18.04.2014 Views

SKRIPSI JURUSAN SYARIAH PROGRAM STUDI AL AHWAL ... - idb4

SKRIPSI JURUSAN SYARIAH PROGRAM STUDI AL AHWAL ... - idb4

SKRIPSI JURUSAN SYARIAH PROGRAM STUDI AL AHWAL ... - idb4

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR DI K<strong>AL</strong>ANGAN ORANG SUMATRA<br />

(Studi Kasus di Kelurahan Karang Ketuan, Kecamatan Lubuk Linggau<br />

Selatan II, Kota Lubuk Linggau Sumatra Selatan Tahun 2004-2006)<br />

<strong>SKRIPSI</strong><br />

Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Syarat<br />

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I)<br />

Disusun Oleh :<br />

MAIMUN<br />

NIM. 211 02 029<br />

<strong>JURUSAN</strong> <strong>SYARIAH</strong><br />

<strong>PROGRAM</strong> <strong>STUDI</strong> <strong>AL</strong> AHW<strong>AL</strong> <strong>AL</strong> SYAKHSYIYAH<br />

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)<br />

S<strong>AL</strong>ATIGA<br />

2007


DAFTAR ISI<br />

H<strong>AL</strong>AMAN JUDUL .......................................................................................<br />

DEKLARASI ..................................................................................................<br />

NOTA PEMBIMBING ....................................................................................<br />

PENGESAHAN ..............................................................................................<br />

MOTTO ..........................................................................................................<br />

PERSEMBAHAN ...........................................................................................<br />

KATA PENGANTAR ....................................................................................<br />

DAFTAR ISI ...................................................................................................<br />

i<br />

ii<br />

iii<br />

iv<br />

v<br />

vi<br />

vii<br />

ix<br />

BAB I<br />

PENDAHULUAN<br />

A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1<br />

B. Pokok Masalah ....................................................................... 5<br />

C. Tujuan dan Kegunaan ............................................................ 5<br />

D. Telaah Pustaka ........................................................................ 6<br />

E. Kerangka Teori ....................................................................... 8<br />

F. Metode Penelitian ................................................................... 9<br />

G. Sistematika Pembahasan ........................................................ 12<br />

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERNIKAHAN DI<br />

BAWAH UMUR<br />

A. Pengertian Pernikahan ............................................................ 15<br />

B. Pandangan Secara Biologis dan Psikologi tentang Masa<br />

Dewasa ................................................................................... 19<br />

ii


C. Usia Pernikahan Menurut Undang-undang Perkawinan<br />

No. 1/1974............................................................................... 21<br />

D. Pernikahan di Bawah Umur ................................................... 22<br />

BAB III<br />

PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR DI KELURAHAN<br />

KARANG KETUAN, KECAMATAN LUBUK LINGGAU<br />

SELATAN II, KOTA LUBUK LINGGAU<br />

A. Gambaran Umum Kota Lubuk Linggau ................................ 25<br />

B. Pelaksanaan Pernikahan di Bawah Umur di Kelurahan<br />

Karang Ketuan, Kecamatan Lubuk Linggau Selatan II, Kota<br />

Lubuk Linggau........................................................................ 28<br />

C. Faktor-faktor Penyebab Pernikahan di Bawah Umur ............ 32<br />

D. Dampak Pernikahan di Bawah Umur ..................................... 38<br />

BAB IV AN<strong>AL</strong>ISA PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR DI<br />

KELURAHAN KARANG KETUAN, KECAMATAN LUBUK<br />

LINGGAU SELATAN II, KOTA LUBUK LINGGAU<br />

A. Faktor-faktor Penyebab Pernikahan di Bawah Umur ............ 41<br />

B. Analisa Dampak Pernikahan di Bawah Umur ........................ 50<br />

BAB V<br />

PENUTUP<br />

A. Kesimpulan ............................................................................. 54<br />

B. Saran-saran ............................................................................. 56<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

DAFTAR RIWAYAT HIDUP<br />

LAMPIRAN<br />

iii


BAB I<br />

PENDAHULUAN<br />

A. Latar Belakang Masalah<br />

Manusia adalah makhluk yang sangat dimuliakan Allah, sehingga di<br />

dalam kebutuhan biologisnya diatur dalam hukum perkawinan. Oleh karena<br />

itu, manusia terdorong untuk melakukan hubungan diantara lawan jenis sesuai<br />

dengan prinsip-prinsip hukum Islam itu sendiri. Hal ini diharapkan agar<br />

manusia di dalam berbuat tidak menuruti hawa nafsu semata.<br />

Di dalam Al Qur'an surat An Nisa ayat 1, Allah telah menganjurkan<br />

adanya pernikahan, adapun firman-Nya :<br />

ياأيها الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة وخلق<br />

منها زوجها وبث منهما رجالا آثيرا ونساء واتقوا االله الذي<br />

تساءلون به والأرحام إن االله آان عليكم رقيبا (1)<br />

Artinya : Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah<br />

menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah<br />

menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah<br />

memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.<br />

Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan)<br />

nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah)<br />

hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan<br />

mengawasi kamu. 1<br />

Islam memberi wadah untuk merealisasikan keinginan tersebut sesuai<br />

dengan syariat Islam yaitu melalui perkawinan yang sah.<br />

1 Departemen Agama RI, Al Qur'an Terjemah, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al<br />

Qur'an, Jakarta, 1980, hlm. 114


Perkawinan suatu cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia<br />

untuk beranak, berkembang baik dan kelestarian hidupnya, setelah masingmasing<br />

pasangan siap melakukan perannya yang positif dalam mewujudkan<br />

tujuan perkawinan. 2<br />

Sebagaimana firman Allah surat Al Hujurat ayat 13<br />

ياأيها الناس إنا خلقناآم من ذآر وأنثى وجعلناآم شعوبا<br />

وقبائل لتعارفوا إن أآرمكم عند االله أتقاآم إن االله عليم<br />

خبير(‏‎13‎‏)‏<br />

Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang<br />

laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu<br />

berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal<br />

mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu<br />

di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.<br />

Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. 3<br />

Adapun perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki<br />

dengan seorang perempuan untuk hidup berumah tangga yang bahagia dan<br />

kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. 4<br />

Oleh karena itu, pernikahan harus dapat dipertahankan oleh kedua<br />

belah pihak agar dapat mencapai tujuan dari perkawinan tersebut, sehingga<br />

dengan demikian perlu adanya kesiapan-kesiapan dari kedua belah pihak baik<br />

mental maupun material. Artinya secara fisik laki-laki dan perempuan sudah<br />

sampai pada batas umur yang bisa dikategorikan menurut hukum positif dan<br />

baligh menurut hukum Islam. Akan tetapi faktor lain yang sangat penting<br />

yaitu kematangan dalam berfikir dan kemandirian dalam hidup (sudah bisa<br />

2 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah , Darul Fikry, Beirut, t.t., hlm. 19<br />

3 Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 847<br />

4 Undang-undang Perkawinan di Indonesia dan, Peraturan Pelaksanaan, PT.Pradya<br />

Paramita, Jakarta, 1974, Pasal 1<br />

2


memberikan nakah kepada isteri dan anaknya). Hal ini yang sering dilupakan<br />

oleh masyarakat.<br />

Sedangkan tujuan yang lain dari perkawinan dalam Islam selain untuk<br />

memenuhi kebutuhan hidup jasmani maupun rohani manusia juga sekaligus<br />

untuk membentuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan<br />

dalam menjalani hidupnya di dunia ini, juga pencegah perzinahan, agar<br />

tercipta ketenangan dan ketentraman jiwa bagi yang bersangkutan,<br />

ketentraman keluarga dan masyarakat. 5<br />

Sementara itu, sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia itu<br />

sendiri, muncul permasalahan yang terjadi dalam masyarakat, yaitu sering<br />

terjadinya pernikahan yang dilakukan oleh seseorang yang belum cukup umur<br />

untuk melakukan pernikahan.<br />

Masalah batas umur untuk bisa melaksanakan pernikahan sebenarnya<br />

telah ditentukan dalam UU No. 1/1974 pasal 7 ayat (1), bahwa pernikahan<br />

hanya diizinkan jika pria sudah mencapai umur 19 tahundan pihak wanita<br />

sudah mencapai umur 16 tahun. Ketentuan batas umur ini, seperti disebutkan<br />

dalam kompilasi pasal 15 ayat (1) didasarkan kepada pertimbangan<br />

kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan ini sejalan dengan<br />

prinsip yang diletakkan UU perkawinan, bahwa calon suami istri harus telah<br />

siap jiwa raganya, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik<br />

tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.<br />

5 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1996,<br />

hlm. 26-27<br />

3


Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang<br />

masih di bawah umur. 6<br />

Di sini penulis akan mengadakan penelitian mengenai pernikahan di<br />

bawah umur yang terjadi di Kelurahan Karang Ketuan, Kecamatan Lubuk<br />

Linggau Selatan, Kota Lubuk Linggau. Dimana Kota Lubuk Linggau ini<br />

terbagi menjadi delapan kecamatan, yaitu kecamatan Lubuk Linggau Utara I<br />

dan II, kecamatan Lubuk Linggau Barat I dan II, Kecamatan Lubuk Linggau<br />

Timur I dan II, dan Kecamatan Lubuk Linggau Selatan I dan II. Dan setiap<br />

kecamatan mengepalai sembilan kelurahan. Sedangkan kelurahan Karang<br />

Ketuan terletak di Kecamatan Lubuk Linggau Selatan II, dan Kelurahan<br />

Karang Ketuan terbagi menjadi beberapa RT. Sedangkan kelurahan Karang<br />

Ketuan dijadikan sebagai objek penelitian bagi penulis. Karena masih<br />

banyaknya faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pernikahan di bawah<br />

umur, faktor-faktor tersebut, yaitu karena dijodohkan oleh orang tua, faktor<br />

ekonomi, faktor pendidikan, faktor agama, faktor adat dan budaya, dan karena<br />

faktor kemauan anak.<br />

Pernikahan dibawah umur ini sangat menarik untuk diteliti, oleh sebab<br />

itu penulis mencoba mengangkat persoalan yang terjadi dalam masyarakat<br />

dengan judul “PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR DI K<strong>AL</strong>ANGAN<br />

ORANG SUMATRA (Studi Kasus di Kelurahan Karang Ketuan, Kecamatan<br />

Lubuk Linggau Selatan II, Kota Lubuk Linggau Sumatra Selatan Tahun 2004-<br />

2006 untuk diteliti kebenarannya dengan obyek penelitian warga masyarakat<br />

6 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998,<br />

4


Kelurahan Karang Ketuan, Kecamatan Lubuk Linggau Selatan II, Kota Lubuk<br />

Linggau, Sumatra Selatan.<br />

B. Pokok Masalah<br />

Berdasarkan pada pemikiran di atas, maka yang menjadi pokok<br />

permasalahan dalam penelitian adalah :<br />

1. Bagaimana tata cara pernikahan di bawah umur di Kelurahan Karang<br />

Ketuan ?<br />

2. Bagaimana ketentuan perundang-undangan tentang pernikahan di bawah<br />

umur ?<br />

3. Apa faktor penyebab pernikahan di bawah umur di Kelurahan Karang<br />

Ketuan ?<br />

4. Apa dampak yang ditimbulkan oleh pernikahan di bawah umur di<br />

Kelurahan Karang Ketuan ?<br />

C. Tujuan dan Kegunaan<br />

1. Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini oleh penulis adalah :<br />

a. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan pernikahan di bawah<br />

umur.<br />

b. Untuk mengetahui sebab terjadinya pernikahan di bawah umur di<br />

Kelurahan Karang Ketuan, Kecamatan Lubuk Linggau Selatan II,<br />

Kota Lubuk Linggau, Sumatra Selatan dan dampaknya.<br />

c. Untuk menganalisa faktor-faktor yang melatar belakangi pernikahan<br />

di bawah umur dan dampak negatifnya.<br />

hlm. 76-77<br />

5


2. Kegunaan<br />

a. Diharapkan berguna sebagai sumbangan pemikiran terhadap<br />

masyarakat Desa Karang Ketuan agar lebih hati-hati dalam<br />

melaksanakan pernikahan.<br />

b. Untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan bagi siapa yang<br />

membaca skripsi ini dalam memperkaya kebudayaan.<br />

D. Telaah Pustaka<br />

Telah ada beberapa buku dan juga kitab-kitab fiqih yang mengkaji<br />

pernikahan dalam Islam yang membahasnya dalam bab munakahat mengatur<br />

hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam ikatan penrikahan, baik pada<br />

masa pra pernikahan maupun pasca pernikahan sebagai ajang pembentukan<br />

keluarga.<br />

Aturan-aturan tentang pernikahan itu ada yang cukup rinci dan ada<br />

yang bersifat global. Salah satu aturan yang bersifat global itu adalah tentang<br />

batasan usia baik laki-laki maupun perempuan, sehingga banyak<br />

menimbulkan perbedaan baik dari Imam Madzhab maupun ahli fiqh. Hal ini<br />

terkait dengan perbedaan pendapat tentang masa taklif, yaitu ketika seseorang<br />

orang dianggap sudah baligh (dewasa) dan dikenai kewajiban secara hukum.<br />

Dalam buku Hukum Perkawinan Islam, karya Ahmad Azhar Bashir, MA,<br />

dijelaskan bahwa pada umumnya perkawinan anak di bawah umur yang<br />

dilakukan oleh walinya digolongkan sebagai perkawinan yang mubah (boleh).<br />

Dia berlandaskan bahwa tidak ada nash Al Qur'an dan hadits yang melarangnya.<br />

6


Menurut buku ini juga sejalan dengan tujuan perkawinan menurut<br />

ajaran Islam dan untuk kebaikan pihak-pihak berkepentingan langsung, atas<br />

dasar pertimbangan “maslahat mursalat”.<br />

Dalam buku Fiqh Sunnah 6 karya Sayyid Sabiq yang dialih bahasakan<br />

oleh Moh Thalib, mengatakan bahwa di dunia dewasa ini umur orang kawin<br />

rata-rata 24 tahun bagi perempuan dan pada laki-laki 28 tahun. Umur tersebut<br />

menurutnya umur yang sangat relatif dan paling tengah-tengah.<br />

Dalam buku Membina Rumah Tangga Bahagia dan Peranan Agama<br />

dalam Rumah Tangga, karya Hj. Aisyah Dachlan, dijelaskan bahwa<br />

mengawinkan anak-anak di bawah umur sangat berbahaya. Bermacam-macam<br />

pendapat para ahli mengenai kapan anak-anak itu boleh dikawinkan.<br />

Menurut buku Problematika Hukum Islam Kontemporer, yang diedit<br />

oleh Dr. H. Chuzaimah T. Yanggo dan Drs. H.A. Hafidz Anshary AZ, MA<br />

menerangkan bahwa masalah pernikahan merupakan urusan hubungan antar<br />

manusia (muamalah) yang oleh agama hanya diatur dalam bentuk prinsipprinsip<br />

umum. Tidak adanya ketentuan agama tentang batas usia maksimal<br />

dan minimal untuk menikah dapat dianggap sebagai suatu rahmat. Maka,<br />

kedewasaan untuk menikah, temrasuk masalah ijtihadiyah, dalam arti kata<br />

diberi kesempatan untuk berijtihad pada usia berapa seseorang pantas<br />

menikah.<br />

Masih dalam buku yang sama dijelaskan bahwa batas usia menikah<br />

bagi kaum pria juga tidak ada ketentuannya. Adanya seruan Nabi kepada<br />

kaum pemuda yang mampu melakukan pernikahan supaya menikah bukanlah<br />

7


suatu kemestian pembatasan usia. Menurut kondisi Indonesia sekarang, usia<br />

yang tepat bagi seseorang untuk menikah ialah sekurang-kurangnya umur 20<br />

tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi pria.<br />

E. Kerangka Teori<br />

Adapun teori-teori yang digunakan dalam rangka penelitian sebagai<br />

landasan berfikir dan alat analisis adalah sebagai berikut :<br />

1. Batas usia dalam perkawinan diatur dalam pasal 7 ayat (1) yang berbunyi :<br />

“Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19<br />

(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam<br />

belas) tahun. Dan selanjutnya dalam pasal 6 ayat (2), dinyatakan bahwa<br />

jika belum berumur 21 tahun maka calon pengantin di haruskan mendapat<br />

izin dari orang tua (wali) yang diwujudkan dalam bentuk surat izin<br />

sebagai salah satu syarat untuk melangsungkan pernikahan dan bagi calon<br />

pengantin yang usianya kurang dari 16 tahun harus memperoleh dispensasi<br />

dari pengadilan. Adanya ketentuan ini dimaksudkan agar calon yang akan<br />

melangsungkan pernikahan itu sudah masak jiwa raganya. Namun jika<br />

ternyata ditemukan atau ada pengecualian dari aturan-aturan di atas<br />

merupakan suatu realitas kehidupan yang perlu mendapat perhatian. 7<br />

2. Hadits tentang perkawinan Aisyah dengan Rasulullah saw<br />

عن عائشة قالت:‏ تزو جنى النبى صلى االله عليه وسلم وانا<br />

بنت ست سنين وبنى بى وانا بنت تسع سنين<br />

7 Undang-undang Perkawinan di Indonesia, op. cit., hlm. 7-8<br />

8


Artinya : Dari Aisyah, ia berkata : Rasulullah menikahi aku sewaktu aku<br />

masih berusia enam tahun, lalu beliau memboyongku ketika aku<br />

sudah berusia sembilan tahun. 8<br />

3. Pendapat Imam Abu Hanifah yang masyhur adalah bahwa anak dianggap<br />

baligh jika sudah berumur 18 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi<br />

perempuan. Sedangkan menurut Imam Asy Syafi’i dan pengikutpengikutnya,<br />

anak laki-laki ataupun perempuan sama-sama telah baligh<br />

sewaktu berumur 13 tahun. 9 Akan tetapi dari beberapa pendapat tersebut<br />

ada suatu muatan terpenting yang ingin penulis sampaikan berkaitan<br />

dengan batas usia dalam pernikahan, yaitu adanya kesiapan secara fisik,<br />

ekonomi maupun mental baik bagi laki-laki maupun perempuan<br />

memasuki jenjang kehidupan baru tersebut. Hal ini tidak lain karena<br />

dengan ikatan pernikahan akan terbentuk sebuah komunitas baru yang<br />

memiliki aturan-aturan yang masing-masing mempunyai hak dan kewajiban,<br />

masing-masing pihak harus sadar akan tugas dan kewajibannya, harus toleran<br />

dengan penanganan hidupnya, guna mewujudkan keluarga yang bahagia dan<br />

kekal dunia akhirat (mawaddha warrahmah).<br />

F. Metode Penelitian<br />

Metode yang digunakan penulis yaitu metode kualitatif, adalah<br />

prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif, ucapan atau tulisan<br />

dan prilaku yang dapat diamati dari orang-orang (subyek) itu sendiri. 10<br />

8 Adib Bisri Mustofa, Terjemah Shahih Muslim II, terj. Adib Bisri Mustofa, CV. Asy<br />

Syifa, Semarang, 1993, hlm. 777<br />

9 Muhammad Ali As Sayis, Tafsir Ayat Al Ahkam, Muhammad Ali Sabik, 1983,<br />

hlm. 185<br />

10 Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Modern English<br />

Press, Jakarta, 1991, hlm. 781<br />

9


1. Jenis Penelitian<br />

Jenis penelitian yang digunakan adalah file research, yaitu terjun<br />

langsung kelapangan guna mengadakan penelitian pada obyek yang<br />

dibahas. 11<br />

a. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama<br />

yakni perilaku warga masyarakat melalui penelitian. 12<br />

b. Data sekunder yaitu data yang mencakup dokumen-dokumen resmi,<br />

buku-buku, hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian, dan<br />

seterusnya. 13<br />

2. Metode Pengumpulan Data<br />

a. Wawancara, yaitu sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara<br />

untuk memperoleh informasi dari terwawancara. 14<br />

Wawancara ini<br />

dilakukan dengan warga masyarakat Kelurahan Karang Ketuan,<br />

Kecamatan Lubuk Linggai Selatan II, Kota Lubuk Linggau.<br />

b. Observasi, seperti yang dikatakan oleh Karlinger bahwa dalam<br />

mengamati bukan hanya melihat obyek, tetapi mengobservasi adalah<br />

suatu istilah umum yang mempunyai arti semua bentuk penerimaan<br />

data yang dilakukan dengan cara merekam kejadian, menghitung,<br />

mengukurnya, dan mencatatnya. Observasi adalah suatu usaha sadar<br />

11<br />

Sutrisno Hadi, Metodologi Penelitian Research I, Yayasan Penelitian Fakultas<br />

Psikologi UGM, Yogyakarta, 1981, hlm. 4<br />

12 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Yogyakarta, 1986, hlm. 12<br />

13 Ibid.<br />

14 Suharsimi Arikunto, Prosedur Pendekatan suatu Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, 1998,<br />

hlm. 115<br />

10


untuk mengumpulkan data yang dilakukan secara sistematis dengan<br />

prosedur yang berstandar. 15<br />

c. Dokumentasi, yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang<br />

berupa catatan perkawinan di Kelurahan Karang Ketuan, metode ini<br />

digunakan untuk memperoleh data tentang jumlah pernikahan.<br />

3. Pendekatan Masalah<br />

a. Pendekatan sosiologis, yaitu pendekatan yang dasar tujuannya adalah<br />

permasalahan-permasalahan yang ada dalam masyarakat. Dalam<br />

kaitannya dengan masalah pernikahan di bawah umur, maka<br />

pendekatan ini digunakan untuk mengetahui realitas yang ada di<br />

masyarakat yang mana masih banyak masyarakat yang melakukan<br />

pernikahan di bawah umur, seperti yang terjadi di Kelurahan Karang<br />

Ketuan, Kecamatan Lubuk Linggai Selatan II, Kota Lubuk Linggau.<br />

b. Pendekatan yuridis yaitu cara pendekatan yang berorientasi pada<br />

gejala-gejala hukum yang bersifat normatif untuk lebih banyak<br />

bersumber pada pengumpulan data kepustakaan. Melalui pendekatan<br />

ini diharapkan sebagai usaha untuk mempelajari ketentuan perundangundangan,<br />

peraturan-peraturan lain maupun pemikiran yang berkaitan<br />

dengan pelaksanaan pernikahan di bawah umur. 16<br />

15 Sutrisno Hadi, Metodologi Researh: untuk Penulisan Paper, Tesis dan Disertasi, cet.<br />

21, Yogyakarta: Andi Offset, 1994, hlm. 193<br />

16 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 1992, hlm. 263<br />

11


4. Analisa Data<br />

Untuk menganalisis data yang telah terkumpul, maka metode<br />

analisis data digunakan adalah analisis data kualitatif, yaitu teknik<br />

deskriptif non statistik. Metode ini digunakan untuk data nonangka maka<br />

analisis yang digunakan juga analisis non statistik dengan menggunakan<br />

metode induktif, yaitu cara berpikir yang bertolok dari hal-hal yang<br />

bersifat khusus, kemudian digeneralisasikan ke dalam kesimpulan yang<br />

umum. Dan metode deduktif, yaitu berfikir yang berangkat dari masalahmasalah<br />

yang umum kemudian untuk menilai peristiwa-peristiwa yang<br />

khusus. 17<br />

G. Sistematika Pembahasan<br />

Secara global, skripsi ini dibagi dalam lima pembahasan yang satu<br />

sama lain saling berkait dan merupakan suatu sistem yang urut untuk<br />

mendapatkan suatu kesimpulan dalam mendapatkan suatu kebenaran ilmiah.<br />

BAB I<br />

: PENDAHULUAN<br />

Pada bab ini berisi tentang latar belakang masalah, pokok<br />

masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, kerangka teori,<br />

metode penelitian dan sistematika pembahasan.<br />

BAB II : TINJAUAN UMUM MENGENAI PERNIKAHAN DI<br />

BAWAH UMUR<br />

Bab ini menjelaskan pengertian pernikahan, pandangan secara<br />

biologis dan psikologis tentang masa dewasa, usia perkawinan<br />

17 Sutrisno Hadi, op. cit., hlm. 36<br />

12


menurut UU No. 1/1974, dan pengertian pernikahan di bawah<br />

umur.<br />

BAB III<br />

: PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR DI KELURAHAN<br />

KARANG KETUAN, KECAMATANLUBUK LINGGAU<br />

SELATAN II, KOTA LUBUK LINGGAU<br />

Pada bab ini berisi tentang gambaran umum Kelurahan Karang<br />

Ketuan, Kecamatan Lubuk Linggau Selatan II, Kota Lubuk<br />

Linggau, data pernikahan di bawah umur di Kelurahan Karang<br />

Ketuan, Kecamatan Lubuk Linggau Selatan II, Kota Lubuk<br />

Linggau, pelaksanaan pernikahan di bawah umur di Kelurahan<br />

Karang Ketuan, Kecamatan Lubuk Linggau Selatan II, Kota<br />

Lubuk Linggau, faktor-faktor penyebab pernikahan di bawah<br />

umur di Kelurahan Karang Ketuan, Kecamatan Lubuk Linggau<br />

Selatan II, Kota Lubuk Linggau dan dampak pernikahan di bawah<br />

umur di Kelurahan Karang Ketuan, Kecamatan Lubuk Linggau<br />

Selatan II, Kota Lubuk Linggau.<br />

BAB IV : AN<strong>AL</strong>ISA PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR DI<br />

KELURAHAN KARANG KETUAN KECAMATAN LUBUK<br />

LINGGAU SELATAN II, KOTA LUBUK LINGGAU<br />

Bab ini berisi menganalisa faktor-faktor penyebab pernikahan di<br />

bawah umur di Kelurahan Karang Ketuan, Kecamatan Lubuk<br />

Linggai Selatan II, Kota Lubuk Linggau dan analisa dampak<br />

13


pernikahan di bawah umur di Kelurahan Karang Ketuan,<br />

Kecamatan Lubuk Linggai Selatan II, Kota Lubuk Linggau.<br />

BAB V<br />

: PENUTUP<br />

Bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran-saran<br />

14


BAB II<br />

TINJAUAN UMUM MENGENAI PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR<br />

Pengertian Pernikahan<br />

Pernikahan adalah salah satu kodrat dalam perjalanan hidup manusia.<br />

Pernikahan bukan hanya sekedar jalan yang amat mulia untuk mengatur<br />

kehidupan menuju pintu perkenalan, akan tetapi menjadi jalan untuk<br />

menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang lainnya. Disamping itu<br />

juga pernikahan merupakan jalan untuk menghindarkan manusia dari<br />

kebiasaan hawa nafsu yang menyesatkan.<br />

Dan pengertian pernikahan itu sendiri dapat dilihat dari segi bahasa<br />

dan istilah. Secara bahasa nikah berasal dari bahasa Arab<br />

18<br />

حاكن حكني حكن<br />

Sedangkan dalam Kamus Besar Indonesia nikah mempunyai arti<br />

hubungan antara laki-laki dan perempuan untuk menjadi suami istri secara<br />

resmi. 19 Ada juga arti nikah menurut syara’ yaitu akad yang membolehkan<br />

seorang laki-laki bergaul bebas dengan perempuan tertentu dan pada akad<br />

menggunakan akad nikah. 20 Jadi apabila antara laki-laki dan perempuan yang<br />

sudah siap untuk membentuk suatu rumah tangga, maka hendaklah perempuan<br />

18 Syarifuddin, Kamus Al Misbah, Bina Aksara, Jakarta, t.t., hlm. 573<br />

19 Departemen P dan K, Kamus Besar Indonesia, cet. 3, Balai Pustaka, Jakarta, 1990,<br />

hlm. 614<br />

20 Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan<br />

Ahli Sunnah dan Negara-negara Islam, cet. I, Bulan Bintang, Yogyakarta, 1980, hlm. 104<br />

15


harus melakukan akad nikah terlebih dahulu. Dalam Al Qur'an bahwa<br />

pernikahan disebut dengan nikah dan mitsaq (perjanjian). 21<br />

Ada juga beberapa definisi nikah yang dikemukakan oleh fuqoha,<br />

namun pada prinsipnya tidak terdapat perbedaan yang berarti karena<br />

semuanya mengarah kepada makna akad kecuali pada penekanan redaksi yang<br />

digunakan. Nikah pada hakekatnya adalah akad yang diatur oleh agama untuk<br />

memberikan kepada pria hak memiliki dan menikmati faraj dan seluruh tubuh<br />

wanita untuk penikmatan sebagai tujuan primer. 22<br />

Pengertian hak milik,<br />

sebagaimana yang dapat ditemukan hampir semua definisi dari fuqaha, ialah<br />

milk al intifa’, yaitu hak milik penggunaan atau pemakai suatu benda.<br />

Bagi ulama Hanafiah akad nikah membawa konsekuensi bahwa suami<br />

istri berhak memiliki kesenangan (mik al mut’ah) dari istrinya, dari ulama<br />

Malikiyah akad nikah membawa akibat pemilikan bagi suami untuk<br />

mendapatkan kelezatan (talazuz) dari istrinya. Sedangkan bagi ulama<br />

Syafi’iyah akad membawa akibat suami memiliki kesempatan untuk<br />

melakukan jima’ (bersetubuh) dengan istrinya. 23 Sebagian ulama Syafi’iyyah<br />

memandang bahwa akad nikah bukanlah untuk memberikan hak milik pada<br />

kaum laki-laki saja akan tetapi kedua belah pihak. Maka golongan itu<br />

berpendapat bahwa seorang istri berhak menuntut persetubuhan dari suami<br />

21 Dengan kata Nikah perhatikan surat An Nisa’ (4) : 3 dan An Nur (24): 32, sedangkan<br />

kata mitsaq dalam surat An Nisa’ (4) : 21<br />

22 Bakri A. Rahman dan Ahmadi Sukadja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, Undangundang<br />

Perkawinan dan Hukum Perdata/BW, Hidakarya Agung, Jakarta, 1981, hlm. 13<br />

23 Abdu Ar Rahman Al Jaziri, Kitab al Fiqih ‘Ala Al Ma’zahib Al Arba’ah, Dar Al Fikr,<br />

Beirut, 1969, hlm. 2-3<br />

16


dan suami berkewajiban memenuhinya sebagaimana suami berhak<br />

menentukan persetubuhan dari istrinya. 24<br />

Sedangkan menurut UU No. 1/1974 bahwa pernikahan adalah ikatan<br />

lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri<br />

dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal<br />

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 25<br />

Adapun syarat syahnya pernikahan itu apabila telah memenuhi syaratsyarat<br />

yang telah ditentukan oleh Undang-undang maupun hukum Islam.<br />

Dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan menyatakan bahwa<br />

pernikahan adalah syah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing.<br />

Sedangkan menurut hukum perkawinan Islam yang dijadikan pedoman syah<br />

dan tidaknya pernikahan itu adalah dipenuhinya syarat-syarat dan rukun<br />

pernikahan berdasarkan hukum agama Islam. Dalam hal ini hukum Islam<br />

mengenal perbedaan antara syarat dan rukun pernikahan. Rukun merupakan<br />

sebagian dari hakekat pernikahan itu sendiri dan jika tidak dipenuhi maka<br />

pernikahan tidak akan terjadi. 26<br />

Rukun pernikahan tersebut antara lain :<br />

1. Adanya kedua mempelai<br />

2. Adanya wali dari pihak calon mempelai wanita<br />

3. Adanya dua orang saksi<br />

24 Ibid., hlm. 40<br />

25 Undang-undang Perkawinan di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaan, PT. Pradya<br />

Paramita, Jakarta, No. 1/1974, pasal 2 ayat (1)<br />

26 Ahmad Ichsan, Hukum Perkawinan bagi yang Beragama Islam, Suatu Tinjauan dan<br />

Ulasan secara Sosiologi Hukum, Pradia Paramita, Jakarta, 1986, hlm. 31<br />

17


4. Adanya shighot akad nikah atau ijab qabul<br />

5. Mahar atau mas kawin. 27<br />

Adapun syarat pernikahan menurut UU Perkawinan No. 11 tahun 1974<br />

antara lain :<br />

1. Perkawinan dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya, pasal 2<br />

ayat (1)<br />

2. Tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan<br />

yang berlaku, pasal 2 ayat (2)<br />

3. Perkawinan seorang laki-laki yang sudah mempunyai istri harus mendapat<br />

ijin dari pengadilan, pasal 3 ayat (2) dan pasal 27 ayat (2)<br />

4. Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur<br />

21 tahun harus mendapat ijin kedua orang tua. Pasal 6 ayat (2). Bila orang<br />

tua berhalangan, ijin diberikan oleh pihak lain yang ditentukan dalam<br />

undang-undang pasal 6 ayat (2-5).<br />

5. Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19<br />

tahun, dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Pasal 7 ayat (1),<br />

ketentuan ini tidak bertentangan dengan Islam, sebab setiap masyarakat<br />

dan setiap zaman berhak menentukan batas-batas umur bagi perkawinan<br />

selaras dengan system terbuka yang dibakai Al Qur'an dalam hal ini.<br />

6. Harus ada persetujuan antara kedua calon mempelai kecuali apabila<br />

hukum mementukan lain. Pasal 6 ayat (1), hal ini untuk menghindarkan<br />

paksaan bagi calon mempelai dalam memilih calon isteri atau suami.<br />

27 Slamet Abidin dan H. Aminudin, Fiqih Munakahat, Pustaka Setia, Bandung, 1999,<br />

hlm. 72<br />

18


Diantara syarat-syarat tersebut adalah salah satu cara yang harus dipenuhi<br />

dalam mencapai tujuan suatu pernikahan. Dalam pasal 1 Undang-undang<br />

Perkawinan No. 1/1974 dinyatakan bahwa pernikahan adalah untuk membentuk<br />

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang<br />

Maha Esa. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar<br />

masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya, membantu dan mencapai<br />

kesejahteraan spiritual dan material, yang artinya bahwa pernikahan yang<br />

dilangsungkan bukan hanya sementara saja, akan tetapi untuk selama-lamanya.<br />

Dikarenakan tidak boleh pernikahan yang dilangsungkan untuk sementara saja<br />

seperti pernikahan kontrak. Dari rumusan tersebut dapat mengandung makna<br />

bahwa pernikahan tersebut dapat melahirkan kebahagiaan lahir dan batin yang<br />

bersifat kekal abadi.<br />

Pandangan Secara Biologis dan Psikologi tentang Masa Dewasa<br />

1. Pandangan secara Biologis<br />

Adapun ciri-ciri kedewasaan seseorang cara biologis menurut para<br />

ulama adalah sebagai berikut : para ulama ahli fiqh sepakat dalam<br />

menentukan taklif (dewasa dari segi fisik, yaitu seseorang sudah dikatakan<br />

mukallaf/baligh) ketika sudah keluar mani (bagi laki-laki), sudah haid atau<br />

hamil (bagi perempuan). 28 Apabila tanda-tanda itu dijumpai pada seorang<br />

anak laki-laki maupun perempuan maka para fuqaha sepakat menjadikan<br />

umur sebagai suatu ukuran, akan tetapi mereka berselisih faham mengenai<br />

batas seseorang yang telah dianggap sudah dewasa.<br />

28 Muhammad Ali Assayis, Tafsir Ayat Al Ahkam Al Qur'an, terj. Muhammad Ali Sabiq,<br />

1983, hlm. 212<br />

19


Akan tetapi berdasarkan ilmu pengetahuan kedewasaan seseorang<br />

tersebut akan dipengaruhi oleh keadaan zaman dan daerah dimana ia<br />

berada, sehingga ada perbedaan percepat lambatnya kedewasaan<br />

seseorang.<br />

2. Pandangan secara psikologis<br />

Ciri-ciri secara psikologis yang paling pokok adalah mengenai<br />

pola-pola sikap, pola perasaan, pola pikir dan pola prilaku nampak<br />

diantaranya :<br />

a. Stabilitas mulai timbul dan meningkat, pada masa ini terjadi banyak<br />

penyesuaian dalam aspek kehidupan.<br />

b. Citra diri dan sikap pandangan lebih realistis, pada masa ini mulai<br />

dapat menilai dirinya sebagaimana adanya, menghargai miliknya,<br />

keluarganya, orang lain seperti keadaan sesungguhnya sehingga timbul<br />

perasaan puas dan menjauhkannya dari rasa kecewa.<br />

c. Menghadapi masalahnya secara lebih matang, usaha pemecahan<br />

masalah-masalah secara lebih matang dan realistis merupakan produk<br />

dari kemampuan berfikir yang lebih sempurna dan ditunjang oleh<br />

sikap pandangan yang realistis sehignga diperoleh perasaan yang lebih<br />

tenang.<br />

d. Perasaan menjadi lebih tenang, ketenangan perasaan dalam<br />

menghadapi kekecewaan atau hal-hal lain yang mengakibatkan<br />

kemarahan mereka, ditunjang oleh adanya kemampuan pikir dan dapat<br />

menguasai atau mendominasi perasaan-perasaannya serta keadaan<br />

yang realistis dalam menentukan sikap, minat dan cita-cita<br />

20


mengakibatkan mereka tidak terlalu kecewa dengan adanya kegagalankegagalan<br />

yang dijumpainya, kebahagiaan akan semakin kuat jika<br />

mereka mendapat proyek respek dari orang lain atau usaha-usaha<br />

mereka. 29<br />

Dari beberapa pendapat tersebut ada suatu muatan terpenting yang<br />

ingin penyusun sampaikan yang berkaitan dengan<br />

batas usia dalam perkawinan adalah kesiapan<br />

secara fisik, ekonomi maupun mental baik bagi<br />

laki-laki maupun perempuan untuk emmasuki<br />

jenjang kehidupan baru tersebut. Karena suatu<br />

ikatan dalam perkawinan akan terbentuk suatu<br />

komunitas yang baru dan akan memiliki aturanaturan<br />

yang amsing-masing mempunyai hak dan<br />

kewajiban, masing-masing pihak juga harus sadar<br />

akan tugas dan kewajibannya, harus toleran dengan<br />

pasnagan hidupnya, agar terwujud suatu keluarga<br />

yang bahagia dan kekal di dunia maupun akherat<br />

(sakinah, mawaddha, warrahmah).<br />

Usia Pernikahan Menurut Undang-undang Perkawinan No.<br />

1/1974<br />

Menurut Undang-undang perkawinan No. 1/1974 sebagai hukum<br />

positif yang berlaku di Indonesia, menetapkan batas umur perkawinan 19<br />

tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan, (pasal 7 ayat (1)), namun<br />

batas usia tersebut bukan merupakan batas usia seseorang telah dewasa<br />

yang cukup dewasa untuk bertindak, akan tetapi batas usia tersebut<br />

hanya merupakan batas usia minimal seseorang boleh melakukan<br />

pernikahan.<br />

Di dalam pasal 6 ayat (2), disebutkan bahwa seseorang sudah<br />

dikatakan dewasa kalau sudah mencapai umur 21 tahun, sehingga dalam<br />

29 Andi Mapreare, Psikologi Remaja, Usaha Nasional, Surabaya, 1982, hlm. 36-40<br />

21


melakukan pernikahan tidak perlu mendapatkan izin dari kedua orang tuanya.<br />

Pasal 6 ayat 2 ini sejalan dengan pemikiran Yusuf Musa yang berpendapat<br />

bahwa orang dikatakan sudah sempurna kedewasaannya setelah mencapai<br />

umur 21 tahun. Mengingat situasi dan kondisi zaman dan sekaligus juga<br />

mengingat pentingnya pernikahan di zaman modern sekarang ini, orang<br />

menikah demi kemaslahatan umat manusia. Namun kalau dicermati seksama<br />

pasal-pasal yang ada dalam UU Nomor 1 tahun 1974, khususnya sehingga<br />

orang menikah tidak harus mencapai usia yang ditentukan dalam pasal-pasal<br />

undang-undang tersebut. Seseorang sudah boleh menikah jika sudah siap lahir<br />

dan batin. Kesiapan mental dan fisik harus diperhatikan, mengingat tanggung.<br />

Pernikahan di Bawah Umur<br />

Pernikahan di bawah umur adalah pernikahan yang dilakukan oleh<br />

seseorang laki-laki dan seorang wanita di mana umur keduanya masih di<br />

bawah batas minimum yang diatur oleh Undang-undang. Dan kedua calon<br />

mempelai tersebut belum siap secara lahir maupun batin, serta kedua calon<br />

mempelai tersebut belum mempunyai mental yang matang dan juga ada<br />

kemungkinan belum siap dalam hal materi.<br />

Dan berdasarkan pendapat Sarlito Wirawan Sarwono bahwa batas usia<br />

dewasa bagi laki-laki 25 tahun dan bagi perempuan 20 tahun, karena<br />

kedewasaan seseorang tersebut ditentukan secara pasti baik oleh hukum positif<br />

maupun hukum Islam. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa batasan usia<br />

dikatakan di bawah umur ketika seseorang kurang dari 25 tahun bagi laki-laki<br />

22


dan kurang dari 20 tahun bagi perempuan. Sedangkan kata di bawah umur<br />

mempunyai arti bahwa belum cukup umur untuk menikah.<br />

Dari segi psikologi, sosiologi maupun Hukum Islam Pernikahan<br />

dibawah umur terbagi menjadi dua kategori, pertama pernikahan di bawah<br />

umur asli yaitu pernikahan di bawah umur yang benar murni dilaksanakan<br />

oleh kedua belah pihak untuk menghindarkan diri dari dosa tanpa adanya<br />

maksud semata-mata hanya untuk menutupi perbuatan zina yang telah<br />

dilakukan oleh kedua mempelai. Kedua pernikahan di bawah umur palsu yaitu<br />

pernikahan di bawah umur yang pada hakekatnya dilakukan sebagai<br />

kamuflase dari kebejatan prilaku dari kedua mempelai, pernikahan ini hanya<br />

untuk menutupi perilaku zina yang pernah dilakukan oleh kedua mempelai.<br />

Hal ini berarti antara anak dan kedua orang tua bersama-sama untuk menipu<br />

masyarakat dengan cara melangsungkan pernikahan yang mulia dengan<br />

maksud untuk menutupi aib yang telah dilakukan oleh anaknya. Dan mereka<br />

berharap agar masyarakat untuk mencium “bau busuk” yang telah dilakukan<br />

oleh anaknya bahkan sebaliknya memberikan ucapan selamat dan ikut juga<br />

berbahagia. 30<br />

Sedangkan pengertian pernikahan baligh nikah dalam hukum Islam seperti<br />

yang diterapkan oleh ulama fiqh adalah tercapainya usia yang menjadikan<br />

seseorang siap secara biologis untuk melaksanakan perkawinan, bagi laki-laki<br />

yang sudah bermimpi keluar mani dan perempuan yang sudah haid, yang<br />

demikian dipandang telah siap nikah secara biologis. Akan tetapi dalam<br />

23


perkembangan yang terjadi kemampuan secara biologis tidaklah cukup untuk<br />

melaksanakan perkawinan tanpa mempunyai kemampuan secara ekonomis dan<br />

psikis.<br />

Secara ekonomis berarti sudah mampu mencari atau memberi nafkah<br />

dan sudah mampu mebmayar mahar, seangkan secara psikis adalah kedua<br />

belah pihak sudah masak jiwa raganya. Perkawinan dapat dikatakan ideal jika<br />

sudah mempunyai tiga unsur di atas (kemampuan biologis, ekonomis dan<br />

psikis), karena ketiga kemampuan tersebut dimungkinkan telah ada pada<br />

seseorang ketika sudah berumur 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi<br />

perempuan. 31<br />

Pernikahan bukanlah sebagai alasan untuk memenuhi kebutuhan<br />

biologis saja yang bersifat seksual akan tetapi pernikahan merupakan suatu<br />

ibadah yang mulia yang diridhoi oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Maka<br />

pernikahan tersebut akan terwujud jika diantara kedua belah pihak sudah<br />

memiliki tiga kemampuan seperti yang disebutkan di atas dengan kemampuan<br />

tersebut maka akan terciptanya hubungan saling tolong menolong dalam<br />

memenuhi hak dan kewajibannya masing-masing, saling nasehat menasehati<br />

dan saling melengkapi kekurangan masing-masing yang dicerminkan dalam<br />

bentuk sikap dan tindakan yang bersumber dari jiwa yang matang sehingga<br />

keluarga yang ditinggalkannya akan melahirkan keindahan keluarga dunia<br />

yang kekal dan abadi.<br />

30 Abu Al Ghifari, Pernikahan Dini Dilema Generasi Extravaganza, Mujahid Press,<br />

24


BAB III<br />

PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR DI KELURAHAN KARANG<br />

KETUAN, KECAMATAN LUBUK LINGGAU SELATAN II, KOTA<br />

LUBUK LINGGAU<br />

A. Gambaran Umum Kota Lubuk Linggau<br />

Kota Lubuk Linggau berada pada posisi paling barat propinsi<br />

Sumatera Selatan dengan luas wilayah 401,50 km 2 , beriklim tropis, topografi<br />

bervariasi, dengan ketinggian 129 m dpl dan secara umum anah dan sumber<br />

daya alamnya cukup subur serta berpotensi guna mendukung pengembangan<br />

dan pembangunan wilayah, posisi wilayah kota Lubuk Linggau berada di<br />

persimpangan (transit) dari beberapa kota di provinsi Sumatera Selatan dan<br />

kota-kota lain di luar provinsi Sumatera Selatan seperti Jambi, Bengkulu dan<br />

Padang. Selain kondisi geografis yang strategis, kota Lubuk Linggau juga<br />

memiliki berbagai sumber daya alam (recoirces) yang dapat dimanfaatkan<br />

untuk membangun dan meningkatkan kemakmuran daerah ini.<br />

Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 17 tahun 2004 tentang<br />

pemekaran Kelurahan dalam kota Lubuk Linggau maka Kelurahan dalam<br />

Kota Lubuk Linggau yang semula 49 (empat puluh sembilan) Kelurahan<br />

dimekarkan menjadi 72 (tujuh puluh dua) kelurahan. Serta Peraturan Daerah<br />

Nomor 8 tahun 2004 tentang pemekaran Kecamatan dalam kota Lubuk<br />

Linggau dari 4 (empat) Kecamatan menjadi 8 (delapan) kecamatan, dan telah<br />

diresmikan oleh Gubernur Sumatera Selatan pada tanggal 18 Oktober 2004.<br />

Bandung, 2002, hlm. 20<br />

25


Dari 8 (delapan) Kecamatan tersebut, kelurahan Karang Ketuan<br />

terletak di Kecamatan Lubuk Linggau Selatan II. Kecamatan Lubuk Linggau<br />

Selatan II terdiri 7 kelurahan yang terbagi dalam 9 RW dan 60 RT.<br />

Kecamatan Lubuk Linggau Selatan II terletak di sebelah selatan kota<br />

Lubuk Linggau dan berbatasan dengan Kabupaten Musi Rasa, Kota<br />

Tugumulyo (Mirasi).<br />

Dan Kelurahan Karang Ketuan terletak di sebelah selatan dari<br />

Kecamatan Lubuk Linggau Selatan II, Kota Lubuk Linggau, Kelurahan<br />

Karang Ketuan terbagi dalam 4 RT.<br />

Kelurahan Karang Ketuan memiliki 387 kepala keluarga dengan total<br />

penduduk sebanyak 1401 jiwa terdiri dari 708 jiwa laki-laki dan 695 jiwa<br />

perempuan. Rincian secara tabel untuk data jumlah penduduk di Kelurahan<br />

Karang Ketuan Kecamatan Lubuk Linggau Selatan II, Kota Lubuk Linggau<br />

yang kami himpun data statistik Kelurahan Karang Ketuan Kecamatan Lubuk<br />

Linggau Selatan II, Kota Lubuk Linggau tahun 2006 adalah sebagai berikut :<br />

TABEL I<br />

JUMLAH PENDUDUK BERDASARKAN UMUR<br />

No Umur Jumlah<br />

1 00-04 tahun 142 orang<br />

2 05-09 tahun 93 orang<br />

3 10-14 tahun 145 orang<br />

4 15-19 tahun 146 orang<br />

5 20-24 tahun 170 orang<br />

6 25-29 tahun 115 orang<br />

31 UUP, op.cit., pasal 7 ayat 1<br />

26


No Umur Jumlah<br />

7 30-34 tahun 126 orang<br />

8 35-39 tahun 97 orang<br />

9 40-44 tahun 96 orang<br />

10 45-49 tahun 69 orang<br />

11 50-54 tahun 37 orang<br />

12 55-59 tahun 13 orang<br />

13 60-69 tahun 1 orang<br />

14 70-74 tahun -<br />

15 > 74 tahun 25 orang<br />

Sumber : Data monografi Kelurahan Karang Ketuan Kecamatan<br />

Lubuk Linggau Selatan II, Kota Lubuk Linggau,<br />

Desember 2006<br />

Penduduk Kelurahan Karang Ketuan Kecamatan Lubuk Linggau<br />

Selatan II, Kota Lubuk Linggau rata-rata berpendidikan rendah, hal tersebut<br />

dapat dilihat dari tabel berikut :<br />

TABEL II<br />

JUMLAH PENDUDUK BERDASARKAN TINGKAT PENDIDIKAN<br />

No Tingkat Pendidikan Jumlah<br />

1 Tidak tamat SD 139<br />

2 Berpendidikan SD dan sederajat 374<br />

3 SMP dan sederajat 192<br />

4 SMA dan sederajat 174<br />

5 D1 sampai D3 29<br />

6 Perguruan Tinggi/S1 24<br />

7 Pasca Sarjana 1<br />

Sumber : Data monografi Kelurahan Karang Ketuan Kecamatan<br />

Lubuk Linggau Selatan II, Kota Lubuk Linggau,<br />

Desember 2006<br />

27


Dari hasil prosentase tersebut dapat dilihat betapa terpaut jauh antara<br />

masyarakat kelurahan Karang Ketuan yang berpendidikan pasca sarjana,<br />

S1 dengan yang berpendidikan SD sampai SMA yaitu 90%nya. Hal ini<br />

belum dihitung dengan masih ada masyarakat yang buta huruf yang masih<br />

ada di masyarakat khususnya para orang tua.<br />

Dari segi agama mayoritas hampir 99% penduduk di Kelurahan<br />

Karang Ketuan Kecamatan Lubuk Linggau Selatan II, Kota Lubuk<br />

Linggau Karang Ketuan beragama Islam, sisanya Katolik, Protestan dan<br />

Hindu dengan rincian sebagai berikut :<br />

TABEL III<br />

JUMLAH PENDUDUK MENURUT AGAMA<br />

No Agama Jumlah<br />

1 Islam 1365 orang<br />

2 Katolik 10 orang<br />

3 Protestan 20 orang<br />

4 Hindu 6 orang<br />

Sumber : Data monografi Kelurahan Karang Ketuan Kecamatan<br />

Lubuk Linggau Selatan II, Kota Lubuk Linggau, Desember<br />

2006<br />

B. Pelaksanaan Pernikahan di Bawah Umur di Kelurahan Karang Ketuan<br />

Kecamatan Lubuk Linggau Selatan II, Kota Lubuk Linggau<br />

Dari penelusuran data di Kelurahan Karang Ketuan Kecamatan Lubuk<br />

Linggau Selatan II, Kota Lubuk Linggau untuk periode mulai tahun 2004<br />

sampai 2006 diperoleh data sebagai berikut :<br />

28


TABEL IV<br />

TABEL DATA PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR<br />

DI KELURAHAN KARANG KETUAN TAHUN 2004-2006<br />

No<br />

Nama Umur Pendidikan Tanggal<br />

Suami Istri Suami Istri Suami Istri Menikah<br />

Alamat<br />

1 Junaidi Elia Jaliah 15 th 15 th SD SD 22-6-2004 RT 01<br />

2 M. Rosyid Elfa S. 26 th 15 th SMP SD 20-5-2003 RT 04<br />

3 Rusdi Ika Eriyana 18 th 16 th SMP SD 1-5-2005 RT 02<br />

4 Firman Syah Heny H. 20 th 14 th SD SD 28-5-2006 RT 01<br />

5 Agusman Nur A. Wasih 19 th 13 th SMP SD 18-8-2004 RT 01<br />

6 Dedy H. Herlina 17 th 15 th SD SD 21-6-2006 RT 02<br />

7 Suryanto Sumarti 18 th 14 th SD SD 20-10-2005 RT 04<br />

8 Parji Heti Andriani 19 th 13 th SMP SD 1-2-2005 RT 01<br />

9 Hariadi Mayya 21 th 14 th SMP SD 27-1-2006 RT 02<br />

10 Haryono Desi 19 th 13 th SMP SMP 24-3-2005 RT 04<br />

Sumber : Data catatan pernikahan Kelurahan Karang Ketuan<br />

tahun 2006<br />

Dari data di atas menunjukkan tingkat pernikahan di bawah umur di<br />

Kelurahan Karang Ketuan Kecamatan Lubuk Linggau Selatan II, Kota Lubuk<br />

Linggau pada tahun 2004-2006 ada 91 data perkawinan tetapi data tersebut<br />

yang melakukan pernikahan di bawah umur ada 10 kasus. Dari kasus<br />

pernikahan tersebut yang terjadi karena manipulasi atau pemalsuan umur<br />

yang dilakukan oleh orang tua mereka.<br />

Pelaksanaan pernikahan di bawah umur di masyarakat Kelurahan<br />

Karang Ketuan Kecamatan Lubuk Linggau Selatan II, Kota Lubuk Linggau<br />

merupakan suatu problematika dan simalakama karena ada rasa takut dan<br />

khawatir pada diri orang tua, anaknya akan terjerumus ke jurang maksiat.<br />

Sehingga pernikahan di bawah umur itu dianggap suatu jalan yang terbaik,<br />

29


walaupun anak itu belum mampu baik secara materi maupun immaterial<br />

(psikologis). 32<br />

Kenyataan bahwa pernikahan di bawah umur bukan hanya<br />

merupakan kisah lama yang terjadi, peninggalan masa lalu yang dalam setiap<br />

waktu masih ada dan terjadi. Walaupun dalam bentuk dan cara yang berbeda,<br />

seperti halnya yang terjadi di Kelurahan Karang Ketuan Kecamatan Lubuk<br />

Linggau Selatan II, Kota Lubuk Linggau, rendahnya usia pernikahan di<br />

Kelurahan Karang Ketuan Kecamatan Lubuk Linggau Selatan II, Kota Lubuk<br />

Linggau ini lebih merupakan tradisi lama yang masih berkembang di<br />

masyarakat, sehingga sulit untuk dihilangkan. Secara sosiologis struktur<br />

masyarakat desa lebih merupakan keluarga luas, yang hal ini sangat<br />

mempengaruhi pola-pola kehidupan masyarakat dalam membentuk sebuah<br />

keluarga yang merupakan awal mula terbentuknya masyarakat.<br />

Praktek pernikahan di bawah umur yang terjadi di masyarakat tidak<br />

diketahui secara pasti kapan awal mula terjadinya, namun yang pasti<br />

pelaksanaan pernikahan di bawah umur tersebut masih berlangsung sampai<br />

sekarang. Kalau dilihat secara sepintas ada dua cara yang ditempuh oleh<br />

masyarakat dalam mensiasati Undang-undang Perkawinan No. 1/1974, yaitu<br />

pertama dengan meminta dispensasi kepada Pengadilan Agama setempat, dan<br />

yang kedua dengan melakukan pemalsuan umur yang dilakukan oleh orang<br />

tua mereka sendiri. Tetapi yang melakukan dispensasi lebih kecil ketimbang<br />

yang melakukan pemalsuan umur. Alasan orang tua yang tidak meminta<br />

32 Wawancara dengan Bpak Musyhudin selaku tokoh masyarakat di RT 04 Kelurahan<br />

Karang Ketuan tanggal 15 Januari 2007<br />

30


dispensasi di Pengadilan Agama karena mereka takut bila tidak diberikan ijin<br />

oleh kelurahan untuk menikahkan anaknya. Sebab pada hakekatnya pihak<br />

kelurahan tidak akan menerima atau menolak terjadi pernikahan di bawah<br />

umur.<br />

Yang menjadi tolok ukur masyarakat dalam menentukan kedewasaan<br />

seorang anak adalah dari segi fisiknya, sehingga dengan melihat keadaan fisik<br />

anak tersebut, mereka bisa merekayasa umurnya sesuai dengan pertumbuhan<br />

fisiknya walaupun masih dalam usia yang sangat muda. Hal yang semacam<br />

ini sering dilakukan oleh orang tua dalam mendaftarkan pernikahan anaknya<br />

di kelurahan atau aparat desa.<br />

Aparat desa juga tidak perlu lagi menanyakan kepada orang tuanya,<br />

tentang usia sebenarnya anak mereka. Karena orang tua sudah berani memberi<br />

izin dan menandatangani surat izin yang mengatakan bahwa benar apa yang<br />

mereka tulis sudah sesuai dengan kenyataan yang ada. Sehingga aparat desa<br />

memberikan izin untuk anak mereka melangsungkan pernikahan.<br />

Di samping itu, pelaksanaan pernikahan di bawah umur tersebut<br />

adalah karena pada umumnya masyarakat tidak mengetahui secara pasti<br />

tentang aturan-aturan batas usia pernikahan yang terdapat dalam Undangundang<br />

Perkawinan No. 1/1974. Hal ini disebabkan kurang adanya sosialisasi<br />

mengenai UUP No. 1/1997 oleh pihak yang berwenang, sehingga masyarakat<br />

menganggap bahwa pernikahan yang mereka lakukan bukanlah termasuk<br />

pernikahan di bawah umur, akan tetapi merupakan pernikahan normal yang<br />

dibolehkan dan tidak bertentangan dengan Islam, karena memang Islam<br />

31


menentukan secara pasti batas-batas usia pernikahan seperti yang ditentukand<br />

alam UUP No. 1/1974.<br />

Kebanyakan masyarakat itu mendasarkan pernikahan yang mereka lakukan dengan pernikahan<br />

yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw dengan Siti Aisyah yang masih<br />

berusia 9 tahun. Sehingga mereka tidak dapat memahami atau mengambil<br />

hikmah dari aturan yang ditetapkan oleh UUP No. 1/1974.<br />

Dan pada umumnya masyarakat menganggap bahwa pendidikan<br />

anaknya hanya cukup masimal tingkat Sekolah Dasar (SD). Jika diteliti ada<br />

dua penyebab, yaitu pertama karena orang tua kurang mampu dalam ekonomi,<br />

dan yang kedua karena orang tua ingin segera meminang cucu dan ada<br />

perasaan takut anaknya dikatakan tidak laku dan perawan tua.<br />

Dari data yang di dapat, kebanyakan pernikahan di bawah umur<br />

dilakukan oleh kaum wanita daripada laki-laki. Hal ini karena umumnya<br />

masyarakat menganggap bahwa perempuan hanya sebagai pelayan seorang<br />

laki-laki setelah menikah walaupun pendidikan tinggi namun pada akhirnya ia<br />

akan kembali ke dapur dan tinggal di rumah, agar terhindar dari fitnah. Dan<br />

posisi wanita dalam sebuah rumah tangga harus berbakti dan patuh pada lakilaki.<br />

C. Faktor-faktor Penyebab Pernikahan di Bawah Umur<br />

Seperti yang telah diuraikan di atas, maka secara eksplisit faktorfaktor<br />

yang mendorong terjadinya pernikahan di bawah umur tersebut antara<br />

lain :<br />

32


1. Faktor pernikahan atas kehendak orang tua<br />

Di masyarakat Kelurahan Karang Ketuan pada umumnya tidak<br />

menganggap penting masalah usia anak yang dinikahkan, karena mereka<br />

berpikir tidak akan mempengaruhi terhadap kehidupan rumah tangga mereka<br />

nantinya.<br />

Umur seseorang tidaklah suatu jaminan untuk mencapai suatu<br />

kebahagiaan, yang penting anak itu sudah aqil (baligh), aqil (baligh) bagi<br />

masyarakat desa ditandai dengan haid bagi perempuan berapapun umurnya,<br />

sedangkan bagi laki-laki apabila suaranya sudah berubah dan sudah mimpi<br />

basah.<br />

Jika orang tua sudah melihat tanda-tanda tersebut pada anaknya,<br />

maka orang tua segera mencari jodoh untuk anaknya, lebih-lebih orang tua<br />

dari pihak perempuan. Sehingga bagi orang tua perempuan tidak mungkin<br />

untuk menolak lamaran seseorang yang datang untuk meminang anaknya<br />

meskipun anak tersebut masih kecil. Dan kebanyakan di masyarakat<br />

kelurahan Karang Ketuan anak-anak yang masih usia muda sudah<br />

bertunangan.<br />

Karena dalam perjodohan ini orang tua berperan lebih aktif,<br />

sehingga memberi kesan seakan-akan mencarikan jodoh untuk anaknya<br />

adalah merupakan tugas dan tanggung jawab yang sangat penting bagi<br />

orang tua. Sehingga banyak kasus bila anak tersebut sudah dewasa, maka<br />

mereka akan menentukan sikap dan pilihannya sendiri dengan cara<br />

memberontak dan lari.<br />

33


Akan tetapi orang tua dengan berbagai cara mempertahankan<br />

ikatan pertunangan yang sudah lama mereka bina selama bertahun-tahun<br />

untuk sampai ke pelaminan. Dan para orang tua yang egois dalam<br />

mempertahankan ikatan pertunangan itu mengambil jalan menyumpahi<br />

anak dan mengklaim anaknya sebagai anak yang tidak berbakti kepada<br />

orang tua dan durhaka. Sehingga anak dengan terpaksa menerima<br />

perjodohan tersebut, dan anak tersebut akhirnya putus sekolah karena<br />

orang tua segera mengawinkannya untuk menjaga segala kemungkinan<br />

yang buruk akan terjadi. 33<br />

2. Kemauan Anak<br />

Di masyarakat Kelurahan Karang Ketuan, pernikahan di bawah<br />

umur sangat populer dan banyak terjadi. Banyak anak yang melakukan<br />

pernikahan di bawah umur adalah atas kehendaknya sendiri tanpa ada<br />

campur tangan dan dorongan dari orang tua, kenyataan itu disebabkan<br />

karena pengaruh lingkungan yang sangat rendah dengan kejiwaan anak,<br />

sehingga anak tidak mampu untuk menghindarinya. 34<br />

Kenyataan ini yang membuktikan bahwa pada umumnya<br />

masyarakat di kelurahan Karang Ketuan sebelum melakukan pernikahan<br />

mereka terlebih dahulu bertunangan. Dan bagi anak yang belum<br />

bertunangan merasa terkucilkan dan kurang dihargai oleh masyarakat.<br />

Karena tidak seperti yang lainnya. Di sini peran orang tua hanya bersikap<br />

pasif, mereka hanya mengikuti apa yang telah menjadi pilihan anaknya.<br />

33 Wawancara dengan Eta S. selaku pelaku pernikahan di bawah umur yang dijodohkan<br />

orang tua bertempat tinggal di RT 04 Kelurahan Karang Ketuan tanggal 19 Januari 2004<br />

34


3. Pengaruh Adat dan Budaya<br />

Di Kelurahan Karang Ketuan, pernikahan di bawah umur sudah<br />

menjadi tradisi turun temurun dan sudah menjadi kebanggaan orang tua<br />

jika anak-anaknya cepat mendapatkan jodoh, agar dapat dihargai oleh<br />

masyarakat.<br />

Suatu kebiasaan yang sudah sejak dahulu dan dipandang kolot pada<br />

zaman modern, masih tumbuh dan berkembang di masyarakat, contohnya<br />

anggapan bahwa anak yang sudah baligh yang belum menikah atau belum<br />

mendapatkan jodohnya, dianggap tidak laku atau dianggap sebagai perawan<br />

tua.<br />

Karena anggapan itulah yang sudah mengakar dalam masyarakat di<br />

Kelurahan Karang Ketuan. Dan dikarenakan malu pada masyarakat jika<br />

mempunyai anak yang lama mendapatkan jodohnya. Sehingga untuk<br />

menutupi rasa malu itu maka orang tua menempuh dua jalan.<br />

Pertama menggunakan hak ijbarnya; kedua dengan cara memotivasi<br />

kepada anaknya untuk segera mencari jodohnya agar anaknya segera<br />

menikah. 35<br />

4. Pengaruh Rendahnya Pendidikan<br />

Pendidikan merupakan salah satu pisau bedah yang cukup ampuh<br />

dan kuat dalam merubah suatu sistem adat dan kebudayaan yang sudah<br />

34 Wawancara dengan Junaidi selaku pelaku pernikahan di bawah umur yang berdomisili<br />

di RT 03 Kelurahan Karang Ketuan tanggal 16 Januari 2007<br />

35 Wawancara dengan Bapak M. Taulus S. Kusuma selaku lurah Karang Ketuan tanggal<br />

15 Januari 2007<br />

35


mengakar di masyarakat. Hal ini terkait dengan banyaknya perkawinan di<br />

bawah umur yang terjadi di masyarakat di Kelurahan Karang Ketuan.<br />

Berdasarkan penelitian tersebut, salah satu faktornya adalah<br />

rendahnya tingkat pendidikan. Dan kenyataan inilah yang banyak terjadi di<br />

Kelurahan Karang Ketuan yang melakukan pernikahan di bawah umur<br />

karena rendahnya tingkat pendidikan bila dilihat dari perkembangan<br />

zaman pada saat ini.<br />

5. Faktor Ekonomi<br />

Faktor ekonomi merupakan salah satu faktor yang menjadikan<br />

manusia bahagia, walaupun bukan jalan satu-satunya. Tetapi ekonomi<br />

dapat menentukan kedudukan dan kebahagiaan di dunia.<br />

Jika dikaitkan dengan praktek pernikahan di bawah umur, penulis<br />

mendapati bahwa faktor ekonomi merupakan alasan pokok bagi orang tua<br />

dalam menikahkan anaknya. Tujuan dari orang tua untuk segera<br />

menikahkan anaknya agar mereka segera bebas dari tanggung jawabnya<br />

sebagai orang tua, karena pada kenyataannya mereka sudah berumah<br />

tangga perekonomiannya masih tergantung pada orang tuanya. 36 Tetapi<br />

ada juga sebagian orang tua yang menikahkan anaknya dengan tujuan agar<br />

anaknya dapat berfikir secara dewasa. Dewasa di sini artinya agar ia bisa<br />

berfikir tentang tanggung jawab dan tidak selalu menggantungkan<br />

hidupnya kepada orang tua. 37<br />

Walaupun demikian tidak sesuai dengan<br />

36 Wawancara dengan Bapak Marsimin selaku orang tua dari pelaku pernikahan di bawah<br />

umur tanggal 17 Januari 2007<br />

37 Wawancara dengan Bapak Ridwan selaku orang tua dari pelaku pernikahan di bawah<br />

umur tanggal 17 Januari 2007<br />

36


kenyataan yang ada. Ada juga yang beranggapan bahwa dengan cepatnya<br />

menikahkan anaknya, juga dapat menambah keluarga dan bertambahnya<br />

keluarga maka rizki juga bertambah.<br />

6. Faktor Agama<br />

Faktor agama merupakan salah satu penyebab dari pernikahan di<br />

bawah umur, karena mereka hanya tahu sebatasnya saja, tanpa harus<br />

mengkaji lebih dalam agama tersebut.<br />

Dari keterbatasan itulah orang tua menikahkan anaknya yang masih<br />

dibawah umur, karena mereka takut anak-anaknya akan terjerumus dalam<br />

perbuatan maksiat tanpa mereka memikirkan akibat setelah pernikahan<br />

tersebut.<br />

Melihat perkembangan zaman dan semakin canggihnya teknologi<br />

sehingga masyarakat desapun sudah tak asing lagi dengan acara-acara<br />

televisi yang disiarkan dan VCD-VCD yang sudah tersebar di pelosok<br />

desa, yang hal ini dapat merusak pikiran anak muda.<br />

Terbukti di masyarakat desa banyak anak-anak yang terjerumus ke<br />

dalamnya. Mulai berhubungan dengan obat-obat terlarang seperti narkoba,<br />

minuman keras dan semacamnya, sehingga orang tua khawatir merusak<br />

agama dan akhlak anak-anak, maka mereka mengambil jalan pintas untuk<br />

segera mencarikan jodoh anaknya dan segera menikahkannya agar mereka<br />

tidak terjerumus dan dapat berfikir secara dewasa juga bertanggung jawab<br />

dalam rumah tangga.<br />

37


D. Dampak Pernikahan di Bawah Umur<br />

Pernikahan di bawah umur merupakan suatu bentuk perkawinan yang<br />

tidak sesuai dengan yang diidealkan oleh ketentuan yang berlaku dimana<br />

perundang-undangan yang telah ada dan memberikan batasan usia untuk<br />

melangsungkan perkawinan. Dengan kata lain, perkawinan di usia muda<br />

merupakan bentuk penyimpangan dari perkawinan secara umum karena tidak<br />

sesuai dengan syarat-syarat perkawinan yang telah ditetapkan.<br />

Secara sederhana bahwa perkawinan usia dibawah umur<br />

mengakibatkan sulitnya untuk mewujudkan tujuan perkawinan yang sakinah,<br />

mawaddah dan warrohmah, apabila dibandingkan dengan perkawinan yang<br />

telah disesuaikan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh perundangundangan.<br />

Hal ini tidak berarti bahwa perkawinan usia dibawah umur dapat<br />

dipastikan sulit untuk mewujudkan tujuan perkawinan, karena perkawinan<br />

yang memenuhi persyaratan usiapun pada kenyataannya tidak semuanya<br />

dapat mewujudkan perkawinan sebagaimana yang disebutkan di atas. Namun<br />

demikian perkawinan usia muda jelas beresiko lebih besar daripada<br />

perkawinan yang telah memenuhi persyaratan usia.<br />

Perkawinan usia muda tidak hanya dapat berakibat negatif terhadap<br />

kedua belah pihak mempelai, tetapi juga berdampak pada anak hasil<br />

perkawinan usia muda, keluarga dan masyarakat.<br />

38


Dari hasil wawancara dari 10 responden, dapat dilihat dampak<br />

pernikahan di bawah umur sebagaimana yang terdapat dalam tabel berikut ini<br />

:<br />

TABEL V<br />

DAMPAK-DAMPAK PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR<br />

No Dampak Pernikahan di Bawah Umur Jumlah<br />

1 Proses persalinan istri<br />

a. Lancar melalui proses alami<br />

b. Melalui operasi<br />

2 Kesehatan ibu setelah melahirkan :<br />

a. Baik<br />

b. Tidak baik<br />

3 Kesehatan anak<br />

a. Baik<br />

b. Tidak baik<br />

4 Masalah pendidikan dan pengajaran anak<br />

a. Diserahkan orang lain<br />

b. Dididik sendiri<br />

5 Pengetahuan mengenai merawat anak<br />

a. Sudah cukup<br />

b. Belum cukup<br />

6 Cara menyelesaikan masalah keluarga<br />

a. Musyawarah<br />

b. Menggunakan pihak ketiga<br />

7 Ekonomi keluarga<br />

a. Bekerja sendiri<br />

b. Menggantungkan orang tua<br />

Hasil wawancara terhadap 10 orang responden<br />

39<br />

8 orang<br />

2 orang<br />

8 orang<br />

2 orang<br />

8 orang<br />

2 orang<br />

1 orang<br />

9 orang<br />

7 orang<br />

3orang<br />

6 orang<br />

4 orang<br />

8 orang<br />

2 orang<br />

Masalah pendidikan dan pengajaran terhadap anak-anaknya dari 10<br />

responden ternyata 1 responden menyerahkan pendidikan dan pengajaran


anaknya kepada orang lain, karena mereka kurang paham bagaimana cara<br />

mendidik anak. Sedangkan 9 responden lagi masalah pendidikan dan pengajaran<br />

terhadap anak didiknya sendiri karena sudah siap dan paham bagimana cara<br />

mendidik seorang anak.<br />

Pengetahuan bagaimana cara merawat seorang anak dari 10<br />

responden, 7 responden sudah tahu bagaimana cara merawat seorang anak<br />

karena banyak tanya kepada orang lain bagaimana cara merawat anak dan 3<br />

responden lainnya belum begitu paham bagaimana cara merawat anak.<br />

Karena mereka sendiri masih terlalu kecil untuk merawat anak.<br />

Sedangkan penyelesaian masalah yang terjadi dalam keluarga mereka<br />

ada yang menyelesaikan secara musyawarah dan ada juga yang memerlukan<br />

bantuan pihak ketiga. Dari 10 responden, 6 responden menyelesaikan masalah<br />

melalui musyawarah dan 4 responden lainnya menyelesaikan masalah dibantu<br />

pihak ketiga, yaitu orang tua mereka sendiri. Karena tanpa pihak ketiga<br />

masalah dalam keluarga mereka tidak selesai-selesai juga.<br />

Akan tetapi masalah perekonomian dalam keluarga mereka ada yang<br />

sudah bekerja sendiri dan ada juga yang menggantungkan kepada orang tua<br />

mereka. Dari 10 responden, 8 responden sudah dapat memenuhi kebutuhan<br />

perekonomian dan diri mereka sendiri. Karena mereka sudah bekerja baik<br />

kerja sebagai petani atau lainnya. Dua responden lagi masih menggantungkan<br />

perekonomian mereka kepada orang tua, karena mereka belum bekerja dan<br />

orang tua mereka selalu memberikan apa yang diminta oleh anaknya.<br />

40


BAB IV<br />

AN<strong>AL</strong>ISA PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR DI KELURAHAN<br />

KARANG KETUAN KECAMATAN LUBUK LINGGAU SELATAN II,<br />

KOTA LUBUK LINGGAU<br />

A. Faktor-faktor yang Mendorong Terjadinya Pernikahan di Bawah Umur<br />

Ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya pernikahan di bawah<br />

umur. Seperti dalam bab III antara lain :<br />

1. Pernikahan atas Kehendak Orang Tua<br />

Pelaksanaan pernikahan di bawah umur yang terjadi di masyarakat<br />

Kelurahan Karang Ketuan Kecamatan Lubuk Linggau Selatan II, Kota<br />

Lubuk Linggau disebabkan karena faktor orang tua yang menikahkan<br />

anaknya dengan paksa dan memalsukan umurnya. Sebenarnya itu<br />

merupakan tindakan yang kurang bijaksana menurut Islam dan UU<br />

Perkawinan No. 1/1974 sesuai dengan ketentuan dalam pasal 6 ayat (1)<br />

yang berbunyi “perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon<br />

mempelai”<br />

Walaupun orang tua (wali) mempunyai hak untuk menikahkan<br />

anaknya dengan paksa, tapi mereka (orang tua/wali) tidak sewenangwenang<br />

untuk menentukan pilihan tanpa harus meminta pertimbangan<br />

dahulu dari anak-anaknya.<br />

Agar terjadi kemaslahatan umur dalam melakukan pernikahan yang<br />

benar-benar berdasarkan atas suka sama suka tanpa paksaan dari orang tua,<br />

41


karena yang demikian akan menimbulkan rasa tanggung jawab atas diri<br />

masing-masing.<br />

Menurut penulis proses pernikahan harus lewat kerelaan atau<br />

persetujuan dari kedua calon mempelai (menurut UU Perkawinan No. 1<br />

tahun 1974 pasal 6 ayat (2)) karena setiap pernikahan yang dilaksanakan<br />

dengan paksaan akan menimbulkan akibat yang sangat rawan atau sensitif<br />

untuk membina kehidupan rumah tangga. Sebenarnya banyak anak yang<br />

tidak mau dinikahkan menurut pilihan orang tua dan apabila terjadi maka<br />

tujuan dari pernikahan tidak tercapai, karena pada akhirnya pernikahan<br />

tersebut merupakan tempat untuk melampiaskan hawa nafsu dan<br />

kebutuhan biologis saja.<br />

Sedangkan hukum Islam memang mengakui adanya hak ijbar yang<br />

dimiliki oleh orang tua (wali) untuk menikahkan anaknya yang masih dib<br />

awah umur. Kenyataanyang terjadi di Kelurahan Karang Ketuan<br />

Kecamatan Lubuk Linggau Selatan II, Kota Lubuk Linggau anak yang<br />

dinikahkan secara biologis sudah dikatakan baligh, karena mereka pada<br />

umumnya telah mengalami tanda-tanda kedewasaan, seperti haid dan telah<br />

mengalami mimpi basah. Sedangkan umur yang ditentukan oleh UU<br />

Perkawinan No. 1/1974 pasal 7 ayat (1). Namun secara psikologis calon<br />

mempelai tersebut belum tentu dewasa karena tujuan pernikahan adalah<br />

untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal<br />

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Undang-undang Perkawinan No.<br />

1 tahun 1974 pasal 1).<br />

42


Hak perwalian orang tua yang terdapat dalam UU Perkawinan No.<br />

1/1974 diatur dalam pasal 50 ayat (1) yang bunyinya bahwa “anak yang<br />

belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan<br />

perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan walinya”.<br />

Tetapi kenyataan yang terjadi pada masyarakat di Kelurahan<br />

Karang Ketuan Kecamatan Lubuk Linggau Selatan II, Kota Lubuk<br />

Linggau pada umumnya wali nikah dari anak perempuannya adalah orang<br />

tua kandungannya sendiri selama ia masih hidup ada juga yang orang tua<br />

kandung tidak mau menjadi wali nikahnya dan diserahkan kepada<br />

pengurus P3N, karena menurutnya lebih mengerti tentang perwalian.<br />

2. Faktor Kemauan Anak<br />

Faktor atas kemauan anak dalam pernikahan di bawah umur<br />

menurut pengamatan penulis, karena adanya pengaruh lingkungan di<br />

sekitarnya. Dikarenakan banyaknya anak-anak yang seusianya atau temanteman<br />

mereka yang sudah menikah, dan akhirnya merekapun terpengaruh<br />

untuk ikut-ikutan menikah disebabkan mereka takut dikatakan tidak laku.<br />

Faktor kemauan anak ini terkadang bukan keinginan sendiri atau<br />

panggilan dari nalurinya, namun dipengaruhi oleh faktor dari luar, seperti<br />

keinginan atau rayuan dari orang tua dan cemoohan dari masyarakat di<br />

sekitarnya. Dan faktor kemauan anak ini masih ada hubungannya dengan<br />

hak ijbar (orang tua/wali) yang menjadi pembeda keduanya adalah siapa<br />

yang berhak menentukan pilihannya. Jika atas kemauan anak, maka anak<br />

itu sendiri yang menentukan pilihannya. Sedangkan orang tua hanya<br />

43


ersikap pasif saja, jika hak ijbar atau perjodohan orang tua, maka yang<br />

berhak menentukan pilihan adalah orang tuanya.<br />

3. Faktor Adat dan Budaya<br />

Praktek pernikahan di bawah umur yang ada pada masyarakat di<br />

Kelurahan Karang Ketuan Kecamatan Lubuk Linggau Selatan II, Kota<br />

Lubuk Linggau, menurut penulis merupakan tradisi yang sudah ada dalam<br />

beberapa keluarga. Dengan adanya anggapan-anggapan masyarakat<br />

tentang arti sebuah pernikahan, yang menurut mereka merupakan suatu hal<br />

yang sangat berarti dalam kehidupan masyarakat tanpa melihat hakekat<br />

dan tujuan sebuah pernikahan yang lebih dalam lagi, dimana hal itu akan<br />

membawa mereka kepada suatu paradigma yang sebenarnya menyulitkan<br />

mereka, seperti adanya anggapan-anggapan masyarakat bagi anak yang<br />

belum menikah, dengan kata-kata “tidak laku”, “perawan tua”, “sok jual<br />

mahal” dan lain-lain. Da semua itu merupakan bagi seorang wanita yang<br />

lama mendapatkan jodoh atau lama menikahnya.<br />

Adanya tradisi seperti ini tidak mudah diubah dengan adnaya<br />

semangat pendidikan dan kesadaran agama yang tinggi serta peningkatan<br />

ekonomi, karena tidak bertentangan dengan agama Islam yang<br />

membolehkan atau menganjurkan umatnya untuk segera menikah, jika<br />

sudah mempunyai kemampuan. Dan UU No. 1/1974 tidak melarang<br />

mutlak. Ini terbukti karena UU No. 1/1974 masih memberikan<br />

kelonggaran untuk pernikahan di bawah umur yaitu dengan jalan meminta<br />

dispensasi dari Pengadilan Agama (PA).<br />

44


Dengan demikian penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa UU<br />

No. 1/1974 tidak mutlak dalam memberikan suatu ketentuan, sehingga<br />

tidak heran jika banyak terjadi pelanggaran, lebih-lebih fasa umur<br />

pernikahan, yang terjadi di masyarakat Kelurahan Karang Ketuan<br />

Kecamatan Lubuk Linggau Selatan II, Kota Lubuk Linggau.<br />

Dan nampak jelas bahwa UU No. 1/1974 sebagai UU positif belum<br />

mampu mengakomodasi semua permasalahan yang dihadapi oleh<br />

masyarakat dan belum nampak jelas bahwa UU No. 1/1974 sebagai<br />

undang-undang positif mampu mengatur masyarakat untuk menjadi lebih<br />

baik. Akibatnya kemudian masyarakat lebih percaya pada hukum adat<br />

yang sudah mengatur di masyarakat.<br />

Suatu kenyataan yang dapat kita lihat dari adanya pernikahan di<br />

bawah umur yang dilakukan di masyarakat Kelurahan Karang Ketuan<br />

Kecamatan Lubuk Linggau Selatan II, Kota Lubuk Linggau pernikahan<br />

tersebut banyak dilakukan karena pengaruh adat, walaupun sebagian dari<br />

masyarakat sudah tahu dengan adanya batasan usia pernikahan, akan tetapi<br />

hal tersebut tidaklah menjadi suatu penghalang bagi mereka untuk<br />

melakukan pernikahan.<br />

45


4. Faktor Pendidikan<br />

Rendahnya tingkat pendidikan sebagai salah satu faktor<br />

pelaksanaan pernikahan di bawah umur, menurut penulis adalah<br />

merupakan suatu kewajaran, karena pada umumnya seseorang yang<br />

berpendidikan rendah akan berpikir sempit dan kurang maju serta jauh dari<br />

pertimbangan-pertimbangan.<br />

Namun sebaliknya orang yang berpendidikan tinggi akan<br />

mempunyai pola berpikir yang lebih luas dan lebih bijaksana dalam<br />

mengambil suatu keputusan dan untuk menentukan keputusan melalui<br />

pemikiran yang matang dan jeli, apalagi dalam menentukan suatu<br />

pernikahan dimana pernikahan tersebut adalah suatu pondasi dari<br />

kehidupan bermasyarakat. Namun secara logika bahwa pernikahan yang<br />

dilakukan oleh orang yang berilmu atau berpendidikan akan lebih<br />

bijaksana dalam bertingkah laku dan berfikir, sehingga tujuan dari<br />

pernikahan akan lebih mudah tercapai.<br />

Dengan demikian, maka pelaksanaan pernikahan di bawah umur<br />

suatu bukti bahwa mereka yang belum bisa berfikir secara bijaksana dan<br />

luas, karena mereka yang melakukan pernikahan di bawah umur rata-rata<br />

berpendidikan rendah.<br />

Akibat dari sempitnya pola fikir mereka dan kurangnya<br />

pertimbangan-pertimbangan untuk melakukan pernikahan maka akan<br />

mempengaruhi kehidupan dalam rumah tangga, dan jika di dalam rumah<br />

46


tangganya menemukan permasalahan-permasalahan mereka tidak dapat<br />

memecahkan secara sendiri, dan melibatkan orang tua atau pihak ketiga.<br />

5. Faktor Ekonomi<br />

Adanya faktor ekonomi dalam pelaksanaan pernikahan di bawah<br />

umur di masyarakat di Kelurahan Karang Ketuan Kecamatan Lubuk<br />

Linggau Selatan II, Kota Lubuk Linggau menurut penulis lebih merupakan<br />

pelengkap dan bukan merupakan tujuan utama untuk menikahkan<br />

anaknya, karena dalam kenyataan yang ada mereka yang sudah<br />

berkeluarga atau sudah berumah tangga, ekonominya masih tergantung<br />

kepada orang tuanya. Hal ini terbukti karena mereka belum mempunyai<br />

kemampuan ekonomid an kematangan jiwa raga.<br />

Dari praktek pernikahan di bawah umur tersebut semata-mata<br />

hanya tujuan orang tua agar mereka bahagia dan lega karena sudah<br />

menikahkan anaknya, walaupun secara ekonomi masih tergantung kepada<br />

orang tua.<br />

Namun UU No. 1/1974 pasal 45 ayat (1) yang menyatakan bahwa:<br />

kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka<br />

sebaik-baiknya, (2) dan kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat<br />

(1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri.<br />

Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang<br />

tua putus.<br />

Dengan demikian, jelas bahwa sebenarnya orang tua sudah tidak<br />

punya kewajiban lagi untuk memelihara dan mendidik, lebih-lebih<br />

47


memberi nafkah, karena ia sudah menikah. Akan tetapi yang terjadi di<br />

masyarakat pada umumnya orang tua masih ikut campur dalam ekonomi<br />

rumah tangga anaknya.<br />

Menurut penulis hal yang seperti itu akan membuat anak tersebut<br />

lambat untuk berfikir dewasa dan kurang bertanggung jawab dan akan<br />

menjadikan anak sulit untuk cepat mandiri, juga melalaikan keluarganya.<br />

Dari ketergantungan ekonomi bagi mereka yang sudah<br />

berkeluarga, juga dapat menjadi pendorong bagi anak-anak untuk seera<br />

menikah, karena mereka merasa diperhatikan dan kesempatan<br />

menguntungkan bagi yang malas bekerja. Dapat kita lihat bahwa<br />

pernikahan tersebut hanya sekedar untuk melampiaskan nafsu belaka, dan<br />

tanpa terbebani oleh tanggung jawab dalam memberi nafkah kepada<br />

keluarga.<br />

Akan tetapi perlu penulis ingatkan bahwa ada juga merka yang<br />

menikah di usia di bawah umur karena tidak bisa melanjutkan sekolah<br />

disebabkan tidak mempunyai biaya dan kurangnya dorongan dari orang<br />

tua, akhirnya mereka terpaksa harus menikah agar tidak menjadi bahan<br />

pembicaraan atau gunjingan masyarakat.<br />

6. Faktor Agama<br />

Faktor agama juga mempunyai peranan yang sangat penting dalam<br />

pelaksanaan pernikahan di bawah umur karena dalam Islam tidak ada<br />

larangan pernikahan di bawah umur. Sehingga sebagian masyarakat<br />

berpendapat hal itu merupakan tindakan semata-mata untuk melestarikan<br />

48


sunnah Rasulullah dan masyarakat menjadi pernikahan Rasulullah dengan<br />

Siti Aisyah sebagai pedoman bagi mereka dalam melakukan pernikahan.<br />

Bagi masyarakat pernikahan bukanlah merupakan hal yang sulit<br />

dan bukan termasuk perbuatan dosa, jika harus melanggar UU No. 1/1974,<br />

mengenai batas usia pernikahan. Disamping itu juga masyarakat kurang<br />

mengenal tentang aturan-aturan dalam UU No. 1/1974 tersebut.<br />

Adapun pernikahan Rasulullah dengan Siti Aisyah yang dijadikan<br />

pedoman oleh masyarakat dalam melaksanakan pernikahan di bawah<br />

umur, menurut penulis disebabkan karena mereka tidak mengerti atau<br />

tidak tahu hikmah dibalik pernikahan Rasulullah dengan Siti Aisyah.<br />

Lebih lanjut penulis melihat bahwa praktek pernikahan di bawah<br />

umur tersebut lebih cenderung sebagai tradisi ketimbang komite religius<br />

dalam rangka melestarikan teladanan pernikahan Nabi dengan Siti Aisyah,<br />

namun hal ini tidaklah mudah dihilangkan oleh semangat pendidikan,<br />

peningkatan ekonomi atau Undang-undang formal sekalipun, seperti yang<br />

terjadi di Kelurahan Karang Ketuan Kecamatan Lubuk Linggau Selatan II,<br />

Kota Lubuk Linggau.<br />

Meskipun telah mulai bermunculan sarjana-sarjana mudah semakin<br />

banyaknya berdiri sekolah Islam serta pondok pesantren, akan tetapi<br />

mereka masih banyak yang terbukti melakukan pernikahan di bawah umur<br />

di masyarakat.<br />

Menurut penulis bahwa pernikahan di bawah umur dalam konteks<br />

sekarang kurang atau bahkan tidak cocok lagi untuk dilaksanakan, karena<br />

49


dalam mengemudikan bahtera rumah tangga akan menimbulkan berbagai<br />

masalah yang harus dihadapi apalagi di era globalisasi sekarang ini,<br />

dimana persaingan bagitu ketat terutama dibidang perekonomian.<br />

Walaupun secara yuridis pernikahan di bawah umur yang<br />

dilaksanakan di bawah umur 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi<br />

perempuan dianggap sah, hanya saja dari segi kedewasaan (psikologi) atau<br />

sosiologi ekonomi masih diragukan dan akan menimbulkan permasalahan<br />

yang kompleks nantinya dalam kehdupan rumah tangganya.<br />

Sejalan dengan ajaran Islam, menganjurkan pernikahan bagi<br />

mereka yang sudah “mampu” tanpa memberi batasan usia, akan tetapi<br />

Islam juga menganjurkan hendaknya dilakukan oleh orang yang sudah<br />

mempunyai kemampuan baik dari berbagai aspek kehdiupan juga<br />

kemampuan yang dipengaruhi oleh adanya kedewasaan dan kematangan<br />

baik jiwa dan umur seseorang, walaupun tidak selamanya.<br />

Oleh sebab itu menurut hemat penulis berdasarkan kenyataan yang<br />

ada bagi mereka yang melakukan pernikahan di usia di bawah umur masih<br />

jauh dari taraf kematangan (mayoritas) baik secara fisik biologis mental<br />

psikologis dan ekonomi.<br />

B. Analisa Dampak Pernikahan di Bawah Umur<br />

Berdasarkan dari uraian pada bab sebelumnya, penulis menilai bahwa<br />

rumah tangga yang dibangun oleh anak-anak yang masih di bawah umur<br />

usianya yang terjadi di masyarakat Kelurahan Karang Ketuan Kecamatan<br />

Lubuk Linggau Selatan II, Kota Lubuk Linggau.<br />

50


Meskipun dampak negatif itu relatif kecil hanya terjadi pada beberapa<br />

pasangan suami isteri dalam kehidupan rumah tangga karena tidak adanya<br />

keharmonisan dalam kehidupan rumah tangga yang timbul oleh seringnya<br />

terjadi percekcokan, cemburu yang berlebihan, adanya sikap keras suami<br />

terhadap sang isteri, kuarngnya pengetahuan dari pihak istri dalam cara<br />

pendidikan dan pengajaran anak, pengetahuan mengenai merawat anak dan<br />

akhirnya akan menyebabkan lemahnya mental anak-anak yang dilahirkan,<br />

kemiskinan rohani, jasmani dan sebagainya.<br />

Ada juga dampak positif dari pernikahan di bawah umur yang didapati<br />

dalam kehidupan rumah tangga beberapa pasangan suami isteri. Karena tujuan<br />

mereka pada saat melaksankan pernikahan di bawah umur adalah untuk<br />

mencegah dari perbuatan zina dan kemaksiatan diantara mereka dan diawali<br />

dengan niat yang suci sehingga kehidupan rumah tangga mereka tidak mudah<br />

diombang ambing oleh masalah yang ada, dikarenakan adanya rasa tanggung<br />

jawab dan rasa kasih sayang diantara anggota keluarga dan dapat dengan<br />

mudah mewujudkan keluarga yang sakinah mawaddah warrahmah.<br />

Dengan adanya kematangan jiwa dan raga serta kematangan ekonomi<br />

harus sudah ada sebelum pernikahan jika tidak maka rumah tangga yang<br />

dibangunnya akan mudah terombang ambing oleh setiap permaalahan yang<br />

setiap kali muncul dalam kehidupan berumah tangga, sehingga masa depan<br />

akan suram.<br />

Dalam undang-undang juga menganut beberapa asas yang prinsip<br />

berhubungan dengan pernikahan. Adapun asas-asas tersebut antara lain :<br />

51


1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal<br />

untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masingmasing<br />

dapat mengembangkan kepribadiannya, membentuk dan mencapai<br />

kesejahteraan spiritual dan material.<br />

2. Dalam undang-undang ini ditegaskan bahwa suatu perkawinan adalah<br />

syah, apabila dilakukan meurut masing-masing agamanya dan<br />

kepercayaan itu dan disamping itu setiap perkawinan harus dicatat<br />

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.<br />

3. Undang-undang perkawinan ini menganut monogami, hanya apabila<br />

dikehendaki oleh orang yang bersangkutan mengizinkan maka seseorang<br />

suami dapat beristri lebih dari satu orang.<br />

4. Undang-undang perkawinan ini menganut prinsip bahwa calon suami isteri<br />

harus telah masak jiwa raganya untuk melangsungkan perkawinan, agar<br />

dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berfikir pada<br />

perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat.<br />

5. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang<br />

bahagia kekal dan sejahtera, maka undang-undang menganut prinsip<br />

mempersulit terjadinya perceraian.<br />

6. Hak dan kedudukan isteri seimbang dengan hak kedudukan suami baik<br />

dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat<br />

52


sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat<br />

dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami isteri. 38<br />

Dengan demikian pada dasarnya pelaksanaan pernikahan bukan hanya<br />

untuk kesenangan atau kebahagiaan sementara dan tidak hanya merupakan<br />

pemenuhan kebutuhan biologis belaka, akan tetapi untuk kebahagiaan yang<br />

kekal abadi dan harus dipertanggung jawabkan di hadapan Allah SWT. karena<br />

itu perpisahan atau perceraian dalam ikatan pernikahan merupakan perbuatan<br />

yang dibenci oleh Allah SWT.<br />

38 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet. III, Raja Grafindo Persada, Jakarta,<br />

53


BAB V<br />

PENUTUP<br />

Setelah mengadakan pembahasan dan penelitian dari Bab I sampai Bab IV<br />

maka dalam mengakhiri skripsi tentang Perkawinan di Bawah Umur (Studi Kasus<br />

di Kelurahan Karang Ketuan, Kecamatan Lubuk Linggau Selatan II, Kota Lubuk<br />

Linggau) dari tahun 2000-2004 penulis akan membagi dalam dua sub judul<br />

kesimpulan dan saran.<br />

A. Kesimpulan<br />

Dari uraian bab per bab sebelumnya penulis dapat mengambil<br />

beberapa pokok yang dapat menjadikan kesimpulan dari keseluruhan<br />

pembahasan ini.<br />

1. Pelaksanaan pernikahan di bwah umur di masyarakat Kelurahan Karang<br />

Ketuan, Kecamatan Lubuk Linggau Selatan II, Kota Lubuk Linggau<br />

merupakan suatu problematika dan simalakama karena ada rasa takut dan<br />

khawatir pada diri orang tua, anaknya akan terjerumus ke jurang maksiat.<br />

Sehingga pernikahan di bawah umur itu dianggap suatu jalan yang terbaik,<br />

walaupun anak itu belum mampu baik secara materi maupun immaterial<br />

(psikologis). Ada dua cara yang ditempuh oleh masyarakat dalam<br />

mensiasati Undang-undang Perkawinan No. 1/1974 yaitu pertama dengan<br />

meminta dispensasi kepada Pengadilan Agama setempat, dan yang kedua<br />

1998, hlm. 46-47<br />

54


dengan melakukan pemalsuan umur yang dilakukan oleh orang tua<br />

mereka sendiri.<br />

2. Menurut Undang-undang Perkawinan No. 1/1974 sebagai hukum positif<br />

yang berlaku di Indonesia, menetapkan batas umur perkawinan 19 tahun<br />

bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan (pasal 7 ayat (1)). Namun<br />

batas usia tersebut bukan merupakan batas usia seseorang telah dewasa,<br />

yang cukup dewasa untuk bertindak, akan tetapi batas usia tersebut hanya<br />

merupakan batas usia minimal seseorang boleh melakukan pernikahan.<br />

Di dalam pasal 6 ayat (2), disebutkan bahwa seseorang sudah dikatakan<br />

dewasa kalau sudah mencapai umur 21 tahun, sehingga dalam melakukan<br />

pernikahan tidak perlu mendapatkan izin dari kedua orang tuanya.<br />

3. Untuk periode 2004-2006 ada 19 kasus pernikahan di bawah umur dimana<br />

pernikahan di bawah umur tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu<br />

faktor kehendak orang tua yang menikahkan anaknya, atas kemauan anak,<br />

adat dan budaya, pendidikan, ekonomi dan agama. Dan pernikahan di<br />

bawah umur ini membawa dampak dalam kehidupan rumah baik dari segi<br />

kesehatan, pendidikan dan ekonomi.<br />

4. Sesuai dengan data yang ada maka dampak negatif dari pernikahan di<br />

bawah umur yang terjadi di Kelurahan Karang Ketuan, Kecamatan Lubuk<br />

Linggau Selatan II, Kota Lubuk Linggau tersebut relatif kecil hanya<br />

terjadi pada beberapa pasangan suami isteri dalam kehidupan rumah<br />

tangga karena tidak adanya keharmonisan dalam kehidupan rumah tangga<br />

yang timbul oleh seringnya terjadi percekcokan, cemburu yang berlebihan,<br />

55


adanya sikap keras suami terhadap isteri, kurangnya pengetahuan dari<br />

pihak isteri dalam cara pendidikan dan pengajaran anak, pengetahuan<br />

mengenai merawat anak dan akhirnya akan menyebabkan lemahnya<br />

mental anak-anak yang dilahirkan, kemiskinan rohani, jasmani dan<br />

sebagainya. Dan yang ditakutkan oleh sebagian besar masyarakat akan<br />

pernikahan di bawah umur tidak terbukti, karena apabila seseorang telah<br />

mempunyai kemampuan dan persiapan yang matang baik dari segi lahir<br />

maupun batin maka orang tersebut sudah dapat untuk melangsungkan<br />

pernikahan.<br />

B. Saran-saran<br />

Sebegitu agungnya pernikahan itu sehingga bagi mereka yang<br />

melaksanakan pernikahan dianggap telah memiliki setengah dari agama,<br />

karena telah menjalankan sunnah Rasul. Oleh sebab itu pernikahan tersebut<br />

harus diawali dengan niat yang suci dari dalam hati.<br />

Pernikahan yang dilaksanakan tanpa adanya persiapan mental, spiritual<br />

dan dengan niat yang suci yang memadai akan menimbulkan banyak sekali<br />

dampak negatif dalam mempengaruhi bahtera kehidupan dalam rumah tangga<br />

tersebut.<br />

56


DAFTAR PUSTAKA<br />

A. Kelompok Al-Quran dan Tafsir<br />

As Sayis, Muhammad Ali, Tafsir Ayat Al Ahkam, terj. Muhammad Ali Sabik,<br />

CV As Syifa, Bandung,1963.<br />

Departemen Agama RI, Al Qur'an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara<br />

Penterjemah Al Qur'an, Jakarta, 1980.<br />

B. Kelompol Al-Hadis<br />

Al Muslim, Al Imam Abu Husain Muslim Ibn Hajjajal Qursyairi An<br />

Naisaburi, Shahih Muslim, Dar Al Kitab al Nikah, Beiurt, t.t.<br />

C. Kelompok Fiqih dan Ushul Fiqih<br />

Abidin, Slamet dan H. Aminudin, Fiqih Munakahat, Pustaka Setia, Bandung,<br />

1999.<br />

Al Jaziri, Abdu Ar Rahman, Kitab al-Fiqih ‘Ala al-Ma’zahib al-Arba’ah, Dar<br />

Al-Fikr, Beirut, 1969.<br />

Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah,(Terj) Moh Thalib jilid 6,Cet I Al-Ma’arif,<br />

Bandung, 1990.<br />

Zahrah, Abu, Usul al-Fiqh, Dal al-Fikr al-Arabi, Kairo, t.t.<br />

D. Kelompok Umum<br />

Al-Bany, Ahmad Zakariya, Hukum Anak-anak dalam Islam, terj. Chotijah<br />

Nasution, Bulan Bintang, Jakarta, 1997.<br />

Al-Ghifari, Abu, Pernikahan Dini Dilema Generasi Extravaganza, Mujahid<br />

Press, Bandung, 2002.<br />

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Pendekatan suatu Praktek, Rineka Cipta,<br />

Jakarta, 1998.<br />

Daly, Peunoh, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Perbandingan dalam<br />

Kalangan Ahli Sunnah dan Negara-negara Islam, cet. I, Bulan<br />

Bintang, Yogyakarta, 1980.<br />

57


Departemen P dan K, Kamus Besar Indonesia, cet. 3, Balai Pustaka, Jakarta,<br />

1990.<br />

Hadi, Sutrisno, Metodologi Penelitian Research I, Yayasan Penelitian<br />

Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta, 1981.<br />

Ichsan, Ahmad, Hukum Perkawinan Bagi yang Beragama Islam, Suatu<br />

Tinjauan dan Ulasan secara Sosiologi Hukum, Pradia Paramita,<br />

Jakarta, 1986.<br />

Mapreare, Andi, Psikologi Remaja, Usaha Nasional, Surabaya, 1982.<br />

Prints, J., Tentang Hukum Perkawinan di Indonesia, Ghalia Indonesia,<br />

Jakarta, 1982.<br />

Rahman, Bakri A. dan Ahmadi Sukadja, Hukum Perkawinan Menurut Islam,<br />

Undang-undang Perkawinan dan Hukum Perdata/BW, Hidakarya<br />

Agung, Jakarta, 1981.<br />

Ramulyo, Mohd. Idris, Hukum Perkawinan Islam, Bumi Aksara, Jakarta,<br />

1996.<br />

Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, cet. III, Raja Grafindo Persada,<br />

Jakarta, 1998.<br />

______________, Hukum Islam di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada,<br />

Jakarta, 1998.<br />

Salim, Peter dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer,<br />

Modern English Press, Jakarta, 1991.<br />

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 1992.<br />

Syarifuddin, Kamus al-Misbah, Bina Aksara, Jakarta, t.t.<br />

Undang-undang Perkawinan di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaan,PT<br />

Pradya Paramita,jakarta,1974<br />

58


DAFTAR RIWAYAT HIDUP<br />

Yang bertanda tangan di bawah ini :<br />

Nama<br />

: Maimun<br />

Tempat/Tanggal Lahir : Kab. Musirawas, 12 Oktober 1982<br />

Agama<br />

Nama Ayah<br />

Alamat<br />

: Islam<br />

: Mujamil<br />

: Karang Ketuan RT 04/VII<br />

Pendidikan : - SD N 1 Air Ketuan II, lulus tahun 1995<br />

- SMP N II Air Temam, lulus tahun 1998<br />

- SMK N 3 Lubuk Linggau, lulus tahun 2001<br />

- STAIN Salatiga lulus tahun 2007<br />

Demikian daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenar-benarnya.<br />

59

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!