GETAR-EDISI-APRIL-2014
GETAR-EDISI-APRIL-2014
GETAR-EDISI-APRIL-2014
- No tags were found...
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
Kritik Sastra<br />
Cerpen “Tukang Cuci” ini merupakan salah satu cerpen dalam kumpulan cerpen Pada Suatu Hari, Ada Ibu<br />
dan Radian: Cerpen Kompas Pilihan 2009. Pengarang mengisahkan sebuah keluarga yang memiliki<br />
keanehan-keanehan dalam kehidupannya. Seorang suami memiliki istri yang berbadan besar dan memiliki<br />
kebiasaan buruk. Setiap hari, sang istri hanya tidur di atas kasur. Setiap kali hendak berhubungan intim,<br />
mereka bertengkar, sedangkan sang suami harus mencuci semua jenis pakaian istrinya itu, mulai baju, rok,<br />
hingga celana dalam setelah istrinya selesai memporak-porandakan pakaian.<br />
Dan paginya, seluruh pakaian istriku berserakan. Kotor. Lecu dan<br />
mengenaskan. Sedangkan istriku, seperti biasa, cuma tidur di atasnya<br />
(Pambudy, 2010:99).<br />
Banyak simbol-simbol yang dituangkan dalam cerpen<br />
ini, misalnya, tokoh istri menyukai kembang merah. Oleh karena<br />
kesukaannya pada kembang merah, maka gambar kembang itu<br />
tidak hanya tertempel pada baju-bajunya, bahkan di celana<br />
dalam suaminya juga ada. Selain itu, sang suami harus mencuci<br />
kutang yang berukuran besar dan berwarna-warni. Jika<br />
diperhatikan dengan saksama, kembang merah, celana dalam,<br />
rok, kutang, dan lainnya merupakan simbol seksualitas. Simbol<br />
seksualitas itu kemudian dihubungkan dengan permasalahan<br />
sosial yang tengah berkembang saat itu. Misalnya, kutang<br />
dikorelasikan dengan kasus perzinaan seorang pejabat dengan<br />
seorang artis di sebuah pantai. Tokoh suami justru terlihat<br />
berkuasa dengan posisinya yang seolah lemah itu. Ia dengan<br />
bebas mencibir istrinya dengan banyak perkataan yang kasar.<br />
“Sudahlah. Ayo, kita berangkat!”. Selaku pada istriku. Selaan itu yang aku<br />
pikir sangat penting daripada dia kembali ke orangtuanya yang ada di<br />
penampungan. Dan istriku tertawa. Memang, meski kini telah menjelma<br />
ikan paus yang gemuk, tetapi tertawanya tetap manis. Dan tertawa itulah<br />
yang dari dulu sampai kini membuat aku jatuh hati kepadanya. Tertawa<br />
yang lebih indah daripada matahari sore (Pambudy, 2010:102).<br />
Di satu sisi suami ini menghina istrinya, tetapi di lain sisi<br />
ia tetap mengagumi kecantikannya lewat senyuman istrinya. Hal<br />
ini memang kontradiktif, tetapi meskipun wanita kadang<br />
menyebalkan, lelaki tetap mengaguminya dari sisi kelebihannya<br />
yang lain, seperti menjadi sasaran eksploitasi seksual. Pada<br />
kenyataannya, seorang laki-laki tetap saja berlaku menguasai.<br />
Seperti disinggung di atas, terjadinya kasus hubungan seksual<br />
yang dilakukan oleh seorang pejabat dan artis adalah bentuk<br />
konkret adanya dominasi yang sulit diubah atau setidaknya sulit<br />
dilawan.<br />
Dapat dikatakan, cerpen ini merupakan respons<br />
terhadap feminisme. Pengarang, secara tersembunyi,<br />
Dok. Kompas (Agus Triyanto) memberikan pendapatnya bahwa bagaimana pun status<br />
perempuan atau laki-laki, tidak ada yang disudutkan maupun yang menyudutkan. Semua ada karena<br />
saling melengkapi pada berbagai kekurangannya masing-masing. Dalam konteks kultur Indonesia, sistem<br />
patriarkat cukup sulit untuk diubah karena sudah mengakar kuat di setiap sendi kehidupan. Kendati<br />
demikian, feminisme merupakan salah satu gerakan yang mampu menginspirasi para penulis perempuan<br />
yang hingga saat ini semakin terlihat eksistensinya di masyarakat, lebih-lebih justru mendominasi dunia<br />
kepenulisan.<br />
Daftar Pustaka:<br />
Pambudy, Ninuk Mardiana (peny.). 2010. Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Rahadian:<br />
Cerpen Kompas Pilihan 2009. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.<br />
Edisi April <strong>2014</strong><br />
11