29.06.2015 Views

prosidingshn2014

prosidingshn2014

prosidingshn2014

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Keeping Our Small Boat Afloat<br />

By Robert Bly<br />

It‟s hard to grasp how much generosity<br />

Is involved in letting us go on breathing,<br />

When we contribute nothing valuable but our grief.<br />

Each of us deserves to be forgiven, if only for<br />

Our persistence in keeping our small boat afloat<br />

When so many have gone down in the storm.<br />

ii


Desain Sampul<br />

“Keeping Our Small Boat Afloat”<br />

Elizabeth Elysia<br />

Fakultas Hukum Universitas Indonesia 2013


PROSIDING<br />

SIMPOSIUM HUKUM<br />

NASIONAL 2014<br />

“Peningkatan Peran Pemerintah dan Partisipasi Masyarakat<br />

dalam Melawan Kekerasan Seksual”


Prosiding Simposium Hukum Nasional 2014<br />

“Peningkatan Peran Pemerintah dan Partisipasi Masyarakat dalam<br />

Melawan Kekerasan Seksual”<br />

Pertama kali diterbitkan dalam bahasa Indonesia<br />

oleh Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Juni 2015<br />

Kampus FHUI Gedung D-405<br />

Depok – Jawa Barat 16424<br />

Telp. +6221 7270003 ext. 73<br />

Email jurnalhp@ui.ac.id<br />

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang<br />

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku<br />

ini tanpa izin tertulis dari Penerbit<br />

xvi + 211 hlm.<br />

ISBN: 978-979-8972-57-7<br />

Disusun oleh<br />

Tim Output<br />

Panitia Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Penanggung Jawab<br />

Kristi Ardiana<br />

Wakil Penanggung Jawab<br />

Aris Dzilhamsyah<br />

Almitra Indira<br />

Amanda Husna K<br />

Eliza Anggasari<br />

Irena Lucy Ishimora<br />

Muhammad Satria Jaya<br />

Raychel Mayshun


“Tanah air ada di sana, di mana ada cinta dan kedekatan hati, di<br />

mana tidak ada manusia menginjak manusia lain.”<br />

Y. B. Mangunwijaya<br />

Kepada<br />

Prihanggodo, Haullussy & Partners<br />

KitaBisa<br />

IndoAgri Sehati<br />

PT. Pelayaran Kartika Samudra Adijaya<br />

Kartini Muljadi & Rekan<br />

Hakim & Rekan<br />

PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk.<br />

PT. Vale Indonesia<br />

Angkatan ‟82 FHUI<br />

PT Mitra Adiperkasa Tbk.<br />

Kailimang & Ponto<br />

PT. Fonterra Brands Indonesia<br />

Pancious<br />

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak<br />

Komnas Perempuan<br />

Enjoy Jakarta!<br />

Terima kasih telah membantu kami mewujudkannya.


Kata Sambutan Dekan FHUI<br />

KATA SAMBUTAN<br />

DEKAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA<br />

Syukur Alhamdulillah patut diucapkan karena atas petunjuk dan<br />

bimbingan-Nya lah buku prosiding ini dapat dicetak sebagai rangkaian<br />

akhir dan hasil nyata dari kegiatan Simposium Hukum Nasional 2014<br />

(SHN 2014) yang dilaksanakan oleh BEM FHUI 2014.<br />

Kekerasan seksual dapat terjadi pada siapa saja dan dimana<br />

saja. Hal tersebut dapat terjadi pada wanita, anak dan bahkan kepada<br />

pria dewasa. Korban kekerasan seksual memiliki karakter yang berbeda<br />

dengan karakter korban tindak pidana lainnya. Korban tindak pidana<br />

dalam banyak kasus terlihat begitu antusias memperjuangkan haknya.<br />

Berbeda dengan korban kekerasan seksual, mereka malu dan bahkan<br />

berusaha menutupi fakta bahwa dirinya adalah korban.<br />

Saat ini hal tersebut menjadi wajar. Menjadi korban kekerasan<br />

seksual masih dapat dianggap sebagai suatu aib. Rasa malu dan tabu<br />

mencegah para korban untuk melaporkan bahwa dirinya adalah korban.<br />

Nama baik keluarga menjadi lebih penting ketimbang dipenuhinya hak<br />

mereka sebagai korban. Belum lagi masih terdapat oknum penegak<br />

hukum yang belum memahami perspektif korban kekerasan seksual,<br />

yang justru dapat menyebabkan korban kekerasan seksual yang melapor<br />

menjadi korban untuk kedua kalinya karena pertanyaan-pertanyaan<br />

yang justru melecehkan. Kondisi ini tentunya menguntungkan para<br />

pelaku kekerasan seksual.<br />

Hal ini harus berubah. Dan perubahan harus dimulai dengan<br />

suatu tindakan nyata. SHN 2014 yang digagas oleh BEM FHUI dan<br />

beberapa BEM Fakultas Hukum seluruh Indonesia merupakan suatu hal<br />

nyata yang dilakukan oleh para Mahasiswa dalam perannya sebagai<br />

agen perubahan. Dengan tema “Peningkatan Peran Pemerintah dan<br />

Partisipasi Masyarakat dalam Melawan Kekerasan Seksual”, diharapkan<br />

kedepan akan tercipta suatu kondisi yang ramah korban dan utamanya<br />

dapat mengurangi terjadinya kekerasan seksual. Dibutuhkan peran<br />

semua pihak untuk menciptakan kondisi tersebut.<br />

Prosiding ini dibuat sebagai hasil sumbangsih pemikiran para<br />

mahasiswa dalam menyikapi fenomena kekearasan seksual. Diharapkan<br />

semua pihak dapat membaca prosiding ini sebagai bahan baik dalam<br />

pembentukan kebijakan, penanganan kasus maupun usaha advokasi<br />

dalam upaya melawan kekerasan seksual. Selamat membaca!<br />

Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia<br />

Prof. Dr. Topo Santoso S.H., M.H.<br />

i


Kata Sambutan Manajer Pendidikan dan Kemahasiswaan FHUI<br />

KATA SAMBUTAN<br />

MANAJER PENDIDIKAN DAN KEMAHASISWAAN<br />

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA<br />

Anyone who closes his eyes to the past is blind to the present<br />

(Richard von Weizsacker)<br />

Kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia, utamanya terhadap<br />

perempuan dan anak, adalah sudah berada pada tingkatan yang<br />

mengkhawatirkan. Setiap saat terjadi kekerasan seksual di Indonesia<br />

dengan frekuensi yang semakin meningkat. Baik di perkotaan maupun<br />

perdesaan. Menurut data dari Komnas Perempuan, dalam waktu 13<br />

tahun terakhir kasus kekerasan seksual berjumlah hampir seperempat<br />

dari seluruh total kasus kekerasan atau 93960 kasus dari seluruh kasus<br />

kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan.<br />

Dari segi perundang-undangan, negara Indonesia sudah cukup<br />

mengantisipasi fenomena ini dengan meratifikasi CEDAW sejak 1984,<br />

melahirkan UU Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan tahun<br />

2004, melahirkan UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak<br />

Pidana Perdagangan Orang, UU Pornografi tahun 2008, lalu UU<br />

Perlindungan Anak tahun 2002 dan perubahannya tahun 2014, dan lain<br />

sebagainya.<br />

Namun, keberadaan undang-undang saja tidak cukup. Harus ada<br />

upaya luar biasa untuk mengakhiri atau mengurangi kekerasan seksual<br />

ini. Juga, tak bisa hanya mengandalkan penegak hukum (Polisi, Jaksa,<br />

Hakim, Advokat), Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, Gugus<br />

Tugas Trafficking, dan P2TP2A saja. Seluruh pemangku kepentingan<br />

harus terlibat aktif. Apakah anak, remaja, orangtua, keluarga,<br />

masyarakat, lingkungan, sekitar, sekolah, kampus, tempat kerja, dunia<br />

usaha, dan sebagainya.<br />

Pelajaran dari Amerika Serikat, ada inisiatif masyarakat dan<br />

dunia usaha untuk melahirkan semacam kode, misalnya „Code of<br />

Adam‟ atau „Amber Alert‟ sebagai kode khusus untuk bereaksi cepat<br />

apabila ada kabar anak hilang atau penculikan anak. Lalu ada pula<br />

„Silver Alert‟ apabila terkabarkan ada lansia yang hilang. Inisiatif<br />

tersebut kemudian bersinergi dan terwadahi oleh penegak hukum dan<br />

pembuat hukum, sehingga menjadi gerakan masyarakat sekaligus upaya<br />

penegakan hukum yang luar biasa dalam melawan kekerasan di USA.<br />

Mahasiswa dan dunia kampus adalah bagian dari pemangku<br />

kepentingan itu. Selaku bagian kecil dari masyarakat Indonesia yang<br />

beruntung karena sempat mengecap bangku pendidikan yang lebih<br />

tinggi, didukung dengan semangat idealis dan fisik yang masih prima,<br />

mahasiswa harus dan wajib ikut serta dalam upaya-upaya mengurangi<br />

ii


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

atau mencegah kekerasan seksual di Indonesia. Apalagi, tidak sedikit<br />

diantara para mahasiswa adalah sekaligus menjadi tersangka pelaku,<br />

korban, ataupun saksi dari kekerasan seksual.<br />

Simposium Hukum Nasional (SHN) yang digagas dan telah<br />

dilaksanakan oleh kepanitiaan yang dibentuk BEM FHUI 2014 adalah<br />

bagian dari upaya mulia untuk mengurangi dan mencegah kekerasan<br />

seksual ala mahasiswa. Melalui kolaborasi dan partisipasi dengan<br />

mahasiswa dari banyak kampus, melalui hari-hari penuh diskusi, dialog,<br />

debat, pencerahan dan aktualisasi pemikiran melalui tulisan, lahirlah<br />

buku ini. Apresiasi tertinggi saya sampaikan untuk rekan-rekan panitia<br />

dan seluruh partisipan. Apa yang telah kalian lakukan insya Allah akan<br />

sangat bermanfaat untuk perjuangan melawan kekerasan seksual di<br />

Indonesia.<br />

“Kezhaliman akan terus ada, bukan karena banyaknya orang-orang<br />

jahat. Tapi karena "diam"nya orang-orang baik”.<br />

(Ali ibn Abi Thalib)<br />

Depok, Januari 2015<br />

Heru Susetyo, S.H., LL.M., M.Si., Ph.D.<br />

iii


Kata Sambutan Ketua BEM FHUI 2014<br />

KATA SAMBUTAN<br />

KETUA BEM FHUI 2014<br />

Assalamualaikum Wr. Wb.<br />

Salam Sejahtera Untuk Kita Semua.<br />

Pertama-tama izinkanlah saya untuk menghaturkan puji dan<br />

syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat-Nya lah<br />

maka acara Simposium Hukum Nasional 2014 berhasil dijalankan<br />

dengan lancar dan prosiding yang merupakan rangkuman dari acara<br />

tersebut dapat diselesaikan dan dipublikasikan kepada masyarakat luas.<br />

Lalu kemudian izinkanlah saya untuk berterima kasih kepada para<br />

sponsor dan media partner yang telah membantu berjalannya acara ini.<br />

Tidak lupa juga saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya<br />

kepada teman-teman Panitia Simposium Hukum Nasional 2014 yang<br />

telah bekerja amat keras untuk merealisasikan mimpi ini, dan tentunya<br />

teman-teman delegasi dari Simposium Hukum Nasional 2014 yang<br />

telah rela mengikuti seluruh rangkaian acara yang kami sediakan dan<br />

menyumbangkan ide-ide dan saran demi tercapainya tujuan hukum bagi<br />

seluruh rakyat Indonesia.<br />

Sebelum memasuki isi dari prosiding ini maka ada baiknya<br />

saya perkenalkan dahulu acara yang merupakan landasan dari prosiding<br />

ini, yaitu Simposium Hukum Nasional 2014 (SHN 2014). SHN 2014<br />

adalah sebuah program kerja dari Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas<br />

Hukum Universitas Indonesia tahun 2014, dimana program kerja ini<br />

sudah dijalankan untuk yang ketiga kalinya semenjak tahun 2012.<br />

Tujuan dari acara ini adalah untuk mengumpulkan mahasiswamahasiswa<br />

Fakultas Hukum se-Indonesia untuk berdiskusi dan<br />

menghasilkan sebuah gagasan terkait permasalahan-permasalahan<br />

hukum yang ada di Indonesia kepada para stakeholders terkait dan<br />

merancang berbagai gerakan sosial yang akan diaplikasikan di penjuru<br />

daerah di Indonesia.<br />

Pada tahun ketiga dilaksanakannya SHN 2014 ini, kami<br />

mengangkat sebuah Tema yaitu “Peningkatan Peran Pemerintah dan<br />

Partisipasi Masyarakat dalam Memerangi Kekerasan Seksual” dengan<br />

tagline “Selaras Paham Lawan Kekerasan Seksual”. Tema ini berangkat<br />

dari keprihatinan kami atas kurangnya perhatian, rumitnya penanganan,<br />

dan lambatnya penyelesaian kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi<br />

di Indonesia selama ini. Isu Kekerasan Seksual sebenarnya bukanlah<br />

sebuah isu yang baru muncul belakangan ini. Menurut KOMNAS<br />

Perempuan, 35 wanita Indonesia menjadi korban kekerasan seksual<br />

setiap harinya. Kekerasan seksual tidak hanya terjadi pada perempuan,<br />

iv


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

akan tetapi juga terjadi kepada pria, orang-orang lanjut usia dan anakanak.<br />

Kekerasan seksual bukanlah sebuah permasalahan yang dapat<br />

dipandang dengan sebelah mata. Ada luka psikis yang tertinggal pada<br />

korban yang menyebabkan trauma dan depresi. Tidak hanya itu,<br />

masyarakat masih cenderung melihat korban kekerasan seksual dengan<br />

pandangan yang sinis dan melabeli mereka sebagai “orang yang kotor”.<br />

Tentu sangat mengerikan ketika korban-korban kekerasan seksual<br />

dipandang negatif oleh masyarakat, ketakutan untuk melaporkan<br />

kekerasan tersebut ke lembaga yang berwenang dan mirisnya lagi, tidak<br />

jarang para korban kekerasan seksual mendapatkan penanganan yang<br />

tidak layak dari institusi penegak hukum.<br />

Selama acara ini yang dilaksanakan pada tanggal 17-21<br />

November 2014, puluhan mahasiswa-mahasiswa dari berbagai<br />

Universitas yang tersebar di seluruh Indonesia saling bercerita<br />

mengenai fenomena kekerasan seksual yang terjadi di daerahnya<br />

masing-masing dan bertukar informasi dan strategi untuk bersama-sama<br />

selaras dan paham dalam melawan kekerasan seksual. Selama itu juga,<br />

para delegasi mendapatkan informasi dari tokoh-tokoh masyarakat,<br />

lembaga negara, dan LSM-LSM yang juga concern terhadap<br />

permasalahan ini. Pada akhirnya juga para delegasi membuat sebuah<br />

tinjauan hukum yang ditujukan kepada pemangku kebijakan, seperti<br />

DPR dan Institusi Kepolisian untuk dapat lebih optimal melawan<br />

kekerasan Seksual.<br />

Akhir kata, semoga usaha dan cita-cita kami pada SHN 2014<br />

ini dapat bermanfaat bagi bangsa ini dan semoga prosiding dari acaraini<br />

dapat menjadi sebuah bahan bacaan yang memberikan pemahaman<br />

baru, semangat dan ajakan bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk<br />

bersama-sama memerangi kekerasan seksual yang bisa terjadi dimana<br />

saja, kapan saja, dan siapa saja.<br />

Wassalamualaikum Wr.Wb.<br />

Gery Fathurrachman<br />

Ketua BEM FHUI 2014<br />

v


Kata Sambutan Ketua Pelaksana<br />

KATA SAMBUTAN<br />

KETUA PELAKSANA SIMPOSIUM HUKUM NASIONAL 2014<br />

Abad Pertengahan di Eropa ditandai dengan bangkitnya<br />

Gereja sebagai sebuah kekuasaan yang memiliki pengaruh yang sangat<br />

besar namun sangat korup dan menimbulkan banyak penyelewengan,<br />

termasuk di ajaran agama Kristiani sendiri, sehingga Abad Pertengahan<br />

disebut juga sebagai Abad Kegelapan. Di masa itu, muncul sosok Jan<br />

Hus - seorang pastur dan akademisi dari Bohemia. Kejahatan dan<br />

penyesatan yang terjadi di tubuh gereja begitu masif, sehingga ia<br />

melakukan penentangan dengan menyebarkan ajaran Reformasi.<br />

Perlawanan Jan Hus harus berakhir ketika ia akhirnya ditangkap dan<br />

dihukum mati dengan cara dibakar pada tahun 1415. Seratus tahun<br />

kemudian setelah kematiannya, tulisannya menjadi salah satu yang<br />

menginspirasi Martin Luther untuk memakukan 95 tesisnya di depan<br />

gereja di Wittenberg yang menjadi awal dari era Reformasi Protestan.<br />

Berani menciptakan perubahan adalah berani mengarungi<br />

samudera luas sekecil apapun perahu yang berlayar atau sebesar apapun<br />

ombak yang harus dilewati, meskipun pada akhirnya bukan kita yang<br />

akan sampai di ujung samudera. Seperti Jan Hus yang berani ikut<br />

menantang samudera meskipun Martin Luther yang berhasil mencapai<br />

akhirnya.<br />

Kekerasan seksual adalah sebuah kejahatan terhadap manusia<br />

yang tidak hanya sekedar menyerang organ seksual, namun juga<br />

meninggalkan luka psikis yang terus dibawa oleh korban sepanjang<br />

hidupnya. KOMNAS Perempuan menyatakan bahwa setiap harinya, 35<br />

perempuan menjadi korban kekerasan seksual di Indonesia. Seperti<br />

gunung es, angka ini pun hanya statistik dari sebuah realita yang jauh<br />

lebih mengerikan. Sungguh menyedihkan ketika menghadapi fakta ini,<br />

kita melihat betapa tidak mampu dan acuhnya hukum, aparat hukum,<br />

dan masyarakat Indonesia dalam melindungi setiap pribadi dari<br />

kekejaman kekerasan seksual. Setiap hidup manusia patut<br />

diperjuangkan, oleh karena itu negeri ini butuh perubahan. Simposium<br />

Hukum Nasional 2014 diadakan untuk menjadi pionir bagi perubahan<br />

tersebut.<br />

Dengan mimpi ini, kami mengumpulkan mahasiswamahasiswa<br />

dari fakultas hukum di seluruh Indonesia dan seluruh bagian<br />

masyarakat untuk bersama-sama memulai perubahan. Simposium<br />

Hukum Nasional 2014 diadakan selama lima hari, dan di dalam lima<br />

hari ini pula tiga belas delegasi dari berbagai penjuru Indonesia<br />

menyatukan pikiran, tenaga, dan cinta mereka terhadap bangsa hingga<br />

tersusunnya Tinjauan Hukum Kekerasan Seksual Simposium Hukum<br />

Nasional 2014, dengan harapan bahwa tinjauan hukum ini dapat<br />

vi


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

menjadi suara nyaring yang memecah kesunyian yang meliputi<br />

problema hukum kekerasan seksual di Indonesia.<br />

Perjalanan untuk mencapai negeri berkemanusiaan yang adil<br />

dan beradab itu sungguh masih panjang - mungkin dua tahun, sepuluh<br />

tahun, atau seribu tahun lamanya. Akhir bahagia dari samudera yang<br />

kami tantang belum tentu boleh kami raih sendiri, tetapi kami percaya<br />

sekecil apapun perbuatan baik kami tidak akan pernah sia sia.<br />

Kepada Mbak Muthmainnah, Bang Fadel, Bang Agung, dan<br />

Bang Dion yang telah memberikan kesempatan bagi kami untuk<br />

memulai dan terus mendukung kami sampai akhir, seluruh teman-teman<br />

panitia (kalian hebat!), delegasi, Bapak dan Ibu dosen yang telah<br />

membimbing kami, pembicara, peserta, sponsor, pendukung, mitra<br />

media, serta semua pribadi yang telah memberikan doa, semangat, cinta,<br />

kepedulian, tenaga, serta dukungan finansial bagi Simposium Hukum<br />

Nasional 2014, selalu dan selamanya saya mengucapkan terima kasih.<br />

Selamat membaca mimpi dan cinta kami.<br />

Hidup mahasiswa, Hidup bangsa Indonesia.<br />

Florianti Kurnia Sjaaf<br />

Ketua Pelaksana Simposium Hukum Nasional 2014<br />

vii


Daftar Isi<br />

DAFTAR ISI<br />

Kata Sambutan Dekan FH UI<br />

Kata Sambutan Manajer Pendidikan dan Kemahasiswaan FH UI<br />

Kata Sambutan Ketua BEM FH UI 2014<br />

i<br />

ii<br />

iv<br />

Kata Sambutan Ketua Pelaksana Simposium Hukum Nasional<br />

2014 vi<br />

Daftar Isi<br />

viii<br />

Sekilas Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Peningkatan Peran Pemerintah dan Partisipasi<br />

Masyarakat Dalam Melawan Kekerasan Seksual<br />

Delegasi Simposium Hukum Nasional 2014<br />

xi<br />

xvi<br />

Makalah Pembicara<br />

Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan: Perspektif<br />

Islam<br />

Husein Muhammad<br />

1<br />

Peningkatan Peran Pemerintah Dan Partisipasi<br />

Masyarakat Dalam Memerangi Kekerasan Seksual<br />

Meutia Farida Hatta Swasono<br />

7<br />

Perspektif Masyarakat Terhadap Kekerasan Seksual<br />

Dra. Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, M.Hum.<br />

16<br />

Makalah Delegasi<br />

Komisi 1: Hukum Materiil<br />

Tinjuan Hukum Materiil Mengenai Kekerasan<br />

Seksual Terhadap Anak Di Indonesia<br />

Fakultas Hukum Universitas Bengkulu<br />

26<br />

Tindakan Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan<br />

Fakultas Syari‟ah Universitas Islam Negeri<br />

Sumatera Utara<br />

40<br />

viii


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Komisi 2: Hukum Formil<br />

Tinjuan Hukum Formil Mengenai Kekerasan<br />

Seksual<br />

Fakultas Syari‟ah dan Ilmu Hukum Universitas<br />

Islam Negeri Sultan Syarif Kasim<br />

54<br />

Kekerasan Seksual Terhadap Anak Dan Upaya<br />

Hukum Di Indonesia<br />

Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah<br />

Surakarta<br />

67<br />

Tinjauan Kriminologis Terhadap Tindak Pidana<br />

Pemerkosaan<br />

Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya<br />

77<br />

Peranan Alat Bukti Dan Etika Aparat Penegak<br />

Hukum Dalam Pemberantasan TIndak Pidana<br />

Perkosaan Di Indonesia<br />

Fakultas Hukum Universitas Trisakti<br />

90<br />

Komisi 3: Perlindungan dan Pendampingan Korban<br />

Perlindungan Dan Pendampingan Korban<br />

Kekerasan Seksual Di Padang, Sumatera Barat<br />

Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta<br />

99<br />

Pelaksanaan Fungsi Penanganan Hukum Terhadap<br />

Korban Kekerasan Seksual Di Jakarta<br />

Fakultas Hukum Universitas Indonesia<br />

104<br />

Perlindungan Dan Pendampingan Korban<br />

Kekerasan Seksual Di Banyumas, Jawa Tengah<br />

Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman<br />

118<br />

Pencegahan Dan Perlindungan Hukum Kekerasan<br />

Seksual Pada Anak di Kota Banjarmasin<br />

Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat<br />

131<br />

ix


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Perlindungan Dan Penanganan Korban Kekerasan<br />

Seksual Di Jawa Barat<br />

Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung<br />

145<br />

Efisiensi Perlindungan Dan Pendampingan Korban<br />

Pemerkosaan Dalam Konteks Pemberlakuan<br />

Syari‟at Islam Di Aceh<br />

Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala<br />

161<br />

Tinjauan Hukum Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Tabel Tinjauan Hukum Simposium Hukum<br />

Nasional 2014 171<br />

Penjelasan Tabel Tinjauan Hukum Simposium<br />

Hukum Nasional 2014 181<br />

Susunan Kepanitiaan 212<br />

ix


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Sekilas Simposium Hukum Nasional 2014<br />

“Peningkatan Peran Pemerintah dan Partisipasi Masyarakat<br />

Dalam Melawan Kekerasan Seksual”<br />

Simposium Hukum Nasional 2014 (SHN 2014) adalah sebuah<br />

gerakan hukum dan sosial, yang melibatkan partisipasi Pemerintah,<br />

Masyarakat, dan Mahasiswa, dalam melakukan perlawanan terhadap<br />

kekerasan seksual di Indonesia. Dibentuk atas prakarsa Badan Eksekutif<br />

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia 2014 (BEM FHUI<br />

2014) bersama-sama dengan dua belas universitas lain di seluruh<br />

penjuru Indonesia sebagai delegasi, kami bersama-sama menciptakan<br />

produk tinjauan hukum terhadap kekerasan seksual dan mewujudkan<br />

gerakan sosial bernafaskan anti-kekerasan seksual. SHN 2014<br />

merupakan wadah diskusi dan lumbung akademis yang<br />

mempertemukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan<br />

Perlindungan Anak, Kementerian Hukum dan HAM, Mahkamah<br />

Agung, Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Ketua Komisi Nasional<br />

Perempuan (Komnas Perempuan), Aparat Penegak Hukum (Hakim dan<br />

Kepolisian Republik Indonesia), Tokoh-tokoh Masyarakat, Aktivis<br />

Pejuang HAM, Akademisi, Seniman, dan Mahasiswa. Dengan<br />

mengusung tema “Peningkatan Peran Pemerintah dan Partisipasi<br />

Masyarakat”, kami berharap SHN 2014 menjadi jembatan penghubung<br />

pemerintah dalam melindungi korban kekerasan seksual dan<br />

memberantas kekerasan seksual, sekaligus menerangi langkah<br />

pemerintah dan masyarakat untuk melawan gelap-pekatnya fenomena<br />

kekerasan seksual di negeri ini.<br />

BEM FHUI 2014 sempat ikut berpartisipasi dalam mengawal<br />

kasus pelecehan seksual yang dialami oleh seorang perempuan di<br />

Koridor Harmoni Bus Transjakarta. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat<br />

merupakan tempat pengadilan kasus tersebut sekaligus menjadi saksi<br />

bisu atas vonis hukuman yang sangat ringan bagi keempat pelaku<br />

pelecehan seksual, yaitu 1,5 tahun. Selain itu, BEM FHUI 2014 juga<br />

ikut mengawal kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Sitok<br />

Srengenge terhadap seorang mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya<br />

Universitas Indonesia. Kedua kasus ini menjadi potret kecil lemahnya<br />

penegakan hukum bagi kasus kekerasan seksual.<br />

Tujuan besar dari SHN 2014 salah satunya adalah<br />

menyadarkan masyarakat akan keberadaan kekerasan seksual sebagai<br />

penyakit sosial dan moral bangsa. Media karya seni lukis dan film<br />

menjadi penghubung yang tepat dalam menyebarkankesadarankepada<br />

masyarakat luas. SHN 2014 menyelenggarakan Pre-Event pada tanggal<br />

29-30 Oktober 2014 yang bertempat di Perpustakaan Pusat Universitas<br />

Indonesia dan Cinema Room Universitas Indonesia, berupa Kompetisi<br />

xi


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

dan Pameran Lukis Mural dengan tema “Memecahkan Kesunyian” dan<br />

Festival Film yang memiliki pesan moral untuk melawan kekerasan<br />

seksual. Tiga film yang ditampilkan adalah Bitter Honey (sebuah film<br />

dokumenter yang menceritakan fenomena poligami pada masyarakat<br />

adat Bali), Ca Bau Khan, dan Sang Penari. Rangkaian festival film<br />

disajikan dengan diskusi terbuka oleh beberapa narasumber, antara lain<br />

Ni Nengah Budawati (Direktur Lembaga Bantuan Hukum APIK Bali),<br />

Nia Dinata (Sutradara Film Ca Bau Khan) dan Mohamad Guntur Romli<br />

(Penulis Skrip Film Sang Penari).<br />

Rangkaian acara inti Simposium Hukum Nasional<br />

diselenggarakan pada tanggal 17-21 November 2014 bertempat di<br />

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok.<br />

Pada hari pertama, Senin 17 November 2014, diadakan<br />

Seminar Kekerasan Seksual dengan tema“Membongkar Mitos,<br />

Menyuguhkan Realita”. Seminar ini meninjau persepsi masyarakat yang<br />

belum tentu benar dan mengungkap fakta sebenarnya tentang fenomena<br />

kekerasan seksual dari perspektif hukum, forensik, filsafat, dan<br />

psikologi, dengan narasumber:<br />

1. Dr. Livia Iskandar Dharmawan, Psi., M.S., Direktur<br />

Internasional dan psikolog dari Yayasan Pulih;<br />

2. Dr. Gadis Arivia Effendi, S.S., Pendiri Jurnal Perempuan dan<br />

Dosen Studi Feminisme dan Filsafat Kontemporer UI;<br />

3. Prof. DR. dr. Agus Purwadianto, S.H., M.Si., Sp.F(K), Ketua<br />

Umum Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia;<br />

4. Dr. Elfina Lebrine Sahetapy, S.H., LL.M., Dosen Viktimologi<br />

dan Kriminologi dan Sistem Peradilan Anak dan Kekerasan<br />

terhadap PerempuanUniversitas Surabaya.<br />

Rangkaian acara dilanjutkan dengan Kuliah Umum<br />

“Kekerasan Seksual Dalam Perspektif Peraturan Perundangan di<br />

Indonesia” untuk menyelaraskan pemahaman yuridis terhadap produk<br />

hukum yang mengatur kekerasan seksual serta membahas tentang<br />

produk-produk hukum nasional yang mengatur tentang kekerasan<br />

seksual, apakah hukum nasional tersebut sudah cukup adil dan<br />

berperspektif hak asasi manusia, dan kekerasan seksual dari perspektif<br />

RUU KUHP dan RUU KUHAP. Kuliah Umum dihadiri oleh<br />

narasumber, antara lain:<br />

1. Dr. Lidwina Inge Nurtjahyo, S.H., M.Si., Dosen Antropologi<br />

Hukum FH dan FISIP UI;<br />

2. Desti Murdijana, Koordinator Komisi Nasional Anti Kekerasan<br />

Terhadap Perempuan;<br />

3. Indon Sinaga, Staf Ahli Komisi VIII DPR RI;<br />

4. Dr. H. Zainuddin, S.H., M.Hum., Panitera Muda Pidana Umum<br />

Mahkamah Agung.<br />

xii


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Para delegasi SHN 2014 kemudian membagi pandangan<br />

mereka mengenai masalah kekerasan seksual di daerahnya masingmasing.Setiap<br />

daerah asal delegasi pasti memiliki latar budaya dan<br />

sosial yang berbeda-beda sehingga masalah kekerasan seksualnya pun<br />

beragam. Acara Sharing Antar Delegasi ini dimoderatori oleh Christina<br />

Yulita Purbawati dari Komnas Perempuan.<br />

Pada hari kedua, Selasa 18 November 2014, rangkaian acara<br />

dibuka oleh Talkshow Kekerasan Seksual dengan tema “Kita (adalah)<br />

Mereka: Memahami Korban Kekerasan Seksual”. Diskusi ini<br />

membahas upaya-upaya yang perlu dilakukan dalam mendampingi<br />

korban kekerasan seksual dan jika kita menjadi korban kekerasan<br />

seksual sehingga peserta diharapkan dapat menjadi peka dan lebih<br />

memahami gambaran mengenai keadaan korban perkosaan secara fisik<br />

dan psikis serta upaya-upaya pelaporan kekerasan seksual yang perlu<br />

ditingkatkan. Narasumber yang hadir adalah:<br />

1. Helga Worotitjan, Pendiri Lembaga Inspirasi Indonesia;<br />

2. Wulan Danoekoesoemo, S.Psi., M.Psi., Psikolog dan Pendiri<br />

Lentera Indonesia;<br />

3. Hj. Netty Prasetiyani Heryawan, M.Si, Ketua P2TP2A Jawa<br />

Barat & Istri dari Gubernur Jawa Barat;<br />

4. Mudjiati, S.H., Deputi Perlindungan Perempuan dari Kementerian<br />

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.<br />

Lalu, acara dilanjutkan oleh Seminar Nasional Kekerasan<br />

Seksual “Kekerasan Seksual Dalam Konsep Pluralitas di Negara<br />

Indonesia”, yang membahas kekerasan seksual dari sudut pandang<br />

hukum, sosial, budaya, dan konsep pluralitas yang terdapat di Indonesia<br />

dengan narasumber:<br />

1. K.H. Husein Muhammad, Ulama dan Komisioner Komnas<br />

Perempuan;<br />

2. Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono, S.S., M.A., Menteri<br />

Pemberdayaan Perempuan periode 2004-2009;<br />

3. Dra. Sinta Nuriyah A. Wahid, M. Hum., Pendiri Yayasan Puan<br />

Amal Hayati;<br />

4. Dr. Seno Gumira Ajidarma, S.Sn., M.Hum., Penulis dan<br />

Seniman.<br />

Pada hari ketiga, Rabu 19 November 2014, para delegasi dari<br />

fakultas hukum dari universitas di seluruh penjuru Indonesia<br />

menghadiri forum diskusi Simposium Hukum yang bertujuan untuk<br />

melahirkan sebuah tinjauan hukum terhadap peraturan perundangundangan<br />

di Indonesia dalam segi materiil, formil, dan penanganan<br />

serta perlindungan korban kekerasan seksual. Diskusi terbagi menjadi 3<br />

focus-group discussion yang diselenggarakan pada pagi hari dan<br />

xiii


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

masing-masing focus-group memaparkan hasil diskusi sehingga<br />

menghasilkan satu kesatuan output yaitu tinjauan hukum.<br />

Pada hari keempat, Kamis 20 November 2014, dalam rangka<br />

memberikan inspirasi dan pemahaman untuk menciptakan gerakan<br />

sosial anti kekerasan seksual, diselenggarakanlah Workshop Kekerasan<br />

Seksual “Langkah Anak Muda Lawan Kekerasan Seksual” dengan<br />

tujuan membahas upaya yang perlu dilakukan dalam meningkatkan<br />

kesadaran masyarakat terhadap kekerasan seksual dan bertujuan untuk<br />

mencari ide-ide kreatif yang berasal dari masyarakat dalam melakukan<br />

pencegahan kekerasan seksual.Workshop ini dihadirioleh narasumber<br />

antara lain:<br />

1. Heru Susetyo, S.H., LL.M., M.Si., Dosen FHUI dan aktivis<br />

HAM;<br />

2. Ratna Batara Munti S.Ag., M.Si., Direktur Eksternal LBH Apik;<br />

3. Saras Dewi, Dosen dan Ketua Program Ilmu Filsafat UI;<br />

4. Kartika Jahja, Seniman dan Aktivis.<br />

Setelah Workshop, para delegasi SHN 2014 mengikuti<br />

ekskursi di Mahkamah Agung yang dilanjutan dengan sebuah Rapat<br />

Tindak Lanjut dalam rangka menentukan gerakan sosial yang akan<br />

dibawa ke daerah masing-masing delegasi.<br />

Pada hari kelima, Jumat 21 November 2014, diselenggarakan<br />

sebuah Diskusi Panel untuk menyampaikan hasil diskusi tinjauan<br />

hukum dan rapat tindak lanjut delegasi dan berdiskusi dengan pihak<br />

pemerintah, aparat penegak hukum, dan Komisi VIII DPR untuk<br />

mewujudkan peningkatan peran pemerintah dalam melawan kekerasan<br />

seksual. Beberapa panelis yang datang antar a lain :<br />

1. Ratna Susianawati, S.H., M.H., Kepala Biro Hukum dan<br />

Hubungan Masyarakat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan<br />

Perlindungan Anak<br />

2. Kombes John Hendri, S.H., Kepala Bagian Hukum Markas Besar<br />

Kepolisian Republik Indonesia<br />

3. Asmaul Khusnaeny, Asisten Koordinator Reformasi Hukum dan<br />

Kebijakan dari Komnas Perempuan<br />

4. Hj. Ledia Hanifa Amaliah, Wakil Ketua Komisi VIII Dewan<br />

Perwakilan Rakyat<br />

5. Dr. Aidir Amin Daud, S.H., M.H., DFM., Direktur Jenderal Hak<br />

Asasi Manusia Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia<br />

Rangkaian acara SHN 2014 ditutup dengan kegiatan postevent,<br />

Sabtu 22 November 2014. Para delegasi SHN 2014 datang ke<br />

Gelora Bung Karno untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat<br />

Jakarta untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman terhadap<br />

bahaya kekerasan seksual.<br />

xiv


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Kami berharap Simposium Hukum Nasional 2014 dapat<br />

menjadi pionir bagi hukum kekerasan seksual yang lebih adil bagi<br />

korban dan setiap manusia Indonesia yang masih mempercayai<br />

eksistensi hak asasi manusia. SHN 2014, Selaras Paham Lawan<br />

Kekerasan Seksual!<br />

Kharisma Bintang Alghazy<br />

Wakil Ketua Pelaksana Simposium Hukum Nasional 2014<br />

xv


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Delegasi Simposium Hukum Nasional 2014<br />

1. BEM Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran<br />

1) Radius Emerson Sitanggang<br />

2) Kornelius Billheimer Sianturi<br />

3) An‟nisaa Khalida*<br />

4) Vanessa Leoprayogo*<br />

2. BEM Fakultas Hukum Universitas Bengkulu<br />

1) Meyriza Violyta<br />

2) Dona Pratama Jonaidi<br />

3. BEM Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (Pemenang<br />

Delegasi Terbaik)<br />

1) Melisa Pandu Winenda<br />

2) Mulya Rizki Nanda<br />

4. BEM Fakultas Hukum UIN Sumatera Utara<br />

1) Erni Syahfitri<br />

2) Saleh Rambe<br />

3) Barly Halim Siregar*<br />

5. BEM Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya<br />

1) Ayatullah Farhan<br />

2) Auliya Gusti Reno<br />

3) Abdul Halim*<br />

4) Heri Andika*<br />

6. BEM Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta<br />

1) Ali Ghafaar Susilo<br />

2) Irda Mutiari Dinita<br />

7. BEM Fakultas Hukum Universitas Trisakti<br />

1) Paroy Buki<br />

2) Praja Wibawa<br />

3) Elisabeth Dwilina*<br />

4) Fernandus H. Pardede*<br />

8. BEM Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat<br />

1) Ariyanto<br />

2) Eria Mardiana<br />

9. BEM Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman<br />

1) Ardian Rizki<br />

2) Hevi Dwi Oktaviani<br />

10. BEM Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta<br />

1) Topik Adi Nugroho<br />

xvi


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

2) Rifa Muflihah<br />

11. BEM Fakultas Hukum UIN Sultan Syarif Kasim Riau<br />

1) Aditya Perdana Putra<br />

2) Susi Kusmawaningsih<br />

3) Maida Jefnita Rahmi*<br />

12. BEM Fakultas Hukum Universitas Indonesia<br />

1) Gery Fathurrachman<br />

2) Shafira Hexagraha<br />

13. BEM Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih<br />

1) Hendra Wasaraka<br />

*Peserta Penunjang<br />

xvii


MAKALAH PEMBICARA<br />

SEMINAR NASIONAL<br />

“KEKERASAN SEKSUAL DALAM KONSEP PLURALITAS<br />

NEGARA INDONESIA”<br />

SELASA, 18 NOVEMBER 2014


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP PEREMPUAN:<br />

PERSPEKTIF ISLAM*<br />

Oleh: Husein Muhammad<br />

Catatan Tahunan Komnas Perempuan memperlihatkan<br />

kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan dari tahun ke<br />

tahun. Tahun 2001 ada 3.169. Tahun 2012: 216.156 dan tahun 2013:<br />

279.688. Kekerasan tersebut mencakup fisik, psikis, ekonomi dan<br />

seksual. Dalam konteks kekerasan seksual, selama 12 tahun (2001-<br />

2012), sedikitnya ada 35 perempuan korban kekerasan seksual setiap<br />

hari. Tahun 2012 tercatat 4.336 kasus kekerasan seksual. 2.920 di<br />

antaranya terjadi di ruang publik/komunitas. Mayoritas kekerasan<br />

seksual muncul dalam bentuk perkosaan dan pencabulan (1620).<br />

Korban meliputi semua umur, dari balita hingga manula, rata-rata usia<br />

antara 13-18 tahun. Ini hanyalah data yang dilaporkan ke lembaga<br />

Negara dan sosial. Yang tak tercatat akan selalu lebih besar dari yang<br />

dilaporkan. (Baca: Komnas Perempuan; Catahu tahun 2013).<br />

Pengungkapan kasus kekerasan seksual ini amat rumit, karena<br />

terkait dengan tradisi dan budaya atau pandangan keagamaan<br />

masyarakat yang mentabukan bicara seks di depan orang lain. Lebih<br />

dari itu pengungkapannya oleh korban seringkali semakin<br />

menggandakan penderitaan diri perempuan dan keluarganya.<br />

Komnas Perempuan menemukan sejumlah bentuk kekerasan<br />

seksual. Minimal 15. Beberapa di antaranya adalah perkosaan, ancaman<br />

perkosaan, pelecehan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan aborsi,<br />

marital rape, prostitusi paksa, kontrol atas tubuh antara lain melalui<br />

kebijakan publik atas nama moralitas dan agama, dan lain-lain.<br />

Pelakunya dapat siapa saja, orang paling dekat maupun paling jauh<br />

orang biasa, tanpa kelas sosial, maupun orang berstatus sosial<br />

“terhormat”,.<br />

Fakta-fakta di atas tentu saja sangat memprihatinkan. Komnas<br />

Perempuan menyebut realitas tersebut telah meningkat kepada situasi:<br />

“Kegentingan Kekerasan Seksual”. Dalam pernyataannya Komnas<br />

Perempuan menyebutkan: “Kekerasan Seksual yang dialami perempuan<br />

sudah dalam kondisi darurat untuk segera ditangani secara tepat dan<br />

adil, komprehensif dan holistik. Keadaan darurat ini tercermin dari<br />

kejadian kekerasan seksual di semua ranah: personal, publik dan<br />

Negara, yang menimpa korban dari rentang usia balita-lansia, berbagai<br />

tingkat pendidikan dan profesi. Termasuk perempuan penyandang<br />

disabilitas, migran, PRT, LBT, dan pelajar hamil. Terjadi di rumah, di<br />

angkutan umum, di sekolak, di tempat kerja maupun di tahanan”.<br />

(Komnas Perempuan, Catahu, 2013).<br />

1


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Akar Masalah: Moralitas dan Kekuasaan<br />

Pertanyaan krusialnya adalah mengapa terjadi kekerasan<br />

seksual terhadap perempuan dan anak, dan bagaimana sikap Islam<br />

terhadapnya?<br />

Ini adalah pertanyaan mendasar yang perlu diajukan guna<br />

mencari akar persoalan mengapa terjadi banyak kekerasan, termasuk<br />

perkosaan terhadap perempuan. Ada sejumlah asumsi yang berkembang<br />

di publik selama ini. Keduanya lebih berdimensi moralitas untuk tidak<br />

dikatakan agama. Asusmsi pertama mengarahkan kesalahan kepada<br />

perempuan. Dengan kata lain kekerasan seksual bersumber dari<br />

perempuan sendiri. Mereka disalahkan, karena memamerkan bagianbagian<br />

tubuhnya yang terlarang (aurat) di depan publik. Mereka tidak<br />

menutupinya atau tidak mengenakan jilbab/hijab. Perempuanlah yang<br />

menciptakan “fitnah” (menggoda dan memicu hasrat seksual) laki-laki.<br />

Anggapan-anggapan ini sungguh sangat sulit untuk difahami oleh<br />

logika cerdas, bersih dan kritis. Bagaimana mungkin seorang yang tidak<br />

melakukan tindakan kejahatan dan hanya karena pakaian yang dipilinya<br />

dinyatakan bersalah dan berhak dilecehkan dan diperkosa? Dalam<br />

banyak kasus kekerasan terhadap perempuan jenis ini, terutama<br />

perkosaan, ia terjadi bukan hanya terhadap perempuan muda dan cantik,<br />

melainkan juga terjadi pada perempuan balita dan manula. Ia juga<br />

terjadi terhadap isterinya atau terhadap darah dagingnya sendiri (incest),<br />

atau anak laki-laki terhadap orang yang melahirkannya (ibunya) atau<br />

saudara sekandungnya. Kekerasan seksual juga terjadi terhadap<br />

perempuan berjilbab. Dalam kasus perkosaan yang terjadi di sebuah<br />

perguruan tinggi agama, beberapa waktu lalu, korban mengenakan<br />

jilbab warna putih, celana hitam, baju hijau dengan dalaman kaos warna<br />

loreng. Pada sisi lain perempuan tanpa jilbab juga tidak selalu<br />

menimbulkan perkosaan atau kekerasan seksual dalam bentuk lainnya.<br />

Orang yang melihat perempuan tanpa jilbab/hijab tidak selalu<br />

melakukan pelecehan dan perkosaan. Ini menunjukkan bahwa antara<br />

perkosaan dan penampilan tidak berjilbab/hijab tidak memiliki<br />

hubungan sebab akibat. Demikian juga alasan bahwa perkosaan terjadi<br />

karena pelaku terpengaruh oleh gambar-gambar porno atau menonton<br />

video porno. Tidak semua orang yang melihat gambar atau menonton<br />

video porno terlibat dalam aksi kekeraan seksual. Faktor-faktor ini lebih<br />

sekedar sebagai pemicu belaka bagi munculnya impuls-impuls hasrat<br />

birahi laki-laki terhadap perempuan.<br />

Ada juga pandangan atau asumsi yang menyalahkan pelaku<br />

dengan basis moralitas atau agama. Ia mengatakan bahwa kekerasan<br />

seksual terjadi karena moralitas pelakunya yang rendah atau tak<br />

bermoral atau kurang pengetahuan agamanya. Pandangan ini boleh jadi<br />

benar, tetapi kita kesulitan mendefinisikan atau mengidentifikasi baikburuknya<br />

moralitas seseorang sebelum ia melakukan perbuatannya.<br />

2


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Dalam sejumlah kasus pelecehan, pencabulan dan kekerasan seksual<br />

pelakunya justru orang-orang yang terhormat atau yang dianggap<br />

terhormat oleh masyarakatnya atau bermoral tinggi. Komnas<br />

Perempuan mencatat bahwa pelaku kekerasan seksual sangat beragam:<br />

ada tokoh masyarakat, pejabat Negara, pejabat NKRI, anggota<br />

parlemen, tokoh agama, dan lain-lain. Bahkan, sebagaimana dilansir<br />

media massa, seorang pengasuh pesantren di daerah Jawa Timur,<br />

ditangkap polisi karena mencabuli beberapa santrinya sendiri. Beberapa<br />

hari ini media massa melansir seorang Raja yang sangat dihormati<br />

diduga melakukan kekerasan seksual. Lalu bagaimana kita<br />

mendefiniskan orang yang bermoral baik sebelum ia melakukan suatu<br />

tindakan? Fakta-fakta ini jelas telah menggugurkan argumen<br />

“moralitas” tersebut. (Baca: Catahu Komnas Perempuan, 2013).<br />

Kekerasan seksual adalah satu bagian saja dari kekerasan<br />

terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan didefinisikan<br />

sebagai: “Setiap perbuatan berdasarkan pembedaan berbasis gender<br />

yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan<br />

perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman<br />

terjadinya perbuatan tersebut, pemaksaan atau perampasan kebebasan<br />

secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ruang publik maupun di<br />

dalam kehidupan pribadi”. (Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap<br />

Perempuan, Pasal 1)<br />

Maka, kekerasan seksual terhadap perempuan berakar lebih<br />

pada adanya ketimpangan relasi kuasa yang berbasis gender. Ia adalah<br />

sistem sosial-budaya patriarki; sebuah sistem/ideologi yang<br />

melegitimasi laki-laki sebagai pemegang otoritas dan superioritas,<br />

menguasai, kuat, pintar dan sebagainya. Dunia dibangun dengan cara<br />

berpikir, dalam dunia dan untuk kepentingan laki-laki. Keyakinan<br />

bahwa perempuan secara kodrat adalah makhluk yang lembut dan<br />

lemah, posisinya di bawah laki-laki, inferior, melayani hasrat seksual<br />

laki-laki dan sebagainya telah menempatkan perempuan seakan-akan<br />

sah untuk ditaklukkan dan diperlakukan secara seenak laki-laki,<br />

termasuk dengan cara-cara kekerasan. Ideologi yang bias gender dan<br />

patriarkis ini mempengaruhi cara berfikir masyarakat, mempengaruhi<br />

penafsiran atas teks-teks agama dan kebijakan-kebijakan negara.<br />

Pengaruh ini melampaui ruang-ruang dan waktu-waktu kehidupan<br />

manusia, baik dalam domain privat (domestik) maupun publik.<br />

Ketimpangan yang didasarkan atas system sosial/ideologi inilah yang<br />

pada berpotensi menciptakan ketidakadilan, subordinasi dan dominasi<br />

atas perempuan. Dan semuanya ini merupakan sumber utama tindak<br />

kekerasan terhadap perempuan.<br />

Ketimpangan relasi kuasa berbasis gender tersebut diperparah<br />

ketika satu pihak (pelaku) memiliki kendali lebih terhadap korban, baik<br />

ekonomi, pengetahuan, status sosial dan lain-lainnya. Kendali muncul<br />

3


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

dalam bentuk hubungan patron-klien, seperti antara orangtua-anak,<br />

majikan-buruh, guru-murid, tokoh masyarakat atau tokoh agama-warga,<br />

pengasuh-santri dan kelompok bersenjata/aparat-penduduk sipil, bahkan<br />

orang pusat-orang daerah.<br />

Agama Menolak Kekerasan<br />

Islam dan saya yakin semua agama di dunia serta seluruh<br />

pandangan kemanusiaan Universal, hadir dan tampil untuk<br />

membebaskan manusia dari penderitaan, penindasan dan kebodohan, di<br />

satu sisi, dan menegakkan keadilan, kesalingan membagi kasih dan<br />

menyebarkan pengetahuan di sisi yang lain. Visi ini dibangun di atas<br />

prinsip-prinsip kemanusiaan, terutama: Penghormatan atas Martabat<br />

Manusia, Kesetaraan, Kebebasaan dan Keadilan.<br />

Sumber-sumber otoritatif Islam sangat banyak menegaskan<br />

prinsip-prinsip tersebut.<br />

• Manusia adalah makhluk terhormat: “Dan sesungguhnya telah<br />

Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di<br />

daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baikbaik<br />

dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang<br />

sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”.<br />

(Q.S. Al-Isra, [17]:70)<br />

• Laki-laki dan Perempuan adalah Setara: (Q.S. Q.S. al-Nisa,<br />

[4:1), , a.l. Q.S. al-Ahzab, 53:35, al-Taubah, 71, al-Nahl, 97, Ali<br />

Imran,[3]: 195 dan al-Mukmin, 40.<br />

• Manusia yang paling terhormat/unggul adalah yang paling<br />

bertaqwa: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan<br />

kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan<br />

menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya<br />

kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling<br />

mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling<br />

bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha<br />

Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Q.S. Al-Hujurat, [49]:12).<br />

• “Hai orang-orang yang beriman, janganlah komunitas laki-laki<br />

merendahkan komunitas yang lain, boleh jadi yang direndahkan<br />

itu lebih baik dari mereka yang merendahkan. Dan jangan pula<br />

komunitas perempuan merendahkan komunitas perempuan<br />

yang lain, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan<br />

janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil<br />

dengan panggilan yang mengandung pelecehan. Sikap dan<br />

tindakan merendahkan dan melecehkan itu adalah perilaku yang<br />

buruk dari seorang yang telah beriman. Barangsiapa yang tidak<br />

kembali memperbaiki diri maka mereka itulah orang-orang<br />

yang zalim”.(Q.S. al-Hujurat [49]:11).<br />

4


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

• “Tuhan tidak memandang tubuh dan wajahmu, tetapi<br />

memandang pada hati dan perbuatanmu”. (Hadits).<br />

• “Wahai manusia.Sesungguhnya darah (hidup) kamu,<br />

kehormatanmu dan harta-milikmu adalah suci dan mulia.<br />

(Hadits Nabi).<br />

• Setiap muslim diharamkan mengganggu/mencederai/melukai<br />

hak hidup, kehormatan diri dan hak milik muslim yang lain.<br />

(Hadits).<br />

Seluruh Prinsip tersebut pada hakikatnya merupakan<br />

konsekuensi paling rasional atas doktrin Kemahaesaan Tuhan, Allah.<br />

Keyakinan ini dalam bahasa Islam disebut: Tauhid. Menurut doktrin ini,<br />

semua manusia, tanpa melihat asal-usulnya pada ujungnya berasal dari<br />

sumber yang tunggal, sama, yakni ciptaan Tuhan. Oleh karena itu tidak<br />

satupun ciptaan Tuhan berhak memiliki keunggulan atas yang lainnya.<br />

Keunggulan manusia satu atas manusia yang lain hanyalah pada aspek<br />

kedekatan dan ketaatannya kepada hukum-hukum Tuhan. Al-Qur'an<br />

menyebut keunggulan ini dengan kata “Taqwa”. Dalam ayat-ayat al<br />

Qur'an taqwa tidak dibatasi maknanya hanya pada aspek-aspek<br />

kebaktian atau peribadatan personal sebagaimana kesan umum selama<br />

ini, melainkan lebih pada dimensi-dimensi moralitas sosial, ekonomi,<br />

budaya, politik dan lain-lain. Atau dengan bahasa lain taqwa adalah<br />

moralitas kemanusiaan dalam maknanya yang luas. Dalam bahasa lain,<br />

taqwa adalah al-Akhlaq al-Karimah (budi pekerti luhur) atau etika<br />

kemanusiaan.<br />

Prinsip-prinsip tersebut harus menjadi dasar bagi setiap<br />

keputusan hukum atau aturan kehidupan manusia. Jika demikian, maka<br />

bagi saya adalah tidak masuk akal jika agama melahirkan praktik<br />

hukum, aturan atau kebijakan yang tidak adil, tidak menghargai<br />

martabat manusia, diskriminatif, dan tidak melahirkan kesalingan kasih.<br />

Jika hal-hal ini yang terjadi, maka pastilah interpretasi (pemaknaan)<br />

atasnya dan cara pandang sosial, budaya, politik dan keagamaan<br />

mengandung kekeliruan, meskipun dengan mengatasnamakan teks-teks<br />

ketuhanan.<br />

Pertanyaan yang sering muncul di tengah publik adalah<br />

apakah hukum-hukum dalam teks-teks Islam yang partikular yang<br />

dipandang diskriminatif, seperti “laki-laki adalah pemegang otoritas<br />

atas kaum perempuan”, (Q.S. al-Nisa, [4]:34), tidak mengandung nilainilai<br />

moral di atas. Jawabannya adalah bahwa aturan-aturan hukum<br />

yang bersifat khusus (partikular) yang terdapat dalam sumber-sumber<br />

autentik dapat dipandang sebagai aturan yang mengandung moral. Akan<br />

tetapi ia dianggap demikian karena aturan tersebut lebih diterima<br />

sebagai solusi yang bersifat ketuhanan atas problem partikular yang ada<br />

dalam kondisi tertentu. Dengan berubahnya kondisi, aturan-aturan<br />

5


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

hukum yang bersifat khusus, tersebut bisa saja gagal memenuhi tujuan<br />

moralnya dan karena itu harus ditinjau ulang, direvisi atau dicabut sama<br />

sekali.<br />

Kembali ke Konstitusi<br />

Pancasila dan UUD 1945 telah menjadi titik temu paling ideal<br />

dari berbagai aspirasi dan kehendak-kehendak beragam para penganut<br />

agama-agama dan kepercayaan di manapun mereka berada di seluruh<br />

bumi nusantara ini. Seluruh sila dan pasal-pasal dalam Konstitusi ini<br />

bukan hanya tidak bertentangan melainkan juga sesuai dan seiring<br />

sejalan dengan visi dan misi agama, sebagaimana sudah disebutkan.<br />

Konstitusi RI telah memuat pasal-pasal yang menjamin hak-hak asasi<br />

manusia. Ia sesuatu yang melekat secara kodrati dalam setiap manusia<br />

dan tidak dapat dicabut daripadanya. Tuhanlah yang<br />

menganugerahkannya. Ia berlaku universal. Ia adalah cita-cita semua<br />

manusia di muka bumi ini. Sebagai konsekuensi paling logis dan<br />

bertanggungjawab bagi kesetiaan dan komitmen seluruh warga Negara<br />

atas Konstitusi tersebut, maka produk-produk pemikiran partikularistik<br />

dan aturan-aturan hukum yang ada harus sejalan dan tidak boleh<br />

bertentangan dengan prinsip-prinsip dan kehendak-kehendak universal<br />

tersebut. Untuk ini pemerintah dan para penegak hukum dituntut untuk<br />

menjalankan dan menegakkannya secara konsekuen untuk merevisi atau<br />

bahkan mencabut segala peraturan dan kebijakan publik yang<br />

melanggar dan bertentangan dengan Konstitusi tersebut.<br />

Cirebon, 17 Nopember 2014<br />

*Disampaikan dalam Seminar Nasional: Kekerasan Seksual Dalam<br />

Konsep Pluralitas di Negara Indonesia”, Selasa, 18 Nopember 2014.<br />

Auditorium Fakultas Hukum UI, Depok.<br />

6


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

PENINGKATAN PERAN PEMERINTAH DAN PARTISPASI<br />

MASYARAKAT DALAM MEMERANGI<br />

KEKERASAN SEKSUAL 1<br />

Oleh: Meutia Farida Hatta Swasono<br />

Pendahuluan<br />

Seminar ini membahas mengenai kekerasan seksual dalam<br />

konteks pluralitas di NKRI. Indonesia adalah negara bangsa dengan<br />

penduduk yang seimbang jumlahnya dari segi jenis kelamin. Salah satu<br />

ciri khas Indonesia adalah komposisi penduduknya yang terdiri dari<br />

sekitar 745 suku bangsa dan sub suku bangsa yang tersebar di seluruh<br />

wilayah kedaulatan NKRI. Nenek-moyang mereka masuk ke Kepulauan<br />

Nusantara melalui gelombang-gelombang migrasi dalam proses yang<br />

sangat lama sejak era preshistori. Penduduk multikultural dengan<br />

masing-masing kebudayaan suku bangsanya ini pada tanggal 17<br />

Agustus 1945 dipersatukan sebagai Bangsa Indonesia dalam negara<br />

bangsa RI, kini dikenal dengan sebutan populer NKRI. Bagi Bangsa<br />

Indonesia ini, para pendiri negara telah menyusun suatu kebudayaan<br />

nasional yang terdiri dari Pancasila sebagai perangkat nilai budaya<br />

nasional dan UUD 1945 sebagai perangkat norma budaya nasional.<br />

Kebudayaan suku bangsa tetap dianut dalam interaksi warga suku<br />

bangsa, sedangkan kebudayaan nasional digunakan sebagai acuan<br />

berperilaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Keduanya<br />

berjalan seiring dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia.<br />

Budaya Kekerasan dalam Multikulturalisme Indonesia<br />

Adanya dominasi budaya patriarkii dalam multikulturalisme<br />

Indonesia memang perlu diakui, namun penulis tidak beranggapan<br />

bahwa semua sukubangsa di Indonesia berpandangan dan berperilaku<br />

sewenang-wenang terhadap perempuan sebagai akibat dari adanya<br />

pandangan budaya bahwa kekerasan seksual atas perempuan dianggap<br />

wajar. Sebaliknya pada banyak sukubangsa, nilai-nilai budaya mereka<br />

mengajarkan bahwa perempuan harus dihormati, lebih-lebih perempuan<br />

yang merupakan keluarganya sendiri. Sebagian suku bangsa juga<br />

1 Makalah diajukan pada Seminar dalam rangka Simposium Hukum<br />

Nasional 2014 dengan tema “ Kekerasan Seksual dalam Konsep Pluralitas di<br />

Negara Indonesia”, diselenggarakan oleh BEM FHUI di Depok pada tanggal<br />

18 November 2014. Penulis adalah Guru Besar Antropologi di FISIP-UI.<br />

7


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

beranggapan bahwa ada kerjasama antara laki-laki dan perempuan<br />

dalam kegiatan upacara adat, dalam pembagian kerja di rumahtangga<br />

sehari-hari dan tanggungjawab bersama antara suami-isteri, bapak dan<br />

ibu, saudara laki-laki dan saudara perempuan, dalam melangsungkan<br />

kehidupan keluarga, kelangsungan klen, kelangsungan mata<br />

pencaharian di tanah pusaka, dan dalam pengasuhan anak.<br />

Pandangan agama juga mengajarkan warga sukubangsa atau<br />

umat agama untuk menghormati perempuan, dimulai dari ibu dan para<br />

anggota kerabat perempuan yang lainnya, bahwa mereka hidup tidak<br />

untuk dianiaya, apalagi dianiaya dengan memberikan penghinaan yang<br />

sangat mendalam berupa kekerasan seksual yang sukar hilang seumur<br />

hidupnya. Memang hal itu dapat terjadi, misalnya karena kemiskinan<br />

dan kelangkaan ketersediaan pekerjaan, namun hanya terbatas pada<br />

kasus-kasus khusus karena situasi tertentu.<br />

Budaya Patriarki. Kekerasan seksual biasanya mempunyai<br />

kaitan erat dengan dominasi budaya patriarki, di mana sebagian besar<br />

masyarakat pendukung kebudayaan yang bersangkutan di suatu daerah<br />

menganggap bahwa status laki-laki dan perempuan dalam lingkungan<br />

sosial mereka tidak sama, melainkan bersifat subordinatif. Dalam hal<br />

ini, laki-laki menganggap diri mereka lebih tinggi daripada status<br />

perempuan. Karena itu kaum laki-laki cenderung ingin mengatur dan<br />

menetapkan agar status perempuan berada dalam posisi lebih rendah<br />

dari posisi mereka sebagai kaum laki-laki. Mereka juga mengatur<br />

tentang apa yang harus, boleh dan tidak boleh dilakukan oleh<br />

perempuan dalam keluarga dan masyarakat mereka. Hal ini pun<br />

seringkali termasuk tentang atribut dan dandanan yang mereka harus<br />

kenakan di berbagai tempat.<br />

Kehidupan kaum perempuan di masyarakat yang didominasi<br />

budaya patriarki akan lebih berat jika kaum perempuan pasrah dan<br />

menerima kondisi itu sebagai takdir mereka, sebagai istri harus tunduk<br />

kepada suaminya, apa pun yang dilakukan suami, dan sebagai ayah<br />

patut dipatuhi perintahnya. Jika pada umumnya kaum perempuan di<br />

dalam masyarakat yang bersangkutan pasrah dan patuh menerima<br />

nasibnya, dan menganggap secara keliru bahwa itu adalah kodrat<br />

mereka sebagai perempuan, maka akan sulit upaya untuk mengatasinya.<br />

Kepasrahan terhadap kekerasan umum yang dialami perempuan dapat<br />

menyebabkan kasus-kasus, bukan adat kebiasaan, yang menyebabkan<br />

sejumlah perempuan mengalami kekerasan seksual karena<br />

dikomersialkan oleh keluarganya, termasuk suaminya. Ada pula<br />

masyarakat yang akibat dominasi budaya patriarki, terbiasa melakukan<br />

kekerasan, seperti pemukulan terhadap isteri oleh suaminya. Namun<br />

8


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

tanpa faktor-faktor khusus, seorang laki-laki takkan mengkomersialkan<br />

isterinya secara seksual karena itu merusak kemartabatannya sendiri.<br />

Pola Pikir tentang Penaklukan Simbol Jenis Kelamin<br />

Perempuan. Selain adanya dominasi budaya patriarki, dalam kondisikondisi<br />

tertentu, laki-laki melakukan kekerasan seksual terhadap<br />

perempuan, bukan karena ia mengenal perempuan yang bersangkutan,<br />

membencinya dan ingin menganiaya atau mencelakakannya sebagai<br />

suatu bentuk hukuman berat, melainkan karena si korban pemerkosaan<br />

berjenis kelamin perempuan, yang harus ditaklukkan oleh dirinya<br />

sebagai laki-laki. Karena itu si laki-laki itu tidak harus mengenal<br />

perempuan itu untuk memperkosanya. Kondisi ini sering terjadi dalam<br />

situasi adanya perang atau kerusuhan, di mana mengalahkan lawan<br />

ditandai dengan naluri memperkosa perempuan yang tidak saja<br />

merupakan salah satu cara untuk menumbangkan simbol dari jenis<br />

kelamin perempuan (femininitas), namun juga merusak perasaan<br />

kemartabatan pihak lawan sebagai kesatuan komunitas atau negara, baik<br />

yang laki-laki maupun yang perempuan.<br />

Dalam contoh kasus tertentu di Eropa, ketika bekas negara<br />

Yugoslavia tercabik-cabik oleh politik, sesama sukubangsa di negara<br />

Yugioslavia menjadi bangsa sendiri dengan negara masing-masing yang<br />

merupakan pecahan negara Yugoslavia. Politik menyebabkan perang<br />

yang kejam tak terhindarkan. Dilakukannya genocide (pembunuhan<br />

suku bangsa) oleh bangsa yang lebih kuat tidak dirasa cukup dan<br />

memuaskan hanya dengan cara membunuh kaum laki-laki dari bangsa<br />

yang dibenci dan berada dalam posisi lemah. Lebih jauh lagi, pihak<br />

yang kuat dan berjaya dalam perang juga memperkosa para perempuan<br />

dari bangsa yang dalam posisi lemah tersebut, dengan tujuan menghina<br />

martabat keseluruhan bangsa itu, agar melahirkan anak dari sukubangsa<br />

yang dalam posisi berjaya itu dengan tujuan memberikan hukuman<br />

berat yang takkan pernah terlupakan dalam sejarah mereka.<br />

Dalam kondisi tanpa perang, persaingan ekonomi atau sulitnya<br />

memenangkan perebutan sumberdaya ekonomi yang sering kita lihat di<br />

berbagai daerah di Indonesia menyebabkan perempuan terhambat untuk<br />

memperoleh peluang mendapatkan pekerjaan yang layak bagi<br />

kemanusiaan, sesuai pesan Konstitusi (UUD 1945). Perempuan sering<br />

dikalahkan dalam persaingan ini dengan cara merendahkan martabatnya<br />

melalui tipu-daya berupa iming-iming pekerjaan, namun dijerumuskan<br />

sebagai korban perilaku komersial seksual.<br />

Masih dalam kondisi kemiskinan pula, hal itu sering menjadi<br />

penyebab berubahnya etika pergaulan terhadap kerabat, di mana kerabat<br />

9


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

perempuan sering dikorbankan. Hal ini terjadi pada perdagangan<br />

manusia, di mana kerabat satu klan yang seharusnya dilindungi, justru<br />

dijerumuskan oleh kerabatnya, misalnya paman atau saudara sepupunya<br />

menjadi pelacur dalam perdagangan orang. Hal ini temasuk pula<br />

memperdagangkan anak-anak di bawah umur melalui modus yang<br />

sama.<br />

Perubahan sosial-budaya dengan terjadinya kemajuan di bidang<br />

iptek dan informatika yang sangat mempengaruhi penyajian informasi<br />

dalam media telah menyebabkan perubahan nilai-nilai yang semula<br />

dianut, digantikan oleh nilai-nilai baru yang seringkali masih sulit<br />

dicerna atau keliru memahaminya sehingga menghasilkan sikap dan<br />

perilaku yang tidak selalu tepat dalam menanggapi hal-hal baru yang<br />

masuk.<br />

Pandangan dan Sikap Keliru terhadap Perempuan Penderita<br />

Kemalangan, Korban Pelecehan dan Kekerasan Seksual<br />

Dalam kehidupan masyarakat, gambaran (image) terhadap<br />

perempuan yang menderita kemalangan sehingga menjadi janda karena<br />

perceraian atau kematian suami, seringkali tidak sesuai dengan yang<br />

seharusnya. Perempuan yang menjadi janda pasti sangat menderita,<br />

bukan hanya karena harus menghidupi anka-anak dan dirinya sendiri,<br />

melainkan karena adaya gambaran keliru di masyarakat, terutama pada<br />

kaum laki-laki, mengenai predikat janda itu. Lebih sedikit orang yang<br />

bersifat empati terhadap janda, dibandingkan yang diharapkan. Lebih<br />

sedikit orang yang mau mengakui atau percaya bahwa seorang<br />

perempuan yang menjadi janda sudah menderita ketidakadilan sejak ia<br />

belum diceraikan atau minta cerai karena tidak tahan lagi atas perlakuan<br />

yang dialaminya dari suaminya dan perceraian itu pun belum tentu<br />

terjadi karena adanya laki-laki lain dalam kehidupannya.<br />

Janda seringkali dianggap dalam pola pikir (yang bersifat<br />

kejam) oleh kaum laki-laki sebagai pihak yang masih memerlukan<br />

kebutuhan seksual sehingga mereka rawan pelecehan dan bujukan untuk<br />

dikencani atas dasar “mau sama mau”. Tentu kasus semacam ini bisa<br />

terjadi, namun tidak bisa dianggap bersifat umum. Mungkin itu terjadi<br />

karena perempuan yang menjadi janda diberi stigma dan sejak awal<br />

dijauhi, diejek, jarang mendapatkan pertolongan yang sesuai, sehingga<br />

pada suatu waktu dalam kehidupannya yang sulit, ia menjadi rawan<br />

terjerumus dalam tipu daya seperti tersebut di atas.<br />

10


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Karena itu, diperlukan peranan Pemeirntah melalui programprogram<br />

kementerian terkait untuk membangun pola pikir yang dapat<br />

meluruskan mengenai sikap, perilaku dan kemartabatan janda. Mereka<br />

harus digambarkan sesuai dengan keadaan yang umum terjadi, bahwa<br />

mereka adalah perempuan yang rela berkorban demi kelangsungan<br />

hidup anak-anak, bertekad dan berupaya mengantar anak-anak<br />

bersekolah ke jenjang penidikan yang tinggi sehingga mampu mencapai<br />

kedudukan terhormat untuk membawa nama keluarga. Untuk itu tidak<br />

jarang para janda hidup tanpa menikah lagi dan tidak tergiur oleh<br />

tawaran laki-laki yang meminang mereka. Tidak juga mereka umumnya<br />

suka menjadi simpanan orang, kecuali terpaksa atau karena memang<br />

memiliki sifat-sifat khusus untuk menyakiti orang lain dan egoistis.<br />

Masyarakat bertanggungjawab untuk melindungi citra para<br />

janda, terutama yang muda dan cantik, dan tidak boleh justru<br />

masyarakat menjadi penyebab dari lunturnya kehormatan dan sikap<br />

tegar dari para janda sehingga akhirnya terjerumus ke dalam perbuatan<br />

salah atau kenistaan.<br />

Dominasi budaya patriarki dan pandangan tentang penyerangan<br />

seksual terhadap perempuan sebagai upaya menunjukkan dominasi<br />

status dan peranan jenis kelamin laki-laki, di dalam kehidupan seharihari<br />

di sekitar kita sering terwujud dalam berbagai sikap dan perilaku<br />

yang tidak atau kurang menghormati dan melindungi kaum perempuan,<br />

sehingga memberikan resiko terhadap keamanan dan kenyamanan<br />

hidupnya.<br />

Di dalam kehidupan keluarga, tantangan kehidupan yang makin<br />

kompleks di masa kini sebenarnya justru membutuhkan kerjasama<br />

antaranggota keluarga untuk bersama-sama menyongsong hari depan<br />

yang diaharapkan akan membawa kebaikan dan keberuntungan. Namun<br />

kemajuan iptek dan media tidak selalu memberikan dampak baik,<br />

melainkan juga dampak buruk yang di antaranya terwujud dari makin<br />

rapuhnya perasaan kebersamaan antarwarga keluarga yang semula<br />

bersifat erat dan akrab. Dengan kata lain, kemajuan iptek dan<br />

informatika dapat menjadi dinding pemisah dari komunikasi antara para<br />

anggota keluarga yang semula memiliki lebih banyak kepedulian,<br />

perasaan kebersamaan dan kegiatan kerjasama dalam kehidupan<br />

keluarga dan kehidupan bermasyarakat.<br />

Kesenjangan pengetahuan mengenai teknologi dan sarana<br />

komunikasi modern yang diwakili oleh gadget dengan berbagai bentuk<br />

dan teknologinya, telah cenderung “memisahkan” generasi tua dan<br />

generasi muda, sehingga jika generasi tua tidak mampu mengikuti<br />

11


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

perkembangan teknologi gadget dengan baik, maka mereka akan<br />

ketinggalan dan awam terhadap pandangan hidup, nilai-nilai, normanorma<br />

baru serta perilaku yang diwajarkan dalam kehidupan masa kini.<br />

Berapa banyak kasus-kasus pelecehan seksual dan pemerkosaan yang<br />

disertai ancaman (blackmail) telah terjadi atas diri kaum perempuan<br />

dewasa ini, termasuk gadis-gadis muda, karena pengaruh teknologi<br />

gadget (tanpa harus mengabaikan dampak baik dari gadget dalam<br />

kehidupan kita dan kemajuan peradaban).<br />

Sementara itu orangtua yang tidak paham akan tantangan dan<br />

bahaya fisik maupun psikologis yang dialami anak-anaknya, tidak sadar<br />

bahwa anak-anak mereka telah terekspos atau bahkan telah menjadi<br />

korban kemajuan teknologi yang antara lain berupa kekerasan seksual,<br />

diawali dari jebakan (misalnya memotret tanpa izin atas perilaku<br />

seksual menyimpang) yang diikuti dengan blackmail. Anak laki-laki<br />

dan perempuan beresiko yang sama.<br />

Di antara pergaulan sesama siswa sekolah, berbagai kasus<br />

bullying yang dijalankan secara sistematis dan terpola dari angkatan<br />

yang satu kepada angkatan lian di bawahnya sudah makin meningkat<br />

sehingga tidak lagi sekedar merupakan perbuatan iseng dan nakal yang<br />

dikenal orangtua anak-anak itu ketika mereka masih kanak-kanak dan<br />

remaja, sekitar 30-50 tahun yang lalu, melainkan sudah mengarah<br />

kepada tindakan kriminal, menghancurkan harga diri, menciderai dan<br />

bahkan makan korban nyawa sesama siswa oleh para siswa teman<br />

sekolahnya. Kekerasan seksual dan perlakuan kekerasan seksual<br />

komersial termasuk di dalamnya.<br />

Peran Pemerintah dalam Penanganan Kekerasan Seksual<br />

Ada beberapa hal yang dapat diajukan di sini sebagai contoh<br />

dari peranan Pemerintah dalam menangani permasalahan kekerasan<br />

seksual yang mulai krusial, di antaranya sebagai berikut:<br />

Pertama, peranan Pemerintah yang utama dalam melawan<br />

kekerasan seksual untuk menata kehidupan masyarakat untuk mengatasi<br />

dominasi budaya patriarki. Karena itulah Pemerintah Indonesia<br />

mempunyai program pemberdayaan perempuan oleh Kementerian<br />

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, untuk menegaskan<br />

kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga,<br />

bermasyarakat serta dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan<br />

memberikan sarana dan upaya bagi tumbuh kembangnya anak secara<br />

12


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

fisik dan psikologis dengan baik, karena merekalah generasi yang akan<br />

membangun Indonesia di masa depan.<br />

Kedua, mengatasi pola pikir yang membenci perempuan secara<br />

umum melalui pendidikan moralitas yang bersumber dari ajaran agama<br />

maupun ajaran budaya sukubangsa yang menghargai perempuan.<br />

Dalam suatu masyarakat, apabila nilai-nilai budaya acuan bagi<br />

kehidupan masyarakat adalah nilai-nilai kesetaraan antara laki-laki dan<br />

perempuan, maka kekerasan seksual tidak akan menunjukkan persentasi<br />

tinggi. Tentu akan selalu ada manusia yang lebih mementingkan<br />

naluriah berbentuk insting liar daripada pengendalian diri yang<br />

mengutamakan moralitas, sehingga insting liar itu menyebabkan<br />

perilaku memperkosa tidak terhindarkan. Karena itu pendidikan<br />

moralitas dari segi agama maupun etika budaya perlu diperkuat untuk<br />

menghindarkan kaum perempuan ancaman dan tindakan kekerasan<br />

seksual.<br />

Ketiga, memberdayakan peranan media. Pemerintah dengan<br />

berbagi instansinya yang terkait, perlu bekerjasama dengan media untuk<br />

membuat program-program yang menghapuskan anggapan bahwa<br />

perempuanlah yang salah apabila terjadi perkosaaan atas dirinya.<br />

Mengapa perempuan yang salah, jika ia, demi kelangsungan hidupnya<br />

dan karirnya, sebagai seorang gadis harus bekerja hingga malam dan<br />

terpaksa pulang dengan bis yang merupakan satu-satunya alat angkutan<br />

menunu rumahnya, pada jalan yang karena kelalaian Pemda setempat,<br />

tidak diberi penerangan cukup sehingga menjadi sarang penjahat<br />

mencari mangsa?<br />

Kempat, Pemerintah melalui kementerian dan lembaga terkait<br />

perlu memberikan sanksi hukum yang berefek jera dan mengkaji ulang<br />

dan merevisi peraturan-peraturan hukum yang tidak memberikan efek<br />

maraknya kekerasan seksual terhadap perempuan. Penanganan proses<br />

hukum terhadp korban juga diharapkan tidak diperpanjang, dibuat lama<br />

dan membuat kasus seakan-akan “diambangkan”. Dalam kaitan ini<br />

Pemerintah juga perlu melakukan kerjasama yang bersifat positif<br />

dengan media untuk menata model pemberitaan yang tidak<br />

menyebabkan korban perkosaan menjadi pihak yang terpojok atau “mati<br />

dua kali” karena pemberitaan mengenai kemalangannya justru<br />

diberitakan seperti halnya memberitakan gaya para selebritis untuk<br />

mencari popularitas. Hal ini justru memperburuk citra korban, lebihlebih<br />

kalau karena kelihaian tertentu di pihak pemerkosa dan<br />

pembelanya, si korban berhasil dibuat lebih terpuruk, bukan sekedar<br />

fisiknya namun lebih besar lagi, menderita kemalangan dari segi<br />

psikologis. Karena itu Pemerintah juga perlu memberikan lebih banyak<br />

13


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

peluang bagi kaum profesional psikologi dan psikiatri untuk ikut<br />

mengatasi permasalahan masyarakat yang diakibatkan oleh kekerasan,<br />

kekerasan seksual dan kekerasan seksual komersial yang makin marak<br />

saat ini.<br />

Kelima, Pemerintah juga perlu melakukan terobosan untuk<br />

mengatasi pola pikir keliru pada pihak laki-laki umumnya dalam<br />

melihat menilai jenis kelamin perempuan. Hal ini termasuk<br />

menghilangkan pola pikir kontroversial terhadap perempuan<br />

sebagaimana yang sering terjadi dewasa ini. Di satu pihak, perempuan<br />

dikatakan sebagai perlu dilindungi dan dihormati, tetapi dalam praktek,<br />

perempuan dianggap pembawa sial, najis, sehingga bersalaman pun<br />

tidak boleh dilakukan. Dalam lingkungan Indonesia yang sudah sejak<br />

dulu mengenal kerjasama yang baik antara laki-laki dan perempuan<br />

akibat pengaruh-pengaruh berbagai macam nilai budaya yang diterima,<br />

berjabatan tangan tidak harus diartikan sebagai menuduh perempuan<br />

bersifat kotor. Justru yang sebenarnya kotor adalah pikiran laki-laki<br />

yang mencitrakan perempuan harus menutup seluruh tubuhnya oleh<br />

suami atau keluarganya yang laki-laki, namun di saat yang sama, sang<br />

laki-laki senang membuka situs pornografi dari gadget yang tersedia.<br />

Dengan kecanggihan teknologi sekarang ini, bisa pula seorang laki-laki<br />

memindah-mindahkan wajah perempuan cantik yang dikenalnya untuk<br />

ditaruh di atas tubuh perempuan tanpa busana dari situs pornografinya<br />

di gadget-nya dan berimaginasi yang kotor. Hal-hal semacam inilah<br />

yang bisa menjadi salah satu sumber kekerasan seksual terhadap<br />

perempuan, dan tidak boleh dibiarkan, melainkan harus diberi sanksi.<br />

Penutup<br />

Sebagai penutup dapat dikemukakan di sini bahwa budaya patriarki<br />

telah menunjukkan bentuknya sesuai dengan perkembangan zaman, dan<br />

itu dapat memberi peluang bagi maraknya kekerasan seksual.<br />

Berkenaan dengan itu, perempuan perlu mendapat informasi lebih<br />

banyak mengenai kejahatan dan kekerasan seksual yang terjadi di masa<br />

kini, yang modusnya makin lama makin canggih.<br />

Selain itu diperlukan perubahan cara pandang dari para laki-laki<br />

terhadap perempuan yang berstatus janda, kesiapan laki-laki untuk<br />

bekerjasama dengan kaum perempuan dalam kehidupan keluarga yang<br />

dilandasi oleh prinsip kesetaraan dan keadilan gender, khususnya<br />

membangun kerjasama yang kuat antara suami-isteri dalam memahami<br />

tantangan masa kini bagi anak-anak mereka yang menghadapi tantangan<br />

14


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

berat dalam kehidupan moral, psikologis dan fisik mereka, di antaranya<br />

kekerasan seksual dan kekerasan seksual komersial.<br />

---0---<br />

15


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

PERSPEKTIF MASYARAKAT TERHADAP KEKERASAN<br />

SEKSUAL<br />

Oleh: Dra. Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, M. Hum.<br />

Pendahuluan<br />

Perspektif masyarakat terhadap tindak kekerasan seksual,<br />

sangat dipengaruhi oleh sistem nilai dan moral masyarakat, yang<br />

dibentuk oleh tradisi, struktur budaya serta konstruksi sosial<br />

masyarakatnya. Atas dasar ini, maka untuk mengetahui corak berpikir<br />

suatu masyarakat terhadap tindak kekerasan seksual, harus dicermati<br />

sistem budaya dan konstruksi sosial masyarakat tersebut, terutama yang<br />

terkait dengan cara pandang mereka terhadap perempuan. Ini penting,<br />

karena cara pandang inilah yang akan menentukan posisi dan peran<br />

perempuan dalam membangun relasi sosial.<br />

Sehubungan dengan hal ini, saya akan melihat beberapa data<br />

sejarah serta legenda dan mitos mengenai peran dan posisi perempuan.<br />

Dari sini saya akan melacak akar-akar sosial budaya yang<br />

mencerminkan corak berpikir suatu masyarakat terhadap kekerasan<br />

seksual. Sebelumnya, saya akan mengutarakan pengertian tentang<br />

kekerasan seksual secara sekilas.<br />

Kekerasan seksual, pada dasarnya adalah setiap bentuk<br />

perilaku yang memiliki muatan seksual yang dilakukan seseorang atau<br />

sejumlah orang, namun tidak disukai dan tidak diharapkan oleh orang<br />

yang menjadi sasaran sehingga menimbulkan akibat negatif, seperti:<br />

rasa malu, tersinggung, terhina, marah, kehilangan harga diri,<br />

kehilangan kesucian, dan sebagainya, pada diri orang yang menjadi<br />

korban (Supardi & Sadarjoen, 2006).<br />

Pengertian lainnya dikemukakan oleh Sanistuti (dalam<br />

Daldjoeni, 1994:4), pelecehan seksual adalah semua tindakan seksual<br />

atau kecendrungan bertindak seksual yang bersifat intimidasi nonfisik<br />

(kata-kata, bahasa, gambar) atau fisik (gerakan kasat mata dengan<br />

memegang, menyentuh, meraba, mencium) yang dilakukan seorang<br />

laki-laki atau kelompoknya terhadap perempuan atau kelompoknya.<br />

Dalam pelecehan seksual, terdapat unsur-unsur meliputi:<br />

1. Suatu perbuatan yang berhubungan dengan seksual,<br />

2. Pada umumnya pelakunya laki-laki dan korbannya perempuan,<br />

3. Wujud perbuatan berupa fisik dan non fisik,<br />

4. Tidak ada kesukarelaan.<br />

Tindakan pelecehan seksual, baik yang bersifat ringan<br />

(misalnya secara verbal) maupun yang berat (seperti perkosaan)<br />

merupakan tindakan menyerang dan merugikan individu, yang berupa<br />

16


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

hak-hak privasi dan berkaitan dengan seksualitas. Demikian juga, hal itu<br />

menyerang kepentingan umum berupa jaminan hak-hak asasi yang<br />

harus dihormati secara kolektif.<br />

Corak Berpikir Masyarakat Indonesia Terhadap Kekerasan Seksual<br />

Untuk melihat corak pikir masyarakat Indonesia terhadap<br />

kekerasan seksual, saya akan memaparkan beberapa legenda dan sejarah<br />

yang terkait dengan peran, posisi, dan fungsi perempuan dari beberapa<br />

etnis yang merepresentasikan perspektif Indonesia, yaitu Jawa, Sunda,<br />

Bugis, dan Batak.<br />

Ada beberapa legenda dan sejarah yang mencerminkan<br />

pandangan masyarakat terhadap perempuan. Misalnya, perempuan<br />

dijadikan sebagai alat untuk menaklukan lawan. Sebagai contoh: Kisah<br />

Ki Ageng Mangir, yang bisa ditaklukkan dan bahkan dibunuh oleh<br />

Panembahan Senopati dengan cara mengirimkan putrinya Rr.<br />

Pembayun untuk merayu Ki Ageng Mangir. Setelah terjadi perkawinan,<br />

maka Panembahan Senopati memanggil sang menantu untuk sowan.<br />

Dalam pesowanan inilah Ki Ageng Mangir ditaklukan dan dibunuh.<br />

Namun, sikap kaum ningrat Jawa terhadap perempuan yang<br />

kemudian membentuk kultur dan konstruksi sosial yang timpang dalam<br />

relasi sosial lelaki perempuan, merupakan cerminan dari pandangan<br />

kultur Jawa terhadap perempuan. Beberapa kitab Jawa memang<br />

berpandangan pejoratif terhadap perempuan, misalnya kitab Clokantara.<br />

Di dalam kitab ini perempuan di pandang dan diposisikan secara<br />

negatif: “… tiga ikang abener lakunya ring loka/ Iwirnya/ ikang Iwah/<br />

ikang Udwad/ ikang Janmastri/ Yeka kang telu/ wilut gatinya/ Yadin<br />

pweka nang stri hana satya budhinya/ dadi ikangtunjung tumuwuh ring<br />

cila/ …”(… ada tiga yang tidak benar jalannya di bumi yaitu/ sungai/<br />

tanaman yang melata/ dan wanita/ ketiga-tiganya/ berbelit jalannya//<br />

jika ada wanita yang lurus budinya/ akan ada (bunga) tunjung tumbuh di<br />

batu).<br />

Pandangan yang sama juga diberikan oleh Kitab Nitisastra. Di<br />

sini perempuan dipandang sebagai sosok yang bermoral rendah: “…/<br />

mangkan ngling sang parameng sastra/ ana dyah bener atine/ yen ana<br />

gagak pingul/ lawan tunjung tuwuh ing curi/ kono ana wanudya/ atine<br />

rahayu/ kalingane ing sujana/ den prayitna yen pinarak ing pawestri/<br />

ywa kena manis ujar//” (…beginilah kata sang bijak dalam sastra:/<br />

(akan) ada wanita yang lurus hatinya/, jika ada (burung) gagak<br />

(berwarna) putih/, dan (bunga) tunjung tumbuh di batu/, bila di situ ada<br />

wanita (yang) hatinya baik/ kata orang pintar/ hati-hatilah apabila<br />

berhadapan (dengan) wanita tersebut/ jangan terpikat oleh kata<br />

manisnya/).<br />

Meskipun perempuan diposisikan secara rendah dibanding<br />

lelaki, namun secara umum kebudayaan Jawa memandang perempuan<br />

17


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

sebagai makhluk suci dan mulia sebagaimana tercermin dalam legenda<br />

Dewi Sri, yang mencerminkan bagaimana kemuliaan wanita dalam<br />

kehidupan.<br />

Pandangan normatif-antropologis ini sejalan dengan<br />

konstruksi budaya masyarakat Batak. Dalam pandangan antropologis<br />

masyarakat Batak, perempuan dipandang sebagai sosok yang harus<br />

dihormati dan dimuliakan. Di kalangan masyarakat Batak Toba, peran<br />

dan posisi perempuan dikenal dengan istilah “isteri”, yang berarti<br />

pasangan sehati dan sejiwa, pendamping suami, melahirkan dan<br />

mendidik generasi penerus, membina kehidupan rumah tangga dan<br />

jalinan sosial masyarakat, serta sebagai wanita terhormat yang patut<br />

dihormati. (http://haposanbakara.blogspot.com/2011/03/makna-isteridalam-budaya-batak-toba.html).<br />

Posisi mulia kaum perempuan dalam pandangan kultural<br />

masyarakat Batak ini juga bersumber dari mitologi Batak yang<br />

menyatakan bahwa asal usul manusia di bumi Batak adalah seorang<br />

perempuan, yaitu Siboru Deang Parujar (Siboru Dea). Juga konsep<br />

dewata sebagai manusia pertama di Banua Ginjang (bumi Batak) yang<br />

melahirkan tiga wanita dengan fungsi masing-masing untuk menjaga<br />

kehidupan; Siboru Parmeme, pengunyah makanan untuk diberikan<br />

kepada anak kecil; Panturi, penasehat, memberikan pengajaran tentang<br />

sikap, budi pekerti dan etika; Parorot, penjaga, pelindung dan pengawas<br />

anak (http://haposanbakara.blogspot.com/2012/05/kedudukan-wanitadalam-suku-batak.html).<br />

Di kalangan masyarakat Bugis, perempuan juga mendapat<br />

posisi terhormat. Sebagaimana dinyatakan Maria Josephine:<br />

Status sosial perempuan Bugis tampaknya cukup tinggi. Hal itu<br />

dapat kita lihat baik dalam realitas sosial maupun dalam<br />

naskah kuno. Secara sosial kita bisa menyebut sosok Colliq<br />

Pujie, seorang perempuan Bugis yang hidup pada abad ke-1<br />

yang berprofesi sebagai penulis, sastrawan dan juga<br />

negarawan. Dalam naskah kuno perempuan Bugis disebut<br />

berani (materru‟) dan bijaksana/ (malampe‟ nawa nawa).<br />

Walau begitu, tugas utama dari seorang perempuan Bugis<br />

adalah menjadi seorang ibu salehah, baik dan tulus (mancaji<br />

Indo ana tettong ridecengnge, tudang ripacingnge), menjadi<br />

penuntun suami yang jujur, hemat dan bijaksana sekaligus<br />

mitra pendukung dan penopang dalam mengatasi segala<br />

kesulitan maupun perjuangan mengatasi segala hal (Mancaji<br />

pattaro tettong rilempu‟e punnai cirinna enrengngre lampu<br />

„Nawa-Nawa mmewai sibaliperri‟ waroanena Sappa „laleng<br />

atuong), menjadi kebanggan ayahnya, saudaranya dan<br />

suaminya untuk menjaga kehormatan hidupnya (mancaji<br />

„siatutuiang siri na enrengnge banapatinna ritomatoanna,<br />

18


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

risilessureng macoana letih‟ ga riworoanena) (Maria<br />

Josephine Mantik, 2013)<br />

Apa yang disampaikan Maria ini juga sesuai dengan<br />

pandangan Rafles yang menyatakan: Ibu adalah jendela pertama bagi<br />

seorang bayi, dan menjadi pengontrol bagi suaminya. Ketika bayi lahir,<br />

Ibu memainkan peranan penting dalam memperkenalkan bayi kepada<br />

dunia. Masa depan anak sangat tergantung pada ibu. Sikap, pandangan<br />

dan seluruhnya semua diperoleh sang bayi dari seorang ibu. Seorang ibu<br />

yang sempurna akan lebih baik dari seribu guru. (Thomas Stamford<br />

Rafles, 2008).<br />

Dari pandangan kultural-antropologis ketiga etnis yang<br />

mewakili keberagaman masyarakat Indonesia, dapat disimpulkan bahwa<br />

secara normatif masyarakat Indonesia menempatkan posisi terhormat<br />

kepada kaum perempuan, seperti tercermin dalam berbagai mitos dan<br />

legenda yang ada di masyarakat Indonesia. Namun secara faktual, peran<br />

dan posisi perempuan yang terhormat dan mulia itu justru tidak terlihat.<br />

Sebaliknya perempuan justru ditempatkan pada posisi rendah dan<br />

dipandang sebelah mata sebagaimana tercermin dalam relasi dan<br />

konstruksi sosial yang timpang, ditandai dengan menguatnya budaya<br />

patriarkhi di kalangan masyarakat Indonesia. Bisa dikatakan, telah<br />

terjadi sikap dan corak pemikiran yang ambigu di kalangan masyarakat<br />

Indonesia terhadap perempuan.<br />

Meski banyak berbicara soal perempuan, namun hampir tidak<br />

ditemukan wacana mengenai relasi seks dalam narasi masyarakat<br />

Nusantara. Ini terjadi karena secara umum masyarakat Indonesia<br />

beranggapan bahwa seks adalah sesuatu yang suci dan mulia, sehingga<br />

menjadi tabu untuk dibicarakan dalam wilayah publik. Sejauh<br />

penelurusan saya, hanya menemukan satu kitab/serat yang secara<br />

spesifik berbicara mengenai masalah hubungan seksual, yaitu Serat<br />

Centhini.<br />

Meski kebudayaan Jawa di masa kejayaan keraton bersifat<br />

represif-feodalistik, dan berpandangan pejoratif terhadap perempuan,<br />

namun dalam bidang seksual ternyata sangat jauh dari apa yang kita<br />

bayangkan. Masalah seksualitas muncul dalam ekspresi seni, terutama<br />

sastra dan tari (Otto Sukatno, 2001). Artinya corak pemikiran yang<br />

memandang rendah kaum perempuan ternyata tidak sebanding dengan<br />

sikap dan pandangan mereka terhadap perilaku seksual. Hubungan<br />

seksual tetap dipandang sebagai ekspresi seni dan puncak keindahan<br />

yang harus diberlakukan secara baik dan mulia.<br />

Paparan diatas menunjukkan bahwa seksualitas merupakan<br />

sesuatu yang mulia, oleh karenanya kekerasan seksual tetap dipandang<br />

sebagai suatu tindakan biadab yang menyimpang dan melanggar etika<br />

sosial. Bisa dikatakan bahwa meski secara sosial budaya masyarakat<br />

19


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Indonesia hidup dalam kultur patriarki dengan relasi yang timpang<br />

sehingga merugikan kaum perempuan, namun mereka berpandangan<br />

bahwa seksualitas adalah adalah sesuatu yang mulia dan sangat terkait<br />

dengan urusan moral. Artinya dalam corak pemikiran masyarakat<br />

Indonesia, kekerasan seksual tetap dipandang sebagai kejahatan dan<br />

penyimpangan yang harus ditolak.<br />

Kekerasan Seksual Dalam Pandangan Pancasila<br />

Pancasila adalah kristalisasi dan manifestasi dari nilai-nilai<br />

luhur bangsa Indonesia yang beragam. Artinya Pancasila merupakan<br />

perasan saripati dari nilai-nilai terbaik dari berbagai ragam kebudayaan<br />

yang dimiliki Bangsa Indonesia. Dengan demikian, mustahil Pancasila<br />

memuat sesuatu yang buruk dan bertentangan dengan nilai-nilai<br />

kemanusiaan.<br />

Nilai-nilai dasar kemanusiaan termaktub tersebut secara jelas<br />

dalam Pancasila, terutama sila ke-dua; “Kemanusiaan Yang Adil dan<br />

Beradab”. Dengan sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, manusia<br />

diakui harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.<br />

Adil pada hakekatnya adalah memberikan atau memperlakukan<br />

seseorang atau pihak lain sesuai dengan apa yang menjadi haknya. Jadi,<br />

orang dikatakan bersikap dan bertindak adil kalau ia tidak melanggar<br />

hak orang lain, atau secara positif memberikan kepada orang lain apa<br />

yang menjadi haknya. Artinya perilaku tidak adil dan tidak beradab<br />

yang memberangus dan melecehkan nilai-nilai kemanusiaan, itu<br />

bertentangan dengan Pancasila.<br />

Kekerasan seksual adalah tindakan pelecehan dan<br />

pemberangusan nilai-nilai kemanusiaan. Kekerasan seksual tidak hanya<br />

membuat luka fisik bagi korban, tetapi juga menghancurkan harkat dan<br />

martabat manusia yang menjadi korban. Dengan demikian jelas bahwa<br />

kekerasan seksual merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan<br />

Pancasila.<br />

Dalam kehidupan berbangsa yang plural, kekerasan seksual<br />

tidak saja menjadi ancaman terhadap nilai kemanusiaan, tetapi juga<br />

merupakan ancaman terhadap kehidupan berbangsa yang multikultural.<br />

Ini terjadi karena meskipun terjadi keberagaman budaya, namun<br />

terdapat kesamaan sikap dan pandangan terhadap tindakan kekerasan<br />

seksual. Semua elemen bangsa Indonesia yang plural ini sepakat, bahwa<br />

kekerasan seksual merupakan tindakan biadab yang melecehkan harkat<br />

kemanusiaan, sehingga menjadi musuh bersama bangsa Indonesia yang<br />

beragam.<br />

20


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Kekerasan Seksual dalam Pemikiran Masyarakat Negara Lain<br />

Dalam hal ini saya hanya akan menyebut tiga Negara yang<br />

masing-masing memiliki pengaruh kuat dalam corak pikir masyarakat<br />

Indonesia, yaitu Arab, China, dan Amerika. Arab dan China memiliki<br />

pengaruh yang cukup kuat dalam kebudayaan dan pemikiran<br />

masyarakat Indonesia. Agama Islam yang dipeluk oleh mayoritas<br />

masyarakat Indonesia, tidak bisa lepas dari pengaruh kebudayaan Arab.<br />

Demikian pula interaksi sosial yang telah terjadi beberapa abad dengan<br />

bangsa China, membuat masyarakat tidak bisa lepas dari pengaruh<br />

China. Sementara itu kekuatan sosial politik dan intelektual Amerika<br />

yang ada di Indonesia, membuat bangsa ini sulit untuk keluar dari<br />

pengaruh Amerika.<br />

Dalam konstruksi sosial budaya masyarakat Arab, perempuan<br />

diposisikan sebagai manusia kelas dua dengan derajat yang lebih rendah<br />

dibanding lelaki. Hal ini tercermin dari model perkawinan yang<br />

dilakukan oleh Bangsa Arab sebelum datangnya Islam.<br />

Meski Islam sudah melakukan transformasi sosial yang<br />

radikal melalui revolusi teologi yang berhasil menghancurkan tradisi<br />

jahiliyah sebagaimana terjadi pada zaman Nabi Muhammad SAW, tapi<br />

bias tradisi jahiliyah yang memandang rendah kaum perempuan itu,<br />

hidup lagi pada era modern, sebagaimana terlihat dalam berbagai aturan<br />

yang banyak mengekang kebebasan dan merugikan kaum perempuan.<br />

Pandangan pejoratif terhadap perempuan inilah yang kemudian<br />

melahirkan sikap dan pemikiran yang permisif terhadap tindakan<br />

kekerasan seksual dan cenderung menyalahkan perempuanjika terjadi<br />

tindakan kekerasan seksual.<br />

Corak pemikiran yang memandang relasi yang timpang antara<br />

lelaki dan perempuan juga terlihat dalam kebudayaan China yang<br />

bersumber dari ajaran Yin dan Yang. Ajaran ini memang berbicara<br />

tentang keseimbangan dan harmoni, namun jika dicermati lebih lanjut,<br />

terutama yang terkait dengan relasi lelaki dan perempuan, maka akan<br />

terlihat posisi yang timpang. Sebagaimana dikatakan Seeger, Yin<br />

merupakan unsur negatif seperti air, dingin, basah, pasif, gelap, bulan,<br />

dan bersifat perempuan, sedangkan Yang merupakan unsur positif<br />

seperti api, panas, kering, aktif, terang, matahari, dan bersifat laki-laki<br />

(Elizabeth Seeger, 1952).<br />

Menurut Lee Park, tatanan keseimbangan Yin dan Yang<br />

tersebut, menyiratkan bahwa kedudukan perempuan dalam tata hidup<br />

manusia harus di bawah dan rendah seperti bumi. Kedudukan<br />

perempuan yang inferior dilihat sebagai bagian hukum alam. Yin<br />

(bumi) dikuasai oleh Yang (langit). Keutamaan bagi seorang perempuan<br />

adalah mengalah dan lemah, pasif dan diam, sebagaimana halnya bumi.<br />

Hal itu berbeda dengan laki-laki yang harus aktif dan kuat, penuh<br />

inisiatif sebagaimana halnya langit atau surga. Namun demikian,<br />

21


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

kedudukan laki-laki yang superior, tidak lengkap tanpa kehadiran<br />

perempuan sebagai lawan jenis yang saling mengisi (Sun Ai Lee Park,<br />

1992).<br />

Menurut Irwan Abdullah, dikotomi nature (alam) dan culture<br />

(budaya) digunakan untuk menunjukkan pemisahan jenis kelamin, yang<br />

satu memiliki status lebih rendah dari yang lain. Perempuan yang<br />

mewakili sifat alam (nature) harus ditundukkan agar mereka lebih<br />

berbudaya (culture). Usaha membudayakan perempuan tersebut telah<br />

mengakibatkan terjadinya ketimpangan hubungan antara laki-laki dan<br />

perempuan (Irwan Abdullah, 1997).<br />

Berbeda dengan corak pemikiran Arab dan China yang<br />

diskriminatif terhadap perempuan, corak pemikiran masyarakat<br />

Amerika terhadap kekerasan perempuan sangat terkait dengan faham<br />

feminism yang berkembang di Negara tersebut. Elizabeth Cady<br />

merupakan tokoh feminis Amerika Serikat yang memprakarsai konvensi<br />

hak-hak perempuan di Seneca Falls pada 1848. Teks Declaration of<br />

Independence menjadi pijakan Elizabeth untuk menulis Declaration of<br />

Sentiments and Resolution yang menjadi hasil konvensi dalam<br />

pertemuan bersejarah, yaitu Konvensi Hak-hak Perempuan di Seneca<br />

Falls pada 19 Juli 1848.<br />

Dia menegaskan bahwa “all the people” dalam konstitusi<br />

Negara Amerika berarti kaum perempuan sebagai manusia, termasuk di<br />

dalamnya. Pemikiran Elizabeth tentang otonomi perempuan sebagai<br />

individu, juga berdasarkan pada pemikiran individualisme liberal, tetapi<br />

ia tetap melihat bahwa perempuan merupakan suatu kolektivitas sosial<br />

yang harus bersatu dalam memperjuangkan kepentingan perempuan<br />

(Hadiz, 1998). Dengan cara pandang seperti ini, maka kekerasan<br />

seksual dalam corak pemikiran masyarakat Amerika, merupakan<br />

tindakan yang biadab, yang melecehkan nilai-nilai dan martabat<br />

kemanusiaan.<br />

Uraian di atas menunjukkan terjadinya perbedaan cara<br />

pandang terhadap posisi perempuan dalam konstruksi sosial budaya<br />

pada masing-masing Negara, yang pada ujungnya terjadi perbedaan<br />

dalam memandang kekerasan seksual. Di kalangan masyarakat Arab<br />

yang masih terdapat bias tradisi jahiliyah yang patriarkis, pandangan<br />

terhadap kekerasan seksual masih cenderung permisif dan menjadikan<br />

korban sebagai pihak yang salah, sekalipun secara normatif Islam<br />

sebagai agama yang dipeluk oleh masyarakat Arab, memberikan sanksi<br />

yang keras dan tegas, bahkan sangat berat kepada pelaku tindak<br />

kekerasan seksual. Sedangkan China, meskipun memandang adanya<br />

perbedaan antara laki-laki dan perempuan, namun memberikan<br />

hukuman yang berat kepada pelaku tindak kekerasan seksual.<br />

Pandangan masyarakat di kedua Negara ini berbeda dengan masyarakat<br />

Amerika yang sudah menerapkan kesetaraan dalam relasi lelaki<br />

22


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

perempuan. Dengan cara pandang seperti ini, maka corak pemikiran<br />

masyarakat Amerika terhadap kekerasan seksual menjadi lebih sensitif<br />

dan tegas.<br />

Upaya Memahami Kekerasan Seksual<br />

Persoalan kekerasan seksual ternyata memiliki keterkaitan<br />

dengan persoalan kultur dan sistem nilai yang berlaku di masyarakat.<br />

Pada masyarakat yang memiliki hubungan sosial yang timpang antara<br />

lelaki dan perempuan, maka kekerasan seksual lebih mudah terjadi. Ini<br />

disebabkan karena masyarakat cenderung bersifat permisif terhadap<br />

tindakan kekerasan seksual. Dengan kata lain, kepekaan terhadap<br />

kekerasan seksual pada masyarakat yang patriarkis adalah rendah.<br />

Untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap<br />

kekerasan seksual, saya rasa ada dua cara yang bisa dilakukan, yaitu<br />

yuridis dan kultural. Cara yuridis yaitu dengan melakukan penegakan<br />

hukum formal terhadap pelaku tindak kekerasan seksual. Melalui cara<br />

ini, masyarakat akan melihat bahwa kekerasan seksual merupakan<br />

tindakan yang melanggar norma hukum, sehingga layak diberi hukuman<br />

yang berat. Selain itu, melalui penegakan hukum formal ini, akan<br />

mendorong para korban kejahatan seksual berani melapor, karena<br />

dengan cara ini mereka merasa mendapat perlindungan, baik terhadap<br />

hak, harkat dan martabatnya sebagai manusia melalui jalur hukum.<br />

Cara kultural adalah melakukan sosialisasi mengenai<br />

kekerasan seksual melalui dialog langsung dari hati ke hati kepada<br />

berbagai pihak, khususnya kaum perempuan mengenai berbagai hal<br />

yang masuk dalam kategori tindak kekerasan seksual, dan upaya-upaya<br />

untuk menanggulanginya. Pengalaman yang saya peroleh selama<br />

melakukan pendampingan terhadap korban tindak kekerasan bersama<br />

Yayasan Puan Amal Hayati, rata-rata para korban mengalami syok dan<br />

depresi yang dalam. Mereka merasa malu untuk melaporkan hal<br />

tersebut kepada pihak lain/diketahui oleh orang lain. Kedua, seringkali<br />

korban yang melapor, justru diperlakukan/direndahkan harkat dan<br />

martabatnya. Ketiga, proses penanganan yang berbelit-belit dan<br />

melelahkan.<br />

Berdasarkan hal-hal sebagaimana disebutkan di atas, maka<br />

cara efektif yang bisa diterapkan kepada masyarakat Indonesia terhadap<br />

kekerasan seksual adalah mengubah pola pikir masyarakat serta pihakpihak<br />

yang bersangkutan untuk melepaskan diri dari jeratan budaya<br />

patriarki melalui pendekatan dialog dari hati ke hati secara intensif.<br />

Cara seperti ini tidak hanya bisa mengubah pandangan dan pola pikir,<br />

tetapi juga membuat para korban memiliki tempat bersandar dan teman<br />

dialog yang terbuka untuk mengungkapkan berbagai persoalan. Dengan<br />

demikian mereka akan terbiasa mengungkapkan persoalan seksual yang<br />

dianggap tabu secara terbuka. Melalui cara-cara seperti ini maka akan<br />

23


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

terbentuk pemahaman yang baik mengenai kekerasan seksual sehingga<br />

bisa meningkatkan kepekaan terhadap tindak kekerasan seksual.<br />

Pendekatan yuridis dan kultural ini harus dilakukan secara<br />

simultan. Pendekatan yuridis tanpa dibarengi degan pendekatan<br />

kultural, tidak akan bisa meningkatkan pemahaman masyarakat<br />

terhadap kekerasan seksual. Tanpa pemahaman, tidak akan terjadi<br />

perubahan cara pandang yang bisa mengubah perilaku dan<br />

meningkatkan kepekaan. Demikian sebaliknya, kedua pendekatan ini<br />

harus berjalan secara bersamaan, dengan membentuk sinergi yang<br />

saling melengkapi. ****<br />

Daftar Pustaka<br />

Ade Siri Na Pesse. 2013, Adat Istiadat Suku Bugi<br />

http://blogerbugis.blogspot.com/2014/04/ adat-istiadat-suku bugisade-siri-na.html<br />

diakses 12 November 2014.<br />

Ali, K, 2000. Sejarah Islam (Tarik Pramodern), Jakarta, PT. Raja<br />

Grafindo Persada.<br />

Elizabeth Seeger, 1952, Sedjarah Tiongkok Selajang Pandang,<br />

Terj.Ong Pok Kiat dan Sudarno, (Djakarta, Gronigen: J.B. Wolters).<br />

Hadiz, Liza. 1998. “Teori Feminisme Radikal” dalam Jurnal<br />

Perempuan. Edisi 7, Mei-Juli. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.<br />

HJ De Graaf, Dr, 1987. Awal Kebangkitan Mataram. Jakarta,<br />

Grafitipers, http://haposanbakara.blogspot.com/2012/05/kedudukanwanita-dalam-suku-batak.html,<br />

diakses pada 13 November 2014,<br />

http://haposanbakara.blogspot.com/2011/03/makna-isteri-dalambudaya-batak-toba.html,<br />

diakses pada 13 November 2014.<br />

Irwan Abdullah, 1997, Dari Domestik ke Publik: Jalan Panjang<br />

Pencarian Identitas Perempuan, dalam Irwan Abdullah (ed.),<br />

Sangkan Paran Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.<br />

J.B. Mangun Wijaya, 2008, Roro Mendut, Jakarta, Gramedia Pustaka<br />

Utama.<br />

Maria Josephine Mantik, 2013, Gender Inequality dalam “Makkunrai”<br />

Karya Lily Yuliani Farid, http://icssis.files.wordpress.com/2013/09/<br />

2013-01-34.pdf diakses 12 November 2014.<br />

Otto Sukatno CR, 2002, Seks Para Pangeran: Tradisi dan Ritualisasi<br />

Hedonisme Jawa, Yogyakarta, Bentang.<br />

Purwadi, 2007. Sejarah Raja-raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu.<br />

24


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Seri Dian. Kisah Dari Kampung Halaman. Dian: Jogjakarta.<br />

Sindhunata, 2007. Putri Cina, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.<br />

Suharndjati Suktri, Sri. Sofwan Ridin. Perempuan dan Seksualitas<br />

dalam Tradisi Jawa. Yogyakarta, Gama Media.<br />

Sun Ai Lee Park, 1995, Konfusianisme dan Kekerasan Terhadap<br />

Perempuan, dalam Th. Sumartana, dkk., Konfusianisme di<br />

Indonesia: Pergulatan Mencari Jati Diri, Yogyakarta: Pustka Pelajar.<br />

Thomas Stamford Rafles, 2008. History of Java, Yogyakarta, Narasi).<br />

25


MAKALAH DELEGASI<br />

KOMISI 1: HUKUM MATERIIL


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

TINJAUAN HUKUM MATERIIL MENGENAI KEKERASAN<br />

SEKSUAL TERHADAP ANAK DI INDONESIA<br />

Oleh: Fakultas Hukum Universitas Bengkulu<br />

ABSTRAK<br />

Kekerasan seksual terhadap anak saat ini menjadi fenomena yang<br />

sedang ramai diperbincangkan oleh semua kalangan masyarakat.<br />

Berbagai pengaturan terkait dengan kekerasan seksual terhadap anak<br />

ini seperti yang terdapat didalam Kitab Undang-Undang Hukum<br />

Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang<br />

Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang<br />

Pemberantasan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-Undang<br />

Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana<br />

Perdagangan Orang pada dasarnya telah mengatur tentang kekerasan<br />

seksual terhadap anak. Namun, pengaturan mengenai kekerasan<br />

seksual terhadap anak yang diatur didalam peraturan perundangundangan<br />

tersebut ternyata masih belum spesifik. Tidak adanya definisi<br />

kekerasan seksual serta tidak disebutkan secara jelas mengenai bentukbentuk<br />

kekerasan seksual didalam peraturan perundangan-undangan<br />

tersebut hanya merupakan segelintir masalah yang membuktikan bahwa<br />

masih terdapat kekurangan dalam peraturan perundang-perundangan<br />

terkait dengan kekerasan seksual terhadap anak. Maka melalui<br />

penelitian yuridis normatif dengan menggunakan bahan-bahan hukum<br />

primer dan sekunder dan tersier yang bertujuan untuk mencari solusi<br />

persoalan terhadap permasalahan yang ditemukan dalam peraturan<br />

perundang-undangan terkait dengan kekerasan seksual terhadap.<br />

Diperoleh kesimpulan bahwa solusi atas permasalahan-permasalahan<br />

yang ditemukan dalam peraturan perundangundangan mengenai<br />

kekerasan seksual terhadap anak tersebut ialah dengan meninjau<br />

kembali hukum materiil mengenai kekerasan seksual terhadap anak di<br />

Indonesia.<br />

A. Latar Belakang<br />

Fenomena kekerasan seksual yang sedang marak saat ini telah<br />

menjadi topik hangat yang ramai diperbincangkan oleh berbagai<br />

kalangan masyarakat. Berbagai kasus kekerasan seksual seperti kasus<br />

JIS (Jakarta International School) dan kasus Emon menunjukkan<br />

bahwa anak telah menjadi sasaran utama dalam tindak kekerasan<br />

seksual.<br />

26


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Anak merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang<br />

dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia yang patut<br />

dijunjung tinggi. Konsideran menimbang UU Nomor 23 Tahun 2002<br />

tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa anak adalah tunas,<br />

potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa,<br />

memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang<br />

menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.<br />

Namun melihat realita yang terjadi saat ini, maraknya tindak kekerasan<br />

seksual terhadap anak tentunya menjadi hal yang patut dikhawatirkan.<br />

Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat laporan<br />

tindak kekerasan anak yang terjadi pada tahun 2014 mulai Januari-April<br />

2014, terdapat 342 kasus. Dari angka tersebut, banyak kasus terjadi di<br />

lingkungan sekolah. Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait<br />

menjelaskan pada tahun 2013 Komnas PA mencatat sebanyak 3.339<br />

kasus kekerasan anak, 58 persen dari laporan tersebut merupakan<br />

kejahatan seksual. 2 Namun tidak semua tindak kekerasan seksual itu<br />

dilaporkan, sehingga diperkirakan jumlah tindak kekerasan seksual,<br />

terutama tindak kekerasan seksual terhadap anak lebih besar dari jumlah<br />

yang telah disebutkan tersebut.<br />

Perlu dilihat bahwa kekerasan seksual bukan hanya kejahatan<br />

fisik namun juga merupakan kejahatan psikis. Anak-anak yang menjadi<br />

korban kekerasan seksual akan mengalami tekanan psikologis yang<br />

sangat besar yang tentunya akan berpengaruh terhadap tumbuh<br />

kembang sang anak itu sendiri. Tidak hanya itu, anak sebagai korban<br />

kekerasan seksual akan mengalami dampak buruk yang<br />

berkepanjangan, seperti trauma, kehilangan kepercayaan diri, atau<br />

bahkan akan mengisolasi dirinya dari lingkungan sekitarnya, serta<br />

bukan tidak mungkin korban juga akan dipandang buruk didalam<br />

masyarakat. Oleh karena dampak yang ditimbulkan bagi anak sebagai<br />

korban kekerasan seksual sangat besar, maka perlu adanya pengaturan<br />

khusus demi menjamin keberlangsungan hidup anak yang menjadi<br />

korban kekerasan seksual. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3)<br />

UUD Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara<br />

hukum, yang salah satu cirinya adalah legalitas dalam arti hukum, maka<br />

baik pemerintah/negara maupun warga negara dalam bertindak harus<br />

berdasar atas dan melalui hukum. 3 Konsekuensi lainnya ialah setiap<br />

peraturan yang mengatur satu perbuatan harus dirumuskan secara tegas<br />

2 Wahyu Aji, Komnas Anak: 2014, Kekerasan Seksual Paling Tinggi<br />

Terjadi di Sekolah, diakses dari http://www.tribunnews.com/nasional/<br />

2014/05/12/komnas-anak-2014-kekerasanseksual-paling-tinggi-terjadi-disekolah,<br />

pada tanggal 7 Oktober 2014.<br />

3 Sekretariat Jenderal MPR RI, Panduan Pemasyarakatan Undang-<br />

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (2010), hlm. 46.<br />

27


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

dan jelas agar tercapai kepastian hukum, di samping terpenuhinya rasa<br />

keadilan dan kemanfaatan. Terkait tindakan kekerasan seksual terhadap<br />

anak UUD 1945 pada pasal 28B ayat (2) telah menyatakan bahwa setiap<br />

anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta<br />

berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Kemudian<br />

juga telah dibentuk peraturan-peraturan khusus yang mengatur tentang<br />

anak dari berbagai aspek, yang merupakan lex specialis dari KUHP<br />

seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan<br />

Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemberantasan<br />

Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan Undang-Undang Nomor 13<br />

Tahun 2006 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.<br />

Menyikapi permasalahan-permasalahan yang muncul seputar<br />

anak dan perlindungannya terhadap kekerasan seksual, maka perlu<br />

kiranya untuk mengetahui dan membahas mengenai kekerasan seksual<br />

terhadap anak tersebut dari aspek regulasinya secara lebih dalam<br />

makalah yang berjudul “Tinjauan Hukum Materiil Mengenai Kekerasan<br />

Seksual Terhadap Anak Di Indonesia”.<br />

B. Landasan Teori<br />

1. Kekerasan dan Kekerasan Seksual<br />

Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku,<br />

baik yang terbuka (overt) atau tertutup (covert), dan baik yang bersifat<br />

menyerang (offensive) atau bertahan (deffensive), yang disertai<br />

penggunaan kekuatan kepada orang lain. 4 Pengertian kekerasan tedapat<br />

dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan<br />

Tindak Pidana Perdagangan Orang, yaitu terdapat didalam pasal 1<br />

angka 11 yang berbunyi sebagai berikut:<br />

“Kekerasan adalah setiap perbuatan secara melawan hukum,<br />

dengan atau tanpa menggunakan sarana terhadap fisik dan psikis<br />

yang menimbulkan bahaya bagi nyawa, badan, atau menimbulkan<br />

terampasnya kemerdekaan seseorang.”<br />

Kemudian disebutkan pula di dalam penjelasan pasal 13<br />

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak<br />

bahwa perlakuan kekerasan dan penganiayaan, misalnya perbuatan<br />

melukai dan/atau mencederai anak, dan tidak semata-mata fisik, tetapi<br />

juga mental dan sosial. Kekerasan seksual sebagai salah satu bentuk<br />

kekerasan adalah setiap penyerangan yang bersifat seksual baik telah<br />

terjadi persetubuhan ataupun tidak, dan tanpa memperdulikan hubungan<br />

4 Thomas Santoso, Teori-Teori Kekerasan, (2002), hlm. 11.<br />

28


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

antara pelaku dengan korban. 5 Ada 15 jenis kekerasan seksual yang<br />

ditemukan Komnas Perempuan dari hasil pemantauannya selama 15<br />

tahun (1998 –2013), yaitu: 6 perkosaan, intimidasi seksual termasuk<br />

ancaman atau percobaan perkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi<br />

seksual , perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, prostitusi paksa,<br />

perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung,<br />

pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi dan<br />

sterilisasi, penyiksaan seksual, penghukuman tidak manusiawi dan<br />

bernuansa seksual, praktik tradisi bernuansa seksual yang<br />

membahayakan atau mendiskriminasi perempuan, kontrol sosial,<br />

termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.<br />

2. Anak dan Hak-hak Anak<br />

Mengacu pada konvensi PBB tentang Hak Anak (Convention n<br />

the Right Of The Child), maka definisi anak berarti setiap manusia<br />

dibawah umur 18 tahun, kecuali menurut undang-undang yang berlaku<br />

pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal. 7 Konvensi Hak Anak<br />

(Convention on the Rights of the Child) telah disahkan oleh Majelis<br />

Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 20 November<br />

1989, dan mulai mempunyai kekuatan memaksa (entered in to force)<br />

pada tanggal 2 September 1990. 8 Konvensi Hak Anak ini merupakan<br />

sebuah perjanjian internasional mengenai hak-hak serta perlindungan<br />

terhadap anak.<br />

Didalam Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the<br />

Child) yang keseluruhannya terdiri dari 54 (lima puluh empat) pasal,<br />

mengelompokkan 4 (empat) kategori hak-hak anak, yaitu: 9<br />

1) Hak terhadap Kelangsungan Hidup (survival rights)<br />

2) Hak terhadap Perlindungan (protection rights<br />

3) Hak untuk Tumbuh Kembang (development rights)<br />

4) Hak untuk Berpartisipasi (participation rights)<br />

Indonesia sebagai salah satu negara anggota PBB telah<br />

meratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Keppres Nomor 36 Tahun<br />

1990, sehingga Indonesia telah mengikat diri untuk melaksanakan<br />

5<br />

Pengertian Umum Tentang Kekerasan, diakses dari<br />

http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/s1hukum08/204711012/bab2.pdf pada<br />

tanggal 6 Oktober 2014.<br />

6<br />

Komnas Perempuan, 15 Jenis Kekerasan Seksual, diakses dari<br />

htp://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2013/12/15-Jenis-<br />

Kekerasan-Seksual_2013.pdf pada tanggal 6Oktober 2014.<br />

7 M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, (2013), hlm. 10.<br />

8<br />

Muhammad Joni dan Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum<br />

Perlindungan Anak Dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, (1999), hlm. 29.<br />

9 Ibid, hlm. 35.<br />

29


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

konvensi tersebut. Selain itu, sebagai bentuk keseriusan pemerintah<br />

dalam memberikan perlindungan terhadap anak, dibentuklah undangundang<br />

khusus mengenai perlindungan anak, yaitu Undang-undang<br />

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Didalam UU<br />

Perlindungan Anak tersebut juga disebutkan hak-hak serta perlindungan<br />

terhadap anak, dengan tidak terlepas pada prinsip-prinsip perlindungan<br />

anak, yaitu nondiskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak<br />

untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan, dan penghargaan<br />

terhadap pendapat anak.<br />

UU Perlindungan Anak juga menyertakan ketentuan pidana<br />

bagi yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak anak. Ketentuan<br />

pidana tersebut tentunya tetap berdasarkan asas legalitas. Asas legalitas<br />

dalam hukum positif Indonesia terdapat dalam pasal 1 ayat KUHP yang<br />

berbunyi sebagai berikut:<br />

“(1)Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan<br />

pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan<br />

dilakukan.” Asas legalitas ini kemudian yang menjadi suatu “hoeksteen”<br />

(poros di ujung) 10 dalam hukum pidana. Dengan perkataan lain, tidak<br />

boleh terjadi suatu perbuatan yang semula belum diterapkan bahwa<br />

pelakunya dapat dipidana, karena dirasakan oleh penguasa sangat<br />

merugikan, lalu dibuatkan peraturan dan pelakunya dapat dijerat dengan<br />

peraturan tersebut, walaupun peraturannya telah lewat, atau boleh<br />

dikatakan bahwa perundang-undangan pidana tidak boleh berlaku surut.<br />

Selain diatur didalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002<br />

tentang Perlindungan Anak, terdapat pengaturan khusus lainnya<br />

mengenai perlindungan anak yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun<br />

2004 tentang Pemberantasan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan<br />

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak<br />

Pidana Perdagangan Orang.<br />

3. Hasil Riset<br />

Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat<br />

laporan tindak kekerasan anak yang terjadi pada tahun 2014 mulai<br />

Januari-April 2014, terdapat 342 kasus. Dari angka tersebut, banyak<br />

kasus terjadi di lingkungan sekolah. Ketua Komnas PA, Arist Merdeka<br />

Sirait menjelaskan pada tahun 2013 Komnas PA mencatat sebanyak<br />

3.339 kasus kekerasan anak, 58 persen dari laporan tersebut merupakan<br />

kejahatan seksual. Dirinya memprediksi untuk tahun 2014 tingkat<br />

kejahatan seksual akan meningkat. 15 Tampaknya prediksi sebagaimana<br />

yang dikemukakan Arist menjadi kenyataan mengingat kasus kekerasan<br />

seksual terus mengalami peningkatan tiap tahunnya. Pada tahun 2011,<br />

10 Utrecht, E. Djindang, dan Moh. Saleh, Pengantar Dalam Hukum<br />

Indonesia, (1989),hlm. 388.<br />

30


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

ada 2.509 kasus, 62 persen merupakan kekerasan seksual dan sisanya<br />

kekerasan terhadap fisik hingga mengakibatkan meninggal. Sementara<br />

2012, dalam 1 semester ada 1.876 kasus, ada 68 persen kekerasan<br />

seksual dan sisanya kekerasan fisik. 11 Selain itu, data POLRI 2014<br />

mencatat ada 697 kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di<br />

separuh tahun 2104. Dari jumlah itu, sudah 726 orang yang ditangkap<br />

dengan jumlah korban mencapai 859 orang. Sedangkan data KPAI dari<br />

bulan Januari hingga April 2014, terdapat 622 laporan kasus kekerasan<br />

terhadap anak. 12<br />

Berdasarkan data-data tersebut diatas terlihat bahwa tindak<br />

kekerasan seksual terhadap anak mengalami peningkatan. Hukum<br />

positif Indonesia pun telah memberikan pengaturan yang cukup bagus<br />

terkait dengan tindak kekerasan seksual terhadap anak, yaitu terdapat<br />

didalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan<br />

Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemberantasan<br />

Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan Undang-Undang Nomor 21<br />

Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang,<br />

namun masih terdapat beberapa kekurangan didalamnya. Berdasarkan<br />

analisis penulis, ternyata pengaturan khusus tersebut masih masih<br />

terdapat kekurangan terkait dengan tindak kekerasan seksual terhadap<br />

anak. Kekurangan tersebut antara lain tidak adanya definisi khusus<br />

kekerasan seksual serta kriteria perbuatan yang terkategori sebagai<br />

kekerasan seksual terhadap anak, serta adanya ketidaksesuaian ancaman<br />

pidana terhadap jenis tindak kekerasan seksual terhadap anak. Dengan<br />

demikian terlihat bahwa pengaturan khusus mengenai kekerasan seksual<br />

terhadap anak perlu dikaji ulang mengingat masih terdapat kekurangankekurangan<br />

dalam pengaturan khusus tersebut.<br />

C. Pengaturan Mengenai Kekerasan Seksual terhadap Anak<br />

Ditinjau dari Hukum Positif Indonesia<br />

Sebagaimana diketahui, KUHP tidak mengenal istilah<br />

kekerasan seksual dalam pasal-pasalnya, baik terhadap anak maupun<br />

terhadap orang dewasa. KUHP meletakkan pengaturan mengenai halhal<br />

tersebut pada Bab XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan.<br />

Khusus tindak kejahatan kesusilaan terhadap anak diatur pada Pasal<br />

287, 290 angka 2 dan 3, 292, 293, 294, dan 295. Namun, dari sederet<br />

pasal-pasal tersebut, tidak ditemui bentuk kejahatan kesusilaan lain<br />

11<br />

Arif Bambani Amri dan Siti Ruqoyah,Komnas PA: Angka<br />

Kekerasan Seksual Anak Meningkat, diakses dari<br />

http://www.m.news.viva.co.id/news/read/371471-komnas-pa--angkakekerasanseksual-anak-meningkat<br />

pada tanggal 7 Oktober 2014.<br />

12 Arbi, Indonesia Darurat Kejahatan Seksual Anak, diakses dari<br />

http://www.harianterbit.com/read/2014/08/15/6687/29/18/Indonesia-Darurat-<br />

Kejahatan-Seksual-Anak. pada tanggal 9Oktober 2014.<br />

31


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

kecuali perkosaan dan pencabulan. Dengan kata lain, KUHP<br />

mengkategorikan kejahatan terhadap kesusilaan hanya terbatas pada<br />

tindak perkosaan dan pencabulan saja yang pengertian dan<br />

penjelasannya pun sangat terbatas. Berangkat dari permasalahan<br />

tersebut, maka dibentuklah peraturanperaturan lain di luar KUHP yang<br />

secara khusus untuk menutupi kekurangankekurangan yang terdapat<br />

pada KUHP dan turut menjadi payung hukum terkait perkembangan<br />

tindak kekerasan seksual terhadap anak yang belum terakomodir di<br />

dalam KUHP. Peraturan-peraturan tersebut antara lain:<br />

a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan<br />

Anak<br />

Bentuk perlindungan terhadap anak dari kekerasan dituangkan<br />

dalam komitmen perlindungan sebagaimana ditegaskan padapasal<br />

59 yang menyatakan bahwa:<br />

“Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan<br />

bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada<br />

anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum,<br />

anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi<br />

secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak<br />

yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol,<br />

psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban<br />

penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan<br />

baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak<br />

korban perlakuan salah dan penelantaran.”<br />

Pasal tersebut mempunyai arti bahwa pemerintah dan lembaga<br />

lainnya mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan<br />

khusus terhadap anak dalam kondisi tertentu, salah satunya terhadap<br />

anak yang berhadapan dengan hukum.Anak yang berhadapan<br />

dengan hukum ini meliputi anak yang berkonflik dengan hukum<br />

dan anak korban tindak pidana. Terhadap anak korban tindak<br />

pidana, termasuk anak korban tindak pidana kekerasan seksual<br />

dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 69 ayat yang berbunyi:<br />

(1) Perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan<br />

sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 meliputi<br />

kekerasan fisik, psikis, dan seksual dilakukan melalui<br />

upaya:<br />

a. penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan<br />

perundang-undangan yang melindungi anak korban<br />

tindak kekerasan; dan<br />

b. pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi.<br />

(2) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan,<br />

melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta<br />

melakukan kekerasan sebagaimana dimaksud dalam ayat<br />

(1)”<br />

32


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Pasal tersebut mengkategorikan kekerasan sebagaimana menjadi 3<br />

(tiga) macam, yaitu kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Kemudian<br />

pasal tersebut juga mencantumkan upaya yang dilakukan terhadap<br />

anak korban kekerasan serta memberikan larangan untuk<br />

membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta<br />

melakukan kekerasan.<br />

Selain memberikan kewajiban dan tanggung jawab kepada<br />

pemerintah, undang-undang ini juga memberikan hak kepada anak<br />

untuk mendapatkan perlindungan dari orang tua, wali, atau pihak<br />

lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhannya,<br />

termasuk perlindungan dari kekerasan seksual sebagaimana yang<br />

tercantum dalam pasal 13 ayat (1).<br />

b) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan<br />

Kekerasan Dalam Rumah Tangga<br />

Pada UU ini pengaturan mengenai kekerasan seksual terhadap anak<br />

tidak seluas pengaturan kekerasan seksual terhadap anak yang<br />

terdapat pada UU Perlindungan Anak. Hal itu karena undangundang<br />

ini hanya terbatas dalam lingkup rumah tangga. Namun,<br />

walaupun demikian pengaturan mengenai kekerasan seksual pada<br />

undang-undang ini begitu tegas dituangkan dalam pasal-pasalnya.<br />

Seperti pada pasal 5 yang berbunyi:<br />

“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah<br />

tangga terhadap orangdalam lingkup rumah tangganya,<br />

dengan cara:<br />

a. kekerasan fisik;<br />

b. kekerasan psikis;<br />

c. kekerasan seksual; atau<br />

d. penelantaran rumah tangga”<br />

Pasal inimemberikan larangan kepada setiap orang untuk<br />

melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam<br />

lingkup rumah tangganya, dengan cara kekerasan fisik, kekerasan<br />

psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga.<br />

Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 tersebut<br />

juga termasuk kekerasan seksual terhadap anak. Pengaturan<br />

mengenai kekerasan seksual tersebut juga dijelaskan kembali pada<br />

pasal 8 yang mengatur lebih lanjut mengenai hal-hal yang<br />

terkategori sebagai kekerasan seksual dalam undang-undang ini,<br />

yaitu pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang<br />

yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut dan pemaksaan<br />

hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah<br />

tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan<br />

33


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

tertentu.Selain itu, pada bagian penjelasan pasal 8 tersebut<br />

disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kekerasan seksual adalah<br />

setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual,<br />

pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau<br />

tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain<br />

untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.<br />

c) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan<br />

Tindak Pidana Perdagangan Orang<br />

Berbeda dengan peraturan-peraturan khusus sebelumnya, UU<br />

Perdagangan Orang tidak mengenal istilah kekerasan seksual secara<br />

eksplisit dalam pasal-pasalnya. Namun pada UU ini ditemui istilah<br />

eksploitasi seksual yang dijelaskan pada pasal 1 angka 8 yang<br />

berbunyi sebagai berikut: “Eksploitasi seksual adalah segala<br />

bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain<br />

dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak<br />

terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan.”<br />

Meskipun tidak menggunakan istilah kekerasan seksual tetapi<br />

istilah eksploitasi seksual dalam UU ini telah merujuk kepada<br />

maksud dari istilah kekerasan seksual, kekerasan seksual yang<br />

dimaksud dalam UU ini tidak hanya terbatas pada perkosaan dan<br />

pencabulan saja, diman hal tersebut dapat terlihat dari penggunaaan<br />

frasa “tidak terbatas pada” dan frasa “segala bentuk pemanfaatan<br />

organ tubuh seksual atau organ tubuh lain” pada istilah eksploitasi<br />

seksual dari ketentuan pasal 1 butir 7 dan 8 tersebut.<br />

Didalam undang-undang ini mengatur mengatur mengenai<br />

kekerasan seksual, termasuk kekerasan seksual terhadap anak<br />

melalui pasal 12 yang menyatakan bahwa:<br />

“Setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban<br />

tindak pidana perdagangan orang dengan cara melakukan<br />

persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban tindak<br />

pidana perdagangan orang, mempekerjakan korban tindak pidana<br />

perdagangan orang untuk meneruskan praktik eksploitasi, atau<br />

mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan<br />

orang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud<br />

dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.”<br />

Inti dari pasal tersebut ialah adanya sanksi pidana bagi setiap orang<br />

yang memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang,<br />

termasuk anak sebagai korban. Pasal tersebut juga menyebutkan<br />

perbuatan yang termasuk kedalam tindak kekerasan seksual, yaitu<br />

melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul.Kemudiandidalam<br />

pasal 17 disebutkan pula adanya penambahan 1/3 (sepertiga)<br />

ancaman pidana terhadap pasal 2, pasal 3, dan pasal 4. Penambahan<br />

34


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

1/3 (sepertiga) tersebut dilakukan apabila perbuatan sebagaimana<br />

yang disebutkan dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 dilakukan<br />

terhadap anak.<br />

D. Kekurangan yang Terdapat dalam Pengaturan Mengenai<br />

Kekerasan Seksual terhadap Anak di Indonesia<br />

a) Penggunaan istilah kekerasan seksual tidak diikuti oleh penjelasan<br />

mengenai kriteria-kriteria perbuatan yang terkategori sebagai<br />

kekerasan seksual terhadap anak:<br />

Pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang<br />

Perlindungan Anak, tidak disebutkan definisi kekerasan<br />

seksual. Dalam undang-undang tersebut hanya mencantumkan<br />

perbuatan yang masuk kategori kekerasan seksual, yaitu<br />

persetubuhan dengan anak sebagaimana diatur dalam pasal 81<br />

UU Perlindungan Anak.Perbuatan-perbuatan lainnya seperti<br />

tindakan mengeksploitasi anak secara ekonomi dan/atau seksual<br />

tidak secara eksplisit dikatakan sebagai kekerasan seksual.<br />

Begitu pula tindakan pelecehan atau perbuatan tidak senonoh<br />

kepada anak juga bukan merupakan bagian dari kekerasan<br />

seksual karena tindakan pelecehan atau perbuatan tidak senonoh<br />

kepada anak termasuk dalam pengertian frasa “perlakuan salah”<br />

yang juga terpisah dari frasa “anak korban kekerasan baik fisik<br />

dan/atau mental”, seperti yang dijelaskan pada bagian<br />

penjelasan pasal 13 ayat (1) huruf f berikut ini: “Perlakuan<br />

salah lainnya, misalnya tindakan pelecehan atau perbuatan<br />

tidak senonoh kepada anak.”<br />

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan<br />

Kekerasan Dalam Rumah Tanggalebih terspesifikasi. Pada<br />

pasal 8 UU KDRT terdapat penjelasan mengenai pengertian<br />

kekerasan seksual beserta pengelompokan tindakan yang masuk<br />

kriteria kekerasan seksual, namun ruang lingkup keberlakuan<br />

kekerasan seksual terhadap anak dalam UU KDRT sangat<br />

sempit karena hanya terbatas dalam lingkup rumah tangga saja.<br />

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan<br />

Tindak Pidana Perdagangan Orangmemang tidak mengenal<br />

istilah kekerasan seksual tetapi terdapat istilah seperti<br />

eksploitasi dan eksploitasi seksual yang maknanya merujuk<br />

pada kekerasan seksual.<br />

b)Ketidaksesuaian ancaman pidana dengan delik kekerasan seksual<br />

terhadap anak<br />

<br />

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan<br />

Anak pada pasal 88 disebutkan bahwa: “Setiap orang yang<br />

mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud<br />

untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana<br />

dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun<br />

35


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

<br />

<br />

<br />

dan/atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus<br />

juta rupiah).”<br />

Jika pasal tersebut dibandingkan dengan pasal-pasal lain pada<br />

UU Perlindungan Anak seperti pasal 81, pasal 82, pasal 83, dan<br />

pasal 84 yang masing-masing mengatur perbuatan yang berbeda<br />

maka akan didapati perbedaan pada ancaman pidananya.<br />

Ancaman pidana pada pasal 81, 82, 83, dan 84 yaitu pidana<br />

penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3<br />

(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga<br />

ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp60.000.000,00 (enam<br />

puluh juta rupiah). Sedangkan ancaman pidana pada pasal 88<br />

eksploitasi anak secara seksual hanya pidana penjara paling<br />

lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak<br />

Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) tanpa terdapat batasan<br />

pidana minimum seperti pada pasal-pasal sebelumnya.<br />

Ancaman pidana sebagaimana yang disebutkan dalam pasal88<br />

tersebut dirasa tidak sesuai, karena frasa “eksploitasi anak<br />

secara seksual” memiliki cakupan yang lebih luas, namun<br />

ancaman yang diberikan justru lebih kecil.<br />

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan<br />

Kekerasan Dalam Rumah Tangga juga terdapat ketidaksesuaian<br />

ancaman pidana, yaitu pada pasal 46 dan pasal 47. Pasal 46<br />

tidak mencantumkan pidana minimum, sedangkan di pasal 47<br />

dicantumkan pidana minimum.<br />

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan<br />

Tindak Pidana Perdagangan Orangmenganggap tindakan<br />

mengeksploitasi anak secara seksual lebih ringan tingkat<br />

kejahatannya daripada persetubuhan, pencabulan, perdagangan,<br />

atau tindakan translpantasi organ terhadap anak.<br />

E. Solusi<br />

Berdasarkan uraian di atas telah diketahui bahwa terdapat<br />

permasalahan dalam pengaturan khusus mengenai kekerasan seksual<br />

terhadap anak di Indonesia sehingga mengakibatkan pengaturan<br />

mengenai kekerasan seksual. Oleh karena itu, perbaikan ulang terhadap<br />

pengaturan khusus terkait kekerasan seksual terhadap anak tersebut<br />

sangat penting untuk segera dilakukan. Berikut formulasi perbaikan<br />

tersebut:<br />

1. Merumuskan definisi kekerasan seksual dan kriteria-keriteria<br />

perbuatan yang termasuk sebagai tindak kekerasan seksual secara<br />

ekplisit dan terstruktur pada setiap pengaturan khusus yang terkait<br />

dengan kekerasan seksual. Misalnya memasukan tindakan<br />

eksploitasi anak secara ekonomi dan/atau seksual dan tindakan<br />

pelecehan atau perbuatan tidak senonoh kepada anak ke dalam<br />

36


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

pengertian dan kriteria kekerasan seksual pada UU Perlindungan<br />

Anak;.<br />

2. Menyelaraskan ancaman pidana dengan tingkat kekerasan seksual<br />

yang dilakukan. Misalnya ancaman pidana terhadap tindakan<br />

mengeksploitasi anak secara ekonomi dan/atau seksual seperti pada<br />

pasal 88 UU tentang Perlindungan Anak harus memuat ancaman<br />

pidana yang lebih berat daripada ancaman pidana terhadap tindak<br />

kekerasan seksual yang lainnya, seperti persetubuhan, pencabulan,<br />

dan sebagainya, serta harus memiliki pidana minimum di atas pidana<br />

minimum kekerasan seksual yang lainnya.<br />

F. Kesimpulan dan Saran<br />

Tindak kekerasan seksual terhadap anak telah cukup baik diatur<br />

dalam hukum positif Indonesia.Peraturan-peraturan khusus yang<br />

mengatur tentang kekerasan seksual terhadap anak, seperti Undang-<br />

Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-<br />

Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemberantasan Tindak Pidana<br />

Perdagangan Orang, dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006<br />

tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan<br />

bukti dari keseriusan Pemerintah terhadap tindak kekerasan seksual<br />

terhadap anak. Namun didalam pengaturan tersebut, masih terdapat<br />

beberapa kekurangan sehingga peraturan mengenai kekerasan seksual,<br />

terutama terhadap anak, menjadi bias dan tidak tegas. Kekurangankekurangan<br />

tersebut ialah sebagai berikut:<br />

1. Penggunaan istilah kekerasan seksual tidak diikuti oleh penjelasan<br />

mengenai kriteria-kriteria perbuatan yang terkategori sebagai<br />

kekerasan seksual terhadap anak;<br />

2. Ketidaksesuaian ancaman pidana dengan tingkat kekerasan seksual<br />

yang dilakukan terhadap anak.<br />

Berdasarkan hal tersebut, maka perlu adanya suatu formulasi<br />

perbaikan terhadap peraturan-peraturan yang mengatur tentang<br />

kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia. Berikut formulasi<br />

perbaikan tersebut :<br />

1. Merumuskan definisi kekerasan seksual terhadap anak secara<br />

ekplisit pada setiap peraturan yang terkait dengan kekerasan seksual<br />

terhadap anak;<br />

2. Merumuskan kriteria-keriteria perbuatan yang termasuk sebagai<br />

tindak kekerasan seksual terhadap anak secara jelas dan tegas, serta<br />

sistematis;<br />

3. Menyelaraskan ancaman pidana dengan tingkat kekerasan seksual<br />

yang dilakukan.<br />

Pengaturan mengenai kekerasan seksual terhadap anak di<br />

Indonesia ternyata belum mampu mengatur perihal kekerasan seksual<br />

37


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

terhadap anak secara menyeluruh.Masih terdapatnya kekurangankekurangan<br />

pada peraturan-peraturan khusus terkait kekerasan seksual<br />

terhadap anak menunjukkan bahwa peraturan-peraturan tersebut belum<br />

memberikan jaminan hukum secara maksimal kepada anak dari tindak<br />

kekerasan seksual yang terjadi. Sehingga dalam hal ini perlu adanya<br />

tindakan-tindakan nyata dari pembuat undang-undang dalam hal<br />

memperbaiki aturan-aturan terkait dengan kekerasan seksual terhadap<br />

anak.<br />

Selain itu, sangat perlu untuk terus mengkaji dan meninjau<br />

kembali peraturan-peraturan terkait kekerasan seksual terhadap anak di<br />

Indonesia agar kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangan yang<br />

terdapat pada peraturanperaturan tersebut dapat segera diketahui dan<br />

diantisipasi dengan tindakan-tindakan yang diperlukan agar jaminan<br />

hukum kepada anak dari tindakan kekerasan seksual tidak tergadaikan.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

E. Utrecht dan Moh. Saleh Djindang. 1989. Pengantar Dalam Hukum<br />

Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.<br />

Kitab Undang-undang Hukum PidanaIndonesia<br />

M. Nasir Djamil. 2013. Anak Bukan Untuk Dihukum. Jakarta: Sinar<br />

Grafika<br />

Muhammad Joni dan Zulchaina Z. Tanamas. 1999. Aspek<br />

HukumPerlindungan Anak Dalam Perspektif Konvensi Hak<br />

Anak.Bandung:Citra Aditya Bakti.<br />

Peter Mahmud M. 2010. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.<br />

Suratman,Philips Dillah. 2014. Metode Penelitian Hukum. Bandung:<br />

Alfabeta.<br />

Teguh Prasetyo. 2011. Hukum Pidana. Jakarta: Rajagrafindo Persada.<br />

Thomas Santoso. 2002. Teori-Teori Kekerasan. Jakarta: Ghalia<br />

Indonesia.<br />

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak<br />

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan<br />

Kekerasan Dalam Rumah Tangga<br />

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak<br />

Pidana Perdagangan Orang.<br />

38


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

http://www.harianterbit.com/read/2014/08/15/6687/29/18/Indonesia-<br />

DaruratKejahatan-Seksual-Anak.<br />

http://www.m.hukumonline.com/klinik/detail/lt51481064f40f/asaslegalitas,kebebasa-hakim-menafsirkan-hukum,-dan-kaidahyurisprudensi.<br />

http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2013/12/15-<br />

JenisKekerasan-Seksual_2013.pdf.<br />

http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/s1hukum08/204711012/bab2.pdf.<br />

http://www.m.news.viva.co.id/news/read/371471-komnaspa--angkakekerasan-seksual-anak-meningkat.<br />

http://www.tribunnews.com/nasional/2014/05/12/komnas-anak2014-<br />

kekerasan-seksual-paling-tinggi-terjadi-di-sekolah.<br />

39


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL<br />

TERHADAP PEREMPUAN<br />

Oleh: Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Sumatera Utara<br />

(Pemenang Kompetisi Penulisan Makalah Komisi 1)<br />

Abstrak<br />

Masalah tindak pidana perkosaan memiliki dimensi yang sangat luas<br />

tidak hanya terbatas pada persoalan hukum saja. Faktor kultur<br />

masyarakat menjadi determinan yang ikut menentukan perkembngan<br />

kekerasan seksual yang terjadi belakangan ini. Faktor kultural ini<br />

ternyata justru menjadi hambatan dalam penyelesaian hukum<br />

disamping karakteristik peristiwa perkosaan itu sendiri yang membuat<br />

ketentuan yuridis positif menjadi sangat terbatas untuk menjangkaunya.<br />

Melalui penelitian ini diharapkan bisa ditelaah secara kritis tinjauan<br />

hukum materiil tentang kekerasan seksual dan perkosaan dalam hukum<br />

pidana positif di Indonesia yaitu khususnya untuk implementasinya<br />

terhadap tindak pidana perkosaan. Apakah peraturan-peraturan hukum<br />

pidana dalam KUHP telah menjadi hukum yang baik yang mampu<br />

mewujudkan tujuan dan fungsinya untuk memberikan kedamaian dan<br />

mencari kebenaran serta keadilan? Konklusi dan solusi seperti apa<br />

yang bisa diajukan untuk mengatasi persoalan dalam tindak pidana<br />

perkosaan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut diharapkan akan terjawab<br />

melalui penelitian ini. Penelitian ini menggunakan metode penelitian<br />

hukum normatif dengan teknik pendekatan (analisis) kualitatif.<br />

Meskipun berpijak pada wilayah hukum yang normatif namun segi-segi<br />

yuridis sosiologis dan yuridis filosofis turut dipergunakan untuk<br />

mendukung dan memperluas serta memperdalam pembahasan yang<br />

dilakukan.<br />

A. Latar Belakang<br />

Kekerasan merupakan isu utama di seluruh dunia, baik di<br />

negara maju maupun di negara berkembang seperti Indonesia. Bisa<br />

dikatakan kekerasan seksual mengalami perkembangan yang terus<br />

meningkat dari tahun ke tahun. Perbincangan tentang kekerasan pada<br />

anak dan perempuan telah berkembang dan tidak hanya menjadi suatu<br />

pertukaran argumen belaka namun menjadi suatu gerakan sosial.<br />

Permulaan Penelitian ini menunjukkan bahwa anak dan perempuan<br />

masih dijadikan sasaran utama untuk tindak kejahatan.<br />

Berdasarkan fakta-fakta yang dihimpun penulis dari berbagai<br />

sumber, terbukti bahwa kasus kekerasan pada anak dan perempuan di<br />

Indonesia kini mengalami peningkatan. Terhitung sejak tahun 2010<br />

hingga saat ini di Sumatera Utara khususnya, kasus kekerasan terhadap<br />

40


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

anak di Sumatera Utara pada 2013 yang mencapai 12.679 kasus yang<br />

terjadi di 23 kabupaten dan kota. Dari jumlah tersebut, sebanyak 7.335<br />

kasus atau 52 persen adalah praktik kejahatan seksual terhadap anak.<br />

Hal ini telah menjadi isu sentral oleh masyarakat untuk dicegah dan<br />

ditanggulangi. Ada beberapa sebab yang berkaitan dengan hal ini,<br />

diantaranya:<br />

1. Persoalan hak asasi manusia masih dianggap hanya sebagai<br />

persoalan sosial. Sehingga kekerasan terhadap anak dan<br />

perempuan yang dilakukan tidak dianggap sebagai pelanggaran<br />

hak asasi manusia.<br />

2. Persepsi masyarakat tidak terkecuali masyarakat perempuan<br />

sendiri, tentang kekerasan terhadap perempuan masih terbatas pada<br />

kekerasan fisik (perkosaan).<br />

3. Kekerasan terhadap perempuan masih dilihat sebagai masalah<br />

antarindividu dan belum dipandang sebagai masalah yang<br />

berkaitan dengan segala bentuk penyiksaan, kekerasan, kekejaman,<br />

dan pengabaian hak-hak anak dan perempuan sebagai makhluk<br />

Tuhan.<br />

4. Ada gejala sinisme yang berbahaya pada sebagian masyarakat<br />

bahwa kekerasan terhadap perempuan dilihat sebagai sebab yang<br />

dimunculkan oleh perempuan itu sendiri.<br />

B. Pengertian Tindak Kekerasan Seksual<br />

Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa<br />

pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan atau tidak<br />

disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan<br />

komersil dan atau tujuan tertentu.<br />

Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan<br />

salah. Menurut WHO, kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan<br />

kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan<br />

atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau<br />

kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian<br />

psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak. 1<br />

Tindakan kekerasan seksual atau persetubuhan yaitu<br />

memasukkan kemaluan si pria ke dalam kemaluan si wanita sedemikian<br />

rupa yang normaliter atau yang dapat mengakibatkan kehamilan.<br />

Kekerasan seksual (sexual abuse) merupakan jenis<br />

penganiayaan yang biasanya dibagi dalam 2 (dua) kategori berdasarkan<br />

identitas pelaku, yaitu:<br />

1 Samituti S dan Bangong Suyanto, dkk, Anak Jalanan di Jawa Timur<br />

(Masalah dan Upaya Penanganannya), (Surabaya: Airlangga University<br />

Press, 1999).<br />

41


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

1. Familial Abuse<br />

Familial Abuse merupakan sexual abuse yang masih dalam<br />

hubungan darah dan juga menjadi bagian dalam keluarga inti.<br />

Seseorang yang menjadi pengganti orang tua, misalnya ayah tiri<br />

atau kekasih, termasuk dalam pengertian incest.<br />

2. Extrafamilial Abuse<br />

Extrafamilial Abuse adalah kekerasan yang dilakukan oleh orang<br />

lain di luar keluarga korban. Kekerasan seksual yang dilakukan oleh<br />

orang dewasa disebut pedophile, yang menjadi korban utamanya<br />

adalah anak-anak.<br />

Kejahatan kekerasan termasuk salah satu dari 4 pola<br />

kejahatan (kejahatan kekerasan, ekonomi, seksual, dan politik).<br />

Kejahatan kekerasan terdiri dari keselamatan jiwa, penganiayaan,<br />

penculikan dan pembunuhan. 2<br />

C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tindak Kekerasan Seksual<br />

Dalam setiap tindak kejahatan tidak terlepas dari faktor-faktor<br />

pendorong serta latar belakang terjadinya sebuah tindak kejahatan,<br />

maka pada kasus kekerasan seksual di Indonesia juga terdapat beberapa<br />

faktor yang menjadi alasan terjadinya tindak kekerasan seksual<br />

diantaranya: 3<br />

1. Faktor Sosial<br />

Perihal yang mempengaruhi terjadinya tindak kekerasan seksual<br />

adalah pergeseran nilai-nilai sosial dimasyarakat. Nilai-nilai etika<br />

dan moral yang sebelumnya dipegang masyarakat sudah tidak lagi<br />

dianggap. Dengan demikian, tidak ada lagi patokan-patokan yang<br />

menentukan suatu hal boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan,<br />

patokan baik dan buruk di kalangan masyarakat menyebabkan<br />

setiap orang saling tidak peduli terhadap perbuatan orang lain.<br />

2. Faktor Pendidikan<br />

Minimnya tingkat pendidikan seseorang dapat mempengaruhi<br />

mindset seseorang untuk melakukan suatu tindak kejahatan,<br />

termasuk dalam hal ini adalah tindak kekerasan seksual.<br />

3. Faktor Lingkungan<br />

Lingkungan sebagai faktor terpenting dan mendasar dari kehidupan<br />

manusia yang berperan besar dalam pembentukan karakter<br />

seseorang. Sehingga potensi seseorang dalam melakukan kekerasan<br />

seksual juga dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya.<br />

2 Dirjosisworo, dalam M. Hamdan, dkk,Persepsi Masyarakat Tentang<br />

Tindak Pidana Kesusilaan Dalam Rangka Perumusan Pasal Perzinahan<br />

Untuk Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, (1997), hlm. 9.<br />

3 A. Wahid dan M. Irfan, Perlindungan terhadap Korban Kekerasan<br />

Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan), (Malang: Refika Aditama,<br />

2001), hlm.70.<br />

42


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

4. Faktor Psikologis<br />

Psikologis seseorang dapat menjadi salah satu faktor terjadinya<br />

tindak kekerasan seksual. Dalam hal ini pengaruh ataupun kejadian<br />

yang pernah dialami oleh seorang korban pelecehan kekerasan<br />

seksual, berpotensi mempengaruhi psikologisnya sehingga<br />

melakukan hal yang serupa.<br />

5. Faktor Calon Korban<br />

Perlu diketahui bahwa yang mempengaruhi terjadinya suatu tindak<br />

kekerasan seksual, tidak hanya faktor-faktor pelaku kejahatan saja,<br />

akan tetapi faktor calon korban kekerasan seksual juga<br />

mempengaruhi terjadinya suatu tindak kejahatan, karena setiap<br />

perbuatan manusia adalah suatu hasil interaksi akibat adanya<br />

interelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi.<br />

D. Tinjauan Umum Mengenai Pencabulan<br />

1. Berdasarkan KUHP<br />

KUHP Indonesia yang dijadikan acuan utama bagi kalangan<br />

praktisi hukum untuk menjaring pelaku kejahatan kekerasan seksual<br />

mengandung kekurangan secara substansial dalam hal melindungi<br />

korban kejahatan. Korban dalam sisi yuridis ini tidak mendapatkan<br />

perlindungan yang istimewa.<br />

Tindak pidana perkosaan dalam KUHP dapat dibedakan<br />

menjadi dua, yaitu tindak pidana perkosaan untuk bersetubuh yang<br />

diatur dalam pasal 285 dan tindak pidana perkosaan untuk berbuat cabul<br />

yang diatur dalam pasal 289.<br />

Pasal 285 KUHP berbunyi :<br />

“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan<br />

memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar<br />

perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan<br />

pidana penjara paling lama dua belas tahun”. 4<br />

2. Berdasarkan Konsep KUHP<br />

Konsep KUHP tidak lagi membedakan antara kejahatan<br />

kesusilaan dengan pelanggaran kesusilaan. Konsep KUHP<br />

mengelompokkan tindak pidana kesusilaan menjadi satu dengan judul<br />

“Tindak Pidana terhadap Perbuatan Melanggar Kesusilaan”.<br />

Perkosaan tidak lagi dilihat sebagai persoalan moral sematamata<br />

(moral offence). Di dalamnya juga mencakup masalah anger and<br />

violence, yang dianggap merupakan pelanggaran dan pengingkaran<br />

terhadap hak-hak asasi manusia, khususnya hak wanita.<br />

4 R. Soenarto Soerocibroto, KUHP dan KUHAP, Cet. 5, (Jakarta: Raja<br />

Grafindo Persada, 2003), pasal 285 KUHP.<br />

43


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Oleh sebab itu, pengertian perkosaan (modern) tidak lagi<br />

difokuskan pada pemaksaan dan hubungan seksual, tetapi diperluas<br />

sehingga mencakup beberapa hal, yaitu: 5<br />

a. Forcible rape, yakni persetubuhan yang bertentangan dengan<br />

kehendak wanita yang disetubuhi;<br />

b. Persetubuhan tanpa persetujuan wanita (wanita dalam keadaan tidak<br />

sadar);<br />

c. Persetubuhan dengan persetujuan wanita, tapi persetujuan itu<br />

dicapai melalui ancaman pembunuhan atau penganiayaan;<br />

d. Rape by fraud, persetubuhan yang terjadi karena wanita percaya<br />

bahwa laki-laki yang menyetubuhinya adalah suaminya, jadi disini<br />

ada unsur penipuan atau penyesatan;<br />

e. Statutory rape, yaitu persetubuhan dengan wanita berusia di bawah<br />

empat belas tahun meskipun atas dasar suka sama suka.<br />

Beberapa hal yang membedakan konsep tindak pidana<br />

perkosaan menurut konsep KUHP dengan KUHP yaitu:<br />

a. bahwa untuk adanya tindak pidana perkosaan tidak harus ada<br />

kekerasan, yang harus ada adalah adanya pertentangan kehendak<br />

(pasal 389 ayat (1) ke-1);<br />

b. tindak pidana perkosaan bisa juga terjadi dalam bentuk persetujuan<br />

persetubuhan dalam hal korban/wanitanya berusia di bawah empat<br />

belas tahun (pasal 389 ayat (1) ke-5);<br />

c. tindak pidana perkosaan (persetubuhan) tidak hanya berarti<br />

masuknya alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin perempuan<br />

tapi juga bisa berarti masuknya alat kelamin laki-laki ke dalam anus<br />

atau mulutnya perempuan;<br />

d. dan juga bisa berarti memasukkan suatu benda-benda seperti alat<br />

elektronik berbentuk kemaluan laki-laki atau alat-alat lainnya<br />

(bukan hanya alat kelamin) ke dalam vagina atau anus seorang<br />

perempuan.<br />

Konsep itu merupakan langkah maju dibandingkan keberadaan<br />

rumusan dalam Pasal-Pasal KUHP yang lama yang cenderung tidak bisa<br />

mengakomodasi perkembangan kehidupan bermasyarakat dan<br />

berbangsa. Kasus-kasus kejahatan kekerasan seksual yang modus<br />

operandinya kasar, keji, vulgar, dan sangat menjatuhkan martabat<br />

kemanusiaan dipersamakan dengan kejahatan kesusilaan pada<br />

umumnya.<br />

5<br />

Muladi, Memperketat Delik Susila, dalam Abdul Wahid dan<br />

Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual<br />

(Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan), (Bandung: Refika Aditama, 2001),<br />

hlm. 115.<br />

44


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

E. Bentuk-bentuk Kekerasan Seksual<br />

Adapun bentuk-bentuk kekerasan seksual yang telah<br />

diklasifikasikan sebagai berikut:<br />

1) Perkosaan, bisa dimaknai sebagai serangan dalam bentuk<br />

pemaksaan hubungan seksual. Dalam serangan seksual itu ada<br />

upaya paksa, kekerasan, tekanan psikologis, penyalahgunaan<br />

kekuasaan, atau mengambil kesempatan dari lingkungan yang<br />

penuh paksaan. Pencabulan sering diidentikkan dengan perkosaan<br />

dalam hukum Indonesia.<br />

2) Intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan. Di<br />

sini ada tindakan yang menyerang seksualitas untuk menimbulkan<br />

rasa takut atau penderitaan psikis pada korban. Bisa disampaikan<br />

langsung atau melalui pesan singkat. Ancaman atau percobaan<br />

perkosaan termasuk kategori ini.<br />

3) Pelecehan seksual adalah tindakan seksual lewat sentuhan fisik atau<br />

nonfisik dengan sasaran organ seksual korban. Komnas Perempuan<br />

memasukkan siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, dan<br />

menunjukkan materi pornografi ke dalam kategori ini.<br />

4) Eksploitasi seksual, yakni tindakan penyalahgunaan kekuasaan<br />

yang timpang atau penyalahgunaan kepercayaan, untuk tujuan<br />

kepuasaan seksual atau untuk memperoleh keuntungan. Bentuk<br />

yang kerap terjadi adalah menggunakan kemiskinan keluarga<br />

perempuan untuk memasukkannya ke dalam prostitusi atau bisnis<br />

pornografi.<br />

5) Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual meliputi tindakan<br />

merekrut, mengangkut, menampung, mengirim memindahkan atau<br />

menerima seseorang dengan paksaan atau rayuan untuk tujuan<br />

prostitusi atau ekspolitasi seksual lainnya.<br />

6) Prostitusi adalah situasi dimana korban mengalami tipu daya,<br />

ancaman, atau kekerasan untuk menjadi pekerja seks.<br />

7) Perbudakan seksual adalah situasi dimana pelaku merasa menjadi<br />

„pemilik‟ atas tubuh korban sehingga berhak untuk melakukan<br />

apapun termasuk memperoleh kepuasan seksual melalui<br />

pemerkosaan atau cara lain.<br />

8) Pemaksaan perkawinan, misalnya pernikahan dini atau pernikahan<br />

yang dipaksakan kepada orang yang belum dewasa karena di<br />

dalamnya akan ada pemaksaan seksual. Cerai gantung termasuk<br />

juga dalam kategori ini.<br />

9) Pemaksaan kehamila yaitu situasi ketika perempuan dipaksa untuk<br />

melanjutkan kehamilan yang tidak dia inginkan. Misalnya dialami<br />

oleh perempuan korban perkosaan.<br />

10) Pemaksaan aborsi yaitu pengguguran kandungan yang dilakukan<br />

karena adanya tekanan, ancaman atau paksaan dari pihak lain.<br />

45


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

11) Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi. Disebut pemaksaan ketika<br />

pemasangan alat kontrasepsi atau pelaksanaan sterilisasi tanpa<br />

persetujuan utuh dari pasangan, mungkin karena minim informasi<br />

atau karena belum cakap secara hukum untuk memberi persetujuan.<br />

Bisa menimpa perempuan yang terkena HIV/AIDS.<br />

12) Penyiksaan seksual adalah tindakan khusus menyerang organ atau<br />

seksualitas korban, yang dilakukan dengan sengaja sehingga<br />

menimbulkan rasa sakit atau penderitaan hebat.<br />

13) Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual. Masuk<br />

kategori kekerasan sesual karena cara menghukum yang<br />

menyebabkan penderitaan, kesakitan, ketakutan atau rasa malu yang<br />

luar biasa. Termasuk di dalamnya hukuman cambuk atau hukuman<br />

lain yang mempermalukan.<br />

14) Praktek tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau<br />

mendiskriminasi perempuan. Kebiasan masyarakat, kadang<br />

ditopang alasan agama dan tradisi, yang bernuansa seksual, yang<br />

dapat menimbulkan cedera fisik, psikologis atau seksual pada<br />

korban dimasukkan Komnas Perempuan sebagai salah satu bentuk<br />

kekerasan seksual.<br />

15) Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan<br />

moralitas dan agama. Pandangan yang menuduh perempuan sebagai<br />

penyebab kekerasan seksual menjadi landasan untuk mengendalikan<br />

seksual perempuan. 6<br />

F. Ranah Pelecehan Seksual<br />

a. Pelecehan Seksual di Ranah Personal<br />

1. Pelecehan seksual di dalam rumah merupakan segala<br />

bentuk pelecehan seksual yang terjadi diantara orang-orang<br />

yang tinggal di satu rumah.<br />

2. Pelecehan seksual dalam hubungan perkawinan atau<br />

pacaran adalah segala bentuk pelecehan seksual yang<br />

terjadi pada individu yang terikat dalam hubungan<br />

perkawinan atau pacaran. Bentuk-bentuk pelecehan seksual<br />

terhadap istri maupun pacar diantaranya:<br />

1) Pemaksaan melakukan hubungan seksual.<br />

2) Mengitimidasi fisik secara halus, misalnya mencubit<br />

perut istri karena terlihat gemuk.<br />

3) Pelecehan Seksual terhadap anak adalah segala bentuk<br />

hubungan atau interaksi antara anak dan orang dewasa<br />

(atau anak lainnya yang sebaya atau remaja) yang<br />

6<br />

Lima Belas Bentuk Kekerasan Seksual, diakses dari<br />

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5378ba7058483/lima-belasbentuk-kekerasan-seksual<br />

pada 20 Oktober 2014.<br />

46


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

menggunakan si anak untuk stimulasi seksual dari<br />

pelaku atau pengamat. Pelecehan seksual pada anak<br />

bisa melalui sentuhan maupun tanpa sentuhan.<br />

Bentuk-bentuk pelecehan seksual dengan sentuhan:<br />

a) Menyentuh penis, vagina, payudara atau pantat;<br />

b) Kontak oral genital;<br />

c) Melakukan hubungan seksual.<br />

Bentuk-bentuk pelecehan tanpa sentuhan:<br />

a) Mencoba untuk melihat tubuh anak yang telanjang;<br />

b) Melihat alat kelamin anak tanpa kontak fisik dengan<br />

maksud seksual;<br />

c) Menunjukkan alat kelamin pada anak atau gambar-gambar<br />

bernuansa seksual;<br />

d) Memamerkan organ seksual;<br />

e) Mengekspos anak untuk tujuan pornografi.<br />

Modus pelaku sering tidak menggunakan kekerasan<br />

fisik melainkan dengan cara mengajak bermain, pura-pura<br />

merawat anak, membelikan mainan sehingga anak merasa<br />

dekat dan mengatur kegiatan-kegiatan khusus sehingga bisa<br />

mempunyai waktu berdua dengan anak. Tetapi tidak jarang<br />

juga yang menggunakan kekerasan seperti ancaman dan<br />

pemaksaan.<br />

b. Pelecehan Seksual Di Ranah Publik<br />

1. Pelecehan seksual ditempat kerja bisa terjadi disemua<br />

tempat kerja, seperti di pabrik, kantor, perkebunan,<br />

pertambangan, baik itu perusahaan besar maupun kecil.<br />

Pelaku pelecehan seksual bisa siapa saja seperti manajer,<br />

pengawas, satpam, agen pemberi kerja atau teman sekerja,<br />

baik itu perempuan maupun laki-laki tanpa mengenal usia,<br />

agama, pendidikan, budaya, latar belakang maupun status<br />

sosial.<br />

Bentuk-bentuk pelecehan seksual yang paling umum terjadi<br />

ditempat kerja adalah sebagai berikut:<br />

a) Pegawai atau pekerja perempuan disentuh payudara<br />

atau pantatnya atau bagian tubuh lainnya.<br />

b) Saat wawancara ditanyakan berbagai pertanyaan<br />

tentang kehidupan seksual.<br />

c) Saat mengajukan cuti haid pegawai atau pekerja<br />

perempuan diperiksa.<br />

47


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

d) Ajakan untuk kencan atau aktivitas seksual oleh orang<br />

yang lebih tinggi jabatannya dengan janji memberikan<br />

jabatan atau posisi tertentu.<br />

2. Pelecehan Seksual di Sekolah<br />

Tidak sedikit kasus pelecehan seksual pada anak terjadi di<br />

sekolah dan itu mayoritas dilakukan oleh guru kepada<br />

muridnya. Menurut data yang dikeluarkan oleh Komisi<br />

Nasional Perlindungan Anak, di daerah Jakarta terhitung<br />

sejak Januari hingga Maret 2011 terdapat 57 kasus<br />

kekerasan seksual yang terjadi pada anak di sekolah, yang<br />

dialami oleh pelajar SD dan SMP, belum termasuk<br />

pelecehan seksual yang terjadi di sekolah-sekolah luar<br />

biasa.<br />

3. Pelecehan Seksual di Tempat Publik<br />

Seperti halnya di transportasi umum, taman dan jalan.<br />

Bentuk-bentuk pelecehan seksual yang umum terjadi di<br />

dalam transportasi umum seperti bis, KRL, dan mikrolet,<br />

antara lain adalah:<br />

a) Menggesekkan alat kelamin ke tubuh orang lain;<br />

b) Memegang dan meraba tubuh orang lain;<br />

c) Bentuk-bentuk pelecehan seksual yang umum terjadi di<br />

pasar, taman, jalan, terminal, dan tempat umum<br />

lainnya;<br />

d) Memperlihatkan alat kelamin, melakukan sentuhan<br />

atau gesekan seksual terhadap diri sendiri;<br />

e) Bersiul; dan<br />

f) Membuat ekspresi wajah seperti main mata, menjilat<br />

lidah atau melempar ciuman.<br />

G. Akibat dari Kekerasan Seksual<br />

Banyak akibat yang ditimbulkan oleh kekerasan seksual.<br />

Sebagai remaja yang masih berkembang, hal ini akan sangat membekas<br />

dan meninggalkan efek lama baik secara fisik ataupun mental. Angka<br />

bunuh diri pada wanita yang mengalami kekerasan seksual dari pria<br />

yang tinggal bersamanya, lima kali lebih besar dibandingkan dengan<br />

wanita yang tidak mengalami hal tersebut.<br />

Berbagai penyakit menular seksual dapat ditularkan melalui<br />

kekerasan seksual. Walaupun organ reproduksi remaja wanita sudah<br />

berkembang, kekerasan seksual yang dialami mulai dari manipulasi<br />

organ seksual sampai pemerkosaan dapat melukai organ reproduksi dan<br />

menimbulkan infeksi, penyakit organ reproduksi lainnya, kehamilan<br />

yang tidak diinginkan bahkan aborsi.<br />

Rasa takut dan malu korban akibat intimidasi dan budaya<br />

masyarakat menyebabkan tidak terdeteksinya penyakit dan kehamilan<br />

48


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

sehingga kadang ditemukan dalam keadaan lanjut. Masalah kesehatan<br />

mental yang dihadapi oleh remaja putri yang mengalami pelecehan dan<br />

kekerasan seksual bisa berupa depresi atau kecemasan yang<br />

berlangsung lama atau sindrom stress pasca trauma. Beberapa<br />

menunjukkan mekanisme mengingkari dengan beralih pada alkohol atau<br />

obat terlarang untuk menghilangkan rasa sakit. Kebanyakan dari mereka<br />

mengisolasi diri mereka dan menarik diri dari lingkungan.<br />

Di antara dampak sosial yang dialami korban adalah<br />

menurunnya prestasi sekolah atau kerja, lebih sering absen, tidak<br />

mengambil mata kuliah yang diajarkan dosen tertentu, mendapat balas<br />

dendam dari pelaku atau teman si pelaku, kehilangan kehidupan pribadi<br />

karena menjadi “yang bersalah”, menjadi objek pembicaraan,<br />

kehancuran karakter atau reputasi, kehilangan rasa percaya pada orang<br />

dengan tipe atau posisi yang serupa pelaku, kehilangan rasa percaya<br />

pada lingkungan yang serupa, mengalami stres luar biasa dalam berelasi<br />

dengan partner, dikucilkan, pindah universitas atau fakultas, kehilangan<br />

pekerjaan dan kesempatan mendapat referensi, dan kehilangan karir. Di<br />

samping itu juga terdapat dampak psikologis atau fisiologis, yaitu<br />

depresi, panik, kecemasan, gangguan tidur, penyalahan diri, kesulitan<br />

konsentrasi, sakit kepala, kehilangan motivasi, lupa waktu, merasa<br />

dikhianati, kemarahan, dan hingga pikiran untuk melakukan bunuh diri.<br />

H. Pengaturan Tindak Pidana Kekerasan Seksual Menurut<br />

Ketentuan Pengaturan Perundang-Undangan yang Berlaku Di<br />

Indonesia<br />

Sanksi pidana bagi pelaku pencabulan dan kekerasan seksual<br />

terhadap perempuan menurut KUHP ialah sebagai berikut :<br />

a. Pada pasal 285 KUHP yang berbunyi:<br />

“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa<br />

seorang wanita yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, diancam<br />

karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama<br />

dua belas tahun.” 7<br />

Dari pasal 285 KUHP di atas, pelaku kekerasan terhadap<br />

perempuan dapat diancam hukuman pidana penjara paling lama dua<br />

belas tahun, akan tetapi dalam pasal ini tidak menyebutkan kategori<br />

korban atau usia korban, hanya menyebutkan korbannya seorang<br />

wanita tanpa batas umur atau klasifikasi umur berarti seluruh<br />

klasifikasi umur termasuk lanjut usia maupun anak-anak dapat<br />

dikategorikan dalam pasal ini. Dalam hal pencabulan yang<br />

korbannya anak di bawah umur berarti dapat diatur dalam Pasal ini.<br />

b. Pasal 286 KUHP yang berbunyi:<br />

7 Ibid., pasal 285 KUHP.<br />

49


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

“Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita yang bukan<br />

istrinya, padahal diketahuinya bahwa wanita itu dalam keadaan<br />

pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling<br />

lama sembilan tahun.” 8<br />

Pengaturan pada pasal ini ialah apabila pelaku kekerasan terhadap<br />

perempuan melakukan pemenuhan hasrat seksualnya bukan dengan<br />

cara kekerasan atau ancaman kekerasan, melainkan dengan cara<br />

meminumkan suatu zat atau obat yang membuat korbannya pingsan<br />

atau tidak berdaya, pelaku dapat diancam dengan pidana penjara<br />

paling lama sembilan tahun.<br />

I. Perlindungan dan Pembinaan Korban Kekerasan Seksual<br />

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa korban<br />

perkosaan adalah seorang perempuan yang pada umumnya mempunyai<br />

sifat kejiwaan yang lemah. Pascakejahatan perkosaan yang menimpa<br />

dirinya telah menimbulkan berbagai tekanan baik yang terjadi secara<br />

langsung maupun tekanan dalam jangka panjang. Tekanan yang terjadi<br />

secara langsung merupakan reaksi paska perkosaan seperti perasaan<br />

malu, takut, kesakitan fisik dan tidak berdaya. Sedangkan tekanan<br />

jangka panjang yang jelas akan mempengaruhi masa depan mereka<br />

adalah gejala psikologis tertentu yang dirasakan korban sebagai suatu<br />

trauma yang memulihkan atau membangkitkan kepercayaan diri mereka<br />

dalam bersosialisasi dengan masyarakat.<br />

I.S. Susanto berpendapat, “Kejahatan kekerasan terhadap<br />

wanita, khususnya perkosaan di satu sisi dipandang sebagai kejahatan<br />

yang sangat merugikan dan mencemaskan, bukan saja wanita tetapi<br />

juga masyarakat dan kemanusiaan, namun di sisi lain terdapat realitas<br />

sosial-budaya yang justru “menyuburkan” perkosaan seperti mitosmitos<br />

yang berkaitan dengan jenis kelamin, “budaya diskriminatif”,<br />

“budaya tukang sulap”, budaya hukum yang “tidak adil.” 9<br />

Praktek peradilan di Indonesia belum sepenuhnya memberikan<br />

jaminan perlindungan hukum terhadap korbannya yaitu perempuan.<br />

Pada tahap pemeriksaan terhadap korban kejahatan seperti korban<br />

perkosaan dilakukan dengan tidak memperhatikan hak-hak asasi<br />

korban. Sedangkan pada tahap penjatuhan putusan hukum oleh hakim,<br />

korban kembali dikecewakan karena putusan yang dijatuhkan pada<br />

pelaku cukup ringan atau jauh dari memperhatikan hak-hak asasi<br />

perempuan.<br />

Di Indonesia, hingga saat ini perlindungan hukum dan<br />

pembinaan korban kekerasan seksual sangat disayangkan, karena masih<br />

hlm. 74.<br />

8 Ibid., pasal 286 KUHP.<br />

9 Susanto, I.S., Kriminologi, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2011),<br />

50


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

belum ditanggapi secara sungguh-sungguh bersama dan secara resmi<br />

terbuka.<br />

Penyelesaian permasalahan dan pelayanan terhadap para korban<br />

kekerasan seksual, sebagai suatu tindakan individu dipengaruhi oleh<br />

beberapa unsur struktur sosial tertentu dari suatu masyarakat tertentu.<br />

Beberapa unsur struktural sosial tersebut adalah sebagai berikut:<br />

a. Kepentingan (yang dapat menjadi motivasi);<br />

b. Lembaga sosial;<br />

c. Nilai-nilai sosial;<br />

d. Norma-norma;<br />

e. Status;<br />

f. Peran dan sebagainya.<br />

Nilai-nilai sosial dan norma yang berlaku sebagai aspek sosial<br />

budaya mempunyai pengaruh yang cukup banyak pada penyelesaian<br />

permasalahan dan pelayanan terhadap para korban perkosaan maupun<br />

para pelaksana perkosaan sebagai suatu tindakan individu. Misalnya:<br />

a. Tidak adanya keberatan pemerkosaan terhadap golongan lain,<br />

musuh. Dengan akibat terlantarnya korban perkosaan tersebut.<br />

b. Kesediaan jaksa memperjuangkan dan hakim memutuskan adanya<br />

ganti kerugian untuk pihak korban.<br />

c. Kesediaan anggota masyarakat dari berbagai lapisan masyarakat<br />

memperjuangkan jaminan untuk para korban kekerasan seksual<br />

dapat melaksanakan hak dan kewajiban demi menegakan keadilan<br />

dan pengembangan kesejahteraan dan sebagainya.<br />

Dengan demikian hal-hal negatif dibuang dan yang positif<br />

dikembangkan sebagai pendukung usaha-usaha pelayanan terhadap<br />

korban yang bersangkutan. Misalnya, mengenai gotong royong,<br />

tanggung jawab bersama masyarakat dan tanggung jawab individu yang<br />

positif. Maka akan dicegah penelantaran korban perkosaan. Terutama<br />

anak-anak yang tergolong pada golongan lemah mental, fisik, dan sosial<br />

yang tidak mampu melindungi dirinya sendiri.<br />

Masalah korban bukanlah masalah baru, hanya saja selama ini<br />

merupakan salah satu subjek yang paling diabaikan dalam studi<br />

mengenai kejahatan dan dalam pelaksanaan keadilan pidana. Hal ini<br />

juga merupakan gejala umum di negara-negara lain, baik di negara yang<br />

sudah berkembang dan yang sedang berkembang. Berhubung masalah<br />

korban ini diakui sebagai masalah universal kemanusiaan, maka antara<br />

lain telah diadakan kegiatan memperbincangkan bersama secara<br />

internasional pada simposium mengenai korban viktimologi di<br />

Yerusalem 1973 dalam First International Symposium on Victimologi.<br />

Selanjutnya diadakan pada tanggal 5-11 September 1976 di Boston<br />

Massachusette, Amerika. Bila kita ingin menanggapi suatu kejahatan,<br />

51


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

delikuensi dan deviasi menurut proporsi yang sebenarnya dengan<br />

meninjau secara dimensional, maka si korban tidak boleh diabaikan<br />

dalam terjadinya kejahatan, delinkuensi, dan deviasi.<br />

J. Kesimpulan dan Saran<br />

1. Dapat disimpulkan bahwa beberapa faktor yang dapat<br />

mempengaruhi terjadinya tindak pidana kekerasan seksual antara<br />

lain adalah faktor sosial, faktor pendidikan, faktor psikologi, faktor<br />

lingkungan, dan faktor calon korban.<br />

2. Adapun penerapan sanksi pidana pada kasus pencabulan dan<br />

kekerasan seksual adalah sebagai berikut:<br />

a. Pada pasal 285 disebutkan bahwa, pelaku kekerasan seksual<br />

terhadap perempuan dapat diancam maksimal dua belas tahun<br />

penjara.<br />

b. Pada pasal 286 disebutkan bahwa, pelaku pencabulan terhadap<br />

perempuan dapat diancam maksimal Sembilan tahun penjara.<br />

Saran penulis untuk mengurangi dan memberantas tindak<br />

pidana kekerasan seksual terhadap perempuan adalah sebagai<br />

berikut:<br />

1) Diperlukan kesadaran dan kerjasama dari berbagai elemen<br />

di masyarakat untuk turut memberikan nuansa pendidikan<br />

positif. Salah satu elemen tersebut adalah pihak pengelola<br />

stasiun TV. Banyak riset menyimpulkan bahwa pengaruh<br />

media (terutama TV) terhadap perilaku masyarakat cukup<br />

besar. Berbagai tayangan kriminal di berbagai satsiun TV<br />

tanpa kita sadari telah menampilkan potret-potret<br />

kekerasan yang tentu akan berpengaruh pada pembentuk<br />

mental. Selain itu, para pekerja sosial yang peduli dalam<br />

masalah kekerasan seksual dapat menyelenggarakan<br />

penggalangan kesadaran akan pentingnya mengetahui hakhak<br />

asasi wanita. Hal ini dapat dilakukan dengan<br />

melakukan penyuluhan mengenai kiat-kiat mencegah<br />

pelecehan seksual. Peran penyedia layanan kesehatan<br />

terutama dokter sangat penting dan juga peran pemerintah<br />

dalam memberikan rasa aman yang kurang sangat<br />

berpengaruh terhadap adanya kekerasan seksual.<br />

2) Pemerintah adalah pihak yang bertanggung jawab penuh<br />

terhadap kemashlahatan rakyatnya, termasuk dalam hal ini<br />

adalah menjamin masa depan bagi generasi penerus.<br />

Pemerintah dirasa sangat perlu memperbaiki undangundang,<br />

terutama mengenai hak-hak wanita. Memperberat<br />

hukuman bagi pelaku dan memberikan pendidikan<br />

mengenai kekerasan seksual pada wanita dan remaja putri.<br />

Sehingga paradigma kekerasan dan pelecehan seksual<br />

52


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

sebagai sesuatu yang lumrah dilakukan menjadi hilang.<br />

Masyarakat perlu menggalang kekuatan yang dapat<br />

menekan pemerintah untuk segera mengatasi masalah ini<br />

dengan melibatkan pekerja sosial atau dunia internasional<br />

yang peduli pada masalah kekerasan terhadap wanita.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Hamdan, M. 1997. Persepsi Masyarakat Tentang Tindak Pidana<br />

Kesusilaan Dalam Rangka Perumusan Pasal Perzinahan Untuk<br />

Pembaharuan Hukum Pidana Nasional.<br />

Mamudji, Sri. 2005.Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Depok:<br />

Badan Penerbit FH Universitas Indonesia.<br />

S, Samitutidan Bangong Suyanto. 1999.Anak Jalanan di Jawa Timur<br />

(Masalah dan Upaya Penanganannya). Surabaya: Airlangga<br />

University Press.<br />

Soerocibroto, R. Soenarto. 2003.KUHP dan KUHAP, Cet. 5. Jakarta:<br />

Raja Grafindo Persada.<br />

Susanto, I.S. 2011.Kriminologi. Yogyakarta: Genta Publishing.<br />

Wahid, Muladi. 2001. Memperketat Delik Susila (Perlindungan<br />

Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi<br />

Perempuan)). Bandung: Refika Aditama.<br />

Wahid, A dan M. Irfan. 2001. Perlindungan terhadap Korban Kekerasan<br />

Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan). Malang:<br />

Refika Aditama.<br />

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5378ba7058483/lima-belasbentuk-kekerasan-seksual<br />

53


KOMISI 2<br />

HUKUM FORMIL


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

TINJAUAN HUKUM FORMIL<br />

MENGENAI KEKERASAN SEKSUAL<br />

Oleh: Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri<br />

Sultan Syarif Kasim Riau<br />

A. Latar Belakang<br />

Hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia<br />

Indonesia seutuhnya dan seluruhnya dengan Pancasila sebagai dasar.<br />

Pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan seluruhnya, bermakna<br />

bahwa pembangunan tersebut mencakup pembangunan jasmani dan<br />

rohani atau lahir dan batin. Hal ini juga tersirat dalam lirik lagu<br />

kebangsaan “Indonesia Raya”. Jiwa dan badan, rohani dan jasmani<br />

merupakan satu kesatuan utuh pada diri manusia yang dapat dibedakan<br />

tetapi tak dapat dipisahkan.<br />

Dengan demikian, pembangunan manusia Indonesia seutuhnya<br />

dimaksudkan bahwa pembangunan jiwa dan pembangunan badan,<br />

dilakukan serentak atau bersamaan. Berkenaan dengan “pembangunan<br />

manusia Indonesia seutuhnya”, Bab IV huruf B butir 1 GBHN<br />

merumuskan antara lain yaitu: yang pertama, menumbuhkan sikap dan<br />

tekad kemandirian manusia dan masyarakat Indonesia dalam rangka<br />

meningkatkan kualitas sumber daya manusia untuk mewujudkan<br />

kesejahteraan lahir batin yang selaras, adil, dan merata.<br />

Kesejahteraan lahir batin tidak terlepas dari semua aspek<br />

kehidupan penghidupan manusia termasuk rasa aman dan tenteram yang<br />

dapat dicapai jika kesadaran masyarakat terhadap kewajiban dan<br />

menghargai hak orang lain telah dipahami dan dihayati sehingga<br />

penegakan hukum dan keadilan berdasarkan kebenaran telah merupakan<br />

kebutuhan bersama, kebutuhan seluruh anggota masyarakat.<br />

B. Pelaksanaan Hukum Formil Mengenai Kekerasan Seksual<br />

Menurut Enchede-Hijder yang meninjau hukum pidana sebagai<br />

objek studi, pengertian hukum pidana dapat dibagi menjadi dua bagian<br />

yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana<br />

materiil berarti isi atau substansi hukum pidana. Disini hukum pidana<br />

bermakna abstrak atau dalam keadaan diam. Hukum pidana formil atau<br />

hukum acara pidana bersifat nyata atau konkret. Disini kita lihat hukum<br />

pidana dalam keadaan bergerak, atau dijalankan atau berbeda dalam<br />

suatu proses, oleh karena itu disebut juga hukum acara pidana. 1<br />

1 Leden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, (Jakarta:Sinar<br />

Grafika, 2005), hlm. 2.<br />

54


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Selain itu, Simons juga membagi hukum pidana dalam arti luas<br />

yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Ia mengatakan<br />

bahwa hukum pidana materiil mengandung petunjuk-petunjuk dan<br />

uraian tentang delik, peraturan-peraturan tentang syarat-syarat hal dapat<br />

dipidananya seseorang, penunjukan orang yang dapat dipidana dan<br />

ketentuan tentang pidananya, serta siapa dan bagaimana orang itu dapat<br />

dipidana. Sedangkan hukum pidana formil, menurut Simons, yaitu<br />

mengatur tentang bagaimana cara negara dengan perantara para<br />

pejabatnya menggunakan haknya untuk memidana.<br />

Perbedaannya dengan rumusan Van Bemmelen, ialah Van<br />

Bemmelen merinci tahap-tahap hukum acara pidana itu yang dimulai<br />

dengan mencari kebenaran dan diakhiri dengan pelaksanaan pidana dan<br />

tindakan tata terbit. Definisi tentang hukum materiil dirumuskan juga<br />

oleh Pompe, yang mirip dengan rumusan Simons namun lebih singkat<br />

yaitu keseluruhan peraturan-peraturan hukum, yang menunjukkan<br />

perbuatan-perbuatan mana yang seharusnya terdapat.<br />

Hazewinkel-Suringan menyatakan bahwa ius poenale (hukum<br />

pidana materiil) adalah sejumlah peraturan hukum yang mengandung<br />

larangan dan perintah atau keharusan yang terhadap pelanggarnya<br />

diancam dengan pidana (sanksi hukum). Jika kita membagi hukum itu<br />

menjadi hukum publik dan hukum privat, maka hukum pidana menjadi<br />

hukum publik. Hal ini baru berlaku dewasa ini, dahulu Eropa dan<br />

Indonesia tidak memisahkan hukum publik dan hukum privat. 2<br />

Lambat laun muncul pengertian hukum publik yang juga<br />

termasuk di dalamnya hukum pidana dimana yang utama ialah<br />

kepentingan umum. Bukanlah orang seorang yang bertindak jika terjadi<br />

pelanggaran hukum, tetapi alat-alatnya. Apabila kepentingan umum<br />

berhadapan dengan kepentingan pribadi, maka kepentingan umum harus<br />

lebih diutamakan. Pada hukum pidana formil (hukum acara pidana)<br />

corak hukum publiknya lebih nyata lagi daripada hukum pidana materiil<br />

karena jika terjadi pelanggaran hukum pidana yang bertindak menyidik<br />

dan menuntut ialah alat negara (polisi dan jaksa). Namun terdapat<br />

beberapa pengecualian, misalnya dalam delik aduan, alat negara hanya<br />

bertindak jika ada pengaduan dari pihak yang dirugikan.<br />

Simons berpendapat bahwa hukum pidana termasuk hukum<br />

publik karena mengatur hubungan antara individu dan masyarakat atau<br />

negara dan dijalankan untuk kepentingan masyarakat serta hanya<br />

diterapkan jika masyarakat itu sungguh-sungguh memerlukannya.<br />

Selanjutnya Van Bemmelan mengajukan pendapat bahwa<br />

hukum pidana itu merupakan ultimum remedium (obat terakhir). 3<br />

2 Ibid, hlm. 4.<br />

3 Soenarto Soerodibroto, KUHP DAN KUHAP, (Jakarta: PT Raja<br />

Grafindo Persada, 2009), hlm. 169.<br />

55


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Artinya, kalau bagian lain dari hukum itu tidak cukup untuk<br />

menegakkan norma-norma yang diakui oleh hukum, barulah hukum<br />

pidana diterapkan. Istilah hukuman dan pidana yang dalam bahasa<br />

Belanda hanya dikenal satu istilah untuk keduanya yaitu straf. Istilah<br />

hukuman adalah istilah umum untuk segala macam sanksi baik perdata,<br />

administratif, disiplin, dan pidana. Sedangkan istilah pidana diartikan<br />

sempit yaitu berkaitan dengan hukum pidana. Tujuan hukum pidana<br />

tidak melulu dicapai dengan pengenaan pidana, tetapi juga dapat berupa<br />

upaya represif yang kuat berupa tindakan-tindakan pengamanan.<br />

Tujuan hukum pidana lainnya adalah reformasi. Reformasi<br />

berarti memperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik<br />

dan berguna bagi masyarakat. Masyarakat akan memperoleh<br />

keuntungan dan tiada seorang pun yang merugi jika penjahat menjadi<br />

baik. Reformasi perlu digabung dengan tujuan yang lain seperti<br />

pencegahan. Akan tetapi, terdapat banyak kritikan bahwa reformasi<br />

tidak selalu berhasil. Ketidakberhasilannya dapat dilihat dari banyaknya<br />

residivis setelah keluar dari penjara. Sehingga kiranya perlu adanya<br />

peningkatan kualitas dari penjara itu sendiri.<br />

Berkaitan dengan tujuan pidana yang garis besarnya telah<br />

disebutkan sebelumnya, maka munculah teori-teori mengenai hal<br />

tersebut. Ada tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan<br />

pidana:<br />

a. Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien)<br />

b. Teori relatif atau tujuan (doeltheorien)<br />

c. Teori gabungan (verenigingstheorien)<br />

Teori yang pertama muncul pada abad ke-18, dianut antara lain<br />

oleh Immanuel Kant, Herbart, Stahl, Leo Polak, dan beberapa sarjana<br />

yang mendasarkan teorinya pada filsafat Katolik dan juga sarjana<br />

hukum Islam yang mendasarkan teorinya pada ajaran qisas Al Quran.<br />

Teori pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk<br />

hal yang praktis seperti memperbaiki sifat penjahat, namun kejahatan<br />

itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkannya<br />

pidana. Pidana secara mutlak ada, karena dilakukan secara kejahatan. 4<br />

Variasi-variasi teori pembalasan juga diperinci oleh Leo Polak<br />

menjadi:<br />

a. Teori pertahanan kekuasaan hukum atau pertahanan kekuasaan<br />

pemerintah negara (rechtsmacht of gezagshanddhaving)<br />

b. Teori kompensasi keuntungan (voordeelscompensatie)<br />

c. Teori melenyapkan segala sesuatu yang menjadi akibat suatu<br />

perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan penghinaan<br />

(onrechtsfustrering en blaam)<br />

2008), hlm. 1.<br />

4 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta,<br />

56


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

d. Teori pembalasan dalam menyelenggarakan persamaan hukum<br />

e. Teori untuk melawan kecenderungan untuk memuaskan keinginan<br />

berbuat yang bertentangan dengan kesusilaan<br />

f. Teori mengobyektifkan<br />

Menurut Leo Polak, pidana harus memenuhi 3 syarat:<br />

a. Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan<br />

yang bertentangan dengan etika, yaitu bertentangan dengan<br />

kesusilaan dan tata hukum objektif 5<br />

b. Pidana hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi jadi<br />

pidana tidak boleh dijatuhkan untuk maksud prevensi<br />

c. Sudah tentu beratnya pidana harus seimbang dengan beratnya delik,<br />

ini perlu supaya penjahat tidak dipidana secara tidak adil.<br />

Van Hamel menunjukkan bahwa prevensi khusus suatu pidana<br />

ialah:<br />

a. Pidana harus memuat suatu unsur menakutkan supaya mencegah<br />

penjahat yang mempunyai kesempatan untuk tidak melaksanakan<br />

niat buruknya<br />

b. Pidana harus mempunyai unsur memperbaiki terpidana<br />

c. Pidana mempunyai unsur membinasakan penjahat yang tidak<br />

mungkin diperbaiki<br />

d. Tujuan satu-satunya suatu pidana ialah mempertahankan tata tertib<br />

hukum<br />

Van Bemmelan pun menganut Teori Gabungan dengan<br />

mengatakan bahwa pidana bertujuan membalas kesalahan dan<br />

mengamankan masyarakat. Tindakan mengamankan bermaksud<br />

memelihara tujuan. Jadi tindakan keduanya bertujuan mempersiapkan<br />

untuk mengembalikan terpidana ke dalam kehidupan masyarakat.<br />

Selanjutnya di bawah ini akan diuraikan perkembangan mengenai<br />

kekerasan seksual.<br />

Kata “kesusilaan” sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia<br />

yang disusun oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan<br />

diterbitkan oleh Balai Pustaka 1989 berarti “perihal susila” dan “susila”<br />

dimuat arti sebagai berikut:<br />

1. Baik budi bahasanya;<br />

2. Adat istiadat yang baik, sopan, santun, kesopanan, keadaban; dan<br />

3. Pengetahuan tentang adat;<br />

Kata “susila” dalam bahasa Inggris bisa berarti moral, ethics,<br />

dan decent. Akan tetapi, kata-kata tersebut biasa diterjemahkan berbeda.<br />

5 Ibid, hlm. 5.<br />

57


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Kata moral diterjemahkan dengan kata “moril”. Ethics diterjemahkan<br />

dengan “tata susila” dan kata decent diterjemahkan dengan “patut”.<br />

Yang rumit dan selalu dicampurbaurkan adalah kata moral dan ethics.<br />

Kedua kata tersebut mengandung makna decent. Namun jika diamati<br />

dengan cermat, ternyata ethics lebih sempit dari pada moral dan nada di<br />

dalam kata moral. 6<br />

Kata “moral dalam The Lexicon Webster Dictionary,<br />

dirumuskan artinya antara lain: “of or concerned with the principles of<br />

right and wrong in conduct and character”. Behavior as to right or<br />

wrong, especially in relation to sexual matter. Jika diterjemahkan secara<br />

bebas, artinya adalah dari atau berkenaan dengan prinsip-prinsip benar<br />

dan salah dalam berperilaku dan sikap atau tabiat. Kelakuan yang benar<br />

atau salah, khususnya dalam hubungan pada hal atau kejadian seksual.<br />

Sedang kata ethics dirumuskan artinya antara lain sebagai<br />

berikut: “pertaining to right and wrong in conduct” (berkenaan dengan<br />

sikap, tabiat, atau tingkah laku yang baik dan salah atau buruk). Baik<br />

“moral”, “etika” ataupun “hukum” pada hakikatnya merupakan<br />

“persepsi nilai” dari masyarakat. “Moral” merupakan pertimbangan atas<br />

dasar baik atau tidak baik sedang “etika” merupakan ketentuan atau<br />

norma perilaku (Code of Conduct).<br />

Jika diamati berdasarkan kenyataan sehari-hari, persepsi<br />

masyarakat tentang arti “kesusilaan” lebih condong pada “ behavior as<br />

to right or wrong, especially in relation to sexual matter”. Namun, jika<br />

kita mengacu pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), hal<br />

tersebut nampaknya kurang tepat. Karena dalam KUHP, mengemis,<br />

menyiksa binatang, meminum minuman keras, serta melakukan judi<br />

termasuk Bab XIV tentang Kejahatan Kesusilaan. Pun, hal tersebut juga<br />

termuat dalam rancangan KUHP.<br />

Dengan demikian, makna dari “kesusilaan” adalah berkenan<br />

dengan moral dan etika yang telah diatur dalam perundang-undangan.<br />

Namun, dengan gambaran yang demikian maka persepsi terhadap kata<br />

“kesusilaan” justru lebih membingungkan. Jika ditelaah, maka semua<br />

tindak pidana adalah bertentangan dengan moral maupun etika.<br />

Berdasarkan uraian tersebut, seyogyanya tindak pidana kesusilaan tidak<br />

dimasukkan hal-hal yang tidak berkenaan dengan “behavior in relation<br />

to sexual matter” agar dengan demikian perhatian dapat lebih<br />

diputuskan pada pokok masalah.<br />

Kemajuan teknologi meningkatkan arus informasi antarnegara,<br />

antarbenua, bahkan antarbangsa sehingga perubahan budaya di Barat<br />

dengan cepat dapat diketahui di Timur, perubahan budaya di Eropa dan<br />

Amerika dengan cepat dapat diketahui di Asia dan sebaliknya.<br />

6 Leden Marpaung, Op. Cit.<br />

58


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat turut mempengaruhi<br />

perkembangan kesusilaan. Jika dahulu orang membicarakan tentang seks<br />

telah dianggap tabu, tetapi pada saat ini telah dibahas secara ilmiah<br />

dalam ilmu seksologi. Pada beberapa majalah, bahkan surat kabar harian,<br />

juga membahas tentang seks yang dimuat pada rubik tanya jawab atau<br />

rubrik seksologi.<br />

Demikian juga halnya dengan upaya peningkatan kesejahteraan,<br />

telah dilakukan Keluarga Berencana (KB) sehingga pengguguran<br />

kandungan telah diperbolehkan dalam rangka pengendalian<br />

perkembangan atau pertambahan penduduk.<br />

Perkembangan hak-hak asasi manusia telah menitikberatkan<br />

bahwa “menikmati seks” merupakan hak orang dewasa sehingga<br />

hubungan seks yang dilakukan tanpa paksaan di sebagian negara di<br />

dunia, merupakan perbuatan yang wajar. Dahulu, jika seorang<br />

perempuan dewasa melahirkan anak tanpa melakukan pernikahan atau<br />

tanpa suami, adalah merupakan aib bagi keluarganya. Di beberapa<br />

negara saat ini, hal yang demikian, telah di anggap hak dari yang<br />

bersangkutan dan tidak dinilai sebagai perbuatan tercela.<br />

Perkembangan di dunia bisnis semakin menerapkan prinsip<br />

bahwa “pembeli adalah tuan” dan tidak memperhatikan lagi nilai-nilai<br />

kepatutan yang tumbuh di masyarakat, sebagai contoh, dewasa ini<br />

banyak tempat peristirahatan (hotel dan motel) yang disalahgunakan<br />

oleh sebagian anggota masyarakat untuk melakukan perbuatanperbuatan<br />

maksiat karena pemilik tempat peristirahatan tersebut sudah<br />

tidak lagi menanyakan identitas pelanggan tamunya.<br />

Selanjutnya di bidang kesehatan, untuk mencegah menularnya<br />

penyakit kelamin, sebagian masyarakat membagikan kondom atau<br />

memperdagangkannya secara bebas, dan hal tersebut bukan lagi<br />

merupakan hal yang dianggap tabu.<br />

Kesulitan untuk memenuhi kebutuhan bagi segelintir wanita<br />

yang tidak memiliki keterampilan (skill), melakukan perbuatan jalan<br />

pintas dengan menjajakan dirinya di tempat-tempat tertentu di beberapa<br />

kota. Berbagai masalah berkenaan dengan “behavior in relation to<br />

sexual matter” sedang dalam proses penilaian oleh masyarakat,<br />

khususnya mengenai hal-hal berikut:<br />

a. Banci yang melakukan operasi kelamin;<br />

b. Wanita atau pria yang mencintai atau merasakan rangsangan<br />

seksual sesama jenisnya (lesbian/gay); dan<br />

c. Laki-laki bayaran yang dipelihara seorang wanita sebagai kekasih<br />

(gigolo)<br />

Perkembangan-perkembangan dalam aspek kehidupan atau<br />

penghidupan manusia atau masyarakat akan berdampak perkembangan<br />

nilai “kesusilaan” dan sepanjang masa, hal yang demikian tidak dapat<br />

59


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

dihindarkan. Kejahatan terhadap kesusilaan diatur pada Ban XIV KUHP<br />

yang terdiri dari pasal 281 sampai dengan pasal 303, sejumlah 25 pasal<br />

tetapi 3 pasal memuat hukuman tambahan atau pemberatan yakni pasal<br />

283 bis, pasal 291, pasal 298, dan 7 pasal tidak berkenaan dengan<br />

“behaviour in relation to sexual matter” yakni:<br />

1. Pasal 297 tentang memperniagakan perempuan atau laki-laki yang<br />

belum dewasa<br />

2. Pasal 299 tentang dapat gugur kandungan karena pengobatan<br />

3. Pasal 300 tentang menjual atau memaksa meminum minuman yang<br />

memabukkan<br />

4. Pasal 301 tentang perlindungan anak yang belum berusia 12 (dua<br />

belas) tahun dari pekerjaan mengemis<br />

5. Pasal 302 tentang penganiayaan ringan pada binatang<br />

6. Pasal 303 dan 303 bis tentang judi<br />

Pada RUU KUHP yang dirumuskan oleh Panitia Penyusunan<br />

RUU KUHP 1991/1992, dan disempurnakan pada tahun 1993, terdapat<br />

pola pikir yang tidak berubah. Di dalam RUU KUHP terdapat beberapa<br />

pasal tambahan yang mengatur perbuatan yang belum diatur KUHP,<br />

namun perlu diamati ulang dengan memperhatikan hak asasi manusia<br />

yang saat ini pengaruhnya tidak dapat diabaikan. Tampaknya RUU<br />

KUHP tersebut masih sulit diterima oleh sebagian pakar atau<br />

masyarakat.<br />

Mengubah suatu undang-undang, bukan hal yang tidak sulit<br />

terutama dengan mengubah sistem dan pola pikir, akan memerlukan<br />

biaya yang tidak sedikit. Pasal terkait kesusilaan yang tidak berkenaan<br />

dengan “behaviour in relation to sexual matter”, menurut hemat penulis<br />

agar dipisahkan dari Kejahatan Terhadap Kesusilaan, misalnya<br />

memperniagakan perempuan atau laki-laki, mengemis, dan lain-lain<br />

yang dapat merusak harkat dan martabat manusia menjadi “Kejahatan<br />

Terhadap Harkat dan Martabat Manusia.” 7<br />

Demikian halnya tentang “judi”, jika diamati berita-berita<br />

dalam media massa, maka judi dari tahun ke tahun masih merupakan<br />

masalah yang selalu timbul dalam masyarakat. Seyogyanya judi yang<br />

diizinkan seperti domino, bridge, ceki, koah, dan pei perlu<br />

dipertimbangkan untuk dihapuskan dan sebaiknya judi lebih tepat<br />

menjadi bab tersendiri di dalam KUHP.<br />

Namun sebagian para pakar berpendapat bahwa perbuatanperbuatan<br />

maksiat, termasuk minuman-minuman keras yang dapat<br />

memabukkan dan judi telah menjadi satu kesatuan dengan kejahatan<br />

dalam arti bahwa pengaruhnya terhadap terjadinya kejahatan, sangat<br />

7 Ismail Rumadan, Kriminologi, (Yogyakarta:Grha Guru, 2007), hlm.13.<br />

60


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

besar. Selain daripada itu, mabuk dan main judi bertentangan dengan<br />

kesusilaan. Hal ini dirumuskan dalam pasal 289 KUHP yaitu sebagai<br />

berikut:<br />

“Barangsiapa dengan kekerasan atau dengan ancaman<br />

kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan<br />

dilakukan padanya perbuatan cabul, dihukum karena salahnya<br />

melakukan perbuatan melanggar kesopanan dengan hukuman<br />

penjara selama-lamanya sembilan tahun.”<br />

Makna kata “cabul” tidak dimuat di dalam KUHP, namun<br />

menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti sebagai berikut: “keji<br />

dan kotor, tidak senonoh (melanggar kesopanan dan/atau kesusilaan)”.<br />

Dalam kamus lengkap Prof. Dr. S. Wojowasito dan Drs. Tito Wasito<br />

dimuat artinya dalam bahasa Inggris.: “indecent, dissolute,<br />

pornographical”. Umumnya, cabul diterjemahkan dengan “dissolute”.<br />

Pada The Lexicon Webster Dictionarydimuat artinya: “Loss in behavior<br />

and morals”.<br />

Mr. J. M. Van Bemmelen terhadap arti kata “cabul”<br />

mengutarakan antara lain: “Pembuat undang-undang sendiri tidak<br />

memberikan keterangan yang jelas tentang pengertian cabul dan<br />

perbuatan cabul dan sama sekali menyerahkan kepada hakim untuk<br />

memutuskan apakah suatu tindakan tertentu harus atau dapat dianggap<br />

sebagai cabul atau tidak”.<br />

Pada RUU KUHP, pasal 289 KUHP diambil alih pada pasal<br />

390 (14.14) yang pada penjelasan resmi berbunyi sebagai berikut:<br />

Pasal ini sama dengan pasal 289 KUHP. Disini tindak pidananya<br />

adalah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa<br />

seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya<br />

perbuatan cabul. Yang dimaksud dengan perbuatan cabul ialah<br />

segala perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau<br />

perbuatan lain yang keji dan semuanya dalam lingkungan nafsu<br />

berahi kelamin.<br />

Sebagai tindak pidana menurut pasal ini tidaklah hanya<br />

memaksa seseorang melakukan perbuatan cabul, tetapi juga memaksa<br />

seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan membiarkan<br />

dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, dikarenakan untuk<br />

menunjukkan sifat berat dari tindak pidana sebagai perbuatan yang<br />

sangat tercela, maka diadakan minimum khusus dalam ancaman<br />

pidananya.<br />

Ancaman pidana dalam KUHP maupun pada RUU KUHP<br />

adalah sama yakni sembilan tahun penjara. Sebagaimana pada<br />

“perkosaan”, kekerasan atau ancaman kekerasan tersebut, harus dapat<br />

61


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

dibuktikan. Perbuatan cabul sebagaimana dijelaskan pada RUU KUHP<br />

adalah dalam lingkungan nafsu berahi kelamin, misalnya:<br />

a. Seorang laki-laki dengan paksa menarik tangan seorang wanita dan<br />

menyentuhnya pada alat kelaminnya. (Hoge Raad 15-2-1926)<br />

b. Seorang laki-laki meraba badan seorang anak laki-laki dan<br />

kemudian membuka kancing baju anak tersebut untuk dapat<br />

mengelus teteknya dan menciuminya. Pelaku melakukan hal<br />

tersebut untuk memuaskan nafsu seksualnya. (Hoge Raad tanggal<br />

28-5-1963 N. J. 1964 No. 108)<br />

C. Sebab Tidak Terlaksananya Hukum Formil Mengenai<br />

Kekerasan Seksual<br />

Kekerasan seksual masih sering terjadi di masyarakat. Contoh<br />

konkretnya adalah pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang<br />

oknum kepala sekolah pada 23 September 2014 di Rohul, Riau.<br />

Kejadiannya berawal dari seorang murid SD yang sedang melaksanakan<br />

piket membersihkan ruang kelas dan kepala sekolah tersebut melewati<br />

depan ruangan dimana murid tersebut melaksanakan piket kebersihan.<br />

Oknum kepala sekolah tersebut langsung menghampiri korban, dan<br />

pelaku langsung memeluk korban dari belakang. Tidak hanya itu yang<br />

dilakukan pelaku, pelaku juga menciumi dan memegang dada dan alat<br />

vital korban. Sang korban langsung meronta-ronta untuk melepaskan<br />

diri, tapi korban diancam supaya tidak mengadukan kejadian tersebut<br />

kepada pihak guru. Dan akhirnya korban pulang dan menceritakan<br />

semua yang dialaminya kepada orang tuanya. Pihak keluarga tidak<br />

terima dan mengadukan kejadian tersebut ke pihak yang berwajib,<br />

supaya pelaku dikenakan hukuman sesuai dengan aturan yang berlaku. 8<br />

Pada kenyataannya, kejahatan terhadap kekerasan seksual kerap<br />

terjadi di masyarakat, hal ini berdasar pada banyaknya kasus kejahatan<br />

kekerasan seksual di masyarakat. Dengan demikian pasal 289 KUHP<br />

perlu ditegaskan penerapannya agar menimbulkan efek jera terhadap<br />

pelaku. Selain itu, upaya perlindungan terhadap korban dan upaya<br />

perlindungan terhadap korban perlu diperhatikan secara ketat. Oleh<br />

karena itu, terdapat perlindungan korban dan saksi yang tertuang di<br />

dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan<br />

Saksi dan Korban, berdasarkan pada:<br />

1. Penghargaan atas harkat dan martabat manusia;<br />

2. Rasa aman;<br />

3. Keadilan;<br />

4. Tidak diskriminatif; dan<br />

5. Kepastian hukum.<br />

8<br />

Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, (Jakarta:Kencana,2003),<br />

hlm.233.<br />

62


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Dalam hal ini kita menyadari bersama bahwa KUHAP lebih<br />

mengutamakan hak-hak tersangka atau terdakwa. Namun demikian,<br />

terdapat beberapa asas KUHAP yang dapat dijadikan landasan<br />

perlindungan korban, misalnya:<br />

1. Perlakuan yang sama didepan hukum<br />

2. Asas cepat, sederhana, dan biaya ringan<br />

3. Peradilan yang bebas<br />

4. Peradilan yang terbuka untuk umum<br />

5. Ganti kerugian<br />

6. Keadilan dan kepastian hukum<br />

Tujuan perlindungan saksi dan korban adalah untuk<br />

memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban dalam<br />

memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana (vide pasal<br />

4 Undang-undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi<br />

dan Korban). Rasa aman di sini dapat diartikan bebas dari ancaman<br />

sehingga tidak merasa terancam atau terintimidasi haknya, jiwa, raga,<br />

harta, serta keluarganya.<br />

Ancaman adalah segala bentuk perbuatan yang menimbulkan<br />

akibat baik langsung maupun tidak langsung yang mengakibatkan saksi<br />

dan/atau korban merasa takut dan/atau dipaksa untuk melakukan atau<br />

tidak melakukan sesuatu hal yang berkenaan dengan pemberian<br />

kesaksiannya dalam suatu proses peradilan pidana (vide pasal 1 butir 4<br />

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan<br />

Korban). Bentuk ancaman tidak hanya fisik, tetapi juga psikis atau<br />

bentuk lain misalnya ekonomis, politis, dan sebagainya. Rasa aman agar<br />

proses peradilan pidana dapat berjalan sesuai cita-cita peradilan dan<br />

memenuhi rasa keadilan dan kebenaran serta kepastian hukum.<br />

Jika asas dan tujuan perlindungan dilaksanakan secara baik,<br />

bukan saja korban dan saksi yang mendapat perlindungan tetapi lebih<br />

luas lagi. Tentu saja masyarakat, bangsa, dan negara terlindungi dan<br />

negara dianggap telah melaksanakan kewajibannya melindungi<br />

warganya dengan baik.<br />

Hal ini merupakan salah satu tujuan negara yang termaktub<br />

dalam pembukaan Undang-undang Dasar Tahun 1945, yaitu<br />

Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa<br />

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Akan tetapi, dalam<br />

praktek pidana selama ini, terlihat negara lebih banyak memihak kepada<br />

tersangka atau terdakwa. Diharapkan korban juga dapat berperan dalam<br />

pencegahan dan pemberantasan tindak pidana atau kejahatan. Pada<br />

gilirannya akan tercapai tujuan yang lebih mendasar, bukan saja<br />

63


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

keadilan, kepastian hukum dan ketertiban, tetapi lebih dari itu yaitu<br />

suatu welfare state. 9<br />

Setiap warga negara mempunyai hak-hak dan kewajiban yang<br />

tertuang dalam konstitusi maupun perundang-undangan lainnya. Hak<br />

dan kewajiban juga ada dalam hukum adat tidak tertulis atau pada<br />

kehidupan sehari-hari. Pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban<br />

harus dilakukan dengan seimbang. Agar tidak terjadi konflik beberapa<br />

hak yang diatur dalam Undang-undang Dasar Tahun 1945 yang<br />

berlandas perlindungan korban dan saksi telah ditulis pada Sub Bab A.<br />

Hukum acara pidana (formil) mengatur berbagai hak dari tersangka<br />

dan/atau terdakwa. 10<br />

Sudah seharusnya pihak korban mendapat perlindungan,<br />

diantaranya dipenuhinya hak-hak korban meskipun diimbangi<br />

melaksanakan kewajiban-kewajiban yang ada. Untuk mengetahui hakhak<br />

korban secara yuridis dapat dilihat dalam perundang-undangan.<br />

Salah satunya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006. Pasal 5 Undangundang<br />

tersebut menyebutkan beberapa hak korban dan saksi yaitu: 11<br />

a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan<br />

harta bendanya. Serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan<br />

kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya<br />

b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk<br />

perlindungan dan dukungan keamanan<br />

c. Memberikan keterangan tanpa tekanan<br />

d. Mendapat penerjemah<br />

e. Bebas dari pertanyaan menjerat<br />

f. Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus<br />

g. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan<br />

h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan<br />

i. Mendapat identitas baru<br />

j. Mendapatkan tempat kediaman baru<br />

k. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan<br />

kebutuhan<br />

l. Mendapat nasihat hukum<br />

m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu<br />

perlindungan berakhir<br />

Berdasarkan analisa data diatas maka hasil riset mengenai<br />

penelitian diatas adalah bahwa implementasi hukum acara pada kasus<br />

kekerasan seksual belum terlaksana. Hal ini didasarkan dengan masih<br />

9 Ilhami Basri, Sistem Hukum Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo<br />

Persada, 2012), hlm. 39.<br />

10 Agus Santoso, Hukum, Moral 7 Keadilan, (Jakarta: Kencana, 2012),<br />

hlm. 2.<br />

11 Topo Santoso, Kriminologi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada).<br />

64


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

banyaknya kasus yang terjadi dimasyarakat mengenai tindak kekerasan<br />

seksual, yang terjadi terhadap masyarakat mulai dari kalangan anakanak,<br />

remaja, dewasa hingga tua. Contohnya adalah kasus yang terjadi<br />

di Pekanbaru sebagaimana yang sudah dipaparkan di atas.<br />

Setelah kasus tersebut diproses, tidak terdapat perhatian khusus<br />

terhadap pelaku dan si korban. Justru peristiwa tragis tersebut dibiarkan<br />

begitu saja lalu selanjutnya muncul lagi kejadian yang sama. Itulah<br />

sistem penerapan hukum Indonesia saat ini. Sebagai warga negara yang<br />

baik tentu kita harus memperhatikan kejadian-kejadian di lingkungan<br />

setempat, jika terdapat tindak kejahatan atau pun pelanggaran segera<br />

lakukan laporkan kepada yang berwajib, ini adalah salah satu bukti<br />

kecintaan kita terhadap negara Indonesia yang mendambakan<br />

kesejahteraan (welfare state). 12<br />

Tidak terlaksananya hukum formil disebabkan karena kinerja<br />

aparat hukum yang tidak maksimal dan kurang sadar serta pedulinya<br />

kita sebagai Warga Negara Indonesia akan adanya sistem hukum. Kerap<br />

kali aturan yang ada sering dilanggar dan dianggap remeh, kebiasaan<br />

inilah yang seharusnya dihapus dari dalam diri dan ditanamkan<br />

pemahaman yang lebih baik sehingga memberikan manfaat yang lebih<br />

baik untuk tanah air. Caranya adalah dengan menanamkan perubahan<br />

dimulai dari diri sendiri dan tanamkan kesadaran agar tercapainya<br />

tujuan hukum yaitu untuk kemanfaatan, keadilan, dan kepastian.<br />

D. Kesimpulan dan Saran<br />

Salah satu wujud perlindungan oleh negara adalah<br />

penyelenggaraan peradilan. Warga negara mempunyai hak dan<br />

kewajiban yang tertuang dalam konstitusi maupun perundangundangan.<br />

Hukum acara pidana (formil) mengatur berbagai hak dari<br />

tersangka dan/atau terdakwa. Sudah seharusnya pihak korban mendapat<br />

perlindungan diantaranya dipenuhinya hak-hak korban meskipun<br />

diimbangi melaksanakan kewajiban-kewajiban yang ada. Undangundang<br />

Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia<br />

(HAM) mengatur secara khusus perlindungan korban dan saksi pada<br />

Bab V pasal 34.<br />

Dilanjutkan dengan penegasan pemberian kompensasi, restitusi,<br />

dan rehabilitasi. Bentuk atau jenis perlindungan adalah fisik, mental,<br />

dan sebagainya yang dilaksanakan oleh aparat terkait. Perlindungan<br />

hukum dan aspeknya merupakan salah satu hak korban dan saksi. Dari<br />

uraian diatas sudah dipaparkan bahwa korban dan saksi seakan<br />

terabaikan, bahkan juga di dalam peraturan KUHAP yang dianggap<br />

menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM). Antara lain menjelaskan<br />

40,<br />

12 Bambang Waluyo, Viktimologi, (Jakarta:Sinar Grafika, 2011), hlm.<br />

65


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

bahwa alasan perlindungan korban dan saksi, secara khusus diatur<br />

substansi yang terkait dengan perlindungan korban dan saksi dalam<br />

berbagai perlindungan. Pengaturan bersifat umum dan khusus tetapi<br />

secara terbatas KUHAP mengatur pula hak korban dan saksi untuk<br />

mendapat gambaran mendalam.<br />

Terdapat ketentuan berkenaan perlindungan korban dan saksi<br />

yang diatur KUHAP. Bab XIII tentang penggabungan perkara ganti<br />

kerugian pasal 98 sampai dengan pasal 101 KUHAP. Prosedur dan<br />

substansi pengaturan dianggap mengandung kelemahan-kelemahan.<br />

Pada praktiknya, juga jarang dan bahkan hampir tidak pernah dilakukan<br />

penggabungan perkara gugatan ganti kerugian. Hal ini terjadi antara lain<br />

karena korban tidak mengetahui haknya dan penuntut umum tidak<br />

memberitahukan hak tersebut kepada korban.<br />

Semoga makalah yang dibuat bermanfaat untuk kita semua dan<br />

apabila terdapat kesalahan dalam penulisan ataupun kata-kata yang<br />

kurang tepat kami minta maaf.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Bisri, Ilhami. 2012. Sistem Hukum Indonesia. Jakarta:Rajawali Pers.<br />

Hamzah, Andi. 2008. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta:Rineka Cipta.<br />

Marpaung, Leden. 2004. Kejahatan Terhadap Kesusilaan. Jakarta:Sinar<br />

Grafika Offset.<br />

Marpaung, Leden. 2005. Asas Teori Praktik Hukum Pidana.<br />

Jakarta:Sinar Grafika.<br />

Rumadan, Ismail. 2007. Kriminologi. Yogyakarta:Graha Guru.<br />

Santoso, Agus. 2012. Hukum Moral & Keadilan. Jakarta:Kencana<br />

Prenada Media Group.<br />

Santoso, Topo. 2001. Kriminologi. Jakarta:Raja Grafindo Persada.<br />

Suyanto, Bagong. 2003. Masalah Sosial Anak. Jakarta:Kencana.<br />

Soerodibroto, R.Soenarto. 2009. KUHP dan KUHAP. Jakarta:Rajawali<br />

Pers.<br />

Santoso, Wahyu. 2011. Viktimologi. Jakarta:Sinar Grafika.<br />

66


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK<br />

DAN UPAYA HUKUM DI INDONESIA<br />

Oleh: Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta<br />

Abstrak<br />

Anak adalah mereka yang masih berumur dibawah 16 (enam belas)<br />

tahun dan belum atau pernah menikah. Anak adalah elemen yang<br />

penting karena merekalah kelak yang akan mewarisi yang kita punya<br />

hari ini. Tapi sayangnya, mereka telah diberikan kecacatan oleh oknum<br />

orang dewasa dengan kekerasan seksual yang mereka lakukan.<br />

Kekerasan seksual adalah segala bentuk hubungan atau interaksi<br />

antara anak dan orang dewasa (atau anak lainnya yang sebaya atau<br />

remaja) yang menggunakan si anak untuk simulasi seksual dari pelaku<br />

atau pengamat. Sayangnya, masih bayak kasus kekerasan seksual<br />

terhadap anak hanya sedikit yang tereskspos. Hal ini juga berkaitan<br />

dengan hukum yang ada di Indonesia. Berbicara tentang hukum di<br />

Indonesia, hukum harus mampu memberikan pencegahan dan efek jera<br />

terhadap perilaku dan pelaku kekerasan seksual.<br />

A. Latar Belakang<br />

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, anak adalah<br />

mereka yang masih berumur dibawah 16 tahun dan belum atau pernah<br />

menikah. 1 Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang<br />

Sistem Peradilan Anak, yang dimaksud anak-anak di sini adalah mereka<br />

yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum atau pernah<br />

menikah, dan anak yang dapat bertanggung jawab mengenai tindakan<br />

pidananya adalah mereka yang sudah berusia 14 (empat belas) tahun. 2<br />

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, anak adalah mereka yang<br />

masih berumur dibawah 21 (dua puluh satu) tahun dan belum atau<br />

pernah menikah. 3<br />

Anak adalah seseorang yang harus benar-benar kita lindungi<br />

dan kita bimbing dari sejak mereka kecil. Oleh karena itu, pemerintah<br />

dengan segala usahanya membuat peraturan ataupun undang-undang<br />

yang mengatur tentang anak. Entah anak itu sebagai pelaku ataupun<br />

korban.<br />

1 Pasal 45 KUHP.<br />

2 Pasal 1 ayat 3 dan pasal 69 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun<br />

2012 tentang Sistem Peradilan Anak.<br />

3 Pasal 330 KUHD.<br />

67


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Namun sayangnya, kepolosan dan keluguan anak-anak sering<br />

dimanfaatkan dan disalahgunakan oleh orang dewasa. Anak-anak yang<br />

seharusnya menjadi objek arahan dan dibimbing ke sikap yang baik,<br />

tetapi pada kenyataannya mereka dijadikan objek kekerasan, pelecehan,<br />

eksploitasi birahi dan seksual oleh orang remaja atau dewasa yang tidak<br />

punya hati nurani dan “akal sehat”. Anak-anak yang merupakan penerus<br />

bangsa dan berhak mendapatkan masa depan yang baik dan layak<br />

kenyataannya masa depan mereka direnggut oleh tangan-tangan nakal<br />

yang tidak tahu malu yang hanya memikirkan cara menyalurkan nafsu<br />

“binatang”-nya saja.<br />

Anak-anak belia yang mempunyai masa depan panjang dan<br />

digadang-gadang menjadi penerus bangsa yang seharusnya benar-benar<br />

dicetak menjadi penerus yang cerdas dan kreatif tetapi karena ulah<br />

oknum-oknum orang dewasa atau remaja masa depan mereka<br />

dihancurkan begitu saja. Seolah mereka tidak lagi diberi kesempatan<br />

untuk merasakan bagaimana kehidupan mereka selanjutnya. Pelaku<br />

pelecehan seksual dengan teganya dan tanpa menggunakan logika dan<br />

akal pikirannya berperilaku layaknya “monster” penghancur masa<br />

depan korbannya.<br />

Dewasa ini, banyak sekali muncul kasus pelecehan dan<br />

kekerasan seksual terhadap anak-anak. Kasus yang berkaitan dengan<br />

oknum cleaning service dan diduga terdapat oknum guru disebuah<br />

sekolah internasional di Jakarta pun pernah menjadi sorotan publik,<br />

bahkan publik sangat mengecam hal tersebut. Pasalnya, kasus tersebut<br />

selain mencoreng kelakuan manusia di zaman sekarang, hal itu juga<br />

mencoreng nama baik dunia pendidikan. Karena sejatinya, sekolah<br />

haruslah merupakan tempat yang aman dan nyaman bagi anak-anak,<br />

dan bukan tempat yang membuat masa depan mereka hancur<br />

berantakan.<br />

Bahkan, muncul sebuah kasus baru yang membawa nama<br />

seorang Raja di Surakarta yang sampai saat ini belum terselesaikan.<br />

Diduga, sang Raja mencabuli seorang siswi SMA hingga membuat<br />

siswi itu hamil 7 bulan. Dan masih banyak kasus lainnya pelecehan dan<br />

kekerasan seksual terhadap anak-anak di Indonesia.<br />

Lalu sebenarnya apa yang kurang dan salah di Indonesia?<br />

Anak-anak yang seharusnya dilindungi dan diberikan kasih sayang pada<br />

nyatanya psikis dan raga mereka dianiaya oleh orang yang tidak<br />

bertanggung jawab.<br />

B. Bentuk Kekerasan Seksual<br />

Kekerasan seksual pada umumnya adalah setiap tindakan atau<br />

perilaku atau gerak-gerik seksual yang tidak dikehendaki dalam bentuk<br />

verbal (kata-kata) atau tulisan, fisik, tidak verbal, dan visual untuk<br />

kepentingan seksual, memiliki muatan seksual, sehingga menyebabkan<br />

68


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

kemarahan, perasaan terhina, malu, tidak nyaman, dan tidak aman bagi<br />

orang lain. 4<br />

Pelecehan atau kekerasan seksual pada anak adalah kekerasan<br />

seksual pada anak (child sexual abuse) di mana terjadi aktivitas atau<br />

kontak seksual yang melibatkan anak atau remaja dengan orang dewasa<br />

atau bahkan sebayanya. Jadi sekali lagi, pelaku bisa saja orang yang<br />

sudah dewasa dan cukup umur, atau bisa saja seorang anak atau<br />

remaja. 5 Pelecehan seksual terhadap anak adalah segala bentuk<br />

hubungan atau interaksi antara anak dan orang dewasa (atau anak<br />

lainnya yang sebaya atau remaja) yang menggunakan si anak untuk<br />

simulasi seksual dari pelaku atau pengamat. 6<br />

Dari beberapa pengertian di atas maka bentuk dari pelecehan<br />

seksual bukan hanya melalui sentuhan dan persetubuhan, melainkan<br />

bisa juga melalui lirikan yang terasa menyudutkan dan mengintimidasi<br />

tubuh kita, melalui gambar-gambar porno, melalui lisan dan juga tulisan<br />

yang mengandung dan memuat unsur seksualitas. Tentunya pula juga<br />

mengandung unsur-unsur yang membuat tidak nyaman dan rasa risih<br />

dapat juga dikategorikan pelecehan seksual. Lebih parahnya lagi, jika<br />

pelecehan seksual memburuk menjadi eksploitasi seksual dimana<br />

termasuk salah satunya adalah penjualan anak untuk tujuan prostitusi<br />

dan pornografi.<br />

Namun, banyak anak-anak yang kebanyakan masih belum<br />

mengerti dan belum cukup bisa untuk mawas diri mengenai bagaimana<br />

modus operandi yang dilakukan dan juga korban tidak akan menyangka<br />

kalau ternyata orang terdekat merekapun dapat menjadi pelaku.<br />

Memang kebanyakan kasus dari pelecehan seksual terhadap anak-anak<br />

ini adalah orang terdekat mereka bisa dari keluarga, tetangga, teman,<br />

saudara, guru, dan juga bisa dari orang yang mereka baru kenal.<br />

C. Sebab dan Akibat Kekerasan Seksual Terhadap Anak<br />

Tidak habis pikir memang, kenapa anak-anak yang tidak<br />

berdosa menjadi objek kekerasan seksual dan komoditas prostitusi.<br />

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya bahwa korban belum<br />

mengetahui persis modus operandi apa yang digunakan oleh pelaku.<br />

Tetapi karena minimnya pengetahuan itu, korban dapat dengan mudah<br />

masuk dalam perangkap pelaku. Kebanyakan kasus itu dimulai dari<br />

4<br />

Christina Yulita dkk, Pelecehan Seksual, diakses dari<br />

http://sulapaluarit.blogspot.com/2012/07/pelecehan-seksual_22.html<br />

5 Info Psikologi, Apa Itu Pelecehan/Kekerasan Seksual pada Anak dan<br />

Apa Bentuk-bentuknya,diakses dari http://infopsikologi.com/apa-itu-bentukpelecehan-kekerasan-seksual-pada-anak-remaja/<br />

6 Christina Yulita dkk, Op. Cit.<br />

69


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

percakapan ringan, rayuan, penipuan, menjadi korban pemerkosaan dan<br />

atau dikorbankan kepada orang lain untuk dijadikan objek pencabulan.<br />

Suyanto (2002) menjelaskan bahwa maraknya praktik<br />

perdagangan anak perempuan untuk tujuan seksual disebabkan berbagai<br />

faktor, yaitu: pertama, adanya kepercayaan para konsumen (laki-laki<br />

hidung belang) bahwa berhubungan seks dengan anak-anak sebagai<br />

obat kuat, obat awet muda dan mendatangkan hoki terntentu. Kedua,<br />

anak-anak dipandang masih bersih dari penyakit kelamin dan belum<br />

banyak yang “memakainya” sehingga lebih menambah selera<br />

konsumen. Faktor pertama dan kedua merupakan pandangan dari<br />

seorang pedofil yang menyukai untuk melakukan hubungan seks<br />

dengan anak-anak. Ketiga, orang tua terkadang memandang anak<br />

perempuan sebagai aset yang mendatangkan keuntungan, sehingga<br />

orang tua sampai hati menjual anak perempuannya, khususnya untuk<br />

harga keperawanannya. Keempat, pandangan seksualitas yang sangat<br />

menekankan arti penting keperawanan sehingga tidak memberi<br />

kesempatan bagi mereka yang sudah tidak perawan untuk menentukan<br />

dirinya, hal ini seperti dua responden penulis yang terjerumus kedalam<br />

sindikat perdagangan perempuan (trafficking in women) karena dipaksa<br />

pacarnya. Kelima, karena jeratan utang. Terkadang orang tua meminjam<br />

uang kepada germo yang sekaligus rentenir dengan bunga sangat tinggi.<br />

Ketika utang sudah jatuh tempo dan dan tidak dapat dikembalikan,<br />

maka anak perempuan yang berutang diminta bekerja kepada germo<br />

tersebut, namun ternyata pekerjaan yang dimaksud sebagai pelayan seks<br />

laki-laki hidung belang. Keenam, adanya kemiskinan struktural dan<br />

disharmoni keluarga yang dapat memicu depresi dan frustasi. 7<br />

Selain itu juga terdapat faktor lain seperti yang ditulis Abdul<br />

Wahid dan Muhammad Irfan (2001:72), yaitu:<br />

1. Pengaruh perkembangan budaya yang semakin tidak menghargai<br />

etika berpakaian yang menutup aurat, yang dapat merangsang pihak<br />

lain untuk berbuat yang tidak senonoh dan jahat;<br />

2. Gaya hidup atau pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang<br />

semakin bebas, kurang bisa lagi membedakan mana yang<br />

seharusnya boleh dikerjakan dengan mana yang dilarang dalam<br />

hubungannya dengan kaidah akhlak mengenai hubungan laki-laki<br />

dengan perempuan;<br />

3. Rendahnya pengalaman dan penghayatan terhadap norma-norma<br />

keagamaan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Nilai-nilai<br />

keagamaan yang semakin terkikis di masyarakat atau pola relasi<br />

horizontal yang cenderung makin meniadakan peran agama adalah<br />

7<br />

Dalam: Huraerah, Abu. 2007. Child Abuse (Kekerasan<br />

terhadap Anak). Bandung: Penerbit Nuansa.<br />

70


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

sangat potensial untuk mendorong seseorang berbuat jahat dan<br />

merugikan orang lain;<br />

4. Tingkat kontrol masyarakat (social control) yang rendah, artinya<br />

berbagai perilaku yang diduga sebagai penyimpangan, melanggar<br />

hukum dan norma keagamaan kurang mendapatkan responsi dan<br />

pengawasan dari unsur-unsur masyarakat;<br />

5. Putusan hakim yang terasa tidak adil, seperti sanksi yang dirasa<br />

ringan yang dijatuhkan kepada pelaku. Hal ini dimungkinkan dapat<br />

mendorong anggota-anggota masyarakat lainnya untuk berbuat keji<br />

dan jahat. Artinya, mereka yang hendak berbuat jahat tidak merasa<br />

takut lagi dengan sanksi hukum yang akan diterimanya;<br />

6. Ketidakmampuan pelaku untuk mengendalikan emosi dan nafsu<br />

seksualnya. Nafsu seksualnya dibiarkan mengembara dan<br />

menuntutnya untuk dicarikan kompensasi pemuasnya; dan<br />

7. Keinginan pelaku untuk melakukan (melampiaskan) balas dendam<br />

terhadap sikap, ucapan (keputusan), dan perilaku korban yang<br />

dianggap menyakiti dan merugikan.<br />

Tentunya yang merasa paling dirugikan di sini adalah korban.<br />

Akibat yang paling dirasakan adala berimbas pada kondisi psikis dan<br />

mental korban, terlebih lagi korban di sini adalah seorang anak yang di<br />

usia mereka belum mampu melakukan hubungan intim.<br />

Yang paling fatal adalah bila kejadian pelecehan tersebut sangat<br />

mengganggu psikis korban. Akan ada reaksi pergulatan di hati dan<br />

pikiran mereka. Mereka akan merasa ketakutan dan bertanya-tanya pada<br />

diri mereka sendiri tentang apa yang sebenarnya terjadi, mengapa hal itu<br />

bisa terjadi dan menimpa diri mereka, dan mereka akan bertanya<br />

mengapa seperti ini. Di sinilah puncaknya, mereka akan perlahan-lahan<br />

menarik diri dari masyarakat bahkan dari keluarga sendiri. Bahkan<br />

korban tiba-tiba dapat berubah menjadi ketakutan terhadap suatu hal.<br />

Rusmil (2004:61) mengemukakan bahwa anak-anak yang<br />

menderita kekerasan, eksploitasi, pelecehan, dan penelantaran<br />

menghadapi risiko:<br />

1. Usia yang lebih pendek<br />

2. Kesehatan fisik dan mental yang buruk<br />

3. Masalah pendidikan (termasuk drop out dari sekolah)<br />

4. Kemampuan yang terbatas sebagai orang tua kelak<br />

5. Menjadi gelandangan<br />

Akibat lain yang mungkin dapat menimpa korban adalah<br />

sebagai berikut:<br />

1. Penderitaan secara psikologis, seperti merasa tidak lagi berharga<br />

akibat kehilangan kehormatannya di mata masyarakat. Korban akan<br />

merasa gelisah sepanjang waktu, kehilangan rasa percaya diri, tidak<br />

71


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

lagi ceria, sering melamun, menutup diri, menjauhi lingkungan,<br />

menjauhi keramaian, tumbuh rasa benci (antipati) terhadap lawan<br />

jenis, curiga yang berlebihan terhadap orang lain, dan akan<br />

menyisakan rasa trauma yang sangat mendalam;<br />

2. Kehamilan yang mungkin dapat terjadi;<br />

3. Penderitaan fisik, artinya akibat dari kekerasan seksual tersebut<br />

akan menimbulkan luka pada diri korban, buruknya lagi apabila<br />

sampai tertular penyakit kelamin;<br />

4. Tumbuh rasa kekurangan kepercayaan pada penanganan aparat<br />

praktis hukum, bilamana kasus yang ditanganinya lebih banyak<br />

menyita perhatiannya, sedangkan penanganan kepada tersangka<br />

terkesan kurang sungguh-sungguh. Korban merasa diperlakukan<br />

secara diskriminatif dan kondisinya akan semakin menderita<br />

kejiwaannya dan lemah mentalnya akibat ditekan secara terusmenerus<br />

oleh proses penyelesaian perkara yang tidak kunjung<br />

berakhir; dan<br />

5. Merasa tidak berharga dan putus asa dengan keadaan. Bisa saja<br />

korban memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, atau bisa saja<br />

korban terjerumus dalam dunia prostitusi sebagai wujud bentuk<br />

protes ketidakadilan dunia terhadap dirinya, oleh karena itu korban<br />

terjun ke jalan yang salah.<br />

D. Hukum di Indonesia dalam Menyikapi Kekerasan Seksual<br />

Banyak kasus kekerasan seksual terjadi pada anak-anak di<br />

Indonesia, namun kasus kekerasan seksual di Indonesia memang sangat<br />

sulit diungkap atau merupakan fenomena gunung es. Meskipun<br />

kasusnya sudah teridentifikasi, proses penyelidikan dan peradilan sering<br />

sangat terlambat. Lemahnya hukum di Indonesia juga dianggap sebagai<br />

pemicu mengapa kekerasan seksual terhadap anak-anak masih banyak<br />

terjadi.<br />

Kesulitan dalam mengungkap kasus kekerasan seksual sulit<br />

diungkap adalah sebagai berikut:<br />

1. Penolakan korban sendiri. Korban tidak melaporkannya karena<br />

takut pada akibat yang kelak diterima baik dari si pelaku (adanya<br />

ancaman) maupun dari kejadian itu sendiri (trauma).<br />

2. Manipulasi pelaku. Pelaku yang umumnya orang yang lebih dewasa<br />

sering menolak tuduhan (setidaknya diawal proses penyelidikan)<br />

bahwa dia adalah pelakunya. Pelaku akan berkata bahwa laporan<br />

dari korban merupakan suatu kebohongan atau merupakan imajinasi<br />

semata.<br />

3. Keluarga yang mengalami kasus kekerasan seksual menganggap<br />

bahwa itu merupakan suatu aib yang harus ditutupi dan sangat<br />

memalukan.<br />

72


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

4. Anggapan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan keluarga tidak<br />

patut dicampuri oleh masyarakat.<br />

5. Masyarakat tidak mengetahui secara jelas anak-anak yang<br />

mangalami kekeerasan seksual, karena seringnya ciri-cirinya tidak<br />

bisa dilihat secara kasat mata.<br />

6. Sistem dan prosedur pelaporan yang belum diketahui pasti dan jelas<br />

oleh masyarakat luas.<br />

Berbagai pandangan yang berkaitan dengan tujuan hukum<br />

pidana Indonesia itu terkait dengan ketiadaan (kevakuman) rumusan<br />

konkret dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Baru<br />

kemudian dalam rancangan KUHP baik pada konsep (RUU KUHP)<br />

tahun 1972 maupun 1982 dijelaskan mengenai tujuan hukum pidana.<br />

Dalam RUU KUHP 1982, dijelaskan mengenai tujuan pemidanaan<br />

secara akademis berikut ini: 8<br />

1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dalam menegakkan norma<br />

hukum demi pengayoman masyarakat<br />

2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pemidanaan<br />

hingga menjadikannya orang baik dan berguna<br />

3. Menyelesaikan konkret yang ditimbulkan oleh tindak pidana<br />

memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam<br />

masyarakat<br />

4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana (Ninik Suparmi:1996:2)<br />

Hukum di Indonesia dalam menyikapi kekerasan seksual<br />

mempunyai tujuan tertentu dibaliknya, sebagai berikut:<br />

1. Pelaku<br />

Berkaitan dengan pelaku, hukuman yang dijatuhkan merupakan<br />

balasan yang setimpal atau diharapkan pelaku dapat menebus dosadosa<br />

(atas kekejian) yang dilakukan kepada korban. Pelaku<br />

dikenakan hukuman yang cukup berat yang dapat membuatnya<br />

menjadi jera atau agar dikemudian hari tidak mengulangi lagi<br />

perbuatan jahatnya. Ada tuntunan untuk mengantarkan manusia<br />

pada pintu tobat, yakni dimensi spiritualitas yang dilalui manusia<br />

dalam membersihkan dirinya dari perbuatan-perbuatan dosa,<br />

tercela, menodai agama, dan merugikan orang lain. Manusia<br />

(pelaku) diberikan sanksi yang tidak sebatas meringankan bebannya<br />

di dunia, namun juga diorientasikan untuk meringankan beban yang<br />

harus dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.<br />

2. Masyarakat<br />

Hukuman yang cukup berat dijatuhkan pada pelaku itu diharapkan<br />

menjadi suatu proses pendidikan kesadaran perilaku dari<br />

8 Dalam Irfan, Muhammad dan Abdul Wahid: 2012: 100.<br />

73


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

kecenderungan berbuat jahat. Hukuman itu menjadi prevensi<br />

(pencegahan) agar anggota masyarakat yang hendak berbuat jahat<br />

tidak meluruskan aksi kejahatannya. Jika pelaku kejahatan<br />

kekerasan seksual mendapatkan sanksi hukum sebagaimana yang<br />

digariskan dalam syariat islam, maka sangat mungkin anggota<br />

masyarakat yang bermaksud melakukan perbuatan sejenis dapat<br />

dicegahnya.<br />

3. Korban<br />

Dengan menerapkan sanksi hukum kepada pelaku, maka secara<br />

tidak langsung hal itu merupakan bentuk suatu perhatian<br />

(perlindungan) secara hukum kepada korban kejahatan.<br />

Perlindungan hukum kepada anak (khususnya perempuan) yang<br />

menjadi korban kejahatan ini bukan hanya terbatas kepada<br />

dihukumnya pelaku, namun juga kepada akibat yang menimpanya,<br />

seperti kehamilan akibat pemerkosaan.<br />

Korban tindak kekerasan seksual memiliki hak-hak yang wajib<br />

ditegakkan. Rasa sakit hati, penderitaan, ketakutan, dan berbagai<br />

macam dampak buruk yang menimpa dirinya pasca tindak kekerasan itu<br />

mendapatkan perhatian yang serius dari hukum Islam. Korban tidak<br />

boleh diabaikan sendirian memperjuangkan nasib yang menimpanya,<br />

namun wajib difasilitasi oleh penegak hukum dalam memperjuangkan<br />

nasibnya.<br />

Terkadang, dalam kasus penyelesaian pengadilan, banyak<br />

keluarga korban merasa tidak puas terhadap hasil sidang dan vonis<br />

hukuman yang dijatuhkan hakim terhadap pelaku kekerasan seksual.<br />

Karena logikanya mereka telah merenggut kehidupan dan masa depan<br />

dari korban bahkan bisa saja hal ini masih mempengaruhi di kehidupan<br />

korban ke depannya, tetapi putusan hakim memberikan hukuman yang<br />

dirasa tidak setimpal.<br />

Ancaman pidana terhadap pelaku pencabulan diatur dalam pasal<br />

289 KUHP. Pelaku diancam dengan pidana penjara maksimal 9 tahun<br />

penjara. Pro dan kontra tentu juga menyertai tentang ancaman pidana<br />

dalam pasal ini.<br />

Masalahnya adalah tidak adanya ketentuan minimal ancaman<br />

hukuman yang diberikan hanya terdapat maksimal. Artinya adalah<br />

berapapun lamanya ancaman pidana yang diberikan asalkan tidak lebih<br />

dari 9 tahun itu diperbolehkan karena tidak adanya ketentuan minimal.<br />

Berarti putusan hakim yang memberikan ancaman pidana 9<br />

bulan itu juga sah-sah saja, karena mengacu pada pasal 289 KUHP<br />

disana ketentuannya adalah maksimal 9 tahun.<br />

Disinilah dipertanyakannya letak keadilan. Ibaratkan saja<br />

adalah ketika A (usia 35 tahun) telah melakukan perbuatan asusila<br />

terhadap H (usia 13 tahun) diberikan hukuman 2 tahun penjara padahal<br />

74


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

A telah merebut masa depan H yang mungkin lebih dari 20 tahun. Di<br />

sinilah yang harus dikaji ulang mengenai pengaplikasian pasal 289<br />

KUHP dalam menyelesaikan perkara.<br />

Esensi dan tujuan dari hukum di Indonesia adalah demi<br />

kebaikan masyarakatnya sendiri. Sejatinya hukum dibuat untuk<br />

manusia, bukan manusia untuk hukum.<br />

E. Kesimpulan dan Saran<br />

Di Indonesia masih banyak kasus-kasus tentang kekerasan<br />

seksual Indonesia yang belum terbongkar. Meskipun kasusnya sudah<br />

teridentifikasi, proses penyelidikan dan peradilan sering terlambat.<br />

Lemahnya hukum di Indonesia juga dianggap sebagai pemicu mengapa<br />

kekerasan seksual terhadap anak-anak masih banyak terjadi.<br />

Perlu adanya kerjasama antara penegak hukum dan masyarakat<br />

sehingga masyarakat mau untuk melaporkan tindak kekerasan seksual<br />

tersebut dan para penegak hukum dapat memprosesnya dengan adil.<br />

Karena hukum diciptakan untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.<br />

Sebenarnya upaya pencegahan yang paling ampuh adalah<br />

dengan membentengi diri kita sendiri dengan nilai dan norma yang<br />

berlaku. Dengan tertanamnya sebuah nilai dan norma yang baik akan<br />

timbul pula pemikiran yang positif dan tindakan terpuji.<br />

Berikut ini adalah upaya pencegahan yang mungkin dapat<br />

dilakukan:<br />

1. Menanamkan nilai dan norma yang berlaku<br />

Seperti yang sebelumnya sudah disinggung bahwa dengan adanya<br />

penanaman sifat dan sikap yang baik kepada semua orang dan tak<br />

terkecuali, maka akan menimbulkan sifat positif yang baik pula.<br />

2. Perlu adanya tinjauan kembali terhadap undang-undang yang<br />

berhubungan dengan anak-anak, khususnya adalah tentang<br />

kekerasan seksual<br />

Tak sedikit orang yang menganggap bahwa hukuman pelaku<br />

kekerasan seksual terlalu ringan dan dirasa tidak adil karena<br />

hukuman dianggap ringan. Hal ini tentu tidak menimbulkan efek<br />

jera terhadap pelaku kekerasan seksual dan pelaku tetap berada<br />

pada penyimpangan seks tersebut. Lebih khawatirnya lagi adalah<br />

ketika munculnya pelaku-pelaku kekerasan seksual yang baru.<br />

3. Adanya sex education dengan proporsi yang sesuai<br />

Ini menjadi perdebatan yang serius karena jika kita salah satu<br />

langkah saja maka akan menyimpang. Tidak semua masyarakat<br />

setuju dengan sex education. Mereka yang tidak setuju adalah<br />

karena dipandang anak-anak belum harus mengetahui hal tabu<br />

tersebut, karena umur mereka masih belum dewas, hal ini<br />

dikhawatirkan malah sebaliknya, mereka akan penasaran dan<br />

mencoba melakukan hal tersebut. Mereka yang setuju adalah karena<br />

75


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

sex education itu dapat menjadi pegangan oleh anak-anak agar<br />

mereka mengetahui tentang pertumbuhan dan perubahan yang<br />

terjadi pada tubuh mereka.<br />

4. Adanya perlindungan dan perhatian dari keluarga kepada anakanaknya<br />

Tentu ini adalah hal yang terpenting. Selama keluarga masih dapat<br />

diandalkan dan merupakan tempat kembali setelah kepenatan dan<br />

saling menyayangi satu sama lain maka kecil kemungkinannya<br />

terjadi kekerasan seksual.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

. 2014. “Apa Itu Pelecehan/Kekerasan Seksual pada Anak dan<br />

Apa Bentuk-Bentuknya”. (Online), (http://infopsikologi.com/apaitu-bentuk-pelecehan-kekerasan-seksual-pada-anak-remaja/),<br />

diakses tanggal 10 oktober 2014.<br />

Huraerah, Abu. 2007. Child Abuse (Kekerasan terhadap Anak).<br />

Bandung: Penerbit Nuansa.<br />

Irfan, Muhammad dan Abdul Wahid. 2001. Perlindungan Terhadap<br />

Korban Kekerasan Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi<br />

Perempuan). Bandung: PT Refika Aditama.<br />

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.<br />

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.<br />

Umabaihi, Cua. 23 Juli 2012. “Pelecehan Seksual”.(Online),<br />

(http://sulapaluarit.blogspot.com/2012/07/pelecehanseksual_22.html),<br />

diakses tanggal 10 Oktober 2014.<br />

Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Peradilan Anak.<br />

76


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

TINJAUAN KRIMINOLOGIS TERHADAP<br />

TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN<br />

Oleh: Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya<br />

Abstrak<br />

Kekerasan seksual seringkali diidentikkan hanya sebatas pada tindakan<br />

pemerkosaan saja. Hal ini dikarenakan maraknya terjadi kasus<br />

pemerkosaan belakangan ini yang menimbulkan banyak keresahan<br />

dalam masyarakat khususnya kaum wanita dan orang tua. Apabila<br />

ditilik lebih lanjut, permasalahan kekerasan seksual memiliki lingkup<br />

yang sangat luas, dimana tidak hanya terbatas pada persoalan hukum<br />

saja, namun melibatkan faktor lain contohnya faktor internal dalam<br />

suatu masyarakat yaitu kebudayaannya. Kebudayaan dalam<br />

masyarakat merupakan cerminan nilai-nilai yang mayoritas mereka<br />

anut. Sehingga, tidak dapat kita pungkiri bahwa kebudayaan memegang<br />

andil yang cukup besar untuk menentukan bentuk penyelesaian kasus<br />

kekerasan seksual. Namun dipihak lain, kebudayaan tersebut ternyata<br />

dapat menjadi hambatan dalam penyelesaian hukum kasus kekerasan<br />

seksual disamping karakteristik peristiwa perkosaan itu sendiri yang<br />

membuat ketentuan yuridis positif menjadi sangat terbatas untuk<br />

menjangkaunya. Berkaitan dengan hal tersebut, dapat kiranya<br />

digunakan sudut pandang ilmu kriminologi untuk membantu kita<br />

memahami kasus kekerasan seksual.<br />

A. Latar Belakang<br />

Kejahatan merupakan suatu peristiwa yang apabila kita ingin<br />

memahaminya secara utuh, maka harus diliat dari berbagai sisi yang<br />

berbeda.Itu sebabnya dalam keseharian kita seringkali menangkap<br />

berbagai komentar tentang peristiwa kejahatan yang berbeda antara<br />

yang satu dengan yang lain.<br />

Mempelajari kejahatan dan masalah-masalah yang melekat<br />

padanya dapat dilakukan dengan mempelajari sifat dan bentuk serta<br />

perkembangan tingkah laku. Kejahatan sebagai suatu perilaku adalah<br />

suatu tindakan yang menyimpang, bertentangan dengan hukum atau<br />

melanggar peraturan perundang-undangan, serta merugikan masyarakat<br />

baik dipandang dari segi kesusilaan, kesopanan, dan ketertiban anggota<br />

masyarakat. 1 Salah satu bentuk kejahatan tindak pidana yang akan kami<br />

1 Abintoro Prakoso, Kriminologi dan Hukum Pidana, (Yogyakarta:<br />

Laksbang Grafika, 2013), hlm. 89.<br />

77


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

bahas secara khusus dan terjadi di dalam masyarakat adalah tindak<br />

pidana pemerkosaan. 2<br />

Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya yang berjudul Kejahatankejahatan<br />

Melanggar Kesopanan, kata zeden dalam titel asli Bab XIV<br />

buku ke-II dan Bab VI buku ke-III Kitab Undang-undang Hukum<br />

Pidana, yang ditulis beliau dengan kata yang sama yakni kesopanan,<br />

maka kesopanan dapat dibagi kedalam dua bidang, yaitu: 3<br />

1. Kesopanan di bidang kesusilaan (disebut zedelijkheid), dan<br />

2. Kesopanan di luar bidang kesusilaan (disebut zeden).<br />

Arti kesopanan yang dimaksud itu lebih luas dari kata<br />

kesusilaan, karena kesusilaan adalah bagian dari kesopanan. Namun<br />

kenyataannya, para ahli hukum kita menggunakan dua istilah, yaitu<br />

kesusilaan dan kesopanan sebagai salinan dari kata zeden dalam judul<br />

titel XVI buku II dan titel VI buku III Kitab Undang-undang Hukum<br />

Pidana. 4 Kejahatan kesopanan di bidang kesusilaan adalah kejahatan<br />

kesopanan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan masalah<br />

seksual, atau disebut kejahatan kesusilaan. Tindak pidana perkosaan ini<br />

termasuk ke dalam salah satunya. 5<br />

Tb. Ronny Rahman Nitibaskara (Guru Besar Kriminologi<br />

Universitas Indonesia), mengatakan: 6<br />

“Terdapat tiga faktor tindak kekerasan seksual terhadap anak<br />

bisa terjadi. Pertama, pelaku menderita penyimpangan seksual<br />

(pedofilia), bahkan ada yang melakukan mutilasi (sadism).<br />

Kedua, pelaku penderita psikopat, sehingga sulit disembuhkan<br />

dan tidak akan pernah menyesali perbuatannya. Ketiga, pelaku<br />

sedang melakukan ritual ilmu hitam dengan syarat harus<br />

melakukan hubungan seks dengan anak dibawah umur. Dari<br />

ketiga faktor tersebut, masalah utama adalah lemahnya<br />

perlindungan terhadap anak baik dari orang tua, keluarga,<br />

lingkungan, dan terakhir adalah pemerintah”.<br />

Kasus kekerasan seksual seringkali melibatkan pelaku yang<br />

sebelumnya telah dikenal oleh korban, atau dengan kata lain merupakan<br />

2 Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah<br />

Prevensinya, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm. 64.<br />

3 Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, (Jakarta: PT<br />

Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 4.<br />

4 Ibid.<br />

5 Ibid, hlm. 5.<br />

6 Website Komisi Perlindungan Anak Indonesia,Jakarta, 15 Agustus<br />

2014, Indonesia Darurat Kejahatan Seksual Anak, http://www.kpai.go.id/<br />

berita/indonesia-darurat-kejahatan-seksual-anak/, diakses pada tanggal 10<br />

September 2014.<br />

78


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

orang yang dekat dengan kehidupan sehari-hari korban. Menurut Rita<br />

Selena Kolibonso, Direktur Eksekutif Mitra Perempuan, Yayasan<br />

Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan: 7<br />

“Jika pelaku memiliki hubungan keluarga dengan korban,<br />

apalagi ialah ayah korban sendiri, makin sulit untuk<br />

menjangkau korban apalagi memprosesnya secara hukum,<br />

orang tua cenderung menjaga korban untuk tidak menjalani<br />

proses hukum, ibu korban juga sulit diharapkan untuk<br />

membantu karena takut kepada suami dan keluarga. Padahal<br />

dalam proses hukum seorang anak yang berusia kurang dari 12<br />

tahun harus didampingi orang tua atau wali.”<br />

Masalah kekerasan seksual di Indonesia, khususnya terhadap<br />

wanita dan anak perlu mendapat perhatian yang intensif. Selain<br />

memang karena mayoritas korban kekerasan seksual adalah wanita dan<br />

anak-anak, terdapat pula kecenderungan bahwa mereka sering diabaikan<br />

oleh lembaga-lembaga yang seharusnya memberikan perhatian dan<br />

perlindungan yang cukup berdasarkan hukum. 8 Sebagaimana kita<br />

ketahui, dampak dari perilaku tersebut terhadap anak-anak sangatlah<br />

besar, yaitu dapat merusak mental korban bahkan seringkali<br />

menyebabkan korban mengalami keterbelakangan mental akibat trauma<br />

yang dirasakannya. Atas dasar itulah, menjadi sangat penting jika kita<br />

terus mencari solusi terbaik guna pencegahan serta penanggulangan dari<br />

kekerasan seksual. 9<br />

Data yang dihimpun Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap<br />

Perempuan menunjukkan sedikitnya terdapat 35 perempuan menjadi<br />

korban kekerasan seksual setiap harinya. Pada tahun 2012, tercatat<br />

4.336 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Perkosaan dan<br />

pencabulan merupakan jenis kekerasan yang paling banyak ditangani,<br />

dan mencapai angka 1.620 kasus. Kekerasan seksual tersebut terjadi<br />

baik terjadi baik di lingkungan rumah, di tengah-tengah masyarakat<br />

maupun dilakukan oleh aparat negara. 10<br />

Apabila kita hubungkan dengan sistem peradilan pidana yang<br />

digariskan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, dimana<br />

menerapkan sebuah “sistem terpadu” (integrated criminal justice<br />

7 Ibid, hlm. 2-3.<br />

8 Mien Rukmini, Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi (Sebuah<br />

Bunga Rampai), (Bandung: P.T. Alumni, 2009), hlm. 1.<br />

9 Ibid, hlm. 3.<br />

10 Website Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan,<br />

Jakarta, 25 November 2013, Segerakan Penanganan yang Mumpuni bagi<br />

Perempuan Korban Kekerasan Seksual, http://www.komnasperempuan.or.id/2013/11/siaran-pers-kampanye-16-hari-anti-kekerasanterhadap-perempuan-25-november-10-desember-2013/,<br />

diakses pada tanggal<br />

17 September 2014.<br />

79


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

system). Sistem terpadu ini diletakkan di atas landasan prinsip<br />

diferensiasi fungsional di antara aparat penegak hukum sesuai dengan<br />

“tahap proses kewenangan” yang diberikan undang-undang kepada<br />

masing-masing. 11 Dari gambaran singkat integrated criminal justice<br />

system, dapat dilihat: berhasil atau tidak fungsi proses pemeriksaan<br />

sidang pengadilan yang dilakukan Jaksa Penuntut Umum dan Hakim<br />

menyatakan terdakwa “salah” serta “memidananya”, sangat tergantung<br />

atas “hasil penyidikan” Polri. 12<br />

Berangkat dari latar belakang diatas, penulis ingin melakukan<br />

penelitian faktor-faktor kriminologis apa yang menyebabkan terjadinya<br />

tindak pidana pemerkosaan, serta upaya penegakan hukum apa yang<br />

dilakukan oleh aparat penegak hukum di tingkat penyidikan oleh pihak<br />

Kepolisian Resort Ogan Ilir dalam mengatasi tindak pidana pencabulan<br />

yang terjadi di wilayah hukum Kabupaten Ogan Ilir ini dengan judul<br />

“Tinjauan Kriminologis terhadap Tindak Pidana Pemerkosaan.<br />

B. Landasan Teori<br />

1. Tinjauan Umum Tentang Kriminologi<br />

1.1. Pengertian Kriminologi<br />

Kriminologi (criminology) atau ilmu kejahatan sebagai disiplin<br />

ilmu sosial atau non-normative discipline yang mempelajari kejahatan<br />

dari segi sosial. Kriminologi disebut sebagai ilmu yang mempelajari<br />

manusia dalam pertentangannya dengan norma-norma sosial tertentu,<br />

sehingga kriminologi juga disebut sebagai sosiologi penjahat.<br />

Kriminologi berusaha untuk memperoleh pengetahuan dan pengertian<br />

mengenai gejala sosial di bidang kejahatan yang terjadi di dalam<br />

masyarakat, atau dengan kata lain mengapa sampai terdakwa melakukan<br />

perbuatan jahatnya itu. 13<br />

Kriminologi berasal dari bahasa latin yang terdiri atas dua suku<br />

kata yakni “crimen” dalam bahasa Indonesia berarti kejahatan dan<br />

“logos” berarti ilmu pengetahuan. Secara sederhana dapat dikatakan<br />

kriminologi adalah ilmu pengetahuan tentang kejahatan atau ilmu<br />

tentang kejahatan.. 14<br />

Jika dikaji secara mendalam, dapat ditarik kesmipulan<br />

mengenai perkembangan kriminologi untuk menjadi disiplin ilmu yang<br />

berdiri sendiri, yaitu: 15<br />

11<br />

Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan<br />

KUHAP, Ed. 2, Cet. 14, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 90.<br />

12 Ibid, hlm.91.<br />

13 Abintoro Prakoso, Op. Cit, hlm. 1.<br />

14 Syarifuddin Pettanasse, Op. Cit, hlm. 1.<br />

15<br />

Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi,<br />

(Bandung: PT. Eresco, 1992), hlm. 5-6.<br />

80


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

a. Kriminologi merupakan studi tentang tingkah laku manusia yang<br />

tidak jauh berbeda dengan studi tingkah laku lainnya yang bersifat<br />

nonkriminal.<br />

b. Kriminologi merupakan ilmu yang bersifat intern dan multi-disiplin,<br />

bukan ilmu yang bersifat monodisiplin.<br />

c. Kriminologi berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu<br />

pengetahuan lainnya.<br />

d. Perkembangan studi kejahatan telah membedakan antara kejahatan<br />

sebagai suatu tingkah laku dan pelaku kejahatan sebagai subjek<br />

perlakuan sarana peradilan pidana.<br />

e. Kriminologi telah menempatkan dirinya sejajar dengan ilmu<br />

pengetahuan lainnya, sehingga tidak lagi merupakan bagian<br />

daripadanya.<br />

Kriminologi memiliki peran yang penting perkembangan serta<br />

pembaharuan ilmu hukum pidana. Peran yang penting tersebut salah<br />

saunya dikarenakan kriminologi memberikan kontribusinya dalam<br />

menentukan ruang lingkup daripada kejahatan atau perilaku yang dapat<br />

dihukum, sedangkan hukum pidana bukanlah merupakan silogisme dari<br />

pencegahan kejahatan, akan tetapi merupakan jawaban terhadap adanya<br />

kejahatan. Kriminologi dibutuhkan oleh hukum pidana, sebab hasilhasil<br />

dari penyelidikannya dapat dipergunakan untuk menyusun<br />

undang-undang untuk memberantas kejahatan. 16<br />

1.2. Teori Kriminologi tentang Sebab-sebab Kejahatan<br />

Dalam ilmu kriminal, etiologi kriminal (criminele aetiologie)<br />

adalah ilmu yang menyelidiki tentang sebab-sebab terjadinya kejahatan<br />

atau asal usul kejahatan (kausa kejahatan). Di samping fenomena<br />

kejahatan yang sukar dirumuskan sehubungan dengan sifat kriminalitas<br />

itu sendiri, maka dengan sendirinya sukar pula untuk dapat menemukan<br />

sebab-musabab kejahatan. 17<br />

Kriminologi bertujuan mempelajari kejahatan, sehingga yang<br />

menjadi misi kriminologi adalah: 18<br />

a. Apa yang dirumuskan sebagai kejahatan dan fenomenanya yang<br />

terjadi di dalam kehidupan masyarakat, kejahatan apa dan siapa<br />

penjahatnya merupakan bahan penelitian para kriminolog;<br />

b. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya atau<br />

dilakukannya kejahatan.<br />

16 Syarifuddin Pettanasse, Op. Cit., hlm. 24.<br />

17 Abintoro Prakoso, Op. Cit, hlm. 97.<br />

18 Ibid. hlm. 21.<br />

81


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Menurut Bonger, adapun beberapa unsur yang turut menjadi<br />

penyebab terjadinya kejahatan dari hasil penelitian dan penyelidikan<br />

adalah sebagai berikut: 19<br />

a. Terlantarnya anak-anak 20<br />

Terlantarnya anak-anak menyebabkan tidak optimalnya<br />

penyampaian nilai serta norma yang baik kepada anak tersebut.<br />

Sehingga, besar kemungkinkan kelak dewasa sang anak akan besar<br />

dengan nilai-nilai yang diterimanya di lingkungan tanpa mengetahui<br />

mana yang benar dan salah. Hal-hal demikian tersebut dapat<br />

menimbulkan dampak berkelanjutan yang besar, yaitu melahirkan<br />

generasi penjahat.<br />

b. Kesengsaraan 21<br />

Faktor ekonomi menjadi salah satu penentu paling berpengaruh dan<br />

tidak terelakkan dalam menentukan perilaku hidup seseorang.<br />

Tingginya harga kebutuhan pokok dan kebutuhan lainnya tak dapat<br />

diabaikan terhadap meningkatnya kejahatan.<br />

c. Nafsu ingin memiliki 22<br />

Kesengsaraan dalam masyarakat merupakan unsur sosiologis akan<br />

terjadinya kejahatan.<br />

d. Demoralisasi seksual 23<br />

Psiko-patologi menyatakan bahwa lingkungan pendidikan seseorang<br />

pada waktu mudanya amat berpengaruh terhadap adanya kelainan<br />

seksual, terutama berkaitan dengan kejahatan.<br />

e. Alkoholisme 24<br />

Pengaruh alkoholisme terhadap kejahatan sampai sekarang masih<br />

menempati posisi yang cukup besar dan beragam.<br />

f. Rendahnya budi pekerti 25<br />

Lingkungan masyarakat yang kurang mempertahankan norma-norma<br />

yang berlaku termasuk rendahnya pendidikan dan pengetahuan juga<br />

berakibat bagi seseorang untuk melakukan kejahatan. Hal demikian<br />

disebabkan oleh kurangnya kontrol sosial dari lingkungan.<br />

2. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana<br />

2.1. Pengertian Tindak Pidana<br />

Dalam doktrin hukum, dikenal dua paham yang saling<br />

bertentangan dalam mengkaji dan memandang stafbaar feit, yaitu<br />

paham monisme dan paham dualisme. Paham monisme tidak secara<br />

19 Ibid. hlm. 97.<br />

20 Ibid. hlm. 98.<br />

21 Ibid.<br />

22 Ibid, hlm. 99.<br />

23 Ibid, hlm. 100.<br />

24 Ibid.<br />

25 Ibid, hlm. 101.<br />

82


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

tegas memisahkan antara unsur tindak pidana dengan unsur syaratsyarat<br />

dipidananya si pembuat, sedangkan paham dualisme memisahkan<br />

antara unsur-unsur yang mengenai tindak pidana dan unsur-unsur<br />

mengenai syarat dipidananya si pembuat. 26<br />

Tindak pidana adalah perbuatan yang melanggar larangan yang<br />

diatur oleh aturan hukum yang diancam dengan sanksi pidana. 27 Hal ini<br />

berarti perbuatan yang tidak boleh dilakukan adalah perbuatan yang<br />

menimbulkan akibat dilarang dan diancam sanksi pidana bagi orang<br />

yang melakukan perbuatan tersebut. Perumusan yang lazim dari<br />

pengertian tindak pidana (strafbaar feit) adalah suatu kelakuan manusia,<br />

yang termaksud dalam batas-batas perumusan suatu delik yang<br />

melawan hukum, dan disebabkan karena kesalahan dari pada si<br />

petindak. 28<br />

3. Tinjauan Umum Tentang Pemerkosaan<br />

3.1. Pengertian Pemerkosaan<br />

Tindak pidana perkosaan sebagaimana diatur dalam pasal 285<br />

KUHP adalah: “Barangsiapa yang dengan kekerasan atau dengan<br />

ancaman memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan<br />

dia, karena perkosaan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya<br />

dua belas tahun”.<br />

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perkosaan berasal dari<br />

kata “perkosa” yang berarti paksa, gagah, kuat, perkasa. Memperkosa<br />

berarti menundukkan dengan kekerasan, menggagahi, melanggar<br />

(menyerang, dsb) dengan kekerasan. Sedangkan pemerkosaan diartikan<br />

sebagai proses, cara, perbuatan memperkosa, melanggar dengan<br />

kekerasan.<br />

Berdasarkan uraian tersebut, maka pengertian perkosaan adalah:<br />

1) Suatu hubungan kelamin yang dilarang dengan seseorang wanita<br />

tanpa persetujuannya.<br />

2) Persetubuhan yang tidak sah oleh seorang pria terhadap seorang<br />

wanita yang dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan<br />

kemauan atau kehendak wanita yang bersangkutan.<br />

3) Perbuatan hubungan kelamin yang dilakukan seorang pria terhadap<br />

seorang wanita yang bukan istrinya atau tanpa persetujuannya,<br />

dilakukan ketika wanita tersebut ketakutan atau di bawah kondisi<br />

ancaman lannya. (Suryono Ekotama dkk, 2001: 99).<br />

26 Adam Chazawi, Hukum Pidana Positif Penghinaan, (Surabaya: Putra<br />

Media Nusantara, 2009), hlm. 16.<br />

27 Suharto R.M., Hukum Pidana Materil (Unsur-Unsur Objektif Sebagai<br />

Dasar Dakwaan), Jakarta: Sinar Grafika, 2002, hlm. 28.<br />

28 H.A.K. Moch. Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus Jilid I,<br />

Bandung: Alumni, 1989, hlm. 12.<br />

83


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Rumusan pada pasal 285 KUHP menyebutkan bahwa<br />

“Barangsiapa yang dengan kekerasan atau dengan ancaman memaksa<br />

perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, karena<br />

perkosaan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas<br />

tahun.”<br />

Mencermati dari pasal 285 KUHP diatas, diketahui bahwa<br />

perkosaan (pemerkosaan) memiliki unsur “memaksa” dan “dengan<br />

kekerasan”. Tindak pidana pada pasal 285 KUHP ini mirip dengan<br />

tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 289 KUHP yang<br />

dirumuskan sebagai: “Dengan kekerasan atau ancaman kekerasaan<br />

memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan<br />

perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang<br />

kehormatan kesusilaan dengan pidana penjara paling lama 9 tahun”.<br />

Perbuatan yang dipaksakan dalam pasal 289 itu merupakan<br />

perbuatan cabul yang mengandung pengertian umum, yang meliputi<br />

juga perbuatan bersetubuh dari pasal 285 sebagai pengertian khusus.<br />

Kedua tindak pidana tersebut mempunyai beberapa perbedaan<br />

pengertian, yaitu:<br />

1) “Perkosaan untuk bersetubuh” yang diatur dalam pasal 285 KUHP<br />

hanya dapat dilakukan oleh seorang pria terhadap seorang wanita,<br />

sedangkan “perkosaan untuk cabul” pada pasal 289 KUHP juga<br />

dapat dilakukan oleh seorang wanita terhadap seorang pria.<br />

2) “Perkosaan untuk bersetubuh” hanya dapat dilakukan di luar<br />

perkawinan, sehingga seorang suami boleh saja memperkosa<br />

istrinya untuk bersetubuh, sedangkan “perkosaan untuk cabul” juga<br />

dapat dilakukan di dalam perkawinan, sehingga tidak boleh seorang<br />

suami memaksa istrinya untuk cabul, atau seorang isteri memaksa<br />

suaminya untuk cabul (M. Sudradjat Bassar, 1986: 166).<br />

Delik ini adalah delik sengaja yang tersirat pada cara melakukan<br />

perbuatan tersebut, yaitu dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.<br />

Tindakan yang dilarang dalam pasal ini adalah dengan kekerasan<br />

memaksa seorang wanita bersetubuh dengan ia di luar perkawinan<br />

(Djoko Prakoso, 1988: 51).<br />

3.2. Unsur-unsur Tindak Pidana Pemerkosaan<br />

KUHP Indonesia yang dijadikan acuan utama bagi kalangan<br />

praktisi hukum untuk menjaring pelaku kejahatan kekerasa seksual<br />

mengandung kekurangan secara substansial dalam hal melindungi<br />

korban kejahatan. Tindak pidana perkosaan dalam KUHP dapat<br />

dibedakan menjadi dua yaitu:<br />

1) Tindak pidana perkosaan untuk bersetubuh yang diatur dalam pasal<br />

285<br />

84


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

2) Tindak pidana perkosaan untuk berbuat cabul yang diatur dalam<br />

pasal 289<br />

Ad.1 Pasal 285 KUHP,”Barangsiapa dengan kekerasan atau<br />

ancaman kekerasan memaksa seorang perempuan bersetubuh dengan<br />

dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan<br />

pidana penjara paling lama dua belas tahun”.<br />

Inti delik dari pasal 285 ini adalah:<br />

a. Perbuatan yang dilakukan harus dengan kekerasan atau ancaman<br />

kekerasan<br />

b. Perbuatan yang dilakukan harus dengan paksa sehingga perempuan<br />

itu tidak dapat melawa dan terpaksa melakukan persetubuhan.<br />

c. Perempuan yang disetubuhi tersebut bukan istrinya, artinya tidak<br />

dikawini secara sah.<br />

d. Melakukan persetubuhan, berarti terjadi hubungan biologis antara<br />

pembuat dan perempuan yang dipaksa tersebut.<br />

Unsur dari pasal 285 itu adalah:<br />

1) Barang siapa;<br />

2) Dengan kekerasan;<br />

3) Dengan ancaman kekerasan;<br />

4) Memaksa;<br />

5) Seorang wanita (diluar perkawinan);<br />

6) Bersetubuh.<br />

Sanksi hukuman berupa pemidanaan yang terumus dalam pasal<br />

285 KUHP tersebut menyebutkan bahwa paling lama hukuman yang<br />

akan ditanggung oleh pelaku adalah duabelas tahun penjara. Hal ini<br />

adalah ancaman hukuman secara maksimal, dan bukan sanksi hukum<br />

yang sudah dibakukan harus diterapkan begitu. Tidak terdapat sanksi<br />

minimal, sehingga terhadap pelaku dapat diterapkan berapa pun<br />

lamanya hukuman penjara sesuai dengan “selera” yang menjatuhkan<br />

vonis. Dalam pasal 285 KUHP tidak ditegaskan apa yang menjadi unsur<br />

kesalahan. apa “sengaja” atau “alpa”. Tapi dengan dicantumkannya<br />

unsur “memaksa” kiranya jelas bahwa perkosaan harus dilakukan<br />

dengan “sengaja”. Pemaknaan ini lebih condong pada unsur<br />

kesengajaan untuk berbuat, artinya ada kecenderungan semi terencana<br />

dalam melakukan perbuatan kejahatan. Tanpa didahului oleh niat seperti<br />

ini, maka perbuatan itu akan sulit terlaksana.<br />

Ad 1.Unsur “barang siapa”<br />

Barang siapa sebagai subyek tindak pidana dalam KUHP<br />

memang tidak ada penjelasan yang expressis verbis. Namun jika kita<br />

simak pasal 2, 44, 45, 46, 48, 49, 50, dan 51 KUHP dapat disimulkan<br />

85


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

bahwa yang dimaksud dengan “barang siapa” adalah manusia atau<br />

badan hukum.<br />

Ad 2. Unsur “Kekerasan”<br />

Kekerasan adalah kekuatan fisik atau perbuatan fisik yang<br />

menyebabkan orang lain secara fisik tidak berdaya tidak mampu<br />

melakukan perlawanan atau pembelaan. Wujud dari kekerasan dalam<br />

tindak pidana perkosaan antara lain bisa berupa perbuatan mendekap,<br />

mengikat, membius, menindih, memegang, melukai, dan lain<br />

sebagainya perbuatan fisik yang secara objektif dan fisik menyebabkan<br />

orang yang terkena tidak berdaya.<br />

Ad 3. Unsur ancaman kekerasan<br />

Ancaman kekerasan dapat berupa serangan psikis yang<br />

menyebabkan orang menjadi ketakutan sehingga tidak mampu<br />

melakukan pembelaan atau perlawanan atau kekerasan yang belum<br />

diwujudkan tapi yang menyebabkan orang yang terkena tidak<br />

mempunyai pilihan selain mengikuti kehendak orang yang mengancam<br />

dengan kekerasan.<br />

Ad 4. Unsur “Memaksa”<br />

Memaksa dalam perkosaan menenjukkan adanya pertentangan<br />

kehendak antara pelaku dengan korban. Karenanya, tidak ada perkosaan<br />

apabila tidak ada pemaksaan dalam arti hubungan itu dilakukan atas<br />

dasar suka sama suka. Sebagaimana juga tidak akan ada kekerasan atau<br />

ancaman kekerasan bila tidak ada memaksa.<br />

Ad 5. Unsur bahwa yang dipaksa untuk bersetubuh adalah “wanita<br />

diluar perkawinan” atau tidak terikat perkawinan dengan pelaku. Dari<br />

adanya unsur ini dapat disimpulkan bahwa:<br />

a. perkosaan hanya terjadi oleh laki-laki terhadap wanita<br />

b. tidak ada perkosaan untuk bersetubuh oleh wanita terhadap<br />

laki-laki, laki-laki terhadap laki-laki atau wanita terhadap<br />

wanita.<br />

c. tidak ada perkosaan untuk bersetubuh bila dilakukan oleh lakilaki<br />

yang terikat perkawinan dengan wanita yang menjadi<br />

korban atau tidak ada perkosaan untuk bersetubuh oleh suami<br />

terhadap isteri yang kita kenal dengan marital rape (perkosaan<br />

yang dilakukan oleh suami terhadap isterinya).<br />

Ad 6. Unsur bersetubuh<br />

Selesainya tindakan perkosaan ditandai dengan terjadinya<br />

persetubuhan antara pelaku dengan korban, dalam arti tidak ada tindak<br />

pidana perkosaan untuk bersetubuh manakala tidak terjadi<br />

86


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

persetubuhan. Persetubuhan yakni masuknya penis laki-laki ke dalam<br />

kemaluan perempuan menjadi syarat utamanya.<br />

C. Hasil Penelitian<br />

Kekerasan seksual dengan keadaan lingkungan sekitar memiliki<br />

hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini penulis kemukakan<br />

bukan tanpa alasan. Berdasarkan penelitian penulis di Wilayah<br />

Kabupaten Ogan Ilir, penulis menemukan bahwa persentase kekerasan<br />

seksual khususnya pemerkosaan yang terjadi di wilayah ini cukup tinggi<br />

dan mengalami peningkatan disetiap tahunnya.<br />

Menurut data yang penulis dapatkan dari Polres Ogan Ilir,<br />

tercacat 13 kasus pemerkosaan terjadi pada tahun 2012. Kasus ini tidak<br />

berhenti pada angka itu saja, pada tahun 2013 terjadi suatu peningkatan<br />

yang bisa dikatakan sangat signifikan yaitu tercatat terjadi 20 kasus<br />

yang sama. Pada tahun 2014 ini sampai dengan bulan Oktober jumlah<br />

kasus pemerkosaan yang terjadi mencapai 20 kasus dan tidak menutup<br />

kemungkinan bahwa angka ini akan terus meningkat mengingat<br />

kebanyakan kasus terjadi menjelang pergantian tahun.<br />

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kasus<br />

pemerkosaan di wilayah ini. Seperti yang telah penulis kemukakan<br />

diawal bahwa keadaan lingkungan sangat berpengaruh, dimana<br />

lingkungan di wilayah ini lebih dikenal dengan wataknya yang keras<br />

sehingga tidak menjadi hal yang tabu lagi ketika kekerasan seksual<br />

berada pada persentase yang cukup tinggi.<br />

Pihak kepolisian (Polres Ogan Ilir) sendiri telah melakukan<br />

upaya penanggulangan dalam rangka menekan persentase kasus<br />

pemerkosaan yang terjadi. Upaya tersebut salah satunya ialah<br />

melakukan sosialisasi mengenai kesehatan reproduksi dan dampak<br />

pacaran. Dalam sosialisasi tersebut dijelaskan pula bentuk-bentuk<br />

kekerasan seksual dan faktor penyebab terjadinya pemerkosaan. Upaya<br />

ini tidak hanya dilakukan oleh Pihak Polres saja tetapi juga turut<br />

melibatkan Komnas Perlindungan Perempuan dan Anak serta ormasormas<br />

yang bergerak dibidang ini dilingkungan Ogan Ilir.<br />

Menurut penulis, perlu juga dilakukan upaya tambahan selain<br />

sosialisasi, yaitu dengan melakukan tambahan jam pelajaran dan mata<br />

kuliah keagamaan di sekolah dan perguruan tinggi atas dasar penerapan<br />

sila Ketuhanan Yang Maha Esa.<br />

Namun, terdapat sedikit hambatan dalam hal penegakkan<br />

hukum terhadap kasus pemerkosaan ini. Dimana dalam suatu tindak<br />

pidana dibutuhkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang<br />

menerangkan telah terjadinya suatu tindakan tersebut. Disini tindak<br />

pidana perkosaan merupakan kasus yang kasuistis, maksudnya tindak<br />

pidana perkosaan hanya dapat dibuktikan dengan alat bukti dan barang<br />

bukti bahwa tindak pidana tersebut telah terjadi. Dalam membuktikan<br />

87


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

telah terjadi atau belum tindak pidana perkosaan sering mengalami<br />

kesulitan. Kesulitan yang dimaksud yaitu tidak terdapatnya saksi yang<br />

melihat langsung kejadian kecuali saksi korban dan terdakwa saja, serta<br />

terdakwa tidak mau mengakui bahwa kejadian tersebut tidak ia lakukan<br />

atau terdakwa selalu berkelik bahwa perbuatan tersebut dilakukan atas<br />

dasar suka-sama suka. Selanjutnya ketika tindak pidana ini terjadi<br />

dalam lingkungan keluarga, pihak kepolisian juga memiliki kesulitan<br />

dalam menanganinya dikarenakan pihak keluarga tidak mau<br />

menceritakan kronologis terjadinya sebab mereka beranggapan bahwa<br />

itu merupakan sebuah aib bagi keluarga. Sehingga, dalam hal ini hakim<br />

akan sangat sulit untuk membuktikan dan memutus perkara tersebut.<br />

Hal ini juga di perburuk dengan etika para penegak hukum yang kurang<br />

etis dalam menangani dan memutus perkara perkosaan.<br />

D. Kesimpulan dan Saran<br />

Secara teori banyak faktor yang menyebabkan terjadinya tindak<br />

pidana perkosaan. Apabila faktor tersebut ditinjau dari motif pelaku<br />

dalam melakukan perbuatan perkosaan, maka terdiri atas:<br />

1) Seductive rape: pemerkosaan yang terjadi karena pelaku merasa<br />

terangsang nafsu birahi, dan ini bersifat sangat subjektif.<br />

2) Sadistic rape: pemerkosaan yang dilakukan secara sadis.<br />

3) Anger rape: pemerkosaan yang dilakukan sebagai ungkapan<br />

kemarahan pelaku.<br />

4) Domination rape: pemerkosaan ingin menunjukkan dominasinya<br />

pada korban.<br />

5) Exploitation rape: perkosaan terjadi karena ketergantungan korban<br />

pada pelaku, baik secara ekonomis maupun sosial.<br />

Fakta di lapangan (Kabupaten Ogan Ilir) menunjukkan bahwa<br />

keadaan lingkungan juga sangat berpengaruh dalam terjadinya tindak<br />

pidana ini, lingkungan yang keras membentuk watak masyarakat yang<br />

juga keras sehingga kekerasan seksual dalam hal ini pemerkosaan<br />

rentan terjadi di wilayah ini Selanjutnya, faktor penyebab terjadinya<br />

kasus ini karena faktor pergaulan atau interaksi sosial masyarakat.<br />

Solusi lain yang dapat diterapkan yaitu dengan mengadakan<br />

tambahan jam pelajaran dan mata kuliah keagamaan di sekolah dan<br />

perguruan tinggi atas dasar penerapan sila Ketuhanan Yang Maha Esa.<br />

Dalam hal ini, penulis juga mengharapkan dukungan dan<br />

partisipasi dari masyarakat sehingga apa yang dicita-citakan oleh<br />

kepolisian dapat terwujud.<br />

88


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Ariman, Rasyid dan Fahmi Raghib. 2011. Hukum Pidana (Tindak<br />

Pidana, Pertanggungjawaban Pidana, Pidana dan<br />

Pemidanaan). Palembang: Universitas Sriwijaya.<br />

Atmasasmita, Romli. 1992.Teori dan Kapita Selekta Kriminologi.<br />

Bandung: PT. Eresco.<br />

Chazawi, Adam. 2009.Hukum Pidana Positif Penghinaan. Surabaya:<br />

Putra Media Nusantara.<br />

Chazawi, Adami. 2007. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan. Jakarta:<br />

P.T. Raja Grafindo Persada.<br />

H.A.K. Moch. Anwar. 1989. Hukum Pidana Bagian Khusus Jilid I.<br />

Bandung: Alumni.<br />

Harahap, Yahya. 2012.Pembahasan Permasalahan dan Penerapan<br />

KUHAP, Ed. 2, Cet. 14. Jakarta: Sinar Grafika.<br />

Marpaung, Leden. 2004.Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah<br />

Prevensinya. Jakarta: Sinar Grafika.<br />

Prakoso, Abintoro. 2013.Kriminologi dan Hukum Pidana. Yogyakarta:<br />

Laksbang Grafika.<br />

R.M, Suharto. 2002.Hukum Pidana Materil (Unsur-Unsur Objektif<br />

Sebagai Dasar Dakwaan). Jakarta: Sinar Grafika.<br />

Rukmini, Mien. 2009.Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi (Sebuah<br />

Bunga Rampai). Bandung: P.T. Alumni.<br />

Santoso, Topo dan Eva Achjani Zulfa. 2010. Kriminologi. Jakarta:<br />

Rajawali Pers.<br />

http://www.hukumonline.comberitabacahol2472kekerasan-seksualmitos-dan-realitas.Diakses<br />

pada tanggal 22 Oktober 2014.<br />

http://www.kpai.go.id/berita/indonesia-darurat-kejahatan-seksual-anak/.<br />

Diakses pada tanggal 10 November 2014.<br />

http://www.komnasperempuan.or.id/2013/11/siaran-pers-kampanye-16-<br />

hari-anti-kekerasan-terhadap-perempuan-25-november-10-<br />

desember-2013/. Diakses pada tanggal 17 September 2014.<br />

89


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

PERANAN ALAT BUKTI DAN ETIKA APARAT PENEGAK<br />

HUKUM DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA<br />

PERKOSAAN DI INDONESIA<br />

Oleh: Fakultas Hukum Universitas Trisakti<br />

(Pemenang Kompetisi Penulisan Makalah Komisi 2)<br />

Abstrak<br />

Masalah tindak pidana perkosaan menjadi permasalahan serius yang<br />

terjadi di Indonesia. Proses pembuktian kasus perkosaan dengan alat<br />

bukti dan etika aparat penegak hukum dalam proses pemeriksaan<br />

memegang peranan yang sangat vital dalam membongkar kasus<br />

perkosaan. Sulitnya proses pembuktian dalam mengungkap kasus<br />

perkosaan menjadi permasalahan yang kompleks. Peranan kecepatan<br />

korban kasus perkosaan dalam melaporkan kasus perkosaan yang<br />

dialaminya menjadi sangat krusial dalam proses pembuktian untuk<br />

mengarah ke pelakunya. Permasalahan penelitian ini antara lain untuk<br />

dapat memahami pengertian perkosaan, mengetahui bagaimana proses<br />

pembuktian dalam kasus perkosaan, bagaimana kekuatan pembuktian<br />

dalam kasus perkosaan, dan bagaimana etika aparat penegak hukum<br />

dalam pemeriksaan kasus perkosaan. Tujuan yang diambil dalam<br />

penulisan makalah ini antara lain untuk mengetahui definisi perkosaan,<br />

mengetahui proses pembuktian kasus perkosaan di Indonesia,<br />

mengetahui seberapa kuat pembuktian dalam kasus perkosaan untuk<br />

mengarah ke pelakunya, dan untuk mengetahui etika aparat penegak<br />

hukum dalam pemeriksaan kasus perkosaan.<br />

A.Latar Belakang<br />

Perempuan secara kodrati mempunyai kemampuan khusus<br />

sebagai manusia untuk dapat melahirkan dan menyusui. Oleh karena itu,<br />

perempuan hendaknya mendapatkan perlindungan hukum yang baik,<br />

yang menempatkan derajat perempuan setinggi-tingginya. Namun,<br />

kenyataannya di Indonesia perempuan seolah-olah menjadi sasaran<br />

empuk bagi pelaku tindak pidana. Salah satu tindak pidana yang sering<br />

menyerang kaum perempuan adalah kasus kekerasan seksual.<br />

Pengertian kekerasan seksual terhadap perempuan adalah setiap<br />

perbuatan berdasarkan pembedaan berbasis gender yang berakibat<br />

kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau<br />

psikologis, termasuk ancaman terjadinya perbuatan tersebut,<br />

pemaksaan, atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang, baik<br />

yang terjadi di ruang publik maupun di ruang privat. 1<br />

1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, pasal 1.<br />

90


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) membagi<br />

kekerasan seksual menjadi lima belas jenis, yaitu perkosaan,<br />

perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, pelecehan seksual,<br />

penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, percobaan<br />

perkosaan, kontrol seksual, pemaksaan aborsi, penghukuman bernuansa<br />

seksual, pemaksaan perkawinan, prostitusi paksa, pemaksaan<br />

kehamilan, praktik tradisi bernuansa seksual, dan pemaksaan<br />

kontrasepsi. 2<br />

Menurut Fatuma Hashi,“..as a human rights and development<br />

desecration, indeed a grave humanitarian concern, violence against<br />

woman demands responses at all level; from individual and family<br />

through community, national and international levels..”. 3 Pembangunan<br />

hak asasi manusia dalam keterkaitannya dengan kekerasan seksual pada<br />

perempuan harus menjadi perhatian serius karena menyangkut<br />

kemanusiaan. Kekerasan terhadap perempuan menuntut peranan dari<br />

semua level, dari individu, keluarga, komunitas, nasional, dan tingkat<br />

internasional.<br />

Pada makalah ini akan dibahas kekerasan seksual berupa<br />

perkosaan yang terjadi pada perempuan. Menurut R. Sugandhi,<br />

perkosaan didefinisikan dengan “seorang pria yang memaksa kepada<br />

seorang wanita bukan istrinya untuk melakukan persetubuhan<br />

dengannya dengan ancaman kekerasan yang mana diharuskan kemaluan<br />

pria ke dalam lubang kemaluan seorang wanita yang kemudian<br />

mengeluarkan air mani.” 4<br />

Di Indonesia, kasus perkosaan menjadi momok yang<br />

menyeramkan karena terus-menerus terjadi. Menurut data yang<br />

dipublikasikan oleh Komnas Perempuan, kasus kekerasan seksual yang<br />

paling banyak dilaporkan adalah kasus perkosaan. Pada CATAHU 5<br />

Komnas Perempuan tahun 2012 sedikitnya terjadi kasus perkosaan<br />

sebanyak 840 kasus. Sementara itu, pada CATAHU Komnas<br />

Perempuan tahun 2013 kasus perkosaan bahkan meningkat menjadi<br />

1.074 kasus.<br />

Data tersebut di atas menunjukkan sangat tingginya angka<br />

perkosaan yang terjadi di Indonesia. Apabila dirata-rata, maka dalam<br />

satu hari sedikitnya terjadi dua kasus perkosaan di seluruh Indonesia.<br />

2 Komnas Perempuan, Kekerasan Seksual: Kenali dan Tangani, hlm.<br />

14-16.<br />

3 PT. Raja Grafindo Persada, Dimensi HAM:Mengurai Hak Ekonomis,<br />

Sosial dan Budaya. (Rajawali Pers), hlm 232.<br />

4 Abdul Wahid, Muhamad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban<br />

Kekerasan Seksual Advokasi atas Hak Asasi Perempuan, (Malang: Rafika<br />

Aditama, 2001), hal 41.<br />

5<br />

Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2012, Stagnansi Sistem<br />

Hukum: Menggantung Asa Perempuan Korban, Jakarta, Maret 2013.<br />

91


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Tentu saja hal ini membuat perkosaan menjadi persoalan yang sangat<br />

mengkhawatirkan karena jumlah tersebut masih akan bertambah<br />

dikarenakan banyaknya perempuan korban kekerasan seksual yang<br />

tidak mampu dan tidak berani melaporkan apa yang telah terjadi baik<br />

kepada aparat kepolisian maupun pekerja sosial lembaga pelayanan<br />

yang terkait.<br />

Dalam hal ini, peranan lembaga-lembaga terkait yang ada pada<br />

saat ini dirasakan tidak maksimal. Perkosaan sebagai suatu tindak<br />

pidana luar biasa seringkali menemui banyak hambatan ketika<br />

menempuh upaya penyelesaian melalui jalur hukum, khususnya pada<br />

persoalan pembuktian tindak pidana perkosaan dan juga dari sisi etika<br />

para penegak hukum secara represif dan preventif.<br />

B. Definisi Tindak Pidana Perkosaan<br />

Tindak pidana perkosaan termasuk kejahatan dalam Buku II<br />

Bab XIV Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat<br />

dalam Bab Kejahatan terhadap Kesusilaan. Menurut Kitab Undang-<br />

Undang Hukum Pidana (KUHP), pengertian tindak pidana perkosaan<br />

menurut Pasal 285 KUHP adalah “Barangsiapa dengan kekerasan atau<br />

dengan ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan<br />

dia di luar pernikahan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan<br />

pidana penjara paling lama dua belas tahun.”<br />

Akademisi Universitas Indonesia yang juga merupakan ahli<br />

hukum pidana, Topo Santoso, mengatakan bahwa Pasal 285 KUHP<br />

tentang perkosaan tersebut sudah usang. Topo mengatakan, pasal 285<br />

KUHP yang menyatakan bahwa perkosaan berkaitan dengan kekerasan<br />

dan ancaman sudah ketinggalan zaman dan tidak mampu melindungi<br />

masyarakat. "Di berbagai negara sudah banyak pengembangan dan<br />

perluasan dari pengertian rape (perkosaan) itu. Misalnya, ada yang<br />

diperluas menjadi tanpa kehendak perempuan" 6 .<br />

C. Proses Pembuktian Kasus Perkosaan di Indonesia<br />

Proses pembuktian kasus pidana di Indonesia, termasuk kasus<br />

perkosaan diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 yang<br />

lebih dikenal sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana<br />

(KUHAP).<br />

Pasal 183 KUHAP menunjukkan bahwa hukum acara pidana<br />

yang berlaku positif di Indonesia menganut sistem pembuktian negatif<br />

6 Republika, Definisi Pemerkosaan di KUHP SUdah Usang, diakses<br />

dari http://m.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/09/20/nc7060-<br />

definisi-pemerkosaan-di-kuhp-sudah-usang.pada 21 Oktober2014 pukul<br />

14.30.<br />

92


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

atau yang disebut juga dengan pembuktian berdasarkan undang-undang<br />

secara negatif.<br />

Mengenai alat bukti, dalam KUHAP telah diatur secara limitatif<br />

yaitu pada Pasal 184 ayat (1). Dalampasal tersebut diatur beberapa alat<br />

bukti yang sah, yaitu:<br />

a. keterangan saksi;<br />

b. keterangan ahli;<br />

c. surat;<br />

d. petunjuk;<br />

e. keterangan terdakwa.<br />

Alat bukti yang telah disebutkan dalam KUHAP mempunyai<br />

kekuatan pembuktian yang sama. Pasal 185 ayat (2) KUHAP<br />

menyatakan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk<br />

membuktikan apakah terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang<br />

didakwakan kepadanya atau tidak, berkaitan dengan asasunus testis<br />

nullus testis yang berarti satu saksi bukanlah saksi, bahwa seorang<br />

hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali<br />

apabila terdapat sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sahdan ia<br />

mempunyai keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi<br />

dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.<br />

Alat bukti pertama yang dapat diperiksa oleh hakim mengenai<br />

kasus perkosaan adalah keterangan saksi, dalam hal ini yaitu saksi<br />

korban maupun saksi lain. Agar dapat menjadi saksi yang sah maka<br />

syarat formil dan syarat materiil harus terpenuhi. Syarat formil tersebut<br />

yaitu dengan diangkat sumpah di dalam sidang pengadilan, sedangkan<br />

syarat materiil tersebut yaitu apa yang saksi nyatakan di sidang<br />

pengadilan sesuai dengan apa yang dia dengar sendiri, lihat sendiri, dan<br />

alami sendiri. Alat bukti kedua yang dapat diperiksa oleh hakim yaitu<br />

keterangan ahli yang diatur dalam pasal 186 KUHAP. Keterangan ahli<br />

dibagi menjadi dua kelompok ahli, yaitu ahli kedokteran kehakiman dan<br />

ahli pada umumnya. Dalam perkara perkosaan, yang dapat dijadikan<br />

sebagai alat bukti keterangan ahli yaitu ahli kedokteran kehakiman<br />

seperti dokter forensik. Hakim meminta kepada dokter forensik untuk<br />

memberikan keterangan mengenai hasil visum korban. Hasil visum<br />

merupakan salah satu alat bukti surat dalam proses pembuktian.<br />

Dengan adanya keterangan dari dokter forensik akan sangat<br />

membantu hakim dalam menentukan tindak pidana apa yang dilakukan<br />

terdakwa kepada korban dengan melakukan visum terhadap korban.<br />

Keterangan ahli lainnya yang dapat dijadikan sebagai alat bukti yang<br />

sah yaitu ahli pada umumnya seperti ahli kejiwaan. Ahli kejiwaan<br />

tersebut berguna untuk mengetahui kondisi kejiwaan dari korban<br />

sehingga akan jelas dengan adanya keterangan ahli kejiwaan bahwa<br />

korban mengalami sesuatu peristiwa yang telah mengguncang jiwanya.<br />

93


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Alat bukti kelima yang dapat diperiksa oleh hakim mengenai kasus<br />

perkosaan tersebut yaitu keterangan terdakwa yang diatur dalam pasal<br />

189 KUHAP. Keterangan terdakwa dapat berupa terdakwa mengakui<br />

perbuatannya maupun terdakwa tidak mengakui perbuatannya.<br />

Meskipun terdakwa telah mengakui perbuatannya, hal tersebut tetap<br />

tidak cukup sebagai bukti sehingga harus disertai alat bukti yang lain.<br />

D. Kekuatan Pembuktian Mengarah ke Pelakunya<br />

Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa dalam proses<br />

pembuktian dalam tindak pidana perkosaan seringkali menemui jalan<br />

yang terjal. Penyebab proses pembuktian kasus perkosaan menjadi sulit<br />

diantaranya dikarenakan oleh tidak adanya saksi mata selain saksi<br />

korban pada saat terjadinya peristiwa tersebut karena seringkali<br />

peristiwa tersebut dilakukan di tempat-tempat tertutup yang tidak<br />

diketahui oleh orang lain. 7<br />

Kesulitan yang lainnya yaitu korban tidak langsung melaporkan<br />

peristiwa yang telah dialaminya itu kepada aparat terkait dikarenakan<br />

korban merasa jijik dan “hina” setelah diperkosa sehingga si korban<br />

langsung membersihkan tubuhnya dengan mandi. Pada saat korban<br />

mandi banyak hal yang dapat dijadikan barang bukti ikut hilang,<br />

misalnya sperma, rambut, dan sidik jari si pelaku yang merupakan<br />

bukti-bukti perkosaan yang ada pada diri korban. 8 Hal ini mempersulit<br />

penyidik dalam pengumpulan alat bukti yang kemudian juga<br />

mempersulit jaksa untuk membuktikan tindak pidana perkosaan di<br />

persidangan.<br />

Proses pemeriksaan terhadap korban kasus perkosaan yang baru<br />

saja terjadi dilakukan penyidik khusus perempuan dan anak dalam<br />

waktu yang cepat dan secara diam-diam dalam ruangan pemeriksaan<br />

yang terpisah (khusus). 9 Pihak penyidik harus dapat meyakinkan korban<br />

tentang keamanannya dan menjelaskan prosedur pemeriksaan yang akan<br />

dilakukan. Terhadap korban, segera dilakukan pemeriksaan forensik<br />

oleh dokter setelah korban dalam keadaan stabil. Korban diusahakan<br />

agar tidak pergi ke kamar mandi, mandi, makan, atau minum sampai<br />

pemeriksaan telah selesai dilakukan.<br />

Setelah keadaan korban lebih stabil, penyidik yang berwenang<br />

lalu membuat permintaan tertulis kepada dokter forensik untuk<br />

membuatkan Visum et Repertum (VeR). Dalam permintaan visum ini<br />

korban diantar oleh pihak kepolisian. Visum harus berdasarkan keadaan<br />

yang didapatkan pada tubuh korban saat surat permintaan VeR diterima<br />

7 Hasil Wawancara dengan Aprima Suar, S.H., Bagian Penyidik Polda<br />

Metro Jaya Bapak pada tanggal 23 Oktober 2014.<br />

8 Ibid.<br />

9 Ibid.<br />

94


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

dokter. Jika hasil pemeriksaan korban yang diperiksa adalah atas<br />

inisiatif sendiri dan bukan atas permintaan pihak kepolisian, maka hasil<br />

pemeriksaan tersebut tidak dapat dijadikan visum, melainkan hanya<br />

sebatas surat keterangan. Dalam pemeriksaan ini, pihak keluarga,<br />

teman, perawat, atau petugas dapat mendampingi. Orang-orang yang<br />

mendampinginya ini juga berperan sebagai saksi dalam pemeriksaan<br />

yang dilakukan.<br />

Hasil visum ini menjadi salah satu alat bukti dalam proses<br />

pembuktian kasus perkosaan yang akan melengkapi alat bukti lain<br />

(keterangan saksi korban dan keterangan ahli) yang menguatkan dugaan<br />

telah terjadinya kasus perkosaan terhadap korban. Terpenuhinya alatalat<br />

bukti dalam suatu perkara tidak menjamin bahwa terdakwa akan<br />

dijatuhi hukuman setimpal. Dikarenakan seorang hakim mempunyai<br />

hak prerogatif untuk memutuskan perkara tersebut sesuai dengan<br />

keyakinannya (keyakinan hakim). Apabila hakim tidak berkeyakinan,<br />

maka terhadap terdakwa bisa saja divonis bebas dan alat-alat bukti<br />

tersebut menjadi sia-sia. Kasus seperti ini pernah terjadi di Pulau<br />

Samosir, Sumatra Utara pada Pengadilan Negeri Balige karena korban<br />

mengalami keterbelakangan mental.<br />

Divonis bebasnya seorang terdakwa dalam persidangan<br />

berdampak sangat buruk bagi korban, keluarga korban, maupun<br />

masyarakat karena tujuan hukum untuk keadilan, hukum yang memberi<br />

kepastian, dan hukum yang memberikan manfaat, tidak tercapai.<br />

E. Etika Aparat Penegak Hukum dalam Pemeriksaan<br />

Kata “etika” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia<br />

mempunyai pengertian ilmu tentang apa yang baik dan buruk, tentang<br />

hak dan kewajiban moral (akhlak), kumpulan asas yang berkenaan<br />

dengan akhlak, dan nilai-nilai yang benar maupun yang salah, yang<br />

dianut suatu golongan atau masyarakat. 10<br />

Pada proses pemeriksaan kasus perkosaan, sangat dibutuhkan<br />

etika profesi yang baik dari aparat penegak hukum. Proses pemeriksaan<br />

yang menjadi kewenangan penyidik kepolisian, kejaksaan, dan hakim<br />

sangat vital peranannya terhadap materi pemeriksaan yang akan<br />

mengarah ke pembuktian untuk mengungkap pelaku dari perkosaan.<br />

Permasalahan yang kerap terjadi mengenai etika profesi aparat penegak<br />

hukum yakni dalam proses pemeriksaan, aparat seringkali melontarkan<br />

pertanyaan-pertanyaan bahkan celotehan yang mengintimidasi dan<br />

menyudutkan korban sehingga mengakibatkan korban menjadi semakin<br />

tertekan, menderita, dan shock.<br />

10 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa<br />

Indonesia, Edisi Kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996).<br />

95


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Permasalahan lain yang kerap terjadi yakni karena perilaku<br />

aparat penegak hukum yang tidak sesuai dengan etika penyidik. Aparat<br />

penegak hukum yang sesuai dengan etika penyidik sudah seharusnya<br />

menggali informasi sesuai dengan kebenaran apa yang telah terjadi.<br />

Namun, pada kenyataanya penyidik malah melakukan pemaksaan dan<br />

mengintimidasi korban sehingga mengakibatkan informasi yang tergali<br />

dari penyidikan itu menjadi tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi.<br />

F. Kesimpulan dan Saran<br />

1) Indonesia menganut sistem pembuktian negatif atau yang disebut<br />

juga dengan pembuktian berdasarkan undang-undang secara<br />

negatif.<br />

2) Alat bukti yang dapat diperiksa oleh hakim mengenai kasus<br />

perkosaan terdapat pada pasal 184 KUHAP yaitu alat bukti<br />

keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan<br />

terdakwa.<br />

3) Visum et Repertum (VeR) oleh ahli kedokteran forensik merupakan<br />

salah satu alat bukti dalam kasus perkosaan yang berguna untuk<br />

mengetahui kerusakan fisik yang terjadi pada tubuh korban. Tiaptiap<br />

alat bukti yang telah disebutkan dalam KUHAP mempunyai<br />

kekuatan pembuktian yang sama.<br />

4) Kasus perkosaan sulit dibuktikan dikarenakan jarang adanya saksi<br />

mata selain saksi korban pada saat terjadinya peristiwa tersebut<br />

karena seringkali dilakukan di tempat-tempat tertutup yang tidak<br />

diketahui oleh orang lain.<br />

5) Kecepatan korban dalam melaporkan kasus perkosaan yang<br />

menimpanya memegang peranan yang sangat krusial dalam proses<br />

pembuktian.<br />

Langkah yang harus dilakukan untuk menanggulangi masalah<br />

perkosaan, yaitu:<br />

1) Lembaga-lembaga terkait bersama masyarakat memberikan<br />

pemahaman dan sadar hukum yang berhubungan dengan tindak<br />

asusila kepada semua lapisan masyarakat yang ditindaklanjuti<br />

dengan penegakan hukum sesuai ketentuan peraturan dan<br />

perundang-undangan yang berlaku.<br />

2) Restorative justice terhadap pelaku perkosaan diluar persidangan<br />

sehingga dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya secara<br />

hukum dan secara moral, dengan harapan dapat memberikan efek<br />

jera kepada masyarakat agar tidak melakukan perbuatan serupa.<br />

3) Mendorong untuk dibentuk suatu persidangan khusus yang mana<br />

para aparat penegak hukumnya semua terdiri dari perempuan/<br />

wanita, baik dari kepolisian, kejaksaan, hingga kehakiman sehingga<br />

96


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

mereka lebih memahami kasus yang mereka tangani dan dapat<br />

memberikan hukuman yang sangat berat terhadap pelaku.<br />

4) Mendorong kesepahaman antar lembaga-lembaga terkait dan<br />

masyarakat untuk meningkatkan kasus perkosaan menjadi tindak<br />

pidana khusus karena menyerang hak asasi manusia yang<br />

dampaknya seumur hidup bagi korban.<br />

5) Mendorong agar kasus perkosaan menjadi kasus pidana khusus,<br />

sehingga cukup satu alat bukti yakni keterangan saksi (korban)<br />

dalam kasus perkosaan dijadikan alat bukti terkuat yang akan<br />

dilengkapi alat bukti lain (visum) untuk dapat membuktikan kasus<br />

tersebut.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1996.Kamus Besar Bahasa<br />

Indonesia, Edisi Kedua, Jakarta: Balai Pustaka.<br />

El Muthaj, Madja. 2008.Dimensi-dimensi HAM: Mengurai Hak<br />

Ekonomi, Sosial, dan Budaya.Jakarta: Rajawali Grafindo<br />

Persada.<br />

Gosita, Arif. 2007.Masalah Korban Kekerasan. Badan Fakultas Hukum<br />

Universitas Indonesia.<br />

Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Yudisial RI<br />

047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang<br />

Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.<br />

Kode Etik Kepolisian dalam Perkapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang<br />

Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.<br />

Komnas Perempuan. 2013. Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2012,<br />

Stagnansi Sistem Hukum: Menggantung Asa Perempuan<br />

Korban. Jakarta.<br />

Prof. Dr. Muladi S.H. 2002.Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem<br />

Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit Universitas<br />

Diponegoro.<br />

Purbopranoto, Prof. Dr. Kuntjoro. 1982. Hak-Hak Asasi Manusia dan<br />

Pancasila. Jakarta.<br />

Siregar, Bismar. 1983.Hukum Acara Pidana, Cetakan Pertama. Jakarta:<br />

Bina Cipta, Jakarta.<br />

Wahid, Abdul dan Muhamad Irfan. 2001.Perlindungan Terhadap<br />

Korban Kekerasan Seksual Advokasi atas Hak Asasi<br />

Perempuan. Malang: Rafika Aditama.<br />

97


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

http://m.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/09/20/nc7060-<br />

definisi-pemerkosaan-di-kuhp-sudah-usang<br />

98


KOMISI 3<br />

PERLINDUNGAN DAN PENDAMPINGAN KORBAN


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

PERLINDUNGAN DAN PENDAMPINGAN KORBAN<br />

KEKERASAN SEKSUAL DI PADANG SUMATERA BARAT<br />

Oleh: Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta<br />

A. Latar Belakang<br />

Kekerasan seksual merupakan kejahatan yang saat ini marak<br />

dan meresahkan kalangan masyarakat terutama oleh kaum perempuan<br />

dan anak-anak. Selain meresahkan, kekerasan seksual juga menjadi<br />

fenomena yang menakutkan dikarenakan mayoritas korban yang<br />

mengalami kekerasan seksual tersebut akan merasakan trauma yang<br />

ditinggalkan akibat perlakuan yang dialaminya.<br />

Trauma yang dialami oleh korban ternyata dapat berdampak<br />

serius baik jangka pendek maupun jangka panjang. Hal tersebut<br />

dikarenakan kejahatan seksual sesama jenis di Indonesia ternyata<br />

berantai dari pelaku ke korban, dan si korban bisa menjadi pelaku di<br />

kemudian hari dan begitu seterusnya. Apalagi yang sangat menakutkan<br />

jika korban kekerasan seksualnya ialah anak-anak kecil usia 5-12 tahun.<br />

Akan tersimpan di memori otak mereka bagaimana kekerasan seksual<br />

yang mereka alami dan akan teringat sampai mereka dewasa dan tak di<br />

pungkiri bahwa bisa saja mereka bisa menjadi pelaku selanjutnya.<br />

Ibarat pepatah, tak diumpan maka tak terpancing. Semua tindak<br />

kekerasan seksual ada karena ada niat dan kesempatan, tapi perlu di<br />

ingat apa yang menjadi faktor penyebab pelaku melakukan tindakan<br />

tersebut. Jika kita tinjau dari aturan hukum Undang-Undang Nomor 44<br />

Tahun 2008 tentang Pornografi, sudah sangat jelas ketentuan pidananya<br />

di tiap pasalnya di atur dan hukumannya pun cukup membuat jera<br />

dengan denda maksimal Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).<br />

Kekerasan seksual di Kota Padang menjadi salah satu kasus<br />

yang paling banyak namun minim penindakan dari hukum. Hal tersebut<br />

dikarenakan kurang serius nya aparat penegak hukum yang membuat<br />

banyak ketidakpastian hukum bagi korban. Pada pelaksanaannya<br />

seringkali ditemukan bahwa tindak lanjut dari aparat penegak hukum<br />

hanyalah sampai pada tahap mediasi semata dan tidak diusut kembali<br />

hingga ke persidangan.<br />

B. Pembahasan<br />

Meskipun angka kekerasan seksual cenderung terus meningkat,<br />

namun masih banyak masyarakat yang menganggap kekerasan seksual<br />

sebagai kejahatan kesusilaan semata. Pihak kepolisian pun ketika<br />

mendapat kasus pemerkosaan cenderung menafsirkan pemerkosaan<br />

sebagai kejahatan kesusilaan seperti yang di tertuang di Kitab Undang-<br />

Undang Hukum Pidana (KUHP). Biasanya, penyidik kepolisian ketika<br />

99


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

mendapat kasus pemerkosaan cenderung malas mengusutnya. Hal inilah<br />

yang membuat korban kekerasan seksual menjadi bungkam karena tidak<br />

seriusnya aparat penegak hukum untuk memproses kasus-kasus<br />

pemerkosaan.<br />

Akibat kurang di anggap pentingnya kekerasan seksual di mata<br />

masyarakat dan aparat penegak hukum, banyak korban korban<br />

kekerasan seksual yang depersi hingga gila karena hancurnya masa<br />

depan hidup korban sehingga ia merasa tak mampu untuk melanjutkan<br />

hidupnya lagi di tambah beban malu dan cemooh dari masyarakat.<br />

Saya akan sedikit bercerita tentang kehidupan sosial di Kota<br />

Padang Provinsi Sumatera Barat. Kota Padang adalah ibukota dari<br />

Provinsi Sumatera Barat yang letaknya wilayahnya di pesisir pulau<br />

sumatera dengan keragaman suku dan etnis yang saling bahu membahu<br />

dalam kehidupan sehari-hari. Jika berkunjung ke Kota Padang, kita<br />

dapat menjumpai banyak pantai-pantai wisata, seperti Pantai Air Manis<br />

lalu Pantai Purus dan Pantai Nirwana. Walaupun bukan termasuk<br />

destinasi tujuan wisata turis mancanegara, pantai-pantai di Kota Padang<br />

selalu ramai didatangi wisatawan lokal terutama muda-mudi yang<br />

sedang kasmaran. Biasanya muda-mudi ini lebih suka menghabiskan<br />

waktunya di pantai yang ada pondok remang-remangnya, sehingga<br />

aktivitas percintaan mereka tak terlihat oleh orang lain dan terjamin<br />

keamanannya oleh pemilik maupun pengelola pantai tersebut. Hanya<br />

dengan sebotol minuman teh yang harganya Rp20.000,00 (dua puluh<br />

ribu rupiah), muda-mudi yang kasmaran dapat berpadu kasih sepuasnya<br />

di pantai tersebut. Kota Padang bisa juga disebut sebagai kota<br />

pendidikan karena banyak mahasiswa-mahasiwi yang merantau<br />

menuntut ilmu di kota ini. Asal mahasiswa-mahasiswinya pun beragam,<br />

ada yang dari Aceh, Sumatera Utara,Riau,Jambi, bahkan Jakarta. Dan<br />

ketika mereka sampai di Padang, proses adaptasi dengan lingkungan<br />

cepat mereka jalani dan terkesan mudah untuk dipengaruhi.<br />

Ketika mahasiswa-mahasiswi mengenal tempat-tempat yang<br />

aman untuk memadu kasih mereka cenderung penasaran untuk<br />

berkunjung kesana dengan pasangannya. Ketika itulah, banyak tindak<br />

kekerasan seksual terjadi di Padang akibat salah pergaulan dan fasilitasfasiltas<br />

untuk melakukan kekerasan seksual di Padang cukup memadai.<br />

Mulai dari tempat, ada pondok remang-remang hingga hotel kelas<br />

melati dan untuk pembelian pengaman (kondom) tak sulit di kota ini<br />

karena siapa saja bisa membelinya. Sehingga justru pergaulan bebas<br />

sumber utama dari kekerasan seksual di Kota Padang. Belum lagi<br />

tempat-tempat hiburan yang menjual minuman keras menggratiskan<br />

wanita untuk datang, yang ketika wanita tersebut teler dapat<br />

menimbulkan pelecehan seksual karena tidak sadarnya wanita tersebut.<br />

Kekerasan seksual yang marak terjadi di Padang biasanya<br />

dalam bentuk pemerkosaan beramai-ramai, lalu pemaksaan seks oral<br />

100


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

kepada korban yang biasanya siswi sekolah menengah dengan ancaman<br />

fisik maupun lisan dan juga dalam bentuk pelecehan ketika berada di<br />

tempat umum maupun angkutan umum yang ramai. Untuk kekerasan<br />

seksual sejenis (homoseks, lesbian) belum terlalu terdengar kasusnya<br />

karena kebanyakan kaum pelangi (sebutan bagi kaum homosesks,<br />

lesbian, transgender) tertutup dan menyembunyikan identitasnya rapat<br />

dari masyarakat.<br />

Sebagai contoh kasus, di Kecamatan V Koto Kampung Dalam,<br />

Kabupaten Padang Pariaman, Provinsi Sumatera Barat terjadi tindak<br />

perkosaan dengan kronologi seperti berikut: Mawar (nama samaran),<br />

seorang janda muda menunggu angkutan menuju rumahnya di<br />

Kampung Dalam dari Kota Pariaman. Hari menunjukan pukul 18.00<br />

WIB dan belum terlihat adanya angdes menuju rumahnya. Ketika itu<br />

lewatlah Bejo (nama samaran) yang merupakan supir angdes dan<br />

seketika itulah Bejo menawarkan untuk mengantarnya ke rumahnya.<br />

Mawar tanpa curiga pun naik dalam angdes tersebut, namun Bejo suka<br />

singgah ke beberapa tempat yang dipenuhi supir angdes lainnya di<br />

tempat pencucian mobil. Naiklah beberapa supir angdes tersebut ke<br />

mobil Bejo. Tanpa curiga, Mawar yang duduk di depan hanya berpikir<br />

positif karena sudah mengenal lama Bejo dan supir angdes lainnya.<br />

Namun ketika hampir rumah Mawar, Bejo tidak berhenti namun tetap<br />

memacu mobilnya hingga ke tempat yang sepi. Di situlah Mawar<br />

diperkosa oleh Bejo dan supir angdes lainnya. Setelah peristiwa<br />

tersebut, Mawar diantarkan kerumahnya dan diancam jika berani<br />

melapor ke siapa saja maka dia akan dibunuh. Mawar pun bungkam<br />

selama seminggu dan berujung depresi, Bejo dan kawan-kawannya pun<br />

satu persatu mulai kabur ke Kota Pekanbaru, Riau. Ketika itulah, orang<br />

tua Mawar membawa ingin Mawar ke dukun dengan asumsi Mawar<br />

kerasukan roh halus. Merasa tak tahan lagi, Mawar pun menceritakan<br />

kejadian yang menimpanya dan melaporkannya ke Polsek V Koto<br />

Kampung Dalam, Kabupaten Padang Pariaman. Ketika membuat<br />

laporan tersebut, Kanit Reskrim menyuruh korban dan keluarga agar<br />

mediasi secara kekeluargaan saja bukan diproses secara hukum. Karena<br />

awam dengan hukum, Mawar dan keluarganya pun kembali ke rumah<br />

dan membiarkan kejadian pemerkosaan tersebut sebagai cobaan dan<br />

tidak menuntut keadilan lagi akibat sikap dari Kanit Reskrim Polsek V<br />

Koto Kampung Dalam tersebut.<br />

Dari contoh kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa masih<br />

minimnya keseriusan dari aparat hukum untuk menyelesaikan kasuskasus<br />

kekerasan seksual dengan dalih itu semua hanya tindakan<br />

kesusilaan dan dapat diselesaikan dengan cara kekeluargaan.<br />

Saat ini di Kota Padang sudah mulai banyak LSM pemerhati<br />

kasus-kasus kekerasan seksual, walaupun adanya LSM tersebut belum<br />

efektif membuat aparat penegak hukum lebih tegas dalam memproses<br />

101


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

kasus-kasus kekerasan seksual. LSM tersebut mendampingi korban dari<br />

penyidikan hingga persidangan dan memberikan terapi psikologi agar<br />

mental korban kekerasan seksual tumbuh kembali setelah down<br />

terhadap kejadian yang di alaminya. Pendampingan dan perlindungan<br />

korban kasus kekerasan seksual di Kota Padang merujuk dalam pasal<br />

28D ayat (1) UUD 1945 yang isinya menyebutkan setiap orang berhak<br />

atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil<br />

serta perlakuan sama di hadapan hukum. Oleh karena itu, mati-matian<br />

LSM pembela hak korban kekerasan seksual di Kota Padang agar<br />

kasusnya benar-benar ditangani oleh aparat hukum dan LSM tersebut<br />

tidak hanya mendampingi korban namun juga mendukung agar tetap<br />

semangat dan tidak merasa hidupnya sudah hancur karena perbuatan<br />

pelaku.<br />

Ini semua demi kepastian hukum dan menjunjung harkat dan<br />

martabat wanita Minangkabau yang secara adat akan menjadi Bundo<br />

Kanduang bagi anak dan kemenakannya. Sesuai dengan asas legalitas<br />

dalam pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)<br />

menyebutkan bahwa, “Tiada suatu perbuatan yang dapat di hukum,<br />

kecuali ada aturan yang mengaturnya”. Ini mempertegas bahwa tindak<br />

kekerasan seksual perlu ditangani dan penafsiran pemerkosaan tidak<br />

meringankan hukuman si pelaku namun justru harus memberatkan si<br />

pelaku akibat perbuatannya. Sehingga tidak ada lagi kasus-kasus<br />

kekerasan seksual yang disepelekan oleh aparat hukum akibat asumsi<br />

bahwa kekerasan seksual merupakan tindak kesusilaan merujuk<br />

moralitas yang penyelesaiaannya cukup dengan cara mediasi<br />

kekeluargaan. Demi menjunjung hukum dan HAM di Indonesia tercinta<br />

ini, hak-hak korban haruslah kita perjuangkan demi kepastian hukum<br />

dan harkat martabat korban yang telah ternodai. Semoga para pejuang<br />

pembela, pelindung, dan pendamping korban kekerasan seksual di<br />

Indonesia khususnya Sumatera Barat tidak lekang oleh waktu.<br />

C. Kesimpulan dan Saran<br />

Akhirnya dapat kita simpulkan dari contoh kasus dan realita<br />

penegakan hukum yang terjadi di Kota Padang, bahwa kekerasan<br />

seksual dapat dipicu oleh tayangan pornografi dan juga banyaknya<br />

tempat-tempat yang bisa dijadikan sebagai tempat untuk melakukannya.<br />

Hal ini tentu saja dapat dicegah apabila Pemerintah, DPR, dan<br />

Kepolisian tegas mencegah kekerasan sesksual dengan mempertegas<br />

Undang-Undang Pornografi yang sempat ditolak dan juga membuat satu<br />

undang-undang khusus tentang tindak kekerasan seksual sehingga<br />

ketika ada kasus-kasus yang demikian polisi tidak menggunakan delikdelik<br />

KUHP yang membuat pelaku kekerasan seksual dihukum seberatberatnya.<br />

Semoga dengan adanya makalah ini kepolisian akan<br />

mempertegas wewenanngnya sesuai hukum yang berlaku.<br />

102


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

DAFTAR PUSAKA<br />

Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional,Pelecehan Seksual dan<br />

Kekerasan Seksual 2012, diakses dari http://www.bkkbn.go.id/<br />

hqweb/ceria/mb2pelecehanseksual.html pada tanggal 29<br />

September 2014.<br />

103


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

PELAKSANAAN FUNGSI PENANGANAN HUKUM<br />

TERHADAP KORBANKEKERASAN SEKSUAL DI JAKARTA<br />

Oleh: Fakultas Hukum Universitas Indonesia<br />

Abstrak<br />

Penegakan hukum dalam proses pidana meliputi rangkaian proses yang<br />

panjang dan tidak luput diantaranya adalah penanganan korban.<br />

Kekerasan seksual menimbulkan akibat yang berdampak pada<br />

kesehatan fisik dan mental korban. Akan tetapi, pengalaman yang<br />

dilewati korban kekerasan seksual ini belum dipahami dengan baik oleh<br />

penegak hukum, termasuk polisi sehingga dalam proses penyidikan<br />

tersebut, korban seringkali merasa terdiskriminasi. Tulisan ini<br />

membahas berbagai bentuk penanganan korban secara umum maupun<br />

korban kekerasan seksual pada khususnya yang dikenal dalam<br />

peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dibahas juga pada<br />

tulisan ini sejumlah contoh kasus yang menunjukkan perilaku polisi<br />

dalam penanganan korban kekerasan seksual yang kemudian dianalisis<br />

apakah perilaku polisi dalam menangani korban sudah sesuai dengan<br />

perspektif korban dan juga penilaian terhadap efektivitas instrumen<br />

hukum terkait yang berlaku.<br />

A. Latar Belakang<br />

Tahun 2013 dinyatakan sebagai tahun darurat kekerasan seksual<br />

terhadap anak, dari 2.637 laporan kasus kekerasan diterima oleh Komisi<br />

Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), 62% diantaranya<br />

merupakan kasus kekerasan seksual. 1 Data lain yang dikumpulkan oleh<br />

Komisi Nasional Perempuan pun menunjukkan peningkatan kasus<br />

kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia. Dalam catatannya selama<br />

tahun 1998-2011, 93.360 dari 400.939 kasus kekerasan terhadap<br />

perempuan yang dilaporkan merupakan kekerasan seksual. 2 Angka pada<br />

statistik pun belum cukup merepresentasikan dengan baik banyaknya<br />

kasus kekerasan seksual yang secara nyata terjadi di masyarakat.<br />

Korban kekerasan seksual berbeda halnya dengan korban tindak<br />

kekerasan lainnya, seringkali dianggap sebagai catatan hitam bagi<br />

masyarakat, termasuk keluarganya sendiri. Reluktansi masyarakat dan<br />

proses hukum yang berlarut-larut membungkam korban kekerasan<br />

seksual untuk menyuarakan ketidakadilan yang dialaminya. Pada<br />

1 Komnas Perempuan, Siaran Pers Resital Persembahan ananda untuk<br />

Perempuan Indones, diakses dari http://www.komnasperempuan.or.id/2014/<br />

09/siaran-pers-resital-persembahan-ananda-untuk-perempuan-indonesia/<br />

2 Ibid.<br />

104


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

akhirnya, kekerasan seksual menjadi kesenyapan yang membayangi<br />

korban semata.<br />

Melihat dari hakikatnya, kekerasan dapat dibedakan dari aspek<br />

kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikologis, kekerasan<br />

politisdan kekerasan ekonomi. Merupakan hal yang penting untuk<br />

membuat spesifikasi kekerasan karena sebenarnya tindakan kekerasan<br />

yang bernuansakan seksual tidak sekedar melalui fisik belaka. 3 Komnas<br />

Perempuan membagi kekerasan seksual menjadi 15 (lima belas) jenis,<br />

yaitu perkosaan, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual,<br />

pelecehan seksual, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan<br />

seksual, percobaan perkosaan, kontrol seksual, pemaksaan aborsi,<br />

penghukuman bernuansa seksual,pemaksaan perkawinan, prostitusi<br />

paksa, pemaksaan kehamilan, praktik tradisi bernuansa seksual dan<br />

pemaksaan kontrasepsi. 4 Akan tetapi, luasnya spektrum kekerasan<br />

seksual tersebut belum dipahami secara tepat bahkan oleh penegak<br />

hukum sekalipun. Hukum pada dasarnya merupakan cerminan dari<br />

nilai-nilai kultural tentang seksualitas yang berlaku di masyarakatnya.<br />

Melalui hukum, nilai-nilai kultural tersebut disahkan, dikukuhkan dan<br />

dilanggengkan. 5 Seringkali, kekerasan seksual dianggap sebagai<br />

kejahatan terhadap kesusilaan semata. Pandangan semacam ini bahkan<br />

didukung oleh negara melalui muatan di dalam Kitab Undang-Undang<br />

Hukum Pidana (KUHP). Dalam KUHP, kekerasan seksual seperti<br />

perkosaan dianggap sebagai pelanggaran terhadap kesusilaan.<br />

Penganggapan ini tidak saja mengurangi derajat perkosaan yang<br />

dilakukan, namun juga menciptakan pandangan bahwa kekerasan<br />

seksual adalah persoalan moralitas semata.<br />

Paradigma demikian pun begitu terinstitusionalisasi di<br />

masyarakat hingga akhirnya berdampak ke perilaku para penegak<br />

hukum dalam menangani korban kekerasan seksual. Kerangka berpikir<br />

yang membatasi bahwa kekerasan seksual adalah sifat merusak<br />

kesusilaan mengandung variabel relatif dimana penafsiran kesusilaan<br />

bergantung pada pendapat umum pada waktu dan tempat itu. 6 Absennya<br />

penjelasan resmi tentang istilah kesusilaan yang digunakan,<br />

menyebabkan masyarakat (khususnya aparat hukum) seringkali terjebak<br />

3 Purnianti dan Rita Serena Wibisono, Menyingkap Tirai Kekerasan<br />

dalam Rumah Tangga, (Jakarta: Mitra Perempuan, 2003), hlm. 14.<br />

4 Komnas Perempuan, Kekerasan Seksual: Kenali dan Tangani, hlm.<br />

14-16.<br />

5<br />

Rahayu Surtiati Hidayat dan E. Kristi Poerwandari, Perempuan<br />

Indonesia dalam Masyarakat yangTengah Berubah: 10 Tahun Program Studi<br />

Kajian Wanita, Jakarta: Program Pascasarjana UniversitasIndonesia, 2001,<br />

hlm. 381<br />

6 R. Soesilo, KUHP beserta Penjelasan Pasal demi Pasal, Bogor:<br />

Politeia, 1996,<br />

105


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

dalam menempatkan pasal-pasal kesusilan semata-mata sebagai<br />

persoalan pelanggaran terhadap budaya, norma agamadan sopan santun<br />

yang berkaitan dengan nafsu perkelaminan, bukan kejahatan terhadap<br />

orang (tubuh dan jiwa). 7<br />

Menanggapi permasalahan tersebut, Kementerian Negara<br />

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia<br />

(KemenPP&PA RI) mengeluarkan Peraturan Menteri Negara PPA<br />

Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang<br />

Pelayanan Terpadu terhadap Perempuan dan Anak Korban Kekerasan.<br />

Dalam peraturan tersebut, korban kekerasan seksual menjadi salah satu<br />

lingkup permasalahan yang perlu diberikan pelayanan berdasarkan<br />

standar-standar yang ditetapkan. Adapun bidang-bidang layanan<br />

tersebut mencakup: 8<br />

1) Penanganan Pengaduan<br />

2) Pelayanan Kesehatan<br />

3) Rehabilitasi Sosial<br />

4) Penegakan dan Bantuan Hukum<br />

5) Pemulangan dan Reintegrasi Sosial<br />

Menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi korban kekerasan<br />

seksual untuk memperjuangkan keadilan atas apa yang telah<br />

dialaminya. Serangkaian proses penegakan dan bantuan hukum<br />

seyogyanya mampu menyingkap kesunyian dan berdampingan bersama<br />

korban memperjuangkan keadilan. Akan tetapi pada kenyataannya,<br />

sarana tersebutlah yang kerap membungkam bahkan mengalienasikan<br />

korban.<br />

B. Penanganan Korban Kekerasan Seksual berdasarkan<br />

Peraturan Perundang-undangan di Indonesia<br />

1. Korban Kekerasan Seksual<br />

Merujuk kepada pengertian dari Undang-Undang Nomor 13<br />

Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, pengertian dari<br />

korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental,<br />

dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak<br />

pidana. 9 Menurut Kristi Poerwandari, kekerasan seksual mencakup<br />

melakukan tindakan yang mengarah ke ajakan atau desakan seksual,<br />

7 Rahayu Surtiati Hidayat dan E. Kristi Poerwandari, Op.Cit, hlm. 383 .<br />

8<br />

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak<br />

Republik Indonesia, ProsedurStandar Operasional: Pelaksanaan Standar<br />

Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Layanan Terpadu bagi Perempuan dan<br />

Anak Korban Kekerasan, (Jakarta: KemenPP&PA RI, 2010), hlm. 4.<br />

9 Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang<br />

Perlindungan Saksi dan Korban<br />

106


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

seperti menyentuh, meraba, mencium dan/atau melakukan tindakantindakan<br />

lain yang tidak dikehendaki korban; memaksa korban<br />

menonton produk pornografi, gurauan-gurauan seksual yang tidak<br />

dikehendaki korban; ucapan-ucapan yang merendahkan dan<br />

melecehkan dengan mengarah pada aspek jenis kelamin/seks korban;<br />

memaksa berhubungan seks tanpa persetujuan korban dengan<br />

kekerasan fisik maupun tidak; memaksa melakukan aktivitasaktivitas<br />

seksual yang tidak disukai, merendahkan, menyakiti, atau<br />

melukai korban. 10 Akan tetapi secara yuridis, definisi korban<br />

kekerasan seksual belum terakomodasi dalam suatu redaksi yang<br />

mencakup kekerasan seksual secara umum. Hal ini dikarenakan<br />

peraturan perundang-undangan mengenai kekerasan seksual masih<br />

tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan dengan berbagai<br />

bentuk dari ragam tindakan kekerasan seksual itu seperti perkosaan,<br />

perbuatan cabul dan prostitusi. Diantaranya, ketentuan tersebut<br />

berada pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), UU<br />

No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan UU No. 23<br />

Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.<br />

Penjabaran kekerasan seksual itu pun menjadi permasalahan<br />

tersendiri, misalnyaunsur-unsur pasal yang terlalu rigid hingga<br />

sering meloloskan pelaku dari jerat hukum dan belum<br />

diakomodasinya bentuk kekerasan seksual tertentu seperti perkosaan<br />

yang dilakukan antara laki-laki dewasa maupun perkosaan oleh<br />

perempuan terhadap laki-laki.<br />

2. Penanganan Korban Kekerasan Seksual<br />

Sistem Peradilan Pidana dapat digambarkan secara singkat<br />

sebagai suatu sistem yang bertujuan untuk “menanggulangi kejahatan”.<br />

Menanggulangi yang dimaksudkan disini adalah usaha untuk<br />

mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas<br />

toleransi masyarakat. Sistem ini dianggap berhasil apabila diprosesnya<br />

sebagian besar dari laporan dan keluhan masyarakat yang telah menjadi<br />

korban dari suatu kejahatan, diajukannya pelaku ke muka sidang<br />

pengadilan dan diputuskan serta mendapat pidana. 11 Tugas dari sistem<br />

ini pun tidak terbatas pada menjerat pelaku dengan suatu pemidanaan,<br />

melainkan juga akomodasi kepentingan korban. Dalam menangani<br />

korban pada umumnya, para aparat hukum wajib memperhatikan<br />

korban agar dipenuhi haknya, antara lain: 12<br />

10<br />

Achie Sudiarti Luhulima, Pemahaman Bentuk-Bentuk Tindak<br />

Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Alternatif Pemecahannya, (Jakarta:<br />

Pusat Kajian Wanita UI, 2000), hlm. 11-12.<br />

11 Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana,<br />

Kumpulan Karangan Buku Kedua, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan<br />

Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 1997), hlm. 140.<br />

12 Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang<br />

107


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

1) Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan<br />

harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan<br />

kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya;<br />

2) Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk<br />

perlindungan dan dukungan keamanan;<br />

3) Memberikan keterangan tanpa tekanan;<br />

4) Mendapat penerjemah;<br />

5) Bebas dari pertanyaan yang menjerat;<br />

6) Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;<br />

7) Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;<br />

8) Mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;<br />

9) Dirahasiakan identitasnya;<br />

10) Mendapat identitas baru;<br />

11) Mendapat tempat kediaman sementara;<br />

12) Mendapat tempat kediaman baru;<br />

13) Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan<br />

kebutuhan;<br />

14) Mendapat nasihat hukum;<br />

15) Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu<br />

perlindungan berakhir; dan/atau<br />

16) Mendapat pendampingan.<br />

Dirumuskannya perlindungan terhadap korban pada proses<br />

pengadilan pidana dalam suatu peraturan perundang-undangan<br />

menunjukkan adanya gestur dari pemerintah untuk lebih<br />

mengakomodasi hak-hak korban. Namun patut disayangkan, dalam UU<br />

No. 13 Tahun 2006 maupun UU No. 31 Tahun 2014 perlindungan<br />

terhadap korban tidak mengandung norma imperatif yang otomatis<br />

melindungi korban. Untuk mendapatkan perlindungan sebagaimana<br />

yang disebutkan di atas, korban perlu melapor kepada Lembaga<br />

Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terlebih dahulu atau menunggu<br />

rujukan dari pihak yang berwenang. Hal ini mengesankan bahwa<br />

perlindungan korban merupakan bagian di luar kebulatan proses hukum<br />

yang berlaku. Adapun perlindungan korban menurut Barda Nawawi<br />

Arief dapat dilihat dari dua makna yaitu:<br />

1) Perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban tindak pidana<br />

(berarti perlindungan HAM atau kepentingan hukum seseorang);<br />

2) Perlindungan untuk memperoleh jaminan atau santunan hukum atas<br />

penderitaan atau kerugian orang yang telah menjadi korban tindak<br />

pidana (identik dengan penyantunan korban). Bentuk santunan itu<br />

dapat berupa pemulihan nama baik (rehabilitasi), pemulihan<br />

Perubahan terhaadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang<br />

Perlindungan Saksi dan Korban.<br />

108


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

keseimbangan batin (dengan pemaafan), pemberian ganti rugi<br />

(restitusi, kompensasi, jaminan/santunan kesejahteraan sosial), dan<br />

sebagainya. 13<br />

Akibat dari kekerasan seksual meninggalkan penderitaan<br />

multidimensi: psikis, fisik, mental, emosional, spiritual, 14 dan sosial<br />

yang mendalam bahkan karena terkungkung oleh persepsi masyarakat<br />

sendiri bahwa penderitaan yang dialami oleh korban kekerasan seksual<br />

adalah sebuah aib sehingga tidak sedikit korban yang memilih untuk<br />

menderita sendiri. Sebagai kelompok yang rentan, diperlukan layanan<br />

khusus dalam menangani hal tersebut. Hal inilah yang kemudian<br />

melatarbelakangi lahirnya Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan<br />

Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 1 Tahun 2010 tentang<br />

Standar Pelayanan Minimal Bidang Layanan Terpadu bagi Perempuan<br />

dan Anak Korban Kekerasan, yang diantaranya secara khusus<br />

mencakup kekerasan Seksual. Permenneg PP&PA Nomor 1 Tahun 2010<br />

tersebut memiliki cakupan terhadap 5 (lima) jenis pelayanan, yaitu: 15<br />

a) penanganan pengaduan/laporan korban kekerasan terhadap<br />

perempuan dan anak;<br />

b) pelayanan kesehatan bagi perempuan dan anak korban kekerasan;<br />

c) rehabilitasi sosial bagi perempuan dan anak korban kekerasan;<br />

d) penegakan dan bantuan hukum bagi perempuan dan anak korban<br />

kekerasan;<br />

e) pemulangan dan reintegrasi sosial bagi perempuan dan anak korban<br />

kekerasan.<br />

Pada makalah ini, penulis mengkhususkan pembahasan<br />

mengenai tinjauan pada jenis pelayanan penegakan dan bantuan hukum<br />

bagi perempuan dan anak korban kekerasan, yang dibagi menjadi 2<br />

(dua) indikator yaitu:<br />

13 Barda Nawawi Arief, Masalah Penanganan Hukum dan Kebijakan<br />

Penanggulangan Kejahatan, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2001, hlm . 56<br />

14 Mark Yantzi, Kekerasan Seksual dan Pemulihan, Jakarta: Gunung<br />

Mulia, 2009, hlm. 26-35<br />

15<br />

Lihat Pasal 5 Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan<br />

Perempuan dan Perlindungan Anak No. 1 Tahun 2010 tentang Standar<br />

Pelayanan Minimal Bidang Layanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak<br />

Korban Kekerasan<br />

109


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

No. Indikator Pelaksana Layanan<br />

1. Cakupan penegakan hukum pada<br />

tingkat penyidikan kekerasan<br />

seksual terhadap perempuan dan<br />

anak<br />

2. Cakupan perempuan dan anak<br />

korban kekerasan seksual terhadap<br />

perempuan dan anak yang<br />

mendapatkan bantuan hukum<br />

Ad. 1. Penegakan Hukum pada Tingkat Penyidikan<br />

Polisi<br />

Badan/Unit PP<br />

Pelayanan penegakan hukum adalah serangkaian tindakan<br />

oleh aparat negara yang diberi kewenangan melaksanakan peraturan<br />

perundang-undangan dalam rangka menangani kasus-kasus kekerasan<br />

(re: kekerasan seksual) 16 terhadap perempuan dan anak, terutama<br />

untuk memberikan sanksi terhadap pelaku dan memberikan<br />

perlindungan bagi saksi dan/atau korban, 17 diselenggarakan oleh Polri,<br />

khususnya UPPA (Unit Pelayanan Perempuan dan Anak) dalam hal<br />

melaksanakan proses penyelidikan; penyidikan, koordinasi dan<br />

kerjasama; penyelesaian dan penyerahan berkas perkara kekerasan<br />

terhadap perempuan dan anak ke kejaksaan. 18<br />

Ad. 2. Pelayanan dan Bantuan Hukum<br />

Bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh<br />

pendamping hukum, advokat atau relawan pendamping untuk<br />

melakukan proses pendampingan saksi dan/atau korban kekerasan<br />

terhadap perempuan dan anak yang sensitif gender. 19 Pendampingan<br />

hukum kasus pidana mulai dari tingkat pemeriksaan di kepolisian,<br />

penuntutan di kejaksaan, proses sidang di pengadilan hingga<br />

pemberian restitusi.<br />

Dalam hal perempuan atau anak adalah korban benar-benar<br />

mengalami tindak kekerasan tetapi kasusnya tidak memenuhi unsur<br />

pidana, bantuan hukum juga dapat diberikan dalam rangka melakukan<br />

mediasi dengan pelaku atau pihak-pihak lain. 20<br />

16 Spesifikasi dari penulis<br />

17 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak<br />

Republik Indonesia, ProsedurStandar Operasional: Pelaksanaan Standar<br />

Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Layanan Terpadu bagi Perempuan dan<br />

Anak Korban Kekerasan, Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan<br />

danPerlindungan Anak Republik Indonesia, 2010, hlm. 215<br />

18 Ibid.<br />

19 Ibid, hlm. 240.<br />

20 Ibid.<br />

110


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

3. Pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal bagi Korban<br />

Kekerasan Seksual pada Tahap Penyediaan Layanan Hukum di<br />

tingkat Kepolisian<br />

Aturan dari rumusan KUHP ternyata memiliki keterbatasan<br />

yang sangat besar. Misalnya, masalah elemen-elemen kejahatan<br />

kriminal yang tidak memadai, penafsiran yang sempit dan<br />

ketidaksesuaian dengan perkembangan sosial. 21 Selain itu,<br />

pembuktiannya juga sangat sukar sehingga menyebabkan aturan<br />

tersebut tidak dapat diaplikasikan. Pengetahuan dan cara pandang aparat<br />

penegak hukum, dalam hal ini polisi yang menjalankan proses<br />

penyidikan juga menjadi tantangan lain. Pada wawancara penulis<br />

dengan salah satu pendamping hukum di LBH APIK Jakarta, dalam<br />

pengalaman pendampingannya, ditemukan banyak aparat kepolisian<br />

yang dalam menjalankan proses penyidikan melalui pertanyaanpertanyaan<br />

yang diajukan cenderung victim blaming dan semakin<br />

menyudutkan korban. Berikut kutipan pertanyaan dari penyidik dan<br />

hakim dalam salah satu kasus perkosaan: 22<br />

Sebelum anda disetubuhi apakah status anda masih perawan?<br />

Sebelum anda disetubuhi oleh Saudara A (bukan nama sebenarnya)<br />

secara paksa, apakah anda tidak berusaha untuk berteriak, jelaskan?<br />

Setelah Sdr. A selesai menyetubuhi anda, dan Sdr. A keluar dari<br />

kamar, apakah waktu itu tidak ada usaha anda untuk melarikan<br />

diri atau keluar dari rumah tersebut?<br />

Coba anda jelaskan apakah persetubuhan antara anda dengan Sdr. A<br />

tersebut dilakukan secara mau sama mau, jelaskan?<br />

Sebelum anda bersama Santi (bukan nama sebenarnya) diajak main<br />

ke rumah temannya tersebut, apakah anda tidak merasa curiga<br />

sebelumnya?<br />

Tambahan pertanyaan penyidik pada korban kedua dalam kasus yang<br />

sama:<br />

Apakah anda sewaktu diperkosa oleh Saudara H (bukan nama<br />

sebenarnya) tersebut siapa yang memasukkan alat kemaluannya ke<br />

tempat vagina anda, dan apakah anda ikut membantu<br />

memasukkannya?<br />

Apakah sewaktu Sdr. H memasukkan alat kemaluannya ke dalam<br />

21 Supriyadi Widodo Eddyono, Indri Oktaviani, Lembaga Studi dan<br />

Advokasi Masyarakat, KejahatanPerkosaan dalam RUU KUHP,<br />

Jakarta:Yayasan Tifa, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat(ELSAM),<br />

2007, hlm. 2.<br />

22 Lihat, Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Polisi Sektor Pasarkemis,<br />

Tanggal 19 dan 21 April 1999, serta catatan persidangannya, dokumentasi<br />

LBH APIK Jakarta<br />

111


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

vagina anda, apakah anda berusaha mengelaknya?<br />

Bandingkan dengan pertanyaan pelaku perkosaan dalam kasus yang<br />

sama:<br />

Penyidik :Setelah selesai persetubuhan, apa tindakan atau reaksi<br />

Saudari S (bukan nama sebenarnya)? Jelaskan!<br />

Pelaku<br />

: Setelah selesai bersetubuh tidak ada reaksi dari Saudari S<br />

melainkan langsung tidur dan saya sendiri keluar untuk cuci<br />

muka ke kamar mandi dan kemudian kembali ke kamar tidur<br />

dan tidur bersama-sama Saudari S.<br />

Penyidik : Apakah persetubuhan yang anda lakukan dengan Saudari S<br />

tersebut dilakukan secara paksa atau mau sama mau,<br />

jelaskan?<br />

Pelaku<br />

: Dilakukan mau sama mau karena saya mau bertanggung<br />

jawab untuk menikahinya.<br />

Dalam kasus yang terjadi 11 tahun sebelum adanya Permenneg<br />

PP&PA Nomof 1 Tahun 2010 ini, terlihat baik penyidik maupun pelaku<br />

berpegang pada kenikmatan seksual perempuan menurut persepsi<br />

mereka yang bersudut pada laki-laki, sehingga mereka meragukan<br />

kebenaran pengalaman korban, bahkan untuk itu mereka tak segansegan<br />

mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang intinyamelecehkan dan<br />

menyalahkan korban (victim blaming) juga menyudutkan korban<br />

sebagai pihak yang turut bertanggung jawab terhadap peristiwa<br />

perkosaan tersebut (victim participating). 23 Setelah Permenneg PP&PA<br />

No. 1 Tahun 2010 diundangkan, penanganan polisi pada kasus<br />

kekerasan seksual, khususnya di Jakarta, masih mengalami kendala<br />

yang sama. Hal ini terefleksikan pada contoh kasus yang ditangani oleh<br />

pendamping hukum UH di salah satu LBH perempuan di Jakarta<br />

sebagai berikut: 24<br />

Kasus Perkosaan Aster (bukan nama sebenarnya) anak usia 15 tahun<br />

oleh Pelaku usia 25 tahun<br />

Awal berhubungan dengan korban adalah ketika pendamping<br />

mendapatkan telepon dari tetangga korban pada hari Sabtu disaat hari<br />

libur pendamping. Setelah berkoordinasi dengan koordinator divisi,<br />

pendampingan datang ke kantor Polres untuk mendampingi korban<br />

membuat laporan, visum dan Berita Acara Pemeriksaan (BAP).Setelah<br />

23 Ratna Batara Munti, Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas,<br />

Kelemahan Aturan dan ProsesHukum, Serta Strategi Menggapai Keadilan,<br />

dalam Perempuan Indonesia dalam Masyarakat yangTengah Berubah,<br />

Jakarta: Program Studi Kajian Wanita Program Pascasarjana Universitas<br />

Indonesia, 2000, hlm. 389-390.<br />

24 SY. Ernaweni, Tesis: Penanganan Hukum Kasus Kekerasan Seksual<br />

terhadap Anak Perempuan berdasarkan Pengalaman Pendamping Hukum,<br />

112


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

mendampingi korban membuat laporan pada jam 10.00, pendamping<br />

langsung membawa korban untuk visum di rumah sakit jam 12.00<br />

sampai jam 17.00. Setelah visum jam 17.00 kembali lagi ke kepolisian<br />

untuk BAP sampai jam 22.00.<br />

“Sampai di Polres sudah buat laporan kita damping, karena<br />

waktu itu libur jadinggak bikin surat kuasa. Kami tetap<br />

mengenalkan diri sebagai pendamping dari LBH. Akhirnya<br />

dipersilahkan untuk membuat laporan kejadiannya kapan, 3 hari<br />

yang lalu. Kalau diperkosa tiga hari yang lalu itu sudah<br />

kelamaan. Anaknya takut mau ngakuk dia baru berani cerita<br />

sekarang. Ya sudah kita buat laporan, kita data, kita visum.<br />

Laporan belum dibuat, hanyakita data, kita visum. Laporan<br />

belum dibuat, hanya pendaftaran saja dibuat surat rujukan, kita<br />

visum di RSCM. Jadi langsung ke RSCM. Visum langsung dapat<br />

hasilnya, waktu itu harus didampingi polisi. Karena tidak bisa<br />

jalan sendiri. Setelah itu, langsung kembali lagi ke polres.<br />

Setelah di polres baru kita dibuatkan laporan. Setelah dibuat<br />

laporan di SPK, kita diarahkan ke Unit PPA di BAP. Saya<br />

bingung kok langsung di BAP. Udah hari ini buat laporan aja<br />

karena selesai visum itu sudah jam tujuh malam masak langsung<br />

di BAP. Harusnya tunggu kondisi korban dulu karena kondisi<br />

korban itu masih capek. Kami menyerahkan ke pihak korban,<br />

mau di BAP sekarang lebih baik. Loh biasanya kami damping<br />

nggak seperti ini. Biasanya diberi kebebasan. Tapi dari pihak<br />

korban kayaknya sudah ketakutan. Ya sudah sekarang saja. Pas<br />

di tengah-tengah pemeriksaan dia bilang, „mba, aku capek,<br />

gimana kalau besok aja?‟ setelah itu kita ngomong ke penyidik<br />

bisa nggak ditunda aja untuk besok. Ya sudah, nanti kita ada<br />

pemeriksaan tambahan. Karena mereka memang awam hukum.”<br />

Adapun selama pemeriksaan, menurut pendamping hukum UH,<br />

polisi memberikan pertanyaan yang membingungkan dan menyudutkan<br />

korban, antara lain:<br />

1) “Kamu melakukan ini sama-sama mau kan?”<br />

(pendamping menjawab: “bagaimana ini disebut sama-sama mau<br />

pak, dia masih kecil belum tau baik buruk, sedangkan pelaku sudah<br />

dewasa jadi tidak ada mau sama mau, ini masuk unsur dalam UUPA<br />

adanya bujuk rayu, tipu muslihat”)<br />

2) “Kok kamu gak teriak?”<br />

3) Kok mau sih, kamu pacaran ya?<br />

(Pendamping memprotes sikap polisi tersebut dengan mengatakan:<br />

“Gimana sih, KANIT-nya kan sudah sering berkoordinasi dengan<br />

LBH, kok anak buahnya begini ya ngga punya perspektif.”)<br />

113


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Sikap Polisi dalam penyidikan tersebut melanggar sejumlah<br />

ketentuan dalam Prosedur Standar Operasional (PSO) Pelaksanaan<br />

Permenneg PP&PA No. 1 Tahun 2010 yaitu:<br />

1) Penerimaan laporan polisi: 25<br />

a. apabila saksi korban dalam kondisi trauma/stress, penyidik<br />

melakukan tindakan penyelamatan degan mengirim saksi<br />

dan/atau korban ke PPT RS Bhayangkara atau Puskesmas,<br />

untuk mendapatkan penanganan medis-psikis serta memantau<br />

perkembangannya;<br />

b. dalam hal saksi dan/atau korban memerlukan istirahat, petugas<br />

mengantar ke ruang istirahat atau rumah aman atau shelter;<br />

2) Pada tahap penyidikan: 26<br />

a. apabila korban siap diperiksa dan bersedia memberikan<br />

keterangan terkait dengan laporan polisi yang dilaporkan<br />

korban, penyidik dapat melaksanakan kegiatan membuat Berita<br />

Acara Pemeriksaan (BAP).<br />

“Udah hari ini buat laporan aja karena selesai visum itu sudah<br />

jam 7 malam masak langsung di BAP. Harusnya tunggu kondisi<br />

korban dulu karena kondisi korban itu masih capek. Kami<br />

menyerahkan ke pihak korban, mau di BAP sekarang lebih baik.<br />

Loh biasanya kami damping nggak seperti ini. Biasanya diberi<br />

kebebasan. Tapi dari pihak korban kayaknya sudah ketakutan.<br />

Ya sudah sekarang saja. Pas di tengah-tengah pemeriksaan dia<br />

bilang, „mba, aku capek, gimana kalau besok aja?‟”<br />

Pada ilustrasi tersebut tergambar bagaimana penanganan polisi<br />

tidak mematuhi PSO yang dipersyaratkan pada Permenneg PP&PA<br />

No. 1 Tahun 2010. Polisi selaku penyidik memaksakan korban<br />

untuk menjalani BAP pada hari itu juga, padahal kondisi fisik<br />

korban sudah kelelahan. Seharusnya, penyidik melakukan tindak<br />

penyelamatan ke PPT RS Bhayangkara atau Puskesmas hingga<br />

kondisi korban cukup baik untuk menjalani wawancara pembuatan<br />

laporan polisi.<br />

3) Tata cara pemeriksaan saksi dan/atau orban 27<br />

a. Pemeriksaan terhadap saksi dan/atau korban dilaksanakan<br />

dengan memperhatikan ketentuan sebagai berikut:<br />

a) pertanyaan diajukan dengan ramah dan penuh rasa empati;<br />

b) dilarang memberikan pertanyaan yang dapat menyinggung<br />

25<br />

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak<br />

Republik Indonesia, Op.Cit, hlm. 217.<br />

26 Ibid, hlm. 219.<br />

27 Ibid, hlm. 221-222<br />

114


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

perasaan atau hal-hal yang sangat sensitif bagi saksi<br />

dan/atau korban yang diperiksa;<br />

c) tidak menyudutkan atau menyalahkan atau mencemooh<br />

atau melecehkan yang diperiksa;<br />

d) tidak memberikan pertanyaan yang dapat menimbulkan<br />

kekesalan/kemarahan yang diperiksa;<br />

e) selama dalam pemeriksaan, petugas senantiasa<br />

memperhatikan situasi dan kondisi fisik maupun kejiwaan<br />

yang diperiksa.<br />

Penyidik mengajukan pertanyaan kepada korban, diantaranya:<br />

“Kamu melakukan ini sama-sama mau kan?”<br />

<br />

<br />

“Kok mau sih, kamu pacaran ya?”<br />

“Kok kamu gak teriak?”<br />

Dalam kondisi kelelahan, korban memaksakan diri<br />

untuk masuk ke tahap wawancara ini karena ketakutan. Setelah<br />

itu, korban justru mendapatkan rangkaian pertanyaan yang<br />

semakin memojokkan posisinya.<br />

Penyidik disini terlihat begitu tidak berperspektif pada<br />

korban. Padahal, pada PSO Pelaksanaan Permenneg PP&PA<br />

No. 1Tahun 2010 sudah ditetapkan prosedur yang terperinci<br />

dalam menyesuaikan diri dengan kondisi korban.<br />

C. Kesimpulan dan Saran<br />

Penanganan korban kekerasan seksual di tingkat kepolisian<br />

belum sesuai dengan Permenneg PP&PA No. 1 Tahun 2010. Selaku<br />

pihak yang berwenang dalam melakukan penyidikan, pada praktiknya<br />

masih tidak berperspektif pada korban. Polisi kerap memaksakan<br />

“prosedur” kepada korban dan kerap abai terhadap kondisi korban itu<br />

sendiri.<br />

Penanganan lalai perspektif tersebut menyiratkan lemahnya<br />

pemahaman aparat penegak hukum, khususnya polisi selaku penyidik,<br />

akan luasnya spektrum akibat kekerasan seksual. Dampak fisik,<br />

psikologis dan trauma lainnya yang diakibatkan oleh kekerasan seksual<br />

yang dialami menjadikan korban perlu ditangani dengan treatment<br />

khusus untuk mampu menyingkap fakta-fakta hukum yang<br />

dibutuhkan.Terdapat kekosongan yang masih menjenjang antara<br />

kebutuhan korban kekerasan seksual dan perilaku penegak hukum yang<br />

menanganinya. Pemerintah melalui Permenneg PP&PA No. 1 Tahun<br />

2010 berusaha untuk menjembatani jarak tersebut. Akan tetapi,<br />

mispersepsi penegak hukum itulah yang membuatnya menjadi sekedar<br />

norma yang belum melembaga pada para penegak hukum terkait.<br />

Perspektif polisi selaku penyidik yang menangani korban<br />

merupakan inti masalah yang perlu diselesaikan sehingga perlulah<br />

diadakan suatu pelatihan yang intens dari internal kepolisian agar polisi<br />

115


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

selaku penyidik memiliki sensitivitas terhadap korban khususnya di<br />

UPPA. Selain itu, untuk mempersiapkan penegak hukum yang memiliki<br />

perspektif di generasi selanjutnya dapat dibentuk kurikulum dengan<br />

muatan mata kuliah seputar penanganan korban, anak dan sensitif<br />

gender. Hal-hal tersebut perlu dilakukan agar instrumen seperti SPM<br />

Bidang Layanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan<br />

dapat berlaku lebih efektif, instrumen tersebut dapat dilengkapi dengan<br />

sanksi sehingga penegak hukum terkait mampu lebih bertanggung<br />

jawab.<br />

Daftar Pustaka<br />

Arief, B. Nawawi. 2001.Masalah Penanganan Hukum dan Kebijakan<br />

Penanggulangan Kejahatan. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.<br />

Carolina, Afni. 2005. Perlindungan Hukum bagi Anak sebagai Korban<br />

Kekerasan Seksual dalam Proses Peradilan Pidana. Tesis<br />

Magister pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia: tidak<br />

diterbitkan.<br />

Eddyono, S. Widodo, Indri Oktaviani. 2007. Lembaga Studi dan<br />

Advokasi Masyarakat. Kejahatan Perkosaan dalam RUU<br />

KUHP. Jakarta: Yayasan Tifa, Lembaga Studi dan Advokasi<br />

Masyarakat (ELSAM).<br />

Ernaweni, Sy. 2011. Penanganan Hukum Kasus Kekerasan Seksual<br />

terhadap Anak Perempuan berdasarkan Pengalaman<br />

Pendamping Hukum. Tesis Magister pada Fakultas Hukum<br />

Universitas Indonesia: tidak diterbitkan.<br />

Hidayat, Rahayu S., dan E. Kristi Poerwandari. 2001.Perempuan<br />

Indonesia dalamMasyarakat yang Tengah Berubah: 10 Tahun<br />

Program Studi Kajian Wanita. Jakarta:Program Pascasarjana<br />

Universitas Indonesia.<br />

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana<br />

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Kekerasan<br />

Seksual: Kenali dan Tangani. Jakarta: Komnas Perempuan.<br />

Luhulima, A. Sudiarti. 2000. Pemahaman Bentuk-Bentuk Tindak<br />

Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Alternatif<br />

Pemecahannya. Jakarta: Pusat Kajian Wanita UI.<br />

Munti, Ratna Batara. 2000.Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas,<br />

Kelemahan Aturan danProses Hukum, Serta Strategi<br />

116


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Menggapai Keadilan, dalam Perempuan Indonesia dalam<br />

Masyarakat yang Tengah Berubah. Jakarta: Program Studi<br />

Kajian Wanita Program Pascasarjana Universitas Indonesia.<br />

Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan<br />

Anak No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal<br />

Bidang Layanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Korban<br />

Kekerasan<br />

Purnianti dan Rita Serena Wibisono. 2003.Menyingkap Tirai Kekerasan<br />

dalam Rumah Tangga. Jakarta: Mitra Perempuan.<br />

Purwadianto, Agus. 2005. Perkosaan sebagai Suatu Pelanggaran<br />

terhadap Hak Asasi Manusia: Kajian Filosofis Metodologi<br />

Pembuktian Hukum. Disertasi Doktor pada Fakultas Ilmu<br />

Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia: tidak diterbitkan.<br />

Reksodiputro, Mardjono. 1997.Kriminologi dan Sistem Peradilan<br />

Pidana, Kumpulan Karangan Buku Kedua. Jakarta: Pusat<br />

Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas<br />

Indonesia.<br />

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak<br />

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan<br />

Kekerasan dalam Rumah Tangga<br />

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan<br />

Korban<br />

Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan terhadap<br />

Undang-undang Nomoe 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan<br />

Saksi dan Korban<br />

Yantzi, Mark. 2009.Kekerasan Seksual dan Pemulihan. Jakarta:<br />

Gunung Mulia.<br />

http://www.komnasperempuan.or.id/2014/09/siaran-pers-resitalpersembahan-ananda-untuk-perempuan-indonesia/<br />

117


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

PERLINDUNGAN DAN PENDAMPINGAN KORBAN<br />

KEKERASAN SEKSUAL DI BANYUMAS JAWA TENGAH<br />

Oleh: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman<br />

Abstrak<br />

Korban kekerasan seksual berpotensi untuk menjadi pelaku kejahatan<br />

serupa. Untuk itu, perlu dilakukan perlindungan dan pendampingan<br />

korban kekerasan seksual. Walaupun tidak semua korban kekerasan<br />

seksual akan menjadi pelaku tindak kejahatan kekerasan seksual di<br />

masa yang akan datang tetapi tindakan preventif harus tetap dilakukan.<br />

Makalah ini disusun, diharapkan dapat menjadi salah satu solusi untuk<br />

menghentikan kekerasan seksual dengan memberikan gambaran<br />

perlunya perlindungan dan pendampingan korban kekerasan seksual<br />

sehingga meminimalisir terjadinya peristiwa korban kekerasan seksual<br />

menjadi pelaku kekerasan seksual. Alasan lain mengapa perlunya<br />

perlindungan dan pendampingan korban kekerasan seksual adalah<br />

dengan melihat dampak dari kekerasan seksual yang sangat<br />

mengerikan bagi korban. Kebanyakan korban kekerasan seksual<br />

merasakan kriteria psychological disorder yang disebut post-traumatic<br />

stress disorder (PTSD), simtom-simtomnya berupa ketakutan yang<br />

intens terjadi, kecemasan yang tinggi, emosi yang kaku setelah<br />

peristiwa traumatis. Beitch-man et al (dalam Tower, 2002), korban<br />

yang mengalami kekerasan membutuhkan waktu satu hingga tiga tahun<br />

untuk terbuka pada orang lain.<br />

A. Latar Belakang<br />

Korban kekerasan seksual berpotensi untuk menjadi pelaku<br />

kejahatan serupa. Untuk itu, perlu dilakukan perlindungan dan<br />

pendampingan korban kekerasan seksual. Walaupun tidak semua<br />

korban kekerasan seksual akan menjadi pelaku tindak kejahatan<br />

kekerasan seksual di masa yang akan datang tetapi tindakan preventif<br />

harus tetap dilakukan.<br />

Sejauh ini, tindakan-tindakan baik represif atau preventif belum<br />

dilakukan dengan maksimal, karena memang belum terstruktur dan<br />

terprogram dengan baik. Pemerintah dan seluruh pihak harus dapat<br />

benar-benar memberikan perhatian serius terhadap persoalan ini, agar<br />

korban kejahatan tidak berpotensi menjadi pelaku, begitu juga dengan<br />

pelaku agar tidak mengulangi lagi perbuatannya.<br />

118


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

1. Kekerasan<br />

Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan<br />

salah. Menurut WHO (dalam Bagong. S, dkk, 2000). Kekerasan adalah<br />

penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan<br />

terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau<br />

masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar<br />

mengakibatkan memar/ trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan<br />

perkembangan atau perampasan hak.<br />

2. Kekerasan Seksual<br />

Kekerasan seksual merupakan bentuk kontak seksual atau<br />

bentuk lain yang tidak diinginkan secara seksual. Kekerasan seksual<br />

biasanya disertai dengan tekanan psikologis atau fisik (O‟Barnett et al.,<br />

dalam Matlin, 2008). Perkosaan merupakan jenis kekerasan seksual<br />

yang spesifik. Perkosaan dapat didefiniskan sebagai penetrasi seksual<br />

tanpa izin atau dengan paksaan, disertai oleh kekerasan fisik (Tobach,<br />

dkk dalam Matlin, 2008).<br />

Kekerasan seksual adalah isu penting dan rumit dari seluruh<br />

peta kekerasan terhadap perempuan karena ada dimensi yang sangat<br />

khas bagi perempuan. Persoalan ketimpangan relasi kuasa antara pelaku<br />

dan korban adalah akar kekerasan seksual terhadap perempuan. Dalam<br />

kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, ketimpangan relasi kuasa<br />

yang dimaksud adalah antara laki-laki dan perempuan. Ketimpangan<br />

diperparah ketika satu pihak (pelaku) memiliki kendali lebih terhadap<br />

korban. Kendali ini bisa berupa sumber daya, termasuk pengetahuan,<br />

ekonomi dan juga penerimaan masyarakat (status sosial atau modalitas<br />

sosial). Termasuk pula kendali yang muncul dari bentuk hubungan<br />

patron-klien atau feodalisme, seperti antara orangtua-anak, majikanburuh,<br />

guru-murid, tokoh masyarakat-warga dan kelompok bersenjata<br />

atau aparat-penduduk sipil.<br />

Komnas Perempuan mencatat dalam waktu tiga belas tahun<br />

terakhir kasus kekerasan seksual berjumlah hampir seperempat dari<br />

seluruh total kasus kekerasan, atau 93.960 kasus dari seluruh kasus<br />

kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan (400.939). Artinya<br />

setiap hari 20 perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Data ini<br />

merupakan hasil dokumentasi yang berasal dari CATAHU, yaitu catatan<br />

tahunan Komnas Perempuan bersama lembaga-lembaga layanan bagi<br />

perempuan korban, pemantauan Komnas Perempuan tentang<br />

pengalaman kekerasan terhadap perempuan di dalam konteks Aceh,<br />

Poso, Tragedi 1965, Ahmadiyah, migrasi, Papua, Ruteng, pelaksanaan<br />

Otonomi Daerah, dan rujukan Komnas Perempuan pada data dari Tim<br />

Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 serta<br />

Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor Leste (CAVR).<br />

119


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

B. Alasan-Alasan Perlunya Perlindungan dan Pendampingan<br />

Korban Kekerasan Seksual.<br />

Secara umum, perlunya diberikan perlindungan hukum pada<br />

korban kejahatan secara memadai tidak saja merupakan isu nasional,<br />

tetapi juga internasional, oleh karena itu masalah ini perlu memperoleh<br />

perhatian yang serius. Pentingnya perlindungan korban kejahatan<br />

memperoleh perhatian serius, dapat dilihat dari dibentuknya<br />

Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and<br />

Abuses of Power oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sebagai hasil<br />

dari The Seventh United Nation Conggres on the Prevention of Crime<br />

and the Treatment of Offenders, yang berlangsung di Milan, Italia,<br />

Sepetember 1985, dalam salah satu rekomendasinya disebutkan:<br />

“Offenders or third parties responsible for their behaviour<br />

should, where appropriate, make fair restitution to victims, their<br />

families or dependents. Such restitution should include the return<br />

of property or payment for the harm or loss suffered,<br />

reimbursement of expenses incurred as a result of the<br />

victimization, the provision of services and the restoration of<br />

rights”.<br />

(Pelaku atau mereka yang bertangung jawab atas suatu perbuatan<br />

melawan hukum, harus memberi restitusi kepada korban,<br />

keluarga atau wali korban. Restitusi tersebut berupa<br />

pengembalian hak milik atau mengganti kerugian yang diderita<br />

korban, kerugian biaya atas kelalaian yang telah dilakukannya<br />

sehingga menimbulkan korban, yang merupakan suatu penetapan<br />

undang-undang sebagai bentuk pelayanan dan pemenuhan atas<br />

hak).<br />

Dalam Deklarasi Milan 1985 tersebut, bentuk perlindungan<br />

yang diberikan mengalami perluasan yang tidak hanya ditujukan pada<br />

korban kejahatan (victims of crime), tetapi juga perlindungan terhadap<br />

korban akibat penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).<br />

Hal ini menunjukkan bahwa perlindungan terhadap korban<br />

memperoleh perhatian yang serius tidak hanyadari masing-masing<br />

negara, tetapi juga dunia. Deklarasi PBB memberi perlindungan<br />

terhadap korban dengan memberikan restitusi, sehingga korban<br />

mendapatkan ganti kerugian atas apa yang telah dideritanya.<br />

Pada Juni, 2014 terjadi kembali kasus kekerasan seksual di<br />

Banyumas, Jawa Tengah yaitu seorang pedagang cilok keliling di<br />

Purwokerto Kabupaten Banyumas Jawa Tengah berinisial DS (25<br />

tahun) yang beralamat di Jalan Sokajati, Pasirmuncang, Purwokerto<br />

Barat, baru-baru ini ditangkap Timsatreskrim Polres setempat karena<br />

diduga telah mencabuli anak-anak di bawah umur. Tak tanggungtanggung,<br />

jumlah korban pencabulan diperkirakan mencapai 28 anak<br />

120


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

berusia rata-rata antara 10-14 tahun. Modusnya, bocah yang akan<br />

dijadikan korban, oleh tersangka pelaku iming-iming uang yang<br />

besarnya antara Rp5.000,00-Rp20.000,00. Bocah yang tergiur kemudian<br />

diajak oleh pelaku ke tempat yang sepi dengan motornya. Ada yang<br />

dibawa ke warnet, lapangan, kamar mandi atau bahkan dibawa ke WC<br />

umum. Sebelum dicabuli, korban terlebih dahulu diberi minuman keras<br />

yang dicampur dengan pil dextro. Setelah korban diberi minuman dan<br />

tidak berdaya, pelaku mencabuli korban atau melakukan perbuatan yang<br />

tidak pantas. Terkait perilakunya yang menyimpang, tersangka DS<br />

mengaku pernah menjadi korban pencabulan oleh tetangganya.<br />

Berdasarkan kasus tersebut ditemukan fakta bahwa pelaku<br />

kekerasan seksual dahulu pernah menjadi korban kekerasan seksual.<br />

Memang ada berbagai macam alasan seseorang menjadi pelaku<br />

kekerasan seksual seperti faktor penyimpangan seksual, kesempatan,<br />

namun pada kasus lain yaitu Kasus di TK Jakarta International School<br />

salah satu pelaku juga pernah menjadi korban kekerasan seksual<br />

sewaktu kecil.<br />

Ketika para pelaku kekerasan seksual yang dulunya pernah<br />

menjadi korban kekerasan seksual ketika baru saja mengalami kejadian<br />

memilukan tersebut tidak mendapat penanganan yang baik dari berbagai<br />

pihak. Maksudnya adalah kasus tersebut tidak dilaporkan ke Kepolisian,<br />

tidak ada psikolog yang menemani untuk memulihkan psikis korban,<br />

orang tua, teman-teman dan lingkungan sekitar pasif. Sehingga korban<br />

hanya sendirian saja dan terjadilah reviktimisasi atau korban menjadi<br />

korban untuk kedua kali. Apakah kita hanya dapat diam saja melihat<br />

fakta mengerikan itu terjadi. Seolah-olah sederetan kasus kekerasan<br />

seksual yang terkuak pada 2014 seperti siklus, artinya pelaku kekerasan<br />

seksual ternyata dulunya korban kekerasan seksual. Jadi, perlu adanya<br />

perlindungan dan pendampingan korban kekerasan seksual.<br />

Perlindungan dan pendampingan terhadap korban kekerasan<br />

seksual dapat dilakukan dengan cara:<br />

a) Dorong untuk melakukan proses hukum &assessment psikis utk<br />

traumanya;<br />

b) Laporkan kasus dilakukan di unit Perlindungan Perempuan & Anak<br />

(PPA) Polres, bisa melalui PPT PKBGA setempat, sangat<br />

disarankan korban didampingi orang-orang yg mengerti isu;<br />

c) Anak sampai dengan 18 tahun diperoses di bawah UU Perlindungan<br />

Anak. Pahami UUPA, jgn sampai sudah berkasus baru berminat<br />

mempelajarinya;<br />

d) Memproses kasus kekerasan seksual secara hukum tak semata<br />

berpatokan pada cukupnya bukti dan saksi;<br />

e) Lakukan segera proses konseling atau terapi pada korban, dengan<br />

melibatkan psikolog;<br />

121


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

f) Korban sering lebih cenderung menjawab dengan tidak rileks saat<br />

assessment psikis. Gejala trauma bisa tidak terlihat. Fase<br />

penyangkalan dan rasa bersalah bisa akibatkan korban terlihat<br />

tenang & baik-baik saja. Ini sering disalahartikan dan dilaporkan<br />

sebagai bahwa korban tidak terguncang, tidak trauma atau baik-baik<br />

saja adalah sangat merugikan;<br />

g) Lakukan juga assessment psikis pembanding di lembaga atau ahli<br />

jiwa independen yang lebih mengerti soal trauma dan bisa menggali<br />

persoalan psikis korban dengan lebih mendalam dan teliti.Jangan<br />

abaikan hasil assessment psikis, salah 'membaca' gejala trauma akan<br />

merugikan korban yang sedang butuh keadilan;<br />

h) Bila dalam proses kasus, aparat melakukan pemaksaan konfrontasi<br />

antara korban dan pelaku, pastikan korban didampingi konselor.<br />

Proses tersebut sebenarnya sangat merugikan korban karena saat<br />

korban dipertemukan dengan pelaku, ia bisa merasa terintimidasi,<br />

tertekan, dan labil;<br />

i) Mempertemukan korban dan pelaku di luar pengadilan tanpa<br />

pendamping atau konselor bisa berpotensi mencederai keadilan bagi<br />

korban;<br />

j) Karena korban yang tertekan bisa berubah karena takut atau tidak<br />

enak hati. Apalagi bila pelaku adalah orang dekat;<br />

k) Jauhkan korban dari pelaku. Sangat disarankan mengevakuasi<br />

korban ke rumah aman; dan<br />

l) Libatkan lembaga-lembaga dan pegiat isu kekerasan seksual saat<br />

memproses kasus untuk mendapatkan dukungan lebih kuat. Mereka<br />

juga akan men-support pengetahuan tentang UUPA.<br />

Alasan lain mengapa perlunya perlindungan dan pendampingan<br />

korban kekerasan seksual adalah dengan melihat dampak dari kekerasan<br />

seksual yang sangat mengerikan bagi korban. Kebanyakan korban<br />

kekerasan seksual merasakan kriteria psychological disorder yang<br />

disebut post-traumatic stress disorder (PTSD), gejala-gejala berupa<br />

ketakutan yang intens terjadi, kecemasan yang tinggi, emosi yang kaku<br />

setelah peristiwa traumatis. Beitch-man et al (dalam Tower, 2002),<br />

korban yang mengalami kekerasan membutuhkan waktu satu hingga<br />

tiga tahun untuk terbuka pada orang lain. Finkelhor dan Browne (dalam<br />

Tower, 2002) menggagas empat jenis dari efek trauma akibat kekerasan<br />

seksual, yaitu:<br />

1) Betrayal (penghianatan)<br />

Kepercayaan merupakan dasar utama bagi korban kekerasan<br />

seksual. Sebagai anak individu percaya kepada orangtua dan<br />

kepercayaan itu dimengerti dan dipahami. Namun, kepercayaan<br />

anak dan otoritas orangtua menjadi hal yang mengancam anak.<br />

2) Traumatic sexualization (trauma secara seksual)<br />

122


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Russel (dalam Tower, 2002) menemukan bahwa perempuan yang<br />

mengalami kekerasan seksual cenderung menolak hubungan<br />

seksual, dan sebagai konsekuensinya menjadi korban kekerasan<br />

seksual dalam rumah tangga. Finkelhor (dalam Tower, 2002)<br />

mencatat bahwa korban lebih memilih pasangan sesama jenis<br />

karena menganggap laki-laki tidak dapat dipercaya.<br />

3) Powerlessness (merasa tidak berdaya)<br />

Rasa takut menembus kehidupan korban. Mimpi buruk, fobia, dan<br />

kecemasan dialami oleh korban disertai dengan rasa sakit. Perasaan<br />

tidak berdaya mengakibatkan individu merasa lemah. Korban<br />

merasa dirinya tidak mampu dan kurang efektif dalam bekerja.<br />

Beberapa korban juga merasa sakit pada tubuhnya. Sebaliknya,<br />

pada korban lain memiliki intensitas dan dorongan yang berlebihan<br />

dalam dirinya (Finkelhor dan Browne, Briere dalam Tower, 2002).<br />

4) Stigmatization<br />

Korban kekerasan seksual merasa bersalah, malu, dan memiliki<br />

gambaran diri yang buruk. Rasa bersalah dan malu terbentuk akibat<br />

ketidakberdayaan dan merasa bahwa mereka tidak memiliki<br />

kekuatan untuk mengontrol dirinya. Korban sering merasa berbeda<br />

dengan orang lain, dan beberapa korban marah pada tubuhnya<br />

akibat penganiayaan yang dialami. Korban lainnya menggunakan<br />

obat-obatan dan minuman alkohol untuk menghukum tubuhnya,<br />

menumpulkan inderanya, atau berusaha menghindari memori<br />

kejadian tersebut (Gelinas, Kinzl dan Biebl dalam Tower, 2002).<br />

C. Perlindungan dan Pendampingan Korban Kekerasan Seksual<br />

di Banyumas, Jawa Tengah<br />

Menurut Dra. Tri Wuryaningsih, M.Si., Dosen Fisip Jurusan<br />

Sosiologi Unsoed Purwokerto indikator telah terjadi kekerasan seksual<br />

antara lain:<br />

a) Adanya perubahan pada perasaan, sikap maupun perilaku anak pada<br />

hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas;<br />

b) Pengetahuan yang tiba-tiba dimilikinya tentang seks;<br />

c) Reaksi yang sangat kuat pada kontak fisik seperti misalnya sangat<br />

menarik diri dari kontak fisik atau sebaliknya mempunyai<br />

ketertarikan yang besar untuk bermain-main dengan seksualitasnya;<br />

d) Menunjukkan kemunduran perkembangan secara fisiologis atau<br />

perilaku yang tiba-tiba, seperti: perubahan kebiasan tidur, makan,<br />

prestasi di sekolah (mundur sekali atau malah berprestasi);<br />

e) Mengalami masalah dalam hubungannya dengan orang lain di<br />

sekolah, seperti:bermasalah dengan kedisiplinan, menghindar dari<br />

tugas-tugas, menarik diri;<br />

f) Ketegangan emosi, misalnya selalu takut, cemas, mudah<br />

tersinggung, mudah marah, dan depresi.<br />

123


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Meskipun kekerasan seksual terjadi secara berulang dan terus<br />

menerus, namun tidak banyak masyarakat yang memahami dan peka<br />

tentang persoalan ini. Kekerasan seksual seringkali dianggap sebagai<br />

kejahatan terhadap kesusilaan semata. Pandangan semacam ini bahkan<br />

didukung secara tidak langsung oleh negara melalui muatan dalam<br />

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam KUHP<br />

kekerasan seksual seperti perkosaan dianggap sebagai pelanggaran<br />

terhadap kesusilaan. Pengkategorian ini tidak saja mengurangi derajat<br />

perkosaan yang dilakukan, namun juga menciptakan pandangan bahwa<br />

kekerasan seksual adalah persoalan moralitas semata. Sikap korban<br />

membungkam justru pada banyak kesempatan didukung, bahkan<br />

didorong oleh keluarga, orang-orang terdekat, dan masyarakat<br />

sekitarnya. Konteks moralitas ini pula yang menjadikan kekerasan<br />

seksual lebih sering dipahami sebagai pelanggaran terhadap kesusilaan<br />

semata.<br />

Di satu sisi, pemahaman sebagai masalah kesusilaan<br />

menyebabkan kekerasan seksual dipandang kurang penting<br />

dibandingkan dengan isu-isu kejahatan lainnya seperti pembunuhan<br />

ataupun penyiksaan. Padahal, pengalaman korban kekerasan seksual<br />

menunjukkan bahwa kekerasan seksual dapat menghancurkan seluruh<br />

integritas hidup korban sehingga ia merasa tidak mampu melanjutkan<br />

hidupnya lagi. Aspek khas dari kekerasan seksual terkait dengan<br />

wacana moralitas juga menjadi salah satu hambatan terbesar dalam<br />

upaya korban memperoleh haknya atas kebenaran, keadilan dan<br />

pemulihan. Pengaitan peristiwa kekerasan seksual dengan persoalan<br />

moralitas menyebabkan korban membungkam dan korban justru<br />

disalahkan atas atas kekerasan yang dialaminya. Karena apa yang<br />

dialami korban dimaknai sebagai “aib”, tidak saja bagi dirinya tetapi<br />

juga bagi keluarga dan komunitasnya, korban seringkali dikucilkan.<br />

Ada pula korban yang diusir dari rumah dan kampungnya karena<br />

dianggap tidak mampu menjaga kehormatan dan merusak nama baik<br />

keluarga ataupun masyarakat.<br />

Pengucilan dan stigmatisasi atau pelabelan dirinya sebagai<br />

“barang yang rusak” akibat kekerasan seksual itu bahkan dapat<br />

berlangsung sekalipun korban memenangkan kasusnya di pengadilan.<br />

Korban kerap dituduh membiarkan peristiwa kekerasan tersebut ketika<br />

ia dianggap tidak berupaya untuk melawan pelaku, menempatkan<br />

dirinya terus-menerus gampang direngkuh pelaku, ataupun terbuai<br />

dengan iming-iming pelaku.<br />

Landasan Hukum untuk Jaminan Perlindungan dari Tindak<br />

Kekerasan Seksual Nasional:<br />

1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 285, 286, 287,<br />

290, dan 291;<br />

124


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan<br />

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) pasal 8(b), 47, dan 48;<br />

3) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan<br />

Tindak Pidana Perdagangan Orang pasal 1 (3 dan 7);<br />

4) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak<br />

pasal 1(15), 17 (2), 59, 66 (1 dan 2), 69, 78, dan 88<br />

Landasan Hukum untuk Jaminan Perlindungan dari Tindak<br />

Kekerasan Seksual Internasional:<br />

1) Statuta Roma Pasal 7 ayat 2 (g), Pasal 69 ayat 1 dan 2, dan pasal 68;<br />

2) Resolusi PBB 1820 tentang Kekerasan Seksual dalam Konflik<br />

Bersenjata;<br />

3) Deklarasi Penghapusan Tindak Kekerasan terhadap Perempuan<br />

(ICPD) pada bulan Desember 1993;<br />

4) Deklarasi Wina Tahun 1993.<br />

1. Hambatan Mengakses Keadilan & Pemulihan Bagi Korban<br />

Kekerasan Seksual<br />

Secara umum, ada empat faktor penentu perempuan korban<br />

perkosaan dalam mengakses keadilan dan pemulihan, yaitu faktor<br />

personal, sosial budaya, hukum, dan politik. Keempat faktor ini saling<br />

kait-mengait dan menentukan tingkat kepercayaan korban untuk<br />

melaporkan kasusnya, menuntut keadilan dan menjadi pulih. Di tingkat<br />

personal, perempuan korban perkosaan bisa menderita trauma<br />

mendalam akibat perkosaan yang ia alami. Trauma ini dapat<br />

termanifestasi pada kehilangan ingatan pada peristiwa yang dialaminya,<br />

kehilangan kemampuan bahasa, gangguan kejiwaan, rasa takut yang<br />

luar biasa, atau keinginan untuk melupakan dengan tidak membicarakan<br />

peristiwa yang melukainya itu. Kesemua hal ini menyebabkan korban<br />

tidak mampu atau tidak bersedia untuk melaporkan kasusnya.<br />

Faktor sosial budaya seperti konsep moralitas dan aib<br />

mengakibatkan masyarakat cenderung menyalahkan korban, meragukan<br />

kesaksian korban atau mendesak korban untuk bungkam. Pada sejumlah<br />

masyarakat, konsep “AIB” juga dikaitkan dengan konsep nasib sial dan<br />

karma. Perempuan korban perkosaan dianggap bernasib sial karena<br />

harus menanggung balasan dari tindak kejahatan yang pernah dilakukan<br />

oleh keluarga atau para leluhurnya. Menceritakan tindak kekerasan<br />

seksual yang ia alami dianggap membongkar aib yang ada di dalam<br />

keluarganya. Situasi ini pula yang mendorong keluarga untuk<br />

mengambil keputusan bagi korban untuk tidak melapor. Cara pikir<br />

tentang “aib” seringkali menyudutkan korban, dikucilkan, atau diusir<br />

dari lingkungannya atau bahkan dipaksa untuk menjalani hidupnya<br />

dengan pelaku kekerasan, misalnya dengan memaksakan perempEuan<br />

korban menikahi pelakunya.<br />

125


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Pada faktor hukum, ada tiga aspek yang harus diperhatikan<br />

dalam memahami hambatan yang dihadapi korban yaitu aspek<br />

substansi, struktur dan budaya hukum. Di tingkat substansi, sekalipun<br />

ada penegasan pada hak atas perlindungan dari kekerasan dan<br />

diskriminasi, berbagai jenis kekerasan seksual belum dikenali oleh<br />

hukum Indonesia, ataupun pengakuan pada tindak kekerasan tersebut<br />

masih belum utuh. Dalam konteks perkosaan, hukum Indonesia hanya<br />

mengakomodir tindak pemaksaan hubungan seksual yang berbentuk<br />

penetrasi penis ke vagina dan dengan bukti-bukti kekerasan fisik akibat<br />

penetrasi tersebut.Padahal, ada banyak keragaman pengalaman<br />

perempuan akan perkosaan, sehingga perempuan tidak dapat menuntut<br />

keadilan dengan menggunakan hukum yang hanya memiliki definisi<br />

sempit atas tindak perkosaan itu. Di tingkat struktur, lembaga penegak<br />

hukum mulai membuat unit dan prosedur khusus untuk menangani<br />

kasus kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual.<br />

Sayangnya, unit dan prosedur ini belum tersedia di semua tingkat<br />

penyelenggaraan hukum dan belum didukung dengan fasilitas yang<br />

memadai. Di tingkat kultur atau budaya hukum, banyak penyelenggara<br />

hukum mengadopsi cara pandang masyarakat tentang moralitas dan<br />

kekerasan seksual.<br />

Akibatnya, penyikapan terhadap kasus tidak menunjukkan<br />

empati pada perempuan korban, bahkan cenderung ikut menyalahkan<br />

korban. Pertanyaan seperti memakai baju apa, sedang berada dimana,<br />

dengan siapa jam berapa merupakan beberapa pertanyaan yang kerap<br />

ditanyakan oleh aparat penegak hukum ketika menerima laporan kasus<br />

perkosaan. Pertanyaan semacam itu tidak saja menunjukkan bahwa<br />

tiadanya perspektif korban tapi juga bentuk mengakimi korban dan<br />

menjadikan korban mengalami kekerasan kembali (reviktimisasi).<br />

Persoalan lain yang seringkali muncul adalah tersedia tidaknya<br />

perlindungan saksi dan korban yang mumpuni. Pada sejumlah kasus,<br />

korban tidak mau melaporkan kasusnya karena kuatir balas dendam<br />

pelaku. Korupsi dalam proses penegakan hukum yang begitu mengurat<br />

akar juga menjadi hambatan bagi perempuan korban yang kehilangan<br />

keyakinan bahwa ia akan memperoleh proses hukum yang adil dan<br />

terpercaya. Faktor lain yang mempengaruhi akses perempuan korban<br />

perkosaan pada proses mencari keadilan dan pemulihan adalah faktor<br />

politik. Dalam konteks konflik, proses pengungkapan kebenaran sangat<br />

ditentukan oleh itikad baik politik (good will) penyelenggara negara.<br />

2. Ranah Kekerasan Seksual<br />

Kekerasan seksual bisa terjadi pada siapa saja dan kapanpun.<br />

Data Komnas Perempuan tahun 2012 menunjukkan kekerasan seksual<br />

terjadi disemua ranah yaitu personal, publik dan negara. Jumlah paling<br />

tinggi terjadi di ranah personal, yaitu ¾ dari total kekerasan seksual. Di<br />

126


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

ranah personal artinya kekerasan seksual dilakukan oleh orang yang<br />

memiliki hubungan darah (ayah, kakak, adik, paman, kakek),<br />

kekerabatan, perkawinan (suami) maupun relasi intim (pacaran) dengan<br />

korban. Banyaknya jumlah kasus di tingkat personal bisa jadi terkait<br />

dengan kehadiran payung hukum, yaitu UU. No. 23 tahun 2004 tentang<br />

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), yang telah<br />

disosialisasikan secara meluas ke masyarakat, bertambahnya lembagalembaga<br />

yang dapat diakses oleh perempuan korban, serta<br />

meningkatnya kepercayaan korban pada proses keadilan dan pemulihan<br />

yang dapat ia peroleh dengan melaporkan kasusnya itu.<br />

Jumlah kedua adalah kasus-kasus kekerasan seksual yang<br />

terjadi di ranah publik, yaitu 22.284 kasus. Di ranah publik berarti kasus<br />

dimana korban dan pelaku tidak memiliki hubungan kekerabatan, darah<br />

ataupun perkawinan. Bisa jadi pelakunya adalah majikan, tetangga,<br />

guru, teman sekerja, tokoh masyarakat, ataupun orang yang tidak<br />

dikenal. Dalam berbagai dokumentasi, ditemukan pula bahwa pelaku<br />

kekerasan adalah aparatur negara dalam kapasitas tugas. Jumlahnya<br />

mencapai 1.561 kasus. Dalam konteks pelaku adalah aparat negara<br />

dalam kapasitas tugasnya inilah yang dimaksudkan sebagai ranah<br />

negara. Termasuk di dalam kasus di ranah negara adalah ketika pada<br />

peristiwa kekerasan, aparat negara berada di lokasi kejadian namun<br />

tidak berupaya untuk menghentikan atau justru membiarkan tindak<br />

kekerasan tersebut berlanjut.<br />

Upaya yang dapat dilakukan untuk memberikan perlindungan<br />

hukum terhadap korban kekerasan seksual dapat mencakup:<br />

a. Pada waktu korban melapor perlu ditempatkan di Ruang Pelayanan<br />

Khusus (RPK) yang merupakan sebuah ruang khusus yang tertutup<br />

dan nyaman di kesatuan Polri, dimana perempuan dan anak yang<br />

menjadi korban kekerasan atau pelecehan seksual dapat melaporkan<br />

kasusnya dengan aman kepada Polwan yang empatik, penuh<br />

pengertian dan profesional;<br />

b. Upaya pendampingan sangat dibutuhkan selama proses persidangan<br />

mengingat korban dapat/harus dipertemukan dengan pelaku yang<br />

dapat membuat korban trauma sehingga akan mempengaruhi<br />

kesaksian yang akan diberikan dalam persidangan;<br />

c. Setelah pelaku dijatuhi hukuman oleh hakim, maka korban berhak<br />

mendapatkan perlindungan yang antara lain: mendapatkan<br />

nasihathukum, dan/atau memperoleh bantuan biaya hidup<br />

sementara sampai batas waktu perlindungan akhir.<br />

Aparat penegak hukum dalam memberi pelayanan dan<br />

perlindungan kepada korban kekerasan seksual seyogyanya dilandasi<br />

oleh rasa kemanusiaan, dan dalam menangani kasus perkosaan tidak<br />

hanya menggunakan landasan KUHP saja melainkan juga menggunakan<br />

Undang-Undang di luar KUHP (tidak menggunakan sangkaan pasal<br />

127


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

tunggal). Masyarakat seyogyanya juga ikut mendukung para korban<br />

kekerasan seksual untuk mendapatkan perlindungan hukum, sehingga<br />

bangsa Indonesia menjadi negara yang berhasil mensejahterakan<br />

masyarakat yang dilandasi oleh rasa kemanusiaan.<br />

3. Perlindungan dan Pendampingan Korban Kekerasan Seksual di<br />

Jawa Tengah<br />

Badan Badan Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak<br />

dan Keluarga Berencana (BP3AKB) Jawa Tengah menyatakan siap<br />

membantu pemulihan kondisi psikologi korban secara gratis. Kepala<br />

BP3AKBP Jawa Tengah, Sri Kusuma Astuti mengatakan pihaknya siap<br />

melakukan pendampingan kepada korban melalui Pusat Pelayanan<br />

Terpadu (PPT) yang memang ada di tiap kabupaten/kota. Menurut data<br />

BP3AKB yang diperoleh detikcom, ada 247 kasus kekerasan seksual<br />

yang dialami anak dari awal tahun 2014 hingga triwulan kedua yaitu<br />

bulan Juni.<br />

Sudah ada beberapa wadah yang berfungsi untuk perlindungan<br />

dan pendampingan bagi korban kekerasan seksual seperti Unit<br />

Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) di Kantor Polisi. Namun,<br />

sampai saat ini tidak ada wadah yang secara konsisten dan berkala<br />

pendampingan korban. Lembaga Swadaya Masyarakat, Komisi<br />

Perlindungan Perempuan dan Anak juga tidak memiliki program untuk<br />

mendampingi korban sampai jangka waktu tidak tertentu artinya<br />

pendampingan berhenti hanya jika korban sudah mulai melupakan<br />

kejadian kekerasan seksual yang menimpanya, tentu untuk menilai<br />

kapan waktunya maka tidak ada ukuran bakunya karena masing-masing<br />

korban memiliki perbedaan. Sehingga saat ini sangat dibutuhkan wadah<br />

yang fokus dari awal sampai akhir untuk melindungi dan mendampingi<br />

korban kekerasan seksual, jadi diperlukan regulasi untuk mengatur itu.<br />

D. Kesimpulan dan Saran<br />

1. Tanpa penanganan yang tepat, terhadap korban kekerasan seksual<br />

akan timbulkan masalah kejiwaan di masa yang akan datang,<br />

mengganggu peran dan fungsi sosialnya serta berpotensi<br />

membuatnya menjadi pelaku kekerasan juga. Ide dasar<br />

perlindungan dan pendampingan terhadap korban kekerasan seksual<br />

timbul dikarenakan korban tersebut mengalami penderitaan secara<br />

fisik juga mengalami penderitaan secara psikis yang membutuhkan<br />

waktu lama untuk memulihkannya. Mengingat penderitaan yang<br />

dialami korban kekerasan seksual tidak ringan dan membutuhkan<br />

waktu yang tidak singkat untuk bisa memulihkannya, maka aparat<br />

penegak hukum berkewajiban memberikan perlindungan terhadap<br />

korban kekerasan seksual yangdiimplementasikan dalam peraturan<br />

perundang-undangan sebagai produk hukum yang memihak korban.<br />

128


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

2. Sudah ada beberapa wadah yang berfungsi untuk perlindungan dan<br />

pendampingan bagi korban kekerasan seksual seperti Unit<br />

Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) di Kantor Polisi. Namun,<br />

sampai saat ini tidak ada wadah yang secara konsisten dan berkala<br />

pendampingan korban. Lembaga Swadaya Masyarakat, Komisi<br />

Perlindungan Perempuan dan Anak juga tidak memiliki program<br />

untuk mendampingi korban sampai jangka waktu tidak tertentu<br />

artinya pendampingan berhenti hanya jika korban sudah mulai<br />

melupakan kejadian kekerasan seksual yang menimpanya, tentu<br />

untuk menilai kapan waktunya maka tidak ada ukuran bakunya<br />

karena masing-masing korban memiliki perbedaan. Sehingga saat<br />

ini sangat dibutuhkan wadah yang fokus dari awal sampai akhir<br />

untuk melindungi dan mendampingi korban kekerasan seksual, jadi<br />

diperlukan regulasi untuk mengatur itu.<br />

Aparat penegak hukum dalam memberi pelayanan dan<br />

perlindungan kepada korban kekerasan seksual seyogyanya dilandasi<br />

oleh rasa kemanusiaan, dan dalam menangani kasus perkosaan tidak<br />

hanya menggunakan landasan KUHP saja melainkan juga menggunakan<br />

Undang-Undang di luar KUHP (tidak menggunakan sangkaan pasal<br />

tunggal). Masyarakat seyogyanya juga ikut mendukung para korban<br />

kekerasan seksual untuk mendapatkan perlindungan hukum, sehingga<br />

bangsa Indonesia menjadi negara yang berhasil menyejahterakan<br />

masyarakat yang dilandasi oleh rasa kemanusiaan.<br />

Daftar Pustaka<br />

Abineno, J.L.Ch. 1999. Seksualitas dan Pendidikan Seksual. Jakarta: PT<br />

BPK Gunung Mulia.<br />

Hamzah, Andi. 1986. Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dalam<br />

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Bandung:<br />

Binacipta.<br />

Irfan, Muhammad dkk. 2001. Perlindungan Terhadap Korban<br />

Kekerasan Seksual (Advokasi atas Hak Asasi Perempuan).<br />

Bandung: PT Refika Aditama.<br />

Wahid, Abdul dan Muhammad Irfan. 2001. Perlindungan Terhadap<br />

Korban Kekerasan Seksual : Advokasi Atas Hak Asasi<br />

Perempuan. Bandung: Refika Aditama.<br />

Waluyo, Bambang. 2011. Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi.<br />

Jakarta: Sinar Grafika.<br />

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).<br />

129


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.<br />

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi<br />

Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain<br />

yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat<br />

Manusia.<br />

Buletin Sekretaris Jenderal PBB tentang tindakan-tindakan khusus bagi<br />

perlindungan dari eksploitasi seksual dan pelanggaran seksual,<br />

St/SGB/2003/13, 9 Oktober 2003 dalam Komnas Perempuan.<br />

Komnas Perempuan. 2007. Pembela HAM: Berjuang Dalam Tekanan.<br />

The Prosecution of Sexual Violence in Conflict, The Importance of<br />

Human Rights as Means of Interpretation diakses dari<br />

http://www2.ohchr.org/english/issues/women/docs/Paper_Prosec<br />

ution_of_Sexua_Violence.pdf. pada 25 Oktober 2014.<br />

130


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

PENCEGAHAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM KEKERASAN<br />

SEKSUAL PADA ANAK DI KOTA BANJARMASIN<br />

Oleh: Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat<br />

Abstrak<br />

Anak adalah amanah dan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa yang<br />

didalam dirinya melekatharkat dan martabat sebagai manusia<br />

seutuhnya. Oleh karena itu, anak juga memiliki hak asasi manusia<br />

yang diakui oleh masyarakat dan bangsa-bangsa di dunia, diakui<br />

bahwa dalam masa pertumbuhannya seara mental anak membutuhkan<br />

perawatan, perlindungan yang khusus maupun perlindungan hukum<br />

baik sebelum maupun sesudah lahir. Makalah tentang pencegahan dan<br />

perlindungan hukum bagi anak korban tindak pidana kekerasan<br />

seksual di Kota banjarmasin ini membahas tentang bagaimana cara<br />

mencegah tindak pidana kekerasan seksual pada anak dan bagaimana<br />

perlindungan hukum bagi korban secara yuridis. Khusus topik ini<br />

ruang lingkup yang kami angkat adalah di Kota Banjarmasin yang<br />

menurut lembaga perlindungan anak di daerah Kalimantan Selatan<br />

dari tahun 2013 sampai 2014 menanjak. Oleh karena itu, peran<br />

keluarga, pemerintah kota, dan masyarakat sangat diperlukan untuk<br />

memberantas tindak pidana kekerasan seksual pada anak di Kota<br />

Banjarmasin.<br />

A. Latar Belakang<br />

Kehidupan manusia sekarang ini diwarnai oleh berbagai<br />

kemajuan dalam segala bidang seperti teknologi komputer,<br />

telekomunikasi, kedokteran, dan lain-lain. Kemauan yang telah dicapai<br />

tersebut disamping memberikan dampak positif, dan juga dampak<br />

negatif bagi kehidupan masyarakat. Dampak positif di antaranya<br />

adalah memberikan kemudahan bagi manusia untuk mendapat sesuatu<br />

yang diinginkan sesuai dengan kemampuannya. Sedangkan dampak<br />

negatif di antaranya adalah dapat menimbulkan berbagai tindak pidana<br />

(kejahatan) di dalam kehidupan .<br />

Salah satu bentuk kejahatan yang cukup meresahkan<br />

masyarakat adalah berupa tindak kekerasan seksual terhadap anak yang<br />

masih di bawah umur yang hampir melanda di seluruh wilayah<br />

Indonesia tidak terkecuali di Kota Banjarmasin.<br />

Di Indonesia kasus kekerasan seksual terus meningkat dari<br />

tahun ke tahun. Meningkatnya angka kekerasan seksual merupakan hal<br />

yang harus mendapatkan perhatian serius karena sudah menjadi<br />

fenomena yang sangat mengkhawatirkan. Hampir setiap hari<br />

131


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

pemberitaan di media massa seperti media cetak dan media elektronik<br />

mempublikasikan kasus-kasus kekerasan seksual, baik yang terjadi<br />

pada anak maupun perempuan. Kekerasan seksual adalah suatu bentuk<br />

tindakan atau percakapan seksual yang dilakukan oleh pelaku terhadap<br />

korbannya.<br />

Tindak kekerasan seksual pada anak Indonesia masih sangat<br />

tinggi. Salah satu penyebabnya adalah paradigma atau cara pandang<br />

yang keliru mengenai anak. Hal ini menggambarkan seolah-olah<br />

kekerasan terhadap anak sah-sah saja karena anak dianggap sebagai<br />

hak milik orang tua yang dididik dengan sebaik-baiknya termasuk<br />

dengan cara yang salah sekalipun. Tindak kekerasan seksual terhadap<br />

anak tersebut tidak boleh dibiarkan berlangsung secara terus-menerus,<br />

melainkan harus ditanggulangi baik melalui upaya pendekatan yuridis<br />

maupun pendekatan non yuridis serta menjadi tanggung jawab seluruh<br />

komponen masyarakat.<br />

Dengan adanya kasus kekerasan seksual terhadap anak, maka<br />

akan menjadi korban dari perbuatan seseorang dan tentunya akan<br />

menimbulkan dampak psikologis bagi kelangsungan kehidupannya.<br />

Dalam hal ini, maka kedudukan anak sebagai generasi bangsa, akan<br />

mengalami hambatan terhadap perkembangan jiwa atau mentalnya.<br />

Secara yuridis masalah tindakan kekerasan seksual terhadap<br />

anak di bawah umur dapat dikenakan pasal 290 angka (2e) KUHP<br />

yaitu seseorang yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang yang<br />

belum cukup umur 15 tahun dan diancam pidana penjara selama tujuh<br />

tahun. Disamping itu, dapat pula dikenakan pasal 292 KUHP, yaitu<br />

orang dewasa yang melakukan cabul dengan orang yang belum dewasa<br />

dari jenis kelamin yang sama dan diancam pidana penjara lima tahun.<br />

Kemudian tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak yang<br />

dibawah umur juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 39<br />

Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pada pasal 58 ayat (1)<br />

disebutkan, bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkan<br />

perlindungan dari segala bentuk kekerasan seksual.<br />

Dalam rangka menanggulangi tindak pidana kekerasan seksual<br />

terhadap anak di bawah umur, maka diterbitkan Undang-Undang<br />

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam undangundang<br />

ini telah menentukan sanksi pidana terhadap tindak pidana<br />

kekerasan seksual yang dilakukan kepada seorang anak yang belum<br />

dewasa sebagaimana disebutkan pada pasal 81 ayat (1) sebagai berikut:<br />

“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau<br />

ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetujuan<br />

dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana<br />

penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3<br />

(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga<br />

132


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp60.000.000,00 (enam<br />

puluh juta rupiah).”<br />

Berdasarkan keterangan tersebut diatas, jelas menunjukkan<br />

bahwa seorang anak mendapatkan perlindungan hukum dari tindak<br />

kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa melalui<br />

pengenaan sanksi pidana penjara dan denda bagi pelakunya.<br />

Meskipun demikian, kenyataannya menunjukkan masih<br />

ditemukan kasus-kasus kekerasan seksual terhadap seorang anak yang<br />

belum dewasa sebagaimana pemberitaan media massa maupun media<br />

elektronik. Hal ini menunjukkan bahwa masalah tindak kekerasan<br />

seksual terhadap anak yang belum dewasa tidak hanya ditanggulangi<br />

melalui pendekatan yuridis semata melainkan diperlukan pendekatan<br />

nonyuridis atau sosiologis.<br />

Pendekatan nonyuridis tersebut dilakukan dalam upaya untuk<br />

mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan pelaku melakukan tindak<br />

kekerasan seksual terhadap seorang yang belum dewasa, sehingga<br />

dapat diambil langkah-langkah penanggulangannya dengan baik guna<br />

mengantisipasi dan mencegah terjadinya kasus demikian.<br />

Berkaitan dengan itu, perlu diketahui dampak psikologis yang<br />

dialami seorang anak yang belum dewasa yang menjadi korban tindak<br />

kekerasan seksual. Hal ini penting dilakukan dalam upaya melakukan<br />

pembinaan terhadap anak korban tindak pidana kekerasan seksual,<br />

sehingga anak tidak mengalami gangguan atau hambatan dalam<br />

perkembangan jiwa atau mentalnya.<br />

Di Banjarmasin kasus kekerasan seksual terhadap anak<br />

dibawah umur terus mengalami peningkatan. Dari data tahun 2013<br />

yang diperoleh dari Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kalimantan<br />

Selatan terjadi peningkatan kasus kekerasan seksual terhadap anak<br />

dibawah umur. Hal ini menjadi hal yang sangat mengkhawatirkan dan<br />

mengancam kelangsungan pertumbuhan anak-anak khususnya di Kota<br />

Banjarmasin.<br />

Berdasarkan gambaran pemikiran tersebut diatas, maka diambil judul<br />

makalah yaitu “Pencegahan dan Perlindungan Hukum Kekerasan<br />

Seksual terhadap Anak di Bawah Umur di Kota Banjarmasin”.<br />

B. Landasan Teori<br />

1. Pengertian Tindak Pidana<br />

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam<br />

hukum pidana Belanda, yaitu strafbaar feit. Strafbaar feit terdiri dari 3<br />

(tiga) kata yaitu straf, baar, feit. Straf diterjemahkan dengan pidana<br />

dan hukum, baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh, sedangkan<br />

untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran,<br />

133


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

dan perbuatan. 1 Dalam hukum pidana, istilah tindak pidana ini tumbuh<br />

dari pihak Kementerian Kehakiman, sering dipakai dalam perundangundangan.<br />

Meskipun tindak lebih pendek dari perbuatan, tapi tidak<br />

menunjuk kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tapi hanya<br />

menyatakan keadaan konkrit, sebagaimana halnya dengan peristiwa<br />

dengan perbedaan bahwa tindak adalah kelakuan, tingkah laku, gerakgerik,<br />

atau sikap jasmani seseorang, hal mana lebih dikenal dalam<br />

tindak-tanduk, tindakan, dan bertindak dan belakangan juga sering<br />

dipakai “ditindak”. Maka dalam perundang-undangan yang<br />

menggunakan istilah tindak pidana baik dalam pasal-pasalnya sendiri,<br />

maupun dalam penjelasannya hampir selalu dipakai pula kata<br />

perbuatan. Contohnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 tentang<br />

Pemilihan Umum (pasal 127, 129 dan lain-lain). 2<br />

Istilah “tindak” memang lebih lazim digunakan dalam<br />

peraturan perundang-undangan kita, walaupun masih banyak<br />

diperdebatkan juga ketepatannya. Tindak menunjuk pada hal kelakuan<br />

manusia dalam arti yang positif (handelen) semata, dan tidak termasuk<br />

kelakuan manusia yang pasif atau negatif (natalen). Padahal pengertian<br />

yang sebenarnya dalam istilah feit itu adalah termasuk baik perbuatan<br />

aktif maupun pasif tersebut.<br />

Perbuatan aktif artinya suatu bentuk perbuatan yang untuk<br />

mewujudkannya diperlukan/disyaratkan adanya suatu gerakan atau<br />

gerakan-gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh manusia, misalnya<br />

mengambil (pasal 362 KUHP) atau merusak (pasal 406 KUHP).<br />

Sedangkan perbuatan pasif adalah suatu bentuk tidak melakukan suatu<br />

bentuk perbuatan tersebut telah mengabaikan kewajiban hukumnya,<br />

misalnya perbuatan tidak menolong (pasal 351 KUHP) atau perbuatan<br />

membiarkan (pasal 304 KUHP).<br />

Istilah perbuatan ini dipertahankan oleh Moeljatno dan dinilai<br />

oleh beliau sebagai istilah yang lebih tepat untuk menggambarkan isi<br />

pengertian dari strafbaar feit. Begitu juga Prof.Ruslan Saleh<br />

menggunakan istilah perbuatan pidana, misalnya dalam buku beliau<br />

“Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawab Pidana”.<br />

Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana yang<br />

didefinisikan beliau sebagai “perbuatan yang dilarang oleh suatu<br />

aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa<br />

pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan<br />

tersebut”. Adapun istilah perbuatan pidana lebih tepat, alasannya<br />

adalah:<br />

1<br />

Adami Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana I. (Jakarta: PTRaja<br />

Grafindo Persada, 2002), hlm.69.<br />

2 Moeljatno. Asas-asas Hukum Pidana. (Jakarta: PT Rineka Cipta,<br />

2002),hlm. 54.<br />

134


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

1) Bahwa yang dilarang itu adalah perbuatannya (perbuatan manusia,<br />

yaitu suatu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan<br />

(orang)), artinya larangan itu ditujukan pada perbuatannya,<br />

sedangkan ancaman pidananya itu ditujukan pada orangnya.<br />

2) Antara larangan (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancaman<br />

pidana (yang ditunjukan pada orangnya) ada hubungan yang erat,<br />

dan oleh karena itu perbuatan (yang berupa keadaan atau kejadian<br />

yang ditimbulkan oleh orang tadi, melanggar larangan) dengan<br />

orang yang menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan erat pula.<br />

3) Untuk menyatakan hubungan yang erat itulah maka lebih tepat<br />

digunakan istilah perbuatan pidana, suatu pengertian abstrak yang<br />

menunjukan pada dua keadaan konkrit, yaitu: pertama adalah<br />

kejadian tertentu (perbuatan) dan kedua adanya orang yang berbuat<br />

atau yang menimbulkan kejadian itu. 3<br />

Pandangan Moeljatno terhadap perbuatan pidana seperti<br />

tercermin dalam istilah yang beliau gunakan dan rumusannya,<br />

menampakan bahwa beliau memisahkan antara perbuatan dengan orang<br />

yang melakukan yang disebut pandangan dualisme, pandangan tersebut<br />

juga dianut oleh banyak ahli, misalnya Pompe, Vos, Tresna, Roeslan<br />

Saleh, dan A.Zaenal Abidin.<br />

Pompe yang merumuskan bahwa suatu strafbaarfeit itu<br />

sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu tindakan yang menurut<br />

sesuatu rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan<br />

yang dapat dihukum. 4<br />

R.Tresna merumuskan perihal peristiwa pidana yang<br />

menyatakan bahwa“peristiwa pidana itu adalah sesuatu perbuatan<br />

atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan<br />

undang-undang atau peraturan perundang-undangan laiinya terhadap<br />

perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.” 5<br />

R.Tresna menyatakan bahwa dalam peristiwa pidana itu<br />

mempunyai syarat-syarat yaitu:<br />

1) Harus ada perbuatan manusia;<br />

2) Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalam<br />

ketentuan hukum;<br />

3) Harus terbukti adanya “dosa” pada orang yang berbuat, yaitu<br />

orang yang harus dapat dipertanggungjawabkan;<br />

4) Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum; dan<br />

3 Ibid.<br />

4 Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar<br />

Baru, 1990), hlm. 174.<br />

5 Tresna.R. Mr. Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT Tiara Limited, 1959),<br />

hlm. 27.<br />

135


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

5) Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukmnya dalam<br />

undang-undang. 6<br />

2. Pengertian Anak<br />

Dalam berbagai peraturan perundang-undangan di negara<br />

hukum Indonesia, tidak melainkan adanya rumusan dari masingmasing<br />

peraturan perundang-undangan tersebut hanyalah merupakan<br />

pembatasan terhadap suatu perbuatan tertentu, keputusan tertentu,<br />

maupun untuk mencapai tujuan tertentu dengan materi hukum yang<br />

diaturnya.<br />

Walaupun ada rumusan tentang anak, akan tetapi terdapat<br />

perbedaan dari masing-masing rumusan yang disebabkan oleh cara<br />

pandang atau tolak ukur yang berbeda dalam menentukan batasan<br />

umur untuk seorang anak. Namun pada dasarnya tujuan dari semua<br />

pembatasan tersebut adalah sama yaitu berkaitan dengan dapat<br />

tidaknya seseorang dijatuhi hukumnya serta dapat tidaknya suatu<br />

tindak pidana pertanggungjawabkan kepadanya. Adapun beberapa<br />

peraturan perundang-undangnan yang memberi rumusan tentang anak<br />

diantaranya adalah:<br />

Pasal 29 KUHPerdata yang menyatakan bahkan “Seorang<br />

jejaka yang belum mencapai umur genap delapan belas tahun,<br />

sepertipun seorang gadis yang belum mencapai umur genap lima belas<br />

tahun, tidak diperbolehkanmengikatkan dirinya dalam perkawinan”.<br />

Dari ketentuan ini, dapat disimpulkan bahwa KUHPerdata<br />

memberikan batasan umur bagi anak untuk melangsungkan<br />

perkawinan adalah 18 (delapan belas) tahun dan 15 (lima belas) tahun<br />

bagi anak perempuan.<br />

Selain itu pada pasal 330 KUHperdata disebutkan bahwa<br />

“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21<br />

(dua puluh satu) tahun dan tidak didahului kawin”. Ketentuan ini<br />

berlaku bagi orangEropa, golongan timur asing Tionghoa, dan<br />

golongan timur asing bukan Tionghoa atau bagi siapa saja yang<br />

melakukan penundukan diri terhadap BW.<br />

Pasal 45 KUHPidana menentukan bahwa “Jika orang yang<br />

dibawah umur dituntut karena melakukan tindak pidana ketika umur<br />

belum cukup 16 (enam belas) tahun, dapatlah hakim.....”. ketentuan ini<br />

merumuskan secara jelas mengenai pengertian anak dibawah umur.<br />

Batas umur 16 tahun yang ditentukan tersebut bukanlah berkaitan<br />

dengan penentuan bahwa umur 16 tahun merupakan anak yang belum<br />

dewasa tetapi ditunjukkan kepada masalah penentuan hukuman<br />

terhadap perbuatan yang telah dilakukan oleh orang-orang sebelum ia<br />

mencapai umur 16 tahun. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974<br />

6 Ibid.<br />

136


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

tentang Perkawinan pada pasal 7 ayat (1) disebutkan, bahwa<br />

“Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19<br />

(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16<br />

(enam belas) tahun”.<br />

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan<br />

Anak, pada pasal 1 angka 2 disebutkan, bahwa “Anak adalah<br />

seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu0 tahun dan<br />

belum pernah kawin.” Batas umur 21 tahun ini ditetapkan berdasarkan<br />

pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial, tahap<br />

kematangan sosial. Kematangan pribadi dan kematangan mental<br />

seseorang anak yang biasanya dicapai pada umur tersebut. Undangundang<br />

No.3 tahun1997 tentang Peradilan Anak, pada pasal 1 angka 2<br />

disebutkan, bahwa “Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal<br />

telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai 18<br />

(delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.”<br />

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi<br />

Manusia pada pasal 1 angka 5 disebutkan, bahwa “Anak adalah setiap<br />

manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum<br />

menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal<br />

tersebut adalah demi kepentingannya”.<br />

Kemudian Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang<br />

Perlindungan Anak pada Pasal 1 angka 1 disebutkan, bahwa “Anak<br />

adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun<br />

termasuk anak yang masih dalam kandungan”.<br />

Berbeda dengan hukum formal, dalam hukum adat ketentuan<br />

tentang kedewasaan tidak ditentukan menurut ukuran umur yang pasti<br />

karena setiap orang berbeda tingkat kedewasaannya.<br />

Begitu pula menurut hukum islam sebagaimana dikatakan oleh<br />

Mulyana W.Kusumah bahwa kedewasaan seseorang itu tidak<br />

berdasarkan hitungan usia yang pasti tetapi sejak ada tanda-tanda<br />

perubahan badaniah baik bagi anak laki-laki maupun anak perempuan. 7<br />

Dan terjadinya perubahan ini adalah berbeda pada setiap orang.<br />

Berdasarkan uraian tersebut diatas dan sesuai dengan pokok<br />

permasalahan, maka yang dimaksud dengan anak adalah seseorang<br />

yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang<br />

masih dalam kandungan.<br />

3. Pengertian Kekerasan Seksual<br />

Kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap<br />

anak terjadi akibat lemahnya posisi anak yang sering dianggap sebagai<br />

objek. Perlakuan-perlakuan tersebut tidak wajar dan sering dilakukan<br />

1986), hlm. 3.<br />

7 Mulyana W.Kusumah. Hukum dan Hak-hak Anak. (Jakarta: Rajawali,<br />

137


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

dengan mempergunakan kekerasan yang semuanya diawali dengan<br />

ancaman atau bujukan terhadap korban.<br />

Di dalam KUHP yang berlaku maupun RUU KUHP yang telah<br />

disusun di Indonesia dikenal istilah kekerasan seksual, beberapa<br />

bentuknya seperti perkosaan, perbuatan cabul, dan prostitusi dapat<br />

dikemukakan di dalamnya, yakni dibawah payung bab kejahatan<br />

terhadap kesusilaan.<br />

Dengan demikian, kekerasan seksual termasuk dalam kategori<br />

kejahatan kesusilaan. Itu sendiri tidak ada penjelasannya secara resmi<br />

dalam KUHP. Penjelasan mengenai istilah ini dapat ditemukan dalam<br />

buku non resmi yang disusun oleh R. Soesilo yang menyebutkan<br />

bahwa: “Kesusilaan diartikan sebagai rasa kesopanan yang berkaitan<br />

dengan nafsu perkelaminan. Lebih jauh dikatakan sebagai suatu<br />

perasaan malu yang berhubungan dengan nafsu kelamin”. 8 Misalnya,<br />

bersetubuh, meraba buah dada perempuan, meraba tempat kemaluan<br />

perempuan atau laki-laki, mencium, dan sebagainya. 9<br />

Begitu pula istilah kekerasan tindak dirumuskan secara jelas<br />

baik dalam KUHP maupun RUU KUHP Nasional. Dalam Pasal 89<br />

KUHP hanya disebutkan bahwa yang disamakan melakukan kekerasan<br />

adalah membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya lagi (lemah).<br />

Melakukan kekerasan artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan<br />

jasmani tidak kecil secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan<br />

atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang, dan<br />

sebagainya. 10<br />

Kemudian dalam RUU KUHP nasional kekerasan atau<br />

ancamankekerasan dirumuskan sebagai berikut: 11<br />

Bahwa perempuan tidak menghendaki/menyetujui hubungan seksual<br />

tersebut. Mengeluarkan atau bahkan mengeliminasi hubungan seksual<br />

yang dilakukan berdasarkan ketundukan (submssion), karena alasanalasan<br />

tertentu. Umpamanya antara seorang majikan terhadap<br />

bawahanya yang merasa khawatir dengan masa depan pekerjaannya,<br />

atau cemas dengan nilai ujian dalam konteks hubungan guru dengan<br />

murid.<br />

Menurut WHO, kekerasan atau violence adalah penggunaan<br />

kekuatan fisik dan kekerasan, ancaman atau tindakan terhadap diri<br />

sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang<br />

8 R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta<br />

Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politteia, 1983),<br />

hlm. 204.<br />

9 Ibid.<br />

10 Ibid.<br />

11 Ratna Batara Munti. Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas. Jakarta:<br />

Deputi Kajian LBH Apik.<br />

138


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis,<br />

kelainan perkembangan ataupun perampasan hak.<br />

R.Audi menyatakan bahwa “Violence sebagai serangan atau<br />

penyalahgunaan fisik terhadap seseorang atau binatang atau serangan<br />

penghancuran, perusakan yang sangat keras, kasar, kejam dan ganas<br />

atas milik atau sesuatu yang secara potensial dapat menjadi milik<br />

seseorang.” 12 Dari pengertian tersebut di atas, dapat disimpulkan<br />

bahwa setiap penggunaan kekuatan fisik atau serangan yang dilakukan<br />

oleh seseorang atau sekelompok orang yang merupakan keadaan<br />

alamiah manusia dimana tindakan tersebut dapat mengakibatkan<br />

luka/trauma terhadap orang lain.<br />

Pengertian seksual menurut kamus hukum adalah “Sesuatu<br />

yang berkenaan dengan seks, segala sesuatu yang berkaitan dengan<br />

masalah persetubuhan antara laki-laki dan perempuan khusus di antara<br />

manusia.” 13 Istilah seksualitas merujuk pada suatu konsep, konstruksi<br />

sosial terhadap nilai, orientasi, perilaku yang berkaitan dengan seks.<br />

Seks adalah ciri-ciri anatomi biologis yang memberikan perbedaan<br />

antara laki-laki dan perempuan. 14<br />

Pengertian seksual dalam istilah ilmu kedokteran yaitu hal-hal<br />

yang berkaitan dengan persetubuhan dan hasil kekerasan<br />

penyertaannya seperti pada perkosaan dan penyimpangan seksual yang<br />

lain. 15<br />

Aktivitas seksual yang disertai kekerasan seksual tidak hanya<br />

antar lawan jenis, tetapi pada hubungan kelamin sejenis bahkan<br />

dilakukan terhadap anak-anak sekalipun.Kekerasan seksual terhadap<br />

anak diartikan sebagai penggunaan anak dan remaja yang masih<br />

dependen, sebelum matang tingkat perkembangannya dalam kegiatan<br />

yang tidak dipahami sepenuhnya oleh mereka yang tidak mampu<br />

melakukan secara sukarela atau melanggar norma sosial dari peran<br />

keluarga. 16<br />

Definisi tersebut mungkin akan lebih “keras” jika ditambahkan<br />

unsur pemaksaan ke dalamnya. Pemaksaan menjadi unsur yang<br />

niscaya dianggap bahwa anak, berhubung tingkat perkembangan<br />

belum mampu melakukan tindakan seksual atas dasar suka sama suka.<br />

Istilah penganiayaan atau pelecehan seksual sering dipakai pengganti<br />

12 I Marshana Windhu. Kekuasaan dan Kekerasan. Jakarta: Kanisius.<br />

hlm. 63.<br />

13 Sudarson,Kamus Hukum,(Jakarta: Rineka Cipta, 1992),hlm. 432.<br />

14<br />

Ahmad Sofian, et.all,Kekerasan Seksual Terhadap Anak<br />

Jerman,(Yogyakarta: Kerjasama PusatPenelitian Kependudukan Universitas<br />

Gadjah Mada dan Ford Foundation), hlm. 7.<br />

15 Kusnadi, Masalah Seksual,(Surabaya: Karya Anda, 1990), hlm. 26.<br />

16 Ibid., hlm. 8.<br />

139


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

istilah kekerasan seksual. 17 Penyalahgunaan seks pada anak adalah jika<br />

ada seorang anak (dibawah 16 tahun) dilibatkan dalam kegiatan yang<br />

bertujuan untuk membangkitkan gairah seksual pada pihak yang<br />

mengajak dan pihak pengajak tersebut secara seksual memang sudah<br />

matang. Penyalahgunaan seksual terhadap anak menurut Ducan dan<br />

Beker, misalkan dilakukan oleh dan antara anggota keluarga, dengan<br />

orang diluar keluarganya atau dengan orang yang asing sama sekali.<br />

Hanya terjadi sekali atau beberapa kali, dengan orang yang sama atau<br />

orang yang berbeda. 18<br />

Bentuk kegiatan penyalahgunaan seks bisa berupa tanpa<br />

kontak fisik sama sekali seperti cabul, ekshibisionisme, ada kontak<br />

fisik (diraba, dibelai, masturbasi) atau terjadi senggama. 19<br />

Penyebab pelecehan seksual pada dasarnya adalah adanya<br />

dorongan seksual yang menimbulkan ketegangan seksual, dan<br />

membutuhkan pelepasan seksual. Bagi pelaku, bentuk-bentuk<br />

pelecehan seksual merupakan pelepasan ketegangan seksual, walaupun<br />

tidak selalu berupa keputusan seksual yang utuh. 20<br />

C. Pembahasan<br />

Pencegahan terhadap kekerasan seksual pada anak dibawah<br />

umur dapat dilakukan dengan beberapa upaya salah satunya adalah<br />

melalui peningkatan peran dan tanggung jawab orang tua. Tanggung<br />

jawab orang tua yaitu melindungi anak-anak dari tindak kekerasan<br />

seksual. Selain pencegahan melalui peningkatan peran dan tanggung<br />

jawab orang tua, peran dan koordinasi antara lembaga-lembaga sosial<br />

masyarakat lain seperti sekolah dan masyarakat serta Lembaga<br />

Perlindungan Anak juga dibutuhkan untuk mencegah terjadinya tindak<br />

kekerasan seksual pada anak dibawah umur.<br />

Pencegahan kekerasan seksual pada anak dibawah umur dapat<br />

dilakukan melalui beberapa pendekatan. Salah satunya melalui<br />

pendekatan yuridis maupun pendekatan non-yuridis atau sosiologis<br />

seperti mengetahui faktor-faktor penyebab atau yang melatarbelakangi<br />

seorang melakukan perbuatan itu. Dari faktor-faktor inilah, pihak<br />

aparat penegak hukum, orang tua maupun masyarakat dapat<br />

mengantisipasi kemungkinan terjadinya-tindak kekerasan seksual<br />

terhadap anak dibawah umur. Bagi orang tua misalnya perlu<br />

mengawasi dengan baik, sehingga kesempatan tersebut tidak<br />

digunakan oleh seseorang untuk melakukan tindak kekerasan seksual<br />

17 Ibid.<br />

18 Nazmi Akbar, Penyalahgunaan Seks Pada Anak, Suatu Kenistaan,<br />

Artikel Koran Kalimantan Post, (2002), hlm. 4.<br />

19 Ibid.<br />

20 Ahmad Sofian, et.al. Op. Cit., hlm. 5.<br />

140


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

terhadap anaknya. Kemudian pihak aparat penegak hukum harus<br />

bekerja sama dengan tokoh agama, tokoh masyarakat, dan pihak-pihak<br />

lainnya melakukan kegiatan penyuluhan kepada masyarakat mengenai<br />

faktor-faktor penyebab seseorang melakukan tindak kekerasan seksual<br />

terhadap anak termasuk dampaknya, sehingga dapat mengantisipasi<br />

terjadinya tindak kekerasan seksual. Selanjutnya pihak pengelola<br />

televisi dapat mengurangi tayangan-tayangan yang mengandung unsurunsur<br />

kekerasan dan pornografi.<br />

Begitu pula pihak aparat penegak hukum dalam hal ini<br />

kepolisian lebih intensif melakukan razia terhadap peredaran VCD<br />

porno serta pihak pengelola majalah atau tabloid dapat mengurangi<br />

sajian bersifat pornografi seperti memperlihatkan aurat wanita dan<br />

lain-lain.<br />

Mengingat salah satu kendala penanganan kasus tindak<br />

kekerasan seksual terhadap anak adalah keenganan dan<br />

ketidakpercayaan (keluarga) korban pada birokrasi aparat penegak<br />

hukum, khususnya kepolisian maka untuk merangsang kesediaan<br />

korban melaporkan tindak kekerasan seksual yang dialaminya<br />

semestinya dilakukan pendekatan dan kemudahan dalam proses<br />

pelaporan yang sifatnya empatif terhadap penderitaan korban.<br />

Selain deregulasi atau pemberian kemudahan dalam pelaporan<br />

oleh aparat kepolisian hal lain yang dibutuhkan korban kekerasan<br />

seksual adalah persoalan kepastian hukum. Untuk menangani anak<br />

perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual sebetulnya sangat<br />

dibutuhkan kehadiran lemabga atau pusat krisis yang benar-benar<br />

berkompeten di bidang penangana korban kekerasan seksual.<br />

Selain pencegahan melalui hal-hal tersebut diatas maka harus<br />

diketahui bahwa faktor utama terjadinya kasus kekerasan seksual<br />

adalah karena kurangnya pembelajaran moral atau faktor agama.<br />

Dalam artian seseorang yang taat melaksanakan ajaran agama maka<br />

dia mempunyai kendali dan pegangan dalam kehidupan sehari-hari,<br />

sehingga tidak mudah terpengaruh untuk melakukan tindak pidana<br />

termasuk tindak kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur.<br />

Perlindungan anak adalah segala kegiatan yang menjamin dan<br />

melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh<br />

berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan<br />

martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan<br />

dan diskriminasi.<br />

Anak-anak membutuhkan perlindungan dan perawatan khusus<br />

termasuk perlindungan hukum yang berbeda dari orang dewasa. Hal<br />

ini didasarkan alasan fisik dan mental anak-anak yang belum dewasa<br />

dan matang. Anak-anak perlu mendapatkan suatu perlindungan yang<br />

telah termuat dalam suatu peraturan perundang-undangan. Setiap anak<br />

kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu<br />

141


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan<br />

berkembang secara optimal baik fisik, mental, sosial, berakhlak mulia<br />

perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan<br />

kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan<br />

hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.<br />

Tujuan perlindungan anak menurut undang-undang adalah<br />

untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh<br />

berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat<br />

dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari<br />

kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang<br />

berkualitas berakhlak mulia dan sejahtera.<br />

Didalam pasal 59 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002<br />

tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa perlindungan khusus<br />

wajib diberikan kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Dalam<br />

pasal 64 ayat 1 dan 2 menyebutkan bahwa anak-anak yang berhadapan<br />

dengan hukum adalah anak-anak yang berkonflik dengan hukum dan<br />

anak korban kejahatan.Perlindungan anak secara nasional telah<br />

memperoleh dasar pijakan yuridis diantaranya Undang-Undang Dasar<br />

1945 sebagai landasan konstitusional serta pasal 21 sampai 24<br />

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.<br />

Adapun pengertian anak menurut pasal 1 angka 1 Undang-Undang<br />

Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah seseorang<br />

yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang<br />

masih dalam kandungan. Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang<br />

Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak juga mengatur<br />

bahwa “Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan<br />

seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.”<br />

D. Solusi<br />

Solusi yang kami tawarkan dari masalah-masalah yang ada diatas:<br />

1) Memberdayakan peran masyarakat dalam rangka pencegahan dan<br />

perlindungan hukum bagi korban kekerasan seksual pada anak di<br />

Kota Banjarmasin.<br />

2) Mengedukasi orang tua, masyarakat dan lingkungan sekitar Kota<br />

Banjarmasin dalam rangka pencegahan dan perlindungan hukum<br />

bagi korban;<br />

3) Memberdayakan peran komisi nasional perlindungan anak kota<br />

Banjarmasin sebagai pusat konsultasi, edukasi, dan pengaduan<br />

bagi korban tindak pidana kekerasan seksual pada anak dibawah<br />

umur;<br />

4) Memberdayakan dan meningkatkan peran pemerintah kota untuk<br />

mensinergiskan semua elemen yang terlibat di dalam upaya<br />

pencegahan dan perlindungan hukum bagi korban.<br />

142


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Langkah-langkah kongkrit yang harus dilakukan dalam upaya<br />

pencegahan dan perlindungan hukum bagi korban kekerasan seksual<br />

pada anak di bawah umur:<br />

1) Memberikan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat oleh<br />

mahasiswa di Kota Banjarmasin terkait dengan urgensi<br />

pencegahan dan perlindungan hukum bagi korban dibawah umur<br />

bekerja sama dengan lembaga konsultasi dan bantuan hukum<br />

universitas lambung Mangkurat (LKBH Unlam) Banjarmasin dan<br />

komisi nasional perlindungan anak;<br />

2) Membentuk forum kajian dan advokasi dibidang pencegahan dan<br />

perlindungan hukum bagi korban kekerasan seksual di bawah umur<br />

tingkat mahasiswa di Kota Banjarmasin sebagai upaya untuk<br />

membantu pemerintah kota dalam bidang ini;<br />

3) Membentuk posko-posko pengaduan kasus kekerasan seksual di<br />

bawah umur di pelosok-pelosok kota Banjarmasin bekerjasama<br />

dengan pemerintah daerah dan warga sekitar.<br />

E. Kesimpulan dan Saran<br />

Dari pemaparan diatas kami berkesimpulan antara lain:<br />

1. Pencegahan terhadap kekerasan seksual pada anak dibawah umur<br />

dapat dilakukan dengan beberapa upaya salah satunya adalah<br />

melalui peningkatan peran dan tanggung jawab orang tua.<br />

Tanggung jawab orang tua yaitu melindungi anak-anak dari tindak<br />

kekerasan seksual. Selain pencegahan melalui peningkatan peran<br />

dan tanggung jawab orang tua, peran dan koordinasi antara<br />

lembaga-lembaga sosial masyarakat lain seperti sekolah dan<br />

masyarakat serta Lembaga Perlindungan Anak juga dibutuhkan<br />

untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan seksual pada anak<br />

dibawah umur.<br />

2. Memberdayakan peran masyarakat dalam rangka pencegahan dan<br />

perlindungan hukum bagi korban kekerasan seksual pada anak di<br />

Kota Banjarmasin.<br />

3. Selain pencegahan melalui hal-hal tersebut diatas maka harus<br />

diketahui bahwa faktor utama terjadinya kasus kekerasan seksual<br />

adalah karena kurangnya pembelajaran moral atau faktor agama.<br />

Dalam artian seseorang yang taat melaksanakan ajaran agama<br />

maka dia mempunyai kendali dan pegangan dalam kehidupan<br />

sehari-hari, sehingga tidak mudah terpengaruh untuk melakukan<br />

tindak pidana termasuk tindak kekerasan seksual terhadap anak di<br />

bawah umur.<br />

Dari pemaparan diatas kami memberikan saran anatara lain :<br />

1. Perlunya sinergisitas antara elemen-elemen yang ada seperti<br />

keluarga, masyarakat, sekolah, lembaga perlindungan anak, dalam<br />

upaya penumpasan kekerasan seksual pada anak;<br />

143


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

2. Perlunya peran pemerintah kota dalam melindungi warganya<br />

dan selaku regulator dibidang kekerasan seksual pada anak;<br />

3. Perlunya pendidikan agama sejak dini untuk menagkis seranganserangan<br />

yang negatif.<br />

Daftar Pustaka<br />

Ahmad Sofian, et.al. kekerasan Seksual Terhadap Anak Jerman.<br />

Yogyakarta: Kerjasama Pusat Penelitian Kependudukan<br />

Universitas Gadjah Mada dengan Ford Foundation.<br />

Akbar, Nazmi. 2002. “Penyalahgunaan Seks Pada Anak, Suatu<br />

Kenistaan. Artikel Koran Kalimantan Post Terbitan 16 Oktober<br />

2002.<br />

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.<br />

Kusumah. 1990. Masalah Seksual. Surabaya: Karya Anda.<br />

Munti, Ratna Batara. Tanpa tahun. Kekerasan Seksual: Mitos dan<br />

Realitas. Jakarta: Deputi Kajian LBH Apik<br />

Soesilo, R. 1983. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta<br />

Komentar-komentar Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia.<br />

Sudarsono. 1992. Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.<br />

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.<br />

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2974 Tentang<br />

Perkawinan.<br />

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang<br />

Kesejahteraan Anak.<br />

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang<br />

Hak Asasi Manusia.<br />

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang<br />

Perlindungan Anak.<br />

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan<br />

Kekerasan Dalam Rumah Tangga<br />

Windu , I Marsana. 1992. Kekuasaan dan Kekerasan. Jakarta: Kanisius.<br />

www.kpai.go.id/artikel/perlindungan-hukum-terhadap-anak-korbankejahatanperkosaan-dalam-pemberitaan-media-massa/<br />

www.gresnews.com/mobile/berita/sosial/00105-akar-masalah-danpenyebabkekerasan-pada-anak<br />

144


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

PERLINDUNGAN DAN PENANGANAN<br />

KORBAN KEKERASAN SEKSUAL DI JAWA BARAT<br />

Oleh: Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran<br />

(Pemenang Kompetisi Penulisan Makalah Komisi 3)<br />

Abstrak<br />

Di dalam upaya penegakan hukum khususnya dalam kejahatan<br />

kekerasan seksual, perlindungan dan penanganan korban merupakan<br />

salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari proses penegakan hukum<br />

itu sendiri. Sistem peradilan pidana di negara Indonesia yang bertujuan<br />

menindak secara tepat pelaku tindak pidana dimulai dari tuntutan<br />

bahkan sampai masuknya terpidana ke lembaga pemasyarakatan<br />

merupakan fokus utama negara melalui perangkatnya. Namun, hal<br />

tersebut sedikit berbanding terbalik dengan peran negara dalam<br />

memberikan perlindungan dan penanganan terhadap korban kekerasan<br />

seksual itu sendiri khususnya terkait hak materiil yang dapat diberikan<br />

kepada korban dan penanganan yang dapat diberikan kepada korban<br />

agar pulih baik secara fisik maupun secara psikis. Atas penjelasan<br />

diatas, makalah ini dibentuk dengan tujuan untuk menganalisis<br />

pelaksanaan perlindungan dan penanganan korban kekerasan seksual<br />

yang ada sekarang ini, termasuk juga instrumen perlindungan hukum<br />

korban kekerasan seksual terkait hak korban secara materiil dengan<br />

melihat dan menimbang beberapa peraturan perundang-undangan<br />

terkait. Ruang lingkup bahasan yang dimulai secara umum di Indonesia<br />

sampai akhirnya memusat kepada penanganan di Jawa Barat. Adapun<br />

analisis yang digunakan menggunakan pendekatan yuridis-empiris<br />

dengan melihat pengaturan perlindungan hukum dan penanganan<br />

korban, termasuk juga data-data terkait yang selanjutnya dijadikan<br />

sebagai hasil penelitian ini. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa<br />

belum efektifnya perlindungan hukum dan penanganan korban<br />

kekerasan seksual. Termasuk belum secara jelas mengatur terkait hak<br />

materiil yang dapat dimintakan korban sehingga perlindungan hukum<br />

terkait hak materiil masih lemah pengaturannya.<br />

A. Latar Belakang<br />

Dewasa ini, posisi korban kekerasan seksual sangatlah rentan<br />

terhadap teror, intimidasi, dan tidak terlindunginya oleh hukum serta<br />

dikucilkan dari masyarakat luas. Hal itu menjadikan korban kekerasan<br />

seksual cenderung tidak mau berbicara karena keadaannya justru dapat<br />

menempatkan dirinya sebagai “korban untuk yang kedua kalinya”<br />

akibat dari terungkapnya peristiwa yang dialaminya. Sesuai dengan<br />

istilah, siapa yang berbuat haruslah bertanggung jawab, keadilan dan<br />

145


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

kebenaran tentu harus tetap ditegakkan. Hal tersebut tidak bisa<br />

didiamkan, negara haruslah membuat instrumen hukum yang tepat<br />

terkait kejahatan-kejahatan yang khusus seperti kejahatan seksual agar<br />

tidak hanya memberikan kepastian hukum, akan tetapi juga memberikan<br />

keadilan serta kebenaran terhadap korban. Negara perlu mengambil<br />

peran ganda dalam hal ini, yakni pertama, menindak pelaku sesuai<br />

dengan hukum yang berlaku dan kedua, mengambil tindakan lanjutan<br />

bagi korban dengan tepat.<br />

Tidak terlaporkannya suatu kasus atau non-reporting of crime<br />

dalam tindak pidana kekerasan seksual menjadi kendala utama dalam<br />

melihat permasalahan secara angka atau kuantitatif. Peran negara dirasa<br />

tidak cukup memberikan perlindungan hukum termasuk di dalamnya<br />

aspek medis (fisik dan psikis), sampai pada putusan pengadilan yang<br />

dirasa tidak memberikan keadilan terhadap korban kekerasan seksual.<br />

Hal ini pun sejalan dengan peningkatan kasus kekerasanseksual yang<br />

mencapai 100 persen. 1<br />

Kenyataan tersebut menjadi problema yang luar biasa di negara<br />

yang menjunjung tinggi nilai ketimuran namun sudah mulai rontok<br />

akibat perilaku immoral yang tidak berperikemanusiaan. Negara perlu<br />

mengakomodir setiap kebutuhan masyarakatnya termasuk dalam<br />

mencari kebenaran dan menegakkan keadilan setinggi-tingginya yang<br />

bukan saja menghukum pelaku kejahatan namun bersama-sama<br />

bertanggung jawab untuk memberikan ruang dan tempat yang nyaman<br />

bagi korban kekerasan seksual yang sesuai dengan tujuan sebuah negara<br />

yang mencantumkan instrumen hak asasi manusia di dalam konstitusi<br />

sebagai dasar untuk berbangsa dan bernegara.<br />

A. Mekanisme Perlindungan Hukum Korban Kekerasan Seksual<br />

Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan<br />

Ruang lingkup perlindungan hukum yang akan dibahas adalah<br />

perlindungan yang diberikan oleh pemerintah melalui perangkat<br />

hukumnya seperti peraturan perundang-undangan (Kitab Undangundang<br />

Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana,<br />

Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban, dan instrumen hukum<br />

lainnya), mulai dari seseorang yang diidentifikasi sebagai korban<br />

kekerasan seksual, proses beracara mulai penyidikan hingga pengadilan,<br />

rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, hingga kepada proses<br />

pemulangan korban kekerasan seksual, dan reintegrasi sosial. Selain hal<br />

1 Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Peningkatan<br />

Kasus Kekerasan Seksual Capai 100 Persen, diakses dari<br />

http://2010.menkokesra.go.id/content/peningkatan-kasus-kekerasan-seksualcapai-100-persen<br />

pada tanggal 10 Oktober 2014.<br />

146


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

tersebut juga akan dibahas masalah pemberian restitusi atau ganti rugi<br />

yang dapat diberikan kepada korban kekerasan seksual.<br />

Dalam mekanisme perlindungan hukum terhadap korban<br />

kejahatan termasuk kekerasan seksual, tidak terlepas dari beberapa asas<br />

hukum yang memerlukan perhatian yakni dalam hukum pidana itu<br />

sendiri. Adapun asas-asas yang dimaksud sebagai berikut:<br />

1) Asas Manfaat<br />

Artinya perlindungan korban tidak hanya ditujukan bagi tercapainya<br />

kemanfaatan (baik materiil maupun spiritual) bagi korban<br />

kejahatan, tetapi juga kemanfaatan bagi masyarakat secara luas,<br />

khususnya dalam upaya mengurangi jumlah tindak pidana serta<br />

menciptakan ketertiban masyarakat.<br />

2) Asas Keadilan<br />

Artinya penerapan asas keadilan dalam upaya melindungi korban<br />

kejahatan tidak bersifat mutlak karena hal ini dibatasi pula oleh rasa<br />

keadilan yang harus juga diberikan pada pelaku kejahatan.<br />

3) Asas Keseimbangan<br />

Karena tujuan hukum di samping memberikan kepastian dan<br />

perlindungan terhadap kepentingan manusia, juga untuk<br />

memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat yang terganggu<br />

menuju pada keadaan yang semula (restitutio in integrum), asas<br />

keseimbangan memperoleh tempat yang penting dalam upaya<br />

pemulihan hak-hak korban.<br />

4) Asas Kepastian Hukum<br />

Asas ini dapat memberikan dasar pijakan hukum yang kuat bagi<br />

aparat penegak hukum pada saat melaksanakan tugasnya dalam<br />

upaya memberikan perlindungan hukum pada korban kejahatan. 2<br />

Jika dilihat terkait asas yang berhubungan erat dengan tujuan<br />

dari instrumen tersebut, sesuailah dengan pendapat Andi Hamzah dalam<br />

bukunya “Dalam membahas hukum acara pidana khususnya yang<br />

berkaitan dengan hak- hak asasi manusia, ada kecenderungan untuk<br />

mengupas hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak tersangka tanpa<br />

memperhatikan pula hak-hak korban.” 3 Terkait perlindungan hukum<br />

tersebut haruslah dimulai dari persamaan di depan hukum. Maksudnya<br />

ialah melindungi hak setiap orang yang menjadi korban kekerasan<br />

seksual untuk mendapatkan perlakuan dan perlindungan yang sama di<br />

depan hukum. Oleh karena itu, hukum harus menjamin suatu sistem<br />

2 Dikdik M. Arief Mansur, Urgensi Perlidungan Korban Kejahatan<br />

Antara Norma dan Realita, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), hlm.<br />

164.<br />

3 Andi Hamzah, Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia dalam Kitab<br />

Undang-Undang Hukum Acara Pidana, (Bandung: Binacipta, 1986), hlm. 33.<br />

147


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

dimana untuk setiap pelanggaran hukum yang telah terjadi atas korban<br />

serta dampak yang diderita oleh korban, maka korban tersebut berhak<br />

untuk mendapat bantuan dan perlindungan yang diperlukan sesuai<br />

dengan asas hukum.<br />

Perlindungan hukum korban kejahatan sebagai bagian dari<br />

perlindungan masyarakat dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk,<br />

seperti melalui pemberian restitusi dan kompensasi, pelayanan medis,<br />

dan bantuan hukum. Mengenai ganti rugi dan restitusi adalah sesuatu<br />

yang diberikan kepada pihak yang menderita kerugian dengan<br />

memperhitungkan kerusakan yang disebabkan oleh si pelaku secara<br />

langsung dan menimbulkan pula pertanggungjawaban secara tidak<br />

langsung kepada masyarakat atau negara (the responsible of the<br />

society). Seringkali terdapat kelemahan dalam sistem tersebut dalam<br />

arti KUHAP hanya memberikan perlindungan hukum kepada korban<br />

dalam bentuk pemberian ganti kerugian melalui penggabungan perkara<br />

dan tidak mengatur mengenai bentuk perlindungan hukum lainnya.<br />

Tidak diaturnya secara khusus perlindungan hukum untuk korban<br />

kejahatan khususnya korban kekerasan seksual dirasa menimbulkan<br />

ketidakadilan. Ada beberapa keadaan yang dipandang dari aspek korban<br />

kekerasan seksual khususnya korban pemerkosaan mengenai<br />

perlindungan hukum saat ini:<br />

1) Korban tidak mendapatkan ganti rugi (putusan yang dijatuhkan<br />

hakim hanya menjatuhkan satu jenis putusan pemidanaan)<br />

2) Jika terjadi kehamilan akibat perkosaan, maka posisi korban tidak<br />

mendapatkan perlindungan yang jelas<br />

3) Tidak ada pengakuan status anak akibat perkosaan<br />

Jika mengacu kepada tujuan pidana itu sendiri yang lebih<br />

condong dalam aspek melihat pelaku, hal tersebut memanglah perlu<br />

akan tetapi perlu juga ada kekhususan terhadap kejahatan khusus pula,<br />

salah satunya ialah kekerasan seksual itu sendiri. Bahwa dalam<br />

penanganan baik secara hukum dan aspek medis diperlukan hal-hal<br />

khusus akibat sangat kompleksnya kekerasan seksual ini, antara lain:<br />

1) Terkait pembuktian dimana seringkali kejahatan terjadi tanpa saksi<br />

mata lain hanya saksi korban saja (unnus testis nullus testis atau<br />

satu saksi bukan saksi);<br />

2) Ketakutan korban untuk melaporkan kasus tersebut dengan alasan<br />

yang kompleks pula;<br />

3) Alat bukti yang minim, terutama seringkali sudah hilang akibat<br />

sudah membersihkan diri;<br />

4) Perspektif korban yang takut akan hukum;<br />

5) Seringkali melapor pada saat kejadian sudah berulang-ulang terjadi;<br />

6) Pengaruh dimana akan melakukan perbuatan yang sama kepada<br />

orang lain; dan<br />

148


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

7) Penyakit seksual.<br />

Maka dapat dilihat perlunya kekhususan sejak awal terhadap<br />

seseorang yang menjadi korban kekerasan seksual sehingga akhirnya<br />

kekhususan ini memberikan ruang gerak yang baik untuk korban itu<br />

sendiri. Hal tersebut menjadi pusat perhatian yang terletak khusus<br />

kepada korban. Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa pengertian<br />

perlindungan korban dapat dilihat dari dua makna, yaitu:<br />

1) Dapat diartikan sebagai “perlindungan hukum untuk tidak menjadi<br />

korban tindak pidana”, (berarti perlindungan HAM atau<br />

kepentingan hukum seseorang).<br />

2) Dapat diartikan sebagai “perlindungan untuk memperoleh jaminan<br />

atau santunan hukum atas penderitaan atau kerugian orang yang<br />

telah menjadi korban tindak pidana”, (jadi identik dengan<br />

“penyantunan korban”). Bentuk santunan itu dapat berupa<br />

pemulihan nama baik (rehabilitasi), pemulihan keseimbangan batin<br />

(antara lain dengan pemaafan), pemberian ganti rugi (restitusi,<br />

kompensasi, jaminan atau santunan kesejahteraan sosial), dan<br />

sebagainya. 4<br />

Sekarang ini Indonesia telah memiliki undang-undang yang<br />

secara khusus mengatur tentang Perlindungan Korban Kejahatan yaitu<br />

melalui Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan<br />

Saksi dan Korban. Selain memiliki undang-undang yang secara khusus<br />

mengatur tentang perlindungan korban kejahatan, Indonesia juga<br />

memiliki beberapa ketentuan yang mengatur tentang perlindungan.<br />

Dalam beberapa undang-undang tertentu dapat ditemukan pengaturan<br />

tentang perlindungan korban kejahatan:<br />

1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)<br />

Sekalipun KUHP mencantumkan aspek perlindungan korban<br />

kejahatan berupa pemberian ganti kerugian, namun ketentuan ini<br />

tidak luput dari berbagai kendala dalam pelaksanaannya, yaitu:<br />

a. Penetapan ganti rugi tidak dapat diberikan oleh hakim sebagai<br />

sanksi yang berdiri sendiri di samping pidana pokok, jadi hanya<br />

sebagai “syarat khusus” untuk dilaksanakannya atau dijalaninya<br />

pidana pokok yang dijatuhkan kepada terpidana;<br />

b. Penetapan syarat khusus berupa ganti kerugian ini hanya dapat<br />

diberikan apabila hakim menjatuhkan pidana paling lama satu<br />

tahun atau pidana kurungan;<br />

4 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan<br />

Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana, 2007),<br />

hlm. 61.<br />

149


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

c. Syarat khusus berupa ganti rugi ini pun menurut KUHP hanya<br />

bersifat fakultatif, tidak bersifat imperatif. 5<br />

2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)<br />

3) Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,<br />

dan lain-lain.<br />

Jika melihat ranah kekerasan seksual dari Komnas Perempuan,<br />

maka terdapat 14 jenis kekerasan seksual yakni: 1) perkosaan; (2)<br />

pelecehan seksual; (3) eksploitasi seksual; (4) penyiksaan seksual; (5)<br />

perbudakan seksual; (6) intimidasi atau serangan bernuansa seksual<br />

termasuk ancaman atau percobaan perksoaan; (7) prostitusi paksa; (8)<br />

pemaksaan kehamilan; (9) pemaksaan aborsi; (10) pemaksaan<br />

perkawinan; (11) perdagangan perempuan untuk tujuan seksual; (12)<br />

kontrol seksual termasuk pemaksaan busana dan kriminalisasi<br />

perempuan lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama;<br />

(13) penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual; (14) praktik<br />

tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi<br />

perempuan. Keempat belas jenis kekerasan seksual ini bukanlah daftar<br />

final, karena ada kemungkinan sejumlah jenis kekerasan seksual yang<br />

belum kita kenali akibat keterbatasan informasi mengenainya. Seruan<br />

ini menghantarkan Komnas Perempuan untuk menemukan bentuk lain<br />

dari kekerasan seksual yang dihadapi perempuan di tahun 2012, yaitu<br />

(15) pemaksaan kontrasepsi atau sterilisasi. 6 Maka di Jawa Barat sendiri<br />

terdapat salah satu peraturan daerah terkait salah satu bagian kekerasan<br />

seksual yang diatur, yakni Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat<br />

Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pencegahan dan Penanganan Korban<br />

Perdagangan Orang di Jawa Barat.<br />

Pada dasarnya semua instrumen yang berkaitan tentang korban<br />

kekerasan seksual secara eksplisit menjelaskan mengenai perlindungan<br />

bagi korban kekerasan seksual tidak saja dilakukan oleh negera akan<br />

tetapi masyarakat pula dalam hal reintegrasi sosial. Melihat mekanisme<br />

perlindungan hukum dapat dibagi menjadi beberapa bagian penting.<br />

Pertama, perlindungan dalam hal perawatan medis, psikologis, dan<br />

konseling. Kedua, perlindungan hukum dalam khusus acara pidana, dan<br />

ketiga ialah perlindungan hukum dalam hal pemenuhan hak korban.<br />

5 Barda Nawawi Arief, Perlindungan Korban Kejahatan Dalam Proses<br />

Peradilan Pidana, Artikel Dalam Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi, Vol.<br />

1, (1998), hlm. 17.<br />

6<br />

Komnas Perempuan, Kekerasan Seksual:Kenali dan Tangani,<br />

diakses dari http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/<br />

2013/12/Kekerasan-Seksual-Kenali-dan-Tangani.pdf<br />

150


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

B. Praktik di Jawa Barat Terkait Perlindungan Hukum dan<br />

Penanganan Korban Kekerasan Seksual<br />

Keterbatasan data resmi mengenai jumlah kekerasan seksual di<br />

Indonesia menjadi suatu kendala awal untuk melihat pendekatan secara<br />

angka atau kuantitatif. Namun, jika melihat dalam penalaran dasar<br />

terkait angka kekerasan seksual di Indonesia dapat dipastikan angka<br />

tersebut bukanlah menjadi patokan yang kuat, karena khusus mengenai<br />

kekerasan seksual ini tidak dapat dijadikan pertimbangan yang baik<br />

karena kekhususan kekerasan seksual tersebut. Istilah ini dikenal<br />

dengan non-reporting of crime (kejahatan yang tidak dilaporkan).<br />

Adanya non-reporting ini disebabkan oleh berbagai hal, antara lain:<br />

1) Si korban malu karena peristiwa ini telah mencemarkan dirinya<br />

baik secara fisik, psikologis maupun sosiologis;<br />

2) Si korban merasa berkewajiban melindungi nama baik keluarganya,<br />

terutama jika pelaku adalah anggota keluarga sendiri;<br />

3) Si korban merasa bahwa proses peradilan pidana terhadap kasus ini<br />

belum tentu dapat membuat dipidananya si pelaku;<br />

4) Si korban khawatir bahwa diprosesnya kasus ini akan membawa<br />

cemar yang lebih tinggi lagi pada dirinya (misalnya melalui<br />

publikasi media massa, atau cara pemeriksaan aparat hukum yang<br />

dirasanya membuat makin terluka);<br />

5) Si korban khawatir akan retalisasi atau pembalasan dari pelaku<br />

(terutama jika pelaku adalah orang yang dekat dengan dirinya);<br />

6) Lokasi kantor polisi yang jauh dari tempat tinggal korban<br />

membuatnya enggan melapor;<br />

7) Keyakinan korban bahwa walaupun ia melapor ia tidak akan<br />

mendapat perlindungan khusus dari penegak hukum; dan<br />

8) Ketidaktahuan korban bahwa yang dilakukan terhadap dirinya<br />

merupakan suatu bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan. 7<br />

Sehingga terkait data yang bisa diberikan hanyalah data yang<br />

masuk dari instansi terkait yang bergerak dalam bidang pelindungan<br />

atau pemberdayaan wanita dan anak di Jawa Barat. Data yang diambil<br />

dimana korban sudah melapor dan ditangani oleh instansi terkait, antara<br />

lain:<br />

7 Kelompok Kerja “Convention Watch“ Pusat Kajian Wanita dan<br />

Gender Universitas Indonesia, Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak<br />

Kekerasan terhadap Perempuan dan AlternatifPemecahannya, (PT<br />

Alumni, Jakarta: 2000), hlm. 82.<br />

151


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Sumber: P2TP2A<br />

Termasuk juga data sekunder pada tahun 2012 terdapat kasus<br />

kekerasan seksual pada anak yang dilakukan oleh terpidana Andri<br />

Sobari alias Emon di Sukabumi, Jawa Barat yaitu jumlah korban<br />

sodomi yang sudah mencapai 114 anak dan 39 anak di antaranya sudah<br />

divisum, 7 lagi menderita kerusakanpada anus. Terdapat juga kasus<br />

yang hampir sama terjadi di Bandung, Dayeuh Kolot yakni 21 orang<br />

152


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

anak menjadi korban. 8 Ketua Umum Komisi NasionalPerlindungan<br />

Anak Arist Merdeka Sirait mengatakan bahwa kasus kekerasan terhadap<br />

anak di Jawa Barat menduduki posisi tertinggi nomor 3 di Indonesia.<br />

Dari 2,1 juta laporan kekerasan selama 2013, 38 persen terjadi di Jawa<br />

Barat. Dari angka tersebut 52 persen adalah kekerasan seksual. 9<br />

Berdasarkan laporan tersebut pada hakikatnya korban sudah mendapat<br />

perlindungan hukum dalam aspek medis. Namun, tidak ada kejelasan<br />

terkait ganti rugi yang dapat dimintakan oleh korban kekerasan seksual<br />

terutama kepada korban yang mengalami kerusakan nyata. Pada<br />

hakikatnya aparat penegak hukum hanya cukup dengan menghukum<br />

berat terdakwa saja sama seperti Emon yang dituntut 15 tahun oleh<br />

jaksa.<br />

Untuk perlindungan dan penanganan korban kekerasan seksual<br />

itu sendiri di Jawa Barat, antara lain:<br />

Terdapat beberapa instansi terkait mengenai penanganan kasus<br />

kekerasan seksual, yaitu:<br />

a. P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan<br />

Anak);<br />

b. UPTD (Unit Pelayanan Teknis Daerah);<br />

c. Dinas sosial.<br />

8 Diakses dari http://www.koran-sindo.com/node/411722 pada tanggal<br />

10 Oktober 2014<br />

9 Ketua Komisi Perlindungan Anak Nasional, Arist Merdeka Sirait saat<br />

memberikan penjelasan tentang keinginan pertemuan anak korban selamat<br />

pembunuhan oleh ibu kandungnya sendiri di Mapolres Cimahi, Jawa Barat.<br />

Kamis (13/3). Arist datang mendampingi dan menyampaikan pesan untuk<br />

disampaikan kepada Kapolres Cimahi, AKBP Erwin Kurniawan dari Fahrul,<br />

korban selamat dari aksi pembunuhan yang dilakukan oleh ibu kandungnya.<br />

Fahrul ingin bertemu ibunya yang kini ditahan di Polres Cimahi karena rindu.<br />

TEMPO/Aditya Herlambang Putra, diakses dari http://www.tempo.co/read/<br />

news/2014/08/14/173599507/Jawa-Barat-Darurat-Kekerasan-Seksualterhadap-Anak<br />

pada tanggal 11 Oktober 2014.<br />

153


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Namun pada prakteknya terdapat beberapa kekurangan terkait<br />

penanganan kasus tersebut, yaitu:<br />

i. Ketiga instansi tersebut bekerja masing-masing dengan programnya<br />

yang berbeda-beda.<br />

ii. Khusus untuk UPTD, khususnya UPTD SKB/BPKB (Balai<br />

Pengembangan Kegiatan Belajar) lebih bergerak kepada<br />

penanganan korban anak.<br />

iii. Tidak adanya rekomendasi dari polisi/hakim (penegak hukum)<br />

mengenai rekomendasi selanjutnya untuk korban, sehingga korban<br />

cenderung tidak mengetahui program tersebut sama sekali.<br />

Terkait perlindungan hukum yang terdapat sekarang ini sudah<br />

diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan termasuk juga<br />

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak<br />

Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Menteri Negara Nomor 1<br />

Tahun 2010 Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Layanan<br />

Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan, yang secara<br />

tertulis menjelaskan terkait standar pelayanan minimal. Dapat dikatakan<br />

secara tertulis terdapat dan dimungkinkan untuk perlindungan hukum<br />

secara medis, pelayanan terpadu, rehabilitasi, dan reintegrasi sosial.<br />

Namun gap terbesar dari SPM ini adalah tiadanya keterkaitan langsung<br />

antara proses layanan UPT dan penyelidikan di bawah Kepolisian.<br />

Padahal SPM telah menegaskan bahwa pengulangan keterangan korban<br />

sangat berpengaruh pada dampak psikologis perempuan korban<br />

kekerasan. Adalah benar bahwa SOP mengenai layanan kesehatan<br />

menyediakan layanan komprehensif untuk perempuan korban kekerasan<br />

seksual, namun pedoman SPM berfokus pada memberikan panduan<br />

„pemulihan psikologis‟ semata dan belum memasukkan „pengambilan<br />

data untuk kepentingan penyidikan‟. Hal ini merupakan akibat dari<br />

penulisan SPM tidak langsung ditempatkan pada konteks reformasi<br />

hukum dan kebijakan untuk layanan terpadu. 10 Belum lagi ekonomi<br />

menjadi alasan seseorang mendapat layanan yang baik karena uang<br />

tidak pernah berbohong, seringkali bagi korban kekerasan seksual yang<br />

memiliki kekurangan dalam ekonomi maka mendapat pelayanan yang<br />

10 Komnas Perempuan, SPM: SOP Layanan, Standar Pembiayaan, dan<br />

Pedoman Sistem Pencatatan Data Kekerasan, diakses dari<br />

http://www.komnasperempuan.or.id/keadilanperempuan/index.php?option=co<br />

m_content&view=article&id=83%3Astandar-pelayanan-minimal-peluangdan-tantangan-layanan-terpadu-untuk-perempuan-korbankekerasan&catid=41%3Atulisan-lain&Itemid=97<br />

154


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

seadanya saja bahkan cenderung tidak direhabilitasi atau diintegrasi<br />

akibat pemikiran biaya mahal yang dikeluarkan.<br />

Untuk perlindungan hukum yang kedua, yakni dalam hal acara<br />

pidana, adanya Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban<br />

menjelaskan tidak secara eksplisit memasukan kekerasan seksual<br />

sebagai kasus-kasus tertentu dimana dapat dimintakan hak perlindungan<br />

oleh LPSK.<br />

Kasus-kasus tertentu", antara lain, tindak pidana korupsi, tindak<br />

pidana narkotika/psikotropika, tindak pidana terorisme, dan<br />

tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi Saksi dan Korban<br />

dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya. 11<br />

Jelas sangat sukar juga untuk menentukan apakah kekerasan<br />

seksual dimasukan kedalam tindak pidana lain yang mengakibatkan<br />

posisi saksi dan korban dihadapkan pada situasi yang sangat<br />

membahayakan jiwanya. Beberapa ahli hukum mengatakan secara<br />

tekstual dapat dipakai penafsiran memperluas arti kata, maka masuklah<br />

kekerasan seksual namun terdapat pandangan lain bahwa khusus<br />

kekerasan seksual tidaklah dimasukan dalam hal tersebut. Sekalipun<br />

dimasukan maka tidak jelas lagi arti kata dimana “situasi sangat<br />

membahayakan jiwanya” karena pada hakikatnya semua korban akan<br />

merasakan hal tersebut. Maka yang dimaksudkan perlindungan hukum<br />

dalam hal acara pidana ialah proses peradilan yang khusus, yakni<br />

persidangan yang tertutup dan ganti rugi. Terkait perlindungan ketiga<br />

ini yang menjadi poin penting yang akan dibahas yakni hal pemenuhan<br />

hak korban. Mengenai ganti rugi dan restitusi adalah sesuatu yang<br />

diberikan kepada pihak yang menderita kerugian dengan<br />

memperhitungkan kerusakan yang dideritanya oleh si pelaku secara<br />

langsung dan menimbulkan pula pertanggung jawaban secara tindak<br />

langsung kepada masyarakat atau negara (the responsible of the society)<br />

untuk rehabilitasi sosial, hingga kepada proses pemulangan korban<br />

kekerasan seksual dan reintegrasi sosial. Inilah yang sering terlupakan<br />

bahwa anggapan bahwa negara cukup hanya dengan menghukum<br />

pelaku bukan berarti selesainya persoalan. Di sinilah peran negara yang<br />

tidak boleh terpisahkan yakni menindak pelaku serta tidak melupakan<br />

untuk memperbaiki korban. Namun kesemua perlindungan hukum<br />

tersebut untuk memperbaiki pelaku secara mental. Akan tetapi,<br />

perlindungan hukum sekarang ini belum ada jaminan hak korban secara<br />

materiil yang jelas dan tegas. Misalnya dalam pasal 7 ayat (1) Undangundang<br />

LPSK bahwa korban melalui LPSK berhak mengajukan ke<br />

pengadilan berupa:<br />

11 Penjelasan pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006<br />

tentang Perlindungan Saksidan Korban<br />

155


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

a. hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia<br />

yang berat;<br />

b. hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab<br />

pelaku tindak pidana.<br />

Namun dalam pasal 7 ayat (3) hanya disebutkan bahwa<br />

ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi<br />

diatur dengan Peraturan Pemerintah, sedangkan hingga saat ini belum<br />

ada satupun Peraturan Pemerintah yang mengatur mekanisme<br />

pemberian kompensasi dan restitusi tersebut. 12 Terkait perlindungan dan<br />

hak saksi dan korban pada pasal 5 Undang-undang LPSK hanya terbatas<br />

kepada kasus-kasus tertentu yang tidak menjelaskan secara eksplisit<br />

mengenai kasus kekerasan seksual. Munculnya juga MoU LPSK dengan<br />

Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) hanya bergerak dalam hal<br />

rehabilitasi sosial dan psikososial yakni pasal 6 saja, namun terkait<br />

jaminan pasal 5 inilah yang dirasa kurang untuk kasus kekerasan<br />

seksual.<br />

C. Pembaharuan Perlindungan Hukum dan Penanganan Korban<br />

Kekerasan Seksual<br />

Terkait segala kekurangan dan kelemahan dalam sistem<br />

penegakan hukum dan/atau perlindungan hukum khusus kepada korban<br />

kekerasan seksual maka perlu adanya pembaharuan hukum yang sesuai<br />

akan kebutuhan nyata korban dari kekerasan seksual tersebut, antara<br />

lain:<br />

1) Dimulai dengan mensosialisasikan kepada masyarakat mengenai<br />

hukum tentang kekerasan seksual sehingga perspektif masyarakat<br />

mengenai hukum terutama tidak salah serta tidak takut dalam<br />

melapor masalah seputar kekerasan seksual.<br />

2) Terdapat standar perlakuan untuk korban tindak pidana yang<br />

bersifat privasi, antara lain:<br />

a. Semua korban tindak pidana, penyelewengan wewenang atau<br />

pelanggaran hak asasi manusia hendaknya diperlakukan dengan<br />

belas kasihan dan dihargai;<br />

b. Korban hendaknya memperoleh akses pada mekanisme<br />

peradilan dan langkah perbaikan langsung;<br />

c. Prosedur langkah perbaikan hendaknya cepat, adil, murah, dan<br />

dapat diakses;<br />

d. Korban hendaknya diberitahu hak-haknya untuk memperoleh<br />

pemulihan dan perlindungan;<br />

12 Zaky Alkazar Nasution, Perlindungan Hukum terhadap Perempuan<br />

dan Anak Korban Perdagangan Manusia (Tesis), Semarang: Fakultas Hukum<br />

Universitas Dipenogoro, 2008), hlm. 116.<br />

156


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

e. Korban hendaknya diberitahu peran mereka dalam prosedur<br />

resmi, lingkup, penentuan waktu, dan kemajuan proses serta<br />

penempatan kasus mereka;<br />

f. Korban hendaknya diperkenankan menyampaikan pandangan<br />

dan perasaannya mengenai segala hal berkaitan kerugian<br />

terhadap kepentingan pribadi mereka;<br />

g. Korban hendaknya memperoleh semua upaya pendampingan<br />

hukum, material, medis, psikologis, dan pendampingan sosial<br />

dan diberi tahu ketersediannya;<br />

h. Korban hendaknya tidak mendapat penanganan kasus secara<br />

minimal;<br />

i. Privasi dan keselamatan korban hendaknya dilindungi;<br />

j. Hendaknya dihindari penundaan penanganan kasus korban;<br />

k. Jika memungkinkan, para pelanggar hendaknya memperoleh<br />

pemulihan;<br />

l. Pemerintah hendaknya melakukan pemulihan jika pejabat<br />

publik keliru;<br />

m. Ganti rugi finansial hendaknya ditanggung oleh pihak<br />

pelanggar atau, jika tidak mungkin, oleh negara; dan<br />

n. Polisi hendaknya terlatih dalam memenuhi kebutuhan korban,<br />

dan hendaknya disediakan panduan guna menjamin bantuan<br />

yang tepat dan segera.<br />

3) Adanya rekomendasi untuk dapat dilayani secara baik oleh instansi<br />

pelayanan yang tepat.<br />

Korban seksual harus direkomendasikan secara cepat ke instansi<br />

pelayanan yang tepat. Peran negara, melalui kementerian yang<br />

terkait, harus membantu instansi penegakan hukum, instansi<br />

pelayanan sosial, badan administratif yang terkait, dan organisasi<br />

masyarakat dalam membangun suatu mekanisme perlindungan yang<br />

baik. Termasuk adanya kerja sama antar instansi (penegak hukum<br />

dan jasa pelayanan sosial).<br />

4) Secara khusus hakim dapat memutus juga terkait rekomendasi<br />

penanganan korban kekerasan seksual kepada instansi yang tepat<br />

berdasarkan kebutuhan korban yang terlihat selama proses<br />

persidangan.<br />

5) Membuat peraturan perundang-undangan baru terkait kejahatan<br />

seksual sebagai lex specialis.<br />

6) Membentuk kebijakan-kebijakan dalam mengatasi tindak kekerasan<br />

seksual yakni perintah perlindungan dari hakim.<br />

7) Revisi terkait kebijakan memberi ganti rugi kepada korban.<br />

Pasal 99 KUHAP bahwa korban hanya berhak mendapatkan ganti<br />

rugi sebanyak biaya yang telah dikeluarkan oleh korban dalam<br />

tindak pidana tersebut. Pasal 99 belum memungkinkan korban<br />

untuk mendapatkan ganti rugi atas kerugian fisik (ekonomi dan<br />

157


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

kesehatan) maupun psikis (trauma) yang dialami korban. Pasalpasal<br />

dalam KUHAP yang belum menjelaskan pengaturan jika<br />

pelaku tidak sanggup dan mau untuk membayar ganti rugi.<br />

8) Perlindungan saksi dan korban untuk kasus kekerasan seksual agar<br />

dapat diwujudkan sehingga instrumen perlindungan dimaksimalkan<br />

dengan adanya dukungan Peraturan Pemerintah terkait pasal 7 ayat<br />

3 terkait ganti rugi dan restitusi.<br />

Jika terdapat mekanisme seperti ini yang benar melindungi<br />

kepentingan korban dari awal pelaporan kasus kekerasan seksual,<br />

proses persidangan serta putusan persidangan maka perlu diyakini<br />

bahwa hukum menjamin hak korban sehingga tujuan hukum acara<br />

pidana yakni mencari kebenaran materiil yang benar dapat terwujud<br />

dalam penegakan hukum pidana di Indonesia termasuk di dalamnya<br />

dalam pemberian putusan pengadilan yang menyertakan ganti rugi bagi<br />

korban.<br />

D. Kesimpulan dan Saran<br />

Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa<br />

melihat instrumen hukum yang terkait dapat terlihat bahwa tujuan<br />

penegakan hukum pidana baik secara umum dan khusus untuk<br />

kekerasan seksual bersifat satu arah, yang berarti lebih condong kepada<br />

aspek si pelaku dan tidak khusus berbicara mengenai perlindungan<br />

hukum korban kekerasan seksual.<br />

Dengan melihat sistem penegakan hukum pidana Indonesia<br />

yang dapat dikatakan tidak terlalu banyak berubah, baik secara materiil,<br />

khusus kepada arti tindakan kekerasan seksual serta formil yakni hukum<br />

acara pidana yang ada, membuktikan tidak adanya mekanisme yang<br />

baik dalam perlindungan hukum untuk hak-hak korban kekerasan<br />

seksual. Di sinilah peran negara untuk menjamin kesejahteraan dan<br />

perdamaian untuk masyarakatnya melalui peraturan perundangundangan.<br />

Sebagai saran dalam rangka pembaharuan hukum dalam hal<br />

perlindungan hak korban kekerasan seksual maka perlu adanya<br />

mekanisme yang baik sejak awal sampai akhirnya yakni dengan<br />

menimbang solusi yang telah ditulis dalam makalah ini.<br />

158


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Daftar Pustaka<br />

Arief, Barda Nawawi. 1998. Perlindungan Korban Kejahatan dalam<br />

Proses Peradilan Pidana (Artikel dalam Jurnal Hukum Pidana<br />

dan Kriminologi Vol.1).<br />

___________. 2007. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan<br />

Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan. Jakarta:<br />

Kencana.<br />

Hamzah, Andi. 1986. Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dalam<br />

Kitab Undang-undang Acara Pidana. Bandung: Binacipta.<br />

Kelompok Kerja “Convention Watch” Pusat Kajian Wanita dan Gender<br />

Universitas Indonesia. 2000. Pemahaman Bentuk-bentuk<br />

Tindak Kekerasan terhadap Perempuan dan Alternatif<br />

Pemecahannya. Jakarta: PT Alumni.<br />

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.<br />

Kitab Undang-undang Hukum Pidana.<br />

Mansur, Dikdik M. Arief. 2007. Urgensi Perlindungan Korban<br />

Kejahatan Antara Norma dan Realita. Jakarta: PT Raja<br />

Grafindo Persada.<br />

Nasution, Zaky Alkazar. 2008. Perlindungan Hukum terhadap<br />

Perempuan dan Anak Korban Perdagangan Manusia. Semarang:<br />

Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.<br />

Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 3 Tahun 2008 tentang<br />

Pencegahan dan Penanganan Korban Perdagangan Orang.<br />

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi<br />

dan Korban.<br />

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.<br />

http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2013/12/<br />

Kekerasan-Seksual-Kenali-dan-Tangani.pdf<br />

http://www.koran-sindo.com/node/411722<br />

http://www.komnasperempuan.or.id/keadilanperempuan/index.php?opti<br />

on=com_content&view=article&id=83%3Astandar-pelayananminimal-peluang-dan-tantangan-layanan-terpadu-untukperempuan-korban-kekerasan&catid=41%3Atulisanlain&Itemid=97<br />

http://2010.menkokesra.go.id/content/peningkatan-kasus-kekerasanseksual-capai-100-persen.<br />

159


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

http://www.tempo.co/read/news/2014/08/14/173599507/Jawa-Barat-<br />

Darurat-Kekerasan-Seksual-terhadap-Anak<br />

160


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

EFISIENSI PERLINDUNGAN DAN PENDAMPINGAN KORBAN<br />

PEMERKOSAAN DALAM KONTEKS PEMBERLAKUAN<br />

SYARI’AT ISLAM DI ACEH<br />

Oleh: Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala<br />

Abstrak<br />

Dalam pendampingan dan perlindungan korban kekerasan seksual,<br />

Aceh masih harus mencari bentuk idealnya. Selain penanganan secara<br />

holistik yang harus dilakukan, efisiensi adalah hal terpenting yang<br />

harus pula diperhatikan. Penanganan korban kekerasan seksual<br />

terkhusus pada kasus perkosaan harus ditangani dengan baik mulai<br />

dari penyediaan pelayanan pengaduan, layanan kesehatan, rehabilitasi,<br />

bantuan hukum, hingga reintegrasi sosial. Proses penanganan yang<br />

demikian haruslah terkelola dengan baik sehingga efisiensi<br />

penanganan korban kekerasan dapat tercapai. Ketersediaan sarana<br />

dan prasarana seperti ketersediaan rumah aman, pelayanan kesehatan<br />

yang baik dan mampu tata laksana, hingga ketersediaan petugas teknis<br />

yang berperspektif korban yang cukup adalah pokok perhatian yang<br />

mestinya diperhatikan oleh Pemerintah Aceh. Selain itu, komunikasi<br />

lintas instansi yang telah dilakukan sejak 2010 silam melalui<br />

Memorandum of Understanding (MoU) 23 instansi perlu dievaluasi<br />

agar tujuan diperuntukannya MoU tersebut mendekati sempurna.<br />

Permasalahan Aceh masih berada pada tataran efisiensi dalam<br />

penanganan korban, dari total jumlah instansi terkait penanganan<br />

korban kekerasan seksual masih berada terpusat pada salah satu<br />

komponen saja dan instansi pemerintah di kota dan provinsi masih<br />

dirasa tidak cukup baik dalam pelaksanaannya, sehingga Badan/PP<br />

yang ada di Aceh lebih memilih untuk berkoordinasi dengan instansi<br />

vertikal seperti kepolisan. Arah kebijakan ini yang haruslah dievaluasi<br />

agar korban kekerasan seksual dapat terpenuhi haknya. Terlebih, Aceh<br />

adalah entitas politik otonom yang menjalankan Syari‟at Islam.<br />

A. Latar Belakang<br />

Pergerakan masyarakat di Aceh sangatlah dinamis. Banyak hal<br />

menarik yang dapat ditemui di Aceh. Selain cerita sejarahnya, peraturan<br />

daerah yang dikenal sebagai Qanun pun terbilang unik. Aceh adalah<br />

daerah yang menerapkan Syariat Islam yang dipadupadankan dengan<br />

pelaksanaan hukum adat. Pelaksanaan hukum semacam ini pun telah<br />

diakui eksistensinya sampai pada pelosok-pelosok desa (gampong) yang<br />

ada di Aceh. Proses pemberlakuan Syariat Islam di Aceh didasari oleh<br />

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus,<br />

161


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Acehdan<br />

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.<br />

Dalam penegakannya, Syariat Islam memiliki dimensi yang berbeda<br />

pada penerapan sanksi terhadap perbuatan pidana (jarimah) yang diatur<br />

padanya. Bentuk penerapan itu adalah hukum cambuk bagi yang<br />

melanggar aturan. Pemberian hukum cambuk ini bertujuan untuk<br />

memberikan efek jera bagi para pelaku agar tidak kembali mengulang<br />

kesalahan.<br />

Jarimah yang diatur dalam Qanun terbilang beragam,<br />

diantaranya mengenai Minuman Khamar dan sejenisnya, Maisir atau<br />

perjudian dan Khalwat (mesum). Ditinjau dari acuan dokumen yang<br />

dilansir oleh Komisi Nasional Perempuan berdasarkan pengalaman<br />

perempuan korban, ditemukan ragam jenis kekerasan seksual,<br />

diantaranya: (1) perkosaan; (2) pelecehan seksual; (3) eksploitasi<br />

Seksual; (4) penyiksaan seksual; (5) perbudakan seksual; (6)<br />

intimidasi/serangan bernuansa seksual termasuk ancaman atau<br />

percobaan perkosaan; (7) prostitusi paksa; (8) pemaksaan kehamilan;<br />

(9) pemaksaan aborsi; (10) pemaksaan perkawinan; (11) perdagangan<br />

perempuan untuk tujuan seksual; (12) kontrol seksual termasuk<br />

pemaksaan busana dan kriminalisasi perempuan lewat aturan<br />

diskriminatif beralasan moralitas dan agama; (13) penghukuman tidak<br />

manusiawi dan bernuansa seksual; (14) praktik tradisi bernuansa<br />

seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan.<br />

Keempat belas jenis kekerasan seksual yang belum kita kenali akibat<br />

keterbatasan informasi mengenainya. Seruan ini pada akhirnya<br />

menghantarkan Komnas Perempuan untuk menemukan bentuk lain di<br />

tahun 2012 dari kekerasan seksual yang dihadapi perempuan, yaitu (15)<br />

pemaksaan kontrasepsi/sterilisasi. 1 Maka pelaksanaan aturan mengenai<br />

Khalwat tergolong rentan dengan kekerasan seksual, terutama pada<br />

konteks penanganan dan pendampingan dalam hal pemenuhan hak<br />

perempuan korban.<br />

Keterkaitan hukum yang berlaku di daerah Aceh inilah yang<br />

menghantarkan Aceh termasuk daerah dengan predikat penanganan<br />

kasus kekerasan seksual paling buruk. Oleh karena tidak semua<br />

kompenen pemangku kepentingan (stakeholders) termasuk masyarakat<br />

memahami bagaimana memperlakukan korban kekerasan seksual<br />

dengan baik, tentu dalam pemenuhan haknya, pola yang sering<br />

dilakukan sebagai solusi adalah serupa meski kategori perbuatannya<br />

berbeda, misalnya untuk kasus zina dan pemerkosaan sama-sama<br />

ditindak dengan cara menikahkan pelaku dan korbannya. Padahal, Zina<br />

yang mengadung unsur saling suka (resiprokal) sangatlah berbeda<br />

dengan pemerkosaan yang identik dengan nuansa kekerasan. Adapun<br />

1 Komnas Perempuan, Kenali dan Tangani Kekerasan Seksual.<br />

162


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

tindakan untuk menikah itu, merujuk pada ragam kekerasan seksual<br />

lansiran Komnas Perempuan, kembali tergolong pada perbuatan<br />

kekerasan seksual terhadap perempuan.Selain daripada itu, tindakan<br />

ekstrim selanjutnya adalah mengusir korban keluar dari gampong-nya<br />

karena dianggap sebagai „aib‟ bersamaan dengan stigma masyarakat<br />

yang melekat padanya beserta keluarganya. Sanksi adat semacam ini<br />

tentu sangat memprihatinkan karena mereka menindak tanpa<br />

berperspektif korban. Padahal seorang korban juga seorang manusia<br />

biasa yang wajib kita lindungi haknya. Dalam kasus kekerasan seksual<br />

ini dukungan orang-orang terdekat, tak terkecuali komunitas masyarakat<br />

kediamannya menjadi hal penting yang perlu dijunjung.<br />

B. Gambaran Umum Kekerasan Seksual Di Aceh<br />

Kekerasan seksual khususnya di daerah ujung Sumatera, Aceh,<br />

marak terjadi pasca konflik pemerintah dengan kelompok separatis dan<br />

bencana alam gempa dan tsunami yang memporak-porandakan kondisi<br />

Aceh, 2004 silam. Kemiskinan dan kemelaratan menjadi satu-satunya<br />

alasan mengapa bisa terjadi pergeseran moral antar individu. Pencurian,<br />

pembunuhan bahkan kekerasan seksual sudah menjadi kasus-kasus yang<br />

sering muncul di surat kabar. Orang-orang di dalam suatu kelompok<br />

melakukan diskriminasi terhadap kelompok lain. Akibatnya terjadi<br />

tawuran antar kaum lelaki yang nantinya pembalasan dendam akan<br />

dilakukan terhadap kaum perempuan dan anak. Perempuan-perempuan<br />

yang menjadi istri, ibu atau saudara dari salah satu pihak yang<br />

berkonflik, kerap dijadikan sasaran seperti dijadikan sandera dan<br />

pelampiasan kemarahan. Mereka juga rentan dijadikan tameng baik oleh<br />

kelompok komunitasnya sendiri maupun kelompok lawan. Perempuanperempuan<br />

lainnya yang tidak tahu-menahu dan terlibat konflik, karena<br />

dia perempuan dan tinggal di Aceh atau lahir bersuku Aceh akhirnya<br />

juga mengalami kekerasan dan menjadi korban.<br />

Kekerasan seksual yang terjadi di Aceh saat itu juga merupakan<br />

strategi perang, misalnya dengan perkosaan dan penyiksaan seksual<br />

terhadap perempuan yang berasal dari komunitas atau keluarga pihak<br />

lawan. Contohnya, kasus lima perempuan istri anggota GAM di Bireun,<br />

Aceh Timur yang mengalami penyiksaan seksual oleh aparat TNI.<br />

Kekerasan yang dialami perempuan terjadi dalam situasi dan tempat<br />

yang beragam, yaitu 33 orang mengalami kekerasan pada saat menjalani<br />

proses hukum karena tuduhan makar, 22 orang mengalami kekerasan<br />

pada saat dibawa atau ditahan di pos militer/polisi, 77 orang mengalami<br />

kekerasan pada saat operasi penangkapan/penyisiran, 1 orang<br />

mengalami kekerasan ketika melintasi pos militer dan dua orang<br />

mendapat kekerasan oleh GAM pada saat berada di kendaraan<br />

umum.Bentuk kekerasan yang dialami 135 perempuan tersebut diatas,<br />

adalah 17 orang mengalami pelecehan seksual, 23 orang diperkosa dan<br />

163


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

4 orang mengalami penganiayaan seksual. 7 orang meninggal karena<br />

ditembak dan dibunuh, 11 orang ditangkap/diculik dan dihilangkan, 22<br />

orang mengalami intimidasi, penggeledahan paksa dan perampasan<br />

harta bendanya, 50 orang mengalami penganiayaan fisik dan 5 orang<br />

diantaranya diintimidasi, di geledah secara paksa dan dibakar<br />

rumahnya. Umumnya seorang korban tidak hanya mendapat satu bentuk<br />

atau jenis kekerasan.Alasan pembenaran yang dipakai adalah korban<br />

dianggap atau dituduh sebagai anggota inong balee, simpatisan GAM,<br />

melindungi atau memberi makanan pada GAM, dekat dengan pihak<br />

TNI/POLRI, sebagai mata-mata TNI/POLRI. Tetapi dari 135 kasus<br />

tersebut, 46 orang bahkan tidak ada alasan pembenar, kenapa mereka<br />

mendapat kekerasan. 2<br />

Dalam kajian standar internasional, dalam pemenuhan hak bagi<br />

perempuan korban kekerasan, harus diimplementasikan oleh tiga<br />

lapisan berikut, diantaranya:<br />

1. Negara<br />

Hukum dalam negeri seharusnya dapat mengambil nilai-nilai yang<br />

positif dari hukum internasional yang sekiranya dapat diterapkan<br />

dalam hukum nasional. Walaupun tentunya harus ada<br />

pertimbangan-pertimbangan lebih lanjut dalam mengubah hukum<br />

nasional ini. Begitu pula dalam hal hak asasi manusia, negara harus<br />

mengadopsi kerangka hak asasi manusia sesuai dengan standar<br />

hukum internasional dalam reformasi hukum dan kebijakan untuk<br />

melindungi warga negaranya dari tindak pelanggaran dan<br />

kekerasan. Keinginan politik pemegang kekuasaan memegang arti<br />

penting dalam reformasi ini.<br />

2. Keluarga dan Komunitas<br />

Negosiasi kebudayaan adalah kunci keberhasilan transformasi di<br />

tingkat komunitas dan keluarga. Perlu ada ruang-ruang diskusi bagi<br />

setiap orang untuk terlibat aktif dalam membicarakan nilai-nilai<br />

kebudayaan. Budaya adalah milik semua sehingga masing-masing<br />

individu di dalamnya berhak untuk menyuarakan pendapatnya.<br />

Budaya pun tidak pernah dimaksudkan untuk menindas satu<br />

kelompok demi kepentingan kelompok lain. Bila ruang-ruang<br />

diskusi ini dibuka dimana Negara dan masyarakat sipil dapat<br />

bekerja sama untuk terus mencari solusi, maka akan diperoleh hasil<br />

yang sangat memuaskan yaitu penghapusan aspek-aspek negatif<br />

dari budaya yang meminggirkan kelompok-kelompok marginal<br />

dalam masyarakat. Antara lain kelompok perempuan.<br />

3. Individu<br />

2 Komnas Perempuan,Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi<br />

Kekerasan, (Jakarta: Publikasi Komnas Perempuan, 2004).<br />

164


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Upaya mendukung kebangkitan kelompok marginal, termasuk<br />

perempuan, menjadi individu-individu yang mandiri antara lain<br />

dilakukan dengan pemberdayaan sosial ekonomi. Namun ini masih<br />

tidak cukup, terutama bagi perempuan korban kekerasan yang<br />

berlangsung dengan sistematis. Perempuan tersebut membutuhkan<br />

perlindungan sampai mereka betul-betul berdaya. Karena itu,<br />

Negara dan masyarakat harus bekerja sama, tidak hanya dengan<br />

menyediakan perlindungan legal tetapi juga upaya alternatif, antara<br />

lain dengan mendirikan rumah-rumah aman atau shelters.<br />

Pembangunan rumah aman tidak selalu memperoleh dukungan<br />

karena ada pihak-pihak yang khawatir bahwa rumah aman<br />

mendorong perempuan untuk lari dari rumah. 3<br />

4. Maraknya kekerasan seksual di Aceh<br />

Ketidaktuntasan penegakan hukum dalam persoalan ini<br />

membuat kekerasan seksual di Aceh semakin banyak terjadi. Seperti<br />

halnya di daerah lain di Indonesia, Aceh memilikiinstansi maupun<br />

institusi yang menangani kasus kekerasan seksual. Badan<br />

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan terhadap Anak (BP3A),<br />

Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak<br />

(P2TP2A) sebagai Unit Pelaksanaan Teknis,Lembaga Bantuan Hukum<br />

(LBH) Anak, Balai Syura Ureung Inong Aceh (Aceh Woman Council),<br />

hingga di tingkat kecamatan yang dikenal dengan Asisten Fasilitator<br />

Kecamatan (AFK)yang telah mendapat pelatihan para legal dari World<br />

Bank bekerjasama dengan forum Lembaga Swadaya Masyarakat.<br />

Balai Syura Ureung Inong Aceh mencatat, terhadap kekerasan<br />

yang dialami oleh anak yang berusia 2-18 Tahun ditahun 2011 hingga<br />

2012 adalah sejumlah 66 kasus. Tercatat juga 27 kasus incest<br />

(kekerasan seksual yang dilakukan oleh anggota keluarga) yang<br />

menimpa anak di ranah rumah tangga.Tak hanya mencatat 27 kasus<br />

incest, Balai Syura juga menyebutkan dari 1.060 kasus kekerasan<br />

terhadap perempuan dan anak yang terjadi sepanjang 2011-2012<br />

diketahui 73,6 persen diantaranya adalah kekerasan yang terjadi<br />

didalam rumah tangga. Sisanya sebesar 26,3% merupakan kekerasan<br />

yang terjadi didalam masyarakat. Dari kedua kategori kekerasan<br />

tersebut, kekerasan seksual terhadap perempuan dan anakpaling banyak<br />

terjadi di ranah rumah tangga.<br />

Ketua Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh, Nursiti,<br />

mengatakan kekerasan seksual terhadap anak merupakan sebuah kondisi<br />

yang sangat memprihatinkan dan sangat tidak berperikemanusiaan,<br />

Karena anak adalah tanggung jawab kita bersama yang harus dilindungi<br />

keselamatan, kesejahteraan dan masa depannya. Anak-anak yang<br />

3 Ibid, hlm. 7.<br />

165


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

menjadi korban kekerasan akan mengalami dampak berlapis dan<br />

berkepanjangan baik dari sisi kesehatan fisik dan mental, sosial dan<br />

pendidikan.Contoh kasus yang paling menyita perhatian media dan<br />

masyarakat di Aceh, terjadi pada tahun 2013 lalu. Yaitu kasus yang<br />

menimpa Diana, anak yang baru berusia 6 tahun yang terjadi di<br />

Gampong, Peulanggahan, Banda Aceh. Dia diperkosa lalu dibunuh. Tak<br />

banyak yang tahu kelanjutan proses persidangan yang dia jalani, hingga<br />

akhirnya pamannya lepas dari tuntutan ancaman penjara. Paman Diana<br />

divonis bebas oleh Hakim. Perbuatan ini hanya dikenakan delik<br />

pembunuhan yang terdawaknya bukanlah paman Diana.<br />

Meski demikian, tidak pula berarti tidak ada kasus kekerasan<br />

seksual yang ditangani dengan baik. Seperti di tahun 2013 lalu, di Darul<br />

Imarah, Desa Lagang, Jantho, Kabupaten Aceh Besar.Pelakunya adalah<br />

guru mengaji yang menjaga kios kecil di dekat lingkungan pesantren,<br />

kekerasan dilakukan terhadap anak yang saat itu sedang belanja di<br />

kiostersebut. Tak banyak masyarakat yang percaya, terlebih pelakunya<br />

adalah tokoh yang cukup dikenal sebagai orang yang paham agama dan<br />

sebagai guru mengaji.Ketika sampai pada proses persidangan, P2TP2A<br />

Aceh melakukan monitoring hingga pada proses BAP di kepolisian<br />

sampai dengan surat dakwaan. Secara pembuktian, hasil Visum et<br />

Repertum yang dilakukan dari proses pendampingan korban didapati<br />

kerusakan fisik di bagian vagina si anak, sehingga terpenuhi sudah dua<br />

alat bukti untuk dilanjutkan ke persidangan. Pihak penasehat hukum<br />

dari P2PT2A tak berhenti sampai disana, mereka juga memastikan pasal<br />

apa yang didakwakan terhadap pelaku hingga pada akhirnya hakim<br />

menjatuhkan vonis 10 tahun penjara.Untuk Anak yang menjadi korban<br />

dalam kasus tersebut, P2TP2A terus melakukan pendampingan dengan<br />

fokus pada pemulihan psikis korban terlebih dahulu, mangajak anak<br />

untuk bermain sampai dia merasa terbiasa untuk bisa masuk di<br />

lingkungan bermain bersama teman sejawat di sekolah. Tak hanya itu,<br />

P2TP2A juga melakukan pendekatan dengan aparat gampong, pihak<br />

sekolah korban, agar mereka tidak menaruh stigma pada korban di<br />

proses pemulangannya.<br />

Berdasarkan pengamatan, korban kekerasan seksual di Aceh,<br />

bahkan sejak tahun 2005, belum mendapatkan manfaat dari program<br />

rehabilitasi dan rekonsiliasi yang telah bergulir. Berbagai persoalan<br />

terkait pembuktian korban terus menjadi alasan yang menghalangi akses<br />

korban untuk pemulihan. Kondisi ini terus menggantung sementara juga<br />

tidak ada kejelasan penyikapan pemerintah Aceh maupun di level<br />

nasional untuk membangun sebuah mekanisme untuk pengungkapan<br />

kebenaran dan rekonsiliasi. 4<br />

Manusia<br />

4 Komnas Perempuan, Laporan Independen Institusi Nasional Hak Asasi<br />

166


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

C. Peran Pemerintah Dalam Pendampingan dan Pemulihan<br />

Korban Perkosaan di Aceh yang berbasiskan Syari’at Islam<br />

Aceh merupakan daerah pascakonflik dan tsunami. Kedua<br />

peristiwa besar ini memberikan dampak luar biasa bagi kehidupan di<br />

Aceh khususnya secara ekonomi, politik, sosial dan budaya. Kedua<br />

masa tersebut juga sangat berpengaruh pada kehidupan perempuan dan<br />

anak. Kelompok ini merupakan kelompok rentan yang cenderung<br />

mengalami kekerasan baik di ranah domestik maupun publik.<br />

Berdasarkan data-data yang berhasil dikumpulkan oleh lembagalembaga<br />

perempuan di Aceh ada sekitar 197 kasus kekerasan terhadap<br />

perempuan dan anak. Lembaga WCC KKTGA (Women Crisis<br />

CenterKelompok Kerja Transformasi Gender) mencatat ada 320 kasus<br />

di wilayah Banda Aceh dan Aceh Besar yang terjadi sejak Januari 2007<br />

sampai dengan Desember 2010, kemudian ada LBH Apik yang sejak<br />

Januari 2007 sampai dengan Desember 2009 telah mendampingi 386<br />

kasus di delapan wilayah, sedangkan LBH Anak menangani sekitar 50<br />

kasus kekerasan terhadap anak.<br />

Meningkatnya jumlah kasus yang terjadi ternyata tidak<br />

dibarengi dengan peningkatan pelayanan kepada korban. Meskipun<br />

sudah banyak aturan perundang-undangan yang mengatur tentang<br />

perempuan dan anak, tetapi implementasinya hingga saat ini dirasa<br />

belum maksimal. Selain karena sumber daya juga penyediaan fasilitas<br />

seperti shelter (rumah aman), ketersediaan dana serta kebutuhan untuk<br />

pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya, yang semuanya belum<br />

dapat mengakomodir kebutuhan korban. Adapun sebenarnya perempuan<br />

dan anak korban kekerasan biasanya membutuhkan penanganan dari<br />

berbagai sisi, seperti psikis dan kondisi sosialnya.<br />

Disisi lain, kendala dalam penyediaan layanan adalah seperti<br />

lemahnya koordinasi oleh lembaga-lembaga pemberi layanan serta cara<br />

pandang dan pendekatan yang berbeda dalam penanganan kasus<br />

sehingga korban tidak mendapatkan penanganan maksimal. Padahal<br />

seharusnya korban memerlukan penanganan kasus secara holistik<br />

(menyeluruh). 5<br />

D. Eksistensi Pemberlakuan Hukum Syari’at Islam<br />

Syari‟at Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi bidang<br />

aqidah, syar‟iyah, dan akhlak. Syari‟at Islam tersebut meliputi ibadah,<br />

ahwal alsyakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata),<br />

jinayah (hukum pidana), qadha‟ (peradilan), tarbiyah (pendidikan),<br />

dakwah, syiar dan pembelaan Islam. Ketentuan pelaksanaan syari‟at<br />

5<br />

WCC (Woman Crisis Centre) KKTGA, Standar Prosedur<br />

Operasional, (Banda Aceh: KKTGA, 2011).<br />

167


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Islam diatur dengan Qanun Aceh.Setiap pemeluk agama Islam di Aceh<br />

wajib menaati dan mengamalkan syari‟at Islam. Undang-undang juga<br />

memberikan keleluasaan bagi Aceh untuk mengatur kehidupan<br />

masyarakat sesuai dengan ajaran Islam. Dibentuknya hukum syariat<br />

islam ini sendiri adalah bukan tanpa tujuan. Syariat islam secara teori<br />

mempunyai dua fungsi; fungsi pengatur dan fungsi pelindung. Syariat<br />

islam berperan sebagai aturan diantara kaum muslim dengan muslim,<br />

kaum muslim dengan non muslim juga dengan lingkungan sekitarnya<br />

sehingga terciptalah kehidupan masyarakat yang penuh harmoni.<br />

Dengan peranan tersebut syariat islam dapat dikatakan memiliki fungsi<br />

pengatur. Fungsi ini membagi secara jelas apa yang menjadi hak dan<br />

kewajiban bagi seluruh kaum muslim.Kemudian selain itu syariat islam<br />

juga punya fungsi pelindung. Fungsi ini bertujuan melindungi umat<br />

muslim dari hal-hal yang sifatnya merusak. Yang harus dilindungi disini<br />

adalah agama, jiwa, keturunan, akal, harta, kehormatan dan rasa aman.<br />

Kesimpulannya adalah syariat islam memegang peranan vital dalam<br />

kehidupan masyarakat muslim di Aceh khususnya.<br />

Namun, dalam pemberlakuan syariat islam ini tidak melulu<br />

mulus, karna budaya masyarakat Aceh tidak murni lagi budaya islam,<br />

tetapi sudah terkontaminasi dengan budaya barat. Tak ayal jika pola<br />

pikir masyarakat muslim sudah bergeser kebarat-baratan. Akibatnya,<br />

pelaksanaannya pun kacau. Padahal implementasi yang diinginkan dari<br />

adanya syariat islam ini ialah untuk menjaga kepentingan sesama<br />

muslim yang berlandaskan islam. Seperti yang diketahui, semua agama<br />

termasuk islam sangat membenci adanya kekerasan. Apalagi kekerasan<br />

yang dilakukan antar sesama muslim. Nah ketika kasus kekerasan<br />

seksual mulai marak terjadi di Aceh, orang mulai bertanya, pada aspek<br />

yang bagaimana syari‟at islam ini dijalankan. Yang padahal berjalan<br />

atau tidaknya hukum syariat Islam ini sendiri tergantung pada keadaan<br />

masyarakatnya. Jika saja semua masyarakat di Aceh mampu<br />

menghormati menjunjung tinggi pemberlakuan hukum syariat islam di<br />

Aceh yang sesuai moral, maka insyaallah kasus seperti kekerasan tidak<br />

akan pernah terjadi di bumi Serambi Mekkah ini.<br />

E. Kesimpulan dan Saran<br />

Pertama, Aceh dikenal sebagai daerah konflik antara<br />

pemerintah dengan kelompok separatis. Namun seperti yang sudah<br />

dialami, ternyata konflik yang terjadi tak hanya sebatas antara<br />

pemerintah dan kelompok separatis saja, melainkan juga konflik atas<br />

Hak Asasi Manusia-nya kaum perempuan dan anak. Perempuan<br />

mendapat kekerasan paling keji pada masa-masa itu. Kemiskinan dan<br />

kemelaratan saat itu menjadi motif utama terjadinya kekerasan seksual<br />

dimana-mana. Apa yang dilakukan pemerintah? Kebijakan. Pemerintah<br />

membuat kebijakan untuk memberdayakan kaum perempuan dan anak<br />

168


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

sedemikian rupa agar hak-haknya tercapai. Namun, implementasinya<br />

masih belum berjalan sempurna, terbukti dari semakin memuncaknya<br />

kekerasan seksual yang terjadi. Lalu jika pemerintah juga sudah<br />

berusaha, siapa yang perlu disalahkan? Pribadi. Yang perlu kita lakukan<br />

saat ini adalah mengintrospeksi diri agar segala perbuatan bisa sepadan<br />

dengan peraturan dan moral yang berlaku.<br />

Kedua,untuk memperkecil kemungkinan terjadinya kasus dan<br />

untuk memulihkan korban, pemerintah menggalakkan dua cara,<br />

preventif dan represif. Sebelum terjadinya, diadakan sosialisasi<br />

pembentukan moral dan karakter orang-orang sejak dini dari lingkungan<br />

keluarga, lingkungan belajar maupun lingkungan bermain. Pemerintah<br />

mendirikan beberapa instansi layanan terpadu di tingkat provinsi,<br />

kabupaten maupun kecamatan seperti Badan Perlindungan dan<br />

Pemberdayaan Perempuan dan Anak (BP3A), Pusat Pelayanan Terpadu<br />

Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), LBH Apik, LSM<br />

Woman Crisis Center (WCC) dan lain lain. Adanya lembaga-lembaga<br />

tersebut keberadaannya memang sangat membantu. Tetapi bukan berarti<br />

tidak ada kekurangan. Kendalanya berada pada anggaran untuk<br />

pembangunan shelter dibeberapa instansi dan kendala lain mengenai<br />

petugas yang tidak berperspektif terhadap korban. Walaupun beberapa<br />

lembaga lain sudah mempunyai shelter, tetapi penggunaannya<br />

terhambat pada tidak adanya jasa pengawas.<br />

Terakhir,ketika berbicara syariat Islam maka berbicara tentang<br />

hukum islam. Islam dikenal dengan kerendahan hatinya, kemuliaan<br />

perbuatannya dan kelembutan bahasanya seperti yang ditunjukkan oleh<br />

Rasulullah SAW. Aceh memberlakukan hukum Syari‟at Islam. Ketika<br />

dikawasan yang seharusnya aman dan lebih terjaga ini terjadi kasus<br />

kekerasan seksual maka pemerintah Aceh sendiri mau berbuat<br />

bagaimana lagi. Berjalan atau tidaknya pemberlakuan hukum Syariat<br />

Islam ini tidak cukup jika wewenangnya hanya berada pada pemerintah<br />

Daerah saja, tetapi lebih penting daripada itu, perbuatan dan pola pikir<br />

masyarakat yang harus menjadi acuan. Jika setiap masyarakat di Aceh<br />

menjunjung tinggi moralitas dalam setiap perbuatannya. Maka<br />

senantiasa Pemberlakuan Hukum Syariat Islam ini sendiri dapat<br />

berjalan lancar dan efektif.<br />

Saran-saran:<br />

1. Pemerintah harus membuat peraturan yang ketat tentang<br />

perlindungan anak dengan sanksi yang tegas.<br />

2. Memberikan pendidikan seks kepada anak sedini mungkin sebagai<br />

langkah awal pencegahan.<br />

3. Membuat peraturan yang mengharuskan anak yang memasuki usia<br />

remaja sampai dewasa untuk belajar bela diri.<br />

4. Membangun pusat rehabilitasi korban kekerasan seksual khususnya<br />

di Aceh, juga membangun Rumah Aman (shelter).<br />

169


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

5. Petugas di pusat rehabilitasi paling tidak setahun sekali diadakan<br />

pelatihan mengenai proses pelayanan korban secara baik dan layak.<br />

6. Media perlu sering memberitakan atau mengungkap kasus-kasus<br />

kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan.<br />

7. Di dalam lingkungan keluarga juga tidak lepas pengawasan, namun<br />

tidak harus terkesan overprotective.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Komnas Perempuan. Kenali dan Tangani Kekerasan Seksual.<br />

Komnas Perempuan. 2004. Perjalanan Perempuan Indonesia<br />

Menghadapi Kekerasan.Jakarta : Publikasi Komnas Perempuan.<br />

WCC (Woman Crisis Centre) KKTGA. 2011.Standar Prosedur<br />

Operasional. Banda Aceh : KKTGA.<br />

170


TINJAUAN HUKUM SIMPOSIUM HUKUM NASIONAL 2014


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

TABEL TINJAUAN HUKUM SIMPOSIUM HUKUM NASIONAL 2014<br />

No. SUBSTANSI MASALAH REKOMENDASI<br />

1. Materiil 1. Pasal 285<br />

1.1. Frasa“kekerasan”atau “ancaman<br />

kekerasan”dalam pasal 285 membuat rumusan<br />

dalam pasal ini menjadi terlalu sempit.<br />

1.2. Tidak menjelaskan definisi mengenai<br />

“Pemerkosaan”.<br />

1.3. Ketentuan dalam KUHP hanya mengatur<br />

mengenai ancaman pidana penjara maksimal<br />

tanpa memperhatikan mengenai pengaturan<br />

pidana penjara minimum.<br />

1.4. Menurut Pasal 285, korban hanya sebatas wanita<br />

sehingga tidak melindungi tentang pemerkosaan<br />

terhadap korban laki-laki.<br />

1.1. Mengganti frasa“ancaman<br />

kekerasan”dengan“bertentangan<br />

dengan kehendak”<br />

sebagaimana diatur dalam<br />

Rancangan Kitab Undang-<br />

Undang Hukum Pidana<br />

(RKUHP) tentang<br />

pencantuman pengertian<br />

pemerkosaan yang tertera<br />

dalam ketentuan umum<br />

RKUHP.<br />

1.2. Mencantumkan pengertian<br />

“Pemerkosaan”.<br />

1.3. Menentukan mengenai<br />

adanya ketentuan batas<br />

pidana penjara minimum<br />

yang dapat dikenakan<br />

terhadap pelaku<br />

sebagaimana telah diatur<br />

dalam RKUHP.<br />

1.4. Menentukan adanya<br />

ketentuan pemerkosaan<br />

terhadap korban laki-laki di<br />

171


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

2. 2. Pasal 286<br />

2.1. Tidak adanya ketentuan yang jelas mengenai<br />

perbuatan bersetubuh.<br />

2.2. Tidak menjelaskan secara jelas mengenai<br />

definisi dan klasifikasi keadaan tak berdaya.<br />

3. 3. Pasal 287<br />

3.1. Adanya penyamaan status antara anak dan tidak<br />

berdaya.<br />

3.2. Mempertanyakan mengenai rumusan delik<br />

dalam Pasal 287,“apakah saksi yang melihat<br />

Tindakan pemerkosaan bisa melaporkan?”<br />

3.3. Pidana penjara dalam rumusan Pasal 287<br />

lebih ringan dibandingkan dengan pidana<br />

penjara dalam rumusan Pasal 285, padahal<br />

di dalam pasal 287 korbannya adalah anak<br />

yang akan menjadi penerus bangsa.<br />

dalam RKUHP.<br />

2.1. Menentukan penjelasan<br />

mengenai perbuatan<br />

bersetubuh dalam Pasal<br />

tersebut.<br />

2.2. Mempertegas definisi dan<br />

klasifikasi keadaan tak<br />

berdaya,siapa yang<br />

menjadikan keadaan tidak<br />

berdaya itu timbul, serta<br />

kondisi yang dapat<br />

dianggap sebagai keadaan<br />

tidak berdaya.<br />

3.1. 1. Menentukan adanya<br />

perbedaaan pemidanaan<br />

yang tegas antara korban<br />

yang tidak berdaya<br />

dengan anak, di mana<br />

kasus pemerkosaan<br />

terhadap korban anak<br />

seharusnya lebih berat<br />

dibandingkan dengan<br />

kasus pemerkosaan<br />

terhadap orang yang tidak<br />

berdaya.<br />

172


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

4. 4. Pasal 288<br />

4.1. Rumusan dalam pasal tidak dijelaskan<br />

secara tegas dalam hal apakah pasal ini turut<br />

mencakup pemaksaan perkawinan atau<br />

tidak.<br />

4.2. Hanya terbatas luka fisik, tidak ada<br />

pembahasan luka psikologis, dan juga hanya<br />

terbatas pada wanita.<br />

4.3. Ketentuan dalam Pasal ini hanya mencakup<br />

perkawinan dibawah umur.<br />

3.1.2. Menentukan penjelasan<br />

yang tegas terkait dengan<br />

hal “tidak berdaya”,<br />

termasuk kategorisasi<br />

tidak berdaya, siapa yang<br />

membuat tidak berdaya<br />

dan kapan suatu keadaan<br />

yang dialami korban dapat<br />

dianggap tidak berdaya.<br />

3.2. Melakukan revisi terhadap<br />

Pasal 287nya delik Pasal<br />

287 KUHP adalah delik<br />

biasa bukan delik aduan.<br />

3.3. Memperberat ancaman<br />

pidana dalam RKUHP.<br />

4.1 Meminta penjelasan yang<br />

tegas terkait rumusan Pasal<br />

288, apakah termasuk ke<br />

dalam pemaksaan<br />

perkawinan atau tidak.<br />

4.2. Memperluas cakupan luka<br />

dan korban pada pasal ini.<br />

4.3. Mempertegas ketentuan<br />

dalam Pasal 288 agar<br />

mencakup tidak hanya<br />

perkawinan dibawah umur<br />

173


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

5. 5. Pasal 289<br />

5.1. Frasa“kekerasan atau ancaman kekerasan”<br />

dalam Pasal 289 membuat Pasal-Pasal<br />

tersebut menjadi sempit.<br />

5.2. Definisi cabul dan kategorisasi pemerkosaan<br />

tidak jelas.<br />

6. 6. Pasal 294<br />

6.1. Sanksi pidana lebih rendah.<br />

6.2. Adanya kekosongan hukum, karena tidak<br />

diaturnya pemerkosaan terhadap anak, anak tiri,<br />

anak angkat atau anak yang berada dibawah<br />

pengawasan pelaku.<br />

7. 7. Pasal 295<br />

7.1. Pasal 295 hanya mengatur mengenai perbuatan<br />

yang menyebabkan atau mempermudah<br />

tetapi juga perkawinan<br />

cukup umur.<br />

5.1. Frasa“kekerasan atau<br />

ancaman kekerasan”<br />

tersebut diganti dengan<br />

frasa “bertentangan”<br />

atau“bertentangan dengan<br />

kehendak.”<br />

5.2. Mempertegas definisi dan<br />

kategorisasi dari pada cabul,<br />

baik itu didalam ketentuan<br />

umum atau penjelasan<br />

Pasal.<br />

6.1. Sudah terjawab di RKUHP<br />

yaitu dengan pemidanaan<br />

terhadap pemerkosaan atau<br />

percabulan anak yang<br />

dilakukan oleh kerabat lebih<br />

berat ancaman pidananya.<br />

6.2. Adanya pengaturan<br />

mengenai masalah di atas<br />

dalam Pasal tertentu.<br />

7.1. Meminta agar perbuatan<br />

yang menyebabkan atau<br />

174


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

perbuatan cabul, sehingga terdapat kekosongan<br />

hukum untuk perbuatan yang menyebabkan atau<br />

mempermudah pemerkosaan.<br />

7.2. Pasal 295 mengatur secara limitatif pihak-pihak<br />

yang menyebabkan atau mempermudah<br />

perbuatan cabul.<br />

8. Formil 8.1. Etika Aparat Penegak Hukum (Kepolisian,<br />

Kejaksaan dan Kehakiman) penanganan kasus<br />

kekerasan seksual yang tidak berperspektif kepada<br />

korban.<br />

mempermudah<br />

pemerkosaan diatur<br />

dalam RKUHP.<br />

7.2. Memperjelas ketentuan<br />

mengenai pihak-pihak<br />

yang menyebabkan atau<br />

mempermudah perbuatan<br />

cabul dalam R-KUHP<br />

8.1.1. Mengoptimalisasikan<br />

“Pendidikan<br />

Penanganan Kasus<br />

Kekerasan Seksual”<br />

kepada Aparat<br />

Penegak Hukum<br />

(APH).<br />

8.1.2. Penyesuaian kode etik<br />

bagi Aparat Penegak<br />

Hukum (APH) yang<br />

berprespektif kepada<br />

korban kekerasan<br />

seksual.<br />

8.1.3. Mengadakan revisi<br />

terhadap PP No.2<br />

tahun 2003 tentang<br />

Peraturan Disiplin<br />

Anggota Kepolisian<br />

Negara Republik<br />

175


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

8.2 Proses peradilan dalam kasus kekerasan seksual<br />

yang tidak memberikan keadilan bagi korban<br />

kekerasan seksual. Dalam hal ini, diatur mengenai<br />

pengaturan Alat Bukti dan Proses Persidangan.<br />

Indonesia mengenai<br />

SANKSI,yang<br />

bertujuan untuk<br />

memperberat ancaman<br />

pidana terhadap para<br />

pelaku kejahatan<br />

kekerasan seksual.<br />

8.1.4. Mengoptimalisasikan<br />

penerapan PERKAP<br />

No. 10 tahun 2007<br />

tentang Organisasi<br />

dan Tata Kerja Unit<br />

Pelayanan Perempuan<br />

dan Anak (UnitPPA)<br />

dilingkungan<br />

Kepolisian Negara<br />

Republik Indonesia<br />

yang telah direvisi dan<br />

juga melakukan<br />

sosialisasi di seluruh<br />

wilayah Indonesia.<br />

ALAT BUKTI<br />

8.2.1. Dalam kasus<br />

kekerasan seksual,<br />

keterangan saksi<br />

dalam persidangan<br />

cukup satu orang saksi<br />

176


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

9. Perlindungan dan<br />

Pendampingan<br />

Korban<br />

9.1. Pemberitaan tentang kasus kekerasan seksual yang<br />

menitikberatkan pada aspek seksualitas oleh pers.<br />

untuk melakukan<br />

pembuktian kasus<br />

yaitu saksi korban.<br />

8.2.2. Memasukkan unsur<br />

rekam psikologis<br />

sebagai alat bukti yang<br />

harus diperhitungkan<br />

oleh pihak kepolisian.<br />

PERSIDANGAN<br />

8.2.3. Pada saat pemeriksaan<br />

saksi korban di<br />

pengadilan, terdakwa<br />

harus dikeluarkan dari<br />

ruang sidang.<br />

8.2.4. Selama proses<br />

peradilan berlangsung,<br />

saksi korban berhak<br />

didampingi oleh<br />

pendamping.<br />

8.2.5. Mengusulkan agar<br />

poin 8.2.3 dan 8.2.4<br />

dituangkan dalam<br />

Peraturan Mahkamah<br />

Agung (PERMA).<br />

9.1. Merekomendasikan<br />

Kementerian<br />

Pemberdayaan<br />

177


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

9.2. Tidak sesuainya penanganan kasus kekerasan<br />

seksual yang dilakukan oleh aparat penegak hukum<br />

dengan SOP tentang penanganan korban kekerasan<br />

seksual yang telah diatur dalam Peraturan Menteri<br />

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak<br />

Nomor 1Tahun 2010.<br />

9.3. Kurangnya sumber daya manusia terlatih untuk<br />

menangani korban kekerasan seksual pada Unit<br />

Pelaporan Kekerasan Seksual ditingkat<br />

Perempuan dan<br />

Perlindungan Anak<br />

untuk berkoordinasi<br />

dengan organisasi<br />

pers, Kementerian<br />

Komunikasi dan<br />

Informasi, Komisi<br />

Penyiaran Indonesia,<br />

Dewan Pers,dan pihak<br />

terkait untuk<br />

memberikan edukasi<br />

tentang pemberitaan<br />

kekerasan seksual<br />

yang berperspektif<br />

korban.<br />

9.2. Melakukan sosialisasi<br />

kembali Terhadap Peraturan<br />

Menteri Pemberdayaan<br />

Perempuan dan<br />

Perlindungan Anak Nomor<br />

1Tahun 2010 kepada aparat<br />

hukum untuk melaksanakan<br />

SOP yang terkandung<br />

dalam aturan tersebut.<br />

9.3.1. Menyesuaikan jumlah<br />

tenaga terampil agar<br />

sebanding dengan jumlah<br />

178


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

kabupaten/kota.<br />

9.4. Sulitnya akses korban kekerasan seksual terhadap<br />

dokter forensik untuk mendapatkan visum et<br />

repertum yang digunakan sebagai alat bukti yang<br />

valid.<br />

9.5.1. Kesulitan masyarakat untuk menerima kembali<br />

korban kekerasan seksual karena dianggap<br />

sebagai aib dalam komunitasnya.<br />

9.5.2. Sulitnya akses korban kekerasan seksual terhadap<br />

dokter forensik untuk mendapatkan visum et<br />

repertum yang digunakan sebagai alat bukti yang<br />

valid.<br />

9.6. Kurangnya informasi dari aparat penegak hukum<br />

kepada korban kekerasan seksual mengenai<br />

keberadaan lembaga yang bergerak dibidang<br />

pemulihan korban kekerasan seksual.<br />

kasus yang ada diprovinsi<br />

tersebut.<br />

9.3.2. Setiap provinsi harus<br />

mempunyai data yang<br />

valid mengenai jumlah<br />

kasus kekerasan seksual.<br />

9.5. Asistensi pemerintah dalam<br />

peningkatan partisipasi<br />

masyarakat dalam<br />

reintegrasi korban<br />

kekerasan seksual.<br />

9.6. Dalam proses peradilan<br />

penanganan kasus<br />

kekerasan seksual,aparat<br />

penegak hukum harus<br />

menjamin bahwa korban<br />

mengetahui keberadaan<br />

lembaga yang bergerak<br />

dalam bidang pemulihan<br />

korban kekerasan<br />

seksual.<br />

179


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

9.7. Beberapa daerah belum memiliki rumah aman<br />

(shelter) bagi korban kekerasan seksual dalam<br />

konteks rehabilitasi yang dibutuhkan. Selain itu,<br />

terdapat beberapa daerah yang sudah memiliki<br />

shelter, namun belum dipergunakan sebagaimana<br />

mestinya.<br />

9.8. Dakwaan tindak pidana kekerasan seksual yang<br />

belum mengakomodasi restitusi dan kompensasi<br />

bagi korban kekerasan seksual.<br />

9.7. Harus adanya<br />

pemerataan shelter di<br />

tiap-tiap lembaga yang<br />

memiliki fungsi<br />

rehabilitasi terhadap<br />

korban kekerasan<br />

seksual dan harus<br />

dioperasionalkan sesuai<br />

dengan Standar<br />

Penilaian Minimum.<br />

9.8. Restitusi dan kompensasi<br />

harus diakomodir dalam<br />

surat dakwaan.<br />

180


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

PENJELASAN TABEL TINJAUAN HUKUM SIMPOSIUM HUKUM<br />

NASIONAL 2014<br />

KOMISI 1<br />

MATERIIL<br />

1. PASAL 285<br />

Poin 1.1 Frasa “kekerasan” atau “ancaman kekerasan” dalam pasal 285<br />

membuat rumusan dalam pasal ini menjadi terlalu sempit.<br />

Rekomendasi 1.1 Mengganti frasa “ancaman kekerasan” dengan<br />

“bertentangan dengan kehendak” sebagaimana diatur dalam Rancangan<br />

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tentang pencantuman<br />

pengertian pemerkosaan yang tertera dalam ketentuan umum RKUHP.<br />

Secara materiil, dianggap perlu adanya perbaikan pada pasal 285, yang<br />

berbunyi "Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan<br />

memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan,<br />

diancam karena perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas<br />

tahun". Frasa “kekerasan” atau “ancaman kekerasan” dalam pasal 285<br />

membuat rumusan dalam pasal ini menjadi terlalu sempit.<br />

Apabila merujuk pada pasal 89 KUHP, definisi kekerasan dalam pasal<br />

285 adalah mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil<br />

secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala<br />

macam senjata, menyepak, menendang, dan sebagainya. Selain itu, yang<br />

dapat disamakan dengan “melakukan kekerasan” adalah membuat orang<br />

jadi pingsan atau tidak berdaya. 1 Oleh sebab itu, untuk membuktikan<br />

terjadinya tindakan perkosaan, maka harus terdapat kekerasan atau ancaman<br />

kekerasan yang seringkali diartikan sebagai kekerasan fisik yang harus<br />

dibuktikan dengan luka atau bekas luka yang terdapat dalam tubuh korban<br />

yang diakibatkan oleh pelaku.<br />

Pada kenyataannya, banyak terdapat peristiwa perkosaan yang terjadi<br />

tanpa kekerasan atau ancaman kekerasan fisik, tetapi menggunakan<br />

kekerasan mental atau psikologis. National Victim Center and Crime<br />

Victims Research and Treatment Center (1992) menunjukkan bahwa<br />

korban-korban perkosaan mengalami permaksaan, ancaman, dan kekerasan<br />

yang menyakitkan, baik secara fisik maupun secara psikis 2 , misalnya pada<br />

kasus RW, seorang mahasiswi Universitas Indonesia yang diperkosa oleh<br />

seniman Sitok Srengenge dibawah tekanan mental dan psikis.<br />

Dengan rumusan kekerasan atau ancaman kekerasan pula, maka<br />

gagasan bahwa perempuan tidak menghendaki atau menyetujui (consent)<br />

1 R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Serta Komentar-komentarnya<br />

Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1995), hlm. 98.<br />

2 Bagus Takwin, Membongkar Mitos Perkosaan, (dalam Jurnal Perempuan Edisi<br />

71: Perkosaan dan Kekuasaan), hlm. 12.<br />

181


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

hubungan seksual tersebut menjadi sesuatu yang sulit diterima. Di satu sisi,<br />

ketidaksetujuan perempuan dianggap vital dalam kasus perkosaan, namun di<br />

sisi lain itu menjadi tidak penting karena perempuan harus membuktikan<br />

ketidaksetujuannya (yang berarti ada pada tataran psikologis), untuk hal-hal<br />

yang bersifat fisik (bukti adanya kekerasan).<br />

Lebih jauh, rumusan kekerasan tersebut mengeluarkan atau bahkan<br />

mengeliminasi hubungan seksual yang dilakukan berdasarkan "ketundukan"<br />

(submission), karena alasan-alasan tertentu. Misalnya saja antara seorang<br />

majikan terhadap bawahannya yang merasa khawatir dengan masa depan<br />

pekerjaannya, atau cemas dengan nilai ujian atau kelulusan dalam konteks<br />

hubungan seksual antara seorang guru terhadap muridnya. 3 Padahal, pada<br />

dasarnya kekerasan seksual merupakan manifestasi kekuasaan pelaku<br />

terhadap korbannya.<br />

Dalam RUU KUHP, sudah terdapat perubahan unsur, antara lain<br />

dihapusnya unsur kekerasan atau ancaman kekerasan yang digantikan oleh<br />

unsur bertentangan dengan kehendak dan tanpa persetujuan. Pasal 488 ayat<br />

1 RUU KUHP berbunyi: 4<br />

(1) Dipidana karena melakukan tindak pidana perkosaan, dengan pidana<br />

penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas)<br />

tahun:<br />

a. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luar<br />

perkawinan, bertentangan dengan kehendak perempuan tersebut;<br />

b. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luar<br />

perkawinan, tanpa persetujuan perempuan tersebut;<br />

c. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan,<br />

dengan persetujuan perempuan tersebut, tetapi persetujuan<br />

tersebut dicapai melalui ancaman untuk dibunuh atau dilukai;<br />

d. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan,<br />

dengan persetujuan perempuan tersebut karena perempuan<br />

tersebut percaya bahwa laki-laki tersebut adalah suaminya yang<br />

sah;<br />

e. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan yang<br />

berusia di bawah 14 (empat belas) tahun, dengan<br />

persetujuannya; atau<br />

f. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan,<br />

padahal diketahui bahwa perempuan tersebut dalam keadaan<br />

pingsan atau tidak berdaya.<br />

3 Ratna Batara Munti, “Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas, Kelemahan<br />

Aturan dan Proses Hukum, Serta Strategi Menggapai Keadilan”, diakses<br />

darihttp://www.hukumonline.com/berita/baca/hol2472/kekerasan-seksual-mitos-danrealitas<br />

pada 18 Mei 2014.<br />

4<br />

Lihat Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana,<br />

diakses dari http://antikorupsi.org/sites/antikorupsi.org/files/doc/Umum/RUU%20<br />

KUHP_2013.pdf pada 18 Mei 2014.<br />

182


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Menurut pasal tersebut, terjadinya perkosaan tidak perlu dibuktikan<br />

dengan terdapat atau tidaknya kekerasan atau ancaman kekerasan. Apabila<br />

salah satu pihak (dalam RUU KUHP, perempuan) tidak menyatakan<br />

persetujuan atau menunjukkan kehendaknya dalam melakukan hubungan<br />

seks dengan pihak lainnya (dalam RUU KUHP, laki-laki), maka tindakan<br />

tersebut dapat disebut sebagai perkosaan.<br />

Terhadap hal tersebut, delegasi SHN merekomendasikan untuk mengganti<br />

frasa “ancaman kekerasan” dengan “bertentangan dengan kehendak”<br />

sebagaimana yang sudah diatur dalam RKUHP tentang pencantuman<br />

pengertian pemerkosaan yang tertera dalam ketentuan umum RKUHP.<br />

<br />

Poin 1.2 Tidak menjelaskan definisi mengenai “Pemerkosaan”.<br />

Rekomendasi 1.2 Mencantumkan pengertian “Pemerkosaan”.<br />

Pasal 285 juga tidak menjelaskan definisi mengenai “Pemerkosaan”<br />

serta terdapat kurangnya kepastian hukum dalam Kitab Undang-Undang<br />

Hukum Pidana (KUHP) yang hanya mengatur mengenai ancaman pidana<br />

maksimal tanpa memperhatikan pengaturan pidana penjara minimum.<br />

Hingga saat ini batasan perkosaan dalam hukum positif Indonesia ialah<br />

tindakan menyetubuhi seorang wanita yang bukan istrinya dengan<br />

kekerasan atau ancaman kekerasan.<br />

Dalam pasal tersebut, perkosaan didefinisikan secara amat limitatif.<br />

Perkosaan menurut KUHP tidak termasuk tindakan KSTP (kekerasan<br />

seksual terhadap perempuan) dalam bentuk hubungan penis pelaku melalui<br />

anus (secara anal) atau mulut korban (secara oral). 5<br />

Belakangan, definisi perkosaan dinilai perlu diperluas agar tidak hanya<br />

tentang penetrasi penis terhadap vagina. Perkosaan harus didefinisikan<br />

sesuai dengan pengalaman korban. Encyclopedia of Rape mengemukakan<br />

bahwa realitas fisik perkosaan tidak berubah dari waktu ke waktu, yaitu<br />

penetrasi dari vagina, atau lubang lainnya, dengan penis (atau benda lain)<br />

tanpa persetujuan dari wanita atau pria korban. Polaschek, Ward & Hudson,<br />

memberi definisi perkosaan sebagai penetrasi pada anus, vagina oleh penis,<br />

jari atau benda lain atau penetrasi penis pada mulut. Bahkan memaksa orang<br />

lain melakukan hal itu juga disebut sebagai perkosaan. 6<br />

Di Indonesia, bentuk perkosaan berupa insersi penis ke lubang atau<br />

organ lain selain vagina, seperti anus atau mulut dan benda selain bagian<br />

tubuh ke dalam vagina atau anus beberapa kali terjadi. Namun, kasus-kasus<br />

tersebut biasanya hanya dijerat dengan pasal pencabulan, misalnya saja<br />

yang terjadi pada korban YF yang dipaksa untuk melakukan oral oleh para<br />

5 Prof. Agus Purwadianto, Disertasi Doktoral: Perkosaan Sebagai pelanggaran<br />

Hak Asasi Manusia, hlm. 12.<br />

6<br />

Priyanto Aadil, “Makalah Perkosaan dan Pencabulan”, diakses dari<br />

https://www.academia.edu/3710743/Makalah_Perkosaan_dan_pencabulan.docx pada 20<br />

Juli 2014.<br />

183


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

<br />

pelaku pada kasus perkosaan di halte Transjakarta (pelaku dijerat pasal<br />

pencabulan dan dihukum 1 tahun 6 bulan penjara), dan kasus buruh<br />

Marsinah, yang menurut visum yang dilakukan oleh Dr. Abdul Mun‟im<br />

Idris, tewas akibat perkosaan berupa dimasukkannya alat berupa tongkat<br />

kayu ke dalam vagina korban.<br />

Dalam RUU KUHP, definisi perkosaan dalam pasal yang mengaturnya<br />

sudah diperluas. Pasal 488 ayat 2 RUU KUHP berbunyi:<br />

(2) Dianggap juga melakukan tindak pidana perkosaan, jika dalam<br />

keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):<br />

a. Laki-laki memasukkan alat kelaminnya ke dalam anus atau mulut<br />

perempuan; atau<br />

b. Laki-laki memasukkan suatu benda yang bukan merupakan bagian<br />

tubuhnya ke dalam vagina atau anus perempuan.<br />

Melihat masalah ini, delegasi SHN merekomendasikan adanya<br />

pengaturan mengenai ketentuan batas pidana penjara minimum yang dapat<br />

dikenakan terhadap pelaku seperti yang diatur dalam RKUHP.<br />

Poin 1.3 Ketentuan dalam KUHP hanya mengatur mengenai ancaman<br />

pidana penjara maksimal tanpa memperhatikan mengenai pengaturan pidana<br />

penjara minimum.<br />

Rekomendasi 1.3 Menentukan mengenai adanya ketentuan batas pidana<br />

penjara minimum yang dapat dikenakan terhadap pelaku sebagaimana telah<br />

diatur dalam RKUHP.<br />

Pasal dan<br />

Ancaman Pidana<br />

Maksimal<br />

Ancaman<br />

Pidana<br />

Jika Luka<br />

Berat<br />

Jika Sampai Mati<br />

285: Perkosaan 12 tahun 15 tahun (291 ayat 2)<br />

286: dengan<br />

wanita<br />

pingsan/tidak<br />

berdaya<br />

9 tahun 12 tahun<br />

(291 ayat 1)<br />

15 tahun (291 ayat 2)<br />

287: dengan<br />

wanita


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

sesama jenis<br />

belum dewasa<br />

293: membujuk<br />

orang dewasa<br />

untuk cabul<br />

294: cabul dengan<br />

anak belum<br />

dewasa<br />

295: memudahkan<br />

cabul dengan anak<br />

belum dewasa<br />

296: memudahkan<br />

cabul sebagai mata<br />

pencaharian<br />

5 tahun<br />

7 tahun<br />

5 tahun, 4<br />

tahun, +1/3<br />

(pencaharian/<br />

kebiasaan)<br />

1 tahun 4<br />

bulan<br />

Tabel 1: Ancaman Pidana terhadap Tindak Pidana Kesusilaan<br />

Mengenai Seksualitas 7<br />

Tindak pidana seksual, khususnya dalam perkosaan tidak ada sanksi<br />

pidana minimal, sehingga acap kali terjadi putusan hakim yang sangat<br />

ringan dan tidak setimpal dengan perbuatan pelaku. 8<br />

Menurut hakim, hal itu disebabkan untuk menjatuhkan pidana<br />

maksimal terhadap pelaku, harus ada bukti-bukti yang cukup kuat untuk<br />

mendukungnya. Jika bukti-bukti belum sepenuhnya mendukung, hukuman<br />

yang dijatuhkan harus disesuaikan dengan bukti-bukti yang ada. Jadi, tidak<br />

asal menjatuhkan hukuman, namun juga harus disertai dengan dasar atau<br />

alasan apa yang menjadi sebab-sebab terjadinya tindak perkosaan itu.<br />

Dari berbagai keputusan hakim yang dijadikan pijakan analisis,<br />

tampaknya terjadi kontradiksi berpikir-logis di kalangan hakim, antara<br />

beban pembuktian secara yuridis dengan problem penjatuhan sanksi. Dalam<br />

proses pembuktian sampai kepada penetapan amar keputusan pemerkosa<br />

(terdakwa) dinyatakan menurut hukum telah terbukti bersalah secara sah<br />

dan meyakinkan. Namun, pada saat hakim menetapkan sanksi hukum yang<br />

harus dijatuhkan kepada pelaku, ternyata hakim tidak menghukum dan<br />

memberikan sanksi maksimal. Kecuali berbagai faktor dan pertimbangan<br />

seperti dijelaskan, sulitnya mendapatkan pembuktian secara material<br />

(pembuktian berdasarkan kejadian yang sesungguhnya) dalam kasus<br />

pemerkosaan menjadi kendala yuridis, baik pada penuntutan maupun<br />

keputusan. Karena itu, hukuman maksimal belum pernah diterapkan. Unsur<br />

paksaan, lebih-lebih unsur kekerasan yang merupakan unsur esensial dalam<br />

hlm. 56.<br />

8 Ibid.<br />

7 Topo Santoso, Seksualitas dan Hukum Pidana, (Jakarta: IND-HILL-CO, 1997),<br />

185


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

kasus pemerkosaan, sulit dibuktikan dalam persidangan, karenanya, tidak<br />

jarang tuntutan primer turun menjadi subsider. Berdasarkan alasan hukum<br />

seperti itu, para hakim lebih mengarah pada prinsip meminimalkan sanksi<br />

hukum bagi pemerkosa. 9<br />

Grafik 2: Persentase Konsekuensi yang Dihadapi Pelaku Laki-laki atas<br />

Perkosaan Terhadap Perempuan.<br />

Indonesia memang hanya menetapkan ancaman pidana penjara bagi<br />

pelaku perkosaan. Berbeda dengan ancaman hukuman di beberapa negara,<br />

ancaman hukuman bagi pemerkosan diperberat jika korbannya mengalami<br />

luka berat atau gila. KUHP Filipina mengancam dengan pidana mati sebagai<br />

pemberatan yaitu jika perkosaan itu mengakibatkan gila atau mati.<br />

Sementara mengenai hukumannya, ada yang menghukum dengan kerja<br />

berat (KUHP Perancis) dan pengasingan tetap (KUHP Filipina). 10<br />

<br />

Poin 1.4 Menurut Pasal 285, korban hanya sebatas wanita sehingga tidak<br />

melindungi tentang pemerkosaan terhadap korban laki-laki.<br />

Rekomendasi 1.4 Menentukan adanya ketentuan pemerkosaan terhadap<br />

korban laki-laki di dalam RKUHP.<br />

Masalah lain dalam pasal 285 adalah dalam pasal tersebut dituliskan<br />

bahwa korban hanya sebatas wanita, sehingga membuka kemungkinan<br />

9 M. Hisyam Syafioedin dan Faturochman, “Hukuman Bagi Pemerkosa dan<br />

Perlindungan Bagi Korban”, diakses dari http://fatur.staff.ugm.ac.id/file/BUKU%20-<br />

%20Hukuman%20bagi%20pemerkosa.pdf pada 20 Juli 2014.<br />

10 Topo Santoso, Op. Cit., hlm. 56.<br />

186


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

kurangnya perlindungan yang diberikan terhadap korban pemerkosaan yang<br />

berjenis kelamin laki-laki.<br />

Perkosaan yang diatur dalam KUHP pasal 285 sampai dengan 287<br />

hanya membatasi perkosaan sebagai persetubuhan dengan kekerasan atau<br />

ancaman kekerasan yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan di luar<br />

perkawinan.<br />

Selain itu, KUHP dan peraturan lainnya di Indonesia belum<br />

mengakomodasi bentuk perkosaan yang dilakukan laki-laki dewasa<br />

terhadap laki-laki dewasa. KUHP hanya membatasi kekerasan seksual<br />

antara laki-laki dewasa terhadap laki-laki di bawah umur (bahkan dianggap<br />

bukan sebagai perkosaan, melainkan pencabulan), seperti yang tercantum<br />

dalam pasal 292 KUHP yang berbunyi:<br />

“Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang belum<br />

dewasa dari jenis kelamin yang sama, sedang diketahuinya atau patut harus<br />

disangkanya hal belum dewasa itu, dihukum penjara selama-lamanya lima<br />

tahun.”<br />

Namun, selain KUHP, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang<br />

Perlindungan Anak juga sudah memberikan perlindungan khusus bagi<br />

anak-anak yang mengalami kekerasan secara seksual.<br />

Bentuk perkosaan yang dilakukan perempuan terhadap laki-laki juga<br />

belum diatur dalam KUHP maupun peraturan lainnya. Dalam KUHP dan<br />

RUU KUHP selalu ditekankan bahwa yang menjadi pelaku adalah laki-laki<br />

dan korbannya adalah perempuan. Padahal, kasus tersebut pernah<br />

ditemukan di Indonesia, salah satunya kasus seorang Ibu RT di Bengkulu<br />

yang memperkosa 6 pria remaja. Ibu RT tersebut akhirnya terbukti secara<br />

sah dan meyakinkan telah melakukan persetubuhan terhadap anak yang<br />

masih di bawah umur sebagaimana diatur pada Pasal 81 ayat 2 UU Nomor<br />

23 tahun 2002 dan divonis 8 tahun penjara. 11<br />

Meskipun tampaknya perkosaan antara laki-laki dewasa terhadap lakilaki<br />

dewasa dan perempuan terhadap laki-laki tidak mungkin terjadi, pada<br />

kenyataannya kasus tersebut terjadi dalam masyarakat. Namun, banyak<br />

yang tidak terlaporkan karena stigma dan mitos yang berkembang di<br />

masyarakat tentang perkosaan. Di luar negeri, beberapa kasus tersebut<br />

mulai banyak terekspos dan dilaporkan.<br />

2. PASAL 286<br />

Poin 2.1 Tidak adanya ketentuan yang jelas mengenai perbuatan<br />

bersetubuh.<br />

Rekomendasi 2.1 Menentukan penjelasan mengenai perbuatan bersetubuh<br />

dalam pasal tersebut.<br />

11 Hery H. Winarno, “Ibu RT Cabul di Bengkuli Divonis 8 Tahun Penjara”,<br />

diakses dari http://www.merdeka.com/peristiwa/ibu-rt-cabul-di-bengkulu-divonis-8-<br />

tahun-penjara.html pada 20 Juli 2014.<br />

187


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Pada pasal 286, yang berbunyi:<br />

“Barangsiapa bersetubuh dengan wanita di luar perkawinan padahal<br />

diketahuinya wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya,<br />

diancam pidana penjara paling lama sembilan tahun.”<br />

Dalam pasal tersebut tidak ada definisi yang jelas mengenai perbuatan<br />

bersetubuh sehingga delegasi SHN merekomendasikan agar ada ketentuan<br />

penjelasan mengenai perbuatan bersetubuh dalam pasal 286 tersebut, seperti<br />

yang sudah dijelaskan di dalam Rekomendasi 1.2.<br />

<br />

Poin 2.2 Tidak menjelaskan secara jelas mengenai definisi dan klasifikasi<br />

keadaan tak berdaya.<br />

Rekomendasi 2.2 Mempertegas definisi dan klasifikasi keadaan tak<br />

berdaya, siapa yang menjadikan keadaan tidak berdaya itu timbul, serta<br />

kondisi yang dapat dianggap sebagai keadaan tidak berdaya.<br />

Unsur keadaan pingsan atau tidak berdaya dalam pasal 286<br />

membutuhkan penjelasan lebih, seperti bagaimana kondisi yang termasuk<br />

dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya (misalnya apakah kondisi sakit<br />

dan mabuk termasuk dalam keadaan tidak berdaya?), faktor penyebab<br />

terjadinya keadaan tersebut, siapa yang menjadikan keadaan pingsan atau<br />

tidak berdaya itu timbul, dan kapan suatu keadaan dianggap tidak berdaya.<br />

KUHP hanya memberikan penjelasan di dalam Pasal 89 bahwa membuat<br />

orang tidak berdaya sama dengan menggunakan kekerasan, yang justru<br />

membuat pasal ini tumpang tindih dengan Pasal 285. Penjelasan mengenai<br />

bersetubuh juga perlu lebih dijelaskan, seperti apakah bersetubuh hanya<br />

merupakan peristiwa di mana terjadinya penetrasi penis ke dalam vagina<br />

dan apakah penetrasi tersebut dapat lengkap atau tidak lengkap dan dengan<br />

atau tanpa disertai dengan ejakulasi, karena hal-hal tersebut akan<br />

berpengaruh dalam pembuktian unsur. Penjelasan pasal ini dimaksudkan<br />

untuk memudahkan proses pembuktian.<br />

3. PASAL 287<br />

Poin 3.1 Adanya penyamaan status antara anak dan tidak berdaya.<br />

Rekomendasi 3.1.1 Menentukan adanya perbedaaan pemidanaan yang<br />

tegas antara korban yang tidak berdaya dengan anak, di mana kasus<br />

pemerkosaan terhadap korban anak seharusnya lebih berat dibandingkan<br />

dengan kasus pemerkosaan terhadap orang yang tidak berdaya.<br />

Rekomendasi 3.1.2 Menentukan penjelasan yang tegas terkait dengan hal<br />

“tidak berdaya”, termasuk kategorisasi tidak berdaya, siapa yang membuat<br />

tidak berdaya dan kapan suatu keadaan yang dialami korban dapat dianggap<br />

tidak berdaya.<br />

Pasal 287 KUHP berbunyi:<br />

“Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan,<br />

padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya<br />

188


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum<br />

waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama<br />

sembilan tahun.”<br />

Permasalahan yang terdapat di dalam pasal ini adalah adanya penyamaan<br />

status antara korban kekerasan seksual pada anak dan korban kekerasan<br />

seksual bukan anak namun dalam kondisi pingsan atau tidak berdaya yang<br />

ditunjukkan dengan adanya sanksi yang sama, yaitu sembilan tahun. Perlu<br />

diketahui bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23<br />

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang belum<br />

berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Adanya<br />

penyamaan status antara korban kekerasan seksual pada anak dan korban<br />

kekerasan seksual bukan anak namun dalam kondisi pingsan atau tidak<br />

berdaya akan menimbulkan suatu permasalahan yang akan berdampak<br />

buruk pada ancaman hukuman pidana para pelaku kekerasan seksual karena<br />

dapat diartikan bahwa semakin muda umur korbannya, maka semakin<br />

ringan hukumannya. Delegasi SHN juga merekomendasikan untuk<br />

ditentukannya penjelasan yang tegas dalam hal pengertian, kategorisasi,<br />

siapa dan kondisi yang dapat dikatakan termasuk kedalam keadaan korban<br />

yang tidak berdaya seperti yang telah dijelaskan di dalam Poin 2.2.<br />

Namun, selain KUHP, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang<br />

Perlindungan Anak juga sudah memberikan perlindungan khusus bagi anakanak<br />

yang mengalami kekerasan seksual.<br />

Poin 3.2 Mempertanyakan mengenai rumusan delik dalam pasal 287,<br />

“apakah saksi yang melihat tindakan pemerkosaan bisa melaporkan?”<br />

Rekomendasi3.2 Melakukan revisi terhadap Pasal 287, delik Pasal 287<br />

KUHP adalah delik biasa bukan delik aduan.<br />

Permasalahan selanjutnya adalah pasal 287 KUHP tergolong jenis delik<br />

aduan yang berarti delik yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan<br />

atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana. Pertanyaannya<br />

adalah, “apakah saksi yang melihat tindakan pemerkosaan bisa<br />

melaporkan?” Menurut Mr. Drs. E Utrecht dalam bukunya Hukum Pidana<br />

II, dalam delik aduan penuntutan terhadap jenis delik tersebut digantungkan<br />

pada persetujuan dari yang dirugikan (korban). Dalam hal perkosaan,<br />

kebanyakan korban yang telah diperkosa tidak bisa melaporkan kejadian<br />

buruk yang telah menimpanya saat itu juga, karena selain mereka<br />

mengalami trauma perkosaan, terkadang mereka juga mendapatkan<br />

ancaman dari pelaku sehingga merasa takut untuk melaporkan. Korban<br />

perkosaan baru bisa melaporkan kejadian tersebut ketika mereka sudah<br />

merasa lebih tenang. Proses tersebut membutuhkan waktu yang sangat lama,<br />

sehingga bukti-bukti yang ada ketika tindakan perkosaan tersebut sudah<br />

hilang, seperti noda sperma. Hal tersebut akan bermasalah pada<br />

pembuktian. Dengan kurangnya barang bukti yang ada, para pelaku tindak<br />

189


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

pidana perkosaan dapat bebas dari tuntutan. Oleh karena itu, delegasi SHN<br />

merekomendasikan revisi terhadap pasal 287 KUHP, bahwasanya jenis<br />

delik pasal 287 KUHP adalah jenis delik biasa bukan jenis delik aduan,<br />

sehingga yang dapat melakukan penuntutan tidak hanya korban saja.<br />

<br />

Poin 3.3 Pidana penjara dalam rumusan pasal 287 lebih ringan<br />

dibandingkan dengan pidana penjara dalam rumusan pasal 285, padahal di<br />

dalam pasal 287 korbannya adalah anak yang akan menjadi penerus bangsa.<br />

Rekomendasi 3.3 Memperberat ancaman pidana dalam RKUHP.<br />

Persamaan status yang dimaksud dalam Poin 3.1 dapat dilihat dari<br />

ancaman hukuman penjara yang sama dari pasal 287 dengan pasal 286<br />

KUHP, yaitu 9 tahun. Seharusnya ancaman hukuman pidana terhadap<br />

korban anak-anak sebagaimana telah diatur dalam pasal 287 memiliki<br />

ancaman hukuman pidana yang sama atau bahkan lebih berat dibandingkan<br />

dengan ancaman hukuman pidana dalam pasal 286. Selain karena dapat<br />

mengindikasikan bahwa semakin muda umur korban maka semakin ringan<br />

hukumannya, hal ini disebabkan terutama karena anak-anak merupakan<br />

penerus bangsa.<br />

Tidak hanya fakta kekerasan seksual, dampak yang dialami korban<br />

kekerasan seksual juga masih luput dari perhatian serius masyarakat.<br />

Terdapat beberapa dampak yang dapat timbul pada korban kekerasan<br />

seksual, terutama perkosaan dan pelecehan. Dampak-dampak tersebut<br />

antara lain dampak langsung, dampak perilaku, dampak psikologis, dampak<br />

fisik, meliputi depresi, gangguan stres pasca trauma, kegelisahan, gangguan<br />

makan, rasa rendah diri yang buruk, perubahan perilaku seksual,<br />

psikopatologi, penyakit alamat kelamin, adiksi terhadap zat-zat berbahaya,<br />

bahkan berujung pada kematian. Dampak-dampak tersebut akan dialami<br />

oleh setiap anak yang menjadi korban kekerasan seksual, baik jangka<br />

pendek maupun jangka panjang. Delegasi SHN merekomendasikan untuk<br />

ditentukannya perbedaan pemidanaan yang tegas antara korban yang tidak<br />

berdaya dengan anak, dimana kasus pemerkosaan terhadap anak seharusnya<br />

ancaman pidananya lebih berat dibandingkan dengan kasus pemerkosaan<br />

terhadap orang dewasa yang tidak berdaya.<br />

Namun, selain KUHP, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang<br />

Perlindungan Anak juga sudah memberikan perlindungan khusus bagi anakanak<br />

yang mengalami kekerasan seksual.<br />

4. PASAL 288<br />

Poin 4.1 Rumusan dalam pasal tidak dijelaskan secara tegas dalam hal<br />

apakah pasal ini turut mencakup pemaksaan perkawinan atau tidak.<br />

Rekomendasi 4.1 Meminta penjelasan yang tegas terkait rumusan pasal<br />

288, apakah termasuk ke dalam pemaksaan perkawinan atau tidak.<br />

Pasal 288 KUHP berbunyi:<br />

190


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

(1) Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita<br />

yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang<br />

bersangkutan belum waktunya untuk di kawin, apabila perbuatan<br />

mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana paling lama empat<br />

bulan.<br />

(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana<br />

penjara paling lama delapan tahun.<br />

(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua<br />

belas tahun.<br />

Pasal 288 ayat 1 mengandung unsur perkawinan yang hanya mencakup<br />

perkawinan di bawah umur. KUHP tidak menjelaskan apakah perkawinan<br />

yang dimaksud adalah perkawinan yang terjadi karena sukarela ataupun<br />

karena adanya paksaan. Perlindungan terhadap perkawinan di bawah umur<br />

juga diatur di dalam dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang<br />

Perlindungan Anak Pasal 26 ayat (1) huruf C yang menyatakan bahwa<br />

orang tua berkewajiban mencegah terjadinya perkawinan pada usia anakanak.<br />

Pasal 288 ayat 1 juga memberi ancaman hukuman lebih ringan (4<br />

tahun) kepada pelaku perkosaan perempuan di bawah umur dan<br />

menimbulkan luka-luka. Bandingkan dengan pasal 285 yaitu perkosaan<br />

terhadap perempuan dewasa (tidak dalam keadaan pingsan atau luka-luka)<br />

yang diancam hukuman maksimal 12 tahun. Hal ini menimbulkan keanehan<br />

karena pasal itu dapat diinterpretasi bahwa semakin muda umur perempuan<br />

korban perkosaan (di bawah umur), dan menderita luka-luka akibat<br />

perkosaan itu, maka semakin ringan hukuman bagi pelakunya. 12<br />

<br />

<br />

Poin 4.2 Hanya terbatas luka fisik, tidak ada pembahasan luka psikologis,<br />

dan juga hanya terbatas pada wanita<br />

Rekomendasi 4.2 Memperluas cakupan luka dan korban pada pasal ini.<br />

Pasal ini hanya mencakup perkawinan di bawah umur yang berakibat<br />

luka, luka berat, atau kematian (diatur dalam ayat (2) dan (3)). Hal ini<br />

berarti bahwa perkawinan di bawah umur yang tidak mengakibatkan luka,<br />

luka berat, atau matinya perempuan yang menjadi istrinya tidak dapat<br />

dikenai pasal ini. Padahal, dampak negatif dari perkawinan di bawah umur<br />

tidak selalu dalam bentuk fisik, namun juga dapat mengakibatkan trauma<br />

psikologis. Demikian juga dampak dari kekerasan seksual tidak hanya<br />

sebatas luka fisik saja, melainkan juga luka psikologis seperti halnya rasa<br />

takut, gelisah, dan depresi.<br />

Poin 4.3 Ketentuan dalam Pasal ini hanya mencakup perkawinan di bawah<br />

umur<br />

12 Topo Santoso, ibid.<br />

191


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Rekomendasi 4.3 Mempertegas ketentuan dalam Pasal 288 agar mencakup<br />

tidak hanya perkawinan dibawah umur tetapi juga perkawinan cukup umur.<br />

Ketentuan pasal ini hanya mencakup perkawinan di bawah umur<br />

padahal juga dimungkinkan adanya pemaksaan perkawinan dan kekerasan<br />

seksual kepada mereka yang sudah dewasa.<br />

Marital rape merupakan perkosaan yang dilakukan oleh suami terhadap<br />

istri atau sebaliknya, dengan cara memaksa untuk melakukan hubungan<br />

badan tanpa melihat dan mempertimbangkan kesediaan dan kesiapan<br />

pasangannya. Meskipun dalam KUHP tidak dikenal istilah marital rape, hal<br />

tersebut telah diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang<br />

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Pasal 5 UU<br />

PKDRT mengatur tentang larangan tindakan kekerasan seksual, yaitu<br />

pemaksaan hubungan seksual yang tidak diinginkan. Secara lebih khusus,<br />

Pasal 8 menjelaskan bahwa kekerasan seksual meliputi pemaksaan<br />

hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam<br />

lingkup rumah tangga tersebut, seperti istri, anak, dan pekerja rumah<br />

tangga. Mengenai hukuman bagi pelaku, pasal 46 menegaskan bahwa para<br />

pelaku pemaksaan hubungan seksual dalam rumah tangga diancam<br />

hukuman pidana yakni pidana penjara paling lama 12 tahun atau denan<br />

paling banyak Rp36.000.000,00<br />

Minimnya kesadaran masyarakat terhadap marital rape menyebabkan<br />

banyak kasus yang tidak terlaporkan.<br />

5. PASAL 289<br />

Poin 5.1 Frasa “kekerasan atau ancaman kekerasan” dalam Pasal 289<br />

membuat Pasal-Pasal tersebut menjadi sempit.<br />

Rekomendasi 5.1 Frasa “kekerasan atau ancaman kekerasan” tersebut<br />

diganti dengan frasa “bertentangan” atau “bertentangan dengan kehendak”<br />

Pasal 289 KUHP berbunyi<br />

“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa<br />

seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya<br />

perbuatan cabul, dihukum karena merusakkan kesopanan dengan<br />

hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun.”<br />

Frasa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan pada pasal tersebut<br />

membuat pasal ini menjadi sempit karena perbuatan cabul tidak selalu<br />

berawal dari kekerasan atau ancaman kekerasan yang pada konteksnya<br />

bersifat lebih fisik. Dengan demikian, delegasi SHN merekomendasikan<br />

sebaiknya frasa “dengan kekerasan” atau “ancaman kekerasan” pada pasal<br />

289 KUHP diubah menjadi frasa “bertentangan dengan” atau “bertentangan<br />

dengan kehendak” sehingga ketentuan pasal ini menjadi lebih luas.<br />

<br />

Poin 5.2 Definisi cabul dan kategorisasi pemerkosaan tidak jelas.<br />

192


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Rekomendasi 5.2 Mempertegas definisi dan kategorisasi daripada cabul,<br />

baik itu di dalam ketentuan umum atau penjelasan Pasal.<br />

Pasal 289 KUHP tidak menguraikan secara jelas dan detil mengenai<br />

definisi dan syarat-syarat terjadinya perbuatan cabul serta kategorisasi<br />

perkosaan yang sangat berhubungan dengan hal tersebut. Dalam penjelasan<br />

pasal 289 KUHP oleh R. Soesilo hanya dikatakan bahwa “perbuatan cabul<br />

adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau<br />

perbuatan yang keji, yang masuk dalam lingkungan nafsu birahi kelamin,<br />

misalnya cium-ciuman, meraba-raba kemaluan atau buah dada.”<br />

Pencabulan sendiri merupakan bagian dari pelecehan seksual. Pelecehan<br />

seksual merujuk pada tindakan bernuansa seksual yang disampaikan melalui<br />

kontak fisik maupun non fisik yang menyasar pada bagian tubuh seksual<br />

atau seksualitas seseorang, termasuk dengan menggunakan siulan, main<br />

mata, komentar atau ucapan bernuansa seksual, mempertunjukan materimateri<br />

pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian<br />

tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga mengakibatkan<br />

rasa tidak nyaman, tersinggung merasa direndahkan martabatnya, dan<br />

mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan. 13<br />

KUHP tidak mengenal istilah pelecehan seksual tetapi hanya perbuatan<br />

cabul. Akan tetapi, tidak terdapat ketentuan yang tegas mengenai definisi<br />

dan syarat-syarat terjadinya perbuatan cabul yang dimaksud oleh pembuat<br />

pasal ini sehingga menuai banyak perbedaan pendapat dan kontroversi di<br />

kalangan penegak hukum.<br />

Perihal keterkaitannya dengan perkosaan, perkosaan dilihat dari<br />

dibuktikannya persetubuhan paksa dan akibatnya, seperti penyakit menular<br />

seksual, gangguan disfungsi seksual, dan PTRS (Post Traumatic Stress<br />

Disorder). Apabila secara forensik praktis unsur persetubuhan dalam<br />

batasan perkosaan tidak terbukti, maka tindak pidana tersebut masuk ke<br />

dalam kategori pencabulan. 14 Dengan demikian, sebaiknya dibuat ketentuan<br />

yang mempertegas definisi dan syarat-syarat terjadinya perbuatan cabul<br />

serta kategorisasi perkosaan yang masuk ke dalam ruang lingkup pasal ini.<br />

6. PASAL 294<br />

Poin 6.1 Sanksi pidana lebih rendah.<br />

13 Komnas Perempuan, Perempuan dalam Jeratan Impunitas: Pelanggaran dan<br />

Penanganan, Dokumentasi Pelanggaran HAM Perempuan Selama Konflik Bersenjata<br />

di Poso 1998-2005, Komnas Perempuan, 2009, hal. 132 dan rumusan yang<br />

dikembangkan Rifka Annisa Women‟s Crisis Centre dalam Lusia Palulungan, “Bagai<br />

Mengurai Benang Kusut: Bercermin Pada Kasus Rieke Dyah Pitaloka, Sulitnya<br />

Pembuktian Pelecehan Seksual, Tatap: Berita Seputar Pelayanan”, Komnas<br />

Perempuan, 2010, hal. 9<br />

14 Prof. Agus Purwadianto, Op. Cit, hlm. 78-79.<br />

193


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Rekomendasi 6.1 Sudah terjawab di RKUHP, yaitu dengan pemidanaan<br />

terhadap pemerkosaan atau percabulan anak yang dilakukan oleh kerabat<br />

lebih besar ancaman pidananya.<br />

Pasal 294 KUHP mengatur ketentuan mengenai perbuatan cabul yang<br />

dilakukan oleh orang tua kepada anaknya atau anak tiri, anak pungut<br />

ataupun anak yang di bawah pengawasannya. Pasal ini memuat ketentuan<br />

pidana yang lebih ringan daripada perbuatan cabul yang dilakukan oleh<br />

orang yang korbannya tidak di bawah pengawasan orang tersebut. Padahal<br />

seharusnya pelaku dijatuhi hukuman pidana yang lebih berat, mengingat<br />

korban pasti memberikan kepercayaan lebih dan mengharapkan<br />

perlindungan dari orang yang dekat dengannya atau kerabatnya. Mengenai<br />

hal ini sebenarnya sudah diatur dalam RKUHP, yaitu perbuatan cabul dan<br />

perkosaan anak yang dilakukan oleh kerabat dijatuhi sanksi pidana yang<br />

lebih berat.<br />

<br />

Poin 6.2 Adanya kekosongan hukum, karena tidak diaturnya pemerkosaan<br />

terhadap anak, anak tiri, anak angkat atau anak yang berada di bawah<br />

pengawasan pelaku.<br />

Rekomendasi 6.2 Mengenai masalah poin 2 dan 3, adanya pengaturan<br />

mengenai masalah diatas dalam Pasal tertentu.<br />

Pasal ini hanya mencakup “perbuatan cabul” terhadap anak, anak tiri, anak<br />

pungut, ataupun anak yang ada di bawah pengawasannya. Tindakan<br />

pemerkosaan tidak termasuk ke dalam ruang lingkup pasal ini. Dalam hal<br />

ini, terdapat kekosongan hukum karena tidak ada ketentuan yang mengatur<br />

mengenai perkosaan terhadap anak, anak tiri, anak pungut, ataupun anak<br />

yang ada di bawah pengawasannya sehingga pelaku perkosaan tersebut<br />

hanya dapat dikenai pasal 294 KUHP mengenai perbuatan cabul ini,<br />

padahal pelaku tindak pidana perkosaan seharusnya diberikan sanksi yang<br />

lebih berat dibandingkan pelaku tindak pidana perbuatan cabul mengingat<br />

tindak pidana perkosaan jauh lebih merugikan korban baik rohani maupun<br />

jasmani dibandingkan perbuatan cabul. Dengan demikian, mengenai hal ini<br />

sebaiknya diatur dengan ketentuan yang lebih lanjut.<br />

7. PASAL 295<br />

Poin 7.1 Pasal 295 hanya mengatur mengenai perbuatan yang menyebabkan<br />

atau mempermudah perbuatan cabul, sehingga terdapat kekosongan hukum<br />

untuk perbuatan yang menyebabkan atau mempermudah pemerkosaan<br />

Rekomendasi 7.1 Meminta agar perbuatan yang menyebabkan atau<br />

mempermudah pemerkosaan diatur dalam RKUHP.<br />

Pasal 295 KUHP mengatur mengenai perbuatan yang menyebabkan atau<br />

memudahkan dilakukannya perbuatan cabul. Dinyatakan pada pasal tersebut<br />

“(1) Diancam dengan:<br />

1. dengan pidana penjara paling lama lima tahun barang siapa dengan<br />

sengaja menyebabkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan<br />

194


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

cabul oleh anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, atau anak di<br />

bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau oleh orang yang<br />

belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau<br />

penjagaannya diserahkan kepadanya, ataupun oleh bujangnya atau<br />

bawahannya yang belum cukup umur, dengan orang lain;<br />

2. dengan pidana penjara paling lama empat tahun barang siapa<br />

dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan<br />

cabul, kecuali yang tersebut dalam butir 1 di atas., yang dilakukan<br />

oleh orang yang diketahuinya belum dewasa atau yang sepatutnya<br />

harus diduganya demikian, dengan orang lain.”<br />

Dapat dilihat dalam rumusan pasal di atas bahwa pengaturan tersebut<br />

hanyalah ditujukan pada perbuatan cabul saja. Apabila melihat pembahasan<br />

sebelumnya mengenai perkosaan, tidak ada pasal yang mengatur mengenai<br />

perbuatan yang menyebabkan atau mempermudah perkosaan. Padahal, hal<br />

ini diperlukan untuk mengisi kekosongan hukum akan hal tersebut. Oleh<br />

karena itu, diharapkan terdapat pengaturan mengenai hal ini dalam RKUHP,<br />

sebab setelah ditelaah dalam RKUHP terbaru kini pun tidak terdapat<br />

pengaturannya.<br />

<br />

Poin 7.2 Pasal 295 mengatur secara limitatif pihak-pihak yang<br />

menyebabkan atau mempermudah perbuatan cabul.<br />

Rekomendasi 7.2 Memperjelas ketentuan mengenai pihak-pihak yang<br />

menyebabkan atau mempermudah perbuatan cabul dalam RKUHP<br />

Pasal 295 KUHP hanya mengatur secara limitatif pihak-pihak yang<br />

menyebabkan atau mempermudah perbuatan cabul. Dalam rumusan pasal<br />

hanya kepada “…anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, atau anak di<br />

bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau oleh orang yang belum<br />

dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan<br />

kepadanya, ataupun oleh bujangnya atau bawahannya yang belum cukup<br />

umur, dengan orang lain…” sehingga perlu diperjelas dan diperluas<br />

ketentuan mengenai pihak-pihak yang menyebabkan atau mempermudan<br />

perbuatan cabul ini di dalam RKUHP.<br />

195


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

KOMISI 2<br />

FORMIL<br />

<br />

Poin 8.1 Etika Aparat Penegak Hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan<br />

Kehakiman) penanganan kasus kekerasan seksual yang tidak berperspektif<br />

kepada korban.<br />

Rekomendasi<br />

8.1.1 Mengoptimalisasikan “Pendidikan Penanganan Kasus Kekerasan<br />

Seksual” kepada Aparat Penegak Hukum (APH).<br />

8.1.2 Penyesuaian kode etik bagi Aparat Penegak Hukum (APH) yang<br />

berperspektif kepada korban kekerasan seksual.<br />

8.1.3 Mengadakan revisi terhadap PP Nomor 2 Tahun 2003 tentang<br />

Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia<br />

mengenai Sanksi, yang bertujuan untuk memperberat ancaman<br />

pidana terhadap para pelaku kejahatan kekerasan seksual.<br />

8.1.4 Mengoptimalisasikan penerapan PERKAP Nomor 10 Tahun 2007<br />

tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perempuan dan<br />

Anak (Unit PPA) di lingkungan Kepolisian Negara Republik<br />

Indonesia yang telah direvisi dan juga melakukan sosialisasi di<br />

seluruh wilayah Indonesia.<br />

Kasus kekerasan seksual merupakan kasus yang sangat kompleks dan<br />

tidak mudah ditangani. Aparat penegak hukum membutuhkan perspektif<br />

yang luas dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual. Seringkali<br />

hakim yang kurang berpengalaman terpengaruh oleh prejudicial evidence<br />

tentang karakter buruk si tersangka. Pada kasus sidang perkosaan, mereka<br />

dapat terpengaruh oleh karakter baik si pelaku perkosaan, sebaliknya,<br />

sekaligus mempersoalkan karakter buruk masa lalu atau kredibilitas<br />

korban. Diragukannya kredibilitas korban misalnya tampak dari ditelitinya<br />

secara berlebihan pesetujuan (consent) korban, aturan lajang-perawankorban,<br />

dan riwayat perilaku seksual sebelumnya. Perempuan lajang yang<br />

bukan perawan dipandang lebih mungkin menyatakan persetujuannya<br />

untuk melakukan hubungan seksual dibandingkan dengan lajang-perawan.<br />

Riwayat perilaku seksual sebelumnya juga menyulitkan pembuktian<br />

perkosaan korban dewasa yang telah saling mengenal sebelumnya<br />

(sehingga memicu tuduhan suka sama suka) ataupun perkosaan dengan<br />

korban anak-anak. Hal tersebut juga menyulitkan mereka yang kebetulan<br />

berprofesi sebagai pelacur, yang dianggap “kurang masuk akal” untuk tidak<br />

consent terhadap relasi seksual pasca-menerima uang jasa dari laki-laki<br />

yang menyetubuhinya. 15 Berkaca pada Amerika, ketentuan uji perilaku<br />

yang berat sebelah seperti itu telah dicabut tahun 1974-1975 di beberapa<br />

15 Ibid, hlm. 131.<br />

196


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

negara bagian, sehingga tidak diperbolehkan lagi mempertanyakan riwayat<br />

perilaku seksual korban sebelumnya. 16<br />

Kecenderungan yang ada juga menunjukkan bahwa korban seringkali<br />

cemas akan reaksi personel peradilan pidana (polisi, jaksa, dan hakim),<br />

terhadap viktimisasi yang dialaminya. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari<br />

kenyataan bahwa sejumlah kasus kekerasan terhadap perempuan yang<br />

dilaporkan kurang mendapat tanggapan yang positif dari mereka,<br />

misalnya: 17<br />

(a) Karena masalah tindak kekerasan terhadap perempuan (terutama yang<br />

berkenaan dengan domestic violence) dianggap sebagai masalah<br />

keluarga yang sebaiknya diselesaikan dalam keluarga saja.<br />

(b) Kurangnya pelatihan pada personel peradilan pidana mengenai tindak<br />

kekerasan terhadap perempuan untuk meningkatkan kepekaan personel<br />

kepada masalah yang dialami korban.<br />

(c) Ketiadaan prosedur baku yang dirancang untuk menangani perempuan<br />

yang menjadi korban tindak kekerasan terhadap perempuan, sehingga<br />

masih sangat bergantung kepada persepsi dan kemampuan individu<br />

petugas hukum untuk menindaklanjuti masalah ini.<br />

(d) Terkadang polisi kesulitan untuk memperoleh bukti awal, kecuali<br />

kesaksian korban, sehingga upaya tindak lanjut menjadi sulit untuk<br />

dilakukan.<br />

Pada wawancara yang dilakukn oleh delegasi Universitas Indonesia<br />

dengan salah satu pendamping hukum di LBH APIK Jakarta 18 , dalam<br />

pengalaman pendampingannya, menemukan banyak aparat kepolisian yang<br />

dalam menjalani proses penyidikan melalui pertanyaan-pertanyaan yang<br />

diajukan cenderung victim blaming dan semakin menyudutkan korban.<br />

Berikut kutipan pertanyaan dari penyidik dan hakim dalam salah satu<br />

kasus. 19<br />

Sebelum Anda disetubuhi apakah status Anda masih perawan?<br />

Sebelum Anda disetubuhi oleh Saudara A (bukan nama sebenarnya)<br />

secara paksa, apakah Anda tidak berusaha untuk berteriak, jelaskan?<br />

Setelah Saudara A selesai menyetubuhi Anda, dan Saudara A keluar<br />

dari kamar, apakah waktu itu tidak ada usaha Anda untuk melarikan<br />

diri atau keluar dari rumah tersebut?<br />

16 Ibid, hlm. 132.<br />

17 Prof. Harkristuti Harkrisnowo, Hukum Pidana dan Kekerasan Terhadap<br />

Perempuan, (Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan<br />

Alternatif Pemecahannya, Jakarta: PT Alumni, 2000), hlm. 90-91.<br />

18 Dikutip dari Makalah Delegasi Universitas Indonesia, Pelaksanaan Fungsi<br />

Penanganan Hukum terhadap Korban Kekerasan Seksual di Jakarta<br />

19 Lihat, Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Polisi Sektor Pasarkemis, Tanggal 19<br />

dan 21 April 1999,serta catatan persidangannya, dokumentasi LBH APIK Jakarta<br />

197


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Coba Anda jelaskan apakah persetubuhan antara Anda dengan<br />

Saudara A tersebut dilakukan secara mau sama mau, jelaskan?<br />

Sebelum Anda bersama Santi (bukan nama sebenarnya) diajak main ke<br />

rumah temannya tersebut, apakah Anda tidak merasa curiga<br />

sebelumnya?<br />

Tambahan pertanyaan penyidik pada korban kedua dalam kasus yang<br />

sama:<br />

Apakah Anda sewaktu diperkosa oleh Saudara H (bukan nama<br />

sebenarnya) tersebut siapa yang memasukkan alat kemaluannya<br />

ketempat vagina Anda, dan apakah Anda ikut membantu<br />

memasukkannya?<br />

Apakah sewaktu Saudara H memasukkan alat kemaluannya ke dalam<br />

vagina Anda, apakah Anda berusaha mengelakkannya?<br />

Bandingkan dengan pertanyaan pelaku perkosaan dalam kasus yang<br />

sama:<br />

Penyidik : Setelah selesai persetubuhan apa tindakan atau reaksi<br />

Saudari S (bukan nama sebenarnya), jelaskan?<br />

Pelaku : Setelah selesai bersetubuh tidak ada reaksi dari Saudari S<br />

melainkan langsung tidur dan saya sendiri keluar untuk cuci<br />

muka ke kamar mandi dan kemudian kembali ke kamar tidur<br />

dan tidur bersama-sama Saudari S.<br />

Penyidik : Apakah persetubuhan yang Anda lakukan dengan Saudari S<br />

tersebut dilakukan secara paksa atau mau sama mau, jelaskan?<br />

Pelaku : Dilakukan mau sama mau karena saya mau bertanggung<br />

jawab untuk menikahinya.<br />

Dalam kasus yang terjadi 11 tahun sebelum adanya Peraturan Menteri<br />

Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Permenneg<br />

PP&PA) Nomor 1 Tahun 2010 ini, terlihat baik penyidik maupun pelaku<br />

berpegang pada kenikmatan seksual perempuan menurut persepsi mereka<br />

yang sangat bias laki-laki. Karenanya mereka meragukan kebenaran<br />

pengalaman korban, bahkan untuk itu mereka tak segan-segan mengajukan<br />

pertanyaan-pertanyaan yang intinya melecehkan dan menyalahkan korban<br />

(victim blaming) juga menyudutkan korban sebagai pihak yang turut<br />

bertanggung jawab terhadap peristiwa perkosaan tersebut (victim<br />

participating). 20<br />

20 Ratna Batara Munti, Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas, Kelemahan<br />

Aturan dan Proses Hukum, Serta Strategi Menggapai Keadilan, dalam Perempuan<br />

Indonesia dalam Masyarakat yang Tengah Berubah, Jakarta: Program Studi Kajian<br />

Wanita Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000, hlm. 389-390.<br />

198


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Pun setelah Permenneg PP&PA No. 1 Tahun 2010 diundangkan,<br />

penanganan polisi pada kasus kekerasan seksual, khususnya di Jakarta,<br />

masih mengalami kendala yang sama. Hal ini terrefleksikan pada contoh<br />

kasus yang ditangani oleh pendamping hukum korban UH di salah satu<br />

LBH perempuan di Jakarta sebagai berikut: 21<br />

Kasus perkosaan Aster (bukan nama sebenarnya) anak usia 15 tahun<br />

oleh pelaku usia 25 tahun. Awal berhubungan dengan korban adalah ketika<br />

pendamping mendapatkan telepon dari tetangga korban pada hari Sabtu di<br />

saat hari libur pendamping. Setelah berkoordinasi dengan koordinator<br />

divisi, pendamping datang ke Kantor Polres untuk mendampingi korban<br />

membuat laporan, visum, dan Berita Acara Pemeriksaan (BAP).<br />

Setelah mendampingi korban membuat laporan pada jam 10 pagi,<br />

pendamping langsung membawa korban untuk visum di rumah sakit jam<br />

12 siang sampai jam 5 sore. Setelah visum jam 5 sore kembali lagi ke<br />

Kepolisian untuk BAP sampai jam 10 malam.<br />

“Sampai di Polres sudah buat laporan kita damping, karena waktu itu<br />

libur jadi nggak bikin surat kuasa. Kami tetap mengenalkan diri sebagai<br />

pendamping dari LBH. Akhirnya dipersilahkan untuk membuat laporan<br />

kejadiannya kapan, 3 hari yang lalu. Kalau diperkosa 3 hari yang lalu itu<br />

sudah kelamaan. Anaknya takut mau ngaku dia baru berani cerita<br />

sekarang. Ya sudah kita buat laporan, kita data, kita visum. Laporan belum<br />

dibuat, hanya pendaftaran saja dibuat surat rujukan, kita visum di RSCM.<br />

Jadi langsung ke RSCM. Visum langsung dapat hasilnya, waktu itu harus<br />

didampingi polisi. Karena tidak bisa jalan sendiri. Setelah itu, langsung<br />

kembali lagi ke Polres. Setelah di Polres baru kita dibuatkan laporan.<br />

Setelah dibuat laporan di SPK, kita diarahkan ke Unit PPA di BAP. Saya<br />

bingung kok langsung di BAP. Udah hari ini buat laporan aja karena<br />

selesai visum itu sudah jam 7 malam masak langsung di BAP. Harusnya<br />

tunggu kondisi korban dulu karena kondisi korban itu masih capek. Kami<br />

menyerahkan ke pihak korban, mau di BAP sekarang lebih baik. Loh<br />

biasanya kami damping nggak seperti ini. Biasanya diberi kebebasan. Tapi<br />

dari pihak korban kayaknya sudah ketakutan. Ya sudah sekarang saja. Pas<br />

di tengah-tengah pemeriksaan dia bilang, „Mbak, aku capek, gimana kalau<br />

besok aja?‟ setelah itu kita ngomong ke penyidik bisa nggak ditunda aja<br />

untuk besok. Ya sudah, nanti kita ada pemeriksaan tambahan. Karena<br />

mereka memang awam hukum.”<br />

Adapun selama pemeriksaan, menurut pendamping hukum UH, polisi<br />

memberikan pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan dan<br />

menyudutkan korban, antara lain:<br />

21 SY. Ernaweni, Tesis: Penanganan Hukum Kasus Kekerasan Seksual terhadap<br />

Anak Perempuan berdasarkan Pengalaman Pendamping Hukum,<br />

199


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Kamu melakukan ini sama-sama mau kan? (pendamping menjawab:<br />

bagaimana ini disebut sama-sama mau pak, dia masih kecil belum tahu<br />

baik buruk, sedangkan pelaku sudah dewasa jadi tidak ada mau sama<br />

mau, ini masuk unsur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak<br />

adanya bujuk rayu, tipu muslihat)<br />

Kok kamu gak teriak?<br />

Kok mau sih, kamu pacaran ya? (pendamping memprotes sikap polisi<br />

tersebut dengan mengatakan: Gimana sih, KANIT (kepala unit)-nya kan<br />

sudah sering berkoordinasi dengan LBH, kok anak buahnya begini ya<br />

nggak punya perspektif.”)<br />

Sikap Polisi dalam penyidikan tersebut melanggar sejumlah ketentuan<br />

dalam Prosedur Standar Operasional (PSO) Pelaksanaan Permenneg<br />

PP&PA No. 1 Tahun 2010 yaitu:<br />

1) Penerimaan Laporan Polisi: 22<br />

a. Apabila saksi korban dalam kondisi trauma/stres, penyidik<br />

melakukan tindakan penyelamatan dengan mengirim saksi<br />

dan/atau korban ke PPT RS Bhayangkara atau Puskesmas, untuk<br />

mendapatkan penanganan medis-psikis serta memantau<br />

perkembangannya;<br />

b. Dalam hal saksi dan/atau korban memerlukan istirahat, petugas<br />

mengantar ke ruang istirahat atau rumah aman atau shelter.<br />

2) Pada tahap penyidikan: 23<br />

a. apabila korban siap diperiksa dan bersedia memberikan<br />

keterangan terkait dengan laporan polisi yang dilaporkan korban,<br />

penyidik dapat melaksanakan kegiatan membuat Berita Acara<br />

Pemeriksaan (BAP).<br />

“Udah hari ini buat laporan aja karena selesai visum itu sudah<br />

jam 7 malam masak langsung di BAP. Harusnya tunggu kondisi<br />

korban dulu karena kondisi korban itu masih capek. Kami<br />

menyerahkan ke pihak korban, mau di BAP sekarang lebih baik.<br />

Loh biasanya kami damping nggak seperti ini. Biasanya diberi<br />

kebebasan. Tapi dari pihak korban kayaknya sudah ketakutan. Ya<br />

sudah sekarang saja. Pas di tengah-tengah pemeriksaan dia<br />

bilang, „mba, aku capek, gimana kalau besok aja?”<br />

Pada ilustrasi tersebut tergambar bagaimana penanganan polisi<br />

tidak mematuhi PSO yang dipersyaratkan pada Permenneg<br />

PP&PA No. 1 Tahun 2010. Polisi selaku penyidik memaksakan<br />

korban untuk menjalani BAP di hari itu juga, padahal kondisi<br />

fisik korban sudah kelelahan. Seharusnya, penyidik melakukan<br />

22 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik<br />

Indonesia, Op.Cit, hlm. 217.<br />

23 Ibid., hlm. 219.<br />

200


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

tindak penyelamatan ke PPT RS Bhayangkara atau Puskesmas<br />

hingga kondisi korban cukup sehat dan baik untuk menjalani<br />

wawancara pembuatan laporan polisi.<br />

3) Tata cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban: 24<br />

a. Pemeriksaan terhadap saksi dan/atau korban dilaksanakan dengan<br />

memperhatikan ketentuan sebagai berikut:<br />

pertanyaan diajukan dengan ramah dan penuh rasa empati;<br />

dilarang memberikan pertanyaan yang dapat menyinggung<br />

perasaan atau hal-hal yang sangat sensitif bagi saksi dan/atau<br />

korban yang diperiksa;<br />

tidak menyudutkan atau menyalahkan atau mencemooh atau<br />

melecehkan yang diperiksa<br />

tidak memberikan pertanyaan yang dapat menimbulkan<br />

kekesalan/kemarahan yang diperiksa;<br />

selama dalam pemeriksaan, petugas senantiasa memperhatikan<br />

situasi dan kondisi fisik maupun kejiwaan yang diperiksa.<br />

Dalam hal etika, ini diperlukan dengan adanya optimalisasi “Pendidikan<br />

Penanganan Kasus Kekerasan Seksual” kepada aparat penegak hukum<br />

(APH). Selain itu, kurangnya pelatihan pada personel peradilan pidana<br />

mengenai tindak kekerasan perempuan untuk meningkatkan kepekaan<br />

personel kepada masalah yang dialami korban.<br />

Rekomendasi selanjutnya dapat pula diadakan penyesuaian kode etik<br />

bagi aparat penegak hukum (APH) yang berperspektif korban kekerasan<br />

seksual. Pengadaan dan pengoptimalisasian peraturan-peraturan yang ada<br />

juga diperlukan seperti mengadakan revisi terhadap Peraturan Pemerintah<br />

Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian<br />

Negara Republik Indonesia mengenai sanksi dengan tujuan untuk<br />

memperberat ancaman pidana terhadap para pelaku kejahatan kekerasan<br />

seksual. Selain itu, diperlukan pula pengoptimalisasian penerapan<br />

PERKAP Nomor 10 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit<br />

Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA) di lingkungan Kepolisian<br />

Negara Republik Indonesia yang telah direvisi dan juga melakukan<br />

sosialisasi di seluruh wilayah Indonesia.<br />

<br />

Poin 8.2 Proses peradilan dalam kasus kekerasan seksual yang tidak<br />

memberikan keadilan bagi korban kekerasan seksual. Dalam hal ini, diatur<br />

mengenai pengaturan Alat Bukti dan Proses Persidangan.<br />

Rekomendasi<br />

ALAT BUKTI:<br />

24 Ibid., hlm. 221-222.<br />

201


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

8.2.1 Dalam kasus kekerasan seksual, keterangan saksi dalam persidangan<br />

cukup satu orang saksi untuk melakukan pembuktian kasus yaitu<br />

saksi korban.<br />

8.2.2 Memasukkan unsur rekam psikologis sebagai alat bukti yang harus<br />

diperhitungkan oleh pihak kepolisian.<br />

Permasalahan terletak pada proses peradilan dalam kasus kekerasan<br />

seksual yang tidak memberikan keadilan bagi korban kekerasan seksual.<br />

Dalam hal ini, diatur mengenai pengaturan alat bukti dan proses<br />

persidangan.<br />

Pada dasarnya, Indonesia menganut proses pembuktian hukum pidana<br />

bermetode negative wettelijke. Dalam metode ini, selain adanya alat-alat<br />

bukti sah berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan<br />

keterangan terdakwa, untuk menetapkan sanksi di sidang pengadilan masih<br />

juga diperlukan adanya keyakinan hakim. 25 Menurut Pasal 183 KUHAP,<br />

hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa kecuali<br />

didapatkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sah dan ia memperoleh<br />

keyakinan bahwa benar telah terjadi perkosaan dan terdakwalah yang<br />

melakukannya.<br />

Pada kasus perkosaan dan kekerasan seksual, umumnya tidak terdapat<br />

orang lain kecuali saksi korban, sehingga korban seringkali merupakan<br />

satu-satunya orang yang dapat memberi keterangan kesaksian dalam<br />

rangka pembuktian perkosaan. Namun dalam prinsip hukum pidana,<br />

kesaksian terhadap diri sendiri paling lemah kedudukannya. 26 Oleh karena<br />

itu, kami mengajukan bahwa dalam kasus kekerasan seksual, keterangan<br />

saksi dalam persidangan cukup satu orang saksi untuk melakukan<br />

pembuktian kasus yaitu saksi korban. Hal ini didukung dengan keadaan di<br />

mana memang dalam kasus perkosaan biasanya hanya terdapat korban atau<br />

perempuan itu saja.<br />

Dalam meyakinkan hakim bahwa semua alat bukti sah yang<br />

mencangkup bukti-medik dan saksi-saksi berada pada tataran benar-benar<br />

meyakinkan juga bergantung pada upaya pihak Kepolisian RI dalam<br />

mengumpulkan dan memberkas bukti adanya perkosaan termasuk visum et<br />

repertum (VeR). 27 Bukti utama ideal lainnya dalam kasus perkosaan<br />

meliputi: 28<br />

a. Tanda persetubuhan antara pemerkosa dan korban.<br />

b. Tanda kekerasan pada tubuh korban sebagai perlawanan terhadap<br />

perbuatan pelaku.<br />

25 Lihat Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Pasal 184.<br />

26 Prof. Agus Purwadianto, Op. Cit, hlm. 129.<br />

27 Prof. Agus Purwadianto, Op.Cit., hlm. 106.<br />

28 Ibid, hlm. 108-109.<br />

202


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

c. Tanda gangguan kejiwaan korban akibat ancaman, kekerasan atau<br />

perbuatan pelaku<br />

d. Anamnesis 29 terhadap korban yang sesuai.<br />

e. Bukti koroborasi langsung diperoleh dari korban yang sesuai. 30<br />

f. Bukti pelengkap yang diperoleh oleh saksi-saksi selain korban.<br />

Dalam keprihatinan proses penegakan hukum, sisi pembuktian<br />

perkosaan banyak merugikan korban. Hukum positif tentang perkosaan<br />

sebagai salah satu produk budaya dan sistem masyarakat ini masih<br />

memojokkan korban karena limitatif mendefinisikan perkosaan sebagai<br />

“masuknya penis pelaku ke vagina korban (yang bukan istrinya) secara<br />

ancaman paksaan atau berkekerasan”. Unsur-unsur delik pidananya sulit<br />

ditegakkan akibat ketiadaan atau kekurang-akuratan bukti medik (yang<br />

diperoleh dari tubuh korban atau pelaku) dan/atau benda bukti biologis<br />

(benda yang berasal dari unsur tubuh manusia yang diperoleh dari tempat<br />

kejadian perkara). 31<br />

Dokter pemeriksa, pada akhirnya akan memberikan laporan tertulis atas<br />

permintaan penyidik dalam bentuk sertifikasi korban yang disebut visum et<br />

repertum (VeR). Pada “Bagian Pemberitaan” dan “Kesimpulan” VeR<br />

setidaknya memberikan informasi tentang: persetubuhan lama (di masa<br />

lalu) atau baru, adanya perlakuan yang menunjukkan adanya perlawanan<br />

dan pertahanan korban. Juga tentang ada atau tidaknya pengaruh obat atau<br />

zat terlarang lain, tentang perlukaan di daerah genitalis (termasuk kondisi<br />

atau keutuhan selaput dara), usia korban, dan lain-lain. Namun seringkali<br />

dokter pemeriksa tidak dapat menyimpulkan secara tegas kebenaran<br />

persetubuhan, sehingga pendapat subjektifnya atas dasar objektivitas<br />

“Bagian Pemberitaan” VeR yang disimpulkannya hanya berisi tentang<br />

kemungkinan persetubuhan. 32<br />

Selain pada tubuh korban, perlu diperiksa bukti biomedik korban pada<br />

pelaku, yaitu tanda persetubuhan berupa sel epitel vagina korban pada<br />

penis pelaku (baik perorangan atau kelompok). Termasuk adanya epitel<br />

kulit pelaku pada kuku korban yang dapat dianalisis DNA-nya untuk<br />

menentukan pelaku. 33<br />

29<br />

Menurut Kamus Besar Bahasa IIndonesia, anamnesis adalah 1) Istilah<br />

Psikologi untuk keterangan tentang kehidupan seseorang yang diperoleh melalui<br />

wawancara dan sebagainya, 2) Dokumen riwayat orang sakit dan penyakitnya pada<br />

masa lampau.<br />

30 Bukti koroborasi berupa bukti-medik seperti benda biologis korban pada<br />

benda-benda di TKP, baik bukti persetubuhan maupun perlawanan korban.<br />

Prof. Agus Purwadianto, Op. Cit., hlm. 109.<br />

31 Ibid., hlm. 5.<br />

32 Prof. Agus Purwadianto, Op. Cit, hlm. 133.<br />

33 Ibid, hlm. 110.<br />

203


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Selain itu, terdapat bukti psikologis yang dapat dijadikan bukti tetapi<br />

tidak dijadikan pertimbangan yang kuat oleh hakim. Padahal bukti<br />

psikologis yang dianalisis oleh psikiater atau psikolog dapat<br />

mendeskripsikan sindrom trauma pascaperkosaan (Post Traumatic Rape<br />

Syndrome atauPTRS) sebagai bagian dari PTSD (Post Traumatic Stress<br />

Disorder). Kesaksian yang mengandalkan sindrom ini harus diperlakukan<br />

hati-hati dengan maksud baik dan harus melindungi pelaku terhadap<br />

tuduhan atau fitnahan korban. Keberlakuan sindrom PTSD tadi sebagai<br />

bukti di pengadilan dianggap memenuhi syarat pada kondisi sebagai<br />

berikut:<br />

1. Ketiadaan persetujuan korban.<br />

2. Beratnya kerusakan tubuh korban ditinjau dari perkara perdatanya.<br />

3. Pembelaan terhadap perilaku jahat korban.<br />

4. Penjelasan terhadap perilaku korban yang inkonsisten dengan<br />

pengaduan perkosaannya.<br />

Dan dapat dianggap sebagai bukti ilmiah dan diterima peradilan bila<br />

memenuhi hal-hal sebagai berikut:<br />

1. Bukti yang ditunjukkan sesuai dengan reaksi khas terhadap perkosaan<br />

dan tak boleh membuat penyimpulan hukum bahwa “korban telah<br />

diperkosa”.<br />

2. Saksi ahli benar-benar di bidangnya.<br />

3. Ada alas dasar yang cukup.<br />

4. Diperbolehkan pemeriksaan silang terhadap saksi ahli lainnya secara<br />

bebas.<br />

5. Dapat mempertahankan argumen kesaksian ahlinya tentang sindroma<br />

tersebut terhadap upaya pebelaan terdakwa oleh pihak mereka.<br />

PERSIDANGAN:<br />

8.2.3 Pada saat pemeriksaan saksi korban di pengadilan, terdakwa harus<br />

dikeluarkan dari ruang sidang.<br />

8.2.4 Selama proses peradilan berlangsung, saksi korban berhak<br />

didampingi oleh pendamping.<br />

8.2.5 Mengusulkan agar poin 2.3 dan 2.4 dituangkan dalam Peraturan<br />

Mahkamah Agung (PERMA).<br />

Kemudian pada tahapan persidangan, pada saat pemeriksaan saksi<br />

korban di pengadilan, terdakwa harus dikeluarkan dari ruang sidang. Hal<br />

ini memang sering dilakukan oleh hakim-hakim yang biasanya telah<br />

berpengalaman dalam menangani kasus kekerasan seksual. Atau selama<br />

persidangan, korban yang dikeluarkan dari ruang persidangan. Hal-hal<br />

seperti ini dilakukan untuk mempermudah proses pembuktian dan<br />

pengambilan keterangan serta untuk tidak membuat korban merasa<br />

semakin tertekan karena berhadapan dengan terdakwa. Selain itu, selama<br />

204


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

proses peradilan berlangsung, saksi korban berhak didampingi oleh<br />

pendamping.<br />

KOMISI 3<br />

PERLINDUNGAN DAN PENDAMPINGAN KORBAN<br />

Poin 9.1 Pemberitaan tentang kasus kekerasan seksual yang<br />

menitikberatkan pada aspek seksualitas oleh pers.<br />

Rekomendasi 9.1 Merekomendasikan Kementerian Pemberdayaan<br />

Perempuan dan Perlindungan Anak untuk berkoordinasi dengan organisasi<br />

pers, Kementerian Komunikasi dan Informasi, Komisi Penyiaran Indonesia,<br />

Dewan Pers, dan pihak terkait untuk memberikan edukasi tentang<br />

pemberitaan kekerasan seksual yang berperspektif korban.<br />

Permasalahan pertama terletak pada pemberitaan tentang kasus<br />

kekerasan seksual yang menitikberatkan pada aspek seksualitas oleh para<br />

pers. Dalam hal ini direkomendasikan kepada Kementerian Pemberdayaan<br />

Perempuan dan Perlindungan Anak untuk berkoordinasi dengan organisasi<br />

pers, Kementerian Komunikasi dan Informasi, Komisi Penyiaran Indonesia,<br />

Dewan Pers, dan pihak terkait untuk memberikan edukasi tentang<br />

pemberitaan kekerasan seksual yang berperspektif korban.<br />

<br />

Poin 9.2 Tidak sesuainya penanganan kasus kekerasan seksual yang<br />

dilakukan oleh aparat penegak hukum dengan SOP tentang penanganan<br />

korban kekerasan seksual yang telah diatur dalam Peraturan Menteri<br />

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 1 Tahun 2010.<br />

Rekomendasi 9.2 Melakukan sosialisasi kembali terhadap Peraturan<br />

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 1 Tahun<br />

2010 kepada aparat hukum untuk melaksanakan SOP yang terkandung<br />

dalam aturan tersebut.<br />

Permasalahan berikutnya adalah tidak sesuainya penanganan kasus<br />

kekerasan seksual yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dengan SOP<br />

tentang penanganan korban kekerasan seksual yang telah diatur dalam<br />

Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak<br />

Nomor 1 Tahun 2010. Sehingga diperlukan adanya sosialisasi kembali<br />

terhadap Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan<br />

Anak Nomor 1 Tahun 2010 kepada aparat hukum untuk melaksanakan SOP<br />

yang terkandung dalam aturan tersebut. Kementerian Pemberdayaan<br />

Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia mengeluarkan<br />

Peraturan Menteri Negara Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Standard<br />

Pelayanan Minimal Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak<br />

Korban Kekerasan yang dimaksudkan untuk menjadi standar atau pun<br />

panduan dalam menyelenggarakan layanan perlindungan terhadap<br />

perempuan dan anak korban kekerasan seksual. Menurut Permenneg<br />

205


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

tersebut, layanan bagi korban kekerasan baik anak maupun perempuan<br />

diberikan oleh pemerintah dan masyarakat.<br />

Layanan Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan<br />

Nama Layanan<br />

Pengembang<br />

Pusat Krisis Terpadu (PKT), Pusat Pelayanan Terpadu Departemen<br />

(PPT) di Rumah Sakit (RS) Umum Vertikal, RS Umum Kesehatan dan<br />

Daerah, RS Kepolisian, dan RS Swasta<br />

Kepolisan<br />

Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA)<br />

Kepolisian<br />

Negara Republik<br />

Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan<br />

Anak (P2TP2A)<br />

Rumah Perlindungan dan Trauma Center (RPTC)<br />

Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA)<br />

Indonesia<br />

Kementerian<br />

Negara<br />

Pemberdayaan<br />

Perempuan<br />

Departemen<br />

Sosial<br />

Departemen<br />

Sosial<br />

Departemen<br />

Agama<br />

Kementerian Luar<br />

Negeri<br />

Masyarakat<br />

Badan Penasehatan Pembinaan dan Pelestarian<br />

Perkawinan (BP4)<br />

Satuan Tugas Pelayanan Warga pada Perwakilan RI di<br />

luar negeri<br />

LSM Women Crisis Center<br />

Tabel 2: Layanan Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan<br />

Menurut SPM<br />

Untuk mengoptimalkan berbagai upaya yang dilakukan oleh lembagalembaga<br />

di atas, pemerintah juga melakukan pengembangan kapasitas SDM<br />

penyelenggara layanan dan kebijakan-kebijakan pendukung yang dilakukan<br />

oleh Kementerian Kesehatan, berupa:<br />

1) Pelatihan penanganan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak<br />

untuk dokter/petugas medis Rumah Sakit<br />

2) Penyusunan Pedoman Pelayanan Korban Kekerasan Terhadap<br />

Perempuan (KtP) dan Anak (KtA) di Rumah Sakit<br />

3) Penyusunan Pedoman Rujukan Korban Kekerasan Terhadap Anak<br />

untuk Petugas Kesehatan<br />

4) Penyusunan Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap<br />

Perempuan di Tingkat Pelayanan Dasar<br />

5) Penyusunan Pedoman Pengembangan Puskesmas Mampu Tatalaksana<br />

Kasus KtP/A<br />

Bentuk-bentuk layanan yang diberikan melalui upaya-upaya di atas,<br />

antara lain berupa pelayanan kesehatan, rehabilitasi sosial, misalnya dalam<br />

206


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

bentuk penyediaan shelter (tempat), bantuan hukum, rehabilitasi sosial,<br />

pemulangan, dan reintegrasi korban. Namun, ketersediaan layanan ini di<br />

masing-masing tempat masih berbeda dan belum memiliki acuan tentang<br />

Standar Pelayanan Minimal yang harus disediakan oleh masing-masing<br />

lembaga penyelenggara layanan bagi perempuan dan anak korban<br />

kekerasan.<br />

Sedangkan LSM memiliki program penghapusan eksploitasi seksual<br />

anak, termasuk bagi korban perdagangan orang. Kegiatan yang dilakukan<br />

lembaga tersebut mulai dari pendampingan korban, menyediakan shelter<br />

untuk korban, pendidikan masyarakat, pendidikan kesehatan reproduksi<br />

remaja, kampanye antitrafiking, kajian, dan advokasi peraturan daerah<br />

tentang perlindungan perempuan dan anak dari segala bentuk kekerasan<br />

termasuk di antaranya perdagangan orang dan eksploitasi seksual. Tim<br />

Penggerak PKK juga telah melakukan kegiatan pelayanan berbasis<br />

masyarakat dalam membantu pencegahan terjadinya kekerasan, termasuk<br />

kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan perdagangan orang.<br />

<br />

Poin 9.3 Kurangnya sumber daya manusia terlatih untuk menangani korban<br />

kekerasan seksual pada Unit Pelaporan Kekerasan Seksual di tingkat<br />

kabupaten/kota.<br />

Rekomendasi<br />

9.3.1 Menyesuaikan jumlah tenaga terampil agar sebanding dengan jumlah<br />

kasus yang ada di provinsi tersebut.<br />

9.3.2 Setiap provinsi harus mempunyai data yang valid mengenai jumlah<br />

kasus kekerasan seksual.<br />

Kurangnya sumber daya manusia yang terlatih dalam menangani korban<br />

kekerasan seksual pada Unit Pelaporan Kekerasan Seksual di tingkat<br />

kabupaten/kota ini juga menjadi permasalahan lain. Dengan begitu<br />

memang dibutuhkan penyesuaian jumlah tenaga terampil agar sebanding<br />

dengan jumlah kasus yang ada di provinsi tersebut. Hal ini diperlukan<br />

untuk memaksimalkan penanganan terhadap korban kasus kekerasan<br />

seksual. Setiap provinsi harus mempunyai data yang valid mengenai<br />

jumlah kasus kekerasan seksual, agar dapat dilakukan pemantauan terhadap<br />

bagaimana kasus ini berkembang di masyarakat dan dapat diketahui<br />

bagaimana hasil dari upaya pemberantasan kekerasan seksual ini.<br />

<br />

Poin 9.4 Sulitnya akses korban kekerasan seksual terhadap dokter forensik<br />

untuk mendapatkan visum et repertum yang digunakan sebagai alat bukti<br />

yang valid.<br />

Rekomendasi 9.4 Menjamin akses yang mudah bagi korban kekerasan<br />

seksual untuk menjalani pemeriksaan oleh dokter forensik.<br />

207


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Sulitnya akses korban kekerasan seksual terhadap dokter forensik untuk<br />

mendapatkan visum et repertum yang digunakan sebagai alat bukti yang<br />

valid juga merupakan permasalahan penting dalam hal ini. Sehingga perlu<br />

adanya jaminan mengenai akses yang mudah bagi korban kekerasan<br />

seksual untuk menjalani pemeriksaan oleh dokter forensic<br />

<br />

Poin 9.5.1 Kesulitan masyarakat untuk menerima kembali korban kekerasan<br />

seksual karena dianggap sebagai aib dalam komunitasnya.<br />

Poin 9.5.2 Sulitnya akses korban kekerasan seksual terhadap dokter<br />

forensik untuk mendapatkan visum et repertum yang digunakan sebagai alat<br />

bukti yang valid.<br />

Rekomendasi 9.5 Asistensi pemerintah dalam peningkatan partisipasi<br />

masyarakat dalam reintegrasi korban kekerasan seksual.<br />

Salah satu permasalahan serius yang harus dihadapi oleh korban<br />

kekerasan seksual adalah pada saat dirinya sudah kembali terjun di<br />

lingkungan masyarakat. Dimana pada umumnya, korban akan merasa<br />

menjadi aib bagi lingkungan sekitarnya dikarenakan masyarakat sulit untuk<br />

menerima kembali status dirinya sekarang. Padahal, lingkungan sekitar<br />

memiliki peran besar bagi kembalinya kepercayaan diri seorang korban.<br />

Untuk itu, perlu adanya upaya-upaya terkait perubahan pola pikir<br />

masyarakat terhadap korban kekerasan seksual.<br />

Selain kesulitan yang dihadapinya dalam masyarakat, korban<br />

dihadapkan kembali dalam berbagai hambatan dalam memperjuangkan<br />

hak-haknya terutama jika mereka berhadapan dengan institusi penegak<br />

hukum atau aparat penegak hukum. Seringkali di tingkat penuntutan, jaksa<br />

selalu kesulitan untuk melimpahkan kasus kekerasan seksual ke pengadilan<br />

(P21) karena selalu alasan saksi yang melihat atau mengetahui secara<br />

langsung, sangat kaku, dan selalu memojokkan korban. Akibatnya jaksa<br />

selalu mengembalikan berkas dengan alasan tidak cukup bukti. Untuk itu,<br />

sangat penting mendapatkan visum et repertum sebagai alat bukti yang<br />

valid, namun kembali korban mengalami kendala pada sulitnya akses<br />

terhadap dokter forensik.<br />

Berangkat dari pemaparan yang sudah dijabarkan di atas, asistensi<br />

terhadap pemerintah dalam peningkatan partisipasi masyarakat dalam<br />

reintegrasi korban kekerasan seksual menjadi sangat penting agar terjadi<br />

kesatuan untuk sama-sama melindungi hak-hak para korban kekerasan<br />

seksual.<br />

<br />

Poin 9.6 Kurangnya informasi dari aparat penegak hukum kepada korban<br />

kekerasan seksual mengenai keberadaan lembaga yang bergerak di bidang<br />

pemulihan korban kekerasan seksual.<br />

Rekomendasi 9.6 Dalam proses peradilan penanganan kasus kekerasan<br />

seksual, aparat penegak hukum harus menjamin bahwa korban mengetahui<br />

208


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

keberadaan lembaga yang bergerak dalam bidang pemulihan korban<br />

kekerasan seksual<br />

Setiap orang yang mengalami tindak kekerasan, apalagi secara seksual,<br />

pasti merasa malu dan takut untuk menceritakan kejadian yang dialaminya.<br />

Kondisi dimana korban menjadi tertutup dikarenakan trauma yang<br />

dialaminya semakin menyulitkan institusi penegak hukum untuk<br />

membongkar kasus kekerasan seksual. Untuk itu, pendampingan dari<br />

psikiater atau lembaga yang bergerak di bidang pemulihan korban<br />

kekerasan seksual sangatlah dibutuhkan. Namun seringkali informasi<br />

tersebut tidak diketahui secara memadai oleh korban sehingga korban<br />

menjadi kembali takut dan keterangan dari korban tidak diperoleh secara<br />

utuh. Dengan demikian, menjadi suatu hal yang wajib bagi aparat penegak<br />

hukum untuk menjamin bahwa korban mengetahui keberadaan lembaga<br />

yang bergerak dalam bidang pemulihan korban kekerasan seksual,<br />

sehingga dapat membantu korban selama proses peradilan<br />

Dampak yang terjadi pada korban kekerasan seksual seringkali luput<br />

dari perhatian serius masyarakat. Dampak tersebut diderita korban pada<br />

saat perkosaan dan berlanjut berminggu-minggu, berbulan-bulan bahkan<br />

sepanjang sisa hidupnya. 34 Dampak perkosaan bisa lebih buruk apabila<br />

tidak mendapatkan dukungan dari keluarga dan teman-teman, disalahkan,<br />

korban adalah seorang anak, dan pelaku perkosaan lebih dari satu orang.<br />

Terdapat beberapa dampak yang dapat timbul pada korban kekerasan<br />

seksual, terutama perkosaan dan pelecehan. Dampak-dampak tersebut<br />

antara lain dampak langsung, dampak perilaku, dampak psikologis,<br />

dampak fisik, dan dampak dalam jangka panjang.<br />

Dampak langsung pada korban biasanya terkejut yaitu tubuh mendingin,<br />

mental yang bingung, menjadi lemah, kehilangan orientasi, gemetaran dan<br />

mual, terkadang muntah, menyangkal apa yang terjadi, menangis, dan<br />

menarik diri.<br />

Dampak perilaku juga terjadi pada korban yaitu sulit konsentrasi,<br />

mudah takut atau kaget dari biasanya, bermasalah dalam hubungan dengan<br />

pasangan, mengalami masalah seksual, meningkatnya konsumsi alkohol,<br />

rokok, dan obat-obatan, sering mencuci diri atau mandi berkali-kali dan<br />

berlama-lama.<br />

Dampak psikologis biasanya pikiran dan perasaan yang terganggu,<br />

kilas-balik, amnesia psikologis, hilangnya perasaan emosi tertentu, berpikir<br />

bunuh diri, mudah marah atau pemarah, merasa malu dan terhina, perasaan<br />

bersalah dan menyalahkan diri sendiri, merasa bertanggung jawab atau<br />

terjadinya perkosaan, perasaan yang berbeda atau jauh dari orang lain,<br />

34 Topo Santoso, Op. Cit., hlm. 116.<br />

209


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

perasaan tidak berdaya dan tidak kuasa hilangnya harga diri, hilangnya<br />

kepercayaan diri, dan merasa kurang dari orang lain. 35<br />

Dampak fisik antara lain sakit asma, menderita migrain, sulit tidur, sakit<br />

ketika berhubungan seksual, luka pada bibir atau dagu, luka, infeksi, atau<br />

penyakit pada alat kelamin, kesulitan buang air besar, kemungkinan tidak<br />

dapat melahirkan anak, dan infeksi pada panggul. 36<br />

Efek dari perkosaan dalam jangka panjang adalah korban tidak pernah<br />

lupa tetapi belajar untuk bernegosiasi dengan ingatannya, sehingga<br />

dibutuhkan konseling untuk bicara tentang pengalamannya. Korban juga<br />

mengalami masalah kejiwaan, yaitu ketidakmampuan mempercayai orang<br />

lain, perfeksionisme, fobia, menghindari keintiman emosional dan ikatan,<br />

tidak percaya pada indra sendiri, bahkan dapat membela pelaku perkosaan<br />

(membenci untuk mencintai), memiliki masalah pengasuhan, mencemaskan<br />

figur yang memiliki otoritas, banyak mengacaukan hubungan seks, kasih<br />

sayang, dan cinta dengan kontrol dan kekuasaan. 37<br />

Di samping itu, ada pula dampak dari segi pendidikan dan ekonomi<br />

terhadap korban. Banyak kasus yang mempengaruhi laju seseorang dalam<br />

jenjang pendidikannya yang sangat mempengaruhi masa depan korban<br />

terutama mengenai aspek kehidupan ekonominya. 38<br />

Dapat dikatakan, penderitaan korban dapat terjadi sebelum, selama, dan<br />

setelah sidang pengadilan. 39 Dengan terbongkarnya suatu kasus perkosaan,<br />

penderitaan korban baru dimulai. Mulai dari pertanyaan-pertanyaan<br />

penyidik yang kadang memojokkan dirinya atau semakin mengingatkan<br />

pada peristiwa buruk yang ia alami. Hal itu berlanjut di sidang pengadilan<br />

di mana proses pembuktian semakin mengoyak dirinya. Pertanyaanpertanyaan<br />

yang diajukan pembela terdakwa malah seakan menjadikannya<br />

sebagai “tertuduh”. Penderitaan itu semakin sempurna ketika pengadilan<br />

tidak dapat membuktikan kesalahan pelaku, atau jika terbukti hanya<br />

menghukumnya dengan hukuman yang sangat ringan (sering terjadi<br />

pengadilan menghukum pemerkosa dengan beberapa bulan penjara). 40 Hal<br />

tersebut terjadi dalam proses hukum YF, korban pelecehan seksual oleh<br />

empat orang petugas Transjakarta pada awal tahun 2014.<br />

<br />

Poin 9.7 Beberapa daerah belum memiliki rumah aman (shelter) bagi<br />

korban kekerasan seksual dalam konteks rehabilitasi yang dibutuhkan.<br />

Selain itu, terdapat beberapa daerah yang sudah memiliki shelter, namun<br />

belum dipergunakan sebagaimana mestinya.<br />

35 Carol Hensell dan Dr. Veronica Salter, Apakah Perkosaan Itu?, (Jurnal<br />

Perempuan Edisi 71: Perkosaan dan Kekuasaan, 2011), hlm 116.<br />

36 Topo Santoso, Op. Cit, hlm. 40.<br />

37 Carol Hensell dan Dr. Veronica Salter, Op. Cit., hlm. 116.<br />

38 Topo Santoso, Op. Cit, hlm. 40.<br />

39 Prof. Agus Purwadianto, Op. Cit., hlm. 6.<br />

40 Topo Santoso, Op. Cit., hlm. 42-43.<br />

210


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Rekomendasi 9.7 Harus adanya pemerataan shelter di tiap-tiap lembaga<br />

yang memiliki fungsi rehabilitasi terhadap korban kekerasan seksual dan<br />

harus dioperasionalkan sesuai dengan Standar Penilaian Minimum<br />

Permasalahan lainnya yang harus segera dibenahi adalah mengenai<br />

pentingnya ketersediaan rumah aman (shelter) bagi korban kekerasan<br />

seksual. Terhadap hal itu, beberapa daerah belum memiliki rumah aman<br />

(shelter) dalam konteks rehabilitasi yang dibutuhkan. Untuk daerah yang<br />

sudah memiliki rumah aman (shelter) pun belum dipergunakan secara<br />

optimal dan sebagaimana semestinya. Sehingga menjadi penting untuk<br />

diadakan pemerataan shelter di tiap-tiap lembaga yang memiliki fungsi<br />

rehabilitasi terhadap korban kekerasan seksual, serta harus<br />

dioperasionalkan sesuai dengan Standar Penilaian Minimum.<br />

<br />

Poin 9.8 Dakwaan tindak pidana kekerasan seksual yang belum<br />

mengakomodasi restitusi dan kompensasi bagi korban kekerasan seksual.<br />

Rekomendasi 9.8 Restitusi dan kompensasi harus diakomodir dalam surat<br />

dakwaan.<br />

Seringkali, dalam penjatuhan pidana bagi pelaku tindak kekerasan<br />

seksual yang diutamakan sebagai bentuk tanggung jawab dari perbuatan<br />

yang dilakukannya adalah dengan dipenjara sekian tahun. Korban hanya<br />

dapat menerima tindakan pembalasan tersebut dengan penjatuhan hukuman<br />

yang diberikan hakim kepada pelaku. Setelah mendapat putusan yang<br />

bersifat inkracht dari pengadilan, korban seringkali dikembalikan pada<br />

orang tuanya tanpa direhabilitasi. Kemudian dalam hal medis, seperti<br />

melakukan perawatan (kalau terdapat luka fisik) dan visum sebagaimana<br />

yang dijelaskan pada poin atas, korban dibebani biaya sendiri. Dalam hal<br />

ini, korban tidak memperoleh ganti kerugian seperti restitusi maupun<br />

kompensasi dan bantuan hukum lainnya sehingga hak korban untuk<br />

mendapatkan restitusi dan kompensasi perlu diakomodir dalam surat<br />

dakwaan.<br />

211


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

SUSUNAN KEPANITIAAN<br />

SIMPOSIUM HUKUM NASIONAL 2014<br />

Pembina : Prof. Dr. Topo Santoso, S.H., M.H.<br />

Dekan Fakultas Hukum Universitas<br />

Indonesia<br />

Penasehat : Heru Susetyo, S.H., LL.M., M.Si., Ph.D.<br />

Manajer Pendidikan dan Kemahasiswaan<br />

Fakultas Hukum Universitas Indonesia<br />

Penanggungjawab : Gery Fathurrachman<br />

Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas<br />

Hukum Universitas Indonesia<br />

Panitia Pengarah<br />

(Steering Committee)<br />

: Fadel Muhammad<br />

Kepala Departemen Kajian dan Aksi<br />

Strategis Badan Eksekutif Mahasiswa<br />

Fakultas Hukum Universitas Indonesia<br />

R. M. Agung Putranto<br />

Wakil Kepala Departemen Kajian dan Aksi<br />

Strategis Badan Eksekutif Mahasiswa<br />

Fakultas Hukum Universitas Indonesia<br />

Dion Valerian<br />

Wakil Kepala Departemen Kajian dan Aksi<br />

Strategis Badan Eksekutif Mahasiswa<br />

Fakultas Hukum Universitas Indonesia<br />

Ketua Pelaksana : Florianti Kurnia Sjaaf<br />

Wakil Ketua Pelaksana : Kharisma Bintang Alghazy<br />

Sekretaris 1 : Miranti Verdiana<br />

Sekretaris 2 : Rininta Sharfina<br />

Bendahara Internal : Rr. Dwi Setyani Hanindita<br />

Bendahara Eksternal : Anesha Gita Ardelia<br />

Divisi Sponsorhip<br />

Penanggungjawab : Nadia Theodora<br />

Wakil Penanggungjawab : Ristia Delasari<br />

Divisi Dana Usaha<br />

Penanggungjawab : Ratu Gita<br />

Wakil Penanggungjawab : Wita Risanti<br />

Bidang I<br />

Koordinator Bidang : Annisa Essanda Gunawan<br />

Divisi Materi dan Acara :<br />

Penanggungjawab : Fadhil Muhammad Indrapraja<br />

Wakil Penanggungjawab 1 : Rifki Maulana<br />

212


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Wakil Penanggungjawab 2 : Bella Nathania<br />

Wakil Penanggungjawab 3 : Dysan Aufar<br />

Wakil Penanggungjawab 4 : Dita Anggraeni<br />

Divisi Ceremony<br />

Penanggungjawab : Muhammad Yusuf Rashidi<br />

Wakil Penanggungjawab : Ivan Dwi Anugrah<br />

Divisi Simposium<br />

Penanggungjawab : Mutiara Zahroh<br />

Wakil Penanggungjawab : Aszmar Haliem<br />

Divisi Output<br />

Penanggungjawab : Kristi Ardiana<br />

Wakil Penanggungjawab : Aris Dzilhamsyah<br />

Divisi Liaison Officer (LO)<br />

Penanggungjawab : Tasha Kartika<br />

Wakil Penanggungjawab 1 : Irfan Hielmy<br />

Wakil Penanggungjawab 2 : Putri Rizka<br />

Divisi Registrasi dan Verifikasi<br />

Penanggungjawab : Nadhilah Rosa<br />

Wakil Penanggungjawab : Nadia Maulida<br />

:<br />

Bidang II<br />

Koordinator Bidang : Nabila Satira<br />

Divisi Humas dan Publikasi<br />

Penanggungjawab : Dhianti Afifah<br />

Wakil Penanggungjawab 1 : Angela Vania<br />

Wakil Penanggungjawab 2 : Salomo Harvard<br />

Divisi Media Partner<br />

Penanggungjawab : Nissa Azzahra<br />

Wakil Penanggungjawab : Ratna Juwita<br />

Divisi Desain dan Produksi<br />

Penanggungjawab : Adrianus Eryan<br />

Wakil Penanggungjawab 1 : Asha Alifa<br />

Wakil Penanggungjawab 2 : Christofer Ruminsar<br />

Divisi Dokumentasi<br />

Penanggungjawab : Nadya Radhisya<br />

Wakil Penanggungjawab : Rena Restriana<br />

213


Simposium Hukum Nasional 2014<br />

Bidang III<br />

Koordinator Bidang : Christopher Imantaka<br />

Divisi Perizinan<br />

Penanggungjawab : Rizqi Robbani Hanif<br />

Wakil Penanggungjawab 1 : Stanley Armando<br />

Wakil Penanggungjawab 2 : Fathia Notarina<br />

Divisi Perlengkapan<br />

Penanggungjawab : Adipa Rizky Putra<br />

Wakil Penanggungjawab : Dewangga Dennis<br />

Divisi Transportasi<br />

Penanggungjawab : Revino Vaditra<br />

Wakil Penanggungjawab : Prabowo Rizky<br />

Divisi K3<br />

Penanggungjawab : Adirizal Dito<br />

Wakil Penanggungjawab : Mario Bimo<br />

Divisi Akomodasi<br />

Penanggungjawab : Aditya Brahma<br />

Wakil Penanggungjawab : Marbuhal Silitonga<br />

Divisi Konsumsi<br />

Penanggungjawab : Anbiya<br />

Wakil Penanggungjawab : Camelia Wulandari<br />

214


215<br />

Simposium Hukum Nasional 2014

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!