prosidingshn2014
prosidingshn2014
prosidingshn2014
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Keeping Our Small Boat Afloat<br />
By Robert Bly<br />
It‟s hard to grasp how much generosity<br />
Is involved in letting us go on breathing,<br />
When we contribute nothing valuable but our grief.<br />
Each of us deserves to be forgiven, if only for<br />
Our persistence in keeping our small boat afloat<br />
When so many have gone down in the storm.<br />
ii
Desain Sampul<br />
“Keeping Our Small Boat Afloat”<br />
Elizabeth Elysia<br />
Fakultas Hukum Universitas Indonesia 2013
PROSIDING<br />
SIMPOSIUM HUKUM<br />
NASIONAL 2014<br />
“Peningkatan Peran Pemerintah dan Partisipasi Masyarakat<br />
dalam Melawan Kekerasan Seksual”
Prosiding Simposium Hukum Nasional 2014<br />
“Peningkatan Peran Pemerintah dan Partisipasi Masyarakat dalam<br />
Melawan Kekerasan Seksual”<br />
Pertama kali diterbitkan dalam bahasa Indonesia<br />
oleh Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Juni 2015<br />
Kampus FHUI Gedung D-405<br />
Depok – Jawa Barat 16424<br />
Telp. +6221 7270003 ext. 73<br />
Email jurnalhp@ui.ac.id<br />
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang<br />
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku<br />
ini tanpa izin tertulis dari Penerbit<br />
xvi + 211 hlm.<br />
ISBN: 978-979-8972-57-7<br />
Disusun oleh<br />
Tim Output<br />
Panitia Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Penanggung Jawab<br />
Kristi Ardiana<br />
Wakil Penanggung Jawab<br />
Aris Dzilhamsyah<br />
Almitra Indira<br />
Amanda Husna K<br />
Eliza Anggasari<br />
Irena Lucy Ishimora<br />
Muhammad Satria Jaya<br />
Raychel Mayshun
“Tanah air ada di sana, di mana ada cinta dan kedekatan hati, di<br />
mana tidak ada manusia menginjak manusia lain.”<br />
Y. B. Mangunwijaya<br />
Kepada<br />
Prihanggodo, Haullussy & Partners<br />
KitaBisa<br />
IndoAgri Sehati<br />
PT. Pelayaran Kartika Samudra Adijaya<br />
Kartini Muljadi & Rekan<br />
Hakim & Rekan<br />
PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk.<br />
PT. Vale Indonesia<br />
Angkatan ‟82 FHUI<br />
PT Mitra Adiperkasa Tbk.<br />
Kailimang & Ponto<br />
PT. Fonterra Brands Indonesia<br />
Pancious<br />
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak<br />
Komnas Perempuan<br />
Enjoy Jakarta!<br />
Terima kasih telah membantu kami mewujudkannya.
Kata Sambutan Dekan FHUI<br />
KATA SAMBUTAN<br />
DEKAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA<br />
Syukur Alhamdulillah patut diucapkan karena atas petunjuk dan<br />
bimbingan-Nya lah buku prosiding ini dapat dicetak sebagai rangkaian<br />
akhir dan hasil nyata dari kegiatan Simposium Hukum Nasional 2014<br />
(SHN 2014) yang dilaksanakan oleh BEM FHUI 2014.<br />
Kekerasan seksual dapat terjadi pada siapa saja dan dimana<br />
saja. Hal tersebut dapat terjadi pada wanita, anak dan bahkan kepada<br />
pria dewasa. Korban kekerasan seksual memiliki karakter yang berbeda<br />
dengan karakter korban tindak pidana lainnya. Korban tindak pidana<br />
dalam banyak kasus terlihat begitu antusias memperjuangkan haknya.<br />
Berbeda dengan korban kekerasan seksual, mereka malu dan bahkan<br />
berusaha menutupi fakta bahwa dirinya adalah korban.<br />
Saat ini hal tersebut menjadi wajar. Menjadi korban kekerasan<br />
seksual masih dapat dianggap sebagai suatu aib. Rasa malu dan tabu<br />
mencegah para korban untuk melaporkan bahwa dirinya adalah korban.<br />
Nama baik keluarga menjadi lebih penting ketimbang dipenuhinya hak<br />
mereka sebagai korban. Belum lagi masih terdapat oknum penegak<br />
hukum yang belum memahami perspektif korban kekerasan seksual,<br />
yang justru dapat menyebabkan korban kekerasan seksual yang melapor<br />
menjadi korban untuk kedua kalinya karena pertanyaan-pertanyaan<br />
yang justru melecehkan. Kondisi ini tentunya menguntungkan para<br />
pelaku kekerasan seksual.<br />
Hal ini harus berubah. Dan perubahan harus dimulai dengan<br />
suatu tindakan nyata. SHN 2014 yang digagas oleh BEM FHUI dan<br />
beberapa BEM Fakultas Hukum seluruh Indonesia merupakan suatu hal<br />
nyata yang dilakukan oleh para Mahasiswa dalam perannya sebagai<br />
agen perubahan. Dengan tema “Peningkatan Peran Pemerintah dan<br />
Partisipasi Masyarakat dalam Melawan Kekerasan Seksual”, diharapkan<br />
kedepan akan tercipta suatu kondisi yang ramah korban dan utamanya<br />
dapat mengurangi terjadinya kekerasan seksual. Dibutuhkan peran<br />
semua pihak untuk menciptakan kondisi tersebut.<br />
Prosiding ini dibuat sebagai hasil sumbangsih pemikiran para<br />
mahasiswa dalam menyikapi fenomena kekearasan seksual. Diharapkan<br />
semua pihak dapat membaca prosiding ini sebagai bahan baik dalam<br />
pembentukan kebijakan, penanganan kasus maupun usaha advokasi<br />
dalam upaya melawan kekerasan seksual. Selamat membaca!<br />
Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia<br />
Prof. Dr. Topo Santoso S.H., M.H.<br />
i
Kata Sambutan Manajer Pendidikan dan Kemahasiswaan FHUI<br />
KATA SAMBUTAN<br />
MANAJER PENDIDIKAN DAN KEMAHASISWAAN<br />
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA<br />
Anyone who closes his eyes to the past is blind to the present<br />
(Richard von Weizsacker)<br />
Kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia, utamanya terhadap<br />
perempuan dan anak, adalah sudah berada pada tingkatan yang<br />
mengkhawatirkan. Setiap saat terjadi kekerasan seksual di Indonesia<br />
dengan frekuensi yang semakin meningkat. Baik di perkotaan maupun<br />
perdesaan. Menurut data dari Komnas Perempuan, dalam waktu 13<br />
tahun terakhir kasus kekerasan seksual berjumlah hampir seperempat<br />
dari seluruh total kasus kekerasan atau 93960 kasus dari seluruh kasus<br />
kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan.<br />
Dari segi perundang-undangan, negara Indonesia sudah cukup<br />
mengantisipasi fenomena ini dengan meratifikasi CEDAW sejak 1984,<br />
melahirkan UU Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan tahun<br />
2004, melahirkan UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak<br />
Pidana Perdagangan Orang, UU Pornografi tahun 2008, lalu UU<br />
Perlindungan Anak tahun 2002 dan perubahannya tahun 2014, dan lain<br />
sebagainya.<br />
Namun, keberadaan undang-undang saja tidak cukup. Harus ada<br />
upaya luar biasa untuk mengakhiri atau mengurangi kekerasan seksual<br />
ini. Juga, tak bisa hanya mengandalkan penegak hukum (Polisi, Jaksa,<br />
Hakim, Advokat), Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, Gugus<br />
Tugas Trafficking, dan P2TP2A saja. Seluruh pemangku kepentingan<br />
harus terlibat aktif. Apakah anak, remaja, orangtua, keluarga,<br />
masyarakat, lingkungan, sekitar, sekolah, kampus, tempat kerja, dunia<br />
usaha, dan sebagainya.<br />
Pelajaran dari Amerika Serikat, ada inisiatif masyarakat dan<br />
dunia usaha untuk melahirkan semacam kode, misalnya „Code of<br />
Adam‟ atau „Amber Alert‟ sebagai kode khusus untuk bereaksi cepat<br />
apabila ada kabar anak hilang atau penculikan anak. Lalu ada pula<br />
„Silver Alert‟ apabila terkabarkan ada lansia yang hilang. Inisiatif<br />
tersebut kemudian bersinergi dan terwadahi oleh penegak hukum dan<br />
pembuat hukum, sehingga menjadi gerakan masyarakat sekaligus upaya<br />
penegakan hukum yang luar biasa dalam melawan kekerasan di USA.<br />
Mahasiswa dan dunia kampus adalah bagian dari pemangku<br />
kepentingan itu. Selaku bagian kecil dari masyarakat Indonesia yang<br />
beruntung karena sempat mengecap bangku pendidikan yang lebih<br />
tinggi, didukung dengan semangat idealis dan fisik yang masih prima,<br />
mahasiswa harus dan wajib ikut serta dalam upaya-upaya mengurangi<br />
ii
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
atau mencegah kekerasan seksual di Indonesia. Apalagi, tidak sedikit<br />
diantara para mahasiswa adalah sekaligus menjadi tersangka pelaku,<br />
korban, ataupun saksi dari kekerasan seksual.<br />
Simposium Hukum Nasional (SHN) yang digagas dan telah<br />
dilaksanakan oleh kepanitiaan yang dibentuk BEM FHUI 2014 adalah<br />
bagian dari upaya mulia untuk mengurangi dan mencegah kekerasan<br />
seksual ala mahasiswa. Melalui kolaborasi dan partisipasi dengan<br />
mahasiswa dari banyak kampus, melalui hari-hari penuh diskusi, dialog,<br />
debat, pencerahan dan aktualisasi pemikiran melalui tulisan, lahirlah<br />
buku ini. Apresiasi tertinggi saya sampaikan untuk rekan-rekan panitia<br />
dan seluruh partisipan. Apa yang telah kalian lakukan insya Allah akan<br />
sangat bermanfaat untuk perjuangan melawan kekerasan seksual di<br />
Indonesia.<br />
“Kezhaliman akan terus ada, bukan karena banyaknya orang-orang<br />
jahat. Tapi karena "diam"nya orang-orang baik”.<br />
(Ali ibn Abi Thalib)<br />
Depok, Januari 2015<br />
Heru Susetyo, S.H., LL.M., M.Si., Ph.D.<br />
iii
Kata Sambutan Ketua BEM FHUI 2014<br />
KATA SAMBUTAN<br />
KETUA BEM FHUI 2014<br />
Assalamualaikum Wr. Wb.<br />
Salam Sejahtera Untuk Kita Semua.<br />
Pertama-tama izinkanlah saya untuk menghaturkan puji dan<br />
syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat-Nya lah<br />
maka acara Simposium Hukum Nasional 2014 berhasil dijalankan<br />
dengan lancar dan prosiding yang merupakan rangkuman dari acara<br />
tersebut dapat diselesaikan dan dipublikasikan kepada masyarakat luas.<br />
Lalu kemudian izinkanlah saya untuk berterima kasih kepada para<br />
sponsor dan media partner yang telah membantu berjalannya acara ini.<br />
Tidak lupa juga saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya<br />
kepada teman-teman Panitia Simposium Hukum Nasional 2014 yang<br />
telah bekerja amat keras untuk merealisasikan mimpi ini, dan tentunya<br />
teman-teman delegasi dari Simposium Hukum Nasional 2014 yang<br />
telah rela mengikuti seluruh rangkaian acara yang kami sediakan dan<br />
menyumbangkan ide-ide dan saran demi tercapainya tujuan hukum bagi<br />
seluruh rakyat Indonesia.<br />
Sebelum memasuki isi dari prosiding ini maka ada baiknya<br />
saya perkenalkan dahulu acara yang merupakan landasan dari prosiding<br />
ini, yaitu Simposium Hukum Nasional 2014 (SHN 2014). SHN 2014<br />
adalah sebuah program kerja dari Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas<br />
Hukum Universitas Indonesia tahun 2014, dimana program kerja ini<br />
sudah dijalankan untuk yang ketiga kalinya semenjak tahun 2012.<br />
Tujuan dari acara ini adalah untuk mengumpulkan mahasiswamahasiswa<br />
Fakultas Hukum se-Indonesia untuk berdiskusi dan<br />
menghasilkan sebuah gagasan terkait permasalahan-permasalahan<br />
hukum yang ada di Indonesia kepada para stakeholders terkait dan<br />
merancang berbagai gerakan sosial yang akan diaplikasikan di penjuru<br />
daerah di Indonesia.<br />
Pada tahun ketiga dilaksanakannya SHN 2014 ini, kami<br />
mengangkat sebuah Tema yaitu “Peningkatan Peran Pemerintah dan<br />
Partisipasi Masyarakat dalam Memerangi Kekerasan Seksual” dengan<br />
tagline “Selaras Paham Lawan Kekerasan Seksual”. Tema ini berangkat<br />
dari keprihatinan kami atas kurangnya perhatian, rumitnya penanganan,<br />
dan lambatnya penyelesaian kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi<br />
di Indonesia selama ini. Isu Kekerasan Seksual sebenarnya bukanlah<br />
sebuah isu yang baru muncul belakangan ini. Menurut KOMNAS<br />
Perempuan, 35 wanita Indonesia menjadi korban kekerasan seksual<br />
setiap harinya. Kekerasan seksual tidak hanya terjadi pada perempuan,<br />
iv
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
akan tetapi juga terjadi kepada pria, orang-orang lanjut usia dan anakanak.<br />
Kekerasan seksual bukanlah sebuah permasalahan yang dapat<br />
dipandang dengan sebelah mata. Ada luka psikis yang tertinggal pada<br />
korban yang menyebabkan trauma dan depresi. Tidak hanya itu,<br />
masyarakat masih cenderung melihat korban kekerasan seksual dengan<br />
pandangan yang sinis dan melabeli mereka sebagai “orang yang kotor”.<br />
Tentu sangat mengerikan ketika korban-korban kekerasan seksual<br />
dipandang negatif oleh masyarakat, ketakutan untuk melaporkan<br />
kekerasan tersebut ke lembaga yang berwenang dan mirisnya lagi, tidak<br />
jarang para korban kekerasan seksual mendapatkan penanganan yang<br />
tidak layak dari institusi penegak hukum.<br />
Selama acara ini yang dilaksanakan pada tanggal 17-21<br />
November 2014, puluhan mahasiswa-mahasiswa dari berbagai<br />
Universitas yang tersebar di seluruh Indonesia saling bercerita<br />
mengenai fenomena kekerasan seksual yang terjadi di daerahnya<br />
masing-masing dan bertukar informasi dan strategi untuk bersama-sama<br />
selaras dan paham dalam melawan kekerasan seksual. Selama itu juga,<br />
para delegasi mendapatkan informasi dari tokoh-tokoh masyarakat,<br />
lembaga negara, dan LSM-LSM yang juga concern terhadap<br />
permasalahan ini. Pada akhirnya juga para delegasi membuat sebuah<br />
tinjauan hukum yang ditujukan kepada pemangku kebijakan, seperti<br />
DPR dan Institusi Kepolisian untuk dapat lebih optimal melawan<br />
kekerasan Seksual.<br />
Akhir kata, semoga usaha dan cita-cita kami pada SHN 2014<br />
ini dapat bermanfaat bagi bangsa ini dan semoga prosiding dari acaraini<br />
dapat menjadi sebuah bahan bacaan yang memberikan pemahaman<br />
baru, semangat dan ajakan bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk<br />
bersama-sama memerangi kekerasan seksual yang bisa terjadi dimana<br />
saja, kapan saja, dan siapa saja.<br />
Wassalamualaikum Wr.Wb.<br />
Gery Fathurrachman<br />
Ketua BEM FHUI 2014<br />
v
Kata Sambutan Ketua Pelaksana<br />
KATA SAMBUTAN<br />
KETUA PELAKSANA SIMPOSIUM HUKUM NASIONAL 2014<br />
Abad Pertengahan di Eropa ditandai dengan bangkitnya<br />
Gereja sebagai sebuah kekuasaan yang memiliki pengaruh yang sangat<br />
besar namun sangat korup dan menimbulkan banyak penyelewengan,<br />
termasuk di ajaran agama Kristiani sendiri, sehingga Abad Pertengahan<br />
disebut juga sebagai Abad Kegelapan. Di masa itu, muncul sosok Jan<br />
Hus - seorang pastur dan akademisi dari Bohemia. Kejahatan dan<br />
penyesatan yang terjadi di tubuh gereja begitu masif, sehingga ia<br />
melakukan penentangan dengan menyebarkan ajaran Reformasi.<br />
Perlawanan Jan Hus harus berakhir ketika ia akhirnya ditangkap dan<br />
dihukum mati dengan cara dibakar pada tahun 1415. Seratus tahun<br />
kemudian setelah kematiannya, tulisannya menjadi salah satu yang<br />
menginspirasi Martin Luther untuk memakukan 95 tesisnya di depan<br />
gereja di Wittenberg yang menjadi awal dari era Reformasi Protestan.<br />
Berani menciptakan perubahan adalah berani mengarungi<br />
samudera luas sekecil apapun perahu yang berlayar atau sebesar apapun<br />
ombak yang harus dilewati, meskipun pada akhirnya bukan kita yang<br />
akan sampai di ujung samudera. Seperti Jan Hus yang berani ikut<br />
menantang samudera meskipun Martin Luther yang berhasil mencapai<br />
akhirnya.<br />
Kekerasan seksual adalah sebuah kejahatan terhadap manusia<br />
yang tidak hanya sekedar menyerang organ seksual, namun juga<br />
meninggalkan luka psikis yang terus dibawa oleh korban sepanjang<br />
hidupnya. KOMNAS Perempuan menyatakan bahwa setiap harinya, 35<br />
perempuan menjadi korban kekerasan seksual di Indonesia. Seperti<br />
gunung es, angka ini pun hanya statistik dari sebuah realita yang jauh<br />
lebih mengerikan. Sungguh menyedihkan ketika menghadapi fakta ini,<br />
kita melihat betapa tidak mampu dan acuhnya hukum, aparat hukum,<br />
dan masyarakat Indonesia dalam melindungi setiap pribadi dari<br />
kekejaman kekerasan seksual. Setiap hidup manusia patut<br />
diperjuangkan, oleh karena itu negeri ini butuh perubahan. Simposium<br />
Hukum Nasional 2014 diadakan untuk menjadi pionir bagi perubahan<br />
tersebut.<br />
Dengan mimpi ini, kami mengumpulkan mahasiswamahasiswa<br />
dari fakultas hukum di seluruh Indonesia dan seluruh bagian<br />
masyarakat untuk bersama-sama memulai perubahan. Simposium<br />
Hukum Nasional 2014 diadakan selama lima hari, dan di dalam lima<br />
hari ini pula tiga belas delegasi dari berbagai penjuru Indonesia<br />
menyatukan pikiran, tenaga, dan cinta mereka terhadap bangsa hingga<br />
tersusunnya Tinjauan Hukum Kekerasan Seksual Simposium Hukum<br />
Nasional 2014, dengan harapan bahwa tinjauan hukum ini dapat<br />
vi
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
menjadi suara nyaring yang memecah kesunyian yang meliputi<br />
problema hukum kekerasan seksual di Indonesia.<br />
Perjalanan untuk mencapai negeri berkemanusiaan yang adil<br />
dan beradab itu sungguh masih panjang - mungkin dua tahun, sepuluh<br />
tahun, atau seribu tahun lamanya. Akhir bahagia dari samudera yang<br />
kami tantang belum tentu boleh kami raih sendiri, tetapi kami percaya<br />
sekecil apapun perbuatan baik kami tidak akan pernah sia sia.<br />
Kepada Mbak Muthmainnah, Bang Fadel, Bang Agung, dan<br />
Bang Dion yang telah memberikan kesempatan bagi kami untuk<br />
memulai dan terus mendukung kami sampai akhir, seluruh teman-teman<br />
panitia (kalian hebat!), delegasi, Bapak dan Ibu dosen yang telah<br />
membimbing kami, pembicara, peserta, sponsor, pendukung, mitra<br />
media, serta semua pribadi yang telah memberikan doa, semangat, cinta,<br />
kepedulian, tenaga, serta dukungan finansial bagi Simposium Hukum<br />
Nasional 2014, selalu dan selamanya saya mengucapkan terima kasih.<br />
Selamat membaca mimpi dan cinta kami.<br />
Hidup mahasiswa, Hidup bangsa Indonesia.<br />
Florianti Kurnia Sjaaf<br />
Ketua Pelaksana Simposium Hukum Nasional 2014<br />
vii
Daftar Isi<br />
DAFTAR ISI<br />
Kata Sambutan Dekan FH UI<br />
Kata Sambutan Manajer Pendidikan dan Kemahasiswaan FH UI<br />
Kata Sambutan Ketua BEM FH UI 2014<br />
i<br />
ii<br />
iv<br />
Kata Sambutan Ketua Pelaksana Simposium Hukum Nasional<br />
2014 vi<br />
Daftar Isi<br />
viii<br />
Sekilas Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Peningkatan Peran Pemerintah dan Partisipasi<br />
Masyarakat Dalam Melawan Kekerasan Seksual<br />
Delegasi Simposium Hukum Nasional 2014<br />
xi<br />
xvi<br />
Makalah Pembicara<br />
Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan: Perspektif<br />
Islam<br />
Husein Muhammad<br />
1<br />
Peningkatan Peran Pemerintah Dan Partisipasi<br />
Masyarakat Dalam Memerangi Kekerasan Seksual<br />
Meutia Farida Hatta Swasono<br />
7<br />
Perspektif Masyarakat Terhadap Kekerasan Seksual<br />
Dra. Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, M.Hum.<br />
16<br />
Makalah Delegasi<br />
Komisi 1: Hukum Materiil<br />
Tinjuan Hukum Materiil Mengenai Kekerasan<br />
Seksual Terhadap Anak Di Indonesia<br />
Fakultas Hukum Universitas Bengkulu<br />
26<br />
Tindakan Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan<br />
Fakultas Syari‟ah Universitas Islam Negeri<br />
Sumatera Utara<br />
40<br />
viii
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Komisi 2: Hukum Formil<br />
Tinjuan Hukum Formil Mengenai Kekerasan<br />
Seksual<br />
Fakultas Syari‟ah dan Ilmu Hukum Universitas<br />
Islam Negeri Sultan Syarif Kasim<br />
54<br />
Kekerasan Seksual Terhadap Anak Dan Upaya<br />
Hukum Di Indonesia<br />
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah<br />
Surakarta<br />
67<br />
Tinjauan Kriminologis Terhadap Tindak Pidana<br />
Pemerkosaan<br />
Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya<br />
77<br />
Peranan Alat Bukti Dan Etika Aparat Penegak<br />
Hukum Dalam Pemberantasan TIndak Pidana<br />
Perkosaan Di Indonesia<br />
Fakultas Hukum Universitas Trisakti<br />
90<br />
Komisi 3: Perlindungan dan Pendampingan Korban<br />
Perlindungan Dan Pendampingan Korban<br />
Kekerasan Seksual Di Padang, Sumatera Barat<br />
Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta<br />
99<br />
Pelaksanaan Fungsi Penanganan Hukum Terhadap<br />
Korban Kekerasan Seksual Di Jakarta<br />
Fakultas Hukum Universitas Indonesia<br />
104<br />
Perlindungan Dan Pendampingan Korban<br />
Kekerasan Seksual Di Banyumas, Jawa Tengah<br />
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman<br />
118<br />
Pencegahan Dan Perlindungan Hukum Kekerasan<br />
Seksual Pada Anak di Kota Banjarmasin<br />
Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat<br />
131<br />
ix
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Perlindungan Dan Penanganan Korban Kekerasan<br />
Seksual Di Jawa Barat<br />
Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung<br />
145<br />
Efisiensi Perlindungan Dan Pendampingan Korban<br />
Pemerkosaan Dalam Konteks Pemberlakuan<br />
Syari‟at Islam Di Aceh<br />
Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala<br />
161<br />
Tinjauan Hukum Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Tabel Tinjauan Hukum Simposium Hukum<br />
Nasional 2014 171<br />
Penjelasan Tabel Tinjauan Hukum Simposium<br />
Hukum Nasional 2014 181<br />
Susunan Kepanitiaan 212<br />
ix
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Sekilas Simposium Hukum Nasional 2014<br />
“Peningkatan Peran Pemerintah dan Partisipasi Masyarakat<br />
Dalam Melawan Kekerasan Seksual”<br />
Simposium Hukum Nasional 2014 (SHN 2014) adalah sebuah<br />
gerakan hukum dan sosial, yang melibatkan partisipasi Pemerintah,<br />
Masyarakat, dan Mahasiswa, dalam melakukan perlawanan terhadap<br />
kekerasan seksual di Indonesia. Dibentuk atas prakarsa Badan Eksekutif<br />
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia 2014 (BEM FHUI<br />
2014) bersama-sama dengan dua belas universitas lain di seluruh<br />
penjuru Indonesia sebagai delegasi, kami bersama-sama menciptakan<br />
produk tinjauan hukum terhadap kekerasan seksual dan mewujudkan<br />
gerakan sosial bernafaskan anti-kekerasan seksual. SHN 2014<br />
merupakan wadah diskusi dan lumbung akademis yang<br />
mempertemukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan<br />
Perlindungan Anak, Kementerian Hukum dan HAM, Mahkamah<br />
Agung, Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Ketua Komisi Nasional<br />
Perempuan (Komnas Perempuan), Aparat Penegak Hukum (Hakim dan<br />
Kepolisian Republik Indonesia), Tokoh-tokoh Masyarakat, Aktivis<br />
Pejuang HAM, Akademisi, Seniman, dan Mahasiswa. Dengan<br />
mengusung tema “Peningkatan Peran Pemerintah dan Partisipasi<br />
Masyarakat”, kami berharap SHN 2014 menjadi jembatan penghubung<br />
pemerintah dalam melindungi korban kekerasan seksual dan<br />
memberantas kekerasan seksual, sekaligus menerangi langkah<br />
pemerintah dan masyarakat untuk melawan gelap-pekatnya fenomena<br />
kekerasan seksual di negeri ini.<br />
BEM FHUI 2014 sempat ikut berpartisipasi dalam mengawal<br />
kasus pelecehan seksual yang dialami oleh seorang perempuan di<br />
Koridor Harmoni Bus Transjakarta. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat<br />
merupakan tempat pengadilan kasus tersebut sekaligus menjadi saksi<br />
bisu atas vonis hukuman yang sangat ringan bagi keempat pelaku<br />
pelecehan seksual, yaitu 1,5 tahun. Selain itu, BEM FHUI 2014 juga<br />
ikut mengawal kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Sitok<br />
Srengenge terhadap seorang mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya<br />
Universitas Indonesia. Kedua kasus ini menjadi potret kecil lemahnya<br />
penegakan hukum bagi kasus kekerasan seksual.<br />
Tujuan besar dari SHN 2014 salah satunya adalah<br />
menyadarkan masyarakat akan keberadaan kekerasan seksual sebagai<br />
penyakit sosial dan moral bangsa. Media karya seni lukis dan film<br />
menjadi penghubung yang tepat dalam menyebarkankesadarankepada<br />
masyarakat luas. SHN 2014 menyelenggarakan Pre-Event pada tanggal<br />
29-30 Oktober 2014 yang bertempat di Perpustakaan Pusat Universitas<br />
Indonesia dan Cinema Room Universitas Indonesia, berupa Kompetisi<br />
xi
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
dan Pameran Lukis Mural dengan tema “Memecahkan Kesunyian” dan<br />
Festival Film yang memiliki pesan moral untuk melawan kekerasan<br />
seksual. Tiga film yang ditampilkan adalah Bitter Honey (sebuah film<br />
dokumenter yang menceritakan fenomena poligami pada masyarakat<br />
adat Bali), Ca Bau Khan, dan Sang Penari. Rangkaian festival film<br />
disajikan dengan diskusi terbuka oleh beberapa narasumber, antara lain<br />
Ni Nengah Budawati (Direktur Lembaga Bantuan Hukum APIK Bali),<br />
Nia Dinata (Sutradara Film Ca Bau Khan) dan Mohamad Guntur Romli<br />
(Penulis Skrip Film Sang Penari).<br />
Rangkaian acara inti Simposium Hukum Nasional<br />
diselenggarakan pada tanggal 17-21 November 2014 bertempat di<br />
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok.<br />
Pada hari pertama, Senin 17 November 2014, diadakan<br />
Seminar Kekerasan Seksual dengan tema“Membongkar Mitos,<br />
Menyuguhkan Realita”. Seminar ini meninjau persepsi masyarakat yang<br />
belum tentu benar dan mengungkap fakta sebenarnya tentang fenomena<br />
kekerasan seksual dari perspektif hukum, forensik, filsafat, dan<br />
psikologi, dengan narasumber:<br />
1. Dr. Livia Iskandar Dharmawan, Psi., M.S., Direktur<br />
Internasional dan psikolog dari Yayasan Pulih;<br />
2. Dr. Gadis Arivia Effendi, S.S., Pendiri Jurnal Perempuan dan<br />
Dosen Studi Feminisme dan Filsafat Kontemporer UI;<br />
3. Prof. DR. dr. Agus Purwadianto, S.H., M.Si., Sp.F(K), Ketua<br />
Umum Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia;<br />
4. Dr. Elfina Lebrine Sahetapy, S.H., LL.M., Dosen Viktimologi<br />
dan Kriminologi dan Sistem Peradilan Anak dan Kekerasan<br />
terhadap PerempuanUniversitas Surabaya.<br />
Rangkaian acara dilanjutkan dengan Kuliah Umum<br />
“Kekerasan Seksual Dalam Perspektif Peraturan Perundangan di<br />
Indonesia” untuk menyelaraskan pemahaman yuridis terhadap produk<br />
hukum yang mengatur kekerasan seksual serta membahas tentang<br />
produk-produk hukum nasional yang mengatur tentang kekerasan<br />
seksual, apakah hukum nasional tersebut sudah cukup adil dan<br />
berperspektif hak asasi manusia, dan kekerasan seksual dari perspektif<br />
RUU KUHP dan RUU KUHAP. Kuliah Umum dihadiri oleh<br />
narasumber, antara lain:<br />
1. Dr. Lidwina Inge Nurtjahyo, S.H., M.Si., Dosen Antropologi<br />
Hukum FH dan FISIP UI;<br />
2. Desti Murdijana, Koordinator Komisi Nasional Anti Kekerasan<br />
Terhadap Perempuan;<br />
3. Indon Sinaga, Staf Ahli Komisi VIII DPR RI;<br />
4. Dr. H. Zainuddin, S.H., M.Hum., Panitera Muda Pidana Umum<br />
Mahkamah Agung.<br />
xii
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Para delegasi SHN 2014 kemudian membagi pandangan<br />
mereka mengenai masalah kekerasan seksual di daerahnya masingmasing.Setiap<br />
daerah asal delegasi pasti memiliki latar budaya dan<br />
sosial yang berbeda-beda sehingga masalah kekerasan seksualnya pun<br />
beragam. Acara Sharing Antar Delegasi ini dimoderatori oleh Christina<br />
Yulita Purbawati dari Komnas Perempuan.<br />
Pada hari kedua, Selasa 18 November 2014, rangkaian acara<br />
dibuka oleh Talkshow Kekerasan Seksual dengan tema “Kita (adalah)<br />
Mereka: Memahami Korban Kekerasan Seksual”. Diskusi ini<br />
membahas upaya-upaya yang perlu dilakukan dalam mendampingi<br />
korban kekerasan seksual dan jika kita menjadi korban kekerasan<br />
seksual sehingga peserta diharapkan dapat menjadi peka dan lebih<br />
memahami gambaran mengenai keadaan korban perkosaan secara fisik<br />
dan psikis serta upaya-upaya pelaporan kekerasan seksual yang perlu<br />
ditingkatkan. Narasumber yang hadir adalah:<br />
1. Helga Worotitjan, Pendiri Lembaga Inspirasi Indonesia;<br />
2. Wulan Danoekoesoemo, S.Psi., M.Psi., Psikolog dan Pendiri<br />
Lentera Indonesia;<br />
3. Hj. Netty Prasetiyani Heryawan, M.Si, Ketua P2TP2A Jawa<br />
Barat & Istri dari Gubernur Jawa Barat;<br />
4. Mudjiati, S.H., Deputi Perlindungan Perempuan dari Kementerian<br />
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.<br />
Lalu, acara dilanjutkan oleh Seminar Nasional Kekerasan<br />
Seksual “Kekerasan Seksual Dalam Konsep Pluralitas di Negara<br />
Indonesia”, yang membahas kekerasan seksual dari sudut pandang<br />
hukum, sosial, budaya, dan konsep pluralitas yang terdapat di Indonesia<br />
dengan narasumber:<br />
1. K.H. Husein Muhammad, Ulama dan Komisioner Komnas<br />
Perempuan;<br />
2. Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono, S.S., M.A., Menteri<br />
Pemberdayaan Perempuan periode 2004-2009;<br />
3. Dra. Sinta Nuriyah A. Wahid, M. Hum., Pendiri Yayasan Puan<br />
Amal Hayati;<br />
4. Dr. Seno Gumira Ajidarma, S.Sn., M.Hum., Penulis dan<br />
Seniman.<br />
Pada hari ketiga, Rabu 19 November 2014, para delegasi dari<br />
fakultas hukum dari universitas di seluruh penjuru Indonesia<br />
menghadiri forum diskusi Simposium Hukum yang bertujuan untuk<br />
melahirkan sebuah tinjauan hukum terhadap peraturan perundangundangan<br />
di Indonesia dalam segi materiil, formil, dan penanganan<br />
serta perlindungan korban kekerasan seksual. Diskusi terbagi menjadi 3<br />
focus-group discussion yang diselenggarakan pada pagi hari dan<br />
xiii
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
masing-masing focus-group memaparkan hasil diskusi sehingga<br />
menghasilkan satu kesatuan output yaitu tinjauan hukum.<br />
Pada hari keempat, Kamis 20 November 2014, dalam rangka<br />
memberikan inspirasi dan pemahaman untuk menciptakan gerakan<br />
sosial anti kekerasan seksual, diselenggarakanlah Workshop Kekerasan<br />
Seksual “Langkah Anak Muda Lawan Kekerasan Seksual” dengan<br />
tujuan membahas upaya yang perlu dilakukan dalam meningkatkan<br />
kesadaran masyarakat terhadap kekerasan seksual dan bertujuan untuk<br />
mencari ide-ide kreatif yang berasal dari masyarakat dalam melakukan<br />
pencegahan kekerasan seksual.Workshop ini dihadirioleh narasumber<br />
antara lain:<br />
1. Heru Susetyo, S.H., LL.M., M.Si., Dosen FHUI dan aktivis<br />
HAM;<br />
2. Ratna Batara Munti S.Ag., M.Si., Direktur Eksternal LBH Apik;<br />
3. Saras Dewi, Dosen dan Ketua Program Ilmu Filsafat UI;<br />
4. Kartika Jahja, Seniman dan Aktivis.<br />
Setelah Workshop, para delegasi SHN 2014 mengikuti<br />
ekskursi di Mahkamah Agung yang dilanjutan dengan sebuah Rapat<br />
Tindak Lanjut dalam rangka menentukan gerakan sosial yang akan<br />
dibawa ke daerah masing-masing delegasi.<br />
Pada hari kelima, Jumat 21 November 2014, diselenggarakan<br />
sebuah Diskusi Panel untuk menyampaikan hasil diskusi tinjauan<br />
hukum dan rapat tindak lanjut delegasi dan berdiskusi dengan pihak<br />
pemerintah, aparat penegak hukum, dan Komisi VIII DPR untuk<br />
mewujudkan peningkatan peran pemerintah dalam melawan kekerasan<br />
seksual. Beberapa panelis yang datang antar a lain :<br />
1. Ratna Susianawati, S.H., M.H., Kepala Biro Hukum dan<br />
Hubungan Masyarakat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan<br />
Perlindungan Anak<br />
2. Kombes John Hendri, S.H., Kepala Bagian Hukum Markas Besar<br />
Kepolisian Republik Indonesia<br />
3. Asmaul Khusnaeny, Asisten Koordinator Reformasi Hukum dan<br />
Kebijakan dari Komnas Perempuan<br />
4. Hj. Ledia Hanifa Amaliah, Wakil Ketua Komisi VIII Dewan<br />
Perwakilan Rakyat<br />
5. Dr. Aidir Amin Daud, S.H., M.H., DFM., Direktur Jenderal Hak<br />
Asasi Manusia Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia<br />
Rangkaian acara SHN 2014 ditutup dengan kegiatan postevent,<br />
Sabtu 22 November 2014. Para delegasi SHN 2014 datang ke<br />
Gelora Bung Karno untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat<br />
Jakarta untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman terhadap<br />
bahaya kekerasan seksual.<br />
xiv
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Kami berharap Simposium Hukum Nasional 2014 dapat<br />
menjadi pionir bagi hukum kekerasan seksual yang lebih adil bagi<br />
korban dan setiap manusia Indonesia yang masih mempercayai<br />
eksistensi hak asasi manusia. SHN 2014, Selaras Paham Lawan<br />
Kekerasan Seksual!<br />
Kharisma Bintang Alghazy<br />
Wakil Ketua Pelaksana Simposium Hukum Nasional 2014<br />
xv
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Delegasi Simposium Hukum Nasional 2014<br />
1. BEM Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran<br />
1) Radius Emerson Sitanggang<br />
2) Kornelius Billheimer Sianturi<br />
3) An‟nisaa Khalida*<br />
4) Vanessa Leoprayogo*<br />
2. BEM Fakultas Hukum Universitas Bengkulu<br />
1) Meyriza Violyta<br />
2) Dona Pratama Jonaidi<br />
3. BEM Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (Pemenang<br />
Delegasi Terbaik)<br />
1) Melisa Pandu Winenda<br />
2) Mulya Rizki Nanda<br />
4. BEM Fakultas Hukum UIN Sumatera Utara<br />
1) Erni Syahfitri<br />
2) Saleh Rambe<br />
3) Barly Halim Siregar*<br />
5. BEM Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya<br />
1) Ayatullah Farhan<br />
2) Auliya Gusti Reno<br />
3) Abdul Halim*<br />
4) Heri Andika*<br />
6. BEM Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta<br />
1) Ali Ghafaar Susilo<br />
2) Irda Mutiari Dinita<br />
7. BEM Fakultas Hukum Universitas Trisakti<br />
1) Paroy Buki<br />
2) Praja Wibawa<br />
3) Elisabeth Dwilina*<br />
4) Fernandus H. Pardede*<br />
8. BEM Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat<br />
1) Ariyanto<br />
2) Eria Mardiana<br />
9. BEM Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman<br />
1) Ardian Rizki<br />
2) Hevi Dwi Oktaviani<br />
10. BEM Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta<br />
1) Topik Adi Nugroho<br />
xvi
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
2) Rifa Muflihah<br />
11. BEM Fakultas Hukum UIN Sultan Syarif Kasim Riau<br />
1) Aditya Perdana Putra<br />
2) Susi Kusmawaningsih<br />
3) Maida Jefnita Rahmi*<br />
12. BEM Fakultas Hukum Universitas Indonesia<br />
1) Gery Fathurrachman<br />
2) Shafira Hexagraha<br />
13. BEM Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih<br />
1) Hendra Wasaraka<br />
*Peserta Penunjang<br />
xvii
MAKALAH PEMBICARA<br />
SEMINAR NASIONAL<br />
“KEKERASAN SEKSUAL DALAM KONSEP PLURALITAS<br />
NEGARA INDONESIA”<br />
SELASA, 18 NOVEMBER 2014
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP PEREMPUAN:<br />
PERSPEKTIF ISLAM*<br />
Oleh: Husein Muhammad<br />
Catatan Tahunan Komnas Perempuan memperlihatkan<br />
kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan dari tahun ke<br />
tahun. Tahun 2001 ada 3.169. Tahun 2012: 216.156 dan tahun 2013:<br />
279.688. Kekerasan tersebut mencakup fisik, psikis, ekonomi dan<br />
seksual. Dalam konteks kekerasan seksual, selama 12 tahun (2001-<br />
2012), sedikitnya ada 35 perempuan korban kekerasan seksual setiap<br />
hari. Tahun 2012 tercatat 4.336 kasus kekerasan seksual. 2.920 di<br />
antaranya terjadi di ruang publik/komunitas. Mayoritas kekerasan<br />
seksual muncul dalam bentuk perkosaan dan pencabulan (1620).<br />
Korban meliputi semua umur, dari balita hingga manula, rata-rata usia<br />
antara 13-18 tahun. Ini hanyalah data yang dilaporkan ke lembaga<br />
Negara dan sosial. Yang tak tercatat akan selalu lebih besar dari yang<br />
dilaporkan. (Baca: Komnas Perempuan; Catahu tahun 2013).<br />
Pengungkapan kasus kekerasan seksual ini amat rumit, karena<br />
terkait dengan tradisi dan budaya atau pandangan keagamaan<br />
masyarakat yang mentabukan bicara seks di depan orang lain. Lebih<br />
dari itu pengungkapannya oleh korban seringkali semakin<br />
menggandakan penderitaan diri perempuan dan keluarganya.<br />
Komnas Perempuan menemukan sejumlah bentuk kekerasan<br />
seksual. Minimal 15. Beberapa di antaranya adalah perkosaan, ancaman<br />
perkosaan, pelecehan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan aborsi,<br />
marital rape, prostitusi paksa, kontrol atas tubuh antara lain melalui<br />
kebijakan publik atas nama moralitas dan agama, dan lain-lain.<br />
Pelakunya dapat siapa saja, orang paling dekat maupun paling jauh<br />
orang biasa, tanpa kelas sosial, maupun orang berstatus sosial<br />
“terhormat”,.<br />
Fakta-fakta di atas tentu saja sangat memprihatinkan. Komnas<br />
Perempuan menyebut realitas tersebut telah meningkat kepada situasi:<br />
“Kegentingan Kekerasan Seksual”. Dalam pernyataannya Komnas<br />
Perempuan menyebutkan: “Kekerasan Seksual yang dialami perempuan<br />
sudah dalam kondisi darurat untuk segera ditangani secara tepat dan<br />
adil, komprehensif dan holistik. Keadaan darurat ini tercermin dari<br />
kejadian kekerasan seksual di semua ranah: personal, publik dan<br />
Negara, yang menimpa korban dari rentang usia balita-lansia, berbagai<br />
tingkat pendidikan dan profesi. Termasuk perempuan penyandang<br />
disabilitas, migran, PRT, LBT, dan pelajar hamil. Terjadi di rumah, di<br />
angkutan umum, di sekolak, di tempat kerja maupun di tahanan”.<br />
(Komnas Perempuan, Catahu, 2013).<br />
1
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Akar Masalah: Moralitas dan Kekuasaan<br />
Pertanyaan krusialnya adalah mengapa terjadi kekerasan<br />
seksual terhadap perempuan dan anak, dan bagaimana sikap Islam<br />
terhadapnya?<br />
Ini adalah pertanyaan mendasar yang perlu diajukan guna<br />
mencari akar persoalan mengapa terjadi banyak kekerasan, termasuk<br />
perkosaan terhadap perempuan. Ada sejumlah asumsi yang berkembang<br />
di publik selama ini. Keduanya lebih berdimensi moralitas untuk tidak<br />
dikatakan agama. Asusmsi pertama mengarahkan kesalahan kepada<br />
perempuan. Dengan kata lain kekerasan seksual bersumber dari<br />
perempuan sendiri. Mereka disalahkan, karena memamerkan bagianbagian<br />
tubuhnya yang terlarang (aurat) di depan publik. Mereka tidak<br />
menutupinya atau tidak mengenakan jilbab/hijab. Perempuanlah yang<br />
menciptakan “fitnah” (menggoda dan memicu hasrat seksual) laki-laki.<br />
Anggapan-anggapan ini sungguh sangat sulit untuk difahami oleh<br />
logika cerdas, bersih dan kritis. Bagaimana mungkin seorang yang tidak<br />
melakukan tindakan kejahatan dan hanya karena pakaian yang dipilinya<br />
dinyatakan bersalah dan berhak dilecehkan dan diperkosa? Dalam<br />
banyak kasus kekerasan terhadap perempuan jenis ini, terutama<br />
perkosaan, ia terjadi bukan hanya terhadap perempuan muda dan cantik,<br />
melainkan juga terjadi pada perempuan balita dan manula. Ia juga<br />
terjadi terhadap isterinya atau terhadap darah dagingnya sendiri (incest),<br />
atau anak laki-laki terhadap orang yang melahirkannya (ibunya) atau<br />
saudara sekandungnya. Kekerasan seksual juga terjadi terhadap<br />
perempuan berjilbab. Dalam kasus perkosaan yang terjadi di sebuah<br />
perguruan tinggi agama, beberapa waktu lalu, korban mengenakan<br />
jilbab warna putih, celana hitam, baju hijau dengan dalaman kaos warna<br />
loreng. Pada sisi lain perempuan tanpa jilbab juga tidak selalu<br />
menimbulkan perkosaan atau kekerasan seksual dalam bentuk lainnya.<br />
Orang yang melihat perempuan tanpa jilbab/hijab tidak selalu<br />
melakukan pelecehan dan perkosaan. Ini menunjukkan bahwa antara<br />
perkosaan dan penampilan tidak berjilbab/hijab tidak memiliki<br />
hubungan sebab akibat. Demikian juga alasan bahwa perkosaan terjadi<br />
karena pelaku terpengaruh oleh gambar-gambar porno atau menonton<br />
video porno. Tidak semua orang yang melihat gambar atau menonton<br />
video porno terlibat dalam aksi kekeraan seksual. Faktor-faktor ini lebih<br />
sekedar sebagai pemicu belaka bagi munculnya impuls-impuls hasrat<br />
birahi laki-laki terhadap perempuan.<br />
Ada juga pandangan atau asumsi yang menyalahkan pelaku<br />
dengan basis moralitas atau agama. Ia mengatakan bahwa kekerasan<br />
seksual terjadi karena moralitas pelakunya yang rendah atau tak<br />
bermoral atau kurang pengetahuan agamanya. Pandangan ini boleh jadi<br />
benar, tetapi kita kesulitan mendefinisikan atau mengidentifikasi baikburuknya<br />
moralitas seseorang sebelum ia melakukan perbuatannya.<br />
2
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Dalam sejumlah kasus pelecehan, pencabulan dan kekerasan seksual<br />
pelakunya justru orang-orang yang terhormat atau yang dianggap<br />
terhormat oleh masyarakatnya atau bermoral tinggi. Komnas<br />
Perempuan mencatat bahwa pelaku kekerasan seksual sangat beragam:<br />
ada tokoh masyarakat, pejabat Negara, pejabat NKRI, anggota<br />
parlemen, tokoh agama, dan lain-lain. Bahkan, sebagaimana dilansir<br />
media massa, seorang pengasuh pesantren di daerah Jawa Timur,<br />
ditangkap polisi karena mencabuli beberapa santrinya sendiri. Beberapa<br />
hari ini media massa melansir seorang Raja yang sangat dihormati<br />
diduga melakukan kekerasan seksual. Lalu bagaimana kita<br />
mendefiniskan orang yang bermoral baik sebelum ia melakukan suatu<br />
tindakan? Fakta-fakta ini jelas telah menggugurkan argumen<br />
“moralitas” tersebut. (Baca: Catahu Komnas Perempuan, 2013).<br />
Kekerasan seksual adalah satu bagian saja dari kekerasan<br />
terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan didefinisikan<br />
sebagai: “Setiap perbuatan berdasarkan pembedaan berbasis gender<br />
yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan<br />
perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman<br />
terjadinya perbuatan tersebut, pemaksaan atau perampasan kebebasan<br />
secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ruang publik maupun di<br />
dalam kehidupan pribadi”. (Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap<br />
Perempuan, Pasal 1)<br />
Maka, kekerasan seksual terhadap perempuan berakar lebih<br />
pada adanya ketimpangan relasi kuasa yang berbasis gender. Ia adalah<br />
sistem sosial-budaya patriarki; sebuah sistem/ideologi yang<br />
melegitimasi laki-laki sebagai pemegang otoritas dan superioritas,<br />
menguasai, kuat, pintar dan sebagainya. Dunia dibangun dengan cara<br />
berpikir, dalam dunia dan untuk kepentingan laki-laki. Keyakinan<br />
bahwa perempuan secara kodrat adalah makhluk yang lembut dan<br />
lemah, posisinya di bawah laki-laki, inferior, melayani hasrat seksual<br />
laki-laki dan sebagainya telah menempatkan perempuan seakan-akan<br />
sah untuk ditaklukkan dan diperlakukan secara seenak laki-laki,<br />
termasuk dengan cara-cara kekerasan. Ideologi yang bias gender dan<br />
patriarkis ini mempengaruhi cara berfikir masyarakat, mempengaruhi<br />
penafsiran atas teks-teks agama dan kebijakan-kebijakan negara.<br />
Pengaruh ini melampaui ruang-ruang dan waktu-waktu kehidupan<br />
manusia, baik dalam domain privat (domestik) maupun publik.<br />
Ketimpangan yang didasarkan atas system sosial/ideologi inilah yang<br />
pada berpotensi menciptakan ketidakadilan, subordinasi dan dominasi<br />
atas perempuan. Dan semuanya ini merupakan sumber utama tindak<br />
kekerasan terhadap perempuan.<br />
Ketimpangan relasi kuasa berbasis gender tersebut diperparah<br />
ketika satu pihak (pelaku) memiliki kendali lebih terhadap korban, baik<br />
ekonomi, pengetahuan, status sosial dan lain-lainnya. Kendali muncul<br />
3
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
dalam bentuk hubungan patron-klien, seperti antara orangtua-anak,<br />
majikan-buruh, guru-murid, tokoh masyarakat atau tokoh agama-warga,<br />
pengasuh-santri dan kelompok bersenjata/aparat-penduduk sipil, bahkan<br />
orang pusat-orang daerah.<br />
Agama Menolak Kekerasan<br />
Islam dan saya yakin semua agama di dunia serta seluruh<br />
pandangan kemanusiaan Universal, hadir dan tampil untuk<br />
membebaskan manusia dari penderitaan, penindasan dan kebodohan, di<br />
satu sisi, dan menegakkan keadilan, kesalingan membagi kasih dan<br />
menyebarkan pengetahuan di sisi yang lain. Visi ini dibangun di atas<br />
prinsip-prinsip kemanusiaan, terutama: Penghormatan atas Martabat<br />
Manusia, Kesetaraan, Kebebasaan dan Keadilan.<br />
Sumber-sumber otoritatif Islam sangat banyak menegaskan<br />
prinsip-prinsip tersebut.<br />
• Manusia adalah makhluk terhormat: “Dan sesungguhnya telah<br />
Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di<br />
daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baikbaik<br />
dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang<br />
sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”.<br />
(Q.S. Al-Isra, [17]:70)<br />
• Laki-laki dan Perempuan adalah Setara: (Q.S. Q.S. al-Nisa,<br />
[4:1), , a.l. Q.S. al-Ahzab, 53:35, al-Taubah, 71, al-Nahl, 97, Ali<br />
Imran,[3]: 195 dan al-Mukmin, 40.<br />
• Manusia yang paling terhormat/unggul adalah yang paling<br />
bertaqwa: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan<br />
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan<br />
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya<br />
kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling<br />
mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling<br />
bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha<br />
Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Q.S. Al-Hujurat, [49]:12).<br />
• “Hai orang-orang yang beriman, janganlah komunitas laki-laki<br />
merendahkan komunitas yang lain, boleh jadi yang direndahkan<br />
itu lebih baik dari mereka yang merendahkan. Dan jangan pula<br />
komunitas perempuan merendahkan komunitas perempuan<br />
yang lain, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan<br />
janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil<br />
dengan panggilan yang mengandung pelecehan. Sikap dan<br />
tindakan merendahkan dan melecehkan itu adalah perilaku yang<br />
buruk dari seorang yang telah beriman. Barangsiapa yang tidak<br />
kembali memperbaiki diri maka mereka itulah orang-orang<br />
yang zalim”.(Q.S. al-Hujurat [49]:11).<br />
4
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
• “Tuhan tidak memandang tubuh dan wajahmu, tetapi<br />
memandang pada hati dan perbuatanmu”. (Hadits).<br />
• “Wahai manusia.Sesungguhnya darah (hidup) kamu,<br />
kehormatanmu dan harta-milikmu adalah suci dan mulia.<br />
(Hadits Nabi).<br />
• Setiap muslim diharamkan mengganggu/mencederai/melukai<br />
hak hidup, kehormatan diri dan hak milik muslim yang lain.<br />
(Hadits).<br />
Seluruh Prinsip tersebut pada hakikatnya merupakan<br />
konsekuensi paling rasional atas doktrin Kemahaesaan Tuhan, Allah.<br />
Keyakinan ini dalam bahasa Islam disebut: Tauhid. Menurut doktrin ini,<br />
semua manusia, tanpa melihat asal-usulnya pada ujungnya berasal dari<br />
sumber yang tunggal, sama, yakni ciptaan Tuhan. Oleh karena itu tidak<br />
satupun ciptaan Tuhan berhak memiliki keunggulan atas yang lainnya.<br />
Keunggulan manusia satu atas manusia yang lain hanyalah pada aspek<br />
kedekatan dan ketaatannya kepada hukum-hukum Tuhan. Al-Qur'an<br />
menyebut keunggulan ini dengan kata “Taqwa”. Dalam ayat-ayat al<br />
Qur'an taqwa tidak dibatasi maknanya hanya pada aspek-aspek<br />
kebaktian atau peribadatan personal sebagaimana kesan umum selama<br />
ini, melainkan lebih pada dimensi-dimensi moralitas sosial, ekonomi,<br />
budaya, politik dan lain-lain. Atau dengan bahasa lain taqwa adalah<br />
moralitas kemanusiaan dalam maknanya yang luas. Dalam bahasa lain,<br />
taqwa adalah al-Akhlaq al-Karimah (budi pekerti luhur) atau etika<br />
kemanusiaan.<br />
Prinsip-prinsip tersebut harus menjadi dasar bagi setiap<br />
keputusan hukum atau aturan kehidupan manusia. Jika demikian, maka<br />
bagi saya adalah tidak masuk akal jika agama melahirkan praktik<br />
hukum, aturan atau kebijakan yang tidak adil, tidak menghargai<br />
martabat manusia, diskriminatif, dan tidak melahirkan kesalingan kasih.<br />
Jika hal-hal ini yang terjadi, maka pastilah interpretasi (pemaknaan)<br />
atasnya dan cara pandang sosial, budaya, politik dan keagamaan<br />
mengandung kekeliruan, meskipun dengan mengatasnamakan teks-teks<br />
ketuhanan.<br />
Pertanyaan yang sering muncul di tengah publik adalah<br />
apakah hukum-hukum dalam teks-teks Islam yang partikular yang<br />
dipandang diskriminatif, seperti “laki-laki adalah pemegang otoritas<br />
atas kaum perempuan”, (Q.S. al-Nisa, [4]:34), tidak mengandung nilainilai<br />
moral di atas. Jawabannya adalah bahwa aturan-aturan hukum<br />
yang bersifat khusus (partikular) yang terdapat dalam sumber-sumber<br />
autentik dapat dipandang sebagai aturan yang mengandung moral. Akan<br />
tetapi ia dianggap demikian karena aturan tersebut lebih diterima<br />
sebagai solusi yang bersifat ketuhanan atas problem partikular yang ada<br />
dalam kondisi tertentu. Dengan berubahnya kondisi, aturan-aturan<br />
5
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
hukum yang bersifat khusus, tersebut bisa saja gagal memenuhi tujuan<br />
moralnya dan karena itu harus ditinjau ulang, direvisi atau dicabut sama<br />
sekali.<br />
Kembali ke Konstitusi<br />
Pancasila dan UUD 1945 telah menjadi titik temu paling ideal<br />
dari berbagai aspirasi dan kehendak-kehendak beragam para penganut<br />
agama-agama dan kepercayaan di manapun mereka berada di seluruh<br />
bumi nusantara ini. Seluruh sila dan pasal-pasal dalam Konstitusi ini<br />
bukan hanya tidak bertentangan melainkan juga sesuai dan seiring<br />
sejalan dengan visi dan misi agama, sebagaimana sudah disebutkan.<br />
Konstitusi RI telah memuat pasal-pasal yang menjamin hak-hak asasi<br />
manusia. Ia sesuatu yang melekat secara kodrati dalam setiap manusia<br />
dan tidak dapat dicabut daripadanya. Tuhanlah yang<br />
menganugerahkannya. Ia berlaku universal. Ia adalah cita-cita semua<br />
manusia di muka bumi ini. Sebagai konsekuensi paling logis dan<br />
bertanggungjawab bagi kesetiaan dan komitmen seluruh warga Negara<br />
atas Konstitusi tersebut, maka produk-produk pemikiran partikularistik<br />
dan aturan-aturan hukum yang ada harus sejalan dan tidak boleh<br />
bertentangan dengan prinsip-prinsip dan kehendak-kehendak universal<br />
tersebut. Untuk ini pemerintah dan para penegak hukum dituntut untuk<br />
menjalankan dan menegakkannya secara konsekuen untuk merevisi atau<br />
bahkan mencabut segala peraturan dan kebijakan publik yang<br />
melanggar dan bertentangan dengan Konstitusi tersebut.<br />
Cirebon, 17 Nopember 2014<br />
*Disampaikan dalam Seminar Nasional: Kekerasan Seksual Dalam<br />
Konsep Pluralitas di Negara Indonesia”, Selasa, 18 Nopember 2014.<br />
Auditorium Fakultas Hukum UI, Depok.<br />
6
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
PENINGKATAN PERAN PEMERINTAH DAN PARTISPASI<br />
MASYARAKAT DALAM MEMERANGI<br />
KEKERASAN SEKSUAL 1<br />
Oleh: Meutia Farida Hatta Swasono<br />
Pendahuluan<br />
Seminar ini membahas mengenai kekerasan seksual dalam<br />
konteks pluralitas di NKRI. Indonesia adalah negara bangsa dengan<br />
penduduk yang seimbang jumlahnya dari segi jenis kelamin. Salah satu<br />
ciri khas Indonesia adalah komposisi penduduknya yang terdiri dari<br />
sekitar 745 suku bangsa dan sub suku bangsa yang tersebar di seluruh<br />
wilayah kedaulatan NKRI. Nenek-moyang mereka masuk ke Kepulauan<br />
Nusantara melalui gelombang-gelombang migrasi dalam proses yang<br />
sangat lama sejak era preshistori. Penduduk multikultural dengan<br />
masing-masing kebudayaan suku bangsanya ini pada tanggal 17<br />
Agustus 1945 dipersatukan sebagai Bangsa Indonesia dalam negara<br />
bangsa RI, kini dikenal dengan sebutan populer NKRI. Bagi Bangsa<br />
Indonesia ini, para pendiri negara telah menyusun suatu kebudayaan<br />
nasional yang terdiri dari Pancasila sebagai perangkat nilai budaya<br />
nasional dan UUD 1945 sebagai perangkat norma budaya nasional.<br />
Kebudayaan suku bangsa tetap dianut dalam interaksi warga suku<br />
bangsa, sedangkan kebudayaan nasional digunakan sebagai acuan<br />
berperilaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Keduanya<br />
berjalan seiring dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia.<br />
Budaya Kekerasan dalam Multikulturalisme Indonesia<br />
Adanya dominasi budaya patriarkii dalam multikulturalisme<br />
Indonesia memang perlu diakui, namun penulis tidak beranggapan<br />
bahwa semua sukubangsa di Indonesia berpandangan dan berperilaku<br />
sewenang-wenang terhadap perempuan sebagai akibat dari adanya<br />
pandangan budaya bahwa kekerasan seksual atas perempuan dianggap<br />
wajar. Sebaliknya pada banyak sukubangsa, nilai-nilai budaya mereka<br />
mengajarkan bahwa perempuan harus dihormati, lebih-lebih perempuan<br />
yang merupakan keluarganya sendiri. Sebagian suku bangsa juga<br />
1 Makalah diajukan pada Seminar dalam rangka Simposium Hukum<br />
Nasional 2014 dengan tema “ Kekerasan Seksual dalam Konsep Pluralitas di<br />
Negara Indonesia”, diselenggarakan oleh BEM FHUI di Depok pada tanggal<br />
18 November 2014. Penulis adalah Guru Besar Antropologi di FISIP-UI.<br />
7
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
beranggapan bahwa ada kerjasama antara laki-laki dan perempuan<br />
dalam kegiatan upacara adat, dalam pembagian kerja di rumahtangga<br />
sehari-hari dan tanggungjawab bersama antara suami-isteri, bapak dan<br />
ibu, saudara laki-laki dan saudara perempuan, dalam melangsungkan<br />
kehidupan keluarga, kelangsungan klen, kelangsungan mata<br />
pencaharian di tanah pusaka, dan dalam pengasuhan anak.<br />
Pandangan agama juga mengajarkan warga sukubangsa atau<br />
umat agama untuk menghormati perempuan, dimulai dari ibu dan para<br />
anggota kerabat perempuan yang lainnya, bahwa mereka hidup tidak<br />
untuk dianiaya, apalagi dianiaya dengan memberikan penghinaan yang<br />
sangat mendalam berupa kekerasan seksual yang sukar hilang seumur<br />
hidupnya. Memang hal itu dapat terjadi, misalnya karena kemiskinan<br />
dan kelangkaan ketersediaan pekerjaan, namun hanya terbatas pada<br />
kasus-kasus khusus karena situasi tertentu.<br />
Budaya Patriarki. Kekerasan seksual biasanya mempunyai<br />
kaitan erat dengan dominasi budaya patriarki, di mana sebagian besar<br />
masyarakat pendukung kebudayaan yang bersangkutan di suatu daerah<br />
menganggap bahwa status laki-laki dan perempuan dalam lingkungan<br />
sosial mereka tidak sama, melainkan bersifat subordinatif. Dalam hal<br />
ini, laki-laki menganggap diri mereka lebih tinggi daripada status<br />
perempuan. Karena itu kaum laki-laki cenderung ingin mengatur dan<br />
menetapkan agar status perempuan berada dalam posisi lebih rendah<br />
dari posisi mereka sebagai kaum laki-laki. Mereka juga mengatur<br />
tentang apa yang harus, boleh dan tidak boleh dilakukan oleh<br />
perempuan dalam keluarga dan masyarakat mereka. Hal ini pun<br />
seringkali termasuk tentang atribut dan dandanan yang mereka harus<br />
kenakan di berbagai tempat.<br />
Kehidupan kaum perempuan di masyarakat yang didominasi<br />
budaya patriarki akan lebih berat jika kaum perempuan pasrah dan<br />
menerima kondisi itu sebagai takdir mereka, sebagai istri harus tunduk<br />
kepada suaminya, apa pun yang dilakukan suami, dan sebagai ayah<br />
patut dipatuhi perintahnya. Jika pada umumnya kaum perempuan di<br />
dalam masyarakat yang bersangkutan pasrah dan patuh menerima<br />
nasibnya, dan menganggap secara keliru bahwa itu adalah kodrat<br />
mereka sebagai perempuan, maka akan sulit upaya untuk mengatasinya.<br />
Kepasrahan terhadap kekerasan umum yang dialami perempuan dapat<br />
menyebabkan kasus-kasus, bukan adat kebiasaan, yang menyebabkan<br />
sejumlah perempuan mengalami kekerasan seksual karena<br />
dikomersialkan oleh keluarganya, termasuk suaminya. Ada pula<br />
masyarakat yang akibat dominasi budaya patriarki, terbiasa melakukan<br />
kekerasan, seperti pemukulan terhadap isteri oleh suaminya. Namun<br />
8
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
tanpa faktor-faktor khusus, seorang laki-laki takkan mengkomersialkan<br />
isterinya secara seksual karena itu merusak kemartabatannya sendiri.<br />
Pola Pikir tentang Penaklukan Simbol Jenis Kelamin<br />
Perempuan. Selain adanya dominasi budaya patriarki, dalam kondisikondisi<br />
tertentu, laki-laki melakukan kekerasan seksual terhadap<br />
perempuan, bukan karena ia mengenal perempuan yang bersangkutan,<br />
membencinya dan ingin menganiaya atau mencelakakannya sebagai<br />
suatu bentuk hukuman berat, melainkan karena si korban pemerkosaan<br />
berjenis kelamin perempuan, yang harus ditaklukkan oleh dirinya<br />
sebagai laki-laki. Karena itu si laki-laki itu tidak harus mengenal<br />
perempuan itu untuk memperkosanya. Kondisi ini sering terjadi dalam<br />
situasi adanya perang atau kerusuhan, di mana mengalahkan lawan<br />
ditandai dengan naluri memperkosa perempuan yang tidak saja<br />
merupakan salah satu cara untuk menumbangkan simbol dari jenis<br />
kelamin perempuan (femininitas), namun juga merusak perasaan<br />
kemartabatan pihak lawan sebagai kesatuan komunitas atau negara, baik<br />
yang laki-laki maupun yang perempuan.<br />
Dalam contoh kasus tertentu di Eropa, ketika bekas negara<br />
Yugoslavia tercabik-cabik oleh politik, sesama sukubangsa di negara<br />
Yugioslavia menjadi bangsa sendiri dengan negara masing-masing yang<br />
merupakan pecahan negara Yugoslavia. Politik menyebabkan perang<br />
yang kejam tak terhindarkan. Dilakukannya genocide (pembunuhan<br />
suku bangsa) oleh bangsa yang lebih kuat tidak dirasa cukup dan<br />
memuaskan hanya dengan cara membunuh kaum laki-laki dari bangsa<br />
yang dibenci dan berada dalam posisi lemah. Lebih jauh lagi, pihak<br />
yang kuat dan berjaya dalam perang juga memperkosa para perempuan<br />
dari bangsa yang dalam posisi lemah tersebut, dengan tujuan menghina<br />
martabat keseluruhan bangsa itu, agar melahirkan anak dari sukubangsa<br />
yang dalam posisi berjaya itu dengan tujuan memberikan hukuman<br />
berat yang takkan pernah terlupakan dalam sejarah mereka.<br />
Dalam kondisi tanpa perang, persaingan ekonomi atau sulitnya<br />
memenangkan perebutan sumberdaya ekonomi yang sering kita lihat di<br />
berbagai daerah di Indonesia menyebabkan perempuan terhambat untuk<br />
memperoleh peluang mendapatkan pekerjaan yang layak bagi<br />
kemanusiaan, sesuai pesan Konstitusi (UUD 1945). Perempuan sering<br />
dikalahkan dalam persaingan ini dengan cara merendahkan martabatnya<br />
melalui tipu-daya berupa iming-iming pekerjaan, namun dijerumuskan<br />
sebagai korban perilaku komersial seksual.<br />
Masih dalam kondisi kemiskinan pula, hal itu sering menjadi<br />
penyebab berubahnya etika pergaulan terhadap kerabat, di mana kerabat<br />
9
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
perempuan sering dikorbankan. Hal ini terjadi pada perdagangan<br />
manusia, di mana kerabat satu klan yang seharusnya dilindungi, justru<br />
dijerumuskan oleh kerabatnya, misalnya paman atau saudara sepupunya<br />
menjadi pelacur dalam perdagangan orang. Hal ini temasuk pula<br />
memperdagangkan anak-anak di bawah umur melalui modus yang<br />
sama.<br />
Perubahan sosial-budaya dengan terjadinya kemajuan di bidang<br />
iptek dan informatika yang sangat mempengaruhi penyajian informasi<br />
dalam media telah menyebabkan perubahan nilai-nilai yang semula<br />
dianut, digantikan oleh nilai-nilai baru yang seringkali masih sulit<br />
dicerna atau keliru memahaminya sehingga menghasilkan sikap dan<br />
perilaku yang tidak selalu tepat dalam menanggapi hal-hal baru yang<br />
masuk.<br />
Pandangan dan Sikap Keliru terhadap Perempuan Penderita<br />
Kemalangan, Korban Pelecehan dan Kekerasan Seksual<br />
Dalam kehidupan masyarakat, gambaran (image) terhadap<br />
perempuan yang menderita kemalangan sehingga menjadi janda karena<br />
perceraian atau kematian suami, seringkali tidak sesuai dengan yang<br />
seharusnya. Perempuan yang menjadi janda pasti sangat menderita,<br />
bukan hanya karena harus menghidupi anka-anak dan dirinya sendiri,<br />
melainkan karena adaya gambaran keliru di masyarakat, terutama pada<br />
kaum laki-laki, mengenai predikat janda itu. Lebih sedikit orang yang<br />
bersifat empati terhadap janda, dibandingkan yang diharapkan. Lebih<br />
sedikit orang yang mau mengakui atau percaya bahwa seorang<br />
perempuan yang menjadi janda sudah menderita ketidakadilan sejak ia<br />
belum diceraikan atau minta cerai karena tidak tahan lagi atas perlakuan<br />
yang dialaminya dari suaminya dan perceraian itu pun belum tentu<br />
terjadi karena adanya laki-laki lain dalam kehidupannya.<br />
Janda seringkali dianggap dalam pola pikir (yang bersifat<br />
kejam) oleh kaum laki-laki sebagai pihak yang masih memerlukan<br />
kebutuhan seksual sehingga mereka rawan pelecehan dan bujukan untuk<br />
dikencani atas dasar “mau sama mau”. Tentu kasus semacam ini bisa<br />
terjadi, namun tidak bisa dianggap bersifat umum. Mungkin itu terjadi<br />
karena perempuan yang menjadi janda diberi stigma dan sejak awal<br />
dijauhi, diejek, jarang mendapatkan pertolongan yang sesuai, sehingga<br />
pada suatu waktu dalam kehidupannya yang sulit, ia menjadi rawan<br />
terjerumus dalam tipu daya seperti tersebut di atas.<br />
10
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Karena itu, diperlukan peranan Pemeirntah melalui programprogram<br />
kementerian terkait untuk membangun pola pikir yang dapat<br />
meluruskan mengenai sikap, perilaku dan kemartabatan janda. Mereka<br />
harus digambarkan sesuai dengan keadaan yang umum terjadi, bahwa<br />
mereka adalah perempuan yang rela berkorban demi kelangsungan<br />
hidup anak-anak, bertekad dan berupaya mengantar anak-anak<br />
bersekolah ke jenjang penidikan yang tinggi sehingga mampu mencapai<br />
kedudukan terhormat untuk membawa nama keluarga. Untuk itu tidak<br />
jarang para janda hidup tanpa menikah lagi dan tidak tergiur oleh<br />
tawaran laki-laki yang meminang mereka. Tidak juga mereka umumnya<br />
suka menjadi simpanan orang, kecuali terpaksa atau karena memang<br />
memiliki sifat-sifat khusus untuk menyakiti orang lain dan egoistis.<br />
Masyarakat bertanggungjawab untuk melindungi citra para<br />
janda, terutama yang muda dan cantik, dan tidak boleh justru<br />
masyarakat menjadi penyebab dari lunturnya kehormatan dan sikap<br />
tegar dari para janda sehingga akhirnya terjerumus ke dalam perbuatan<br />
salah atau kenistaan.<br />
Dominasi budaya patriarki dan pandangan tentang penyerangan<br />
seksual terhadap perempuan sebagai upaya menunjukkan dominasi<br />
status dan peranan jenis kelamin laki-laki, di dalam kehidupan seharihari<br />
di sekitar kita sering terwujud dalam berbagai sikap dan perilaku<br />
yang tidak atau kurang menghormati dan melindungi kaum perempuan,<br />
sehingga memberikan resiko terhadap keamanan dan kenyamanan<br />
hidupnya.<br />
Di dalam kehidupan keluarga, tantangan kehidupan yang makin<br />
kompleks di masa kini sebenarnya justru membutuhkan kerjasama<br />
antaranggota keluarga untuk bersama-sama menyongsong hari depan<br />
yang diaharapkan akan membawa kebaikan dan keberuntungan. Namun<br />
kemajuan iptek dan media tidak selalu memberikan dampak baik,<br />
melainkan juga dampak buruk yang di antaranya terwujud dari makin<br />
rapuhnya perasaan kebersamaan antarwarga keluarga yang semula<br />
bersifat erat dan akrab. Dengan kata lain, kemajuan iptek dan<br />
informatika dapat menjadi dinding pemisah dari komunikasi antara para<br />
anggota keluarga yang semula memiliki lebih banyak kepedulian,<br />
perasaan kebersamaan dan kegiatan kerjasama dalam kehidupan<br />
keluarga dan kehidupan bermasyarakat.<br />
Kesenjangan pengetahuan mengenai teknologi dan sarana<br />
komunikasi modern yang diwakili oleh gadget dengan berbagai bentuk<br />
dan teknologinya, telah cenderung “memisahkan” generasi tua dan<br />
generasi muda, sehingga jika generasi tua tidak mampu mengikuti<br />
11
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
perkembangan teknologi gadget dengan baik, maka mereka akan<br />
ketinggalan dan awam terhadap pandangan hidup, nilai-nilai, normanorma<br />
baru serta perilaku yang diwajarkan dalam kehidupan masa kini.<br />
Berapa banyak kasus-kasus pelecehan seksual dan pemerkosaan yang<br />
disertai ancaman (blackmail) telah terjadi atas diri kaum perempuan<br />
dewasa ini, termasuk gadis-gadis muda, karena pengaruh teknologi<br />
gadget (tanpa harus mengabaikan dampak baik dari gadget dalam<br />
kehidupan kita dan kemajuan peradaban).<br />
Sementara itu orangtua yang tidak paham akan tantangan dan<br />
bahaya fisik maupun psikologis yang dialami anak-anaknya, tidak sadar<br />
bahwa anak-anak mereka telah terekspos atau bahkan telah menjadi<br />
korban kemajuan teknologi yang antara lain berupa kekerasan seksual,<br />
diawali dari jebakan (misalnya memotret tanpa izin atas perilaku<br />
seksual menyimpang) yang diikuti dengan blackmail. Anak laki-laki<br />
dan perempuan beresiko yang sama.<br />
Di antara pergaulan sesama siswa sekolah, berbagai kasus<br />
bullying yang dijalankan secara sistematis dan terpola dari angkatan<br />
yang satu kepada angkatan lian di bawahnya sudah makin meningkat<br />
sehingga tidak lagi sekedar merupakan perbuatan iseng dan nakal yang<br />
dikenal orangtua anak-anak itu ketika mereka masih kanak-kanak dan<br />
remaja, sekitar 30-50 tahun yang lalu, melainkan sudah mengarah<br />
kepada tindakan kriminal, menghancurkan harga diri, menciderai dan<br />
bahkan makan korban nyawa sesama siswa oleh para siswa teman<br />
sekolahnya. Kekerasan seksual dan perlakuan kekerasan seksual<br />
komersial termasuk di dalamnya.<br />
Peran Pemerintah dalam Penanganan Kekerasan Seksual<br />
Ada beberapa hal yang dapat diajukan di sini sebagai contoh<br />
dari peranan Pemerintah dalam menangani permasalahan kekerasan<br />
seksual yang mulai krusial, di antaranya sebagai berikut:<br />
Pertama, peranan Pemerintah yang utama dalam melawan<br />
kekerasan seksual untuk menata kehidupan masyarakat untuk mengatasi<br />
dominasi budaya patriarki. Karena itulah Pemerintah Indonesia<br />
mempunyai program pemberdayaan perempuan oleh Kementerian<br />
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, untuk menegaskan<br />
kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga,<br />
bermasyarakat serta dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan<br />
memberikan sarana dan upaya bagi tumbuh kembangnya anak secara<br />
12
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
fisik dan psikologis dengan baik, karena merekalah generasi yang akan<br />
membangun Indonesia di masa depan.<br />
Kedua, mengatasi pola pikir yang membenci perempuan secara<br />
umum melalui pendidikan moralitas yang bersumber dari ajaran agama<br />
maupun ajaran budaya sukubangsa yang menghargai perempuan.<br />
Dalam suatu masyarakat, apabila nilai-nilai budaya acuan bagi<br />
kehidupan masyarakat adalah nilai-nilai kesetaraan antara laki-laki dan<br />
perempuan, maka kekerasan seksual tidak akan menunjukkan persentasi<br />
tinggi. Tentu akan selalu ada manusia yang lebih mementingkan<br />
naluriah berbentuk insting liar daripada pengendalian diri yang<br />
mengutamakan moralitas, sehingga insting liar itu menyebabkan<br />
perilaku memperkosa tidak terhindarkan. Karena itu pendidikan<br />
moralitas dari segi agama maupun etika budaya perlu diperkuat untuk<br />
menghindarkan kaum perempuan ancaman dan tindakan kekerasan<br />
seksual.<br />
Ketiga, memberdayakan peranan media. Pemerintah dengan<br />
berbagi instansinya yang terkait, perlu bekerjasama dengan media untuk<br />
membuat program-program yang menghapuskan anggapan bahwa<br />
perempuanlah yang salah apabila terjadi perkosaaan atas dirinya.<br />
Mengapa perempuan yang salah, jika ia, demi kelangsungan hidupnya<br />
dan karirnya, sebagai seorang gadis harus bekerja hingga malam dan<br />
terpaksa pulang dengan bis yang merupakan satu-satunya alat angkutan<br />
menunu rumahnya, pada jalan yang karena kelalaian Pemda setempat,<br />
tidak diberi penerangan cukup sehingga menjadi sarang penjahat<br />
mencari mangsa?<br />
Kempat, Pemerintah melalui kementerian dan lembaga terkait<br />
perlu memberikan sanksi hukum yang berefek jera dan mengkaji ulang<br />
dan merevisi peraturan-peraturan hukum yang tidak memberikan efek<br />
maraknya kekerasan seksual terhadap perempuan. Penanganan proses<br />
hukum terhadp korban juga diharapkan tidak diperpanjang, dibuat lama<br />
dan membuat kasus seakan-akan “diambangkan”. Dalam kaitan ini<br />
Pemerintah juga perlu melakukan kerjasama yang bersifat positif<br />
dengan media untuk menata model pemberitaan yang tidak<br />
menyebabkan korban perkosaan menjadi pihak yang terpojok atau “mati<br />
dua kali” karena pemberitaan mengenai kemalangannya justru<br />
diberitakan seperti halnya memberitakan gaya para selebritis untuk<br />
mencari popularitas. Hal ini justru memperburuk citra korban, lebihlebih<br />
kalau karena kelihaian tertentu di pihak pemerkosa dan<br />
pembelanya, si korban berhasil dibuat lebih terpuruk, bukan sekedar<br />
fisiknya namun lebih besar lagi, menderita kemalangan dari segi<br />
psikologis. Karena itu Pemerintah juga perlu memberikan lebih banyak<br />
13
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
peluang bagi kaum profesional psikologi dan psikiatri untuk ikut<br />
mengatasi permasalahan masyarakat yang diakibatkan oleh kekerasan,<br />
kekerasan seksual dan kekerasan seksual komersial yang makin marak<br />
saat ini.<br />
Kelima, Pemerintah juga perlu melakukan terobosan untuk<br />
mengatasi pola pikir keliru pada pihak laki-laki umumnya dalam<br />
melihat menilai jenis kelamin perempuan. Hal ini termasuk<br />
menghilangkan pola pikir kontroversial terhadap perempuan<br />
sebagaimana yang sering terjadi dewasa ini. Di satu pihak, perempuan<br />
dikatakan sebagai perlu dilindungi dan dihormati, tetapi dalam praktek,<br />
perempuan dianggap pembawa sial, najis, sehingga bersalaman pun<br />
tidak boleh dilakukan. Dalam lingkungan Indonesia yang sudah sejak<br />
dulu mengenal kerjasama yang baik antara laki-laki dan perempuan<br />
akibat pengaruh-pengaruh berbagai macam nilai budaya yang diterima,<br />
berjabatan tangan tidak harus diartikan sebagai menuduh perempuan<br />
bersifat kotor. Justru yang sebenarnya kotor adalah pikiran laki-laki<br />
yang mencitrakan perempuan harus menutup seluruh tubuhnya oleh<br />
suami atau keluarganya yang laki-laki, namun di saat yang sama, sang<br />
laki-laki senang membuka situs pornografi dari gadget yang tersedia.<br />
Dengan kecanggihan teknologi sekarang ini, bisa pula seorang laki-laki<br />
memindah-mindahkan wajah perempuan cantik yang dikenalnya untuk<br />
ditaruh di atas tubuh perempuan tanpa busana dari situs pornografinya<br />
di gadget-nya dan berimaginasi yang kotor. Hal-hal semacam inilah<br />
yang bisa menjadi salah satu sumber kekerasan seksual terhadap<br />
perempuan, dan tidak boleh dibiarkan, melainkan harus diberi sanksi.<br />
Penutup<br />
Sebagai penutup dapat dikemukakan di sini bahwa budaya patriarki<br />
telah menunjukkan bentuknya sesuai dengan perkembangan zaman, dan<br />
itu dapat memberi peluang bagi maraknya kekerasan seksual.<br />
Berkenaan dengan itu, perempuan perlu mendapat informasi lebih<br />
banyak mengenai kejahatan dan kekerasan seksual yang terjadi di masa<br />
kini, yang modusnya makin lama makin canggih.<br />
Selain itu diperlukan perubahan cara pandang dari para laki-laki<br />
terhadap perempuan yang berstatus janda, kesiapan laki-laki untuk<br />
bekerjasama dengan kaum perempuan dalam kehidupan keluarga yang<br />
dilandasi oleh prinsip kesetaraan dan keadilan gender, khususnya<br />
membangun kerjasama yang kuat antara suami-isteri dalam memahami<br />
tantangan masa kini bagi anak-anak mereka yang menghadapi tantangan<br />
14
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
berat dalam kehidupan moral, psikologis dan fisik mereka, di antaranya<br />
kekerasan seksual dan kekerasan seksual komersial.<br />
---0---<br />
15
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
PERSPEKTIF MASYARAKAT TERHADAP KEKERASAN<br />
SEKSUAL<br />
Oleh: Dra. Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, M. Hum.<br />
Pendahuluan<br />
Perspektif masyarakat terhadap tindak kekerasan seksual,<br />
sangat dipengaruhi oleh sistem nilai dan moral masyarakat, yang<br />
dibentuk oleh tradisi, struktur budaya serta konstruksi sosial<br />
masyarakatnya. Atas dasar ini, maka untuk mengetahui corak berpikir<br />
suatu masyarakat terhadap tindak kekerasan seksual, harus dicermati<br />
sistem budaya dan konstruksi sosial masyarakat tersebut, terutama yang<br />
terkait dengan cara pandang mereka terhadap perempuan. Ini penting,<br />
karena cara pandang inilah yang akan menentukan posisi dan peran<br />
perempuan dalam membangun relasi sosial.<br />
Sehubungan dengan hal ini, saya akan melihat beberapa data<br />
sejarah serta legenda dan mitos mengenai peran dan posisi perempuan.<br />
Dari sini saya akan melacak akar-akar sosial budaya yang<br />
mencerminkan corak berpikir suatu masyarakat terhadap kekerasan<br />
seksual. Sebelumnya, saya akan mengutarakan pengertian tentang<br />
kekerasan seksual secara sekilas.<br />
Kekerasan seksual, pada dasarnya adalah setiap bentuk<br />
perilaku yang memiliki muatan seksual yang dilakukan seseorang atau<br />
sejumlah orang, namun tidak disukai dan tidak diharapkan oleh orang<br />
yang menjadi sasaran sehingga menimbulkan akibat negatif, seperti:<br />
rasa malu, tersinggung, terhina, marah, kehilangan harga diri,<br />
kehilangan kesucian, dan sebagainya, pada diri orang yang menjadi<br />
korban (Supardi & Sadarjoen, 2006).<br />
Pengertian lainnya dikemukakan oleh Sanistuti (dalam<br />
Daldjoeni, 1994:4), pelecehan seksual adalah semua tindakan seksual<br />
atau kecendrungan bertindak seksual yang bersifat intimidasi nonfisik<br />
(kata-kata, bahasa, gambar) atau fisik (gerakan kasat mata dengan<br />
memegang, menyentuh, meraba, mencium) yang dilakukan seorang<br />
laki-laki atau kelompoknya terhadap perempuan atau kelompoknya.<br />
Dalam pelecehan seksual, terdapat unsur-unsur meliputi:<br />
1. Suatu perbuatan yang berhubungan dengan seksual,<br />
2. Pada umumnya pelakunya laki-laki dan korbannya perempuan,<br />
3. Wujud perbuatan berupa fisik dan non fisik,<br />
4. Tidak ada kesukarelaan.<br />
Tindakan pelecehan seksual, baik yang bersifat ringan<br />
(misalnya secara verbal) maupun yang berat (seperti perkosaan)<br />
merupakan tindakan menyerang dan merugikan individu, yang berupa<br />
16
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
hak-hak privasi dan berkaitan dengan seksualitas. Demikian juga, hal itu<br />
menyerang kepentingan umum berupa jaminan hak-hak asasi yang<br />
harus dihormati secara kolektif.<br />
Corak Berpikir Masyarakat Indonesia Terhadap Kekerasan Seksual<br />
Untuk melihat corak pikir masyarakat Indonesia terhadap<br />
kekerasan seksual, saya akan memaparkan beberapa legenda dan sejarah<br />
yang terkait dengan peran, posisi, dan fungsi perempuan dari beberapa<br />
etnis yang merepresentasikan perspektif Indonesia, yaitu Jawa, Sunda,<br />
Bugis, dan Batak.<br />
Ada beberapa legenda dan sejarah yang mencerminkan<br />
pandangan masyarakat terhadap perempuan. Misalnya, perempuan<br />
dijadikan sebagai alat untuk menaklukan lawan. Sebagai contoh: Kisah<br />
Ki Ageng Mangir, yang bisa ditaklukkan dan bahkan dibunuh oleh<br />
Panembahan Senopati dengan cara mengirimkan putrinya Rr.<br />
Pembayun untuk merayu Ki Ageng Mangir. Setelah terjadi perkawinan,<br />
maka Panembahan Senopati memanggil sang menantu untuk sowan.<br />
Dalam pesowanan inilah Ki Ageng Mangir ditaklukan dan dibunuh.<br />
Namun, sikap kaum ningrat Jawa terhadap perempuan yang<br />
kemudian membentuk kultur dan konstruksi sosial yang timpang dalam<br />
relasi sosial lelaki perempuan, merupakan cerminan dari pandangan<br />
kultur Jawa terhadap perempuan. Beberapa kitab Jawa memang<br />
berpandangan pejoratif terhadap perempuan, misalnya kitab Clokantara.<br />
Di dalam kitab ini perempuan di pandang dan diposisikan secara<br />
negatif: “… tiga ikang abener lakunya ring loka/ Iwirnya/ ikang Iwah/<br />
ikang Udwad/ ikang Janmastri/ Yeka kang telu/ wilut gatinya/ Yadin<br />
pweka nang stri hana satya budhinya/ dadi ikangtunjung tumuwuh ring<br />
cila/ …”(… ada tiga yang tidak benar jalannya di bumi yaitu/ sungai/<br />
tanaman yang melata/ dan wanita/ ketiga-tiganya/ berbelit jalannya//<br />
jika ada wanita yang lurus budinya/ akan ada (bunga) tunjung tumbuh di<br />
batu).<br />
Pandangan yang sama juga diberikan oleh Kitab Nitisastra. Di<br />
sini perempuan dipandang sebagai sosok yang bermoral rendah: “…/<br />
mangkan ngling sang parameng sastra/ ana dyah bener atine/ yen ana<br />
gagak pingul/ lawan tunjung tuwuh ing curi/ kono ana wanudya/ atine<br />
rahayu/ kalingane ing sujana/ den prayitna yen pinarak ing pawestri/<br />
ywa kena manis ujar//” (…beginilah kata sang bijak dalam sastra:/<br />
(akan) ada wanita yang lurus hatinya/, jika ada (burung) gagak<br />
(berwarna) putih/, dan (bunga) tunjung tumbuh di batu/, bila di situ ada<br />
wanita (yang) hatinya baik/ kata orang pintar/ hati-hatilah apabila<br />
berhadapan (dengan) wanita tersebut/ jangan terpikat oleh kata<br />
manisnya/).<br />
Meskipun perempuan diposisikan secara rendah dibanding<br />
lelaki, namun secara umum kebudayaan Jawa memandang perempuan<br />
17
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
sebagai makhluk suci dan mulia sebagaimana tercermin dalam legenda<br />
Dewi Sri, yang mencerminkan bagaimana kemuliaan wanita dalam<br />
kehidupan.<br />
Pandangan normatif-antropologis ini sejalan dengan<br />
konstruksi budaya masyarakat Batak. Dalam pandangan antropologis<br />
masyarakat Batak, perempuan dipandang sebagai sosok yang harus<br />
dihormati dan dimuliakan. Di kalangan masyarakat Batak Toba, peran<br />
dan posisi perempuan dikenal dengan istilah “isteri”, yang berarti<br />
pasangan sehati dan sejiwa, pendamping suami, melahirkan dan<br />
mendidik generasi penerus, membina kehidupan rumah tangga dan<br />
jalinan sosial masyarakat, serta sebagai wanita terhormat yang patut<br />
dihormati. (http://haposanbakara.blogspot.com/2011/03/makna-isteridalam-budaya-batak-toba.html).<br />
Posisi mulia kaum perempuan dalam pandangan kultural<br />
masyarakat Batak ini juga bersumber dari mitologi Batak yang<br />
menyatakan bahwa asal usul manusia di bumi Batak adalah seorang<br />
perempuan, yaitu Siboru Deang Parujar (Siboru Dea). Juga konsep<br />
dewata sebagai manusia pertama di Banua Ginjang (bumi Batak) yang<br />
melahirkan tiga wanita dengan fungsi masing-masing untuk menjaga<br />
kehidupan; Siboru Parmeme, pengunyah makanan untuk diberikan<br />
kepada anak kecil; Panturi, penasehat, memberikan pengajaran tentang<br />
sikap, budi pekerti dan etika; Parorot, penjaga, pelindung dan pengawas<br />
anak (http://haposanbakara.blogspot.com/2012/05/kedudukan-wanitadalam-suku-batak.html).<br />
Di kalangan masyarakat Bugis, perempuan juga mendapat<br />
posisi terhormat. Sebagaimana dinyatakan Maria Josephine:<br />
Status sosial perempuan Bugis tampaknya cukup tinggi. Hal itu<br />
dapat kita lihat baik dalam realitas sosial maupun dalam<br />
naskah kuno. Secara sosial kita bisa menyebut sosok Colliq<br />
Pujie, seorang perempuan Bugis yang hidup pada abad ke-1<br />
yang berprofesi sebagai penulis, sastrawan dan juga<br />
negarawan. Dalam naskah kuno perempuan Bugis disebut<br />
berani (materru‟) dan bijaksana/ (malampe‟ nawa nawa).<br />
Walau begitu, tugas utama dari seorang perempuan Bugis<br />
adalah menjadi seorang ibu salehah, baik dan tulus (mancaji<br />
Indo ana tettong ridecengnge, tudang ripacingnge), menjadi<br />
penuntun suami yang jujur, hemat dan bijaksana sekaligus<br />
mitra pendukung dan penopang dalam mengatasi segala<br />
kesulitan maupun perjuangan mengatasi segala hal (Mancaji<br />
pattaro tettong rilempu‟e punnai cirinna enrengngre lampu<br />
„Nawa-Nawa mmewai sibaliperri‟ waroanena Sappa „laleng<br />
atuong), menjadi kebanggan ayahnya, saudaranya dan<br />
suaminya untuk menjaga kehormatan hidupnya (mancaji<br />
„siatutuiang siri na enrengnge banapatinna ritomatoanna,<br />
18
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
risilessureng macoana letih‟ ga riworoanena) (Maria<br />
Josephine Mantik, 2013)<br />
Apa yang disampaikan Maria ini juga sesuai dengan<br />
pandangan Rafles yang menyatakan: Ibu adalah jendela pertama bagi<br />
seorang bayi, dan menjadi pengontrol bagi suaminya. Ketika bayi lahir,<br />
Ibu memainkan peranan penting dalam memperkenalkan bayi kepada<br />
dunia. Masa depan anak sangat tergantung pada ibu. Sikap, pandangan<br />
dan seluruhnya semua diperoleh sang bayi dari seorang ibu. Seorang ibu<br />
yang sempurna akan lebih baik dari seribu guru. (Thomas Stamford<br />
Rafles, 2008).<br />
Dari pandangan kultural-antropologis ketiga etnis yang<br />
mewakili keberagaman masyarakat Indonesia, dapat disimpulkan bahwa<br />
secara normatif masyarakat Indonesia menempatkan posisi terhormat<br />
kepada kaum perempuan, seperti tercermin dalam berbagai mitos dan<br />
legenda yang ada di masyarakat Indonesia. Namun secara faktual, peran<br />
dan posisi perempuan yang terhormat dan mulia itu justru tidak terlihat.<br />
Sebaliknya perempuan justru ditempatkan pada posisi rendah dan<br />
dipandang sebelah mata sebagaimana tercermin dalam relasi dan<br />
konstruksi sosial yang timpang, ditandai dengan menguatnya budaya<br />
patriarkhi di kalangan masyarakat Indonesia. Bisa dikatakan, telah<br />
terjadi sikap dan corak pemikiran yang ambigu di kalangan masyarakat<br />
Indonesia terhadap perempuan.<br />
Meski banyak berbicara soal perempuan, namun hampir tidak<br />
ditemukan wacana mengenai relasi seks dalam narasi masyarakat<br />
Nusantara. Ini terjadi karena secara umum masyarakat Indonesia<br />
beranggapan bahwa seks adalah sesuatu yang suci dan mulia, sehingga<br />
menjadi tabu untuk dibicarakan dalam wilayah publik. Sejauh<br />
penelurusan saya, hanya menemukan satu kitab/serat yang secara<br />
spesifik berbicara mengenai masalah hubungan seksual, yaitu Serat<br />
Centhini.<br />
Meski kebudayaan Jawa di masa kejayaan keraton bersifat<br />
represif-feodalistik, dan berpandangan pejoratif terhadap perempuan,<br />
namun dalam bidang seksual ternyata sangat jauh dari apa yang kita<br />
bayangkan. Masalah seksualitas muncul dalam ekspresi seni, terutama<br />
sastra dan tari (Otto Sukatno, 2001). Artinya corak pemikiran yang<br />
memandang rendah kaum perempuan ternyata tidak sebanding dengan<br />
sikap dan pandangan mereka terhadap perilaku seksual. Hubungan<br />
seksual tetap dipandang sebagai ekspresi seni dan puncak keindahan<br />
yang harus diberlakukan secara baik dan mulia.<br />
Paparan diatas menunjukkan bahwa seksualitas merupakan<br />
sesuatu yang mulia, oleh karenanya kekerasan seksual tetap dipandang<br />
sebagai suatu tindakan biadab yang menyimpang dan melanggar etika<br />
sosial. Bisa dikatakan bahwa meski secara sosial budaya masyarakat<br />
19
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Indonesia hidup dalam kultur patriarki dengan relasi yang timpang<br />
sehingga merugikan kaum perempuan, namun mereka berpandangan<br />
bahwa seksualitas adalah adalah sesuatu yang mulia dan sangat terkait<br />
dengan urusan moral. Artinya dalam corak pemikiran masyarakat<br />
Indonesia, kekerasan seksual tetap dipandang sebagai kejahatan dan<br />
penyimpangan yang harus ditolak.<br />
Kekerasan Seksual Dalam Pandangan Pancasila<br />
Pancasila adalah kristalisasi dan manifestasi dari nilai-nilai<br />
luhur bangsa Indonesia yang beragam. Artinya Pancasila merupakan<br />
perasan saripati dari nilai-nilai terbaik dari berbagai ragam kebudayaan<br />
yang dimiliki Bangsa Indonesia. Dengan demikian, mustahil Pancasila<br />
memuat sesuatu yang buruk dan bertentangan dengan nilai-nilai<br />
kemanusiaan.<br />
Nilai-nilai dasar kemanusiaan termaktub tersebut secara jelas<br />
dalam Pancasila, terutama sila ke-dua; “Kemanusiaan Yang Adil dan<br />
Beradab”. Dengan sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, manusia<br />
diakui harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.<br />
Adil pada hakekatnya adalah memberikan atau memperlakukan<br />
seseorang atau pihak lain sesuai dengan apa yang menjadi haknya. Jadi,<br />
orang dikatakan bersikap dan bertindak adil kalau ia tidak melanggar<br />
hak orang lain, atau secara positif memberikan kepada orang lain apa<br />
yang menjadi haknya. Artinya perilaku tidak adil dan tidak beradab<br />
yang memberangus dan melecehkan nilai-nilai kemanusiaan, itu<br />
bertentangan dengan Pancasila.<br />
Kekerasan seksual adalah tindakan pelecehan dan<br />
pemberangusan nilai-nilai kemanusiaan. Kekerasan seksual tidak hanya<br />
membuat luka fisik bagi korban, tetapi juga menghancurkan harkat dan<br />
martabat manusia yang menjadi korban. Dengan demikian jelas bahwa<br />
kekerasan seksual merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan<br />
Pancasila.<br />
Dalam kehidupan berbangsa yang plural, kekerasan seksual<br />
tidak saja menjadi ancaman terhadap nilai kemanusiaan, tetapi juga<br />
merupakan ancaman terhadap kehidupan berbangsa yang multikultural.<br />
Ini terjadi karena meskipun terjadi keberagaman budaya, namun<br />
terdapat kesamaan sikap dan pandangan terhadap tindakan kekerasan<br />
seksual. Semua elemen bangsa Indonesia yang plural ini sepakat, bahwa<br />
kekerasan seksual merupakan tindakan biadab yang melecehkan harkat<br />
kemanusiaan, sehingga menjadi musuh bersama bangsa Indonesia yang<br />
beragam.<br />
20
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Kekerasan Seksual dalam Pemikiran Masyarakat Negara Lain<br />
Dalam hal ini saya hanya akan menyebut tiga Negara yang<br />
masing-masing memiliki pengaruh kuat dalam corak pikir masyarakat<br />
Indonesia, yaitu Arab, China, dan Amerika. Arab dan China memiliki<br />
pengaruh yang cukup kuat dalam kebudayaan dan pemikiran<br />
masyarakat Indonesia. Agama Islam yang dipeluk oleh mayoritas<br />
masyarakat Indonesia, tidak bisa lepas dari pengaruh kebudayaan Arab.<br />
Demikian pula interaksi sosial yang telah terjadi beberapa abad dengan<br />
bangsa China, membuat masyarakat tidak bisa lepas dari pengaruh<br />
China. Sementara itu kekuatan sosial politik dan intelektual Amerika<br />
yang ada di Indonesia, membuat bangsa ini sulit untuk keluar dari<br />
pengaruh Amerika.<br />
Dalam konstruksi sosial budaya masyarakat Arab, perempuan<br />
diposisikan sebagai manusia kelas dua dengan derajat yang lebih rendah<br />
dibanding lelaki. Hal ini tercermin dari model perkawinan yang<br />
dilakukan oleh Bangsa Arab sebelum datangnya Islam.<br />
Meski Islam sudah melakukan transformasi sosial yang<br />
radikal melalui revolusi teologi yang berhasil menghancurkan tradisi<br />
jahiliyah sebagaimana terjadi pada zaman Nabi Muhammad SAW, tapi<br />
bias tradisi jahiliyah yang memandang rendah kaum perempuan itu,<br />
hidup lagi pada era modern, sebagaimana terlihat dalam berbagai aturan<br />
yang banyak mengekang kebebasan dan merugikan kaum perempuan.<br />
Pandangan pejoratif terhadap perempuan inilah yang kemudian<br />
melahirkan sikap dan pemikiran yang permisif terhadap tindakan<br />
kekerasan seksual dan cenderung menyalahkan perempuanjika terjadi<br />
tindakan kekerasan seksual.<br />
Corak pemikiran yang memandang relasi yang timpang antara<br />
lelaki dan perempuan juga terlihat dalam kebudayaan China yang<br />
bersumber dari ajaran Yin dan Yang. Ajaran ini memang berbicara<br />
tentang keseimbangan dan harmoni, namun jika dicermati lebih lanjut,<br />
terutama yang terkait dengan relasi lelaki dan perempuan, maka akan<br />
terlihat posisi yang timpang. Sebagaimana dikatakan Seeger, Yin<br />
merupakan unsur negatif seperti air, dingin, basah, pasif, gelap, bulan,<br />
dan bersifat perempuan, sedangkan Yang merupakan unsur positif<br />
seperti api, panas, kering, aktif, terang, matahari, dan bersifat laki-laki<br />
(Elizabeth Seeger, 1952).<br />
Menurut Lee Park, tatanan keseimbangan Yin dan Yang<br />
tersebut, menyiratkan bahwa kedudukan perempuan dalam tata hidup<br />
manusia harus di bawah dan rendah seperti bumi. Kedudukan<br />
perempuan yang inferior dilihat sebagai bagian hukum alam. Yin<br />
(bumi) dikuasai oleh Yang (langit). Keutamaan bagi seorang perempuan<br />
adalah mengalah dan lemah, pasif dan diam, sebagaimana halnya bumi.<br />
Hal itu berbeda dengan laki-laki yang harus aktif dan kuat, penuh<br />
inisiatif sebagaimana halnya langit atau surga. Namun demikian,<br />
21
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
kedudukan laki-laki yang superior, tidak lengkap tanpa kehadiran<br />
perempuan sebagai lawan jenis yang saling mengisi (Sun Ai Lee Park,<br />
1992).<br />
Menurut Irwan Abdullah, dikotomi nature (alam) dan culture<br />
(budaya) digunakan untuk menunjukkan pemisahan jenis kelamin, yang<br />
satu memiliki status lebih rendah dari yang lain. Perempuan yang<br />
mewakili sifat alam (nature) harus ditundukkan agar mereka lebih<br />
berbudaya (culture). Usaha membudayakan perempuan tersebut telah<br />
mengakibatkan terjadinya ketimpangan hubungan antara laki-laki dan<br />
perempuan (Irwan Abdullah, 1997).<br />
Berbeda dengan corak pemikiran Arab dan China yang<br />
diskriminatif terhadap perempuan, corak pemikiran masyarakat<br />
Amerika terhadap kekerasan perempuan sangat terkait dengan faham<br />
feminism yang berkembang di Negara tersebut. Elizabeth Cady<br />
merupakan tokoh feminis Amerika Serikat yang memprakarsai konvensi<br />
hak-hak perempuan di Seneca Falls pada 1848. Teks Declaration of<br />
Independence menjadi pijakan Elizabeth untuk menulis Declaration of<br />
Sentiments and Resolution yang menjadi hasil konvensi dalam<br />
pertemuan bersejarah, yaitu Konvensi Hak-hak Perempuan di Seneca<br />
Falls pada 19 Juli 1848.<br />
Dia menegaskan bahwa “all the people” dalam konstitusi<br />
Negara Amerika berarti kaum perempuan sebagai manusia, termasuk di<br />
dalamnya. Pemikiran Elizabeth tentang otonomi perempuan sebagai<br />
individu, juga berdasarkan pada pemikiran individualisme liberal, tetapi<br />
ia tetap melihat bahwa perempuan merupakan suatu kolektivitas sosial<br />
yang harus bersatu dalam memperjuangkan kepentingan perempuan<br />
(Hadiz, 1998). Dengan cara pandang seperti ini, maka kekerasan<br />
seksual dalam corak pemikiran masyarakat Amerika, merupakan<br />
tindakan yang biadab, yang melecehkan nilai-nilai dan martabat<br />
kemanusiaan.<br />
Uraian di atas menunjukkan terjadinya perbedaan cara<br />
pandang terhadap posisi perempuan dalam konstruksi sosial budaya<br />
pada masing-masing Negara, yang pada ujungnya terjadi perbedaan<br />
dalam memandang kekerasan seksual. Di kalangan masyarakat Arab<br />
yang masih terdapat bias tradisi jahiliyah yang patriarkis, pandangan<br />
terhadap kekerasan seksual masih cenderung permisif dan menjadikan<br />
korban sebagai pihak yang salah, sekalipun secara normatif Islam<br />
sebagai agama yang dipeluk oleh masyarakat Arab, memberikan sanksi<br />
yang keras dan tegas, bahkan sangat berat kepada pelaku tindak<br />
kekerasan seksual. Sedangkan China, meskipun memandang adanya<br />
perbedaan antara laki-laki dan perempuan, namun memberikan<br />
hukuman yang berat kepada pelaku tindak kekerasan seksual.<br />
Pandangan masyarakat di kedua Negara ini berbeda dengan masyarakat<br />
Amerika yang sudah menerapkan kesetaraan dalam relasi lelaki<br />
22
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
perempuan. Dengan cara pandang seperti ini, maka corak pemikiran<br />
masyarakat Amerika terhadap kekerasan seksual menjadi lebih sensitif<br />
dan tegas.<br />
Upaya Memahami Kekerasan Seksual<br />
Persoalan kekerasan seksual ternyata memiliki keterkaitan<br />
dengan persoalan kultur dan sistem nilai yang berlaku di masyarakat.<br />
Pada masyarakat yang memiliki hubungan sosial yang timpang antara<br />
lelaki dan perempuan, maka kekerasan seksual lebih mudah terjadi. Ini<br />
disebabkan karena masyarakat cenderung bersifat permisif terhadap<br />
tindakan kekerasan seksual. Dengan kata lain, kepekaan terhadap<br />
kekerasan seksual pada masyarakat yang patriarkis adalah rendah.<br />
Untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap<br />
kekerasan seksual, saya rasa ada dua cara yang bisa dilakukan, yaitu<br />
yuridis dan kultural. Cara yuridis yaitu dengan melakukan penegakan<br />
hukum formal terhadap pelaku tindak kekerasan seksual. Melalui cara<br />
ini, masyarakat akan melihat bahwa kekerasan seksual merupakan<br />
tindakan yang melanggar norma hukum, sehingga layak diberi hukuman<br />
yang berat. Selain itu, melalui penegakan hukum formal ini, akan<br />
mendorong para korban kejahatan seksual berani melapor, karena<br />
dengan cara ini mereka merasa mendapat perlindungan, baik terhadap<br />
hak, harkat dan martabatnya sebagai manusia melalui jalur hukum.<br />
Cara kultural adalah melakukan sosialisasi mengenai<br />
kekerasan seksual melalui dialog langsung dari hati ke hati kepada<br />
berbagai pihak, khususnya kaum perempuan mengenai berbagai hal<br />
yang masuk dalam kategori tindak kekerasan seksual, dan upaya-upaya<br />
untuk menanggulanginya. Pengalaman yang saya peroleh selama<br />
melakukan pendampingan terhadap korban tindak kekerasan bersama<br />
Yayasan Puan Amal Hayati, rata-rata para korban mengalami syok dan<br />
depresi yang dalam. Mereka merasa malu untuk melaporkan hal<br />
tersebut kepada pihak lain/diketahui oleh orang lain. Kedua, seringkali<br />
korban yang melapor, justru diperlakukan/direndahkan harkat dan<br />
martabatnya. Ketiga, proses penanganan yang berbelit-belit dan<br />
melelahkan.<br />
Berdasarkan hal-hal sebagaimana disebutkan di atas, maka<br />
cara efektif yang bisa diterapkan kepada masyarakat Indonesia terhadap<br />
kekerasan seksual adalah mengubah pola pikir masyarakat serta pihakpihak<br />
yang bersangkutan untuk melepaskan diri dari jeratan budaya<br />
patriarki melalui pendekatan dialog dari hati ke hati secara intensif.<br />
Cara seperti ini tidak hanya bisa mengubah pandangan dan pola pikir,<br />
tetapi juga membuat para korban memiliki tempat bersandar dan teman<br />
dialog yang terbuka untuk mengungkapkan berbagai persoalan. Dengan<br />
demikian mereka akan terbiasa mengungkapkan persoalan seksual yang<br />
dianggap tabu secara terbuka. Melalui cara-cara seperti ini maka akan<br />
23
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
terbentuk pemahaman yang baik mengenai kekerasan seksual sehingga<br />
bisa meningkatkan kepekaan terhadap tindak kekerasan seksual.<br />
Pendekatan yuridis dan kultural ini harus dilakukan secara<br />
simultan. Pendekatan yuridis tanpa dibarengi degan pendekatan<br />
kultural, tidak akan bisa meningkatkan pemahaman masyarakat<br />
terhadap kekerasan seksual. Tanpa pemahaman, tidak akan terjadi<br />
perubahan cara pandang yang bisa mengubah perilaku dan<br />
meningkatkan kepekaan. Demikian sebaliknya, kedua pendekatan ini<br />
harus berjalan secara bersamaan, dengan membentuk sinergi yang<br />
saling melengkapi. ****<br />
Daftar Pustaka<br />
Ade Siri Na Pesse. 2013, Adat Istiadat Suku Bugi<br />
http://blogerbugis.blogspot.com/2014/04/ adat-istiadat-suku bugisade-siri-na.html<br />
diakses 12 November 2014.<br />
Ali, K, 2000. Sejarah Islam (Tarik Pramodern), Jakarta, PT. Raja<br />
Grafindo Persada.<br />
Elizabeth Seeger, 1952, Sedjarah Tiongkok Selajang Pandang,<br />
Terj.Ong Pok Kiat dan Sudarno, (Djakarta, Gronigen: J.B. Wolters).<br />
Hadiz, Liza. 1998. “Teori Feminisme Radikal” dalam Jurnal<br />
Perempuan. Edisi 7, Mei-Juli. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.<br />
HJ De Graaf, Dr, 1987. Awal Kebangkitan Mataram. Jakarta,<br />
Grafitipers, http://haposanbakara.blogspot.com/2012/05/kedudukanwanita-dalam-suku-batak.html,<br />
diakses pada 13 November 2014,<br />
http://haposanbakara.blogspot.com/2011/03/makna-isteri-dalambudaya-batak-toba.html,<br />
diakses pada 13 November 2014.<br />
Irwan Abdullah, 1997, Dari Domestik ke Publik: Jalan Panjang<br />
Pencarian Identitas Perempuan, dalam Irwan Abdullah (ed.),<br />
Sangkan Paran Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.<br />
J.B. Mangun Wijaya, 2008, Roro Mendut, Jakarta, Gramedia Pustaka<br />
Utama.<br />
Maria Josephine Mantik, 2013, Gender Inequality dalam “Makkunrai”<br />
Karya Lily Yuliani Farid, http://icssis.files.wordpress.com/2013/09/<br />
2013-01-34.pdf diakses 12 November 2014.<br />
Otto Sukatno CR, 2002, Seks Para Pangeran: Tradisi dan Ritualisasi<br />
Hedonisme Jawa, Yogyakarta, Bentang.<br />
Purwadi, 2007. Sejarah Raja-raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu.<br />
24
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Seri Dian. Kisah Dari Kampung Halaman. Dian: Jogjakarta.<br />
Sindhunata, 2007. Putri Cina, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.<br />
Suharndjati Suktri, Sri. Sofwan Ridin. Perempuan dan Seksualitas<br />
dalam Tradisi Jawa. Yogyakarta, Gama Media.<br />
Sun Ai Lee Park, 1995, Konfusianisme dan Kekerasan Terhadap<br />
Perempuan, dalam Th. Sumartana, dkk., Konfusianisme di<br />
Indonesia: Pergulatan Mencari Jati Diri, Yogyakarta: Pustka Pelajar.<br />
Thomas Stamford Rafles, 2008. History of Java, Yogyakarta, Narasi).<br />
25
MAKALAH DELEGASI<br />
KOMISI 1: HUKUM MATERIIL
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
TINJAUAN HUKUM MATERIIL MENGENAI KEKERASAN<br />
SEKSUAL TERHADAP ANAK DI INDONESIA<br />
Oleh: Fakultas Hukum Universitas Bengkulu<br />
ABSTRAK<br />
Kekerasan seksual terhadap anak saat ini menjadi fenomena yang<br />
sedang ramai diperbincangkan oleh semua kalangan masyarakat.<br />
Berbagai pengaturan terkait dengan kekerasan seksual terhadap anak<br />
ini seperti yang terdapat didalam Kitab Undang-Undang Hukum<br />
Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang<br />
Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang<br />
Pemberantasan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-Undang<br />
Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana<br />
Perdagangan Orang pada dasarnya telah mengatur tentang kekerasan<br />
seksual terhadap anak. Namun, pengaturan mengenai kekerasan<br />
seksual terhadap anak yang diatur didalam peraturan perundangundangan<br />
tersebut ternyata masih belum spesifik. Tidak adanya definisi<br />
kekerasan seksual serta tidak disebutkan secara jelas mengenai bentukbentuk<br />
kekerasan seksual didalam peraturan perundangan-undangan<br />
tersebut hanya merupakan segelintir masalah yang membuktikan bahwa<br />
masih terdapat kekurangan dalam peraturan perundang-perundangan<br />
terkait dengan kekerasan seksual terhadap anak. Maka melalui<br />
penelitian yuridis normatif dengan menggunakan bahan-bahan hukum<br />
primer dan sekunder dan tersier yang bertujuan untuk mencari solusi<br />
persoalan terhadap permasalahan yang ditemukan dalam peraturan<br />
perundang-undangan terkait dengan kekerasan seksual terhadap.<br />
Diperoleh kesimpulan bahwa solusi atas permasalahan-permasalahan<br />
yang ditemukan dalam peraturan perundangundangan mengenai<br />
kekerasan seksual terhadap anak tersebut ialah dengan meninjau<br />
kembali hukum materiil mengenai kekerasan seksual terhadap anak di<br />
Indonesia.<br />
A. Latar Belakang<br />
Fenomena kekerasan seksual yang sedang marak saat ini telah<br />
menjadi topik hangat yang ramai diperbincangkan oleh berbagai<br />
kalangan masyarakat. Berbagai kasus kekerasan seksual seperti kasus<br />
JIS (Jakarta International School) dan kasus Emon menunjukkan<br />
bahwa anak telah menjadi sasaran utama dalam tindak kekerasan<br />
seksual.<br />
26
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Anak merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang<br />
dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia yang patut<br />
dijunjung tinggi. Konsideran menimbang UU Nomor 23 Tahun 2002<br />
tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa anak adalah tunas,<br />
potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa,<br />
memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang<br />
menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.<br />
Namun melihat realita yang terjadi saat ini, maraknya tindak kekerasan<br />
seksual terhadap anak tentunya menjadi hal yang patut dikhawatirkan.<br />
Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat laporan<br />
tindak kekerasan anak yang terjadi pada tahun 2014 mulai Januari-April<br />
2014, terdapat 342 kasus. Dari angka tersebut, banyak kasus terjadi di<br />
lingkungan sekolah. Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait<br />
menjelaskan pada tahun 2013 Komnas PA mencatat sebanyak 3.339<br />
kasus kekerasan anak, 58 persen dari laporan tersebut merupakan<br />
kejahatan seksual. 2 Namun tidak semua tindak kekerasan seksual itu<br />
dilaporkan, sehingga diperkirakan jumlah tindak kekerasan seksual,<br />
terutama tindak kekerasan seksual terhadap anak lebih besar dari jumlah<br />
yang telah disebutkan tersebut.<br />
Perlu dilihat bahwa kekerasan seksual bukan hanya kejahatan<br />
fisik namun juga merupakan kejahatan psikis. Anak-anak yang menjadi<br />
korban kekerasan seksual akan mengalami tekanan psikologis yang<br />
sangat besar yang tentunya akan berpengaruh terhadap tumbuh<br />
kembang sang anak itu sendiri. Tidak hanya itu, anak sebagai korban<br />
kekerasan seksual akan mengalami dampak buruk yang<br />
berkepanjangan, seperti trauma, kehilangan kepercayaan diri, atau<br />
bahkan akan mengisolasi dirinya dari lingkungan sekitarnya, serta<br />
bukan tidak mungkin korban juga akan dipandang buruk didalam<br />
masyarakat. Oleh karena dampak yang ditimbulkan bagi anak sebagai<br />
korban kekerasan seksual sangat besar, maka perlu adanya pengaturan<br />
khusus demi menjamin keberlangsungan hidup anak yang menjadi<br />
korban kekerasan seksual. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3)<br />
UUD Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara<br />
hukum, yang salah satu cirinya adalah legalitas dalam arti hukum, maka<br />
baik pemerintah/negara maupun warga negara dalam bertindak harus<br />
berdasar atas dan melalui hukum. 3 Konsekuensi lainnya ialah setiap<br />
peraturan yang mengatur satu perbuatan harus dirumuskan secara tegas<br />
2 Wahyu Aji, Komnas Anak: 2014, Kekerasan Seksual Paling Tinggi<br />
Terjadi di Sekolah, diakses dari http://www.tribunnews.com/nasional/<br />
2014/05/12/komnas-anak-2014-kekerasanseksual-paling-tinggi-terjadi-disekolah,<br />
pada tanggal 7 Oktober 2014.<br />
3 Sekretariat Jenderal MPR RI, Panduan Pemasyarakatan Undang-<br />
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (2010), hlm. 46.<br />
27
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
dan jelas agar tercapai kepastian hukum, di samping terpenuhinya rasa<br />
keadilan dan kemanfaatan. Terkait tindakan kekerasan seksual terhadap<br />
anak UUD 1945 pada pasal 28B ayat (2) telah menyatakan bahwa setiap<br />
anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta<br />
berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Kemudian<br />
juga telah dibentuk peraturan-peraturan khusus yang mengatur tentang<br />
anak dari berbagai aspek, yang merupakan lex specialis dari KUHP<br />
seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan<br />
Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemberantasan<br />
Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan Undang-Undang Nomor 13<br />
Tahun 2006 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.<br />
Menyikapi permasalahan-permasalahan yang muncul seputar<br />
anak dan perlindungannya terhadap kekerasan seksual, maka perlu<br />
kiranya untuk mengetahui dan membahas mengenai kekerasan seksual<br />
terhadap anak tersebut dari aspek regulasinya secara lebih dalam<br />
makalah yang berjudul “Tinjauan Hukum Materiil Mengenai Kekerasan<br />
Seksual Terhadap Anak Di Indonesia”.<br />
B. Landasan Teori<br />
1. Kekerasan dan Kekerasan Seksual<br />
Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku,<br />
baik yang terbuka (overt) atau tertutup (covert), dan baik yang bersifat<br />
menyerang (offensive) atau bertahan (deffensive), yang disertai<br />
penggunaan kekuatan kepada orang lain. 4 Pengertian kekerasan tedapat<br />
dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan<br />
Tindak Pidana Perdagangan Orang, yaitu terdapat didalam pasal 1<br />
angka 11 yang berbunyi sebagai berikut:<br />
“Kekerasan adalah setiap perbuatan secara melawan hukum,<br />
dengan atau tanpa menggunakan sarana terhadap fisik dan psikis<br />
yang menimbulkan bahaya bagi nyawa, badan, atau menimbulkan<br />
terampasnya kemerdekaan seseorang.”<br />
Kemudian disebutkan pula di dalam penjelasan pasal 13<br />
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak<br />
bahwa perlakuan kekerasan dan penganiayaan, misalnya perbuatan<br />
melukai dan/atau mencederai anak, dan tidak semata-mata fisik, tetapi<br />
juga mental dan sosial. Kekerasan seksual sebagai salah satu bentuk<br />
kekerasan adalah setiap penyerangan yang bersifat seksual baik telah<br />
terjadi persetubuhan ataupun tidak, dan tanpa memperdulikan hubungan<br />
4 Thomas Santoso, Teori-Teori Kekerasan, (2002), hlm. 11.<br />
28
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
antara pelaku dengan korban. 5 Ada 15 jenis kekerasan seksual yang<br />
ditemukan Komnas Perempuan dari hasil pemantauannya selama 15<br />
tahun (1998 –2013), yaitu: 6 perkosaan, intimidasi seksual termasuk<br />
ancaman atau percobaan perkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi<br />
seksual , perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, prostitusi paksa,<br />
perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung,<br />
pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi dan<br />
sterilisasi, penyiksaan seksual, penghukuman tidak manusiawi dan<br />
bernuansa seksual, praktik tradisi bernuansa seksual yang<br />
membahayakan atau mendiskriminasi perempuan, kontrol sosial,<br />
termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.<br />
2. Anak dan Hak-hak Anak<br />
Mengacu pada konvensi PBB tentang Hak Anak (Convention n<br />
the Right Of The Child), maka definisi anak berarti setiap manusia<br />
dibawah umur 18 tahun, kecuali menurut undang-undang yang berlaku<br />
pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal. 7 Konvensi Hak Anak<br />
(Convention on the Rights of the Child) telah disahkan oleh Majelis<br />
Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 20 November<br />
1989, dan mulai mempunyai kekuatan memaksa (entered in to force)<br />
pada tanggal 2 September 1990. 8 Konvensi Hak Anak ini merupakan<br />
sebuah perjanjian internasional mengenai hak-hak serta perlindungan<br />
terhadap anak.<br />
Didalam Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the<br />
Child) yang keseluruhannya terdiri dari 54 (lima puluh empat) pasal,<br />
mengelompokkan 4 (empat) kategori hak-hak anak, yaitu: 9<br />
1) Hak terhadap Kelangsungan Hidup (survival rights)<br />
2) Hak terhadap Perlindungan (protection rights<br />
3) Hak untuk Tumbuh Kembang (development rights)<br />
4) Hak untuk Berpartisipasi (participation rights)<br />
Indonesia sebagai salah satu negara anggota PBB telah<br />
meratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Keppres Nomor 36 Tahun<br />
1990, sehingga Indonesia telah mengikat diri untuk melaksanakan<br />
5<br />
Pengertian Umum Tentang Kekerasan, diakses dari<br />
http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/s1hukum08/204711012/bab2.pdf pada<br />
tanggal 6 Oktober 2014.<br />
6<br />
Komnas Perempuan, 15 Jenis Kekerasan Seksual, diakses dari<br />
htp://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2013/12/15-Jenis-<br />
Kekerasan-Seksual_2013.pdf pada tanggal 6Oktober 2014.<br />
7 M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, (2013), hlm. 10.<br />
8<br />
Muhammad Joni dan Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum<br />
Perlindungan Anak Dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, (1999), hlm. 29.<br />
9 Ibid, hlm. 35.<br />
29
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
konvensi tersebut. Selain itu, sebagai bentuk keseriusan pemerintah<br />
dalam memberikan perlindungan terhadap anak, dibentuklah undangundang<br />
khusus mengenai perlindungan anak, yaitu Undang-undang<br />
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Didalam UU<br />
Perlindungan Anak tersebut juga disebutkan hak-hak serta perlindungan<br />
terhadap anak, dengan tidak terlepas pada prinsip-prinsip perlindungan<br />
anak, yaitu nondiskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak<br />
untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan, dan penghargaan<br />
terhadap pendapat anak.<br />
UU Perlindungan Anak juga menyertakan ketentuan pidana<br />
bagi yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak anak. Ketentuan<br />
pidana tersebut tentunya tetap berdasarkan asas legalitas. Asas legalitas<br />
dalam hukum positif Indonesia terdapat dalam pasal 1 ayat KUHP yang<br />
berbunyi sebagai berikut:<br />
“(1)Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan<br />
pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan<br />
dilakukan.” Asas legalitas ini kemudian yang menjadi suatu “hoeksteen”<br />
(poros di ujung) 10 dalam hukum pidana. Dengan perkataan lain, tidak<br />
boleh terjadi suatu perbuatan yang semula belum diterapkan bahwa<br />
pelakunya dapat dipidana, karena dirasakan oleh penguasa sangat<br />
merugikan, lalu dibuatkan peraturan dan pelakunya dapat dijerat dengan<br />
peraturan tersebut, walaupun peraturannya telah lewat, atau boleh<br />
dikatakan bahwa perundang-undangan pidana tidak boleh berlaku surut.<br />
Selain diatur didalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002<br />
tentang Perlindungan Anak, terdapat pengaturan khusus lainnya<br />
mengenai perlindungan anak yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun<br />
2004 tentang Pemberantasan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan<br />
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak<br />
Pidana Perdagangan Orang.<br />
3. Hasil Riset<br />
Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat<br />
laporan tindak kekerasan anak yang terjadi pada tahun 2014 mulai<br />
Januari-April 2014, terdapat 342 kasus. Dari angka tersebut, banyak<br />
kasus terjadi di lingkungan sekolah. Ketua Komnas PA, Arist Merdeka<br />
Sirait menjelaskan pada tahun 2013 Komnas PA mencatat sebanyak<br />
3.339 kasus kekerasan anak, 58 persen dari laporan tersebut merupakan<br />
kejahatan seksual. Dirinya memprediksi untuk tahun 2014 tingkat<br />
kejahatan seksual akan meningkat. 15 Tampaknya prediksi sebagaimana<br />
yang dikemukakan Arist menjadi kenyataan mengingat kasus kekerasan<br />
seksual terus mengalami peningkatan tiap tahunnya. Pada tahun 2011,<br />
10 Utrecht, E. Djindang, dan Moh. Saleh, Pengantar Dalam Hukum<br />
Indonesia, (1989),hlm. 388.<br />
30
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
ada 2.509 kasus, 62 persen merupakan kekerasan seksual dan sisanya<br />
kekerasan terhadap fisik hingga mengakibatkan meninggal. Sementara<br />
2012, dalam 1 semester ada 1.876 kasus, ada 68 persen kekerasan<br />
seksual dan sisanya kekerasan fisik. 11 Selain itu, data POLRI 2014<br />
mencatat ada 697 kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di<br />
separuh tahun 2104. Dari jumlah itu, sudah 726 orang yang ditangkap<br />
dengan jumlah korban mencapai 859 orang. Sedangkan data KPAI dari<br />
bulan Januari hingga April 2014, terdapat 622 laporan kasus kekerasan<br />
terhadap anak. 12<br />
Berdasarkan data-data tersebut diatas terlihat bahwa tindak<br />
kekerasan seksual terhadap anak mengalami peningkatan. Hukum<br />
positif Indonesia pun telah memberikan pengaturan yang cukup bagus<br />
terkait dengan tindak kekerasan seksual terhadap anak, yaitu terdapat<br />
didalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan<br />
Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemberantasan<br />
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan Undang-Undang Nomor 21<br />
Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang,<br />
namun masih terdapat beberapa kekurangan didalamnya. Berdasarkan<br />
analisis penulis, ternyata pengaturan khusus tersebut masih masih<br />
terdapat kekurangan terkait dengan tindak kekerasan seksual terhadap<br />
anak. Kekurangan tersebut antara lain tidak adanya definisi khusus<br />
kekerasan seksual serta kriteria perbuatan yang terkategori sebagai<br />
kekerasan seksual terhadap anak, serta adanya ketidaksesuaian ancaman<br />
pidana terhadap jenis tindak kekerasan seksual terhadap anak. Dengan<br />
demikian terlihat bahwa pengaturan khusus mengenai kekerasan seksual<br />
terhadap anak perlu dikaji ulang mengingat masih terdapat kekurangankekurangan<br />
dalam pengaturan khusus tersebut.<br />
C. Pengaturan Mengenai Kekerasan Seksual terhadap Anak<br />
Ditinjau dari Hukum Positif Indonesia<br />
Sebagaimana diketahui, KUHP tidak mengenal istilah<br />
kekerasan seksual dalam pasal-pasalnya, baik terhadap anak maupun<br />
terhadap orang dewasa. KUHP meletakkan pengaturan mengenai halhal<br />
tersebut pada Bab XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan.<br />
Khusus tindak kejahatan kesusilaan terhadap anak diatur pada Pasal<br />
287, 290 angka 2 dan 3, 292, 293, 294, dan 295. Namun, dari sederet<br />
pasal-pasal tersebut, tidak ditemui bentuk kejahatan kesusilaan lain<br />
11<br />
Arif Bambani Amri dan Siti Ruqoyah,Komnas PA: Angka<br />
Kekerasan Seksual Anak Meningkat, diakses dari<br />
http://www.m.news.viva.co.id/news/read/371471-komnas-pa--angkakekerasanseksual-anak-meningkat<br />
pada tanggal 7 Oktober 2014.<br />
12 Arbi, Indonesia Darurat Kejahatan Seksual Anak, diakses dari<br />
http://www.harianterbit.com/read/2014/08/15/6687/29/18/Indonesia-Darurat-<br />
Kejahatan-Seksual-Anak. pada tanggal 9Oktober 2014.<br />
31
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
kecuali perkosaan dan pencabulan. Dengan kata lain, KUHP<br />
mengkategorikan kejahatan terhadap kesusilaan hanya terbatas pada<br />
tindak perkosaan dan pencabulan saja yang pengertian dan<br />
penjelasannya pun sangat terbatas. Berangkat dari permasalahan<br />
tersebut, maka dibentuklah peraturanperaturan lain di luar KUHP yang<br />
secara khusus untuk menutupi kekurangankekurangan yang terdapat<br />
pada KUHP dan turut menjadi payung hukum terkait perkembangan<br />
tindak kekerasan seksual terhadap anak yang belum terakomodir di<br />
dalam KUHP. Peraturan-peraturan tersebut antara lain:<br />
a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan<br />
Anak<br />
Bentuk perlindungan terhadap anak dari kekerasan dituangkan<br />
dalam komitmen perlindungan sebagaimana ditegaskan padapasal<br />
59 yang menyatakan bahwa:<br />
“Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan<br />
bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada<br />
anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum,<br />
anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi<br />
secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak<br />
yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol,<br />
psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban<br />
penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan<br />
baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak<br />
korban perlakuan salah dan penelantaran.”<br />
Pasal tersebut mempunyai arti bahwa pemerintah dan lembaga<br />
lainnya mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan<br />
khusus terhadap anak dalam kondisi tertentu, salah satunya terhadap<br />
anak yang berhadapan dengan hukum.Anak yang berhadapan<br />
dengan hukum ini meliputi anak yang berkonflik dengan hukum<br />
dan anak korban tindak pidana. Terhadap anak korban tindak<br />
pidana, termasuk anak korban tindak pidana kekerasan seksual<br />
dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 69 ayat yang berbunyi:<br />
(1) Perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan<br />
sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 meliputi<br />
kekerasan fisik, psikis, dan seksual dilakukan melalui<br />
upaya:<br />
a. penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan<br />
perundang-undangan yang melindungi anak korban<br />
tindak kekerasan; dan<br />
b. pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi.<br />
(2) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan,<br />
melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta<br />
melakukan kekerasan sebagaimana dimaksud dalam ayat<br />
(1)”<br />
32
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Pasal tersebut mengkategorikan kekerasan sebagaimana menjadi 3<br />
(tiga) macam, yaitu kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Kemudian<br />
pasal tersebut juga mencantumkan upaya yang dilakukan terhadap<br />
anak korban kekerasan serta memberikan larangan untuk<br />
membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta<br />
melakukan kekerasan.<br />
Selain memberikan kewajiban dan tanggung jawab kepada<br />
pemerintah, undang-undang ini juga memberikan hak kepada anak<br />
untuk mendapatkan perlindungan dari orang tua, wali, atau pihak<br />
lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhannya,<br />
termasuk perlindungan dari kekerasan seksual sebagaimana yang<br />
tercantum dalam pasal 13 ayat (1).<br />
b) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan<br />
Kekerasan Dalam Rumah Tangga<br />
Pada UU ini pengaturan mengenai kekerasan seksual terhadap anak<br />
tidak seluas pengaturan kekerasan seksual terhadap anak yang<br />
terdapat pada UU Perlindungan Anak. Hal itu karena undangundang<br />
ini hanya terbatas dalam lingkup rumah tangga. Namun,<br />
walaupun demikian pengaturan mengenai kekerasan seksual pada<br />
undang-undang ini begitu tegas dituangkan dalam pasal-pasalnya.<br />
Seperti pada pasal 5 yang berbunyi:<br />
“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah<br />
tangga terhadap orangdalam lingkup rumah tangganya,<br />
dengan cara:<br />
a. kekerasan fisik;<br />
b. kekerasan psikis;<br />
c. kekerasan seksual; atau<br />
d. penelantaran rumah tangga”<br />
Pasal inimemberikan larangan kepada setiap orang untuk<br />
melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam<br />
lingkup rumah tangganya, dengan cara kekerasan fisik, kekerasan<br />
psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga.<br />
Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 tersebut<br />
juga termasuk kekerasan seksual terhadap anak. Pengaturan<br />
mengenai kekerasan seksual tersebut juga dijelaskan kembali pada<br />
pasal 8 yang mengatur lebih lanjut mengenai hal-hal yang<br />
terkategori sebagai kekerasan seksual dalam undang-undang ini,<br />
yaitu pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang<br />
yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut dan pemaksaan<br />
hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah<br />
tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan<br />
33
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
tertentu.Selain itu, pada bagian penjelasan pasal 8 tersebut<br />
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kekerasan seksual adalah<br />
setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual,<br />
pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau<br />
tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain<br />
untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.<br />
c) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan<br />
Tindak Pidana Perdagangan Orang<br />
Berbeda dengan peraturan-peraturan khusus sebelumnya, UU<br />
Perdagangan Orang tidak mengenal istilah kekerasan seksual secara<br />
eksplisit dalam pasal-pasalnya. Namun pada UU ini ditemui istilah<br />
eksploitasi seksual yang dijelaskan pada pasal 1 angka 8 yang<br />
berbunyi sebagai berikut: “Eksploitasi seksual adalah segala<br />
bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain<br />
dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak<br />
terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan.”<br />
Meskipun tidak menggunakan istilah kekerasan seksual tetapi<br />
istilah eksploitasi seksual dalam UU ini telah merujuk kepada<br />
maksud dari istilah kekerasan seksual, kekerasan seksual yang<br />
dimaksud dalam UU ini tidak hanya terbatas pada perkosaan dan<br />
pencabulan saja, diman hal tersebut dapat terlihat dari penggunaaan<br />
frasa “tidak terbatas pada” dan frasa “segala bentuk pemanfaatan<br />
organ tubuh seksual atau organ tubuh lain” pada istilah eksploitasi<br />
seksual dari ketentuan pasal 1 butir 7 dan 8 tersebut.<br />
Didalam undang-undang ini mengatur mengatur mengenai<br />
kekerasan seksual, termasuk kekerasan seksual terhadap anak<br />
melalui pasal 12 yang menyatakan bahwa:<br />
“Setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban<br />
tindak pidana perdagangan orang dengan cara melakukan<br />
persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban tindak<br />
pidana perdagangan orang, mempekerjakan korban tindak pidana<br />
perdagangan orang untuk meneruskan praktik eksploitasi, atau<br />
mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan<br />
orang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud<br />
dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.”<br />
Inti dari pasal tersebut ialah adanya sanksi pidana bagi setiap orang<br />
yang memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang,<br />
termasuk anak sebagai korban. Pasal tersebut juga menyebutkan<br />
perbuatan yang termasuk kedalam tindak kekerasan seksual, yaitu<br />
melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul.Kemudiandidalam<br />
pasal 17 disebutkan pula adanya penambahan 1/3 (sepertiga)<br />
ancaman pidana terhadap pasal 2, pasal 3, dan pasal 4. Penambahan<br />
34
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
1/3 (sepertiga) tersebut dilakukan apabila perbuatan sebagaimana<br />
yang disebutkan dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 dilakukan<br />
terhadap anak.<br />
D. Kekurangan yang Terdapat dalam Pengaturan Mengenai<br />
Kekerasan Seksual terhadap Anak di Indonesia<br />
a) Penggunaan istilah kekerasan seksual tidak diikuti oleh penjelasan<br />
mengenai kriteria-kriteria perbuatan yang terkategori sebagai<br />
kekerasan seksual terhadap anak:<br />
Pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang<br />
Perlindungan Anak, tidak disebutkan definisi kekerasan<br />
seksual. Dalam undang-undang tersebut hanya mencantumkan<br />
perbuatan yang masuk kategori kekerasan seksual, yaitu<br />
persetubuhan dengan anak sebagaimana diatur dalam pasal 81<br />
UU Perlindungan Anak.Perbuatan-perbuatan lainnya seperti<br />
tindakan mengeksploitasi anak secara ekonomi dan/atau seksual<br />
tidak secara eksplisit dikatakan sebagai kekerasan seksual.<br />
Begitu pula tindakan pelecehan atau perbuatan tidak senonoh<br />
kepada anak juga bukan merupakan bagian dari kekerasan<br />
seksual karena tindakan pelecehan atau perbuatan tidak senonoh<br />
kepada anak termasuk dalam pengertian frasa “perlakuan salah”<br />
yang juga terpisah dari frasa “anak korban kekerasan baik fisik<br />
dan/atau mental”, seperti yang dijelaskan pada bagian<br />
penjelasan pasal 13 ayat (1) huruf f berikut ini: “Perlakuan<br />
salah lainnya, misalnya tindakan pelecehan atau perbuatan<br />
tidak senonoh kepada anak.”<br />
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan<br />
Kekerasan Dalam Rumah Tanggalebih terspesifikasi. Pada<br />
pasal 8 UU KDRT terdapat penjelasan mengenai pengertian<br />
kekerasan seksual beserta pengelompokan tindakan yang masuk<br />
kriteria kekerasan seksual, namun ruang lingkup keberlakuan<br />
kekerasan seksual terhadap anak dalam UU KDRT sangat<br />
sempit karena hanya terbatas dalam lingkup rumah tangga saja.<br />
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan<br />
Tindak Pidana Perdagangan Orangmemang tidak mengenal<br />
istilah kekerasan seksual tetapi terdapat istilah seperti<br />
eksploitasi dan eksploitasi seksual yang maknanya merujuk<br />
pada kekerasan seksual.<br />
b)Ketidaksesuaian ancaman pidana dengan delik kekerasan seksual<br />
terhadap anak<br />
<br />
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan<br />
Anak pada pasal 88 disebutkan bahwa: “Setiap orang yang<br />
mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud<br />
untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana<br />
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun<br />
35
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
<br />
<br />
<br />
dan/atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus<br />
juta rupiah).”<br />
Jika pasal tersebut dibandingkan dengan pasal-pasal lain pada<br />
UU Perlindungan Anak seperti pasal 81, pasal 82, pasal 83, dan<br />
pasal 84 yang masing-masing mengatur perbuatan yang berbeda<br />
maka akan didapati perbedaan pada ancaman pidananya.<br />
Ancaman pidana pada pasal 81, 82, 83, dan 84 yaitu pidana<br />
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3<br />
(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga<br />
ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp60.000.000,00 (enam<br />
puluh juta rupiah). Sedangkan ancaman pidana pada pasal 88<br />
eksploitasi anak secara seksual hanya pidana penjara paling<br />
lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak<br />
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) tanpa terdapat batasan<br />
pidana minimum seperti pada pasal-pasal sebelumnya.<br />
Ancaman pidana sebagaimana yang disebutkan dalam pasal88<br />
tersebut dirasa tidak sesuai, karena frasa “eksploitasi anak<br />
secara seksual” memiliki cakupan yang lebih luas, namun<br />
ancaman yang diberikan justru lebih kecil.<br />
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan<br />
Kekerasan Dalam Rumah Tangga juga terdapat ketidaksesuaian<br />
ancaman pidana, yaitu pada pasal 46 dan pasal 47. Pasal 46<br />
tidak mencantumkan pidana minimum, sedangkan di pasal 47<br />
dicantumkan pidana minimum.<br />
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan<br />
Tindak Pidana Perdagangan Orangmenganggap tindakan<br />
mengeksploitasi anak secara seksual lebih ringan tingkat<br />
kejahatannya daripada persetubuhan, pencabulan, perdagangan,<br />
atau tindakan translpantasi organ terhadap anak.<br />
E. Solusi<br />
Berdasarkan uraian di atas telah diketahui bahwa terdapat<br />
permasalahan dalam pengaturan khusus mengenai kekerasan seksual<br />
terhadap anak di Indonesia sehingga mengakibatkan pengaturan<br />
mengenai kekerasan seksual. Oleh karena itu, perbaikan ulang terhadap<br />
pengaturan khusus terkait kekerasan seksual terhadap anak tersebut<br />
sangat penting untuk segera dilakukan. Berikut formulasi perbaikan<br />
tersebut:<br />
1. Merumuskan definisi kekerasan seksual dan kriteria-keriteria<br />
perbuatan yang termasuk sebagai tindak kekerasan seksual secara<br />
ekplisit dan terstruktur pada setiap pengaturan khusus yang terkait<br />
dengan kekerasan seksual. Misalnya memasukan tindakan<br />
eksploitasi anak secara ekonomi dan/atau seksual dan tindakan<br />
pelecehan atau perbuatan tidak senonoh kepada anak ke dalam<br />
36
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
pengertian dan kriteria kekerasan seksual pada UU Perlindungan<br />
Anak;.<br />
2. Menyelaraskan ancaman pidana dengan tingkat kekerasan seksual<br />
yang dilakukan. Misalnya ancaman pidana terhadap tindakan<br />
mengeksploitasi anak secara ekonomi dan/atau seksual seperti pada<br />
pasal 88 UU tentang Perlindungan Anak harus memuat ancaman<br />
pidana yang lebih berat daripada ancaman pidana terhadap tindak<br />
kekerasan seksual yang lainnya, seperti persetubuhan, pencabulan,<br />
dan sebagainya, serta harus memiliki pidana minimum di atas pidana<br />
minimum kekerasan seksual yang lainnya.<br />
F. Kesimpulan dan Saran<br />
Tindak kekerasan seksual terhadap anak telah cukup baik diatur<br />
dalam hukum positif Indonesia.Peraturan-peraturan khusus yang<br />
mengatur tentang kekerasan seksual terhadap anak, seperti Undang-<br />
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-<br />
Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemberantasan Tindak Pidana<br />
Perdagangan Orang, dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006<br />
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan<br />
bukti dari keseriusan Pemerintah terhadap tindak kekerasan seksual<br />
terhadap anak. Namun didalam pengaturan tersebut, masih terdapat<br />
beberapa kekurangan sehingga peraturan mengenai kekerasan seksual,<br />
terutama terhadap anak, menjadi bias dan tidak tegas. Kekurangankekurangan<br />
tersebut ialah sebagai berikut:<br />
1. Penggunaan istilah kekerasan seksual tidak diikuti oleh penjelasan<br />
mengenai kriteria-kriteria perbuatan yang terkategori sebagai<br />
kekerasan seksual terhadap anak;<br />
2. Ketidaksesuaian ancaman pidana dengan tingkat kekerasan seksual<br />
yang dilakukan terhadap anak.<br />
Berdasarkan hal tersebut, maka perlu adanya suatu formulasi<br />
perbaikan terhadap peraturan-peraturan yang mengatur tentang<br />
kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia. Berikut formulasi<br />
perbaikan tersebut :<br />
1. Merumuskan definisi kekerasan seksual terhadap anak secara<br />
ekplisit pada setiap peraturan yang terkait dengan kekerasan seksual<br />
terhadap anak;<br />
2. Merumuskan kriteria-keriteria perbuatan yang termasuk sebagai<br />
tindak kekerasan seksual terhadap anak secara jelas dan tegas, serta<br />
sistematis;<br />
3. Menyelaraskan ancaman pidana dengan tingkat kekerasan seksual<br />
yang dilakukan.<br />
Pengaturan mengenai kekerasan seksual terhadap anak di<br />
Indonesia ternyata belum mampu mengatur perihal kekerasan seksual<br />
37
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
terhadap anak secara menyeluruh.Masih terdapatnya kekurangankekurangan<br />
pada peraturan-peraturan khusus terkait kekerasan seksual<br />
terhadap anak menunjukkan bahwa peraturan-peraturan tersebut belum<br />
memberikan jaminan hukum secara maksimal kepada anak dari tindak<br />
kekerasan seksual yang terjadi. Sehingga dalam hal ini perlu adanya<br />
tindakan-tindakan nyata dari pembuat undang-undang dalam hal<br />
memperbaiki aturan-aturan terkait dengan kekerasan seksual terhadap<br />
anak.<br />
Selain itu, sangat perlu untuk terus mengkaji dan meninjau<br />
kembali peraturan-peraturan terkait kekerasan seksual terhadap anak di<br />
Indonesia agar kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangan yang<br />
terdapat pada peraturanperaturan tersebut dapat segera diketahui dan<br />
diantisipasi dengan tindakan-tindakan yang diperlukan agar jaminan<br />
hukum kepada anak dari tindakan kekerasan seksual tidak tergadaikan.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
E. Utrecht dan Moh. Saleh Djindang. 1989. Pengantar Dalam Hukum<br />
Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.<br />
Kitab Undang-undang Hukum PidanaIndonesia<br />
M. Nasir Djamil. 2013. Anak Bukan Untuk Dihukum. Jakarta: Sinar<br />
Grafika<br />
Muhammad Joni dan Zulchaina Z. Tanamas. 1999. Aspek<br />
HukumPerlindungan Anak Dalam Perspektif Konvensi Hak<br />
Anak.Bandung:Citra Aditya Bakti.<br />
Peter Mahmud M. 2010. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.<br />
Suratman,Philips Dillah. 2014. Metode Penelitian Hukum. Bandung:<br />
Alfabeta.<br />
Teguh Prasetyo. 2011. Hukum Pidana. Jakarta: Rajagrafindo Persada.<br />
Thomas Santoso. 2002. Teori-Teori Kekerasan. Jakarta: Ghalia<br />
Indonesia.<br />
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak<br />
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan<br />
Kekerasan Dalam Rumah Tangga<br />
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak<br />
Pidana Perdagangan Orang.<br />
38
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
http://www.harianterbit.com/read/2014/08/15/6687/29/18/Indonesia-<br />
DaruratKejahatan-Seksual-Anak.<br />
http://www.m.hukumonline.com/klinik/detail/lt51481064f40f/asaslegalitas,kebebasa-hakim-menafsirkan-hukum,-dan-kaidahyurisprudensi.<br />
http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2013/12/15-<br />
JenisKekerasan-Seksual_2013.pdf.<br />
http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/s1hukum08/204711012/bab2.pdf.<br />
http://www.m.news.viva.co.id/news/read/371471-komnaspa--angkakekerasan-seksual-anak-meningkat.<br />
http://www.tribunnews.com/nasional/2014/05/12/komnas-anak2014-<br />
kekerasan-seksual-paling-tinggi-terjadi-di-sekolah.<br />
39
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL<br />
TERHADAP PEREMPUAN<br />
Oleh: Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Sumatera Utara<br />
(Pemenang Kompetisi Penulisan Makalah Komisi 1)<br />
Abstrak<br />
Masalah tindak pidana perkosaan memiliki dimensi yang sangat luas<br />
tidak hanya terbatas pada persoalan hukum saja. Faktor kultur<br />
masyarakat menjadi determinan yang ikut menentukan perkembngan<br />
kekerasan seksual yang terjadi belakangan ini. Faktor kultural ini<br />
ternyata justru menjadi hambatan dalam penyelesaian hukum<br />
disamping karakteristik peristiwa perkosaan itu sendiri yang membuat<br />
ketentuan yuridis positif menjadi sangat terbatas untuk menjangkaunya.<br />
Melalui penelitian ini diharapkan bisa ditelaah secara kritis tinjauan<br />
hukum materiil tentang kekerasan seksual dan perkosaan dalam hukum<br />
pidana positif di Indonesia yaitu khususnya untuk implementasinya<br />
terhadap tindak pidana perkosaan. Apakah peraturan-peraturan hukum<br />
pidana dalam KUHP telah menjadi hukum yang baik yang mampu<br />
mewujudkan tujuan dan fungsinya untuk memberikan kedamaian dan<br />
mencari kebenaran serta keadilan? Konklusi dan solusi seperti apa<br />
yang bisa diajukan untuk mengatasi persoalan dalam tindak pidana<br />
perkosaan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut diharapkan akan terjawab<br />
melalui penelitian ini. Penelitian ini menggunakan metode penelitian<br />
hukum normatif dengan teknik pendekatan (analisis) kualitatif.<br />
Meskipun berpijak pada wilayah hukum yang normatif namun segi-segi<br />
yuridis sosiologis dan yuridis filosofis turut dipergunakan untuk<br />
mendukung dan memperluas serta memperdalam pembahasan yang<br />
dilakukan.<br />
A. Latar Belakang<br />
Kekerasan merupakan isu utama di seluruh dunia, baik di<br />
negara maju maupun di negara berkembang seperti Indonesia. Bisa<br />
dikatakan kekerasan seksual mengalami perkembangan yang terus<br />
meningkat dari tahun ke tahun. Perbincangan tentang kekerasan pada<br />
anak dan perempuan telah berkembang dan tidak hanya menjadi suatu<br />
pertukaran argumen belaka namun menjadi suatu gerakan sosial.<br />
Permulaan Penelitian ini menunjukkan bahwa anak dan perempuan<br />
masih dijadikan sasaran utama untuk tindak kejahatan.<br />
Berdasarkan fakta-fakta yang dihimpun penulis dari berbagai<br />
sumber, terbukti bahwa kasus kekerasan pada anak dan perempuan di<br />
Indonesia kini mengalami peningkatan. Terhitung sejak tahun 2010<br />
hingga saat ini di Sumatera Utara khususnya, kasus kekerasan terhadap<br />
40
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
anak di Sumatera Utara pada 2013 yang mencapai 12.679 kasus yang<br />
terjadi di 23 kabupaten dan kota. Dari jumlah tersebut, sebanyak 7.335<br />
kasus atau 52 persen adalah praktik kejahatan seksual terhadap anak.<br />
Hal ini telah menjadi isu sentral oleh masyarakat untuk dicegah dan<br />
ditanggulangi. Ada beberapa sebab yang berkaitan dengan hal ini,<br />
diantaranya:<br />
1. Persoalan hak asasi manusia masih dianggap hanya sebagai<br />
persoalan sosial. Sehingga kekerasan terhadap anak dan<br />
perempuan yang dilakukan tidak dianggap sebagai pelanggaran<br />
hak asasi manusia.<br />
2. Persepsi masyarakat tidak terkecuali masyarakat perempuan<br />
sendiri, tentang kekerasan terhadap perempuan masih terbatas pada<br />
kekerasan fisik (perkosaan).<br />
3. Kekerasan terhadap perempuan masih dilihat sebagai masalah<br />
antarindividu dan belum dipandang sebagai masalah yang<br />
berkaitan dengan segala bentuk penyiksaan, kekerasan, kekejaman,<br />
dan pengabaian hak-hak anak dan perempuan sebagai makhluk<br />
Tuhan.<br />
4. Ada gejala sinisme yang berbahaya pada sebagian masyarakat<br />
bahwa kekerasan terhadap perempuan dilihat sebagai sebab yang<br />
dimunculkan oleh perempuan itu sendiri.<br />
B. Pengertian Tindak Kekerasan Seksual<br />
Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa<br />
pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan atau tidak<br />
disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan<br />
komersil dan atau tujuan tertentu.<br />
Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan<br />
salah. Menurut WHO, kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan<br />
kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan<br />
atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau<br />
kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian<br />
psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak. 1<br />
Tindakan kekerasan seksual atau persetubuhan yaitu<br />
memasukkan kemaluan si pria ke dalam kemaluan si wanita sedemikian<br />
rupa yang normaliter atau yang dapat mengakibatkan kehamilan.<br />
Kekerasan seksual (sexual abuse) merupakan jenis<br />
penganiayaan yang biasanya dibagi dalam 2 (dua) kategori berdasarkan<br />
identitas pelaku, yaitu:<br />
1 Samituti S dan Bangong Suyanto, dkk, Anak Jalanan di Jawa Timur<br />
(Masalah dan Upaya Penanganannya), (Surabaya: Airlangga University<br />
Press, 1999).<br />
41
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
1. Familial Abuse<br />
Familial Abuse merupakan sexual abuse yang masih dalam<br />
hubungan darah dan juga menjadi bagian dalam keluarga inti.<br />
Seseorang yang menjadi pengganti orang tua, misalnya ayah tiri<br />
atau kekasih, termasuk dalam pengertian incest.<br />
2. Extrafamilial Abuse<br />
Extrafamilial Abuse adalah kekerasan yang dilakukan oleh orang<br />
lain di luar keluarga korban. Kekerasan seksual yang dilakukan oleh<br />
orang dewasa disebut pedophile, yang menjadi korban utamanya<br />
adalah anak-anak.<br />
Kejahatan kekerasan termasuk salah satu dari 4 pola<br />
kejahatan (kejahatan kekerasan, ekonomi, seksual, dan politik).<br />
Kejahatan kekerasan terdiri dari keselamatan jiwa, penganiayaan,<br />
penculikan dan pembunuhan. 2<br />
C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tindak Kekerasan Seksual<br />
Dalam setiap tindak kejahatan tidak terlepas dari faktor-faktor<br />
pendorong serta latar belakang terjadinya sebuah tindak kejahatan,<br />
maka pada kasus kekerasan seksual di Indonesia juga terdapat beberapa<br />
faktor yang menjadi alasan terjadinya tindak kekerasan seksual<br />
diantaranya: 3<br />
1. Faktor Sosial<br />
Perihal yang mempengaruhi terjadinya tindak kekerasan seksual<br />
adalah pergeseran nilai-nilai sosial dimasyarakat. Nilai-nilai etika<br />
dan moral yang sebelumnya dipegang masyarakat sudah tidak lagi<br />
dianggap. Dengan demikian, tidak ada lagi patokan-patokan yang<br />
menentukan suatu hal boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan,<br />
patokan baik dan buruk di kalangan masyarakat menyebabkan<br />
setiap orang saling tidak peduli terhadap perbuatan orang lain.<br />
2. Faktor Pendidikan<br />
Minimnya tingkat pendidikan seseorang dapat mempengaruhi<br />
mindset seseorang untuk melakukan suatu tindak kejahatan,<br />
termasuk dalam hal ini adalah tindak kekerasan seksual.<br />
3. Faktor Lingkungan<br />
Lingkungan sebagai faktor terpenting dan mendasar dari kehidupan<br />
manusia yang berperan besar dalam pembentukan karakter<br />
seseorang. Sehingga potensi seseorang dalam melakukan kekerasan<br />
seksual juga dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya.<br />
2 Dirjosisworo, dalam M. Hamdan, dkk,Persepsi Masyarakat Tentang<br />
Tindak Pidana Kesusilaan Dalam Rangka Perumusan Pasal Perzinahan<br />
Untuk Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, (1997), hlm. 9.<br />
3 A. Wahid dan M. Irfan, Perlindungan terhadap Korban Kekerasan<br />
Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan), (Malang: Refika Aditama,<br />
2001), hlm.70.<br />
42
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
4. Faktor Psikologis<br />
Psikologis seseorang dapat menjadi salah satu faktor terjadinya<br />
tindak kekerasan seksual. Dalam hal ini pengaruh ataupun kejadian<br />
yang pernah dialami oleh seorang korban pelecehan kekerasan<br />
seksual, berpotensi mempengaruhi psikologisnya sehingga<br />
melakukan hal yang serupa.<br />
5. Faktor Calon Korban<br />
Perlu diketahui bahwa yang mempengaruhi terjadinya suatu tindak<br />
kekerasan seksual, tidak hanya faktor-faktor pelaku kejahatan saja,<br />
akan tetapi faktor calon korban kekerasan seksual juga<br />
mempengaruhi terjadinya suatu tindak kejahatan, karena setiap<br />
perbuatan manusia adalah suatu hasil interaksi akibat adanya<br />
interelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi.<br />
D. Tinjauan Umum Mengenai Pencabulan<br />
1. Berdasarkan KUHP<br />
KUHP Indonesia yang dijadikan acuan utama bagi kalangan<br />
praktisi hukum untuk menjaring pelaku kejahatan kekerasan seksual<br />
mengandung kekurangan secara substansial dalam hal melindungi<br />
korban kejahatan. Korban dalam sisi yuridis ini tidak mendapatkan<br />
perlindungan yang istimewa.<br />
Tindak pidana perkosaan dalam KUHP dapat dibedakan<br />
menjadi dua, yaitu tindak pidana perkosaan untuk bersetubuh yang<br />
diatur dalam pasal 285 dan tindak pidana perkosaan untuk berbuat cabul<br />
yang diatur dalam pasal 289.<br />
Pasal 285 KUHP berbunyi :<br />
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan<br />
memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar<br />
perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan<br />
pidana penjara paling lama dua belas tahun”. 4<br />
2. Berdasarkan Konsep KUHP<br />
Konsep KUHP tidak lagi membedakan antara kejahatan<br />
kesusilaan dengan pelanggaran kesusilaan. Konsep KUHP<br />
mengelompokkan tindak pidana kesusilaan menjadi satu dengan judul<br />
“Tindak Pidana terhadap Perbuatan Melanggar Kesusilaan”.<br />
Perkosaan tidak lagi dilihat sebagai persoalan moral sematamata<br />
(moral offence). Di dalamnya juga mencakup masalah anger and<br />
violence, yang dianggap merupakan pelanggaran dan pengingkaran<br />
terhadap hak-hak asasi manusia, khususnya hak wanita.<br />
4 R. Soenarto Soerocibroto, KUHP dan KUHAP, Cet. 5, (Jakarta: Raja<br />
Grafindo Persada, 2003), pasal 285 KUHP.<br />
43
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Oleh sebab itu, pengertian perkosaan (modern) tidak lagi<br />
difokuskan pada pemaksaan dan hubungan seksual, tetapi diperluas<br />
sehingga mencakup beberapa hal, yaitu: 5<br />
a. Forcible rape, yakni persetubuhan yang bertentangan dengan<br />
kehendak wanita yang disetubuhi;<br />
b. Persetubuhan tanpa persetujuan wanita (wanita dalam keadaan tidak<br />
sadar);<br />
c. Persetubuhan dengan persetujuan wanita, tapi persetujuan itu<br />
dicapai melalui ancaman pembunuhan atau penganiayaan;<br />
d. Rape by fraud, persetubuhan yang terjadi karena wanita percaya<br />
bahwa laki-laki yang menyetubuhinya adalah suaminya, jadi disini<br />
ada unsur penipuan atau penyesatan;<br />
e. Statutory rape, yaitu persetubuhan dengan wanita berusia di bawah<br />
empat belas tahun meskipun atas dasar suka sama suka.<br />
Beberapa hal yang membedakan konsep tindak pidana<br />
perkosaan menurut konsep KUHP dengan KUHP yaitu:<br />
a. bahwa untuk adanya tindak pidana perkosaan tidak harus ada<br />
kekerasan, yang harus ada adalah adanya pertentangan kehendak<br />
(pasal 389 ayat (1) ke-1);<br />
b. tindak pidana perkosaan bisa juga terjadi dalam bentuk persetujuan<br />
persetubuhan dalam hal korban/wanitanya berusia di bawah empat<br />
belas tahun (pasal 389 ayat (1) ke-5);<br />
c. tindak pidana perkosaan (persetubuhan) tidak hanya berarti<br />
masuknya alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin perempuan<br />
tapi juga bisa berarti masuknya alat kelamin laki-laki ke dalam anus<br />
atau mulutnya perempuan;<br />
d. dan juga bisa berarti memasukkan suatu benda-benda seperti alat<br />
elektronik berbentuk kemaluan laki-laki atau alat-alat lainnya<br />
(bukan hanya alat kelamin) ke dalam vagina atau anus seorang<br />
perempuan.<br />
Konsep itu merupakan langkah maju dibandingkan keberadaan<br />
rumusan dalam Pasal-Pasal KUHP yang lama yang cenderung tidak bisa<br />
mengakomodasi perkembangan kehidupan bermasyarakat dan<br />
berbangsa. Kasus-kasus kejahatan kekerasan seksual yang modus<br />
operandinya kasar, keji, vulgar, dan sangat menjatuhkan martabat<br />
kemanusiaan dipersamakan dengan kejahatan kesusilaan pada<br />
umumnya.<br />
5<br />
Muladi, Memperketat Delik Susila, dalam Abdul Wahid dan<br />
Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual<br />
(Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan), (Bandung: Refika Aditama, 2001),<br />
hlm. 115.<br />
44
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
E. Bentuk-bentuk Kekerasan Seksual<br />
Adapun bentuk-bentuk kekerasan seksual yang telah<br />
diklasifikasikan sebagai berikut:<br />
1) Perkosaan, bisa dimaknai sebagai serangan dalam bentuk<br />
pemaksaan hubungan seksual. Dalam serangan seksual itu ada<br />
upaya paksa, kekerasan, tekanan psikologis, penyalahgunaan<br />
kekuasaan, atau mengambil kesempatan dari lingkungan yang<br />
penuh paksaan. Pencabulan sering diidentikkan dengan perkosaan<br />
dalam hukum Indonesia.<br />
2) Intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan. Di<br />
sini ada tindakan yang menyerang seksualitas untuk menimbulkan<br />
rasa takut atau penderitaan psikis pada korban. Bisa disampaikan<br />
langsung atau melalui pesan singkat. Ancaman atau percobaan<br />
perkosaan termasuk kategori ini.<br />
3) Pelecehan seksual adalah tindakan seksual lewat sentuhan fisik atau<br />
nonfisik dengan sasaran organ seksual korban. Komnas Perempuan<br />
memasukkan siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, dan<br />
menunjukkan materi pornografi ke dalam kategori ini.<br />
4) Eksploitasi seksual, yakni tindakan penyalahgunaan kekuasaan<br />
yang timpang atau penyalahgunaan kepercayaan, untuk tujuan<br />
kepuasaan seksual atau untuk memperoleh keuntungan. Bentuk<br />
yang kerap terjadi adalah menggunakan kemiskinan keluarga<br />
perempuan untuk memasukkannya ke dalam prostitusi atau bisnis<br />
pornografi.<br />
5) Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual meliputi tindakan<br />
merekrut, mengangkut, menampung, mengirim memindahkan atau<br />
menerima seseorang dengan paksaan atau rayuan untuk tujuan<br />
prostitusi atau ekspolitasi seksual lainnya.<br />
6) Prostitusi adalah situasi dimana korban mengalami tipu daya,<br />
ancaman, atau kekerasan untuk menjadi pekerja seks.<br />
7) Perbudakan seksual adalah situasi dimana pelaku merasa menjadi<br />
„pemilik‟ atas tubuh korban sehingga berhak untuk melakukan<br />
apapun termasuk memperoleh kepuasan seksual melalui<br />
pemerkosaan atau cara lain.<br />
8) Pemaksaan perkawinan, misalnya pernikahan dini atau pernikahan<br />
yang dipaksakan kepada orang yang belum dewasa karena di<br />
dalamnya akan ada pemaksaan seksual. Cerai gantung termasuk<br />
juga dalam kategori ini.<br />
9) Pemaksaan kehamila yaitu situasi ketika perempuan dipaksa untuk<br />
melanjutkan kehamilan yang tidak dia inginkan. Misalnya dialami<br />
oleh perempuan korban perkosaan.<br />
10) Pemaksaan aborsi yaitu pengguguran kandungan yang dilakukan<br />
karena adanya tekanan, ancaman atau paksaan dari pihak lain.<br />
45
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
11) Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi. Disebut pemaksaan ketika<br />
pemasangan alat kontrasepsi atau pelaksanaan sterilisasi tanpa<br />
persetujuan utuh dari pasangan, mungkin karena minim informasi<br />
atau karena belum cakap secara hukum untuk memberi persetujuan.<br />
Bisa menimpa perempuan yang terkena HIV/AIDS.<br />
12) Penyiksaan seksual adalah tindakan khusus menyerang organ atau<br />
seksualitas korban, yang dilakukan dengan sengaja sehingga<br />
menimbulkan rasa sakit atau penderitaan hebat.<br />
13) Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual. Masuk<br />
kategori kekerasan sesual karena cara menghukum yang<br />
menyebabkan penderitaan, kesakitan, ketakutan atau rasa malu yang<br />
luar biasa. Termasuk di dalamnya hukuman cambuk atau hukuman<br />
lain yang mempermalukan.<br />
14) Praktek tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau<br />
mendiskriminasi perempuan. Kebiasan masyarakat, kadang<br />
ditopang alasan agama dan tradisi, yang bernuansa seksual, yang<br />
dapat menimbulkan cedera fisik, psikologis atau seksual pada<br />
korban dimasukkan Komnas Perempuan sebagai salah satu bentuk<br />
kekerasan seksual.<br />
15) Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan<br />
moralitas dan agama. Pandangan yang menuduh perempuan sebagai<br />
penyebab kekerasan seksual menjadi landasan untuk mengendalikan<br />
seksual perempuan. 6<br />
F. Ranah Pelecehan Seksual<br />
a. Pelecehan Seksual di Ranah Personal<br />
1. Pelecehan seksual di dalam rumah merupakan segala<br />
bentuk pelecehan seksual yang terjadi diantara orang-orang<br />
yang tinggal di satu rumah.<br />
2. Pelecehan seksual dalam hubungan perkawinan atau<br />
pacaran adalah segala bentuk pelecehan seksual yang<br />
terjadi pada individu yang terikat dalam hubungan<br />
perkawinan atau pacaran. Bentuk-bentuk pelecehan seksual<br />
terhadap istri maupun pacar diantaranya:<br />
1) Pemaksaan melakukan hubungan seksual.<br />
2) Mengitimidasi fisik secara halus, misalnya mencubit<br />
perut istri karena terlihat gemuk.<br />
3) Pelecehan Seksual terhadap anak adalah segala bentuk<br />
hubungan atau interaksi antara anak dan orang dewasa<br />
(atau anak lainnya yang sebaya atau remaja) yang<br />
6<br />
Lima Belas Bentuk Kekerasan Seksual, diakses dari<br />
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5378ba7058483/lima-belasbentuk-kekerasan-seksual<br />
pada 20 Oktober 2014.<br />
46
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
menggunakan si anak untuk stimulasi seksual dari<br />
pelaku atau pengamat. Pelecehan seksual pada anak<br />
bisa melalui sentuhan maupun tanpa sentuhan.<br />
Bentuk-bentuk pelecehan seksual dengan sentuhan:<br />
a) Menyentuh penis, vagina, payudara atau pantat;<br />
b) Kontak oral genital;<br />
c) Melakukan hubungan seksual.<br />
Bentuk-bentuk pelecehan tanpa sentuhan:<br />
a) Mencoba untuk melihat tubuh anak yang telanjang;<br />
b) Melihat alat kelamin anak tanpa kontak fisik dengan<br />
maksud seksual;<br />
c) Menunjukkan alat kelamin pada anak atau gambar-gambar<br />
bernuansa seksual;<br />
d) Memamerkan organ seksual;<br />
e) Mengekspos anak untuk tujuan pornografi.<br />
Modus pelaku sering tidak menggunakan kekerasan<br />
fisik melainkan dengan cara mengajak bermain, pura-pura<br />
merawat anak, membelikan mainan sehingga anak merasa<br />
dekat dan mengatur kegiatan-kegiatan khusus sehingga bisa<br />
mempunyai waktu berdua dengan anak. Tetapi tidak jarang<br />
juga yang menggunakan kekerasan seperti ancaman dan<br />
pemaksaan.<br />
b. Pelecehan Seksual Di Ranah Publik<br />
1. Pelecehan seksual ditempat kerja bisa terjadi disemua<br />
tempat kerja, seperti di pabrik, kantor, perkebunan,<br />
pertambangan, baik itu perusahaan besar maupun kecil.<br />
Pelaku pelecehan seksual bisa siapa saja seperti manajer,<br />
pengawas, satpam, agen pemberi kerja atau teman sekerja,<br />
baik itu perempuan maupun laki-laki tanpa mengenal usia,<br />
agama, pendidikan, budaya, latar belakang maupun status<br />
sosial.<br />
Bentuk-bentuk pelecehan seksual yang paling umum terjadi<br />
ditempat kerja adalah sebagai berikut:<br />
a) Pegawai atau pekerja perempuan disentuh payudara<br />
atau pantatnya atau bagian tubuh lainnya.<br />
b) Saat wawancara ditanyakan berbagai pertanyaan<br />
tentang kehidupan seksual.<br />
c) Saat mengajukan cuti haid pegawai atau pekerja<br />
perempuan diperiksa.<br />
47
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
d) Ajakan untuk kencan atau aktivitas seksual oleh orang<br />
yang lebih tinggi jabatannya dengan janji memberikan<br />
jabatan atau posisi tertentu.<br />
2. Pelecehan Seksual di Sekolah<br />
Tidak sedikit kasus pelecehan seksual pada anak terjadi di<br />
sekolah dan itu mayoritas dilakukan oleh guru kepada<br />
muridnya. Menurut data yang dikeluarkan oleh Komisi<br />
Nasional Perlindungan Anak, di daerah Jakarta terhitung<br />
sejak Januari hingga Maret 2011 terdapat 57 kasus<br />
kekerasan seksual yang terjadi pada anak di sekolah, yang<br />
dialami oleh pelajar SD dan SMP, belum termasuk<br />
pelecehan seksual yang terjadi di sekolah-sekolah luar<br />
biasa.<br />
3. Pelecehan Seksual di Tempat Publik<br />
Seperti halnya di transportasi umum, taman dan jalan.<br />
Bentuk-bentuk pelecehan seksual yang umum terjadi di<br />
dalam transportasi umum seperti bis, KRL, dan mikrolet,<br />
antara lain adalah:<br />
a) Menggesekkan alat kelamin ke tubuh orang lain;<br />
b) Memegang dan meraba tubuh orang lain;<br />
c) Bentuk-bentuk pelecehan seksual yang umum terjadi di<br />
pasar, taman, jalan, terminal, dan tempat umum<br />
lainnya;<br />
d) Memperlihatkan alat kelamin, melakukan sentuhan<br />
atau gesekan seksual terhadap diri sendiri;<br />
e) Bersiul; dan<br />
f) Membuat ekspresi wajah seperti main mata, menjilat<br />
lidah atau melempar ciuman.<br />
G. Akibat dari Kekerasan Seksual<br />
Banyak akibat yang ditimbulkan oleh kekerasan seksual.<br />
Sebagai remaja yang masih berkembang, hal ini akan sangat membekas<br />
dan meninggalkan efek lama baik secara fisik ataupun mental. Angka<br />
bunuh diri pada wanita yang mengalami kekerasan seksual dari pria<br />
yang tinggal bersamanya, lima kali lebih besar dibandingkan dengan<br />
wanita yang tidak mengalami hal tersebut.<br />
Berbagai penyakit menular seksual dapat ditularkan melalui<br />
kekerasan seksual. Walaupun organ reproduksi remaja wanita sudah<br />
berkembang, kekerasan seksual yang dialami mulai dari manipulasi<br />
organ seksual sampai pemerkosaan dapat melukai organ reproduksi dan<br />
menimbulkan infeksi, penyakit organ reproduksi lainnya, kehamilan<br />
yang tidak diinginkan bahkan aborsi.<br />
Rasa takut dan malu korban akibat intimidasi dan budaya<br />
masyarakat menyebabkan tidak terdeteksinya penyakit dan kehamilan<br />
48
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
sehingga kadang ditemukan dalam keadaan lanjut. Masalah kesehatan<br />
mental yang dihadapi oleh remaja putri yang mengalami pelecehan dan<br />
kekerasan seksual bisa berupa depresi atau kecemasan yang<br />
berlangsung lama atau sindrom stress pasca trauma. Beberapa<br />
menunjukkan mekanisme mengingkari dengan beralih pada alkohol atau<br />
obat terlarang untuk menghilangkan rasa sakit. Kebanyakan dari mereka<br />
mengisolasi diri mereka dan menarik diri dari lingkungan.<br />
Di antara dampak sosial yang dialami korban adalah<br />
menurunnya prestasi sekolah atau kerja, lebih sering absen, tidak<br />
mengambil mata kuliah yang diajarkan dosen tertentu, mendapat balas<br />
dendam dari pelaku atau teman si pelaku, kehilangan kehidupan pribadi<br />
karena menjadi “yang bersalah”, menjadi objek pembicaraan,<br />
kehancuran karakter atau reputasi, kehilangan rasa percaya pada orang<br />
dengan tipe atau posisi yang serupa pelaku, kehilangan rasa percaya<br />
pada lingkungan yang serupa, mengalami stres luar biasa dalam berelasi<br />
dengan partner, dikucilkan, pindah universitas atau fakultas, kehilangan<br />
pekerjaan dan kesempatan mendapat referensi, dan kehilangan karir. Di<br />
samping itu juga terdapat dampak psikologis atau fisiologis, yaitu<br />
depresi, panik, kecemasan, gangguan tidur, penyalahan diri, kesulitan<br />
konsentrasi, sakit kepala, kehilangan motivasi, lupa waktu, merasa<br />
dikhianati, kemarahan, dan hingga pikiran untuk melakukan bunuh diri.<br />
H. Pengaturan Tindak Pidana Kekerasan Seksual Menurut<br />
Ketentuan Pengaturan Perundang-Undangan yang Berlaku Di<br />
Indonesia<br />
Sanksi pidana bagi pelaku pencabulan dan kekerasan seksual<br />
terhadap perempuan menurut KUHP ialah sebagai berikut :<br />
a. Pada pasal 285 KUHP yang berbunyi:<br />
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa<br />
seorang wanita yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, diancam<br />
karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama<br />
dua belas tahun.” 7<br />
Dari pasal 285 KUHP di atas, pelaku kekerasan terhadap<br />
perempuan dapat diancam hukuman pidana penjara paling lama dua<br />
belas tahun, akan tetapi dalam pasal ini tidak menyebutkan kategori<br />
korban atau usia korban, hanya menyebutkan korbannya seorang<br />
wanita tanpa batas umur atau klasifikasi umur berarti seluruh<br />
klasifikasi umur termasuk lanjut usia maupun anak-anak dapat<br />
dikategorikan dalam pasal ini. Dalam hal pencabulan yang<br />
korbannya anak di bawah umur berarti dapat diatur dalam Pasal ini.<br />
b. Pasal 286 KUHP yang berbunyi:<br />
7 Ibid., pasal 285 KUHP.<br />
49
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
“Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita yang bukan<br />
istrinya, padahal diketahuinya bahwa wanita itu dalam keadaan<br />
pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling<br />
lama sembilan tahun.” 8<br />
Pengaturan pada pasal ini ialah apabila pelaku kekerasan terhadap<br />
perempuan melakukan pemenuhan hasrat seksualnya bukan dengan<br />
cara kekerasan atau ancaman kekerasan, melainkan dengan cara<br />
meminumkan suatu zat atau obat yang membuat korbannya pingsan<br />
atau tidak berdaya, pelaku dapat diancam dengan pidana penjara<br />
paling lama sembilan tahun.<br />
I. Perlindungan dan Pembinaan Korban Kekerasan Seksual<br />
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa korban<br />
perkosaan adalah seorang perempuan yang pada umumnya mempunyai<br />
sifat kejiwaan yang lemah. Pascakejahatan perkosaan yang menimpa<br />
dirinya telah menimbulkan berbagai tekanan baik yang terjadi secara<br />
langsung maupun tekanan dalam jangka panjang. Tekanan yang terjadi<br />
secara langsung merupakan reaksi paska perkosaan seperti perasaan<br />
malu, takut, kesakitan fisik dan tidak berdaya. Sedangkan tekanan<br />
jangka panjang yang jelas akan mempengaruhi masa depan mereka<br />
adalah gejala psikologis tertentu yang dirasakan korban sebagai suatu<br />
trauma yang memulihkan atau membangkitkan kepercayaan diri mereka<br />
dalam bersosialisasi dengan masyarakat.<br />
I.S. Susanto berpendapat, “Kejahatan kekerasan terhadap<br />
wanita, khususnya perkosaan di satu sisi dipandang sebagai kejahatan<br />
yang sangat merugikan dan mencemaskan, bukan saja wanita tetapi<br />
juga masyarakat dan kemanusiaan, namun di sisi lain terdapat realitas<br />
sosial-budaya yang justru “menyuburkan” perkosaan seperti mitosmitos<br />
yang berkaitan dengan jenis kelamin, “budaya diskriminatif”,<br />
“budaya tukang sulap”, budaya hukum yang “tidak adil.” 9<br />
Praktek peradilan di Indonesia belum sepenuhnya memberikan<br />
jaminan perlindungan hukum terhadap korbannya yaitu perempuan.<br />
Pada tahap pemeriksaan terhadap korban kejahatan seperti korban<br />
perkosaan dilakukan dengan tidak memperhatikan hak-hak asasi<br />
korban. Sedangkan pada tahap penjatuhan putusan hukum oleh hakim,<br />
korban kembali dikecewakan karena putusan yang dijatuhkan pada<br />
pelaku cukup ringan atau jauh dari memperhatikan hak-hak asasi<br />
perempuan.<br />
Di Indonesia, hingga saat ini perlindungan hukum dan<br />
pembinaan korban kekerasan seksual sangat disayangkan, karena masih<br />
hlm. 74.<br />
8 Ibid., pasal 286 KUHP.<br />
9 Susanto, I.S., Kriminologi, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2011),<br />
50
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
belum ditanggapi secara sungguh-sungguh bersama dan secara resmi<br />
terbuka.<br />
Penyelesaian permasalahan dan pelayanan terhadap para korban<br />
kekerasan seksual, sebagai suatu tindakan individu dipengaruhi oleh<br />
beberapa unsur struktur sosial tertentu dari suatu masyarakat tertentu.<br />
Beberapa unsur struktural sosial tersebut adalah sebagai berikut:<br />
a. Kepentingan (yang dapat menjadi motivasi);<br />
b. Lembaga sosial;<br />
c. Nilai-nilai sosial;<br />
d. Norma-norma;<br />
e. Status;<br />
f. Peran dan sebagainya.<br />
Nilai-nilai sosial dan norma yang berlaku sebagai aspek sosial<br />
budaya mempunyai pengaruh yang cukup banyak pada penyelesaian<br />
permasalahan dan pelayanan terhadap para korban perkosaan maupun<br />
para pelaksana perkosaan sebagai suatu tindakan individu. Misalnya:<br />
a. Tidak adanya keberatan pemerkosaan terhadap golongan lain,<br />
musuh. Dengan akibat terlantarnya korban perkosaan tersebut.<br />
b. Kesediaan jaksa memperjuangkan dan hakim memutuskan adanya<br />
ganti kerugian untuk pihak korban.<br />
c. Kesediaan anggota masyarakat dari berbagai lapisan masyarakat<br />
memperjuangkan jaminan untuk para korban kekerasan seksual<br />
dapat melaksanakan hak dan kewajiban demi menegakan keadilan<br />
dan pengembangan kesejahteraan dan sebagainya.<br />
Dengan demikian hal-hal negatif dibuang dan yang positif<br />
dikembangkan sebagai pendukung usaha-usaha pelayanan terhadap<br />
korban yang bersangkutan. Misalnya, mengenai gotong royong,<br />
tanggung jawab bersama masyarakat dan tanggung jawab individu yang<br />
positif. Maka akan dicegah penelantaran korban perkosaan. Terutama<br />
anak-anak yang tergolong pada golongan lemah mental, fisik, dan sosial<br />
yang tidak mampu melindungi dirinya sendiri.<br />
Masalah korban bukanlah masalah baru, hanya saja selama ini<br />
merupakan salah satu subjek yang paling diabaikan dalam studi<br />
mengenai kejahatan dan dalam pelaksanaan keadilan pidana. Hal ini<br />
juga merupakan gejala umum di negara-negara lain, baik di negara yang<br />
sudah berkembang dan yang sedang berkembang. Berhubung masalah<br />
korban ini diakui sebagai masalah universal kemanusiaan, maka antara<br />
lain telah diadakan kegiatan memperbincangkan bersama secara<br />
internasional pada simposium mengenai korban viktimologi di<br />
Yerusalem 1973 dalam First International Symposium on Victimologi.<br />
Selanjutnya diadakan pada tanggal 5-11 September 1976 di Boston<br />
Massachusette, Amerika. Bila kita ingin menanggapi suatu kejahatan,<br />
51
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
delikuensi dan deviasi menurut proporsi yang sebenarnya dengan<br />
meninjau secara dimensional, maka si korban tidak boleh diabaikan<br />
dalam terjadinya kejahatan, delinkuensi, dan deviasi.<br />
J. Kesimpulan dan Saran<br />
1. Dapat disimpulkan bahwa beberapa faktor yang dapat<br />
mempengaruhi terjadinya tindak pidana kekerasan seksual antara<br />
lain adalah faktor sosial, faktor pendidikan, faktor psikologi, faktor<br />
lingkungan, dan faktor calon korban.<br />
2. Adapun penerapan sanksi pidana pada kasus pencabulan dan<br />
kekerasan seksual adalah sebagai berikut:<br />
a. Pada pasal 285 disebutkan bahwa, pelaku kekerasan seksual<br />
terhadap perempuan dapat diancam maksimal dua belas tahun<br />
penjara.<br />
b. Pada pasal 286 disebutkan bahwa, pelaku pencabulan terhadap<br />
perempuan dapat diancam maksimal Sembilan tahun penjara.<br />
Saran penulis untuk mengurangi dan memberantas tindak<br />
pidana kekerasan seksual terhadap perempuan adalah sebagai<br />
berikut:<br />
1) Diperlukan kesadaran dan kerjasama dari berbagai elemen<br />
di masyarakat untuk turut memberikan nuansa pendidikan<br />
positif. Salah satu elemen tersebut adalah pihak pengelola<br />
stasiun TV. Banyak riset menyimpulkan bahwa pengaruh<br />
media (terutama TV) terhadap perilaku masyarakat cukup<br />
besar. Berbagai tayangan kriminal di berbagai satsiun TV<br />
tanpa kita sadari telah menampilkan potret-potret<br />
kekerasan yang tentu akan berpengaruh pada pembentuk<br />
mental. Selain itu, para pekerja sosial yang peduli dalam<br />
masalah kekerasan seksual dapat menyelenggarakan<br />
penggalangan kesadaran akan pentingnya mengetahui hakhak<br />
asasi wanita. Hal ini dapat dilakukan dengan<br />
melakukan penyuluhan mengenai kiat-kiat mencegah<br />
pelecehan seksual. Peran penyedia layanan kesehatan<br />
terutama dokter sangat penting dan juga peran pemerintah<br />
dalam memberikan rasa aman yang kurang sangat<br />
berpengaruh terhadap adanya kekerasan seksual.<br />
2) Pemerintah adalah pihak yang bertanggung jawab penuh<br />
terhadap kemashlahatan rakyatnya, termasuk dalam hal ini<br />
adalah menjamin masa depan bagi generasi penerus.<br />
Pemerintah dirasa sangat perlu memperbaiki undangundang,<br />
terutama mengenai hak-hak wanita. Memperberat<br />
hukuman bagi pelaku dan memberikan pendidikan<br />
mengenai kekerasan seksual pada wanita dan remaja putri.<br />
Sehingga paradigma kekerasan dan pelecehan seksual<br />
52
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
sebagai sesuatu yang lumrah dilakukan menjadi hilang.<br />
Masyarakat perlu menggalang kekuatan yang dapat<br />
menekan pemerintah untuk segera mengatasi masalah ini<br />
dengan melibatkan pekerja sosial atau dunia internasional<br />
yang peduli pada masalah kekerasan terhadap wanita.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Hamdan, M. 1997. Persepsi Masyarakat Tentang Tindak Pidana<br />
Kesusilaan Dalam Rangka Perumusan Pasal Perzinahan Untuk<br />
Pembaharuan Hukum Pidana Nasional.<br />
Mamudji, Sri. 2005.Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Depok:<br />
Badan Penerbit FH Universitas Indonesia.<br />
S, Samitutidan Bangong Suyanto. 1999.Anak Jalanan di Jawa Timur<br />
(Masalah dan Upaya Penanganannya). Surabaya: Airlangga<br />
University Press.<br />
Soerocibroto, R. Soenarto. 2003.KUHP dan KUHAP, Cet. 5. Jakarta:<br />
Raja Grafindo Persada.<br />
Susanto, I.S. 2011.Kriminologi. Yogyakarta: Genta Publishing.<br />
Wahid, Muladi. 2001. Memperketat Delik Susila (Perlindungan<br />
Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi<br />
Perempuan)). Bandung: Refika Aditama.<br />
Wahid, A dan M. Irfan. 2001. Perlindungan terhadap Korban Kekerasan<br />
Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan). Malang:<br />
Refika Aditama.<br />
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5378ba7058483/lima-belasbentuk-kekerasan-seksual<br />
53
KOMISI 2<br />
HUKUM FORMIL
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
TINJAUAN HUKUM FORMIL<br />
MENGENAI KEKERASAN SEKSUAL<br />
Oleh: Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri<br />
Sultan Syarif Kasim Riau<br />
A. Latar Belakang<br />
Hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia<br />
Indonesia seutuhnya dan seluruhnya dengan Pancasila sebagai dasar.<br />
Pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan seluruhnya, bermakna<br />
bahwa pembangunan tersebut mencakup pembangunan jasmani dan<br />
rohani atau lahir dan batin. Hal ini juga tersirat dalam lirik lagu<br />
kebangsaan “Indonesia Raya”. Jiwa dan badan, rohani dan jasmani<br />
merupakan satu kesatuan utuh pada diri manusia yang dapat dibedakan<br />
tetapi tak dapat dipisahkan.<br />
Dengan demikian, pembangunan manusia Indonesia seutuhnya<br />
dimaksudkan bahwa pembangunan jiwa dan pembangunan badan,<br />
dilakukan serentak atau bersamaan. Berkenaan dengan “pembangunan<br />
manusia Indonesia seutuhnya”, Bab IV huruf B butir 1 GBHN<br />
merumuskan antara lain yaitu: yang pertama, menumbuhkan sikap dan<br />
tekad kemandirian manusia dan masyarakat Indonesia dalam rangka<br />
meningkatkan kualitas sumber daya manusia untuk mewujudkan<br />
kesejahteraan lahir batin yang selaras, adil, dan merata.<br />
Kesejahteraan lahir batin tidak terlepas dari semua aspek<br />
kehidupan penghidupan manusia termasuk rasa aman dan tenteram yang<br />
dapat dicapai jika kesadaran masyarakat terhadap kewajiban dan<br />
menghargai hak orang lain telah dipahami dan dihayati sehingga<br />
penegakan hukum dan keadilan berdasarkan kebenaran telah merupakan<br />
kebutuhan bersama, kebutuhan seluruh anggota masyarakat.<br />
B. Pelaksanaan Hukum Formil Mengenai Kekerasan Seksual<br />
Menurut Enchede-Hijder yang meninjau hukum pidana sebagai<br />
objek studi, pengertian hukum pidana dapat dibagi menjadi dua bagian<br />
yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana<br />
materiil berarti isi atau substansi hukum pidana. Disini hukum pidana<br />
bermakna abstrak atau dalam keadaan diam. Hukum pidana formil atau<br />
hukum acara pidana bersifat nyata atau konkret. Disini kita lihat hukum<br />
pidana dalam keadaan bergerak, atau dijalankan atau berbeda dalam<br />
suatu proses, oleh karena itu disebut juga hukum acara pidana. 1<br />
1 Leden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, (Jakarta:Sinar<br />
Grafika, 2005), hlm. 2.<br />
54
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Selain itu, Simons juga membagi hukum pidana dalam arti luas<br />
yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Ia mengatakan<br />
bahwa hukum pidana materiil mengandung petunjuk-petunjuk dan<br />
uraian tentang delik, peraturan-peraturan tentang syarat-syarat hal dapat<br />
dipidananya seseorang, penunjukan orang yang dapat dipidana dan<br />
ketentuan tentang pidananya, serta siapa dan bagaimana orang itu dapat<br />
dipidana. Sedangkan hukum pidana formil, menurut Simons, yaitu<br />
mengatur tentang bagaimana cara negara dengan perantara para<br />
pejabatnya menggunakan haknya untuk memidana.<br />
Perbedaannya dengan rumusan Van Bemmelen, ialah Van<br />
Bemmelen merinci tahap-tahap hukum acara pidana itu yang dimulai<br />
dengan mencari kebenaran dan diakhiri dengan pelaksanaan pidana dan<br />
tindakan tata terbit. Definisi tentang hukum materiil dirumuskan juga<br />
oleh Pompe, yang mirip dengan rumusan Simons namun lebih singkat<br />
yaitu keseluruhan peraturan-peraturan hukum, yang menunjukkan<br />
perbuatan-perbuatan mana yang seharusnya terdapat.<br />
Hazewinkel-Suringan menyatakan bahwa ius poenale (hukum<br />
pidana materiil) adalah sejumlah peraturan hukum yang mengandung<br />
larangan dan perintah atau keharusan yang terhadap pelanggarnya<br />
diancam dengan pidana (sanksi hukum). Jika kita membagi hukum itu<br />
menjadi hukum publik dan hukum privat, maka hukum pidana menjadi<br />
hukum publik. Hal ini baru berlaku dewasa ini, dahulu Eropa dan<br />
Indonesia tidak memisahkan hukum publik dan hukum privat. 2<br />
Lambat laun muncul pengertian hukum publik yang juga<br />
termasuk di dalamnya hukum pidana dimana yang utama ialah<br />
kepentingan umum. Bukanlah orang seorang yang bertindak jika terjadi<br />
pelanggaran hukum, tetapi alat-alatnya. Apabila kepentingan umum<br />
berhadapan dengan kepentingan pribadi, maka kepentingan umum harus<br />
lebih diutamakan. Pada hukum pidana formil (hukum acara pidana)<br />
corak hukum publiknya lebih nyata lagi daripada hukum pidana materiil<br />
karena jika terjadi pelanggaran hukum pidana yang bertindak menyidik<br />
dan menuntut ialah alat negara (polisi dan jaksa). Namun terdapat<br />
beberapa pengecualian, misalnya dalam delik aduan, alat negara hanya<br />
bertindak jika ada pengaduan dari pihak yang dirugikan.<br />
Simons berpendapat bahwa hukum pidana termasuk hukum<br />
publik karena mengatur hubungan antara individu dan masyarakat atau<br />
negara dan dijalankan untuk kepentingan masyarakat serta hanya<br />
diterapkan jika masyarakat itu sungguh-sungguh memerlukannya.<br />
Selanjutnya Van Bemmelan mengajukan pendapat bahwa<br />
hukum pidana itu merupakan ultimum remedium (obat terakhir). 3<br />
2 Ibid, hlm. 4.<br />
3 Soenarto Soerodibroto, KUHP DAN KUHAP, (Jakarta: PT Raja<br />
Grafindo Persada, 2009), hlm. 169.<br />
55
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Artinya, kalau bagian lain dari hukum itu tidak cukup untuk<br />
menegakkan norma-norma yang diakui oleh hukum, barulah hukum<br />
pidana diterapkan. Istilah hukuman dan pidana yang dalam bahasa<br />
Belanda hanya dikenal satu istilah untuk keduanya yaitu straf. Istilah<br />
hukuman adalah istilah umum untuk segala macam sanksi baik perdata,<br />
administratif, disiplin, dan pidana. Sedangkan istilah pidana diartikan<br />
sempit yaitu berkaitan dengan hukum pidana. Tujuan hukum pidana<br />
tidak melulu dicapai dengan pengenaan pidana, tetapi juga dapat berupa<br />
upaya represif yang kuat berupa tindakan-tindakan pengamanan.<br />
Tujuan hukum pidana lainnya adalah reformasi. Reformasi<br />
berarti memperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik<br />
dan berguna bagi masyarakat. Masyarakat akan memperoleh<br />
keuntungan dan tiada seorang pun yang merugi jika penjahat menjadi<br />
baik. Reformasi perlu digabung dengan tujuan yang lain seperti<br />
pencegahan. Akan tetapi, terdapat banyak kritikan bahwa reformasi<br />
tidak selalu berhasil. Ketidakberhasilannya dapat dilihat dari banyaknya<br />
residivis setelah keluar dari penjara. Sehingga kiranya perlu adanya<br />
peningkatan kualitas dari penjara itu sendiri.<br />
Berkaitan dengan tujuan pidana yang garis besarnya telah<br />
disebutkan sebelumnya, maka munculah teori-teori mengenai hal<br />
tersebut. Ada tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan<br />
pidana:<br />
a. Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien)<br />
b. Teori relatif atau tujuan (doeltheorien)<br />
c. Teori gabungan (verenigingstheorien)<br />
Teori yang pertama muncul pada abad ke-18, dianut antara lain<br />
oleh Immanuel Kant, Herbart, Stahl, Leo Polak, dan beberapa sarjana<br />
yang mendasarkan teorinya pada filsafat Katolik dan juga sarjana<br />
hukum Islam yang mendasarkan teorinya pada ajaran qisas Al Quran.<br />
Teori pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk<br />
hal yang praktis seperti memperbaiki sifat penjahat, namun kejahatan<br />
itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkannya<br />
pidana. Pidana secara mutlak ada, karena dilakukan secara kejahatan. 4<br />
Variasi-variasi teori pembalasan juga diperinci oleh Leo Polak<br />
menjadi:<br />
a. Teori pertahanan kekuasaan hukum atau pertahanan kekuasaan<br />
pemerintah negara (rechtsmacht of gezagshanddhaving)<br />
b. Teori kompensasi keuntungan (voordeelscompensatie)<br />
c. Teori melenyapkan segala sesuatu yang menjadi akibat suatu<br />
perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan penghinaan<br />
(onrechtsfustrering en blaam)<br />
2008), hlm. 1.<br />
4 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta,<br />
56
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
d. Teori pembalasan dalam menyelenggarakan persamaan hukum<br />
e. Teori untuk melawan kecenderungan untuk memuaskan keinginan<br />
berbuat yang bertentangan dengan kesusilaan<br />
f. Teori mengobyektifkan<br />
Menurut Leo Polak, pidana harus memenuhi 3 syarat:<br />
a. Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan<br />
yang bertentangan dengan etika, yaitu bertentangan dengan<br />
kesusilaan dan tata hukum objektif 5<br />
b. Pidana hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi jadi<br />
pidana tidak boleh dijatuhkan untuk maksud prevensi<br />
c. Sudah tentu beratnya pidana harus seimbang dengan beratnya delik,<br />
ini perlu supaya penjahat tidak dipidana secara tidak adil.<br />
Van Hamel menunjukkan bahwa prevensi khusus suatu pidana<br />
ialah:<br />
a. Pidana harus memuat suatu unsur menakutkan supaya mencegah<br />
penjahat yang mempunyai kesempatan untuk tidak melaksanakan<br />
niat buruknya<br />
b. Pidana harus mempunyai unsur memperbaiki terpidana<br />
c. Pidana mempunyai unsur membinasakan penjahat yang tidak<br />
mungkin diperbaiki<br />
d. Tujuan satu-satunya suatu pidana ialah mempertahankan tata tertib<br />
hukum<br />
Van Bemmelan pun menganut Teori Gabungan dengan<br />
mengatakan bahwa pidana bertujuan membalas kesalahan dan<br />
mengamankan masyarakat. Tindakan mengamankan bermaksud<br />
memelihara tujuan. Jadi tindakan keduanya bertujuan mempersiapkan<br />
untuk mengembalikan terpidana ke dalam kehidupan masyarakat.<br />
Selanjutnya di bawah ini akan diuraikan perkembangan mengenai<br />
kekerasan seksual.<br />
Kata “kesusilaan” sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia<br />
yang disusun oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan<br />
diterbitkan oleh Balai Pustaka 1989 berarti “perihal susila” dan “susila”<br />
dimuat arti sebagai berikut:<br />
1. Baik budi bahasanya;<br />
2. Adat istiadat yang baik, sopan, santun, kesopanan, keadaban; dan<br />
3. Pengetahuan tentang adat;<br />
Kata “susila” dalam bahasa Inggris bisa berarti moral, ethics,<br />
dan decent. Akan tetapi, kata-kata tersebut biasa diterjemahkan berbeda.<br />
5 Ibid, hlm. 5.<br />
57
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Kata moral diterjemahkan dengan kata “moril”. Ethics diterjemahkan<br />
dengan “tata susila” dan kata decent diterjemahkan dengan “patut”.<br />
Yang rumit dan selalu dicampurbaurkan adalah kata moral dan ethics.<br />
Kedua kata tersebut mengandung makna decent. Namun jika diamati<br />
dengan cermat, ternyata ethics lebih sempit dari pada moral dan nada di<br />
dalam kata moral. 6<br />
Kata “moral dalam The Lexicon Webster Dictionary,<br />
dirumuskan artinya antara lain: “of or concerned with the principles of<br />
right and wrong in conduct and character”. Behavior as to right or<br />
wrong, especially in relation to sexual matter. Jika diterjemahkan secara<br />
bebas, artinya adalah dari atau berkenaan dengan prinsip-prinsip benar<br />
dan salah dalam berperilaku dan sikap atau tabiat. Kelakuan yang benar<br />
atau salah, khususnya dalam hubungan pada hal atau kejadian seksual.<br />
Sedang kata ethics dirumuskan artinya antara lain sebagai<br />
berikut: “pertaining to right and wrong in conduct” (berkenaan dengan<br />
sikap, tabiat, atau tingkah laku yang baik dan salah atau buruk). Baik<br />
“moral”, “etika” ataupun “hukum” pada hakikatnya merupakan<br />
“persepsi nilai” dari masyarakat. “Moral” merupakan pertimbangan atas<br />
dasar baik atau tidak baik sedang “etika” merupakan ketentuan atau<br />
norma perilaku (Code of Conduct).<br />
Jika diamati berdasarkan kenyataan sehari-hari, persepsi<br />
masyarakat tentang arti “kesusilaan” lebih condong pada “ behavior as<br />
to right or wrong, especially in relation to sexual matter”. Namun, jika<br />
kita mengacu pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), hal<br />
tersebut nampaknya kurang tepat. Karena dalam KUHP, mengemis,<br />
menyiksa binatang, meminum minuman keras, serta melakukan judi<br />
termasuk Bab XIV tentang Kejahatan Kesusilaan. Pun, hal tersebut juga<br />
termuat dalam rancangan KUHP.<br />
Dengan demikian, makna dari “kesusilaan” adalah berkenan<br />
dengan moral dan etika yang telah diatur dalam perundang-undangan.<br />
Namun, dengan gambaran yang demikian maka persepsi terhadap kata<br />
“kesusilaan” justru lebih membingungkan. Jika ditelaah, maka semua<br />
tindak pidana adalah bertentangan dengan moral maupun etika.<br />
Berdasarkan uraian tersebut, seyogyanya tindak pidana kesusilaan tidak<br />
dimasukkan hal-hal yang tidak berkenaan dengan “behavior in relation<br />
to sexual matter” agar dengan demikian perhatian dapat lebih<br />
diputuskan pada pokok masalah.<br />
Kemajuan teknologi meningkatkan arus informasi antarnegara,<br />
antarbenua, bahkan antarbangsa sehingga perubahan budaya di Barat<br />
dengan cepat dapat diketahui di Timur, perubahan budaya di Eropa dan<br />
Amerika dengan cepat dapat diketahui di Asia dan sebaliknya.<br />
6 Leden Marpaung, Op. Cit.<br />
58
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat turut mempengaruhi<br />
perkembangan kesusilaan. Jika dahulu orang membicarakan tentang seks<br />
telah dianggap tabu, tetapi pada saat ini telah dibahas secara ilmiah<br />
dalam ilmu seksologi. Pada beberapa majalah, bahkan surat kabar harian,<br />
juga membahas tentang seks yang dimuat pada rubik tanya jawab atau<br />
rubrik seksologi.<br />
Demikian juga halnya dengan upaya peningkatan kesejahteraan,<br />
telah dilakukan Keluarga Berencana (KB) sehingga pengguguran<br />
kandungan telah diperbolehkan dalam rangka pengendalian<br />
perkembangan atau pertambahan penduduk.<br />
Perkembangan hak-hak asasi manusia telah menitikberatkan<br />
bahwa “menikmati seks” merupakan hak orang dewasa sehingga<br />
hubungan seks yang dilakukan tanpa paksaan di sebagian negara di<br />
dunia, merupakan perbuatan yang wajar. Dahulu, jika seorang<br />
perempuan dewasa melahirkan anak tanpa melakukan pernikahan atau<br />
tanpa suami, adalah merupakan aib bagi keluarganya. Di beberapa<br />
negara saat ini, hal yang demikian, telah di anggap hak dari yang<br />
bersangkutan dan tidak dinilai sebagai perbuatan tercela.<br />
Perkembangan di dunia bisnis semakin menerapkan prinsip<br />
bahwa “pembeli adalah tuan” dan tidak memperhatikan lagi nilai-nilai<br />
kepatutan yang tumbuh di masyarakat, sebagai contoh, dewasa ini<br />
banyak tempat peristirahatan (hotel dan motel) yang disalahgunakan<br />
oleh sebagian anggota masyarakat untuk melakukan perbuatanperbuatan<br />
maksiat karena pemilik tempat peristirahatan tersebut sudah<br />
tidak lagi menanyakan identitas pelanggan tamunya.<br />
Selanjutnya di bidang kesehatan, untuk mencegah menularnya<br />
penyakit kelamin, sebagian masyarakat membagikan kondom atau<br />
memperdagangkannya secara bebas, dan hal tersebut bukan lagi<br />
merupakan hal yang dianggap tabu.<br />
Kesulitan untuk memenuhi kebutuhan bagi segelintir wanita<br />
yang tidak memiliki keterampilan (skill), melakukan perbuatan jalan<br />
pintas dengan menjajakan dirinya di tempat-tempat tertentu di beberapa<br />
kota. Berbagai masalah berkenaan dengan “behavior in relation to<br />
sexual matter” sedang dalam proses penilaian oleh masyarakat,<br />
khususnya mengenai hal-hal berikut:<br />
a. Banci yang melakukan operasi kelamin;<br />
b. Wanita atau pria yang mencintai atau merasakan rangsangan<br />
seksual sesama jenisnya (lesbian/gay); dan<br />
c. Laki-laki bayaran yang dipelihara seorang wanita sebagai kekasih<br />
(gigolo)<br />
Perkembangan-perkembangan dalam aspek kehidupan atau<br />
penghidupan manusia atau masyarakat akan berdampak perkembangan<br />
nilai “kesusilaan” dan sepanjang masa, hal yang demikian tidak dapat<br />
59
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
dihindarkan. Kejahatan terhadap kesusilaan diatur pada Ban XIV KUHP<br />
yang terdiri dari pasal 281 sampai dengan pasal 303, sejumlah 25 pasal<br />
tetapi 3 pasal memuat hukuman tambahan atau pemberatan yakni pasal<br />
283 bis, pasal 291, pasal 298, dan 7 pasal tidak berkenaan dengan<br />
“behaviour in relation to sexual matter” yakni:<br />
1. Pasal 297 tentang memperniagakan perempuan atau laki-laki yang<br />
belum dewasa<br />
2. Pasal 299 tentang dapat gugur kandungan karena pengobatan<br />
3. Pasal 300 tentang menjual atau memaksa meminum minuman yang<br />
memabukkan<br />
4. Pasal 301 tentang perlindungan anak yang belum berusia 12 (dua<br />
belas) tahun dari pekerjaan mengemis<br />
5. Pasal 302 tentang penganiayaan ringan pada binatang<br />
6. Pasal 303 dan 303 bis tentang judi<br />
Pada RUU KUHP yang dirumuskan oleh Panitia Penyusunan<br />
RUU KUHP 1991/1992, dan disempurnakan pada tahun 1993, terdapat<br />
pola pikir yang tidak berubah. Di dalam RUU KUHP terdapat beberapa<br />
pasal tambahan yang mengatur perbuatan yang belum diatur KUHP,<br />
namun perlu diamati ulang dengan memperhatikan hak asasi manusia<br />
yang saat ini pengaruhnya tidak dapat diabaikan. Tampaknya RUU<br />
KUHP tersebut masih sulit diterima oleh sebagian pakar atau<br />
masyarakat.<br />
Mengubah suatu undang-undang, bukan hal yang tidak sulit<br />
terutama dengan mengubah sistem dan pola pikir, akan memerlukan<br />
biaya yang tidak sedikit. Pasal terkait kesusilaan yang tidak berkenaan<br />
dengan “behaviour in relation to sexual matter”, menurut hemat penulis<br />
agar dipisahkan dari Kejahatan Terhadap Kesusilaan, misalnya<br />
memperniagakan perempuan atau laki-laki, mengemis, dan lain-lain<br />
yang dapat merusak harkat dan martabat manusia menjadi “Kejahatan<br />
Terhadap Harkat dan Martabat Manusia.” 7<br />
Demikian halnya tentang “judi”, jika diamati berita-berita<br />
dalam media massa, maka judi dari tahun ke tahun masih merupakan<br />
masalah yang selalu timbul dalam masyarakat. Seyogyanya judi yang<br />
diizinkan seperti domino, bridge, ceki, koah, dan pei perlu<br />
dipertimbangkan untuk dihapuskan dan sebaiknya judi lebih tepat<br />
menjadi bab tersendiri di dalam KUHP.<br />
Namun sebagian para pakar berpendapat bahwa perbuatanperbuatan<br />
maksiat, termasuk minuman-minuman keras yang dapat<br />
memabukkan dan judi telah menjadi satu kesatuan dengan kejahatan<br />
dalam arti bahwa pengaruhnya terhadap terjadinya kejahatan, sangat<br />
7 Ismail Rumadan, Kriminologi, (Yogyakarta:Grha Guru, 2007), hlm.13.<br />
60
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
besar. Selain daripada itu, mabuk dan main judi bertentangan dengan<br />
kesusilaan. Hal ini dirumuskan dalam pasal 289 KUHP yaitu sebagai<br />
berikut:<br />
“Barangsiapa dengan kekerasan atau dengan ancaman<br />
kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan<br />
dilakukan padanya perbuatan cabul, dihukum karena salahnya<br />
melakukan perbuatan melanggar kesopanan dengan hukuman<br />
penjara selama-lamanya sembilan tahun.”<br />
Makna kata “cabul” tidak dimuat di dalam KUHP, namun<br />
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti sebagai berikut: “keji<br />
dan kotor, tidak senonoh (melanggar kesopanan dan/atau kesusilaan)”.<br />
Dalam kamus lengkap Prof. Dr. S. Wojowasito dan Drs. Tito Wasito<br />
dimuat artinya dalam bahasa Inggris.: “indecent, dissolute,<br />
pornographical”. Umumnya, cabul diterjemahkan dengan “dissolute”.<br />
Pada The Lexicon Webster Dictionarydimuat artinya: “Loss in behavior<br />
and morals”.<br />
Mr. J. M. Van Bemmelen terhadap arti kata “cabul”<br />
mengutarakan antara lain: “Pembuat undang-undang sendiri tidak<br />
memberikan keterangan yang jelas tentang pengertian cabul dan<br />
perbuatan cabul dan sama sekali menyerahkan kepada hakim untuk<br />
memutuskan apakah suatu tindakan tertentu harus atau dapat dianggap<br />
sebagai cabul atau tidak”.<br />
Pada RUU KUHP, pasal 289 KUHP diambil alih pada pasal<br />
390 (14.14) yang pada penjelasan resmi berbunyi sebagai berikut:<br />
Pasal ini sama dengan pasal 289 KUHP. Disini tindak pidananya<br />
adalah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa<br />
seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya<br />
perbuatan cabul. Yang dimaksud dengan perbuatan cabul ialah<br />
segala perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau<br />
perbuatan lain yang keji dan semuanya dalam lingkungan nafsu<br />
berahi kelamin.<br />
Sebagai tindak pidana menurut pasal ini tidaklah hanya<br />
memaksa seseorang melakukan perbuatan cabul, tetapi juga memaksa<br />
seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan membiarkan<br />
dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, dikarenakan untuk<br />
menunjukkan sifat berat dari tindak pidana sebagai perbuatan yang<br />
sangat tercela, maka diadakan minimum khusus dalam ancaman<br />
pidananya.<br />
Ancaman pidana dalam KUHP maupun pada RUU KUHP<br />
adalah sama yakni sembilan tahun penjara. Sebagaimana pada<br />
“perkosaan”, kekerasan atau ancaman kekerasan tersebut, harus dapat<br />
61
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
dibuktikan. Perbuatan cabul sebagaimana dijelaskan pada RUU KUHP<br />
adalah dalam lingkungan nafsu berahi kelamin, misalnya:<br />
a. Seorang laki-laki dengan paksa menarik tangan seorang wanita dan<br />
menyentuhnya pada alat kelaminnya. (Hoge Raad 15-2-1926)<br />
b. Seorang laki-laki meraba badan seorang anak laki-laki dan<br />
kemudian membuka kancing baju anak tersebut untuk dapat<br />
mengelus teteknya dan menciuminya. Pelaku melakukan hal<br />
tersebut untuk memuaskan nafsu seksualnya. (Hoge Raad tanggal<br />
28-5-1963 N. J. 1964 No. 108)<br />
C. Sebab Tidak Terlaksananya Hukum Formil Mengenai<br />
Kekerasan Seksual<br />
Kekerasan seksual masih sering terjadi di masyarakat. Contoh<br />
konkretnya adalah pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang<br />
oknum kepala sekolah pada 23 September 2014 di Rohul, Riau.<br />
Kejadiannya berawal dari seorang murid SD yang sedang melaksanakan<br />
piket membersihkan ruang kelas dan kepala sekolah tersebut melewati<br />
depan ruangan dimana murid tersebut melaksanakan piket kebersihan.<br />
Oknum kepala sekolah tersebut langsung menghampiri korban, dan<br />
pelaku langsung memeluk korban dari belakang. Tidak hanya itu yang<br />
dilakukan pelaku, pelaku juga menciumi dan memegang dada dan alat<br />
vital korban. Sang korban langsung meronta-ronta untuk melepaskan<br />
diri, tapi korban diancam supaya tidak mengadukan kejadian tersebut<br />
kepada pihak guru. Dan akhirnya korban pulang dan menceritakan<br />
semua yang dialaminya kepada orang tuanya. Pihak keluarga tidak<br />
terima dan mengadukan kejadian tersebut ke pihak yang berwajib,<br />
supaya pelaku dikenakan hukuman sesuai dengan aturan yang berlaku. 8<br />
Pada kenyataannya, kejahatan terhadap kekerasan seksual kerap<br />
terjadi di masyarakat, hal ini berdasar pada banyaknya kasus kejahatan<br />
kekerasan seksual di masyarakat. Dengan demikian pasal 289 KUHP<br />
perlu ditegaskan penerapannya agar menimbulkan efek jera terhadap<br />
pelaku. Selain itu, upaya perlindungan terhadap korban dan upaya<br />
perlindungan terhadap korban perlu diperhatikan secara ketat. Oleh<br />
karena itu, terdapat perlindungan korban dan saksi yang tertuang di<br />
dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan<br />
Saksi dan Korban, berdasarkan pada:<br />
1. Penghargaan atas harkat dan martabat manusia;<br />
2. Rasa aman;<br />
3. Keadilan;<br />
4. Tidak diskriminatif; dan<br />
5. Kepastian hukum.<br />
8<br />
Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, (Jakarta:Kencana,2003),<br />
hlm.233.<br />
62
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Dalam hal ini kita menyadari bersama bahwa KUHAP lebih<br />
mengutamakan hak-hak tersangka atau terdakwa. Namun demikian,<br />
terdapat beberapa asas KUHAP yang dapat dijadikan landasan<br />
perlindungan korban, misalnya:<br />
1. Perlakuan yang sama didepan hukum<br />
2. Asas cepat, sederhana, dan biaya ringan<br />
3. Peradilan yang bebas<br />
4. Peradilan yang terbuka untuk umum<br />
5. Ganti kerugian<br />
6. Keadilan dan kepastian hukum<br />
Tujuan perlindungan saksi dan korban adalah untuk<br />
memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban dalam<br />
memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana (vide pasal<br />
4 Undang-undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi<br />
dan Korban). Rasa aman di sini dapat diartikan bebas dari ancaman<br />
sehingga tidak merasa terancam atau terintimidasi haknya, jiwa, raga,<br />
harta, serta keluarganya.<br />
Ancaman adalah segala bentuk perbuatan yang menimbulkan<br />
akibat baik langsung maupun tidak langsung yang mengakibatkan saksi<br />
dan/atau korban merasa takut dan/atau dipaksa untuk melakukan atau<br />
tidak melakukan sesuatu hal yang berkenaan dengan pemberian<br />
kesaksiannya dalam suatu proses peradilan pidana (vide pasal 1 butir 4<br />
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan<br />
Korban). Bentuk ancaman tidak hanya fisik, tetapi juga psikis atau<br />
bentuk lain misalnya ekonomis, politis, dan sebagainya. Rasa aman agar<br />
proses peradilan pidana dapat berjalan sesuai cita-cita peradilan dan<br />
memenuhi rasa keadilan dan kebenaran serta kepastian hukum.<br />
Jika asas dan tujuan perlindungan dilaksanakan secara baik,<br />
bukan saja korban dan saksi yang mendapat perlindungan tetapi lebih<br />
luas lagi. Tentu saja masyarakat, bangsa, dan negara terlindungi dan<br />
negara dianggap telah melaksanakan kewajibannya melindungi<br />
warganya dengan baik.<br />
Hal ini merupakan salah satu tujuan negara yang termaktub<br />
dalam pembukaan Undang-undang Dasar Tahun 1945, yaitu<br />
Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa<br />
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Akan tetapi, dalam<br />
praktek pidana selama ini, terlihat negara lebih banyak memihak kepada<br />
tersangka atau terdakwa. Diharapkan korban juga dapat berperan dalam<br />
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana atau kejahatan. Pada<br />
gilirannya akan tercapai tujuan yang lebih mendasar, bukan saja<br />
63
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
keadilan, kepastian hukum dan ketertiban, tetapi lebih dari itu yaitu<br />
suatu welfare state. 9<br />
Setiap warga negara mempunyai hak-hak dan kewajiban yang<br />
tertuang dalam konstitusi maupun perundang-undangan lainnya. Hak<br />
dan kewajiban juga ada dalam hukum adat tidak tertulis atau pada<br />
kehidupan sehari-hari. Pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban<br />
harus dilakukan dengan seimbang. Agar tidak terjadi konflik beberapa<br />
hak yang diatur dalam Undang-undang Dasar Tahun 1945 yang<br />
berlandas perlindungan korban dan saksi telah ditulis pada Sub Bab A.<br />
Hukum acara pidana (formil) mengatur berbagai hak dari tersangka<br />
dan/atau terdakwa. 10<br />
Sudah seharusnya pihak korban mendapat perlindungan,<br />
diantaranya dipenuhinya hak-hak korban meskipun diimbangi<br />
melaksanakan kewajiban-kewajiban yang ada. Untuk mengetahui hakhak<br />
korban secara yuridis dapat dilihat dalam perundang-undangan.<br />
Salah satunya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006. Pasal 5 Undangundang<br />
tersebut menyebutkan beberapa hak korban dan saksi yaitu: 11<br />
a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan<br />
harta bendanya. Serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan<br />
kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya<br />
b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk<br />
perlindungan dan dukungan keamanan<br />
c. Memberikan keterangan tanpa tekanan<br />
d. Mendapat penerjemah<br />
e. Bebas dari pertanyaan menjerat<br />
f. Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus<br />
g. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan<br />
h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan<br />
i. Mendapat identitas baru<br />
j. Mendapatkan tempat kediaman baru<br />
k. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan<br />
kebutuhan<br />
l. Mendapat nasihat hukum<br />
m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu<br />
perlindungan berakhir<br />
Berdasarkan analisa data diatas maka hasil riset mengenai<br />
penelitian diatas adalah bahwa implementasi hukum acara pada kasus<br />
kekerasan seksual belum terlaksana. Hal ini didasarkan dengan masih<br />
9 Ilhami Basri, Sistem Hukum Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo<br />
Persada, 2012), hlm. 39.<br />
10 Agus Santoso, Hukum, Moral 7 Keadilan, (Jakarta: Kencana, 2012),<br />
hlm. 2.<br />
11 Topo Santoso, Kriminologi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada).<br />
64
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
banyaknya kasus yang terjadi dimasyarakat mengenai tindak kekerasan<br />
seksual, yang terjadi terhadap masyarakat mulai dari kalangan anakanak,<br />
remaja, dewasa hingga tua. Contohnya adalah kasus yang terjadi<br />
di Pekanbaru sebagaimana yang sudah dipaparkan di atas.<br />
Setelah kasus tersebut diproses, tidak terdapat perhatian khusus<br />
terhadap pelaku dan si korban. Justru peristiwa tragis tersebut dibiarkan<br />
begitu saja lalu selanjutnya muncul lagi kejadian yang sama. Itulah<br />
sistem penerapan hukum Indonesia saat ini. Sebagai warga negara yang<br />
baik tentu kita harus memperhatikan kejadian-kejadian di lingkungan<br />
setempat, jika terdapat tindak kejahatan atau pun pelanggaran segera<br />
lakukan laporkan kepada yang berwajib, ini adalah salah satu bukti<br />
kecintaan kita terhadap negara Indonesia yang mendambakan<br />
kesejahteraan (welfare state). 12<br />
Tidak terlaksananya hukum formil disebabkan karena kinerja<br />
aparat hukum yang tidak maksimal dan kurang sadar serta pedulinya<br />
kita sebagai Warga Negara Indonesia akan adanya sistem hukum. Kerap<br />
kali aturan yang ada sering dilanggar dan dianggap remeh, kebiasaan<br />
inilah yang seharusnya dihapus dari dalam diri dan ditanamkan<br />
pemahaman yang lebih baik sehingga memberikan manfaat yang lebih<br />
baik untuk tanah air. Caranya adalah dengan menanamkan perubahan<br />
dimulai dari diri sendiri dan tanamkan kesadaran agar tercapainya<br />
tujuan hukum yaitu untuk kemanfaatan, keadilan, dan kepastian.<br />
D. Kesimpulan dan Saran<br />
Salah satu wujud perlindungan oleh negara adalah<br />
penyelenggaraan peradilan. Warga negara mempunyai hak dan<br />
kewajiban yang tertuang dalam konstitusi maupun perundangundangan.<br />
Hukum acara pidana (formil) mengatur berbagai hak dari<br />
tersangka dan/atau terdakwa. Sudah seharusnya pihak korban mendapat<br />
perlindungan diantaranya dipenuhinya hak-hak korban meskipun<br />
diimbangi melaksanakan kewajiban-kewajiban yang ada. Undangundang<br />
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia<br />
(HAM) mengatur secara khusus perlindungan korban dan saksi pada<br />
Bab V pasal 34.<br />
Dilanjutkan dengan penegasan pemberian kompensasi, restitusi,<br />
dan rehabilitasi. Bentuk atau jenis perlindungan adalah fisik, mental,<br />
dan sebagainya yang dilaksanakan oleh aparat terkait. Perlindungan<br />
hukum dan aspeknya merupakan salah satu hak korban dan saksi. Dari<br />
uraian diatas sudah dipaparkan bahwa korban dan saksi seakan<br />
terabaikan, bahkan juga di dalam peraturan KUHAP yang dianggap<br />
menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM). Antara lain menjelaskan<br />
40,<br />
12 Bambang Waluyo, Viktimologi, (Jakarta:Sinar Grafika, 2011), hlm.<br />
65
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
bahwa alasan perlindungan korban dan saksi, secara khusus diatur<br />
substansi yang terkait dengan perlindungan korban dan saksi dalam<br />
berbagai perlindungan. Pengaturan bersifat umum dan khusus tetapi<br />
secara terbatas KUHAP mengatur pula hak korban dan saksi untuk<br />
mendapat gambaran mendalam.<br />
Terdapat ketentuan berkenaan perlindungan korban dan saksi<br />
yang diatur KUHAP. Bab XIII tentang penggabungan perkara ganti<br />
kerugian pasal 98 sampai dengan pasal 101 KUHAP. Prosedur dan<br />
substansi pengaturan dianggap mengandung kelemahan-kelemahan.<br />
Pada praktiknya, juga jarang dan bahkan hampir tidak pernah dilakukan<br />
penggabungan perkara gugatan ganti kerugian. Hal ini terjadi antara lain<br />
karena korban tidak mengetahui haknya dan penuntut umum tidak<br />
memberitahukan hak tersebut kepada korban.<br />
Semoga makalah yang dibuat bermanfaat untuk kita semua dan<br />
apabila terdapat kesalahan dalam penulisan ataupun kata-kata yang<br />
kurang tepat kami minta maaf.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Bisri, Ilhami. 2012. Sistem Hukum Indonesia. Jakarta:Rajawali Pers.<br />
Hamzah, Andi. 2008. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta:Rineka Cipta.<br />
Marpaung, Leden. 2004. Kejahatan Terhadap Kesusilaan. Jakarta:Sinar<br />
Grafika Offset.<br />
Marpaung, Leden. 2005. Asas Teori Praktik Hukum Pidana.<br />
Jakarta:Sinar Grafika.<br />
Rumadan, Ismail. 2007. Kriminologi. Yogyakarta:Graha Guru.<br />
Santoso, Agus. 2012. Hukum Moral & Keadilan. Jakarta:Kencana<br />
Prenada Media Group.<br />
Santoso, Topo. 2001. Kriminologi. Jakarta:Raja Grafindo Persada.<br />
Suyanto, Bagong. 2003. Masalah Sosial Anak. Jakarta:Kencana.<br />
Soerodibroto, R.Soenarto. 2009. KUHP dan KUHAP. Jakarta:Rajawali<br />
Pers.<br />
Santoso, Wahyu. 2011. Viktimologi. Jakarta:Sinar Grafika.<br />
66
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK<br />
DAN UPAYA HUKUM DI INDONESIA<br />
Oleh: Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta<br />
Abstrak<br />
Anak adalah mereka yang masih berumur dibawah 16 (enam belas)<br />
tahun dan belum atau pernah menikah. Anak adalah elemen yang<br />
penting karena merekalah kelak yang akan mewarisi yang kita punya<br />
hari ini. Tapi sayangnya, mereka telah diberikan kecacatan oleh oknum<br />
orang dewasa dengan kekerasan seksual yang mereka lakukan.<br />
Kekerasan seksual adalah segala bentuk hubungan atau interaksi<br />
antara anak dan orang dewasa (atau anak lainnya yang sebaya atau<br />
remaja) yang menggunakan si anak untuk simulasi seksual dari pelaku<br />
atau pengamat. Sayangnya, masih bayak kasus kekerasan seksual<br />
terhadap anak hanya sedikit yang tereskspos. Hal ini juga berkaitan<br />
dengan hukum yang ada di Indonesia. Berbicara tentang hukum di<br />
Indonesia, hukum harus mampu memberikan pencegahan dan efek jera<br />
terhadap perilaku dan pelaku kekerasan seksual.<br />
A. Latar Belakang<br />
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, anak adalah<br />
mereka yang masih berumur dibawah 16 tahun dan belum atau pernah<br />
menikah. 1 Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang<br />
Sistem Peradilan Anak, yang dimaksud anak-anak di sini adalah mereka<br />
yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum atau pernah<br />
menikah, dan anak yang dapat bertanggung jawab mengenai tindakan<br />
pidananya adalah mereka yang sudah berusia 14 (empat belas) tahun. 2<br />
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, anak adalah mereka yang<br />
masih berumur dibawah 21 (dua puluh satu) tahun dan belum atau<br />
pernah menikah. 3<br />
Anak adalah seseorang yang harus benar-benar kita lindungi<br />
dan kita bimbing dari sejak mereka kecil. Oleh karena itu, pemerintah<br />
dengan segala usahanya membuat peraturan ataupun undang-undang<br />
yang mengatur tentang anak. Entah anak itu sebagai pelaku ataupun<br />
korban.<br />
1 Pasal 45 KUHP.<br />
2 Pasal 1 ayat 3 dan pasal 69 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun<br />
2012 tentang Sistem Peradilan Anak.<br />
3 Pasal 330 KUHD.<br />
67
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Namun sayangnya, kepolosan dan keluguan anak-anak sering<br />
dimanfaatkan dan disalahgunakan oleh orang dewasa. Anak-anak yang<br />
seharusnya menjadi objek arahan dan dibimbing ke sikap yang baik,<br />
tetapi pada kenyataannya mereka dijadikan objek kekerasan, pelecehan,<br />
eksploitasi birahi dan seksual oleh orang remaja atau dewasa yang tidak<br />
punya hati nurani dan “akal sehat”. Anak-anak yang merupakan penerus<br />
bangsa dan berhak mendapatkan masa depan yang baik dan layak<br />
kenyataannya masa depan mereka direnggut oleh tangan-tangan nakal<br />
yang tidak tahu malu yang hanya memikirkan cara menyalurkan nafsu<br />
“binatang”-nya saja.<br />
Anak-anak belia yang mempunyai masa depan panjang dan<br />
digadang-gadang menjadi penerus bangsa yang seharusnya benar-benar<br />
dicetak menjadi penerus yang cerdas dan kreatif tetapi karena ulah<br />
oknum-oknum orang dewasa atau remaja masa depan mereka<br />
dihancurkan begitu saja. Seolah mereka tidak lagi diberi kesempatan<br />
untuk merasakan bagaimana kehidupan mereka selanjutnya. Pelaku<br />
pelecehan seksual dengan teganya dan tanpa menggunakan logika dan<br />
akal pikirannya berperilaku layaknya “monster” penghancur masa<br />
depan korbannya.<br />
Dewasa ini, banyak sekali muncul kasus pelecehan dan<br />
kekerasan seksual terhadap anak-anak. Kasus yang berkaitan dengan<br />
oknum cleaning service dan diduga terdapat oknum guru disebuah<br />
sekolah internasional di Jakarta pun pernah menjadi sorotan publik,<br />
bahkan publik sangat mengecam hal tersebut. Pasalnya, kasus tersebut<br />
selain mencoreng kelakuan manusia di zaman sekarang, hal itu juga<br />
mencoreng nama baik dunia pendidikan. Karena sejatinya, sekolah<br />
haruslah merupakan tempat yang aman dan nyaman bagi anak-anak,<br />
dan bukan tempat yang membuat masa depan mereka hancur<br />
berantakan.<br />
Bahkan, muncul sebuah kasus baru yang membawa nama<br />
seorang Raja di Surakarta yang sampai saat ini belum terselesaikan.<br />
Diduga, sang Raja mencabuli seorang siswi SMA hingga membuat<br />
siswi itu hamil 7 bulan. Dan masih banyak kasus lainnya pelecehan dan<br />
kekerasan seksual terhadap anak-anak di Indonesia.<br />
Lalu sebenarnya apa yang kurang dan salah di Indonesia?<br />
Anak-anak yang seharusnya dilindungi dan diberikan kasih sayang pada<br />
nyatanya psikis dan raga mereka dianiaya oleh orang yang tidak<br />
bertanggung jawab.<br />
B. Bentuk Kekerasan Seksual<br />
Kekerasan seksual pada umumnya adalah setiap tindakan atau<br />
perilaku atau gerak-gerik seksual yang tidak dikehendaki dalam bentuk<br />
verbal (kata-kata) atau tulisan, fisik, tidak verbal, dan visual untuk<br />
kepentingan seksual, memiliki muatan seksual, sehingga menyebabkan<br />
68
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
kemarahan, perasaan terhina, malu, tidak nyaman, dan tidak aman bagi<br />
orang lain. 4<br />
Pelecehan atau kekerasan seksual pada anak adalah kekerasan<br />
seksual pada anak (child sexual abuse) di mana terjadi aktivitas atau<br />
kontak seksual yang melibatkan anak atau remaja dengan orang dewasa<br />
atau bahkan sebayanya. Jadi sekali lagi, pelaku bisa saja orang yang<br />
sudah dewasa dan cukup umur, atau bisa saja seorang anak atau<br />
remaja. 5 Pelecehan seksual terhadap anak adalah segala bentuk<br />
hubungan atau interaksi antara anak dan orang dewasa (atau anak<br />
lainnya yang sebaya atau remaja) yang menggunakan si anak untuk<br />
simulasi seksual dari pelaku atau pengamat. 6<br />
Dari beberapa pengertian di atas maka bentuk dari pelecehan<br />
seksual bukan hanya melalui sentuhan dan persetubuhan, melainkan<br />
bisa juga melalui lirikan yang terasa menyudutkan dan mengintimidasi<br />
tubuh kita, melalui gambar-gambar porno, melalui lisan dan juga tulisan<br />
yang mengandung dan memuat unsur seksualitas. Tentunya pula juga<br />
mengandung unsur-unsur yang membuat tidak nyaman dan rasa risih<br />
dapat juga dikategorikan pelecehan seksual. Lebih parahnya lagi, jika<br />
pelecehan seksual memburuk menjadi eksploitasi seksual dimana<br />
termasuk salah satunya adalah penjualan anak untuk tujuan prostitusi<br />
dan pornografi.<br />
Namun, banyak anak-anak yang kebanyakan masih belum<br />
mengerti dan belum cukup bisa untuk mawas diri mengenai bagaimana<br />
modus operandi yang dilakukan dan juga korban tidak akan menyangka<br />
kalau ternyata orang terdekat merekapun dapat menjadi pelaku.<br />
Memang kebanyakan kasus dari pelecehan seksual terhadap anak-anak<br />
ini adalah orang terdekat mereka bisa dari keluarga, tetangga, teman,<br />
saudara, guru, dan juga bisa dari orang yang mereka baru kenal.<br />
C. Sebab dan Akibat Kekerasan Seksual Terhadap Anak<br />
Tidak habis pikir memang, kenapa anak-anak yang tidak<br />
berdosa menjadi objek kekerasan seksual dan komoditas prostitusi.<br />
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya bahwa korban belum<br />
mengetahui persis modus operandi apa yang digunakan oleh pelaku.<br />
Tetapi karena minimnya pengetahuan itu, korban dapat dengan mudah<br />
masuk dalam perangkap pelaku. Kebanyakan kasus itu dimulai dari<br />
4<br />
Christina Yulita dkk, Pelecehan Seksual, diakses dari<br />
http://sulapaluarit.blogspot.com/2012/07/pelecehan-seksual_22.html<br />
5 Info Psikologi, Apa Itu Pelecehan/Kekerasan Seksual pada Anak dan<br />
Apa Bentuk-bentuknya,diakses dari http://infopsikologi.com/apa-itu-bentukpelecehan-kekerasan-seksual-pada-anak-remaja/<br />
6 Christina Yulita dkk, Op. Cit.<br />
69
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
percakapan ringan, rayuan, penipuan, menjadi korban pemerkosaan dan<br />
atau dikorbankan kepada orang lain untuk dijadikan objek pencabulan.<br />
Suyanto (2002) menjelaskan bahwa maraknya praktik<br />
perdagangan anak perempuan untuk tujuan seksual disebabkan berbagai<br />
faktor, yaitu: pertama, adanya kepercayaan para konsumen (laki-laki<br />
hidung belang) bahwa berhubungan seks dengan anak-anak sebagai<br />
obat kuat, obat awet muda dan mendatangkan hoki terntentu. Kedua,<br />
anak-anak dipandang masih bersih dari penyakit kelamin dan belum<br />
banyak yang “memakainya” sehingga lebih menambah selera<br />
konsumen. Faktor pertama dan kedua merupakan pandangan dari<br />
seorang pedofil yang menyukai untuk melakukan hubungan seks<br />
dengan anak-anak. Ketiga, orang tua terkadang memandang anak<br />
perempuan sebagai aset yang mendatangkan keuntungan, sehingga<br />
orang tua sampai hati menjual anak perempuannya, khususnya untuk<br />
harga keperawanannya. Keempat, pandangan seksualitas yang sangat<br />
menekankan arti penting keperawanan sehingga tidak memberi<br />
kesempatan bagi mereka yang sudah tidak perawan untuk menentukan<br />
dirinya, hal ini seperti dua responden penulis yang terjerumus kedalam<br />
sindikat perdagangan perempuan (trafficking in women) karena dipaksa<br />
pacarnya. Kelima, karena jeratan utang. Terkadang orang tua meminjam<br />
uang kepada germo yang sekaligus rentenir dengan bunga sangat tinggi.<br />
Ketika utang sudah jatuh tempo dan dan tidak dapat dikembalikan,<br />
maka anak perempuan yang berutang diminta bekerja kepada germo<br />
tersebut, namun ternyata pekerjaan yang dimaksud sebagai pelayan seks<br />
laki-laki hidung belang. Keenam, adanya kemiskinan struktural dan<br />
disharmoni keluarga yang dapat memicu depresi dan frustasi. 7<br />
Selain itu juga terdapat faktor lain seperti yang ditulis Abdul<br />
Wahid dan Muhammad Irfan (2001:72), yaitu:<br />
1. Pengaruh perkembangan budaya yang semakin tidak menghargai<br />
etika berpakaian yang menutup aurat, yang dapat merangsang pihak<br />
lain untuk berbuat yang tidak senonoh dan jahat;<br />
2. Gaya hidup atau pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang<br />
semakin bebas, kurang bisa lagi membedakan mana yang<br />
seharusnya boleh dikerjakan dengan mana yang dilarang dalam<br />
hubungannya dengan kaidah akhlak mengenai hubungan laki-laki<br />
dengan perempuan;<br />
3. Rendahnya pengalaman dan penghayatan terhadap norma-norma<br />
keagamaan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Nilai-nilai<br />
keagamaan yang semakin terkikis di masyarakat atau pola relasi<br />
horizontal yang cenderung makin meniadakan peran agama adalah<br />
7<br />
Dalam: Huraerah, Abu. 2007. Child Abuse (Kekerasan<br />
terhadap Anak). Bandung: Penerbit Nuansa.<br />
70
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
sangat potensial untuk mendorong seseorang berbuat jahat dan<br />
merugikan orang lain;<br />
4. Tingkat kontrol masyarakat (social control) yang rendah, artinya<br />
berbagai perilaku yang diduga sebagai penyimpangan, melanggar<br />
hukum dan norma keagamaan kurang mendapatkan responsi dan<br />
pengawasan dari unsur-unsur masyarakat;<br />
5. Putusan hakim yang terasa tidak adil, seperti sanksi yang dirasa<br />
ringan yang dijatuhkan kepada pelaku. Hal ini dimungkinkan dapat<br />
mendorong anggota-anggota masyarakat lainnya untuk berbuat keji<br />
dan jahat. Artinya, mereka yang hendak berbuat jahat tidak merasa<br />
takut lagi dengan sanksi hukum yang akan diterimanya;<br />
6. Ketidakmampuan pelaku untuk mengendalikan emosi dan nafsu<br />
seksualnya. Nafsu seksualnya dibiarkan mengembara dan<br />
menuntutnya untuk dicarikan kompensasi pemuasnya; dan<br />
7. Keinginan pelaku untuk melakukan (melampiaskan) balas dendam<br />
terhadap sikap, ucapan (keputusan), dan perilaku korban yang<br />
dianggap menyakiti dan merugikan.<br />
Tentunya yang merasa paling dirugikan di sini adalah korban.<br />
Akibat yang paling dirasakan adala berimbas pada kondisi psikis dan<br />
mental korban, terlebih lagi korban di sini adalah seorang anak yang di<br />
usia mereka belum mampu melakukan hubungan intim.<br />
Yang paling fatal adalah bila kejadian pelecehan tersebut sangat<br />
mengganggu psikis korban. Akan ada reaksi pergulatan di hati dan<br />
pikiran mereka. Mereka akan merasa ketakutan dan bertanya-tanya pada<br />
diri mereka sendiri tentang apa yang sebenarnya terjadi, mengapa hal itu<br />
bisa terjadi dan menimpa diri mereka, dan mereka akan bertanya<br />
mengapa seperti ini. Di sinilah puncaknya, mereka akan perlahan-lahan<br />
menarik diri dari masyarakat bahkan dari keluarga sendiri. Bahkan<br />
korban tiba-tiba dapat berubah menjadi ketakutan terhadap suatu hal.<br />
Rusmil (2004:61) mengemukakan bahwa anak-anak yang<br />
menderita kekerasan, eksploitasi, pelecehan, dan penelantaran<br />
menghadapi risiko:<br />
1. Usia yang lebih pendek<br />
2. Kesehatan fisik dan mental yang buruk<br />
3. Masalah pendidikan (termasuk drop out dari sekolah)<br />
4. Kemampuan yang terbatas sebagai orang tua kelak<br />
5. Menjadi gelandangan<br />
Akibat lain yang mungkin dapat menimpa korban adalah<br />
sebagai berikut:<br />
1. Penderitaan secara psikologis, seperti merasa tidak lagi berharga<br />
akibat kehilangan kehormatannya di mata masyarakat. Korban akan<br />
merasa gelisah sepanjang waktu, kehilangan rasa percaya diri, tidak<br />
71
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
lagi ceria, sering melamun, menutup diri, menjauhi lingkungan,<br />
menjauhi keramaian, tumbuh rasa benci (antipati) terhadap lawan<br />
jenis, curiga yang berlebihan terhadap orang lain, dan akan<br />
menyisakan rasa trauma yang sangat mendalam;<br />
2. Kehamilan yang mungkin dapat terjadi;<br />
3. Penderitaan fisik, artinya akibat dari kekerasan seksual tersebut<br />
akan menimbulkan luka pada diri korban, buruknya lagi apabila<br />
sampai tertular penyakit kelamin;<br />
4. Tumbuh rasa kekurangan kepercayaan pada penanganan aparat<br />
praktis hukum, bilamana kasus yang ditanganinya lebih banyak<br />
menyita perhatiannya, sedangkan penanganan kepada tersangka<br />
terkesan kurang sungguh-sungguh. Korban merasa diperlakukan<br />
secara diskriminatif dan kondisinya akan semakin menderita<br />
kejiwaannya dan lemah mentalnya akibat ditekan secara terusmenerus<br />
oleh proses penyelesaian perkara yang tidak kunjung<br />
berakhir; dan<br />
5. Merasa tidak berharga dan putus asa dengan keadaan. Bisa saja<br />
korban memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, atau bisa saja<br />
korban terjerumus dalam dunia prostitusi sebagai wujud bentuk<br />
protes ketidakadilan dunia terhadap dirinya, oleh karena itu korban<br />
terjun ke jalan yang salah.<br />
D. Hukum di Indonesia dalam Menyikapi Kekerasan Seksual<br />
Banyak kasus kekerasan seksual terjadi pada anak-anak di<br />
Indonesia, namun kasus kekerasan seksual di Indonesia memang sangat<br />
sulit diungkap atau merupakan fenomena gunung es. Meskipun<br />
kasusnya sudah teridentifikasi, proses penyelidikan dan peradilan sering<br />
sangat terlambat. Lemahnya hukum di Indonesia juga dianggap sebagai<br />
pemicu mengapa kekerasan seksual terhadap anak-anak masih banyak<br />
terjadi.<br />
Kesulitan dalam mengungkap kasus kekerasan seksual sulit<br />
diungkap adalah sebagai berikut:<br />
1. Penolakan korban sendiri. Korban tidak melaporkannya karena<br />
takut pada akibat yang kelak diterima baik dari si pelaku (adanya<br />
ancaman) maupun dari kejadian itu sendiri (trauma).<br />
2. Manipulasi pelaku. Pelaku yang umumnya orang yang lebih dewasa<br />
sering menolak tuduhan (setidaknya diawal proses penyelidikan)<br />
bahwa dia adalah pelakunya. Pelaku akan berkata bahwa laporan<br />
dari korban merupakan suatu kebohongan atau merupakan imajinasi<br />
semata.<br />
3. Keluarga yang mengalami kasus kekerasan seksual menganggap<br />
bahwa itu merupakan suatu aib yang harus ditutupi dan sangat<br />
memalukan.<br />
72
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
4. Anggapan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan keluarga tidak<br />
patut dicampuri oleh masyarakat.<br />
5. Masyarakat tidak mengetahui secara jelas anak-anak yang<br />
mangalami kekeerasan seksual, karena seringnya ciri-cirinya tidak<br />
bisa dilihat secara kasat mata.<br />
6. Sistem dan prosedur pelaporan yang belum diketahui pasti dan jelas<br />
oleh masyarakat luas.<br />
Berbagai pandangan yang berkaitan dengan tujuan hukum<br />
pidana Indonesia itu terkait dengan ketiadaan (kevakuman) rumusan<br />
konkret dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Baru<br />
kemudian dalam rancangan KUHP baik pada konsep (RUU KUHP)<br />
tahun 1972 maupun 1982 dijelaskan mengenai tujuan hukum pidana.<br />
Dalam RUU KUHP 1982, dijelaskan mengenai tujuan pemidanaan<br />
secara akademis berikut ini: 8<br />
1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dalam menegakkan norma<br />
hukum demi pengayoman masyarakat<br />
2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pemidanaan<br />
hingga menjadikannya orang baik dan berguna<br />
3. Menyelesaikan konkret yang ditimbulkan oleh tindak pidana<br />
memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam<br />
masyarakat<br />
4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana (Ninik Suparmi:1996:2)<br />
Hukum di Indonesia dalam menyikapi kekerasan seksual<br />
mempunyai tujuan tertentu dibaliknya, sebagai berikut:<br />
1. Pelaku<br />
Berkaitan dengan pelaku, hukuman yang dijatuhkan merupakan<br />
balasan yang setimpal atau diharapkan pelaku dapat menebus dosadosa<br />
(atas kekejian) yang dilakukan kepada korban. Pelaku<br />
dikenakan hukuman yang cukup berat yang dapat membuatnya<br />
menjadi jera atau agar dikemudian hari tidak mengulangi lagi<br />
perbuatan jahatnya. Ada tuntunan untuk mengantarkan manusia<br />
pada pintu tobat, yakni dimensi spiritualitas yang dilalui manusia<br />
dalam membersihkan dirinya dari perbuatan-perbuatan dosa,<br />
tercela, menodai agama, dan merugikan orang lain. Manusia<br />
(pelaku) diberikan sanksi yang tidak sebatas meringankan bebannya<br />
di dunia, namun juga diorientasikan untuk meringankan beban yang<br />
harus dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.<br />
2. Masyarakat<br />
Hukuman yang cukup berat dijatuhkan pada pelaku itu diharapkan<br />
menjadi suatu proses pendidikan kesadaran perilaku dari<br />
8 Dalam Irfan, Muhammad dan Abdul Wahid: 2012: 100.<br />
73
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
kecenderungan berbuat jahat. Hukuman itu menjadi prevensi<br />
(pencegahan) agar anggota masyarakat yang hendak berbuat jahat<br />
tidak meluruskan aksi kejahatannya. Jika pelaku kejahatan<br />
kekerasan seksual mendapatkan sanksi hukum sebagaimana yang<br />
digariskan dalam syariat islam, maka sangat mungkin anggota<br />
masyarakat yang bermaksud melakukan perbuatan sejenis dapat<br />
dicegahnya.<br />
3. Korban<br />
Dengan menerapkan sanksi hukum kepada pelaku, maka secara<br />
tidak langsung hal itu merupakan bentuk suatu perhatian<br />
(perlindungan) secara hukum kepada korban kejahatan.<br />
Perlindungan hukum kepada anak (khususnya perempuan) yang<br />
menjadi korban kejahatan ini bukan hanya terbatas kepada<br />
dihukumnya pelaku, namun juga kepada akibat yang menimpanya,<br />
seperti kehamilan akibat pemerkosaan.<br />
Korban tindak kekerasan seksual memiliki hak-hak yang wajib<br />
ditegakkan. Rasa sakit hati, penderitaan, ketakutan, dan berbagai<br />
macam dampak buruk yang menimpa dirinya pasca tindak kekerasan itu<br />
mendapatkan perhatian yang serius dari hukum Islam. Korban tidak<br />
boleh diabaikan sendirian memperjuangkan nasib yang menimpanya,<br />
namun wajib difasilitasi oleh penegak hukum dalam memperjuangkan<br />
nasibnya.<br />
Terkadang, dalam kasus penyelesaian pengadilan, banyak<br />
keluarga korban merasa tidak puas terhadap hasil sidang dan vonis<br />
hukuman yang dijatuhkan hakim terhadap pelaku kekerasan seksual.<br />
Karena logikanya mereka telah merenggut kehidupan dan masa depan<br />
dari korban bahkan bisa saja hal ini masih mempengaruhi di kehidupan<br />
korban ke depannya, tetapi putusan hakim memberikan hukuman yang<br />
dirasa tidak setimpal.<br />
Ancaman pidana terhadap pelaku pencabulan diatur dalam pasal<br />
289 KUHP. Pelaku diancam dengan pidana penjara maksimal 9 tahun<br />
penjara. Pro dan kontra tentu juga menyertai tentang ancaman pidana<br />
dalam pasal ini.<br />
Masalahnya adalah tidak adanya ketentuan minimal ancaman<br />
hukuman yang diberikan hanya terdapat maksimal. Artinya adalah<br />
berapapun lamanya ancaman pidana yang diberikan asalkan tidak lebih<br />
dari 9 tahun itu diperbolehkan karena tidak adanya ketentuan minimal.<br />
Berarti putusan hakim yang memberikan ancaman pidana 9<br />
bulan itu juga sah-sah saja, karena mengacu pada pasal 289 KUHP<br />
disana ketentuannya adalah maksimal 9 tahun.<br />
Disinilah dipertanyakannya letak keadilan. Ibaratkan saja<br />
adalah ketika A (usia 35 tahun) telah melakukan perbuatan asusila<br />
terhadap H (usia 13 tahun) diberikan hukuman 2 tahun penjara padahal<br />
74
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
A telah merebut masa depan H yang mungkin lebih dari 20 tahun. Di<br />
sinilah yang harus dikaji ulang mengenai pengaplikasian pasal 289<br />
KUHP dalam menyelesaikan perkara.<br />
Esensi dan tujuan dari hukum di Indonesia adalah demi<br />
kebaikan masyarakatnya sendiri. Sejatinya hukum dibuat untuk<br />
manusia, bukan manusia untuk hukum.<br />
E. Kesimpulan dan Saran<br />
Di Indonesia masih banyak kasus-kasus tentang kekerasan<br />
seksual Indonesia yang belum terbongkar. Meskipun kasusnya sudah<br />
teridentifikasi, proses penyelidikan dan peradilan sering terlambat.<br />
Lemahnya hukum di Indonesia juga dianggap sebagai pemicu mengapa<br />
kekerasan seksual terhadap anak-anak masih banyak terjadi.<br />
Perlu adanya kerjasama antara penegak hukum dan masyarakat<br />
sehingga masyarakat mau untuk melaporkan tindak kekerasan seksual<br />
tersebut dan para penegak hukum dapat memprosesnya dengan adil.<br />
Karena hukum diciptakan untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.<br />
Sebenarnya upaya pencegahan yang paling ampuh adalah<br />
dengan membentengi diri kita sendiri dengan nilai dan norma yang<br />
berlaku. Dengan tertanamnya sebuah nilai dan norma yang baik akan<br />
timbul pula pemikiran yang positif dan tindakan terpuji.<br />
Berikut ini adalah upaya pencegahan yang mungkin dapat<br />
dilakukan:<br />
1. Menanamkan nilai dan norma yang berlaku<br />
Seperti yang sebelumnya sudah disinggung bahwa dengan adanya<br />
penanaman sifat dan sikap yang baik kepada semua orang dan tak<br />
terkecuali, maka akan menimbulkan sifat positif yang baik pula.<br />
2. Perlu adanya tinjauan kembali terhadap undang-undang yang<br />
berhubungan dengan anak-anak, khususnya adalah tentang<br />
kekerasan seksual<br />
Tak sedikit orang yang menganggap bahwa hukuman pelaku<br />
kekerasan seksual terlalu ringan dan dirasa tidak adil karena<br />
hukuman dianggap ringan. Hal ini tentu tidak menimbulkan efek<br />
jera terhadap pelaku kekerasan seksual dan pelaku tetap berada<br />
pada penyimpangan seks tersebut. Lebih khawatirnya lagi adalah<br />
ketika munculnya pelaku-pelaku kekerasan seksual yang baru.<br />
3. Adanya sex education dengan proporsi yang sesuai<br />
Ini menjadi perdebatan yang serius karena jika kita salah satu<br />
langkah saja maka akan menyimpang. Tidak semua masyarakat<br />
setuju dengan sex education. Mereka yang tidak setuju adalah<br />
karena dipandang anak-anak belum harus mengetahui hal tabu<br />
tersebut, karena umur mereka masih belum dewas, hal ini<br />
dikhawatirkan malah sebaliknya, mereka akan penasaran dan<br />
mencoba melakukan hal tersebut. Mereka yang setuju adalah karena<br />
75
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
sex education itu dapat menjadi pegangan oleh anak-anak agar<br />
mereka mengetahui tentang pertumbuhan dan perubahan yang<br />
terjadi pada tubuh mereka.<br />
4. Adanya perlindungan dan perhatian dari keluarga kepada anakanaknya<br />
Tentu ini adalah hal yang terpenting. Selama keluarga masih dapat<br />
diandalkan dan merupakan tempat kembali setelah kepenatan dan<br />
saling menyayangi satu sama lain maka kecil kemungkinannya<br />
terjadi kekerasan seksual.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
. 2014. “Apa Itu Pelecehan/Kekerasan Seksual pada Anak dan<br />
Apa Bentuk-Bentuknya”. (Online), (http://infopsikologi.com/apaitu-bentuk-pelecehan-kekerasan-seksual-pada-anak-remaja/),<br />
diakses tanggal 10 oktober 2014.<br />
Huraerah, Abu. 2007. Child Abuse (Kekerasan terhadap Anak).<br />
Bandung: Penerbit Nuansa.<br />
Irfan, Muhammad dan Abdul Wahid. 2001. Perlindungan Terhadap<br />
Korban Kekerasan Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi<br />
Perempuan). Bandung: PT Refika Aditama.<br />
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.<br />
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.<br />
Umabaihi, Cua. 23 Juli 2012. “Pelecehan Seksual”.(Online),<br />
(http://sulapaluarit.blogspot.com/2012/07/pelecehanseksual_22.html),<br />
diakses tanggal 10 Oktober 2014.<br />
Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Peradilan Anak.<br />
76
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
TINJAUAN KRIMINOLOGIS TERHADAP<br />
TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN<br />
Oleh: Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya<br />
Abstrak<br />
Kekerasan seksual seringkali diidentikkan hanya sebatas pada tindakan<br />
pemerkosaan saja. Hal ini dikarenakan maraknya terjadi kasus<br />
pemerkosaan belakangan ini yang menimbulkan banyak keresahan<br />
dalam masyarakat khususnya kaum wanita dan orang tua. Apabila<br />
ditilik lebih lanjut, permasalahan kekerasan seksual memiliki lingkup<br />
yang sangat luas, dimana tidak hanya terbatas pada persoalan hukum<br />
saja, namun melibatkan faktor lain contohnya faktor internal dalam<br />
suatu masyarakat yaitu kebudayaannya. Kebudayaan dalam<br />
masyarakat merupakan cerminan nilai-nilai yang mayoritas mereka<br />
anut. Sehingga, tidak dapat kita pungkiri bahwa kebudayaan memegang<br />
andil yang cukup besar untuk menentukan bentuk penyelesaian kasus<br />
kekerasan seksual. Namun dipihak lain, kebudayaan tersebut ternyata<br />
dapat menjadi hambatan dalam penyelesaian hukum kasus kekerasan<br />
seksual disamping karakteristik peristiwa perkosaan itu sendiri yang<br />
membuat ketentuan yuridis positif menjadi sangat terbatas untuk<br />
menjangkaunya. Berkaitan dengan hal tersebut, dapat kiranya<br />
digunakan sudut pandang ilmu kriminologi untuk membantu kita<br />
memahami kasus kekerasan seksual.<br />
A. Latar Belakang<br />
Kejahatan merupakan suatu peristiwa yang apabila kita ingin<br />
memahaminya secara utuh, maka harus diliat dari berbagai sisi yang<br />
berbeda.Itu sebabnya dalam keseharian kita seringkali menangkap<br />
berbagai komentar tentang peristiwa kejahatan yang berbeda antara<br />
yang satu dengan yang lain.<br />
Mempelajari kejahatan dan masalah-masalah yang melekat<br />
padanya dapat dilakukan dengan mempelajari sifat dan bentuk serta<br />
perkembangan tingkah laku. Kejahatan sebagai suatu perilaku adalah<br />
suatu tindakan yang menyimpang, bertentangan dengan hukum atau<br />
melanggar peraturan perundang-undangan, serta merugikan masyarakat<br />
baik dipandang dari segi kesusilaan, kesopanan, dan ketertiban anggota<br />
masyarakat. 1 Salah satu bentuk kejahatan tindak pidana yang akan kami<br />
1 Abintoro Prakoso, Kriminologi dan Hukum Pidana, (Yogyakarta:<br />
Laksbang Grafika, 2013), hlm. 89.<br />
77
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
bahas secara khusus dan terjadi di dalam masyarakat adalah tindak<br />
pidana pemerkosaan. 2<br />
Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya yang berjudul Kejahatankejahatan<br />
Melanggar Kesopanan, kata zeden dalam titel asli Bab XIV<br />
buku ke-II dan Bab VI buku ke-III Kitab Undang-undang Hukum<br />
Pidana, yang ditulis beliau dengan kata yang sama yakni kesopanan,<br />
maka kesopanan dapat dibagi kedalam dua bidang, yaitu: 3<br />
1. Kesopanan di bidang kesusilaan (disebut zedelijkheid), dan<br />
2. Kesopanan di luar bidang kesusilaan (disebut zeden).<br />
Arti kesopanan yang dimaksud itu lebih luas dari kata<br />
kesusilaan, karena kesusilaan adalah bagian dari kesopanan. Namun<br />
kenyataannya, para ahli hukum kita menggunakan dua istilah, yaitu<br />
kesusilaan dan kesopanan sebagai salinan dari kata zeden dalam judul<br />
titel XVI buku II dan titel VI buku III Kitab Undang-undang Hukum<br />
Pidana. 4 Kejahatan kesopanan di bidang kesusilaan adalah kejahatan<br />
kesopanan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan masalah<br />
seksual, atau disebut kejahatan kesusilaan. Tindak pidana perkosaan ini<br />
termasuk ke dalam salah satunya. 5<br />
Tb. Ronny Rahman Nitibaskara (Guru Besar Kriminologi<br />
Universitas Indonesia), mengatakan: 6<br />
“Terdapat tiga faktor tindak kekerasan seksual terhadap anak<br />
bisa terjadi. Pertama, pelaku menderita penyimpangan seksual<br />
(pedofilia), bahkan ada yang melakukan mutilasi (sadism).<br />
Kedua, pelaku penderita psikopat, sehingga sulit disembuhkan<br />
dan tidak akan pernah menyesali perbuatannya. Ketiga, pelaku<br />
sedang melakukan ritual ilmu hitam dengan syarat harus<br />
melakukan hubungan seks dengan anak dibawah umur. Dari<br />
ketiga faktor tersebut, masalah utama adalah lemahnya<br />
perlindungan terhadap anak baik dari orang tua, keluarga,<br />
lingkungan, dan terakhir adalah pemerintah”.<br />
Kasus kekerasan seksual seringkali melibatkan pelaku yang<br />
sebelumnya telah dikenal oleh korban, atau dengan kata lain merupakan<br />
2 Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah<br />
Prevensinya, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm. 64.<br />
3 Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, (Jakarta: PT<br />
Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 4.<br />
4 Ibid.<br />
5 Ibid, hlm. 5.<br />
6 Website Komisi Perlindungan Anak Indonesia,Jakarta, 15 Agustus<br />
2014, Indonesia Darurat Kejahatan Seksual Anak, http://www.kpai.go.id/<br />
berita/indonesia-darurat-kejahatan-seksual-anak/, diakses pada tanggal 10<br />
September 2014.<br />
78
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
orang yang dekat dengan kehidupan sehari-hari korban. Menurut Rita<br />
Selena Kolibonso, Direktur Eksekutif Mitra Perempuan, Yayasan<br />
Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan: 7<br />
“Jika pelaku memiliki hubungan keluarga dengan korban,<br />
apalagi ialah ayah korban sendiri, makin sulit untuk<br />
menjangkau korban apalagi memprosesnya secara hukum,<br />
orang tua cenderung menjaga korban untuk tidak menjalani<br />
proses hukum, ibu korban juga sulit diharapkan untuk<br />
membantu karena takut kepada suami dan keluarga. Padahal<br />
dalam proses hukum seorang anak yang berusia kurang dari 12<br />
tahun harus didampingi orang tua atau wali.”<br />
Masalah kekerasan seksual di Indonesia, khususnya terhadap<br />
wanita dan anak perlu mendapat perhatian yang intensif. Selain<br />
memang karena mayoritas korban kekerasan seksual adalah wanita dan<br />
anak-anak, terdapat pula kecenderungan bahwa mereka sering diabaikan<br />
oleh lembaga-lembaga yang seharusnya memberikan perhatian dan<br />
perlindungan yang cukup berdasarkan hukum. 8 Sebagaimana kita<br />
ketahui, dampak dari perilaku tersebut terhadap anak-anak sangatlah<br />
besar, yaitu dapat merusak mental korban bahkan seringkali<br />
menyebabkan korban mengalami keterbelakangan mental akibat trauma<br />
yang dirasakannya. Atas dasar itulah, menjadi sangat penting jika kita<br />
terus mencari solusi terbaik guna pencegahan serta penanggulangan dari<br />
kekerasan seksual. 9<br />
Data yang dihimpun Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap<br />
Perempuan menunjukkan sedikitnya terdapat 35 perempuan menjadi<br />
korban kekerasan seksual setiap harinya. Pada tahun 2012, tercatat<br />
4.336 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Perkosaan dan<br />
pencabulan merupakan jenis kekerasan yang paling banyak ditangani,<br />
dan mencapai angka 1.620 kasus. Kekerasan seksual tersebut terjadi<br />
baik terjadi baik di lingkungan rumah, di tengah-tengah masyarakat<br />
maupun dilakukan oleh aparat negara. 10<br />
Apabila kita hubungkan dengan sistem peradilan pidana yang<br />
digariskan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, dimana<br />
menerapkan sebuah “sistem terpadu” (integrated criminal justice<br />
7 Ibid, hlm. 2-3.<br />
8 Mien Rukmini, Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi (Sebuah<br />
Bunga Rampai), (Bandung: P.T. Alumni, 2009), hlm. 1.<br />
9 Ibid, hlm. 3.<br />
10 Website Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan,<br />
Jakarta, 25 November 2013, Segerakan Penanganan yang Mumpuni bagi<br />
Perempuan Korban Kekerasan Seksual, http://www.komnasperempuan.or.id/2013/11/siaran-pers-kampanye-16-hari-anti-kekerasanterhadap-perempuan-25-november-10-desember-2013/,<br />
diakses pada tanggal<br />
17 September 2014.<br />
79
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
system). Sistem terpadu ini diletakkan di atas landasan prinsip<br />
diferensiasi fungsional di antara aparat penegak hukum sesuai dengan<br />
“tahap proses kewenangan” yang diberikan undang-undang kepada<br />
masing-masing. 11 Dari gambaran singkat integrated criminal justice<br />
system, dapat dilihat: berhasil atau tidak fungsi proses pemeriksaan<br />
sidang pengadilan yang dilakukan Jaksa Penuntut Umum dan Hakim<br />
menyatakan terdakwa “salah” serta “memidananya”, sangat tergantung<br />
atas “hasil penyidikan” Polri. 12<br />
Berangkat dari latar belakang diatas, penulis ingin melakukan<br />
penelitian faktor-faktor kriminologis apa yang menyebabkan terjadinya<br />
tindak pidana pemerkosaan, serta upaya penegakan hukum apa yang<br />
dilakukan oleh aparat penegak hukum di tingkat penyidikan oleh pihak<br />
Kepolisian Resort Ogan Ilir dalam mengatasi tindak pidana pencabulan<br />
yang terjadi di wilayah hukum Kabupaten Ogan Ilir ini dengan judul<br />
“Tinjauan Kriminologis terhadap Tindak Pidana Pemerkosaan.<br />
B. Landasan Teori<br />
1. Tinjauan Umum Tentang Kriminologi<br />
1.1. Pengertian Kriminologi<br />
Kriminologi (criminology) atau ilmu kejahatan sebagai disiplin<br />
ilmu sosial atau non-normative discipline yang mempelajari kejahatan<br />
dari segi sosial. Kriminologi disebut sebagai ilmu yang mempelajari<br />
manusia dalam pertentangannya dengan norma-norma sosial tertentu,<br />
sehingga kriminologi juga disebut sebagai sosiologi penjahat.<br />
Kriminologi berusaha untuk memperoleh pengetahuan dan pengertian<br />
mengenai gejala sosial di bidang kejahatan yang terjadi di dalam<br />
masyarakat, atau dengan kata lain mengapa sampai terdakwa melakukan<br />
perbuatan jahatnya itu. 13<br />
Kriminologi berasal dari bahasa latin yang terdiri atas dua suku<br />
kata yakni “crimen” dalam bahasa Indonesia berarti kejahatan dan<br />
“logos” berarti ilmu pengetahuan. Secara sederhana dapat dikatakan<br />
kriminologi adalah ilmu pengetahuan tentang kejahatan atau ilmu<br />
tentang kejahatan.. 14<br />
Jika dikaji secara mendalam, dapat ditarik kesmipulan<br />
mengenai perkembangan kriminologi untuk menjadi disiplin ilmu yang<br />
berdiri sendiri, yaitu: 15<br />
11<br />
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan<br />
KUHAP, Ed. 2, Cet. 14, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 90.<br />
12 Ibid, hlm.91.<br />
13 Abintoro Prakoso, Op. Cit, hlm. 1.<br />
14 Syarifuddin Pettanasse, Op. Cit, hlm. 1.<br />
15<br />
Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi,<br />
(Bandung: PT. Eresco, 1992), hlm. 5-6.<br />
80
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
a. Kriminologi merupakan studi tentang tingkah laku manusia yang<br />
tidak jauh berbeda dengan studi tingkah laku lainnya yang bersifat<br />
nonkriminal.<br />
b. Kriminologi merupakan ilmu yang bersifat intern dan multi-disiplin,<br />
bukan ilmu yang bersifat monodisiplin.<br />
c. Kriminologi berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu<br />
pengetahuan lainnya.<br />
d. Perkembangan studi kejahatan telah membedakan antara kejahatan<br />
sebagai suatu tingkah laku dan pelaku kejahatan sebagai subjek<br />
perlakuan sarana peradilan pidana.<br />
e. Kriminologi telah menempatkan dirinya sejajar dengan ilmu<br />
pengetahuan lainnya, sehingga tidak lagi merupakan bagian<br />
daripadanya.<br />
Kriminologi memiliki peran yang penting perkembangan serta<br />
pembaharuan ilmu hukum pidana. Peran yang penting tersebut salah<br />
saunya dikarenakan kriminologi memberikan kontribusinya dalam<br />
menentukan ruang lingkup daripada kejahatan atau perilaku yang dapat<br />
dihukum, sedangkan hukum pidana bukanlah merupakan silogisme dari<br />
pencegahan kejahatan, akan tetapi merupakan jawaban terhadap adanya<br />
kejahatan. Kriminologi dibutuhkan oleh hukum pidana, sebab hasilhasil<br />
dari penyelidikannya dapat dipergunakan untuk menyusun<br />
undang-undang untuk memberantas kejahatan. 16<br />
1.2. Teori Kriminologi tentang Sebab-sebab Kejahatan<br />
Dalam ilmu kriminal, etiologi kriminal (criminele aetiologie)<br />
adalah ilmu yang menyelidiki tentang sebab-sebab terjadinya kejahatan<br />
atau asal usul kejahatan (kausa kejahatan). Di samping fenomena<br />
kejahatan yang sukar dirumuskan sehubungan dengan sifat kriminalitas<br />
itu sendiri, maka dengan sendirinya sukar pula untuk dapat menemukan<br />
sebab-musabab kejahatan. 17<br />
Kriminologi bertujuan mempelajari kejahatan, sehingga yang<br />
menjadi misi kriminologi adalah: 18<br />
a. Apa yang dirumuskan sebagai kejahatan dan fenomenanya yang<br />
terjadi di dalam kehidupan masyarakat, kejahatan apa dan siapa<br />
penjahatnya merupakan bahan penelitian para kriminolog;<br />
b. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya atau<br />
dilakukannya kejahatan.<br />
16 Syarifuddin Pettanasse, Op. Cit., hlm. 24.<br />
17 Abintoro Prakoso, Op. Cit, hlm. 97.<br />
18 Ibid. hlm. 21.<br />
81
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Menurut Bonger, adapun beberapa unsur yang turut menjadi<br />
penyebab terjadinya kejahatan dari hasil penelitian dan penyelidikan<br />
adalah sebagai berikut: 19<br />
a. Terlantarnya anak-anak 20<br />
Terlantarnya anak-anak menyebabkan tidak optimalnya<br />
penyampaian nilai serta norma yang baik kepada anak tersebut.<br />
Sehingga, besar kemungkinkan kelak dewasa sang anak akan besar<br />
dengan nilai-nilai yang diterimanya di lingkungan tanpa mengetahui<br />
mana yang benar dan salah. Hal-hal demikian tersebut dapat<br />
menimbulkan dampak berkelanjutan yang besar, yaitu melahirkan<br />
generasi penjahat.<br />
b. Kesengsaraan 21<br />
Faktor ekonomi menjadi salah satu penentu paling berpengaruh dan<br />
tidak terelakkan dalam menentukan perilaku hidup seseorang.<br />
Tingginya harga kebutuhan pokok dan kebutuhan lainnya tak dapat<br />
diabaikan terhadap meningkatnya kejahatan.<br />
c. Nafsu ingin memiliki 22<br />
Kesengsaraan dalam masyarakat merupakan unsur sosiologis akan<br />
terjadinya kejahatan.<br />
d. Demoralisasi seksual 23<br />
Psiko-patologi menyatakan bahwa lingkungan pendidikan seseorang<br />
pada waktu mudanya amat berpengaruh terhadap adanya kelainan<br />
seksual, terutama berkaitan dengan kejahatan.<br />
e. Alkoholisme 24<br />
Pengaruh alkoholisme terhadap kejahatan sampai sekarang masih<br />
menempati posisi yang cukup besar dan beragam.<br />
f. Rendahnya budi pekerti 25<br />
Lingkungan masyarakat yang kurang mempertahankan norma-norma<br />
yang berlaku termasuk rendahnya pendidikan dan pengetahuan juga<br />
berakibat bagi seseorang untuk melakukan kejahatan. Hal demikian<br />
disebabkan oleh kurangnya kontrol sosial dari lingkungan.<br />
2. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana<br />
2.1. Pengertian Tindak Pidana<br />
Dalam doktrin hukum, dikenal dua paham yang saling<br />
bertentangan dalam mengkaji dan memandang stafbaar feit, yaitu<br />
paham monisme dan paham dualisme. Paham monisme tidak secara<br />
19 Ibid. hlm. 97.<br />
20 Ibid. hlm. 98.<br />
21 Ibid.<br />
22 Ibid, hlm. 99.<br />
23 Ibid, hlm. 100.<br />
24 Ibid.<br />
25 Ibid, hlm. 101.<br />
82
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
tegas memisahkan antara unsur tindak pidana dengan unsur syaratsyarat<br />
dipidananya si pembuat, sedangkan paham dualisme memisahkan<br />
antara unsur-unsur yang mengenai tindak pidana dan unsur-unsur<br />
mengenai syarat dipidananya si pembuat. 26<br />
Tindak pidana adalah perbuatan yang melanggar larangan yang<br />
diatur oleh aturan hukum yang diancam dengan sanksi pidana. 27 Hal ini<br />
berarti perbuatan yang tidak boleh dilakukan adalah perbuatan yang<br />
menimbulkan akibat dilarang dan diancam sanksi pidana bagi orang<br />
yang melakukan perbuatan tersebut. Perumusan yang lazim dari<br />
pengertian tindak pidana (strafbaar feit) adalah suatu kelakuan manusia,<br />
yang termaksud dalam batas-batas perumusan suatu delik yang<br />
melawan hukum, dan disebabkan karena kesalahan dari pada si<br />
petindak. 28<br />
3. Tinjauan Umum Tentang Pemerkosaan<br />
3.1. Pengertian Pemerkosaan<br />
Tindak pidana perkosaan sebagaimana diatur dalam pasal 285<br />
KUHP adalah: “Barangsiapa yang dengan kekerasan atau dengan<br />
ancaman memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan<br />
dia, karena perkosaan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya<br />
dua belas tahun”.<br />
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perkosaan berasal dari<br />
kata “perkosa” yang berarti paksa, gagah, kuat, perkasa. Memperkosa<br />
berarti menundukkan dengan kekerasan, menggagahi, melanggar<br />
(menyerang, dsb) dengan kekerasan. Sedangkan pemerkosaan diartikan<br />
sebagai proses, cara, perbuatan memperkosa, melanggar dengan<br />
kekerasan.<br />
Berdasarkan uraian tersebut, maka pengertian perkosaan adalah:<br />
1) Suatu hubungan kelamin yang dilarang dengan seseorang wanita<br />
tanpa persetujuannya.<br />
2) Persetubuhan yang tidak sah oleh seorang pria terhadap seorang<br />
wanita yang dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan<br />
kemauan atau kehendak wanita yang bersangkutan.<br />
3) Perbuatan hubungan kelamin yang dilakukan seorang pria terhadap<br />
seorang wanita yang bukan istrinya atau tanpa persetujuannya,<br />
dilakukan ketika wanita tersebut ketakutan atau di bawah kondisi<br />
ancaman lannya. (Suryono Ekotama dkk, 2001: 99).<br />
26 Adam Chazawi, Hukum Pidana Positif Penghinaan, (Surabaya: Putra<br />
Media Nusantara, 2009), hlm. 16.<br />
27 Suharto R.M., Hukum Pidana Materil (Unsur-Unsur Objektif Sebagai<br />
Dasar Dakwaan), Jakarta: Sinar Grafika, 2002, hlm. 28.<br />
28 H.A.K. Moch. Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus Jilid I,<br />
Bandung: Alumni, 1989, hlm. 12.<br />
83
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Rumusan pada pasal 285 KUHP menyebutkan bahwa<br />
“Barangsiapa yang dengan kekerasan atau dengan ancaman memaksa<br />
perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, karena<br />
perkosaan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas<br />
tahun.”<br />
Mencermati dari pasal 285 KUHP diatas, diketahui bahwa<br />
perkosaan (pemerkosaan) memiliki unsur “memaksa” dan “dengan<br />
kekerasan”. Tindak pidana pada pasal 285 KUHP ini mirip dengan<br />
tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 289 KUHP yang<br />
dirumuskan sebagai: “Dengan kekerasan atau ancaman kekerasaan<br />
memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan<br />
perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang<br />
kehormatan kesusilaan dengan pidana penjara paling lama 9 tahun”.<br />
Perbuatan yang dipaksakan dalam pasal 289 itu merupakan<br />
perbuatan cabul yang mengandung pengertian umum, yang meliputi<br />
juga perbuatan bersetubuh dari pasal 285 sebagai pengertian khusus.<br />
Kedua tindak pidana tersebut mempunyai beberapa perbedaan<br />
pengertian, yaitu:<br />
1) “Perkosaan untuk bersetubuh” yang diatur dalam pasal 285 KUHP<br />
hanya dapat dilakukan oleh seorang pria terhadap seorang wanita,<br />
sedangkan “perkosaan untuk cabul” pada pasal 289 KUHP juga<br />
dapat dilakukan oleh seorang wanita terhadap seorang pria.<br />
2) “Perkosaan untuk bersetubuh” hanya dapat dilakukan di luar<br />
perkawinan, sehingga seorang suami boleh saja memperkosa<br />
istrinya untuk bersetubuh, sedangkan “perkosaan untuk cabul” juga<br />
dapat dilakukan di dalam perkawinan, sehingga tidak boleh seorang<br />
suami memaksa istrinya untuk cabul, atau seorang isteri memaksa<br />
suaminya untuk cabul (M. Sudradjat Bassar, 1986: 166).<br />
Delik ini adalah delik sengaja yang tersirat pada cara melakukan<br />
perbuatan tersebut, yaitu dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.<br />
Tindakan yang dilarang dalam pasal ini adalah dengan kekerasan<br />
memaksa seorang wanita bersetubuh dengan ia di luar perkawinan<br />
(Djoko Prakoso, 1988: 51).<br />
3.2. Unsur-unsur Tindak Pidana Pemerkosaan<br />
KUHP Indonesia yang dijadikan acuan utama bagi kalangan<br />
praktisi hukum untuk menjaring pelaku kejahatan kekerasa seksual<br />
mengandung kekurangan secara substansial dalam hal melindungi<br />
korban kejahatan. Tindak pidana perkosaan dalam KUHP dapat<br />
dibedakan menjadi dua yaitu:<br />
1) Tindak pidana perkosaan untuk bersetubuh yang diatur dalam pasal<br />
285<br />
84
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
2) Tindak pidana perkosaan untuk berbuat cabul yang diatur dalam<br />
pasal 289<br />
Ad.1 Pasal 285 KUHP,”Barangsiapa dengan kekerasan atau<br />
ancaman kekerasan memaksa seorang perempuan bersetubuh dengan<br />
dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan<br />
pidana penjara paling lama dua belas tahun”.<br />
Inti delik dari pasal 285 ini adalah:<br />
a. Perbuatan yang dilakukan harus dengan kekerasan atau ancaman<br />
kekerasan<br />
b. Perbuatan yang dilakukan harus dengan paksa sehingga perempuan<br />
itu tidak dapat melawa dan terpaksa melakukan persetubuhan.<br />
c. Perempuan yang disetubuhi tersebut bukan istrinya, artinya tidak<br />
dikawini secara sah.<br />
d. Melakukan persetubuhan, berarti terjadi hubungan biologis antara<br />
pembuat dan perempuan yang dipaksa tersebut.<br />
Unsur dari pasal 285 itu adalah:<br />
1) Barang siapa;<br />
2) Dengan kekerasan;<br />
3) Dengan ancaman kekerasan;<br />
4) Memaksa;<br />
5) Seorang wanita (diluar perkawinan);<br />
6) Bersetubuh.<br />
Sanksi hukuman berupa pemidanaan yang terumus dalam pasal<br />
285 KUHP tersebut menyebutkan bahwa paling lama hukuman yang<br />
akan ditanggung oleh pelaku adalah duabelas tahun penjara. Hal ini<br />
adalah ancaman hukuman secara maksimal, dan bukan sanksi hukum<br />
yang sudah dibakukan harus diterapkan begitu. Tidak terdapat sanksi<br />
minimal, sehingga terhadap pelaku dapat diterapkan berapa pun<br />
lamanya hukuman penjara sesuai dengan “selera” yang menjatuhkan<br />
vonis. Dalam pasal 285 KUHP tidak ditegaskan apa yang menjadi unsur<br />
kesalahan. apa “sengaja” atau “alpa”. Tapi dengan dicantumkannya<br />
unsur “memaksa” kiranya jelas bahwa perkosaan harus dilakukan<br />
dengan “sengaja”. Pemaknaan ini lebih condong pada unsur<br />
kesengajaan untuk berbuat, artinya ada kecenderungan semi terencana<br />
dalam melakukan perbuatan kejahatan. Tanpa didahului oleh niat seperti<br />
ini, maka perbuatan itu akan sulit terlaksana.<br />
Ad 1.Unsur “barang siapa”<br />
Barang siapa sebagai subyek tindak pidana dalam KUHP<br />
memang tidak ada penjelasan yang expressis verbis. Namun jika kita<br />
simak pasal 2, 44, 45, 46, 48, 49, 50, dan 51 KUHP dapat disimulkan<br />
85
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
bahwa yang dimaksud dengan “barang siapa” adalah manusia atau<br />
badan hukum.<br />
Ad 2. Unsur “Kekerasan”<br />
Kekerasan adalah kekuatan fisik atau perbuatan fisik yang<br />
menyebabkan orang lain secara fisik tidak berdaya tidak mampu<br />
melakukan perlawanan atau pembelaan. Wujud dari kekerasan dalam<br />
tindak pidana perkosaan antara lain bisa berupa perbuatan mendekap,<br />
mengikat, membius, menindih, memegang, melukai, dan lain<br />
sebagainya perbuatan fisik yang secara objektif dan fisik menyebabkan<br />
orang yang terkena tidak berdaya.<br />
Ad 3. Unsur ancaman kekerasan<br />
Ancaman kekerasan dapat berupa serangan psikis yang<br />
menyebabkan orang menjadi ketakutan sehingga tidak mampu<br />
melakukan pembelaan atau perlawanan atau kekerasan yang belum<br />
diwujudkan tapi yang menyebabkan orang yang terkena tidak<br />
mempunyai pilihan selain mengikuti kehendak orang yang mengancam<br />
dengan kekerasan.<br />
Ad 4. Unsur “Memaksa”<br />
Memaksa dalam perkosaan menenjukkan adanya pertentangan<br />
kehendak antara pelaku dengan korban. Karenanya, tidak ada perkosaan<br />
apabila tidak ada pemaksaan dalam arti hubungan itu dilakukan atas<br />
dasar suka sama suka. Sebagaimana juga tidak akan ada kekerasan atau<br />
ancaman kekerasan bila tidak ada memaksa.<br />
Ad 5. Unsur bahwa yang dipaksa untuk bersetubuh adalah “wanita<br />
diluar perkawinan” atau tidak terikat perkawinan dengan pelaku. Dari<br />
adanya unsur ini dapat disimpulkan bahwa:<br />
a. perkosaan hanya terjadi oleh laki-laki terhadap wanita<br />
b. tidak ada perkosaan untuk bersetubuh oleh wanita terhadap<br />
laki-laki, laki-laki terhadap laki-laki atau wanita terhadap<br />
wanita.<br />
c. tidak ada perkosaan untuk bersetubuh bila dilakukan oleh lakilaki<br />
yang terikat perkawinan dengan wanita yang menjadi<br />
korban atau tidak ada perkosaan untuk bersetubuh oleh suami<br />
terhadap isteri yang kita kenal dengan marital rape (perkosaan<br />
yang dilakukan oleh suami terhadap isterinya).<br />
Ad 6. Unsur bersetubuh<br />
Selesainya tindakan perkosaan ditandai dengan terjadinya<br />
persetubuhan antara pelaku dengan korban, dalam arti tidak ada tindak<br />
pidana perkosaan untuk bersetubuh manakala tidak terjadi<br />
86
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
persetubuhan. Persetubuhan yakni masuknya penis laki-laki ke dalam<br />
kemaluan perempuan menjadi syarat utamanya.<br />
C. Hasil Penelitian<br />
Kekerasan seksual dengan keadaan lingkungan sekitar memiliki<br />
hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini penulis kemukakan<br />
bukan tanpa alasan. Berdasarkan penelitian penulis di Wilayah<br />
Kabupaten Ogan Ilir, penulis menemukan bahwa persentase kekerasan<br />
seksual khususnya pemerkosaan yang terjadi di wilayah ini cukup tinggi<br />
dan mengalami peningkatan disetiap tahunnya.<br />
Menurut data yang penulis dapatkan dari Polres Ogan Ilir,<br />
tercacat 13 kasus pemerkosaan terjadi pada tahun 2012. Kasus ini tidak<br />
berhenti pada angka itu saja, pada tahun 2013 terjadi suatu peningkatan<br />
yang bisa dikatakan sangat signifikan yaitu tercatat terjadi 20 kasus<br />
yang sama. Pada tahun 2014 ini sampai dengan bulan Oktober jumlah<br />
kasus pemerkosaan yang terjadi mencapai 20 kasus dan tidak menutup<br />
kemungkinan bahwa angka ini akan terus meningkat mengingat<br />
kebanyakan kasus terjadi menjelang pergantian tahun.<br />
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kasus<br />
pemerkosaan di wilayah ini. Seperti yang telah penulis kemukakan<br />
diawal bahwa keadaan lingkungan sangat berpengaruh, dimana<br />
lingkungan di wilayah ini lebih dikenal dengan wataknya yang keras<br />
sehingga tidak menjadi hal yang tabu lagi ketika kekerasan seksual<br />
berada pada persentase yang cukup tinggi.<br />
Pihak kepolisian (Polres Ogan Ilir) sendiri telah melakukan<br />
upaya penanggulangan dalam rangka menekan persentase kasus<br />
pemerkosaan yang terjadi. Upaya tersebut salah satunya ialah<br />
melakukan sosialisasi mengenai kesehatan reproduksi dan dampak<br />
pacaran. Dalam sosialisasi tersebut dijelaskan pula bentuk-bentuk<br />
kekerasan seksual dan faktor penyebab terjadinya pemerkosaan. Upaya<br />
ini tidak hanya dilakukan oleh Pihak Polres saja tetapi juga turut<br />
melibatkan Komnas Perlindungan Perempuan dan Anak serta ormasormas<br />
yang bergerak dibidang ini dilingkungan Ogan Ilir.<br />
Menurut penulis, perlu juga dilakukan upaya tambahan selain<br />
sosialisasi, yaitu dengan melakukan tambahan jam pelajaran dan mata<br />
kuliah keagamaan di sekolah dan perguruan tinggi atas dasar penerapan<br />
sila Ketuhanan Yang Maha Esa.<br />
Namun, terdapat sedikit hambatan dalam hal penegakkan<br />
hukum terhadap kasus pemerkosaan ini. Dimana dalam suatu tindak<br />
pidana dibutuhkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang<br />
menerangkan telah terjadinya suatu tindakan tersebut. Disini tindak<br />
pidana perkosaan merupakan kasus yang kasuistis, maksudnya tindak<br />
pidana perkosaan hanya dapat dibuktikan dengan alat bukti dan barang<br />
bukti bahwa tindak pidana tersebut telah terjadi. Dalam membuktikan<br />
87
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
telah terjadi atau belum tindak pidana perkosaan sering mengalami<br />
kesulitan. Kesulitan yang dimaksud yaitu tidak terdapatnya saksi yang<br />
melihat langsung kejadian kecuali saksi korban dan terdakwa saja, serta<br />
terdakwa tidak mau mengakui bahwa kejadian tersebut tidak ia lakukan<br />
atau terdakwa selalu berkelik bahwa perbuatan tersebut dilakukan atas<br />
dasar suka-sama suka. Selanjutnya ketika tindak pidana ini terjadi<br />
dalam lingkungan keluarga, pihak kepolisian juga memiliki kesulitan<br />
dalam menanganinya dikarenakan pihak keluarga tidak mau<br />
menceritakan kronologis terjadinya sebab mereka beranggapan bahwa<br />
itu merupakan sebuah aib bagi keluarga. Sehingga, dalam hal ini hakim<br />
akan sangat sulit untuk membuktikan dan memutus perkara tersebut.<br />
Hal ini juga di perburuk dengan etika para penegak hukum yang kurang<br />
etis dalam menangani dan memutus perkara perkosaan.<br />
D. Kesimpulan dan Saran<br />
Secara teori banyak faktor yang menyebabkan terjadinya tindak<br />
pidana perkosaan. Apabila faktor tersebut ditinjau dari motif pelaku<br />
dalam melakukan perbuatan perkosaan, maka terdiri atas:<br />
1) Seductive rape: pemerkosaan yang terjadi karena pelaku merasa<br />
terangsang nafsu birahi, dan ini bersifat sangat subjektif.<br />
2) Sadistic rape: pemerkosaan yang dilakukan secara sadis.<br />
3) Anger rape: pemerkosaan yang dilakukan sebagai ungkapan<br />
kemarahan pelaku.<br />
4) Domination rape: pemerkosaan ingin menunjukkan dominasinya<br />
pada korban.<br />
5) Exploitation rape: perkosaan terjadi karena ketergantungan korban<br />
pada pelaku, baik secara ekonomis maupun sosial.<br />
Fakta di lapangan (Kabupaten Ogan Ilir) menunjukkan bahwa<br />
keadaan lingkungan juga sangat berpengaruh dalam terjadinya tindak<br />
pidana ini, lingkungan yang keras membentuk watak masyarakat yang<br />
juga keras sehingga kekerasan seksual dalam hal ini pemerkosaan<br />
rentan terjadi di wilayah ini Selanjutnya, faktor penyebab terjadinya<br />
kasus ini karena faktor pergaulan atau interaksi sosial masyarakat.<br />
Solusi lain yang dapat diterapkan yaitu dengan mengadakan<br />
tambahan jam pelajaran dan mata kuliah keagamaan di sekolah dan<br />
perguruan tinggi atas dasar penerapan sila Ketuhanan Yang Maha Esa.<br />
Dalam hal ini, penulis juga mengharapkan dukungan dan<br />
partisipasi dari masyarakat sehingga apa yang dicita-citakan oleh<br />
kepolisian dapat terwujud.<br />
88
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Ariman, Rasyid dan Fahmi Raghib. 2011. Hukum Pidana (Tindak<br />
Pidana, Pertanggungjawaban Pidana, Pidana dan<br />
Pemidanaan). Palembang: Universitas Sriwijaya.<br />
Atmasasmita, Romli. 1992.Teori dan Kapita Selekta Kriminologi.<br />
Bandung: PT. Eresco.<br />
Chazawi, Adam. 2009.Hukum Pidana Positif Penghinaan. Surabaya:<br />
Putra Media Nusantara.<br />
Chazawi, Adami. 2007. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan. Jakarta:<br />
P.T. Raja Grafindo Persada.<br />
H.A.K. Moch. Anwar. 1989. Hukum Pidana Bagian Khusus Jilid I.<br />
Bandung: Alumni.<br />
Harahap, Yahya. 2012.Pembahasan Permasalahan dan Penerapan<br />
KUHAP, Ed. 2, Cet. 14. Jakarta: Sinar Grafika.<br />
Marpaung, Leden. 2004.Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah<br />
Prevensinya. Jakarta: Sinar Grafika.<br />
Prakoso, Abintoro. 2013.Kriminologi dan Hukum Pidana. Yogyakarta:<br />
Laksbang Grafika.<br />
R.M, Suharto. 2002.Hukum Pidana Materil (Unsur-Unsur Objektif<br />
Sebagai Dasar Dakwaan). Jakarta: Sinar Grafika.<br />
Rukmini, Mien. 2009.Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi (Sebuah<br />
Bunga Rampai). Bandung: P.T. Alumni.<br />
Santoso, Topo dan Eva Achjani Zulfa. 2010. Kriminologi. Jakarta:<br />
Rajawali Pers.<br />
http://www.hukumonline.comberitabacahol2472kekerasan-seksualmitos-dan-realitas.Diakses<br />
pada tanggal 22 Oktober 2014.<br />
http://www.kpai.go.id/berita/indonesia-darurat-kejahatan-seksual-anak/.<br />
Diakses pada tanggal 10 November 2014.<br />
http://www.komnasperempuan.or.id/2013/11/siaran-pers-kampanye-16-<br />
hari-anti-kekerasan-terhadap-perempuan-25-november-10-<br />
desember-2013/. Diakses pada tanggal 17 September 2014.<br />
89
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
PERANAN ALAT BUKTI DAN ETIKA APARAT PENEGAK<br />
HUKUM DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA<br />
PERKOSAAN DI INDONESIA<br />
Oleh: Fakultas Hukum Universitas Trisakti<br />
(Pemenang Kompetisi Penulisan Makalah Komisi 2)<br />
Abstrak<br />
Masalah tindak pidana perkosaan menjadi permasalahan serius yang<br />
terjadi di Indonesia. Proses pembuktian kasus perkosaan dengan alat<br />
bukti dan etika aparat penegak hukum dalam proses pemeriksaan<br />
memegang peranan yang sangat vital dalam membongkar kasus<br />
perkosaan. Sulitnya proses pembuktian dalam mengungkap kasus<br />
perkosaan menjadi permasalahan yang kompleks. Peranan kecepatan<br />
korban kasus perkosaan dalam melaporkan kasus perkosaan yang<br />
dialaminya menjadi sangat krusial dalam proses pembuktian untuk<br />
mengarah ke pelakunya. Permasalahan penelitian ini antara lain untuk<br />
dapat memahami pengertian perkosaan, mengetahui bagaimana proses<br />
pembuktian dalam kasus perkosaan, bagaimana kekuatan pembuktian<br />
dalam kasus perkosaan, dan bagaimana etika aparat penegak hukum<br />
dalam pemeriksaan kasus perkosaan. Tujuan yang diambil dalam<br />
penulisan makalah ini antara lain untuk mengetahui definisi perkosaan,<br />
mengetahui proses pembuktian kasus perkosaan di Indonesia,<br />
mengetahui seberapa kuat pembuktian dalam kasus perkosaan untuk<br />
mengarah ke pelakunya, dan untuk mengetahui etika aparat penegak<br />
hukum dalam pemeriksaan kasus perkosaan.<br />
A.Latar Belakang<br />
Perempuan secara kodrati mempunyai kemampuan khusus<br />
sebagai manusia untuk dapat melahirkan dan menyusui. Oleh karena itu,<br />
perempuan hendaknya mendapatkan perlindungan hukum yang baik,<br />
yang menempatkan derajat perempuan setinggi-tingginya. Namun,<br />
kenyataannya di Indonesia perempuan seolah-olah menjadi sasaran<br />
empuk bagi pelaku tindak pidana. Salah satu tindak pidana yang sering<br />
menyerang kaum perempuan adalah kasus kekerasan seksual.<br />
Pengertian kekerasan seksual terhadap perempuan adalah setiap<br />
perbuatan berdasarkan pembedaan berbasis gender yang berakibat<br />
kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau<br />
psikologis, termasuk ancaman terjadinya perbuatan tersebut,<br />
pemaksaan, atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang, baik<br />
yang terjadi di ruang publik maupun di ruang privat. 1<br />
1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, pasal 1.<br />
90
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) membagi<br />
kekerasan seksual menjadi lima belas jenis, yaitu perkosaan,<br />
perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, pelecehan seksual,<br />
penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, percobaan<br />
perkosaan, kontrol seksual, pemaksaan aborsi, penghukuman bernuansa<br />
seksual, pemaksaan perkawinan, prostitusi paksa, pemaksaan<br />
kehamilan, praktik tradisi bernuansa seksual, dan pemaksaan<br />
kontrasepsi. 2<br />
Menurut Fatuma Hashi,“..as a human rights and development<br />
desecration, indeed a grave humanitarian concern, violence against<br />
woman demands responses at all level; from individual and family<br />
through community, national and international levels..”. 3 Pembangunan<br />
hak asasi manusia dalam keterkaitannya dengan kekerasan seksual pada<br />
perempuan harus menjadi perhatian serius karena menyangkut<br />
kemanusiaan. Kekerasan terhadap perempuan menuntut peranan dari<br />
semua level, dari individu, keluarga, komunitas, nasional, dan tingkat<br />
internasional.<br />
Pada makalah ini akan dibahas kekerasan seksual berupa<br />
perkosaan yang terjadi pada perempuan. Menurut R. Sugandhi,<br />
perkosaan didefinisikan dengan “seorang pria yang memaksa kepada<br />
seorang wanita bukan istrinya untuk melakukan persetubuhan<br />
dengannya dengan ancaman kekerasan yang mana diharuskan kemaluan<br />
pria ke dalam lubang kemaluan seorang wanita yang kemudian<br />
mengeluarkan air mani.” 4<br />
Di Indonesia, kasus perkosaan menjadi momok yang<br />
menyeramkan karena terus-menerus terjadi. Menurut data yang<br />
dipublikasikan oleh Komnas Perempuan, kasus kekerasan seksual yang<br />
paling banyak dilaporkan adalah kasus perkosaan. Pada CATAHU 5<br />
Komnas Perempuan tahun 2012 sedikitnya terjadi kasus perkosaan<br />
sebanyak 840 kasus. Sementara itu, pada CATAHU Komnas<br />
Perempuan tahun 2013 kasus perkosaan bahkan meningkat menjadi<br />
1.074 kasus.<br />
Data tersebut di atas menunjukkan sangat tingginya angka<br />
perkosaan yang terjadi di Indonesia. Apabila dirata-rata, maka dalam<br />
satu hari sedikitnya terjadi dua kasus perkosaan di seluruh Indonesia.<br />
2 Komnas Perempuan, Kekerasan Seksual: Kenali dan Tangani, hlm.<br />
14-16.<br />
3 PT. Raja Grafindo Persada, Dimensi HAM:Mengurai Hak Ekonomis,<br />
Sosial dan Budaya. (Rajawali Pers), hlm 232.<br />
4 Abdul Wahid, Muhamad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban<br />
Kekerasan Seksual Advokasi atas Hak Asasi Perempuan, (Malang: Rafika<br />
Aditama, 2001), hal 41.<br />
5<br />
Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2012, Stagnansi Sistem<br />
Hukum: Menggantung Asa Perempuan Korban, Jakarta, Maret 2013.<br />
91
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Tentu saja hal ini membuat perkosaan menjadi persoalan yang sangat<br />
mengkhawatirkan karena jumlah tersebut masih akan bertambah<br />
dikarenakan banyaknya perempuan korban kekerasan seksual yang<br />
tidak mampu dan tidak berani melaporkan apa yang telah terjadi baik<br />
kepada aparat kepolisian maupun pekerja sosial lembaga pelayanan<br />
yang terkait.<br />
Dalam hal ini, peranan lembaga-lembaga terkait yang ada pada<br />
saat ini dirasakan tidak maksimal. Perkosaan sebagai suatu tindak<br />
pidana luar biasa seringkali menemui banyak hambatan ketika<br />
menempuh upaya penyelesaian melalui jalur hukum, khususnya pada<br />
persoalan pembuktian tindak pidana perkosaan dan juga dari sisi etika<br />
para penegak hukum secara represif dan preventif.<br />
B. Definisi Tindak Pidana Perkosaan<br />
Tindak pidana perkosaan termasuk kejahatan dalam Buku II<br />
Bab XIV Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat<br />
dalam Bab Kejahatan terhadap Kesusilaan. Menurut Kitab Undang-<br />
Undang Hukum Pidana (KUHP), pengertian tindak pidana perkosaan<br />
menurut Pasal 285 KUHP adalah “Barangsiapa dengan kekerasan atau<br />
dengan ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan<br />
dia di luar pernikahan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan<br />
pidana penjara paling lama dua belas tahun.”<br />
Akademisi Universitas Indonesia yang juga merupakan ahli<br />
hukum pidana, Topo Santoso, mengatakan bahwa Pasal 285 KUHP<br />
tentang perkosaan tersebut sudah usang. Topo mengatakan, pasal 285<br />
KUHP yang menyatakan bahwa perkosaan berkaitan dengan kekerasan<br />
dan ancaman sudah ketinggalan zaman dan tidak mampu melindungi<br />
masyarakat. "Di berbagai negara sudah banyak pengembangan dan<br />
perluasan dari pengertian rape (perkosaan) itu. Misalnya, ada yang<br />
diperluas menjadi tanpa kehendak perempuan" 6 .<br />
C. Proses Pembuktian Kasus Perkosaan di Indonesia<br />
Proses pembuktian kasus pidana di Indonesia, termasuk kasus<br />
perkosaan diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 yang<br />
lebih dikenal sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana<br />
(KUHAP).<br />
Pasal 183 KUHAP menunjukkan bahwa hukum acara pidana<br />
yang berlaku positif di Indonesia menganut sistem pembuktian negatif<br />
6 Republika, Definisi Pemerkosaan di KUHP SUdah Usang, diakses<br />
dari http://m.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/09/20/nc7060-<br />
definisi-pemerkosaan-di-kuhp-sudah-usang.pada 21 Oktober2014 pukul<br />
14.30.<br />
92
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
atau yang disebut juga dengan pembuktian berdasarkan undang-undang<br />
secara negatif.<br />
Mengenai alat bukti, dalam KUHAP telah diatur secara limitatif<br />
yaitu pada Pasal 184 ayat (1). Dalampasal tersebut diatur beberapa alat<br />
bukti yang sah, yaitu:<br />
a. keterangan saksi;<br />
b. keterangan ahli;<br />
c. surat;<br />
d. petunjuk;<br />
e. keterangan terdakwa.<br />
Alat bukti yang telah disebutkan dalam KUHAP mempunyai<br />
kekuatan pembuktian yang sama. Pasal 185 ayat (2) KUHAP<br />
menyatakan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk<br />
membuktikan apakah terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang<br />
didakwakan kepadanya atau tidak, berkaitan dengan asasunus testis<br />
nullus testis yang berarti satu saksi bukanlah saksi, bahwa seorang<br />
hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali<br />
apabila terdapat sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sahdan ia<br />
mempunyai keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi<br />
dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.<br />
Alat bukti pertama yang dapat diperiksa oleh hakim mengenai<br />
kasus perkosaan adalah keterangan saksi, dalam hal ini yaitu saksi<br />
korban maupun saksi lain. Agar dapat menjadi saksi yang sah maka<br />
syarat formil dan syarat materiil harus terpenuhi. Syarat formil tersebut<br />
yaitu dengan diangkat sumpah di dalam sidang pengadilan, sedangkan<br />
syarat materiil tersebut yaitu apa yang saksi nyatakan di sidang<br />
pengadilan sesuai dengan apa yang dia dengar sendiri, lihat sendiri, dan<br />
alami sendiri. Alat bukti kedua yang dapat diperiksa oleh hakim yaitu<br />
keterangan ahli yang diatur dalam pasal 186 KUHAP. Keterangan ahli<br />
dibagi menjadi dua kelompok ahli, yaitu ahli kedokteran kehakiman dan<br />
ahli pada umumnya. Dalam perkara perkosaan, yang dapat dijadikan<br />
sebagai alat bukti keterangan ahli yaitu ahli kedokteran kehakiman<br />
seperti dokter forensik. Hakim meminta kepada dokter forensik untuk<br />
memberikan keterangan mengenai hasil visum korban. Hasil visum<br />
merupakan salah satu alat bukti surat dalam proses pembuktian.<br />
Dengan adanya keterangan dari dokter forensik akan sangat<br />
membantu hakim dalam menentukan tindak pidana apa yang dilakukan<br />
terdakwa kepada korban dengan melakukan visum terhadap korban.<br />
Keterangan ahli lainnya yang dapat dijadikan sebagai alat bukti yang<br />
sah yaitu ahli pada umumnya seperti ahli kejiwaan. Ahli kejiwaan<br />
tersebut berguna untuk mengetahui kondisi kejiwaan dari korban<br />
sehingga akan jelas dengan adanya keterangan ahli kejiwaan bahwa<br />
korban mengalami sesuatu peristiwa yang telah mengguncang jiwanya.<br />
93
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Alat bukti kelima yang dapat diperiksa oleh hakim mengenai kasus<br />
perkosaan tersebut yaitu keterangan terdakwa yang diatur dalam pasal<br />
189 KUHAP. Keterangan terdakwa dapat berupa terdakwa mengakui<br />
perbuatannya maupun terdakwa tidak mengakui perbuatannya.<br />
Meskipun terdakwa telah mengakui perbuatannya, hal tersebut tetap<br />
tidak cukup sebagai bukti sehingga harus disertai alat bukti yang lain.<br />
D. Kekuatan Pembuktian Mengarah ke Pelakunya<br />
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa dalam proses<br />
pembuktian dalam tindak pidana perkosaan seringkali menemui jalan<br />
yang terjal. Penyebab proses pembuktian kasus perkosaan menjadi sulit<br />
diantaranya dikarenakan oleh tidak adanya saksi mata selain saksi<br />
korban pada saat terjadinya peristiwa tersebut karena seringkali<br />
peristiwa tersebut dilakukan di tempat-tempat tertutup yang tidak<br />
diketahui oleh orang lain. 7<br />
Kesulitan yang lainnya yaitu korban tidak langsung melaporkan<br />
peristiwa yang telah dialaminya itu kepada aparat terkait dikarenakan<br />
korban merasa jijik dan “hina” setelah diperkosa sehingga si korban<br />
langsung membersihkan tubuhnya dengan mandi. Pada saat korban<br />
mandi banyak hal yang dapat dijadikan barang bukti ikut hilang,<br />
misalnya sperma, rambut, dan sidik jari si pelaku yang merupakan<br />
bukti-bukti perkosaan yang ada pada diri korban. 8 Hal ini mempersulit<br />
penyidik dalam pengumpulan alat bukti yang kemudian juga<br />
mempersulit jaksa untuk membuktikan tindak pidana perkosaan di<br />
persidangan.<br />
Proses pemeriksaan terhadap korban kasus perkosaan yang baru<br />
saja terjadi dilakukan penyidik khusus perempuan dan anak dalam<br />
waktu yang cepat dan secara diam-diam dalam ruangan pemeriksaan<br />
yang terpisah (khusus). 9 Pihak penyidik harus dapat meyakinkan korban<br />
tentang keamanannya dan menjelaskan prosedur pemeriksaan yang akan<br />
dilakukan. Terhadap korban, segera dilakukan pemeriksaan forensik<br />
oleh dokter setelah korban dalam keadaan stabil. Korban diusahakan<br />
agar tidak pergi ke kamar mandi, mandi, makan, atau minum sampai<br />
pemeriksaan telah selesai dilakukan.<br />
Setelah keadaan korban lebih stabil, penyidik yang berwenang<br />
lalu membuat permintaan tertulis kepada dokter forensik untuk<br />
membuatkan Visum et Repertum (VeR). Dalam permintaan visum ini<br />
korban diantar oleh pihak kepolisian. Visum harus berdasarkan keadaan<br />
yang didapatkan pada tubuh korban saat surat permintaan VeR diterima<br />
7 Hasil Wawancara dengan Aprima Suar, S.H., Bagian Penyidik Polda<br />
Metro Jaya Bapak pada tanggal 23 Oktober 2014.<br />
8 Ibid.<br />
9 Ibid.<br />
94
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
dokter. Jika hasil pemeriksaan korban yang diperiksa adalah atas<br />
inisiatif sendiri dan bukan atas permintaan pihak kepolisian, maka hasil<br />
pemeriksaan tersebut tidak dapat dijadikan visum, melainkan hanya<br />
sebatas surat keterangan. Dalam pemeriksaan ini, pihak keluarga,<br />
teman, perawat, atau petugas dapat mendampingi. Orang-orang yang<br />
mendampinginya ini juga berperan sebagai saksi dalam pemeriksaan<br />
yang dilakukan.<br />
Hasil visum ini menjadi salah satu alat bukti dalam proses<br />
pembuktian kasus perkosaan yang akan melengkapi alat bukti lain<br />
(keterangan saksi korban dan keterangan ahli) yang menguatkan dugaan<br />
telah terjadinya kasus perkosaan terhadap korban. Terpenuhinya alatalat<br />
bukti dalam suatu perkara tidak menjamin bahwa terdakwa akan<br />
dijatuhi hukuman setimpal. Dikarenakan seorang hakim mempunyai<br />
hak prerogatif untuk memutuskan perkara tersebut sesuai dengan<br />
keyakinannya (keyakinan hakim). Apabila hakim tidak berkeyakinan,<br />
maka terhadap terdakwa bisa saja divonis bebas dan alat-alat bukti<br />
tersebut menjadi sia-sia. Kasus seperti ini pernah terjadi di Pulau<br />
Samosir, Sumatra Utara pada Pengadilan Negeri Balige karena korban<br />
mengalami keterbelakangan mental.<br />
Divonis bebasnya seorang terdakwa dalam persidangan<br />
berdampak sangat buruk bagi korban, keluarga korban, maupun<br />
masyarakat karena tujuan hukum untuk keadilan, hukum yang memberi<br />
kepastian, dan hukum yang memberikan manfaat, tidak tercapai.<br />
E. Etika Aparat Penegak Hukum dalam Pemeriksaan<br />
Kata “etika” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia<br />
mempunyai pengertian ilmu tentang apa yang baik dan buruk, tentang<br />
hak dan kewajiban moral (akhlak), kumpulan asas yang berkenaan<br />
dengan akhlak, dan nilai-nilai yang benar maupun yang salah, yang<br />
dianut suatu golongan atau masyarakat. 10<br />
Pada proses pemeriksaan kasus perkosaan, sangat dibutuhkan<br />
etika profesi yang baik dari aparat penegak hukum. Proses pemeriksaan<br />
yang menjadi kewenangan penyidik kepolisian, kejaksaan, dan hakim<br />
sangat vital peranannya terhadap materi pemeriksaan yang akan<br />
mengarah ke pembuktian untuk mengungkap pelaku dari perkosaan.<br />
Permasalahan yang kerap terjadi mengenai etika profesi aparat penegak<br />
hukum yakni dalam proses pemeriksaan, aparat seringkali melontarkan<br />
pertanyaan-pertanyaan bahkan celotehan yang mengintimidasi dan<br />
menyudutkan korban sehingga mengakibatkan korban menjadi semakin<br />
tertekan, menderita, dan shock.<br />
10 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa<br />
Indonesia, Edisi Kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996).<br />
95
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Permasalahan lain yang kerap terjadi yakni karena perilaku<br />
aparat penegak hukum yang tidak sesuai dengan etika penyidik. Aparat<br />
penegak hukum yang sesuai dengan etika penyidik sudah seharusnya<br />
menggali informasi sesuai dengan kebenaran apa yang telah terjadi.<br />
Namun, pada kenyataanya penyidik malah melakukan pemaksaan dan<br />
mengintimidasi korban sehingga mengakibatkan informasi yang tergali<br />
dari penyidikan itu menjadi tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi.<br />
F. Kesimpulan dan Saran<br />
1) Indonesia menganut sistem pembuktian negatif atau yang disebut<br />
juga dengan pembuktian berdasarkan undang-undang secara<br />
negatif.<br />
2) Alat bukti yang dapat diperiksa oleh hakim mengenai kasus<br />
perkosaan terdapat pada pasal 184 KUHAP yaitu alat bukti<br />
keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan<br />
terdakwa.<br />
3) Visum et Repertum (VeR) oleh ahli kedokteran forensik merupakan<br />
salah satu alat bukti dalam kasus perkosaan yang berguna untuk<br />
mengetahui kerusakan fisik yang terjadi pada tubuh korban. Tiaptiap<br />
alat bukti yang telah disebutkan dalam KUHAP mempunyai<br />
kekuatan pembuktian yang sama.<br />
4) Kasus perkosaan sulit dibuktikan dikarenakan jarang adanya saksi<br />
mata selain saksi korban pada saat terjadinya peristiwa tersebut<br />
karena seringkali dilakukan di tempat-tempat tertutup yang tidak<br />
diketahui oleh orang lain.<br />
5) Kecepatan korban dalam melaporkan kasus perkosaan yang<br />
menimpanya memegang peranan yang sangat krusial dalam proses<br />
pembuktian.<br />
Langkah yang harus dilakukan untuk menanggulangi masalah<br />
perkosaan, yaitu:<br />
1) Lembaga-lembaga terkait bersama masyarakat memberikan<br />
pemahaman dan sadar hukum yang berhubungan dengan tindak<br />
asusila kepada semua lapisan masyarakat yang ditindaklanjuti<br />
dengan penegakan hukum sesuai ketentuan peraturan dan<br />
perundang-undangan yang berlaku.<br />
2) Restorative justice terhadap pelaku perkosaan diluar persidangan<br />
sehingga dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya secara<br />
hukum dan secara moral, dengan harapan dapat memberikan efek<br />
jera kepada masyarakat agar tidak melakukan perbuatan serupa.<br />
3) Mendorong untuk dibentuk suatu persidangan khusus yang mana<br />
para aparat penegak hukumnya semua terdiri dari perempuan/<br />
wanita, baik dari kepolisian, kejaksaan, hingga kehakiman sehingga<br />
96
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
mereka lebih memahami kasus yang mereka tangani dan dapat<br />
memberikan hukuman yang sangat berat terhadap pelaku.<br />
4) Mendorong kesepahaman antar lembaga-lembaga terkait dan<br />
masyarakat untuk meningkatkan kasus perkosaan menjadi tindak<br />
pidana khusus karena menyerang hak asasi manusia yang<br />
dampaknya seumur hidup bagi korban.<br />
5) Mendorong agar kasus perkosaan menjadi kasus pidana khusus,<br />
sehingga cukup satu alat bukti yakni keterangan saksi (korban)<br />
dalam kasus perkosaan dijadikan alat bukti terkuat yang akan<br />
dilengkapi alat bukti lain (visum) untuk dapat membuktikan kasus<br />
tersebut.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1996.Kamus Besar Bahasa<br />
Indonesia, Edisi Kedua, Jakarta: Balai Pustaka.<br />
El Muthaj, Madja. 2008.Dimensi-dimensi HAM: Mengurai Hak<br />
Ekonomi, Sosial, dan Budaya.Jakarta: Rajawali Grafindo<br />
Persada.<br />
Gosita, Arif. 2007.Masalah Korban Kekerasan. Badan Fakultas Hukum<br />
Universitas Indonesia.<br />
Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Yudisial RI<br />
047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang<br />
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.<br />
Kode Etik Kepolisian dalam Perkapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang<br />
Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.<br />
Komnas Perempuan. 2013. Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2012,<br />
Stagnansi Sistem Hukum: Menggantung Asa Perempuan<br />
Korban. Jakarta.<br />
Prof. Dr. Muladi S.H. 2002.Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem<br />
Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit Universitas<br />
Diponegoro.<br />
Purbopranoto, Prof. Dr. Kuntjoro. 1982. Hak-Hak Asasi Manusia dan<br />
Pancasila. Jakarta.<br />
Siregar, Bismar. 1983.Hukum Acara Pidana, Cetakan Pertama. Jakarta:<br />
Bina Cipta, Jakarta.<br />
Wahid, Abdul dan Muhamad Irfan. 2001.Perlindungan Terhadap<br />
Korban Kekerasan Seksual Advokasi atas Hak Asasi<br />
Perempuan. Malang: Rafika Aditama.<br />
97
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
http://m.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/09/20/nc7060-<br />
definisi-pemerkosaan-di-kuhp-sudah-usang<br />
98
KOMISI 3<br />
PERLINDUNGAN DAN PENDAMPINGAN KORBAN
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
PERLINDUNGAN DAN PENDAMPINGAN KORBAN<br />
KEKERASAN SEKSUAL DI PADANG SUMATERA BARAT<br />
Oleh: Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta<br />
A. Latar Belakang<br />
Kekerasan seksual merupakan kejahatan yang saat ini marak<br />
dan meresahkan kalangan masyarakat terutama oleh kaum perempuan<br />
dan anak-anak. Selain meresahkan, kekerasan seksual juga menjadi<br />
fenomena yang menakutkan dikarenakan mayoritas korban yang<br />
mengalami kekerasan seksual tersebut akan merasakan trauma yang<br />
ditinggalkan akibat perlakuan yang dialaminya.<br />
Trauma yang dialami oleh korban ternyata dapat berdampak<br />
serius baik jangka pendek maupun jangka panjang. Hal tersebut<br />
dikarenakan kejahatan seksual sesama jenis di Indonesia ternyata<br />
berantai dari pelaku ke korban, dan si korban bisa menjadi pelaku di<br />
kemudian hari dan begitu seterusnya. Apalagi yang sangat menakutkan<br />
jika korban kekerasan seksualnya ialah anak-anak kecil usia 5-12 tahun.<br />
Akan tersimpan di memori otak mereka bagaimana kekerasan seksual<br />
yang mereka alami dan akan teringat sampai mereka dewasa dan tak di<br />
pungkiri bahwa bisa saja mereka bisa menjadi pelaku selanjutnya.<br />
Ibarat pepatah, tak diumpan maka tak terpancing. Semua tindak<br />
kekerasan seksual ada karena ada niat dan kesempatan, tapi perlu di<br />
ingat apa yang menjadi faktor penyebab pelaku melakukan tindakan<br />
tersebut. Jika kita tinjau dari aturan hukum Undang-Undang Nomor 44<br />
Tahun 2008 tentang Pornografi, sudah sangat jelas ketentuan pidananya<br />
di tiap pasalnya di atur dan hukumannya pun cukup membuat jera<br />
dengan denda maksimal Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).<br />
Kekerasan seksual di Kota Padang menjadi salah satu kasus<br />
yang paling banyak namun minim penindakan dari hukum. Hal tersebut<br />
dikarenakan kurang serius nya aparat penegak hukum yang membuat<br />
banyak ketidakpastian hukum bagi korban. Pada pelaksanaannya<br />
seringkali ditemukan bahwa tindak lanjut dari aparat penegak hukum<br />
hanyalah sampai pada tahap mediasi semata dan tidak diusut kembali<br />
hingga ke persidangan.<br />
B. Pembahasan<br />
Meskipun angka kekerasan seksual cenderung terus meningkat,<br />
namun masih banyak masyarakat yang menganggap kekerasan seksual<br />
sebagai kejahatan kesusilaan semata. Pihak kepolisian pun ketika<br />
mendapat kasus pemerkosaan cenderung menafsirkan pemerkosaan<br />
sebagai kejahatan kesusilaan seperti yang di tertuang di Kitab Undang-<br />
Undang Hukum Pidana (KUHP). Biasanya, penyidik kepolisian ketika<br />
99
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
mendapat kasus pemerkosaan cenderung malas mengusutnya. Hal inilah<br />
yang membuat korban kekerasan seksual menjadi bungkam karena tidak<br />
seriusnya aparat penegak hukum untuk memproses kasus-kasus<br />
pemerkosaan.<br />
Akibat kurang di anggap pentingnya kekerasan seksual di mata<br />
masyarakat dan aparat penegak hukum, banyak korban korban<br />
kekerasan seksual yang depersi hingga gila karena hancurnya masa<br />
depan hidup korban sehingga ia merasa tak mampu untuk melanjutkan<br />
hidupnya lagi di tambah beban malu dan cemooh dari masyarakat.<br />
Saya akan sedikit bercerita tentang kehidupan sosial di Kota<br />
Padang Provinsi Sumatera Barat. Kota Padang adalah ibukota dari<br />
Provinsi Sumatera Barat yang letaknya wilayahnya di pesisir pulau<br />
sumatera dengan keragaman suku dan etnis yang saling bahu membahu<br />
dalam kehidupan sehari-hari. Jika berkunjung ke Kota Padang, kita<br />
dapat menjumpai banyak pantai-pantai wisata, seperti Pantai Air Manis<br />
lalu Pantai Purus dan Pantai Nirwana. Walaupun bukan termasuk<br />
destinasi tujuan wisata turis mancanegara, pantai-pantai di Kota Padang<br />
selalu ramai didatangi wisatawan lokal terutama muda-mudi yang<br />
sedang kasmaran. Biasanya muda-mudi ini lebih suka menghabiskan<br />
waktunya di pantai yang ada pondok remang-remangnya, sehingga<br />
aktivitas percintaan mereka tak terlihat oleh orang lain dan terjamin<br />
keamanannya oleh pemilik maupun pengelola pantai tersebut. Hanya<br />
dengan sebotol minuman teh yang harganya Rp20.000,00 (dua puluh<br />
ribu rupiah), muda-mudi yang kasmaran dapat berpadu kasih sepuasnya<br />
di pantai tersebut. Kota Padang bisa juga disebut sebagai kota<br />
pendidikan karena banyak mahasiswa-mahasiwi yang merantau<br />
menuntut ilmu di kota ini. Asal mahasiswa-mahasiswinya pun beragam,<br />
ada yang dari Aceh, Sumatera Utara,Riau,Jambi, bahkan Jakarta. Dan<br />
ketika mereka sampai di Padang, proses adaptasi dengan lingkungan<br />
cepat mereka jalani dan terkesan mudah untuk dipengaruhi.<br />
Ketika mahasiswa-mahasiswi mengenal tempat-tempat yang<br />
aman untuk memadu kasih mereka cenderung penasaran untuk<br />
berkunjung kesana dengan pasangannya. Ketika itulah, banyak tindak<br />
kekerasan seksual terjadi di Padang akibat salah pergaulan dan fasilitasfasiltas<br />
untuk melakukan kekerasan seksual di Padang cukup memadai.<br />
Mulai dari tempat, ada pondok remang-remang hingga hotel kelas<br />
melati dan untuk pembelian pengaman (kondom) tak sulit di kota ini<br />
karena siapa saja bisa membelinya. Sehingga justru pergaulan bebas<br />
sumber utama dari kekerasan seksual di Kota Padang. Belum lagi<br />
tempat-tempat hiburan yang menjual minuman keras menggratiskan<br />
wanita untuk datang, yang ketika wanita tersebut teler dapat<br />
menimbulkan pelecehan seksual karena tidak sadarnya wanita tersebut.<br />
Kekerasan seksual yang marak terjadi di Padang biasanya<br />
dalam bentuk pemerkosaan beramai-ramai, lalu pemaksaan seks oral<br />
100
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
kepada korban yang biasanya siswi sekolah menengah dengan ancaman<br />
fisik maupun lisan dan juga dalam bentuk pelecehan ketika berada di<br />
tempat umum maupun angkutan umum yang ramai. Untuk kekerasan<br />
seksual sejenis (homoseks, lesbian) belum terlalu terdengar kasusnya<br />
karena kebanyakan kaum pelangi (sebutan bagi kaum homosesks,<br />
lesbian, transgender) tertutup dan menyembunyikan identitasnya rapat<br />
dari masyarakat.<br />
Sebagai contoh kasus, di Kecamatan V Koto Kampung Dalam,<br />
Kabupaten Padang Pariaman, Provinsi Sumatera Barat terjadi tindak<br />
perkosaan dengan kronologi seperti berikut: Mawar (nama samaran),<br />
seorang janda muda menunggu angkutan menuju rumahnya di<br />
Kampung Dalam dari Kota Pariaman. Hari menunjukan pukul 18.00<br />
WIB dan belum terlihat adanya angdes menuju rumahnya. Ketika itu<br />
lewatlah Bejo (nama samaran) yang merupakan supir angdes dan<br />
seketika itulah Bejo menawarkan untuk mengantarnya ke rumahnya.<br />
Mawar tanpa curiga pun naik dalam angdes tersebut, namun Bejo suka<br />
singgah ke beberapa tempat yang dipenuhi supir angdes lainnya di<br />
tempat pencucian mobil. Naiklah beberapa supir angdes tersebut ke<br />
mobil Bejo. Tanpa curiga, Mawar yang duduk di depan hanya berpikir<br />
positif karena sudah mengenal lama Bejo dan supir angdes lainnya.<br />
Namun ketika hampir rumah Mawar, Bejo tidak berhenti namun tetap<br />
memacu mobilnya hingga ke tempat yang sepi. Di situlah Mawar<br />
diperkosa oleh Bejo dan supir angdes lainnya. Setelah peristiwa<br />
tersebut, Mawar diantarkan kerumahnya dan diancam jika berani<br />
melapor ke siapa saja maka dia akan dibunuh. Mawar pun bungkam<br />
selama seminggu dan berujung depresi, Bejo dan kawan-kawannya pun<br />
satu persatu mulai kabur ke Kota Pekanbaru, Riau. Ketika itulah, orang<br />
tua Mawar membawa ingin Mawar ke dukun dengan asumsi Mawar<br />
kerasukan roh halus. Merasa tak tahan lagi, Mawar pun menceritakan<br />
kejadian yang menimpanya dan melaporkannya ke Polsek V Koto<br />
Kampung Dalam, Kabupaten Padang Pariaman. Ketika membuat<br />
laporan tersebut, Kanit Reskrim menyuruh korban dan keluarga agar<br />
mediasi secara kekeluargaan saja bukan diproses secara hukum. Karena<br />
awam dengan hukum, Mawar dan keluarganya pun kembali ke rumah<br />
dan membiarkan kejadian pemerkosaan tersebut sebagai cobaan dan<br />
tidak menuntut keadilan lagi akibat sikap dari Kanit Reskrim Polsek V<br />
Koto Kampung Dalam tersebut.<br />
Dari contoh kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa masih<br />
minimnya keseriusan dari aparat hukum untuk menyelesaikan kasuskasus<br />
kekerasan seksual dengan dalih itu semua hanya tindakan<br />
kesusilaan dan dapat diselesaikan dengan cara kekeluargaan.<br />
Saat ini di Kota Padang sudah mulai banyak LSM pemerhati<br />
kasus-kasus kekerasan seksual, walaupun adanya LSM tersebut belum<br />
efektif membuat aparat penegak hukum lebih tegas dalam memproses<br />
101
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
kasus-kasus kekerasan seksual. LSM tersebut mendampingi korban dari<br />
penyidikan hingga persidangan dan memberikan terapi psikologi agar<br />
mental korban kekerasan seksual tumbuh kembali setelah down<br />
terhadap kejadian yang di alaminya. Pendampingan dan perlindungan<br />
korban kasus kekerasan seksual di Kota Padang merujuk dalam pasal<br />
28D ayat (1) UUD 1945 yang isinya menyebutkan setiap orang berhak<br />
atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil<br />
serta perlakuan sama di hadapan hukum. Oleh karena itu, mati-matian<br />
LSM pembela hak korban kekerasan seksual di Kota Padang agar<br />
kasusnya benar-benar ditangani oleh aparat hukum dan LSM tersebut<br />
tidak hanya mendampingi korban namun juga mendukung agar tetap<br />
semangat dan tidak merasa hidupnya sudah hancur karena perbuatan<br />
pelaku.<br />
Ini semua demi kepastian hukum dan menjunjung harkat dan<br />
martabat wanita Minangkabau yang secara adat akan menjadi Bundo<br />
Kanduang bagi anak dan kemenakannya. Sesuai dengan asas legalitas<br />
dalam pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)<br />
menyebutkan bahwa, “Tiada suatu perbuatan yang dapat di hukum,<br />
kecuali ada aturan yang mengaturnya”. Ini mempertegas bahwa tindak<br />
kekerasan seksual perlu ditangani dan penafsiran pemerkosaan tidak<br />
meringankan hukuman si pelaku namun justru harus memberatkan si<br />
pelaku akibat perbuatannya. Sehingga tidak ada lagi kasus-kasus<br />
kekerasan seksual yang disepelekan oleh aparat hukum akibat asumsi<br />
bahwa kekerasan seksual merupakan tindak kesusilaan merujuk<br />
moralitas yang penyelesaiaannya cukup dengan cara mediasi<br />
kekeluargaan. Demi menjunjung hukum dan HAM di Indonesia tercinta<br />
ini, hak-hak korban haruslah kita perjuangkan demi kepastian hukum<br />
dan harkat martabat korban yang telah ternodai. Semoga para pejuang<br />
pembela, pelindung, dan pendamping korban kekerasan seksual di<br />
Indonesia khususnya Sumatera Barat tidak lekang oleh waktu.<br />
C. Kesimpulan dan Saran<br />
Akhirnya dapat kita simpulkan dari contoh kasus dan realita<br />
penegakan hukum yang terjadi di Kota Padang, bahwa kekerasan<br />
seksual dapat dipicu oleh tayangan pornografi dan juga banyaknya<br />
tempat-tempat yang bisa dijadikan sebagai tempat untuk melakukannya.<br />
Hal ini tentu saja dapat dicegah apabila Pemerintah, DPR, dan<br />
Kepolisian tegas mencegah kekerasan sesksual dengan mempertegas<br />
Undang-Undang Pornografi yang sempat ditolak dan juga membuat satu<br />
undang-undang khusus tentang tindak kekerasan seksual sehingga<br />
ketika ada kasus-kasus yang demikian polisi tidak menggunakan delikdelik<br />
KUHP yang membuat pelaku kekerasan seksual dihukum seberatberatnya.<br />
Semoga dengan adanya makalah ini kepolisian akan<br />
mempertegas wewenanngnya sesuai hukum yang berlaku.<br />
102
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
DAFTAR PUSAKA<br />
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional,Pelecehan Seksual dan<br />
Kekerasan Seksual 2012, diakses dari http://www.bkkbn.go.id/<br />
hqweb/ceria/mb2pelecehanseksual.html pada tanggal 29<br />
September 2014.<br />
103
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
PELAKSANAAN FUNGSI PENANGANAN HUKUM<br />
TERHADAP KORBANKEKERASAN SEKSUAL DI JAKARTA<br />
Oleh: Fakultas Hukum Universitas Indonesia<br />
Abstrak<br />
Penegakan hukum dalam proses pidana meliputi rangkaian proses yang<br />
panjang dan tidak luput diantaranya adalah penanganan korban.<br />
Kekerasan seksual menimbulkan akibat yang berdampak pada<br />
kesehatan fisik dan mental korban. Akan tetapi, pengalaman yang<br />
dilewati korban kekerasan seksual ini belum dipahami dengan baik oleh<br />
penegak hukum, termasuk polisi sehingga dalam proses penyidikan<br />
tersebut, korban seringkali merasa terdiskriminasi. Tulisan ini<br />
membahas berbagai bentuk penanganan korban secara umum maupun<br />
korban kekerasan seksual pada khususnya yang dikenal dalam<br />
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dibahas juga pada<br />
tulisan ini sejumlah contoh kasus yang menunjukkan perilaku polisi<br />
dalam penanganan korban kekerasan seksual yang kemudian dianalisis<br />
apakah perilaku polisi dalam menangani korban sudah sesuai dengan<br />
perspektif korban dan juga penilaian terhadap efektivitas instrumen<br />
hukum terkait yang berlaku.<br />
A. Latar Belakang<br />
Tahun 2013 dinyatakan sebagai tahun darurat kekerasan seksual<br />
terhadap anak, dari 2.637 laporan kasus kekerasan diterima oleh Komisi<br />
Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), 62% diantaranya<br />
merupakan kasus kekerasan seksual. 1 Data lain yang dikumpulkan oleh<br />
Komisi Nasional Perempuan pun menunjukkan peningkatan kasus<br />
kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia. Dalam catatannya selama<br />
tahun 1998-2011, 93.360 dari 400.939 kasus kekerasan terhadap<br />
perempuan yang dilaporkan merupakan kekerasan seksual. 2 Angka pada<br />
statistik pun belum cukup merepresentasikan dengan baik banyaknya<br />
kasus kekerasan seksual yang secara nyata terjadi di masyarakat.<br />
Korban kekerasan seksual berbeda halnya dengan korban tindak<br />
kekerasan lainnya, seringkali dianggap sebagai catatan hitam bagi<br />
masyarakat, termasuk keluarganya sendiri. Reluktansi masyarakat dan<br />
proses hukum yang berlarut-larut membungkam korban kekerasan<br />
seksual untuk menyuarakan ketidakadilan yang dialaminya. Pada<br />
1 Komnas Perempuan, Siaran Pers Resital Persembahan ananda untuk<br />
Perempuan Indones, diakses dari http://www.komnasperempuan.or.id/2014/<br />
09/siaran-pers-resital-persembahan-ananda-untuk-perempuan-indonesia/<br />
2 Ibid.<br />
104
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
akhirnya, kekerasan seksual menjadi kesenyapan yang membayangi<br />
korban semata.<br />
Melihat dari hakikatnya, kekerasan dapat dibedakan dari aspek<br />
kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikologis, kekerasan<br />
politisdan kekerasan ekonomi. Merupakan hal yang penting untuk<br />
membuat spesifikasi kekerasan karena sebenarnya tindakan kekerasan<br />
yang bernuansakan seksual tidak sekedar melalui fisik belaka. 3 Komnas<br />
Perempuan membagi kekerasan seksual menjadi 15 (lima belas) jenis,<br />
yaitu perkosaan, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual,<br />
pelecehan seksual, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan<br />
seksual, percobaan perkosaan, kontrol seksual, pemaksaan aborsi,<br />
penghukuman bernuansa seksual,pemaksaan perkawinan, prostitusi<br />
paksa, pemaksaan kehamilan, praktik tradisi bernuansa seksual dan<br />
pemaksaan kontrasepsi. 4 Akan tetapi, luasnya spektrum kekerasan<br />
seksual tersebut belum dipahami secara tepat bahkan oleh penegak<br />
hukum sekalipun. Hukum pada dasarnya merupakan cerminan dari<br />
nilai-nilai kultural tentang seksualitas yang berlaku di masyarakatnya.<br />
Melalui hukum, nilai-nilai kultural tersebut disahkan, dikukuhkan dan<br />
dilanggengkan. 5 Seringkali, kekerasan seksual dianggap sebagai<br />
kejahatan terhadap kesusilaan semata. Pandangan semacam ini bahkan<br />
didukung oleh negara melalui muatan di dalam Kitab Undang-Undang<br />
Hukum Pidana (KUHP). Dalam KUHP, kekerasan seksual seperti<br />
perkosaan dianggap sebagai pelanggaran terhadap kesusilaan.<br />
Penganggapan ini tidak saja mengurangi derajat perkosaan yang<br />
dilakukan, namun juga menciptakan pandangan bahwa kekerasan<br />
seksual adalah persoalan moralitas semata.<br />
Paradigma demikian pun begitu terinstitusionalisasi di<br />
masyarakat hingga akhirnya berdampak ke perilaku para penegak<br />
hukum dalam menangani korban kekerasan seksual. Kerangka berpikir<br />
yang membatasi bahwa kekerasan seksual adalah sifat merusak<br />
kesusilaan mengandung variabel relatif dimana penafsiran kesusilaan<br />
bergantung pada pendapat umum pada waktu dan tempat itu. 6 Absennya<br />
penjelasan resmi tentang istilah kesusilaan yang digunakan,<br />
menyebabkan masyarakat (khususnya aparat hukum) seringkali terjebak<br />
3 Purnianti dan Rita Serena Wibisono, Menyingkap Tirai Kekerasan<br />
dalam Rumah Tangga, (Jakarta: Mitra Perempuan, 2003), hlm. 14.<br />
4 Komnas Perempuan, Kekerasan Seksual: Kenali dan Tangani, hlm.<br />
14-16.<br />
5<br />
Rahayu Surtiati Hidayat dan E. Kristi Poerwandari, Perempuan<br />
Indonesia dalam Masyarakat yangTengah Berubah: 10 Tahun Program Studi<br />
Kajian Wanita, Jakarta: Program Pascasarjana UniversitasIndonesia, 2001,<br />
hlm. 381<br />
6 R. Soesilo, KUHP beserta Penjelasan Pasal demi Pasal, Bogor:<br />
Politeia, 1996,<br />
105
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
dalam menempatkan pasal-pasal kesusilan semata-mata sebagai<br />
persoalan pelanggaran terhadap budaya, norma agamadan sopan santun<br />
yang berkaitan dengan nafsu perkelaminan, bukan kejahatan terhadap<br />
orang (tubuh dan jiwa). 7<br />
Menanggapi permasalahan tersebut, Kementerian Negara<br />
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia<br />
(KemenPP&PA RI) mengeluarkan Peraturan Menteri Negara PPA<br />
Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang<br />
Pelayanan Terpadu terhadap Perempuan dan Anak Korban Kekerasan.<br />
Dalam peraturan tersebut, korban kekerasan seksual menjadi salah satu<br />
lingkup permasalahan yang perlu diberikan pelayanan berdasarkan<br />
standar-standar yang ditetapkan. Adapun bidang-bidang layanan<br />
tersebut mencakup: 8<br />
1) Penanganan Pengaduan<br />
2) Pelayanan Kesehatan<br />
3) Rehabilitasi Sosial<br />
4) Penegakan dan Bantuan Hukum<br />
5) Pemulangan dan Reintegrasi Sosial<br />
Menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi korban kekerasan<br />
seksual untuk memperjuangkan keadilan atas apa yang telah<br />
dialaminya. Serangkaian proses penegakan dan bantuan hukum<br />
seyogyanya mampu menyingkap kesunyian dan berdampingan bersama<br />
korban memperjuangkan keadilan. Akan tetapi pada kenyataannya,<br />
sarana tersebutlah yang kerap membungkam bahkan mengalienasikan<br />
korban.<br />
B. Penanganan Korban Kekerasan Seksual berdasarkan<br />
Peraturan Perundang-undangan di Indonesia<br />
1. Korban Kekerasan Seksual<br />
Merujuk kepada pengertian dari Undang-Undang Nomor 13<br />
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, pengertian dari<br />
korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental,<br />
dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak<br />
pidana. 9 Menurut Kristi Poerwandari, kekerasan seksual mencakup<br />
melakukan tindakan yang mengarah ke ajakan atau desakan seksual,<br />
7 Rahayu Surtiati Hidayat dan E. Kristi Poerwandari, Op.Cit, hlm. 383 .<br />
8<br />
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak<br />
Republik Indonesia, ProsedurStandar Operasional: Pelaksanaan Standar<br />
Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Layanan Terpadu bagi Perempuan dan<br />
Anak Korban Kekerasan, (Jakarta: KemenPP&PA RI, 2010), hlm. 4.<br />
9 Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang<br />
Perlindungan Saksi dan Korban<br />
106
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
seperti menyentuh, meraba, mencium dan/atau melakukan tindakantindakan<br />
lain yang tidak dikehendaki korban; memaksa korban<br />
menonton produk pornografi, gurauan-gurauan seksual yang tidak<br />
dikehendaki korban; ucapan-ucapan yang merendahkan dan<br />
melecehkan dengan mengarah pada aspek jenis kelamin/seks korban;<br />
memaksa berhubungan seks tanpa persetujuan korban dengan<br />
kekerasan fisik maupun tidak; memaksa melakukan aktivitasaktivitas<br />
seksual yang tidak disukai, merendahkan, menyakiti, atau<br />
melukai korban. 10 Akan tetapi secara yuridis, definisi korban<br />
kekerasan seksual belum terakomodasi dalam suatu redaksi yang<br />
mencakup kekerasan seksual secara umum. Hal ini dikarenakan<br />
peraturan perundang-undangan mengenai kekerasan seksual masih<br />
tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan dengan berbagai<br />
bentuk dari ragam tindakan kekerasan seksual itu seperti perkosaan,<br />
perbuatan cabul dan prostitusi. Diantaranya, ketentuan tersebut<br />
berada pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), UU<br />
No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan UU No. 23<br />
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.<br />
Penjabaran kekerasan seksual itu pun menjadi permasalahan<br />
tersendiri, misalnyaunsur-unsur pasal yang terlalu rigid hingga<br />
sering meloloskan pelaku dari jerat hukum dan belum<br />
diakomodasinya bentuk kekerasan seksual tertentu seperti perkosaan<br />
yang dilakukan antara laki-laki dewasa maupun perkosaan oleh<br />
perempuan terhadap laki-laki.<br />
2. Penanganan Korban Kekerasan Seksual<br />
Sistem Peradilan Pidana dapat digambarkan secara singkat<br />
sebagai suatu sistem yang bertujuan untuk “menanggulangi kejahatan”.<br />
Menanggulangi yang dimaksudkan disini adalah usaha untuk<br />
mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas<br />
toleransi masyarakat. Sistem ini dianggap berhasil apabila diprosesnya<br />
sebagian besar dari laporan dan keluhan masyarakat yang telah menjadi<br />
korban dari suatu kejahatan, diajukannya pelaku ke muka sidang<br />
pengadilan dan diputuskan serta mendapat pidana. 11 Tugas dari sistem<br />
ini pun tidak terbatas pada menjerat pelaku dengan suatu pemidanaan,<br />
melainkan juga akomodasi kepentingan korban. Dalam menangani<br />
korban pada umumnya, para aparat hukum wajib memperhatikan<br />
korban agar dipenuhi haknya, antara lain: 12<br />
10<br />
Achie Sudiarti Luhulima, Pemahaman Bentuk-Bentuk Tindak<br />
Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Alternatif Pemecahannya, (Jakarta:<br />
Pusat Kajian Wanita UI, 2000), hlm. 11-12.<br />
11 Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana,<br />
Kumpulan Karangan Buku Kedua, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan<br />
Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 1997), hlm. 140.<br />
12 Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang<br />
107
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
1) Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan<br />
harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan<br />
kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya;<br />
2) Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk<br />
perlindungan dan dukungan keamanan;<br />
3) Memberikan keterangan tanpa tekanan;<br />
4) Mendapat penerjemah;<br />
5) Bebas dari pertanyaan yang menjerat;<br />
6) Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;<br />
7) Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;<br />
8) Mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;<br />
9) Dirahasiakan identitasnya;<br />
10) Mendapat identitas baru;<br />
11) Mendapat tempat kediaman sementara;<br />
12) Mendapat tempat kediaman baru;<br />
13) Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan<br />
kebutuhan;<br />
14) Mendapat nasihat hukum;<br />
15) Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu<br />
perlindungan berakhir; dan/atau<br />
16) Mendapat pendampingan.<br />
Dirumuskannya perlindungan terhadap korban pada proses<br />
pengadilan pidana dalam suatu peraturan perundang-undangan<br />
menunjukkan adanya gestur dari pemerintah untuk lebih<br />
mengakomodasi hak-hak korban. Namun patut disayangkan, dalam UU<br />
No. 13 Tahun 2006 maupun UU No. 31 Tahun 2014 perlindungan<br />
terhadap korban tidak mengandung norma imperatif yang otomatis<br />
melindungi korban. Untuk mendapatkan perlindungan sebagaimana<br />
yang disebutkan di atas, korban perlu melapor kepada Lembaga<br />
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terlebih dahulu atau menunggu<br />
rujukan dari pihak yang berwenang. Hal ini mengesankan bahwa<br />
perlindungan korban merupakan bagian di luar kebulatan proses hukum<br />
yang berlaku. Adapun perlindungan korban menurut Barda Nawawi<br />
Arief dapat dilihat dari dua makna yaitu:<br />
1) Perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban tindak pidana<br />
(berarti perlindungan HAM atau kepentingan hukum seseorang);<br />
2) Perlindungan untuk memperoleh jaminan atau santunan hukum atas<br />
penderitaan atau kerugian orang yang telah menjadi korban tindak<br />
pidana (identik dengan penyantunan korban). Bentuk santunan itu<br />
dapat berupa pemulihan nama baik (rehabilitasi), pemulihan<br />
Perubahan terhaadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang<br />
Perlindungan Saksi dan Korban.<br />
108
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
keseimbangan batin (dengan pemaafan), pemberian ganti rugi<br />
(restitusi, kompensasi, jaminan/santunan kesejahteraan sosial), dan<br />
sebagainya. 13<br />
Akibat dari kekerasan seksual meninggalkan penderitaan<br />
multidimensi: psikis, fisik, mental, emosional, spiritual, 14 dan sosial<br />
yang mendalam bahkan karena terkungkung oleh persepsi masyarakat<br />
sendiri bahwa penderitaan yang dialami oleh korban kekerasan seksual<br />
adalah sebuah aib sehingga tidak sedikit korban yang memilih untuk<br />
menderita sendiri. Sebagai kelompok yang rentan, diperlukan layanan<br />
khusus dalam menangani hal tersebut. Hal inilah yang kemudian<br />
melatarbelakangi lahirnya Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan<br />
Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 1 Tahun 2010 tentang<br />
Standar Pelayanan Minimal Bidang Layanan Terpadu bagi Perempuan<br />
dan Anak Korban Kekerasan, yang diantaranya secara khusus<br />
mencakup kekerasan Seksual. Permenneg PP&PA Nomor 1 Tahun 2010<br />
tersebut memiliki cakupan terhadap 5 (lima) jenis pelayanan, yaitu: 15<br />
a) penanganan pengaduan/laporan korban kekerasan terhadap<br />
perempuan dan anak;<br />
b) pelayanan kesehatan bagi perempuan dan anak korban kekerasan;<br />
c) rehabilitasi sosial bagi perempuan dan anak korban kekerasan;<br />
d) penegakan dan bantuan hukum bagi perempuan dan anak korban<br />
kekerasan;<br />
e) pemulangan dan reintegrasi sosial bagi perempuan dan anak korban<br />
kekerasan.<br />
Pada makalah ini, penulis mengkhususkan pembahasan<br />
mengenai tinjauan pada jenis pelayanan penegakan dan bantuan hukum<br />
bagi perempuan dan anak korban kekerasan, yang dibagi menjadi 2<br />
(dua) indikator yaitu:<br />
13 Barda Nawawi Arief, Masalah Penanganan Hukum dan Kebijakan<br />
Penanggulangan Kejahatan, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2001, hlm . 56<br />
14 Mark Yantzi, Kekerasan Seksual dan Pemulihan, Jakarta: Gunung<br />
Mulia, 2009, hlm. 26-35<br />
15<br />
Lihat Pasal 5 Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan<br />
Perempuan dan Perlindungan Anak No. 1 Tahun 2010 tentang Standar<br />
Pelayanan Minimal Bidang Layanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak<br />
Korban Kekerasan<br />
109
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
No. Indikator Pelaksana Layanan<br />
1. Cakupan penegakan hukum pada<br />
tingkat penyidikan kekerasan<br />
seksual terhadap perempuan dan<br />
anak<br />
2. Cakupan perempuan dan anak<br />
korban kekerasan seksual terhadap<br />
perempuan dan anak yang<br />
mendapatkan bantuan hukum<br />
Ad. 1. Penegakan Hukum pada Tingkat Penyidikan<br />
Polisi<br />
Badan/Unit PP<br />
Pelayanan penegakan hukum adalah serangkaian tindakan<br />
oleh aparat negara yang diberi kewenangan melaksanakan peraturan<br />
perundang-undangan dalam rangka menangani kasus-kasus kekerasan<br />
(re: kekerasan seksual) 16 terhadap perempuan dan anak, terutama<br />
untuk memberikan sanksi terhadap pelaku dan memberikan<br />
perlindungan bagi saksi dan/atau korban, 17 diselenggarakan oleh Polri,<br />
khususnya UPPA (Unit Pelayanan Perempuan dan Anak) dalam hal<br />
melaksanakan proses penyelidikan; penyidikan, koordinasi dan<br />
kerjasama; penyelesaian dan penyerahan berkas perkara kekerasan<br />
terhadap perempuan dan anak ke kejaksaan. 18<br />
Ad. 2. Pelayanan dan Bantuan Hukum<br />
Bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh<br />
pendamping hukum, advokat atau relawan pendamping untuk<br />
melakukan proses pendampingan saksi dan/atau korban kekerasan<br />
terhadap perempuan dan anak yang sensitif gender. 19 Pendampingan<br />
hukum kasus pidana mulai dari tingkat pemeriksaan di kepolisian,<br />
penuntutan di kejaksaan, proses sidang di pengadilan hingga<br />
pemberian restitusi.<br />
Dalam hal perempuan atau anak adalah korban benar-benar<br />
mengalami tindak kekerasan tetapi kasusnya tidak memenuhi unsur<br />
pidana, bantuan hukum juga dapat diberikan dalam rangka melakukan<br />
mediasi dengan pelaku atau pihak-pihak lain. 20<br />
16 Spesifikasi dari penulis<br />
17 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak<br />
Republik Indonesia, ProsedurStandar Operasional: Pelaksanaan Standar<br />
Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Layanan Terpadu bagi Perempuan dan<br />
Anak Korban Kekerasan, Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan<br />
danPerlindungan Anak Republik Indonesia, 2010, hlm. 215<br />
18 Ibid.<br />
19 Ibid, hlm. 240.<br />
20 Ibid.<br />
110
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
3. Pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal bagi Korban<br />
Kekerasan Seksual pada Tahap Penyediaan Layanan Hukum di<br />
tingkat Kepolisian<br />
Aturan dari rumusan KUHP ternyata memiliki keterbatasan<br />
yang sangat besar. Misalnya, masalah elemen-elemen kejahatan<br />
kriminal yang tidak memadai, penafsiran yang sempit dan<br />
ketidaksesuaian dengan perkembangan sosial. 21 Selain itu,<br />
pembuktiannya juga sangat sukar sehingga menyebabkan aturan<br />
tersebut tidak dapat diaplikasikan. Pengetahuan dan cara pandang aparat<br />
penegak hukum, dalam hal ini polisi yang menjalankan proses<br />
penyidikan juga menjadi tantangan lain. Pada wawancara penulis<br />
dengan salah satu pendamping hukum di LBH APIK Jakarta, dalam<br />
pengalaman pendampingannya, ditemukan banyak aparat kepolisian<br />
yang dalam menjalankan proses penyidikan melalui pertanyaanpertanyaan<br />
yang diajukan cenderung victim blaming dan semakin<br />
menyudutkan korban. Berikut kutipan pertanyaan dari penyidik dan<br />
hakim dalam salah satu kasus perkosaan: 22<br />
Sebelum anda disetubuhi apakah status anda masih perawan?<br />
Sebelum anda disetubuhi oleh Saudara A (bukan nama sebenarnya)<br />
secara paksa, apakah anda tidak berusaha untuk berteriak, jelaskan?<br />
Setelah Sdr. A selesai menyetubuhi anda, dan Sdr. A keluar dari<br />
kamar, apakah waktu itu tidak ada usaha anda untuk melarikan<br />
diri atau keluar dari rumah tersebut?<br />
Coba anda jelaskan apakah persetubuhan antara anda dengan Sdr. A<br />
tersebut dilakukan secara mau sama mau, jelaskan?<br />
Sebelum anda bersama Santi (bukan nama sebenarnya) diajak main<br />
ke rumah temannya tersebut, apakah anda tidak merasa curiga<br />
sebelumnya?<br />
Tambahan pertanyaan penyidik pada korban kedua dalam kasus yang<br />
sama:<br />
Apakah anda sewaktu diperkosa oleh Saudara H (bukan nama<br />
sebenarnya) tersebut siapa yang memasukkan alat kemaluannya ke<br />
tempat vagina anda, dan apakah anda ikut membantu<br />
memasukkannya?<br />
Apakah sewaktu Sdr. H memasukkan alat kemaluannya ke dalam<br />
21 Supriyadi Widodo Eddyono, Indri Oktaviani, Lembaga Studi dan<br />
Advokasi Masyarakat, KejahatanPerkosaan dalam RUU KUHP,<br />
Jakarta:Yayasan Tifa, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat(ELSAM),<br />
2007, hlm. 2.<br />
22 Lihat, Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Polisi Sektor Pasarkemis,<br />
Tanggal 19 dan 21 April 1999, serta catatan persidangannya, dokumentasi<br />
LBH APIK Jakarta<br />
111
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
vagina anda, apakah anda berusaha mengelaknya?<br />
Bandingkan dengan pertanyaan pelaku perkosaan dalam kasus yang<br />
sama:<br />
Penyidik :Setelah selesai persetubuhan, apa tindakan atau reaksi<br />
Saudari S (bukan nama sebenarnya)? Jelaskan!<br />
Pelaku<br />
: Setelah selesai bersetubuh tidak ada reaksi dari Saudari S<br />
melainkan langsung tidur dan saya sendiri keluar untuk cuci<br />
muka ke kamar mandi dan kemudian kembali ke kamar tidur<br />
dan tidur bersama-sama Saudari S.<br />
Penyidik : Apakah persetubuhan yang anda lakukan dengan Saudari S<br />
tersebut dilakukan secara paksa atau mau sama mau,<br />
jelaskan?<br />
Pelaku<br />
: Dilakukan mau sama mau karena saya mau bertanggung<br />
jawab untuk menikahinya.<br />
Dalam kasus yang terjadi 11 tahun sebelum adanya Permenneg<br />
PP&PA Nomof 1 Tahun 2010 ini, terlihat baik penyidik maupun pelaku<br />
berpegang pada kenikmatan seksual perempuan menurut persepsi<br />
mereka yang bersudut pada laki-laki, sehingga mereka meragukan<br />
kebenaran pengalaman korban, bahkan untuk itu mereka tak segansegan<br />
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang intinyamelecehkan dan<br />
menyalahkan korban (victim blaming) juga menyudutkan korban<br />
sebagai pihak yang turut bertanggung jawab terhadap peristiwa<br />
perkosaan tersebut (victim participating). 23 Setelah Permenneg PP&PA<br />
No. 1 Tahun 2010 diundangkan, penanganan polisi pada kasus<br />
kekerasan seksual, khususnya di Jakarta, masih mengalami kendala<br />
yang sama. Hal ini terefleksikan pada contoh kasus yang ditangani oleh<br />
pendamping hukum UH di salah satu LBH perempuan di Jakarta<br />
sebagai berikut: 24<br />
Kasus Perkosaan Aster (bukan nama sebenarnya) anak usia 15 tahun<br />
oleh Pelaku usia 25 tahun<br />
Awal berhubungan dengan korban adalah ketika pendamping<br />
mendapatkan telepon dari tetangga korban pada hari Sabtu disaat hari<br />
libur pendamping. Setelah berkoordinasi dengan koordinator divisi,<br />
pendampingan datang ke kantor Polres untuk mendampingi korban<br />
membuat laporan, visum dan Berita Acara Pemeriksaan (BAP).Setelah<br />
23 Ratna Batara Munti, Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas,<br />
Kelemahan Aturan dan ProsesHukum, Serta Strategi Menggapai Keadilan,<br />
dalam Perempuan Indonesia dalam Masyarakat yangTengah Berubah,<br />
Jakarta: Program Studi Kajian Wanita Program Pascasarjana Universitas<br />
Indonesia, 2000, hlm. 389-390.<br />
24 SY. Ernaweni, Tesis: Penanganan Hukum Kasus Kekerasan Seksual<br />
terhadap Anak Perempuan berdasarkan Pengalaman Pendamping Hukum,<br />
112
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
mendampingi korban membuat laporan pada jam 10.00, pendamping<br />
langsung membawa korban untuk visum di rumah sakit jam 12.00<br />
sampai jam 17.00. Setelah visum jam 17.00 kembali lagi ke kepolisian<br />
untuk BAP sampai jam 22.00.<br />
“Sampai di Polres sudah buat laporan kita damping, karena<br />
waktu itu libur jadinggak bikin surat kuasa. Kami tetap<br />
mengenalkan diri sebagai pendamping dari LBH. Akhirnya<br />
dipersilahkan untuk membuat laporan kejadiannya kapan, 3 hari<br />
yang lalu. Kalau diperkosa tiga hari yang lalu itu sudah<br />
kelamaan. Anaknya takut mau ngakuk dia baru berani cerita<br />
sekarang. Ya sudah kita buat laporan, kita data, kita visum.<br />
Laporan belum dibuat, hanyakita data, kita visum. Laporan<br />
belum dibuat, hanya pendaftaran saja dibuat surat rujukan, kita<br />
visum di RSCM. Jadi langsung ke RSCM. Visum langsung dapat<br />
hasilnya, waktu itu harus didampingi polisi. Karena tidak bisa<br />
jalan sendiri. Setelah itu, langsung kembali lagi ke polres.<br />
Setelah di polres baru kita dibuatkan laporan. Setelah dibuat<br />
laporan di SPK, kita diarahkan ke Unit PPA di BAP. Saya<br />
bingung kok langsung di BAP. Udah hari ini buat laporan aja<br />
karena selesai visum itu sudah jam tujuh malam masak langsung<br />
di BAP. Harusnya tunggu kondisi korban dulu karena kondisi<br />
korban itu masih capek. Kami menyerahkan ke pihak korban,<br />
mau di BAP sekarang lebih baik. Loh biasanya kami damping<br />
nggak seperti ini. Biasanya diberi kebebasan. Tapi dari pihak<br />
korban kayaknya sudah ketakutan. Ya sudah sekarang saja. Pas<br />
di tengah-tengah pemeriksaan dia bilang, „mba, aku capek,<br />
gimana kalau besok aja?‟ setelah itu kita ngomong ke penyidik<br />
bisa nggak ditunda aja untuk besok. Ya sudah, nanti kita ada<br />
pemeriksaan tambahan. Karena mereka memang awam hukum.”<br />
Adapun selama pemeriksaan, menurut pendamping hukum UH,<br />
polisi memberikan pertanyaan yang membingungkan dan menyudutkan<br />
korban, antara lain:<br />
1) “Kamu melakukan ini sama-sama mau kan?”<br />
(pendamping menjawab: “bagaimana ini disebut sama-sama mau<br />
pak, dia masih kecil belum tau baik buruk, sedangkan pelaku sudah<br />
dewasa jadi tidak ada mau sama mau, ini masuk unsur dalam UUPA<br />
adanya bujuk rayu, tipu muslihat”)<br />
2) “Kok kamu gak teriak?”<br />
3) Kok mau sih, kamu pacaran ya?<br />
(Pendamping memprotes sikap polisi tersebut dengan mengatakan:<br />
“Gimana sih, KANIT-nya kan sudah sering berkoordinasi dengan<br />
LBH, kok anak buahnya begini ya ngga punya perspektif.”)<br />
113
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Sikap Polisi dalam penyidikan tersebut melanggar sejumlah<br />
ketentuan dalam Prosedur Standar Operasional (PSO) Pelaksanaan<br />
Permenneg PP&PA No. 1 Tahun 2010 yaitu:<br />
1) Penerimaan laporan polisi: 25<br />
a. apabila saksi korban dalam kondisi trauma/stress, penyidik<br />
melakukan tindakan penyelamatan degan mengirim saksi<br />
dan/atau korban ke PPT RS Bhayangkara atau Puskesmas,<br />
untuk mendapatkan penanganan medis-psikis serta memantau<br />
perkembangannya;<br />
b. dalam hal saksi dan/atau korban memerlukan istirahat, petugas<br />
mengantar ke ruang istirahat atau rumah aman atau shelter;<br />
2) Pada tahap penyidikan: 26<br />
a. apabila korban siap diperiksa dan bersedia memberikan<br />
keterangan terkait dengan laporan polisi yang dilaporkan<br />
korban, penyidik dapat melaksanakan kegiatan membuat Berita<br />
Acara Pemeriksaan (BAP).<br />
“Udah hari ini buat laporan aja karena selesai visum itu sudah<br />
jam 7 malam masak langsung di BAP. Harusnya tunggu kondisi<br />
korban dulu karena kondisi korban itu masih capek. Kami<br />
menyerahkan ke pihak korban, mau di BAP sekarang lebih baik.<br />
Loh biasanya kami damping nggak seperti ini. Biasanya diberi<br />
kebebasan. Tapi dari pihak korban kayaknya sudah ketakutan.<br />
Ya sudah sekarang saja. Pas di tengah-tengah pemeriksaan dia<br />
bilang, „mba, aku capek, gimana kalau besok aja?‟”<br />
Pada ilustrasi tersebut tergambar bagaimana penanganan polisi<br />
tidak mematuhi PSO yang dipersyaratkan pada Permenneg PP&PA<br />
No. 1 Tahun 2010. Polisi selaku penyidik memaksakan korban<br />
untuk menjalani BAP pada hari itu juga, padahal kondisi fisik<br />
korban sudah kelelahan. Seharusnya, penyidik melakukan tindak<br />
penyelamatan ke PPT RS Bhayangkara atau Puskesmas hingga<br />
kondisi korban cukup baik untuk menjalani wawancara pembuatan<br />
laporan polisi.<br />
3) Tata cara pemeriksaan saksi dan/atau orban 27<br />
a. Pemeriksaan terhadap saksi dan/atau korban dilaksanakan<br />
dengan memperhatikan ketentuan sebagai berikut:<br />
a) pertanyaan diajukan dengan ramah dan penuh rasa empati;<br />
b) dilarang memberikan pertanyaan yang dapat menyinggung<br />
25<br />
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak<br />
Republik Indonesia, Op.Cit, hlm. 217.<br />
26 Ibid, hlm. 219.<br />
27 Ibid, hlm. 221-222<br />
114
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
perasaan atau hal-hal yang sangat sensitif bagi saksi<br />
dan/atau korban yang diperiksa;<br />
c) tidak menyudutkan atau menyalahkan atau mencemooh<br />
atau melecehkan yang diperiksa;<br />
d) tidak memberikan pertanyaan yang dapat menimbulkan<br />
kekesalan/kemarahan yang diperiksa;<br />
e) selama dalam pemeriksaan, petugas senantiasa<br />
memperhatikan situasi dan kondisi fisik maupun kejiwaan<br />
yang diperiksa.<br />
Penyidik mengajukan pertanyaan kepada korban, diantaranya:<br />
“Kamu melakukan ini sama-sama mau kan?”<br />
<br />
<br />
“Kok mau sih, kamu pacaran ya?”<br />
“Kok kamu gak teriak?”<br />
Dalam kondisi kelelahan, korban memaksakan diri<br />
untuk masuk ke tahap wawancara ini karena ketakutan. Setelah<br />
itu, korban justru mendapatkan rangkaian pertanyaan yang<br />
semakin memojokkan posisinya.<br />
Penyidik disini terlihat begitu tidak berperspektif pada<br />
korban. Padahal, pada PSO Pelaksanaan Permenneg PP&PA<br />
No. 1Tahun 2010 sudah ditetapkan prosedur yang terperinci<br />
dalam menyesuaikan diri dengan kondisi korban.<br />
C. Kesimpulan dan Saran<br />
Penanganan korban kekerasan seksual di tingkat kepolisian<br />
belum sesuai dengan Permenneg PP&PA No. 1 Tahun 2010. Selaku<br />
pihak yang berwenang dalam melakukan penyidikan, pada praktiknya<br />
masih tidak berperspektif pada korban. Polisi kerap memaksakan<br />
“prosedur” kepada korban dan kerap abai terhadap kondisi korban itu<br />
sendiri.<br />
Penanganan lalai perspektif tersebut menyiratkan lemahnya<br />
pemahaman aparat penegak hukum, khususnya polisi selaku penyidik,<br />
akan luasnya spektrum akibat kekerasan seksual. Dampak fisik,<br />
psikologis dan trauma lainnya yang diakibatkan oleh kekerasan seksual<br />
yang dialami menjadikan korban perlu ditangani dengan treatment<br />
khusus untuk mampu menyingkap fakta-fakta hukum yang<br />
dibutuhkan.Terdapat kekosongan yang masih menjenjang antara<br />
kebutuhan korban kekerasan seksual dan perilaku penegak hukum yang<br />
menanganinya. Pemerintah melalui Permenneg PP&PA No. 1 Tahun<br />
2010 berusaha untuk menjembatani jarak tersebut. Akan tetapi,<br />
mispersepsi penegak hukum itulah yang membuatnya menjadi sekedar<br />
norma yang belum melembaga pada para penegak hukum terkait.<br />
Perspektif polisi selaku penyidik yang menangani korban<br />
merupakan inti masalah yang perlu diselesaikan sehingga perlulah<br />
diadakan suatu pelatihan yang intens dari internal kepolisian agar polisi<br />
115
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
selaku penyidik memiliki sensitivitas terhadap korban khususnya di<br />
UPPA. Selain itu, untuk mempersiapkan penegak hukum yang memiliki<br />
perspektif di generasi selanjutnya dapat dibentuk kurikulum dengan<br />
muatan mata kuliah seputar penanganan korban, anak dan sensitif<br />
gender. Hal-hal tersebut perlu dilakukan agar instrumen seperti SPM<br />
Bidang Layanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan<br />
dapat berlaku lebih efektif, instrumen tersebut dapat dilengkapi dengan<br />
sanksi sehingga penegak hukum terkait mampu lebih bertanggung<br />
jawab.<br />
Daftar Pustaka<br />
Arief, B. Nawawi. 2001.Masalah Penanganan Hukum dan Kebijakan<br />
Penanggulangan Kejahatan. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.<br />
Carolina, Afni. 2005. Perlindungan Hukum bagi Anak sebagai Korban<br />
Kekerasan Seksual dalam Proses Peradilan Pidana. Tesis<br />
Magister pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia: tidak<br />
diterbitkan.<br />
Eddyono, S. Widodo, Indri Oktaviani. 2007. Lembaga Studi dan<br />
Advokasi Masyarakat. Kejahatan Perkosaan dalam RUU<br />
KUHP. Jakarta: Yayasan Tifa, Lembaga Studi dan Advokasi<br />
Masyarakat (ELSAM).<br />
Ernaweni, Sy. 2011. Penanganan Hukum Kasus Kekerasan Seksual<br />
terhadap Anak Perempuan berdasarkan Pengalaman<br />
Pendamping Hukum. Tesis Magister pada Fakultas Hukum<br />
Universitas Indonesia: tidak diterbitkan.<br />
Hidayat, Rahayu S., dan E. Kristi Poerwandari. 2001.Perempuan<br />
Indonesia dalamMasyarakat yang Tengah Berubah: 10 Tahun<br />
Program Studi Kajian Wanita. Jakarta:Program Pascasarjana<br />
Universitas Indonesia.<br />
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana<br />
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Kekerasan<br />
Seksual: Kenali dan Tangani. Jakarta: Komnas Perempuan.<br />
Luhulima, A. Sudiarti. 2000. Pemahaman Bentuk-Bentuk Tindak<br />
Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Alternatif<br />
Pemecahannya. Jakarta: Pusat Kajian Wanita UI.<br />
Munti, Ratna Batara. 2000.Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas,<br />
Kelemahan Aturan danProses Hukum, Serta Strategi<br />
116
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Menggapai Keadilan, dalam Perempuan Indonesia dalam<br />
Masyarakat yang Tengah Berubah. Jakarta: Program Studi<br />
Kajian Wanita Program Pascasarjana Universitas Indonesia.<br />
Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan<br />
Anak No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal<br />
Bidang Layanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Korban<br />
Kekerasan<br />
Purnianti dan Rita Serena Wibisono. 2003.Menyingkap Tirai Kekerasan<br />
dalam Rumah Tangga. Jakarta: Mitra Perempuan.<br />
Purwadianto, Agus. 2005. Perkosaan sebagai Suatu Pelanggaran<br />
terhadap Hak Asasi Manusia: Kajian Filosofis Metodologi<br />
Pembuktian Hukum. Disertasi Doktor pada Fakultas Ilmu<br />
Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia: tidak diterbitkan.<br />
Reksodiputro, Mardjono. 1997.Kriminologi dan Sistem Peradilan<br />
Pidana, Kumpulan Karangan Buku Kedua. Jakarta: Pusat<br />
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas<br />
Indonesia.<br />
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak<br />
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan<br />
Kekerasan dalam Rumah Tangga<br />
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan<br />
Korban<br />
Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan terhadap<br />
Undang-undang Nomoe 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan<br />
Saksi dan Korban<br />
Yantzi, Mark. 2009.Kekerasan Seksual dan Pemulihan. Jakarta:<br />
Gunung Mulia.<br />
http://www.komnasperempuan.or.id/2014/09/siaran-pers-resitalpersembahan-ananda-untuk-perempuan-indonesia/<br />
117
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
PERLINDUNGAN DAN PENDAMPINGAN KORBAN<br />
KEKERASAN SEKSUAL DI BANYUMAS JAWA TENGAH<br />
Oleh: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman<br />
Abstrak<br />
Korban kekerasan seksual berpotensi untuk menjadi pelaku kejahatan<br />
serupa. Untuk itu, perlu dilakukan perlindungan dan pendampingan<br />
korban kekerasan seksual. Walaupun tidak semua korban kekerasan<br />
seksual akan menjadi pelaku tindak kejahatan kekerasan seksual di<br />
masa yang akan datang tetapi tindakan preventif harus tetap dilakukan.<br />
Makalah ini disusun, diharapkan dapat menjadi salah satu solusi untuk<br />
menghentikan kekerasan seksual dengan memberikan gambaran<br />
perlunya perlindungan dan pendampingan korban kekerasan seksual<br />
sehingga meminimalisir terjadinya peristiwa korban kekerasan seksual<br />
menjadi pelaku kekerasan seksual. Alasan lain mengapa perlunya<br />
perlindungan dan pendampingan korban kekerasan seksual adalah<br />
dengan melihat dampak dari kekerasan seksual yang sangat<br />
mengerikan bagi korban. Kebanyakan korban kekerasan seksual<br />
merasakan kriteria psychological disorder yang disebut post-traumatic<br />
stress disorder (PTSD), simtom-simtomnya berupa ketakutan yang<br />
intens terjadi, kecemasan yang tinggi, emosi yang kaku setelah<br />
peristiwa traumatis. Beitch-man et al (dalam Tower, 2002), korban<br />
yang mengalami kekerasan membutuhkan waktu satu hingga tiga tahun<br />
untuk terbuka pada orang lain.<br />
A. Latar Belakang<br />
Korban kekerasan seksual berpotensi untuk menjadi pelaku<br />
kejahatan serupa. Untuk itu, perlu dilakukan perlindungan dan<br />
pendampingan korban kekerasan seksual. Walaupun tidak semua<br />
korban kekerasan seksual akan menjadi pelaku tindak kejahatan<br />
kekerasan seksual di masa yang akan datang tetapi tindakan preventif<br />
harus tetap dilakukan.<br />
Sejauh ini, tindakan-tindakan baik represif atau preventif belum<br />
dilakukan dengan maksimal, karena memang belum terstruktur dan<br />
terprogram dengan baik. Pemerintah dan seluruh pihak harus dapat<br />
benar-benar memberikan perhatian serius terhadap persoalan ini, agar<br />
korban kejahatan tidak berpotensi menjadi pelaku, begitu juga dengan<br />
pelaku agar tidak mengulangi lagi perbuatannya.<br />
118
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
1. Kekerasan<br />
Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan<br />
salah. Menurut WHO (dalam Bagong. S, dkk, 2000). Kekerasan adalah<br />
penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan<br />
terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau<br />
masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar<br />
mengakibatkan memar/ trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan<br />
perkembangan atau perampasan hak.<br />
2. Kekerasan Seksual<br />
Kekerasan seksual merupakan bentuk kontak seksual atau<br />
bentuk lain yang tidak diinginkan secara seksual. Kekerasan seksual<br />
biasanya disertai dengan tekanan psikologis atau fisik (O‟Barnett et al.,<br />
dalam Matlin, 2008). Perkosaan merupakan jenis kekerasan seksual<br />
yang spesifik. Perkosaan dapat didefiniskan sebagai penetrasi seksual<br />
tanpa izin atau dengan paksaan, disertai oleh kekerasan fisik (Tobach,<br />
dkk dalam Matlin, 2008).<br />
Kekerasan seksual adalah isu penting dan rumit dari seluruh<br />
peta kekerasan terhadap perempuan karena ada dimensi yang sangat<br />
khas bagi perempuan. Persoalan ketimpangan relasi kuasa antara pelaku<br />
dan korban adalah akar kekerasan seksual terhadap perempuan. Dalam<br />
kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, ketimpangan relasi kuasa<br />
yang dimaksud adalah antara laki-laki dan perempuan. Ketimpangan<br />
diperparah ketika satu pihak (pelaku) memiliki kendali lebih terhadap<br />
korban. Kendali ini bisa berupa sumber daya, termasuk pengetahuan,<br />
ekonomi dan juga penerimaan masyarakat (status sosial atau modalitas<br />
sosial). Termasuk pula kendali yang muncul dari bentuk hubungan<br />
patron-klien atau feodalisme, seperti antara orangtua-anak, majikanburuh,<br />
guru-murid, tokoh masyarakat-warga dan kelompok bersenjata<br />
atau aparat-penduduk sipil.<br />
Komnas Perempuan mencatat dalam waktu tiga belas tahun<br />
terakhir kasus kekerasan seksual berjumlah hampir seperempat dari<br />
seluruh total kasus kekerasan, atau 93.960 kasus dari seluruh kasus<br />
kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan (400.939). Artinya<br />
setiap hari 20 perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Data ini<br />
merupakan hasil dokumentasi yang berasal dari CATAHU, yaitu catatan<br />
tahunan Komnas Perempuan bersama lembaga-lembaga layanan bagi<br />
perempuan korban, pemantauan Komnas Perempuan tentang<br />
pengalaman kekerasan terhadap perempuan di dalam konteks Aceh,<br />
Poso, Tragedi 1965, Ahmadiyah, migrasi, Papua, Ruteng, pelaksanaan<br />
Otonomi Daerah, dan rujukan Komnas Perempuan pada data dari Tim<br />
Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 serta<br />
Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor Leste (CAVR).<br />
119
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
B. Alasan-Alasan Perlunya Perlindungan dan Pendampingan<br />
Korban Kekerasan Seksual.<br />
Secara umum, perlunya diberikan perlindungan hukum pada<br />
korban kejahatan secara memadai tidak saja merupakan isu nasional,<br />
tetapi juga internasional, oleh karena itu masalah ini perlu memperoleh<br />
perhatian yang serius. Pentingnya perlindungan korban kejahatan<br />
memperoleh perhatian serius, dapat dilihat dari dibentuknya<br />
Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and<br />
Abuses of Power oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sebagai hasil<br />
dari The Seventh United Nation Conggres on the Prevention of Crime<br />
and the Treatment of Offenders, yang berlangsung di Milan, Italia,<br />
Sepetember 1985, dalam salah satu rekomendasinya disebutkan:<br />
“Offenders or third parties responsible for their behaviour<br />
should, where appropriate, make fair restitution to victims, their<br />
families or dependents. Such restitution should include the return<br />
of property or payment for the harm or loss suffered,<br />
reimbursement of expenses incurred as a result of the<br />
victimization, the provision of services and the restoration of<br />
rights”.<br />
(Pelaku atau mereka yang bertangung jawab atas suatu perbuatan<br />
melawan hukum, harus memberi restitusi kepada korban,<br />
keluarga atau wali korban. Restitusi tersebut berupa<br />
pengembalian hak milik atau mengganti kerugian yang diderita<br />
korban, kerugian biaya atas kelalaian yang telah dilakukannya<br />
sehingga menimbulkan korban, yang merupakan suatu penetapan<br />
undang-undang sebagai bentuk pelayanan dan pemenuhan atas<br />
hak).<br />
Dalam Deklarasi Milan 1985 tersebut, bentuk perlindungan<br />
yang diberikan mengalami perluasan yang tidak hanya ditujukan pada<br />
korban kejahatan (victims of crime), tetapi juga perlindungan terhadap<br />
korban akibat penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).<br />
Hal ini menunjukkan bahwa perlindungan terhadap korban<br />
memperoleh perhatian yang serius tidak hanyadari masing-masing<br />
negara, tetapi juga dunia. Deklarasi PBB memberi perlindungan<br />
terhadap korban dengan memberikan restitusi, sehingga korban<br />
mendapatkan ganti kerugian atas apa yang telah dideritanya.<br />
Pada Juni, 2014 terjadi kembali kasus kekerasan seksual di<br />
Banyumas, Jawa Tengah yaitu seorang pedagang cilok keliling di<br />
Purwokerto Kabupaten Banyumas Jawa Tengah berinisial DS (25<br />
tahun) yang beralamat di Jalan Sokajati, Pasirmuncang, Purwokerto<br />
Barat, baru-baru ini ditangkap Timsatreskrim Polres setempat karena<br />
diduga telah mencabuli anak-anak di bawah umur. Tak tanggungtanggung,<br />
jumlah korban pencabulan diperkirakan mencapai 28 anak<br />
120
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
berusia rata-rata antara 10-14 tahun. Modusnya, bocah yang akan<br />
dijadikan korban, oleh tersangka pelaku iming-iming uang yang<br />
besarnya antara Rp5.000,00-Rp20.000,00. Bocah yang tergiur kemudian<br />
diajak oleh pelaku ke tempat yang sepi dengan motornya. Ada yang<br />
dibawa ke warnet, lapangan, kamar mandi atau bahkan dibawa ke WC<br />
umum. Sebelum dicabuli, korban terlebih dahulu diberi minuman keras<br />
yang dicampur dengan pil dextro. Setelah korban diberi minuman dan<br />
tidak berdaya, pelaku mencabuli korban atau melakukan perbuatan yang<br />
tidak pantas. Terkait perilakunya yang menyimpang, tersangka DS<br />
mengaku pernah menjadi korban pencabulan oleh tetangganya.<br />
Berdasarkan kasus tersebut ditemukan fakta bahwa pelaku<br />
kekerasan seksual dahulu pernah menjadi korban kekerasan seksual.<br />
Memang ada berbagai macam alasan seseorang menjadi pelaku<br />
kekerasan seksual seperti faktor penyimpangan seksual, kesempatan,<br />
namun pada kasus lain yaitu Kasus di TK Jakarta International School<br />
salah satu pelaku juga pernah menjadi korban kekerasan seksual<br />
sewaktu kecil.<br />
Ketika para pelaku kekerasan seksual yang dulunya pernah<br />
menjadi korban kekerasan seksual ketika baru saja mengalami kejadian<br />
memilukan tersebut tidak mendapat penanganan yang baik dari berbagai<br />
pihak. Maksudnya adalah kasus tersebut tidak dilaporkan ke Kepolisian,<br />
tidak ada psikolog yang menemani untuk memulihkan psikis korban,<br />
orang tua, teman-teman dan lingkungan sekitar pasif. Sehingga korban<br />
hanya sendirian saja dan terjadilah reviktimisasi atau korban menjadi<br />
korban untuk kedua kali. Apakah kita hanya dapat diam saja melihat<br />
fakta mengerikan itu terjadi. Seolah-olah sederetan kasus kekerasan<br />
seksual yang terkuak pada 2014 seperti siklus, artinya pelaku kekerasan<br />
seksual ternyata dulunya korban kekerasan seksual. Jadi, perlu adanya<br />
perlindungan dan pendampingan korban kekerasan seksual.<br />
Perlindungan dan pendampingan terhadap korban kekerasan<br />
seksual dapat dilakukan dengan cara:<br />
a) Dorong untuk melakukan proses hukum &assessment psikis utk<br />
traumanya;<br />
b) Laporkan kasus dilakukan di unit Perlindungan Perempuan & Anak<br />
(PPA) Polres, bisa melalui PPT PKBGA setempat, sangat<br />
disarankan korban didampingi orang-orang yg mengerti isu;<br />
c) Anak sampai dengan 18 tahun diperoses di bawah UU Perlindungan<br />
Anak. Pahami UUPA, jgn sampai sudah berkasus baru berminat<br />
mempelajarinya;<br />
d) Memproses kasus kekerasan seksual secara hukum tak semata<br />
berpatokan pada cukupnya bukti dan saksi;<br />
e) Lakukan segera proses konseling atau terapi pada korban, dengan<br />
melibatkan psikolog;<br />
121
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
f) Korban sering lebih cenderung menjawab dengan tidak rileks saat<br />
assessment psikis. Gejala trauma bisa tidak terlihat. Fase<br />
penyangkalan dan rasa bersalah bisa akibatkan korban terlihat<br />
tenang & baik-baik saja. Ini sering disalahartikan dan dilaporkan<br />
sebagai bahwa korban tidak terguncang, tidak trauma atau baik-baik<br />
saja adalah sangat merugikan;<br />
g) Lakukan juga assessment psikis pembanding di lembaga atau ahli<br />
jiwa independen yang lebih mengerti soal trauma dan bisa menggali<br />
persoalan psikis korban dengan lebih mendalam dan teliti.Jangan<br />
abaikan hasil assessment psikis, salah 'membaca' gejala trauma akan<br />
merugikan korban yang sedang butuh keadilan;<br />
h) Bila dalam proses kasus, aparat melakukan pemaksaan konfrontasi<br />
antara korban dan pelaku, pastikan korban didampingi konselor.<br />
Proses tersebut sebenarnya sangat merugikan korban karena saat<br />
korban dipertemukan dengan pelaku, ia bisa merasa terintimidasi,<br />
tertekan, dan labil;<br />
i) Mempertemukan korban dan pelaku di luar pengadilan tanpa<br />
pendamping atau konselor bisa berpotensi mencederai keadilan bagi<br />
korban;<br />
j) Karena korban yang tertekan bisa berubah karena takut atau tidak<br />
enak hati. Apalagi bila pelaku adalah orang dekat;<br />
k) Jauhkan korban dari pelaku. Sangat disarankan mengevakuasi<br />
korban ke rumah aman; dan<br />
l) Libatkan lembaga-lembaga dan pegiat isu kekerasan seksual saat<br />
memproses kasus untuk mendapatkan dukungan lebih kuat. Mereka<br />
juga akan men-support pengetahuan tentang UUPA.<br />
Alasan lain mengapa perlunya perlindungan dan pendampingan<br />
korban kekerasan seksual adalah dengan melihat dampak dari kekerasan<br />
seksual yang sangat mengerikan bagi korban. Kebanyakan korban<br />
kekerasan seksual merasakan kriteria psychological disorder yang<br />
disebut post-traumatic stress disorder (PTSD), gejala-gejala berupa<br />
ketakutan yang intens terjadi, kecemasan yang tinggi, emosi yang kaku<br />
setelah peristiwa traumatis. Beitch-man et al (dalam Tower, 2002),<br />
korban yang mengalami kekerasan membutuhkan waktu satu hingga<br />
tiga tahun untuk terbuka pada orang lain. Finkelhor dan Browne (dalam<br />
Tower, 2002) menggagas empat jenis dari efek trauma akibat kekerasan<br />
seksual, yaitu:<br />
1) Betrayal (penghianatan)<br />
Kepercayaan merupakan dasar utama bagi korban kekerasan<br />
seksual. Sebagai anak individu percaya kepada orangtua dan<br />
kepercayaan itu dimengerti dan dipahami. Namun, kepercayaan<br />
anak dan otoritas orangtua menjadi hal yang mengancam anak.<br />
2) Traumatic sexualization (trauma secara seksual)<br />
122
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Russel (dalam Tower, 2002) menemukan bahwa perempuan yang<br />
mengalami kekerasan seksual cenderung menolak hubungan<br />
seksual, dan sebagai konsekuensinya menjadi korban kekerasan<br />
seksual dalam rumah tangga. Finkelhor (dalam Tower, 2002)<br />
mencatat bahwa korban lebih memilih pasangan sesama jenis<br />
karena menganggap laki-laki tidak dapat dipercaya.<br />
3) Powerlessness (merasa tidak berdaya)<br />
Rasa takut menembus kehidupan korban. Mimpi buruk, fobia, dan<br />
kecemasan dialami oleh korban disertai dengan rasa sakit. Perasaan<br />
tidak berdaya mengakibatkan individu merasa lemah. Korban<br />
merasa dirinya tidak mampu dan kurang efektif dalam bekerja.<br />
Beberapa korban juga merasa sakit pada tubuhnya. Sebaliknya,<br />
pada korban lain memiliki intensitas dan dorongan yang berlebihan<br />
dalam dirinya (Finkelhor dan Browne, Briere dalam Tower, 2002).<br />
4) Stigmatization<br />
Korban kekerasan seksual merasa bersalah, malu, dan memiliki<br />
gambaran diri yang buruk. Rasa bersalah dan malu terbentuk akibat<br />
ketidakberdayaan dan merasa bahwa mereka tidak memiliki<br />
kekuatan untuk mengontrol dirinya. Korban sering merasa berbeda<br />
dengan orang lain, dan beberapa korban marah pada tubuhnya<br />
akibat penganiayaan yang dialami. Korban lainnya menggunakan<br />
obat-obatan dan minuman alkohol untuk menghukum tubuhnya,<br />
menumpulkan inderanya, atau berusaha menghindari memori<br />
kejadian tersebut (Gelinas, Kinzl dan Biebl dalam Tower, 2002).<br />
C. Perlindungan dan Pendampingan Korban Kekerasan Seksual<br />
di Banyumas, Jawa Tengah<br />
Menurut Dra. Tri Wuryaningsih, M.Si., Dosen Fisip Jurusan<br />
Sosiologi Unsoed Purwokerto indikator telah terjadi kekerasan seksual<br />
antara lain:<br />
a) Adanya perubahan pada perasaan, sikap maupun perilaku anak pada<br />
hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas;<br />
b) Pengetahuan yang tiba-tiba dimilikinya tentang seks;<br />
c) Reaksi yang sangat kuat pada kontak fisik seperti misalnya sangat<br />
menarik diri dari kontak fisik atau sebaliknya mempunyai<br />
ketertarikan yang besar untuk bermain-main dengan seksualitasnya;<br />
d) Menunjukkan kemunduran perkembangan secara fisiologis atau<br />
perilaku yang tiba-tiba, seperti: perubahan kebiasan tidur, makan,<br />
prestasi di sekolah (mundur sekali atau malah berprestasi);<br />
e) Mengalami masalah dalam hubungannya dengan orang lain di<br />
sekolah, seperti:bermasalah dengan kedisiplinan, menghindar dari<br />
tugas-tugas, menarik diri;<br />
f) Ketegangan emosi, misalnya selalu takut, cemas, mudah<br />
tersinggung, mudah marah, dan depresi.<br />
123
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Meskipun kekerasan seksual terjadi secara berulang dan terus<br />
menerus, namun tidak banyak masyarakat yang memahami dan peka<br />
tentang persoalan ini. Kekerasan seksual seringkali dianggap sebagai<br />
kejahatan terhadap kesusilaan semata. Pandangan semacam ini bahkan<br />
didukung secara tidak langsung oleh negara melalui muatan dalam<br />
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam KUHP<br />
kekerasan seksual seperti perkosaan dianggap sebagai pelanggaran<br />
terhadap kesusilaan. Pengkategorian ini tidak saja mengurangi derajat<br />
perkosaan yang dilakukan, namun juga menciptakan pandangan bahwa<br />
kekerasan seksual adalah persoalan moralitas semata. Sikap korban<br />
membungkam justru pada banyak kesempatan didukung, bahkan<br />
didorong oleh keluarga, orang-orang terdekat, dan masyarakat<br />
sekitarnya. Konteks moralitas ini pula yang menjadikan kekerasan<br />
seksual lebih sering dipahami sebagai pelanggaran terhadap kesusilaan<br />
semata.<br />
Di satu sisi, pemahaman sebagai masalah kesusilaan<br />
menyebabkan kekerasan seksual dipandang kurang penting<br />
dibandingkan dengan isu-isu kejahatan lainnya seperti pembunuhan<br />
ataupun penyiksaan. Padahal, pengalaman korban kekerasan seksual<br />
menunjukkan bahwa kekerasan seksual dapat menghancurkan seluruh<br />
integritas hidup korban sehingga ia merasa tidak mampu melanjutkan<br />
hidupnya lagi. Aspek khas dari kekerasan seksual terkait dengan<br />
wacana moralitas juga menjadi salah satu hambatan terbesar dalam<br />
upaya korban memperoleh haknya atas kebenaran, keadilan dan<br />
pemulihan. Pengaitan peristiwa kekerasan seksual dengan persoalan<br />
moralitas menyebabkan korban membungkam dan korban justru<br />
disalahkan atas atas kekerasan yang dialaminya. Karena apa yang<br />
dialami korban dimaknai sebagai “aib”, tidak saja bagi dirinya tetapi<br />
juga bagi keluarga dan komunitasnya, korban seringkali dikucilkan.<br />
Ada pula korban yang diusir dari rumah dan kampungnya karena<br />
dianggap tidak mampu menjaga kehormatan dan merusak nama baik<br />
keluarga ataupun masyarakat.<br />
Pengucilan dan stigmatisasi atau pelabelan dirinya sebagai<br />
“barang yang rusak” akibat kekerasan seksual itu bahkan dapat<br />
berlangsung sekalipun korban memenangkan kasusnya di pengadilan.<br />
Korban kerap dituduh membiarkan peristiwa kekerasan tersebut ketika<br />
ia dianggap tidak berupaya untuk melawan pelaku, menempatkan<br />
dirinya terus-menerus gampang direngkuh pelaku, ataupun terbuai<br />
dengan iming-iming pelaku.<br />
Landasan Hukum untuk Jaminan Perlindungan dari Tindak<br />
Kekerasan Seksual Nasional:<br />
1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 285, 286, 287,<br />
290, dan 291;<br />
124
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan<br />
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) pasal 8(b), 47, dan 48;<br />
3) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan<br />
Tindak Pidana Perdagangan Orang pasal 1 (3 dan 7);<br />
4) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak<br />
pasal 1(15), 17 (2), 59, 66 (1 dan 2), 69, 78, dan 88<br />
Landasan Hukum untuk Jaminan Perlindungan dari Tindak<br />
Kekerasan Seksual Internasional:<br />
1) Statuta Roma Pasal 7 ayat 2 (g), Pasal 69 ayat 1 dan 2, dan pasal 68;<br />
2) Resolusi PBB 1820 tentang Kekerasan Seksual dalam Konflik<br />
Bersenjata;<br />
3) Deklarasi Penghapusan Tindak Kekerasan terhadap Perempuan<br />
(ICPD) pada bulan Desember 1993;<br />
4) Deklarasi Wina Tahun 1993.<br />
1. Hambatan Mengakses Keadilan & Pemulihan Bagi Korban<br />
Kekerasan Seksual<br />
Secara umum, ada empat faktor penentu perempuan korban<br />
perkosaan dalam mengakses keadilan dan pemulihan, yaitu faktor<br />
personal, sosial budaya, hukum, dan politik. Keempat faktor ini saling<br />
kait-mengait dan menentukan tingkat kepercayaan korban untuk<br />
melaporkan kasusnya, menuntut keadilan dan menjadi pulih. Di tingkat<br />
personal, perempuan korban perkosaan bisa menderita trauma<br />
mendalam akibat perkosaan yang ia alami. Trauma ini dapat<br />
termanifestasi pada kehilangan ingatan pada peristiwa yang dialaminya,<br />
kehilangan kemampuan bahasa, gangguan kejiwaan, rasa takut yang<br />
luar biasa, atau keinginan untuk melupakan dengan tidak membicarakan<br />
peristiwa yang melukainya itu. Kesemua hal ini menyebabkan korban<br />
tidak mampu atau tidak bersedia untuk melaporkan kasusnya.<br />
Faktor sosial budaya seperti konsep moralitas dan aib<br />
mengakibatkan masyarakat cenderung menyalahkan korban, meragukan<br />
kesaksian korban atau mendesak korban untuk bungkam. Pada sejumlah<br />
masyarakat, konsep “AIB” juga dikaitkan dengan konsep nasib sial dan<br />
karma. Perempuan korban perkosaan dianggap bernasib sial karena<br />
harus menanggung balasan dari tindak kejahatan yang pernah dilakukan<br />
oleh keluarga atau para leluhurnya. Menceritakan tindak kekerasan<br />
seksual yang ia alami dianggap membongkar aib yang ada di dalam<br />
keluarganya. Situasi ini pula yang mendorong keluarga untuk<br />
mengambil keputusan bagi korban untuk tidak melapor. Cara pikir<br />
tentang “aib” seringkali menyudutkan korban, dikucilkan, atau diusir<br />
dari lingkungannya atau bahkan dipaksa untuk menjalani hidupnya<br />
dengan pelaku kekerasan, misalnya dengan memaksakan perempEuan<br />
korban menikahi pelakunya.<br />
125
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Pada faktor hukum, ada tiga aspek yang harus diperhatikan<br />
dalam memahami hambatan yang dihadapi korban yaitu aspek<br />
substansi, struktur dan budaya hukum. Di tingkat substansi, sekalipun<br />
ada penegasan pada hak atas perlindungan dari kekerasan dan<br />
diskriminasi, berbagai jenis kekerasan seksual belum dikenali oleh<br />
hukum Indonesia, ataupun pengakuan pada tindak kekerasan tersebut<br />
masih belum utuh. Dalam konteks perkosaan, hukum Indonesia hanya<br />
mengakomodir tindak pemaksaan hubungan seksual yang berbentuk<br />
penetrasi penis ke vagina dan dengan bukti-bukti kekerasan fisik akibat<br />
penetrasi tersebut.Padahal, ada banyak keragaman pengalaman<br />
perempuan akan perkosaan, sehingga perempuan tidak dapat menuntut<br />
keadilan dengan menggunakan hukum yang hanya memiliki definisi<br />
sempit atas tindak perkosaan itu. Di tingkat struktur, lembaga penegak<br />
hukum mulai membuat unit dan prosedur khusus untuk menangani<br />
kasus kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual.<br />
Sayangnya, unit dan prosedur ini belum tersedia di semua tingkat<br />
penyelenggaraan hukum dan belum didukung dengan fasilitas yang<br />
memadai. Di tingkat kultur atau budaya hukum, banyak penyelenggara<br />
hukum mengadopsi cara pandang masyarakat tentang moralitas dan<br />
kekerasan seksual.<br />
Akibatnya, penyikapan terhadap kasus tidak menunjukkan<br />
empati pada perempuan korban, bahkan cenderung ikut menyalahkan<br />
korban. Pertanyaan seperti memakai baju apa, sedang berada dimana,<br />
dengan siapa jam berapa merupakan beberapa pertanyaan yang kerap<br />
ditanyakan oleh aparat penegak hukum ketika menerima laporan kasus<br />
perkosaan. Pertanyaan semacam itu tidak saja menunjukkan bahwa<br />
tiadanya perspektif korban tapi juga bentuk mengakimi korban dan<br />
menjadikan korban mengalami kekerasan kembali (reviktimisasi).<br />
Persoalan lain yang seringkali muncul adalah tersedia tidaknya<br />
perlindungan saksi dan korban yang mumpuni. Pada sejumlah kasus,<br />
korban tidak mau melaporkan kasusnya karena kuatir balas dendam<br />
pelaku. Korupsi dalam proses penegakan hukum yang begitu mengurat<br />
akar juga menjadi hambatan bagi perempuan korban yang kehilangan<br />
keyakinan bahwa ia akan memperoleh proses hukum yang adil dan<br />
terpercaya. Faktor lain yang mempengaruhi akses perempuan korban<br />
perkosaan pada proses mencari keadilan dan pemulihan adalah faktor<br />
politik. Dalam konteks konflik, proses pengungkapan kebenaran sangat<br />
ditentukan oleh itikad baik politik (good will) penyelenggara negara.<br />
2. Ranah Kekerasan Seksual<br />
Kekerasan seksual bisa terjadi pada siapa saja dan kapanpun.<br />
Data Komnas Perempuan tahun 2012 menunjukkan kekerasan seksual<br />
terjadi disemua ranah yaitu personal, publik dan negara. Jumlah paling<br />
tinggi terjadi di ranah personal, yaitu ¾ dari total kekerasan seksual. Di<br />
126
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
ranah personal artinya kekerasan seksual dilakukan oleh orang yang<br />
memiliki hubungan darah (ayah, kakak, adik, paman, kakek),<br />
kekerabatan, perkawinan (suami) maupun relasi intim (pacaran) dengan<br />
korban. Banyaknya jumlah kasus di tingkat personal bisa jadi terkait<br />
dengan kehadiran payung hukum, yaitu UU. No. 23 tahun 2004 tentang<br />
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), yang telah<br />
disosialisasikan secara meluas ke masyarakat, bertambahnya lembagalembaga<br />
yang dapat diakses oleh perempuan korban, serta<br />
meningkatnya kepercayaan korban pada proses keadilan dan pemulihan<br />
yang dapat ia peroleh dengan melaporkan kasusnya itu.<br />
Jumlah kedua adalah kasus-kasus kekerasan seksual yang<br />
terjadi di ranah publik, yaitu 22.284 kasus. Di ranah publik berarti kasus<br />
dimana korban dan pelaku tidak memiliki hubungan kekerabatan, darah<br />
ataupun perkawinan. Bisa jadi pelakunya adalah majikan, tetangga,<br />
guru, teman sekerja, tokoh masyarakat, ataupun orang yang tidak<br />
dikenal. Dalam berbagai dokumentasi, ditemukan pula bahwa pelaku<br />
kekerasan adalah aparatur negara dalam kapasitas tugas. Jumlahnya<br />
mencapai 1.561 kasus. Dalam konteks pelaku adalah aparat negara<br />
dalam kapasitas tugasnya inilah yang dimaksudkan sebagai ranah<br />
negara. Termasuk di dalam kasus di ranah negara adalah ketika pada<br />
peristiwa kekerasan, aparat negara berada di lokasi kejadian namun<br />
tidak berupaya untuk menghentikan atau justru membiarkan tindak<br />
kekerasan tersebut berlanjut.<br />
Upaya yang dapat dilakukan untuk memberikan perlindungan<br />
hukum terhadap korban kekerasan seksual dapat mencakup:<br />
a. Pada waktu korban melapor perlu ditempatkan di Ruang Pelayanan<br />
Khusus (RPK) yang merupakan sebuah ruang khusus yang tertutup<br />
dan nyaman di kesatuan Polri, dimana perempuan dan anak yang<br />
menjadi korban kekerasan atau pelecehan seksual dapat melaporkan<br />
kasusnya dengan aman kepada Polwan yang empatik, penuh<br />
pengertian dan profesional;<br />
b. Upaya pendampingan sangat dibutuhkan selama proses persidangan<br />
mengingat korban dapat/harus dipertemukan dengan pelaku yang<br />
dapat membuat korban trauma sehingga akan mempengaruhi<br />
kesaksian yang akan diberikan dalam persidangan;<br />
c. Setelah pelaku dijatuhi hukuman oleh hakim, maka korban berhak<br />
mendapatkan perlindungan yang antara lain: mendapatkan<br />
nasihathukum, dan/atau memperoleh bantuan biaya hidup<br />
sementara sampai batas waktu perlindungan akhir.<br />
Aparat penegak hukum dalam memberi pelayanan dan<br />
perlindungan kepada korban kekerasan seksual seyogyanya dilandasi<br />
oleh rasa kemanusiaan, dan dalam menangani kasus perkosaan tidak<br />
hanya menggunakan landasan KUHP saja melainkan juga menggunakan<br />
Undang-Undang di luar KUHP (tidak menggunakan sangkaan pasal<br />
127
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
tunggal). Masyarakat seyogyanya juga ikut mendukung para korban<br />
kekerasan seksual untuk mendapatkan perlindungan hukum, sehingga<br />
bangsa Indonesia menjadi negara yang berhasil mensejahterakan<br />
masyarakat yang dilandasi oleh rasa kemanusiaan.<br />
3. Perlindungan dan Pendampingan Korban Kekerasan Seksual di<br />
Jawa Tengah<br />
Badan Badan Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak<br />
dan Keluarga Berencana (BP3AKB) Jawa Tengah menyatakan siap<br />
membantu pemulihan kondisi psikologi korban secara gratis. Kepala<br />
BP3AKBP Jawa Tengah, Sri Kusuma Astuti mengatakan pihaknya siap<br />
melakukan pendampingan kepada korban melalui Pusat Pelayanan<br />
Terpadu (PPT) yang memang ada di tiap kabupaten/kota. Menurut data<br />
BP3AKB yang diperoleh detikcom, ada 247 kasus kekerasan seksual<br />
yang dialami anak dari awal tahun 2014 hingga triwulan kedua yaitu<br />
bulan Juni.<br />
Sudah ada beberapa wadah yang berfungsi untuk perlindungan<br />
dan pendampingan bagi korban kekerasan seksual seperti Unit<br />
Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) di Kantor Polisi. Namun,<br />
sampai saat ini tidak ada wadah yang secara konsisten dan berkala<br />
pendampingan korban. Lembaga Swadaya Masyarakat, Komisi<br />
Perlindungan Perempuan dan Anak juga tidak memiliki program untuk<br />
mendampingi korban sampai jangka waktu tidak tertentu artinya<br />
pendampingan berhenti hanya jika korban sudah mulai melupakan<br />
kejadian kekerasan seksual yang menimpanya, tentu untuk menilai<br />
kapan waktunya maka tidak ada ukuran bakunya karena masing-masing<br />
korban memiliki perbedaan. Sehingga saat ini sangat dibutuhkan wadah<br />
yang fokus dari awal sampai akhir untuk melindungi dan mendampingi<br />
korban kekerasan seksual, jadi diperlukan regulasi untuk mengatur itu.<br />
D. Kesimpulan dan Saran<br />
1. Tanpa penanganan yang tepat, terhadap korban kekerasan seksual<br />
akan timbulkan masalah kejiwaan di masa yang akan datang,<br />
mengganggu peran dan fungsi sosialnya serta berpotensi<br />
membuatnya menjadi pelaku kekerasan juga. Ide dasar<br />
perlindungan dan pendampingan terhadap korban kekerasan seksual<br />
timbul dikarenakan korban tersebut mengalami penderitaan secara<br />
fisik juga mengalami penderitaan secara psikis yang membutuhkan<br />
waktu lama untuk memulihkannya. Mengingat penderitaan yang<br />
dialami korban kekerasan seksual tidak ringan dan membutuhkan<br />
waktu yang tidak singkat untuk bisa memulihkannya, maka aparat<br />
penegak hukum berkewajiban memberikan perlindungan terhadap<br />
korban kekerasan seksual yangdiimplementasikan dalam peraturan<br />
perundang-undangan sebagai produk hukum yang memihak korban.<br />
128
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
2. Sudah ada beberapa wadah yang berfungsi untuk perlindungan dan<br />
pendampingan bagi korban kekerasan seksual seperti Unit<br />
Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) di Kantor Polisi. Namun,<br />
sampai saat ini tidak ada wadah yang secara konsisten dan berkala<br />
pendampingan korban. Lembaga Swadaya Masyarakat, Komisi<br />
Perlindungan Perempuan dan Anak juga tidak memiliki program<br />
untuk mendampingi korban sampai jangka waktu tidak tertentu<br />
artinya pendampingan berhenti hanya jika korban sudah mulai<br />
melupakan kejadian kekerasan seksual yang menimpanya, tentu<br />
untuk menilai kapan waktunya maka tidak ada ukuran bakunya<br />
karena masing-masing korban memiliki perbedaan. Sehingga saat<br />
ini sangat dibutuhkan wadah yang fokus dari awal sampai akhir<br />
untuk melindungi dan mendampingi korban kekerasan seksual, jadi<br />
diperlukan regulasi untuk mengatur itu.<br />
Aparat penegak hukum dalam memberi pelayanan dan<br />
perlindungan kepada korban kekerasan seksual seyogyanya dilandasi<br />
oleh rasa kemanusiaan, dan dalam menangani kasus perkosaan tidak<br />
hanya menggunakan landasan KUHP saja melainkan juga menggunakan<br />
Undang-Undang di luar KUHP (tidak menggunakan sangkaan pasal<br />
tunggal). Masyarakat seyogyanya juga ikut mendukung para korban<br />
kekerasan seksual untuk mendapatkan perlindungan hukum, sehingga<br />
bangsa Indonesia menjadi negara yang berhasil menyejahterakan<br />
masyarakat yang dilandasi oleh rasa kemanusiaan.<br />
Daftar Pustaka<br />
Abineno, J.L.Ch. 1999. Seksualitas dan Pendidikan Seksual. Jakarta: PT<br />
BPK Gunung Mulia.<br />
Hamzah, Andi. 1986. Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dalam<br />
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Bandung:<br />
Binacipta.<br />
Irfan, Muhammad dkk. 2001. Perlindungan Terhadap Korban<br />
Kekerasan Seksual (Advokasi atas Hak Asasi Perempuan).<br />
Bandung: PT Refika Aditama.<br />
Wahid, Abdul dan Muhammad Irfan. 2001. Perlindungan Terhadap<br />
Korban Kekerasan Seksual : Advokasi Atas Hak Asasi<br />
Perempuan. Bandung: Refika Aditama.<br />
Waluyo, Bambang. 2011. Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi.<br />
Jakarta: Sinar Grafika.<br />
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).<br />
129
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.<br />
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi<br />
Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain<br />
yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat<br />
Manusia.<br />
Buletin Sekretaris Jenderal PBB tentang tindakan-tindakan khusus bagi<br />
perlindungan dari eksploitasi seksual dan pelanggaran seksual,<br />
St/SGB/2003/13, 9 Oktober 2003 dalam Komnas Perempuan.<br />
Komnas Perempuan. 2007. Pembela HAM: Berjuang Dalam Tekanan.<br />
The Prosecution of Sexual Violence in Conflict, The Importance of<br />
Human Rights as Means of Interpretation diakses dari<br />
http://www2.ohchr.org/english/issues/women/docs/Paper_Prosec<br />
ution_of_Sexua_Violence.pdf. pada 25 Oktober 2014.<br />
130
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
PENCEGAHAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM KEKERASAN<br />
SEKSUAL PADA ANAK DI KOTA BANJARMASIN<br />
Oleh: Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat<br />
Abstrak<br />
Anak adalah amanah dan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa yang<br />
didalam dirinya melekatharkat dan martabat sebagai manusia<br />
seutuhnya. Oleh karena itu, anak juga memiliki hak asasi manusia<br />
yang diakui oleh masyarakat dan bangsa-bangsa di dunia, diakui<br />
bahwa dalam masa pertumbuhannya seara mental anak membutuhkan<br />
perawatan, perlindungan yang khusus maupun perlindungan hukum<br />
baik sebelum maupun sesudah lahir. Makalah tentang pencegahan dan<br />
perlindungan hukum bagi anak korban tindak pidana kekerasan<br />
seksual di Kota banjarmasin ini membahas tentang bagaimana cara<br />
mencegah tindak pidana kekerasan seksual pada anak dan bagaimana<br />
perlindungan hukum bagi korban secara yuridis. Khusus topik ini<br />
ruang lingkup yang kami angkat adalah di Kota Banjarmasin yang<br />
menurut lembaga perlindungan anak di daerah Kalimantan Selatan<br />
dari tahun 2013 sampai 2014 menanjak. Oleh karena itu, peran<br />
keluarga, pemerintah kota, dan masyarakat sangat diperlukan untuk<br />
memberantas tindak pidana kekerasan seksual pada anak di Kota<br />
Banjarmasin.<br />
A. Latar Belakang<br />
Kehidupan manusia sekarang ini diwarnai oleh berbagai<br />
kemajuan dalam segala bidang seperti teknologi komputer,<br />
telekomunikasi, kedokteran, dan lain-lain. Kemauan yang telah dicapai<br />
tersebut disamping memberikan dampak positif, dan juga dampak<br />
negatif bagi kehidupan masyarakat. Dampak positif di antaranya<br />
adalah memberikan kemudahan bagi manusia untuk mendapat sesuatu<br />
yang diinginkan sesuai dengan kemampuannya. Sedangkan dampak<br />
negatif di antaranya adalah dapat menimbulkan berbagai tindak pidana<br />
(kejahatan) di dalam kehidupan .<br />
Salah satu bentuk kejahatan yang cukup meresahkan<br />
masyarakat adalah berupa tindak kekerasan seksual terhadap anak yang<br />
masih di bawah umur yang hampir melanda di seluruh wilayah<br />
Indonesia tidak terkecuali di Kota Banjarmasin.<br />
Di Indonesia kasus kekerasan seksual terus meningkat dari<br />
tahun ke tahun. Meningkatnya angka kekerasan seksual merupakan hal<br />
yang harus mendapatkan perhatian serius karena sudah menjadi<br />
fenomena yang sangat mengkhawatirkan. Hampir setiap hari<br />
131
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
pemberitaan di media massa seperti media cetak dan media elektronik<br />
mempublikasikan kasus-kasus kekerasan seksual, baik yang terjadi<br />
pada anak maupun perempuan. Kekerasan seksual adalah suatu bentuk<br />
tindakan atau percakapan seksual yang dilakukan oleh pelaku terhadap<br />
korbannya.<br />
Tindak kekerasan seksual pada anak Indonesia masih sangat<br />
tinggi. Salah satu penyebabnya adalah paradigma atau cara pandang<br />
yang keliru mengenai anak. Hal ini menggambarkan seolah-olah<br />
kekerasan terhadap anak sah-sah saja karena anak dianggap sebagai<br />
hak milik orang tua yang dididik dengan sebaik-baiknya termasuk<br />
dengan cara yang salah sekalipun. Tindak kekerasan seksual terhadap<br />
anak tersebut tidak boleh dibiarkan berlangsung secara terus-menerus,<br />
melainkan harus ditanggulangi baik melalui upaya pendekatan yuridis<br />
maupun pendekatan non yuridis serta menjadi tanggung jawab seluruh<br />
komponen masyarakat.<br />
Dengan adanya kasus kekerasan seksual terhadap anak, maka<br />
akan menjadi korban dari perbuatan seseorang dan tentunya akan<br />
menimbulkan dampak psikologis bagi kelangsungan kehidupannya.<br />
Dalam hal ini, maka kedudukan anak sebagai generasi bangsa, akan<br />
mengalami hambatan terhadap perkembangan jiwa atau mentalnya.<br />
Secara yuridis masalah tindakan kekerasan seksual terhadap<br />
anak di bawah umur dapat dikenakan pasal 290 angka (2e) KUHP<br />
yaitu seseorang yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang yang<br />
belum cukup umur 15 tahun dan diancam pidana penjara selama tujuh<br />
tahun. Disamping itu, dapat pula dikenakan pasal 292 KUHP, yaitu<br />
orang dewasa yang melakukan cabul dengan orang yang belum dewasa<br />
dari jenis kelamin yang sama dan diancam pidana penjara lima tahun.<br />
Kemudian tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak yang<br />
dibawah umur juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 39<br />
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pada pasal 58 ayat (1)<br />
disebutkan, bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkan<br />
perlindungan dari segala bentuk kekerasan seksual.<br />
Dalam rangka menanggulangi tindak pidana kekerasan seksual<br />
terhadap anak di bawah umur, maka diterbitkan Undang-Undang<br />
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam undangundang<br />
ini telah menentukan sanksi pidana terhadap tindak pidana<br />
kekerasan seksual yang dilakukan kepada seorang anak yang belum<br />
dewasa sebagaimana disebutkan pada pasal 81 ayat (1) sebagai berikut:<br />
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau<br />
ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetujuan<br />
dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana<br />
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3<br />
(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga<br />
132
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp60.000.000,00 (enam<br />
puluh juta rupiah).”<br />
Berdasarkan keterangan tersebut diatas, jelas menunjukkan<br />
bahwa seorang anak mendapatkan perlindungan hukum dari tindak<br />
kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa melalui<br />
pengenaan sanksi pidana penjara dan denda bagi pelakunya.<br />
Meskipun demikian, kenyataannya menunjukkan masih<br />
ditemukan kasus-kasus kekerasan seksual terhadap seorang anak yang<br />
belum dewasa sebagaimana pemberitaan media massa maupun media<br />
elektronik. Hal ini menunjukkan bahwa masalah tindak kekerasan<br />
seksual terhadap anak yang belum dewasa tidak hanya ditanggulangi<br />
melalui pendekatan yuridis semata melainkan diperlukan pendekatan<br />
nonyuridis atau sosiologis.<br />
Pendekatan nonyuridis tersebut dilakukan dalam upaya untuk<br />
mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan pelaku melakukan tindak<br />
kekerasan seksual terhadap seorang yang belum dewasa, sehingga<br />
dapat diambil langkah-langkah penanggulangannya dengan baik guna<br />
mengantisipasi dan mencegah terjadinya kasus demikian.<br />
Berkaitan dengan itu, perlu diketahui dampak psikologis yang<br />
dialami seorang anak yang belum dewasa yang menjadi korban tindak<br />
kekerasan seksual. Hal ini penting dilakukan dalam upaya melakukan<br />
pembinaan terhadap anak korban tindak pidana kekerasan seksual,<br />
sehingga anak tidak mengalami gangguan atau hambatan dalam<br />
perkembangan jiwa atau mentalnya.<br />
Di Banjarmasin kasus kekerasan seksual terhadap anak<br />
dibawah umur terus mengalami peningkatan. Dari data tahun 2013<br />
yang diperoleh dari Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kalimantan<br />
Selatan terjadi peningkatan kasus kekerasan seksual terhadap anak<br />
dibawah umur. Hal ini menjadi hal yang sangat mengkhawatirkan dan<br />
mengancam kelangsungan pertumbuhan anak-anak khususnya di Kota<br />
Banjarmasin.<br />
Berdasarkan gambaran pemikiran tersebut diatas, maka diambil judul<br />
makalah yaitu “Pencegahan dan Perlindungan Hukum Kekerasan<br />
Seksual terhadap Anak di Bawah Umur di Kota Banjarmasin”.<br />
B. Landasan Teori<br />
1. Pengertian Tindak Pidana<br />
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam<br />
hukum pidana Belanda, yaitu strafbaar feit. Strafbaar feit terdiri dari 3<br />
(tiga) kata yaitu straf, baar, feit. Straf diterjemahkan dengan pidana<br />
dan hukum, baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh, sedangkan<br />
untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran,<br />
133
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
dan perbuatan. 1 Dalam hukum pidana, istilah tindak pidana ini tumbuh<br />
dari pihak Kementerian Kehakiman, sering dipakai dalam perundangundangan.<br />
Meskipun tindak lebih pendek dari perbuatan, tapi tidak<br />
menunjuk kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tapi hanya<br />
menyatakan keadaan konkrit, sebagaimana halnya dengan peristiwa<br />
dengan perbedaan bahwa tindak adalah kelakuan, tingkah laku, gerakgerik,<br />
atau sikap jasmani seseorang, hal mana lebih dikenal dalam<br />
tindak-tanduk, tindakan, dan bertindak dan belakangan juga sering<br />
dipakai “ditindak”. Maka dalam perundang-undangan yang<br />
menggunakan istilah tindak pidana baik dalam pasal-pasalnya sendiri,<br />
maupun dalam penjelasannya hampir selalu dipakai pula kata<br />
perbuatan. Contohnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 tentang<br />
Pemilihan Umum (pasal 127, 129 dan lain-lain). 2<br />
Istilah “tindak” memang lebih lazim digunakan dalam<br />
peraturan perundang-undangan kita, walaupun masih banyak<br />
diperdebatkan juga ketepatannya. Tindak menunjuk pada hal kelakuan<br />
manusia dalam arti yang positif (handelen) semata, dan tidak termasuk<br />
kelakuan manusia yang pasif atau negatif (natalen). Padahal pengertian<br />
yang sebenarnya dalam istilah feit itu adalah termasuk baik perbuatan<br />
aktif maupun pasif tersebut.<br />
Perbuatan aktif artinya suatu bentuk perbuatan yang untuk<br />
mewujudkannya diperlukan/disyaratkan adanya suatu gerakan atau<br />
gerakan-gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh manusia, misalnya<br />
mengambil (pasal 362 KUHP) atau merusak (pasal 406 KUHP).<br />
Sedangkan perbuatan pasif adalah suatu bentuk tidak melakukan suatu<br />
bentuk perbuatan tersebut telah mengabaikan kewajiban hukumnya,<br />
misalnya perbuatan tidak menolong (pasal 351 KUHP) atau perbuatan<br />
membiarkan (pasal 304 KUHP).<br />
Istilah perbuatan ini dipertahankan oleh Moeljatno dan dinilai<br />
oleh beliau sebagai istilah yang lebih tepat untuk menggambarkan isi<br />
pengertian dari strafbaar feit. Begitu juga Prof.Ruslan Saleh<br />
menggunakan istilah perbuatan pidana, misalnya dalam buku beliau<br />
“Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawab Pidana”.<br />
Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana yang<br />
didefinisikan beliau sebagai “perbuatan yang dilarang oleh suatu<br />
aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa<br />
pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan<br />
tersebut”. Adapun istilah perbuatan pidana lebih tepat, alasannya<br />
adalah:<br />
1<br />
Adami Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana I. (Jakarta: PTRaja<br />
Grafindo Persada, 2002), hlm.69.<br />
2 Moeljatno. Asas-asas Hukum Pidana. (Jakarta: PT Rineka Cipta,<br />
2002),hlm. 54.<br />
134
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
1) Bahwa yang dilarang itu adalah perbuatannya (perbuatan manusia,<br />
yaitu suatu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan<br />
(orang)), artinya larangan itu ditujukan pada perbuatannya,<br />
sedangkan ancaman pidananya itu ditujukan pada orangnya.<br />
2) Antara larangan (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancaman<br />
pidana (yang ditunjukan pada orangnya) ada hubungan yang erat,<br />
dan oleh karena itu perbuatan (yang berupa keadaan atau kejadian<br />
yang ditimbulkan oleh orang tadi, melanggar larangan) dengan<br />
orang yang menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan erat pula.<br />
3) Untuk menyatakan hubungan yang erat itulah maka lebih tepat<br />
digunakan istilah perbuatan pidana, suatu pengertian abstrak yang<br />
menunjukan pada dua keadaan konkrit, yaitu: pertama adalah<br />
kejadian tertentu (perbuatan) dan kedua adanya orang yang berbuat<br />
atau yang menimbulkan kejadian itu. 3<br />
Pandangan Moeljatno terhadap perbuatan pidana seperti<br />
tercermin dalam istilah yang beliau gunakan dan rumusannya,<br />
menampakan bahwa beliau memisahkan antara perbuatan dengan orang<br />
yang melakukan yang disebut pandangan dualisme, pandangan tersebut<br />
juga dianut oleh banyak ahli, misalnya Pompe, Vos, Tresna, Roeslan<br />
Saleh, dan A.Zaenal Abidin.<br />
Pompe yang merumuskan bahwa suatu strafbaarfeit itu<br />
sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu tindakan yang menurut<br />
sesuatu rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan<br />
yang dapat dihukum. 4<br />
R.Tresna merumuskan perihal peristiwa pidana yang<br />
menyatakan bahwa“peristiwa pidana itu adalah sesuatu perbuatan<br />
atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan<br />
undang-undang atau peraturan perundang-undangan laiinya terhadap<br />
perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.” 5<br />
R.Tresna menyatakan bahwa dalam peristiwa pidana itu<br />
mempunyai syarat-syarat yaitu:<br />
1) Harus ada perbuatan manusia;<br />
2) Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalam<br />
ketentuan hukum;<br />
3) Harus terbukti adanya “dosa” pada orang yang berbuat, yaitu<br />
orang yang harus dapat dipertanggungjawabkan;<br />
4) Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum; dan<br />
3 Ibid.<br />
4 Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar<br />
Baru, 1990), hlm. 174.<br />
5 Tresna.R. Mr. Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT Tiara Limited, 1959),<br />
hlm. 27.<br />
135
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
5) Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukmnya dalam<br />
undang-undang. 6<br />
2. Pengertian Anak<br />
Dalam berbagai peraturan perundang-undangan di negara<br />
hukum Indonesia, tidak melainkan adanya rumusan dari masingmasing<br />
peraturan perundang-undangan tersebut hanyalah merupakan<br />
pembatasan terhadap suatu perbuatan tertentu, keputusan tertentu,<br />
maupun untuk mencapai tujuan tertentu dengan materi hukum yang<br />
diaturnya.<br />
Walaupun ada rumusan tentang anak, akan tetapi terdapat<br />
perbedaan dari masing-masing rumusan yang disebabkan oleh cara<br />
pandang atau tolak ukur yang berbeda dalam menentukan batasan<br />
umur untuk seorang anak. Namun pada dasarnya tujuan dari semua<br />
pembatasan tersebut adalah sama yaitu berkaitan dengan dapat<br />
tidaknya seseorang dijatuhi hukumnya serta dapat tidaknya suatu<br />
tindak pidana pertanggungjawabkan kepadanya. Adapun beberapa<br />
peraturan perundang-undangnan yang memberi rumusan tentang anak<br />
diantaranya adalah:<br />
Pasal 29 KUHPerdata yang menyatakan bahkan “Seorang<br />
jejaka yang belum mencapai umur genap delapan belas tahun,<br />
sepertipun seorang gadis yang belum mencapai umur genap lima belas<br />
tahun, tidak diperbolehkanmengikatkan dirinya dalam perkawinan”.<br />
Dari ketentuan ini, dapat disimpulkan bahwa KUHPerdata<br />
memberikan batasan umur bagi anak untuk melangsungkan<br />
perkawinan adalah 18 (delapan belas) tahun dan 15 (lima belas) tahun<br />
bagi anak perempuan.<br />
Selain itu pada pasal 330 KUHperdata disebutkan bahwa<br />
“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21<br />
(dua puluh satu) tahun dan tidak didahului kawin”. Ketentuan ini<br />
berlaku bagi orangEropa, golongan timur asing Tionghoa, dan<br />
golongan timur asing bukan Tionghoa atau bagi siapa saja yang<br />
melakukan penundukan diri terhadap BW.<br />
Pasal 45 KUHPidana menentukan bahwa “Jika orang yang<br />
dibawah umur dituntut karena melakukan tindak pidana ketika umur<br />
belum cukup 16 (enam belas) tahun, dapatlah hakim.....”. ketentuan ini<br />
merumuskan secara jelas mengenai pengertian anak dibawah umur.<br />
Batas umur 16 tahun yang ditentukan tersebut bukanlah berkaitan<br />
dengan penentuan bahwa umur 16 tahun merupakan anak yang belum<br />
dewasa tetapi ditunjukkan kepada masalah penentuan hukuman<br />
terhadap perbuatan yang telah dilakukan oleh orang-orang sebelum ia<br />
mencapai umur 16 tahun. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974<br />
6 Ibid.<br />
136
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
tentang Perkawinan pada pasal 7 ayat (1) disebutkan, bahwa<br />
“Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19<br />
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16<br />
(enam belas) tahun”.<br />
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan<br />
Anak, pada pasal 1 angka 2 disebutkan, bahwa “Anak adalah<br />
seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu0 tahun dan<br />
belum pernah kawin.” Batas umur 21 tahun ini ditetapkan berdasarkan<br />
pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial, tahap<br />
kematangan sosial. Kematangan pribadi dan kematangan mental<br />
seseorang anak yang biasanya dicapai pada umur tersebut. Undangundang<br />
No.3 tahun1997 tentang Peradilan Anak, pada pasal 1 angka 2<br />
disebutkan, bahwa “Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal<br />
telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai 18<br />
(delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.”<br />
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi<br />
Manusia pada pasal 1 angka 5 disebutkan, bahwa “Anak adalah setiap<br />
manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum<br />
menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal<br />
tersebut adalah demi kepentingannya”.<br />
Kemudian Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang<br />
Perlindungan Anak pada Pasal 1 angka 1 disebutkan, bahwa “Anak<br />
adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun<br />
termasuk anak yang masih dalam kandungan”.<br />
Berbeda dengan hukum formal, dalam hukum adat ketentuan<br />
tentang kedewasaan tidak ditentukan menurut ukuran umur yang pasti<br />
karena setiap orang berbeda tingkat kedewasaannya.<br />
Begitu pula menurut hukum islam sebagaimana dikatakan oleh<br />
Mulyana W.Kusumah bahwa kedewasaan seseorang itu tidak<br />
berdasarkan hitungan usia yang pasti tetapi sejak ada tanda-tanda<br />
perubahan badaniah baik bagi anak laki-laki maupun anak perempuan. 7<br />
Dan terjadinya perubahan ini adalah berbeda pada setiap orang.<br />
Berdasarkan uraian tersebut diatas dan sesuai dengan pokok<br />
permasalahan, maka yang dimaksud dengan anak adalah seseorang<br />
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang<br />
masih dalam kandungan.<br />
3. Pengertian Kekerasan Seksual<br />
Kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap<br />
anak terjadi akibat lemahnya posisi anak yang sering dianggap sebagai<br />
objek. Perlakuan-perlakuan tersebut tidak wajar dan sering dilakukan<br />
1986), hlm. 3.<br />
7 Mulyana W.Kusumah. Hukum dan Hak-hak Anak. (Jakarta: Rajawali,<br />
137
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
dengan mempergunakan kekerasan yang semuanya diawali dengan<br />
ancaman atau bujukan terhadap korban.<br />
Di dalam KUHP yang berlaku maupun RUU KUHP yang telah<br />
disusun di Indonesia dikenal istilah kekerasan seksual, beberapa<br />
bentuknya seperti perkosaan, perbuatan cabul, dan prostitusi dapat<br />
dikemukakan di dalamnya, yakni dibawah payung bab kejahatan<br />
terhadap kesusilaan.<br />
Dengan demikian, kekerasan seksual termasuk dalam kategori<br />
kejahatan kesusilaan. Itu sendiri tidak ada penjelasannya secara resmi<br />
dalam KUHP. Penjelasan mengenai istilah ini dapat ditemukan dalam<br />
buku non resmi yang disusun oleh R. Soesilo yang menyebutkan<br />
bahwa: “Kesusilaan diartikan sebagai rasa kesopanan yang berkaitan<br />
dengan nafsu perkelaminan. Lebih jauh dikatakan sebagai suatu<br />
perasaan malu yang berhubungan dengan nafsu kelamin”. 8 Misalnya,<br />
bersetubuh, meraba buah dada perempuan, meraba tempat kemaluan<br />
perempuan atau laki-laki, mencium, dan sebagainya. 9<br />
Begitu pula istilah kekerasan tindak dirumuskan secara jelas<br />
baik dalam KUHP maupun RUU KUHP Nasional. Dalam Pasal 89<br />
KUHP hanya disebutkan bahwa yang disamakan melakukan kekerasan<br />
adalah membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya lagi (lemah).<br />
Melakukan kekerasan artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan<br />
jasmani tidak kecil secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan<br />
atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang, dan<br />
sebagainya. 10<br />
Kemudian dalam RUU KUHP nasional kekerasan atau<br />
ancamankekerasan dirumuskan sebagai berikut: 11<br />
Bahwa perempuan tidak menghendaki/menyetujui hubungan seksual<br />
tersebut. Mengeluarkan atau bahkan mengeliminasi hubungan seksual<br />
yang dilakukan berdasarkan ketundukan (submssion), karena alasanalasan<br />
tertentu. Umpamanya antara seorang majikan terhadap<br />
bawahanya yang merasa khawatir dengan masa depan pekerjaannya,<br />
atau cemas dengan nilai ujian dalam konteks hubungan guru dengan<br />
murid.<br />
Menurut WHO, kekerasan atau violence adalah penggunaan<br />
kekuatan fisik dan kekerasan, ancaman atau tindakan terhadap diri<br />
sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang<br />
8 R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta<br />
Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politteia, 1983),<br />
hlm. 204.<br />
9 Ibid.<br />
10 Ibid.<br />
11 Ratna Batara Munti. Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas. Jakarta:<br />
Deputi Kajian LBH Apik.<br />
138
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis,<br />
kelainan perkembangan ataupun perampasan hak.<br />
R.Audi menyatakan bahwa “Violence sebagai serangan atau<br />
penyalahgunaan fisik terhadap seseorang atau binatang atau serangan<br />
penghancuran, perusakan yang sangat keras, kasar, kejam dan ganas<br />
atas milik atau sesuatu yang secara potensial dapat menjadi milik<br />
seseorang.” 12 Dari pengertian tersebut di atas, dapat disimpulkan<br />
bahwa setiap penggunaan kekuatan fisik atau serangan yang dilakukan<br />
oleh seseorang atau sekelompok orang yang merupakan keadaan<br />
alamiah manusia dimana tindakan tersebut dapat mengakibatkan<br />
luka/trauma terhadap orang lain.<br />
Pengertian seksual menurut kamus hukum adalah “Sesuatu<br />
yang berkenaan dengan seks, segala sesuatu yang berkaitan dengan<br />
masalah persetubuhan antara laki-laki dan perempuan khusus di antara<br />
manusia.” 13 Istilah seksualitas merujuk pada suatu konsep, konstruksi<br />
sosial terhadap nilai, orientasi, perilaku yang berkaitan dengan seks.<br />
Seks adalah ciri-ciri anatomi biologis yang memberikan perbedaan<br />
antara laki-laki dan perempuan. 14<br />
Pengertian seksual dalam istilah ilmu kedokteran yaitu hal-hal<br />
yang berkaitan dengan persetubuhan dan hasil kekerasan<br />
penyertaannya seperti pada perkosaan dan penyimpangan seksual yang<br />
lain. 15<br />
Aktivitas seksual yang disertai kekerasan seksual tidak hanya<br />
antar lawan jenis, tetapi pada hubungan kelamin sejenis bahkan<br />
dilakukan terhadap anak-anak sekalipun.Kekerasan seksual terhadap<br />
anak diartikan sebagai penggunaan anak dan remaja yang masih<br />
dependen, sebelum matang tingkat perkembangannya dalam kegiatan<br />
yang tidak dipahami sepenuhnya oleh mereka yang tidak mampu<br />
melakukan secara sukarela atau melanggar norma sosial dari peran<br />
keluarga. 16<br />
Definisi tersebut mungkin akan lebih “keras” jika ditambahkan<br />
unsur pemaksaan ke dalamnya. Pemaksaan menjadi unsur yang<br />
niscaya dianggap bahwa anak, berhubung tingkat perkembangan<br />
belum mampu melakukan tindakan seksual atas dasar suka sama suka.<br />
Istilah penganiayaan atau pelecehan seksual sering dipakai pengganti<br />
12 I Marshana Windhu. Kekuasaan dan Kekerasan. Jakarta: Kanisius.<br />
hlm. 63.<br />
13 Sudarson,Kamus Hukum,(Jakarta: Rineka Cipta, 1992),hlm. 432.<br />
14<br />
Ahmad Sofian, et.all,Kekerasan Seksual Terhadap Anak<br />
Jerman,(Yogyakarta: Kerjasama PusatPenelitian Kependudukan Universitas<br />
Gadjah Mada dan Ford Foundation), hlm. 7.<br />
15 Kusnadi, Masalah Seksual,(Surabaya: Karya Anda, 1990), hlm. 26.<br />
16 Ibid., hlm. 8.<br />
139
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
istilah kekerasan seksual. 17 Penyalahgunaan seks pada anak adalah jika<br />
ada seorang anak (dibawah 16 tahun) dilibatkan dalam kegiatan yang<br />
bertujuan untuk membangkitkan gairah seksual pada pihak yang<br />
mengajak dan pihak pengajak tersebut secara seksual memang sudah<br />
matang. Penyalahgunaan seksual terhadap anak menurut Ducan dan<br />
Beker, misalkan dilakukan oleh dan antara anggota keluarga, dengan<br />
orang diluar keluarganya atau dengan orang yang asing sama sekali.<br />
Hanya terjadi sekali atau beberapa kali, dengan orang yang sama atau<br />
orang yang berbeda. 18<br />
Bentuk kegiatan penyalahgunaan seks bisa berupa tanpa<br />
kontak fisik sama sekali seperti cabul, ekshibisionisme, ada kontak<br />
fisik (diraba, dibelai, masturbasi) atau terjadi senggama. 19<br />
Penyebab pelecehan seksual pada dasarnya adalah adanya<br />
dorongan seksual yang menimbulkan ketegangan seksual, dan<br />
membutuhkan pelepasan seksual. Bagi pelaku, bentuk-bentuk<br />
pelecehan seksual merupakan pelepasan ketegangan seksual, walaupun<br />
tidak selalu berupa keputusan seksual yang utuh. 20<br />
C. Pembahasan<br />
Pencegahan terhadap kekerasan seksual pada anak dibawah<br />
umur dapat dilakukan dengan beberapa upaya salah satunya adalah<br />
melalui peningkatan peran dan tanggung jawab orang tua. Tanggung<br />
jawab orang tua yaitu melindungi anak-anak dari tindak kekerasan<br />
seksual. Selain pencegahan melalui peningkatan peran dan tanggung<br />
jawab orang tua, peran dan koordinasi antara lembaga-lembaga sosial<br />
masyarakat lain seperti sekolah dan masyarakat serta Lembaga<br />
Perlindungan Anak juga dibutuhkan untuk mencegah terjadinya tindak<br />
kekerasan seksual pada anak dibawah umur.<br />
Pencegahan kekerasan seksual pada anak dibawah umur dapat<br />
dilakukan melalui beberapa pendekatan. Salah satunya melalui<br />
pendekatan yuridis maupun pendekatan non-yuridis atau sosiologis<br />
seperti mengetahui faktor-faktor penyebab atau yang melatarbelakangi<br />
seorang melakukan perbuatan itu. Dari faktor-faktor inilah, pihak<br />
aparat penegak hukum, orang tua maupun masyarakat dapat<br />
mengantisipasi kemungkinan terjadinya-tindak kekerasan seksual<br />
terhadap anak dibawah umur. Bagi orang tua misalnya perlu<br />
mengawasi dengan baik, sehingga kesempatan tersebut tidak<br />
digunakan oleh seseorang untuk melakukan tindak kekerasan seksual<br />
17 Ibid.<br />
18 Nazmi Akbar, Penyalahgunaan Seks Pada Anak, Suatu Kenistaan,<br />
Artikel Koran Kalimantan Post, (2002), hlm. 4.<br />
19 Ibid.<br />
20 Ahmad Sofian, et.al. Op. Cit., hlm. 5.<br />
140
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
terhadap anaknya. Kemudian pihak aparat penegak hukum harus<br />
bekerja sama dengan tokoh agama, tokoh masyarakat, dan pihak-pihak<br />
lainnya melakukan kegiatan penyuluhan kepada masyarakat mengenai<br />
faktor-faktor penyebab seseorang melakukan tindak kekerasan seksual<br />
terhadap anak termasuk dampaknya, sehingga dapat mengantisipasi<br />
terjadinya tindak kekerasan seksual. Selanjutnya pihak pengelola<br />
televisi dapat mengurangi tayangan-tayangan yang mengandung unsurunsur<br />
kekerasan dan pornografi.<br />
Begitu pula pihak aparat penegak hukum dalam hal ini<br />
kepolisian lebih intensif melakukan razia terhadap peredaran VCD<br />
porno serta pihak pengelola majalah atau tabloid dapat mengurangi<br />
sajian bersifat pornografi seperti memperlihatkan aurat wanita dan<br />
lain-lain.<br />
Mengingat salah satu kendala penanganan kasus tindak<br />
kekerasan seksual terhadap anak adalah keenganan dan<br />
ketidakpercayaan (keluarga) korban pada birokrasi aparat penegak<br />
hukum, khususnya kepolisian maka untuk merangsang kesediaan<br />
korban melaporkan tindak kekerasan seksual yang dialaminya<br />
semestinya dilakukan pendekatan dan kemudahan dalam proses<br />
pelaporan yang sifatnya empatif terhadap penderitaan korban.<br />
Selain deregulasi atau pemberian kemudahan dalam pelaporan<br />
oleh aparat kepolisian hal lain yang dibutuhkan korban kekerasan<br />
seksual adalah persoalan kepastian hukum. Untuk menangani anak<br />
perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual sebetulnya sangat<br />
dibutuhkan kehadiran lemabga atau pusat krisis yang benar-benar<br />
berkompeten di bidang penangana korban kekerasan seksual.<br />
Selain pencegahan melalui hal-hal tersebut diatas maka harus<br />
diketahui bahwa faktor utama terjadinya kasus kekerasan seksual<br />
adalah karena kurangnya pembelajaran moral atau faktor agama.<br />
Dalam artian seseorang yang taat melaksanakan ajaran agama maka<br />
dia mempunyai kendali dan pegangan dalam kehidupan sehari-hari,<br />
sehingga tidak mudah terpengaruh untuk melakukan tindak pidana<br />
termasuk tindak kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur.<br />
Perlindungan anak adalah segala kegiatan yang menjamin dan<br />
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh<br />
berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan<br />
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan<br />
dan diskriminasi.<br />
Anak-anak membutuhkan perlindungan dan perawatan khusus<br />
termasuk perlindungan hukum yang berbeda dari orang dewasa. Hal<br />
ini didasarkan alasan fisik dan mental anak-anak yang belum dewasa<br />
dan matang. Anak-anak perlu mendapatkan suatu perlindungan yang<br />
telah termuat dalam suatu peraturan perundang-undangan. Setiap anak<br />
kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu<br />
141
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan<br />
berkembang secara optimal baik fisik, mental, sosial, berakhlak mulia<br />
perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan<br />
kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan<br />
hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.<br />
Tujuan perlindungan anak menurut undang-undang adalah<br />
untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh<br />
berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat<br />
dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari<br />
kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang<br />
berkualitas berakhlak mulia dan sejahtera.<br />
Didalam pasal 59 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002<br />
tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa perlindungan khusus<br />
wajib diberikan kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Dalam<br />
pasal 64 ayat 1 dan 2 menyebutkan bahwa anak-anak yang berhadapan<br />
dengan hukum adalah anak-anak yang berkonflik dengan hukum dan<br />
anak korban kejahatan.Perlindungan anak secara nasional telah<br />
memperoleh dasar pijakan yuridis diantaranya Undang-Undang Dasar<br />
1945 sebagai landasan konstitusional serta pasal 21 sampai 24<br />
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.<br />
Adapun pengertian anak menurut pasal 1 angka 1 Undang-Undang<br />
Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah seseorang<br />
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang<br />
masih dalam kandungan. Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang<br />
Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak juga mengatur<br />
bahwa “Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan<br />
seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.”<br />
D. Solusi<br />
Solusi yang kami tawarkan dari masalah-masalah yang ada diatas:<br />
1) Memberdayakan peran masyarakat dalam rangka pencegahan dan<br />
perlindungan hukum bagi korban kekerasan seksual pada anak di<br />
Kota Banjarmasin.<br />
2) Mengedukasi orang tua, masyarakat dan lingkungan sekitar Kota<br />
Banjarmasin dalam rangka pencegahan dan perlindungan hukum<br />
bagi korban;<br />
3) Memberdayakan peran komisi nasional perlindungan anak kota<br />
Banjarmasin sebagai pusat konsultasi, edukasi, dan pengaduan<br />
bagi korban tindak pidana kekerasan seksual pada anak dibawah<br />
umur;<br />
4) Memberdayakan dan meningkatkan peran pemerintah kota untuk<br />
mensinergiskan semua elemen yang terlibat di dalam upaya<br />
pencegahan dan perlindungan hukum bagi korban.<br />
142
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Langkah-langkah kongkrit yang harus dilakukan dalam upaya<br />
pencegahan dan perlindungan hukum bagi korban kekerasan seksual<br />
pada anak di bawah umur:<br />
1) Memberikan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat oleh<br />
mahasiswa di Kota Banjarmasin terkait dengan urgensi<br />
pencegahan dan perlindungan hukum bagi korban dibawah umur<br />
bekerja sama dengan lembaga konsultasi dan bantuan hukum<br />
universitas lambung Mangkurat (LKBH Unlam) Banjarmasin dan<br />
komisi nasional perlindungan anak;<br />
2) Membentuk forum kajian dan advokasi dibidang pencegahan dan<br />
perlindungan hukum bagi korban kekerasan seksual di bawah umur<br />
tingkat mahasiswa di Kota Banjarmasin sebagai upaya untuk<br />
membantu pemerintah kota dalam bidang ini;<br />
3) Membentuk posko-posko pengaduan kasus kekerasan seksual di<br />
bawah umur di pelosok-pelosok kota Banjarmasin bekerjasama<br />
dengan pemerintah daerah dan warga sekitar.<br />
E. Kesimpulan dan Saran<br />
Dari pemaparan diatas kami berkesimpulan antara lain:<br />
1. Pencegahan terhadap kekerasan seksual pada anak dibawah umur<br />
dapat dilakukan dengan beberapa upaya salah satunya adalah<br />
melalui peningkatan peran dan tanggung jawab orang tua.<br />
Tanggung jawab orang tua yaitu melindungi anak-anak dari tindak<br />
kekerasan seksual. Selain pencegahan melalui peningkatan peran<br />
dan tanggung jawab orang tua, peran dan koordinasi antara<br />
lembaga-lembaga sosial masyarakat lain seperti sekolah dan<br />
masyarakat serta Lembaga Perlindungan Anak juga dibutuhkan<br />
untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan seksual pada anak<br />
dibawah umur.<br />
2. Memberdayakan peran masyarakat dalam rangka pencegahan dan<br />
perlindungan hukum bagi korban kekerasan seksual pada anak di<br />
Kota Banjarmasin.<br />
3. Selain pencegahan melalui hal-hal tersebut diatas maka harus<br />
diketahui bahwa faktor utama terjadinya kasus kekerasan seksual<br />
adalah karena kurangnya pembelajaran moral atau faktor agama.<br />
Dalam artian seseorang yang taat melaksanakan ajaran agama<br />
maka dia mempunyai kendali dan pegangan dalam kehidupan<br />
sehari-hari, sehingga tidak mudah terpengaruh untuk melakukan<br />
tindak pidana termasuk tindak kekerasan seksual terhadap anak di<br />
bawah umur.<br />
Dari pemaparan diatas kami memberikan saran anatara lain :<br />
1. Perlunya sinergisitas antara elemen-elemen yang ada seperti<br />
keluarga, masyarakat, sekolah, lembaga perlindungan anak, dalam<br />
upaya penumpasan kekerasan seksual pada anak;<br />
143
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
2. Perlunya peran pemerintah kota dalam melindungi warganya<br />
dan selaku regulator dibidang kekerasan seksual pada anak;<br />
3. Perlunya pendidikan agama sejak dini untuk menagkis seranganserangan<br />
yang negatif.<br />
Daftar Pustaka<br />
Ahmad Sofian, et.al. kekerasan Seksual Terhadap Anak Jerman.<br />
Yogyakarta: Kerjasama Pusat Penelitian Kependudukan<br />
Universitas Gadjah Mada dengan Ford Foundation.<br />
Akbar, Nazmi. 2002. “Penyalahgunaan Seks Pada Anak, Suatu<br />
Kenistaan. Artikel Koran Kalimantan Post Terbitan 16 Oktober<br />
2002.<br />
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.<br />
Kusumah. 1990. Masalah Seksual. Surabaya: Karya Anda.<br />
Munti, Ratna Batara. Tanpa tahun. Kekerasan Seksual: Mitos dan<br />
Realitas. Jakarta: Deputi Kajian LBH Apik<br />
Soesilo, R. 1983. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta<br />
Komentar-komentar Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia.<br />
Sudarsono. 1992. Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.<br />
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.<br />
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2974 Tentang<br />
Perkawinan.<br />
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang<br />
Kesejahteraan Anak.<br />
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang<br />
Hak Asasi Manusia.<br />
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang<br />
Perlindungan Anak.<br />
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan<br />
Kekerasan Dalam Rumah Tangga<br />
Windu , I Marsana. 1992. Kekuasaan dan Kekerasan. Jakarta: Kanisius.<br />
www.kpai.go.id/artikel/perlindungan-hukum-terhadap-anak-korbankejahatanperkosaan-dalam-pemberitaan-media-massa/<br />
www.gresnews.com/mobile/berita/sosial/00105-akar-masalah-danpenyebabkekerasan-pada-anak<br />
144
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
PERLINDUNGAN DAN PENANGANAN<br />
KORBAN KEKERASAN SEKSUAL DI JAWA BARAT<br />
Oleh: Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran<br />
(Pemenang Kompetisi Penulisan Makalah Komisi 3)<br />
Abstrak<br />
Di dalam upaya penegakan hukum khususnya dalam kejahatan<br />
kekerasan seksual, perlindungan dan penanganan korban merupakan<br />
salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari proses penegakan hukum<br />
itu sendiri. Sistem peradilan pidana di negara Indonesia yang bertujuan<br />
menindak secara tepat pelaku tindak pidana dimulai dari tuntutan<br />
bahkan sampai masuknya terpidana ke lembaga pemasyarakatan<br />
merupakan fokus utama negara melalui perangkatnya. Namun, hal<br />
tersebut sedikit berbanding terbalik dengan peran negara dalam<br />
memberikan perlindungan dan penanganan terhadap korban kekerasan<br />
seksual itu sendiri khususnya terkait hak materiil yang dapat diberikan<br />
kepada korban dan penanganan yang dapat diberikan kepada korban<br />
agar pulih baik secara fisik maupun secara psikis. Atas penjelasan<br />
diatas, makalah ini dibentuk dengan tujuan untuk menganalisis<br />
pelaksanaan perlindungan dan penanganan korban kekerasan seksual<br />
yang ada sekarang ini, termasuk juga instrumen perlindungan hukum<br />
korban kekerasan seksual terkait hak korban secara materiil dengan<br />
melihat dan menimbang beberapa peraturan perundang-undangan<br />
terkait. Ruang lingkup bahasan yang dimulai secara umum di Indonesia<br />
sampai akhirnya memusat kepada penanganan di Jawa Barat. Adapun<br />
analisis yang digunakan menggunakan pendekatan yuridis-empiris<br />
dengan melihat pengaturan perlindungan hukum dan penanganan<br />
korban, termasuk juga data-data terkait yang selanjutnya dijadikan<br />
sebagai hasil penelitian ini. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa<br />
belum efektifnya perlindungan hukum dan penanganan korban<br />
kekerasan seksual. Termasuk belum secara jelas mengatur terkait hak<br />
materiil yang dapat dimintakan korban sehingga perlindungan hukum<br />
terkait hak materiil masih lemah pengaturannya.<br />
A. Latar Belakang<br />
Dewasa ini, posisi korban kekerasan seksual sangatlah rentan<br />
terhadap teror, intimidasi, dan tidak terlindunginya oleh hukum serta<br />
dikucilkan dari masyarakat luas. Hal itu menjadikan korban kekerasan<br />
seksual cenderung tidak mau berbicara karena keadaannya justru dapat<br />
menempatkan dirinya sebagai “korban untuk yang kedua kalinya”<br />
akibat dari terungkapnya peristiwa yang dialaminya. Sesuai dengan<br />
istilah, siapa yang berbuat haruslah bertanggung jawab, keadilan dan<br />
145
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
kebenaran tentu harus tetap ditegakkan. Hal tersebut tidak bisa<br />
didiamkan, negara haruslah membuat instrumen hukum yang tepat<br />
terkait kejahatan-kejahatan yang khusus seperti kejahatan seksual agar<br />
tidak hanya memberikan kepastian hukum, akan tetapi juga memberikan<br />
keadilan serta kebenaran terhadap korban. Negara perlu mengambil<br />
peran ganda dalam hal ini, yakni pertama, menindak pelaku sesuai<br />
dengan hukum yang berlaku dan kedua, mengambil tindakan lanjutan<br />
bagi korban dengan tepat.<br />
Tidak terlaporkannya suatu kasus atau non-reporting of crime<br />
dalam tindak pidana kekerasan seksual menjadi kendala utama dalam<br />
melihat permasalahan secara angka atau kuantitatif. Peran negara dirasa<br />
tidak cukup memberikan perlindungan hukum termasuk di dalamnya<br />
aspek medis (fisik dan psikis), sampai pada putusan pengadilan yang<br />
dirasa tidak memberikan keadilan terhadap korban kekerasan seksual.<br />
Hal ini pun sejalan dengan peningkatan kasus kekerasanseksual yang<br />
mencapai 100 persen. 1<br />
Kenyataan tersebut menjadi problema yang luar biasa di negara<br />
yang menjunjung tinggi nilai ketimuran namun sudah mulai rontok<br />
akibat perilaku immoral yang tidak berperikemanusiaan. Negara perlu<br />
mengakomodir setiap kebutuhan masyarakatnya termasuk dalam<br />
mencari kebenaran dan menegakkan keadilan setinggi-tingginya yang<br />
bukan saja menghukum pelaku kejahatan namun bersama-sama<br />
bertanggung jawab untuk memberikan ruang dan tempat yang nyaman<br />
bagi korban kekerasan seksual yang sesuai dengan tujuan sebuah negara<br />
yang mencantumkan instrumen hak asasi manusia di dalam konstitusi<br />
sebagai dasar untuk berbangsa dan bernegara.<br />
A. Mekanisme Perlindungan Hukum Korban Kekerasan Seksual<br />
Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan<br />
Ruang lingkup perlindungan hukum yang akan dibahas adalah<br />
perlindungan yang diberikan oleh pemerintah melalui perangkat<br />
hukumnya seperti peraturan perundang-undangan (Kitab Undangundang<br />
Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana,<br />
Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban, dan instrumen hukum<br />
lainnya), mulai dari seseorang yang diidentifikasi sebagai korban<br />
kekerasan seksual, proses beracara mulai penyidikan hingga pengadilan,<br />
rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, hingga kepada proses<br />
pemulangan korban kekerasan seksual, dan reintegrasi sosial. Selain hal<br />
1 Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Peningkatan<br />
Kasus Kekerasan Seksual Capai 100 Persen, diakses dari<br />
http://2010.menkokesra.go.id/content/peningkatan-kasus-kekerasan-seksualcapai-100-persen<br />
pada tanggal 10 Oktober 2014.<br />
146
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
tersebut juga akan dibahas masalah pemberian restitusi atau ganti rugi<br />
yang dapat diberikan kepada korban kekerasan seksual.<br />
Dalam mekanisme perlindungan hukum terhadap korban<br />
kejahatan termasuk kekerasan seksual, tidak terlepas dari beberapa asas<br />
hukum yang memerlukan perhatian yakni dalam hukum pidana itu<br />
sendiri. Adapun asas-asas yang dimaksud sebagai berikut:<br />
1) Asas Manfaat<br />
Artinya perlindungan korban tidak hanya ditujukan bagi tercapainya<br />
kemanfaatan (baik materiil maupun spiritual) bagi korban<br />
kejahatan, tetapi juga kemanfaatan bagi masyarakat secara luas,<br />
khususnya dalam upaya mengurangi jumlah tindak pidana serta<br />
menciptakan ketertiban masyarakat.<br />
2) Asas Keadilan<br />
Artinya penerapan asas keadilan dalam upaya melindungi korban<br />
kejahatan tidak bersifat mutlak karena hal ini dibatasi pula oleh rasa<br />
keadilan yang harus juga diberikan pada pelaku kejahatan.<br />
3) Asas Keseimbangan<br />
Karena tujuan hukum di samping memberikan kepastian dan<br />
perlindungan terhadap kepentingan manusia, juga untuk<br />
memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat yang terganggu<br />
menuju pada keadaan yang semula (restitutio in integrum), asas<br />
keseimbangan memperoleh tempat yang penting dalam upaya<br />
pemulihan hak-hak korban.<br />
4) Asas Kepastian Hukum<br />
Asas ini dapat memberikan dasar pijakan hukum yang kuat bagi<br />
aparat penegak hukum pada saat melaksanakan tugasnya dalam<br />
upaya memberikan perlindungan hukum pada korban kejahatan. 2<br />
Jika dilihat terkait asas yang berhubungan erat dengan tujuan<br />
dari instrumen tersebut, sesuailah dengan pendapat Andi Hamzah dalam<br />
bukunya “Dalam membahas hukum acara pidana khususnya yang<br />
berkaitan dengan hak- hak asasi manusia, ada kecenderungan untuk<br />
mengupas hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak tersangka tanpa<br />
memperhatikan pula hak-hak korban.” 3 Terkait perlindungan hukum<br />
tersebut haruslah dimulai dari persamaan di depan hukum. Maksudnya<br />
ialah melindungi hak setiap orang yang menjadi korban kekerasan<br />
seksual untuk mendapatkan perlakuan dan perlindungan yang sama di<br />
depan hukum. Oleh karena itu, hukum harus menjamin suatu sistem<br />
2 Dikdik M. Arief Mansur, Urgensi Perlidungan Korban Kejahatan<br />
Antara Norma dan Realita, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), hlm.<br />
164.<br />
3 Andi Hamzah, Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia dalam Kitab<br />
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, (Bandung: Binacipta, 1986), hlm. 33.<br />
147
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
dimana untuk setiap pelanggaran hukum yang telah terjadi atas korban<br />
serta dampak yang diderita oleh korban, maka korban tersebut berhak<br />
untuk mendapat bantuan dan perlindungan yang diperlukan sesuai<br />
dengan asas hukum.<br />
Perlindungan hukum korban kejahatan sebagai bagian dari<br />
perlindungan masyarakat dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk,<br />
seperti melalui pemberian restitusi dan kompensasi, pelayanan medis,<br />
dan bantuan hukum. Mengenai ganti rugi dan restitusi adalah sesuatu<br />
yang diberikan kepada pihak yang menderita kerugian dengan<br />
memperhitungkan kerusakan yang disebabkan oleh si pelaku secara<br />
langsung dan menimbulkan pula pertanggungjawaban secara tidak<br />
langsung kepada masyarakat atau negara (the responsible of the<br />
society). Seringkali terdapat kelemahan dalam sistem tersebut dalam<br />
arti KUHAP hanya memberikan perlindungan hukum kepada korban<br />
dalam bentuk pemberian ganti kerugian melalui penggabungan perkara<br />
dan tidak mengatur mengenai bentuk perlindungan hukum lainnya.<br />
Tidak diaturnya secara khusus perlindungan hukum untuk korban<br />
kejahatan khususnya korban kekerasan seksual dirasa menimbulkan<br />
ketidakadilan. Ada beberapa keadaan yang dipandang dari aspek korban<br />
kekerasan seksual khususnya korban pemerkosaan mengenai<br />
perlindungan hukum saat ini:<br />
1) Korban tidak mendapatkan ganti rugi (putusan yang dijatuhkan<br />
hakim hanya menjatuhkan satu jenis putusan pemidanaan)<br />
2) Jika terjadi kehamilan akibat perkosaan, maka posisi korban tidak<br />
mendapatkan perlindungan yang jelas<br />
3) Tidak ada pengakuan status anak akibat perkosaan<br />
Jika mengacu kepada tujuan pidana itu sendiri yang lebih<br />
condong dalam aspek melihat pelaku, hal tersebut memanglah perlu<br />
akan tetapi perlu juga ada kekhususan terhadap kejahatan khusus pula,<br />
salah satunya ialah kekerasan seksual itu sendiri. Bahwa dalam<br />
penanganan baik secara hukum dan aspek medis diperlukan hal-hal<br />
khusus akibat sangat kompleksnya kekerasan seksual ini, antara lain:<br />
1) Terkait pembuktian dimana seringkali kejahatan terjadi tanpa saksi<br />
mata lain hanya saksi korban saja (unnus testis nullus testis atau<br />
satu saksi bukan saksi);<br />
2) Ketakutan korban untuk melaporkan kasus tersebut dengan alasan<br />
yang kompleks pula;<br />
3) Alat bukti yang minim, terutama seringkali sudah hilang akibat<br />
sudah membersihkan diri;<br />
4) Perspektif korban yang takut akan hukum;<br />
5) Seringkali melapor pada saat kejadian sudah berulang-ulang terjadi;<br />
6) Pengaruh dimana akan melakukan perbuatan yang sama kepada<br />
orang lain; dan<br />
148
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
7) Penyakit seksual.<br />
Maka dapat dilihat perlunya kekhususan sejak awal terhadap<br />
seseorang yang menjadi korban kekerasan seksual sehingga akhirnya<br />
kekhususan ini memberikan ruang gerak yang baik untuk korban itu<br />
sendiri. Hal tersebut menjadi pusat perhatian yang terletak khusus<br />
kepada korban. Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa pengertian<br />
perlindungan korban dapat dilihat dari dua makna, yaitu:<br />
1) Dapat diartikan sebagai “perlindungan hukum untuk tidak menjadi<br />
korban tindak pidana”, (berarti perlindungan HAM atau<br />
kepentingan hukum seseorang).<br />
2) Dapat diartikan sebagai “perlindungan untuk memperoleh jaminan<br />
atau santunan hukum atas penderitaan atau kerugian orang yang<br />
telah menjadi korban tindak pidana”, (jadi identik dengan<br />
“penyantunan korban”). Bentuk santunan itu dapat berupa<br />
pemulihan nama baik (rehabilitasi), pemulihan keseimbangan batin<br />
(antara lain dengan pemaafan), pemberian ganti rugi (restitusi,<br />
kompensasi, jaminan atau santunan kesejahteraan sosial), dan<br />
sebagainya. 4<br />
Sekarang ini Indonesia telah memiliki undang-undang yang<br />
secara khusus mengatur tentang Perlindungan Korban Kejahatan yaitu<br />
melalui Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan<br />
Saksi dan Korban. Selain memiliki undang-undang yang secara khusus<br />
mengatur tentang perlindungan korban kejahatan, Indonesia juga<br />
memiliki beberapa ketentuan yang mengatur tentang perlindungan.<br />
Dalam beberapa undang-undang tertentu dapat ditemukan pengaturan<br />
tentang perlindungan korban kejahatan:<br />
1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)<br />
Sekalipun KUHP mencantumkan aspek perlindungan korban<br />
kejahatan berupa pemberian ganti kerugian, namun ketentuan ini<br />
tidak luput dari berbagai kendala dalam pelaksanaannya, yaitu:<br />
a. Penetapan ganti rugi tidak dapat diberikan oleh hakim sebagai<br />
sanksi yang berdiri sendiri di samping pidana pokok, jadi hanya<br />
sebagai “syarat khusus” untuk dilaksanakannya atau dijalaninya<br />
pidana pokok yang dijatuhkan kepada terpidana;<br />
b. Penetapan syarat khusus berupa ganti kerugian ini hanya dapat<br />
diberikan apabila hakim menjatuhkan pidana paling lama satu<br />
tahun atau pidana kurungan;<br />
4 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan<br />
Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana, 2007),<br />
hlm. 61.<br />
149
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
c. Syarat khusus berupa ganti rugi ini pun menurut KUHP hanya<br />
bersifat fakultatif, tidak bersifat imperatif. 5<br />
2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)<br />
3) Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,<br />
dan lain-lain.<br />
Jika melihat ranah kekerasan seksual dari Komnas Perempuan,<br />
maka terdapat 14 jenis kekerasan seksual yakni: 1) perkosaan; (2)<br />
pelecehan seksual; (3) eksploitasi seksual; (4) penyiksaan seksual; (5)<br />
perbudakan seksual; (6) intimidasi atau serangan bernuansa seksual<br />
termasuk ancaman atau percobaan perksoaan; (7) prostitusi paksa; (8)<br />
pemaksaan kehamilan; (9) pemaksaan aborsi; (10) pemaksaan<br />
perkawinan; (11) perdagangan perempuan untuk tujuan seksual; (12)<br />
kontrol seksual termasuk pemaksaan busana dan kriminalisasi<br />
perempuan lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama;<br />
(13) penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual; (14) praktik<br />
tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi<br />
perempuan. Keempat belas jenis kekerasan seksual ini bukanlah daftar<br />
final, karena ada kemungkinan sejumlah jenis kekerasan seksual yang<br />
belum kita kenali akibat keterbatasan informasi mengenainya. Seruan<br />
ini menghantarkan Komnas Perempuan untuk menemukan bentuk lain<br />
dari kekerasan seksual yang dihadapi perempuan di tahun 2012, yaitu<br />
(15) pemaksaan kontrasepsi atau sterilisasi. 6 Maka di Jawa Barat sendiri<br />
terdapat salah satu peraturan daerah terkait salah satu bagian kekerasan<br />
seksual yang diatur, yakni Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat<br />
Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pencegahan dan Penanganan Korban<br />
Perdagangan Orang di Jawa Barat.<br />
Pada dasarnya semua instrumen yang berkaitan tentang korban<br />
kekerasan seksual secara eksplisit menjelaskan mengenai perlindungan<br />
bagi korban kekerasan seksual tidak saja dilakukan oleh negera akan<br />
tetapi masyarakat pula dalam hal reintegrasi sosial. Melihat mekanisme<br />
perlindungan hukum dapat dibagi menjadi beberapa bagian penting.<br />
Pertama, perlindungan dalam hal perawatan medis, psikologis, dan<br />
konseling. Kedua, perlindungan hukum dalam khusus acara pidana, dan<br />
ketiga ialah perlindungan hukum dalam hal pemenuhan hak korban.<br />
5 Barda Nawawi Arief, Perlindungan Korban Kejahatan Dalam Proses<br />
Peradilan Pidana, Artikel Dalam Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi, Vol.<br />
1, (1998), hlm. 17.<br />
6<br />
Komnas Perempuan, Kekerasan Seksual:Kenali dan Tangani,<br />
diakses dari http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/<br />
2013/12/Kekerasan-Seksual-Kenali-dan-Tangani.pdf<br />
150
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
B. Praktik di Jawa Barat Terkait Perlindungan Hukum dan<br />
Penanganan Korban Kekerasan Seksual<br />
Keterbatasan data resmi mengenai jumlah kekerasan seksual di<br />
Indonesia menjadi suatu kendala awal untuk melihat pendekatan secara<br />
angka atau kuantitatif. Namun, jika melihat dalam penalaran dasar<br />
terkait angka kekerasan seksual di Indonesia dapat dipastikan angka<br />
tersebut bukanlah menjadi patokan yang kuat, karena khusus mengenai<br />
kekerasan seksual ini tidak dapat dijadikan pertimbangan yang baik<br />
karena kekhususan kekerasan seksual tersebut. Istilah ini dikenal<br />
dengan non-reporting of crime (kejahatan yang tidak dilaporkan).<br />
Adanya non-reporting ini disebabkan oleh berbagai hal, antara lain:<br />
1) Si korban malu karena peristiwa ini telah mencemarkan dirinya<br />
baik secara fisik, psikologis maupun sosiologis;<br />
2) Si korban merasa berkewajiban melindungi nama baik keluarganya,<br />
terutama jika pelaku adalah anggota keluarga sendiri;<br />
3) Si korban merasa bahwa proses peradilan pidana terhadap kasus ini<br />
belum tentu dapat membuat dipidananya si pelaku;<br />
4) Si korban khawatir bahwa diprosesnya kasus ini akan membawa<br />
cemar yang lebih tinggi lagi pada dirinya (misalnya melalui<br />
publikasi media massa, atau cara pemeriksaan aparat hukum yang<br />
dirasanya membuat makin terluka);<br />
5) Si korban khawatir akan retalisasi atau pembalasan dari pelaku<br />
(terutama jika pelaku adalah orang yang dekat dengan dirinya);<br />
6) Lokasi kantor polisi yang jauh dari tempat tinggal korban<br />
membuatnya enggan melapor;<br />
7) Keyakinan korban bahwa walaupun ia melapor ia tidak akan<br />
mendapat perlindungan khusus dari penegak hukum; dan<br />
8) Ketidaktahuan korban bahwa yang dilakukan terhadap dirinya<br />
merupakan suatu bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan. 7<br />
Sehingga terkait data yang bisa diberikan hanyalah data yang<br />
masuk dari instansi terkait yang bergerak dalam bidang pelindungan<br />
atau pemberdayaan wanita dan anak di Jawa Barat. Data yang diambil<br />
dimana korban sudah melapor dan ditangani oleh instansi terkait, antara<br />
lain:<br />
7 Kelompok Kerja “Convention Watch“ Pusat Kajian Wanita dan<br />
Gender Universitas Indonesia, Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak<br />
Kekerasan terhadap Perempuan dan AlternatifPemecahannya, (PT<br />
Alumni, Jakarta: 2000), hlm. 82.<br />
151
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Sumber: P2TP2A<br />
Termasuk juga data sekunder pada tahun 2012 terdapat kasus<br />
kekerasan seksual pada anak yang dilakukan oleh terpidana Andri<br />
Sobari alias Emon di Sukabumi, Jawa Barat yaitu jumlah korban<br />
sodomi yang sudah mencapai 114 anak dan 39 anak di antaranya sudah<br />
divisum, 7 lagi menderita kerusakanpada anus. Terdapat juga kasus<br />
yang hampir sama terjadi di Bandung, Dayeuh Kolot yakni 21 orang<br />
152
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
anak menjadi korban. 8 Ketua Umum Komisi NasionalPerlindungan<br />
Anak Arist Merdeka Sirait mengatakan bahwa kasus kekerasan terhadap<br />
anak di Jawa Barat menduduki posisi tertinggi nomor 3 di Indonesia.<br />
Dari 2,1 juta laporan kekerasan selama 2013, 38 persen terjadi di Jawa<br />
Barat. Dari angka tersebut 52 persen adalah kekerasan seksual. 9<br />
Berdasarkan laporan tersebut pada hakikatnya korban sudah mendapat<br />
perlindungan hukum dalam aspek medis. Namun, tidak ada kejelasan<br />
terkait ganti rugi yang dapat dimintakan oleh korban kekerasan seksual<br />
terutama kepada korban yang mengalami kerusakan nyata. Pada<br />
hakikatnya aparat penegak hukum hanya cukup dengan menghukum<br />
berat terdakwa saja sama seperti Emon yang dituntut 15 tahun oleh<br />
jaksa.<br />
Untuk perlindungan dan penanganan korban kekerasan seksual<br />
itu sendiri di Jawa Barat, antara lain:<br />
Terdapat beberapa instansi terkait mengenai penanganan kasus<br />
kekerasan seksual, yaitu:<br />
a. P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan<br />
Anak);<br />
b. UPTD (Unit Pelayanan Teknis Daerah);<br />
c. Dinas sosial.<br />
8 Diakses dari http://www.koran-sindo.com/node/411722 pada tanggal<br />
10 Oktober 2014<br />
9 Ketua Komisi Perlindungan Anak Nasional, Arist Merdeka Sirait saat<br />
memberikan penjelasan tentang keinginan pertemuan anak korban selamat<br />
pembunuhan oleh ibu kandungnya sendiri di Mapolres Cimahi, Jawa Barat.<br />
Kamis (13/3). Arist datang mendampingi dan menyampaikan pesan untuk<br />
disampaikan kepada Kapolres Cimahi, AKBP Erwin Kurniawan dari Fahrul,<br />
korban selamat dari aksi pembunuhan yang dilakukan oleh ibu kandungnya.<br />
Fahrul ingin bertemu ibunya yang kini ditahan di Polres Cimahi karena rindu.<br />
TEMPO/Aditya Herlambang Putra, diakses dari http://www.tempo.co/read/<br />
news/2014/08/14/173599507/Jawa-Barat-Darurat-Kekerasan-Seksualterhadap-Anak<br />
pada tanggal 11 Oktober 2014.<br />
153
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Namun pada prakteknya terdapat beberapa kekurangan terkait<br />
penanganan kasus tersebut, yaitu:<br />
i. Ketiga instansi tersebut bekerja masing-masing dengan programnya<br />
yang berbeda-beda.<br />
ii. Khusus untuk UPTD, khususnya UPTD SKB/BPKB (Balai<br />
Pengembangan Kegiatan Belajar) lebih bergerak kepada<br />
penanganan korban anak.<br />
iii. Tidak adanya rekomendasi dari polisi/hakim (penegak hukum)<br />
mengenai rekomendasi selanjutnya untuk korban, sehingga korban<br />
cenderung tidak mengetahui program tersebut sama sekali.<br />
Terkait perlindungan hukum yang terdapat sekarang ini sudah<br />
diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan termasuk juga<br />
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak<br />
Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Menteri Negara Nomor 1<br />
Tahun 2010 Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Layanan<br />
Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan, yang secara<br />
tertulis menjelaskan terkait standar pelayanan minimal. Dapat dikatakan<br />
secara tertulis terdapat dan dimungkinkan untuk perlindungan hukum<br />
secara medis, pelayanan terpadu, rehabilitasi, dan reintegrasi sosial.<br />
Namun gap terbesar dari SPM ini adalah tiadanya keterkaitan langsung<br />
antara proses layanan UPT dan penyelidikan di bawah Kepolisian.<br />
Padahal SPM telah menegaskan bahwa pengulangan keterangan korban<br />
sangat berpengaruh pada dampak psikologis perempuan korban<br />
kekerasan. Adalah benar bahwa SOP mengenai layanan kesehatan<br />
menyediakan layanan komprehensif untuk perempuan korban kekerasan<br />
seksual, namun pedoman SPM berfokus pada memberikan panduan<br />
„pemulihan psikologis‟ semata dan belum memasukkan „pengambilan<br />
data untuk kepentingan penyidikan‟. Hal ini merupakan akibat dari<br />
penulisan SPM tidak langsung ditempatkan pada konteks reformasi<br />
hukum dan kebijakan untuk layanan terpadu. 10 Belum lagi ekonomi<br />
menjadi alasan seseorang mendapat layanan yang baik karena uang<br />
tidak pernah berbohong, seringkali bagi korban kekerasan seksual yang<br />
memiliki kekurangan dalam ekonomi maka mendapat pelayanan yang<br />
10 Komnas Perempuan, SPM: SOP Layanan, Standar Pembiayaan, dan<br />
Pedoman Sistem Pencatatan Data Kekerasan, diakses dari<br />
http://www.komnasperempuan.or.id/keadilanperempuan/index.php?option=co<br />
m_content&view=article&id=83%3Astandar-pelayanan-minimal-peluangdan-tantangan-layanan-terpadu-untuk-perempuan-korbankekerasan&catid=41%3Atulisan-lain&Itemid=97<br />
154
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
seadanya saja bahkan cenderung tidak direhabilitasi atau diintegrasi<br />
akibat pemikiran biaya mahal yang dikeluarkan.<br />
Untuk perlindungan hukum yang kedua, yakni dalam hal acara<br />
pidana, adanya Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban<br />
menjelaskan tidak secara eksplisit memasukan kekerasan seksual<br />
sebagai kasus-kasus tertentu dimana dapat dimintakan hak perlindungan<br />
oleh LPSK.<br />
Kasus-kasus tertentu", antara lain, tindak pidana korupsi, tindak<br />
pidana narkotika/psikotropika, tindak pidana terorisme, dan<br />
tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi Saksi dan Korban<br />
dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya. 11<br />
Jelas sangat sukar juga untuk menentukan apakah kekerasan<br />
seksual dimasukan kedalam tindak pidana lain yang mengakibatkan<br />
posisi saksi dan korban dihadapkan pada situasi yang sangat<br />
membahayakan jiwanya. Beberapa ahli hukum mengatakan secara<br />
tekstual dapat dipakai penafsiran memperluas arti kata, maka masuklah<br />
kekerasan seksual namun terdapat pandangan lain bahwa khusus<br />
kekerasan seksual tidaklah dimasukan dalam hal tersebut. Sekalipun<br />
dimasukan maka tidak jelas lagi arti kata dimana “situasi sangat<br />
membahayakan jiwanya” karena pada hakikatnya semua korban akan<br />
merasakan hal tersebut. Maka yang dimaksudkan perlindungan hukum<br />
dalam hal acara pidana ialah proses peradilan yang khusus, yakni<br />
persidangan yang tertutup dan ganti rugi. Terkait perlindungan ketiga<br />
ini yang menjadi poin penting yang akan dibahas yakni hal pemenuhan<br />
hak korban. Mengenai ganti rugi dan restitusi adalah sesuatu yang<br />
diberikan kepada pihak yang menderita kerugian dengan<br />
memperhitungkan kerusakan yang dideritanya oleh si pelaku secara<br />
langsung dan menimbulkan pula pertanggung jawaban secara tindak<br />
langsung kepada masyarakat atau negara (the responsible of the society)<br />
untuk rehabilitasi sosial, hingga kepada proses pemulangan korban<br />
kekerasan seksual dan reintegrasi sosial. Inilah yang sering terlupakan<br />
bahwa anggapan bahwa negara cukup hanya dengan menghukum<br />
pelaku bukan berarti selesainya persoalan. Di sinilah peran negara yang<br />
tidak boleh terpisahkan yakni menindak pelaku serta tidak melupakan<br />
untuk memperbaiki korban. Namun kesemua perlindungan hukum<br />
tersebut untuk memperbaiki pelaku secara mental. Akan tetapi,<br />
perlindungan hukum sekarang ini belum ada jaminan hak korban secara<br />
materiil yang jelas dan tegas. Misalnya dalam pasal 7 ayat (1) Undangundang<br />
LPSK bahwa korban melalui LPSK berhak mengajukan ke<br />
pengadilan berupa:<br />
11 Penjelasan pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006<br />
tentang Perlindungan Saksidan Korban<br />
155
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
a. hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia<br />
yang berat;<br />
b. hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab<br />
pelaku tindak pidana.<br />
Namun dalam pasal 7 ayat (3) hanya disebutkan bahwa<br />
ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi<br />
diatur dengan Peraturan Pemerintah, sedangkan hingga saat ini belum<br />
ada satupun Peraturan Pemerintah yang mengatur mekanisme<br />
pemberian kompensasi dan restitusi tersebut. 12 Terkait perlindungan dan<br />
hak saksi dan korban pada pasal 5 Undang-undang LPSK hanya terbatas<br />
kepada kasus-kasus tertentu yang tidak menjelaskan secara eksplisit<br />
mengenai kasus kekerasan seksual. Munculnya juga MoU LPSK dengan<br />
Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) hanya bergerak dalam hal<br />
rehabilitasi sosial dan psikososial yakni pasal 6 saja, namun terkait<br />
jaminan pasal 5 inilah yang dirasa kurang untuk kasus kekerasan<br />
seksual.<br />
C. Pembaharuan Perlindungan Hukum dan Penanganan Korban<br />
Kekerasan Seksual<br />
Terkait segala kekurangan dan kelemahan dalam sistem<br />
penegakan hukum dan/atau perlindungan hukum khusus kepada korban<br />
kekerasan seksual maka perlu adanya pembaharuan hukum yang sesuai<br />
akan kebutuhan nyata korban dari kekerasan seksual tersebut, antara<br />
lain:<br />
1) Dimulai dengan mensosialisasikan kepada masyarakat mengenai<br />
hukum tentang kekerasan seksual sehingga perspektif masyarakat<br />
mengenai hukum terutama tidak salah serta tidak takut dalam<br />
melapor masalah seputar kekerasan seksual.<br />
2) Terdapat standar perlakuan untuk korban tindak pidana yang<br />
bersifat privasi, antara lain:<br />
a. Semua korban tindak pidana, penyelewengan wewenang atau<br />
pelanggaran hak asasi manusia hendaknya diperlakukan dengan<br />
belas kasihan dan dihargai;<br />
b. Korban hendaknya memperoleh akses pada mekanisme<br />
peradilan dan langkah perbaikan langsung;<br />
c. Prosedur langkah perbaikan hendaknya cepat, adil, murah, dan<br />
dapat diakses;<br />
d. Korban hendaknya diberitahu hak-haknya untuk memperoleh<br />
pemulihan dan perlindungan;<br />
12 Zaky Alkazar Nasution, Perlindungan Hukum terhadap Perempuan<br />
dan Anak Korban Perdagangan Manusia (Tesis), Semarang: Fakultas Hukum<br />
Universitas Dipenogoro, 2008), hlm. 116.<br />
156
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
e. Korban hendaknya diberitahu peran mereka dalam prosedur<br />
resmi, lingkup, penentuan waktu, dan kemajuan proses serta<br />
penempatan kasus mereka;<br />
f. Korban hendaknya diperkenankan menyampaikan pandangan<br />
dan perasaannya mengenai segala hal berkaitan kerugian<br />
terhadap kepentingan pribadi mereka;<br />
g. Korban hendaknya memperoleh semua upaya pendampingan<br />
hukum, material, medis, psikologis, dan pendampingan sosial<br />
dan diberi tahu ketersediannya;<br />
h. Korban hendaknya tidak mendapat penanganan kasus secara<br />
minimal;<br />
i. Privasi dan keselamatan korban hendaknya dilindungi;<br />
j. Hendaknya dihindari penundaan penanganan kasus korban;<br />
k. Jika memungkinkan, para pelanggar hendaknya memperoleh<br />
pemulihan;<br />
l. Pemerintah hendaknya melakukan pemulihan jika pejabat<br />
publik keliru;<br />
m. Ganti rugi finansial hendaknya ditanggung oleh pihak<br />
pelanggar atau, jika tidak mungkin, oleh negara; dan<br />
n. Polisi hendaknya terlatih dalam memenuhi kebutuhan korban,<br />
dan hendaknya disediakan panduan guna menjamin bantuan<br />
yang tepat dan segera.<br />
3) Adanya rekomendasi untuk dapat dilayani secara baik oleh instansi<br />
pelayanan yang tepat.<br />
Korban seksual harus direkomendasikan secara cepat ke instansi<br />
pelayanan yang tepat. Peran negara, melalui kementerian yang<br />
terkait, harus membantu instansi penegakan hukum, instansi<br />
pelayanan sosial, badan administratif yang terkait, dan organisasi<br />
masyarakat dalam membangun suatu mekanisme perlindungan yang<br />
baik. Termasuk adanya kerja sama antar instansi (penegak hukum<br />
dan jasa pelayanan sosial).<br />
4) Secara khusus hakim dapat memutus juga terkait rekomendasi<br />
penanganan korban kekerasan seksual kepada instansi yang tepat<br />
berdasarkan kebutuhan korban yang terlihat selama proses<br />
persidangan.<br />
5) Membuat peraturan perundang-undangan baru terkait kejahatan<br />
seksual sebagai lex specialis.<br />
6) Membentuk kebijakan-kebijakan dalam mengatasi tindak kekerasan<br />
seksual yakni perintah perlindungan dari hakim.<br />
7) Revisi terkait kebijakan memberi ganti rugi kepada korban.<br />
Pasal 99 KUHAP bahwa korban hanya berhak mendapatkan ganti<br />
rugi sebanyak biaya yang telah dikeluarkan oleh korban dalam<br />
tindak pidana tersebut. Pasal 99 belum memungkinkan korban<br />
untuk mendapatkan ganti rugi atas kerugian fisik (ekonomi dan<br />
157
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
kesehatan) maupun psikis (trauma) yang dialami korban. Pasalpasal<br />
dalam KUHAP yang belum menjelaskan pengaturan jika<br />
pelaku tidak sanggup dan mau untuk membayar ganti rugi.<br />
8) Perlindungan saksi dan korban untuk kasus kekerasan seksual agar<br />
dapat diwujudkan sehingga instrumen perlindungan dimaksimalkan<br />
dengan adanya dukungan Peraturan Pemerintah terkait pasal 7 ayat<br />
3 terkait ganti rugi dan restitusi.<br />
Jika terdapat mekanisme seperti ini yang benar melindungi<br />
kepentingan korban dari awal pelaporan kasus kekerasan seksual,<br />
proses persidangan serta putusan persidangan maka perlu diyakini<br />
bahwa hukum menjamin hak korban sehingga tujuan hukum acara<br />
pidana yakni mencari kebenaran materiil yang benar dapat terwujud<br />
dalam penegakan hukum pidana di Indonesia termasuk di dalamnya<br />
dalam pemberian putusan pengadilan yang menyertakan ganti rugi bagi<br />
korban.<br />
D. Kesimpulan dan Saran<br />
Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa<br />
melihat instrumen hukum yang terkait dapat terlihat bahwa tujuan<br />
penegakan hukum pidana baik secara umum dan khusus untuk<br />
kekerasan seksual bersifat satu arah, yang berarti lebih condong kepada<br />
aspek si pelaku dan tidak khusus berbicara mengenai perlindungan<br />
hukum korban kekerasan seksual.<br />
Dengan melihat sistem penegakan hukum pidana Indonesia<br />
yang dapat dikatakan tidak terlalu banyak berubah, baik secara materiil,<br />
khusus kepada arti tindakan kekerasan seksual serta formil yakni hukum<br />
acara pidana yang ada, membuktikan tidak adanya mekanisme yang<br />
baik dalam perlindungan hukum untuk hak-hak korban kekerasan<br />
seksual. Di sinilah peran negara untuk menjamin kesejahteraan dan<br />
perdamaian untuk masyarakatnya melalui peraturan perundangundangan.<br />
Sebagai saran dalam rangka pembaharuan hukum dalam hal<br />
perlindungan hak korban kekerasan seksual maka perlu adanya<br />
mekanisme yang baik sejak awal sampai akhirnya yakni dengan<br />
menimbang solusi yang telah ditulis dalam makalah ini.<br />
158
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Daftar Pustaka<br />
Arief, Barda Nawawi. 1998. Perlindungan Korban Kejahatan dalam<br />
Proses Peradilan Pidana (Artikel dalam Jurnal Hukum Pidana<br />
dan Kriminologi Vol.1).<br />
___________. 2007. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan<br />
Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan. Jakarta:<br />
Kencana.<br />
Hamzah, Andi. 1986. Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dalam<br />
Kitab Undang-undang Acara Pidana. Bandung: Binacipta.<br />
Kelompok Kerja “Convention Watch” Pusat Kajian Wanita dan Gender<br />
Universitas Indonesia. 2000. Pemahaman Bentuk-bentuk<br />
Tindak Kekerasan terhadap Perempuan dan Alternatif<br />
Pemecahannya. Jakarta: PT Alumni.<br />
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.<br />
Kitab Undang-undang Hukum Pidana.<br />
Mansur, Dikdik M. Arief. 2007. Urgensi Perlindungan Korban<br />
Kejahatan Antara Norma dan Realita. Jakarta: PT Raja<br />
Grafindo Persada.<br />
Nasution, Zaky Alkazar. 2008. Perlindungan Hukum terhadap<br />
Perempuan dan Anak Korban Perdagangan Manusia. Semarang:<br />
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.<br />
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 3 Tahun 2008 tentang<br />
Pencegahan dan Penanganan Korban Perdagangan Orang.<br />
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi<br />
dan Korban.<br />
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.<br />
http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2013/12/<br />
Kekerasan-Seksual-Kenali-dan-Tangani.pdf<br />
http://www.koran-sindo.com/node/411722<br />
http://www.komnasperempuan.or.id/keadilanperempuan/index.php?opti<br />
on=com_content&view=article&id=83%3Astandar-pelayananminimal-peluang-dan-tantangan-layanan-terpadu-untukperempuan-korban-kekerasan&catid=41%3Atulisanlain&Itemid=97<br />
http://2010.menkokesra.go.id/content/peningkatan-kasus-kekerasanseksual-capai-100-persen.<br />
159
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
http://www.tempo.co/read/news/2014/08/14/173599507/Jawa-Barat-<br />
Darurat-Kekerasan-Seksual-terhadap-Anak<br />
160
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
EFISIENSI PERLINDUNGAN DAN PENDAMPINGAN KORBAN<br />
PEMERKOSAAN DALAM KONTEKS PEMBERLAKUAN<br />
SYARI’AT ISLAM DI ACEH<br />
Oleh: Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala<br />
Abstrak<br />
Dalam pendampingan dan perlindungan korban kekerasan seksual,<br />
Aceh masih harus mencari bentuk idealnya. Selain penanganan secara<br />
holistik yang harus dilakukan, efisiensi adalah hal terpenting yang<br />
harus pula diperhatikan. Penanganan korban kekerasan seksual<br />
terkhusus pada kasus perkosaan harus ditangani dengan baik mulai<br />
dari penyediaan pelayanan pengaduan, layanan kesehatan, rehabilitasi,<br />
bantuan hukum, hingga reintegrasi sosial. Proses penanganan yang<br />
demikian haruslah terkelola dengan baik sehingga efisiensi<br />
penanganan korban kekerasan dapat tercapai. Ketersediaan sarana<br />
dan prasarana seperti ketersediaan rumah aman, pelayanan kesehatan<br />
yang baik dan mampu tata laksana, hingga ketersediaan petugas teknis<br />
yang berperspektif korban yang cukup adalah pokok perhatian yang<br />
mestinya diperhatikan oleh Pemerintah Aceh. Selain itu, komunikasi<br />
lintas instansi yang telah dilakukan sejak 2010 silam melalui<br />
Memorandum of Understanding (MoU) 23 instansi perlu dievaluasi<br />
agar tujuan diperuntukannya MoU tersebut mendekati sempurna.<br />
Permasalahan Aceh masih berada pada tataran efisiensi dalam<br />
penanganan korban, dari total jumlah instansi terkait penanganan<br />
korban kekerasan seksual masih berada terpusat pada salah satu<br />
komponen saja dan instansi pemerintah di kota dan provinsi masih<br />
dirasa tidak cukup baik dalam pelaksanaannya, sehingga Badan/PP<br />
yang ada di Aceh lebih memilih untuk berkoordinasi dengan instansi<br />
vertikal seperti kepolisan. Arah kebijakan ini yang haruslah dievaluasi<br />
agar korban kekerasan seksual dapat terpenuhi haknya. Terlebih, Aceh<br />
adalah entitas politik otonom yang menjalankan Syari‟at Islam.<br />
A. Latar Belakang<br />
Pergerakan masyarakat di Aceh sangatlah dinamis. Banyak hal<br />
menarik yang dapat ditemui di Aceh. Selain cerita sejarahnya, peraturan<br />
daerah yang dikenal sebagai Qanun pun terbilang unik. Aceh adalah<br />
daerah yang menerapkan Syariat Islam yang dipadupadankan dengan<br />
pelaksanaan hukum adat. Pelaksanaan hukum semacam ini pun telah<br />
diakui eksistensinya sampai pada pelosok-pelosok desa (gampong) yang<br />
ada di Aceh. Proses pemberlakuan Syariat Islam di Aceh didasari oleh<br />
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus,<br />
161
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Acehdan<br />
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.<br />
Dalam penegakannya, Syariat Islam memiliki dimensi yang berbeda<br />
pada penerapan sanksi terhadap perbuatan pidana (jarimah) yang diatur<br />
padanya. Bentuk penerapan itu adalah hukum cambuk bagi yang<br />
melanggar aturan. Pemberian hukum cambuk ini bertujuan untuk<br />
memberikan efek jera bagi para pelaku agar tidak kembali mengulang<br />
kesalahan.<br />
Jarimah yang diatur dalam Qanun terbilang beragam,<br />
diantaranya mengenai Minuman Khamar dan sejenisnya, Maisir atau<br />
perjudian dan Khalwat (mesum). Ditinjau dari acuan dokumen yang<br />
dilansir oleh Komisi Nasional Perempuan berdasarkan pengalaman<br />
perempuan korban, ditemukan ragam jenis kekerasan seksual,<br />
diantaranya: (1) perkosaan; (2) pelecehan seksual; (3) eksploitasi<br />
Seksual; (4) penyiksaan seksual; (5) perbudakan seksual; (6)<br />
intimidasi/serangan bernuansa seksual termasuk ancaman atau<br />
percobaan perkosaan; (7) prostitusi paksa; (8) pemaksaan kehamilan;<br />
(9) pemaksaan aborsi; (10) pemaksaan perkawinan; (11) perdagangan<br />
perempuan untuk tujuan seksual; (12) kontrol seksual termasuk<br />
pemaksaan busana dan kriminalisasi perempuan lewat aturan<br />
diskriminatif beralasan moralitas dan agama; (13) penghukuman tidak<br />
manusiawi dan bernuansa seksual; (14) praktik tradisi bernuansa<br />
seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan.<br />
Keempat belas jenis kekerasan seksual yang belum kita kenali akibat<br />
keterbatasan informasi mengenainya. Seruan ini pada akhirnya<br />
menghantarkan Komnas Perempuan untuk menemukan bentuk lain di<br />
tahun 2012 dari kekerasan seksual yang dihadapi perempuan, yaitu (15)<br />
pemaksaan kontrasepsi/sterilisasi. 1 Maka pelaksanaan aturan mengenai<br />
Khalwat tergolong rentan dengan kekerasan seksual, terutama pada<br />
konteks penanganan dan pendampingan dalam hal pemenuhan hak<br />
perempuan korban.<br />
Keterkaitan hukum yang berlaku di daerah Aceh inilah yang<br />
menghantarkan Aceh termasuk daerah dengan predikat penanganan<br />
kasus kekerasan seksual paling buruk. Oleh karena tidak semua<br />
kompenen pemangku kepentingan (stakeholders) termasuk masyarakat<br />
memahami bagaimana memperlakukan korban kekerasan seksual<br />
dengan baik, tentu dalam pemenuhan haknya, pola yang sering<br />
dilakukan sebagai solusi adalah serupa meski kategori perbuatannya<br />
berbeda, misalnya untuk kasus zina dan pemerkosaan sama-sama<br />
ditindak dengan cara menikahkan pelaku dan korbannya. Padahal, Zina<br />
yang mengadung unsur saling suka (resiprokal) sangatlah berbeda<br />
dengan pemerkosaan yang identik dengan nuansa kekerasan. Adapun<br />
1 Komnas Perempuan, Kenali dan Tangani Kekerasan Seksual.<br />
162
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
tindakan untuk menikah itu, merujuk pada ragam kekerasan seksual<br />
lansiran Komnas Perempuan, kembali tergolong pada perbuatan<br />
kekerasan seksual terhadap perempuan.Selain daripada itu, tindakan<br />
ekstrim selanjutnya adalah mengusir korban keluar dari gampong-nya<br />
karena dianggap sebagai „aib‟ bersamaan dengan stigma masyarakat<br />
yang melekat padanya beserta keluarganya. Sanksi adat semacam ini<br />
tentu sangat memprihatinkan karena mereka menindak tanpa<br />
berperspektif korban. Padahal seorang korban juga seorang manusia<br />
biasa yang wajib kita lindungi haknya. Dalam kasus kekerasan seksual<br />
ini dukungan orang-orang terdekat, tak terkecuali komunitas masyarakat<br />
kediamannya menjadi hal penting yang perlu dijunjung.<br />
B. Gambaran Umum Kekerasan Seksual Di Aceh<br />
Kekerasan seksual khususnya di daerah ujung Sumatera, Aceh,<br />
marak terjadi pasca konflik pemerintah dengan kelompok separatis dan<br />
bencana alam gempa dan tsunami yang memporak-porandakan kondisi<br />
Aceh, 2004 silam. Kemiskinan dan kemelaratan menjadi satu-satunya<br />
alasan mengapa bisa terjadi pergeseran moral antar individu. Pencurian,<br />
pembunuhan bahkan kekerasan seksual sudah menjadi kasus-kasus yang<br />
sering muncul di surat kabar. Orang-orang di dalam suatu kelompok<br />
melakukan diskriminasi terhadap kelompok lain. Akibatnya terjadi<br />
tawuran antar kaum lelaki yang nantinya pembalasan dendam akan<br />
dilakukan terhadap kaum perempuan dan anak. Perempuan-perempuan<br />
yang menjadi istri, ibu atau saudara dari salah satu pihak yang<br />
berkonflik, kerap dijadikan sasaran seperti dijadikan sandera dan<br />
pelampiasan kemarahan. Mereka juga rentan dijadikan tameng baik oleh<br />
kelompok komunitasnya sendiri maupun kelompok lawan. Perempuanperempuan<br />
lainnya yang tidak tahu-menahu dan terlibat konflik, karena<br />
dia perempuan dan tinggal di Aceh atau lahir bersuku Aceh akhirnya<br />
juga mengalami kekerasan dan menjadi korban.<br />
Kekerasan seksual yang terjadi di Aceh saat itu juga merupakan<br />
strategi perang, misalnya dengan perkosaan dan penyiksaan seksual<br />
terhadap perempuan yang berasal dari komunitas atau keluarga pihak<br />
lawan. Contohnya, kasus lima perempuan istri anggota GAM di Bireun,<br />
Aceh Timur yang mengalami penyiksaan seksual oleh aparat TNI.<br />
Kekerasan yang dialami perempuan terjadi dalam situasi dan tempat<br />
yang beragam, yaitu 33 orang mengalami kekerasan pada saat menjalani<br />
proses hukum karena tuduhan makar, 22 orang mengalami kekerasan<br />
pada saat dibawa atau ditahan di pos militer/polisi, 77 orang mengalami<br />
kekerasan pada saat operasi penangkapan/penyisiran, 1 orang<br />
mengalami kekerasan ketika melintasi pos militer dan dua orang<br />
mendapat kekerasan oleh GAM pada saat berada di kendaraan<br />
umum.Bentuk kekerasan yang dialami 135 perempuan tersebut diatas,<br />
adalah 17 orang mengalami pelecehan seksual, 23 orang diperkosa dan<br />
163
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
4 orang mengalami penganiayaan seksual. 7 orang meninggal karena<br />
ditembak dan dibunuh, 11 orang ditangkap/diculik dan dihilangkan, 22<br />
orang mengalami intimidasi, penggeledahan paksa dan perampasan<br />
harta bendanya, 50 orang mengalami penganiayaan fisik dan 5 orang<br />
diantaranya diintimidasi, di geledah secara paksa dan dibakar<br />
rumahnya. Umumnya seorang korban tidak hanya mendapat satu bentuk<br />
atau jenis kekerasan.Alasan pembenaran yang dipakai adalah korban<br />
dianggap atau dituduh sebagai anggota inong balee, simpatisan GAM,<br />
melindungi atau memberi makanan pada GAM, dekat dengan pihak<br />
TNI/POLRI, sebagai mata-mata TNI/POLRI. Tetapi dari 135 kasus<br />
tersebut, 46 orang bahkan tidak ada alasan pembenar, kenapa mereka<br />
mendapat kekerasan. 2<br />
Dalam kajian standar internasional, dalam pemenuhan hak bagi<br />
perempuan korban kekerasan, harus diimplementasikan oleh tiga<br />
lapisan berikut, diantaranya:<br />
1. Negara<br />
Hukum dalam negeri seharusnya dapat mengambil nilai-nilai yang<br />
positif dari hukum internasional yang sekiranya dapat diterapkan<br />
dalam hukum nasional. Walaupun tentunya harus ada<br />
pertimbangan-pertimbangan lebih lanjut dalam mengubah hukum<br />
nasional ini. Begitu pula dalam hal hak asasi manusia, negara harus<br />
mengadopsi kerangka hak asasi manusia sesuai dengan standar<br />
hukum internasional dalam reformasi hukum dan kebijakan untuk<br />
melindungi warga negaranya dari tindak pelanggaran dan<br />
kekerasan. Keinginan politik pemegang kekuasaan memegang arti<br />
penting dalam reformasi ini.<br />
2. Keluarga dan Komunitas<br />
Negosiasi kebudayaan adalah kunci keberhasilan transformasi di<br />
tingkat komunitas dan keluarga. Perlu ada ruang-ruang diskusi bagi<br />
setiap orang untuk terlibat aktif dalam membicarakan nilai-nilai<br />
kebudayaan. Budaya adalah milik semua sehingga masing-masing<br />
individu di dalamnya berhak untuk menyuarakan pendapatnya.<br />
Budaya pun tidak pernah dimaksudkan untuk menindas satu<br />
kelompok demi kepentingan kelompok lain. Bila ruang-ruang<br />
diskusi ini dibuka dimana Negara dan masyarakat sipil dapat<br />
bekerja sama untuk terus mencari solusi, maka akan diperoleh hasil<br />
yang sangat memuaskan yaitu penghapusan aspek-aspek negatif<br />
dari budaya yang meminggirkan kelompok-kelompok marginal<br />
dalam masyarakat. Antara lain kelompok perempuan.<br />
3. Individu<br />
2 Komnas Perempuan,Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi<br />
Kekerasan, (Jakarta: Publikasi Komnas Perempuan, 2004).<br />
164
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Upaya mendukung kebangkitan kelompok marginal, termasuk<br />
perempuan, menjadi individu-individu yang mandiri antara lain<br />
dilakukan dengan pemberdayaan sosial ekonomi. Namun ini masih<br />
tidak cukup, terutama bagi perempuan korban kekerasan yang<br />
berlangsung dengan sistematis. Perempuan tersebut membutuhkan<br />
perlindungan sampai mereka betul-betul berdaya. Karena itu,<br />
Negara dan masyarakat harus bekerja sama, tidak hanya dengan<br />
menyediakan perlindungan legal tetapi juga upaya alternatif, antara<br />
lain dengan mendirikan rumah-rumah aman atau shelters.<br />
Pembangunan rumah aman tidak selalu memperoleh dukungan<br />
karena ada pihak-pihak yang khawatir bahwa rumah aman<br />
mendorong perempuan untuk lari dari rumah. 3<br />
4. Maraknya kekerasan seksual di Aceh<br />
Ketidaktuntasan penegakan hukum dalam persoalan ini<br />
membuat kekerasan seksual di Aceh semakin banyak terjadi. Seperti<br />
halnya di daerah lain di Indonesia, Aceh memilikiinstansi maupun<br />
institusi yang menangani kasus kekerasan seksual. Badan<br />
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan terhadap Anak (BP3A),<br />
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak<br />
(P2TP2A) sebagai Unit Pelaksanaan Teknis,Lembaga Bantuan Hukum<br />
(LBH) Anak, Balai Syura Ureung Inong Aceh (Aceh Woman Council),<br />
hingga di tingkat kecamatan yang dikenal dengan Asisten Fasilitator<br />
Kecamatan (AFK)yang telah mendapat pelatihan para legal dari World<br />
Bank bekerjasama dengan forum Lembaga Swadaya Masyarakat.<br />
Balai Syura Ureung Inong Aceh mencatat, terhadap kekerasan<br />
yang dialami oleh anak yang berusia 2-18 Tahun ditahun 2011 hingga<br />
2012 adalah sejumlah 66 kasus. Tercatat juga 27 kasus incest<br />
(kekerasan seksual yang dilakukan oleh anggota keluarga) yang<br />
menimpa anak di ranah rumah tangga.Tak hanya mencatat 27 kasus<br />
incest, Balai Syura juga menyebutkan dari 1.060 kasus kekerasan<br />
terhadap perempuan dan anak yang terjadi sepanjang 2011-2012<br />
diketahui 73,6 persen diantaranya adalah kekerasan yang terjadi<br />
didalam rumah tangga. Sisanya sebesar 26,3% merupakan kekerasan<br />
yang terjadi didalam masyarakat. Dari kedua kategori kekerasan<br />
tersebut, kekerasan seksual terhadap perempuan dan anakpaling banyak<br />
terjadi di ranah rumah tangga.<br />
Ketua Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh, Nursiti,<br />
mengatakan kekerasan seksual terhadap anak merupakan sebuah kondisi<br />
yang sangat memprihatinkan dan sangat tidak berperikemanusiaan,<br />
Karena anak adalah tanggung jawab kita bersama yang harus dilindungi<br />
keselamatan, kesejahteraan dan masa depannya. Anak-anak yang<br />
3 Ibid, hlm. 7.<br />
165
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
menjadi korban kekerasan akan mengalami dampak berlapis dan<br />
berkepanjangan baik dari sisi kesehatan fisik dan mental, sosial dan<br />
pendidikan.Contoh kasus yang paling menyita perhatian media dan<br />
masyarakat di Aceh, terjadi pada tahun 2013 lalu. Yaitu kasus yang<br />
menimpa Diana, anak yang baru berusia 6 tahun yang terjadi di<br />
Gampong, Peulanggahan, Banda Aceh. Dia diperkosa lalu dibunuh. Tak<br />
banyak yang tahu kelanjutan proses persidangan yang dia jalani, hingga<br />
akhirnya pamannya lepas dari tuntutan ancaman penjara. Paman Diana<br />
divonis bebas oleh Hakim. Perbuatan ini hanya dikenakan delik<br />
pembunuhan yang terdawaknya bukanlah paman Diana.<br />
Meski demikian, tidak pula berarti tidak ada kasus kekerasan<br />
seksual yang ditangani dengan baik. Seperti di tahun 2013 lalu, di Darul<br />
Imarah, Desa Lagang, Jantho, Kabupaten Aceh Besar.Pelakunya adalah<br />
guru mengaji yang menjaga kios kecil di dekat lingkungan pesantren,<br />
kekerasan dilakukan terhadap anak yang saat itu sedang belanja di<br />
kiostersebut. Tak banyak masyarakat yang percaya, terlebih pelakunya<br />
adalah tokoh yang cukup dikenal sebagai orang yang paham agama dan<br />
sebagai guru mengaji.Ketika sampai pada proses persidangan, P2TP2A<br />
Aceh melakukan monitoring hingga pada proses BAP di kepolisian<br />
sampai dengan surat dakwaan. Secara pembuktian, hasil Visum et<br />
Repertum yang dilakukan dari proses pendampingan korban didapati<br />
kerusakan fisik di bagian vagina si anak, sehingga terpenuhi sudah dua<br />
alat bukti untuk dilanjutkan ke persidangan. Pihak penasehat hukum<br />
dari P2PT2A tak berhenti sampai disana, mereka juga memastikan pasal<br />
apa yang didakwakan terhadap pelaku hingga pada akhirnya hakim<br />
menjatuhkan vonis 10 tahun penjara.Untuk Anak yang menjadi korban<br />
dalam kasus tersebut, P2TP2A terus melakukan pendampingan dengan<br />
fokus pada pemulihan psikis korban terlebih dahulu, mangajak anak<br />
untuk bermain sampai dia merasa terbiasa untuk bisa masuk di<br />
lingkungan bermain bersama teman sejawat di sekolah. Tak hanya itu,<br />
P2TP2A juga melakukan pendekatan dengan aparat gampong, pihak<br />
sekolah korban, agar mereka tidak menaruh stigma pada korban di<br />
proses pemulangannya.<br />
Berdasarkan pengamatan, korban kekerasan seksual di Aceh,<br />
bahkan sejak tahun 2005, belum mendapatkan manfaat dari program<br />
rehabilitasi dan rekonsiliasi yang telah bergulir. Berbagai persoalan<br />
terkait pembuktian korban terus menjadi alasan yang menghalangi akses<br />
korban untuk pemulihan. Kondisi ini terus menggantung sementara juga<br />
tidak ada kejelasan penyikapan pemerintah Aceh maupun di level<br />
nasional untuk membangun sebuah mekanisme untuk pengungkapan<br />
kebenaran dan rekonsiliasi. 4<br />
Manusia<br />
4 Komnas Perempuan, Laporan Independen Institusi Nasional Hak Asasi<br />
166
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
C. Peran Pemerintah Dalam Pendampingan dan Pemulihan<br />
Korban Perkosaan di Aceh yang berbasiskan Syari’at Islam<br />
Aceh merupakan daerah pascakonflik dan tsunami. Kedua<br />
peristiwa besar ini memberikan dampak luar biasa bagi kehidupan di<br />
Aceh khususnya secara ekonomi, politik, sosial dan budaya. Kedua<br />
masa tersebut juga sangat berpengaruh pada kehidupan perempuan dan<br />
anak. Kelompok ini merupakan kelompok rentan yang cenderung<br />
mengalami kekerasan baik di ranah domestik maupun publik.<br />
Berdasarkan data-data yang berhasil dikumpulkan oleh lembagalembaga<br />
perempuan di Aceh ada sekitar 197 kasus kekerasan terhadap<br />
perempuan dan anak. Lembaga WCC KKTGA (Women Crisis<br />
CenterKelompok Kerja Transformasi Gender) mencatat ada 320 kasus<br />
di wilayah Banda Aceh dan Aceh Besar yang terjadi sejak Januari 2007<br />
sampai dengan Desember 2010, kemudian ada LBH Apik yang sejak<br />
Januari 2007 sampai dengan Desember 2009 telah mendampingi 386<br />
kasus di delapan wilayah, sedangkan LBH Anak menangani sekitar 50<br />
kasus kekerasan terhadap anak.<br />
Meningkatnya jumlah kasus yang terjadi ternyata tidak<br />
dibarengi dengan peningkatan pelayanan kepada korban. Meskipun<br />
sudah banyak aturan perundang-undangan yang mengatur tentang<br />
perempuan dan anak, tetapi implementasinya hingga saat ini dirasa<br />
belum maksimal. Selain karena sumber daya juga penyediaan fasilitas<br />
seperti shelter (rumah aman), ketersediaan dana serta kebutuhan untuk<br />
pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya, yang semuanya belum<br />
dapat mengakomodir kebutuhan korban. Adapun sebenarnya perempuan<br />
dan anak korban kekerasan biasanya membutuhkan penanganan dari<br />
berbagai sisi, seperti psikis dan kondisi sosialnya.<br />
Disisi lain, kendala dalam penyediaan layanan adalah seperti<br />
lemahnya koordinasi oleh lembaga-lembaga pemberi layanan serta cara<br />
pandang dan pendekatan yang berbeda dalam penanganan kasus<br />
sehingga korban tidak mendapatkan penanganan maksimal. Padahal<br />
seharusnya korban memerlukan penanganan kasus secara holistik<br />
(menyeluruh). 5<br />
D. Eksistensi Pemberlakuan Hukum Syari’at Islam<br />
Syari‟at Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi bidang<br />
aqidah, syar‟iyah, dan akhlak. Syari‟at Islam tersebut meliputi ibadah,<br />
ahwal alsyakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata),<br />
jinayah (hukum pidana), qadha‟ (peradilan), tarbiyah (pendidikan),<br />
dakwah, syiar dan pembelaan Islam. Ketentuan pelaksanaan syari‟at<br />
5<br />
WCC (Woman Crisis Centre) KKTGA, Standar Prosedur<br />
Operasional, (Banda Aceh: KKTGA, 2011).<br />
167
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Islam diatur dengan Qanun Aceh.Setiap pemeluk agama Islam di Aceh<br />
wajib menaati dan mengamalkan syari‟at Islam. Undang-undang juga<br />
memberikan keleluasaan bagi Aceh untuk mengatur kehidupan<br />
masyarakat sesuai dengan ajaran Islam. Dibentuknya hukum syariat<br />
islam ini sendiri adalah bukan tanpa tujuan. Syariat islam secara teori<br />
mempunyai dua fungsi; fungsi pengatur dan fungsi pelindung. Syariat<br />
islam berperan sebagai aturan diantara kaum muslim dengan muslim,<br />
kaum muslim dengan non muslim juga dengan lingkungan sekitarnya<br />
sehingga terciptalah kehidupan masyarakat yang penuh harmoni.<br />
Dengan peranan tersebut syariat islam dapat dikatakan memiliki fungsi<br />
pengatur. Fungsi ini membagi secara jelas apa yang menjadi hak dan<br />
kewajiban bagi seluruh kaum muslim.Kemudian selain itu syariat islam<br />
juga punya fungsi pelindung. Fungsi ini bertujuan melindungi umat<br />
muslim dari hal-hal yang sifatnya merusak. Yang harus dilindungi disini<br />
adalah agama, jiwa, keturunan, akal, harta, kehormatan dan rasa aman.<br />
Kesimpulannya adalah syariat islam memegang peranan vital dalam<br />
kehidupan masyarakat muslim di Aceh khususnya.<br />
Namun, dalam pemberlakuan syariat islam ini tidak melulu<br />
mulus, karna budaya masyarakat Aceh tidak murni lagi budaya islam,<br />
tetapi sudah terkontaminasi dengan budaya barat. Tak ayal jika pola<br />
pikir masyarakat muslim sudah bergeser kebarat-baratan. Akibatnya,<br />
pelaksanaannya pun kacau. Padahal implementasi yang diinginkan dari<br />
adanya syariat islam ini ialah untuk menjaga kepentingan sesama<br />
muslim yang berlandaskan islam. Seperti yang diketahui, semua agama<br />
termasuk islam sangat membenci adanya kekerasan. Apalagi kekerasan<br />
yang dilakukan antar sesama muslim. Nah ketika kasus kekerasan<br />
seksual mulai marak terjadi di Aceh, orang mulai bertanya, pada aspek<br />
yang bagaimana syari‟at islam ini dijalankan. Yang padahal berjalan<br />
atau tidaknya hukum syariat Islam ini sendiri tergantung pada keadaan<br />
masyarakatnya. Jika saja semua masyarakat di Aceh mampu<br />
menghormati menjunjung tinggi pemberlakuan hukum syariat islam di<br />
Aceh yang sesuai moral, maka insyaallah kasus seperti kekerasan tidak<br />
akan pernah terjadi di bumi Serambi Mekkah ini.<br />
E. Kesimpulan dan Saran<br />
Pertama, Aceh dikenal sebagai daerah konflik antara<br />
pemerintah dengan kelompok separatis. Namun seperti yang sudah<br />
dialami, ternyata konflik yang terjadi tak hanya sebatas antara<br />
pemerintah dan kelompok separatis saja, melainkan juga konflik atas<br />
Hak Asasi Manusia-nya kaum perempuan dan anak. Perempuan<br />
mendapat kekerasan paling keji pada masa-masa itu. Kemiskinan dan<br />
kemelaratan saat itu menjadi motif utama terjadinya kekerasan seksual<br />
dimana-mana. Apa yang dilakukan pemerintah? Kebijakan. Pemerintah<br />
membuat kebijakan untuk memberdayakan kaum perempuan dan anak<br />
168
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
sedemikian rupa agar hak-haknya tercapai. Namun, implementasinya<br />
masih belum berjalan sempurna, terbukti dari semakin memuncaknya<br />
kekerasan seksual yang terjadi. Lalu jika pemerintah juga sudah<br />
berusaha, siapa yang perlu disalahkan? Pribadi. Yang perlu kita lakukan<br />
saat ini adalah mengintrospeksi diri agar segala perbuatan bisa sepadan<br />
dengan peraturan dan moral yang berlaku.<br />
Kedua,untuk memperkecil kemungkinan terjadinya kasus dan<br />
untuk memulihkan korban, pemerintah menggalakkan dua cara,<br />
preventif dan represif. Sebelum terjadinya, diadakan sosialisasi<br />
pembentukan moral dan karakter orang-orang sejak dini dari lingkungan<br />
keluarga, lingkungan belajar maupun lingkungan bermain. Pemerintah<br />
mendirikan beberapa instansi layanan terpadu di tingkat provinsi,<br />
kabupaten maupun kecamatan seperti Badan Perlindungan dan<br />
Pemberdayaan Perempuan dan Anak (BP3A), Pusat Pelayanan Terpadu<br />
Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), LBH Apik, LSM<br />
Woman Crisis Center (WCC) dan lain lain. Adanya lembaga-lembaga<br />
tersebut keberadaannya memang sangat membantu. Tetapi bukan berarti<br />
tidak ada kekurangan. Kendalanya berada pada anggaran untuk<br />
pembangunan shelter dibeberapa instansi dan kendala lain mengenai<br />
petugas yang tidak berperspektif terhadap korban. Walaupun beberapa<br />
lembaga lain sudah mempunyai shelter, tetapi penggunaannya<br />
terhambat pada tidak adanya jasa pengawas.<br />
Terakhir,ketika berbicara syariat Islam maka berbicara tentang<br />
hukum islam. Islam dikenal dengan kerendahan hatinya, kemuliaan<br />
perbuatannya dan kelembutan bahasanya seperti yang ditunjukkan oleh<br />
Rasulullah SAW. Aceh memberlakukan hukum Syari‟at Islam. Ketika<br />
dikawasan yang seharusnya aman dan lebih terjaga ini terjadi kasus<br />
kekerasan seksual maka pemerintah Aceh sendiri mau berbuat<br />
bagaimana lagi. Berjalan atau tidaknya pemberlakuan hukum Syariat<br />
Islam ini tidak cukup jika wewenangnya hanya berada pada pemerintah<br />
Daerah saja, tetapi lebih penting daripada itu, perbuatan dan pola pikir<br />
masyarakat yang harus menjadi acuan. Jika setiap masyarakat di Aceh<br />
menjunjung tinggi moralitas dalam setiap perbuatannya. Maka<br />
senantiasa Pemberlakuan Hukum Syariat Islam ini sendiri dapat<br />
berjalan lancar dan efektif.<br />
Saran-saran:<br />
1. Pemerintah harus membuat peraturan yang ketat tentang<br />
perlindungan anak dengan sanksi yang tegas.<br />
2. Memberikan pendidikan seks kepada anak sedini mungkin sebagai<br />
langkah awal pencegahan.<br />
3. Membuat peraturan yang mengharuskan anak yang memasuki usia<br />
remaja sampai dewasa untuk belajar bela diri.<br />
4. Membangun pusat rehabilitasi korban kekerasan seksual khususnya<br />
di Aceh, juga membangun Rumah Aman (shelter).<br />
169
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
5. Petugas di pusat rehabilitasi paling tidak setahun sekali diadakan<br />
pelatihan mengenai proses pelayanan korban secara baik dan layak.<br />
6. Media perlu sering memberitakan atau mengungkap kasus-kasus<br />
kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan.<br />
7. Di dalam lingkungan keluarga juga tidak lepas pengawasan, namun<br />
tidak harus terkesan overprotective.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Komnas Perempuan. Kenali dan Tangani Kekerasan Seksual.<br />
Komnas Perempuan. 2004. Perjalanan Perempuan Indonesia<br />
Menghadapi Kekerasan.Jakarta : Publikasi Komnas Perempuan.<br />
WCC (Woman Crisis Centre) KKTGA. 2011.Standar Prosedur<br />
Operasional. Banda Aceh : KKTGA.<br />
170
TINJAUAN HUKUM SIMPOSIUM HUKUM NASIONAL 2014
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
TABEL TINJAUAN HUKUM SIMPOSIUM HUKUM NASIONAL 2014<br />
No. SUBSTANSI MASALAH REKOMENDASI<br />
1. Materiil 1. Pasal 285<br />
1.1. Frasa“kekerasan”atau “ancaman<br />
kekerasan”dalam pasal 285 membuat rumusan<br />
dalam pasal ini menjadi terlalu sempit.<br />
1.2. Tidak menjelaskan definisi mengenai<br />
“Pemerkosaan”.<br />
1.3. Ketentuan dalam KUHP hanya mengatur<br />
mengenai ancaman pidana penjara maksimal<br />
tanpa memperhatikan mengenai pengaturan<br />
pidana penjara minimum.<br />
1.4. Menurut Pasal 285, korban hanya sebatas wanita<br />
sehingga tidak melindungi tentang pemerkosaan<br />
terhadap korban laki-laki.<br />
1.1. Mengganti frasa“ancaman<br />
kekerasan”dengan“bertentangan<br />
dengan kehendak”<br />
sebagaimana diatur dalam<br />
Rancangan Kitab Undang-<br />
Undang Hukum Pidana<br />
(RKUHP) tentang<br />
pencantuman pengertian<br />
pemerkosaan yang tertera<br />
dalam ketentuan umum<br />
RKUHP.<br />
1.2. Mencantumkan pengertian<br />
“Pemerkosaan”.<br />
1.3. Menentukan mengenai<br />
adanya ketentuan batas<br />
pidana penjara minimum<br />
yang dapat dikenakan<br />
terhadap pelaku<br />
sebagaimana telah diatur<br />
dalam RKUHP.<br />
1.4. Menentukan adanya<br />
ketentuan pemerkosaan<br />
terhadap korban laki-laki di<br />
171
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
2. 2. Pasal 286<br />
2.1. Tidak adanya ketentuan yang jelas mengenai<br />
perbuatan bersetubuh.<br />
2.2. Tidak menjelaskan secara jelas mengenai<br />
definisi dan klasifikasi keadaan tak berdaya.<br />
3. 3. Pasal 287<br />
3.1. Adanya penyamaan status antara anak dan tidak<br />
berdaya.<br />
3.2. Mempertanyakan mengenai rumusan delik<br />
dalam Pasal 287,“apakah saksi yang melihat<br />
Tindakan pemerkosaan bisa melaporkan?”<br />
3.3. Pidana penjara dalam rumusan Pasal 287<br />
lebih ringan dibandingkan dengan pidana<br />
penjara dalam rumusan Pasal 285, padahal<br />
di dalam pasal 287 korbannya adalah anak<br />
yang akan menjadi penerus bangsa.<br />
dalam RKUHP.<br />
2.1. Menentukan penjelasan<br />
mengenai perbuatan<br />
bersetubuh dalam Pasal<br />
tersebut.<br />
2.2. Mempertegas definisi dan<br />
klasifikasi keadaan tak<br />
berdaya,siapa yang<br />
menjadikan keadaan tidak<br />
berdaya itu timbul, serta<br />
kondisi yang dapat<br />
dianggap sebagai keadaan<br />
tidak berdaya.<br />
3.1. 1. Menentukan adanya<br />
perbedaaan pemidanaan<br />
yang tegas antara korban<br />
yang tidak berdaya<br />
dengan anak, di mana<br />
kasus pemerkosaan<br />
terhadap korban anak<br />
seharusnya lebih berat<br />
dibandingkan dengan<br />
kasus pemerkosaan<br />
terhadap orang yang tidak<br />
berdaya.<br />
172
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
4. 4. Pasal 288<br />
4.1. Rumusan dalam pasal tidak dijelaskan<br />
secara tegas dalam hal apakah pasal ini turut<br />
mencakup pemaksaan perkawinan atau<br />
tidak.<br />
4.2. Hanya terbatas luka fisik, tidak ada<br />
pembahasan luka psikologis, dan juga hanya<br />
terbatas pada wanita.<br />
4.3. Ketentuan dalam Pasal ini hanya mencakup<br />
perkawinan dibawah umur.<br />
3.1.2. Menentukan penjelasan<br />
yang tegas terkait dengan<br />
hal “tidak berdaya”,<br />
termasuk kategorisasi<br />
tidak berdaya, siapa yang<br />
membuat tidak berdaya<br />
dan kapan suatu keadaan<br />
yang dialami korban dapat<br />
dianggap tidak berdaya.<br />
3.2. Melakukan revisi terhadap<br />
Pasal 287nya delik Pasal<br />
287 KUHP adalah delik<br />
biasa bukan delik aduan.<br />
3.3. Memperberat ancaman<br />
pidana dalam RKUHP.<br />
4.1 Meminta penjelasan yang<br />
tegas terkait rumusan Pasal<br />
288, apakah termasuk ke<br />
dalam pemaksaan<br />
perkawinan atau tidak.<br />
4.2. Memperluas cakupan luka<br />
dan korban pada pasal ini.<br />
4.3. Mempertegas ketentuan<br />
dalam Pasal 288 agar<br />
mencakup tidak hanya<br />
perkawinan dibawah umur<br />
173
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
5. 5. Pasal 289<br />
5.1. Frasa“kekerasan atau ancaman kekerasan”<br />
dalam Pasal 289 membuat Pasal-Pasal<br />
tersebut menjadi sempit.<br />
5.2. Definisi cabul dan kategorisasi pemerkosaan<br />
tidak jelas.<br />
6. 6. Pasal 294<br />
6.1. Sanksi pidana lebih rendah.<br />
6.2. Adanya kekosongan hukum, karena tidak<br />
diaturnya pemerkosaan terhadap anak, anak tiri,<br />
anak angkat atau anak yang berada dibawah<br />
pengawasan pelaku.<br />
7. 7. Pasal 295<br />
7.1. Pasal 295 hanya mengatur mengenai perbuatan<br />
yang menyebabkan atau mempermudah<br />
tetapi juga perkawinan<br />
cukup umur.<br />
5.1. Frasa“kekerasan atau<br />
ancaman kekerasan”<br />
tersebut diganti dengan<br />
frasa “bertentangan”<br />
atau“bertentangan dengan<br />
kehendak.”<br />
5.2. Mempertegas definisi dan<br />
kategorisasi dari pada cabul,<br />
baik itu didalam ketentuan<br />
umum atau penjelasan<br />
Pasal.<br />
6.1. Sudah terjawab di RKUHP<br />
yaitu dengan pemidanaan<br />
terhadap pemerkosaan atau<br />
percabulan anak yang<br />
dilakukan oleh kerabat lebih<br />
berat ancaman pidananya.<br />
6.2. Adanya pengaturan<br />
mengenai masalah di atas<br />
dalam Pasal tertentu.<br />
7.1. Meminta agar perbuatan<br />
yang menyebabkan atau<br />
174
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
perbuatan cabul, sehingga terdapat kekosongan<br />
hukum untuk perbuatan yang menyebabkan atau<br />
mempermudah pemerkosaan.<br />
7.2. Pasal 295 mengatur secara limitatif pihak-pihak<br />
yang menyebabkan atau mempermudah<br />
perbuatan cabul.<br />
8. Formil 8.1. Etika Aparat Penegak Hukum (Kepolisian,<br />
Kejaksaan dan Kehakiman) penanganan kasus<br />
kekerasan seksual yang tidak berperspektif kepada<br />
korban.<br />
mempermudah<br />
pemerkosaan diatur<br />
dalam RKUHP.<br />
7.2. Memperjelas ketentuan<br />
mengenai pihak-pihak<br />
yang menyebabkan atau<br />
mempermudah perbuatan<br />
cabul dalam R-KUHP<br />
8.1.1. Mengoptimalisasikan<br />
“Pendidikan<br />
Penanganan Kasus<br />
Kekerasan Seksual”<br />
kepada Aparat<br />
Penegak Hukum<br />
(APH).<br />
8.1.2. Penyesuaian kode etik<br />
bagi Aparat Penegak<br />
Hukum (APH) yang<br />
berprespektif kepada<br />
korban kekerasan<br />
seksual.<br />
8.1.3. Mengadakan revisi<br />
terhadap PP No.2<br />
tahun 2003 tentang<br />
Peraturan Disiplin<br />
Anggota Kepolisian<br />
Negara Republik<br />
175
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
8.2 Proses peradilan dalam kasus kekerasan seksual<br />
yang tidak memberikan keadilan bagi korban<br />
kekerasan seksual. Dalam hal ini, diatur mengenai<br />
pengaturan Alat Bukti dan Proses Persidangan.<br />
Indonesia mengenai<br />
SANKSI,yang<br />
bertujuan untuk<br />
memperberat ancaman<br />
pidana terhadap para<br />
pelaku kejahatan<br />
kekerasan seksual.<br />
8.1.4. Mengoptimalisasikan<br />
penerapan PERKAP<br />
No. 10 tahun 2007<br />
tentang Organisasi<br />
dan Tata Kerja Unit<br />
Pelayanan Perempuan<br />
dan Anak (UnitPPA)<br />
dilingkungan<br />
Kepolisian Negara<br />
Republik Indonesia<br />
yang telah direvisi dan<br />
juga melakukan<br />
sosialisasi di seluruh<br />
wilayah Indonesia.<br />
ALAT BUKTI<br />
8.2.1. Dalam kasus<br />
kekerasan seksual,<br />
keterangan saksi<br />
dalam persidangan<br />
cukup satu orang saksi<br />
176
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
9. Perlindungan dan<br />
Pendampingan<br />
Korban<br />
9.1. Pemberitaan tentang kasus kekerasan seksual yang<br />
menitikberatkan pada aspek seksualitas oleh pers.<br />
untuk melakukan<br />
pembuktian kasus<br />
yaitu saksi korban.<br />
8.2.2. Memasukkan unsur<br />
rekam psikologis<br />
sebagai alat bukti yang<br />
harus diperhitungkan<br />
oleh pihak kepolisian.<br />
PERSIDANGAN<br />
8.2.3. Pada saat pemeriksaan<br />
saksi korban di<br />
pengadilan, terdakwa<br />
harus dikeluarkan dari<br />
ruang sidang.<br />
8.2.4. Selama proses<br />
peradilan berlangsung,<br />
saksi korban berhak<br />
didampingi oleh<br />
pendamping.<br />
8.2.5. Mengusulkan agar<br />
poin 8.2.3 dan 8.2.4<br />
dituangkan dalam<br />
Peraturan Mahkamah<br />
Agung (PERMA).<br />
9.1. Merekomendasikan<br />
Kementerian<br />
Pemberdayaan<br />
177
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
9.2. Tidak sesuainya penanganan kasus kekerasan<br />
seksual yang dilakukan oleh aparat penegak hukum<br />
dengan SOP tentang penanganan korban kekerasan<br />
seksual yang telah diatur dalam Peraturan Menteri<br />
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak<br />
Nomor 1Tahun 2010.<br />
9.3. Kurangnya sumber daya manusia terlatih untuk<br />
menangani korban kekerasan seksual pada Unit<br />
Pelaporan Kekerasan Seksual ditingkat<br />
Perempuan dan<br />
Perlindungan Anak<br />
untuk berkoordinasi<br />
dengan organisasi<br />
pers, Kementerian<br />
Komunikasi dan<br />
Informasi, Komisi<br />
Penyiaran Indonesia,<br />
Dewan Pers,dan pihak<br />
terkait untuk<br />
memberikan edukasi<br />
tentang pemberitaan<br />
kekerasan seksual<br />
yang berperspektif<br />
korban.<br />
9.2. Melakukan sosialisasi<br />
kembali Terhadap Peraturan<br />
Menteri Pemberdayaan<br />
Perempuan dan<br />
Perlindungan Anak Nomor<br />
1Tahun 2010 kepada aparat<br />
hukum untuk melaksanakan<br />
SOP yang terkandung<br />
dalam aturan tersebut.<br />
9.3.1. Menyesuaikan jumlah<br />
tenaga terampil agar<br />
sebanding dengan jumlah<br />
178
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
kabupaten/kota.<br />
9.4. Sulitnya akses korban kekerasan seksual terhadap<br />
dokter forensik untuk mendapatkan visum et<br />
repertum yang digunakan sebagai alat bukti yang<br />
valid.<br />
9.5.1. Kesulitan masyarakat untuk menerima kembali<br />
korban kekerasan seksual karena dianggap<br />
sebagai aib dalam komunitasnya.<br />
9.5.2. Sulitnya akses korban kekerasan seksual terhadap<br />
dokter forensik untuk mendapatkan visum et<br />
repertum yang digunakan sebagai alat bukti yang<br />
valid.<br />
9.6. Kurangnya informasi dari aparat penegak hukum<br />
kepada korban kekerasan seksual mengenai<br />
keberadaan lembaga yang bergerak dibidang<br />
pemulihan korban kekerasan seksual.<br />
kasus yang ada diprovinsi<br />
tersebut.<br />
9.3.2. Setiap provinsi harus<br />
mempunyai data yang<br />
valid mengenai jumlah<br />
kasus kekerasan seksual.<br />
9.5. Asistensi pemerintah dalam<br />
peningkatan partisipasi<br />
masyarakat dalam<br />
reintegrasi korban<br />
kekerasan seksual.<br />
9.6. Dalam proses peradilan<br />
penanganan kasus<br />
kekerasan seksual,aparat<br />
penegak hukum harus<br />
menjamin bahwa korban<br />
mengetahui keberadaan<br />
lembaga yang bergerak<br />
dalam bidang pemulihan<br />
korban kekerasan<br />
seksual.<br />
179
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
9.7. Beberapa daerah belum memiliki rumah aman<br />
(shelter) bagi korban kekerasan seksual dalam<br />
konteks rehabilitasi yang dibutuhkan. Selain itu,<br />
terdapat beberapa daerah yang sudah memiliki<br />
shelter, namun belum dipergunakan sebagaimana<br />
mestinya.<br />
9.8. Dakwaan tindak pidana kekerasan seksual yang<br />
belum mengakomodasi restitusi dan kompensasi<br />
bagi korban kekerasan seksual.<br />
9.7. Harus adanya<br />
pemerataan shelter di<br />
tiap-tiap lembaga yang<br />
memiliki fungsi<br />
rehabilitasi terhadap<br />
korban kekerasan<br />
seksual dan harus<br />
dioperasionalkan sesuai<br />
dengan Standar<br />
Penilaian Minimum.<br />
9.8. Restitusi dan kompensasi<br />
harus diakomodir dalam<br />
surat dakwaan.<br />
180
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
PENJELASAN TABEL TINJAUAN HUKUM SIMPOSIUM HUKUM<br />
NASIONAL 2014<br />
KOMISI 1<br />
MATERIIL<br />
1. PASAL 285<br />
Poin 1.1 Frasa “kekerasan” atau “ancaman kekerasan” dalam pasal 285<br />
membuat rumusan dalam pasal ini menjadi terlalu sempit.<br />
Rekomendasi 1.1 Mengganti frasa “ancaman kekerasan” dengan<br />
“bertentangan dengan kehendak” sebagaimana diatur dalam Rancangan<br />
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tentang pencantuman<br />
pengertian pemerkosaan yang tertera dalam ketentuan umum RKUHP.<br />
Secara materiil, dianggap perlu adanya perbaikan pada pasal 285, yang<br />
berbunyi "Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan<br />
memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan,<br />
diancam karena perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas<br />
tahun". Frasa “kekerasan” atau “ancaman kekerasan” dalam pasal 285<br />
membuat rumusan dalam pasal ini menjadi terlalu sempit.<br />
Apabila merujuk pada pasal 89 KUHP, definisi kekerasan dalam pasal<br />
285 adalah mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil<br />
secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala<br />
macam senjata, menyepak, menendang, dan sebagainya. Selain itu, yang<br />
dapat disamakan dengan “melakukan kekerasan” adalah membuat orang<br />
jadi pingsan atau tidak berdaya. 1 Oleh sebab itu, untuk membuktikan<br />
terjadinya tindakan perkosaan, maka harus terdapat kekerasan atau ancaman<br />
kekerasan yang seringkali diartikan sebagai kekerasan fisik yang harus<br />
dibuktikan dengan luka atau bekas luka yang terdapat dalam tubuh korban<br />
yang diakibatkan oleh pelaku.<br />
Pada kenyataannya, banyak terdapat peristiwa perkosaan yang terjadi<br />
tanpa kekerasan atau ancaman kekerasan fisik, tetapi menggunakan<br />
kekerasan mental atau psikologis. National Victim Center and Crime<br />
Victims Research and Treatment Center (1992) menunjukkan bahwa<br />
korban-korban perkosaan mengalami permaksaan, ancaman, dan kekerasan<br />
yang menyakitkan, baik secara fisik maupun secara psikis 2 , misalnya pada<br />
kasus RW, seorang mahasiswi Universitas Indonesia yang diperkosa oleh<br />
seniman Sitok Srengenge dibawah tekanan mental dan psikis.<br />
Dengan rumusan kekerasan atau ancaman kekerasan pula, maka<br />
gagasan bahwa perempuan tidak menghendaki atau menyetujui (consent)<br />
1 R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Serta Komentar-komentarnya<br />
Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1995), hlm. 98.<br />
2 Bagus Takwin, Membongkar Mitos Perkosaan, (dalam Jurnal Perempuan Edisi<br />
71: Perkosaan dan Kekuasaan), hlm. 12.<br />
181
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
hubungan seksual tersebut menjadi sesuatu yang sulit diterima. Di satu sisi,<br />
ketidaksetujuan perempuan dianggap vital dalam kasus perkosaan, namun di<br />
sisi lain itu menjadi tidak penting karena perempuan harus membuktikan<br />
ketidaksetujuannya (yang berarti ada pada tataran psikologis), untuk hal-hal<br />
yang bersifat fisik (bukti adanya kekerasan).<br />
Lebih jauh, rumusan kekerasan tersebut mengeluarkan atau bahkan<br />
mengeliminasi hubungan seksual yang dilakukan berdasarkan "ketundukan"<br />
(submission), karena alasan-alasan tertentu. Misalnya saja antara seorang<br />
majikan terhadap bawahannya yang merasa khawatir dengan masa depan<br />
pekerjaannya, atau cemas dengan nilai ujian atau kelulusan dalam konteks<br />
hubungan seksual antara seorang guru terhadap muridnya. 3 Padahal, pada<br />
dasarnya kekerasan seksual merupakan manifestasi kekuasaan pelaku<br />
terhadap korbannya.<br />
Dalam RUU KUHP, sudah terdapat perubahan unsur, antara lain<br />
dihapusnya unsur kekerasan atau ancaman kekerasan yang digantikan oleh<br />
unsur bertentangan dengan kehendak dan tanpa persetujuan. Pasal 488 ayat<br />
1 RUU KUHP berbunyi: 4<br />
(1) Dipidana karena melakukan tindak pidana perkosaan, dengan pidana<br />
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas)<br />
tahun:<br />
a. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luar<br />
perkawinan, bertentangan dengan kehendak perempuan tersebut;<br />
b. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luar<br />
perkawinan, tanpa persetujuan perempuan tersebut;<br />
c. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan,<br />
dengan persetujuan perempuan tersebut, tetapi persetujuan<br />
tersebut dicapai melalui ancaman untuk dibunuh atau dilukai;<br />
d. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan,<br />
dengan persetujuan perempuan tersebut karena perempuan<br />
tersebut percaya bahwa laki-laki tersebut adalah suaminya yang<br />
sah;<br />
e. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan yang<br />
berusia di bawah 14 (empat belas) tahun, dengan<br />
persetujuannya; atau<br />
f. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan,<br />
padahal diketahui bahwa perempuan tersebut dalam keadaan<br />
pingsan atau tidak berdaya.<br />
3 Ratna Batara Munti, “Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas, Kelemahan<br />
Aturan dan Proses Hukum, Serta Strategi Menggapai Keadilan”, diakses<br />
darihttp://www.hukumonline.com/berita/baca/hol2472/kekerasan-seksual-mitos-danrealitas<br />
pada 18 Mei 2014.<br />
4<br />
Lihat Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana,<br />
diakses dari http://antikorupsi.org/sites/antikorupsi.org/files/doc/Umum/RUU%20<br />
KUHP_2013.pdf pada 18 Mei 2014.<br />
182
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Menurut pasal tersebut, terjadinya perkosaan tidak perlu dibuktikan<br />
dengan terdapat atau tidaknya kekerasan atau ancaman kekerasan. Apabila<br />
salah satu pihak (dalam RUU KUHP, perempuan) tidak menyatakan<br />
persetujuan atau menunjukkan kehendaknya dalam melakukan hubungan<br />
seks dengan pihak lainnya (dalam RUU KUHP, laki-laki), maka tindakan<br />
tersebut dapat disebut sebagai perkosaan.<br />
Terhadap hal tersebut, delegasi SHN merekomendasikan untuk mengganti<br />
frasa “ancaman kekerasan” dengan “bertentangan dengan kehendak”<br />
sebagaimana yang sudah diatur dalam RKUHP tentang pencantuman<br />
pengertian pemerkosaan yang tertera dalam ketentuan umum RKUHP.<br />
<br />
Poin 1.2 Tidak menjelaskan definisi mengenai “Pemerkosaan”.<br />
Rekomendasi 1.2 Mencantumkan pengertian “Pemerkosaan”.<br />
Pasal 285 juga tidak menjelaskan definisi mengenai “Pemerkosaan”<br />
serta terdapat kurangnya kepastian hukum dalam Kitab Undang-Undang<br />
Hukum Pidana (KUHP) yang hanya mengatur mengenai ancaman pidana<br />
maksimal tanpa memperhatikan pengaturan pidana penjara minimum.<br />
Hingga saat ini batasan perkosaan dalam hukum positif Indonesia ialah<br />
tindakan menyetubuhi seorang wanita yang bukan istrinya dengan<br />
kekerasan atau ancaman kekerasan.<br />
Dalam pasal tersebut, perkosaan didefinisikan secara amat limitatif.<br />
Perkosaan menurut KUHP tidak termasuk tindakan KSTP (kekerasan<br />
seksual terhadap perempuan) dalam bentuk hubungan penis pelaku melalui<br />
anus (secara anal) atau mulut korban (secara oral). 5<br />
Belakangan, definisi perkosaan dinilai perlu diperluas agar tidak hanya<br />
tentang penetrasi penis terhadap vagina. Perkosaan harus didefinisikan<br />
sesuai dengan pengalaman korban. Encyclopedia of Rape mengemukakan<br />
bahwa realitas fisik perkosaan tidak berubah dari waktu ke waktu, yaitu<br />
penetrasi dari vagina, atau lubang lainnya, dengan penis (atau benda lain)<br />
tanpa persetujuan dari wanita atau pria korban. Polaschek, Ward & Hudson,<br />
memberi definisi perkosaan sebagai penetrasi pada anus, vagina oleh penis,<br />
jari atau benda lain atau penetrasi penis pada mulut. Bahkan memaksa orang<br />
lain melakukan hal itu juga disebut sebagai perkosaan. 6<br />
Di Indonesia, bentuk perkosaan berupa insersi penis ke lubang atau<br />
organ lain selain vagina, seperti anus atau mulut dan benda selain bagian<br />
tubuh ke dalam vagina atau anus beberapa kali terjadi. Namun, kasus-kasus<br />
tersebut biasanya hanya dijerat dengan pasal pencabulan, misalnya saja<br />
yang terjadi pada korban YF yang dipaksa untuk melakukan oral oleh para<br />
5 Prof. Agus Purwadianto, Disertasi Doktoral: Perkosaan Sebagai pelanggaran<br />
Hak Asasi Manusia, hlm. 12.<br />
6<br />
Priyanto Aadil, “Makalah Perkosaan dan Pencabulan”, diakses dari<br />
https://www.academia.edu/3710743/Makalah_Perkosaan_dan_pencabulan.docx pada 20<br />
Juli 2014.<br />
183
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
<br />
pelaku pada kasus perkosaan di halte Transjakarta (pelaku dijerat pasal<br />
pencabulan dan dihukum 1 tahun 6 bulan penjara), dan kasus buruh<br />
Marsinah, yang menurut visum yang dilakukan oleh Dr. Abdul Mun‟im<br />
Idris, tewas akibat perkosaan berupa dimasukkannya alat berupa tongkat<br />
kayu ke dalam vagina korban.<br />
Dalam RUU KUHP, definisi perkosaan dalam pasal yang mengaturnya<br />
sudah diperluas. Pasal 488 ayat 2 RUU KUHP berbunyi:<br />
(2) Dianggap juga melakukan tindak pidana perkosaan, jika dalam<br />
keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):<br />
a. Laki-laki memasukkan alat kelaminnya ke dalam anus atau mulut<br />
perempuan; atau<br />
b. Laki-laki memasukkan suatu benda yang bukan merupakan bagian<br />
tubuhnya ke dalam vagina atau anus perempuan.<br />
Melihat masalah ini, delegasi SHN merekomendasikan adanya<br />
pengaturan mengenai ketentuan batas pidana penjara minimum yang dapat<br />
dikenakan terhadap pelaku seperti yang diatur dalam RKUHP.<br />
Poin 1.3 Ketentuan dalam KUHP hanya mengatur mengenai ancaman<br />
pidana penjara maksimal tanpa memperhatikan mengenai pengaturan pidana<br />
penjara minimum.<br />
Rekomendasi 1.3 Menentukan mengenai adanya ketentuan batas pidana<br />
penjara minimum yang dapat dikenakan terhadap pelaku sebagaimana telah<br />
diatur dalam RKUHP.<br />
Pasal dan<br />
Ancaman Pidana<br />
Maksimal<br />
Ancaman<br />
Pidana<br />
Jika Luka<br />
Berat<br />
Jika Sampai Mati<br />
285: Perkosaan 12 tahun 15 tahun (291 ayat 2)<br />
286: dengan<br />
wanita<br />
pingsan/tidak<br />
berdaya<br />
9 tahun 12 tahun<br />
(291 ayat 1)<br />
15 tahun (291 ayat 2)<br />
287: dengan<br />
wanita
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
sesama jenis<br />
belum dewasa<br />
293: membujuk<br />
orang dewasa<br />
untuk cabul<br />
294: cabul dengan<br />
anak belum<br />
dewasa<br />
295: memudahkan<br />
cabul dengan anak<br />
belum dewasa<br />
296: memudahkan<br />
cabul sebagai mata<br />
pencaharian<br />
5 tahun<br />
7 tahun<br />
5 tahun, 4<br />
tahun, +1/3<br />
(pencaharian/<br />
kebiasaan)<br />
1 tahun 4<br />
bulan<br />
Tabel 1: Ancaman Pidana terhadap Tindak Pidana Kesusilaan<br />
Mengenai Seksualitas 7<br />
Tindak pidana seksual, khususnya dalam perkosaan tidak ada sanksi<br />
pidana minimal, sehingga acap kali terjadi putusan hakim yang sangat<br />
ringan dan tidak setimpal dengan perbuatan pelaku. 8<br />
Menurut hakim, hal itu disebabkan untuk menjatuhkan pidana<br />
maksimal terhadap pelaku, harus ada bukti-bukti yang cukup kuat untuk<br />
mendukungnya. Jika bukti-bukti belum sepenuhnya mendukung, hukuman<br />
yang dijatuhkan harus disesuaikan dengan bukti-bukti yang ada. Jadi, tidak<br />
asal menjatuhkan hukuman, namun juga harus disertai dengan dasar atau<br />
alasan apa yang menjadi sebab-sebab terjadinya tindak perkosaan itu.<br />
Dari berbagai keputusan hakim yang dijadikan pijakan analisis,<br />
tampaknya terjadi kontradiksi berpikir-logis di kalangan hakim, antara<br />
beban pembuktian secara yuridis dengan problem penjatuhan sanksi. Dalam<br />
proses pembuktian sampai kepada penetapan amar keputusan pemerkosa<br />
(terdakwa) dinyatakan menurut hukum telah terbukti bersalah secara sah<br />
dan meyakinkan. Namun, pada saat hakim menetapkan sanksi hukum yang<br />
harus dijatuhkan kepada pelaku, ternyata hakim tidak menghukum dan<br />
memberikan sanksi maksimal. Kecuali berbagai faktor dan pertimbangan<br />
seperti dijelaskan, sulitnya mendapatkan pembuktian secara material<br />
(pembuktian berdasarkan kejadian yang sesungguhnya) dalam kasus<br />
pemerkosaan menjadi kendala yuridis, baik pada penuntutan maupun<br />
keputusan. Karena itu, hukuman maksimal belum pernah diterapkan. Unsur<br />
paksaan, lebih-lebih unsur kekerasan yang merupakan unsur esensial dalam<br />
hlm. 56.<br />
8 Ibid.<br />
7 Topo Santoso, Seksualitas dan Hukum Pidana, (Jakarta: IND-HILL-CO, 1997),<br />
185
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
kasus pemerkosaan, sulit dibuktikan dalam persidangan, karenanya, tidak<br />
jarang tuntutan primer turun menjadi subsider. Berdasarkan alasan hukum<br />
seperti itu, para hakim lebih mengarah pada prinsip meminimalkan sanksi<br />
hukum bagi pemerkosa. 9<br />
Grafik 2: Persentase Konsekuensi yang Dihadapi Pelaku Laki-laki atas<br />
Perkosaan Terhadap Perempuan.<br />
Indonesia memang hanya menetapkan ancaman pidana penjara bagi<br />
pelaku perkosaan. Berbeda dengan ancaman hukuman di beberapa negara,<br />
ancaman hukuman bagi pemerkosan diperberat jika korbannya mengalami<br />
luka berat atau gila. KUHP Filipina mengancam dengan pidana mati sebagai<br />
pemberatan yaitu jika perkosaan itu mengakibatkan gila atau mati.<br />
Sementara mengenai hukumannya, ada yang menghukum dengan kerja<br />
berat (KUHP Perancis) dan pengasingan tetap (KUHP Filipina). 10<br />
<br />
Poin 1.4 Menurut Pasal 285, korban hanya sebatas wanita sehingga tidak<br />
melindungi tentang pemerkosaan terhadap korban laki-laki.<br />
Rekomendasi 1.4 Menentukan adanya ketentuan pemerkosaan terhadap<br />
korban laki-laki di dalam RKUHP.<br />
Masalah lain dalam pasal 285 adalah dalam pasal tersebut dituliskan<br />
bahwa korban hanya sebatas wanita, sehingga membuka kemungkinan<br />
9 M. Hisyam Syafioedin dan Faturochman, “Hukuman Bagi Pemerkosa dan<br />
Perlindungan Bagi Korban”, diakses dari http://fatur.staff.ugm.ac.id/file/BUKU%20-<br />
%20Hukuman%20bagi%20pemerkosa.pdf pada 20 Juli 2014.<br />
10 Topo Santoso, Op. Cit., hlm. 56.<br />
186
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
kurangnya perlindungan yang diberikan terhadap korban pemerkosaan yang<br />
berjenis kelamin laki-laki.<br />
Perkosaan yang diatur dalam KUHP pasal 285 sampai dengan 287<br />
hanya membatasi perkosaan sebagai persetubuhan dengan kekerasan atau<br />
ancaman kekerasan yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan di luar<br />
perkawinan.<br />
Selain itu, KUHP dan peraturan lainnya di Indonesia belum<br />
mengakomodasi bentuk perkosaan yang dilakukan laki-laki dewasa<br />
terhadap laki-laki dewasa. KUHP hanya membatasi kekerasan seksual<br />
antara laki-laki dewasa terhadap laki-laki di bawah umur (bahkan dianggap<br />
bukan sebagai perkosaan, melainkan pencabulan), seperti yang tercantum<br />
dalam pasal 292 KUHP yang berbunyi:<br />
“Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang belum<br />
dewasa dari jenis kelamin yang sama, sedang diketahuinya atau patut harus<br />
disangkanya hal belum dewasa itu, dihukum penjara selama-lamanya lima<br />
tahun.”<br />
Namun, selain KUHP, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang<br />
Perlindungan Anak juga sudah memberikan perlindungan khusus bagi<br />
anak-anak yang mengalami kekerasan secara seksual.<br />
Bentuk perkosaan yang dilakukan perempuan terhadap laki-laki juga<br />
belum diatur dalam KUHP maupun peraturan lainnya. Dalam KUHP dan<br />
RUU KUHP selalu ditekankan bahwa yang menjadi pelaku adalah laki-laki<br />
dan korbannya adalah perempuan. Padahal, kasus tersebut pernah<br />
ditemukan di Indonesia, salah satunya kasus seorang Ibu RT di Bengkulu<br />
yang memperkosa 6 pria remaja. Ibu RT tersebut akhirnya terbukti secara<br />
sah dan meyakinkan telah melakukan persetubuhan terhadap anak yang<br />
masih di bawah umur sebagaimana diatur pada Pasal 81 ayat 2 UU Nomor<br />
23 tahun 2002 dan divonis 8 tahun penjara. 11<br />
Meskipun tampaknya perkosaan antara laki-laki dewasa terhadap lakilaki<br />
dewasa dan perempuan terhadap laki-laki tidak mungkin terjadi, pada<br />
kenyataannya kasus tersebut terjadi dalam masyarakat. Namun, banyak<br />
yang tidak terlaporkan karena stigma dan mitos yang berkembang di<br />
masyarakat tentang perkosaan. Di luar negeri, beberapa kasus tersebut<br />
mulai banyak terekspos dan dilaporkan.<br />
2. PASAL 286<br />
Poin 2.1 Tidak adanya ketentuan yang jelas mengenai perbuatan<br />
bersetubuh.<br />
Rekomendasi 2.1 Menentukan penjelasan mengenai perbuatan bersetubuh<br />
dalam pasal tersebut.<br />
11 Hery H. Winarno, “Ibu RT Cabul di Bengkuli Divonis 8 Tahun Penjara”,<br />
diakses dari http://www.merdeka.com/peristiwa/ibu-rt-cabul-di-bengkulu-divonis-8-<br />
tahun-penjara.html pada 20 Juli 2014.<br />
187
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Pada pasal 286, yang berbunyi:<br />
“Barangsiapa bersetubuh dengan wanita di luar perkawinan padahal<br />
diketahuinya wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya,<br />
diancam pidana penjara paling lama sembilan tahun.”<br />
Dalam pasal tersebut tidak ada definisi yang jelas mengenai perbuatan<br />
bersetubuh sehingga delegasi SHN merekomendasikan agar ada ketentuan<br />
penjelasan mengenai perbuatan bersetubuh dalam pasal 286 tersebut, seperti<br />
yang sudah dijelaskan di dalam Rekomendasi 1.2.<br />
<br />
Poin 2.2 Tidak menjelaskan secara jelas mengenai definisi dan klasifikasi<br />
keadaan tak berdaya.<br />
Rekomendasi 2.2 Mempertegas definisi dan klasifikasi keadaan tak<br />
berdaya, siapa yang menjadikan keadaan tidak berdaya itu timbul, serta<br />
kondisi yang dapat dianggap sebagai keadaan tidak berdaya.<br />
Unsur keadaan pingsan atau tidak berdaya dalam pasal 286<br />
membutuhkan penjelasan lebih, seperti bagaimana kondisi yang termasuk<br />
dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya (misalnya apakah kondisi sakit<br />
dan mabuk termasuk dalam keadaan tidak berdaya?), faktor penyebab<br />
terjadinya keadaan tersebut, siapa yang menjadikan keadaan pingsan atau<br />
tidak berdaya itu timbul, dan kapan suatu keadaan dianggap tidak berdaya.<br />
KUHP hanya memberikan penjelasan di dalam Pasal 89 bahwa membuat<br />
orang tidak berdaya sama dengan menggunakan kekerasan, yang justru<br />
membuat pasal ini tumpang tindih dengan Pasal 285. Penjelasan mengenai<br />
bersetubuh juga perlu lebih dijelaskan, seperti apakah bersetubuh hanya<br />
merupakan peristiwa di mana terjadinya penetrasi penis ke dalam vagina<br />
dan apakah penetrasi tersebut dapat lengkap atau tidak lengkap dan dengan<br />
atau tanpa disertai dengan ejakulasi, karena hal-hal tersebut akan<br />
berpengaruh dalam pembuktian unsur. Penjelasan pasal ini dimaksudkan<br />
untuk memudahkan proses pembuktian.<br />
3. PASAL 287<br />
Poin 3.1 Adanya penyamaan status antara anak dan tidak berdaya.<br />
Rekomendasi 3.1.1 Menentukan adanya perbedaaan pemidanaan yang<br />
tegas antara korban yang tidak berdaya dengan anak, di mana kasus<br />
pemerkosaan terhadap korban anak seharusnya lebih berat dibandingkan<br />
dengan kasus pemerkosaan terhadap orang yang tidak berdaya.<br />
Rekomendasi 3.1.2 Menentukan penjelasan yang tegas terkait dengan hal<br />
“tidak berdaya”, termasuk kategorisasi tidak berdaya, siapa yang membuat<br />
tidak berdaya dan kapan suatu keadaan yang dialami korban dapat dianggap<br />
tidak berdaya.<br />
Pasal 287 KUHP berbunyi:<br />
“Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan,<br />
padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya<br />
188
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum<br />
waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama<br />
sembilan tahun.”<br />
Permasalahan yang terdapat di dalam pasal ini adalah adanya penyamaan<br />
status antara korban kekerasan seksual pada anak dan korban kekerasan<br />
seksual bukan anak namun dalam kondisi pingsan atau tidak berdaya yang<br />
ditunjukkan dengan adanya sanksi yang sama, yaitu sembilan tahun. Perlu<br />
diketahui bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23<br />
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang belum<br />
berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Adanya<br />
penyamaan status antara korban kekerasan seksual pada anak dan korban<br />
kekerasan seksual bukan anak namun dalam kondisi pingsan atau tidak<br />
berdaya akan menimbulkan suatu permasalahan yang akan berdampak<br />
buruk pada ancaman hukuman pidana para pelaku kekerasan seksual karena<br />
dapat diartikan bahwa semakin muda umur korbannya, maka semakin<br />
ringan hukumannya. Delegasi SHN juga merekomendasikan untuk<br />
ditentukannya penjelasan yang tegas dalam hal pengertian, kategorisasi,<br />
siapa dan kondisi yang dapat dikatakan termasuk kedalam keadaan korban<br />
yang tidak berdaya seperti yang telah dijelaskan di dalam Poin 2.2.<br />
Namun, selain KUHP, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang<br />
Perlindungan Anak juga sudah memberikan perlindungan khusus bagi anakanak<br />
yang mengalami kekerasan seksual.<br />
Poin 3.2 Mempertanyakan mengenai rumusan delik dalam pasal 287,<br />
“apakah saksi yang melihat tindakan pemerkosaan bisa melaporkan?”<br />
Rekomendasi3.2 Melakukan revisi terhadap Pasal 287, delik Pasal 287<br />
KUHP adalah delik biasa bukan delik aduan.<br />
Permasalahan selanjutnya adalah pasal 287 KUHP tergolong jenis delik<br />
aduan yang berarti delik yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan<br />
atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana. Pertanyaannya<br />
adalah, “apakah saksi yang melihat tindakan pemerkosaan bisa<br />
melaporkan?” Menurut Mr. Drs. E Utrecht dalam bukunya Hukum Pidana<br />
II, dalam delik aduan penuntutan terhadap jenis delik tersebut digantungkan<br />
pada persetujuan dari yang dirugikan (korban). Dalam hal perkosaan,<br />
kebanyakan korban yang telah diperkosa tidak bisa melaporkan kejadian<br />
buruk yang telah menimpanya saat itu juga, karena selain mereka<br />
mengalami trauma perkosaan, terkadang mereka juga mendapatkan<br />
ancaman dari pelaku sehingga merasa takut untuk melaporkan. Korban<br />
perkosaan baru bisa melaporkan kejadian tersebut ketika mereka sudah<br />
merasa lebih tenang. Proses tersebut membutuhkan waktu yang sangat lama,<br />
sehingga bukti-bukti yang ada ketika tindakan perkosaan tersebut sudah<br />
hilang, seperti noda sperma. Hal tersebut akan bermasalah pada<br />
pembuktian. Dengan kurangnya barang bukti yang ada, para pelaku tindak<br />
189
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
pidana perkosaan dapat bebas dari tuntutan. Oleh karena itu, delegasi SHN<br />
merekomendasikan revisi terhadap pasal 287 KUHP, bahwasanya jenis<br />
delik pasal 287 KUHP adalah jenis delik biasa bukan jenis delik aduan,<br />
sehingga yang dapat melakukan penuntutan tidak hanya korban saja.<br />
<br />
Poin 3.3 Pidana penjara dalam rumusan pasal 287 lebih ringan<br />
dibandingkan dengan pidana penjara dalam rumusan pasal 285, padahal di<br />
dalam pasal 287 korbannya adalah anak yang akan menjadi penerus bangsa.<br />
Rekomendasi 3.3 Memperberat ancaman pidana dalam RKUHP.<br />
Persamaan status yang dimaksud dalam Poin 3.1 dapat dilihat dari<br />
ancaman hukuman penjara yang sama dari pasal 287 dengan pasal 286<br />
KUHP, yaitu 9 tahun. Seharusnya ancaman hukuman pidana terhadap<br />
korban anak-anak sebagaimana telah diatur dalam pasal 287 memiliki<br />
ancaman hukuman pidana yang sama atau bahkan lebih berat dibandingkan<br />
dengan ancaman hukuman pidana dalam pasal 286. Selain karena dapat<br />
mengindikasikan bahwa semakin muda umur korban maka semakin ringan<br />
hukumannya, hal ini disebabkan terutama karena anak-anak merupakan<br />
penerus bangsa.<br />
Tidak hanya fakta kekerasan seksual, dampak yang dialami korban<br />
kekerasan seksual juga masih luput dari perhatian serius masyarakat.<br />
Terdapat beberapa dampak yang dapat timbul pada korban kekerasan<br />
seksual, terutama perkosaan dan pelecehan. Dampak-dampak tersebut<br />
antara lain dampak langsung, dampak perilaku, dampak psikologis, dampak<br />
fisik, meliputi depresi, gangguan stres pasca trauma, kegelisahan, gangguan<br />
makan, rasa rendah diri yang buruk, perubahan perilaku seksual,<br />
psikopatologi, penyakit alamat kelamin, adiksi terhadap zat-zat berbahaya,<br />
bahkan berujung pada kematian. Dampak-dampak tersebut akan dialami<br />
oleh setiap anak yang menjadi korban kekerasan seksual, baik jangka<br />
pendek maupun jangka panjang. Delegasi SHN merekomendasikan untuk<br />
ditentukannya perbedaan pemidanaan yang tegas antara korban yang tidak<br />
berdaya dengan anak, dimana kasus pemerkosaan terhadap anak seharusnya<br />
ancaman pidananya lebih berat dibandingkan dengan kasus pemerkosaan<br />
terhadap orang dewasa yang tidak berdaya.<br />
Namun, selain KUHP, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang<br />
Perlindungan Anak juga sudah memberikan perlindungan khusus bagi anakanak<br />
yang mengalami kekerasan seksual.<br />
4. PASAL 288<br />
Poin 4.1 Rumusan dalam pasal tidak dijelaskan secara tegas dalam hal<br />
apakah pasal ini turut mencakup pemaksaan perkawinan atau tidak.<br />
Rekomendasi 4.1 Meminta penjelasan yang tegas terkait rumusan pasal<br />
288, apakah termasuk ke dalam pemaksaan perkawinan atau tidak.<br />
Pasal 288 KUHP berbunyi:<br />
190
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
(1) Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita<br />
yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang<br />
bersangkutan belum waktunya untuk di kawin, apabila perbuatan<br />
mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana paling lama empat<br />
bulan.<br />
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana<br />
penjara paling lama delapan tahun.<br />
(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua<br />
belas tahun.<br />
Pasal 288 ayat 1 mengandung unsur perkawinan yang hanya mencakup<br />
perkawinan di bawah umur. KUHP tidak menjelaskan apakah perkawinan<br />
yang dimaksud adalah perkawinan yang terjadi karena sukarela ataupun<br />
karena adanya paksaan. Perlindungan terhadap perkawinan di bawah umur<br />
juga diatur di dalam dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang<br />
Perlindungan Anak Pasal 26 ayat (1) huruf C yang menyatakan bahwa<br />
orang tua berkewajiban mencegah terjadinya perkawinan pada usia anakanak.<br />
Pasal 288 ayat 1 juga memberi ancaman hukuman lebih ringan (4<br />
tahun) kepada pelaku perkosaan perempuan di bawah umur dan<br />
menimbulkan luka-luka. Bandingkan dengan pasal 285 yaitu perkosaan<br />
terhadap perempuan dewasa (tidak dalam keadaan pingsan atau luka-luka)<br />
yang diancam hukuman maksimal 12 tahun. Hal ini menimbulkan keanehan<br />
karena pasal itu dapat diinterpretasi bahwa semakin muda umur perempuan<br />
korban perkosaan (di bawah umur), dan menderita luka-luka akibat<br />
perkosaan itu, maka semakin ringan hukuman bagi pelakunya. 12<br />
<br />
<br />
Poin 4.2 Hanya terbatas luka fisik, tidak ada pembahasan luka psikologis,<br />
dan juga hanya terbatas pada wanita<br />
Rekomendasi 4.2 Memperluas cakupan luka dan korban pada pasal ini.<br />
Pasal ini hanya mencakup perkawinan di bawah umur yang berakibat<br />
luka, luka berat, atau kematian (diatur dalam ayat (2) dan (3)). Hal ini<br />
berarti bahwa perkawinan di bawah umur yang tidak mengakibatkan luka,<br />
luka berat, atau matinya perempuan yang menjadi istrinya tidak dapat<br />
dikenai pasal ini. Padahal, dampak negatif dari perkawinan di bawah umur<br />
tidak selalu dalam bentuk fisik, namun juga dapat mengakibatkan trauma<br />
psikologis. Demikian juga dampak dari kekerasan seksual tidak hanya<br />
sebatas luka fisik saja, melainkan juga luka psikologis seperti halnya rasa<br />
takut, gelisah, dan depresi.<br />
Poin 4.3 Ketentuan dalam Pasal ini hanya mencakup perkawinan di bawah<br />
umur<br />
12 Topo Santoso, ibid.<br />
191
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Rekomendasi 4.3 Mempertegas ketentuan dalam Pasal 288 agar mencakup<br />
tidak hanya perkawinan dibawah umur tetapi juga perkawinan cukup umur.<br />
Ketentuan pasal ini hanya mencakup perkawinan di bawah umur<br />
padahal juga dimungkinkan adanya pemaksaan perkawinan dan kekerasan<br />
seksual kepada mereka yang sudah dewasa.<br />
Marital rape merupakan perkosaan yang dilakukan oleh suami terhadap<br />
istri atau sebaliknya, dengan cara memaksa untuk melakukan hubungan<br />
badan tanpa melihat dan mempertimbangkan kesediaan dan kesiapan<br />
pasangannya. Meskipun dalam KUHP tidak dikenal istilah marital rape, hal<br />
tersebut telah diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang<br />
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Pasal 5 UU<br />
PKDRT mengatur tentang larangan tindakan kekerasan seksual, yaitu<br />
pemaksaan hubungan seksual yang tidak diinginkan. Secara lebih khusus,<br />
Pasal 8 menjelaskan bahwa kekerasan seksual meliputi pemaksaan<br />
hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam<br />
lingkup rumah tangga tersebut, seperti istri, anak, dan pekerja rumah<br />
tangga. Mengenai hukuman bagi pelaku, pasal 46 menegaskan bahwa para<br />
pelaku pemaksaan hubungan seksual dalam rumah tangga diancam<br />
hukuman pidana yakni pidana penjara paling lama 12 tahun atau denan<br />
paling banyak Rp36.000.000,00<br />
Minimnya kesadaran masyarakat terhadap marital rape menyebabkan<br />
banyak kasus yang tidak terlaporkan.<br />
5. PASAL 289<br />
Poin 5.1 Frasa “kekerasan atau ancaman kekerasan” dalam Pasal 289<br />
membuat Pasal-Pasal tersebut menjadi sempit.<br />
Rekomendasi 5.1 Frasa “kekerasan atau ancaman kekerasan” tersebut<br />
diganti dengan frasa “bertentangan” atau “bertentangan dengan kehendak”<br />
Pasal 289 KUHP berbunyi<br />
“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa<br />
seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya<br />
perbuatan cabul, dihukum karena merusakkan kesopanan dengan<br />
hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun.”<br />
Frasa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan pada pasal tersebut<br />
membuat pasal ini menjadi sempit karena perbuatan cabul tidak selalu<br />
berawal dari kekerasan atau ancaman kekerasan yang pada konteksnya<br />
bersifat lebih fisik. Dengan demikian, delegasi SHN merekomendasikan<br />
sebaiknya frasa “dengan kekerasan” atau “ancaman kekerasan” pada pasal<br />
289 KUHP diubah menjadi frasa “bertentangan dengan” atau “bertentangan<br />
dengan kehendak” sehingga ketentuan pasal ini menjadi lebih luas.<br />
<br />
Poin 5.2 Definisi cabul dan kategorisasi pemerkosaan tidak jelas.<br />
192
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Rekomendasi 5.2 Mempertegas definisi dan kategorisasi daripada cabul,<br />
baik itu di dalam ketentuan umum atau penjelasan Pasal.<br />
Pasal 289 KUHP tidak menguraikan secara jelas dan detil mengenai<br />
definisi dan syarat-syarat terjadinya perbuatan cabul serta kategorisasi<br />
perkosaan yang sangat berhubungan dengan hal tersebut. Dalam penjelasan<br />
pasal 289 KUHP oleh R. Soesilo hanya dikatakan bahwa “perbuatan cabul<br />
adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau<br />
perbuatan yang keji, yang masuk dalam lingkungan nafsu birahi kelamin,<br />
misalnya cium-ciuman, meraba-raba kemaluan atau buah dada.”<br />
Pencabulan sendiri merupakan bagian dari pelecehan seksual. Pelecehan<br />
seksual merujuk pada tindakan bernuansa seksual yang disampaikan melalui<br />
kontak fisik maupun non fisik yang menyasar pada bagian tubuh seksual<br />
atau seksualitas seseorang, termasuk dengan menggunakan siulan, main<br />
mata, komentar atau ucapan bernuansa seksual, mempertunjukan materimateri<br />
pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian<br />
tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga mengakibatkan<br />
rasa tidak nyaman, tersinggung merasa direndahkan martabatnya, dan<br />
mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan. 13<br />
KUHP tidak mengenal istilah pelecehan seksual tetapi hanya perbuatan<br />
cabul. Akan tetapi, tidak terdapat ketentuan yang tegas mengenai definisi<br />
dan syarat-syarat terjadinya perbuatan cabul yang dimaksud oleh pembuat<br />
pasal ini sehingga menuai banyak perbedaan pendapat dan kontroversi di<br />
kalangan penegak hukum.<br />
Perihal keterkaitannya dengan perkosaan, perkosaan dilihat dari<br />
dibuktikannya persetubuhan paksa dan akibatnya, seperti penyakit menular<br />
seksual, gangguan disfungsi seksual, dan PTRS (Post Traumatic Stress<br />
Disorder). Apabila secara forensik praktis unsur persetubuhan dalam<br />
batasan perkosaan tidak terbukti, maka tindak pidana tersebut masuk ke<br />
dalam kategori pencabulan. 14 Dengan demikian, sebaiknya dibuat ketentuan<br />
yang mempertegas definisi dan syarat-syarat terjadinya perbuatan cabul<br />
serta kategorisasi perkosaan yang masuk ke dalam ruang lingkup pasal ini.<br />
6. PASAL 294<br />
Poin 6.1 Sanksi pidana lebih rendah.<br />
13 Komnas Perempuan, Perempuan dalam Jeratan Impunitas: Pelanggaran dan<br />
Penanganan, Dokumentasi Pelanggaran HAM Perempuan Selama Konflik Bersenjata<br />
di Poso 1998-2005, Komnas Perempuan, 2009, hal. 132 dan rumusan yang<br />
dikembangkan Rifka Annisa Women‟s Crisis Centre dalam Lusia Palulungan, “Bagai<br />
Mengurai Benang Kusut: Bercermin Pada Kasus Rieke Dyah Pitaloka, Sulitnya<br />
Pembuktian Pelecehan Seksual, Tatap: Berita Seputar Pelayanan”, Komnas<br />
Perempuan, 2010, hal. 9<br />
14 Prof. Agus Purwadianto, Op. Cit, hlm. 78-79.<br />
193
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Rekomendasi 6.1 Sudah terjawab di RKUHP, yaitu dengan pemidanaan<br />
terhadap pemerkosaan atau percabulan anak yang dilakukan oleh kerabat<br />
lebih besar ancaman pidananya.<br />
Pasal 294 KUHP mengatur ketentuan mengenai perbuatan cabul yang<br />
dilakukan oleh orang tua kepada anaknya atau anak tiri, anak pungut<br />
ataupun anak yang di bawah pengawasannya. Pasal ini memuat ketentuan<br />
pidana yang lebih ringan daripada perbuatan cabul yang dilakukan oleh<br />
orang yang korbannya tidak di bawah pengawasan orang tersebut. Padahal<br />
seharusnya pelaku dijatuhi hukuman pidana yang lebih berat, mengingat<br />
korban pasti memberikan kepercayaan lebih dan mengharapkan<br />
perlindungan dari orang yang dekat dengannya atau kerabatnya. Mengenai<br />
hal ini sebenarnya sudah diatur dalam RKUHP, yaitu perbuatan cabul dan<br />
perkosaan anak yang dilakukan oleh kerabat dijatuhi sanksi pidana yang<br />
lebih berat.<br />
<br />
Poin 6.2 Adanya kekosongan hukum, karena tidak diaturnya pemerkosaan<br />
terhadap anak, anak tiri, anak angkat atau anak yang berada di bawah<br />
pengawasan pelaku.<br />
Rekomendasi 6.2 Mengenai masalah poin 2 dan 3, adanya pengaturan<br />
mengenai masalah diatas dalam Pasal tertentu.<br />
Pasal ini hanya mencakup “perbuatan cabul” terhadap anak, anak tiri, anak<br />
pungut, ataupun anak yang ada di bawah pengawasannya. Tindakan<br />
pemerkosaan tidak termasuk ke dalam ruang lingkup pasal ini. Dalam hal<br />
ini, terdapat kekosongan hukum karena tidak ada ketentuan yang mengatur<br />
mengenai perkosaan terhadap anak, anak tiri, anak pungut, ataupun anak<br />
yang ada di bawah pengawasannya sehingga pelaku perkosaan tersebut<br />
hanya dapat dikenai pasal 294 KUHP mengenai perbuatan cabul ini,<br />
padahal pelaku tindak pidana perkosaan seharusnya diberikan sanksi yang<br />
lebih berat dibandingkan pelaku tindak pidana perbuatan cabul mengingat<br />
tindak pidana perkosaan jauh lebih merugikan korban baik rohani maupun<br />
jasmani dibandingkan perbuatan cabul. Dengan demikian, mengenai hal ini<br />
sebaiknya diatur dengan ketentuan yang lebih lanjut.<br />
7. PASAL 295<br />
Poin 7.1 Pasal 295 hanya mengatur mengenai perbuatan yang menyebabkan<br />
atau mempermudah perbuatan cabul, sehingga terdapat kekosongan hukum<br />
untuk perbuatan yang menyebabkan atau mempermudah pemerkosaan<br />
Rekomendasi 7.1 Meminta agar perbuatan yang menyebabkan atau<br />
mempermudah pemerkosaan diatur dalam RKUHP.<br />
Pasal 295 KUHP mengatur mengenai perbuatan yang menyebabkan atau<br />
memudahkan dilakukannya perbuatan cabul. Dinyatakan pada pasal tersebut<br />
“(1) Diancam dengan:<br />
1. dengan pidana penjara paling lama lima tahun barang siapa dengan<br />
sengaja menyebabkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan<br />
194
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
cabul oleh anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, atau anak di<br />
bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau oleh orang yang<br />
belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau<br />
penjagaannya diserahkan kepadanya, ataupun oleh bujangnya atau<br />
bawahannya yang belum cukup umur, dengan orang lain;<br />
2. dengan pidana penjara paling lama empat tahun barang siapa<br />
dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan<br />
cabul, kecuali yang tersebut dalam butir 1 di atas., yang dilakukan<br />
oleh orang yang diketahuinya belum dewasa atau yang sepatutnya<br />
harus diduganya demikian, dengan orang lain.”<br />
Dapat dilihat dalam rumusan pasal di atas bahwa pengaturan tersebut<br />
hanyalah ditujukan pada perbuatan cabul saja. Apabila melihat pembahasan<br />
sebelumnya mengenai perkosaan, tidak ada pasal yang mengatur mengenai<br />
perbuatan yang menyebabkan atau mempermudah perkosaan. Padahal, hal<br />
ini diperlukan untuk mengisi kekosongan hukum akan hal tersebut. Oleh<br />
karena itu, diharapkan terdapat pengaturan mengenai hal ini dalam RKUHP,<br />
sebab setelah ditelaah dalam RKUHP terbaru kini pun tidak terdapat<br />
pengaturannya.<br />
<br />
Poin 7.2 Pasal 295 mengatur secara limitatif pihak-pihak yang<br />
menyebabkan atau mempermudah perbuatan cabul.<br />
Rekomendasi 7.2 Memperjelas ketentuan mengenai pihak-pihak yang<br />
menyebabkan atau mempermudah perbuatan cabul dalam RKUHP<br />
Pasal 295 KUHP hanya mengatur secara limitatif pihak-pihak yang<br />
menyebabkan atau mempermudah perbuatan cabul. Dalam rumusan pasal<br />
hanya kepada “…anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, atau anak di<br />
bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau oleh orang yang belum<br />
dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan<br />
kepadanya, ataupun oleh bujangnya atau bawahannya yang belum cukup<br />
umur, dengan orang lain…” sehingga perlu diperjelas dan diperluas<br />
ketentuan mengenai pihak-pihak yang menyebabkan atau mempermudan<br />
perbuatan cabul ini di dalam RKUHP.<br />
195
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
KOMISI 2<br />
FORMIL<br />
<br />
Poin 8.1 Etika Aparat Penegak Hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan<br />
Kehakiman) penanganan kasus kekerasan seksual yang tidak berperspektif<br />
kepada korban.<br />
Rekomendasi<br />
8.1.1 Mengoptimalisasikan “Pendidikan Penanganan Kasus Kekerasan<br />
Seksual” kepada Aparat Penegak Hukum (APH).<br />
8.1.2 Penyesuaian kode etik bagi Aparat Penegak Hukum (APH) yang<br />
berperspektif kepada korban kekerasan seksual.<br />
8.1.3 Mengadakan revisi terhadap PP Nomor 2 Tahun 2003 tentang<br />
Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia<br />
mengenai Sanksi, yang bertujuan untuk memperberat ancaman<br />
pidana terhadap para pelaku kejahatan kekerasan seksual.<br />
8.1.4 Mengoptimalisasikan penerapan PERKAP Nomor 10 Tahun 2007<br />
tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perempuan dan<br />
Anak (Unit PPA) di lingkungan Kepolisian Negara Republik<br />
Indonesia yang telah direvisi dan juga melakukan sosialisasi di<br />
seluruh wilayah Indonesia.<br />
Kasus kekerasan seksual merupakan kasus yang sangat kompleks dan<br />
tidak mudah ditangani. Aparat penegak hukum membutuhkan perspektif<br />
yang luas dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual. Seringkali<br />
hakim yang kurang berpengalaman terpengaruh oleh prejudicial evidence<br />
tentang karakter buruk si tersangka. Pada kasus sidang perkosaan, mereka<br />
dapat terpengaruh oleh karakter baik si pelaku perkosaan, sebaliknya,<br />
sekaligus mempersoalkan karakter buruk masa lalu atau kredibilitas<br />
korban. Diragukannya kredibilitas korban misalnya tampak dari ditelitinya<br />
secara berlebihan pesetujuan (consent) korban, aturan lajang-perawankorban,<br />
dan riwayat perilaku seksual sebelumnya. Perempuan lajang yang<br />
bukan perawan dipandang lebih mungkin menyatakan persetujuannya<br />
untuk melakukan hubungan seksual dibandingkan dengan lajang-perawan.<br />
Riwayat perilaku seksual sebelumnya juga menyulitkan pembuktian<br />
perkosaan korban dewasa yang telah saling mengenal sebelumnya<br />
(sehingga memicu tuduhan suka sama suka) ataupun perkosaan dengan<br />
korban anak-anak. Hal tersebut juga menyulitkan mereka yang kebetulan<br />
berprofesi sebagai pelacur, yang dianggap “kurang masuk akal” untuk tidak<br />
consent terhadap relasi seksual pasca-menerima uang jasa dari laki-laki<br />
yang menyetubuhinya. 15 Berkaca pada Amerika, ketentuan uji perilaku<br />
yang berat sebelah seperti itu telah dicabut tahun 1974-1975 di beberapa<br />
15 Ibid, hlm. 131.<br />
196
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
negara bagian, sehingga tidak diperbolehkan lagi mempertanyakan riwayat<br />
perilaku seksual korban sebelumnya. 16<br />
Kecenderungan yang ada juga menunjukkan bahwa korban seringkali<br />
cemas akan reaksi personel peradilan pidana (polisi, jaksa, dan hakim),<br />
terhadap viktimisasi yang dialaminya. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari<br />
kenyataan bahwa sejumlah kasus kekerasan terhadap perempuan yang<br />
dilaporkan kurang mendapat tanggapan yang positif dari mereka,<br />
misalnya: 17<br />
(a) Karena masalah tindak kekerasan terhadap perempuan (terutama yang<br />
berkenaan dengan domestic violence) dianggap sebagai masalah<br />
keluarga yang sebaiknya diselesaikan dalam keluarga saja.<br />
(b) Kurangnya pelatihan pada personel peradilan pidana mengenai tindak<br />
kekerasan terhadap perempuan untuk meningkatkan kepekaan personel<br />
kepada masalah yang dialami korban.<br />
(c) Ketiadaan prosedur baku yang dirancang untuk menangani perempuan<br />
yang menjadi korban tindak kekerasan terhadap perempuan, sehingga<br />
masih sangat bergantung kepada persepsi dan kemampuan individu<br />
petugas hukum untuk menindaklanjuti masalah ini.<br />
(d) Terkadang polisi kesulitan untuk memperoleh bukti awal, kecuali<br />
kesaksian korban, sehingga upaya tindak lanjut menjadi sulit untuk<br />
dilakukan.<br />
Pada wawancara yang dilakukn oleh delegasi Universitas Indonesia<br />
dengan salah satu pendamping hukum di LBH APIK Jakarta 18 , dalam<br />
pengalaman pendampingannya, menemukan banyak aparat kepolisian yang<br />
dalam menjalani proses penyidikan melalui pertanyaan-pertanyaan yang<br />
diajukan cenderung victim blaming dan semakin menyudutkan korban.<br />
Berikut kutipan pertanyaan dari penyidik dan hakim dalam salah satu<br />
kasus. 19<br />
Sebelum Anda disetubuhi apakah status Anda masih perawan?<br />
Sebelum Anda disetubuhi oleh Saudara A (bukan nama sebenarnya)<br />
secara paksa, apakah Anda tidak berusaha untuk berteriak, jelaskan?<br />
Setelah Saudara A selesai menyetubuhi Anda, dan Saudara A keluar<br />
dari kamar, apakah waktu itu tidak ada usaha Anda untuk melarikan<br />
diri atau keluar dari rumah tersebut?<br />
16 Ibid, hlm. 132.<br />
17 Prof. Harkristuti Harkrisnowo, Hukum Pidana dan Kekerasan Terhadap<br />
Perempuan, (Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan<br />
Alternatif Pemecahannya, Jakarta: PT Alumni, 2000), hlm. 90-91.<br />
18 Dikutip dari Makalah Delegasi Universitas Indonesia, Pelaksanaan Fungsi<br />
Penanganan Hukum terhadap Korban Kekerasan Seksual di Jakarta<br />
19 Lihat, Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Polisi Sektor Pasarkemis, Tanggal 19<br />
dan 21 April 1999,serta catatan persidangannya, dokumentasi LBH APIK Jakarta<br />
197
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Coba Anda jelaskan apakah persetubuhan antara Anda dengan<br />
Saudara A tersebut dilakukan secara mau sama mau, jelaskan?<br />
Sebelum Anda bersama Santi (bukan nama sebenarnya) diajak main ke<br />
rumah temannya tersebut, apakah Anda tidak merasa curiga<br />
sebelumnya?<br />
Tambahan pertanyaan penyidik pada korban kedua dalam kasus yang<br />
sama:<br />
Apakah Anda sewaktu diperkosa oleh Saudara H (bukan nama<br />
sebenarnya) tersebut siapa yang memasukkan alat kemaluannya<br />
ketempat vagina Anda, dan apakah Anda ikut membantu<br />
memasukkannya?<br />
Apakah sewaktu Saudara H memasukkan alat kemaluannya ke dalam<br />
vagina Anda, apakah Anda berusaha mengelakkannya?<br />
Bandingkan dengan pertanyaan pelaku perkosaan dalam kasus yang<br />
sama:<br />
Penyidik : Setelah selesai persetubuhan apa tindakan atau reaksi<br />
Saudari S (bukan nama sebenarnya), jelaskan?<br />
Pelaku : Setelah selesai bersetubuh tidak ada reaksi dari Saudari S<br />
melainkan langsung tidur dan saya sendiri keluar untuk cuci<br />
muka ke kamar mandi dan kemudian kembali ke kamar tidur<br />
dan tidur bersama-sama Saudari S.<br />
Penyidik : Apakah persetubuhan yang Anda lakukan dengan Saudari S<br />
tersebut dilakukan secara paksa atau mau sama mau, jelaskan?<br />
Pelaku : Dilakukan mau sama mau karena saya mau bertanggung<br />
jawab untuk menikahinya.<br />
Dalam kasus yang terjadi 11 tahun sebelum adanya Peraturan Menteri<br />
Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Permenneg<br />
PP&PA) Nomor 1 Tahun 2010 ini, terlihat baik penyidik maupun pelaku<br />
berpegang pada kenikmatan seksual perempuan menurut persepsi mereka<br />
yang sangat bias laki-laki. Karenanya mereka meragukan kebenaran<br />
pengalaman korban, bahkan untuk itu mereka tak segan-segan mengajukan<br />
pertanyaan-pertanyaan yang intinya melecehkan dan menyalahkan korban<br />
(victim blaming) juga menyudutkan korban sebagai pihak yang turut<br />
bertanggung jawab terhadap peristiwa perkosaan tersebut (victim<br />
participating). 20<br />
20 Ratna Batara Munti, Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas, Kelemahan<br />
Aturan dan Proses Hukum, Serta Strategi Menggapai Keadilan, dalam Perempuan<br />
Indonesia dalam Masyarakat yang Tengah Berubah, Jakarta: Program Studi Kajian<br />
Wanita Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000, hlm. 389-390.<br />
198
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Pun setelah Permenneg PP&PA No. 1 Tahun 2010 diundangkan,<br />
penanganan polisi pada kasus kekerasan seksual, khususnya di Jakarta,<br />
masih mengalami kendala yang sama. Hal ini terrefleksikan pada contoh<br />
kasus yang ditangani oleh pendamping hukum korban UH di salah satu<br />
LBH perempuan di Jakarta sebagai berikut: 21<br />
Kasus perkosaan Aster (bukan nama sebenarnya) anak usia 15 tahun<br />
oleh pelaku usia 25 tahun. Awal berhubungan dengan korban adalah ketika<br />
pendamping mendapatkan telepon dari tetangga korban pada hari Sabtu di<br />
saat hari libur pendamping. Setelah berkoordinasi dengan koordinator<br />
divisi, pendamping datang ke Kantor Polres untuk mendampingi korban<br />
membuat laporan, visum, dan Berita Acara Pemeriksaan (BAP).<br />
Setelah mendampingi korban membuat laporan pada jam 10 pagi,<br />
pendamping langsung membawa korban untuk visum di rumah sakit jam<br />
12 siang sampai jam 5 sore. Setelah visum jam 5 sore kembali lagi ke<br />
Kepolisian untuk BAP sampai jam 10 malam.<br />
“Sampai di Polres sudah buat laporan kita damping, karena waktu itu<br />
libur jadi nggak bikin surat kuasa. Kami tetap mengenalkan diri sebagai<br />
pendamping dari LBH. Akhirnya dipersilahkan untuk membuat laporan<br />
kejadiannya kapan, 3 hari yang lalu. Kalau diperkosa 3 hari yang lalu itu<br />
sudah kelamaan. Anaknya takut mau ngaku dia baru berani cerita<br />
sekarang. Ya sudah kita buat laporan, kita data, kita visum. Laporan belum<br />
dibuat, hanya pendaftaran saja dibuat surat rujukan, kita visum di RSCM.<br />
Jadi langsung ke RSCM. Visum langsung dapat hasilnya, waktu itu harus<br />
didampingi polisi. Karena tidak bisa jalan sendiri. Setelah itu, langsung<br />
kembali lagi ke Polres. Setelah di Polres baru kita dibuatkan laporan.<br />
Setelah dibuat laporan di SPK, kita diarahkan ke Unit PPA di BAP. Saya<br />
bingung kok langsung di BAP. Udah hari ini buat laporan aja karena<br />
selesai visum itu sudah jam 7 malam masak langsung di BAP. Harusnya<br />
tunggu kondisi korban dulu karena kondisi korban itu masih capek. Kami<br />
menyerahkan ke pihak korban, mau di BAP sekarang lebih baik. Loh<br />
biasanya kami damping nggak seperti ini. Biasanya diberi kebebasan. Tapi<br />
dari pihak korban kayaknya sudah ketakutan. Ya sudah sekarang saja. Pas<br />
di tengah-tengah pemeriksaan dia bilang, „Mbak, aku capek, gimana kalau<br />
besok aja?‟ setelah itu kita ngomong ke penyidik bisa nggak ditunda aja<br />
untuk besok. Ya sudah, nanti kita ada pemeriksaan tambahan. Karena<br />
mereka memang awam hukum.”<br />
Adapun selama pemeriksaan, menurut pendamping hukum UH, polisi<br />
memberikan pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan dan<br />
menyudutkan korban, antara lain:<br />
21 SY. Ernaweni, Tesis: Penanganan Hukum Kasus Kekerasan Seksual terhadap<br />
Anak Perempuan berdasarkan Pengalaman Pendamping Hukum,<br />
199
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Kamu melakukan ini sama-sama mau kan? (pendamping menjawab:<br />
bagaimana ini disebut sama-sama mau pak, dia masih kecil belum tahu<br />
baik buruk, sedangkan pelaku sudah dewasa jadi tidak ada mau sama<br />
mau, ini masuk unsur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak<br />
adanya bujuk rayu, tipu muslihat)<br />
Kok kamu gak teriak?<br />
Kok mau sih, kamu pacaran ya? (pendamping memprotes sikap polisi<br />
tersebut dengan mengatakan: Gimana sih, KANIT (kepala unit)-nya kan<br />
sudah sering berkoordinasi dengan LBH, kok anak buahnya begini ya<br />
nggak punya perspektif.”)<br />
Sikap Polisi dalam penyidikan tersebut melanggar sejumlah ketentuan<br />
dalam Prosedur Standar Operasional (PSO) Pelaksanaan Permenneg<br />
PP&PA No. 1 Tahun 2010 yaitu:<br />
1) Penerimaan Laporan Polisi: 22<br />
a. Apabila saksi korban dalam kondisi trauma/stres, penyidik<br />
melakukan tindakan penyelamatan dengan mengirim saksi<br />
dan/atau korban ke PPT RS Bhayangkara atau Puskesmas, untuk<br />
mendapatkan penanganan medis-psikis serta memantau<br />
perkembangannya;<br />
b. Dalam hal saksi dan/atau korban memerlukan istirahat, petugas<br />
mengantar ke ruang istirahat atau rumah aman atau shelter.<br />
2) Pada tahap penyidikan: 23<br />
a. apabila korban siap diperiksa dan bersedia memberikan<br />
keterangan terkait dengan laporan polisi yang dilaporkan korban,<br />
penyidik dapat melaksanakan kegiatan membuat Berita Acara<br />
Pemeriksaan (BAP).<br />
“Udah hari ini buat laporan aja karena selesai visum itu sudah<br />
jam 7 malam masak langsung di BAP. Harusnya tunggu kondisi<br />
korban dulu karena kondisi korban itu masih capek. Kami<br />
menyerahkan ke pihak korban, mau di BAP sekarang lebih baik.<br />
Loh biasanya kami damping nggak seperti ini. Biasanya diberi<br />
kebebasan. Tapi dari pihak korban kayaknya sudah ketakutan. Ya<br />
sudah sekarang saja. Pas di tengah-tengah pemeriksaan dia<br />
bilang, „mba, aku capek, gimana kalau besok aja?”<br />
Pada ilustrasi tersebut tergambar bagaimana penanganan polisi<br />
tidak mematuhi PSO yang dipersyaratkan pada Permenneg<br />
PP&PA No. 1 Tahun 2010. Polisi selaku penyidik memaksakan<br />
korban untuk menjalani BAP di hari itu juga, padahal kondisi<br />
fisik korban sudah kelelahan. Seharusnya, penyidik melakukan<br />
22 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik<br />
Indonesia, Op.Cit, hlm. 217.<br />
23 Ibid., hlm. 219.<br />
200
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
tindak penyelamatan ke PPT RS Bhayangkara atau Puskesmas<br />
hingga kondisi korban cukup sehat dan baik untuk menjalani<br />
wawancara pembuatan laporan polisi.<br />
3) Tata cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban: 24<br />
a. Pemeriksaan terhadap saksi dan/atau korban dilaksanakan dengan<br />
memperhatikan ketentuan sebagai berikut:<br />
pertanyaan diajukan dengan ramah dan penuh rasa empati;<br />
dilarang memberikan pertanyaan yang dapat menyinggung<br />
perasaan atau hal-hal yang sangat sensitif bagi saksi dan/atau<br />
korban yang diperiksa;<br />
tidak menyudutkan atau menyalahkan atau mencemooh atau<br />
melecehkan yang diperiksa<br />
tidak memberikan pertanyaan yang dapat menimbulkan<br />
kekesalan/kemarahan yang diperiksa;<br />
selama dalam pemeriksaan, petugas senantiasa memperhatikan<br />
situasi dan kondisi fisik maupun kejiwaan yang diperiksa.<br />
Dalam hal etika, ini diperlukan dengan adanya optimalisasi “Pendidikan<br />
Penanganan Kasus Kekerasan Seksual” kepada aparat penegak hukum<br />
(APH). Selain itu, kurangnya pelatihan pada personel peradilan pidana<br />
mengenai tindak kekerasan perempuan untuk meningkatkan kepekaan<br />
personel kepada masalah yang dialami korban.<br />
Rekomendasi selanjutnya dapat pula diadakan penyesuaian kode etik<br />
bagi aparat penegak hukum (APH) yang berperspektif korban kekerasan<br />
seksual. Pengadaan dan pengoptimalisasian peraturan-peraturan yang ada<br />
juga diperlukan seperti mengadakan revisi terhadap Peraturan Pemerintah<br />
Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian<br />
Negara Republik Indonesia mengenai sanksi dengan tujuan untuk<br />
memperberat ancaman pidana terhadap para pelaku kejahatan kekerasan<br />
seksual. Selain itu, diperlukan pula pengoptimalisasian penerapan<br />
PERKAP Nomor 10 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit<br />
Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA) di lingkungan Kepolisian<br />
Negara Republik Indonesia yang telah direvisi dan juga melakukan<br />
sosialisasi di seluruh wilayah Indonesia.<br />
<br />
Poin 8.2 Proses peradilan dalam kasus kekerasan seksual yang tidak<br />
memberikan keadilan bagi korban kekerasan seksual. Dalam hal ini, diatur<br />
mengenai pengaturan Alat Bukti dan Proses Persidangan.<br />
Rekomendasi<br />
ALAT BUKTI:<br />
24 Ibid., hlm. 221-222.<br />
201
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
8.2.1 Dalam kasus kekerasan seksual, keterangan saksi dalam persidangan<br />
cukup satu orang saksi untuk melakukan pembuktian kasus yaitu<br />
saksi korban.<br />
8.2.2 Memasukkan unsur rekam psikologis sebagai alat bukti yang harus<br />
diperhitungkan oleh pihak kepolisian.<br />
Permasalahan terletak pada proses peradilan dalam kasus kekerasan<br />
seksual yang tidak memberikan keadilan bagi korban kekerasan seksual.<br />
Dalam hal ini, diatur mengenai pengaturan alat bukti dan proses<br />
persidangan.<br />
Pada dasarnya, Indonesia menganut proses pembuktian hukum pidana<br />
bermetode negative wettelijke. Dalam metode ini, selain adanya alat-alat<br />
bukti sah berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan<br />
keterangan terdakwa, untuk menetapkan sanksi di sidang pengadilan masih<br />
juga diperlukan adanya keyakinan hakim. 25 Menurut Pasal 183 KUHAP,<br />
hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa kecuali<br />
didapatkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sah dan ia memperoleh<br />
keyakinan bahwa benar telah terjadi perkosaan dan terdakwalah yang<br />
melakukannya.<br />
Pada kasus perkosaan dan kekerasan seksual, umumnya tidak terdapat<br />
orang lain kecuali saksi korban, sehingga korban seringkali merupakan<br />
satu-satunya orang yang dapat memberi keterangan kesaksian dalam<br />
rangka pembuktian perkosaan. Namun dalam prinsip hukum pidana,<br />
kesaksian terhadap diri sendiri paling lemah kedudukannya. 26 Oleh karena<br />
itu, kami mengajukan bahwa dalam kasus kekerasan seksual, keterangan<br />
saksi dalam persidangan cukup satu orang saksi untuk melakukan<br />
pembuktian kasus yaitu saksi korban. Hal ini didukung dengan keadaan di<br />
mana memang dalam kasus perkosaan biasanya hanya terdapat korban atau<br />
perempuan itu saja.<br />
Dalam meyakinkan hakim bahwa semua alat bukti sah yang<br />
mencangkup bukti-medik dan saksi-saksi berada pada tataran benar-benar<br />
meyakinkan juga bergantung pada upaya pihak Kepolisian RI dalam<br />
mengumpulkan dan memberkas bukti adanya perkosaan termasuk visum et<br />
repertum (VeR). 27 Bukti utama ideal lainnya dalam kasus perkosaan<br />
meliputi: 28<br />
a. Tanda persetubuhan antara pemerkosa dan korban.<br />
b. Tanda kekerasan pada tubuh korban sebagai perlawanan terhadap<br />
perbuatan pelaku.<br />
25 Lihat Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Pasal 184.<br />
26 Prof. Agus Purwadianto, Op. Cit, hlm. 129.<br />
27 Prof. Agus Purwadianto, Op.Cit., hlm. 106.<br />
28 Ibid, hlm. 108-109.<br />
202
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
c. Tanda gangguan kejiwaan korban akibat ancaman, kekerasan atau<br />
perbuatan pelaku<br />
d. Anamnesis 29 terhadap korban yang sesuai.<br />
e. Bukti koroborasi langsung diperoleh dari korban yang sesuai. 30<br />
f. Bukti pelengkap yang diperoleh oleh saksi-saksi selain korban.<br />
Dalam keprihatinan proses penegakan hukum, sisi pembuktian<br />
perkosaan banyak merugikan korban. Hukum positif tentang perkosaan<br />
sebagai salah satu produk budaya dan sistem masyarakat ini masih<br />
memojokkan korban karena limitatif mendefinisikan perkosaan sebagai<br />
“masuknya penis pelaku ke vagina korban (yang bukan istrinya) secara<br />
ancaman paksaan atau berkekerasan”. Unsur-unsur delik pidananya sulit<br />
ditegakkan akibat ketiadaan atau kekurang-akuratan bukti medik (yang<br />
diperoleh dari tubuh korban atau pelaku) dan/atau benda bukti biologis<br />
(benda yang berasal dari unsur tubuh manusia yang diperoleh dari tempat<br />
kejadian perkara). 31<br />
Dokter pemeriksa, pada akhirnya akan memberikan laporan tertulis atas<br />
permintaan penyidik dalam bentuk sertifikasi korban yang disebut visum et<br />
repertum (VeR). Pada “Bagian Pemberitaan” dan “Kesimpulan” VeR<br />
setidaknya memberikan informasi tentang: persetubuhan lama (di masa<br />
lalu) atau baru, adanya perlakuan yang menunjukkan adanya perlawanan<br />
dan pertahanan korban. Juga tentang ada atau tidaknya pengaruh obat atau<br />
zat terlarang lain, tentang perlukaan di daerah genitalis (termasuk kondisi<br />
atau keutuhan selaput dara), usia korban, dan lain-lain. Namun seringkali<br />
dokter pemeriksa tidak dapat menyimpulkan secara tegas kebenaran<br />
persetubuhan, sehingga pendapat subjektifnya atas dasar objektivitas<br />
“Bagian Pemberitaan” VeR yang disimpulkannya hanya berisi tentang<br />
kemungkinan persetubuhan. 32<br />
Selain pada tubuh korban, perlu diperiksa bukti biomedik korban pada<br />
pelaku, yaitu tanda persetubuhan berupa sel epitel vagina korban pada<br />
penis pelaku (baik perorangan atau kelompok). Termasuk adanya epitel<br />
kulit pelaku pada kuku korban yang dapat dianalisis DNA-nya untuk<br />
menentukan pelaku. 33<br />
29<br />
Menurut Kamus Besar Bahasa IIndonesia, anamnesis adalah 1) Istilah<br />
Psikologi untuk keterangan tentang kehidupan seseorang yang diperoleh melalui<br />
wawancara dan sebagainya, 2) Dokumen riwayat orang sakit dan penyakitnya pada<br />
masa lampau.<br />
30 Bukti koroborasi berupa bukti-medik seperti benda biologis korban pada<br />
benda-benda di TKP, baik bukti persetubuhan maupun perlawanan korban.<br />
Prof. Agus Purwadianto, Op. Cit., hlm. 109.<br />
31 Ibid., hlm. 5.<br />
32 Prof. Agus Purwadianto, Op. Cit, hlm. 133.<br />
33 Ibid, hlm. 110.<br />
203
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Selain itu, terdapat bukti psikologis yang dapat dijadikan bukti tetapi<br />
tidak dijadikan pertimbangan yang kuat oleh hakim. Padahal bukti<br />
psikologis yang dianalisis oleh psikiater atau psikolog dapat<br />
mendeskripsikan sindrom trauma pascaperkosaan (Post Traumatic Rape<br />
Syndrome atauPTRS) sebagai bagian dari PTSD (Post Traumatic Stress<br />
Disorder). Kesaksian yang mengandalkan sindrom ini harus diperlakukan<br />
hati-hati dengan maksud baik dan harus melindungi pelaku terhadap<br />
tuduhan atau fitnahan korban. Keberlakuan sindrom PTSD tadi sebagai<br />
bukti di pengadilan dianggap memenuhi syarat pada kondisi sebagai<br />
berikut:<br />
1. Ketiadaan persetujuan korban.<br />
2. Beratnya kerusakan tubuh korban ditinjau dari perkara perdatanya.<br />
3. Pembelaan terhadap perilaku jahat korban.<br />
4. Penjelasan terhadap perilaku korban yang inkonsisten dengan<br />
pengaduan perkosaannya.<br />
Dan dapat dianggap sebagai bukti ilmiah dan diterima peradilan bila<br />
memenuhi hal-hal sebagai berikut:<br />
1. Bukti yang ditunjukkan sesuai dengan reaksi khas terhadap perkosaan<br />
dan tak boleh membuat penyimpulan hukum bahwa “korban telah<br />
diperkosa”.<br />
2. Saksi ahli benar-benar di bidangnya.<br />
3. Ada alas dasar yang cukup.<br />
4. Diperbolehkan pemeriksaan silang terhadap saksi ahli lainnya secara<br />
bebas.<br />
5. Dapat mempertahankan argumen kesaksian ahlinya tentang sindroma<br />
tersebut terhadap upaya pebelaan terdakwa oleh pihak mereka.<br />
PERSIDANGAN:<br />
8.2.3 Pada saat pemeriksaan saksi korban di pengadilan, terdakwa harus<br />
dikeluarkan dari ruang sidang.<br />
8.2.4 Selama proses peradilan berlangsung, saksi korban berhak<br />
didampingi oleh pendamping.<br />
8.2.5 Mengusulkan agar poin 2.3 dan 2.4 dituangkan dalam Peraturan<br />
Mahkamah Agung (PERMA).<br />
Kemudian pada tahapan persidangan, pada saat pemeriksaan saksi<br />
korban di pengadilan, terdakwa harus dikeluarkan dari ruang sidang. Hal<br />
ini memang sering dilakukan oleh hakim-hakim yang biasanya telah<br />
berpengalaman dalam menangani kasus kekerasan seksual. Atau selama<br />
persidangan, korban yang dikeluarkan dari ruang persidangan. Hal-hal<br />
seperti ini dilakukan untuk mempermudah proses pembuktian dan<br />
pengambilan keterangan serta untuk tidak membuat korban merasa<br />
semakin tertekan karena berhadapan dengan terdakwa. Selain itu, selama<br />
204
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
proses peradilan berlangsung, saksi korban berhak didampingi oleh<br />
pendamping.<br />
KOMISI 3<br />
PERLINDUNGAN DAN PENDAMPINGAN KORBAN<br />
Poin 9.1 Pemberitaan tentang kasus kekerasan seksual yang<br />
menitikberatkan pada aspek seksualitas oleh pers.<br />
Rekomendasi 9.1 Merekomendasikan Kementerian Pemberdayaan<br />
Perempuan dan Perlindungan Anak untuk berkoordinasi dengan organisasi<br />
pers, Kementerian Komunikasi dan Informasi, Komisi Penyiaran Indonesia,<br />
Dewan Pers, dan pihak terkait untuk memberikan edukasi tentang<br />
pemberitaan kekerasan seksual yang berperspektif korban.<br />
Permasalahan pertama terletak pada pemberitaan tentang kasus<br />
kekerasan seksual yang menitikberatkan pada aspek seksualitas oleh para<br />
pers. Dalam hal ini direkomendasikan kepada Kementerian Pemberdayaan<br />
Perempuan dan Perlindungan Anak untuk berkoordinasi dengan organisasi<br />
pers, Kementerian Komunikasi dan Informasi, Komisi Penyiaran Indonesia,<br />
Dewan Pers, dan pihak terkait untuk memberikan edukasi tentang<br />
pemberitaan kekerasan seksual yang berperspektif korban.<br />
<br />
Poin 9.2 Tidak sesuainya penanganan kasus kekerasan seksual yang<br />
dilakukan oleh aparat penegak hukum dengan SOP tentang penanganan<br />
korban kekerasan seksual yang telah diatur dalam Peraturan Menteri<br />
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 1 Tahun 2010.<br />
Rekomendasi 9.2 Melakukan sosialisasi kembali terhadap Peraturan<br />
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 1 Tahun<br />
2010 kepada aparat hukum untuk melaksanakan SOP yang terkandung<br />
dalam aturan tersebut.<br />
Permasalahan berikutnya adalah tidak sesuainya penanganan kasus<br />
kekerasan seksual yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dengan SOP<br />
tentang penanganan korban kekerasan seksual yang telah diatur dalam<br />
Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak<br />
Nomor 1 Tahun 2010. Sehingga diperlukan adanya sosialisasi kembali<br />
terhadap Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan<br />
Anak Nomor 1 Tahun 2010 kepada aparat hukum untuk melaksanakan SOP<br />
yang terkandung dalam aturan tersebut. Kementerian Pemberdayaan<br />
Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia mengeluarkan<br />
Peraturan Menteri Negara Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Standard<br />
Pelayanan Minimal Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak<br />
Korban Kekerasan yang dimaksudkan untuk menjadi standar atau pun<br />
panduan dalam menyelenggarakan layanan perlindungan terhadap<br />
perempuan dan anak korban kekerasan seksual. Menurut Permenneg<br />
205
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
tersebut, layanan bagi korban kekerasan baik anak maupun perempuan<br />
diberikan oleh pemerintah dan masyarakat.<br />
Layanan Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan<br />
Nama Layanan<br />
Pengembang<br />
Pusat Krisis Terpadu (PKT), Pusat Pelayanan Terpadu Departemen<br />
(PPT) di Rumah Sakit (RS) Umum Vertikal, RS Umum Kesehatan dan<br />
Daerah, RS Kepolisian, dan RS Swasta<br />
Kepolisan<br />
Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA)<br />
Kepolisian<br />
Negara Republik<br />
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan<br />
Anak (P2TP2A)<br />
Rumah Perlindungan dan Trauma Center (RPTC)<br />
Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA)<br />
Indonesia<br />
Kementerian<br />
Negara<br />
Pemberdayaan<br />
Perempuan<br />
Departemen<br />
Sosial<br />
Departemen<br />
Sosial<br />
Departemen<br />
Agama<br />
Kementerian Luar<br />
Negeri<br />
Masyarakat<br />
Badan Penasehatan Pembinaan dan Pelestarian<br />
Perkawinan (BP4)<br />
Satuan Tugas Pelayanan Warga pada Perwakilan RI di<br />
luar negeri<br />
LSM Women Crisis Center<br />
Tabel 2: Layanan Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan<br />
Menurut SPM<br />
Untuk mengoptimalkan berbagai upaya yang dilakukan oleh lembagalembaga<br />
di atas, pemerintah juga melakukan pengembangan kapasitas SDM<br />
penyelenggara layanan dan kebijakan-kebijakan pendukung yang dilakukan<br />
oleh Kementerian Kesehatan, berupa:<br />
1) Pelatihan penanganan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak<br />
untuk dokter/petugas medis Rumah Sakit<br />
2) Penyusunan Pedoman Pelayanan Korban Kekerasan Terhadap<br />
Perempuan (KtP) dan Anak (KtA) di Rumah Sakit<br />
3) Penyusunan Pedoman Rujukan Korban Kekerasan Terhadap Anak<br />
untuk Petugas Kesehatan<br />
4) Penyusunan Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap<br />
Perempuan di Tingkat Pelayanan Dasar<br />
5) Penyusunan Pedoman Pengembangan Puskesmas Mampu Tatalaksana<br />
Kasus KtP/A<br />
Bentuk-bentuk layanan yang diberikan melalui upaya-upaya di atas,<br />
antara lain berupa pelayanan kesehatan, rehabilitasi sosial, misalnya dalam<br />
206
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
bentuk penyediaan shelter (tempat), bantuan hukum, rehabilitasi sosial,<br />
pemulangan, dan reintegrasi korban. Namun, ketersediaan layanan ini di<br />
masing-masing tempat masih berbeda dan belum memiliki acuan tentang<br />
Standar Pelayanan Minimal yang harus disediakan oleh masing-masing<br />
lembaga penyelenggara layanan bagi perempuan dan anak korban<br />
kekerasan.<br />
Sedangkan LSM memiliki program penghapusan eksploitasi seksual<br />
anak, termasuk bagi korban perdagangan orang. Kegiatan yang dilakukan<br />
lembaga tersebut mulai dari pendampingan korban, menyediakan shelter<br />
untuk korban, pendidikan masyarakat, pendidikan kesehatan reproduksi<br />
remaja, kampanye antitrafiking, kajian, dan advokasi peraturan daerah<br />
tentang perlindungan perempuan dan anak dari segala bentuk kekerasan<br />
termasuk di antaranya perdagangan orang dan eksploitasi seksual. Tim<br />
Penggerak PKK juga telah melakukan kegiatan pelayanan berbasis<br />
masyarakat dalam membantu pencegahan terjadinya kekerasan, termasuk<br />
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan perdagangan orang.<br />
<br />
Poin 9.3 Kurangnya sumber daya manusia terlatih untuk menangani korban<br />
kekerasan seksual pada Unit Pelaporan Kekerasan Seksual di tingkat<br />
kabupaten/kota.<br />
Rekomendasi<br />
9.3.1 Menyesuaikan jumlah tenaga terampil agar sebanding dengan jumlah<br />
kasus yang ada di provinsi tersebut.<br />
9.3.2 Setiap provinsi harus mempunyai data yang valid mengenai jumlah<br />
kasus kekerasan seksual.<br />
Kurangnya sumber daya manusia yang terlatih dalam menangani korban<br />
kekerasan seksual pada Unit Pelaporan Kekerasan Seksual di tingkat<br />
kabupaten/kota ini juga menjadi permasalahan lain. Dengan begitu<br />
memang dibutuhkan penyesuaian jumlah tenaga terampil agar sebanding<br />
dengan jumlah kasus yang ada di provinsi tersebut. Hal ini diperlukan<br />
untuk memaksimalkan penanganan terhadap korban kasus kekerasan<br />
seksual. Setiap provinsi harus mempunyai data yang valid mengenai<br />
jumlah kasus kekerasan seksual, agar dapat dilakukan pemantauan terhadap<br />
bagaimana kasus ini berkembang di masyarakat dan dapat diketahui<br />
bagaimana hasil dari upaya pemberantasan kekerasan seksual ini.<br />
<br />
Poin 9.4 Sulitnya akses korban kekerasan seksual terhadap dokter forensik<br />
untuk mendapatkan visum et repertum yang digunakan sebagai alat bukti<br />
yang valid.<br />
Rekomendasi 9.4 Menjamin akses yang mudah bagi korban kekerasan<br />
seksual untuk menjalani pemeriksaan oleh dokter forensik.<br />
207
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Sulitnya akses korban kekerasan seksual terhadap dokter forensik untuk<br />
mendapatkan visum et repertum yang digunakan sebagai alat bukti yang<br />
valid juga merupakan permasalahan penting dalam hal ini. Sehingga perlu<br />
adanya jaminan mengenai akses yang mudah bagi korban kekerasan<br />
seksual untuk menjalani pemeriksaan oleh dokter forensic<br />
<br />
Poin 9.5.1 Kesulitan masyarakat untuk menerima kembali korban kekerasan<br />
seksual karena dianggap sebagai aib dalam komunitasnya.<br />
Poin 9.5.2 Sulitnya akses korban kekerasan seksual terhadap dokter<br />
forensik untuk mendapatkan visum et repertum yang digunakan sebagai alat<br />
bukti yang valid.<br />
Rekomendasi 9.5 Asistensi pemerintah dalam peningkatan partisipasi<br />
masyarakat dalam reintegrasi korban kekerasan seksual.<br />
Salah satu permasalahan serius yang harus dihadapi oleh korban<br />
kekerasan seksual adalah pada saat dirinya sudah kembali terjun di<br />
lingkungan masyarakat. Dimana pada umumnya, korban akan merasa<br />
menjadi aib bagi lingkungan sekitarnya dikarenakan masyarakat sulit untuk<br />
menerima kembali status dirinya sekarang. Padahal, lingkungan sekitar<br />
memiliki peran besar bagi kembalinya kepercayaan diri seorang korban.<br />
Untuk itu, perlu adanya upaya-upaya terkait perubahan pola pikir<br />
masyarakat terhadap korban kekerasan seksual.<br />
Selain kesulitan yang dihadapinya dalam masyarakat, korban<br />
dihadapkan kembali dalam berbagai hambatan dalam memperjuangkan<br />
hak-haknya terutama jika mereka berhadapan dengan institusi penegak<br />
hukum atau aparat penegak hukum. Seringkali di tingkat penuntutan, jaksa<br />
selalu kesulitan untuk melimpahkan kasus kekerasan seksual ke pengadilan<br />
(P21) karena selalu alasan saksi yang melihat atau mengetahui secara<br />
langsung, sangat kaku, dan selalu memojokkan korban. Akibatnya jaksa<br />
selalu mengembalikan berkas dengan alasan tidak cukup bukti. Untuk itu,<br />
sangat penting mendapatkan visum et repertum sebagai alat bukti yang<br />
valid, namun kembali korban mengalami kendala pada sulitnya akses<br />
terhadap dokter forensik.<br />
Berangkat dari pemaparan yang sudah dijabarkan di atas, asistensi<br />
terhadap pemerintah dalam peningkatan partisipasi masyarakat dalam<br />
reintegrasi korban kekerasan seksual menjadi sangat penting agar terjadi<br />
kesatuan untuk sama-sama melindungi hak-hak para korban kekerasan<br />
seksual.<br />
<br />
Poin 9.6 Kurangnya informasi dari aparat penegak hukum kepada korban<br />
kekerasan seksual mengenai keberadaan lembaga yang bergerak di bidang<br />
pemulihan korban kekerasan seksual.<br />
Rekomendasi 9.6 Dalam proses peradilan penanganan kasus kekerasan<br />
seksual, aparat penegak hukum harus menjamin bahwa korban mengetahui<br />
208
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
keberadaan lembaga yang bergerak dalam bidang pemulihan korban<br />
kekerasan seksual<br />
Setiap orang yang mengalami tindak kekerasan, apalagi secara seksual,<br />
pasti merasa malu dan takut untuk menceritakan kejadian yang dialaminya.<br />
Kondisi dimana korban menjadi tertutup dikarenakan trauma yang<br />
dialaminya semakin menyulitkan institusi penegak hukum untuk<br />
membongkar kasus kekerasan seksual. Untuk itu, pendampingan dari<br />
psikiater atau lembaga yang bergerak di bidang pemulihan korban<br />
kekerasan seksual sangatlah dibutuhkan. Namun seringkali informasi<br />
tersebut tidak diketahui secara memadai oleh korban sehingga korban<br />
menjadi kembali takut dan keterangan dari korban tidak diperoleh secara<br />
utuh. Dengan demikian, menjadi suatu hal yang wajib bagi aparat penegak<br />
hukum untuk menjamin bahwa korban mengetahui keberadaan lembaga<br />
yang bergerak dalam bidang pemulihan korban kekerasan seksual,<br />
sehingga dapat membantu korban selama proses peradilan<br />
Dampak yang terjadi pada korban kekerasan seksual seringkali luput<br />
dari perhatian serius masyarakat. Dampak tersebut diderita korban pada<br />
saat perkosaan dan berlanjut berminggu-minggu, berbulan-bulan bahkan<br />
sepanjang sisa hidupnya. 34 Dampak perkosaan bisa lebih buruk apabila<br />
tidak mendapatkan dukungan dari keluarga dan teman-teman, disalahkan,<br />
korban adalah seorang anak, dan pelaku perkosaan lebih dari satu orang.<br />
Terdapat beberapa dampak yang dapat timbul pada korban kekerasan<br />
seksual, terutama perkosaan dan pelecehan. Dampak-dampak tersebut<br />
antara lain dampak langsung, dampak perilaku, dampak psikologis,<br />
dampak fisik, dan dampak dalam jangka panjang.<br />
Dampak langsung pada korban biasanya terkejut yaitu tubuh mendingin,<br />
mental yang bingung, menjadi lemah, kehilangan orientasi, gemetaran dan<br />
mual, terkadang muntah, menyangkal apa yang terjadi, menangis, dan<br />
menarik diri.<br />
Dampak perilaku juga terjadi pada korban yaitu sulit konsentrasi,<br />
mudah takut atau kaget dari biasanya, bermasalah dalam hubungan dengan<br />
pasangan, mengalami masalah seksual, meningkatnya konsumsi alkohol,<br />
rokok, dan obat-obatan, sering mencuci diri atau mandi berkali-kali dan<br />
berlama-lama.<br />
Dampak psikologis biasanya pikiran dan perasaan yang terganggu,<br />
kilas-balik, amnesia psikologis, hilangnya perasaan emosi tertentu, berpikir<br />
bunuh diri, mudah marah atau pemarah, merasa malu dan terhina, perasaan<br />
bersalah dan menyalahkan diri sendiri, merasa bertanggung jawab atau<br />
terjadinya perkosaan, perasaan yang berbeda atau jauh dari orang lain,<br />
34 Topo Santoso, Op. Cit., hlm. 116.<br />
209
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
perasaan tidak berdaya dan tidak kuasa hilangnya harga diri, hilangnya<br />
kepercayaan diri, dan merasa kurang dari orang lain. 35<br />
Dampak fisik antara lain sakit asma, menderita migrain, sulit tidur, sakit<br />
ketika berhubungan seksual, luka pada bibir atau dagu, luka, infeksi, atau<br />
penyakit pada alat kelamin, kesulitan buang air besar, kemungkinan tidak<br />
dapat melahirkan anak, dan infeksi pada panggul. 36<br />
Efek dari perkosaan dalam jangka panjang adalah korban tidak pernah<br />
lupa tetapi belajar untuk bernegosiasi dengan ingatannya, sehingga<br />
dibutuhkan konseling untuk bicara tentang pengalamannya. Korban juga<br />
mengalami masalah kejiwaan, yaitu ketidakmampuan mempercayai orang<br />
lain, perfeksionisme, fobia, menghindari keintiman emosional dan ikatan,<br />
tidak percaya pada indra sendiri, bahkan dapat membela pelaku perkosaan<br />
(membenci untuk mencintai), memiliki masalah pengasuhan, mencemaskan<br />
figur yang memiliki otoritas, banyak mengacaukan hubungan seks, kasih<br />
sayang, dan cinta dengan kontrol dan kekuasaan. 37<br />
Di samping itu, ada pula dampak dari segi pendidikan dan ekonomi<br />
terhadap korban. Banyak kasus yang mempengaruhi laju seseorang dalam<br />
jenjang pendidikannya yang sangat mempengaruhi masa depan korban<br />
terutama mengenai aspek kehidupan ekonominya. 38<br />
Dapat dikatakan, penderitaan korban dapat terjadi sebelum, selama, dan<br />
setelah sidang pengadilan. 39 Dengan terbongkarnya suatu kasus perkosaan,<br />
penderitaan korban baru dimulai. Mulai dari pertanyaan-pertanyaan<br />
penyidik yang kadang memojokkan dirinya atau semakin mengingatkan<br />
pada peristiwa buruk yang ia alami. Hal itu berlanjut di sidang pengadilan<br />
di mana proses pembuktian semakin mengoyak dirinya. Pertanyaanpertanyaan<br />
yang diajukan pembela terdakwa malah seakan menjadikannya<br />
sebagai “tertuduh”. Penderitaan itu semakin sempurna ketika pengadilan<br />
tidak dapat membuktikan kesalahan pelaku, atau jika terbukti hanya<br />
menghukumnya dengan hukuman yang sangat ringan (sering terjadi<br />
pengadilan menghukum pemerkosa dengan beberapa bulan penjara). 40 Hal<br />
tersebut terjadi dalam proses hukum YF, korban pelecehan seksual oleh<br />
empat orang petugas Transjakarta pada awal tahun 2014.<br />
<br />
Poin 9.7 Beberapa daerah belum memiliki rumah aman (shelter) bagi<br />
korban kekerasan seksual dalam konteks rehabilitasi yang dibutuhkan.<br />
Selain itu, terdapat beberapa daerah yang sudah memiliki shelter, namun<br />
belum dipergunakan sebagaimana mestinya.<br />
35 Carol Hensell dan Dr. Veronica Salter, Apakah Perkosaan Itu?, (Jurnal<br />
Perempuan Edisi 71: Perkosaan dan Kekuasaan, 2011), hlm 116.<br />
36 Topo Santoso, Op. Cit, hlm. 40.<br />
37 Carol Hensell dan Dr. Veronica Salter, Op. Cit., hlm. 116.<br />
38 Topo Santoso, Op. Cit, hlm. 40.<br />
39 Prof. Agus Purwadianto, Op. Cit., hlm. 6.<br />
40 Topo Santoso, Op. Cit., hlm. 42-43.<br />
210
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Rekomendasi 9.7 Harus adanya pemerataan shelter di tiap-tiap lembaga<br />
yang memiliki fungsi rehabilitasi terhadap korban kekerasan seksual dan<br />
harus dioperasionalkan sesuai dengan Standar Penilaian Minimum<br />
Permasalahan lainnya yang harus segera dibenahi adalah mengenai<br />
pentingnya ketersediaan rumah aman (shelter) bagi korban kekerasan<br />
seksual. Terhadap hal itu, beberapa daerah belum memiliki rumah aman<br />
(shelter) dalam konteks rehabilitasi yang dibutuhkan. Untuk daerah yang<br />
sudah memiliki rumah aman (shelter) pun belum dipergunakan secara<br />
optimal dan sebagaimana semestinya. Sehingga menjadi penting untuk<br />
diadakan pemerataan shelter di tiap-tiap lembaga yang memiliki fungsi<br />
rehabilitasi terhadap korban kekerasan seksual, serta harus<br />
dioperasionalkan sesuai dengan Standar Penilaian Minimum.<br />
<br />
Poin 9.8 Dakwaan tindak pidana kekerasan seksual yang belum<br />
mengakomodasi restitusi dan kompensasi bagi korban kekerasan seksual.<br />
Rekomendasi 9.8 Restitusi dan kompensasi harus diakomodir dalam surat<br />
dakwaan.<br />
Seringkali, dalam penjatuhan pidana bagi pelaku tindak kekerasan<br />
seksual yang diutamakan sebagai bentuk tanggung jawab dari perbuatan<br />
yang dilakukannya adalah dengan dipenjara sekian tahun. Korban hanya<br />
dapat menerima tindakan pembalasan tersebut dengan penjatuhan hukuman<br />
yang diberikan hakim kepada pelaku. Setelah mendapat putusan yang<br />
bersifat inkracht dari pengadilan, korban seringkali dikembalikan pada<br />
orang tuanya tanpa direhabilitasi. Kemudian dalam hal medis, seperti<br />
melakukan perawatan (kalau terdapat luka fisik) dan visum sebagaimana<br />
yang dijelaskan pada poin atas, korban dibebani biaya sendiri. Dalam hal<br />
ini, korban tidak memperoleh ganti kerugian seperti restitusi maupun<br />
kompensasi dan bantuan hukum lainnya sehingga hak korban untuk<br />
mendapatkan restitusi dan kompensasi perlu diakomodir dalam surat<br />
dakwaan.<br />
211
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
SUSUNAN KEPANITIAAN<br />
SIMPOSIUM HUKUM NASIONAL 2014<br />
Pembina : Prof. Dr. Topo Santoso, S.H., M.H.<br />
Dekan Fakultas Hukum Universitas<br />
Indonesia<br />
Penasehat : Heru Susetyo, S.H., LL.M., M.Si., Ph.D.<br />
Manajer Pendidikan dan Kemahasiswaan<br />
Fakultas Hukum Universitas Indonesia<br />
Penanggungjawab : Gery Fathurrachman<br />
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas<br />
Hukum Universitas Indonesia<br />
Panitia Pengarah<br />
(Steering Committee)<br />
: Fadel Muhammad<br />
Kepala Departemen Kajian dan Aksi<br />
Strategis Badan Eksekutif Mahasiswa<br />
Fakultas Hukum Universitas Indonesia<br />
R. M. Agung Putranto<br />
Wakil Kepala Departemen Kajian dan Aksi<br />
Strategis Badan Eksekutif Mahasiswa<br />
Fakultas Hukum Universitas Indonesia<br />
Dion Valerian<br />
Wakil Kepala Departemen Kajian dan Aksi<br />
Strategis Badan Eksekutif Mahasiswa<br />
Fakultas Hukum Universitas Indonesia<br />
Ketua Pelaksana : Florianti Kurnia Sjaaf<br />
Wakil Ketua Pelaksana : Kharisma Bintang Alghazy<br />
Sekretaris 1 : Miranti Verdiana<br />
Sekretaris 2 : Rininta Sharfina<br />
Bendahara Internal : Rr. Dwi Setyani Hanindita<br />
Bendahara Eksternal : Anesha Gita Ardelia<br />
Divisi Sponsorhip<br />
Penanggungjawab : Nadia Theodora<br />
Wakil Penanggungjawab : Ristia Delasari<br />
Divisi Dana Usaha<br />
Penanggungjawab : Ratu Gita<br />
Wakil Penanggungjawab : Wita Risanti<br />
Bidang I<br />
Koordinator Bidang : Annisa Essanda Gunawan<br />
Divisi Materi dan Acara :<br />
Penanggungjawab : Fadhil Muhammad Indrapraja<br />
Wakil Penanggungjawab 1 : Rifki Maulana<br />
212
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Wakil Penanggungjawab 2 : Bella Nathania<br />
Wakil Penanggungjawab 3 : Dysan Aufar<br />
Wakil Penanggungjawab 4 : Dita Anggraeni<br />
Divisi Ceremony<br />
Penanggungjawab : Muhammad Yusuf Rashidi<br />
Wakil Penanggungjawab : Ivan Dwi Anugrah<br />
Divisi Simposium<br />
Penanggungjawab : Mutiara Zahroh<br />
Wakil Penanggungjawab : Aszmar Haliem<br />
Divisi Output<br />
Penanggungjawab : Kristi Ardiana<br />
Wakil Penanggungjawab : Aris Dzilhamsyah<br />
Divisi Liaison Officer (LO)<br />
Penanggungjawab : Tasha Kartika<br />
Wakil Penanggungjawab 1 : Irfan Hielmy<br />
Wakil Penanggungjawab 2 : Putri Rizka<br />
Divisi Registrasi dan Verifikasi<br />
Penanggungjawab : Nadhilah Rosa<br />
Wakil Penanggungjawab : Nadia Maulida<br />
:<br />
Bidang II<br />
Koordinator Bidang : Nabila Satira<br />
Divisi Humas dan Publikasi<br />
Penanggungjawab : Dhianti Afifah<br />
Wakil Penanggungjawab 1 : Angela Vania<br />
Wakil Penanggungjawab 2 : Salomo Harvard<br />
Divisi Media Partner<br />
Penanggungjawab : Nissa Azzahra<br />
Wakil Penanggungjawab : Ratna Juwita<br />
Divisi Desain dan Produksi<br />
Penanggungjawab : Adrianus Eryan<br />
Wakil Penanggungjawab 1 : Asha Alifa<br />
Wakil Penanggungjawab 2 : Christofer Ruminsar<br />
Divisi Dokumentasi<br />
Penanggungjawab : Nadya Radhisya<br />
Wakil Penanggungjawab : Rena Restriana<br />
213
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Bidang III<br />
Koordinator Bidang : Christopher Imantaka<br />
Divisi Perizinan<br />
Penanggungjawab : Rizqi Robbani Hanif<br />
Wakil Penanggungjawab 1 : Stanley Armando<br />
Wakil Penanggungjawab 2 : Fathia Notarina<br />
Divisi Perlengkapan<br />
Penanggungjawab : Adipa Rizky Putra<br />
Wakil Penanggungjawab : Dewangga Dennis<br />
Divisi Transportasi<br />
Penanggungjawab : Revino Vaditra<br />
Wakil Penanggungjawab : Prabowo Rizky<br />
Divisi K3<br />
Penanggungjawab : Adirizal Dito<br />
Wakil Penanggungjawab : Mario Bimo<br />
Divisi Akomodasi<br />
Penanggungjawab : Aditya Brahma<br />
Wakil Penanggungjawab : Marbuhal Silitonga<br />
Divisi Konsumsi<br />
Penanggungjawab : Anbiya<br />
Wakil Penanggungjawab : Camelia Wulandari<br />
214
215<br />
Simposium Hukum Nasional 2014