnya melakukan berbagai cara untuk meningkatkan<br />

pertahanan.<br />

Di lain pihak, para pejuang Bangka di bawah pimpinan Batin Barin<br />

melakukan berbagai terobosan untuk memperkuat posisi. Cara yang ditempuh<br />

adalah menarik dukungan yang lebih besar dari orang-orang Cina yang menjadi<br />

kuli di tambang-tambang timah Belanda. Kebijakan itu diambil karena peran etnis<br />

Cina cukup menentukan di pulau itu, khususnya di pertambangan. Untuk itu, pada<br />

November 1819 di Pangkal Pinang Batin Barin mengeluarkan maklumat atas<br />

nama Sultan Badaruddin II. Maklumat itu memuat ajakan kepada para kuli<br />

tambang Cina agar bergabung dengan gerakan melawan Belanda. Mereka<br />

diiming-imingi dengan janji timah hasil tambang mereka akan dibeli oleh Sultan<br />

Badaruddin II seharga 10 real Spanyol per pikul. Mengetahui hal itu, Laksamana<br />

Wolterbeek segera bertindak dengan mengirimkan pasukan sebanyak seratus<br />

orang serdadu Eropa dan pribumi menuju Pangkal Pinang, di bawah komando<br />

Kapten Ege. Para petinggi Belanda di Muntok sangat mengkhawatirkan hal itu<br />

terjadi, yang berarti ancaman serius bagi keberadaan Belanda di sana (ANRI,<br />

Bundel Palembang No. 67).<br />

Serangan pertama dilancarkan oleh kapal The Stunter 181 , segera disusul<br />

serangan kedua di bawah kendali Keer. Serangan susulan itu berkekuatan lebih<br />

besar yaitu tiga ratus orang serdadu Eropa. Pertempuran pecah di daerah<br />

pertambangan sebelah timur Pangkal Pinang. Gabungan dua kekuatan yang<br />

menyerang pusat perlawanan Batin Barin (delapan jam dari Pangkal Pinang dan<br />

Kusi), menyebabkan Batin Barin tidak mampu berbuat banyak dan mundur pada<br />

21 Nopember 1819 (ANRI, Bundel Palembang No. 67).<br />

Mundurnya kelompok Batin Barin, bukan berarti menyurutkan<br />

perlawanan. Mereka menyebar di sepanjang sungai-sungai, rawa-rawa dan hutan.<br />

Posisi itu menyulitkan pasukan Belanda untuk menyerangnya. Untuk<br />

menumpasnya perlawanan Batin Barin, Wolterbeek mengirimkan pasukan di<br />

bawah pimpinan Letnan Kolonel Rietsz pada Desember 1819. Di samping itu,<br />

181<br />

Munculnya kapal nama Inggris, dimungkinkan karena pihak Belanda<br />

menyewa kapal-kapal Inggris guna memenuhi kebutuhan perang pada waktu itu.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


252<br />

pihak Belanda juga menghubungkan kubu-kubu pertahanan di Jebus, Blinyu,<br />

Sungei Liat, Marawang dan Pangkal Pinang, dengan cara membangun dan<br />

memperkuat pos-pos yang ada. Berbagai pertempuran terjadi antara pasukan<br />

Bangka dan Belanda, yang umumnya dimenangkan oleh pihak Belanda. Akan<br />

tetapi, biasanya kemenangan itu tidak permanen. Maksudnya, setelah suatu daerah<br />

dikuasai oleh pasukan Belanda, dengan segera akan direbut kembali oleh pasukan<br />

Bangka, sehingga penaklukan harus dilakukan berulang-ulang oleh pasukan<br />

Belanda. Semua itu membutuhkan tenaga, dana yang tidak sedikit. Untuk<br />

kawasan Muntok dan sekitarnya mereka mengamankannya dengan lebih ketat,<br />

dan mengantisipasi perlawanan sekecil apapun. Mereka mengawasi kegiatan<br />

penduduk kota itu, bahkan kelompok-kelompok pengajian dicurigai sebagai usaha<br />

untuk menggalang kekuatan untuk melawan Belanda. Reaksi Belanda yang<br />

berlebihan menyebabkan penduduk Muntok merasa tidak bebas bergerak,<br />

termasuk dalam menjalankan ibadah keagamaan. Sementara itu, pada Desember<br />

1819 kekuatan militer di Muntok makin berkurang, karena sebagian besar kapalkapal<br />

Belanda digunakan untuk memblokade muara sungai Musi dan sisanya<br />

dipindahkan ke Malaka. Dalam kondisi demikian, pada 23 Desember 1819<br />

penguasa sipil dan militer di Bangka mengajukan permohonan bantuan ke Batavia<br />

agar mengirimkan lima puluh sampai dua ratus orang serdadu Ambon atau Bugis<br />

untuk dijadikan kesatuan Jayeng Sekar (pasukan pengawal pribumi). Para serdadu<br />

itu akan ditugaskan untuk membuat jalan baru dan memperluas jalan-jalan yang<br />

sudah ada di Pulau Bangka. Kebijakan itu dilaksanakan untuk memudahkan<br />

komunikasi dan koordinasi dengan tujuan mengakhiri perlawanan rakyat Bangka.<br />

Dua hari setelah itu (25 Desember 1819), Muntinghe kembali ke Batavia dengan<br />

menumpang kapal perang Wilhelmina. Dengan demikian, kepemimpinan Belanda<br />

di sana dikendalikan oleh Wolterbeek (ANRI, Bundel Palembang No. 67; No.<br />

66.10).<br />

Pada awal tahun 1820 kondisi keamanan Pulau Bangka tidak banyak<br />

berubah, tetap bergolak. Pulau itu membutuhkan pasokan senjata dan<br />

penambahan kubu-kubu pertahanan untuk memperkokoh pertahanan Belanda.<br />

Sampai saat itu mereka tidak mampu membendung perlawanan rakyat Bangka.<br />

Muntok sebagai pusat pemerintahan dan pertahanan tidak mampu mengendalikan<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


253<br />

wilayah pulau Bangka yang sangat luas (membutuhkan waktu 50 jam untuk<br />

mengelilinginya dan 13-17 jam waktu untuk menyusuri lebarnya). Pulau itu juga<br />

memiliki banyak sungai (antara lain Sungai Hering, Sungai Kota Waringin,<br />

Sungai Mundo, Sungai Selan dan Sungai Bangka Kota 182 ). Untuk menjelajahi<br />

wilayah itu, Belanda membutuhkan perahu-perahu kecil, padahal pada waktu itu<br />

pemerintah Belanda tidak memilikinya. Fasilitas yang dimiliki Belanda<br />

berbanding terbalik dengan penduduk Pulau Bangka. Sebagai penduduk asli,<br />

mereka memiliki banyak perahu dan kecakapan untuk mengendalikannya dalam<br />

kondisi apapun. Di daerah itu pemerintah Belanda juga tidak memiliki serdadu,<br />

persenjataan dan armada yang memadai untuk menunjang kemampuan<br />

tempurnya. Salah satu daerah yang harus terus diperhatikan dan dipertahankan<br />

oleh Belanda adalah Toboali, karena secara berkala daerah itu mendapat serangan<br />

pasukan Bangka. Berbagai serangan itu dilaporkan Keer kepada Departemen<br />

Peperangan di Batavia pada 4 Pebruari 1820. Di samping itu, pihak Belanda juga<br />

harus menjaga keselamatan orang-orang Bangka yang memihak mereka.<br />

Contohnya Batin di daerah Nyatau (pertemuan antara Muntok dan Lebu) yang<br />

terancam keselamatannya karena memihak Belanda, sehingga Keer<br />

memerintahkan Letnan-1 Cavelier memimpin satu kesatuan untuk melindungi<br />

daerah itu. Meskipun demikian, usaha itu tidak berhasil. Semua lapisan<br />

masyarakat dari berbagai etnis di Bangka secara terus menerus memberi<br />

dukungan kepada para pemimpin mereka (ANRI, Bundel Palembang No. 67).<br />

Ketidakmampuan Belanda untuk mengendalikan wilayah Pulau Bangka,<br />

mendorong para pemimpin Belanda di sana untuk membagi pulau itu dalam<br />

beberapa distrik, yaitu Kota Waringin (Mando), Bangka Kotta dan Muara Kwala.<br />

Untuk mengamankan daerah-daerah dikerahkan kapal Eendrach dan kapal dan<br />

kapal meriam nomor17. Untuk kawasan timur Pulau Bangka dikerahkan kapal<br />

meriam nomor 12 dan kapal Hunter. Pembagian itu dimaksudkan untuk<br />

memudahkan pendudukan. Setelah itu, mereka membangun kubu pertahanan di<br />

182 Sungai-sungai tersebut dijadikan sarana untuk memutuskan hubungan<br />

pasukan Belanda dengan distrik timur Pangkal Pinang, Sungai Liat dan Marawang.<br />

Sehingga menyulitkan pihak Belanda untuk menaklukkan daerah-daerah itu secara<br />

permanen (ANRI, Bundel Palembang No. 67). Jadi, sungai penting perannya dalam<br />

usaha penduduk Bangka mempertahankan wilayah mereka dari cengkeraman kolonial<br />

Belanda.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


254<br />

Marawang dan Pangkal Pinang, yang dilengkapi dengan meriam, amunisi. Untuk<br />

menjaganya dikerahkan dua kompi infantri serdadu, yang terdiri dari orang<br />

Madura dan Ambon dari Batavia. Sementara itu, pemerintah Belanda di Batavia<br />

mengalami kesulitan untuk memenuhi permintaan tambahan pasukan dari<br />

Bangka, karena di Batavia khususnya dan Pulau Jawa umumnya juga dihadapkan<br />

pada masalah yang sama. Selain itu, kebijakan pemerintah pusat di Batavia adalah<br />

memfokuskan diri untuk melakukan ekspedisi kembali ke Palembang. Belanda<br />

berpendapat bahwa merebut Palembang adalah hal penting, karena tanpa merebut<br />

Palembang, berarti Bangka juga tidak akan dapat mereka kuasai (ANRI,Bundel<br />

Palembang No. 66.10).<br />

Usaha menundukkan perlawanan rakyat Bangka terus berlangsung. Pada<br />

pertengahan Maret 1820 kekuatan yang dipimpin oleh Keer dan Raja Akil,<br />

bergabung untuk menaklukkan Kota Waringin. Armada yang disiapkan antara<br />

lain, kapal perang Eendracht, Ajax, Tromp, de Emma dan sepuluh perahu cunia,<br />

serta dua howitzer. Kesatuan yang terlibat terdiri dari sepuluh orang perwira, dua<br />

ratus orang serdadu. Kesatuan itu tiba di Kota Waringin pada 20 Maret 1820.<br />

Medan yang harus mereka lalui sangat berat, yaitu sungai-sungai yang sempit<br />

dipenuhi batang dan ranting-ranting pohon. Dibutuhkan waktu lima hari untuk<br />

membersihkannya. Setelah itu, Letnan-1 Gemet memimpin pasukannya<br />

menyerang pertahanan pasukan setempat. Dalam pertempuran itu pasukan<br />

Belanda dengan mudah berhasil meredam perlawanan penduduk setempat, yang<br />

hanya bersenjata tombak dan senapan bermoncong besar. Sebaliknya, pasukan<br />

Belanda sudah menggunakan bayonet. Eskipun demikian, pihak Belanda tetap<br />

mengalami kerugian dengan tewasnya dua orang serdadu, lima orang luka parah<br />

dan delapan orang luka ringan. Di pihak Bangka, kerugian jauh lebih besar,<br />

walaupun tidak ditemukan jumlah orang yang tewas atau sakit. Kerugian secara<br />

fisik dapat dilihat dari semua kubu pertahanan, rumah-rumah penduduk dan harta<br />

benda mereka dirampas oleh pasukan Belanda (ANRI, Bundel Palembang No. 67;<br />

No. 66.10).<br />

Pendudukan Belanda atas Kota Waringin terus berlanjut, sehingga<br />

beberapa kepala distrik di sebelah kanan dan kiri sungai di daerah itu<br />

menyerahkan diri dan bergabung dengan pasukan Belanda. Selanjutnya, untuk<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


255<br />

meraih simpati rakyat, Keer memberikan pengampunan kepada semua orang yang<br />

berinisiatif kembali ke rumahnya mereka masing-masing. Selama terjadinya<br />

pertempuran antara pasukan Belanda dan pasukan Kota Waringin, penduduk<br />

meninggalkan rumah dan kampung mereka. Begitu pula anggota pasukan Bangka<br />

yang kalah mundur ke hutan. Akibatnya, kampung-kampung sepi tidak<br />

berpenghuni. Dengan upaya yang dilakukan oleh Keer, penduduk kembali ke<br />

kampung mereka di bawah pengawalan dari serdadu Belanda. Di lain pihak,<br />

bergabungnya sebagian penduduk dengan pasukan Belanda, sangat<br />

membahayakan keselamatan jiwa mereka, karena dianggap berkhianat oleh<br />

kelompok Batin Barin dan Kusi. Akhirnya, untuk menghancurkan perlawanan<br />

Batin barin, pihak Belanda mengambil kebijakan menjanjikan hadiah sebesar<br />

lima ratus dollar Spanyol bagi siapa saja yang berhasil menangkap dan<br />

menyerahkan hidup atau mati Batin Barin dan Kusi (ANRI, Bundel Palembang<br />

No. 67). Pemberian hadiah yang besar membuktikan bahwa rakyat Bangka sangat<br />

gigih melawan Belanda, dan perlawanan yang dikerahkan oleh Batin Barin sangat<br />

merugikan dan membahayakan pemerintah Belanda di sana.<br />

Sebagai pemimpin pasukan Belanda, Keer juga harus menangani daerah<br />

lain yang juga bergolak, sehingga harus meninggalkan Kota Waringin yang sudah<br />

tenang. Akan tetapi, setelah Keer dan pasukannya meninggalkan Kota Waringin,<br />

pasukan Bangka segera mengambilalih daerah itu. Mereka memutuskan jalur yang<br />

menghubungankan Kota Waringin dan pusat kekuasan Belanda di Muntok.<br />

Pasukan Bangka membangun kubu-kubu pertahanan di sepanjang jalan menuju<br />

Kota Waringin (ANRI, Bundel Palembang No. 67). Inilah bukti bahwa<br />

pendudukan Belanda atas daerah-daerah di Pulau Bangka tidak dapat berlangsung<br />

permanen. Keterbatasan personil, persenjataan dan bahan makanan untuk wilayah<br />

seluas pulau itu, memaksa mereka harus meninggalkan daerah-daerah yang telah<br />

berhasil diduduki. Daerah yang telah ditinggalkan tersebut, membuka peluang<br />

untuk diduduki kembali oleh para pejuang Bangka. Hal ini berlangsung terus,<br />

yang berdampak pada lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menguasai Pulau<br />

Bangka.<br />

Daerah-daerah lain di Pulau Bangka juga bergolak, misalnya di<br />

Marawang, Pangkal Baru, Toa Tono, Ayer Dorin, Bangkal, dan Kamboja,<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


256<br />

Kampung Sungai Lobang, Kampung Nibong, Sungei Kaliouw, Tampang,<br />

Makubu, Ruma Duwa, dan Zet. Untuk menumpas perlawanan tersebut, pasukan<br />

Belanda dikerahkan di bawah pimpinan Keer, Rietz, dan Ege pada Maret 1820.<br />

Dalam berbagai pertempuran itu, pihak Belanda mengalami kerugian dua orang<br />

serdadunya terbunuh dan lima orang menderita luka-luka, sedangkan di pihak<br />

Bangka tidak diperoleh informasi tentang jumlah korban, namun kerugian dapat<br />

diidentifikasi melalui hancurnya kubu-kubu pertahanan yang mereka miliki.<br />

Pertempuran-pertempuran yang terjadi di berbagai daerah tersebut, tidak jarang<br />

terjadi secara langsung, namun sebagaimana biasanya para pejuang Bangka akan<br />

mundur ke hutan-hutan apabila dalam kondisi terdesak. Dari persembunyiannya<br />

mereka akan melakukan serangan balik. Bentuk-bentuk seperti itu lumrah terjadi<br />

di medan pertempuran yang sebagian kampung-kampung, hutan-hutan, dengan<br />

personil dan persenjataan terbatas. Akan tetapi, pada akhirnya mereka terdesak<br />

dan perlawanan semakin lemah (ANRI, Bundel Palembang No. 67).<br />

Di pantai timur Pulau Bangka, Raden Ali (putra Raden Kling) bersama<br />

lima puluh hingga tujuh puluh perahu milik Orang Kaya Lingga dan Bugis,<br />

bergabung menyerang Koba yang dikuasai pasukan Belanda. Pada 2 Mei 1820<br />

pertempuran pecah antara dua kubu. Pasukan Bangka berjumlah empat ratusan,<br />

ditambah lima puluhan orang Cina. Pasukan Belanda berkekuatan 54 orang<br />

serdadu, ditambah delapan puluhan orang Cina di bawah komando Sersan<br />

Dompot. Suatu jumlah yang tidak seimbang, namun dalam pertempuran itu<br />

Dompok bersama pasukannya berhasil mendesak mundur pasukan Bangka.<br />

Kemenangan itu tidak secara otomatis masalah mereka selesai. Pasukan Belanda<br />

di Koba dihadapkan pada masalah kekurangan bahan makanan. Hal tersebut<br />

disebabkan penduduk tidak bersedia mengangkut bahan makanan untuk mereka<br />

melalui jalur darat, sedangkan jalur laut dikuasai oleh pasukan Bangka. Kondisi<br />

itu membuat pasukan Belanda harus menderita karena mereka harus makan<br />

seadanya. Sementara itu, untuk mengantisipasi serangan balik dari rakyat Bangka,<br />

Pasukan Belanda menjaga dengan ketat semua daerah yang telah dikuasainya.<br />

Untuk itu, Keer menyiapkan pasukan ekspedisi yang kuat yang dibagi dalam dua<br />

kesatuan, yaitu, pertama, terdiri dari kapal sekoci de Emma, Leeuwick dan kapal<br />

meriam nomor 18 serta lima perahu milik Demang Minyak. Mereka berkumpul di<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


257<br />

Pangkal Pinang untuk mempertahankan Kwalla. Kedua, pasukan khusus untuk<br />

mempertahankan daerah-daerah yang telah berhasil direbut, antara lain di Pangkal<br />

Pinang dijaga oleh kapal Yohanna, kapal meriam nomor 1 dan delapan perahu<br />

milik Raja Akil serta tujuh puluh orang serdadu Eropa (ANRI, Bundel Palembang<br />

No. 67).<br />

Sampai Mei 1820 pasukan Belanda sudah memperoleh banyak<br />

kemenangan dalam berbagai pertempuran melawan pasukan Bangka. Mereka<br />

umumnya lebih unggul di darat, sedangkan jalur laut umumnya masih dikuasai<br />

oleh orang Bangka yang bekerjasama dengan para bajak laut. Pada akhir Mei<br />

orang-orang Bangka dari Nieri menghancurkan ranjau-ranjau dan menyerang pospos<br />

Belanda. Kekalahan itu dibayar oleh Keer dengan mengirimkan pasukan ke<br />

sana, namun usaha itu terpaksa diurungkan karena datangnya berita tentang akan<br />

tibanya ekspedisi dari Batavia untuk menyerang Palembang.<br />

Kuatnya penguasaan jalur laut oleh para pejuang Bangka, membuat pihak<br />

Belanda harus lebih kuat mengamankan armada yang membawa perbekalan bahan<br />

makanan khususnya beras. Untuk itu, mereka mengerahkan kapal layar Pallas di<br />

bawah pimpinan Letnan Guichard untuk mengangkut beras dari Sungai Liat<br />

menuju Koba. Penunjukan Letnan Guichard tidak terlepas dari keberhasilannya<br />

mengusir delapan perahu bajak laut di Pangkal Pinang. Untuk mengawal kapal<br />

Pallas tersebut, kapal layar Zeehond, kapal meriam nomor 1 dan nomor 17<br />

dikerahkan dengan menyertakan 12 pucuk meriam. Besarnya armada yang harus<br />

dikerahkan menunjukkan tingkat kerawanan zona pelayaran di sana. Hal itu juga<br />

membuktikan kuatnya penguasaan orang-orang Bangka atas wilayah laut tersebut.<br />

Di samping itu, pasukan Belanda juga harus secara terus-menerus siaga untuk<br />

menyelamatkan gudang-gudang amunisi mereka yang terdapat di Batu Rusa dan<br />

membangun kubu pertahanan di muara Kwalla (ANRI, Bundel Palembang No.<br />

67).<br />

Salah seorang tokoh terkenal yang senantiasa menjadi momok bagi awak<br />

armada Belanda adalah Raden Kling dan puteranya Raden Ali. Dari pusat<br />

perlawanan di Pulau Lepar 183 , mereka mengembangkan perdagangan timah dan<br />

183 Pulau ini terletak di ujung timur selatan Pulau Bangka, berdekatan dengan<br />

Toboali (kota terpenting di daerah itu).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


258<br />

memperkuat pertahanan daerahnya. Pada awal Agustus 1820, Raden Ali bersamasama<br />

dengan Panglima Raja menyerang Batu Rusa (tempat gudang-gudang<br />

amunisi Belanda) dengan mengerahkan 1500 orang. Letnan Guichard dan<br />

pasukannya tidak mampu menghadapinya, sehingga mundur ke muara Kwalla.<br />

Tindakan tersebut sangat disesalkan oleh Keer. Dalam pertempuran itu dua belas<br />

orang pasukan Belanda terluka. Dari Batu Rusa, armada Raden Ali menyusuri<br />

sungai sampai kampung Ayer Dingin. Di sana mereka bergabung dengan pasukan<br />

setempat dan menjarah serta membakar kampung tersebut. Tindakan itu untuk<br />

menghindarkan daerah tersebut dimanfaatkan oleh pasukan Belanda setelah<br />

mereka tinggalkan. Selanjutnya, Raden Ali dan Raden Kling terus mengobarkan<br />

perlawanan terhadap Belanda di berbagai daerah di pulau itu (ANRI, Bundel<br />

Palembang No. 67).<br />

Sementara itu, Nieri kembali bergolak. Untuk menumpas perlawanan<br />

tersebut, Letnan Kolonel Keer bersama-sama dengan Kapten Letnan Dibbetz<br />

(komandan armada perairan Bangka-Palembang) mengerahkan semua armada<br />

untuk mendudukinya. Keer juga tengah merancang penyerangan terhadap Pulau<br />

Lepar yang menjadi pusat kedudukan Raden Kling dan Raden Ali, dan Pulau<br />

Belitung. Akan tetapi, mereka tidak memiliki armada yang memadai. Sehubungan<br />

dengan itu, Keer meminta bantuan kepada pemerintah pusat di Batavia, namun<br />

pemerintah di sanaa tidak dapat memenuhinya, karena tengah memfokuskan diri<br />

untuk ekspedisi ke Palembang. Di pihak lain, distrik Pangkal Pinang kembali<br />

diserang oleh pasukan gabungan Bangka dan bajak laut. Begitu pula daerah<br />

Marawang dan Koba menjadi semakin kuat setelah dimasuki oleh kelompok Batin<br />

Barin dan Tusin. Pasukan Belanda berusaha keras merebut kembali daerah-daerah<br />

itu, namun gagal. Akhirnya, Keer mengubah strategi, yaitu melalui Pulau Lepar<br />

melancarkan serangan besar-besaran ke Toboali terus ke Nieri dan Ketia. Pada 6<br />

September 1820 Keer dan pasukannya sampai di Sungai Liat terus bergerak ke<br />

Marawang. Akan tetapi, setiba mereka di sana ternyata daerah tersebut telah<br />

ditinggalkan oleh pasukan Bangka. Untuk mempertahankan daerah tersebut, Keer<br />

mempersenjatai para kuli tambang Cina, sebagaimana dilakukannya di Pangkal<br />

Pinang. Sementara itu, kelompok Batin Barin yang mundur dari Marawang,<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


259<br />

bergerak ke daerah Mendara yang merupakan tempat tinggal Batin Barin 184 .<br />

Setelah mengetahui posisi Batin Barin, Keer mengirimkan dua pasukan, masingmasing<br />

dipimpin oleh Kapten Le Sean dan Kapten Weinrich berkekuatan<br />

sembilan puluh orang serdadu Eropa, seratus orang Cina dan tiga puluh orang<br />

pribumi 185 . Kedua kubu berlawanan saling berhadapan di Mendara pada 17<br />

September 1820. Dalam pertempuran itu pasukan Belanda berhasil mendesak<br />

musuhnya, sehingga Batin Barin membawa pasukannya mundur, sambil terus<br />

melakukan perlawanan secara sporadis di jalur antara Manka dan Jemun (ANRI,<br />

Bundel Palembang No. 67).<br />

Sesuai rencana sebelumnya, pada 21 September 1820 Keer mengerahkan<br />

dua kapal meriam, tiga kapal layar, dan sembilan perahu milik Raja Akil untuk<br />

menaklukkan Raden Kling di Toboali dan Pulau Lepar. Selat Lepar yang sempit<br />

ditambah pertahanan Raden Kling yang kuat, menyulitkan armada Belanda untuk<br />

mengejar perahu-perahu Raden Kling yang bekerjasama dengan para bajak laut.<br />

Benteng Raden Kling sendiri tersembunyi di dalam hutan. Untuk menaklukkan<br />

pertahanan tersebut, pasukan Belanda harus menyusuri jalur yang sempit. Di sisi<br />

lain, Raja Akil juga mengerahkan pasukannya menyerang dari arah yang berbeda.<br />

Strategi itu cukup berhasil memaksa pasukan Bangka mundur. Akan tetapi,<br />

Belanda tetap belum berhasil melumpuhkan perlawanan Raden Kling. Pasukan<br />

Belanda hanya berhasil menduduki Toboali. Untuk memperkokoh posisi Belanda<br />

di sana, mereka mendirikan benteng di bawah pengawasan Van Waey.<br />

Pembangunannya melibatkan tiga ratus orang serdadu selama lima belas bulan.<br />

Selama pembangunan tersebut, mereka tiga kali mendapat serangan dari orangorang<br />

Bangka 186 . Semua serangan itu berhasil dipatahkan oleh serdadu Belanda.<br />

Perlawanan rakyat Bangka selanjutnya dipusatkan di Sungai Nieri. Terjadi<br />

serangan besar-besaran dari pasukan Bangka terhadap pasukan Belanda. Untuk<br />

menghadapi serangan tersebut, pihak Belanda mengerahkan kapal sekoci, kapal<br />

184 Pusat perlawanan rakyat Bangka dalam sekejap berpindah-pindah dan terus<br />

melanjutkan perjuangan melawan kolonial Belanda (ANRI, Bundel Palembang No. 67).<br />

185 Dalam pertempuran itu, terdapat dua orang serdadu pribumi yang dianggap<br />

menonjol dalam pasukan Belanda yaitu Letnan Wongso dan serdadu Sidin (ANRI, Bundel<br />

Palembang No. 67).<br />

186 Serangan pertama dari pasukan Bangka berkekuatan 42 orang, serangan berikutnya<br />

sebanyak 56 orang dan yang terakhir 70 orang (Waey, 1875: 111-112).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


260<br />

layar dan kapal meriam nomor 1, serta meriam-meriam di bawah pimpinan Letnan<br />

Laut Tarup. Pada awal Oktober 1820 Keer mulai bergerak memimpin pasukan<br />

menuju Koba dan Selat Lepar. Penyerangan tersebut menyebabkan pasukan<br />

Bangka mundur. Kubu-kubu pertahanan mereka diduduki dan dibakar oleh<br />

pasukan Belanda (Waey, 1875: 112).<br />

Dalam pelayaran di sekitar Pulau Tinggi (pusat pertahanan Raden Kling<br />

setelah mundur dari Toboali), pasukan Belanda dihadang oleh kapal-kapal milik<br />

Raden Kling, sehingga terjadi pertempuran. Dalam pertempuran itu, Pasukan<br />

Belanda memilih untuk mundur, guna menyusun kekuatan yang lebih besar.<br />

Selanjutnya, Keer mengerahkan dua pasukan yang masing-masing dipimpin oleh<br />

Raja Akil dan Kapten Van der Wijck. Tugas mereka adalah menemukan dan<br />

menghancurkan pusat pertahanan Raden Kling di daerah Pulau Tinggi. Pada 10<br />

Oktober 1820 pasukan Belanda menyerbu dari dua sisi, yaitu sisi darat dipimpin<br />

Van der Wijck, sedangkan Raja Akil dari sisi rawa dan sungai. Raden Kling<br />

menyambut serangan itu dengan mengerahkan tiga ratus orang serdadu yang<br />

dilengkapi dengan senjata meriam dan lila. Dalam pertempuran itu pasukan<br />

Raden Kling terdesak dan mundur ke arah sungai. Di sana mereka diserang secara<br />

bersamaan oleh pasukan Kapten Van der Wijck dan Raja Akil. Dalam<br />

pertempuran itu Raden Kling dan pengikutnya terbunuh, sedangkan di pihak<br />

Belanda lima orang yang terbunuh dan sepuluh orang terluka, termasuk Kapten<br />

van der Wijck dan Letnan-1 de Fruy. Setelah itu, pada 11 Oktober 1820 Keer<br />

menduduki Toboali. Agar pendudukan Belanda di sana permanen, Keer<br />

menempatkan kapal Zwalluw, kapal layar Yohanna dan kapal meriam nomor I. Di<br />

samping itu, kekuatan pertahanan Belanda di Toboali diperkuat dengan tambahan<br />

anggota pasukan sebanyak 450 orang serdadu (ANRI, Bundel Palembang No. 67;<br />

Waey, 1875: 112).<br />

Sepeninggal Raden Kling, perlawanan diteruskan di Nieri di bawah<br />

pimpinan Batin Ganing. Sebelumnya Batin Ganing telah mendapat limpahan<br />

wewenang dari Raden Kling. Akan tetapi, setelah wafatnya Raden Kling,<br />

sebagian besar pengikut Batin Ganing meninggalkannya ( Oktober 1820). Dalam<br />

kondisi demikian, Batin Ganing memerintahkan agar semua meriam<br />

ditenggelamkan ke dalam sungai. Selanjutnya, Batin Ganing bersama sisa-sisa<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


261<br />

pengikutnya (orang-orang Bangka dan Palembang) melarikan diri ke hutan untuk<br />

menyusun kekuatan. Agaknya, setelah mundurnya kelompok Batin Ganing,<br />

pasukan Belanda tidak menduduki Nieri. Kondisi itu memberi peluang kepada<br />

orang-orang Bangka untuk mendudukinya kembali. Sementara itu, Sultan<br />

Badaruddin II mendukung usaha balas dendam atas kematian Raden Kling di<br />

bawah pimpinan Raden Badar (saudara Raden Kling). Sultan mempersenjatai<br />

Raden Badar dengan lima puluh perahu pada akhir November 1820. Di sana tiga<br />

kekuatan bersatu, yaitu pasukan Raden Badar, Raden Ali, dan Batin Ganing.<br />

Tindakan pertama yang mereka lakukan adalah mempertahankan Nieri dan<br />

Bangka Kotta. Untuk memperbesar kekuatannya, mereka berhasil menggalang<br />

dukungan dari penduduk, sehingga mencapai jumlah empat ratus orang. Selain<br />

itu, mereka juga membangun kubu pertahanan yang dikelilingi pagar setinggi 15-<br />

16 kaki dan jalan-jalan rahasia 187 . Jalan-jalan rahasia itu berfungsi untuk<br />

memudahkan penyerangan dan jalur mundur apabila dalam keadaan terdesak.<br />

Langkah lain yang diambil adalah, Raden Ali berangkat ke Lingga dan pulaupulau<br />

sekitarnya untuk meminta dukungan penduduk setempat. Hasilnya, Raden<br />

Ali mendapat bantuan sebanyak tiga puluh perahu. Dengan kekuatan gabungan,<br />

mereka menduduki Koba. Berita tentang pendudukan daerah-daerah tersebut<br />

diterima Keer di Muntok pada 20 Desember 1820. (ANRI, Bundel Palembang No.<br />

67).<br />

Melihat kondisi yang ada, Letnan Kolonel Keer berpendapat bahwa<br />

langkah yang harus segera diambil adalah memperkuat Toboali karena posisinya<br />

sangat strategis. Selain itu, Toboali juga penting dalam rangka mengawasi Pulau<br />

Lepar yang merupakan basis kekuatan Raden Ali. Untuk itu, Keer mengirimkan<br />

satu kapal meriam, dua kapal pengangkut dan delapan perahu ke Toboali.<br />

Sementara itu, pada pagi hari 24 Desember 1820 benteng Belanda di Toboali<br />

diserang oleh sembilan perahu oleh pasukan Bangka. Dalam penyerangan itu<br />

mereka mengobarkan semangat dengan membawa bendera Raden Ali, sambil<br />

diiringi musik tradisional Bangka. Pasukan Bangka itu dihadang oleh pasukan<br />

187 Jalan-jalan rahasia itu ditemukan oleh pasukan Belanda atas petunjuk Batin<br />

Lojo (mata-mata Belanda) pada akhir 1820. Dengan ditemukannya jalan-jalan rahasia<br />

tersebut memudahkan pasukan Belanda menyerang kubu-kubu pertahanan rakyat<br />

Bangka secara tiba-tiba dan menghancurkannya (ANRI, Bundel Palembang No. 67).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


262<br />

Letnan de Vries dengan kekuatan tiga kanon berukuran delapan pon. Dalam<br />

kontak senjata itu pasukan yang dipimpin de Vries lebih unggul, sehingga pasukan<br />

Bangka mundur. Setelah mundur, dengan cepat pasukan Bangka menyerang balik<br />

dari dua sisi yaitu barat dan selatan. Serangan armada Bangka dari arah selatan<br />

berhasil mereka bendung, sedangkan serangan dari barat tidak mampu mereka<br />

patahkan. Akibatnya, untuk kesekian kalinya pasukan Belanda harus mundur.<br />

Selang beberapa saat kembali terjadi pertempuran di Ujung Benteng. Pada<br />

pertempuran itu pihak Belanda memperoleh kemenangan. Dalam pertempuran itu<br />

kedua pihak mengalami banyak kerugian dengan banyaknya korban yang tewas<br />

dan luka-luka (ANRI, Bundel Palembang No. 67).<br />

Menyerang dan mundur, merupakan strategi yang sangat ampuh untuk<br />

menghancurkan lawan dalam medan yang sebagian besar adalah perairan yang<br />

mengandalkan armada. Tanpa semangat juang yang tinggi dan keahlian<br />

mengendalikan perahu-perahu serta kelihaian memainkan senjata, sulit terjadi<br />

pertempuran yang begitu dahsyat. Meskipun demikian, kedua pihak telah<br />

menunjukkan kehebatan masing-masing. Tampaknya, kalah dan menang<br />

merupakan hal biasa dalam peperangan antara kedua kubu. Meskipun akhirnya<br />

perlawanan pihak Bangka harus berakhir.<br />

Keberhasilan menguasai Bangka selatan yang merupakan pusat pertahanan<br />

Raden Kling dan Raden Ali, adalah suatu kemenangan besar bagi pasukan<br />

Belanda. Kemenangan itu memberi mereka motivasi untuk terus mendesak<br />

perlawanan rakyat Bangka. Langkah selanjutnya adalah menyiapkan segala<br />

kebutuhan untuk menyerang pusat pertahanan Batin Barin 188 di Nieri.<br />

Penyerangan mulai dilancarkan pada akhir Desember 1820, di bawah pimpinan<br />

Kapten Le Jean. Penyerangan itu melibatkan 86 orang serdadu. Dalam perjalanan<br />

mendekati Nieri mereka menemukan jalan-jalan rahasia atas petunjuk Batin Lojo<br />

(batin yang memihak Belanda). Ternyata, jalan-jalan rahasia itu membawa<br />

mereka pada kubu-kubu pertahanan rakyat Bangka. Akibatnya, mereka dengan<br />

mudah menaklukkan kubu-kubu pertahanan tersebut, dengan melakukan serangan<br />

secara tiba-tiba. Selanjutnya, pasukan Belanda terus bergerak ke Nieri. Terjadi<br />

188 Raden Badar, Raden Ali, dan Batin Ganing, bersama dengan pasukannya<br />

masing-masing menggabungkan diri dengan pasukan Batin Barin.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


263<br />

pertempuran dahsyat di sana. Dalam pertempuran itu pasukan yang dipimpin oleh<br />

Kapten Le Jean berhasil mendesak pasukan gabungan Bangka, dan mereka<br />

mundur ke hutan-hutan. Agar senjata-senjata yang ditinggalkan oleh pasukan<br />

Bangka tidak dapat mereka gunakan kembali, Le Jean memerintahkan untuk<br />

melemparkan semua senjata ke dalam sungai. Pasukan belanda juga membakar<br />

kubu pertahanan di Nieri dan tiga puluh rumah di komplek itu. Dari Nieri, Kapten<br />

Le Jean bergerak ke Mudon. Di sana ia memerintahkan pasukannya untuk<br />

menebang pohon-pohon buah dan membakar rumah-rumah serta kubu-kubu<br />

pertahanan yang ada di kampung itu. Semua itu dilakukan agar orang-orang<br />

Bangka tidak menguasai lagi daerah itu, karena tidak ada lagi penghidupan di<br />

sana. Dari Mudon pasukan Belanda bergerak ke Koba dan tiba di sana pada 30<br />

Desember 1820. Kembali terjadi pertempuran di Koba, dalam pertempuran<br />

tersebut, pasukan Bangka harus mengakui keunggulan pasukan Belanda (ANRI,<br />

Bundel Palembang No. 67).<br />

Sejak pasukan Bangka dapat dikalahkan pasukan Belanda di bagian timur<br />

pulau itu, tidak ada lagi peristiwa penting yang menyangkut perlawanan rakyat di<br />

sana. Raden Ali dan kelompoknya terpaksa menyerahkan diri kepada pemerintah<br />

Belanda. Ia dan anak buahnya dipekerjakan dalam dinas pemerintahan Belanda<br />

dengan gaji f100, satu koyang beras, dan setengah koyang garam per bulan.<br />

Mereka ditempatkan di Pulau Lepar (pusat pertahanan Raden Ali sebelum<br />

menyerah) dengan pengawasan ketat. Mereka ditugaskan untuk membersihkan<br />

pulau itu dari semak belukar. Meskipun demikian, perlawanan rakyat Bangka<br />

secara sporadis tetap ada. Hal itu terbukti dengan ditemukannya beberapa orang<br />

Eropa yang menjadi korban di pulau itu. Masalah lain yang senantiasa<br />

mengkhawatirkan orang-orang Eropa di Bangka adalah gangguan kesehatan. Dari<br />

tiga ratus orang serdadu Belanda di Toboali di bawah pimpinan Kolonel Du<br />

Perron, hanya delapan orang yang sehat. Dalam kurun waktu tujuh bulan<br />

sebanyak tiga puluh orang dari kesatuan artileri meninggal 189 . Seiring dengan<br />

189 Kondisi itu terus berlangsung sampai beberapa tahun kemudian, terbukti<br />

hanya dalam waktu empat belas hari 150 orang sakit demam, satu orang meninggal<br />

dunia. Penyakit tersebut menjadi kendala bagi pemerintah Belanda di sana. Untuk itu,<br />

Komisaris Sevenhoven membawa obat-obatan dari Batavia untuk mengobati penyakit<br />

tersebut (The Asiatic Journal Vol.17, 1824: 361).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


264<br />

pulihnya keamanan di Pulau Bangka, jumlah garnizun dikurangi (ANRI, Bundel<br />

Palembang No, 197; The Asiatic Journal Vol.17, 1824: 361).<br />

Setelah Belanda berhasil menguasai Pulau Bangka, Komisaris Jenderal<br />

van den Bosch menyarankan untuk membangun pertahanan di pedalaman pulau<br />

itu. Hal itu dimaksudkan agar dari basis pertahanan itu pasukan Belanda dapat<br />

melakukan penyerangan dan mengusai wilayah itu. Belanda berkepentingan untuk<br />

menguasai Pulau Bangka, karena secara ekonomi (timah dan lada) daerah itu<br />

meguntungkan Belanda. Oleh karena itu, Belanda harus melindungi dan<br />

mengeksploitasi Pulau Bangka dengan sebaik-baiknya (ANRI, Bundel Palembang<br />

No. 4, 1971: 103-104). Selanjutnya, Belanda dapat menegakkan keamanan dan<br />

ketertiban di Pulau Bangka setelah Kesultanan Palembang dapat diamankan<br />

dengan dibuangnya Sultan Badaruddin II dan pengikutnya ke Ternate.<br />

5.6 Persiapan Menghadapi Perang Palembang (1821)<br />

Kemenangan kedua dalam perang melawan Belanda dirayakan besar-besaran di<br />

Palembang. Di ibu kota Palembang, Sultan memerintahkan untuk menyembelih<br />

empat puluh ekor kerbau, ditambah itik dan ayam yang jumlahnya mencapai<br />

ratusan ekor. Semua bergembira, ditandai pertunjukan permainan adat bahari dan<br />

menabuh gamelan selama tujuh hari tujuh malam. Pada kesempatan itu juga<br />

Sultan menyerahkan hadiah berupa uang dan pesalin (pakaian) kepada orangorang<br />

yang terlibat dalam peperangan melawan Belanda.<br />

Dalam rangka ekspedisi yang kedua menaklukkan Kesultanan Palembang,<br />

pemerintah kolonial Belanda menempuh berbagai cara agar tujuan tersebut<br />

berhasil. Belanda memetik pelajaran dari dua kali kegagalan yang dideritanya<br />

dalam perang 1819 yang diputuskan secara tergesa-gesa. Oleh karena itu, Belanda<br />

dengan cermat mempersiapkan diri dan merancang suatu penyerangan agar<br />

mampu memukul kekuatan pertahanan Palembang. Untuk itu, para pemimpin<br />

Belanda menyiapkan pimpinan pemerintahan yang nantinya siap menggantikan<br />

Sultan Badaruddin II, apabila Kesultanan Palembang berhasil ditaklukkan.<br />

Mereka mempertimbangkan dengan cermat semua kebijakan yang akan<br />

dilaksanakan dalam rangka menghadapi Palembang pascajatuhnya Sultan<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


265<br />

Badaruddin II. Belanda mempertimbangkan apakah daerah Kesultanan Palembang<br />

yang ditaklukkan itu akan ditempatkan di bawah pemerintahan Eropa atau apakah<br />

Belanda akan memanfaatkan penguasa tradisional (sultan dan kerabatnya) dalam<br />

rangka memberikan bimbingan dalam menjalankan pemerintahan di kesultanan<br />

itu. Menurut versi Belanda, pemerintahan yang dimaksud adalah suatu<br />

pemerintahan yang mampu menghentikan penindasan dan penyalahgunaan<br />

kekuasaan yang dilakukan oleh sultan Palembang khususnya mengakhiri<br />

perampokan dan perdagangan manusia. Penegakan pemerintahan yang mampu<br />

mengakhiri perampokan dan perdagangan manusia di wilayah itu (ANRI, Bundel<br />

Palembang No. 5.1).<br />

Alasan perampokan dan perdagangan manusia, serta berbagai penindasan<br />

terhadap penduduk merujuk peristiwa yang terjadi pada 1817—1818 di bawah<br />

pemerintahan Sultan Najamuddin II. Otomatis penggambaran itu tidak realistis,<br />

karena selama berada di bawah pemerintahan Sultan Badaruddin II tidak<br />

ditemukan bukti-bukti bahwa telah terjadi berbagai penyimpangan. Alasan<br />

tersebut juga menggambarkan bahwa pemerintah Belanda menyamakan cara<br />

memerintah Sultan Badaruddin II dengan Sultan Najamuddin II yang menindas<br />

rakyat. Ini berarti, argumen yang digunakan semata-mata dari sudut pandang<br />

pemerintah Belanda, demi melegalkan pendudukan yang akan segera mereka<br />

wujudkan atas bumi Palembang.<br />

Pengalaman Komisaris Muntinghe yang pernah bermukim dan bekerja di<br />

uluan (Juli 1818-- Mei 1819) menjadi dasar bagi pemerintah Belanda. Mereka<br />

memutuskan untuk memanfaatkan penguasa tradisional (sultan dan kerabatnya)<br />

untuk menjalankan pemerintahan di Kesultanan Palembang. Hal ini berarti<br />

penduduk Kesultanan Palembang tetap ditempatkan di bawah pimpinannya<br />

sendiri, namun pelaksanaan pemerintahan itu harus dikendalikan oleh pemerintah<br />

Belanda. Pilihan untuk memerintah Palembang jatuh kepada putera mahkota<br />

Sultan Najamuddin II yaitu Prabu Anom. Terpilihnya Prabu Anom dengan<br />

beberapa pertimbangan, antara lain, ia tidak terlibat dalam peristiwa pembunuhan<br />

1811, menunjukkan sikap bersahabat terhadap Belanda, dan posisinya sebagai<br />

putera mahkota yang mendapat dukungan dari Najamuddin II (Najamuddin II<br />

berkeinginan agar keturunannya yang menjadi pewaris tahta di kesultanan itu. Ini<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


266<br />

berarti, Sultan Najamuddin II bermaksud membuat dinasti baru dengan dirinya<br />

sebagai penubuhnya). Tidak dipilihnya Najamuddin II untuk kembali memangku<br />

jabatannya 190 karena bagi Belanda dirinya lemah, baik secara fisik maupun<br />

mental. Berdasarkan pengalaman para residen Belanda yang berkuasa di<br />

Palembang pada kurun waktu 1816—1818, mereka sampai pada kesimpulan<br />

bahwa Najamuddin II adalah orang tidak mampu memerintah dengan baik (ANRI,<br />

Bundel Palembang No. 5.1; No. 4, 1971: 87; Bataviaasche Courant, 4 Agustus<br />

1821).<br />

Atas dasar berbagai pertimbangan tersebut, pada 28 April 1821 (25 Rajab<br />

1236H) pemerintah Belanda mengadakan pertemuan dengan Sultan Najamuddin<br />

II dan Prabu Anom. Pemerintah Belanda diwakili oleh anggota Dewan Hindia<br />

Ranier Dozy dan Sekretaris Umum Pemerintah Christiaan Baud, sedangkan<br />

Sultan Najamuddin II dan Pangeran Prabu Anom 191 yang mengatasnamakan<br />

Kesultanan Palembang. Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan antara kedua<br />

belah pihak yang ditetapkan di Buitenzorg. Kesepakatan itu terdiri atas 52 pasal<br />

yang disahkan oleh Gubernur Jenderal pada 28 April 1821. Pada pertemuan itu<br />

Sultan Najamuddin II menyampaikan permintaan maaf atas semua kesalahannya<br />

kepada pemerintah Belanda, dan mereka menerima permintaan maaf tersebut.<br />

Pada hari itu Sultan Najamuddin II dan puteranya Prabu Anom menandatangani<br />

kontrak yang memuat antara lain:<br />

1) Kekuasaan sultan (sesuai Kontrak 23 Juni 1818) dipulihkan dan<br />

kedudukannya akan dilindungi, serta wajib mematuhi semua ketentuan<br />

yang ditetapkan oleh pemerintah Belanda.<br />

190 Di mata pemerintah Belanda, Sultan Najamuddin II tidak pernah diturunkan<br />

dari tahta, dia hanya tidak difungsikan. Dengan demikian, dikembalikannya Sultan<br />

Najamuddin II ke Palembang adalah pencabutan hukuman atas dirinya, yang berarti<br />

kedudukan itu akan dengan mudah diperolehnya kembali, namun pada kenyataannya<br />

pemerintah Belanda berkehendak lain yaitu menempatkan Najamuddin II sebagai<br />

susuhunan (ANRI, Bundel Palembang No. 5.1)<br />

191 Prabu Anom adalah Pangeran Ratu (putera tertua) dari Sultan Najamuddin II.<br />

Sultan memberi gelar Prabu Anom pada tertuanya karena pada waktu itu sudah ada<br />

Pangeran Ratu yaitu putera tertua dari Sultan Badaruddin II (The Asiatic Journal Vol.17<br />

1824: 32).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


267<br />

2) Sultan Najamuddin II mendapat gelar susuhunan (Susuhunan Husin<br />

Dhiauddin) dan mendapatkan penghasilan dari beberapa daerah sesuai<br />

dengan permintaannya. Selanjutnya, Sultan hidup terpisah dan tidak<br />

mencampuri urusan pemerintahan karena hanya memusatkan perhatian<br />

pada bidang keagamaan.<br />

3) Prabu Anom diangkat sebagai sultan dengan gelar Sultan Ahmad<br />

Najamuddin III, dan Sultan wajib mematuhi kontrak dengan Belanda.<br />

4) Semua penghasilan yang diperoleh dari bumi Palembang tetap menjadi<br />

milik Sultan. Sultan berhak memungut pajak yang besarnya akan<br />

ditentukan kemudian. Rakyat Palembang bebas bekerja dan menikmati<br />

hasil jerih payah mereka.<br />

5) Pemerintah Belanda mengendalikan ekspor-impor, melakukan<br />

pemborongan berbagai komoditi perdagangan dan menarik pajak berlabuh,<br />

pajak lewat, pajak pelabuhan, dan penjualan candu dan garam.<br />

6) Hukum ditegakkan, pemerintah Belanda berhak mengetahui pelaksanaan<br />

pengadilan tradisional di Palembang melalui laporan residen.<br />

7) Melarang perdagangan budak dan perampokan, khususnya di daerah<br />

perbatasan Bengkulu dan Lampung, sedangkan budak yang sudah dimiliki<br />

wajib dipelihara.<br />

8) Tibang-Tukong dihapuskan, sebagai gantinya Sultan diperbolehkan<br />

mendapatkan sebagian (maksimal 2/3 hasil) hasil panen kopi, gambir,<br />

rotan, dan tanaman penduduk lainnya.<br />

9) Sultan dilarang memiliki persenjataan militer, kecuali untuk kepentingan<br />

upacara (tembakan kehormatan). Pusaka keraton diserahkan kepada<br />

Sultan.<br />

10) Akan dibangun benteng pertahanan, rumah residen, rumah pejabat dan<br />

garnizun, yang pelaksanannya akan dilakukan bersama-sama dengan<br />

Sultan.<br />

11) Sultan Najamuddin III wajib membantu pemerintah Belanda, apabila<br />

bermaksud untuk membangun benteng di Komering atau di lokasi-lokasi<br />

lainnya.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


268<br />

12) Semua ketentuan di atas, akan akan menjamin hak-hak Susuhunan dan<br />

Sultan, serta penduduk Palembang (ANRI, Bundel Palembang No. 5.1; No.<br />

4, 1971: 89-90; Bataviaasche Courant, 4 Agustus 1821; Veth, 1869: 655).<br />

Penyerahan kekuasaan kepada putera mahkota, sebagaimana yang diterapkan pada<br />

waktu itu, bukan hal baru bagi Kesultanan Palembang. Sesuai dengan tradisi yang<br />

berlaku di sana, disebutkan bahwa jika seorang sultan sudah tua atau karena<br />

berbagai alasan lainnya, sultan akan menyerahkan kekuasaan kepada penerusnya<br />

yaitu putera mahkota (Pangeran Ratu) yang sudah dewasa 192 , sedangkan dirinya<br />

menyandang gelar Susuhunan (yang dipuji atau ditaruh di atas kepala). Jadi,<br />

susuhunan adalah orang yang dijunjung atau dimuliakan. Gelar itu dapat<br />

disamakan dengan ―orang tua‖, namun, pengaruhnya masih sangat besar. Pada<br />

masalah penting posisi susuhunan masih kuat dan sultan hanya sebagai pelaksana<br />

dari perintah-perintah susuhunan. 193 (ANRI, Bundel Palembang No. 47.6;<br />

Moedjanto dalam Antlov& Sven Cederrotl, 2001:x).<br />

Dengan demikian, pengaruh susuhunan atas penduduknya tidak berubah.<br />

Apabila tidak ada perubahan, otomatis tidak ada perubahan dalam pemerintahan.<br />

Dengan adanya jabatan susuhunan, jabatan sultan mirip dengan perdana menteri.<br />

Jadi jabatan susuhunan lebih penting di mata penduduk dari pada sultan. Seorang<br />

raja yang bergelar susuhunan lebih besar kekuasaan dan pengaruhnya<br />

dibandingkan jabatan raja disebut sultan, sedangkan kekuasaannya diserahkan<br />

kepada seorang pangeran. Dalam kaitannya dengan Kesultanan Palembang,<br />

Sultan Najamuddin II menduduki posisi sebagai susuhunan, sedangkan jabatan<br />

192 Pangeran Ratu memiliki simbol-simbol seperti perahu, payung, dayung dan<br />

sebagainya. Setelah menjadi sultan, simbol-simbol itu tetap dimilikinya. Jadi, sesungguhnya sultan<br />

masih memiliki kedudukan seperti putra mahkota. Sebagai orang buangan, simbol-simbol tersebut<br />

tidak dimiliki oleh Pangeran Ratu Perabu Anom, maka yang dipakai adalah makna dari perubahan<br />

gelar tersebut (ANRI, Bundel Palembang No. 47.6).<br />

193 Hal itu dapat dibuktikan pada saat Sultan Badaruddin II mengangkat<br />

Pangeran Ratu sebagai sultan pascakemenangan melawan Belanda yang kedua (1819).<br />

Akan tetapi, pada kenyataannya semua keputusan tetap berada di bawah kendali sultan.<br />

Sumber-sumber luar tidak satu pun yang menyebutkan Sultan Badaruddin II<br />

menyerahkan posisinya kepada Pangeran Ratu, kecuali Wolters dalam disertasinya.<br />

Penyerahan kekuasaan dari Sultan Najamuddin II kepada Prabu Anom yang termaktub<br />

dalam kontrak yang ditandatangani di Bogor April 1821, dalam pelaksanaannya<br />

kekuasaan tetap berada di bawah kendali Susuhunan Husin Dhiauddin sampai ia dibuang<br />

pada 1824.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


269<br />

sultan harus diberikan kepada Prabu Anom dengan gelar Sultan Ahmad<br />

Najamuddin III Prabu Anom (disingkat Sultan Najamuddin III) sebagai putera<br />

tertua. Jika ada kebijakan lain, maka kebijakan itu dianggap tidak adil dan<br />

menyimpang dari pola umum (ANRI, Bundel Palembang No. 47.6).<br />

Setelah urusan dengan Sultan Najamuddin II dan Prabu Anom selesai,<br />

fokus perhatian pemerintah Belanda di Batavia tertuju kembali pada usaha<br />

mengakhiri kekuasaan Sultan Badaruddin II. Pemerintah Belanda menyadari<br />

kekuatan dan kebesaran Sultan Badaruddin II. Di mata pemerintah Belanda,<br />

Sultan Badaruddin II merupakan sosok yang tegas dalam menjalankan kekuasaan.<br />

Dalam usaha melakukan ekspedisi kedua, pemerintah pusat di Batavia<br />

memandang perlu adanya sosok lain untuk mengimbangi atau untuk mengalihkan<br />

perhatian rakyat Palembang terhadap Sultan Badaruddin II. Pihak Belanda tidak<br />

memiliki banyak pilihan. Mereka memutuskan untuk melibatkan Sultan<br />

Najamuddin II yang berada dalam pengasingan di daerah Cianjur. Sultan<br />

Najamuddin II dijadikan sebagai imbangan terhadap saudaranya Sultan<br />

Badaruddin II (Kielstra, 1892:98).<br />

Untuk mewujud hal tersebut, Muntinghe melakukan kunjungan ke Cianjur<br />

untuk menemui Pangeran Wiradikrama (kerabat dekat Najamuddin II). Pangeran<br />

itu di mata Muntinghe adalah orang yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung<br />

misi Belanda. Dalam kunjungan itu Muntinghe berhasil mempengaruhi Pangeran<br />

Wiradikrama, dan pangeran itu berkenan terlibat dalam rencana ekspedisi.<br />

Menurutnya, pilihan terhadap Sultan Najamuddin II sangat besar pengaruhnya,<br />

karena seluruh penduduk masih setia kepada Sultan Najamuddin II. Selain itu,<br />

Najamuddin II juga memiliki banyak kerabat yang dapat dimanfaatkan untuk<br />

kepentingan Belanda dan Najamuddin II sendiri. Lebih lanjut, pangeran itu<br />

menjelaskan bahwa perubahan status Sultan Najamuddin II dari sultan menjadi<br />

susuhunan tidak menjadi masalah bagi Kesultanan Palembang (ANRI, Bundel<br />

Palembang No. 47.6; Woelders, 1975: 131). Nantinya Pangeran Wiradikrama<br />

pada masa peperangan menjadi utusan Belanda, dalam perundingan dengan pihak<br />

Kesultanan Palembang. Ia juga menjadi narasumber bagi kepentingan Belanda<br />

guna mengetahui seluk beluk tentang Kesultanan Palembang. Pemanfaatan<br />

Pangeran Wiradikrama adalah strategi memanfaatkan ―orang dalam‖ keraton<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


270<br />

untuk menghancurkan Kesultanan Palembang: suatu satrategi tua yang tetap<br />

relevan untuk dimanfaatkan.<br />

Muntinghe juga mengunjungi Sultan Najamuddin III. Sultan Najamuddin<br />

III ingin terlibat dalam rombongan ekspedisi ke Palembang 194 . Dia masih<br />

menunjukkan dendamnya terhadap Sultan Badaruddin II. Pada kesempatan itu,<br />

kembali Najamuddin II menegaskan bahwa dirinya tidak bersalah dalam<br />

perundingan dengan Bengkulu (1818). Sebagai tanda pulihnya kepercayaan<br />

pemerintah Belanda kepada Sultan Najamuddin II, ia diperkenankan untuk<br />

memakai lambang kekuasaannnya yaitu keris. Akan tetapi, izin itu setiap saat<br />

dapat ditarik kembali, apabila kondisinya tidak memungkinkan. Pemerintah<br />

Belanda memberikan dana pensiun kepada Sultan Najamuddin II sebesar lima<br />

puluh real per bulan. Muntinghe juga menyarankan berbagai hal sehubungan<br />

usaha penaklukan Palembang. Muntinghe, Bupati Buitenzorg dan Sukapura,<br />

Residen Pekalongan dan Adipati Tegal mengusulkan agar beberapa ningrat Jawa,<br />

antara lain Raden Aria Cakranegara, kerabat Kyai Adipati Semarang, para priyayi<br />

bawahan bupati Tuban, Bangil, patih Pasuruan, Besuki dan Panarukan untuk<br />

ditempatkan di Palembang pascapendudukannya (ANRI, Bundel Palembang No.<br />

66.7). Begitu banyak rancangan yang disusun oleh pemerintah Belanda, tetapi<br />

apakah semua itu terwujud tidak diperoleh informasi lebih lanjut. Upaya<br />

Muntinghe untuk mengisi birokrasi pemerintahan di Palembang terkait dengan<br />

keinginan pemerintah kolonial Belanda untuk mengubah sistem pemerintahan di<br />

kesultanan itu.<br />

Pihak Belanda juga meningkatkan persiapannya, dengan menambahkan<br />

empat puluh sampai lima puluh perahu pangayap, seratus perahu cunia dan<br />

perahu-perahu mayang. Semua perahu difungsikan untuk mengawal armada<br />

Belanda di sayap kiri dan kanan. Perahu cunia khusus untuk mengangkut para<br />

serdadu. Perahu-perahu itu sangat berperan penting dalam menyukseskan<br />

peperangan di Palembang, karena sebagian perairan Sungai Musi dangkal (ANRI,<br />

Bundel Palembang No. 47.6). Kegigihan Belanda dalam merencanakan dan<br />

194 Dalam rencana ekspedisi akan dilibatkan pula dua Prabu Anom yaitu<br />

Pangeran Jayadiningrat dan Pangeran Jayawikrama (ANRI, Bundel Palembang No. 47.6).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


271<br />

menyiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan upaya menaklukkan<br />

Kesultanan Palembang. Hal itu tidak terlepas dari pengalaman mereka dalam dua<br />

kali perang melawan penduduk Palembang. Oleh karena itu, pasukan Belanda<br />

terus memperbaiki diri demi suksesnya peperangan tersebut.<br />

Bagi Kesultanan Palembang kemenangan yang kedua dalam tahun yang<br />

sama (1819), semakin menumbuhkan kebanggaan dan semangat juang yang tinggi<br />

pada seluruh rakyat Palembang. Setelah eforia kemenangan dalam perang<br />

melawan Belanda pada Oktober 1819, Sultan Badaruddin II segera memperkuat<br />

pertahanan wilayahnya. Sultan Badaruddin II menyadari bahwa pemerintah<br />

kolonial Belanda tidak akan pernah tinggal diam ―menikmati kekalahan‖ dari dua<br />

kali kalah dalam perang melawan Kesultanan Palembang. Palembang juga<br />

menghadapi masalah berat yaitu blokade muara Sungai Musi yang telah<br />

berlangsung sejak Juni 1819.<br />

Kesiapan Kesultanan Palembang menghadapi kehadiran armada Belanda<br />

di wilayahnya terbukti dengan tidak terlihat lagi bekas-bekas kehancuran akibat<br />

perang 1819. Keraton sultan telah diperbaiki dan diperluas. Keraton dikelilingi<br />

tembok yang sangat tebal dan kokoh serta dilengkapi dengan sekitar tujuh puluh<br />

meriam berat. Di samping itu, Sultan juga memerintahkan untuk memperkuat<br />

benteng-benteng yang sudah ada dan menyiapkan peralatan perang, memperbaiki<br />

tonggak-tonggak antara Plaju dan Pulau Gombora. Tidak kalah penting adalah<br />

menyediakan dalam jumlah besar mesiu dan peluru (ANRI, Bundel Palembang<br />

No. 4, 1971: 86; Veth, 1869: 655; Woelders, 1975: 134). Berdasarkan pengakuan<br />

serdadu Belanda yang terlibat dalam ekspedisi 1821 dapat diketahui bahwa<br />

mereka tidak menduga bila ekspedisi kedua itu menuntut ketegangan yang lebih<br />

besar dari dua perang sebelumnya. Walaupun Belanda telah menyiapkan kekuatan<br />

yang jauh lebih besar, persiapan dan perlawanan dari rakyat Palembang jauh lebih<br />

dahsyat dibandingkan sebelumnya. Rakyat Kesultanan Palembang membangun<br />

pagar-pagar kayu di sebelah timur Salanama untuk menyulitkan lajunya armada<br />

Belanda.<br />

6.2 Perang Palembang 1821<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


272<br />

Pada awal 1821 pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk melakukan<br />

ekspedisi yang kedua dari Batavia di bawah pimpinan Jenderal Mayor H.M. De<br />

Kock. Menjelang keberangkatan, mereka melakukan parade siang dan malam di<br />

jalan-jalan Batavia. Semua itu dilakukan sebagai maklumat dimulainya perang<br />

dan memberi semangat kepada semua perwira dan serdadu yang terlibat dalam<br />

ekspedisi. Dalam ekspedisi itu, armada laut ditempatkan guna menaklukkan<br />

Kesultanan Palembang. Selanjutnya pada awal Mei 1821, pemerintah Belanda<br />

menyiapkan kekuatan besar untuk diberangkatkan di bawah pimpinan Kapten<br />

Laut Jhr. Lewe van Eduard, sedangkan pasukan darat di bawah pimpinan Letnan<br />

Kolonel La Fontaine dan Kolonel Bischof (Bataviaasche Courant, 4 Agustus<br />

1821; The Asiatic Journal, vol.10, September 1820; Veth, 1869: 655).<br />

Pada tanggal 17 dan 18 Mei 1921 kapal fregat Van der Werf , kapal<br />

perang Nassau dan beberapa kapal serta perahu lainnya memasuki Sunsang. Pada<br />

20 Mei 1821 pasukan De Kock diperkuat dengan hadirnya kapal pengangkut<br />

Henriette Elisabeth, yang membawa sebagian serdadu dari resimen ke-18 dan<br />

resimen ke-25, Nieuwe Zeelust, Gezusters dan Elisabeth Johanna. Semuanya<br />

berjumlah 6 (enam) kapal perang (Bataviaasche Courant, 4 Agustus 1821;<br />

Bataviaasche Courant, 11 Juli 1821). Dengan demikian, sejak minggu ketiga Mei<br />

sebagian armada Belanda telah memasuki Sungai Musi.<br />

Urut-urutan armada Belanda, adalah: formasi barisan terdepan terdiri atas<br />

12 perahu ringan, masing-masing dipersenjatai dengan meriam ukuran 18 pon.<br />

Kelompok ini dibagi dalam tiga bagian yang masing-masing dipimpin oleh Letnan<br />

satu den Ende, Letnan satu Halewijn, dan Letnan dua Joly. Semuanya berasal dari<br />

angkatan laut kerajaan. Dalam jarak setengah tembakan meriam dari barisan<br />

pertama, diikuti kapal perang van der Werff, kapal layar Elisabeth Jacoba<br />

(memuat Sultan Najamuddin III dan Susuhunan Husin Dhiauddin), kapal<br />

pengangkut Nassau, korvet Ajax dan Zwaluwe. Selanjutnya, kapal-kapal<br />

pengangkut yang dikawal oleh korvet Venus, Zeepaard dan kapal layar Sirene.<br />

Kapal-kapal lain yang terlibat adalah Race Horse, Mercurij, Graaf Bulow,<br />

Nieuwe Zealust, Admiraal Buijskes, Johanna (kapal pemimpin), Emerentia,<br />

Schipman, Jessi, eendracht, Dageraad dan Koophandel. Kapal Admiraal Buijskes<br />

dan Race Horse difungsikan sebagai rumah sakit, yang dipimpin oleh ahli bedah<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


273<br />

kepala dari dinas angkatan laut Cornelissen dan ahli bedah Mayor van Racle. Di<br />

dalam rombongan itu terdapat pula kapal-kapal Inggris yang disewa oleh Belanda<br />

(Bataviaasche Courant, Sabtu, 4 Agustus 1821; Bataviaasche Courant, 11 Juli<br />

1821; The Asiatic Journal, vol.10 September 1820).<br />

Dalam pelayaran di Sungai Musi, pasukan Belanda menghadapi berbagai<br />

kesulitan, antara lain, kondisi sungai yang sangat dangkal karena tengah musim<br />

kemarau, sempit dan berkelok-kelok serta arusnya sangat deras menuju laut.<br />

Kondisi tersebut menyebabkan gerak laju armada ekspedisi lambat. Akibatnya,<br />

pada 26 Mei 1921 mereka baru berhasil mencapai ujung selatan Pulau Panjang.<br />

Setelah itu, terus bergerak menyusuri Sungai Musi. Tiga hari kemudian armadaarmada<br />

itu berhasil melewati Pulau Kramat dan Pulau Singgries. Pada saat armada<br />

mereka memasuki Kwala Upang, pasukan ekspedisi menemukan sepucuk meriam<br />

yang digunakan untuk menembaki kapal perang Eendracht pada perang 1819<br />

(ANRI, Bundel Palembang No. 5.1; No. 4, 1971: 86; Bataviaasche Courant, 4<br />

Agustus 1821; Bataviaasche Courant, 11 Juli 1821).<br />

Dari Kwala Upang pada 1 Juni 1821 armada bergerak menuju Selat Jarang<br />

dan berlabuh di sana. Sepekan kemudian mereka berhasil melampaui Pulau<br />

Borang. Di pulau itu, De Kock melakukan pemantauan menggunakan perahuperahu<br />

ringan dan kapal rakit bersenjata. Utusan Susuhunan Husin Dhiauddin<br />

juga diikutsertakan dalam pemantauan itu. Mereka adalah orang-orang<br />

kepercayaan Susuhunan dari daerah di sekitar Sunsang. Mereka ditugaskan untuk<br />

mencari informasi tentang ibu kota Palembang. Untuk menarik hati penduduk di<br />

sepanjang aliran Sungai Musi yang mereka lalui, De Kock memberi hadiah<br />

berupa garam dan beras. Pemberian hadiah itu dimaksudkan agar penduduk di<br />

wilayah itu tidak menolak kehadiran pasukan Belanda, dan memberikan informasi<br />

yang mereka butuhkan tentang pertahanan Kesultanan Palembang. Dalam<br />

pemantauan itu De Kock menemukan sisa kubu pertahanan dalam perlawanan<br />

Inggris (1812), ternyata, walaupun tidak digunakan lagi, tetap mampu<br />

penghambat laju armada Belanda. Hal ini membuktikan bahwa benteng Borang<br />

merupakan benteng terbesar dan terkuat pada waktu itu, yang dipersiapkan untuk<br />

membendung ekspedisi Inggris. Selanjutnya, De Kock memerintahkan Letnan-1<br />

Scheidius dan Lans dari angkatan laut untuk melakukan pemantauan pula<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


274<br />

terhadap kawasan Pulau Salanama. Di sisi timur daerah itu terdapat tonggaktonggak<br />

kayu pertahanan yang disiapkan Sultan Badaruddin II untuk menghambat<br />

laju armada Belanda. Pemantauan berhasil dengan baik, sehingga mereka dengan<br />

mudah memasuki Sungai Musi. Pada petang 2 Juni 1921 armada ekspedisi<br />

berhasil mendekati kubu-kubu pertahanan Palembang. Pada saat menjelang<br />

malam kapal perang van der Werf dan beberapa kapal lainnya juga berhasil<br />

berlabuh di depan kubu-kubu pertahanan tersebut. Sementara itu, kapal-kapal<br />

lainnya baru berhasil berkumpul dengan kelompok kapal perang van der Werf<br />

pada keesokan harinya (Bataviaasche Courant,11 Juli 1821).<br />

Setelah sepekan berada di depan kubu-kubu pertahanan Palembang, pada<br />

10 Juni 1821 De Kock berusaha merebut salah satu kubu pertahanan Palembang<br />

dengan cara mengirimkan perahu bersenjata meriam ukuran enam pon.<br />

Penyerangan itu berlangsung di bawah komando Kapten George dan Letnan laut<br />

Michel. Selanjutnya, segera oleh pasukan yang dipimpin Letnan Laut Le Jeune<br />

dan Letnan-1 van Geen mengikuti dengan menggunakan dua meriam berukuran<br />

12 pon. Pendudukan itu berhasil dengan baik. Selanjutnya, Kolonel Bischoff,<br />

Kolonel La Fontaine, Letnan Kolonel Taets van Amerongen, Riesz, Mayor<br />

Cochius, dan Kapten Insinyur van der Wijck (ahli benteng) mengerahkan pasukan<br />

infantri yang kuat menyusuri Sungai Plaju. Pada kesempatan itu mereka mencari<br />

lokasi strategis untuk menempatkan meriam-meriam yang akan dimanfaatkan<br />

untuk menyerang kubu pertahanan Palembang. Akan tetapi, usaha itu belum<br />

berhasil, walaupun sudah berusaha selama tujuh sampai delapan jam. Usaha itu<br />

dilanjutkan pada keesokan harinya, tampaknya penentuan lokasi meriam-meriam<br />

menjadi begitu penting yang akan berpengaruh pada keberhasilan penyerangan.<br />

Dalam upaya pencarian tersebut, tanpa sengaja mereka menemukan jalan berawarawa<br />

yang dapat digunakan pasukan infantri untuk melakukan penyerangan.<br />

Medan itu cukup berat, sehingga tidak memungkinkan bagi para serdadu<br />

mengangkut senjata berat seperti meriam, namun jalur tersebut dapat dijadikan<br />

jalur alternatif penyerangan (Bataviaasche Courant,11 Juli 1821; Bataviaasche<br />

Courant, 4 Agustus 1821).<br />

Pada 14 Juni 1821 De Kock memutuskan untuk melakukan serangan<br />

penyerangan besar-besaran sejak malam hari, dengan melibatkan pasukan infantri<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


275<br />

artileri dan pionir sebanyak tujuh ratus sampai 800 orang serdadu di bawah<br />

pimpinan Kolonel Bischoff. Penyerangan itu dilancarkan dari belakang benteng<br />

dan depan Tambakbaya melalui Sungai Komering. Di samping itu, penyerangan<br />

dilancarkan dari arah depan. Penyerangan dari depan dipimpin Kapten Letnan<br />

Kolonel Tieman bersama-sama dengan Letnan laut Pieke dan Letnan klas-2<br />

Freudenberg. Mereka menggunakan kapal perang Dageraad. Sementara itu,<br />

Letnan laut Le Jeune dan Willink melakukan pemantauan terhadap kekuatan<br />

meriam-meriam Palembang. ,dengan menggunakan perahu dayung di antara<br />

tonggak-tonggak yang dipasang oleh balatentara Palembang untuk menghambat<br />

satuan musuh. Hasil pemantauan itu memudahkan De Kock untuk menentukan<br />

posisi yang tepat bagi kapal-kapal yang akan melakukan penyerangan. Usaha itu<br />

sangat besar pengaruhnya dalam menentukan langkah penyerangan, mengingat<br />

tonggak-tonggak kayu itu adalah kubu pertahanan yang sangat sulit ditembus<br />

sebagaimana terjadi pada perang 1819 (Bataviaasche Courant, 11 Juli 1821). Dua<br />

kali peperangan dengan Palembang memberi mereka pelajaran berharga, sehingga<br />

mampu mengantisipasi setiap kemungkinan yang dapat menghambat penyerangan<br />

mereka.<br />

Sebagai pihak yang diserang, pasukan Palembang memperkuat pertahanan<br />

dengan menempatkan perahu-perahu bersenjata di sepanjang Sungai Ogan dan<br />

Sungai Musi. Keberadaan perahu-perahu bersenjata itu cukup efektif untuk<br />

membalas gempuran dari armada Belanda. Kondisi itu memaksa De Kock<br />

mengubah strategi perang dengan memerintahkan mundur sementara. Pada 17<br />

Juni 1821 Kolonel Bischoff merealisasikan perintah itu dengan mundur selama 24<br />

jam, sambil menunggu perintah lebih lanjut. Sehari sebelumnya kapal Emerentia,<br />

kapal Schipman bergabung dengan armada De Kock, disusul kapal Jessi pada 17<br />

Juni 1821. Semuanya mundur untuk memberi kesan kepada pihak Palembang agar<br />

melakukan hal yang sama (Bataviaasche Courant,11 Juli 1821). Melihat armada<br />

Belanda mundur, pasukan Palembang menghormatinya dengan melakukan hal<br />

yang sama, sehingga sejak hari itu pertempuran reda.<br />

Pada 20 Juni 1821 pertempuran meletus kembali. Kapal-kapal milik<br />

Belanda menghantam dan menghancurkan kubu-kubu pertahanan Sultan<br />

Badaruddin II di Gombora. Pada malam sebelumnya, pasukan Belanda sudah<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


276<br />

mendekati tonggak-tonggak kayu dan bambu yang terdapat di depan Gombora.<br />

Pagi hari pada 05.30, De Kock dan stafnya mengendalikan peperangan dari atas<br />

kapal kapal Johanna, yang dipimpin oleh Letnan laut Scheidius. Kapal itu<br />

didampingi sepuluh perahu di bawah komando Letnan laut klas-1 Buijs. Apa yang<br />

dilakukan oleh armada dan serdadu Belanda, telah dirancang dengan baik agar<br />

kemenangan segera diraih. Hal itu dapat dilihat dari kesiapan mereka melakukan<br />

penyerangan. Dengan demikian, mundurnya armada Belanda pada 17 Juni 1821,<br />

merupakan taktik untuk menyusun kekuatan yang lebih besar 195 . Menyadari<br />

serangan gencar tersebut, kubu Palembang membalasnya pada 06.30. Akibatnya,<br />

perang terjadi antara dua kubu yang berlawanan itu. Armada Belanda semakin<br />

mendekati benteng terkuat Palembang yaitu Gombora. Usaha itu berhasil pada<br />

08.00, delapan kapal meriam Belanda dan kapal-kapal lainnya sudah berada di<br />

depan Gombora. Pasukan armada Belanda secara serentak menyerbu kubu<br />

pertahanan tersebut. Penyerbuan itu merupakan pukulan besar bagi pasukan<br />

Palembang. Akan tetapi, pasukan Palembang dengan gigih melakukan<br />

perlawanan, sehingga tetap mampu bertahan. Pertempuran sengit itu tidak<br />

membawa hasil seperti yang diinginkan oleh pemimpin pasukan Belanda. Akibat<br />

gempuran pasukan Palembang, kapal Nassau 196 , Dageraad, van der Werff, dan<br />

Zeepaard mengalami putus tali jangkar dan hanyut terbawa arus Sungai Musi<br />

yang sangat deras. Hal tersebut mengakibatkan posisi kapal Nasau dan Dageraad<br />

bergeser sehingga tidak mampu melindungi kapal perang van der Werff, sehingga<br />

kapal itu banyak kehilangan serdadunya, begitupula kapal-kapal lainnya<br />

(Bataviaasche Courant,11 Juli 1821).<br />

Meskipun ada beberapa kapal Belanda yang hanyut dalam pertempuran<br />

itu, pasukan Belanda berusaha tetap maju dan kembali pada posisi semula.<br />

Menyadari banyaknya kerugian yang diderita dan menghindari angin yang<br />

195 Pasukan Belanda diperkuat kapal Santa Maria dan tujuh perahu dibawah<br />

pimpinan Raja Akil. Mereka bergabung dengan 300 orang serdadu infanteri, beberapa<br />

orang serdadu artileri dan serdadu perintis yang dipimpin Letnan Kolonel Keer<br />

(Bataviaasch Courant,11 Juli 1821).<br />

196 Kapal Nassau paling parah kondisinya, badan kapal itu penuh lubang “bagai<br />

ayakan” akibat tembakan pasukan Palembang dan sauhnya tenggelam. Nantinya sauh<br />

itu ditempatkan di gudang penyimpanan garam di ibu kota Palembang (Woelders, 1975:<br />

129).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


277<br />

kencang di perairan Sungai Musi, sehingga jangkar dan tali kapal sulit ditarik, De<br />

Kock memutuskan untuk mundur. Keputusan itu dilakukan dalam rangka<br />

mempersiapkan serangan berikutnya. Sore harinya pasukan Sultan Badaruddin II<br />

berhasil menguasai kembali semua kubu pertahanannya. Dalam peperangan itu,<br />

pasukan Belanda menderita banyak kerugian. Selain kerugian materi, pasukan<br />

Belanda juga kehilangan serdadunya dengan terbunuhnya 46 orang, 55 orang luka<br />

berat dan 42 orang luka ringan (ANRI, Bundel Palembang No. 5.1; No. 4, 1971:<br />

86; Bataviaasche Courant,11 Juli 1821; Bataviaasche Courant, 4 Agustus 1821).<br />

Keesokan harinya sejak pukul 03.00, pihak Belanda kembali melancarkan<br />

serangan dengan kekuatan yang sudah jauh berkurang dibanding hari sebelumnya.<br />

Hal yang sama juga dialami oleh laskar Palembang. Tembakan-tembakan meriam<br />

dari benteng Gombora dan Plaju berkurang. Dengan kondisi demikan, kembali De<br />

Kock terpaksa menarik pasukannya. Saat itu salah satu kapal meriam terjebak<br />

pada tonggak-tonggak di Sungai Musi karena air surut. Akibatnya, kapal itu sulit<br />

bergerak dan jatuh ke tangan laskar Palembang. Akan tetapi, kapal itu berhasil<br />

direbut kembali oleh pasukan Belanda. Di sisi lain, laskar Palembang terus<br />

menembaki kapal-kapal meriam milik Belanda. Untuk kesekian kalinya, armada<br />

Belanda memutuskan mundur (Bataviaasche Courant, 11 Juli 1821).<br />

Pada 24 Juni 1821 kapal-kapal Belanda kembali mempersiapkan segala<br />

keperluan untuk melanjutkan pertempuran. Sejak pukul 03.00 De Kock dengan<br />

kapal Johanna dan armada lainnya bergerak mendekati kubu pertahanan<br />

Palembang. Peperangan terjadi pada pukul 04.00. Setelah pertempuran<br />

berlangsung sengit, pasukan Belanda berhasil merebut posisi dengan cepat.<br />

Pendudukan itu merupakan keberhasilan pertama bagi kubu Belanda. Peperangan<br />

terus berlanjut pada pukul 05.00-06.00. Setelah itu tembakan dari benteng<br />

Gombora melemah. Melihat kondisi itu, De Kock memerintahkan Kolonel<br />

Bischoff dan Letnan Kolonel Riesz (komandan artileri) untuk menggempur pusat<br />

pertahanan itu. Empat puluh lima menit kemudian benteng Gombora berhasil<br />

direbut pasukan Belanda. Letnan laut Le Jeune segera mengibarkan bendera<br />

Belanda di pulau itu sebagai simbol bahwa daerah itu telah mereka kuasai. Dalam<br />

pertempuran sengit hari itu, pihak Belanda mengalami kerugian sebanyak 29<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


278<br />

orang serdadu terbunuh, 145 orang luka-luka (ANRI, Bundel Palembang No. 4,<br />

1971: 86; Bataviaasche Courant, 11 Juli 1821).<br />

Langkah selanjutnya adalah menyerang kubu pertahanan Palembang di<br />

Plaju di bawah komando Kolonel de La Fontaine dan Mayor de Leeuw, diikuti<br />

Bischoff dan de Leeuw mengerahkan 10 kapal meriam di bawah pimpinan Letnan<br />

Kolonel Laut Bakker. Mereka bergerak dari belakang Gombora untuk menyerang<br />

Plaju. Armada Belanda bergerak perlahan melewati tonggak-tonggak pertahanan.<br />

Setelah itu, kapal Venus, Ajax dan perahu-perahu mereka berhadapan langsung<br />

dengan pasukan Palembang yang menembakkan meriam-meriam pantai. Pada<br />

pertempuran itu pasukan Palembang berhasil melumpuhkan kapal perang Venus<br />

dan Ajax. Pasukan Palembang juga mengerahkan rakit-rakit yang dibakar. Akan<br />

tetapi rintangan itu berhasil ditangkis pasukan Belanda dengan perjuangan yang<br />

berat. Sementara itu, pertempuran terus berlangsung (Bataviaasche Courant,11<br />

Juli 1821).<br />

Menjelang 09.00, kedua kubu mulai lemah, tembakan pasukan Palembang<br />

dari benteng Plaju berkurang, begitu pula pasukan Belanda. Kapal van der Werf<br />

dan Dageraad kekurangan amunisi, sehingga penyerangan dari kedua kapal itu<br />

harus dihentikan. Menjelang pukul 10.00 posisi Kapal Dageraad yang strategis<br />

bergeser akibat serangan pasukan Palembang. Perubahan posisi kapal itu<br />

menyebabkan armada lainnya semakin tidak dapat dilindungi. Hal itu<br />

menyebabkan gerakan pasukan Belanda menjadi terhambat. Walaupun demikian,<br />

peperangan terus berlangsung. Tanda-tanda kemenangan pasukan Belanda mulai<br />

tampak pada pukul 11.30 dengan berhasilnya Kolonel Bischoff memimpin<br />

pasukannya menyerang meriam ke-4 (meriam terakhir, setelah sebelumnya<br />

mereka berhasil melumpuhkan tiga meriam Palembang) di Plaju. Pasukan yang<br />

dipimpin letnan-1 Wagener dan van Stijrum mampu memaksa pasukan<br />

Palembang meninggalkan meriam pertama, sehingga dalam waktu hampir satu<br />

jam seluruh kubu pertahanan di Plaju berhasil dikuasai oleh pasukan Belanda.<br />

Setelah itu, pasukan Belanda mulai mencabuti tonggak-tonggak kayu dan bambu<br />

yang terdapat di Sungai Musi. Hal itu dimaksudkan agar kapal-kapal Belanda<br />

lainnya dapat melewati Sungai Musi dan mendekati keraton. Dalam pertempuran<br />

itu di pihak Belanda dua orang serdadu terbunuh, dan enam orang menderita luka,<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


279<br />

sedangkan di pihak Palembang tidak ada sumber yang menyatakan jumlah korban<br />

dalam peperangan itu. Akan tetapi dapat dipastikan banyak korban tewas dan<br />

luka-luka. Selama peperangan berlangsung, pasukan Belanda juga mengalami<br />

kekurangan bahan makanan yang parah (Bataviaasche Courant, 11 Juli 1821;<br />

Veth, 1869: 655).<br />

Setelah berhasil melumpuhkan benteng Gombora dan Plaju, armada<br />

Belanda mendekati keraton. Dua hari kemudian (26 Juni 1821) semua pasukan<br />

Belanda bergerak siaga di depan keraton Sultan Badaruddin II. Keraton yang pada<br />

waktu itu diperkuat dengan tujuh belas meriam 197 . Keraton yang dikelilingi<br />

tembok yang tebal dan tinggi, (ANRI, Bundel Palembang No. 5.1; Bataviaasche<br />

Courant, 11 Juli 1821). Kehebatan keraton sudah terbukti dalam perang 1819<br />

mampu menangkis serangan dari pasukan Belanda.<br />

Ketika kapal-kapal perang Belanda tiba di depan keraton (jarak satu<br />

tembak senapan dari tembok kraton), Sultan Badaruddin II memutuskan untuk<br />

menempuh jalur perundingan. Untuk itu, Sultan mengutus Pangeran Adipati Tuo<br />

menemui De Kock di atas kapal Johanna. Dalam pertemuan itu, Pangeran<br />

Adipati Tuo menyatakan kesediaannya untuk menyerahkan saudaranya Sultan<br />

Badaruddin II kepada pemerintah Belanda, dengan permintaan dirinya diizinkan<br />

untuk tetap tinggal di Palembang. Jenderal Mayor De Kock menolak tawaran<br />

tersebut. Sementara itu, Pangeran Adipati Mudo menyatakan bahwa Sultan<br />

Badaruddin II bersedia menyerah tanpa syarat untuk mencegah terjadinya<br />

pertumpahan darah. Sultan juga meminta penundaan waktu untuk berangkat ke<br />

Batavia, dengan alasan akan menyiapkan para istri, anak-anak dan para pengikut<br />

setianya yang akan ikut menyertainya. De Kock mengabulkan permintaan tersebut<br />

dengan memberi waktu selama dua hari, dengan syarat Sultan harus segera<br />

membongkar semua meriam di keraton. Pada saat yang bersamaan ketika De<br />

Kock berunding dengan wakil Sultan, De Kock memerintahkan semua armada<br />

Belanda menutup jalan masuk ke dan dari Sungai Musi untuk mencegah Sultan<br />

Badaruddin II keluar dari ibu kota Palembang (ANRI, Bundel Palembang No. 5.1;<br />

197 Sumber Bataviaasche Courant (11 Juli 1821), menyebutkan bahwa keraton<br />

dipertahankan dengan tujuh puluh meriam.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


280<br />

N0. 4, 1971:86; Bataviaasche Courant, 11 Juli 1821; Bataviaasche Courant , 4<br />

Agustus 1821)<br />

Setelah terjadinya penundaan, Sultan kembali mencoba memperpanjang<br />

waktu keberangkatannya, namun permintaan itu ditolak De Kock. Selanjutnya, ia<br />

mengutus Kapten Elout ke keraton untuk mendesak Sultan memenuhi janjinya.<br />

Pada 1 Juli 1821 pasukan Belanda menduduki kraton. Dua hari kemudian Sultan<br />

Badaruddin II dan kerabat dekatnya diberangkatkan ke Batavia. Mereka<br />

diberangkatkan menggunakan kapal perang de Dageraad, dan tiba di sana pada<br />

29 Juli 1821. Pada Maret 1822 Sultan Badaruddin II dan rombongannya<br />

diberangkatkan ke Ternate. Sebelum rombongan itu dibawa ke Ternate, semua<br />

harta benda yang mereka bawa disita pihak Belanda (ANRI, Bundel Palembang<br />

No. 5.1; Bataviaasche Courant, Sabtu, 4 Agustus 1821; Veth, 1869: 655;<br />

Woelders, 1975: 112). Dengan demikian, sesampainya di Ternate mereka sudah<br />

tidak memiliki lagi kekayaan dan hidup mereka sepenuhnya tergantung pada<br />

tunjangan yang diberikan oleh pemerintah Belanda.<br />

Setelah pembuangan Sultan Badaruddin II, pemerintah Belanda di<br />

Palembang menyingkirkan semua orang terdekat Sultan Badaruddin II. Kebijakan<br />

itu ditempuh Belanda karena mereka dianggap membahayakan kedudukan<br />

Belanda di Palembang. Sahabat-sahabat Sultan Badaruddin II yang disingkirkan<br />

Belanda adalah Pangeran Kramadiraja, Pangeran Wirosentiko, Pangeran Yudo,<br />

Pangeran Puspodirejo, Tumenggung Wiroyudo dan Ingabehi Achmat Kretel<br />

(ANRI, Bundel Palembang No. 47.6). Dengan demikian, penyingkiran tersebut<br />

merupakan usaha Belanda untuk menghilangkan pengaruh Sultan Badaruddin II<br />

dan para pengikutnya. Penyingkiran orang-orang yang dianggap membahayakan<br />

kedudukan Belanda di Palembang benar-benar dilaksanakan dengan cara<br />

sistematis. Kebijakan itu ditempuh oleh Belanda tidak terlepas dari rasa takut<br />

yang berlebihan akan bangkitnya perlawanan terhadap Belanda pascadibuangnya<br />

Sultan Badaruddin II.<br />

Kemenangan atas Kesultanan Palembang merupakan berita yang sangat<br />

ditunggu di Batavia (berita diterima 10 Juli 1821). Keberhasilan itu diumumkan<br />

dihadapan pasukan di Batavia dengan diiringi tembakan meriam sebanyak 101<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


281<br />

kali 198 (Bataviaasche Courant, Rabu 11 Juli 1821). Para perwira dan serdadu yang<br />

berjasa dalam peperangan itu dianugerahi anugerah militer tertinggi ― Militaire<br />

Willemsorde‖ berupa lencana yang disematkan pada upacara penganugerahan dan<br />

digubah syair-syair kemenangan. Berita kemenangan itu sampai di negeri Belanda<br />

pada 6 Nopember 1821, disambut antusias di sana. Kemenangan itu dibahas di<br />

rapat majelis rendah Parlemen Belanda, dan Raja Willem I memberikan ucapan<br />

selamat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda atas nama parlemen. Menurut<br />

mereka keberhasilan gemilang tersebut sangat penting bagi pengukuhan<br />

kekuasaan Belanda di Nusantara (Kielstra, 1892:99; Woeldwes, 1975: 24-25).<br />

Betapa pentingnya kemenangan atas Palembang bagi pemerintah Belanda baik di<br />

Batavia maupun di negeri Belanda. Semua itu untuk menebus dua kali kekalahan<br />

dalam perang 1819.<br />

Sesampainya rombongan Sultan Badaruddin II di Ternate pada tahun 1822,<br />

mereka di tempatkan di Fort Oranje, dengan tunjangan sebesar f 800 per bulan.<br />

Fort Oranje adalah sebuah benteng Belanda di Ternate yang menjadi pusat<br />

pemerintahan Belanda di wilayah Maluku. Setelah beberapa bulan Sultan<br />

Badaruddin II dan keluarganya menghuni benteng itu, Residen setempat<br />

memandang perlu memperbaiki bangunan tersebut mengingat kondisinya yang<br />

memprihatinkan. Sebagai tindak lanjut, Residen Ternate mengusulkan perbaikan<br />

gedung itu kepada pemerintah pusat. Usul itu diajukan melalui surat nomor: 19,<br />

tertanggal 23 September 1822. Gubernur Jenderal menerima usul tersebut dengan<br />

mengeluarkan keputusan pada 13 Nopember 1922 nomor: 11. Berdasarkan surat<br />

keputusan tersebut, Sultan Badaruddin II dan pengikutnya dipindahkan ke lokasi<br />

sebelah selatan Fort Oranje, dan tetap diawasi secara ketat. Fort Oranje<br />

diperuntukkan bagi markas komandan militer setempat. Selanjutnya, lokasi yang<br />

ditempati oleh Sultan Badaruddin II dan pengikutnya dikenal dengan nama<br />

―kampung Palembang‖. Lokasi itu berbatasan sebelah utara dengan Fort Oranje,<br />

sebelah selatan dengan penjara, kantor residen, rumah kediaman residen, hotel,<br />

societiet, sekolah dan rumah para pejabat Belanda. Di sebelah timur berbatasan<br />

198 Jumlah tembakan maksimal dalam suatu upacara penghormatan, tembakan<br />

itu dianugerahkan atas jasa-jasa para perwira dan serdadu Belanda yang telah berhasil<br />

mengalahkan Kesultanan Palembang. Atas jasa-jasa tersebut mereka memperoleh<br />

bintang dan kenaikan pangkat.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


282<br />

dengan pasar, rumah dan pertokoan Cina. Di sebelah barat berbatasan dengan<br />

kampung Sarani, yang dihuni oleh kelompok Belanda dan Portugis Terdapat akses<br />

keluar dari lokasi tersebut, tetapi pihak Belanda telah menyiapkan pos penjagaan<br />

di sana (Woelders, 1975:24; ―Sejarah‖, 1984, 98-99).<br />

Gubernur Jenderal Hindia Belanda Godert Alexander Gerard Phillip Baron<br />

van der Capellen melakukan kunjungan ke Keresidenan Ternate pada 10 Mei<br />

1824. Tiga hari setelah kunjungan resmi Sultan Tidore dan Ternate menemui<br />

Gubernur Jenderal van der Capellen, pada 18 Mei 1824 Sultan Badaruddin II<br />

diperkenankan menghadap van der Capellen di sana. Pada kesempatan itu, Sultan<br />

Badaruddin II mengakui kekalahannya, tetapi tidak sedikitpun mengajukan<br />

keinginan agar pemerintah kolonial Belanda mengizinkannya kembali ke<br />

Palembang. Sesungguhnya, Sultan Badaruddin II memang terkenal sebagai raja<br />

yang memiliki sikap yang tegas dan keras. Di mata pers kolonial pada waktu itu,<br />

Sultan dikenal angkuh dan nekad karena tidak memohon agar dapat dikembalikan<br />

ke Palembang (Bataviasche Courant, 31 Juli 1824 nomor 31). Dari pernyataan<br />

tersebut, tersirat bahwa van der Capellen ingin agar Sultan Badaruddin II<br />

memohon kepadanya agar diampuni dan dipulangkan ke asalnya. Ternyata semua<br />

keinginan itu tidak tercapai, karena Sultan Badaruddin II tidak mau<br />

menghambakan dirinya demi sebuah ―kebebasan di bawah kendali Belanda‖ di<br />

tanah leluhurnya Palembang.<br />

Keteguhan jiwa seorang Sultan Palembang, yang memiliki sejarah panjang<br />

dalam berjuang mempertahankan kedaulatannya. Ia tidak pernah rela hidup dalam<br />

kungkungan penjajahan Belanda. Jeritan batinnya dapat dilihat dari karyanya<br />

dalam bentuk untaian bait-bait syair Nuri.<br />

… Sudahlah nasip (b) untung yang malang<br />

Mengambah lautan berulang-ulang<br />

Mudharatnya bukan lagi kepalang<br />

Senantiasa di dalam nasip dan walang<br />

… Remuk dan rendam rasanya hati<br />

Lenyaplah pikir budi pekerti<br />

Jikalau kiranya hamba turuti<br />

Dari pada hidup sebaiknya mati<br />

… Hidup nin sudah seperti fana<br />

Bagai sesat di laut bena<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


283<br />

Ke sana ke mari tiada berguna<br />

Dari pada sangat dhaif dan hina<br />

…Sudah nasip badan yang kurang<br />

Jatuh terselip di negeri orang<br />

Sakitnya bukan sebarang-sebarang<br />

Laksana perahu terhempas di karang<br />

… Susahnya tiada lagi terkira<br />

Tertutuplah akal habis bicara<br />

Jiwa dan badan amatlah sara<br />

Bagai ikan di atas bara<br />

… Nuri nin isteri Bayan Johari<br />

Parasnya laksana mandudari<br />

Putih kuning halus berseri<br />

Seputar alam sukar dicari<br />

…Rindunya tiada lagi henti<br />

Gundah gulana di dalam hati<br />

Lenyaplah pikir budi pekerti<br />

Bagaikan fana rasanya pasti<br />

… Ke Siam pergi membeli kici<br />

Orang bercamat dalam perahu<br />

Dilihat diam dikatakan benci<br />

Dendam golamat siapakan tahu (Yusuf, tanpa tahun: 223-231).<br />

Sultan Badaruddin II menggunakan burung Nuri sebagai simbol kerajaannya yang<br />

telah diambil oleh kolonial Belanda (Bayan Johari). Sepanjang sisa hidupnya, ia<br />

menghabiskan waktu selama 31 tahun sebagai orang buangan di Ternate. Ia wafat<br />

di sana pada 26 Nopember 1852, dan dimakamkan di pemakaman umum kota<br />

Ternate.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


284<br />

BAB 6<br />

KERUNTUHAN KESULTANAN PALEMBANG<br />

Dengan berakhirnya peperangan antara Palembang dan Belanda (Juni 1821), sejak<br />

itu pula Kesultanan Palembang berada di bawah kendali pemerintah kolonial<br />

Belanda. Sesuai isi Kontrak April 1821, Sultan Najamuddin III mengendalikan<br />

pemerintahan atas Kesultanan Palembang didampingi oleh residen Belanda.<br />

Dengan demikian, sebagian kekuasaannya telah diserahkan kepada pemerintah<br />

kolonial Belanda. Kekuasaan yang telah terbagi itu, pada Agustus 1823<br />

sepenuhnya dikendalikan oleh pihak Belanda, kecuali peradilan Agama Islam.<br />

Seiring dengan peralihan kekuasaan dari Sultan Najamuddin III kepada<br />

pemerintah kolonial Belanda, terjadi berbagai kebijakan yang merugikan rakyat.<br />

Akibatnya, terjadi berbagai pergolakan khususnya di daerah uluan. Pergolakan itu<br />

juga dipicu oleh dibuangnya Sultan Badaruddin II dan peralihan kekuasaan<br />

kepada Belanda. Pergolakan yang marak terjadi, menyebabkan pihak kolonial<br />

Belanda mengirimkan pasukan untuk menghancurkan perlawanan-perlawanan<br />

tesebut.<br />

Di ibu kota Palembang juga terjadi berbagai ketegangan antara Sultan<br />

Najamuddin III-Susuhunan Husin Dhaiauddin dan Belanda. Puncaknya terjadi<br />

penyerangan terhadap benteng Belanda. Peristiwa itu mengakibatkan Susuhunan<br />

dibuang ke Batavia, sedangkan Sultan Najamuddin III lari ke uluan menggalang<br />

kekuatan. Tanpa dukungan sarana dan prasarana yang memadai, Sultan harus<br />

menghadapi kekuatan Belanda yang besar dan kuat. Akhirnya, Sultan dan<br />

pengikutnya menyerah dan dibuang pada 1825. Dengan dibuangnya Sultan<br />

Najamuddin III, Kesultanan Palembang dihapuskan.<br />

6.1 Pemerintahan Sultan Ahmad Najamuddin III<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


285<br />

Sultan Najamuddin III menduduki tahta di Kesultanan Palembang yang baru<br />

selesai perang. Suatu kondisi serba kekurangan di segala bidang. Langkah awal<br />

yang diambil Sultan bersama dengan Susuhunan Husin Dhiauddin dan Jenderal<br />

Mayor De Kock adalah menata kembali pemerintahan di Kesultanan itu. Masalah<br />

yang paling krusial pada waktu itu adalah keamanan. Untuk menangani masalah<br />

tersebut, De Kock menyerahkannya kepada Letnan Kolonel Taets van<br />

Amerongen, Letnan laut klas-1 Koopman, dan perwira pertama kapal perang van<br />

der Werff. Pada 12 Juli 1812, De Kock menetapkan Letnan Kolonel Keer sebagai<br />

residen Palembang sekaligus menangani masalah militer. (Bataviasche Courant,<br />

Rabu, 11 Juli 1821; Woelders, 1975: 24). Kebijakan itu menyebabkan keamanan<br />

secara berangsur-angsur dapat ditegakkan khususnya di ibu kota Palembang.<br />

Keadaan keraton yang ditinggalkan oleh Sultan Badaruddin II sangat<br />

memprihatinkan. Sebelum keraton diserahkan kepada De Kock, Sultan<br />

Badaruddin II memerintahkan untuk menghancurkan benda-benda berharga dalam<br />

keraton, agar tidak jatuh ke tangan pasukan Belanda. Benda-benda yang tersisa<br />

hanya berupa beberapa keping uang, emas, buku-buku dan beberapa barang<br />

lainnya serta 74 pucuk meriam. Meriam-meriam itu digabungkan dengan meriammeriam<br />

lain dari Gombora dan Plaju berjumlah dua ratus pucuk 199 (Bataviasche<br />

Courant, Rabu, 11 Juli 1821).<br />

Sebelumnya, pada 1 Juli 1821 Prabu Anom ditetapkan sebagai Sultan<br />

Ahmad Najamuddin III Prabu Anom. Ayahnya bergelar Susuhunan Ratu Husin<br />

Dhiauddin (sesuai kontrak yang mereka tandatangani di Buitenzorg pada 28 April<br />

1821), Susuhunan dilantik secara resmi pada 16 Juli 1821. Selanjutnya,<br />

Susuhunan mengangkat menantunya yaitu Pangeran Adiwijaya sebagai juru<br />

bicaranya dengan gelar Pangeran Perdana Mentri. Dia juga memberi gelar<br />

Pangeran Adipati Tuo dengan nama Pangeran Bupati Panembahan. Putera<br />

Susuhunan lainnya yaitu Pangeran Jayadiningrat diberi gelar Pangeran Dipati<br />

(sebelumnya Pangeran Jayaningrat), sedangkan adiknya Pangeran Jayakrama<br />

199 Pihak Belanda memperkirakan harta kekayaan yang sangat besar dari Sultan<br />

Badaruddin II, digunakan untuk membiayai proyek pertahanan, membeli amunisi,<br />

meriam juga untuk menggaji dan memberi makan pasukan di kubu-kubu pertahanan<br />

Palembang, serta untuk menambah jumlah pendukungnya (Bataviaasch Courant, Sabtu,<br />

4 Agustus 1821).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


286<br />

diberi gelar Pangeran Aryo Kesumo, serta adiknya yang terkecil naik menjadi<br />

Pangeran Suryo Kesumo (sebelumnya bergelar Pangeran Citradiningrat) (ANRI,<br />

Bundel Palembang No. 5.1; No. 4, 1971: 87; Bataviaasche Courant, 11 Juli 1821;<br />

Woelders, 1975: 24, 112; Veth, 1869: 655).<br />

Dari penjelasan di atas, tampak bahwa terdapat dualisme pemerintahan.<br />

Hal itu tampak dari diangkatnya Pangeran Adiwijaya sebagai juru bicara dengan<br />

gelar Pangeran Perdana Menteri. Dalam struktur pemerintahan di Kesultanan<br />

Palembang, Perdana Menteri dapat disamakan dengan Pangeran Adipati, namun<br />

tampaknya penamaan gelar Perdana Menteri semata-mata hanya gelar, tidak<br />

terkait dengan jabatan Adipati (orang kedua setelah sultan). Walaupun demikian,<br />

penamaan tersebut merupakan penyimpangan dari pola umum yang berlaku di<br />

Kesultanan Palembang. Dengan diangkatnya Pangeran Jayaningrat sebagai<br />

Pangeran Adipati, maka di Kesultanan Palembang terdapat tiga orang yang<br />

bergelar Pangeran Adipati. Pertama, adalah Pangeran Adipati (adik kandung<br />

pertama Sultan Najamuddin II yang diangkatnya sebagai Pangeran Adipati sejak<br />

dirinya menyandang gelar sultan pada 1812), yang disebut juga dengan nama<br />

Pangeran Adipati Tuo 200 . Kedua, Pangeran Adipati Mudo (diangakt Sultan<br />

Badaruddin II setelah pembagian kekuasaan), dan ketiga, Pangeran Adipati<br />

Jayaningrat. Setelah Sultan Najamuddin III naik tahta, Susuhunan Husin<br />

Dhiauddin menetapkan Pangeran Adipati Tuo sebagai Pangeran Bupati<br />

Panembahan.<br />

Dalam rangka melaksanakan pendudukan atas Kesultanan Palembang<br />

secara efektif, pada 13 Juli 1821 panglima ekspedisi Palembang Jenderal Mayor<br />

de Kock mengeluarkan instruksi kepada Residen Keer, agar segera mengambil<br />

langkah-langkah nyata. Lebih lanjut disebutkan bahwa hendaknya segera menata<br />

pemerintahan, infrastruktur, gelar dan jabatan di Kesultanan Palembang. Semua<br />

200 Penamaan demikian untuk membedakan antara Pangeran Adipati Mudo,yang<br />

diangkat oleh Sultan Badaruddin II pascapembagian kekuasaan atas Kesultanan<br />

Palembang pada Juni 1818.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


287<br />

itu berpedoman pada nota salinan yang telah diberikan oleh Muntinghe 201 (ANRI,<br />

Bundel Palembang no 47.6).<br />

Setelah Sultan Najamudin III berkuasa, ia sulit menjalankan kewajibannya<br />

untuk mengatasi masalah gangguan keamanan baik di ibu kota dan uluan maupun<br />

di perairan antara Pulau Bangka dan Palembang. Menurut pemerintah Belanda di<br />

Palembang pada waktu itu, Sultan terlalu lemah untuk mengendalikan kondisi<br />

yang ada. Pada kenyataannya pemegang kendali pemerintahan adalah Susuhunan.<br />

Oleh karena itu, untuk menegakkan keamanan di ibu kota Palembang, pemerintah<br />

Belanda menambah pasukan keamanan baik dari angkatan laut maupun darat. Di<br />

depan keraton Kuto Besak, mereka menempatkan kapal Zeepaard, Ajax, Venus,<br />

Zeevaluwe, dan Emma serta perahu-perahu, dengan posisi yang telah ditentukan.<br />

Posisi kapal dan perahu itu tidak boleh berubah kecuali atas izin komandan<br />

angkatan laut. Kapal Emma dan beberapa perahu berfungsi untuk melayani<br />

pelayaran antara Palembang dan Muntok. Apabila kondisi di Palembang sudah<br />

aman, akhir Oktober atau awal November 1821 kapal Ajax dan de Zwaluwe akan<br />

ditarik ke Batavia. Meriam-meriam yang tidak digunakan secepatnya dikirim ke<br />

Jawa. Mereka juga membuat peta tentang sungai-sungai di Palembang, yang<br />

jumlahnya banyak. Pemetaan itu penting, mengingat sungai merupakan sarana<br />

transportasi utama di Kesultanan Palembang. Usaha itu juga untuk mengantisipasi<br />

kemungkinan perlawanan dari daerah uluan yang pasti memanfaatkan jalur<br />

sungai. Pelaksanaannya memanfaatkan bantuan Sultan Palembang berupa perahu,<br />

pendayung dan penunjuk jalan dalam. Hal itu disebabkan hanya Sultan yang<br />

memiliki sarana dan prasarana yang dibutuhkan, dan hanya orang Palembang<br />

yang mampu menjadi penunjukkan jalan dalam tugas tersebut (ANRI, Bundel<br />

Palembang No. 47.6; Kielstra, 1892: 100).<br />

Selanjutnya kepemimpinan Belanda atas Kesultanan Palembang<br />

diserahkan kepada Komisaris Van Sevenhoven 202 . Ia bertugas di Palembang sejak<br />

201 Muntinghe memperoleh data tersebut diperoleh dari Pangeran Wirawikrama<br />

dan laporan hasil wawancara dengan orang-orang Palembang tentang jabatan-jabatan<br />

di Palembang dari Baud (ANRI, Bundel Palembang no 47.6).<br />

202 Dipilihnya Sevenhoven sebagai residen Palembang, karena dianggap berhasil<br />

menjalankan tugasnya sebagai residen Cirebon. Sosok Sevenhoven dianggap tepat untuk<br />

memerintah Palembang yang baru saja berhasil dikuasai oleh Belanda. Ia berfungsi<br />

sebagai penasehat Sultan Najamuddin III, walaupun pada kenyataannya Sevenhoven<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


288<br />

Nopember 1821, melanjutkan pemerintahan sipil dari Letnan Kolonel Keer 203 .<br />

Sejak awal pemerintahannya, Sevenhoven berhubungan dengan para bangsawan<br />

dan penduduk Palembang. Ia mendukung dipertahankannya kekuasaan Sultan,<br />

namun pada kenyataannya tidak mudah mengembalikan kondisi Palembang<br />

pascaperang. Kekacauan terjadi di pusat maupun di uluan. Selanjutnya,<br />

Sevenhoven menugaskan pejabat sekretaris J.E. Sturler dan Asisten Residen D.<br />

Donker untuk mengemasi barang-barang milik Sultan Badaruddin II. Barangbarang<br />

itu antara lain, emas, naskah-naskah dan barang-barang lainnya (65<br />

manuskrip di perpustakaan <strong>Universitas</strong> Leiden Belanda) yang berhasil ditemukan<br />

di keraton Palembang. Barang-barang itu dimasukkan ke dalam kotak, dan disegel<br />

dengan cap pemerintah. Setelah itu kotak itu segera dikirimkan ke Batavia dengan<br />

menggunakan kapal perang Zeepaard. Pengemasan dan pengiriman barangbarang<br />

Sultan Badaruddin II itu tercatat dalam berita acara Direktur Kepala<br />

keuangan tanggal 21 Januari 1822 No,1 (ANRI, Bundel Palembang No. 1.8; No. 4,<br />

1971: 90-91; Ikram, 2004: 51).<br />

Hal mendesak lain untuk dilakukan Belanda pada waktu itu adalah<br />

mengembangkan perdagangan. Sebagaimana diketahui perdagangan mengalami<br />

kemunduran sejak pecahnya perang antara Kesultanan Palembang dan kolonial<br />

Belanda. Perdagangan semakin sulit dengan diblokadenya Sunsang. Berdasarkan<br />

Surat Keputusan Gubernur Jenderal pada 8 Pebruari 1822 nomor 16 tentang<br />

pembangunan dermaga di Sunsang, dermaga itu nantinya akan berfungsi untuk<br />

menampung semua barang kebutuhan (ekspor-impor) pemerintah Belanda di<br />

Palembang. Selama pembangunan dermaga itu belum selesai, Sevenhoven<br />

yang mengendalikan kekuasaan. Tugas utamanya adalah meneliti kondisi sosial, politik,<br />

dan ekonomi di kesultanan itu. Selanjutnya, melaporkan hasil penelitiannya kepada<br />

pemerintah pusat di Batavia. Menurut pengamatannya, dinyatakan bahwa pengeruh<br />

Sultan di uluan sangat kecil. Dengan demikian, Sultan tidak akan mampu memenuhi<br />

ketentuan kontrak (April 1821), antara lain tentang ketentuan mengembangkan<br />

perdagangan dengan membuka pasar-pasar, mencegah perdagangan budak dan lainnya<br />

(Kielstra, 1892:100-101; Woelders, 1975:25).<br />

203<br />

Keer menjabat sebagai Residen Palembang-Bangka sekaligus sebagai<br />

komandan militer, berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal tanggal 6 Mei 1821 nomor<br />

3. Dibuatnya keputusan tersebut, mengingat sejak Juni 1819, pemerintahan Belanda di<br />

Palembang tidak ada. Penggabungan pemegang kekuasaan Bangka dan Palembang<br />

untuk memudahkan koordinasi dalam rangka menaklukkan Kesultanan Palembang,<br />

(ANRI, Bundel Palembang No. 47.6).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


289<br />

menyiapkan perahu sebagai pemandu dan pelindung kapal-kapal milik Belanda<br />

yang tengah berlayar dan merapat di Sunsang. Sesungguhnya, kebijakan Belanda<br />

itu sudah berlangsung sejak 1819, karena penyeberangan dari Bangka ke<br />

Palembang melalui Sunsang sangat sulit dilakukan akibat banyaknya gangguan<br />

keamanan. Oleh karena itu, para nahkoda kapal Belanda telah mengajukan<br />

permohonan kepada Residen Palembang agar menyiapkan perahu-perahu untuk<br />

memudahkan pengamanan dalam pelayaran tersebut. Pada waktu itu tidak ada<br />

perahu yang membawa barang-barang milik Belanda ke ibu kota Palembang.<br />

Mereka juga tidak diperkenankan menggunakan jasa perahu swasta (dalam rangka<br />

blokade). Permintaan itu telah disampaikan oleh Residen Palembang kepada<br />

Gubernur Jenderal Van der Capellen di Batavia. Capellen memenuhi permintaan<br />

itu dengan mengeluarkan Surat Keputusan pada 25 Juni 1822 La H yang ditujukan<br />

kepada Departemen Angkatan Laut. Sejak itu masalah pengamanan di jalur Pulau<br />

Bangka sampai ibu kota Palembang dapat dikendalikan. Akan tetapi, secara<br />

umum perairan Bangka-Palembang tetap berada ―ditangan‖ para bajak laut (ANRI,<br />

Bundel Palembang No. 4, 1971: 90-91).<br />

Untuk menunjang lajunya perekonomian pada waktu itu, pemerintah<br />

Belanda mengembangkan kalangan, yaitu pasar-pasar tempat bertemunya<br />

produsen dari uluan dengan konsumen di iliran. Manajemen pasar di ibu kota<br />

Palembang diserahkan oleh Sevenhoven kepada Kapten Cina Lim Bonkwee.<br />

Tugasnya mengutip sejumlah pungutan atas barang-barang yang dijual di pasar.<br />

Lim Bonkwee memegang posisi tersebut sampai akhir Maret 1824 (ANRI, Bundel<br />

Palembang No.3, Nomor 33, 12 April 1823). Kelompok etnis Cina sebagai<br />

pedagang perantara yang menguasai perdagangan di ibu kota Kesultanan<br />

Palembang mendapat kepercayaan untuk mengelola pasar. Konsep tersebut yang<br />

sudah dirancang Muntinghe sejak 1818, baru terlaksana tiga tahun kemudian.<br />

Seharusnya yang mengendalikan perdagangan dengan pasar-pasarnya adalah<br />

Sultan Najmuddin III. Akan tetapi, faktanya semua dikendalikan oleh Sevenhoven<br />

yang menyerahkan pengelolaannya kepada kapten Cina.<br />

Di berbagai daerah Palembang khususnya di uluan gangguan keamanan<br />

terus berlangsung. Oleh karena itu, pemerintah pusat mempertimbangkan untuk<br />

menempatkan daerah uluan di bawah pemerintahan langsung pemerintah Belanda.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


290<br />

Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah Belanda harus memiliki pengetahuan<br />

yang lengkap dan menyeluruh tentang sistem pemerintahan, potensi ekonomi,<br />

sumber pendapatan Sultan dan para bangsawan. Dari penelitian yang dibeberkan<br />

pada Oktober 1822 disebutkan bahwa hasil pertanian Kesultanan Palembang pada<br />

waktu itu masih rendah. Atas dasar hal tersebut, Muntinghe 204 mengusulkan agar<br />

pemerintah Belanda membimbing para penguasa lokal untuk memerintah<br />

daerahnya masing-masing. Meskipun, dalam pandangan penguasa Belanda,<br />

penduduk uluan adalah penduduk kasar dan tidak beradab, akan tetapi mereka<br />

dapat ―dididik‖ untuk memerintah diri sendiri di bawah pengaruh kekuasaan<br />

Belanda. Muntinghe berharap dengan cara itu pemerintah Belanda akan mendapat<br />

keuntungan berlipat ganda dari daerah-daerah taklukkan di uluan. Ia juga<br />

mengusulkan agar pemerintahan di Kesultanan Palembang diserahkan kepada<br />

keturunan sultan-sultan Palembang 205 , tetapi di bawah kendali pemerintah<br />

Belanda. Usul itu diterima oleh pemerintah Hindia Belanda (ANRI, Bundel<br />

Palembang No. 4, 1971: 90-91; Kielstra, 1892: 98). Jadi, walaupun Muntinghe<br />

pernah dianggap gagal di Palembang, tetapi usul-usulnya tetap diperhatikan<br />

mengingat pada masa pemerintahannya, pertama kali dilakukan penelitian tentang<br />

potensi daerah uluan yang besar.<br />

Sebagai penguasa baru di wilayah yang sudah lama diidam-idamkan,<br />

pemerintah Belanda memperingati satu tahun kemenangan atas Kesultanan<br />

Palembang pada Senin, 24 Juni 1822. Peringatan pertama itu merupakan<br />

peringatan kemenangan yang mengharumkan bagi kekuatan armada laut Belanda<br />

di bawah pimpinan Jenderal Mayor De Kock. Suatu kemenangan yang sangat<br />

berarti bagi pemerintah Belanda di Palembang khususnya, dan Hindia Belanda<br />

umumnya. Palembang berhasil dikuasai, setelah tiga kali peperangan besar.<br />

Menduduki Palembang berarti menguasai seluruh wilayah kesultanan yang<br />

204 Muntinghe pada saat itu menjabat sebagai anggota Dewan Hindia. Namun,<br />

sebagai orang yang pernah menjabat sebagai komisaris di Palembang (1818-1819) dan<br />

telah melakukan penelitian tentang kehidupan masyarakat Palembang, Ia tetap<br />

memberikan pandangannya tentang cara terbaik memperkokoh kekuasaan Belanda di<br />

Palembang dan mengeksploitasinya.<br />

205<br />

Pada prinsifnya Sevenhoven memiliki pandangan yang sama yaitu<br />

menghapuskan kekuasaan feudal, untuk selanjutnya melakukan pembaharuan<br />

(Woelders, 1975: 25).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


291<br />

meliputi wilayah kepungutan, sindang dan Bangka-Belitung. Peringatan dengan<br />

parade militer besar-besaran yang ditandai dengan tembakan penghormatan dari<br />

kapal perang Arendt dan Parade pasukan Angkatan Darat. Peringatan<br />

kemenangan itu dihadiri para panglima angkatan darat dan angkatan laut. Dalam<br />

peringatan kemenangan itu para perwira militer dan pejabat sipil berbaris di<br />

pelabuhan untuk melakukan penghormatan terhadap kapal-kapal yang lewat.<br />

Mereka mewujudkan kegembiraan itu dengan membagi-bagikan botol anggur<br />

(masing-masing setengah botol anggur) kepada para anggota militer Eropa,<br />

sebagai penghargaan atas jasa-jasa mereka. Untuk seratus orang anggota militer<br />

pribumi, diberikan hadiah seekor kerbau untuk dinikmati bersama dalam pesta<br />

tersebut. Kebijakan tersebut tertuang dalam keputusan Gubernur Jenderal tanggal<br />

14 Juli 1820 nomor 1. Pada upacara sore harinya dan jamuan makan malam yang<br />

diselenggarakan oleh Komisaris Van Sevenhoven, mereka mengundang<br />

Susuhunan Husin Dhiauddin dan Sultan Najamuddin III serta para pangeran dan<br />

para pemimpin orang Arab dan Cina (ANRI, Register van Besluiten, no. 54, 21<br />

Juni 1822). Tidak ditemukan sumber nama dari tokoh Arab dan Cina yang<br />

menghadiri peristiwa tersebut.<br />

Tindak lanjut dari suatu pemerintah yang permanen, pemerintah Belanda<br />

membutuhkan sebuah benteng yang layak. Pemerintah Hindia Belanda<br />

mencanangkan membangun benteng Frederik di Palembang. Pembangunannya<br />

diserahkan kepada Letnan Kolonel Insinyur Cochius (seorang ahli benteng), yang<br />

diperkirakan akan memakan waktu selama empat tahun. Pembangunan benteng<br />

itu membutuhkan dana, material dan tenaga manusia yang sangat besar.<br />

Berdasarkan laporan Sevenhoven nomor: 27 tertanggal 12 Juni 1822 kepada<br />

Gubernur Jenderal Hindia Belanda, disebutkan bahwa besarnya kebutuhan untuk<br />

membangun benteng itu terdiri dari sembilan sampai 24 juta potong batu laut, 15<br />

juta bata kecil, 68 ribu batu lantai ukuran besar dan kecil, 184 ribu genting, dan<br />

250 ton kapur serta tiga puluh tunggu pencetak batu untuk waktu empat tahun.<br />

Langkah-langkah yang ditempuh untuk memenuhi kebutuhan tersebut yaitu:<br />

pertama, melaksanakan lelang, kedua, menyerahkan pengadaan semua kebutuhan<br />

kayu dan 350 orang kuli (total 600 orang kuli) kepada Sultan Palembang. Sisanya<br />

akan ditangani sendiri oleh pemerintah Belanda. Kendala-kendala yang dihadapi<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


292<br />

dalam pembangunan benteng tersebut antara lain, tidak adanya tanah yang cocok<br />

untuk pembuatan batu bata dan genting di sekitar ibu kota Palembang. Selain itu,<br />

di sekitar ibu kota sulit diperoleh kayu bakar, kayu untuk bahan bangunan, dan 25<br />

ribu perahu untuk pembangunan selama empat tahun. Semua kebutuhan tersebut<br />

harus didatangkan dari daerah-daerah lain, sehingga dibutuhkan sarana angkutan<br />

dan tenaga kerja tambahan (kuli angkut, kuli tebang kayu, tukang kayu dan tukang<br />

batu). Total tenaga kerja yang dibutuhkan lebih dari seribu orang per hari,<br />

sedangkan jumlah matagawe di Kesultanan Palembang hanya sekitar delapan ribu<br />

orang. Penduduk Palembang hanya mampu bekerja di proyek umum selama tiga<br />

bulan dalam setahun, karena mereka juga harus melakukan kerja harian di<br />

gudang-gudang milik Belanda, membersihkan jalan dan keraton. Dengan<br />

demikian, pemerintah Belanda akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan<br />

tenaga kuli sebagaimana yang diharapkan (ANRI, Besluit van Govenour Generaal,<br />

tanggal 14 Agustus 1822 Nomor: 11, Bundel Algemeen secretarie).<br />

Atas pertimbangan berbagai kesulitan yang akan dihadapi apabila proyek<br />

pembangunan benteng Frederik diteruskan, Sevenhoven menyatakan<br />

keberatannya kepada Gubernur Jenderal. Menurutnya, apabila pembangunan<br />

benteng itu dipaksakan, akan timbul gejolak di Kesultanan Palembang. Sebagai<br />

gantinya, Sevenhoven menyodorkan keraton Kuto Besak untuk dijadikan benteng.<br />

Pada waktu itu keraton telah dijadikan tempat untuk pasukan Belanda. Lebih<br />

lanjut Sevenhoven menyatakan bahwa keraton Kuto Besak sangat sesuai untuk<br />

dijadikan benteng yang mampu menampung 400 orang serdadu. Bangunan di<br />

bagian tengah keraton cocok dijadikan tempat tinggal Sevenhoven. Di dekat<br />

keraton cocok dibangun tempat beristirahat para perwira dan pejabat tinggi<br />

Belanda di Palembang (ANRI, Besluit van Govenour Generaal, tanggal 14<br />

Agustus 1822 Nomor: 11, Bundel Algemeen secretarie; Bataviaasch Courant,<br />

Sabtu, 4 Agustus 1821). Dilihat dari berbagai segi keraton, sangat memadai untuk<br />

dijadikan benteng. Di samping besar dan kokoh, keraton juga berada pada posisi<br />

yang sangat strategis.<br />

Pada mulanya Jenderal Mayor De Kock menyatakan persetujuannya atas<br />

rencana pembangunan benteng Frederik. Ia tidak memikirkan kesulitan-kesulitan<br />

yang akan timbul dalam pembangunan benteng itu, antara lain kebutuhan tenaga<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


293<br />

kerja, material dan dana, sedangkan Keraton lamo (dekat keraton Kuto Besak)<br />

yang pada saat itu dihuni Sevenhoven kondisinya telah rapuh dan gelap. Kondisi<br />

itu juga membutuhkan penanganan segera. Sementara itu, banyak hal yang harus<br />

dilakukan guna membenahi keraton Kuto Besak. Berdasarkan hasil penelitian<br />

Kapten van der Wijck terhadap keraton Koto Besak (termaktub dalam memori<br />

pada 28 Juni 1822), dinyatakan bahwa sarana pertahanan keraton belum memadai<br />

untuk dijadikan benteng sebagai pengganti benteng Frederik. Akan tetapi, jika<br />

pembangunan benteng Frederik dilanjutkan akan terbentur dana yang sangat<br />

besar. Jalan yang terbaik adalah menggunakan salah satu bagian dari keraton<br />

sebagai benteng. Cara itu dinilai lebih hemat tenaga kerja, material dan biaya<br />

(ANRI, Missive van H.M. de Kock, tanggal 18 Juli 1822 nomor 19, Bundel<br />

Algemeen Secretarie).<br />

Berdasarkan paparan Sevenhoven yang menyeluruh tentang berbagai<br />

kemungkinan mewujudkan benteng dengan biaya serendah mungkin, ditopang<br />

pula dengan kondisi keraton Koto Besak sebagai satu-satunya bangunan yang<br />

paling kokoh dan terletak di lokasi yang sangat strategis, Panglima Angkatan<br />

Darat Letnan Jenderal de Kock mengubah pikirannya yang sebelumnya<br />

mendukung pembangunan benteng Frederik, menjadi menyetujui menjadikan<br />

keraton sebagai benteng. Selanjutnya, Gubernur Jenderal mengeluarkan<br />

keputusan tentang penetapan keraton Palembang sebagai benteng pertahanan.<br />

Tujuannya untuk melindungi para pejabat dan garnisun Belanda di Palembang<br />

dari serangan penduduk. Suatu kesalahan besar apabila residen dan para pegawai<br />

sipil tinggal di luar benteng. Untuk itu, Gubernur Jenderal memerintahkan<br />

Komisaris Palembang melaksanakan proyek tersebut bersama-sama dengan<br />

Kapten insinyur van der Wijck 206 . Dalam mewujudkan rencana tersebut, mereka<br />

juga meminta persetujuan dari Sultan Palembang. Setelah segala persiapan<br />

selesai, pembangunan segera dilaksanakan (ANRI, Besluit van Gouverneur<br />

Generaal, tanggal 21 Agustus 1822 nomor 10, Bundel Algemeen Secretarie).<br />

206 Dipilihnya van der Wijck sebagai patner dalam proyek tersebut, karena di mata<br />

Sevenhoven, Van der Wijck adalah sosok yang berbakat, teliti, dan baik. Ia juga juga seorang<br />

mitra kerja yang menyenangkan dan telah lama tinggal di Palembang sehingga paham betul seluk<br />

beluk daerah tersebut (ANRI, Besluit van Governour Generaal, tanggal 21 Agustus 1822 nomor<br />

10, Bundel Algemeen Secretarie).<br />

.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


294<br />

Sebagai residen Palembang, Sevenhoven tetap memilih untuk tinggal di<br />

luar keraton yaitu di keraton Kuto Lamo (sebelah keraton Kuto Besak), yang<br />

dihuninya sejak ia bertugas di Kesultanan Palembang. Tampaknya Van<br />

Sevenhoven berubah pikiran dari keinginan awal untuk menghuni keraton Kuto<br />

Besak, menjadi tetap mendiami tempat semula yaitu keraton Kuto Lamo. Hal itu<br />

dilakukan karena kondisi keamanan di Palembang saat itu cukup kondusif. Di<br />

samping itu, pengamanan kediamannya menjadi satu kesatuan dengan keraton<br />

Kuto Besak. Hal itu juga merujuk pada kebiasaan para residen Belanda di Pulau<br />

Jawa dan Makassar yang menetap di luar benteng. Menurut Sevenhoven, agar<br />

seorang residen dapat menjalankan tugasnya dengan baik, hendaknya semua<br />

kebutuhan residen dipenuhi dengan baik khususnya tempat tinggal. Sebagai<br />

penguasa atas nama pemerintah Hindia Belanda di daerah, sudah selayaknya<br />

rumah residen berupa bangunan besar dengan pemandangan yang indah dan<br />

berada di lokasi strategis. Tempat yang paling pas untuk itu adalah keraton lamo<br />

yang berlokasi di sebelah keraton Kuto Besak. Pemandangannya sangat indah,<br />

yaitu Sungai Musi yang lebar, mampu dilayari oleh berbagai jenis kapal dan<br />

perahu dengan berbagai ukuran. Dalam pandangan Sevenhoven, kondisi seperti<br />

itu akan membuat seorang residen betah tinggal di tempat tersebut dan akan<br />

menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Hal ini karena setiap pemindahan<br />

seorang residen akan merugikan kepentingan pemerintah Belanda dan residen itu<br />

sendiri. Dibutuhkan waktu lama bagi seorang residen baru untuk mengenal<br />

medan tempatnya bertugas dan itu merupakan suatu pemborosan. Sementara itu,<br />

rumah yang dihuninya saat itu adalah keraton Kuto lamo yang kondisinya sudah<br />

sangat memprihatinkan. Untuk itu, di lokasi yang sama hendaknya dibangun<br />

rumah residen yang layak. Akhirnya, pemerintah Belanda sepakat untuk<br />

menghancurkan bangunan lama dan menggantinya dengan bangunan baru yang<br />

megah. Bangunan itu yang nantinya menjadi kantor dan rumah Residen Van<br />

Sevenhoven dan residen-residen setelahnya (ANRI, Besluit van Governour<br />

Generaal, tanggal 21 Agustus 1822 nomor 10, Bundel Algemeen Secretarie).<br />

Pada perkembangannya pemerintah Belanda semakin banyak campur<br />

tangan dalam berbagai persoalan di Kesultanan Palembang. Hal itu tidak terlepas<br />

dari semakin maraknya pelanggaran dan perlawanan terhadap berbagai ketentuan<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


295<br />

pemerintah di sejumlah daerah di Kesultanan Palembang. Menghadapi hal<br />

tersebut, Sultan tidak mampu berbuat banyak, karena tidak memiliki sarana dan<br />

prasarana. Menghadapi hal tersebut, pemerintah Belanda di Palembang<br />

memandang perlu untuk campur tangan langsung dalam pemerintahan khususnya<br />

di uluan 207 . Usaha tersebut sekaligus untuk meningkatkan pendapatan.<br />

Selanjutnya, Sevenhoven menyampaikan usul kepada pemerintah di Batavia agar<br />

diizinkan untuk terlibat lebih dalam di Palembang. Usul itu diterima di Batavia<br />

pada Juli 1822, atas dasar usul tersebut, pada 9 Oktober 1822 dibuat kontrak<br />

sementara dengan Sultan Najmuddin III, yang intinya memuat tentang<br />

ketidakmampuan Sultan menjalankan kontrak April 1821. Selanjutnya, pada Mei<br />

1823 Sevenhoven menyerahkan laporan yang memuat penilaian tentang<br />

pemerintahan dan pelaksanaan sistem baru di Kesultanan Palembang. Akhirnya,<br />

atas dasar kontrak 9 Oktober 1822, pemerintah Hindia Belanda pada 3 Juli 1823<br />

membuat kesepakatan dengan Sultan. Hasilnya pada 18 Agustus 1823 dibuat<br />

kontrak antara Sultan Najamudin III dan pemerintah kolonial Belanda.<br />

Kesepakatan itu disahkan pemerintah Hindia Belanda pada September 1823 208 .<br />

Dinyatakan bahwa, kekuasaan Sultan Palembang baik di bidang pemerintahan,<br />

keamanan, peradilan dan pajak dihapuskan. Sultan hanya berkuasa di bidang<br />

peradilan agama, yang menangani masalah perkawinan, perceraian dan waris.<br />

Pelaksanaan tugas tersebut diserahkan kepada seorang pangeran. Apabila suatu<br />

perkara penanganannya tidak dapat diselesaikan oleh pejabat yang bersangkutan,<br />

207 Menurut para pemimpin Belanda di Palembang (Sevenhoven, J.C. Reijns dan<br />

J. Kruseman), Sultan Najamuddin III adalah orang yang lemah, ia banyak dipengaruhi<br />

oleh golongan bangsawan bahkan dalam banyak hal Susuhunan Husin Dhiauddin lebih<br />

“menentukan” dari Sultan. Dalam pandangan para wakil pemrintah Belanda di<br />

Palembang, Sultan Najamuddin III tidak mampu memenuhi ketentuan Kontrak 1821,<br />

antara lain tentang memajukan perdagangan, memberantas perampokan dan<br />

perdaganan manusia, menghapuskan perdagangan budak (Kielstra, 1898: 100-103).<br />

Argumen yang dikemukakan oleh pihak Belanda sumir, karena dalam kondisi habis<br />

berperang dan baru kembali dari pembuangan, serta tidak memiliki kekayaan juga<br />

pengalaman memerintah bahkan di bawah kendali “penguasa” Belanda. Adalah sesuatu<br />

yang mustahil bagi Sultan Najamuddin III bebas bergerak untuk mewujudkan berbagai<br />

ketentuan yang menjeratnya. Dengan demikian, alasan-alasan yang dikemukan terlihat<br />

hanya sebagai “alat” untuk mengesahkan berbagai “kebijakan” yang telah dan akan<br />

dilaksanakan atas kesultanan itu.<br />

208 Menurut Kielstra (1892: 104), kontrak itu disetujui pemerintah pusat pada 7<br />

Oktober 1823.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


296<br />

perkara tersebut diperbolehkan naik banding kepada Sultan. Di samping itu,<br />

Sultan akan memperoleh penghasilan berupa gaji bulanan sebesar 1000 dollar<br />

Spanyol, dengan kenaikan mencapai 500 dollar Spanyol. Para bangsawan juga<br />

akan mendapat tunjangan yang besarnya belum ditetapkan, akan disesuaikan<br />

dengan kemampuan keuangan pemerintah Belanda pada waktu itu. Lebih lanjut<br />

disebutkan, bahwa Sultan diperbolehkan duduk dalam pengadilan sipil di bawah<br />

pejabat pemerintah Belanda (ANRI, Bundel Palembang No.3, No 11B, 23 Januari<br />

1823; No. 15 D VI; No. 4, 1971: 91, Veth, 1869: 655; Kielstra, 1892: 101-104).<br />

Inilah riwayat Kesultanan Palembang setelah perjalanan panjang selama<br />

sebelas tahun, sejak kemelut pertama dengan naiknya Pangeran Adipati<br />

menggantikan kakaknya Sultan Badaruddin II pada 1812. Keinginan untuk<br />

berkuasa kembali di kerajaan itu, membuat Sultan Najamuddin II dan puteranya<br />

memanfaatkan peluang melalui kontrak pertama dengan Belanda (April 1821).<br />

Hanya membutuhkan waktu dua tahun bagi Susuhunan dan Sultan untuk berkuasa<br />

di Kesultanan Palembang, mereka sudah harus kehilangan semua kekuasaan<br />

kecuali yang berkaitan dengan pelaksanaan hukum Islam. Dalam masa<br />

pemerintahan mereka yang singkat, keduanya cenderung hanya berkuasa sebagai<br />

simbol. Dengan demikian, jelaslah bahwa sesungguhnya keduanya tidak berkuasa<br />

sebagaimana penguasa yang memiliki otoritas di sebuah kerajaan setua dan<br />

sebesar Kesultanan Palembang. Dalam analisis ini, kembali dapat disimpulkan<br />

tesis yang dikemukan oleh Nategaal (1996) bahwa keinginan Susuhunan dan<br />

Sultan untuk menunggangi Belanda demi kepentingan mereka untuk berkuasa di<br />

Kesultanan Palembang. Faktanya yang terjadi justru merekalah yang ditunggangi<br />

sehingga semua kekuasaan yang mereka miliki satu persatu dilucuti.<br />

Untuk melaksanakan tugas-tugas harian Kesultanan Palembang,<br />

pemerintah Belanda mengangkat Pangeran Kramajaya (menantu Sultan<br />

Badaruddin II) sebagai perdana menteri. Tugas itu mulai diembannya pada 5<br />

September 1823, setelah disumpah di hadapan Komisaris Sevenhoven di dalam<br />

keraton Palembang. Pelimpahan kekuasaan itu menuntut kemampuan untuk<br />

mengendalikan wilayah Kesultanan Palembang yang sangat luas. Tanpa<br />

pemerintahan yang kuat mustahil kekuasaan Belanda di daerah tersebut dapat<br />

berjalan dengan baik (ANRI, Bundel Palembang No. 15 D VII). Posisi Pangeran<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


297<br />

Kramajaya hanyalah pegawai yang digaji. Pengangkatannya semata-mata untuk<br />

memudahkan pihak kolonial Belanda untuk mengendalikan penduduk Palembang<br />

yang masih bersifat primordial.<br />

Pascapenyerahan kekuasaan kepada pemerintah Belanda, berkembang<br />

berbagai wacana tentang masa depan Palembang. Salah satunya yang<br />

dikemukakan oleh Reynst dan Kruseman (pejabat semasa Komisaris van<br />

Sevenhoven). Keduanya berpendapat bahwa (dimuat dalam surat Reynst kepada<br />

Gubernur Jenderal pada 16 Oktober 1823 nomor 46) sebaiknya pemerintah<br />

Belanda tetap menggunakan penguasa pribumi (sultan dan beberapa orang<br />

pangeran) sebagai perantara dalam menjalankan pemerintahan. Untuk itu, perlu<br />

ada kesepakatan dengan Sultan untuk mengatur pemerintahan dan membatasi<br />

kekuasaannya. Strategi pemerintahan seperti itu dapat menekan biaya<br />

pelaksanaaan pemerintahan di daerah itu menjadi sekitar f 200-300 ribu per tahun<br />

dengan keuntungan tahunan mencapai f 4000. Hal itu bisa dicapai dengan catatan<br />

―gaji‖ (uang pengakuan) untuk Sultan dikurangi. Pemerintah Belanda mutlak<br />

merencanakan secara matang,<br />

sebelum melakukan perubahan besar atas<br />

Palembang yang terkenal subur dan padat penduduknya. Pemerintah Belanda di<br />

sana harus mendirikan sebuah benteng kecil tanpa armada laut, untuk<br />

memudahkan mengendalikan keamanan. Hal lain yang tidak kalah penting adalah<br />

menggabungkan daerah Bengkulu yang berbatasan dengan Palembang, guna<br />

memudahkan mengamankan daerah tersebut. Mengingat sejarah panjang kawasan<br />

tersebut sebagai daerah yang senantiasa bergolak, dengan terjadinya perampokan,<br />

penjarahan, dan perdagangan manusia 209 . Akan tetapi usul-usul itu ditolak<br />

Gubernur Jenderal pada 14 November 1823. Menurut penguasa Belanda itu,<br />

program penghematan yang akan dijalankan di Palembang adalah mengurangi<br />

jumlah pasukan dan pangkalan armada, sedangkan untuk menambah pemasukan,<br />

langkah yang akan diambil adalah memberlakukan pajak atas tanah dan perluasan<br />

pertanian (ANRI, Bundel Palembang No. 70.3).<br />

209 Usul itu belum memungkinkan untuk diwujudkan karena asisten residen yang<br />

berkedudukan di Tebing Tinggi hanya memiliki kekuatan pasukan kecil. Akibatnya, tidak mampu<br />

menegakkan pemerintahan di daerah itu. Para pejabat pemerintah Belanda umumnya belum<br />

mengenal masyarakat yang sejak dahulu lebih berorientasi ke Bengkulu, mengingat jarak yang<br />

jauh lebih dekat ke Bengkulu dari pada ke Palembang (ANRI, Bundel Palembang No. 70.3;<br />

Kemp,1900: 435).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


298<br />

Kebijakan tersebut menjadi acuan dalam melaksanakan pemerintahan<br />

Belanda di Palembang. Dengan mengurangi pasukan, mengingat kondisi sudah<br />

cukup aman, biaya untuk serdadu dapat ditekan. Begitu pula dengan pengurangan<br />

pangkalan armada, berarti biaya pengeluaran dapat diminimalisir. Sesuai saran<br />

Sevenhoven, di Palembang diberlakukan pajak atas tanah yang akan memberikan<br />

keuntungan yang berlipat ganda, mengingat tanah di Kesultanan Palembang<br />

sangat luas dan subur. Hal itu juga sangat menguntung jika pertanian diperluas.<br />

Setelah kekuasaan diserahkan, bagi Susuhunan dan Sultan bukan berarti<br />

masalah selesai. Keduanya berada pada posisi sulit. Di satu sisi mereka harus<br />

mematuhi ketentuan penyerahan kekuasaan kepada Belanda. Akan tetapi, di sisi<br />

lain, mereka tidak mampu menolak tuntutan para bangsawan yang tetap<br />

menginginkan diberlakukannya berbagai ketentuan penyerahan wajib (tenaga<br />

manusia dan bahan makanan) yang selama ini mereka terima dari penduduk.<br />

Selama ini kehidupan golongan bangsawan dipenuhi dengan berbagai kemudahan<br />

dalam hidup. Mereka sulit menerima perubahan-perubahan yang memaksa mereka<br />

untuk hidup seadanya tanpa berbagai ―hak istimewa‖ yang biasa mereka terima.<br />

Keinginan itu tidak mampu mereka wujudkan karena tidak memiliki lagi<br />

kekuasaan. Sultan dan Susuhunan tidak mempunyai kekuasaan lagi, mereka tidak<br />

lebih dari symbol yang menyatakan bahwa di Palembang masih ada sultan dan<br />

susuhunan. Semua kekuasaan sudah dikendalikan oleh pemerintah kolonial<br />

Belanda. Kekecewaan mereka menumpuk dan berujung pada keinginan untuk<br />

melepaskan diri dari kekuasaan kolonial. Wujudnya adalah pada 1823 Sultan<br />

Najamuddin III menyewa dua orang penghulu senilai dua ratus dollar Spanyol<br />

untuk membunuh Komisaris Van Sevenhoven, tetapi usaha itu tidak berhasil. P.P.<br />

Roorda van Eysinga (pejabat keamanan pemerintah Hindia Belanda di<br />

Palembang) berhasil menggagalkannya (Veth, 1869: 655). Usaha pembunuhan itu<br />

membuat hubungan antara Sultan dan residen menjadi terganggu.<br />

Di lain pihak, di berbagai daerah di uluan Palembang terjadi gangguan<br />

keamanan dalam berbagai bentuk, misalnya penyerangan dan perampokan yang<br />

dilakukan oleh orang-orang Pasemah. Pada waktu itu berkembang pula berita<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


299<br />

tentang perlawanan yang menolak pungutan pajak tanah 210 . Penolakan terhadap<br />

pungutan pajak terjadi di daerah Lematang. Akibatnya, depati Muin sebagai<br />

penguasa di daerah itu pada April 1824 diganti dengan Pangeran Suradiwangsa.<br />

Pergantian itu terjadi karena depati Muin dianggap tidak mampu mengurus pajak<br />

di daerahnya. Daerah-daerah lain di uluan juga bergolak, antara lain di Ogan dan<br />

Rawas. Untuk itu, pada 17 Juni 1824 Residen Reyns Palembang mengutus<br />

Asisten Residen untuk uluan H. de Sturler dan Demang Astramenggala ke uluan<br />

(ANRI, Bundel Palembang No. 46.4; The Asiatic Journal, vol. 20, 1825: 96).<br />

Daerah Rawas selama kurun waktu 1823-1824 secara nyata menolak<br />

membayar pajak dengan melakukan berbagai kerusuhan. Pada 29 Juli 1824 Said<br />

(Sayid) Hamzah (orang Arab dari dusun Surolangun) bersama-sama dengan<br />

Abdulmanan dan Khatib Kedin berhasil mengajak penduduk untuk memberontak<br />

terhadap pemerintah kolonial Belanda. Menyikapi masalah tersebut, pemerintah<br />

Belanda sepakat untuk mengirimkan tujuh puluh orang serdadu pribumi di bawah<br />

pimpinan Pangeran Suradilaga dan Karanga (Rangga) Wirasentika ke Rawas pada<br />

4 Agustus 1824. Hal itu ditempuh setelah usaha mereka untuk membawa tokohtokoh<br />

pemberontak tersebut untuk diadili di ibu kota mengalami kegagalan, Di<br />

samping itu, dikirim pula pasukan, persenjataan 211 dan perbekalan serta sepuluh<br />

perahu di bawah komando Pangeran Puspadiraja dan Keranga Setawijaya (depati<br />

Rawas). Pasukan Pangeran Suradilaga juga membawa hadiah-hadiah berupa<br />

pakaian dan ikat kepala untuk dibagikan kepada para depati di sana. Tujuannya<br />

adalah untuk menarik simpati mereka dan bersedia mendukung pemerintah<br />

kolonial Belanda. Dalam menjalankan misinya, Pangeran Suradilaga juga<br />

menerapkan tradisi yang berlangsung semasa sultan-sultan Palembang melakukan<br />

210 Pemerintah Belanda menerapkan pajak tanah sebesar tiga gulden, pungutan pajak itu<br />

yang menjadi salah satu faktor penting mereka memberontak, sebagaimana dilansir oleh Singapore<br />

Chroniek (6 Januari 1825) (The Asiatic Journal, vol. 20, 1825: 96).<br />

211 Besluit No. 83, 27 Agustus 1824 memuat tentang persenjataan yang dibawa<br />

terdiri dari tiga senapan logam satu pon, tiga senapan moncong letus setengah pon, 150<br />

peluru satu pon, 150 peluru setengah pon, 200 pon mesiu artileri, dua periuk tembaga,<br />

dua lepel dengan penarik, enam tanduk mesiu, 2000 peluru senapan, 91 senapan, 100<br />

pon mesiu infanteri, 150 tumpuk kertas pola, 70 batu api. Residen juga memberikan<br />

pinjaman berupa satu kumparan logam seberat 221 pon, delapan senapan, empat<br />

senapan bermoncong besar. Residen menyewa 41 senapan dan senapan bermoncong<br />

lebar seharga f 2,5 (ANRI, Bundel Palembang No. 5.5).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


300<br />

kunjungan ke daerah uluan. Tradisi itu adalah dusun-dusun yang dilewati oleh<br />

pangeran itu ikut menyertakan penduduknya 212 guna memperkuat rombongan<br />

tersebut. Di samping itu, terlibat pula beberapa orang tokoh dari keraton, antara<br />

lain Pangeran Kramayudo, Raden Mohamad Said, Raden Sabudin, Demang<br />

Wiratama, Demang Walo Sentiko Adenan, Kiagus Kling bin Tanjung, Kiagus<br />

Kling, Pangelima Tama, Pangelima Dalam, dan Nahuda Kahar. Pemerintah<br />

Belanda juga meminta tambahan pasukan militer dari Pulau Bangka. (ANRI,<br />

Bundel Palembang No. 5.5; No. 4, 1971: 91-92).<br />

Dilihat dari persiapan yang dilakukan oleh pemerintah Belanda, baik<br />

personil maupun peralatan persenjatan, dapat disimpulkan bahwa mereka<br />

menanggapi perlawanan dari penduduk uluan dengan serius. Pihak Belanda sudah<br />

banyak belajar dari pengalaman selama ini, bahwa sekecil apapun suatu<br />

pembangkangan harus dihadapi dengan penuh kewaspadaan. Sebab penduduk<br />

Palembang terkenal militan dan dapat melakukan serangan secara tiba-tiba tanpa<br />

mereka mampu mempredikasikannya sebelumnya.<br />

Ekspedisi yang dipimpin Pangeran Suradilaga berhadapan dengan pasukan<br />

Rawas. Pertempuran terjadi di sana, yang sebagian besar melibatkan sesama<br />

penduduk Palembang. Dalam pertempuran itu, jumlah pemberontak Rawas jauh<br />

lebih besar dari yang diperkirakan semula. Akibatnya pasukan yang dipimpin<br />

Pangeran Suradilaga tidak mampu mengatasi keadaan dan terpaksa mundur ke ibu<br />

kota (ANRI, Bundel Palembang No. 5.5; No. 4, 1971: 91-92). Dengan demikian,<br />

penyerahan kekuasaan dari Sultan kepada pemerintah Belanda diikuti berbagai<br />

peraturan yang menekan penduduk, misalnya pajak. Yang menyebabkan<br />

penduduk uluan memberontak.<br />

6.2 Perlawanan Sultan Ahmad Najamuddin III<br />

Berbagai bentuk perlawanan di uluan, tidak dapat dilepaskan dari usaha Sultan<br />

Najamuddin III untuk mengobarkan perlawanan terhadap pemerintah Belanda<br />

yang didukung oleh para ulama setempat. Sultan dan Susuhunan juga dihadapkan<br />

212 Delapan orang dari Bailangu, empat puluh orang dari Sekayu, delapan orang<br />

dari Sukarami, seratus orang dari Lawang Wetan, dan lima puluh orang dari Suka<br />

Punjung (ANRI, Bundel Palembang No. 5.5).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


301<br />

pada kekecewaan lain yaitu dikeluarkannya keputusan Komisaris Palembang pada<br />

26 Septermber 1824 No. 119. Dalam surat keputusan itu disebutkan bahwa pasal<br />

46 Kontrak 28 April 1821 belum diputuskan secara khusus. Oleh karena itu, jatah<br />

garam untuk sultan dan susuhunan yang seharusnya sebanyak lima belas koyang,<br />

akan diberikan setengahnya (ANRI, Bundel Palembang No. 5.5). Keputusan<br />

tersebut membuat Sultan dan Susuhunan semakin menumpuk rasa kecewa<br />

terhadap pemerintah Belanda. Perasaan sakit hati itu berkembang menjadi<br />

keinginan untuk melepaskan diri.<br />

Rasa tidak puas yang menumpuk baik di ibu kota maupun di uluan,<br />

memberi peluang terwujud dalam bentuk rasa kekecawaan yang memuncak.<br />

Berita tentang kondisi uluan yang bergolak menyebar ke ibu kota Palembang<br />

pada akhir Oktober dan awal Nopember 1824. Menghadapi situasi itu Residen<br />

Reyns meminta klarifikasi kepada Sultan Najamuddin III dan Susuhunan Husin<br />

Dhiauddin. Ia menuntut agar sultan menghukum para penyebar isu yang tidak<br />

bertanggungjawab tersebut. Untuk itu, Sultan menyatakan kesanggupannya dalam<br />

dua kali kunjungannya menemui Residen (ANRI, Bundel Palembang No. 4, 1971:<br />

91-92; Bataviaasche Courant, 18 Desember 1824, No.51).<br />

Berbagai peristiwa tersebut menunjukkan bahwa pemerintah kolonial<br />

Belanda di Palembang memiliki gambaran yang sama sekali berbeda tentang para<br />

pemimpin, rakyat dan alam Palembang. Mereka berpikir bahwa apabila ibukota<br />

Palembang telah berhasil dikuasai, akan dengan mudah menguasai daerah uluan<br />

Palembang. Ternyata perkiraan dalamtu pelaksanaannya jauh berbeda. Terbukti<br />

mereka dihadapkan pada berbagai perlawanan, termasuk perlawanan dari daerah<br />

Rawas dan Ogan. Di Ogan pemberontakan dikobarkan oleh para ulama. Mereka<br />

menolak membayar pajak yang telah ditentukan oleh pemerintah Belanda.<br />

Perlawanan itu dipadamkan dengan pengiriman beberapa pejabat Palembang<br />

untuk berunding dengan para depati di sana. Apabila tidak berhasil, pasukan<br />

penaklukan akan dikirimkan ke sana. Pengiriman eskpedisi militer keberbagai<br />

daerah di uluan, tidak membuat perlawanan itu mereda. Sebaliknya, perlawanan<br />

makin berkembang dan meluas ke daerah-daerah lain di Kesultanan Palembang.<br />

Satu hal yang sangat ditakutkan oleh pemerintah Belanda adalah bersatunya<br />

pasirah Bliti dan Klingi untuk melawan penguasa kolonial. Oleh karena itu,<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


302<br />

mereka berusaha sungguh-sungguh agar hal itu tidak terjadi, dengan cara<br />

mencegah terjadinya perpindahan penduduk dari kedua wilayah tersebut. Bliti dan<br />

Klingi memiliki sejarah panjang perlawanan terhadap Belanda. Penduduk<br />

setempat, sejak mundurnya Sultan Badaruddin II ke sana (1812). meneruskan<br />

perjuangan melawan Inggris dan Sultan Najamuddin II. Begitu pula enam tahun<br />

kemudian, ketika Muntinghe bersama pasukannya tetap di sana setelah menghalau<br />

pasukan Inggris. Kawasan tersebut menjadi pendukung setia Sultan Badaruddin II<br />

dan sangat gigih melawan pendudukan asing (ANRI, Bundel Palembang No. 47.6;<br />

No. 4, 1971: 93-94; Kielstra, 1892: 96).<br />

Situasi di ibu kota Palembang makin tegang. Untuk itu, pemerintah<br />

kolonial Belanda menyiapkan diri menghadapi berbagai kemungkinan. Langkah<br />

yang ditempuh adalah mengerahkan pasukan dari Muntok, dan mendatangkan<br />

kapal perang Dolphijn di bawah komando Kapten-Letnan Bloemendal. Kapal itu<br />

sudah berada di perairan Sungai Musi pada Nopember 213 , dan tetap di sana hingga<br />

Desember 1824, Akan tetapi, kehadiran kapal perang dan tambahan serdadu tidak<br />

membuat kondisi di ibukota menjadi kondusif, terbukti pada 21 November 1824,<br />

sebanyak 22 orang serdadu Belanda yang terdapat di garnisun diracun, tetapi<br />

berhasil diselamatkan. Residen mencurigai pelakunya adalah salah seorang<br />

pengawal Sultan Najamuddin III (ANRI, Bundel Palembang No. 5.5; No. 50.2;<br />

Bataviaasche Courant, 18 Desember 1824 nomor 51).<br />

Dalam rangka menyelesaikan masalah tersebut, Residen mengirim<br />

beberapa orang utusan untuk menangkap pelaku. Akan tetapi, setibanya petugaspetugas<br />

tersebut di kediaman Sultan, mereka ditangkap dan dipenjarakan atas<br />

perintah Sultan. Sore 214 harinya, Susuhunan Husin Dhiauddin mengundang semua<br />

pejabat kesultanan yang ditempatkan di kantor residen. Sebagian besar pejabat<br />

tersebut memenuhi undangan itu, kecuali beberapa orang yang mendapat tugas<br />

dari residen. Setibanya para pejabat itu di rumah Susuhunan, ia memerintahkan<br />

213 Sumber arsip lainnya (ANRI, Bundel Palembang No. 5.5) menyebutkan<br />

bahwa kapal perang Dolphijn sudah ada di pelabuhan Palembang sejak Pebruari 1824.<br />

214 Sumber Bataviaasche Courant (18 Desember 1824, No. 51), menyebutkan<br />

hal itu terjadi pada siang hari.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


303<br />

untuk menangkap para pejabat tersebut 215 , bahkan salah satu dari pejabat yang<br />

terlibat dalam pertemuan tersebut diciderai karena berusaha melarikan diri.<br />

Menghadapi insiden itu, Residen Palembang menuntut Sultan Najamuddin III<br />

agar segera mengirimkan orang kepercayaannya untuk menghadap dirinya. Sultan<br />

tidak menggubris tuntutan tersebut, bahkan menahan pertugas yang membawa<br />

pesan dari Residen. Sultan memperingatkan Residen bahwa malam itu juga ia<br />

akan menyerang kediaman Residen (keraton Kuto Besak) (ANRI, Bundel<br />

Palembang No. 4, 1971: 92; Bataviaasche Courant, 18 Desember 1824, No.51)<br />

Menghadapi situasi seperti itu, Residen menyiagakan para serdadu<br />

angkatan darat dan laut serta armada. Pada 22 Nopember 1824, pukul 04.00<br />

setelah lonceng benteng berdentang, sebanyak tiga hingga empat ratus orang<br />

keluar dari rumah Sultan mendekati keraton. Dalam kegelapan malam pasukan<br />

Belanda mengenali suara Sultan yang memimpin penyerangan dan suara para<br />

serdadunya. Sambil meneriakkan Sabil Allah (berjuang demi Allah) pasukan<br />

Sultan maju menyerang pertahanan Belanda. Terjadi pertempuran selama hampir<br />

satu jam. Peperangan berakhir setelah pasukan sultan menarik diri. Pasukan<br />

Belanda tidak mengejar pasukan Sultan karena gelap. Pagi harinya ditemukan<br />

tujuh mayat pasukan sultan termasuk Pangeran Citrawijaya di keraton Kuto<br />

Besak. Akan tetapi, berita yang berkembang pada waktu itu adalah jumlah yang<br />

terbunuh mencapai dua puluh hingga tiga puluhan orang dari pihak sultan.<br />

Sedangkan dari pihak Belanda sebanyak dua puluh tiga orang serdadu yang<br />

terluka, termasuk dua orang yang kemudian meninggal 216<br />

(ANRI, Bundel<br />

Palembang No. 4, 1971: 92; Bataviaasche Courant, 18 Desember 1824 No. 51).<br />

Dua jam setelah pertempuran berakhir, para pejabat yang ditahan oleh<br />

Susuhunan diizinkan kembali ke keraton. Sebelum mereka kembali ke keraton, ia<br />

meminta kepada mereka untuk menyampaikan permintaan maaf atas nama diri<br />

dan puteranya kepada Residen Palembang. Mereka berjanji akan menyerahkan<br />

215 Sumber Bataviaasche Courant ( 18 Desember 1824, No.51), menyebutkan<br />

bahwa penangkapan itu terjadi bukan atas perintah Susuhunan, tetapi atas perintah<br />

Sultan Najamuddin III. Hal itu diketahui oleh Residen pada 21.00.<br />

216 Serdadu Belanda yang terluka adalah Letnan-1 artileri Bastiaanze, letnan-2 infanteri<br />

Boelhouwer, penjabat wakil inspektur administrasi militer Schultze, letnan-2 angkatan laut W.<br />

Steffens, letnan-2 angkatan laut kolonial J. Steffens, Letnan Schrijner dan Bosman (Bataviaasche<br />

Courant, 18 Desember 1824, No. 51).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


304<br />

senjata yang dimilikinya kepada residen. (ANRI, Bundel Palembang No. 4, 1971:<br />

92-93; Bataviasche Courant, 18 Desember 1824 No, 51).<br />

Dari berbagai tindakan Sultan Najamuddin III, tampak bahwa Sultan telah<br />

melakukan kecerobohan dan kenekadan dalam serangan itu. Pada umumnya<br />

perlawanan yang dilakukan oleh para penguasa Kesultanan Palembang selalu<br />

dipersiapkan dengan matang. Tindakan yang ditempuh oleh Sultan menunjukkan<br />

bahwa ia melakukannya dengan keragu-raguan. Beberapa hari sebelum<br />

penyerangan itu terjadi, sudah menjadi rahasia umum bahwa Sultan akan<br />

melakukan penyerangan. Otomatis berita itu mendorong pihak Belanda<br />

mempersiapkan diri untuk menghadapi serangan yang direncanakan tersebut,<br />

sedangkan Sultan hanya memiliki senjata berupa meriam-meriam yang hanya<br />

layak untuk tembakan penghormatan. Padahal jarak keraton dengan rumah Sultan<br />

hanya satu tembakan senapan. Artinya, apa yang terjadi di kedua lokasi tersebut<br />

akan dengan cepat diketahui oleh mereka masing-masing. Hanya dengan<br />

tembakan meriam-meriam dari benteng Residen ke rumah Sultan, kediaman<br />

Sultan dapat dengan mudah dihancurkan (Bataviasche Courant, 18 Desember<br />

1824 nomor 51).<br />

Selanjutnya Residen Reynst 217 memerintahkan Susuhunan dan Sultan<br />

untuk meninggalkan Palembang menuju Batavia. Keputusan itu disampaikan<br />

Reynst melalui Pangeran Bupati Panembahan, dan Pangeran Depati Muda<br />

Abdulrachman (dua saudara Susuhunan). Susuhunan menerima perintah itu. Ia<br />

dan empat belas orang lainnya (para istri, anak-anak dan pengiringnya) pada`24<br />

Nopember 1824 berlayar ke Batavia menumpang kapal layar Wilhelmina 218<br />

dengan pengawalan militer. Mereka tiba di Batavia pada 6 Desember 1824.<br />

Selama di Batavia mereka ditampung di balai kota. Berbeda dengan Susuhunan<br />

yang mematuhi perintah residen, Sultan Najamuddin III menolak keputusan<br />

tersebut. Sultan bersama para pengikutnya meninggalkan ibu kota Palembang<br />

217 Joan Cornelis Reynst sejak 1 Juli 1823 sudah menjabat sebagai ajun komisaris<br />

di Palembang. Selanjutnya ia menjadi residen Palembang sampai dengan 1826<br />

(Encyclopedi Netherlands Indie Jilid IV, 421).<br />

218 The Asiatic Journal (Vol.17, 1824: 361), menyebutkan bahwa Susuhunan<br />

bersama empat belas pengikutnya yang dirantai dibawa ke Batavia dengan kapal The<br />

Dolphin<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


305<br />

mundur ke uluan. Pasukan Belanda mengerahkan semua kekuatan di bawah<br />

pimpinan Letnan Kolonel Van Castel guna mencegah Sultan mencapai Rawas.<br />

Pihak Belanda tidak menginginkan bergabungnya kekuatan Sultan dengan<br />

penduduk Rawas. Apabila hal terjadi kedudukan Belanda sangat berbahaya.<br />

Sementara itu, Susuhunan tidak lama hidup sebagai buangan di Batavia; ia jatuh<br />

sakit dan wafat di rumah salah seorang ulama pada 21 Pebruari 1825. Berita itu<br />

diketahui Residen Palembang berdasarkan surat sekretaris umum Bouguez kepada<br />

residen Palembang Nomor: 1, 28 Pebruari 1825 219 . Seluruh biaya pemakamannya<br />

ditanggung pemerintah Belanda, sedangkan para istri, anak-anak dan para<br />

pengikut almarhum Susuhunan serta semua hartanya yang tersisa dikirim ke<br />

Palembang (ANRI, Bundel Palembang No, 50.2; No. 4, 1971: 93; Bataviasch<br />

Courant, 18 Desember 1824 No. 51; Kielstra, 1892:107-108). Dengan demikian,<br />

sejak susuhunan wafat, tidak ada lagi keluarga dan pengikutnya yang tinggal di<br />

Batavia.<br />

Dari uluan, Sultan Najamuddin III mengobarkan perlawanan terhadap<br />

pemerintah Belanda. Sultan bergabung dengan perlawanan yang sudah<br />

berlangsung sebelumnya di Rawas, yang dipimpin oleh Said Hamzah. Setelah<br />

keberangkatan Sultan ke uluan dan susuhunan ke Batavia, harta kekayaan sultan<br />

dan pengikutnya dihancurkan begitu pula bangunan-bangunannya diratakan<br />

dengan tanah atau dibakar. Untuk meredam kekuatan Sultan, pemerintah Belanda<br />

memerintahkan Assisten Residen H. de Sturler membawa seratus orang serdadu<br />

ke uluan. Dalam menjalankan tugasnya, ia dibantu oleh Letnan Shrijner dan<br />

Kapten Lameer/Lemmers. Berdasarkan laporannya tertanggal 25 Desember 1824<br />

ke Batavia, dapat diketahui bahwa untuk menyukseskan misinya, H. de Sturler<br />

219 Berdasarkan sumber arsip lain dan koran, disebutkan bahwa Susuhunan wafat 25<br />

Pebruari 1825 (ANRI, Bundel Palembang No. 4, 1971: 93; Bataviasche Courant, 18 Desember<br />

1824 No. 51), sedangkan The Asiatic Journal (vol. 20, 1825) dan Kielstra (1892: 108)<br />

menyebutkan bahwa Susuhunan wafat pada 22 Pebruari 1825. Perbedaan tanggal wafatnya<br />

Susuhunan bisa jadi disebabkan berita yang diterima koran menyebutkan tersebut tanggal tersebut,<br />

begitu pula dengan sumber yang diterima oleh arsip Bundel No. 4 atau The Asiatic Journal. Akan<br />

tetapi peneliti berpatokan pada sumber arsip yang memuat hal tersebut berdasarkan surat sekretaris<br />

umum Bouguez kepada Residen Palembang Nomor: 1, 28 Pebruari 1825 (ANRI, Bundel<br />

Palembang No, 50.2)<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


306<br />

menempuh berbagai cara, antara lain mengerahkan semua pancalang untuk<br />

memperlancar mobilitas di sungai dengan pasukan yang besar. Sturler juga<br />

memanfaatkan para bangsawan dan para depati di uluan untuk terlibat dalam<br />

ekspedisi itu. Bangsawan yang terlibat dalam ekspedisi adalah Pangeran Adipati<br />

Abdulrahman, Pangeran Suradilaga, Pangeran Purbayo, Demang Buncul,<br />

Tumenggung Kartanegara, Raden Muin dan Kranggaunut. Dari uluan yang<br />

terlibat adalah Pangeran Pulau Panggung. Sturler juga memerintahkan para<br />

pasirah dan proatin di uluan agar membujuk Sultan untuk menyerahkan diri<br />

kepada pemerintah Belanda. Cara lain yang ditempuhnya adalah menggunakan<br />

jasa mata-mata, contohnya memanfaatkan Raden Mohamad (cucu Pangeran<br />

Natadireja) sebagai mata-mata (ANRI, Bundel Palembang No.46.4; The Asiatic<br />

Journal, vol. 17, 1824; 361).<br />

Semuanya dikerahkan untuk menggagalkan perlawanan Sultan. Tampak<br />

bahwa pihak Belanda tidak mau mengambil resiko, jangan sampai perlawanan<br />

Sultan berlarut-larut dan mendapat dukungan besar dari penduduk uluan. Untuk<br />

itu, pihak Belanda menempuh berbagai cara agar secepatnya berhasil<br />

melumpuhkan perlawanan Sultan, termasuk menjalankan politik adu domba<br />

keluarga keraton dengan iming-iming harta dan jabatan jika berhasil menangkap<br />

Sultan.<br />

Pada saat ekspedisi dimulai, pasukan Sultan telah tiba di Pan Rejang<br />

bersama lima puluh orang pengikutnya. Dari sana Sultan bermaksud menuju<br />

Rawas dan Kikim. Sewaktu berada di Rawas, Sultan mendapat serangan dari<br />

pasukan Belanda di bawah pimpinan Pangeran Suradilaga dan Kranggaunut.<br />

Dalam peperangan itu, Sultan berhasil memukul pasukan Palembang. Walaupun<br />

demikian, dengan adanya ekspedisi itu, kekuatan Sultan di Rawas semakin lemah<br />

(ANRI, Bundel Palembang No. 46.4). Selanjutnya, Sultan bergerak ke Kikim. Di<br />

sana ia mendapat banyak bantuan dari Demang Rema Bonjol (Pangeran Bajau).<br />

Di Kikim Sultan mendirikan kubu pertahanan. Setelah itu, ia bersama dengan<br />

Demang Rema Bonjol menghimpun dukungan dari orang-orang Pasemah dan<br />

penduduk setempat. Akan tetapi, selanjutnya orang-orang Pasemah menarik<br />

dukungan mereka terhadap Sultan dan membunuh Demang Rema Bonjol.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


307<br />

Peristiwa itu terjadi karena dihasut anggota pasukan Belanda (ANRI, Bundel<br />

Palembang No. 46.4; Woelders, 1975: 114-115). Betapa rapuh kekuatan yang<br />

dihimpun Sultan, sehingga Sultan sulit mengembangkan diri dan kondisi itu<br />

diperparah dengan tidak adanya dukungan sarana dan prasarana. Sultan cenderung<br />

hanya mengandalkan kesetiaan segelintir orang.<br />

Ekspedisi lain untuk mengejar Sultan adalah pasukan yang dipimpin oleh<br />

Pangeran Purbayou. Ia mendarat di Pelawe bersama 130 orang serdadu. Dari<br />

Pelawe Pangeran Purbayou mengirimkan utusan Si Blewak untuk menemui<br />

sultan. Sesampainya di sana Si Blewak ditahan oleh sultan selama beberapa<br />

waktu, tetapi kemudian dilepaskan. Berdasarkan informasi Si Blewak kepada<br />

Sturler, mereka dapat mengetahui kekuatan persenjataan, serdadu dan gerak<br />

mundur sultan menuju Bengkulu. Sementara itu, komandan militer Belanda di<br />

Palembang memberi instruksi kepada Sturler bahwa tujuan utama ekspedisi<br />

adalah menangkap Sultan dan memulihkan ketenangan di Rawas. Akan tetapi,<br />

Sturler mempunyai pendapat yang berbeda. Menurutnya, hal pertama yang harus<br />

dilakukan adalah menaklukkan Rawas. Setelah misi itu berhasil, langkah<br />

berikutnya adalah mengejar Sultan. Jika mereka lebih mengutamakan mengejar<br />

Sultan dengan meninggalkan musuh di belakang, bukan mustahil Sultan melalui<br />

pengikutnya memperkuat kedudukan di Rawas. Daerah itu akan tetap berada<br />

dalam kondisi darurat yang akan membahayakan kedudukan Belanda. Akan<br />

tetapi, sampai saat itu usaha mereka untuk menaklukkan Rawas belum juga<br />

berhasil (ANRI, Bundel Palembang No. 46.4).<br />

Pada awal Agustus 1825 Residen Reynst kembali mengirimkan pasukan ke<br />

uluan. Pengiriman pasukan kali itu membuat posisi Sultan makin terdesak. Ia<br />

tidak banyak mendapat dukungan dari penduduk uluan, bahkan sebagian besar<br />

meninggalkannya. Akibatnya, Sultan tidak mampu lagi meneruskan perlawanan<br />

dan menyerah 220 . Setelah Sultan ditangkap, pemerintah Belanda memutuskan<br />

untuk tidak lagi mengirimkan kesatuan militer ke uluan. Bagi mereka langkah<br />

terbaik adalah mendirikan pos-pos penjagaan yang akan memantau kondisi<br />

220 Berdasarkan surat Asisten Residen Donker (7 Oktober 1825 No. 289) kepada<br />

Residen Bengkulu, diketahui bahwa seluruh Palembang sudah tenang karena Sultan<br />

Najamuddin III telah tertangkap. Ia dan dua puluhan pengikutnya dikirim ke Batavia<br />

(ANRI, Bundel Palembang No. 44.4)<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


308<br />

keamanan di sana. Selanjutnya, berdasarkan Surat Keputusan No. 140, 7 Oktober<br />

1825, Sultan bersama dengan empat belas tawanan lainnya dikirim ke Batavia<br />

menggunakan kapal perang Lijnx. Pengadilan Palembang telah memutuskan<br />

bahwa Sultan dijatuhi hukuman buang dan kerja paksa 221 . Ia harus diperlakukan<br />

sebagai raja tawanan, tidak boleh melakukan apapun dan berbicara dengan orang<br />

lain. Semua orang buangan dirantai termasuk saudara sultan. Pada November<br />

1825 Sultan Najamuddin III dikirim ke Banda. Di sana ia mendapat tunjangan<br />

sebesar f 30 per bulan. Akan tetapi, di sana ia dianggap membahayakan sehingga<br />

pada 1841 dipindahkan ke Manado sampai akhir hayatnya pada 1844 (ANRI,<br />

Bundel Palembang No.44.4; No. 62.2; No. 4, 1971: 93; Rahim, 1998: 82;<br />

Woelders, 1975:26).<br />

6.3 Keruntuhan Kesultanan Palembang<br />

Sejak Sultan Najamuddin III dibuang ke Banda, kedudukan Sultan berakhir.<br />

Selanjutnya, pemerintahan di Palembang hanya dipegang oleh seorang perdana<br />

menteri yang bertanggungjawab kepada residen. Pemerintah Belanda membuat<br />

kebijakan memberikan uang pensiun kepada sejumlah bangsawan, keturunan<br />

sultan-sultan Palembang. Para anggota kerabat sultan membentuk kelompok<br />

kerabat tersendiri, yang itu berkaitan dengan adat istiadat di Kesultanan<br />

Palembang. Pelan tetapi pasti, para keturunan sultan mengalami kemiskinan<br />

seiring berakhirnya Kesultanan Palembang. Harta kekayaan mereka secara<br />

bertahap semakin menipis, sedangkan uang pensiun yang diterima dari pemerintah<br />

Belanda tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup mereka. Kondisi itu<br />

menimbulkan perasaan tidak puas di kalangan bangsawan, yang makin lama<br />

semakin meningkat dan berujung pada usaha untuk melepaskan diri dalam bentuk<br />

pemberontakan (Kielstra, 1892:105).<br />

Pemerintah Belanda memperkenalkan sistem pemerintahan bentuk baru<br />

yang membuat rakyat Palembang merasa ―asing‖ dan tidak nyaman. Apalagi<br />

mereka dihadapkan pada berbagai pungutan atas tanah yang telah mereka huni<br />

221 Selain itu, sebanyak lima orang dikenakan hukuman mati, 34 orang dihukum<br />

seumur hidup (Woelders, 1975: 26).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


309<br />

dan garap dari nenek moyang mereka. Menurut mereka, semua tanah adalah milik<br />

sultan yang boleh dikelola sebaik-baiknya demi kepentingan mereka sendiri. Jika<br />

mereka harus menyerahkan sesuatu kepada sultan, itu hanya berupa hasil bumi<br />

dan tenaga. Semua kewajiban rakyat kepada sultan dirasakan rakyat tidak<br />

memberatkan dan dikaitkan sebagai bakti terhadap ―junjungan‖ mereka yang<br />

berkedudukan di ibu kota kesultanan. Di kalangan rakyat Palembang berkembang<br />

rasa ―menolak‖ atas kehadiran ―orang-orang kafir” di wilayah mereka. Penolakan<br />

itu berubah menjadi aksi perlawanan di bawah para pemimpin tradisional (depati<br />

dan ulama) setempat terhadap pemerintah Belanda. Di kota Palembang, kelompok<br />

yang ingin kembali kepada kondisi lama jumlahnya cukup besar yang terdiri dari<br />

keturunan bangsawan. Pada mulanya mereka masih menduduki posisi penting<br />

dalam kehidupan sosial di pusat pemerintahah, namun posisi mereka semakin<br />

turun seiring kemiskinan yang melanda. Di bawah pimpinan Pangeran Bupati<br />

Panembahan dan adik Sultan Najamuddin III, bersama-sama dengan keluarga<br />

bangsawan lainnya menggalang kekuatan menolak pemerintahan Belanda.<br />

Mereka bermaksud mengembalikan kekuasaan lama. Akan tetapi, di mata<br />

pemerintah Belanda penolakan itu tidak akan berkembang, karena penduduk<br />

Palembang tidak memiliki dukungan dana atau kemampuan luar biasa untuk<br />

mewujudkannya (ANRI, Bundel Palembang No. 62.2). Dengan demikian, usaha<br />

pemiskinan terhadap golongan bangsawan merupakan sarana efektif membuat<br />

mereka ―diam‖, sehingga usaha-usaha mereka untuk menggalang kekuatan tidak<br />

akan banyak membantu mereka untuk kembali kepada masa lalu. Kejayaan masa<br />

lalu hanya layak dikenang tanpa ―kemampuan‖ yang memadai untuk kembali ke<br />

masa itu.<br />

Menghadapi situasi yang ada, memaksa golongan itu untuk bertahan.<br />

Salah satunya dengan cara tetap ―memamerkan‖ sedikit kekayaan masa lalu<br />

dengan tetap mempertahankan budak dan anak semang 222 . Mereka hidup dalam<br />

sisa-sisa kebesaran masa lampau yang telah redup. Hal itu akan memicu<br />

terjadinya ledakan kekecewaan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Bara itu<br />

222 Orang (satu keluarga yang terdiri orang dan anak-anak) yang tidak mampu<br />

membayar hutang. Mereka mengabdi pada orang tempat berhutang sampai lunas.<br />

Apabila ada yang bersedia membayar hutang mereka, berarti mereka berpindah tangan<br />

mengikuti orang yang membayar hutang tersebut (The Asiatic Journal Vol. 17, 1824: 34).<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


310<br />

tumbuh mulai dari kalangan bangsawan dan menjalar ke rakyat. Penggabungan<br />

dua kubu itu akan memunculkan kekuatan baru untuk melawan Belanda.<br />

Sementara itu, kondisi di uluan berbeda dengan di ibu kota. Penduduk ibu kota<br />

tidak dapat bertani, sedangkan penduduk uluan sebagian besar hidup dari<br />

pertanian 223 , perkebunan serta hasil hutan (ANRI, Bundel Palembang No. 62.2).<br />

Akibatnya, kehidupan di uluan tidak merosot sebagaimana terjadi di ibu kota<br />

Palembang.<br />

Pemerintah Belanda selanjutnya menyederhanakan sistem pemerintahan di<br />

Palembang, melalui keputusan Komisaris Jenderal pada 16 Agustus 1826 dalam<br />

Lembaran Negara nomor 37. Pos-pos yang ada disederhanakan dengan cara<br />

mengbungkannya, dan mengurangi gaji pegawai, sehingga mampu melakukan<br />

penghematan sebesar f 26.942. Kebijakan itu diambil karena masih tingginya<br />

biaya dalam menjalankan roda pemerintahan di Palembang. Situasi itu membuat<br />

Muntinghe (Anggota Dewan Hindia) pada 1827 mengusulkan agar pemerintah<br />

Belanda mengangkat kembali sultan, yang akan menjadi perpanjangan tangan<br />

pemerintah Belanda. Sultan tersebut akan diikat dalam suatu kontrak yang<br />

didalamnya menyebutkan bahwa kopi dan lada harus diserahkan kepada<br />

pemerintah Belanda dengan harga yang telah ditentukan. Muntinghe berharap<br />

meniru sebagaimana dahulu diberlakukan oleh VOC. Usul itu ditolak oleh<br />

Sevenhoven dengan mengingatkan pemerintah Belanda akan kelicikan para<br />

bangsawan Palembang yang senantiasa ―berkhianat‖ terhadap Belanda. Ia juga<br />

memaparkan prospek masa depan yang akan diperoleh dari Palembang melalui<br />

pajak tanah dan pemasukan lainnya. Tampaknya pemerintah Belanda di<br />

Palembang cenderung menerima pendapat Sevenhoven daripada Muntinghe.<br />

Terbukti yang berlaku di Palembang adalah diteruskannya sistem pajak dan<br />

pemerintahan penduduk hanya diwakili oleh Perdana Menteri.<br />

223 Wilayah ibu kota Palembang sebagian besar terdiri dari dataran rendah<br />

(rawa) dan sungai-sungai, sehingga tidak cocok untuk pertanian. Apalagi sebagai<br />

keturunan bangsawan mereka tidak mampu bertani.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


311<br />

BAB 7<br />

KESIMPULAN<br />

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh beberapa kesimpulan.<br />

Awal abad XIX Kesultanan Palembang memasuki era baru, yaitu naik tahtanya<br />

Sultan Ratu Mahmud Badaruddin II, dan terjadinya konflik berkepanjangan sejak<br />

1812. Kemelut itu berawal dari ekspedisi Inggris yang dengan mudah dapat<br />

menguasai Kesultanan Palembang. Peristiwa itu terjadi karena adanya<br />

―komitmen‖ antara Pangeran Adipati dan Kolonel Gillespie yang berfungsi<br />

sebagai panglima ekspedisi pada waktu itu. Hal itu dilakukan oleh Pangeran<br />

Adipati dalam rangka mewujudkan cita-citanya menduduki posisi puncak di<br />

kesultanan itu. Tanpa cara tersebut, hampir bisa dipastikan bahwa keinginannya<br />

untuk menduduki tahta di Kesultanan Palembang tidak akan terwujud. Sultan<br />

Badaruddin II yang menjadi penguasa di Palembang pada waktu itu terkenal<br />

sebagai sultan yang mendapatkan dukungan dan legitimasi dari para bangsawan<br />

Palembang. Apalagi sejak masa pemerintahan ayah mereka, berlanjut masa Sultan<br />

Badaruddin II secara politik dan ekonomi Kesultanan Palembang berada dalam<br />

kondisi stabil. Sultan Badarudin II bahkan berhasil menempatkan Palembang<br />

sebagai salah satu kerajaan penting di Nusantara.<br />

Dalam hirarkhi pemerintahan di Kesultanan Palembang, posisi Pangeran<br />

Adipati adalah sebagai penasehat dan pembantu sultan dalam menjalankan tugastugas<br />

pemerintahan. Pangeran Adipati juga berfungsi sebagai wali dari putera<br />

mahkota yaitu Pangeran Ratu. Ia bertugas menyiapkan Pangeran Ratu untuk<br />

menggantikan sultan apabila waktunya telah tiba. Dengan demikian, posisi<br />

Pangeran Adipati sangat strategis, ia merupakan orang kedua setelah sultan.<br />

Sebagai orang kedua, pada saat itu keberadaan Pangeran Adipati berada di bawah<br />

bayang-bayang Sultan Badaruddin II yang terkenal sebagai sultan yang<br />

berwibawa tinggi, kuat, dan cerdas. Keinginan itu terwujud dengan datangnya<br />

tawaran menduduki tahta dari Inggris. Kesempatan itu dimanfaatkan dengan<br />

sebaik-baiknya oleh Pangeran Adipati, dengan tidak melakukan perlawanan dan<br />

menyerahkan benteng Borang kepada pasukan ekspedisi Inggris. Keinginan ini<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


312<br />

telah lama terpendam, karena pihak Belanda sejak awal pemerintahan Sultan<br />

Badaruddin II telah mencurigai Pangeran Adipati sebagai orang yang<br />

―membahayakan‖ karena gerak-geriknya pada waktu itu. Meskipun demikian, hal<br />

itu tidak muncul ke permukaan. Jadi, berdasarkan fakta yang ada dapat<br />

disimpulkan bahwa keinginan untuk menduduki tampuk pemerintahan di<br />

Kesultanan Palembang, sudah ada sejak Sultan Badaruddin II naik tahta. Silih<br />

gantinya kepemimpinan di suatu kerajaan, merupakan gambaran umum yang<br />

terjadi pada kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara. Hal itu dapat dirujuk pada<br />

pendapat Tarling (1994), bahwa kelembagaan pemerintahan di kerajaan-kerajaan<br />

Asia Tenggara awal abad XIX umumnya bersifat informal, tidak permanen, dan<br />

bersifat pribadi. Kondisi itu memberi peluang kepada golongan bangsawan atau<br />

elite lokal untuk senantiasa menggoyang dan menghancurkannya, baik dengan<br />

kekuatan sendiri atau menggunakan kekuatan pihak lain. Bentuk seperti inilah<br />

yang terjadi di Kesultanan Palembang, dengan menggunakan kekuatan militer<br />

Inggris, Pangeran Adipati menggapai impiannya berada ditampuk pemerintahan<br />

Kesultanan Palembang.<br />

Perubahan pemegang kekuasaan di Palembang, dikaitkan pula dengan<br />

mitos yang berkembang di masyarakat pada waktu itu. Mitos akan munculnya<br />

penguasa, yang bukan putera mahkota dan bukan pula putera bungsu. Pangeran<br />

Adipati memaknai mitos itu dengan adanya ―peluang‖ untuk mewujudkan<br />

impiannya. Sebagai orang kedua, ia merasa berhak menurunkan kakaknya dari<br />

singgasana kerajaan. Padahal, kalau diruntut maka Pangeran Aryo Kesumo juga<br />

mempunyai peluang. Sebab ia bukan anak tertua, dan bukan pula anak bungsu.<br />

Akan tetapi, Pangeran Aryo Kesumo tidak memaknai mitos itu sebagaimana<br />

Pangeran Adipati memaknainya. Dari segi kemampuan kepemimpinan, Pangeran<br />

Aryo Kesumo juga mempunyai kemampuan yang besar, terbukti sepanjang masa<br />

pemerintahan Sultan Najamuddin II, Sultan itu senantiasa ―bergantung‖ pada<br />

kebijakan-kebijakan Pangeran Aryo Kesumo. Dengan demikian, Pangeran Adipati<br />

sejak awal pemerintahan Sultan Badaruddin II atau malah jauh sebelumnya telah<br />

menginginkan jabatan tersebut. Mitos yang tidak jelas asal muasalnya tersebut,<br />

merupakan memori kolektif rakyat Palembang pada waktu itu, yang dapat dipakai<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


313<br />

untuk melihat makna yang terkandung dari peristiwa pergantian kekuasaan di<br />

Kesultanan Palembang.<br />

Pergantian penguasa tersebut, menjadi awal konflik terbuka antara kedua<br />

bersaudara, yang terus berlangsung hingga keduanya wafat. Sejak saat itu<br />

Kesultanan Palembang kehilangan Pulau Bangka-Belitung, yang silih berganti<br />

diperebutkan dan diduduki oleh Inggris dan Belanda. Bangka menjadi faktor<br />

penting dalam konflik intern dalam tubuh Kesultanan Palembang, selain juga<br />

menjadi pemicu konflik antara Palembang dan Inggris-Belanda, serta antara<br />

Belanda dan Inggris.<br />

Keberhasilan Inggris memduduki Kesultanan Palembang, membawa<br />

mereka mendapatkan Pulau Bangka-Belitung dan pulau-plau di sekitarnya. Bagi<br />

Inggris (Raffles), sukses itu merupakan keberhasilan setelah berbagai cara untuk<br />

mendapatkan kawasan tersebut belum berhasil. Mulai dari pendekatan kepada<br />

Sultan Badaruddin II agar bersedia mengusir Belanda sebelum mereka menduduki<br />

Pulau Jawa, sampai ekspedisi pada April 1812. Sebab, siapa yang dapat<br />

menguasai Palembang khususnya Bangka, berarti ia menguasai penghasil timah<br />

utama dunia, lada dan komoditi lainnya dari Kesultanan Palembang. Kekayaan<br />

Palembang akan bahan tambang khususnya timah, juga ditopang lokasi yang<br />

sangat strategis yaitu berada pada jalur perdagangan dan pelayaran regional mau<br />

pun internasional. Pendudukan tersebut juga bermakna keuntungan lain bagi<br />

Inggris untuk mengontrol perairan antara daratan Palembang dan Pulau Bangka<br />

yang terkenal sebagai salah satu perairan ―gelap‖ tempat berkembangnya<br />

perdagangan ―liar‖ dan sarang bajak laut.<br />

Khusus penguasaan atas Pulau Bangka, berkaitan pula dengan penempatan<br />

pusat pemerintahan di Muntok Bangka. Pemusatan di Muntok juga berfungsi<br />

untuk pangkalan transit armada Inggris yang bertugas untuk menjamin<br />

pengamanan di kawasan itu. Pulau Bangka juga berhadapan langsung dengan<br />

perairan Laut Cina Selatan sebagai pelayaran internasional India-Cina lewat Selat<br />

Malaka, Tampaknya Inggris bermaksud mengamankan semua jalur pelayaran<br />

global tersebut, sehingga jalur pelayaran dan perdagangan wilayah barat<br />

Nusantara berada di bawah kendali Inggris, mulai dari Selat Malaka, Selat Bangka<br />

sampai Pulau Jawa.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


314<br />

Pendudukan selama empat tahun atas Bangka dirasakan oleh Inggris<br />

sebagai waktu yang sangat singkat. Sebagai konsekuensi dari Traktat London<br />

(1814), Inggris harus keluar dari Bangka. Dalam traktat ini, Bangka ditukar oleh<br />

Belanda dengan wilayah Chochin dan daerah-daerah di pantai Malabar. Raffles<br />

sebagai orang yang berperan besar dalam mendapatkan Bangka, menolak isi<br />

Traktat London yang mengharuskan Inggris mengembalikan Bangka kepada<br />

Belanda. Menurut pertimbangan Raffles, Bangka tidak sepadan dengan Chochin<br />

terutama karena produksi timah Bangka. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah<br />

Inggris di Eropa tidak pernah melibatkan para pejabat kolonialnya, baik di India<br />

maupun Nusantara dalam memutuskan penyusunan Traktat London. Dalam<br />

pertimbangan para pejabat tinggi Inggris, Bangka lebih dilihat dari aspek<br />

geografinya yaitu sebagai bagian dari koloni Hindia Timur, sementara Chochin<br />

lebih dekat letaknya dari pusat jajahan Inggris di India.<br />

Perseteruan antara dua bersaudara (Badaruddin II dan Najamuddin II)<br />

selama masa pemerintahan Inggris di Palembang seolah ―reda‖, walaupun<br />

sesungguhnya permusuhan itu terus membekas di dada masing-masing. Dengan<br />

berakhirnya kekuasaan Inggris di daerah itu, perseteruan itu menampakkan<br />

―bentuknya‖. Kondisi itu diperparah karena selama masa pemerintahan Sultan<br />

Najamuddin II, banyak terjadi berbagai bentuk penindasan oleh golongan<br />

bangsawan kepada rakyat, antara lain ditetapkannya berbagai bentuk pungutan<br />

dan kerja wajib. Demikian pula di daerah perbatasan Bengkulu dan Lampung<br />

banyak terjadi perampokan, penjarahan dan perdagangan manusia. Di samping<br />

itu, dualisme kepemimpinan juga menyebabkan rakyat Palembang terbelah antara<br />

mendukung Sultan Badaruddin II dan Sultan Najamuddin II. Keadaan itu<br />

ditemukan oleh wakil-wakil pemerintah Belanda di Palembang. Oleh karena itu,<br />

pemerintah Belanda di Batavia mengutus Muntinghe untuk meredakan<br />

ketegangan dan menegakkan pemerintahan Belanda di Palembang. Muntinghe<br />

dianggap mampu menghadapi Palembang dan terutama Inggris karena<br />

pengalaman masa lalunya sebagai pembantu Raffles dalam memerintah Hindia<br />

Timur. Misi Muntinghe menyebabkan terjadi perubahan bentuk hubungan antara<br />

Sultan Najamuddin II dan Muntinghe dari sekutu menjadi seteru. Sebaliknya,<br />

seteru menjadi hubungan sekutu antara Sultan Badaruddin II dan Belanda.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


315<br />

Perubahan sekutu menjadi seteru antara Sultan Najamuddin II dan Belanda<br />

dimulai dari usaha Muntinghe untuk menertibkan keamanan dan membagi<br />

kekuasaan antara kedua bersaudara dan Belanda. Oleh karena Sultan Najamuddin<br />

II dinaikkan oleh Inggris, sedangkan Inggris selalu merongrong kekuasaan<br />

Belanda, langkah terbaik adalah membagi wilayah kekuasaan Palembang.<br />

Keputusan itu ditolak oleh Sultan Najamuddin II, sehingga memaksa dirinya<br />

meminta bantuan Inggris di Bengkulu. Eskpedisi pertama melewati jalur darat<br />

dari Bengkulu sampai ibu kota Palembang berhasil dilakukan oleh pasukan<br />

Inggris di bawah pimpinan Kapten Salmond pada 1818. Ekspedisi itu merupakan<br />

wujud dari dukungan Inggris kepada Sultan Najamuddin II yang diturunkan oleh<br />

Muntinghe. Menurut Raffles, Pulau Bangka diserahkan oleh Sultan Najamuddin II<br />

kepada Inggris, yang pada waktu itu Sultan Najamuddin II berstatus merdeka.<br />

Sesuai kontrak antara Najamuddin II dan Inggris pada 1812 dan 1813, disebutkan<br />

bahwa Inggris wajib melindungi Sultan Najamuddin II dari ancaman pihak mana<br />

pun. Keterlibatan Inggris di Palembang berdampak luas, yaitu terjadinya konflik<br />

terbuka antara Belanda dan Inggris baik di ibu kota Palembang maupun di uluan.<br />

Konflik itu melibatkan negara induk masing-masing dan perdamaian antarmereka<br />

baru dapat diwujudkan pada Januari 1819.<br />

Pembagian kekuasaan tersebut juga merupakan strategi berikutnya yang<br />

ditempuh oleh Sultan Badaruddin II yang mengubah seteru menjadi sekutu. Sultan<br />

Badaruddin II berprinsip, lebih baik mendapatkan sebagian kekuasaan di<br />

Kesultanan Palembang yang seharusnya menjadi miliknya sepenuhnya, daripada<br />

tidak memiliki kekuasaan sama sekali. Kekuasaan itu akan dijadikan modal<br />

menata kekuasaannya kembali. Sementara itu, pihak Belanda juga menyadari<br />

bahwa selama pemerintahan Sultan Najamuddin II, daerah Palembang tidak<br />

pernah aman. Di daerah perbatasan Bengkulu dan Lampung sering terjadi<br />

kekacauan. Penduduk daerah uluan juga mengeluhkan makin banyak komoditas<br />

yang dikenakan ketentuan tiban-tukon dari sebelumnya dengan frekuensi yang<br />

lebih sering, sehingga rakyat uluan menderita. Pemerintah Belanda berusaha<br />

melupakan kesalahan-kesalahan Sultan Badaruddin II sebelas tahun lalu yang<br />

menyebabkan sebagian besar penghuni loji Belanda terbunuh. Pemerintah<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


316<br />

Belanda banyak belajar bahwa ―lebih baik mendekati mantan musuh dari pada<br />

memelihara ‗boneka‘ Inggris‖.<br />

Persekutuan yang ditawarkan oleh Sultan Badaruddin II jelas terlihat<br />

hanya sebagai strategi. Peluang sultan untuk mempersiapkan diri terbuka dengan<br />

lamanya waktu yang digunakan oleh Muntinghe di uluan. Muntinghe melakukan<br />

berbagai cara untuk mengusir pasukan Inggris dari wilayah Palembang. Gerakan<br />

Sultan Badaruddin II semakin leluasa dengan dibuangnya Sultan Najamuddin II<br />

ke Batavia (Nopember 1818). Setelah menganggap persiapannya telah cukup,<br />

Sultan melancarkan serangan kepada pasukan Belanda yang tengah<br />

memindahkan peralatan dari keraton Kuto Lamo ke benteng yang tengah<br />

dibangun. Strategi dan persiapan Sultan tidak sia-sia karena berhasil<br />

memenangkan peperangan tersebut, begitu pula pada peperangan kedua pada<br />

Oktober 1819.<br />

Muntinghe adalah orang Belanda pertama yang melakukan penelitian di<br />

daerah uluan (Rawas, Muara Bliti, Rejang, Komering, dan Banyuasin).<br />

Berdasarkan penelitian tersebut, Muntinghe menyadari potensi alam (emas),<br />

perkebunan kopi dan lada di kawasan itu yang selama ini tidak diperhatikan.<br />

Muntinghe juga melihat potensi lain yaitu keuntungan dari pajak rumah tangga,<br />

yang dikenal dengan nama Uang Semuhan (Uang Saomahan) yang segera akan<br />

diterapkan di 500 dusun. Apalagi mereka juga masih dapat meperoleh keuntungan<br />

dari monopoli penjualan candu, cukai ekspor-impor, kayu manis, pala, cengkih,<br />

lilin. emas, besi, dan kain, serta penjualan garam. Hasil penelitian Muntinghe<br />

inilah yang dijadikan patokan oleh pemerintah kolonial Belanda dalam<br />

menerapkan berbagai kebijakan selanjutnya di Kesultanan Palembang.<br />

Dua kali kekalahan melawan penduduk Palembang memaksa Belanda<br />

membuat strategi baru, yaitu mengubah status Sultan Najamuddin II dan putera<br />

mahkota (Pangeran Ratu Anom) dari orang-orang buangan menjadi sultan dan<br />

susuhunan yang akan memerintah Palembang, setelah dikalahkannya Sultan<br />

Badaruddin II. Suatu kebijakan baru dibuat demi memenangkan peperangan<br />

melawan Palembang. Pihak Sultan Najamuddin II pun melakukan hal yang sama.<br />

Ia melupakan perasaan terhina sebagai orang buangan dan menjadi penguasa<br />

kembali di Palembang atas ―kemurahan hati‖ Belanda. Sepanjang sejarah<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


317<br />

hidupnya Najamuddin II berkali-kali naik dan turun tahta yang semuanya bukan<br />

atas usahanya sendiri, melainkan atas kehendak bangsa-bangsa asing yaitu Inggris<br />

dan Belanda. Bagi Kesultanan Palembang, selama seperempat pertama abad XIX,<br />

terjadi berbagai pergolakan yang melibatkan semua pihak dengan strateginya<br />

masing demi mencapai keinginan yaitu mendapatkan kekuasaan. Kekuasaan<br />

adalah tujuan akhir dari semua permasalahan yang terjadi di Kesultanan<br />

Palembang, sehingga kerajaan besar itu dihapuskan.<br />

Berhubung semua kekuasaan itu atas ―pemberian‖ bangsa asing yang sangat<br />

ingin mengusai Kesultanan Palembang yang kaya tambang, dan hasil bumi<br />

lainnya, sehingga kekuasaan itu hanya sebagai lambang. Menyadari hal itu Sultan<br />

Najamuddin III berusaha melepaskan diri dengan sisa-sisa kemampuan yang ada,<br />

namun, hal itu tidak banyak berarti, sehingga dengan mudah dapat dihancurkan<br />

oleh Belanda. Perlawanan Sultan Najamuddin III dijadikan alasan oleh Belanda<br />

untuk menghapuskan Kesultanan Palembang pada 1825.<br />

Pelajaran yang dapat ditarik dari semua ini adalah keinginan untuk berkuasa,<br />

namun tidak dibarengi dengan kemampuan baik dibidang kepemimpinan mau pun<br />

ekonomi. Memaksa pihak yang berambisi (Pangeran Adipati) memanfaatkan<br />

peluang dengan hadirnya Inggris di kesultanan itu pada 1812. Kekuasaan yang<br />

diperolehnya harus dibayar mahal dengan lepasnya Pulau Bangka-Belitung dan<br />

sekitarnya kepada Inggris. Kondisi saling memanfaatkan kembali terjadi pada saat<br />

terjadinya kontrak antara Sultan Badaruddin II dan Mayor Robison (1813), juga<br />

pada ―pembagian kekuasaan‖ (1818) antara Belanda, Sultan Badaruddin II, dan<br />

Sultan Najamuddin II. Terakhir, saling menunggangi terjadi pada 1821 dengan<br />

ditandatanganinya kontrak April 1821 antara wakil pemerintah kolonial Belanda<br />

dan Susuhunan-Prabu Anom yang membawa Prabu Anom sebagai sultan<br />

Palembang. Pemerintahan yang rapuh dan lemah, berbanding terbalik dengan<br />

pemerintah kolonial Belanda yang telah berhasil memperkokoh kekuasaannya di<br />

kesultanan itu. Konsekuensinya adalah lepasnya kekuasaan dari Sultan<br />

Najamuddin III kepada Belanda dengan kontrak Agustus 1823. Keinginan<br />

―menunggangi‖ bangsa asing (Inggris dan Belanda), harus dibayar mahal dengan<br />

berbagai konsesi, sehingga yang terjadi sebaliknya yaitu penguasa dan rakyat<br />

Palembang tidak memiliki otoritas atas kekayaan negerinya sendiri. Apa yang<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


318<br />

terjadi di Kesultanan Palembang, sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh<br />

Nagtegaal (1996) dalam bukunya Riding the Dutch Tiger: The Dutch East Indies<br />

Company and The Northeast Coast of Java 1680-1743 .<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

1.Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI)<br />

ANRI, Palembang Brieven 1798-1808, Bundel Palembang No.24.<br />

ANRI, Register van zodanige papieren die heden van hier per een expressie voor<br />

Batavia aan haar Hoog Edelheedens in alleen eerbied aangeboden werden.<br />

Bundel Palembang No.19.<br />

ANRI, Notulen uit de aparte briven van Palembang ontvangen in 1804 bij wegen<br />

van vervolg ged. 26 Oktober tot 30 November en 17 December 1804, Bundel<br />

Palembang No. 22.1.<br />

ANRI, Memorie van den Aftrende Eerste Resident Aartquim Palm Aan Zijn<br />

Gevolger den Dominicus Michel Barbier 17 September 1806, Bundel Palembang<br />

No. 38.1.<br />

ANRI, Surat Residen Palembang kepada Sekretaris Pemerintah, tanggal 30 Mei<br />

1814, Bundel Palembang No.22.5.<br />

ANRI, Surat Haji Ismail kepada Residen Palembang, tanggal 27 Rabiulakhir 1227,<br />

Bundel Palembang No.22.5.<br />

ANRI,Overzicht van het Verhandelde van de Kommisarisen Herman Werner<br />

Muntinghe in het Rijks van Palembang nopen deszelfs instellingen finantien<br />

vooruitzichten 1818-1819, Bundel Palembang No. 15.7<br />

ANRI, Besluit van Goveneur Generaal. Tanggal 23 April 1818 No. 3 Bundel<br />

Algemeene Secretarie<br />

ANRI, Contract met den gewezen Sulthan van Palembang, Mohd. Badaroedin d.d<br />

20 Juni 1818, Bundel Palembang No. 12 D II.<br />

ANRI, Rapport van Heer Mr. H.W. Hantings van den 31 October 1818, Bundel<br />

Palembang No. 66.1<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


319<br />

ANRI, Overzicht van het Verhandelde van de Kommisarisen Herman Werner<br />

Muntinghe in het Rijks van Palembang nopen deszelfs instellingen finantien<br />

vooruitzichten 1818-1819, Bundel Palembang No. 15.7<br />

ANRI, Laporan tentang Penolakan pemerintah Inggris di Hindia Timur untuk<br />

menyerahkan Bangka kepada Belanda Januari-Pebruari 1819, Bundel Palembang<br />

No. 66.6<br />

ANRI, Missive van Smissaert, tanggal 11 Juni 1819 No. Litt.A, Bundel Algemeen<br />

Secretarie<br />

ANRI, Missive van Banca, tanggal 24 Juni 1819, Bundel Algemeen Secretarie<br />

ANRI, Dagverhall Wegens de Expeditie na Palembang 21 Juli 1819, Bundel<br />

Palembang No.66.10.<br />

ANRI, Besluit van Governeur Generaal, tanggal 30 Juli 1819 No. 1, Bundel<br />

Algemeen Secretarie.<br />

ANRI, Besluit van Gouverneur Generaal, tanggal 5 Agustus 1819 No. 1, Bundel<br />

Algemeen Secretarie<br />

ANRI, Besluit van Gouverneurr Generaal, tanggal 14 Agustus 1819 No. 11, Bundel<br />

Algemeen Secretarie.<br />

ANRI, Besluit van Gouverneurr Generaal, tanggal 21 Agustus 1819 No. 10, Bundel<br />

Algemeen Secretarie.<br />

ANRI, Besluit van Gouvernor Generaal, tanggal 6 September 1819 No. 22 Bundel<br />

Algemeen Secretarie<br />

ANRI, Missive van Smissaert, tanggal 27 September 1819 No. 32 Bundel<br />

Algemeneen Secretarie.<br />

ANRI, Besluit van Gouverneur Generaal, tanggal 20 Oktober 1819 No. 14<br />

Bundel Algemeneen Secretarie<br />

ANRI Extract uit het verbaal gehouden bij Generaal Majoor opperbevelhebber<br />

der Palembangsche expeditie en Kommisaris van het Gouvernement aldaar 1821,<br />

Bundel Palembang, No. 47.6.<br />

ANRI, Contract met Palembang 28 April 1821. Bundel Palembang No. 14 D IV.<br />

ANRI, Nota rapporten betreffende Palembang over 1811 tot 1821, Bundel<br />

Palembang No. 5.1<br />

ANRI, Register van Besluiten Januari – Juni 1822, No.1-54. Bundel Palembang<br />

No. 1.8.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


320<br />

ANRI, Register van Besluiten, tanggal 21 Juni 1822, No. 54, Bundel Algemeneen<br />

Secretarie.<br />

ANRI, Missive van H.M. de Kock, tanggal 18 Juli 1822 No. 10, Bundel Algemeen<br />

Secretarie.<br />

ANRI, Besluit van Gouverneur Generaal, tanggal 21 Agustus 1822 nomor 10,<br />

Bundel Algemeen Secretarie<br />

ANRI, Contract met Palembang 13 Augustus 1823. Bundel Palembang No. 15 D<br />

V/16.<br />

ANRI, Besluit van Govenour Generaal, tanggal 14 Agustus 1822 Nomor: 11,<br />

Bundel Algemeen secretarie.<br />

ANRI, Contract met Palembang 13 Augustus 1823. Bundel Palembang No. 15 D<br />

V/16.<br />

ANRI, Publikatie van den Sultan van Palembang, 18 Augustus 1823, Bundel<br />

Palembang No. 15 D VI<br />

ANRI, Noteren plan van Reijnst Kruseman 1823, Bundel Palembang No. 65.19.<br />

ANRI, Palembang Besluiten 1823, Bundel Palembang, No. 3.<br />

ANRI, Contract met Pangeran Kramajaya Perdana Menteri van Palembang, 5<br />

September 1823. Bundel Palembang No. 15 D VII.<br />

ANRI, Register van Besluiten Residen Reynst, Januari –September 1824 No.1 sd<br />

No 92, Bundel Algemeen Secretarie<br />

ANRI, Register van Besluiten Residen Reynst, Januari –September 1824 No.1 sd<br />

No 92, Bundel Palembang No.5.5.<br />

ANRI, Surat Asisten Residen Palembang H.de Sturler kepada Komisaris Jenderal,<br />

tanggal 24 Desember 1824 No. 1, Bundel Palembang No.46.4.<br />

ANRI, Surat Asisten Residen Palembang H.de Sturler kepada Komisaris Jenderal,<br />

tanggal 25 Desember 1824 No.2, Bundel Palembang No.46.4.<br />

ANRI, Surat Asisten Residen Palembang H.de Sturler kepada Komisaris Jenderal,<br />

tanggal 29 Desember 1824 No.3, Bundel Palembang No.46.4.<br />

Register van Besluiten 1824, Bundel Palembang No. 5.5<br />

ANRI, Surat Asisten Residen Palembang H.de Sturler kepada Kapten Komandan<br />

Pasukan Ekspedisi, tanggal 1 Januari 1825 No.4, Bundel Palembang No.46.4.<br />

ANRI, Surat Asisten Residen Palembang H.de Sturler kepada Komisaris Jenderal,<br />

tanggal 3 Januari 1825 No.4, Bundel Palembang No.46.4.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


321<br />

ANRI, Surat Residen Palembang J.O. Reynst kepada Asisten Residen Palembang,<br />

tanggal 7 Januari 1825 No,2, Bundel Palembang No. 46.4.<br />

ANRI, Surat Asisten Residen Donker kepada Residen Bengkulu, tanggal 7<br />

Oktober 1825 No. 289, Bundel Palembang No. 46.4.<br />

Gouvernements Besluiten over het jaar 1825, Bundel Palembang No. 50.2<br />

ANRI, Afgaande Brievenboek, Bundel Palembang No. 44.4<br />

ANRI, Memorie van den herr H.W. Muntinghe over het Bestuur van Palembang<br />

16 Februarie 1827, Bundel Palembang No. 70.3.<br />

ANRI, Verhaal van de politieke en militaire gebeurtenissen te Palembang<br />

gedurende<br />

1811, 1821 en eiland Banka door A. Meis, kapitein der arteleerie, 1840, Bundel<br />

Palembang No. 67.<br />

ANRI, Algemeen Verslag van den Staat der Residentie Palembang over het Jaare<br />

1839,1840 en 1841, Bundel Palembang No. 62.6<br />

ANRI, Algemeen Jaarlijksch Verslag der Residentir Palembang over den Jaare<br />

1844, Bundel Palembang No. 62.7<br />

PNRI, Oendang-Oendang Simboer Tjahaja<br />

2.Leksikografi<br />

Ikhtisar Keadaan Politik Hindia Belanda, 1973, 1839-1848, Jakarta.<br />

Laporan Politik Tahun 1837: 1971, Penerbitan Naskah Sumbar Sejarah ARNAS<br />

RI No.4, Jakarta, ANRI.<br />

Paulus,J., 1918, Encyclopaedie van Nederlandsch Indie, ‗s Gravenhage, Martinus<br />

Nijhoff.<br />

Stibbe, D.G., 1932, Encyclopaedie van Nederlandsch Indie, eerste deel, ‗s<br />

Gravenhage, Martinus Nijhoff.<br />

Encyclopaedie van Nederlandsch Indie, ‗s Gravenhage, Martinus Nijhoff, jilid IV<br />

Veth, P.J., 1869, Aardrijkskundig Woordenboek van Nederlandsch Indie,<br />

Amsterdam, P.N. van Kampen.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


322<br />

3.Koran<br />

Bataviaasche Courant, 26 Juni 1819, nomor 26<br />

Bataviaasche Courant, 11 Juli 1821<br />

Bataviaasche Courant, Sabtu, 4 Agustus 1821<br />

Bataviaasche Courant, 18 Desember 1824<br />

Java Gouvernement Gazette, Sabtu, 2 Mei 1812. nomor 10<br />

Java Gouvernement Gazette, Sabtu, 30 Mei 1812<br />

Java Gouvernement Gazette, 18 Juni 1812, nomor 16<br />

Java Gouvernement Gazette, 4 Juli 1812<br />

Java Gouvernement Gazette, 24 Oktober 1812, no. 35<br />

Syair Perang Muntinghe<br />

4. Buku<br />

Abdullah, Taufik., 1987, Islam dan Masyarakat, Pantulan Sejarah Indonesia,<br />

Jakarta, LP3ES.<br />

Ankersmit, F.R., 1987, Refleksi tentang sejarah, Pendapat-Pendapat Modern<br />

tentang Filsafat Sejarah (Denken over Geschiedenis, Een overzizicht van<br />

Moderne Geschiedfilosofische Opvattingen), Jakarta, Gramendia.<br />

________,1994, History and Tropology; The Rise and Fall of Metaphor,<br />

Berkeley, <strong>University</strong> of California Press.<br />

Antlov, Hans & Sven Cederrotl (penyunting), 2001, Kepemimpinan Jawa<br />

Perintah Halus, Perintah Otoriter, Jakarta:, Yayasan Obor Indonesia.<br />

Berg, L.W.C.,van den, 2010, Orang Arab di Nusantara, Jakarta, Komunitas<br />

Bambu.<br />

Bunzl, Martin, 1997, Real History : Reflections on Historical Practice, London<br />

and New York, Rouledge.<br />

Day, Clive, 1972, The Policy and Administration of the Dutch in Java, Kuala<br />

Lumpur, Oxford <strong>University</strong> Press.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


323<br />

Ensiklopedi Islam Indonesia, 1992, Jakarta.<br />

Erman, Erwiza, 2009, Dari Pembentukan Kampung ke Perkara Gelap, Menguak<br />

Sejarah Timah Bangka-Belitung, Jakarta, Ombak.<br />

Faille, P. Roo de la, 1971, Dari Zaman Kesultanan Palembang, Jakarta, Bhratara.<br />

Furnivall, J.S., 2009, Hindia Belanda, Studi tentang ekonomi Majemuk<br />

(Netherlans India, a Study of Plural Economy), Jakarta, Freedom Institute.<br />

Graaf, De dan Th.G.Th. Pigeaud, 1985, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa,<br />

Peralihan dari Majapahit ke Mataram, Jakarta, Grafitipers.<br />

Gunawan, Restu, 2010, Gagalnya Sistem Kanal Pengendalian Banjir dari Masa<br />

ke Masa, Jakarta, Kompas.<br />

Hall, D.G.E., 1988, Sejarah Asia Tenggara, Surabaya.<br />

Hanifah, Abu, 1984, Undang-undang Simbur Cahaya, Jakarta: Pusat Pembinaan<br />

dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.<br />

Heidhuis, Mary F. Somers, 2008, Timah Bangka dan Lada Mentok, Peran<br />

Masyarakat Tionghoa dalam Pembangunan Pulau Bangka Abad XVIII s/d<br />

Abad XX (Bangka Tin and Mentok Pepper), Jakarta, Yayasan Nabil.<br />

Ikram, Achadiati. 2004, Sejarah Palembang dan Sastranya, dalam Jati Diri yang<br />

terlupakan : Naskah-Naskah Palembang, Jakarta, Yayasan Naskah<br />

Nusantara.<br />

_______,2004, Catalogue of Palembang Manuscripts, Jakarta, Yayasan Naskah<br />

Nusantara in Collaboration with Tokyo <strong>University</strong> for Foreign Studies.<br />

Kartodirdjo, Sartono, 1992, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah,<br />

Jakarta, Pt. Gramedia Pustaka Utama.<br />

Kaiser, F., 1857, De Britsche Heerschappij over Java en Onderhoorigheden<br />

(1811-1816), ‗s Gravenhage, Gebroeders Belinfante.<br />

Lapian, Adrian, B., 2008, Orang Laut Bajak Laut Raja Laut, Sejarah Laut<br />

Sulawesi abad XIX, Jakarta, Komunitas Bambu.<br />

Locher-Scholten, Elsbeth, 2008, Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial :<br />

Hubungan Jambi-Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme<br />

Belanda, penerjemah Noor Cholis, Jakarta, Banana, KITLV-Jakarta.<br />

Lemon, M.C., 2003, Philosophy of History: A Guide for Students, Routledge<br />

Taylor Francis Group, London and New York.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


324<br />

Leur, J.C. van, 1967, Indonesia Trade and society; Essays in Asian Society and<br />

Economic History. The Hague.<br />

Marihandono, Djoko, 2005, Sentralisasi Kekuasaan Pemerintah Herman Willem<br />

Daendels di Jawa 1908—1811: Penerapan Instruksi Napoleon Bonaparte,<br />

Disertasi, Depok, FIB UI.<br />

Marsden, William, 1966, The History of Sumatra, Kuala Lumpur, Oxford<br />

<strong>University</strong> Prees.<br />

Masyhuri, 1983, Perdagangan Lada dan Perubahan Sosial Ekonomi di Palembang<br />

1790-1825, Thesis yang belum diterbitkan, Fakultas Pascasarjana<br />

Bid.Studi Sejarah <strong>Universitas</strong> Indoensia.<br />

Moedjanto,G., 2001, Konsep Kepemimpinan dan Kekuasaan Jawa Tempo Dulu<br />

dalam Kepemimpinan Jawa : Pemerintahan Halus, Pemerintahan Otoriter,<br />

Antlov,Hans dan Sven Cederrotl, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.<br />

Mosca, Gaetano, 1973, The Varying Structure of the Ruling Class, dalam Social<br />

Change Sources, Patterns, and Conseguences. Eva Etzioni-Halevy and<br />

Armitai Etzioni, New York, Basic Books,Inc.<br />

Nagtegaal, Luc, 1996, Riding the Dutch Tiger: The Dutch East Indies Company<br />

and The Northeast Coast of Java 1680-1743, Leiden, KITLV Press)<br />

Notosusanto, Nugroho, Masalah Penelitian Sejarah Komtemporer (Suatu<br />

Pengalaman), Jakarta, Yayasan Idayu, 1978.<br />

Pareto,Vilfredo, 1973, The Circulation of Elites, dalam Social Change Sources,<br />

Patterns, and Conseguences. Eva Etzioni-Halevy and Armitai Etzioni,<br />

New York: Basic Books,Inc.<br />

Peeters, Jeroen, 1997, Kaum Tuo-Kaum Mudo, Perubahan Religius di Palembang<br />

1821-1942, Jakarta, Seri INIS XXXI.<br />

Pemerintah Propinsi Daerah TK. I Sumatera Selatan, 1984, Sejarah Perjuangan<br />

Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang<br />

Rahim, Rusli, 1991, Sistem Otoritas dan Administrasi Islam, Studi tentang<br />

Pejabat Agama Masa Kesultanan dan Kolonial di Palembang, Jakarta:<br />

Logos.<br />

Ras, H.J., Ras, H.J., 1990, Tradisi Jawa Mengenai Masuknya Islam di Indonesia<br />

dalam Beberapa Kajian Indonesia dan Islam, Jakarta: W.A.I. Stokhof,<br />

1990.<br />

Reid, Anthony, 2004, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, Jakarta, LP3ES.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


325<br />

Ricklefs,M.C., 2005, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta, Serambi.<br />

Selosoemardjan, 1962, Social changes in Jogyakarta, New York, Ithaca.<br />

Sevenhoven,J.L.van, 1971, Lukisan Tentang Ibukota Palembang, (Terjemahan<br />

Beschrijving van de Hooodplaats van Palembangsche ), Jakarta, Bhrata.<br />

Stapel,F.W., 1940, Geschiedenis van Nederlandsch Indie, vijfde deel, Amsterdam,<br />

Joost van den Vonde.<br />

Sturler, W.L. de. Proeve Eener Beschrijving van Gebied van Palembang,<br />

Groningen, 1843.<br />

________, 1855, Bijdrage tot de Kennis en Rigtige Beoordeling van de<br />

Zedelijken, Maatschappelijken en Staatkundige Toestand van het<br />

Palembangsche Gebied, Groningen.<br />

Tarling, Nicholas, 1994, The Cambridge History of Southeast Asia, The<br />

nineteenth and twentieth centuries, Volume two, Singapore, Cambridge<br />

<strong>University</strong> Press.<br />

Thorn, William, 2004, The Conquest of Java, Singapore, Periplus.<br />

Woelders,M.O., 1975, Het Sultanaat Palembang 1811-1825, Leiden: VKI Publ.<br />

No.72.<br />

Varma, SP., 2003, Teori Politik Modern (Terjemahan Modern Plitical Theory),<br />

Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada.<br />

Yusuf, Jumsari, et all, Antologi Syair Simbolik dalam Sastra Indonesia Lama,<br />

Jakarta, Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Ditjen. Kebudayaan<br />

Dep. P&K.<br />

Zet, Mestika, 2003, Kepialangan Politik dan Revolusi Palembang 1900-1950,<br />

Jakarta LP3ES.<br />

V. Majalah.<br />

ANKL, 1819, House of Lords The Seasonal Papers 1801-1833, vol. 19.<br />

ANKL, 1819, House of Lords The Seasonal Papers 1801-1833, vol. 109.<br />

ANKL, 1835, House of Lords The Seasonal Papers 1801-1833, vol. 19.<br />

Bastin, John A., 1953, Palembang in 1811 and 1812, Bijdrage van Koloniaal<br />

Instituut, Jilid 109.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


326<br />

_______, 1954, Palembang in 1811 and 1812, Bijdrage van Koloniaal<br />

Instituut,Jilid 110.<br />

Baud, J.C., 1853, Palembang in 1811 en 1812, Bijdrage van Koloniaal<br />

Instituut,Jilid I.<br />

Bijdrage tot de akennis der Geschiedenis van de Residentie Palembang, 1877,<br />

TNI, Jilid I.<br />

Bleeker, P., 1850, Bijdrage tot de Kennis van de Statistiek der Bevolking van de<br />

Eilanden Banka en Billiton, Indisch Archief Tijdschrift, Jilid III.<br />

Brauw, C.A.de., 1855, Iets Betreffende de Verhouding der Pasemah-Landen tot de<br />

Sulthan Van Palembang. TBG, Jilid IV.<br />

Clercq. F.S.A.de, 1895, Bijdrage tot de Geschidenis van Ieland Bangka, Bijdrage<br />

van Koloniaal Instituut, Jilid XLV.<br />

Een ander over de Bevolking van Banka, Hare Bestaansvoorwaarden en<br />

Verplichtingen, 1914, Tijdschrift voor Binnenlandsch Bestuur, Jilid 47.<br />

Eene Bijdrage tot de Geschidenis van Java’s Verovering in 1811, 1895, BKI.<br />

Gersen, G.H. 1876, Oendang-Oendang of Verzameling van Voorschriften in de<br />

Lematang Oeloe en Ilir en de Pasemanlanden, TBG, Jilid XX.<br />

Gravesande, F.J.B. Storm van ‗s, 1856, De Stad Palembang, TBG, Jilid V.<br />

Hoek, I.H.J., 1862, Het Herstel van het Nederlandsch Gezag op Java en<br />

Onderhoorigheden 1816-1819, ‗s Gravenhage, De Gebroeders van Cleff.<br />

Kemp, P.H, van der, 1898, Geschiedenis van Een Engelschen Raid of Hollandsch<br />

Groudgebeid, de Gids, Jilid I.<br />

________, 1900, Palembang en Banka in 1816 – 1820, Bijdrage van Koloniaal<br />

Instituut, Jilid LI.<br />

Kielstra,E.B., 1892, De Ondergang Van Het Palembangsche Rijk, de Gids, 1892.<br />

Korten Schets van Het Eiland Banka, 1846,Tijdschrift voor Nederlandsch<br />

Indië,Jld IV.<br />

Kuntowijoyo, Penjelasan Sejaah (Historical Explanation), Yogyakarta: Tiara<br />

Wacana.<br />

Lady Raffles, 1835, Memoirs of the Public Services of Sir T.S. Raffles, his widow.<br />

Oendang-Oendang Simboer Tjahaja, 1894, BKI.<br />

Oorspronkelijke Munten Uit Palembang, 1859, TBG, Jilid IV.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


327<br />

Schetsen van Palembang, 1848, Tijdschrift voor Neerlandsch Indie, Jilid III, dan<br />

VIII.<br />

The Asiatic Journal and monthly register for British India and its dependencies,<br />

1819, volume 7.<br />

The Asiatic Journal and monthly register for British India and its dependencies,<br />

Pebruari 1819, volume 7.<br />

The Asiatic Journal and monthly register for British India, Agustus 1820, volume<br />

10.<br />

The Asiatic Journal and monthly register for British India, September 1820,<br />

volume 10.<br />

The Asiatic Journal and monthly register for British India, 1825, volume 20.<br />

Visser, H., 1883, Iets Over het Landschap de Pasemah Oeloe Manna en<br />

Heerschappij door britsche T.S. Raffles, TBG, Jilid XXVIII.<br />

Waey, H., van, 1875, Palembang 1809-1819, Tijdschrift voor Nederlandsch Indie,<br />

I.<br />

Woelders,M.C., 1975, Het Sultanaat Palembang 1811-1825, Leiden, B.V. de<br />

Nederlansche Boek-en Steendrukkerij v/h H.L. Smits ‘Gravenhage<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


328<br />

LAMPIRAN<br />

Lampiran 1<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


329<br />

Lampiran 2.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


330<br />

Lampiran 3.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


331<br />

Lampiran 4<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


332<br />

Lampiran 5<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


333<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

1.Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI)<br />

ANRI, Palembang Brieven 1798-1808, Bundel Palembang No.24.<br />

ANRI, Register van zodanige papieren die heden van hier per een expressie voor<br />

Batavia aan haar Hoog Edelheedens in alleen eerbied aangeboden werden.<br />

Bundel Palembang No.19.<br />

ANRI, Notulen uit de aparte briven van Palembang ontvangen in 1804 bij wegen<br />

van vervolg ged. 26 Oktober tot 30 November en 17 December 1804, Bundel<br />

Palembang No. 22.1.<br />

ANRI, Memorie van den Aftrende Eerste Resident Aartquim Palm Aan Zijn<br />

Gevolger den Dominicus Michel Barbier 17 September 1806, Bundel Palembang<br />

No. 38.1.<br />

ANRI, Surat Residen Palembang kepada Sekretaris Pemerintah, tanggal 30 Mei<br />

1814, Bundel Palembang No.22.5.<br />

ANRI, Surat Haji Ismail kepada Residen Palembang, tanggal 27 Rabiulakhir 1227,<br />

Bundel Palembang No.22.5.<br />

ANRI,Overzicht van het Verhandelde van de Kommisarisen Herman Werner<br />

Muntinghe in het Rijks van Palembang nopen deszelfs instellingen finantien<br />

vooruitzichten 1818-1819, Bundel Palembang No. 15.7<br />

ANRI, Besluit van Goveneur Generaal. Tanggal 23 April 1818 No. 3 Bundel<br />

Algemeene Secretarie<br />

ANRI, Contract met den gewezen Sulthan van Palembang, Mohd. Badaroedin d.d<br />

20 Juni 1818, Bundel Palembang No. 12 D II.<br />

ANRI, Rapport van Heer Mr. H.W. Hantings van den 31 October 1818, Bundel<br />

Palembang No. 66.1<br />

ANRI, Overzicht van het Verhandelde van de Kommisarisen Herman Werner<br />

Muntinghe in het Rijks van Palembang nopen deszelfs instellingen finantien<br />

vooruitzichten 1818-1819, Bundel Palembang No. 15.7<br />

ANRI, Laporan tentang Penolakan pemerintah Inggris di Hindia Timur untuk<br />

menyerahkan Bangka kepada Belanda Januari-Pebruari 1819, Bundel Palembang<br />

No. 66.6<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


334<br />

ANRI, Missive van Smissaert, tanggal 11 Juni 1819 No. Litt.A, Bundel Algemeen<br />

Secretarie<br />

ANRI, Missive van Banca, tanggal 24 Juni 1819, Bundel Algemeen Secretarie<br />

ANRI, Dagverhall Wegens de Expeditie na Palembang 21 Juli 1819, Bundel<br />

Palembang No.66.10.<br />

ANRI, Besluit van Governeur Generaal, tanggal 30 Juli 1819 No. 1, Bundel<br />

Algemeen Secretarie.<br />

ANRI, Besluit van Gouverneur Generaal, tanggal 5 Agustus 1819 No. 1, Bundel<br />

Algemeen Secretarie<br />

ANRI, Besluit van Gouverneurr Generaal, tanggal 14 Agustus 1819 No. 11, Bundel<br />

Algemeen Secretarie.<br />

ANRI, Besluit van Gouverneurr Generaal, tanggal 21 Agustus 1819 No. 10, Bundel<br />

Algemeen Secretarie.<br />

ANRI, Besluit van Gouvernor Generaal, tanggal 6 September 1819 No. 22 Bundel<br />

Algemeen Secretarie<br />

ANRI, Missive van Smissaert, tanggal 27 September 1819 No. 32 Bundel<br />

Algemeneen Secretarie.<br />

ANRI, Besluit van Gouverneur Generaal, tanggal 20 Oktober 1819 No. 14<br />

Bundel Algemeneen Secretarie<br />

ANRI Extract uit het verbaal gehouden bij Generaal Majoor opperbevelhebber<br />

der Palembangsche expeditie en Kommisaris van het Gouvernement aldaar 1821,<br />

Bundel Palembang, No. 47.6.<br />

ANRI, Contract met Palembang 28 April 1821. Bundel Palembang No. 14 D IV.<br />

ANRI, Nota rapporten betreffende Palembang over 1811 tot 1821, Bundel<br />

Palembang No. 5.1<br />

ANRI, Register van Besluiten Januari – Juni 1822, No.1-54. Bundel Palembang<br />

No. 1.8.<br />

ANRI, Register van Besluiten, tanggal 21 Juni 1822, No. 54, Bundel Algemeneen<br />

Secretarie.<br />

ANRI, Missive van H.M. de Kock, tanggal 18 Juli 1822 No. 10, Bundel Algemeen<br />

Secretarie.<br />

ANRI, Besluit van Gouverneur Generaal, tanggal 21 Agustus 1822 nomor 10,<br />

Bundel Algemeen Secretarie<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


335<br />

ANRI, Contract met Palembang 13 Augustus 1823. Bundel Palembang No. 15 D<br />

V/16.<br />

ANRI, Besluit van Govenour Generaal, tanggal 14 Agustus 1822 Nomor: 11,<br />

Bundel Algemeen secretarie.<br />

ANRI, Contract met Palembang 13 Augustus 1823. Bundel Palembang No. 15 D<br />

V/16.<br />

ANRI, Publikatie van den Sultan van Palembang, 18 Augustus 1823, Bundel<br />

Palembang No. 15 D VI<br />

ANRI, Noteren plan van Reijnst Kruseman 1823, Bundel Palembang No. 65.19.<br />

ANRI, Palembang Besluiten 1823, Bundel Palembang, No. 3.<br />

ANRI, Contract met Pangeran Kramajaya Perdana Menteri van Palembang, 5<br />

September 1823. Bundel Palembang No. 15 D VII.<br />

ANRI, Register van Besluiten Residen Reynst, Januari –September 1824 No.1 sd<br />

No 92, Bundel Algemeen Secretarie<br />

ANRI, Register van Besluiten Residen Reynst, Januari –September 1824 No.1 sd<br />

No 92, Bundel Palembang No.5.5.<br />

ANRI, Surat Asisten Residen Palembang H.de Sturler kepada Komisaris Jenderal,<br />

tanggal 24 Desember 1824 No. 1, Bundel Palembang No.46.4.<br />

ANRI, Surat Asisten Residen Palembang H.de Sturler kepada Komisaris Jenderal,<br />

tanggal 25 Desember 1824 No.2, Bundel Palembang No.46.4.<br />

ANRI, Surat Asisten Residen Palembang H.de Sturler kepada Komisaris Jenderal,<br />

tanggal 29 Desember 1824 No.3, Bundel Palembang No.46.4.<br />

Register van Besluiten 1824, Bundel Palembang No. 5.5<br />

ANRI, Surat Asisten Residen Palembang H.de Sturler kepada Kapten Komandan<br />

Pasukan Ekspedisi, tanggal 1 Januari 1825 No.4, Bundel Palembang No.46.4.<br />

ANRI, Surat Asisten Residen Palembang H.de Sturler kepada Komisaris Jenderal,<br />

tanggal 3 Januari 1825 No.4, Bundel Palembang No.46.4.<br />

ANRI, Surat Residen Palembang J.O. Reynst kepada Asisten Residen Palembang,<br />

tanggal 7 Januari 1825 No,2, Bundel Palembang No. 46.4.<br />

ANRI, Surat Asisten Residen Donker kepada Residen Bengkulu, tanggal 7<br />

Oktober 1825 No. 289, Bundel Palembang No. 46.4.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


336<br />

Gouvernements Besluiten over het jaar 1825, Bundel Palembang No. 50.2<br />

ANRI, Afgaande Brievenboek, Bundel Palembang No. 44.4<br />

ANRI, Memorie van den herr H.W. Muntinghe over het Bestuur van Palembang<br />

16 Februarie 1827, Bundel Palembang No. 70.3.<br />

ANRI, Verhaal van de politieke en militaire gebeurtenissen te Palembang<br />

gedurende<br />

1811, 1821 en eiland Banka door A. Meis, kapitein der arteleerie, 1840, Bundel<br />

Palembang No. 67.<br />

ANRI, Algemeen Verslag van den Staat der Residentie Palembang over het Jaare<br />

1839,1840 en 1841, Bundel Palembang No. 62.6<br />

ANRI, Algemeen Jaarlijksch Verslag der Residentir Palembang over den Jaare<br />

1844, Bundel Palembang No. 62.7<br />

PNRI, Oendang-Oendang Simboer Tjahaja<br />

2.Leksikografi<br />

Ikhtisar Keadaan Politik Hindia Belanda, 1973, 1839-1848, Jakarta.<br />

Laporan Politik Tahun 1837: 1971, Penerbitan Naskah Sumbar Sejarah ARNAS<br />

RI No.4, Jakarta, ANRI.<br />

Paulus,J., 1918, Encyclopaedie van Nederlandsch Indie, ‗s Gravenhage, Martinus<br />

Nijhoff.<br />

Stibbe, D.G., 1932, Encyclopaedie van Nederlandsch Indie, eerste deel, ‗s<br />

Gravenhage, Martinus Nijhoff.<br />

Encyclopaedie van Nederlandsch Indie, ‗s Gravenhage, Martinus Nijhoff, jilid IV<br />

Veth, P.J., 1869, Aardrijkskundig Woordenboek van Nederlandsch Indie,<br />

Amsterdam, P.N. van Kampen.<br />

3.Koran<br />

Bataviaasche Courant, 26 Juni 1819, nomor 26<br />

Bataviaasche Courant, 11 Juli 1821<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


337<br />

Bataviaasche Courant, Sabtu, 4 Agustus 1821<br />

Bataviaasche Courant, 18 Desember 1824<br />

Java Gouvernement Gazette, Sabtu, 2 Mei 1812. nomor 10<br />

Java Gouvernement Gazette, Sabtu, 30 Mei 1812<br />

Java Gouvernement Gazette, 18 Juni 1812, nomor 16<br />

Java Gouvernement Gazette, 4 Juli 1812<br />

Java Gouvernement Gazette, 24 Oktober 1812, no. 35<br />

Syair Perang Muntinghe<br />

4. Buku<br />

Abdullah, Taufik., 1987, Islam dan Masyarakat, Pantulan Sejarah Indonesia,<br />

Jakarta, LP3ES.<br />

Ankersmit, F.R., 1987, Refleksi tentang sejarah, Pendapat-Pendapat Modern<br />

tentang Filsafat Sejarah (Denken over Geschiedenis, Een overzizicht van<br />

Moderne Geschiedfilosofische Opvattingen), Jakarta, Gramendia.<br />

________,1994, History and Tropology; The Rise and Fall of Metaphor,<br />

Berkeley, <strong>University</strong> of California Press.<br />

Antlov, Hans & Sven Cederrotl (penyunting), 2001, Kepemimpinan Jawa<br />

Perintah Halus, Perintah Otoriter, Jakarta:, Yayasan Obor Indonesia.<br />

Berg, L.W.C.,van den, 2010, Orang Arab di Nusantara, Jakarta, Komunitas<br />

Bambu.<br />

Bunzl, Martin, 1997, Real History : Reflections on Historical Practice, London<br />

and New York, Rouledge.<br />

Day, Clive, 1972, The Policy and Administration of the Dutch in Java, Kuala<br />

Lumpur, Oxford <strong>University</strong> Press.<br />

Ensiklopedi Islam Indonesia, 1992, Jakarta.<br />

Erman, Erwiza, 2009, Dari Pembentukan Kampung ke Perkara Gelap, Menguak<br />

Sejarah Timah Bangka-Belitung, Jakarta, Ombak.<br />

Faille, P. Roo de la, 1971, Dari Zaman Kesultanan Palembang, Jakarta, Bhratara.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


338<br />

Furnivall, J.S., 2009, Hindia Belanda, Studi tentang ekonomi Majemuk<br />

(Netherlans India, a Study of Plural Economy), Jakarta, Freedom Institute.<br />

Graaf, De dan Th.G.Th. Pigeaud, 1985, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa,<br />

Peralihan dari Majapahit ke Mataram, Jakarta, Grafitipers.<br />

Gunawan, Restu, 2010, Gagalnya Sistem Kanal Pengendalian Banjir dari Masa<br />

ke Masa, Jakarta, Kompas.<br />

Hall, D.G.E., 1988, Sejarah Asia Tenggara, Surabaya.<br />

Hanifah, Abu, 1984, Undang-undang Simbur Cahaya, Jakarta: Pusat Pembinaan<br />

dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.<br />

Heidhuis, Mary F. Somers, 2008, Timah Bangka dan Lada Mentok, Peran<br />

Masyarakat Tionghoa dalam Pembangunan Pulau Bangka Abad XVIII s/d<br />

Abad XX (Bangka Tin and Mentok Pepper), Jakarta, Yayasan Nabil.<br />

Ikram, Achadiati. 2004, Sejarah Palembang dan Sastranya, dalam Jati Diri yang<br />

terlupakan : Naskah-Naskah Palembang, Jakarta, Yayasan Naskah<br />

Nusantara.<br />

_______,2004, Catalogue of Palembang Manuscripts, Jakarta, Yayasan Naskah<br />

Nusantara in Collaboration with Tokyo <strong>University</strong> for Foreign Studies.<br />

Kartodirdjo, Sartono, 1992, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah,<br />

Jakarta, Pt. Gramedia Pustaka Utama.<br />

Kaiser, F., 1857, De Britsche Heerschappij over Java en Onderhoorigheden<br />

(1811-1816), ‗s Gravenhage, Gebroeders Belinfante.<br />

Lapian, Adrian, B., 2008, Orang Laut Bajak Laut Raja Laut, Sejarah Laut<br />

Sulawesi abad XIX, Jakarta, Komunitas Bambu.<br />

Locher-Scholten, Elsbeth, 2008, Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial :<br />

Hubungan Jambi-Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme<br />

Belanda, penerjemah Noor Cholis, Jakarta, Banana, KITLV-Jakarta.<br />

Lemon, M.C., 2003, Philosophy of History: A Guide for Students, Routledge<br />

Taylor Francis Group, London and New York.<br />

Leur, J.C. van, 1967, Indonesia Trade and society; Essays in Asian Society and<br />

Economic History. The Hague.<br />

Marihandono, Djoko, 2005, Sentralisasi Kekuasaan Pemerintah Herman Willem<br />

Daendels di Jawa 1908—1811: Penerapan Instruksi Napoleon Bonaparte,<br />

Disertasi, Depok, FIB UI.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


339<br />

Marsden, William, 1966, The History of Sumatra, Kuala Lumpur, Oxford<br />

<strong>University</strong> Prees.<br />

Masyhuri, 1983, Perdagangan Lada dan Perubahan Sosial Ekonomi di Palembang<br />

1790-1825, Thesis yang belum diterbitkan, Fakultas Pascasarjana<br />

Bid.Studi Sejarah <strong>Universitas</strong> Indoensia.<br />

Moedjanto,G., 2001, Konsep Kepemimpinan dan Kekuasaan Jawa Tempo Dulu<br />

dalam Kepemimpinan Jawa : Pemerintahan Halus, Pemerintahan Otoriter,<br />

Antlov,Hans dan Sven Cederrotl, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.<br />

Mosca, Gaetano, 1973, The Varying Structure of the Ruling Class, dalam Social<br />

Change Sources, Patterns, and Conseguences. Eva Etzioni-Halevy and<br />

Armitai Etzioni, New York, Basic Books,Inc.<br />

Nagtegaal, Luc, 1996, Riding the Dutch Tiger: The Dutch East Indies Company<br />

and The Northeast Coast of Java 1680-1743, Leiden, KITLV Press)<br />

Notosusanto, Nugroho, Masalah Penelitian Sejarah Komtemporer (Suatu<br />

Pengalaman), Jakarta, Yayasan Idayu, 1978.<br />

Pareto,Vilfredo, 1973, The Circulation of Elites, dalam Social Change Sources,<br />

Patterns, and Conseguences. Eva Etzioni-Halevy and Armitai Etzioni,<br />

New York: Basic Books,Inc.<br />

Peeters, Jeroen, 1997, Kaum Tuo-Kaum Mudo, Perubahan Religius di Palembang<br />

1821-1942, Jakarta, Seri INIS XXXI.<br />

Pemerintah Propinsi Daerah TK. I Sumatera Selatan, 1984, Sejarah Perjuangan<br />

Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang<br />

Rahim, Rusli, 1991, Sistem Otoritas dan Administrasi Islam, Studi tentang<br />

Pejabat Agama Masa Kesultanan dan Kolonial di Palembang, Jakarta:<br />

Logos.<br />

Ras, H.J., Ras, H.J., 1990, Tradisi Jawa Mengenai Masuknya Islam di Indonesia<br />

dalam Beberapa Kajian Indonesia dan Islam, Jakarta: W.A.I. Stokhof,<br />

1990.<br />

Reid, Anthony, 2004, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, Jakarta, LP3ES.<br />

Ricklefs,M.C., 2005, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta, Serambi.<br />

Selosoemardjan, 1962, Social changes in Jogyakarta, New York, Ithaca.<br />

Sevenhoven,J.L.van, 1971, Lukisan Tentang Ibukota Palembang, (Terjemahan<br />

Beschrijving van de Hooodplaats van Palembangsche ), Jakarta, Bhrata.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


340<br />

Stapel,F.W., 1940, Geschiedenis van Nederlandsch Indie, vijfde deel, Amsterdam,<br />

Joost van den Vonde.<br />

Sturler, W.L. de. Proeve Eener Beschrijving van Gebied van Palembang,<br />

Groningen, 1843.<br />

________, 1855, Bijdrage tot de Kennis en Rigtige Beoordeling van de<br />

Zedelijken, Maatschappelijken en Staatkundige Toestand van het<br />

Palembangsche Gebied, Groningen.<br />

Tarling, Nicholas, 1994, The Cambridge History of Southeast Asia, The<br />

nineteenth and twentieth centuries, Volume two, Singapore, Cambridge<br />

<strong>University</strong> Press.<br />

Thorn, William, 2004, The Conquest of Java, Singapore, Periplus.<br />

Woelders,M.O., 1975, Het Sultanaat Palembang 1811-1825, Leiden: VKI Publ.<br />

No.72.<br />

Varma, SP., 2003, Teori Politik Modern (Terjemahan Modern Plitical Theory),<br />

Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada.<br />

Yusuf, Jumsari, et all, Antologi Syair Simbolik dalam Sastra Indonesia Lama,<br />

Jakarta, Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Ditjen. Kebudayaan<br />

Dep. P&K.<br />

Zet, Mestika, 2003, Kepialangan Politik dan Revolusi Palembang 1900-1950,<br />

Jakarta LP3ES.<br />

V. Majalah.<br />

ANKL, 1819, House of Lords The Seasonal Papers 1801-1833, vol. 19.<br />

ANKL, 1819, House of Lords The Seasonal Papers 1801-1833, vol. 109.<br />

ANKL, 1835, House of Lords The Seasonal Papers 1801-1833, vol. 19.<br />

Bastin, John A., 1953, Palembang in 1811 and 1812, Bijdrage van Koloniaal<br />

Instituut, Jilid 109.<br />

_______, 1954, Palembang in 1811 and 1812, Bijdrage van Koloniaal<br />

Instituut,Jilid 110.<br />

Baud, J.C., 1853, Palembang in 1811 en 1812, Bijdrage van Koloniaal<br />

Instituut,Jilid I.<br />

Bijdrage tot de akennis der Geschiedenis van de Residentie Palembang, 1877,<br />

TNI, Jilid I.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


341<br />

Bleeker, P., 1850, Bijdrage tot de Kennis van de Statistiek der Bevolking van de<br />

Eilanden Banka en Billiton, Indisch Archief Tijdschrift, Jilid III.<br />

Brauw, C.A.de., 1855, Iets Betreffende de Verhouding der Pasemah-Landen tot de<br />

Sulthan Van Palembang. TBG, Jilid IV.<br />

Clercq. F.S.A.de, 1895, Bijdrage tot de Geschidenis van Ieland Bangka, Bijdrage<br />

van Koloniaal Instituut, Jilid XLV.<br />

Een ander over de Bevolking van Banka, Hare Bestaansvoorwaarden en<br />

Verplichtingen, 1914, Tijdschrift voor Binnenlandsch Bestuur, Jilid 47.<br />

Eene Bijdrage tot de Geschidenis van Java’s Verovering in 1811, 1895, BKI.<br />

Gersen, G.H. 1876, Oendang-Oendang of Verzameling van Voorschriften in de<br />

Lematang Oeloe en Ilir en de Pasemanlanden, TBG, Jilid XX.<br />

Gravesande, F.J.B. Storm van ‗s, 1856, De Stad Palembang, TBG, Jilid V.<br />

Hoek, I.H.J., 1862, Het Herstel van het Nederlandsch Gezag op Java en<br />

Onderhoorigheden 1816-1819, ‗s Gravenhage, De Gebroeders van Cleff.<br />

Kemp, P.H, van der, 1898, Geschiedenis van Een Engelschen Raid of Hollandsch<br />

Groudgebeid, de Gids, Jilid I.<br />

________, 1900, Palembang en Banka in 1816 – 1820, Bijdrage van Koloniaal<br />

Instituut, Jilid LI.<br />

Kielstra,E.B., 1892, De Ondergang Van Het Palembangsche Rijk, de Gids, 1892.<br />

Korten Schets van Het Eiland Banka, 1846,Tijdschrift voor Nederlandsch<br />

Indië,Jld IV.<br />

Kuntowijoyo, Penjelasan Sejaah (Historical Explanation), Yogyakarta: Tiara<br />

Wacana.<br />

Lady Raffles, 1835, Memoirs of the Public Services of Sir T.S. Raffles, his widow.<br />

Oendang-Oendang Simboer Tjahaja, 1894, BKI.<br />

Oorspronkelijke Munten Uit Palembang, 1859, TBG, Jilid IV.<br />

Schetsen van Palembang, 1848, Tijdschrift voor Neerlandsch Indie, Jilid III, dan<br />

VIII.<br />

The Asiatic Journal and monthly register for British India and its dependencies,<br />

1819, volume 7.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia


342<br />

The Asiatic Journal and monthly register for British India and its dependencies,<br />

Pebruari 1819, volume 7.<br />

The Asiatic Journal and monthly register for British India, Agustus 1820, volume<br />

10.<br />

The Asiatic Journal and monthly register for British India, September 1820,<br />

volume 10.<br />

The Asiatic Journal and monthly register for British India, 1825, volume 20.<br />

Visser, H., 1883, Iets Over het Landschap de Pasemah Oeloe Manna en<br />

Heerschappij door britsche T.S. Raffles, TBG, Jilid XXVIII.<br />

Waey, H., van, 1875, Palembang 1809-1819, Tijdschrift voor Nederlandsch Indie,<br />

I.<br />

Woelders,M.C., 1975, Het Sultanaat Palembang 1811-1825, Leiden, B.V. de<br />

Nederlansche Boek-en Steendrukkerij v/h H.L. Smits ‘Gravenhage<br />

Woelters, O.W., 1979, A Note on Sungsang Village at The Estuari of The Musi<br />

River in Southeastern Sumatra; A Reconsideration of Historical<br />

Geography of The Palembang Region, Indonesia, Nomor 27.<br />

Wurtzburg, C.E., 1949, Raffles and The Massacre at Palembang, JMBRAS.<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!