05.01.2015 Views

Penanganan Masalah Pembalakan Liar Di Kawasan Ulu Masen, Aceh

Penanganan Masalah Pembalakan Liar Di Kawasan Ulu Masen, Aceh

Penanganan Masalah Pembalakan Liar Di Kawasan Ulu Masen, Aceh

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

<strong>Penanganan</strong> <strong>Masalah</strong><br />

<strong>Pembalakan</strong> <strong>Liar</strong><br />

<strong>Di</strong> <strong>Kawasan</strong> <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong>, <strong>Aceh</strong><br />

Strategi, Aksi dan Tujuan di Masa Yang Datang<br />

November 2011


<strong>Penanganan</strong> <strong>Masalah</strong> <strong>Pembalakan</strong> <strong>Liar</strong><br />

<strong>Di</strong> <strong>Kawasan</strong> <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong>, <strong>Aceh</strong><br />

Strategi, Aksi dan Tujuan di Masa Yang Datang<br />

Tim Penyusun:<br />

Rahmad Kasia, Wahdi Azmi, Mahdi Ismail, Jane Dunlop, Dedi<br />

Kiswayadi, Halimatussa’diah, Fendra Tryshanie, Hasballah Isha,<br />

Nurmahdi Almasri dan Matthew Linkie.<br />

Terima Kasih Kepada:<br />

Graham Usher, Gabriella Fredriksson, Tim Brown, Tony Whitten,<br />

Darmawan Liswanto dan Herlina Inesz untuk mereview dan mengomentari<br />

versi sebelumnya dari laporan ini. Pendanaan untuk<br />

kegiatan FFI disediakan oleh Multi Donor Fund di bawah AFEP dengan<br />

pengawasan oleh Bank Dunia.<br />

Laporan Fauna & Flora International, <strong>Aceh</strong><br />

November 2011<br />

Foto-foto:<br />

Mahdi Ismail/FFI<br />

Layout/Desain<br />

Hairul Anwar<br />

i


Ringkasan<br />

Perubahan iklim diakui sebagai ancaman global<br />

untuk manusia dan keanekaragaman hayati<br />

dan sebagai salah satu hal yang harus ditangani<br />

secara kolektif oleh masyarakat internasional<br />

jika penyebab-penyebabnya harus dikelola<br />

dan dikurangi dampaknya.<br />

Meskipun beberapa profil Konferensi Tingkat<br />

Tinggi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-<br />

Bangsa yang telah ditetapkan untuk menentukan<br />

cara terbaik untuk mencapai hal ini, sebuah<br />

kesepakatan masih belum tercapai. Namun<br />

demikian, Pemerintah Indonesia, yang<br />

memimpin lebih dari 10% dari hutan tropis<br />

dunia dan yang menderita dari laju deforestasi<br />

yang tinggi, namun demikian mulai terlibat<br />

dalam dialog kebijakan untuk mendukung<br />

pengembangan strategi Reducing Emissions<br />

from Deforestation and forest Degradation<br />

(REDD+) yang bertujuan untuk membantu<br />

memenuhi target pengurangan emisi gas<br />

rumah kaca. Dalam persiapan untuk menerapkan<br />

strategi ini, Indonesia harus terlebih dahulu<br />

menunjukkan kepada investor dan<br />

masyarakat internasional bahwa Indonesia<br />

telah menghindari tingkat ambang deforestasi.<br />

Ini akan menurunkan jumlah pembukaan lahan<br />

ilegal dan pemindahan ilegal pohon kayu<br />

berkualitas tinggi. Sayangnya, strategi yang<br />

telah dicapai ini adalah langka dan kegagalan<br />

masa lalu cenderung disalahkan pada pemerintahan<br />

yang lemah, dan insentif tidak cukup<br />

untuk tidak menebang hutan.<br />

Dalam laporan ini, kami memberikan sebuah<br />

studi kasus yang menggambarkan bagaimana<br />

lembaga-lembaga penegak hukum pemerintah,<br />

organisasi masyarakat lokal dan Fauna &<br />

Flora International (FFI) berkolaborasi secara<br />

efektif untuk menangani komponen penebangan<br />

liar di dalam dan sekitar 738.000 ha<br />

ekosistem <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong> yang terletak di <strong>Aceh</strong>,<br />

Indonesia. <strong>Kawasan</strong> hutan ini bertindak sebagai<br />

DAS yang vital bagi sekitar 300.000 orang<br />

dan saat ini sedang dikembangkan sebagai<br />

'proyek REDD' karena peran pentingnya<br />

dalam penyerapan karbon. Antara tahun 2008<br />

dan 2009, sistem informasi-intel berbasis<br />

masyarakat dibentuk di sekitar <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong>.<br />

Dari 190 kejahatan hutan yang telah dilaporkan<br />

ke polisi serta <strong>Di</strong>nas Kehutanan dan<br />

Perkebunan <strong>Aceh</strong>. 86 operasi penegakan<br />

hukum telah dilaksanakan dan total 251m 3<br />

kayu ilegal, 26 kendaraan, 17 gergaji, dua gergaji<br />

industri ditahan dan tiga penggergajian<br />

kayu ditutup, yang semuanya digunakan untuk<br />

penebangan liar. Selain itu, 138 orang<br />

yang diduga terlibat dalam penebangan liar<br />

ditangkap. Dari 45 kasus yang dipantau sampai<br />

hasil yang diketahui, sebagian besar (29<br />

kasus) dilanjutkan ke pengadilan dan, dari<br />

kasus-kasus ini, kurang lebih setengah (48,3%)<br />

dari terdakwa menerima hukuman penjara<br />

(berkisar antara 4 bulan sampai 4,5 tahun),<br />

dengan sisanya menerima peringatan verbal<br />

(41,4%) untuk pelanggaran pertama atau<br />

menunggu keputusan final (10,3%). Kasus<br />

yang tidak dilanjutkan ke pengadilan (16 kasus)<br />

yang biasanya dibatasi oleh kurangnya<br />

bukti.<br />

ii


Faktor yang berkontribusi terhadap prestasi<br />

proyek <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong> meliputi: kemauan politik<br />

yang kuat (instansi pemerintah misalnya secara<br />

teratur menanggapi laporan masyarakat dan<br />

kebanyakan dari kasus dilanjutkan ke pengadilan<br />

dan berhasil dituntut); dukungan stakeholder<br />

yang kuat (misalnya partisipasi aktif<br />

organisasi lokal disepanjang seluruh perbatasan<br />

<strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong> mengirimkan sinyal jelas bahwa<br />

banyak komunitas menentang pembalakan liar<br />

dan mendukung tindakan pemerintah), dan,<br />

dana yang dapat segera diakses (misalnya sebagian<br />

besar pekerjaan dalam menanggulangi<br />

penebangan liar, dari peningkatan kapasitas<br />

penegak hukum untuk pemantauan dan pelaporan<br />

kejahatan hutan, tetapi bukan penegakan<br />

hukum,yang sebagian besar didukung oleh<br />

FFI).<br />

- atau jaringan yang lebih luas untuk pedagang<br />

dan pembeli dari pembalakan liar ini.<br />

Akhirnya, setelah dukungan utama keuangan<br />

FFI (disediakan oleh Multi Donor Fund) berakhir,<br />

terjadi pengurangan yang sesuai dan<br />

signifikan dalam kegiatan lapangan, menunjukkan<br />

bahwa strategi itu belum mencapai<br />

keberlanjutan. Rekomendasi teknis dan kebijakan<br />

kunci untuk meningkatkan strategi<br />

pembalakan liar- multi pihak dibuat dalam<br />

laporan dan dapat membantu Pemerintah<br />

Indonesia dalam mengembangkan komponen<br />

penting bagi miliar dolar dalam REDD +<br />

strategi.<br />

Meskipun hasilnya menjanjikan, hal-hal ini perlu<br />

dipertimbangkan dalam konteks yang lebih<br />

luas. Pertama, setelah proyek itu berakhir,<br />

pembalakan liar terus dilakukan di setiap lima<br />

kabupaten yang menjadi fokus <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong>.<br />

Kedua, tidak ada usaha untuk mengatasi konversi<br />

hutan ilegal menjadi lahan pertanian –<br />

yang merupakan ancaman utama hutan lainnya<br />

iii


Daftar Isi<br />

RINGKASAN<br />

ii<br />

Pendahuluan...................................................................................................................................................... 1<br />

<strong>Aceh</strong> Masa Kini.......................................................................................................................................... 1<br />

Ancaman <strong>Pembalakan</strong> <strong>Liar</strong> ....................................................................................................................... 1<br />

Komitmen Pemerintah <strong>Aceh</strong> Terhadap Pengelolaan Hutan Berkelanjutan .......................................... 3<br />

<strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong> ................................................................................................................................................. 5<br />

Proyek Hutan dan Lingkungan atau<br />

<strong>Aceh</strong> Forest and Environment Project (AFEP) ........................................................................................<br />

6<br />

Tujuan Laporan ......................................................................................................................................... 7<br />

Pembentukan Jaringan Multi-stakeholder Untuk Mengatasi <strong>Pembalakan</strong> <strong>Liar</strong> ........................................... 8<br />

Keterlibatan Masyarakat .......................................................................................................................... 8<br />

Menciptakan Mata Pencaharian Alternatif Untuk Pembalak <strong>Liar</strong> ......................................................... 11<br />

Meningkatkan Kapasitas Lembaga Penegak Hukum ............................................................................. 14<br />

Pengelolaan Hutan Secara inovatif ......................................................................................................... 15<br />

Membangun Jaringan Intel Multi-stakeholder ....................................................................................... 16<br />

<strong>Penanganan</strong> <strong>Pembalakan</strong> <strong>Liar</strong> Melalui Jaringan Multi-stakeholder .............................................................. 18<br />

Monitoring dan Pelaporan ....................................................................................................................... 18<br />

Penegakan Hukum; Kegiatan Operasi, Penyitaan dan Penangkapan .................................................... 19<br />

Identifikasi Faktor-Faktor Yang Menunjang Keberhasilan Proyek ............................................................... 23<br />

Kebijakan Politik ....................................................................................................................................... 23<br />

Dukungan Stakeholder Lokal ................................................................................................................... 24<br />

Pendanaan ................................................................................................................................................ 25<br />

Melanjutkan dan Meningkatkan Upaya-upaya <strong>Penanganan</strong> <strong>Pembalakan</strong> <strong>Liar</strong> ............................................ 26<br />

Rekomendasi ............................................................................................................................................ 27<br />

Rekomendasi Teknis ................................................................................................................................. 27<br />

Rekomendasi Kebijakan ........................................................................................................................... 28<br />

Kesimpulan ........................................................................................................................................................ 30<br />

DAFTAR TABEL<br />

Tabel 1. Ringkasan data statistic di 6 kabupaten …………………………………………………………….. 6<br />

Tabel 2. Monitoring kasus pembalakan liar (n = 369) yang dilaporkan oleh tiga NGO lokal yang menjadi<br />

19<br />

mitra kerja FFI (Agustus 2008 – Agustus 2009) di dalam dan di sekitar kawasan <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong>……..<br />

Tabel 3. Hasil penyitaan dari operasi penegakan hukum yang dilaksanakan oleh polisi dan <strong>Di</strong>shutbun<br />

(Agustus 2008 – Agustus 2009) di dalam dan di sekitar kawasan <strong>Ulu</strong><strong>Masen</strong>, <strong>Aceh</strong>………………. 21<br />

Tabel 4. Ringkasan hasil operasi penegakan hukum dalam kaitannya dengan jumlah laporan kejahatan<br />

hutan yang telah diserahkan (Agustus 2008 - Agustus 2009) di dalam dan sekitar <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong>….. 21<br />

Tabel 5. Penangkapan dan penuntutan dari hasil operasi penegakan hukum yang telah dilaksanakan<br />

(Agustus 2008 – Agustus 2009) di dalam dan di sekitar kawasan <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong> …………………….. 22<br />

DAFTAR PETA<br />

Peta 1. Wilayah-wilayah <strong>Aceh</strong> yang termasuk dalam kawasan <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong>...................................................... 4<br />

Peta 2. Peta Illegal Logging dan hotspot dalam kawasan <strong>Ulu</strong> Maseh ............................................................ 20<br />

iv


Pendahuluan<br />

<strong>Aceh</strong> Masa Kini<br />

<strong>Di</strong> Indonesia, <strong>Aceh</strong> merupakan salah satu<br />

provinsi yang memiliki anugerah yang sangat<br />

kaya dengan berbagai-sumber daya alamnya,<br />

termasuk beragam susunan ekosistem hutan<br />

dengan luas 3.3 juta ha, meliputi lebih dari 60<br />

persen areal kawasan provinsi ini.<br />

Namun, setelah dilanda bencana gempa bumi<br />

dan tsunami pada bulan Desember tahun<br />

2004 lalu, kekayaan dan sumber daya alam<br />

<strong>Aceh</strong> yang melimpah mengalami tekanan<br />

yang begitu kuat dengan adanya permintaan<br />

kayu dengan jumlah yang tidak pernah<br />

terduga sebelumnya akibat dari pelaksanaan<br />

rekonstruksi secara besar-besaran (lebih dari<br />

US$7 milyar diinvestasikan di provinsi ini) 1 .<br />

Pada waktu yang bersamaan, berakhirnya<br />

konflik di <strong>Aceh</strong> pada tahun 2005 menyisakan<br />

ribuan eks-kombatan yang tidak memiliki<br />

pekerjaan. Beberapa diantara mereka<br />

menanggapi tingginya permintaan akan kayu<br />

dan kebutuhan hidup mereka sendiri dengan<br />

melakukan praktek pembalakan liar.<br />

<strong>Di</strong>samping itu, banyak masyarakat yang telah<br />

lama tidak merambah hutan selama masa<br />

konflik dengan alasan keamanan, mulai<br />

menggarap lahannya kembali atau bahkan<br />

membuka lahan pertanian yang baru di areal<br />

hutan.<br />

Ancaman <strong>Pembalakan</strong> <strong>Liar</strong><br />

Penyebab yang menjadi dasar terjadinya<br />

pembalakan liar bersifat multidimensi namun<br />

terkait dengan korupsi pada berbagai<br />

tingkatan dalam masyarakat, dimana<br />

pelanggaran ini secara khusus dikendalikan<br />

oleh sindikat kejahatan. Kejahatan yang<br />

terorganisir terkait dengan kemiskinan ini<br />

seringkali mengeksploitasi masyarakat yang<br />

berpendapatan rendah, biasanya mereka yang<br />

tinggal dekat dengan kawasan hutan tersebut.<br />

Besarnya bagian pendapatan yang dihasilkan<br />

dari pembalakan liar yang cukup signifikan<br />

tidak ikut dinikmati oleh masyarakat setempat,<br />

tetapi justru oleh sindikat kejahatan tersebut.<br />

Dana-dana ini masuk kedalam jaringan sindikat<br />

kejahatan yang berkaitan erat dengan<br />

perdagangan manusia, narkoba dan senjata. 2<br />

Kondisi sosial ekonomi dan politik di <strong>Aceh</strong><br />

sangat kondusif untuk praktek-praktek<br />

penebangan liar, rendahnya Produk Domestik<br />

Bruto (PDB) (


manfaat perekonomian yang nyata. Undang-<br />

Undang No 11/2006 tentang Pemerintahan <strong>Aceh</strong><br />

(Peraturan tentang otonomi daerah) telah<br />

menyumbangkan peningkatan sumber daya<br />

keuangan untuk meningkatkan kesempatan<br />

pembangunan di <strong>Aceh</strong> melalui Dana Otonomi<br />

Khusus dari Pemerintah Indonesia; namun<br />

demikian, rendahnya kapasitas tetap menjadi<br />

suatu tantangan besar tercermin dari<br />

banyaknya tersisa alokasi anggaran tahunan<br />

yang diakibatkan lambatnya perencanaan awal<br />

sehingga pencairan dana tertunda serta<br />

rendahnya pengeluaran pemerintah.<br />

Karena terbatasnya kesempatan akan mata<br />

pencaharian, rendahnya keahlian dan<br />

pendidikan formal yang dimiliki, banyak rakyat<br />

<strong>Aceh</strong> terlibat dalam kegiatan pembalakan liar.<br />

Hal ini sangat berpotensi untuk menimbulkan<br />

keresahan sosial dan menjadi pemicu terjadinya<br />

konflik dalam dan antar masyarakat yang ada di<br />

<strong>Aceh</strong> karena hutan-hutan di daerah aliran<br />

sungai dan hutan adat ditebang secara liar oleh<br />

anggota masyarakat yang termarjinalkan atau<br />

oleh pihak-pihak dari luar sementara<br />

masyarakat lokal yang terkena imbasnya.<br />

Keterlibatan eks-kombatan dalam sejumlah<br />

kegiatan ilegal ini juga meningkatkan<br />

kemungkinan terjadinya konflik antara mereka<br />

dengan aparat penegak hukum dari pemerintah<br />

seperti polisi serta dengan pihak-pihak yang<br />

dulunya pernah berseteru dengan mereka. Hal<br />

ini dapat memicu timbulnya permasalahan lebih<br />

lanjut.<br />

<strong>Pembalakan</strong> liar di <strong>Aceh</strong>, sebagaimana yang<br />

terjadi di daerah lainnya, memiskinkan<br />

masyarakat melalui penurunan kualitas hidup<br />

dan dampak negatif yang diterima, berbagai<br />

fungsi ekosistem hutan terus mengalami<br />

degradasi. Dalam beberapa kasus, fungsi-fungsi<br />

pelayanan ini sangatlah penting bagi<br />

kelangsungan hidup manusia, termasuk<br />

ketersediaan makanan, obat-obatan dan bahan<br />

bakar, serta fungsi-fungsi pengatur seperti<br />

iklim, air dan penyakit; dan fungsi pelayanan<br />

yang lebih hakiki lagi seperti agama, budaya,<br />

rekreasi, pendidikan dan pariwisata. <strong>Di</strong>samping<br />

itu, degradasi habitat hutan memiliki dampak<br />

yang dapat merusak margasatwa, khususnya<br />

spesies-spesies seperti harimau dan gajah yang<br />

memerlukan tempat tinggal yang cukup luas.<br />

Dengan adanya penebangan hutan spesiesspesies<br />

ini juga akan menjadi semakin sering<br />

kontak dengan manusia, yang dapat<br />

menimbulkan korban luka maupun korban jiwa<br />

bagi kedua belah pihak, serta kehilangan mata<br />

pencaharian (termasuk hasil panen dan ternak).<br />

Gelondongan kayu hasil penebangan liar (Foto: Asriadi/FFI)<br />

Strategi, Aksi, dan Tujuan di Masa Yang Akan Datang<br />

2


Komitmen Pemerintah <strong>Aceh</strong><br />

terhadap Pengelolaan Hutan<br />

Berkelanjutan<br />

Pemerintah <strong>Aceh</strong> memiliki tanggung jawab<br />

besar untuk memberikan manfaat<br />

pembangunan ekonomi kepada daerah <strong>Aceh</strong>.<br />

Tantangannya adalah bagaimana dapat<br />

melaksanakannya dengan cara yang tetap<br />

memperhatikan fungsi hutan <strong>Aceh</strong> yang<br />

sangat luas dan memastikan hutan tersebut<br />

dapat terus memberikan manfaat bagi jutaan<br />

rakyat di provinsi ini. Telah ada beberapa<br />

upaya dari Pemerintah <strong>Aceh</strong> yang secara jelas<br />

menggambarkan tentang komitmennya<br />

untuk melakukan upaya perlindungan<br />

terhadap hutan-hutan di <strong>Aceh</strong> dan fungsi<br />

penting ekosistemnya.<br />

Upaya-upaya tersebut meliputi:<br />

Moratorium Logging - diluncurkan pada<br />

bulan Juni 2007 untuk menghentikan<br />

praktek perdagangan kayu konvensional<br />

dengan demikian opsi tentang<br />

pengelolaan hutan secara berkelanjutan<br />

dapat diidentifikasi dan dipertimbangkan;<br />

Tim Penyiapan Rencana Strategis<br />

Pengelolaan <strong>Kawasan</strong> Hutan <strong>Aceh</strong><br />

(TIPERESKA) - yaitu tim teknis yang<br />

dibentuk dan ditugaskan untuk meninjau<br />

dan merancang ulang pengelolaan sektor<br />

kehutanan dan areal hutan untuk <strong>Aceh</strong>,<br />

dengan memperhatikan moratorium<br />

logging, dengan hasil output kunci yang<br />

meliputi rencana tata ruang yang turut<br />

menyertakan hal terkait lingkungan dan<br />

evaluasi ekonomis dari sumber-sumber<br />

daya hutan <strong>Aceh</strong>;<br />

Inisiatif tentang <strong>Aceh</strong> Hijau (<strong>Aceh</strong> Green<br />

Initiative) – yaitu strategi jangka panjang<br />

untuk pembangunan ekonomi<br />

berkelanjutan di <strong>Aceh</strong> yang berfokus pada<br />

kegiatan mulai dari energi bersih sampai<br />

hutan berkelanjutan dan pengelolaan<br />

sumber daya yang tidak dapat<br />

diperbaharui. Hal ini juga bertujuan untuk<br />

menyediakan lapangan pekerjaan bagi para<br />

eks-kombatan dan petani pemilik ladang<br />

kecil serta memastikan bahwa sumbersumber<br />

daya alam (khususnya hutan)<br />

dikelola dengan baik dan manfaatnya<br />

terbagi secara merata sebagai bagian dari<br />

strategi pengelolaan penggunaan lahan<br />

secara keseluruhan;<br />

Badan Pengelola Ekosistem Leuser (BPKEL)<br />

- dibentuk pada tahun 2006 yang<br />

merupakan suatu badan konservasi baru di<br />

bawah Pemerintah <strong>Aceh</strong> dengan tugas<br />

untuk melindungi Ekosistem Leuser <strong>Aceh</strong><br />

dengan menjaga integritas ekologinya dan<br />

seiring dengan pelaksanaannya juga<br />

berupaya meningkatkan kesejahteraan dan<br />

kualitas hidup masyarakat yang ada di<br />

lingkungan sekitarnya.<br />

Proyek-proyek untuk menghindari<br />

penebangan hutan - mekanisme<br />

pendahuluan dan mekanisme<br />

pembangunan yang sedang berjalan<br />

mengenai produksi karbon berkelanjutan<br />

bagi Ekosistem <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong> dan Ekosistem<br />

Leuser, melalui proyek-proyek REDD .<br />

Proyek-proyek kerjasama antara publikswasta<br />

ini bertujuan untuk tetap terus<br />

menggerakkan aliran pendapatan jangka<br />

panjang bagi hutan-hutan di <strong>Aceh</strong>. REDD<br />

Project <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong> merupakan project<br />

pertama yang diaudit menggunakan<br />

Standar Iklim, Komunitas dan Keragaman<br />

Hayati (the Climate, Community &<br />

Biodiversity Standards) dan merupakan<br />

salah satu yang termaju di dunia; dan,<br />

Rekrutmen Petugas Penjaga Hutan – 2.000<br />

orang eks-kombatan dipekerjakan oleh<br />

Pemerintah <strong>Aceh</strong> sebagai pegawai negeri<br />

non-sipil pada Program Pengamanan Hutan<br />

(Pamhut) di lingkungan <strong>Di</strong>shutbun dengan<br />

tugas pokok untuk melindungi hutan <strong>Aceh</strong><br />

di tingkat lapangan.<br />

3 <strong>Penanganan</strong> <strong>Masalah</strong> <strong>Pembalakan</strong> <strong>Liar</strong> di <strong>Kawasan</strong> <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong>


Peta 1. Wilayah-wilayah <strong>Aceh</strong> yang termasuk dalam kawasan <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong><br />

Strategi, Aksi, dan Tujuan di Masa Yang Akan Datang<br />

4


<strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong><br />

Pada tahun 2009, 738,000 hektare wilayah <strong>Ulu</strong><br />

<strong>Masen</strong> diusulkan sebagai suatu Areal Strategis<br />

(untuk perlindungan) di tingkat provinsi sebagai<br />

pengakuan akan pentingnya lingkungan<br />

dan ekonominya bagi <strong>Aceh</strong>.<br />

Wilayah ini, yang mencakup bagian dataran<br />

tinggi di daerah <strong>Aceh</strong> Besar, <strong>Aceh</strong> Jaya, <strong>Aceh</strong><br />

Barat, Pidie,Pidie Jaya dan perbatasan Bireun<br />

(tabel 1), terdiri dari beberapa jenis hutan<br />

khusus mulai dari hutan karst dataran rendah<br />

hingga hutan pegunungan.<br />

<strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong> memberikan berbagai layanan sosial<br />

dan ekonomi yang tak ternilai harganya bagi<br />

sekitar 300.000 masyarakat 7 yang tinggal<br />

berbatasan dengan hutan tersebut, ditambah<br />

dengan masyarakat yang tinggal dipusat-pusat<br />

populasi utama di Banda <strong>Aceh</strong> dan <strong>Aceh</strong> Besar<br />

(>1 juta jiwa). Misalnya, hutan-hutan ini<br />

menstabilkan lereng-lereng curam yang banyak<br />

ditemukan didaerah tersebut, mencegah tanah<br />

longsor dan membantu mengatur iklim, serta<br />

menjamin pasokan air tetap untuk mendukung<br />

ekonomi pertanian lokal, dimana sebagian<br />

besar masyarakat yang tinggal dipinggiran<br />

hutan sangat bergantung padanya. Manfaat<br />

lingkungan yang diberikan bagi kekayaan<br />

keragaman hayati yang dimiliki kawasan <strong>Ulu</strong><br />

<strong>Masen</strong> termasuk sedikitnya 300 spesies dari<br />

habitat burung, 87 spesies reptil dan amfibi<br />

serta populasi harimau Sumatra dan populasi<br />

gajah yang secara global sangat penting. 8<br />

FFI dan LSM lokal di lima kabupaten dikawasan<br />

<strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong> sejak bulan Oktober hingga<br />

November 2008. Untuk ini, dilakukan survey<br />

untuk keseluruhan lingkar batas kawasan <strong>Ulu</strong><br />

<strong>Masen</strong> seluas 2.453 km, yang<br />

mendokumentasikan 179 jalan yang baru<br />

dibuka di daerah <strong>Aceh</strong> Barat (n = 12, panjang<br />

keseluruhan jalan = 118 km), <strong>Aceh</strong> Besar (n =<br />

45, jalan = 241 km), <strong>Aceh</strong> Jaya (n = 38, jalan =<br />

263 km), Pidie (n = 41, jalan = 176 km) dan Pidie<br />

Jaya (n= 43, jalan = 250 km), penebangan kayu<br />

ilegal di <strong>Aceh</strong> Besar (12 lokasi), Pidie (25), <strong>Aceh</strong><br />

Jaya (30) dan Pidie Jaya (38) dan konversi<br />

hutan ilegal menjadi lahan pertanian di <strong>Aceh</strong><br />

Besar (17 lokasi), <strong>Aceh</strong> Jaya (14), Pidie (14),<br />

Pidie Jaya (56) dan <strong>Aceh</strong> Barat (11). Hasil-hasil<br />

ini digunakan sebagai panduan dalam<br />

penyusunan strategi mitigasi pembalakan liar<br />

lanjutan untuk kawasan <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong>.<br />

Banyak lahan pertanian di sekitar hutan <strong>Ulu</strong><br />

<strong>Masen</strong> yang membuatnya mudah diakses<br />

sehingga rentan terhadap berbagai ancaman<br />

yang diakibatkan oleh pembalakan liar.<br />

Ancaman ini pada mulanya dinilai melalui suatu<br />

penilaian cepat, yang dikoordinir oleh<br />

TIPERESKA dan dilaksanakan oleh tim lapangan<br />

7 Pemerintah Nanggroe <strong>Aceh</strong> Darussalam, 2007. Pengurangan Emisi Karbon dari deforestasi dalam kawasan Ekosistem <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong>.<br />

<strong>Aceh</strong>, Indonesia. Sebuah desain proyek Triple-Benefit untuk CCBA Audit<br />

8<br />

Linkie, M & McKay, J.E. 2008. Konservasi hutan dan keragaman hayati pada kawasan Ekosistem <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong>. Laporan Teknis yang<br />

tidak diterbitkan, Fauna & Flora International. <strong>Aceh</strong>.<br />

5 <strong>Penanganan</strong> <strong>Masalah</strong> <strong>Pembalakan</strong> <strong>Liar</strong> di <strong>Kawasan</strong> <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong>


Tabel 1. Ringkasan data statistik di 6 kabupaten<br />

Kabupaten<br />

Luas<br />

Kabupaten<br />

(ha)<br />

Tutupan<br />

hutan tahun<br />

2009 (ha)<br />

Tepi<br />

Hutan<br />

(km)<br />

Jumlah<br />

Populasi<br />

Kepadatan<br />

(Masyarakat/ha)<br />

<strong>Aceh</strong> Barat 276,058 114,970 279 158,499 0.57<br />

<strong>Aceh</strong> Jaya 387,251 239,577 1,360 82,904 0.21<br />

<strong>Aceh</strong> Besar 289,053 112,379 566 312,765 1.08<br />

Pidie 316,959 190,434 643 386,053 1.22<br />

Pidie Jaya 94,868 54,169 134 135,345 1.43<br />

Bireuen 180,030 63,640 163 359,032 1.99<br />

Total 1,544,220 775,169 3,146 1,434,598 6.51<br />

Proyek Hutan dan<br />

Lingkungan <strong>Aceh</strong> atau <strong>Aceh</strong><br />

Forest and Environment<br />

Project (AFEP)<br />

Upaya rekonstruksi pasca-tsunami dengan<br />

skala yang belum pernah terjadi sebelumnya<br />

serta berbagai tekanan lainnya terhadap<br />

sumber daya kayu <strong>Aceh</strong> membutuhkan upaya<br />

-upaya perlindungan terhadap dua ekosistem<br />

utama hutan <strong>Aceh</strong>, yaitu Leuser dan <strong>Ulu</strong><br />

<strong>Masen</strong>. Kedua ekosistem ini meliputi 2,99 juta<br />

hektar hutan yang berdampingan (areal yang<br />

setara dengan luas negeri Belanda) dan<br />

pasokan air serta fungsi pelayanan<br />

lingkungan lainnya bagi lebih dari 60 persen<br />

dari jumlah penduduk <strong>Aceh</strong>.<br />

Menanggapi akan kebutuhan ini, Multi Donor<br />

Fund (dibentuk untuk melakukan koordinasi<br />

dan memberikan bantuan paska tsunami),<br />

dengan Bank Dunia sebagai mitranya,<br />

mendukung AFEP; proyek senilai $17,53 juta<br />

yang dikembangkan dan dilaksanakan oleh<br />

Yayasan Leuser Internasional (YLI) dan FFI<br />

dari tahun 2006-2011.<br />

mendukung proses rekonstruksi dan<br />

pemulihan <strong>Aceh</strong>;<br />

2. <strong>Masalah</strong> konservasi dan lingkungan hidup<br />

terintegrasi kedalam proses perencanaan<br />

rekonstruksi dan pembangunan <strong>Aceh</strong>; dan,<br />

3. Struktur manajemen dibentuk untuk<br />

memastikan dukungan yang efektif dan<br />

transparan dalam pelaksanaan proyek.<br />

Dalam wilayah geographis <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong> AFEP,<br />

FFI merancang dan melaksanakan beberapa<br />

kegiatan untuk mengurangi pembalakan liar<br />

dan dalam proses tersebut turut mendukung<br />

Pemerintah dalam inisiatif <strong>Aceh</strong> Green yang<br />

mengutamakan penciptaan lapangan<br />

pekerjaan yang dapat menjamin penghidupan<br />

bagi ribuan eks-kombatan, sementara pada<br />

waktu yang bersamaan juga mampu<br />

memperkuat perlindungan lingkungan.<br />

Tiga komponen pokok dari proyek AFEP<br />

dirancang untuk memastikan bahwa:<br />

1. Pengelolaan dan perlindungan hutan<br />

ditingkatkan untuk membantu dan<br />

Strategi, Aksi, dan Tujuan di Masa Yang Akan Datang<br />

6


Tujuan Laporan<br />

Pada bulan Agustus 2008, FFI<br />

mengembangkan dan menerapkan suatu<br />

strategi untuk mengatasi pembalakan liar<br />

dikawasan <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong>, bekerjasama dengan<br />

berbagai lembaga pemerintah, organisasi<br />

sosial kemasyarakatan dan masyarakat di<br />

sekitar kawasan hutan. laporan ini menjelaskan<br />

dan mengevaluasi:<br />

Tugas dan tanggung jawab dari berbagai<br />

mitra kerja;<br />

Berbagai upaya untuk meningkatkan<br />

kapasitas konservasi dari setiap mitra<br />

kerja dalam jaringan kerja operasional<br />

pertama anti-pembalakan liar untuk<br />

kawasan <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong>;<br />

Pencapaian utama dari para mitra jaringan<br />

kerja (termasuk jumlah laporan lapangan<br />

yang dikumpulkan, jumlah operasi<br />

penegakan hukum, jumlah penyitaan serta<br />

jumlah penangkapan dan tuntutan<br />

pengadilan); dan,<br />

Berbagai kendala yang dihadapi oleh<br />

proyek, pembelajaran dan rekomendasirekomendasi<br />

untuk pekerjaan di masa<br />

yang akan datang.<br />

Laporan ini bertujuan untuk memberikan<br />

informasi kepada para donatur, lembagalembaga<br />

konservasi dan para pembuat<br />

kebijakan terkait tentang strategi yang<br />

dilaksanakan, pencapaian serta kendalakendalanya<br />

sebagai bahan pertimbangan<br />

mereka dalam menyusun dan<br />

mengembangkan aksi-aksi masa depan untuk<br />

mengatasi pembalakan liar di kawasan <strong>Ulu</strong><br />

<strong>Masen</strong>, <strong>Aceh</strong> dan Indonesia.<br />

7 <strong>Penanganan</strong> <strong>Masalah</strong> <strong>Pembalakan</strong> <strong>Liar</strong> di <strong>Kawasan</strong> <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong>


Pembentukan Jaringan<br />

Multi-stakeholder Untuk Mengatasi<br />

<strong>Pembalakan</strong> <strong>Liar</strong><br />

"<br />

Komitmen FFI bagi perlindungan hutan di <strong>Aceh</strong> merupakan<br />

suatu upaya kerjasama. Kami bekerjasama dengan seluruh<br />

stakeholder kunci dalam memantau, mendeteksi dan<br />

menganalisa berbagai aktivitas kehutanan ilegal,<br />

perdagangan ilegal, dan kejahatan hutan lainnya. Tujuan<br />

kami adalah untuk membangun suatu konstituen lokal yang<br />

kuat bagi setiap aksi untuk melindungi hutan.<br />

"<br />

Wahdi Azmi, Manajer Konservasi Hutan, FFI<br />

Untuk mengatasi secara jelas berbagai<br />

tantangan yang dihadapi oleh hutan-hutan di<br />

<strong>Aceh</strong>, FFI dan para mitra kerja lokal membentuk<br />

suatu jaringan kerja anti-pembalakan liar yang<br />

untuk pertama kalinya membawa berbagai<br />

pihak terkait atau stakeholder untuk bersamasama<br />

memfokuskan pada peningkatan sistem<br />

monitoring dan perlindungan hutan beserta<br />

institusi-institusi yang dapat memfasilitasi<br />

pengelolaan hutan berkelanjutan. Untuk<br />

mencapai hal ini, FFI membuat dan<br />

melaksanakan berbagai kegiatan pokok sebagai<br />

berikut untuk:<br />

Membantu masyarakat dalam memonitor<br />

dan melaporkan berbagai bentuk kejahatan<br />

hutan;<br />

Membangun kapasitas NGO lokal dan<br />

lembaga penegak hukum;<br />

Memberikan alternatif mata pencaharian<br />

yang berkelanjutan bagi mereka yang<br />

terlibat dalam pelanggaran hutan;<br />

M e m b u k a p u s a t - p u s a t p e l a t i h a n<br />

pengelolaan hutan dan mata pencaharian<br />

(livelihoods); serta,<br />

Meningkatkan sistem komunikasi dan<br />

kolaborasi antara lembaga penegak hukum<br />

dan masyarakat yang menjadi mitra kerja<br />

dalam jaringan tersebut.<br />

Keterlibatan Masyarakat<br />

Untuk mengetahui pandangan masyarakat<br />

lokal mengenai pembalakan liar, FFI melakukan<br />

survey terhadap 1.457 penduduk desa yang ada<br />

di enam kabupaten (termasuk Bireun) di<br />

kawasan <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong>. Persentase terbesar<br />

(73,5%) menempatkan pembalakan liar sebagai<br />

ancaman utama bagi <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong> dan sebagian<br />

besar (83,3%) menganggap bahwa kerusakan<br />

hutan mengakibatkan meningkatnya konflik<br />

antara manusia dengan margasatwa dan<br />

melindungi hutan merupakan hal yang sangat<br />

penting bagi mereka untuk mendapatkan<br />

manfaat dari fungsi pelayanan ekosistem<br />

(60,6%). Alasan utama yang diajukan mengapa<br />

adanya kegiatan pembalakan liar adalah<br />

karena kurangnya pilihan mata pencaharian<br />

lain (53,7%) 9 .<br />

9 FFI. 2009. Knowledge, Attitude and Perception survey. Unpublished Technical Report, Fauna & Flora International. <strong>Aceh</strong>.<br />

Strategi, Aksi, dan Tujuan di Masa Yang Akan Datang<br />

8


Melalui wawancara informal, terungkap bahwa<br />

yang mendasari terjadinya ketegangan antar<br />

dan dalam masyarakat adalah karena terdapat<br />

anggota masyarakat yang menebang hutan<br />

yang secara terang-terangan mengabaikan<br />

sistem pengelolaan hutan secara adat, dan<br />

pihak lain yang marah atas kerusakan fungsi<br />

pelayanan ekosistem hutan. Keluhan yang<br />

seringkali diutarakan, atau isu-isu utama yang<br />

penting bagi masyarakat terpusat pada<br />

meningkatnya banjir dan tanah longsor yang<br />

berhubungan dengan kegiatan pembalakan<br />

liar.<br />

Dampak yang mengganggu adalah rusaknya<br />

perumahan dan hasil panen, berkurangnya<br />

pasokan air, dan secara umum adalah<br />

penurunan pendapatan mereka. Namun<br />

demikian, sejumlah masyarakat pada mulanya<br />

kurang bersahabat terhadap upaya-upaya yang<br />

diusulkan FFI dan mitranya untuk mengatasi<br />

pembalakan liar karena mereka khawatir bila<br />

hal ini akan membatasi atau justru menutup<br />

akses mereka terhadap hasil-hasil hutan nonkayu.<br />

FFI dan mitranya telah mencoba untuk<br />

melakukan kerjasama dengan masyarakat lokal<br />

melalui beberapa cara untuk membangkitkan<br />

dukungan yang kuat dari mereka terhadap<br />

strategi anti-pembalakan liar. Pertama-tama,<br />

dengan melibatkan NGO lokal dalam kegiatan<br />

monitoring dan melaporkan kejahatan hutan<br />

(penebangan hutan ilegal untuk mendapatkan<br />

kayu) kepada aparat penegak hukum dari<br />

pemerintah (polisi dan <strong>Di</strong>shutbun). Kedua,<br />

melalui perkuatan mekanisme dan lembaga<br />

adat seperti Mukim 10 , untuk ikut bertanggung<br />

jawab dalam pengelolaan hutan adat mereka<br />

secara berkelanjutan, termasuk penyediaan<br />

alternatif pembibitan (misalnya kebun<br />

pembibitan pohon). Ketiga, menawarkan<br />

"<br />

Tolong jangan coba-coba menghentikan kami<br />

untuk memanfaatkan hutan. Kami butuh kayu<br />

untuk membangun rumah, untuk memasak,<br />

untuk memagari hewan dan hasil panen kami.<br />

‘Orang kota tidak memahami masyarakat<br />

seperti kami’<br />

Penduduk desa Keumala Dalam,<br />

"<br />

Kabupaten Pidie<br />

alternatif pekerjaan kepada mereka yang<br />

peduli terhadap pelanggaran hutan yang<br />

dalam waktu bersamaan akan dapat<br />

meningkatkan pelaksanaan monitoring hutan<br />

dan upaya outreach masyarakat (termasuk<br />

peningkatan pendidikan dan kesadaran akan<br />

dampak negatif dari pembalakan liar tersebut).<br />

Pada tahap awal, keterbatasan kemampuan<br />

NGO lokal untuk melakukan monitoring yang<br />

terpercaya dan melaporkan kejahatan<br />

kehutanan teridentifikasi sebagai tantangan<br />

kunci. Untuk itu FFI menanggapinya dengan<br />

menginvestasikan sumber-sumber daya<br />

tambahan untuk meningkatkan kapasitas<br />

kelembagaan (seperti tata kelola keuangan)<br />

dan kapasitas teknis (seperti pengumpulan<br />

data dan penulisan laporan) dari tiga NGO. Dari<br />

sini, kemitraan strategis dibentuk dengan Pinto<br />

Rimba, Gaseu dan Embun Pagi. Dana diberikan<br />

melalui program hibah FFI-AFEP (small grants<br />

program) dengan jumlah keseluruhan yang<br />

telah dikucurkan sebesar US$290.892 kepada<br />

40 mitra lokal untuk mendukung pekerjaan<br />

konservasi mereka, 41 persen diantaranya<br />

dialokasikan kepada tiga NGO lokal. NGO ini<br />

menggunakan dana hibahnya untuk<br />

melakukan investigasi kejahatan hutan dalam<br />

dua tahap (masing-masing selama enam bulan)<br />

diselingi dengan satu bulan evaluasi.<br />

10<br />

Mukim, adalah sebuah lembaga masyarakat adat yang unik di <strong>Aceh</strong>, baru-baru ini dihidupkan kembali sebagai sebuah badan<br />

pemerintah resmi, setelah telah didekonstruksi oleh pemerintah pusat selama konflik sipil. Fungsi Mukim meliputi, antara lain,<br />

otoritas pengelolaan atas masyarakat (Mukim) hutan dan satwa liar (melalui Panglima Uteun) dan perkebunan (melalui Peutua<br />

Seuneubok).<br />

9 <strong>Penanganan</strong> <strong>Masalah</strong> <strong>Pembalakan</strong> <strong>Liar</strong> di <strong>Kawasan</strong> <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong>


"<br />

Kami para Mukim merasa sangat bangga ikut<br />

terlibat dalam upaya melindungi hutan kami<br />

yang luar biasa ini. Tugas pertama kami adalah<br />

memfokuskan pada monitoring terhadap hutan<br />

-hutan kami dengan demikian hutan tersebut<br />

tidak mengalami kerusakan lebih lanjut dan<br />

dapat meningkatkan kesadaran di kalangan<br />

masyarakat kami.<br />

"<br />

Anwar Ibrahim, Kepala Mukim, <strong>Aceh</strong> Jaya<br />

Fokus utama dari pekerjaan ini adalah untuk<br />

mengidentifikasi lokasi-lokasi konversi hutan<br />

ilegal, penebangan kayu secara selektif,<br />

penumpukan kayu (penempatan kayu<br />

sementara sebelum dilakukan pengangkutan),<br />

penyimpanan kayu (misalnya di dalam rumah)<br />

dan pengangkutan kayu. Secara bersama-sama<br />

ketiga NGO ini memberikan cakupan geografis<br />

lengkap untuk intel-based monitoring tentang<br />

pelanggaran hutan dii kawasan <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong>.<br />

Pinto Rimba, bertanggung jawab untuk wilayah<br />

kabupaten Pidie dan Bireun, membangun<br />

jaringan informan di tujuh daerah (dimana tiaptiap<br />

daerah hampir menyerupai suatu<br />

kecamatan) dengan personil kontak individual<br />

yang bertanggung jawab untuk masing-masing<br />

daerah. Dengan menggunakan pendekatan<br />

yang sama, Gaseu (kabupaten <strong>Aceh</strong> Besar, <strong>Aceh</strong><br />

Barat dan <strong>Aceh</strong> Jaya) menggunakan 12 orang<br />

informan yang tersebar di 12 daerah dan Embun<br />

Pagi (kabupaten Pidie Jaya) menggunakan<br />

empat informan di empat daerah.<br />

Ketika menerima laporan dari seorang<br />

informan, NGO tersebut akan melakukan<br />

verifikasi sumber dan isi laporannya, setelah itu<br />

mereka akan memutuskan apakah informasi ini<br />

cukup memadai untuk ditindaklanjuti, sebelum<br />

menyampaikan laporan tersebut ke polisi<br />

maupun personil kontak dari <strong>Di</strong>shutbun<br />

kabupaten.<br />

Untuk meningkatkan kesadaran lokal tentang<br />

dampak negatif dari pembalakan liar bagi<br />

kelangsungan hidup manusia, FFI menyusun<br />

serangkaian material edukasi yang mengulas<br />

tentang isu ini, seperti fiqh lingkungan (buku<br />

tentang hukum Islam bagi para pemuka<br />

agama), buku kurikulum SMA (muatan lokal,<br />

untuk guru dan siswa) serta buletin kuartalan<br />

<strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong> (untuk masyarakat luas). Materialmaterial<br />

tersebut dibagikan melalui berbagai<br />

program pelatihan dan kegiatan outreach yang<br />

mencakup kelompok-kelompok target utama<br />

dan masing-masing dari lima daerah di<br />

kawasan <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong>, yaitu sebuah ecoclub<br />

dengan anggota sebanyak 885 remaja, Safari<br />

Ramadan di 45 Mukim serta 3.417 guru dan<br />

siswa yang mendapatkan pelatihan kurikulum<br />

pendidikan.<br />

Untuk mengimbangi kegiatan monitoring dan<br />

pelaporan dari NGO lokal tersebut, FFI<br />

membuat dan melaksanakan suatu program<br />

pengelolaan sumber daya alam berbasis<br />

masyarakat. Dari 61 Mukim yang ada di <strong>Ulu</strong><br />

<strong>Masen</strong>, 17 diantaranya sebagian besar (57%)<br />

terdiri dari kawasan hutan. Sehingga FFI<br />

memutuskan bahwa akan sangat menghemat<br />

biaya untuk memulai kegiatan awal di 17 Mukim<br />

ini untuk meningkatkan kekuatan<br />

kelembagaan mereka serta kapasitas untuk<br />

mengelola hutan mereka. Untuk mengurangi<br />

permintaan lokal dan ketergantungan pada<br />

sumber daya hutan <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong>, FFI<br />

membangun 11 tempat pembibitan pohon<br />

bermitra dengan 10 Mukim untuk memberikan<br />

manfaat bagi 13.639 kepala keluarga. Lebih<br />

kurang 620.000 bibit kualitas tinggi diproduksi<br />

melalui pembibitan tersebut untuk<br />

memfasilitasi siklus penanaman dan panen<br />

secara terstruktur yang dapat memberikan<br />

manfaat jangka pendek (seperti tanaman cabe<br />

dan tomat), jangka menengah (seperti coklat<br />

dan kopi) serta jangka panjang (seperti karet<br />

dan durian). Selanjutnya, pelatihan diberikan<br />

dengan teknik-teknik pertanian intensif,<br />

sehingga mengurangi permintaan lahan yang<br />

merupakan wilayah hutan. Akhirnya, dari<br />

kegiatan ini telah dilakukan penghijauan<br />

kembali 3.350 ha kawasan hutan yang<br />

terdegredasi .<br />

Strategi, Aksi, dan Tujuan di Masa Yang Akan Datang<br />

10


Menciptakan Mata<br />

Pencaharian Alternatif untuk<br />

Pembalak <strong>Liar</strong><br />

Pada bulan Februari 2009, FFI memulai suatu<br />

program untuk mengubah para perambah<br />

hutan, khususnya para eks-kombatan,<br />

penebang liar dan pemburu hewan liar,<br />

menjadi para penjaga hutan yang sangat<br />

terlatih dan menghormati masyarakat yang<br />

mampu memberikan pelayanan lingkungan<br />

sesuai dengan permintaan serta pelayanan<br />

pengelolaan hutan kepada masyarakat lokal<br />

dan kawasan <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong>.<br />

"<br />

80 persen dari kami [dari Ranger Masyarakat]<br />

pernah terlibat dalam pembalakan liar dimasa<br />

lalu. Kami merasa malu dan merasa bersalah,<br />

namun kami tidak mengerti tentang akibat<br />

dari ulah kami tersebut. Kini kami mengerti<br />

dan tidak akan menebang hutan lagi dan kami<br />

akan mengajak mereka yang masih menebang<br />

pohon untuk menghentikannya<br />

Kamarullah, ketua Blang Raweu Ranger,<br />

Kabupaten Pidie<br />

Untuk meningkatkan dukungan yang kuat dari<br />

masyarakat terhadap strategi anti-pembalakan<br />

liar, program Ranger Masyarakat atau<br />

Community Ranger sejak awalnya bertujuan<br />

untuk menciptakan rasa memiliki yang kuat di<br />

kalangan masyarakat setempat terhadap tim<br />

penjaga hutan yang berasalkan dari<br />

masyarakat dan juga hadir untuk memberikan<br />

manfaat bagi masyarakat. Untuk itu<br />

masyarakat bertanggung jawab dalam<br />

melakukan seleksi bagi para calon penjaga<br />

hutan melalui suatu proses seleksi yang<br />

bersifat kompetitif, dimana para kandidat<br />

dilibatkan dalam interview dengan para aparat<br />

desa dan pemuka agama, serta perwakilan dari<br />

Mukim dan kecamatan, untuk menilai<br />

komitmen kandidat untuk melayani<br />

masyarakat serta perlindungan hutan. Dari<br />

daftar kandidat yang telah disaring,<br />

"<br />

"<br />

masyarakat meminta agar FFI melakukan<br />

seleksi akhir, yaitu untuk menghindari tuduhan<br />

korupsi atau nepotisme. Banyak diantara<br />

kandidat terpilih yang tidak memiliki<br />

pendidikan formal memadai, kemudian mereka<br />

mengikuti pelatihan intensif selama sepuluh<br />

hari di pusat pelatihan Jantho di <strong>Aceh</strong> Besar<br />

(tiga hari di dalam kelas dan tujuh hari di<br />

lapangan).<br />

Ini benar-benar merupakan ujian bagi kami,kami<br />

dilatih mulai dari pukul 6 pagi hingga pukul 10<br />

malam, tetapi kami mendapatkan banyak<br />

pelajaran tentang hal baru meskipun secara fisik<br />

sangat melelahkan, namun kami tidak pernah<br />

merasa lelah untuk terus melanjutkannya.<br />

Nurman Bin Cut, Ranger Masyarakat<br />

(Community Ranger), Pidie<br />

Pelatihan Community Ranger dilakukan oleh<br />

tim teknis multidisiplin (FFI, BASARNAS<br />

Provinsi, Mapala-STIK, Palang Merah<br />

Indonesia, Cicem Nanggroe (NGO lokal),<br />

Panglima Uteun-Jantho dan masyarakat lokal).<br />

Topik pembahasan pelatihan cenderung luas<br />

(yaitu mulai dari kemampuan untuk bertahan<br />

hidup hingga mitigasi konflik antara manusia<br />

dengan hewan liar) dalam rangka<br />

meningkatkan kemampuan para penjaga<br />

hutan, menguji kemampuan fisik dan mental<br />

mereka, membangkitkan rasa percaya diri<br />

mereka melalui pencapaian tujuan dan<br />

memupuk rasa saling percaya yang kuat dan<br />

teamwork. Bagi mereka yang telah berhasil<br />

menyelesaikan pelatihan ini dengan sukses,<br />

perayaan kelulusan dilaksanakan di sebuah<br />

sungai pada tengah malam terakhir..Dengan<br />

diterangi cahaya obor, para peserta pelatihan<br />

berdiri di dalam sungai dan direndam kedalam<br />

sungai oleh Master Trainer yang secara<br />

simbolis membebaskan mereka dari masa<br />

lalunya dan menandai kehidupan serta<br />

tanggung jawab mereka yang baru kepada<br />

masyarakatnya dan hutan.<br />

"<br />

11 <strong>Penanganan</strong> <strong>Masalah</strong> <strong>Pembalakan</strong> <strong>Liar</strong> di <strong>Kawasan</strong> <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong>


"<br />

Menjadi seorang penjaga hutan (ranger)<br />

adalah suatu pencapaian yang luar biasa<br />

bagi saya. Saya merasa begitu bangga<br />

ketika saya lulus. Ini adalah pertama<br />

kalinya dalam hidup saya mendapatkan<br />

pengetahuan sedemikian rupa dari<br />

masyarakat.<br />

"<br />

Kamarullah,<br />

Ranger Masyarakat , Pidie<br />

Acara penutupan pelatihan ranger di CRU Mane, Kabupaten Pidie<br />

yang dihadiri oleh M. Yakob Ishadamy, Kepala Sekretariat <strong>Aceh</strong><br />

Green Pemerintah <strong>Aceh</strong>.<br />

Empat tim community ranger telah dibentuk di<br />

sekitar <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong>:<br />

Tim Blang Raweu (kabupaten Pidie)<br />

dibentuk pada bulan Pebruari 2009 dan<br />

terdiri dari 10 orang anggota (3 ekspenebang<br />

liar, 5 eks-pemburu hewan liar dan<br />

2 eks-kombatan). Nama tim dipilih oleh ekspemburu<br />

gelap dalam kelompok tersebut<br />

yaitu Blang Raweu savannah yang terkenal<br />

dengan banyaknya harimau, gajah dan rusa<br />

sambar. <strong>Di</strong> kehidupan mereka sebelumnya,<br />

beberapa diantara para penjaga hutan ini<br />

memburu spesies-spesies ini dari Blang<br />

Raweu, tetapi kini mereka memandangnya<br />

sebagai daerah yang menjadi prioritas untuk<br />

dilindungi;<br />

Tim Purba (kabupaten <strong>Aceh</strong> Jaya) dibentuk<br />

pada bulan Mei 2009 dan terdiri dari 16<br />

orang anggota (6 eks-penebang liar/ekspemburu<br />

hewan liar);<br />

Tim Krueng Bajikan (<strong>Aceh</strong> Barat) dibentuk<br />

pada bulan Mei 2009 dan terdiri dari 19<br />

orang anggota (13 eks-penebang liar/ekspemburu<br />

hewan liar dan 6 eks-kombatan);<br />

dan,<br />

Tim Jantho (<strong>Aceh</strong> Besar) dibentuk pada<br />

bulan Maret 2010 dan terdiri dari 12 orang<br />

penjaga hutan (termasuk 5 eks-penebang<br />

liar). Komposisi tim ini berbeda dengan<br />

yang lainnya karena memfokuskan pada<br />

ranger remaja (usia 17-26 tahun), yang<br />

dianggap sebagai kelompok rentan yang<br />

banyak terabaikan selama masa pascakonflik<br />

dan pasca-tsunami.<br />

Community ranger dari kalangan masyarakat<br />

(community ranger) benar-benar bagian dari<br />

masyarakat lokal; struktur organisasi dan<br />

kerangka kerja resmi telah disusun dan<br />

disetujui oleh pihak terkait setempat. Yang<br />

terpenting adalah setiap tim Penjaga hutan<br />

dari kalangan masyarakat (community<br />

ranger) telah dikenal secara resmi oleh<br />

pemerintah kecamatan masing-masing.<br />

Kegiatan para penjaga hutan dari kalangan<br />

masyarakat (community ranger) di lapangan<br />

disupervisi oleh FFI dan para penjaga hutan,<br />

diberikan posisi didalam masyarakat agar<br />

dapat secara cepat melaporkan berbagai<br />

kejadian pembalakan liar dan isu-isu yang<br />

muncul lainnya yang dapat mengancam<br />

mata pencaharian lokal (seperti bencana<br />

alam) dan hubungan sosial.<br />

Strategi, Aksi, dan Tujuan di Masa Yang Akan Datang<br />

12


Salah seorang anggota Community ranger yang melakukan<br />

patroli rutin di kawasan <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong><br />

Setiap penjaga hutan dari kalangan<br />

masyarakat (community ranger) mendapatkan<br />

upah harian, perlengkapan dan bantuan teknis<br />

dari FFI. Para penjaga hutan tersebut telah<br />

membangkitkan rasa bangga di kalangan<br />

masyarakat , dan para penjaga hutan sendiri<br />

menikmati peningkatan status sosial tak<br />

terduga yang melebihi kesederhanaan desa<br />

mereka sendiri. Para penjaga hutan bertindak<br />

sebagai duta bagi komunitas masyarakatnya<br />

dan telah mendapatkan penghargaan penting,<br />

yaitu dari Gubernur Irwandi dan pemerintah<br />

kabupaten. Ini merupakan bukti tepat bagi<br />

perubahan mereka sepenuhnya menjadi<br />

masyarakat biasa, yang dibuktikan dengan<br />

penolakan yang terus dilakukannya atas<br />

kegiatan mereka di masa lalu, tidak ada<br />

seorang penjaga hutan pun yang kembali ke<br />

cara-cara lamanya. Manfaat lainnya adalah<br />

berbaurnya kembali para penjaga hutan<br />

kedalam masyarakat sipil, harus ingat bahwa<br />

beberapa diantara mereka yang sebelumnya<br />

dikucilkan oleh komunitasnya.<br />

Secara strategis, hal ini menciptakan<br />

perbedaan penting antara tanggung jawab<br />

pelaksanaan monitoring terhadap pelanggaran<br />

hutan di tingkat lapangan dengan lembagalembaga<br />

pemerintah yang bertugas<br />

menegakkan hukum, yang pada gilirannya<br />

menciptakan suatu tingkat independensi,<br />

dengan demikian dapat mengurangi<br />

kemungkinan terjadinya korupsi. Ini juga dapat<br />

mengurangi berbagai tekanan potensial<br />

terhadap para penjaga hutan dari kalangan<br />

masyarakat (community ranger) oleh mereka<br />

yang bertanggung jawab atas terjadinya<br />

pelanggaran hutan, karena setiap kebencian<br />

oleh penebang liar cenderung diarahkan<br />

kepada orang-orang yang menangkap mereka.<br />

Kegiatan lain anggota community ranger adalah<br />

mengamankan kayu-kayu hasil pembalakan liar dengan<br />

menggunakan bantuan gajah<br />

13 <strong>Penanganan</strong> <strong>Masalah</strong> <strong>Pembalakan</strong> <strong>Liar</strong> di <strong>Kawasan</strong> <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong>


"<br />

<strong>Di</strong> <strong>Aceh</strong> Jaya, kami membina kerjasama yang<br />

erat dengan FFI untuk mengamankan hutan.<br />

Mungkin hasil yang paling positif dan sangat<br />

membantu bagi kami di <strong>Di</strong>nas adalah aspek<br />

peningkatan kapasitas<br />

"<br />

Muhktar, Kepala <strong>Di</strong>shutbun, <strong>Aceh</strong> Jaya<br />

Kayu-kayu hasil pembalakan liar dikirim melalui sungai sebelum<br />

dibawa oleh kendaraan. Cara ini biasa dilakukan untuk<br />

mengelabui aparat hukum. (Foto: Rahmad Kasia/FFI)<br />

Meningkatan Kapasitas<br />

Lembaga Penegak Hukum<br />

Menggalang dukungan yang kuat dari<br />

masyarakat merupakan hal penting demi<br />

keberhasilan dalam mengatasi praktek<br />

pembalakan liar, namun demikian, setiap<br />

strategi pencegahan pembalakan liar akan<br />

membutuhkan suatu komponen penegakan<br />

hukum yang kuat, yang berfokus pada<br />

peningkatan kemungkinan ditangkapnya<br />

perambah hutan, serta kebijakan politik yang<br />

kuat untuk mewujudkan hal ini.<br />

Menanggapi permintaan daerah, FFI<br />

memberikan dukungan peningkatan kapasitas<br />

teknis bagi personil dari <strong>Di</strong>shutbun dan<br />

kepolisian (di tingkat kabupaten dan propinsi).<br />

Pelatihan dilaksanakan dalam hal<br />

Tim Gabungan berasal dari aparat kepolisian <strong>Aceh</strong>, <strong>Di</strong>nas<br />

Kehutanan, dan community ranger melakukan operasi<br />

pembalakan liar di dalam kawasan <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong>, di Kecamatan<br />

Padang Tiji, Kabupaten Pidie, tahun 2009.<br />

pengumpulan dan penganalisaan data-data<br />

pembalakan liar di lapangan, membuat<br />

laporan lengkap dan memanfaatkan<br />

informasi ini untuk mengambil tindakan<br />

tegas dan tepat. Untuk mencapai hal ini,<br />

kursus pelatihan <strong>Di</strong>shutbun selama 7 hari<br />

diselenggarakan dan diberikan kepada 60<br />

orang Pamhut, sedangkan pelatihan khusus<br />

diselenggarakan dan diberikan kepada 16<br />

personil polisi.<br />

Nilai dari kursus pelatihan ini dan keseriusan<br />

mitra kerja FFI dari pemerintah dapat dilihat<br />

melalui dua contoh berikut:<br />

Tiga hari setelah selesai mengikuti<br />

pelatihan, para lulusan dari <strong>Di</strong>shutbun<br />

<strong>Aceh</strong> Besar yang ikut serta dalam<br />

operasi penegakan hukum berhasil<br />

menyita 30m 3 kayu ilegal, satu alat<br />

pemotong kayu (chainsaws), telepon<br />

genggam milik tiga orang penebang liar<br />

(yang berisikan informasi-intel yang<br />

cukup berharga) dan dua mobil jeep<br />

yang digunakan untuk mengangkut<br />

kayu, serta satu mobil jeep yang ketiga<br />

yang tidak dapat dipindahkan karena<br />

telah dibakar di lapangan; dan,<br />

Tidak lama setelah mengikuti pelatihan<br />

kepolisian (Polres dan ResKrim), peserta<br />

lulusan tersebut melakukan operasi<br />

penegakan hukum selama dua hari di<br />

Strategi, Aksi, dan Tujuan di Masa Yang Akan Datang<br />

14


kabupaten Bener Meriah (wilayah<br />

Ekosistem Leuser) dan menutup sebuah<br />

kilang kayu ilegal serta menyita empat truk<br />

pengangkut kayu dan sebuah gergaji untuk<br />

industri.<br />

Untuk melakukan konsolidasi atas pekerjaan<br />

yang sedang dilaksanakan oleh FFI dan para<br />

mitra kerjanya di kawasan <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong> serta<br />

untuk memberikan jarak pandang yang cukup<br />

bagi para mitra kerja di daerah tepian hutan,<br />

misalnya tempat dimana para penebang<br />

memasuki hutan, maka FFI mendirikan tiga<br />

pusat konservasi hutan, yang dikenal dengan<br />

Unit Respons Konservasi atau Conservation<br />

Response Units (CRU).<br />

Pengelolaan Hutan secara<br />

Inovatif<br />

CRU didirikan melalui kegiatan outreach di<br />

masyarakat. FFI memahami bahwa bersamaan<br />

dengan pembalakan liar, ancaman utama bagi<br />

mata pencaharian dari komunitas para petani<br />

yang ada di sekitar hutan adalah serangan<br />

terhadap tanaman oleh kawanan gajah liar<br />

yang dapat menyapu bersih hasil panen<br />

mereka dalam satu malam. Dalam hal ini<br />

tampak jelas bahwa upaya kerjasama untuk<br />

mengatasi pembalakan liar bersama dengan<br />

masyarakat sebagai mitra kunci, juga<br />

membutuhkan upaya serupa untuk<br />

mengurangi problematika dengan kawanan<br />

gajah ini. Untuk dapat menanggapi berbagai<br />

insiden akibat konflik antara manusia<br />

dengan hewan liar dan berbagai kejahatan<br />

hutan dengan cepat, maka FFI, BKSDA dan<br />

<strong>Di</strong>shutbun bekerja bersama-sama dengan<br />

masyarakat setempat untuk mendirikan tiga<br />

CRU di sekitar kawasan <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong> (<strong>Aceh</strong><br />

Jaya, <strong>Aceh</strong> Barat dan Pidie). Lokasi CRU<br />

tersebut dipilih di areal yang memiliki tingkat<br />

konflik yang paling tinggi antara manusia<br />

dengan gajah dan yang juga menghadapi<br />

permasalahan pembalakan liar,<br />

Aspek yang unik dari CRU ada pada<br />

jantungnya yaitu patroli gajah. Sebelumnya<br />

gajah liar yang berhasil ditangkap, dilatih di<br />

pusat pelatihan gajah BKSDA dan<br />

dikerahkan untuk membantu meredakan<br />

konflik antara masyarakat dengan hewan<br />

liar. Pada tahun 2009 dan 2010, CRU telah<br />

berhasil mencegah 560 insiden konflik<br />

antara manusia dengan gajah di sekitar<br />

kawasan <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong>, memberikan manfaat<br />

bagi sekitar 2500 kepala keluarga. Selain<br />

kegiatan ini, patroli gajah juga dilakukan<br />

untuk memonitor pembalakan liar dan untuk<br />

memberikan peringatan bagi mereka yang<br />

ingin merambah hutan bahwa hutan-hutan<br />

tersebut berada dalam pengawasan dan<br />

penjagaan. Fungsi penting dari kamp-kamp<br />

CRU adalah untuk menciptakan lingkungan<br />

15 <strong>Penanganan</strong> <strong>Masalah</strong> <strong>Pembalakan</strong> <strong>Liar</strong> di <strong>Kawasan</strong> <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong>


Hubungan kerjasama yang kuat di antara Community Ranger harus terus terjalin dalam menjaga kelestarian kawasan hutan <strong>Ulu</strong><br />

<strong>Masen</strong> dari kegiatan pembalakan liar<br />

yang memungkinkan bagi para penjaga hutan<br />

dari kalangan masyarakat (community ranger)<br />

dan lembaga-lembaga penegak hukum<br />

pemerintah untuk bertemu dan bekerja bersama<br />

-sama di lapangan.<br />

Membangun Jaringan Intel<br />

Multi-Stakeholder<br />

Untuk meningkatkan sistem komunikasi dan<br />

kolaborasi antara lembaga penegak hukum dan<br />

para mitra masyarakat, FFI bekerja untuk<br />

membangun saluran informasi berbasiskan<br />

intelijen dari masyarakat sekitar hutan dan NGO<br />

lokal kepada lembaga-lembaga penegak hukum.<br />

Untuk itu, FFI memfasilitasi pertemuan di<br />

tingkat kabupaten antara pihak kepolisian<br />

kabupaten (Polres), <strong>Di</strong>shutbun dan NGO lokal,<br />

yang kemudian menjadi pertemuan kuartalan<br />

rutin.<br />

Hasilnya adalah pembentukan sistem<br />

pelaporan yang transparan dan cepat, dimana<br />

para mitra kerja dari masyarakat dapat<br />

memberikan informasi yang tepat waktu dan<br />

terpercaya kepada mitra kerja dari pihak<br />

pemerintah untuk kemudian ditindaklanjuti.<br />

Hal ini melibatkan pemupukan kepercayaan<br />

dan selanjutnya penempaan hubungan<br />

kerjasama yang kuat dan bermakna antara<br />

pihak-pihak terkait, beberapa diantaranya<br />

(seperti para ranger masyarakat atau<br />

community ranger dari eks-kombatan dengan<br />

polisi) yang mungkin dulunya tidak dapat<br />

bergabung seperti biasanya.<br />

Meskipun demikian, semangat kerjasama<br />

yang ditanamkan melalui pelatihan telah<br />

dicapai. Misalnya, Pamhut <strong>Aceh</strong> Jaya kini<br />

meminta agar tim Purba ranger menemani<br />

mereka ke lapangan ketika bertemu dengan<br />

masyarakat. Keyakinan dan optimisme ini<br />

Strategi, Aksi, dan Tujuan di Masa Yang Akan Datang<br />

16


tertangkap dari pernyataan sebelumnya oleh<br />

Bapak Muhktar, Kepala <strong>Di</strong>shutbun-<strong>Aceh</strong> Jaya,<br />

“Kami telah menyaksikan di sepanjang tahun<br />

2009 dimana mereka [mitra masyarakat] telah<br />

menjadi jauh lebih profesional. Pembangunan<br />

kepercayaan seperti ini merupakan suatu<br />

prasyarat untuk strategi perlindungan hutan<br />

yang efektif.<br />

Ketika banyak NGO lokal dan anggota<br />

masyarakat secara individu lebih memilih untuk<br />

tidak diketahui identitasnya dalam melakukan<br />

pekerjaannya untuk melindungi hutan, namun<br />

kehadiran para penjaga hutan dari kalangan<br />

masyarakat ( community ranger) justru terlihat<br />

dengan jelas yang dapat mengirimkan isyarat<br />

bagi para pembalak dan yang lainnya bahwa<br />

bila mereka melakukan kejahatan hutan maka<br />

besar peluang mereka ditangkap oleh aparat<br />

hukum dari pemerintah.<br />

Terlepas dari fakta bahwa beberapa<br />

masyarakat lokal yang bekerja bersama-sama<br />

dengan ranger masyarakat (community<br />

rangers) juga (masih terus) terlibat dalam<br />

pembalakan dan kejahatan hutan lainnya. Hal<br />

ini juga memperkuat pemikiran bahwa ranger<br />

masyarakat (community rangers) harus<br />

mengerti peran lembaga-lembaga penegak<br />

hukum.<br />

Setelah tiga bulan perencanaan dan pelatihan,<br />

jaringan kerja anti pembalakan liar tersebut<br />

dibentuk diseluruh kabupaten di kawasan <strong>Ulu</strong><br />

<strong>Masen</strong> dan Bireuen. Para mitra yang<br />

berkolaborasi ini terdiri dari masyarakat<br />

sekitar hutan, para penjaga hutan (community<br />

ranger), NGO lokal, <strong>Di</strong>shutbun, polisi dan FFI<br />

siap mengatasi pembalakan liar<br />

17 <strong>Penanganan</strong> <strong>Masalah</strong> <strong>Pembalakan</strong> <strong>Liar</strong> di <strong>Kawasan</strong> <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong>


<strong>Penanganan</strong> <strong>Pembalakan</strong> <strong>Liar</strong><br />

Melalui Jaringan Multi-stakeholder<br />

"<br />

Ini bukanlah pekerjaan biasa , pagi hari hingga menjelang petang. Sama sekali<br />

bukan! Kami justru sering menerima panggilan bahwa kayu gelondongan<br />

kemungkinan akan dipindahkan pada malam hari, kami memberitahukan<br />

pihak yang berwenang dan siap siaga untuk membantu dalam hal monitoring<br />

Muchtar, Ranger Masyarakat (Community Ranger), <strong>Aceh</strong> Jaya<br />

"<br />

Monitoring dan Pelaporan<br />

Dari informasi-intel yang dikumpulkan oleh tiga<br />

NGO lokal, diperoleh pengetahuan yang berharga<br />

mengenai pola-pola pembalakan liar,<br />

khususnya dalam pengangkutan kayu. Ketika<br />

dibawa dari tepi hutan ke jalan utama, kayu<br />

pada mulanya disimpan di sebuah rumah yang<br />

dianggap aman (di siang hari ) dan kemudian<br />

akan diangkut, pada malam hari, dengan dua<br />

kali jalan.<br />

Pertama, kayu dapat dikumpulkan pada waktu<br />

shalat Maghrib (segera setelah matahari terbenam)<br />

yaitu waktu yang diperkirakan sepi<br />

dimana lalu lintas jalan raya tidak terlalu ramai,<br />

dan kayu diangkut dengan menggunakan sebuah<br />

truk kecil (lima ton). Sebagai alternatif<br />

lain, kayu diangkut dengan jumlah yang lebih<br />

kecil (


Penegakan Hukum: Kegiatan<br />

Operasi, Penyitaan dan<br />

Penangkapan<br />

Informasi intel yang dikumpulkan dari ketiga<br />

NGO lokal yang menjadi mitra kerja FFI sejak<br />

bulan Agustus 2008 s/d Agustus 2009, mencatat<br />

sebanyak 369 kasus pelanggaran hutan<br />

dari kawasan <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong>. Tercatat jenis kejahatan<br />

hutan yang paling sering terjadi adalah<br />

pembalakan liar (perambahan hutan dan penebangan<br />

kayu secara selektif, 45,3%), diikuti<br />

dengan penyimpanan kayu (37,9 %), pengangkutan<br />

kayu ilegal (7,3%), produsen kayu (6,0%)<br />

dan gergaji kayu (3,5% Tabel 2). Dari sini,<br />

diperkirakan 895m³ ton kayu ilegal tercatat<br />

telah ditebang dari <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong>.<br />

Dari 369 kasus yang tercatat, 190 diantaranya<br />

dianggap telah memiliki informasi yang<br />

memadai dan telah dilaporkan oleh NGO lokal<br />

ini kepada lembaga penegak hukum dari<br />

pemerintah. Pada gilirannya, lembaga-lembaga<br />

ini telah menerima sebanyak 86 laporan<br />

(45,3%) dengan operasi penegakan hukum<br />

yang telah berhasil mengamankan 251m 3 kayu<br />

ilegal, 17 kendaraan roda empat, sembilan<br />

kendaraan roda dua, 17 chainsaw, dua gergaji<br />

untuk industri dan menutup tiga kilang kayu<br />

(Tabel 3).<br />

Perbandingan hasil penegakan hukum terhadap<br />

jumlah kasus yang diajukan, terungkap<br />

bahwa laporan LSM lokal yang dibuat, mengenai<br />

kejahatan hutan di <strong>Aceh</strong> Besar, Pidie dan<br />

Bireuen lebih memungkinkan untuk menghasilkan<br />

penangkapan dan penyitaan daripada di<br />

kabupaten lainnya (Tabel 4). Namun, tingkat<br />

penuntutan selanjutnya kasus-kasus dengan<br />

hasil yang diketahui jauh lebih tinggi di <strong>Aceh</strong><br />

Jaya (100.0%), Pidie (81,5%) dan Pidie Jaya<br />

(66,7%) dibandingkan di <strong>Aceh</strong> Besar (20,0%;<br />

Tabel 4).<br />

Hasil kegiatan operasi penegakan hukum<br />

mengakibatkan ditangkapnya 145 orang<br />

(termasuk Bener Meriah) yang diduga terlibat<br />

dalam pembalakan liar (Tabel 5). Mayoritas<br />

(88,9%) dari para penebang liar ini ditemukan<br />

berasal dari daerah dimana mereka tertangkap<br />

saat melakukan pembalakan.<br />

Dari 145 tersangka yang ditangkap, 45 kasus<br />

diantaranya terus dimonitor hingga diketahui<br />

hasilnya, dimana 34 kasus lainnya masih dalam<br />

penanganan polisi dan 66 kasus (atau 45,5%)<br />

masih belum termonitor, disebabkan terbatasnya<br />

sumber daya manusia.<br />

Dari 45 kasus yang dipantau sampai hasil yang<br />

diketahui, sebagian besar (64,4%) dilanjutkan<br />

ke pengadilan dan, kurang lebih setengah<br />

Tabel 2. Monitoring kasus pembalakan liar (n = 369) yang dilaporkan oleh tiga NGO lokal yang<br />

menjadi mitra kerja FFI (Agustus 2008 – Agustus 2009) di dalam dan di sekitar<br />

kawasan <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong>.<br />

Kasus<br />

Kabupaten<br />

<strong>Pembalakan</strong><br />

liar<br />

Penumpukan<br />

kayu<br />

Mesin<br />

gergaji<br />

Pemasok<br />

kayu<br />

Pengangkutan<br />

kayu<br />

<strong>Aceh</strong> Barat 10 21 1 1 3<br />

<strong>Aceh</strong> Jaya 38 17 0 5 4<br />

<strong>Aceh</strong> Besar 53 5 11 1 4<br />

Pidie 40 54 0 9 11<br />

Pidie Jaya 25 43 0 0 5<br />

Bireuen 4 0 1 6 0<br />

Total 167 140 13 22 27<br />

19 <strong>Penanganan</strong> <strong>Masalah</strong> <strong>Pembalakan</strong> <strong>Liar</strong> di <strong>Kawasan</strong> <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong>


Peta 2. Peta Illegal Logging dan hotspot dalam kawasan <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong><br />

Strategi, Aksi, dan Tujuan di Masa Yang Akan Datang<br />

20


(48,3%) terdakwa menerima hukuman penjara<br />

(berkisar antara 4 bulan sampai 4,5 tahun),<br />

dengan sisanya menerima peringatan secara<br />

lisan (41,4%) untuk pelanggaran pertama atau<br />

menunggu keputusan final (10,3%).<br />

Dari 16 orang yang dituntut, 12 diantaranya<br />

dibebaskan karena kurangnya bukti; tiga orang<br />

melarikan diri dari lokasi tahanan dan satu<br />

orang remaja (berusia 15 tahun) dibebaskan<br />

karena masih dibawah umur (18 tahun) untuk<br />

dapat menjalani penuntutan.<br />

Tabel 3. Hasil penyitaan dari operasi penegakan hukum yang dilaksanakan oleh polisi dan <strong>Di</strong>shutbun<br />

(Agustus 2008 – Agustus 2009) di dalam dan di sekitar kawasan <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong>, <strong>Aceh</strong><br />

Kabupaten<br />

Kilang<br />

kayu<br />

Sepeda<br />

motor<br />

Penutupan dan penyitaan<br />

Truk/Jeep<br />

Chainsaw/<br />

gergaji untuk<br />

industri<br />

Kayu (m 3 )<br />

<strong>Aceh</strong> Barat 0 0 0 0 0<br />

<strong>Aceh</strong> Jaya 0 0 2 0 7<br />

<strong>Aceh</strong> Besar 3 4 2 9 85<br />

Pidie 0 3 7 4 64<br />

Pidie Jaya 0 2 2 4 0<br />

Bireuen 0 0 0 0 55<br />

Total 3 9 17 19 251<br />

*Catatan: Hasil yang diperoleh tidak lama setelah dilaksanakannya training Polisi oleh FFI dan para mitranya<br />

Tabel 4. Ringkasan hasil operasi penegakan hukum dalam kaitannya dengan jumlah laporan kejahatan<br />

hutan yang telah diserahkan (Agustus 2008 - Agustus 2009) di dalam dan sekitar <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong>, <strong>Aceh</strong><br />

Kabupaten<br />

Jumlah<br />

laporan<br />

Penebang<br />

liar yang<br />

ditangkap<br />

Penyitaan dan Kesimpulan<br />

Rata-rata kejadian/laporan<br />

Kendaraan dan<br />

Kayu (m 3 Kendaraan Kayu<br />

) <strong>Di</strong>tangkap<br />

peralatan<br />

dan peralatan (m 3 )<br />

<strong>Aceh</strong> Barat 36 0 0 0 0.00 0.00 0.00<br />

<strong>Aceh</strong> Jaya 64 8 2 7 0.13 0.03 0.11<br />

<strong>Aceh</strong> Besar * 74 31 18 85 0.48 0.28 1.33<br />

Pidie * 114 62 14 64 0.97 0.22 1.00<br />

Pidie Jaya 73 25 8 0 0.39 0.13 0.00<br />

Bireuen 8 12 0 55 0.19 0.00 0.86<br />

*<br />

Kabupaten di mana Kehutanan dan Perkebunan <strong>Aceh</strong> Badan menerima pelatihan penegakan hukum dari FFI.<br />

21 <strong>Penanganan</strong> <strong>Masalah</strong> <strong>Pembalakan</strong> <strong>Liar</strong> di <strong>Kawasan</strong> <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong>


Kondisi Hutan <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong> akibat pembalakan liar seperti “berlubang” di Kecamatan Geumpang, Kabupaten Pidie<br />

Tabel 5. Hasil Penangkapan dan penuntutan dari operasi penegakan hukum yang telah dilaksanakan<br />

(Agustus 2008 – Agustus 2009) di dalam dan di sekitar kawasan <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong>, <strong>Aceh</strong><br />

Kabupaten<br />

Penangka<br />

pan<br />

pembalak<br />

liar<br />

Sedang<br />

diproses<br />

oleh<br />

polisi<br />

<strong>Di</strong>lepas<br />

tanpa<br />

proses<br />

pengadilan<br />

KASUS<br />

<strong>Di</strong>proses<br />

ke<br />

pengadilan<br />

<strong>Di</strong>vonis<br />

penjara<br />

Mendapat<br />

peringatan<br />

lisan<br />

Hasil<br />

belum<br />

diketahui<br />

<strong>Aceh</strong> Barat 0 0 0 0 0 0 0<br />

<strong>Aceh</strong> Jaya 8 4 0 4 2 0 0<br />

<strong>Aceh</strong> Besar 31 16<br />

+ 4 1 0 0 10<br />

Pidie 62 0 5 14 8 6 43<br />

Pidie Jaya 25 2 7 10 4 6 6<br />

Bireuen 12 12 0 0 0 0 0<br />

Bener<br />

Meriah * 7 0 0 0 0 0 7<br />

Total 145 34 16 29 14 12 66<br />

Catatan: + 3 tersangka melarikan diri sebelum menjalani pemeriksaan pengadilan<br />

* Hasil dari pelatihan peningkatan kapasitas yang diberikan oleh FFI ke polisi<br />

Strategi, Aksi, dan Tujuan di Masa Yang Akan Datang<br />

22


Identifikasi Faktor-Faktor Yang<br />

Menunjang Keberhasilan Proyek<br />

Berbagai hasil dari proyek <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong> sangatlah<br />

penting karena beberapa alasan. Pertama:<br />

Hubungan kerjasama yang efektif yang dibentuk<br />

antara, badan penegak hukum pemerintah,<br />

dan dengan pihak masyarakat terkait untuk<br />

mengatasi pembalakan liar secara bersamasama.<br />

Sebagai hasilnya badan Badan penegakan<br />

hukum pemerintah melakukan tindakan<br />

penegakan hukum secara regular yang dilakukan<br />

oleh pemerintah dalam upaya menanggapi<br />

berbagai laporan masyarakat setempat dengan<br />

dilakukannya penangkapan dan penyitaan baru<br />

secara bulanan daripada melalui operasi razia<br />

yang jarang dilakukan, yang dianggap kurang<br />

efektif dan lebih mahal 6 .<br />

Proyek ini tidak memberikan insentif keuangan<br />

ataupun karir, tetapi, meskipun demikian, motivasi<br />

dan komitmen dari staff pemerintah untuk<br />

menangani pembalakan liar tetap tinggi. Lebih<br />

lanjut lagi, pemerintah menunjukkan suatu<br />

komitmen untuk melakukan operasi penegakan<br />

hukum yang menentang trend yang ada di Indonesia,<br />

dimana aksi-aksi untuk mengatasi pembalakan<br />

liar yang begitu marak dan bahkan<br />

merajalela justru masih jarang 7 .<br />

Hal yang cukup menggembirakan adalah dari<br />

sekian banyak kasus yang terlacak sebagian<br />

besar (64.4%) telah diproses ke pengadilan dan,<br />

dari kasus-kasus ini, hanya sepuluh persen yang<br />

gagal mendapatkan hukuman, dimana disarankan<br />

agar pembalakan liar dipertimbangkan<br />

sebagai pelanggaran serius dan buktibukti<br />

yang dikumpulkan juga harus cukup.<br />

Sebuah laporan baru-baru ini oleh Penegakan<br />

Hukum Hutan, pemerintahan, dan Perdaganan<br />

(FLEGT) 8 Komisi Eropa menyoroti perbaikan<br />

yang dilakukan Pemerintah Indonesia dalam<br />

penanganan pembalakan liar. Namun<br />

demikian, satu permasalahan yang diangkat<br />

dalam laporan ini adalah tindak lanjut dari<br />

penegakan hukum tersebut yang masih belum<br />

cukup dan hanya seperempat dari kasus tersebut<br />

yang telah divonis. Dari <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong>, sekitar<br />

setengah dari laporan yang masuk telah diikuti<br />

oleh operasi-operasi seperti ini. Faktor kontribusi<br />

yang telah diidentifikasi sebagai bagian<br />

integral dari pencapaian proyek di <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong><br />

termasuk kebijakan politik yang kuat, dukungan<br />

pihak-pihak terkait setempat dan pendanaan<br />

yang dapat segera diakses.<br />

Kebijakan Politik<br />

Salah satu hasil yang paling menggembirakan<br />

yang dapat disaksikan selama studi ini adalah<br />

keinginan dari polisi maupun <strong>Di</strong>shutbun <strong>Aceh</strong><br />

untuk ikut terlibat secara serius dalam<br />

penanganan pembalakan liar, khususnya bagi<br />

polisi yang di sisi lain disibukkan dengan<br />

pemeliharaan perdamaian dan stabilitas pasca-<br />

6<br />

AFEP. 2010. Annual Project Report. Unpublished report for the Multi Donor Fund for <strong>Aceh</strong> and Nias. <strong>Aceh</strong>, Indonesia.<br />

7 WWF-Indonesia (2010) Sumatra’s Forests, their Wildlife and the Climate. Windows in Time: 1985, 1990, 2000 and 2009. A quantitative assessment of<br />

some of Sumatra’s natural resources submitted as technical report by invitation to the National Forestry Council (DKN) and to the National Develop<br />

ment Planning Agency (BAPPENAS) of Indonesia.<br />

8 Lawson & MacFaul, 2010. <strong>Pembalakan</strong> liar dan Perdagangan yang terkait: Indikator respon Global, Indicators of the Global Response. Laporan Program<br />

Chatham House.<br />

23 <strong>Penanganan</strong> <strong>Masalah</strong> <strong>Pembalakan</strong> <strong>Liar</strong> di <strong>Kawasan</strong> <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong>


konflik di <strong>Aceh</strong>. Komitmen ini sangat tepat<br />

serta sangat didukung dengan adanya isyarat<br />

yang begitu jelas yang disampaikan oleh<br />

Pemer in tah In don esia yan g telah<br />

menempatkan pembalakan liar sebagai isu<br />

utama nasional dan menindak secara hukum<br />

untuk memberantas praktek pembalakan liar,<br />

misalnya dengan membentuk ‘Satuan Tugas<br />

Pemberantasan Mafia Hukum’ untuk<br />

memastikan terlaksanakannya peradilan yang<br />

transparan terhadap kasus-kasus pembalakan<br />

liar ini.<br />

Instrumen untuk keberhasilan di <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong><br />

adalah peran pemerintah kabupaten dalam<br />

menciptakan lingkungan yang memungkinkan<br />

untuk mengatasi pembalakan liar. Kemitraan<br />

Pemerintah terbentuk lebih mudah di daerah<br />

di mana FFI telah memperlihatkan kehadiran<br />

jangka panjang di kabupaten mereka, seperti<br />

Pidie. Oleh karenanya, penegak hukum mereka<br />

lebih sering merespon laporan illegal logging<br />

yang diserahkan disini. Sebaliknya, kurang<br />

sempurnanya penangkapan dan penyitaan di<br />

Kabupaten <strong>Aceh</strong> Barat karena kendala dalam<br />

mengembangkan kerjasama kemitraan dengan<br />

pemerintah, mungkin terkait dengan kehadiran<br />

FFI yang lebih jarang di kabupaten ini.<br />

Sementara kebijakan politik, mungkin, secara<br />

umun berlaku di seluruh <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong> Penting<br />

disadari pula bahwa pengembangan jaringan<br />

dan strategi anti-pembalakan liar ke berbagai<br />

wilayah yang berdekatan dengan kabupatenkabupaten<br />

di kawasan Ekosistem Leuser akan<br />

lebih menantang. Sebagian besar pemerintah<br />

daerah di wilayah ini, telah memprioritaskan<br />

pembangunan jalan dan perluasan lahan<br />

perkebunan kelapa sawit yang membutuhkan<br />

konversi dan/atau fragmentasi tanah hutan,<br />

tindakan-tindakan yang terkait dengan penebangan<br />

liar 9 . Secara kontras, di kawasan <strong>Ulu</strong><br />

<strong>Masen</strong>, pemerintah <strong>Aceh</strong> Jaya, , secara khusus<br />

telah mengalokasikan tambahan Rp. 1 M<br />

(sekitar US$100,000) dalam anggaran kabupaten<br />

tahun 2010 untuk memfasilitasi <strong>Di</strong>shutbun<br />

dalam melanjutkan patroli hutan, yang<br />

secara langsung berkaitan dengan kegiatan<br />

yang dilakukan dalam studi ini.<br />

Dukungan Stakeholder Lokal<br />

Sebagian besar dari pembalak liar yang<br />

tertangkap berasal dari kabupaten dimana<br />

mereka melakukan aksinya. Ini menunjukkan<br />

bahwa sebagian besar masyarakat tidak<br />

mampu untuk sepenuhnya mengatasi<br />

pembalakan liar oleh mereka sendiri, sehingga<br />

kegiatan outreach community ranger dapat<br />

lebih ditingkatkan dan tidak semua<br />

masyarakat selalu menentang pembalakan liar.<br />

Partisipasi aktif para penjaga hutan dari<br />

kalangan masyarakat (community ranger),<br />

NGO lokal dan masyarakat luas di kawasan<br />

proyek <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong> memberikan isyarat bahwa<br />

banyak komunitas lokal menentang<br />

pembalakan liar. Dukungan sedemkian rupa<br />

seharusnya dianggap lebih memberanikan<br />

lembaga-lembaga penegakan hukum dari pemerintah<br />

untuk bertindak. Dua contoh berikut<br />

ini memberikan gambaran bagaimana inisiatif<br />

berbasis masyarakat dapat mengatasi penggunaan<br />

sumberdaya alam secara ilegal.<br />

Contoh pertama adalah dengan adanya Forum<br />

Sayeung Krueng Kalok (FORSAKA) dari <strong>Aceh</strong><br />

Besar. Dengan bantuan dari USAID-<br />

Environmental Services Programmed dan<br />

selanjutnya dari FFI, Forum ini dibentuk oleh<br />

enam desa, dengan peranan, untuk memperolah<br />

keuntungan ekonomi secara langsung<br />

untuk mendapatkan manfaat ekonomi lang-<br />

9 Linkie et al. 2008. Evaluasi konservasi keanekaragaman hayati disekitar sebuah kawasan hutan lindung yang besar di Sumatera.<br />

Konservasi Biologi 22:683-690.<br />

Strategi, Aksi, dan Tujuan di Masa Yang Akan Datang<br />

24


sung dari sumber mata air bersih pegunungan<br />

dari kawasan <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong>. Karena itu, masyarakat<br />

dengan cepat mengerahkan diri mereka<br />

untuk dapat mengusir para pembalak liar dari<br />

perbatasan hutan Krueng Kalok ketika wilayah<br />

hutan tersebut dan jasa-jasa ekosistem utamanya<br />

terancam pada tahun 2008 10 . Contoh<br />

kedua berkaitan dengan Program kelautan FFI<br />

di <strong>Aceh</strong>. <strong>Di</strong>mana Panglima Laot diberdayakan<br />

untuk menyelesaikan pelanggaran hukum adat<br />

berkaitan dengan penggunaan sumber daya<br />

kelautan yang tidak berkelanjutan di wilayah<br />

tertentu di Pulau Weh. Hasilnya, kegiatan yang<br />

dilarang ini berkurang dengan cepat, termasuk<br />

penguatan kebijakan setempat terhadap larangan<br />

spear fishing.<br />

USD119,226). Hal ini memungkinkan FFI untuk<br />

membawa berbagai mitra kerja untuk bersama<br />

-sama berada didalam satu kerangka kerja<br />

(framework), tanpa adanya keterlambatan<br />

dalam menunggu turunnya anggaran tahunan<br />

dari pemerintah atau dialokasikan dalam anggaran<br />

tahun berikutnya. Bagaimanapun, alokasi<br />

anggaran dari pihak kepolisian dan <strong>Di</strong>shutbun<br />

untuk operasi penegakan hukum sangat<br />

diperlukan karena mandat FFI mencegah pendanaan<br />

untuk operasi ini dan masyarakat penjaga<br />

hutan (community rangers) dan CRU tidak<br />

mempunya otoritas untuk melakukan penangkapan.<br />

Pendanaan<br />

Mayoritas pekerjaan dalam penanganan<br />

pembalakan liar di <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong>, misalnya<br />

peningkatan kapasitas bagi para mitra kerja<br />

dari pemerintah dan masyarakat, monitoring,<br />

investigasi dan laporan tentang kejahatan<br />

hutan, dukungan dan pengawasan yang<br />

berkelanjutan serta kegiatan community<br />

outreach, telah dilakukan karena lembaga<br />

independen (FFI) telah menerima dana hibah<br />

dalam jumlah yang cukup besar (US$7.7million)<br />

dan mampu mengalokasikan sebagian besar<br />

(US$ 646,198 atau 8,4%) untuk berbagai<br />

kegiatan yang dibutuhkan (pelatihan bagi lembaga<br />

penegak hukum = US$154,571, penjaga<br />

hutan dari kalangan masyarakat (community<br />

ranger) = US$129,912, CRU = US$242,449, sub<br />

hibah kepada sejumlah informan NGO lokal =<br />

10 USAID-ESP, 2008. Annual Progress Report. Environmental Services Program, DAI Project Technical Report,<br />

Jakarta.<br />

25 <strong>Penanganan</strong> <strong>Masalah</strong> <strong>Pembalakan</strong> <strong>Liar</strong> di <strong>Kawasan</strong> <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong>


Meningkatkan dan Melanjutkan<br />

Upaya-Upaya <strong>Penanganan</strong><br />

<strong>Pembalakan</strong> <strong>Liar</strong><br />

Laporan ini menyoroti tentang tindakan di<br />

lapangan dan pencapaian yang telah dicapai<br />

lebih dari setahun. Walaupun hasilnya menggembirakan,<br />

hal ini harus ditempatkan dalam<br />

sebuah konteks yang lebih luas. <strong>Pembalakan</strong><br />

liar masih tetap berlangsung di lima kabupaten<br />

yang ada di kawasan <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong> dan Bireuen,<br />

meskipun ditargetkan oleh jaringan multistakeholder.<br />

Dari proyek ini tercatat 895m 3<br />

kayu ilegal, yang nilainya dianggap berada<br />

dibawah angka ancaman sebenarnya. Dengan<br />

demikian, proyek tersebut tidak dapat atau<br />

belum dapat dikatakan berhasil sepenuhnya.<br />

Lebih jauh lagi, proyek ini juga tidak berusaha<br />

untuk mengatasi secara langsung konversi<br />

hutan ilegal menjadi lahan pertanian, ancaman<br />

penting lainnya bagi hutan, atau pelaku kunci<br />

lainnya yang terlibat dalam jaringan kriminal<br />

pembalakan liar yang semakin luas seperti<br />

para penjual dan pembelinya.<br />

Akhirnya, dan mungkin yang paling penting,<br />

adalah bahwa ketika dukungan financial dari<br />

FFI sangat berkurang (setelah Agustus 2009)<br />

terjadi pengurangan yang sesuai dalam<br />

kegiatan lapangan, menunjukkan bahwa<br />

strategi tersebut belum berkelanjutan. Keterbatasan<br />

dana ini juga menjelaskan mengapa<br />

hanya 45,3% dari 190 kasus yang diajukan<br />

kepada badan pemerintah yang ditindaklanjuti.<br />

Salah satu NGO mitra lokal FFI di Pidie<br />

Jaya menyimpulkansituasi, yang juga diungkapkan<br />

oleh mitra LSM lainnya, "Ketika<br />

mereka [<strong>Di</strong>nas Kehutanan dan Perkebunan]<br />

memiliki sumber daya maka respon akan kuat<br />

dan cepat, ketika mereka tidak [memiliki sumber<br />

daya] maka tidak ada yang terjadi."<br />

Meskipun tidak realistis mengharapkan jaringan<br />

multi – pihak bisa mencapai keberlanjutan<br />

lebih dari satu tahun, meskipun demikian, terdapat<br />

beberapa sinyal positif yang mengidentifikasikan<br />

bahwa mungkin dimasa yang akan<br />

datang, antara lain:<br />

i. <strong>Di</strong>shutbun <strong>Aceh</strong> Jaya yang telah mengalokasikan<br />

anggaran khusus untuk kegiatan<br />

patroli hutan (yang mana FFI menggunakan<br />

hal ini sebagai contoh untuk mengajak<br />

<strong>Di</strong>nas-dinas kabupaten lainnya untuk<br />

ikut melakukan hal yang sama);<br />

ii. Polisi terus melakukan operasi penegakan<br />

hukum diluar pekerjaan yang didanai oleh<br />

FFI;<br />

iii. Dua dari tiga NGO lokal yang didukung<br />

oleh FFI tetap dapat melanjutkan pekerjaan<br />

mereka, walaupun dengan intensitas<br />

yang lebih rendah di saat dukungan operasional<br />

formal dari FFI berakhir, karena<br />

mereka akan terus melanjutkan<br />

kegiatannya bersama dengan masyarakat<br />

lokal untuk memonitor dan melaporkan<br />

tentang kondisi dan aktifitas di hutan<br />

dengan menggunakan dana yang<br />

diperoleh secara independen atau bekerja<br />

secara sukarela; dan,<br />

iv. Metode multi pihak yang dikembangkan<br />

dalam studi ini akan dimasukkan untuk<br />

pendanaan jangka panjang dalam Rencana<br />

Pengelolaan <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong> yang sedang<br />

di kembangkan sebagai bagian dari inisiatif<br />

REDD untuk wilayah hutan ini.<br />

Strategi, Aksi, dan Tujuan di Masa Yang Akan Datang<br />

26


Peresmian strategi multi-stakeholder yang<br />

dikembangkan oleh FFI dan para mitra<br />

kerjanya merupakan langkah selanjutnya yang<br />

bijaksana. Namun demikian, pada tahun 2008,<br />

Pemerintah <strong>Aceh</strong> telah membentuk sebuah<br />

‘Tim Terpadu Pemberantasan <strong>Pembalakan</strong><br />

L i a r ’ ( K e p u t u s a n G u b e r n u r<br />

No.522.21/284/2008) yang ditugaskan untuk<br />

mengidentifikasi lokasi-lokasi pembalakan liar<br />

dan selanjutnya melakukan intervensi serta<br />

mengatasi kejahatan hutan yang terorganisir<br />

dan melakukan investigasi terhadap para<br />

oknum dari instansi-instansi pemerintah dan<br />

lembaga-lembaga penegak hukum yang<br />

terlibat dalam sindikat pembalakan liar. Tim ini<br />

diwakili oleh seluruh lembaga terkait baik dari<br />

pemerintah propinsi maupun kabupaten, Komite<br />

Peralihan <strong>Aceh</strong> (KPA) dan NGO lokal.<br />

Pada awalnya, FFI mencoba untuk bekerjasama<br />

dengan tim ini, tetapi desain lengkapnya<br />

menunjukkan adanya biaya administrasi<br />

yang tinggi, dimana dana yang memadai tidak<br />

dialokasikan dalam anggaran pemerintah,<br />

maka dari itu FFI memutuskan bahwa anggaran<br />

tersebut akan berdampak paling besar jika<br />

dimanfaatkan untuk mendukung inisiatif<br />

ditingkat kabupaten. Akan menjadi penting<br />

bagi Pemerintah <strong>Aceh</strong> untuk mengevaluasi<br />

kembali fungsionalitas timnya berdasarkan<br />

hasil dari studi ini, terutama dalam kaitannya<br />

untuk mengembangkan biaya yang lebih untuk<br />

tim yang beroperasi di tingkat kabupaten.<br />

Rekomendasi<br />

Mengingat kompleksitas pembalakan liar dan<br />

beragamnya pelaku yang terlibat, maka tidak<br />

ada satu lembaga pun dapat diharapkan untuk<br />

mengurangi permasalahan ini sendirian. Untuk<br />

itu, kunci untuk keberhasilan mendatang di<br />

kawasan <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong>, bahkan di <strong>Aceh</strong>, adalah<br />

dukungan yang berkelanjutan bagi jaringan<br />

multi-stakeholder untuk menerapkan strategi<br />

anti-pembalakan liar yang logis. Strategi ini,<br />

yang mana dapat juga dipergunakan untuk<br />

provinsi-provinsi lain di Indonesia, harus<br />

mampu melaksanakan berbagai kegiatan<br />

pokok yaitu peningkatan kapasitas para mitra<br />

kerja, melakukan monitoring dan pelaporan<br />

kejahatan hutan melalui jaringan informan,<br />

operasi penegakan hukum, outreach komunitas,<br />

penciptaan mata pencaharian alternatif<br />

serta pengembangan kebijakan. Strategi ini<br />

juga harus memasukkan beberapa rekomendasi<br />

berdasarkan temuan spesifik yang teridentifikasi<br />

dari studi ini.<br />

Rekomendasi Teknis<br />

Pelatihan teknis yang diberikan oleh FFI<br />

kepada instansi penegak hukum menghasilkan<br />

tindakan cepat dilapangan, misalnya<br />

sehari setelah pelatihan reskrim polisi, peserta<br />

kemudian melakukan operasi di Bener<br />

Meriah dan menangkap tujuh pembalak<br />

liar, menyita empat kendaraan, dua chainsaw<br />

dan 40m 3 kayu. Pelatihan ini<br />

karenanya harus dilakukan di tiga kabupaten<br />

lainnya <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong>, ditambah Bireuen,<br />

dan provinsi, serta diulang di distrikdistrik<br />

yang sebelumnya telah dijangkau<br />

untuk memastikan adanya peningkatan<br />

kapasitas. Akan tetapi, kunci atas semua ini<br />

bahwa dinas-dinas pemerintah melaksanakan<br />

operasi rutin penegakan hukum di <strong>Ulu</strong><br />

<strong>Masen</strong>. Untuk menghapus kendala yang<br />

sering disebutkan, kandidat yang paling<br />

menjanjikan dari <strong>Di</strong>nas Kehutanan dan<br />

Perkebunan harus dilatih sebagai penyidik<br />

pidana bersertifikat (Penyidik Pegawai<br />

Negeri Sipil) untuk meningkatkan jumlah<br />

kasus yang dilanjutkan ke pengadilan. ini<br />

akan sangat membantu dengan memberikan<br />

pelatihan khusus mengenai identifikasi<br />

jenis kayu dan cara penanganan barang<br />

bukti.<br />

Operasi penegakan hukum untuk menyita<br />

kayu selama proses pengangkutannya<br />

diperkirakan dapat memberikan hasil yang<br />

sangat besar jika dilaksanakan pada waktu<br />

maghrib dan tengah malam. Hanya ada tiga<br />

jalan utama di sekitar <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong> dan jalanjalan<br />

ini harus dijadikan target melalui<br />

27 <strong>Penanganan</strong> <strong>Masalah</strong> <strong>Pembalakan</strong> <strong>Liar</strong> di <strong>Kawasan</strong> <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong>


s e r a n g k a i a n p e m b l o k i r a n j a l a n<br />

menggunakan mobil secara strategis<br />

berdasarkan informasi-intel terkini yang<br />

didapatkan. Jika memungkinkan, penyitaan<br />

kayu harus langsung di sumber<br />

penyimpanannya , misalnya, sebelum di<br />

pisahkan kedalam jumlah yang lebih kecil<br />

untuk diangkut.<br />

Target operator chainsaw dan krunya juga<br />

penting, tapi untuk setiap orang yang<br />

ditangkap tidak diragukan lagi ratusan<br />

lainnya siap untuk mengisi lowongan ini.<br />

Maka, yang dijadikan target adalah pelaku<br />

(yaitu: penjual dan pembeli) yang terlibat<br />

dalam pembalakan liar sangatlah penting<br />

namun lebih menantang, dimana mereka<br />

ini punya akses ke uang dan koneksi politik,<br />

sehingga penangkapan juga semakin sulit.<br />

Namun demikian, tugas dari Konsorsium<br />

Anti <strong>Pembalakan</strong> <strong>Liar</strong> (KAIL), kolaborasi<br />

antara organisasi non pemerintahan dan<br />

Pemerintah Kalimantan Barat, telah<br />

mampu menangkap pelaku (yang disebut<br />

cukong) dan pelajaran dapat diambil dari<br />

strategi ini.<br />

Efektifitas intervensi penegakan hukum<br />

harus terus dinilai melalui analisa<br />

kuantitatif dimana pengendali untuk akibat<br />

variabel confounding dan berdasarkan pola<br />

spatio-temporal dari pola pembalakan liar<br />

dan harga kayu di kabupaten.<br />

Merevisi sistem pelaporan-intel dengan<br />

tujuan untuk penyeleksian secara lebih luas<br />

akan meningkatkan efisiensi melalui pengurangan<br />

sumber daya yang dikeluarkan<br />

oleh LSM lokal dalam verifikasi laporan<br />

dilapangan (sebagaimana 190 dari 461 laporan<br />

intel yang telah diserahkan kepada<br />

badan penegakan hukum). Laporan tersebut<br />

tidak disampaikan dalam laporan ini<br />

karenacenderung menjadi laporan yang<br />

diidentifikasi di lokasi penggergajian illegal,<br />

yang sudah diketahui oleh mitra pemerintah.<br />

Pemantau independen, misalnya: lembaga<br />

swadaya masyarakat yang bekerja dengan<br />

media provinsi, harus ditugaskan dengan<br />

melacak semua kasus pembalakan liar<br />

hingga hasil akhir, sebagai hasil dari 45.5<br />

persen kasus dari laporan ini masih tidak<br />

diketahui. Akan sangat penting untuk<br />

m e n d o k u m e n t a s i k a n a l a s a n<br />

ketidaksuksesan hasil (ada 12 dalam<br />

laporan ini) untuk memperbaiki sistem,<br />

terutama sebagai investasi dalam<br />

pemantauan, pelaporan, penangkapan dan<br />

membawa kasus ke pengadilan tinggi, dan<br />

untuk memastikan tingkat transparansi<br />

yang lebih tinggi.<br />

Kegiatan-kegiatan ranger masyarakat<br />

untuk itu, harus menempatkan penekanan<br />

yang lebih kuat pada dampak langsung dan<br />

merugikan dari penurunan jasa ekosistem<br />

dar i p embalakan liar terh adap<br />

kesejahteraan manusia dan terhadap<br />

ekonomi penduduk lokal. <strong>Di</strong> <strong>Aceh</strong>, satusatunya<br />

provinsi di Indonesia yang berada<br />

dibawah hukum Syariah, lembaga-lembaga<br />

keagamaan dan para pemimpinnya dapat<br />

diikutsertakan dalam kegiatan ini, seperti<br />

melalui khotbah jum’at mereka.<br />

Rekomendasi Kebijakan<br />

Dana tambahan dari pemerintah dapat<br />

dialokasikan kedalam anggaran tingkat<br />

provinsi dan kabupaten. Pada tahun 2008,<br />

67,1% dari anggaran provinsi <strong>Aceh</strong> yang<br />

dihabiskan 24 , jadi dana tambahan dapat<br />

diadakan, apabila diminta. Selain itu, dana<br />

yang dapat dialokasikan kembali oleh <strong>Di</strong>nas<br />

Kehutanan dan Perkebunan yang berasal<br />

dari penjualan sah kayu-kayu yang disita<br />

dapat diinvestasikan kedalam operasi<br />

penegakan hukum daripada kegiatan reboisasi,<br />

yang dilakukan saat ini.<br />

Revisi pembatasan dana ditempatkan pada<br />

lembaga penegak hukum untuk jenis<br />

kegiatan tertentu harus meningkatkan<br />

efektivitas operasi penegakan hukum. Sebagai<br />

contoh, alokasi anggaran polisi, per<br />

kasus, untuk mengangkut barang bukti<br />

kayu dari lokoasi ke kantor polisi adalah<br />

Strategi, Aksi, dan Tujuan di Masa Yang Akan Datang<br />

28


sekitar US$500. Dalam beberapa kasus<br />

selama penelitian ini, jumlah ini tidak mencukupi<br />

dan itu berarti bahwa sejumlah besar<br />

kayu sitaantidak dapat dikumpulkan,<br />

yang menjelaskan sebagian kecil dari volume<br />

kayu sitaan selama study ini dilakukan.<br />

Batasan ini diprediksikan mempunyai dampak<br />

lebih luas karena tuntutan berdasarkan<br />

volume lebih kecil akan dikeluarkan hukuman<br />

yang ringan.<br />

Untuk <strong>Di</strong>nas Kehutanan dan Perkebunan,<br />

diperlukan tinjauan penting terhadap<br />

layanan 2000 polisi hutan non PNS<br />

(Pamhut), karena pada saat ini jumlah yang<br />

tidak proporsional (78%) dari anggaran<br />

tahunan polisi hutan dihabiskan untuk gaji<br />

Pamhut, sehingga dana yang tersisa tidak<br />

cukup untuk op erasi lapangan.<br />

Perampingan jumlah Pamhut mungkin<br />

mempunyai konsekuensi yang tidak<br />

diinginkan untuk perlindungan hutan<br />

karena hal ini akan membuat sejumlah<br />

besar orang yang tidak terampil dan<br />

berlebihan yang pada akhirnya nanti dapat<br />

menebang hutan. Bagaimanapun juga,<br />

struktur Pamhut saat ini tidak berkelanjutan<br />

dan tidak efektif.<br />

Sebuah solusi jangka panjang, seperti<br />

perkebunan kayu, diperlukan untuk mengatasi<br />

kebutuhan kayu domestic di <strong>Aceh</strong>.<br />

Logging moratorium menghentikan<br />

penebangan kayu komersial di <strong>Aceh</strong>,<br />

tetapi dalam prosesnya justru menghentikan<br />

pasokan kayu lokal, kecuali untuk<br />

sejumlah kecil kayu yang secara legal<br />

diperoleh dari para pemilik ladang kecil.<br />

Dengan ketiadaan sumber daya kayu<br />

legal, maka mereka yang bersikap oportunis<br />

akan terus berupaya memenuhi<br />

permintaan tersebut dengan memanfaatkan<br />

kayu ilegal. Perkebunan tidak mungkin<br />

secara cepat mengatasi masalah ini,<br />

karena kayu dari sumber illegal akan<br />

tetap menjadi pilihan yang lebih menguntungkan<br />

dalam jangka pendek, walaupun<br />

demikian hal ini tetap saja penting.<br />

29 <strong>Penanganan</strong> <strong>Masalah</strong> <strong>Pembalakan</strong> <strong>Liar</strong> di <strong>Kawasan</strong> <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong>


Kesimpulan<br />

Salah satu hutan <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong> di Peut Sagoe, Geumpang-Mane, Kabupaten Pidie yang harus tetap dijaga dari ancaman deforestasi.<br />

Pemerintah Indonesia saat ini sedang mempersiapkan<br />

untuk menerapkan strategi REDD+<br />

yang memiliki potensi untuk menghasilkan<br />

miliaran dolar 11 . Selain itu perlu untuk menunjukkan<br />

manfaat nyata mata pencaharian yang<br />

diantisipasi untuk disampaikan kepada<br />

masyarakat pedesaan, pemerintah juga harus<br />

menunjukkan kemampuannya untuk menghindari<br />

tingkat pra-disepakatinya deforestasi dan<br />

degradasi hutan. Pada akhirnya, ini memerlukan<br />

pembentukan strategi lanjutan yang<br />

menangani baik penebangan kayu ilegal dan<br />

perambahan lahan, yang selama ini masih<br />

kurang.<br />

Laporan <strong>Ulu</strong> <strong>Masen</strong> menguraikan pendekatan<br />

multi-stakeholder yang, pada skala-kecil,<br />

menunjukkan pendekatan semacam itu untuk<br />

penebangan kayu ilegal. Meningkatkannya<br />

hingga mencakup provinsi-provinsi REDD+<br />

Pemerintah Indonesia adalah dapat dilakukan<br />

tetapi akan sangat tergantung pada terwujudnya<br />

kondisi yang memungkinkan (kebijakan<br />

politik yang kuat, dukungan mitra yang kuat<br />

dan pendanaan yang berkelanjutan), yang<br />

diidentifikasi sebagai hal yang penting secara<br />

fundamental dalam penelitian ini.<br />

11 Pemerintah Kerajaan Norwegia dan Pemerintah Republik Indonesia, 2010. Kerjasama untuk mengurangi emisi<br />

gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan. Letter of Intent, Oslo, Norwegia.<br />

Strategi, Aksi, dan Tujuan di Masa Yang Akan Datang<br />

30


Kontak Kami:<br />

Fauna & Flora International<br />

<strong>Aceh</strong> Programme<br />

Jl. Cumi-Cumi, No. 15<br />

Kuta Alam Lampriet<br />

Banda <strong>Aceh</strong> 23121<br />

Indonesia<br />

Website<br />

http://www.fauna-flora.org<br />

Menjaga Hutan, Melindungi Hidup<br />

Conserving Forest, Protecting Life

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!