07.11.2014 Views

JURUSAN SYARI'AH PROGRAM STUDI AHWALUSY ... - idb4

JURUSAN SYARI'AH PROGRAM STUDI AHWALUSY ... - idb4

JURUSAN SYARI'AH PROGRAM STUDI AHWALUSY ... - idb4

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

UPAYA DAMAI SEBAGAI AZAZ IMPERATIF HAKIM<br />

DALAM MEMUTUSKAN PERKARA CERAI GUGAT<br />

DI PENGADILAN AGAMA SALATIGA<br />

(Studi Komparasi Putusan Pengadilan Agama Salatiga<br />

No. 162/ Pdt. G/ 2007/ PA. Sal. dan No. 22/ Pdt. G/ 2007/ PA. Sal.)<br />

SKRIPSI<br />

Diajukan Untuk Memenuhi Kewajiban dan Melengkapi Syarat<br />

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata I<br />

Dalam Ilmu Syari'ah<br />

Disusun Oleh :<br />

MILLATUZ ZAHRO<br />

NIM : 211 03 013<br />

<strong>JURUSAN</strong> <strong>SYARI'AH</strong><br />

<strong>PROGRAM</strong> <strong>STUDI</strong> <strong>AHWALUSY</strong> SYAKHSIYAH<br />

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)<br />

SALATIGA<br />

2 0 0 7<br />

1


DAFTAR ISI<br />

Judul ................................................................................................................... i<br />

Deklarasi ............................................................................................................ ii<br />

Nota Pembimbing ............................................................................................... iii<br />

Pengesahan ......................................................................................................... iv<br />

Motto .................................................................................................................. v<br />

Persembahan ...................................................................................................... vi<br />

Kata Pengantar ................................................................................................... vii<br />

Daftar Isi ............................................................................................................ viii<br />

BAB I PENDAHULUAN<br />

A. Latar Belakang Masalah<br />

B. Penegasan Istilah<br />

C. Rumusan Masalah<br />

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian<br />

E. Telaah Pustaka<br />

F. Kerangka Teori<br />

G. Metode penelitian<br />

H. Sistemetika Penulisan<br />

BAB II<br />

TINJAUAN UMUM TENTANG KONSEP PERDAMAIAN DI<br />

MUKA PERSIDANGAN<br />

A. Konsep Perdamaian dalam Peradilan Islam<br />

1. Pengertian al Qadla’ dan rukun Qadli dalam Islam<br />

2. Pengertian dan dasar hukum mendamaikan dalam Islam<br />

3. Peran dan fungsi hakam dalam Peradilan Islam<br />

ii


B. Azas Mendamaikan di Muka Persidangan Berdasarkan Undangundang<br />

1. Pengertian mendamaikan<br />

2. Syarat formal dalam upaya perdamaian<br />

3. Mekanisme perdamaian dalam sidang<br />

4. Manfaat mendamaikan dalam gugatan perdata<br />

BAB III<br />

PUTUSAN HAKIM TERHADAP PERKARA CERAI GUGAT<br />

DI PENGADILAN AGAMA SALATIGA<br />

A. Putusan Hakim Terhadap Perkara Cerai Gugat di Pengadilan<br />

Agama Salatiga<br />

1. Putusan Nomor : 162/ Pdt. G/ 2007/ PA. Sal.<br />

2. Putusan Nomor : 22/ Pdt. G/ 2007/ PA. Sal.<br />

B. Pertimbangan dan Dasar Putusan Hakim Mengenai Perkara<br />

Cerai Gugat di Pengadilan Agama Salatiga<br />

BAB IV<br />

ANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP PENERAPAN<br />

PASAL 82 AYAT (2) UNDANG-UNDANG PERADILAN<br />

AGAMA NOMOR 3 TAHUN 2006<br />

A. Analisa Putusan Hakim terhadap Perkara Cerai Gugat di<br />

Pengadilan Agama Salatiga<br />

B. Analisa Pertimbangan dan dasar Putusan Hakim Mengenai<br />

Perkara Cerai Gugat di Pengadilan Agama Salatiga<br />

BAB V<br />

PENUTUP<br />

iii


A. Kesimpulan<br />

B. Saran<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

LAMPIRAN<br />

iv


BAB I<br />

PENDAHULUAN<br />

A. Latar Belakang Masalah<br />

Corak dan perkembangan Peradilan Islam sejalan dengan struktur, pola<br />

budaya, dan perkembangan masyarakat Islam di Negara-negara yang<br />

bersangkutan. Demikian halnya di Indonesia, Peradilan Islam mengalami<br />

perkembangan sejalan dengan perkembangan umat Islam, komunitas terbesar<br />

dalam kehidupan masyarakat bangsa Indonesia. Hal ini didasarkan atas aspek<br />

variasi dari berbagai unsur Peradilan Islam. Tetapi di balik itu, terdapat<br />

persamaan yang esensial yakni teralokasinya hukum Islam untuk ditegakkan<br />

dalam proses penerimaan sampai penyelesaian perkara di Pengadilan,<br />

khususnya di kalangan umat Islam terutama dalam bidang Ahwalusy<br />

Syakhshiyyah. 1<br />

Peradilan Agama adalah salah satu dari Peradilan Negara Indonesia<br />

yang sah, yang bersifat peradilan khusus, yang berwenang dalam jenis perkara<br />

perdata Islam tertentu, bagi orang-orang Islam di Indonesia. 2<br />

Berdasarkan<br />

Undang-undang No.3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama pasal 1, 2, 49 dan<br />

penjelasan umum angka 2, serta peraturan perundang-undangan lain yang<br />

berlaku, antara lain UU No. 1 tahun 1974, PP No. 28 tahun 1977, Inpres No.1<br />

1 Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, PT. Remaja<br />

Rosdakarya, Bandung, 1997, hlm. 97.<br />

2 UU No.14 tahun 1970, LN 1970-1974, Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan<br />

Kehakiman,, Pasal 10 ayat (1). Kata-kata “Peradilan Negara” dan “Kekuasaan Kehakiman” adalah<br />

semakna.<br />

1


tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Permenag. No. 2 tahun 1987<br />

tentang Wali Hakim, maka tugas dan wewenang Pengadilan Agama adalah<br />

untuk memberikan pelayanan dan keadilan dalam bidang keluarga dan harta<br />

perkawinan bagi mereka yang beragama Islam, berdasarkan Islam.<br />

Peradilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman<br />

mempunyai tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta<br />

menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya guna menegakkan<br />

keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Republik<br />

Indonesia (pasal 1 dan 2 UU. No. 14 tahun 1970). Adapun salah satu tugas<br />

yustisial hakim Peradilan Agama adalah mendamaikan pihak-pihak yang<br />

bersengketa, karena perdamaian adalah lebih baik dari pada putusan yang<br />

dipaksakan. 3<br />

Tujuan suatu proses di muka pengadilan adalah untuk mendapatkan<br />

penentuan hukum suatu kasus, yaitu bagaimanakah hubungan antara kedua<br />

pihak yang berperkara itu yang sebenarnya dan seharusnya dan agar segala<br />

apa yang ditetapkan oleh pengadilan itu di realisir, kalau perlu dengan<br />

pelaksanaan eksekusi paksa. Dengan demikian, hak-hak dan kewajibankawajiban<br />

yang diberikan oleh materiil yang diputuskan atau ditetapkan oleh<br />

pengadilan itu dapat dijalankan atau diwujudkan.<br />

Menurut HIR, anjuran damai dari hakim sudah dilakukan sejak sidang<br />

pertama sebelum pembacaan surat gugatan. Hal ini dirasa kurang rasional,<br />

karena bagaimana hakim tahu dan bisa menganjurkan damai jika hakim itu<br />

3 A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar,<br />

Yogyakarta, 2005, hlm. 32.<br />

2


sendiri belum tahu duduk perkaranya. Begitu pula sebelum penggugat<br />

membacakan gugatannya, apakah tidak mungkin mengubah gugatannya. 4<br />

Upaya damai sebenarnya dapat dilakukan kapan saja sepanjang<br />

perkara belum putus, tetapi anjuran damai pada permulaan sidang pertama<br />

adalah bersifat “mutlak atau wajib” dilakukan dan dicantumkan dalam berita<br />

acara sidang, karena ada keharusan yang menyatakan demikian, walaupun<br />

mungkin menurut logika sangat kecil kemungkinannya.<br />

Berdasarkan pasal 82 ayat (2) Undang-undang Peradilan Agama No. 3<br />

tahun 2006 yang berbunyi :<br />

“Dalam sidang perdamaian tersebut, suami istri harus datang secara<br />

pribadi, kecuali apabila salah satu pihak bertempat kediaman di luar<br />

negeri, dan tidak dapat datang menghadap secara pribadi dapat<br />

diwakili oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu”.<br />

Akan tetapi dalam pasal itu tidak dijelaskan mengenai ketidak hadiran<br />

tergugat dalam sidang perdamaian yang keberadaan tergugat tidak sedang<br />

berada di luar negeri. Tapi dalam praktek penerapannya hakim menyimpulkan<br />

bahwa perkara cerai gugat tidak dapat dilanjutkan apabila tergugat tidak hadir<br />

dalam sidang pertama yakni sidang perdamaian dan tergugat mewakilkan pada<br />

kuasa hukumnya. Tetapi berdasarkan pasal 125 HIR, apabila tergugat tidak<br />

hadir sama sekali dan tanpa mewakilkan pada kuasanya pada persidangan<br />

maka perkara dapat diputus dengan putusan verstek. 5<br />

4 Lihat, HIR, Pasal 130-131.<br />

5 Putusan verstek adalah putusan yang dijatuhkan karena tergugat atau termohon tidak<br />

pernah hadir meskipun telah di panggil secara patut (resmi) sedangkan penggugat atau pemohon<br />

hadir dan mohon putusan.<br />

3


Dalam hal hukum acara, sebagaimana pasal 56 Undang-undang<br />

Peradilan Agama No. 3 tahun 2006 ayat (1) dan (2) dijelaskan tentang tidak<br />

diperbolehkannya seorang hakim untuk menolak perkara yang masuk ke<br />

Pengadilan Agama dengan alasan tidak jelas atau kurang jelasnya aturan atau<br />

Undang-undang. Akan tetapi apapun perkara yang masuk hakim harus<br />

menerimanya dan memutuskan suatu perkara berdasarkan kebenaran dan<br />

keadilan atau setidak-tidaknya mendamaikan pihak-pihak yang berperkara.<br />

Yang perlu direnungkan adalah bagaimana apabila terjadi kesamaan<br />

alasan dalam perkara cerai gugat sebagaimana yang terdapat dalam putusan<br />

Pengadilan Agama pada kasus No. 162/ Pdt.G/ 2007/ PA. Sal. dan No. 22/<br />

Pdt.G/ 2007/ PA. Sal. akan tetapi berbeda dalam keputusan, padahal<br />

Penggugat sama-sama dirugikan lahir dan batin oleh Tergugat. Putusan<br />

No.162/ Pdt. G/ 2007/ PA. Sal. tersebut (tidak dapat di terima) dijatuhkan oleh<br />

hakim dengan alasan tidak hadirnya pihak Tergugat dalam sidang perdamain<br />

yang menurut hakim berarti Tergugat dianggap tidak bersungguh-sungguh<br />

dalam berperkara meski Tergugat telah mewakilkan pada kuasa hukumnya,<br />

dengan alasan bahwa dalam Undang-undang No.3 tahun 2006 tentang<br />

Peradilan Agama pasal 82 ayat (2) dikatakan bahwa antara Penggugat dan<br />

Tergugat harus datang secara pribadi. Secara logika adilkah putusan yang<br />

dijatuhkan oleh hakim dalam perkara tersebut? Apabila perkara tersebut tidak<br />

dapat diterima oleh Pengadilan Agama, maka kemanakah orang yang<br />

berperkara tersebut harus meminta pengadilan? karena mereka melakukan<br />

perkawinan secara Islam.<br />

4


Adapun pada perkara No. 22/ Pdt. G/ 2007/ PA. Sal. tersebut dapat<br />

diputus oleh hakim dengan putusan verstek, karena pada saat sidang<br />

perdamaian dan sampai selesainya perkara Tergugat tidak pernah datang<br />

meski telah dipanggil secara patut oleh Pengadilan Agama Salatiga dan<br />

Tergugat tidak mewakilkan pada kuasa hukumnya.<br />

Dalam penegakan hukum dan keadilan, hakim Peradilan Agama<br />

dituntut untuk mengadili secara kasuistik dan tidak dibenarkan mengikuti<br />

secara mutlak yurisprudensi yang telah ada, sebab pada kenyataannya tidak<br />

ada perkara yang diperiksa itu persis mirip dengan perkara sebelumnya. Oleh<br />

karena itu keadaan khusus yang terkandung dalam perkara yang bersangkutan<br />

perlu dikembangkan lagi.<br />

Berangkat dari latar belakang diatas, penulis melakukan sebuah<br />

penelitian dengan judul: UPAYA DAMAI SEBAGAI AZAZ IMPERATIF<br />

HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA CERAI GUGAT DI<br />

PENGADILAN AGAMA SALATIGA (Studi Komparasi Putusan Pengadilan<br />

Agama Salatiga No. 162/ Pdt. G/ 2007/ PA. Sal. dan No. 22/ Pdt. G/ 2007/<br />

PA. Sal.)<br />

B. Penegasan Istilah<br />

Agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam pemaknaan judul, maka<br />

berikut maksud atau arti dari istilah yang dipakai oleh penulis dalam penulisan<br />

judul.<br />

5


Upaya adalah usaha, syarat untuk menyampaikan suatu maksud. 6<br />

Imperatif adalah bersifat memerintah atau memberi komando. 7 Cerai Gugat<br />

adalah gugatan perceraian ke Pengadilan Agama yang diajukan oleh seorang<br />

istri yang melakukan perkawinan menurut agama Islam. 8 Studi adalah kajian<br />

atau telaah atau penelitian atau penyelidikan ilmiah. 9<br />

Komparasi adalah<br />

berkenaan atau berdasarkan perbandingan. 10<br />

Maksud dari keterangan di atas adalah upaya perdamaian dalam sidang<br />

pertama itu adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh hakim dalam<br />

memutuskan perkara cerai gugat di Pengadilan Agama Salatiga, yang dalam<br />

hal ini penulis melakukan penelitian dengan cara mengkomparasikan antara<br />

dua putusan Pengadilan Agama Salatiga yaitu putusan No. 162/ Pdt. G/ 2007/<br />

PA. Sal dan No. 22/ Pdt. G/ 2007/ PA. Sal.<br />

C. Perumusan Masalah<br />

Sesuai dengan judul yang penulis pilih dan telah diuraikan tersebut di<br />

atas, dapat dirumuskan suatu masalah sebagai berikut:<br />

1. Bagaimana konsep perdamaian dimuka persidangan dalam Peradilan Islam<br />

dan Undang-undang Peradilan Agama?<br />

2. Apa dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara cerai gugat?<br />

3. Bagaimana hakim menerapkan pasal 82 ayat (2) terhadap putusan No.<br />

162/ Pdt.G/ 2007/ PA. Sal. dan No. 22/ Pdt.G/ 2007/ PA.Sal.?<br />

6 W.J.S. Poerwa Darminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1982,<br />

hlm. 1132.<br />

7 Ibid, hlm. 373<br />

8 Mukti Arto, Op. Cit., hlm.224.<br />

9 W.J.S. Poerwa Darminta, op.cit., hlm. 263.<br />

10 Depdibud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, t.kp., 1989, hlm. 452<br />

6


Tujuan dan Kegunaan Penelitian<br />

Tujuan utama yang ingin dicapai dalam pelaksanaan penelitian ini<br />

adalah diharapkan dapat digunakan sebagai barometer oleh hakim kususnya<br />

hakim Pengadilan Agama Salatiga dalam menegakkan keadilan.<br />

Adapun tujuan ilmiahnya adalah :<br />

4. Mengembangkan dan menguji kebenaran ilmu pengetahuan tentang<br />

konsep perdamaian di muka persidangan yang diperoleh selama kuliah.<br />

5. Mengetahui dasar hukum pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara<br />

cerai gugat.<br />

6. Mengetahui dasar pendapat hakim dalam menerapkan pasal 82 ayat (2)<br />

UU Peradilan Agama No. 3 tahun 2006 terhadap putusan No:<br />

162/Pdt.G/2007/PA.Sal dan No : 22/Pdt.G/2007/PA.Sal.<br />

Sedangkan kegunaan dari penelitian ini adalah :<br />

2. Kegunaan Teoritis<br />

Penelitian ini diharapkan dapat lebih memperdalam dan menambah<br />

wawasan ilmu pengetahuan khususnya pada hukum acara peradilan<br />

agama yang telah penulis peroleh di Jurusan Syari’ah Program Studi<br />

Ahwalusy Syakhshiyyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)<br />

Salatiga. Serta untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam memperoleh<br />

gelar Sarjana Hukum Islam.<br />

3. Kegunaan Praktis<br />

a. Bagi Instansi<br />

Membantu memberikan masukan bagi para pihak yang<br />

berkompeten terhadap masalah-masalah pada umumnya dan<br />

7


masalah Islam pada khususnya. Serta dapat dijadikan kontribusi<br />

pemikiran pagi pengembangan dan penegakan hukum di Indonesia<br />

yang memiliki nilai keadilan dan kepastian, khususnya pada<br />

praktek perkara perdata di Pengadilan Agama Salatiga.<br />

b. Bagi Masyarakat<br />

Memberikan penjelasan tentang arti pentingnya sebuah<br />

perdamaian.<br />

c. Bagi Peneliti<br />

Dapat dipergunakan sebagai bahan awal bagi penelitian<br />

selanjutnya yang memiliki pokok permasalahan yang sama.<br />

D. Telaah Pustaka<br />

Abdullah Sani dalam bukunya Hakim dan Keadilan Hukum dikatakan<br />

bahwa hakim yang masih menganut paham Undang-undang atau legisme,<br />

mereka akan berpendapat sebelum dirubah dan dicabut oleh Undang-undang,<br />

suatu peraturan hukum tertulis yang berlaku (hukum positif) dianggap masih<br />

tetap berlaku. Dan sebagai badan yudikatif, hakim dapat menyatakan bahwa ia<br />

berkewajiban untuk mempertahankan Undang-undang yang sedang berlaku<br />

tersebut. Akan tetapi disamping itu hakim juga diperbolehkan dalam<br />

putusannya mempergunakan hukum tak tertulis, dan atau mempergunakan hak<br />

kebijaksanaannya untuk memutus demi memberikan keadilan dan supaya<br />

Pengadilan lega dalam memutus suatu perkara.<br />

8


Mengenai sikap hakim di Pengadilan Agama, Tri Astuti dalam<br />

skripsinya yang disusun guna memperoleh gelar Sarjana Syari’ah di STAIN<br />

Salatiga pada tahun 2000 dengan judul Sikap Hakim Mengenai Hukum<br />

Pembuktian Pada Proses Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Salatiga<br />

dikatakan bahwa peran hakim dalam menangani suatu perkara selalu<br />

disesuaikan dengan Hukum Acara Peradilan Agama yang dimulai dari hukum<br />

formal kemudian baru disesuaikan dengan kaedah hukum materialnya.<br />

Sedangkan Yuli Apandi dalam skripsinya yang berjudul Study<br />

Komparatif Tentang Kewenangan Peradilan Umum dan Peradilan Agama<br />

yang disusun pada tahun 1999 guna memenuhi syarat dalam memperoleh<br />

gelar Sarjana Syari’ah di STAIN Salatiga dikatakan bahwa, berdasarkan<br />

logika kaidah hukum itu sudah semestinya pelaksanaan dari ketentuankatentuan<br />

hukum acara yang termuat dalam Undang-undang Peradilan Agama<br />

itu lebih didahulukan daripada ketentuan yang berlaku secara umum. Dengan<br />

demikian, ketentuan mengenai kewenangan atau kompetensi Pengadilan,<br />

sudah seharusnya kompetensi yang dimiliki oleh Pengadilan Agama<br />

sebagaimana diatur dalam Undang-undang tersebut diperlukan secara optimal<br />

dalam segala aspeknya.<br />

Dari berbagai macam tulisan dan pendapat yang penulis kaji selama<br />

pengkajian pustaka tersebut, penulis sama sekali tidak menemukan<br />

mengenai permasalahan yang menyangkut mengenai upaya damai sebagai<br />

azas imperatif hakim dalam menyelesaikan perkara yang dalam hal ini<br />

penulis menghkususkan dalam perkara cerai gugat, yang di lakukan oleh<br />

9


hakim di Pengadilan Agama. Dari situ penulis bermaksud mengadakan<br />

penelitian dengan judul; UPAYA DAMAI SEBAGAI AZAZ IMPERATIF<br />

HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA CERAI GUGAT DI<br />

PENGADILAN AGAMA SALATIGA (Studi Komparasi Putusan Pengadilan<br />

Agama Salatiga No. 162/ Pdt. G/ 2007/ PA. Sal. dan No. 22/ Pdt. G/ 2007/<br />

PA. Sal.)<br />

E. Kerangka Teori<br />

Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan berkewajiban mengikuti<br />

dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Tugas<br />

tersebut dibebankan kepada hakim Pengadilan Agama agar dapat memutuskan<br />

perkara yang diajukan kepadanya dengan adil dan benar serta diridloi oleh<br />

Allah SWT. Sesuai dengan firmannya dalam Qur’an Surat An Nisa’ ayat 135 :<br />

يَاأَي ُّهَا ال َّذِينَ‏ ءَامَنُوا آُونُوا قَو َّامِينَ‏ بِالْقِسْطِ‏ شُهَدَاءَ‏ لِل َّهِ‏ وَلَوْ‏ عَلَى<br />

أَنْفُسِكُمْ‏ أَوِ‏ الْوَالِدَيْنِ‏ وَالْأَقْرَبِينَ‏ إِنْ‏ يَكُنْ‏ غَنِيا أَوْ‏ فَقِيرًا فَالل َّهُ‏ أَوْلَى<br />

بِهِمَا فَلَا تَت َّبِعُوا الْهَوَى أَنْ‏ تَعْدِلُوا وَإِنْ‏ تَلْوُوا أَوْ‏ تُعْرِضُوا فَإِن َّ الل َّهَ‏<br />

آَانَ‏ بِمَا تَعْمَلُونَ‏ خَبِيرًا.‏<br />

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benarbenar<br />

penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun kepada<br />

dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya<br />

ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka<br />

janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karana ingin menyimpang dari<br />

kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan<br />

menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui<br />

segala apa yang kamu kerjakan.” 11<br />

Hakim Agama harus dapat menggali, memahami dan menghayati<br />

hukum yang hidup dalam masyarakat dengan cara meningkatkan ilmu<br />

11<br />

Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara<br />

Penerjemah Al Qur’an , Jakarta, 1997, hlm. 144-145.<br />

10


pengetahuan. Sangat besar bahayanya apabila hakim tidak memiliki ilmu<br />

pengetahuan yang cukup. 12<br />

Keadilan hukum adalah keadilan yang dapat memberikan ketenangan<br />

dan kebahagiaan bagi masyarakat. Artinya sejauh mana keadilan dapat<br />

terwujud biasanya diuji melalui praktek pelaksanaan hukum, yang antara lain<br />

adalah bahwa hakim harus mampu memberikan putusan yang adil supaya<br />

masyarakat tergugah mempercayai pengadilan yang sekalius akan mencegah<br />

terjadinya main hakim sendiri. 13<br />

Dalam hal perdamaian sebagaimana yang terdapat dalam UU Peradilan<br />

Agama No. 3 tahun 2006, penulis mendapatkan satu dasar ketetapan yang<br />

terdapat dalam azas umum Peradilan Agama yakni azas kewajiban hakim<br />

untuk mendamaikan pihak-pihak yang berperkara, yang juga dituntut oleh<br />

ajaran moral Islam 14 .<br />

Islam selalu menyuruh menyelesaikan setiap perselisihan dan<br />

persengketaan melalui pendekatan Ishlah. Akan tetapi perdamaian itu tidak<br />

boleh dipaksakan kepada salah satu pihak, demikian juga tidak diperbolehkan<br />

mengulur-ulur proses persidangan karena semata-mata ingin mencapai<br />

perdamaian. 15 Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah :<br />

الصلح جائز بين المسلمين الاصلحا حرم حلالا او احل حراما.‏<br />

12 Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan, Suatu Kajian dalam<br />

system Peradilan Islam, Kencana, Jakarta, 2007, hlm. 177.<br />

13<br />

Baharuddin Lopa, Al Qur’an dan Hak-hak Asasi Manusia, PT. Dana Bhakti<br />

Primayasa,Yogyakarta, 1996, hlm.121.<br />

14 M. Yahya Harahab, Kedudukan Kewenangan dan acara Peradilan Agama (UU No. 7<br />

tahun 1989), Sinar Grafika, Jakarta,2003, hlm. 65.<br />

15 M. Salam Madkur, Peradilan dalam Islam, terj. Imron, PT. Bina Ilmu, Jakarta, Cet. IV.,<br />

1993, hlm. 68.<br />

11


Diantara sesama kaum muslimin boleh mengadakan perdamaian<br />

kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal dan<br />

menghalalkan yang haram. 16<br />

Dalam hal ini dikuatkan oleh Imam Malik RA. Yang mengatakan<br />

bahwa tidak menyetujui apabila hakim bertindak memaksa salah satu pihak<br />

yang berperkara atau mengenyampingkan permusuhan salah satu pihak karena<br />

semata-mata ingin mencapai perdamaian.<br />

Dalam Undang-undang Peradilan Agama tidak dijelaskan secara detail<br />

mengenai ketidakhadiran tergugat dalam sidang perdamaian dan dia tidak<br />

sedang berada di luar negeri akan tetapi tergugat mewakilkan pada kuasanya.<br />

Oleh karena Undang-undang tersebut dipandang tidak lengkap oleh sebagian<br />

hakim, maka hakim harus mencari hukumnya atau menemukan makna<br />

normatif hukumnya. Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai<br />

prosespembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya<br />

yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum<br />

yang konkret dan dapat dipahami oleh masyarakat. Hal ini merupakan<br />

konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan<br />

mengikat pada peristiwa konkret. 17<br />

G. Metodologi Penelitian<br />

1. Jenis Penelitian<br />

Jenis penelitian yang dipakai oleh peneliti dalam meneliti adalah<br />

komparatif (comparative Research) yaitu untuk menyelidiki kemungkinan<br />

16 Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al Qardawi, Sunan Ibnu Majah Jilid II, Isa al Babi, al<br />

Halabi, Mesir, 1953, hlm. 788.<br />

17 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Yogyakarta, Liberty, tt, hlm.<br />

135-137.<br />

12


hubungan sebab akibat dengan cara berdasarkan atas pengamatan terhadap<br />

akibat yang ada mencari kembali faktor yang mungkin menjadi<br />

penyebab. 18 Yang di maksudkan dalam hal ini adalah faktor terjadinya<br />

perbedaan dalam penerapan pasal 82 ayat (2) UU Peradilan Agama<br />

Salatiga berdasarkan putusan Nomor 162/ Pdt.G/ 2007/ PA. Sal. dan<br />

Nomor 22/ Pdt. G/ 2007 / PA. Sal.<br />

2. Metode Pengumpulan Data<br />

a. Wawancara (interview) adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh<br />

pewawancara (interviewer) untuk memperoleh informasi dari yang<br />

diwawancarai (intervier) 19 . Dalam pengumpulan data penulis<br />

wawancara dengan hakim Pengadilan Agama Salatiga yaitu Drs.<br />

Munjid Lughowi, Drs. Supangat dan Dra. Hj. Muhlisoh, MH. Untuk<br />

memberikan informasi khususnya berupa dasar hukum pertimbangan<br />

hakim dalam memutuskan perkara cerai gugat dan pendapat hakim<br />

dalam penerapan pasal 82 ayat 2 UU Peradilan Agama Di Pengadilan<br />

Agama Salatiga.<br />

b. Dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal yang berkaitan<br />

dengan permasalahan yakni berupa catatan, transkip, buku, Undangundang,<br />

prasasti, agenda dan sebagainya. 20<br />

Dokumentasi yang<br />

dimaksud di sini adalah mengambil sejumlah data mengenai putusan<br />

18 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm.26.<br />

19 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta,<br />

Jakarta, 1998, hlm. 145.<br />

20 Ibid, hlm. 236.<br />

13


perkara cerai gugat di Pengadilan Agama salatiga yaitu putusan Nomor<br />

162/ Pdt.G/ 2007/ PA. Sal. dan Nomor 22/ Pdt.G/ 2007/ PA. Sal.<br />

c. Studi Pustaka yaitu penelitian yang mengambil data dari bahan-bahan<br />

tertulis (khususnya berupa teori-teori). 21<br />

3. Analisa Data<br />

Komparasi yaitu cara pembahasan dengan mengadakan analisa<br />

perbandingan antara beberapa pendapat, kemudian diambil suatu<br />

pengertian kesimpulan yang memiliki faktor yang ada hubungannya<br />

dengan situasi yang diselidiki dan dibandingkan antara satu faktor dengan<br />

faktor lain. 22 Dalam hal ini penulis bermaksud mengkomparasikan putusan<br />

hakim dalam hal cerai gugat yang diputuskan di Pengadilan Agama<br />

Salatiga kususnya putusan Nomor : 162/ Pdt.G/ 2007/ PA. Sal. dan<br />

Putusan Nomor : 22/ Pdt.G/ 2007/ PA. Sal.<br />

I. Sistematika Penulisan Skripsi<br />

Untuk memberikan gambaran yang jelas dan terarah, maka diperlukan<br />

suatu sistematika dalam penulisan skripsi. Oleh karena itu dalam sekripsi ini<br />

sistematika penulisannya adalah sebagai berikut :<br />

BAB I<br />

PENDAHULUAN<br />

A. Latar Belakang Masalah<br />

B. Penegasan Istilah<br />

C. Rumusan Masalah<br />

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian<br />

135.<br />

21 Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian, Rajawali, Jakarta, Cet.III, 1990, hlm.<br />

22 Winarno, Dasar-dasar dan Teknik Riset, Tarsito, Bandung, 1978, hlm. 135.<br />

14


E. Telaah Pustaka<br />

F. Kerangka Teori<br />

G. Metode penelitian<br />

H. Sistemetika Penulisan<br />

BAB II<br />

TINJAUAN UMUM TENTANG KONSEP PERDAMAIAN DI<br />

MUKA PERSIDANGAN<br />

C. Konsep Perdamaian dalam Peradilan Islam<br />

1. Pengertian al Qadla’ dan rukun Qadli dalam Islam<br />

2. Pengertian dan dasar hukum mendamaikan dalam Islam<br />

3. Peran dan fungsi hakam dalam Peradilan Islam<br />

D. Azas Mendamaikan di Muka Persidangan Berdasarkan Undangundang<br />

1. Pengertian mendamaikan<br />

2. Syarat formal dalam upaya perdamaian<br />

3. Mekanisme perdamaian dalam sidang<br />

4. Manfaat mendamaikan dalam gugatan perdata<br />

BAB III<br />

PUTUSAN HAKIM TERHADAP PERKARA CERAI GUGAT<br />

DI PENGADILAN AGAMA SALATIGA<br />

A. Putusan Hakim Terhadap Perkara Cerai Gugat di Pengadilan<br />

Agama Salatiga<br />

3. Putusan Nomor : 162/ Pdt. G/ 2007/ PA. Sal.<br />

4. Putusan Nomor : 22/ Pdt. G/ 2007/ PA. Sal.<br />

15


B. Pertimbangan dan Dasar Putusan Hakim Mengenai Perkara<br />

Cerai Gugat di Pengadilan Agama Salatiga<br />

BAB IV<br />

ANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP PENERAPAN<br />

PASAL 82 AYAT (2) UNDANG-UNDANG PERADILAN<br />

AGAMA NOMOR 3 TAHUN 2006<br />

C. Analisa Putusan Hakim terhadap Perkara Cerai Gugat di<br />

Pengadilan Agama Salatiga<br />

D. Analisa Pertimbangan dan dasar Putusan Hakim Mengenai<br />

Perkara Cerai Gugat di Pengadilan Agama Salatiga<br />

BAB V<br />

PENUTUP<br />

A. Kesimpulan<br />

B. Saran<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

LAMPIRAN<br />

16


BAB II<br />

TINJAUAN UMUM TENTANG KONSEP PERDAMAIAN<br />

DI MUKA PERSIDANGAN<br />

A. Konsep Perdamaian dalam Peradilan Islam<br />

1. Pengartian al Qadla’ dan rukun Qadli dalam Islam<br />

Al Qadla’ menurut bahasa memiliki beberapa arti, yakni :<br />

a. Al Faraagh artinya putus atau selesai.<br />

b. Al Adaa’ artinya menunaikan atau membayar.<br />

c. Al Hukmu artinya mencegah atau menghalang-halangi dari terjadinya<br />

kedzaliman orang yang mau berbuat dzalim. 1<br />

Sedangkan Qadli menurut bahasa artinya orang yang<br />

memutuskan perkara dan menetapknnya. 2<br />

Arti Qadla’ menurut istilah syar’i adalah memutuskan hukum<br />

antara manusia dengan benar, dan memutuskan hukum dengan apa yang<br />

diturunkan Allah. 3 Adapun rukun dari qadli menurut sebagian ahli fiqh<br />

ada lima yaitu:<br />

a. Hakim, yaitu orang yang diangkat oleh penguasa, umtuk<br />

menyelesaikan dakwaan-dakwaan dan persengketaan-persengketaan,<br />

karena penguasa tidak mampu melaksanakan sendiri semua tugas itu.<br />

1 M. Salam Madkur, Peradilan dalam Islam, terj. Imron, PT. Bina Ilmu, Jakarta, Cet. IV.,<br />

1993, hlm. 19-20.<br />

2 Ibid, hlm. 20.<br />

3 Loc.cit.<br />

17<br />

17


. Hukum, yaitu suatu keputusan produk qadli, untuk menyelesaikan<br />

perselisihan dan memutuskan persengketaan, adapun bentuk<br />

keputusan itu ada dua yaitu :<br />

1) Qadla’ ilzam, yaitu menetapkan hak atau macam hukuman<br />

kepada salah satu pihak.<br />

2) Qadla’ tarki, yaitu penetapan berupa penolakan karena<br />

gugatannya tidak terbukti.<br />

c. Al mahkum bih, yaitu suatu hak baik itu hak allah, hak manusia, hak<br />

antara Allah dan manusia dan yang lazim adalah hak dari salah<br />

satunya.<br />

d. Al mahkum alaih, yaitu orang yang dijatuhi putusan atas perkara<br />

tersebut, baik itu penggugat ataupun tergugat.<br />

e. Al mahkum lah, yaitu penggugat suatu hak, yang semata-mata adalah<br />

hak manusia (perdata). Artinya bahwa orang harus datang<br />

mengajukan perkaranya ke Pengadilan dengan adanya suatu<br />

kasus. 4<br />

2. Pengertian dan Dasar Hukum Mendamaikan dalam Islam<br />

Ishlah menurut bahasa adalah memutuskan suatu persengketaan.<br />

Sedangkan menurut istilah syara’ ishlah adalah suatu akad dengan<br />

maksud mengakhiri suatu persengketaan antara dua orang yang saling<br />

4 Ibid, hlm. 29-30.<br />

18


ersengketa. 5<br />

Yang dimaksud di sini adalah mengakhiri suatu<br />

persengketaan dengan perdamaian karena Allah mencintai perdamaian.<br />

Dasar hukum mendamaikan dalam Islam antara lain adalah :<br />

a. Firman Allah QS. Al Hujurat ayat 9 dan 10 :<br />

وَإِن طَائِفَتَانِ‏ مِنَ‏ الْمُؤْمِنِينَ‏ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِن<br />

بَغَتْ‏ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا ال َّتِي تَبْغِي حَت َّى تَفِيءَ‏<br />

إِلَى أَمْرِ‏ الل َّهِ‏ فَإِن فَاءتْ‏ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ‏ وَأَقْسِطُوا<br />

إِن َّ الل َّهَ‏ يُحِب ُّ الْمُقْسِطِينَ.‏ إِن َّمَا الْمُؤْمِنُونَ‏ إِخْوَةٌ‏ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ‏<br />

أَخَوَيْكُمْ‏ وَات َّقُوا الل َّهَ‏ لَعَل َّكُمْ‏ تُرْحَمُو ‏َن.‏<br />

Artinya : Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu'min<br />

berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu<br />

dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan<br />

yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu<br />

sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika<br />

golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka<br />

damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku<br />

adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang<br />

berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah<br />

bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu<br />

dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat<br />

rahmat. 6<br />

b. Perkataan Umar Ibnu Khatthab :<br />

“Kembalikanlah penyelesaian perkara di antara sanak keluarga<br />

sehingga mereka dapat mengadakan perdamaian, karena<br />

sesungguhnya penyelesaian pengadilan itu menimbulkan rasa<br />

tidak enak”. 7<br />

5 Sayyid Sabiq, Fikhus Sunnah Juz II, Darul Bayyan, Cet. V, Kuwait, 1971, hlm. 305.<br />

6<br />

Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara<br />

Penerjemahan Al Qur’an, Jakarta, 1997, hlm. 848<br />

7 Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Acara Menurut Syariat Islam II, Proyek<br />

Pembinaan Badan Peradilan Agama, tkp., 1985, hlm. 99.<br />

19


3. Peran dan Fungsi Hakam dalam Peradilan Islam<br />

Hakam artinya juru damai, yakni juru damai yang dikirim oleh<br />

dua belah pihak suami dan istri apabila terjadi perselisihan antara<br />

keduanya, tanpa diketahui keadaan siapa yang benar dan siapa yang<br />

salah di antara kedua suami istri tersebut. 86 firman Allah SWT. Q.S. An<br />

Nisa’ Ayat 35 :<br />

وَإِنْ‏ خِفْتُمْ‏ شِقَاقَ‏ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُواْ‏ حَكَمًا م ِّنْ‏ أَهْلِهِ‏ وَحَكَمًا م ِّنْ‏<br />

أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلاَحًا يُوَف ِّقِ‏ اللّهُ‏ بَيْنَهُمَا إِن َّ اللّهَ‏ آَانَ‏ عَلِيمًا<br />

خَبِيرًا.‏<br />

Artinya : Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara<br />

keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki<br />

dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang<br />

hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah<br />

memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah<br />

Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. 97<br />

Para ulama berbeda pandapat tentang kekuasaan dua orang<br />

hakam yakni apakah dua orang hakam tersebut berkuasa untuk<br />

mempertahankan perkawinan atau menceraikannya tanpa izin suami<br />

istri, ataukah tidak ada kekuasaan bagi kedua orang hakam itu tanpa<br />

seizin keduanya.<br />

a. Menurut Imam Malik<br />

Bahwa kedua orang hakam itu dapat memberikan suatu<br />

ketetapan pada suami istri tersebut tanpa seizinnya, jika hal tersebut<br />

di pandang oleh kedua orang hakam tersebut dapat mendatangkan<br />

8 Slamet Abidin, dkk., Fiqh Munakahat, Pustaka Setia, Bandung, 1999, hlm. 1899.<br />

9 Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 97<br />

20


maslahat, seperti seorang laki-laki menjatuhkan talak satu kemudian<br />

istri memberikan tebusan dengan hartanya untuk mendapatkan talak<br />

dari suaminya. Artinya, kedua orang hakam tersebut merupakan dua<br />

orang hakim yang di berikan kekuasaan oleh pemerintah. 107<br />

b. Menurut Imam Abu Hanifah<br />

Bahwa kedua orang hakam tidak boleh menceraikan suatu<br />

perkawinan tanpa izin dari suami istri. Karena hakamain adalah<br />

wakil dari suami istri tersebut. Artinya bahwa seorang hakam dari<br />

pihak suami tidak tidak boleh menjatuhkan talak kepada pihak istri<br />

sebelum mendapat persetujuan dari pihak suami dan seorang hakam<br />

dari pihak istri juga tidak dapat menjatuhkan khuluk sebelum<br />

mendapatkan persetujuan dari pihak suami. 118<br />

c. Menurut ulama ahli fiqh<br />

Bahwa kedua hakam itu dikirimkan dari keluarga suami dan<br />

istri, di kecualikan apabila dari kedua belah pihak yaitu suami dan<br />

istri tidak ada orang yang pantas menjadi juru damai, maka dapat<br />

dikirim orang lain yang bukan dari keluarga suami atau istri. Apabila<br />

kedua hakam tersebut berselisih, maka keduanya tidak dapat<br />

dilaksanakan dan untuk mengumpulkan kedua suami istri bisa<br />

dilakukan tanpa adanya pemberian kuasa dari keduanya. Akan tetapi<br />

ulama berbeda pendapat tentang pemisahan suami dan istri yang<br />

10 Slamet Abidin,op.cit. hlm. 138.<br />

11 Departemen Agama RI, kompilasi Hukum Acara Menurut syari’at Islam II, Proyek<br />

Pembinaan Badan Peradilan Agama, tkp., 1985, hlm.139-145.<br />

21


dilakukan oleh hakam, apabila keduanya sepakat untuk menceraikan<br />

mereka, apakah diperlukan persetujuan dari kedua belah suami istri<br />

atau tidak? 129<br />

B. Azas Mendamaikan di Muka Persidangan Berdasarkan Undang-undang<br />

1. Pengertian Mendamaikan<br />

Dalam sengketa yang berhubungan dengan status perseorangan<br />

maka hakim diwajibkan mendamaikan pihak-pihak yang sedang<br />

berperkara. 1310 Yang dimaksud perdamaian menurut pasal 1851 KUH<br />

Perdata adalah suatu persetujuan di mana kedua belah pihak dengan<br />

menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri<br />

suatu perkara yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu<br />

perkara. Yang dimaksudkan disini adalah tindakan yang dilakukan<br />

hakim untuk mendamaikan pihak-pihak yang berperkara untuk<br />

menghentikan perkaranya agar tidak terjadi perceraian.<br />

2. Syarat Formal dalam Upaya Perdamaian<br />

Ketentuan formal dari suatu putusan perdamaian sebagaimana<br />

tersebut dalam pasal 1851 KUH Perdata, pasal 130 HIR dan pasal 154<br />

R. Bg 14 dapat dikemukakan sebagai berikut: 23<br />

a. Adanya persetujuan kedua belah pihak<br />

b. Mengakhiri sengketa<br />

12 Slamet Abidin, op.cit., hlm. 190-191.<br />

13<br />

Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Peradilan Agama, Pustaka Pelajar,<br />

Yogyakarta, 2005, hlm. 95.<br />

14 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,<br />

Yayasan al-Hikmah, Jakarta, 2000, hlm. 96-100<br />

22


c. Perdamaian atas sengketa yang telah ada<br />

d. Bentuk perdamaian harus tertulis<br />

• Putusan perdamaian<br />

• Akta perdamaian<br />

3. Mekanisme Perdamaian dalam Sidang<br />

Untuk menerapkan azas mendamaikan agar sesuai dengan yang<br />

dikehendaki undang-undang, tatararanya bertitik tolak dari ketentuan pasal<br />

65 UU No. 3 Tahun 2006. Pasal ini persis sama dengan rumusan yang<br />

tercantum dalam pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974. Apa yang dirumuskan<br />

dalam pasal ini merupakan prinsip umum dalam setiap proses pemeriksaan<br />

perkara tanpa kecuali. Berarti rumusan pasal-pasal tersebut sejajar dengan<br />

prinsip hukum acar perdat yang diatur dalam pasal 130 HIR atau Pasal 154<br />

R.Bg, yang mengatur tata tertib proses pemeriksaan perkara mulai dari<br />

tahap:<br />

a. Pernyataan persidangan terbuka untuk umum<br />

b. Pembacaan surat gugatan<br />

c. Mengusahakan perdamaian<br />

• Apabila kedua belah pihak hadir, hakim memberikan nasihat<br />

kepada kedua belah pihak tentang arti pentingnya perdamaian bagi<br />

mereka, yaitu bahwa:<br />

1) Perdamaian merupakan sesuatu yang sangat mulia dan<br />

diperintahkan oleh agama, sedang permusuhan merupakan<br />

perbuatan hina dan dilarang oleh agama.<br />

23


2) Hidup rukun dan damai merupakan kebutuhan bagi setiap insan<br />

yang ada di dunia.<br />

3) Permusuhan, pertengkaran dan persengketaan merupakan<br />

penyakit kronis yang mengganggu ketentraman dan<br />

kebahagiaan hidup dan oleh sebab itu harus dihindari.<br />

4) Allah SWT akan melindungi dan membantu hamba-Nya yang<br />

mau menyelesaikan segala persoalannya secara damai, Allah<br />

akan melapangkan rizki dan masa depannya, dan sebaliknya<br />

Allah akan membiarkan dan memurkai hamba-Nya yang suka<br />

bersengketa, bermusuhan dan mau menang sendiri, Allah akan<br />

menyampitkan rizki dan masa depannya.<br />

5) Kemuliaan dan harga diri seseorang terletak pada sikapnya<br />

yang mau berdamai. Dialah orang yang mulia dan patut<br />

dihargai serta akan di cintai oleh siapapun juga. Orang yang<br />

tidak mau berdamai adalah orang yang hina dan tidak punya<br />

harga diriserta akan dijauhi oleh siapapun juga. Orang yang<br />

suka berdamai sangat dicintai dan diridloi Allah dan orang<br />

yang tidak suka berdamai akan dimurkai dan dibenci oleh<br />

Allah.<br />

• Hakim dalam memberikan nasihat tersebut harus dilakukan secara<br />

tulus dan ikhlas, ramah tetapi mantap, penuh penghayatan dan<br />

ekspresi yang meyakinkan, dengan bahasa yang jelas dan<br />

komunikatif serta menyentuh dihati mereka.<br />

24


• Hakim harus menempatkan mereka di tempat yang mulia dan<br />

dimuliakan. Janganlah membuat perasaaan mereka itu jadi<br />

tersinggung sehingga mengakibatkan mereka sakit hati atau bahkan<br />

marah. Usahakan agar seolah-olah segala nasihat itu datangnya<br />

dari merekla itu sendiri.<br />

• Apabila mereka didampingi atau diwakili oleh kuasa hukumnya<br />

maka hakim menasihatkan tentang hak dan kewajiban serta<br />

tanggung jawab kuasa hukum dan hukuman mereka dengan<br />

pengadilan, demi terciptanya proses peradilan yang sederhana,<br />

cepat dan biaya ringan dengan hasil penyelesaian yang tuntas dan<br />

final sehingga memuaskan semua pihak<br />

• Setelah mereka menerima dan memahami nasihat hakim, kemudian<br />

hakim menawarkan kepada mereka agar mencabut gugatannya atau<br />

berunding untuk mencari kesepakatan guna menyelesaikan<br />

sengketa mereka. Untuk itu hakim memberi kesempatan<br />

kepada mereka untuk mempertimbangkan secara sungguhsungguh.<br />

• Agar tercapai suatu perdamaian baik dalam arti formil maupun<br />

materiil, maka hakim senantiasa mengingatkan kepada para pihak<br />

agar berpegang teguh kepada etika dan estetika penyelesaian<br />

perkara secara tuntas dan final.<br />

25


d. Apabila tercapai perdamaian maka;<br />

• Para pihak menyelesaikan sendiri di luar persidangan tanpa<br />

campur tangan hakim.<br />

• Para pihak dapat meminta hasil perdamaian yang dituangkan<br />

dalam bentuk Putusan Perdamaian oleh Pengadilan<br />

e. Jika tidak tercapai perdamaian, maka proses dapat dilanjutkan pada<br />

tahap pemeriksaan yang berupa;<br />

• Jawab-menjawab.<br />

• Pemeriksaan pembuktian.<br />

Akan tetapi hakim tetap dibebani untuk selalu mendamaikan<br />

pihak-pihak yang berperkara sampai dengan dijatuhkannya<br />

putusan. 1511<br />

4. Manfaat Mendamaikan dalam Gugatan Perdata<br />

Apabila Majelis Hakim berhasil mendamaikan pihak-pihak yang<br />

bersengketa, maka dibuatlah keputusan perdamaian sebagaimana tersebut<br />

dalam pasal 1851 KUH Perdata, pasal 130 HIR dan pasal 154 R. Bg. Dari<br />

ketentuan pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa ada beberapa manfaat<br />

yang dapat diperoleh jika perdamaian behasil dilaksanakan. Oleh hakim<br />

dalam mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya, diharap berperan<br />

aktif untuk melaksanakan perdamaian pada pihak-pihak yang<br />

berperkara. Usaha perdamaian itu harus selalu dilaksanakan seoptimal<br />

15 Mukti Arto, Mencari Keadilan, Kritik dan Solusi terhadap Praktik Peradilan Perdata di<br />

Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, hlm. 213-215<br />

26


mungkin, sehingga dengan demikian perselisihan antara pihak-pihak yang<br />

berperkara dapat berakhir tanpa adanya permusuhan.<br />

Sehubungan dengan hal tersebut, ada beberapa manfaat yang dapat<br />

diambil dari wujud perdamaian yang dibuat dalam bentuk putusan<br />

perdamaian, yaitu: 1624<br />

a. Mempunyai kekuatan hukum tetap<br />

Dalam pasal 1851 KUH Perdata dikemukakan bahwa semua<br />

putusan perdamaian yang dibuat dalam sidang Majelis Hakim<br />

mempunyai kekuatan hukum tetap seperti putusan Pengadilan lainnya<br />

dalam tingkat penghabisan. Putusan perdamaian tersebut tidak dapat<br />

dibantah dengan alasan kekhilafan mengenai hukum atau dengan<br />

alasan salah satu pihak telah dirugikan oleh putusan perdamaian<br />

tersebut. Dalam pasal 130 ayat (2) HIR dikemukakan pula bahwa jika<br />

perdamaian dapat dicapai, maka pada waktu dikemukakan pula dalam<br />

persidangan dibuat putusan perdamaian dengan menghukum para<br />

pihak untuk mematuhi persetujuan damai yang telah mereka buat.<br />

Putusan perdamaian tersebut berkekuatan hukum tetap dan dapat<br />

dijalankan sebagaimana putusan biasa lainnya.<br />

Ketentuan tesebut adalah sejalan dengan apa yang telah<br />

disebutkan dalam pasal 1861 KUH Perdata, di mana dikemukakan<br />

bahwa suatun putusan perdamaian yang diadakan atas dasar surat-surat<br />

yang kemudian dinyatakan palsu adalah batal. Dalam pasal 1862 KUH<br />

Perdata juga dikemukakan bahwa suatu perdamaian mengenai<br />

16 Abdul Manan, Op.cit., hlm. 100-103<br />

27


sengketa yang sudah diakhiri dengan suatu putusan hakim yamg telah<br />

memperoleh kekuatan hukum tetap, tetapi putusan perdamaian hakim<br />

tersebut tidak diketahui oleh pihak-pihak yang bersengketa atau salah<br />

satu dari mereka maka putusan perdamaian itu adalah batal. Jika<br />

putusan yang tidak diketahui oleh para pihak itu masih dapat<br />

dimintakan banding, maka perdamaiannya sah.<br />

b. Tertutup upaya banding dan kasasi<br />

Setelah adanya Putusan Pengadilan yang berupa perdamaian<br />

maka sudah tidak dapat dilakukan upaya hukum banding atau kasasi.<br />

Karena putusan perdamaian itu sejak ditetapkan oleh hakim maka<br />

sudah melekat bahwa putusan perdamaian itu adalah pasti dan tidak<br />

ada penafsiran lagi, langsung dapat dijalankan kapan saja diminta oleh<br />

pihak-pihak yang melaksanakan perdamaian itu.<br />

Adapun satu-satunya upaya hukum yang dapat dipergunakan<br />

oleh para pihak yang merasa dirugikan oleh adanya putusan<br />

perdamaian tersebut adalah mengadakan perlawanan terhadap putusan<br />

perdamaian itu. Adapun perlawanan yang dimaksud dapat berbentuk<br />

derden verzet atau partai verzet.<br />

Derden verzet adalah perlawanan terhadap putusan perdamaian<br />

apabila yang menjadi obyek putusan perdamaian itu bukan menjadi<br />

milik para pihak yang membuat persetujuan perdamaian tetapi milik<br />

orang lain. Sedangkan partai verzet adalah perlawanan terhadap<br />

putusan perdamaian apabila dalam putusan tersebut ditemukan cacat<br />

28


formal atau cacat materiil atau dengan alasan bahwa idi putusan<br />

perdamaian tersebut tidak berdasarkan kesepakatan bersama.<br />

c. Memiliki kekuatan eksekutorial<br />

Putusan perdamaian itu memiliki kekuatan eksekusi karena<br />

putusan perdamaian itu dapat langsung di eksekusi apabila pihak-pihak<br />

yang membuat persetujuan perdamaian itu tidak mau melaksanakan<br />

persetujuan yang disepakati secara sukarela. Bagi pihak-pihak yang<br />

merasa dirugikan kerena tidak ditaati persetujuan perdamaian itu dapat<br />

meminta Pengadilan yang membuat putusan perdamaian untuk<br />

melaksanakan eksekusi. Adapun tata cara eksekusi putusan<br />

perdamaian itu adalah sama dengan eksekusi putusan Pengadilan<br />

lainnya yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.<br />

29


BAB III<br />

PUTUSAN HAKIM TERHADAP PERKARA CERAI GUGAT<br />

DI PENGADILAN AGAMA SALATIGA<br />

A. Putusan Hakim Terhadap Cerai Gugat di Pengadilan Agama Salatiga<br />

1. Putusan Nomor : 162/ Pdt. G/ 2007/ PA. Sal.<br />

Pengadilan Agama Salatiga yang memeriksa dan mengadili<br />

perkara dalam tingkat pertama dalam persidangan Majelis telah<br />

menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam perkara cerai gugat antara X,<br />

umur 53 tahun, agama Islam, pekerjaan ibu rumah tangga, bertempat<br />

tinggal di Bp. Achmad Suharimeli (H. Imam sutrisno) Dsn. Winong Rt.<br />

03/1, Kelurahan Kecandran, Kecamatan Sidomukti, Kota Salatiga, sebagai<br />

Penggugat. Dengan Y, umur 50 tahun, agama Islam, Pekerjaan Islam,<br />

bertempat tinggal di Ketanggi Rt. 03/I, Kelurahan Ketanggi, Kecamatan<br />

Suruh, Kabupaten Semarang, yanh dalam hal ini diwakili oleh kuasanya<br />

bernama Agung Wibowo, SH dan Sutopo, SH, Advokat yang beralamat di<br />

Jl. Raya Salatiga – Solo km 11 Tegalrejo, Kecamatan Tengaran,<br />

Kabupaten Semarang, sebagai Tergugat.<br />

Bahwa Penggugat berdasarkan surat gugatannya tertanggal 3 Maret<br />

2007 yang terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Salatiga Nomor :<br />

162/ Pdt. G/ 2007/ Pa. Sal. telah mengajukan alasan-alasan sebagai<br />

berikut;<br />

30


a. Bahwa Penggugat telah melangsungkan pernikahan dengan<br />

Tergugat pada tanggal 26 Agustus 1990, sebagaimana Kutipan<br />

Akta Nikah Nomor : 242/51/VIII/90 yang dikeluarkan oleh Kantor<br />

Urusan Agama Kecamatan Pondok Aren Kota Tangerang.<br />

b. Bahwa setelah akad nikah tergugat mengucapkan sighattaklik<br />

talak, selanjutnya Penggugat dan Tergugat hidup bersama di rumah<br />

Penggugat di Jakarta selama 2 tahun kemudian pindah di Jl.<br />

Merdeka Utara No. 7 (milik Penggugat) 2 tahun, pindah di Bener<br />

(milik Penggugat) selama 11 tahun, kemudian pindah di Candran<br />

(kontrak) sampai tanggal 29 Januari 2007, dalam keadaan ba’da<br />

dukhul, belum dikaruniai anak.<br />

c. Bahwa semula rumah tangga Penggugat dan Tergugat dalam<br />

keadaan baik, namun sejak tahun 1996 antara Penggugat dan<br />

Tergugat sering cekcok masalah Tergugat tidak bekerja dan sering<br />

menghina Penggugat dan mengumpat Penggugat dengan kata-kata<br />

kasar.<br />

d. Bahwa setelah Penggugat dan Tergugat berada di Kecandran<br />

rumah tangga semakin tidak baik karena seringnya cekcok antara<br />

Penggugat dan Tergugat masalah Tergugat belum pernah mengasih<br />

nafkah sejak menikah.<br />

e. Bahwa pada tanggal 29 Januari tahun 2007 Tergugat ijin pergi<br />

dengan membawa mobil Jip dan pulang kerumah orang tuanya<br />

sampai sekarang.<br />

31


f. Bahwa setelah kejadian tersebut antara Penggugat dan Tergugat<br />

sudah tidak ada komunikasi lagi.<br />

g. Bahwa saat ini antara Penggugat dan Tergugat sudah pisah selama<br />

2 bulan dan selama pisah tergugat telah menterlantarkan dan tidak<br />

mengurusi nafkah Tergugat.<br />

h. Bahwa atas perbuatan Tergugat tersebut, maka penggugat tidak<br />

rela dan cukup alasan Penggugat mengajukan cerai gugat ke<br />

Pengadilan Agama Salatiga.<br />

Bahwa atas dasar hal-hal tersebut diatas Penggugat mohon kepada<br />

Bapak Ketua Pengadilan Agama Salatiga C.q Majelis Hakim agar<br />

berkenan menjatuhkan putusan sebagai berikut;<br />

PRIMER<br />

a. Mengabulkan gugatan Penggugat.<br />

b. Menetapkan putus perkawinan Penggugat dan Tergugat karena<br />

perceraian.<br />

c. Membebankan biaya perkara menurut hukum.<br />

SUBSIDER<br />

Atau apabila Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang<br />

seadil-adilnya.<br />

Menimbang, bahwa pada hari sidang yang telah ditentukan<br />

Penggugat telah hadir dan menghadap di persidangan, sedangkan Tergugat<br />

diwakili oleh kuasanya hadir di persidangan.<br />

32


Menimbang, bahwa dalam sidang perdamaian Kuasa Tergugat<br />

telah diperintahkan sebanyak 4 (empat) kali untuk menghadirkan Tergugat<br />

Materiil di persidangan untuk keperluan perdamaian namun ternyata<br />

Tergugat Materiil tetap tidak hadir di persidangan.<br />

Menimbang, bahwa untuk singkatnya putusan ini, maka hal-hal<br />

yang tercantum dalam berita acara sidang perkara ini merupakan bagian<br />

yang tidak dapat dipisahkan dari putusan ini.<br />

TENTANG HUKUMNYA<br />

Menimbang bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat adalah<br />

sebagaimana tersebut diatas;<br />

• Menimbang bahwa berdasarkan pasal 82 UU No. 3 tahun 2006 jo pasal<br />

31 PP. No. 9 tahun 1975 bahwa dalam sidang perdamaian suami istri<br />

harus hadir secara pribadi.<br />

• Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan pasal 123 ayat (3) HIR<br />

Pengadilan berwenang memberi perintah kepada pihak-pihak yang<br />

diwakili oleh kuasa hukumnya di persidangan untuk datang<br />

menghadap sendiri di persidanagan.<br />

• Menimbang bahwa berdasarkan pasal-pasal tersebut diatas Pengadilan<br />

telah memerintahkan kuasa Tergugat sebanyak 4 (empat) kali untuk<br />

menghadirkan Tergugat in person di persidangan untuk usaha<br />

perdamaian, namun ternyata kuasa Tergugat tidak dapat menghadirkan<br />

Tergugt in person di persidangan, sehingga dengan demikian<br />

33


Pengadilan berpendapat bahwa Tergugat tidak bersungguh-sungguh<br />

untuk berperkara.<br />

• Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut<br />

di atas, maka gugatan Penggugat harus dinyatakan tidak dapat<br />

diterima.<br />

• Menimbang bahwa oleh karena perkara ini masuk dalam bidang<br />

perkawinan dan sesuai dengan pasal 89 ayat (1) Undang-undang No. 3<br />

tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang No. 7 tahun 1989<br />

tentang Peradilan Agama, maka biaya perkara ini dibebankan kepada<br />

Penggugat.<br />

• Mengingat segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan<br />

hukum syara’ yang berkaitan dengan perkara ini.<br />

MENGADILI<br />

a. Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima.<br />

b. Membebankan biaya perkara sebesar Rp. 231.000,- (dua ratus tiga<br />

puluh satu ribu rupiah) kepada Penggugat.<br />

Demikian putusan ini dijatuhkan pada hari senin tanggal 18 Juni<br />

2007 M. bertepatan dengan tanggal 2 Jumadil Akhir 1428 H. Dalam<br />

permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Agama Salatiga, oleh kami<br />

Drs. Supangat sebagai Hakim ketua Majelis, Dra. Hj. Mukhlisoh, MH.<br />

Dan Drs. Munjid Lughowi, masing-masing sebagai hakim anggota,<br />

Handayani, SH. sebagai Panitera Pengganti, putusan mana pada hari itu<br />

juga dibacakan dalam persidangan yang terbuka untuk umum oleh Ketua<br />

34


Majelis tersebut dengan dihadiri oleh Penggugat tanpa hadirnya Tergugat<br />

in person.<br />

2. Putusan Nomor : 22/ Pdt. G/ 2007/ PA. Sal.<br />

Pengadilan Agama Salatiga yang memeriksa dan mengadili<br />

perkara dalam tingkat pertama dalam persidangan Majelis telah<br />

menjatuhkan putusan sebagi berikut dalam perkara cerai gugat antara X<br />

umur 40 tahun, agam islam, pekerjaan buruh, alamat Dsn. Padean Rt.01/<br />

02, Desa Suruh, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang sebagai<br />

Penggugat. Dengan Y, umur 45 tahun, agama Islam, pekerjaan buruh,<br />

alamat Bpk. Pangat dengan alamat Bengkok Rt. 11/ 09, Kelurahan<br />

Kutowinangun, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga sebagai Tergugat.<br />

Bahwa Penggugat berdasarkan surat gugatannya tertanggal 15<br />

Januari 2007 yang didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama salatiga<br />

Nomor : 22/ Pdt. G/ 2007/ PA. Sal. telah mengajukan alasan-alasan<br />

sebagai berikut;<br />

a. Bahwa Penggugat telah melangsungkan pernikahan dengan tergugat<br />

pada tanggal 4 Nopember 1988, tercatat dalam Duplikat Kutipan akta<br />

Nikah nomor : KK.11.22.14/ Pw.01/ 01/ 1/ 2007.<br />

b. Bahwa setelah akad nikah Tergugat mengucapkan sighat taklik talak,<br />

sebagaimana yang tercantum dlam kutipan akta nikahnya.<br />

c. Bahwa setelah akad nikah Penggugat dan Tergugatkumpul bersama<br />

dirunah Penggugat selama 16 tahun dan telah di karuniai tiga orang<br />

anak, masing-masing bernama :<br />

35


1) Adi Bagus Prasetyo, umur 11 tahun.<br />

2) Azizah Yuliana, umur 10 tahun.<br />

3) Serly Oktaviana, umur 8 tahun.<br />

Dan ketiga anak tersebut diasuh oleh Penggugat<br />

d. Bahwa semula rumah tangga Penggugat dan Tergugat dalam keadaan<br />

baik dan bahagia, akan tetapi kemudian sejak tahun 2000 rumah<br />

tangga mulai sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang<br />

disebabkan Tergugat telah mencintai wanita lain bernama Khotimah,<br />

orang dari Salatiga.<br />

e. Bahwa sejak Tergugat menjalin cinta dengan Khotimah Tergugat<br />

sudah mulai tidak bersungguh-sungguh dalam memikirkan rumah<br />

tangganya dan bahkan Tergugat mulai jarang pulang dan banyak<br />

tinggal di rumah Khotimah.<br />

f. Bahwa atas sikap Tergugat tersebut, Penggugat telah sering<br />

mengingatkan, akan tetapi Tergugat malah diam tanpa komentar dan<br />

sebagai puncaknya sejak awal tahun 2004 sampai saat ini selama 3<br />

tahun, tergugat tidak pernah pulang dan tidak pernah mengurusi<br />

Penggugat dan ketiga anaknya.<br />

g. Bahwa atas sikap Tergugat tersebut, Penggugat tidak rela dan sudah<br />

tidak sanggup lagi meneruskan rumah tangga dengan Tergugat, maka<br />

cukup alasan bagi Penggugat mengajukan cerai gugat ke Pengadilan<br />

Agama Salatiga.<br />

36


Bahwa atas dasar hal-hal tersebut diatas Penggugat mohon kepada<br />

Bapak Ketua Pengadilan Agama Salatiga C.q Majelis Hakim agar<br />

berkenan menjatuhkan putusan sebagai berikut;<br />

a. Mengabulkan gugatan Penggugat.<br />

b. Menetapkan putus perkawinan Penggugat dan Tergugat karena<br />

perceraian.<br />

c. Menetapkan biaya perkara menurut hukum.<br />

Atau apabila majelis hakim berpendapat lain mohon putusan lain yang<br />

seadil-adilnya.<br />

Menimbang, bahwa pada hari sidang yang telah ditentukan<br />

Penggugat hadir di persidangan atau tidak menyuruh orang lain untuk<br />

datang menghadap sebagai kuasanya atau wakilnya, Meskipun Tergugat<br />

telah dipanggil dengan sah dan patut sesuai dengan berita acar relaas<br />

panggilan yang bersangkutan yang telah dibacakan di muka persidangan,<br />

sedang tidak ternyata bahwa tidak datangnya itu disebabkan oleh suatu<br />

halangan yang sah.<br />

Menimbang, bahwa setelah majelis Hakim berusaha dengan<br />

sungguh-sungguh menasehati Penggugat agar tidak bercerai dengan<br />

Tergugat namun tudak berhasil, kemudian dibacakanlah gugatan<br />

Penggugat yang isinya tetap dipertahankan oleh Penggugat.<br />

Menimbang, bahwa Penggugat di persidangan telah mengajukan<br />

bukti-bukti sebagai berikut;<br />

37


a. Surat- surat.<br />

1) Fotocopy Duplikat Kutipan Akta Nikah Nomor : KK.11.22.14/<br />

Pw.01/ 1/ 2007 tanggal 3 Januari 2007 yang dikeluarkan oleh<br />

Kantor Urusan agama kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang,<br />

Bukti P1.<br />

b. Saksi-saksi.<br />

1) A, bersumpah memberi keterangan sebagai berikut :<br />

• Bahwa saksi adalah tetangga Penggugat.<br />

• Bahwa Penggugat dan Tergugat menikah pada tahun 1988.<br />

• Bahwa setelah menikah Penggugat dan Tergugat tinggal<br />

bersama di rumah Penggugat selama 20 tahun dan telah<br />

mempunyai 3 anak.<br />

• Bahwa semula rumah tangga Penggugat dan Tergugat rukun<br />

damai namun kemudian sejak tahun 2004 Tergugat pergi<br />

meninggalkan Penggugat, kost di Salatiga.<br />

• Bahwa sejak tahun 2004 Penggugat dan Tergugat pisah<br />

rumah.<br />

• Bahwa selama 3 tahun itu Tergugat sudah tidak pernah ke<br />

rumah Penggugat dan tidak memberi nafkah Penggugat.<br />

2) B, bersumpah memberi keterangan sebagai berikut :<br />

• Bahwa saksi adalah paman Penggugat.<br />

• Bahwa Penggugat dan Tergugat menikah pada tahun 1988.<br />

38


• Bahwa setelah menikah Penggugat dan Tergugat tinggal<br />

bersama di rumah Penggugat selama 20 tahun dan telah<br />

mempunyai 3 anak.<br />

• Bahwa semula rumah tangga Penggugat dan Tergugat rukun<br />

damainamun kemudian sejak tahun 2004 tergugat pergi<br />

meninggalkan Penggugat, kost di salatiga.<br />

• Bahwa sejak tahun 2004 antara Penggugat dan Tergugat telah<br />

pisah rumah.<br />

• Bahwa selama 3 tahun itu Tergugat sudah tidak pernah<br />

kerumah Penggugat dan tidak memberikan nafkah<br />

Penggugat.<br />

Menimbang, bahwa atas keterangan saksi-saksi tersebut Penggugat<br />

membenarkan.<br />

Menimbang, bahwa selanjutnya Penggugat sudah tidak<br />

mengajukan sesuatu apapun dan mohon putusan yang seadil-adilnya.<br />

Menimbang, bahwa untuk singkatnya putusan ini maka hal-hal<br />

yang tercantum dalam berita acara sidang perkara ini merupakan bagian<br />

yang tidak dapat dipisahkan dari putusan ini.<br />

TENTANG HUKUMNYA<br />

Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat adalah<br />

sebagaimana telah tersebut diatas.<br />

Menimbang, bahwa oleh karena ternyta Tergugat tidak datang<br />

menghadap di persidangan atau tidak menyuruh orang lain untuk<br />

39


menghadap sebagai kuasa atau wakilnya yang sah meskipun tergugat telah<br />

dipanggil secara patut, maka tergugat harus dinyatakan tidak hadir.<br />

Menimbang, bahwa sebagaimana Kutipan Akta Nikah tersebut<br />

(bukti P-) telah terbukti bahwa Penggugat dan Tergugat adalah suami istri<br />

yang sah dan setelah akad nikah Penggugat dan Tergugat belum pernah<br />

bercerai.<br />

Menimbang, bahwa gugatan Penggugat diperkuat dengan (bukti P-<br />

1) diperkuat pula dengan keterangan saksi-saksi yang bersesuaian satu<br />

sama lain, maka gugatan Penggugat telah ditemukan fakta hukum sebagai<br />

berikut;<br />

a. Bahwa Penggugat telah melangsungkan pernikahan dengan tergugat<br />

pada tanggal 4 Nopember 1988, tercatat dalam Duplikat Kutipan akta<br />

Nikah nomor : KK.11.22.14/ Pw.01/ 01/ 1/ 2007. yang dikeluarkan<br />

oleh KUA Kecaman Suruh kabupaten semarang. setelah akad nikah<br />

Tergugat mengucapkan sighat taklik talak, kemudian Penggugat dan<br />

Tergugat tinggal bersama dirumah orang tua Penggugat selama 16<br />

tahun dan telah di karuniai tiga orang anak, dan sekarang ketiga anak<br />

tersebut ikut Penggugat.<br />

b. Bahwa semula rumah tangga Penggugat dan Tergugat dalam keadaan<br />

baik dan bahagia, kemudian sejak tahun 2000 mulai sering terjadi<br />

perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan Tergugat telah<br />

mencintai wanita lain bernama Khotimah, orang dari Salatiga yang<br />

40


akhirnya sejak awal tahun 2004 sampai sekarang sudah 3 tahun<br />

lamanya tergugat tidak pulang lagi ke rumah Penggugat.<br />

c. Bahwa antara Penggugat dan Tergugat telah pisah selama 3 tahun lebih,<br />

dan selama berpisah Tergugat tidak mempedulikan Penggugat dan juga<br />

tidak pernah memberikan nafkah kepada Penggugat.<br />

Menimbang, bahwa berdasarkan fakta hukum diatas maka harus<br />

dinyatakan telah terbukti menurut hukum terwujudnya syarat ta’lik talak<br />

angka 1,2 dan 4 sebagaimana pasal 116 huruf (g) kompilasi hukum islam;<br />

Menimbang, bahwa penggugat tetap tidak ridlo dengan<br />

terwujudnya syarat ta’lik talak tersebut, serta ia bersedia membayar iwadl<br />

sebesar Rp 10.000,00 ( sepuluh ribu rupiah ).<br />

Menimbang, bahwa atas dasar pertimbangan tersebut diatas, maka<br />

harus dinyatakan telah terbukti pula bahwa Tergugat telah pergi<br />

meninggalkan Penggugat tanpa ijin Penggugat sampai sekarang sudah 3<br />

tahun lebih dan selama itu Penggugat dan Tergugat telah hidup berpisah.<br />

Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut diatas telah<br />

terbukti bahwa antara Penggugat dan Tergugat sering terjadi perselisihan<br />

dan pertengkaran secara terus menerus disebabkan Tergugat menjain cinta<br />

dengan wanita lain bernama Khotimah orang dari Salatiga yang akhirnya<br />

sejak awal tahun 2004 sampai sekarang Tergugat sudah tidak pulang lagi<br />

ke rumah Penggugat.<br />

Menimbang, bahwa sejalan dengan apa yang telah<br />

dipertimbangkan diatas, dan setelah diupayakan penasehatan oleh Majelis<br />

41


Hakim ternyata tidak berhasil, dan Penggugat tetap melanjutkan<br />

perkaranya, maka Majelis Hakim berkesimpulan bahwa perkawinan antara<br />

Penggugat dan Tergugat telah pecah dan keduanya sudah sulit diharapkan<br />

untuk rukun kembali dalam rumah tangga sebagai suami isteri sehingga<br />

dengan demikian dalil-dalil gugatan Penggugat telah memenuhi alasan<br />

perceraian sesuai pasal 39 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974<br />

jo.Pasal 19 huruf (b dan f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975<br />

jo.Pasal 116 huruf (b dan f) Kompilasi Hukum Islam.<br />

Menimbang, bahwa Majelis berpendapat perlu mengetengahkan<br />

pendapat Fuqoha dalam Kitab Syarqawi Tahrir halaman 105 yang<br />

berbunyi :<br />

ومن علق طلاقا بصفة وقع بوجودها عملا بمقتضى اللفظ.‏<br />

Artinya : “Barang siapa menggantungkan talak kepada suatu keadaan,<br />

maka jatuh talaknya dengan adanya keadaan tersebut, sesuai<br />

dengan bunyi lafadlnya”.<br />

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan<br />

tersebut diatas, maka telah cukup alasan untuk mengabulkan gugatan<br />

Penggugat dengan verstek (pasal 125 HIR) dan pada saat itu Penggugat<br />

dalam keadaan suci.<br />

Menimbang, bahwa oleh karena perkara ini termasuk dalam bidang<br />

perkawinan dan sesuai dengan pasal 89 ayat (1) Undang-undang Nomor 3<br />

tahun 2006, maka biaya perkara ini dibebankan pada Penggugat.<br />

Mengingat segala Peraturan Perundang-undangan yang berlaku dan<br />

Hukum syara’ yang berkaitan dengan perkara ini.<br />

42


MENGADILI<br />

1. Menyatakan bahwa Tergugat yang telah dipanggil dengan patut untuk<br />

menghadap di persidangan tidak hadir.<br />

2. Mengabulkan gugatan Penggugat dengan verstek.<br />

3. Menetapkan syarat ta’lik talak telah terpenuhi.<br />

4. Menetapkan jatuh talak satu khul’i Tergugat (Y) kepada Penggugat (X)<br />

dengan ‘iwadl Rp. 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah).<br />

5. Membebankan biaya perkara sebesar Rp. 221.000,00 (dua ratus dua<br />

puluh satu ribu rupiah) kepada Penggugat.<br />

Dengan demikian putusan ini dijatuhkan pada hari kamis tanggal 1<br />

Maret 2007 M bertepatan dengan tanggal 11 Shofar 1428 H dalam<br />

permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Agama Salatiga oleh kami<br />

Drs. Supangat, sebagai Hakim Ketua Majelis, Dra. Hj. Muhlisoh, MH dan<br />

Drs. Munjid Lughowi, masing-masing sebagai Hakim Aggota, Fadlan<br />

Hasyim, S. Ag, sebagai Panitera Pengganti, putusan mana pada hari itu<br />

juga dibacakan dalam persidangan yang terbuka untuk umum oleh Ketua<br />

Majelis tersebut dengan dihadiri oleh Penggugat tanpa hadirnya<br />

Tergugat.<br />

43


B. Pertimbangan dan Dasar Putusan Hakim Mengenai Perkara Cerai Gugat<br />

di Pengadilan Agama Salatiga<br />

Secara umum Peradilan Agama (hakim) sebagai salah satu pelaksana<br />

kekuasaan kehakiman mempunyai tugas pokok untuk menerima, memeriksa<br />

dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya<br />

guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila demi<br />

terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. 1 Seorang hakim dalam<br />

menjalankan tugas yustisialnya selalu didasarkan atas berbagai pertimbanganpertimbangan.<br />

Ada dua hal yang menjadi pertimbangan pokok hakim. Pertama,<br />

Aspek normatif yang berkenaan dengan hukum meteriil dan formil. Secara<br />

normatif gugatan perceraian telah diatur dalam UU Peradilan Agama No. 3<br />

tahun 2006 dan UU No. 1 tahun 1974 dan pelaksanaannya telah diatur dalam<br />

PP No. 9 tahun 1975. Gugatan dapat dikabulkan manakala diajukan kepada<br />

pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat.<br />

Ketentuan ini merupakan kebalikan dan pengecualian dari azas umum (actor<br />

sequitur forum rei) yang mengajarkan bahwa gugatan diajukan di pengadilan<br />

tempat kediaman tergugat. 2<br />

adapun tujuan dari kompetensi relatif tersebut<br />

adalah untuk memberi kemudahan bagi istri untuk menuntut perceraian dari<br />

suami.<br />

1 UU No. 14/ 1970 Pasal 1 dan 2.<br />

2 Penjelasan pasal 73 ayat (1) UU No. 3 tahun 2006.<br />

44


Yang dimaksud dengan pertimbangan normatif adalah pertimbangan<br />

hakim yang berdasarkan atas hukum yang ada dengan melihat kebenaran atas<br />

bukti-bukti yang diajukan. Bukti-bukti yang dimaksud disini bias berupa bukti<br />

surat maupun bukti saksi. Adapun yang termasuk bukti surat adalah :<br />

1. Fotocopy Duplikat Kutipan Akta Nikah<br />

Sedangkan yang termasuk bukti saksi adalah:<br />

1. Saksi dari pihak suami<br />

2. Saksi dari pihak istri<br />

3. Saksi lain yang bisa dimintai keterangannya<br />

Kedua, aspek sosial, berkenaan dengan dampak atau konsekwensi<br />

yang muncul setelah putusan Pengadilan Agama ditetapkan. Pada aspek ini,<br />

hakim dituntut untuk lebih cermat dalam memberikan keputusan. Misalnya<br />

istri mengajukan gugatan perceraian yang pada hakektnya itu sangat benar<br />

karena suami benar-benar tidak dapat membahagiakan dan memperlakukan<br />

istrinya sebagaimana layaknya seorang istri pada umumnya. Akan tetapi pada<br />

sidang pertama yakni siadang upaya damai dan sampai akhirnya sidang atau<br />

sampai ditetapkannya putusan pihak tergugat tidak pernah hadir dipersidangan<br />

meski telah dipanggil oleh pihak pengadilan secara patut. Dalam hal ini hakim<br />

tetap dapat mengabulkan gugatan sang istri dengan putusan verstek<br />

karena suami dianggap menyepeleken atau tidak menghargai hukum. Hal<br />

tersebut didasarkan atas pasal 82 UU Peradilan Agama No. 3 Tahun<br />

2007.<br />

45


Termasuk dalam pertimbangan sosial kemanusiaan, gugatan perceraian<br />

seperti pertimbangan atas konsekwensi logis dari putusan hakim baik<br />

dikabulkan atau tidaknya suatu gugatan adalah bahwa gugatan tersebut<br />

dikaitkan dengan masalah kemanusiaan yang pada puncaknya akan berakibat<br />

pada kelayakan kehidupan seseorang di lingkungan sekitarnya.<br />

Akan tetapi apabila antara penggugat dan tergugat tidak dapat hadir<br />

secara materiil dalam sidang pertama yakni dalam sidang perdamaian, maka<br />

perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama tersebut tidak dapat dilanjutkan<br />

meski alasan gugatan tersebut mirip dan kemungkinan akibat yang akan<br />

diterima oleh pihak penggugatpun juga sama dengan gugatan serupa yang<br />

lainnya. Hal ini dikarenakan hakim tetap mengacu dasar putusan dalam pasal<br />

82 ayat (2) UU Peradilan Agama No. 3 Tahun 2006. artinya hakim belum<br />

dapat menggali aspek keadilan dari dampak yang akan di terima oleh<br />

penggugat apabila perkaranya tidak dapat diselesaikan atau diputuskan di<br />

Pengadilan Agama sebagaimana gugatan yang diajukan.<br />

Akan tetapi dalam memutuskan perkara No. 162/ Pdt.G/ 2007/ PA.Sal.<br />

hakim berbeda pendapat. Ada yang berpendapat bahwa perkara tersebut tetap<br />

dapat dilanjutkan dengan alasan bahwa apabila perkara tersebut tidak dapat<br />

dilanjutkan maka Penggugat akan dirugikan oleh pihak Tergugat dan hakim<br />

itu tidak hanya harus mengacu pada UU karena hukum atau UU itu adalah<br />

sarana sedangkan tujuan dari hukum itu adalah keadilan. Maka apabila sarana<br />

lebih dijunjung tinggi dari tujuannya maka keadilan tidak akan pernah<br />

46


terwujud. Akan tetapi dalam sidang majelis hakim yang berjumlah tiga orang<br />

hakim, yang berpendapat seperti tersebut hanya satu hakim saja, jadi putusan<br />

akhirnya tetap tidak dapat dilanjutkan dengan alasan tergugat tidak hadir dan<br />

dia<br />

mewakilkan pada kuasanya yang dalam UU hal tersebut tidak<br />

dibenarkan. 3<br />

3 Hasil wawancara dengan Drs. Supangat, Drs. Munjid Lughowi dan Dra. Hj. Muhlisoh,<br />

MH. (Hakim Pengadilan Agama Salatiga) Pada 14 dan 17 September 2007 di Pengadilan Agama<br />

Salatiga.<br />

47


BAB IV<br />

ANALISA PUTUSAN HAKIM TERHADAP PENERAPAN PASAL 82<br />

AYAT (2) UNDANG-UNDANG PERADILAN AGAMA<br />

NOMOR 3 TAHUN 2006<br />

A. Analisa Putusan Hakim terhadap Perkara Cerai Gugat di Pengadilan<br />

Agama Salatiga<br />

Perceraian sering dianggap suatu peristiwa tersendiri dan<br />

menegangkan dalam keluarga. Tetapi peristiwa ini sudah menjadi bagian<br />

kehidupan dalam masyarakat. Kita boleh mengatakan bahwa ini bagian<br />

masalah yang perlu direnungkan bagaimana akibat dan pengaruhnya dalam<br />

keluarga setelah terjadinya perceraian.<br />

Dalam sebuah keluarga yang semula memiliki cita-cita bersama untuk<br />

menciptakan keluarga yang bahagia dan sejahtera akan hancur apabila suami<br />

istri di dalam mengarungi kehidupan rumah tangga tidak dapat berjalan<br />

dengan baik sebagaimana yang di cita-citakan. Dan mereka akan menganggap<br />

bahwa sudah tidak ada gunanya lagi mereka untuk hidup bersama. Untuk<br />

itulah mereka memilih jalan perceraian untuk mengakhiri pernikahannya yang<br />

semua itu ditimbulkan oleh dari beberapa masalah diantaranya karena adanya<br />

perselingkuhan, percekcokan yang tidak pernah berakhir, serta kurang bahkan<br />

tidak adanya rasa tanggungjawab seorang suami kepada istrinya yang pada<br />

akhirnya timbul adanya gugatan perceraian oleh istri.<br />

48 48


1. Dalam putusan Nomor : 162/ Pdt.G/ 2007/ PA.sal.<br />

Pengadilan Agama Salatiga telah memeriksa dan memutuskan<br />

perkara gugatan perceraian yang diajukan oleh X sebagaimana putusannya<br />

yang telah disebutkan pada bab sebelumnya, maka penulis dapat<br />

memberikan suatu analisa bahwa Pengugat mengajukan gugatan<br />

perkaranya karena :<br />

a. Tergugat tidak bekerja dan sering menghina Penggugat dan<br />

mengumpat Penggugat dengan kata-kata kasar.<br />

b. Tergugat belum pernah mengasih nafkah kepada Penggugat sejak<br />

menikah.<br />

c. Tergugat pulang ke rumah orang tuannya sampai sekarang.<br />

d. Antara Penggugat dan Tergugat sudah tidak ada komunikasi lagi.<br />

e. Antara Penggugat dan Tergugat sudah pisah rumah 2 bulan dan selama<br />

pisah tersebut Tergugat telah menterlantarkan dan tidak mengurusi<br />

nafkah Penggugat.<br />

Atas perlakuan yang telah dilakukan tergugat tersebut di atas, yaitu<br />

merupakan pelanggaran terhadap sighat taklik yang mengakibatkan<br />

Penggugat mengajukan perkaranya ke Pengadilan Agama Salatiga untuk<br />

memperoleh kepastian hukum.<br />

Akan tetapi dengan alasan ketidakhadiran Tergugat in person pada<br />

sidang perdamaian di Pengadilan yang oleh Majelis Hakim dianggap tidak<br />

memenuhi pasal 82 UU No. 7 tahun 1989 jo pasal 31 PP No. 9 tahun 1975<br />

dan pasal 123 ayat (3) HIR meski telah di panggil secara patut, maka<br />

49


Majelis Hakim memutuskan tidak dapat menerima gugatan Penggugat dan<br />

membebankan biaya perkarannya kepada Penggugat sebagaimana pasal 89<br />

ayat (1) Undang-undang No. 3 tahun 2006.<br />

2. Dalam Putusan Nomor : 22/ Pdt.G/ 2007/ PA.Sal.<br />

Pengadilan Agama Salatiga telah memeriksa dan memutuskan<br />

perkara gugatan perceraian yang diajukan oleh X sebagaimana putusannya<br />

yang telah disebutkan pada bab sebelumnya, maka penulis dapat<br />

memberikan suatu analisa bahwa Pengugat mengajukan gugatan<br />

perkaranya karena :<br />

a. Adanya perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan Tergugat telah<br />

mencintai wanita lain bernama Khotimah, orang dari Salatiga.<br />

b. Tergugat sudah tidak bersungguh-sungguh dalam memikirkan rumah<br />

tangganya dan bahkan tergugat jarang pulang dan banyak tinggal di<br />

rumah Khotimah.<br />

c. Tergugat tidak pernah pulang kerumahnya mulai tahun 2004 sampai<br />

sekarang dan tidak pernah mengurusi Penggugat dan ketiga anaknya.<br />

Atas perlakuan yang telah dilakukan tergugat tersebut di atas, yaitu<br />

merupakan pelanggaran terhadap pasal 39 ayat (1) Undang-undang Nomor<br />

1 tahun 1974 jo. Pasal 19 huruf (b dan f) Peraturan Pemerintah nomor 9<br />

tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (b dan f) Kompilasi Hukum Islam. yang<br />

mengakibatkan Penggugat mengajukan perkaranya ke Pengadilan Agama<br />

Salatiga untuk memperoleh kepastian hukum.<br />

50


Dengan berbagai alasan yang muncul di Pengadilan Agama maka<br />

Majelis Hakim mengabulkan gugatan yang diajukan oleh Penggugat dan<br />

memutuskan :<br />

a. Bahwa berdasarkan fakta hukum di atas maka harus dinyatakan telah<br />

terbukti menurut hukum terwujudnya syarat ta’lik talak angka 1,2 dan<br />

4 sebagaimana pasal 116 huruf (g) kompilasi hukum islam.<br />

b. Bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut diatas telah terbukti bahwa<br />

antara Penggugat dan Tergugat sering terjadi perselisihan dan<br />

pertengkaran secara terus menerus disebabkan Tergugat menjain cinta<br />

dengan wanita lain bernama Khotimah orang dari Salatiga yang<br />

akhirnya sejak awal tahun 2004 sampai sekarang Tergugat sudah tidak<br />

pulang lagi ke rumah Penggugat.<br />

c. Bahwa sejalan dengan apa yang telah dipertimbangkan di atas, dan<br />

setelah diupayakan penasehatan oleh Majelis Hakim ternyata tidak<br />

berhasil, dan Penggugat tetap melanjutkan perkaranya, maka Majelis<br />

Hakim berkesimpulan bahwa perkawinan antara Penggugat dan<br />

Tergugat telah pecah dan keduanya sudah sulit diharapkan untuk rukun<br />

kembali dalam rumah tangga sebagai suami isteri sehingga dengan<br />

demikian dalil-dalil gugatan Penggugat telah memenuhi alasan<br />

perceraian sesuai pasal 39 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun<br />

1974 jo.Pasal 19 huruf (b dan f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun<br />

1975 jo.Pasal 116 huruf (b dan f) kompilasi Hukum Islam.<br />

51


d. Bahwa Majelis berpendapat perlu mengetengahkan pendapat fuqoha<br />

dalam Kitab Syarqawi Tahrir halaman 105 yang berbunyi :<br />

ومن علق طلاقا بصفة وقع بوجودها عملا بمقتضى اللفظ.‏<br />

Artinya : “Barang siapa menggantungkan talak kepada suatu<br />

keadaan, maka jatuh talaknya dengan adanya keadaan<br />

tersebut, sesuai dengan bunyi lafadlnya”.<br />

e. Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka<br />

telah cukup alasan untuk mengabulkan gugatan Penggugat dengan<br />

verstek (pasal 125 HIR) dan pada saat itu Penggugat dalam keadaan<br />

suci.<br />

f. Bahwa oleh karena perkara ini termasuk dalam bidang perkawinan dan<br />

sesuai dengan pasal 89 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 tahun 2006,<br />

maka biaya perkara ini dibebankan pada Penggugat.<br />

g. Segala Peraturan Perundang-undangan yang berlaku dan Hukum<br />

syara’ yang berkaitan dengan perkara ini.<br />

B. Analisa Pertimbangan dan Dasar Putusan Hakim Mengenai Perkara<br />

Cerai Gugat di Pengadilan Agama Salatiga.<br />

Para ahli filsafat hukum memang berbeda pendapat mengenai apakah<br />

hakim punya peran untuk menemukan hukum, yang kadang kala atau selalu<br />

berarti menyimpang dari undang-undang.<br />

52


Menurut aliran klasik sebagaimana dianut oleh Emmanuel Kant,<br />

undang-undang adalah salah satunya sumber dari hukum positif. 1<br />

Artinya<br />

bahwa hakim hanyalah penyambung lidah atau corong dari undang-undang itu<br />

sendiri, dan oleh karena itu hakim tidak diperbolehkan menambah atau<br />

mengurangi kekuatan undang-undang. Akan tetapi menurut penulis hal ini<br />

dirasa tidak mandiri karena hakim sangat terikat oleh undang-undang.<br />

Menurut aliran Bebriffsjurisprudentz, berpendapat bahwa meskipun<br />

undang-undang itu tidak lengkap, tetapi undang-undang itu sendiri memiliki<br />

daya untuk memperluas pengertiannya sendiri. Kekurangan undang-undang<br />

tersebut dapat dilengkapi oleh hakim dengan penggunaan hukum-hukum<br />

logika dan memperluas pengertian undang-undang berdasarkan rasio. 2 Penulis<br />

mengartikan bahwa hakim berhak untuk melakukan penemuan hukum, karena<br />

hakim tidak perlu terikat pada bunyi undang-undang, tetapi dapat mengambil<br />

argumentasinya dari peraturan-peraturan hukum yang tersirat dalam undangundang<br />

dengan cara melakukan sistematisasi, penghalusan dan pengolahan<br />

hukum, serta penjabaran logis peraturan perundang-undangan menjadi<br />

berbagai asas hukum.<br />

Aliran lain yang memperbolehkan penemuan hukum oleh hakim dalam<br />

proses peradilan adalah aliran Freirechtbewegung. Aliran ini berpendapat<br />

bahwa tidak seluruh hukum ada dalam undang-undang, karena disamping<br />

1 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1996,<br />

hlm. 39-41.<br />

2 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Candra<br />

Pratama, Jakarta, 1996, hlm. 136-137.<br />

53


undang-undang masih ada sumber-sumber hukum lainnya yang dapat<br />

digunakan hakim dalam penemuan hukum. Menurut aliran ini, hakim tidak<br />

semata-mata mengabdi kepada kepastian hukum, melainkan juga harus<br />

merealisasikan keadilan. Penemuan hukum seperti ini disebut penemuan<br />

hukum bebas. 3<br />

Artinya hakim tidak memang harus menghormati undangundang<br />

melainkan harus menggunakan undang-undang sebagai sarana untuk<br />

menemukan pemecahan hukum dari setiap peristiwa konkrit yang disodorkan<br />

kepadanya, yang akhirnya dapat menjadi pedoman bagi pemecahan peristiwa<br />

konkrit serupa lainnya.<br />

Dengan demikian hakim tidak sekedar menjadi penafsir undangundang<br />

melainkan juga sebagai pencipta hukum atau penemu hukum akan<br />

tetapi hakim tidak boleh sekehendak hatinya melakukan penyimpangan<br />

terhadap undang-undang atau memberi penafsiran terhadap undang-undang<br />

seenaknya sendiri.<br />

Yang dimaksud dengan proses penemuan hukum menurut penulis<br />

adalah proses pembentukan hukum oleh hakim, atau aparat hukum lainnya<br />

yang ditugaskan untuk menerapkan peraturan-peraturan hukum umum pada<br />

peristiwa hukum konkrit. Juga dapat dikatakan bahwa hukum adalah proses<br />

konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan<br />

mengingat akan peristiwa kongkrit tertentu.<br />

Pada dasarnya hakim memang harus menerapkan hukum yang ada<br />

dalam peraturan perundang-undangan. Adanya hukum yang tertulis yang ada<br />

3 Sudikno Mertokusumo, op.cit, hlm. 96-97.<br />

54


dalam bentuk perundang-undangan sebagai wujud dari asas legalitas, memang<br />

lebih menjamin adanya kepastian hukum. Tetapi undang-undang sebagai<br />

produk politik, tidak mudah untuk diubah dengan cepat mengikuti perubahan<br />

masyarakat. Di sisi yang lain, dalam kehidupan modern dan komplek serta<br />

dinamis seperti sekarang ini, masalah-masalah hukum yang dihadapi<br />

masyarakat semakin banyak dan berragam yang menuntut pemecahan yang<br />

segera.<br />

Dalam praktik hakim menghadapi dua kendala, yakni sering kali kata<br />

atau kalimat undang-undang tidak jelas, atau undang-undang tidak lengkap<br />

dalam arti belum secara tegas mengatur suatu kasus konkrit yang diajukan<br />

kepada hakim. Padahal disisi lain, hakim dilarang menolak mengadili suatu<br />

perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih hukum tidak ada atau kurang<br />

jelas, sebagaimana ditentukan dalam pasal 16 ayat (1) UU. Nomor 4 tahun<br />

2004.<br />

Kendala yang dihadapi ini menurut penulis dapat diatasi dengan dua<br />

cara. Jika peraturannya tidak jelas, hakim melakukan penafsiran terhadap<br />

bunyi undang-undang dengan berbagai metode penafsiran, seperti penafsiran<br />

otentik, sistematis ataupun sosiologis. Jika peraturannya tidak lengkap, hakim<br />

dapat melakukan penalaran, yamg juga dapat dilakukan dengan berbagai<br />

metode penalaranatau argumentasi tertentu seperti penyempitan hukum.<br />

Akan tetapi dalam memutuskan perkara No.162/ Pdt.G/ 2007/ PA.Sal.<br />

di Pengadilan Agama Salatiga, hakim mengesampingkan aturan perundangundangan<br />

yang berkaitan dengan dunia peradilan atau yang mengatur<br />

55


kekuasaan kehakiman, yakni : UUD Tahun 1945, UU. No.4 Tahun 2004<br />

tentang kekuasaan kehakiman dan UU. No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah<br />

Agung karena pada dasarnya pada ketiga peraturan perundang-undangan<br />

tersebut dapat ditemukan beberapa prinsip sebagai berikut:<br />

1. Putusan peradilan adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia<br />

serta memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan sosial<br />

bagi seluruh rakyat Indonesia.<br />

2. Peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan ketuhanan Yang Maha<br />

Esa.<br />

3. Prinsip kemandirian hakim,yaitu tidak saja bebas dari kekuasaan lain di<br />

luar kekuasaan pengadilan, namun juga harus bebas dari pengaruh<br />

kepentingannya sendiri.<br />

4. Prinsip pengadilan tidak boleh menolak perkara.<br />

5. Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai hukum dan rasa<br />

keadilan yang hidup dalam masyarakat.<br />

Dalam UU No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman sebagai<br />

hasil revisi UU No. 14 tahun 1970 Bab IV tentang hakim dan kewajibannya,<br />

pasal 28 ayat (1) dinyatakan bahwa “hakim yang hidup dalam masyarakat”<br />

yang selanjutnya dalam penjelasan pasal tersebut “ketentuan ini dimaksudkan<br />

agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat”.<br />

Ketentuan pasal 28 ayat (1) ini merupakan pengulangan dengan sedikit<br />

perubahan dari pasal 27 UU No. 14 tahun 1970 yang digantikannya.<br />

56


Dari ketentuan di atas tersirat makna secara juridis maupun filosofis<br />

bahwa hakim Indonesia mempunyai kewajiban atau hak untuk melakukan<br />

penemuan hukum dan penciptaan hukum, agar putusan yang diambilnya dapat<br />

sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.<br />

Dalam penjelasan pasal 30 ayat (1 ) UU No. 5 tahun 2004 tentang<br />

Mahkamah Agung yang berbunyi: “dalam memeriksa perkara, Mahkamah<br />

Agung berkewajiban menggali, mengikuti dan memahami rasa keadilan yang<br />

hidup dalam masyarakat” pada hakekatnya mempunyai arti yang sama dengan<br />

pasal 28 ayat (1) UU No. 4 tahun 2004 di atas. Yakni seorang hakim agung<br />

karena keluhuran jabatannya, harus dapat melakukan penemuan hukum<br />

bahkan kalau mungkin terobosan hukum dalam upaya mewujudkan dan<br />

memenuhi rasa keadilan masyarakat melalui putusan-putusan yang diambilnya<br />

dalam penyelesaian perkara yang disodorkan kepadanya.<br />

Dalam memeriksa suatu perkara maka hakim bertugas untuk<br />

mengkonstatir, mengkualifisir dan kemudian mengkonstituir. Mengkonstatir<br />

artinya hakim harus menilai apakah peristiwa atau fakta-fakta yang<br />

dikemukakan oleh para pihak itu adalah benar-banar terjadi. Hal ini hanya<br />

dapat dilakukan melalui pembuktian.<br />

Membuktikan yang dimaksud disini adalah mempertimbangkan secara<br />

logis kebenaran suatu fakta atau peristiwa berdasarkan alat-alat bukti yang sah<br />

dan menurut hukum pembuktian yang berlaku.<br />

57


Dalam pembuktian itu, maka para pihak memberi dasar-dasar yang<br />

cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna<br />

memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.<br />

Fakta adalah keadaan, peristiwa atau perbuatan yang terjadi<br />

(dilakukan) dalam dimensi ruang dan waktu. Suatau fakta dapat dikatakan<br />

terbukti apabila telah diketahui kapan, dimana dan bagaimana terjadinya.<br />

Misalnya gugatan perceraian, fakta yang perlu dicari kebenarannya adalah<br />

apakah benar dasar atau alasan atau dalil-dalil gugatan yang diajukan oleh<br />

Penggugat yang dalam hal ini adalah seorang istri, berdasarkan surat<br />

gugatannya yang telah diajukan ke Pengadilan Agama. Yang secara detail<br />

dapat dicontohkan mengenai kebenaran seorang suami atau Tergugat yang<br />

melakukan perselingkuhan dan menterlantarkan istri atau Tergugat<br />

sebagaimana perkara No. 162/ Pdt.G/ 2007/ PA.Sal.<br />

Dalam memutuskan perkara tersebut seharusnya Majelis Hakim<br />

memeriksa terlebih dahulu di persidangan melalui alat-alat bukti yang<br />

diajukan, sehingga Majelis Hakim tidak akan salah dalam memutuskan suatu<br />

perkara yang diajukan kepadanya sehingga berakibat pada ketidakadilan<br />

hukum.<br />

Kalau proses peradilan tersebut di atas, dimisalkan sebagai suatu<br />

permainan tenis, maka ketika wasit dengan bantuan linesman, mengamati dan<br />

menetapkan dimana bola yang dipukul itu jatuh, di luar atau di dalam garis<br />

lapangan, itu adalah tahap mengkonstatir fakta. Yaitu tahap dimana wasit atas<br />

58


dasar pengamatannya dibantu kesaksian penjaga garis, menetapkan adanya<br />

bola yang jatuh di dalam atau di luar lapangan.<br />

Kemudian dari hasil pengamatan tersebut, wasit menyatakan bola itu<br />

outside atau inside adalah tahap mengkualifikasi, yakni tahap menyatakan<br />

fakta-fakta tersebut masuk kelompok peristiwa hukum apa. Pernyataan outside<br />

atau inside adalah peristiwa hukum. Sedangkan menetapkan poin untuk<br />

pemain A atau B adalah tahap mengkonstituir, yakni memberi ketetapan<br />

hukum.<br />

Kongkretnya dalam memberi putusan, para hakim tidak boleh keluar<br />

dari koridor hukum yang mengatur tentang persoalan yang diperkarakan.<br />

Putusan hakim akan menjadi kepastian hukum dan mempunyai kekuatan<br />

mengikat untuk dijalankan, karena putusan hakim adalah pernyataan hakim<br />

yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan ucapkan oleh hakim dalam sidang<br />

yang dinyatakan terbuka untuk umum, sebagai hasil dari pemeriksaan perkara.<br />

Untuk memutuskan perkara sebagaimana gugatan Pengugat, apakah benar<br />

gugatan yang diajukan sesuai dengan kenyataan, dalam hal ini hakim memiliki<br />

sebuah pertimbangan-pertimbangan. Menurut pendapat penulis, pertimbangan<br />

hakim ini diklasifikasikan menjadi dua, yaitu :<br />

a. Pertimbangan hukum<br />

Pertimbangan hukum disini berarti ketika hakim menjatuhkan<br />

putusannya harus sesuai dalil-dalil dan bukti-bukti hukum yang diajukan.<br />

Dalil maupun bukti-bukti yang bisa disyaratkan menurut Undang-undang<br />

adalah sebagai berikut :<br />

59


1) Bukti surat<br />

2) Bukti saksi<br />

b. Pertimbangan sosial<br />

Pertimbangan sosial disini berarti ketika hakim menjatuhkan<br />

putusannya selain harus sesuai dengan dalil-dalil dan bukti yang sesuai<br />

dengan Undang-undang, hakim juga dituntut untuk memertimbangkan<br />

akibat yang akan diterima oleh pihak Penggugat dan Tergugat dari<br />

putusannya tersebut. Karena pada hakekatnya seseorang yang mengajukan<br />

perkaranya ke Pengadilan Agama adalah untuk memperoleh keadilan<br />

hukum yang ideal.<br />

Untuk mendapatkan hasil yang ideal tersebut,dalam penyelesaian<br />

perkara harus dipertimbangkan semua faktor yang berpengaruh dalam<br />

proses penyelesaian suatu perkara. Dalam penyelesaian suatu perkara,<br />

ternyata terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi proses penyelesaian<br />

perkara, baik pengaruh positif maupun negatif.<br />

Menurut pengamatan penulis, faktor yang mempengaruhi proses<br />

penyelesaian perkara itu meliputi faktor pihak yang berperkara, faktor<br />

kuasa hukum, faktor kesiapan alat bukti, faktor sarana dan prasarana,<br />

faktor budaya hukum, faktor komunikasi dalam persidangan, faktor aparat<br />

pengadilan, faktor hakim. Kesemuanya itu harus dipertimbangkan dan<br />

dimanfaatkan serta dikendalikan oleh hakim agar dapat menyelesaikan<br />

perkara dengan afektif, efisien, tepat dan memuaskan bagi para pencari<br />

keadilan.<br />

60


Menurut penulis, selain ideal putusan hakim juga harus memenuhi<br />

syarat yuridis sehingga dapat dikatakan sebagai putusan yang dapat<br />

dipertanggungjawabkan ilmiah. Hal ini berbeda dengan bentuk<br />

penyelesaian non litigasi. Putusan yang tidak memenuhi syarat yuridis<br />

akan hilang nilainya sebagai putusan. Adapun komponen syarat yuridis<br />

tersebut antara lain adalah;<br />

1. Mempunyai dasar hukum, artinya harus disesuaikan dengan hukum<br />

materiil (dasar putusan) dan hukum formil (hukum acara).<br />

2. Memberi kepastian hukum, yaitu bahwa putusan tersebut tidak boleh<br />

meninggalkan rasa keadilan dan kemanfaatan. Artinya tidak terlalu<br />

mementingkan kepastian hukum yang malah akan berakibat<br />

mengorbankan rasa keadilan dan begitu juga sebaliknya, akan tetapi<br />

keduanya harus seimbang. Akan tetapi di balik itu ada beberapa<br />

hukum yang bersifat memaksa kepada masing-masing pihak<br />

3. Memberi perlindungan hukum dan menjamin hak asasi manusia.<br />

61


BAB V<br />

PENUTUP<br />

A. Kesimpulan.<br />

Dari penelitian dan analisa terhadap putusan perkara cerai gugat No.<br />

162/ Pdt.G/ 2007/ PA.Sal. dan No. 22/ Pdt.G/ 2007/ PA. Sal. penulis dapat<br />

mengambil kesimpulan sebagai berikut :<br />

1. Bahwa pada dasarnya perdamaian baik itu dalam Islam ataupun yang<br />

berdasarkan undang-undang adalah sama yaitu suatu cara yang bertujuan<br />

agar antara pihak yang berperkara mengakhiri perkaranya dengan baik.<br />

Akan tetapi tidak selamanya perdamaian itu selalu berakibat<br />

menguntungkan kedua belah pihak.<br />

2. Bahwa dasar pertimbangan hakim Pengadilan Agama Salatiga dalam<br />

memutuskan perkaranya adalah disesuaikan dengan pasal 82 ayat (2)<br />

Undang-undang Peradilan Agama nomor 3 tahun 2006 melalui jalan<br />

musyawarah dan apabila tidak dapat diselesaikan dengan jalan<br />

musyawarah maka diputus dengan cara voting.<br />

3. Bahwa dalam menerapkan pasal 82 ayat (2) terhadap cerai gugat, berakibat<br />

adanya dua putusan yang berbeda yaitu :<br />

a. Dalam putusan No. 162/Pdt.G/2007/PA.Sal diputus dengan perkara<br />

tidak dapat dilanjutkan di Pengadilan Agama dengan alasan bahwa<br />

dalam sidang upaya perdamaian (sidang pertama) tergugat tidak hadir<br />

secara materiil di persidangan akan tetapi mewakilkan pada kuasa<br />

62<br />

63


hukumnya meskipun telah dipanggil secara patut oleh Pengadilan<br />

Agama.<br />

b. Dalam putusan No. 22/Pdt.G/2007/PA.Sal diputus dengan putusan<br />

verstek dengan alasan bahwa selama persidangan pihak tergugat tidak<br />

pernah hadir sama sekali dan juga tidak mewakilkan kepada kuasa<br />

hukumnya akan tetapi ketidak kehadirannya berdasarkan alasan yang<br />

sah menurut hukum.<br />

B. Saran.<br />

Dengan adanya berbagai macam putusan yang dikeluarkan oleh<br />

Pengadilan Agama Salatiga mengenai perkara cerai gugat maka penulis<br />

menyarankan :<br />

1. Kepada hakim Pengadilan Agama untuk dapat menerapkan pemaknaan<br />

terhadap undang-undang sebelum menerapkannya pada suatu perkara<br />

supaya Pengadilan Agama benar-benar dapat menegakkan keadilan<br />

sebagaimana yang dicita-citakan dan dinanti-nantikan oleh masyarakat,<br />

tidak hanya sekedar mengikuti perintah dan prosedur yang tercetak dalam<br />

undang-undang saja karena akan tidak ada gunannya bertahun-tahun susah<br />

payah dan sibuk mencetak ahli hukum jika kerjanya tidak lebih dari<br />

komputer yang hanya memencet-mencet pasal tanpa memperhatikan<br />

kesadaran hukum para pihak.<br />

2. Dalam memutuskan perkara seharusnya tidak hanya diukur dengan<br />

pendapat, keyakinan dan perasaan hakim secara sepihak sehingga para<br />

pihak tidak dapat memahami dan menerima putusan hakim yang secara<br />

63


subyektif berada di luar pendapat, keyakinan dan perasaan mereka. Karena<br />

akibat yang timbul secara kasat mata dari putusan tersebut hanya akan<br />

dirasakan oleh pihak yang berperkara.<br />

3. Bahwa oleh karena adanya perbedaan dalam pemaknaan terhadap undangundang<br />

oleh Majelis Hakim maka disarankan kepada masyarakat agar<br />

dapat mengakhiri permasalahannya dengan perdamaian secara<br />

kekeluargaan.<br />

64


DAFTAR PUSTAKA<br />

Abi Abdillah, Muhammad bin Yazid Al-Qardawi, Sunan Ibnu Majah Jilid II, Isa<br />

Al-Babi Al-Halabi, Mesir, 1953.<br />

Abidin, Slamet, dkk., Fiqh Munakahat, Pustaka Setia, tkp., 1999.<br />

Ali, Achmad, Menguak Tabir Hukum Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis,<br />

Candra Pratama, Jakarta, 2002.<br />

Amirin, Tatang M., Menyusun Rencana Penelitian, Rajawali, Jakarta, Cet.III,<br />

1990.<br />

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka<br />

Cipta, Jakarta, 1998.<br />

Arto, Mukti, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar,<br />

Yogyakarta, 2005.<br />

_________, Mencari Keadilan, Kritik dan Solusi Terhadap Praktik Peradilan<br />

Perdata di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001.<br />

Bahry, Zainul, Kamus Umum Khususnya Bidang Hukum dan Politik, Angkasa,<br />

Bandung. tt.<br />

Bisri, Cik Hasan, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, PT.<br />

Remaja Rosdakarya, Bandung, 1997.<br />

Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara<br />

Penerjemah Al Qur’an , Jakarta, 1997.<br />

___________, Kompilasi Hukum Acara Menurut Syari’at Islam II. Proyek<br />

Pembinaan Badan Peradilan Agama, tkp., 1985.<br />

Depdibud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, tkp., 1989.<br />

Hadi, Sutrisno, Merodologi Riseach I, Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi<br />

Unifersitas Gajah Mada, Yogyakarta,1991.<br />

Harahap, Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (UU No.<br />

7 tahun 1989), Sinar Grafika, Jakarta, 2003.<br />

Lopa, Baharuddin, Al Qur’an dan Hak-hak Asasi Manusia, PT. Dana Bhakti<br />

Primayasa,Yogyakarta, 1996.<br />

65


Madzkur, M. Salam, Peradilan dalam Islam, Terj. Imron, PT. Bina Ilmu, Jakarta,<br />

Cet. IV., 1993.<br />

Manan, Abdul, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan, Suatu Kajian<br />

dalam system Peradilan Islam, Kencana, Jakarta, 2007.<br />

____________, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Tinjauan dari Aspek<br />

Metodologis,Llegalisasi dan Yurisprudensi, Raja Grafindo Persada,<br />

Jakarta, 2007.<br />

____________, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan<br />

Agama, Yayasan Al-Hikmah, Jakarta, 2000.<br />

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty,<br />

Yogyakarta, tt.<br />

_____________, Penemuan Hukum sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta,<br />

1996.<br />

Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,<br />

1982.<br />

Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah Juz 2, Darul Bayyan, Cet. V, Kuwait, 1971.<br />

Sani, Abdullah, Hakim dan Keadilan Hukum, Bulan Bintang, Jakarta,1975.<br />

Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta,<br />

1995.<br />

T.M. Hasyby, Ash-Shiddiqy, Filsafat Hukum Islam, Bulan Bintang, Cet. 1,<br />

Jakarta, 1975.<br />

Undang-undang No. 14 tahun 1970, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok<br />

Kekuasaan Kehakiman.<br />

Undang-undang Nomor 3 tahun 2006, tentang Peradilan Agama.<br />

Winarno, Dasar-dasar dan Teknik Riset, Tarsito, Bandung, 1978.<br />

66

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!