05.05.2015 Views

Mineral Phillipsit - Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi ...

Mineral Phillipsit - Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi ...

Mineral Phillipsit - Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi ...

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

MINERAL PHILLIPSIT<br />

DI TINGGIAN ROO - SAMUDERA HINDIA<br />

ISBN ……<br />

D. Kusnida<br />

M.K. Adisaputra<br />

Adithiya<br />

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN GEOLOGI KELAUTAN<br />

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL<br />

DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL<br />

2009


Pemerconto inti yaitu Core<br />

MD982156 dengan panjang<br />

30,30 meter, diperoleh dari<br />

kedalaman laut 3884 meter,<br />

pada koordinat 11 ° 33.31 ’ S <strong>dan</strong><br />

112 ° 19.72 ’ E di lereng bagian<br />

utara Tinggian Roo-Samudera<br />

Hindia.<br />

Dengan pembesaran Scanning<br />

Electron Microscope (SEM) antara<br />

1000 – 20.000 kali, mineral<br />

<strong>Phillipsit</strong>e yang diikat oleh<br />

matriks nanoplankton yang<br />

diteliti dari pemerconto inti<br />

Core MD982156, ternyata dapat<br />

digunakan sebagai alat sintesis<br />

untuk pengungkapan perkembangan<br />

tektonik di Samudera<br />

Hindia zaman Kenozoikum.<br />

http://www.mnhn.fr/mnhn/geo/Collection_Marine<br />

/moyens_mer/Engins_de_prelevements_eng.htm


MINERAL PHILLIPSIT<br />

DI TINGGIAN ROO – SAMUDERA HINDIA<br />

D. Kusnida<br />

M.K. Adisaputra<br />

Adithiya<br />

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN GEOLOGI KELAUTAN<br />

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL<br />

DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL<br />

2009


MINERAL PHILLIPSIT<br />

DI TINGGIAN R00- SAMUDERA HINDIA<br />

Penanggung Jawab<br />

Pemimpin Redaksi<br />

Penyunting<br />

: Ir. Subaktian Lubis MSc<br />

: Ir. Agus Setiya Budhi MSc<br />

: Ir. Nana Sukmana MSc<br />

Ir. Hartono<br />

Redaktur Pelaksana : Djoko Indriastomo Dipl. Geol<br />

Ir. Andi Sianipar<br />

Penerbit<br />

: PT/CV......<br />

Anggota IKAPI No......


MINERAL PHILLIPSIT<br />

DI TINGGIAN ROO- SAMUDERA HINDIA<br />

Kata Pengantar ................... 1<br />

1. PENDAHULUAN<br />

Biostratigrafi Core MD982156<br />

............................................ 3<br />

2. KARAKTERISTIKA FISIKA<br />

<strong>Mineral</strong> <strong>Phillipsit</strong><br />

Core MD982156 ............. 25<br />

3. EROSI TEKTONIK<br />

Sintesis <strong>Geologi</strong> ................ 33<br />

4. MANFAAT .................. 40<br />

5. KESIMPULAN ............ 43<br />

ACUAN .................. 45<br />

BIOGRAFI .............. 51


Kata Pengantar<br />

Buku ini membahas<br />

mineral zeolit<br />

jenis <strong>Phillipsit</strong> yang<br />

ditemukan dalam<br />

Core MD982156<br />

dari Tinggian Roo-<br />

Samudera Hindia.<br />

Penemuan mineral<br />

<strong>Phillipsit</strong> ini telah<br />

menghantarkan peneliti<br />

senior Puslitbang <strong>Geologi</strong> Kelautan yang bernama<br />

M.K .Adisaputera untuk memperoleh penghargaan Wira<br />

Karya dari Presiden Republik Indonesia pada tahun 2008.<br />

Penulis berterima kasih kepada Kepala Puslitbang<br />

<strong>Geologi</strong> Kelautan Ir. Subaktian Lubis MSc. atas dorongannya<br />

untuk menerbitkan buku ini, serta kepada Ir. Joni Widodo<br />

MSi. yang telah mendukung pembuatan buku ini. Kepada Ir.<br />

Nana Sukmana MSc., Dra. K.T. Dewi MSc <strong>dan</strong> Ir. Hartono<br />

dari P3GL kami mengucapkan terima kasih yang tak<br />

terhingga atas masukan <strong>dan</strong> diskusi yang sangat berharga.<br />

Apresiasi yang tinggi penulis tujukan kepada Dr. Nur Hasjim<br />

S.E. dari Lemigas, Prof. Dr. Ir. Sapri Hadiwisastra dari<br />

Geoteknologi LIPI yang telah memberi masukan <strong>dan</strong> diskusi<br />

yang sangat berharga bagi tersusunnya buku ini. Kepada<br />

saudara Wikanda dari <strong>Pusat</strong> Survei <strong>Geologi</strong>, Ba<strong>dan</strong> <strong>Geologi</strong>,<br />

yang telah membantu preparasi <strong>dan</strong> pemotretan baik mineral<br />

maupun fosil dengan alat SEM (Scanning Electron Microscope).<br />

1


Terima kasih ditujukan kepada Sdr. M. Hendrizan ST<br />

dari Geoteknologi LIPI yang telah dengan tekun membantu<br />

penulis.<br />

Kepada Frank BASSINOT <strong>dan</strong> François GUICHARD<br />

dari the Laboratory of CEA-CNRS, Centre des Faibles<br />

Radioactivités-Perancis, penulis mengucapkan terima kasih atas<br />

kerjasamanya yang sangat baik pada waktu di atas Kapal Riset<br />

Marion Dufresne maupun pada saat kegiatan preparasi di<br />

laboratorium Gif-sur-Yvette.<br />

Kapal Riset Marion Dufresne<br />

Bandung, Desember 2009<br />

Penulis<br />

2


1. PENDAHULUAN<br />

Biostratigrafi Core MD982156<br />

Ekspedisi MD III - IMAGES IV dipersiapkan dalam<br />

rangka program IMAGES (International Marine Global Changes<br />

Study), Program pemboran dari IGBP-PAGES (International<br />

Geosphere–Biosphere Program Past Global Changes) yang<br />

berafiliasi dengan SCOR (Scientific Committee on Oceanic<br />

Research). Ekspedisi antara Pemerintah Indonesia dengan<br />

Perancis ini menggunakan Kapal Riset Marion Dufresne,<br />

yang mempunyai kemampuan unik dalam pengambilan<br />

percontoh sedimen yakni menggunakan penginti isap yang<br />

besar sekali (giant piston core). Kapal Peneliti ini milik institusi<br />

Perancis IFRTP (French Institute for Polar Research).<br />

Tujuan dari penyelidikan MD III - IMAGES IV adalah<br />

untuk menghimpun data sedimen dasar laut di perairan<br />

Indonesia dengan melakukan pemboran dengan penginti isap<br />

yang besar. Beberapa percontoh sedimen, terutama di Laut<br />

Banda, diambil dengan menggunakan teknik pengerukan<br />

(dredging technique). Lokasi penelitian pemboran MD982156<br />

terletak pada koordinat 11˚ 33 31’ S <strong>dan</strong> 112˚ 1972’ E , di<br />

Tinggian Roo-Samudra Hindia. (Gambar. 1).<br />

Adisaputra <strong>dan</strong> Hartono (2004), dalam penelitiannya di<br />

lokasi MD982156, yang mengupas masalah biostratigrafi<br />

berdasarkan foraminifera plankton, menyatakan bahwa<br />

penampang pemboran di lokasi ini bisa dibagi kedalam 5<br />

zona <strong>dan</strong> 6 subzonasi. Mereka mengatakan bahwa bagian<br />

3


awah dari pemboran antara kedalaman 30,30 m – 30 m di<br />

bawah dasar laut, sedimennya disebut non biogenik, karena<br />

sedimennya tidak mengandung foraminifera, se<strong>dan</strong>gkan dari<br />

kedalaman 30 m ke bagian paling atas dari penampang<br />

adalah merupakan sedimen biogenik karena banyak<br />

mengandung foraminifera plankton. Metode yang mereka<br />

gunakan adalah dengan menggunakan mikroskop binokuler<br />

dengan perbesaran kurang dari 400 x.<br />

Adisaputra <strong>dan</strong> Hartono (2007), menulis mengenai<br />

mineral <strong>Phillipsit</strong> dengan menambah data beberapa bentuk<br />

dari mineral tersebut, dengan menggunakan Scanning Electron<br />

Microscope (SEM). Pada perbesaran antara 1000x sampai<br />

20.000 x, ternyata bahwa banyak sekali nanoplankton yang<br />

terakumulasi di atas mineral-mineral tersebut, bahkan<br />

kumpulan nanaplankton tersebut bersatu dengan lempung<br />

yang kemudian bertindak sebagai matrik yang merekatkan<br />

mineral tersebut menjadi berbagai bentuk.<br />

Dengan a<strong>dan</strong>ya kumpulan nanoplankton pada mineralmineral<br />

<strong>Phillipsit</strong> yang hanya dijumpai pada bagian dasar dari<br />

pemboran tersebut, penulis merasa tertarik untuk meneliti<br />

kumpulan tersebut mulai dari kedalaman ini (30 m) sampai<br />

ke bagian atas dari pemboran di lokasi ini, <strong>dan</strong> ternyata<br />

kumpulan tersebut banyak dijumpai dalam jumlah yang<br />

melimpah sampai ke bagian atas dari penampang.<br />

Jadi keterangan di atas yang menyatakan bahwa<br />

sedimen pada bagian bawah dari penampang adalah<br />

merupakan sedimen non biogenik, adalah tidak tepat jika<br />

menggunakan metode penelitian yang berbeda.<br />

4


Kumpulan nanoplankton ini banyak juga dijumpai di<br />

Cekungan Timurlaut Jawa yang telah dikenal banyak<br />

mengandung hidrokarbon yang tinggi, seperti yang<br />

dikemukakan oleh Hasjim (1988). Di dalam Formasi Kujung<br />

nanoplankton banyak dijumpai di dalam napal <strong>dan</strong> terbukti<br />

merupakan sedimen induk yang baik untuk minyak.<br />

Gambar 1. Lokasi Core MD982156<br />

Dua puluh satu percontoh sedimen dari pemboran<br />

dasar laut di lokasi MD 982156 yang diambil setiap interval<br />

1.5 m untuk analisis mikrofauna, ditimbang dulu (kurang<br />

lebih 50 mghhg) sebelum <strong>dan</strong> sesudah preparasi, kemudian<br />

disaring dengan menggunakan ayakan yang bukaannya 150<br />

mμ <strong>dan</strong> dikeringkan pada temperature 50°C. Setiap<br />

percontoh sedimen masing-masing diambil dari bagian atas<br />

(Top)nya. Kode dari percontoh sedimen adalah T-1 yang<br />

5


diambil pada bagian paling atas dari potongan 1, T-2 diambil<br />

pada bagian paling atas dari potongan 2 <strong>dan</strong> seterusnya.<br />

Kemudian sebagian kecil dari percontoh sedimen tersebut<br />

dipreparasi untuk pekerjaan SEM (Scanning Electron<br />

Microscope) dengan perbesaran yang berkisar antara 1000x<br />

untuk foto kumpulan <strong>dan</strong> sampai 20.000 x. untuk foto<br />

individu.<br />

Kisaran umur <strong>dan</strong> penentuan taksonomi dari<br />

nanoplankton spesifik, sebagian mengacu kepada Perch-<br />

Nielsen (1985, dalam Cook drr, 1985) <strong>dan</strong> sebagian lagi<br />

mengacu kepada Hamilton <strong>dan</strong> Hojjatzadah (1982), Nur<br />

Hasjim, (1988) <strong>dan</strong> Bown (1999). Adapun konversi zonasi<br />

dari Martini (1970) <strong>dan</strong> Okada <strong>dan</strong> Bukry (1980) disajikan<br />

dalam Perch-Nielsen (1985, dalam Cook drr, 1985) <strong>dan</strong><br />

Bown (1999), se<strong>dan</strong>gkan Hojjatzadah (1982) mengacu kepada<br />

zonasi Martini <strong>dan</strong> Worsley (1970). Umur, posisi <strong>dan</strong> zonasi<br />

biostratigrafi dari nanoplankton di dalam pemboran ini<br />

dibandingkan dengan pekerjaan mereka. Batas setiap zona<br />

menggunakan metode zona interval. Pemunculan Pertama<br />

(PP) <strong>dan</strong> Pemunculan Akhir (PA) dari spesies yang spesifik<br />

dipertimbangkan untuk menentukan batas setiap zona.<br />

Foto-foto fosil diambil dengan menggunakan alat<br />

Scanning Electron Microscope (SEM) milik <strong>Pusat</strong> Survei <strong>Geologi</strong>,<br />

Ba<strong>dan</strong> <strong>Geologi</strong>, Departemen Energi <strong>dan</strong> Sumber Daya<br />

<strong>Mineral</strong>, Bandung.<br />

Pada umumnya, sedimen pada lokasi MD982156<br />

terdiri dari lempung gampingan <strong>dan</strong> lanau, berwarna putih<br />

kecoklatan atau putih keabuan <strong>dan</strong> lempung tufaan,<br />

6


mengandung nanoplankton dalam jumlah yang melimpah<br />

mulai dari dasar sampai bagian paling atas dari pemboran.<br />

Di bagian dasar, pada kedalaman 30.30 m sampai<br />

dengan T-21 (30.00 m), sedimen terdiri dari mineral<br />

<strong>Phillipsit</strong>, yang berasal dari Kelompok Zeolit yang<br />

mempunyai bentuk yang bervariasi, <strong>dan</strong> bentuk lain dari masa<br />

kriptokristalin seperti Gibsit atau Hidrargilit (Adisaputra <strong>dan</strong><br />

Hartono, 2004 <strong>dan</strong> 2007). Ketebalan <strong>dan</strong> pelamparan dari<br />

lapisan ini masih belum diketahui. Hal ini bisa dilakukan<br />

dengan membuat beberapa pemboran lagi di sekitar lokasi<br />

telitian, dekat Parit Jawa.<br />

Dengan pengambilan foto fosil yang menggunakan alat<br />

SEM (Scanning Electron Microscope) seperti yang telah<br />

disebutkan di atas, terlihat dengan jelas bahwa bentuk-bentuk<br />

dasar dari mineral-mineral <strong>Phillipsit</strong> tersebut diikat oleh<br />

semen/sebagai matriks yang didominasi oleh nanoplankton<br />

(Lembar Foto 1, Gambar. 1) <strong>dan</strong> membentuk macam-macam<br />

ikatan seperti lurus, bentuk T, melintang dsb, seperti yang<br />

dikemukakan oleh Adisaputra <strong>dan</strong> Hartono (2004 <strong>dan</strong> 2007).<br />

Di dalam tulisannya Adisaputra <strong>dan</strong> Hartono (2007)<br />

menyatakan bahwa mineral ini hanya dijumpai sebagai<br />

authigenic origin di laut dalam, yang kemungkinan berasal dari<br />

endapan tephra sebagai hasil kegiatan gunung api. Meskipun<br />

sebelumnya Husaini (2005) menyatakan bahwa mineral ini<br />

tidak dijumpai di Indonesia, hal ini dimungkinkan karena<br />

penelitiannya berasal dari darat. Setelah diketahui bahwa<br />

bagian ini banyak mengandung nanoplankton, penulis<br />

mencoba meneliti sedimen bagian atas yang menutupinya,<br />

<strong>dan</strong> ternyata fosil ini dijumpai dalam jumlah sangat melimpah<br />

sampai ke bagian paling atas dari penampang (Tabel 1).<br />

7


Maka di dalam studi ini urut-urutan stratigrafinya bisa diteliti<br />

berdasarkan nanoplankton, dengan menjadikan tulisan<br />

sebelumnya mengenai urutan stratigrafi berdasarkan<br />

foraminifera plangton sebagai pembanding terhadap studi<br />

stratigrafi di lokasi yang sama.<br />

Di bagian dasar dari penampang di lokasi MD982156<br />

ini, nanoplanktonnya didominasi oleh Discoaster multiradiatus<br />

yang berasosiasi dengan D. strictus, D. adamanteus <strong>dan</strong> D. bifax.<br />

Berdasarkan a<strong>dan</strong>ya D. multiradiatus yang mendominasi<br />

sedimen, maka umurnya menurut Perch-Nielsen (1985, dalam<br />

Cook drr., 1985), diperkirakan Paleosen (CP8-9/NP10-11).<br />

Pada percontoh yang sama dijumpai D. strictus and D. bifax<br />

yang berumur Eosen, <strong>dan</strong> D. adamanteus yang berumur<br />

Oligosen (Gambar.3) dalam jumlah yang sedikit yang diduga<br />

merupakan fosil rombakan pada sedimen Paleosen ini.<br />

Pada penampang T-20, spesies Cyclicargolithus flori<strong>dan</strong>us,<br />

Calcidiscus macyntirei, Discoaster brouweri, D. pentaradiatus, D.<br />

prepentaradiatus, D. variabilis, D. formosus <strong>dan</strong> D. surculus<br />

dijumpai. Di bagian ini Discoaster spp. menjadi fosil yang<br />

dominan. Berdasarkan pemunculan pertama dari D.<br />

prepentaradiatus, yang berasosiasi dengan D. pentaradiatus,<br />

umur sedimen adalah bagian bawah dari Miosen Awal<br />

(CN7b/NN9) sampai CN8a/ bagian bawah dari NN 10.<br />

Keberadaan D. formosus di dalam sedimen ini diduga<br />

merupakan fosil rombakan dari umur Miosen Awal atau<br />

Tengah (CN4/NN5).<br />

Di bagian atas dari T-19, Cyclococcolithus leptoporus<br />

berasosiasi dengan Discoaster brouweri, D. pentaradiatus <strong>dan</strong><br />

8


Helicosphaera sp. <strong>dan</strong> Discoaster spp.masih tetap mendominasi<br />

bagian ini. Ke arah atas, pada penampang T-18, di bagian<br />

paling atasnya, Discoaster pentaradiatus masih ada, berasosiasi<br />

dengan D. asymmetricus, Umbilicosphaera rotula, Cyclococcolithus<br />

leptoporus, Coccolithus pelagicus <strong>dan</strong> Helicosphaera kamptneri.<br />

Pemunculan pertama dari D. asymmetricus is terjadi di sini,<br />

menandakan bahwa CN 8b/NN10 dimulai pada level ini <strong>dan</strong><br />

berakhir di bagian puncak dari T-13, di mana pemunculan<br />

akhir dari D. prepentaradiatus <strong>dan</strong> pemunculan pertama dari<br />

Pseudoemiliania lacunosa terjadi di dalam percontoh sedimen<br />

ini.<br />

Menurut Perch-Nielsen (1985, dalam Cook drr., 1985),<br />

umur Pseudoemiliania lacunosa berkisar dari bagian atas dari<br />

Pliosen Awal (CN 11b) sampai bagian bawah dari Pliosen<br />

Akhir (CN 12b). Di daerah telitian spesies ini pertama kali<br />

muncul pada T-14 <strong>dan</strong> masih dijumpai sampai penampang<br />

T-03, di atas pemunculan pertama dari Emiliania huxleyi. Hal<br />

ini kemungkinan bahwa untuk daerah telitian, spesies ini bisa<br />

hidup sampai Plistosen.<br />

Pada penampang T-12 sedimen mengandung spesiesspesies<br />

Discoaster brouweri, Pseudoemiliania lacunosa,<br />

Umbilicosphaera rotula, Cyclicargolithus flori<strong>dan</strong>us, Calcidiscus<br />

macyntirei and Coccolithus pelagicus.<br />

Pemunculan akhir dari D. asymmetricus terjadi di dalam<br />

percontoh T-11 pada bagian bawah Pliosen Akhir (CN<br />

12b/NN16b), se<strong>dan</strong>gkan pemunculan akhir dari D. brouweri<br />

terjadi di dalam percontoh T-10. pada bagian atas dari<br />

Pliosen Akhir (CN 12d/NN18d).<br />

9


Pada penampang T-9, the sedimen mengandung<br />

spesies-spesies Cyclicargolithus flori<strong>dan</strong>us, Cyclococcolithus<br />

leptoporus, Pseudoemiliania lacunosa, Gephyrocapsa oceanica <strong>dan</strong><br />

Coccolithus pelagicus. Pada penampang ini Gephyrocapsa<br />

oceanica pertama kali muncul, menunjukkan bahwa level ini<br />

termasuk ke dalam umur Plistosen (CN14a-b).<br />

CN13 sendiri dipisahkan oleh pemunculan akhir dari<br />

D. brouweri <strong>dan</strong> pemunculan pertama dari Gephyrocapsa<br />

oceanica.<br />

Batas CN 14b/CN 15 didasarkan atas pemunculan<br />

pertama dari Emiliania huxleyi yang mulai muncul pada<br />

percontoh T-06.<br />

Biostratigrafi Core MD 982156<br />

Pada bagian bawah dari penampang antara kedalaman<br />

30,30 m – 30 m below sea floor (bsf) yang sedimennya<br />

tersusun oleh mineral <strong>Phillipsit</strong>e banyak dijumpai akumulasi<br />

nanoplankton, tetapi sama sekali tidak mengandung<br />

foraminifera. Bagian ini tersusun oleh kumpulan<br />

nanoplankton dari umur Paleosen, yang dicirikan dengan<br />

asana dominasi spesies Discoaster multiradiatus.<br />

Di atas 30 m bawah dasar laut sampai bagian atas dari<br />

penampang, ada 8 (delapan) kejadian penting yang bisa<br />

diungkapkan melalui nanoplankton di dalam kurun waktu<br />

antara Miosen Akhir sampai Holosen di daerah penelitian:<br />

1. Pemunculan Pertama (PP) dari Discoaster<br />

prepentaradiatus<br />

10


2. Pemunculan Pertama (PP) dari Discoaster<br />

asymmetricus<br />

3. Pemunculan Akhir (PA) dari Discoaster<br />

prepentaradiatus<br />

4. Pemunculan Pertama (PP) dari<br />

Pseudoemiliania lacunosa<br />

5. Pemunculan Akhir (PA) dari Discoaster<br />

asymmetricus<br />

6. Pemunculan Akhir (PA) dari Discoaster<br />

brouweri<br />

7. Pemunculan Pertama (PP) dari Gephyrocapsa<br />

oceanica<br />

8. Pemunculan Pertama (PP) dari Emiliania<br />

huxleyi<br />

Pemunculan Pertama (PP) dari Discoaster prepentaradiatus<br />

Menurut Perch-Nielsen (1985, dalam Cook drr., 1985),<br />

Discoaster prepentaradiatus umurnya adalah Miosen Akhir <strong>dan</strong><br />

berkisar antara NN 9 – NN 10 (CN 7b to CN 8b), se<strong>dan</strong>gkan<br />

D. pentaradiatus berkisar dari Akhir Miosen sampai Awal<br />

Pliosen yaitu antara CN 7a/lower part of NN 9) sampai<br />

Pliosen Awal (CN 12c/NN 17), seperti halnya yang<br />

dinyatakan oleh Martini <strong>dan</strong> Worsley (1970, dalam Hamilton<br />

<strong>dan</strong> Hojjatzadah,1982).<br />

Di daerah telitian pemunculan pertama dari Discoaster<br />

prepentaradiatus <strong>dan</strong> pemunculan akhir dari D. pentaradiatus<br />

dijumpai dalam level yang sama.<br />

11


Pemunculan Pertama (PP) dari Discoaster asymmetricus<br />

Perch-Nielsen (1985, dalam Cook drr., 1985),<br />

menyatakan bahwa pemunculan pertama dari Discoaster<br />

asymetricus adalah pada CN 8b/bagian atas dari NN 10<br />

(tentatif) tetapi kenyataannya bisa pada NN 14/CN 10d).<br />

Martini <strong>dan</strong> Worsley (1970, dalam Hamilton <strong>dan</strong><br />

Hojjatzadah,1982) menempatkan pemunculan pertama dari<br />

spesies ini pada NN 14. Okada <strong>dan</strong> Bukry (1980, dalam<br />

Perch-Nielsen, 1985) berpendapat bahwa spesies ini muncul<br />

pertama kali pada CN 11b. Di daerah telitian spesies ini<br />

berasosiasi dengan Discoaster pentaradiatus <strong>dan</strong> D.<br />

prepentaradiatus, <strong>dan</strong> dijumpai di atas pemunculan pertama<br />

dari spesies yang disebutkan terakhir. Karena itu pemunculan<br />

pertamanya diperkirakan terjadi di dalam CN 8b.<br />

Pemunculan Akhir (PA) dari Discoaster prepentaradiatus<br />

Menurut Perch-Nielsen (1985, dalam Cook drr., 1985),<br />

pemunculan akhir dari Discoaster prepentaradiatus adalah di<br />

dalam CN 8b.<br />

Pemunculan Pertama (PP) dari Pseudoemiliania lacunosa<br />

Menurut Martini <strong>dan</strong> Worsley (1970, dalam Hamilton<br />

<strong>dan</strong> Hojjatzadah,1982) Pseudoemiliania lacunosa muncul<br />

pertama dalam NN 16 atau CN 12a. Di daerah telitian spesies<br />

ini dijumpai dalam T12 <strong>dan</strong> berasosiasi dengan Discoaster<br />

prepentaradiatus.<br />

Pemunculan Akhir (PA) dari Discoaster asymmetricus<br />

Menurut Perch-Nielsen (1985, dalam Cook drr., 1985),<br />

pemunculan akhir dari Discoaster asymmetricus adalah di dalam<br />

CN 12c/NN 17.<br />

12


Pemunculan Akhir (PA) dari Discoaster brouweri<br />

Para peneliti terdahulu (Martini, 1971, Okada <strong>dan</strong><br />

Bukry,1980 and Perch-Nielsen,1985 ) menempatkan<br />

pemunculan akhir dari Discoaster brouweri adalah di dalam<br />

CN 12d. Dalam hal ini penulis setuju dengan pendapat<br />

mereka.<br />

Pemunculan Pertama (PP) dari Gephyrocapsa oceanica<br />

Okada <strong>dan</strong> Bukry (1980, dalam Perch-Nielsen 1985)<br />

menyatakan bahwa pemunculan pertama dari Gephyrocapsa<br />

oceanica adalah pada CN14a, <strong>dan</strong> pemunculan akhirnya<br />

menurut Martini (1971, dalam Perch-Nielsen 1985), adalah<br />

pada batas NN19/NN 20. Batas ini menurut Okada <strong>dan</strong><br />

Bukry (1980, dalam Perch-Nielsen 1985) <strong>dan</strong> Martini <strong>dan</strong><br />

Worsley (1970, dalam Hamilton <strong>dan</strong> Hojjatzadah,1982),<br />

ditandai dengan pemunculan akhir dari Pseudoemiliania<br />

lacunosa. Di daerah telitian, spesies yang disebut terakhir<br />

masih dijumpai sampai bagian bawah dari CN 15 atau di atas<br />

pemunculan pertama dari Emiliania huxleyi, Helicosphaera<br />

hyalina <strong>dan</strong> Gephyrocapsa muellerae.<br />

Pemunculan Pertama (PP) dari Emiliania huxleyi<br />

Batas CN 15/ NN 21 ditandai dengan pemunculan<br />

pertama dari Emiliania huxleyi, di mana spesies ini mulai<br />

dijumpai pada T-06. Pada zona ini, selain spesies tersebut,<br />

juga dijumpai fosil Helicosphaera hyalina <strong>dan</strong> Gephyrocapsa<br />

muellerae, yang diperkirakan mempunyai kisaran umur yang<br />

sama.<br />

Para penulis terdahulu (Martini, 1971, Okada <strong>dan</strong><br />

Bukry,1980 <strong>dan</strong> Perch-Nielsen,1985 ) menempatkan<br />

13


Emiliania huxleyi yang mulai muncul pada batas CN 14b/NN<br />

20 and CN 15/NN 15.<br />

Zona Biostratigrafi<br />

Skema zona dari Martini <strong>dan</strong> Worsley (1970, dalam<br />

Hamilton <strong>dan</strong> Hojjatzadah,1982), Martini (1971), Okada <strong>dan</strong><br />

Bukry (1980) <strong>dan</strong> Perch-Nielsen (1985) paling banyak<br />

dipakai untuk membuat zonasi dasar di dalam penelitian ini.<br />

Skema zona ini menggunakan datum pemunculan pertama<br />

<strong>dan</strong> pemunculan akhir dari spesies indek dengan<br />

menggunakan zona selang/interval <strong>dan</strong> Zona Puncak.<br />

Berdasarkan analisa dari beberapa spesies nanoplankton<br />

yang spesifik,daerah penelitian bisa dibagi ke dalam 8<br />

(delapan) Zona sebagai berikut:<br />

1. Zona Discoaster multiradiatus<br />

2. Zona Discoaster prepentaradiatus<br />

3. Zona Discoaster asymetricus<br />

4. Zona Pseudoemiliania lacunosa<br />

5. Zona Discoaster brouweri<br />

6. Zona Discoaster brouweri- Gephyrocapsa oceanica<br />

7. Zona Gephyrocapsa oceanica<br />

8. Zona Emiliania huxleyi<br />

Zona Discoaster multiradiatus<br />

Zona puncak ini ditandai dengan melimpahnya spesies<br />

Discoaster multiradiatus. Spesies ini mendominasi zona ini.<br />

Taxa yang mempunyai kisaran yang signifikan secara<br />

biostratigrafi yang melalui zona ini adalah Discoaster strictus<br />

<strong>dan</strong> Discoaster spp.<br />

14


Zona Discoaster prepentaradiatus<br />

Batas bawah dari zona ini tidak jelas karena sedimen<br />

yang terletak di bawahnya mempunyai umur Paleosen. Tetapi,<br />

Discoaster prepentaradiatus diduga muncul pertama kali di<br />

dalam zona ini. Batas atas dari zona ini ditandai dengan<br />

pemunculan pertama dari Discoaster asymetricus. Spesies ini<br />

berasosiasi dengan Helicosphaera kamptneri <strong>dan</strong> Umbilicosphaera<br />

rotula.<br />

Zona Discoaster asymetricus<br />

Batas bawah dari zona ini ditandai dengan pemunculan<br />

pertama dari Discoaster asymetricus <strong>dan</strong> batas atas dari zona ini<br />

ditandai dengan pemunculan akhir dari Pseudoemiliania<br />

lacunosa. Taxa yang spesifik dijumpai di sini adalah Discoaster<br />

asymmetricus, Discoaster pentaradiatus, Discoaster prepentaradiatus,<br />

Pseudoemiliania lacunosa <strong>dan</strong> Umbilicosphaera rotula.<br />

Zona Pseudoemiliania lacunosa<br />

Batas bawah dari zona ini ditandai dengan pemunculan<br />

pertama dari Pseudoemiliania lacunosa <strong>dan</strong> batas atas dari zona<br />

ini ditandai dengan pemunculan akhir dari Discoaster<br />

asymmetricus. Di dalam zona ini ada spesies penting seperti<br />

Discoaster brouweri <strong>dan</strong> Umbilicosphaera rotula.<br />

Zona Discoaster brouweri<br />

Batas bawah dari zona ini ditandai dengan pemunculan<br />

akhir dari Discoaster asymmetricus <strong>dan</strong> batas atasnya ditandai<br />

dengan pemunculan akhir dari Discoaster brouweri.<br />

15


Zona Discoaster brouweri- Gephyrocapsa oceanica<br />

Batas bawah dari zona ini ditandai dengan<br />

pemunculan akhir dari Discoaster asymmetricus <strong>dan</strong> batas<br />

atasnya ditandai dengan pemunculan pertama dari<br />

Pseudoemiliania lacunosa.<br />

Zona Gephyrocapsa oceanica<br />

Batas bawah dari zona ini ditandai dengan<br />

pemunculan pertama dari Gephyrocapsa oceanica <strong>dan</strong> batas<br />

atasnya ditandai dengan pemunculan pertama dari Emiliania<br />

huxleyi. Helicosphaera hyalina <strong>dan</strong> Gephyrocapsa muellerae.<br />

Zona Emiliania huxleyi<br />

Batas bawah dari zona ini ditandai dengan pemunculan<br />

pertama dari Emiliania huxleyi. Taxa yang signifikan di dalam<br />

zona ini adalah Ericsonia detecta, Gephyrocapsa muellerae,<br />

Pseudoemiliania lacunosa <strong>dan</strong> Umbilicosphaera rotula.<br />

Studi biostratigrafi berdasarkan nanoplankton di<br />

Tinggian Roo, di luar Parit Jawa, memperlihatkan urut-urutan<br />

stratigrafi penampang MD982156 mulai dari Paleosen sampai<br />

dengan Holosen, se<strong>dan</strong>gkan menurut Adisaputra <strong>dan</strong><br />

Hartono (2004) kisaran umur berdasarkan foraminifera<br />

plankton disebutkan mulai dari Miosen Akhir sampai dengan<br />

Holosen. Selanjutnya mereka memisahkan antara lapisan<br />

yang biogenik (mengandung foraminifera) dengan lapisan<br />

non biogenik (tidak mengandung foraminifera) dengan batas<br />

yang sejajar (concor<strong>dan</strong>t).<br />

Lapisan non biogeniknya hanya terdiri dari lapisan<br />

lempung tufaan yang mengandung banyak sekali mineral<br />

<strong>Phillipsit</strong> (± 40%). <strong>Mineral</strong> ini pertama kali ditemukan daerah<br />

16


telitian yang terakumulasi di dalam sedimen yang pada waktu<br />

itu umurnya dinyatakan lebih tua dari Miosen Akhir.<br />

Penemuan jenis mineral ini memang belum ada dalam<br />

publikasi sebelumnya. Meskipun informasi ini tidak<br />

ditujukan untuk industri ekonomi, paling tidak mineral ini<br />

memang ada di daerah telitian sebagai endapan laut dalam,<br />

pada kedalaman dasar laut 3,884 m; 30 m bawah dasar laut.<br />

Tetapi menurut Suyartono <strong>dan</strong> Husaini (1992) <strong>dan</strong> Iwasaki<br />

drr., (1995, dalam Husaini, 2006) mineral <strong>Phillipsit</strong>e tidak<br />

dijumpai di Indonesia selain klinoptilolit <strong>dan</strong> mordenit. Hal<br />

inilah yang memacu penulis untuk mengetahui kebiasaan dari<br />

mineral langka ini untuk diteliti lebih lanjut (lihat Adisaputra<br />

<strong>dan</strong> Hartono, 2007).<br />

Dengan metode yang berbeda ternyata di sekitar<br />

mineral tersebut dijumpai akumulasi nanoplankton dalam<br />

jumlah yang melimpah, <strong>dan</strong> bahkan nanoplanktonnya sendiri<br />

banyak dijumpai sebagai matriks yang merekatkan mineral<br />

<strong>Phillipsit</strong> menjadi bentuk-bentuk yang bervariasi.<br />

Dari hasil urutan stratigrafi berdasarkan nanoplankton,<br />

ternyata di daerah telitian dijumpai a<strong>dan</strong>ya rumpang<br />

waktu/hiatus, yang jika didasarkan atas foraminifera plankton<br />

seperti yang dibahas oleh Adisaputra <strong>dan</strong> Hartono (2004),<br />

kejadian tersebut tidak terlihat. Rumpang waktu itu terjadi<br />

pada kala Eosen sampai paling tidak bagian bawah dari<br />

Miosen Akhir.<br />

Spesies yang paling tua dijumpai di daerah telitian<br />

adalah Discoaster multiradiatus, mempunyai umur Paleosen.<br />

Di atasnya langsung diendapkan sedimen yang tidak<br />

mengandung mineral <strong>Phillipsit</strong> berumur Miosen Akhir, <strong>dan</strong><br />

17


ditandai dengan munculnya fosil Discoaster prepentaradiatus.<br />

Pemunculan pertama dari spesies ini kemungkinan masih ke<br />

bawah lagi, dimana di daerah telitian terpotong oleh kejadian<br />

hiatus.<br />

Rumpang waktu tersebut diduga sebagai akibat dari<br />

suatu aktivitas gunung api, seperti yang ditandai dengan<br />

banyaknya mineral <strong>Phillipsit</strong>, yang menyapu sedimen di atas<br />

Paleosen sehingga mengakibatkan perubahan struktur dasar<br />

laut, atau penunjaman sedimen ke dalam Parit Jawa. Setelah<br />

kejadian tersebut, di bagian atasnya, secara sejajar/konkor<strong>dan</strong><br />

langsung diendapkan sedimen yang berumur Miosen Akhir.<br />

Akumulasi nanoplankton yang telah dikenal sebagai<br />

batuan induk di luar daerah telitian yang prospek<br />

menghasilkan minyak adalah di Cekungan Timurlaut Jawa,<br />

yang sekarang dioperasikan <strong>dan</strong> dianggap sebagai primadona<br />

dari Exxon Oil company. Kemungkinan daerah telitian juga<br />

bisa dianggap sebagai sedimen induk kalau ditinjau dari segi<br />

umur (Paleosen berdasarkan a<strong>dan</strong>ya Discoaster multiradiatus).<br />

Keterangan Gambar<br />

2, 4. Emiliania huxleyi (Lohman)<br />

3. Helicosphaera hyalina<br />

5. Ericsonia detecta<br />

6. a. Gephyrocapsa oceanica Kamptner<br />

b. Gephyrocapsa<br />

7. a. Gephyrocapsa oceanica Kamptner<br />

b. Cyclicargolithus flori<strong>dan</strong>us (Roth<strong>dan</strong>Hay)<br />

8. a. Helicosphaera kamptneri Hay<strong>dan</strong>Mohler<br />

b. Cyclococcolithus leptoporus (Murray<strong>dan</strong>Blackman)<br />

18


c. Cyclicargolithus flori<strong>dan</strong>us (Roth<strong>dan</strong>Hay)<br />

9. Pseudoemiliania lacunosa (Kamptner)<br />

10. Umbilicosphaera rotula<br />

11, 16. Calcidiscus macyntirei Bukry<strong>dan</strong>Bramlette<br />

12. Cyclococcolithus leptoporus<br />

(Murray<strong>dan</strong>Blackman)<br />

13. a. Cyclicargolithus flori<strong>dan</strong>us (Roth<strong>dan</strong>Hay)<br />

b. Coccolithus pelagicus (Muller) Wise<br />

14. a. Discoaster pentaradiatus Tan Sin Hok emend<br />

Bramlette<strong>dan</strong>Riedel<br />

b. Coccolithus pelagicus (Muller) Wise<br />

15. Discoaster prepentaradiatus<br />

17. a. Calcidiscus macyntirei Bukry<strong>dan</strong>Bramlette<br />

b. Cyclicargolithus flori<strong>dan</strong>us (Roth<strong>dan</strong>Hay)<br />

c. Discoaster prepentaradiatus<br />

18. Discoaster brouweri Tan Sin Hok<br />

19. Discoaster variabilis Martini<strong>dan</strong>Bramlette<br />

20. a. Discoaster surculus Martini<strong>dan</strong>Bramlette<br />

b. Discoaster asymmetricus Gartner<br />

21. Discoaster formosus Martni<strong>dan</strong>Worsley<br />

22. Discoaster strictus Stradner<br />

23. Discoaster adamanteus Bramlette<strong>dan</strong>Wilcoxon<br />

24. Discoaster bifax Bukry<br />

25. Discoaster multiradiatus Bramlette<strong>dan</strong>Riedel<br />

19


LEMBAR GAMBAR 1:<br />

1. Nanoplankton yang terakumulasi di<br />

dalam mineral <strong>Phillipsit</strong><br />

2. Emiliania huxleyi (Lohman)<br />

3. Helicosphaera hyalina<br />

4. Emiliania huxleyi (Lohman)<br />

5. Ericsonia detecta<br />

20


a<br />

b<br />

6. a.Gephyrocapsa oceanica Kamptner<br />

b. Gephyrocapsa<br />

a<br />

b<br />

2<br />

7. a. Gephyrocapsa oceanica Kamptner<br />

b. Cyclicargolithus flori<strong>dan</strong>us (Roth <strong>dan</strong> Hay)<br />

a<br />

c<br />

b<br />

8. a. Helicosphaera kamptneri Hay <strong>dan</strong><br />

Mohler<br />

b. Cyclococcolithus leptoporus (Murray<br />

<strong>dan</strong> Blackman)<br />

c. Cyclicargolithus flori<strong>dan</strong>us (Roth <strong>dan</strong> Hay)<br />

9. Pseudoemiliania lacunosa (Kamptner)<br />

10.Umbilicosphaera rotula<br />

21


11. Calcidiscus macyntirei Bukry <strong>dan</strong> Bramlette)<br />

Bramlette<br />

1<br />

12. Cyclococcolithus leptoporus (Murray <strong>dan</strong> Blackman)<br />

a<br />

b<br />

13. a. Cyclicargolithus flori<strong>dan</strong>us (Roth <strong>dan</strong> Hay)<br />

b. Coccolithus pelagicus (Muller) Wise<br />

a<br />

b<br />

14. a. Discoaster pentaradiatus Tan Sin Hok emend<br />

Bramlette <strong>dan</strong> Riedel<br />

b.Coccolithus pelagicus (Muller) Wise<br />

15. Discoaster prepentaradiatus<br />

22


16. Calcidiscus macyntirei (Bukry <strong>dan</strong> Bramlette)<br />

b<br />

a<br />

c<br />

17. a. Calcidiscus macyntirei Bukry <strong>dan</strong> Bramlette<br />

b.Cyclicargolithus flori<strong>dan</strong>us (Roth <strong>dan</strong> Hay)<br />

c. Discoaster prepentaradiatus<br />

18. Discoaster brouweri Tan Sin Hok<br />

19. Discoaster variabilis Martini <strong>dan</strong> Bramlette<br />

a<br />

b<br />

20. a. Discoaster surculus Martini <strong>dan</strong> Bramlette<br />

b. Discoaster asymmetricus Gartner<br />

23


21.Discoaster formosus Martni <strong>dan</strong> Worsley<br />

22. Discoaster strictus Stradner<br />

23. Discoaster adamanteus Bramlette <strong>dan</strong>Wilcoxon<br />

24. Discoaster bifax Bukry<br />

25. Discoaster multiradiatus Bramlette <strong>dan</strong> Riedel<br />

24


2. KARAKTERISTIKA FISIKA<br />

<strong>Mineral</strong> <strong>Phillipsit</strong> Core MD9852156<br />

Konsensus saat ini adalah bahwa <strong>Phillipsit</strong> berasal dari<br />

ubahan yang ekstrim dari gelas volkanik (glass shards) basaltik<br />

yang ada pada permukaan dasar laut, melalui suatu tahap<br />

percepatan larutan, mungkin smektit atau palagonit (Kastner<br />

<strong>dan</strong> Stonecipher, 1978; Iijima, 1978; Honnorez, 1978;<br />

Kastner, 1981, <strong>dan</strong> yang lain-lainnya, dalam Rothwell, 1989).<br />

Tetapi, Petzing <strong>dan</strong> Chester (1979, dalam Rothwell, 1989)<br />

memperkirakan bahwa sebelumnya <strong>Phillipsit</strong> adalah gelas<br />

volkanik yang berasal dari gunungapi daratan. Usulan mereka<br />

didasarkan pada korelasi antara pola sebaran dari <strong>Phillipsit</strong> di<br />

Samudera Pasifik <strong>dan</strong> kegiatan gunungapi global yang<br />

sekarang ada.<br />

<strong>Phillipsit</strong> dipercaya terbentuk secara cepat pada interface<br />

sedimen/airlaut <strong>dan</strong> terus tumbuh dalam kolom sedimen<br />

(Bernat <strong>dan</strong> Goldberg, 1969; Bernat drr., 1970, dalam<br />

Rothwell, 1989), meskipun mulai melarut pada kedalaman<br />

(ditunjukkan oleh muka-muka kristal yang teretsa <strong>dan</strong><br />

berkurangnya frekwensi keterdapatan. Dengan bertambahnya<br />

kedalaman, <strong>Phillipsit</strong> bertambah jarang dijumpai pada<br />

kedalaman lebih dari 500 m (Kastner <strong>dan</strong> Stonecipher, 1978,<br />

dalam Rothwell, 1989). Klinoptilolit dijumpai pada<br />

kedalaman yang lebih dalam daripada <strong>Phillipsit</strong> <strong>dan</strong> Iijima<br />

(1978) meragukan apakah <strong>Phillipsit</strong> bisa berubah menjadi<br />

klinoptilolit pada sedimen yang lebih tua atau yang terkubur<br />

lebih dalam. Indikasinya mungkin menunjukkan keadaan<br />

25


kecepatan volkanisme basaltik dengan tingkat sedimentasi<br />

yang rendah.<br />

Dengan demikian maka Kedalaman Kompensasi<br />

Karbonat (CCD = carbonate compensation depth) di lokasi<br />

penelitian posisinya lebih dalam dari 3914 m, karena fosil<br />

nanoplankton masih terawetkan dengan baik sekali. Seperti<br />

diketahui bahwa bahan pembentuk fosil ini tersusun oleh<br />

material gamping yang kompak tidak seperti foraminifera<br />

yang banyak porinya, jadi lebih tahan terhadap pelarutan.<br />

<strong>Phillipsit</strong> tersebar luas di dasar laut, terutama di<br />

daerah dengan kecepatan sedimentasi yang rendah <strong>dan</strong> di<br />

bawah kedalaman kompensasi kalsium (Cronan, 1980, dalam<br />

Rothwell, 1989). Biasanya umum dijumpai di dalam tefra<br />

yang terubah. Hal ini telah dilaporkan dari lempung merah,<br />

sedimen gampingan, silikatan <strong>dan</strong> lumpur terigen. Namun<br />

demikian, Stonecipher (1976, dalam Rothwell, 1989) dalam<br />

analisisnya secara statistik mencatat sekuen berikut dari<br />

jumlah <strong>Phillipsit</strong> yang berkurang sebagai suatu fungsi dari<br />

litologi: lempung> volkanik> gampingan>silikatan.<br />

Dalam Rothwell, 1989, Kolla <strong>dan</strong> Biscaye (1973) <strong>dan</strong><br />

Stonecipher, 1976, menduga bahwa <strong>Phillipsit</strong> lebih banyak<br />

melimpah di dalam sedimen Samudera Pasifik <strong>dan</strong><br />

Samudera Hindia daripada di Samudera Atlantik, se<strong>dan</strong>gkan<br />

Petzing <strong>dan</strong> Chester (1979) mencatat konsentrasi yang tinggi<br />

yang mengandung lebih dari 50% <strong>Phillipsit</strong> pada dasar yang<br />

bebas karbonat dari Samudera Pasifik bagian tengah <strong>dan</strong><br />

selatan.<br />

26


Di Samudera Hindia, keterdapatan yang paling utama<br />

yang tercatat sejauh ini adalah dari Cekungan Hindia Tengah<br />

<strong>dan</strong> Wharton <strong>dan</strong> dari sebagian Samudera Hindia Tengah<br />

<strong>dan</strong> Punggungan-punggungan Ninety East (Kolla <strong>dan</strong> Biscaye,<br />

1973, dalam Rothwell, 1989). Di Samudera Atlantik jarang<br />

sekali dilaporkan, tetapi sedimen yang kaya akan <strong>Phillipsit</strong><br />

telah dideskripsi dari Cekungan Cape <strong>dan</strong> Verde, dari bagian<br />

selatan Dataran Abisal Sohm (Petzing <strong>dan</strong> Chester, 1979,<br />

dalam Rothwell, 1989) <strong>dan</strong> dari Parit Kings (Kidds drr., 1982,<br />

dalam Rothwell, 1989).<br />

Di Indonesia, di Tinggian Roo, Samudera Hindia,<br />

mineral ini dijumpai di dalam sedimen yang masih<br />

mengandung karbonat atau masih di atas Kedalaman<br />

Kompensasi Karbonat (CCD).<br />

Dengan menggunakan SEM (Scanning Electron Microscope)<br />

pada perbesaran yang berkisar antara 1000x untuk foto<br />

kumpulan <strong>dan</strong> sampai 20,000 x. untuk foto individu, maka<br />

matriks pada mineral <strong>Phillipsit</strong>; jelas sekali terlihat. Tampak<br />

terlihat bahwa sesungguhnya mineral <strong>Phillipsit</strong> diikat oleh<br />

sedimen lempung yang mengandung nanoplankton,<br />

se<strong>dan</strong>gkan mineralnya sendiri sesungguhnya mempunyai<br />

bentuk yang monoklin. Variasi bentuknya lebih dicerminkan<br />

oleh kondisi pada waktu sedimentasinya, yang kemungkinan<br />

dipengaruhi pula oleh kondisi arus atau faktor mekanik<br />

lainnya.<br />

<strong>Phillipsit</strong> telah tercatat juga sebagai semen (Morgenstein,<br />

1967), sebagai cavity <strong>dan</strong> fracture fillings (Rex, 1967; Bass drr.,<br />

1973, dalam Rothwell, 1989) <strong>dan</strong> sebagai penempatan<br />

kembali (replacement) dari plagioklas (Bass drr., 1973, dalam<br />

27


Rothwell, 1989). Kristal-kristal <strong>Phillipsit</strong> seringkali<br />

mengandung inklusi yang melimpah yang menandakan<br />

a<strong>dan</strong>ya pertumbuhan kristal yang cepat. Bonatti (1963, dalam<br />

Rothwell, 1989) menduga bahwa bentuk kristal yang sangat<br />

baik menunjukkan pertumbuhan yang in-situ.<br />

Klasifikasi <strong>dan</strong> uraian mengenai mineral <strong>Phillipsit</strong> diacu<br />

dari Read (1970) <strong>dan</strong> Rothwell (1989).<br />

Sifat kimia <strong>Phillipsit</strong><br />

<strong>Mineral</strong> ini menurut Stonecipher, 1977, 1978; Kastner, 1981<br />

(dalam Rothwell, 1989) adalah silikatalumina sodium,<br />

potasium hidros dengan rumus kimia: K 2,8 Na 1,6 Al 4,4 Si 11,6<br />

O 32 . 10 H 2 O.<br />

Petrografi<br />

Di dalam Rothwell (1989), sifat-sifat mineral <strong>Phillipsit</strong> secara<br />

petrografis telah diuraikan secara luas, seperti berikut ini:<br />

Sifat-sifat fragmentasi<br />

Kristal- kristal yang pecah, umum dijumpai dalam sayatan<br />

oles. Kembar sektor yang sempurna jarang terlihat, meskipun<br />

kristal - kristalnya terminated tunggal, mencerminkan<br />

komponen-komponen kembar sektor umum dijumpai.<br />

Kisaran Ukuran Butir<br />

Umumnya pada kisaran 8 – 250 µm, dengan kristal- kristal<br />

yang umumnya berukuran butir antara 10-120µm; meskipun<br />

ka<strong>dan</strong>g-ka<strong>dan</strong>g ada kejadian kristal- kristal yang jauh lebih<br />

besar yang pernah dilaporkan (Shepard, drr., 1970).<br />

28


Transparansi/ warna dalam PPL<br />

Transparan <strong>dan</strong> tidak berwarna sampai kekuningan. Warna<br />

kekuningan disebabkan oleh sejumlah inklusi dari<br />

komponen- komponen matriks <strong>dan</strong> sebagian lagi karena<br />

lapisan permukaan dari oksihidroksid Fe-Mn (Kastner, 1981).<br />

Relief<br />

Se<strong>dan</strong>g sampai tinggi. Indeks refraktif rata-rata: 1,481-1,486<br />

(Kastner <strong>dan</strong> Stonecipher, 1978).<br />

Biasrangkap/Birefringence<br />

Anistropik, birefringence lemah. Butiran-butirannya<br />

memperlihatkan warna interferensi urutan bawah, khas abuabu<br />

urutan pertama.<br />

Alterasi<br />

Biasanya jernih <strong>dan</strong> tidak terubah, meskipun kristal- kristal<br />

dari pemboran bisa memperlihatkan peningkatan korosi <strong>dan</strong><br />

etching permukaannya.<br />

Sistem Kristal: Monoklin<br />

Pleokroisme: Tidak ada<br />

Sudut Pemadaman<br />

Butiran prismatik memperlihatkan pemadaman lurus<br />

Kembar: Kembar sektor, ka<strong>dan</strong>g-ka<strong>dan</strong>g kompleks, umum<br />

dijumpai<br />

29


Petrologi<br />

Bentuknya biasanya memanjang dengan kristal prismatik<br />

yang agak sempurna sampai sempurna.<br />

Bentuk-bentuk mineral ini seperti yang terlihat dari gambargambar<br />

berikut:<br />

Bentuk-bentuk dasar mineral <strong>Phillipsit</strong> dapat dilihat dalam<br />

Gambar 1.<br />

30


Gambar 1. Bentuk-bentuk mineral <strong>Phillipsit</strong>e yang ditemukan<br />

oleh Adisaputra (1998) di Tinggian Roo – Samudera Hindia pada<br />

Ekspedisi IMAGES: 1-2. Straight (columnar); 3-6. Cross in different<br />

angles 7-8. T-shapes; 9-14. Twinning to radiating aggregates.<br />

1 2<br />

3 4<br />

5 6<br />

31


7 8<br />

9 10<br />

11 12<br />

13 14<br />

32


3. EROSI TEKTONIK<br />

Sintesis <strong>Geologi</strong><br />

Pada tahun 1998,<br />

Ekspedisi MD III-<br />

IMAGES IV di<br />

perairan Indonesia-<br />

Samudera Hindia<br />

di-laksanakan dalam<br />

rangka kegiatan<br />

IMAGES (International<br />

Marine Global<br />

Changes<br />

Gambar1. Lokasi Core MD985621 Study),<br />

dimana program pemboran sedimen dasar laut dalam dari<br />

IGBP-PAGES (International Geosphere–Biosphere Program Past<br />

Global Changes) yang berafiliasi dengan SCOR (Scientific<br />

Committee on Oceanic Research) juga dilaksanakan.Lokasi<br />

pemboran inti MD982156 adalah 11˚33.31’S and<br />

112˚19.72’E (Gambar 1), tepatnya di lereng bagian utara dari<br />

Tinggian Roo menuju Parit Jawa-Samudera Hindia pada<br />

kedalaman laut 3884 meter (Gambar 2).<br />

Pada tahun 2004, Adisaputra <strong>dan</strong> Hartono menyatakan<br />

bahwa bagian bawah dari core MD982156 (30 - 30,30 m<br />

bsf) terdiri atas endapan yang kaya akan nanoplankton.<br />

33


Sebaliknya, dari kedalaman 30 m bsf hingga dasar samudera,<br />

kolom pemerconto inti terdiri atas sedimen yang kaya akan<br />

foraminera planktonik.<br />

Gambar 2. Lokasi core MD985621 dalam sistem Parit Jawa<br />

Berdasarkan Scanning Electron Microscope (SEM), Adisaputra<br />

<strong>dan</strong> Hartono (2007) mengindikasikan kemunculan mineral<br />

<strong>Phillipsit</strong> pada kedalaman antara 30 mhingga 30.30 m bsf.<br />

Mulajadi mineral <strong>Phillipsit</strong> pada lingkungan laut<br />

dalam telah menjadi topik diskusi diantara ahli mineral (Knox<br />

drr, 2003 <strong>dan</strong> Diekmann drr, 2004). Dalam tulisan ini<br />

diusahakan untuk menjelaskan pemunculan sedimen yang<br />

kaya akan mineral <strong>Phillipsit</strong> berumur Paleosen yang teramati<br />

dalam conto sedimen dasar laut MD982156 hasil pemboran<br />

pada saat Ekspedisi MD III-IMAGES IV di Tinggian Roo-<br />

Samudera Hindia pada tahun 1998.<br />

Tujuan dari pembahasan dalam bab ini adalah untuk<br />

melakukan sintesis atas ketidakhadiran mineral berumur<br />

Paleosen dalam pemercontoh inti (core), hal mana<br />

pemercontoh inti ini pada dasarnya diperoleh dari endapan<br />

pelagos. Dalam hal ini keberdaan mineral dalam endapan<br />

34


pelagos haruslah dianggap terawetkan dalam runtunan<br />

sedimen <strong>dan</strong> bebas dari erosi apapun.<br />

Pada tahapan pencontohan, sedimen diambil pada<br />

interval setiap 1,50 meter dari keseluruhan panjang core<br />

MD982156 yaitu 30,30 meter., sehingga diperole 21 buah<br />

pemercontoh. Lima puluh mgr dari bagian top masing-masing<br />

pemerconto disayak dengan ukuran 150 mµ <strong>dan</strong> dikeringkan<br />

pada temperatur 50 ºC. Sebagian kecil dari masing-masing<br />

pemerconto selanjutnya digunakan untuk tujuan SEM<br />

dengan pembesaran 20,000x untuk masing-masing foto.<br />

Batas waktu dalam core MD982156 diambil dari interval zona<br />

umur yang dibuat oleh M.K. Adisaputera and Hendrizan<br />

(2008).<br />

Pada umumnya sedimen dalam penginti MD982156<br />

terdiri atas lempung gampingan <strong>dan</strong> lanau, lempung tufaan<br />

berwarna putih-kecoklatan hingga putih-keabua-abuan.<br />

Penginti ini mengandung foraminifera <strong>dan</strong> nanoplankton<br />

dengan jumlah yang besar hingga kedalaman 30 meter. Di<br />

bawah kedalaman 30 hingga 30,30 meter bsf, sedimen terdiri<br />

atas mineral <strong>Phillipsit</strong> dengan berbagai bentuk.<br />

Foto hasil SEM menunjukan bahwasanya bentuk<br />

dasar mineral <strong>Phillipsit</strong> diikat oleh semen atau matriks yang<br />

didominasi nanno-plankton. Plankton ini membentuk<br />

berbagai ikatan seperti bentuk lurus, bentuk T, diagonal <strong>dan</strong><br />

lain seba-gainya (Gambar4). <strong>Mineral</strong> <strong>Phillipsit</strong> mengan-dung<br />

kanal terbuka (Gambar 5). Massa kriptokristalin lainnya dalam<br />

pemerconto inti adalah gibsit <strong>dan</strong> hidragilit yang<br />

berasosiasi dengan nanno-plankton.<br />

35


Gambar 3. Kolom stratigrafi<br />

Core MD982156<br />

Ketebalan <strong>dan</strong> penyebaran<br />

lapisan ini belum diketahui.<br />

Menurut Husaini<br />

(2006), mineral Phillipsi<br />

sejauh ini tidak pernah<br />

ditemu-kan di Indonesia<br />

kare-na studi mengenai mineral<br />

ini hanya dilakukan<br />

di daratan. Adisaputra <strong>dan</strong><br />

Hartono (2007) menyatakan<br />

bahwa mineral ini<br />

hanya dijumpai sebagai<br />

mineral yang secara genesa<br />

autigenik di laut dalam.<br />

<strong>Mineral</strong> <strong>Phillipsit</strong><br />

diperkirakan berasal<br />

dari produk gunungapi<br />

berupa tefra.Menurut<br />

Amethyst<br />

Galleries Inc.<br />

(2008), <strong>Phillipsit</strong><br />

merupakan salah<br />

sa-tu mineral jenis<br />

zeo-lit yang paling<br />

jarang serta membentuk<br />

agregat yang<br />

Gambar 4. Bentuk dasar<br />

mineral <strong>Phillipsit</strong><br />

36


umumnya berupa kluster permukaan putih terang atau<br />

berupa bola dengan kristal kasar atau berpermukaan<br />

kesuteraan. Rumus empiris dari mineral <strong>Phillipsit</strong> adalah<br />

KCaAl 3 Si 5 O 16 -6H 2 O. Secara lingkungan dijumpai sebagai<br />

zeolit, umumnya dalam batuan gunungapi berupa urat <strong>dan</strong><br />

secara diagentika berupa rhyolitic vitric tuffs yang teralterasi,endapan<br />

<strong>dan</strong>au payau <strong>dan</strong> sedimen dasar samudera.<br />

Gibsit atau hidragilit di daerah Tinggian Roo<br />

(Gambar 6) membentuk massa kriptokristalin, berwarna<br />

putih-keemasan <strong>dan</strong> kilau mutiara. Menurut Betekhtin dalam<br />

Adisaputra <strong>dan</strong> Hartono (2007), mineral ini diperkirakan<br />

berasal dari dekomposisi <strong>dan</strong> hidrolisis silikat mengandung<br />

aluminium, sebagian merupakan hasil proses hidrotermal<br />

pada temperature yang relative rendah, namun dapat pula<br />

berasal dari pelapukan permukaan, terutama dibawah kondisi<br />

cuaca tropis <strong>dan</strong> subtropics.<br />

<strong>Phillipsit</strong> saat ini diketahui<br />

merupakan bahan<br />

yang berlimpah dalam<br />

endapan permukaan<br />

yang menutupi daerah<br />

yang sangat luas di<br />

Samudera Pasifik,<br />

dimana kece-patan<br />

sedimentasi sangat<br />

rendah <strong>dan</strong> muncul sebagai<br />

kerak di sekitar mata<br />

air panas (Ghosh <strong>dan</strong> Mukhopadhyay,<br />

1995).<br />

Gambar 5. <strong>Phillipsit</strong> dengan ikatan<br />

matriks nanoplankton<br />

37


Runtunan yang lengkap dari sedimen Miosen Akhir<br />

hingga Holosen dalam core MD982156 menunjukan<br />

kebalikan bukti keadaan tektonik Eosen hingga Miosen<br />

Tengah yang tidak diketahui hingga sekarang. Variasi litologi<br />

<strong>dan</strong> biogenik yang ada dalam pemerconto ini memberikan<br />

gambaran kemungkinan a<strong>dan</strong>ya perubahan lingkungan<br />

aktivitas tektonik jaman Kenozoikum Tengah.<br />

Gambar 6.<br />

Gibsit dalambentuk kriptokristalin<br />

Diekmann drr (2004)<br />

menyatakan bahwa mineral<br />

<strong>Phillipsit</strong> asli dari laut<br />

dalam, dibentuk dari<br />

fragmen batuan<br />

permukaan yang berasal<br />

dari produk gunungapi.<br />

Inti ini kemudian<br />

teralterasi men-jadi <strong>Phillipsit</strong> dibawah kondisi alkaline, silicaundersaturated,<br />

low-temperature sepanjang batuan sedimen.<br />

Lokasi purba <strong>Phillipsit</strong> pembentukan berumur Paleosen<br />

dalam studi ini diasumsikan setidaknya pada sayap pematang<br />

tengah samudera <strong>dan</strong> jauh dari lokasinya yang sekarang.<br />

Kerangka tektonik selatan Jawa sekarang ini dicirikan<br />

oleh konvergensi antara Lempeng Benua Australia-Samudera<br />

Hindia dengan Lempeng Eurasia yang telah mapan sejak<br />

Neogen Akhir. Baru-baru ini Kopp drr (2006) menunjukan<br />

bukti a<strong>dan</strong>ya erosi di kerak samudera Tinggian Roo<br />

berdasarkan data terbaru gefisika di selatan Jawa. Mereka<br />

mengindikasikan a<strong>dan</strong>ya proses erosif lokal pada pelemahan<br />

subduksi gunung bawah laut <strong>dan</strong> mendokumentasikannya<br />

38


dengan survey batimetri resolusi tinggi yang menunjukan<br />

a<strong>dan</strong>ya kecenderungan ketidakberaturan fron deformasi<br />

terpotong oleh bi<strong>dan</strong>g-bi<strong>dan</strong>g benturan gunung bawah laut.<br />

Lebih jauh, Kopp drr (2006) menunjukan relif alas kerak<br />

samudera yang tersubduksi yang mengakibatkan terjadinya<br />

pengangkatan skala besar punggungan busur muka <strong>dan</strong><br />

gunung bawah laut (?) yang memungkinkan terbentuknya<br />

elevasi topografi terisolasi seperti Tinggian Roo. Bukti<br />

tektonik seperti ini, memberikan dugaan bahwa rumpang<br />

waktu (hiatus) yang terekam dalam core MD982156<br />

kmungkinan disebabkan oleh erosi tektonik pada Tinggian<br />

Roo. Endapan berumur Miosen Akhir hingga Holosen yang<br />

teruntun lengkap <strong>dan</strong> baik di daerah ini menunjukan<br />

keadaan tektonik yang relative stabil sejak Miosen Akhir.<br />

Oleh sebab itu, mengapa hanya sedimen yang kaya akan<br />

mineral <strong>Phillipsit</strong> berumur Paleosen saja yang ada di daerah<br />

studi.<br />

Sebagai kesimpulan adalah bahwasanya kemunculan<br />

<strong>Phillipsit</strong> di bagian paling bawah dari core MD982156 yang<br />

diperoleh dari Tinggian Roo diperkirakan berasal dari<br />

aktivitas vulkanik selama Paleosen. <strong>Mineral</strong> ini terbentuk<br />

secara autigenik di laut dalam. Sedimen kaya mineral<br />

<strong>Phillipsit</strong> berumur Paleosen yang ditutupi oleh sedimen kaya<br />

foraminifera berumur Miosen Akhir hingga Holosen<br />

menunjukan a<strong>dan</strong>ya hiatus atau absennya pengendapan sejak<br />

Eosen hingga Miosen Tengah. Hiatus yang terekam dalam<br />

pemerconto inti diduga diakibatkan oleh erosi tektonik atau<br />

pelengseran endapan sedimen berumur Eosen hingga Miosen<br />

Tengah dari Tinggian Roo setidaknya sejak aktivitas tektonik<br />

Neogen Akhir.<br />

39


4. MANFAAT<br />

Lapisan non biogenik dari pemerconto inti MD982156<br />

yang diambil dari koordinat 11 o 33.31 ’ S <strong>dan</strong> 112 o 19.72 ’ E<br />

pada kedalaman laut 3884 meter di bagian tepi utara Roo<br />

Rise–Samudera Hindia hanya terdiri dari lapisan lempung<br />

tufaan yang mengandung banyak sekali mineral <strong>Phillipsit</strong><br />

(± 40%). <strong>Mineral</strong> ini pertama kali ditemukan di daerah<br />

telitian <strong>dan</strong> terakumulasi di dalam sedimen berumur<br />

Paleosen. Penemuan jenis mineral <strong>Phillipsit</strong> di daratan<br />

Indonesia sejauh ini belum ada dalam publikasi. Walaupun<br />

informasi penemuan mineral <strong>Phillipsit</strong> ini tidak diarahkan<br />

untuk kepentingan ekonomi, namun dapat bermanfaat bagi<br />

tujuan-tujuan ilmiah <strong>dan</strong> akademis (Kusnida drr, 2008;<br />

Kusnida, 2009).<br />

Menurut Hardjatmo <strong>dan</strong> Husaini (1997, dalam<br />

Husaini, 2006), mineral <strong>Phillipsit</strong> mempunyai arti penting<br />

disamping mineral-mineral lainnya seperti klinoptilolit,<br />

kabazit, mordenit and ironit. Tetapi menurut Suyartono <strong>dan</strong><br />

Husaini (1992) <strong>dan</strong> Iwasaki drr (1995), dalam Husaini<br />

(2006), mineral <strong>Phillipsit</strong> tidak dijumpai di Indonesia selain<br />

klinoptilolit <strong>dan</strong> mordenit. Di daerah telitian yang lokasinya<br />

di laut dalam ternyata mineral ini banyak dijumpai dalam<br />

berbagai bentuk yang diikat oleh nanoplankton yang bertidak<br />

sebagai matriks Adisaputra <strong>dan</strong> Hartono (2007).<br />

Husaini (2006) menyebutkan manfaat mineral ini di<br />

dalam industri plastik, yang antara lain dapat dipakai dalam<br />

pembuatan resin termoaktif <strong>dan</strong> sebagai pemacu dalam proses<br />

pengerasan. Kelompok Zeolit ini juga digunakan untuk<br />

40


menghilangkan kesadahan dalam industri deterjen,<br />

menjernihkan kelapa sawit, menyerap zat warna pada minyak<br />

hati ikan hiu, sebagai katalisator pada proses gasifikasi<br />

batubara yang berkadar belerang <strong>dan</strong>/atau nitrogen tinggi<br />

yang menghasilkan gas bersih.<br />

• Studi biostratigrafi berdasarkan nanoplankton di<br />

Tinggian Roo, di luar Parit Jawa, telah memberikan<br />

gambaran bahwa di daerah telitian dijumpai sedimen<br />

yang berumur Paleosen.<br />

• Dengan a<strong>dan</strong>ya sedimen berumur Paleosen tersebut, yang<br />

ditindih langsung secara konkor<strong>dan</strong> oleh sedimen yang<br />

berumur Miosen Akhir, menunjukkan bahwa di daerah<br />

telitian telah terjadi rumpang waktu/hiatus, yaitu<br />

kehilangan waktu mulai dari Eosen sampai sebagian dari<br />

Miosen Tengah.<br />

• Hilangnya waktu tersebut, kemungkinan diakibatkan oleh<br />

kegiatan gunung api, mengingat di dalam sedimen<br />

tersebut banyak mineral <strong>Phillipsit</strong>, atau a<strong>dan</strong>ya<br />

penunjaman sedimen yang berumur Eosen tersebut ke<br />

dalam Parit Jawa, karena di atasnya langsung diendapkan<br />

sedimen yang berumur Miosen Akhir.<br />

• Spesies yang menunjukkan umur Paleosen adalah<br />

Discoaster multiradiatus, se<strong>dan</strong>gkan yang berumur Akhir<br />

Miosen adalah Discoaster prepentaradiatus.<br />

• Berdasarkan analisa beberapa spesies nanoplankton yang<br />

spesifik, daerah telitian dapat dibagi ke dalam 8 (delapan)<br />

Zona yaitu: Discoaster multiradiatus, Discoaster<br />

prepentaradiatus, Discoaster asymetricus, Pseudoemiliania<br />

lacunosa, Discoaster brouweri, Discoaster brouweri-<br />

41


Gephyrocapsa oceanica, Gephyrocapsa oceanica <strong>dan</strong> Emiliania<br />

huxleyi<br />

• Melimpahnya nanoplankton di lokasi ini bisa ditafsirkan<br />

sebagai suatu indikasi asal sedimen induk untuk minyak.<br />

• Ditemukannya pertama kali mineral <strong>Phillipsit</strong> (masuk<br />

Kelompok Zeolit) yang melimpah di bagian dasar dari<br />

penampang, diduga bahwa di daerah telitian telah terjadi<br />

kegiatan volkanik pada kala itu (Paleosen). <strong>Mineral</strong> ini<br />

secara authigenic terjadi di laut dalam.<br />

• Manfaat mineral <strong>Phillipsit</strong> di dalam industri plastik,<br />

antara lain dapat dipakai dalam pembuatan resin<br />

termoaktif <strong>dan</strong> sebagai pemacu dalam proses pengerasan.<br />

• Kelompok Zeolit ini juga digunakan untuk<br />

menghilangkan kesadahan dalam industri deterjen,<br />

menjernihkan kelapa sawit, menyerap zat warna pada<br />

minyak hati ikan hiu, sebagai katalisator pada proses<br />

gasifikasi batubara yang berkadar belerang <strong>dan</strong>/atau<br />

nitrogen tinggi yang menghasilkan gas bersih.<br />

42


5. KESIMPULAN<br />

<strong>Phillipsit</strong> yang ditemukan dalam Core MD982156 di<br />

Tinggian Roo - Samudera Hindia diendapkan pada kala<br />

Paleosen-Eosen paling bawah <strong>dan</strong> ditindih secara tidak selaras<br />

oleh lapisan sedimen berumur Miosen Akhir. Di lokasi ini<br />

telah terjadi rumpang waktu/hiatus antara Eosen–Miosen<br />

Tengah atau sekitar 37 juta tahun. Fosil nanoplankton<br />

Discoaster multiradiatus adalah spesies yang menunjukkan<br />

umur Paleosen-Eosen paling bawah yang dijumpai sebagai<br />

matriks pada mineral <strong>Phillipsit</strong>.<br />

<strong>Phillipsit</strong> adalah salah satu mineral dari kelompok Zeolit<br />

yang secara authigenic terjadi di laut dalam yang bisa berasal<br />

dari hasil kegiatan gunung api <strong>dan</strong> terjadi secara in situ, yang<br />

dibuktikan dengan bentuknya yang euhedral, memanjang.<br />

<strong>Mineral</strong> <strong>Phillipsit</strong> di daerah penelitian (kedalaman 3884 m)<br />

dijumpai di dalam sedimen yang masih mengandung<br />

karbonat atau masih di atas Kedalaman Kompensasi Karbonat<br />

(CCD ?), karena masih ditemukan akumulasi nanoplankton<br />

gampingan ( ? ) dengan pengawetan yang sangat baik.<br />

Manfaat mineral <strong>Phillipsit</strong> antara lain adalah dapat<br />

dipakai dalam pembuatan resin termoaktif <strong>dan</strong> sebagai<br />

pemacu dalam proses pengerasan, untuk menghilangkan<br />

kesadahan dalam industri deterjen, menjernihkan kelapa<br />

sawit, menyerap zat warna pada minyak hati ikan hiu, sebagai<br />

katalisator pada proses gasifikasi batubara yang berkadar<br />

belerang <strong>dan</strong>/atau nitrogen tinggi yang menghasilkan gas<br />

bersih.<br />

43


ACUAN<br />

Adisaputra, M.K., 1988. Late Quaternary Calcareous<br />

nannoplankton in the surface sediments of Makassar<br />

and Flores Basins, Indonesia. Bull. Mar. Geol. Inst.<br />

Indonesia V. 3, n. 1, p. 25-31.<br />

Adisaputra, M.K., 1989. Planktonic Foraminifera in Recent<br />

Bottom Sediments of the Flores, Lombok and Sawu<br />

Basins, Eastern Indonesia. Neth. Jour. of Sea Res. 1989,<br />

Vol.4, No.1, p. 21-26.<br />

Adisaputra, M.K., 1993. Recorded zonations of planktonic<br />

foraminifera of the southwestern marginal part of the<br />

Banda Basin and its vicinity. Bull. Mar. Geol. Inst, vol.<br />

8, n. 3<br />

Adisaputra, M.K., Late Quaternary foraminifera of the Sawu<br />

Basin and Sumba Ridge, Eastern Indonesia. Bull. Mar.<br />

Geol. Inst, vol. 6, n. 1, p. 11-18.<br />

Adisaputra, M.K. 1995. Quaternary planktonic foraminifer’s<br />

biozonation in Indian Ocean, South of Jawa. Marine<br />

Geol. Bull., Vol. 10, No. 1. hal. 43-57.<br />

Adisaputra, M.K. 1996. Biostratigrafi Kuarter Sedimen dasar<br />

laut perairan Indonesia Bagian Timur <strong>dan</strong> Samudera<br />

Hindia. Jurnal <strong>Geologi</strong> <strong>dan</strong> Sumberdaya <strong>Mineral</strong>. Vol.VI,<br />

No.59, hal.2-6.<br />

45


Adisaputra, M.K. and Hartono, 2004. Late Miocene–<br />

Holocene Biostratigraphy of single core in Roo Rise,<br />

Indian Ocean, South of East Jawa. Bull. Marine<br />

<strong>Geologi</strong>cal Institute, Vol 19, No.1.<br />

Adisaputra, M.K. and Hartono, 2007. The <strong>Phillipsit</strong> <strong>Mineral</strong><br />

in Deep Sea Sediment from Single Core in Roo Rise-<br />

Indian Ocean, South of East Java, Indonesian Mining<br />

Journal, Vol. 10, No. 9, p.39-43.<br />

Adisaputra M. K. <strong>dan</strong> M. Hendrizan, 2008. Hiatus pada Kala<br />

Eosen-Miosen Tengah di Tinggian Roo, Samudera<br />

Hindia, Selatan Jawa Timur, Berdasarkan Biostratigrafi<br />

Nanoplankton, Jurnal <strong>Geologi</strong> Kelautan, Vol. 6, No.3,<br />

hal. 154-166.<br />

Amethyst Galleries Inc., 2008. http://www.galleries.com, 8.11<br />

AM, April 27 th 2009.<br />

Betekhtin, A., 1960. A course of <strong>Mineral</strong>ogy. Translated from<br />

the Russian by V. Agol. Moscow Publisher.<br />

Bonatti, E., 1963. Zeolites in Pacific pelagic sediments.<br />

Transactions of the New York Academy of Sciences, 25, p.<br />

938-948.<br />

Bown, P., 1999. Calcareous Nannofossil Biostratigraphy.<br />

Kluwer Academic Pub., Dordrecht/ Boston/ London.<br />

Burns, V.M. and R.G. Burns, 1978, Authigenic todrokite and<br />

<strong>Phillipsit</strong> inside deep-sea manganese nodules, American<br />

<strong>Mineral</strong>ogists, Vol. 63, p. 827-831.<br />

46


Cronan, D.S., 1980. Underwater <strong>Mineral</strong>s. London: Academic<br />

Press, 362pp.<br />

Diekmann, B., G.Kuhn, R. Gersonde and A. Mackensen,<br />

2004. Middle Eocene to early Miocene environmental<br />

changes in the sub-Antarctic Southern Ocean: evidence<br />

from biogenic and terrigenous depositional patterns at<br />

ODP Site 1090, Global and Planetary Change, Vol. 40,<br />

Issues 3-4., p. 295-313.<br />

Ghosh, K. and R. Mukhopadhyay, 1995. Large <strong>Phillipsit</strong><br />

Crystal as Ferromanganese Nodule Nucleus, Geo-Marine<br />

Letters, Vol. 15, No.1, p. 59-62<br />

Haq, B.U. J. Hardenbol, P.R. Vail, R.C. Wright, L.E. Stover,<br />

G. Baum, T. Loutit, A. Gombos, T. Davies, C. Pflum,<br />

K. Romine, H. Posamentier, R. Jan Du Chene, 1988.<br />

Cenozoic Cycle Chart. Cambridge Univ. Press.<br />

Hardjatmo and Husiani, 1997, Study on the properties of<br />

some Indonesian natural zeolites. Indonesian Mining<br />

Journal, Vol. 3, No. 1.<br />

Hasjim, N., 1988. Le Neogene Marin Du Nord Est De Java,<br />

Indonesie. Etude Biostratigraphique (Foramini-feres et<br />

Nannoplancton). GEOMEDIA Fons-Troubado Chemin<br />

du Four 13100 Aix en Provence, France, 129 p, 6 pl.<br />

Honnorez, J., 1978. Generation of <strong>Phillipsit</strong>s by<br />

palagonisation of basaltic glass in sea water and the<br />

origin of k-rich deep sea sediments, pp 245-258 in<br />

47


Natural Zeolites, (Eds. L.B. San and F.A. Mumpton). Oxford:<br />

Pergamon Press.<br />

Honza, E., M. Joshima, A. Setya Budhi and A. Nishimura,<br />

1987. Sediments and Rocks in the Sunda Fore Arc.<br />

Committee for Co-ordination of joint Prospecting for<br />

<strong>Mineral</strong> Resources in Asian Offshore Areas. (CCOP)<br />

Technical Bulletin Vol. No. 19, p. 63-68.<br />

Husaini, 2006. Peningkatan pendayagunaan zeolit alam <strong>dan</strong><br />

prospeknya di Indonesia. Pidato pengukuhan Profesor Riset<br />

Bi<strong>dan</strong>g Teknologi Pemrosesan <strong>Mineral</strong>, Puslitbang<br />

Teknologi <strong>Mineral</strong> <strong>dan</strong> Batubara, Bandung.<br />

IIjima, A., 1978. <strong>Geologi</strong>cal occurrences of zeolites in marine<br />

environments, pp. 175-198 in Natural Zeolites, (Eds. L.B.<br />

San and F.A. Mumpton). Oxford: Pergamon Press.<br />

Iwasaki, T., Itabashi, O., Hardjatmo, Suyartono and Goto T.,<br />

1995. Study on utilization of Natural Zeolite (1) Zeolites<br />

and bentonites in Indonesia.<br />

Kastner,M. and Stonecipher, S.A.,1978. Zeolites in pelagic<br />

sediments of the Atlantic, Pacific and Indian Oceans,<br />

pp. 199-220. in Natural Zeolites, (Eds. L.B. San and F.A.<br />

Mumpton). Oxford: Pergamon Press.<br />

Kolla, V and Biscaye, P.E., 1973. Deep-sea zeolites: Variations<br />

in space and time in sediments of the Indian Ocean.<br />

Marine Geology, 15, 11-17.<br />

48


Knox, A.S., Kaplan, D. I. Adriano, D. Hinton, C. T. and<br />

Wilson, M. D. 2003. Apatite and <strong>Phillipsit</strong> as<br />

Sequestering Agents for Metals and Radionuclides, J.<br />

Environ. Qual. 32, p. 515–525.<br />

Kopp, E., R. Flueh, C.J. Petersen, W. Weinrebe, A. Wittwer<br />

and Meramex Scientists, 2006. The Hamilton, G.B. and<br />

M. Hojjatzadah, 1982. Cenozoic Calcareous<br />

Nannofossils– a reconnaissance. Ellis Horwood Limited,<br />

p. 136-167<br />

Kronenberg, S., 2008. De Menselijke Maat. Uitgeverij Atlas.<br />

Amsterdam/ Antwerpen, 340p.<br />

Kusnida, D., Adisaputra, M.K. <strong>dan</strong> Hartono, Penemuan<br />

<strong>Mineral</strong> <strong>Phillipsit</strong>e Berumur Paleosen di Roo Rise –<br />

Samudera Hindia, Buletin <strong>Mineral</strong> <strong>dan</strong> Energi, 2008, Vol<br />

6, No.2, Juli 2008.<br />

Kusnida, D., Occurrence of <strong>Phillipsit</strong>e <strong>Mineral</strong> in Subseafloor<br />

of Roo Rise-Indian Ocean: A Tectonic Erosion<br />

Syntheses, Indonesian Mining Journal, Vol.12, No.13,<br />

2009.<br />

Nielsen, K. P (1985). Cenozoic Calcareous Nannofossils. In<br />

Plankton Stratigraphy, In Cook, A.H. drr. (eds.) -<br />

(1985), Cambridge University Press, p. 427-554.<br />

Nishida, S., 1987. Calcareous Nannoplankton Biostratigraphy<br />

in the Sunda Area. Committee for Co-ordination of<br />

joint Prospecting for <strong>Mineral</strong> Resources in Asian<br />

49


Offshore Areas. (CCOP) Technical Bulletin Vol. No. 19,<br />

p. 70–72.<br />

Petzing, J. and Chester, R., 1979. Authigenic marine zeolites<br />

and their relationships to global volcanism. Marine<br />

Geology, 29, 253-271.<br />

Read, H. S., 1970. Element of <strong>Mineral</strong>ogy. 26 th edition. London,<br />

Thomas Murby <strong>dan</strong> Co.<br />

Rothwell, R.G., 1989. <strong>Mineral</strong> and mineraloids in Marine<br />

Sediments, an optical identification guide. Deacon<br />

Laboratory, England.<br />

Stonecipher, S.A., 1978. Chemistry of deep-sea <strong>Phillipsit</strong>s and<br />

clinoptilolite and host sediments, pp. 221-234. in<br />

Natural Zeolites, (Eds. L.B. San and F.A. Mumpton). Oxford:<br />

Pergamon Press.<br />

Suyartono and Husaini, 1992. Tinjauan terhadap kegiatan<br />

penelitian karakteristik <strong>dan</strong> pemanfaatan zeolit<br />

Indonesia yang dilakukan di PPTM Periode 1980-1991<br />

50


BIOGRAFI<br />

Dida Kusnida, lahir di Bandung, 15<br />

September 1957. Sarjana Jurusan Teknik<br />

<strong>Geologi</strong> dari Institut Teknologi Bandung<br />

tahun 1984 <strong>dan</strong> Magister dari Fak-grup<br />

<strong>Geologi</strong> Kelautan, Vrije Universiteit,<br />

Belanda pada tahun 1989. Peneliti Utama<br />

pada bi<strong>dan</strong>g geofisika kelautan <strong>dan</strong><br />

geologi sedimenter.<br />

Bekerja di Puslitbang <strong>Geologi</strong> Kelautan<br />

(PPPGL) Bandung sejak tahun 1984<br />

hingga sekarang.<br />

Pengalaman penelitian geofisika <strong>dan</strong><br />

geologi kelautan telah diikuti di sebagian<br />

besar perairan <strong>dan</strong> wilayah pesisir<br />

Indonesia sejak tahun 1984 hingga<br />

sekarang.<br />

Anggota IAGI (Ikatan Ahli <strong>Geologi</strong><br />

Indonesia), anggota HAGI (Himpunan<br />

Ahli Geofisika Indonesa) <strong>dan</strong> anggota<br />

MAPIN (Masyarakat Penginderaan Jauh<br />

Indonesia).<br />

51


Mimin Karmini, lahir di<br />

Bandung, 13 Oktober 1943. Lulus<br />

sebagai Sarjana <strong>Geologi</strong> dari Fakultas<br />

MIPA, Universitas Padajajaran tahun<br />

1975.<br />

Bekerja sebagai peneliti pada bi<strong>dan</strong>g<br />

mikropaleontologi sejak tahun 1976<br />

hingga sekarang. Pada tahun 2006<br />

dikukuhkan sebagai Profersor Riset.<br />

Atas dedikasi <strong>dan</strong> prestasinya dalam<br />

menemukan mineral <strong>Phillipsit</strong>, Mimin<br />

Karmini dianugrahi penghargaan Wira<br />

Karya dari Presiden Republik Indonesia<br />

pada tahun 2008.<br />

Berbagai ekspedisi ilmiah telah diikutinya,<br />

antara lain Ekspedisi Snellius<br />

II, Ekspedisi Shiva, Ekspedisi Barat,<br />

Ekspedisi Iphis III, Ekspedisi Images<br />

IV. Berbagai seminar <strong>dan</strong> pelatihan di<br />

luar negeri telah pula diikutinya antara<br />

lain di Belanda, Australia, Jepang,<br />

Prancis <strong>dan</strong> Inggris.<br />

Selain sebagai anggota IAGI, Mimin<br />

juga aktif sebagai anggota Himpunan<br />

Ahli Teknologi Maritim Indonesia<br />

(OSM).<br />

52


Adithiya, lahir di Cimahi, 2 Agustus<br />

1980. Lulus sebagai Sarjana Ilmu Tanah<br />

dari Universitas Pajajaran tahun 2003.<br />

Bekerja sebagai Penyelidik Bumi Pertama<br />

pada bi<strong>dan</strong>g geologi wilayah pesisir di<br />

Puslitbang <strong>Geologi</strong> Kelautan sejak tahun<br />

2004 hingga sekarang.<br />

Anggota IAGI (Ikatan Ahli <strong>Geologi</strong><br />

Indonesia).<br />

53

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!