GETAR-EDISI-APRIL-2014
GETAR-EDISI-APRIL-2014
GETAR-EDISI-APRIL-2014
- No tags were found...
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
GET<br />
Buletin Sastra ndonesia<br />
Redisi<br />
April<br />
<strong>2014</strong><br />
P<br />
a<br />
n<br />
d<br />
anga<br />
M<br />
ere<br />
k
GET R<br />
Buletin Sastra ndonesia<br />
salam<br />
redaksi<br />
Diterbitkan oleh:<br />
Keluarga Mahasiswa<br />
Sastra Indonesia<br />
Fakultas Ilmu Budaya<br />
Universitas Gadjah Mada<br />
Penanggung Jawab:<br />
V. Alangga Dwi Kusuma<br />
Pemimpin Umum:<br />
Donnie Trisfian<br />
Pemimpin Redaksi:<br />
Nafisah<br />
Penyunting:<br />
Achmad Muchtar<br />
Redaksi:<br />
Donnie Trisfian,<br />
Achmad Muchtar,<br />
Nafisah, Istiqomah,<br />
Dwi Nur Utami, Kiki Riskita,<br />
Kussmartia Dallinestri<br />
MENJADI AKRONIM<br />
GET R<br />
, buletin KMSI (Keluarga Mahasiswa<br />
Sastra Indonesia) FIB UGM, mengalami transformasi<br />
nama dari yang semula, Gema Tanah Air. Salah satu<br />
harapan dengan perubahan ini adalah agar dalam<br />
edisi-edisi selanjutnya, kami dapat menyuguhkan<br />
informasi-informasi yang membuat pembaca<br />
“bergetar”. Tidak hanya itu, dalam setiap edisi, kami<br />
juga menerima kiriman karya dari pembaca sehingga<br />
<strong>GETAR</strong> bisa menjadi fasilitator pembaca dalam berkarya.<br />
Dalam edisi ini, kami mengangkat tema<br />
“Kartini” dalam kehidupan masa kini. Tujuannya, agar<br />
semangat kekartinian tidak putus hingga masa-masa<br />
selanjutnya. <strong>GETAR</strong> akan terbit sekali dalam dua bulan.<br />
Produk getar bisa didapatkan di titik-titik strategis FIB<br />
UGM. Kami juga membuat edisi elektroniknya yang<br />
dapat diunduh di website kami di kmsi.fib.ugm.ac.id.<br />
Selamat membaca!<br />
Tim Redaksi<br />
Penata Letak:<br />
Donnie Trisfian<br />
Ilustrator:<br />
Latifah Eka Pusparini,<br />
M. Muhrizul Gholy,<br />
Sinduk F,<br />
R. Dheo Bayu<br />
Alamat Redaksi:<br />
HMJ Keluarga Mahasiswa<br />
Sastra Indonesia (KMSI) UGM.<br />
Jl. Sosio-Humaniora No. 1<br />
Sekretariat Bersama<br />
Fakultas Ilmu Budaya<br />
Universitas Gadjah Mada<br />
e<br />
w<br />
@kmsiugm<br />
KMSI UGM<br />
kmsiugm@gmail.com<br />
kmsi.fib.ugm.ac.id<br />
081280480215<br />
Kussmartia Dallinestri<br />
Dok. KMSI
Etalase<br />
FESTIVAL SASTRA <strong>2014</strong>, SEGERA!<br />
Oleh<br />
Istiqomah<br />
@istiqsr<br />
Dok. KMSI<br />
SETELAH sukses dengan Festival Sastra 2013, tahun ini, Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia<br />
Universitas Gadjah Mada (KMSI UGM) akan menyelenggarakan Festival Sastra <strong>2014</strong>. Festival yang<br />
diselenggarakan setiap tahunnya ini bertujuan untuk memperingati hari kematian salah satu sastrawan<br />
Indonesia, yaitu Chairil Anwar. Festival Sastra <strong>2014</strong> diketuai oleh Muarif Irsyad (Sastra Indonesia 2013)<br />
dengan mengangkat tema “Inspirasi Membangun Bangsa”.<br />
Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, Festival Sastra merupakan agenda tahunan KMSI yang<br />
berisi berbagai perlombaan yang berkaitan dengan bahasa dan sastra Indonesia. Pada tahun ini, ada<br />
empat macam perlombaan, yaitu Membaca Puisi, Menulis Cerpen untuk Kategori Umum dan Pelajar,<br />
Musikalisasi Puisi, dan Fotografi. Pendaftaran akan dibuka mulai awal April hingga akhir April <strong>2014</strong>.<br />
Setiap lomba memiliki tema yang telah ditentukan oleh panitia, seperti Lomba Musikalisasi Puisi<br />
yang bertemakan ‘Palsu’, lomba Fotografi yang bertemakan ‘Inspirasi bagi Anda’, lomba Membaca Puisi<br />
yang bertemakan ‘Mengeja Indonesia’, dan khusus Lomba Cerpen tidak diberikan tema oleh panitia.<br />
Lomba Membaca Puisi akan dilaksanakan pada Sabtu, 17 Mei <strong>2014</strong> di Auditorium Fakultas Ilmu Budaya<br />
UGM. Pada Minggu, 18 Mei <strong>2014</strong> akan dilaksanakan Lomba Musikalisasi Puisi, acara puncak, serta<br />
pengumuman lomba-lomba.<br />
Acara Festival Sastra tahun ini diharapkan dapat menginspirasi bangsa Indonesia melalui karyakarya<br />
yang telah diciptakan agar menjadi Indonesia yang lebih baik. Informasi lebih lanjut dapat dilihat di<br />
blog Festival Sastra <strong>2014</strong> (www.festivalsastra.blogspot.com) atau follow akun Twitter @festivalsastra.<br />
Edisi April <strong>2014</strong><br />
3
Etalase<br />
PANDANGAN MEREKA<br />
TERHADAP KARTINI PADA HARI INI<br />
Oleh<br />
Kiki Riskita<br />
@kikiriskita<br />
Dok. Wikipedia<br />
“Betapa jua, bagi orang sebangsa saya,<br />
nasib saya kemudian hari ini tiadalah yang<br />
melebihinya, karena bagus dan sangat diingini<br />
semua orang. Perkawinan itu sendiri sudah<br />
membawa kebaikan bagi usaha kami itu. Orang<br />
tua anak-anak gadis terbangkit hatinya, terdorong<br />
hati mereka akan memberi didikan kepada anakanak<br />
gadisnya. Perbuatan saya itu akan lebih<br />
banyak menarik hati orang sebangsa saya<br />
daripada seribu kata ajakan yang gembiragembira.<br />
Diketahui merekalah: keindahan dan<br />
kekayaan kalah oleh budi dan pikiran.” (1 Agustus<br />
1903, RA Kartini kepada Nyonya Abendanon)<br />
Lembar demi lembar Surat Kartini<br />
menjadi bukti betapa kisahnya abadi. Kartini<br />
m e m b u k a m a t a d u n i a b a h w a b e t a p a<br />
terdiskriminasinya kaum perempuan Indonesia<br />
pada masa itu. Tubuhnya yang terkurung tidak<br />
membuat harapannya urung.<br />
4 Getar: Buletin Sastra Indonesia<br />
Ia menuangkan segala rasa dan asanya melalui<br />
surat-surat yang ia kirim kepada sahabatsahabatnya.<br />
Kesetaraan hak pendidikan pada masa<br />
itu hanyalah mimpi yang mahal bagi kaum<br />
perempuan. Namun, berkat Kartini, perempuan<br />
Indonesia tidak hanya berani bermimpi, tetapi<br />
juga mampu bangun dan mencapai pendidikan<br />
tinggi. Tidak hanya itu, kini perempuan mampu<br />
dengan bebas mengekspresikan segala rasa dan<br />
asanya. Oleh karena itu, pantaslah seluruh kaum<br />
perempuan di Indonesia mengenang keberadaan<br />
Kartini.<br />
Hari Kartini yang jatuh pada 21 April<br />
telah diperingati oleh warga Indonesia sebagai<br />
hari besar semenjak 1964. Kini, sudah setengah<br />
abad rakyat Indonesia merayakan Hari Kelahiran<br />
Kartini—salah satu pahlawan nasional yang<br />
perayaan hari kelahirannya paling diingat oleh<br />
rakyat Indonesia. Hal ini sangat beralasan karena<br />
sosoknya yang merupakan pejuang hak-hak<br />
perempuan. Tidak salah jika kemudian<br />
perempuan-perempuan Indonesia, dari berbagai<br />
usia, beramai-ramai merayakan peringatan hari<br />
kelahirannya.<br />
Penyematan gelar Pahlawan Nasional<br />
kepada Raden Ajeng Kartini pada 2 Mei 1964<br />
tidak serta merta diberikan oleh Presiden<br />
Soekarno. Kartini bukan perempuan yang<br />
m e n g a n g k a t s e n j a t a d a l a m u p a y a<br />
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia,<br />
melainkan pejuang ide-ide dan usaha dalam<br />
memerdekakan kaum perempuan yang<br />
kemudian membuatnya mendapatkan gelar<br />
pejuang kemerdekaan. Perjuangan untuk<br />
membuat kaumnya memperoleh pendidikan dan<br />
kebebasan sangat berdampak besar pada status<br />
perempuan sekarang. Berkat Kartini, perempuan<br />
Indonesia berhak mendapatkan pendidikan dan<br />
kebebasan menyampaikan pendapat.<br />
Akan tetapi, sekarang ini, tepatkah<br />
perayaan peringatan Hari Kartini Perayaan Hari<br />
Kartini banyak dikenal sebagai hari mengenakan<br />
kebaya atau pakaian daerah, berdandan cantik,<br />
memakai sanggul, atau hari perlombaan<br />
menggulung setagen.
Etalase<br />
Hal tersebut kerap ditemui pada perayaan Hari<br />
Kartini di tingkat TK, SD, SMP, hingga SMA.<br />
Namun, peringatan Hari Kartini apakah berhenti<br />
sampai pada tingkatan mempercantik diri<br />
Ibu Dra. Sugihastuti, M.S., salah seorang<br />
dosen di Jurusan Sastra Indonesia FIB UGM, saat<br />
ditemui di kantornya menyampaikan bahwa<br />
peringatan Hari Kartini memiliki dua makna, yaitu<br />
makna denotatif dan konotatif. Makna denotatif<br />
hari Kartini jelas sebagai peringatan hari kelahiran<br />
Kartini. Sementara itu, makna konotatif yang<br />
terkandung di balik perayaan hari Kartini adalah<br />
guna memperingati, memaknai, memahami,<br />
mengaktualisasi, dan memproyeksikan pikiranpikiran<br />
Kartini pada masa kini. Pikiran-pikiran<br />
yang dimaksud adalah perjuangan kesetaraan<br />
pendidikan dan gender dalam hal perkawinan.<br />
Seharusnya, perayaan Hari Kartini dikembalikan<br />
pada konsep-konsep dasar ide-ide kemajuan<br />
pendidikan perempuan, kesetaraan gender , dan<br />
penentangan poligami. Namun, peringatan Hari<br />
Kartini, pada masa kini terasa bias. Tidak seluruh<br />
kalangan benar-benar turut merayakan<br />
peringatan hari kelahiran pejuang perempuan itu.<br />
Buktinya, di tingkat perguruan tinggi, hal-hal<br />
seperti ini kurang mendapatkan tempat. Tidak<br />
seperti di tingkat TK hingga SMA, seharusnya<br />
perayaan seperti ini disesuaikan dengan strata<br />
tingkatan sosial, ekonomi, budaya, dan politik<br />
kelompok-kelompok tertentu.<br />
Sosok Kartini sebagai pahlawan nasional<br />
layaklah dikenang dan diteruskan perjuangannya.<br />
Perjuangan yang Kartini lakukan tentulah guna<br />
memperbaiki kehidupan kaum perempuan yang<br />
sebelumnya terdiskriminasi. Namun, bukan berarti<br />
perjuangan dan niat baik Kartini ini tidak<br />
memunculkan dampak yang dirasa tidak baik bagi<br />
kaum perempuan. Ibu Wulan Tri Astuti, S.S, M.A.,<br />
salah seorang dosen jurusan Sastra Roman FIB<br />
UGM saat ditemui di kantornya memaparkan<br />
pendapaat tentang dampak lain yang mencuat di<br />
balik usaha Kartini memajukan kaumnya.<br />
Perjuangan Kartini dalam memajukan kaumnya<br />
sangatlah berhasil. Kini, perempuan semakin<br />
cerdas dan kritis. Namun, kecerdasan yang<br />
diemban kaum perempuan memunculkan beban<br />
ganda yang harus dijalani, yaitu mencari nafkah<br />
bagi keluarga. Beban menjadi tulang punggung<br />
keluarga pun tampak jelas pada perempuanperempuan<br />
yang bekerja sebagai TKW (Tenaga<br />
Kerja Wanita) di luar negeri. Akan tetapi, Ibu<br />
Sugihastuti berpendapat berbeda.<br />
Menurut beliau, tidak semua perempuan di masa<br />
ini merasa terbebani dengan pekerjaan yang<br />
mereka jalani. Kecerdasaan yang diemban<br />
perempuan memunculkan kebutuhan yang<br />
berbeda-beda setiap individunya. Ada yang<br />
menjadikan kecerdasaan tersebut sebagai jalan<br />
untuk mencari nafkah dan ada pula yang<br />
menjadikannya sebagai aktualisasi diri.<br />
Pengaruh Kartini, baik yang memberikan<br />
dampak baik maupun yang tidak, juga tampak<br />
pada kemunculan karya-karya sastra dari penulis<br />
perempuan. Perjuangan Kartini dalam hal<br />
pendidikan terhadap perempuan berhasil<br />
memunculkan penulis-penulis perempuan yang<br />
kaya berekspresi. Ibu Wulan Tri Astuti, S.S, M.A.,<br />
berpendapat bahwa perempuan sekarang lebih<br />
ekspresif dalam menyuarakan rasa dan posisi<br />
kaumnya melalui tulisan. Sementara, mereka yang<br />
tidak menulis berperan sebagai pembaca karyakarya<br />
sastra. Dewasa ini, kaum perempuan,<br />
khususnya yang bergelut pada bidang sastra,<br />
seolah sedang “merayakan kebebasan”. Perayaan<br />
kebebasan diri tersebut bahkan kemudian<br />
dianggap terlalu vulgar karena terlalu<br />
mengekspos bagian tubuh. Pendapat miring<br />
tersebut banyak bermunculan dari kaum laki-laki.<br />
Tentunya, aksi nyata atas peringatan Hari<br />
Kartini tidak sebatas wacana saja, tetapi juga<br />
harapan terhadap penulis-penulis perempuan<br />
untuk menghasilkan karya yang lebih baik agar<br />
dapat bermanfaat dan menggugah banyak orang.<br />
Selain itu, aktualisasi, potensi, dan prestasi harus<br />
terus ditingkatkan. Memahami seorang Kartini,<br />
dapat dilihat dengan membaca dan memahami<br />
makna surat-suratnya yang ditulis dengan sangat<br />
indah. Begitu juga dengan memahami karya<br />
sastra dari pengarang perempuan. Di balik<br />
berbagai kemampuan kaum perempuan yang<br />
tertuang dalam karya sastra, terdapat konsepkonsep<br />
dasar pemikiran-pemikiran Kartini di<br />
baliknya, demikian yang disampaikan oleh Ibu<br />
Sugihastuti.<br />
“Gadis yang pikirannya<br />
sudah dicerdaskan,<br />
pemandangannya sudah diperluas,<br />
tidak akan sanggup lagi hidup di<br />
dalam dunia nenek moyangnya.”<br />
- R. A. Kartini<br />
Edisi April <strong>2014</strong><br />
5
Cerpen<br />
Oleh<br />
Pangestu Jati<br />
@pangestujati<br />
MALAM ini kau tak bisa tidur. Matamu<br />
terpejam, tapi aku tahu tanganmu masih belum<br />
juga bisa diam. Kau seperti sedang tidur dengan<br />
berbagai jenis ular beracun yang melingkar di<br />
sekelilingmu. Mereka menggodamu agar tetap<br />
terjaga seperti menggoda Hawa agar memakan<br />
buah pengetahuan. Tapi kau terjaga bukan karena<br />
merasa tergoda atau teperdaya, kau masih terjaga<br />
karena merasa terancam bak para cenayang yang<br />
begitu bodohnya melihat tongkat Musa sebagai<br />
ular. Dengan desis yang terus menerus terdengar<br />
tanpa henti, dan juga air liur yang terus menetes<br />
menjijikkan, mereka menjalari matamu, kakimu,<br />
dan sekujur tubuhmu. Seakan-akan mereka ingin<br />
segera menancapkan taringnya yang tajam pada<br />
kulitmu yang pejal itu, lalu melaluinya, mereka<br />
menyusupkan berliter-liter racun ke dalamnya.<br />
Aku terus memperhatikanmu dengan<br />
rasa heran yang terus mengganggu. Kau pasti<br />
tahu dan berusaha untuk mengendalikan air<br />
mukamu agar tetap tenang. Tapi aku tidak lengah,<br />
aku tidak mau diperdaya olehmu. Aku bukan anak<br />
kecil yang bisa dikecoh dengan boneka Barbie<br />
oleh ayahnya yang diam-diam sedang masturbasi.<br />
Karena aku telah mengenalmu bukan hanya<br />
sekadar bau tubuhmu, tapi aku mengenalmu<br />
seperti mengenal lekuk tubuhku sendiri.<br />
6 Getar: Buletin Sastra Indonesia<br />
Kau mulai merasa tidak nyaman, dan<br />
berpaling membelakangiku. Kau pasti berharap<br />
aku akan berhenti memperhatikanmu dan tidur<br />
mendengkur dengan rasa menyerah. Tapi kau<br />
salah, kudekatkan tubuhku pada punggungmu,<br />
dan mulai kubelai lembut. Aku berusaha<br />
menenangkanmu yang masih terlihat menyimpan<br />
gelisah.<br />
“Kamu belum tidur, Mas Ada masalah”<br />
tanyaku memecah keheningan. Kubiarkan kau<br />
berpikir sejenak untuk memutuskan bercerita atau<br />
tidak, karena aku tidak akan memaksamu<br />
menceritakan apa yang mungkin tidak ingin<br />
kaubagi. Karena masing-masing manusia<br />
mempunyai sebuah ruang untuk dirinya sendiri<br />
dan tidak akan dibagi meski pada istrinya sendiri.<br />
Kemudian kau membalikkan tubuhmu ke arahku.<br />
La l u k a u m e m a n d a n g i k u s e j e n a k , d a n<br />
menundukkan kepala. Kau tak berani melihat<br />
m a t a k u s a a t i t u . A k u s e p e r t i s e d a n g<br />
memperhatikan anak kecil yang kepergok<br />
memecahkan vas bunga oleh ibunya.<br />
“Aku memikirkan Norah,” jawabmu<br />
dengan suara yang terbata. Suara yang<br />
mengandung sesuatu yang berat di sana. Suatu<br />
beban untuk menjaga dan mengungkap<br />
kenyataan yang hadir bersamaan.<br />
“Ada apa dengan Norah” tanyaku heran<br />
dengan nada bicara yang tetap tenang.<br />
Meyakinkanmu bahwasanya aku masih baik-baik<br />
saja. Kau tersenyum. Mungkin kau merasa lega.<br />
Lalu kau mulai bercerita.
Cerpen<br />
***<br />
Tiga malam berturut-turut, aku bermimpi<br />
Norah menjadi seekor kelinci besar yang memiliki<br />
tinggi seratus delapan puluh sentimeter dan berat<br />
seratus dua puluh kilogram. Dengan memasang<br />
wajah yang sok imut dan dengan motivasi yang<br />
tidak aku ketahui, ia terus mengejarku. Aku<br />
ketakutan. Ia seperti ingin menangkapku dan<br />
memamahku.<br />
Kenapa kau tiba-tiba memimpikan<br />
Norah<br />
Ini berawal dari seminggu yang lalu,<br />
ketika Norah meneleponku. Kau tahu, ia<br />
meneleponku pukul dua malam. Dan, kupikir<br />
seorang perempuan yang hidup sebatang kara,<br />
tak akan menelepon tetangganya selarut itu jika<br />
tidak dalam keadaan darurat. Norah bilang<br />
bahwa ia sedang mengumpulkan seprai-seprai<br />
yang ia punyai dan meminta beberapa seprai milik<br />
kita untuk diberikannya secara sukarela.<br />
Aku bertanya dalam hati, setan apa yang<br />
sedang bersemayam dalam kepalanya ketika jam<br />
dua pagi menelepon tetangganya untuk<br />
mengemis beberapa helai seprai. Aku sangat<br />
marah waktu itu. Tapi aku menahannya. Aku<br />
masih ingat bahwa ia adalah perempuan yang<br />
sangat kesepian dan mungkin memiliki tingkat<br />
depresi yang tinggi. Jika tidak, mungkin aku akan<br />
segera memakinya dan segera menutup<br />
teleponnya. Tapi itu semua tidak aku lakukan.<br />
“Aku akan menyambungnya, dan akan<br />
kugunakan untuk bunuh diri,” katanya ketika aku<br />
bertanya untuk apa seprai-seprai yang ia<br />
kumpulkan. Aku berusaha untuk mengatur napas<br />
dan bersuara tenang, meski di dalam dadaku<br />
bergemuruh hebat.<br />
“Aku tidak akan membujukmu atau<br />
berusaha menghentikan niatmu itu, karena aku<br />
atau Tuhan sekalipun tidak akan mampu<br />
menghentikannya. Tapi apa kau tidak mau belajar<br />
dari masa lalu” tanyaku padanya. Berusaha<br />
mengingatkan bahwa ia selalu gagal untuk<br />
melakukan usaha bunuh dirinya.<br />
Kau pasti masih ingat bahwa beberapa<br />
bulan sebelum malam ia menelponku, warga<br />
sekompleks dihebohkan dengan ulahnya yang<br />
memanjat menara air miliknya sendiri. Semua<br />
orang berusaha untuk menenangkannya dan<br />
berusaha membujuknya—bahkan kau sendiri ikut<br />
m e m b u j u k n y a — a g a r m a u t u r u n d a n<br />
mengurungkan niatnya itu. Tapi tak ada yang<br />
berhasil. Akhirnya ia melompat, tetapi tidak mati.<br />
Hanya menderita patah kaki kiri.<br />
Lalu, dua hari ia berada di rumah sakit,<br />
kau pasti mendengar bahwa ia mencoba bunuh<br />
diri lagi dengan selang infus. Tapi entah ia terlalu<br />
goblok atau memang Tuhan masih ingin<br />
membiarkan ia tetap hidup, selang infus yang<br />
akan ia gunakan putus karena tidak mampu<br />
menahan berat tubuhnya yang kurus kering itu.<br />
“Tidak. Aku masih ingin terus mencoba.<br />
Mungkin kali ini Tuhan mengizinkan,” katanya<br />
ringan. Aku menghela napas panjang.<br />
“Bisakah kau menahan nafsumu untuk<br />
mengakhiri hidupmu dua hari ke depan Aku ingin<br />
bertemu denganmu Sabtu ini di rumahku. Anggap<br />
saja ini ucapan selamat tinggal dari tetanggamu,”<br />
tanyaku dengan suara yang masih aku usahakan<br />
tenang. Aku sebenarnya merasa ini keputusan<br />
yang sangat buruk dengan mengundang ia<br />
datang ke rumah. Tapi rasa ingin tahuku atas<br />
alasan ia ingin bunuh diri telanjur menguasaiku. Ia<br />
diam lama. Dan aku juga diam. Aku ingin<br />
memberikan ia waktu untuk berpikir sejenak.<br />
Di luar perkiraan, ia mengabulkan<br />
permintaanku dengan mengajukan beberapa<br />
syarat. Pertama, saat bertemu, aku hanya<br />
diizinkan untuk diam. Kedua, aku diperbolehkan<br />
untuk berbicara ketika ia memintaku untuk<br />
berbicara. Dan akhirnya, di suatu sore, ketika kau<br />
dan anak-anak pergi ke rumah ibu untuk<br />
menanam bunga dan memetik duku, ia datang ke<br />
rumah. Karena kau tidak ada, aku hanya bisa<br />
menjamunya dengan segelas teh madu dan<br />
beberapa keping kue jahe. Aku sama sekali tidak<br />
berbicara selain hanya menyapanya ketika datang<br />
dan mempersilakan ia duduk saja. Setelah itu, aku<br />
biarkan ia menjadi ratu. Aku biarkan ia<br />
mengendalikan pertemuan ini. Pertemuan yang<br />
mungkin akan benar-benar menjadi pertemuan<br />
terakhirku dengannya.<br />
Kau jangan khawatir, ini bukan<br />
pertemuan dua anak manusia yang beradu mata<br />
lalu jatuh cinta. Atau pertemuan diam-diam<br />
dengan alasan selangkangan. Ini hanyalah<br />
pertemuan untuk mendengarkan.<br />
Kembali pada cerita Norah, perempuan<br />
itu bercerita padaku bahwa ia punya suami dan<br />
satu anak laki-laki. Mereka hidup di rumah<br />
mertuanya di perbatasan kota. Ia memutuskan<br />
tidak tinggal dengan mereka karena tidak tahan<br />
d e n g a n m u l u t m e r t u a n y a y a n g s e l a l u<br />
memuntahkan berbagai macam kata yang mirip<br />
dengan tulah.<br />
“Sungguh menjijikkan. Mulutnya penuh<br />
dengan setan,” katanya berapi-api. Kemudian, ia<br />
minta pada suaminya untuk pindah rumah.<br />
Edisi April <strong>2014</strong><br />
7
Cerpen<br />
Ia tidak tahan setiap hari mendapat hunjaman<br />
kata-kata kotor yang tidak seharusnya diucapkan<br />
oleh manusia. Tapi sayang, suaminya tidak<br />
sepakat karena ibunya hampir mati dan tidak ada<br />
yang tahan merawatnya selain suami Norah<br />
sendiri.<br />
Tapi, Norah tetap bersikeras untuk pergi<br />
dari rumah mertuanya itu. Ia pun pergi sendiri.<br />
“Aku tidak sedih ketika memutuskan pergi<br />
meninggalkan anak dan suamiku untuk tinggal di<br />
kota ini. Bukannya manusia berhak memilih untuk<br />
tidak menahan” katanya. Tapi aku tidak<br />
menjawabnya, aku hanya mengangguk. Aku<br />
masih diam dan menghargai peraturan yang ia<br />
buat.<br />
Norah tidak pernah menyesal berpisah<br />
dari anak dan suaminya. Ia malah merasa ada<br />
sebuah beban yang dilepas. Tapi ia seperti selalu<br />
dikejar. Pada sebuah malam, ia terbangun. Ia<br />
merasa ada tangan suaminya yang membelai<br />
rambutnya dan mencium keningnya. Ia juga<br />
seperti mendengar suara anak laki-laki satusatunya<br />
terus memanggil namanya. Dan ia<br />
merasa tersiksa karena kejadian itu harus terus<br />
terulang setiap malam. Ia pun mulai sadar bahwa<br />
ia kesepian.<br />
Ia ingin sekali berbagi kepada teman<br />
kerjanya, tetangganya, atau pun siapa saja. Tapi,<br />
ia tidak bisa. Ia merasa tidak menarik di mata<br />
m e r e k a . “ M u n g k i n m e r e k a — t e r m a s u k<br />
kamu—memandangku sebagai perempuan kurus<br />
kering yang hampir tak mengerti bagaimana.<br />
1<br />
berpakaian dan selalu merasa dikelilingi bencana<br />
Tapi, bukankah aku manusia yang butuh untuk<br />
didengar pula” tanyanya dengan isak yang<br />
berusaha ia endapkan dan air mata yang mulai<br />
menganak sungai secara perlahan.<br />
Saat itu, serasa ada tangan raksasa<br />
menamparku dengan kerasnya. Aku limbung dan<br />
jatuh. Lalu, malu menenggelamkanku di depan<br />
perempuan itu. Aku ingin menepi, tapi aku tidak<br />
bisa karena mengumpulkan tenaga untuk<br />
bernapas saja aku kesulitan.<br />
Aroma teh yang masih menyeruak di<br />
hidung kami, membuat suasana semakin tampak<br />
ganjil. Aku salah tingkah di hadapannya. Ia mulai<br />
membaca gerak gerikku yang tidak lagi nyaman.<br />
Ia tersenyum dan memaafkan sikapku selama ini<br />
kepadanya. Ia lalu berpamitan dan berterima<br />
kasih atas telinga dan jamuan yang aku berikan<br />
tanpa memberikan aku kesempatan untuk<br />
bertanya sedikit pun. Tidak lupa ia meminta<br />
b e b e r a p a l e m b a r s e p r a i k i t a d a n a k u<br />
memberikannya dua.<br />
Kulepas perempuan aneh itu dengan<br />
banyak sekali pertanyaan menggantung di kepala.<br />
Tentang suami, tentang anak laki-laki, dan tentang<br />
bunuh diri. Tapi aku sadar, aku hanya<br />
diperkenankan untuk mendengarkan.<br />
Beberapa malam ini aku terus diganggu<br />
pertanyaan yang tidak bisa kuajukan untuk Norah.<br />
Aku juga merasa turut andil atas depresi yang ia<br />
derita. Aku merasa tidak ada gunanya menjadi<br />
manusia karena kurang peka.<br />
Siapa pun ingin didengarkan, karena<br />
dengan itu ia dikuatkan.<br />
1 “….kurus kering, aseksual, hampir tak mengerti bagaimana<br />
berpakaian, dan selalu merasa dikelilingi bencana….”<br />
Pamuntjak, Laksmi, (2006), Perang, Langit, dan Dua Perempuan,<br />
Jakarta: Freedom Institute.<br />
Yogyakarta, 3/7/<strong>2014</strong> 7:03:27 PM<br />
Pangestu Jati<br />
@pangestujati<br />
Ilustrator:<br />
M. Muhrizul Gholy<br />
Mahasiswa Sastra Indonesia UGM<br />
2012. Penikmat malam dan hujan.<br />
Tinggal di Yogyakarta.<br />
8 Getar: Buletin Sastra Indonesia
Puisi<br />
SEPARUH DUNIA<br />
Afid Baroroh<br />
Adakah dunia, dengan ditiadakannya manusia<br />
dapat menghidupkan dunia pada setiap langkahnya<br />
Paruh, telah menghunjam semesta alam.<br />
Namun, hilang bersama kabut kelam dalam langitan<br />
dan separuh hidupku adalah separuh dunia<br />
yang membakar separuh rembulan.<br />
Bersinar bersama kehidupan<br />
yang menghidupkan semua kepalan.<br />
Separuh gelap—benderang Setan dan Tuhan.<br />
SAJAK FAJAR KEPADA IBU<br />
Afid Baroroh<br />
SEGI BERSUDUT, WAYANG<br />
Afid Baroroh<br />
Berwujud. Legam sedang matamu tersayat,<br />
perlahan dan kembali terlihat<br />
hingga permukaan yang hadir, tak kelabu dan redup menghuni.<br />
Tenanglah hingga terbuka indahnya<br />
dari wujud, legam sedang matamu tersayat,<br />
hadir dan terlihat suatu saka dengan seksama kami rangkul merona<br />
oleh siapa berada di antara; warna yang mengalun nada jemari<br />
—lensa. Sentuhlah dengan jemari kasihmu, dunia<br />
kawan. Kami,<br />
telah isi seluruhnya dengan wujud getir ketulusan udara<br />
inilah satu yang tak sempurna<br />
dan bernapaslah di antaranya; gaya dan seni bermakna.<br />
Lihatlah lebih hidup kembali dengan cinta<br />
dan inilah yang terindah dari warna pelangi dan seluruh angkasa ini<br />
—sehingga, terbukalah segi bersudut dari segala citra Empunya Jagat Bayang Semesta<br />
Biarlah tubuhmu menyelimuti malam dengan ketakutan muda harum tubuhmu.<br />
Tubuhku tubuhmu tubuhnya tumbuh ku-kauselimuti dengan surya<br />
sampai pagi tiba. Di sisiku,<br />
di antara daku merayap damai seperti mentari.<br />
Di ujung sunyi kami akan siap membangunkan manusia itu di pagi hari.<br />
Merdekalah di antara kata<br />
biarlah fajar menjadi doa. Biarlah kepada Ibu kau hidup daku merdeka kepada...<br />
Afid Baroroh<br />
@AfidBaroroh<br />
Memiliki prinsip dalam perjalanan<br />
hidup. Menciptakan suatu yang tidak<br />
mungkin dengan kesederhanaan hati.<br />
Murah, berbagi walaupun kecil.<br />
Ilustrator:<br />
Reinardus Dheo B.S.<br />
@reinardusdheo<br />
Edisi April <strong>2014</strong><br />
9
Kritik Sastra<br />
ANTARA PERLAWANAN DAN KUATNYA DOMINASI:<br />
KAJIAN FEMINISME CERPEN<br />
“TUKANG CUCI” KARYA MARDI LUHUNG<br />
Oleh<br />
Kukuh Luthfi Syamsiar<br />
@kukuhluthfi<br />
ISTILAH feminisme merujuk pada suatu paham atau<br />
gerakan perempuan yang menuntut persamaan hak antara kaum<br />
perempuan dengan laki-laki. Di sini digunakan istilah perempuan<br />
untuk menghindari makna kata wanita yang berasal dari kata<br />
Jawa wani ditoto ‘berani ditata’, yang dapat dimaknai dengan<br />
ketundukan seorang wanita. Feminisme memberikan pandangan<br />
tentang pembelaan atas hak-hak perempuan dalam masyarakat<br />
yang selama ini dianggap lemah dan tidak memiliki kekuatan<br />
yang sama dengan laki-laki.<br />
Dalam kesusastraan Indonesia, geliat isu feminisme<br />
telah berkembang sejak kesusastraan Indonesia modern lahir,<br />
yakni ketika novel Sitti Nurbaya diterbitkan. Feminisme dipandang<br />
sebagai bentuk perlawanan terhadap kekakuan budaya patriarkat<br />
yang menghegemoni kehidupan sosial. Dalam Sitti Nurbaya,<br />
terekam jelas bahwa perempuan dieksploitasi sebagai makhluk<br />
yang hanya patut dinikmati. Perempuan berwajah cantik,<br />
berbadan menarik, tetapi bersifat lemah, dan tunduk kepada lakilaki.<br />
Dalam novel ini, digambarkan perlawanan seorang<br />
perempuan terhadap adat-adat yang membelenggu.<br />
Di Indonesia, feminisme semakin memuncak sejak<br />
tahun 2000-an ketika isu sastra wangi merebak. Tokoh-tokohnya,<br />
sebut saja Ayu Utami, Dewi Lestari, Rieke Diah Pitaloka, dan<br />
segenap penulis perempuan lainnya. Mereka merupakan<br />
sastrawan yang berani mengungkap ketabuan seksualitas dalam<br />
bentuk karya sastra. Karya mereka tidak lagi menutup-nutupi<br />
seksualitas yang selama ini cenderung ditutupi. Bahasa yang<br />
digunakan sangat vulgar. Namun, yang menjadi pertanyaan<br />
mendasar, mengapa harus seksualitas yang menjadi bahan untuk<br />
memperjuangkan eksistensi Atau mungkin mereka<br />
memanfaatkan ketertindasan itu dengan menggali aspek sensitif<br />
yang jarang diungkapkan agar karya mereka laku di pasaran<br />
Atau seksualitas hanyalah salah satu aspek saja di luar esensi<br />
cerita Akankah ketika perempuan menuntut hak yang sama<br />
dengan laki-laki kemudian ia berstatus sama dengannya<br />
Bagaimana, misalnya, ketika seorang istri (sebut saja perempuan)<br />
mampu bekerja dengan tangannya sendiri lalu membiarkan<br />
suaminya bersantai di rumah<br />
Tampaknya, beberapa pertanyaan di atas mengilhami ditulisnya sebuah cerpen oleh Mardi<br />
Luhung yang berjudul “Tukang Cuci”. Dalam cerpen ini, pengarang justru memosisikan tokoh laki-laki<br />
(suami), seolah-olah sebagai budak. Perempuan yang biasanya diposisikan sebagai seorang yang<br />
mengerjakan semua pekerjaan rumah, justru menjadi orang yang berkuasa di rumah.<br />
10 Getar: Buletin Sastra Indonesia
Kritik Sastra<br />
Cerpen “Tukang Cuci” ini merupakan salah satu cerpen dalam kumpulan cerpen Pada Suatu Hari, Ada Ibu<br />
dan Radian: Cerpen Kompas Pilihan 2009. Pengarang mengisahkan sebuah keluarga yang memiliki<br />
keanehan-keanehan dalam kehidupannya. Seorang suami memiliki istri yang berbadan besar dan memiliki<br />
kebiasaan buruk. Setiap hari, sang istri hanya tidur di atas kasur. Setiap kali hendak berhubungan intim,<br />
mereka bertengkar, sedangkan sang suami harus mencuci semua jenis pakaian istrinya itu, mulai baju, rok,<br />
hingga celana dalam setelah istrinya selesai memporak-porandakan pakaian.<br />
Dan paginya, seluruh pakaian istriku berserakan. Kotor. Lecu dan<br />
mengenaskan. Sedangkan istriku, seperti biasa, cuma tidur di atasnya<br />
(Pambudy, 2010:99).<br />
Banyak simbol-simbol yang dituangkan dalam cerpen<br />
ini, misalnya, tokoh istri menyukai kembang merah. Oleh karena<br />
kesukaannya pada kembang merah, maka gambar kembang itu<br />
tidak hanya tertempel pada baju-bajunya, bahkan di celana<br />
dalam suaminya juga ada. Selain itu, sang suami harus mencuci<br />
kutang yang berukuran besar dan berwarna-warni. Jika<br />
diperhatikan dengan saksama, kembang merah, celana dalam,<br />
rok, kutang, dan lainnya merupakan simbol seksualitas. Simbol<br />
seksualitas itu kemudian dihubungkan dengan permasalahan<br />
sosial yang tengah berkembang saat itu. Misalnya, kutang<br />
dikorelasikan dengan kasus perzinaan seorang pejabat dengan<br />
seorang artis di sebuah pantai. Tokoh suami justru terlihat<br />
berkuasa dengan posisinya yang seolah lemah itu. Ia dengan<br />
bebas mencibir istrinya dengan banyak perkataan yang kasar.<br />
“Sudahlah. Ayo, kita berangkat!”. Selaku pada istriku. Selaan itu yang aku<br />
pikir sangat penting daripada dia kembali ke orangtuanya yang ada di<br />
penampungan. Dan istriku tertawa. Memang, meski kini telah menjelma<br />
ikan paus yang gemuk, tetapi tertawanya tetap manis. Dan tertawa itulah<br />
yang dari dulu sampai kini membuat aku jatuh hati kepadanya. Tertawa<br />
yang lebih indah daripada matahari sore (Pambudy, 2010:102).<br />
Di satu sisi suami ini menghina istrinya, tetapi di lain sisi<br />
ia tetap mengagumi kecantikannya lewat senyuman istrinya. Hal<br />
ini memang kontradiktif, tetapi meskipun wanita kadang<br />
menyebalkan, lelaki tetap mengaguminya dari sisi kelebihannya<br />
yang lain, seperti menjadi sasaran eksploitasi seksual. Pada<br />
kenyataannya, seorang laki-laki tetap saja berlaku menguasai.<br />
Seperti disinggung di atas, terjadinya kasus hubungan seksual<br />
yang dilakukan oleh seorang pejabat dan artis adalah bentuk<br />
konkret adanya dominasi yang sulit diubah atau setidaknya sulit<br />
dilawan.<br />
Dapat dikatakan, cerpen ini merupakan respons<br />
terhadap feminisme. Pengarang, secara tersembunyi,<br />
Dok. Kompas (Agus Triyanto) memberikan pendapatnya bahwa bagaimana pun status<br />
perempuan atau laki-laki, tidak ada yang disudutkan maupun yang menyudutkan. Semua ada karena<br />
saling melengkapi pada berbagai kekurangannya masing-masing. Dalam konteks kultur Indonesia, sistem<br />
patriarkat cukup sulit untuk diubah karena sudah mengakar kuat di setiap sendi kehidupan. Kendati<br />
demikian, feminisme merupakan salah satu gerakan yang mampu menginspirasi para penulis perempuan<br />
yang hingga saat ini semakin terlihat eksistensinya di masyarakat, lebih-lebih justru mendominasi dunia<br />
kepenulisan.<br />
Daftar Pustaka:<br />
Pambudy, Ninuk Mardiana (peny.). 2010. Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Rahadian:<br />
Cerpen Kompas Pilihan 2009. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.<br />
Edisi April <strong>2014</strong><br />
11
Siluet<br />
Dok. Sugihastuti<br />
MENULIS dan meneliti tidak pernah<br />
terpisah dari kehidupannya. Semenjak<br />
menamatkan pendidikan pada Jurusan Sastra<br />
Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas<br />
Gadjah Mada, tulisan-tulisannya tentang bahasa,<br />
sastra, wanita, pendidikan, dan cerita anak-anak<br />
sudah dimuat pelbagai media massa.<br />
SUGIHASTUTI,<br />
PEMERHATI PEREMPUAN DAN ANAK<br />
Oleh Nafisah<br />
@Uni_nafisah<br />
Ketika masih menjadi mahasiswi, dosen<br />
ini aktif di Kelompok Karawitan UGM. Ia mengaku<br />
hanya memiliki indeks prestasi yang biasa-biasa<br />
saja. Menurutnya, kemampuan lain selain<br />
akademik juga tidak kalah penting. “Saya<br />
mendapat pendamping hidup di tempat menari,<br />
bukan sesama dosen,” seloroh wanita yang<br />
sekarang menjadi Editor Bahasa dan Konsultan<br />
Penulis Buku yang profesional ini.<br />
Perempuan kelahiran Solo, 2 Januari<br />
1959 ini merupakan salah satu dosen di Jurusan<br />
Sastra Indonesia UGM. Mata kuliah yang<br />
diajarnya berkaitan dengan anak, perempuan,<br />
dan bahasa. Sesuai dengan kegemarannya<br />
menulis, ia sudah menerbitkan sedikitnya 30 buku,<br />
antara lain: Serba-serbi Cerita Anak; Wanita di<br />
Mata Wanita: Perspektif Sajak-Sajak Toety Heraty;<br />
Bahasa Laporan Penelitian; Kritik Sastra Feminis:<br />
Teori, Metode, dan Aplikasinya; Sekolah Alternatif<br />
untuk Anak; Bahasa Indonesia: Dari Awam,<br />
Mahasiswa, sampai Wartawan; Rona Bahasa dan<br />
Sastra Indonesia; Editor Bahasa; Gender dan<br />
Inferiotas Perempuan; Teori Fiksi Robert Stanton;<br />
Glossarium Seks dan Gender; Beautiful E-mail from<br />
Seoul; Perempuan Berhaji; Pelangi Kalimat<br />
Mutiara; Bianglala Perempuan dalam Sastra;<br />
Belenggu Ideologi Seksual; Membongkar<br />
Androsentrisme dalam Prosa Lirik; Struktur Novel;<br />
Peribahasa Indonesia; Metode Pembelajaran<br />
Bahasa Indonesia di SD; Posparagam Budaya dan<br />
Sastra Korea; Politik dan Kekuasaan dalam Sastra<br />
Indonesia; Teori dan Apresiasi Sastra; dan<br />
Spektrum Bahasa Indonesia.<br />
BELAJAR DARI PENGALAMAN<br />
Keahlian Sugihastuti dalam menulis dan<br />
menjadi pembicara di forum-forum tentu tidak<br />
didapat secara instan. Ia belajar berdasarkan<br />
pengalaman dari tahun ke tahun. “Membaca<br />
tulisan-tulisan saya pada zaman dahulu membuat<br />
tertawa, bahasanya hancur,” akunya. Selain<br />
belajar dari praktik menulisnya sendiri, ia juga<br />
menimba ilmu lewat mengajar. Sugihastuti pernah<br />
menjadi dosen tamu di Hankuk University of<br />
Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan pada tahun<br />
2002—2004.<br />
12 Getar: Buletin Sastra Indonesia<br />
PENELITI PEREMPUAN DAN ANAK<br />
Dalam tulisan-tulisannya, Sugihastuti<br />
fokus membahas perempuan dan anak-anak.<br />
Menurutnya, anak adalah insan muda praremaja<br />
y a n g d a l a m p e r k e m b a n g a n fi s i k d a n<br />
kepribadiannya diperlukan aneka hal agar kelak<br />
menjadi insan dewasa yang tangguh dan<br />
bertanggung jawab demi diri dan masyarakatnya<br />
(Sugihastuti, 1996:1). Salah satu hal pemasok<br />
kebutuhan sosialisasi anak adalah buku bacaan<br />
anak-anak. Dari buku bacaan anak-anak, dapat<br />
diperoleh pengalaman batin secara terus<br />
menerus, yang dapat dipakai sebagai salah satu<br />
sarana membahagiakan anak (Sugihastuti,<br />
1996:4).<br />
Selanjutnya, mengenai perempuan,<br />
Sugihastuti (2007:84) menjelaskan bahwa<br />
perempuan membutuhkan aktualisasi diri dalam<br />
masyarakat tempat ia tinggal, bukan sebagai<br />
individu yang menjalankan fungsinya dalam<br />
lingkup rumah tangga saja. Akan tetapi, lebih dari<br />
itu perempuan memerlukan sarana dalam<br />
pergaulan sosial dengan masyarakat tempat ia<br />
tinggal dengan tidak memperhitungkan berbagai<br />
perbedaan seperti agama, ras, etnis, dan<br />
sebagainya.<br />
M e s k i s u d a h b e r t a h u n - t a h u n<br />
memfokuskan diri dalam melakukan penelitian<br />
tentang perempuan dan anak, Sugihastuti masih<br />
haus ilmu pengetahuan. Sekarang ia sedang<br />
menyelesaikan beberapa bukunya untuk<br />
diterbitkan pada tahun ini.<br />
Daftar Pustaka:<br />
Sugihastuti. 1996. Serba-serbi Cerita Anak. Yogyakarta:<br />
Pustaka Pelajar.<br />
-------------. 2007. Gender dan Inferioritas Perempuan. Yogyakarta:<br />
Pustaka Pelajar.
Resensi<br />
Perempuan yang Menulis Perempuan<br />
Oleh<br />
Ranti Fajria<br />
@ranfajri<br />
Judul buku:<br />
SAIA<br />
Pengarang:<br />
Djenar Maesa Ayu<br />
Cetakan:<br />
I, Januari <strong>2014</strong><br />
Tebal:<br />
144 halaman<br />
Penerbit:<br />
Gramedia Pustaka Utama<br />
ISBN:<br />
978-602-03-0170-9<br />
Dok. Goodreads<br />
SAIA merupakan buku ketujuh Djenar<br />
Maesa Ayu yang diterbitkan oleh PT Gramedia<br />
Pustaka Utama. Dalam kumpulan cerpen ini, cerita<br />
yang ditulis berfokus pada perempuan sebagai<br />
inti cerita, seperti bagaimana para perempuan<br />
merasakan dan mengatasi masalah yang mereka<br />
alami, mulai dari masalah sepele seperti menjadi<br />
korban iklan obat herbal dalam cerpen “Qurban<br />
Iklan” sampai masalah KDRT dalam cerpen<br />
“Sementara”. Dalam kumpulan cerpen ini,<br />
digambarkan pula bagaimana para perempuan<br />
menjadi kuat untuk membela diri sendiri<br />
menghadapi berbagai permasalahan. Cerpen<br />
“SAIA”, yang diangkat menjadi judul buku,<br />
m e n c e r i t a k a n s e o r a n g s i s w i S D y a n g<br />
mendapatkan penyiksaan dari orang tuanya.<br />
Gadis kecil yang tak berdaya tersebut bisa<br />
bertahan dengan menghadirkan kepribadian lain<br />
dalam dirinya tanpa dia sadari.<br />
Cerita-cerita Djenar Maesa Ayu dalam<br />
kumpulan cerpen ini terkesan suram dan kejam,<br />
tetapi sebenarnya merupakan realitas di sekitar<br />
kita yang jarang diperhatikan dan dipikirkan.<br />
Cerita-cerita dalam kumpilan cerpen ini kurang<br />
menghibur untuk dibaca ketika bersantai.<br />
Keseluruhan cerita adalah tentang perempuan<br />
yang selalu bersalah mendapat perlakuan tidak<br />
baik dari lingkungan sekitar. Di sisi lain, ceritacerita<br />
ini menyadarkan kita untuk lebih<br />
memperhatikan lagi masalah perempuan di<br />
sekitar kita. Di zaman ini, masih banyak<br />
perempuan yang belum mendapatkan hak yang<br />
seharusnya di dalam masyarakat. Ternyata,<br />
emansipasi perempuan masih belum dipahami<br />
dan diterapkan sepenuhnya. “Habis Gelap<br />
Terbitlah Terang” yang dicita-citakan Kartini belum<br />
sepenuhnya terwujud karena Djenar Maesa Ayu<br />
masih bisa menemukan banyak kegelapan yang<br />
diceritakan lewat tulisannya.<br />
Edisi April <strong>2014</strong><br />
13
Komik<br />
Selamat Hari Kartini<br />
Oleh<br />
Sinduk Farhanatul F<br />
@sindu_ff<br />
14 Getar: Buletin Sastra Indonesia
STRUKTUR ORGANISASI<br />
KMSI <strong>2014</strong><br />
TELAH hadir struktur kepengurusan KMSI yang baru tahun <strong>2014</strong>. Pada 27<br />
Desember 2013, Viktorikus Alangga Dwi Kusuma telah resmi menggantikan Imam<br />
Fatkhurrozi sebagai Ketua. Adapun pengurus baru yang lain, seperti Hendy Pradiska<br />
sebagai Sekretaris Jenderal, Faradila Nurbaiti sebagai Sekretaris, dan Suci N.<br />
Wulandari sebagai Bendahara.<br />
KMSI, sebagai salah satu himpunan mahasiswa di Fakultas Ilmu Budaya<br />
UGM terdiri atas empat departemen. Berikut keempat departemen tersebut beserta<br />
para stafnya.<br />
Departemen RPPM Departemen PSDM Departemen<br />
Riset Penelitian & Pengembangan KOMINFO<br />
Pengembangan<br />
Sumber Daya<br />
Komunikasi &<br />
Mahasiswa<br />
Manusia<br />
Informasi<br />
Shanty Dewi Mashita Latifah Eka Pusparini Donnie Trisfian<br />
Galih Pangestu Jati<br />
Atika Silma Nabila<br />
Yenny Kurniawati<br />
oleh:<br />
Dwi Nur Utami<br />
Foto: Dok. KMSI<br />
Wahyu Puji Ardianto<br />
Hikmah Aprilia<br />
Tito July Haryanto<br />
Nur Ainun Anintya<br />
Aulina Tantia<br />
Kiki Riskita Sari<br />
Istiqomah<br />
Nafisah<br />
Kussmartia D.<br />
Achmad Muchtar<br />
Dwi Nur Utami<br />
Departemen SENOL<br />
Seni &<br />
Olahraga<br />
Afid Baroroh<br />
Alfiyan Huda<br />
Deswara Syanjaya<br />
Yuniardi Fadilah<br />
M. Muhrizul Gholy<br />
Kukuh Lutfi Syamsiar<br />
Andy Caesar Shidqi<br />
Dheo Bayu Sadewa<br />
Hafidh Kurnia SP<br />
Sinduk Farhanatul F<br />
Christofer Joseph
Dokumentasi Festival Sastra 2013<br />
dok. KMSI