05.05.2015 Views

Khittah NU dan Siasat Politik Kiai - Kliping Berita

Khittah NU dan Siasat Politik Kiai - Kliping Berita

Khittah NU dan Siasat Politik Kiai - Kliping Berita

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Senin, 26 Juli 2004<br />

WACANA<br />

<strong>Khittah</strong> <strong>NU</strong> <strong>dan</strong> <strong>Siasat</strong> <strong>Politik</strong> <strong>Kiai</strong><br />

Oleh: Sumanto Al Qurtuby<br />

BELUM lama ini, 21 ormas Islam di bawah naungan <strong>NU</strong> menggelar pertemuan<br />

dengan Pengurus Wilayah <strong>NU</strong> Jawa Tengah. Para pimpinan ormas mendesak agar<br />

PW<strong>NU</strong> Jawa Tengah memberikan dukungan konkret kepada KH Hasyim Muzadi<br />

yang berpasangan dengan Mega dalam putaran kedua pilpres tanggal 20<br />

September mendatang. Bahkan mereka mengisyaratkan <strong>Khittah</strong> 1926 tidak<br />

menutup kemungkinan untuk dikaji ulang pada Muktamar ke-31 di Donohu<strong>dan</strong>,<br />

Boyolali, akhir November mendatang.<br />

<strong>Khittah</strong> <strong>NU</strong> 1926 yang digulirkan dalam Muktamar ke-27 <strong>NU</strong> tahun 1984 di<br />

Situbondo itu selama ini memang menjadi ganjalan <strong>dan</strong> "batu sandungan" buat<br />

para kiai yang ingin terjun ke dunia politik praktis.<br />

Tidak sedikit para kiai yang bingung, canggung atau mungkin setengah hati<br />

menekuni dunia politik karena a<strong>dan</strong>ya kekhawatiran dengan keterlibatan secara<br />

intens di dunia politik pragmatis, berarti telah menabrak/melanggar <strong>Khittah</strong> <strong>NU</strong>.<br />

Kita tahu, <strong>Khittah</strong> <strong>NU</strong> yang diarsiteki oleh sejumlah kalangan muda <strong>NU</strong> progresif<br />

waktu itu, al, KH Ahmad Sidiq <strong>dan</strong> Abdurrahman Wahid (Gus Dur), intinya ingin<br />

mengembalikan <strong>NU</strong> ke ide dasar pendirian ormas, yakni sebagai jam'iyyah<br />

islamiyah atau organisasi massa Islam yang mengurusi masalah sosial (mabarat),<br />

ekonomi (iqtishadiyah), pendidikan (tarbiyah) <strong>dan</strong> dakwah.<br />

Dari perspektif inilah maka tidak mengherankan apabila banyak para kiai yang<br />

kemudian "kembali ke barak" (pesantren, jamaah) tidak lagi berpolitik praktis<br />

lantaran berpan<strong>dan</strong>gan bahwa <strong>NU</strong> tidak lagi ngurusi politik meskipun sebetulnya<br />

mereka menginginkannya.<br />

Berkaitan dengan ini ada beberapa pertanyaan mendasar <strong>dan</strong> substansial.<br />

Betulkah apabila kiai terlibat di dunia politik berarti telah melanggar <strong>Khittah</strong> <strong>NU</strong>?<br />

Apakah <strong>Khittah</strong> itu berarti semacam "emoh" politik atau apriori terhadap<br />

kekuasaan sehingga keputusan <strong>Khittah</strong> <strong>NU</strong> itu perlu dikaji ulang atau mungkin<br />

dicabut? Bagi para "tekstualis <strong>NU</strong>" mungkin akan berpan<strong>dan</strong>gan, <strong>Khittah</strong> <strong>NU</strong><br />

berarti "emoh" politik atau apriori terhadap kekuasaan. Apabila ada kiai yang<br />

berpolitik praktis berarti telah melanggar khittah seperti yang belum lama ini<br />

disuarakan oleh kalangan "idealis <strong>NU</strong>", sampai-sampai mereka bermaksud<br />

menggelar MLB (Musyawarah Luar Biasa) untuk "mengadili" para kiai yang terjun<br />

ke dunia politik atau terlibat dukung-mendukung capres/cawapres tertentu.<br />

Namun jika kita menggunakan pendekatan kesejarahan, atau latar sosio-historis<br />

munculnya "teks <strong>Khittah</strong> <strong>NU</strong>" pada tahun 1984 itu, kita akan segera tahu<br />

sesungguhnya teks <strong>Khittah</strong> <strong>NU</strong> itu bukan bermakna lari dari politik tetapi<br />

sebetulnya sejenis "siasat politik kiai untuk mendapatkan akses kekuasaan<br />

(kembali)".<br />

Inilah tafsir tentang <strong>Khittah</strong> <strong>NU</strong> yang saya pegang.


Dipangkas<br />

Kita maklum, sejak pendirian Orde Baru (OB) peran politik kiai <strong>NU</strong> dipangkas oleh<br />

kekuasaan. Pemangkasan akses politik <strong>NU</strong> itu diduga kuat karena <strong>NU</strong> dipan<strong>dan</strong>g<br />

sebagai bagian dari Orde Lama (OL). Sementara OL adalah musuh politik OB.<br />

Karena itu, sejak proklamasi kekuasaan OB, program utama yang mereka garap<br />

adalah pemutusan jaringan politik <strong>dan</strong> pemusnahan segala hal yang berkaitan<br />

dengan OL. Tidak bisa dipungkiri, <strong>NU</strong> memang "bagian integral" dari kekuasaan<br />

OL.<br />

<strong>NU</strong> yang merupakan "organisasi kiai" pada waktu itu berfungsi memberikan<br />

legitimasi kekuasaan melalui fatwa-fatwa keagamaan. Kita masih ingat, ketika<br />

Presiden Soekarno didelegitimasi kekuasannya oleh sejumlah ormas Islam karena<br />

dianggap tidak memenuhi kriteria pemimpin seperti disebutkan dalam teks-teks<br />

Islam klasik, <strong>NU</strong> membela mati-matian melalui fatwa yang sangat mashur: waliyul<br />

amri al-dzaruri bi al- syaukah.<br />

"Buah" dari patronase ini, <strong>NU</strong> kemudian menikmati sejumlah fasilitas kekuasaan.<br />

Beberapa periode, <strong>NU</strong> dipercaya menjabat Menteri Agama (Menag pertama adalah<br />

KHA Wahid Hasyim, ayah Gus Dur). Meskipun di akhir kekuasaan OL, hubungan<br />

harmoni ini agak renggang karena "kedekatan" Bung Karno dengan PKI, namun<br />

stigma <strong>NU</strong> sebagai "mitra OL," di mata penguasa OB tetap melekat. Ini tentu ironis<br />

sebab <strong>NU</strong> ikut terlibat "pengganyangan" PKI bersama-sama aparat OB.<br />

Stigma <strong>NU</strong> sebagai bagian OL mengakibatkan ormas ini harus ikut menelan pil<br />

pahit, yakni dipinggirkan dari arena kontestasi kekuasaan. Menteri Agama tidak<br />

lagi dipegang oleh kader <strong>NU</strong>. Bahkan <strong>NU</strong> tidak hanya tidak diberi jatah Menteri<br />

Agama tetapi juga "dibersihkan" dari Departemen Agama.<br />

Waktu itu hampir mustahil mendapati kader <strong>NU</strong> yang menduduki posisi penting di<br />

departemen ini. Kalaupun ada pasti kader <strong>NU</strong> yang sudah "bermimikri".<br />

Pemangkasan akses kekuasaan <strong>NU</strong> tidak sebatas di Departemen Agama tetapi<br />

hampir di semua jaringan politik pemerintahan.<br />

Di PPP, <strong>NU</strong> juga tidak diberi ruang sama sekali untuk tampil sebagai pimpinan<br />

teras partai. Lagi yang paling memilukan adalah banyaknya aset-aset kultural <strong>dan</strong><br />

ekonomi <strong>NU</strong> yang "pindah nama." Inilah fakta sejarah "tragedi <strong>NU</strong>" yang sangat<br />

memilukan <strong>dan</strong> masih membekas hingga kini di relung-relung kalbu yang paling<br />

dalam dari masyarakat <strong>NU</strong>.<br />

<strong>Politik</strong> Neo-Kolonialisme<br />

Berdasarkan catatan kesejarahan ini pula kita dapat mengerti sesungguhnya dunia<br />

kiai dengan dunia politik tidak bisa dipisahkan secara ekstrem. Pan<strong>dan</strong>gan yang<br />

menyatakan bahwa kiai yang memasuki wilayah kekuasaan sebagai "tabu" karena<br />

kekuasaan dianggap area muharramat ("diharamkan"), sambil berseru bahwa<br />

idealitas kiai harus di wilayah kultural ( pesantren, jamaah), adalah pan<strong>dan</strong>gan<br />

yang naif, "ahistoris" di samping "kolonialistis."<br />

Dikatakan "ahistoris" karena sejarah <strong>NU</strong> (<strong>dan</strong> kiai tentunya) tidak bisa dilepaskan<br />

dari kepolitikan seperti yang saya paparkan di atas. Bukankah <strong>NU</strong> pernah menjadi<br />

partai politik yang disegani di Republik ini? Lalu atas dasar apa kiai diharamkan<br />

bersentuhan dengan politik praktis kekuasaan?<br />

Pan<strong>dan</strong>gan yang menyatakan kiai haram berpolitik juga berwatak "kolonialistis"<br />

karena pada saat kolonialisme Belanda dulu pan<strong>dan</strong>gan serupa pernah<br />

mengemuka.<br />

Kita tahu, Pemerintah Belanda pada waktu itu memang membatasi peran politik<br />

kiai. Berbagai Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Pemerintah (Regeering Reglement) <strong>dan</strong> Un<strong>dan</strong>g-


Un<strong>dan</strong>g <strong>Politik</strong> (Politieke Maatregel) dibuat untuk mengisolasi kiai dari berbagai<br />

kegiatan yang dapat menimbulkan implikasi politik atau dalam bahasa mereka rust<br />

en orde (ketentraman <strong>dan</strong> ketertiban).<br />

Sejarawan muslim, Prof. Abdul Djamil dalam sebuah diskusi bersama Ilham<br />

Institute belakangan ini berpendapat, peminggiran peran politik kiai itu<br />

dikarenakan ia merupakan kelompok elite keagamaan yang memiliki kharisma<br />

tradisional (ini istilah Weber) yang berpotensi menciptakan mobilitas untuk<br />

menentang kolonial.<br />

Sejarah mencatat, sepanjang abad ke-19 <strong>dan</strong> awal abad ke-20 memang telah<br />

bermunculan agitasi militan terhadap penguasa asing yang disponsori para elite<br />

agama itu. Mereka berhasil meningkatkan pengaruhnya atas masyarakat petani,<br />

sementara institusi keagamaan semacam pesantren dijadikan sebagai instrumen<br />

yang efektif bagi kampanye politik dalam menentang penguasa kolonial.<br />

Sikap penentangan itu ada yang berbentuk perang terbuka seperti "Perang Jawa"<br />

atau Pemberontakan Petani Banten 1888 maupun "perang terselubung" atau<br />

dalam istilah Wertheim, kontrapunkt seperti ditunjukkan oleh <strong>Kiai</strong> Ahmad Rifa'i,<br />

pemimpin Rifa'iyyah di pedalaman Jawa Tengah.<br />

Prof. Sartono telah mendokumentasikan dengan cukup baik fakta sosial<br />

perlawanan kiai ini dalam beberapa bukunya seperti Protest Movement in Rural<br />

Java, Religious Movement in Java in the 19th and 20th Centuries, <strong>dan</strong> The Peasant<br />

Revolt of Banten in 1888.<br />

Model politik segregasi inilah yang di"fotokopi" Pemerintah OB sepanjang<br />

kekuasaan politiknya sehingga tidak terlalu meleset jika dikatakan bahwa politik<br />

OB adalah politik neo-kolonialisme. Pada waktu itu, kita menyaksikan kiai berada<br />

di "pinggiran" yang jauh dari kekuasaan, bukan karena kemauan sendiri atau<br />

katakanlah berdasarkan pilihan sadar-rasional tetapi karena memang dipinggirkan<br />

dari arena kontestasi politik.<br />

Proses peminggiran itu tidak lepas dari peran politik kiai di <strong>NU</strong> di samping <strong>NU</strong><br />

dianggap sebagai bagian dari OL yang pernah mem-back up kepemimpinan Bung<br />

Karno. Realitas politik demikian dipan<strong>dan</strong>g membahayakan bagi tatanan politik<br />

Orde Baru. Dalam perspektif inilah strategi kultural yang dulu pernah menjadi ikon<br />

<strong>NU</strong> sebetulnya juga merupakan "keterpaksaan sejarah" karena <strong>NU</strong> tidak<br />

mendapatkan ruang di wilayah politik kekuasaan struktural.<br />

Kompromi <strong>Politik</strong><br />

Logika yang menyatakan bahwa kiai mengambil peran kultural karena merupakan<br />

konsekuensi logis dari <strong>Khittah</strong> 1984 di Situbondo juga perlu dilihat ulang. <strong>Khittah</strong><br />

<strong>NU</strong> dalam pembacaan saya, sekali lagi, adalah bukan berarti <strong>NU</strong> harus lari dari<br />

politik atau apriori terhadap kekuasaan melainkan sebuah "kompromi politik" untuk<br />

mendapatkan akses kekuasaan (kembali).<br />

Sikap kompromi itu ditunjukkan dengan a<strong>dan</strong>ya salah satu butir <strong>Khittah</strong> yang<br />

menerima asas tunggal Pancasila. Sayang upaya kompromistik <strong>NU</strong> pada waktu itu<br />

tidak dengan sendirinya mampu mengubah 100% image pemerintah Orde Baru<br />

atas <strong>NU</strong> sehingga tetap saja organisasi ini dimarjinalkan dari arena kontestasi<br />

politik.<br />

Karena merasa upaya kompromi politik itu tidak berhasil, <strong>NU</strong> kemudian, maaf,<br />

terpaksa mengambil "jalan lain" dalam menyalurkan aspirasi politiknya, yakni jalan<br />

kultural. Maka muncullah "fikih sosial" yang dalam batas tertentu bermakna "fikih<br />

perlawanan" terhadap langgam kekuasaan OB. Para kiai dulu juga terlibat advokasi<br />

yang menentang pemerintah seperti dalam kasus Jenggawah atau Nipah. Karena<br />

perannya di wilayah kultural inilah, lambat laun kiai (<strong>dan</strong> <strong>NU</strong>) identik <strong>dan</strong>


diidentikkan dengan "kekuasaan kultural" bukan lagi "kekuasaan struktural" yang<br />

dulu pada masa OL sempat memainkan peranan penting di panggung kekuasaan.<br />

Sampai di sini kita menjadi paham <strong>dan</strong> maklum kenapa belakangan muncul<br />

"provokasi politik" (baik dari internal <strong>NU</strong> sendiri maupun kalangan luar) yang<br />

menyerukan agar kiai harus "kembali ke barak" (pesantren, jamaah atau umat),<br />

karena meman<strong>dan</strong>g dunia politik yang profan <strong>dan</strong> korup tidak selayaknya diurusi<br />

kiai yang selama ini berkecimpung di bi<strong>dan</strong>g agama yang sakral. Sebuah<br />

pan<strong>dan</strong>gan yang, sepintas tampak memuliakan dunia kiai tetapi pada saat yang<br />

sama juga bisa bermakna "peminggiran" atau "pemangkasan" peran politik kiai.<br />

Yang mestinya diperdebatkan adalah bukan boleh tidaknya kiai masuk kekuasaan<br />

melainkan mampu <strong>dan</strong> tidaknya kiai jika ikut berkompetisi di dunia politik<br />

kekuasaan yang profan <strong>dan</strong> korup itu. Di sinilah diperlukan pra-syarat berupa<br />

kompetensi personal, yakni integritas moral <strong>dan</strong> kemampuan untuk memahami<br />

politik dengan baik.<br />

Jika para kiai memiliki kapabilitas untuk "mengelola politik," mengapa mereka tidak<br />

diberi kesempatan untuk ikut bertarung di panggung politik? Sekali lagi, tidak<br />

mengurangi makna <strong>dan</strong> semangat <strong>Khittah</strong> <strong>NU</strong>.(18)<br />

-Sumanto Al Qurtuby Ketua program Research & Development Lakpesdam<br />

<strong>NU</strong> Jawa Tengah; Direktur Eksekutif The Institute of Cross Religion &<br />

Humanity ("Ilham Institute") Semarang

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!