23.01.2015 Views

GETAR-EDISI-APRIL-2014

GETAR-EDISI-APRIL-2014

GETAR-EDISI-APRIL-2014

SHOW MORE
SHOW LESS
  • No tags were found...

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Kritik Sastra<br />

ANTARA PERLAWANAN DAN KUATNYA DOMINASI:<br />

KAJIAN FEMINISME CERPEN<br />

“TUKANG CUCI” KARYA MARDI LUHUNG<br />

Oleh<br />

Kukuh Luthfi Syamsiar<br />

@kukuhluthfi<br />

ISTILAH feminisme merujuk pada suatu paham atau<br />

gerakan perempuan yang menuntut persamaan hak antara kaum<br />

perempuan dengan laki-laki. Di sini digunakan istilah perempuan<br />

untuk menghindari makna kata wanita yang berasal dari kata<br />

Jawa wani ditoto ‘berani ditata’, yang dapat dimaknai dengan<br />

ketundukan seorang wanita. Feminisme memberikan pandangan<br />

tentang pembelaan atas hak-hak perempuan dalam masyarakat<br />

yang selama ini dianggap lemah dan tidak memiliki kekuatan<br />

yang sama dengan laki-laki.<br />

Dalam kesusastraan Indonesia, geliat isu feminisme<br />

telah berkembang sejak kesusastraan Indonesia modern lahir,<br />

yakni ketika novel Sitti Nurbaya diterbitkan. Feminisme dipandang<br />

sebagai bentuk perlawanan terhadap kekakuan budaya patriarkat<br />

yang menghegemoni kehidupan sosial. Dalam Sitti Nurbaya,<br />

terekam jelas bahwa perempuan dieksploitasi sebagai makhluk<br />

yang hanya patut dinikmati. Perempuan berwajah cantik,<br />

berbadan menarik, tetapi bersifat lemah, dan tunduk kepada lakilaki.<br />

Dalam novel ini, digambarkan perlawanan seorang<br />

perempuan terhadap adat-adat yang membelenggu.<br />

Di Indonesia, feminisme semakin memuncak sejak<br />

tahun 2000-an ketika isu sastra wangi merebak. Tokoh-tokohnya,<br />

sebut saja Ayu Utami, Dewi Lestari, Rieke Diah Pitaloka, dan<br />

segenap penulis perempuan lainnya. Mereka merupakan<br />

sastrawan yang berani mengungkap ketabuan seksualitas dalam<br />

bentuk karya sastra. Karya mereka tidak lagi menutup-nutupi<br />

seksualitas yang selama ini cenderung ditutupi. Bahasa yang<br />

digunakan sangat vulgar. Namun, yang menjadi pertanyaan<br />

mendasar, mengapa harus seksualitas yang menjadi bahan untuk<br />

memperjuangkan eksistensi Atau mungkin mereka<br />

memanfaatkan ketertindasan itu dengan menggali aspek sensitif<br />

yang jarang diungkapkan agar karya mereka laku di pasaran<br />

Atau seksualitas hanyalah salah satu aspek saja di luar esensi<br />

cerita Akankah ketika perempuan menuntut hak yang sama<br />

dengan laki-laki kemudian ia berstatus sama dengannya<br />

Bagaimana, misalnya, ketika seorang istri (sebut saja perempuan)<br />

mampu bekerja dengan tangannya sendiri lalu membiarkan<br />

suaminya bersantai di rumah<br />

Tampaknya, beberapa pertanyaan di atas mengilhami ditulisnya sebuah cerpen oleh Mardi<br />

Luhung yang berjudul “Tukang Cuci”. Dalam cerpen ini, pengarang justru memosisikan tokoh laki-laki<br />

(suami), seolah-olah sebagai budak. Perempuan yang biasanya diposisikan sebagai seorang yang<br />

mengerjakan semua pekerjaan rumah, justru menjadi orang yang berkuasa di rumah.<br />

10 Getar: Buletin Sastra Indonesia

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!